Akademi Militer Yogya: Pembentukan Perwira di Tengah Desing Peluru 1945—1950

Annisa Adelia Gitaprana dan Toebagus Lutfi

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas pendidikan perwira Angkatan Darat pada tahun 1945—1950 melalui Akademi Militer yang bertempat di . Situasi dan kondisi Indonesia yang belum stabil karena baru merdeka menyebabkan pendidikan di Akademi Militer Yogya tidak dapat berjalan seperti pada umumnya. Adanya upaya Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Agresi Militer Belanda I dan II mengharuskan para tarunanya untuk ikut bertempur mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan latar belakang beberapa golongan di tubuh tentara Indonesia masa itu juga mempengaruhi pendidikan di Akademi Militer. Keadaan yang demikian menjadikan taruna Akademi Militer Yogya menjadi taruna pejuang yang lebih dulu berjuang sebelum menjadi perwira. Skripsi ini menggunakan metode penelitian sejarah dan menggunakan kaidah penulisan ilmiah.

Kata kunci: Tentara Nasional Indonesia, Angkatan Darat, Akademi Militer. panag

Military Academy Yogya: The Officers Established in The Middle of Bullets Whiz 1945—1950

Abstract

This research disscuses about officers educated in 1945—1950 by Military Academy in Yogyakarta. Education of Yogya Military Academy could not operate conventionally due to situation and condition in Indonesia which, at that time, was unstable because it had just reached the its freedom. Netherland attempted to occupy Indonesia through First and Second Military Aggression and all of this academy cadets must took part on the battle for defending Indonesian independence. The diversity background among groups in military institution had influenced Yogya Military Academy’s education too. Those situations turned Yogya Military Academy’s cadets into crusader cadets which experienced the battle first before they became officers. This thesis uses the history research method and scientific writing rules.

Key words: Tentara Nasional Indonesia, Indonesian Army, Military Academy.

Pendahuluan

Akademi Militer merupakan sebuah wadah penanaman nilai-nilai keprajuritan bagi calon perwira Angkatan Darat (Britton, 1996:82). Lembaga pendidikan militer di Indonesia bermunculan dengan cepat di berbagai daerah di Indonesia setelah pemerintah secara resmi melalui Maklumat No. 6 membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945.

Indonesia resmi memiliki tentara setelah hampir dua bulan merdeka. Sebelumnya, Urip Sumoharjo, seorang pensiunan perwira KNIL, melontarkan pendapatnya mengenai

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Indonesia, “Aneh, negara zonder tentara”. Kritik atas ketiadaan tentara resmi di awal kemerdekaan Indonesia juga muncul dari berbagai kalangan, salah satunya dari golongan mantan perwira KNIL yang lebih muda dari Urip, seperti A. H. Nasution. Nasution beranggapan bahwa membentuk tentara resmi setelah hampir dua bulan Indonesia merdeka adalah kesalahan yang dilakukan pemerintah. Jika pemerintah segera meresmikan berdirinya suatu organiasasi tentara sejak awal kemerdekaan, maka TKR akan menjadi organisasi tentara dengan persenjataan yang memadai dengan bermodalkan senjata hasil rampasan dari PETA.

Meski begitu, pemerintah memiliki tanggapan lain. Bagi pemerintah yang menitikberatkan perjuangan melalui jalur diplomasi, membentuk suatu tentara resmi pada masa awal kemerdekaan akan menimbulkan kecurigaan bagi Sekutu. Jika timbul kecurigaan, maka dapat mempersulit upaya diplomasi Indonesia. Oleh karenanya, pada awal kemerdekaan pemerintah lebih memilih membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berada di bawah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) (Markas Besar TNI Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000:1).

Setelah hampir dua bulan merdeka, pemerintah kemudian meresmikan TKR sebagai tentara resmi. Urip yang kemudian aktif kembali sebagai tentara dalam TKR, ditunjuk sebagai Kepala Staf Umum. Dengan jabatan baru tersebut, Urip juga mendapat tugas serta pangkat baru sebagai Letnan Jenderal. Sebagai Kepala Staf Umum, Urip bertugas membentuk organisasi TKR yang teratur. Oleh karenanya, didirikanlah Markas Besar TKR di Yogyakarta oleh Urip. Dipilihnya Yogyakarta karena pada awal Oktober Pasukan Sekutu dan NICA sudah menduduki beberapa titik di Ibu Kota , sehingga Jakarta sudah tidak lagi kondusif.

