Horison, Februari 2010 24 Dimuat Majalah Sastra HORISON, mencoba menempatkan prinsip bahwa me- Februari 2010, hlm. 25--33. mahami karya sastra haruslah secara totalitas, tidak menganalisisnya unsur demi unsur, sehingga terbangunlah kritik impresionistik. Beberapa karya kritik yang berasal dari per- debatan itu kemudian dibukukan oleh M.S. Selintas Tentang Hutagalung dalam Kritik Atas Kritik Atas TRADISI KRITIK SASTRA Kritik (Tulila, 1975). Terbukti bahwa perdebatan antara para DI ahli (H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Tirto Suwondo S. Effendi, J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad) yang terjadi sejak /1/ Pujangga Baru itu memiliki imbas yang luas (secara nasional). Karena itu, tradisi kritik Sejarah mencatat bahwa perkem- sastra, juga tradisi bersastra pada umumnya, bangan kritik sastra Indonesia, khususnya tak hanya tumbuh dan berkembang di Pusat sastra Indonesia modern, relatif masih baru. (Jakarta), tapi juga di daerah-daerah di Dalam arti, dibandingkan dengan perkem- Indonesia (Riau, Padang, Palembang, Ban- bangan karya sastra (puisi, cerpen, novel, dung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, drama), kritik sastra muncul lebih kemudian. Makasar, dll). Itu pula sebabnya, lambat laun, Karena itu, Teeuw (1989) menyatakan, kritik pertentangan atau dikotomi Pusat-Daerah tak sastra tampil pertama bukan pada masa Balai lagi menajam, walau gemanya masih sedikit Pustaka (1920-an), tetapi pada masa Pujangga terasa hingga tahun 1970-an. Lebih-lebih, Baru (1930-an). Menurutnya, saat itu, lewat setelah di daerah-daerah muncul berbagai Pujangga Baru, terjadi polemik antara STA media massa cetak, tradisi bersastra di daerah- dan para guru bahasa Melayu; dan dari daerah pun kian eksis walau keberadaannya polemik itu kemudian lahir konsep STA sering kali masih dipandang sebelah mata. mengenai kritik sastra yang kemudian dibu- Esai ini tidaklah hendak memaparkan kukan dalam Kebangkitan Puisi Baru Indo- tradisi bersastra Indonesia di berbagai daerah nesia. Itu pula sebabnya, pada masa beri- di Indonesia, tetapi hanya akan menelusuri kutnya (1950-an) tampil dua tokoh penting tradisi/dinamika kritik sastra Indonesia di (H.B. Jassin dan A. Teeuw) yang dengan Yogyakarta. Seperti halnya daerah-daerah lain sadar mulai membangkitkan tradisi kritik di Indonesia, Yogyakarta pun telah mem- sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka bangun sendiri sejarah sastranya, termasuk kemudian dibukukan dalam Kesu-sastraan sejarah kritik sastra. Sebab, kalau diamati Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 lebih jauh, sejak awal kemerdekaan, di jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Yogyakarta telah terbit berbagai media cetak Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru yang memuat kritik (esai, artikel) sastra; (Pembangunan, 1952). bahkan, sejak tahun 1960-an, kritik tak hanya Pada akhir 1960-an terjadi pula pole- berkembang di media massa cetak, tapi mik antara Aliran Rawamangun yang dimotori berkembang pula lewat skripsi-skripsi maha- oleh kalangan akademisi (Saleh Saad, M.S. siswa sastra di berbagai perguruan tinggi yang Hutagalung, S. Effendi, J.U. Nasution) dan memiliki jurusan sastra. Dalam kaitan inilah, Aliran Ganzheit yang dimotori oleh para esai singkat ini bermaksud memaparkan ba- seniman (Arif Budiman dan Gunawan Mo- gaimana tradisi kritik itu berkembang di hamad). Aliran Rawamangun berusaha me- Yogyakarta dan siapa saja kritikus yang nempatkan kritik sastra sebagai ilmu dengan berperan di dalamnya. prinsip, teori, dan sistem yang jelas sehingga terbangunlah kritik ilmiah (kritik akademik, kritik judisial); sedangkan Aliran Ganzheit

