PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Muslim Melankolik dalam Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa, , dan Assalamualaikum Beijing

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Gusnita Linda 146322011

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2019

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Abstrak

Film kembali tren semenjak Ayat-Ayat Cinta booming di tahun 2008. Pola kesuksesan Ayat-Ayat Cinta direpetisi oleh film Islam lainnya. Dengan mengambil latar luar negeri yang semakin beragam, film-film ini ingin menghadirkan sosok Muslim yang berbeda.

Penelitian ini menganalisis tren narasi dari film Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa, Haji Backpacker, dan Assalamualaikum Beijing dengan menggunakan analisis ‘The Third Meaning’ Roland Barthes. Analisis pertama ini bertujuan untuk menemukan unsur filmis untuk menjawab pertanyaan mengenai identitas Muslim yang dihadirkan. Analisis ini menemukan sosok Muslim (kelas menengah) Indonesia yang dihadirkan empat film tersebut adalah Muslim yang melankolik. Yaitu Muslim yang gagal meratapi kehilangan kebesaran/kejayaan Islam. Temuan ini diteliti lebih jauh untuk menjawab pertanyaan Islam seperti apa yang sedang dikonstruksi oleh sosok Muslim melankolik tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini dibantu dengan menggunakan teori objek of desire virtual Deleuze.

Film ini ingin menulis kembali sejarah dunia (Islam), sejarah hubungan Timur- Barat. Subjek melankolik seolah ingin berdamai dengan trauma (sejarah), justru merepetisi orientalisme. Konstruk dunia yang sedang dibayangkan oleh Muslim melankolik ini; peradaban dunia berutang budi pada peradaban Islam, dengan begitu dunia akan lebih baik dengan adanya (kejayaan) Islam.

Kata kunci: film Islam, narasi, Muslim melankolik, melankolia, budaya populer, objek a virtual

v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Abstract

Indonesian Islamic are back in trend since Ayat-Ayat Cinta boomed in 2008. The pattern of success of Ayat-Ayat Cinta is repeated by other Islamic films. By taking an increasingly diverse foreign background, these films want to present a different Muslim figure.

This research analyzes the narrative trends of Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa, Haji Backpacker, and Assalamualaikum Beijing using the analysis of 'The Third Meaning' by Roland Barthes. This first analysis aims to find filmic elements that answer questions about the Muslim identity presented. This analysis found that an Indonesian Muslim (middle class) figure presented by the four films was a Muslim in melancholy, namely a Muslim who fails to lament the loss of the greatness/glory of Islam. This finding is further investigated to answer the question of what kind of Islam is being constructed by the Muslim melancholic figure. Deleuze's virtual object of desire theory is used to answer that question.

These films want to rewrite the (Islam) world history and the history of East-West relations. Melancholic subjects seem to want to make peace with trauma (of history), but instead repeating orientalism. The world construct that is being imagined by this melancholic Muslim is that the world civilization is indebted to Islamic civilization, so the world will be better with the existence (glory) of Islam.

Keywords: Islamic films, melancholic Muslim narrative, melancholia, popular culture, virtual object a

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kata Pengantar

Alih-alih menemukan subjek Muslim melankolik dalam tesis ini, saya justru menemui diri yang melankolik. Saya tak pernah menyangka pengalaman akademik menuntun perubahan yang begitu besar terhadap konsep dan tatanan diri. Pengalaman mengalami punctum, ketika saya bertemu dengan objek a rasanya gurih-gurih sepat.

Pengalaman yang membuat saya gagap menentukan langkah dan memahami fase, apakah ia mourning ataukah melankolia. Mencicipi psikoanalisa mendorong orang seperti saya untuk merasai diri yang begini dan begitu. Lima tahun berdialog dengan

Kajian Budaya, membuat diri tak lagi sama memandang sekitar. Semua terasa tidak sesederhana sebelumnya, tetapi lebih melegakan. Semakin merasa utuh, semakin keras juga tamparan akan lubang-lubang baru yang bermunculan. Saya bersyukur tak terhingga dipertemukan dengan Sang Ayah baru di IRB yang membangkitkan hasrat akademik saya untuk terus menikmati ilmu pengetahuan. Terima kasih atas kesabaran

Pak Nardi yang tetap memercayai mahasiswa seperti saya bisa sampai pada fase ini.

Fase yang saya sendiri inferior untuk melompatinya.

Saya sangat berterima kasih kepada semua pengalaman akademis yang menggiurkan selama di IRB bersama Bapak dan Ibu dosen yang saya cintai, Rama

Banar, Pak Pratik, Pak Tri, Mbak Katrin, Bu Devi, Rama Bagus, Rama Baskoro, Rama

Benni, dan Rama Budi. Pengalaman akademis ini tak lengkap tanpa bantuan dan fasilitas pelayanan canggih dari Mbak Desy, Mbak Dita, Pak Mul, dan Pak Sugeng yang baik hati.

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Orang yang terlalu traumatis seperti saya tak akan sampai pada fase ini tanpa bantuan yang begitu hebat dari teman-teman semuanya. Semua teman angkatan 2014 yang sangat saya banggakan; Heri, Abet, Ben, Riston, Kolis, Ajay, Dalijo, Pinto, Oom

Keyong, Bayu, Wawan, Andreo, Si Mbah, Frans, Arman dan Malcom, kalian telah memberi iklim belajar yang memabukkan. Diskusi, curhat, dan candaan menyenangkan lintas angkatan IRB dan PUSdEP; Mbak Vini, Anne, Nita, Marino, dan lainnya tak bisa saya sebutkan satu-persatu. Semoga ke mana pun saya pergi akan bertemu lingkungan dan orang-orang seperti kalian semua. Rumah-rumah sunyi yang memberikan bantuan perenungan dan fasilitas terbaik buat saya selama lima tahun terakhir ini; Kosan Eyang dan manusianya, Ultimus , dan Trova Studio yang selalu sukarela menerima pengasingan saya. Serta teman-teman survei yang ikut menopang. Saya sangat berterima kasih atas semua bantuan teman-teman yang begitu mengharukan, Thesa

(alm), hingga teman-teman di kota-kota lain yang tak bisa saya jangkau untuk berjabat tangan langsung mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya.

Bersyukur atas rahmat Semesta menempatkan saya di keluarga Apa Sariman dan

Ama Nurbaiti serta anak-cucu beliau yang sampai saat ini selalu berkorban, mendoakan, dan bersabar atas perjalanan saya yang tak ‘senormal’ orang lain. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini bisa mengobati semuanya. Terutama kepada Sangdenai, teman seperjalanan yang tak pernah pudar sedikitpun keyakinannya bahwa saya bisa sampai pada fase ini. Terima kasih atas penerimaan, penyertaan, dan pengorbanan selama sepuluh tahun terakhir. Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi kado perjalanan panjang, juga permulaan untuk menjalani keliaran hidup kita masing-masing.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Daftar Isi

Lembar Persetujuan ...... i Lembar Pengesahan ...... ii Pernyataan Keaslian Karya...... iii Pernyataan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis...... iv Abstrak ...... v Abstract ...... vi Kata Pengantar...... vii Daftar Isi ...... ix

Bab I Pendahuluan ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 1. Tema Penelitian ...... 11 2. Rumusan Masalah ...... 11 3. Tujuan Penelitian ...... 11 4. Relevansi Penelitian ...... 12 5. Tinjauan Pustaka ...... 12 5.1 Komoditas Film Islam Populer dalam Negosiasi Politik dan Ekonomi ...... 13 5.2 Film Islam dan Identitas (Anak Muda) Muslim ...... 15 5.3 Transnasional dalam Arus Post-Islamisme ...... 16 6. Kerangka Teori ...... 6.1 Tiga Tingkat Makna ...... 19 6.2 Melankolia dalam Narasi Pascakolonial ...... 23 7. Metodologi Penelitian ...... 27 8. Sistematika Penulisan ...... 28

Bab II Film Islam: Kemunculan, Wacana, dan Fenomena ...... 30 Pendahuluan ...... 30 A. Film Religi, Dakwah atau Film Islam? ...... 32

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Film Islam dalam Paradigma Budaya Populer dan Perkembangan Muslim Kelas Menengah di Indonesia ...... 39 C. Imajinasi Kosmopolitan dalam Film (Islam) Indonesia ...... 42 D. Film yang Diteliti dalam Tesis ini ...... 47 1. Ayat-Ayat Cinta ...... 47 2. 99 Cahaya di Langit Eropa ...... 52 3. Haji Backpacker ...... 56 4. Assalamualaikum Beijing ...... 58 E. “Pesan” dalam Keempat film ...... 59 1. Latar ...... 59 2. Tokoh dan Penokohan ...... 61 3. Relasi Antar Tokoh ...... 65 4. Tata Busana ...... 68 5. Gaya Bahasa ...... 72

Bab III Dunia yang Dibayangkan Muslim Melankolik: Analisis Naratif Melalui Tingkat Kedua dan Ketiga Atas Keempat Film ...... 74 Pendahuluan ...... 74 A. Kontestasi Simbol ...... 75 1. Narasi Kejayaan Islam di Penjuru Dunia ...... 75 2. Muslim Ideal dan Heroik ...... 84 3. Identifikasi Diri dari Other/Liyan (Meliyankan) ...... 90 B. Mencari Filmis: Objek (a) yang Hilang ...... 93 1. Moralitas ...... 95 2. Agama ...... 97 C. Pengalaman Menjadi Muslim Melankolik ...... 104 1. Munculnya Pahlawan dalam Bentuk Agen Islam (Sosok Muslim Ideal) ...... 109 2. Melanggengkan Wacana Kolonial ...... 112 D. Menulis Ulang Sejarah Dunia (Islam) ...... 113 Bab IV Penutup ...... 115

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Daftar Pustaka ...... 123 Daftar Istilah ...... 128 Daftar Gambar ...... 130

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Film selalu bisa membuat saya merefleksikan pengalaman hidup dan religiusitas.

Dari sebuah film saya berkaca tentang diri dan memahami pengalaman kehidupan. Saya lahir dan besar dari imajinasi masyarakat perantau, matrilineal, dan mayoritas Muslim di Ranah Minangkabau, Sumatera Barat. Imajinasi rantau ini menjadikan diri saya selalu haus untuk meneguk pengalaman baru di tanah jauh. Sejak kecil kami diprovokasi oleh orang tua dan masyarakat untuk merantau. “Ka rantau bujang daulu, di rumah paguno balun” (ke rantau anak dahulu, di rumah belum lagi berguna), begitu pepatah petitih orang tua yang sering diujarkan.

Berdarah Jawa-Minang (bapak berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah, dan ibu dari

Pariaman, Sumbar), tak lantas mengerti ‘Jawa’ karena saya tumbuh besar di kota

Padang. Padang, kota kecil di pinggir pantai barat Sumatera yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Kota Padang merupakan daerah rantau dalam sistem wilayah adat Minangkabau sendiri. Meski begitu, kota Padang sebagai pusat ibukota Sumatera

Barat ini berkarakter homogen (sama halnya dengan daerah ‘asal’ Minangkabau), yaitu

(mayoritas) Muslim dan (suku) Minang. Hal ini menyebabkan saya tidak (banyak) punya teman dari agama dan etnis/daerah yang berbeda. Tentu saya berharap bisa menjejaki dan bersentuhan dengan ranah jauh (rantau). Ranah yang selalu dirindukan, diinginkan, sekaligus dicemburui oleh mental inferior sebagai warga dari kota kecil yang jauh dari ‘pusat’ ibukota.

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tidak setiap jengkal tanah imajinasi perantauan dan perjalanan benar-benar bisa saya alami dalam kenyataan. Film kemudian menjadi perpanjangan mata dan telinga untuk memenuhi hasrat tersebut. Hasrat bertualang untuk mengenal berbagai macam ranah budaya, agama, identitas, dan permasalahan dari beragam manusia. Gambar bergerak sekaligus bersuara (film) adalah refleksi terdekat dari keinginan untuk menemui dua hal penting, yaitu, pelekatan Minangkabau dengan Islam. Saya merefleksikan banyak hal dari dua sisi ini; pengalaman merantau dan religiusitas. Dua hal yang masih terus saya hasrati dan rindukan. Meski makin lama imaji tersebut tak lagi ‘utuh’.

Melalui sedikit perjalanan di Sumatera dan Jawa, saya merasakan (imaji)

Indonesia yang berubah. Rupanya perubahan yang saya alami terbalik dari pengalaman masyarakat umum. Saya memutuskan berjilbab saat SMA kelas 2 di Padang (2002).

Pada waktu itu belum banyak orang yang berjilbab (lebar). Bagi masyarakat umum, jilbab masih sebatas selendang yang lebih banyak digunakan oleh perempuan berumur lanjut (nenek-nenek). Selendang lazim digunakan pada saat agenda keagamaan. Istilah jilbab lebih banyak digunakan oleh siswa madrasah, tsanawiyah, dan pesantren. Di keluarga kami belum ada yang berjilbab. Bahkan Ibu saya sendiri melarang, katanya takut tidak dapat jodoh dan pekerjaan. Kakak-kakak saya sinis, begitu juga tetangga, teman, hingga seringkali disindir guru di sekolah. Saya dilabeli dengan istilah ‘Ninja’ dan dituduh mengikuti ‘aliran Islam’ tertentu. Saya dijadikan sesuatu yang menakutkan/berbahaya bagi diri dan orang sekitar. Seketika saya di-liyan-kan.