Untuk menjadikan TKR sebagai organisasi tentara yang teratur, Urip lalu membagi TKR kedalam beberapa divisi. Semula rencananya akan dibentuk empat divisi yakni tiga divisi di Jawa dan satu divisi di Sumatera, ternyata hal tersebut tidak dapat terlaksana sesuai rencana karena jumlah prajurit TKR yang begitu banyak. Kemudian diputuskan dibentuk sepuluh divisi di Jawa dan enam divisi di Sumatera. Setelah membentuk divisi-divisi tersebut, Urip kemudian menyadari bahwa TKR memiliki masalah yang krusial dalam hal personalia. Jumlah prajurit TKR yang besar ternyata tidak sebanding dengan jumlah perwira yang mampu memimpin mereka. TKR saat itu hanya memiliki perwira dalam jumlah yang sedikit.

Kehadiran para perwira baru dibutuhkan segera untuk memimpin prajurit TKR agar pembagian divisi yang telah disusun berjalan dengan efektif. Situasi yang tidak kondusif serta dengan keadaan personalia TKR yang seperti itu menambah keresahan para petinggi TKR

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 khususnya Urip. Jika tetap dibiarkan, maka TKR dapat kehabisan perwira karena gugur dalam pertempuran. Kondisi yang seperti itu kemudian direspon Urip dengan mencetuskan pendirian Sekolah Militer di Yogyakarta yang bersifat darurat, termasuk di dalamnya Akademi Militer Yogya.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana upaya TKR untuk memenuhi kebutuhan perwira melalui pendidikan di Akademi Militer Yogya dalam situasi yang tidak stabil. Pada umumnya, akademi militer berjalan pada situasi, kondisi, dan lokasi yang stabil sebagai wadah penanaman nilai-nilai keprajuritan.

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan berlangsungnya pendidikan di Akademi Militer Yogya yang beroperasi di tengah pecahnya perang kemerdekaan. Tujuan lain dari penulisan karya ini yaitu diharapkan mampu menambah khazanah historiografi khususnya pada ranah militer. Penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi acuan dalam meneliti sejarah militer Indonesia selanjutnya, khususnya sejarah Angkatan Darat.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah memiliki beberapa langkah sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penulisan. Langkah- langkah tersebut dimulai dari heuristik atau pencarian sumber. Setelah sumber didapatkan lalu dikritik. Kritik sumber sendiri terbagi menjadi dua yakni kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal yaitu kritik secara umum mengenai sumber tersebut, seperti tahun terbit sumber, lembaga yang merilis sumber tersebut, atau penulis sumber tersebut. Sedangkan Kritik internal merupakan kritik terhadap konten atau kandungan sumber tersebut. Tahap selanjutnya, dilakukan interpretasi terhadap sumber-sumber tersebut. Terakhir, hasil dari interpretasi tersebut lalu dituangkan ke dalam tulisan, tahap tersebut disebut tahap historiografi.

Dalam penelitian ini, telah dilakukan tahap heuristik. Pencarian sumber telah dilakukan ke beberapa perpustakaan, antara lain; Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; Perpustakaan Pusat Sejarah TNI; Perpustakaan Televisi Republik Indonesia (TVRI); dan Perpustakaan Akademi Militer di Magelang. Selain perpustakaan, penulis juga telah mengunjungi beberapa tempat untuk mendapatkan sumber primer, antara lain; Bagian koleksi koran langka Museum Taruna Abdul Djalil Akademi

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Militer di Magelang; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; Bagian koleksi majalah langka Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI); Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); dan Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI. Penulis juga telah mewawancarai dua orang tokoh yang terlibat langsung dalam Akademi Militer Yogya pada tahun 1945 hingga 1950. Selain itu pula, telah dilakukan pencarian sumber menggunakan mesin pencari di internet dan telah menemukan dua buah laman (website) dari dua orang alumni Akademi Militer Yogya.

Kendala yang dihadapi dalam melakukan heuristik adalah rumitnya prosedur untuk mengakses dokumen terkait. Seperti pada saat penulis mengunjungi Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI, informasi awal yang penulis dapatkan dengan prosedur yang berlaku ternyata tidak sama sehingga pada kunjungan pertama ke Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI tidak menghasilkan apapun. Kendala lain terkait pengaksesan sumber juga terjadi di Arsip Nasional Republik Indonesia, beberapa sumber berupa hasil wawancara tidak dapat diakses dengan alasan elevator yang menjangkau ruang penyimpanan arsip media baru sedang rusak dan belum dapat diperbaiki. Hal serupa juga terjadi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, cukup banyak buku yang diperlukan dalam penelitian ini tidak dapat diakses karena layanan pada beberapa ruang koleksi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sedang tidak beroperasi untuk waktu yang lama.

