Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra (PIBSI) XXXVI i

ii Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI iii

P R O S I D I N G SEMINAR INTERNASIONAL PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVI

Yogyakarta, 11-12 Oktober 2014

Membangun Citra Indonesia di Mata Internasional melalui Bahasa dan Sastra Indonesia

Editor Associate Prof. Dr. Yang Xiaoqiang Christopher A. Woodrich, M.A. Nicholas Jackson, B.A. Dr. Rina Ratih Sri Sudaryani, M.Hum. Dra. Triwati Rahayu, M.Hum. Wachid Eko Purwanto, M.A. Roni Sulistiyono, M.Pd. Yosi Wulandari, M.Pd.

Penyunting Bahasa Dedi Wijayanti, M.Hum. Siti Salamah, M.Hum. Hermanto, M.Hum. M. Ardi Kurniawan, M.A. Denik Wirawati, M.Pd. Iis Suwartini, M.Pd.

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN iv Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL Membangun Citra Indonesia di Mata Internasional melalui Bahasa dan Sastra Indonesia

Editor Associate Prof. Dr. Yang Xiaoqiang Christopher A. Woodrich, M.A. Nicholas Jackson, B.A. Dr. Rina Ratih Sri Sudaryani, M.Hum. Dra. Triwati Rahayu, M.Hum. Wachid Eko Purwanto, M.A. Roni Sulistiyono, M.Pd. Yosi Wulandari, M.Pd.

Penyunting Bahasa Dedi Wijayanti, M.Hum. Siti Salamah, M.Hum. Hermanto, M.Hum. M. Ardi Kurniawan, M.A. Denik Wirawati, M.Pd. Iis Suwartini, M.Pd.

Penerbit Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Universitas Ahmad Dahlan Jl. Pramuka, No.42, Sidikan, , 55161 Telp.(0274) 563515, 511830, 379418, 371120, Fax. (0274) 564604 Website: www.pbsi.uad.ac.id Email: [email protected]

Cetakan 2, November 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Right Reserved

ISBN 978-602-17348-1-0

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI v

SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA SEMINAR INTERNASIONAL PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN Yogyakarta, 11-12 Oktober 2014

Penasihat : Dr. Kasiyarno, M.Hum. Dr. Muchlas, M.T. Penanggung jawab : Dra. Trikinasih, M.Si. Dr. Suparman, M.Si.DEA Pengarah : Prof.Dr. Pujiati Suyata,M.Pd. Prof.Drs. Soeparno Drs.H. Jabrohim,M.M. Dra.Triwati Rahayu,M.Hum. Ketua : Wachid Eko Purwanto, S.Pd.,M.A. Sekretaris : Dedi Wijayanti,S.Pd.,M.Hum. Yuwanto Efa Anggraini Iis Suwartini, M.Pd Bendahara : Siti Salamah, S.S.,M.Hum. Seksi Acara : Dra.Hj. Sudarmini Roni Sulistiyono,S.Pd.,M.Pd. Dra. A.Yumartati,M.Hum. Yosi Wulandari, M.Pd Seksi Konsumsi : Dra.Titiek Suyatmi,M.Pd. Danny Hexa Seksi Prosiding : Dr. Rina Ratih Sri Sudaryani,M.Hum. Hermanto,S.Pd., M.Hum. Seksi Humas : M.Ardi Kurniawan,S.S.,M.A. Dra.Zultiyanti Denik Wirawati,S.Pd.,M.Pd.

vi Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI vii

Sambutan

REKTOR UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertama, atas nama pimpinan dan keluarga besar Universitas Ahmad Dahlan (UAD), saya mengucapkan selamat datang di Kota Yogyakarta kepada seluruh peserta Seminar Internasional dengan tema “Membangun Citra Indonesia di Mata Internasional Melalui Bahasa dan Sastra Indonesia” dalam rangka Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) ke-36 yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UAD. Pada kesempatan ini juga, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para pembicara utama yang tidak hanya berasal dari Indonesia, Tiongkok, Australia, dan Kanada yang telah meluangkan waktu dan membagi pengalamannya pada forum ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh pemakalah pendamping atas partisipasinya. Mudah-mudahan seluruh sumbangan pemikiran dari para pemakalah betul-betul dapat memperkuat peran bahasa Indonesia di dalam dan di luar negeri, serta mewujudkan citra Indonesia yang berkarakter dan berbudaya. Kedua, saya sangat mendukung upaya membangun citra Indonesia di mata internasional, khususnya melalui pengembangan bidang bahasa dan sastra Indonesia. Sebagai bahasa yang menempati posisi keempat di dunia dengan jumlah penutur sebanyak 240 juta dari 7,2 miliar penduduk dunia, bahasa Indonesia memiliki peluang untuk menjadi bahasa internasional. Hemat saya, peluang itu sebaiknya dimanfaatkan oleh seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat umum, maupun sivitas akademika di perguruan tinggi negeri dan swasta, khususnya yang memiliki Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atau Bahasa dan Sastra Indonesia. Ketiga, posisi Indonesia di panggung kehidupan internasional semakin penting dan diperhitungkan oleh negara-negara lain. Di bidang ekonomi, misalnya, Indonesia menempati posisi 16 besar kekuatan ekonomi dunia dan masuk kelompok G-20. Pada 2030 mendatang, Indonesia diprediksi akan menempati tujuh besar negara dunia. Peran penting ini hendaknya dibarengi dengan peran dari sektor-sektor lainnya, seperti politik dan sosial budaya, termasuk di dalamnya bahasa dan sastra Indonesia. Berbagai ikhtiar pun sudah dilakukan oleh pemerintah dan institusi perguruan tinggi, seperti menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga pengembangan dan pembelajaran bahasa Indonesia di luar negeri, mendirikan pusat-pusat pembelajaran bahasa Indonesia di luar negeri, serta memantapkan program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) melalui Beasiswa Darmasiswa setiap tahun. Sebagai informasi tambahan, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) telah aktif menjalin kerja sama dengan sejumlah universitas di Tiongkok, antara lain, Guangxi University for Nationalities (GXUN) dan Xiangsihu College. Kerja sama dengan dua perguruan tinggi tersebut berupa pertukaran dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa untuk belajar di UAD selama satu hingga dua tahun, dan demikian juga dosen dan mahasiswa UAD di GXUN. Hingga kini, kerja sama itu tetap terjalin aktif dan harmonis. Di samping itu, ikhtiar untuk menjadikan bahasa Indonesia bermartabat di negeri sendiri juga penting diperhatikan. Semua pihak, tak terkecuali sivitas akademika, didorong untuk memupuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia, memperkuat guru bahasa Indonesia, dan memperbanyak ruang-ruang ekspresi seperti menampilkan puisi, cerpen, drama, dan teater. Kesemuanya itu viii Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI menampilkan citra Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berkarakter dan berbudaya yang berakar kuat pada teks-teks karya sastra Indonesia, baik lama maupun modern/kontemporer. Selanjutnya, saya sampaikan rasa terima kasih kepada panitia yang telah mempersiapkan seminar ini dengan baik. Semoga jerih payah dan pengorbanan Bapak/Ibu dan mahasiswa semua dihitung sebagai amal kebaikan. Melalui kesempatan ini, saya juga menyampaikan permohonan maaf kepada peserta seminar dari berbagai daerah di Indonesia apabila dalam penyelenggaraan seminar ini ada kekurangan. Saya selaku pimpinan UAD yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan PIBSI tahun ini berharap agar seminar ini dapat memberikan kontribusi di bidang bahasa dan sastra Indonesia serta pengajarannya di sekolah dan kampus di Indonesia khususnya, dan di luar negeri umumnya.

Kalau ada sumur di ladang Boleh kita menumpang mandi Kalau ada umur yang panjang Boleh kita berjumpa lagi

Terima kasih Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 11 Oktober 2014

Dr. Kasiyarno, M.Hum. Rektor Universitas Ahmad Dahlan

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI ix

Prakata Panitia

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI bertema Membangun Citra Indonesia di Mata Internasional melalui Bahasa dan Sastra Indonesia diselenggarakan oleh Universitas Ahmad Dahlan pada tanggal 11-12 Oktober 2014 di hotel @Hom, Yogyakarta. Pada Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI ini terdapat 13 pemakalah utama dan 136 pemakalah pendamping. Pemakalah utama berasal dari dalam dan luar negeri. Pemakalah utama yang berasal dari dalam negeri adalah sebagai berikut (berdasarkan pada urutan abjad); Prof. Dr. Ali Imron Al- Ma’ruf (Indonesia), Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum (Indonesia), Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, M.Hum (Indonesia), Prof. Dr. I Nengah Suandi (Indonesia), Prof. Dr. I Wayan Rasna (Indonesia), Prof. Dr. Markamah, M.Hum (Indonesia), Prof. Drs. Soeparno (Indonesia), Prof. Dr. Sukirno, M.Pd (Indonesia), Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Indonesia), dan Dr. Rina Ratih S.S., M.Hum (Indonesia). Adapun pemakalah utama yang berasal dari luar negeri adalah Associate Prof. Dr. Yang Xiaoqiang (Tiongkok) dan Christopher Allen Woodrich, M.A. (Kanada). Sementara itu, para pemakalah pendamping dan peserta seminar berasal dari dalam dan luar negeri. Pemakalah pendamping dari dalam negeri berasal dari berbagai instansi, yakni perguruan tinggi, balai bahasa, kantor bahasa, dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, sedangkan yang berasal dari luar negeri berasal dari Australia dan Tiongkok. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI yang dilaksanakan pada tahun 2014 ini diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan. Kesuksesan pelaksanaan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh anggota panitia penyelenggara, dorongan jajaran pimpinan Universitas Ahmad Dahlan dan dukungan seluruh anggota PIBSI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Keberhasilan ini juga atas berkat dukungan dari para pemakalah utama, pemakalah pendamping, peserta, dan peran serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu. Atas kerja keras, dorongan dan dukungan berbagai pihak tersebut, disampaikan rasa terima kasih yang tulus. Sebagai hasil dari pertemuan ilmiah ini, seluruh makalah yang berasal dari pemakalah utama dan pemakalah pendamping diterbitkan dalam prosiding PIBSI XXXVI. Semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat di lingkup nasional dan internasional. Terutama dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia. Pada kesempatan ini, permohonan maaf kami sampaikan apabila dalam prosiding ini masih banyak kekurangan. Saran dan kritik kami butuhkan demi perbaikan. Adapun hal terakhir yang perlu kami sampaikan adalah permohonan maaf kepada semua pihak, apabila dalam menyelenggarakan PIBSI XXXVI tahun ini terdapat banyak kekurangan. Demikian hal yang dapat kami sampaikan, atas kerja sama seluruh pihak kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 11 Oktober 2014 Ketua Panitia PIBSI XXXVI,

Wachid Eko Purwanto, M.A. x Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI xi

DAFTAR ISI

SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA v SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN vii PRAKATA PANITIA ix DAFTAR ISI xi

MAKALAH UTAMA

1. SASTRA INDONESIA SEBAGAI SASTRA DUNIA: APA URUSAN KITA? Suminto A. Sayuti ...... 1 2. EKSISTENSI BAHASA INDONESIA DALAM KEMITRAAN STRATEGIS RI-RRT: PERSPEKTIF TIONGKOK Yang Xiaoqiang ...... 3 3. INDONESIA DALAM MATA ORANG KANADA: KEMUNGKINAN DAN KETERBATASAN SASTRA INDONESIA DI PASAR KANADA Christopher Allen Woodrich ...... 9 4. MEMBANGUN CITRA BANGSA INDONESIA: STUDI ATAS TEMA WACANA HUMOR BERBAHASA INDONESIA I Dewa Putu Wijana ...... 17 5. PENDIDIKAN, CINTA, DAN PERKAWINAN: POTRET KAUM PEREMPUAN DALAM PUISI INDONESIA Rina Ratih ...... 25 6. GAYA WACANA DAN DIMENSI BUDAYA DALAM TEKS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK: KAJIAN STILISTIKA DAN PEMAKNAANNYA Ali Imron Al-Ma’ruf ...... 33 7. RELEVANSI MEMAHAMI JARINGAN SASTRA NUSANTARA Bani Sudardi ...... 45 8. MENJAGA INTEGRASI NASIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA YANG BERORIENTASI INTEGRASI NASIONAL DAN HARMONI SOSIAL I Nengah Suandi ...... 53 9. BERBAGAI PRINSIP TINDAK TUTUR YANG DAPAT MENCIPTAKAN KOHESI SOSIAL I. Praptomo Baryadi ...... 59 10. SASTRA LISAN DALAM IMPLEMENTASI PENGOBATAN TRADISIONAL BALI OLEH PARA DUKUN DI KABUPATEN JEMBRANA: SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA – ETNO MEDIS I Wayan Rasna* ...... 73 11. EFEKTIVITAS MODEL MATERI AJAR SINTAKSIS BERBASIS TEKS TERJEMAHAN ALQURAN DAN PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP MODEL ITU Markhamah, Abdul Ngalim, Muhammad Muinuddinilah Basri ...... 81 xii Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

12. KENDALA MEMBANGUN CITRA BAHASA INDONESIA YANG BERMARTABAT Soeparno ...... 93 13. KEMAMPUAN MEMBACAKAN TEKS PANCASILA DAN TEKS PEMBUKAAN UUD 1945 SISWA SMA/MA/SMK MUHAMMADIYAH SEKABUPATEN BANYUMAS TAHUN AJARAN 2014/2015 Sukirno ...... 99

MAKALAH PENDAMPING

1. IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN MATERI AJAR ALIH KODE DALAM PEMBELAJARAN SOSIOLINGUISTIK BERBASIS KOMUNIKASI PROMOSI PENJUALAN Abdul Ngalim, Markhamah, dan Harun Joko Prayitno ...... 113

2. IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM MELEJITKAN KARAKTER KRITIS ANAK BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN BUDAYA LOKAL Afrinar Pramitasari ...... 121

3. NILAI MORAL DALAM CERPEN PABRIK SKRIPSI KARYA ON THOK SAMIANG Ahmad Ripai ...... 129

4. KONSEP ALIRAN TEOLOGI ISLAM DALAM TUHFAH AR-RAAGHIBIN KARYA ABDUSSAMAD AL-PALIMBANI Ahmad Taufiq ...... 137

5. PENERJEMAHAN SASTRA EROPA DI INDONESIA ERA 1870-1920-AN Albertus Prasojo dan Dwi Susanto ...... 145

6. PROSES PEMAKNAAN ANEKSI PADA KARANGAN NARASI SISWA KELAS XI-3 SMA NEGERI LASEM Andi Haris Prabawa dan Setiawan Edi Wibowo ...... 155

7. PROFESIONALISME GURU BAHASA INDONESIA SEBAGAI WUJUD PERADABAN BANGSA Ary Kristiyani ...... 163

8. KONJUNGSI KETIKA SEBAGAI PEMBENTUK RELASI WAKTU ANTARKLAUSA Ashari Hidayat ...... 167

9. INTERTEKSTUALITAS NOVEL SEBATANG KARA DENGAN NOVEL KAU, AKU, DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH Asry Kurniawaty ...... 173

10. PEMBELAJARAN CERPEN BERBASIS TEKS DALAM KURIKULUM 2013 Atikah Anindyarini...... 179

11. POLA KLAUSA, POSISI ISI BERITA, DAN VARIASI PENGEMBANGAN PENULISAN JUDUL BERITA Atiqa Sabardila ...... 185 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI xiii

12. KOMPONEN MAKNA PEMBENTUK MEDAN LEKSIKAL VERBA BAHASA INDONESIA YANG BERCIRI (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA) Bakdal Ginanjar ...... 197

13. MEMBANGUN BUDAYA KERJA UNGGUL DIKTENDIK JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA: UPAYA MENGHASILKAN LULUSAN YANG MAMPU MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL Bambang Hartono...... 205

14. NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK KARYA AHMAD TOHARI: KISAH TENTANG PERUBAHAN SOSIAL DARI DESA Bambang Lelono dan Roch Widjatini ...... 215

15. PEMBELAJARAN MEMBACA PADA TAHAP PERMULAAN Basuki ...... 223

16. KESANTUNAN BAHASA PERMOHONAN HADIR DALAM TEKS SURAT UNDANGAN PERKAWINAN BERDASARKAN SKALA PRAGMATIK LEECH Benedictus Sudiyana ...... 233

17. PENGAJARAN BIPA SEBAGAI SOFT POWER DIPLOMASI BUDAYA (BERBAGI PENGALAMAN DARI POLANDIA) Beniati Lestyarini...... 243

18. DAMPAK BAHASA GAUL TERHADAP KARAKTER BANGSA Bivit Anggoro Prasetyo Nugroho ...... 251

19. WUJUD RELIGI DALAM NOVEL-NOVEL MELAYU TIONGHOA Dedi Pramono ...... 257

20. PENERAPAN LAGU-LAGU ANAK KARYA SIGIT BASKARA: SEBUAH ALTERNATIF MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI KELAS RENDAH Dedi Wijayanti ...... 263

21. PENANAMAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PEMBELAJARAN MENYIMAK KONSENTRATIF DENGAN MEDIA AUDIO Denik Wirawati ...... 271

22. PERAN SASTRA ANAK UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI MUDA YANG BERKARAKTER Desy Rufaidah ...... 279

23. ALTERNATIF MODEL INKUIRI SOSIAL MELALUI KARYAWISATA DALAM KETERAMPILAN MENULIS PUISI Desyarini Puspita Dewi ...... 285

24. GAYA BAHASA SASTRA ANAK: CARA ANAK MENUNJUKKAN EKSPRESI Dina Nurmalisa ...... 291 xiv Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

25. IMPLIKATUR DALAM RETORIKA POLITIK GERAKAN NASIONAL SALAM GIGIT JARI Dwi Budiyanto...... 295

26. PERKAWINAN ANTAR RAS DALAM PANDANGAN PENGARANG PERANAKAN TIONGHOA DI ERA KOLONIAL Dwi Susanto ...... 303

27. KEEFEKTIFAN MODEL PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BERBASIS CERITA ANAK MELALUI PENANAMAN NILAI ETIS-SPIRITUAL PADA SISWA SD Edy Suryanto, Raheni Suhita, dan Yant Mujiyanto ...... 311

28. MEMBACA KONSTRUKSI KECANTIKAN DALAM NOVEL ANAK MILLIE SANG IDOLA KARYA ALLINE Else Liliani ...... 319

29. IPADAGOGI DALAM PRAKTIK: SEBUAH MODEL M-LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Eric Kunto Aribowo ...... 327

30. NOVEL-NOVEL KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN SEBAGAI PEMBANGUN IDENTITAS PEREMPUAN INDONESIA Erna Wahyuni ...... 339

31. LEKSIKON “JATUH” DALAM MASYARAKAT TUTUR BANYUMAS KAJIAN ETNOSEMANTIK Erwita Nurdiyanto dan Subandi ...... 349

32. ANALISIS NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PERMAINAN TRADISIONAL ANAK SOYANG-SOYANG DI BANYUMAS SALAH SATU UPAYA MEMBANGUN CITRA INDONESIA DI MATA INTERNASIONAL Etin Pujihastuti ...... 353

33. ANALISIS PUISI JENAZAH KARYA MANSUR SAMIN: SEBUAH KAJIAN SEMIOTIK Evi Chamalah dan Meilan Arsanti ...... 361

34. MEDAN MAKNA VERBA GERAK TANGAN DAN KAKI DALAM BAHASA JAWA Farida Nuryantiningsih ...... 365

35. PEREMPUAN BALI DALAM NOVEL: RESISTENSI TERHADAP HEGEMONI PATRIARKI Gde Artawa ...... 373

36. REDUPLIKASI SEMANTIK DALAM BAHASA INDONESIA Gita Anggria Resticka ...... 381

37. BENTUK DAN FUNGSI SATUAN LINGUAL PENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT TUTUR BAHASA JAWA DI JAWA TENGAH Hari Bakti Mardikantoro ...... 389

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI xv

38. PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI (TI) DALAM PENILAIAN KETERAMPILAN BERBICARA SEBAGAI PERWUJUDAN PRINSIP PENILAIAN KURIKULUM 2013 Hari Wahyono ...... 399

39. KUTUKAN DALAM CERITA ANAK Harjito ...... 405

40. RELIGIOUS ASPECT OF NOVEL SANG PENCERAH BY AKMAL NASERY BASRAL: THE STUDIES ON LITERATURE ANTHROPOLOGY AND THE IMPLEMENTATION AS THE LITERATURE INSTRUCTIONS MATERIAL AT SMP Hartati Rahayu...... 413

41. WARNA LOKAL JAWA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI Hartono ...... 421

42. FREKUENSI DAN DURASI KALIMAT BAHASA INDONESIA Henry Yustanto ...... 431

43. “TANAH AIRMATA” SUTARDJI CALZOUM BACHRI I Ketut Sudewa ...... 443

44. REPRODUKSI PERGULATAN UMBU LANDU PARANGGI DALAM ARENA SASTRA DI BALI I Made Astika ...... 449

45. MIMIKRI DAN STEREOTIPE KOLONIAL TERHADAP BUDAK DALAM NOVEL-NOVEL BALAI PUSTAKA I Nyoman Yasa ...... 457

46. ITIHĀSA DALAM KESASTRAAN MELAYU: KEDUDUKAN DAN FUNSGINYA I.B. Jelatik Sutanegara Pidada ...... 463

47. PENGEMBANGAN MATERI AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEREDUKSI KONFLIK SOSIAL: ANALISIS KEBUTUHAN DAN PRINSIP-PRINSIP Ida Zulaeha ...... 471

48. PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA MELALUI KEGIATAN LESSON STUDY SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN Iis Suwartini ...... 479

49. PENDIDIKAN UNTUK PERUBAHAN MASYARAKAT MELALUI PEMBELAJARAN READING IV DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PORPE DI STKIP PGRI PACITAN Iisrohli Irawati & Agung Budi K ...... 485

50. SINETRON DAN PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK Ika Septiana ...... 493 xvi Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

51. REALITAS MASYARAKAT TRANSISI DALAM NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK KARYA AHMAD TOHARI Imam Suhardi...... 499

52. BAHASA DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT Indiyah Prana Amertawengrum ...... 507

53. TEORI PUISI IMAN BUDHI SANTOSA Joko Santoso ...... 515

54. KAJIAN INTERTEKSTUAL KEHILANGAN MESTIKA DAN LAYAR TERKEMBANG Kadaryati ...... 523

55. PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING DALAM MENULIS ARGUMENTASI BERBASIS MULTIKULTURAL UNTUK MAHASISWA ASING DI PROGRAM BIPA Kundharu Saddhono ...... 531

56. KUALITAS TEKS DALAM SOAL UJIAN NASIONAL BAHASA INDONESIA SMA PROGRAM IPS TAHUN 2014 Laili Etika Rahmawati, Abdul Mukhlis, Eri Retnowati, Wiwin Nugrahaningsih ...... 539

57. MATERI AJAR BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING BERBASIS COMMON EUROPEAN FRAMEWORK OF REFERENCE FOR LANGUAGES (CEFR) DAN PENDEKATAN INTEGRATIF Liliana Muliastuti ...... 545

58. PELUANG PENGGUNAAN PARADIGMA PENDIDIKAN KRITIS DALAM KAJIAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA M. Ardi Kurniawan ...... 555

59. BENTUK KESATUNAN BERTUTUR MASYARAKAT JAWA KOTA SEMARANG TERBEBAS DARI KAIDAH ALTERNASI PADA UJARANNYA M. Suryadi...... 561

60. NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI SEBAGAI AKTUALISASI DIRI M.Riyanton ...... 567

61. RUMAH POSKOLONIAL DALAM SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN KARYA Maharani Intan Andalas...... 573

62. PENYISIPAN TEKS SASTRA DALAM PEMBELAJARAN TEKS NONSASTRA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN GAIRAH BERSASTRA Main Sufanti ...... 577

63. KAJIAN STILISTIKA: KOMPLEKSITAS PEMAKNAAN TEKS SASTRA Maryaeni ...... 585

64. PEMBELAJARAN MENULIS PUISI SEDERHANA MELALUI TEKNIK EKSPLORASI KELAS KATA Miftakhul Huda ...... 589 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI xvii

65. PEMBUDAYAAN MENULIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INVESTIGASI KELOMPOK YANG BERBASIS KEARIFAN BUDAYA LOKAL Mimi Mulyani ...... 595

66. PANDANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER TERHADAP PRIYAYI SANTRI (Kajian Sosiologi Sastra terhadap Novel Gadis Pantai) Moh. Muzakka Mussaif ...... 605

67. HUBUNGAN TINDAK TUTUR DAN GESTUR: POTRET PERILAKU BERBAHASA DI LINGKUNGAN BIROKRASI Muhamad Ridwan Septiaji ...... 613

68. KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA PADA RANAH PEMERINTAH DI PESISIR JAWA TENGAH: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK Muhammad Rohmadi ...... 619

69. METAFORA SEBAGAI STIMULIS SARANA BERPIKIR KONKRET DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER DAN PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS KURIKULUM 2013 Mukti Widayati ...... 629

70. MENYALAHKAN DALAM BAHASA INDONESIA Mursia Ekawati ...... 637

71. PARADIGMA MULTIKULTURAL DALAM SASTRA MELAYU KLASIK DAN SASTRA INDONESIA MODERN Murtini dan Bagus Kurniawan ...... 643

72. PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA MELALUI BAHAN AJAR DRAMABA BERBASIS KOMIK BERMUATAN PENDIDIKAN KARAKTER NASIONALISME (Penelitian Pengembangan Bahan Ajar Drama untuk Siswa SMP di Kabupaten Demak) Nazla Maharani Umaya, Harjito, Ngasbun Egar ...... 655

73. PERSONAL REFLECTION UPON LEARNING INDONESIAN IN AUSTRALIA AND INDONESIA AND POSSIBLE IMPLICATIONS FOR TEACHING Nicholas Jackson ...... 663

74. PEMBELAJARAN PENDEKATAN SCIENTIFIK BERMUATAN CONTENT AND LANGUAGE INTEGRATED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA Ngatmini ...... 667

75. OPOSISI CINTA DALAM PUISI “MALU AKU JADI ORANG INDONESIA” KARYA TAUFIK ISMAIL DAN “NEW YORK I LOVE YOU” KARYA TOETI HERATY (PSIKOANALISIS LACAN) Nila Mega Marahayu dan Dyah Wijayawati ...... 679

76. KEKERASAN NARATIF DALAM MAJALAH KARTINI Nurhadi ...... 687 xviii Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

77. ANALISIS WACANA KRITIS BINGKAI (FRAME) DALAM EDITORIAL TENTANG TERORISME DI HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO P. Ari Subagyo dan Sony Christian Sudarsono ...... 699

78. “KALATIDHA” SEBAGAI KRITIK KEPEMIMPINAN GLOBAL: SAMBUTAN NOVEL KALATIDHA TERHADAP SERAT KALATIDHA Pipit Mugi Handayani dan Agus Wismanto...... 709

79. PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS TEKS CERITA SEJARAH BANGSA Putut Setiyadi ...... 723

80. PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ANAK USIA DINI MELALUI SASTRA PROFETIK: SEBUAH REKAYASA SOSIAL Qurrota Ayu Neina ...... 729

81. MENGGELORAKAN KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA SEBAGAI FENOMENA PRAGMATIK BARU R. Kunjana Rahardi, Yuliana Setyaningsih dan Riishe Purnama Dewi ...... 733

82. PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS WACANA GENDER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS (Sebuah Rekonstruksi Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Responsif Gender) Rangga Asmara ...... 741

83. EKSISTENSI SINETRON DALAM PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN REMAJA DAN PENGAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Riniwati S.A ...... 749

84. NEGOTIATION ATTITUDES SEBAGAI SISTEM APPRAISAL DALAM PESAN VERBAL IKLAN KECANTIKAN VISUAL MEDIA CETAK Riris Tiani ...... 757

85. MAKNA PRAGMATIK KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA PADA RANAH KELUARGA Rishe Purnama Dewi, R. Kunjana Rahardi dan Yuliana Setiyaningsih ...... 765

86. WUJUD DAN STRATEGI KESANTUNAN TUTURAN SAPAAN IMPERATIF DALAM BAHASA BANJAR Rissari Yayuk ...... 773

87. MEMBACA HENING BERKESINAMBUNGAN MELALUI JURNAL PERMAINAN ULAT BULU, GERBONG CERITA, DAN BUAH CERITA UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA Roni Sulistiyono ...... 779

88. PELESTARIAN BUDAYA DAERAH SEBAGAI STARTEGI PEMEBERDAYAAN BAHASA MELAYU TAMIANG Rozanna Mulyani ...... 785

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI xix

89. MECHANICAL EDITING GROUP: SOROT KUALITAS KEBAHASAAN KARYA ILMIAH MAHASISWA Santi Pratiwi Tri Utami ...... 793

90. KATA PENGHUBUNG DI MANA: ANTARA KEBUTUHAN DAN LARANGAN DALAM BERBAHASA INDONESIA BAKU Sawardi ...... 799

91. THE EFFECTIVENESS OF SENSITIZING TECHNIQUE IN TEACHING READING COMPREHENSION FOR EFL LEARNERS Selamet Riadi Jaelani ...... 807

92. RELASI ANTAR WUJUD BUDAYA DALAM NOVEL JATISABA KARYA RAMAYDA AKMAL Septi Yulisetiani ...... 815

93. IMPLEMENTASI MODEL MEMBACA DAN MENULIS INTERAKTIF SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BIDANG MORFOLOGI PADA MAHASISWA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Septina Sulistyaningrum ...... 821

94. INTEGRASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM KURIKULUM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN ICT LITERACY Setya Tri Nugraha & Rishe Purnama Dewi ...... 829

95. MERAWAT BAHASA IBU MELALUI PEMETAAAN BAHASA DI KABUPATEN BREBES Siti Junawaroh ...... 843

96. DISFEMIA PADA KOMENTAR TERHADAP BERITA DAN ARTIKEL ONLINE YAHOO INDONESIA Siti Maslakhah ...... 851

97. PETA KONSEP: TEKNIK MENGASAH KETERAMPILAN MENULIS MANDIRI DAN SISTEMATIS Siti Salamah ...... 859

98. PENANAMAN NILAI KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA DALAM MATA KULIAH BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI Sitti Rabiah ...... 865

99. PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS ARTIKEL MELALUI PENERAPAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING DAN ACTION LEARNING Sri Muryati ...... 873

100. NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA, RANAH 3 WARNA, DAN RANTAU 1 MUARA KARYA AHMAD FUADI Sri Nani Hari Yanti ...... 879

101. BAKAT BAHASA DAN TES BAKAT BAHASA, CARA MEMPEREDIKSI BAKAT BAHASA PEMBELAJAR BAHASA ASING St. Nurbaya ...... 885 xx Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

102. PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERMUATAN NILAI BUDAYA UNTUK SISWA PENDIDIKAN DASAR BERDASARKAN KURIKULUM 2013 Subyantoro ...... 891

103. “TAK KENAL MAKA TAK SAYANG”: MENGENAL SOSOK-SOSOK INDONESIANIS DI TIONGKOK DAN KAMPUS-KAMPUSNYA SERTA PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA DI TIONGKOK KE ARAH YANG LEBIH BAIK Sudaryanto ...... 905

104. IMPLEMENTASI PENDEKATAN PROSES DAN PRODUK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Sudiati ...... 913

105. NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA SEBAGAI WARGA SASTRA DUNIA Sudibyo ...... 919

106. TENTANG ILUSTRASI BUKU CERITA BERGAMBAR MENURUT REBBECA J. LUKENS Sugihastuti ...... 929

107. METAFORA DAN STUDI ETNOFILOSOFI Suhandano ...... 935

108. PEMEROLEHAN KLAUSA RELATIF PADA PEMELAJAR BIPA Suharsono ...... 941

109. TIPE STRUKTUR WACANA SOAL CERITA DALAM BUKU TEKS MATEMATIKA BERBAHASA INDONESIA UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR Sumarwati ...... 955

110. TANTANGAN DAN KREATIVITAS GURU MENGIMPLEMENTASIKAN KURIKULUM 2013 DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Suroso ...... 967

111. STRATEGI MERAWAT BAHASA DAERAH MELALUI LIRIK LAGU DANGDUT Sutarsih...... 973

112. CHARACTER EDUCATIONOF CULTURAL COMBINING BASED (NGAYOGYAKARTA CHARACTERIZED OF THE INDONESIAN LANGUAGE USE) Tadkiroatun Musfiroh ...... 979

113. KAMUS DAN PEMBELAJARAN BAHASA YANG BERKARAKTER Teguh Setiawan ...... 989

114. TRANSFORMASI WATAK BAWOR PADA KUMPULAN CERPEN SENYUM KARYAMIN Teguh Trianton...... 997

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI xxi

115. PENDAYAGUNAAN CERITA RAKYAT SEBAGAI MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA Titiek Suyatmi ...... 1005

116. MAJAS DALAM PUISI-PUISI KARYA ABDURAHMAN FAIZ Tri Mulyono...... 1011

117. PENGEMBANGAN BERBAHASA DI INDONESIA PADA ERA ASEAN ECONOMIC COMMUNITY Triwati Rahayu ...... 1019

118. ANALISIS KEBUTUHAN BUKU AJAR SINTAKSIS BAHASA INDONESIA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Tutik Wahyuni ...... 1025

119. PRINSIP PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN APRESIASI PROSA BERBASIS PENGALAMAN INSPIRATIF TOKOH DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER U’um Qomariyah...... 1031

120. BAHASA GAUL DAN EKSISTENSI BAHASA INDONESIA Umi Faizah ...... 1037

121. PENINGKATAN KUALITAS GURU BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI EMAS YANG UNGGUL Vera Krisnawati...... 1045

122. DARI ANAK BUANGAN SAMPAI RUH PENASARAN: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMAJI KUNANG-KUNANG SEBAGAI MAKHLUK JELMAAN DALAM CERPEN BIOGRAFI KUNANG-KUNANG DAN KUNANG-KUNANG DI LANGIT JAKARTA Wachid Eko Purwanto ...... 1051

123. LEGENDA SEBAGAI SARANA PENGENALAN BUDAYA INDONESIA DALAM MATERI AJAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) Wati Istanti ...... 1061

124. INTERFERENSI LEKSIKAL BAHASA JAWA DALAM MAJALAH SEKOLAH BERBAHASA INDONESIA Wening Handri Purnami ...... 1065

125. CITRA BUDAYA JAWA DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO Wiekandini Dyah Pandanwangi ...... 1071

126. KUASA DALAM BAHASA: KAJIAN PIDATO KENEGARAAN SOEKARNO Wira Kurniawati ...... 1079

xxii Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

127. KATA SERAPAN DARI BAHASA ARAB DALAM KAMUS KATA SERAPAN KARYA SURAWAN MARTINUS Wiwik Darmini ...... 1089

128. MAKNA KONTEKS BAHASA DALAM TELAAH SOSIOLINGUISTIK Yakub Nasucha ...... 1097

129. BENTUK-BENTUK METAFORIS KATA SANDI DALAM KASUS KORUPSI Yayuk Eny R...... 1105

130. UNSUR INOVASI DALAM BAHASA SUMBAWA VARIAN LAWIN DI NUSA TENGGARA BARAT Yenni Febtaria W...... 1111

131. DISKURSUS BATJAAN LIAR: KAJIAN TERHADAP DUA SASTRAWAN LIAR DALAM PERIODE 1900-1933 Yoseph Yapi Taum ...... 1119

132. SAJAK ‘HUJAN’ SEBUAH LIRIH PENYAIR TENTANG PARIPURNA KEHIDUPAN: MERAJUT NILAI AGAMA PADA LARIK HUJAN DALAM KOMPOSISI I KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN RAIN KARYA KAZIM ALI Yosi Wulandari ...... 1131

133. KESEMBRONOAN DISENGAJA SEBAGAI WUJUD KETIDAKSATUNAN PRAGMATIK BERBAHASA Yuliana Setyaningsih, Kunjana Rahardi dan Rishe Purnama Dewi ...... 1137

134. TERJEMAHAN PENANDA KOHESI RUJUKAN PRONOMINA DALAM TEKS RESEARCH METHODS FOR BUSINESS: A SKILL BUILDING APPROACH KARYA UMA SEKARAN Zainal Arifin ...... 1147

135. PERAN NILAI MORAL DALAM SASTRA ANAK SEBAGAI PENGEMBANGAN KARAKTER GENERASI EMAS Zulfitriyani ...... 1157

136. KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF METAFORIK MELALUI PUISI DALAM RANGKA MEMBENTUK GENERASI EMAS INDONESIA Zulyanti ...... 1165

LAMPIRAN

MAKALAH UTAMA

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 1

SASTRA INDONESIA SEBAGAI SASTRA DUNIA: APA URUSAN KITA?

Suminto A. Sayuti

“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan itu akan kami teruskan dengan cara kami sendiri.”

Kalimat pembuka dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) tersebut mengisyaratkan makna politik kebudayaan, khususnya politik sastra (karena dirumuskan dan dimaklumatkan oleh para sastrawan pada saat itu). Kesadaran para sastrawan pada saat itu sekaligus meniscayakan posisi sastra kita sebagai warga sastra dunia. Tentu kita tidak salah jika mengaitkan SKG tersebut dengan polemik kebudayaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelum SKG dimaklumatkan. Persoalan tarik- menarik antara Faust dan Arjuna sebenarnya juga berangkat dari kesadaran budaya sebagai warga dunia tanpa harus tercerabut dari akar budaya sendiri. Jika hari ini kita masih mencoba membicarakannya, khususnya dalam hal kesastraan, juga tidak salah karena dalam kenyataannya, sebagai bangsa hingga hari ini memang belum pernah memiliki GBHK (Garis Besar Haluan Kebudayaan) yang jelas. Lihatlah misalnya bagaimana persiapan Frankfurt Book Open Fair yang akan diselenggarakan tahun depan (jangan-jangan banyak di antara kita yang malahan tidak tahu)! Atau, memang kita tidak memerlukan adanya formalitas-formalitas tertentu dalam mengelola kebudayaan agar kita menjadi lebih bebas berimprovisasi. Akan tetapi, bukankah kita dikenal oleh bangsa-bangsa lain terutama karena kebudayaannya, dan bukan karena hal lainnya. Persoalannya, apa urusan kita dengan itu semua? Sebagai kegiatan budaya, kehidupan sastra suatu bangsa meniscayakan adanya tiga wilayah kehidupan kecendekiaan: wilayah produktif/kreatif/penciptaan, wilayah reproduktif/rekreatif/ pengkajian, dan wilayah reseptif/apresiatif/penikmatan. Keberadaan ketiganya diperlukan dalam kehidupan sastra yang sehat dan masing-masing berperanan yang sama pentingnya dalam memajukan kesusastraan suatu bangsa. Wilayah pertama melibatkan para sastrawan pencipta, wilayah kedua melibatkan para peneliti dan pemawas/kritikus, dan wilayah ketiga melibatkan para pembaca. Dalam kaitan ini, penelitian dan pembelajaran sastra termasuk dalam wilayah reproduktif karena kegiatan penelitian di satu pihak dan kegiatan pembelajaran di pihak yang lain, merupakan dua aktivitas yang erat berjalinan. Terlebih lagi jika disadari bahwa penelitian sastra adalah dapur pembelajaran sastra. Oleh karena itu, dosen dan guru sastra --yang pada gilirannya dituntut untuk melakukan penelitian/pengamatan kesastraan dalam rangka pembelajaran sastra yang diampunya-- merupakan kelompok cendekiawan reproduktif. Di sisi lain, para siswa dan mahasiswa, di samping masyarakat umumnya, merupakan kelompok penerima budaya. Sektor penciptaan akan hidup subur apabila hasil kreasi para sastrawan mendapat sambutan yang selayaknya dari para apresiator. Dalam hubungan ini, peningkatan penikmatan dan pemahaman suatu teks sastra dalam rangka penghayatannya secara keseluruhan, para penikmat seringkali memerlukan semacam resep atau panduan dari para kritikus (dan pengajar sastra). Di samping itu, sosialisasi teks-teks sastra berikut penanaman sikap yang baik terhadapnya akan efektif melalui pembelajaran sastra. Tentu saja dalam kaitan ini yang dimaksud dengan pembelajaran sastra adalah pembelajaran sastra yang baik, bukan pembelajaran yang sekedar dilaksanakan asal-asalan saja (dalam rangka sekedar memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku). Dengan demikian, sesungguhnya baik kritik maupun pembelajaran sastra memiliki fungsi edukasional dan kultural. Akan tetapi, salah satu hal yang tak dapat dielakkan dalam kehidupan sastra modern kita ialah bahwa kelompok produktiflah yang umumnya diperhitungkan sebagai kelompok cendekiawan. Dalam bahasa Rendra, mereka disebut “berumah di angin”: para kreator yang selalu berjuang untuk menemukan jalan baru, cara dan gaya pengungkapan baru yang belum pernah dipergunakan sebelumnya. Berkat perjuangan merekalah tonggak-tonggak sejarah sastra ditancapkan. Di sisi yang lain, para kritikus dan pemawas sastra --termasuk di dalamnya adalah

2 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

dosen dan guru sastra-- sebagai kelompok cendekiawan reproduktif yang menjembatani para empu sastra dengan kelompok cendekiawan umumnya seringkali dan umumnya dianggap tidak memberikan sumbangan apa-apa. Jangan-jangan anggapan itu benar, jangan-jangan kita selama ini memang belum memberikan sumbangan yang berarti. Sastra Indonesia pada dasarnya adalah sastra lokal. Artinya, persoalan-persoalan yang diangkat oleh para sastrawan merupakan persoalan yang ditimba dari sumur-sumur budaya lokal: Minang, Jawa, Sunda, Bali, dan seterusnya. Ia menjadi bercitra Indonesia karena persoalan tersebut di- “rumah”-kan melalui dan dalam bahasa Indonesia, yakni bahasa yang di satu sisi, diyakini para sastrawan berfungsi membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan dan telikung sangkan-paran sosialnya: lokalitas tempat ia beranjak menyuarakan diri sebagai kreator; sementara pada sisi lain, merupakan bahasa yang fungsinya tidak berhenti dalam sifatnya yang reproduktif, tetapi konstruktif. Ketika persoalan lokal tertentu bersemuka dengan “yang lain” sehingga muncul persoalan konfliktual yang kompleks, proses pe-“rumah”-annya dalam teks-teks sastra diproyeksikan dalam sejumlah cara sesuai dengan pilihan masing-masing sastrawan. Ada sastrawan yang mengkonstruksi jagat imajiner cerita dengan cara mempertahankan nilai-nilai lokal dan tradisi. Konflik pun dibangun dengan menempatkan nilai-nilai tersebut secara dialektis, yakni dihadapkan dengan persoalan-persoalan eksternal, tetapi relevan dan berguna bagi penguatan yang lokal. Dalam karya semacam ini, posisi lokalitas tertentu dalam relasinya dengan lokalitas lain tetap mengedepan sebagai penanda pentingnya akar-akar budaya lokal itu. Karenanya, tokoh-tokoh yang melahirkan dan menggerakkan peristiwa dalam cerita pun tampil sebagai sosok pribadi lokal yang berwawasan terbuka, yang mampu membangun dialog secara translokal dan bias saja transnasional. Bisa saja tokoh tersebut adalah individu yang utamanya bertindak pada tataran lokal, tetapi ia sebenarnya berkembang melampaui batas-batas lokalitasnya. Persoalan proses kreatif dalam penciptaan teks-teks sastra seperti itu merupakan urusan para sastrawan. Lalu apa urusan kita dengan itu semua dalam kaitannya dengan upaya meneguhkan sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia. Banyak ahli sastra yang berasal dari luar Indonesia yang menaruh peduli pada sastra Indonesia, bahkan sastra di Indonesia, baik dalam upaya penerjemahan maupun kajian, misalnya saja: Burton Raffel, Harry Aveling, John Mc. Gilyn, Teeuw, Ben Anderson. Kepedulian itu menandai bahwa sastra Indonesia telah diakui sebagai warga sastra dunia. Munculnya program studi kajian Indonesia yang di dalamnya terdapat kajian budaya Indonesia di berbagai universitas di luar negeri juga menguatkan adanya pengakuan tersebut, di samping diundangnya sejumlah sastrawan kita untuk berbagai kegiatan sastra regional dan internasional, seperti di Rotterdam dan Iowa. Demikian juga halnya dengan sejumlah penghargaan yang telah diterima oleh para sastrawan kita dari negara lain. Akan tetapi, kita niscaya tidak cukup hanya mengharapkan hasil kerja mereka, kita sendiri musti melakukan upaya peneguhan itu. Kajian-kajian terhadap kompleksitas permasalahan dalam sastra, hasil-hasilnya perlu dijurnalkan secara internasional. Masih terbatasnya teks-teks sastra kita yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing – walaupun persoalan ini selalu mengundang pro dan kontra – mestinya menjadi tantangan tersendiri sehingga hal itu perlu juga dilakukan secara terprogram. Para penerbit musti memiliki keterpanggilan budaya dan moral untuk mengirimkan terbitan-terbitan buku sastranya ke perpustakaan-perpustakaan internasional yang berwibawa. Kita musti meningkatkan keterlibatan kita pada forum-forum sastra regional dan internasional. Yang paling penting, kita semua musti selalu mengikuti gerak dinamik perkembangan sastra kita dari waktu ke waktu, dan yang terpenting adalah upaya membumikan sastra, bagaimana sastra Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hingga hari ini berbagai situasi paradoksal mengepung kita: dari kurikulum yang mengebiri sastra hingga langka dan terbatasnya buku-buku sastra di sekolah dan kampus. Itulah urusan kita semua dalam rangka meneguhkan sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia.

Balong-Pakembinangun: 5 Oktober 2014

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 3

EKSISTENSI BAHASA INDONESIA DALAM KEMITRAAN STRATEGIS RI-RRT: PERSPEKTIF TIONGKOK

Yang Xiaoqiang (Guangxi University for Nationalities, Nanning, Guangxi)

Abstract Indonesian has been known by Chinese people as well as Chinese in Indonesia. Comprehensive cooperation makes skill to master Indonesian needed. In fact, mastering Indonesian is considered as a promising skill in job competition. A part from the fact that Chinese students are more enthusiastic to learn Indonesian and there are many universities willing to open Indonesian study program, unfortunately, there are also some Indonesian study programs in certain universities which will be closed or degraded. The lack of Indonesian teachers is a serious challenge for all colleges, including Peking University and BSFU. The next problem is the availability of Indonesian leaning materials and reading texts which is limited in quantity. In detail, the materials designed in China are considered lack of variety. It is worse that the availability of newspapers, novels and magazines in China college libraries is limited as well. Confirming the Indonesian existence in China needs attention from both state government and education circle. Some suggestions which can be proposed are: First, intergovernmental cooperation (G to G) or inter universities (U to U) which can build a number of Indonesian Centers in Chinese Universities to promote Indonesian language, literature, and culture. Second, it is expected to increase the quota of Darmasiswa applicants for Chinese students as many as the number of applicants. Third, it is needed a cooperation which is broader, tighter and steadier between Indonesian and Chinese universities.

Keywords: Indonesian existence, strategic partnership, Chinese Perspective

POTRET BAHASA INDONESIA DI TIONGKOK A. Tahun 1949-1990 Pengajaran bahasa Indonesia di Tiongkok dimulai dari Universitas Peking, suatu PT tertua dan terkenal di Tiongkok. Waktu baru dibuka pada tahun 1949, prodi itu diberi nama Prodi Bahasa Melayu, namun setelah hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia dijalin langsung diganti nama menjadi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, yang kemudian mendapat nama baru lagi, yaitu Prodi Bahasa dan Kebudayaan Indonesia pada 1998. Di ibu kota Tiongkok, Universitas Peking bukan satu- satunya perguruan yang berencana mengembangkan bahasa Indonesia. Tak mau ketinggalan, prodi yang sama dibuka oleh Universtias Bahasa Asing Beijing (BFSU, 1962), walaupun dengan sarana belajar dan mengajar yang masih sangat minim. Ternyata awal yang baik ini tidak bisa diteruskan. Pasalnya, beberapa lama kemudian hubungan kedua negara retak. Kondisi ini berdampak sangat negatif terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Tiongkok. Tanpa didukung suasana kondusif, jurusan yang dimaksud menghadapi sejumlah kendala berat, misalnya kekurangan bahan ajaran, staf pengajar lokal dan asing, serta kesempatan berkomunikasi dengan rekan Indonesia. Selain itu, lowongan pekerjaan yang tersedia di instansi pemerintah maupun masyarakat terbatas bagi para lulusan. Hal ini mengakibatkan peminat bahasa Indonesia relatif sepi. Oleh karena itu, prodi tersebut biasanya membuka penerimaan angkatan baru setiap 4-5 tahun sekali. Dengan jumlah siswa setiap angkatan yang berkisar 10-15 orang, kursi yang tersedia di kelas hanya terisi separuhnya. Tiongkok melalui PT dan para dosen menunjukkan keseriusan dalam mengembangkan bahasa Indonesia. Salah satu buktinya, pada tahun 1970 studi bahasa Indonesia mulai dilaksanakan secara sistematis juga di Universitas Bahasa Asing Guangdong, suatu PT yang terletak di kota Guangzhou, bagian selatan Tiongkok. Agar meningkatkan daya tarik, ada kampus yang mencoba program dwi- ijazah bagi siswa dari sejumlah prodi termasuk bahasa Indonesia. Dengan kata lain, selain di prodi

4 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

sendiri, para siswa diberi kesempatan menuntut ijazah S-1 dari jurusan yang dianggap lebih laris, ambil contohnya bahasa Inggris, ekonomi dsb. Baik di Guangdong maupun Beijing, dosen-dosen bahasa Indonesia generasi pertama dominan adalah Huaqiao–warga negara Tiongkok yang hidup di Indonesia kemudian pulang ke tanah air pada tahun 50-60-an. Atas usaha mereka, terutama para professor di Universitas Peking termasuk Prof. Liang Liji, Prof. Kong Yuanzhi, dan Prof. Huang Chenfang, jurusan bahasa Indonesia untuk pertama kalinya punya buku pegangan yang sama yang menjadi buku utama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Kamus Besar Indonesia-Tionghoa dapat diterbitkan pada tahun 1989 setelah disusun selama 10 tahun oleh timnya. Beberapa novel Indonesia seperti roman Pramudya Ananta Toer Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana diterjemahkan ke bahasa Tionghoa. Tak salah bila dikatakan prodi bahasa Indonesia walaupun belum berkembang maksimal, telah membuka suatu jendela dari mana siswa dan masyarakat Tiongkok bisa mengenal Indonesia.

B. Tahun 1990-2014 Hubungan diplomatik Indonesia dengan Tiongkok banyak mengalami pasang surut. Setelah 23 tahun hubungan tersebut beku, mulai muncul upaya-upaya untuk melakukan normalisasi. Hubungan Beijing-Jakarta kembali normal pada tahun 1990 setelah 12 tahun sebelumnya Tiongkok mencanangkan reformasi dan keterbukaan. Perkembangan persahabatan kedua negara sungguh di luar perdugaan banyak orang, khususnya sejak Indonesia masuk era reformasi pada 1998. Bahasa Indonesia pun semakin dikenal di mata warga Tiongkok seperti halnya bahasa Mandarin di Indonesia. Sejak tahun 2005, kedua sahabat dekat menjadi mitra strategis. Peningkatan hubungan itu tampak dari makin luasnya kerja sama yang dilakukan Indonesia-Tiongkok baik sosial, budaya, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Di bidang pendidikan, seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Bersama antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai Kemitraan Strategis, kedua belah pihak bertekad “mendorong kerjasama pendidikan melalui pertukaran pelatihan aktif serta pengajaran bahasa masing-masing”. Ini menjadi momentum untuk mengembangkan bahasa Indonesia di Tiongkok. Dua PT di Guangxi dan Shanghai, yaitu Guangxi University for Nationalities (GXUN) dan Shanghai International Studies University (SISU) membuka jurusan bahasa Indonesia dan menerima siswa baru pada tahun itu pula. Sampai saat ini, tercatat prodi bahasa Indonesia telah berkembang di 9 PT di Tiongkok, yang terdiri dari 8 universitas berstatus negeri dan 1 kampus swasta seperti digambarkan tabel di bawah. Di samping itu, kursus bahasa Indonesia untuk program 3-12 bulan sering muncul di kota Beijing, Shanghai, Guangzhou dan Nanning. Berkat perhatian dari pemerintah dan kalangan masyarakat, pembelajaran bahasa Indonesia di Tiongkok mengalami kemajuan signifikan. Pada umumnya, masa ini prodi bahasa Indonesia di Tiongkok didukung dengan fasilitas yang memadai, baik berupa kepustakaan, laboratorium maupun sarana pengajaran lain bagi staf pengajar dan siswa. Jumlah siswa di setiap kampus rata-rata diatas 30 orang, kecuali Peking University dan BFSU yang tetap membuka kelas bahasa Indonesia 4 tahun sekali. Siswa paling banyak terdapat di GXNU dan Xiangsihu College, dengan jumlah total lebih dari 200 orang. Ada tiga penyebab untuk menjelaskan hal ini. Pertama, dengan diselenggarakannya suatu even tahunan China-ASEAN Expo sejak tahun 2004, hubungan provinsi Guangxi dan kota Nanning dengan negara-negara Asean termasuk Indonesia menjadi sangat dekat. Kedua, GXUN menawarkan program bahasa Indonesia dari jenjang diploma sampai S-2. Ketiga, di GXUN dan Xiangsihu College, bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan dibuka untuk beberapa jurusan antara lain jurusan sastra Tiongkok dan jurusan ekonomi.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 5

Prodi Bahasa Indonesia di Kampus Tiongkok Waktu Prodi Jenjang Jumlah No. Nama Letak BI Dibuka Pendidikan Dosen 1 Peking University Beijing 1949 S-1, S-2, S-3 3 Beijing Foreign Studies 2 University (BFSU) Beijing 1962 S-1, S-2 2

Guangdong University of 3 Guangzhou 1970 S-1, S-2 4 Foreign Studies (GUFS) Shanghai International 4 Shanghai 2005 S-1, S-2 2 Studies University (SISU) Guangxi University for Diploma, 5 Guangxi 2005 3 Nationalities (GXUN) S-1, S-2 6 Xiangsihu College Guangxi 2007 S-1 2 Guangxi Normal 7 Guangxi 2010 S-1 2 University (GXNU) Yunnan Minzu University 8 Kunming 2011 S-1 2 (YMU) Tianjin Foreign Studies 9 Tianjin 2013 S-1 2 University (TFSU)

Suasana kondusif dalam kemitraan strategis kedua negara dimanfaatkan secara optimal oleh prodi yang dimaksud. Semua kampus dengan prodi bahasa Indonesia di Tiongkok telah menjalin kerjasama dengan satu atau lebih PT di Indonesia sehingga program “3+1”, “3.5+0.5” atau “2+2” bisa diterapkan. Para siswa berpeluang belajar selama setengah tahun sampai 2 tahun di Indonesia. Program sandwich ini penting karena benar-benar dapat membantu siswa-siswa mengenal budaya dan masyarakat Indonesia dari dekat. Tidak sedikit dari mereka akhirnya memutuskan mencari pekerjaan di Indonesia, bahkan ada satu dua orang yang berkeluarga dan kemungkinan akan tinggal menetap di Indonesia. Dalam hal belajar ke luar negeri para siswa Tiongkok mendapat bantuan dari pemerintah Indonesia melalui program beasiswa bernama Darmasiswa.

PELUANG KE DEPAN Sebagaimana diketahui, ragam dan nilai kerjasama antara Indonesia dan Tiongkok terus ditingkatkan dalam kerangka kemitraan strategis. Kita melihat bahwa ketika ekspor dan impor dengan wilayah lain tergelincir pada tahun 2013, volume perdagangan bilateral RI-RRT sebaliknya meningkat sampai 68.7 miliar dolar, angka ini diprediksi akan mencapai 80 miliar dollar pada tahun 2015. Di bidang pertukaran budaya dan pendidikan, pada tahun yang sama terdapat lebih dari 300 kali saling kunjung oleh delegasi yang terdiri dari para budayawan, seniman, cendekiawan, dan intelektual. Kedua belah pihak optimis bahwa hubungan RI-RRT ini akan semakin kuat lagi, seperti yang dinyatakan oleh presiden SBY waktu menerima kunjungan Presiden Xi Jinping pada Oktober 2013. Kerjasama yang makin komprehensif itu membuat kemampuan berbahasa Indonesia kian dibutuhkan. Faktanya, kepiawaian berbahasa Indonesia dianggap lebih menjanjikan dalam bersaing mencari pekerjaan. Selain berfungsi sebagai alat komunikasi untuk melancarkan kegiatan bisnis, bahasa dapat secara efisien menjembatani dua budaya, membuat dua bangsa saling kenal dengan akrab hingga saling percaya, hal mana merupakan landasan dalam mengimplementasikan kemitraan strategis. Rupanya arti penting ini disadari oleh pemerintah RI dan RRT, buktinya kerjasama sektor pendidikan dan pengajaran bahasa masing-masing selalu diprioritaskan dalam perjanjian antara kedua negara.

6 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Data terakhir menunjukkan setidaknya 45 negara, termasuk Tiongkok, telah membuka program bahasa Indonesia. Kenyataannya, bila dibandingkan dengan bahasa Vietnam dan Thailand, memang eksistensi bahasa Indonesia di Tiongkok belum seimbang dengan kedudukan Indonesia yang berpenduduk sampai 250 juta jiwa. Saat ini hanya di propinsi Guangxi saja, terdapat 25 PT telah membuka jurusan bahasa Thailand. Setiap tahun lebih dari 2000 orang siswa Guangxi dikirim mengenyam pendidikan ke Negeri Gajah Putih itu. Namun, menurut statistik jumlah mahasiswa Tiongkok yang belajar di Indonesia cuma 327 orang (2013). Pihak Tiongkok bersikap sangat aktif dalam memromosikan bahasa Indonesia. Langkah-langkah yang diambil antara lain memfasilitasi pembukaan prodi bahasa Indonesia, mendatangkan dosen tamu, membina staf pengajar lokal, atau belanja buku-buku dari Indonesia. Dana yang dikeluarkan bukan dalam jumlah kecil, misalnya kampus GXUN tahun 2014 mengalokasikan sebanyak 150 ribu dolar dengan harapan membenahi prodi bahasa Indonesia menjadi Prodi Unggul di Guangxi. Bantuan dan kerjasama dari pihak Indonesia selalu disambut hangat. Salah satu capaianya, Indonesia Center didirikan di kampus BFSU, dengan diresmikan oleh Mendikbud Mohammad Nuh RI pada 23 Mare 2012 lalu. Aplikasi soft diplomacy sedang dikedepankan oleh Indonesia untuk melambungkan pengaruhnya di dunia internasional. Menurut Sudaryanto, dalam konteks hubungan diplomasi RI-RRT, bahasa Indonesia berpeluang menjadi bagian dari soft power (KR, 22/4/2014). Ini merupakan faktor penting yang ikut mendukung potensi eksistensi bahasa Indonesia di Tiongkok. Bila tren positif ini dipertahankan, bukan mustahil suatu hari bahasa Indonesia di Tiongkok menjadi populer, seperti di Jepang, Vietnam, dan Australia.

TANTANGAN DAN USULAN Di samping kenyataan bahwa siswa Tiongkok makin antusias terhadap bahasa Indonesia dan banyak PT ingin membuka program bahasa Indonesia, ada juga prodi bahasa Indonesia di kampus tertentu yang menghadapi risiko ditutup atau didegradasi. Sebab, dengan tenaga pengajar yang terbatas dan kurang berpengalaman, kampus tersebut kesulitan mendidik dan menelurkan sarjana sesuai dengan harapan masyarakat. Seperti yang digambarkan dalam tabel di atas, pengajar bahasa Indonesia di setiap kampus rata-rata hanya 2 orang. Mereka pada umumnya berumur sekitar 30 tahun dan hanya berpendidikan sampai tingkat S-2. Persoalan kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia merupakan tantangan serius bagi semua kampus, termasuk Peking University dan BSFU. Persoalan berikutnya adalah krisis bahan ajaran dan bacaan berbahasa Indonesia. Rinciannya, buku ajaran yang telah disusun di Tiongkok dianggap kurang bervariasi, sementara itu di perpustakaan kampus-kampus Tiongkok, koran, novel, tabloid, dan majalah berbahasa Indonesia sangat kecil jumlahnya. Mengukuhkan eksistensi bahasa Indoensia di Tiongkok diperlukan perhatian dari pemerintah dan kalangan pendidikan kedua negara. Beberapa hal yang dapat diusulkan adalah: Pertama, melalui kerjasama antarpemerintah (G to G) atau antaruniversitas (U to U), mendirikan sejumlah Indonesia Center di PT Tiongkok guna mempromosi bahasa, sastra dan budaya Indonesia. Setahu penulis, pihak Tiongkok telah mendirikan 6 Pusat Bahasa Mandarin di Indonesia dan bersedia memberi bantuan bila ada rencana mendirikan pusat bahasa Indonesia di kampus Tiongkok. Kedua, diharapkan ada pertambahan kuota penerimaan peserta Darmasiswa bagi siswa Tiongkok sesuai dengan meningkatnya jumlah peminat. Selain itu, disarankan disediakan beasiswa khusus untuk program S-3, yang sangat diminati para dosen muda di Tiongkok. Kehadiran para siswa Tiongkok di Indonesia dibuktikan membawa dampak sangat besar bagi perkembangan dan penyebaran bahasa Indonesia di Tiongkok. Ketiga, diperlukan kerjasama yang lebih luas, erat, dan mantap antara PT Indonesia dan Tiongkok. Hubungan UAD dengan GXUN bisa jadi contoh, sejak tahun 2008 hingga kini UAD setiap tahun menerima puluhan orang siswa Tiongkok, dan secara kontinu mengirim dosen bahasa Indonesia ke Guangxi. Kinerja para dosen UAD mendapat apresiasi tinggi di kampus GXUN. Ke depan, Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 7

kerjasama ini dapat diperluas ke saling tukar bahan ajaran, atau bekerjasama dalam penelitian bahasa, sastra, dan budaya Indonesia/Tiongkok.

SUMBER PUSTAKA ACUAN Sobarna, Cece. 2013. Pengajaran Bahasa Indonesia di Shanghai: Sebuah Peluang dan Tantangan. Makalah Kongres Bahasa Indonesia X. Sudaryanto. 2014. Diplomasi Bahasa RI-Tiongkok. Kedaulatan Rakyat, 22 April, 2014. Sudaryanto. 2014. Menginternasionalkan Bahasa Indonesia, Kedaulatan Rakyat, 4 Januari 2014. Sudaryanto. 2014. Prodi Bahasa Indonesia di China. Kedaulatan Rakyat, 20 Maret, 2014.

8 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 9

INDONESIA DALAM MATA ORANG KANADA: KEMUNGKINAN DAN KETERBATASAN SASTRA INDONESIA DI PASAR KANADA

Christopher Allen Woodrich [email protected]

Abstract Despite its large population and growing economy and global impact, Indonesia is often little understood by the world at large, including Canadians, a people whose government works closely with Indonesia but who have little understanding of the island nation. What coverage is available is generally limited to issues such as deforestation, disasters, and politics; where culture is discussed, it is usually limited to the “exotic” traditional arts. The reality of life in Indonesia, as lived by its people, is only rarely a part of day- to-day discourse, and as a result it is little understood. Indonesian literature, perhaps more than Indonesian cinema, offers the possibility for a greater individual understanding of various aspects of Indonesian culture, both traditional and modern. Day-to-day issues, including but not limited to the role of religion, the negotiation of modernity and tradition, and the social pressure to obey one’s parents, can be brought to the forefront of discourse, allowing greater inter-cultural understanding. However, these worthy possibilities are limited by the difficulty of Indonesian literature reaching the Canadian general populace. Language barriers, distribution issues, and a lack of public awareness and interest all contribute to Indonesian discourses on their country, together with the cultural and psychological elements represented, being unheard in Canada. In order to promote better cross-cultural understanding, and with it stronger international relations, we recommend that the Indonesian and Canadian governments subsidize and help market works of Indonesian literature.

Keywords: Indonesian literature, representation of Indonesia

PENGANTAR Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia, dengan lebih dari 250 juta penduduk. Dengan PDB KKB setinggi $1.285 miliar dolar pada tahun 2013, ekonominya nomor ke-16 paling besar di dunia, dan diperkirakan akan naik (CIA World Factbook). Karena itu, peran negara kepulauan ini sangat besar di skala internasional, sehingga hubungan dengan Indonesia menjadi satu prioritas besar untuk pemerintah-pemerintah asing, yang sering menjalani proyek kerja sama dengan pemerintah Indonesia serta lembaga-lembaga yang ada. Pemerintah Kanada, misalnya, sudah membantu dalam pendidikan (misalnya, mendidik dosen Indonesia di universitas di Montreal, Guelph, dan kota lain) dan kebudayaan (misalnya, dengan mendanai film The Mirror Never Lies, tentang suku Bajo). Namun, masyarakat luas di negara-negara asing – bahkan pegawai sipilnya –kurang memahami kehidupan ataupun kebudayaan di Indonesia. Hal tersebut mempersulit wacana antar-negara. Misalnya, ketika berita tentang Indonesia dimuat di Kanada, kerap kali ini terjadi akibat bencana (gempa, letusan gunung api, dll.), kerusuhan, persoalan politik (a.l. korupsi atau pemilu), atau masalah lingkungan. Kalaupun ada unsur kebudayaan yang dimunculkan, itu biasanya dibatasi pada kebudayaan-kebudayaan tradisional yang, meskipun memang mencerminkan sifat orang Indonesia dan menjadi ciri khas bangsa ini, tidak menjadi representatif dari keseluruhan kehidupan sehari-hari masyarakat. Karena itu, pencarian sumber pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia untuk masyarakat di luar, yang belum tentu dapat mengunjungi negara ini, menjadi penting. Film merupakan suatu kemungkinan, sebab ia diproduksi secara massal dan dimaksud untuk ditonton masyarakat luas. Film Indonesia juga sering ditayangkan di luar negeri. Sutradara seperti Garin Nugroho dan Kamila Andini

10 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

justru menghasilkan sebagian besar karya mereka untuk penonton luar negeri, dan pelbagai film (seperti Berbagi Suami) dikirim ke luar negeri sebagai contoh karya terbaik sinema Indonesia. Namun, film ternyata kurang mampu mendidik masyarakat luar negeri mengenai dunia batin orang Indonesia serta kenyataan hidup yang dihadapinya. Karena terbatas oleh frame, waktu, dan konvensi sinematik, film tidak mudah mendalami krisis psikis yang dihadapi tokoh, apalagi membayangkan atau mendalami latar sosial yang membentuk psikologi tokoh tersebut.1 Dengan demikian, penonton yang belum terbiasa dengan latar sosio-budaya itu tidak akan memperoleh pemahaman yang lebih baik. Sementara itu, film yang dinilai “baik” oleh sineas Indonesia cenderung dikirim ke festival film, yang jarang didatangi oleh masyarakat awam. Film yang dipasarkan untuk umum justru film-film yang dinilai tidak atau kurang baik, atau yang hanya mencerminkan kebudayaan tertentu dalam konteks yang tidak sesuai dengan kenyataan.2 Sastra-lah yang dapat lebih mendalami dunia batin tokoh, serta situasi sosio-budaya yang mempengaruhi pikiran mereka serta membentuk pendekatan mereka dalam mengatasi konflik. Berbeda dari film, sastra tidak dibatasi oleh frame: boleh ada penjelasan sampingan. Karya sastra juga boleh ditulis sesuai dengan keperluan naratif: panjangnya tidak dibatasi karena konvensi pasar. Karena itu, dan karena kemudahan menampilkan pikiran tokoh yang intrinsik pada karya sastra, masalah batin (rasa kurang percaya diri, rasa bersalah, dsb.) dapat diperdalam seperlunya, sehingga pembaca dapat memahami dengan baik. Dalam penerjemahan novel (berbeda dari film), kalau dianggap perlu bahkan dapat ditambahkan catatan kaki atau diberikan kata pengantar yang mendalami isu-isu penting. Hal ini akan menambahkan wawasan pembacanya mengenai apa yang dibacanya – yaitu kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, latar socio-budaya yang membentuk watak dan dunia batin orang Indonesia dapat lebih dipahami oleh orang luar melalui karya sastra daripada film. Apalagi, di negara Barat, termasuk Kanada, ada pasar yang cukup besar untuk karya sastra, baik karya populer maupun karya susastra; di Amerika Serikat, misalnya, penjualan jutaan eksemplar novel popular sudah biasa; karena itu, karya sastra Indonesia mungkin dibaca oleh masyarakat luas. Makalah ini dimaksud untuk menjawab tiga pertanyaan: bagaimanakah pengertian masyarakat Kanada tentang Kanada dapat dibentuk melalui karya sastra, apa saja halangan yang dihadapi karya sastra Indonesia di pasar Kanada, dan bagaimanakah kendala-kendala itu dapat diatasi? Untuk keperluan penelitian ini, Kanada dipilih untuk dua alasan. Pertama, peneliti, sebagai orang Kanada, memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan empirik mengenai negara tersebut, sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan lancar. Kedua, karena hubungan antara Indonesia dan Kanada bersifat erat (sebagaimana yang dijelaskan di atas), pemahaman menjadi semakin penting.

Kemungkinan: Pengertian Indonesia Menurut Sastra, dalam Mata Orang Kanada Pelbagai unsur kehidupan masyarakat Indonesia dapat dilihat melalui karya sastra, baik yang kanon maupun yang bukan kanon. Hal ini disebabkan kecenderungan pengarang memasukkan nilai kebudayaan dan sosial yang mereka mengetahui dan menganut, meskipun mungkin mereka mengambil latar yang berbeda. Karena itu, karya sastra dapat digunakan masyarakat Kanada untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia, sebagaimana

1 Contoh yang sangat jelas dari hal ini adalah Departures. Film Jepang yang memperoleh Piala Oscar ini menceritakan bagaimana seorang nōkanshi (pengurus pemakaman) dibuang oleh rekan-rekannya karena dianggap kotor (kegare). Beberapa kritikus yang tidak memahami latar kebudayaan ini, antara lain Keith Phipps dan A. O. Scott, mengecam film ini karena alasan ini dinilai tidak realis dan dibuat-buat. 2 Misalnya, The Raid, yang dipasarkan dengan nama The Raid: Redemption, memperoleh lebih dari 4 juta dolar AS selama diputar di bioskop Amerika Serikat (Box Office Mojo), tetapi merupakan suatu idealisasi ilmu silat. Sementara itu, Leák (dengan judul Mystics in Bali) sampai tahun 2007 masih dirilis ulang dalam bentuk DVD; ceritanya sepenuhnya terpusat pada hantu leyak, yang digambarkan sebagai kenyataan. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 11

dipahami oleh pengarang-pengarangnya. Hal ini kemudian dapat digunakan sebagai dasar pengertian tentang Indonesia itu sendiri. Di sini akan dibahas empat aspek kebudayaan Indonesia yang penting untuk diketahui orang Kanada, baik karena ia sangat berbeda dari situasi di Kanada, maupun karena ia menjadi unsur yang berpengaruh besar dalam kebudayaan Indonesia dan watak masyarakatnya. Empat unsur tersebut adalah peran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, peran takhayul dan mitos dalam pembentukan watak dan kebudayaan, negosiasi tradisi dan modernitas, dan tuntutan untuk berpatuh pada orang tua (yang kemudian dapat mempengaruhi pengertian tentang hubungan penguasa dan yang dikuasai). Islam, agama yang dianut hampir 90% penduduk Indonesia, menjadi salah satu aspek kebudayaan Indonesia yang tidak bisa diabaikan. Namun, pengertian orang Kanada – yang mayoritasnya penganut agama Nasrani atau atheis, dengan pemerintah yang berazas pemisahan urusan agama dan urusan negara – tentang Islam masih kurang, baik dari segi sejarah maupun ajaran; pengaruh besarnya dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia juga berbeda dari pengalaman mereka di Kanada. Bahkan, ada banyak kesalahpahaman yang muncul akibat menyoloknya aksi-aksi teroris pada tahun 2000-an. Karena itu, demi kelancaran hubungan antara Kanada dan Indonesia, buku-buku yang bertemakan Islam menjadi sumber yang sangat berharga. Novel seperti Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, misalnya, dapat digunakan untuk menolak isu bahwa Islam itu identik dengan keterbelakangan. Cerita mengenai anak-anak pesantren ini dapat menunjukkan bahwa orang Muslim pada umumnya mengakui pengaruh besarnya globalisasi (misalnya, karena belajar berbahasa Inggris, dan belajar menggunakan teknologi yang sesuai dengan kaidah agama); bahwa mereka tidak menerima kebudayaan Barat secara utuh bukan karena mereka “terbelakang”, tetapi karena ada hal-hal tertentu yang bertolak belakang dengan ajaran agama mereka. Sementara itu, ajaran Islam tentang pengampunan dapat ditunjukkan melalui novel seperti Kubah karya Ahmad Tohari. Cerita ini, yang berpusat pada seorang tokoh PKI yang diasingkan tetapi akhirnya bisa diampuni dan membuat kubah masjid, menunjukkan bahwa betapapun berat dosa orang (menurut pandangan masyarakat), ia tetap bisa dimaafkan oleh Yang Maha-Kuasa dan kembali kepada-Nya. Pentingnya agama Islam dalam wacana sehari-hari juga dapat dilihat dari pelbagai tokoh Muslim dalam novel-novel Indonesia. Rasa bersalah karena sudah berdosa, misalnya, menjadi unsur penting dalam Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, misalnya, dan pentingnya memiliki pasangan yang seagama menjadi salah satu konflik dalam Jendela-Jendela karya Fira Basuki. Melalui karya-karya seperti yang disebut di atas, perlahan-lahan masyarakat Kanada dapat memahami Islam sebagaimana dipraktekkan di Indonesia, dan melihat pengaruhnya yang masuk ke setiap aspek kehidupan masyarakat. Namun, masyarakat Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan kaidah agama. Dalam kehidupan orang Indonesia ada negosiasi antara takhayul dan ajaran agama, serta rasionalisme sekular, yang menjadi lebih dominan daripada di Kanada, di mana takhayul cenderung dianggap konyol dan tidak bermutu. Satu novel yang penting dalam mengedepankan wacana tersebut adalah Harimau! Harimau!. Melalui perjalanan Buyung, seorang pendamar, pembaca Kanada dapat lihat bukan hanya pandangan orang Muslim tentang dosa, tetapi juga betapa kuatnya kepercayaan kepada takhayul, meskipun takhayul tersebut bertentangan dengan ajaran agama serta rasionalisme. Novel Hamka Tuan Direktur juga dapat digunakan untuk menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan seperti itu di kota, dan menekankan bahwa takhayul masih terus direproduksi meskipun masyarakat mulai memperoleh pendidikan. Novel yang lebih baru, seperti Jendela-Jendela – di mana tokoh utama mendatangi dukun untuk berobat, karena ibunya beranggapan bahwa ia kena guna- guna – dapat menunjukkan bahwa takhayul seperti ini belum terhapus sampai sekarang, dan karena itu masih dapat mempengaruhi watak orang Indonesia.

12 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Masalah hubungan takhayul, agama, dan kehidupan duniawi menjadi hanya salah satu bagian dari negosiasi yang lebih luas yang terdapat di seluruh lapisan masyarakat, yaitu antara modernitas dan tradisi serta budaya Barat dan Timur. Negosiasi ini sudah tidak menjadi persoalan yang banyak didebatkan orang Kanada, karena kebudayaan lokal (apalagi kebudayaan suku pribumi) sudah sangat terbatas. Akibatnya, pentingnya kebudayaan lokal serta tradisi masyarakat setempat harus ditekankan melalui karya sastra demi kelancaran hubungan Kanada–Indonesia; harus ada pemahaman bagaimana modernisasi dan baratisasi bukan hanya dipandang secara positif, tetapi juga dianggap negatif. Hal ini penting karena dapat mempengaruhi tanggapan orang Indonesia atas kebudayaan, teknologi, dan bantuan finansial dari luar. Mungkin karya lama yang paling tepat untuk menggarisbawahi masalah ini adalah Salah Asuhan- nya Abdoel Moeis. Novel terbitan Balai Pustaka ini dapat menekankan betapa lama ketidakpercayaan terhadap modernisasi dan Barat-isasi sudah mengakar di Indonesia, dan betapa terkutuknya orang yang meninggalkan tradisi mereka sendiri demi “gaya” Barat menurut pengarang dan orang lain yang mengutamakan tradisi. Betul, akan sulit untuk orang Kanada percaya bahwa menikah karena cinta dan bukan karena dijodohkan dapat membuat orang menjadi celaka, tetapi ketidakpercayaan atas keterjadian tersebut itu justru menekankan unsur negatif modernisasi dalam novel tersebut, sebab perbedaan itu sangat mencolok. Bahwa negosiasi modernisasi dan tradisi cenderung lebih moderat dapat pula dilihat dalam novel-novel Saeroen,3 misalnya, yang menekankan bahwa pendidikan formal untuk pemuda dan pemudi diperlukan untuk perkembangan bangsa, dan bahwa menikah demi cinta itu hal yang wajar, tetapi juga mengimplikasikan bahwa nilai kapitalis dan hukum formal Barat tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Novel yang lebih modern pun, seperti Jatisaba karya Ramadya Akmal, dapat digunakan pula untuk menunjukkan negosiasi ini; meskipun nilai tradisional dalam desa Jatisaba tidak bisa dikatakan sepenuhnya baik, sikap Mae yang duniawi dan metropolitan justru lebih buruk, sehingga pembaca menyadari bahwa sesuatu yang baru belum tentu lebih baik. Hal ini dapat ditambahkan pula dengan karya-karya Fira Basuki, yang condong lebih modern lagi; Jendela-Jendela, misalnya, menunjukkan bahwa perempuan yang hidup dengan cara bebas di Singapura masih, pada akhirnya, menjunjung tinggi nilai tradisional seperti pernikahan, kesetiaan kepada suami, serta kepatuhan kepada orang tua. Kepatuhan kepada orang tua, sampai anak rela berkorban demi mereka, menjadi sesuatu yang harus digarisbawahi. Bagi masyarakat individualis seperti Kanada, di mana anak-anak seringnya sudah meninggalkan rumah sebelum berusia dua puluh tahun, dan restu orang tua atas karir atau pilihan jodoh tidak diwajibkan, akan susah memahami betapa anak dibatasi oleh orang tua, kecuali apabila ada contoh dalam karya sastra. Pemahaman seperti ini kemudian dapat ditarik lebih lanjut, untuk menjelaskan kebiasaan mematuhi pihak yang berwenang, biarpun yang diperintahkan belum tentu benar; ini tentu berpengaruh dalam masalah hubungan internasional. Soal kepatuhan kepada orang tua sudah banyak dibahas dalam karya sastra Indonesia. Dalam Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, misalnya, ini terdapat dalam pengorbanan Sitti, yang menikahi Datuk Meringgih meskipun ia sudah jatuh cinta dengan Samsulbahri supaya hutan ayahnya bisa diampuni. Ini dijadikan lebih eksplisit dalam Melati van Agam karya Swan Pen,4 di mana tokoh Norma – yang masih remaja – dinikahkan dengan seorang kepala sekolah bernama Nazaruddin yang sudah lansia atas kehendak orang tua, meskipun ia sudah jatuh cinta dengan seorang pemuda; biarpun Nazaruddin memperlakukan dia secara tidak lazim, Norma tetap menjadi istri yang setia. Bahwa kepatuhan terhadap perintah atau saran orang tua masih dianggap penting sampai sekarang dapat pula ditemukan dalam cerpen seperti “BH”-nya Agus Noor, di mana seorang perempuan mengikuti

3 Untuk pembahasan masalah modernisasi dalam karya-karya Saeroen, termasuk novelisasi filmnya, lihat Woodrich (2014). 4 Nama pena dari Parada Harahap. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 13

usulan ibu tirinya meskipun merasa kurang yakin tentang usulan tersebut. Dalam Jendela-Jendela hal ini terus ditunjukkan; tokoh utama June merasa keberatan ketika ditegur ibunya, sehingga hendak membangkang, tetapi akhirnya menyadari bahwa ia sudah bersalah dan ibunya yang benar.

Kendala: Masalah Bahasa, Akses, dan Pemasaran Sebelum hal-hal di atas dapat disampaikan kepada masyarakat Kanada, ada pelbagai kendala yang harus diatasi. Namun, mengingat terbatasnya ruang dan waktu, di sini hanya tiga kendala utama, yaitu masalah bahasa, akses, dan pemasaran, akan dibahas. Masalah bahasa mungkin merupakan masalah yang paling menonjol: sedikit sekali penduduk Kanada yang mampu berbahasa Indonesia, apalagi dengan cukup baik sehingga mereka dapat membaca suatu karya sastra. Dengan demikian, sebelum karya-karya Indonesia dapat digunakan untuk mendidik masyarakat Kanada, karya-karya tersebut harus diterjemahkan, baik ke dalam bahasa Inggris (yaitu bahasa yang paling banyak digunakan di Kanada, dengan lebih dari 30 juta penutur) maupun bahasa Perancis (yaitu bahasa resmi yang lain, dengan lebih dari 5 juta penutur). Yang dimaksud dengan penerjemahan di sini bukan hanyalah pengalihan bahasa seperti biasanya, tetapi pengalihan bahasa yang diikuti dengan penulisan ulang, sehingga karya sastra tetap terbaca sebagai karya sastra. Penerjemahan seperti ini membutuhkan bukan hanya penerjemah yang memahami kedua bahasanya (atau, mengingat umumnya bahasa daerah dalam karya sastra, kesemua bahasa yang digunakan), tetapi juga mampu menulis sebagai layaknya seorang sastrawan. Selain itu, penerjemahan karya sastra Indonesia yang baik, dan yang dibutuhkan untuk mendidik masyarakat Kanada tentang keadaan di Indonesia, akan juga meliputi kontekstualisasi budaya, dengan cara yang memudahkan pembaca untuk mengikuti cerita. Apabila tidak ada kontekstualisasi, signifikansi dari unsur cerita akan hilang; misalnya, betapa beratnya dosa Pak Haji, yang menjadi murtad (apostate) dalam Harimau! Harimau!, tidak akan dipahami oleh orang Kanada yang cenderung sekular. Untuk itu, bisa digunakan metode catatan kaki, kata pengantar, perpaduan keterangan dan cerita, atau kombinasi dari kesemua hal ini. Kalau sasarannya masyarakat luas, maka gabungan kata pengantar dan perpaduan keterangan dan cerita mungkin merupakan bentuk yang paling tepat. Ini supaya pembacaan karya tidak terganggu oleh perlunya memeriksa catatan kaki setiap beberapa halaman. Kendala yang lain adalah masalah akses. Sebagian besar penerbit Indonesia tidak punya jaringan yang cukup baik untuk menerbitkan karya sastra Indonesia di luar negeri. Kalaupun ada karya yang diterjemahkan oleh penerbit-penerbit ini, belum tentu karya tersebut dapat dibaca oleh orang di luar negeri – termasuk di Kanada. Misalnya, terjemahan Jendela-Jendela karya Fira Basuki oleh Norman Ince diterbitkan oleh Grasindo, tetapi hanya dijual di Indonesia; tidak ada distribusi di luar, dan karena itu tidak ada pengaruh internasional. Laskar Pelangi karya Andrea Hirata awalnya diterjemahkan pada tahun 2009 oleh Angie Kilbane dan diterbitkan oleh Bentang, tetapi distribusi internasional harus akhirnya ditangani oleh Sarah Crichton Books di Amerika pada tahun 2013; penerbit Indonesianya tidak sanggup menangani distribusi internasional sendiri, sehingga melakukan perjuangan berat untuk mendapatkan penerbit luar. Ada beberapa penerbit yang mulai menjual karya sastra Indonesia sampai luar negeri. Yayasan Lontar, misalnya, sudah menerjemahkan dan menerbitkan lebih dari dua puluh judul, termasuk Sitti Nurbaya dan Belenggu, dalam bahasa Inggris. Karya-karya terbitan Lontar cenderung diterjemahkan dengan baik, dengan pengantar yang cukup mendalam untuk menjelaskan kontekstualitas budaya karya yang dibaca. Namun, karya terjemahan Lontar (atau penerbit lain, seperti Select Books di Singapura) jarang diterbitkan ulang, sehingga sukar dibeli. Kalaupun buku-buku itu masih ada stok, penjualan internasional cenderung masih terbatas dalam lingkungan Indonesianis atau penggemar

14 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

sastra Indonesia. Jarang sekali ada pembeli buku yang belum meminati sastra Indonesia, betapapun bagus terjemahan buku-buku itu atau baik resensi karya-karyanya.5 Alasannya, antara lain, karena pasar untuk karya-karya Indonesia di Kanada masih kurang dikembangkan. Sebagaimana dinyatakan di atas, karya sastra Indonesia terjemahan seringnya dibeli oleh orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang Indonesia. Masyarakat awam belum mengetahui judul karya-karya Indonesia yang baik dibaca, sehingga tidak mungkin membeli; tanpa mengetahui nama karya, mereka tidak bisa mencarinya di internet. Misalnya, terjemahan novel Negeri 5 Menara (karya A. Fuadi) oleh Angie Kilbane diterbitkan oleh Gramedia dan dijual melalui Amazon.com, tetapi yang menulis resensi di situs web tersebut sudah memiliki ketertarikan dengan Indonesia, atau bahkan berasal dari Indonesia (The Land of Five Towers, Amazon.com). Ini disebabkan oleh langkanya iklan atau marketing campaign untuk karya sastra Indonesia terjemahan. Masyarakat awam cenderung tidak mengetahui banyak tentang Indonesia, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan karya sastra Indonesia tanpa diberitahukan; tanpa periklanan, tidak ada pemberitahuan. Resensi karya terjemahan pun, yang mungkin menarik pembaca yang mau mencari buku baru yang bagus, juga jarang dimuat di koran internasional;6 dalam penelitian ini, ditemukan hanya satu resensi yang terbit di media massa Amerika Serikat atau Kanada, yaitu resensi The Rainbow Troops dalam Los Angeles Review of Books (Aiyar, 2013). Tanpa periklanan, pasar buku Kanada (yang merupakan negara di mana banyak orang membaca untuk mencari hiburan) tidak bisa diakses ataupun mempengaruhi masyarakat.

Saran: Peran Pemerintah dan Lembaga Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala ini, supaya kebudayaan Indonesia yang direpresentasikan dalam sastra Indonesia dapat dibaca dan dinikmati (tapi juga mendidik) pembaca di Kanada? Yang jelas, ini tidak bisa diatasi sepenuhnya oleh pengarang sendiri. Yang diperlukan adalah bantuan dari pemerintah (baik pemerintah Kanada maupun Indonesia) serta lembaga-lembaga (di Kanada ataupun di Indonesia). Diusulkan agar bantuan ini diberikan dalam dua bentuk, yaitu subsidi dan pemasaran. Subsidi setepatnya dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah Kanada (selaku pemerintah yang mendidik masyarakatnya) maupun Indonesia (selaku pemerintah yang merepresentasikan bangsanya di dunia luar). Subsidi yang dimaksud bukanlah subsidi dalam bentuk honorarium kepada pengarang, yang bagaimanapun juga tetap akan menghasilkan karya, tetapi honorarium untuk penerjemah yang berpengalaman dan profesional serta (pada langkah awalnya) untuk penerbit asing. Jasa penerjemah cukup mahal, apalagi penerjemah yang cukup berpengalaman dan berkualitas untuk menerjemahkan karya sastra dengan baik, sehingga jarang ada penerbit yang mau membayarnya. Penerjemah Indonesia–Inggris di Indonesia, menurut Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 53/PMK.02 Tahun 2014, harus dibayar 152,000 rupiah per halaman jadi (spasi ganda, rata- rata 250 kata per halaman), sementara penerjemah Indonesia–Inggris di luar Indonesia bisa minta lebih dari $25 (sekitar Rp. 275.000) per halaman. Kalaupun harga lebih rendah diminta, belum ada jaminan kualitas terjemahannya (yang kemudian mempengaruhi kualitas teks). Untuk meringankan biaya penerbitan, sekaligus meningkatkan kualitas terjemahan, maka ada baiknya subsidi diberikan. Sementara, pemerintah juga dapat menyubsidi ongkos penerbitan di luar negeri. Penerbit cenderung menghindari hal-hal yang baru atau belum terbukti dapat membawa keuntungan; penerbit, sebagaimana sudah diketahui, adalah bisnis. Kalaupun karya Indonesia diterbitkan, harganya sering lebih mahal (karena dicetak dalam jumlah yang lebih kecil, dan dengan demikian

5 Lihat, misalnya, resensi Sitti Nurbaya dan The Rose of Cikembang di Amazon.com. 6 The Jakarta Post dan The Jakarta Globe juga memuat resensi, tetapi pembaca kedua koran itu biasanya orang asing yang tinggal di Indonesia dan orang Indonesia yang hendak belajar bahasa Inggris. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 15

biaya produksi dan distrubusinya lebih mahal); hal ini kemudian dapat mengurangi niat pembaca untuk membeli buku yang genre dan pengarangnya masih asing bagi mereka. Dengan menyubsidi jasa penerjemahan dan (pada awalnya, sampai sastra Indonesia sudah ada pasar yang sustainable di Kanada) penerbitan, diharapkan pemerintah akan membuat penerbit luar negeri lebih tertarik untuk menerbitkan dan memasarkan karya sastra Indonesia secara massal. Lembaga-lembaga, seperti penerbit, pun harus ikut serta dalam pendidikan masyarakat Kanada mengenai Indonesia. Penerbit, terutama di luar negeri, harus lebih banyak mencari karya yang layak diterjemahkan dan diterbitkan, karya yang, meskipun tidak termasuk dalam kanon sastra, masih memiliki nilai edukatif. Dengan demikian, setelah buku-buku ini diterbitkan, terjemahan karya sastra Indonesia dapat ditemukan bukan hanya di Indonesia, atau melalui jaringan yang terbatas, tetapi juga di toko buku (baik yang fisik maupun yang online) di Kanada. Dengan demikian, pembaca Kanada akan lebih mudah mengakses karya sastra Indonesia, sehingga mereka menjadi lebih mudah dididik tentang negara dan bangsa ini. Ketika karya didapatkan dan diterjemahkan, pemasarannya harus dilakukan dengan tepat, tergantung pada genre karya yang dipasarkan. Bunga Roos dari Cikembang dan Sitti Nurbaya, misalnya, dapat dipasarkan kepada para Indonesianis, atau pembaca novel romans; kalau novel- novel tersebut dipasarkan sebagai novel romans, dan dengan demikian dituju kepada pembaca romans, maka iklan dan pemasaran harus menekankan unsur romans yang tragis daripada masalah sosio-etnis yang melatarbelakanginya. Dengan pemasaran yang tepat, serta harga yang tidak jauh berbeda dari harga mass paperback, diharapkan bahwa karya sastra Indonesia akan semakin diminati.

KESIMPULAN Supaya dua bangsa dapat menciptakan dialog yang baik, mereka harus saling memahami. Hubungan internasional yang baik tidak dapat didirikan atas mitos, ketidaktahuan, ataupun fantasi. Dalam konteks hubungan Kanada dan Indonesia, ini berarti pengertian yang baik tentang Indonesia – yang dapat tercapai melalui karya sastra – sangat penting. Karya-karya Indonesia dapat menunjukkan kepada orang Kanada pelbagai hal, termasuk bagaimana Islam mempengaruhi semua unsur kehidupan bermasyarakat (serta pengertian Islam itu sendiri, baik dalam konteks Indonesia maupun di luar), bagaimana berbakti kepada orang tua menjadi hal yang penting, bagaimana tradisi sering bertentangan (tetapi juga bernegosiasi) dengan modernitas, dan bagaimana takhayul masih berperan besar dalam pemikiran masyarakat. Kendala bahasa, akses, dan pemasaran dapat diatasi. Proyek penerjemahan, oleh orang yang sudah akrab dengan kebudayaan Indonesia modern dan lampau, dapat mempermudah pengertian teks sastra oleh pembaca yang hanya bisa berbahasa Inggris atau Perancis. Pemerintah Kanada dan Indonesia dapat mempermudah akses dengan membangun jaringan antara penerbit atau pengarang Indonesia dengan penerbit di Kanada, sehingga distribusi diperlancar dan pembaca awam dapat menikmati karya yang sebelumnya terbatas pada kaum akademik saja. Pemasaran yang tepat, dilakukan oleh orang yang memahami watak orang Kanada, dapat menyadarkan masyarakat negara tersebut akan menariknya karya sastra Indonesia – dan dengan demikian lebih memungkinkan mereka membaca karya-karya yang mendidik. Sudah barang tentu bahwa usaha ini tidak mudah, dan saran-saran di atas perlu dirancang secara lebih rinci. Akan diperlukan waktu, tenaga, dan modal yang tidak sedikit sebelum karya sastra Indonesia dapat dibaca dan dinikmati oleh masyarakat awam Kanada secara massal, dan lebih lama lagi sebelum dampaknya terasa dalam bidang politik dan sekitarnya. Bertahun-tahun. Namun, pengertian tentang Indonesia yang ditawarkan karya-karya ini jauh lebih penting daripada modalnya, karena pendidikan inilah akan memperlancar kerja sama, mengurangi kesalahpahaman, dan mengeratkan hubungan antar-negara dan antar-masyarakat di masa depan.

16 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

DAFTAR PUSTAKA Aiyar, Pallavi. “The Rainbow Troops: A Visit with Indonesia’s Bestselling Author”. The Los Angeles Review of Books. 30 Agustus 2014. Diunduh dari http://www.webcitation.org/6SnAJeUBQ pada tanggal 23 September 2014. Akmal, Ramadya. 2011. Jatisaba. FIB UGM: Yogyakarta. Amazon.com. “The Land of Five Towers”. Diunduh dari http://www.webcitation.org/6Sn7zxsYs pada tanggal 23 September 2014. Basuki, Fira dan Norman Ince (penerjemah). 2006. The Windows. Grasindo: Jakarta. Box Office Mojo. “The Raid: Redemption”. Diunduh dari http://www.webcitation.org/6Sn8TV9Ti pada tanggal 20 September 2014. CIA. “World Factbook: Indonesia”. 22 Juni 2014. Diunduh dari http://www.webcitation.org/6Sn8VLHwY pada tanggal 19 September 2014. Fuadi, A. dan Angie Kilbane (penerjemah). 2011. The Land of Five Towers. Gramedia: Jakarta. Hamka. 1961. Tuan Direktur. Djajamurni: Jakarta. Kwee, Tek Hoay. 1930. Boenga Roos dari Tjikembang. Panorama: Batavia. Lubis, Mochtar. 2008. Harimau! Harimau!. Balai Pustaka: Jakarta. Mihardja, Achdiat K. 2009. Atheis. Balai Pustaka: Jakarta. Moeis, Abdoel. 2008. Salah Asuhan. Balai Pustaka: Jakarta. Noor, A. 2000. “BH”. Bapak Presiden yang Terhormat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Pen, Swan. 1924. Melati van Agam. Geillustr. Weekblad Bintang Hindia: Weltevreden. Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 53/PMK.02 Tahun 2014. Diunduh dari http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/PMK%2053-2014%20SBM%202015.pdf pada tanggal 22 September 2014. Rusli, Marah. 2008. Sitti Nurbaya. Balai Pustaka: Jakarta. Tohari, Ahmad. 2012. Kubah. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Woodrich, Christopher. 2014. “Between the Village and the City: Representing Colonial Indonesia in the Films of Saeroen”. Makalah disampaikan pada International Indonesia Forum Ke-7, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 19 Agustus 2014.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 17

MEMBANGUN CITRA BANGSA INDONESIA: STUDI ATAS TEMA WACANA HUMOR BERBAHASA INDONESIA

I Dewa Putu Wijana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Abstract The elements of other languages, as the result of social interaction of the speakers with another society, must be existing. Therefore, it is too naïve, if nowadays, we are still hopeful that Indonesian language can maintain its genuineness and free from the influence of other languages. Seeing the artifacts, it is obvious that Indonesia has glorious culture. The artifacts may include many things, including language and literary works laid in hundreds of ethnical cultures. Based on the observation on the themes of the humorous discourse, it is found that there are at least three mental attitudes needed to change if we want to have high competitiveness in the social life with other nations. These attitudes are discipline, eliminating bypassing mental attitude, and strengthening the sense of nationalism by loving national culture more than the culture of other countries. In connection with enhancing the image of language and literary works, from now on, we have to love the language and literary works by using, understanding, and exploring its magnificence. I’m strongly convinced that mental revolution touted by our leaders is closely related to these three aspects.

Keywords: the national image of Indonesia, humor discourse

PENGANTAR Sungguh sesuatu yang sangat naif, bila pada saat seperti sekarang ini kita masih berpengharapan bahwa bahasa Indonesia terjaga kemurniannya, lepas dari pengaruh bahasa-bahasa asing. Pada bahasa-bahasa yang sangat terisolir pun keadaan seperti ini tidak dapat diharapkan (Foley, 2001, 382). Selalu saja terdapat, bagaimana pun kecilnya, anasir-anasir dari bahasa lain akibat pergaulan masyarakat pemilik bahasa itu dengan masyarakat yang lain. Lebih-lebih masyarakat Indonesia, dalam upaya mengembangkan kebudayaan dan peradabannya, ia mutlak harus berhubungan dengan bangsa lain sehingga elemen-elemen bahasa asing seringkali sangat masif mempengaruhi struktur dan sistem bahasa Indonesia. Masuknya elemen-elemen asing ini tampaknya bersamaan dengan masuknya budaya-budaya fisik (bangunan, arsitektur, kuliner, dsb. atau nonfisik (ajaran keagamaan, kepercayaan, pandangan hidup, dsb.) ke dalam masyarakat Indonesia. Pendek kata, kebudayaan, termasuk pula di dalamnya bahasa, bukanlah sesuatu yang statis, tetapi akan sesuatu yang dinamis sebagai hasil persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat lain (Hoed, 2014, 277) . Dalam dialektika ini, bahasa-bahasa masyarakat dengan status sosial, politik, dan ekonomi lebih kuat, mendominasi bahasa masyarakat yang lebih lemah. Masyarakat yang lebih lemah biasanya memandang positif unsur-unsur kebudayaan masyarakat yang lebih kuat sehingga hasil-hasil elemen kebudayaan itu mudah diterima secara langsung atau lewat berbagai proses adaptasi oleh anggota masyarakat yang lebih lemah. Fenomena ini jelas sekali tercermin dalam praktik berbahasa. Pada saat ini sangat mudah menemukan istilah-istilah yang dipungut atau berasal dari bahasa asing di dalam pemakaian bahasa Indonesia di dalam berbagai bidang kehidupan. Jangankan dalam bidang teknologi, dalam bidang kuliner sudah tidak terhitung berapa kosa kata nama makanan asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya hamburger, kebab, ayam Kentucky, teriyaki, kimchi, bulgogi, croissant, dsb. Lalu, kalau balik bertanya apakah kata-kata soto, pecel, karedok, pegedel, dsb. dikenal oleh orang-orang atau remaja di mancanegara, seperti Jepang, Korea, Turki, Perancis, Jerman, dsb.? Saya yakin tidak, padahal jelas makanan-makanan Indonesia itu tidak kalah kualitasnya, baik dilihat dari rasa atau kandungan nutrisinya. Di bidang penamaan toko atau badan usaha, tidak hanya nama-nama asing yang masuk, seperti Giant, Carefour, Indomart, Alfamart, Lotte Mart, dsb., struktur hukum “diterangkan-menerangkan (DM)” bahasa Indonesia yang diperkirakan

18 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

sudah mantap pun jadi porak poranda (Wijana, 2014). Betapa sekarang kita tidak gelisah, struktur nama-nama badan usaha yang unsur-unsur pembentuknya notabena bahasa Indonesia pun, sudah beralih menjadi struktur frase asing “menerangkan-diterangkan (MD), seperti Yanto Motor, Yuki Kerudung, Ndaru Ban, Yoga Pancing, dsb. Gejala ini tampaknya semakin lama semakin tidak dirasakan. Padahal, menurut teori “determinisme bahasa” (language determinism) dari Sapir dan Whorf, bila unsur bahasa tertentu sudah digunakan oleh masyarakat bahasa penerimanya, maka sangat sukar bagi masyarakat penerima itu untuk keluar dari unsur asing yang membelenggunya (Carrol, 1956, 212-214; Wardaugh, 1986, 213; Dardjowidjojo, 2009, 278). Misalnya saja pada saat sekarang ini sangat sulit untuk mengganti kata mouse, sms, email, print, dsb. dengan kata lain. Istilah-istilah yang pernah diusulkan seperti tetikus, sandek (pesan pendek), surel atau posel (surat elektronik atau pos elektronik) tidak sepenuhnya, atau boleh dikatakan gagal untuk mengganti istilah- istilah asing itu. Contoh lain misalnya, Istilah facial (sering diucapkan [fesәl]) yang secara literal bermakna ‘kewajahan’ (kata sifat dari nomina face ‘wajah’) pemakaiannya oleh para remaja atau ibu- ibu dari kelas sosial ekonomi yang berada sudah begitu intensif dengan makna ‘perawatan wajah’ dan sukar dicari penggantinya. Mereka tidak tahu bahwa perawatan wajah bahasa Inggrisnya facial treatment, bukan facial-nya yang lebih penting, tetapi treatment-nya. Akan tetapi, pikiran sudah terbelenggu, mereka sudah sulit keluar dari kungkungan bahasa itu. Memang tidak mungkin kita menghindari sepenuhnya pengaruh-pengaruh asing yang memang di satu pihak memberi efek-efek yag positif dan efek yang negatif. Hanya saja, mengapa bangsa kita selalu saja keluar sebagai pecundang, dan selalu terdominasi oleh budaya-budaya bangsa lain. Padahal dalam kenyataannya, kualitas peninggalan kebudayaan nenek moyang kita dalam berbagai wujudnya (arsitektur, gamelan, tarian, kuliner, dsb.) yang masih dapat kita saksikan tidak kalah mutunya dari peninggalan bangsa-bangsa lain. Hal ini berarti bahwa di dalam perjalanan waktu ada sikap-sikap mental tertentu yang sebenarnya harus dibuang masih mempengaruhi secara intensif sikap mental bangsa kita sehingga menimbulkan berbagai hambatan di dalam meraih kemajuan. Masalah yang akan dipaparkan dalam makalah ini adalah stereotipe-stereotipe orang Indonesia, baik yang dipersepsi oleh orang Indonesia atau oleh orang-orang asing yang diajak berinteraksi di dalam era global sekarang ini. Sterotipe-stereotipe inilah yang kemudian menimbulkan citra atau image tertentu di benak orang-orang asing bila mendengar, melihat, atau berhubungan dengan orang Indonesia walaupun faktanya belum tentu seratus persen benar. Teks yang menjadi kajian makalah ini adalah teks cerita humor yang menggambarkan bagaimana orang Indonesia berperilaku dengan sesama orang Indonesia, atau ketika mereka berinteraksi dengan orang asing. Walaupun cerita-cerita yang ada di dalamnya bersifat fiktif, atau boleh dikatakan mungkin isapan jempol belaka, namun sebagai sebuah karya kreatif, penciptaannya tentu didasari oleh observasi tertentu, yang tanpanya akan sulit menggerakkan emosi atau memancing efek jenaka (comic effect) bagi para penikmatnya. Dalam kerangka teori gramatika fungsional yang bersistem (systemic functional grammar), bahasan makalah ini berada pada tataran makrostruktur, yakni membahas tema-tema wacana cerita humor dalam kaitannya untuk mengungkap citra masyarakat Indonesia atau masyarakat asing di dalam bekerja sama atau berinteraksi dengan orang Indonesia. Jelasnya, makalah ini karena berbagai keterbatasan, memang sengaja tidak membahas struktur mikro wacana, seperti aspek-aspek fonologis, ortografis , dan leksikogramatika, meskipun diyakini dari aspek ini pun hegemoni asing, termasuk citra diri mereka terhadap budaya Indonesia atau sikap orang Indonesia terhadap budayanya, tidak begitu sulit untuk diungkapkan. Akhirnya, bila dalam kerangka teori Halliday dan Hasan (1985), sebuah teks atau wacana secara konseptual harus diperikan berdasarkan medan wacana (field), pelibat wacana (tenor) , dan sarana wacana (mood), tema wacana berada pada medan wacana, yakni apa yang sedang diperbincangkan oleh pelibat wacana yang terdiri dari pencipta wacana dan audiensnya, dan tokoh-tokoh yang ditampilkan di dalam wacana, serta mengharuskan penggunaan sarana wacana tertentu yang berupa bahasa beserta berbagai pirantinya.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 19

ANEKA STEREOTIPE ORANG INDONESIA DALAM WACANA CERITA HUMOR Wacana sebagai satuan kebahasaan yang tertinggi di dalam hirarkhi gramatika adalah hasil dari pemikiran manusia yang sudah tentu penciptaannya akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang ideologi penciptanya baik sebagai individu, institusi, atau kelompok masyarakat yang lebih luas yang dalam teori analisis wacana disebut dengan praktik sosial (social practice) (Fairclough, 1992, 73; Mestherie et als., 2004, 317). Demikian halnya pencipta cerita humor yang menjadi bahan kajian makalah ini, adalah orang Indonesia yang pemikirannya dilandasi atas keprihatinan terhadap kondisi masyarakatnya yang di dalam segala hal selalu terpuruk dan tertinggal oleh bangsa lain, bahkan oleh bangsa-bangsa yang dahulunya lebih terbelakang darinya. Dengan tidak menolak adanya fungsi komunikatif wacana yang lain, wacana-wacana cerita humor yang diciptakannya besar kemungkinan diciptakan untuk melontarkan kritik sosial agar timbul kesadaran, dan mulai berbenah untuk mengejar ketertinggalannya dengan membangun citra yang lebih positif di mata orang asing. Dari pengamatan yang sedikit mendalam ditemukan beberapa stereotipe mengenai orang Indonesia. Stereotipe-stereotipe itu mungkin berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Stereotipe yang satu mungkin merupakan sebab atau akibat dari stereotipe yang lain. Setakat ini, kedudukan sterotipe- stereotipe itu masih dapat dipersoalkan. Berikut ini adalah beberapa stereotype orang Indonesia yang dipandang menonjol.

- Orang Indonesia kurang disiplin Orang Indonesia kurang disiplin, dan tidak mau bekerja keras sudah sering kita dengar. Sikap ini boleh jadi merupakan akibat dari kebudayaan yang berkaitan erat dengan keadaan alam yang telah menyediakan segalanya, dan sangat memanjakannya. Fenomena ini dapat diamati dari para pekerja kelas bawah sampai dengan pejabat tingkat atas. Ungkapan-ungkapan jam karet , batalyon 703 (datangnya jam 7, kerjanya nol atau kosong (karena di kantor hanya baca koran), dan pulangnya jam 3 (seharusnya jam lima)), mandor kawat (kerja kendor makan kuat), tenggo (begitu teng (jam pulang) langsung go (pergi), dsb. adalah refleksi bahasa terhadap semangat kerja dan ketidakdisplinan yang sangat memprihatinkan ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, pada waktu saya kuliah di Australia, saya pernah berbincang-bincang dengan mahasiswa dari Jepang. Dia mengatakan bahwa di masa depan Indonesia akan menghadapi masalah yang besar karena orang-orangnya tidak mau bekerja keras, dan tidak disiplin. Adapun bagaimana perihal ketidakdisiplinan ini mengilhami para penulis wacana cerita humor, berikut ini adalah contohnya: (1) Neraka Belanda Vs Neraka Indonesia Seorang pejabat kita meninggal dunia di negeri Belanda setelah menjalani pengobatan di sana. Di alam baka , ternyata Bapak in harus masuk neraka. Berhubung Gubernur, malaikat menawarkan alternatif: “Pak, mau di neraka Indonesia atau neraka Belanda?” Sang pejabat Nggak mau rugi. “Memangnya enakan di mana, neraka Indonesia atau Belanda ya??” Malaikat menyodorkan brosur “neraka”. Di situ tertulis a.l: Neraka Indonesia - Acara rutin minum air tinja 3 ember tiap hari. Neraka Belanda - Acara rutin minum air tinja 1 ember tiap hari. “Kalo gitu saya di neraka Belanda deh!! Malaikat pun menggiringnya menuju kea rah neraka Belanda. Tiba2 ada suara memanggil: “Hoi..Pak..Pak..Pak.., mau ke mana???” Ditengok ke kiri, ooo ternyata ada sekelompok pejabat Indonesia…Termasuk presiden dan Bbrp menteri sedang duduk2 di neraka Indonesia. Malaikat mengijinkan sang pejabat ngobrol dulu. “Lho, Bapak sdh meninggal juga to? Ini mau ke mana, Pak?” tanya mereka? “Aku beruntung meninggalnya kan di Belanda, jadi boleh memilih neraka Belanda” “wah, jangan Pak, mending di sini saja sama2 kita di neraka Indonesia”

20 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

“Lha, bukannya kalau di neraka Indonesia minum 3 ember tinja tiap hari? Ya mending di Belanda dong, 1 ember!. Koleganya itu langsung mendekat dan berbisik: Pak, di neraka Belanda sih disiplin. Tiap hari minum 1 ember tinja. Kalau di neraka kita memang tertulis tiga ember tiap hari… Tapi prakteknya, kalau ember dan tinja sudah siap, eh petugasnya nggak masuk. Nanti kalau petugas masuk..eh tinja belum dipesan!! Terus kalau petugas dan tinja siap, embernya yang nggak ada!!! Pokoknya enak deh pak, jadi bisa dikatakan kita Ccma seminggu sekali minum tinjanya.

Karena kedisiplinan ini, tidak terbantahkan Negara Belanda di dalam segala hal pada umumnya lebih maju dibandingkan Negara kita. Banyak peninggalan-peninggalan (bangunan, jembatan, saluran irigasi, jalan raya) zaman Belanda masih kukuh berdiri sampai sekarang, mengalahkan bangunan- bangunan baru yang dibangun oleh bangsa Indonesia jauh lebih kemudian. Sehubungan dengan rendahnya penguasaan teknologi ini, kita tidak boleh panas hati kalau ada wacana cerita humor seperti (2) ini: (2) Pak Ada Pesawat Menyerang “Pak ada pesawat Inggris menyerang” kata seorang tentara USA kepada komandannya. Lalu si komandan berkata “Tembak pesawat mereka”. Lalu beberapa menit kemudian si tentara melapor lagi. “Pak, ada pesawat Belanda menyerang”. Lalu si komandan berkata “Tembak pesawatnya”. Kemudian beberapa jam berselang si tentara melapor lagi. “Pak, ada pesawat belanda menyerang. Lalu si komandan berkata lagi. “Biarkan saja nanti juga jatuh sendiri”.