Dari pengajian di Rohis SMA, saya merasa dituntut untuk berubah secara kaffah

(menyeluruh)1. Perubahan saya begitu mendadak dan mencolok. Dari yang tadinya

1Kaffah sering diartikan menjalankan aturan hukum (syariat) Islam secara menyeluruh tanpa terkecuali.

2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berpenampilan tomboy, menjadi terlihat feminine dengan rok, baju longgar panjang, jilbab lebar, dan tidak bersalaman dengan lelaki. Bacaan saya berubah dari yang tadinya bacaan popular khas remaja di zaman itu; Conan, Harry Potter, Lima Sekawan, novel

Balai Pustaka, menjadi majalah Annida, Tarbawi, dan Sabili. Saya berhenti mengikuti ekskul basket untuk kemudian aktif di forum Annisa, Rohis, dan Perkumpulan Aktifis

Dakwah Sekolah di Sumbar. Lingkungan saya terbatas pada Rohis sekolah dan teman- teman Liqo’2. Penggunaan pas foto berjilbab untuk ijazah di tahun 2002 masih dilarang.

Kami dari Rohis melakukan demonstrasi ke sekolah untuk memprotes larangan tersebut.

Pada 2003 larangan tersebut dicabut.

Saya masih kelas 1 SMA ketika Peristiwa 11 September 2001 terjadi. Tahun berikutnya (setelah aktif di Rohis) saya baru ngeh dengan peristiwa tersebut. Respon dan reaksi Barat terhadap Islam pada 11 September 2001 menjadi alasan banyak aktivis dakwah semakin gencar beraksi. Kami pun ikut melakukan demonstrasi. Rohis sekolah

(SMP dan SMA) di kota Padang berasosiasi dengan Partai Keadilan (Sejahtera) dan

KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kami berpihak pada aktivisme

Ikhwanul Muslimin. Musuh kami pada waktu itu adalah Barat, Amerika, Zionis,

Yahudi, serta Kristenisasi. Tepatnya adalah hal-hal yang dianggap memusuhi dan menghancurkan Islam dan orang Islam di manapun berada. Idola kami adalah para jihadis, ‘pengantin’ bom bunuh diri. Ketika itu bercita-cita mati syahid membela Islam

(di Palestina dari perang melawan Israel) sudah dimiliki sebagian besar anak Rohis.

2Liqo’ merupakan kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai delapan orang. Kegiatannya adalah belajar kajian ke-Islam-an, dari mulai membaca Al Quran, hafalan, tadabur alam hingga belajar memasak. Kegiatan ini diinisiasi oleh Rohis sekolah dan dimentori oleh anak-anak kuliahan dari Aktifis Dakwah Kampus (biasanya alumni dan jaringannya). Anggota Liqo’ tidak boleh keluar masuk kelompok yang lain begitu saja. Harus dengan sepengetahuan mentor. Termasuk jika pindah kota, akan dicarikan Liqo’ yang masih satu jaringan.

3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di sisi lain, semua selain kami adalah liyan, yaitu kalangan yang kami anggap awam, tidak/belum memahami Islam, dan belum berislam secara kaffah (menyeluruh).

Bahkan jika orang tua dan saudara kandung kami tidak menjalankan syariat seperti yang dijalankan komunitas Liqo’, seketika menjadi ‘yang lain’. Saya dan teman-teman menjadi kalangan yang eksklusif. Sebuah kenikmatan bagi remaja tanggung yang sedang mencari jati diri.

Rohis terlalu jauh masuk ke dalam ranah privat anggotanya. Beberapa orang bahkan dikeluarkan karena ketahuan pacaran. Saya mulai mengkritik kebijakan Rohis.

Pertanyaan saya seputar bom bunuh diri dan perang Israel-Palestina tak kunjung menemukan jawaban. Opini yang ada dalam jaringan Rohis-Liqo’ seolah seragam.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai terasah lagi ketika saya kuliah di kampus seni pada pertengahan tahun 2007. Saya mulai berhenti Liqo’ dan bergaul dengan siapa saja.

Saya mulai mengkritisi cara saya memandang tubuh dan apa yang melekat padanya.

Saya memutuskan berhenti berjilbab ketika tamat kuliah pada tahun 2012 dan pindah ke Bali. Begitu menemui Hindu Bali, menjadi minoritas di Tanah Dewata, saya gamang karena pada kenyataannya tidak tahu apa-apa tentang selain diri saya (yang

Minang dan Islam). Saya bahkan ‘terteror’ (tidak nyaman, takut, dan gugup) ketika melihat simbol Katolik di kampus Sadhar. Sementara teman-teman Katolik yang baru saya kenal sangat terbiasa dengan simbol Islam, hafal Al Fatihah dan beberapa doa sederhana. Saya mulai mempertanyakan wacana ‘Islamofobia’, saya kok merasakan yang sebaliknya.

Namun, saya tidak sadar dengan lingkungan masyarakat yang rupanya sudah jauh berubah. Jilbab masuk mall, semakin tren dan ‘naik kelas’, warna-warni, dan beragam aksesoris pendukung. Pakaian gamis disukai, harganya makin mahal. Cerpen/novel

4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang sarat muatan Islam seperti dipopulerkan Forum Lingkar Pena, dulu hanya saya baca di majalah Annida. Festival keislaman, sinetron, dan tayangan televisi soal Islam meningkat. Novel Ayat-Ayat Cinta laku keras, menjadi best seller di Gramedia. Ayat-

Ayat Cinta dibaca oleh banyak orang di luar lingkarannya. Hingga Ayat-Ayat Cinta dijadikan film dan booming! Untuk pertama kalinya perempuan berjilbab lebar, larangan pacaran, hingga taaruf terpampang di layar lebar Indonesia. Orang kaget dengan berjubelnya perempuan berjilbab lebar dan lelaki berjenggot masuk bioskop.3

Selama ini bagi kalangan Rohis, bioskop adalah ‘ladang maksiat’, untuk itu harus dijauhi. Media dakwah berkembang ke wilayah paling populer bagi anak muda. Akan tetapi, karena jauh dari bioskop, saya tidak mengikuti arus film Islam ini. Rupanya dakwah dan komodifikasi keislaman berjalan sembari perubahan sosial terjadi di masyarakat.

Ketika film Ayat-Ayat Cinta diikuti oleh film Ketika Cinta Bertasbih tayang di bioskop, saya berpikir bahwa hal ini hanya tren sementara saja. Namun saya salah besar.

Perubahan arus perkembangan Islam dan imajinya berkembang jauh lebih pesat. Pada awal tahun 2014, saya menjalani Program Magang Nusantara (program Kelola) di

Selasar Sunaryo Art Space selama tiga bulan. Saat-saat magang itulah film 99 Cahaya di Langit Eropa hadir dan mengganggu saya dengan pencitraan Islam yang dihadirkan.

Film 99 Cahaya di Langit Eropa sangat membuka mata saya bahwa dunia berubah, wajah Islam dan pencitraannya di masyarakat dan industri mulai melesat ke tempat yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Begitu juga dengan kota Bandung, banyak tulisan kos-kosan yang khusus menerima perempuan Muslim. Satu kali ketika berjalan di area Car Free Day Bandung, anak-anak muda HTI kampanye anti pluralisme dan anti

3Ariel Heriyanto. Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya Layar Indonesia. : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2015. Hal 79-80.

5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

demokrasi sambil berdemonstrasi. Saya tercekat. Sepuluh tahun sejak pertama kali saya mengenal gerakan Rohis, efeknya baru terasa meluas dan massif.

Pada saat itulah saya mulai membayangkan kembali pengalaman represi atas nama Perda Syariah Padangpanjang, Sumatera Barat, di tahun 2009. Saya melepas jilbab pada saat jilbab dan citra soleha pada perempuan Muslim makin melekat.

Akibatnya dari yang tadinya dituduh ikut aliran, membuka jilbab membuat saya distigma, dilecehkan, dan dituduh sudah berpindah agama. Terlebih karena saya melanjutkan kuliah di kampus milik Yayasan Katolik.

Sementara itu saya sendiri mengalami shock culture ketika berhadapan dengan

‘perbedaan’ (adat istiadat, ras, suku, dan agama). Gejolak ini rasa-rasanya tercurah pada saat menonton film-film Islam (terutama dengan latar luar negeri).Sama seperti halnya saya yang merantau ke Bali dan Jawa, inferior dan phobia terhadap yang lain sekaligus.

Sehingga ketika menonton film yang disematkan kepadanya nilai-nilai keislaman, dakwah, dan transformasi menjadi Muslim yang utuh (kaffah) dalam perjalanan merantau, saya justru ingin berpaling. Saya seperti melihat cermin diri yang dulu sudah saya tanggalkan dihadirkan di depan mata secara vulgar. Saya ingat sekali ketika menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa (Guntur Soeharjanto, 2014) tidak bisa saya lanjutkan hingga selesai. Ini menjadi pengalaman pertama saya untuk berhenti menonton hanya pada beberapa menit pertama saja. Terlebih film yang harusnya saya sukai, yaitu ‘film jalan-jalan’ (ke luar negeri).

Narasi yang dihadirkan oleh film 99 Cahaya di Langit Eropa ini bukan sesuatu yang asing, ia begitu sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Narasi Muslim di luar negeri, stigma Barat terhadap Islam, idealisasi seorang Muslim, dan pertengkaran persoalan halal-haram tidak pernah absen di film-film bernuansa Islam. Hampir di

6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

banyak film bernuansa Islam, topik-topik seperti ini selalu muncul. Pantulan narasi di dalam genre film Islam berlatar luar negeri seolah mengamini dan mendukung mental inferior saya ketika berhadapan dengan dunia asing yang ingin ditemui.

Film Ayat-Ayat Cinta tak sendiri, ia diulang dan diikuti (menjadi tren) oleh film sejenis dengan image yang populer hingga hari ini. Mulai dari film Ketika Cinta

Bertasbih, 99 Cahaya di Langit Eropa (sekuelnya hingga empat film), Haji Backpacker, dan Assalamualaikum Beijing memiliki banyak kesamaan. Eric Sasono mengatakan bahwa ini adalah film yang mengimajinasikan Muslim transnasional.4 Ia memiliki ciri- ciri kosmopolit, akan tetapi justru menebalkan identitas tertentu. Benarkah bisa kita namai dengan Muslim kosmopolit?

Genre film Islam ini mendapatkan cap ‘film populer’ atau ‘budaya populer’ dikarenakan begitu massif dan populis penyebaran serta isu yang dihadirkan. Sesuatu yang populer tidak begitu saja berjarak dari masyarakatnya. Ibarat cermin, film dapat membantu kita untuk melihat masyarakat dan imajinasi yang sedang dibangunnya.

Imajinasi apa yang sedang direpresentasikan, dihadirkan, diinginkan, dan didambakan, sekaligus ditolaknya? Patut dicurigai bahwa gambaran kosmopolitanisme dipinjam hanya untuk melegitimasi narasi politis agar diakui dan kemudian merasa berhak untuk menaklukkan kembali (Barat)? Namun, apakah narasi seperti ini selalu hadir di dalam film Islam yang berlatar luar negeri? John Storey mengutip dari Maltby mengenai perspektif melihat budaya pop sebagai dunia impian kolektif, sebagai berikut:

Kalau hal ini disebut kejahatan budaya pop karena merampas angan-angan kita kemudian mengemas dan menjualnya kembali pada kita, maka ia juga adalah prestasi, budaya pop telah membawa kita pada berbagai angan selain pada angan yang sudah kita kenal.5

4https://ericsasono. wordpress.com/2015/01/03/mencatat-film-indonesia-2014-bagian-1/ (diakses 03/01/2015) 5John Storey. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies.Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003. Hal 17.

7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam perspektif melihat budaya populer, kajian budaya sering memakai pendekatan strukturalisme (dan turunannya) untuk melihat struktur narasi yang memproduksi wacana. Strukturalisme dan post-strukturalisme tidak menempatkan budaya pop pada perspektif budaya massa dengan pendekatan moralistik. Ada ruang kritik untuk pembaca bisa menghindari kontradiksi tekstual tertentu karena budaya pop dilihat sebagai mesin ideologis yang mereproduksi ideologi dominan tertentu.6

Penelitian ini melihat beberapa film Islam yang berlatar luar negeri di era pasca-

Orde Baru. Dengan tujuan mengetahui kecenderungan sistem/struktur naratif dalam membangun/membentuk sebuah tren naratif tertentu dalam film genre Islam yang berlatar luar negeri. Kemudian menelaah Muslim seperti apa yang sedang dihadirkan dan direpresentasikan. Begitu juga situasi politis dan global apa yang memengaruhi imajinasi Muslim di film-film tersebut.

Penelitian ini mengkhususkan empat film sebagai sumber utama objek penelitian.

Pertama, film Ayat-Ayat Cinta (, 2008) berlatar Kairo, Mesir.