Setelah pengumpulan sumber, tahap berikutnya kritik sumber. Tahapan ini terbagi menjadi dua yakni kritik eksternal dan kritik internal. Dalam tahap kritik eksternal, penulis mengritik sumber dari aspek tahun terbit sumber, lembaga yang merilis sumber tersebut, serta penulis sumber tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menilai kredibilitas sumber yang telah didapatkan. Kemudian kritik internal ditujukan pada konten atau kandungan sumber-sumber yang telah di dapat penulis baik itu berupa arsip atau dokumen sezaman, koran sezaman, hasil wawancara, artikel, dan buku.

Setelah sumber melalui tahap kritik eksternal maupun kritik internal, maka dilanjutkan ke tahap yang berikutnya, yaitu tahap interpretasi. Pada tahap ini penulis menganalisa sumber-sumber dengan lebih mendalam lagi. Pada tahap ini pula masuk interpretasi penulis terhadap sumber-sumber yang kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Penulisan tersebut merupakan tahap terakhir dari metode penelitian sejarah, yakni historiografi. Dalam penulisannya digunakan kaidah penulisan ilmiah.

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Hasil Penelitian

Akademi Militer yang didirikan di Yogyakarta kemudian lebih dikenal dengan nama Militer Akademi Yogya (MA Yogya) (Sinjal, 1996: 4). Penggunaan nama Militer Akademi ini terpengaruh oleh pola kalimat bahasa Belanda, seperti halnya pada nama akademi militer milik Belanda yakni Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda. Pada tahun 1948, penggunaan istilah Militer Akademi kemudian secara resmi dikembalikan mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang benar menjadi Akademi Militer (Dinas Sejarah Angkatan Darat, 2009:45). Nama Akademi Militer Republik Indonesia kemudian menjadi nama resmi lembaga pendidikan perwira tersebut untuk dituliskan di dalam ijazah kelulusan.

Akademi Militer Yogya menjadi jalan keluar dari masalah personalia yang dihadapi TKR pada awal berdirinya. Dalam situasi yang tidak kondusif dengan berbagai pertempuran berkecamuk di sekitar Yogyakarta khususnya, serta berbagai keterbatasan yang dijalani, Akademi Militer melahirkan perwira-perwira yang dapat memimpin pasukannya dengan baik. Para tarunanya dididik langsung oleh situasi, dengan kewajiban mereka untuk turun ke medan pertempuran.

Tidak hanya sebatas perwira yang mampu memimpin pasukannya di medan pertempuran pada saat perang kemerdekaan. Akademi Militer Yogya pula telah mendidik perwira yang kemudian menjadi perwira-karir dengan semangat nasionalis di masa damai. Tidak kurang dari 345 pemuda dilantik menjadi perwira dalam kurun hampir lima tahun Akademi Militer Yogya beroperasi. Meski tidak semua dari mereka kemudian melanjutkan karir militernya setelah Indonesia memasuki situasi yang relatif damai.

Meski dididik dengan keterbatasan sarana serta dalam situasi yang tidak kondusif untuk sebuah Akademi Militer beroperasi, para alumni Akademi Militer Yogya dapat

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 bersaing dengan alumni akademi militer dari berbagai negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya alumni Akademi Militer Yogya yang kemudian mendapatkan pendidikan militer di luar negeri. Beberapa dari mereka ada yang mengikuti pendidikan militer di Amerika Serikat, Belanda, Jerman, India, Rusia, dan lainnya. Di sana, mereka dididik bersama-sama dengan alumni dari berbagai macam akademi militer lainnya di berbagai belahan dunia. Dapat dikatakan jika mereka saling bersaing di sana, dan persaingan hanya untuk dua hal atau lebih yang setara. Oleh karena itu, dilihat dari hasil pendidikannya, Akademi Militer Yogya dapat disetarakan dengan akademi militer lain di berbagai negara yang operasionalnya berjalan dalam situasi yang kondusif.

Pembahasan

Pada 31 Oktober 1945, Urip Sumoharjo selaku Kepala Staf Umum TKR menandatangani pengumuman dibukanya Sekolah Militer yang terdiri atas Sekolah Kader dan Akademi Militer. Pengumuman tersebut kemudian dimuat pada surat kabar Kedaulatan Rakyat yang terbit pada 1 November 1945. Dalam surat kabar tersebut, selama tiga hari berturut-turut dimuat panggilan untuk mendaftar ke Sekolah Militer. Panggilan juga disampaikan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Dalam salah satu artikel yang dimuat, tertera dipanggil pula para instruktur untuk mengajar di Sekolah Militer.