Akibat ketidakdisiplinan ini, yang mungkin sering kali diiringi ketidakseriusan, bangsa Indonesia tertinggal dari Negara-negara lain. Misalnya dahulu kira-kira beberapa dekade yang lalu banyak ditemui mahasiswa Malaysia belajar bahasa dan sastra di Indonesia. Sekarang boleh dikatakan jarang sekali ditemui orang Malaysia belajar bahasa dan sastra di Negara kita. Ada kemungkinan pengkajian bahasa dan sastra di negara Jiran itu lebih maju. Oleh karena itu, jangankan dengan Negara-negara Barat. Sesama negara ASEAN pun negara kita kalah. Ketidakdisiplinan memiliki dampak yang sangat luas. Karena ketidakdisiplinan membuang sampah, timbul berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kebersihan. Sebagai ikutannya muncul berbagai bahaya yang mengancam kesehatan. Kota-kota yang dulu terkenal bersih, sekarang ini, karena ketidakdisiplinan itu, menghadapi masalah menggunungnya sampah. Dahulu, kota Bandung terkenal dengan julukannya “Paris van Java”. Ramadhan K.H. menulis Antologi yang berjudul “Periangan Si Jelita” untuk memuja keindahannya. Akhir-akhir ini ada ungkapan “Bandung Lautan Sampah” meniru ungkapan “Bandung lautan Asmara”, dan sebelumnya “Bandung Lautan Api”. Masalah Banjir di kota-kota besar salah satu sebabnya tidak pelak lagi berawal dari ketidaksiplinan warga di sepanjang aliran sungai mengelola sampah rumah tangganya. Wacana cerita humor satiris (3) berikut agaknya terinspirasi dari abainya kita memperhatikan masalah kebersihan yang boleh jadi juga bermula dari ketidakdisiplinan: (3) Menyalakan Lilin Seorang turis sedang makan di sebuah rumah makan. Dia bertanya kepada pemilik rumah makan tersebut” “Buat apa menyalakan lilin di siang hari begini?” “Untuk lalat tuan.” “Wah, hebat! Bangsa Anda memang benar-benar baik hati. Bukan cuma manusia, lalat pun diberi penerangan sendiri.”

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 21

Berbeda dengan wacana (3), wacana (4) berikut dibuat agak hiperbolis (dibesar-besarkan) sehingga timbul gambaran bahwa dengan orang-orang dari afrika pun kita kalah dalam menjaga kebersihan: (4) Lomba Tahan Bau Suatu hari di Negara Eropa khususnya di Italia ada suatu perlombaan yaitu lomba tahan bau di sebuah ruangan kecil yang di dalamnya berisikan 10 ekor kambing. Perserta pertama dari amerika, Baru 3 menit dia sudah keluar sambil muntah-muntah. Peserta kedua dari Jepang, Baru 10 menit dia sudah pingsan. Peserta ketiga dari Afrika Baru 30 menit dia langsung keluar dan muntah-muntah. Terakhir, peserta dari Indonesia, Baru 1 menit…10 kambing itu keluar, dan muntah-muntah.

Perihal bagaimana perbedaan kualitas kerja orang Indonesia dengan orang Jepang, sering kali saya mendengar gurauan bahwa “orang Jepang akan berkeringat kalau bekerja, sedangkan orang Indonesia berkeringat kalau makan” walaupun mereka terkenal patuh. Akan tetapi, dalam wacana (5) berikut kepatuhan itu dikritik secara sinis karena terkesan tidak memiliki inisiatif. (5) Tidak Antoni seorang karyawan baru suatu perusahaan mendapat berita bahwa ada panggilan telepon untuknya. Ternyata Bapak John, pimpinan perusahaan tempat ia bekerja ingin bicara padanya. “Ya, Pak John,” kata Antoni dengan hormat dan sopannya. “Ya, Pak John… Ya tentu saja. Pak John, ya…ya.., pasti Pak. Ya..ya.. ya. TIDAK, Pak. Sinta, sang sekretaris, yang mendengar seluruh percakapan itu sangat terkejut, “Berani benar Anda mengatakan TIDAK padanya. Apa sih yang diminta Pak John? “Dia tidak minta apa-apa,” jawab Antoni, “Dia hanya bertanya apakah saya tidak malu-malu terus-menerus mengatakan “YA.”

- Orang Indonesia memiliki sikap mental menerabas Mengenai sikap mental suka menerabas atau mengambil jalan pintas ini sudah ditulis hampir kurang empat dekade yang lalu oleh Prof. Kuntjaraningrat (1975). Dengan sikap mental ini, orang Indonesia ingin meraih sesuatu secara cepat. Budaya yang lebih berorientasi pada hasil daripada proses adalah refleksi dari sikap ini. Untuk mendapat nilai baik, tidak harus melalui belajar yang keras, tetapi berbuat curang dengan membuat contekan-contekan atau kerpekan. Akibatnya budaya menghalalkan segala cara banyak dilakukan di masyarakat kita. Jangan lupa, korupsi yang merajalela di Negara kita adalah juga akibat dari mental menerabas ini. Banyak orang ingin cepat kaya dengan menggelapkan harta yang bukan menjadi haknya. Akibat korupsi ini Negara mengalami keterpurukan di dalam berbagai sektor. Sampai sekarang negara Indonesia masih merupakan salah satu Negara terkorup di dunia. Sudah tidak terhitung sudah berapa banyak politikus dan pejabat pemerintahan tertangkap, dan diadili karena dugaan korupsi, dan berusaha menyuap pejabat untuk melicinkan niat jahatnya. Bahkan, seorang mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjaga kokohnya supremasi hukum di Negara kita ini terjerat kasus suap. Akan istilah-istilah yang berhubungan dengan kasus korupsi dan suap-menyuap ini bertebaran di dalam bahasa kita, misalnya uang semir, uang rokok, pungli, pelicin, bancakan, pakan munyuk, penggelapan, korupsi berjemaah, dsb. perihal bagaimana dahsyatnya korupsi di Negara kita, wacana cerita humor (6) ini secara jelas menggambarkan.

22 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

(6) Nggak Ada Bendungan Tuh Seorang pejabat Indonesia mengunjungi rekannya di Cina. Saat tiba, beliau dijamu, dihibur, dan kemudian diajak ke rumah megah milik sang pejabat Cina. Saat ngobrol-ngobrol, pejabat Indonesia tersebut iseng-iseng bertanya. “Wah, kamu pegawai negeri, tapi kok bisa sampai punya rumah megah begini, Yah?” Sang pejabat Cina senyum-senyum lalu mengajak sang pejabat Indonesia ke dekat jendela, lalu menunjuk keluar. “Kamu lihat itu jembatan besar di sebelah sana?” tanyanya. Pejabat Indonesia mengangguk. “Nah, itu sepuluh persen,” kata sang pejabat Cina sambil mengedipkan mata dan menepuk dada. Pejabat Indonesia mengangguk, mengerti bahwa 10% dana pembangunan jembatan lari ke kantong pejabat Cina ini. Minggu depannya giliran sang pejabat Cina yang mengunjungi koleganya di Indonesia. Setelah dijamu dan dihibur, sang pejabat Cina dibawa ke tempat tinggal pejabat Indonesia. Betapa terkesannya sang pejabat Cina ketika melihat tempat tinggal pejabat Indonesia yang bagaikan istana raja saja: villa megah lengkap dengan kolam, pancuran, lapangan tenis, helipad, dan lapangan golf pribadi, semua berlapis emas. “Wah, kamu juga pejabat negeri, tapi lebih hebat ya. Rumah kamu spt istana begini. Jauh lebih megah dibanding rumah saya,” komentar pejabat Cina Sang tuan rumah mengajak tamunya ke jendela. Ia menunjuk keluar, sambil berkata, “Kamu lihat itu bendungan di sebelah sana?” Sang pejabat Cina mencari-cari kea rah tunjukan, tapi tidak melihat adanya bendungan, “Mana, nggak ada bendungan, tuh…” Pejabat Indonesia mengedipkan mata sambil menepuk dada, “Nah, itu seratus persen…”

- Orang Indonesia tidak bangga akan kebudayaannya sendiri Salah satu syarat untuk memajukan negara atau bangsa adalah sikap nasionalisme yang tinggi. Salah satu cermin sikap ini adalah rasa bangga akan kebudayaan sendiri. Dalam artian yang sangat luas, tidak semua hal yang dari asing lebih bagus dari yang kita punyai. Tidak adanya kebanggan terhadap budaya sendiri mengakibatkan pengaruh atau hegemoni budaya asing semakin menjadi- jadi, dan kebudayaan kita sendiri semakin terdesak. Adanya nama-nama badan usaha atau produk Indonesia yang dibarat-baratkan atau diasing-asingkan, seperti Takashimura, Isaku Iki, La risa, Ben Kwat, Kazoot, dsb. pada hakikatnya adalah refleksi dari resistansi kita terhadap budaya asing yang semakin merajelela. Sebagai bukti tipisnya kebanggaan bangsa kita terhadap kebudayaan milik sendiri digambarkan oleh wacana cerita humor berikut ini: (7) Keturunan Yugoslavia Seorang guru baru tengah mengabsen murid-muridnya. Sang guru tertarik dengan sebuah nama, dan memanggil murid dengan nama tersebut. Guru: “Smary Saklitanov, coba kemari.” Murid: “Iya Bu.” Guru: “Sini kamu Nak, kamu keturunan Yugoslavia, ya?” Murid: “Bukan Bu.” Guru: “Lalu, kenapa nama kamu Smary Saklitanov?” Murid: “O, Smary itu singkatan dari nama bapak saya (Surtono) dan Ibu saya Mary(anti).” Guru: “Mmm kalau Saklitanov?” Murid: “Sabtu kliwon tiga November”

Dengan tipisnya rasa kebanggaan akan budaya sendiri, kita sering tidak mau merawat dan menjaga kebudayaan kita dengan baik. Bahkan, tidak menyadari apa yang kita miliki sering kali Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 23

diambil oleh negara lain. Dan, baru marah-marah setelah bangsa lain mendapatkan banyak keuntungan dengan mempromosikan hasil budaya kita, seperti reog, tari pendet, batik, wayang, lagu rakyat, dsb., padahal kita sendiri telah menelantarkannya, persis dengan tema puisi yang digambarkan berikut ini:

HINGGIL: SEBUAH RESTORAN DI KOTA MALANG

Di restaurant ini Serasa kembali kutemukan Semua keluhuran diri yang hilang Di dinding, di meja, dan di menu-menu hidangan Serta lagu-lagu yang dipedengarkan

Bule-bule tua Yang sedari tadi duduk di sana Telah juga menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan Lalu, menyimpan rapi dalam catatan Mereka selalu mendapatkan Tak pernah kehilangan

Remaja-remaja belia Yang silih berganti datang dan pergi Duduk-duduk bercengkrama Dari kosong pandang matanya Tak pernah mereka mendapatkan Karena tak pernah merasa kehilangan Kalau pun ternyata ada yang hilang di kemudian Cukup rasanya hanya digugat dengan kemarahan

(I Dewa Putu Wijana, dari Antologi “Balairung”)

KESIMPULAN Tidak diragukan lagi, dilihat dari artefak-artefak kebudayaan yang ditinggalkan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya luhur. Artefak-artefak kebudayaan yang dimaksud meliputi banyak hal, termasuk pula bahasa dan karya sastranya yang tersimpan di dalam budaya etnik yang beratus- ratus jumlahnya. Hanya saja, sungguh sangat disayangkan di dalam perjalanan waktu segala keunggulan yang dahulu sangat dibanggakan tidak dapat dipertahankan. Sebagai akibatnya di dalam banyak hal bangsa ini tertinggal dari bangsa-bangsa lain, bahkan oleh bangsa yang dahulu tertinggal darinya. Dari pengamatan sekilas terhadap tema-tema wacana cerita humor ditemukan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 sikap mental yang perlu diubah bila kita ingin mempunyai daya saing yang tinggi dalam pergaulan hidup dengan bangsa-bangsa lain. Sikap-sikap itu adalah meningkatkan kedisiplinan, menghilangkan sikap mental menerabas, dan mempertebal rasa nasionalisme dengan mencintai hasil budaya sendiri melebihi hasil budaya bangsa lain. Dalam kaitannya dengan meningkatkan citra bahasa dan karya sastra kita, mulai sekarang kita harus mencintai bahasa dan hasil karya sastra kita dengan terus menggunakan, memahami, dan menggali kemuliaan yang ada di dalamnya. Saya yakin sepenuhnya, bahwa revolusi mental yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin kita tidak bergerak jauh dari ketiga aspek ini.

24 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

DAFTAR PUSTAKA Carrol, J.B. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, Cambridge, Mass: MIT Press. Dardjowidjojo, Soenjono. 2009. “Lirik dari Keroncong ke Dangdut”. dalam Peneroka Hakikat Sastra. P. Ari Subagyo & Sudartomo Makaryus(Eds.). Yogyakarta: USD. Hlm. 277-286. Fairclough, N. 1992. Discourse and social Change. Cambridge: Polity Press. Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell. Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-semiotic Perspective. Melbourne: Deakin University Press. Hoed, Benny H. 2014. Semiotik & Dinamika Budaya. Bogor: Komunitas Bambu. Kuntjaraningrat. 1975. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Mestherie, Rajend, Joan Swarn, Ana Deumert & William L. Leap. 2004. Introducing Sociolinguistics. Second edition, Edinburgh University Press. Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Wijana, I Dewa Putu. 2012. Balairung: Antologi Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. Wijana, I Dewa Putu. 2014. “Bahasa, Kekuasaan, dan Resistansinya: Studi tentang Nama-nama Badan Usaha di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Humaniora No. 1. Volume 26. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Hlm.56-64.

SUMBER DATA Djamboel, Big. tanpa tahun. Humor Gaul Santai Abis. Rumah Ide.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 25

PENDIDIKAN, CINTA, DAN PERKAWINAN: POTRET KAUM PEREMPUAN DALAM PUISI INDONESIA

Rina Ratih Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta [email protected]

Abstract Characters on literature works (or ‘’ on poetries) are the reflection of the authors. It means that poetries are created by the authors as awareness and expression from individual experiences and social experiences. Two woman poets from two different ages are chosen to reveal how far the awareness and the expression is from both authors in looking at same problems; they are education, love, and marriage problems using feminist literature criticism Simone de Beavoir and ‘reading as women’ critical method. Two poems taken as the samples are a poem entitled ‘Dihati Tanja Bertalu’ by Susy Aminah Azis, a 1960s poet, and a poem entitled ‘Catatan Harian Perkawinan’ by Dorothea Rosa Herliany, a 1980s poet. The discussion of the two poems shows that there is a very different concept from two different-generation women. The view that ‘women are weak and fool’ by Suzy Aminah Aziz’s poet is refused with ‘women are strong and smart’ by Dorothea’s poet. Though, the awareness to live independent and to become intellectual women has seen on Suzy Aminah Aziz’s poem. The obedience toward feminist value and love totality to spousefrom a woman poet in 1960s is opposed by masculine concept from a woman poet in 1980s. The shift of concept, expression, and view of woman poets toward education, love, and marriage change as age develops as Simone de Beauvoir said about the existence and strategy of women in looking for freedom in their life.

Keywords: poem, poet, feminist literature criticism

PENGANTAR Sebagai hasil kebudayaan, puisi selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu. Puisi yang ditulis oleh seorang penyair memiliki hubungan yang erat dengan pengalaman-pengalaman penyairnya, baik pengalaman individual maupun pengalaman sosialnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Humm (1986) yang menyatakan bahwa tokoh dalam karya sastra (atau ‘aku lirik’ dalam puisi) merupakan cermin dari penulisnya (penyair). Artinya, puisi diciptakan oleh penyair sebagai ekspresi dari pengalaman individual atau pengalaman sosialnya. Puisi sebagai sebuah ekspresi penyair mengandung pesan-pesan untuk masyarakat. Oleh karena itu, puisi perlu diperhatikan dari aspek bahasa sebagai ekspresi puitik dan aspek makna untuk mendapatkan pesan penyair tersebut. Makna sajak dapat ditangkap oleh pembaca ketika penyair mengekspresikannya melalui bahasa secara puitik. Ekspresi dan interpretasi dimungkinkan jika bahasa dan pikiran penyair sepadan. Jika kesepadanan bahasa dan pikiran bersifat parsial, ekspresi dan interpretasi juga hanya berhasil secara parsial. Menurut Seung (1982) kesepadanan antara pikiran penyair dan bahasa merupakan kesepadanan antara makna yang dikehendaki dan makna yang diekspresikan. Di antara dua makna tersebut tidak ada yang kebetulan. Makna yang dikehendaki penyair adalah ‘ujaran dalam’, sedangkan makna yang diekspresikan adalah ‘ujaran luar’. Karena ‘ujaran dalam’ dan ‘ujaran luar’ merupakan bahasa yang sama, relasi antara makna yang dikehendaki dan makna yang diekspresikan harus menjadi identitas fundamental, artinya antara pikiran penyair dan bahasa adalah ‘dua dalam satu’. Dengan demikian, ekspresi puitik merupakan manifestasi pikiran atau kesadaran penyair.

26 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Ekspresi puitik dan kesadaran penyair dari satu generasi ke generasi berikutnya diaktualisasikan melalui karya-karyanya. Perempuan penyair sebagai anggota masyarakat menampilkan keberadaan kaum perempuan pada saat itu. Ekspresi puitik yang tertuang dalam puisinya merupakan perwujudan kesadaran penyair. Oleh sebab itu, pembahasan ekspresi puitik sekaligus mengulas kesadaran penyair dilakukan karena keduanya merupakan kesepadanan. Tujuan ditulisnya makalah ini untuk mengungkapkan ekspresi puitik dan kesadaran penyair perempuan tentang masalah pendidikan, cinta, dan perkawinan dalam sajak berjudul “Di Hati Tanja Bertalu” karya Susy Aminah Aziz (penyair tahun 1960-an) dan sajak berjudul “Buku Harian Perkawinan” karya Dorothea Rosa Herliany (penyair tahun 1980-an).

A. Teori dan Metode yang Digunakan Teori yang digunakan untuk memecahkan masalah perempuan adalah kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca dan kritikus perempuan telah menciptakan persepsi dan harapan yang berbeda terhadap pengalaman sastranya (Showalter, 1985:3). Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan. Kritik sastra feminis senantiasa menginginkan adanya relasi gender yang setara. Kritik ini mengkaji masalah yang berkaitan dengan posisi kaum perempuan dalam ranah domestik dan publik dalam relasinya dengan kaum laki-laki. Masalah keberadaan perempuan dalam puisi dapat dipahami dalam persfektif feminis. Sebagaimana dikemukakan Reinhartz (2005:67) bahwa memahami perempuan dari perspektif feminis adalah memahami pengalaman dari sudut pandang perempuan sendiri yang dapat memperbaiki ketimpangan utama cara pandang nonfeminis yang meremehkan aktivitas dan pemikiran perempuan atau menafsirkannya dari sudut pandang laki-laki (peneliti laki- laki) di masyarakat. Melalui kajian feminis diharapkan dapat terungkap kemungkinan adanya kekuatan budaya patriarkat yang membentuk citra mengenai perempuan dan laki-laki, relasi antarkeduanya, ataupun adanya perlawanan terhadap dominasi patriarkat yang terefleksi dalam karya. Perempuan dalam relasinya dengan laki-laki hanyalah second sex, sosok yang lain (the other) sementara laki-laki adalah sang subjek yang terjadi dalam masyarakat Barat (Simone de Beauvoir, 2003:ix). Simone de Beauvoir adalah seorang filsuf, feminis, novelis, komentator politik, dan aktivitas politik. Dia juga intelektual publik, bagian dari kelompok pemikir dan penulis yang membantu mengembangkan filsafat fenomenologis khas Perancis, yakni eksistensialisme (Hutchings, 2010:86). Eksistensialisme adalah sebuah filosofi kebebasan. Filosofi ini merupakan konsep tentang keberadaan manusia atau ‘eksistensi’ sebagaimana secara mendasar telah ditentukan oleh kesenjangan antara ‘esensi’ dan ‘eksistensi’. Berikut ini konsep keberadaan yang dikembangkan oleh Simone de Beauvoir dan konsep puisi sebagai ekspresi puitik dan kesadaran karena tulisan ini terkait dengan keberadaan perempuan dalam puisi Indonesia. Konsep ‘keberadaan’ yang dijadikan acuan adalah konsep keberadaan perempuan yang dikembangkan Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (2003) karena berisi tentang keberadaan perempuan, kesadaran perempuan, dan pembebasan perempuan. Simone de Beauvoir adalah seorang pendukung gerakan feminis Prancis pada tahun 1960 yang ingin membebaskan dan memberdayakan perempuan. Gagasan filosofisnya dipengaruhi oleh Jean Paul Sartre, yaitu konsep Diri yang imanen atau ego yang diamati, yang kemudian dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu Ada dalam dirinya sendiri (etre en soi), Ada untuk dirinya sendiri (etre pour soi), dan Ada untuk orang lain (etre pour les autres). ‘Ada dalam dirinya’ sendiri mengacu pada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dan binatang, sayuran, dan mineral. Ada dalam dirinya diasosiasikan dengan tubuh karena tubuh dapat dilihat, disentuh, dicium, dan dirasakan. Tubuh adalah objek yang dilihat. ‘Ada untuk dirinya’ sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran yang hanya dimiliki oleh Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 27

manusia. Jika tubuh adalah sesuatu yang dapat dilihat, maka yang melihat, yang melakukan aktivitas melihat, menyentuh, mendengar, mencium, dan merasakan adalah sejenis ke-Adaan: Ada untuk dirinya sendiri. ‘Ada untuk yang lain’ menggambarkan modus ‘keAdaan’ dalam dua bentuk: positif dan negatif. Secara positif sebagai Ada yang komunal. Secara negatif sebagai Ada yang melibatkan ‘konflik personal karena setiap Ada-nya sendiri dengan dirinya sendiri berusaha untuk menemukan Ada-nya sendiri secara langsung atau tidak langsung menjadikan yang lain sebagai objek. Yang tepat dikaitkan dengan kritik sastra feminis adalah ‘Ada untuk orang lain’ karena ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antarmanusia. Setiap relasi antarmanusia pada dasarnya berasal dari konflik yang merupakan relasi inti dari relasi intersubjektif. Dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobjekkan perempuan dan membuatnya sebagai ‘yang lain’. Dalam proses pembebasan, menurut Simone de Beauvoir (2003) ada empat strategi yang dapat dilakukan oleh perempuan, yaitu (1) perempuan dapat bekerja di luar rumah, (2) perempuan menjadi seorang intelektual, (3) perempuan mandiri, dan (4) perempuan harus membebaskan diri dari tubuhnya. Puisi sebagai ekspresi puitik dan ekspresi pemikiran tidak dapat dilepaskan dari eksistensi kehidupan penyairnya karena pemikiran tidak terlepas dari apa yang dimiliki di dunia ini. Pemikiran seseorang menentukan pengetahuannya. Oleh sebab itu antara pengetahuan seseorang dan eksistensinya sebagai manusia terdapat hubungan yang erat. Sebagaimana dikemukakan Mannheim (1991:xv) bahwa pengetahuan dan eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan persfektif dirinya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kritik sastra feminis yang dikemukakan Showalter (1970:25), yaitu ‘membaca sebagai perempuan’ (reading as women). ‘Membaca sebagai perempuan’ adalah membaca dengan kesadaran peran gender serta konstruksi sosial termasuk kesadaran akan dilema, fenomena, dan problem perempuan dalam masyarakat yang sedang berubah. Membaca sebagai perempuan digunakan untuk mengungkap keberadaan perempuan dengan landasan konsep ‘keberadaan’ menurut Simone de Beauvoir.

B. Pendidikan, Cinta, dan Perkawinan Perempuan dalam Puisi Susi Aminah Aziz, perempuan penyair tahun 1960-an merupakan penyair yang sajak-sajaknya mengekspresikan keberadaan perempuan khususnya masalah pendidikan, cinta, dan perkawinan (Ratih, 2010:52). Tiga masalah dalam kehidupan perempuan itu dituangkan dalam sajak berjudul ’Di Hati Tanja Bertalu” (1961) sebagai ekspresi penyair dan kesadarannya sebagai perempuan yang ditempa berbagai pengalaman individual dan pengalaman sosialnya.

DIHATI TANJA BERTALU

Diistana orang tuaku Selusin anak ada disitu Ajahku kapten kapal dalam perahu Ibuku djuru mudi jang sedia membantu

Dari istana orang tuaku Beberapa saudaraku ‘lah berlalu Pergi melajari lautan tertentu Bersama kekasih setia siap melawan waktu Bersauhlah mereka dipelabuhan teduh

Ketika aku ingin berlalu Dengan hati sendu jang menanggung rindu Pintaku pada ibu meraju:

28 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Aku mesti terbang djauh Izinkan daramu bergulat kehidupan seru

Bila kumenjilat diketiakmu selalu Hatiku terhabis djemu Bertegak kaki satu tiada mampu

Djawab ibuku kemudian saju Dengan wadjah pilu katanja lalu:

Anakku perawan! Dengan siapa kau ‘kan berdjalan Bersama siapa ‘kan lajari lautan? Tiada mungkin ‘ku lepaskan! Ditanah gersang teramat dahaga kau nantinja Dan tiada air didapatkan disana

Ah, manisku sajang! Baiknja kau diam tenang Menanti kumbang sedjati datang Seekor burung bersajap pahlawan Tentu Bakal mendjemputmu kedalam lain sarang

Dengan kata serupa itu Aku tjuma termangu Duduk dalam kebisuan suaraku Sedang dihati tanja berlalu:

Salahkah dara Kau terbang djauh seorang?

Sajak berjudul ‘Di Hati Tanja Bertalu’ terdiri atas 8 bait. Bait pertama, penyair mengekspresikan secara puitik gambaran sebuah keluarga besar. Simbol digunakan sebagaimana tampak pada baris- baris sajak berikut, ‘Ajahku kapten kapal dalam perahu/ Ibuku djuru mudi jang sedia membantu’. Simbol tersebut digunakan penyair dalam baris sajak –ayah sebagai kapten kapal, dan ibu juru mudi- tersebut bermakna kesejajaran peran yang terjadi pada keluarga tersebut. Bait kedua, penyair Susy menggambarkan situasi di dalam rumah, ‘Dari istana orang tuaku/ Beberapa saudaraku ‘lah berlalu/ Pergi melajari lautan tertentu/ Bersama kekasih setia siap melawan waktu/ Bersauhlah mereka dipelabuhan teduh’. Asonansi /u/ dan pilihan kata pada bait sajak ini menciptakan pola rima akhir yang sama sehingga menimbulkan kemerduan bunyi. Bait ketiga mengungkap keinginan perempuan untuk memperoleh kesetaraan dengan saudara laki-lakinya, ‘Ketika aku ingin berlalu/ Dengan hati sendu jang menanggung rindu/ Pintaku pada ibu meraju:/ Aku mesti terbang djauh/ Izinkan daramu bergulat kehidupan seru’. Pola rima yang sama pada akhir baris dan asonansi /u/ menciptakan suasana sendu dan rasa kecewa yang dialami perempuan dalam sajak ini karena ibu tidak mengizinkannya pergi. Penolakan ibu terhadap keinginan anak perempuannya merantau dilatarbelakangi oleh rasa tidak percaya pada anak perempuan. Dalam pandangan seorang ibu, anak perempuan itu dipersiapkan untuk menjadi istri atau pendamping suami. Pesan penyair tampak pada akhir sajak, Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 29

sebagaimana diekspresikan dengan pola rima, pemilihan kata, dan penggunaan gaya bahasa yang indah, ‘Ah, manisku sajang!/ Baiknja kau diam tenang/ Menanti kumbang sedjati datang/ Seekor burung bersajap pahlawan/ Tentu/ Bakal mendjemputmu kedalam lain sarang’. Penyair menggunakan kata-kata sebagai simbol laki-laki yaitu ‘kumbang sejati’ atau ‘burung bersayap pahlawan’. Kedua simbol itu mengacu kepada binatang yang bisa terbang. Hal ini memberi gambaran bahwa laki-laki selalu disimbolkan sesuatu yang ‘aktif’ dan memilliki kebebasan untuk melakukan sesuatu. Hal ini sangat berbeda dengan yang dialami perempuan yang harus tetap tinggal ‘di sarang’. Artinya, perempuan adalah makhluk yang diharapkan pasif dan statis. Batasan dan aturan bagi perempuan menjadi pengikat pembebasan dirinya karena ‘perempuan tidak pantas pergi sendirian’ dan ‘perempuan tidak dipercaya dapat hidup mandiri’. Penyair menyampaikan pesan bahwa peristiwa yang dialami oleh perempuan dalam sajak di atas juga dialami oleh banyak perempuan lainnya di masyarakat. Stereotif bahwa perempuan itu lemah tampak begitu ditonjolkan. Sajak ini sebagai refleksi realitas berhubungan dengan kenyataan. Kesadaran penyair sebagai perempuan dituangkan dalam sajak ini dan mengharapkan perempuan menyadari keberadaan dirinya yang siap mengabdikan cinta untuk laki-laki dalam perkawinannya. Susy Aminah Aziz sebagai penyair mengekspresikan kesadaran tentang pentingnya peran perempuan sebagai istri. Pendidikan tidak penting karena perempuan akan tetap menjadi ibu bagi anak-anaknya. Pendidikan hanya milik laki-laki yang memiliki kekuatan ‘mengarungi samudera’. Perempuan tidak perlu pergi jauh menuntut ilmu karena ‘ia tidak dipercaya dapat hidup mandiri’. Perempuan tidak diberi pilihan dalam hidupnya. Ia hanya diberi kesempatan untuk mengabdikan cintanya seumur hidup dalam sebuah ikatan perkawinan. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep Simone de Beauvoir yang mengusung konsep kebebasan bagi perempuan yang intelektual, mandiri secara ekonomi, melepaskan diri dari kecantikan fisik, dan aktif secara social. Sajak karya Susy Aminah Aziz di atas melukiskan kehidupan perempuan Indonesia pada masa itu (Tahun 1960-an). Apabila melihat situasi dan kondisi masyarakat Indonesia pada masa itu, kita dapat memahaminya. Kesadaran perempuan terhadap penguasaan ilmu masih sangat kurang. Yang diprioritaskan adalah perkawinan dan totalitas cinta kepada pasangan karena hanya itulah tujuan hidup bagi seorang perempuan. Akan tetapi, waktu bisa mengubah pandangan perempuan terhadap cinta dalam perkawinan dan kesetiaan kepada pasangan, sebagaimana tampak pada puisi yang ditulis seorang perempuan penyair Indonesia tahun 1980-an, Dorothea Rosa Herliany. Sajaknya berjudul ‘Buku Harian Perkawinan’ (1987) mengangkat masalah cinta seorang perempuan dalam sebuah perkawinan.

BUKU HARIAN PERKAWINAN ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia engkau bahkan telah menjadi budak penurutku dunia yang kumiliki kubangun di atas bukit batu dan padang ilalang. kau bajak jadi ladang subur yang mesti kupanen dalam setiap dengus nafsuku kupelihara ribuan hewan liar, kujadikan prajurit yang akan menjaga dan memburumu dan kutanam bambu untuk gagang tombak dan sembilu berlarilah sejauh langkah kejantananmu, lelaki! bersembunyilah di antara ketiak ibumu membaca gerak tumbuh dan persemaian segala tumbuhan bijak: ajarilah aku membangun rumah dan dinding tak berpintu. memenjara penyerahanku

30 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

yang kaubaca dengan bahasamu. tapi aku menikahimu tidak untuk setia kubiarkan diriku bertarung di setiap medan peperangan aku panglima untuk sepasukan hewan hewan liarku -yang selalu bergairah memandangmu di atas meja makan. sekarang biarlah kudekap engkau. sebelum kulunaskan puncak laparku!

Sajak berjudul ‘Buku Harian Perkawinan’ ini terdiri atas 4 bait. Kata-kata yang dipilih penyair menunjukkan sosok perempuan dalam sajak ini adalah pribadi yang mandiri, berani, dan ekspresif. Baris pertama dan kedua saja sudah langsung menggambarkan pribadi perempuan yang tidak mau terikat pada sebuah perkawinan dengan perumpamaan yang metaforis, ‘ketika menikahimu, tak kusebut keinginan setia/ engkau bahkan telah menjadi budak penurutku’. Pilihan kata yang sederhana tapi penempatannya dalam baris sajak mengandung makna yang mendalam. Ungkapan ‘engkau budak penurutku’ menunjukkan adanya penguasaan satu pihak oleh pihak yang lain. Pada baris-baris sajak ini terdapat enjambemen yang berfungsi menambah aspek estetik. Penggunaan gaya bahasa hiperbola dan metafora dan bunyi vocal /u/ yang mendominasi sajak ini menciptakan efek estetis, ’dunia yang kumiliki kubangun di atas bukit batu/ dan padang ilalang. kau bajak jadi ladang subur/ yang mesti kupanen dalam setiap dengus nafsuku/ kupelihara ribuan hewan liar, kujadikan prajurit/ yang akan menjaga dan memburumu/ dan kutanam bambu untuk gagang tombak dan sembilu’. Bait pertama ini menunjukkan kekuasaan si aku sebagai subjek dan engkau sebagai objek. Belum jelas siapakah si aku dan si engkau dalam sajak ini, apakah si aku sebagai perempuan ataukah si aku sebagai laki-laki. Baru pada bait kedua, pertanyaan itu terjawab. Bait kedua tantangan ditujukan kepada lelaki pasangannya, ’berlarilah sejauh langkah kejantananmu, lelaki!/ bersembunyilah di antara ketiak ibumu/ membaca gerak tumbuh dan persemaian segala/ tumbuhan bijak: ajarilah aku membangun rumah dan/ dinding tak berpintu. memenjara penyerahanku/ yang kaubaca dengan bahasamu’. Kata-kata seperti ’berlarilah, bersembunyilah’ yang ditujukan kepada lelaki menunjuk pada kekuasaan si aku sebagai subjek dan laki-laki menjadi objek. Ekspresi puitik yang dibangun Dorothea dalam sajak di atas menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan perempuan penyair sebelum dan seangkatannya, baik ditinjau dari aspek kebahasaan maupun dari isi sajak. Kejujuran si aku sebagai perempuan dalam menghadapi perkawinan menjadi dasar ekspresi sajak ini. Kata-kata yang dipilih Dorothea langsung membawa imaji pembaca pada sosok perempuan yang kuat dan keberadaannya di dalam rumah tangga mendominasi laki-laki (suami). Bahkan kejujuran si aku lirik ini menciptakan kesan kuat dan berkuasa serta gairah sebagai seorang istri, seperti tampak pada baris-baris berikut, ’aku panglima untuk sepasukan hewan-hewan liarku/ -yang selalu bergairah memandangmu/ di atas meja makan’. Ungkapan ’engkau budak penurutku’, ’kupanen dalam setiap dengus nafasku’, ’memburumu’, ’aku panglima’, dan ’selalu bergairah memandangmu’ merupakan gambaran kekuatan dan kekuasaan si aku lirik sebagai istri terhadap si engkau (suaminya) (Ratih, 2011, 173). Bait terakhir, ’sekarang biarlah kudekap engkau/ sebelum kulunaskan puncak laparku!’ mengekspresikan kekuasaan si aku kepada si engkau lebih tepatnya kekuasaan istri kepada suami. Seolah-olah si engkau adalah mangsa yang akan dilahap ketika si aku merasa lapar. Penggunaan bahasa yang ekspresif mengungkapkan sifat-sifat maskulinitas yang dimiliki oleh seorang perempuan tampak jelas pada sajak tersebut. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 31

Stereotip bahwa perempuan itu lemah lembut, setia, dan mencintai pasangan dengan penuh cinta, seperti pada sajak Susy Aminah Aziz, tidak tampak dalam sosok perempuan pada sajak karya Dorothea ini. Bahkan sebaliknya, perempuan dalam sajak ini menjadi simbol kekuasaan dan kekuatan istri terhadap suami. Ia berperan sebagai istri yang berkuasa dalam kehidupan keluarga. Perempuan menunjukkan kekuatan dan kekuasaan menjadi subjek dan laki-laki menjadi objek. Dorothea sebagai penyair menampilkan sosok perempuan yang kuat dan tegas dalam sajaknya. Istri menunjukkan ’kekuatan posisi’nya terhadap suami. Perempuan ditempatkan dalam ruang yang lebih luas dan memiliki kebebasan diri. Posisi perempuan menjadi subjek dan laki-laki menjadi objek. Dorothea sebagai penyair tidak sedikitpun menampilkan sifat-sifat feminin dari seorang perempuan tetapi justru menampilkan sifat-sifat maskulin. Melalui sajak ini, Dorothea menyampaikan kebebasannya berekspresi dalam mencipta sebuah sajak. Sebagai penyair, Dorothea mengekspresikan kesadarannya bahwa perempuan sebagaimana laki-laki memiliki hak untuk jujur pada diri sendiri dan mengungkapkan kejujuran itu ketika menghadapi sebuah perkawinan. Penyair memiliki kesadaran bahwa perempuan pun menginginkan kebebasan bagi dirinya sebagaimana laki-laki telah melakukan berabad-abad lamanya. Selama ini, perempuan dikungkung oleh rasa malu dan tabu. Tradisi yang telah mengakar kuat dalam kehidupan perempuan mempersempit ruang gerak dan membatasi suara perempuan. Kesadaran penyair Dorothea terhadap kebebasan perempuan dipengaruhi oleh arus modernitas yang melanda negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berbagai media teknologi mengungkapkan berbagai aspek kehidupan yang terjadi di negara maju yang dapat diakses oleh siapa saja. Hanya perempuan yang memperoleh pendidikan yang mampu mengakses berbagai informasi melalui penguasaan teknologi. Kemajuan teknologi dapat mempermudah mengakses informasi. Hal itu dapat mempengaruhi pola berpikir dan wawasan perempuan dalam memandang ”cinta dan perkawinan’ yang selama ini dipertahankan. Kesetiaan tidak lagi menjadi hal yang penting tetapi kekuasaan menjadi ambisi perempuan menaklukkan pasangannya sebagaimana ekspresi Dorothea yang tertuang dalam sajaknya.

C. Kesimpulan Dua buah sajak karya Susy Aminah Aziz dan Dorothea Rosa Herliany, penyair dua zaman, ternyata mampu memberikan gambaran tentang ekspresi puitik dan kesadaran perempuan penyair dalam hal pendidikan, cinta, dan perkawinan. Pengalaman individual dan pengalaman sosial seorang penyair mempengaruhi ekspresi puitik dan kesadarannya sehingga apa yang ditulis oleh mereka adalah potret kaum perempuan pada zamannya. Bagi perempuan pada zaman Susy Aminah Aziz, keinginan untuk memperoleh pendidikan sudah ada. Akan tetapi, ibu (keluarga) menganggap bahwa ilmu dan kemandirian tidak begitu penting. Perempuan itu merupakan symbol statis dan laki-laki itu dinamis karena perempuan ibarat ‘hanya tinggal di sarang menunggu kumbang datang’. Perempuan tidak boleh pergi ke negeri seberang untuk menuntut ilmu karena stereotif ‘perempuan itu lemah dan tidak mampu mandiri’ melekat begitu kuat. Dalam pandangan Simone de Beauvoir, perempuan seperti itu tidak dapat menunjukkan eksistensi dirinya. Sajak Dorothea Rosa Herliany berjudul “Catatan Harian Perkawinan’ ditulis dua puluh tahun kemudian dari sajak Susy Aminah Aziz. Sajak ini begitu kuat menonjolkan ‘keakuan’ dan kekuasaan seorang perempuan terhadap pasangannya. Totalitas cinta tidak lagi menjadi prioritas bagi perempuan kepada pasangannya. Kesetiaan seolah tidak mutlak diperlukan dalam sebuah perkawinan. Kemandirian perempuan tampak begitu menonjol dalam sajak ini. Kemandirian perempuan merupakan salah satu strategi pembebasan bagi perempuan untuk meraih eksistensinya sebagaimana dikemukakan oleh Simone de Beauvoir. Akan tetapi menjadi renungan bagi kaum perempuan, apakah pendidikan atau ilmu yang diidam-idamkan perempuan pada zaman Susy Aminah Aziz akan melunturkan makna cinta dalam perkawinan perempuan masa kini? Strategi

32 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

pembebasan bagi perempuan menurut Simone de Beauvoir memang sudah di tangan perempuan abad 20 tetapi apakah itu yang sesungguhnya ingin dicapai perempuan dalam hal kesetaraan gender.

DAFTAR PUSTAKA Aziz, Susi Aminah. 1961. Seraut Wajahku. Jakarta: Kemuning. de Beauvoir, Simone. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Surabaya: Pustaka Promothea. ------.2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Surabaya: Pustaka Promothea. Herliany, Dorothea Rosa. 1987. Nyanyian Gaduh. Yogyakarta: Pustaka Nusatama. Humm, Maggie. 1986. Feminist Criticism. Brighton, Sussex: The Hervester Press Publishing Group. Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia: Menyingkap kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ratih, Rina. 2010. Perempuan Penyair Indonesia Tahun 1900-2005. Yogyakarta: Elmatera. Ratih, Rina. 2011. Citra Perempuan Indonesia di Tengah Kekuasaan Budaya Patriarkhi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ruthven, K.K. 1984. Feminist Literary Studies an Introduction. Cambridge University Press, Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sidney. Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media. Showalter, Elaine. 1985. The New Feminist Criticism. New York: Pantheon Books.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 33

GAYA WACANA DAN DIMENSI BUDAYA DALAM TEKS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK: KAJIAN STILISTIKA DAN PEMAKNAANNYA

Ali Imron Al-Ma’ruf PBSI FKIP & Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Ponsel: 081329107250 Ponsel: [email protected]

Abstract This study aims to: (1) describe the use of force in the discourse of the novel trilogy Ronggeng Dukuh Paruk ( RDP ) and the function and purpose of its use as an expression of the author; (2) the style of discourse and cultural dimensions of code switching in Ronggeng Dukuh Paruk (RDP). Qualitative research is descriptive method with the advanced nuanced interpretation. The research data in the form of discourse in the RDP. Libraries used in data collection techniques , see and record. Data analysis was performed by the method of reading the semiotic model of heuristic and hermeneutic. The results show that RDP stilistika study: (1) The style of discourse in the RDP has a unique and distinct (ideosinkresi) and prove competency in the empowerment of all the potential Tohari language; in this case the peculiarities of its discourse styles seen in its use as a means of rhetoric as a figure of speech repetition , parallelism , Koreksio , Simile , Personification , climax , anticlimax , Paradox and Antithesis; (2) The style of discourse over the RDP code used for local cultural dimensions Java pour them through a spell (pekasih and romance breake ) , ballad , Asmarandana, Canto sinom, and witty song. Style of discourse in RDP code switching discourse dominated by rich variations, as well as having expressive power , associative , and aesthetic . It shows Tohari individuation as a writer who has extensive insight into the local culture of Java and empower all the potential competence in the language .

Keywords : discourse styles , novel Ronggeng Dukuh Paruk , the dimensions of Javanese culture , study stilistika

PENDAHULUAN Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari dipandang oleh para pengamat sastra sebagai salah satu fiksi Indonesia mutakhir yang memenuhi kriteria sastra literer dalam teori Hugh (dalam Aminuddin, 1990:45). Kriteria itu adalah: (1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, imajinasi, dan rekaan yang membentuk kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity); (2) daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas). Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler (1977:3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra (Wellek dan Warren, 1989:15). Kekhasan bahasa sastra adalah penuh ambiguitas dan memiliki kategori- kategori yang tidak beraturan dan terkadang tidak rasional, asosiatif, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang lahir sebelumnya. Bahasa sastra bukan sekedar referensial yang mengacu pada hal tertentu melainkan mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pengarangnya. Bahasa sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik sastra. Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style membawa muatan makna tertentu.

34 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pemilihan struktur lahir merupakan teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Jadi, bentuk struktur lahir bergantung pada kreativitas dan kepribadian pengarang yang dipengaruhi oleh ideologi dan lingkungan sosial budayanya. Style Ahmad Tohari yang agraris, akrab dengan alam pedesaan, tentu berbeda dengan Ayu Utami yang metropolis. Menurut Pradopo (2004:8), gaya bahasa merupakan tanda yang menandai sesuatu. Medium sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya bagi Junus (1989:187-188), adalah tanda yang mempunyai makna dan gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi yang disampaikan pengarang jika ia menggunakan gaya tertentu dalam karya sastranya. Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970:22). Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan aliran, ideologi, konsepsi estetik, dan gaya bersastra pengarangnya. Oleh karena itu, demikian Junus (1989:xvii), stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus bagi studi linguistik. Permasalahannya adalah bagaimana wujud wacana RDP sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan dimensi budaya lokal Jawa. Adapun tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud wacana RDP sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan dimensi budaya lokal Jawa.

KAJIAN TEORETIK Style ‘gaya bahasa’ menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu (Leech & Short, 1984:10). Tegasnya, style ialah performansi bahasa dalam karya sastra yang unik dan khas dengan memberdayakan segenap potensi bahasa dengan cara mengeksploitasi dan memanipulasinya untuk menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebagai wujud style telah mengalami deotomatisasi dan defamiliarisasi guna menarik perhatian pembaca. Itulah foregrounding yang dilakukan sastrawan dengan melakukan eksplorasi, manipulasi, dan penyimpangan bahasa. Adapun stilistika (stylistics) adalah ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979:165-167; Satoto, 1995:36). Jadi, Stilistika adalah ilmu yang mengkaji style yakni wujud performansi bahasa dalam karya (sastra) melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language) dan citraan. Hubungan antara style ’gaya bahasa’ dengan ekspresi dan gagasan pengarang dilukiskan Aminuddin (1990:77) dalam bagan berikut.

GAGASAN PENGARANG EKSPRESI STYLE ‘GAYA BAHASA’ Sikap

Pengetahuan

Pengalaman

Salah satu unsur stilistika RDP yang menarik untuk dikaji adalah gaya wacana. Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatika (Kridalaksana, 1982:179). Gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat baik Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 35

dalam prosa maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa dua kalimat atau lebih, paragraf, bait, keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi. Termasuk dalam gaya wacana dalam sastra adalah gaya interferensi dan alih kode (Pradopo, 2004:12). Kedua gaya itu –interferensi dan alih kode-- digunakan untuk memperoleh efek tertentu sesuai dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan, misalnya untuk menciptakan efek atau setting lokal, nasional, dan internasional atau universal. Interferensi adalah bilingualisme penggunaan bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam bahasa (Kridalaksana, 1998:86). Gaya interferensi adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau bahasa campuran dalam karya sastra. Penggunaan bahasa campuran itu kadang-kadang mengganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahuan bahasanya terbatas (Pradopo, 2004:13). Akan tetapi, dalam karya sastra interferensi tersebut kadang-kadang diperlukan untuk mencapai efek tertentu. Adapun alih kode (code switching) adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain, atau adanya partisipan lain (Kridalaksana, 1998: 86). Dalam karya sastra, gaya alih kode itu sering dimanfaatkan pengarang untuk menciptakan efek tertentu misalnya setting lokal, sesuai dengan pesan atau gagasan dalam karya sastra.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Penelitian kualitatif memiliki karakter analisis data dilakukan secara induktif dan makna menjadi perhatian utama (Bogdan & Biklen, 1984:14). Penelitian ini tidak hanya mengkaji bagaimana stilistika yang dipakai pengarang dalam RDP, melainkan juga mengkaji mengapa dan untuk apa pengarang menggunakan stilistika demikian. Dari segi kajian stilistika, penelitian ini termasuk penelitian stilistika genetik (Pradopo, 2004:14; Hartoko & Rahmanto, 1986:138), yakni mengkaji stilistika salah satu karya sastra pengarang, dalam hal ini karya Ahmad Tohari yakni novel RDP. Data penelitian ini berwujud data lunak (soft data) yang berupa kata, ungkapan, kalimat, dan wacana dalam novel RDP dan informasi tentang pengarangnya, Tohari, beserta kondisi sosiokultural masyarakat pada dekade 1960-an. Adapun sumber data penelitian ini adalah pustaka. Sumber data pustakanya adalah RDP yang mengandung data kebahasaan berupa bahasa figuratif sebagai salah satu wujud stilistika RDP. Novel RDP sekaligus merupakan sumber data primer yang mengandung bahasa figuratif. Pustaka lainnya adalah berbagai tulisan yang mengkaji stilistika RDP baik berupa buku, hasil penelitian, maupun artikel pada jurnal ilmiah yang menjadi sumber data sekunder. Pengumpulan data ditempuh melalui teknik pustaka, simak dan catat. Teknik pustaka dilakukan dengan studi terhadap teks novel RDP sekaligus dengan teknik analisis isi (content analysis). Teknik simak dan catat dengan membacasecara cermat teks RDP lalu mencatatnya. Data juga dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis data wacana RDP, dilaksanakan melalui metode pembacaan model Semiotik yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6) serta metode berpikir induktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut konvensi atau struktur bahasa (pembacaan semiotik tingkat pertama). Adapun pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan interpretasi berdasarkan konvensi sastra (pembacaan semiotik tingkat kedua). Dengan demikian, wacana RDP dapat dipahami tidak saja dari arti kebahasaannya melainkan juga fungsi dan tujuan pemanfaatannya oleh pengarang yang memperlihatkan hubungan dinamik antara karya, pengarang, kondisi sosial budayanya, dan pembaca. Tegasnya penelitian gaya wacana RDP tidak hanya berhenti pada persoalan keindahan gaya bahasa, melainkan juga latar belakang, fungsi, dan tujuan pemanfaatannya sebagai sarana ekspresi pengarang dalam menuangkan gagasan pada teks sastra.

36 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

WUJUD GAYA WACANA DALAM RDP DAN DIMENSI BUDAYANYA Dalam RDP gaya wacana yang diciptakan oleh Tohari cukup bervariasi. Pemanfaatan gaya wacana yang beragam itu sengaja diciptakan oleh Tohari untuk mencapai efek makna tertentu dan efek estetis. Gaya wacana dalam RDP akan dikaji dalam dua bagian yakni gaya wacana berkombinasi dengan sarana retorika dan gaya wacana alih kode. 1. Gaya Wacana sebagai Sarana Retorika a. Wacana Klimaks Dalam RDP ditemukan banyak gaya wacana Klimaks. Kombinasi beberapa kalimat yang menunjukkan adanya intensitas maksud kalimat yang semakin meningkat. Data-data berikut merupakan contohnya. (1) Di tengah pintu Rasus tertegun. Bimbang bukan main melihat orang-orang Dukuh Paruk meringkuk takut seperti tikus dalam cakar kucing buas. Lihatlah mata Sakarya yang cemas dan pasrah. Wajah Kartareja yang pasi, dan cuping hidung si buta Sakum yang bergerak-gerak seakan menanti godam jatuh untuk memecahkan kepalanya. (hlm. 256) (2) Aku diam dan menunduk. Ada angin beliung berpusar-pusar dalam kepalaku. Dan beliung itu berubah menjadi badai yang dahsyat karena aku mendengar Srintil melolong-lolong di kamarnya yang persis bui. Satu-satu diserunya nama orang Dukuh Paruk dan namakulah yang paling sering disebutnya. Aku merasa saat itu keberadaanku adalah nurani tanah airku yang kecil, Dukuh Paruk. Aku adalah hati ibu yang remuk karena mendengar seorang anaknya melolong dan meratap dalam kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut. (hlm. 393)

Pada data (1) intensitas makna kalimat-kalimatnya menunjukkan peningkatan dari perasaan ’takut’ kemudian perasaan ’cemas’ dan sikap ’pasrah’, lalu wajah yang pucat ’pasi’ hingga perasaan seakan-akan akan terkena ’godam jatuh’. Demikian pula data (2) peningkatan terjadi dimulai dari ungkapan ’angin beliung berpusar-pusar’ lalu ’berubah menjadi badai dahsyat’ dan hati ibu yang ’remuk’. Dengan gaya Klimaks Tohari berhasil melukiskan keadaan yang makin meningkat intensitasnya dengan lebih menarik dan ekspresif. b. Wacana Koreksio Tohari juga memanfaatkan gaya wacana Koreksio dalam RDP. Pernyataan yang sudah dibuat lalu dibetulkan atau dikoreksi dengan pernyataan lain. Kutipan berikut merupakan contoh gaya wacana Koreksio dalam RDP. (3) Rasus merasa seperti seekor laron yang terbang menabrak ramat labah-labah. Tidak. Rasus merasa seperti burung yang hinggap di atas cabang berlumur getah keluwih. Ah, tidak juga. Dia merasa seperti seorang anak yang berjingkat-jingkat membuat jalan pintas melalui kebun orang untuk menghindari jalan memutar yang lebih panjang. Tetapi tiba-tiba si empunya kebun menegurnya dari belakang dengan senyum sambil menunjukkan jalan keluar yang harus ditempuhnya. (hlm. 340)

Gaya wacana Koreksio pada data (3) terlihat pada kalimat pertama ’Rasus merasa seperti seekor laron yang terbang menabrak ramat labah-labah’ yang dibetulkan dengan kata ’Tidak’ pada kalimat kedua. Hal yang sama juga terdapat pada kalimat ketiga ’Rasus merasa seperti burung yang hinggap di atas cabang berlumur getah keluwih’ yang dikoreksi dengan ’Ah, tidak juga’ pada kalimat berikutnya. Berbeda dengan gaya wacana Paralelisme, Repetisi, dan Personifikasi yang cukup banyak, gaya wacana Koreksio tidak banyak jumlahnya dalam RDP. Gaya wacana Koreksio dimanfaatkan untuk menegaskan gagasan atau lukisan keadaan tertentu. Selain itu, gaya Koreksio dapat lebih menarik perhatian pembaca daripada pernyataan biasa karena adanya pembetulan atas pernyataan sebelumnya.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 37

c. Wacana Paralelisme Gaya wacana Paralelisme banyak ditemukan dalam RDP seperti data berikut. (4) Malam hari, bulan yang hampir bulat berlatar langit kemarau. Biru kelam. Langit seakan menelan segalanya kecuali apa-apa yang bercahaya. Bintang berkelip-kelip, seakan selalu berusaha membebaskan diri dari cengkeraman gelap. Hanya bulan yang tenang mengambang. Bulan yang makin anggun dan berseri karena kelam tak mampu mendaulatnya. (hlm. 302) (5) Dulu ketika masih meronggeng, orang banyak yang berkumpul semua tunduk di bawah pesonanya. Perasaan mereka, khayalan mereka, menjadi bulan-bulanan alunan tembang dan lenggak-lenggok berahinya. Jantung mereka menjadi permainan lirikan mata dan pacak gulu-nya. (hlm. 315)

Data (4) merupakan gaya wacana Paralelisme yang melukiskan suasana alam di Dukuh Paruk. Kalimat-kalimat pada data (4) itu memiliki maksud yang sepadan yakni ’suasana indah pada malam hari ketika musim kemarau’. Meskipun kosakatanya tidak sama yakni ’langit yang cerah, bulan yang bersinar terang, dan bintang yang bercahaya’, maksud kalimat-kalimat itu sejajar maksudnya. Pada data (5) gaya Paralelisme digunakan Tohari untuk melukiskan daya pesona ronggeng Srintil ketika tampil di pentas. Kosakata dalam kalimat-kalimat tersebut memang berbeda satu dengan lainnya. Namun, pada dasarnya kalimat-kalimat itu memiliki maksud yang sejajar yakni ’tarian erotik Srintil membuat mereka terkesima dan tunduk di bawah pesonanya’. Gaya wacana Paralelisme dimanfaatkan Tohari untuk menegaskan dan menekankan gagasan atau keadaan tertentu. Dengan menggunakan kalimat-kalimat yang memiliki kesamaan maksud maka lukisan akan lebih mengesankan

d. Wacana Personifikasi dan Simile Dalam RDP banyak ditemukan gaya wacana tertentu yang dikombinasikan dengan gaya bahasa yang lain. Data (6) berikut adalah kombinasi gaya wacana Personifikasi dan Simile. (6) Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh Paruk menyala, menyala. Api menggunung membakar Dukuh Paruk. Atap seng rumah Kartareja membubung ke langit bersama asap tebal yang menjulang seperti pohon raksasa. Rumah Sakum yang compang-camping hanya bertahan beberapa menit sebelum jadi abu dalam kobaran yang gemuruh. Jerit tangis dan lolongan manusia disambut dengan ledakan-ledakan bambu yang terbakar. (hlm. 242)

Data (6) menunjukkan adanya gaya wacana kombinasi antara Personifikasi dengan Simile. Personifikasi tampak pada kalimat pertama ’langit timur berhias kejayaan lintang kemukus’, ’Rumah Sakum yang compang-camping’ pada kalimat ketiga, dan kalimat keempat ’Jerit tangis dan lolongan manusia disambut dengan ledakan-ledakan bambu’. Simile pada kalimat ketiga ’Atap seng rumah Kartareja membubung ke langit bersama asap tebal yang menjulang seperti pohon raksasa’. Gaya Personifikasi terakhir tampak pada kalimat ketujuh ’Engkau yang bebal, jorok, dan cabul dalam sekejap telah melenyapkan semua pesona anakmu dan melumurinya dengan kejijikan’. Adapun gaya Paralelisme terlihat pada kalimat ketujuh ’Engkau yang bebal, jorok, dan cabul dalam sekejap telah telah melenyapkan semua pesona anakmu dan melumurinya dengan kejijikan.’ Kata ’bebal, jorok, dan cabul’ memiliki kesejajaran arti, meskipun tidak persis sama artinya. Melalui perpaduan berbagai gaya wacana tersebut maka bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan gagasan RDP menjadi lebih ekspresif, intens, dan menimbulkan daya pukau bagi pembaca.

38 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

2. Gaya Wacana Alih Kode dan Dimensi Budaya Lokal Jawa Agak berbeda dengan wacana sebagai sarana retikrika, pada gaya wacana alih kode banyak terkandung dimensi budaya lokal Jawa. Dimensi budaya lokal Jawa yang dimaksud adalah muatan aspek budaya lokal Jawa dalam hal ini adalah lokal Banyumas Jawa Tengah. Hal itu agaknya sengaja dilakukan dengan maksud untuk mencapai efek tertentu yakni menciptakan setting budaya dunia ronggeng yakni sosial budaya Jawa (Banyumas Tengah). Melalui gaya wacana alih kode, gagasan diungkapkan Tohari dalam karyanya menjadi lebih jelas, maknanya lebih mengena, dan ekspresinya lebih mengesankan. Jika bahasa mantra diganti dengan bahasa lain, bahasa Idonesia misalnya, tentu akan kehilangan nilai dan maknanya. a. Wacana Alih Kode dengan Muatan Mantra Berikut beberapa data wacana alih kode dengan pemanfaatan mantra. (7) Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya; uluk-uluk perkutu manggung teka saka ngendi, teka saka tanah sabrang pakanmu apa, pakanku madu tawon manis madu tawon, ora manis kaya putuku, Srintil. (hlm. 18)

(8) Tali asmara yang mengikat Srintil kepada Rasus harus diputuskan. Mula-mula Nyai Kartareja mencari sebutir telur wukan. Telur ayam yang tertinggal dalam petarangan karena tidak bisa menetas itu diam-diam ditanamnya di salah satu sudut kamar tidur Srintil. Mantra pemutus asmara dibacakan. Niyat ingsun mata aji pamurung Hadi aing tampeang aing cikaruntung nantung Ditaburan boeh sana, manci rasa marang Srintil marang Rasus Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening Eyang Secamenggala Pentil alum cucuk layu, angen sira bungker Si Srintil si Rasus Ker bungker, ker bungker kersane Eyang Secamenggala Ker bungker ker bungker kersane Sing Murbeng Dumadi (hlm. 116)

Data (7) dan (8) merupakan gaya wacana alih kode yang dimanfaatkan Tohari untuk mengungkapkan keberadaan mantra yang tidak pernah terlepas dalam dunia ronggeng. Selain itu, gaya wacana alih kode dimanfaatkan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk dan makna yang terkandung dalam mantra tersebut. Kata dan kalimat dalam mantra tersebut ditampilkan secara orisinal, apa adanya. Kata dan kalimat mantra tersebut tidak dapat diganti dengan kata dan kalimat lain. Kalau dilakukan pergantian kata dan kalimatnya maka hal itu bukan mantra lagi. Mantra itu akan kehilangan kekuatan sakralnya. Mantra pekasih adalah mantra yang di kalangan masyarakat Jawa dipercaya akan membuat perempuan siapa saja tampak lebih cantik daripada yang sebenarnya dan memiliki daya pikat yang luar biasa bagi laki-laki mana pun yang melihatnya. Dalam RDP mantra ini dipakai oleh dukun ronggeng untuk membuat ronggeng anak asuhannya menjadi memili daya pikat luar Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 39

biasa bagi siapa saja yang melihatnya, baik ketika sedang di atas pentas pertunjukan maupun dalam keadaan sedang tidak pentas. Hal ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam dunia ronggeng. Selain untuk menarik perhatian penonton juga untuk kepentingan finansial agar banyak lelaki yang berkantong tebal mau mengajak sang ronggeng menjadi penghiburnya di tempat tidur. Mantra memiliki bahasa yang memang khas, tidak seperti bahasa sehari-hari. Memang jika diperhatikan secara sekilas tampaknya bahasa mantra sederhana, tidak seseram namanya dan maknanya yang sakral. Namun, mantra dipercaya oleh masyarakat pemiliknya memiliki kekuatan magis yang hebat. Mantra pekasih pada data (7) di atas dipercaya dapat membuat siapa saja yang mengenakannya tampak menjadi sangat menawan, memiliki daya tarik luar biasa bagi siapa saja yang melihatnya. Bahkan, orang yang terpikat karena melihatnya dapat menjadi seolah-olah tidak sadar dibuatnya sebagaimana orang yang sedang kasmaran, gandrung, atau jatuh cinta. Tidak sedikit orang yang terpikat kepada orang yang mengenakan mantra pekasih dibuatnya menjadi tergila-gila kepadanya dan rela memberikan apa saja yang dimintanya asal dapat dekat dengannya. Inilah fungsi mantra dalam dunia ronggeng selain untuk menarik perhatian khalayak penonton pementasan ronggeng. Berkebalikan dengan mantra pekasih, mantra pemutus asmara pada data (8) merupakan mantra yang dipercayai memiliki daya magis yang mampu menjauhkan seorang gadis dari kekasihnya, atau sebaliknya. Dalam RDP mantra ini dimaksudkan untuk menjauhkan Srintil dari Rasus, lelaki yang dipujanya, yang dirindukannya akan dapat membawanya ke kehidupan wajar sebagaimana perempuan somahan. Bagi, Kartareja sang dukun ronggeng, tentu kondisi demikian sangat merugikan ”bisnis” ronggengnya. Jika ronggeng asuhannya kasmaran, jatuh cinta dan memiliki laki-laki pujaan, maka hal itu akan membuat sang primadona menjadi tidak peduli kepada para lelaki hidung belang yang ingin menikmati kecantikan dan tubuh seksinya. Sang ronggeng hanya akan memikirkan lelaki pujaan hatinya dan akibatnya para lelaki hidung belang menjauh dan itu berarti rejeki tidak mengalir ke koceknya. Dalam masyarakat Jawa mantra pemutus asmara banyak digunakan oleh warga masyarakat terutama oleh para orang tua yang menginginkan anaknya putus dari kekasihnya, pemuda yang tidak disetujuinya. Demikian pula mantra pemutus asmara dikenakan terhadap Srintil oleh Nyai Kartareja yang menginginkan Srintil putus cinta dengan Rasus, pemuda pujaan hatinya. Sebab, jika Srintil masih tetap jatuh cinta (kasmaran) kepada Rasus, dia tidak bersemangat untuk meronggeng. Hal itu tentu sangat dibencinya sebab akan menutup pintu rejekinya. Terlihat pada data (7) dan (8), meskipun menggunakan bahasa Jawa ternyata untaian mantra itu memiliki struktur kalimat yang khas yang tidak terdapat pada bahasa masyarakat sehari-hari. Hal ini oleh Tohari sengaja ditampilan apa adanya sebab tidak dapat ditransliterasi ke dalam struktur bahasa Indonesia misalnya atau bahkan dalam bahasa Jawa sekalipun. Upaya mentransliterasikan mantra tersebut ke dalam bentuk bahasa lain akan mengakibatkan mantra itu akan kehilangan makna sakralnya.

b. Wacana Alih Kode dengan Muatan Tembang Jawa Tradisi Kidung Gaya wacana alih kode juga dimanfaatkan oleh Tohari untuk menampilkan tembang Jawa tradisi. Hal ini sengaja dilakukan agar wacana tidak kehilangan nilai budayanya. Berikut gaya wacana alih kode dengan menampilkan tembang jenis kidung. (9) Dalam keheningan yang mencekam, laki-laki tua itu mencoba menghubungkan batinnya dengan ruh Ki Secamenggala atau siapa saja yang menguasai alam Dukuh Paruk. Sarana yang diajarkan oleh nenek moyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh Sakarya dengan segenap perasaannya, Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh ayu luputing lara

40 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Luputa bilahi kabeh Jin setan datan purun Paneluhan datan ana wani Miwah penggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah ming mami Guna duduk tan sirna.... (halaman 30)

”Adalah gita penjaga sang malam. Tetaplah selamat, lepas dari segala petaka. Luputlah segala mara bencana. Jin dan setan takkan mengharu biru, teluh takkan mengena. Seta segala perilaku jahat, ilmu para manusia sesat. Padam seperti api tersiram air. Pencuri takkan membuatku menjadi sasaran. Guna-guna serta penyakit akan sirna...” Kidung pada data (9) merupakan salah satu jenis tembang Jawa tradisi yang biasanya dinyanyikan oleh seseorang yang sedang dirundung kesedihan atau duka nestapa. Seperti dinyatakan oleh Kluckhohn (1963: 508-523) bahwa kesenian dalam hal ini seni musik dan/atau lagu merupakan salah satu unsur kebudayaan. Oleh karena itu, diduga tembang-tembang tersebut dimanfaatkan Tohari untuk menciptakan latar budaya daerah (local colour) Jawa, dalam hal ini Banyumas. Tembang-tembang yang menghiasi RDP sekaligus untuk menyampaikan maksud akan eksistensi budaya atau tradisi Jawa yang kaya nuansa dan kaya nilai adiluhung, yang tidak kalah dengan budaya modern.

c. Wacana Alih Kode dengan Muatan Tembang Jawa Tradisi Asmaradana Ditemukan pula gaya wacana alih kode dalam RDP untuk menampilkan tembang Asmarandana pada data (10). Tembang Asmarandana merupakan ungkapan perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta. Oleh karena itu, Tohari menampilkannya untuk menciptakan suasana hati Srintil ketika sedang merindukan Rasus, lelaki satu-satunya yang didambakannya, namun tidak kunjung datang juga. Tentu saja sebuah tembang Jawa ditampilkan apa adanya agar tetap mengesankan kandungan maknanya dengan segenap nada dan iramanya. Data berikut ilustrasinya. (10) Seperti pada sore hari yang panas itu orang-orang pasar Dawuan tepekur mendengarkan petikan kecapi Wirsiter. Ciplak membawakan Asmara Dahana. Li lali tan bisa lali Sun lelipur tan sengsaya Katron bae sapolahe Kancil ndesa njang talingan Aku melu karo ndika Lebu seta sari pohong Becik mati yen kapiran (hlm. 130)

Sebagai sebuah tembang cinta asmara yang berisi ungkapan perasaan orang sedang jatuh cinta (kasmaran) kepada seseorang itu tidak jarang membuat pendengarnya menjadi teringat kepada kenangan masa lalu masing-masing ketika mereka masih remaja. Tembang Asmarandana itu seolah-olah menyadarkan kepada kita bahwa kebudayaan Jawa yang adiluhung menyimpan nilai klultural yang tinggi dan variatif. Tidak kalah dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa tradisional pun sudah lama mengenal tembang-tembang cinta yang menyentuh kalbu, mengelus perasaan, dan membelai pikiran penikmatnya.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 41

d. Wacana Alih Kode dengan Muatan Tembang Jawa Tradisi Pupuh Sinom Melalui gaya wacana alih kode, Tohari juga menampilkan sebuah tembang pupuh sinom yang dinyanyikan oleh Sakum, seniman calung yang buta matanya namun trampil memainkan gong tiupnya. Melalui tembang itu seolah Sakum mengajak pendengarnya mengembara ke alam kehidupan yang luas dengan segala perniknya. Dengan tembang tersebut Sakum seakan-akan mengjak pendengarnya untuk merenungkan makna hidup. Data (11) berikut merupakan ilustrasi. (11) Entah berapa tembang telah dibawakan oleh seniman calung itu. Dan Srintil amat terkesan oleh sebuah pupuh sinom yang mengalun berulang-ulang, Bonggan kang tan mrelokena Mungguh ugering nagurip Uripe lan tri prakara Wirya karta tri winasis Kalamun kongsi sepi Saka wilangan tetelu Telas tilasing sujalma Aji godhong jati aking Temah papa, papariman ngulandara (halaman 155)

”Merugilah orang yang mengabaikan tiga perkara teras kehidupan. Yakni terampil, keutamaan, dan kepandaian. Bila triperkara ini ditinggalkan, punahlah citra keutamaan manusia. Dia tidak lebih utama daripada daun jati kering: melarat, mengemis, dan menggelandang.” (nyanyi)

Sebuah lagu Eling-eling Banyumasan dengan pupuh sinom khas juga ditampilkan Tohari dalam RDP yang dinyanykan Srintil sedang mengalami goncangan jiwa melalui gaya wacana alih kode. Data (12) berikut adalah kutipan pupuh sinom dalam RDP. (12) Suara itu jelas datang dari dukuhku yang kini sudah kelhatan remangnya. Tidak salah lagi. Itu lagu Eling-eling Banyumasan dengan parikan khas. Dhongkel gelang daning bung alang-alang Wis sakjege wong lanang gedhe gorohe Lisus kali kedhung jero banyu mili Meneng sotenatine bolar-baleran Wakul kayu cepone wadhah pengaron Kapanane, kapanane ketemu padha dhewekan (hlm. 385)

e. Wacana Alih Kode dengan Muatan Tembang Jawa Tradisi Tembang Jenaka Tembang jenaka juga ditampilkan Tohari pada data (13) melalui gaya wacana alih kode. Tembang ini makin mengukuhkan betapa kebudayaan Jawa kaya akan nyanyian yang bervariasi, dari tembang asmarandana (lagu cinta), sinom, hingga kidung. Berikut adalah salah satu tembang dalam RDP. (13) Sebelum aku berkata sesuatu Srintil sudah bangkit. Bau sengak mengambang. Dan Srintil mulai melenggak-lenggok’ Kembange, kembange terong Kepengin cemerong-cerong Arep nembung akeh uwong (hlm. 389)

“//Bunganya, bunga terong/hati ingin cemerong-cerong/akan minta sesuatu tetapi banyak orang//

42 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Gaya wacana alih kode juga dimanfaatkan Tohari untuk menampilkan lagu jenaka kebanggaan para ronggeng yang dinyanyikan oleh Srintil kecil meskipun dia belum memahami maknanya. Sekaligus hal itu dimanfaatkan oleh Tohari untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa sejak kecil Srintil memang telah menunjukkan bakatnya sebagai calon ronggeng sejati. Perhatikan data (14) berikut. (14) Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak- kanakan, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe. (hlm. 11)

Data di atas menunjukkan bahwa mantra yang dipercayai masyarakat tradisional memiliki kekuatan gaib, memiliki bahasa khas. Bahasa mantra tidak dapat diganti dengan kalimat atau kata lain. Selain itu, tembang Jawa tradisi ternyata sangat beragam atau bervariasi. Di satu segi tembang Jawa tradisi indah dan sarat makna, di segi lain memiliki daya menghibur yang enak dinikmati. Keunggulannya lagi adalah tembang Jawa tradisi memiliki bahasa yang padat dan ritmis membangun musikalisasi bunyi.

SIMPULAN Dari kajian gaya wacana di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, gaya wacana dalam RDP sangat variatif, efektif, dan ekspresif. Gaya wacana dengan sarana retorika lazim dipakai untuk memperindah, menekankan, dan menghidupkan pengungkapan gagasan. Dengan sarana retorika maka wacana dalam RDP menjadi terkesan indah dan ekspresif. Gaya wacana dalam RDP meliputi gaya wacana kombinasi kalimat dengan memanfaatkan sarana retorika seperti Repetisi, Paralelisme, Koreksio, Simile, Personifikasi, Klimaks, Antiklimaks, Paradoks, dan Antitesis. Kedua, ditemukan gaya wacana alih kode dalam bahasa Jawa. Gaya wacana alih kode dalam bahasa Jawa dimanfaatkan untuk menuangkan dimensi budaya lokal Jawa di antaranya mantra (pekasih dan pemutus asmara), kidung, asmarandana, pupuh sinom, dan lagu jenaka. Gaya wacana alih kode pada mantra dan tembang Jawa tradisi meskipun frekuensi penggunaannya sedikit sangat penting fungsinya dalam RDP. Pemanfaatan mantra berkaitan dengan fungsinya untuk menciptakan setting dunia ronggeng yang tidak pernah terlepas dari mantra, upacara ritual sakral, dan kepercayaan akan roh leluhur yang dianggap memiliki kekuatan sakral. Adapun tembang Jawa tradisional difungsikan untuk menciptakan setting budaya masyarakat pedesaan Banyumas.

DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press. Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang. ______. 1995. Stilistika Pengantar dalam Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press. Altenbernd, Lynd and Lislie L. Lewis. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London: Collier-Macmillan Ltd. Bogdan, Robert C. and Sari Knopp Biklen. 1984. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen & Co Ltd. Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Junus, Umar. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kridalaksana, Harimurti. 1998. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 43

Leech, Geoffrey N. & Michael H. Short. 1984. Style in Fiction: a Linguistics Introduction to English Fictional Prose. London: Longmann. Pradopo, Rachmat Djoko. 2004. "Stilistika". Makalah dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangka PIBSI XXVI tanggal 4–5 Oktober 2004 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press. Tohari, Ahmad 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. (Edisi Baru). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.

44 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 45

RELEVANSI MEMAHAMI JARINGAN SASTRA NUSANTARA

Bani Sudardi

Abstract Indonesia literature is the part of network of Nusantara Literature. Nusantara Literature attend as cultural reality in South-East Asia region. In Nusantara Literature , there are elements of art constructor which almost there are in Nusantara by various variant of according to growth. The constructor elements divisible become 4, namely 1. local genius Constructor element 2. Constructor element stem Indian ( Hindu-Buddha 3. Constructor Element stem from Islam. These days very relevansi to open the network of art Nusantara [of] because reality of litetarure is very interconnected in this network. Indonesia Literature is not selfsupporting but standing in network which follow to develop and build it. Suppose the, network of Malay lietarure. Malay Literature disseminate outside in Nusantara with the Achenese, Minang, Java, Bali, Lombok island, Banjar, Bima, up to Ambon as a widespread network. Understanding about this Nusantara Literature network also very relevant because these days some literature will be leftby its supporter society. We will loss our very valuable spiritual heritage.

LATAR BELAKANG Sastra Nusantara adalah sebuah frasa yang menunjuk tentang karya-karya sastra dan hal terkait dengannya yang terdapat di wilayah kepulauan Asia Tenggara. Nusantara biasa digunakan untuk menunjukan kepulauan di Indonesia dan sekitarnya. Kata ini lebih bersifat netral karena tidak menunjuk suatu negara. Di wilayah kepulauan tersebut terdapat negera-negara yang memiliki kekayaan sastra seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, dan sebagainya. Sastra Indonesia adalah bagian dari jaringan sastra Nusantara ini. Sastra di wilayah ini pada umumnya memiliki persamaan-persamaan karena bersumber dari sejarah dan kebudayaan yang hampir sama selama berabad-abad. Wilayah Sumatra dan Malaysia memiliki beudaya yang sama karena selama berabad-abad berada di lingkungan budaya Melayu. Bahasa yang digunakan pun masih serumpun, bahkan sama. Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu/ Malaysia pada prinsipnya hanya terjadi perbedaan dialek. Karena alasan politik, kedua bahasa kemudian dikembangkan penuturnya sehingga terjadi perbedaan-perbedaan kosa kata yang demikian besar, tetapi secara struktural bahasa tersebut adalah sama. Karya sastra Nusantara pada umumnya memiliki bentuk dan isi yang saling berkait. Karya sastradari Sunda, Jawa, Bali, dan Lombok menunjukan adanya bentuk macapat seperti dandanggula, kinanthi, dan lain-lain. Dari segi isi, karya Melayu, Jawa, Lombok, Bugis juga memiliki kesamaan, misalnya munculnya kisah-kisah dari Parsi seperti Amir Hamzah, Syah Kobat, dan lain-lain. Di samping itu, beberapa tipe genius lokal menunjukan persamaan-persamaan. Karena itu, karya sastra di wilayah ini memang patut disebut sebagai sastra Nusantara. Suatu kajian perbandingan sastra perlu diadakan untuk memberikan gambaran tentang sastra Nusantara tersebut.

LAPIS-LAPIS HISTORIS DALAM JARINGAN SASTRA NUSANTARA Dalam sastra Nusantara, terdapat unsur-unsur pembangun sastra yang hampir terdapat dalam sastra Nusantara dengan berbagai varian sesuai perkembangan. Unsur-unsur pembangun tersebut dapat dibagi menjadi 4, yakni: 1. Unsur pembangun genius lokal 2. Unsur pembangun bersumber dari India (Hindu-Buddha). 3. Unsur pembangun bersumber dari Islam.

46 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Unsur pembangun genius lokal adalah unsur pembangun yang berasal dari lingkungan sekitar dan tidak terdapat dalam khasanah sastra di luarnya. Unsur ini adalah unsur murni budaya setempat yang terkait dengan pengalaman budaya masyarakat pendukungnya. Dalam sastra Jawa Kuna ditemukan kitab Negarakrtagama. Kitab ini mengandung unsur genius lokal karena terkait sejarah Majapahit, meskipun ditulis pada masa Hindu. Kisah Saweri Gading dari Bugis atau Hang Tuah dari Melayu adalah unsur genius lokal. Unsur bersumber dari masa Hindu-Budhha adalah unsur-unsur yang datang dari India, namun disesuaikan dengan kondisi setempat. Cerita Ramayana, Mahabharata, fabel-fabel dapat ditemukan sumbernya di India. Namun, di Nusantara disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Sebagai misal, Ramayanan di Melayu diberi judul Hikayat Seri Rama. Di dalam kisah itu, dimunculkan pertemuan Rahwana dengan Nabi Adam yang di dalam kisah India sama sekali tidak ada. Unsur-unsur pembangun dari sumber budaya Islam hampir mirip kasusnya dengan yang terjadi dengan unsur dari masa Hindu Buddha. Unsur sastra dari budaya Islam seperti dari Arab dan Parsi masuk lalu terintegrasi ke dalam sastra Nusantara. Kisah Amir Hamzah merupakan kisah dari budaya Islam Parsi yang menyebar luar di Nusantara seperti Melayu, Jawa, Bugis, Sunda, dan Lombok. Di Jawa dan Sunda, kisah itu menjadi inspirasi munculnya wayang golek yang sangat digemari.

RELEVANSI MEMBUKA JARINGAN NUSANTARA Wilayah sastra Nusantara dapat dibagi menjadi 3 wilayah dominan. Wilayah tersebut adalah: (1) wilayah terpengaruh sastra Melayu (2) wilayah terpengaruh sastra Jawa (3) wilayah di luar Melayu dan Jawa (Batak, Bugis, Dayak, Indonesia Timur).

Wilayah terpengaruh budaya Melayu adalah wilayah-wilayah di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaka. Wilayah kultural daerah tersebut adalah Jambi, Riau, Malaka, Banjar, Aceh, Minang, Kerinci, dan lain. Pengaruh Melayu terutama tampak pada bentuk-bentuk karya sastra seperti adanya pantun, syair, seloka, gurindam, dan hikayat. Dalam hal isi, seringkali cerita-cerita sama. Di Aceh terdapat sesuatu yang unik, hikayat di Aceh adalah suatu bentuk puisi, namun dalam hal isi hampir sebagian besar hikayat Melayu prosa terdapat judulnya di dalam hikayat Aceh dalam bentuk puisi. Dominasi pengaruh Melayu dipengaruhi pula oleh faktor sejarah, yakni munculnya kerajaan-kerajaan berbudaya Melayu dan dipengaruhi Islam Wilayah terpengaruh Sastra Jawa adalah wilayah Sunda, Jawa, Bali, dan Lombok. Pengaruh ini tampak dari metrum lagu macapat. Pengaruh ini didukung perjalananan sejarah bahwa Bali adalah perpanjangan Jawa dari masa Majapahit, Lombok adalah basis pasukan muslim yang gagal mengislamkan Bali pada abad ke-16. Pasukan muslim pimpinan Sunan Giri yang gagal mengislamkan Bali kemudian mengarahkan perjalanan ke Lombok dan berhasil mengislamkan Lombok yang pada mulanya wilayah yang terpengaruh sastra budaya Bali. Wilayah Sunda sejak abad ke-16 menerima Islam dari Demak melalui Fatahilah. Misi tersebut berhasil mengislamkan Sunda sementara orang- orang Sunda yang tidak mau memeluk Islam menyingkir ke pedalaman yang sekarang kita kenal sebagai orang-orang Badui. Wilayah-wilayah seperti Banten dan Cirebon adalah wilayah yang di dalamnya terdapat jejak-jejak orang Jawa pada masa Demak. Pada abad ke-17 Sunda menerima kehadiran pengaruh Mataram Islam dan melanjutkan kerja sama dalam menolak kehadiran Belanda di Jayakarta (Jakarta). Prajurit Mataram dibantu prajurit Sunda bahu membahu berjuang mengusir penjajah Belanda. Jejak-jejak prajurit Mataram yang tinggal di Sunda saat ini terdapat di daerah Indramayu, yang mana pada waktu itu prajurit Mataram dikirim ke daerah tersebut sebagai pasukan logistik yang menyiapkan beras untuk keperluan prajurit Mataram. Interaksi Sunda Jawa tersebut menjadi demikian kental sehingga sampai saat ini metrum- metrum Jawa sangat dikenal di Sunda. Dari segi isi, karya-karya sastra Sunda juga banyak mengadopsi Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 47

karya-karya Sastra Jawa seperti dalam hal cerita wayang, cerita zaman Islam, dan tembang-tembang macapat. Pada abad ke-18-19, Jawa merupakan kiblat bagi sastra Sunda. Pembagian wilayah tersebut merupakan suatu skema belaka dan di dalamnya tentu masih terdapat tumpang tindih dan ketidakpastian. Namun, skema seperti itu tetap diperlukan untuk menyusun gambaran global dalam membuat deskripsi yang umum tentang sastra Nunsatara. Wilayah yang sedikit terpengaruh budaya Melayu dan Jawa terdapat di berbagai daerah. Wilayah budaya Batak, meskipun interaksinya sangat dekat dengan budaya Melayu, ternyata memiliki karakter sendiri baik dalam hal bentuk maupun isi. Budaya Batak tidak didominasi bentuk pantun-syair. Dalam hal tulisan, budaya Batak menggunakan tulisan sendiri yang dikembangkan dari tulisan palawa. Sedikit ditemukan unsur-unsur Islam dalam budaya Batak. Di samping Batak, Bugis juga merupakan wilayah yang memiliki karakter sendiri. Meskipun budaya Bugis dipengaruhi budaya Islam dan banyak mengadopsi kisah-kisah dari Melayu, namun pengaruh budaya Melayu tidak sangat mendalam. Beberapa tokoh dari Bugis menjadi tokoh utama pengembang sastra Melayu seperti Raja Ali Haji. Kemandirian Bugis karena dalam sejarah budaya Bugis, terdapat kerajaan-kerajaan yang cukup kuat dan mengembangkan sendiri budayanya. Wilayah lain di luar budaya Melayu dan Jawa adalah wilayah-wilayah Dayak dan Indonesia Timur, khususnya Papua atau Irian. Wilayah ini memiliki karakter sendiri dalam hal sastra dan pada umumnya didominasi sastra lisan. Sementara Maluku, merupakan wilayah berbudaya Melayu karena di sini pernah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang dipengaruhi budaya Melayu

JARINGAN SASTRA NUSANTARA Sastra Nusantara memiliki jaringan tertentu. Sebagai misal, jaringan sastra Melayu. Sastra Melayu adalah sastra berbahasa Melayu. Sastra ini menyebar luar di Nusantara dengan jangkauan dari Aceh, Minang, Jawa, Bali, Lombok, Banjar, Bima, sampai dengan Ambon. Sastra Melayu berpusat di Sumatra dan Malaysia. Kerajaan-kerajaan besar seperti Aceh, Bintan, dan Malaka merupakan kerajaan yang mendukung perkembangan budaya Melayu. Jenis-jenis sastra Melayu memiliki pegaruh besar seperti: pantun, syair, hikayat, dan gurindam. Gurindam 12 adalah karya sastra Melayu oleh Raja Ali Haji yang sangat berpengaruh terhadap budaya sprirital karena gurindam ini merupakan bentuk pandangan hidup Melayu muslim. Sastra Melayu juga dipengaruhi budaya Hindu-Buddha dari India. Karya sastra Melayu juga ditampilkan dalam bentuk wayang Melayu. Perlu dijelaskan di sini bahwa pengertian masyarakat Melayu ini meliputi masyarakat yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan sehari- hari. Secara geografis masyarakat Melayu ini terdapat di antaranya di Semenanjung Malaka (Malaysia), Sumatra, Jawa (Betawi), Ambon, Kalimantan (Banjar, Brunei), dan sebagainya. Waktu mulai dikenalnya cerita wayang di masyarakat Melayu tidaklah dapat dtentukan secara pasti. Dalam prasasti Nalanda dari tahun 860, Balaputradewa, raja Sriwijaya dibandingkan dengan tokoh-tokoh Pandawa. Prasasti tersebut berbunyi sebagai berikut: “Beliau seorang kesatria di tengah medan pertempuran, Yang kegagahannya setara Yudhistira, Parasyara, Bhimasena dan Arjuna” (Braginsky, 1998:97). Data ini menunjukkan bahwa setidaknya penulis prasasti beranggapan bahwa tokoh yang dipuji (Balaputradewa) mengenal juga tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata tersebut. Namun, cara mereka mengenal cerita tersebut dalam aneka bentuknya belum jelas benar. Mahabharata versi Melayu dengan judul Hikayat Pandawa Jaya muncul tidak lebih awal dari akhir abad ke-14 (Braginsky, 1998:97). Pada umumnya, cerita wayang Melayu merupakan cerita yang sudah diolah oleh masyarakat muslim Melayu, untuk orang muslim, dan menghormati Islam (Sweeney, 1987:26). Dewasa ini, wayang di masyarakat Melayu menunjukkan variasi tergantung lingkungan sosial budaya tempat mereka berada. Berikut dijelaskan jenis-jenis wayang yang ada di masyarakat Melayu. Melayu Malaysia yang ada di Semenanjung Malaka merupakan wilayah yang selama abad ke-13- 14 secara politis dan kultural dipengaruhi oleh Jawa-Majapahit. Karena itu, wayang kulit dari Jawa

48 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

pernah populer di Malaysia di masa lalu sehingga cerita wayang, khususnya Ramayana sangat dikenal di Malaysia (Brandon, 1967:56). Dalam kebudayaan Melayu, khususnya di Semenanjung Malaka, dikenal adanya tiga jenis wayang, yakni wayang Melayu, wayang Jawa, dan wayang Siam.

JARINGAN SASTRA JAWA Sastra Jawa merupakan kesastraan yang memiliki jaringan luas. Sastra Jawa adalah jenis sastra yang menggunakan bahasa Jawa. Perkembangan bahasa Jawa sendiri terdiri dari 3 jenis, yaitu Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Modern. Di Indonesia, sastra Jawa termasuk jenis sastra yang tua yang berlangsung dalam kurun waktu ratusan tahun. Sastra Jawa berkembang didukung oleh kerajaan-kerajaan besar sehingga memiliki pengaruh yang cukup luas di Nusantara. Periodisasi sastra Jawa dapat dibagi menjadi 3 tahap: 1. Sastra Jawa Kuna 2. Sastra Jawa Tengahan 3. Sastra Jawa Baru

Sastra Jawa Kuna adalah sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa Kuna. Pada umumnya pengaruh India sangat kental. Sastra Jawa Kuna diperkirakan berkembang mulai abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Hindu dengan karya-karya besar seperti Ramayana dan Mahabharata. Relief Ramayana dari masa ini juga dipahatkan dengan indah di Candi Prambanan. Sastra Jawa Kuna berlangsung sampai dengan masa kejayaan Majapahit. Jenis Sastra yang muncul didominasi karya kakawin yang merupakan pengaruh dari India (Hindu-Buddha) Sastra Jawa Tengahan adalah sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Masa berlangsungnya sejak akhir zaman Majapahit (abad ke-16) sampai dengan awal kerajaan Demak (abad ke-16). Karya yang muncul merupakan ekspresi asli Jawa. Karya yang muncul adalah jenis kidung. Pada masa ini muncul cerita Panji. Sastra Jawa Baru muncul pada masa akhir kerajaan Demak (abad ke-17) samai dengan saat ini. Karya yang muncul berupa karya-karya bermetrum macapat. Sebagian besar karya-karya macapat muncul di masa kerajaan Mataram dan didominasi pengaruh Islam Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan. Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno. Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali. Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel colin makenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno. Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 49

bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi. Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11. Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11..

SASTRA NUSANTARA DI AMBANG BAHAYA Sebuah ilustrasi perkembangan Sastra Lampung yang diambang bahaya. Sastra Lampung merupakan sastra yang berbeda dengan sastra lain. Sastra Lampung memiliki ciri-ciri umum yang sama dengan sastra daerah, yaitu berbahasa daerah (Bahasa Lampung) dan berlatarkan kebudayaannya (budaya Lampung). Sastra Lampung terdapat dua jenis yaitu sastra lisan dan tulis. Sastra tulis Lampung ditulis dengan menggunakan aksara Lampung, atau dalam bahasa Lampung sendiri lebih dikenal dengan istilah “Kelabai Surat Lampung”.Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Masalah yang terjadi di sastra Lampung ialah keadaan pendukung sastra tersebut. Perkembangan sastra Lampung sebenarnya bertumpu pada penduduk Lampung sendiri. Menjadi permasalahan saat ini adalah sedikitnya orang Lampung yang masih bertahan pada bahasanyanya sendiri. Saat ini, lebih banyak orang Lampung yang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa. Padahal, bahasa merupakan tumpuan utama dalam bidang sastra. Hal itu yang menyebabkan sastra Lampung kurang menyebar dan berkembang. Komunitas Lampung yang relatif masih homogen hanya di sekitar Lampung Utara (Kotabumi). Apa yang dialami sastra Lampung hanyalah comth kecil tentang eksistensi sastra Nusantara yang dalam keadaan bahaya. Eksistensi Sastra Nusantara dewasa ini memang di ambang bahaya. Bahaya pertama dari lenyapnya sastra adalah lenyapnya bahasa Nusantara. Bahasa di Nusantara saat ini hampir semua mengalami penuturan jumlah penutur. Secara politik, adanya bahasa nasional memang menguntungkan persatuan dan kesatuan. Namun, secara kultural banyak generasi muda daerah tidak mampu lagi berbahasa daerah dengan baik. Memasukan bahasa daerah sebagai mulok (muatan lokal kurikulum) ternyata juga bukan barang ampuh untuk menyelamatkan bahasa dan sastra Nusantara. Di berbagai tempat, pelajaran bahasa daerah adalah momok yang menakutkan. Orang tua yang ditanya tentang materi bahasa dan sastra daerah ternyata sama bingungnya. Tradisi sastra Nusantara seperti pantun dan syair di Melayu, macapat di Jawa, mababasan di Bali, papaosan di Lombok perlahan namun pasti mulai ditinggalkan masyarakat. Hampir semua jenis sastra Nusantara mengalami penurunan peminat. Tokoh-tooh idola seperti Hang Tuah, Gatotkaca, Sawerigading mulai digeser oleh Doraemon, Poweranger, atau bintang sinetro melankonis dari Korea. Parahnya lagi, beberapa sinetron yang mengangkat cerita sasra Nusantara ternyata melakukan “kebohongan publik” dengan mengubah cerita lepas dari ide pokok seperti yang terlihat dari cerita Misteri Gunung Merapi, Kiang Santang, ataupun Opera van Java..

SIMPULAN DAN SARAN Demikian gambaran eksistensi sastra Nusantara dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Kita melihat bahwa sastra pada tiap-tiap suku bangsa memang berbeda-beda. Beberapa suku bangsa tidak memiliki tradisi sastra tulis sementara beberapa suku bangsa kayadengan tradisi sastra tulis.

50 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Sastra Nusantara memang beragam dari segi bentuk dan isinya. Hal tersebut juga mencerminkan sejarah perkembangan peradapan serta interaksi yang pernah terjadi secara intens di masa lalu. Sastra Nusantara di bagian Indonesia bagian Barat banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu, Buddha, dan Islam sementara sastra Nusantara di bagian timur Indonesia didominasi mitos- mitos dan khas serta sedikit sentuhan perkembangan agama Kristen. Gambaran sastra Nusantara yang diberikan ini masih merupakan gambaran yang amat terbatas dan belum mencakup secara detail karya sastra Nusantara secara keseluruhan. Berbagai kelompok masyarakat seperti Nias, Ambon, Bima, Flores/ Ngada, belum muncul dibicarakan orang. Sementara itu, kelompok masyarakat di Kalimantan dan Papua sebenarnya terdiri dari beragam suku yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA . 1986. Cerita Panggung Karaton: Cerita Pantun Sunda. Jakarta: Depdikbud. Bagus, I Gusti Ngurah. 1984. Bali dalam Kajian Sosial. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bakar, Jamil. 1979. Kaba Minangkabau 1. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bakar, Jamil. 1979. Kaba Minangkabau 2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bentuk Sastra Lisan Adat Jambi Dalam buku pedoman Lembaga Adat Propinsi Jambi (2003) Bondan, Amir Hasan. 1955, Suluh Sejarah Kalimantan, Penerbit Fajar; Banjarmasin. Depdikbud 1986. Mundinglaya Di Kusumah: Cerita Pantun Sunda. Jakarta: Depdikbud. Depdikbud 1987. Carita Budak Manjor: Pantun Sunda. Jakarta: Depdikbud. Depdikbud (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah). 1978. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta : Balai Pustaka Depdikbud (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah). 1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta : Balai Pustaka Depdikbud (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah ). 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat (Mite dan Legenda). Jakarta : Balai Pustaka Depdikbud . 1987. Cerita Lutung Leutik: Pantun Sunda. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 1997. Budaya dan Seni Minangkabau. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka Djasepudin. 9 Januari 2008. Religius Islam dalam Sastra Sunda. http://sundaislam. wordpress.com/. 2008/01/09/religius-islam-dalam-sastra-sunda/. (Jumat, 23 Oktober 2009, 4:46 PM) Edi S. Ekadjati,dkk. 1983. Naskah Sunda Lama Kelompok Cerita. Jakarta: Depdikbud. Fachruddin A.E., dkk. 1981. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Hasan Mustapa, R.H. 1985. Adat Istiadat Orang Sunda. Bandung: Penerbit Alumni. Karzi, Udo. Z. 2002. Puisi Lampung Pesisir: Momentum. Lampung:Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Sanusi, A. Effendi. 1996. Sastra Lisan Lampung Dialek Abung. Bandar Lampung: Gunung Pesagi. Muh. Naim Haddade. 1986. Ungkapan, Peribahasa dan Paseng Sastra Bugis. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Proyek Penerbitan Buku SastraIndonesia dan Daerah. Nawas Zukri dkk. 979. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta: Poyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Nawas Zukri, dkk. 1982. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Nuarca, Ketut. 1986. Geguritan Ni Sumala. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 51

Nurhayati, Rahman. 1999. Antologi Sastra Daerah Nusantara. Jakarta : yayasan Obor Indonesia. Parametha, Komang. 1979. Kajian Nilai Sastra Bali. Direktorat Jendral Kebudayaan : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud. 1978. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta : Balai Pustaka Sanusi, A. Effendi et al. 1996. Struktur Puisi Lampung Dialek Abung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sanusi, A. Effendi et. 1984. Upacara Tradisional Lampung . Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Sanusi, A. Effendi et.1978. Adat Istiadat Daerah Lampung . Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Sanusi, A. Effendi. 1999. Sastra Lisan Lampung. Bandar Lampung: Buku Ajar FKIP Unila. Sastra Lisan Dayak. 1976/1977. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan, Departemen P & K, Banjarmasin. Team Pelaksana / Penyusunan naskah. 1981. Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Team Pelaksana / Penyusunan naskah. 1981. Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

52 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 53

MENJAGA INTEGRASI NASIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA YANG BERORIENTASI INTEGRASI NASIONAL DAN HARMONI SOSIAL

I Nengah Suandi Universitas Pendidikan Ganesha

Abstract Indonesian language as one of the languages in the world not only functions as a means of communication, but also as a means for developing thinking capacity, building cooperation, and maintaining cooperation among its speakers. The problem, however, is that there have recently been some issues related to national integrity and social harmony faced by Indonesia. Based on the rationale, the research problem that is investigated in this paper is how is the procedure of maintaining national integrity through Indonesian language learning which is national integration and social harmony-- oriented. Based on the library research conducted, it can be inferred that attempt to maintaining national integration through national integration and social harmony--oriented Indonesian language learning can be done in three wsys: (1) developing Indonesian language learning materials by providing content related to the history of Indonesian language; (2) developing Indonesian language learning materials which contain an account for the position and functions of bahasa Indonesia; (3) developing Indonesian language learning materials which contain an account for politeness in language use.

Keywords: Indonesian language learning, national integration and social harmony.

PENDAHULUAN Bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi tidak seorang pun yang menyangkalnya. Namun, lebih dari itu, bahasa juga berfungsi sebagai pengembang akal budi, pembentuk kerja sama, dan pemelihara kerja sama di antara penuturnya (Sudaryanto, 1990). Bahkan, perbenturan sosial sering dapat diselesaikan melalui bahasa. Sejalan dengan fungsi bahasa di atas, bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa di dunia, tentu tidak semata-mata berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga berfungsi sebagai pengembang akal budi, pembentuk kerja sama, dan pemelihara kerja sama di antara penutur bahasa Indonesia, yang beragam etnis. Oleh karena itu, sebagai sebuah bangsa yang besar, yang terdiri atas berbagai suku, agama, ras, adat istiadat, dan bahasa daerah, sepatutnyalah kita merasa bersyukur karena telah memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus sebagai bahasa negara. Bangsa Indonesia juga patut bersyukur karena dari tiga ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang masih belum digoyang hingga saat ini adalah ikrar ketiga yang berkaitan dengan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional (Cf. Dardjowidjojo, 2008:7). Tidak bisa dibayangkan bagaimana NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bisa terwujud dan bertahan seperti adanya saat ini tanpa adanya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang telah mampu mewujudkan jiwa persatuan dan akhirnya dengan modal persatuan pulalah, bangsa Indonesia dapat melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Persoalannya adalah belakangan ini integrasi nasional dan harmoni sosial telah menimpa bangsa Indonesia. Serentetan peristiwa yang mengarah pada gejala disintegrasi nasional atau gejala rapuhnya jiwa persatuan dan kesatuan telah mewarnai kehidupan bangsa belakangan ini. Hal ini antara lain tampak dari adanya konflik antaretnis maupun adanya keinginan beberapa wilayah di Indonesia untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah Indonesia. Penelitian informal yang dilakukan Anwar (2008:11), pada kasus konflik sosial di Sampit menunjukkan bahwa 80% dari 20 responden warga Dayak menyatakan ketidaksukaan mereka pada warga Madura dari penggunaan bahasa daerah mereka yang sangat kental. Hal yang sama juga berlaku terhadap cara pandang warga etnik

54 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Makasar pada etnik Tionghoa, yang menunjukkan lebih dari 70% menganggap perbedaan utama, antara etnik Makasar dan etnik Tionghoa, terletak pada bahasa mereka. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana upaya menjaga integrasi nasional melalui pembelajaran bahasa Indonesia yang berorientasi integrasi nasional dan harmoni sosial. Moeliono (1998:335) mengatakan bahwa integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Integrasi nasional dapat diartikan suatu proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional.

UPAYA MENJAGA INTEGRASI NASIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA YANG BERORIENTASI INTEGRASI NASIONAL DAN HARMONI SOSIAL Dalam upaya menjaga integrasi nasional melalui pembelajaran bahasa Indonesia, yang berorientasi integrasi nasional dan harmoni sosial, pada garis besarnya, ada tiga cara yang dapat ditempuh seperti dikemukakan berikut ini.

2.1 Pengembangan Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pemberian Materi Sejarah Bahasa Indonesia Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang pendidikan dasar dan menengah belakangan ini, materi pelajaran sejarah bahasa Indonesia amat jarang atau bahkan hampir tidak pernah diberikan oleh guru. Hal ini antara lain tercermin dari ketidakmampuan mereka menjawab pertanyaan seputar alasan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa nasional serta kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia ketika mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Padahal, materi sejarah bahasa Indonesia yang antara lain menyangkut pertimbangan diangkatnya bahasa Melayu (salah satu bahasa daerah di Indonesia) menjadi bahasa nasional maupun kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia amat penting artinya dalam rangka menumbuhkembangkan jiwa nasionalisme sebagai modal menjaga integrasi nasional. Melalui pemberian materi pertimbangan diangkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, siswa sebagai generasi penerus bangsa, akan mengetahui, memahami, dan menghayati apa kelebihan atau keistimewaan bahasa Melayu yang sekarang menjadi bahasa Indonesia. Dua pertimbangan penting diangkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa nasional yang terkait dengan topik tulisan ini adalah faktor historis dan faktor psikologis (Cf. Suharianto, 1981; Badudu; Moeliono, 2000). Secara historis, terbukti bahwa bahasa Melayu sejak lama yaitu sejak zaman kerajaan Sriwijaya sudah menjadi bahasa perhubungan antaretnis di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh para pedagang kerajaan Sriwijaya pada masa itu. Secara psikologis, suku Jawa yang paling besar jumlah penduduknya di Indonesia pada masa itu maupun pada masa sekarang, dengan ikhlas menerima bahasa Melayu menjadi bahasa nasional semata-mata demi segera terwujudnya persatuan sebagai modal untuk mengusir penjajahan demi kemerdekaan Indonesia. Jadi, sejarah telah mencatat betapa ampuhnya bahasa Indonesia dalam menumbuhkan jiwa persatuan bagi seluruh warga negara Indonesia. Sangat kita sayangkan jika banyak generasi muda Indonesia yang tidak mengetahui fakta ini karena tidak diajarkannya materi sejarah bahasa Indonesia dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

2.2 Pengembangan Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pemberian Materi Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia Melalui materi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, para siswa akan mengetahui lebih jauh bagaimana menggunakan bahasa Indonesia dalam rangka pembentukan integrasi nasional. Kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dikaitkan dengan bahasa yang bersangkutan, sedangkan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian atau peranan bahasa yang bersangkutan dalam masyarakat pemakainya (Halim, 1980; Alwi dan Sugono, 2003). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 55

Bahasa Indonesia menyandang dua kedudukan, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Kedudukan sebagai bahasa nasional ini disandang oleh bahasa Indonesia sejak di- cetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Hasil perumusan Seminar Bahasa Nasional (Jakarta, 25--28 Februari 1975), yang kemudian dikukuhkan dalam Seminar Politik Bahasa (Cisarua, Bogor, 8--12 November 1999), antara lain, menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional berkaitan erat dengan fungsinya yang ketiga, yaitu sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, dan bahasa daerah yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat, bersatu dalam cita-cita dan rasa nasib yang sama. Dalam hubungan dengan hal ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial, budaya, dan latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Malahan lebih daripada itu, dengan bahasa nasional itu, bangsa Indonesia dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah dan golongan. Latar belakang sosial budaya dan latar belakang bahasa daerah yang berbeda-beda itu tidak pula menghambat adanya perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Berkat adanya bahasa nasional, mereka (masyarakat yang berbeda-beda latar belakang etnis, budaya, dan bahasa daerah) dapat berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang itu tidak perlu dikhawatirkan. Setiap orang dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di tanah air ini dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu- satunya alat komunikasi. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan integrasi nasional adalah memberdayakan fungsi politis bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa dan sebagai bahasa perhubungan antar budaya dan antaretnis (sesuai dengan salah satu fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional) melalui jalur pendidikan formal, yaitu melalui pembelajaran Bahasa Indonesia baik pada jenjang pendidikan tinggi maupun pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini sejalan dengan pendapat Halim (1978:7) yang menyatakan bahwa untuk menanamkan sikap setia bahasa, bangga bahasa, dan sadar akan norma-norma bahasa, jalan yang harus ditempuh adalah melalui pendidikan bahasa yang pelaksanaannya didasarkan atas azas-azas pembinaan kaidah dan norma bahasa di samping norma-norma sosiolinguistik dan norma-norma budaya di dalam masyarakat pemakai bahasa bersangkutan. Dengan pengembangan materi pembelajaran kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, logikanya bisa dihasilkan lulusan yang tidak hanya terampil dalam berbahasa Indonesia secara lisan maupun secara tertulis baik di lingkungan masyarakat sekolah, terutama dalam melaksanakan tugas mengajar, maupun dalam lingkungan masyarakat luar sekolah, tetapi sekaligus mampu menunjukkan sikap dan perilaku berbahasa yang mengarah pada terwujudnya integrasi nasional dan harmoni sosial. Dalam kaitannya dengan penggunaan dialek, patut kita sadari betapa banyaknya dialek yang ada dan digunakan dengan setia oleh setiap penuturnya. Setiap etnis di Indonesia memiliki dialek masing- masing, yang dengan sadar atau tidak tetap digunakan, dibanggakan, dan dihormati oleh masing- masing etnis. dan tetap digunakan yang tidak menghina dialek etnis lain atau menghina idiolek seseorang. Sadar akan hal ini, sudah sepatutnya perlu ditumbuhkembangkan sikap saling menghormati semua dialek yang ada di Indonesia dan tidak sebaliknya malah menghina dialek etnis lain ketika berkomunikasi. Di samping menghormati dialek orang lain, setiap penutur dari etnis mana pun hendaknya tidak menggunakan dialeknya jika berkomunikasi antaretnis karena hal ini bisa mengandung sekaligus mengundang ketersinggunan bagi lawan tutur yang berbeda etnis tersebut.

56 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Dalam konteks pembicaraan yang bersifat nasional atau dalam pembicaraan lintas etnis, sebaiknya digunakan ragam bahasa Indonesia standar atau ragam bahasa Indonesia baku. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi bahasa baku sebagai alat pemersatu berbagai etnis.

2.3 Pengembangan Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pemberian Materi Kesantunan Berbahasa Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka menjaga integrasi nasional adalah melalui pemberian materi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi maupun pada jenjang pendidikan di bawahnya sebagai upaya menjaga integrasi nasional dan harmoni sosial. Mengapa digunakan teori kesantunan karena tujuan kesantunan adalah menjaga hubungan sosial yang harmonis (Gunarwan, 2007:164). Selama ini, teori kesantunan berbahasa, yang merupakan salah satu bidang garapan pragmatik boleh dikatakan tidak mendapatkan perhatian dalam dunia pembelajaran Bahasa Indonesia padahal kesantunan bahasa sangat besar kontribusinya dalam mewujudkan integrasi nasional dan harmoni sosial atau dalam rangka menghindari konflik antarmanusia. Mungkin karena hal tersebut, sering mahasiswa berbahasa tidak santun dengan dosen. Prof. Dr. Gede Sedanayasa, M.Pd. (2014), salah seorang dosen Bimbingan Konseling di Universitas Pendidikan Ganesha, misalnya, pernah menyampaikan keluhan sekaligus kritiknya kepada penulis berkaiatan dengan kelemahan pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di perguruan tinggi. Beliau bertanya kepada penulis Apa yang tidak beres dalam pembelajaran bahasa Indonesia selama ini; kok saya sering mendapat pesan SMS berbunyi ”Apakah hari ini Bapak pergi ke kampus? Tolong dibalas”. Secara gramatikal, kedua kalimat tersebut tergolong baku. Namun, kedua kalimat tersebut tergolong tidak santun karena ternyata dapat menimbulkan ketersinggungan pada pihak dosen. Secara pragmatis, kalimat (1) mengandung maksud bahwa dosen tersebut tergolong dosen malas padahal yang bersangkutan pernah dipercaya sebagai dosen teladan di tingkat Universitas Udayana ketika Universitas Pendidikan Ganesha masih bergabung dengan Universitas Udayana. Kalimat kedua lebih tidak santun karena kesannya memerintah dosen. Kedua kalimat tersebut membuat dosennya tersinggung dan menuding bahwa hal ini merupakan kegagalan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia di lembaga pendidikan yang menggunakan pendekatan pragmatik dan berlandaskan kesantunan berbahasa sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budaya, siswa/mahasiswa tidak hanya dituntut terampil berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi juga mampu membuahkan sikap dan perilaku yang mengarah pada terwujudnya kerukunan dan keharmonisan hubungan antaretnis, antarumat agama, maupun antargolongan sebagai dasar pembentukan integrasi nasional/bangsa dan harmoni sosial. Dikatakan demikian karena untuk dapat berkomunikasi dengan baik, pembicara tidak cukup menguasai kaidah-kaidah linguistik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah kaidah-kaidah sosial dan budaya (Cf. Hymes, 1971). Kaidah linguistik hanya memberikan kebenaran terhadap pemakaian bahasa menurut gramatikanya, sedangkan kaidah sosial dan budaya akan memberikan ketepatan pemakaian bahasa menurut konteks sosial dan budaya (Tantra, 2002:30). Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, siswa atau mahasiswa perlu diberikan materi prinsip kesantunan berbahasa yang menurut Leech dalam Muslich (2006) harus memerhatikan empat prinsip. Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan (kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatian) kepada orang lain dan (bersamaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 57

Berkut ini contoh yang memperlihatkan bahwa si A mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang baru saja lulus magister dengan predikat cumlaude dan tepat waktu, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri. A: Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal. B: Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaude.

Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu. Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu yang menjijikkan, serta kata-kata "kotor" dan "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung. 1. Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak! 2. Mohon izin Bu, saya ingin kencing.

Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme, seperti berikut. 1. Pak, mohon izin sebentar, saya mau buang air besar. Atau, yang lebih halus lagi, 2. Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil. Atau, yang paling halus: 3. Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.

Yang perlu diingat adalah eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, melainkan justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan oleh para pejabat. Kata "miskin" diganti dengan "prasejahtera", "kelaparan" diganti dengan "rawan pangan", "penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan" diganti "diamankan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian ketidaksantunan berbahasa. Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa), tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi daripada pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata sapaan diri engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seorang pemuda menanyai seorang pria yang lebih tua. (1) Engkau mau ke mana? (2) Saudara mau ke mana? (3) Anda mau ke mana? (4) Bapak mau ke mana?

58 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4)-lah yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4). Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur.