Horison, Februari 2010 25 /2/ (IAIN), Humanitas (FS UGM), Citra (FPBS Bukti menunjukkan bahwa sejak awal IKIP Muhammadiyah), Gatra (FS Universitas perkembangannya kritik sastra Indonesia di Sanata Dharma), dan atau majalah/bulletin Yogyakarta didukung oleh media cetak terbitan sanggar atau kelompok-kelompok (majalah/koran) yang terbit di Yogyakarta. studi seniman/sastrawan. Beberapa media cetak yang menjadi pendu- Dilihat peranannya terhadap pertum- kung eksistensi kritik sastra sejak awal hingga buhan sastra Indonesia di Yogyakarta, bebe- sekarang, antara lain, Pusara (terbit pertama rapa media cetak tersebut memang berbeda- 1933, oleh Majelis Luhur Persatuan Taman beda; ada yang sejak pertama terbit telah Siswa), Pesat (terbit pertama 21 Maret 1945), memuat karya sastra (puisi, cerpen, dan Api Merdika (terbit pertama 16 November esai/kritik), misalnya Arena dan Medan 1945, oleh Gasemma IPI Cabang Yogya- Sastra; ada pula yang baru beberapa tahun karta), Arena (terbit pertama April 1946, oleh kemudian memuat karya sastra, misalnya Himpunan Sastrawan Indonesia Yogyakarta), Pesat, sebuah mingguan politik yang terbit Suara Muhammadiyah (terbit pertama 1915, 1945 tetapi sejak 1951 memuat karya sastra, oleh organisasi sosial-keagamaan Muham- dan Kedaulatan Rakyat yang terbit sejak 1945 madiyah), Kedaulatan Rakyat (terbit pertama tetapi baru membuka rubrik sastra (budaya) 27 September 1945), Minggu Pagi (terbit pada awal 1980-an. Akan tetapi, bagai- pertama April 1948, di bawah naungan PT BP manapun juga, meski berbeda-beda peran- Kedaulatan Rakyat), Medan Sastra (terbit annya, media-media cetak itu cukup memberi pertama 1953, oleh Lembaga Seni Sastra andil positif bagi perkembangan sastra Yogyakarta), Darmabakti (terbit pertama Indonesia di Yogyakarta, lebih-lebih karena April 1950, oleh Dewan Mahasiswa IAIN pada beberapa dekade awal kemerdekaan Yogyakarta), Gadjah Mada (terbit April 1950, hingga 70-an dunia penerbitan buku sastra oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah boleh dikata belum berkembang. Karena itu, Mada Yogyakarta), Pelopor (terbit pertama dunia sastra (termasuk kritik sastra) secara Januari 1950 di bawah kepengayoman Ang- dominan tumbuh melalui koran dan majalah. katan Bersenjata Republik Indonesia c.q Nyata pula bahwa hampir semua Angkatan Darat), Basis (terbit pertama Agus- media cetak tersebut (pernah) memuat karya tus 1951 di bawah Yayasan Kanisius), sastra, terutama puisi dan cerpen; sedangkan Semangat (majalah pemuda-pemudi dewasa, karya yang berupa novel (cerbung) dan drama terbit pertama tahun 1954, mendapat surat izin tidak memperoleh perhatian, kecuali Minggu terbit baru pada 28 Maret 1966, oleh Badan Pagi yang pada awal 1960-an memuat cer- Penerbit Spirit, di bawah dukungan pemuda- bung (novel) karya Motinggo Busye berjudul pemudi Katolik), Budaya (terbit pertama “Tidak Menyerah” dan “Ahim-Ha Manusia Februari 1953, oleh Bagian Kesenian Jawatan Sejati” dan karya Nasjah Djamin berjudul Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan "Hilanglah Si Anak Hilang". Sementara itu, Kebudayaan Provinsi DIY), Mercu Suar walau tidak secara rutin, karya-karya kritik (terbit pertama 1966, kemudian pada 1972 (esai, ulasan) sastra tetap mendapat perhatian berubah nama menjadi Masa Kini, dan pada meski karya-karya kritik itu tidak secara awal 1990-an berubah --dengan manajemen khusus membahas karya sastra Indonesia, baru di bawah naungan harian nasional Media tetapi juga kritik seni pada umumnya. Indonesia-- menjadi Yogya Post), Eksponen (tabloid mingguan, terbit 1970-an hingga /3/ 1980-an), dan Berita Nasional (terbit sejak Telah disebutkan bahwa sejak awal awal 1970-an dan pada 1990-an berubah -- kemerdekaan tradisi kritik sastra Indonesia di dengan manajemen baru di bawah naungan Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang; harian nasional Kompas-- menjadi Bernas). hal itu terbukti dengan adanya beberapa Hal itu masih ditambah majalah Citra Jogja ulasan (esai, artikel, resensi) mengenai sastra terbitan Dewan Kesenian Yogyakarta dan Indonesia di beberapa media massa cetak beberapa majalah kampus seperti Arena yang terbit di Yogyakarta. Hanya saja, per-

