Horison, Februari 2010 24 Dimuat Majalah Sastra HORISON, Mencoba Menempatkan Prinsip Bahwa Me- Februari 2010, Hlm
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Horison, Februari 2010 24 Dimuat Majalah Sastra HORISON, mencoba menempatkan prinsip bahwa me- Februari 2010, hlm. 25--33. mahami karya sastra haruslah secara totalitas, tidak menganalisisnya unsur demi unsur, sehingga terbangunlah kritik impresionistik. Beberapa karya kritik yang berasal dari per- debatan itu kemudian dibukukan oleh M.S. Selintas Tentang Hutagalung dalam Kritik Atas Kritik Atas TRADISI KRITIK SASTRA Kritik (Tulila, 1975). INDONESIA Terbukti bahwa perdebatan antara para DI YOGYAKARTA ahli (H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Tirto Suwondo S. Effendi, J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad) yang terjadi sejak /1/ Pujangga Baru itu memiliki imbas yang luas (secara nasional). Karena itu, tradisi kritik Sejarah mencatat bahwa perkem- sastra, juga tradisi bersastra pada umumnya, bangan kritik sastra Indonesia, khususnya tak hanya tumbuh dan berkembang di Pusat sastra Indonesia modern, relatif masih baru. (Jakarta), tapi juga di daerah-daerah di Dalam arti, dibandingkan dengan perkem- Indonesia (Riau, Padang, Palembang, Ban- bangan karya sastra (puisi, cerpen, novel, dung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, drama), kritik sastra muncul lebih kemudian. Makasar, dll). Itu pula sebabnya, lambat laun, Karena itu, Teeuw (1989) menyatakan, kritik pertentangan atau dikotomi Pusat-Daerah tak sastra tampil pertama bukan pada masa Balai lagi menajam, walau gemanya masih sedikit Pustaka (1920-an), tetapi pada masa Pujangga terasa hingga tahun 1970-an. Lebih-lebih, Baru (1930-an). Menurutnya, saat itu, lewat setelah di daerah-daerah muncul berbagai Pujangga Baru, terjadi polemik antara STA media massa cetak, tradisi bersastra di daerah- dan para guru bahasa Melayu; dan dari daerah pun kian eksis walau keberadaannya polemik itu kemudian lahir konsep STA sering kali masih dipandang sebelah mata. mengenai kritik sastra yang kemudian dibu- Esai ini tidaklah hendak memaparkan kukan dalam Kebangkitan Puisi Baru Indo- tradisi bersastra Indonesia di berbagai daerah nesia. Itu pula sebabnya, pada masa beri- di Indonesia, tetapi hanya akan menelusuri kutnya (1950-an) tampil dua tokoh penting tradisi/dinamika kritik sastra Indonesia di (H.B. Jassin dan A. Teeuw) yang dengan Yogyakarta. Seperti halnya daerah-daerah lain sadar mulai membangkitkan tradisi kritik di Indonesia, Yogyakarta pun telah mem- sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka bangun sendiri sejarah sastranya, termasuk kemudian dibukukan dalam Kesu-sastraan sejarah kritik sastra. Sebab, kalau diamati Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 lebih jauh, sejak awal kemerdekaan, di jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Yogyakarta telah terbit berbagai media cetak Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru yang memuat kritik (esai, artikel) sastra; (Pembangunan, 1952). bahkan, sejak tahun 1960-an, kritik tak hanya Pada akhir 1960-an terjadi pula pole- berkembang di media massa cetak, tapi mik antara Aliran Rawamangun yang dimotori berkembang pula lewat skripsi-skripsi maha- oleh kalangan akademisi (Saleh