PENUTUP Dari pembahasa di atas, dapatlah disimpulkan bahwa dalam upaya menjaga integrasi nasional melalui pembelajaran bahasa Indonesia, yang berorientasi integrasi nasional dan harmoni sosial, pada garis besarnya, dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) pengembangan materi pembelajaran bahasa Indonesia dengan pemberian materi sejarah bahasa Indonesia, (2) pengembangan materi pembelajaran bahasa Indonesia dengan pemberian materi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, dan (3) pengembangan materi pembelajaran bahasa Indonesia dengan pemberian materi kesantunan berbahasa.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, Ahyar. 2008. Bahasa Indonesia dan Realitas Indonesia. Makalah Disampaikan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Tanggal 28 Oktober s.d.1 November 2008 di Jakarta Badudu, J. S. 1993. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima. Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. “River Side Estate atau Perumahan Pinggir Kali” dalam Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo. Jakarta: Pusat Data dan Analisis Tempo Gunarwan, Asim. 2007.”Implikatur dan Kesantunan Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk” dalam PELBBA 18.Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya UNIKA Atma Jaya Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik: Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Universitas Atma jaya Halim, Amran. 1980. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia (dalam Halim [ed.]). Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. Hassan Alwi dan Dendy Sugono [ed.]). 2000.Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas. Hymes, D.H. 1971. Kompetensi Komunikatif (terjemahan). New Jersey: Academic Press Muslich, Masnur. 2006. Kesantunan Berbahasa: http://researchengines.html.com/artikel.html Sudaryanto, 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa.Yogyakarta: Duta Wacana University Suharianto, S. 1981. Kompas Bahasa: Pengantar Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Surakarta: Widya Duta. Tantra, Dewa Komang. 2002. Imperialisme Linguistik Bahasa Nasional dan Asing terhadap Bahasa Minoritas: Implikasinya pada Perencanaan dan Sistem Pengujian Bahasa (Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja, tanggal 21 September 2002)

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 59

BERBAGAI PRINSIP TINDAK TUTUR YANG DAPAT MENCIPTAKAN KOHESI SOSIAL

I. Praptomo Baryadi Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Email: [email protected]

Abstract This paper discusses the various principles of speech act that can create social cohesion. In accordance with communication process, the principle of speech acts can be divided into two types, namely the principle of message delivery and receipt of messages principles. The principle of delivering a message that is presented (i) the principle of performative speech act of JL Austin and John R. Searle, (ii) the principle of cooperation of HP Grice, (ii) the principle of speaking courtesy of Geoffrey N. Leech and Soepomo Poedjosodarmo, (iii) the principle of non-violent communication of Marshall B. Rosenberg, (iv) the principle of effective communication of Deborah Tannen, and (v) the principles of rhetoric textual of Geoffrey N. Leech. The principles of receipt of the message is the principle of empathic listening Stephen R. Covey and Marshall B. Steinberg. Those principles were reduced to the principle of contextual, logical principles, ethical principles, and empatic principles.

Keywords: speech act, social cohesion, the principle of speech act, communication

1. PENDAHULUAN Bagi manusia, bahasa mengemban dua fungsi utama. Pertama, bahasa berfungsi untuk melambangkan dunia seisinya, baik dunia manusia itu sendiri maupun dunia alam semesta. Fungsi ini sering disebut fungsi referensial atau fungsi representasional. Kedua, bahasa mengemban tugas sebagai sarana untuk menjalin hubungan manusia dengan sesamanya. Fungsi bahasa ini dinamakan fungsi komunikatif. Komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai sarananya ini disebut komunikasi verbal. Dalam perwujudannya, kedua fungsi itu saling berkaitan. Perwujudan fungsi referensial menjadi syarat terwujudnya fungsi komunikatif. Karena melambangkan suatu hal, bahasa dapat digunakan sebagai wahana komunikasi karena yang menjadi dasar komunkasi adalah penyampaian hal yang terlambangkan dalam bahasa itu (pesan) dari pengirim kepada penerimanya. Demikian pula terwujudnya fungsi komunikatif bahasa mengandaikan fungsi referensial bahasa telah terwujud. Dengan bahasa sebagai wahana komunikasi, manusia dapat menjalin hubungan dengan sesamanya. Dengan berhubungan, manusia dapat saling memahami dan dengan saling memahami, manusia dapat bekerja sama. Dengan bekerja sama itu, terciptalah keeratan dan keselarasan relasi antaranggota masyarakat atau kohesi sosial. Dengan demikian, bahasa merupakan sarana untuk menciptakan kohesi sosial. Agar bahasa dapat mengemban fungsi referensial, diperlukan prinsip-prinsip atau kaidah penggunaan bahasa untuk melambangkan suatu hal. Oleh sebab itu, dirumuskanlah kaidah bahasa atau tata bahasa. Demikian pula agar bahasa dapat menjalankan fungsi komunikatifnya, dibutuhkan prinsip-prinsip penggunaan bahasa untuk menciptakan kohesi sosial. Prinsip-prinsip semakin diperlukan karena pada kenyataannya pemakaian bahasa sebagai sarana komunikasi tidak selalu sesuai dengan fungsi hakikinya sebagai pencipta kohesi sosial. Tulisan ini bermaksud mengungkapkan prinsip-prinsip penggunaan bahasa yang dapat menciptakan kohesi sosial yang telah dirumuskan oleh para ahli linguistik dan oleh ahli ilmu lain yang bersinggungan dengan linguistik. Sesuai dengan dua kegiatan penting dalam proses komunikasi verbal, yaitu penyampaian pesan oleh penutur dan penerimaan pesan oleh mitra tutur, prinsip tindak tutur yang dipaparkan dalam tulisan ini mencakup prinsip penyampaian pesan dan prinsip

60 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

penerimaan pesan. Hal ini disebabkan penciptaan kohesi sosial amat ditentukan oleh kedua perbuatan komunikatif tersbut.

2. PRINSIP PENYAMPAIAN PESAN Prinsip penyampaian pesan dibedakan menjadi (i) prinsip tindak tutur performatif dari J.L. Austin dan John R. Searle, (ii) prinsip kerja sama dari H.P. Grice, (ii) prinsip sopan santun berbahasa dari Leech dan Soepomo Poedjosodarmo, (iii) prinsip komunikasi nirkekerasan (KNK) dari Marshall B. Rosenberg, (iv) prinsip komunikasi yang Efektif dari Deborah Tannen, dan (v) prinsip retorika tekstual dari Geofrey N. Leech .

2.1 Prinsip Tindak Tutur Performatif dari J.L. Austin dan John R. Searle Prisip tindak tutur performatif dikemukakan oleh J.L. Austin dalam bukunya yang berjudul How To Do Things With Words (1962). Buku tersebut merupakan kumpulan bahan ceramah yang disampaikan oleh J.L. Austin dalam “The William James Lectures” di Havard University pada tahun 1955. Austin (1962: 98-99) menjelaskan bahwa pada waktu seseorang mengatakan sesuatu sebenarnya orang itu juga melakukan sesuatu. Ketika seseorang mengucapkan kata kerja promise ‘berjanji’, apologize ‘minta maaf’, name ‘menamai’, pronounce ‘menyatakan’ dalam tuturan I promise I will come on time ‘Saya berjanji saya akan hadir tepat waktu’, I apologize for coming late ‘Saya mohon maaf karena datang terlambat’, I name this ship Elisabeth ‘Saya menamai kapal ini Elizabeth, orang itu tidak hanya mengatakan tuturan tersebut, tetapi juga melakukan perbuatan berjanji, memohon maaf, dan memberi nama. Tindak tutur tersebut dinamai tindak tutur performatif, tuturannya merupakan tuturan performatif, dan kata kerja yang digunakan adalah kata kerja performatif. Selanjutnya, teori tindak tutur performatif itu dikembangkan oleh murid Austin, yaitu John R. Searle. Dalam karyanya yang berjudul “Indirect Speech Act” (1975), Searle menyatakan bahwa semua tindak tutur pada dasarnya tindak tutur performatif dan bukan hanya tindak tutur yang menggunakan kata kerja performatif karena semua tindak tutur mengandung perbuatan. Austin (1962: 108-109) membedakan tindak tutur menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak illokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perllocutionary act).. Tindak lokusi berkenaan dengan melakukan perbuatan untuk mengatakan sesuatu atau perbuatan mengungkapkan sesuatu. Tindak illokusi berkaitan dengan melakukan perbuatan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu atau perbuatan mengungkapkan maksud tertentu. Tindak tutur perlokusi bersangkutan dengan melakukan perbuatan tertentu dengan mengungkapkan sesuatu atau perbuatan mempengaruhi orang lain. Setiap tindak tutur mengandung tiga jenis tindak tutur tersebut. Dengan kata lain, setiap tindak tutur pada dasarnya adalah megungkapkan sesuatu, melakukan sesuatu atau mengungkapkan maskud tertentu, dan mempengaruhi orang lain atau memberikan dampak kepada orang lain. Berdasarkan teori tersebut, dapatlah dirumuskan prinsip melakukan tindak tutur sebagai berikut. Prinsip melakukan tindak tutur menganjurkan agar penutur mempertimbangkan apa yang dikatakan, maksud yang diungkapkan, dan pengaruh tuturan bagi orang lain. Prinsip ini dapat dikatakan sebagai prinsip dasar, yaitu prinsip yang mendasari prinsip-prinsip yang lain.

2.2 Prinsip Kerja Sama dari H.P. Grice Melalui artikelnya yang berjudul ”Logic and Conversation” yang termuat dalam buku Syntax and Semantics Volume 3: Speech Acts (1975: 41-82) yang disunting oleh Peter Cole dan Jerry L. Morgan, Grice (1975: 45-47) mengemukakan prinsip kerja sama (cooperative principle). Prinsip kerja sama yang dimaksud adalah sebagai berikut. ”Make your conversation contribution such as is requeired, at the stage at which it occurs, by the accepted pupose or direction of the talk exchange in wich you are engaged (Grice 1975: 45). ‘Buatlah percakapan Anda sebagaimana yang diminta, sesuai dengan taraf Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 61

percakapan itu terjadi, dengan tujuan dan arah yang dapat diterima dalam pertukaran percakapan yang Anda terlibat di dalamnya’. Princip kerja sama tersebut mengandung sub-sub prinsip yang disebut maksim (maxim), yaitu (a) prinsip kuantitas (quantity maxim), (b) prinsip kualitas (quality maxim), (c) prinsip hubungan (relation maxim), dan (d) maksim cara (manner maxim). Maksim-maksim tersebut adalah sebagai berikut. (a) Quantity maxim ‘Maksim kuantitas’(Grice 1975: 45) (i) Make your contribution as informative as is required (for the current purposes of the exchange). ‘Sampaikan informasi seinformatif mungkin (sesuai dengan tujuann percakapan)’. (ii) Do not make your contribution more informative that is required. ‘Jangan menyampaikan informasi yang berlebihan yang melebihi yang dibutuhkan’. (b) Quality maxim ‘Maksim kualitas’ (Grice 1975: 46) Under the category of QUALITY falls a supermaxim- Try to make your contribution one is that true” – and two more specific maxims ‘Pada kategori KUALITAS terkandung supermaksim ‘Usahakan informasi yang Anda sampaikan itu benar’ – dan dua maksim khusus: (i) Do not say that you believe to be false ‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar’ (ii) Do not say that for which you lack adequate evidence. ‘Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai’. (c) Relation maxim ‘Maksim hubungan’ (Grice 1975: 46) Under the category of RELATION I place a single maxim, namely, ‘Be Relevant’. ‘Di bawah kategori HUBUNGAN saya menempatkan sebuah maksim tunggal, ‘Usahakan relevan.’ (d) Manner maxim ‘Maksim cara’ (Grice 1975: 46) Finally, under the category of MANNER, which I understood as relating not (like the previous categories) to what is said but, rather, to HOW what is said is to be said, I include the supermaxim – ‘Be perspicuous’ – and various maxims such as ‘Akhirnya dalam kategori CARA, dalam hal ini saya memahami bukan sebagai apa yang dikatakan ( seperti kategori sebelumnya), melainkan tentang BAGAIMANA apa yang dikatakan itu harus diungkapkan, saya merumuskan supermaksim – Ungkapkan secara tepat – dan bermacam-macam maskim sebagai berikut. (i) Avoid obscurity of expression ‘Hindari ungkapan yang kabur’. (ii) Avoid ambiguity ‘Hindari ketaksaan’. (iii) Be brief (avoid unnccessary prolicity) ‘Buatlah ringkas (hindari ungkapan yang berkepanjangan’. (iv) Be orderly ‘Ungkapkanlah sesuatu itu secara runtur’.

Untuk memperjelas maksim-maksim dalam prinsip kerja sama itu, Grice (1975: 47) menngemukakan analogi sebagai berikut. 1. Quantity. If you are assisting me to mend a car, I expect your contribution to be neither more nor less than is required; if, fo example, at a particular stage I need four screws, I expect you to hand me four, rather than two or six. ‘Kuantitas. Bila Sudara membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan bantuan Saudara sesuai dengan kebutuhan, tidak lebih, tidak juga kurang. Misalnya, bila pada waktu tertentu saya membutuhkan empat skrup, saya harap Saudara memberikan empat sekrup bukannya dua atau enam sekrup kepada saya’. 2. Quality. I expect your contributions to be genuine and not spurious. If I need sugar as an ingredient in the cake you are assisting me to make, I do not expect yo to hand me salt; if I need a spoon, I do not expect a trick spoon made of rubber. ‘Kualitas. Saya mengharapkan bantuan Saudara yang sungguh-sungguh dan bukan palsu (bahasa Jawa lamis). Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan pembuat kue yang Saudara minta untuk saya buat, saya tidak mengharapkan Saudara memberikan garam kepada saya; jika saya membutuhkan sendok, saya menginginkan sungguh-sungguh sendok, bukan sendok mainan yang terbuat dari karet.

62 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

3. Relation. I expect a partner’s contribution to be appropriate to immediate needs at each stage of the transaction; if I am mixing ingredients fo r a cake, I do not expect to ber handed a good book, or even an oven cloth (though this might be an appropriate contribution at a later stage). ‘Hubungan. Saya menginginkan bantuan mitra saya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada setiap tahap transaksi; jika saya sedang membuat adonankue, saya tidak mengharapkan diberi buku bagus, atau lampin meskipun bantuan barang-barang ini sesuai untuk tahapan selanjutnya’. 4. Manner. I expect a partner to make it clear what contribution he is making, and to excute his performance with reasonable dispatch. ‘Cara. Saya mengharapkan mitra saya bantuan apa yang diberikannya dan melaksanakan tindakannya berdasarkan alasan yang masuk akal’.

Berdasarkan prinsip-prinsip dan maksim-maksim tersebut, Tannen (1996: 20) berpendapat bahwa prinsip kerja sama merupakan prinsip yang berfokus pada informasi. Oleh sebab itu, prinsip kerja sama dalam tulisan ini dapat disebut pula prinsip penyampaian informasi. Prinsip kerja sama atau prinsip penyampaian informasi yang terdiri atas empat maksim dapat dirumuskan secara ringkas sebagai berikut. Maksim kuantitas menganjurkan penutur menyampaikan informasi secukupnya sesuai dengan kebutuhan mitra bicara. Maksim kualitas mengajurkan penutur menyampaikan informasi yang benar, yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Maksim hubungan atau relevansi mengajurkan penutur menyampaikan informasi yang relevan dengan hal yang dibicarakan. Maksim cara menganjurkan penutur menyampaikan informasi secara tepat, yaitu runtut, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berkepanjangan.

2.3 Prinsip Sopan Santun Berbahasa Prinsip sopan santun berbahasa dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu (i) prinsip sopan santun berbahasa dari Geoffrey N. Leech dan Soepomo Poedjosoedarmo. Berikut prinsip sopan santun berbahasa itu dibicarakan satu per satu.

2.3.1 Prinsip Sopan Santun Berbahasa dari Geoffrey N. Leech Leech (1993: 206-207) memaparkan prinsip sopan santun dengan maksim-maksimnya sebagai berikut. (1) MAKSIM KEARIFAN (TACT MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan komisif) (a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2) MAKSIM KEDERMAWANAN (GENEROSITY MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan komisif (a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. (b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) MAKSIM PUJIAN (APPROBATION MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif) (a) Kecamlah orang lain sedikit mungkin. (b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin. (IV) MAKSIM KERENDAHAN HATI (MODESTY MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif) (a) Pujilah diri sendiri sedikit mungkin. (b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. (V) MAKSIM KESEPAKATAN (AGREEMENT MAXIM) (dalam ilokusi asertif) (a) Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin (b) Usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin (VI) MAKSIM SIMPATI (SYMPATY MAXIM) (dalam ilokusi asetif) (a) Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin (b) (b) Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 63

Prinsip sopan santun berbahasa yang terdiri atas enam maksim itu dapat dirumuskan secara lebih ringkas sebagai berikut. Maksim kearifan menganjurkan partisipan komunikasi meminimalkan kerugian bagi orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Maksim kedermawanan menganjurkan partisipan komunikasi memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan menimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Maksim pujian menganjurkan partisipan komunikasi memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Maksim kerendahan hati menganjurkan setiap partisipan komunikasi memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim kesepakatan menganjurkan setiap partisipan komunikasi memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan. Maksim kesimpatian menganjurkan partisipan komunikasi memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati.

2.3.2 Prinsip Sopan Santun Berbahasa menurut Soepomo Poedjosoedarmo Poedjosoedarmo menguraikan gagasannya tentang sopan santun berbahasa dalam karyanya yang berjudul “Language Etiquette in Indonesia” yang termuat dalam buku Spectrum (1978). Dalam karyanya tersebut Poedjosoedarmo secara khusus membahas sospan santun berbahasa Indonesia. Kerangka berpikir yang digunakan sebagai dasar pembahasannya adalah tujuh komponen tutur (component of speech) yang dikemukakan oleh Gumperz dan Hymes (1972: 35-71). Ketujuh komponen tutur itu adalah (i) partisipan komunikasi yang terdiri dari penutur, mitra tutur, dan pihak ketiga; (ii) bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan; (iii) topik pembicaraan; (iv) tujuan pembicaraan; (v) peristiwa dan situasi tutur; (vi) norma bahasa yang ditaati oleh masyarakat; (vii) sesuatu yang digunkan dan dijadikan dasar tuturan. Berdasarkan tujuh komponen tutur tersebut, disusunlah tujuh prinsip sopan santun dalam berbahasa Indonesia. Berikut ini dipaparkan tujuh prinsip itu beserta penjelasannya secara ringkas (periksa juga Baryadi 2004: 54-57). Pertama, kendalikanlah emosi Anda dan jangan sampai Anda lepas kontrol pada saat berbahasa Indonesia. Penutur yang dapat mengendalikan emosinya akan berbicara dengan tenang, penggunaan kata-katanya sangat selektif, runtut, jelas, dan tuturannya enak diterima. Perilaku tutur yang demikian akan menimbulkan citra positif pada penuturnya, yaitu bahwa penuturnya adalah orang yang sopan dalam berbahasa Indonesia. Sebaliknya, orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya akan berbicara meldak-ledak, pemakaian kata-katanya tidak selektif, kasar, menyakitkan, cengeng, dan meremehkan. Perilaku tutur yang demikian akan menimbulkan citra negatif penuturnya, yaitu bahwa penuturnya adalah orang yang tidak sopan berbahasa Indonesia. Dengan demikian, keadaan emosi penutur sangat menentukan kesopanan dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menentukan gaya berbicara, tingkat tutur, dan penggunaan kata-katanya. Kedua, tunjukkan sikap bersahabat dengan menampakkan kesiapsediaannya untuk berkomunikasi dengan mitra tutur. Di Indonesia, seperti juga pada komunitas tutur yang lain, persahabatan atau kekeluargaan adalah sesuatu yang bagus. Salah satunya adalah persahabatan dalam berkomunikasi. Dalam situasi yang demikian, penutur bersedia mendengarkan dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan kepadanya oleh orang lain dan juga menyampaikan apa yang memang perlu disampaikan kepada orang lain. Setiap partisipan komunikasi harus selalu senang berinisitatif berkontak dan merespon tuturan. Ketiga, pilihlah satuan bahasa yang dimengerti oleh mitra tutur, tepat untuk hubungan antara penutur dengan mitra tutur, dan cocok dengan peristiwa dan situasi tutur. Berbahasa dikatakan sopan apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur sungguh-sungguh bisa dipahami oleh mitra tutur. Selain itu, kode bahasa yang dipilih harus disesuaikan dengan hubungan antara penutur dengan mitra tutur, yaitu (i) tuturannya lengkap, (ii) tuturannya logis, (iii) sungguh-sungguh verbal dengan meminimalkan interjeksi, alih kode, pembalikan urutan kata, dan sebagainya, (iv)

64 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

menggunakan ragam bahasa baku. Ditambah lagi, kode bahasa yang digunakan hendaknya sesuai dengan situasi tutur, yaitu situasi formal dan situasi informal. Keempat, pilihlah topik yang disukai oleh mitra tutur dan yang cocok dengan situasi. Kesopanan berbahasa juga ditentukan oleh topik tuturan. Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra bicara adalah tuturan yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat mitra tutur. Selain itu, hindari pula hal-hal yang tidak menyenangkan mitra tutur lainnya seperti mengritik mitra bicara. Pada masyarakat Indonesia, kritik atau sejenis ketidaksetujuan lainnya dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang pada mitra tutur. Tuturan yang tidak menyenangkan mitra tutur ini merupakan tuturan yang tidak sopan dari sudut pandang mitra tutur. Kelima, ungkapkan tujuan atau arah pembicaraan dengan jelas. Biasanya penutur berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki tugas tertentu. Untuk menjaga kesopanan, tujuan hendaknya diungkapkan dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Lebih-lebih bila tujuan tuturan itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi penutur. Keenam, ucapkan kalimat-kalimatnya dengan enak. Penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan ucapkanlah dengan enak sehingga diterima oleh mitra tutur dengan enak pula. Hindarilah gaya pengungkapan yang menggurui, lebih-lebih kepada orang yang status soailnya lebih tiinggi. Usahakan berbicara jangan terlalu keras, tetapi juga jangan terlalu lembut. Janganlah berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat. Ketujuh, perhatikanlah norma tindak tutur yang lain, seperti urutan tindak tutur dan gestur yang menyertai tidak tutur. Mengenai urutan tindak tutur, lazimnya orang yang status sosialnya lebih rendah lebih dulu mendengarkan tuturan orang yang status sosialnya lebih tinggi dan untuk merespon tuturannya harus menanti sampai selesai. Menyela pembicaraan dianggap tidak sopan. Jika ingin menyela, katakan maaf. Mengenai gestur, pada saat berbicara tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra bicara. Tunjukkan sikap badan dan tangan yang sopan pada saat berbicara. Tujuh prinsip sopan santun berbahasa Indonesiatersebut dapat diringkas sebagai berikut. (i) Kendalikan emosi Anda dan jangan mudah lepas kontrol dalam berbicara. (ii) Tunjukkan sikap bersahabat dengan menampakkan kesiapsediannya untuk berkomunikasi dengan mitra tutur. (iii) Pilihlah kode bahasa yang dimengerti oleh mitra tutur, tepat untuk hubungan antara penutur dan mitra tutur, dan cocok dengan peristiwa dan situasi tindak tutur. (iv) Pilihlah topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan situasi. (v) Ungkapkan tujuan pembicaraan dengan jelas. (vi) Ucapkan tuturan dengan enak. (vii) Perhatikanlah norma tindak tutur yang lain, seperti urutan tindak tutur dan gerakan tubuh. Prinsip sopan santun berbahasa dari Poedjosoedarmo terdiri atas tujuh maksim, yaitu (i) maksim pengendalian emosi, (ii) maksim sikap bersahabat, (iii) maksim pemilihan kode, (iv) maksim pemiihan topik, (v) maksim tujuan, (vi) maksim pengucapan kalimat, dan (vii) maksim norma tindak tutur. Maksim pengendalian emosi menganjurkan partisipan komunikasi mengendalikan emosi pada saat berbicara. Maksim sikap bersahabat menganjurkan penutur menampakkan kesiapsediaannya berkomunikasi dengan mitra tutur. Maksim pemilihan kode bahasa menganjurkan penutur memilih kode bahasa yang dimengerti oleh mitra tutur, tepat untuk hubungan antara penutur dan mitra tutur, dan cocok dengan peristiwa dan situasi tindak tutur. Maksim tujuan menganjurkan penutur mengungkapkan tujuan pembicaraan dengan jelas. Maksim pengucapan tuturan menganjurkan partisipan komunikasi mengucapkan tuturan dengan jelas pada waktu berbicara. Maksim norma tindak tutur menganjurkan partisipan komunikasi memperhatikan norma tindak tutur yang lain, seperti urutan tindak tutur dan gerakan tubuh.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 65

2.4 Prinsip Komunikasi Nirkekerasan (KNK) dari Marshall B. Rosenberg Prinsip KNK (nonviolent communication) digagas oleh Marshall B. Rosenberg (lahir 5 Oktober 1934), seorang psikolog Amerika Serikat. Dia menuulis buku yang berjudul Nonviolent Communication: A Language of Life (2003). Buku tersebut, oleh Alfons Taryadi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Komunikasi Nirkekerasan: Bahasa Kehidupan (2010). Rosenberg (2010: 4) menjelaskan, “Komunikasi nirkekerasan adalah suatu cara komunikasi yang menuntun kita untuk memberi dari hati, menyambung kita dengan diri kita sendiri dan yang seorang kepada yang lain dengan suatu cara yang memungkinkan belas kasih kita yang alamiah berkembang”. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa jantung dari komunikasi nirkekerasan adalah memberi dari hati. Selain itu, komunikasi nirkekerasan disebut pula komunikasi belas kasih (compassion) karena komunikasi nirkekerasan pada hakikatnya adalah memberi dan menerima dengan belas kasih yang merupakan kodrat manusia. “Komunikasi nirkekerasan didasarkan pada keterampilan bahasa dan komunikasi yang memperkuat kemampuan kita untuk tetap manusiawi, pun jika di bawah kondisi menekan” (Rosenberg 2010: 4). Ada empat komponen komunikasi nirkekerasan, yaitu pengamatan atau observsi, perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Empat komponen tersebut sekaligus merupakan proses komunikasi nirkekerasan. Dalam proses terkait dengan dua hal, yaitu (i) mengungkapkan diri secara jujur lewat empat komponen dan (ii) menerima secara empatik lewat empat komponen. Pengamatan berkenaan dengan pengungkapan dan penerimaan pengamatan tanpa memasukkan penilaian apa pun sebab penilaian merupakan penghakiman dan penghakiman akan mengalienasikan diri kita sendiri dan orang lain. Perasaan bersangkutan dengan bagaimana kita merasa dalam hubungan dengan apa yang kita amati: apa kita merasa tersinggung, takut, bersukacita, senang, jengkel? Kebutuhan bersangkutan dengan bagaimana mengatakan apa kebutuhan kita yang berhubungan dengan perasaan-perasaan yang telah kita identifikasi. Permintaan merupakan unsur komunikasi nirkekerasan yang mengurusi apa yang kita inginkan dari orang lain yang akan memperkaya hidup kita atau membuat hidup kita mengagumkan bagi kita. Memberi dan menerima empat komponen tersebut akan menciptakan komunikasi yang timbal balik antara penutur dan mitra tutur yang berjiwakan belas kasih. Rosenberg (2010: 9) mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut. Jadi, bagian KNK adalah mengekspresikan empat ketil informasi ini dengan cara sangat jelas, entah secara verbal atau dengan cara lain. Bagian lain komunikasi ini terdiri atas menerima empat ketil informasi yang sama dengan orang lain. Kita berhubungan dengan mereka dengan pertama-tama merasakan apa yang mereka amati, mereka rasakan, dan mereka inginkan; kemudian kita menemukan apa yang akan memperkaya hidup dengan menerima ketil informasi keempat – permintaan mereka. Karena kita tetap mempertahankan perhatian kita terfokus pada area-area yang disebutkan itu, dan membantu orang lain melakukan hal yang sama, kita membentuk arus komunikasi, ulang alik, sampai belas kasih muncul secara alamiah: apa yang kuamati, yang kuarasakan, dan yang kubutuhkan; apa yang kuminta untuk memperkaya hidupku; apa yang kau amati, yang kau rasakan, dan yang kau butuhkan; apa yang kau minta untuk memperkaya hidup...

Dari uraian tersebut, prinsip komunikasi nirkekerasan yang dikemukakan oleh Rosenberg tidak hanya berlaku bagi penutur dalam mengungkapkan pesan, tetapi juga berlaku bagi mitra bicara dalam menerima pesan. Hal ini disebabkan keberhasilan komunikasi dalam menciptakan kohesi sosial tidak hanya tergantung pada bagaimana penutur dalam menyampaikan pesan, tetapi juga tergantung pada bagaimana mitra tutur menerima pesan. Prinsip pokok tindak tutur nirkekerasan adalah mengungkapkan diri secara jujur lewat pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Berikut dikemukakan rincian prinsip-prinsip

66 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

komunikasi nirkekerasan yang dikutipkan dari ringkasan setiap uraian setiap komponen. Yang diungkapkan pada bagian ini adalah prinsip-prinsip komunikasi nirkekerasan bagi penutur dalam mengungkapkan pesan, sedangkan prinsip-prinsip komunikasi nirkekerasan bagi mira tutur dalam penerimaan pesan dipaparkan pada bagian 3.3.2. 1. Komponen KNK secara niscaya melibatkan pemisahan observasi dan evaluasi. Ketika kita mengombinasikan observasi dan evaluasi, orang lain cenderung mendengar kritikan dan menolak apa yang kita katakan. KNK adalah sebuah bahasa proses yang tidak menganjurkan generasi statis. Sebagai gantinya, observasi harus dibuat spesifik menyangkut waktu dan konteks, misalnya, ”Hank Smith tidak mencetak gol dalam dua puluh pertandingan,” ketimbang ”Hank Smith adalah seorang pemain bola yang payah” (Rosenberg 2010: 44). 2. Unsur kedua yang perlu untuk mengungkapkan diri kita adalah perasaan. Dengan mengembangkan suatu perbendaharaan kata tentang perasaan, yang memungkinkan kita untuk secara lebih jelas dan spesifik menyebutkan atau mengidentifikasi emosi-emosi kita, kita dapat secara lebih mudah saling berhubungan. Membiarkan diri kita rapuh dengan mengungkapkan perasaan-perasaan kita dapat memecahkan konflik. KNK membedakan ekspresi perasaan aktual dari kata-kata dan pernyataan yang menggambarkan pikiran, penilaian, dan interpretasi (Rosenberg 2010: 65). 3. Unsur ketiga KNK adalah pengakuan kebutuhan di balik perasaan. Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain mungkin menjadi stimulus untuk perasaan kita, tetapi tak pernah menjadi penyebabnya. Ketika seseorang berkomunikasi secara negatif, kita mempunyai empat opsi mengenai bagaimana menerima pesan: 1) menyalahkan diri kita sendiri, 2) menyalahkan orang lain, 3) merasakan perasaan dan kebutuhan kita, 4) merasakan perasaan dan kebutuhan yang tersembunyi di dalam pesan orang lain yang negatif itu (Rosenberg 2010: 86-87). 4. Unsur keempat KNK membahas pertanyaan tentang apa yang ingin kita minta, seorang kepada yang lain untuk memperkaya hidup kita masing-masing. Kita mencoba menghindari penyusunan frasa yang kabur, abstrak, dan ambigu, dan ingat untuk menggunakan bahasa tindakan positif dengan menyatakan apa yang kita minta ketimbang apa yang tidak kita minta (Rosenberg 2010: 124).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa prinsip komunikasi nirkekerasan atau komunikasi belas kasih menganjurkan penutur mengungkapkan diri secara jujur apa yang diamati, apa yang dirasakan, apa yang dibutuhkan, dan apa yang diminta. Prinsip komunikasi nirkekerasan mengandung empat maksim, yaitu maksim pengamatan, maksim perasaan, maksim kebutuhan, dan maksim permintaan. Maksim pengamatan menganjurkan penutur tidak mencampuradukkan hasil pengamatan dan evaluasi dalam menyampaikan pesan. Maksim perasaan menganjurkan penutur mengungkapkan apa yang dirasakan.secara jujur. Maksim kebutuhan menganjurkan penutur mengungkapkan apa yang dibutuhkan secara jujur. Maksim permintaan menganjurkan penutur mengungkapkan apa yang sungguh-sungguh diminta daripada yang tidak diminta.

2.5 Prinsip Komunikasi Efektif dari Deborah Tannen Prinsip komunikasi efektif digagas oleh Deborah Tannen melalui bukunya yang berjudul That’s Not What I Meant: How conversational style makes or breaks your relations with others (1986). Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Amitya Kumara menjadi Seni Komunikasi Efektif: Membangun Relasi dengan Membina Gaya Percakapan (1996). Dari sudut pandang telaah linguistik, Tannen mengemukakan prinsip-prinsip memanfaatkan gaya percakapan yang dapat menciptakan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menyenangkan yang disebabkan oleh adanya kesalingpahaman maksud antara penutur dan mitra tutur. Prinsip-prinsip gaya percakapan tersebut juga dimaksudkan untuk Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 67

memperbaiki komunikasi yang tidak efektif, yaitu komunikasi yang mengecewakan karena tiadanya kesalingpahaman antara penutur dan mitra tutur. Tannen (1996: 12) menandaskan bahwa percakapan membentuk dunia kita. 1. Dunia pribadi kita dibentuk oleh percakapan – tidak hanya dalam keluarga, teman-teman, dan rekan kerja tetapi juga di dalam masyarakat. Yang membuat dunia tampak ramah atau bermusuhan sebagian besar adalah akumulasi kesan dari pertemuan sehari-hari yang kelihatannya sepele: menghadapi pelayan toko, pegawai bank, para birokrat, kasir, dan operator telepon. Jika percakapan-percakapan ini relatif lancar dan menyenangkan, kita merasa (tanpa memikirkannya) bahwa kita melakukan segalanya dengan baik. Tetapi jika penuh ketegangan, membingungkan, dan tampak kasar, suasana hati kita bisa rusak dan energi kita habis. Kita lalu bertanya-tanya tentang letak kesalahan mereka - atau kita (Tannen 1996: 12). 2. Informasi yang terungkap melalui makna kata-kata adalah pesan. Yang terungkap melalui hubungan kita dengan orang lain – sikap kita satu sama lain, kesempatannya, dan apa yang kita katakan – adalah metapesan (Tannen 1996: 15). Kata-kata mengungkapkan informasi, sedangkan bagaimana kita mengungkapkannya – seberapa keras, seberapa cepat, dengan intonasi dan penekanan yang bagaimana –mengkomunikasikan apa yang menurut kita sedang kita perbuat sewaktu kita berbicara: menggoda, merayu, menjelaskan, atau menghukum; apakah kita berasa bersahabat, marah, atau lucu; apakah kita mau mendekat atau menjauh. Dengan kata lain, cara kita mengatakan apa yang kita katakan mengkomunikasikan makna sosial (Tannen 1996: 16). 3. Kita butuh saling berdekatan agar merasa berada dalam satu komunitas, agar kita tidak merasa sendirian di dunia. Tetapi kita perlu menjaga jarak satu sama lain untuk mempertahankan kebebasan kita, agar orang lain tidak mengganggu atau mencampuri urusan kita. Dualisme ini merefleksikan kondisi manusia. Kita adalah makhluk individual sekaligus sosial. Kita membutuhkan orang lain untuk bertahan, tetapi juga ingin bertahan sebagai individu (Tannen 1996: 17).

4. Gaya percakapan bukan sekadar tambahan seperti lapisan pemanis di atas kue. Gaya percakapan adalah bahan utama pembuatan kue komunikasi. Aspek-aspek gaya percakapan adalah peralatan utama percakapan – cara kita menunjukkan maksud kita ketika kita mengatakan (atau tidak mengatakan) sesuatu. Sinyal-sinyal yang paling utama adalah kecepatan atau jeda, kerasnya suara, dan nada, yang secara keseluruhan biasanya disebut intonasi. Sinyal-sinyal ini digunakan dalam peralatan linguistik yang melaksanakan percakapan, pekerjaan kompleks yang selalu dan secara serempak mencakup: penciptaan percakapan dengan berbicara bergantian; pengungkapan bagaimana ide-ide saling terkait; pengungkapan apa yang menurut kita sedang kita perbuat pada saat kita bercakap-cakap (misalnya, kita sedang mendengarkan, tertarik, apresiatif, ramah, meminta atau menawarkan bantuan); dan pengungkapan perasaan kita pada saat kita bercakap-cakap (Tannen 1996: 33). 5. Dalam sebagian besar situasi sehari-hari, tidak adil dan tidak realistis jika ketidakterusterangan dianggap sebagai ketidakjujuran. Kalau kita berbicara satu sama lain tentang hal-hal penting atau tidak penting, kita selalu memonitor hubungan kita, dan informasi hubungan itu terdapat dalam metapesan, yang menurut definisi tidak dinyatakan melalui kata-kata tetapi melalui cara menyatakannya. Jadi, ketidakterusterangan, dalam konteks metapesan, adalah dasar komunikasi. Segalanya harus dinyatakan melalui cara tertentu dan cara menyatakannya, secara tidak langsung, menyampaikan metapesan. Kalau bisa dimengerti tanpa mengatakan secara eksplisit apa maksud kita, kita akan memperoleh dua keuntungan besar: empati dan pertahanan diri. Dan ada kenikmatan estetis dalam

68 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

berkomunikasi secara tidak terus terang. Seperti yang akan kita lihat nanti, kita tidak bisa berterus terang meskipun kita menginginkannya (Tannen 1996: 56).

Prinsip komunikasi efektif disebut pula prinsip metapesan. Prinsip komunikasi efektif mengandung dua maksim, yaitu maksim penggunaan intonasi dan maksim ketidakterusterangan. Maksim penggunaan intonasi menganjurkan penutur memanfaatkan intonasi untuk menyampaikan metapesan. Maksim ketidakteruterangan menganjurkan penutur menjadikan ketidakteruterangan sebagai dasar gaya percakapan dalam menyampaikan metapesan.

2.6 Prinsip Retorika Tekstual dari Geoffry N. Leech Prinsip retorika tekstual dipaparkan oleh Geoffrey N. Leech (1983) dalam bukunya yang berjudul The Principles of Pragmatics. Buku tersebut telah diterjemhkan dalam bahasa Indonesia oleh M.D.D. Oka (1993) dengan judul Prinsip-prinsip Pragmatik. Yang digunakan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah versi terjemahannya. Leech (1993: 96-107) mengajukan empat prinsip retorik tekstual, yaitu (i) prinsip prosesibilitas, (ii) prinsip kejelasan, (iii) prinsip ekonomi, dan (iv) prinsip ekspresivitas. Prinsip prosesibilitas menganjurkan agar teks disajikan sedemikian sehingga mudah bagi penutur untuk mendekode pesan pada waktunya. Berbeda dengan pesan, sebuah teks pada intinya bersifat linear dan terbatas waktunya; jadi, dalam proses mengkode kita harus menentukan (a) bagaimana membagi-bagi pesan menjadi satuan-satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya peranan masing- masing satuan itu; dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan itu. Tiga macam keputusan itu saling berhubungan. Prinsip kejelasan terdiri atas maksim kejernihan (transparency maxim) dan maksim ketaksaan (ambiguity maxim). a. Usahakanlah suatu hubungan yang langsung dan jelas/jernih antara struktur fonologis dengan struktur semantic (yaitu antara pesan dan teks). b. Hindarilah tuturan-tuturan yang taksa.

Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat dan mudah dipahami. Prinsip ekonomi mempunyai maksim reduksi yang menyatakan bahwa, bila mungkin, teks harus dipersingkat. Tetapi kita tentu tidak menganjurkan reduksi kalau reduksi mengakibatkan ketaksaan. Proses-proses yang terdapat dalam lingkup reduksi ialah (a) prononominalisasi, (b) substitusi, dan (c) elipsis (atau pelesapan). Prinsip ekspresivitas mencakup prinsip ikonisitas (iconicity) yang menganjurkan si pemakai bahasa agar teks itu meniru aspek-aspek pesan.

3. PRINSIP PENERIMAAN PESAN Prinsip penerimaan pesan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu prinsip mendengarkan secara empatik dari Stephen R. Covey dan dari Marshall B. Steinberg.

3.1 Prinsip Mendengarkan secara Empatik dari Stephen R. Covey Stephen R. Covey adalah seorang ahli kepemimpinan. Covey adalah pimpinan Covey Leadership Center dan Institute for Principle-Centered Leadership, sebuah organisasi nirlaba. Perusahaan ini melakukan pengembangan kepemimpinan di seluruh dunia bersama lebih dari 100 perusahaan Fortune 500 di samping ribuan perusahaan berukuran sedang dan kecil, dan semua tingkat pemerintahan. Salah satu buku karya Covey adalah The 7 Habits of Highly Effective People (1993). Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul 7 Kebiasaan Manusia yang sangat Efektif (1997). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 69

Dalam karyanya tersebut, Covey menjelaskan 7 kebiasaan yang sangat efektif untuk mencapai keberhasilan hidup manusia. Salah satu kebiasaan yang relevan dengan komunikasi verbal adalah kebiasaan yang kelima, yaitu mendengarkan secara empatik. Menurut Covey (1997: 238), mendengarkan dalam percakapan itu ada lima tingkatan. Tingkat pertama adalah orang mengabaikan atau tidak benar-benar mendengarkan ketika orang lain berbicara. Tingkat kedua adalah orang berpura-pura mendengarkan ketika orang lain berbicara. Tingkat ketiga adalah orang mendengarkan secara selektif, yaitu hanya mendengarkan bagian-bagian tertentu dari percakapan. Tingkat keempat adalah mendengarkan secara atentif, yaitu menaruh perhatian dan memfokuskan energi pada kata-kata yang diucapkan. Tingkat kelima adalah mendengarkan tingkat tertinggi, yaitu mendengarkan secara empatik. Prinsip yang mendasari mendengarkan secara empatik adalah berusaha mengerti lebih dulu, baru dimengerti. Covey (1997: 238) menguraikan prinsip mendengarkan secara empatik sebagai berikut. “Ketika saya mengatakan mendengar secara empatik, yang saya maksudkan adalah mendengar dengan maksud untuk mengerti. Maksud saya adalah berusaha terlebih dulu untuk mengerti, untuk benar-benar mengerti. …Empati bukanlah simpati. Simpati merupakan semacam kesepakatan, semacam penilaian. … Intisari dari mendengarkan empatik bukanlah bahwa anda setuju dengan seseorang, tetapi bahwa anda sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang itu, secara emosional sekaligus intelektual”.

Covey (1997: 254) memperjelas prinsip mendengarkan secara empatik dengan mengangkat filosofi Yunani yang terwujud dalam tiga kata yang disusun secara berurutan: ethos, pathos, dan logos sebab ketiga kata itu mengandung prinsip mengertilah lebih dulu dan presentasi yang efektif. “Ethos adalah kredibilitas pribadi anda, kepercayaan yang orang miliki akan integritas dan kecakapan anda. Ini adalah kepercayaan yang anda ilhami, Rekening Bank Emosi Anda. Pathos adalah sisi empatik, yaitu perasaan. Ini berarti bahwa anda selaras dengan pedalaman emosional dari komunikasi orang lain. Logos adalah logika, bagian penalaran dan presentasi. Perhatikan urutannya: ethos, pathos, logos – karakter anda, dan hubungan anda, dan kemudian logika presentasi anda. Ini mewakili satu lagi perubahan paradigma yang besar. Kebanyakan orang, dalam membuat presentasi, langsung menuju logos, logika otak kiri, dari gagasan mereka. Mereka berusaha meyakinkan orang lain akan keabsahan logika itu, tanpa lebih dulu mempertimbangkan ethos dan pathos”.

Berdasarkan kutipan tersebut, mendengarkan secara empatik penting untuk menciptakan kohesi sosial. Prinsip mendengarkan secara empatik menurut Covey menganjurkan pendengar berusaha lebih dulu untuk mengerti, benar-benar mengerti.

3.2 Prinsip Mendengarkan secara Empatik dari Marshall B. Rosenberg Mendengarkan secara empatik, menurut Rosenberg, adalah mendengarkan apa yang sedang dialami oleh orang lain, yaitu pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaannya. 1. Empati adalah suatu pemahaman penuh hormat akan apa yang tengah dialami oleh orang lain. Kita sering memiliki dorongan kuat untuk memberi nasihat atau peneguhan dan untuk menjelaskan posisi atau perasaan kita sendiri. Tetapi, empati mengimbau diri kita sendiri untuk mengosongkan pikiran kita dan mendengarkan orang lain dengan seluruh ada kita. Dalam KNK, tidak peduli kata-kata apa pun yang digunakan oleh orang lain untuk mengekspresikan diri mereka, kita semata-mata mendengarkan observasi, perasaan, kebutuhan, dan permintaan mereka. Kemudian kita mungkin ingin berkilas balik, memparafrasakan apa yang telah kita pahami. Kita bertahan dengan empati dan memberi

70 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

orang lain kesempatan untuk secara penuh mengekspresikan diri mereka sebelum kita memalingkan perhatian kita pada solusi-solusi atau permintaan-permintaan untuk kelegaan. Kita memerlukan empati untuk memberikan empati. Ketika kita merasa diri kita bersikap defensif atau tidak mampu untuk berempati kita perlu; (1) berhenti, bernapas, memberi diri kita empati; (2) memekik dalam gaya nirkekerasan, atau (3) beristirahat (Rosenberg 2010: 154). 2. Kemampuan kita untuk menawarkan empati dapat memungkinkan untuk bersifat rapuh, menyingkirkan titik ledak tindak kekerasan, mendengarkan ke arah kata ”tidak” tanpa menerimanya secara personal sebagai sebuah penolakan, menghidupkan lagi suatu percakapan tanpa jiwa, dan bahkan mendengarkan perasaan dan kebutuhan yang terekspresikan lewat kesunyian tanpa kata. Berkali-kali orang mentransen dampak kesakitan psikologis yang melumpuhkan, kalau mereka mempunyai kontak yang cukup dengan seseorang yang dapat mendengarkan mereka secara empatik (Rosenberg 2010: 186-187).

Berdasarkan kutipan tersebut, berikut dapat dirumuskan prinsip mendengarkan secara empatik menurut Rosenberg. Prinsip mendengarkan secara empatik menurut Rosenberg menganjurkan pendengar mendengarkan penuh hormat tentang apa yang sedang dialami oleh orang lain, yaitu pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaannya.

SIMPULAN UMUM Berdasarkan paparan gagasan para pemikir tersebut, dapat dirumuskan prinsip-prinsip tindak tutur yang dapat menciptakan kohesi sosial sebagai berikut. Prinsip tindak tutur mencakup (a) prinsip penyampaian pesan oleh penutur dan (b) prinsip penerimaan pesan oleh mitra tutur. Prinsip penyampaian pesan dibedakan menjadi prinsip kontekstual, prinsip logis, dan prinsip etis. Prinsip kontekstual menyatakan bahwa penutur dalam menyampaikan pesan dianjurkan untuk memperhitungkan konteks. Prinsip logis menyatakan bahwa penutur dalam menyampaikan pesan dianjurkan menyampaikan pesan yang benar dan relevan dengan bentuk bahasa yang secukupnya, yaitu tidak terlalu singkat dan tidak terlalu berlebihan. Prinsip etis mengungkapkan bahwa penutur dalam menyampaikan pesan bersikap sopan dan tanpa kekerasan. Prinsip penerimaan pesan menganjurkan mitra tutur untuk mendengarkan secara empatik, yaitu berusaha untuk sungguh- sungguh mengerti apa yang disampaikan oleh penutur dan mendengarkan penuh hormat tentang apa yang sedang dialami oleh mitra tutur.

DAFTAR PUSTAKA Austin, J.L. 1962. How To Do Things With Words. New York: Oxford University Press. Baryadi, I. Praptomo. 2004. ”Teori Sopan Santun Berbahasa”. Dalam Jurnal Kebudayaan Sintesis. Volume 1 Nomor 2 & 3, Oktober 2004, Halaman 45-60. Covey, Stephen R. , 1997. The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Diterjemahkan oleh Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara. Grice, H.P. 1975. ”Logic and Conversation”. Dalam Cole P. dan J.L. Morgan (Eds.). 1975. Syntax and Semantics , Volume 3: Speech Acts. New York: Academic Press. Leech, Geofrey N. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D Oka dari judul asli The Principles of Pragmatics. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1985. “Komponen Tutur”. Dalam Soendjono Dardjowidjojo (Ed.). Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Arcan. Halaman 79-100. ------. 1978. “Language Etiqquette in Indonesian”. Dalam S.Udin (Ed.). Spectrum. Jakarta: PT Dian Rakyat. Halaman 400-419. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 71

Rosenberg, Marshall B. 2010. Komunikasi Nirkekerasan: Bahasa Kehidupan. Diterjemahkan oleh Alforns Taryadi dari Nonviolent Communication: A Language of Life (2003). Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia. Searle, John R. 1969. Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language. Cambride: Cambridge University Press. Tannen, Deborah. 1996. Seni Komunikasi Efektif: Membangun Relasi dengan Gaya Percakapan. Diterjemahkan oleh Amitya Kumara dari judul asli That’s Not What I Mean! How Conversational Style makes or breaks your relations with others. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

72 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 73

SASTRA LISAN DALAM IMPLEMENTASI PENGOBATAN TRADISIONAL BALI OLEH PARA DUKUN DI KABUPATEN JEMBRANA: SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA – ETNO MEDIS

I Wayan Rasna* Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja – Bali e-mail : [email protected]

Abstract This study aimed at revealing: 1) the way how blessing healers and supernatural healers explained the diagnosis and prognosis of their patients’ illness, 2) the way how they explained the types of medical plants that the patients’ family must search as the ingredients of medicine, 3) how the two types of healers processed the medical plants in order that the medical plants are ready to be used, and 4) how the healers respectively made the their patients love their family and environment. This study was conducted to 10 healers. The data of the study were collected by using interview, recording, observation, photographs. The data were then analyzed descriptively. The result of the analysis shows that: 1) the blessing healers diagnosed, prognosed, and treated their patients’ diseases by means of magical things like ground stones, the supernatural healers diagnosed. prognosed, and treated their patients’ diseases by using supernatural strength providing intelligence like souls; 2) both blessing and supernatural healers explained the types of medical plants that the patients’ family must look for orally by giving certain characteristics of the plants; 3) after the components of the medical plants were collected, the healers then processed then into: traditional medical drink, b) powder, and c) sprouted substance, which were then prayed to God before being given to patients, and 4) the patients were made to be aware about their love to their family and environment by explaining to the patients and their family that any kind of plant can give benefits to the environmental preservation as well as have socio-economic and socio- magic values, so that they are capable of healing diseases. Therefore, it is suggested that oral literature originated from the healers in the implementation of traditional medication needs to be preserved in written form.

Keywords: Oral literature, Traditional Medication

* Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

PENDAHULUAN Kehidupan sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan sastra daerah. Sastra daerah, khususnya sastra lisan, merupakan warisan budaya turun-temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan dengan usaha pembinaan dan penciptaan sastra (Sande dkk, 1986 : 1). Pembinaan, penciptaan dan penampilan sastra lisan, bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan, melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah yang perlu digali demi kesempurnaan kesatuan budaya nasional. Sastra lisan merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra, dan sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi, dan pemahaman gagasan berdasarkan praktik yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad. Apalagi dikaitkan dengan implementasi pengobatan tradisional Bali, sebab sastra lisan merupakan dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti bahwa ciptaan yang berdasar sastra lisan akan lebih mudah dipahami dan dihayati, sebab unsurnya yang lebih mudah dikenal oleh masyarakat (Rusyana, 1978 : 1). Unsur sastra lisan yang lebih mudah dikenal dipahami dan diyakini oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional Bali adalah ucapan dukun (balian), yang berhubungan dengan diagnosis, prognosis, terapi tentang tanaman obat yang bernilai sosioreligiusmagis, maupun bernilai obat. Hal ini

74 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

salah satu persoalan penting dalam era global yang bukan hanya sebagai masalah identitas, sosioekonomi, pemertahanan budaya, eksistensi dari etnik itu sendiri, tetapi juga merupakan benteng pemertahanan budaya bangsa, yang secara spesifik memiliki nilai religi (Barth, 1988 : 19; Manuati, 2004; Susanto, 2003 : 8). Identitas berkaitan erat dengan gagasan budaya. Identitas dapat terbentuk melalui budaya dan subbudaya tempat masyarakat itu berada (Manuati, 2004 : 25). Implementasi pengobatan tradisional sebagai subbudaya sastra lisan merupakan salah satu identitas etnik masyarakat Bali. Sastra lisan dalam pengobatan tradisional (diagnosis, prognosis, terapi) sebagai sign, tanda budaya (Kleden Probonegoro, 2003 : 40 ; Berger, 1984 : 95). Tanda budaya itu menyatakan bahwa kehidupan sehari- hari masyarakat diperhatikan sebagai pengelolaan impresi diri sendiri (Goffman, 1959 : 67). Sebab formasi identitas bukanlah hubungan yang sederhana dalam interaksi individu (Haralambos, 2000 : 927). Interaksi individu dalam pengobatan tradisional antara dukun-pasien atau keluarganya saat ini telah digeser oleh interaksi individu (dokter, perawat, bidan) – pasien dan keluarganya dalam pengobatan modern yang cenderung melakukan komunikasi terbatas karena obat dibeli di apotek. Berbeda dengan pengobatan tradisional, yang bahannya harus dicari dari alam, sehingga memerlukan komunikasi yang intensif. Komunikasi dukun-pasien meliputi bentuk (signifier), makna (signified), nilai (value) yang terkandung dalam sejumlah registernya yang terasa suci dan sakral yang mencerminkan jati diri (symbol) religi telah kehilangan fungsinya (function loss), bahkan terancam punah. Kehilangan fungsi sosioreligius ini identik dengan hak hidup bahasa dan sastra lisan mengalami penyusutan fungsi (Pampe, 2006 : 531 dan Cika, 2009 : 96). Sastra lisan yang mengalami penyusutan fungsi, merupakan bahasa etnik, sekaligus sebagai pemarkah etnik, sastra lisan berfungsi sebagai pemertahanan dan pewarisan tradisi; khususnya wahana upacara adat / upacara ritual (Ola, 2006 : 547). Dan dalam sastra lisan Bali digunakan / difungsikan sebagai sarana ritual pengobatan tradisional. Sastra lisan ritual, termasuk pengobatan tradisional, berbeda dengan sastra lisan sehari-hari baik gaya, pilihan kata, maupun konteksnya. Pada era globalisasi ini, persaingan dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat dihindari, termasuk kesusastraan Bali, khususnya sastra lisan. Banyak tantangan harus dihadapi untuk mempertahankan keberadaan kesusastraan Bali. Di antaranya, terjadi keprihatinan akan punahnya bahasa dan kesusastraan Bali pada tahun 2041, setidak-tidaknya akan kehilangan hal yang mendasar seperti daerah pemakaian, kuantitas, dan kualitas penutur (Cika, 2009 : 96).

1. Penyakit dan Obat dalam Pengobatan Tradisional Bali Menurut lontar usada (dari bahasa Sansekerta, yakni ausadha, Ausadha berarti tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan (Stutley, 1997). Penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa (panas-dingin). Demikian pula obat, ada tiga macam, yaitu obat yang berkhasiat anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada (sedang) (Nala, 2006 : 92). 1.1 Penyakit dalam Sistem Pengobatan di Bali Dalam kitab suci Veda Smerti agama Hindu, Ayurweda yang banyak dikutip oleh para balian (dukun) di Bali disebutkan bahwa wyadhi (penyakit) menurut penyebabnya dibagi atas : 1. Adyatmika (dalam diri) Penyakit yang penyebabnya berasal dari diri sendiri, yang dibagi menjadi: a). adibala prawrta (penyakit keturunan) seperti kencing manis, buta warna, b). Janmabala prawrta (penyakit yang diperoleh ketika dalam kandungan), seperti kurang gizi, sehingga tubuh tidak normal, dan c). doshabala prawrta, penyakit akibat gangguan ketidakseimbangan unsur, angin, api, dan air di dalam tubuh. Akibatnya organ tubuh mengalami kelainan, sehingga fungsinya tidak optimal yang menyebabkan tubuh menjadi filek, batuk, alergi demam. 2. Adhidaiwika (pengaruh lingkungan) Penyakit akibat pengaruh lingkungan di luar tubuh, yang dibagi menjadi: a) kalabala parwrta (penyakit akibat pengaruh musim, seperti pilek, demam ; b) daiwabala prawrta (penyakit akibat Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 75

gangguan supranatural ; c) swabawa bala prawrta (penyakit akibat gangguan yang nampak seperti, benjol akibat lemparan batu. 3. Adhibautika (benda tajam) Penyakit yang diakibatkan oleh benda tajam seperti goresan pisau atau gigitan binatang (Nala, 2006 : 93-94)

Semua penyakit memerlukan obat. Djoko Hagono (1987) menyatakan bahwa dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan obat, maka dalam kebijaksanaan obat nasional, obat tradisional yang nyata-nyata terbukti berkhasiat agar dikembangkan dan digunakan dalam pelayanan kesehatan masyarakat (Tengah dkk, 1995 : 1). GBHN 1993 dinyatakan bahwa dalam rangka pelayanan kesehatan secara lebih luas dan merata sekaligus memelihara dan mengembangkan warisan budaya, pengobatan tradisional perlu terus dilakukan penggalian, penelitian, pengujian, dan pengembangan. Di Bali, obat dibagi menurut khasiatnya menjadi tiga macam, yakni obat anget (hangat), tis (dingin), dan dumalada (sedang, netral). Tanaman obat berkhasiat hangat seperti kulit pohon belimbing, daun pare. Tanaman obat berkhasiat dingin seperti akar dan daun kayu manis. Dan tanaman yang berkhasiat sedang, netral seperti akar delima, akar kenanga, getah kenari daun sembung (Nala, 2006 : 94).

1.2 Penyakit dan Balian / Dukun sebagai Laboratorium Antropologi Sastra-Medis Penyakit tidak hanya merupakan gejala biologis saja, tetapi memiliki dimensi lain, yakni sosial budaya. Itulah sebabnya untuk menyembuhkan suatu penyakit, tidaklah cukup hanya ditangani masalah biologisnya saja, tetapi harus digarap pula masalah sosial budayanya (Nala , 1993 : 1), lebih lanjut, Nala menyebutkan bahwa apabila pasien harus menjalani rawat nginap di rumah sakit, mereka akan enggan karena masalah sosial budaya ini. Sebab, walaupun dokter dan perawat orang Bali, mereka dianggap asing, disebabkan cara berpikir dan bertindaknya sudah lain dari kebiasaan masyarakat Bali pada umumnya. Bahkan menurut Mechanic dalam Marimbi (2009:15) dinyatakan bahwa tugas medis hanya dapat dilaksanakan secara efektif manakala yang dipertimbangkan baik faktor biologis, faktor sosial budaya maupun psikologis. Tidaklah mengherankan, jika setiap masyarakat mengembangkan sistem medis yang disebut ethnomedicine, folk medicine, populer medicine, populer health culture, ethroiathry (Atmaja, 1992:1) ; (Lieben, 1997) ; (Chambers, 1987 : 107). Bertalian dengan hal ini, Foster / Anderson (1986) menyebut sistem medical atau folk medicine berisi pengetahuan luas dan kompleks yang mencakup kepercayaan, teknik, peranan norma, nilai, ideologi, sikap, kebiasaan yang satu sama lain berhubungan erat. Sebab itu, perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan bukan perilaku acak, melainkan tingkah laku yang selektif, terencana, dan terpola sesuai dengan pranata kesehatan yang dimiliki masyarakat (Pelly, 1989:2). Oleh karena terpola inilah sistem medik tradisional masih dipertahankan masyarakat, walaupun mereka telah mengenal sistem medik modern (Atmaja, 1992 : 5). Sehubungan dengan hal itu, setiap masyarakat mengembangkan sistem medik untuk mengobati penyakit (Horres dan Moran, 1990 : 69). Bagaimanapun teknik penyembuhan penyakit yang dilakukan seseorang, utamanya pengobatan tradisional, menurut Rivers yang dikutip (Wellin, 1977:50 dalam Atmaja, 1992:18) sangat dipengaruhi oleh pandangan manusia terhadap alam semesta. Pandangan manusia inilah yang membedakan masyarakat tradisional dan modern. Masyarakat tradisional merasa lebih puas jika bertobat ke battra, pengobatan tradisional. Di pengobat tradisional mereka ditangani masalah sosial budayanya secara baik dan memuaskan (Nala, 1993:1). Penanganan masalah sosial budaya pasien secara baik dan memuaskan oleh balian (dukun) dilakukan secara lisan. Penanganan masalah sosial budaya pasien oleh dukun yang dilakukan secara lisan ini bisa terjadi baik pada saat diagnosis ketika dukun memohon petunjuk penyakit yang diderita pasien kepada Junjungannya, pada saat prognosis ketika dukun memohon petunjuk apakah penyakit ini dapat disembuhkan dan pada saat terapi ketika dukun memohon sarana yang digunakan serta cara

76 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

meramunya. Pada saat seperti ini terjadi narasi berwujud mitos dan cerita lisan yang dituturkan oleh dukun. Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan ada di antaranya yang memiliki nilai kultural tinggi (Greimas,1987:84 dan Pateda,2010:31). Hal ini sesuai dengan ciri sastra lisan, antara lain:1)lahir dari masyarakat yang polos dan bersifat tradisional;2)menggambarkan budaya milik kolektif tertentu dan 3)sering melukiskan tradisi kolektif tertentu (Endraswara, 2008:151). Keragaman sastra lisan Bali tidak terlepas dari hakikat manusia di Bali sebagai homo ludens, manusia Bali gemar bermain, bersenda gurau. Sebagai homo fabulans, manusia Bali memang gemar bercerita (mesatua, nyatua) (Suarka, 2009:142). Sastra lisan yang disajikan oleh dukun pada saat diagnosis, prognosis, maupun terapi sangat berbeda dengan cerita orang biasa di balai banjar/masyarakat. Sebab, di samping dukun adalah orang yang dihormati dan dihargai masyarakat karena kelebihannya dibandingkan masyarakat biasa, juga karena tuturan yang disampaikannya terkait dengan hal-hal berbau magis sehingga masuk ke dalam mitos. Tuturan ini dikenal dengan tuturan ritual (ritual speech) (Ola, 2006 : 550). Bahasa ritual secara khas berbeda dengan bahasa sehari-hari (Fox, 1986:102). Fox juga menyatakan bahwa bahasa ritual mendapatkan sebagian besar ciri puitiknya dari penyimpangan sistematis terhadap bahasa sehari-hari. Suhardi dkk menyatakan bahasa ritual dapat dianggap sebagai sesuatu yang sakral, paling tidak sebagai media yang paling ulung untuk berkomunikasi dengan Yang Maha Suci (Suhardi,1995:48). Sebagai media komunikasi dengan Yang Maha Suci bahasa ritual bercirikan pemakaian paralelisme (Foley, 1997:336, Kuper 1998, dan Ola, 2006:551). Secara sederhana tuturan ritual dukun dalam sastra lisan bercirikan : (1) bentuk (termasuk diksi) cenderung tetap (2) dituturkan oleh dukun ; (3) situasinya upacara ritual yang berdaya magis. Hal ini sejalan dengan Malinowski dalam (Sibarani, 2004:44) yang membedakan fungsi bahasa menjadi : (1) fungsi pragmatik (practical use) dan (2) fungsi magis (magical use), yaitu fungsi bahasa berkaitan dengan kegiatan upacara atau keagamaan. Dalam hal ini, fungsi bahasa berkaitan upacara memohon kesembuhan. Di sinilah bahasa sebagai sebuah kata memiliki kekuatan magis (Cassirer, 1987 , 168-169). Bahasa yang memiliki kekuatan magis, kata-katanya tak bisa diubah, karena berkaitan dengan kualitas magis (Dhavamony, 1995:58-59). Kekuatan magis menimbulkan dorongan emosional kepada praktik magis (Scharf, 1995:70).

2. Dukun Kapican (anugrah) dan Dukun Katakson (Kekuatan Gaib yang Memberi Kecerdasan) dalam Menjelaskan Diagnosis dan Prognosis Penyakit Pasiennya 2.1 Tuturan Lisan Dukun Kapican dan Dukun Katakson dalam Ritual Persembahan Sesajen Baik dukun kapican maupun dukun katakson sebelum menjelaskan diagnosis penyakit kepada pasiennya, terlebih dahulu diawali dengan ritual persembahan berupa sesaji kepada junjungannya seperti kepada leluhur, para dewa yang memberinya anugrah, makhluk halus (peri, roh, dan jin). Ritual persembahan ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada junjungannya sebelum memohon sesuatu yang dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan dan harapan bahwa permohonannya akan dikabulkan. Sesajen ini dibawa oleh orang yang memohon dan dipersembahkan oleh dukun dengan bahasa dukun dalam bentuk tuturan ritual seperti contoh (1).

Contoh (1) Tuturan Ritual Makna Inggih kaping ajeng titiang nunas ampura. Pertama kami mohon maaf kepada Ratu Majeng ring Ratu sesuhunan santukan rikala Junjungan sebab saat ini, kami berani mangki purun titiang pedek tangkil majeng menghadap kepada Paduka Junjungan ring Ratu sesuhunan malarapan antuk bakti berdasar persembahan berupa jajan, bunga marupa Canang raka kukus aram, mogi-mogi dan dupa wangi, semoga Junjungan berkenan ledang I Ratu ngaksi tur nerima aturan menerima persembahan kami. titiang.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 77

Persembahan yang dilakukan oleh pemohon melalui dukun kepada Termohon dalam hal ini Junjungan sang dukun, mencerminkan adanya rasa hormat pemohon kepada Termohon melalui dukun dalam suasana religius magis. Rasa hormat pemohon ini menunjukkan adanya keyakinan yang tinggi pemohon disertai harapan permohonannya terkabulkan. Di sini terungkap nilai etika/kesantunan pemohon kepada dukun apalagi kepada Balian yang domohoni. Nilai etika pemohon terlihat dari bahasa alus sor “yaitu bahasa alus untuk merendahkan diri penutur itu sendiri dan menghormati mitratutur seperti pada kalimat ‘Inggih kaping ajeng titiang nunas ampura majeng ring ratu sesuhunan.” Pertama kami mohon maaf kepada Ratu Junjungan”. Kalimat ini memiliki etika yang sangat tinggi dalam kultur masyarakat Bali. Apalagi terkait konteks memohon petunjuk dan memohon obat kepada yang Kuasa (ethnomedical). Hal ini menunjukkan bahwa sehat bukan hanya berhubungan dengan kesakitan yang dialami oleh penderita dan penyakit yang menjadi penyebab orang itu sakit yang merupakan aspek biologis, tetapi juga aspek sosial budaya dari perilaku manusia, terutama terkait dengan cara-cara interaksi antara keduanya. Sebab, cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang berkaitan dengan munculnya berbagai penyakit. Dan gaya hidup ini adalah kultur masyarakat.Ini artinya gaya hidup sebagai budaya masyarakat dapat menjadi pemicu tumbuhnya penyakit. Penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat menimbulkan adanya antropologi kesehatan. Perilaku masyarakat yang berkaitan budaya mereka untuk memohon petunjuk kepada orang pintar melalui tuturan lisan menimbulkan adanya antropologi sastra. Tuturan lisan yang disampaikan orang pintar kepada pemohon yang diawali dengan ritual tertentu untuk memperoleh penyembuhan menimbulkan lahirnya etnomedis, (Marimbi, 2009 :43-47) . Dukun Kapican mengobati dengan batu permata dan dukun katakson dengan kekuatan gaib merupakan bagian etnomedis.

2.2 Tuturan Lisan Dukun Kapican dan Dukun Katakson dalam Ritual Permohonan Obat untuk Penyembuhan Penyakit Ada masyarakat yang meyakini bahwa keturunan seorang dukun dapat membantu masyarakat untuk memohonkan obat kepada yang Kuasa. Masyarakat meminta tolong kepada keturunan dukun itu, karena dukun tersebut telah menghadapi yang Kuasa. Atas dasar dorongan dan permintaan yang kuat dari masyarakat, meskipun sudah berulang-ulang dijelaskan tidak memahami persoalan tersebut, akhirnya keturunan dukun memohonkan permintaan masyarakat tersebut dengan memohon kepada Orang tuanya yang dulu dukun dan telah meninggal, seperti wacana (2) berikut ini

Wacana Ritual (2) Makna Inggih kapingajeng lugrayang titiang nunas Pertama ijinkan, kami mohon maaf berani ampura purun titiang tangkil ring Aji. kami menghadap kepada Ayah (orang Santukan wenten semeton nunas tamba berkasta) sudah almarhum karena ada saudara rauh meriki ledang Aji mapaica tamba memohon obat datang ke sini .Mohon Ayah malarapan antuk tirta mangda ipun I Made berkenan menganugrahkan obat berdasar air Jaya prasida kenak kejati mala asapunika atur suci supaya I Made Jaya sehat seperti sedia titiang. Mogi-mogi Aji ledang mapaica ring kala. Demikian permohonan kami semoga untat pinunas titian ten lali titiang ngaturang Ayah berkenan memberi anugrah di akhir suksma lan ampura. permohonan ini saya tidak lupa mohon maaf dan mengucapkan terima kasih.

Wacana ritual (2) ini terkesan sangat sederhana, polos dan lugu, karena memang demikian adanya. Sebab anak Sang dukun yang sudah almarhum, memang tidak mengetahui seluk beluk pengobatan tradisional. Hanya karena keyakinan dan desakan masyarakatlah ia mencoba untuk memohonkan kepada beliau yang diyakini mampu memberikan pertolongan. Faktanya hanya dengan air putih (tirta/air suci) yang berasal dari segelas Aqua yang sudah dimohonkan dapat menyembuhkan

78 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

pasien. Hal ini terlihat dari pernyataan yang berbunyi “ledang aji mapaica tamba malarapan antuk tirta”. Mohon Ayah berkenan menganugrahkan obat berdasar air suci. Perilaku masyarakat yang berobat ke dukun dengan dasar keyakinan bahwa seseorang yang memohonkannya secara lisan atau dalam hati akan mampu menyembuhkan penyakitnya merupakan fenomena antorpologi sastra– etnomedis. Antropologi sastra karena berkaitan dengan perilaku budaya masyarakat dalam memohon penyembuhan secara lisan atau dalam hati dengan dasar keyakinan (mitologi). Etnomedis, karena pengobatan yang digunakan adalah air yang telah dimohonkan anugrah dari seorang dukun yang diyakini dapat menyembuhkan, meskipun telah meninggalmelalui anaknya yang masih hidup.

2.3 Dukun Kapican dan Katakson Menjelaskan Jenis Tanaman Obat yang Harus Dicari Keluarga Pasien Penjelasan jenis tanaman obat yang diberikan oleh dukun menggunakan bahasa Bali kepada pasiennya, ketika dukun itu memohonkan pasien. Oleh karena itu jelas tempatnya berada di areal tempat suci sang sang dukun (merajan), dalam suasana komunikasi magis antara dukun sebagai perantara dengan pihak pasien dan keluarganya maupun dengan yang dipuja. Interaksi komunikasi antara yang dipuja dengan Dukun dalam bentuk komunikasi batin, sedangkan interaksi komunikasi antara dukun dengan pasien merupakan komunikasi dua arah, seperti wacana ritual (3) berikut ini

Wacana Ritual (3) Makna Mangkin rerehang akah ambengan lan Sekarang carikan akar alang-alang dan bungkak nyuh gading cirine warnane kelapa gading yang masih muda cirinya gading berwarna kuning emas.

Bahasa Bali digunakan sebagai bahasa komunikasi kepada pasiennya, karena pasien itu orang Bali sehingga lebih komunikatif. Apabila pasien yang memohon bantuan itu, tidak memahami bahasa Bali, karena bukan orang Bali,maka digunakan bahasa Indonesia.Jadi dukun itu berupaya agar bahasa yang digunakan untuk menjelaskan jenis tanaman obat kepada pasien dan keluarganya itu bisa dan mudah dipahami, seperti pada wacana ritual (4) berikut ini Wacana Ritual (4) Carikan daun salam dan buah mengkudu

2.4 Dukun Kapican dan Katakson Memroses Tanaman Obat Semua komponen yang menjadi unsur pendukung ramuan obat tradisional, setelah dicari oleh keluarga pasien dicuci dengan air bersih seperti akah ambengan (akar alang-alang). Akar alang-alang ini direbus sampai mendidih, lalu didinginkan. Setelah dingin dimohonkan oleh sang dukun untuk mendapatkan anugrah, sebelum diminum oleh pasien untuk mengobati penyakit perut. Untuk kelapa gading, tinggal dicari airnya dan dimohonkan oleh sang dukun, lalu dimohonkan baru diminum oleh pasien sebagai obat sakit perut. Daun salam dicuci dengan air bersih, setelah itu diisi dua gelas air direbus sampai mendidih hingga airnya tinggal sekitar satu gelas. Setelah dingin dimohonkan oleh sang dukun untuk mendapatkan anugrah dan digunakan untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes).

2.5 Penanaman Pengertian Cinta Lingkungan Para dukun memiliki andil yang signifikan dalam rangka penanaman pengertian cinta lingkungan, penanaman, pemeliharaan tanaman, khususnya tanaman obat kepada para pasiennya, apalagi pasien yang berobat kepadanya dapat disembuhkan. Mereka yang sembuh dari hasil berobat ke dukun dengan ramuan obat tanaman tradisional akan sangat mencintai dan menyayangi tanaman obat, bahkan lebih dari mencintai dirinya sendiri. Tentu hal ini sangat membanggakan bagi pelestarian lingkungan. Sebab itu diperlukan sinergi antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 79

memerhatikan, memedulikan dukun sebagai bentuk kerjasama dalam memelihara kelangsungan hidup bumi dan isinya. Sebab dukun baik langsung maupun tidak langsung berperan besar dalam mengampanyekan pelestarian lingkungan melalui penanaman maupun tanaman upacara, tanaman bernilai magis yang diyakini berfungsi sebagai pelindung.

SIMPULAN (1) Dukun kapican mendiagnosis, memrognosis, dan menerapi pasiennya memakai benda bertuah, seperti permata, keris, sedangkan dukun katakson mendiagnosis, memrognosis dan menerapi pasiennya melalui kekuatan gaib yang memberinya kecerdasan, seperti roh. (2) Dukun kapican dan katakson menjelaskan jenis tanaman obat yang harus dicari keluarga pasien dengan penjelasan lisan melalui ciri-ciri tertentu seperti warna daun, warna buah, dan sejenisnya. (3) Setelah bahan terkumpul, lalu dukun meramunya menjadi a) jamu, b) dedak, dan c) bahan sembur untuk kemudian dimohonkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa agar mujarab, sebelum diberikan kepada pasien. (4) Penanaman pengertian cinta lingkungan kepada pasien dan keluarganya oleh dukun dilakukan dengan jalan memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya bahwa tanaman apapun, apalagi tanaman obat di samping memberikan manfaat besar bagi pelestarian lingkungan, juga bermanfaat bagi sosioekonomi keluarga karena kita tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli obat, tetapi dapat menggunakan tanaman obat sebagai obat, tanaman obat memiliki nilai sosiomagis karena dapat menyembuhkan penyakit nonmedis, sebab itu, disarankan agar sastra lisan yang bersumber dari dukun dalam implementasi pengobatan tradisional perlu dikodifikasi (dibukukan).

DAFTAR PUSTAKA Berger, Arthur Asa. 1984. Signs In Contemporany Culture, An Introduction to Semiotics. New York: Longman Budiyono, Sumu Catur. 2006. Sastra Lisan Tembang Kendang Kempul Sebagai Identitas dan Rivalitas Budaya, Sastra, dan Budaya Austronesia di Tengah Era Global dan Dinamika Multikultural. Denpasar: Program Magister dan Doktor Lingustik, Program Magister dan Dokter Kajian Budaya PPS Universitas Udayana. Cassier, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. (Diindonesiakan oleh Alois Nugroho). Jakarta: PT Gramedia. Cika, I Wayan. 2009. Tantangan, Potensi, dan Peluang Sastra Bali di Tengah Peradaban Globalisasi dalam Jurnal Aksara Nomor 34.Th. XXI, Desember 2009 ISSN 0854-3283 halaman 96-116. Daeng, H.J. 1985. Pesta, Persaingan dan Harga Diri pada Beberapa kelompok Etnis di Flores. Jakarta: YOI. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama (Diterjemahkan dari judul aslinya: Phenomenology of Religion oleh kelompok Studi Agama Driyarkara). Jakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widya. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher. Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan (Seri ILDEP). Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Double day Anchor Books Greimas, A.J. 1987. On Meaning Selected Writings in Semiotics Theory. London: Frances Printer Publishing. Hashem, O.1974. Dokter dan Peningkatan Kesehatan di Daerah. Jakarta: LP3ES. Kleden, Probonegoro. 2003. Tanda Budaya Provinsi dan Politik Identitas, Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia . Jild XXIV. No. 1. 2003. LIPI

80 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Kuper, Adam dan Jessica Kuper (Eds). 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial (Terjemahan oleh Haris Munandar, dari Judul Asli : The Social Science Encylopedia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Marimbi, Hanum. 2009. Sosiologi dan Antropologi Kesehatan. Yogyakarta: Nuhamedika. Nala, Ngurah. 1993. Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra Nala, Ngurah. 2006. Aksara Bali dalam Usada. Surabaya: Paramita Nala,Ngurah. 2007. Usadha di Bali dalam Usadha Majalah Kesehatan. Surabaya: Paramita. Ola, Simon Sabon. 2006. Bentuk Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lama Holot dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya Austronesia di Tengah Era Global dan Dinamika Multikultural. Denpasar: Program Magister dan Doktor Lingustik, Program Magister dan Doktor Kajian Budaya PPS Universitas Udayana. Pampe, Pius. 2006. Hak Hidup Bahasa “Yang” dan “Tidak” Hidup: Kajian Tentang Penyusutan Fungsi Religius Bahasa-Bahasa Lokal Minoritas se-Flores dan Lombok. Denpasar: Program Megister dan Doktor Lingustik, Program Magister dan Doktor Kajian Budaya PPS Universitas Udayana. Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta Pelly, Usman. 1989. Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat. Prisma No.5 III. Jakarta: LP3ES Rusyana, Yus. Et al. 1978. Sastra Lisan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. Sande dkk, 1986. Struktur Sastra Lisan Tolaki. Jakarta: Pusbinbangsa Depdikbud Scharf, Betty R. 1995. Kajian Sosiologi Agama (terjemahan Machmun Husein dari judul asli The Sociological Study of Religion). Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Liguistik Antropologi. Medan: Poda. Stutley, M. and J. 1997. A Dictionary of Hinduism. New Delhi: Allied Publisher Private Limited. Suarka, I Nyoman, 2009. Pemanfaatan Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Bali dalam Aksara Jurnal Bahasa dan Sastra Nomor 33, Tahun XXI, Juni 2009. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar. Susanto, Budi. 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Tengah, I Gusti Putu, dkk. 1995. Studi Tentang: Inventarisasi Determinasi dan Cara Penggunaan Tanaman Obat pada Lontar Usada di Bali. Jakarta: Puslitbang Farmasi Balitbang Kesehatan Depkes R.I.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 81

EFEKTIVITAS MODEL MATERI AJAR SINTAKSIS BERBASIS TEKS TERJEMAHAN ALQURAN DAN PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP MODEL ITU

Markhamah, Abdul Ngalim, Muhammad Muinuddinilah Basri [email protected]/[email protected]/No hp: 08122649879 Magister Pegkajian Bahasa, Pascasarjana dan PBSI, FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstract This paper describes the procedure of preparation of teaching materials syntactic text-based translation of the Qur'an. As a result, the preparation procedure is done by reviewing the material of syntactic models developed from the results of the study are contained in the book of syntax, earning model that has been done in some university , analyzing transformation found in the translated text of the Qur'an, to create a model of teaching and learning materials based on the results of syntactic transformation analysis contained in the TTA . The next stage is the validation of the model, apply the model, reviewing the effectiveness of learning outcomes, assess faculty and student perceptions of the model. The results of the application of learning is that teaching materials are developed effectively improve student learning outcomes. Perception student the model developed in general it can be stated that the teaching materials are developed already complete, already practical. Other materials developed perception has several benefits, namely as an addition to knowledge of sentence analysis , enhancing knowledge of the Alquran, and enhancing motivation to worship .

PENDAHULUAN Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada perkembangan manusia yang utuh, kemudian dilengkapai dengan pengembangan khususnya (Tilaar, 1999). Dalam rangka membentuk manusia yang utuh, pendidikan di Indonesia dituntut untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang menjunjung tinggi hak-hak manusia, di samping bertanggung jawab, berakhlak mulia, sadar hukum, dan lain-lain. Salah satu wujud sikap menjunjung tinggi hak-hak manusia adalah menjunjung tinggi adanya kesetaraan dan keadilan gender. Dalam UUD 1945 antara lain terdapat pasal-pasal yang mengatur persamaan hak dan kedudukan antara pria dan wanita dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia Kesamaan itu, antara lain, dalam lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta pendidikan. Pasal-pasal itu adalah sbb.: (1) Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, (2) Pasal 31 ayat (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Konsep hak asasi manusia juga menekankan masalah keadilan gender. Piagam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diimplementasikan tahun 1984, dua tahun setelah perang dunia kedua, juga menekankan kesetaraan jenis kelamin (Engineer, 2003: 3). Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh bangsa Indonesia. Ketimpangan mutu pendidikan masih saja terjadi, walaupun sudah dilaksanakan proyek desentralisas, ketimpangan mutu pendidikan itu masih ada. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2007) menunjukkan masih adanya ketimpangan mutu pendidikan walaupun sekolah yang bersangkutan telah menjadi ujicoba desentralisasi pendidikan. Berbagai model pembelajaran yang telah dikembangkan, di antaranya: penelitian yang dilakukan Asikin (2003:136) yang menemukan bahwa pengembangan modul bahan bacaan dengan desain khusus, diberikan dua minggu sebelum pelaksanaan, dan tetap didampingin guru untuk memehami isinya dapat meningkatkan kemandirian siswa secara maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Daryanti (2003: 36) juga menunjukkan hal yang sama. Artinya, model pembelajaran dengan peta konsep: (1) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, dan (2) dapat mengoptimalkan aktivitas guru dan siswa. Model pembelajaran lainnya dikembangkan oleh Liliani dan Kusmarwanti (2008) dengann strategi group to group exchange, oleh Kristiyani (2009) dan Eriyanti (2009) yang masing-masing

82 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

menerapkan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan keterampilan menulis dan mengembangkan gagasan dalam menulis. Pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran konstruktivistik untuk pengembangan pola berpikir anak dilakukan oleh Senduk (2009). Penelitian lain yant erkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyui (2010) dan penelitian Suharti dan Siti Partini Suardiman (2010). Hasil penelitian Liliani dan Kusmarwanti (2008) menunjukkan bahwa strategi group to group exchange berhasil meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap teori dan mampu membangun refleksi pemikiran individu terkait dengan materi yang dipelajari. Mahasiswa juga dapat membandingkan pengetahuan yang didapat dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Strategi pembelajaran ini dapat membangun pemikiran kritis mahasiswa dan lebih optimal diterapkan pada teori yag relatif lebih mudah dikuasai mahasiswa. Hasil penelitian Kristiyanti (2009) menunjukkan bahawa penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi berikut: (1) siswa terlatih untuk berlatih dan bernalar secara kritis terhadap materi pramenulis laporan dan menulis laporan, (2) siswa penuh aktifitas dan antusias untuk menemukan tema, (3) siswa berani mengajukan pertanyaan dan informasi hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, (4) siswa dapat memberikan contoh melakukan pengamatan, (5) siswa dapat melakukan refleksi, dan (6) penilaian menekankan pada proses dan hasil pembelajaran. Penerapan pendektan ini juga dapat meningkatkan hasil pembelajaran siswa. Peningkatan ini dapat diketahui dari : (1) siklus I nilai rata- rata pretes adalah 56,12 dan postes 65,50 (persentase kenaikan 7,71%). Siklus II nilai postes mencapai 78,50. Jadi, persentasi kenaikan pada siklus II mencapai 9,03%. Simpulan penelitian Eriyanti (2009) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual efektif untuk meningkatkan kemampuann mengembangkan gagasan dalam menulis ilmiah bagi mahasiswa Pprogram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang. Mahasiswa dapat mengembangkan gagasan secara lebih rinci, runtut, terfokus, dan padu dalam menulis wacana ilmiah. Bentuk-bentuk belajar yng diterapkan adalah penghubungan, eksplorasi, penemuan, penerapan, kerjasama, dan penerapan pada konteks lainnya. Metode pembelajaran yang diterapkan adalah tanya jawab, pemodelan, kerja kelompok dan diskusi, penemuan, refleksi, dan peniliaian autentik. Senduk (2009) mengidentifikasi indikator-indikator perilaku mengajar konstruktivistik guru SMP Kota Tondano yang diperlukan untuk pengembangan pola berpikir kritis siswa. Hasilnya indikator- indikator perilaku mengajar konstruktivistik guru SMP Kota Tondano yang diperlukan untuk pengembangan pola berpikir kritis siswa pada umumnya hanya sedikit pemunculannya (28,42%). Jadi, perilaku mengajar konstruktivistik yang dimiliki guru sangat kurang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis di kalangan para siswa. Bahkan, terdapat indikator perilaku konstruktivistik yang tidak muncul, yakni: (1) keterlibaan siswa dalam merancang, melakukan, dan mengevaluasi pembelajaran, (2) siswa didorong untuk belajar dari siswa yang lain, (3) pembelajaran dihubungkan dengan dunia nyata, (4) pemanfaatan dan pengembangan konteks dan pengetahuan kehidupan siswa, (5) guru bertindak sebagai fasilitator dalam pembelajaran siswa. Penelitian Jamilah dan Ari Purnawan (2009) mencatat hasil berikut. Revisi yang dilakukan terhadap tes recognition dan production secara statistik telah meningkatkan koefisien validitas dan reliabilitas naskah soal. Peningkatan itu telah membuktikan bahwa peningkatan mutu dan kesesuaian instrumen senantiasa dapat diupayakan sampai pada harga-harga tertetnu yang diinginkan. Tingkat kesulitan naskah di kisarana 0,5 yang berarti menunjukkan bahwa instrumen itu dapat dijadikan pengukur yang baik. Artinya, isntrumen itu dapat mengukur siswa yang menguasai bahan dan yang siap. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyui (2010) berkenaan dengan model asesmen otentik untuk pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia secara lisan. Simpulan penelitian yang dinyatakan berkaitan dengan prosedur pengembangan model dan hasil kajian terhadap model yang Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 83 dikembangkan. Prosedur yang ditempuh oleh peneliti dalam mengembangkan model tersebut adalah pembentukan tim kolaboratif, studi pendahuluan, merencanakan asesmen, medesain dan mengembangkan produk asesmen, mengadakan uji coba produk, merevisi produk, dn terakhir mengadakan kegiatan desiminasi. Hasil penelitian secara umum dinyatakan sangat memadai (64,71%). Hasil kajian terhadap produk adalah hasil kajian oleh guru yang menyatakan 70, 59% mengatakan sangat mudah untuk diterapkan. Hasil kajian lainnya adalah hasil kajian oleh siswa. Siswa yang menyatakan sangat senang sebanyak 84, 49%. Hasil uji coba lapangan menunjukkan bahwa model asesmen otentik yang dikembangkan efektif untuk mengukur pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia lisan. Bertolak dari pemikiran di atas, peneliti menawarkan alternatif pengembangan model materi ajar dan pembelajaran berbasis teks terjemahan Al Quran. Model ini diyakini dapat memberi peluang mahasiswa untuk terlibat dalam diskusi, berpikir kritis, berani dan mau mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri sebagaimana dinyatakan oleh Fajar (2002:46). Selain itu, penelitian ini diharakan dapat melengkapi model-model yang telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya (Markhamah, dkk, 2006a; 2006b) dan penelitian tentng teks terjemahan Alquran lainnya (Markhamah, 2003a; 2003b; 2003c; Markhamah dan Atiqa sabardila, 2010; 2012). Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian selama tiga tahun. Namun, pada tulisan ini hanya dinyatakan prosedur dan deskrpisi singkat materi ajar sintaksis berbasis teks terjemahan Alquran, efektifitas model yang dikembangkan, dan tanggapan mahasiswa terhadap model materi ajar yang dikembangkan.

METODE PENGELITIAN Subjek penelitian ini adalah para dosen dan mahasiswa jurusan B. Indonesia di perguruan tinggi di Jawa Tengah dan DIY. Subjek penenelitian lainnya adalah ahli pendidikan, dan para linguis. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan memperhatikan tujuan penelitian. Informanadalah dosen mata kuliah Sintaksis Program Studi/Jurusan Bahasa Indonesia dan mahasiswa penempuhnya. Peristiwa, yaitu peristiwa berlangsungnya uji coba model materi ajar dan pembelajaran. Dokumen, yaitu jenis informasi tertulis, antara lain model yang dikembangkan, data dosen, dan data mahasiswa, persepsi dosen, persepsi mahasiswa, hasil evaluasi penerapan materi ajar dan pembelajaran Analisis Kalimat ketika menerapkan model yang dikembangkan. Angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang kendala yang dihadapi dosen dalam pembelajaran Sintaksis. Angket juga digunakan untuk mengumpulkan data tentang persepsi dosen dan mahasiswa terhadap model yang dikembangkan. Selain itu juga digunakan teknik observasi. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi berpartisipasi. Observasi atau pengamatan dilakukan untuk menggali data yang bertalian dengan penerapan model materi ajar dan pembelajaran yang dikembangkan untuk mata kuliah sintaksis. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang pelaksanaan/penerapan model yang dikembangkan. Analisis dokumen dilakukan terhadap semua informasi tertulis, baik yang tersurat maupun yang tersirat yang terkait dengan penelitian ini, misalnya untuk mengidentifikasi data tentang persepsi terhadap materi ajar yang dikembangkan, hasil evaluasi, dan catatan hasil observasi pembelajaran. Analisis statistik deksriptif untuk mengetahui besarnya persepsi mahasiswa terhadap model yang dikembangkan. Analisis komparatif dipakai untuk mengetahui efektivitas penerapan pembalajaran dengan menggunakan model materi ajar sintakis berbasis teks terjemahan Alquran, yakni materi ajar I dan II.

HASIL DAN PEMBAHASAN Prosedur dan Deskripsi Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alquran Pada dasarnya, langkah-langkah penelitian dan pengembangan ini secara garis besar dapat diringkas menjadi empat langkah utama. Pertama, studi pendahuluan dan eksplorasi mengenai materi ajar dan pembelajaran mata kuliah sintaksis yang dilakukan di perguruan tinggi di Jateng dan

84 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

DIY dan buku-buku yang digunakan di perguruan tinggi di Jateng dan DIY. Secara lebih rinci kegiatan tahun I ini meliputi: (1) mendeskripsikan sumber materi ajar untuk mata kuliah Sintaksis yang dilaksanakan di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Tengah dan DIY, (2) mendeskripsikan pembelajaran mata kuliah Sintaksis yang dilaksanakan di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Tengah dan DIY, (3) menganalisis keterkaitan materi ajar yang ada pada buku Sintaksis dengan hasil- hasil penelitian bidang Sintaksis yang ada, (4) melakukan FGD untuk mendeskripsikan kendala yang terjadi dalam pembelajaran mata kuliah Sintaksis dan bagaimana solusi yang ditempuh oleh dosen pengampu. Kedua, menganalisis proses transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran dan menyusun desain materi ajar dan pembelajaran Sintaksis yang dikembangkan dari hasil penelitian itu. Secara lebih rinci kegiatan tahaqp kedua/tahun II ini meliputi: (1) mendeskripsikan proses transformasi yang terdapat pada teks Terjemahan Al Quran, (2) mengembangkan model materi ajar mata kuliah Sintaksis berdasarkan hasil penelitian tentang transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran, (3) mengembangkan model pembelajaran mata kuliah Sintaksis berdasarkan hasil penelitian tentang transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran, dan (4) mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan model materi ajar dan pembelajaran yang dikembangkan tersebut. Ketiga, Mengkaji efektifitas model materi ajar dan pembelajaran mata kuliah Sintaksis yang dikembangkan berdasarkan hasil penelitian tentang transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran.tersebut. Tujuan ini dirinci menjadi: (1) melakukan ujicoba dan menganalisis efektifitas model materi ajar yang dikembangkan dari transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran, (2) melakukan uji coba dan mengkaji efektifitas model pembelajaran yang dikembangkan dari transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran, (3) memaparkan persepsi dosen dan mahasiswa terhadap model materi ajar dan pembelajaran yang dikembangkan dari transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran. Materi ajar ajar Sintaksis berbasis teks terjemahan Alquran yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri atas materi ajar I dan materi ajar II. Materi ajar I adalah Transformasi Fokus: Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alquran. Materi ajar II adalah Transformasi Sematan: Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alquran. Struktur materi ajar I dan II secara garis besar sama. Struktur yang dimaksud adalah: judul materi ajar, kompetensi dasar, pendekatan pembelajaran, membangun konteks, materi inti, evaluasi, dan daftar pustaka. Yang membedakan keduanya adalah isi materi inti. a. Materi Ajar I Transformasi Fokus: Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alqran Materi ajar I disusun berdasarkan hasil penelitian tahun II, yang berupa transformasi fokus pada pada TTA. Namun, bukan keseluruhan hasil penelitian mengenai transormasi fokus disajikan ke dalam materi ajar. Hasil penelitian yang dinilai substansi dan sesuai dengan tujuan dan silabus pembelajaran Sintaksis yang diambil dalam materi ajar ini. Untuk mengetahui perbandingan antara proporsi hasil penelitian dengan materi ajar dapat diperhatikan kembali pada tabel 4.1. Materi inti untuk Transformasi Fokus: Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alquran adalah: tatabahasa transformasi, transformasi fokus pada teks terjemahan Alquran (TTA), cara melakukan transformasi fokus pada TTA, macam-mcam penanda fokus pada TTA, dan implikasi pemberian fokus. Pada tatabahasa transformasi dijelaskan pengertian transformasi dan macam- macam trnsformasi secara sepintas. Penjelasan secara sepintas karena pada pertemuan sebelumnya sudah dijelaskan mengenai karakteristik tatabahasa transformasi dan macam-macam kalimat transformasi. Pada transformasi fokus dipaparkan contoh teks terjemahan Alquran yang mengandung transformasi fokus untuk diobservasi dan dicermati mahasiswa. Dinyatakan kesatuan teks dan kemudian diurai ke dalam klausa-klausa yang mengandung transformasi fokus. Pada contoh data itu juga dinyatakan bagaimana bentuk sebelumnya (sebelum dilakukan transformasi fokus). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 85

Setelah paparan mengenai TTA dan klausa-klausa yang mendandung transformasi, mahasiswa diminta untuk mencermati cara melalukan transformasi dengan alat atau penanda tranformasi. Dari paparan contoh data itu juga dapat diketahui proses melakukan transformasi. Harapannya mahasiswa bisa menalar dan mendiskusikan cara melakukan transformasi fokus dengan mencermati contoh. Pada macam-macam penanda fokus dinyatakan penanda fokus yang berupa pemindahan, penggunaan peanda –lah/pun, dan penggunaan posesif –nya. Penanda fokus pemindahan ada yang berupa pemindahan predikat, pemindahan objek, dan pemindahan waktu, serta modalitas ke posisi awal klausa atau kalimat. Pemindahan P ke bagian awal, dilakukan baik P yang diisi oleh kategori verba, maupun oleh kategori ajektiva. Berbagai jenis verba dipindahkan ke awal kalimat/klausa, seperti verba berimbuhan, verba dasar, verba aktif, dan verba pasif Pada bagian yang menyatakan implikasi fokus dapat dinyatakan secara singkat bahwa pemberian fokus itu berimplikasi pada beberapa hal berikut: (1) menguatkan S, (2) menguatkan jawaban terhadap pertanyaan, (3) menguatkan verba (baik perintah, maupun larangan), dan (4) menguatkan keserba-Mahaan Allah. (Markhamah, dkk. 2013). Materi selengkapnya sebagai berikut. b. Materi Ajar II: Tranformasi Sematan: Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alquran Seperti halnya materi ajar I, materi ajar II topiknya Tranformasi Sematan: Materi Ajar Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Alquran. Proses penyusunan materi ajar II tidak jauh berbeda dengan proses penyusunan/pengembangan materi ajar I. Materi ini diawali dengan pemaparan kompetensi dasar, pendekatan pembelajaran, dan membangun konteks. Materi inti berisi: posisi sematan pada ayat, jenis tranformasi sematan, karakteristik sematan pada teks terjemahan Alquran, dan simpulan. Materi selengkapnya dapat dibaca pada lampiran laporan penelitian Markhamah, dkk. (2013).

Efektivitas materi ajar dan pembelajaran Sintaksis berbasis teks terjemahan Alquran Pengujian efektivitas model yang dikembangkan dihitung dari peningkatan nilai rata-rata pretes dibandingkan dengan nilai rata-rata postes.

Tabel 4.2. Perbandingan Nilai Pretes Dengan Postes Materi Ajar Transformasi Fokus Kelas VC Kelas VD Rerata pretes 26 Rerata postes 66 Rerata pretes 28 Rerata postes 68 Nilai terendah 10 Nilai terendah 25 Nilai terendah 5 Nilai terendah 35 Nilai tertinggi 50 Nilai tertinggi 85 Nilai tertinggi 60 Nilai tertinggi 90

Tabel 4.3. Perbandingan Nilai Pretes Dengan Postes Materi Ajar Transformasi Sematan Kelas VC Kelas VD Rerata pretes 24 Rerata postes 87 Rerata pretes 16 Rerata postes 85 Nilai terendah 10 Nilai terendah 60 Nilai terendah 5 Nilai terendah 60 Nilai tertinggi 35 Nilai tertinggi 95 Nilai tertinggi 45 Nilai tertinggi 95

Setelah tabel 4.2 diperhatikan dapat diketahui bahwa pembelajaran materi ajar yang dikembangkan menunjukkan adanya peningkatan dari nilai pretes ke nilai postes. Peningkatan nilai rata-rata pada materi ajar transformasi fokus sebesar 40 poin (dari rata-rata pretes 26 menjadi 66) untuk kelas C dan (dari rata-rata pretes 28 menjadi 68) pada kelas D. Peningkatan juga terjadi pada transformasi sematan. Peningkatan nilai rata-rata transformasi sematan sebesar 63 poin untuk kelas C dan 69 point untuk kelas D. Jadi, kenaikan nilai rata-rata transformasi fokus 40 poin (dari 27

86 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

meningkat menjadi 67) dan nilai rata-rata transformasi sematan meningkat 66 poin (dari 20 menjadi 86). Selain peningkatan nilai rata-rata, juga terjadi peningkatan nilai terendah, baik kelas C maupun kelas D. Kelas C nilai terendah 10 menjadi 25 pada transformasi fokus dan dari 10 menjadi 60 untuk transformasi sematan. Adapun kelas D nilai terendah 5 menjadi 35 untuk transformasi fokus dan dari 5 menjadi 60 untuk transformasi sematan. Jadi, nilai terendah 5 naik menjadi 35. Nilai tertinggi juga mengalami peningkatan. Pada transformasi fokus nilai tertinggi kelas C dari 50 menjadi 85 dan pada transformasi sematan naik dari 35 menjadi 95. Adapun nilai tertinggi kelas D untuk tranformasi fokus naik dari 60 menjadi 90, sedangkan nilai tertinggi tranformasi sematan naik dari 45 menjadi 95. Jadi, nilai tertinggi naik dari 35 menjadi 95. Dari data-data itu dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikan nilai rata-rata pretes ke postes, nilai terendah, dan nilai tertinggi. Kenaikan nilai rata-rata transformasi fokus 40 poin (dari 27 meningkat menjadi 67) dan nilai rata-rata transformasi sematan meningkat 66 poin (dari 20 menjadi 86). Jadi peningkatan nilai sebesar 53 poin (dari nilai rata-rata 23,5 menjadi 76,5). Nilai terendah 5 naik menjadi 35 dan nilai tertinggi naik dari 35 menjadi 95. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan pembelajaran materi ajar yang dikembangkan itu hasilnya efektif meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Efektivitas hasil pembelajaran itu di antaranya didukung oleh tersedianya materi ajar. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi (2001). Hasil penelitian Supriyad menunjukkan bahwa tingkat kepemilikian siswa terhadap buku dan fasilitas sekolah berkorelasi dengan prestasi belajarnya (Supriyadi, 2001). Pembelajaran berbasis teks terjemaah Al Quran memiliki sejumlah manfaat di antaranya: (1) mengatasi kelemahan pada pembelajaran klasikal maupun individual, (2) membantu menjadikan materi yang abtrak dan sulit mendapatkan contoh di lingkungan sekolah menjadi lebih konkrit, (3) memungkinkan pengulangan sampai berkali-kali tanpa rasa malu bagi yang berbuat salah, (4) mendukung pembelajaran individual, (5) lebih mengenal dan terbiasa dengan kerja tim tutor sebaya, (6) merupakan media pembelajaran yang efektif, (7) menciptakan pembelajaran yang “enjoyment” atau “joyful learning”. Berdasarkan hasil pembelajaran di muka dapat dinyatakan bahwa model pembelajaran berbasis teks terjemaah Al Quran ini dapat dipakai dosen untuk meningkatkan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. Model pembelajaran berbasis teks terjemaah Al Quran dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika mahasiswa mengikuti pembelajaran dan berorientasi menuju pembentukan manusia sosial (Mafune, 2005). Model pembelajaran berbasis teks terjemaah Al Quran dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab siswa akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (constructing) dan penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagi pengetahuan, serta tanggung jawab individu tetap merupakan kunci keberhasilan pembelajaran. Hal ini didukung oleh pendekatan pembelajaran saintifik (mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring. Asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model ini telah terbukti dengan adanya efektivitas pembelajaran yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil beajar. Asumsi yang dimaksud yaitu (1) untuk meningkatkan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa dapat ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas, (2) komponen emosional lebih penting daripada intelektual, yang tak rasional lebih penting daripada yang rasional, dan (3) untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah, hahasiswa harus lebih dahulu memahami komponen emosional dan irasional.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 87

Persepsi mahasiswa terhadap materi ajar Sintaksis berbasis teks terjemahan Alquran a. Persepsi terhadap materi ajar transformasi sematan Persepsi mahasiswa terhadap materi ajar yang dikembangkan (materi ajar II transformasi sematan materi ajar Sintaksis berbasis teks terjemahan Alquran) adalah persepsi terhadap kelengkapan materi, kejelasan materi, kegunaan materi, kepraktisan materi, dan kaitan materi ajar dengan pemahaman Alquran. Pertama, persepsi terhadap kelengkapan materi. 37 (61%) mahasiswa kelas C dan D menyatakan bahwa materi ajar sudah lengkap karena materi ajar telas menjelaskan mengenai transformasi sematan, cara melakukan transformasi sematan, posisi unsur yang disematkan, dan transformasi sematan yang ada pada teks terjemahan Al-Quran. Selain itu sudah disertai dengan contoh-contoh transformasi sematan dalam teks terjemahan Al-Quran. 1 mahasiswa menyatakan bahwa materi cukup lengkap, tetapi belum secara keseluruhan. Kedua, persepsi terhadap kejelasan materi. 39 (64%) mahasiswa kelas C dan D menyatakan bahwa materi sudah jelas karena tiap sub bab dikaji dengan baik dan runtut. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan sudah diberi contoh. 2 mahasiswa menyatkan bahwa materi masih memerlukan tahap perbaikan. Bagian awal diperlukan peta konsep mengenai struktur pemetaan materi yang akan dipelajari. Penyusunan materi ajar juga perlu memerhatikan diksi yang tepat. Kedua, persesi terhadap kegunaan materi ajar. 44 (72%) mahasiswa kelas C dan D menyatakan bahwa materi ajar transformasi sematan memiliki manfaat untuk menambah wawasan tiap-tiap individu. Keberadaan materi ajar transformasi sematan bisa dikatakan sebagai jembatan ilmu dalam memeroleh pengetahuan sehingga bisa menopang kegiatan belajar mengajar. Satu mahasiswa menyatakan bahwa materi ini penting untuk dipelajari dan disebarluaskan kepada orang lain serta dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menyusun skripsi. Satu mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan dapat meningkatkan ilmu. Ketiga, persepsi mahasiswa terhadap kepraktisan materi ajar. 33 (54%) mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan sudah praktis karena materi transformasi sematan hanya membahas materi pokoknya. Materi berupa rangkuman yang cukup jelas dan mudah dipelajari dimanapun berada. Tujuh mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan tidak praktis karena kurangnya contoh dan pengertian mengenai transformasi sematan. Keempat, kaitan materi ajar dengan pemahaman Alquran. 45 (74%) mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan bisa menambah pemahaman mengenai Alquran, karena dengan memelajari materi ajar transformasi sematan akan mendapatkan dua manfaat sekaligus yaitu memelajari tentang analisis kalimat dan manambah pemahaman tentang makna yang terkandung dalam Alquran. 2 mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan tidak berkaitan dengan pemahaman Alquran karena lebih fokus pada materi transformasi sematan dan terjemahan Alquran hanya diambil satu ayat. Kelima, persepsi mahasiswa terhadap manfaat terhadap peningkatan motivasi untuk beribadah. 34 (55%) mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan dapat meningkatkan motivasi untuk beribadah. Materi yang ada pada transformasi sematan selain analisis kalimat juga terdapat ungkapan untuk memotivasi ibadah. Selain itu, secara tidak langsung dapat mengetahui makna yang terkandung dalam Alquran sehingga dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dua mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan belum tentu meningkatkan motivasi untuk beribadah. Tujuh mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan sedikit bisa meningkatkan motivasi beribadah dengan adanya materi transformasi dapat menambah pemahaman tentang Alquran. Satu mahasiswa menyatakan bahwa ada keraguan apakah materi transformasi sematan dapat meningkatkan motivasi beribadah. Artinya, satu mahasiswa menyatakan kemungkinan bisa meningkatkan motivasi beribadah, tetapi masih memiliki keraguan. Tiga mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi sematan tidak bisa meningkatkan motivasi

88 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

beribadah karena pembahasan hanya menjelaskan terdapatnya transformasi sematan dalam teks terjemahan Alquran. b. Persepsi Mahasiswa Terhadap Materi Transformasi Fokus Pertama, persepsi mahasiswa terhdap Kelengkapan Materi. 50 mahasiswa kelas C dan D (dari sejumlah 81 mahasisiwa) atau 62% menyatakan bahwa materi transformasi fokus sudah lengkap. Hal ini didukung dengan argumentasi dari mahasiswa yakni materi sudah mencakup keseluruhan indikator dan contoh-contoh yang diberikan cukup jelas. Namun ada 4 mahasiswa yang menyatakan bahwa materi masih membingungkan sehingga perlu mencatat, meskipun 2 mahasiwa menyatakan kelengkapan materinya lengkap. Kedua, persepsi ahasiswa terhadap kejelasan materi. 40 mahasiswa (50%) kelas C dan D menyatakan bahwa materi transformasi fokus sudah jelas untuk satu cakupan transformasi fokus serta sudah disertai dengan contoh-contoh. 2 mahasiswa menyatakan belum lengkap dengan alasan masih terdapat beberapa penjabaran atau penjelasan yang kurang berterima dengan peserta didik. Artinya ada beberapa pemilihan kosakata yang masih kurang dipahami oleh peserta didik serta hanya menjelaskan jenis transformasi yang terdapat pada teks terjemahan Alquran. Ketiga, persepsi mahasiswa terhadap kegunaan materi ajar. 76 mahasiswa (94%) kelas C dan D menyatakan bahwa materi transformasi fokus memiliki beberapa manfaat diantaranya: dengan adanya materi ajar transformasi fokus mahasiswa bisa mendapatkan tambahan ilmu yang tidak terbatas, lebih leluasa mendalami materi dimanapun berada, untuk menambah wawasan dan pengetahuan, mampu memahami transformasi fokus yang berguna untuk mata kuliah analisis kalimat, menambah pengetahuan mengenai Alquran, dapat menganalisis teks terjemahan Alquran, menambah wawasan, dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menyusun skripsi, menambah ilmu bidang bahasa, dan berguna dalam pembelajaran sintaksis. Keempat, persepsi mahasiswa terhadap kepraktisan materi ajar. 46 mahasiswa (68%) kelas D menyatakan bahwa materi transformasi fokus sudah praktis. Hal ini di dukung dengan argumentasi mahasiswa yaitu: dapat dibawa kemanapun serta dapat disesuaikan dengan tingkat psikologi peserta, sudah mencakup indikator pencapaian dan sudah berbentuk ringkasan, hanya membahas poni pokoknya saja sehingga mudah dipahami, dapat dipahami secara sekilas, 2 mahasiswa mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi fokus belum praktis dengan alasan materi terlalu banyak dan bukan dalam bentuk rangkuman. 1 mahasiswa tidak mengisi angket. Kelima, kaitan materi ajar dengan pemahaman Alquran. 66 mahasiswa (74%) kelas D menyatakan bahwa materi transformasi fokus sudah bisa menambah pemahaman mengenai Alquran. Hal ini didasarkan pada argumenasi mahasiswa yaitu: materi transformasi fokus dijelaskan mengenai subjek predikatnya, pemfokusannya, penjelasan mengenai transformasinya, membahas ayat-ayat dalam Alquran, dapat paham mengenai makna yang terkandung dalam Alquran, mencantumkan arti ayat dalam Alquran. 1 mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi fokus tidak bisa menambah pemahaman mengenai Alquran karena lebih fokus terhadap materi transformasi fokus. 1 mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi fokus sedikit bisa menambah pemahaman mengenai Alquran. 1 mahasiswa tidak mengisi angket. Keenam, manfaat terhadap peningkatan motivasi untuk beribadah. 60 mahasiswa (75%) menyatakan bahwa materi transformasi fokus dapat meningkatkan motivasi untuk beribadah. Hal ini didukung dengan argumentasi mahasiswa yaitu: dengan adanya teks terjemahan Alquran secara tidak langsung beripikir dan berusaha memahami sehingga akan meningkatkan motivasi beribadah, satu terjemahan ayat jika memahami maknanya secara mendalam akan meningkatkan motivasi beribadah, dapat memahami isi dalam Alquran, dengan membaca ayat dalam teks terjemahan Alquran dapat meningkatkan motivasi beribadah, teks mengarahkan dalam motivasi, memperdaya otak untuk memahami Alquran secara mendalam sehingga akan meningkatkan motivasi beribadah. 1 mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi fokus tidak dapat meningkatkan motivasi Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 89 beribadah. 1 mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi fokus sedikit bisa meningkatkan motivasi beribadah. 1 mahasiswa tidak mengisi angket. Dari keseluruhan persepsi mahasiswa itu dapat dirangkum sebagai berikut. Materi ajar yang dikembangkan (transformasi fokus dan ransformasi sematan): (1) 62% menyatakan bahwa materi itu sudah lengkap, (2) 57% mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi yang dikembangkan sudah jelas (3) 74% mahasiswa menyatakan bahwa materi itu memiliki beberapa manfaat diantaranya: dengan adanya materi ajar transformasi fokus mahasiswa bisa mendapatkan tambahan ilmu yang tidak terbatas, lebih leluasa mendalami materi dimanapun berada, untuk menambah wawasan dan pengetahuan, mampu memahami transformasi focus dan sematan yang berguna untuk mata kuliah analisis kalimat, (4) 71% mahasiswa mengatakan materi ajar menambah pengetahuan mengenai Alquran, (5) menyatakan bahwa materi yang dikembangkan sudah praktis, (6) 75% mahasiswa berpendapat materi ajar tersebut memiliki manfaat untuk peningkatan motivasi beribadah. Berdasarkan data-data itu secara umum dapat dinyatakan bahwa materi ajar yang dikembangkan sudah lengkap, sudah praktif, memiliki beberapa manfaat, yakni sebagai penambah pengetahuan mengenai analisis kalimat, penambah pengetahuan tentang Alquran, dan penambah motivasi beribadah.