Horison, Februari 2010 26 tumbuhan kritik sastra pada masa itu belum sehingga bidang penerbitan sebagai salah satu begitu semarak; hal itu agaknya disebabkan pilar penting dalam pengembangan budaya oleh beberapa hal, di antaranya (1) telah terabaikan. Akibat selanjutnya ialah banyak berurat berakarnya budaya oral (kelisanan) penerbitan yang tidak mampu bertahan hidup dan budaya ewuh-pakewuh di dalam masya- lebih lama. Itu sebabnya, bidang sastra ter- rakat Jawa sejak zaman penjajahan (Belanda), sisihkan dan hal ini berimplikasi pada kurang bahkan sejak masih berjayanya budaya istana- berkembangnya tradisi kritik sastra. sentris (kerajaan Mataram), (2) kondisi sosial, Memang benar bahwa pada masa Orde politik, dan ekonomi nasional yang tidak Lama (1945—1965) banyak media massa memungkinkan seseorang dapat mengemu- yang tidak berumur panjang. Majalah Arena kakan pendapat secara demokratis dan terbuka yang didirikan oleh Himpunan Sastrawan (bebas). Indonesia Yogyakarta sejak April 1946 hanya Undang-Undang Dasar 1945 yang me- mampu bertahan hidup selama dua tahun. Hal netapkan bahwa bahasa resmi negara adalah yang sama menimpa majalah Pesat yang bahasa Indonesia dan setiap warga negara berdiri sejak 1945 dan mati pada awal 1950- memiliki hak untuk menyatakan pendapat an. Majalah Medan Sastera yang berdiri sejak sebenarnya telah memberi peluang bagi 1953 dan sejak Februari 1954 berubah terbangunnya sebuah tradisi kritik, termasuk menjadi Seriosa juga mengalami nasib yang di dalamnya kritik sastra, baik secara lisan sama. Tidak terkecuali majalah Budaya, maupun lewat tulisan. Sebab, secara yuridis Pelopor, Gadjah Mada, dan Gama, semuanya bahasa Indonesia tidak hanya dikukuhkan mati pada tahun 1960-an. Dari sekian banyak sebagai sarana pemersatu bangsa, tetapi juga majalah yang muncul, hanya Minggu Pagi, sebagai alat komunikasi utama di dalam Suara Muhammadiyah, dan Basis yang ber- hubungan antaretnis dan antaranggota masya- tahan hidup hingga masa Orde Baru bahkan rakat. Akan tetapi, karena masa itu (Orde hingga sekarang. Lama) masih dikuasai oleh merebaknya ko- Hanya dari majalah-majalah yang rupsi, merajalelanya kejahatan, cepatnya sebagian besar tidak berumur panjang itulah pertumbuhan penduduk, membengkaknya tradisi kritik sastra terbangun karena di tengah pengangguran, tidak tercukupinya sandang- beragamnya tulisan yang dimuat di dalamnya pangan, dan adanya kebijakan politik yang muncul pula beberapa tulisan (esai, artikel, otoriter (Ricklefs, 1994), sehingga wajar jika resensi, atau surat pembaca) yang membi- sebuah “keterbukaan dan sikap kritis” carakan karya sastra. Hal itu setidaknya sebagaimana dicita-citakan di dalam UUD 45 menunjukkan bahwa sebenarnya kritik sastra belum dapat direalisasikan dengan baik. telah hidup di Yogyakarta walau kehi- Upaya untuk memulihkan kondisi dupannya boleh dikata “kembang-kempis”. sosial-ekonomi Indonesia sebenarnya telah Bahkan, kalau dilihat daerah asal para dilakukan, misalnya dengan mengubah pola kritikusnya, --hal ini akibat berlangsungnya struktur ekonomi kolonial ke pola yang mobilitas sosial yang terjadi di sekitar tahun bersifat nasional dengan cara menumbuh- 1950-an--, sebagian besar dari mereka bukan kembangkan pengusaha pribumi yang umum- asli Yogyakarta, melainkan dari berbagai nya kekurangan modal melalui Program daerah di Indonesia yang datang ke Yogya- Benteng (Budiman, 1996). Hasil usaha ter- karta dengan tujuan menimba ilmu baik sebut sebenarnya juga sudah memuaskan, melalui jalur pendidikan maupun sekadar terbukti jumlah pengusaha pribumi saat itu hijrah untuk sementara. meningkat. Namun, karena kenyataan menun- Mengapa banyak orang luar datang ke jukkan bahwa Program Benteng justru Yogyakarta sehingga memungkinkan ter- semakin memperkuat para pengusaha Cina bangun sebuah tradisi berdiskusi baik secara dan India, akhirnya kondisi ekonomi pada lisan maupun tulisan yang pada gilirannya waktu itu tidak mengalami perkembangan melahirkan tradisi kritik sastra? Pertama, yang signifikan. Akibatnya, jarang pengusaha karena sebagai wilayah yang mewarisi tradisi yang menaruh perhatian pada bidang budaya budaya keraton dan kadipaten (Ngayogya-

