Akademi Militer Yogya: Pembentukan Perwira Di Tengah Desing Peluru 1945—1950
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Akademi Militer Yogya: Pembentukan Perwira di Tengah Desing Peluru 1945—1950 Annisa Adelia Gitaprana dan Toebagus Lutfi Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas pendidikan perwira Angkatan Darat pada tahun 1945—1950 melalui Akademi Militer yang bertempat di Yogyakarta. Situasi dan kondisi Indonesia yang belum stabil karena baru merdeka menyebabkan pendidikan di Akademi Militer Yogya tidak dapat berjalan seperti pada umumnya. Adanya upaya Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Agresi Militer Belanda I dan II mengharuskan para tarunanya untuk ikut bertempur mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan latar belakang beberapa golongan di tubuh tentara Indonesia masa itu juga mempengaruhi pendidikan di Akademi Militer. Keadaan yang demikian menjadikan taruna Akademi Militer Yogya menjadi taruna pejuang yang lebih dulu berjuang sebelum menjadi perwira. Skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah dan menggunakan kaidah penulisan ilmiah. Kata kunci: Tentara Nasional Indonesia, Angkatan Darat, Akademi Militer. panag Military Academy Yogya: The Officers Established in The Middle of Bullets Whiz 1945—1950 Abstract This research disscuses about Indonesian army officers educated in 1945—1950 by Military Academy in Yogyakarta. Education of Yogya Military Academy could not operate conventionally due to situation and condition in Indonesia which, at that time, was unstable because it had just reached the its freedom. Netherland attempted to occupy Indonesia through First and Second Military Aggression and all of this academy cadets must took part on the battle for defending Indonesian independence. The diversity background among groups in military institution had influenced Yogya Military Academy’s education too. Those situations turned Yogya Military Academy’s cadets into crusader cadets which experienced the battle first before they became officers. This thesis uses the history research method and scientific writing rules. Key words: Tentara Nasional Indonesia, Indonesian Army, Military Academy. Pendahuluan Akademi Militer merupakan sebuah wadah penanaman nilai-nilai keprajuritan bagi calon perwira Angkatan Darat (Britton, 1996:82). Lembaga pendidikan militer di Indonesia bermunculan dengan cepat di berbagai daerah di Indonesia setelah pemerintah secara resmi melalui Maklumat No. 6 membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Indonesia resmi memiliki tentara setelah hampir dua bulan merdeka. Sebelumnya, Urip Sumoharjo, seorang pensiunan perwira KNIL, melontarkan pendapatnya mengenai Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Indonesia, “Aneh, negara zonder tentara”. Kritik atas ketiadaan tentara resmi di awal kemerdekaan Indonesia juga muncul dari berbagai kalangan, salah satunya dari golongan mantan perwira KNIL yang lebih muda dari Urip, seperti A. H. Nasution. Nasution beranggapan bahwa membentuk tentara resmi setelah hampir dua bulan Indonesia merdeka adalah kesalahan yang dilakukan pemerintah. Jika pemerintah segera meresmikan berdirinya suatu organiasasi tentara sejak awal kemerdekaan, maka TKR akan menjadi organisasi tentara dengan persenjataan yang memadai dengan bermodalkan senjata hasil rampasan dari PETA. Meski begitu, pemerintah memiliki tanggapan lain. Bagi pemerintah yang menitikberatkan perjuangan melalui jalur diplomasi, membentuk suatu tentara resmi pada masa awal kemerdekaan akan menimbulkan kecurigaan bagi Sekutu. Jika timbul kecurigaan, maka dapat mempersulit upaya diplomasi Indonesia. Oleh karenanya, pada awal kemerdekaan pemerintah lebih memilih membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berada di bawah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) (Markas Besar TNI Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000:1). Setelah hampir dua bulan merdeka, pemerintah kemudian meresmikan TKR sebagai tentara resmi. Urip yang kemudian aktif kembali sebagai tentara dalam TKR, ditunjuk sebagai Kepala Staf Umum. Dengan jabatan baru tersebut, Urip juga mendapat tugas serta pangkat baru sebagai Letnan Jenderal. Sebagai Kepala Staf Umum, Urip bertugas membentuk organisasi TKR yang teratur. Oleh karenanya, didirikanlah Markas Besar TKR di Yogyakarta oleh Urip. Dipilihnya Yogyakarta karena pada awal Oktober Pasukan Sekutu dan NICA sudah menduduki beberapa titik di Ibu Kota Jakarta, sehingga Jakarta sudah tidak lagi kondusif. Untuk menjadikan TKR sebagai organisasi tentara yang teratur, Urip lalu membagi TKR kedalam beberapa divisi. Semula rencananya akan dibentuk empat divisi yakni tiga divisi di Jawa dan satu divisi di Sumatera, ternyata hal tersebut tidak dapat terlaksana sesuai rencana karena jumlah prajurit TKR yang begitu banyak. Kemudian diputuskan dibentuk sepuluh divisi di