SIMPULAN Efektivitas pembelajaran dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikan nilai rata-rata pretes ke postes, nilai terendah pretes dan postes, dan nilai tertinggi pretes dan postes. Kenaikan nilai rata- rata hasil pembelajaran transformasi fokus 40 poin (dari 27 meningkat menjadi 67) dan nilai rata- rata hasil pembelajaran transformasi sematan meningkat 66 poin (dari 20 menjadi 86). Jadi, peningkatan nilai rata-rata pretes ke postes sebesar 53 poin (dari nilai rata-rata 23,5 menjadi 76,5). Nilai terendah pretes 5 naik menjadi 35 pada postes dan nilai tertinggi pada postes naik dari 35 menjadi 95. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil penerapan pembelajaran materi ajar yang dikembangkan efektif meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Persepsi mahasiswa itu dapat disimpulkan sebagai berikut. Materi ajar yang dikembangkan (transformasi fokus dan ransformasi sematan): (1) 62% menyatakan bahwa materi itu sudah lengkap, (2) 57% mahasiswa menyatakan bahwa materi transformasi yang dikembangkan sudah jelas (3) 74% mahasiswa menyatakan bahwa materi itu memiliki beberapa manfaat diantaranya: dengan adanya materi ajar transformasi fokus mahasiswa bisa mendapatkan tambahan ilmu yang tidak terbatas, lebih leluasa mendalami materi dimanapun berada, untuk menambah wawasan dan pengetahuan, mampu memahami transformasi focus dan sematan yang berguna untuk mata kuliah analisis kalimat, (4) 71% mahasiswa mengatakan materi ajar menambah pengetahuan mengenai Alquran, (5) 67 % menyatakan bahwa materi yang dikembangkan sudah praktis, (6) 75% mahasiswa berpendapat materi ajar tersebut memiliki manfaat untuk peningkatan motivasi beribadah. Berdasarkan data-data itu secara umum dapat dinyatakan bahwa materi ajar yang dikembangkan sudah lengkap, sudah praktis, materi yang dikembangkan memiliki beberapa manfaat, yakni sebagai penambah pengetahuan mengenai analisis kalimat, penambah pengetahuan tentang Alquran, dan penambah motivasi beribadah.

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini peneliti mengucakan terima kasih kepada: Drs. Harsono, M.Hum. (UG), F.X. Sawardi, M.Hum. (UNS), Drs. Purwadi, M.Pd. (UNS), Drs. Hery Artono, M.Hum (USD), yang telah berkenan membantu dalam penyediaan data penelitian mengenai pembelajaran sintaksis di perguruan tinggi yang telah dilaksanakan di perguruan tinggi masing-masing. Di samping itu, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada: Drs. Kuntoro, M.Hum. (UMP), Drs. Harsono, M.Hum. (UGM), Drs. Henry Yustanto, M.Hum (UNS) yang telah berkenan memberikan masukan dan melakukana

90 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

validasi model materi ajar sintaksis berbasis TTA. Mudah-mudahan Allah memberikan balasan yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA Asikin, Mohammad. 2003. “Peningkatan Keefektifan Pembelajaran Pembuktian Matemamtika Melalui Model Belajar Perubahan Konseptual dengan CLS (Cooperative Learning Strategies). Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. XIX, No. 2. 2003. Hal. 112-126. Astuti, Siti Irene. 2007. ”Desentralisasi Pendidikan dan Ketimpangan Mutu papda Tingkat Satuan Pendidikan”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Engineer, Asghar Ali. 2002. ”Ïslam And Poligamy”. Dalam Musyawa: Jurnal Studi Gender dan Islam. Vol. 1 No. 1 Maret. Hal.27-39. Eriyanti, Ribut Wahyu. 2009. Peningkatan Kemampuan Mengembangkan Gagasan dalam Menulis Ilmiah dengan Pendekatan Kontekstual bagi Mahasiswa Jurusan Pendidika Bahasa dan Sastea Indonesia. Litera: Junral Penelitian Bahasa, Sastera, dan Pengajarannya. Vol. 8, Nomor 1. 2009. Jamilah dan Ari Purnawan,. 2009. Pengembngan Instrumen Pengukuran Hasil Pembelajaran Mata Kuliah Pronounciation. Diksi: Jurnal Ilmih Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Vol. 16, No 2 Juli, 2009. Kristiyani, Ary. 2009. Penerapan Pendektan Kontekstual untuk Mmeningkatkan Keteramilan Menulis Laporan Siswa Kelas VIII SMP. Litera: Junral Penelitian Bahasa, Sastera, dan Pengajarannya. Vol. 8, Nomor 1. 2009. Liliani, Else dan Kusumarwanti. 2009. Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran Sosiologi Sastra dengan Strategi Gorup to Group Exhange bagi Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastera Indonesia FBS UNY. Litera: Junral Penelitian Bahasa, Sastera, dan Pengajarannya. Vol. 7, Nomor 1. April 2008. Markhamah. 2003a. “Gender dalam Terjemahan Ayat-ayat Quran tentang laki-laki dan Perempuan” , Profetika, Desember 2003. Markhamah. 2003b. “Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama”, Jurnal Penelitian Humanioran Vo. 4, N0. 2, 2003 Markhamah. 2003c . “Persamaan Laki-laki dan Perempuan dalam Quran tentang Laki-laki dan Perempuan”, Seminar Nasional Hasil Penelitian, Diadakan Balitbang Jateng, Desember 2003. Markhamah, dkk. 2006. Persepsi Pengambil Kebijakan dan Guru terhadap Pengembangan Model Materi Ajar dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP Berperspektif Kesetaraan Gender. Dalam Jurnal Penelitian Humaniora (Terakreditasi) Vol 7. No. 1 tahun 2006 Markhamah dan Srawiji Suwandi. 2006a. “Persepsi Pengambil Kebijakan dan Guru terhadap Pengembangan Model Materi Ajar dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP Berperspektif Kesetaraan Gender”. Dalam Jurnal Penelitian Humaniora (Terakreditasi) Vol 7. No. 1 tahun 2006. Markhamah dan Atiqa Sabardila. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Markhamah dan Atiqa Sabardila. 2010. Sintaksis 2: Keselarasan Fungsi, Kategori, dan Peran pada Klausa. Surakarta: Muhammadiyah University Press Senduk, Agus Gerrad. 2009. Pengembangan Pola Berpikir Kritis Siswa melalui Pemelajaran Bahasa Indonesia yang Konstruktivistik di SMP Kota Tondano. Litera: Junral Penelitian Bahasa, Sastera, dan Pengajarannya. Vol. 8, Nomor 1. 2009. Sugiarti. 2003. Laporan Kegiatan “Waork Shorp Bahan Ajar yang Responsif Gender”. Malang: Lembaga Penelitian, Universitas Muhammadiyah Malang. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 91

Wahyuni, Sri. 2010. Pengembangan Model Asesmen Otentik dlam Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Indonesia Lisan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Litera: Junral Penelitian Bahasa, Sastera, dan Pengajarannya. Vol. 9, Nomor 1. April, 2010.

92 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 93

KENDALA MEMBANGUN CITRA BAHASA INDONESIA YANG BERMARTABAT

Soeparno Universitas Ahmad Dahlan

Abstract This paper explains some obstacles in rising prestige up Indonesian languge. Actualy Indonesian language base on Malay, but mowadays Indonesian languge is not Malay and very defeferent with Malay. The point of defferences are in their function and their status. The function of Indonesian as National language are as (a) symbol of nation pride, (b) symbol of nation identity, (c) instrumen for build the nation unity, and (d) as linguafranca. The function of Indonesian as State language are (a) as formal language, (b) as a medium in all kind and stage of education, (c) as a formal languge in governmental communication, and (d) as an academic languge. Actualy Indonesian languge is potentialy grows up as a prestige language, but there are many obstacles. Some of these (a) inconsistency in some grammar, (b) indisciplinary in the implementation of rule, (c) inpoliteness some expression, (d) having not pride for some prominent figures, (e) loose of controle in vocabulary adoption, f) there are so many contractions in all structure, and (g) unsuccesssfuly Indonesian language as a science and technology language.

Keywords: obstacle, Nasional language, State languge, prestige

PENDAHULUAN Pengertian bahasa Indonesia saat ini tidak boleh disamakan lagi dengan bahasa Melayu. Perbedaan yang paling menonjol ialah perbedaan dalam masalah fungsi dan statusnya. Bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa di dunia yang berstatus sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara. Fungsi dan status tersebut tak dapat dipisahkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan. Akan tetapi memang harus diakui bahwa bahasa Melayulah yang dipakai sebagai dasar pembentukan bahasa Indonesia menjadi bahasa Nasional dan bahasa Negara. Dalam perjalanan sejarah perkembangan dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara telah banyak menerima sumbangan dari bahasa-bahasa asing maupun bahasa-bahasa daerah. Sumbangan yang masuk dari bahasa-bahasa lain tersebut terutama dalam hal perbendaharaan kata. Kelancaran masuknya sumbangan dalam perbendaharaan kata tersebut semakin mulus lewat penguasaan wilayah Nusantara oleh bangsa-bangsa asing yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut.. Secara kronologis dapat disebutkan bahasa-bahasa lain yang ikut membangun bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah bahasa Sansekerta, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Inggeris, bahasa-bahasa asing yang lain (Portugis, Persia, Tamil, Perancis, Latin, China, Jepang, Korea, dsb.), dan berbagai bahasa-bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minang, Bugis, Bali, Banjar, dsb.). Perkembangan selanjutnya adalah periode perjuangan untuk memperoleh satus. Keberhasilan perjuangan untuk memperoleh status sebagai bahasa Nasional ditengarai dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Dalam statusnya sebagai bahasa Nasional, bahasa Indonesia berfungsi (a) sebagai lambang identitas bangsa, (b) sebagai lambang kebanggaan bangsa, (c) sebagai alat pemersatu bangsa, dan (d) sebagai linguafranca. Adapun keberhasilan perjuangan untuk memperoleh status sebagai bahasa Negara ditengarai dengan dicantumkan secara resmi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dalam UUD 1945 Bab XVI Pasal 36. Dalam statusnya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi (a) sebagai bahasa resmi kenegaraan, (b) sebagai bahasa pengantar di semua jenis dan jenjang pendidikan, (c) sebagai bahasa resmi dalam menjalankan pemerintahan, dan (d) sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Mengingat fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara yang begitu mantap dan meyakinkan itu semestinya bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa yang

94 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

bermartabat. Hal tersebut selaras dengan potensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat yang disegani oleh bangsa lain. Memang banyak kendala yang dihadapi, namun kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan usaha-usaha nyata semua pihak dengan dilandasi keyakinan akan pentingnya peranan bahasa Indonesia sebagai sarana pembinaan perilaku bangsa.

KRITERIA BAHASA YANG BERMARTABAT Kriteria bahasa Indonesia yang bermartabat sebenarnya tidak dapat dirumuskan secara eksak, namun secara garis besar dapat diukur dalam hal bagaimana orang menyikapi bahasa Indonesia dari segala aspeknya. Penilaian sikap yang positif terhadap corak suatu bahasa merupakan suatu pertanda bermartabatnya suatu bahasa, dan sekaligus merupakan pertanda bermarabatnya suatu bangsa. Hal ini sejajar dengan teori Linguistic Determinism dan hipotesis Whorfian Hypothesis (Fishman, 1975; Kridalaksana, 1984:168) yang menyatakan bahwa bahwa corak suatu bahasa akan menentukan perilaku bangsa. Adapun corak bahasa yang dapat dipakai untuk menentukan kriteri bahasa Indonesia yang bermartabat tersebut adalah (a) kemantapan kaidah tata bahasa (b) ketidaktaatasasan para pemakai terhadap penerapan kaidah yang bahasa Indonesia, (c) kesantunan dalam pengungkapan maksud, (d) kebanggaan dalam diri penutur terhadap bahasanya sendiri, (e) pengadopsian vokabuler asing, (f) kelengkapan dan keutuhan struktur gramatik, (g) kemampuan dalam mengemban fungsinya sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

KENDALA MEMBANGUN CITRA BAHASA INDONESIA YANG BERMARTABAT Potensi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa Nasional dan bahasa Negara yang bermartabat sebenarnya cukup tinggi, namun ada beberapa kendala yang dihadapi dalam membangun citra bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bermartabat. Kendala untuk membangun citra bahasa Indonesia dalam statusnya sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara tersebut dapat berupa kendala psikhis, kendala ideologis, kendala sosiologis, dan kendala linguistis. Pada kertas kerja ini hanya diungkap sebagian dari berbagai kendala-kendala tersebut, yakni kendala yang berupa (a) ketidakmantapan kaidah bahasa Indonesia, (b) kekurangsantunan penggunaan istilah dan ungkapan tertentu, (c) ketidaktaatasasan para pemakai terhadap kaidah bahasa Indonesia, (d) tidak adanya kebanggaan pada diri penutur terhadap bahasa Indonesia, (e) adopsi kata dan istilah bahasa asing yang lepas kontrol, (f) tidak terkendalinya pemendekan dan penghilangan unsur-unsur gramatikal dan leksikal yang berlebihan, dan (g) kekurangberhasilan bahasa Indonesia dalam mengemban funsgsinya sebagai bahasa ilmu pengetahuan. 1. Kendala Ketidakmantapan Kaidah Bahasa Indonesia Ketidakmantapan kaidah bahasa Indonesia sampai saat ini masih banyak dijumpai pada kaidah fonologis dan kaidah morfologis. Dalam bidang fonologi upaya untuk membakukan standar pengucapan pernah dicoba. Pada tahun 1976 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pernah mencoba menyusun Kamus Lafal Bahasa Indonesia namun gagal, sehingga sampai sekarang ini pedoman pengucapan bahasa Indonesia boleh dikatakan belum ada. Contohnya, dalam pengucapan bunyi [e] dan [ə] pada kata-kata tertentu tidak pernah ada kepastian. Kata peta dapat diucapkan [peta] dapat pula diucapkan [pəta]; kata peka dapat diucapkan [peka] dapat pula diucapkan [pəka], kata teras dapat diucapkan [teras] dapat pula diucapkan [təras], padahal makna kata teras /teras/ ‘beranda’, ‘emper’ berbeda dengan teras /təras/ ‘bagian inti dari batang kayu’. Ketidakmantapan kaidah yang lain dijumpai pada bidang morfologi, misalnya pada pembentukan kata dengan konfiks ke-an. Kaidah morfofonemik dalam bahasa Indonesia, fonem /i/ berhadapan dengan fonem /a/ tidak luluh, tetap menjadi /ia/ , misalnya kata sepi mendapat imbuhan ke-an menjadi kesepian, kata sunyi mendapat imbuhan ke-an menjadi kesunyian, kata menteri mendapat imbuhan ke-an menjadi kementerian. Akan tetapi kenyataannya kaidah tersebut tidak konsisten terbukti dengan adanya kata bupati yang mendapat konfiks ke-an tidak menjadi Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 95 kebupatian melainkan menjadi kabupaten. Hal tersebut nyata tidak mengikuti kaidah morfofonemik bahasa Indonesia, tetapi mengikuti kaidah morfofonemik bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa fonem /a/ berhadapan dengan fonem /i/ luluh menjadi /e/ sebagaimana pada kata wengi ‘malam’ mendapat imbuhan ke-an menjadi kewengen ‘kemalaman’, kata kali ‘sungai’ mendapat imbuhan –an menjadi kalen ‘parit’. Masalah tersebut hanya masalah kecil, namun jelas merupakan bukti nyata ketidaktaatasasan kaidah yang dapat mengakibatkan turunnya martabat bahasa Indonesia. Sebenarnya dengan bekal ketegasan dari pemegang kebijakan, ketidaktaatasasan semacam itu dapat diatasi. Keyakinan ini berdasarkan pengalaman pada waktu Pusat Bahasa menetapkan bentuk kata yang betul adalah mencolok, bukan menyolok. Sosialisasi tentang masalah itu dengan serta merta direspon positif oleh masyarakat, kerena pada dasarnya masyarakat Indonesia memiliki “ketaatatasan” yang tinggi. Untuk itu pemegang kebijakan seharusnya mengimbangi dengan menunjukkan “ketaatasasan” (konsistensi) yang tinggi pula, karena akan menjadi teladan bagi masyarakat awam. 2. Ketidakpatuhan Pengguna terhadap Kaidah Pebakuan bidang ortografi sebenarnya sudah diberlakukan sejak tahun 1972 dengan ditetapkan berlakunya kaidah penulisan bahasa Indonesia dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Atas dasar itu diasumsikan bahwa semua masyarakat Indonesia yang terpelajar telah memahami ketentuan tersebut. Dalam ketentuan penulisan jumlah uang rupiah dengan lambang bilangan masih ada pengguna yang tidak mau mematuhi ketentuan tersebut. Dalam hal menuliskan jumlah uang satu juta lima ratus lima puluh ribu rupiah ada beberapa bank di negeri ini menuliskannya Rp1,550,000.00 persis seperti orang Amerika menuliskan dollar. Kesengajaan meremehkan ketentuan EYD ini ditengarai sebagai wujud rendahnya nasionalisme bagi bank yang bersangkutan. Apakah hal ini menjadi salah satu penyebab bahasa Indonesia kurang bermartabat? Pastinya, ya. 3. Kekurangsantunan Ungkapan Sungguhpun bahasa Indonesia bukan bahasa yang kaya akan tingkat-tingkatan kesopanan berbahasa sebagaimana yang berlaku pada bahasa Jawa, namun tidak berarti bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada cara untuk mengungkapkan sopan santun. Sebagai bahasa yang bermartabat penggunaan bahasa Indonesia cukup banyak peluang untuk mengungkapkan kesantunan dan sekaligus menghindari ungkapan-ungkapan yang vulgar, kasar, jorok, tidak pantas, dan yang menimbulkan konotasi negatif. Beberapa contoh ungkapan berikut dapat dipakai sebagi pendukung pernyataan di atas. Kata-kata dan ungkapan tahi, kencing, air kencing, berak, kentut, pelacur, tuli, bisu, penganggur, dan sebagainya yang kurang enak didengar itu cukup tersedia ungkapan lain yang menggantikannya, misalnya tinja, air seni, buang air kecil, buang air besar, tunasusila, tunarungu, tunawicara, tunakarya, dan sebagainya. Sejak maraknya berbagai media sosial seperti facebook, twitter, dan sebagainya sebagai sarana untuk mengungkapan isi hati dan luapan emosi telah banyak menimbulkan masalah. Ungkapan- ungkapan kurang sopan dan bahkan cenderung lepas kontrol dalam media sosial itu telah banyak menimbulkan kekurangnyamanan bagi orang lain sehingga tidak jarang yang berujung ke pengadilan. Kasus-kasus tersebut jelas telah mencederai dan mencemari martabat bahasa Indonesia. 4. Tidak Ada Kebanggaan bagi Penuturnya Sebuah ilustrasi menarik, pada saat gencar-gencarnya upaya penyatuan mata uang Eropa pada tahun 80-an, terjadilah perdebatan sengit antara Margaret Tatcher (Perdana Menteri Inggris) dengan Hilmut Schmidt (Kanselir Jerman Barat). Kedua petinggi negara terkemuka di Eropa itu semuanya mahir bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Namun pada acara debat di televisi yang belangsung pada saat itu Margaret Thatcher kosisten menggunakan bahasa Inggris dan Helmut Schmidt pun konsisten menggunakan bahasa Jerman. Tidak ada yang mau mengalah dengan memilih satu bahasa saja, bahasa Inggris atau bahasa Jerman. Mengapa hal itu terjadi? Jawabnya jelas masing-masing mempertahankan gengsinya sebagai bangsa yang bermartabat. Thatcher merasa bahwa bahasa

96 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Inggeris lebih bermartabat daripada bahasa Jerman, dan sebaliknya Schmidt merasa bahwa bahasa Jerman lebih bermartabat daripada bahasa Inggris. Kalau hal ini dibandingkan dengan Indonesia, timbul pertanyaan “adakah kebanggaan dalam berbahasa seperti itu terjadi pada diri petinggi Indonesia?” Jawabnya ada, walaupun sangat langka. Sebuah ilustrasi juga, pada sekitar tahun 1986 pemerintah Indonesia memperoleh penghargaaan dari FAO atas jasanya membantu negara-negara Afrika yang saat itu kekurangan pangan (pada zaman itu Indonesia surplus pangan/beras). Pada acara sidang Umum PBB Indonesiaa diberi kehormatan untuk menyampaikan orasinya dalam bidang ketahanan pangan. Yang menarik ialah pada kesempatan itu Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia dengan penuh percaya diri. Bukannya karena beliau tidak bisa berbahasa Inggris, akan tetapi karena beliau benar-benar memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan konsisten menerapkan fungsi salah satu fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, yakni “bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggan bangsa”. Beliau lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris. Ini benar-benar dapat dipakai sebagai contoh nasionalisme seorang pemimpin bangsa sebagaimana yang pernah dipertontonkan oleh Margaret Thatcher dan Helmut Schmidt? Untuk kasus yang lain, di Indonesia juga masih ada lagi tokoh-tokoh yang setipe dengan Thatcher dan Schmidt tersebut, sayangnya sikap yang patut dibanggakan itu tidak populer di era kleptokrasi ini. Tokoh-tokoh yang yang berlatar belakang bidang ilmu lain namun sangat peduli terhadap martabat bahasa Indonesia, antara lain Prof. Dr. Eng. Wardiman Djojonegoro (mantan Mendiknas), Prof. Dr. Ir. Ajat Sakri (Seni Rupa ITB), Prof. Drh. Edi Mulyono (Kedokteran Hewan UGM), Prof. Dr. Bambang Pratistho (Geologi UPN), Prof. Suryanto, Ph.D. (MIPA UNY). 5. Adopsi Vokabuler Asing yang Lepas Kontrol Dahsyatnya pengaruh istilah asing dalam bahasa Indonesia saat ini nyaris tak terkontrol, baik istilah asing yang penulisan dan pengucapannya masih sesuai dengan aslinya maupun istilah asing yang penulisannya dan pengucapannya sudah disesuaikan. Hampir di semua bidang kehidupan nyaris tak ada yang luput dari serbuan istilah asing, dengan dalih globalisasi. Istilah bahasa Inggris bed cover, check in, check out, delay, delete, department store, follow up, take off, landing, counter, office boy, front office, office manager, meeting, coffee break, snack, finance manager, waiter, order, dan juga istilah asing yang sudah diindonesiakan seperti eskalator, adaptor, elevator, eskavator, inovator, promotor, provokator, motivator, investor, kalkulator, kolaborator, simulator, koruptor, manipulator, dan lain sebagainya telah menggeser dan menggusur kata-kata asli bahasa Indonesia secara leluasa. Memang saat ini telah ada upaya secara tersistem yang dilakukan oleh Pusat Bahasa untuk mengindonesiakan istilah asing itu, tetapi kenyataannya ungkapaan pengindonesiaan istilah asing telah berubah fungsi menjadi pengasingan istilah Indonesia, pengasingan dalam arti ‘pelemparan ke luar’ atau ‘pembuangan ke tempat yang jauh’. Kini telah terjadi upaya memasukkan istilah asing secara besar-besaran ke bahasa Indonesia, sementara itu istilah Indonesia yang telah kita miliki secara besar-besaran pula disingkirkan jauh-jauh ke luar. Kata-kata betik, bahang, santir, runjung, perigi, tunak, loncos, imak, tulat, tubin, telus, dan sebagainya merupakan contoh kecil dari sekian banyak istilah Indonesia yang mengalami nasib sial tersingkir dari habitatnya. Fenomena seperti ini benar-benar kita rasakan dampaknya terhadap perilaku masyarakat Indonesia yang kurang menghargai milik sendiri tetapi justru bangga bahkan mengagumi budaya luar. Dalam hal ini ada baiknya kalau kita berkaca ke Singapura yang tidak rela bahasa Melayunya tergusur oleh bahasa Inggris. Di sana bahasa Melayu dipertahankan, dan diurus dengan sungguh- sungguh oleh Lembaga Pemertahanan Bahasa Melayu. Kita juga boleh berkaca ke Thailand, di sana tidak ada secuilpun papan nama yang menggunakan bahasa dan tulisan selain bahasa dan tulisan Thai. Bandingkan dengan di Indonesia, di sepanjang jalan Malioboro nyaris tak ada iklan yang menggunakan bahasa Indonesia secara penuh. Sungguh hal tersebut merupakan kendala yang berat bagi upaya membangun citra bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara yang bermartabat. Mental bangsa yang lebih menyukai barang asing daripada milik sendiri ini benar- Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 97 benar merupakan kendala dalam membangun citra bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara yang bermartabat. 6. Maraknya Pemendekan dan Penghilangan Unsur Gramatikal dan Leksikal Maraknya pemendekan, penghilangan fungsi gramatik pada kalimat tertentu, dan penghilangan unsur-unsur tertentu dari sebuah struktur gramatik telah ikut memberikan andil sebagai kendala membangun citra bahasa Indonesia yang bermartabat. Contoh: pemendekan bentuk-bentuk Rumahnya berada di tengah kota  Rumahnya di tengah kota; Bagaimana,begini saja ya? Gimana, gini aja ya?; Ya sudah, begitu saja Ya udah gitu aja; Masalah buat lu? Masbuloh?; percaya diri pede; dan sebagainya sebagai bentuk tidak baku yang menjadi salah satu penyumbang ciri kurang bermartabatnya bahasa Indonesia; sedangkan pemendekan sekaligus pengindonesian istilah asing seperti boring time bete; on the way otewe; knowing everything particular object kepo; dan sejenisnya dinilai juga sebagai salah satu penyumbang ciri kurang bermartabatnya bahasa Indonesia degan derajat dua kali lipat. Dari segi efektivitas memang ada untungnya, namun kalau efektivitas dinilai sebagai ”kerja minimal dengan hasil maksimal” ini merupakan kedzaliman, hanya para koruptor dan manipulatorlah yang senantiasa memanfaatkan kesempatan ini. Apakah perilaku bangsa Indonesia yang sudah akrab dengan korupsi dan manipulasi ini disebabkan oleh kegemaran memanipulasi dan mengorupsi fungsi- fungsi gramatik dan unsur-unsur bahasa yang lain? Hanya Whorf dan Sapirlah yang bisa menjawab pertanyaan ini. Selain hal di atas kurang bermartabatnya bahasa Indonesia juga dapat ditemukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing. Banyak protes dari para pembelajar yang merasakan kebingungan pada saat menghadapi ketidakmantapan kaidah dan terlebih-lebih lagi pada saat menghadapi penghilangan fungsi gramtik, akronim, dan pemendekan yang lain. 7. Kekurangberhasilan Mengemban Fungsi sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan Fungsi bahasa Indonesia dalam statusnya sebagai bahasa Negara yang belum berhasil saat ini ialah “fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan”. Betapa tidak? Dosen-dosen yang dianggap bermutu adalah dosen-dosen yang dalam mata kuliahnya mencantumkan literatur berbahasa Inggeris. Makalah yang bermutu adalah makalah yang abstraknya berbahasa Inggeris. Ini tamparan telak bagi bahasa Indonesia yang dianggap tidak layak sebagai literatur bermutu dan tidak layak sebagai abstrak makalah yang bermutu. Dalam seminar internasional semacam ini alangkah bermartabatnya bahasa dan bangsa Indonesia apabila makalah tetap menggunakan bahasa Indonesia. Adapun orang asing yang ikut dalam seminar, biarlah mereka belajar bahasa Indonesia dulu, atau membawa penerjemah. Itu baru yang namanya bermartabat. Selanjutnya terkait dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan ini, seharusnya bahasa Indonesia difungsikan untuk menuliskan semua buku referensi, baik yang berupa tulisan asli maupun terjemahan. Coba tengoklah Jepang! Semua literatur berbahasa asing diterjemahkan ke bahasa Jepang. Buku terbaru di Amerika sekalipun baru dalam dalam tempo dua tahun sudah ada terjemahananaya secara legal dalam bahasa Jepang. Dengan demikian orang Jepang yang tidak dapat berbahasa Inggris pun bisa belajar denga baik, karena semua literatur sudah tersedia dalam bahasa Jepang. Ini benar-benar contoh bahasa Jepang sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Mengapa di Indonesia literatur berbahasa asing tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia? Apakah kita kekurangan penerjemah? Apakah kita kekurangan dana? Ataukah banyak dana tetapi dimanfaatkan untuk keperluan yang lain? Ataukah ada alasan yang lebih menyedihkan lagi “kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia hilang esensi keilmiahannya”? Hanya Andalah yang tahu jawabnya.

SIMPULAN Kendala membangun citra bahasa Indonesia dalam statusnya sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara ternyata tidak mudah. Banyak hambatan dan dan kendala baik yang bersifat linguistis

98 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

maupun nonlinguistis. Kendala tersebut antara lain berupa (a) ketidakmantapan kaidah, (b) ketidaktaatasasan para pemakai, (c) kekurangsantunan penggunaan istilah dan ungkapan, (d) tidak adanya kebanggaan bagi penutur terhadap bahasanya sendiri, (e) adopsi vokabuler asing yang lepas kontrol, (f) tidak terkendalinya pemendekan unsur gramatikal dan leksikal, (g) kekurangberhasilan bahasa Indonesia dalam mengemban funsgsinya sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Terkait dengan adanya kendala-kendala itu semua, demi terbangunnya citra bahasa Indonesia sebahagai bahasa Nasional dan bahasa Negara yang bermartabat perlu ditempuh upaya dari dua arah, yakni dari atas (penentu kebijakan) dan dari bawah (para pengguna). Dari atas harus ada ketaatasasan (konsistensi) dan dari bawah harus ada ketaatatasan (taat kepada pembuat kebijakan). Dengan berkaca pada hipotesis Whorf-Sapir kita optimis bahwa bahasa Indonesia sangat potensial dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membangun perilaku bangsa. Semoga baha(ng)sa Indonesia menjadi baha(ng)sa yang bermartabat. Amin.

REFERENSI Carrol, J.B. 1975. “Language Relativity and Language Learning” dalam Allen & Pit Corder (ed.). Reading for Applied Linguistcs. London: Oxford University Press. Fishman, J.A. 1975. “The Whorfian Hypothesis” dalam Allen, J.P.B. and S.Pit Corder (ed.). Reading for Applied Linguistcs. London: Oxford University Press. Halim, Amran. 1979. Status dan Fungsi Bahasa indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Hamidy. U. 1973. Sumbangan Bahasa Melayu kepada Bangsa dan Bahasa Indonesia.Pekanbaru: Badan Pembinaan Kesenian Provinsi Riau. Kridalaksana,H. 1980. Fungsi dan Sikap Bahasa Indonesia. Flores:Nusa Indah. Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta:Jambatan. Soeparno. 1995. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Upaya Pembinaan Perilaku Bangsa. (Pidato Pengukuhan Guru Besar). Yogyakarta: UNY. ______. 2008. Hipotesis Whorf-Sapir dan Perilaku Pemakai Bahasa Indonesia. (Orasi Ilmiah dalam rangka Pelepasan Guru Besar). Yogyakarta: UNY. ______. 2012. Akan Dibawa ke mana Baha(ng)sa Indonesia . Makalah dalam Seminar Nasional Kebahasaan. Yogyakarta: UNY. Suwardi dan Zulkarnain. 2010. Bahasa Melayu sebagai Linguafranca. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 99

KEMAMPUAN MEMBACAKAN TEKS PANCASILA DAN TEKS PEMBUKAAN UUD 1945 SISWA SMA/MA/SMK MUHAMMADIYAH SEKABUPATEN BANYUMAS TAHUN AJARAN 2014/2015

Sukirno Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo Email: [email protected]

Abstract: Pancasila is the nation foundation and spirit of Indonesia. Accordingly UUD 1945 opening is the source of all laws in Indonesia. Both function as state documents used to destine the direction and the goal of Indonesia. Therefore both state documents must be comprehended and appreciated the content, so as memorizing its text by Indonesian citizen especially High School Student on entirely Indonesia region. The purposes of the research: (1) To know the ability of SMA/ MA/ SMK students throughout Banyumas Regency in reading Pancasila text, (2) To know the ability of SMA/ MA/ SMK students throughout Banyumas Regency in reading UUD 1945 text, (3) To know the final ability of SMA/ MA/ SMK students throughout Banyumas regency in reading UUD 1945 and Pancasila. The population of this research is the entire SMA/ MA/ SMK students from X grade to XII grade in the academic year of 2014/ 2015. The samples of this research are six schools according to their territorial. There are two schools from down town, two schools from suburban, and two schools in village. In every school the writer took ten students. Therefore there are fifty students as the sample of the research. The sample collecting method randomly that is collecting the sample regardless their class, their quality, and their sex. This method is purposely done to measure the student’s ability in reading Pancasila and UUD 1945 naturally. To collect the data, the researcher use reading test method. Students as the sample are order to read Pancasila and UUD 1945 text. While assuming they are on the flag ceremony data gathered consist of four aspects are pronunciation, intonation, fluency, and performance. The instruments used to measure the student’s ability are three adjudicator, worksheet, and assessmentsheet, content of assessment criterion, pen and recording tool. Based on the data analysis, the research results stated that: (1) The ability to read Pancasila text of SMA/ MA/ SMK students throughout Banyumas Regency is on average 67, 8 or good enough, (2) The ability to read UUD 1945 text of SMA/ MA/ SMK students throughout Banyumas Regency is on average 66, 8 or good enough, and (3) The final ability in reading Pancasila and UUD 1945 is on 67, 3 or good enough. Based on the result of the research, it is suggested that there is a coaching for students to read UUD 1945 and Pancasila text well.

Keywords: Reading Ability, Text of Pancasila, Text of UUD 1945

PENDAHULUAN Sekarang banyak penutur bahasa Indonesia seperti ilmuwan, politisi, pejabat, penyiar televisi, dan publik figur lainnya tidak tepat dalam mengucapkan kosa kata bahasa Indonesia. Misalnya kata /debad presiden/ diucapkan /dǝbad presiden/, /ide/ dibaca /idǝ/, /Tuhan Yang Maha Ësa/ dibaca /Tuhan Yang Maha Esa/, dan yang lainnya. Berawal dari itulah peneliti tertarik untuk meneliti pembacaan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Sebab Pancasila adalah dasar negara dan jiwa bangsa Indonesia. Demikian pula Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di negara Republik Indonesia. Keduanya sebagai dokumen negara yang dijadikan landasan, penentu arah, dan tujuan negara Indonesia didirikan. Oleh karena itu, kedua teks lembaran negara tersebut wajib dipahami dan dihayati isinya serta dapat dihafalkan teknya dengan baik dan benar oleh seluruh warga negara Indonesia, khususnya para pelajar sekolah menengah tingkat atas (SMTA) di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Kemampuan membacakan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1045 yang baik dan benar sangat membantu pemahaman dan penghayatan isi dua teks tersebut. Dengan pemaaman dan penghayatan tersebut diharapkan pembaca dan pendengarnya dapat memahami, menghayati, dan menangkap

100 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan jelas dan diharapkan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat menularkannya kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, dalam kegiatan membacakan dua dasar negara tersebut perlu diadakan penelitian, khususnya di SMTA. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan kemampuan siswa SMA/ MA/SMK Muhammadiyah se-Kabupaten Banyumas dalam membacakan teks Pancasila; (2) mendeskripsikan kemampuan siswa SMA/MA/SMK Muh. se-Kabupaten Banyumas dalam membacakan teks Pembukaan UUD 1945; dan (3) mendeskripsikan kemampuan akhir siswa SMA/MA/ SMK Muh. se- Kabupaten Banyumas dalam membacakan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Penelitian ini mempunyai dua kontribusi, yakni secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam pengembangan ilmu pendidikan khususnya kemampuan membaca teknik teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bekal bagi anak-anak SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas yang ingin mengetahui secara detail tentang membaca teknik. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memotivasi dan menanamkan jiwa kenegarawanan serta memahami dan menghayati nilai-nilai yang terdapat dalam teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945 bagi pembacanya. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dalam meningkatkan pemahaman pembacaan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk membentuk karakter peserta didik dan penentuan kebijakan selanjutnya. Bagi pemerintah hasil pebelitian ini sebagai masukan dalam peningkatan pembinaan dan pembuatan buku yang ada di Indonesia. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pembanding yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dengan melengkapi unsur-unsur yang belum diteliti.

KAJIAN TEORI 1. Arti Membaca Nyaring Arti Membaca nyaring Ditinjau dari terdengar atau tidaknya suara si pembaca waktu dia membaca, proses membaca dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu membaca nyaring atau membaca bersuara dan membaca tanpa suara atau membaca dalam hati. Istilah membaca nyaring (reading loud) sering disebut juga dengan membaca lisan (oral reading), membaca bersuara (reading a loud), membaca keras, dan membacakan. Membaca nyaring dikelompokkan menjadi dua, yaitu membaca teknik dan membaca indah. Membaca teknik adalah membaca nyaring untuk teks nonsastra, sedangkan membaca indah disebut juga membaca teks sastra atau membaca estetis, atau membaca ekspresif. Tarigan (1985) berpendapat bahwa membaca nyaring merupakan keterampilan membaca yang serba rumit, komplek, dan banyak seluk-beluknya. Dikatakan demikian karena pertama, pembaca harus mengenal dan memahami huruf-huruf yang dibaca; kedua, pembaca harus mampu memroduksikannya dalam bentuk suara yang tepat dan bermakna. Membaca nyaring berarti menyuarakan bahan bacaan dengan sewajarnya. Sewajarnya di sini berarti sesuai dengan ucapan dan intonasi kalimat seperti yang terdapat pada percakapan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dewson (dalam Tarigan, 1985:8) menjelaskan bahwa membaca nyaring adalah suatu akti- vitas/kegiatan yang merupakan alat bagi guru, murid/pembaca bersama-sama dengan orang lain/pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran dan perasaan seorang pengarang. Membaca nyaring juga dapat disebut sebuah pendekatan yang dapat memuaskan, memenuhi berbagai ragam tujuan, dan mengembangkan sejumlah keterampilan, serta minat. Penekanan membaca nyaring terletak pada kemampuan membaca dengan pengucapan, pelaguaan/intonasi, dan penghayatan keindahan dan keharuan yang tepat sesuai dengan isi dan si- tuasi teks atau naskah yang dibaca. Haryadi (2007:19) menjelaskan bahwa agar dapat membaca nyaring, pembaca harus patuh pada aturan-aturan dalam membaca nyaring. Aturan-aturan tesebut Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 101 meliputi pelafalan, intonasi, ekspresi, dan lain-lainnya. Dengan demikian, semua informasi, pikiran, dan perasaan yang tersimpan di dalam bacaan dapat diungkapkan dengan sempurna. Moultan (dalam Sukirno, 2014:7) menjelaskan bahwa membaca nyaring selain melibatkan peng- lihatan dan ingatan, juga turut aktif auditory, memory (ingatan, pendengaran) dan moto memory (ingatan yang bersangkut paut dengan otot-otot kita). Hal ini berbeda dengan membaca dalam hati, yang hanya melibatkan keaktifan mata dan ingatan saja. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa bagian-bagian yang terlibat aktif dalam kegiatan membaca nyaring ialah mata atau penglihatan (komunikasi mata), ingatan atau memori, pendengaran atau audio, alat-alat ucap, ekspresi wajah, dan gerak-gerak anggota badan. 2. Tujuan Membaca Nyaring Sukirno (2014:7) menjelaskan bahwa tujuan umum membaca nyaring adalah untuk mengucapkan kembali tulisan atau karangan sesuai dengan keinginan penulis atau pengarangnya dan menangkap atau memahami informasi, pikiran, dan perasaan isi bacaan dengan tepat. Tujuan tersebut dapat diperinci lagi menjadi sebagai berikut ini. Pembaca dapat membaca dengan pelafalan atau pengucapan yang tepat. Pembaca dapat membaca dengan tanpa mengalami salah ucap, tanpa kesalahan menyuarakan kata sebagai rangkaian huruf. Untuk itu, pembaca perlu menguasai pengu- capan kosa kata yang cukup banyak sehingga tidak salah mengucapkan pelafalan seperti berikut ini.

Tertulis pengucapan salah pengucapan betul Yang Maha Esa Yang Maha /Esa/ Yang Maha /Ësa/ Ide /idǝ/ /ide/ Pegang /pegang/ /pǝgang/ Saksama /seksama/ /saksama/ Presentasi /prǝsentasi/ /presentasi/ Pentas /pentas/ /pǝntas/ Esai /isai/ /esay/

Pembaca dapat mengucapkan kata-kata dengan intonasi kata atau frasa atau kalimat yang tepat. Intonasi terdiri atas empat aspek, yaitu (1) tekanan (kuat-lemah suara), (2) nada (tinggi-rendah suara), (3) tempo atau durasi (panjang-pendek suara), dan (4) jeda/ berhenti (sebentar-lamanya suara). Pembaca dituntut memiliki keterampilan mengucapkan intonasi kata atau frasa sesuai dengan suasananya seperti: gembira, terkejut, marah, biasa, berdoa, sedih, kecewa, dsb. Pengucapan dalam situasi gembira, terkejut, dan marah pasti dengan intonasi tekanan yang kuat, nada tinggi, dan tempo cepat. Sebaliknya, pengucapan dalam situasi biasa, doa, sedih, kecewa pasti menggunakan intonasi tekanan lembut, nada rendah, dan tempo lambat. Selain itu, pembaca juga harus mampu membedakan intonasi kalimat berita, kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat harapan, kalimat ajakan, kalimat seruan, kalimat peringatan, dan kalimat ancaman. Pembaca dapat membaca satuan- satuan frasa dengan tepat, lancar, dan tidak terputus-putus. Frasa adalah sekelompok kata yang mengandung satu pengertian. Pembaca diharapkan mengenal satuan-satuan frasa dalam kalimat. Maksudnya, pembaca dapat memenggal kalimat atas satuan-satuan frasa, klaosa, maupun kalimat- kalimat majemuk atas kalimat-kalimat bawahannya. Membaca satuan frasa dapat dibantu dengan tanda penghubung (-). Namun, sebelumnya dapat di perhatikan contoh berikut ini.

Tertulis pembacaan yang salah pembacaan yang betul Onderdil mobil bekas.(yang Onderdil-mobil bekas. Onderdil mobil-bekas. dimaksud pada kalimat ini yang bekas adalah mobilnya)

102 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Buku sejarah baru.(yang Buku-sejarah baru. Buku sejarah-baru. dimaksud pada kalimat ini adalah sejarah baru) Istri guru yang ramah. (yang Istri guru-yang ramah. Istri-guru yang ramah. dimaksud pada kalimat ini yang ramah adalah istrinya) Kerakyatan yang dipimpin oleh Kerakyatan yang Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam dipimpin oleh / hikmat oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/ perwakilan. kebijaksanaan dalam / dalam permusyawaratan/ permusyawaratan/ perwakilan. perwakilan.

Pembaca dapat membaca nyaring dengan penghayatan yang tepat. Pembaca dapat mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam bentuk pengucapan, intonasi, ekspresi wajah, komunikasi mata, dan gerak anggota badan sesuai isi tulisan yang dibaca seperti rasa gembira, bahagia, haru, gelisah, marah, pasrah, bingung, sedih, dan sebagainya. Pembaca dapat membaca nyaring dengan sikap penampilan yang tepat. Pembaca dapat membaca dengan sikap sempurna, serius, wibawa, ketepatan cara berdiri, cara memegang teks, gerak-gerak anggota badan, santun, santai, atau lucu. Termasuk di dalamnya adalah kesesuaian tata rias dan tata busana yang tepat.

3. Manfaat Membaca Nyaring Banyak temuan hasil penelitian yang mengemukakan pentingnya membaca nyaring dalam suatu program membaca. Rothlein dan Meinbach (dalam Sukirno, 2014:11) mengemukakan bahwa membaca nyaring untuk anak-anak merupakan kegiatan berharga yang bisa meningkatkan keterampilan menyimak, menulis, dan membantu perkembangan anak untuk mencintai buku dan membaca cerita sepanjang hidup mereka. Anak-anak cenderung meniru dan mengikuti jejak orang dewasa. Membaca nyaring banyak sekali manfaatnya bagi kehidupan manusia, antara lain bermanfaat sebagai pendekatan untuk memuaskan hati, memenuhi berbagai ragam tujuan hidup, mengembangkan sejumlah keterampilan, dan minat seseorang (Tarigan, 1985:23). Pendapat tersebut dapat diambil contoh orang yang ingin menjadi pemimpin, guru, dosen, pemain drama, aktor, pembaca puisi, presenter, penyiar televisi, penyiar radio, reporter, pemain sinetron, pendongeng, pendakwah seperti ustad/ustadah/ pendeta, orator, dan sebagainya. Membaca nyaring bermanfaat untuk menyampaikan pengertian, perasaan, dan informasi kepada orang lain atau pendengar. Misalnya: pembaca disuruh membacakan surat oleh keluarganya, membacakan berita penting dari surat kabar, membacakan pengumuman, membacakan teks Proklamasi, teks Pancasila, teks Pembukaan UUD 1945, Saptamarga, Sumpah Pemuda, Dasadarma Pramuka, Dwidarma, Trisatya, membaca Surat Keputusan, membaca puisi, membaca cerpen, membaca teks drama, dan sebagainya. Di samping itu, membaca nyaring juga bermanfaat untuk mempercepat tumbuhnya tafsiran dan apresiasi bagi pembaca sendiri, atau pendengarnya. Misalnya membaca buku-buku pelajaran atau buku perkuliahan. Siswa atau mahasiswa akan lebih mudah dan cepat memahami bagian-bagian buku ajar yang dibaca nyaring. Demikian juga guru yang membacakan bahan ajar di depan peserta didiknya dengan suara yang baik akan sangat membantu pemahaman peserta didiknya. Tarigan (1985:22) menjelaskan bahwa membaca nyaring sangat bermanfaat dalam suatu aktivitas atau kegiatan belajar-mengajar. Membaca nyaring sebagai alat bagi guru, murid ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran dan perasaan seorang pengarang. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 103

Dengan membaca nyaring, pendengaran anak akan terlatih untuk mendengarkan bagaimana sebuah kata diucapkan. Mendengarkan kata akan membantu kinerja otak untuk menyimpan kata- kata itu ke dalam memorinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang berumur satu tahun telah mempelajari keseluruhan bunyi bahasa yang dibutuhkan untuk berbicara, maka semakin banyak cerita yang dibacakan dengan nyaring, semakin banyak kosa kata yang dikenalnya dan kemampuan berbicaranya pun juga semakin baik. Gruber (dalam Tarigan, 1985:25) mengemukakan lebih rinci manfaat dan pentingnya membaca nyaring untuk anak-anak tersebut seperti dijelaskan berikut: (1) memberikan contoh kepada siswa proses membaca secara positif, (2) mengekspos siswa untuk memperkaya kosakatanya, (3) memberi siswa informasi baru, (4) mengenalkan kepada siswa dari aliran sastra yang berbeda-beda, dan (5) memberi siswa kesempatan menyimak dan menggunakan daya imajinasinya. 4. Keuntungan Membaca Nyaring Berbagai keuntungan membaca nyaring untuk anak-anak dikemukakan oleh Rothlein dan Meinbach (1993) yang didasarkan pada penelitian yang dilakukan Graves (1983) dan Clay (1975). Hasil temuan dari kedua peneliti menunjukkan bahwa ada hubungan antara yang sedang dibaca dengan penampilan penulis, yaitu membangkitkan imajinasi mereka, memberikan gagasan terhadap proses menulis mereka. a. Rothlein dan Meinbach (1993) mengemukakan bahwa pengalaman dari orang pertama penting, tetapi banyak siswa mempunyai kesempatan yang terbatas dalam memperoleh semua pengalaman penting tersebut. b. Melalui pengalaman ini anak-anak mengembangkan konsep, pengetahuan dan keterampilan berpikir yang merupakan hal penting dalam proses membaca. c. Apabila pengalaman dari orang pertama tidak memungkinkan, guru bisa membacakan buku tentang pengalaman orang lain, tetapi seolah-olah mereka mengalaminya sendiri (vicarious experience) melalui membaca nyaring. d. Untuk meningkatkan minat dan keterampilan membaca anak-anak, guru hendaknya berusaha agar buku-buku yang dibacanya juga bisa dibaca langsung oleh anak-anak. e. Membaca nyaring yang dilakukan guru kegiatan menyenankan bagi siswa. f. Tidak mengherankan jika cerita favorit yang dibacakan oleh guru atau orang tua lebih diingat siswa dibandingkan dengan cerita yang dibacakan dari buku teks. g. Selain itu, membaca nyaring juga sering merangsang mereka untuk membaca kembali cerita yang dibacakan guru dan lebih mengakrabkan mereka pada karya sastra. h. Pelaksanaan membaca nyaring untuk anak dapat dilakukan beberapa kali sehari.

5. Membaca Teknik Membaca teknik sering disebut juga membaca bersuara/membaca keras atau membacakan. Penekanan membaca teknik terletak pada kemampuan pembaca dalam pengucapan atau pelafalan, dan pelaguan atau intonasi yang tepat sesuai dengan isi dan situasi bacaan, serta sikap membaca yang tepat. Membaca teknik merupakan kegiatan membaca yang membutuhkan penguasaan teknik-teknik tertentu dalam membaca bersuara. Setidaknya ada empat aspek yang perlu diperhatikan yaitu pelafalan, intonasi, kelancaran, dan sikap penampilannya. Empat aspek tersebut dapat untuk mengukur kemampuan membaca dua teks dasar negara dengan baik dan benar. Dengan empat aspek tersebut dapat untuk memberikan makna dan pemahaman yang tepat serta dapat untuk mengukur kemampuan membacakan dua teks tersebut. Membaca teknik merupakan bagian penting yang berperan membantu seseorang untuk membaca nyaring dengan baik. Teks bacaan yang tepat untuk dibaca dengan membaca teknik adalah teks nonsastra seperti: teks yang terdapat dalam buku ajar, naskah berita, naskah pidato, surat keputusan, surat dinas, surat pribadi, pengumuman, biografi, autobiografi, kisah seseorang, teks doa, urutan acara, teks

104 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

proklamasi, teks sumpah pemuda, ikrar, janji, teks pancasila, saptamarga, dwisatya pramuka, trisatya pramuka, dasadarma pramuka, teks pembukaan UUD 1945, dan teks lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membaca teknik antara lain: !1) memahami dan menghayati isi teks; (2) memberi tanda matra/garis miring satu (/) untuk berhenti sebentar dengan intonasi naik; (3) memberi tanda (\) berarti intonasi turun sehingga cara membacanya harus bernada turun; (4) memberi tanda matra atau garis miring dua (//) untuk berhenti lama dan intonasi turun; (5) memberi tanda enjambemen (=) untuk lompatan membaca dari akhir baris ke awal baris berikutnya; (6) memberi tanda ( ' ) pada kata atau suku kata yang mendapat penekanan; (7) memberi tanda kurung ((…)) sebagai penempatan atau penambahan kata-kata sisipan dalam larik-larik yang padat (memparafrasakan); (8) memberi tanda petik ( “…..” ) pada kutipan langsung yang terdapat dalam teks dibaca seperti suara aslinya; dan (9) memberi tanda garis bawah (______) pada kata yang mendapat tekanan dinamik.

6. Membaca Teks Pancasila Teks Pancasila merupakan dokumen resmi kenegaraan yang menjadi dasar negara Indonesia. Sebagai dasar negara, teks Pancasila selalu dibaca ketika pelaksanaan upacara atau kegiatan kenegaraan. Hakikatnya teks ini harus dibaca dengan teknik yang tepat sebagai bentuk menyerukan dasar negara dengan bangga. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan membaca teknik dengan tepat agar pembacaan teks Pancasila ini memberikan makna yang tepat sebagai dasar negara Indonesia. Untuk membaca teknis teks Pancasila Anda perlu memahami isi teks dan memberi beberapa tanda yang diperlukan sebelum membaca. Perhatikan teks Pancasila di bawah ini. Teks ini dikutip dari Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus Nomor 1A.

a. Contoh memberi penanda teknis pada teks Pancasila

PANCASILA/

Satu/ : Ketuhanan Yang Maha Ësa// Dua/ : Kemanusiaan yang adil dan beradab//

Tiga/ : Persatuan Indonesia//

Empat/ : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/ dalam permusyawaratan / perwakilan// Lima/ : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia//

Penanda yang digunakan di dalam teks Pancasila hanya dua tanda, yaitu (/) sebagai tanda berhenti sebentar dan intonasi naik dan (//) sebagai tanda berhenti agak lama dan intonasi turun. Penempatan tanda itu akan membantu pembaca teknik dalam menyampaikan isi bacaan dengan baik. Oleh karena itu, kemampuan memberi tanda juga perlu dilatihkan sebelum membaca teknik.

b. Penilaian Membaca Teknik Teks Pancasila Rubrik Penilaian Membaca Teks Pancasila No. Nama Aspek Penilaian Membaca Teks Pancasila Jumlah SKor Pelafalan Intonasi Kelancaran Sikap Penampilan

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 105

7. Membaca Teknik Teks Pembukaan UUD 1945 Teks Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu pernyataan kemerdekaan yang lebih terinci dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat pendorong ditegakkannya kemerdekaan, dalam bentuk Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan berdasarkan asas kerohanian Pancasila. Teks Pembukaan UUD 1945 dinyatakan memiliki kesatuan dengan teks proklamasi karena memiliki hubungan saling menjelaskan. Sehubungan dengan hakikat teks tersebut, teknik membacanya pun secara umum membutuhkan ketegasan dan penekanan yang tepat pada kata-kata tertentu sehingga pesan yang ingin diungkapkan pada tiap alinea dapat dipahami oleh pendengar. Berikut penanda yang dapat dibubuhkan dalam teks Pembukaan UUD 1945. Teks ini dikutip dari Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus Nomor 1A. a. Contoh memberi penanda teknis pada teks Pembukaan UUD 1945

UNDANG-UNDANG DASAR/ NEGARA REPUBLIK INDONESIA/ TAHUN 1945// PEMBUKAAN// Bahwa\ sesungguhnya kemerdekaan itu/ ialah hak’ segala bangsa\ dan oleh sebab itu,/ maka penjajahan di atas dunia harus’ dihapuskan,/ karena tidak sesuai dengan peri’- kemanusiaan dan peri’-keadilan.// Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia/ telah sampailah kepada saat yang berbahagia/ dengan selamat sentosa/ mengantarkan rakyat Indonesia/ ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia/, yang merdeka,/ bersatu,/ berdaulat,/ adil/ dan makmur.// Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa\ dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,/ supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas/, maka/ rakyat Indonesia/ menyatakan dengan ini kemerdekaannya.// Kemudian daripada itu\ untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia/ yang melindungi segenap bangsa Indonesia/ dan seluruh tumpah darah Indonesia/ dan untuk memajukan kesejahteraan umum,/ mencerdaskan kehidupan bangsa,/ dan ikut melaksanakan ketertiban dunia/ yang berdasarkan kemerdekaan,/ perdamaian abadi/ dan keadilan sosial,/ maka/ disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu/ dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia/ yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia,/ yang berkedaulatan rakyat/ dengan berdasar kepada:/ Ketuhanan Yang Maha Esa,/ Kemanusiaan yang adil dan beradab,/ Persatuan Indonesia,/ dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,/ serta/ dengan mewujudkan suatu keadilan sosial/ bagi seluruh rakyat Indonesia.//

b. Penilaian Membaca Teknik Teks Pembukaan UUD 1945

Rubrik Penilaian Membaca Teks Pembukaan Uud 1945 No. Nama Aspek Penilaian Membaca Teks Pembukaan UUD 1945 Jumlah SKor Pelafalan Intonasi Kelancaran Sikap Penampilan

106 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

METODE PENELITIAN Pada bagian ini dipaparkan tentang populasi dan sampel penelitian, objek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitia, dan teknik analisis data penelitian. 1. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMA/MA/SMK Muhamadiyah Se-Kabupaten Banyumas dari kelas X sampai dengan kelas XII tahun ajaran 2014/2015. Menyadari terbatasnya tenaga peneliti, waktu penelitian, dan dana penelitian, maka tidak semua populasi diteliti. Peneliti mengambil sampel penelitian sebanyak enam sekolah berdasarkan teritorial yaitu dua sekolah yang berada di dalam kota, dua sekolah yang berada di pinggir kota, dan dua sekolah yang terletak di desa. Setiap sekolah diambil sepuluh siswa. Jadi terdapat enam puluh siswa sebagai sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak, maksudnya tanpa memperhatikan kelas, kualitas, dan jenis kelamin. Teknik ini sengaja dilakukan untuk menjaga keaslian kemampuan membaca mereka terhadap teks Pembukaan UUD 1945 dan teks Pancasila.

2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah Kemampuan siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah se-Kabupaten Banyumas dalam membaca dan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Kemampuan tersebut diukur melalui empat aspek yaitu pelafalan, intonasi, kelancaran, dan sikap penampilannya. Setiap aspek penilaian diukur dengan lima skor (skor 5, skor 4, skor 3, skor 2, dan skor 1).

3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini digunakan teknik tes membaca. Siswa yang menjadi sampel diberi tugas membacakan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Saat membaca teks tersebut diilustrasikan dalam suasana upacara bendera. Data yang dikumpulkan terdiri atas empat aspek, yaitu pelafalan, intonasi, kelancaran, dan sikap penampilannya. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan membaca tersebut adalah dewan juri yang terdiri atas tiga orang, dibantu dengan lembar soal, lembar penilaian yang berisi kriteria penilaian, bolfoin, dan alat perekam.

4. Instrumen Penilaian Indikator penilaian Teks Pancasila dan Tek Pembukan UUD 1945 menggunakan Skala 5 a. Lafal Skor 5 jika setiap kata diucapkan sangat jelas dan sangat tepat. Skor 4 jika setiap kata diucapkan jelas dan tepat Skor 3 jika setiap kata diucapkan cukup jelas dan cukup tepat Skor 2 jika setiap kata diucapkan kurang jelas dan kurang tepat Skor 1 jika setiap kata diucapkan sangat kurang jelas dan sangat kurang tepat b. Intonasi Skor 5 jika pengaturan jeda, tinggi rendahnya nada, keras lunaknya suara, dan cepat lambatnya pembacaan sangat memudahkan pendengar untuk memahami isi teks yang dibaca. Skor 4 jika pengaturan jeda, tinggi rendahnya nada, keras lunaknya suara, dan cepat lambatnya pembacaan memudahkan pendengar untuk memahami isi teks yang dibaca. Skor 3 jika pengaturan jeda, tinggi rendahnya nada, keras lunaknya suara, dan cepat lambatnya pembacaan cukup memudahkan pendengar untuk memahami isi teks yang dibaca. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 107

Skor2 jika pengaturan jeda, tinggi rendahnya nada, keras lunaknya suara, dan cepat lambatnya pembacaan menyulitkan pendengar untuk memahami isi teks yang dibaca. Skor 1 jika pengaturan jeda, tinggi rendahnya nada, keras lunaknya suara, dan cepat lambatnya pembacaan sangat menyulitkan pendengar untuk memahami isi teks yang dibaca. c. Kelancaran Skor 5 jika teks dibacakan sangat lancar. Skor 4 jika teks dibacakan lancar. Skor 3 jika teks dibacakan cukup lancar. Skor 2 jika teks dibacakan kurang lancar. Skor 1 jika teks dibacakan sangat kurang lancar. d. Sikap Penampilan Skor 5 jika penampilan pembaca sangat baik sehingga pembacaan menjadi terkesan sangat wibawa, khusuk, dan serius. Skor 4 jika penampilan pembaca baik sehingga pembacaan terkesan wibawa, khususk, dan cukup serius. Skor 3 jika penampilan pembaca cukup sehingga pembacaan terkesan cukup wibawa, khususk, dan cukup serius. Skor 2 jika penampilan pembaca kurang baik sehingga pembacaan kurang wibawa, khususk, dan serius. Skor 1 jika penampilan pembaca sangat kurang baik sehingga pembacaan sangat kurang wibawa, khususk, dan serius.

Nilai =

Keterangan: 1. Jumlah skor keseluruhan ditentukan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh untuk masing-masing aspek penilaian. 2. Jumlah skor maksimal yaitu skor maksimal (5) x jumlah aspek penilaian (4) =20.

5. Teknik Analisis Data Data penelitian ini dianalisis secara deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari data hasil observasi dan dokumentasi. Data observasi dan dokumentasi dianalisis untuk mengetahui sikap penampilan siswa dalam membaca teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Observasi dilakukan dari awal membaca sampai akhir membaca. Data kuantitatif diperoleh dari hasil tes membaca yaitu hasil membaca teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Aspek yang dinilai seperti pada Tabel 1 berikut ini.

Rubrik Penilaian Membaca Teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 No. Nama Aspek Penilaian Membaca Teks Pancasila Jml SKor dan Pembukaan UUD 1945 Pelafalan Intonasi Kelancaran Sikap Penampilan

108 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Keterangan dengan Angka: 1. Skor 1 kategori Sangat Kurang (SK) : 00—35 2. Skor 2 Kategori Kurang (K) : 36—59 3. Skor 3 Kategori Cukup (C) : 60—74 4. Skor 4 Kategori Baik (B) : 75---85 5. Skor 5 Kategori sangat baik (SB) : 86--100

Adapun langkah perhitungannya adalah dengan cara: (1) merekap nilai yang diperoleh anak, (2) menghitung nilai kumulatif dari tiap-tiap aspek penelitian, (3) menghitung nilai rata-rata, dan (4) menghitung persentase dengan rumus.

SP X 100 %

(Moleong, 2005: 45) Keterangan: SP = Skor Persentase SK = Skor Kumulatif R = Jumlah responden

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA 1. Kemampuan Siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah Se-Kabupaten Banyumas dalam Membaca- kan Teks Pancasila Kemampuan membacakan teks Pancasila siswa SMA/MA/SMK Se-Kabupaten Banyumas dapat diketahui dari kemampuan membacakan teks Pancasila siswa SMAM Sumpiuh memperoleh rerata 64, SMAM Tambak memperoleh rerata 64, SMKM Somagede memperoleh rerata 70,83, SMKM 1 Purwokerto memperoleh rerata 73,17, SMKM 3 Purwokerto memperoleh rerata 64,50, dan SMAM 1 Purwokerto memperoleh rerata 70,17.

2. Kemampuan Siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah Se-Kabupaten Banyumas dalam Membaca- kan Teks Pembukaan UUD 1945 Kemampuan membacakan teks Pembukaan UUD 1945 siswa SMA/MA/SMK Se-Kabupaten Banyumas dapat diketahui dari kemampuan membaca Pembukaan UUD 1945 siswa SMAM Sumpiuh memperoleh rerata 65, 33, SMAM Tambak memperoleh rerata 65,17, SMKM Somagede memperoleh rerata 68, SMKM 1 Purwokerto memperoleh rerata 67,50, SMKM 3 Purwokerto mencapai rerata 66,83, dan SMAM 1 Purwokerto memperoleh rerata 67,83.

3. Kemampuan Siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah Se-Kabupaten Banyumas dalam Membaca- kan Teks Pembukaan UUD 1945 dan Teks Pancasila Kemampuan membacakan Teks Pembukaan UUD 1945 dan Teks Pancasila siswa SMA/ MA/SMK Se-Kabupaten Banyumas dapat diketahui dari kemampuan membacakan teks Pembukaan UUD 1945 dan Teks Pancasila siswa SMAM Sumpiuh dengan rerata 64,67, SMAM Tambak dengan rerata 64,58, SMKM Somagede dengan rerata 69,42, SMKM 1 Purwokerto dengan rerata 70,33, SMKM 3 Purwokerto dengan rerata 65,67, dan SMAM 1 Purwokerto dengan rerata 69.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Kemampuan Siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah Se-Kabupaten Banyumas dalam Membacakan Teks Pancasila Memperhatikan hasil penelitian di muka, diketahui bahwa kemampuan membacakan teks Pancasila bagi siswa SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas mencapai angka sebagai berikut. Rerata nilai SMAM Sumpiyuh mencapai 64. Rerata nilai SMAM Tambak 64. Rerata nilai SMKM Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 109

Somagede 70,83. Rerata nilai SMKM 1 Purwokerto 73,17. Rerata nilai SMKM 3 Purwokerto 64,50, dan rerata nilai dari SMAM 1 Purwokerto mencapai 70,17. Dari rata-rata tersebut jika dijumlah dan dibagi enam menjadi 67,8. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan membaca teks Pancasila siswa SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas baru mencapai kategori cukup. Aspek pelafalan yang salah yaitu saat mengucapkan /Tuhan Yang Maha /Esa/, diucapkan /Esa/, garis miring pada sila kempat tidak diucapkan yang seharusnya diucapkan atau. Kesalahan intonasi kebanyakan terdapat pada akhir pengucapan kata satu, dua, tiga, empat, dan lima yang berintonasi turun, seharusnya menaik. Kelancaran mengucapkan kurang karena suaranya terlalu datar, lugu, tidak lantang, dan kurang semangat. Adapun sikap penampilannya dalam membaca tek Pancasila kurang sempurna, karena kaki tidak lurus dan tidak rapat, badan kurang tegap, cara memegang teks kurang tinggi (membentuk sudut 90 derajat, dan kurang wibawa.

2. Kemampuan Siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah Se-Kabupaten Banyumas dalam Membacakan Teks Pembukaan UUD 1945 Setelah memperhatikan hasil penelitian di muka, maka diketahui bahwa kemampuan membacakan teks Pembukaan UUD 1945 bagi siswa SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas mencapai angka sebagai berikut. Rerata nilai SMAM Sumpiyuh mencapai 65,33. Rerata nilai SMAM Tambak 65,17. Rerata nilai SMKM Somagede 68. Rerata nilai SMKM 1 Purwokerto 67,50. Rerata nilai SMKM 3 Purwokerto 66,83, dan rerata nilai dari SMAM 1 Purwokerto mencapai 67, 83. Dari rata-rata tersebut jika dijumlah dan dibagi enam menjadi 66,8. Data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca teks Pembukaan UUD 1945 siswa SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas baru mencapai kategori cukup. Aspek pelafalan yang banyak salah saat mengucapkan kata tahun diucapkan tahun seharusnya taun, peri- kemanusiaan dan peri-keadilan diucapkan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan, Ësa diucapkan Esa. Kesalahan intonasi banyak dijumpai yang seharusnya intonasi meninggi diucapkan menurun seperti kata dihapuskan intonasi menaik diucapkan menurun seperti ada tanda titik. Kesalahan fatal pada pengucapan berdasar kepada: dengan intonasi menurun padahal seharusnya meninggi dan pada akhir dari sila kesatu, sila kedua, sila ketiga, dan akhir sila keempat diucapkan dengan intonasi menurun. Seharusnya menaik karena ditandai tanda baca koma (,). Karena lafal dan intonasi kurang tepat akhirnya mengganggu kelancaran, pembacaan tersendat, suara kurang lantang, dan pengaturan nafas tidak teratur. Kesalahan sikap dalam membaca tek Pembukaan UUD 1945 terdapat pada kurang sempurnanya cara kaki berdiri tidak rapat, cara memegang teks, dan dada kurang tegap, penampilan kurang wibawa.

3. Kemampuan Akhir Siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah Se-Kabupaten Banyumas dalam Mem- bacakan teks Pancasila dan Teks Pembukaan UUD 1945 Seperti halnya hasil perolehan skor pembacaan teks Pencasila dan teks Pembukaan UUD 1945, maka dapat diketahui bahwa kemampuan membacakan dan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 bagi siswa SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas dapat diketahui sebagai berikut. Rerata nilai SMAM Sumpiyuh mencapai 64,67. Rerata nilai SMAM Tambak 64,58. Rerata nilai SMKM Somagede 69,42. Rerata nilai SMKM 1 Purwokerto 70,33. Rerata nilai SMKM 3 Purwokerto 65,67, dan rerata nilai dari SMAM 1 Purwokerto mencapai 69. Dari rata-rata tersebut jika dijumlah dan dibagi enam menjadi 67,3. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kemampuan membaca teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945 baru mencapai cukup. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa kemampuan pelafalan, intonasi, kelancaran, dan sikap penampilan siswa SMA/MA/SMK se-Kabupaten Banyumas dalam membacakan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945 belum baik dan baru mencapai kategori cukup (67,3).

110 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa (1) kemampuan siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah se-Kabupaten Banyumas dalam membacakan teks Pancasila mencapai rerata 67,8 atau kategori cukup; (2) kemampuan siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah se-Kabupaten Banyumas dalam membacakan teks Pembukaan UUD 1945 mencapai rerata 66,8 atau katagori cukup; (3) kemampuan akhir siswa SMA/MA/SMK Muhammadiyah se-Kabupaten Banyumas dalam membaca- kan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945 baru mencapai rerata 67,3 atau berkategori cukup. Memperhatikan simpulan di atas disarankan perlunya upaya pembinaan yang lebih intensif terhadap kemampuan membacakan teks Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945 bagi siswa SMTA di Banyumas.

DAFTAR RUJUKAN Anderson , O.W. dan Kautnik 1972. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. New York: Addison Wesley Longman. Inc. Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press. Baradja, M.F. 1988. “Beberapa Hal yang Menyebabkan Bahan Bacaan Sulit Dipahami”. Jakarta: Universitas Katolik Atma Jaya. Depdikbud. 1984/1985. Program Akta Mengajar V.B. Komponen Bidang Studi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Depdikbud. 1987. Buku II. Modul Masalah Membaca dan Pengjarannya. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Harjasujana, A.S. 1985. Buku Materi Pokok Keterampilan Membaca. Jakarta: Universitas Terbuka. Haryadi. 2007. Retorika Membaca: Model, Metode, dan Teknik. Semarang: Rumah Indonesia Semarang. Hoesnaeni. 2008. ”Teknik Membaca Puisi Deklamasi”. Artikel. (http://hoesnaeni. wordpress. com/2008/12/28/teknik-membaca-puisi-deklamasi/,) Diunduh tanggal 3 November 2012. Munaf, Yarni. 2005. “Pengajaran Keterampilan Membaca”. Buku Ajar. Padang: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS UNP. Neni. 2008. Perlukah Membaca Nyaring. (Forum Tanya Jawab Lewat Media Elektronik). Senin, 22 Desember 2008. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara. Sukirno. 2009. Sistem Membaca Pemahaman yang Efektif. Purworejo: UMP Press. Sukirno. 2014. Terampil Membaca Nyaring. Yogyakarta: Balai Pustaka. Sutawijaya, A. 1976. “Lembar Kegiatan Siswa”. Modul Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Suwandi, Sarwiji dan Sutarmo. 2008. Bahasa Indonesia Bahasa Kebangganku untuk Kelas VII SMP/MTs. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tarigan, H.G. 1985. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, H.G. 1984. Membaca Ekspresif. Bandung: Aksara. Tampubolon, D.P. 1987. Kemampuan Membaca Teknik Membaca Efektif dan Efisien. Bandung: Angkasa.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 111

MAKALAH PENDAMPING

112 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 113

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN MATERI AJAR ALIH KODE DALAM PEMBELAJARAN SOSIOLINGUISTIK BERBASIS KOMUNIKASI PROMOSI PENJUALAN

Abdul Ngalim*, Markhamah**, dan Harun Joko Prayitno*** Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani, Pabelan, Kartasura, Surakarta *[email protected] ** [email protected]. *** [email protected]

Abstract This article was writed as face of promolinguistics path. This article has two aims. 1) To describe implementation of development of code switching instructional materials in sociolinguistics learning. 2) To describe the implementation of development of code switching instructional materials in sociolinguistics learning of sales promotion communication basic. Result of this research: 1) Existence implementation of code switching theoretic development is two or more languages switching, due to various factors in sociolinguistics learning. The factors in a code switching may becaused by a skill in one or more languages, technological development, skills in one more dialects, language versions and Java learning having a competency in speech and local and foreign language learning with Indonesian. Likewise, a new technology using foreign language is hard to avoid a code switching. 2) It implementation in sociolinguistics learning was followed of code switching concept development was called, whith was followed of research by lecterer and student, besides advertising, whith sales promotion, personal selling, direct marketing, public relation, and service strategies basic. The results of a code switching language event in sales promotion, seem at the simulation of the entrepreneurs. In here as a user of dominant sales promotion, communication contribution to expand the products of goods service promotion seter.

Keywords : implementation, code switching, sales promotion, sociolinguistics learning

PENDAHULUAN Makalah ini merupakan salah satu rintisan terwujudnya bidang kajian Promolinguistics. Di samping itu, juga bagian dari hasil penelitian, ”Pengembangan Materi Ajar Campur dan Alih Kode dalam Pembelajaran Sosiolinguistik Berbasis Komunikasi Promosi”. Dalam hal ini dibatasi pada hasil pengembangan materi alih kode berbasis komunikasi promosi penjualan. Konsep kebahasaan yang dituangkan dalam kajian sosiolinguistik, psikolinguistik, tampaknya masih layak diikuti oleh terminologi promolinguistik. Selama ini istilah promosi. yang dikaitkan dengan kajian kebahasaan tampaknya sebatas disinonimkan dengan iklan, advertensi, reklame, dan pariwara. Promosi merupakan salah satu komponen dari bauran pemasaran (Kotler et al. dalam Ngalim, 2010, 43-44). Keterkaitannya dengan metode pemasaran, promosi memiliki 5 metode. Lima metode dimaksudkan, (1) metode iklan (advertising), (2) jual wiraniaga (personal selling), (3) promosi penjualan (sales promotion), (4) pemasaran langsung (direct marketing), (5) publisitas (publicity) dan (6) hubungan masyarakat (publicity and public relation). Dengan demikian, 5 metode tersebut berdasarkan istilah induknya, bauran komunikasi pemasaran (the marketing communication mix) berupa bauran atau integrasi. Sebagai salah satu metode promosi, Munawar (2003 : 30), mengemukakan bahwa secara etimologis iklan berasal dari bahasa Arab i’laanun ’penyiaran’ atau ’pemberitahuan’. Istilah sinonimnya reklame berasal dari bahasa Latin recalamare menyerukan’. Sementara itu, istilah sinonim yang lain advertensi, berasal dari bahasa Perancis advertir ’memberitahukan’, dan dari

114 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

bahasa Latin advertere ’berpaling’ atau ’memusatkan perhatian kepada orang lain’. Ke dalam bahasa Inggris diintegrasikan menjadi advertise atau advertize ’mengiklankan’ atau ’mengad pertensikan’. Di samping itu, juga disinonimkan dengan pariwara. Campur kode (codemixing) dan alih kode (codeswitsching) merupakan bagian dari peristiwa bahasa interferensi. Sementara itu, interferensi merupakan salah satu fenomena kebahasaan yang disebut sebagai penyimpangan. Kridalaksana (1993:84), mengemukakan bahwa interferensi merupakan kesalahan bahasa berupa unsur bahasa sendiri yang dibawa ke bahasa atau dialek yang lain. Pandangan senada dikemukakan oleh Crystal (1994:189), Interference: The introduction of errors into one language as a result of contact with another Language, also called negative transfer. ‘Interferensi merupakan proses pengantar kesalahan ke dalam suatu bahasa sebagai hasil kontak dengan bahasa lain, juga disebut transfer negatif.’ Di samping itu, Crystal (1994: 189), menyatakan, It typically occurs while people are learning a foreign language... ‘Tipe interferensi di antaranya terjadi pada saat pembelajaran bahasa asing...’Dengan demikian, sulit untuk dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa daerah maupun bahasa asing (bahasa Jawa, bahasa Inggris dan bahasa Arab misalnya) dengan pengantar bahasa Indonesia terjadi pengacauan, kesalahan, maupun transfer negatif. Campur kode pasti terjadi dalam proses pembelajaran bahasa asing dan bahasa daerah dengan pengantar bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, perlu diformulasikan bahwa campur kode dalam forum pembelajaran semacam itu merupakan suatu kewajaran. Apalagi dalam bauran komunikasi iklan dan promosi penjualan yang sangat variatif. Holmes (2001: 41-45), menyajikan hasil penelitiannya tentang campur dan alih kode. Campur kode mapun alih kode, dinyatakan sebagai terjadinya perubahan kode (code swich dalam komunikasi, karena adanya perubahan situasi komunikasi, datangnya komunikan lain yang berkode lain, adanya komunikan khusus, atau karena tujuan tertentu. Tujuannya efektivitas komunikasi Formulasi yang tampaknya perlu dicermati, adalah menempatkan peristiwa bahasa cam pur dan alih kode sebagai sesuatu yang wajar dalam pembelajaran bahasa daerah, bahasa asing, yang memerlukan pengantar bahasa Indonesia misalnya. Bahkan pembelajaran bahasa Indone- sia untuk orang asing itu sendiri, maupun untuk pengguna bahasa Indonesia sebagai penutur asli (native speaker) jelas juga sulit menghindari adanya campur kode. Misal, dalam pembelajaran bahasa Inggris yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia. Berikut contoh hasil simak catat peneliti untuk kemampuan berbahasa Inggris yang diampu oleh dosen bahasa Inggris di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan daerah (PBSID) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Rachmat (2007), menyajikan konsep hasil penelitiannya ke dalam buku, Psikologi Komunikasi, mengenai esensi psikologi komunikasi dan berbagai sistem komunikasi. Sistem komunikasi yang disampaikan antara lain, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi massa. psikologi komunikator dan psikilogi pesan. Di dalamya juga disajikan adanya pesan linguistik, nonverbal, organisasi, struktur, dan imbauan pesan. Rancangan penelitian yang memasukkan komunikasi sebagai salah satu ciri bidang kajian sosiolinguistik ini, disiapkan dalam rangka mengakomodasikan unsur kejiwaan yang berperan penting dalam berbahasa. Ngalim (2010) dalam bukunya, Komunikasi Multiarah dalam Manajemen Pendidikan, sebagai hasil penelitian Hibah Pasca 3 tahun berturut-turut (multiyears), di samping sebagian telah dipaparkan pada hasil penelitian tahun pertama, dikembangkan dengan beberapa hal berikut. Ragam komunikasi di samping internal, eksternal, individual dan instititusional, vertikal, horizontal, dikembangkan dengan komunikasi struktural, fungsional, intrapersonal, komunikasi Ilahiah, dan komunikasi multiarah. Wujud pengembangan komunikasi tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan manajemen pendidikan. Secara etimologis sosiolinguistik berasal dari kata bahasa Inggris society ’masyarakat’, dan linguistics ’ilmu bahasa’. Setelah digabungkan menjadi satu society berubah menjadi socio Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 115

’masyarakat’. Dengan demikian, terjadi perubahan fonem /ei/ menjadi /o/ serta pelesapan fonem /t/ dan /y/, sehingga society-linguistics berubah menjadi sociolinguistics. Istilah sociolinguistics diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi siolinguistik. Peristiwa kebahasaan semacam ini juga terjadi pada istilah psikolinguistik yang berasal dari kata bahasa Inggris psychology-linguistics dipadukan menjadi psycholinguistics. Dengan kata lain, melesapkan kata logy, sebagai salah satu hasil integrasi dari kata bahasa Latin logos ke dalam bahasa Inggris. Istilah bahasa Inggris psycholinguistics.diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi psikoli nguistik. Seperti disebutkan di muka, bahwa promolinguistik layak dirintis sebagai bagian dari analogi terhadap bidang kajian sosiolinguistik dan psikolinguistik. Khusus untuk promosi penjualan Frymer (2005), dalam penelitiannya berjudul, Students’ Classroom Communication Effectiveness, mengemukakan beberapa hal. “Instructional communication research has frequently examined effective teacher communication. This study draws on the transactional model of communication to hypothesize that students who are effective communication will be more succesful in the classroom. Participnants reported their level of interaction involvement, sociocommuni cation orientation, and out-of-class communication in regard to a specific class… Overrall, students’ communication effectiveness ‘Penelitian komunikasi pembelajaran memiliki frekuensi pengujian yang efektif pada komunikasi peserta didik. Penelitian ini menggambarkan model transaksi komunikasi, ke hipotesis bahwa peserta didik yang men- jadi komunikan efektif akan lebih berhasil dalam ruang kelas (pembelajaran).’

Secara logis, hal demikian layak dijadikan acuan dalam penetapan keberhasilan dalam studi. Dapat dibayangkan, jika seseorang baik peserta didik maupun pendidik jika dalam berba- gai informasinya sulit atau tidaka dapat dipahami, atau bahkan tidak dapat dipahami. Seba- liknya, jika dalam proses pembelajaran, baik peserta didik maupun pendidik saling menyam- paikan berbagai informasi efektif (singkat, jelas atau komunikatif, dan standar) layak tercapainya tujuan pembelajaran yang optimal.

METODE PENELITIAN Objek penelitian tahun ketiga ini adalah wujud implementasi pengembangan materi ajar alih kode dalam pembelajaran sosiolinguistik berbasis komunikasi promosi. Dalam tulisan ini hanya dibatasi pada implementasi pengembangan peristiwa alih kode dalam wujud metode komunikasi promosi penjualan. Sumber datanya: implementasi pengembangan materi ajar alih kode dalam pembelajaran sosiolinguistik berbasis komunikasi promosi penjualan adalah focus group discussion (FGD). Wujud implementasinya adalah penyajian, pengkajian, dan tindak lanjut penelitian yang dituangkan dalam skripsi, tesis, dan seterusnya. Secara variatif, implementasi di samping dilakukan secara klasikal, juga dilakukan dengan focus group discussion (FGD) internal Program Studi Magister Pengka jian Bahasa, Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (Prodi MPB, PPs, UMS) dan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (Prodi PBSI FKIP UMS), kelayakan desain pengem bangan untuk diimplementasikan. Dalam hal ini berupa reduksi desain hasil pengembangan materi ajar campur dan alih kode dalam pembelajaran sosiolinguistik berbasis komunikasi promosi untuk diimplementasikan dalam pembelajaran sosiolinguistik. Implementasi awal dilakukan pada semester IV Prodi PBSI FKIP UMS. Selanjutnya, teknik pengumpulan data dilakukan dengan diskusi pada FGD Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Kebudayaan, Universitas Diponegoro (UNDIP) di Semarang, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FISIP, serta Program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, Program Studi Pendidikan

116 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Pekalongan (UNKAL), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Widya Mandala (UNWIDA) Klaten. Teknik analisis dengan reduksi, penyajian data, verifikasi dan simpulan. Di samping itu, dengan menerapkan padan intralingual dan ekstralingual.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ada beberapa langkah implementasi hasil pengembangan materi ajar alih kode berbasis komunikasi promosi. Dalam hal ini, dibatasi pada peralihan antar dua bahasa atau lebih, dua diagram atau lebih berbasis promosi penjualan. 1) Mengimplementasikan pemahaman konsep alih kode oleh para dosen dalam pembelajaran sosiolinguistik yang telah disampaikan sebelumnya. Berdasarkan data yang ditemukan, menunjukkan adanya interpretasi yang bervariasi. a. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Santoso, 1996:22; Wijana dan Rahmadi, 2010:178-179; Rohman, 2011: 57). Apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia), dan kemudian beralih menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa), maka peristiwa semacam itu disebut alih kode (code switching) (Santoso, 1996:22; Wijana dan Rahmadi, 2010:178-179). b. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, atau dari satu bahasa ke bahasa lain (Markhamah, 2000:237). c. Selanjutnya, pemahaman yang mendasarkan pada konsep Hymes (1975:103) dalam Rahardi (2001:20-21), bahwa alih kode merupakan istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari satu ragam. Alih kode juga ditandai oleh dua hal. a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya. b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks (Santoso, 1996:23; Rochman, 2011:57). Dalam penjelasannya alih kode juga merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual (Santoso, 1996:22; Rochman, 2011:57). Santoso (1996:24-25) mengemukakan enam faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode. a. Penutur yang kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode, karena maksud tertentu. b. Lawan tutur yang ingin mengimbangi bahasa lawan tutur. c. Hadirnya penutur ketiga. d. Pokok pembicaraan (topik). e. Untuk membangkitkan rasa humor. f. Untuk sekadar bergengsi. 2) Hasil implementasi dalam pembelajaran sosiolinguistik, sesuai dengan paparan alih kode ini adalah peralihan atau pergantian antar dua bahasa atau lebih, dua ragam bahasa atau lebih. Di samping itu, alih kode juga berupa pergantian dua dialek atau lebih, dua tingkat tutur atau lebih, karena beberapa faktor. Faktor penyebab dimaksudkan: bilingual atau multilingual dan dua ragam bahasa atau lebih. Faktor penyebab yang lain, adalah penguasaan dua dialek atau lebih, penguasaan dua tingkat tutur atau lebih, pembelajaran bahasa daerah dan bahasa asing dengan pengantar bahasa Indonesia, dan perkembangan teknologi. Basis pembelajaran sosiolinguistik berupa promosi penjualan. Dalam hal ini, bauran komunikasi promosi yang lain, berupa iklan, jual wiraniaga, publisitas, pemasaran langsung, dan hubungan masyarakat. Secara logis, jika memiliki kemampuan berkomunikasi yang tinggi, layaknya mampu menguasai bidang kajian yang digeluti. Bahkan kemampuan berkomunikasi dimungkinkan berpotendi untuk meningkatkan produktivitas bisnis. Di antaranya juga peningkatan daya jual produk barang maupun jasa.

Wujud Alih Kode pada Promosi Penjualan (1) Apa hadiahnya, jika saya beli? (2) Buy one get one. ’Beli satu dapat satu’. (3) Cuci motor 3 x gratis 1x. (4) Berlangganan sekarang Hanya Rp2.800 per hari nikmati lebih dari 40 channelunggulan lokal dan mancanegara Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 117

(5) Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2013/2014 One Day Service - An Internationally Recognized University, One Step towards a Word Class University - Para Calon Mahasiswa Tes di Bus ODS (6) Diskon GILA-GILAAN AKHIR TAHUN BELI 1 GRATIS 1 Hanya Bayar 850 rb (brosur) (7) Carrefour 13 th Anniverssary F13 STA Gosok Kuponnya Gasak Hadiahnya. (8) Ada yang lebih murah? freetalk 5000 Cuma Rp 0 (9) Tong kosong nyaring bunyinya Hati-hati janji si NOL! Tetap termurah Rp 1/detik Pulsa XL bebas Rp 1 Si Nol Rp 5000 29 menit 6 menit Dengan pulsa sama, nelpon pake bebas jauh lebih lama! Berlaku di seluruh Indonesia. 24 jam non stop. Makin lama bicara makin murah. Tetap termurah di seluruh Indonesia. Pulsanya gak abis-abis

Data (1) sampai dengan (6), menunjukkan adanya peristiwa AKAB dari bahasa Indonesia, Apa hadiahnya, jika saya beli? ke bahasa Inggris Buy one get one. Selanjutnya, diikuti AKAR dari bahasa Indonesia ragam informal Cuci motor 3 x gratis 1x. ke Berlangganan sekarang Hanya Rp2.800 per hari nikmati lebih dari 40 channelunggulan lokal dan mancanegara. Dalam hal ini terdapat komunikasi promosi dengan metode promosi penjualan. Di antara cirinya, terdapat penggunaan kata: hadiah, get one, gratis, diskon gila-gilaan. Data (5) menunjukkan adanya peristiwa AKAB dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Wujud alih kode berupa peralihan dari kalimat bahasa Indonesia, Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2014/2015 beralih ke kalimat bahasa Inggris “One Day Service” An Internationally Recognized University, One Step towards a Word. ‘Pelayanan satu hari’ Berikutnya, kembali ke bahasa Indonesia, dari bahasa Indonesia ragam informal, Para Calon Mahasiswa Tes Bus ODC. BUS UMAT, ke bahasa Inggris (UMS Mobil Admission Test). Kemudia beralih ke bahasa Indonesia, Siap Melayani Admisi di kota Anda. One Day Service - Terjadinya alih kode tersebut dilatarbelakangi oleh adanya upaya membuat calon mahasiswa agar tertarik sehingga mendaftarkan dirinya ke Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pemilihan kalimat berbahasa Inggris “One Day Service Admission” , Pelayanan admisi satu hari’ merupakan bagian dari pelayanan pendaftaran mahasiswa yang bersifat internasional. “satu hari pelayanan administrasi” dilakukan mengingat masyarakat yang menjadi sasaran adalah masyarakat yang multilingual. Masyarakat yang dimaksud adalah orangtu calon mahasiswa dan calon mahasiswa itu sendiri, dan ada yang berasal dari negara lain. Pemilihan kalimat berbahasa Inggris tersebut dilakukan mengingat komponen dari Universitas Muhammadiyah Surakarta go internatonal. Penawaran yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta merupakan terobosan baru yang diminati mengingat proses masuk menjadi calon mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta hanya dilakukan selama satu hari. Hal ini akan membuat nyaman masyarakat yang berasal dari dekat maupun dari jauh. Dalam hal ini, terjadi penggunaan metode bauran komunikasi iklan dan hubungan masyarakat (public relation). Komunikasi promosinya terjadi antara stimulasi dengan media bauran komunikasi iklan yang menunjukkan fakta kualitas keilmuan, keislaman, dan beasiswa,serta hubungan masyarakat (public relation) dan respons puluhan ribu calon mahasiswa ikut seleksi. Sementara yang diterima sebagian.

118 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Data (6) secara tutur terdapat alih kode ragam bahasa (AKAR) dari tuturan ragam informal Diskon GILA-GILAAN AKHIR TAHUN, BELI 1 GRATIS 1, Hanya Bayar 850 rb. Dinyatakan ragam informal Diskon GILA-GILAAN AKHIR TAHUN , karena yang formal, Diskon akhir tahun sangat besar. Yang lebih menarik penggunaan gila-gilaan ’edan-edanan’ daripada sangat besar. Kata ulang gila- gilaan dalam sajian iklan ini memiliki makna konotasi ’dengan membeli produk barang atau jasa yang ditawarkan pembeli atau pelanggan memperoleh hadiah diskon yang sangat besar’. Tuturan tersebut layak disebut ragam informal. Ragam formalnya, Diskon akhir tahun sangat besar. Wujud informalnya di samping digunakannya tuturan yang bukan standar gila-gilaan, juga tata tulis kalimat yang disajikan dengan huruf kapital semua, bersifta hiperbolistik GILA-GILAAN AKHIR TAHUN . Sementara itu, BELI 1 GRATIS 1 yermasuk tuturan formal. Adapun Hanya Bayar 850 rb termasuk ragam informal. Secara formal, Cukup membayar Rp 850.000,00. Oleh sebab itu, alih kode terjadi didasarkan pada ragam bahasa tutur. Data (7) menunjukkan adanya peristiwa AKAB dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Wujud alih kode berupa kalimat Carrefour 13 th Anniverssary F13 STA ke bahasa Indonesia dengan permainan kata (pun) yang puitis, Gosok Kuponnya Gasak Hadiahnya. Dengan kata lain, juga menunjukkan arah ke komunikasi promosi penjualan, yang ditandai dengan gosok kupon, dan gasak haduiahnya. Selanjutnya data (8) juga menunjukkan adanya alih kode antar bahasa (AKAB) dari bahasa Indonesia bentuk tanya Ada yang lebih murah? ke kalimat bahasa Inggris bentuk informasi Freetalk 5000, beralih kembali ke kalimat bahasa Indonesia bentuk ajakan Ayo itung lagi, Dilihat dari sisi ragam bahasanya, juga terjadi alih kode antar ragam bahasa (AKAR), Sajian bauran komunikasi promosi penjualan di sini tampak pada bentuk sosialisasi melalui benner maupun spanduk diserta dengan hadiah wujud bebas bicara hanya dengan Rp 5000,00. Pada data (9) terjadi alih kode antar ragam bahasa (AKAR) dari tuturan ragam formal Tong kosong nyaring bunyinya. ke kalimat ragam informal, Hati-hati janji si NOL! (Formal, ”Berhati-hatilah terhadap janji gratis!”), Tetap termurah Rp 1/detik (Formal, ”Tetap termurah dengan harga Rp 1,00/detik), Pulsa Rp 5000 (Formal, ”Pulsa Rp 5000,00”), XL bebas Rp 1 29 menit., Si Nol 6 menit, 24 jam non stop. Dengan pulsa sama, nelpon pake bebas jauh lebih lama! (Formal, ” Dengan pulsa sama, menelpon jauh lebih lama bebas!”). Kata pakai ke bahasa Jawa dialek Surakarta (di desa) atau dialek Banyumas pake; Selanjutnya, beralih ke kalimat ragam formal, Berlaku di seluruh Indonesia. 24 jam non stop. Makin lama bicara makin murah. Tetap termurah di seluruh Indonesia. Akhirnya, beralih ke kalimat ragam informal Pulsanya gak abis-abis. (Ragam formalnya, Pulsanya lama tidak habis.). Pada kalimat terakhir tidak formal, karena adanya interferensi adverbia bahasa Jawa dialek Jawa Timur nggak. (nggak ’tidak’); abis-abis bentuk kata ulang ragam informal adverbia asal bahasa Indonesia bentuk ulang ragam formal habis-habis. Pernyataan nggak. (nggak ’tidak’); abis-abis tampak juga ke arah adanya promosi penjualan dengan tidak segera habis pulsa yang dibeli, atau lebih banyak hadiah masa penggunaan

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat ditarik simpulan berikut. 1. Wujud implementasi pengembangan secara teoritik dalam pembelajaran sosiolinguistik, alih kode dalam tulisan ini, adalah pengkajian secra intensif adanya peralihan dua bahasa atau lebih, dua ragam bahasa atau lebih. Selebihnya, yang tidak atau belum dibahas dua dialek atau lebih, dua tingkat tutur atau lebih, yang disebabkan oleh faktor tertentu. Faktor penyebab dimaksudkan: bilingual atau multilingual, penguasaan dua ragam bahasa atau lebih, penguasaan dua dialek atau lebih, penguasaan dua tingkat tutur atau lebih, pembelajaran bahasa daerah dan bahasa asing dengan pengantar bahasa Indonesia, perkembangan teknologi baru yang berbasis bahasa internasional seperti pembelajaran komputer, dengan pengantar bahasa Indonesia. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 119

2. Wujud implementasi alih kode yang dapat disajikan baru pada alih kode antar bahasa (AKAB) baik secara internal maupun eksternal, serta alih kode antar ragam bahasa (AKAR). Basisnya komunikasi promosi penjualan Hal ini sesuai dengan fenomena perkembangan komunikasi promosi, komunikasi promosi penjualan yang tampak dominan. Hal ini disebabkan, kebanyakan orang suka pada hadiah, gratisan, maupun diskon, yang menjadi bidikan para pengusaha, penjual, distributor, atau pedagang pada umumnya. Hasil dari komunikasi promosi penjualan tampak pada kontribusi terhadap keberhasilan upaya peningkatan daya jual produk barang, maupun jasa. Dengan demikian, terjadi komunikasi dan interkasi antara pemasang promosi dengan calon pelanggan atau pembeli yang efektif (tepat guna) dan efisien (usaha dan doa maksimal, hasil optimal).

DAFTAR PUSTAKA Crystal, David, 2001. An Encyclopedic Dictionary of Language and Languages. Second Edition. London: Penguin Books. Holmes, Janet, 2002. An Introduction to Sociolinguistics. Sixth impression. London and NewYork: Longman. Kotler, Philip,, Kertajaya, Hermawan, Huan Hooi Den, dan Liu Sandra, 2003. Rethinking Marketing Sustainable Marketing Enterprise di Asia. Dialihbahasakan oleh Marcus P. Widodo dari buku Rethingking Marketing Interpris in Asia. Cetakan I. Pearson Education, Asia, Jakarta: PT Prenhallindo. Kridalaksana, Harimurti.2008. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Markhamah, 2000. Etnik Cina, Kajian Sosiokultural. Cetakan Pertama. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Ngalim, Abdul dkk. 2010. Komunikasi Multiarah dalam Manajemen Pendidikan. Cetakan Pertama. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Kunjana, 2001. Sosiolinguisti, Kade dan Alih Kode. Cetakan Pertma. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rakhmat, Jalaluddin, 2007. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Reid, Jo-Anne, 2007. Literacy and Environmental Communications: Towrds a Pedago- gy of Responsibility. Australian Journal of Language and Literacy, Vol. 30. No. 2. 2007. P, 118.

120 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 121

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM MELEJITKAN KARAKTER KRITIS ANAK BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN BUDAYA LOKAL

Afrinar Pramitasari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Pekalongan

Abstract Curriculum is the heart of education. Therefore, the current curriculum 2013 should give greater attention to cultural and national character education curriculum than ever before. Education is the spearhead of determining a person's success in life. Education can make people civilized. Local culture-based education is very important in forming the character of a nation that does not leave the current modernization and globalization, so as to compete in a global world without leaving the local cultural values and as an affirmation of identity. Learning Indonesian language contained within the learning literature, is considered not able to provide students in critical thinking ability. This is due to that literature is believed to be used as one means to plant, cultivate, foster, and preserve the values that are believed to be good and valuable by society. Through the study of literature as well, learners are invited to see, enjoy, and appreciate literature. Though the actual learning literature can also be used as a tool to train the social sensitivity of students, about how exactly the reality of what happened. Thus the study of literature can serve as the stimulus of an effort to give the learners a critical awareness. Through a critical literature students are invited to reflect on things that actually happened. And it helps students in understanding the problem, outlining the problem, thus providing supplies to the students to think critically.

PENDAHULUAN Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan, karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini berarti, bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya, sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan “mematikan” budaya bangsa. Hal ini menegaskan kita pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Kalau kita lihat secara cermat, kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia oleh generasi muda, khususnya pelajar. Dewasa ini, pemakaian bahasa Indonesia baik mulai bergeser digantikan dengan pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul, dan karya-karya sastra Indonesia khususnya yang bersifat kerifan lokal juga kurang begitu diminati oleh remaja karena sudah mulai tergeser oleh oleh bahasa asing dan bahasa gaul. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri. Kondisi seperti itu harus kita sikapi dengan bijak agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri. Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan

122 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat. Pendidikan diarahkan menjadi salah satu sarana untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta didik dengan adanya semangat perubahan yang dilandasi dengan demokratisasi dan keterbukaan. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa mata pelajaran yang diberikan pada peserta didik dalam kelas pada saat ini harus senantiasa menumbuhkan kesadaran pada peserta didik. Tidak terkecuali pembelajaran sastra yang termasuk dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Pembelajaran sastra yang menjadi bagian dari mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia, selama ini dianggap belum mampu memberikan peserta didik kemampuan dalam berpikir kritis. Hal ini berdampak pembelajaran sastra menjadi pembelajaran yang jauh dari realitas keseharian peserta didik. Pendekatan pembelajaran sastra yang bersifat konvensional ini dirasakan masih kurang apabila ditinjau dari aspek pendidikan kritis. Padahal pembelajaran sastra memiliki potensi dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Harapan menumbuhkan pola pikir kritis melalui pembelajaran sastra pada saat ini masih memunculkan berbagai macam keluhan dan hambatan. Menurut Suharianto (2009:1) ini disebabkan kesalahan tafsir terhadap kata “sastra” dalam konteks pengajaran sastra menjadi penyebab utama pelaksanaan pengajarannya menjadi salah. Kesalahtafsiran inilah yang menjadikan pembelajaran sastra di sekolah diartikan sebagi “ilmu sastra”. Oleh karena itu, yang diajarkan para guru di sekolah adalah pengertian karya sastra (puisi, cerpen, novel, serta drama), ciri-ciri karya sastra, jenis-jenis karya sastra, dan sebagainya. Adapun pengetahuan tentang sastra, harusnya hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra. Padahal pembelajaran sastra pada saat ini harus mampu memberikan bekal pada peserta didik tidak hanya kemampuan dalam berkreasi dan mempertajam imajinasi. Akan tetapi, juga memberikan pada peserta didik kemampuan dalam membaca realitas yang terjadi dan berpikir kritis. Beberapa faktor yang lain, seperti kekurangmampuan guru dalam membelajarkan sastra dengan hanya menjejali teori-teori saja sehingga tidak memberikan pengalaman baru serta mengembangkan daya imajinatif, kreativitas, serta daya kritis peserta didik. Selain itu, faktor ketersediaan karya sastra yang terbatas, pembelajaran yang monoton, serta kurikulum yang kurang memberi ruang terhadap sastra, ini mengakibatkan peserta didik kurang dapat mengapresiasi karya sastra sepenuhnya. Sejatinya, bahasa dan sastra bisa digunakan sebagai media penyampaian pendidikan karakter kepada peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif saja, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Tentu saja, langkah visioner semacam ini tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dan dukungan penuh dari berbagai kalangan secara intensif menginternalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

PEMBAHASAN Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 123 bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah. Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga Negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan budaya yang akan berpengaruh pada karakter siswa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai nilai mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian diri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaaan. Pendidikan dan kebudayaan didapat melalui belajar. Dalam proses belajar maka akan terbentuk karakter seseorang sehingga tindakan-tindakan yang dilakukannya merupakan hasil dari belajar pendidikan budaya tersebut (Pidarta, 2009: 3). Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Dalam proses pendidikan budaya secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Hal tersebut dan diterapkan dalam kehidupan siswa di sekolah dengan meningkatkan pengajaran pendidikan budaya lokal. a. Mengoptimalkan Peran Bahasa dan Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Lebih-lebih dalam era global seperti sekarang ini, jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain di dunia. Tidak seharusnya kita membiarkan bahasa Indonesia larut dalam arus komunikasi global yang menggunakan media bahasa asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita biarkan, tidak tertutup kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun akan pudar, bahkan tidak tertutup kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global. Jika hal itu terjadi, jangankan berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi seperti itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya agar jati diri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain di dunia. Dalam konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia sesungguhnya selain merupakan jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan bangsa. Sejatinya, bahasa dan sastra bisa digunakan sebagai media penyampaian pendidikan karakter kepada peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif saja, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Tentu saja, langkah visioner semacam ini tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dan dukungan penuh dari berbagai kalangan secara intensif menginternalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

124 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran bahasa dan sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, bahasa dan sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab bahasa dan sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran bahasa dan sastra. Sastra dan Pendidikan Karakter Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Penciptaannya yang dilakukan bersama-sama dan saling berjalinan seperti terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Namun, kenyataan tersebut di dalam sastra dihadirkan melalui berbagai tahap proses kreatif. Artinya bahan-bahan tentang kenyataan tersebut dipahami melalui proses penafsiran baru oleh pengarang. Adapun manfaat sastra bagi pembaca, adalah berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan dalam hidup melalui kebaikan jasmani dan kebaikan rohani. Lebih jauh dari itu sastra dalam kaitan dengan pendidikan karakter, yaitu sastra sebagai media pembentuk watak moral peserta didik, dengan sastra kita bisa mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, kita bisa membentuk karakter peserta didik, sastra mampu memainkan perannya. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersaman, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada peserta didik melalui sastra. Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan pendidikan karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pendidik. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut. 1. Cerpen Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik kemudian mengubah hal-hal yang bersifat negatif dalam cerita pendek tersebut menjadi nilai positif. Dengan ini peserta didik mampu mengambil secara langsung nilai-nilai pendidikan karakter yang tersirat dan tersurat dalam tugas yang diberikan pendidik tadi karena merupakan bagain dari kehidupan peserta didik itu sendiri. Atau bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastunya ingin menjadi seperti idolanya tersebut. 2. Puisi (lagu) Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 125

pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta didik. 3. Drama Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu tugas- tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan dalam-dalam nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik. 4. Novel Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi dan brainstorming pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya. 5. Pantun Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai- nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya. 6. Cerita Lisan Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.

Selain cara-cara di atas masih banyak cara-cara yang lainnya yang bisa digunakan oleh pendidik atau bahkan dikombinasikan untuk menyampaikan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari penyeleksian atau pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga mendidik. Membaca Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan membaca Belenggu karya Iwan Simatupang bagi peserta didik pasti memiliki dampak berbeda. Proses pemahaman novel Belenggu terasa lebih sulit jika dibandingkan novel Laskar Pelangi. Selain itu, isi Laskar Pelangi lebih cocok dalam pembelajaran, karena novel tersebut berbicara masalah pendidikan, pentingnya belajar, dan menghargai seorang pendidik. Sedangkan Belenggu berisi cerita yang terlalu dewasa, sehingga belum sesuai dengan usia peserta didik. Namun, bukan berarti salah satu novel itu jelek, hanya persoalan penempatannya. Dengan memahami hal tersebut, pembelajaran sastra bisa dijadikan sebagai instrumen pendidikan yang sebenarnya, yaitu mengubah karakter peserta didik menjadi lebih baik, bermoral, dan bermartabat. Semua demi generasi penerus yang lebih baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya.

b. Critical Pedagogy Nalar kritis atau critical thinking merupakan sebuah konsep pemikiran yang mampu menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan common

126 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

sense ‘akal sehat’ (Nuryatno 2008:2). Critical thinking merupakan salah satu bagian dalam konsep pendidikan kritis atau critical pedagogy. Dalam pendidikan kritis, posisi guru dan murid adalah sama-sama sebagai pembelajar (learner). Diakui atau tidak, saat ini masih banyak guru atau dosen yang menganggap dirinya merasa sebagai sumber otoritas tunggal yang tak bisa di bantah, sehingga dirinya berkuasa penuh di kelas. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak sehat, karena sekolah ataupun kampus hanya akan menjadi ajang arena penjejalan indoktrinasi, bukan pencerdasan intelektual dan penyemaian hati nurani (Nuryatno 2008:7). Lebih dalam lagi, Nuryatno (2008:8) menjelaskan bahwa proses pembelajaran dalam pendidikan kritis lebih menekankan pada proses atau metodologi untuk mendekati materi (how to think) daripada materi pelajaran itu sendiri (what to think). Seperti proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat orang lain, selama proses pembelajaran jauh lebih penting. Karena dalam proses itulah terjadi sharing ideas, saling menghargai, dan assesment terhadap pengetahuan sehingga akan merangsang serta menimbulkan sikap kritis antarpeserta didik.

c. Pengembangan Nalar Kritis Upaya menumbuhkan nalar kritis peserta didik melalui pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan memperkenalkan karya sastra kritis kepada peserta didik. Hal ini disebabkan karya sastra kritis biasanya bersifat realis. Artinya, dalam karya sastra tersebut diangkat berbagai permasalahan yang berasal dari permasalahan yang terjadi dalam kehidupan nyata. Tema yang diangkat dalam karya sastra bisa berasal dari masalah ekonomi, sosial, budaya, dan terutama adalah masalah politik. Dengan harapan melalui karya sastra tersebut, guru bersama peserta didik melakukan refleksi tentang makna yang terkandung dalam karya sastra dan mengaitkan dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan.

PENUTUP Berdasarkan uraian di atas maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan budaya lokal perlu mendapat perhatin serta selalu dilestarikan agar keberadaannya tidak terancam punah dengan kehadiran pendidikan budaya global. Keberadaan pendidikan budaya lokal dalam pembelajaran di sekolah akan mampu menumbuhkan rasa kebanggaan yang akan melandasi timbulnya rasa cinta tanah air pada pserta didik. Beberapa saran yang dapat diajukan pada berbagai elemen pendidikan maupun elemen terkait yaitu: 1. Menentukan metode dan media pembelajaran yang tepat untuk menguatkan pendidikan budaya lokal dalam membentuk karakter rasa bangga dan cinta tanah air. Hal tersebut dapat melatih siswa mempertahankan dan melestarikan kebudayaan Indonesia tanpa menolak kebudayaan global. 2. Merancang sebuah kurikulum yang memiliki muatan budaya lokal dan nasional yang berisi pengetahuan mengenai adat istiadat yang ada didaerah masing-masing dan adat istiadat yang diakui dan dijadikan identitas bangsa serta berisi pengetahuan mengenai nilai-nilai bersama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. 3. Menerapkan kurikulum yang berbasis budaya lokal dan nasional mulai dari tingkat pendidikan yang paling rendah.

DAFTAR PUSTAKA Anoegrajekti, Novi et al. (Ed.). 2010. Idiosinkrasi: Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra. Jakarta-Yogyakarta: UNJ dan Kepel Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan. Jakarta Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menenga Pertama. Jakarta Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 127

Koentjaraninggrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation. Nuryatno, M Agus. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book. Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suharianto, S. 2009. “Pengajaran Sastra...Oh, Pengajaran Sastra”. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Model Pengajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif. Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Bahasa dan Seni. UNNES, 7 Juni 2009. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. (Terjemahan Melani Budianta ). Jakarta: Gramedia.

128 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 129

NILAI MORAL DALAM CERPEN PABRIK SKRIPSI KARYA ON THOK SAMIANG

Ahmad Ripai

Abstract This research is motivated by the younger generation delinquency rates are very alarming. Spearheading education for the younger generation to be better. However, in fact education is still not able to change it. Moral educators (teachers) and learners continue to be the center of civilization. Indonesian literature is a response to form moral values. As in one of the intrinsic elements of the mandate. The message conveyed by the author. Efforts that have been made by the government through even based character education curriculum. Based on this background, the formulation of the problem in this study is: how the intrinsic elements of the short story "Factory Thesis" On Thok Samiang work, how the moral value of the short story "Factory Thesis" Work On Thok Samiang Based on the formula, then the purpose of this study is as follows : To determine the intrinsic elements of the short story "Factory Thesis" On Thok Samiang work. to determine the moral value of the short story "Factory Thesis" Work On Thok Samiang The benefits of the research; theoretical benefits, describe the intrinsic elements of the short story "Factory Thesis" Work On Thok Samiang.Mendeskripsikan know the moral values of short stories "Factory Thesis" On Thok Samiang work, practical benefits; able to attract the attention of other researchers to conduct more extensive research and detail about the problem related to education and morals in Indonesia; For suggestions or advice to all those who relation to the moral value of the short story "Factory Thesis" on Thok Samiang work. The results of this study can be used as a reference for subsequent researchers in studying a literary work. The foundation of the theory; structural and intrinsic elements of literary works. Research methods; Data and Data Sources. The data in this study is the moral values in the short story "Factory Thesis" On Thok Samiang work. Sources of data used in this study is the short story "Factory Thesis" On Thok Samiang work published by Kompas daily on Sunday 14 September 2014 data.Metode analysis method of data analysis in the study of moral values in the short story essay mill work Samiang Thok is On identification, classification, evaluation, and analysis. Presentation and analysis of data The conclusions of the paper entitled "moral values in the short story essay mill work Thok Samiang On" is daring to be honest. As close as any relationship with a friend if asked to better resist the negative activities. Moreover, today many Indonesian people going crazy in the title. Whether it's official or intellectuals. Crazy degree is not obtained with honesty is a lie that is very embarrassing. Moreover, this is happening in the world of education. In Indonesia in particular seemed to have become a title of honor or dignity. If a person has more than one title seemed to have a very high honor. In the short story "Factory Thesis" On Thok Samiang work is a critique. Advice for readers and writers to always uphold the values of good moral and cultivate honesty in all things. In the world of scientific or intellectual plagiarism or cheating is not a good thing.

Keywords: moral values, short stories

LATAR BELAKANG MASALAH Kemunculan karya sastra Indonesia di tengah masyarakat adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Tujuan penyelanggaraan pendidikan salah satunya adalah agar membentuk karakter yang baik, memiliki moral yang baik, jujur. Pemerintah saat ini sedang terus mempromosikan pendidikan karakter. Dilatarbelakangi oleh tingkat kenakalan generasi muda yang sangat memprihatinkan. Pendidikan menjadi ujung tombak agar generasi muda menjadi lebih baik. Namun, pada kenyataanya pendidikan masih belum mampu untuk mengubahnya. Moral pendidik (Guru) dan peserta didik terus menjadi pusat peradaban. Karya sastra Indonesia merupakan jawaban untuk membentuk nilai moral. Seperti dalam salah satu unsur intrinsik yaitu amanat. Pesan yang disampaikan oleh penulis. Upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui kurikulum bahkan berbasis pendidikan karakter. Nilai-nilai moral atau budi pekerti generasi muda harus mempertahankan nilai-nilai sopan santun atau kejujuran. Dalam cerpen “Pabrik Skipsi” Karya On Thok Samiangmerupan sebuah kritikan terhadap kaum intelektual agar

130 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

berani jujur. Sebab, saat ini masyarakat Indonesia mengalami ketidakpercayaan pada diri sendiri. Semoga dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kaum intelektual baik itu pendidik, peserta didik, atau pemerintah. Nilai moral yang baik merupakan warisan atau budaya yang harus terus dilestarikan.

RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a) bagaimana unsur intrinsik cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang b) bagaimana nilai moral cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan rumusan tersebut , maka tujuan dari prnrlitian ini adalah sebagai berikut: a. Tujuan penelitian a) Untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang b) Untuk mengetahui nilai moral cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang b. Manfaat penelitian a) Manfaat teoritis 1) mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang 2) mendeskripsikan mengetahui nilai moral cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang b) Manfaat praktis 1) mampu menarik perhatian peneliti lain agar melakukan penelitian yang lebih luas dan rinci tentang masalah yang berhubungan dengan pendidikan dan moral di Indonesia 2) Sebagai usulan atau masukan kepada semua pihak yang kaitanya dengan nilai moral cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang 3) Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti berikutnya dalam mengkaji sebuah karya sastra.

LANDASAN TEORETIS 1) Teori struktural Analisis struktural karya sastra cerpen “Pabrik Skripsi” yaitu dengan menganalisis cerpen secara keseluruhan. Analisis struktural merupakan analisis yang melihat bahwa unsur-unsur bahwa unsur- unsur cerpen itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya, sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya, terlepas dari unsur-unsur lainnya. a) Tema Menurut Sudjiman dalam Harjito bahwa tema merupakan sebuah gagasan atau ide atau pikiran utama dalam sebuah karya sastra., baik yangbterungkap maupun yang tidak terungkap.

b) Perwatakan atau penokohan Perwatakan atau penokohan merupakan cara menampilkan tokoh dalam karya sastra (Harjito, 6: 2006) c) Alur Luxemburg dalam Harjito menerangkan bahwa alur ialah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. d) Sudut pandang Menurut Wellek dalam Harjito pusat pengisahan adalah bagaimana pengarang menyampaikan ceritanya kepada pembaca. e) Gaya bahasa Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 131

Gaya Bahasa merupakan bahasa kiasan, bahasa yang indah dipergunakan untuk meningkatkan efek memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu. f) Latar Menurut Sudjiman dalam Harjito bahwa latar adalah segala petunjuk keterangan , acuan yang berkaitan dengan waktu , ruang, suasana terjadinya peristiwa.

2) Hakikat moral Kata yang sangat dengan etika adalah “moral”. Moral berasal dari bahasa latin “mos mores” yang berarti kebiasaan, adat. Jadi etika dan moral mempunyai arti yang sama yakni adat atau kebiasaan. Yang dimaksud dengan adat kebiasaaan adalah nilai-nilai dan norma –norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang pada norma yang tidak baik. (Djojosuroto, 10-11: 2006).

3) Prinsip-prinsip moral 3.1) prinsip sikap baik Prinsip sikap baik yaitu suatu prinsip yang bertolak dari prinsip utilitarisme yang menyatakan hendaknya jangan merugikan orang lain. Dengan kata lain bahwa sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam berhubungan dengan orang lain adalah sikap positif dan baik. Prinsip itu menganjurkan, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita terhadap orang lain. Perbuatan baik ini bukan semata-mata dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, dan kemauan baik terhadapnya.(Djojosuroto, 13:2006). 3.2) prinsip keadilan Kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakikat terbatas. Secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan. Adil pada hakikatnya berarti bahwa kita memberikankepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, mka tuntutan dasar keadilan ialah perlakukan yang sama terhadap semua orang, dalam situasi yang sama (Djojosuroto, 14:2006).

3.3) prinsip hormat terhadap diri sendiri Prinsip hormat ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilaipada dirinya sendirinya. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Manusis tidak boloeh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri, jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan (Djojosuroto, 14:2006).

4) Keterkaitan moral dengan karya sastra Nilai moral yang akan disampaikan pengarang, menyatu dalam alur cerita. Dalam verita itu pembaca akan bertemu dengan berbagai peristiwa. Dengan sendirinya pembaca akan memahami perilaku-perilaku yang baik dan perlaku yang buruk. Melalui alur cerita itulah pengarang memberikan petunjuk, nasihat atau pesan akhlak, perbuatan asusila dan budi pekerti (Djojosuroto, 15:2006).

132 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

METODE PENELITIAN a) Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah nilai moral dalam cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang yang diterbitkan oleh harian KOMPAS pada hari Minggu tanggal 14 September 2014. b) Metode analisis data Metode analisis data pada penelitian nilai moral dalam cerpen pabrik skripsi karya On Thok Samiang adalah identifikasi, klasifikasi, evaluasi, dan menganalisis.

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA a) Analisis struktural nilai moral pada cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang. 1. Tema Tema yang terdapat pada cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Tho Shamiang adalah budaya. Terutama budaya masysrakat Indonesia yang ingin mendapatkan sesuatu dengan cara cepat dan mudah. Salah satunya adalah untuk mendapatkan gelar ilmiah. Seperti pada kutipan berikut ”Kita berharap dengan adanya Pilar Akademika ini, birokrasi pembuatan karya ilmiah dapat dipangkas. Sehingga kita tidak akan mendengar lagi keluhan mahasiswa yang susah bertemu profesornya melebihi bertemu birokrat di perkantoran,”urai Pak Walikota yang sudah bergelar Ir, Drs, MP, M.Sc, MH, MA, M.Ed, M.Pd. di depan dan belakang namanya. Lengkapnya nama Walikota itu, Ir. Drs. Caba Tulen, MP, M.Sc., MH, M.Ag, M.Pd.” (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut jelas bahwa budaya gelar akademik menjadi sebuah nilai kehormatan. Dalam mendapatkan gelar harus dengan cara yang jujur. Sedekat apapun persabatan jika diajak untuk berbuat yang tidak baik lebih baik mengambil sikap yang baik. 2. Latar Latar pada cerpen “pabrik skripsi” diantaranya; pabrik dan kantor. Latar pabrik seperti pada kutipan berikut: ”Itulah, Pak. Aneh juga rasanya negeri awakni,” gerutu seorang ibu separuh baya. ”Untuk jadi presiden ndak perlu syarat sarjana, tapi guru harus sarjana. Makanya jadilah sarjana jadi- jadian asal jadi. Sekepuk buruk banyaknya sarjana yang tidak mampu membuat karya ilmiah, termasuk kami ini. Untunglah ada pabrik Pak Cik Atan Waham ni,” lanjutnya (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut jelas bahwa latar terjadi di sebuah pabrik. 3. Perwatakan atau penokohan Atan Waham memiliki perwatakan cerdas dan pelupa seperti pada kutipan berikut: “AFAN Waham memang gudangnya ide-ide gila. Ada-ada saja lontaran gagasan dari pikirannya. Tetapi, ya, begitu saja, sekadar gagasan saja. Lama kelamaan gagasan itu akan menguap dan lenyap dikubur waktu. Maka ketika dia menyatakan hendak mendirikan pabrik skripsi aku tidak terkejut.” (Samiang, 27:2014). Pada kutipan tersebut jelas bahwa perwatakan Atan Waham memiliki daya kreatifitas yang tinggi dan mampu mengambil peluang usaha. Selain memiliki penokohan cerdas dan pelupa Atan Waham juga memiliki penokohan putus asa ketika tokoh Aku menolak permintaanya sebagai Direktur di kantornya seperti kutipan berikut. “Cari saja yang lain, ya Tan!” ucapku akhirnya memohon pengertiannya setelah melihatnya putus asa membujukku. ”Aku sangat menghargai pertemanan kita. Aku tak ingin rusak gara- gara ini. Jadi tolong hargai sikapku….””Iya, aku hargai. Tetapi jelaskan kenapa engkau menolak?” tanyanya putus asa. (Samiang, 27:2014). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 133

Anak muda memiliki perwatakan taat terhadap pimpinan “Bos saya, Pak. Dia hendak jadi caleg tahun depan. Makanya dari sekarang dipersiapkan segalanya, ya…termasuk gelarnyalah,” jawab anak muda dengan senyum misterius.” (Samiang, 27:2014). Pada kutipan tersebut dijelaskan bahwa bawahan dari sebuah perusahaan yang menjelaskan tugasnya, walaupun tugas tersebut tidak baik. Ibu memiliki perwatakan kritis seperti pada kutipan “Itulah, Pak. Aneh juga rasanya negeri awakni,” gerutu seorang ibu separuh baya. ”Untuk jadi presiden ndak perlu syarat sarjana, tapi guru harus sarjana. Makanya jadilah sarjana jadi-jadian asal jadi. Sekepuk buruk banyaknya sarjana yang tidak mampu membuat karya ilmiah, termasuk kami ini.” (Samiang, 27:2014) Ibu muda memiliki perwatakan kritis seperti pada kutipan ”Kami guru ni yang serba salah, Pak!” timpal seorang ibu muda pula. 4. Alur Alur yang terdapat dalam cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang adalah alur lurus. Karena dalam cerpen tersebut menceritakan secara kronologis. Sejak awal tokoh Aku diminta oleh Atan Waham untuk menjadi seorang Manager di kantornya. Seperti kutipan berikut: Tiga hari kemudian aku datang ke pabrik skripsi Atan Waham. Aku mau menegaskan padanya bahwa aku sungguh-sungguh tidak dapat memenuhi permintaannya untuk bergabung dengannya, meskipun katanya beberapa orang berebut menduduki posisi yang dia tawarkan kepadaku. Sekitar lima ratus meter menjelang gapura bertuliskan ”Pilar Akademika” itu, aku tertegun melihat orang-orang yang berjubel di depan gerbang. Mulanya kukira mereka hendak berunjuk-rasa, tetapi tidak ada teriakan-teriakan dan caci maki. Tak ada lempar-lemparan batu. Antrian panjang yang meluber sampai ke jalan raya itu begitu tertib. Mirip warga di RT-ku ketika antrian membeli minyak tanah. Bedanya, para pengantri ini tentunya tidak membawa diregen tempat minyak tanah, tetapi mengepit map berisi bahan-bahan untuk karya ilmiah mereka. Semuanya berpakaian necis, bergaya intelek (Samiang,27:2014). Dari kutipan tersebut tergambar bahwa alur yang terdapat pada cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang runtut atau urut. 5. Sudut pandang Sudut pandang dalam penelitian nilai moral dalam cerpen pabrik skripsi karya On Thok Samiang adalah sudut pandang orang pertama. Sudut pandang orang pertama yang biasanya menggunakan “Aku” gaya ini dapat digunakan oleh orang pertama dan dapat juga digunakan oleh orang pertama sebagai pelaku bawahan. Penggunaan kata Aku pada cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang dari awal cerita hinga akhir. Seperti pada kutipan berikut: “Kacau, kacau. Aku harus cari jalan untuk kabur, pikirku. Kalau tidak, aku benar-benar akan menjadi tong sampah kejengkelan mereka. ”Tapi melalui Pilar Akademika ini kan urusannya mulus?” selidikku sambil berusaha keluar dari keramaian.”Mulus karena fulus, Pak,” ucapnya kecut. (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut tergambar penulis memposisikan sebagai tokoh Aku. 6. Gaya bahasa Gaya bahasa dalam cerpen “Pabrik Skripsi” Karya On Thok Samiang adalah majas pleonisme. Majas pleonisme merupakan gaya bahasa yang suatu menggambarkan hal dengan kata-kata yang berlebihan. Seperti pada kutipan berikut: Bukankah dalam etika penulisan karya ilmiah, mengutip satu kalimat saja sudah harus mencantumkan sumbernya? Apatah lagi membuat satu karya ilmiah. Pelakunya sama saja dengan pelacur, pelacur intelektual.”Cari saja yang lain, ya Tan!” ucapku akhirnya memohon pengertiannya setelah melihatnya putus asa membujukku. ”Aku sangat menghargai pertemanan kita. Aku tak ingin rusak gara-gara ini. Jadi tolong hargai sikapku….” ”Iya, aku hargai. Tetapi jelaskan kenapa engkau menolak?” tanyanya putus asa. ”Aku belum sanggup

134 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

menjadi pelacur.” Meluncur juga akhirnya kalimat itu dari bibirku tanpa sadar. (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut jelas bahwa ietilah atau penggunaan kata pelacur sebenarnya berlebihan. 7. Hakikat moral Moral tokoh Aku dalam cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang adalah orang yang memiliki moral baik. Alasanya adalah ketika tokoh Aku didiajak oleh Awan Faham teman dekatnya yang memberikan jabatan sebagai manajer di perusahanya yang dia menolak. Alasanya adalah karena tujuannya tidak mulia. Selain itu juga bertntangan dengan sikap seorang kaum intelektual. Menipu sekaligus tidak jujur.seperti pada kutipan berikut ”Cari saja yang lain, ya Tan!” ucapku akhirnya memohon pengertiannya setelah melihatnya putus asa membujukku. ”Aku sangat menghargai pertemanan kita. Aku tak ingin rusak gara- gara ini. Jadi tolong hargai sikapku….” ”Iya, aku hargai. Tetapi jelaskan kenapa engkau menolak?” tanyanya putus asa. ”Aku belum sanggup menjadi pelacur.” Meluncur juga akhirnya kalimat itu dari bibirku tanpa sadar. Atan Waham terdiam, macam patung belum jadi. Rona wajahnya yang berkeringat berkilat-kilat, kusut, meleleh (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut jelas bahwa tokoh Aku memiliki prinsip hidup yang baik. 8. Prinsip-prinsip moral a Prinsip sikap baik Prinsip sikap baik yang terdapat pada cerpen “pabrik skripsi” karya On Thok Samiang seperti pada kutipan berikut: Tiga hari kemudian aku datang ke pabrik skripsi Atan Waham. Aku mau menegaskan padanya bahwa aku sungguh-sungguh tidak dapat memenuhi permintaannya untuk bergabung dengannya, meskipun katanya beberapa orang berebut menduduki posisi yang dia tawarkan kepadaku. Sekitar lima ratus meter menjelang gapura bertuliskan ”Pilar Akademika” itu, aku tertegun melihat orang-orang yang berjubel di depan gerbang. Mulanya kukira mereka hendak berunjuk-rasa, tetapi tidak ada teriakan- teriakan dan caci maki. Tak ada lempar-lemparan batu. Antrian panjang yang meluber sampai ke jalan raya itu begitu tertib (Samiang, 27:2014). Pada kutipan tersebut jelas bahwa sikap dari tokoh Aku menolak ajakan yang ditawarkan oleh Atan Waham tidak dapat menyanggupi sebagai manajer dipabriknya. Sebab pabrik skripsi yang di kelelonya menyalahi kaidah ilmiah. Bahkan melanggar undang-undang. Sikap seperti inilah yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan di masyarakat Indonesia. semua orientasinya adalah materi atau menghalalkan segala cara. b Prinsip keadilan Prinsip keadilan pada cerpen “pabrik skripsi” karya On Thok Samiang seperti pada kutipan berikut: Inikan penjajahan intelektual namanya, Pak. Ndak dihargai guru yang punya kemampuan menulis bidang lain. Padahal sebaris puisi yang bagus saja, sebuah cerpen yang sarat nilai dan sastrawi, dapat disebut sebagai sebuah karya intelektual, yang nantinya dapat ditularkan guru kepada para siswa.” ”Barangkali maksud pemerintah supaya guru lebih fokus pada pembelajaran di kelas,” aku mencoba berdalih, berbasa-basi. ”Apa puisi, cerpen, dan karya sastra itu bukan materi pembelajaran? Itu malah bisa langsung dirasakan anak, langsung dapat dipraktekkan dalam pembelajaran. Bukan semata-mata untuk kepentingan naik pangkat guru. Iya, kan, Pak? Lagi pula PTK yang disusun guru itu banyak yang palsu….” (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut jelas bahwa masyarakat belum menrima keadilan yang seutuhnya.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 135

c Prinsip hormat terhadap diri sendiri Prinsip moral terhadap diri sendiri pada cerpen “pabrik skripsi” karya On Thok Samiang seperti kutipan berikut: Aku terpaksa memarkir motor di pinggir jalan. Lalu berjalan kaki menyelinap di antara pengantri.”Ei, antri Pak. Sama-sama ingin cepat!” tegur seorang pengantri dengan sinis melihatku menyelinap saja memotong antrian.”Maaf, saya tidak ….””Ya, tetap antri, Pak. Kami sudah sejak subuh di sini. Masa Bapak langsung nyelinap saja.””Tapi Bapak kan lihat, saya tak bawa apa-apa. Saya bukan ingin membuat skripsi, saya….” (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut jelas bahwa ketia tokoh Aku melakukan kesalahan langsung minta maaf. d Keterkaitan moral dengan karya sastra Keterkaitan moral dengan karya sastra pada cerpen “pabrik skripsi” karya On Thok Samiang seperti kutipan berikut: ”Kita berharap dengan adanya Pilar Akademika ini, birokrasi pembuatan karya ilmiah dapat dipangkas. Sehingga kita tidak akan mendengar lagi keluhan mahasiswa yang susah bertemu profesornya melebihi bertemu birokrat di perkantoran,”urai Pak Walikota yang sudah bergelar Ir, Drs, MP, M.Sc, MH, MA, M.Ed, M.Pd. di depan dan belakang namanya. Lengkapnya nama Walikota itu, Ir. Drs. Caba Tulen, MP, M.Sc., MH, M.Ag, M.Pd. (Samiang, 27:2014). Dari kutipan tersebut bahwa nilai moral yang terdapat dalam karya sastra sangat tinggi. Ini merupakan bentuk kritik terhadap dunia akademis di Indonesia saat ini. Peran dari sastra adalah penyeimbang.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari makalah yang berjudul ”nilai moral dalam cerpen pabrik skripsi karya On Thok Samiang” adalah berani untuk jujur. Sedekat apapun hubungan dengan teman jika diajak kegiatan negatif lebih baik menolaknya. Apalagi saat ini banyak terjadi di masyarakat Indonesia yang gila dengan gelar. Baik itu pejabat atau kaum intelektual. Gila gelar yang tidak diperoleh dengan kejujuran merupakan sebuah kebohongan yang sangat memalukan. Apalagi hal ini terjadi dalam dunia pendidikan. Di Indonesia khususnya gelar seakan sudah menjadi kehormatan atau harga diri. Jika seseorang memiliki gelar lebih dari satu seakan memiliki kehormatan yang sangat tinggi. Dalam cerpen “Pabrik Skripsi” karya On Thok Samiang merupakan kritik. Masyarakat atau kaum intelektual yang ingin memperoleh gelar atau kenaikan pangkat dengan cara yang tidak jujur. Masyarakat yang malas untuk berusaha. Saran bagi pembaca dan penulis agar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang baik dan membudayakan kejujuran dalam segala hal. Dalam dunia ilmiah atau inteletual plagiat atau curang merupakan hal yang tidak baik.

DAFTAR PUSTAKA Djojosuroto, Kinayati, 2006. Analisis Teks dan Pengajaranya. Jogjakarta: Pustaka Harjito, 2006. Melek Satra. Semarang: Kontak Media KOMPAS 14 September 2014 Luxemburg, Jan Van;Mieke Ball; dan Willemb G. Westeujin.1986. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta:Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan AustinWarren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

136 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 137

KONSEP ALIRAN TEOLOGI ISLAM DALAM TUHFAH AR-RAAGHIBIN KARYA ABDUSSAMAD AL-PALIMBANI

Ahmad Taufiq Universitas Sebelas Maret, UNS Surakarta

LATAR BELAKANG MASALAH Dalam pemikiran intelektual di bidang teologi Islam, dikenal beberapa aliran. Secara sederhana jumlah aliran teologi Islam itu ada tujuh, yaitu (a) Muktazilah, (b) Syiah, (3) Khawarij, (4) Murjiah, (e) Qadariyah, (f) Jabbariyah, dan (g) Ahlussunah Waljamaah. Di antara tujuh aliran ini, aliran Ahlussunah Waljamaah yang mendapat sokongan dan dukungan mayoritas dari ulama dan masyarakat muslim. Ahlussunah Waljamaah berkembang di berbagai wilayah Islam, termasuk di Indonesia (baca : Nusantara). Di Nusantara, aliran ini mendapat respon yang positif sejak masuknya agama Islam. Respon itu berupa dianutnya paham Ahlussunah Waljamaah oleh masyarakat muslim Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Sebagai salah satu bukti bahwa paham ini dianut oleh muslim Indonesia adalah dituliskannya paham Ahlussunah Waljamaah oleh beberapa ulama Nusantara. Di antara ulama dan cendikiawan muslim Nusantara yang membahas konsep aliran itu adalah Nuruddin ar- Raniri, Abdurrauf as-Singkili, dan Abdussamad al-Palimbani (Hasymy, A, 1983:43—44). Abdussamad adalah ulama dan cendikiawan muslim Palembang yang hidup pada abad ke-18. Ia membahas konsep dan ajaran Ahlussunah Waljamaah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin. Tuhfah ar-Raaghibiin merupakan teks Melayu yang membicarakan konsep teologis Ahlussunah Waljamaah. Teks ini merupakan teks yang ditulis oleh Abdussamad pada 1128 H (abad ke-18 M). Dalam teks ini, Abdussamad membahas konsep Ahlussunah Waljamaah dengan cara membandingkan konsep teologi aliran ini dengan konsep teologi aliran yang lain. Pengarang membandingkan Ahlussunah Waljamaah dengan paham dan konsep aliran teologi yang lain, misalnya Qadariyah. Berdasarkan alasan-alasan itulah, perlu kiranya dilakukan pembahasan yang mengkaji dan menganalisis konsep aliran teologi Islam dalam Tuhfah ar-Raaghibiin karya Abdussamad al-palimbani.

PERUMUSAN MASALAH Penelitian ini memiliki masalah yang terumuskan sebagai berikut. 1) Bagaimana konsep teologis Ahlussunah Waljamaah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin ? 2) Bagaimana konsep paham dan aliran teologis yang lain dalam Tuhfah ar-Raaghibiin ?

LANDASAN TEORI 1. Ahlussunah Waljamaah Ahlussunah Waljamaah merupakan golongan yang berpegang pada Sunnah dan sekaligus golongan mayoritas. Golongan ini percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih (Sunnah) tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam (‘Ammah Al- Muslimin). Ini berbeda dengan Muktazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada Sunnah (Harun Nasution, 1986:64). Pokok-pokok ajaran Ahlussunah Waljamaah adalah sebagai berikut. 1. Tuhan mempunyai sifat. 2. Masalah Rukyah (Melihat Tuhan) di Akhirat. 3. Tentang Perbuatan Manusia. 4. Tentang Kekuasaan Mutlak dan Keadilan Tuhan. 5. Tentang Kalamullah (Alquran) (Abul Hasan al-Asy’ari, 1993)

138 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

2. Syiah Asas ajaran syiah adalah khalifah (yang dalam istilah syiah disebut Imam) yang diberikan kepada Ali. Setelah Ali wafat, Imam itu telah ditetapkan oleh Allah dari keturunan Ali. Menurut mereka, bahwa mengakui Imam dan mentaatinya adalah sebagian dari iman. Imam menurut paham mereka adalah guru tertinggi yang maksum (terpelihara dari dosa). Imam yang pertama (Ali) telah mewarisi ilmu dari Nabi, dia manusia luar biasa yang tidak mungkin salah (Hasymy, A, 1983:39 )

3. Khawarij Aliran Khawarij menentang Ali dan juga menentang Mu’awiyah. Aliran ini melakukan oposisi (perlawanan) terhadap semua daulah (pemerintahan) dengan politik dan terutama sekali dengan kekerasan. Menurut pahan mereka, bahwa ibadat-ibadat seperti sembahyang, puasa, keadilan dan kebenaran adalah sebagian dari iman, sehingga orang yang melanggar ibadat tersebut menjadi kafir (Sirajuddin Abbas, 1994:153—165).

4. Murji’ah Dalam bidang politik, Murjiah merupakan aliran yang berdiri di tengah-tengah antara Syiah dan Khawarij. Adapun bidang akidah, Murjiah berpendirian bahwa “iman” adalah dalam hati, karena perbuatan lahir seseorang tidak boleh menjadi alasan untuk menentukan hukum bagi dia. Batinnyalah yang dapat menetapkan hukum bagi seseorang. Suatu pendapat yang sungguh rumit (Harun Nasution, 1986:22—30).

5. Jabbariyah Aliran Jabbariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apa pun sebab segala sesuatu tentang dirinya dikuasai secara mutlak oleh takdir Tuhan. Amal ikhtiar manusia tidak mempunyai peranan sama sekali (Humaidi Tatapangarsa, 1993 : 221). Selain itu, Jabbariyah berpendapat bahwa seorang yang menjadi jahat adalah karena ditakdirkan jahat oleh Tuhan, bukan karena tingkah laku orang itu sendiri. Demikian pula kaya, miskin, mulia, hina, pandai, bodoh, dan lain sebagainya, semuanya semata-mata merupakan ketentuan Tuhan semesta alam. Aliran ini dikenal juga dengan nama Jahmiyyah.

6. Qadariyah Aliran Qadariyah adalah kebalikan dari paham aliran Jabbariyah. Menurut aliran ini, nasib manusia sepenuhnya di tangan manusia sendiri. Bukan di tangan takdir. Oleh karena itu, buruk atau baik nasib manusia tidak boleh pertanggung-jawabnya dilemparkan kepada Tuhan (Humaidi Tatapangarsa, 1993:221). Jadi, Qadariyah berpaham menolak adanya qadar/takdir Tuhan dalam hubungannya dengan perbuatan manusia (Humaidi Tatapangarsa, 1993:221—222).

7. Muktazilah Pada prinsipnya aliran Muktazilah berpaham sama dengan paham aliran Qadariyah. Hanya saja Muktazilah berfikir lebih lanjut dan lebih mendetail lagi. Di antara pemikiran Muktazilah adalah sebagai berikut. Menurut Kaum Muktazilah, perbuatan manusia itu dapat dibagi menjadi dua macam. a. Perbuatan timbul dengan sendirinya, seperti gerakan refleks dan lain sebagainya. Perbuatan ini jelas bukan diadakan oleh manusia atau bukan terjadi karena kehendak manusia. b. Perbuatan bebas. Manusia dapat melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas diciptakan oleh manusia daripada dikatakan diciptakan oleh Tuhan. Mereka beralasan, bahwa kalau semua perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh aliran Jabbariyah, maka apa Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 139

perlunya ada taklif (perintah) pada manusia ? Selain itu pahala dan siksa tidak akan ada artinya lagi, sebab manusia tidak dapat berbuat baik atau buruk berdasarkan kehendaknya sendiri. (Harun Nasution, 1986:38—60).

METODE PENELITIAN 1. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian ini merupakan naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan judul “Tuhfah ar-Raaghibiin fi Bayan Hakikat Iman al-Mu’minin” dengan kode M1. 719 (dari W. 37). 2. Pendekatan yang Digunakan Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan tekstual-formal. 3. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik pustaka. 4. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis isi (content analysis) dan analisis komparatif (comparatif analysis).

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Konsep Teologis Ahlussunah Waljamaah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Tuhfah ar-Raaghibiin mengemukakan bahwa konsep teologis Ahlussunah Waljamaah adalah konsep teologis yang mengkompromikan dua konsep teologis yang ekstrim. Perlu dijelaskan bahwa dalam teologi Islam berkembang dua aliran yang ekstrim. Misalnya, dalam persoalan perbuatan manusia, ada konsep ekstrem yang menyatakan bahwa perbuatan manusia dijadikan dan dilakukan oleh manusia sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Konsep itu diwakili oleh aliran Qadariyah. Di samping itu, ada konsep ekstrem yang menyatakan bahwa perbuatan manusia dijadikan dan dilakukan oleh Tuhan saja, sedang manusia tidak mempunyai kekuatan dan daya untuk berusaha. Manusia seperti wayang. Konsep itu diwakili oleh aliran Jabbariyah. Dalam persoalan penyerupaan dan pensucian Tuhan, konsep Ahlussunah Waljamaah tiada menggunakan prinsip tasybih dan prinsip ta’thil. Tasybih adalah Tuhan mempunya sifat-sifat jasmani. Ta’thil adalah Tuhan mempunyai substansi dari sifat-sifat jasmani. Artinya, ta’thil adalah usaha mensucikan Tuhan dengan menginterpretasikan ayat tasybih. Dalam persoalan mengkafirkan dan tetap menyatakan keislaman seseorang, Ahlussunah Waljamaah mengkompromikan pendapat Syiah dan Khawarij. Ketiga persoalan di atas dalam Tuhfah ar-Raaghibiin dinyatakan secara singkat sebagai berikut, “Syahdan adalah jalan Ahlussunah Waljamaah itu antara mazhab Jabbariyah dan Qadariyah dan antara mazhab tasybih dan ta’thil dan antara mazhab Khariji dan Rafidli.”

2. Konsep Teologis Rafidliyah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin a. Ali adalah seorang nabi Rafidliyah berkeyakinan bahwa sebenarnya yang menjadi seorang nabi adalah Ali, bukan Muhammad. Mereka berdalih bahwa kenyataannya Muhammad menjadi seorang nabi karena kesalahan pembawa wahyu yaitu Malaikat Jibril. Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin (hal. 5) Abdussamad menyatakan konsep teologis itu sebagai berikut. “Dan setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa Sayyidina Ali Radliya’e-Laahu ‘anhu itulah nabi Allah; dan Jibril membawa wahyu kepada Muhammad itu tersalah.”

140 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

b. Ali adalah Jelmaan Tuhan di Bumi Rafidliyah berkeyakinan bahwa Ali adalah manusia Tuhan. Artinya, ia adalah Tuhan yang menjelma manusia. Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin (hal. 5) Abdussamad menjelaskan konsep teologis Rafidliyah itu sebagai berikut. Setengah daripada itikad mereka itu bahwa Sayyidina Ali Radliya ‘e-Laahu ‘anhu adalah ia turun dari langit serta kecuali daripada awan uluuhiyah lalu masuk kepada rupa manusia. Maka dikerjakannya beberapa pekerjaan yang menunjukkan atas ketuhanan. Setelah itu, maka naik pula ke langit.

c. Ali adalah Khalifah Pertama setelah Nabi Muhammad Setelah Nabi Muhammad, orang yang berhak untuk menjadi khalifah dan menggantikan kepemimpinan nabi adalah Ali. Konsep politik ini berimbas pada konsep teologis yaitu mengkafirkan Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka dikafirkan oleh Rafidliyah karena mereka mau menerima kekhalifahan. Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin (hal. 6) Abdussamad menginformasikan konsep teologis dan politis Rafidliyah sebagai berikut. “Dan setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa khalifah itu Sayyidina Ali tiada lainnya. Dan bahwa Abu Bakar dan Umar dan Usman jadi kafir menerima khalifah lain daripada Ali.”

3. Konsep Teologis Kharijiyah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin aliran Khawarij disebut oleh Abdussamad dengan nama Kharijiyah. a. Kebaikan berasal dari Tuhan, sedang kejahatan berasal dari manusia Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin konsep teologis Kharijiyah tentang asal kebaikan dan kejahatan sangat empirik. Tuhan adalah baik, maka Tuhan selalu akan berbuat baik sehingga tidak mungkin (mustahil) berbuat jahat. Oleh karena itu, kejahatan adalah perbuatan manusia sendiri. Abdussamad menjelaskan konsep itu melalui pernyataannya sebagai berikut, “Setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa yang menjadikan kebajikan Allah Taala dan yang menjadikan kejahatan hamba’’.

b. Orang yang berbuat dosa besar dianggap kufur Karena pemahaman aliran Kharijiyah tentang kejahatan berasal adalah eprbuatan manusia, maka Kharijiyah orang yang berbuat dosa besar dianggap telah keluar dari Islam yakni kafir. Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Abdussamad al-Palimbani mengatakan konsep dosa besar sebagai berikut, “Dan dikafirkan oleh mereka itu akan segala Islam yang mengerjakan dosa besar.”

4. Konsep Teologis Jabbariyah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin a. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Jabbariyah mempunyai konsep teologis tentang perbuatan manusia sebagai berikut. Setengah mereka itu adalah itikad bahwa segala perbuatan hamba dan segala amal kebajikan, iman, dan taat, dan amal kejahatan, kufur, dan maksiat semata-mata daripada Allah Taala. Sekali-kali tiada pada hamba usaha dan ikhtiar segala perbuatannya hanya adalah hamba itu tergoyah pada barang perbuatan.

b. Perbuatan baik atau perbuatan jahat seseorang tidak ada pengaruhnya bagi orang itu. Orang itu akan tetap mendapat pahala walau ia berbuat jahat Tuhfah ar-Raaghibiin mengemukakan konsep teologis di atas dengan ungkapan sebagai berikut. Dan setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa sekali-kali hamba tiada beroleh kebajikan daripada berbuat taat. Dan tiada beroleh kejahatan daripada berbuat taat. Dan tiada Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 141

beroleh kejahatan daripada maksiat. Bahwa beroleh pahala daripada berbuat kebajikan dan kejahatan.

c. Manusia bebas dari tanggung jawab Dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Abdussamad menginformasikan konsep teologis Jabbariyah tentang taklif sebagai berikut, “Dan lagi itikad itu melazimkan gugur taklif syarak daripada hamba”.

5. Konsep Teologis Qadariyah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin a. Manusia memiliki kemampuan untuk berusaha dan berikhtiar. Usaha manusia itu ditentukan oleh manusia sendiri Dalam Tuhfah ar-Raaghibin, konsep teologis di atas dinyatakan oleh Abdussamad sebagai berikut. Dan setengah mereka itu adalah itikadnya yang baharu memberi bekas ia pada segala af’al hamba yang ikhtiar, maka barang yang berlaku pada hamba. Segala perbuatannya dan usaha hasil dan ikhtiar sekaliannya asas qodrat, yang dijadikan Allah Taala pada hamba.

b. Menafikan yang ghaib yang belum berwujud Aliran Qadariyah mempunyai pendapat teologis terkait dengan dunia akhirat. Dalam Tuhfah ar-Raaghibin dikemukakan pendapat dunia akhirat sebagai berikut, “Dan setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa menafikan sirath dan hisab dan mizan dan surga dan neraka, belum dijadikan lagi tiada kekal keduanya”..

6. Konsep Teologis Jahmiyah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Abdussamad dalam Tuhfah ar-Raaghibin menyebut aliran Muktazilah dengan aliran Jahmiyah. a. Asma (nama) dan sifat Allah adalah makhluk. Konsep teologis ini berawal dari keesaan zat Allah oleh karena itu, yang khaliq adalah zat- Nya. Selain zat-Nya, maka semua adalah makhluk, termasuk asma dan sifat-Nya. Dalam Tuhfah ar-Raaghibin dinyatakan pendapat teologis sebagai berikut, “Setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa asma dan sifat Allah itu makhluk.”

b. Rukyah Allah Menurut Jahmiyah, Tuhan dapat dilihat oleh manusia di dunia. Hal itu dinyatakan dalam Tuhfah ar-Raaghibin sebagai berikut. Dan setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa nabi kita melihat ia akan Tuhannya di dalam dunia. Dan kami pun melihat akan Tuhan kami di dunia.

7. Konsep Teologis Murjiah dalam Tuhfah ar-Raaghibiin Murjiah adalah aliran yang skeptis terhadap kenyataan dan realitas. Kehidupan oleh karena itu, pendapat teologis Murjiah tentang keimanan dan peribadatan sangat diwarnai dengan sekiptis. Dalam Tuhfah ar-Raaghibin konsep teologis Murjiah adalah sebagai berikut. a. Keimanan cukup membaca syahadat Menurut Murjiah, keimanan seseorang itu ditentukan dengan ucapan syahadat. Oleh karena itu, amal perbuatan manusia tidak mempengaruhi keimanan. Abdussamad mengungkapkan konsep teologis Murjiah dalam Tuhfah ar-Raaghibin sebagai berikut. “Dan setengah mereka itu adalah itikadnya dan katanya barang siapa mengucap laa ilaaha illa Allah, kemudian maka berbuat taat atau berbuat maksiat sama jua keduanya.”

142 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

b. Keimanan seseorang tetap/statis Iman seseorang tidak tergantung kepada amal saleh, demikian prinsip teologis Murjiah. Artinya, iman itu tetap dan statis. Dalam Tuhfah ar-Raaghibin dinyatakan konsep itu sebagai berikut, “Dan setengah mereka itu adalah itikadnya bahwa iman itu pada tiap-tiap tahun (tiada) berkurang, jua tidak bertambah.

SIMPULAN Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, maka penelitian ini berkesimpulan sebagai berikut. 1. Konsep teologis Ahlussunah Waljamaah dalam Tuhfah ar-Raaghibin adalah konsep teologis yang mengkompromikan dua konsep teologis yang ekstrem. Konsep teologis Ahlussunah Waljamaah merupakan kompromi antara konsep teologis aliran dan paham Jabbariyah dan konsep teologis aliran dan paham Qadariyah. Konsep teologis aliran ini juga mengkompromikan antara konsep teologis Rafidliyah dan konsep teologis Kharijiyah. Demikian juga, konsep teologis Ahlussunah Waljamaah merupakan kompromi antara konsep teologis Jahmiyyah dan konsep teologis Murjiah. 2. Konsep Rafidliyah dalam Tuhfah ar-Raaghibin bermuara kepada pengagungan Ali dan pengkafiran terhadap “musuh” Ali yaitu Abu Bakar, Umar, dan Usman. 3. Konsep Kharijiyah dalam Tuhfah ar-Raaghibin bermuara kepada pengkafiran kepada orang yang berbuat dosa besar. 4. Konsep Jabbariyah dalam Tuhfah ar-Raaghibin berpangkal pada perbuatan manusia dijadikan oleh Tuhan. Manusia tidak dapat berbuat sehingga tidak diberi tanggung jawab (taklif). 5. Konsep Qadariyah dalam Tuhfah ar-Raaghibin berpangkal pada perbuatan manusia adalah mutlak dilakukan dan dihasilkan oleh manusia tanpa campur tangan Tuhan. 6. Konsep Jahmiyah dalam Tuhfah ar-Raaghibin bertitik tolak dari pensucian Tuhan dan kemahaadilan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai sifat dan asma. Oleh karena itu, sifat dan asma Tuhan adalah makhluk. 7. Konsep Murjiah dalam Tuhfah ar-Raaghibin bertitik tolak dari kemahakuasaan Tuhan. Tuhan Mahakuasa sehingga mampu berbuat apa saja. Oleh karena itu, manusia tidak berdaya. Manusia beriman cukup membaca syahadat. Iman akan tetap karena sudah ditentukan oleh Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Dahlan, 1992, Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, Disertasi Doktor IAIN Jakarta. Abdul Hadi, 1995, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Mizan. Abdussamad al-Palimbani. tt. Tuhfah ar-Raaghibiin (Naskah Ml. 719). Ahmad Daudy, 1983. Allah dan Manusia: dalam Konsepsi Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Jakarta: Rajawali. Ahmad Purwadaksi, 1992, Ratib Syaman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks, Disertasi Ph.D., Universitas Indonesia, Jakarta. Ahmad Rifa’i Hassan (edit.), 1992, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-karya Klasik, Bandung: Mizan. Al-Asy’ari, Abu Hasan, 1993, Pokok-pokok Ajaran Dien. Terjemahan Al-Ibanah an Ushul al-Diniyyah. Penerjemah Abu Fahmi dan Ibnu Marjan. Jakarta: Gema Insani Press. Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, 1966, Raniri and the Wujudiyya of 17th Century Acheh. Singapore: The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Monograph no. 3. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1970, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1990, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung : Mizan. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 143

Amir Sutaarga, 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Azyumardi Azra, 1993, “Akar-akar Pembaruan Islam di Nusantara: Jaringan Ulama Indonesia—Timur Tengah Abad ke-17 dan ke-18,” dalam Islamika, No. 1. Juli – September 1993. Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. Bruinessen, Martin van, 1995, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Chatib Quzwain, M, 1985, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus- Samad al-Palimbani, Jakarta: Bulan Bintang. Edwar Djamaris, 1984, Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama), Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Fang, Liaw Yock, 1975, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Singapura: Pustaka Nasional. Harun Nasution, 1973, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hassan Shadily dkk., 1980, Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Hasymy, A. 1983, Syiah dan Ahlussunnah dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, Surabaya: Bina Ilmu. Hawash Abdullah, t.t. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al Ikhlas. Hoessein Djajadiningrat, R, 1911, Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Veryatte Gegevens over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh, BKI jilid 63. Gravenhage: Martinus Mijhoff. Humaidi Tatapangarsa, 1993, Kuliah Aqidah, Surabaya: Bina Ilmu. Iskandar, T, 1966, Bustanu’s Salatin Bab II Fasal 13, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail Hamid, 1989, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. Istadiyantha, 1989, Syattariyah: Suntingan Naskah dan Analisis Fungsi, Tesis S2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Juynboll. H.N., 1899, Catalogus van de Maleische en Sundaneesche handshriften der Leidsche Universiteits-Bibliotheek, Leiden: Brill. Larson, Mildred L, 1984, Meaning Based Translation: A Guide to Grosslanguage Equivalance, Lanham USA: University Press of America Inc. Mahmud Yunus, 1973. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an. Maurits Simatupang, 1990, Enam Makalah tentang Terjemahan, Jakarta: UKI Press. Nuruddin ar-Raniri, t.t. Akhbar al-Akhirat fi Akhwal al-Qiyamat Manuskrip no Ml. 803 (v.d. W. 48), Ml. 804 (Br. 275), Ml. 805 (v.d. W. 21), Perpustakaan Nasional Jakarta. Nuruddin Ar-Raniri. Hujjatu ‘l-Shiddiqi Daf’i ‘i-Zindiq. dalam P. Vooehoeve. 1955. Twee Maleise Geschriften van Nuruddin Ar-Raniri. Leiden: E.J. Brill. Peunoh Daly, 1988, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-negara Islam., Jakarta: Bulan Bintang. Ronkel, Ph. S. Van, 1921, Sipplement Catalogu der maleische en Minangkabausche handschriften in de Leidesche Universiteits-Bibliothek, Leiden: Brill. Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsito: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: Universitas Indonesia. Sirajuddin Abbas,. 1994. I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah. Siti Baroroh Baried, dkk., 1985a, Pengantar Teori Filologi, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

144 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Siti Baroroh Baried. 1985b, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia: Suatu Pendekatan Filologis” dalam Bahasa Sastra Budaya: Ratna Manikam Untaian Persembahan kepada Prof. Dr. P.J. Zoctmulder edit: Prof. Dr. Sulastin dkk. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Siti Chamamah Soeratno dkk., 1982, Memahami Karya-karya Nuruddin Ar-Raniry. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Siti Chamamah Soeratno, 1991, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Jakarta: Balai Pustaka. Steenbrink, A, 1988, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat (Kajian Kritis mengenai Agama di Indonesia), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka. Trimingham, J.S., The Sufi Orders in Islam, Oxford: Clarendon Press, 1971. Tudjimah, 1961, Asrar al-Arifin fi Ma’rifah al-Ruh wa’l-Rahman, Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Voorhoeve, P, 1955, Twee Maleise Geschriften van Nuruddin ar Raniri in Facsimile Uitgegeven met Aantekeningen. Leiden: Brill. Winarno Surakhmad, 1987, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito. Winstedt, Sir Ricard, 1969, A History of Classical Malay Literature, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 145

PENERJEMAHAN SASTRA EROPA DI INDONESIA ERA 1870-1920-AN7

Albertus Prasojo* dan Dwi Susanto** Fakultas Sastra dan Seni Rupa - Universitas Sebelas Maret *[email protected] **[email protected]

Abstract European literary translation was ideological and political practice. This practical was represented by identity and representation standardization. Translation was assumed as identity negotiation because transalation meet between two cultural and tradition. The aims this paper is [1] to know the social- cultural background of the translater, [2] to write the topic and issue of the literary works which translated, and [3] to explore identity construction which is represented in literary works. The paper used postcolonial perspective. The result is divided three point. First, the translater have two social-cultural background, i.e. became of the part colonial system [West or Europe tradition, C.F. Winter and Ferdinand Wiggers] and peranakan Indonesian Chinese [East tradition, for example Lie Kim Hok, Lauw Giok Lan]. Second, the genre of the literary works was adventure story, hero, detective, crime, and romance. Third, Europe tradition offered the subject identity as superman, control the human and animal, dominate nature and culture, and develop the colonial desire [Robinson Crusoe]. While, the adaptation of the Europe literary works by peranakan Indonesian Chinese showed that the subject was not liberated from the nature and culture and oposite with the Europe Subject. The East Subject used the Europe development as instrument to reach the ideal of the East [Thjit Liap Seng, Bintang Toedjoeh].

Keywords: Europe literary translation, construction of identity

PENDAHULUAN Seperti yang telah disepakati bahwa penerjemahan bukan hanya mengacu pada persoalan bahasa atau linguistik saja, tetapi pernerjemahan merupakan satu proses ahli budaya yang memiliki konsekuensi sebagai praktik ideologis dan kultural atau politis. Bassnett dan Trivedi [1999] menganggap bahwa penerjemahan tidak bebas nilai, tetapi juga sebagai usaha menundukkan orang lain. Melalui terjemahan teks kesastraan, negeri asal atau “Imperium” menjadikan teks terjemahan sebagai satu arena, sarana, dan senjata untuk mengubah, menguasai, dan membentuk citra dan identitas penerimannya sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai akibatnya, bangsa ataupun penerima teks terjemahan itu melakukan tindakan mimikri dan kadang kalanya meluruhkan identitasnya. Pandangan yang berprespektif pascakolonial tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Faruk [2007] bahwa melalui perbandingan dua teks [terjemahan dan sastra bukan terjemahan sebagai wujud reaksi atas terjemahan] menunjukkan pola-pola ideologi kolonial sebagai bentuk perlawanan dan penguasaan. Teks-teks sastra Indonesia yang terpengaruh dan mengikuti pola naratif sastra Barat justru menentang teks sastra Barat dan menjadikan turunannya menjadi teks perlawanan atau resistensi. Hal ini menjadi kekuatan sastra Indonesia dalam mengadaptasi sastra Barat. Penerjemahan merupakan tindakan yang bersifat ideologis dan politis. Para penerjemah di era kolonial Hindia Belanda [1880-1930-an] sebagai satu mediator dan bagian dari tindakan tersebut menjadi kunci dalam menegosiasikan identitasnya. Penerjemah dalam proses penerjemahan tidak bisa terlepas dari latar tradisi dan pandangannya. Para penerjemah tentu saja menjadi bagian dari sistem kolonial, baik bersifat meneruskan kuasa kolonial ataupun menentang kuasa itu dengan cara menciptakan rekreasi atas teks yang dihadapinya. Para penerjemah di era kolonial umumnya terikat pada identitas, ras, dan tradisi mereka. Mereka bermain dan melakukan praktik kultural atas teks yang dihadapinya. Oleh sebab itu, mengetahui latar belakang ataupun identitas dari para

7 . Penulisan artikel ini dibiayai oleh Hibah Peneliti Utama 2014 Universitas Sebelas Maret.

146 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

penerjemah menjadi penting sebab membantu dalam mengekplorasi berbagai strategi kultural masing-masing penerjemahnya. Teks-teks yang diterjemahkan telah melalui berbagai seleksi, baik secara ideologis, kultural, dan politis. Seleksi terhadap teks tersebut juga mempertimbangkan publik pembaca atau selera pembaca. Sebab, teks terjemahan itu awalnya ditujukan untuk buku bacaan di sekolah. Berdasarkan catatan dari Jakob Sumardjo [2004], cerita detektif menjadi pilihan yang populer. Namun, pendapat yang lain mengungkapkan bahwa cerita petualangan dan kepahlawan menjadi yang terpopuler seperti yang diungkapkan oleh Doris Jedamski [2009]. Kepopuleran teks terjemahan itu dapat dilihat dari hasil cetak ulang dan versi. Melalui genre yang dipandang populer ini, ideologi dan negosiasi identitas bermain di dalamnya. Menurut Spivak *dalam Morton, 2008+, “teks” dapat memberikan satu penjajahan atas subjek bila subjek tersebut melakukan internalisasi atas nilai di dalam teks dan meluruhkan tradisi atau identitasnya sendiri. Pandangan yang demikian menguatkan asumsi bahwa teks sastra mampu memberikan satu “perdebatan identitas” bagi pembacanya. Atas alasan tersebut, mengetahui topik ataupun genre dari sastra yang diterjemahkan dapat membantu dalam menelusuri strategi identitas dan praktik kultural yang terjadi pada penerjemahan sastra Eropa. Penerjemahan juga berhubungan dengan persoalan negosiasi identitas. Sang penerjemah dihadapkan pada “perjumpaan kebudayaan”. Sang pembaca juga demikian. Dalam proses negosiasi identitas itu terdapat satu strategi tertentu dalam menghadapi konstruksi identitas yang ditawarkan oleh teks asalnya. Kehadiran satu teks dapat dipandang sebagai bentuk partisipasi kultural dan juga sebagai bentuk perjuangan terhadap batas-batas yang dibuat oleh ruang kuasa [bdk. Bromley, 2003:3]. Teks memberikan semacam alternatif dan membujuk pada pembaca untuk mengikuti pola atau formula dalam mengidentifikasikan pembaca seperti dalam teks tersebut. Konstruksi identitas dapat dilakukan dalam strategi kultural “perjumpaan budaya” melalui penerjemahan. Asumsi ini sekaligus menguatkan bahwa kesastraan atau teks terjemahan bukan bebas nilai, tetapi terikat pada nilai tertentu *bdk. Said, 2001+. “Mereka” menginginkan satu bangunan agar si penerima mudah dikuasai dan dikendalikan sesuai dengan cita rasa “penciptanya” *sastra Eropa+. Penahlukkan subjek melalui cara yang terdidik dan halus itu hakikatnya berupa standarisasi nilai dan “rasa” sesuai dengan yang melaksanakan dan memiliki “kuasa”. Berdasarkan diskusi tersebut, asumsi utama yang dikembangkan adalah bahwa teks sastra Eropa terjemahan memberikan satu tawaran atas konstruksi identitas publiknya [Hindia Belanda]. Konstruksi identitas ini merupakan wujud dari proyek kolonialisme yang berupa standarisasi nilai dan cita rasa “yang terjajah” agar mengikuti “yang menjajah”. Atas dasar asumsi tersebut, permasalahan yang hendak dibahas adalah [1] latar belakang sosial-kultural dari para penerjemah, [2] wujud atau jenis sastra dari terjemahan sastra Eropa, dan [3] konstruksi identitas yang ditawarkan oleh sastra Eropa terjemahan. Untuk memecahkan persoalan tersebut, tulisan ini mengunakan perspektif pascakolonial.

PENERJEMAHAN SASTRA EROPA ERA KOLONIAL 1. Penerjemah Para penerjemah sastra Eropa cukup beragam. Keragaman ini dapat dilihat dari latar belakang etnik atau ras, pekerjaan, dan ruang geografisnya, baik fisik dan budaya. Latar etnik atas ras pada awalnya didominasi oleh orang Eropa dan peranakan Tionghoa. Pernerjemah masa awal [1870-an] yang cukup terkenal adalah Carel Frederick Winter [1799-1859] yang menterjemahkan Kisah Seribu Satu Malam dalam bahasa Jawa [Serat cariyos sewu satunggil dalu]. Generasi selanjutnya adalah A.F. von de Wall, G.C.T. van Dorp, W.N.J.G. Claasz, Ferdinand Wiggers, dan lain-lain. Para penerjemah ini adalah bagian dari sistem pemerintah kolonial Belanda. Mereka bekerja dalam mendukung misi kolonial. Sebagai contohnya adalah C.F. Winter yang belajar tradisi dan bahasa Jawa untuk tujuan tertentu, seperti “misi perabadan”. C.F. Winter pada masa awal terlibat dalam proyek studi Jawa dalam Institut Bahasa Jawa di Surakarta yang didirikan pada tahun 1835. Dia awalnya bekerja sebagai Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 147 penerjemah. C.F. Winter sendiri lahir di Yoyakarta [15 Februari 1818] dan mengikuti karir ayahnya sebagai penerjemah hingga diangkat sebagai Jurus Bahasa dan Wakil Notaris [Margana, 2004:97]. Melalui studi Jawa tersebut, para intelektual Jawa dibentuk sesuai dengan alam pikiran Barat ataupun dunia Jawa dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan pikiran akademis Barat. Hal ini menjadi salah satu bentuk mengenai peran penerjemah dalam kuasa misi kolonial Belanda. Ferdinand Wiggers adalah contoh berikutnya. Ferdinand Wiggers sendiri lahir sekitar tahun 1862 [Adam, 1984:48]. Bersama dengan Lie Kim Hok, dia menterjemahkan Le Comte de Monte Cristo [Salmon, 1981:228-232]. Ferdinand Wiggers juga menterjemahkan Van Slaaf tot Vorst dalam judul [Melati van Java]. Ferdinand Wiggers adalah seorang jurnalis dan penulis pada masanya. Dia juga aktif dalam bidang seni pertunjukkan dan ikut membantu perkembangan dari komedie stamboel [Sykorsky, 1980:500]. Sebagai bagian dari sistem kolonial, Ferdinand Wiggers menjadi seorang contreleur pada pemerintahan Hindia Belanda. Pengalamannya dalam dunia surat kabar atau penerbitan cukup beragam. Dia pernah bekerja sebagai kepala editor di Pemberita Betawi dan Hindia Olanda pada tahun 1898. Ferdinand Wiggers juga pernah bergabung dalam Warna Sari di Jawa [1901] dan menjadi editor untuk Bandera Wolanda dan Pengadilan [1902] [Prasojo dan Susanto, 2013:12-13]. Sebagai ras Eropa [Belanda] dan menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda, Ferdinand Wiggers tentu saja melakukan pembelaan pada sistem kolonial. Terjemahan yang dilakukannya dicurigai tidak hanya sebagai satu bentuk kreativitas kesastraan saja, tetapi lebih dari itu, usahanya memiliki maksud dan tujuan yang sesuai dengan mekanisme dan misi kolonial. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya dramanya, Lelakon Raden Bei Soeria Retno. Teks itu memberikan konstruksi identitas kuasa kolonial melalui strategi “menjadi pegawai yang patuh atasan” atau membuat konstruksi kuasa kolonial yang membela subjeknya, yakni ras Eropa. Penerjemah berikutnya yang sezaman [sekitar 1890-1900-an] dengan Ferdinand Wiggers adalah Lie Kim Hok. Lie Kim Hok beretnis peranakan Tionghoa. Dia memiliki pemikiran yang konservatif terhadap tradisi Tionghoa. Lie Kim Hok tergabung dalam organisasi atau gerakan sosial budaya, yakni recinanisasi melalui Tiong Hua Hui Kwan dan bahkan tercatat sebagai salah satu pendirinya [Kwee, 1977, Salmon, 1981]. Organisasi ini mempromosikan ajaran Khong Hucu, terutama mikro Khong Hucu atua agama Khong Hucu. Meskipun Lie Kim Hok terdidik dalam tradisi Barat, menguasai bahasa asing, dan dibawah bimbingan seorang misionaris [Alberts Colsma], dia tetap memilih tradisi Tionghoa sebagai pilihan identitas dan tradisi hidupnya. Dia tercatat sebagai pengagum budaya dan tradisi Barat, tetapi tidak larut dalam tradisi dan kekagumannya. Fakta ini dibuktikan dengan terjemahan ataupun adaptasinya. Lie Kim Hok juga akrab dengan karya-karya Barat seperti karya pengetahuan dari buku Plato hingga Goethe, dari William Shakespeare hingga Thacheray, dan dari Latontaine hingga Emile Zola dan dari Thalers hingga Daum. Karya seperti dari Charles Darwin, Frammariai, Buckner, dan lain-lain sudah dikenal dan dipahami. Selain sebagai penerjemah, profesi utamanya adalah sebagai penulis, jurnalis, pemilik penerbitan, dan seorang agen barang. Perannya menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang terkemuka dan tulisannya tersebar dalam berbagai surat kabar. Atas jasanya pada usaha mempertahankan tradisi Tionghoa di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa, Lie Kim Hok oleh pemerintahan kerajaan di Beijing diberi gelar medali tingkat tujuh oleh kaisar [yakni The Chinese Imperial Government dengan gelar Kung Pai]. Lie Kim Hok dianggap sebagai Bapak Bahasa Melajoe Tionghoa dan Bapak Sastra Peranakan Tionghoa [Tio Ie Soei, 1958, Salmon, 1981]. Wakil dari generasi selanjutnya adalah Lauw Giok Lan atau Liu Njuk Lan [1882-1953]. Dia juga sebagai seorang jurnalis dan pernah bekerja di Java Bode dan Bintang Betawi dibawah pimpinan editor dari J.A. Zimumer. Karirnya menunjukkan bahwa dia seorang yang lebih menyukai gerakan Tiongkok yang moderat, seperti revulusi dari Sun Yat Sen. Hal ini dibuktikan dengan pengabdiannya di surat kabar Sin Po, yang ketika itu dibawah pemimpin redaksinya adalah J.R. Razoux Kuhr [seorang Jerman, sekitar 1916]. Lauw Giok Lan sering dianggap sebagai seorang nasionalis untuk bangsa peranakan Tionghoa, terutama berorientasi pada negeri Tiongkok. Hal ini sekaligus menguatkan

148 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

posisinya bahwa dia termasuk pendukung gerakan anti pada pemerintah kolonial Belanda dan kurang ataupun tidak bersimpatik pada gerakan pribumi. Karir jurnalistiknya tidak hanya di Sin Po saja, tetapi dia tercatat pernah bergabung dengan Penghiboer, Sin Bin, Lay Po, dan Keng Po. Lauw Giok Lan juga dikenal sebagai seorang pedagang karena dia memiliki sebuah toko dengan nama Toko Marie [Salmon, 1981:223]. 2. Karya Terjemahan Menurut catatan dari Jedamski (2009:173), terjemahan teks Eropa ke dalam bahasa pribumi atau bahasa Melayu berhubungan dengan kepentingan kolonial dan misi Kristen. Masa awal dari proses terjemahan teks Eropa ini tidak terorganisasi secara kelembagaan. Meskipun demikian, karya Barat yang diterjemahkan untuk pementasan drama juga cukup beragam, seperti karya dari William Shakespeare [1881] dan karya dari Victor Ido [Sumardjo, 1992, 91, 112]. Penerjemah yang cukup terkenal adalah A.F. von de Wall yang merupakan generasi sesudah T. Roorda [yang menterjemahkan One Thousand and One Nights atau Seribu Satu Malam, 1847-1849]. Sementara itu, Winter sendiri menterjemahkan karya Sinbad dan cerita rakyat dari sumber bahasa Belanda dan Inggris. A.F. von de Wall sebagai generasi berikutnya memilih judul yang serupa dengan pendahulunya, seperti Sinbad [1876] atau De Lotgevellen van Djahidin [Petualangan Djahidin, 1879] karya dari Uilkens. Terjemahan dari A.F. von de Wall berupa sastra perjalanan ataupun petualangan. Karya terjemahannya yang cukup terkenal adalah bagian dari cerita Robinson Crusoe yang terdampar dalam satu pulau. Karyanya yang lain adalah Kesah pelajaran nachoda Bontekoe, Kesah pelajaran seorang perampoewan mengoelilingi boemi [1877] dan Kesah pelajaran ka Poelau Kelematan [edisi ke-2, 1888]. Terjemahan tersebut disertai dengan laporan dari Ida Pfeiffer ke dalam bahasa Melayu. Terjemahan dari Von de Wall ini memiliki publik yang cukup banyak dengan bukti cetak ulang dari karyanya melalui percetakaan pemerintah kolonial Belanda dan swasta [Ogilvie & Co atau Papyrus]. Penerbit swasta menerbitkan terjemahan itu untuk mencari keuntungan sedangkan penerbit kolonial membawa misi kolonial. Penerbit swasta lebih memilih genre cerita petualangan yang fantastik agar diminati publik. Sebagai contohnya adalah jumlah penjualan dari penerbit Gimberg Bersaudara & Co di Surabaya pada tahun 1890, [Boekoe tjerita-an hikajatnja Baron van Munchhausen, 86 halaman]8. Kisah perjalanan dari Jules Verne muncul dalam berbagai versi. Sebagai contohnya adalah versi yang dikeluarkan oleh G.C.T. van Dorp [1895], Vingt mille liesues sous les mers [1869], dengan judul tambahan “tertjaritaken di dalem bahasa Melaijoe renda” oleh W.N.J.G. Claasz dan versi yang lain adalah 20.000 mil di dalem laoot9. Selain itu, nama Ferninand Wiggers juga patut dipertimbangkan. Karya terjemahannya adalah Dari boedak sampe djadi radja yang diterbitkan oleh Albercht & Co [1898, Batavia]. Ferninad Wiggers juga menterjemahkan novel dari penulis Indo Belanda, Melati van Java karya Nicolina Maria Christine Sloot. Terjemahan sastra Eropa umumnya didominasi oleh topik kisah perjalanan, petualangan, kepahlawan, dan detektif. Topik tersebut adalah topik yang disukai oleh publik dan sering dihubungkan dengan asal usul sastra Indonesia yang terpengaruh kisah perjalanan, misalnya sastra Jawa [Quinn, 1992:6-7]. Sebagai contohnya adalah Robinson Cruose [1719] karya Daniel Defoe yang diterjemahkan menjadi Hikajat Robinson Crusoe (1875) oleh Adolf von de Wall. Terjemahan itu didasarkan atas karya Daniel Defoe versi bahasa Jerman [Campe]. Terjemahan ini meraih kesuksesaan hingga cetak ulang ke tujuh kalinya pada tahun 1906 [Jedamski, 2008:27]. Selain itu, terjemahan karya Daniel Defoe ini juga muncul dalam versi bahasa daerah, seperti bahasa Sunda [1879, oleh Karta Winata], bahasa Jawa [1881, Tenaya], dan bahasa Toroja [1914]. Kesuksesan buku itu karena mula-mulanya digunakan sebagai buku teks sekolah.

8 . Cerita tersebut diterjemahkan dari bahasa Belanda milik Gerard Keller dengan ilustrasi dari Gustave Dore. Tahun 1880, buku ini memiliki edisi yang keempat. 9. Classz menterjemahkan cerita tersebut dalam versi bahasa Prancis. Selain itu, Classz juga menterjemahkan karya yang berjudul La Maison à vapeur (1879-1880) dan L’Ȋle mystérieuse (1875). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 149

Terjemahan dari kisah petualangan dan kepahlawan yang sukses berikutnya adalah The Count of Monte Cristo [1844-1845, Le Comte de Monte Cristo] karya Alexander Dumas Sr. Kisah petualangan dan kepahlawan ini telah diterjemahkan dalam bentuk buku serial hingga dua puluh limah jilid dari tahun 1894-1899 oleh Lim Kim Hok dan F. Wiggers dalam judul Graaf de Monte Cristo.10 Beberapa tahun berikutnya juga muncul terjemahan dari Graaf de Monte Cristo ini, seperti pada tahun 1922 dan 1923. Tahun 1928, Juvenillo Kou juga menterjemahkan Monte Cristo ini dengan judul Count of Monte Cristo, Harta jang terpendem. Teks ini digunakan sebagai pementasan drama [Nio Joe Lan, 1962:71-3]. Tahun 1918, bagian dari teks Monte Cristo juga diterbitkan oleh Tjan Kiem Bie dengan menggunakan terjemahan versinya sendiri, Graaf de Monte Cristo dengan estrinja atawa ketoeloesan achirnja menangkan segala kadjahatan. Selain itu, kisah petualangan sang pahlawan yang cerdik dalam Sherlock Holmes [1887] karya Arthur Conan Doyle juga diterjemahkan, tetapi menggunakan cita rasa Melayu, terutama tradisi Tionghoa, seperti karya dari S. Y. Lee, Prampoean tjerdik [1928], yang merupakan terjemahan dari A scandal in Bohemia dan juga terjemahan dari Ong Hap Djin [1929], Kam Lam Yan...? atawa Si boeroeng walet dari Kang-Lam. Sementara itu, Tjan Kiem Bie mengeluarkan judul Marguerita Cauthier atawa satoe pertjinta’an jang soetji dari satoe prampoean latjoer [1918, 4 volume, terjemahan dari La Dame aux Camélias, 1852, karya Alexandre Dumas] dan Graaf de Monte Cristo dengan istrinja atawa binasanja kaoem pendjahat, samboengan dari tjerita “Graaf de Monte Cristo”, menoeroet karangannja Alex Dumas Père [1921, 8 volume] [Salmon, 1981] Selain itu, terjemahan cerita Barat dalam dunia Tionghoa yang dilakukan oleh Lie Kim Hok patut menjadi perhatian secara khusus. Cerita itu adalah Tjhit Liap Seng [Bintang Toedjoeh] [1880-1890]. Novel ini merupakan campuran antara dua novel Eropa yang salah satunya terjadi di Tiongkok [Salmon, 2010:151]. Novel ini merupakan satu teks yang berisi unsur pembaharuan dan merupakan reaksi terhadap perubahan sosial ke arah dunia modern. Novel ini terlahir dari novel Belanda yang berjudul Klaasje Zevenster [karangan J van Lennep] dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine [karangan Jules Verne]. Penerjemah novel ini mengabungkan dua alur dalam cerita Eropa tersebut menjadi satu kesatuan. Selain itu, novel ini juga dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi karangan dari Jules Verne. Versi yang lain adalah dari L.Th. M. [Hikajat Files Fogg atawa mengoelilingi boemi dalem 80 hari lamanja. Menoeroet persalinannja tjara wlanda dan tjerita asli jang tertoelis dalem bahasa Fransman oleh toewan Jules Verne, 1890] Terjemahan sastra Eropa mencakup berbagai topik. Topik kriminalitas, detektif, dan percintaan juga ditemukan. Topik ini memiliki daya tarik bagi publik Hindia Belanda, selain kisah petualangan. Sebagai contohnya adalah terjemahan dari Chen C.L. [Boekoe tjerita Esmeralda, 1913, 2 volume] dan Gouw Ie Siang [London dan Parijs, disalin ka dalem bahasa Melajoe renda dengan menoeroet djalan jang gampang, 1916, 5 volume], yang diterjemahkan dari karya Charles Dickens, A Tale of Two Cities. Nama seperti Gouw Peng Liang juga menerjemahkan cerita fantasik dari dunia Barat, seperti Tjerita Mohamad Ali Pacha, Satoe tjerita jang betoel soedah kedajdian di Negri Toerki jang sanget menarik hati [1917] dan Kodjoedjoeran lebi menang dari katjoerangan atawa satoe atawa satoe anak prempoean jang keras hati. Satoe tjerita di djeman orang Romein pada masa agama Christen baroe moelain bersemi di tana Europa [1918, 7 volume]. Topik kriminlitas dan percintan menarik bagi para penerjemah. Hal ini dibuktikan dengan muncul berbagai karya terjemahan yang mengemukan topik tersebut. Sebagai satu topik yang berformula dan tentu populer, topik ini mampu meraih publik pembaca yang tidak kalah dengan kisah petualangan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai karya dengan topik tersebut,

10 . Cerita petualangan yang lain adalah terjemahan dari Tio Ie Soe diantaranya adalah Tjerita item poeti dan Meiradi, doea tjerita pendek, jang pertama kedjadian di Hindia Inggris, dan jang kadoea di Zwitserland [1915], Tatjana atawa doeka lantaran eilok, satoe tjerita dari golongan amtenaar-amtenaar di Russland [1918, 5 volume], Badjak, kedjahatan di laoetan antara Java dan Australia [1921]. Selain Tio Ie Soei, Tjoe Bou San juga menterjemahkan Penghidoepan radja Belgie, satoe tjerita jang betoel telah kadjadian di Europa [1913], Dengan setalen mengitari boemi tersalin dari bahasa Prancis [1918, 2 volume, terjemahan dari Les Cinq Sous de Lavarède karya H. Chabrillat & P. D’ivoi, 1894+.

150 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

seperti yang diterjemahkan oleh Lauw Giok Lan yang menterjemahkan Nona Genevieve de Vandaus, [1912, 16 volume, dari sastra Belanda, De Juffrouw van Gazelschap], Nona Julia [1913], Boenga Mawar dari Dekama, Satoe tjerita jang kedjadian di Negri Olanda [1917-1919, terjemahan dari De Roos van Dekama oleh J. Van Lennep, 1834] dan Lim Sim Djwe yang menterjemahkan Tjerita gadis jang melarat atawa Prampoean eilok dari lobang kosong (satoe tjerita jang sanget menarik hati dan sasoenggoenja benar telah kedjadian) [1916]. Selain karya tersebut, karya-karya terjemahan yang lain adalah karya dari M.C. dalam Michael Strogoff, Djoeroe pembawa soerat dari baginda Czaar Rusland [1896, terjemahan dari Michel Strogoff karya Jules Verrne], P.L. dalam Tiga minggoe [1919, 5 vol, terjemahan dari Three Weeks, karya Elinor Clyn], Phoa Tjoen Hoay dalam Tjerita lantaran djodohnja Satoe tjerita dari benoewa Duitschland jang kadjadian pada abad ka 18 [1911, 2 volume, terjemahan dari sastra Jerman] dan Riwayatnja Sherock Holmes karangan A. Conan Doyle [1914, 7 volume], Phoa Tjoen Hoay dalam Marguerite Gauthier [1907, terjemahan dari Alexander Dumas, La Dame aus Camélians], Pembantoe Tan dalam Boekoe tjerita Burggraar de Bragelonne, samboengan Doae poeloe taon blakangan ini tjerita aken disamboeng dengan tjerita Nona Louise de la Valliére [1920, 11 volume, terjemahan dari karya Alexander Dumas, Le Vicomte de Bragelonne, 1884-1850], dan lain-lain. Cerita dektektif menjadi cerita yang menempati urutan kedua setelah kisah petualangan. Publik pembaca menyukai cerita tersebut. Hal ini dibuktikan dengan beragamnya cerita detektif yang diterbitkan, selain Sherlock Holmes. Kisah pembunuhan, pencurian, dan penipuan menjadi latar ataupun motif cerita. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Probitas dalam Fantomas satoe pendjahat besar di kota Parijs satroenja detectif Juve jang termashoer ditjeritaken oleh Pierre Souvestre dan Marcel Allain [1921, 6 volume, terjemahan dari Fantomas karya P. Souvestre dan M. Allain, 1911] dan Resianja Keizer Duitsch melariken diri ke Nederland, tersalin dari boekoe William Le Queux [1921, 3 volume, terjemahan karya dari William Le Queux]. Selain Probitas, serupa dengan Lie Kim Hok, Thio Tjin Boen juga melakukan terjemahan dengan cita rasa lingkungan tempat tinggalnya. Dia melakukan semacam rekreasi atas teks yang diterjemahkannya. Sebagai contohnya adalah Sie Tjaij Kim (Nona Kim) atawa saorang prampoean jang bertobat, soeatoe tjerita jnag betoel kedjadian di Bandoeng [1917, 3 volume, yang diadaptasi dari La Dame aux Camélias karya Alexandre Dumas]. Thio Tjin Boen juga menterjemahkan karya yang lain seperti Karel XII radja dari Sweden jang gaga perkasa bandingannja Napoleon Bonaparte [1920] dan Hati wadja atawa pemboeroe jang agga brani, disalin dari boekoe bahasa Belanda [1920, terjemahan dari novel Prancis yang mengambil kejadian di Aljajair]. Cerita detektif yang lain adalah terjemahan dari Tan Kiem Sen [Hikajatnja Nona Marguerita Zella alias Siti Mata Hari, satoe nona jang terlahir di Hindia Olanda dan dari toroenan tjampoeran ajah Olanda dan Iboe Japan, hingga sesoedah bikin tergetar di antero Europa atas pekerdjaannja sebagi spion Duitsch dalem peprangan besar di Europa pada baroe ini, 1919, 5 volume, terjemhan karya Henri Dubois, The Life Story of Madame Zella, The World’s most Beautiful Spy, 1918). 3. Konstruksi Identitas Sebagaimana yang telah menjadi rahasia umum bahwa terjemahan merupakan satu praktik ideologis dan kuasa. Penerjemahan sendiri tidak hanya persoalan bahasa, tetapi juga ideologi, penguasaan tradisi dan kebudayaan “Yang Lain” *bdk. Trivedi, 1999+. Terjemahan yang paling populer di era kolonial adalah cerita petualangan dan kepahlawanan, seperti Robinson Crusoe atau The Count of Monte Cristo. Robinson Crusoe dapat dipandang sebagai satu wujud konstruksi identitas Barat yang dihadirkan dalam dunia Timur. Mengetahui isi dan strategi konstruksi yang ditawarkan dunia Barat [Robinson Crusoe] menjadi langkah pertama untuk mengetahui reaksi yang diberikan atas karya terjemahan tersebut. Konstruksi identitas dari teks Robinson Crusoe tersebut adalah dunia Barat. Sementara itu, konstruksi identitas yang ditawarkan oleh dunia Timur atas Dunia Barat itu dapat dilihat melalui karya sastra ciptaan dunia Timur. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 151

Robinson Crusoe merupakan satu kisah petualangan dari tokoh Robinson Crusoe ciptaan dari Daniel Defoe. Kritikus sastra seperti Doris Jedamski, [2008:32-33], mengungkapkan bahwa teks ini menghadirkan citra pahlawan peradaban dan utilitarianisme. Awalnya terjemahan ini dihadirkan untuk buku sekolah atau pendidikan di tanah kolonial. Faruk [2007:164] berpendapat bahwa kisah perjalanan ini sangat digemari oleh masyarakat pribumi. Kegemaran itu bukan terletak pada lukisan ceritanya yang eksotis, tetapi teks itu mengungkapkan dan memandu hasrat berpetualangan dan mencari pengalaman yang baru. Petualangan dan pengalaman yang baru merupakan satu kisah fantasik yang menarik untuk diikuti oleh publik pribumi, seperti kisah andan kelana dalam tradisi sastra Jawa [bdk. Quinn, 2002]. Melalui tokoh Robinson Crusoe, Daniel Defoe berusaha menciptakan dan sekaligus menjalankan hasrat kolonial melalui penguasaan, penemuan, dan penamaan suatu daerah yang baru. Tokoh yang bernama Crusoe dihadirkan sebagai wakil dari satu kuasa dan kekuatan subjek yang besar. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan tokoh yang menghadapi rintangan, nafsu terhadap kemapanan ekonomi, dan rasa malu terhadap dirinya dari kegagalan pelayarannya. Sang tokoh pada awalnya adalah seorang “Subjek” yang biasa saja. Akan tetapi, sang tokoh dapat memperoleh sesuatu atau kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang luar biasa dari “Subjek” itu ditemukan dengan cara terdampar di pulau terpencil. Di pulau yang terpencil itu, Robinson Crusoe mampu menciptakan identitas dirinya sebagai satu kekuatan yang besar dengan cara memandang bahwa pulau itu tidak ada penghuninya sehingga dia memandang dirinya sebagai penemu sekaligus penciptanya. Robinson Crusoe bukan hanya menciptakan subjek yang besar saja, tetapi dia memdemonstrasikan kekuatan “Subjek”-nya. Hal ini dibuktikan dengan kekuatan, hasrat kuasa, dan wacana kolonial dijalankan oleh Robinson Crusoe. Crusoe pernah terpisah dari sahabatnya sehingga bencana menghampirinya. Begitu juga ketika dia menjadi tahanan dari kelompok perombak dari suku Moor, Robinson Crusoe berhasil membebaskan dirinya. Namun, ketika bersama dengan sahabatnya, Robinson Crusoe mengalami kegagalan. Kegagalan ini dibuktikan ketika dia berlayar dari Brasil menuju Afrika. Robinson Crusoe bersama dengan para penumpang yang lain tergulung ombak. Robinson Crusoe sendiri terdampar di pulau terpencil seorang diri. Tantangan yang dihadapi Robinson Crusoe bukan hanya tantangan kekuatan alam, tetapi berasal dari dirinya, seperti kekosongan, kesendirian, keterasingan, dan terpencil tanpa ikatan sosial. Tantangan ini menjadi cobaan yang terberat dalam hidup Robinson Crusoe. Crusoe selanjutnya melakukan pengembaran di pulau itu untuk mengenali lingkungan dan melakukan berbagai “penemuan” atas pulau tersebut. Crusoe seperti seorang penguasa sekaligus pencipta di pulau itu. Kuasa yang hebat dari Robinson Crusoe dibuktikan dengan berbagai cara. Robinson Crusoe menciptakan sistem kalender, cara bercocok tanaman, menulis semua pengalamannya dengan alat ciptaannya, dan menemukan berbagai pengalaman. Selain itu, Robinson Crusoe menciptakan masyarakat binatang dan bahasa bintang untuk berkomunikasi. Robinson Crusoe tidak hanya menjalankan kuasa terhadap binatang dan alam, tetapi juga manusia. Di tahun yang ke 23, Robinson Crusoe menemukan sembilan orang yang telanjang bulat dan sedang memakan manusia yang lain. Perbuatan tersebut tampaknya sudah tertata dan terlembaga dalam satu sistem. Salah satu diantara mereka melarikan diri dan bertemu dengan Crusoe. Robinson Crusoe selanjutnya memberi nama orang itu dengan nama Friday. Robinson Crusoe mendidik, mengajari, dan mengadabkan orang tersebut sebagai pengikutnya yang setia. Crusoe kini tidak hanya berkuasa atas alam dan binatang, tetapi manusia lain melalui Friday. Teks terjemahan ini memberikan konstruksi identitas sebagai subjek yang hebat dan kuat. Kekuatan dan kehebatan itu bukan hanya berada pada kemampuan untuk mengalahkan lingkungan, menghadapi rintangan alam, dan berbagai cobaan dalam perjalanan. Akan tetapi, kekuatan itu terletak pada kemampuan dalam menemukan, menciptakan, dan menguasai objek yang ditemukan dan diciptakan. Meskipun sebjek ini bebas dari ikatan sosial, keluarga, dan masa lalu, tetapi Crusoe masih menggunakan ikatan budaya, bahasa, agama, dan tradisi. Sebagai buktinya adalah Friday dan

152 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

seluruh pulau terpencil. Keduanya merupakan hasil dari usaha internalisasi nilai dari bahasa, agama, dan budaya yang dibawa oleh Crusoe *Eropa+. Konstruksi identitas yangdihadirkan oleh “Subjek” Robinson Crusoe adalah manusia super, rasial, dan mengunggulkan kebudayaan asalnya. Teks Robinson Crusoe karya Daniel Defoe mempertontonkan nafsu dan hasrat kolonialisme dengan cara mengunggulkan subjek dan kemampuan dalam menguasai (menemukan dan mencipatkan) pulau terpencil. Selain terjemahan Robinson Cruose, contoh terjemahan yang lain sebagai satu konstruksi identitas dilakukan oleh Lie Kim Hok. Lie Kim Hok telah banyak menterjemahkan sastra Barat ke dalam bahasa Melayu. Sebagai contohnya adalah novel L’araignée rounge [1872] karya Pont Jest [1830-1904] dan Robinson Crusoe. Namun, yang paling menarik dari terjemahan Lie Kim Hok adalah terjemahan Thjit Liap Seng [Bintang Toedjoeh+ *1886+. Terjemahan ini menghadirkan satu “reaksi” atas konstruksi identitas yang ditawarkan oleh dunia Barat atas dunia Timur. Reaksi tersebut berupa pengubahan dan adaptasi atas berbagai teks yang diterjemahkan sehingga menghasilkan satu teks yang bercita rasa dunia Timur [Tionghoa]. Thjit Liap Seng [1886] menawarkan pembaharuan Tionghoa dengan tujuan yang berasal dari tradisi atau adat Tionghoa, tetapi dengan menggunakan cara “modern” *memanfaatkan pemikiran dunia Barat+. Teks ini merupakan gabungan dari dua teks Eropa yang dijadikan satu dengan diubah untuk menghasilkan teks yang bercita rasa Tionghoa. Dua novel yang dijadikan ilham atau digabungkan itu adalah Klassje Zevenster karya J. van Lennep dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine [Petualangan seorang Tionghoa di Tiongkok] karya Jules Verne [Salmon, 2010:158]. Thjit Liap Seng [1886] bercerita mengenai persatuan tujuh mahasiswa yang menemukan seorang bayi perempuan yang diberi nama Tjhit Seng Nio [Sengnio]. Ketujuh mahasiswa itu memutuskan untuk merawat, mengangkat anak, dan mendidik Sengnio. Cerita ini berkisah mengenai kehidupan dari tujuh mahasiswa itu hingga dia berhasil dalam pendidikan dan kembali ke kotanya masing- masing. Selain itu, teks ini menceritakan juga mengenai usaha untuk menemukan keluarga dari Sengnio dan menikahkan Sengnio dengan pilihannya sendiri. Alur yang demikian ini merupakan pembaharuan dan gabungan dari dua teks novel Barat yang diadaptasikan dalam novel yang bercitra rasa Tionghoa. Cerita ini merupakan bentuk cerita petualangan. Hal ini untuk memudahkan Lie Kim Hok menyampaikan gagasan dan pikirannya mengenai masyarakat peranakan Tionghoa dan harapannya terhadap Tiongkok. Konstruksi identitas yang ditawarkan oleh dunia Timur sebagai wujud reaksi atas identitas dunia Barat [seperti teks Robinson Crusoe dan sejenisnya] dapat dilihat dari berbagai perubahan yang dilakukan oleh Lie Kim Hok atas kedua teks yang jadi ilhamnya. Perubahan itu terutama pada kehidupan modern Tiongkok yang tetap mempertahankan tradisi dan adatnya. Sebagai contohnya adalah tokoh Sengnio dan para perempuan yang diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan, bekerja, dan memilih jodohnya sendiri. Selain itu, pengambaran Tiongkok atau ruang yang ekostik disertai dengan penilaian tertentu dari Jules Verne dihilangkan untuk mengurangi penilaian yang negatif. Thjit Liap Seng [Bintang Toedjoeh] [1886] juga memberikan kritik terhadap para mandarin atau pejabat tinggi yang hanya menjadikan ilmu dan ijazah sebagai satu formalitas untuk memperoleh jabatan atau bersifat hipokrit. Selain itu, persoalan politik juga tidak lepas dari perhatian Lie Kim Hok. Kritik yang lain adalah mengenai para pengusaha atau pedagang yang memang diperlukan untuk membangun negeri Tiongkok agar bisa maju dan modern. Thjit Liap Seng [Bintang Toedjoeh] [1886] menawarkan satu identitas yang baru dan pembaharuan dalam masyarakat Tionghoa. Identitas yang ditawarkan dihadirkan melalui para tokoh [Sengnio] yang kembali pada adat dan tradisinya, meski berpindidikan modern [Barat]. Kembalinya Sengnio pada adat dan tradisi tentu saja bertolak belakang dengan Robinson Crusoe yang menguasai adat dan tradisi dan terlepas dari lingkungannya. Perbedaan ini menjadi salah satu contoh dari strategi dalam menghadirkan konstruksi identitas. Selain itu, perubahan yang terjadi dalam teks ini dapat ditujukan melalui perubahan latar sosial dan tindakan tokoh. Sebagai contohnya, Universitas Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 153

Leiden diubah menjadi universitas di salah satu kota di Tiongkok, para tokoh seperti van Lennep diubah menjadi Thung lok yang serupa dengan William van Zevenaer, Ong Hiam yang berasal dari Hoogenberg, dan berbagai tokoh yang menjadi gabungan dari karya Jules Verne dan J van Lennep. Deskripsi latar tempat dalam karya Jules Verne diubah sedemikian rupa sehingga menghasilkan satu deskripsi yang memihak pada tradisi Tionghoa seperti menonjolkan sisi “modern” dari masyarakat Tiongkok.

KESIMPULAN Sastra Eropa terjemahan di era kolonial tidak terlepas dari parktik dan misi kolonial. Hal ini dapat dibuktikan dengan para penerjemah yang menjadi bagian dan mendukung sistem kolonial seperti C.F. Winter dan Ferdinand Wiggers. Meskipun demikian, penerjemah yang berlatar budaya dan etnis peranakan Tiongoa mengembangkan satu strategi anti terhadap internalisasi nilai dan citra Barat, misalnya Lie Kim Hok, meskipun penerjemah itu terdidik secara Barat dan mengagumi budaya Barat. Karya yang diterjemahkan berupa cerita petualangan, perjalanan, detektif, roman percintaan, kriminalitas, dan kepahlawanan. Cerita yang paling populer adalah perjalanan dan petulangan. Sastra Eropa terjemahan menawarkan identitas manusia hebat atau super hero, terlepas dari tradisi, menguasai alam dan lingkungan, mengendalikan manusia dan bintang, dan mengembangkan hasrat kolonialisme, seperti kisah petualangan Robinson Crusoe. Sementara, hasil adaptasi dari terjemahan oleh dunia Timur [Lie Kim Hok] menunjukkan subjek yang terikat tradisi, bersatu dengan lingkungan, dan menjadikan kemajuan Barat sebagai instrumen menuju cita-cita Timur, seperti Thjit Liap Seng, Bintang Toedjoeh. Hal ini membuktikan bahwa para penerjemah terutama yang berlatar etnis peranakan Tionghoa [dunia Timur] memiliki dan mengembangkan strategi untuk menolak konstruksi identitas yang dihadirkan oleh dunia Barat. Hal ini merupakan satu resistensi terhadap penjajahan non-fisik melalui internalisasi nilai dan standarisasi identitas versi pejajah Eropa.

DAFTAR PUSTAKA Adam, Ahmat B. 1984. “The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness [1855-1913+” A thesis, University of London, Unpublished Bromley, Roger. 2000. Narratives for a New Belonging. Edinburgh: Edinburgh University Press Daniel, Defoe. 1982. Robinson Crusoe. (penerjemah: Haksan Wirasutikna dan Rusman Sutiasumarga). Jakarta: Balai Pustaka Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jedamski, Doris. 2008. Sastra Populer dan Subjektivits Postkolonial: Robinson Crusoe, Count dari Monte Cristo, dan Sherlock Holmes di Indonesia Masa Kolonial” dalam Kieth Fouclcher dan Tony Day (ed.). 2008. Sastra Inodonesia Modern Kritik Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Jedamski, Doris. 2009. “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda” dalam Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Henri Chambert-Loir ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Kwee, John. B. 1977. “Chinese Malay Literature of Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942” Unpublished Ph.D. dissertation, University Auckland Lie Kim Hok. 1886. Tjhit Liap Seng [Bintang Toedjoeh]. Tjerita di Negri Tjina pada djeman karadjaan Taj Tjheng Tiauw Maha Radja HamHong. Bogor: Lie Kim Hok Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Morton, Stephen. 2008. Gayatri C. Spivak: Etika, Subalternitas, dan Kritik Penalaran, Postkolonial. (penerjemah: Wiwin Indiarti). Yogyakarta: Pararaton Nio Joe Lan. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung Prasojo, Albertus dan Dwi Susanto. 2013. “Sastrawan Drama Liar dalam Kuasa Kolonial Belanda Era 1900-1942”. Laporan Penelitian, 2013, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS, Surakarta Quinn, George. 1992. Novel Berbahasa Jawa. (penerjemah: Raminah Baribin). Leiden: KITLV Press

154 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Said, Edward W. 2001.Orientalisme [penerjemah: Asep Hikmat]. Bandung: Mizan Salmon, Claudine. 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Gramedia Salmon, Claudine.1981.1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibliography. Paris: Editions de la Mansions des Sciences de l’Homme Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta: galang Press Sykorky, W. Vladimir. 1980. “Some Additional Remarks on the Antecendetns of Modern Indonesian Literature” dalam Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde Deel 136, 1980. Tio Ie Soei. 1958. Lie Kim Hok 1853-1912. Bandung: L.D. Good Luck

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 155

PROSES PEMAKNAAN ANEKSI PADA KARANGAN NARASI SISWA KELAS XI-3 SMA NEGERI LASEM

Andi Haris Prabawa dan Setiawan Edi Wibowo Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan – Universitas Muhammadiyah Surakarta E-mail: [email protected]

Abstract The study aims to identify an annection form and describe an annection meaning process of the narration works of the Lasem State Senior High School Students of Class X1-3. The data collection used a content-analysis technique. The data were analyzed by using a linguistic and extra-linguistic method with deletion and infix. The results of the study show that the amount of annection reached 99 with the 44 substantive annection of 13 pronoun annection, 17 adjective annection, 15 verb annection, and 10 preposition annection. An annection meaning process can be formulated into the meaning with (a) the affixes to annection, (b) the affix to annection, (c) the deletion to annection, and (d) the identification of each annection element.

Keywords: annection, work, narration

PENDAHULUAN Salah satu aspek yang terdapat dalam morfologi adalah aneksi. Menurut C. A. Mees (dalam Rohmadi, 2010:145), aneksi ialah dua kata atau lebih yang menjadi satu dengan rapat/ erat tetapi tidak menimbulkan satu pengertian. Pengertian aneksi secara keseluruhan hampir mirip dengan kata majemuk. Aneksi dan kata majemuk merupakan dua bentuk yang masing-masing terjadi atas dua kata atau lebih. Hal yang demikian sering menimbulkan kesan bahwa keduanya merupakan bentuk yang sama. Sebenarnya tidak seperti itu. Kesamaan bentuk antara aneksi dan kata majemuk adalah sama-sama terdiri atas dua kata atau lebih, jadi tidak memberikan alasan bahwa kedua bentuk tersebut adalah sama. Beberapa perbedaan antara keduanya menunjukkan bahwa aneksi dan kata majemuk berbeda. Bedanya antara aneksi dengan kata majemuk adalah apabila aneksi diberi imbuhan kata, maka tidak menimbulkan pengertian baru. Berbeda dengan aneksi, kata mejemuk apabila mendapatkan imbuhan, maka maknanya akan berubah. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai bidang morfologi dengan fokus aspek aneksi. Penelitian mengambil judul Proses Pemaknaan Aneksi pada Karangan Narasi Siswa Kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem yang datanya peneliti ambil dari sekolah yang bersangkutan. Peneliti tertarik dengan kajian ini, karena jarangnya penggunaan aneksi sebagai objek kajian dalam penelitian dan melihat perlu adanya pengembangan penelitian tentang aneksi dengan kajian yang berbeda. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang perlu dicari jawabannya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk aneksi yang terdapat pada Karangan Siswa Kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem? 2. Bagaimana proses pemaknaan aneksi yang terdapat pada Karangan Siswa Kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem?

Penelitian ini bisa tepat sasaran serta dapat menghindari penyalahgunaan hasil penelitian, maka dalam penelitian ini ada dua tujuan yang ingin dicapai. 1. Mengidentifikasi bentuk aneksi yang terdapat dalam karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem. 2. Mendeskripsikan proses pemaknaan aneksi yang terdapat dalam karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem.

156 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Keraf (2001:136) wacana narasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu (1) narasi ekspositoris dan (2) narasi sugestif. Narasi ekspositoris bertujuan mengubah pikiran pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan, narasi ekspositoris, menyampikan mengenai berlangsungnya suatu peristiwa, sebagai sebuah bentuk narasi, narasi ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian, rangkaian- rangkaian pembuatan kepada para pembaca atau pendengar. Keraf (2001:137) narasi sugestif merupakan peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal pembaca. Dalam pemakaian bahasa Indonesia aneksi disebut juga susunan serangkai. Menurut C. A. Mees (dalam Rohmadi, 2010:145), aneksi ialah dua kata atau lebih yang menjadi satu dengan rapat/ erat tetapi tidak menimbulkan satu pengertian. Aneksi dapat dibedakan menjadi 4 jenis sebagai berikut. 1) Terdiri atas dua kata atau lebih yang hubungan keduanya sangat erat sehingga tidak dapat disisipi. 2) Hubungan dua kata atau lebih tersebut tidak menimbulkan pengertian baru. Hal ini berbeda dengan kata majemuk. 3) Jika mendapat afiks tidak kena pada seluruh kata seperti halnya pada kata majemuk. 4) Karena hubungan dua kata dalam aneksi rapat maka kedua kata tidak dapat dipertukarkan tempatnya (Rohmadi, 2010:145).

Macam-macam aneksi dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: 1) aneksi substantif; 2) aneksi dengan kata ganti persona; 3) aneksi ejektif; 4) aneksi dengan kata kerja; dan 5) aneksi dengan kata depan. Aneksi substantif terdiri atas: a) aneksi subjektif; b) aneksi objektif; c) aneksi lokatif; d) aneksi posesif; e) aneksi atributif; f) aneksi final; g) aneksi partitif; h) aneksi original; i) aneksi komparatif; dan j) aneksi instrumental. Adapun Aneksi dengan kata ganti persona terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya: a) aneksi subjektif; b) aneksi objektif; c) aneksi lokatif; d) aneksi posesif; e) aneksi atributif; f) aneksi final; g) aneksi partitif; h) aneksi original; dan i) aneksi komparatif. Sedangkan aneksi dengan kata depan terdiri atas: pada, demi/ untuk/ guna, akan, oleh, serta, karena, dengan.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang berjenis deskriptif kualitatif. Sukardi (2007:162) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat. Objek adalah unsur yang dapat bersama-sama dengan sasaran penelitian membentuk data dan konteks data (Sudaryanto, 1993:30). Objek penelitian dalam penelitian ini adalah aneksi yang terdapat dalam karangan siswa. Data penelitian ini adalah semua kalimat yang mengadung aneksi dalam karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem. Karangan narasi siswa berjumlah 32 karangan dan semuanya ditemukan adanya aneksi. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simak dan catat. Teknik simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2007:92). Teknik simak dalam penelitian ini digunakan untuk menyimak penggunaan bahasa dalam karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem. Selanjutnya diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak bebas libat cakap. Menurut Gunarwan (dalam Mahsun, 2007:93-94) teknik catat digunakan sebagai gandengan teknik simak bebas libat cakap yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitiannya dari penggunaan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 157 bahasa secara tertulis. Adapun teknik catat dalam penelitian ini digunakan untuk mencatat aspek- aspek aneksi yang terdapat pada paragraf narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem. Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu menganalisis aneksi dalam karangan siswa. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode agih, teknik lesap, dan teknik sisip . Metode Agih metode yang alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode agih dan metode padan. Metode agih adalah metode yang alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Metode padan adalah metode yang alat penentunya dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Adapun teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik lesap dan teknik sisip.

PEMBAHASAN A. Temuan Terdapat 99 aneksi yang teridentifikasi pada karangan narasi siswa kelas XI-3 di SMA Negeri 1 Lasem ini. Untuk memperjelas penyajian aneksi dan penjelasannya perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (1) untuk menunjukkan letak aneksi, bentuk-bentuk aneksi tersebut dicetak miring, (2) di bagian belakang atau akhir setiap bentuk pemakaian aneksi disertakan kode sampel karangan dan nomor paragraph (misal: karangan 1= K-1, kalimat 1= k1, dst.). Berikut adalah bentuk-bentuk aneksi yang ditemukan pada karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem.

1. Aneksi Substantif a. Aneksi Subjektif (1) Ternyata angin lesus telah melanda di desaku. (K-6 k-8) (2) Tapi kami bersyukur karena tak ada korban manusia. (K-6 k-9) (3) Setelah pagi harinya penerimaan raport, sore harinya akan diselenggarakan perkemahan pramuka untuk Bantara. (K-11 k-2) (4) Waktu terus berjalan seiring rotasi bumi, hingga sore hari aku dan temen-temen pulang dari hutan. (K-21 k-7) (5) Di SMA N 1 Lasem pada waktu itu mengadakan perkemahan pramukadi Mantingan. (K-22 k-1) (6) Setelah perjalanan pulang tiba-tiba ada suara anjing tersebut yang sangat keras, ternyata dari belakang. (K-25 k-6) (7) Wajah ibu spontan terkejut, karena salah satu korbannya adalah saudara kami. (K- 32 k-7) b. Aneksi Objektif (8) Pada hari itu saya dan teman-teman merayakannya dengan pergi ke Rembang mencari tempat yang enak untuk dikunjungi dan dipakai senang-senang. (K-1 k-2) (9) Walaupun sedikit kecewa tetapi semua agenda perkemahan tetap berjalan lancar tanpa ada keributan lagi, dan saya cukup senang karena banyak sekali pengalaman dan banyak kebersamaan yang saya dan teman-teman dapatkan. (K-11 k-6) (10) Saat itu kami sedang mencoba menawar tas di sebuah toko. (K-12 k-2) c. Aneksi Lokatif (11) Setelah berkumpul semua, saya & teman-teman berangkat menuju Waduk Panohan pukul 10.00 WIB. (K-5 k-3) (12) Sopir angkot itu pun meminta maaf kepadaku dan kepada orang tuaku. (K-9 k-10) (13) Kita sengaja berangkat agak siang karena berniat bermain bersama-sama di rumah salah satu teman les kita. (K-14 k-3) (14) Alhamdulillah nilai-nilai di raportku memuaskan. (K-20 k-4)

158 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

(15) Kami berangkat pukul 08.00 dan membawa bahan untuk dimakan sambil melihat pemandangan di laut yang begitu indah. (K-26 k-2) d. Aneksi Posesif (16) Kami berangkat sore hari, karena jarak rumah nenek tidak terlalu jauh maka kami berangkat menggunakan sepeda motor. (K-3 k-3) (17) Setelah tibadi rumah teman karena asik bermain sampai lupa waktu kami sudah terlambat 15 menit. (K-14 k-4) (18) Rumah nenek terletak di desa Pakang, Boyolali, Solo, Jawa Tengah. (K-19 k-2) (19) Aku terjatuh pada saat ingin pergi ke rumah teman untuk berangkat les bersama. (K- 28 k-2) e. Aneksi Atributif (20) Setelah puas bermain, saya & teman-teman memutuskan untuk pulang, karena waktu sudah beranjak sore. (K-5 k-5) (21) Hari minggu di libur kenaikan kelas aku dan kakakku pergi ke pasar. (K-12 k-1) (22) Betapa malunya aku ternyata aku salah gandeng. (K-12 k-5) (23) Kami mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi. (K-14 k-6) (24) Aku malu dan pingin nangis, karna guru BK galak banget. (K-31 k-6) (25) Tidak lama kemudian, tiba-tiba di tengah perjalanan terjadi kecelakaan becak yang kami naiki terpaksa harus berhenti sebentar. (K-32 k-5) f. Aneksi Final (26) Pada hari selasa, tanggal 4 januari saya dan teman-teman 4 IPA-2 mengadakan acara rujakan bersama di ruang lab fisika. (K-2 k-1) (27) Sopir angkot itu pun meminta maaf kepadaku dan kepada orang tuaku. (K-9 k-10) (28) Aku membawa persiapan dan bekal memancing. (K-16 k-3) (29) Di sana aku dan teman-teman sudah membawa peralatan berburu yang aku siapkan sebelum berburu. (K-21 k-2) (30) Aku dan temanku Ayu mempersiapkan alat-alat dan bahan untuk perkemahan. (K- 22 k-2) (31) Pengarahan sudah selesai waktunya kami istirahat, dan kami bersama-sama menuju kamar mandi, setelah itu diberi waktu sholat. (K-22 k-6) (32) Pagi hari mulai jelajah, di tengah perjalanan kami tersesat di sebuah hutan, akhirnya ada seorang nenek yang membawa kayu bakar. (K-22 k-9) (33) Kami mendengar azan maghrib dan segera mengambil mukenah dan berangkat ke masjid bersama. (K-24 k-7) g. Aneksi Partitif (34) Kami pergi ke pantai pada sore hari karna di sore hari juga bisa menikmati pemandangan sunset. (K-4 k-2) (35) Pada liburan tengah semester kemarin saya dan 9 temanku bermain di Waduk Panohan. (K-5 k-1) (36) Tidak terasa malam tahun baru telah tiba. (K-23 k-7) h. Aneksi Original (37) Selain kita bermain air di laut, kita juga bermain pasir pantai. (K-4 k-4) (38) Saat itu aku bertanding dengan anak asal Grobogan. (K-18 k-5) (39) Ice cream rasa vanilla untuk sepupuku dan ice cream rasa cokelat untukku. (K-19 k- 10) (40) Sesudah sholat aku dan teman-temanku berkumpul untuk api unggun. (K-22 k-7) i. Aneksi Komparatif\ (41) Karena di Semarang ada tontonan atau band papan atas yaitu Rif dan Bondan tepatnya di simpang lima Semarang. (K-23 k-3) Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 159

(42) Malam itu masih berjalan seperti biasa, balajar malam bersama teman-teman SMA, tepatnya hari rabu sebelum ulangan semester 4 dimulai. (K-27 k-1) j. Aneksi Instrumental (43) Kami berangkat sore hari, karena jarak rumah nenek tidak terlalu jauh maka kami berangkat menggunakan sepeda motor. (K-3 k-3) (44) Waktu jalan-jalan pernah tersesat, selain itu waktu disuruh belanja jatuh dari sepeda motor. (K-10 k-3)

2. Aneksi dengan Kata Ganti a. Aneksi Subjektif (45) Setelah itu kami masuk menuju tempat wisata taman Kartini yang sudah penuh sesak oleh pengunjung. (K-1 k-4) (46) Setelah puas kami pulang. (K-1 k-6) (47) Sebelum kami memulai acara rujakan kami melaksanakan sholat dhuhur terlebih dahulu karena pada saat itu sudah pukul 14.00 WIB. (K-2 k-5) (48) Setelah semua selesai, dan rujak telah jadi kami berdoa bersama. (K-2 k-7) (49) Kami berangkat sore hari, karena jarak rumah nenek tidak terlalu jauh maka kami berangkat menggunakan sepeda motor. (K-3 k-3) (50) Kami pergi ke pantai pada sore hari karna di sore hari juga bisa menikmati pemandangan sunset. (K-4 k-2) (51) Sewaktu aku masih duduk di kelas 2 SD, aku pernah mengalami sebuah kecelakaan. (K-9 k-1) (52) Kejadian ini bermula saat aku pulang sekolah bersama dengan seorang temanku, dia bernama Sukma. (K-9 k-2) (53) Biasanya aku mengisi liburan sekolahku untuk bertemu keluargaku di Jakarta. (K-20 k-5) (54) Aku merasa sangat malu. (K-30 k-4) (55) Aku adalah seorang pelajar di SMA. (K-31 k-1) b. Aneksi Objektif (tidak ditemukan) c. Aneksi Posesif (tidak ditemukan) d. Aneksi Atributif (tidak ditemukan) e. Aneksi Partitif (56) Pada hari itu saya dan teman-teman merayakannya dengan pergi ke Rembang mencari tempat yang enak untuk dikunjungi dan dipakai senang-senang. (K-1 k-2) f. Aneksi Final (57) Setelah sholat dhuhur kami pun kembali ke lab. Fisika, kemudian memotong buah- buahan yang akan dirujak. (K-2 k-6) g. Aneksi Lokatif (tidak ditemukan) h. Aneksi Original (tidak ditemukan) i. Aneksi Komparatif (tidak ditemukan)

3. Aneksi Ajektif (58) Kami berangkat sore hari, karena jarak rumah nenek tidak terlalu jauh maka kami berangkat menggunakan sepeda motor. (K-3 k-3) (59) Kami memang sengaja berkumpul untuk mendoakan almarhum kakek dan syukuran atas lahirnya keponakan baru. (K-3 k-6) (60) Hari ini aku sangat bahagia. (K-3 k-7) (61) Sukma menakut-nakutiku dengan cara membohongiku bahwa di tikungan depan ada orang gila. (K-9 k-3)

160 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

(62) Tiba di sana aku mancari tempat teduh di bawah pohon yang sangat sejuk. (K-16 k- 4) (63) Akhirnya saya pulang dengan hati yang sangat senang walaupun tubuh terasa lelah dan penuh rasa pegal. (K-16 k-8) (64) Pemandangan di sana sangat indah. (K-19 k-3) (65) Di jalan pemandangannya sangat indah sekali. (K-25 k-3) (66) Kami mendapatkan udara yang segar sekali. (K-25 k-4) (67) Namun karena ombak yang begitu besar kami melarang dia untuk berenang, karena khawatir terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. (K-26 k-5) (68) Aku terjatuh disebabkan karena jalan yang aku lewati untuk ke rumah temanku terdapat jembatan kecil dan kanan kirinya terdapat selokan air atau got. (K-28 k-3) (69) Kakiku terluka parah dan langsung dibawa ke Puskesmas. (K-28 k-5) (70) Di Puskesmas, kaki yang luka sampai dijahit pada lutut 6 jahitan karena terlalu parah. (K-28 k-6) (71) Ketika itu jalannya sangat ramai dan pada waktu itu pasarnya dalam keadaan sangat becek. (K-30 k-2) (72) Untungnya sandal aku putus tepat berdekatan dengan orang yang menjual sandal dan ibuku membelikan sandal untukku. (K-30 k-5) (73) Soalnya aku pakai baju OSIS, bawahan hitam, kerudung putih dan dari warna abu- abu. (K-31 k-10) (74) Soalnya aku pakai baju OSIS, bawahan hitam, kerudung putih dan dari warna abu- abu. (K-31 k-10)

4. Aneksi dengan Kata Kerja (75) Sesampainya di dalam kami hanya berputar-putar dan melihat-lihat orang dan membeli makan dan minuman karena merasa lapar dan haus. (K-1 k-5) (76) Setelah sholat dhuhur kami pun kembali ke lab. Fisika, kemudian memotong buah- buahan yang akan dirujak. (K-2 k-6) (77) Setelah semua selesai, dan rujak telah jadi kami berdoa bersama. (K-2 k-7) (78) Ketika tiba disana kami sudah disambut nenek. (K-3 k-4) (79) Sesampainya di Panohan saya & teman-teman bersenda gurau dan berfoto bersama. (K-5 k-4) (80) Saya dan keluar bergegas keluar rumah. (K-6 k-4) (81) Awalnya yaitu aku dijemput teman satu sekolah sewaktu akan berangkat les. (K-14 k-2) (82) Saat di rumah aku dan teman-teman memasak burung-burung itu bersama-sama. (K-21 k-8) (83) Aku dan semua temanku berangkat bersama naik truk. (K-22 k-3) (84) Saya berangkat hanya 4 orang teman saja, dengan naik bus, tiba di sana aku dan teman-teman jalan-jalan dulu di simpang lima Semarang. (K-23 k-4) (85) Pulang dari masjid kami nonton TV langsung tidur. (K-24 k-8) (86) Peristiwa ini ketika aku pertama masuk di SMA itu. (K-31 k-2) (87) Berawal dari ketika aku telat masuk sekolah gara-gara ada insiden yang mengakibatkan rok OSIS yang aku pakai sobek. (K-31 k-3) (88) Tapi aku seneng banget, karna ada salah satu guru yang ngebolehin masuk kelas, meskipun aku harus ngebersihin (nyapu) halaman sekolah. (K-31 k-8) (89) Setelah masuk kelas, aku lebih malu lagi saat teman-temanku pada ngomongin aku. (K-31 k-9)

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 161

5. Aneksi dengan Kata Depan (90) Karena merasa takut, aku segera menyeberang di jalan raya tanpa melihat kanan- kiri. (K-9 k-4) (91) Pada tahun lalu, disaat hari penerimaan raport akhir semester 2, merupakan hari yang melelahkan bagi diriku. (K-11 k-1) (92) Pada hari minggu kami pun di ajak untuk memancing bersama papaku dan kami pun makan ikan bakar di pemancingan.(K-13 k-6) (93) Dengan mengendarai motor, sekitar ½ jam tiba di Waduk Panohan. (K-17 k-3) (94) Dengan membawa bekal makanan dan minuman yang cukup untuk makan siang kami di sana. (K-17 k-4) (95) Pada waktu makan-makan tanpa disadari terdapat kejadian lucu. (K-17 k-6)  Pada tanggal 1 Januari 2011 yang lalu tepatnya pada tahun baru saya dan keluarga pergi ke rumah nenek. (K-19 k-1)  Pada hari liburan, aku dan teman-teman pergi ke hutan untuk berburu. (K-21 k- 1) (96) Pada hari Jum’at tepatnya pada malam hari tahun baru banyak teman-teman yang mengajak untuk menonton pesta kembang api. (K-23 k-1) (97) Karena daerahnya belum banyak dilewati oleh kendaraan-kendaraan. (K-25 k-5)

SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab IV, maka dapat diambil beberapa simpulan. 1. Pada karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem jumlah keseluruhan aneksi yang ditemukan sebanyak 99 aneksi. 2. Dari hasil penelitian, aneksi yang terdapat dalam karangan narasi siswa terdiri atas aneksi substantif berjumlah 44 aneksi atau 44,4% dari jumlah keseluruhan, aneksi dengan kata ganti berjumlah 13 aneksi atau 13,1%, aneksi ajektif terdapat 17 aneksi atau 17,2%, aneksi dengan kata kerja berjumlah 15 aneksi atau 15,2%, dan aneksi dengan kata depan berjumlah 10 aneksi atau 10,1%. 3. Proses pemaknaan yang telah dilakukan terhadap aneksi yang teridentifikasi pada karangan narasi siswa kelas XI-3 SMA Negeri 1 Lasem dapat dirumuskan beberapa cara pemaknaannya. a. Pemaknaan dilakukan dengan memberi imbuhan pada aneksi. b. Pemaknaan dilakukan dengan menyisipkan kata pada aneksi. c. Pemaknaan dilakukan dengan melesapkan bagian dari aneksi. d. Pemaknaan dilakukan dengan cara mengartikan masing-masing unsur pada aneksi.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: PT. Rineka Cipta. Keraf, Gorys. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia. Mahsun, M. S. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Marwoto, Suyatni, dan Suyitno. 1985. Komposisi Praktis. Yogyakarta: PT. Hanindrita. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nurgiyantoro, 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang. Rohmadi, dkk. 2010. Morfologi: Telaah Morfem dan Kata. Surakarta: Yuma Pustaka. Semi, Atar. 1990. Pengantar Metode Penelitian Lingusitik. Surakarta: UNS Press.

162 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Srijanto, Djatok. 2001. “Analisis Kesalahan Penggunaan Kata Depan dalam Karangan Deskripsi Siswa Kelas II SMU Negeri Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar”. (Tesis: Program Studi Linguistik Program Pascasarjana). Surakrta: Universitas Sebelas Maret. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sukardi. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. Tarigan, G. 1984. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 163

PROFESIONALISME GURU BAHASA INDONESIA SEBAGAI WUJUD PERADABAN BANGSA

Ary Kristiyani PBSI, FBS, UNY [email protected]

Abstract Teacher is a noble profession. Someone’s willingness to be educators actually came from the conscience. Not every individual is aroused to devote themselves as educators. The Indonesian language teachers become one of the pillars of the civilization progress in a nation. The Indonesian teachers, who have the competence and ability, will result the qualified generation. Various efforts were made by the government to improve the quality of the Indonesian language teachers, including educational training for teacher candidates, recruitment, education and training of teachers, the Education and Training of Professional Teachers (PLPG), teacher certification program through the portfolio, and the Professional Teacher Training Program (PPG ). The government's efforts received a positive response from the public, especially educators. Improving the quality of the professional Indonesian language teachers must also be balanced with a persistent willingness from each educator to improve their quality and competence. The Indonesian language teachers are not merely transferring knowledge, but should also be able to explore the potential of learners, able to act as a facilitator, a dynamist in the educational process, and has the ability in building the students’ character. In addition, the professional Indonesian language teachers are also required to be a role model for students.