Horison, Februari 2010 27 karta Hadiningrat dan Pakualaman), Yogya- berumur panjang, misalnya Suara karta oleh khalayak Indonesia dianggap Muhammadiyah, majalah tersebut tidak sebagai wilayah yang kaya akan budaya (adi- membuka ruang yang cukup bagi kritik sastra. luhung). Kedua, karena sebagai wilayah/ Barangkali hanya Basis dan Minggu Pagi daerah istimewa, Yogyakarta mampu meng- yang relatif baik dalam memberikan kontri- identifikasi diri sebagai kota pelajar yang busi bagi kehidupan kritik sastra Indonesia di ditandai dengan lengkapnya lembaga-lembaga Yogyakarta. Itu pun kalau dilihat dari posisi pendidikan yang menawarkan berbagai bidang sekarang; sedangkan kalau dilihat posisinya ilmu dan seni. Ketiga, sebagai daerah yang saat itu, dua majalah itu tidak berbeda dengan kaya akan budaya, Yogyakarta mampu mem- majalah-majalah (yang telah mati) lainnya. bangun diri sebagai daerah tujuan wisata. Dibandingkan dengan tradisi kritik Berkenaan dengan hal itulah, tidak sastra pada masa Orde Lama (1945--1965), mengherankan jika akhirnya Yogyakarta tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta menjadi ajang berkumpulnya orang-orang pada masa Orde Baru relatif lebih maju. yang berasal dari etnis, agama, adat-istiadat, Sebab, tradisi kritik pada masa Orde Baru dan perilaku yang beragam. Namun, justru tidak lagi sepenuhnya dipengaruhi budaya karena keberagaman itu, Yogyakarta mampu oral (kelisanan) dan budaya ewuh-pakewuh; menciptakan sebuah komunitas baru yang lebih-lebih pada saat itu telah hadir sekian lebih terbuka, lebih demokratis, sehingga, banyak intelektual dari perguruan tinggi yang khususnya di bidang kehidupan sastra, lebih mengutamakan pikiran-pikiran rasional terbangun tradisi kritik dengan maksud saling daripada perasaan-perasaan emosional. Selain memberi masukan demi berkembangnya itu, saat itu perkembangan kritik sastra juga dunia sastra itu sendiri. Hanya saja, tradisi didukung oleh adanya situasi yang secara kritik sastra saat itu masih memiliki keter- makro membangkitkan perkembangan kritik gantungan yang kuat pada media massa; sastra di Indonesia yang telah dimulai sejak dalam arti tanpa media massa kritik sastra masa Pujangga Baru lewat berbagai polemik tidak akan muncul, sementara ketika itu belum antartokoh (STA vs Guru Bahasa Melayu dan ada penerbit yang menaruh perhatian terhadap Rawamangun vs Ganzheit) sehingga tradisi karya-karya kritik apalagi menerbitkan buku kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga yang memuat karya-karya kritik sastra. berkembang. Realitas itu tampak nyata ketika pada Perkembangan tersebut semakin nyata, tahun-tahun awal kemerdekaan (1946) terbit karena, sejak 1970-an, selain berkembang di majalah Arena. Majalah itu merupakan perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi maha- majalah kebudayaan yang berisi berbagai hal siswa sastra, kritik sastra juga berkembang di mengenai sastra, seni, dan budaya, termasuk media massa cetak seperti Minggu Pagi, kritik sastra. Akan tetapi, ketika majalah Kedaulatan Rakyat, Basis, Semangat, tersebut menghentikan penerbitannya, tradisi Pelopor, Suara Muhammadiyah, Masa Kini, kritik sastra yang terbangun lewat majalah itu Berita Nasional. Hanya saja, seperti telah pun mati. Barulah tradisi itu hidup kembali dikatakan di atas, yang berkembang ialah ketika lahir majalah-majalah baru tahun 1950- bukan tradisi kritik sastra Indonesia an. Bukan suatu kebetulan saat itu juga tidak khususnya, melainkan tradisi kritik umumnya. ada sebuah penerbit pun yang mau mengum- Sebab, yang menjadi perhatian media massa pulkan dan menerbitkan karya-karya kritik pada masa itu tidak hanya sastra Indonesia sastra yang semula dimuat di majalah. khususnya, tetapi seni-sastra-budaya umum- Meskipun tradisi kritik hidup kembali nya; dan karena itu sastra Indonesia, termasuk pada tahun 1950-an melalui majalah-majalah kritiknya, hanya menjadi bagian kecil dari baru yang muncul, tradisi kritik yang ter- wilayah yang luas dan kompleks tersebut. bangun itu pun tidak berlangsung lama karena Kendati demikian, keterbukaan media massa sebagian besar majalah-majalah tersebut cetak di Yogyakarta terhadap karya-karya (Gadjah Mada, Gama, Pelopor, Budaya) kritik sastra telah menjadi bukti bahwa tradisi tidak berumur panjang. Kalau ada yang kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada

Horison, Februari 2010 28 periode ini lebih maju jika dibandingkan naungan Pelopor Jogja di Jalan Malioboro. dengan tradisi kritik pada masa sebelumnya. Lewat rubrik "Persada" dan "Sabana" di Satu hal yang menarik untuk dicatat majalah Pelopor Jogja itulah, para pengarang, ialah bahwa konsep-konsep kritik sastra yang juga para kritikus, mengembangkan dan telah dibangun oleh para tokoh pada tahun memuat karya-karyanya. Harian Masa Kini 1950-an hingga 1960-an, baik kritik formal- juga bertindak sama. Di bawah naungan objektif-akademis yang dikembangkan oleh rubrik "Insani", Emha Ainun Najib, Suparno aliran Rawamangun maupun kritik nonformal- S. Adhi, Mustofa W. Hasjim, dan lain-lain totalitas-subjektif yang dikembangkan aliran juga membentuk kelompok yang diberi nama Ganzheit, ternyata di kemudian hari (sejak "Insani Club". Melalui "Insani Club" itulah 1970-an hingga sekarang) berkembang secara para penulis biasa berdiskusi dan mengem- berdampingan. Artinya, sampai kini kritik bangkan kreasi sehingga karya-karyanya, formal-objektif (kritik judisial, kritik ilmiah) termasuk karya kritik sastra, dimuat di rubrik terus dibangun dan dikembangkan di kalangan "Insani". Sementara itu, khusus hasil karya akademisi, sedangkan kritik totalitas-subjektif puisi, dimuat di kolom "Insani", "Kulminasi", (kritik impresionistik) terus dikembangkan dan "Titian". dan ditulis di media massa. Bahkan, dalam Pada awal tahun 1980-an, hal serupa kerangka mengembangkan kritik sastra ter- dilakukan pula oleh para penulis yang biasa sebut, ada upaya para akademisi untuk mengirimkan karangannya ke rubrik "Renas" mengubah bentuk kritik judisial ke kritik harian Berita Nasional asuhan Linus Suryadi impresionistik dan mempublikasikannya A.G. Bahkan, tradisi kritik sastra Indonesia di melalui media massa. Hal demikian dilakukan Yogyakarta pada kurun waktu belakangan dengan pertimbangan bahwa media massa juga didukung oleh munculnya pusat cetak lebih efektif dalam menjangkau kha- pergaulan sastra seperti yang terbentuk di layak pembaca. berbagai perguruan tinggi (IAIN, Fakultas Berkenaan dengan hal itu, tidak meng- Sastra UGM, FPBS IKIP Negeri Yogyakarta, herankan jika karya-karya kritik sastra yang FPBS IKIP Muhammadiyah, FPBS IKIP ditulis oleh nama-nama para akademisi seperti Sanata Darma, Kelompok Pendopo Uni- A. Teeuw, Dick Hartoko, Kuntara Wirya- versitas Taman Siswa, dan sebagainya). Di martana, Suripan Sadi Hutomo, , samping itu, perkembangan kritik sastra juga Bakdi Sumanto, B. Rahmanto, Harry Aveling, didukung oleh diselenggarakannya Festival Boen S. Oemaryati, Th. Koendjono, Andre Kesenian Yogyakarta (FKY) oleh Pemda DIY Harjana, dan masih banyak lagi itu sering sejak awal 1980-an hingga sekarang. muncul di majalah Basis dan Semangat. Sementara itu, sejak tahun 1990-an, di Sementara itu, nama-nama di luar kelompok berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta terbit akademisi seperti Emha Ainun Najib, Linus berbagai jurnal sastra dan budaya, di Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, dan antaranya Sosiohumanika dan Humaniora masih banyak lagi yang kadang-kadang (UGM), Litera dan Diksi (Universitas Negeri muncul di majalah Basis dan Semangat juga Yogyakarta), Gatra dan Sintesis (Universitas (justru lebih sering) muncul di surat kabar Sanata Darma), Bahastra (Universitas Ahmad seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Dahlan), Tonil (Institut Seni Indonesia), Pelopor, Masa Kini, dan Berita Nasional. Selarong (Dewan Kebudayaan Bantul), dan Di samping beberapa hal di atas, yang Widyaparwa (Balai Bahasa). Lewat berbagai tidak kalah penting ialah bahwa tradisi kritik jurnal inilah kritik sastra, terutama kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga didukung ilmiah, berkembang dengan baik. Tambahan oleh munculnya kelompok atau grup atau lagi, pada dekade 1990-an dan 2000-an, pusat pergaulan sastra seperti PSK (Persada banyak penerbit di Yogyakarta yang tidak Studi Klub) yang dimotori Umbu Landu hanya memperhatikan karya sastra, tetapi juga Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh kritik sastra. Dapat disebutkan, misalnya Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, penerbit Gadjah Mada University Press, Soeparno S. Adhi, dan lain-lain di bawah Jalasutra, Gama Media, Tiara Wacana, Ben-