Sekolah Militer bersifat darurat yang di dalamnya termasuk Akademi Militer merupakan gagasan dari Urip untuk mengatasi masalah personalia TKR di awal berdirinya. Akademi Militer dapat melahirkan perwira baru yang dibutuhkan TKR dengan memiliki sekurang-kurangnya pengetahuan dasar mengenai praktik kemiliteran. Sementara itu, sifatnya

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 yang darurat dengan waktu pendidikan yang dirancang relatif singkat bertujuan agar cepat melahirkan perwira baru, sehingga meredam keresahan Urip terhadap masalah personalia TKR tersebut.

Setelah berdirinya Akademi Militer Yogya, karena desakan situasi yang serupa, berdiri pula lembaga pendidikan militer di beberapa divisi atas inisiatif komandan divisi tersebut. Umumnya, mereka menyadari bahwa kebutuhan perwira di divisi mereka tidak hanya dapat bergantung pada Akademi Militer saja. Oleh karenanya, mereka mendirikan masing-masing lembaga pendidikan militer seperti Sekolah Opsir dan lainnya di tingkat divisi. Sekolah-sekolah tersebut yang berada di Jawa antara lain; Sekolah Kader Mojoagung, Akademi Militer Tangerang, Sekolah Kadet Malang, dan Sekolah Perwira Cadangan Salatiga. Sementara, yang terletak di Sumatera terdapat Sekolah Opsir Bukit Tinggi, Sekolah Kadet Brastagi, Sekolah Kadet Prapat, dan Sekolah Opsir Muda Palembang,

Jika membicarakan peranan pimpinan Akademi Militer, beberapa orang perwira sudah sejak awal terlibat aktif dalam pembentukan Akademi Militer, mereka adalah Samidjo, dr. Ibrahim Irsan, M.R.A. Suwardi, Wardiman, dan Ismail. Meski Samidjo merupakan orang yang secara langsung menerima perintah pembentukan Akademi Militer, namun Letnan Jenderal Urip mempercayakan jabatan Direktur kepada Suwardi. Alasannya karena di antara perwira yang aktif dalam pembentukan tersebut, Suwardi merupakan perwira dengan jabatan tertinggi saat dahulu berdinas di KNIL yakni Kapten, sedangkan Samidjo yang berpangkat Letnan Dua diberi kepercayaan sebagai wakilnya.

Direktur Suwardi kemudian merancang Sekolah Militer dengan model serupa seperti sekolah militer buatan Belanda yakni Militaire School te Meester Cornelis, Jatinegara, yang berdiri pada awal tahun 1940an. Urip dan Suwardi, keduanya merupakan lulusan sekolah tersebut, oleh karena itu lebih mudah bagi Suwardi terutama sebagai direktur untuk memimpin sekolah yang model rancangannya telah ia pahami karena pernah menimba ilmu di sekolah semacam itu.

Sekolah Militer terdiri dari dua bagian yakni Sekolah Kader dan Akademi Militer. Sekolah Kader untuk mendidik para calon prajurit yang akan menyandang pangkat Sersan II setelah selesai pendidikan. Sementara itu, Akademi Militer akan mendidik calon perwira yang setelah pendidikan akan dilantik dengan pangkat Letnan II. Masa pendidikan pun berbeda, karena sifatnya yang darurat, Sekolah Kader direncanakan akan menghabiskan waktu untuk masa pendidikan selama satu bulan, sedangkan Akademi Militer selama dua bulan.

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Target utama yang akan mengikuti pendidikan di sekolah militer adalah para prajurit TKR sendiri, sehingga jangka waktu pendidikan yang relatif singkat tetap dapat menghasilkan individu yang cukup mumpuni untuk masa darurat saat itu karena para prajurit TKR setidaknya pernah memiliki pengalaman pelatihan militer sebelumnya. Akan tetapi, nyatanya yang mendaftarkan diri mayoritas adalah para pemuda pelajar yang sama sekali tidak memiliki pengalaman tempur dan pelatihan militer sebelumnya. Oleh karenanya, terjadi perubahan jangka waktu pendidikan karena pendidikan harus dimulai dari dasar sekali. Sekolah Kader dirancang menjadi enam bulan pendidikan di sekolah dan lapangan, sedangkan Akademi Militer menjadi dua tahun lama pendidikan di sekolah dan lapangannya.