Keywords: professionalism, the Indonesian language teacher, civilization

PENDAHULUAN Pendidik adalah pilar penting untuk kemajuan suatu negara. Negara dengan jumlah pendidik yang berkualitas akan menghasilkan generasi yang handal. Indonesia sebagai negara berkembang, berupaya untuk menyiapkan para pendidik yang berkualitas dan profesional. Berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah di antaranya diklat kependidikan, sertifikasi guru melalui berbagai jalur, seperti portofolio, PLPG, dan PPG. Hal tersebut, sebagai usaha pemerintah untuk menyiapkan tenaga pendidik yang berkualitas unggul dalam menghadapi era global. Guru sebagai tenaga profesional dituntut memiliki empat kompetensi, yakni profesional, pegagogik, kepribadian, dan sosial. Pendidik dituntut menguasai bidang keilmuannya, terampil mengajarkannya, mengembangkan keahliannya, mencintai profesinya, dan mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Pembahasaan dalam makalah ini akan difokuskan pada profesionalisme guru bahasa Indonesia sebagai wujud peradaban bangsa.

A. Kualitas Guru Bahasa Indonesia Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yakni UU No. 2 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Rizali, Sidi, dan Dharma (via Suwarjo, 2013: 441) menegaskan bahwa guru bangsa adalah setiap individu yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mendidik siswa dan orang-orang di sekitarnya agar dapat menjadi tunas-tunas bangsa yang akan tumbuh dan menjadi pembangun bangsa sesuai dengan cita- cita proklamasi kemerdekaan dan amanat UUD 1945. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dimaknai bahwa guru memiliki peranan penting dalam kehidupan berbagsa dan bernegara. Dengan demikian, guru memiliki tanggung jawab yang besar untuk mencerdaskan kehidupan generasi bangsa, terutama guru bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia

164 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

sebagai alat perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagai mata pelajaran pokok di setiap jenjang pendidikan memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter generasi muda. Untuk itu, perlu penyiapan kulitas guru bahasa Indonesia yang mumpuni. Kenyataan di lapangan, kualitas guru bahasa Indonesia belum memiliki kualitas yang handal. Masih banyak guru bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan. Di samping itu, kulaitas guru bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Suwarjo (2013: 437) lembaga pendidikan tenaga kependidikan memiliki tugas utama menyiapkan dan mengembangkan tenaga pendidik dan kependidikan yang berkualitas dan memadai untuk mendidik dan mengembangkan SDM peserta didik. Lebih lanjut dikatakan, jika mutu lulusannya rendah maka mereka akan menjadi guru dan tenaga kependidikan yang bermutu rendah. Senada dengan pendapat tersebut, Us., Tawardjono (2014: 423) mengatakan bahwa kualitas dan profesionalisme guru ikut menentukan kualitas pendidikan. Maka dari itu, kualitas LPTK sebagai penghasil guru selayaknya menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah harus mengendalikan menjamurnya LPTK yang membuka berbagai program studi, sebagai akibat animo masyarakat terhadap profesi guru. Adanya seleksi yang ketat dalam perizinan pembukaan program studi di berbagai LPTK. Evaluasi kelayakan program studi melalui akreditasi, pembatasan rekrutmen calon guru, dan seleksi masuk yang ketat terhadap calon pendidik. Beberapa hal tersebut hendaknya menjadi perhatian pemerintah karena LPTK sebagai sumber lahirnya guru yang berkualitas. Untuk memperbaiki kualitas guru bahasa Indonesia, diperlukan sinergi antara guru sebagai individu untuk mengembangkan diri dan pemerintah sebagai pengampu kebijakan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru-guru di Indonesia, terutama guru bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia harus mampu mengaplikasikan bidang keilmuan di era global. Mereka harus mampu membuat dan mengembangkan media pembelajaran, dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal, aktif dalam forum diskusi teman sejawat, serta meningkatkan produktivitas dalam karya ilmiah.

B. Profesionalisme Guru Bahasa Indonesia sebagai Wujud Peradaban Bangsa Profesionalisme adalah sosialisasi profesi yang artinya proses yang anggotanya secara selektif menuntut adanya budaya yang terdiri atas nilai dan karakter serta pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh secara mudah (Power, 1992). Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi. Kompetensi tersebut di antaranya kompetensi bidang substansi atau bidang studi, pembelajaran, pendidikan nilai dan bimbingan, serta hubungan dan pelayanan atau pengabdian masyarakat (Us., Tawardjono, 2014: 427-428). Hal ini berarti profesionalisme menuntut seluruh anggotanya memiliki kompetensi dan pendidikan karakter dalam bidang keahliannya. Profesional diartikan dengan penguasaan pengetahuan atau skill yang mencakup kemampuan memilih dan mengetahui pilihan yang tepat (Kain via Kurnia, dkk.: 2010: 199). Adapun kompetensi dipahami sebagai tingkat kemampuan diri atau kualitas pribadi yang mengandung pengertian luas dari performansi, pengetahuan, skill, tingkat kemahiran, mencakup niat, motif, dan sikap (Wing-mui, May-hung Chiao-liang via Kurnia, dkk. 2010: 199). Beberapa penelitian terkait teacher effectiveness, kualitas guru mencakup beberapa hal, yakni (1) kecerdasan dan kemampuan verbal yang membantu guru mengorganisasi dan menjelaskan gagasan, mengamati dan berpikir secara diagnostik, (2) pengetahuan tentang bagaimana mengajar suatu bidang studi kepada peserta didik (pedagogi pembelajaran), secara khusus berkaitan dengan teknik-teknik mengajar dan cara mengembangkan keterampilan berpikir tinggi, (3) kemampuan memahami peserta didik, dinamika dan style belajar serta perkembangan belajar peserta didik, kemampuan menilai dan merancang pembelajaran, membantu peserta didik yang mengalami masalah atau kesulitan belajar atau mengikuti pembelajaran, dan (4) keahlian melakukan adaptasi yang memungkinkan guru membuat keputusan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 165 tentang apa yang dilakukan terhadap kebutuhan peserta didik (Darling-Hammond via Kurnia, dkk., 2010: 199-200). Guru bahasa Indonesia berperan penting dalam perkembangan ilmu dan pendidikan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, memiliki kontribusi terhadap kemajuan teknologi, yang artinya pendukung kuat terhadap peradaban bangsa. Untuk itu, tuntutan guru bahasa Indonesia tidaklah ringan. Guru bahasa Indonesia harus memiliki empat kompotensi dasar, yakni profesional, pegagogi, kepribadian, dan sosial. Kurnia, dkk. (2010: 202) menyatakan kemampuan dasar guru adalah sebagai berikut. 1. Menguasai bidang keilmuan yang diajarkannya. 2. Terampil melaksanakan proses pengajaran sehingga mampu mendidik dan mengajar siswa. 3. Sikap positif terhadap profesi guru serta senantiasa mau meningkatkan kemampuan yang berhubungan dengan tugas profesinya.

Selain kemampuan dasar di atas, guru bahasa Indonesia harus memiliki kemampuan menggali potensi peserta didik, menanamkan pendidikan nilai, dan menjadi panutan bagi peserta didik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan profesionalisme guru bahasa Indonesia. Pemerintah melakukan berbagai pelatihan kependidikan untuk meningkatkan kualitas guru bahasa Indonesia. Demikian juga guru bahasa Indonesia, sebagai pribadi harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bidang keilmuannya dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Sinergi antara pemerintah dan guru secara individu ini akan mewujudkan profesionalisme guru bahasa Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan di Indonesia berkualitas unggul dan menunjukkan peradaban bangsa Indonesia.

PENUTUP Profesionalisme guru bahasa Indonesia menjadi kunci peradabaan bangsa. Kualitas guru bahasa Indonesia menjadi perhatian pemerintah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara memiliki peranan yang penting bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, pendidik bahasa Indonesia harus memiliki kompetensi yang memadai sehingga mampu bersaing di era global. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru bahasa Indonesia, di antaranya pelatihan kependidikan seperti sertifikasi guru melalui program portofolio, PLPG, dan PPG. Selain itu, peningkatan kualitas guru juga didukung oleh kesadaran guru bahasa Indonesia untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan dalam bidang keilmuannya. Guru bahasa Indonesia tidak hanya mentrasfer ilmu, tetapi mampu menggali potensi peserta didik, berperan sebagai fasilitator, dinamisator dalam proses pendidikan, dan memiliki kemampuan dalam penanaman karakter peserta didik. Di samping itu, guru bahasa Indonesia yang profesional dituntut mampu menjadi panutan bagi peserta didik. Guru bahasa Indonesia juga harus mampu mengembangkan diri dengan berkarya. Budaya menulis dapat dilakukan melalui forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), penelitian, dan diskusi-diskusi ilmiah. Kualitas guru bahasa Indonesia yang unggul menjadi simbol peradaban bangsa. Suatu bangsa memiliki peradaban yang tinggi jika bidang pendidikan berkualitas tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Kurnia, Ahmed, dkk. (Editors). 2010. “Nasionalnya” Pendidikan Kita. Jakarta: Kementerian Pedidikan Nasional. Power, C.N. 1992. The Professionalitation and Status of Teacher Education and The Teaching Profession. International Council In Education For Teaching: USA. Suwarjo. 2013. “Kualitas Pendidik (Guru) Indonesia“. Dalam Pendidikan untuk Pencerahan dan Kemandirian Bangsa. Yogyakarta: FIP UNY. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

166 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Us., Tawardjono. 2014. “Peningkatan Profesionalisme Guru Pendidikan Teknologi dan Kejuruan”. Dalam Memantapkan Pendidikan Karakter untuk Melahirkan Insan Bermoral, Humanis, dan Profesional. Suryaman, dkk. (Eds.). Universitas Negeri Yogyakarta: UNY Press.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 167

KONJUNGSI KETIKA SEBAGAI PEMBENTUK RELASI WAKTU ANTARKLAUSA11

Ashari Hidayat Universitas Jenderal Soedirman

Abstract This research aimed to describe ketika as conjunction that forming relation as meaning 'time' between clauses. Theoretical basis used is the theory of structural linguistics. The results obtained in this research is conjunction ketika to connecting clauses with diverse structures on complex sentences. The incorporation of the clauses by ketika will produce meaning relation ‘simultaneous time’ . There is a relation of meaning 'causation' which accompanies the relation of meaning 'time' if it is associated with a conjunction karena. The distributional method used in this study. The data analysis techniques used are permutation, expansion, substitution, and deletion.

Keywords: ketika, conjunction, clause, time relation

LATAR BELAKANG Bahasa Indonesia memiliki sejumlah konjungsi yang dapat digunakan sebagai pembentuk relasi waktu antarklausa. Salah satu konjungsi yang dapat menghadirkan makna relasi ‘waktu’ adalah ketika. Konjungsi ketika akan menghubungkan klausa dalam struktur kalimat majemuk bertingkat yang masing-masing klausanya berperan sebagai ordinat dan subordinat. Perilaku konjungsi ketika menarik untuk diteliti lebih lanjut, tidak sekedar ditetapkan sebagai konjungsi ‘waktu’ semata, karena struktur yang dapat dilekatinya bervariasi. Dilihat dari sisi makna ‘waktu’ yang muncul juga menarik dicermati karena terkait dengan informasi yang dikandung klausa-klausa yang dihubungkannya. Ramlan (1983:59-61) menggolongkan ketika sebagai kata penghubung yang membentuk makna ‘hubungan waktu bersamaan’ antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat. Misal, (1) Santo masih menoleh beberapa kali ketika mobil sudah meninggalkan rumah asuhan. Kalimat tersebut terdiri atas klausa inti Santo masih menoleh beberapa kali dan klausa bukan inti ketika mobil sudah meninggalkan rumah asuhan. Keraf (1982:78) menggolongkan ketika sebagai kata sambung atau conjunctio. Yang dimaksud kata sambung adalah sebuah kata yang dapat menjadikan keterangan waktu menjadi eksplisit dari dua buah kontur yang awalnya memiliki relasi makna waktu yang implisit. Misal, (2a) Ia datang, saya berangkat dan (2b) Ia datang ketika saya berangkat. Moeliono (1992:235) menyatakan bahwa konjungsi adalah kata tugas yang berfungsi menghubungkan dua klausa atau lebih dalam kalimat luas atau kalimat majemuk. Berdasarkan pendapat para tatabahasawan tersebut tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perilaku konjungsi ketika dalam beragam struktur kalimat dan mencari detail relasi ‘waktu’ yang dimunculkannya dalam menghubungkan klausa. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menambah khasanah pengkajian makna gramatikal dalam Bahasa Indonesia, khususnya makna yang dihasilkan oleh konjungsi.

LANDASAN TEORI Penelitian ini berdasar kepada teori linguistik struktural. Ramlan (1979:79) menyatakan bahwa teori struktural dalam linguistik berhubungan dengan fenomena lingual yang dapat diamati dan empiris; berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antarkomponen yang dapat diamati. Kridalaksana (1990:42) menyatakan bahwa pemerian kelas kata yang mendasarkan pada konsep perilaku sintaktis mencakup posisi satuan gramatikal, kemungkinan didampingi atau tidaknya oleh satuan lain dalam konstruksi, pensubstitusian, fungsi sintaksis, dan

11 Makalah ini merupakan publikasi dari sebagian penelitian skripsi yang ditulis Ashari Hidayat, tahun 2000 , yang berjudul “Kata Tatkala, Ketika, dan Sedang sebagai Konjungsi”

168 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

paradigma sintaktis. Distribusi kata dalam konstruksi memerlukan keselarasan pola urutan sehingga membentuk susunan yang berterima. Sudaryanto (1994:15) menyatakan bahwa terdapat hubungan relasional antara fungsi, kategori, dan peran, yakni kategori sebagai pengisi fungsi yang berupa pengisi menurut bentuk dan peran sebagai pengisi fungsi menurut makna.

METODE PENELITIAN Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil kalimat media massa cetak dan kalimat yang dibuat berdasarkan intuisi penulis sebagai penutur Bahasa Indonesia. Pada tahap pengumpulan data ini dikelompokkan kalimat-kalimat yang mengandung konjungsi ketika berdasarkan struktur fungsionalnya. Tahapan analisis data menggunakan metode agih (Sudaryanto, 1993:13) dengan teknik dasar bagi unsur langsung. Teknik lanjutan yang dipergunakan adalah teknik permutasi, teknik ekspansi, teknik substitusi, dan teknik delisi.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Konjungsi Ketika sebagai penghubung antarklausa Konjungsi ketika menghubungkan dua klausa dalam kalimat majemuk subordinatif. Kehadiran konjungsi ini menyebabkan terbentuknya subordinat dari klausa utama. Contoh: (3a) penjahat yang menjadi buron itu tertembak (3b) dia beraksi di BCA cabang Rungkut (3c) penjahat yang menjadi buron itu tertembak ketika dia beraksi di BCA cabang Rungkut Klausa (3a) berstruktur S:FN/Sa + P: V/Pas, subjek terdiri atas frasa nominal dengan makna sasaran dan predikat terdiri atas verba dengan makna pasif. Klausa (3b) berstruktur S: Pro/pel + P: V/Ak + K: FPre + Lok, subjek terdiri atas pronomina dengan makna pelaku dan predikat terdiri atas verba dengan makna aktivitas aktif serta keterangan terdiri atas frasa preposisional dengan makna lokatif. Penggabungan dua klausa itu menyebabkan klausa (3b) mengalami perubahan struktur menjadi subordinat klausa (3a) sehingga klausa (3b) pada kedudukan di susunan (3c) berada dalam fungsi keterangan waktu. Jadi, susunan (3c) terdiri atas klausa inti penjahat yang menjadi buron itu tertembak dan klausa tambahan ketika dia beraksi di BCA cabang Rungkut. Konjungsi ketika dapat juga menghubungkan dua klausa yang terdiri atas pengisi subjek berlainan. Contoh: (4a) para pengungsi berlarian (4b) milisi Felangis menyerbu kam penampungan (4c) para pengungsi berlarian ketika milisi Felangis menyerbu kam penampungan Klausa (4a) berstruktur S:FN/Pel + P:V/Ak + O:FN/Sa subjek yang berupa frasa nominal dengan makna pelaku dan predikat yang berupa verba dengan makna aktivitas aktif. Klausa (4b) berstruktur S: FN/Pel + P: V/Ak + O:FN/Sa, subjek berupa frasa nominal dengan makna pelaku dan predikat verba dengan makna aktivitas aktif serta objek berupa frasa nominal dengan makna sasaran. Jika 2 klausa itu digabung dengan konjungsi ketika maka klausa kedua ketika milisi Felangis menyerbu kam pengungsi akan menjadi subordinat dari klausa inti para pengungsi berlarian. Sebagaimana pada data (3c) kehadiran konjungsi ketika akan menyebabkan terbentuknya makna ‘waktu’ pada struktur (4c). Varian dari struktur (3c) dan (4c) dapat digunakan untuk menguji keberterimaan makna yang muncul karena kehadiran konjungsi ketika. Berikut ini pelesapan subjek akan menghasilkan perubahan pada keseluruhan informasi data (4d), tetapi pelesapan subjek pada klausa (3d) tidak menghasilkan perubahan informasi. Hal itu terjadi karena S pada kedua klausa (3d) mengarah kepada pelaku yang sama, sedangkan S pada (4d) tidak mengarah kepada pelaku yang sama. (3d) penjahat yang menjadi buron itu tertembak ketika (…) beraksi di BCA cabang Rungkut (4d) para pengungsi berlarian ketika (…) menyerbu kam penampungan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 169

Varian struktur yang lain adalah dengan mengubah letak subordinat sehingga tercipta klausa inti yang berbeda dari (3c dan 4c). Informasi S pada klausa inti dan klausa tambahan menjadi tidak sinkron sehingga memunculkan makna pelaku yang berbeda akibat pengubahletakan konjungsi ketika. (3e) ketika penjahat yang menjadi buron itu tertembak, dia beraksi di BCA cabang Rungkut (4e) ketika para pengungsi berlarian, milisi Felangis menyerbu kam penampungan Pada (4e) mengubah letak subordinat juga akan mengubah keseluruhan informasi. Pelaku pada S klausa inti menjadi penyebab aktivitas S pada klausa tambahan, sedangkan pelaku pada klausa inti (4c) merupakan penyebab S melakukan aktivitas dalam klausa tambahan. 2. Relasi ‘waktu serempak’ Antarklausa Antara klausa inti dan klausa tambahan terjadi relasi ‘waktu’ yang diakibatkan hadirnya konjungsi ketika. Relasi waktu ini secara implisit sebenarnya sudah hadir saat tanpa konjungsi ketika. Kehadiran konjungsi ketika mengeksplisitkan makna waktu antarklausa, sebagaimana dalam contoh berikut. (5a) wanto datang (5b) tati pergi (5c) wanto datang ketika tati pergi (5d) wanto datang (…) tati pergi Pada data di atas terdapat S yang diisi oleh dua pelaku yang berbeda, yakni wanto dan tati. Saat kedua klausa itu digabung menggunakan konjungsi ketika maka makna ‘waktu’ menjadi eksplisit, klausa tambahan menjadi penegas informasi ‘kapan’ peristiwa ‘wanto datang’ yang serempak dengan ‘ketakberadaan tati di tempat wanto datang’. Berbeda dengan contoh di bawah ini. (6a) petrus menolong adikku yang terpeleset (6b) suasana kalang kabut kemarin (6c) petrus menolong adikku yang terpeleset ketika suasana kalang kabut kemarin (6d) petrus menolong adikku yang terpeleset (…) suasana kalang kabut kemarin Data di atas menunjukkan bahwa relasi ‘waktu’ pada gabungan klausa (6d) menjadi tidak selaras tanpa kehadiran konjungsi ketika. Hal itu disebabkan karena perbedaan jenis pengisi fungsi subjek pada klausa inti dan klausa tambahan. klausa inti memiliki subjek yang berupa nomina pelaku, sedangkan pada klausa tambahan subjek diisi oleh nomina yang tidak mengandung makna pelaku. Pada penggabungan seperti ini kehadiran konjungsi ketika menjadi penting demi terbentukknya relasi waktu sebagaimana data (6c). Kata tanya kapan dapat digunakan untuk menguji makna ‘waktu’ pada klausa yang dilekati konjungsi ketika. Relasi ‘waktu’ dalam pertanyaan dan jawaban pada data di bawah ini terlihat jelas. Kedua klausa dapat diperluas dengan penambahan kata tanya kapan, maupun saling menggantikan dalam pernyataan jawaban. (5e) Kapan Wanto datang? (Wanto datang) ketika Tati pergi. (5f) Kapan Tati pergi? (Tati pergi) ketika Wanto datang. Terdapat perbedaan makna ‘waktu’ yang muncul pada data (6e dan 6f) berikut ini. Perluasan terhadap klausa inti dengan kata tanya kapan tidak sepenuhnya selalu memunculkan keselarasan informasi karena perbedaan subjek. (6e) Kapan Petrus menolong adikku yang terpeleset? Ketika suasana kalang kabut kemarin. (6f) *Kapan suasana kalang kabut kemarin? Ketika Petrus menolong adikku yang terpeleset. Konjungsi ketika juga berpotensi menghadirkan makna ‘penyebaban’ dalam relasi antarklausanya. Makna ‘penyebaban’ ini implisit dan tumpang tindih dengan makna ‘waktu’. Misal pada data berikut.

170 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

(7a) Mahasiswa itu ditangkap ketika dirinya tidak bisa menunjukkan kartu bebas wajib militer. (8a) Ketika saya sudah memutuskan untuk kuliah kembali, pekerjaan di perusahaan itu saya tinggalkan. Pensubstitusian ketika dengan konjungsi bermakna ‘penyebaban’ dapat dilakukan untuk menguji keberterimaan makna yang mengiringi relasi ‘waktu. (7b) Mahasiswa itu ditangkap karena dirinya tidak bisa menunjukkan kartu bebas wajib militer. (8b) Karena saya sudah memutuskan untuk kuliah kembali, pekerjaan di perusahaanitu saya tinggalkan. Kalimat (7a dan 8a) mengandung relasi ‘waktu’ antarklausa dan juga relasi ‘penyebaban’ setelah kehadiran konjungsi karena (7b dan 8b). Informasi dalam 2 kalimat yang disalinggantikan konjungsi tersebut mengarah kepada hal yang sama, yaitu peristiwa penangkapan mahasiswa dan peristiwa (saya) meninggalkan perusahaan. Pensubstitusian ketika dengan konjungsi karena tidak menyebabkan makna keserempakan waktu antara peristiwa di klausa inti dan klausa tambahan menjadi hilang. Makna ‘penyebaban’ terjadi pada lingkaran waktu yang serempak, peristiwa ‘mahasiswa itu ditangkap’ serempak waktunya dengan peristiwa ‘dirinya tidak bisa menunjukkan kartu bebas wajib militer’ dan peristiwa ‘saya memutuskan kuliah kembali’ serempak waktunya dengan peristiwa ‘saya meninggalkan perusahaan’. Distribusi konstituen dalam konstruksi berperan penting dalam membentuk relasi makna. Sudaryono (1993:61) mendefinisikan distribusi sebagai “ketentuan letak dalam konstruksi”, jika letak konstituen pembentuk konstruksi berubah, maka dapat menimbulkan perubahan makna. Kaitannya dengan konjungsi ketika, yang menghasilkan makna gramatikal antarklausa, aspek distribusi ini menjadi sarana menguji keberterimaan masing-masing klausa yang dihubungkan. Apakah keseluruhan klausa dapat bergabung tanpa mengubah informasi kalimat atau akan mengubah sebagian informasi. Klausa adverbial ketika aksi unjuk rasa berlangsung ,yang menjadi subordinat dari klausa seluruh kompleks pertokoan di Karachi sudah tutup sejak pagi, saat dipindahposisikan berada setelah klausa inti tidak mengubah informasi kalimat. Perhatikan contoh berikut. (9a) Ketika aksi unjuk rasa berlangsung, seluruh komples pertokoan di Karachi sudah tutup sejak pagi. (9b) Seluruh kompleks pertokoan di Karachi sudah tutup sejak pagi ketika aksi unjuk rasa berlangsung.

SIMPULAN Konjungsi ketika membentuk klausa tambahan yang menjadi subordinat dalam kalimat majemuk bertingkat. Klausa yang dilekati konjungsi ketika termasuk dalam kategori klausa adverbial yang berperan sebagai penjelas informasi ‘keserempakan waktu’ antara ordinat dan subordinat kalimat. Relasi makna ‘waktu’ antarklausa juga terkait dengan kategori pengisi subjek dalam klausa yang dihubungkan konjungsi ketika. Makna ‘waktu’ yang muncul akibat kehadiran konjungsi ketika berpotensi bertumpang tindih dengan makna ‘penyebaban’. Hal itu ditandai dengan kemampuan konjungsi karena menggantikan ketika tanpa mengubah informasi kalimat.

DAFTAR PUSTAKA Hidayat, Ashari. 2000. “Kata Tatkala, Ketika, dan Sedang sebagai Konjungsi”. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro Keraf, Gorys. 1982. Tatabahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Ende-Flores: Nusa Indah Kridalaksana, Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Moeliono, Anton M. dkk. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Perum Balai Pustaka Ramlan, M. 1979. “Tradisi Tatabahasa Bahasa Indonesia Hingga Tahun 70-an” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 171

Mada. Disampaikan di muka Rapat Senat Terbuka Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 September 1979 Ramlan, M. 1983. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: UP Karyono Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis Sudaryanto. 1994. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola Urutan. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Sudaryono. 1993. Negasi Dalam bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

172 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 173

INTERTEKSTUALITAS NOVEL SEBATANG KARA DENGAN NOVEL KAU, AKU, DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH

Asry Kurniawaty Kantor Bahasa Provinsi NTB Jalan dr. Sujono, Jempong Baru, Sekarbela, Mataram Pos-el: [email protected]

Abstract The Aims of this study is for know relationship among the novel Sebatang Kara with novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. There are similarities on the theme, plot, and characterizations among them. The novel have similarities describing struggle of human in reaching future goals. Persistence of main character in novel’s which becomes attractiveness among them. Whereas for the difference in those novel is in year of manufacture, novel Sebatang Kara or Nobody’s Boy made in French and novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah made in Indonesia in the present.

Keywords: Intertekstual, Nobody’s Boy, Sebatang Kara, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau merah.

PENDAHULUAN Karya sastra adalah karya yang lahir disebabkan motivasi dasar manusia untuk mengungkapkan kehidupan kemanusiaan. Kehidupan yang mengungkapkan kisah manusia yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Salah satu karya sastra adalah novel. Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan konsep estetika, imajinasi pengarang, dan horizon harapan sendiri telah mengolah dan mentransformasikan karya lain ke dalam karya sendiri. Namun unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi-konvensi, bentuk-bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dikenali. Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan antar teks-teks tersebut (Nurgiantoro, 1995:53). Ada dua jenis teks yang menjadi sasaran dalam makalah ini yaitu novel Sebatang Kara dan novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Novel Sebatang Kara merupakan novel terjemahan dari novel Nobody’s Boy karya Hector Malot. Novel Sebatang Kara yang digunakan dalam makalah ini diterjemahkan oleh Tanti Lesmana dengan jumlah halaman 384 halaman dan diterbitkan oleh PT Garamedia Pustaka Utama pada tahun 2010. Sementara itu, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah merupakan karya Tere Liye yang diterbitkan pertama kali tahun 2012 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel yang digunakan dalam makalah ini merupakan cetakan ketiga dengan jumlah halaman 512 halaman. Kedua novel tersebut, dikaji dengan teori intertekstualitas untuk melihat makna-makna yang ada pada kedua teks dan tranformasi yang dilakukan oleh kedua teks. Untuk itu perlu menetapkan hipogramnya. Dalam hal ini novel Sebatang kara sebagai hipogram untuk novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Hal ini dikarenakan novel Sebatang Kara yang merupakan terjemahan dari novel Nobody’s Boy lebih dulu ada dibandingkan novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Melalui makalah ini juga penulis ingin membuktikan prinsip intertekstualiatas dapat diterapkan secara efektif pada kedua novel tersebut dan seberapa besar kedekatan interteks yang dimiliki keduanya dilihat dari persamaan dan perbedaan yang dimiliki.

KERANGKA TEORI Kajian intertekstual adalah kajian terhadap sejumlah teks. Teks yang mempunyai bentuk hubungan unsur intrinsik, seperti ide, peristiwa, penokohan, plot, gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur-

174 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

unsur inilah yang menjadi perhatian utama dalam mengkaji interteks. Demikian pula novel sebagai salah satu jenis karya sastra mempunyai unsur intrinsik tersebut. Menurut Nurgiantoro (1995:4) bahwa novel sebagai sebuah karya sastra jenis fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, dan sudut pandang yang semuanya tentu saja bersifat imajiner. Intertekstualitas karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaan maupun perbedaannya. Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri, secara etimologis berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram (Ratna, 2004:173). Teks sastra yang menjadi latar penciptaan karya sastra lain oleh Riffatere disebut hipogram (Pradopo, 2003:179). Menurut Kristeva intertekstualitas dapat dijabarkan sebagai berikut (Junus, 1985:87-88). a. Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain b. Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu c. Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak. d. Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara terpisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca dalam rangka memahami suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.

PEMBAHASAN 3.1 Ringkasan cerita Pada novel Sebatang Kara yang merupakan terjemahan dari novel Nobody’s Boy karya Hector Malot diceritakan tentang seorang anak bernama Remi yang menjalani hidupnya sebagai anak dari seorang pemotong batu. Ia hidup berdua saja dengan ibunya disebuah desa bernama Chavanon yang merupakan salah satu desa miskin di Perancis. Sampai umurnya 8 tahun Remi hanya tahu bahwa ia memiliki orangtua meskipun ia hanya tinggal bersama ibunya saja sedang ayahnya selalu bekerja di kota. Saat usianya 8 tahun ayahnya menderita kecelakaan dan terpaksa kembali ke desa serta menganggur. Saat ayahnya pulang itulah akhirnya Remi mengetahui bahwa dirinya hanyalah anak angkat. Ayah angkatnya yang bernama Barberin tidak suka padanya dan kemudian menjual Remi kepada seorang pengamen jalanan bernama Signor Vitalis. Signor Vitalis kemudian mengajak Remi masuk dalam rombongannya sebagai pengamen jalanan. Meski berat meninggalkan ibu angkatnya, Remi mau tidak mau harus mengikuti rombongan Signor Vitalis. Rombongan Signor Vitalis terdiri atas 3 ekor anjing dan 1 ekor monyet. Rombongan itu telah berkelana keberbagai tempat. Remi akhirnya memulai petualangannya bersama rombongan Signor Vitalis menjadi seorang pengamen jalanan. Remi menjalani rutinitasnya menjadi pengamen jalanan dan belajar berbagai hal dari Signor Vitalis yang dengan senang hati mengajarinya. Hubungan Remi dan Signor Vitalis menjadi sangat akrab. Namun kemudian akibat membantunya Signor Vitalis ditangkap polisi dan dijatuhi hukuman dua bulan penjara. Selama dua bulan Signor Vitalis dipenjara Remi yang bertanggung jawab atas rombongan mereka dan mencari uang seperti biasanya. Remi yang masih kecil hampir tak dapat bertahan dengan keadaan itu. Untunglah ia kemudian bertemu dengan seorang janda yang bernama Milligan dan anaknya bernama Arthur. Nyonya Milligan membawa anaknya yang tidak begitu sehat keadaannya berlayar dengan menggunakan perahu berkeliling Perancis. Selama dua bulan hingga Signor Vitalis Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 175 dibebaskan, Remi diizinkan untuk tinggal bersama Nyonya Milligan dan Arthur di atas perahu yang dinamakan The Swan. Setelah dua bulan Remi kembali harus ikut bersama Signor Vitalis mengembara menjadi pengamen jalanan lagi. Ia berpisah dengan Nyonya Milligan dan Arthur yang tak berhasil membujuk Signor Vitalis agar mau melepaskan dirinya dan mengizinkannya ikut bersama mereka. Perjalanan Remi selanjutnya mengalami ujian yang berat dengan matinya anggota rombongan mereka satu demi satu karena cuaca buruk yang mereka hadapi. Akhirnya yang tersisa dari rombongan itu hanyalah Remi, Signor Vitalis , dan Capi si anjing. Rombongan yang tersisa itu ternyata harus kehilangan Signor Vitalis yang meninggal tak lama kemudian. Setelah Signor Vitalis meninnggal, Remi dan Capi tinggal bersama dengan sebuah keluarga petani bunga yang bersedia mengasuhnya. Namun Remi hanya mampu bertahan bersama keluarga itu selama 1 tahun. Keluarga angkatnya mengalami kemiskinan akibat tidak dapat membayar utang. Remi kemudian memutuskan untuk berkelana kembali menjadi pengamen jalanan. Perjalanannya kali ini menambah seorang teman baru yang kemudian menjadi sahabatnya. Anak itu bernama Mattia. Mattia anak yang pandai bermain alat music apa saja terutama biola. Pada perjalanannya yang baru Remi berhasil mengumpulkan uang untuk membelikan ibu angkatnya yaitu Ibu Barberin seekor sapi. Dari memberi kejutan ibu angkatnya itulah kemudian Remi mengetahui kalau ia masih memiliki orangtua. Remi dan Mattia mulai menelusuri jejak orangtua kandung Remi berdasarkan petunjuk yang diberi oleh ibu angkatnya. Remi yang mencari orangtua kandungnya sempat ditipu oleh orang yang ternyata adalah penculiknya ketika ia masih kecil dulu. Namun dengan bantuan Mattia sahabatnya ia berhasil lepas dari orangtua palsu. Remi kemudian mencari Nyonya Milligan dan Arthur yang dianggap dalam bahaya karena Remi dan Mattia mengetahui rencana jahat saudara ipar Nyonya Milligan. Remi dan Mattia yang mencari tahu keberadaan The Swan mendapat kabar bahwa ternyata Lise juga ikut bersama Nyonya Milligan. Setelah lama mencari mereka akhirnya mengetahui keberadaan Nyonya Milligan. Setelah Mattia menemui Nyonya Milligan maka kebenaran atas identitas Remi terkuak. Ternyata orangtua kandung yang dicari Remi selama ini adalah Nyonya Milligan sendiri. Sejak saat itu Remi menjadi pewaris keluarga Milligan dan menjadi orang kaya. Pada bagian akhir juga diceritakan Remi yang menikahi Lise dan memiliki seorang anak, hidup bahagia dengan Nyonya Milligan, Ibu Barberin, dan adiknya Arthur. Sementara Mattia berhasil menjadi pemain biola terkenal. Pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye bercerita tentang seorang anak bernama Borno yang merupakan anak seorang nelayan yang hidup ditepian Sungai Kapuas Kota Pontianak, Kalimantan. Pada usia 12 tahun ayahnya meninggal karena tersengat ubur-ubur, namun ayahnya sempat mendonorkan jantungnya pada orang lain. Borno kemudian menamatkan sekolahnya hingga SMA. Setelah itu ia mulai mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarganya. Pekerjaan Borno yang pertama adalah pegawai di pabrik pengolaan karet. Meskipun bau dari pekerjaannya itu sangat mengganggunya Borno tetap bertahan. Namun tak lama pabrik tempatnya bekerja ditutup. Pekerjaan kedua Borno adalah pemeriksa karcis di dermaga feri. Pekerjaan ini dilakukan Borno dengan sepenuh hati, namun ternyata pekerjaan ini membuat Borno menjadi orang yang tidak jujur. Agar tidak menjadi orang yang tidak jujur Borno berhenti bekerja menjadi pemeriksa karcis di demaga. Pekerjaan ketiga Borno adalah menjadi pengemudi sepit. Sepit adalah nama dari perahu yang menjadi tranportasi daerah Sungai tepian Kapuas. Sepit digunakan orang untuk menyebrangi Sungai Kapuas. Setelah menjadi pengemudi sepit, Borno jatuh cinta pada seorang gadis. Pertemuan keduanya diawali dari sebuah angpau yang tertinggal diatas sepit yang dikemudikan Borno. Borno pun berusaha mengembalikan angpau dengan mencari pemiliknya. Setelah mengembalikan angpau itu, Borno menjalin hubungan baik dan jatuh cinta pada gadis pemilik Angpau bernama Mei.

176 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Hubungan mereka kemudian mendapat mengalami gejolak saat keduanya telah menjadi sepasang kekasih. Gadis bernama Mei itu tenyata adalah anak dokter yang telah mengoperasi ayah Borno. Karena takut tentang masa lalunya Mei pun meninggalkan Borno. Ditengah gejolak hubungannya Borno juga masih sempat membantu temannya Andi menangani bengkel bapaknya. Dari menangani bengkel inilah Borno akhirnya mengerti tentang mesin. Dalam usahanya menjaga bengkel Borno bertemu dengan seorang dokter gigi yang ternyata adalah anak dari penerima jantung yang diberi ayah Borno. Keduanya kemudian menjalin persahabatan karena ternyata selama ini keluarga penerima jantung ingin sekali berterima kasih atas bantuan ayah Borno. Borno yang selama ini membantu Andi sahabatnya ditawari membuka bengkel bersama dengan ayah Andi. Untuk mendapat modal akhirnya Borno menjual sepit yang dimilikinya. Namun ternyata mereka mengalami penipuan yang menyebabkan bapak Andi mengalami stress. Borno yang tak mau putus asa akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan pelanggan bengkel. Sedikit demi sedikit mulailah bengkel tersebut mendapatkan banyak pelanggan. Dari usaha bengkel inilah Borno kemudian menjadi orang yang sukses. Ia pun meluruskan kesalahpahaman antara dirinya dan Mei. Diakhir cerita Borno melanjutkan sekolahnya ke Universitas dan membuka bengkel keduanya di jalan paling besar di Kota Pontianak. Namun ia tetap menjadi pengemudi sepit disela-sela kesibukannya.

3.2 Persamaan dan Perbedaan Aspek Intrinsiknya Dalam pengkajian interteks ini ditemukan adanya beberapa kemiripan antara novel Sebatang Kara dengan Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, yaitu dalam tema, plot., dan penokohan. Kemiripan tersebut secara umum sebagai berikut. 1. Persamaan a. Sama-sama memiliki ayah meninggal disaaat masih kecil. b. Bertemakan perjuangan dalam menggapai impian. c. Berusaha dalam membahagiakan ibunya. d. Berusaha untuk mendapat pekerjaan. e. Memiliki kehidupan yang miskin. f. Berwatak baik, jujur, dan suka menolong. g. Memiliki sahabat dan teman-teman yang selalu mendukung.. h. Memiliki wanita yang disukai. i. Awal cerita tentang masa kecil dan akhir cerita tentang kesuksesan tokoh utama.

2. Perbedaan No Novel Sebatang Kara Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah 1 Latar berada di daerah Eropa seperti Perancis, Latar berada ditepian Sungai Kapuas Kota Italia, dan Inggris. Pontianak, Kalimantan. 2 Tokoh mengalami perubahan kehidupan ketika Tokoh mengalami perubahan kehidupan ketika berumur 8 tahun. berumur 12 tahun. 3 Menggambarkan perjuangan hidup anak kecil Menggambarkan perjuangan seorang anak yang yang sebatang kara. masih memiliki ibu bersamanya. 4 Tokoh akhirnya menikah dengan wanita yang Tokoh tidak digambarkan menikah. disukainya. 5 Tokoh hidup bersama ibu angkat. Tokoh hidup bersama ibu kandung. 6 Tokoh mencari ibu kandungnya. Tokoh selalu bersama ibu kandungnya. 7 Lebih banyak menceritakan tentang kerasnya Penceritaan berkisah tentang pemuda yang perjuangan hidup menjadi seorang menghidupi dirinya dan ibunya serta kisah cinta pengembara cilik. yang penuh liku. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 177

SIMPULAN Novel Sebatang Kara dan Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah memiliki kesamaaan dalam tema yang menggambarkan perjuangan hidup anak manusia dalam menggapai impian. Disamping itu juga terdapat persamaan lain pada plot dan penokohan. Gambaran dari tokoh yang selalu tegar, baik, jujur, dan suka menolong serta gigih berjuang dalam hidupnya adalah hal yang ditonjolkan pada kedua novel ini. Meskipun kedua novel berbeda jauh dalam menggambarkan latar tempat karena pada dasarnya masing-masing pengarang hidup di benua yang berbeda dan waktu yang berbeda namun kesamaan tokoh yang mereka gambarkan sangat berkesan.

DAFTAR PUSTAKA Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. Liye, Tere. 2012. Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Malot, Hector. 2010. Sebatang Kara Terjemahan Nobody’s Boy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

178 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 179

PEMBELAJARAN CERPEN BERBASIS TEKS DALAM KURIKULUM 2013

Atikah Anindyarini Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS [email protected].

Abstract Indonesian language learning in the 2013 curriculum is text-based. With text-based learning, the student used language not only as the communicating vehicle, but also as a means of developing thinking skill. Text is an expression of human thinking containing situation and context completely within it. Text is established by language using situation context. Within it there is register or language variety underlying the text appearance. In text-based teaching and learning, there are four stages that should be passed through: context construction, text modeling, collectively text construction, and independently text construction. In short story material of the seventh graders, the activity of constructing context was conducted by posing general question about the theme “Indonesian short story”. The students’ answer is of course relatively dependent on their knowledge about such the theme. The text used for modeling text was entitled “Kupu-Kupu Ibu (Mother’s Butterfly)”. This modeling text was organized based on the structure of short story text. In organizing the text in group, the students were told to understand the form of short story text and linguistic element existing in modeling text. Meanwhile, in organizing the text independently, the students were told to compose the short story text according to their interest and preference. In composing such the text, the students were expected to apply the linguistic element learnt in text-based learning. The language should be considered as a text, not only as the set of words or linguistic rules.

Keywords: text-based, context construction, text modeling, collectively text construction, independently text construction.

PENDAHULUAN Ipteks saat ini merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Perjalanan sejarah serta pengalaman beberapa negara membuktikan bahwa inovasi teknologi merupakan salah satu aspek yang memiliki daya dorong yang sangat tinggi bagi daya saing suatu bangsa. Hal ini menunjukkan pergeseran yang besar dalam paradigma pembanguan suatu negara yang semula hanya mengandalkan sumber daya alam berubah menjadi mengandalkan sumber daya manusia dan sumber daya iptek sebagai tumpuan pembangunan suatu bangsa (Syamsuri, 2014). Saat ini bisa kita saksikan bukti pernyataan tersebut bahwa keberhasilan pembangunan suatu bangsa tidak semata- mata ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi justru yang penting yaitu adanya sumber daya manusia yang berkualitas dan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh suatu bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu variabel pendukungnya yaitu alat komunikasi berupa kemapanan dan kemantapan bahasa. Bahasa Indonesia dipandang mantap bila mampu memanfaatkan teknologi komunikasi modern untuk peningkatan dan mobilitas kapasitas sumber daya manusia (Putro 2012 dalam Syamsuri 2014). Substansi iptek dapat diadopsi dan disebarluaskan secara cepat melalui media bahasa khususnya yang mampu mengejawantahkan konsep-konsep ipteks. Oleh karena itu, bahasa Indonesia patut untuk diletakkan sebagai bahasa yang mampu menjadi penghela pengetahuan dan menjadi wahana ipteks. Dalam kurikulum 2013, bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Posisi penting ini disebabkan bahasa Indonesia dijadikan sebagai mata pelajaran penghela dan pembawa pengetahuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi 2003: 394), penghela diartikan sebagai “penarik”. Seperti dalam kalimat Ia menggunakan sapi sebagai penghela gerobaknya, berarti Ia menggunakan sapi sebagai penarik gerobaknya.

180 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Dalam konteks bahasa sebagai penghela pengetahuan, berarti bahasa dijadikan wahana untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran secara estetis dan logis. Agar mampu menggugah perasaan penerimanya, bahasa dituntut dapat mengekspresikan sesuatu dengan efisien serta menyampaikannya dengan indah. Selain itu, bahasa juga dituntut efisien dalam menyampaikan gagasan secara objektif dan logis supaya dapat diterima dengan mudah oleh penerimanya (Wahyuni, 2014).

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 dalam implementasinya menggunakan pendekatan berbasis teks. Dengan berbasis teks, siswa menggunakan bahasa tidak saja hanya dijadikan sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Menurut Wahyuni (2014), setiap teks memiliki strukturnya masing-masing. Struktur teks itu membentuk struktur berpikir, sehingga di setiap penguasaan jenis teks tertentu, siswa akan memiliki kemampuan berpikir sesuai dengan stuktur teks yang dikuasainya. Dengan berbagai macam teks yang dikusainya, siswa akan mampu menguasai berbagai struktur berpikir. Melalui cara ini, siswa dapat mengonstruksi ilmu pengetahuannya melalui kemampuan mengobservasi, mempertanyakan, mengasosiasikan, menganalisis, dan menyajikan hasil analisis secara memadai. Mahsun (2014) menjelaskan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia pada KTSP tidak berbasis teks. Padahal menurut Mahsun, pikiran yang lengkap yang disampaikan orang dalam bahasa itu hanya dalam bentuk teks. Lebih lanjut Mahsun menjelaskan bahwa teks tidak diartikan sebagai bentuk bahasa tulis seperti teks Pancasila, tetapi dapat berwujud teks tertulis maupun teks lisan. Teks adalah ungkapan pikiran manusia yang lengkap yang di dalamnya ada situasi dan konteksnya. Teks dibentuk oleh konteks situasi penggunaan bahasa yang di dalamnya ada register atau ragam bahasa yang melatarbelakangi lahirnya teks tersebut. Register itu meliputi apa pesan yang akan disampaikan, kepada siapa pesan itu disampaikan, dan dalam format bahasa seperti apa pesan itu disampaikan (Mahsun, 2014). Hal ini sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Wahyuni (2014) yang menyatakan bahwa teks memiliki dua unsur utama, yaitu konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi berkenaan dengan penggunaan bahasa yang melatarbelakangi lahirnya teks. Sementara konteks budaya disebut juga konteks sosial, merupakan masyarakat tutur yang menjadi tempat berbagai jenis teks tersebut diproduksi. Pembelajaran bahasa berbasis teks sering disebut sebagai pembelajaran bahasa berbasis genre. Genre merupakan sebuah proses interaksi sosial dan budaya yang melatarbelakangi terciptanya teks dengan berbagai jenis teks yang berbeda. Proses sosial ini berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai secara bertahap. Dalam hal ini, kata “sosial” berfungsi memperlihatkan bahwa genre digunakan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi yang dilakukan tersebut memiliki tujuan. Untuk dapat mencapai tujuan, diperlukan beberapa tahapan komunikasi (Wahyuni, 2014). Wahyuni (2014) menjelaskan bahwa pada pengajaran dan pembelajaran berbasis teks ini, terdapat empat tahap yang harus ditempuh: tahap pembangunan konteks; tahap pemodelan teks; tahap pembangunan teks secara bersama-sama; dan tahap pembangunan teks secara mandiri. Keempat tahap itu berlangsung secara siklus. Guru dapat memulai kegiatan belajar mengajar dari tahap manapun, meskipun pada umumnya setiap tahap itu ditempuh secara urut. Selain itu, apabila pada kegiatan belajar mengajar siswa mengalami kesulitan pada tahap tertentu, misalnya pembuatan teks secara bersama, guru boleh mengarahkan siswa untuk kembali kepada tahap pemodelan. Menurut Wahyuni (2014) Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis genre atau berbasis teks ini dilaksanakan dengan menerapkan beberapa prinsip. Pertama, bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan. Kedua, penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk kebahasan untuk mengungkapkan makna. Ketiga, bahasa Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 181 bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks, karena bentuk bahasa yang digunakan itu mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya. Keempat, bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia, dan cara berpikir itu direalisasikan melalui struktur teks. Pembelajaran teks sangat terikat struktur. Tidak hanya teks yang terstruktur, pembelajarannya juga terstruktur rapi dengan orientasi pada sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan (Maryanto, 2013). Keempat aspek tersebut dalam kurikulum 2013 dikenal dengan KI1, KI2,KI3, an KI4. Siswa diharapkan mempunyai kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan materi yang dipelajari. Struktur teks dapat diibaratkan struktur bangunan rumah. Rumah joglo tentu berbeda struktur dengan rumah gadang, perbedaannya lengkap dengan segala bentuk kegiatan sosial di setiap bangunan. Dalam kerangka itu, bangunan teks dilengkapi dengan kegiatan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara, serta apresiasi sastra (Maryanto,2013). Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia dalam praktiknya bisa mengintegrasikan beberapa keterampilan berbahasa juga apresiasi sastra. Konteks pembelajaran dibangun menurut situasi dan budaya yang dihadapi anak sehari-hari. Misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas rendah, anak Jawa lebih akrab dengan kata kuping daripada telinga, maka pemanfaatan kosakata daerah itu akan didahulukan untuk memahami dan memproduksi teks. Kosakata bahasa nasional yang dibakukan (kosakata baku) mulai dipilah dan dipilih di kelas tinggi (kelas, IV SD). Di kelas rendah, dengan pembelajaran teks, kehadiran bahasa Indonesia tidak akan mengagetkan atau menakutkan bagi anak (Maryanto, 2013). Menurut Maryanto (2013), pembelajaran teks membawa anak belajar sesuai dengan perkembangan mentalnya, menyelesaikan masalah kehidupan nyata dengan berpikir kritis. Masalah kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kehadiran teks. Untuk membuat minuman atau masakan, perlu digunakan teks arahan/prosedur. Untuk melaporkan hasil observasi terhadap lingkungan sekitar, teks laporan perlu disusun. Untuk mencari kompromi antarpihak bermasalah, teks negosiasi perlu dibuat. Untuk mengkritik pihak lain pun, teks anekdot perlu dihasilkan. Selain teks sastra nonnaratif, hadir pula teks cerita naratif dengan fungsi sosial berbeda. Perbedaan fungsi sosial tentu terdapat pada setiap jenis teks, baik genre sastra maupun nonsastra, yaitu genre faktual (teks laporan dan prosedural) dan genre tanggapan (teks transaksional dan ekspositori). Seperti yang dikemukakan oleh Wahyuni (2014) bahwa dalam teks terdapat sasaran atau partisipan yang dituju oleh pesan, pikiran, gagasan, dan ide tersebut, sehingga terbentuklah berbagai jenis teks. Teks tersebut antara lain teks dekripsi, laporan, prosedur, eksplanasi, eksposisi, diskusi, naratif, cerita ulang, anekdot, dan lain-lain. Pada konteks situasi-berkenaan dengan penggunaan bahasa, dalam lahirnya sebuah teks terdapat suatu hal yang hendak disampaikan, yaitu pesan, pikiran, gagasan, maupun ide.

PEMBELAJARAN CERPEN BERBASIS TEKS Semua pelajaran bahasa Indonesia mulai jenjang sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) berbasis teks. Di jenjang SD sebanyak 30 jenis teks, SMP 45 jenis teks, dan SMA 45 jenis teks. Menurut Mahsun (2014), ketika siswa sudah selesai mengetahui bagaimana susunan teks itu, maka selesailah pelajaran bahasa Indonesia. Secara garis besar, teks dapat dipilah atas teks sastra dan teks nonsastra. Teks sastra dikelompokkan ke dalam teks naratif dan nonnaratif. Adapun teks nonsastra dikelompokkan ke dalam teks jenis faktual yang di dalamnya terdapat subkelompok teks laporan dan prosedural, dan teks tanggapan yang dikelompokkan ke dalam subkelompok teks transaksional dan ekspositori (Zabadi dkk, 2013:3). Dalam makalah ini, pembahasan hanya difokuskan pada pembelajaran bahasa Indonesia di SMP kelas VII khususnya pada materi cerpen. Sebelum membicarakan cerpen, akan dijelaskan materi-

182 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

materi yang dipelajari siswa dalam matapelajaran bahasa Indonesia kelas VII. Pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SMP terdiri atas`delapan bab. Pada bab I diawali dengan materi yang berupa teks jenis laporan hasil observasi. Bab II berisi materi pembelajaran teks tanggapan teks deskriptif, Bab III dan IV berisi materi teks eksposisi, Bab V berisi materi teks eksplanasi, Bab VI berisi materi teks cerita pendek, Bab VII siswa diajak mengenali, mencermati, dan memahami berbagai jenis teks, dan pada Bab VIII siswa diajak menganalisis, meringkas, dan merevisi teks (Zabadi dkk, 2013:3). Metode pembelajaran yang digunakan dalam materi ini terdiri atas membangun konteks, pemodelan teks, membangun teks secara bersama-sama, dan membangun teks secara mandiri. Dalam Bab VI tentang materi cerita pendek, kegiatan membangun konteks dilakukan dengan memunculkan pertanyaan yang bersifat umum tentang tema “Cerita Pendek Indonesia”. Jawaban siswa tentunya bersifat relatif bergantung pada pengetahuan siswa tentang tema tersebut. Teks yang digunakan untuk teks pemodelan berjudul “Kupu-kupu Ibu”. Teks pemodelan ini disusun berdasarkan pada struktur teks cerita pendek. Dalam menyusun teks secara berkelompok, siswa diminta memahami bentuk teks cerita pendek dan unsur kebahasaan yang ada dalam teks pemodelan. Sementara itu, dalam penyusunan teks secara mandiri, siswa diminta menyusun teks cerita pendek sesuai dengan minat dan pilihannya. Dalam penyusunan teks tersebut, siswa diharapkan dapat menerapkan unsur kebahasaan yang sudah dipelajari. Secara singkat dan jelas pembelajaran materi cerita pendek berdasarkan tahap-tahap tersebut bisa dicermati berikut ini. Pembelajaran Materi Cerita Pendek Indonesia, Subtema 1 Cerita Pendek “Kupu-Kupu Ibu” (Zabadi dkk, 2013:55-57). NO MEMBANGUN KONTEKS 1 Sebelum pembelajaran dimulai, guru menjelaskan tema dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam materi Bab VI 2 Untuk membangun konteks tentang cerita pendek Indonesia, guru menjelaskan sejarah singkat tentang cerpen. Di samping itu, guru juga mengajak siswa membangun konteks pembelajaran dengan cara menampilkan atau membacakan sebuah cerpen.

NO PEMODELAN TEKS CERITA PENDEK INDONESIA 1 Pada Kegiatan 1 ini guru meminta siswa untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan teks dan memahami struktur teks cerpen "Kupu-Kupu Ibu". Untuk itu, guru meminta siswa mengerjakan Tugas 1, Tugas 2, dan Tugas 3. 2 Pada Tugas 1 guru membangun teks tentang Cerpen Indonesia dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut ini. 1. Pernahkah kamu membaca cerita pendek? 2. Dapatkah kamu mengatakan apa itu cerita pendek? 3. Apa sajakah yang kamu ketahui di dalam cerita pendek? 4. Bagaimanakah pengalamanmu ketika membaca cerita pendek? 5. Apakah kamu pernah mendengar cerita pendek ini dibacakan oleh orang tuamu? 6. Apakah yang kamu dapatkan setelah membaca cerita pendek? Guru juga meminta siswa untuk menjawab pertanyaan terkait cerpen “Kupu-Kupu Ibu”. Kemudian, guru meminta siswa untuk membaca cerpen itu di depan kelas. 3 Pada Tugas 2 ini guru meminta siswa mengenal dan memahami bentuk teks cerpen, susunan teks, paragraf dalam teks, kosakata, dan konjungsi yang digunakan dalam teks “Kupu-Kupu Ibu”. Selain itu, guru juga mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan isi teks tersebut. 4 Pada Tugas 3 guru meminta siswa memahami struktur teks cerpen dan unsur kebahasaan dalam cerpen “Kupu-Kupu Ibu”. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 183

NO PENYUSUNAN TEKS CERITA PENDEK SECARA BERKELOMPOK 1 Pada Kegiatan 2 ini guru meminta siswa untuk memahami teks cerpen secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 3—5 orang. Teks cerita pendek lain, selain teks model “Kupu-Kupu Ibu”, yang digunakan untuk model pembelajaran ini adalah “Bawang Merah Bawang Putih”. 2 Pada Tugas 1 guru meminta siswa melengkapi teks cerita pendek “Bawang Merah dan Bawang Putih” berdasarkan struktur teks cerita pendek yang telah dipelajari sebelumnya.

3 Pada Tugas 2 guru meminta siswa untuk menyusun teks cerita pendek dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Selain itu, guru juga meminta siswa menemukan teks lain yang sejenis dengan teks cerita pendek. 4 Pada Tugas 3 guru meminta siswa memahami unsur kebahasaan dan kesastraan dalam teks cerita pendek “Kisah Seekor Keledai”.

NO PENYUSUNAN TEKS CERITA PENDEK SECARA MANDIRI 1 Pada Kegiatan 3 guru meminta siswa untuk menulis teks cerpen secara mandiri. Untuk itu, guru meminta siswa mengerjakan beberapa tugas. 2 Pada Tugas 1 guru meminta siswa untuk mencermati dan mengidentifikasi struktur teks cerita pendek “Bayangan Diri” 3 Pada Tugas 2 guru meminta siswa untuk mencari dan meminta siswa menyusun teks cerita pendek dengan kata-kata sendiri. Selanjutnya, guru meminta siswa untuk membuat pokok pikiran tentang teks yang akan disusun.

4 Pada Tugas 3 guru meminta siswa mengerjakan unsur-unsur kebahasaan yang berhubungan dengan kalimat tunggal (simpleks), kalimat majemuk (kompleks), dan makna kata.

Dari pembelajaran materi cerpen tersebut bisa kita lihat bahwa ada empat tahap yang harus ditempuh siswa untuk menguasai Kompetensi Dasar (KD) tentang materi Cerita Pendek Indonesia. Keempat tahap tersebut, yaitu tahap pembangunan konteks; tahap pemodelan teks; tahap pembangunan teks secara bersama-sama; dan tahap pembangunan teks secara mandiri. Dalam pembelajaran berbasis teks, anak diperkenalkan dengan teks secara utuh, tidak berupa penggalan-penggalan. Dalam tahap membangun konteks, guru memperkenalkan cerpen dengan menampilkan atau membacakan sebuah cerpen. Pada tahap pemodelan teks cerpen, guru meminta siswa mengenal dan memahami bentuk teks cerpen, susunan teks, paragraf dalam teks, kosakata, dan konjungsi yang digunakan dalam teks cerpen. Selain itu, guru juga mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan isi teks tersebut. Selanjutnya guru meminta siswa memahami struktur teks cerpen dan unsur kebahasaan dalam teks cerpen. Pada tahap menyusun cerpen secara berkelompok, siswa memahami teks cerpen secara berkelompok, melengkapi teks cerpen yang lain, menyusun teks cerpen, serta menemukan teks yang lain yang sejenis dengan teks cerpen. Pada kegiatan menyusun teks secara mandiri, guru meminta siswa untuk menulis teks secara mandiri, mencermati dan mengidentifikasi struktur teks cerita pendek, siswa untuk membuat pokok pikiran tentang teks yang akan disusun. siswa mengerjakan unsur-unsur kebahasaan yang berhubungan dengan kalimat tunggal (simpleks), kalimat majemuk (kompleks), dan makna kata.

184 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

PENUTUP Pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 berbasis teks. Ini sebuah kemajuan dibandingkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada KTSP, teks tidak dijadikan sebagai basis. Biasanya, siswa disuruh mengembangkan paragraf dari kalimat utamanya atau siswa disuruh mencari kalimat utama dari sebuah paragraf. Selain itu, siswa biasanya juga disuruh menyusun paragraf berdasarkan kalimat utama yang sudah ditentukan oleh guru tanpa dijelaskan terlebih dahulu paragraf jenis apa yang akan disusun oleh siswa. Padahal, jika dilihat dari kelengkapan makna, pikiran, gagasan yang dikandung maka satuan bahasa yang berupa tekslah yang sepantasnya menjadi basis pembelajaran. Dengan pembelajaran berbasis teks, ketika siswa mempelajari materi cerpen mereka akan memahami secara menyeluruh tentang cerpen. Baik pemahaman tentang isi teks cerpen, mengenali struktur teks cerpen, kosakata, bentuk konjungsi, dan kalimat yang digunakan dalam teks. Selain itu, siswa juga mampu melengkapi cerpen, menyusun cerpen, serta menemukan teks cerpen yang sejenis. Dari tahap-tahap pembelajaran tentang cerpen di atas, maka bisa disimpulkan bahwa dalam pembelajaran berbasis teks, bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan. Dalam menyusun sebuah teks, siswa perlu menguasai tentang struktur sebuah teks dan unsur-unsur kebahasaan yang membangun sebuah teks.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Mahsun.2014. Pembelajaran Teks dan Kurikulum 2013. Http;//Kemdikbud.go.id/Kemdikbud/Artikel.Kurikulum.Mahsun. Maryanto.Kurikulum Struktur Teks. Http:// Edukasi.Kompas.com/read/2013/ Kurikulum.Struktur Teks. Diunduh 3 Mei 2014 Syamsuri, Andi Sukri. Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana Ipteks: Pembentukan Istilah sebagai Salahsatu Usaha Mewujudkannya. Http://Badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/kumpulan makalah KBIX.subtema1.0 Pdf. Diunduh 3 Mei 2014. Wahyuni, Dessy. 2014. Pembelajaran Teks dan Adaptasi Sosial. Http://m.radarbangka.co,id/rubrik/detail/perspektif/9741/pembelajaran teks dan adaptasi sosial.html. Diunduh 3 Mei 2014. Zabadi, dkk.2013. Buku Guru Bahasa Indonesia: Wahana Pengetahuan. Jakarta:Politeknik Negeri Media Kreatif.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 185

POLA KLAUSA, POSISI ISI BERITA, DAN VARIASI PENGEMBANGAN PENULISAN JUDUL BERITA

Atiqa Sabardila Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Jawa Tengah, Indonesia e-mai [email protected]

Abstract The study indicated that the national newspapers such as Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, and Republika have utilized creativity and productivity of language form through the use of various clause patterns for developing headline content. The various clause patterns are consistent to natural speech in daily conversation so that a language form in the newspapers can easily be red. A speech of news body can creatively be made for producing new headlines for developing knowledge of journalistic versions, particularly headlines. The speech of the body can be used for identifying a news source so that the news content may be proved whether it is factual or not.

Keywords: national newspaper, news body, headline

PENDAHULUAN Pada bagian ini akan dipaparkan hasil analisis tentang variasi klausa, rangkuman isi pesan, serta alternatif variasi judul pada judul-judul berita yang memiliki kesamaan topik. Dari koran yang dipilih secara acak minimal dua koran yang dianalisis berdasarkan variasi klausa, rangkuman isi pesan, dan alternatif variasi judul. Dengan minimal dua koran yang dianalisis, maka ketiga hal itu dapat diperbandingkan. Keseringan pola yang dipilih oleh penulis judul akan dapat menunjukkan ketegaran struktur dalam ragam penulisan judul berita. Variasi pola klausa juga menunjukkan kreativitas penulis judul dalam mengemas isi berita yang mempertimbangkan dengan banyak alasan. Dimungkinkan terjadi kesamaan pola klausa dan kesamaan pengisi unsur-unsurnya. Atau, dimungkinkan terjadi hanya memiliki kesamaan pola klausa, tetapi unsur-unsur pengisinya berlainan. Dengan rangkuman isi berita per koran yang memiliki kesamaan topik berita dapat dibandingkan kekompleksan isi berita yang disusun oleh masing-masing penulis. Kecuali itu, jika isi berita dibandingkan, maka akan dapat diidentifikasi kedalaman isi berita suatu koran. Tidak kalah penting dari rangkuman isi berita akan dapat dideskripsikan posisi tuturan penghasil judul berita. Selanjutnya, dari variasi judul hasil pembentukan dari rangkuman isi berita per koran yang diteliti (: JP, K, KT, MI, dan R) dapat dibuktikan bahwa penyusunan judul berita amat longgar. Setiap penyusun judul berita dapat memilih tuturan dari manapun yang disediakan dalam tubuh berita. Judul berita bukanlah struktur beku yang hanya dikembangkan dengan pola klausa tertentu. Ada alasan-alasan mengapa muncul variasi judul berita. Beberapa alasan di antaranya perbedaan konsenrtrasi penulis dalam memilih isi berita. Perbedaan lainnya adalah kepemilikan kompetensi kebahasaan (lingusitic competence) yang dimanifestasikan dalam keterampilan pilihan kata, pola klausa, penerapan gaya bahasa, atau lainnya. Perbedaan lainnya lagi ialah ideologi yang dikembangkan atau diusung oleh masing-masing koran yang dijadikan petunjuk pelaksanaan dalam pemberitaan, misalnya termasuk dalam penulisan judul. Karena pentingnya pembahasan mengenai variasi pola klausa, rangkuman isi pesan, dan variasi judul hipotetis yang dibentuk berdasarkan rangkuman isi berita di tubuh berita, maka pada bagian ini

186 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

disajikan analisis tentang judul dan isi berita yang didasarkan tiga hal tersebut, yakni variasi pola klausa, rangkuman isi pesan, dan variasi judul hipotetis. Analisis berikut disajikan dengan mengedepankan topik berita. Jika demikian, analisis diawali sajian pesan. Artikel ini bertujuan membuktikan keterkaitan antara judul dengan isi berita dengan membandingkan beberapa koran yang memiliki kesamaan topik. Perbandingan dilakukan dengan mendeskripsikan pola klausa, pengisi unsur pada klausa, dan isi pesan pada wacana berita. Kecuali itu, disajikan kreasi variasi judul hipotetis yang dihasilkan dari pemanfaatan isi berita pada masing- masing wacana yang diperbandingkan. Artikel ini memberikan kontribusi bagi pengembangan ragam jurnalistik, khususnya ragam klausa pada judul, penilaian tentang kualitas berita, serta fleksibilitas penyusunan judul berita. Secara praktis hasil penelitian ini mampu menunjukkan contoh tentang penulisan judul untuk materi pelatihan penulisan ragam jurnalistik.

METODE PENELITIAN Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik dokumentasi. Adapun teknik analisis data dilakukan dengan metode agih (distribution method) dengan teknik bagi unsur langsung. Adapun teknik lanjutannya berupa teknik padan referensial, khususnya untuk menggali isi pesan pada tubuh berita, teknik baca markah, khususnya untuk mengidentifikasi narasumber beserta hasil tuturan mereka, serta gabungan teknik paraafrasa, lesap, ganti, dan sisip, khususnya untuk menyusun variasi judul hipotetis bersumberkan isi berita pada tubuh berita. Adapun penyajian hasil analisis disampaikan dengan penyajian nonformal, yakni dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145).

HASIL DAN PEMBAHASAN a. Deskripsi Pola Klausa Kemunduran Gita Wirjawan sebagai Menteri Perdagangan ditanggapi beritanya oleh koran nasional, seperti Jawa Pos (JP), Kompas (K), Media Indonesia (MI) , dan Republika ®..

(1) ”Anggap Ikut Konvensi Lebih Mulia” (JP, 1/2/2014) ”Gita Mundur dari Menteri saat kasus Impor Beras Memanas”

”ETIKA PEJABAT” ”Gita Wirjawan Tinggalkan Kabinet” (K, 1/2/2014)

”Gita Telat Mundur” (MI, 1/2/2014)

”Tinggalkan Kabinet (R, 1/2/2014) Hal pertama yang dapat dilihat dari perbedaan itu berupa pola klausa. Koran JP memilih pola (S)PPEL; koran K memilih SPO; koran MI memilih pola SPPEL; dan koran R memilih pola (S)PO.

Tabel 1. Perbandingan Pola Klausa pada Wacana Berita Kemunduran Gita Wirjawan sebagai Kabinet

No. Koran Pola Klausa Deskripsi Konstituen Pengisi Fungsi 1 JP (S)PPEL ((S)); Anggap (P); Ikut Konvensi Lebih Mulia (PEL) 2 K SPO Gita Wirjawan (S); Tinggalkan (P); Kabinet (O) 3 MI SPPEL Gita (S); Telat (P); Mundur (PEL) 4 R (S)PO ((S)); Tinggalkan (P); Kabinet (O)

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 187

Hal kedua yang membedakan adalah hadir-tidaknya anak judul dalam wacana berita. Dua koran, yakni JP dan K, melengkapi anak judul dengan posisi yang berbeda. Anak judul di JP, ” ”Gita Mundur dari Menteri saat kasus Impor Beras Memanas” dimunculkan setelah judul, sedangkan anak judul di koran K, ”ETIKA PEJABAT” dimunculkan sebelum judul. Apakah kemunculan anak judul bisa sebagai benang merah yang dapat menciptakan kepaduan makna pada wacana tersebut? b. Identifikasi Posisi Isi Berita Hal ketiga yang membedakan adalah isi berita yang disajikan pada masing-masing tubuh berita. Dari isi berita ditunjukkan melalui ringkasan berikut. Dalam koran JP disajikan sekitar 17 isi berita. Mulai isi berita ke-7 hingga ke-10 diprioritaskan pada topik membanjirnya beras impor, sedangkan isi berita ke-11 hingga ke-17 tentang perbedaan sikap elite-elite di Partai Demokrat mengenai mundur- tidaknya mereka dari jabatan sebelumnya jika turut konvensi mencalonkan presiden.

Tabel 2. Perbandingan Isi Berita pada Tubuh pada Wacana Berita Kemunduran Gita Wirjawan sebagai Kabinet

No. Koran Isi Berita Deskripsi Narasumber 1 JP 1. Kemunduran Gita karena ingin lebih fokus 1. Gita W. mengikuti tahap konvensi capres; 2. Daniel S. 2. Kemunduran diri Gita sebagai kesadaran etis sebagai 3. Wakil Ketua calon presiden dan sebagai pejabat; Komisi IV DPR 3. Gita memantah bahwa kemundurannya terkait dengan 4. Sekjen PPP impor beras Vietnam; 5. Juru Bicara 4. Ada sistem yang mendudukkan permasalahan impor Partai beras; Demokrat 5. Rencana pengunduran Gita pernah ditolak Presiden (Ihsan Mojo) dua kali; 6. Dahlan Iskan 6. Kemunduran Gita belum disampaikan secara resmi 7. Marzuki Alie pada Staf Khusus Bidang Komunikasi Politik, Daniel Spraringga; 7. Wakil Ketua Komisi IV DPR, M. Romahurmuziy menilai kemunduran Gita tidak lepas dari carut-marut tata niaga perdagangan internasional, terutama membanjirnya produk impor ke tanah air; 8. Ada kasus penyamaran kode beras premium dan medium yang sejak tahun 2008 beras medium dilarang diimpor, kecuali dilakukan Bulog; 9. Beras medium telah membanjiri pasar; 10. Ada kongkalingkong dengan pihak swasta untuk mengimpor beras medium oleh Kemendag yang hal itu diduga sebagai upaya fund-raising pihak-pihak tertentu untuk kepentingan suksesi 2014 (Sekjen PPP); 11. Langkah mundur Gita dipahami Juru Bicara Partai Demokrat; 12. Ada keyakinan Ihsan Mojo tentang tidak terganggunya roda kabinet dengan kemunduran Gita;

188 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

No. Koran Isi Berita Deskripsi Narasumber 13. Selain Gita, Dahlan Iskan, Marzuki Alie, Ali Masykur Musa, Haryono Isman, dan Sinyo H.S. ikut bertarung dalam capres dari Partai Demokrat; 14. Dahlan dan Marzuki Alie menghargai langkah Gita; 15. Dahlan siap mundur jika diminta mundur SBY; 16. Marzuki menilai mundur-tidaknya pejabat yang mengikuti konvensi tergantung pada diri masing- masing; dan 17. Marzuki mengutamakan kerja sebagai ketua DPR. 2 K 1. Gita mundur dari Kabinet Indonesia Bersatu II 1. Gita W. karena fokus memenangi konvensi capres Partai 2. Dahlan Iskan Demokrat; 3. Marzuki 2. Gita ingin menghindari konflik kepentingan; 4. Rully C. 3. Langkah Gita seperti yang dilakukan Anies Baswedan 5. Dien S. dan Dino Patti Jalal; 4. Enam calon presiden dari Demokrat (: Dahlan Iskan, Marzuki Alie, Irman Gusman, Sinyo H.S., Ali Masykur Musa, Endriartono Sutarto, dan Pramono Edhie Wibowo) tidak merasakan adanya konflik kepentingan; 5. Dahlan, Irman, dan Marzuki tidak akan mundur dari jabatan mereka; 6. Marzuki dan Rully Charis mengapresiasi kemunduran Gita; 7. Rully Charis menyerahkan ke kesadaran masing- masing untuk persoalan tersebut; 8. Jawaban tentang mundurnya Gita, menurut Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, menunggu jawaban Presiden; 9. Gita diijinkan mundur setelah tugas sebagai tuan rumah WTO selesai; 10. Gita menjadi Ketua Umum Barisan Indonesia (Barindo) tahun 2013-2018 yang gigih mendukung pencalonan Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden 2014 yang saat itu perolehan suara hanya 7 persen; dan 11. Kemunduran Gita dikritik Ketua Umum Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, dan anggota DPR dari Golkar, Bambang Soesatyo. 3 MI 1. Gita mengundurkan diri sebagai menteri karena ingin 1. Gita W. konvensi capres Partai Demokrat; 2. Pengamat 2. Gita ingin mencurahkan energi dan waktu untuk politik dari UIN menyukseskan upaya itu; Syarif 3. Gita menghindari konflik kepentingan; Hidayatullah, 4. Pengunduran Gita dinilai terlambat dan telah Gun Gun kehilangan momentum karena dilakukan ketika Haryanto Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 189

No. Koran Isi Berita Deskripsi Narasumber konvensi berlangsung setengah jalan; 3. Hanta Yuda 5. Menurut pengamat politik dari UIN Syarif 4. Ketua Komisi Hidayatullah, Gun Gun Haryanto, publik akan VI DPR, bersimpati jika pengunduran diri sejak awal; Airlangga H. 6. Menurut Hanta Yuda, idealnya Gita mundur pada 15 5. Wakil Ketua September 2013 saat dimulai konvensi; Komisi IV DPR 7. Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartanto (bidang memahami pengunduran Gita, namun menyayangkan pertanian), dilakukan hanya beberapa hari sebelum keputusan di Firman S. Sidang Paripurna tentang RUU Perdagangan (7 6. Politikus Februari 2013); Golkar, 8. Wakil Ketua Komisi IV DPR (bidang pertanian), Bambang S. Firman Soebagyo menyayangkan kemunuduran Gita 7. Mantan di tengah belum beresnya kasus beras impor; Menko 9. Politikus Golkar, Bambang Soesatyo menuding Gita Perekonomian, lari dari tanggung jawab; Rizal Ramli 10. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli tidak 8. Wakil meragukan integritas Gita, tetapi tidak tegas Mendag, Bayu terhadap mafia perdagangan; dan K. 11. Wakil Mendag, Bayu Krisnamurthi menegaskan kemunduran Gita berkaitan dengan keinginannya konsen di konvensi. 4 R 1. Gita memilih meninggalkan posisi mendag karena 1. Gita W. khawatir terjadi konflik kepentingan; 2. Menko 2. Niat mundur disampaikan Gita sejak pertengahan Polhukum, 2013, namun masih ada tanggung jawab penting Djoko Suyanto selaku mendag dalam APEC dan WTO; 3. Wakil Ketua 3. Dari 11 peserta konvensi hanya Gita dan Dino yang DPR, Priyo Budi sudah mundur; Santoso 4. Menko Polhukum, Djoko Suyanto menilai tepat 4. Dahlan Iskan putusan Gita; 5. Direktur 5. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso menilai Eksekutif langkah Gita sudah terlambat -- Semestinya mundur Indonesia for sejak awal mendeklarasikan diri sebagai peserta Global Justice, konvensi; M. Riza 6. Langkah Gita lebih baik dari yang ikut konvensi, Damanik tetapi tak mundur; 6. Jimly 7. Dahlan Iskan mengaku salut kepada Gita yang Asshiddiqie memilih mundur; 8. Menurut Dahlan, ”Adalah hak seseorang untuk mundur atau tidak; 9. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, M. Riza Damanik, Gita melakukan cuci tangan; 10. Pertimbangan etik diragukan Reza, tetapi hanya pertimbangan elektoral; Secara etik, Gita telah disumpah untuk menjalankan tugas sebagai mendag;

190 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

No. Koran Isi Berita Deskripsi Narasumber 12. Jimly Asshiddiqie tidak mempermasalahkan mundurnya Gita karena perannya bisa dilimpahkan ke Kemenko Perekonomian; dan 13. Jimly mengatakan SBY tidak lagi sempat mengganti Gita karena umur pemerintahan sebentar.

Hal keempat yang teridentifikasi dari keempat koran tersebut adalah perbedaan narasumber. Berdasarkan tabel 2 juga dapat dibuktikan perbedaan isi berita dikarenakan perbedaan pernyataan dari narasumnber. Ada tujuh narasumber yang dihubungi JP, yakni (1) Gita Wirjawan, (2) Daniel S., (3) Wakil Ketua Komisi IV DPR, (4) Sekjen PPP, (5) Juru Bicara Partai Demokrat (Ihsan Mojo), (6) Dahlan Iskan, dan (7) Marzuki Alie. Narasumber yang dihubungi koran K ada 7 orang, yakni (1) Gita Wirjawan, (2) Dahlan Iskan, (3) Marzuki Alie, (4) Rully Charis, dan (4) Dien Syamsuddin. Narasumber yang dihubungi koran MI ada 8 orang, yakni (1) Gita Wirjawan, (2) Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Haryanto, (3) Hanta Yuda, (4) Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartarto, (5) Wakil Ketua Komisi IV DPR (bidang pertanian), Firman S., (6) Politikus Golkar, Bambang Soestyo, (7) Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, dan (8) Wakil Mendag, Bayu Kisnamurti. Identifikasi narasumber yang dihubungi wartawan menjadi penting manakala akan dipakai untuk melacak tuturan dalam judul. Apakah pilihan kata telat (: terlambat) pada judul di koran Mi berasal dari narasumber yang dihubungi wartawan atau berasal dari wartawan sendiri? Ternyata wartawan menyimpulkan pernyataan dari narasumber yang dihubungi. Jadi, opini telat mundur berasal dari mereka. Simpulan itu didasarkan dari .pernyataan-pernyataan yang disampaikan antara lain oleh pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Haryanto, Hanta Yuda, ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartanto, Wakil Ketua Komisi IV DPR (bidang pertanian), Firman Soebagyo, dan politikus Golkar, Bambang Soesatyo. Akan lebih jelas jika judul yang disusun oleh MI diparafrasakan menjadi semacam judul berikut “Gun Gun H, Anta Yuda, Airlangga, Firman S., dan Bambang S.: ”Gita Telat Mundur”. Untuk membuktikan bahwa simpulan telat berasal dari nara-narasumber tersebut ditunjukkan melalui kutipan berikut ini.

“Publik akan bersimpati jika ketika pejabat yang menjadi kontestan konvensi mengundurkan diri sejak awal, bukan ketika sudah berlangsung 3,5 bulan, “kritik pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto.” ... Pengamat politik Hanta Yuda mengatakan idealnya Gita mundur pada 15 September 2013, saat dimulainya proses konvensi jika beralasan konsentrasi kepada konvensi.” ‘Ketua Komisi VI DPR (mitra Kementerian Perdagangan) Airlangga Hartarto bisa memaklumi pengunduran dari Gita untuk menghindari konflik kepentingan. Namun, ia menyayangkan pengunduran diri itu dilakukan hanya beberapa hari sebelum pengambilan keputusan di sidang Paripurna DPR terkait dengan RUU Perdagangan...” “Wakil Ketua Komisi IV DPR (bidang pertanian) Firman Soebagyo menyayangkan pengunduran diri Gita di tengah belum beresnya kasus beras impor ilegal dari Vietnam yang masuk ke Indonesia. ...” “Politikus Golkar Bambang Soesatyo bahkan menuding Cita lari dari tanggung jawab ...”. (MI, 1/2/2014)

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 191

Adapun narasumber yang dihubungi koran Republika adalah (1) Gita W., (2) Menko Polhukum, Djoko Suyanto, (3) Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, (4) Dahlan Iskan, (5) Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, M. Riza Damanik, dan (6) Jimly Asshiddiqie. Hal kelima yang membedakan adalah munculnya isi berita tambahan pada masing-masing koran. Dari hasil perbandingan keempat koran itu (: Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia, dan Republika), khususnya tentang berita kemunduran Gita Wirjawan sebagai menteri, ada kesamaan keempat-empatnya. Seluruh wacana berita dilengkapi foto Gita Wirjawan. Foto Gita Wirjawan dalam koran Jawa Pos dapat menggantikan unsur Subjek yang dihilangkan. Foto Gita di koran K sebagai pelengkap, tidak menggantikan tuturan. Begitu pula di Media Indonesia, foto Gita sebagai pelengkap berita, tidak menggantikan tuturan. Akan tetapi, foto yang ditampilkan di koran Republika dapat menggantikan unsur Subjek yang dihilangkan. Dapatkah dikatakan bahwa koran Republika sudah mengefektifkan unsur gambar (; foto) dalam wacana berita sehingga tulisan lebih dapat diminimalisasi kemunculannya? Kepastian jawaban yang mengiyakan perlu pembuktian pada data- data berikutnya. Koran Jawa Pos mengikuti anggapan Gita Wirjawan bahwa mengikuti kongres lebih mulia (dibandingkan dengan tetap/bertahan di kabinet). Pemberitaan koran Jawa Pos tentang Gita Wirjawan tidak mempengaruhi pembaca, apalagi mundurnya Gita tersebut mendapatkan izin dari Presiden, bahkan langkah yang ditempuh Gita Wiryawan presiden nilai dapat dijadikan contoh bagi menteri lain-lainnya. Hanya pemilihan tuturan anggap ikut konvensi lebih mulia lebih merupakan opini dari penulis berita karena setelah dilacak isi berita pada tubuh berita tidak ditemukan pernyataan tentang itu. Isi berita yang peneliti identifikasi berupa keinginan Gita lebih fokus mengikuti tahap konvensi calon presiden, sebagai kesadaran etis selaku calon presiden dan pejabat, dan keikutsertaan dalam pertarungan calon presiden dari Partai Demokrat. Apakah lebih fokus bersinonim dengan lebih mulia? Pernyataan lebih mulia tampaknya tidak dapat ditentukan maknanya secara sepihak. Hal ini berbeda dengan lebih fokus yang sifatnya dapat subjektif. Kemuliaan adalah nilai yang universal. Bagi negarawan, mereka menjalankan tugas sesuai dengan sumpah yang diucapkan lebih mulia daripada kepentingan individu. Bila demikian, bertahan menjadi menteri hingga akhir jabatan lebih mulia daripada kepentingan lain, apalagi masih menyisakan persoalan penting yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Koran Kompas dan Republika lebih netral karena memilih kata meninggalkan kabinet. Koran Kompas dan Republika memiliki kesamaan dalam pilihan diksi, khususnya pengisi predikat-objek (: tinggalkan kabinet). Koran Media Indoensia memberi penilaian bahwa langkah mundur yang dilakukan Gita tergolong telat (: terlambat). Jadi, koran Media Indonesia memberikan penilaian negatif. Tidak demikian dengan koran Kompas dan Republika. Kedua koran itu lebih netral. Dalam kedua koran tersebut dipilih kata meninggalkan. Dengan menggali pernyataan-pernyataan dari narasumber dapat disimpulkan bahwa koran Media Indonesia mendasarkan simpulan dari nara-narasumber yang berhasil diwawancarai. Beberapa narasumber yang teridentifikasi dalam tubuh berita pengamat politik dari UIN Syarif, Gun Gun Haryanto, Hanta Yuda, Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartanto, dan Wakil Ketua Komisi IV DPR (bidang pertanian), Firman Soebagyo, dan Politikus Golkar, Bambang Soesatyo. Pernyataan-pernyataan mereka kembali peneliti kutip. ... ”Publik akan bersimpati jika ketika pejabat yang menjadi kontenstan konvensi mengundurkan diri sejak awal, bukan ketika sudah berlangsung 3,5 bulan,” kritik pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Haryanto. ... Pengamat politik Hanta Yuda mengatakan idealnya Gita mundur pada 15 September 2013 saat dimulainya proses konvensi jika berasalasan konsentrasi pada konvensi.

192 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Ketua Komisi VI DPR (mitra Kementerian Perdagangan), Airlangga Hartanto bisa memahami pengunduran diri Gita untuk menghindari konflik kepentingan. Namun, ia menyayangkan pengunduran diri itu dilakukan hanya beberapa hari sebelum pengambilan keputusan di Sidang Paripurna DPR terkait dengan RUU Perdagangan. Sidang Paripurna akan digelar 7 Pebruari. Wakil Ketua Umum Komisi IV DPR (bidang pertanian), Firman Soebagyo menyayangkan pengunduran diri Gita di tengah belum beresnya kasus bras impor ilegal dari Vietnam yang masuk ke Indonesia. ... Politikus Golkar, Bambang Soesatyo bahkan menuding Gita lari dari tanggung jawab. ... Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli menyatakan tak meragukan integritas Gita. ”Saya kenal Gita orang yang berintegritas. Namun, kelemahan dia ialah tidak berani tegas terhadap mafia perdagangan.”

Tujuan iklan adalah untuk memperkenalkan. Begitu pula tujuan judul itu untuk memperkenalkan isi berita. Dalam memperkenalkan isi berita ada beragam pengemasan. Ada isi berita yang satu atau beberapa unsur diperlihatkan penulis di bagian judul dan ada yang sengaja menyembunyikannya di bagian tubuh berita. c. Variasi Pengembangan Judul Berdasarkan variasi isi berita di koran Jawa Pos ditemukan sekitar 16 isi berita yang disajikan pada koran tersebut, selain judul ”Anggap Ikut Konvensi Lebih Mulia” (Jawa Pos, 1/2/2014). Keenam belas variasi isi berita tersebut juga berpotensi untuk menggantikan judul berita yang ditawarkan koran Jawa Pos itu. Berikut diketengahkan bentukan judul yang didasarkan penggalian isi berita pada tubuh berita di koran Jawa Pos tersebut.

(1) “Sebagai Kesadaran Etis” (2) “Tak Terkait Impor Beras” (3) “Ada Sistem yang Dudukkan Impor Beras” (4) “Dua Kali Ditolak Presiden” (5) ”Staf Presiden Tak Tahu Mundurnya Gita” (6) ”Carut-marut Tata Niaga Internasional” (7) ”Ada Penyamaran Kode Beras” (8) ”Beras Medium Banjiri Pasar (9) ”Kongkalikong dengan Swasta” (10) ”Jubir Partai Demokrat Pahami Langkah Gita” (12) ”Tak Ganggu Roda Kabinet” (11) ”Dahlan, Marzuki, Haryono, dan Sinyo H.S. Ramaikan Capres” (12) “Dahlan dan Marzuki Hargai Gita” (14) “Dahlan Siap Mundur jika Diminta SBY” (15) “Mundur-tidaknya Tergantung pada Individu” (16) ”Utamakan Ketua DPR”

Selanjutnya, isi berita yang terkandung dalam tubuh berita pada koran Kompas dapat dijadikan variasi judul yang berpotensi pula untuk menggantikan judul yang sesungguhnya yang ditawarkan koran Kompas (1/2/2014) Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 193

(1) ”Ingin Hindari Konflik Kepentingan” (2) ”Gita Ikuti Anies Baswedan dan Dino” (3) ”Enam Capres Demokrat Tak Rasakan Ada Konflik” (4) ”Tak Akan Mundur dari Jabatan” (5) ”Marzuki dan Charis Apresiasi Gita” (6) “Serahkan ke Pribadi” (7) “Tunggu Jawaban Presiden” (8) “Diijinkan usai WTO” (9) “Pernah Jadi Barindo” (10) “Dien Kritik Gita”

Melalui variasi judul baru yang dibentuk dengan memanfaatkan isi berita penulis berita sebenarnya dapat menyajikan hal yang berbeda, yakni yang mengandung kontroversial, seperti variasi judul hipotetik berikut ini.

(11 “Gita Mundur, Capres Lainnya dari Demokrat Bertahan” (12) “Presiden Restui; Dien Kritik Gita”

Dari hasil pelacakan isi berita di bagian tubuh berita, seperti yang disajikan pada tabel 2, berikut variasi judul yang dapat menggantikan judul yang disusun Media Indonesia.

(1) ”Ingin Konvensi Capres Demokrat” (2) ”Gita Hindari Konflik Kepentingan” (3) ”Kehilangan Momentum karena Konvensi Setengah Jalan” (4) ”Gun Gun Haryanto: ”Bersimpati jika Mndur sejak Awal; (5) ”Hanta Yuda: ”Idealnya Gita Mundur saat Mulai Konvensi” (6) ”Airlangga: ”Sayangkan Mundur sebelum RUU Perdagangan” (7) ”Firman: ”Sayangkan Mundur sebelum Kasus Beras Beres” (8) ”Bambang Soesatyo: ”Mundur Lari dari Tanggung Jawab” (9) ”Rizal Ramli: ”Tak Ragukan Integritas Gita, tapi Tak Tegas” (10) ”Bayu Krisnamurthi: ”Gita Ingin Konsen di Konvensi”.

Adapun dari hasil penggalian isi berita di bagian tubuh pada Republika dapat dibentuk judul- judul semacam berikut.

(1) “Gita Khawatirkan Konflik Kepentingan” (2) “Masih Ada Tanggung Jawab APEC dan WTO” (3) “Dari 11 Baru Gita dan Dino” (4) “Djoko Suyanto: “Putusan Gita Tepat” (5) ”Priyo: Gita Terlambat” (6) “Priyo: “Lebih baik daripada Tak Mundur” (7) “Dahlan: “Salut Pilihan Gita” (8) “Dahlan: “Mundur-Tidak Hak Seseorang” (9) ”Reza: ”Gita Cuci Tangan” (10) ”Reza: ”Gita Disumpah sebagai Mendag” (11) ”Jimly: ”Peran Mendag Bisa Dilimpahkan” (12) ”Gita Tak Sempat Diganti”

194 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Gaya langsung dengan menyertakan narasumber, seperti terlihat pada contoh (4) hingga (11) lebih dapat dipertanggungjawabkan kepada pembaca. Jika narasumber tidak dimunculkan, akan diduga bahwa pernyataan yang ditulis pada judul adalah hasil opini penulis berita. Padahal, manakala opini yang dimunculkan, penulis dinilai melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik yang dilanggar adalah Pasal 3 ayat 3 yang bunyi redaksinya demikian ”Di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini) sehingga tidak mencampuradukkan fakta dan opini tersebut”. Jurnalis masih menggunakan ketokohan untuk memprioritaskan penyajian judul berita. Akibatnya, isi berita yang sebenarnya bisa menjadi alternatif pemberitaan kurang menjadi perhatian mereka. Isi berita yang ditemukan pada tubuh berita yang kurang menjadi perhatian mereka, peneliti munculkan dalam variasi judul berita. Mendeskripsikan isi pesan pada tubuh berita memberikan kontribusi bagi analisis tentang kedalaman isi pesan, heterogenitas narasumber, serta teknik pengumpulan berita. Jika penulisan isi pesan diurutkan seperti penyampaian penulis berita ketika menyajikan berita, maka posisi tuturan calon judul dapat diidentifikasi secara jelas. Para penulis berita dalam memilih isi pesan untuk judul berita cenderung ke pemilihan topik umum. Bagian awal paparan, teras berita, masih menjadi perhatian untuk penciptaan judul. Jadi, penelitian ini membuktikan bahwa teras berita – alinea awal pada wacana berita -- masih menjadi perhatian utama penulis judul. Isi pesan spesifik yang merupakan paparan lanjutan kurang menjadi perhatian. Isi berita yang spesifik ini disimpan pada bagian tubuh berita. Koran yang memberi porsi besar pada anak judul akan menampilkan isi berita yang spesifik tersebut. Misalnya ialah Jawa Pos. Dimunculkannya variasi ini sekaligus untuk membuktikan bahwa judul berita dapat dikembangkan secara produktif dan kreatif melalui proses delesi, ekspansi, substitusi, permutasi, penggabungan, parafrasa, atau penggabungan dari proses-proses itu. Variasi judul yang dibentuk dari rangkuman isi pesan pada tubuh berita memberikan bukti bahwa ada alternatif judul untuk menggantikan judul yang disusun oleh penulis berita. Alternatif judul tersebut memungkinkan akan muncul jika berita itu diberitakan secara berkelanjutan. Masing- masing judul memiliki karakteristik yang dapat digali alasan yang melatarbelakanginya. Karena koran bukan satu-satunya informasi yang masuk ke diri pelanggan koran tersebut dan mereka juga mendapatkan suplemen informasi dari media lain, yakni seperti dari berbagai stasiun televisi, maka variasi judul hipotetik yang digali dari keseluruhan isi pesan pada berita dapat menjadi tawaran menyajikan judul yang isinya mendalam. Hal-hal yang umum sudah mereka ketahui melalui informasi yang diberitakan media lain. Selanjutnya, hal-hal yang spesifik yang tidak disampaikan oleh media lain diwadahi koran, termasuk isi pesan yang mendalam

SIMPULAN Penelitian ini membuktikan bahwa topik berita yang sama yang disampaikan pada koran yang berbeda akan dihasilkan pola klausa yang bisa sama dan bisa berbeda. Jika pola klausanya sama, dapat saja pengisinya yang berbeda. Topik berita dikembangkan oleh penulis berita. Adanya perbedaan kedalaman isi berita dapat menjadikan judul bisa berbeda. Selain itu, adanya heterogenitas narasumber serta teknik pengumpulan berita menjadikan judul juga bisa berbeda. Adanya perbedaan gaya penyajian juga dapat menjadikan judul berbeda. Ideologi yang melatarbelakangi media juga memunculkan judul yang berbeda. Ideologi ini dapat diwujudkan dalam pilihan kata. Di samping karena ideologi, perbedaan sajian dapat dikarena perbedaan cara penyajian, seperti koran tertentu mengembangkan tulisan dengan ragam baku dan yang lainnya mengembangkan ragam informal. Pilihan itu mewarnai kalimat atau klausa yang mereka deretkan hingga akhir wacana berita. Tak kalah penting pengetahuan individu yang dimiliki jurnalis terhadap narasumber akan mewarnai tulisannya. Penguasaan tentang pilihan kata tidak kalah pentingnya dengan penyebab-penyebab yang sudah disebutkan di muka. Tuturan di tubuh berita dapat Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 195 dipotensikan untuk pembentukan judul-judul baru yang menggantikan judul yang sudah ada. Inilah karakter judul berita yang lebih longgar jika dibandingkan dengan judul dalam wacana ragam ilmu.

DAFTAR PUSTAKA Jawa Pos. 2014. ”Anggap Ikut Konvensi Lebih Mulia”. 1 Februari 2014. Kompas. 2014. ”Gita Wirjawan Tinggalkan Kabinet”. 1 Februari 2014. Media Indonesia. 2014. ”Gita Telat Mundur”. 1 Februari 2014. Republika. 2014. ”Tinggalkan Kabinet. “ 1 Februari 2014. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Yurnaldi (ed.). 1992. Jurnalistik Siap Pakai. Padang: Angkasa Raya.

196 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 197

KOMPONEN MAKNA PEMBENTUK MEDAN LEKSIKAL VERBA BAHASA INDONESIA YANG BERCIRI (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA)

Bakdal Ginanjar Universitas Sebelas Maret [email protected]

Abstract The lexical domain of the Indonesia verb with general features (+ACTION +HEAD +HUMAN) is composed of a number of lexemes of Indonesian verbs which have collective general semantic features but at the same time have the distinct semantic features. Therefore, a semantic analysis is required as to revcal it so that the external language phenomena of the Indonesian verbs are known from the semantics point of view. The aim of this research is to explain the semantic features contained in the lexemes which from the lexical domain of the Indonesian verbs with general features (+ACTION +HEAD +HUMAN). The result of the research show that the number of the lexemes which form the lexical domain of Indonesia verbs with general features (+ACTION +HEAD +HUMAN) is 30. The number of the semantic features contained in the lexemes which from the lexical domain of Indonesia verbs with general features (+ACTION +HEAD +HUMAN) is 37. They are divided into 10 meaning dimensions.

Keywords: lexical domain, semantic feature, Indonesian verbs

PENDAHULUAN Dalam bahasa Indonesia (BI), terdapat sejumlah verba (V) yang berciri semantik umum: TINDAKAN, KEPALA, MANUSIA, seperti contoh berikut. angguk ‘menggerakkan kepala ke bawah (memberi hormat, mengiakan)’ (KBBI: 48) jedot ‘mengantukkan kepala kepada sesuatu (seperti pintu, tembok, dan pohon)’ (KBBI: 464) panguk ‘mengangkat kepala sedikit’ (KBBI: 824) takur ‘menundukkan kepala’ (KBBI: 1125) sundul ‘menundukkan kepala untuk menumbuk benda yang ada di atasnya’ (KBBI: 1104) Leksem-leksem di atas disatukan dalam sebuah medan leksikal (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA) karena mengandungi komponen makna bersama. Di samping itu, leksem-leksem tersebut mengandungi komponen makna pembeda. Untuk itu, diperlukan analisis komponensial untuk menguak komponen makna yang dimaksud. Pengkajian terhadap verba dalam kerangka semantik ini didasarkan atas sifat kesentralannya dalam bahasa dibandingkan nomina (N) dan adjektiva (A) yang bersifat periferal/pinggiran. Oleh karena itu, V memiliki frekuensi pemakaian yang paling tinggi dalam praktik kebahasaan pada semua bahasa. Dalam pada itu, pokok masalah yang dibahas adalah komponen makna yang terkandung dalam medan leskikal (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA). Situasi studi medan leksikal BI boleh dikatakan masih dalam taraf dini karena masih langkanya karya ilmiah yang berisi pembahasan tentang topik tersebut (lihat Wedhawati, 2005: 99).

Medan Leksikal dan Analisis Komponen Kreidler (1998: 87) mengatakan bahwa “…a lexeme by telling set it belongs to and how it differs from other members of the same set”. Secara tegas, dinyatakan bahwa leksem yang termasuk dalam sebuah medan memiliki komponen makna bersama sebagai pembentuk satuan medan serta membedakan dari medan yang lain dan memiliki komponen makna pembeda untuk dapat dijadikan pembeda antarleksem yang tercakup dalam sebuah medan. Untuk mengidentifikasi komponen makna dalam sebuah medan leksikal, diperlukan analisis komponensial. Kempson (1995: 75) mengemukakan bahwa leksem-leksem dalam analisis komponen dianggap tidak mempunyai makna

198 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

keutuhan, tetapi merupakan kumpulan komponen-komponen arti. Dengan demikian, arti leksikal sebuah leksem dapat diurai fitur-fitur/ ciri-ciri/ komponen-komponen arti yang membangunnya. Komponen makna yang berakumulasi membentuk satuan makna leksem dalam sebuah medan leksikal digolongkan menjadi tiga tipe (Nida, 1975: 32--67): (1) komponen bersama (common component), (2) komponen diagnostik (diagnostic component), dan (3) komponen suplemen (supplement component). Komponen bersama adalah komponen makna yang terkandung bersama dalam semua satuan leksikal dan berfungsi membentuk medan leksikal. Komponen diagnostik adalah komponen makna yang membedakan medan leksikal satu dari medan leksikal yang lain. Komponen suplemen adalah komponen makna yang keberadaannya disebabkan oleh perluasan makna leksem. Komponen ini dikelompokkan dalam dua tipe: (1) Komponen yang diturunkan dari sifat atau ciri referen yang bersangkutan; (2) Komponen yang diturunkan dari ciri pemakaian leksem. Subroto (1991: 61; 2011: 103) memberikan satu jenis komponen makna yang dinamakan komponen makna unik. Hal ini dicontohkan dalam medan leksikal (+BENDA +KARYA MANUSIA +TRANSPORTASI). Misalnya, kereta api mengandungi komponen makna unik (+JALUR KHUSUS) yang tidak dimiliki leksem mobil, taksi, dan truk. Menggunakan lima macam notasi untuk menandai reaksi semantik komponen makna temuan dalam hubungannya dengan leksem pembentuk medan leksikal (lihat Wedhawati, 2002: 43—44; Riemer, 2010: 156—159)). (1) Reaksi semantik positif (+) untuk menandai komponen makna yang relevan/berfungsi membentuk arti leksem. (2) Reaksi semantik negatif (-) menunjukkan komponen makna tidak ada/tidak berfungsi dalam membentuk leksem. (3) Reaksi semantik netral (o) untuk menandai komponen yang tidak berfungsi pada tataran sistem, tetapi berfungsi pada tataran ujaran. (4) reaksi semantik positif/negatif (+/-) untuk menandai kemungkinan kehadiran komponen tertentu atau kemungkinan penegasian kehadiran komponen makna tertentu. (5) Reaksi takbernilai (*) untuk menandai penolakan kehadiran komponen makna tertentu baik pada tataran sistem maupun pada tataran ujaran. Tipe arti yang diperikan termasuk ke dalam tipe arti konsep atau tipe arti logis. Tipe arti ini memiliki beberapa ciri: denotatif atau satu banding satu, kognitif, logis, tetap/ajek (tidak mudah berubah secara konsep), mengatasi dialek-dialek, taksituasional, taktemporal, dan bebas konteks (Leech, 2003: 19; Subroto, 2011: 45-46).

METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong kualitatif deskriptif. Data penelitian disediakan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Data berwujud leksem verba BI yang berciri (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA). Kalimat diagnostik, yakni manusia menggunakan kepalanya untuk (-), digunakan untuk mengetes leksem verba temuan yang diasumsikan membentuk medan leksikal. Leksem yang dapat mengisi tempat (-) dalam kalimat itu ditetapkan sebagai salah satu leksem pembentuk medan leksikal. Komponen dan dimensi makna diidentifikasi berdasarkan arti leksikal leksem dengan teknik trial and error (mencoba-coba dan salah). Reaksi semantis antara leksem dengan komponen makna temuan dites dengan kalimat berunsur tetapi (but-test) (Cruse, 1986: 16--17). Interaksi antara komponen temuan dengan leksem menimbulkan berbagai reaksi semantik yang kontras dalam kaitannya dengan anggota medan leksikal lainnya.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Leksem BI yang berciri (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA) terdapat sebanyak 30 buah sebagaimana diuraikan pada tabel di bawah ini.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 199

Tabel 1. Leksem BI yang berciri (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA)

LEKSEM ARTI LEKSIKAL Angguk Menggerakkan kepala ke bawah (memberi hormat, mengiyakan, tanda setuju) Anggut Mengangguk Cangak Mengulurkan kepala atau mengangkat muka untuk melihat Codak Mengangkat leher (kepala) ke atas dan ke depan Congak Mengangkat muka (kepala ke atas) Cugat Mengangkat (mendongakkan) kepala Dongak Terangkat sedikit ke atas dan ke muka (tt kepala, ujung meriam, dsb) Geleng Menggoyangkan kepala ke kiri kanan (menyatakan heran, tidak mau, tidak tahu, tidak mengerti) Jedot Mengantukkan kepala kepada sesuatu (seperti pintu,tembok, dan pohon) Jelangak Mendongak Jengit Bergerak-gerak turun naik atau maju mundur (tt ujung ekor, kepala, dsb)

Jerungkung Membungkukkan badan/menundukkan kepala seperti ketika hendak melewati pintu yang rendah

Kedik Melentikkan (badan atau kepala) ke belakang sehingga dada agak terangkat Lengak Mendongak, mencongak Lenggak Mengangkat kepala agar mukanya menengadah; mendongak Lengos Memalingkan muka (tidak sudi melihat dsb); membuang muka Lenggut Bergerak mengangguk (karena mengantuk) Tengadah Melihat-lihat ke atas; menghadapkan muka ke atas ; mengangkat kepala (tidak menunduk) Anggul Menaikkan (mengangkat kepala) Jenguk Menjulurkan kepala (ke luar, ke bawah, dsb.) Panguk Mengangkat kepala sedikit Sundak Menyundul; membenturkan Sundul Menundukkan kepala untuk menumbuk benda yang ada di atasnya; menangkis bola dengan kepala Sungkuk Menunduk-nunduk (membungkuk-bungkuk) Sungkur Menundukkan kepala rendah-rendah (hampir sampai ke tanah) Takur Menundukkan (kepala); menghadapkan wajah ke bawah Tekur Menunduk; melihat ke bawah sambil memikirkan sesuatu Teleng Miring ke sebelah (tt kepala, topi, telinga) temungkul Menunduk (dalam berdoa, menghadap orang tua) Tunduk Condong ke depan dan ke bawah (kepala atau muka)

Berdasarkan komponen makna yang terkandung oleh setiap leksem, ditemukan 34 komponen makna. Selanjutnya, komponen makna tersebut dikelompokkan menjadi 10 kelompok. Setiap kelompok berada di bawah sebuah penggolong atau dimensi makna. Kesepuluh dimensi itu terdiri atas MAUJUD, ARAH, OBJEK, MOTIVASI, PENYEBAB, LATAR, INTENSITAS, POSISI BADAN, POSISI SASARAN, dan KONSEKUENSI.

200 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Dimensi MAUJUD adalah unsur-unsur substansi dari tindakan yang dilakukan manusia dengan kepalanya. Dimensi MAUJUD memayungi komponen TINDAKAN, KEPALA, MANUSIA, SENGAJA, dan LATAR. Dimensi ARAH adalah posisi ke mana kepala menghadap. Dimensi ARAH memayungi komponen ATAS, BAWAH, DEPAN, BELAKANG, dan SAMPING. Dimensi OBJEK adalah sesuatu yang dituju atas tindakan yang dilakukan dengan kepala. Dimensi ini memayungi komponen MITRA dan SASARAN. Dimensi MOTIVASI adalah dorongan yang timbul pada seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan tindakan dengan kepalanya. Dimensi ini memayungi komponen BERNAPAS, MENGHORMAT, MENYETUJUI, MENGERTI, HERAN, MELIHAT, BERDOA, MENANTANG, SENANG, MENUMBUK, TAKUT, BERPIKIR, dan MENGHINDAR. Dimensi PENYEBAB merupakan faktor atau suatu hal yang membuat manusia melakukan tindakan dengan kepalanya. Dimensi ini memayungi komponen MENGATUK. Dimensi LATAR adalah ruang atau waktu terjadinya tindakan dengan kepala. Dimensi ini memayungi komponen BERENANG, DALAM AIR, DI ATAS KUDA, MENGHADAP ORANG TUA, dan BAWAH PINTU. Dimensi INTENSITAS adalah keadaan gerakan kepala atau kadar gerakan kepala dari posisi awal sebelum bertindak. Dimensi ini memayungi komponen BANYAK dan SEDIKIT. Dimensi POSISI BADAN adalah keberadaan badan saat tindakan dengan kepala dilakukan. Dimensi ini memayungi komponen MEMBUNGKUK. Dimensi KONSEKUENSI adalah akibat yang didapatkan seseorang setelah melakukan tindakan dengan kepalanya. Dimensi ini memayungi komponen SAKIT. Terakhir adalah dimensi POSISI SASARAN yang menunjuk posisi sebuah sasaran yang dikenai suatu tindakan yang dilakukan dengan kepala. Dimensi ini memayungi komponen BERGERAK dan STATIS. Dalam dimensi makna MAUJUD terisi sejumlah komponen makna, yakni TINDAKAN, KEPALA, dan MANUSIA yang dimiliki oleh seluruh leksem. Sementara itu, komponen makna SENGAJA membedakan cukup jelas di antara seperangkat leksem sehingga merupakan komponen yang cukup signifikan. Komponen ini bereaksi (+) terhadap leksem codak, cugat, jerungkung, tengadah, temungkul, angguk, anggut, anggul, lengos, geleng, jedot, tunduk, takur, dongak, congak, jelangak, lengak, lenggak, cangak, jenguk, sundul, sundak, dan tekur. Hal ini dibedakan dengan reaksi (+/- SENGAJA). Komponen makna MOTIVASI membedakan reaksi tersebut. Leksem yang bereaksi (+SENGAJA) mengandung MOTIVASI tertentu. Sebaliknya, reaksi (+/-SENGAJA) terkandung dalam leksem yang tidak mengandung MOTIVASI tertentu sebagaimana terealisasi dalam leksem kedik, sungkuk, jengit, panguk, sungkur, dan teleng. Di samping reaksi tersebut, komponen makna SENGAJA bereaksi semantis (-SENGAJA). Hal ini terkandung dalam satu-satunya leksem pembentuk medan leksikal ini, yakni lenggut. Tindakan ini secara tidak sengaja terjadi karena si pelaku sedang mengantuk. Komponen makna LATAR seperti terlihat dalam tabel juga berperan cukup siginifikan dalam membedakan antaleksem. Komponen ini berhubungan dengan perlu atau tidaknya latar tertentu untuk melakukan sebuah tindakan. Reaksi semantik yang terbentuk mencakupi (+LATAR) dan (- LATAR). Leksem kedik, misalnya, terjadi ketika pelaku menunggang kuda. Leksem temungkul mengandung reaksi yang serupa. Dimensi makna ARAH terejawantahkan menjadi ATAS, BAWAH, DEPAN, BELAKANG, dan SAMPING. Beberapa leksem bereaksi (+) terhadap lebih dari komponen makna tersebut. Leksem codak, misalnya, bereaksi (+) terhadap komponen makna ATAS dan DEPAN. Demikian pula, leksem jengit bereaksi (+) terhadap ATAS, BAWAH, DEPAN, dan BELAKANG. Leksem yang lain bereaksi (+) terhadap salah satu komponen makna. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 201

Reaksi (+ATAS) terkandung dalam leksem jengit, panguk, codak, cugat, jerungkung, tengadah, anggul, dongak, congak, jelangak, lengak, lenggak, cangak, sundul, dan sundak. Arah kepala hanya mengarah ke atas. Berlawanan dengan leksem tersebut, reaksi (+BAWAH) terdapat dalam lenggut, sungkuk, jengit, sungkur, jerungkung, temungkul, angguk, anggut, tunduk, takur, jenguk, dan tekur. Leksem yang bereaksi (+DEPAN) terjadi pada codak, jedot, dan cangak. Leksem yang mengarahkan kepalanya ke belakang atau bereaksi (+BELAKANG) terkandung hanya dalam kedik. Reaksi (+SAMPING) dapat mengarah ke kanan atau kiri dari kepala si pelaku. Leksem yang mengandung rekasi tersebut adalah teleng, lengos, dan geleng. Komponen makna selanjutnya adalah MITRA dan SASARAN yang tercakup dalam dimensi OBJEK. Komponen MITRA yang dimaksud adalah seseorang yang harus hadir ketika sebuah tindakan dilakukan oleh pelaku. Reaksi semantik yang terbentuk menjadi tiga. Pertama, reaksi (+MITRA) terkandung dalam tengadah, temungkul, angguk, anggut, anggul, lengos, dan geleng. Di sisi lain, komponen ini bereaksi (*MITRA) atau tidak berfungsi pada tataran sistem maupun ujaran. Reaksi kesua ini terjadi pada leksem codak, cugat, jerungkung, sundul, sundak, dan tekur. Terakhir, komponen ini berfungsi dalam tataran ujaran atau bereaksi (oMITRA) yang terkandung dalam leksem jedot, tunduk, takur, dongak, congak, jelangak, lengak, lenggak, cangak, dan jenguk. Komponen makna SASARAN ialah benda mati yang dituju atau menjadi sasaran bagi tindakan yang dilakukan dengan kepala manusia. Leksem sundul, sundak, dan tekur memiliki sasaran tertentu atau bereaksi (+SASARAN). Berlawanan dengan leksem codak, cugat, jerungkung, tengadah, temungkul, angguk, anggut, anggul, lengos, dan geleng yang tidak menghendaki adanya SASARAN atau (*SASARAN). Komponen ini berfungsi pada tataran ujaran semata dalam leksem jedot, tunduk, takur, dongak, congak, jelangak, lengak, lenggak, cangak, dan jenguk. Dalam dimensi MOTIVASI, dibedakan atas beberapa komponen makna. Motivasi BERNAPAS terkandung dalam leksem codak dan cugat. Motivasi MENGHINDAR terkandung dalam leksem jerungkung. Motivasi MENGHORMAT terdapat pada leksem temungkul, angguk, dan anggut. Motivasi MELIHAT terkandung dalam leksem tengadah, cangak, dan jenguk. Motivasi BERDOA hanya dimiliki leksem TENGADAH. Motivasi MENYETUJUI dimiliki leksem angguk dan anggut. Sebaliknya, leksem geleng menolak komponen MENYETUJUI tersebut. Motivasi MENGERTI terkandung dalam leksem angguk dan anggut yang berlawanan dengan leksem geleng yang bereaksi (-MENGERTI). Motivasi HERAN dimiliki oleh lekem geleng. Motivasi MENANTANG berfungsi dalam tataran ujaran pada leksem anggul. Motivasi yang menyatakan (-SENANG) hanya terdapat pada leksem lengos. Motivasi MENUMBUK dimiliki oleh leksem jedot, sundul, dan sundak. Motivasi terakhir adalah TAKUT yang dimiliki oleh leksem tunduk dan takur yang berfungsi dalam tataran ujaran atau bereaksi (oTAKUT). Komponen makna MENGANTUK menjadi satu-satunya komponen yang menyatakan penyebab terjadinya tindakan dengan kepala. Hal ini dapat dilihat pada leksem lenggut yang menjadikannya sebagai satu-satunya leksem yang realisasinya dalam dunia nyata dilakukan secara tidak sengaja. Komponen LATAR dibedakan atas komponen DI ATAS KUDA yang hanya terdapat dalam leksem kedik. Selanjutnya, komponen BERENANG pun hanya terjadi dalam leksem codak. Komponen DALAM AIR termuat dalam leksem codak dan cugat. Latar BAWAH PINTU terletak pada leksem jerungkung. Sementara itu, leksem temungkul menjadi leksem yang mengandung komponen MENGHADAP ORANG TUA. Komponen SEDIKIT dan BANYAK berkaitan dengan bagaimana gerakan kepala dari posisi awal atau seberapa jauh pindah dari posisi semula. Komponen SEDIKIT dikandung dalam leksem panguk, sedangkan komponen BANYAK terkandung dalam sungkur. Komponen makna selanjutnya adalah MEMBUNGKUK. Komponen ini mengutarakan bagaimana posisi badan pelaku yang ikut terpengaruh atas gerakan kepala yang dilakukan. Posisi MEMBUNGKUK merupakan satu-satunya posisi badan yang dikandung dalam medan ini dan bereaksi positif (+) pada leksem sungkuk dan sungkur.