Horison, Februari 2010 29 tang Intervisi Utama, Citra Pustaka, Pustaka Nama-nama kritikus ini pulalah yang Pelajar, LKiS, Pinus, Pustaka Widyatama, kemudian masih aktif pada masa Orde Baru, Hanindita, Mitra Gama Widya, dan masih di samping hadir nama-nama baru. banyak lagi. Dan pada umumnya para penerbit Pada tahun 1970-an, di Minggu Pagi ini menerbitkan buku-buku kritik sastra yang muncul beberapa kritikus, antara lain, berasal dari para akademisi yang berupa Aryasatyani, Bang Aziz, Ita Rahayu, Zan skripsi, tesis, atau disertasi. Tak dapat Zappa Group, Arwan Tuti Artha, Joko S., dilupakan, intansi pemerintah seperti Balai N.N. Sukarno, Deded Er Moerad, Joko Bahasa Yogyakarta juga sering menerbitkan Santoso, Hendro Wiyanto, Pappi Eska, Afauzi buku-buku hasil penelitian sastra yang kian Safi Salam, SB Tono, Noto Sunarto, Niesby menambah semarak kehidupan kritik sastra Sabakingkin, Putu Arya Tirtawirya, Veven SP Indonesia di Yogyakarta. Wardana, Niesby, Em Es, Tarseisius, Faruk HT, Albert P. Kuhon, Heru Kesawa Murti, /4/ Gendut Riyanto, Arie MP, M. Sutrisno, Lalu siapakah kritikus yang berperan Yudiono KS, Retno D, Edi Romadon, Yuliani dalam perkembangan kritik sastra Indonesia di Sudarman, Bambang Widiatmoko, Korrie Yogyakarta? Bukti menunjukkan bahwa sejak Layun Rampan, dan masih banyak lagi. awal kemerdekaan beberapa majalah seperti Sementara itu, di harian Kedaulatan Rakyat, Arena, Medan Sastera, Seriosa, Minggu Pagi, muncul pula nama-nama seperti yang menulis Basis, Gadjah Mada, dan Gama telah me- di Minggu Pagi. Selain nama-nama di atas, munculkan nama-nama kritikus yang cukup dapat disebutkan, misalnya Linus Suryadi terkenal. Di majalah Arena (1946), misalnya, A.G. Di Masa Kini (sebelumnya bernama muncul nama Idroes, Anas Ma’roef, G. Mercu Suar) juga banyak muncul kritikus, di Siagian, Abu Hanifah, Usmar Ismail, Ki antaranya, Slamet Riyadi S., Ragil Suwarno Hadjar Dewantara, Djajakoesoema, S’wan, Pragolapati, Yunus Syamsu Budhi, Ajie SM, Soelarko, dan lain-lain. Bahkan, kalau Emha Ainun Najib, Marsudi, Asti, Kecuk sependapat dengan pemikiran Edward Said Ismadi, Mustofa W. Hasyim, Tarseisius, bahwa esai-esai yang berbicara tentang teori Rachmat Djoko Pradopo, dan Soekoso D.M. dan sejarah sastra juga termasuk karya kritik Sementara itu, dalam majalah Basis sastra, nama-nama kritikus yang muncul dapat dekade 1970-an muncul nama-nama kritikus diperpanjang lagi, misalnya, Dullah, Sri yang sebagian besar berasal dari kalangan Moertono, Roesly, S. Tasrif, Tengku Hamidy, akademisi, antara lain, Bakdi Sumanto, M. Soetikno, dan masih banyak lagi. Teeuw, Dick Hartoko, Ariel Heryanto, B. Sementara itu, di majalah Medan Sastera, Rahmanto, Mochtar Lubis, Andre Hardjana, muncul nama Mat Delan, Chandra A.M., dan Umar Kayam, St. Soelarto, Sapardi Djoko Mas Djon. Damono, Harry Aveling, Hila Veranza, Sejak tahun 1950-an hingga 1960-an, Yunus Mukri Adi, Ahar, Th. Koendjana, beberapa kritikus yang muncul lewat majalah Emha Ainun Najib, Ragil Suwarno Prago- Basis, di antaranya, L. Koessoediarto, lapati, Sutadi, dan Linus Suryadi A.G. Subadhi, Ahar, , A. Broto, Slamet Sementara itu, dalam majalah Semangat, Mulyana, Dick Hartoko, B. Soelarto, Th. banyak juga kritikus yang tampil, di Koendjono, dan W.S. Rendra. Sementara itu, antaranya, Mayon Sutrisno, Julius Poer, Bakdi di Minggu Pagi muncul di antaranya Sumanto, Ragil Suwarno Pragolapati, Y. Pramoedya Ananta Toer dan Arifin C. Noer Supardjana, Mimosa Sekarlati, Jakob sesekali muncul di Suara Muhammadiyah. Sumardjo, J. Pandji, B. Gde Winnjana, Agus Nama-nama seperti Wiratmo Sukito, Mayang Surjono, Niken Kusuma, M.L. Stein, dan T.H. n’Dresjwari, Setiawan H.S., Djalinus Sjah, E. Sugiyo. Di samping itu, di dalam Suara Wardaya, L. S. Rrento, Budi Darma, Muhardi Muhammadiyah muncul Mohammad Dipo- Atmosentono, Amir Prawira, Subagijo Sastro- negoro, A. Hanafi M.A., T. Loekman, Darwis wardojo, Anas Ma’ruf, dan S. Mundingsari Khudori, S. Tirto Atmodjo, S. Kartamihardja, sering tampil di majalah Gadjah Mada. Joko Susilo, dan Tan Lelana; sedangkan di