Jawa dan enam divisi di Sumatera. Setelah membentuk divisi-divisi tersebut, Urip kemudian menyadari bahwa TKR memiliki masalah yang krusial dalam hal personalia. Jumlah prajurit TKR yang besar ternyata tidak sebanding dengan jumlah perwira yang mampu memimpin mereka. TKR saat itu hanya memiliki perwira dalam jumlah yang sedikit. Kehadiran para perwira baru dibutuhkan segera untuk memimpin prajurit TKR agar pembagian divisi yang telah disusun berjalan dengan efektif. Situasi yang tidak kondusif serta dengan keadaan personalia TKR yang seperti itu menambah keresahan para petinggi TKR Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 khususnya Urip. Jika tetap dibiarkan, maka TKR dapat kehabisan perwira karena gugur dalam pertempuran. Kondisi yang seperti itu kemudian direspon Urip dengan mencetuskan pendirian Sekolah Militer di Yogyakarta yang bersifat darurat, termasuk di dalamnya Akademi Militer Yogya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana upaya TKR untuk memenuhi kebutuhan perwira melalui pendidikan di Akademi Militer Yogya dalam situasi yang tidak stabil. Pada umumnya, akademi militer berjalan pada situasi, kondisi, dan lokasi yang stabil sebagai wadah penanaman nilai-nilai keprajuritan. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan berlangsungnya pendidikan di Akademi Militer Yogya yang beroperasi di tengah pecahnya perang kemerdekaan. Tujuan lain dari penulisan karya ini yaitu diharapkan mampu menambah khazanah historiografi khususnya pada ranah militer. Penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi acuan dalam meneliti sejarah militer Indonesia selanjutnya, khususnya sejarah Angkatan Darat. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah memiliki beberapa langkah sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penulisan. Langkah- langkah tersebut dimulai dari heuristik atau pencarian sumber. Setelah sumber didapatkan lalu dikritik. Kritik sumber sendiri terbagi menjadi dua yakni kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal yaitu kritik secara umum mengenai sumber tersebut, seperti tahun terbit sumber, lembaga yang merilis sumber tersebut, atau penulis sumber tersebut. Sedangkan Kritik internal merupakan kritik terhadap konten atau kandungan sumber tersebut. Tahap selanjutnya, dilakukan interpretasi terhadap sumber-sumber tersebut. Terakhir, hasil dari interpretasi tersebut lalu dituangkan ke dalam tulisan, tahap tersebut disebut tahap historiografi. Dalam penelitian ini, telah dilakukan tahap heuristik. Pencarian sumber telah dilakukan ke beberapa perpustakaan, antara lain; Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; Perpustakaan Pusat Sejarah TNI; Perpustakaan Televisi Republik Indonesia (TVRI); dan Perpustakaan Akademi Militer di Magelang. Selain perpustakaan, penulis juga telah mengunjungi beberapa tempat untuk mendapatkan sumber primer, antara lain; Bagian koleksi koran langka Museum Taruna Abdul Djalil Akademi Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Militer di Magelang; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; Bagian koleksi majalah langka Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI); Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); dan Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI. Penulis juga telah mewawancarai dua orang tokoh yang terlibat langsung dalam Akademi Militer Yogya pada tahun 1945 hingga 1950. Selain itu pula, telah dilakukan pencarian sumber menggunakan mesin pencari di internet dan telah menemukan dua buah laman (website) dari dua orang alumni Akademi Militer Yogya. Kendala yang dihadapi dalam melakukan heuristik adalah rumitnya prosedur untuk mengakses dokumen terkait. Seperti pada saat penulis mengunjungi Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI, informasi awal yang penulis dapatkan dengan prosedur yang berlaku ternyata tidak sama sehingga pada kunjungan pertama ke Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI tidak menghasilkan apapun. Kendala lain terkait pengaksesan sumber juga terjadi di Arsip Nasional Republik Indonesia, beberapa sumber berupa hasil wawancara tidak dapat diakses dengan alasan elevator yang menjangkau ruang penyimpanan arsip media baru sedang rusak dan belum dapat diperbaiki. Hal serupa juga terjadi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, cukup banyak buku yang diperlukan dalam penelitian ini tidak dapat diakses karena layanan pada beberapa ruang koleksi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sedang tidak beroperasi untuk waktu yang lama. Setelah pengumpulan sumber, tahap berikutnya kritik sumber. Tahapan ini terbagi menjadi dua yakni kritik eksternal dan kritik internal. Dalam tahap kritik eksternal, penulis mengritik sumber dari aspek tahun terbit sumber, lembaga yang merilis sumber tersebut, serta penulis sumber tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menilai kredibilitas