Lebih dari 3000 pemuda mendaftarkan diri dan mengikuti tes seleksi. Sejumlah 442 orang pemuda kemudian dinyatakan lolos dan langsung menjalani pendidikan di daerah Kota Baru, Yogyakarta. Pada awal November 1945, Direktur Suwardi mendapat penugasan ke Surabaya, ia mengajak serta 23 orang taruna yang baru lulus seleksi untuk ikut bersamanya. Selama satu bulan lebih Direktur Suwardi meninggalkan Sekolah Militer. Sekembalinya ia ke Yogyakarta, administrasi antara Sekolah Kader dan Akademi Militer menjadi kacau. Batasan antara Sekolah Kader dan Akademi Militer menjadi samar. Oleh karena itu, Direktur Suwardi mengambil pilihan untuk menutup Sekolah Kader dan meleburkan murid Sekolah Kader ke dalam Akademi Militer. Untuk tetap menjaga kualitas taruna Akademi Militer, pada tiap semester diadakan ujian penyaringan. Bagi taruna yang tidak lulus ujian penyaringan, maka akan dikeluarkan.

Perubahan sikap Inggris terhadap Indonesia setelah pecah pertempuran di Surabaya pada 10 November menyebabkan Akademi Militer kembali merevisi lama waktu pendidikan. Karena pertempuran itu, Inggris merubah arah politiknya menjadi menekan Belanda untuk mau berunding dengan Indonesia. Kondisi seperti ini dilihat tentara Indonesia sebagai kondisi yang menguntungkan, suhu ketegangan yang menurun digunakan tentara Indonesia untuk membentuk pemimpin-pemimpin pasukan yang lebih handal lagi dengan cara memperpanjang masa pendidikan di Akademi Militer menjadi tiga tahun

Terdapat tiga unsur dengan latar belakang berbeda di dalam tubuh TKR; mantan prajurit KNIL, mantan prajurit PETA, dan anggota kelaskaran. Sifat heterogen TKR tersebut lalu mempengaruhi kurikulum di Akademi Militer. Dalam hal administrasi dan pengajaran ilmu-ilmu teori dipegang oleh anggota TKR yang dahulu merupakan prajurit KNIL. Sementara itu, dalam pelajaran dan latihan lapangan yang berkenaan langsung dengan praktik

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 dipegang oleh mantan prajurit PETA. Pembagian seperti itu efektif untuk memaksimalkan pelajaran karena Sumber Daya Manusia ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Anggota KNIL yang dididik dalam waktu yang relatif damai sempat mengenyam ilmu-ilmu teori, sedangkan pendidikan lapangan PETA memang lebih efektif dalam pertempuran dibanding dengan pendidikan lapangan ala KNIL.

Mengisi jabatan-jabatan struktural dalam Akademi Militer, yakni Jenderal Mayor Suwardi sebagai. Direktur, Kolonel Samidjo sebagai Wakil Direktur, Letnan Kolonel dr. Ibrahim Irsan sebagai Kepala Kesehatan, Letnan Kolonel Sahirdjan yang merupakan mantan anggota PETA sebagai Kepala Perencanaan dan Komandan Kompi II, Kapten Setiadi sebagai Komandan Kompi I, Mayor Soekasno Poespomidjojo sebagai Kepala Latihan, dan Letnan Kolonel dr. Singgih sebagai Direktur SORA.

Akademi Militer berjalan dalam keterbatasan dana dan sarana. Pemerintah menganggarkan dana bagi Akademi Militer, namun dana tersebut hanya mampu menutupi 30% dari keseluruhan biaya operasional pendidikan. Untuk menutupi kekurangannya, seringkali Akademi Militer mendapat bantuan dari Kepala Rumah Tangga Istana Presiden dan bantuan berupa beras dan jagung dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Moehkardi, 1979:16). Hal ini dipersulit dengan hubungan tidak baik yang terjalin antara Direktur Suwardi yang anti komunis dan Menteri Pertahanan Amir Syarifudin yang berideologi komunis. Oleh karena itu, seringkali Amir menolak mendanai Akademi Militer. Hal ini diperburuk lagi ini dengan usaha indoktrinasi komunis pada para prajurit dengan program Pepolit yang diusung Amir.

Sarana penunjang pelajaran seperti persenjataan juga jumlahnya minim. Senjata hanya digunakan dalam mata pelajaran Ilmu Senjata, sedangkan dalam praktik langsung di lapangan, hanya menggunakan kayu yang dibentuk seperti senjata karena jumlahnya yang kurang dari jumlah taruna.