Horison, Februari 2010 30 dalam Pelopor muncul Umbu Landu Pa- Sandi Rofiq, Syansuri Ali, Nur Sahid, Medy ranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Lukito, Asmarani, dan sebagainya. Ranusastra Asmara, Iman Budi Santosa, dan Itulah beberapa kritikus yang turut Bambang Sadono SY. mengembangkan tradisi kritik sastra Indonesia Pada dekade 1980-an, di dalam Basis di Yogyakarta hingga masa reformasi. Hanya masih tampil nama-nama lama seperti A. saja, sebagian besar dari para kritikus tersebut Sudewa, A. Teeuw, Ajip Rosidi, Dick adalah juga pengarang (penyair, cerpenis, Hartoko, Andre Hardjana, Emha Ainun Najib, novelis) sehingga tidaklah jelas batasan antara Ariel Heryanto, Sapardi Djoko Damono, kritikus dan pengarang. Biasanya batasan itu Satyagraha Hoerip, Kuntowijoyo, B. Rah- akan menjadi jelas jika dilihat dari jumlah manto, Hendrik Berybe, Bakdi Soemanto, karyanya; kalau jumlah karya kritiknya lebih Darmanto Yatman, Budi Darma, Kuntara banyak dan menonjol, ia cenderung disebut Wiryamartana, Jakob Sumardjo, di samping sebagai kritikus, dan sebaliknya, jika jumlah nama-nama baru seperti Korrie Layun karya kreatifnya lebih banyak, ia cenderung Rampan, Eko Endarmoko, Mangunwijaya, disebut sebagai pengarang. Kendati demikian, Budi Subanar, I Ketut Asa Kartika, Niels tidak tertutup kemungkinan seseorang akan Mulder, Aming Aminoeddin, Seno Joko mendapat julukan ganda, yaitu pengarang Suyono, Kasijanto, Faruk, Linus Suryadi AG, sekaligus kritikus. Nyoman Tusthi Eddy, Suripan Sadi Hutomo, Sementara itu, sejak akhir 1990-an Rachmat Djoko Pradopo, Umar Junus, Sri hingga 2000-an, di jurnal-jurnal yang terbit di Rahayu Prihatmi, Darma Putra, Budiawan, perguruan tinggi, nama-nama para akademisi, dan Kris Budiman. Pada dekade berikutnya, di di antaranya Faruk, Rachmat Djoko Pradopo, samping nama-nama itu, muncul pula nama- Bakdi Sumanto, Sugihastuti, Heru Marwoto, nama seperti Kristiyanto Martono, Mh. Kris Budiman, Pujiharto, dan Muslich Ma- Zaelani Tammaka, Nadjib KZ., Setyo diyant sering muncul di Humaniora (UGM), Yuwono Sudikan, Prasetyohadi, Joko Pinurbo, sedangkan nama-nama seperti Suminto A. PJ Suwarno, R. Masri S.P., Stephanus Sayuti, Burhan Nurgiyantoro, dan Wiyatmi Djawanai, Sonny Keraf, Sugeng Agus sering muncul di Diksi dan Litera (UNY). Di Priyono, Sindhunata, Sugihastuti, Supriyadi, jurnal Gatra dan Sintesis (USD) muncul nama Toety Heraty, Valentino Bosio, Veven Sp B. Rahmanto, Yoseph Yapi Taum, Pranowo, Wardana, Wahyu Wibowo, Wahyudi Sis- Jakob Sumardjo, Rachmat Djoko Pradopo, wanto, Wieranta, Y.S Yohanes, dan Y. Yapi Faruk, dll; sedangkan di jurnal Tonil (ISI) Taum. sering muncul nama Nur Sahid dan Nur Selain menulis di majalah Basis, bebe- Iswantoro. Sementara di jurnal terbitan rapa kritikus itu juga menulis di Kedaulatan instansi pemerintah, yakni Widyaparwa (Balai Rakyat, Minggu Pagi, Yogya Post, dan Bahasa) sering muncul nama Hery Mardianto, Bernas. Dapat disebutkan, misalnya, Suminto Dhanu Priyo Prabowo, Sri Widati, Tirto A. Sayuti, Rachmat Djoko Pradopo, Bakdi Suwondo, dan Imam Budi Utomo. Sumanto, Umar Junus, Linus Suryadi, Korrie Layun Rampan, Iman Budi Santosa, Ragil /5/ Suwarno Pragolapati, Ahmadun Y. Herfanda, Dari penelusuran ringkas di atas, Bambang Sadono, Arwan Tuti Artha, akhirnya dapat dinyatakan bahwa sejak awal Mangunwijaya, Faruk, dan masih banyak lagi. kemerdekaan hingga sekarang, dinamika Sementara itu, nama-nama baru lebih sering kritik sastra di Yogyakarta hidup secara wajar. muncul di koran daripada di majalah, Hanya saja, jika dibandingkan dengan masa misalnya Asa Jatmiko, Tirto Suwondo, Whani Orde Lama, kehidupan kritik sastra Indonesia Darmawan, Hari Leo, Sri Harjanto Sahid, pada masa Orde Baru lebih menunjukkan Haryadi Pranoto, Lephen Purwaraharja, Redi perkembangan yang berarti walau kehadiran Panuju, Dorothea Rosa Herliani, Sarworo kritik sastra itu masih tetap didukung oleh Soeprapto, Ulfatin Ch, Otto Sukatno, Edy AH media publikasi (media massa cetak) yang Iyubenu, Kuswandi, Muslikh Madiyant, Agus sama dengan media publikasi pada kurun