Kedua, 99 Cahaya di Langit Eropa part 1 dan 2 (Guntur Soeharjanto, 2014/2015) berlatar Austria, Perancis, Spanyol, dan Mekkah, Arab Saudi. Ketiga, Haji Backpacker

(Danial Rifki, 2014) memilih sembilan negara menuju Mekkah dengan jalur darat (Jalur

Sutra). Keempat, Assalamualaikum Beijing (Guntur Soeharjanto, 2014) memilih Jakarta dan sebagai latar utama film.

Empat film ini memilih ragam luar negeri yang kompleks. Mulai dari , Timur

Tengah, hingga Eropa. Film-film tersebut dianggap cukup mewakili perbincangan mengenai film Islam yang membicarakan isu-isu kosmopolit. Pengaruh film ini begitu

6Ibid.,hlm. 17.

8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

besar bagi kaum muda Islam perkotaan.7 Saya sering mendengar seseorang memutuskan berjilbab setelah menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa. Empat film ini menjadi favorit, dipuja, dan menjadi patron untuk kisah cinta sebagian penontonnya. Mereka ingin mengalami kisah cinta seperti Fahri, Hanum, dan lainnya. Kisah cinta/romantisme dalam koridor Islam.

Dalam kritik film, baik independen dan akademis, perbincangan mengenai isu/konten film-film tersebut begitu ramai. Tak sedikit pula kritikus film menanggapi perkembangan genre film yang sarat nuansa Islam berlatar luar negeri ini dengan sinis.

Film genre ini dianggap tidak berkembang, baik secara capaian visual ataupun narasi.

Dalam suatu wawancara dengan Cinema Poetika8, Hikmat Darmawan mengatakan bahwa ia sudah tidak tertarik membahas film-film dengan isu keislaman. Menurut

Hikmat, tidak ada lagi yang bisa dibicarakan dari film genre tersebut. Berikut kutipan pernyataan Hikmat:

Beberapa kali saya juga sempat menulis tentang film Islam di majalah Madina. Mendingan, tulisan-tulisan itu saya kumpulkan terus saya jadikan buku, dengan tema “Film Islam di Indonesia”. Tinggal tambah tulisan pengantar, pendahuluan, jadi deh satu buku. Tapi kalau saya terus- terusan menulis tentang itu di media, hmm, saya kan bukan kritikus khusus film-film Islam. Saya nggak mau terjebak di situ juga. Setidaknya secara 9 pribadi, saya sudah tidak tertarik lagi (tertawa).

Membicarakan film (populer) seringkali hanya diwakilkan oleh pembahasan aspek kultural sosial, politis, dan ekonomi seperti kritik film yang ditulis Hikmat

Darmawan, Eric Sasono, Ariel Heryanto, dan lainnya. Maraknya ilmu humaniora yang mulai membicarakan medium film dalam perannya sebagai artefak budaya, membuat

7Hariyadi, “Islamic Films and Identity: The Case of Indonesian Muslim Youths”. Di dalam prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Etnicity and Globalization”. 8Cinema Poetica merupakan sebuah situs online berbasis di Indonesia yang mengkhususkan film sebagai subjeknya. 9http://cinemapoetica.com/hikmat-darmawan-kritik-film-bukan-pemandu-belanja/ (diakses 26 April 2016)

9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penelitian ini dapat dilihat dari beragam aspek sosial budaya. Sayangnya, penelitian mengenai film tersebut hanya selesai pada pemaknaan simbolik. Beberapa sudah memperlihatkan latar ekonomi politik yang melatarinya, namun masih gagal ‘menamai’

Muslim yang sedang dibicarakan di dalam film-film itu. Sehingga wajar jika Hikmat

Darmawan merasa tema ini tidak menarik lagi (mandeg). Dari berbagai macam penelitian tema yang ada, saya masih melihat beberapa hal belum terurai dari kritik atas film ini.

Empat film ini begitu berlimpah dengan penanda simbolik mengenai kejayaan

Islam di masa lalu. Bagaimana memaknai ini agar tidak terjebak dalam kritik normatif?

Mancanegara tampil eksotis sebagai latar cerita, mengusung berbagai ‘fakta’ sejarah

Islam. Persis seperti kita melihat acara turisme sejarah Islam di berbagai belahan dunia ketika bulan puasa. Klaim soal kejayaan Islam di masa lalu di berbagai tempat dihadirkan begitu intens. Bangunan megah, penemuan teknologi, dan ahli/pemikir Islam dimunculkan secara bersamaan. Namun, seringkali kesan kejayaan Islam di masa lalu diakhiri dengan semacam penyesalan dan kekecewaan. Bahwa sejarah telah berlalu dan tak bisa ditemui lagi, yang ada hanya jejak kejayaannya. Klaim kejayaan dibalut oleh rasa kehilangan yang khas. Dibumbui penokohan berkarakter saleh dan ideal dalam pergaulan internasional. Muslim seperti apa yang sedang kita saksikan di dalam tren film Islam semacam ini? Penamaan Muslim kosmopolit dalam berbagai kritik film tematik ini, masih belum cukup kuat untuk mewakili sosok Muslim yang dihadirkan di film-film tersebut. Pengalaman kehilangan apa yang sedang mereka nikmati sehingga menciptakan film-film tertentu (secara terus-menerus). Khususnya pada pengalaman kehilangan akan kejayaan Islam di masa lalu. Pengalaman kehilangan ini menjadi fokus penelitian dengan menggunakan pendekatan kritis estetika melankolia.

10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Tema Penelitian

Menyoal tren narasi film Islam berlatar luar negeri dalam perwujudan narasi wacana pascakolonial yang membentuk imajinasi Muslim melankolik.

2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, perlu merumuskan fokus pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Tren narasi film seperti apa yang dibangun dalam beberapa film yang telah

dipilih sebagai objek penelitian?

2) Bagaimana model/tren narasi tersebut membangun/membicarakan imajinasi

wacana Muslim melankolik?

3) Islam atau Muslim seperti apa yang dikonstruksi melalui narasi film tersebut?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini menjawab beberapa pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah di atas. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang ragam kritik estetis film dalam melacak sebuah tren naratif salah satu genre film Indonesia. Terkait dengan tren narasi dari film-film populer Islam Indonesia berlatar luar negeri di suatu masa tertentu.

Sehingga memberi pemahaman berbeda dan masukan pada perkembangan film populer

Indonesia. Serta dapat memberi masukan dalam cara pandang berbeda atas kritik film dan dialektika narasi Muslim melankolik sebagai masyarakat pasca-Orde Baru sekaligus pascakolonial.

11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4. Relevansi Penelitian

Kritik film merupakan salah satu kajian yang berada di bawah payung studi humaniora dan kajian budaya. Kajian budaya sebagai ruang lingkup tidak membatasi diri dari wacana dan relasi yang dihadirkan sebuah teks budaya, termasuk budaya populer. Teks budaya (populer) mempunyai struktur penting dalam mewujudkan makna. Untuk itu penelitian ini diharapkan menambah ragam perspektif melihat film sebagai sebuah mesin yang mempunyai bentuk dan struktur keseluruhan yang bisa dikenali dengan mengurainya dari sudut pandang naratif film. Sebagai sebuah mesin yang bertubuh, film mereproduksi pantulan/refleksi atas kondisi sosial masyarakat tempat ia dilahirkan. Dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia, yang selain pasca-

Orde Baru, juga pascakolonial. Kebertubuhan terhadap isu wacana kolonial (serta neokolonial) dapat ditemui pada film sebagai produk budaya. Pertanyaan-pertanyaan terkait kebertubuhan ini dibicarakan melalui aspek karakteristik struktural-estetis film.

Subjek penelitian merupakan fenomena yang berkembang luas/populer dan masih terus direproduksi hingga saat ini. Sifatnya yang massal dan seragam menjadikan budaya populer mempunyai kecenderungan merepetisi wacana dan tren tertentu di dalam masyarakat. Hal ini dimaknai dalam berbagai macam sudut pandang kajian keilmuan, terkhusus kajian film sebagai salah satu pintu masuk penelitian kajian budaya di Indonesia. Sehingga penting untuk melihat bagaimana posisi penelitian ini di dalam ruang dialektika penelitian sebelumnya.

5. Tinjauan Pustaka

Dihidupi oleh beragam suku, agama, etnis, budaya, dan sikap politis masyarakatnya, Indonesia mempunyai potensi besar untuk diperbincangkan pada

12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

produk budaya yang bernama film. Banyak genre film telah lahir dari tangan dingin sineas Indonesia. Film Islam adalah salah satu yang kemudian menjadi isu hangat dan banyak dibicarakan serta dikupas dari beragam sudut pandang. Sangat mustahil pernyataan mengenai orisinalitas tema penelitian ini secara keseluruhan. Untuk itu penting melihat hasil penelitian sebelumnya agar tidak terjadi pengulangan yang sama.

Orisinalitas penelitian akan ditemukan dengan menelisik lebih jauh sudut pandang yang berbeda. Pada tiga sub-bab tinjauan pustaka ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu dan posisi penelitian ini di antara penelitian yang sudah ada.

5.1 Komoditas Film Islam Populer dalam Negosiasi Politik dan Ekonomi

Sebagai sebuah film populer yang sering direpetisi dan masih terus direproduksi, tentunya penting untuk melacak konstruksi narasi secara teknik sinematografis dan historis style dan narasi yang dipakainya. Film sebagai artefak budaya seringkali dibahasakan (dibaca, diteliti, dan dikritisi) dalam konteks sosial budaya dan politik.

Aspek formal film sebagai sebuah karya seni yang melibatkan kolaborasi tema, narasi, dan style filmis menjadi terabaikan. Bahwasanya pengabaian terhadap aspek formal tersebut dapat dirunut dari penelitian A Cultural Economy of the Contemporary

Indonesian Film Industry oleh Thomas Alexander Charles Barker. Penelitian ini merupakan penelitian yang lebih luas mengenai industri perfilman Indonesia kontemporer pasca-Orde Baru. Tesis Barker di National University of Singapore (2011) mencatat perkembangan film Indonesia dari beragam genre, salah satunya adalah genre film populer Islam. Pembahasan Barker pada bab ini menjelaskan film Islam sebagai bentuk representasi dan artikulasi keislaman yang berbeda/beragam jika dibandingkan dari film Islam sewaktu rezim Soeharto. Barker menyimpulkan bahwa kebebasan

13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pembuat film mengartikulasikan Islam harus bernegosiasi dalam arena pertarungan logika ekonomi kapitalistik dan oligopoli nonformal. Barker baru menyentuh film Islam populer dari sudut pandang umum dan politis.

Kuasa dalam Sinema, Negara, Masyarakat, dan Sinema oleh Krishna Sen dapat memberikan gambaran umum mengenai bagaimana situasi perfilman Indonesia dan karakteristik form filmis secara umum di masa Orde Baru. Krishna Sen mengungkapkan bahwa hampir semua film yang diproduksi di era Orde Baru memiliki struktur naratif yang bergerak dari kekacauan, kemudian ke pengembalian tatanan tersebut.

Karakteristik formal ini tidak tergantikan oleh perbedaan tema, genre, atau atribut estetik lainnya. Meskipun begitu, Krishna Sen juga melihat adanya narasi berseberangan dari form filmis yang umum. Penelitian Krishna Sen setidaknya memberikan gambaran historis dari sikap politis dan perkembangan perfilman Indonesia di era Soeharto. Serta memberikan aspek sudut pandang dalam melihat karakteristik formal film seperti penelitian yang saya lakukan. Beberapa tulisan yang layak dijadikan sumber referensi untuk memahami perkembangan film Indonesia selain dari Krishna

Sen adalah 100 Tahun Sejarah Bioskop di Indonesia oleh HM. Johan Tjasmadi (2008).

Gender and Islam in Indonesian Cinema (2017) oleh Alicia Izharuddin fokus pada kesalehan dan dakwah atas film Islam dengan kacamata studi gender. Terutama menyangkut representasi perempuan dan relasi gender oleh film Islam pasca-Orde Baru.

Begitu juga dengan Representasi Perempuan dalam Film Bernuansa Islami yang ditulis oleh Syiqqil Arofat sebagai tesis di Magister Universitas Indonesia. Secara umum, hasil penelitian ini membicarakan representasi perempuan (dalam lima film) yang hadir dalam relasinya dengan struktur sosial lainnya (perempuan sebagai anak, ibu, istri, pekerjaan, dll). Representasi perempuan dalam film dilihat dari aspek naturalisasi

14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perempuan dan laki-laki seperti halnya studi kasus gender (pada umumnya). Akan tetapi, seperti kebanyakan penelitian mengenai film Islami lainnya, tesis ini (juga) luput melihat aspek relasi kuasa (negara, politik, ekonomi, dll) yang menjadi latar belakang lahirnya representasi perempuan tertentu (dan terus-menerus diulang) dalam film Islam.

Sehingga kesimpulan penelitian melihat fenomena hegemoni dalam film Islam seolah- olah muncul begitu saja.

5.2 Film Islam dan Identitas (Anak Muda) Muslim

Terdapat beberapa paper yang ditulis oleh Hariyadi, mahasiswa program PhD di

Asian Studies, The University of Western Australia, mengenai film Islam, yaitu,

“Finding Islam in Cinema: Islamic Film and the Identity of Indonesian Muslim Youth”.