Untuk pangannya, hanya disediakan makanan dengan lauk yang sangat sederhana berupa tahu, tempe, atau gudeg. Itu pun dengan porsi yang terbatas dan nasi sehari satu kali saja pada saat jam makan siang. Beberapa taruna yang tinggal atau memiliki keluarga di sekitar Yogya biasanya mendapat kiriman makanan. Saat itulah para taruna dapat menikmati makanan yang lezat, namun tentu porsi kiriman makanan itu tidak banyak, sehingga sudah habis dalam waktu beberapa hari saja.

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Seragam itu pun satu orang hanya memiliki satu, tidak ada seragam ganti. Mereka baru mendapat seragam berbahan drill menjelang upacara pelantikan Angkatan II pada 1949 dan 1950 yang artinya selama menjadi taruna, Angkatan I tidak pernah menggunakan seragam berbahan drill tersebut karena mereka telah lulus pada 1948. Seragam berbahan drill itu berwarna cokelat muda kehijauan dengan tanda pangkat di bahu kanan dan kiri berwarna merah, dilengkapi juga dengan topi/peci berwarna sama beserta dengan lencananya

Meski dalam keadaan keterbatasan itu, pelajaran yang didapat taruna dapat memenuhi kebutuhan saat itu. Tidak hanya pelajaran militer, namun juga taruna mendapat pelajaran non- militer. Para pengajar untuk pelajaran non-militer adalah para pengajar dari berbagai perguruan tinggi di sekitar Yogyakarta seperti Pengantar Ilmu Hukum diajarkan oleh Prof. Djokosutono, Hukum Internasional oleh Mr. Said, Hukum Sipil oleh Mr. Iskak, Ilmu Makanan oleh Dr. , Etnologi oleh Harsoyo, dan Ilmu Kimia oleh Ir. Herman Johannes (Moehkardi,1979:55).

Pelajaran yang diajarkan adalah Taktik Bertempur dan Gerilya (strategi), Sejarah Perang, Kepemimpinan Militer, Psikologi Militer, Etnografi Militer, Ilmu Bumi Militer, Administrasi Militer, Pionier dan Pengamatan Medan, Ilmu Pengetahuan Medan, Teknik Senjata Infanteri, Pengetahuan Artileri, Hukum Perang Konvensional, Telepon dan alat Perhubungan, Kehakiman Militer (CO – Conventioneel Oorlogsrecht), Ilmu Kesehatan dan Makanan Militer, Teknik Motor, Pengetahuan Reglement, Mengekir Daging, Ilmu Bahan Peledak, Latihan Menembak, Latihan Tempur, Pengetahuan berkuda dan olahraga (termasuk menunggang kuda dan bela diri), serta Bahasa Asing (Inggris dan Jerman).

Direktur Suwardi kemudian menyadari bahwa olah fisik merupakan hal yang penting bagi para taruna. Direktur Suwardi kemudian meminta dr. Singgih untuk membentuk suatu sekolah olahraga cabang dari Akademi Militer. dr. Singgih menetapkan Sarangan sebagai lokasi untuk cabang yang diberi nama Sekolah Olahraga dan Bahasa (SORA) tersebut. Sarangan dinilai sangat cocok untuk daerah pelatihan karena selain udaranya sejuk, kondisinya tidak terlalu ramai dan jauh dari medan pertempuran. Oleh karena itu banyak taruna yang merasa pendidikan di SORA layaknya liburan untuk melepas penat. Di SORA, para taruna diajarkan berbagai macam olahraga, bahasa asing, dan radiotelegrafis selama enam bulan.

Untuk mendapatkan pengalaman bertempur agar nantinya mereka dapat memimpin pasukan dengan baik, para taruna kemudian mendapat penugasan turun langsung ke lapangan

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 dan dititipkan pada beberapa kesatuan yang berbeda. Penugasan lainnya juga diberikan kepada beberapa taruna terpilih, seperti pada Operasi POPDA dan sebagai liason officer untuk kunjungan Komisi Tiga Negara. Pada saat pecah pemberontakan PKI di Madiun dan Agresi Militer Belanda II pada 1948, para taruna ikut diturunkan dan bergabung dengan beberapa pasukan berbeda. Mereka ikut menumpas PKI dan bergerilya bersama prajurit TNI lainnya dengan status sebagai taruna. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian gugur di medan pertempuran.

Selama hampir lima tahun beroperasi, Akademi Militer Yogya telah menerima tiga angkatan dan telah melantik 345 perwira. Dari angkatan pertama, dilantik 196 perwira, dari angkatan kedua dilantik 149 perwira.