Horison, Februari 2010 31 waktu sebelumnya. Satu hal yang tampak sekarang sebagian besar telah menunjukkan nyata ialah bahwa perkembangan kritik sastra kualitas yang memadai, dalam arti kritik yang di Yogyakarta dipengaruhi oleh situasi secara ditulis telah mengarah pada hal-hal yang lebih nasional, yakni situasi semakin baik dan substansial. Kritik dengan kualitas demikian tertatanya sistem sosial, ekonomi, politik, dan yang memberikan kontribusi bagi perkem- budaya pada masa Orde Baru. Pertumbuhan bangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. kritik sastra Indonesia itu juga ditopang oleh Akhir kata, dapat dikatakan kritik terjadinya mobilitas sosial yang dinamis sejak sastra Indonesia di Yogyakarta tumbuh 1950-an yang ditandai oleh banyaknya calon- bersamaan dengan pertumbuhan karya sastra. calon intelektual datang ke Yogyakarta yang Hanya saja, jika dibandingkan dengan per- kemudian membangun berbagai komunitas tumbuhan karya sastra itu sendiri, khususnya budaya, sastra, dan pers (penerbitan) baik di puisi dan cerpen, kritik sastra secara kuantitas perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga tetap masih ketinggalan. Sebenarnya, saat ini swasta. teori-teori pengkajian sastra telah berkembang Tampak pula bahwa terbangunnya pesat di berbagai perguruan tinggi sehingga tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta sangat memung-kinkan para kritikus dapat dipengaruhi oleh identitas Yogyakarta sebagai melakukan kritik secara lebih leluasa. Tetapi, kota pelajar, kota pendidikan, kota wisata dan perkembangan teori itu tampaknya tetap budaya. Para kritikus yang berperan pun tidak belum dibarengi oleh tradisi tulis kritik yang hanya berasal dari Yogyakarta, tetapi juga – kuat. Karena itu, tradisi kritik sastra di yang justru lebih banyak—orang-orang dari Yogyakarta terkesan kurang berkembang berbagai kota di Indonesia yang tinggal di pesat walaupun bukti menunjukkan bahwa Yogyakarta. Dan masih seperti pada masa- karya kritik sastra memiliki produktivitas masa sebelumnya, kehidupan kritik sastra yang cukup memadai. *** Indonesia pada masa Orde Baru (sampai menjelang reformasi) juga masih memiliki ketergantungan yang kuat pada media massa (majalah dan surat kabar). Baru pada dekade dewasa ini (tahun 2000-an) kritik sastra DAFTAR BACAAN didukung juga oleh lembaga-lembaga pener- bitan buku dan para kritikusnya banyak juga nama-nama baru (kelompok muda) yang ber- Budiman, Arief. 1996. Teori Negara: Negara, asal dari kalangan akademisi (dosen, peneliti). Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Sementara itu, dilihat orientasi kritik- Gramedia. nya, karya-karya kritik sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta menunjukkan per- Jassin, H.B. 1954. Kesusastraan Indonesia kembangan yang menarik. Pada masa awal Modern dalam Kritik dasn Esai. perkembangannya, orientasi dan fokus kritik- Jakarta: Gunung Agung. nya secara dominan bukan pada karya sastra, tetapi pada hal-hal di luar sastra. Sedangkan Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia sejak kritik sastra berkembang di lingkungan Modern. Cetakan IV. Diindo- akademis (sejak 1960-an hingga sekarang), nesiakan oleh Dharmono Hardjo- orientasi kritiknya telah bervariasi; dalam arti widjono. Yogyakarta: Gadjah kritik itu tidak hanya menyoroti masalah yang Mada University Press. berkaitan dengan sistem makro (pengarang, penerbit/ pengayom, pembaca), tetapi juga Setiawan, Ahmad. 1998. Perilaku Birokrasi telah mengarah pada sistem mikro yang dalam Pengaruh Paham Keku- berkaitan dengan karya sastra (puisi, cerpen, asaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka novel, dan drama). Dan, jika dilihat secara Pelajar. kualitas, karya-karya kritik yang lahir dan berkembang pada dekade 1980-an hingga

Horison, Februari 2010 32 Suwondo, Tirto dkk. 2004. "Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945--1965". Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

------. 2005. "Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1966--1980". Yogyakarta: Balai Bahasa Yogya- karta.

------. 2006. "Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1981--2000". Yogyakarta: Balai Bahasa Yogya- karta.

Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Widati, Sri dkk. 2008. Sastra Yogya. Yogya- karta: Curvaksara.

Horison, Februari 2010 33