Saad, M.S. siswa sastra di berbagai perguruan tinggi yang Hutagalung, S. Effendi, J.U. Nasution) dan memiliki jurusan sastra. Dalam kaitan inilah, Aliran Ganzheit yang dimotori oleh para esai singkat ini bermaksud memaparkan ba- seniman (Arif Budiman dan Gunawan Mo- gaimana tradisi kritik itu berkembang di hamad). Aliran Rawamangun berusaha me- Yogyakarta dan siapa saja kritikus yang nempatkan kritik sastra sebagai ilmu dengan berperan di dalamnya. prinsip, teori, dan sistem yang jelas sehingga terbangunlah kritik ilmiah (kritik akademik, kritik judisial); sedangkan Aliran Ganzheit Horison, Februari 2010 25 /2/ (IAIN), Humanitas (FS UGM), Citra (FPBS Bukti menunjukkan bahwa sejak awal IKIP Muhammadiyah), Gatra (FS Universitas perkembangannya kritik sastra Indonesia di Sanata Dharma), dan atau majalah/bulletin Yogyakarta didukung oleh media cetak terbitan sanggar atau kelompok-kelompok (majalah/koran) yang terbit di Yogyakarta. studi seniman/sastrawan. Beberapa media cetak yang menjadi pendu- Dilihat peranannya terhadap pertum- kung eksistensi kritik sastra sejak awal hingga buhan sastra Indonesia di Yogyakarta, bebe- sekarang, antara lain, Pusara (terbit pertama rapa media cetak tersebut memang berbeda- 1933, oleh Majelis Luhur Persatuan Taman beda; ada yang sejak pertama terbit telah Siswa), Pesat (terbit pertama 21 Maret 1945), memuat karya sastra (puisi, cerpen, dan Api Merdika (terbit pertama 16 November esai/kritik), misalnya Arena dan Medan 1945, oleh Gasemma IPI Cabang Yogya- Sastra; ada pula yang baru beberapa tahun karta), Arena (terbit pertama April 1946, oleh kemudian memuat karya sastra, misalnya Himpunan Sastrawan Indonesia Yogyakarta), Pesat, sebuah mingguan politik yang terbit Suara Muhammadiyah (terbit pertama 1915, 1945 tetapi sejak 1951 memuat karya sastra, oleh organisasi sosial-keagamaan Muham- dan Kedaulatan Rakyat yang terbit sejak 1945 madiyah), Kedaulatan Rakyat (terbit pertama tetapi baru membuka rubrik sastra (budaya) 27 September 1945), Minggu Pagi (terbit pada awal 1980-an. Akan tetapi, bagai- pertama April 1948, di bawah naungan PT BP manapun juga, meski berbeda-beda peran- Kedaulatan Rakyat), Medan Sastra (terbit annya, media-media cetak itu cukup memberi pertama 1953, oleh Lembaga Seni Sastra andil positif bagi perkembangan sastra Yogyakarta), Darmabakti (terbit pertama Indonesia di Yogyakarta, lebih-lebih karena April 1950, oleh Dewan Mahasiswa IAIN pada beberapa dekade awal kemerdekaan Yogyakarta), Gadjah Mada (terbit April 1950, hingga 70-an dunia penerbitan buku sastra oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah boleh dikata belum berkembang. Karena itu, Mada Yogyakarta), Pelopor (terbit pertama dunia sastra (termasuk kritik sastra) secara Januari 1950 di bawah kepengayoman Ang- dominan tumbuh melalui koran dan majalah. katan Bersenjata Republik Indonesia c.q Nyata pula bahwa hampir semua Angkatan Darat), Basis (terbit pertama Agus- media cetak tersebut (pernah) memuat karya tus 1951 di bawah Yayasan Kanisius), sastra, terutama puisi dan cerpen; sedangkan Semangat (majalah pemuda-pemudi dewasa, karya yang berupa novel (cerbung) dan drama terbit pertama tahun 1954, mendapat surat izin tidak memperoleh perhatian, kecuali Minggu terbit baru pada 28 Maret 1966, oleh Badan Pagi yang pada awal 