Taruna Angkatan I dilantik oleh Panglima Tertinggi, Presiden Soekarno, pada 28 November 1948 di Istana Yogyakarta. Jumlah taruna yang lulus jelas tidak sebanding dengan jumlah taruna di masa awal pendidikan, hal ini dikarenakan adanya ujian penyaringan setiap akhir semester yang secara otomatis mengurangi jumlah taruna. Selain itu ada pula beberapa taruna yang mengundurkan diri dan gugur dalam pertempuran.

Taruna Angkatan II yang semula berjumlah 149 orang kemudian dilantik dalam dua periode berbeda, yakni pada 5 Oktober 1949 di Istana Presiden Yogyakarta dan 4 Februari 1950 di Istana Merdeka Jakarta. Adapun alasan dari dipecah menjadi dua pelantikan Angkatan II disebabkan selama Agresi Militer Belanda, banyak komandan kesatuan tempat para taruna bertugas tidak mengizinkan para taruna kembali menjalani pendidikan karena bagi mereka pengalaman di lapangan jauh lebih penting dari pada di sekolah. Akibatnya banyak taruna yang baru dapat kembali ke Yogyakarta dan menjalani ujian penghabisan serta pelantikan pada awal tahun 1950 saat situasi Indonesia sudah memasuki babak baru setelah bergulirnya Konferensi Meja Bundar (KMB).

Sementara itu, taruna Angkatan III dikirim untuk melanjutkan pendidikan di KMA Breda. Hal tersebut dikarenakan pada Februari 1950, beberapa bulan setelah angkatan ketiga masuk, Akademi Militer Yogya ditutup.

Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu merasa titik fokus tentara Indonesia khususnya Angkatan Darat dalam urusan personalia bukan lagi pada membentuk perwira baru, melainkan memanfaatkan perwira yang telah ada yang

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 jumlahnya cukup besar dengan cara memberi pendidikan dan pelatihan lagi (Markas Besar TNI Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000:45).

Mencuat pula berbagai alasan lain ditutupnya Akademi Militer Yogya yakni dikarenakan kurangnya biaya untuk menjalankan operasional pendidikan, serta kurang tersedianya instruktur yang mumpuni untuk membentuk perwira-perwira baru. kemudian memberikan penegasan atas ditutupnya Akademi Militer Yogya: “Perhitungan saya, kita begitu banyak tentara yang ikut perang. Begitu mengikuti P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) langsung jadi letnan. Pengalaman itu buat saya lebih penting daripada AKMIL. Dalam hal ini Sayidiman tidak senang dengan keputusan saya. Waktu itu Tentara Pelajar belasan ribu orang. Praktek perang yang sudah mereka miliki lebih berharga. Jadi bukan soal biaya atau kekurangan tenaga pengajarnya. Didikan praktek lebih penting daripada teori. Begitu juga pengalaman berperang itu lebih penting daripada latihan praktek di sekolah.”( Dinas Sejarah Angkatan Darat, 2009:40)

Oleh sebab itu, pada Februari 1950 Akademi Militer Yogya ditutup untuk sementara, dengan gantinya adalah dibentuk pendidikan ulang dan lanjutan perwira Angkatan Darat seperti Pendidikan Perwira Peralatan Angkatan Darat, Pendidikan Perwira Intendas, Pendidikan Perwira Keuangan, Pendidikan Perwira Ajudan Jenderal, Pendidikan Perwira Jasmani Tentara, Pendidikan Perwira Angkutan, Pendidikan Perwira Infanteri, dan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD).

Nantinya, pada 1957 akan dibuka Akademi Militer Nasional di Magelang. Presiden Soekarno dalam upacara pembukaannya menyebutkan bahwa taruna yang masuk Akademi Militer Nasional pada tahun 1957 merupakan angkatan keempat, melanjutkan dari Akademi Militer yang sebelumnya berdiri di Yogyakarta.

Para alumni Akademi Militer Yogya Angkatan I maupun Angkatan II dapat dikategorikan sebagai Angkatan ’45 karena mereka juga ikut berjuang dalam perang kemerdekaan meski saat itu status mereka sebagai taruna akademi. Ada pula yang memisahkan mereka dengan Angkatan ’45, bersama dengan perwira lulusan berbagai sekolah militer lainnya pada masa perang kemerdekaan seperti Sekolah Kader Mojoagung, Akademi Militer Tangerang, Sekolah Kadet Malang, Sekolah Perwira Cadangan Salatiga, Sekolah Opsir Bukit Tinggi, Sekolah Kadet Brastagi, Sekolah Kadet Prapat, dan Sekolah Opsir Muda Palembang, mereka digolongkan sebagai Angkatan ’49.