Kemudian, “Islamic Movies: Propagating Islam to the Youth in Indonesia” dan “Islamic

Popular Culture and the New Identity of Indonesian Muslim Youth”. Dari ketiga paper ini, pembahasan Hariyadi pada film Islam mengenai identitas pemuda/i Muslim di

Indonesia. Film menjadi salah satu bagian dari pembentukan identitas pemuda Muslim dinilai dari fungsinya yang mampu mempropagandakan isu tertentu. Fokus penelitian

Hariyadi pada penonton (pemuda) di Yogyakarta dan Bandung mengenai negosiasi mereka terhadap film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Haryadi belum menyentuh aspek estetis film sebagai sebuah karya seni.

Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia

(2015). Dalam dua bab pertama buku ini, Ariel Heryanto melihat bahwa film populer

Islam merupakan bagian dari wacana post-Islam dan Islamisasi di Indonesia pasca-Orde

Baru. Penelitian Ariel mengenai hal ini merupakan pemetaan terhadap sikap politis dalam film Islam di arena historis perfilman Indonesia. Kemudian Budaya Populer di

15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Indonesia, Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru (2012) oleh Ariel Heryanto (ed).

Buku ini memperbincangkan identitas pasca-Orde Baru dalam budaya populer di

Indonesia. Jelas penelitian Ariel penting sebagai landasan awal untuk melihat medan politis film Indonesia dan menempatkan film Islam di dalam arena tersebut.

5.3 Transnasional dalam Arus Post-Islamisme

Beberapa penelitian Eric Sasono berikut menarik untuk melihat film Islam dari sisi yang berbeda. Islamic-Themes Films in Contemporary Indonesia: Comodified

Religion or Islamizazion? (2010), “Muslim Sosial dan Pembaharuan dalam Beberapa

Film Islam di Indonesia” (makalah diskusi di Salihara, 2011), The Raiding Dutchmen:

Colonial Stereotypes, Identity, Islam in Indonesian B-Movies (2014). Catatan Eric

Sasono di blog personalnya10 mengenai film Islam yang dalam istilah Eric Sasono sebagai perkembangan lintas nasional arus post-Islamisme. Eric melihat film Islam yang berlatar luar negeri sebagai momentum baru: hasrat lintas nasional. Hipotesis Eric

Sasono berdasar pada konsep imagined communities Bennedict Anderson. Letak perbedaannya dengan penelitian saya adalah dari titik berpijak. Eric hanya berpijak pada pemaknaan film sebagai artefak budaya. Sementara pijakan saya akan bermula dari aspek formal film. Melihat karakteristik narasi genre film (Islam) yang mengusung latar luar negeri dengan imajinasi ‘kosmopolit’. Yang kemudian saya analisis dalam narasi pascakolonial. Perbedaan titik pijak penelitian ini memungkinkan hasil penelitian yang lebih konkret dan mampu membaca corak tren film Islam dengan negosiasi kosmpolitannya.

10Blog Eric Sasono beralamat di https://ericsasono.wordpress.com/2015/01/03/mencatat-film- indonesia-2014-bagian-1/ diakses pada 03/01/2015

16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Wasisto Raharjo Jati dalam Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (2017).

Jati menelaah perkembangan Muslim kelas menengah Indonesia era modern. Buku ini merumuskan kembali kemunculan kelas menengah Muslim dan Islam populer yang berkelindan dengan budaya konsumsi sebagai faktor pembentuk identitas mereka. Hal ini juga dihubungkan dengan kesalehan dan keimanan dalam menyikapi produk budaya populer yang sedang berkembang. Penelitian ini sangat membantu saya dalam memahami perkembangan kelas menengah Muslim Indonesia hari ini. Perlu meninjau dinamika dan gaya hidup kelas menengah di kota-kota besar di Indonesia seperti yang ditulis oleh Gerry van Klinken dan Ward Berenschot (ed) di dalam In Search of Middle

Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Menengah (2016). Begitu juga dengan penelitian Khairudin Aljunied dalam Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective (2017). Aljunied meneliti perkembangan Muslim kosmopolitan di kawasan Asia Tenggara melalui pasar global yang banyak disumbang oleh kaum hijabers. Aljunied juga memandang perkembangan Muslim kosmopolitan dari berbagai sisi yang melingkupinya di kawasan Asia Tenggara. Hal ini saya perlukan untuk bisa melihat perkembangan Muslim kosmopolitan dengan lebih luas.

Adrian Jonathan Pasaribu, dkk., di dalam Merayakan Film Nasional (2017). Buku yang terbit untuk memperingati Hari Film Nasional 2017 ini berusaha merumuskan apa itu film nasional hari ini. Buku ini merangkum sejarah perkembangan perfilman

Indonesia sejak medium film itu diperkenalkan di Hindia Belanda. Salah satu yang pembahasan menarik dari Hikmat Darmawan dalam sub pembahasan “Film Nasional

Dalam Dunia Pasca-Nasional”. Tulisan Darmawan dan yang lainnya di buku ini membantu saya untuk merumuskan perjalanan panjang sejarah film Indonesia yang berusaha memandang Indonesia hari ini dan tantangan yang akan dihadapinya. Dalam

17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bagian ini, Darmawan merumuskan pembahasan istilah Pasca-Indonesia (Romo

Mangunwijaya) dan Pasca-Nasional oleh Seno Gumira Ajidarma dalam orasinya mengenai persoalan identitas film nasional. Simpulan dari tulisan Darmawan adalah pada masa 2000-an dengan adanya lanskap kosmopolitan, beragam, dan kontemporer mengesankan adanya sebuah “Indonesia baru”. Wacana Indonesia baru seringkali berkelindan dengan politik identitas yang semakin menguat. Tulisan Darmawan tadi menjadi menarik untuk ditelaah lebih jauh mengenai wacana Pasca-Nasional. Wacana

Pasca-Nasional ini sangat berhubungan dengan wacana kosmopolitanisme yang menjadi salah satu pembahasan penelitian ini.

6. Kerangka Teori

Di dalam kajian budaya, budaya pop memiliki cakupan yang lebih luas dari sekadar sebuah hiburan dan pengisi waktu senggang. Budaya pop seperti yang dikutip

John Storey dari Hall adalah sebuah situs di mana “pemahaman sosial kolektif tercipta”.

Ia terlibat dalam “politik penandaan” sebagai upaya untuk menundukkan para pembacanya pada cara pandang tertentu tentang dunia.11 Pemahaman sosial kolektif dapat dilihat dari struktur di dalam teks budaya populer yang lazim digunakan oleh cara pandang strukturalisme dan turunannya. Struktur tidak hanya dipandang sebagai struktur binarinya, tetapi juga struktur narasinya.12

Cara pandang strukturalisme ini mengambil dua ide dasar Saussure. Pertama, perhatian pada hubungan yang mendukung teks dan praktik budaya, yaitu ‘tata bahasa’ yang memungkinkan makna. Kedua, pandangan bahwa makna selalu merupakan hasil dari hubungan seleksi kombinasi yang dimungkinkan terjadi di dalam struktur yang

11John Storey. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003. Hal 7. 12Ibid, hal 112

18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendukungnya. Aturan dan konvensi (struktur) inilah yang mengatur penciptaan makna

(parole).13 Film sendiri menurut Robert Stam merupakan langue tanpa parole karena makna sebuah film bersifat arbiter (mana suka), pemaknaannya bisa beragam di penonton.14 Untuk itu kritik film dimungkinkan. Di dalam film genre, konvensi struktur/sistem inilah yang kemudian akan dilihat untuk meneliti sejauh mana ia memiliki kesamaan satu sama lainnya.

Penelitian ini menggunakan dua kerangka teori utama. Teori pertama menggunakan tiga tingkat makna Roland Barthes. Teori ini digunakan untuk menganalisis film sebagai teks visual. Teks visual film dimaksudkan untuk menemukan sequens, scene atau adegan penting yang bisa digunakan untuk pembedahan lebih lanjut. Baik pesan yang terlihat maupun tidak. Untuk kemudian bisa dilacak makna simbolis. Dari makna simbolis ini kita bisa menarik makna filmis (tingkat ketiga).

Sehingga bisa dianalisis menggunakan pisau bedah kedua yang lebih luas. Pisau bedah kedua adalah analisis wacana menggunakan konsep melankolia.

6.1 Tiga Tingkat Makna

Dalam buku Imaji Musik Teks15 Roland Barthes membedah scene (adegan) dari film Ivan the Terrible melalui tiga tingkat makna. Barthes membedah satu scene pada film ini menggunakan tiga lapisan makna yang disebut juga dengan tiga tingkat makna.

13Ibid, hal 109 14Robert Stam. New Vocabularies in Film Semiotic. London: Routledge, 1992. 15 Roland Barthes. Imaji Musik Teks. Yogyakata: Jalasutra, 2010. Hal 41. Judul lengkap buku ini adalah Imaji Musik Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra oleh Roland Barthes (Esai-Esai Terpilih dan diterjemahkan oleh Stephen Heath).

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6.1.1 Makna Tingkat Pertama (Lapisan Informasional)

Makna tingkat pertama disebut juga tingkat komunikasi atau informasi. Analisis tingkat pertama bertujuan untuk mendapatkan pesan dengan melakukan pencatatan terhadap informasi atau pengetahuan dasar yang dimiliki oleh film tersebut.

Pengetahuan dasar ini menjadi landasan komunikasi antara sineas, sesama penonton, serta dialog dengan diri sendiri (si peneliti/penonton). Informasi dasar tersebut adalah segala sesuatu yang bisa dicerap dari latar (setting), kostum, tata letak, karakter, kontak, atau relasi yang terjadi di antara pelaku, serta gerak laku tokoh berupa anekdot yang bisa langsung terlihat (sekalipun tidak langsung).

Barthes menyebut lapisan informasional ini sebagai semiotika tingkat pertama, yakni membedah ‘pesan’ yang terdapat di dalam lapisan informasional tersebut. Barthes membedakan ‘pesan’ dengan pesan. Pesan dengan tanda petik dimaksudkan untuk pesan dalam pengertian hal-hal informatif dan komunikatif. Dalam semiotika, makna tingkat pertama ini disebut juga makna denotatif.

Bersifat sebagai lapisan dasar atau informasional, analisis makna tingkat pertama ini akan diuraikan pada bab 2. Dengan pembedahan secara umum atas latar, penokohan, relasi antar tokoh, tata rias busana, pemilihan gaya bahasa, dan musik atas keempat film yang diteliti.

6.1.2 Makna Tingkat Kedua (Lapisan Simbolis/Neo-Semiotika)

Penelitian tingkat kedua merupakan tahap penafsiran pesan dengan menggunakan pendekatan neo-semiotika/ilmu simbol. Analisis tingkat ini disebut juga sebagai tahapan simbolik yang bersifat konotatif. Tahap simbolik ini terdiri dari empat tahap, yaitu; simbolisme referensial, merupakan simbol-simbol acuan yang terlihat jelas. Kedua,

20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

simbolisme diegetik, semacam sudut pandang (pemaknaan tertentu) yang ingin diperlihatkan. Ketiga, simbolisme Eisenteinian, disebut juga simbolisme khas SME

(Sergei Mikhailovic Eisenstein), dalam padanan lain disebut juga sebagai makna ideologis. Keempat, simbolisme historis.

Tingkat kedua ini bertujuan mencari signifikasi/penanda melalui petanda yang sudah diperoleh pada tingkat pertama. Disebut juga semiotika tingkat kedua atau neo- semiotika. Semiotika tingkat kedua, mengupas pesan dari beberapa ilmu (psikoanalisis, ekonomi, dramaturgi) yang berurusan dengan simbol. Artinya pesan bisa dimaknai dengan menggunakan kerangka teoretis lainnya. Pemaknaan ini bersifat kritik ideologis dan historis untuk menemukan pesan yang terkandung di dalam film.

Makna simbolis mempunyai dua sifat, yakni intensional (langsung/kelihatan karena makna inilah yang mau diperlihatkan oleh kreator) dan menggunakan simbol- simbol yang sudah umum.16 Makna simbolis berhulu pada SME (Sergeri Mikhailovich

Eisenstein) dan bermuara pada subjek yang membaca-tafsir. Makna simbolis ini disebut juga makna yang jelas terlihat (obvius meaning) disebabkan maknanya lebih natural.

6.1.3 Makna Tingkat Ketiga

Pada tingkat ketiga, Roland Barthes memakai teori signifiance sastra pada film, yaitu mencari unsur filmis. Filmis di sini belum tentu berada di dalam film, ia bisa berdiri sendiri di luar film seperti novelistik di luar novel. Filmis berada di luar bahasa

(di mana muncul ‘pesan’) dan berada di luar meta bahasa (di mana muncul signifikasi dan ideologi).17 Hal ini bagi Barthes dapat berfungsi sebagai kritik atas film dengan mencari hal filmis.

16Ibid, hal 44 17 Ibid, hal 56

21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Filmis dimulai ketika bahasa dan metabahasa berakhir. Orang menemukan bentuk baru tanpa tahu isinya. Disebut juga sebagai makna obtusus (the obtuse meaning) yaitu makna yang masih tumpul. Mengandung arti yang masih samar-samar. Makna obtusus ini mempunyai kekuatan denaturalisasi, signifier (bersifat kosong), dan berfungsi sebagai aksen.18 Filmis dapat berarti momen di mana seseorang berhenti dan ingin kembali.