1960-an memuat cer- Penerbit Spirit, di bawah dukungan pemuda- bung (novel) karya Motinggo Busye berjudul pemudi Katolik), Budaya (terbit pertama “Tidak Menyerah” dan “Ahim-Ha Manusia Februari 1953, oleh Bagian Kesenian Jawatan Sejati” dan karya Nasjah Djamin berjudul Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan "Hilanglah Si Anak Hilang". Sementara itu, Kebudayaan Provinsi DIY), Mercu Suar walau tidak secara rutin, karya-karya kritik (terbit pertama 1966, kemudian pada 1972 (esai, ulasan) sastra tetap mendapat perhatian berubah nama menjadi Masa Kini, dan pada meski karya-karya kritik itu tidak secara awal 1990-an berubah --dengan manajemen khusus membahas karya sastra Indonesia, baru di bawah naungan harian nasional Media tetapi juga kritik seni pada umumnya. Indonesia-- menjadi Yogya Post), Eksponen (tabloid mingguan, terbit 1970-an hingga /3/ 1980-an), dan Berita Nasional (terbit sejak Telah disebutkan bahwa sejak awal awal 1970-an dan pada 1990-an berubah -- kemerdekaan tradisi kritik sastra Indonesia di dengan manajemen baru di bawah naungan Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang; harian nasional Kompas-- menjadi Bernas). hal itu terbukti dengan adanya beberapa Hal itu masih ditambah majalah Citra Jogja ulasan (esai, artikel, resensi) mengenai sastra terbitan Dewan Kesenian Yogyakarta dan Indonesia di beberapa media massa cetak beberapa majalah kampus seperti Arena yang terbit di Yogyakarta. Hanya saja, per- Horison, Februari 2010 26 tumbuhan kritik sastra pada masa itu belum sehingga bidang penerbitan sebagai salah satu begitu semarak; hal itu agaknya disebabkan pilar penting dalam pengembangan budaya oleh beberapa hal, di antaranya (1) telah terabaikan. Akibat selanjutnya ialah banyak berurat berakarnya budaya oral (kelisanan) penerbitan yang tidak mampu bertahan hidup dan budaya ewuh-pakewuh di dalam masya- lebih lama. Itu sebabnya, bidang sastra ter- rakat Jawa sejak zaman penjajahan (Belanda), sisihkan dan hal ini berimplikasi pada kurang bahkan sejak masih berjayanya budaya istana- berkembangnya tradisi kritik sastra. sentris (kerajaan Mataram), (2) kondisi sosial, Memang benar bahwa pada masa Orde politik, dan ekonomi nasional yang tidak Lama (1945—1965) banyak media massa memungkinkan seseorang dapat mengemu- yang tidak berumur panjang. Majalah Arena kakan pendapat secara demokratis dan terbuka yang didirikan oleh Himpunan Sastrawan (bebas). Indonesia Yogyakarta sejak April 1946 hanya Undang-Undang Dasar 1945 yang me- mampu bertahan hidup selama dua tahun. Hal netapkan bahwa bahasa resmi negara adalah yang sama menimpa majalah Pesat yang bahasa Indonesia dan setiap warga negara berdiri sejak 1945 dan mati pada awal 1950- memiliki hak untuk menyatakan pendapat an. Majalah Medan Sastera yang berdiri sejak sebenarnya telah memberi peluang bagi 1953 dan sejak Februari 1954 berubah terbangunnya sebuah tradisi kritik, termasuk menjadi Seriosa juga mengalami nasib yang di dalamnya kritik sastra, baik secara lisan sama. Tidak terkecuali majalah Budaya, maupun lewat tulisan. Sebab, secara yuridis Pelopor, Gadjah Mada, dan Gama, semuanya bahasa Indonesia tidak hanya dikukuhkan mati pada tahun 1960-an. Dari sekian banyak sebagai sarana pemersatu bangsa, tetapi juga majalah yang muncul, hanya Minggu