202 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Selain POSISI BADAN, komponen berikutnya adalah POSISI SASARAN. Hal ini terkandung khusus pada leksem tertentu yang memiliki SASARAN. Posisi sasaran pada leksem sundul adalah BERGERAK, sedangkan pada sundak adalah STATIS. Komponen makna terakhir adalah SAKIT. Komponen ini dipayungi oleh dimensi KONSEKUENSI. Artinya, komponen ini merupakan akibat yang timbul dan dialami oleh pelaku maupun mitra akibat tindakan dengan kepala yang dilakukan. Komponen ini dapat dikatakan sebagai komponen unik yang terdapat dalam medan leksikal ini. Hal itu didasarkan bahwa komponen ini hanya muncul dan dimiliki oleh leksem jedot. Sementara itu, leksem yang lainnya tidak menimbulkan konsekuensi tertentu. Ketika dikaitkan dengan arti kata dalam kamus, analisis di atas setidaknya membuka ruang untuk pendefinisian arti leksikal dalam sebuah kamus, khususnya bahasa Indonesia. Apabila diperhatikan secara cermat, pemberian arti leksikal dalam kamus dapat dikatakan masih belum tertata secara sistematis. Pengguna kadang merasa kesulitan untuk membedakan antara arti leksem yang satu dan yang lainnya, terutama bagi orang asing. Hal itu setidaknya dapat diatasi dengan cara menata arti leksikal sebuah leksem dengan urutan yang sistematis. Pemberian arti leksikal leksem dalam kamus dapat memperhatikan susunan komponen makna secara berurutan, yakni diawali dari komponen- komponen makna bersama (umum) kemudian disusul komponen makna pembeda (khusus). Katz dan Fodor (dalam Saeed, 2004: 251) merepresentasikan hal tersebut pada sebuah kata dalam bahasa Inggris, bachelor.

(1) bachelor {N} a. (human) (male) [one who has never been married] b. (human) (male) [young knight serving under the standar of another knight] Di sisi lain, studi semantik terhadap V ini berguna untuk menjelaskan representasi semantik suatu kalimat dalam tataran sintaksis sehingga dapat diketahui representasi semantik yang purnabentuk ke dalam struktur sintaksis yang purnabentuk. Hal tersebut dapat dicontohkan dalam kalimat (2) dan (3) berikut. (2) Dia temungkul kepada kakaknya. (3) Dia temungkul kepada orang tuanya. Kalimat (2) secara sintaksis sudah gramatikal, tetapi secara semantik kalimat tersebut belum menggunakan makna yang terkandung dalam V secara tepat karena kata temungkul mengandung komponen +MITRA ORANG TUA. Konsep yang purnabentuk dalam tataran sintaksis seperti yang ditampilkan pada kalimat (2) bisa diubah jika tidak sesuai dengan kaidah semantis. Oleh sebab itu, kalimat yang purnabentuk baik dari segi sintaksis maupun semantik dapat terealisasi jika diubah menjadi kalimat (3).

SIMPULAN Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, medan leksikal (+TINDAKAN +KEPALA +MANUSIA) tersusun dari 30 leksem verba bahasa Indonesia. Hal ini tersusun karena komponen bersama yang dimiliki. Komponen yang dimaksud juga menjadi komponen yang dominan terkandung dalam seluruh leksem pembentuk. Komponen yang dimaksud meliputi TINDAKAN, KEPALA, dan MANUSIA. Perbedaan yang terdapat antara leksem diketahui dari komponen makna pembeda. Komponen pembeda diperoleh dengan mengontraskan antara komponen makna temuan dengan leksem pembentuk medan leksikal. Komponen makna terakhir yang layak untuk dipertimbangkan adalah ditemukannya komponen makna unik. Komponen yang dimaksud hanya dimiliki oleh sebuah leksem sehingga perbedaan arti tiap-tiap leksem semakin tajam dan jelas.

DAFTAR PUSTAKA Kempson, Ruth M. 1995. Teori Semantik. Terjemahan oleh Abdul Wahab. Malang: Airlangga University Press. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 203

Kreidler, C.W. 1998. Introducing English Semantics. New York: Routledge. Leech, Geoffrey. 2003. Semantik. Terjemahan Paina Partana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nida, Eugane A. 1975. Componential Analysis of Meaning. The Hague: Mouton. Riemer, Nick. 2010. Introducing Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Saeed, John I. 2004. Semantics. Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing. Subroto, D. Edi. 1991. “Pemerian Semantik Kata-kata yang Berkonsep “Membawa” dalam Bahasa Jawa”. Jurnal Linguistik Indonesia. Tahun ke 9 No.1. hlm 57—65. ______. 2011. Pengantar Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media. Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wedhawati. 2002. “Medan Leksikal dan Analisis Komponensial”. Jurnal Linguistik Indonesia. Tahun ke 20 No.1. hlm. 35—50. ______. 2005. “Konfigurasi Medan Leksikal Verbal Bahasa Indonesia yang berkomponen Makna (+SUARA +INSAN)”. Jurnal Humaniora. Volume 6 No. 1. hlm. 99—114.

204 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 205

MEMBANGUN BUDAYA KERJA UNGGUL DIKTENDIK JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA: UPAYA MENGHASILKAN LULUSAN YANG MAMPU MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL 12

Bambang Hartono13

Abstrak Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai suatu institusi pendidikan memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan jurusan menjadi unggul. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidik dan tenaga kependidikan (diktendik) memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu, tendik yang berbudaya kerja unggul penting bagi jurusan. Profil budaya kerja unggul bagi pendidik dan tenaga kependidikan jurusan dapat berpegang pada prinsip-prinsip (1) senantiasa memegang komitmen dengan sungguh-sungguh dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan sekolah; (2) senantiasa menjunjung tinggi martabat dan profesi pendidik dan tenaga kependidikan; (3) senantiasa melakukan yang terbaik dalam mengembangkan potensi peserta didik; dan (4) senantiasa bekerja keras dengan penuh pengabdian. Untuk mewujudkan budaya kerja diktendik yang harapannya menghasilkan diktendik yang unggul/profesional di jurusan perlu 1) kepemimpinan, 2) sasaran jelas, 3) perencanaan, 4) pelaksanaan terukur, 5) koordinasi kontinu, 6) kontrol dan pencatatan yang jelas, 7) sosialisasi dan promosi, dan 8) evaluasi dan pengembangan.

Setiap lembaga atau institusi mengharapkan lembaganya maju. Menurut Peter Senge (dalam Mulyadi 2010), kemajuan suatu lembaga ditentukan oleh tiga pilar kemajuan, yaitu teknologi ( alat), sistem (cara), dan human (sumber daya manusia). Bila ketiga pilar itu digambarkan akan nampak pada bagian berikut.

12 Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia di UAD Yogyakarta Oktober 2014. 13 Staf Pengajar Jurusan JPBS, FBS UNNES Semarang. Email: [email protected]. Kontak Person 08179504260/(024)86457228

206 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Menurut Covey (2005), ketiga pilar kemajuan itu merupakan suatu siklus yang saling terkait dan saling sinambung (berkesinambungan). Karena itu, ketiganya menjadi satu kesatuan untuk menuju kemajuan suatu lembaga. Kesinambungan itu bila digambarkan akan nampak sebagai berikut.

Dari tiga pilar tersebut, pilar manusialah yang sangat menentukan. Artinya, kedua pilar, yaitu teknologi dan sistem akan dapat berjalan bila manusia sebagai pelaksana sistem dan pengguna teknologi itu memiliki knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), dan attitude (sikap) (Covey 2005). Dari tiga hal yang berkaitan dengan manuasia ini, attitude (sikap) merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan. Karena pada sikap ini, pada diri manusia muncul pola kerja atau budaya kerja dari setiap individu itu. Dengan budaya kerja yang unggul, karyawan/pegawai itu akan memberi kontribusi besar untuk kemajuan lembaganya. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai suatu institusi pendidikan memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan jurusan menjadi unggul. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidik dan tenaga kependidikan (diktendik) memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sesuai UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, apalagi jurusan harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Keberhasilan /kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan akan dapat dikembangkan bila diktendiknya memiliki karakter sangat penting untuk ditingkatkan. Pendidik dan tenaga kependidikan pada dasarnya adalah manusia biasa yang atas ciptaan-Nya diberikan rahmat yang sempurna secara bio-psiko-spiritual atau sempurna secara lahiriah dan batiniah (jasmani dan rohani). Dari sudut agama, manusia pada dasarnya memiliki keyakinan atau agama sebagai fitrah ilahi bahwa yang ada pasti ada yang mengadakan, yang ada taat kepada yang mengadakan. Sebagai profesi, pendidik atau guru dan tenaga kependidikan (pengelola jurusan, karyawan dll.) telah diatur oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan sehingga disebut sebagai Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 207 pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar, yaitu standar untuk melaksanakan profesinya (jabatan/tugasnya). Dari aspek sosial, pendidik dan tenaga kependidikan memiliki kedudukan (didudukkan) sebagai kelompok masyarakat yang memiliki tingkat sosial tinggi (“guru = digugu dan ditiru”), adalah sebagai khalifah di bumi. Dengan kata lain, pada dasarnya pendidik dan tenaga kependidikan memiliki nilai-nilai perilaku manusia yang “sempurna”. Namun demikian, untuk mengkristalkan nilai-nilai perilaku manusia “sempurna” tersebut diperlukan adanya upaya-upaya nyata oleh sekolah dalam pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan sehingga mampu mencapai keberhasilan, kesuksesan, dan “pemenang” sebagai pendidik dan tenaga kependidikan. Untuk itu, dalam upaya penanaman nilai-nilai perilaku tersebut, pendidik dan tenaga kependidikan harus memiliki, menghayati, dan melaksanakan ethos kerja yang positif, yang merupakan pengejawantahan (bukti tindakan) terhadap komponen-komponen karakter moral (moral pengetahuan, sikap atau emosi, dan moral tindakan), yaitu (1) kerja adalah rahmat: bekerja tulus penuh syukur, (2) kerja adalah amanah: bekerja benar penuh tanggung jawab, (3) kerja adalah panggilan: bekerja tuntas penuh integritas, (4) kerja adalah aktualisasi: bekerja keras penuh semangat, (5) kerja adalah ibadah: bekerja serius penuh kecintaan, (6) kerja adalah seni: bekerja kreatif penuh sukacita, (7) kerja adalah kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan, dan (8) kerja adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati, dan sebagainya. Dalam proses pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah sesuai dengan UU Guru dan Dosen, pendidik dan penyelenggara pendidikan mempedomani aturan tersebut dan peraturan- peraturan lainnya yang relevan. Pada makalah ini akan dipaparkan beberapa hal berkait dengan budaya kerja pendidik dan tenaga kependidikan. Hal-hal itu mencakupi 1) konsep budaya kerja, 2) cakupan budaya kerja, 3) pola atau kerangka budaya kerja unggul yang harus dibangun, 4) cara membangun budaya kerja unggul di JPBSI, 5) cara mengembangkan rencana aksi pengembangan budaya kerja unggul di Jurusan JPBSI, dan 6) rancangan instrumen pengukur budaya kerja.

KONSEP DASAR BUDAYA KERJA Istilah budaya kerja berdasarkan ilmu bahasa merupakan frase (gabungan kata) yang terbentuk dari kata budaya dan kerja. Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka Edisi Keempat (2008:215) diartikan sebagai ‘pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan member arti kepada tingkah laku dan proses … di suatu sistem’. Adapun kata kerja berarti ‘kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian’ (KBBI Pusat Bahasa 2008:681). Berdasarkan dua arti kata tersebut, dapat dirumuskan pengertian budaya kerja, yaitu pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan member arti kepada tingkah laku dan proses kerja di suatu system lembaga/institusi. Budaya kerja akan menjadi budaya jurusan, yaitu budaya yang dibangun pada suatu institusi atau lembaga jurusan (korporasi) yang memiliki karakteristik tertentu. Budaya jurusan berbeda dengan budaya organisasi yang cenderung lebih luas karena organisasi dapat meliputi keluarga, paguyuban, atau kelompok-kelompok nonformal (Muhaimin 2009:47). “Budaya jurusan merupakan sesuatu yang dibangun dari hasil pertemuan nilai-nilai yang dianut oleh kepala jurusan sebagai pemimpin dengan nilai-nilai yang dianut pendidik dan tenaga kependidikan yang ada dalam jurusan” (lihat Muhaimin 2009:48). Nilai-nilai tersebut dibangun oleh pikiran-pikiran manusia yang ada dalam jurusan. Pertemun pikiran-pikiran manusia tersebut kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan “pikiran organisasi” (Kasali 2006). Pikiran individu besar porsi pengaruhnya adalah pikiran pemimpin. Covey (2005) mengemukakan bahwa bila dikaji semua orang yang mencapai prestasi gemilang, yaitu orang memiliki pengaruh besar terhadap sesamanya, mereka yang telah berjasa besar dan orang-orang yang telah mewujudkan hal-hal yang

208 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

luar biasa. Pada dasarnya orang-orang tersebut mengembangkan empat kemampuan atau kecerdasan bawaan yang meliputi 1) kecerdasan mental, 2) fisik, 3) emosional, dan 4) spiritual. Dari pikiran-pikiran organisasi itulah kemudian muncul dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini bersama. Kemudian nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan utama pembentukan budaya sekolah. Dari budaya sekolah tersebut kemudian muncul dalam berbagai symbol dan tindakan yang kasat indra yang dapat diamati dan dirasakan dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Jika digambarkan dalam bentuk kuadran hubungan antara kondisi eksternal, kondisi lingkungan, budaya jurusan,, dan nilai-nilai (budaya kerja) yang dapat menjadi prioritas tampak pada gambar berikut.

Nilai-nilai Prioritas sesuai dengan Kondisi Lingkungan dan Fokus Jurusan

EKSTERNAL Inovatif, adaptif, bekerja keras, Disiplin, jujur, hubungan yang dan peduli terhadap orang lain sederhana antarorang dan bagian, FOKUS dan berwawasan luas SEKOLAH

Inisiatif, kebersamaan, tanggung Kerja sama, saling pengertian, jawab, rasa memiliki, dan semangat persatuan, taat asas, INTERNAL komitmen terhadap lembaga memotivasi, dan membimbing

LABIL KONDISI LINGKUNGAN STABIL Sumber: Muhamimin, dkk. 2009:55)

Dari kuadran di atas, nilai—nilai yang akan dikembangkan oleh sekolah yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan tersebud dipengaruhi leh focus sekolah dan kondisi lingkungan. Walaupun keseluruhan nilai yang dianut dalam semua kuadran merupakan nilai-nilai sangat baik dan penting untuk dimiliki lembaga, tetapi adakalanya nilai-nilai tersebut menjadi sesuatu yang sangat prioritas untuk dikembangkan dan diimplemtasikan sesuai dengan kondisi yang dimiliki sekolah. Contoh sekolah yang baru berdiri tentu akan lebih fokus pada kondisi internal dengan lingkungan yang labil sehingga akan sangat baik dan tentu akan sangat mudah berkembang jika seluruh komponen sekolah memiliki inisiatif yang tinggi dalam bekerja, memiliki kebersamaan dalam melaksanakan setiap kegiatan sekolah, setiap orang dalam sekolah merupakan orang-orang yang bertangung jawab terhadap berbagai tugas yang diembannya, rasa memiliki terhadap sekolah yang tinggi, dan memiliki komitmen pada lembaga. Berbeda dengan sekolah sudah sangat baik, yaitu keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tinggi, sekolah ini berada dalam kondisi stabil dan focus eksternal akan membutuhkan niali-nilai disiplin, jujur, hubungan yang sederhana antarorang atau bagian, dan berwawasan luas. Misalnya, nilai-nilai displin dibutuhkan untuk trend setter.

BUDAYA KERJA YANG PERLU DIBANGUN Budaya kerja pendidik dan tenaga kependidikan dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu budaya kerja yang berkaitan dengan kelompok dan individual.

BUDAYA KERJA KELOMPOK Budaya kerja kelompok, yaitu budaya kerja yang dilaksanakan semua anggota kelompok. Artinya, semua pegawai/karyawan (diktendik) di lembaga (sekolah) itu “menyengkuyung” dan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 209 melaksanakan pola kerja yang dijadikan prinsip atau anutan. Budaya kerja kelompok yang perlu dibangun di antaranya 1) bersih, 2) rapi, 3) praktis, 4) lengkap visual, 5) kompak (solid), 6) unggul (Mulyadi 2010; Depdiknas 2009; Muhaimin, dkk. 2009);

No. Karakteristik Definisi Indikator 1 Bersih Kondisi diri dan tempat  Tempat kerja selalu bersih kerja diktendik yang  Tidak terdapat kotoran yang terbebas dari sampah, tertinggal di tempat kerja kotoran, dan barang asing  Terbiasa dengan pera-latan kerja untuk memperoleh tem- yang bersih pat kerja yang nyaman,  Kebersihan menjadi tanggung jawab sehat, menjamin kesela- bersama matan kerja, dan mengu-  Perilaku hidup bersih rangi kesalahan kerja 2 Rapi Kondisi diri dan tempat  Terawat baik kerja yang baik, teratur  Teratur baik baik, tertib atau tertata,  Tertib atau tertata siap sedia, serba beres,  Serba beres atau sebagaimana mes-  Sebagaimana mestinya tinya  Terbangun sikap disiplin pribadi 3 Praktis Kondisi diri dan pola kerja  Sesuai tata aturan yang sesuai praktik atau  Cepat terselesaikan tata aturan, cepat,  Mudah langkah atau tahapan mudah, efektif, dan  Efektif hasilnya efisien.  Efisien waktu dan biayanya 4 Lengkap visual Kondisi diri dan tempat  Adanya standar operasional kerja kerja yang menggunakan yang jelas manajemen visual, baik  Adanya rambu-rambu kerja yang jelas tulisan, warna, lambing  Adanya target kerja jelas atau tanda-tanda lain.  Adanya informasi untuk setiap orang pada setiap bagian atau bidang (urusan)  Adanya informasi pencegahan bahaya dan kecelakaan 5 Kompak Kondisi diri dan pola kerja  Bersatu padu yang saling bersatu padu  Saling menyokong dalam menangani, me-  Tidak saling menyalahkan nanggapi, dan mengha-  Bertanggung jawab bersama dapi suatu pekerjaan.  Saling membantu  Tidak saling melempar tanggung jawab  Saling bekerja sama  Terbangun komunikasi antardiktendik 6 Terbuka/transparan Kondisi diri dan pola kerja  Saling memberi informasi untuk yang kemajuan dan kelancaran kerja  Saling menerima masukan, saran, dan kritik

210 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

No. Karakteristik Definisi Indikator  Terbangun sikap mental positif (qusnudhon antardiktendik)  Terbangun sikap mental saling percaya 7 Unggul Kondisi diri dan pola kerja  Lebih baik layanannya dari yang lain yang yang lebih tinggi dan  Lebih berprestasi dari yang lain lebih baik dari yang lain.  Lebih berkualitas mutunya (diktendik)  Menjadi rujukan yang lain (sekolah lain)

BUDAYA KERJA INDIVIDU Budaya kerja individu, yaitu budaya kerja yang dikembangkan dan dilaksanakan setiap individu. Artinya, setiap pegawai/karyawan (diktendik) di lembaga (sekolah) itu “memiliki” dan melaksanakan pola kerja yang dijadikan prinsip atau anutan. Untuk mewujudkan budaya kerja unggul, menurut Hidayatullah (2009:136) ada 8 komponen yang harus dibangun, yaitu komitmen, kompeten, kerja keras, konsisten, kesedarhanaan, kedekatan, pelayanan maksimal, dan cerdas. Kedelapan komponen itu bila ditambelkan tampak pada tabel berikut.

No. Karakteristik Definisi Indikator 1 Komitmen Tekad yang mengikat dan melekat  Memiliki ketajaman visi pada seorang pendidik dan tenaga  Rasa memiliki (sense of kependi-dikan (diktendik) untuk belonging) melakukan tugas dan tanggung  Bertanggung jawab (sense of jawabnya sebagai dik-tendik. responsibility) 2 Kompeten Kemampuan seseorang diktendik  Senantiasa mengem- dalam menyelenggarakan tugas dan bangkan diri kemam-puan memecahkan berbagai  Ahli dibidangnya masalah dalam rangka mencapai  Menjiwai profesinya tujuan pendi-dikan.  Memiliki kompetensi  Pendidik dikatakan kompeten bila (pendidik = pedogogik, memiliki kemampuan menyelenggara- keribadian, sosial, dan kan pembelajaran (mengajar, mendi- professional; tendik = skil, dik, membimbing, menuntun, meng- kepribadian, social, dan arahkan, dan melatih) dan meme- professional). cahkan masalah dalam rangka siswa mencapai kompetensi.  Tendik dikatan berkompeten bila memiliki kemampuan menyelenggara- kan/melaksanakan tugas sesuai tupoksi dan memecahkan masalah rangka member layanan dan dukungan untuk mencapai tujuan pendidikan. 3 Kerja keras Kemampuan mencurahkan atau  Bekerja ikhlas dan sungguh- mengerahkan seluruh usaha dan sungguh kesungguhan, potensi yang dimiliki  Bekerja melebihi target sampai akhir masa suatu urusan hingga (extraordinary process) tujuan tercapai.  Produktif (outstanding result) Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 211

No. Karakteristik Definisi Indikator 4 Konsisten Kemampuan melakukan sesuatu  Memiliki prinsip (istiqo-mah) dengan istiqomah, ajeg, focus, sabar,  Tekun dan rajin dan ulet, serta melakukan perbaikan  Sabar an ulet yang terus-menerus.  Fokus 5 Kesederhanaan Kemampuan mengaktualisasikan  Bersahaja sesuatu secara efektif dan efisien  Tidak mewah  Tidak berlebihan  Tepat guna 6 Kedekatan Kemampuan berinteraksi secara  Perhatian pada siswa dinamis dalam jalinan emosional (student centered) antara diktendik dengan peserta didik  Lerning centered dalam rangka mencapai tujuan  Tejalinnya hubungan pembelajaran atau pendidikan emosional yang harmo-nis 7 Pelayanan Kemampuan untuk membantuhan  Dipenuhinya Standar maksimal melayani atau memenuhi kebututuhan Pelayanan Minimal (SPM) peserta didik secara optimal  Kepuasan  Cepat dan tanggap  Pelayanan cepat  Proaktif 8 Cerdas  Kemampuan cepat mengerti dan  Responsif, analisis, ino-vatif, memahami, tanggap, tajam dalam dan solutif menganalisis dan mampu mencari  Mewarnai berbagai akti-vitas alternatif-alternatif solusi; dan mampu yang dilakukan memecahkan masalah (cerdas intelektual)  Kemampuan memberikan makna/nilai terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan sehingga hasilnya optimal (cerdas emosi dan spiritual)

Tabel di atas bila dibagankan akan menghasilkan bagan membangun insane berkarakter kuat dan cerdas sebagai berikut.

Sumber: Hidayatullah 2009:239.

212 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

POLA ATAU KERANGKA BUDAYA KERJA UNGGUL Profil budaya kerja unggul bagi pendidik dan tenaga kependidikan dapat berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut. a. Senantiasa memegang komitmen dengan sungguh-sungguh dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan sekolah. b. Senantiasa menjunjung tinggi martabat dan profesi pendidik dan tenaga kependidikan. c. Senantiasa melakukan yang terbaik dalam mengembangkan potensi peserta didik. d. Senantiasa bekerja keras dengan penuh pengabdian.

Pola atau kerangka profil budaya kerja unggul itu bila dibagankan akan nampak pada bagan berikut ini.

Sumber: Hidayatullah 2009: 240.

CARA MENGEMBANGKAN BUDAYA KERJA UNGGUL DI JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Untuk mewujudkan budaya kerja diktendik yang harapannya menghasilkan diktendik yang unggul/profesional di jurusan perlu 1) kepemimpinan, 2) sasaran jelas, 3) perencanaan, 4) pelaksanaan terukur, 5) koordinasi kontinu, 6) kontrol dan pencatatan yang jelas, 7) sosialisasi dan promosi, dan 8) evaluasi dan pengembangan. Karena itu, untuk membangun dan menjalankan budaya kerja unggul diperlukan perangkat/ bagian/bidang khusus seperti KOMITE. Komite ini berfungsi sebagai 1) media dan pusat menggerakkan program budaya kerja, 2) menjadi pusat komunikasi dan koordinasi semua kegiatan budaya kerja, 3) menjadi partner bidang atau bagian kepegawaian dalam melaksanakan kegiatan- kegiatannya. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 213

Adapun alternatif langkah implementasi budaya kerja di antaranya 1) membuat program kerja, 2) mengkomunikasikan program kerja, 3) bersama semua komponen melakukan program kerja, 4) membuat audit pelaksanakan program kerja, 5) membuat evaluasi dan laporan program kerja, dan 6) membuat standard dan prosedur kerja. Selain hal di atas, hal yang dapat dilakukan dalam rangka pemantapan budaya keja unggul dapat dilakukan 1) patroli intensif, 2) poster/slogan, 3) lomba budaya kerja, 4) pameran foto budaya kerja, 5) arisan budaya kerja, 6) penghargaan diktendik teladan/berprertasi budaya kerja unggul. Dalam pengembangan budaya kerja unggul, proses yang dilakukan dapat mengikuti pola/langkah (1) pemahaman, yaitu memahamkan kepada diktendik tentang budaya kerja unggul yang diharapkan dapat dilaksanakan, (2) pelatihan, yaitu proses menjadikan diktendik dapat melaksanakan budaya kerja unggul, dan (3) membiasakan, yaitu proses menjadikan budaya kerja unggul sebagai habit atau kebiasaan yang dilaksanakan di sekolah. Pola/langkah pengembangan budaya kerja unggul itu dapat terlaksana atau terimplementasi dengan baik, proses pengimplementasiannya dapat mengikuti prinsip (1) tega, yaitu tidak memandang siapun sebagai upaya untuk maju, (2) tegas, yaitu kalau salah ya salah, dan (3) konsisten, yaitu dapat dilakukan secara tetap dan terus menerus.

CARA MENGEMBANGKAN RENCANA AKSI PENGEMBANGAN BUDAYA KERJA UNGGUL DI JURUSAN JPBSI Berikut ini diberikan contoh renacana aksi membangun implementasi budaya kerja unggul di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

No. Aspek Yang Cara Yang Target Waktu Penanggung Dikembangkan Dilakukan Jawab Kegiatan 1 Penetapan Budaya Kerja Unggul dan target pencapaian-nya 2 Pembentukan komite budaya kerja 3 Penyusunan Program kerja Pengembangan Budaya Kerja Unggul 4 Promosi budaya kerja unggul 5 Monitoring dan Evaluasi Budaya Kerja unggul 6 Pekan budaya kerja unggul 7 Pemberian penghargaan budaya kerja unggul bagi diktendik

Berikut diberikan contoh format penyusunan program dan kegiatan pengembangan budaya kerja unggul yang ada di dalam RKJ (Rencana Kegiatan Jurusan) dan RKAJ (Rencana Kegiatan Anggaran Jurusan). KELOMPOK Nilai-nilai Komponen No. Budaya Kerja Budaya Pengelolaan/ PROGRAM KEGIATAN /Sasaran Kerja Penanggung Jawab Kelompok Bersih 1...... a...... b...... 1...... a...... b......

214 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

KELOMPOK Nilai-nilai Komponen No. Budaya Kerja Budaya Pengelolaan/ PROGRAM KEGIATAN /Sasaran Kerja Penanggung Jawab 1...... a...... b...... 1...... a...... b...... 2. Individu Komitmen  1...... a...... b...... 1...... a...... b...... 1...... a...... b......

PENUTUP Untuk membangun budaya kerja unggul di jurusan BSI perlu dirancang secara jelas, disepakati aturannya, dilaksanakan oleh semua komponen, dan dievaluasi secara kontinu oleh suatu tim, termasuk tim independen. Keunggulan akan tercapai melalui proses dan tidak serta merta. Proses yang dibangun bukan proses dengan kediktatoran, tetapi proses pembelajaran dan perenungan insaniah (“tarbiyah”), yaitu adanya kesadaran berubah, berkembang, dan memantapkan diri untuk mencari kebarokahan, keridoan, kelurusan, dan jalan sorga-Nya. Semoga akan selalu berdo untuk dapat diberi kesehatan, keselamatan, dan kesempatan untuk mewujudkan budaya kerja unggul. Amin.

PUSTAKA RUJUKAN Covey, Stephen R. 2005. The 8th Habbit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan. Jakarta: Gramedia. Depdikbud. 2009. Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (R-SMA- BI). Jakarta: Depdiknas, Dirjen Mandikdasmen. Hidayatullah, M. Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka. Kasali, Rheinald. 2006. Change. Jakarta: Gramedia. Muhaimin, H, dkk. 2009. Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kendana Prenada Media Group. Mulyadi, Ir. 2010. “5 S: Manajemen Unggul”. Makalah Disajikan pada Pelatihan 5 S tanggal 26 Februari 2010 di Yayasan Ummul Quro Semarang.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 215

NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK KARYA AHMAD TOHARI: KISAH TENTANG PERUBAHAN SOSIAL DARI DESA 14

Bambang Lelono15 Roch Widjatini16 Program Studi Sastra Indonesia Jurusan Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNSOED Purwokerto

Abstract The rural condition as the background with the second grade society that became the main power of Ahmad Tohari’s story has encourage the scientist and literary community place this story as the main topic. The study about Di Kaki Bukit Cibalak needs to be done in order to observe Ahmad Tohari potention as a writer. The problem that shown could be explain as this question, how about the situation and the social change process that found in Di Kaki Bukit Cibalak, and how about the people’s react against that social change condition

Keyword’s: the situation, the social change, and the people’s react.

PENDAHULUAN Dalam khazanah sastra Indonesia modern, unsur sosial budaya dari suatu masyarakat tertentu yang menjadi warna dari sebuah karya sastra, bukanlah suatu hal yang asing. Banyak pengamat mencatat bahwa ada suatu kecenderungan para sastrawan untuk memasukkan nilai-nilai tradisional ke dalam karya-karya mereka. Atheis karya Achdiat Kartamiharja menampilkan gejala kehidupan masyarakat Sunda di Bandung. Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG merefleksikan dunia batin manusia Jawa beserta aspek mistiknya. Demikian pula Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, Roro Mendut karya YB Mangunwijaya, dan lain-lainnya (Hayon, 1995:5-6). Di antara sekian nama yang telah disebuitkan di atas, maupun yang tidak sempat disebutkan di sini, hadir pula nama Ahmad Tohari yang novel karya pertamanya menjadi objek tulisan ini. Karya-karya Ahmad Tohari pada umumnya mendapatkan sambutan yang luas serta tanggapan yang positip dari kalangan masyarakat pembaca Indonesia; terutama para peminat serta kritikus sastra. Terbukti dari beberapa karyanya yang telah mengalami cetak ulang, serta tulisan-tulisan yang dilakukan terhadapnya (baik resensi,artikel, skripsi maupun tesis). Tidak hanya pada Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk, akan tetapi hampir pada semua karyanya, Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman kedesaannya. Tampaknya bahwa latar alam pedesaan, serta tokoh- tokoh sentral masyarakat lapis bawah (wong cilik) yang berperan di dalamnya, merupakan kekuatan dan daya npikat yang khas dari karya-karyanya. Dunia pedesaan yang lugu, kumuh, alami, dan sebagainya, dipadukan dengan rakyat kecil yang miskin dan merana, terasa sangat menyentuh. Di atas latar alam pedesaan serta tokoh-tokoh lapis bawah seperti itulah, Tohari menyanpaikan tema- tema serta pesan-pesan kemanusiaan tentang jeritan rakyat kecil, hubungan antara manusia dengan Tuhan, cinta, kearifan, dan sebagainya. Perpaduan unsur yang tepat dan memadai (Hayon, 1995:9). Latar alam pedesaan dengan kehidupan masyarakat lapis bawah yang menjadi kekuatan utama cerita-cerita Tohari telah mendorong para peneliti dan peminat sastra untuk membicarakan karya- karyanya, akan tetapi berdasarkan referensi yang diperoleh, penelitian yang pernah dilakukan lebih banyak diarahkan kepada karya “masterpiece”nya yakni trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.

14 Makalah di presentasikan pada Seminar Internasional “Membangun Citra Indonesia di Mata Internasional Melalui Bahasa dan Sastra Indonesia” Dalam Rangka Pertemuan Bahasa Dan Sastra Indonesia PIBSI XXXVI di Yogyakarta 11-12 Oktober 2014. 15 Dosen Tetap Prodi Sastra Indonesia Jurusan Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNSOED Purwokerto. 16 Dosen Tetap Prodi Sastra Indonesia Jurusan Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNSOED Purwokerto.

216 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Sedangkan terhadap novel pertamanya, Di Kaki Bukit Cibalak, belum banyak yang membicarakannya. Padahal pembicaraan terhadap karya pertama dari seorang pengarang yang lebih banyak mengangkat persoalan-persoalan rakyat kecil itu menjadi cukup penting. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan proses perkembangan pengarang tersebut dalam melahirkan karya-karya berikutnya.

PEMBAHASAN Di Kaki Bukit Cibalak (DKBC) adalah novel pertama karya Ahmad Tohari. Dalam novel ini Tohari bercerita bahwa suara orang menumbuk padi telah hilang, dan digantikan oleh suara mesin kilang padi. Kerbau dan sapi pun dijual karena tenaganya sudah digantikan traktor. Sementara, di desa yang sedang berubah itu muncul kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Pambudi, pemuda Tanggir yang bermaksud menyelematkan desanya dari kecurangan kepala desa yang baru malah tersingkir ke Yogya. Di kota pelajar itu Pambudi bertemu teman lama yang memintanya meneruskan belajar sambil bekerja di sebuah toko. Melalui persuratkabaran, Pambudi melanjutkan perlawanannya terhadap kepala desa Tanggir yang curang dan berhasil membongkar kecurangan- kecurangan yang telah dilakukan kepala desa tersebut. Tetapi pemuda Tanggir itu kehilangan gadis sedesa yang dicintainya. Dan Pambudi mendapat ganti, anak pemilik toko tempatnya bekerja, meskipun harus mengalamai pergulatan batin yang melelahkan (Tohari, 2001). Begitulah sekilas tentang cerita novel DKBC. Novel setebal 172 halaman ini, terbagi menjadi tiga belas bagian. Tiap bagian rata-rata berisi antara 13-14 halaman. Sejak bagian pertama hingga bagian terakhir, alur cerita novel ini terjalin lurus. Tohari berhasil menyuguhkan sebuah ‘roman; atau sebuah ‘kisah cinta’ dari desa yang cukup memikat dan menyentuh perasaan pembaca. Sesungguhnya novel ini lebih banyak mengetengahkan persoalan yang sederhana dan biasa-biasa saja, namun pengarang mampu meracik dan menyajikan cerita dengan menarik sehingga pembaca seolah-olah sedang menikmati ‘kisah nyata’, bukan sekedar sedang membaca sebuah fiksi. Pengarang mampu mengarahkan imajinasi pembaca kedalam realitas di Kaki Bukit Cibalak seperti dalam kehidupan yang benar-benar terjadi. Dalam artikel yang berjudul “Tanggir Berubah Tohari Bercerita” , Bambang Bujono (1986) menyatakan bahwa Ahmad Tohari adalah pengarang roman DKBC yang berhasil menjalin kisah cinta dengan latar belakang desa Tanggir. Buku ini terhindar dari kisah percintaan yang cengeng, bahkan sesungguhnya novel ini bisa dikatakan sebagai novel pembangunan. Tohari memang kuat dalam menggambarkan suasana alam. Bau lumpur kubangan kerbau, bunyi angin yang menggesek semak- semak, dan bunyi sepeda motor yang telah menggantikan kicau burung, umpanya, adalah suasana desa yang telah berubah. Hal itu semuanya disampaikan bukan dengan verbalisme, tetapi dengan pelukisan yang hidup. Dengan kata-kata yang tepat. Arief Mudatsir (1986) dalam artikelnya yang berjudul “Cermin dari Desa” menyatakan bahwa novel DKBC ditulis dengan amat menarik, karena dibangun dengan latar belakang tradisi pedesaan yang sedang mengalami perubahan. Digambarkan, bagaimana potret desa yang lugu dengan pola hidup “apa adanya” telah bersinggungan dengan sistem ekonomi baru, mekanika pertanian dan teknologi modern. Dampak sosial yang muncul terkadang bersifat negatif; budaya korupsi, konsumerisme, dan kerusakan lingkungan. Eddie Rinaldy (1991) dalam artikelnya yang berjudul “Pambudi Dari Desa Tanggir” menyatakan bahwa melalui novel DKBC, Tohari memotret kehidupan Desa Tanggir yang miskin dari kemajuan. Secara runtun pengarang mengabadikan beberapa ketimpangan yang masih hidup subur di daerah pedesaan. Pengarang memperlihatkan watak licik dari seorang lurah, yang kemudian dalam tugasnya lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada masyarakatnya yang compang-camping. Sunu Wasono (1986) dalam artikelnya yang berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak, Kaum Tua Versus Muda” menyatakan bahwa dalam novel DKBC terlihat kelebihan atau kekuatan Ahmad Tohari. Kelebihan dan kekuatannya itu terletak pada kemahirannya dalam menyusun peristiwa dan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 217 meraciknya dalam bentuk cerita yang menarik, yang seakan-akan hal itu merupakan kejadian yang sebenarnya. Cara berceritanya realistik. Peristiwa-peristiwa itu dipaparkan dalam jalinan alur yang runtun dan ketat. Tidak ada bagian cerita yang terasa longgar dan lewah (mubadzir). Peristiwa demi peristiwa dalam novel ini hadir dan menjadi bagian dari peristiwa lain sehingga membentuk satu kesatuan. Ahmad Tohari adalah salah seorang dari sedikit pengarang yang tetap tinggal di desa dan tetap memiliki kesadaran dan wawasan alam yang dalam berkat penghayatannya yang intens terhadap pengalaman hidup kedesaannya semenjak ia kecil. Hal ini pula yang kemudian menempatkan Tohari pada posisi khusus melalui karya-karyanya, yaitu roman masyarakat lapisan bawah dengan latar belakang sawah, lumpur, sungai, kerbau, gunung dan burung, di tengah-tengah membanjirnya novel dengan latar belakang kehidupan kota (Mudatsir, 1986).

1. Situasi Sosial dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak Berkenaan dengan situasi sosial dalam novel DKBC, ada beberapa hal yang akan dibicarakan. Pertama, menyangkut proses pemilihan Kepala Desa Tanggir. Kedua, berkaitan dengan struktur sosial penduduk Desa Tanggir. Ketiga, bertalian dengan masalah korupsi yang terjadi pada Lumbung Koperasi Desa Tanggir. Dan yang keempat berkaitan dengan mobilitas sosial penduduk Desa Tanggir. 1. 1. Pemilihan Kepala Desa Tanggir “Di halaman Balai Desa telah berkumpul banyak sekali warga Desa Tanggir. Lurah baru akan dipilih hari itu, karena lurah yang lama telah meletakkan jabatan. Tepatnya, lurah yang lama telah menandatangani surat perntaan berhenti”. Demikianlah cerita Tohari pada bagian pertama novel DKBC. Bagian pertama novel ini menceritakan situasi sosial Desa Tanggir yang sedang menyelenggarakan pesta demokrasi, yakni mengadakan pemilihan kepala desa. Dalam bagian pertama ini Tohari berhasil menggambarkan proses pemilihan kepala desa dari berbagai sudut pandang sehingga peristiwa-peristiwa yang terkait di dalamnya tak pernah luput dari pengamatannya. Tohari mampu memperlihatkan pengenalan dan pemahamannya yang cukup mendalam men genai seluk-beluk proses pelihan kepala desa. Proses pemilihan kepala desa ternyata mengandung berbagai persoalan yang cukup rumit dan kompleks. Dari praktek perdagangan suara hingga peranan dukun dan permainan para botoh (pengumpul suara) untuk memenangkan calon yang didukungnya, semuamya saling berkaitan. Nasib baik dan buruk tidak bisa diperhitungkan oleh manusia. Begitu pula yang dialamai Pak Badi, demikian cerita Tohari, walaupun mempunyai integritas moral dan kepribadian yang relatif lebih baik daripada calon-calon lainnya, hal itu bukan merupakan jaminan bahwa ia akan terpilih menjadi lurah. “Dan ternyata keluhuran budi, kearifan, serta kejujuran Pak Badi tidak memberikan nasib baik. Ia kalah, karena Pak Dirga-lah yang terpilih” (hal.16). 1. 2. Struktur Sosial Penduduk Desa Tanggir Diceritakan oleh Tohari bahwa penduduk Desa Tanggir terdiri dari dua kelompok yang berbeda. Kedua kelompok yang berlainan itu masing-masing mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Yang pertama adalah kelompok yang berqasal dari keturunan kaum kawula. Kaum kawula ini adalah nenek moyang kebanyakan orang Tanggir. Ciri khas yang menonjol dari kelomkpoki ini adalah falsafah hidupnya yang nrimo ing pandum (menerima apa adanya). Falsafah hidup nrimo ing pandum ini menjadi landasan dasar sikap hidup mereka karena mereka sangat menyadari bahwa status sosial mereka memang rendah. Seperti nenek moyangnya, orang Tanggir kebanyakan masih berjiwa kawula. Mereka adalah orang-orang tua yang melahirkan anak-anak yang menjadi pelayan-pelayan rumah tangga di kota-kota, atau tukang-tukang harian di proyek. Sedangkan yang tetap tinggal di Tanggir kebanyakan menjadi petani tanpa tanah garapan atau pedagang kecil (hal.10-11). Kelompok yang kedua adalah mereka yang berasal dari keturunan kerabat ningrat. Nenek moyang sebagian kecil penduduk Tanggir adalah kerabat ningrat yang menyingkir dari istana Mataram. Mereka adalah para pembangkang atau kelompok yang menurunkan priyayi-priyayi kecil

218 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

seperti: opas kantor kecamatan, mantri pasar, atau guru-guru sekolah. Ciri mencolok kelompok ini adalah rendahnya penghargaan mereka terhadap pekerjaan-pekerjaan kasar, serta kuatnya mereka memegang garis ketrunan. Mereka berkelompok-kelompopk dalam lingkaran ikatan trah. Trah Dipayudan misalnya, adal;ah perkumpulan orang yang mengaku keturunan Ki Demang Dipayuda. Dan ada lagi, trah Pancawangen yang mengaku keturunan Raden Mas Pancawangi, seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang menyingkir dan beranak-pinak di Tanggir (hal. 12). 1. 3. Koperasi Desa Tanggir Tohari bercerita tentang Koperasi Desa Tanggir melalui tokoh Pambudi. Pambudi yang berusia 24 tahun itu bekerja mengurus Lumbung Koperasi Desa Tanggir. Sudah dua tahun ia bekerja di sana, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa badan usaha itu tidak mungkin terus ditungguinya. Pambudi sebenarnya ingin menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat untuk membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan sosial itu sungguh-sungguh merupakan sebuah koperasi yang akan banyak faedahnya bagi segenap penduduk Tanggir. Tetapi lurah yang lama tidak demikian pendapatnya. Ia sering melanggar ketentuan-ketentuan perkoperasian. Tidak jarang lurah memberi perintah menjual padi lumbung koperasi tanpa melalui ketentuan yang benar. Oleh karena itu ketika terjadi pergantian lurah, Pambudimendukung Pak Badi. Ia yakin, orang sejujur Pak Badi mempunyai rasa tanggung jawab dan ingin memajukan desanya, dengan demikian tidak akan seenaknya menjual padi milik rakyat Tanggir. Kekalahan Pak Badi menambah rasa kecil hati Pambudi. Dirgamulya sebagai lurah yang baru sama saja dengan yang digantikannya (hal.17-18). 1. 4. Mobilitas Sosial Penduduk Desa Tanggir Penduduk Desa Tanggir hanya dapat dibedakan atas keturunan kaum kawula dan keturunan kerabat ningrat. Merskipun demikian, dalam perkembangannya memang terjadi kekecualian- kekecualian. Mbok Sum, misalnya, walaupn berasal dari keturnan kaum kawula, akan tetapi karena berhasil menguasai perdagangan gula kelapa dim Desa Tanggir sehingga ia mampu memiliki sawah dan ladang yang luas. Dalam hal ini Mbok Sum bisa dikatakan mengalami mobilitas sosial. Mobilitas sosial yang dialami Mbok Sum termasuk dalam mobilitas intragenerasi. Sedangkan apabila diperhatikan arah gerak sosialnya, maka mobilitas sosial Mbok Sum termasuk mobilitas sosial vertikal yang naik. Di samping mobilitas sosial intragenerasi vertikal yang naik, dalam novel DKBC juga ada mobilitas sosial antargenerasi vertikal yang naik. Dalam hal ini, Pambudi adalah seorang pemuda Tanggir yang mengalami mobilitas sosial antargenerasi vertikal yang naik tersebut. Ayah Pambudi adalah seorang petani sederhana di Desa Tanggir. Sedangkan Pambudi bekerja menjadi seorang wartawan dan berhasil meraih gelar sarjana muda. Dengan demikian, Pambudi mengalami mobilitas sosial antargenerasi vertikal yang naik, sebab apabila dibandingkan dengan status sosial ayahnya yang petani, maka status sosialnya sebagai wartawan yang bergelar sarjana muda tentu saja lebih tinggi.

2. Proses Perubahan Sosial dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak Berdasarkan proses pembacaan yang cukup mendalam terhadap novel DKBC, maka ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan terjadinya proses perubahan sosial dalam novel tersebut. Pertama, menyangkut proses sosial dalam novel DKBC. Kedua, berkaitan dengan interaksi sosial dalam novel DKBC. Sedangkan yang ketiga menyangkut pergeseran nilai sosial dalam novel DKBC. 2. 1. Proses Sosial dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak Dalam novel pertamanya ini, Tohari berhasil melukiskan proses sosialisasi yang berlangsung secara alamiah di Desa Tanggir. Pengarang berhasil mengangkat persoalan yang terjadi sehari-hari dalam sebuah cerita yang terasa hidup dan menarik. Diceritakan bagaimana orang-orang desa itu memandang Pak Danu dengan kagum ketika ia sedang memamerkan sebuah tabung yang dicurinya dari rumah Akiat, majikannya, “Ya, inilah obat semprot ketiak yang sering disiarkan oleh radio dan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 219 televisi. Inilah barangnya. Kalian baru melihat gambarnya atau mendengar namanya sasja, bukan ?...” (hal. 7). Pada bagian pertama, pengarang bercerita betapa pentingnya peran Mbok Sum di desa kecil itu, sehingga roman mukanya saja sering dijadikan pertanda baik atau buruk. Apabila roman mukanya cerah dapat dipastikan bahwa harga gula kelapa pada hari itu akan naik, tetapi bila roman mukanya keruh, harga gula kelapa akan turun. “Para petani gula kelapa itu tidak pernah memberi tanggapan apa pun kecuali anggukan kepala. Mereka kawula, mereka nrimo ing pandum” (hal. 11). Masih dalam bagian yang sama, Tohari juga berhasil menggambarkan proses pemilihan Kepala Desa Tanggir. Diceritakan oleh pengarang bahwa banyak orang yang akan memberikan suara kepada calon yang disukainya dengan ikhlas. Akan tetapi, banyak pula yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan. Perdagangan suara ini seringkali membuat suasana seperti dalam perang dingin. Seorang pemilih berkata dengan enaknya;“Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari ramah-tamah kepada semua orang menjadi acuh tak acuh kepada siapa pun” (hal. 12). Begitulah, suasana pembicaraan yang berlangsung saat pemilihan lurah baru yang dilaksanakan di Balai Desa Tanggir. Mereka berkelompok-kelompok membicarakan siapa kiranya yang akan terpilih. Setiap orang menghendaki agar jagonya yang terpilih. Secara umum mereka menghendaki agar lurah yang baru nanti orangnya baik. (hal. 13). 2. 2. Interaksi Sosial dalam Novel DiKaki Bukit Cibalak Pada bagian empat, Tohari bercerita mengenai interaksi sosial di Desa Tanggir. Pada Jumat siang itu Pambudi mengenakan kain sarung baru. Ia hendak bersembahyang Jumat di suarau ayah Sanis. Selesai bersembahyang Pambudi tidak segera pulang. Banyak orang merubungnya dan bertanya macam-macam tentang Mbok Ralem. Walaupun mulutnya menjawab bermacam-macam pertanyaan, tetapi matanya memperhatikan Sanis yang sedang menjemur irisan ubi gadung. Kepada orang-orang yang mengelilinginya, Pambudi menunjukkan sehelai harian Kalawarta. Hanya dua orang yang tahu aksara, tetapi mereka semua kagum. Mereka melihat foto Mbok Ralem dalam koran itu. Luar biasa, Mbok Ralem masuk koran, pikir mereka (hal. 50). Proses sosial yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Tanggir seperti tersebut di atas adalah sesuatu yang wajar. Hal ini mengingat bahwa interaksi sosial di antara mereka adalah kunci dari semua kehidupan sosial. Oleh karena itu, tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. 2. 3. Pergeseran Nilai Sosial dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak. Pasar adalah tempat berlangsungnya transaksi jual-beli bermacam-macam kebutuhan hidup manusia. Dengan demikian, pasar merupakan tempat yang strategis bagi masing-masing individu atau kelompok-kelompok manusia untuk menjalin komunikasi dan menjalin interaksi dengan berbagai pihak lainnya. Di dalam proses komunikasi dan interaksi tersebut, terjadilah suatu proses yang seringkali berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat, dan terkadang bisa pula menggeser nilai-nilai sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu perilaku pasar sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Dalam novel DKBC kenyataan seperti itu dilukiskan pengarang dalam berbagai adegan atau kejadian. Dalam salah satu bagian, digambarkan bagaimana barang-barang yang terbuat dari plastik, misalnya, ternyata lebih menawan hati orang- orang Tanggir. Tempat tembakau yang biasa mereka anyam dari jenis rumput-rumputan telah mereka singkirkan. Dompet plastik ternyata lebih menawan hati mereka. Orang-orang Tanggir tidak merasa terganggu oleh banyaknya sampah plastik dalam pawuan mereka. Mereka punya kesabaran yang luar biasa untuk menjumputi sampah-sampah pabrik itu apabila mereka hendak menjadikan isi pawuan mereka sebagai pupuk kompos (hal. 7). Sedang melalui tulisan-tulisannya yang termuat di harian Kalawarta, Pambudi mengingatkan penduduk desa bahwa hendaknya kita jangan menafsirkan secara tergesa-gesa seollah-olah banyaknya barang konsumsi mahal yang sudah dimiliki oleh orang desa membuktikan bahwa desa itu

220 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

sudah maju. Banyaknya sepeda motor, mobil, TV, atau barang lainnya bukan menjadi pertanda mutlak adxanya kemajuan di desa tersebut. Orang-orang bisa memiliki baranbg-barang mahal tersebutkarena sebetulnya mereka telah menjual modal mereka seperti sawah, kerbau atau pohon kelapa. Dapat membangun rumah gedung, tetapi sawahnya bertambah sempit, bahkan habis sama sekali (ha. 149).

3. Sikap Generasi Muda dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak Pambudi, Poyo, Sanis, Jirah, Topo, Bambang Sumbodo, Mulyani, dan Hadi adalah nama-nama dari kalangan generasi muda yang diceritakan Tohari dalam novel DKBC. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa meskipun hidup dalam satu generasi, akan tetapi pengarang menghadirkan tokoh- tokoh tersebut dengan karakter yang berbeda-beda, bahkan ada yang berlawanan sama sekali. Perbedaan karakter generasi muda dalam menyikapi proses perubahan sosial di Kaki Bukit Cibalak inilah yang menjadi salah satu daya tarik dari novel tersebut. Tokoh utama novel DKBC adalah Pambudi. Dalam menampilkan karakter Pambudi, pengarang selalu mengaitkan sikap dan perilaku tokoh tersebut dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lainnya. Sebagai pemuda yang mempunyai idealisme tinggi, sesungguhnya Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi sebagai tempat untuk membuktikan kemampuannya. Ia ingin menjadikan badan sosial itu sebagai lembaga yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi segenap penduduk Tanggir. Namun sayangnya ia berbenturan dengan tembok kekuasaan yang sering berlaku curang dan korup. “Tidak, aku tidak berlebih-lebihan dalam bercita-cita ini. Koperasi untuk kepentingan bersama, tetapi alangkah sulit mengusahannya”. Demikianlah dalam hatinya Pambudi mengeluh (hal. 19). Melalui tokoh Pambudi, pengarang menceritakan karakter dan perilaku Poyo. Pambudi terkadang bertanya kepada diri sendiri, mengapa ia tidak berbuat seperti Poyo, teman sejawat dalam pengelolaan lumbung koperasi desa itu. Sebagai pengelola Lumbung Koperasi Desa Tanggir, ternyata Poyo telah berbuat curang. Koperasi untuk kesejahteraan bersama, tetapi pada kenyataanya telah diselewengkan untuk kesejahteraan hidup keluarganya. Untuk memperoleh keuntungan padi yang sangat banyak, Poyo bekerja sama dengan Lurah Tanggir dalam memperbesar angka penyusutan, sedangkan dengan para tengkulak, mereka bersengkongkol dalam menentukan harga jual padi sehingga mereka memperoleh komisi yang sangat banyak pula. Kecurangan-kecurangan itu dapat dilakukan dengan mudah karena Lumbung Koperasi Desa Tanggir memang tidak memiliki mekanisme pengawasan. Hal itu bahkan lebih diperparah lagi oleh kenyataan bahwa kebanyakan penduduk Tanggir adalah keturunan kaum kawula sehingga mereka bersikapm apatis, menerima apa adanya (hal. 18).

PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan. Pertama, sebagai penulis novel DKBC Tohari memang memiliki potensi menulis sebuah novel yang baik, hal ini terutama apabila diingat bahwa novel ini adalah karangannya yang pertama. Kedua, novel DKBC ditulis dengan amat menarik karena dibangun dengan latar belakang tradisi pedesaan yang sedang berubah. Ketiga, melalui novel DKBC Tohari berhasil memotret kehidupan dan mengabadikan beberapa ketimpangan yang masih hidup subur di daerah pedesaan. Keempat, dalam novel DKBC terlihat kelebihan dan kekuatan Ahmad Tohari. Kelebihan dan kekuatannya itu terletak pada kemahirannya dalam menyusun peristiwa dan meraciknya dalam bentuk cerita yang menarik seperti kejadian yang sebenarnya. Kelima. Ahmad Tohari adalah pengarang yang tinggal di desa. Ia memiliki kesadaran dan wawasan yang dalam terhadap lingkungan hidupnya yakni dunia pedesaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 221

DAFTAR PUSTAKA Bujono, Bambang. 1986. “Tanggir Berubah Tohari Bercerita”. Jakarta: Tempo No. 35 Th. XVI. Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mudatsir, Arief. 1986. “Cermin dari Desa”. Jakarta: Panji Masyarakat No. 517 Th. XXVIII. Nico, Hayon G. 1995. Gambaran Manusia Jawa dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari (Suatu Tinjauan Sosiobudaya). Jakarta: Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Rinaldy, Eddie. 1993. “Pambudi dari Desa Tanggir”. Jakarta: Horison No. 7&8 Th. XXVIII. Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Cet. XXII. Jakarta: PT Raja Grafindi Persada. Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Ed II. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tohari, Ahmad. 2001. Di Kaki Bukit Cibalak. Cet.II. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wasono, Sunu. 1986. “Di Kaki Bukit Cibalak, Kaum Tua Versus Muda”. Jakarta: Suara Karya 12 September 1986. Wellek, Rene dan Aqustin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. Zaimar, Okke K.S. 1997. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermassa.

222 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 223

PEMBELAJARAN MEMBACA PADA TAHAP PERMULAAN

Basuki Universitas Widya Dharma Klaten

Abstrak Salah satu perkembangan kognitif penting pada usia pra sekolah adalah perkembangan pikiran simbolik. Pikiran simbolik adalah kemampuan menghadirkan secara mentah atau simbolik objek kognitif, tindakan dan peristiwa. Anak telah mampu menunjukkan penggunaan fungsi simbol yang lebih besar termasuk di dalamnya menggunakan simbol bahasa (belajar membaca). Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan terhadap seluruh potensi yang ada pada dirinya. Pada masa ini terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan lingkungan, termasuk stimulasi literasi membaca menulis.

Kata kunci : belajar membaca, usia dini.

PENDAHULUAN Usia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi anak. Mereka mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan terhadap seluruh potensi yang ada pada dirinya. Pada masa ini terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan, termasuk stimulasi literasi membaca dan menulis (Brody, dkk, 1987). Bahkan Eisele dan Aram (2000) menyatakan bahwa seorang anak pada usia 6 bulan telah mampu menerima respon literasi awal dan akan berkembang memasuki tahapan penguasaan kosa kata awal pada saat mereka berusia 11 sampai dengan 13 bulan. Sejalan dengan itu Fisher (1998) menyimpulkan bahwa perkembangan literasi (literacy development) yang berupa kemampuan membaca telah tumbuh sebelum anak berusia 4 tahun. Konsep tentang kesiapan membaca anak pertamakali dicetuskan oleh National Committee on Reading dengan konsep reading readiness (kesiapan membaca). Konsep tersebut menerangkan bahwa kesiapan membaca merupakan hasil dari perkembangan kematangan biologis sehingga proses mental yang diperlukan akan muncul dengan sendirinya. Di samping itu kesiapan membaca merupakan hasil dari pengalaman. Kesiapan membaca bagi anak dengan lingkungan yang mendukung akan muncul lebih awal dibandingkan dengan anak yang lingkungannya kurang mendukung. Sejak tahun 1970-an sebagian besar pakar pendidikan lebih sependapat dengan perspektif kedua, yang secara prinsip meyakini bahwa sebagai sebuah bentuk keterampilan, membaca dan menulis merupakan suatu keterampilan yang memerlukan proses pembiasaan dan pembelajaran secara terus menerus dan berpola sehingga perlu dilatihkan pada anak-anak usia dini seawal mungkin melalui suatu metode pembelajaran yang tepat (Ramsburg, 1998). Di tengah-tengah era globalisasi yang melanda dunia, tidak sedikit para orang tua memperkenalkan pembelajaran membaca sedini mungkin kepada anaknya. Secara teoritik upaya memperkenalkan membaca sedini mungkin dapat dibenarkan, mengingat anak-anak usia antara 3 sampai dengan 8 tahun, berada pada tahap perkembangan intelektual di tingkat yang potensial. Menurut penelitian di bidang neuorolgi yang dilakukan oleh Osbon White dan Bloom, anak usia ini perkembangan intelektualnya berada pada grafik optimum 80% (Subdin PLS dan OR Dinas P dan K, 2007). Pada sisi lain, anak dituntut untuk mampu membaca menulis saat mereka mulai memasuki pendidikan SD. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya SD yang menerapkan sistem seleksi berdasarkan atas kemampuan membaca dan menulis. Fakta menunjukkan bahwa anak yang tidak dibekali dengan kemampuan dasar membaca dan menulis sama sekali, akan sangat sulit beradaptasi untuk belajar di SD. Kondisi tersebut mendorong masyarakat terutama para orangtua untuk

224 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

mempersiapkan anak-anaknya agar memiliki kemampuan dasar membaca dan menulis seawal mungkin.

MASALAH MEMBACA Membaca dapat dilihat sebagai suatu proses dan sebagai hasil. Sebagai suatu proses, membaca mencakup (a) proses visual, (b) proses berpikir, (c) proses psikolinguistik, (d) proses metakognitif dan (e) proses teknologi. Sebagai suatu hasil, dalam membaca terdapat pencapaian komunikasi pikiran dan perasaan pembaca dengan penulis. Komunikasi terjadi karena terdapat kesamaan pengetahuan, anggapan, dan asumsi antara pembaca dan penulis. Peristiwa komunikasi ini sangat tergantung pada pemahaman yang diperoleh pembaca dalam semua proses membaca (Crawley and Montain, 1995: 28). Sebagai suatu proses visual, dalam membaca terjadi pergerakan mata. Sebagai proses berpikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman literal dan pemberian kritik. Pengenalan kata berarti mampu memahami kata dengan cepat dan tepat. Pemahaman literal mencakup kata, kelompok kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraf. Pada pemahaman literal ini pembaca akan memahami maksud penulis dan memberikan tanggapan yang dapat berupa komentar, kritikan, dan lain-lainnya. Sebagai proses psikolinguistik, dalam aktivitas membaca terjadi interaksi antara pikiran dan bahasa. Pemahaman terhadap fonologi, semantik, dan sintaksis sangat membantu pembaca dalam memahami isi bacaan. Proses metakognitif dalam membaca meliputi perencanaan, penetapan strategi, pemantauan, dan penilaian. Pembaca mengidentifikasi tugas-tugas membaca, menetapkan strategi dalam memahami bacaan, memantau pemahaman dan menilai keberhasilannya. Akhirnya, membaca adalah proses teknologi karena kegiatan membaca mencakup interaksi pembaca dengan teknologi, misalnya dengan program tertentu, komputer dapat mengucapkan kata-kata bagi pembaca. Sebagai suatu proses, membaca terdiri atas tahap-tahap yang saling ber-kaitan. Membaca pada hakikatnya terdiri atas lima tahapan yaitu: (1) mengidentifikasikan pernyataan tesis dalam kalimat topik, (2) mengidentifikasikan kata dan frasa kunci, (3) mencari kosakata baru, (4) mengenali organisasi tulisan, dan (5) mengidentifikasikan teknik-teknik pengembangan paragraf (http://karn~ohiolink. edu/~sg~ysu/critread.htm diakses tanggal 2 Juli 2013). Alderson (2000: 4) melihat membaca tidak saja dari sisi proses, tetapi juga dari hasil. Proses membaca terjadi pada saat pembaca melakukan interaksi dengan aksara. Pada saat proses membaca yang terjadi tidak hanya si pembaca melihat aksara yang dibaca tetapi mengartikan aksara, mengumpulkan arti aksara dan menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain dalam aksara tersebut. Di samping itu pembaca juga memikirkan apa yang sedang dibaca, apa manfaatnya isi wacana bagi dirinya, bagaimana hubungannya dengan pengalaman yang dimiliki atau membayangkan apa yang ada pada aksara tersebut. Hasil proses membaca adalah membandingkan antara pemahaman yang diperoleh pembaca dengan wacana yang dibaca. Pendapat lain (Finn, 1985: 30) menyatakan bahwa membaca merupakan kegiatan menyusun simbol dan bunyi bahasa sehingga orang yang melihat simbol-simbol tersebut dapat mengucapkan kata atau kalimat. Karena itu belajar membaca memerlukan keterampilan yang berhubungan dengan pendengaran (auditory skill) dan keterampilan visual (visual skill). Untuk dapat memadukan bunyi bahasa dan simbol diperlukan kemampuan membedakan aksara dan bunyi bahasa satu dengan yang lain. Membaca juga diberi pengertian sebagai suatu kegiatan memahami makna yang bersifat kompleks dan merupakan aktivitas kognitif yang bersifat terus-menerus yang berupa kemampuan untuk memahami kata dan menafsirkan maknanya (decoding) secara menyeluruh dan terpadu (Owens, 1992: 395). Makna yang dimaksud meliputi makna konseptual, makna proporsional, dan makna kontekstual. Makna konseptual atau yang sering disebut sebagai makna denotatif, kognitif, atau inferensial, adalah makna lugas yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu. Makna proporsional adalah makna yang Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 225 dimiliki oleh suatu klausa atau kalimat seperti apa adanya (plain sense). Di dalam ilmu bahasa makna proporsional merupakan makna dasar suatu kalimat atau klausa, dan makna kontekstual adalah makna yang muncul ketika suatu kalimat digunakan dalam sebuah konteks pembicaraan tertentu (Joko Nurkamto, 2001: 2). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa membaca itu pada dasarnya merupakan suatu proses penangkapan dan pemahaman ide penulis yang berupa makna konseptual, proporsional, serta kontekstual, yang tertuang dalam suatu bacaan melalui suatu aktivitas yang melibatkan penglihatan, ingatan, pemikiran dan pemahaman yang dilakukan untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis.

MEMBACA PADA TAHAP PERMULAAN Membaca permulaan atau membaca tahap pemula adalah tahap yang mengubah manusia dari tidak dapat membaca menjadi dapat membaca (Soenjono Dardjowidjojo, 2005: 300). Pada tahap membaca permulaan, anak perlu memperhatikan dua hal, (1) keteraturan bentuk dan (2) pola gabungan huruf. Kemampuan anak untuk memahami akan adanya keteraturan bentuk huruf mempunyai prasyarat yang sifatnya psikologis dan neurologis. Dari segi psikologi, anak harus terlebih dahulu telah mengembangkan kemampuan kognitifnya sehingga dia telah dapat membedakan suatu bentuk dari bentuk yang lain. Dengan kemampuan kognitifnya tersebut, anak dapat membedakan garis lurus, bundaran, bengkokan, setengah lingkaran dan sebagainya. Lebih lanjut Soenjono Dardjowidjojo menjelaskan bahwa prasyarat kognitif menyangkut pula beberapa aspek yang lain. Anak harus telah pula mengembangkan sikap untuk memperhatikan secara selektif apa yang ada di sekitarnya. Atensi dan motivasi merupakan bekal kognitif yang perlu untuk dapat mengembangkan kemampuan membaca. Kecuali atensi dan motivasi, anak harus telah pula mengembangkan kemampuan asosiatif, yakni kemampuan untuk mengaitkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Anak tidak akan dapat mulai membaca jika dia belum menyadari bahwa apa yang telah dapat ia ucapkan itu bisa dikaitkan dengan corat-coret pada secarik kertas. Dia telah harus mengembangkan kemampuan untuk memakai simbol. Simbolisasi ini diperlukan karena anak harus telah menyadari bahwa apa yang dalam memorinya selama ini tersimpan dalam bentuk bunyi, kini dapat disimbolkan dalam bentuk huruf (Soenjono Dardjowidjojo, 2005: 301). Dari segi neurologis, anak tidak akan mungkin dapat membaca sebelum neuro-biologinya memungkinkan. Pada umur satu tahun, otak anak baru berkembang menjadi 60% dari otak orang dewasa dan belum mampu mengidentifikasi garis lurus, setengah lingkaran dan kombinasinya. Bagi anak TK (4-6 tahun) perkembangan intelektualnya telah mencapai 80% dan telah mampu mengidentifikasi garis lurus, setengah lingkaran dan kombinasinya. Dengan lain kata, anak telah siap diajar membaca. Roberts dalam Seefeldt dan Wasik (2006: 324) menjelaskan bahwa bahasa menjadi sarana untuk perkembangan membaca dan menulis anak. Pada saat anak-anak usia empat dan lima tahun menjadi mahir dengan bahasa dan mempunyai akses ke pengalaman membaca dan menulis, mereka mengembangkan kemampuan lain yang langsung berhubungan dengan belajar membaca dan menulis. Kemampuan tersebut meliputi pemahaman fonemik (bunyi), pengetahuan tentang huruf, dan pemahaman huruf cetak. Tiga kemampuan penting itu perlu dimiliki anak-anak agar mereka siap menerima pembelajaran membaca permulaan (Roberts dalam Seefeldt dan Wasik, 2006:324). Saat anak-anak tumbuh dan berkembang, kemampuan-kemampuan ini menjadi saling berhubungan dan membentuk dasar kemampuan membaca dan menulis permulaan. Teori membaca permulaan yang lain dikemukakan oleh Anstey & Bull (1996: 61-66). Berdasarkan riset mereka, Anstey & Bull memberi pemahaman tentang pembelajaran membaca permulaan. Riset yang cukup berpengaruh pada teori pembelajaran membaca permulaan ini telah

226 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

merancang sejumlah langkah yang dapat digunakan untuk mengembangkan pemahaman siswa agar dapat memiliki kecakapan membaca. Menurut teori ini, beberapa hal yang dapat mendukung kecepatan membaca permulaan pada anak adalah sebagai berikut. 1) Yang paling berpengaruh dan memiliki implikasi dengan membaca permulaan adalah upaya ‘menyiapkan anak untuk membaca’. Dua komponen utama yang perlu diperhatikan untuk menyiapkan anak pada upaya membaca permulaan adalah membantu anak untuk membedakan antara kalimat dan kata. Di samping itu membaca permulaan juga membantu anak untuk membedakan kata-kata dan kalimat yang memiliki hubungan bunyi yang serasi. Keduanya diasumsikan memudahkan anak untuk belajar membaca (lisan ataupun membaca dalam hati), yang memungkinkan mereka untuk memahami kode cetakan (abjad/huruf). 2) Dalam kaitannya dengan materi program keterampilan membaca permulaan ini harus dimulai dari tingkatan penguasaan kata atau kalimat yang sederhana baru menuju pada kata yang lebih kompleks. 3) Program selanjutnya adalah memberi pre test kepada anak untuk menentukan kesiapan anak mulai mempelajari keterampilan membaca permulaan. Yang menjadi masalah selama ini sekolah sering mengabaikan kesiapan anak dan membiarkan anak mempelajari keterampilan membaca permulaan berdasarkan buku yang telah ada semata yang tentunya mengesampingkan semua langkah yang harus ditempuh untuk menyiapkan anak menerima keterampilan membaca permulaan (Anstey & Bull, 1996:61-66).

Contoh tahapan aktivitas yang dapat membantu anak untuk melatih indera pendengarannya, dan membantu menyiapkan anak untuk memiliki keterampilan membaca permulaan dari Anstey & Bull (1996: 61-66) adalah sebagai berikut.

Tahapan Aktivitas Membaca Permulaan SKILLS EXAMPLE SCREENING ACTIVITY 1. Visual discrimination [Membedakan Jenis Visualisasi] a. Colour [Warna) a) Naming and discriminating colours (Menamai benda dengan membeda-bedakan warna). b. Size [Ukuran] b) Identifying and ordering objects of different size. Such as smallest to largest [mengenali dan menyusun objek berdasarkan perbedaan ukuran, semisal dari yang terkecil sampai ukuran yang terbesar] c. Shape [Bentuk] c) Identifying and discriminating same and different shapes [mengidentifikasi benda atas dasar persamaan dan perbedaan bentuk. d. Position in space [Posisi atau d) Identifying internal and external differences in objects and the Kedudukan benda dalam position in which they are place-for example, the letter ‘p’, ‘b’, ruang] and ‘d’ are the same shape but are positioned different in space." Mengidentifikasi perbedaan internal dan eksternal yang terdapat dalam objek dengan cara merubah posisi benda yang dimaksud , contoh objek berbentuk hurup p, jika posisinya di dalam ruang dirubah-rubah maka akan dapat dibaca sebagai huruf ' p', ' b', dan ' d'. e. Figure-background e) Being able to identity against a busy background, such as a line discrimination drawing of a book against a scribbled line background. [membedakan latar [misalnya siswa dapat membedakan buku yang latar belakang gambar] belakangnya menggambarkan kesibukan dibandingkan dengan garis-garis tidak beraturan seperti cakar ayam] Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 227

2. Visual motor coordina-tion [Koordinasi visual motori] a. General [Umum] a. Being able to cope with everyday activities like buttons and zips [Mencontoh aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari, semisal menekan tombol] b. Eye-hand [Menarik garis] b. Being able to reproduce (copy) a simple drawn shape like square, circle, triangle, copying own name [mampu membentuk/membuat suatu gambar dengan cara menarik garis sederhana yang saling berhubungan sehingga membentuk gambar sedehana berupa bujur sangkar, lingkaran, ataupun segitiga, kemudian menuliskan nama bentuk bangun tersebut]

3. Visual memory [Memori Visual] a. General [Umum] a. Recalling details in a picture [Mengingat kembali detail suatu gambar] b. Sequential [ Contoh] b. Reproducing a simple line drawing after it has ben removed [memindahkan garis yang dilihat ke dalam bentuk gambar garis yang sederhana] c. Reproducing a simple pattern sequence (such as one made with coloured beads, or differents objects) after is has been removed. [membuat gambar berdasarkan pola gambar sederhana yang telah disiapkan dengan cara menempel titik- titik atau manik-manik dari kertas berwarana pada pola gambar]

Anstey & Bull (1996: 63) menunjukkan beberapa contoh gambar dan jenis aktivitas yang mungkin dapat dilakukan di kelas yang dapat diadopsi para guru sebagai pendekatan dalam pembelajaran membaca permulaan. Sebagai contoh aktivitas memilih hal-hal yang sering ditemui anak setiap hari, seperti menyiapkan gambar beruang kecil berwarna, akan sangat membantu mengembangkan kesiapan anak memulai aktivitas membaca permulaan, dan akan memudahkan anak membangun persepsi visual sesuai dengan gambar (alat bantu) yang digunakan dalam pembelajaran. Selanjutnya, materi yang dapat membantu membangun persepsi inderawi (pendengaran) berguna untuk menyiapkan anak memulai kegiatan membaca permulaan, seperti penggunaan tape untuk mempelajari bunyi. Hal yang harus dipahami guru adalah sebelum memulai aktivitas atau langkah pembelajaran membaca permulaan siswa harus lebih dulu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi bunyi dan mengenali bunyi-bunyi baik yang berlainan atau serupa. Pentingnya pemahaman terhadap bunyi bahasa dalam pembelajaran membaca permulaan juga dikemukakan oleh Seefeldt dan Wasik (2006:327). Mereka mengatakan bahwa pemahaman fonemik sangat menunjang keberhasilan dalam pembelajaran membaca permulaan. Anak-anak yang bisa mendengar aneka bunyi dalam kata-kata dan yang mampu menggunakan bunyi di dalam kata-kata lebih berhasil dalam belajar membaca. Kendati kebanyakan anak belajar membaca di sekolah, sebagian besar anak belajar tentang membaca di rumah. Mereka belajar simbol tertulis sesuai dengan bahasa tutur ketika menyampaikan arti kepada orang lain. Tetapi, kebanyakan anak prasekolah melakukan kegiatan membaca, tidak benar benar membaca. Mereka mungkin dapat mengidentifikasi Coca-Cola, Burger King, atau tanda Fruit Loops ketika melihatnya, tetapi ini bukan benar-benar membaca. Kendati demikian, apa yang dipelajari anak selama berbicara dengan orangtua tadi adalah

228 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

kemampuan menyusun tahap membaca yang sebenarnya. Gagasan bahwa ada kontinum perkembangan kemampuan membaca, dari anak usia prasekolah hingga yang sudah menjadi pembaca fasih, dikatakan sebagai emergent literacy. Whitehurst dan Lonigan (1998: 199) mencatat sembilan komponen emergent literacy, sebagai berikut. 1) Language: membaca merupakan kemampuan bahasa, dan anak-anak harus cakap dengan bahasa tutur. Kemampuan membaca yang terampil juga memerlukan lebih dari sekadar kecakapan bahasa tutur. Membaca tidak berarti refleksi bahasa tutur, di mana anak yang memiliki kecakapan bahasa yang tinggi akan menjadi anak dengan kemampuan membaca yang baik. 2) Convention of print: anak-anak yang dipaparkan kepada pembacaan di rumah melalui penemuan cetak. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, anak-anak belajar bahwa membaca dilakukan dari kiri ke kanan, atas ke bawah, dan dari depan ke belakang. 3) Knowledge of letters: Kebanyakan anak dapat menceritakan ABC sebelum mereka masuk ke sekolah dan dapat mengidentifikasi individu huruf dari alphabet (kendati beberapa anak berpikir “elemeno” adalah nama huruf antara “k” dan “p”. Pengetahuan huruf sangat kritis bagi kemampuan baca. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa kemampuan anak TK untuk menamai huruf, memprediksikan nilai yang dapat diraihnya pada kemampuan membaca di kemudian hari. 4) Linguistic awareness; anak harus belajar mengidentifikasi tidak saja huruf melainkan unit linguistik, seperti fonem, silabel, dan kata. Mungkin yang paling penting dari kemampuan linguistik untuk membaca adalah pengolahan fonologi, atau diskriminasi dan mengartikan berbagai suara bahasa. 5) Korespondensi phoneme-grapheme: Ketika anak sudah memahami bagaimana mensegmentasikan dan mendiskriminasikan beragam suara bahasa, mereka harus mempelajari bagaimana suara ini sesuai dengan huruf tertulis. Kebanyakan proses ini dimulai dimasa prasekolah, di mana pengetahuan huruf dan sensitivitas fonologis berkembang secara simultan dan resiprokal (timbal balik). 6) Emergent reading: banyak anak pura-pura membaca. Mereka akan mengambil buku cerita yang sudah akrab bagi mereka dan “membaca” halaman per halaman, atau akan mengambil buku yang belum akrab bagi mereka dan pura-pura membaca, membuat narasi sesuai dengan gambar di halaman tersebut. 7) Emergent writing: Sama dengan pura-pura membaca, anak-anak juga sering berpura-pura menulis, membuat garis lekuk (squiggle) pada sebuah halaman untuk “menuliskan” nama atau cerita mereka, atau merangkai huruf yang benar untuk menghasilkan sesuatu yang menurut mereka sesuai dengan cerita. 8) Motivasi print: seberapa tertariknya anak-anak dalam membaca dan menulis? Seberapa pentingkah bagi mereka untuk memahami kode rahasia yang memungkinkan orang tua mengartikan serangkaian tanda pada sebuah halaman? Beberapa bukti mengindikasikan bahwa anak kecil lebih tertarik dalam print (huruf cetak) dan membaca memiliki skill emergent literacy yang lebih besar ketimbang yang kurang termotivasi untuk melakukannya. Anak-anak yang tertarik dalam membaca dan menulis lebih mungkin mengetahui huruf cetak, mengajukan pertanyaan tentang print, mendorong orang dewasa untuk membacakannya untuk mereka, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca ketika mereka sudah bisa. 9) Other Cognitive Skill: Kemampuan kognitif individu, di samping yang berkaitan dengan bahasa dan kesadaran linguistik mempengaruhi kemampuan baca anak-anak. Berbagai aspek lain memori sangatlah penting yang juga ikut mempengaruhi kemampuan membaca.

Hubungan antara beberapa komponen “Emergent Literacy” dengan kemampuan baca terkadang sulit dijelaskan. Namun demikian, jelas bahwa keluarga memberikan “The Whole Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 229

Package”. Munculnya keterampilan emergent literacy pada anak-anak akhirnya akan membantu mereka untuk memiliki kemampuan baca yang lebih baik di awal sekolah maupun di kemudian hari, daripada keluarga yang hanya memberikan paket sedikit-sedikit (Whitehurst & Lonigan, 1998). Ini dibenarkan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kemampuan emergent literacy selama masa prasekolah dengan kemampuan membaca di sekolah dasar (Lonigan, Burgess, & Anthony, 2000; Storch & Whitehurst, 2002). (Www.wordpress.com) diakses tanggal 5 September 2013.

LANGKAH-LANGKAH MEMBACA PERMULAAN Anstey & Bull (1996:70) telah menyusun suatu program pembelajaran membaca permulaan berdasarkan tingkatan kesulitan. Hirarkhi ini dapat digunakan dan dikembangkan oleh guru atau orangtua dengan prinsip bahwa dalam upaya membantu anak untuk lebih memudahkan penguasaan membaca permulaan, maka materi pembelajaran membaca permulaan secara teoretis harus dimulai dari yang mudah ke sulit atau yang sederhana ke kompleks. Tingkat kesulitan materi dianjurkan untuk mengikuti susunan sebagai berikut. 1) The letters of the alphabet: student should be able to recognize, state the name, common sound and write the letters of the alphabet in both lower case and upper case. Dalam mengenali dan menuliskan abjad siswa harus bisa mengenali hal berikut: menyatakan nama abjad, bunyi abjad secara umum, dapat menuliskan abjad baik dalam bentuk huruf kecil dan huruf besar (kedua- duanya secara bersamaan). 2) Three letter words: students should be able to blend, recognize and build word families in a consonant/voel/consonant pattern- for example: h-a-t, p-e-t. Tulisan yang terdiri dari tiga kata: para siswa harus bisa mencampur, mengenali dan mengelompokan kata-kata atas konsonan/vokal/konsonan sebagai contoh: h-a-t, p-e-t. 3) *Stage (A) Two letter initial consonant blend, such as bl, br, cr, fl [Langkah (A) mampu mengenali tulisan yang memakai dua huruf mati campuran, seperti bl, br, cr, fl] *Stage (B) Two letter final consonant blends, such as ft, lk, ld, nk (B) mampu mengenali tulisan yang memakai dua huruf mati campuran akhir, seperti ft, lk, ld, nk] *Stage (C)Three letter initial consonant blends, such as scr, spt, str [(C) mampu mengenali tulisan yang memakai huruf mati campuran, seperti scr, spt, str] 4) Digraphs-for example, ar, er, or silent letters-for examples , knee, pneumonia Huruf rangkap sebagai contoh, ar, er, atau tidak diucapkan seperti, lutut, radang paru paru. 5) Syllabification-includes compound words, prefixes, suffixes and word roots b) Silabifikasi meliputi kata majemuk, awalan, akar kata dan akhiran (Anstey & Bull, 1996: 70) .

Uhlenbeck (1978: 26) menyatakan, bahwa hampir 85% akar kata dalam bahasa-bahasa Austronesia memuat dua huruf hidup atau bersuku dua. Pola pengembangan katanya sebagai berikut: satu suku kata memiliki pola KVK, dua suku kata mengikuti pola perkembangan KVVK, KVKVK, KVKKVK dan KVKKVK. Temuan itu juga berlaku untuk Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Artinya, 85% kata tunggal adalah bersuku dua. Dengan lain kata, kata bersuku dua dominan. Berdasarkan penelitian Uhlenbeck tersebut maka pengenalan, pemilihan dan penyusunan bacaan bagi anak pada tahap awal pembelajaran membaca, diutamakan memilih kata yang memiliki dua suku kata. Dari yang bersuku dua itu berturut-turut yang paling favorit adalah pola KVKVK (tidur), KVKKVK (kantor), KVKV (mata). Dengan demikian, variasi pengenalan dapat dilakukan dengan memilih kata-kata yang memiliki pola suku kata sebagai berikut: KVKV (bola), KVKVK (makan), KVKKV (pintu) dan KVKKVK (senduk). Selanjutnya ditingkatkan dengan pemilihan kata yang memiliki pola suku kata lebih dari dua. Belajar membaca mencakup pemerolehan kecakapan yang dibangun pada keterampilan sebelumnya. Jeanne Chall (1979) mengemukakan ada empat tahapan dalam perkembangan

230 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

kemampuan membaca, dimulai dari keterampilan pre-reading hingga ke kemampuan membaca yang sangat tinggi pada orang dewasa. Adapun tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut: 1) Tahap 0, dimulai dari masa sebelum anak masuk kelas pertama, anak-anak harus menguasai prasyarat membaca, yakni belajar membedakan huruf dalam alfabet. Kemudian pada saat anak masuk sekolah, banyak yang sudah dapat “membaca” beberapa kata, seperti “Pepsi”, “McDonalds”, dan “Pizza Hut.” Kemampuan mereka untuk mengenali simbol-simbol populer ini karena seringnya melihat di televisi atau pun di sisi jalan serta meja makan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat membedakan pola huruf, meskipun belum dapat mengerti kata itu sendiri. Pengetahuan anak-anak tentang huruf dan kata saat ini secara umum lebih baik ketimbang beberapa generasi sebelumnya, hal ini dikarenakan pengaruh acara televisi anak seperti “Sesame Street.” 2) Tahap 1, mencakup tahun pertama di kelas satu. Anak belajar kecakapan merekam fonologi, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menerjemahkan simbol-simbol ke dalam suara dan kata-kata. Kemampuan ini diikuti dengan tahap kedua pada kelas dua dan tiga, di mana anak sudah belajar membaca dengan fasih. Di akhir kelas tiga, kebanyakan anak sekolah sudah menguasai hubungan dari huruf ke suara dan dapat membaca sebagian besar kata dan kalimat sederhana yang diberikan. Perubahan dari “learning to read” menuju “reading to learn” dimulai dalam tahap 3. 3) Tahap 2, dimulai dari kelas 4 sampai kelas 8. Anak-anak pada tahap ini sudah bisa mendapatkan informasi dari materi tertulis, dan ini direfleksikan dalam kurikulum sekolah. Anak-anak di kelas ini diharapkan belajar dari buku yang mereka baca. Jika anak belum menguasai “ how to” ketika kelas empat, maka kemajuannya membaca untuk kelas selanjutnya bisa terhambat. 4) Tahap 3, dimulai pada saat sekolah tinggi, direfleksikan dengan kemampuan baca yang sangat fasih. Anak menjadi semakin dapat memahami beragam materi bacaan dan menarik kesimpulan dari apa yang mereka baca (www.wordpress.com) diakses 5 September 2013.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa banyak hal penting yang harus diperhatikan pada anak- anak agar dapat mengembangkan keterampilan membaca permulaan terutama berkaitan dengan urutan pemilihan bahan pembelajaran. Perkembangan keterampilan membaca pada dasarnya telah terjadi sebelum anak-anak masuk sekolah. Lewat pengalaman memperhatikan buku-buku, atau media lain anak-anak belajar bahasa secara kontekstual yang memberi sumbangan pada perkembangan membaca permulaan.

PENUTUP Pengenalan membaca permulaan secara dini menjadi hal penting dalam rangka menyiapkan anak belajar lebih lanjut. Guru atau orangtua perlu memahami tumbuh kembang anak, kapan siap menerima stimulasi pembelajaran membaca. Dengan mengenal dan memahami anak, guru atau orangtua dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran dengan baik dan tepat. Memahami karakteristik anak merupakan salah satu kompetensi yang perlu dimiliki terutama bagi guru. Secara umum anak usia 3-5 tahun telah memasuki masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam pengembangan fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral dan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal. Membaca sebagai salah satu keterampilan berbahasa, memerlukan proses pembiasaan dan pembelajaran secara terus menerus dan berpola. Keterampilan ini perlu dilatihkan sedini mungkin dengan cara dan metode yang tepat. Peran orangtua dan lingkungan memegang peran penting dalam memaksimalkan pencapaian perkembangan bahasa pada umumnya dan membaca khususnya. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 231

Potensi yang dibawa sejak lahir dengan segala keterbatasannya harus menjadi perhatian dalam peran yang dimainkan dalam interaksi dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Alderson, J.C. 2000. Assessing Reading. Cambridge: Cambridge University Press. Anstey, Michele & Bull, Geoff. 1996. The Literacy Labyrinth: Sydney: Prentice Hall Australia Pty Ltd. Brody, B.A., Kinney, H. C., et al. 1987. ”Sequence of Central Nervous System Velination in Human Infancy I” An Autopsy Study Myelination. Journal of Neuropathology and Experimental Neurology. Crowley. S.J. dan Mountain, L. 1995. Strategies for Guiding Content Reading. Boston: Allyn and Bacon. Eisele, A. Julie., dan Dorothy M. Aram. 2000. “Lexical and Grammatical Development in Children with Early Hemisphere Damage: a Cross-sectional View from Birth to Adolescence” dalam Paul Fletcher dan Brian MacWhinney. The Handbook of Child Language. Cambridge-Massachusetts: Blackwell Publisher Inc. Finn, P.J. 1985. Helping Children Learn to Read. New York: Random House Inc. Joko Nurkamto. 2001. ”Berbahasa dalam Budaya Konteks Rendah dan Budaya Konteks Tinggi” Makalah Kongres Linguistik Nasional IX di TMII-Jakarta 28-31 Juli. 2001 Owens, JR., Robert., E. 1992. Language Development an Introduction. New York: Macmillan Publishing Company. Ramsburg, D. 1998. Understanding Literacy Development in Young Children. Paren News Archives April 1998. http//npin.org/p news/1998/ pnew4986.html. diunduh Desember 2007. Seefeldt, Carol dan Barbara A. Wasik. 2006. Early Education: Three-, Four-, and Five- Year- Olds Go to School. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New Jersey Soenjono Dardjowidjojo. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo. Uhlenbeck, E.;M. 1978. Studies In Javanese Morphology. The Hague: Martinus Nijhoff. Whitehuest,G.J.& Lonigan, C.J. 1998. Child Development. New York: Mc. Graw-Hill Book Co.Inc.

232 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 233

KESANTUNAN BAHASA PERMOHONAN HADIR DALAM TEKS SURAT UNDANGAN PERKAWINAN BERDASARKAN SKALA PRAGMATIK LEECH

Benedictus Sudiyana Dosen PBSI FKIP Univet Bantara Sukoharjo e-mail: [email protected] HP 087838242169

Abstract Politeness is one manifestation of respect from someone to another. However, the problem is still on how the disclosure of language politeness in asking the presence in wedding invitation based on Leech pragmatic scale is. Therefore, the research is carried out by using qualitative method/approach in qualitative content analysis pattern. Based on the results, it can be concluded as follows: (1) related to the use of politeness with the choice of cost-benefit scale, it is revealed from a variety of expressions in the form of speech option containing the meaning cost for the speakers and profit for the listeners; (2) the spoken device of cost-benefit scale using diction, sentence mode, and figure of speech; (3) related to the choice of optional scale, using optional choice implicitly and explicitly; (4) the spoken device of the optional scale with sentence mode; (5) in connection with the option of indirectness scale, it is implemented in the form of indirect utterance asking for presence, but the meaning is for inviting or asking for presence, and (6) the spoken device of indirect scale by using diction, sentence mode, mood, and figure of speech.

Keywords: language politeness, pragmatics, wedding invitation

PENDAHULUAN Kesantunan merupakan salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain (Baryadi, 2011: 1). Penghormatan terhadap sesama itu bersifat manusiawi. Saling menghargai merupakan salah satu kekhasan manusia sebagai makluk berakal budi, yaitu makhluk yang perilakunya senantiasa didasarkan pada perimbangan akal budi. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengungkapan kesantunan bahasa permohonan hadir dalam teks surat undangan perkawinan berdasarkan skala pragmatik Leech. Permasalahan penelitian tentang ungkapan permohonan hadir dalam teks surat undangan perkawinan di lingkungan masyarakat Surakarta ini diuraikan: (a) bagaimanakah penggunaan kesantunan dengan pilihan skala biaya-keuntungan, (b) sarana tutur apa saja yang memungkinkan tuturan tersebut dapat diwujudkan, (c) bagaimanakah penggunaan kesantunan pilihan skala keopsionalan, (d) sarana tutur apa saja yang memungkinkan pilihan kesantunan tersebut dapat diwujudkan, (e) bagaimanakah penggunaan kesantunan pilihan skala ketaklangsungan, dan (f) sarana tutur apa saja yang memungkinkan pilihan kesantunan tersebut dapat diwujudkan. Prinsip kesantunan (politeness principles) mencakup (a) maksim kearifan, (b) maksim kedermawanan, (c) maksim pujian, (d) maksim kerendahan hati, (e) maksim kesepakatan, dan (f) maksim simpati (Leech, 1993: 206-207). Keenam maksim itu menjadi landasan dalam menyusun derajat kesantunan yang dioperasionalisasikan dalam wujud skala pragmatik, yakni mencakup skala (1) biaya-keuntungan, (2) keopsionalan, dan (3) ketaklangsungan (Leech, 1993:194-195). Ketiga skala tersebut secara simultan bersama-sama terintegrasi dalam peristiwa komunikasi sehingga setiap melakukan komunikasi dalam rangka praksis kesantunan terkandung satu atau lebih skala pragmatik tersebut. Indikator kesantunan adalah penanda penentu santun tidaknya penutur (Pranowo, 2009: 100). Dalam bidang pragmatik ada sejumlah indikator kesantunan.

234 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Tabel Indikator Kesantunan Berkomunikasi Menurut Beberapa Pakar Pakar Indikator Kesantunan Berkomunikasi Dell Hymes Memperhatikan komponen tutur dengan singkatan SPEAKING: (Pranowo, Setting dan Scene, Participants, Ends, Act Sequence, Key (nada tutur), Instrument, 2009: 101) Norms, Genres P. Grice (1) mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan; (Pranowo, (2) Tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur 2009: 102) atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur (3) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur; (4) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan kepada mitra tutur sehingga merasa jatuh harga dirinya (5) Tidak boleh memuji diri sendiri/membanggakan nasib baik diri sendiri. Leech (1) memberikan keuntungan kepada mitra tutur (m. kebijaksanaan) (Pranowo, (2) lebih baik menimbulkan kerugian pada diri penutur (m. kedermawanan) 2009: 102) (3) dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (m. pujian) (4) tidak memuji diri sendiri (m. kerendahan hati) (5) memberikan kesetujuan kepada mitra tutur (m. kesetujuan) (6) mengungkapkan rasa simpati terhadap mitra tutur (m. simpati) (7) mengungkap rasa senang pada mitra tutur (m. pertimbangan) Pranowo (1) memerhatikan suasana perasaaan mitra tutur agar berkenan (angon rasa) (2009: 103- (2) mempertemukan perasaan penutur dengan perasaan mitra tutur sehingga isi 104) komunikasi sama-sama dikehendaki dan sama-sama diinginkan (adu rasa) (3) menjaga agar tuturan berkenan pada mitra tutur sehingga tuturan diterima (empan papan). (4) menjaga agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (sifat rendah hati) (5) menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih nilainya (sikap hormat) (6) menjaga agar tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (tepa slira)

Leech (1983) menyusun parameter kesantunan yang terdiri atas tiga skala kesantunan, yaitu (a) cost-benefit scale: representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost-benefit cale atau skala biaya dan keuntungan yang menunjuk pada besar kecilnya biaya dan keuntungan yang diakibatkan oleh implikasi pilihan tindak tutur pada sebuah pertuturan, (b) optionality cale: indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a spesific linguistic act. Optionally scale atau skala keopsionalan/pilihan menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) tindakan dalam pertuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur, dan (c) indirectness scale: indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to stablish the intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.Derajat kesantunan dengan skala biaya-keuntungan diukur dengan ada tidaknya biaya/kerugian yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur. Ilustrasi berikut dapat dipertimbangkan.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 235

Kerugian bagi pendengar kurang santun a. Cucikan baju saya! b. Kupaskan jeruk itu! c. Ambilkan majalah di meja itu! d. Duduklah! e. Bacalah novel yang kamu suka! f. Makanlah sepuasmu! Keuntungan bagi lebih santun pendengar (Gunarwan, 1994: 81-113)

Derajat kesantunan skala kemanasukaan diukur dengan banyak/ada dan sedikit/tidaknya pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidak pada mitra tutur. Perhatikan ilustrasi berikut.

lebih sedikit pilihan kurang santun a. Pindahkan lemari itu! b. Kalau ada waktu, pindahkan lemari itu! c. Kalau ada waktu dan tidak lelah, pindahkan lemari itu. d. Kalau ada waktu dan tidak lelah, pindahkan lemari itu, itupun kalau kamu mau. e. Kalau ada waktu dan tidak lelah, pindahkan lemari itu, itu pun kalau kamu mau dan tidak berkeberatan. lebih banyak pilihan lebih santun (Gunarwan, 1994: 81-113)

Derajat kesantunan dengan skala ketaklangsungan diukur dengan ada tidaknya porsi lebih banyak “ketaklangsungan” direksional bagi mitra tutur. Perhatikan ilustrasi berikut.

lebih langsung kurang santun a. Ambilkan kapur! b. Saya ingin Saudara mengambilkan kapur! c. Maukah Saudara mengambilkan kapur? d. Dapatkah Saudara mengambilkan kapur? e. Kapurnya habis. Lebih taklangsung lebih santun (Gunarwan, 1994: 81-113)

Pemakaian diksi memiliki lingkup yang lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh salinan kata- kata itu. Keraf (2009: 22-23) menjelaskan bahwa diksi tidak hanya dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya atau menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan- ungkapan. Pemakaian pilihan jenis kalimat, yakni kalimat tanya, perintah, dan pernyataan biasa disebut modus kalimat. Modus kalimat mencakupi penggunaan pilihan modus deklaratif, modus imperatif, dan modus interogatif (Syarwina dan Sinar, TT). Mood adalah “…a state of the mind such as being happy, sad or angry. plex cognitive process which has received extensive research e_ort” (Thin Nguyen, TT:1). Mood dengan demikian berupa kategori gramatikal dalam bentuk verba yang

236 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

mengungkapkan suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran pembicara, atau sikap pembicara tentang apa yang diucapkan. Majas atau gaya bahasa di sini sesuai dengan apa yang dimaksud dengan trope (Perancis/Inggris) yaitu kata atau ungkapan yang digunakan dengan makna atau kesan yang berbeda dari makna yang biasa digunakan (Zaimar, 2002:45). Dalam majas, bentuk yang implisit bersifat denotatif dan bentuk yang menggantikannya bersifat konotatif.

METODE Penelitian ini menggunakan metode/pendekatan kualitatif dalam corak analisis isi kualitatif. Analisis isi kualitatif tidak dimaksudkan untuk menghitung kasus per kasus, tetapi lebih melihat adanya fenomena kejadian kasus. Sumber data adalah teks undangan perkawinan yang beredar pada masyarakat di sekitar Surakarta berjumlah dua puluh (20) teks (dari komunitas Muslim berkode A1 - A20 dan lima (5) teks dari kategori komunitas Non-Muslim berkode B1-B5). Instrumen pengumpulan data penelitian mencakupi perangkat pembangkit data yang berupa matriks dengan format pembangkit data sesuai dengan karakteristik data yang diperlukan. Analisis data dilakukan dengan prosedur kualitatif dengan langkah inventarisasi, klasifikasi, dan refleksi/interpretasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Skala Biaya-Keuntungan untuk Menyatakan Permohonan Hadir Penggunaan skala biaya-keuntungan dalam teks surat undangan itu dimunculkan dengan tuturan (1) Undangan, (2) Turut mengundang, Segenap keluarga. Diksi ini mempunyai maksud bahwa penutur telah mempersiapkan segala sarana dan prasarana bagi mitra tutur yang diundang. Skala biaya keuntungan yang juga ditujukan secara khusus dalam komunitas tertentu yang (diyakini) memiliki cara pikir, cara hidup, cara berbudaya, atau cara berkeyakinan yang sama oleh penutur kepada mitra tutur, ditunjukkan melalui Bismillahirrahmaanirrahim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh; dan Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Upaya untuk menjalin sapaan relasi lebih dekat ini dinyatakan dengan ungkapan khas keyakinan yang dikenal dengan fatis. Fatis (phatic) merupakan bentuk tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara penutur dan mitra tutur (Kridalaksana, dkk. 1985:109). Fungsi fatis adalah untuk membentuk tali perpaduan sosial (Wardhough, 1998:182-3). Sehubungan dengan penggunaan ungkapan ini, kebermaknaan bagi penutur ditunjukkan oleh kesediaan penutur menggunakan tanda-tanda atau kode-kode komunikasi yang dijadikan pertimbangan (untung-rugi) dalam mengelola proses komunikasi (Sudiyana, 2005:57). Ungkapan pembuka wacana pertuturan selain itu yang mempertimbangkan komunitas sosial penutur dan mitra tutur juga dapat digunakan sejenis ungkapan Salam super, Alleluya, Puji Tuhan, Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil (Sudiyana, 2005:67). Skala biaya dan keuntungan tampak pada pertuturan penyelenggaraan hajatan yang mendorong penutur melakukan niat mengundang mitra tutur melalui beberapa strategi tutur sebagai titik tolak. Ungkapan puji syukur kepada Tuhan (7) dan motivasi langkah melaksanakan perkawinan sebagai wujud kesetiaan mengikuti sunnah rasul (8)

1. Puji Syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, 2. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasangan-pasangan 3. Ya Allah, jika Engkau memperkenankan kami. Menikah …. 4. Oleh karena kemurahanmu dan kasih Tuhan atas rancangan-Nya yang indah ini, perkenankanlah kami berbagi kasih dan syukur 5. Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Karena kasih dan rencana-Nya yang indah, IA telah mempertemukan,vmenjalin kasih dan mempersatukan kami dalaam pernikahan kudus … dengan …..

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 237

6. Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya, Dia yang mempertemukan, Dia yang mengajarkan tentang kasih dan kini… Dia pula yang memper satukan putra-putri kami dalam pernikahan kudus. 7. Tuhan menaburkan benih pengharapan akan bersatunya cinta, Tuhan pula yang memperindah dan memelihara ketika cinta itu bersemi Kini Tuhan menyemai bersatunya cinta dan menghiasinya dengan kesetiaan, dalam ikatan pernikahan kudus. 8. … untuk mengikuti sunnah Rasul-Mu dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah warrahmah

Penggunaan ungkapan sebagai realisasi skala ini mengikuti ungkapan fatis yang dipilih. Ekspresi penyebutan kepada Tuhan dapat dimaknai bahwa sebagai ciptaan-Nya, si penutur menyadari bahwa ia manusia lemah yang perlu mempertimbangkan diri dengan bersandar diri pada kekuatan Ilahi bahwa segala sesuatu karena dan untuk-Nya. Dalam pengungkapan ekspresi tutur skala ini memunculkan dua kutub yang berbeda, yang dipergunakan sebagai titik awal melakukan pertimbangan tutur, yakni pertuturan yang berangkat dari maksud motivasi jenis “demi tercapainya”, “agar tercapai”, “supaya tercapai” , “sehingga tercapai” yang diwujudkan dalam jenis tuturan: “Puji Syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa “ (1), “Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasangan-pasangan” (2), dan “Ya Allah, jika Engkau memperkenankan kami” (3)

Sebaliknya, kutub yang lain yang dipergunakan si penutur sebagai titik awal melakukan pertimbangan tutur, yakni pertuturan yang berangkat dari maksud motivasi jenis “karena”, “berkat”, “digenapinya”, “dicapainya” yang diwujudkan dalam jenis tuturan: “Oleh karena kemurahanmu dan kasih Tuhan atas rancangan-Nya yang indah ini, perkenankanlah kami berbagi kasih dan syukur” (4) “Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. …” (5) “Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya, Dia yang mempertemukan, Dia yang mengajarkan tentang kasih dan kini… Dia pula yang mempersatukan putra-putri kami dalam pernikahan kudus. …..” (6) “Tuhan menaburkan benih pengharapan akan bersatunya cinta, Tuhan pula yang memperindah dan memelihara ketika cinta itu bersemi Kini Tuhan menyemai bersatunya cinta dan menghiasinya dengan kesetiaan, dalam ikatan pernikahan kudus” (7) Penggunaan skala biaya-keuntungan juga diwujudkan dalam tuturan pemberian penghargaan setingginya oleh si penutur terhadap mitra tutur yang bersedia meluangkan waktu dan kelonggaran lainnya untuk memenuhi undangan itu dengan pertuturan (6) berikut.

Merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami dan memberikan doa restu kepada kami berdua

Derajat kesantunan dengan skala untung rugi ini dapat dipahami bila penutur makin memberikan porsi lebih banyak “untungnya” bagi mitra tutur dan sebaliknya makin memberikan lebih besar porsi “ruginya” bagi si penutur, maka bobot pertuturan akan makin tinggi kadar kesantunannya (Sudiyana, 2011).

2. Sarana Tutur Skala Biaya-Keuntungan 1. Undangan// Kepada Yth.// Bapak/ Ibu/ Saudara/i// Hormat kami 2. Bismillahirrahmaanirrahim// Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh// Wassalamu’alaikum Wr. Wb. 3. Turut mengundang// ⃰ Segenap keluarga

238 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pilihan kata (1) dan (3) merupakan diksi dalam khasanah umum di masyarakat. Sesuai dengan isi tujuan komunikasi yakni mengundang. Intinya, penutur memohon kehadiran mitra tutur dan menjanjikan penerimaan atas kehadirannya itu tidak hanya secara pribadi, tetapi “segenap keluarga” yang mengundang (Ibrahim, 1993:36). Pilihan kata terakhir itu dipakai sebagai bentuk penyangatan atau penekanan secara keluarga. Kutipan 2 menggunakan pilihan diksi sebagai ungkapan fatis biasa diungkapkan oleh penutur kelompok umat Muslim (Sumarlam, 2006:177). Modus kalimat memanfaatkan pilihan kalimat atas kalimat perintah, tanya, atau berita. Sarana tutur modus kalimat untuk mewujudkan skala biaya-keuntungan ditunjukkan dalam kutipan berikut: 1. Mohon maaf, bila ada kesalahan dalam penulisan nama, gelar & alamat 2. Puji Syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, dan memberikan doa restu kepada kami berdua

Pada tuturan (1) digunakan modus kalimat permohonan, yang termasuk dalam tanah direktif (perintah), yakni permohonan maaf (aplogize) yang dilandasi oleh (a) penyesalan penutur karena telah melakukan tindakan kepada mitra tutur dan (b) maksud bahwa mitra tutur percaya bahwa penutur menyesal telah melakukan tindakan kepada mitra tutur (Ibrahim, 1993:38). Pada (2) modus kalimat bersifat mengucapkan salam pujian (greet) sehingga masuk ranah pernyataan. Kedua contoh di atas lebih bersifat tuturan langsung yang ditandai pihak si penutur tidak dinyatakan secara eksplisit. Jika dieksplisitkan akan berbunyi seperti (1 dan 2). Namun, bentuk deskripsi berikut ini terlalu banyak kata sehingga lebih dipilih ungkapan praktis yang komunikatif seperti di atas. 1. Kami mohon maaf, bila ada kesalahan dalam penulisan nama, gelar & alamat 2. Kami berdua menyampaikan puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, dan ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah memberikan doa restu kepada kami berdua.

Sarana tutur mood digunakan untuk mewujudkan skala biaya-keuntungan. “Mood is a state of the mind such as being happy, sad or angry” (Thin Nguyen et.al, TT:1). Mood adalah suatu pernyataan sikap batin seperti kesenangan, kesedihan, dan kemarahan. 1. .Ya Allah, jika Engkau memperkenankan kami Menikah …. 2. Oleh karena kemurahanmu dan kasih Tuhan atas rancangan-Nya yang indah ini, perkenankanlah kami berbagi kasih dan syukur

Sarana tutur majas untuk mewujudkan skala biaya-keuntungan ditunjukkan dalam kutipan berikut. Majas digunakan untuk mewujudkan eksplorasi daya bahasa. Daya bahasa merupakan kekuatan yang dimiliki bahasauntuk mengefektifkan pesan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur (Pranowo, 2009:128). Daya bahasa dapat digali melalui pilihan kata, sinonim kata, bentukan kata, pilihan bunyi, pilihan struktur (Pranowo, 2009:134-138). 1. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasangan-pasangan 2. Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Karena kasih dan rencana-Nya yang indah, IA telah mempertemukan, menjalin kasih dan mempersatukan kami dalaam pernikahan kudus … dengan ….. 3. Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya,Dia yang mempertemukan, Dia yang mengajarkan tentang kasih dan kini… Dia pula yang mempersatukan putra-putri kami dalam pernikahan kudus. ….. 4. Tuhan menaburkan benih pengharapan akan bersatunya cinta, Tuhan pula yang memperindah dan memelihara ketika cinta itu bersemi// Kini Tuhan menyemai bersatunya cinta dan menghiasinya dengan kesetiaan, dalam ikatan pernikahan kudus.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 239

5. … untuk mengikuti sunnah Rasul-Mu dalam membentuk keluarga// sakinah mawaddah warrahmah 6. Merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami

3. Skala Keopsionalan untuk Menyatakan Permohonan Hadir Penggunaan ungkapan keopsionalan dapat dinyatakan secara implisit yang tercakup dalam kosa kata “mengharap” (contoh 1-2); “Kami mengharap ….”, “mengundang” (4-5) dalam “…kami mengundang….”, dan “bermaksud” (3-6) dalam “…kami bermaksud….”. Di dalam kata-kata tersebut, mitra tutur tidak “diwajibkan” atau “dipaksa harus” datang, tetapi masih diberikan kelonggaran, karena melekat arti kata “harapan”, “undangan”, ”maksud” dalam mengharap, mengundang, bermaksud yang berbeda dari kata “kepastian”, “panggilan” atau “perintah” yang memang tidak patut diterapkan dalam teks undangan. Kutipan (7) secara eksplisit menunjukkan keopsionalan. 1. Kami mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Saudara/ I pada:… 2. kami mengharap kehadiran Bpk/ Ibu/ Saudara/ iv dalam resepsi sederhana 3. kami bermaksud mengundang Bapak/ Ibu/ Sdr. 4. …kami mengundang Bapak/ Ibu/ Saudara/ i dalam resepsi pernikahan putra-putri kami yang akan dilaksanakan pada:… … 5. Dengan penuh kasih dan sukacita kami mengundang Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk menghadiri Resepsi Pernikahan putra-putri kami yang dilaksanakan pada: … 6. kami bermaksud mengadakan resepsi pernikahan, yang akan diselenggarakan pada: 7. apabila Bapak/ ibu/ saudara/ i berkenan hadir

Penutur makin memberikan porsi lebih banyak “opsi” bagi mitra tutur, tuturan makin santun. 4. Sarana Tutur Skala Keopsionalan Adanya kemungkinan subyektif berupa ekspresi keinginan atau harapan agar suatu tindakan tercapai disebut sebagai modus. Pilihan modus ini juga ditunjukkan oleh pilihan bentuk klausa deklaratif (6, dan 7), sedangkan klausa (1, 2, 3, 4, dan 5) menggambarkan klausa direktif, yakni perintah halus yang berupa harapan, undangan. 1. Kami mengharap kehadiran Bapak/ Ibu/ Saudara/ i pada: … 2. kami mengharap kehadiran Bpk/ Ibu/ Saudara/ I dalam resepsi sederhana 3. kami bermaksud mengundang Bapak/ Ibu/ Sdr. 4. kami mengundang Bapak/ Ibu/ Saudara/ i dalam resepsi pernikahan putra-putri kami yang akan dilaksanakan pada: Hari: … Pukul: … Tempat: … 5. Dengan penuh kasih dan sukacita kami mengundang Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk menghadiri Resepsi Pernikahan putra-putri kami yang dilaksanakan pada: … 6. kami bermaksud mengadakan resepsi pernikahan, yang akan diselenggarakan pada: 7. apabila Bapak/ ibu/ saudara/ i berkenan hadir

Dengan demikian demikian sarana keopsionalan melalui sarana modus kalimat dapat dimunculkan melalui penggunaan:(a) kami mengharap…, (b) kami bermaksud …, (c) kami mengundang…, (d) …apabila….berkenan hadir.