Proses dalam analisis film pada makna ketiga mengandaikan bahwa analisis film tidak sekadar berhenti pada deskripsi tentang proses signifikasi, melainkan juga pada penciptaan narasi kita sendiri. Sehingga sebagai peneliti film, kita dituntut tidak hanya bicara tentang film, akan tetapi berbicara dalam dan lewat film.

Makna ketiga merangsang baca-tafsir yang bersifat interogatif (jadi, proses interogasi justru dilakukan pada penanda bukan petanda, atau pada aktivitas menafsir itu sendiri bukan pada intellection: ia menuntut pencerapan ‘puitis’). Jika dua lapisan pertama berurusan dengan komunikasi dan pertandaan, lapisan ketiga ini (sekalipun baca-tafsir terhadapnya masih samar-samar) berurusan dengan signifiance, suatu istilah yang berurusan dengan wilayah penanda (bukan pertandaan) dan ada kaitannya dengan semiotika teks.

Roland Barthes fokus pada makna kedua (pertandaan/signification) dan makna ketiga (signifiance). Maknanya ‘terlalu berlimpah’ tidak terserap dengan baik oleh pikiran (intellection), makna menghilang dengan cepat, licin, dan susah ditangkap, disebut juga dengan makna yang tumpul (obtuse meaning). Makna yang bersifat suplementer. Kata obtuse sendiri berarti sesuatu yang dibuat tumpul, informasi yang kabur. Obtuse meaning melempar kita pada wilayah ketakberhinggaan makna. Bisa

18Ibid, hal 46-55

22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diartikan dengan bahasa peyoratif: bisa meluas ke wilayah selain budaya, pengetahuan, atau informasi. Namun, bisa juga sebaliknya, justru hal-hal yang remeh.19 Akan tetapi, makna yang remeh-temeh, tak berarti, sumbang, pastiche tersebut sebagai makna yang tumpul merupakan suatu karnaval atau perayaan makna.

Untuk menguraikan makna simbolis ini dilanjutkan dengan mencari makna filmis yang secara lengkap akan dijabarkan pada bab 3. Makna ketiga ini akan dibantu dengan teori psikoanalisa Lacanian dengan meminjam konsep objek a sebagai filmis.

6.2 Melankolia dalam Narasi Pascakolonial

Secara estetis, situasi sosial politik dapat berpengaruh pada naratologi sebuah film. Kerangka teori ini saya anggap mampu menguraikan bagaimana cara kerja estetika film yang tumbuh dan berkembang di dalam dinamika perubahan tradisi budaya

(populer) di Indonesia. Selain itu, kerangka teori ini penjembatan untuk mengenali karakteristik estetis sebuah film genre (Islam) yang terbentuk dari dinamika sosial masyarakat Indonesia yang selain pasca-Orde Baru, juga pascakolonial. Teori ini digunakan untuk menarasikan pengalaman orang-orang yang pernah bersinggungan dengan Islam, Barat, dan kolonial.

Dalam artikelnya “Mourning and Melancholia” (1917e[1915]), Freud menjelaskan mengenai proses depresi yang dialami oleh manusia. Yaitu depresi dalam ruang lingkup kehilangan (loss). Freud membedakan pengalaman kehilangan dalam dua hal, mourning (ratapan) dan melancholia (kemurungan). Mourning dan melankolia merupakan reaksi orang terhadap pengalaman kehilangan, baik kehilangan sesuatu

(objek) ataupun kehilangan sesuatu yang bersifat abstrak; negara/kota/desa/tanah

19Ibid. Hal 43-45

23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelahiran, kemerdekaan, ideologi, cita-cita, dan sebagainya.20 Freud menghubungkannya dengan subjek neurosis dan narcissistic neurosis. Bahwa subjek neurosis dilandasi dengan pengalaman kehilangan (lost), akan tetapi melankolia sendiri berada di ranah narcissistic21.

Meski sama-sama menyoal kehilangan, mourning dan melankolia mempunyai perbedaan. Freud menjelaskan bahwa melankolia adalah kondisi kejiwaan diterpa kehilangan akan sesuatu (objek) yang mengakibatkan seseorang merasa kehilangan kepercayaan diri, ketertarikan akan dunia luar, semangat hidup hingga tak bisa beraktivitas seperti biasa.22 Akibatnya, orang terus mengandaikan/membayangkan objek yang hilang. Dalam melankolia, objek yang hilang tak bisa lepas begitu saja. Objek tersebut berada di ruang unconscious dan muncul sebagai ego. Bagi Freud, melankolia adalah penyangga (absorb) ego itu sendiri.23 Subjek tak bisa melepaskan objek tersebut, karena jika ia melepaskannya, ego akan terlepas. Ego sendiri adalah hasil dialektika dari id (hati nurani/keinginan) dan super-ego (norma yang memengaruhi/tatanan sosial/hukum adat atau agama). Ego adalah apa yang berhasil keluar dari menekan id karena super-ego sehingga membuat seseorang mengalami lack (terbelah). Dalam istilah

Lacan, disebut juga split subjek (subjek yang terbelah). Istilah lack (pada Lacan) sama dengan lost (Freud).

Dalam teori psikoanalisa Lacan, ego muncul di ruang simbolik. Objek kehilangan ini muncul dalam bahasa (simbolik), terekspresi dalam simptom (jejak- jejak/residu/penanda). Simptom akan muncul secara berulang/intens, biasanya muncul

20Di dalam artikel Sigmund Freud “Mourning and Melancholia” (1917e[1915]) di buku buku Leticia Glocer Fiorni, dkk. On Freud’s “Mourning and Melancholia”. London: KARNAC, 2009. Hal 19. 21Dalam pengantar buku Leticia Glocer Fiorni, dkk, On Freud’s “Mourning and Melancholia”.London: KARNAC, 2009. Hal 5. 22Ibid. Hal 20. 23Ibid, hal 22.

24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam mimpi, slip of the tongue, bungle action, dan lainnya. Objek a disebut juga sebagai objek yang hilang (the loss object). Objek a selalu bersentuhan dengan imajiner

(liyan) dan simbolik. Objek a muncul sebagai sesuatu yang terlarang, namun dipatuhi dan mengalami kenikmatan (jouissance). Akan tetapi hanya berupa jouissance parsial, kenikmatan yang masih di dalam koridor ‘hukum’.

Identifikasi atas simptom merupakan fenomena patologis. Simptom sebagai jawaban atas lack yang dimiliki subjek. Untuk itu melankolia sendiri bersifat patologis

(trauma/sakit), yang berarti seseorang gagal melakukan perkabungan/gagal meratap

(mourning).

Mourning adalah kondisi kejiwaan di mana seseorang berhasil berkabung sehingga bisa menyelesaikan hubungannya dengan apa yang hilang. Mourning dianggap sebagai proses kehilangan yang normal. Orang yang mengalami mourning berhasil mengatasi kehilangan karena paham akan kehilangannya. Sedangkan dalam melankolia, orang tak pernah selesai dengan kehilangannya. Bahkan orang bisa saja tidak menyadari akan kehilangannya sendiri, yaitu kehilangan akan kehilangan.

Konsep melankolia tak hanya bisa melihat proses kehilangan yang dialami oleh satu orang saja. Melankolia dapat menjelaskan situasi masyarakat yang lebih luas.

Dengan ini kita bisa melihat depresi yang dialami oleh masyarakat (patologis masyarakat). Baik yang sedang berlangsung maupun yang sudah berlalu. Sebagai contoh, kita melihat sebagian besar rakyat Indonesia masih merindukan ‘kembalinya’, merindukan kehadiran Sang Ayah (Orde Baru), Soeharto. Di film ini, kita bisa membaca melankolia sebagian masyarakat Indonesia. Masyarakat yang direpresentasikan adalah masyarakat Muslim kelas menengah Indonesia yang pascakolonial dan pasca-Orde Baru.

25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari hal ini, kita bisa melihat jenis atau pengalaman kemurungan dan kehilangan seperti apa yang selalu muncul dalam film tersebut. Bagaimana pengalaman kehilangan tersebut dibicarakan dan menjadi hasrat yang membangkitkan gairah film. Sehingga kita bisa mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi personal dalam relasi sosial di hadapan relasi kuasa global.

Melankolia dalam virtual diungkapkan oleh Gilles Deleuze. Jon Roffe dalam

“Notes on a Deleuzean Theory of Melancholia: Object, Cinema, World” mengatakan bahwa bagi Deleuze untuk melihat melankolia di dalam film, kita harus menemukan objek penyebab hasrat (the object-cause of desire) yang berkelindan di dalam sistem kerja sinema.24 Deleuze menyebutnya sebagai objek a virtual. Pengertian objek a

Deleuze meminjam pengertian psikoanalisa Lacan, yaitu berupa lack atau loss. Deleuze menyebut objek a virtual sebagai “a shred [lambeau] of the pure past”25 atau residu/jejak/potongan murni dari pengalaman masa lalu. Deleuze mengatakan “Objects a do not act - they give the subsject’s their raison d’etre by virtue of their irreducible insistence”, bahwa objek a bukan bahasa visual/aksi/adegan, tetapi sesuatu yang menjadi alasan dasar/dorongan utama menggerakkan laku dari subjek di dalam film.

Meminjam teori Kant soal subjektivitas dan psikoanalisa (Lacan), Deleuze menyimpulkan bahwa objek a virtual adalah objek parsial.26 Objek a tersebut berasal dari hasrat sosial yang menyejarah, seperti dikutip Roffe dari Deleuze “every investment is social and in any case bears upon a socio-historical field”.27 Deleuze menempatkan hal ini dalam masyarakat kapitalis, yaitu sebagai masyarakat yang

24John Roffe. “Notes on a Deleuzean Theory of Melancholia: Object, Cinema, World” dalam Crisis & Critique volume 3/issue 2; 25Ibid. Hal 149. 26Ibid. Hal 150. 27Ibid. Hal 151.

26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sakit/traumatis/patologis akibat struktur sosial politik. Masyarakat seperti ini turut membentuk struktur subjektivitas.

Kita bisa melihat hal-hal patologis dari masyarakat pascakolonial seperti

Indonesia melalui kacamata melankolia di atas. Dalam film ini berkaitan erat dengan citra Islam dan bagaimana Islam ditempatkan dalam relasi Barat-Timur. Dalam studi pascakolonial, Barat-Timur tak hanya soal pembagian wilayah (belahan dunia), namun berhubungan dengan kacamata Barat menginterpretasi Timur (Islam). Di dalam kajian orientalisme, Barat selalu dipertentangkan dengan Timur. Barat adalah Kristiani dan

Timur adalah Islam. Pertentangan ini berlangsung terus-menerus seperti yang sudah disampaikan Edward W. Said.28 Barat-Islam berkembang menjadi dikotomi konseptual- ideologis sehingga tidak bisa dilepaskan begitu saja.29 Arti Barat yang Kristiani bisa meluas menjadi Barat yang non-Muslim, bahkan ateis. Seiring berjalannya waktu, wacana kolonial ini justru seringkali dipakai begitu saja oleh yang Timur. Wacana ini juga yang banyak digunakan oleh empat film ini dalam memandang Barat dan Islam.

7. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua metode penelitian, analisis tekstual film dan analisis naratif atas wacana pascakolonial. Pertama, analisis tekstual film akan membedah film form melalui sistem narasi (narration) yaitu struktur pembentuk narasi film. Bertujuan untuk melihat sejauh mana teks film dipengaruhi oleh semua struktur (di dalam tubuh film itu sendiri). Struktur formal membentuk film menjadi kesatuan yang bisa dimaknai. Analisis narasi formal inilah yang kemudian bisa digunakan untuk

28Edward W. Said. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur sebagai Subjek.Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2010 29Dr. Komaruddin Hidayat di dalam kata pengantar buku Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memaknai/menginterpretasi wacana film. Narasi dalam film dibedah dengan tiga tingkat makna Roland Barthes.

Kedua, penelitian ini memakai analisis subjek melankolia yang berhubungan dengan subjek narasi pascakolonial dengan pendekatan-pendekatan yang telah dijabarkan pada kerangka teori di atas. Ada pun data primer dari penelitian ini adalah film-film Islam pasca-Orde Baru yang berlatar luar negeri dengan isu ‘kosmopolitan’.

Terdapat empat judul film utama yang akan diteliti, di antaranya Ayat-Ayat Cinta, 99

Cahaya di Langit Eropa part 1-2, Haji Backpacker, dan Assalamualaikum Beijing.

Empat film ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari film sekualnya. Seperti sekual

Ayat-Ayat Cinta kedua dan sekual 99 Cahaya di Langit Eropa berjudul Bulan

Terbelah di Langit Amerika 1 dan 2. Sekual film ini akan dipakai sebagai pelengkap maupun pembanding untuk mendukung data primer penelitian ini.

Data sekunder dibutuhkan dalam penelitian ini. Terdiri dari kajian wacana dan historis yang berkaitan erat dengan topik penelitian. Beserta sejumlah film yang terhubung sebagai pembanding dan pelengkap untuk menjelaskan fenomena penelitian ini.

8. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama adalah

Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tema

Penelitian, Relevansi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Kerangka Teoretis, serta

Metodologi Penelitian. Latar Belakang ditulis berdasarkan pengalaman saya melihat dan mewakili historis perkembangan kelas menengah Islam di Indonesia dari sudut pandang

28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang lebih personal. Pengalaman ini saya tuliskan di latar belakang karena beririsan dengan fenomena penelitian ini.