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 Kesimpulan

Akademi Militer Yogya berdiri karena situasi yang mendesak hadirnya perwira- perwira baru yang mampu memimpin pasukan dengan segera. Operasional yang serba dalam keterbatasan karena saat itu Indonesia baru merdeka dan belum memiliki perekonomian yang stabil. Di luar masalah pendanaan, para taruna Akademi Militer Yogya harus terjun ke medan pertempuran dan bergabung dengan pasukan tentara reguler untuk menghadang kembalinya kolonialisme Belanda di Indonesia mau pun ancaman-ancaman dari dalam negeri seperti yang terjadi pada Madiun affair 1948.

Meski semula berdiri sebagai lembaga pendidikan militer yang darurat, dinamika situasi saat itu membawa Akademi Militer Yogya menjadi lembaga pendidikan militer yang direncanakan untuk jangka panjang. Akan tetapi, perubahan prioritas Kepala Staf Angkatan Darat kembali mengenyampingkan Akademi Militer Yogya sehingga Akademi Militer Yogya harus ditutup pada Februari 1950 dan sebagai gantinya hadir sekolah lanjutan bagi para perwira.

Daftar Referensi

Dokumen yang Diterbitkan Dokumen No. 07 Bab II Jilid VII Buku II Sejarah Akademi Militer Nasional. Dokumen No. 82 Dari MA sampai AMN dan Sub Bab V: Akademi Militer Nasional. Dokumen No. 91 Akademi Militer Nasional Magelang Indonesia.

Naskah yang Belum Diterbitkan Nugroho, Arif dan Tim. (2014). Sejarah Akademi Militer. Magelang.

Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, November 1945 Kedaulatan Rakyat, Desember 1945

Artikel/Makalah Suryohadiprojo, Sayidiman. (dipublikasian pada 30 Maret 2014). “Taruna Akademi Militer Yogyakarta Turut Meneyalamtkan NKRI”. Makalah dalam

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1642 (Diakses pada 19 Oktober 2014 pukul 15:28 WIB).

Buku Bachtiar, Harsja W. (1988). Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Jakarta: Penerbit Djambatan. Britton, Peter. (1996). Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia. Jakarta: LP3ES. Dinas Sejarah Angkatan Darat. (2009). G.P.H. Djatikusumo Sosok Prajurit Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe. Jakarta: Dinas Sejarah Angkatan Darat. ______. (1981). Riwayat Pembentukan Akademi Militer Nasional. Magelang: Dinas Sejarah Museum & Perpustakaan Akabri Darat. Djamhari, Saleh As’ad. (1979). Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI 1945— Sekarang. Jakarta: Pusat Sejarah TNI. Imran, Drs. Amrin. (1983/1984). Urip Sumohardjo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. (2000). Sejarah TNI Jilid I 1945—1949. Jakarta: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.

______. (2000). Sejarah TNI Jilid II 1950—1959 Jakarta: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.

Matanasi, Petrik. (2011). Sejarah Tentara. Jakarta: Penerbit Narasi.

Moekhardi, Drs. (1971). Sejarah Pendidikan Perwira Angkatan Darat 1945—1966. (tidak ditemukan tempat terbit dan penerbit).

______. (1979). Pendidikan Perwira TNI-AD di Masa Revolusi. Jakarta: PT Inaltu.

______. (1979). Akademi Militer Yogya Dalam Perjuangan Pisik 1945—1949. Jakarta: PT Inaltu.

Musin, Emilia. (1967). Djendral Urip Sumohardjo Perintis Angkatan Bersenjata RI. Jakarta: Lembaga Sejarah Hankam.

Nasution, A. H. (1970). Tentara Nasional Indonesia I. Jakarta: Seruling Masa.

Notosusanto, Nugroho. (1971). Seri Text-book Sedjarah ABRI. Jakarta: Departemen Pertahanan, Pusat Sedjarah ABRI.

Penerangan Angkatan Darat. (Tidak ditemukan tahun terbit). Akademi Militer Nasional. Magelang: Kementerian Penerangan.

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015 ______. (1993). GPH Djatikusumo Prajurit Pejuang dari Kraton . Jakarta: Gema Salam.

Sinjal, Daud. (1996). Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya. Jakarta: Yayasan Kotabaru & Pustaka Sinar Harapan.

Wawancara

Kolonel (pur) Suripto, alumni Akademi Militer Yogya Angkatan II, di Yogyakarta pada 3 Februari 2015.

Letnan Jenderal (pur) Sayidiman Suryohadiprojo, alumni Akademi Militer Yogya Angkatan I, di Jakarta pada 27 Maret 2015.

Akademi militer..., Annisa Adelia Gitaprana, FIB UI, 2015