5. Skala Ketaklangsungan untuk Menyatakan Permohonan Hadir Sebagai upaya antisipasi, seorang penutur sering mendahului tuturannya dengan percakapan pendahuluan untuk memberi tahu mitra tutur sedikit tentang maksud penuturan (Hasibuan, 2005:94). Pengertian memberi tahu sedikit itu maksudnya tidak secara langsung dinyatakan secara eksplisit, penutur menggunakan informasi lain hingga memainkan modus kalimat lihat contoh 1-14 berikut. 1. Dengan memohon rahmat dan ridho Allah SWT (Dengan memohon Ridho dan Rahmat Allah

240 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Subhanahu Wata’ala) 2. Teriring doa dan ucap syukur ke hadirat-Mu Ya Allah, perkenankanlah dan ridhoilah kami merangkaikan kasih sayang yang kau ciptakan di antara kami: …. 3. “Dia Mempertemukan kami Dia mengajarkan kami tentang kasih Kini dia pula yang mengikat kami dalam kasih dan pernikahan kudus” …. 4. kami bermaksud menyelenggarakan resepsi pernikahan kami 5. yang Insya Allah akan dilaksanakan besok: Hari:…/ Tanggal: … Waktu: …Tempat: … 6. Sebagai ungkapan rasa syukur atas kasih karunia dan kemurahan Tuhan, 7. Kami tengadahkan jemari kehadirat Allah SWT seraya melafaskan do’a semoga Allah SWT menutun bahtera hidup baru kami: 8. Kesan mendalam akan terukir dihati kami, 9. Kehadiran adalah silaturahmi, restu adalah doa kasih sayang 10. Keikhlasan adalah ketulusan hati, maka tiada membuat kami// lebih bahagia selain langkah yang diiringi doa serta keikhlasan// Bpk/ Ibu/ Saudara/ I dalam memberikan cinta kasih// kepada kami berdua 11. Tiada kata yang dapat kami ungkapkan selain rasa syukur dan terimakasih yang tulus kepada kedua mempelai 12. Kami sungguh berbahagia dan menghaturkan terima kasih yang setulusnya 13. Atas kehadiran dan doa restunya, kami ucapkan terimakasih 14. Diiringi rasa syukur kepada Tuhan atas segala berkat dan karunia-Nya, kami ingin berbagi kebahagiaan bersama Bapak/ Ibu/ Saudara/ i dalam Resepsi Pernikahan yang akan kami selenggarakan pada:

6. Sarana Tutur Skala Ketaklangsungan 1. Teriring doa dan ucap syukur ke hadirat-Mu Ya Allah, perkenankanlah dan ridhoilah kami merangkaikan kasih sayang yang kau ciptakan di antara kami: …. 2. kami bermaksud menyelenggarakan resepsi pernikahan kami 3. Diiringi rasa syukur kepada Tuhan atas segala berkat dan karunia-Nya, kami ingin berbagi kebahagiaan bersama Bapak/ Ibu/ Saudara/ i/ dalam Resepsi Pernikahan yang akan kami selenggarakan pada:

Modus mendeskripsikan hubungan antara sebuah kata kerja dengan realitas dan intensi (Adawi, TT:1). Bagian bergaris bawah pada kutipan (1, 2, 3) di atas mengindikasikan sikap penutur terhadap kata kerja yang diungkapkan. Ketiga modus tersebut menyatakan kemungkinan subjektif berupa ekspresi keinginan atau harapan agar suatu tindakan tercapai yang disebut sebagai modus optatif (Adawi, TT:1). Ketiga contoh di atas, semuanya diwujudkan dalam modus deklaratif (Syarwina dan Sinar, TT).

Sarana mood ditampilkan dalam contoh: 1. Dengan memohon rahmat dan ridho Allah SWT, Dengan memohon Ridho dan Rahmat Allah Subhanahu Wata’ala 2. yang Insya Allah akan dilaksanakan besok:// … 3. Sebagai ungkapan rasa syukur atas kasih karunia dan kemurahan Tuhan, 4. Kami sungguh berbahagia dan menghaturkan terima kasih yang setulusnya

Pilihan mood terungkap pada (1) dan (2), dan (4) yang cenderung digunakan oleh kalangan umat Islam, sedangkan umat Kristen menggunakan pilihan mood (3). Penggunaan sarana tutur majas ditampilkan dalam kutipan berikut:

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 241

1. “Dia Mempertemukan kami. Dia mengajarkan kami tentang kasih. Kini dia pula yang mengikat kami dalam kasih dan pernikahan kudus” ….. 2. Kami tengadahkan jemari ke hadirat Allah SWT seraya melafaskan do’a semoga Allah SWT menuntun bahtera hidup baru kami: 3. Kesan mendalam akan terukir dihati kami, 4. Kehadiran adalah silaturahmi, restu adalah doa kasih sayang, 5. Keikhlasan adalah ketulusan hati, maka tiada membuat kami lebih bahagia selain langkah yang diiringi doa serta keikhlasan Bpk/Ibu/ Saudara/i dalam memberikan cinta kasih kepada kami berdua 6. Tiada kata yang dapat kami ungkapkan selain rasa syukur dan terimakasih yang …

Kesan efek komunikatif bagi mitra tutur dengan susunan klimaks secara repetitif penggunaan “Dia…kami”, (contoh 1) yang lazim dituturkan umat Kristen. Efek yang sama digunakan dalam tuturan oleh umat Islam dengan pilihan majas 2 di atas. Perbedaan dua tuturan ini terletak pada perspektif dalam memaknai hidup dalam kaitannya dengan Sang Khalik. Melalui penggunaan bahasa, dalam perspektif Kristen bahwa segalanya telah dianugerahkan oleh-Nya, maka tanggapan manusia sebagai ciptaan-Nya adalah dengan syukur dan sesama yang lain agar yang lain ikut pula merasakan dan atau menghadirkan anugerah kasih-Nya seperti yang dia terima pula. Jika dikaitkan dengan nada tense tampak jelas menggunakan perfetct atau telah (contoh: 1). Sebaliknya, perspektif tuturan yang sama oleh umat Islam lebih menggunakan majas yang bernada futuristik (contoh 2) yang ditandai dengan kecenderungan penggunaan sejenis ungkapan tutur semoga, Insya Allah. Hal dapat dipahami sebagai perspektif bahwa segala anugerah rahmat dan kenikmatan yang diberikan dan yang dijanjikan dari Sang Khalik akan dicurahkan setimpal dengan amal dan idabah mereka bilamana kebaikan, amal, dan idadah mereka diterima oleh-Nya (termasuk mengikuti perintah dan menghindari larangan-Nya). Adapun majas bernada penegasan ditunjukkan pada contoh 3, 4, 5, dan 6.

SIMPULAN Simpulan hasil penelitian berkenaan untuk menyatakan permohonan hadir dalam teks surat undangan perkawinan di lingkungan masyarakat Surakarta (1) berkenaan dengan penggunaan kesantunan dengan pilihan skala biaya-keuntungan diwujudkan dengan berbagai ungkapan berupa pilihan tutur yang berisi makna biaya bagi penutur dan keuntungan bagi mitra tutur; (2) sarana tutur skala biaya-keuntungan menggunakan diksi, modus kalimat, dan majas; (3) berekenaan dengan pilihan skala keopsionalan, menggunakan pilihan opsional secara implisit dan eksplisit; (4) sarana tutur pilihan skala keopsionalan dengan modus kalimat; (5) berkaitan dengan pilihan skala ketaklangsungan diwujudkan dalam bentuk ungkapan yang tidak langsung meminta datang, tetapi maksudnya dalam rangka mengundang atau memohon hadir, dan (6) sarana tutur pilihan skala ketaklangsungan dengan menggunakan sarana diksi, modus kalimat, mood, dan majas.

DAFTAR PUSTAKA Adawi, Rabiah. TT. “Modus, Modalitas, dan Evidensialitas dalam Bahasa Jawa”. http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Article-23345-rabiah%20adawi.pdf(diakses:20-7- 2013). Baryadi, Praptomo. 2011. “Teori-Teori Sopan Santun dalam Berbahasa”. Klitika: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Vol. 4, No. 1, Juli 2011 (hlm. 1-10). Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” PELLBA 5: Bahasa dan Budaya Ed. Bambang Kaswanti Purwo. Yogyakarta: Kanisius.

242 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

______. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik” dalam PELLBA 7: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya: Ketujuh. Editor Bambang Kaswanti Purwo. Yogyakarta: Kanisius. Hasibuan, Namsyah Hot. 2005. “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing)” Logat: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005. (hal: 87-95). Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional . Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti dkk. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Leech, Geoffrey N. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syarfina, Tengku dan Tengku Silvana Sinar. TT. “Prosodi Bahasa Siladang Sumatera Utara”. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/Silvana-USU-Prosodi-Bahasa-Siladan.pdf (diakses: 26-7-2013) Simpen, I Wayan dkk. (tanpa angka tahun). Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/e_journal_simpen.pdf (diakses: 9-9-2010). Sudiyana, Benedictus. 2005. “Fatis dalam Bahasa Indonesia: Problematikanya dalam Komunikasi Sosial”. Dalam Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Editor Pranowo dkk. Yogyakarta: Press. ______. 2011. “Hubungan Kemampuan Pragmalinguistik dengan Sikap Bahasa dan Kreativitas: pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Univet Bantara Sukoharjo” Klitika: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Vol. 4, No. 1, Juli 2011 (hlmn. 1-10). Sumarlam. 2006. “Tanggapan terhadap Berita Lelayu melalui SMS: Kajian Wacana dari Aspek Gramatikal, Leksikal, Konteks, dan Inferensi”. Linguistik Indonesia. Tahun ke-24. No.2. Agustus 2006. (hal. 169-181). Thin Nguyen et.al. Tanpa Tahun. “Classifcation and Pattern Discovery of Mood in Weblogs” http://www.computing.edu.aug~phun//wiki_new/uploads/Main/Nguyen_etal_pakdd10.pdf (diakses: 23-05-2011) Wardhough, Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. Third Edition. Oxford: Blackwell Publishers. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2002. “Majas dan Pembentukannya”. Makara, Sosial Humaniora. Vol. 6, No. 2, Desember 2002 (hal.45-57).

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 243

PENGAJARAN BIPA SEBAGAI SOFT POWER DIPLOMASI BUDAYA (BERBAGI PENGALAMAN DARI POLANDIA)

Beniati Lestyarini PBSI, FBS, UNY

Abstract Foreign language education is viewed as a cultural politics, a path for country to nurture its soft power. It is ‘a mirror’ in which teacher and learner able to more clearly understand their own identity and at the same time other’s in order to build harmony and acceptance to each other. Indonesia put up a good struggle in foreign policy to promote its huge resources by teaching Indonesian as a foreign language (BIPA). In the proses of teaching and learning Indonesian as a foreign language, teacher become an intercultural speaker who crosses frontiers, and as a mediator in the transit of cultural property and symbolic values. Teacher and learner need to heighten awareness of how issues related to language and power influence, and are influenced by discourse within a societal context. Some practices of teaching Indonesia for foreigners could become a reference on how Indonesia promote it’s huge potential soft power.

Keywords: Teaching BIPA, Soft Power, Culture

PENDAHULUAN Budaya merupakan salah satu komponen soft power yang sangat efektif untuk memberikan pengaruh disamping komponen lain yakni kebijakan politik dan hubungan luar negeri. Budaya inilah yang sekarang gencar dimanfaatkan oleh beberapa negara untuk ekspansi pengaruh dan kekuasaan. Dengan semakin berkembangnya kesadaran untuk cinta damai, hard power yang lebih cenderung pada pemaksaan dan kekerasan justru menuai kecaman sehingga banyak ditinggalkan. Pembelajaran bahasa asing dipandang sebagai alat politik budaya. Dari sisi negara pemilik bahasa, promosi budaya dilakukan untuk mengenalkan segala sumber daya yang dimiliki untuk menarik minat negara lain. Tujuan ini ditempuh salah satunya dengan pengenalan bahasa. Dari sisi pembelajar, kebutuhan untuk menembus batas geografis seiring dengan berkembangnya kehidupan global mendorong mereka untuk berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Melalui penguasaan bahasa asing, seseorang dapat lebih mengenal negara pemilik bahasa tersebut dengan segala entitas yang dimiliki, baik pola hidup masyarakat, kondisi politik, perekonomian, maupun bidang-bidang lainnya. Hal ini dapat dipahami sebagai konsekuensi interaksi timbal balik antara bahasa dan budaya. Belajar bahasa pasti belajar budaya. Mengajarkan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) tidak dapat mengesampingkan aspek- aspek pemahaman tentang budaya Indonesia. Di samping itu, pemahaman mengenai negara dan budaya pembelajar juga merupakan hal yang sangat penting. Pengajar menjadi agen perantara budaya dan nilai simbolik, menjadi intercultural speaker yang dilandasi filosofi kritis pendidikan (Byram 2008) sehingga pembelajar menjadi lebih paham dan menghargai Indonesia. Pengaruh bahasa dan budaya yang tercermin dalam cara hidup yang berbeda, asing, atau bahkan berseberangan harus dapat dikomunikasikan dengan baik sehingga tercipta kesadaran dan pengertian budaya.

SOFT POWER DAN HARD POWER: ALTERNATIF ALAT KUASA Istilah soft power semakin banyak didiskusikan sejak Nye mengusulkannya sebagai sebuah pendekatan baru bagi negara untuk meningkatkan kekuasaannya melalui pemanfaatan sumber- sumber soft power (Nye, 2002; Nye, 2008; Li, 2009: 1). Kekuasaan dipandang sebagai kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk mempengaruhi perilaku orang atau pihak lain untuk melakukan

244 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

atau memberikan apa yang dikehendaki oleh seseorang atau pihak tersebut. Seseorang memiliki cara tersendiri untuk mempengaruhi perilaku orang lain baik dengan memaksa dengan ancaman, mempengaruhi dengan pembayaran, atau menarik perhatian dan kerjasama dengan sumber daya yang dimiliki. Cara yang terakhir inilah yang dikatakan Nye sebagai soft power, yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan, bukan pemaksaan atau pembayaran. Soft power dapat mengakibatkan negara lain memakai atau memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara untuk melakukan atau mencapai apa yang diinginkan oleh negara tersebut. Oleh karena itu, negara lain akan melakukan dengan senang hati apa yang diinginkan oleh suatu negara ataupun yang mau didapatkan. Ada tiga sumber utama soft power, yakni budaya (sesuatu yang menarik orang atau pihak lain), kebijakan dan nilai politik (sesuatu yang menyangkut kekuasaan negara di dalam negaranya sendiri maupun dengan negara lain), serta kebijakan luar negeri (sesuatu yang dipandang sebagai legitimasi yang memiliki kekuatan moral) (Nye, 1990: 11). Dalam poin yang terakhir, legitimasi kebijakan luar negeri dianggap sebagai kemampuan untuk membentuk institusi dan agenda internasional (Li, 2009: 3) Berikut ini adalah diagram konsep hard power dan soft power oleh Nye (1990: 8).

Diagram 1. Power

Pada diagram tersebut ada garis batas antara hard power dan soft power dalam hal spektrum perilaku dan sumber-sumber yang dapat digunakan. Hard power memiliki kecenderungan yang mengacu pada sesuatu yang bersifat militeristik, ekonomi, dan teknologi melalui perintah bahkan pemaksaan. Sementara itu, soft power memberdayakan nilai-nilai budaya, politik, serta hubungan luar negeri (Nye, 2002: 8). Soft power merepresentasikan penghargaan dan penghormatan pada hak, humanisme, tanggung jawab, perasaan saling membutuhkan satu sama lain, serta kebersamaan sebagai makhluk di dunia. Hal ini menjadi alasan utama mengapa semakin banyak negara yang memberdayakan aspek-aspek soft power untuk meraih tujuan mereka. Di samping itu, biaya yang dikeluarkan pun lebih sedikit. Sebagai contoh, biaya untuk ekspansi negara melalui perang atau perebutan wilayah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan promosi film Korea untuk memasarkan produk-produk tertentu dan mengikuti trend ala Korea. Pemisahan antara hard power dan soft power dalam beberapa hal tidak dapat secara tegas diklasifikasikan (Guilherme, 2002). Maksud dari pernyataan Guilherme tersebut bahwa kadang hard power dapat menimbulkan efek simpati, misalnya saja memenjarakan atau membunuh teroris dapat menarik negara-negara untuk mendukung ataupun bersimpati. Sebaliknya, video lagu atau film yang terlalu vulgar atau rasis akan memicu negara lain untuk tidak bersimpati. Meskipun begitu, konsep Nye mengenai hard power dan soft power telah membawa pemikiran yang berguna untuk mengevaluasi kembali perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri. Dalam buku edisi lanjutnya, Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 245

Nye (2004; 2008; 2011) memperkenalkan smart power sebagai kemampuan untuk mengombinasikan hard power dan soft power dalam beberapa situasi.

PRAKTIK POLITIK BUDAYA BEBERAPA NEGARA MAJU Penguatan dan pemberdayaan soft power melalui diplomasi budaya dapat dilihat dalam berbagai realitas kehidupan. Film-film Hollywood dapat menarik banyak negara untuk mengikuti budaya America dan juga gayanya. Amerika juga gencar promosi melalui CNN dan media internet yang merajalela (Nye, 2002: xi). Disamping itu, kebijakan luar negeri yang ditempuh dengan beberapa negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina tercermin dari berbagai kerjasama dalam berbagai bidang yang sistemik meliputi ekonomi, pendidikan, pertanian, perdagangan, militer, exchange program, dan sebagainya (Patterson, 2001; US-Indo Join Council, 2013). Jepang memanfaatkan potensi pendidikan melalui program MEXT (Akiyoshi, 2008: 55) serta Japan Exchange and Teaching (JET) program (McConnel,2008 :18). Dalam program ini, beasiswa pendidikan, pertukaran siswa, mahasiswa, tenaga pengajar dilakukan sebagai alat promosi. Sumber daya dan mental yang kuat dipersiapkan dahulu agar sumber daya yang mereka kirim dapat mengeksplorasi semaksimal mungkin potensi dan peluang. Selain itu, sekarang ini industri kreatif juga menjadi andalan Jepang sebagai alat promosi budaya. Fenomena Manga, Anime, Hello Kitty, Pokemon (Tsutomu, 2008: 133; Allison, 2008: 100) merupakan bukti penyebarluasan pengaruh Jepang yang luar biasa selain juga J-drama dan cerita berseri (Yoshiko, 2008: 122). Disamping pemasaran produk-produk yang diminati oleh konsumen atau negara penikmat industri kreatif tersebut, konsep dan gaya Jepang secara otomatis juga telah menyebar. Di Cina, produk budaya kreatif dalam bidang pos dan telekomunikasi menduduki posisi utama dalam layanan industri (Tsutomu, 2008: 130). Hal ini membawa Cina sebagai negara: 1. nomor satu dalam media audio visual yang dikenal sebagai produk budaya yang paling pesat perkembangannya di dunia; 2. nomor dua dalam bidang seni visual; 3. nomor tujuh dalam barang cetak (Deng & Zhang, 2009: 148).

Cina juga sangat gencar dalam mengambil cara-cara strategis di bidang pendidikan. Pengiriman siswa dan mahasiswa ke negara lain serta strategi bring in atau yang mereka sebut qing jilai zhanlue (yakni menarik minat siswa dan mahasiswa asing untuk datang ke Cina) meningkatkan jumlah siswa dan mahasiswa asing di Cina. Hal ini dapat dilihat misalnya saja dari jumlah 52,150 mahasiswa asing pada tahun 2000 meningkat menjadi 162,695 di tahun 2006. Prestasi ini mengambil alih posisi Jepang sebelumnya dan menjadikan Cina sebagai tujuan studi nomor satu di Asia (Cheng, 2009: 113). Korea Selatan juga menempati posisi penting di dunia dan melesat pesat dengan apa yang sering disebut K-Pop. Melalui film, boy band, girl band serta produk-produk seni kreatifnya dampak yang sangat besar dapat dicermati secara jelas, misalnya saja di Indonesia. Bahkan secara mengejutkan, gangnam style muncul dan telah menjadi ikon goyang yang disukai di seluruh dunia. Dari beberapa contoh di atas dapat dipahami mengapa budaya menjadi alat efektif perluasan pengaruh. Strategi budaya selalu memiliki tujuan. Tanpa paksaan, orang atau negara lain akan melakukan sesuatu yang diinginkan oleh suatu negara untuk mewujudkan tujuan mereka, bahkan dengan senang hati. Hal ini yang terkadang tidak disadari. Budaya dapat menembus batas-batas ideologi dengan sangat halus dan masif.

POSISI STRATEGIS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING Untuk menjalankan promosi budaya dan kebijakan luar negerinya, sebuah negara memerlukan media sebagai ‘a path’ atau jalan sebagaimana yang dikatakan oleh Tsutomu (2008: 147), untuk menjadikan budaya sebagai sumber soft power yang atraktif. Bahasa adalah senjata yang dapat

246 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

menarik hati atau minat dalam skala besar. Bahasa menjadi pintu untuk memasuki ruang lain yang memiliki suasana dan karakter yang khas. Bahasa menjadi jalan untuk menyatu dan berinteraksi dengan masyarakat penggunanya. Bahasa juga menjadi jendela untuk mengenal dan mengetahui kebiasaan, psikologi, sejarah, kebutuhan, dan semua perubahan yang terjadi. Bahkan, dalam konteks pendidikan, bahasa diperlukan sebagai salah satu syarat utama pendaftaran. Jarvis (Reagan & Osborn, 2002: 5) mengatakan hal ini sebagai ‘a hidden-job insurance’, bahwa sebenarnya ada maksud khusus mengapa kebijakan ini diberlakukan. Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris memang menempati posisi penting dan sudah menjadi tuntutan kemampuan minimal syarat studi. Bagaimana dengan negara lain yang mempertahankan bahasa negaranya untuk mengenalkan seluruh kreasi budayanya? Hal ini dilakukan oleh banyak negara maju seperti Perancis, Jerman, Jepang, Rusia, Cina yang menyaratkan level tertentu kemampuan bahasa untuk dapat studi atau bekerja di negaranya . Mempertahankan bahasa negaranya sebagai syarat utama digunakan sebagai politik budaya. Dengan cara ini, mau tidak mau penguasaan bahasa negara tujuan studi menjadi kebutuhan para calon pelajar. Mempelajari bahasa asing sebagai suatu syarat (baik untuk kepentingan belajar maupun bekerja) tentunya membutuhkan waktu dan tenaga. Namun hal ini tidak hanya dianggap sebagai hambatan. Justru, di era sekarang, hal ini dianggap sebagai potensi positif untuk kedua pihak, baik bagi orang yang berkepentingan pergi ke negara yang dituju maupun negara yang dituju. Bahasa dapat mendorong “... positive attitude and sympathy to other cultures and civilization” (Field, 2005: 4). Bagi orang yang akan pergi atau menuju suatu negara, kemampuan berbahasa sekarang dijadikan simbol level pendidikan. Orang yang berpendidikan tinggi (a well educated person) dapat dilihat dari berapa banyak bahasa yang dikuasai. Oleh karena itu, belajar bahasa asing sangat bermanfaat baik untuk memasuki suatu negara maupun untuk meningkatkan prestasi diri. Apalagi, kebutuhan ini sejalan dengan tuntutan era globalisasi yang mendorong sekaligus menarik minat seseorang untuk menembus batas lintas negara. Sementara itu, bagi negara yang dituju, bahasa dipandang sebagai budaya masyarakat, simbol kekayaan budaya, kreasi masyarakat penutur. Negara dapat menunjukkan potensi-potensi tersebut melalui bahasanya. Tentunya, hal ini akan semakin menguatkan identitas sekaligus memudahkan perwujudan agenda-agenda politiknya. Sebagai konsekuensi, pembelajaran bahasa asing menjadi kebutuhan utama bagi negara untuk meningkatkan kekuasaan dan identitas masyarakat. Hal inilah yang dipandang sebagai ‘politik budaya’ (Aronowitz & Giroux, 1991: 87; Giroux, 2005; Guilherme, 2002). Pandangan ideologis dijalankan melalui budaya yang merefleksikan cara melihat diri sendiri (negara dengan segala entitasnya) dan dalam waktu yang sama melihat posisinya di antara negara lain (Byram, 1997; Groenke, 2009: 3). Pembelajaran bahasa asing menjadi ‘cermin’ dimana pengajar dan pembelajar secara lebih jelas mampu memahami identitas mereka sendiri dan juga orang lain untuk membangun harmoni dan menerima perbedaan. Penerimaan sangat penting karena pembelajar menerima konsep baru dari bahasa asing yang dipelajari sambil mengekspresikan konteks budaya dan sosialnya melalui bahasa tersebut. Sementara itu, pengajar mengenalkan bahasanya sesuai dengan konteks masyarakat sambil menerima perbedaan cara yang digunakan oleh pembelajar. Pengajar sebagai agen budaya harus memahami dan mengenalkan simbol-simbol budaya melalui bahasa yang sederhana yang dapat dipahami pembelajar dengan mudah (Walter, 1997). Oleh karena itu, pengajaran bahasa asing tidak hanya menyangkut pemerolehan bahasa melalui informasi faktual atau analisis literal saja namun lebih pada pemahaman lintas budaya menyangkut ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lain-lain. Kondisi masyarakat yang multibudaya dan kompleks tentunya membutuhkan strategi yang sesuai untuk membangun rasa saling menerima dan menghargai. Keterbukaan pemikiran semestinya dibangun khususnya antara pengajar dan pembelajar. Keterbukaan ini tidak diartikan sebagai mengikuti atau meniru budaya lain, namun menerima dan menciptakan rasa toleransi sehingga masing-masing pihak dapat menempatkan diri sesuai dengan posisi dan situasi. Pengajar dan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 247 pembelajar dapat membangun hubungan personal dan profesional lintas budaya untuk meningkatkan kemampuan bersama, tidak hanya untuk kepentingan pribadi (Guilherme, 2002: 1).

PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING: PELUANG DAN TANTANGAN Sebagai negara besar yang sedang berkembang di Asia, Indonesia memiliki potensi unik yang menarik minat banyak negara untuk datang atau memperluas kepentingannya baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, sosial, maupun pendidikan. Di berbagai media, Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, produsen minyak terbesar di Asia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia (Gouda & Zaalberg, 2002: 19). Sebagai negara kepuluan terbesar yang memiliki 17.504 pulau, Indonesia sangat kaya dengan suku bangsa, bahasa lokal, dan produk-produk seni. Kekayaan ini menjadi potensi soft power yang besar untuk dipelajari atau mungkin sekedar berwisata. Banyak peneliti memberi perhatian khusus untuk mengeksplorasi sejarah, antropologi, flora, fauna, dan tentunya isu-isu kontroversial dalam sejarah politik, hubungan adat dengan politik, Islam dan perkembangan negara, atau kuasa bahasa dalam politik budaya Indonesia Pemberdayaan potensi-potensi soft power tersebut memerlukan jalan, yakni bahasa Indonesia, sehingga pembelajar dari berbagai negara dapat hidup bersama dengan masyarakat. Hidup diartikan tidak hanya tinggal bersama secara fisik, namun juga mengerti dan memahami cara hidup masyarakat setempat sehingga tercipta saling pengertian. Masyarakat Indonesia mempertahankan bahasa lokal sebagai bahasa sehari-hari (ada sekitar 546 bahasa lokal). Namun untuk berkomunikasi dengan penutur bahasa lain, bahasa Indonesia menjadi bahasa pilihan yang dikuasai oleh seluruh masyarakat. Sebagaimana yang telah dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dan pemersatu seluruh masyarakat Indonesia (butir ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia). Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang memiliki fungsi sebagai 1) lambang kebanggaan kebangsaan; 2) lambang identitas nasional; 3) alat pemersatu berbagai suku bangsa; dan 4) alat perhubungan antardaerah, antarwarga, dan antarbudaya. Dalam konstitusi negara (Undang-Undang Dasar 1945) pasal 36 dinyatakan bahwa ‘Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia’. Sebagai ‘bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai 1) bahasa resmi kenegaraan; 2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan; 3) alat perhubungan di tingkat nasional untuk kepentingan pembangunan dan pemerintahan; dan 4) alat pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Tim, 2007:6). Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing menghadapi beberapa tantangan. Karena masing-masing suku memiliki bahasa lokal yang berbeda-beda, penggunaan bahasa Indonesia terkadang menjadi berbeda pula karena pengaruh bahasa lokal. Tidak hanya bahasa dalam level gramatikal saja, bahkan unsur suprasegmental bahasa misalnya intonasi, jeda, mimik wajah, dan lain- lain juga memberikan nuansa yang berbeda bagi masing-masing komunitas bahasa. Bagi penutur asing yang belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta misalnya, mereka akan belajar intonasi dan jeda seperti orang Yogyakarta bicara dalam bahasa Indonesia yang relatif lebih pelan. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi penutur asing yang belajar bahasa Indonesia di Sumatera akan terpengaruh intonasi bicara orang Sumatera. Secara langsung, penutur asing hidup di masyarakat pengguna bahasa dan berinteraksi dengan penutur asli di daerah sehingga nuansa lokal budaya tempat belajar juga akan mempengaruhi proses pemerolehan bahasa. Oleh karena itu, kemampuan dasar yang harus dikuasai adalah bahasa Indonesia formal dan selanjutnya disisipi pemahaman interkultural untuk berkomunikasi sehari-hari.

248 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

BERBAGI PENGALAMAN MENGAJAR BIPA DI POLANDIA KBRI Warsawa, Polandia turut andil dalam mempromosikan Indonesia melalui program Pengajaran BIPA di berbagai universitas dan di KBRI Warsawa yang telah dilaksanakan sejak tahun 2011. Minat pembelajar BIPA menunjukkan adanya peningkatan di tiap semester. Duta Besar RI untuk Polandia pada periode tersebut, Bapak Dr. Darmansjah Djumala, M.A., menekankan bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa yang mampu menarik minat luar negeri khususnya warga Polandia yang akan berdampak positif bagi terciptanya jalinan kerjasama yang lebih erat untuk kedua negara. “SAHABAT INDONESIA” telah menjadi wadah untuk menjaga kontinuitas hubungan antara KBRI Warsawa dengan para warga Polandia dan non-Polandia yang tinggal di Polandia yang menjadi peserta Pengajaran BIPA di Polandia. KBRI Warsawa terus melakukan upaya peningkatan promosi Indonesia dengan berbagai jalinan kerjasama dengan universitas dan berbagai institusi di Polandia. Sebagai salah satu negara kecil di eropa timur, Polandia berupaya untuk memperluas wawasan dan mengembangkan sumber daya yang dimiliki. Secara historis, ada pengalaman sejarah yang mempererat hubungan diplomatik Indonesia dan Polandia khususnya di era Soekarno. Selain itu, Asia menjadi salah satu tujuan ekspansi ekonomi, kerjasama budaya, eksplorasi pariwisata, serta perdagangan. Oleh karena itu, minat pembelajar juga selalu mengalami peningkatan. Apalagi, Indonesia adalah negara besar di Asia yang memiliki potensi beragam. Penulis mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu pengajar BIPA di Polandia. Ada lima kelas BIPA di empat tempat yang dengan jumlah pertemuan untuk masing-masing tempat dua kali per minggu. Empat tempat tersebut adalah KBRI di Warsawa dan tiga universitas (Collegium Civitas, Warsawa University, serta Warsaw School of Economics). Total mahasiswa/murid adalah enam puluh enam (66) orang dengan level kemampuan bahasa yang berbeda-beda. Pembelajaran BIPA Polandia dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran bahasa serta pembelajaran bahasa bagi penutur asing. Pendekatan kontekstual juga digunakan dalam mencapai pemahaman lintas budaya (Cross Culture Understanding) bagi pembelajar. Untuk level dasar, bahasa yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang praktis sangat penting (survival language). Sementara itu, di level menengah dan lanjut pembelajar sudah dikenalkan dengan tatabahasa yang lebih kompleks dalam berbagai situasi dan target kata (purposeful language). Media merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa bagi penutur asing. Realia, foto, video, kartu kata, kartu bergambar, benda asli, dan media ajar lain digunakan di dalam kelas. Pemilihan media sesuai dengan topik dan juga metode ajar yang digunakan. Simulasi praktis penting dilakukan dengan murid/mahasiswa agar mereka mendapatkan konteks yang hampir seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya tawar menawar di pasar pada topik berbelanja. Selain itu, pengajar juga memanfaatkan jejaring sosial Facebook Group di masing-masing tempat yang digunakan sebagai media berbagi info, berbagi foto dan video yang berkaitan dengan materi ajar, serta untuk menjalin kedekatan dengan para murid/mahasiswa Kunci sukses belajar bahasa asing adalah pembelajar dapat langsung berhadapan dengan konteks pengguna bahasa target. Situasi yang kondusif untuk mendukung hal ini adalah pembelajar BIPA langsung berada di Indonesia. Hal inilah yang menjadi keterbatasan pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di luar negeri/negara pembelajar. Pengajar harus mampu menciptakan laboratorium kecil bahasa melalui media-media dan informasi-informasi konteks penggunaan bahasa. Kelas di KBRI lebih terdukung dengan adanya beberapa barang-barang asli Indonesia, buku-buku referensi tentang Indonesia, alat musik (ada gamelan dan angklung), serta pastinya para staf yang berasal dari Indonesia. Semua ini dapat dimanfaatkan oleh pengajar untuk lebih memahamkan bahasa dan budaya Indonesia. Namun, bagi kelas-kelas di universitas belum ada fasilitas yang mendukung sehingga pengajar dapat memanfaatkan media atau video untuk menghadirkan konteks nyata tentang Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 249

Berbagai kegiatan yang mendukung pengenalan dan pemahaman budaya Indonesia dapat digunakan. Sebagai contoh, di KBRI murid diajari untuk bermain angklung dan menyanyi lagu Indonesia maupun memasak nasi goreng. Di universitas, menyanyi lagu Indonesia atau membacakan puisi Indonesia dengan musikalisasi dapat dijadikan kegiatan menarik dan bahkan dengan senang hati mahasiswa menampilkannya dalam kegiatan yang diselenggarakan KBRI. Pengenalan budaya ini diimbangi pula dengan penanaman rasa pengertian sehingga segala perbedaan misalnya saja dalam hal makan, pengaturan waktu, sistem transportasi bukan menjadi sumber diskriminasi, namun justru kesadaran kultural.

PENUTUP Budaya menjadi komponen soft power yang digunakan oleh suatu negara atau pihak untuk mencapai tujuannya sehingga negara atau pihak lain dengan senang hati tertarik dan melakukan apa yang menjadi tujuan yang telah ditetapkan. Bahasa menjadi jalan untuk diplomasi budaya. Mengajar dan belajar bahasa asing akan meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaan terhadap bahasa dan budaya sendiri sekaligus penghormatan terhadap bahasa dan budaya negara lain. Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing atau yang lebih dikenal sebagai BIPA dalam hal ini menempati posisi penting untuk mempromosikan Indonesia dan memperkuat citra Indonesia di mata internasional. Pengalaman pengajaran BIPA dapat menjadi salah satu referensi untuk mengevaluasi kembali diplomasi budaya sehingga dapat meningkatkan rasa saling pengertian dan menghargai antarpenutur bahasa.

DAFTAR PUSTAKA Akiyoshi, W. (2008) ‘Facing crisis: soft power and Japanese education in a global context’, in W. Yasushi & D. L. McConnell (eds) Soft power superpower: cultural and national assets of Japan and the United Stated, New York: M.E. Sharp, Inc. Allison, A. (2008) ‘The attraction of the J-Wave for American youth’, in W. Yasushi & D. L. McConnell (eds) Soft power superpower: cultural and national assets of Japan and the United Stated, New York: M.E. Sharp, Inc Aronowit, S. & Giroux, H. A. (1991) Postmodern education: politic, culture, and social criticism, Minneapolis: University of Minnesota Press. Byram, M. (1997) Teaching and assessing intercultural communicative competence, Clevedon: Multilingual Matters, Ltd. Byram, M. (2008) From foreign language education to education for intercultural citizenship: essays and reflections, Clevedon: Multilingual Matters, Ltd. Cheng, X. (2009) ‘Education: the intellectual base of China’s soft power’, in M. Li (ed) Soft power: China’s emerging strategy in international politics, Plymouth: Lexington Books. Deng X. & Zang, L. (2009) ‘China’s cultural exports and its growing cultural power in the world’, in M. Li (ed) Soft power: China’s emerging strategy in international politics, Plymouth: Lexington Books. Field, K. (2005) ‘The changing place of modern foreign languages in the curriculum’, in K. Field (ed) Issues in modern foreign language teaching, New York: Taylor & Francis e-Library. Giroux, H. A. (2005) Border crossing: cultural workers and the politic of education (2nd ed), New York: Routledge. Gouda, F. & Zaalberg, T. B. (2002) American vision of the Netherlands East Indies/Indonesia: US foreign policy and Indonesian nationalism, 1920-1949, Amsterdam: Amsterdam University Press. Groenke, S. L. (2009) ‘Social reconstruction and the root of critical pedagogy: implication for teacher education in the Neoliberal era’, in S. L. Groenke & J. A. Hatch (eds) Critical pedagogy and teacher education in the Neoliberal era, Tennesse: Springer. Guilherme, M. (2002) Critical citizen for intercultural world, Clevedon: Multilingual Matters, Ltd.

250 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Li, M. (2009) ‘Introduction: soft power: nurture not nature’, in M. Li (ed) Soft power: China’s emerging strategy in international politics, Plymouth: Lexington Books. McConnell, D.L. (2008) ‘Japan’s image problem and the soft power solution: the JET Program as cultural diplomacy’, in W. Yasushi & D. L. McConnell (eds) Soft power superpower: cultural and national assets of Japan and the United Stated, New York: M.E. Sharp, Inc. Nye, Jr. J. S. (1990) Bound to lead: The changing nature of American power, New York: Basic Books. Nye, Jr. J. S. (2002) The paradox of American power: why the world’s only superpower can’t go it alone, New York: Oxford University Press. Nye, Jr. J. S. (2011) The future of power, New York: Public Affairs. Nye, Jr. J. S. (2008) The powers to lead, New York: Oxford University Press. Nye, Jr. J. S. (2004) The power game: a Washington novel. New York: Public Affairs. Patterson, D. S. (ed). (2001) Foreign relations of the United States, 1965-1968: Indonesia, Malaysia- Singapore, Philippines, Washington: United States Government Printing Office. Reagan, T. G. & Osborn, T. A. (2002) The foreign language educator in society: towards a critical pedagogy, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Tim Penulis Bahasa Indonesia UNEJ (2012). Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Andi. Tsutomu, S. (2008) ‘Japan’s creative industry: culture as a source of soft power in the industrial sector’, in W. Yasushi & D. L. McConnell (eds) Soft power superpower: cultural and national assets of Japan and the United Stated, New York: M.E. Sharp, Inc. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45 US-Indo Join Council. (2013) Scheme Program for Academic Mobility and Exchange (SAME), http://www.usindonesiajointcouncil.org/20130416same/ Yoshiko, N. (2008) ‘Shared memories: Japanese pop culture in China’, in W. Yasushi & D. L. McConnell (eds) Soft power superpower: cultural and national assets of Japan and the United Stated, New York: M.E. Sharp, Inc. Walter, G. (1997) The element of foreign language teaching, Clevedon: Multilingual Matters.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 251

DAMPAK BAHASA GAUL TERHADAP KARAKTER BANGSA

Bivit Anggoro Prasetyo Nugroho Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman

Abstract The position of Indonesian as the national language stated born on October 28, 1928 and celebrated as the Youth Pledge. Position Indonesian national language as well as the language of unity. In his capacity as the national language, Indonesian has the following functions: symbol of identity; symbol of national pride; means of unifying the various people who have ethnic backgrounds and socio-culture, and languages of different regions; intercultural and interregional interface. The character of a nation can be seen from the position of Indonesian as the nation's identity. The use of language in a nation will affect the behavior of the perpetrators of these languages. Therefore, the language affect the culture that has become one of habituation. In this globalization era, the position and function of Indonesian has begun to shift in the presence or slang language is often referred to as "Alay". This new language shift the use of Indonesian as a handful among adolescents. The use of slang is evident in the oral and written language that is often used by our society, especially among teenagers. Indonesian teen trouble communicating with the Indonesian language is good and true. The difficulty is due to the use of a new language which they see as a creativity. Containing language-specific password and the password is now considered reasonable emerged from some quarters that use slang. Jargon used by a group of people and only understood by them. Jargon which is currently being "trend" in Indonesia, especially in teenagers is slang, if not use it, they are afraid to say out of date.

Keywords: impact slang, Indonesian development, the character of the nation

PENDAHULUAN Pada dasarnya bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang yakni, sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasai sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat melakukan kontrol sosial. Arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan teknologi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kita perlu tahu tentang sifat-sifat dan aspek-aspek bahasa Indonesia yang sebenarnya, agar kita tidak hanya dapat menggunakan, tetapi juga dapat mengetahui hakikat bahasa indonisia, sehingga kita dapat menyaring bahasa baru. Masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda yang sudah mulai menggunakan bahasa gaul yang kadang terdengar tidak santun. Padahal bahasa Indonesia itu sebagai identitas diri atau karakter bangsa Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut dalam makalah ini mencakupi pembahasan tentang pemakaian bahasa gaul yang memunculkan bentuk bahasa baru sebagai wujud kreativitas dalam berbahasa di dalam komunitasnya. Pemakaian bahasa gaul akan menimbulkan dampak positif serta negatif bagi karakter bangsa Indonesia.

LANDASAN TEORETIS Chaer (2007:1) mengungkapkan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri.

252 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Menurut Keraf (2004:1) bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat terdiri atas dua bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Ramlan (1985:21) berpendapat bahwa morfologi adalah bagian dari tata ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan- perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan- perubahan bentuk kata itu. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkomunikasi antaranggota masyarakat berupa bentuk dan makna. Menurut Fuad Hassan dalam Solin (2013) pernah mengatakan bahwa pendidikan terdiri dari “pembiasaan”, “pembelajaran” dan “pembudayaan”. Tiga istilah ini berkaitan dengan pendidikan bahasa Indonesia sehingga kita dapat mengatakan pendidikan bahasa Indonesia berarti pembiasaan berbahasa Indonesia (terutama yang baik dan benar), pembelajaran berbahasa Indonesia (untuk menerima (receptive) dan (productive) menghasilkan karya) dan pembudayaan berbahasa Indonesia (memasyarakatkan karakter seperti kejujuran, disiplin, kerjasama, suka menolong dsb). Alatas (2006:59) berpendapat bahwa bahasa gaul adalah bahasa yang digunakan untuk berteman dan bersahabat di tengah masyarakat. Bahasa gaul merupakan bentuk ragam bahasa yang digunakan oleh penutur remaja, waria untuk mengekspresikan gagasan dan emosinya. Perkembangan teknologi informasi turut menyalurkan penggunaan bahasa gaul ke lingkup yang lebih luas. Media komunikasi dalam menyampaikan informasi juga menggunakan bahasa gaul yang sedang menjadi trend atau populer di kalangan remaja. Dalam konteks modern, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia nonformal, yang digunakan sebagai bentuk percakapan sehari- hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam media-media populer seperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan sering pula digunakan dalam bentuk publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja, dunia hiburan oleh majalah-majalah populer. Menurut Sahertian (2006:15) bahasa gaul atau bahasa prokem sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa gaul adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari yang sifatnya menarik dan memiliki arti tertentu untuk merahasiakan arti obrolan di tengah masyarakat. Sumarsono (2007: 8) mengungkapkan bahasa sebagai suatu sistem tetapi yang berkaitan dengan struktur masyarakat; bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu; jadi bahasa dilihat sebagai sistem yang terbuka.

PEMBAHASAN Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi (Sumarsono, 2007: 19). Bahasa sebagai milik masyarakat tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan tingkah laku bahasa individual ini dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa yang lain. Penggunaan bahasa yang baik dan benar di lingkungan remaja juga mempunyai andil yang sangat besar untuk mengajarkan bahasa Indonesia sehingga akan menciptakan etika komunikasi yang baik. Seseorang akan memiliki nilai kesopanan dan kesantunan komunikasi serta tingkah laku yang terpuji. Penggunaan bahasa yang baik dapat mempermudah dalam menyampaikan informasi atau pendapat yang diinginkan. Orang lain akan mengerti akan apa yang menjadi maksud dan tujuan kita. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 253

Dalam kehidupan sehari-hari seharusnya menggunakan tata bahasa yang baik supaya kita terbiasa untuk berkomunikasi secara lebih efektif. Bahasa gaul juga sangat mempengaruhi etika seseorang dalam berkomunikasi. Mahasiswa cenderung lebih menyukai bahasa gaul daripada menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Orang lain akan melihat dan menilai bagaimana seseorang menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang baik. Apabila hal itu terus dilakukan, maka akan timbul nilai dan etika komunikasi yang baik. Sebaliknya bila seseorang berbicara sembarang dan tidak beraturan, maka orang lain yang mendengarnya akan beranggapan bahwa orang itu tidak berpendidikan atau tidak bermoral. Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama (Dardjowidjojo: 2008:16). Potensi yang melekat pada bahasa termasuk fungsinya sebagai metabudaya, dengan cara memahami segala potensi bahasa, dengan demikian, adalah pembuka jendela kebudayaan lokal, nasional, dan bahkan global (Alwasilah: 2010: 35). Penggunaan bahasa gaul oleh masyarakat luas menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Cara untuk dapat menghindari pemakaian bahasa gaul yang sangat luas di masyarakat, seharusnya kita menanamkan kecintaan dalam diri generasi bangsa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Dalam pergaulan internasional, bahasa Indonesia mewujudkan identitas bangsa Indonesia. Seiring dengan munculnya bahasa gaul dalam masyarakat, banyak sekali dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa gaul terhadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Saat ini banyak sekali remaja yang menciptakan bahasa gaul, yaitu bahasa baku yang dipelesetkan, sehingga terkadang orang dewasa tidak memahami bahasa apa yang dikatakan oleh para remaja tersebut. Contoh bahasa gaul yang sering dipakai adalah “beud”, yang berasal dari kata banget. Kemudian, ada pula kata kakak yang dalam bahasa Inggris adalah “sister”, menjadi “sista”, dan” brother” menjadi “brotha”. Selain itu, terdapat juga dalam menulis SMS, seperti “lagi apa?” menjadi “gi pha??”atau “bosen banget” menjadi “bsen bgd nh“ atau “bosen beud nh”. Memakai simbol tambahan “p@ k@bar L0e/?” atau “hha.. y nh.. lg bosen-” pada kalimat yang ditulisnya. Menggunakan huruf z di belakang kata “mkz bgtz” atau “gurunya malezin yh “. Selain itu, maraknya pemakaian jalur komunikasi yang murah, efisien, dan juga dapat melahirkan dampak yang negatif dalam penggunaan tata bahasa. Penyebabnya adalah kurangnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia baku. Namun, tidak semua remaja menggunakan bahasa gaul ini. Pada umumnya yang menggunakan adalah remaja yang ingin dianggap keren dan tenar di kalangan teman-temannya. Mereka menganggap berbahasa gaul adalah keren, padahal di mata remaja lain gaya bahasa mereka adalah alay. Munculnya bahasa gaul dianggap menjadi sebuah kreativitas anak usia remaja karena menciptakan bentuk bahasa baru yang digunakan dalam komunitasnya. Kreativitas itu dapat dibina, ditumbuhkan, dan ditemukan kembali; dan ini semua dapat dicapai melalui praktik pendidikan. Kreativitas adalah kemampuan mewujudkan bentuk baru, struktur kognitif baru, dan produk baru, yang mungkin bersifat fisikal seperti teknologi atau bersifat simbolik dan abstrak seperti definisi, rumus, karya sastra, atau lukisan (Alwasilah, 2010: 21). Seorang pendidik harus mampu mengajarkan pada peserta didiknya untuk berpikir kritis-kreatif dalam mata pelajaran tertentu. Maka orang tua dan pendidik mempunyai peran untuk mengarahkan penggunaan bahasa pada anak yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, tetapi tidak membatasi proses kreativitas anak untuk berkreasi. Jangan sampai mereka terbawa pengaruh yang buruk, yang membuat mereka menggunakan bahasa Indonesia yang buruk pula. Cintailah bahasa Indonesia, karena inilah salah satu kekayaan bangsa sekaligus menjadi karakter bangsa Indonesia.

254 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Karakter bangsa merupakan salah satu pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa merupakan cermin karakter, watak, atau pribadi seseorang yang dapat dirasa melalui pilihan kata yang digunakan pada saat berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun, sistematis, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi luhur. Sebaliknya melalui penggunaan bahasa yang kasar, menghujat, memaki, memprovokasi, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi luhur. Segala sesuatu pasti mempunyai dampak positif dan negatif. Begitu pula dengan bahasa gaul yang juga mempunyai dampak positif dan negatif terhadap penggunanya dan orang lain terutama terhadap karakter bangsa. a. Dampak Positif Dampak positif dengan digunakannya bahasa gaul adalah remaja menjadi lebih kreatif. Terlepas dari menganggu atau tidaknya bahasa gaul ini, tidak ada salahnya kita menikmati tiap perubahan atau inovasi bahasa yang muncul karena bahasa gaul menjadi bias dari bahasa Indonesia. Pengembangan kreativitas penggunaan bahasa gaul dapat dilakukan salah satunya melalui karya sastra dalam bentuk teenlit, yang menggunakan bahasa gaul guna menuangkan ide melalui sebuah karya.a b. Dampak Negatif Penggunaan bahasa gaul dapat mempersulit penggunanya untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di tempat pendidikan atau di tempat kerja, kita diharuskan untuk selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tidak mungkin jika pekerjaan rumah, ulangan atau tugas sekolah dikerjakan dengan menggunakan bahasa gaul karena bahasa gaul tidak masuk ke dalam tatanan bahasa akademis. Apabila di kantor, laporan yang kita buat tidak diperkenankan menggunakan bahasa gaul. Maka dalam situasi yang formal jangan menggunakan bahasa gaul sebagai komunikasi. Kosakata yang digunakan seseorang dalam berkomunikasi dapat mencerminkan kemampuan berpikir dan tingkat kepribadiannya. Kepribadian seseorang yang baik dapat memilih apa saja yang harus diucapkan dan dibicarakan. Tidak berlebihan jika seseorang yang pandai berbahasa Indonesia, ia akan merasa diterima dan dihargai oleh berbagai kalangan. Ada beberapa solusi yang dapat meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia adalah 1) Menyadarkan dan memotivasikan remaja akan fungsi dan pentingnya dari bahasa yang baku. Upaya ini dimaksud untuk mengajak seseorang menyadari porsi dan tempat yang tepat bagi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 2) Membutuhkan suatu upaya pembiasaan. Artinya, remaja dilatih untuk berbahasa secara tepat, baik secara lisan maupun tulisan setiap saat setidaknya selama berada di lingkungan sekolah. Pembiasaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan berbahasa pada remaja. 3) Proses penyadaran dan pembiasaan ini membutuhkan suatu kekuatan atau sanksi yang mengikat, misalnya tugas menuliskan suatu artikel atau karangan dengan bahasa yang baku. Hal ini akan menimbulkan keinginan remaja untuk mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar.

SIMPULAN Bahasa menunjukkan bangsa, pemakaian bahasa yang baik dan benar akan mencerminkan bangsa kita. Walaupun bahasa gaul tidak menjadi bahasa yang menggantikan bahasa Indonesia, tetapi lebih baik penggunaan bahasa ini dikurangi, karena dilihat dari kenyataan saat ini, bahasa gaul membuat masyarakat. Indonesia kian kehilangan ciri keindonesiaannya. Bahasa gaul mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak negatif lebih cenderung mengakibatkan permasalahan bagi orang yang menggunakannya. Seperti sulit berbicara, menulis, Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 255 membaca bahkan menyimak dalam bahasa yang sesuai EYD. Maka dari itu sebaiknya kita mencegah dengan cara meminimalisir bahasa gaul yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kegemaran menggunakan bahasa gaul ini berlangsung lama dan makin dicintai, resmilah kita mengubur semangat sumpah pemuda berbahasa satu, bahasa Indonesia. Karakter bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi budaya ketimuran dilihat dari penggunaan bahasanya maka akan terjadi penghilangan karakter tersebut sebagai dampak maraknya penggunaan bahasa gaul yang tidak tepat sasaran. Penggunaan bahasa secara santun merupakan budaya bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa gaul secara kaidah bertolak belakang dengan aspek kesantunan bahasa sehingga dalam penggunaannya dapat diminimalkan, tetapi bahasa gaul dapat dikembangkan menjadi sebuah karya sastra yang bermakna dan bermanfaat melalui proses kreativitas pengguna bahasa gaul tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Alatas, dkk. 2006. Penggunaan Ragam Bahasa Gaul Dikalangan Remaja.Jakarta: Hikmah-Mizan. Badudu, J.S. 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia. Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, Pemelajaran. Jakarta:Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Obor Indonesia. Keraf, Gorys. 2004. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Semarang: Nusa Indah Keraf, Gorys. 2005. Terampil Berbahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sahertian, Debby. 2006. Kamus Bahasa Gaul. Jakarta: Pusataka Sinar Harapan. Solin, Mutsyuhito. Artikel: Peranan Bahasa Indonesia dalam Membangun Karakter Bangsa. http://digilib.unimed.ac.id/peranan-bahasa-indonesia-dalam-membangun-karakter-bangsa- 23454.html. (diakses tanggal 25 September 2014) Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

256 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 257

WUJUD RELIGI DALAM NOVEL-NOVEL MELAYU TIONGHOA

Dedi Pramono

Abstract Form of religion appeared in most Tionghoa Malay novels; are Buddhism, Confucianism, Hinduism, Islam and Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nickname of God are Tuhan, Tuhan Yang Maha Kwasa, Tuhan Allah, Tuhan pokoknya rachman dan rachim, Rabbi, Toapekong, Ban Su Bu Kiang, Kramat Po Seng Tay Te, Tuhan Yang Bersifat Murah dan Adil, Batara Wishnu and Betara Sri Maha Dewa Yang Berkwasa. Religion in equivalent reflections of faith, gratitude, hope, and resignation present with religiosity comprehension.

PENDAHULUAN Kesusastraan Melayu Tionghoa adalah tonggak sejarah yang terlupakan di Nusantara. Namun demikian, beberapa kritikus sastra telah berupaya menyuarakan pentingnya mengkritisi hasil karya sastra Melayu Tionghoa yaitu Nio Joe Lan (1930) yang menyebut Sastra Melayu Tionghoa sebagai Kesusastraan Indo-Tionghoa, (de Indo-Chineesche literatuur); Pramoedya Ananta Toer (di masa awal kemerdekaan), Watson (1970-an), dan Jakob Sumardjo (di Pikiran Rakyat dan Suara Pembaharuan tahun 1990-an). Pramudya Ananta Toer, penulis dan kritikus sastra Indonesia, berpendapat bahwa masa sastra melayu Tionghoa merupakan masa sastra asimilasi atau masa transisi antara sastra lama ke sastra modern. Pendapat tersebut didukung oleh Watson yang pada tahun 1971 menempatkan sastra Melayu Tionghoa sebagai Pendahulu Kesusastraan Indonesia Modern. Beberapa Kajian ilmiah tentang sastra Melayu Tionghoa dilakukan oleh Claudine Salmon, seorang Anggota Peneliti Perancis dalam tahun 1966-1969, yang pada tahun 1981 hasil Kajianitu diterbitkan dengan judul Literature in Malay by the Chinese of Indonesia:A Provisonal Annoted Bibliography. Selanjutnya, Jhon B. Kwee menulis disertasi dengan judul Chinese Malay Literature (Sastra Melayu Tionghoa) pada tahun 1977 untuk promosi doktor di Auckland University dan Myra Sidharta mulai tahun 1984 melakukan kajian dalam bentuk kertas kerja untuk beberapa seminar di Belanda dan Singapura. Kajian terhadapat karya sastra Melayu Tionghoa juga dilakukan oleh Heni Sastriavi (2001) dengan judul ”Emansipasi Wanita pada Sastra Melayu Tionghoa”. Kajian tersebut berlandas pada teori sosiologi sastra yang membahas beberapa contoh emnasipasi wanita yang hadir pada beberapa tokoh wanita baik secara pikiran maupun sikap tokoh. Beberapa Kajian dilakukan penulis dalam beberapa judul ”Tema dan Tokoh dalam Sastra Melayu Tionghoa” (2004), ”Interaksi Sosial Tokoh dalam Sastra Melayu Tionghoa” (2006), dan ”Citra Wanita dalam Sastra Melayu Tionghoa” (2007). Kajian pertama melandaskan diri pada teori sastra strukturalisme yang membahas tema dan teknik penokohan dalam karya sastra novel Melayu Tionghoa. Kajian kedua membahas interaksi sosial antar tokoh dalam karya sastra Melayu Tionghoa, baik dalam interaksi formal maupun interaksi informal. Kajian ketiga memaparkan pencitraan tokoh-tokoh wanita yang terdapat dalam karya sastra Melayu Tionghoa, baik citra wanita pribumi maupun citra wanita keturunan Tionghoa. Adapun tulisan ini merupakan hasil penelaahan beragam aspek yang berkaitan dengan wujud religi dan ekpresinya Dengan demikian akan diketahui beragam pemikiran religi pada novel-novel Melayu Tionghoa, di tengah asumsi masyarakat yang telah menempatkan masyarakat etnik Tionghoa sebagai masyarakat materialistis dan jauh dari agamis (Paulus, 1977). WUJUD RELIGI Religi atau lebih dikenal dengan sebutan agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada ”Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya,serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang meliputi segi- segi kemasyarakatan (Mangunwijaya, 1988 : 12).

258 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Religi merupakan pemahaman tentang suatu keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari diri manusia itu sendiri (ketuhanan) dengan seperangkat aktivitas yang berkaitan dengan beragam pola penyembahan terhadap-Nya (bandingkan dengan Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, 2005 : 1231). Pemahaman kita mengartikan religi ini sebagai agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999 : 739). Mengacu pada pemahanan tersebut wujud religi yang hadir dalam novel-novel sastra Melayu Tionghoa adalah: a. Religi Budha Judul novel yang mengungkap keyakinan ajaran religi Budha terdapat pada judul Bunga Roos dari Cikembang, dan Dengan Duwa Cent Jadi Kaya (2001 : 202) Pada novel pertama religi Budha dianut oleh dua tokoh utama yaitu Oh Ay Tjeng dan Kim Gwat Nio. Religi Budha dipahami sebagai ajaran yang diyakini akan mampu memecahkan beragam persoalan kehidupan mereka sehari-hari. Adapun pada novel kedua tersurat adanya pola pikir penentangan terhadap ajaran Budha. Ajaran Budha, pada novel pertama, dipelajari oleh kedua tokoh di tempat-tempat khusus seperti di vihara-vihara yang berada di Malang dan Ambarawa. dengan membaca buku pelajaran tentang theosofi Budha. Ajaran ini memberikan dampak psikologis bagi kedua tokoh tersebut, dengan merasa bahwa segala persoalan yang ditemukan dalam kehidupan ini jadi semakin ringan dijalani. Penyataan itu terdapat pada penggalan, ”Semingkin ia yakiken lebih jau itu plajaran, semingkin kesahannya ia rasaken enteng, kerna ia merasa dapet liat lebih teges maksudnya ini penghidupan (2001 : 361). Pada novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya religi Budha diyakini sebagai sebuah ironi keberagamaan. Pengkritisan terhadap ajaran Budha ditampilkan melalui dua tokoh tidak bernama (2001 : 195). Kedua tokoh dalam novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya tersebut membahas persoalan keyakinan pada ajaran asli nenek moyang bangsa Tionghoa yang disebut Ji Kau, yaitu gabungan dari ajaran agama Khong Hu Cu, Sakia Budha , dan Tao. Salah seorang tokoh yang sedang berbincang tersebut bahkan menyebutkan bahwa beragam keyakinan Budha asli (hwe-shio-Wasia) dikatakan sebagai pekerjaan pembawa sial (yaw siu tau lou). Bahkan seorang tokoh lain mengatakan bhawa dia bukan penganugt agama Budha sehingga tidak mempercayai beragam dongeng tahayul yang berkembang tentang perolehan kekayaan melalui penyembahan terhadap patung-patung Budha di Vihara (2001 : 202). b. Religi Khong Hu Cu Judul novel yang mengungkap keyakinan ajaran religi Khong Hu Cu terdapat pada judul Dengan Duwa Cent Jadi Kaya dan Ruma Sekola yang Saya Impiken (2001 : 288). Ajaran religi Khong Hu Cu dalam novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya tampil dalam bentuk ironi dengan menampilkan beragam tingkah konyol umat pada saat melakukan penyembahan di Klenteng. Gambaran ironi itu hadir dengan pemaparan suasana Klenteng yang paling besar dan paling dianggap keramat dengan berhala Ban Su Bu Kiang dan keramat Po Seng Tay Te.sebagai tempat ”orang sembahyang sampe orang susa buka mata sebab asep hiyo mulek di dalam, apalagi hawanya begitu panas.” (2001 : 236). Ironisme itu dipertegas dengan cerita ketika seorang hujin (nyonya besar) The Hong Lan memintakan jodoh untuk anaknya di depan Toapekong, berhala itu berkata, ” Hujin punyan anak, jodonya ada di Semarang (2001 : 237). Namanya Ong Sie Tiong, rumanya di Jagalan. (2001 : 238). Oleh karena amat percaya sang hujin mencari orang yang dikatakan Toapekong dan ia percaya itu anugerah dari Toapekong. Padahal suara Toapekong tersebut sebenrnya suara Babah Banteng yang bersembunyi di belakang Toapekong, ”...dan saya kasi terang-terangan apa yang dia tanya...e, kok percaya sunggu sampe kejadian ini kawinan, ya? Hahahaha.” (2001 : 254). Gambaran tersebut menunjukkan betapa boidohnya pada penyembah berhala tersebut. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 259

Dalam hal ini tampaknya penulis menginginkan pemurnian terhadap ajaran Khong Hu Cu sebagai ajaran moral dan bukan sekedar ajaran penyembahan yang tidak menggunakan akal sehat (taklid). Melalui seorang tokoh penulis menggambarkan keinginannya. ”.....saya bukannya mau supaya orang-orang Tionghoa lantes piara juga Toapekong di rumanya dan sujud betul seperti itu Encek, sebab meniru-niru, itu kebanyakan tida baek akhirnya (2001 : 232). Pada novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya ada tokoh yang tidak disebutkan namanya (diinterpretasikan sebagai wakil penulis) mengharapkan ajaran religi Khong Hu Cu dikenalkan kepada anak-anak Tionghoa dengan cara membaca langsung Kitab Su Si (empat kitab karya Khong Hu Cu) agar mereka mengenal adat istiadat leluhur yang baik (2001 : 200). Pada novel Ruma Sekola yang Saya Impiken religi Khong Hu Cu diusulkan diajarkan tidak lagi dengan metode yanswat (ceramah) agar pelajaran Khong Hu Cu bisa meresap dalam hati. (2001 : 288 – 289). Metode yang diusulkan adalah metode tanya jawab dengan duduk bersama secara informal. c. Religi Hindu Judul novel yang mengungkap ajaran religi Hindu terdapat pada novel berjudul Drama dari Krakatau, sedangkan pada novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya (2001 : 202) tersurat adanya pola pikir penentangan terhadap ajaran Hindu. Berbeda dengan novel-novel lainnya, pada Drama dari Krakatau ajaran agama begitu kuat tampil. Keyakinan pada ajaran agama Hindu yang dipersonalkan dengan tokoh Pandita Noesa Brama hadir cukup dominan sebagai pusat persoalan novel. Ajaran Hindu yang muncul misalnya digambarkan bahwa sang pandita seorang keturunan langsung dari Prabu Siliwangi (2001 : 572), ia adalah sesepuh dari suku Baduy yang berasal dari keturunan Raja Pajajaran (2001 : 571). Pandita Noesa Bhrama yang disebut Prabu Wastu Kencana adalah keturunan Prabu Asheka. Ajaran Hindu yang tampil dengan sering disebutnya nama-nama dewa seperti dalam kisah pewayangan (2001 : 461). Ia digambarkan sebagai seorang vegetarian (2001 : 467). Sang pendeta memberi pengajar paham Hindu tentang wet negri dan wet hati (2001 : 500-502.). Ajaran Hindu di Indonesia tidak lepas dari keyakinan adanya ramalan-ramalan akan bencana yang mungkin terjadi manakala sang pemelihara alam (Dewa Wishnu) yang berupa patung hancur (2001 : 554). Keyakinan sang pandita disetujui penulis dengan peristiwa hancurnya patung Wushnu ini menjadi rangkaian penyebab meletusnya Gunung Krakatau. Dengan demikian, ajaran religi Hindu pada Drama dari Krakatau tampil dalam bentuk kepercayaan yang cenderung telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yakni kepercayaan animisme dan dinamisme. Konsepsi ajaran Hindu sendiri tidak hadir dalam novel ini. Ketidakjelasan ajaran Hindu di indonesia tampaknya dikritisi dalam novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya. Dalam novel ini pengkritian dilakukan oleh tokoh cerita yang tidak disebutkan namanya. Tokoh tersebut berkata, “Kalu saya dan angkau juga ada anut pada Ji Kau yang begitu bagus kenapa angkau musti rewelin lagi sama aturan-aturan Hindu (2001 : 202)” d. Religi Islam Judul novel yang mengungkap ajaran religi Islam terdapat pada novel berjudul Lo Fen Koei, Oey Se, Cerita Nyai Soemirah, Bunga Roos dari Cikembang, Dengan Duwa cent Jadi Kaya, dan Drama dari Krakatau. Ajaran religi Islam tampil dalam sastra Melayu Tionghoa merupakan hal menarik. Ini terbukti dengan beberapa data yang menunjukkan bahwa kehadiran ajaran itu cenderung bersifat pengkritisan. Dalam novel Lo Fen Koei ajaran religi Islam hadir dalam ujud pemberian nama tokoh. Secara kebetulan (atau memang disengaja) tokoh-tokoh dengan nama-nama Islam tersebut berposisi sebagai antagonis (tokoh yang menentang ide kebaikan), misalnya Haji Sa’ari adalah tokoh yang

260 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

digambarkan sebagai tangan kanan tokoh antagonis utama, Lo Fen Koei. Haji Sa’ari ditokohkan sebagai seorang penjahat yang mau menerima uang dengan mengucapkan syukur kepada Allah untuk melakukan kejahatan (2000 : 106). Kejhatan yang ditugaskan kepada Haji Sa’ri adalah memfitnah Tan Hin Seng karena tidak mau menyerahkan puteri tuggalnya Tan San Nio kepada Lo Fen Koei. Pada akhirnya haji Sa’ari mendapat hukuman berat karena kejahatannya, ”Itu, haji musti mendapet hukuman dari perbuatannya, ” berkata tuan jaksa (2000: 167). Tokoh lain yang beragama Islam yang menjadi tangan kanan tokoh antagonis adalah bibi An Hoa (2000 : 112). Wanita ini bertugas merebut wanita yang disukai Lo Fen Koei. Laij Nio dari suaminya dengan iming-iming kekayaan. Pada novel Oey Se ajaran religi Islam semula tampil dalam bentul ikon-ikon Islam seperti Tuhan yang rachman dan rachim (2000 : 186); tida ada suatu apa yang boleh sembunyi dari pemandangan Tuhan, sekalipun tersembuyi pada suatu tempat yang cumah seluas leyang semut, Allah itu senantiasa ada (2000 : 205); Allah itu maha adil, segala apa perbuatan tida ada yang akan tida dibalas (200 : 214) atau ungkapan, ”Ya Allah, Ya Tuhan.....” (2000 : 241). Pada bagian akhir ternyata Islam hadir sebagai kutukan. Dalam novel itu diceritakan tentang kesalahan yang diperbuat Oey Se, yang mendapat balasan Tuhan dengan puteri tunggalnya, Kim Nio jatuh cinta kepada seorang pejabat Islam, Tuan Regent Pekalongan. Kritikan atas pernikahan tersebut dikemukakan penulis dengan unataian kalimat berikut. Fatimah alias Kim Nio banyak membuat warga China masuk Islam dengan sodoran kekayaan dan jabatan (2000: 248). Pada akhirnya tokoh Kim Nio yang masuk Islam diberi siksaan setelah meninggal. Penulis menggambarkan siksaan tersebut sebagai berikut. Oey Kim Nio alias Fatimah bekas Radhen Ayu Kanoman, puteridari sudagar besar Oey Se sudah mati. Cumah setiap malam sampe beberapa bulan lamanya di kuburannya Fatimah orang dapet denger suara perampuan menangis dan merintih, katanya: ”Gatel ! Gatel ! Gatel !” Sebab itu.orang bilang akan fatimah itu, Cina tanggung – Jawa wurung – mayitnya tida diterima bumi. (2000 : 249) Pada Cerita Nyai Soemirah ajaran Islam tampil pada wujud keyakinan yang ditampilkan Ibu Nyai Soemirah dan langsung didebat puterinya yang sedang jatuh cinta kepada Bi Liang, pemuda Tionghoa yang telah menyelematkannya (2000 : 53). Semula Ibu Nyai Soemirah mengganggap bahwa hubungan keduanya sebagai kutukan Allah kepadanya (2000 : 38 dan 75), tetapi kemudian dapat menerima pernikahan mereka dan merelakan Nyai Soemirah mengikuti agama sang suami (2000 : 141). Pada novel Drama dari Krakatau ajaran Islam tampil dalam ujud tampilan tokoh yang berodoa secara Islam untuk memintakan ampun dan keselamatan bagi pandita Noesa Brama, seorang tokoh keturunan Pajajaran, Pandita Noesa Brama, yang beragama Hindu seperti terungkap pada cuplikan berikut.. Bupati Hasan lalu berlutut mengadepi itu sumur dan membaca dowa sacara orang Islam aken mintaken selamet rohnya Noesa Brama (2001 : 588). Pada novel Bunga Roos dari Cikembang, ajaran religi Islam tampil dalam ujud Islam tradisional, yakni pemakaian ayat-ayat Al Quran untuk doa yang diikuti dengan upacara tradisional. Peristiwa dalam novel terjadi pada saat Bian Koen melihat sosok Lily, calon istrinya yang sudah wafat. Gambaran tersebut hadir dalam nukilan berikut. Nyonya Tjoan Hoe ripuh prentain koki bikin tumpeng dari nasi begana, rujak-rujakan sedia kembang tuju rupa, telor ayam dan laen-laen keperluan. Bian Koen yang tidak percaya dukun, tida turut campur suatu apa. (2001 : 369). Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 261

Bapa dukun lantes ukup itu potret di pedupaan sambil buka bungkusannya dan berdowa : Membaca alfatihah (2001 : 370) e. Religi Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa Religi Kepercayaan kepada Tuhan yang Mahaesa hadir sebagai upaya penulis sastra Melayu Tionghoa menjembatani beragam agama yang mungkin dianut oleh para pembaca dari etnis Tionghoa sendiri. Dengan demikian, penulis dapat dengan bebas menuangkan ide rasa keberagamaannya (religiositas) tanpa diiringi kekhawatiran adanya penolakan dari pembaca. Judul novel yang mengungkap ajaran religi K epercayaan kepada Tuhan YME terdapat pada novel berjudul Lo Fen Koei, Sie Po Giok, Cerita Nyai Soemirah, Dengan Duwa Cent Jadi Kaya, Bunga Roos dari Cikembang. Pada novel-novel tersebut para tokoh utama dari etnik Tionghoa tidak secara jelas menganut suatu agama tertentu. Pada novel Lo Fen Koei, tokoh Fen Koei tidak terucap satu kata pun yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, hanya tokoh Hin Seng menyebut istilah Tuhan Allah sebagai penentu takdir (2000 : 123), Bi Liang dan Soemirah bertindak mengikuti hati tanpa menyebut satu nama untuk istilah tuhan (pada novel Cerita Nyai Soemirah, 2001 : 44), Sie Tiong menyebut Tuhan sebagai bentuk penghiburan dari segala kesusahan (dalam novel Dengan Duwa Cent Jadi Kaya, 2001 : 204), dan Bian Koen tiak menyakini tahayul hanya tokoh tersebut pernah menyebut istilah ”roh dari orang yang di kubur di sini” tanpa menyebut salah satu istilah untuk tuhan (pada novel Bunga Roos dari Cikembang). Dari semua tokoh tionghoa dalam novel, yang cenderung memiliki rasa religi tinggi terhadap Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, adalah Po Giok (dalam novel Sie Po Giok). Sebagai orang yang diceritakan telah yatim piatu Po Giok berjuang sejak kecil untuk menghidupi dirinya. Beragam persoalan harus dia hadapi sendirian. Maka, sandaran utamanya hanya kepada Tuhan (2000 : 296). Juga, berkat bimbingan orang tua yang jadi sahabat dekatnya sinshe Pang Kan agar tidak mengurangi kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Kwasa untuk memecahkan segala persoalannya (2000 : 326). Maka, ia pun menjadi orang yang sholeh dengan sujud kepada Allah (2000 : 307).

PENUTUP Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan (a) Wujud religi muncul pada sebagian besar novel sastra Melayu Tionghoa; (b) Religi pada novel sastra Melayu Tionghoa berupa religi Budha, Khong Hu Cu, Hindu, Islam dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (c) Sebutan untuk nama tuhan yang tampil beragam, seperti Tuhan, Tuhan Yang Maha Kwasa, Tuhan Allah, Tuhan pokoknya rachman dan rachim, Rabbi, Toapekong, Ban Su Bu Kiang, kramat Po Seng Tay Te, Tuhan Yang Bersifat Murah dan Adil, Batara Wushnu dan Betara Sri Maha Dewa Yang Berkwasa; dan (d) Religi sebagai ekpresi keimanan, kesyukuran, harapan, dan kepasrahan diharapkan diirngi dalam pemahaman keagamaan yang komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta : Kanisius. Marcus, AS dan Benedanto, Pax. 2000. Kesastraan Melayu Tionghoa dan kebangsaan Indonesia Jilid 1. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Marcus, AS dan Benedanto, Pax. 2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan kebangsaan Indonesia Jilid 2. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Ong. 2004. “Sastra Melayu Tionghoa: Mencari Pengakuan” dalam Kompas,20 Februari. Paulus, B.P. 1977. Masalah Cina. Bandung : PT Karya Nusantara

262 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pratiwi, Yuni. 2004. “Relativitas Citra Wanita dalam Puisi” dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia, Tahun 10, Nomor 1, Februari, Universitas Negeri Malang Salmon, Claudin. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta : Balai Pustaka. Sidharta, Myra..2000. “Menggali Kembali Sastra Melayu Tionghoa” dalam Intisari, Bulan Juli. Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Cina Peranakan. Jakarta : Grasindo. Sugijarti, R. 2002. “Merangkul Tabu, Meretas Kekerasan Tersamar” dalam Sinar Harapan, 26 April. Wehmeier, Sally. 2005. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary : 7th edition. Oxford : Oxford University Press.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 263

PENERAPAN LAGU-LAGU ANAK KARYA SIGIT BASKARA: SEBUAH ALTERNATIF MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI KELAS RENDAH

Dedi Wijayanti Ahmad Dahlan University of Yogyakarta

Abstract The kid songs play important roles in child’s growing age and development. We can use song as learning media of Indonsesian language and letters which can be combined with other subject by selecting text or lyric containing the subject learning. The selection of song applied in classroon learning is based not only on lyric textuality relating to the subject but also on text containing character education. The use of song in the process of learning in lower grade (the first and second grade of elementary school) become educative medium in order to increase the pupil’s quality towards the characterizing nation building. This is so because the use of song in classroon learning can creat learning that form heart and sense. On this way it can develop the sense of togetherness, respect, cooperation, environmental love, and nationalism spirit.

Keywords: kid song, thematic integrative

Indonesia tempat lahirku Indonesia tumpah darahku Indonesia tempat tinggalku Indonesia engkau tanah airku

Di sanalah aku dibesarkan Disanalah aku diajarkan Memahami kebesaran Tuhan Ku bersyukur atas karunia-Nya

Ku cinta slalu pada Indonesiaku Ku bangga akan negeriku Alangkah indah nan permai Indonesia Ku akan bela kehormatan bangsaku.

Sebuah lagu berjudul Indonesia di atas apabila diperdengarkan sejenak akan membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air di dalam diri siswa. Apabila lagu tersebut diperdengarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas 1 dan 2 sekolah dasar maka akan menjadikan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia lebih bermakna. Kebermaknaan tersebut mengandung arti syair Indonesia tersebut mengandung nilai-nilai Cinta tanah air yang merupakan tema dan bagian dari mata pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan. Sebuah lagu berperan penting dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui lagu, guru dapat mengembangkan ekspresi diri anak didik. Lagu juga digunakan sebagai sarana pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas anak didik untuk dipersiapkan menjadi generasi penerus negeri ini. Anak-anak sejak dini perlu mendapatkan ‘asupan’ lagu yang mampu menumbuhkan rasa saling berbagi, menghargai, bergotong-royong, cinta kepada lingkungan, dan cinta tanah air.

264 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Penggunaan lagu sebagai salah satu media dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat dibolehkan selagi lagu tersebut baik dan ‘layak’ untuk dikonsumsi oleh anak didik. Terlebih anak kelas rendah (kelas 1 dan 2 sekolah dasar) masih tergolong anak usia dini. Memang ada perbedaan antara konsep PAUD di Indonesia dengan konsep PAUD di negara maju. Di Indonesia PAUD didefinisikan sebagai pendidikan anak usia 0-6 tahun, bukan 0-8 tahun. Menurut Slamet Suyanto (2005: 33), hal itu dikarenakan pada usia 7-8 tahun biasanya anak sudah duduk di sekolah dasar. Lebih lanjut, Slamet Suyanto mengatakan bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang salah. Yang tepat adalah anak sekolah dasar usia 7-8 tahun harus belajar seperti anak usia dini karena satuan PAUD meliputi: (1) pendidikan keluarga, (2) taman bermain/playgroup, (3) Raudatul Atfal (RA) atau Taman Kanak-kanak (TK), dan (4) Sekolah Dasar (SD) kelas 1-2. Pendekatan pendidikan usia dini yang paling tepat adalah sesuai dengan ciri-ciri psikologis, pedagogis, dan tahap perkembangan moral mereka yaitu pendekatan yang mengedepankan aspek- aspek aktivitas, bernyanyi (bergembira) dan bekerja dalam arti berkegiatan (Theo Riyanto dan Martin Handoko, 2004: 82). Bermain, bernyanyi dan berkegiatan merupakan tiga ciri pendidikan anak usia dini yang paling tepat. Pelatihan, pembelajaran, pembiasaan, pendidikan aspek apa pun hendaknya dilingkupi dengan keaktifan bermain, bernyanyi dan berkegiatan. Ketiga hal itu akan mengasah kecerdasan otak, kecerdasan emosi, dan keterampilan fisik, yang dilakukan dengan ceria, bebas, dan tanpa beban. Sehubungan dengan hal di atas, sangatlah tepat apabila pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas rendah (1 dan 2 sekolah dasar) masih menggunakan lagu dalam proses pembelajarannya.

TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berprestasi dalam masyarakat yang menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia hendaknya berlangsung dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (BSNP, 2006: 231). Adapun tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial siswa, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (BNSP, 2006: 231).

KONSEP PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU Pada pembelajaran di sekolah dasar untuk kelas rendah, model pembelajaran tematik terpadu (PTP) atau Integrated Thematic Instruction (ITI) menjadi model pembelajaran utama yang harus dikembangkan guru untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Model pembelajaran ini sebenarnya telah lama ada. Model pembelajaran tematik terpadu (integrated) pertama kali dikembangkan pada awal tahun 1970-an. PTP diyakini para ahli pendidikan sebagai salah satu model pengajaran yang efektif (Highly Effective Teaching Model). Kehandalannya didasari kenyataan bahwa pembelajaran tematik terpadu mampu mewadahi dan menyentuh secara terpadu dimensi emosi, fisik, dan akademik siswa kelas rendah di sekolah dasar (Muhammad Faiq, 2014: 1). Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik, dan unit tematisnya, menurut Robin Fogarty (1991: 61-65), terdapat sepuluh cara atau model dalam merencanakan pembelajaran Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 265 terpadu. Kesepuluh cara atau model tersebut adalah: (1) fragmented, (2) connected, (3) nested, (4) sequenced, (5) shared, (6) webbed, (7) threaded, (8) integrated, (9) immersed, dan (10) networked. Secara singkat kesepuluh cara atau model tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Model Penggalan (Fragmented) Model penggalan ditandai oleh ciri pemaduan yang hanya terbatas pada satu mata pelajaran saja. Misalnya, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, materi pembelajaran tentang menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dapat dipadukan dalam materi pembelajaran keterampilan berbahasa. Dalam proses pembelajarannya, butir-butir materi tersebut dilaksanakan secara terpisah- pisah pada jam yang berbeda-beda. 2. Model Keterhubungan (Connected) Model keterhubungan dilandasi oleh anggapan bahwa butir-butir pembelajaran dapat dipayungkan pada induk mata pelajaran tertentu. Butir-butir pembelajaran kosakata, struktur, membaca dan mengarang misalnya, dapat dipayungkan pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penguasaan butir-butir pembelajaran tersebut merupakan keutuhan dalam membentuk kemampuan berbahasa dan bersastra. Hanya saja pembentukan pemahaman, keterampilan dan pengalaman secara utuh tersebut tidak berlangsung secara otomatis. Karena itu, guru harus menata butir-butir pembelajaran dan proses pembelajarannya secara terpadu. 3. Model Sarang (Nested) Model sarang merupakan pemaduan berbagai bentuk penguasaan konsep keterampilan melalui sebuah kegiatan pembelajaran. Misalnya, pada satuan jam tertentu seorang guru memfokuskan kegiatan pembelajaran pada pemahaman tata bentuk kata, makna kata, dan ungkapan dengan saran pembuahan keterampilan dalam mengembangkan daya imajinasi, daya berpikir logis, menentukan ciri bentuk dan makna kata-kata dalam puisi, membuat ungkapan dan menulis puisi. Pembelajaran berbagai bentuk penguasaan konsep dan keterampilan tersebut keseluruhannya tidak harus dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Keterampilan dalam mengembangkan daya imajinasi dan berpikir logis dalam hal ini disikapi sebagai bentuk keterampilan yang tergarap saat siswa memakai kata-kata, membuat ungkapan dan mengarang puisi. Penanda terkuasainya keterampilan tersebut dalam hal ini ditunjukkan oleh kemampuan mereka dalam membuat ungkapan dan mengarang puisi. 4. Model Urutan/Rangkaian (Sequenced) Model urutan merupakan model pemaduan topik-topik antarmata pelajaran yang berbeda secara paralel. Isi cerita dalam roman sejarah misalnya, topik pembahasannya secara paralel atau dalam jam yang sama dapat dipadukan dengan ikhwal sejarah perjuangan bangsa, karakteristik kehidupan sosial masyarakat pada periode tertentu maupun topik yang menyangkut perubahan makna kata. Topik-topik tersebut dapat dipadukan pembelajarannya pada alokasi jam yang sama. 5. Model Bagian (Shared) Model bagian merupakan bentuk pemaduan pembelajaran akibat adanya overlapping konsep atau ide pada dua mata pelajaran atau lebih. Butir-butir pembelajaran tentang kewarganegaraan dalam PPKN misalnya, dapat bertumpang tindih dengan butir pembelajaran dalam Tata Negara, PSPB, dan sebagainya. 6. Model Jaring Laba-laba (Webbed) Model yang paling populer adalah model jaring laba-laba. Model ini bertolak dari pendekatan tematis sebagai pemadu bahan dan kegiatan pembelajaran. Dalam hubungan ini tema dapat mengikat kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu maupun lintas mata pelajaran. 7. Model Galur (Threaded) Model alur merupakan model pemaduan bentuk keterampilan misalnya, melakukan prediksi dan estimasi dalam matematika, ramalan terhadap kejadian-kejadian, antisipasi terhadap cerita dalam novel, dan sebagainya. Bentuk alur ini berfokus pada apa yang diesbut meta-curriculum. 8. Model Keterpaduan (Integrated)

266 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Model keterpaduan merupakan pemaduan sejumlah topik dari mata pelajaran yang berbeda, tetapi esensinya sama dalam sebuah topik tertentu. Topik evidensi yang semula terdapat dalam mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Alam, dan Pengetahuan Sosial, agar tidak membuat muatan kurikulum berlebihan cukup diletakkan dalam mata pelajaran tertentu, misalnya Pengetahuan Alam. Contoh lain, dalam teks membaca yang merupakan bagian mata pelajaran Bahasa Indonesia, dapat dimasukkan butir pembelajaran yang dapat dihubungkan dengan Matematika, Pengetahuan Alam, dan sebagainya. Dalam hal ini diperlukan penataan area isi bacaan yang lengkap sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan berbagai butir pembelajaran dari berbagai mata pelajaran yang berbeda tersebut. Ditinjau dari penerapannya, model ini sangat baik dikembangkan di SD. 9. Model Celupan (Immersed) Model celupan dirancang untuk membantu siswa dalam menyaring dan memadukan berbagai pengalaman dan pengetahuan dihubungkan dengan medan pemakaiannya. Dalam hal ini tukar pengalaman dan pemanfaatan pengalaman sangat diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. 10. Model Jaringan (Networked) Model jaringan merupakan model pemaduan pembelajaran yang mengandaikan kemungkinan pengubahan konsepsi, bentuk pemecahan masalah, maupun tuntutan bentuk keterampilan baru setelah siswa mengadakan studi lapangan dalam situasi, kondisi, maupun konteks yang berbeda- beda. Belajar disikapi sebagai proses yang berlangsung secara terus-menerus karena adanya hubungan timbal balik antara pemahaman dan kenyataan yang dihadapi siswa.

MODEL KETERPADUAN YANG TERDAPAT DALAM LAGU-LAGU ANAK KARYA SIGIT BASKARA a. Keterpaduan dengan Pengetahuan Pancasila dan Kewarganegaraan Keterpaduan dengan Pengetahuan Pancasila dan Kewarganegaraan akan tampak dalam lagu Indonesia berikut ini. Indonesia tempat lahirku Indonesia tumpah darahku Indonesia tempat tinggalku Indonesia engkau tanah airku

Di sanalah aku dibesarkan Disanalah aku diajarkan Memahami kebesaran Tuhan Ku bersyukur atas karunia-Nya

Ku cinta slalu pada Indonesiaku Ku bangga akan negeriku Alangkah indah nan permai Indonesia Ku akan bela kehormatan bangsaku.

Dalam paragraf pertama, Sigit Baskara dengan memakai sudut pandang orang pertama tunggal menceritakan tentang Indonesia sebagai tempat kelahirannya, Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya, Indonesia sebagai tempat ia tinggalnya dan Indonesia sebagai tanah airnya. Paragraf kedua bercerita bahwa di Indonesia ia dibesarkan, di Indonesia pulalah ia diajarkan untuk memahami kebesaran Tuhan sehingga membuat ia bersyukur atas segala karunia yang telah Tuhan berikan kepadanya. Dan dalam paragraf terakhirnya ia menceritakan kecintaannya pada Indonesia, dia menceritakan kebanggaannya pada Indonesia yang menurutnya Indonesia sangat indah dan permai sehingga membuatnya rela untuk membela kehormatan bangsa. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 267

Keterpaduan dengan Pengetahuan tentang Pancasila dan Kewarganegaraan tercermin dari lirik- lirik lagu Indonesia yang akan mengajak para murid untuk mengetahui bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia sehingga harus berbangga menjadi bangsa Indonesia dan harus cinta pada negeri ini dan siap membela kehormatan bangsa Indonesia seperti yang tertera dalam Undang- Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.

b. Keterpaduan dengan Pengetahuan Alam Keterpaduan dengan Pengetahuan Alam nampak dalam beberapa lagu yang berjudul Hujan, Kunang-kunang, Kura-kura, dan Madu.

HUJAN Hai hujan dari mana kau datang Jawablah dengan nyanyian Hai mendung kenapa kau termenung Kau simpan seribu jawaban

Hujan datang dari laut Air laut menguap karena sang surya Awan bawa mendung ke gunung Awanpun jadi mendung Titik air jadi hujan

Sungai mengalir karena hujan Lembah menghijau karena hujan Bukit bersemi karena hujan Hujan barokah Illahi

Di dalam lagu Hujan di atas menceritakan tentang sebab terjadinya hujan. Di dalam bait pertama bercerita tentang datangnya hujan yang bermula dari mendung. Di bait kedua, diceritakan hujan pada awalnya berasal dari laut. Panasnya terik matahari akan mengubah air laut menjadi awan. Awan kemudian di bawa mendung ke gunung yang kemudian mendung tersebut turun dan menjadi titik- titik air yang disebut air hujan. Bait ketiga lagu tersebut bercerita tentang adanya sungai yang mengalir setelah datangnya hujan; Lembah mulai menghijau karena terkena air hujan; Bukit bersemi karena tersiram air hujan, dan diakhir lagu pendengar di ajak untuk mensyukuri hujan karena hujan adalah barokah (berkah) dari Illahi. Keterpaduan yang lainnya (dengan Pengetahuan Alam) juga nampak dalam lagu yang berjudul Kunang-kunang di bawah ini. KUNANG-KUNANG Kunang-kunang bersinar terbang di malam sunyi Warnanya berkilauan indah sekali Kunang-kunang berkedip di bawah sinar bulan Sungguh indah semua ciptaan tuhan

Kunang-kunang kemanakah engkau pergi di siang hari Kunang- kunang mengapakah engkau terbang di malam sunyi

Dalam syair lagu Kunang-kunang di atas menggambarkan bahwa kunang-kunang adalah binatang yang terbang di malam hari dan dapat mengeluarkan cahaya (bisa diketahui dari lirik

268 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

berkedip di bawah sinar bulan). Lagu tersebut dalam liriknya juga menyebutkan bahwa kunang- kunang adalah binatang yang indah dan merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Dengan adanya lagu tersebut menjadikan anak-anak menjadi paham bahwa kunang-kunang bukanlah seperti mitos yang selama ini ada di pemahaman anak-anak bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang yang sudah meninggal. Selain keterpaduannya dengan Pengetahuan Alam tersebut jelaslah bahwa lirik lagu Kunang-kunang membawa pencerahan tersendiri dengan menghalau mitos menakutkan yang berkembang di seputar anak-anak. Lagu berikutnya yang juga masih mengandung Pengetahuan Alam adalah lagu yang berjudul Kura-kura di bawah ini.

KURA-KURA Kura-kura kau di mana ku ingin berbagi cerita Kura-kura mengapakah kau hidup di dua dunia

Kadang engkau hidup di air Kadang engkau hidup di darat Betapa harimu penuh dengan warna Kuingin jadi sahabatmu Kuingin lindungi dirimu Semoga rahmat Tuhan untuk semua

Dalam lagu Kura-kura di atas di dalam bait pertama mengandung arti bahwa kura-kura bisa dijadikan sahabat dengan seakan-akan bisa untuk berbagi cerita. Baris kedua yang merupakan sebuah ungkapan pertanyaan Kura-kura mengapakah kau hidup di dua dunia?, secara tersurat sudah menginformasikan bahwa kura-kura adalah binatang yang hidup di dua dunia (dalam hal ini darat dan air). Di lirik selanjutnya ditekankan lagi bahwa seekor kura-kura kadang hidup di air, kadang hidup di darat. Lebih lanjut dikatakan (dalam bahasa si pengarang lagu) Betapa harimu penuh dengan warna. Hari yang dilalui kura-kura penuh dengan warna karena tidak monoton, kadang kura-kura ada di air, kadang kura-kura ada di darat. Lagu Kura-kura tersebut ditutup dengan kalimat Kuingin jadi sahabatmu, Kuingin Lindungi Dirimu, semoga rahmat Tuhan untuk semua. Ketiga lirik penutup tersebut mengandung ajaran tentang salah satu karakter bangsa yaitu peduli lingkungan dengan dilagu tersebut dikatakan ingin menjadi sahabat kura-kura dan melindungi kura-kura. Jelaslah bahwa lagu Kura-kura ini selain berkaitan dengan Pengetahuan Alam, ternyata juga mengandung salah satu nilai karakter bangsa yaitu peduli lingkungan. Lagu terakhir dari Sigit Baskara adalah berjudul Madu. Lagu ini menceritakan tentang asal mula terjadinya madu.

MADU Banyak lebah di taman bunga Banyak lebah di taman bunga Menari-nari riang gembira Menari-nari riang gembira

Lebah hinggap di kelopak bunga Lebah hinggap di kelopak bunga Berhati-hati hisap sarinya Berhati-hati hisap sarinya Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 269

Lebah membantu bunga untuk berkembang biak Bunga membantu lebah dengan serbuk sarinya Lalu lebah pulang ke sarang Membawa madu untuk disimpan Membawa madu untuk disimpan

Lalu madu siap dipanen Lalu madu siap dipanen Oleh pak tani untuk kita Oleh pak tani untuk kita

Madu nikmat rasanya Sangat tinggi gizinya Siapa yang suka madu Sehat selalu badannya.

Lagu Madu ini agak berbeda dengan lagu-lagu lain yang telah dibahas di atas. Lagu madu ini banyak baris yang diulang sebagai penyesuaian dalam nada lagunya. Lagu ini menceritakan tentang asal mula terjadinya madu. Cerita lagu ini dimulai dari mengkisahkan sekerumunan lebah yang berada di taman bunga yang digambarkan sedang menari-nari dengan riang gembira. Kemudian lebah hinggap pada kelopak bunga dan lebah menghisap sari dengan berhati-hati. Bait ketiga menceritakan bahwa lebah membantu bunga untuk berkembang biak sedangkan bunga membantu lebah dengan memberikan serbuk sarinya. Setelah serbuk sari dimakan oleh lebah, lebah kembali ke sarangnya dengan membawa madu (hasil olahan serbuk sari yang telah dimakan lebah tadi) untuk disimpan. Ketika pada saatnya, madu siap untuk dipanen oleh pak tani dan madu tersebut ternyata bergizi tinggi selain nikmat (manis) rasanya. Di akhir lagu tersebut dikatakan bahwa siapa yang suka (rajin) minum madu maka badannya akan selalu sehat.

PENUTUP Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dasar (khususnya kelas rendah yaitu kelas 1 dan 2) dapat menggunakan lagu-lagu yang mengandung mata pelajaran yang lain. Penggunaan lagu tersebut mengambil dasar asumsi bahwa anak usia 7-8 tahun yang berada di kelas 1 dan 2 sekolah dasar masih dalam kategori anak usia dini sehingga dalam pembelajarannya masih boleh menggunakan prinsip pembelajaran yang ‘enteng’ (menyenangkan) dengan menggunakan lagu. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dipadukan dengan mata pelajaran tertentu dengan memilih teks yang mengandung di dalamnya terdapat kompetensi mata pelajaran tersebut, misalkan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pengetahuan Alam, Pengetahuan Sosial, atau Matematika. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran akan menjadi pembelajaran yang terpadu (integratif). Pembelajaran terpadu yang strategi pembelajarannya melibatkan beberapa mata pelajaran tersebut akan lebih memberikan pengalaman yang bermakna kepada para siswa.

DAFTAR PUSTAKA Baskara, Sigit. 2010. Kumpulan Lagu Anak-anak Islami-Volume I. Yogyakarta: Bumi Jogja Studio. BSNP. 2006. Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: BSNP Faiq, Muhammad. 2014. Konsep Pembelajaran Tematik Terpadu Menurut Kurikulum 2013. http//penelitiantindakankelas.blogspot.com/2014/05 diunduh pada 30 September 2014 jam 08.00

270 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Fogarty, Robin. 1991. Ten Ways to Integrated Curriculum. Educational Leadership. www.ascd.org/ASCD/pdf/journals/ed_lead/el 199110_fogarty.pdf. diunduh pada 30 September 2014 jam 08.00. Riyanto, Theo & Martin Handoko. 2004. Pendidikan Pada Anak Usia Dini: Tuntunan Psikologis dan Pedagogis Bagi Pendidik dan Orang Tua. Jakarta: Grasindo. Suyanto, Slamet. (2005). Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat Publising.

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 271

PENANAMAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PEMBELAJARAN MENYIMAK KONSENTRATIF DENGAN MEDIA AUDIO

Denik Wirawati Universitas Ahmad Dahlan

Abstract Language skills consist of four aspects; listening, reading,speaking, and writing. In Univercity, language learning which was related to those skills did not release from technology as learning media. This article aimed to extend consentrative listening learnig in university using audio media and to explain character education in every learning step.

Keywords: language aspects, consentrative listening, audio, character.

PENDAHULUAN Keterampilan berbahasa terdiri dari menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat aspek tersebut menjadi landasan pembelajaran sejak SD hingga perguruan tinggi. Setiap pembelajar diberdayakan kompetensinya untuk menguasai keempat aspek tersebut. Dalam dunia pendidikan kita tidak bisa terlepas dari teknologi sebagai media pembelajaran. Media pembelajaran ternyata mampu meningkatkan hasil belajar bahasa. Misalnya penggunaan audiolingual dan audiovisual. Pembelajaran yang seperti ini merupakan bagian dari peningkatan hasil belajar. Pembelajaran bahasa yang hadir diperguruan tinggi merupakan karakteristik tersendiri dalam pencapaian hasil belajar. Karena setiap aspek keterampilan berbahasa dikemas dalam bentuk matakuliah. Untuk mencapai pembelajaran maksimal, para dosen berupaya menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan matakuliah masing-masang. Salah satu yang penulis sampaikan adalah pembelajaran bahasa aspek menyimak. Menyimak adalah aspek kebahasaan yang memiliki tingkat kesulitan karena pada aspek menyimak ini seseorang diajak untuk penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.

LANDASAN TEORI A. Menyimak 1. Pengertian Menyimak menurut KBBI diartikan sebagai kegiatan mendengarkan secara baik-baik apa yang diucapkan atau dibaca seseorang. Sedangkan menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1986: 31) menyimak diartikan sebagai suatu proses mendengarkan lambang-lambang bunyi lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. 2. Langkah-langkah Menyimak a. Menentukan makna Pendidik harus menjelaskan makna setiap ekspresi/kalimat baru yang diajarkan. b. Memperagakan ekspresi Setelah guru menetapkan makna, ia harus mengucapkan pokok dan hal yang baru dengan gerakan. c. Menyuruh mengulangi

272 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Siswa hendaknya meniru serta mengulangi apa yang disampaikan/dicontohkan pengajar, dengan gerakan, laku, atau menunjuk pada objek. d. Memberikan latihan ekstensif Pengajar memberikan latihan dengan berbagai cara, yaitu: (1) Drill (mengulangi kata/ekspresi yang diajarkan dengan keterbatasan) (2) Aplikasi (kombinasi antara bahan baru dengan bahan yang diajarkan sebelumnya dalam komunikasi yang normal). 3. Tahapan-tahapan Menyimak Menurut Ruth G. Strickland (dalam Tarigan 1986: 31-32) a. Menyimak berkala, yang terjadi pada saat anak merasakan keterlibatan langsung dalam pembicaraan mengenai dirinya. b. Menyimak dengan perhatian dangkal karena sering mendapat gangguan dengan adanya selingan perhatian pada hal-hal di luar pembicaraan. c. Setengah menyimak karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan untuk mengekspresikan isi hati, mengutarakan apa yang terpendam dalam hati. d. Menyimak serapan, sang anak keasyikan menyerap/mengaborsi hal-hal yang kurang penting, jadi hanya merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya. e. Menyimak sekali-sekali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang disimak; hanya memperhatikan kata-kata pembicara yang menarik hatinya saja. f. Menyimak asosiasif; hanya mengingat pengalaman pribadi secara konstan yang mengakibatkan penyimak tidak memberikan reaksi terhadap pesan yang disampaikan pembicara. g. Menyimak dengan reaksi berkala; pembicara membuat komentar/pertanyaan terhadap pembicaraan. h. Menyimak secara seksama; dengan sungguh-sungguh mengikuti jalan pikiran pembicara. i. Menyimak secara aktif untuk mendapatkan serta menemukan pikiran, pendapat, dan gagagasan pembicara. 4. Meningkatkan Daya Simak Salah satu tujuan pengajaran bahasa adalah agar para siswa termpil berbahasa, terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, dari setiap pengajar bahasa diharapkan timbulnya upaya demi meningkatkan keterampilan berbahasa anak didiknya. Beberapa hal yang berkaitan dengan peningkatan daya simak adalah. a. Aneka pengalaman audio mempertinggi kemampuan menyimak. b. Aneka kegiatan peningkatan daya simak. c. Sikap guru yang turut mempertinggi daya simak siswa. d. Kualifikasi guru dalam bidang menyimak. e. Upaya menjadi penyimak efektif. f. Cara mengatasi kendala dalam kegiatan menyimak. g. Aneka kaidah kemajuan menyimak. 5. Menyimak Konsentratif Menyimak konsentratif (concentrative listening) sering juga disebut a study-type listening atau menyimak sejenis telaah. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak kosentratif ini, yaitu. a. Mengikuti petunjuk-petunjuk dalam pembicaraan. b. Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat, kualitas, waktu, urutan serta sebab akibat. c. Mendapatkan atau memperoleh butir-butir informasi tertentu. d. Memperoleh pemahaman dan pengertian mendalam. e. Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara, sasaran, ataupun pengorganisasiannya. Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 273

f. Memahami urutan-urutan ide sang pembicara. g. Mencari dan mencatat fakta-fakta penting. Dalam menyimak konsentratif disini siswa dituntut untuk kritis terhadap ide-ide bahan simakan. Hal-hal lain yang yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman dalam memperhatikan ide-ide penting dan rencana organisasi pembicara adalah aktivitas-aktivitas dalam memperhatikan detail-detail ilustratif. Bila siswa harus menyimak detail-detail, pertama kali mereka harus diberitahukan dan ditingkatkan akan adanya pokok-pokok yang akan dikemukannya. a. Sebelum menyimak, hendaknya mereka menulis suatu topik atau suatu kalimat untuk menggambarkan setip detail ilustratif penting. b. Para siswa dapat menyimak detail-detail ilustratif yang akan membantu mereka untuk membuat suatu bagan yang tepat atau gambar terperinci pada suatu gambar dinding. Selanjutnya menurut Henry Guntur Tarigan (1986: 167-168) salah satu pelajaran-pelajaran penting yang harus dipetik oleh anak sekolah yang masih muda itu ialah perbedaan antara fakta dan fantasi, antara kenyataan dan khayalan, selanjutnya dapat dibedakan antara fakta dan opini, serta antara kenyataan dan pendapat. Untuk mencapai maksud tersebut, maka para siswa pada tingkatan menengah dan atas dapat mengecek dan memeriksa keotentikan pernyataan- pernyataan dalam situasi berikut ini. a. Para siswa dapat mengemukakan pendapat-pendapat yang spontan dan kemudian memperoleh fakta-fakta untuk membuktikan pendapat-pendapat lisan mereka itu. b. Guru dapat menggunting atau menemukan pernyataan-pernyataan yang mencampurbaurkan fakta dan opini yang masuk akal dan menyuruh para siswa menyimak opini-opini, kemudian fakta-fakta yang tidak dapat dibantah lagi. c. Pengajar dapat menceritakan ataupun membacakan secara lisan pernyataan-pernyataan opini singkat dengan pemahaman agar para siswa menulisnya kembali ke dalam pernyataan-pernyataan yang faktual. d. Para siswa dapat menyimak kuliah-kuliah dan acara radio dan televisi, serta mencatat contoh-contoh opini yang dinyatakan sebagai fakta-fakta yang nyata. Mereka akan melaporkan semua ini kepada kelas untuk menentukan apakah pernyataan tersebut benar-benar bersifat opini atau tidak. Anak-anak harus belajar mencari fakta-fakta waktu mereka menyimak. e. Para siswa kelas tertinggi yang paling pintar dan cakap dapat mengecek dari pembicaraan mereka beberapa contoh opini yang telah mereka nyatakan sebagai fakta. f. Para siswa tersebut dapat mengumpulkan serta menyusun frasa-frasa yang dipergunakan oleh pembicara untuk menyembunyikan hal-hal yang dapat diperdebatkan dalam pernyataan-pernyataan mereka dan membuat semua itu seolah-olah bersifat faktual. g. Seorang anggota panel atau penyanggah dapat mengutip beberapa pernyataan yang tidak sesuai dengan konteks dan memberikan kesan yang salah kepada para pendengarnya jika para pendengar tersebut tidak membuat suatu penilaian yang bijaksana dan objektif terhadap fakta-fakta kutipan serupa itu. Para siswa lainnya mungkin beranggapan bahwa hal-hal serupa itu amat menarik serta membangkitkan minat sebab dalam kegiatan- kegiatan tersebut mereka belajar menyimak bahasa emotif. B. Menyimak dengan Media Audio Program audio ialah suatu program pengajaran yang disajikan dengan menggunakan media audio. Media audio ialah media yang berkenaan dengan indera pendengaran. Contohnya adalah kaset dan radio. Media audio di Indonesia pada umumnya lebih banyak berfungsi sebagai saluran untuk menyampaikan informasi dan hiburan. Media audio tersebut sangat sedikit yang digunakan untuk

274 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

keperluan pendidikan dan pengajaran. Hal yang perlu diperhatikan guru dalam membuat program audio diantaranya. a. Kedudukan penyimak Dalam komunikasi, penyimak mempunyai kedudukan yang penting. Komunikasi akan berjalan dengan baik apabila para penyimak terpikat memperhatikannya, sehingga dapat memahami isi pesan yang disampaikan dan melakukan sesuai dengan rencana yang dibuat oleh penyusun program. Dalam proses komunikasi penyimak diharapkan dapat bersikap aktif yaitu dapat melakukan interpretasi apabila penyimak menjumpai suatu program yang menarik. Penyimak juga diharapkan dapat bersikap selektif dengan memilih jenis program yang disukai b. Sifat media. Media audio bersifat adiktif yaitu isi program yang disampaikan ditelinga penyimak itu hanya sepintas lalu saja. Penyimak yang tidak konsentrasi tentu tidak dapat menangkap pesan yang disampaikan. c. Format program. Dalam penulisan naskah format program berupa bentuk-bentuk uraian, dialog, sandiwara, feature, laporan, reportase, wawancara, diskusi, kuis, lagu dan dokumen. 1). Bentuk uraian . Bentuk uraian digunakan bila program yang disajikan memberikan informasi yang sifatnya umum. 2). Bentuk dialog. Bentuk dialog tepat digunakan untuk menyampaikan pembicaraan beberapa orang yang berusaha memecahkan masalah. 3). Bentuk sandiwara. Untuk menyampaikan pesan-pesan yang berisi penerangan pendidikan atau penerangan yang lain dapat menggunakan bentuk sandiwara. 4). Bentuk wawancara. Untuk menyampaikan pesan yang berupa pemberian informasi dari seseorang yang dianggap penting dapat menggunakan teknik wawancara. langkah-langkah dalam penulisan naskah. 5). Bentuk diskusi. Bentuk diskusi dapat digunakan untuk menyampaikan pesan yang berupa pembahasan masalah yang merangsang penyimak untuk ikut memecahkan masalah 6). Bentuk kuis. Bentuk kuis dapat dipakai untuk menyampaikan pesan yang berupa pencarian informasi dalam jangka waktu pendek dan dalam bentuk tanya jawab. 7). Bentuk dokumen. Bentuk dokumen menyajikan pesan yang berupa peristiwa- peristiwa penting yang benar-benar terjadi. d. Penulisan Naskah Langkah-langkah dalam penulisan naskah antara lain; 1) Menentukan topik, 2). Melakukan research mengenai pokok masalah, 3).Membuat garis besar atau bagan, 4). Menentukan format, 5). Menulis konsep, dan 6).Menulis naskah. C. Pendidikan Karakter 1. Hakikat Pendidikan Karakter Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses; cara; perbuatan mendidik (KBBI, 2008 :326). Karakter merupakan kualitas mental atau moral nama atau reputasi (Hornby dan Parnwell dalam hidayatullah, 2010: 12). Karakter juga merupakan ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin dan mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan ciri kepribadian tertentu yang melekat di dalam diri individu di mana didalamnya terkandung nilai moral. Nilai moral Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 275

tersebut nantinya akan diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari mengingat karakter dalam diri seseorang sudah tertanam sejak dini. 2. Nilai-nilai Karakter Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai- nilai pembentuk karakter melalui program operasioanl satuan pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik pusat kurikulum. Nilai prakondisi yang dimaksud antar lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasioanl, yaitu: (1) Religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatiif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16), peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab ( Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9- 10). Di atara berbagai nila yang dikembangkan, dalam pelaksanaanya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun. Tabel 1.1 Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Nilai Karakter Deskripsi Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, tindakan, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cinta Tanah Air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

276 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Komunikasi/bersahabat Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Cara Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai becaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang sealu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Tujuan Pendidikan Karakter Pendidikan karakter memiliki beberapa tujuan dalam pelaksaannya, yaitu (1) menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan, (2) mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah, dan (3) membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama (Kusuma, dkk, 2001: 9- 10). Tujuan pertama tersebut adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu. Tujuan kedua bertujuan untuk mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Sedangkan tujuan ketiga bertujuan untuk membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

PEMBAHASAN 1. Menyimak Konsentratif dalam Perkuliahan Menyimak adalah salah satu kompetensi bahasa yang diajarkan dalam perguruan tinggi khususnya jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Salah satu media dalam menyimak yaitu dengan media audio. Media ini lebih menyenangkan dan menarik bagi mahasiswa. 2. Tahapan-tahapan Pembelajaran Menyimak Konsentratif. a. Persiapan. Dosen membuka perkuliahan dengan membaca doa. Salah satu penanaman pendidikan karakter religius. Karena salah satu tujuannya adalah menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. b. Membacakan tujuan pembelajaran menyimak. Membacakan tujuan pembelajaran menyimak merupakan salah satu bentuk penanaman pendidikan karakter disiplin. c. Inti. Dosen memberikan tanya jawab materi kuliah mnggu sebelumnya. Dari model pembelajaran ini, siswa dapat mengemukakan pendapat-pendapat serta dapat memperoleh fakta untuk membuktikan pendapat-pendapatnya secara lisan melalui pembuktian berupa contoh. Pada tahap kegiatan ini, siswa diajak untuk berfikir kerja