Bab kedua merupakan data penelitian. Menjelaskan beberapa bagian, pertama, sejarah singkat kemunculan film Islam berbasis isu kosmopolitan. Kedua, deskripsi objek penelitian dan info relevan yang berhubungan erat antara objek penelitian dengan tema penelitian. Ketiga, fenomena yang muncul dalam film-film tersebut melalui makna tingkat pertama, Roland Barthes.

Bab ketiga adalah analisis secara tekstual film melalui makna kedua dan makna tingkat ketiga Roland Barthes. Membedah makna simbolik dan filmis film ini dengan meminjam kacamata psikoanalisa Lacan. Dilanjutkan dengan analisis narasi Muslim melankolik dengan pendekatan subjek pascakolonial dan membandingkannya dengan bab sebelumnya.

Bab keempat adalah penutup. Bab ini menjelaskan jawaban topik permasalahan tesis berikut masukan dan refleksi terhadap penelitian selanjutnya.

29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab II Film Islam: Kemunculan, Wacana, dan Fenomena

Pendahuluan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembahasan tesis ini menyoal perkembangan film bertema Islam yang mulai marak setelah keruntuhan pemerintahan

Orde Baru. Khususnya film bertema Islam yang berlatar luar negeri. Bab ini menjadi pengantar latar belakang situasi sosial politik kelahiran dan perkembangan tematik film ini. Bagian ini berguna khususnya sebagai konteks pembahasan analisis wacana lanjut di bab ketiga. Pembahasan bab ini terlebih dahulu akan mendudukkan permasalahan terminologi mengenai pemahaman istilah film religi, film Islam, film Islami, dan film dakwah.

Banyak perdebatan mengenai pemakaian istilah ini, termasuk klaim mana film yang paling Islami dan yang bukan. Seperti perdebatan Usmar Ismail dan Asrul Sani serta antara Kang Abik dan Hanung Bramantyo (ketika memproduksi film Ayat-Ayat

Cinta).30 Begitu juga dengan perdebatan antara Hanum Salsabiela Rais dan Film Hijab

(2014). Paparan narasi alasan berjilbab dan tidak dalam film Hijab (Hanung Bramantyo,

2014) menuai kritik tajam dari sebagian besar sineas film Islam. Film Hijab dianggap tidak mewakili ‘Islam’ yang sebenarnya. Narasi film Hijab dianggap hanyalah 1% saja dari ‘wajah Muslim’ di Indonesia.31 Kritik tajam yang diterima film Hijab menegaskan

30Ariel Heriyanto (2015). 31https://www.facebook.com/hanumsalsabiela/posts/10153075179644198?comment_tracking=%7B% 22tn%22%3A%22O%22%7D&pnref=story# diunggah Januari 2015 Komentar Hanum Rais (Produser film 99 Cahaya di Langit Eropa) di akun Facebook miliknya mengatakan: “…rakitan-rakitan adegan yang menunjukkan kemunafikan orang mengaku Islam begitu ditonjolkan di sini, tanpa memberi ruang pada 99 persen Muslim kebalikannya. Film ini, (yang akhirnya saya baru tahu ya elah sutradaranya orang JIL) pada akhirnya hanya ingin

30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adanya dominasi wacana keislaman tertentu yang dianggap ‘benar’ atau ‘syari’. Ada dua hal penting dari kejadian ini, pertama, persoalan dominasi model keislaman tertentu dalam sebuah film yang dianggap Islami dan tidak Islami. Kedua, persoalan pengulangan atau repetisi terhadap film-film yang mendominasi wacana keislaman yang dianggap Islami tadi. Jika kita bandingkan secara keseluruhan dalam aspek narasi dan bahasa sinematik terhadap film bernuansa Islam yang dianggap lebih syari dan tidak, apakah ada perbedaan yang mencolok atau tidak?

Dalam bab kedua penting menguraikan perkembangan film Islam populer dan tema Muslim kelas menengah kosmopolitan yang sering diulang oleh film (Islam)

Indonesia saat ini. Apa yang melandasi perkembangan isu-isu kosmopolitan yang sering dibawa oleh identitas Muslim kelas menengah saat ini. Perkembangan isu tersebut kita bedah lebih jauh dari empat film yang menjadi objek penelitian ini; Ayat-Ayat Cinta, 99

Cahaya di Langit Eropa, Haji Backpacker, dan Assalamualaikum Beijing. Tema apa saja yang sering muncul dalam film-film tersebut. Dengan mengambil objek penelitian empat film sekaligus, tentu penting untuk menelaah benang merah film yang menjadikannya layak untuk diteliti lebih jauh. Penjelasan informatif mengenai data formal film dibantu oleh landasan makna tingkat pertama Roland Barthes sebagai landasan yang lebih empiris bagi analisis selanjutnya.

meneguhkan kembali ‘I am a Moslem, but I hate Islam, I just want to capitalize Islam for making money’. Bukan film yang rekomen ditonton, kecuali Anda ingin membuat hater Islam semakin kaya raya.31

Komentar Hanum yang punya banyak penggemar setelah film yang diproduserinya sukses di bioskop, berhasil membuat banyak orang urung menonton. Komentar Hanum dikutip dan disebar oleh banyak media online. Entah ada korelasi signifikan dengan komentar Hanum, Hijab memang sepi penonton meski telah menggandeng Din Syamsudin untuk menonton dan mengomentari Hijab.

31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

A. Film Religi, Dakwah atau Film Islam?

Situasi politik pada setiap era pemerintahan di Indonesia turut memengaruhi wajah perfilman Indonesia.32 Wajah perfilman Indonesia erat kaitannya dengan politik pemerintah terhadap Islam. Baik Islam sebagai agama maupun sebagai basis ideologis kendaraan politik. Film sebagai bagian dari kerja-kerja kebudayaan berada di antara situasi politik tersebut.

Ada beberapa istilah yang lazim untuk menyebut genre film yang menjadikan agama sebagai tema utama, yaitu film religi, film dakwah, dan film Islam. Film religi memiliki tema yang lebih luas. Ia tak hanya membicarakan salah satu simbol keagamaan saja. Film religi menyangkut keimanan dan makna religiusitas yang lebih luas. Hariyadi mengutip dari Wright mengenai karakteristik film religi adalah:

They have plots that draw upon religion; they are set in the context of religious communities; they use religion for character definition; they deal directly or indirectly with religious characters, texts, or locations; they use religious ideas to explore experiences, transformations, or conversions of characters; they address religious themes and concerns.33

Dari ciri-ciri yang disebutkan Wright tersebut kita bisa mengambil contoh film religi yang populer di masyarakat seperti The Passion of the Christ (Mel Gibson, 2004) atau Soegija (Garin Nugroho, 2012). Film Islam dengan sendirinya masuk dalam kategori film religi. Film Islam menjadi genre tersendiri karena begitu masif dan populer kehadirannya setelah Orde Baru tumbang.34

Perkembangan wacana mengenai film Islam lahir dalam berbagai bentuk situasi politik zamannya. Istilah film Islam bukan sama sekali baru di Indonesia. Sebelumnya, pada pemerintahan Soekarno, film Islam dan film dakwah dipakai secara bergantian.

32Khrishna Sen. Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009 33Hariyadi.,hal 207. 34Alicia Izharuddin. Gender and Islam in Indonesian Cinema.Singapura: Springer Nature, 2017. Hal 32-33.

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Penggunaan film Islam kembali marak dipakai pasca-Orde Baru, ketika film Ayat-Ayat

Cinta (2008) populer.35

Film Islam36 sering disebut sebagai film Islami, film bernuansa Islam atau film bernapaskan Islam. Beberapa kritikus berusaha mencari defenisi yang paling pas, seperti dikutip oleh Alicia dari Ekky Imanjaya, “…that Islamic films must leave a deep spiritual impact on its audiences, guiding them towards good Muslim behaviour and strengthening one’s faith”37 Alicia Izharudin sendiri memilih istilah ‘film Islami’ dengan defenisi sebagai berikut:

“Films made for the purpose of dakwah through the display of diagetic and extra-diagetic audiovisual and commercial conventions that mark them as ‘Islamic’ by filmmakers, critics, and audiences alike”38

Banyak perdebatan yang telah berlangsung mengenai istilah pemakaian film dakwah, religi hingga secara spesifik menyebut film Islam/i.39 Thomas Barker sendiri menyimpulkan film Islam sebagai berikut;

“Typically Islamic films have taken form of dakwah, or proselyptization, whereby they rigidly preach to their audience about the correct interpretation of Islam, its virtues and why should be better Muslim”40

Jejak film dan wacana yang menjadikan dakwah agama (Islam) sebagai tema utama bisa ditemukan di film-film awal kemerdekaan Indonesia. Krishna Sen menyebut bahwa era ini merupakan masa ketika masyarakat Indonesia ‘dipenuhi oleh konflik

35Ibid.,hal 31-32. Hal senada disampaikan oleh Thomas Alexander Charles Barker dengan judul tesis A Cultural Economy of The Contemporary Indonesian Film Industry. Hal 194-230, pada program Doctor of Philosophy Department of Sociology University of Singapore pada tahun 2011 (Selanjutnya ditulis Thormas Barker). 36Dalam konten kritik film berbahasa Inggris seringkali dipakai istilah Islamic film(s). 37Alicia Izharuddin. Hal 39. 38Ibid, hal 40. 39Thomas Barker. Hal 206-207. 40Ibid.,hal 206.

33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ideologis secara terbuka’.41 Termasuk perdebatan mengenai film religi dan dakwah.

Perdebatan yang paling diingat berlangsung di masa pemerintahan Soekarno, antara

Usmar Ismail dan Asrul Sani. Dalam sebuah esai yang berjudul ‘Film sebagai Dakwah’ pada tahun 1965, Usmar Ismail menawarkan resolusi medium film sebagai sarana dakwah. Usmar Ismail mengatakan bahwa sebagai sineas Muslim, ia harus mengutamakan jiwa patriot bangsa dan berkewajiban menjadikan film sebagai media perjuangan dan media dakwah Islamiah. Ditambahkan, bahwa film yang dimaksudkan semata-mata komersial tidak sesuai dengan ajaran Islam.42 Ide ini ditentang oleh karib sekaligus rekannya sendiri, Asrul Sani.43 Pada tahun 1967, Asrul Sani membuat film

Titian Serambut Dibelah Tujuh yang sering dikatakan sebagai cikal film Islam. Dikutip dari Barker, dalam satu wawancara, Asrul Sani menggunakan term film Islam dengan definisi “all films that try to go beyond the surface of life are religious films”. Asrul

Sani menekankan bahwasanya semua film yang mencoba melampaui realitas kehidupan sehari-hari adalah film yang religius. Sehingga istilah film dakwah yang hanya melekat pada agama tertentu (Islam) dipandang terlalu sempit.

Untuk selanjutnya dalam penelitian ini saya akan menggunakan istilah film Islam.

Merangkum pengertian sebagai film yang merepresentasikan nilai-nilai religius agama

Islam.

Tabel berikut memperlihatkan perkembangan film Indonesia bernuansa agama

(Islam). Seperti yang terlihat, sejak masa pemerintahan Soekarno, film bertema religi/dakwah/Islam sudah diproduksi. Tabel ini juga memperlihatkan bahwasanya

41Krishna Sen. Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema.Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009. 42Usmar Ismail. Usmar Ismail Mengupas Film.PT. Pustaka Sinar Harapan, 1986. Hal 98-101. 43Thomas Alexander Charles Barker. A Cultural Economi of The Contemporary Indonesian Film Industry. Thesis in National University of Singapore, 2011. Hal 207. Ariel Heryanto. Identitas dan Kenikmatan.Politik Budaya Layar Indonesia.Jakarta: KPG, 2015.

34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perkembangan film Islam begitu massif setelah kehadiran film Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008.

No Judul film Tahun Sutradara 1 Titian Serambut Dibelah Tujuh 1959 Asrul Sani 2 Panggilan Nabi Ibrahim 1964 Misbach Jusa Biran 3 Tauhid 1964 Asrul Sani 4 Panggilan Kabah 1977 Chaidar Djafar 5 Al Kautsar 1975 Chaerul Umam 6 Para Perintis Kemerdekaan 1977 Asrul Sani 7 Ya Allah Ampuni Dosaku 1978 Chaidar Djafar 8 Sunan Kalijaga 1984 Sofyan Sharna 9 Sunan Gunung Jati 1985 Bay Isbahi 10 Sembilan Wali 1985 Djun Saptohadi 11 Nada dan Dakwah 1991 Chaerul Umam 12 Fatahillah 1997 Imam Tantowi & Chaerul Umam 13 Kiamat Sudah Dekat 2003 Deddy Mizwar 14 Rindu Kami Pada-Mu 2004 Garin Nugroho 15 Ayat-Ayat Cinta 2008 Hanung Bramantyo 16 Ketika Cinta Bertasbih 2009 Chaerul Umam 17 Perempuan Berkalung Sorban 2009 Hanung Bramantyo 18 Dalam Mihrab Cinta 2010 Habiburahman El Shyrazy 19 Sang Pencerah 2010 Hanung Bramantyo 20 2008 21 Syahadat Cinta 2008 Gunawan Paggaru 22 Kun Fayakun 2008 Guntur Novaris 23 Emak Ingin Naik Haji 2009 Aditya Gumai 24 Di Bawah Langit 2010 Opick & Gunung Nusa Pelita 25 Doa Yang Mengancam 2008 Hanung Bramantyo 26 Tiga Doa Tiga Cinta 2008 Nurman Hakim 27 Sang Murabbi 2008 Zul Ardhia 28 Untuk Rena 2006 Riri Riza 29 Long Road To Heaven 2007 Enison Sinaro 30 Mengaku Rasul 2008 Helfi Kardit 31 Di Bawah Lindungan Ka’bah 2011 Hanny R. Saputra 32 Tanda Tanya 2011 Hanung Bramantyo 33 Sajadah Kabah 2011 Asep Kusdinar 34 Negeri 5 Menara 2012 Afandi Abdul Rachman 35 Cinta Suci Zahrana 2012 Chaerul Umam Tabel 1. Daftar Film Islam Indonesia sejak 1950-an hingga tahun 201244

Fenomena ini terlihat dari beberapa film Islam yang hadir sebelum Reformasi, seperti film populer Catatan Si Boy dan film dakwah khas Rhoma Irama. Film Islam pasca-Orde Baru seolah menemukan jalan hidupnya sendiri (genre) di tengah

44Hakim Syah. “Dakwah dalam Film Islam di Indonesia (Antara Idealisme Dakwah dan Komodifikasi Agama)”. Jurnal Dakwah Vol. XIV, No 2, Tahun 2003. Diunduh Mei 2017.

35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perkembangan budaya populer. Mengingat semakin seragamnya tema yang ditawarkan, yaitu dakwah, pesan-pesan moral normatif versi Islam dan permasalahan religiusitas.

Catatan Si Boy bercerita mengenai kisah cinta Boy, anak muda dari keluarga kaya, populer, organisatoris kampus, saleh, serta atlet bela diri. Boy tampil dalam tubuh sensual dan maskulin. Boy berkali-kali terlihat bertelanjang dada, bahkan ketika menulis diary. Ia berpacaran, ciuman, tetapi menolak persetubuhan. Meski dibalut citra maskulin, Boy berteman baik dengan Emon, tokoh lelaki yang gemulai (yang tidak mungkin bisa tampil di film Islam sekarang). Tokoh Boy sebagai subjek masyarakat

(kelas menengah) urban terdidik ibukota ini menjadi idola banyak orang (terutama perempuan). Sosok Boy dianggap banyak kritikus film sebagai bentuk representasi awal mengenai identitas modernitas keislaman (kelas menengah urban). Menjadi modern dan

Islami bisa disandingkan bersamaan. Barker (dan juga Heryanto) menyebut bahwa tokoh Boy dalam Catatan Si Boy merupakan prototipe awal dari tokoh Fahri dalam film

Ayat-Ayat Cinta, bedanya Fahri bukan berasal dari keluarga kaya.45

Tidak hanya Catatan Si Boy, di tahun-tahun 1980-an hingga 1990-an awal, masyarakat Indonesia akrab dengan film dakwah yang dibintangi oleh Rhoma Irama.

Namun, secara simbolis tidak lekat dengan simbol-simbol Islam, seperti tidak satu pun tokoh perempuan yang berjilbab. Konflik utama dalam film yang dibintangi oleh

Rhoma Irama hampir sama dengan Catatan Si Boy, yaitu perihal masalah cinta anak muda. Perbedaan yang mencolok hanya pada pemakaian musik dangdut sebagai media dakwah yang lain (selain medium film itu sendiri). Hal ini sejalan dengan perkembangan kontestasi ideologis pemakaian kerudung, jilbab, dan hijab46 dalam

45Ariel Heriyanto (2015). Hal 103. 46Hijab dalam istilah asli diartikan sebagai segala hal yang menghalangi antara laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanan waktu terjadi bias persepsi dalam penggunaan istilah ini. Hal ini muncul dari

36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perkembangan Indonesia kekinian. Pada tahun 1980-an pemakaian jilbab dilarang secara nasional sebagai bentuk penekanan gerakan politik berlandaskan Islam.

Pemakaian jilbab di ruang publik berarti pembangkangan secara terbuka, dianggap sebagai tindakan subversif melawan pemerintahan Orde Baru.47 Pertengahan 1980-an tersebut, di sekolah negeri para perempuan pemakai jilbab akan mendapatkan hukuman.

Dua dekade kemudian, sejumlah provinsi di Indonesia memperkenalkan hukum syariah/perda syariah.48 Hal ini berdampak pada diterapkannya aturan wajib berjilbab bagi siswa perempuan. Sumatera Barat adalah salah satu provinsi yang paling bersemangat menerapkan aturan ini. Popularitas pemakaian jilbab hari ini berkembang pada berbagai macam kontestasi pemaknaan, termasuk simbol kesalehan, tren mode, dan kontestasi identitas kelas menengah Muslim Indonesia.49 Perkembangan tampilan jilbab sebagai citra perempuan Muslim secara simbolik dapat diamati dalam film tematik ini.

Sementara di film Islam pasca-Orde Baru, secara eksplisit mengusung praktik berislam dengan kaffah (utuh). Baik dalam kerangka pemikiran, maupun tindakan dan simbolis visual. Hal ini ditengarai oleh obsesi idealitas Muslim kelas menengah pasca-

Orde Baru mempunyai tuntutan untuk berlaku Islam secara menyeluruh.

Terdapat perbedaan yang mencolok dalam cara berislam yang hadir dalam film

Islam pada masa sebelum dan sesudah Orde Baru. Dalam film Islam pasca-Orde Baru, khususnya Ayat-Ayat Cinta, berjabat tangan beda jenis kelamin menjadi sesuatu yang terlarang. Ayat-Ayat Cinta tampil berani dengan simbol keislaman di ruang publik,

modifikasi model jilbab. Model jilbab yang syar’i menurut Islam diselaraskan dengan tren fashion yang berkembang. Para pengguna jilbab model inilah yang menyebut dirinya sebagai hijabers. (https://www.academia. edu/3134645/antara_Hijab_Jilbab_dan_Hijabers) diakses Januari 2015 47Ariel Heriyanto, 2015. Hal 71-74 48Ibid., hal 45 49Wasisto Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia. Depok: Penerbit LP3ES, 2017. Hal 150-164.

37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seperti jilbab, taaruf, hingga poligami. Dalam Catatan Si Boy terdapat adegan pacaran, ciuman, berlarian di pantai menggunakan bikini. Simbol keislaman dalam Catatan Si

Boy hanya terjadi di ruang privat, seperti tasbih yang tergantung di mobil Boy, berdoa dan salat ketika di rumah. Meski semua tokoh di dalam Catatan Si Boy tidak tampil dalam visualisasi simbol keagamaan tertentu, Catatan Si Boy digadang sebagai awal dari film populer Islam.

Perkembangan film Islam secara populer dalam perfilman nasional pasca-Orde

Baru ditandai dengan kehadiran Ayat-Ayat Cinta (2008). Fenomena kepopuleran Ayat-

Ayat Cinta sebagai film Islam dianggap beberapa peneliti sebagai yang pertama tersukses dengan mencengangkan.50 Film Ayat-Ayat Cinta berhasil membawa penonton yang dulunya ‘ogah’ mengunjungi bioskop. Fenomena ini menandai gelombang baru penonton film Indonesia dari kalangan anak muda berjilbab. Film ini berhasil meraup keuntungan finansial dan penonton disaat film Indonesia sedang semarak dengan film komedi esek-esek dan horor.51 Ciri khas film Ayat-Ayat Cinta direpetisi ke dalam banyak film Islam berikutnya. Penokohan anak muda tampan/cantik yang alim, berpendidikan, syar’i, berkepribadian, dan berhasil secara ekonomi. Dengan setting luar negeri, anak muda ini memiliki kisah cinta Islami romantis dan sesuai dengan koridor keislaman (yang diidealkan). Dalam pengertian lain, merupakan karakteristik yang mencerminkan model Muslim kelas menengah populer (baru). Jati mengaitkan antara

Islam populer, budaya populer dan kelas menengah Indonesia sebagai berikut:

“Pengertian Islam populer jika dikaitkan dengan budaya populer secara sederhana dapat dijabarkan sebagai bentuk komoditas barang maupun juga ritual yang diterima secara komersial dan komunal sebagai bagian pembentuk kelas menengah Muslim”52

50Thomas Barker, 2011; Ariel Heriyanto, 2015; Alicia Izharudin, 2017 51Ariel Heryanto, 2015. Hal 79-81. 52Wasisto Raharjo Jati. Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia. Depok: LP3ES, 2017. Hal 22.

38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Film Islam dalam Paradigma Budaya Populer dan Perkembangan Muslim Kelas Menengah di Indonesia

Kemunculan teknologi sinema dan radio pada 1920-an dan 1930-an menjadi titik balik penting dalam kajian budaya populer. Diikuti pula dengan produksi massal, budaya konsumsi, kebangkitan fasisme, serta kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Kesemuanya ini memainkan peranan penting dalam memunculkan perdebatan atas budaya massa.53 Perkembangan ini sejalan dengan peradaban kebudayaan manusia secara global yang dipengaruhi oleh laju kapitalisme dan globalisasi atas penyebaran ide-ide budaya populer. Diperkuat dengan lahirnya industri cetak dan perkembangan paradigma ekonomi pasar. Burke, seperti yang dikutip

Dominic Strinati, mengatakan bahwa gagasan budaya populer zaman modern berkaitan erat dengan perkembangan kesadaran nasional akhir abad kedelapan belas.

Perkembangan ini terutama bersumber di lingkaran kaum cendekia.54 Dikarenakan kaum cendekia ini mempunyai akses terhadap pengetahuan, wawasan, teknologi, dan ekonomi. Senada dengan ini, Benedict Anderson dalam Imagined Communities,

Komunitas-komunitas Terbayang, juga mengatakan bahwasanya teknologi cetak sebagai pendukung utama kebangkitan kaum nasionalis dalam membayangkan sebuah bangsa.55 Layaknya sebuah kajian teoretis, budaya populer mempunyai paradigma berdasarkan pemaknaan konseptual dan sosial politik dalam kerangka relasi kuasa, hegemoni, dan lainnya dalam pemakaian studi kajian budaya secara umum.

53Dominic Striniti. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Popular. Yogyakarta: Narasi- Pustaka Promethea, 2016. Hal 6 54Ibid. Hal 4. 55Benedict Anderson, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist, 2008

39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Budaya populer di satu sisi sering diklaim sebagai budaya rendah dan dihadap- hadapkan dengan budaya tinggi. Namun, pada kenyataannya budaya populer terus bernegosiasi dengan banyak hal di dalam masyarakat. Ia berkelindan di dalam perang corak-corak produksi ekonomi, politisasi SARA, dan isu-isu penguatan kerakyatan. Saat ini budaya populer juga digunakan untuk perlawanan (sebagai hegemoni tandingan).

Maknanya tidak tunggal, namun juga tidak melulu eksplisit. Simptomnya terasa kuat dan seringkali banal.

Praktik-praktik dan negosiasi budaya populer di Indonesia berhubungan erat dengan isu sosial politik dan agama. Perkembangan kebudayaan populer melekat erat pada produksi sinema. Tren film Islam merupakan salah satu dari produk budaya populer yang berkaitan erat dengan perkembangan arus utama Muslim kelas menengah di Indonesia.

Wasisto Raharjo Jati di dalam Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia memaparkan bahwa kelahiran dan perkembangan kelas menengah Muslim, mau tidak mau, diakomodir oleh perkembangan kebudayaan populer. Baik sebagai penyebar isu- isu keislaman, juga komodifikasi kesalehan Muslim kelas menengah urban yang terdidik.56

Kemunculan kelas menengah Muslim di Indonesia terjadi dalam dua fase politik yang melingkupinya. Fase pertama terjadi pada masa pergerakan nasional pra- kemerdekaan yang dilahirkan oleh politik etis melalui intelektual dan borjuasi. Fase kedua terjadi pasca-Orde Baru dengan munculnya kelas masyarakat terdidik urban.57

Dalam perjalanannya, kelas menengah Muslim ini mempunyai perilaku politis yang juga berubah-ubah dan tidak seragam. Mulai dari yang sekuler, liberal, moderat,

56Wasisto Raharjo Jati, 2017 57Ibid.,hal xiv.

40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hingga Muslim fundamentalis. Dari yang tadinya sangat politis (pra-kemerdekaan hingga Orde Lama), kemudian menjadi apolitis pada masa Orde Baru. Menjelang keruntuhannya, Soeharto mulai mendekati partai hijau (Islam) untuk menggalang suara.58

Hal ini memberikan keuntungan dan peluang bagi perkembangan isu-isu keislaman dalam politik dan budaya populer. Terutama upaya dalam menampilkan wajah Islam yang lebih inklusif. Melalui berbagai produk budaya popular, Muslim kelas menengah ini ingin menegaskan kesalehan pribadi maupun kolektif. Selain pemaknaan Islam yang lebih modern, juga bentuk-bentuk kesalehan yang tampak nyata secara visual. Baik lewat perkembangan fashion jilbab-hijab, gamis, dan lainnya.59

Ketika katup ekspresi ini terbuka, barulah kemudian budaya populer dipakai sebagai upaya peneguhan identitas kelas menengah Muslim tersebut. Citra-citra kelas menengah ini tampil mewujud kesalehan dalam berbagai media. Di antaranya majalah, radio, televisi, film, dan kemudian budaya internet (media sosial), dan lainnya yang dianggap sebagai produk budaya populer.60 Keberhasilan perkembangan kelompok kelas menengah populis ini berkelindan dengan komodifikasi di segala aspek religius.

Memanfaatkan produk-produk budaya populer tidak dipungkiri juga sebagai upaya melawan citra populer tentang Islam yang kadung negatif di dunia internasional. Telah menjadi pertarungan tiada henti sejak lahirnya Islam dan pertemuan Barat-Timur dalam relasi kuasa ekonomi politik dunia global.61 Terlebih menguatnya citra negatif Islam semenjak Peristiwa 11 September 2001 dalam dunia modern.

58Ariel Heriyanto, 2015. Hal 44-45 59Wasisto Raharjo Jati, 2017. 60Ariel Heriyanto, 2015. Hal 37-57 61Edward Said. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upaya ‘perlawanan’ (bisa dibaca sebagai counter hegemony) ini begitu terasa di film-film Islam pasca-Reformasi di Indonesia. Sehingga ada usaha untuk muncul sebagai wacana global. Namun, pada praktiknya film-film Islam yang diproduksi tersebut diperuntukkan konsumsi publik Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, upaya melawan citra negatif ini juga hadir dalam film Bollywood, My Name is Khan (Karan

Johar, 2010) yang populer di Indonesia. Sebagai penderita sindrom asperger, Khan

(diperankan oleh Sahrukh Khan) mewakili sosok Muslim yang berada di Amerika.

Tanpa tendensi agama dan ekonomi politik tertentu, Khan dianggap sebagai tokoh yang patut ditiru pandangan moralnya terhadap kemanusiaan. Berkali-kali pernyataan “My

Name is Khan and I am not a terrorist” diulang dan ditekankan pada publik yang

Islampobhic. Kritik ini ditujukan untuk Islamophobia yang marak terjadi di masyarakat global pasca-11 September. My Name is Khan dapat menjadi perbandingan dalam kemunculan isu serupa pada film Islam Indonesia yang berlatar di Eropa (dan lainnya).

Film tematik Islam dan dakwah serta religiusitas dilahirkan oleh proses politik, ekonomi, pasar, dan tentunya sejarah sinematik tertentu. Tren film Islam menyoal isu global seperti My Name is Khan hadir semakin banyak di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat perkembangannya di sub-bab berikut.

C. Imajinasi Kosmopolitandalam Film (Islam) Indonesia

Sub-bab ini membahas perkembangan awal film Islam yang memuat imajinasi

Muslim dalam dunia global/internasional. Bertujuan untuk memetakan kehadiran film

Islam yang dipengaruhi oleh perkembangan sosial politik secara umum. Baik sebelum

Reformasi maupun sesudahnya.

42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tidak bisa dipungkiri bahwa kelahiran industri perfilman di Indonesia menjadi salah satu bagian dari usaha industri komersial lainnya. Film di Indonesia adalah bagian dari kebutuhan hiburan masyarakat perkotaan (Batavia/Jakarta) di zaman Hindia

Belanda. Pemutaran film, pada waktu itu disebut juga sebagai gambar-idoep pertama kali hadir di Batavia pada 5 Desember 1900.62 Setahun kemudian orang menyebutnya dengan ‘bioskop’. Bioskop awal ini masih berbentuk bangunan rumah yang dimodifikasi sebagai ruang menonton.

Film sebagai sarana hiburan di Hindia Belanda dipengaruhi oleh gaya hidup kaum penjajah dan pribumi terpelajar. Tingginya biaya karcis masuk menonton, membuat film hanya bisa ditonton oleh kelas menengah ke atas. Namun hal ini hanya berlangsung sementara, belum genap satu bulan, pada 31 Desember 1900 terbit pengumuman mengenai pembagian kelas menonton yang dibagi empat kelas. Kelas satu hingga tiga dan kelas khusus anak-anak dengan biaya yang dikurangi mulai per 1 Januari 1901.63

Pembagian kelas penonton ini mengikuti komedi stambul yang malang melintang melakukan pertunjukan dari kota ke kota.

Sebelumnya, hiburan paling populer di masa itu adalah toneel melaju. Lebih dikenal dengan komedi stamboel yang lahir di Surabaya pada 1891 oleh August Mahie.

Ia seorang pemuda Indo (peranakan Belanda) yang disponsori oleh seorang peranakan

Tionghoa, Yap Goan Thay.64 Bentuk pertunjukan toneel melaju dan komedi stamboel mempunyai naskah yang cukup longgar, mengadaptasi kisah dan cerita dari sandiwara

Persia, Bagdad, India, dan Eropa. Adapun cerita yang dihadirkan meliputi drama 1001

62Adrian Jonathan Pasaribu, dkk. Merayakan Film Nasional.Jakarta: Direktorat Sejarah DIRJEN Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Hal 24 63Ibid, hal 26 64Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. Hal 3-5

43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

malam dan kisah glamor kehidupan bangsawan dengan konsep layaknya sebuah opera.

Hal ini turut memengaruhi industri film di Indonesia kemudian.

Menurut Johan Tjasmadi, pada masa Hindia Belanda, film impor yang tayang di bioskop Batavia tidak hanya Hollywood semata. Film dari China bertema kehidupan modern masyarakat Shanghai, legenda China klasik turut menjadi idola. Film Jerman turut meramaikan bioskop pada waktu itu, meski peminatnya tidak banyak. Penonton

Eropa dan orang-orang Tionghoa serta pribumi terpelajar lebih menyukai film

Hollywood meski harus membayar lebih mahal. Film Hollywood dan Jerman dilengkapi teks terjemahan berbahasa Belanda. Masyarakat pada umumnya lebih memilih film dari

China yang memiliki teks terjemahan berbahasa Melayu dan Mandarin.65

Setelah Indonesia merdeka impor film meluas, mulai film Inggris, Eropa, Malaya, hingga film India. Akan tetapi, pada saat politik luar negeri Indonesia condong ke Kiri, film-film dari Uni Soviet, RRC, dan Eropa Timur sempat hadir di bioskop Indonesia.66

Wim Umboh pada tahun 1970-an seperti dikutip oleh Salim Said mengatakan bahwa “sebagian besar cerita film Indonesia dikarang oleh produsernya sendiri” yang diilhami dan diramu dari film-film impor (Hollywood).67 Adapun ciri khas film yang banyak menuai kritik pada waktu itu adalah mengandung unsur seks, kemewahan, dan kekerasan. Satu hal paling menonjol (bahkan hingga saat ini) yaitu kesedihan yang berlebihan. Hal ini pada akhirnya turut memengaruhi akting para aktor/aktris yang dinilai kehilangan watak.68

Pertumbuhan awal industri film di Indonesia mengikuti perkembangan bertumbuhnya industri film Hollywood pada 1907. Film-film Hollywood banyak

65HM. Johan Tjasmadi. 100 Tahun Sejarah Biorkop di Indonesia. Bandung: PT. Megindo Tunggal Sejahtera, 2008. Hal 14-15. 66Ibid., hal 87-89 67Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Grafiti Pers, 1982. Hal 4-5. 68Ibid.,hal 5.

44

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

digemari di seluruh dunia, namun juga mengalami penolakan oleh sinema alternatif: avant-garde Eropa (1920-1929), Impresionisme Perancis (1920-1927), Ekspresionisme

Jerman (1920-1927), dan Montase Soviet (1924-1933).69 Di Indonesia sendiri, film

Hollywood menjadi primadona meski ditolak sepenuh hati oleh kelompok Kiri

(Lekra).70

Pengaruh film Hollywood masih berdampak pada imajinasi mengenai wacana film nasional dan pasca-nasional hari ini. Orasi Seno Gumira Ajidarma pada 2014 mengangkat identitas film nasional agar terlepas dari hegemoni naratif Hollywood. Saya kutip kembali dari Hikmat Darmawan sebagai berikut:

“Apa boleh buat, bagi film-film yang berkepribadian mandiri ini, sehingga bisa lepas dari hegemoni cara bertutur Hollywood memungkinkannya terhubungkan dengan suatu identitas nasional, justru bukan pertimbangan teritorial yang akan mendukungnya, melainkan pertimbangan fungsional, yakni jelas tidak meminjam bahasa Hollywood….”71

Kutipan di atas memperlihatkan pada kita bahwa bayang-bayang narasi

Hollywood masih menjadi momok hingga saat ini. Identitas pasca-nasional dalam tulisan Hikmat Darmawan menyoal kondisi produksi perfilman era 2000-an hingga kini yang memiliki lokasi geografis cerita lebih luas (dari sebelumnya). Ia mengatakan:

“Gaya hidup kosmopolitan, tak terpaku pada sebuah teritori budaya yang ajeg dan tunggal. Langgam bahasa lebih beragam. Para tokohnya lebih leluasa melanglang berbagai belahan bumi mancanegara, seakan menampakkan sebuah orientasi naratif yang lebih ekstrovert.”72

Uraian tersebut tampak pada film (Islam) Indonesia era Ayat-Ayat Cinta dan sesudahnya. Berbeda dengan film populer di 1980-an yang lebih banyak menyoal

69Adrian Jonathan Pasaribu, dkk. Merayakan Film Nasional. Jakarta: Direktorat Sejarah DIRJEN Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Hal 30 70HM. Johan Tjasmadi, 2008. Hal 78-89 71Hikmat Darmawan, dkk. Merayakan Film Nasional.Jakarta: Direktorat Sejarah DIRJEN Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Hal 113 72Ibid., hal 113-114

45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

gimmick fantasi kemewahan seperti film-film Wim Umboh, Sophan Sopian, atau

Catatan Si Boy IV (yang berlatar di Amerika).73

Film Tauhid (Asrul Sani, 1964) adalah film awal Indonesia dengan lanskap kosmopolitan dan bernuansa Islam yang cukup dikenal khalayak. Untuk kali pertama syuting film Islam dilakukan di Mekkah dengan menumpang kapal haji. Film Tauhid dibuat dengan biaya dari Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan. Untuk mempromosikan film ini, preview diadakan untuk para kiai dan tokoh NU untuk memengaruhi konsumen (kaum Muslimin) dan pasar film.74

Dari uraian di atas, kita bisa melihat bahwa isu kosmopolitan dalam film

Indonesia bukan hal yang baru. Ia sejak mulanya sudah bersifat kosmopolitan. Dibawa dari ‘luar’ dengan relasi ‘Hindia Belanda’ yang kompleks. Diimpor dari berbagai negara dan dikonsumsi oleh kelas menengah perkotaan. Meski citarasa Hollywood tercium jelas di film-film yang hadir kemudian.

Kemunculan sineas muda dari bangku sekolahan pada tahun 2000-an menandakan awal baru bagi film Indonesia modern yang ditandai oleh film Ada Apa Dengan Cinta?

(Rudi Soedjarwo, 2002).75 AADC membicarakan kehidupan anak muda kelas menengah ibu kota dengan lanskap kosmopolitan.76 Film dengan lanskap kosmopolitan berikutnya yang mampu menyaingi kepopulerannya adalah Ayat-Ayat Cinta. Oleh banyak akademikus maupun masyarakat umum, film Ayat-Ayat Cinta sebagai titik balik yang menyatakan kehadiran budaya populer Islam di dalam film.77 Kisah film ini berlatar di

Mesir dengan musik dan adegan sepanjang film yang memperlihatkan karakter Timur

73Ibid., hal 114-115 74HM. Johan Tjasmadi, 2008. Hal 86-87 75Ariel Heriyanto, 2015. 76Hikmat Darmawan, dkk, Merayakan Film Nasional. Jakarta: Direktorat Sejarah DIRJEN Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Hal 113 77Ariel Heriyanto, 2015.Hal 46

46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tengah dan Islami. Film yang mengimajinasikan Muslim kosmopolitan dengan cita rasa baru khas Timur Tengah yang dibalut gaya Hollywood-Bollywood sekaligus.78

D. Film yang Diteliti dalam Tesis ini

Bagian ini akan mendeskripsikan objek penelitian yang terdiri dari empat film.

Yaitu Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa, Haji Backpacker, dan

Assalamualaikum Beijing. Sub-bab ini dilengkapi dengan tambahan informasi penting mengenai objek penelitian tersebut dengan menggunakan kerangka teori tingkat pertama Roland Barthes.

1. Ayat-Ayat Cinta (2008)

Film Ayat-Ayat Cinta (selanjutnya ditulis AAC) rilis pada tahun 2008 di saat bioskop Indonesia sedang mengharu-biru dengan film horor semi esek-esek. Rilisnya film ini bertepatan ketika sesuatu yang ‘Islam’ sedang menuju keriuhan dalam budaya populer. Setelah sepuluh tahun selepas rezim otoriter Soeharto tumbang, Islam sebagai agama mulai merangsek hadir di sendi-sendi produk populer, termasuk film.

Didahului dengan begitu laris novel bertema ‘Islam’, salah satunya novel AAC yang ditulis oleh Habiburahman El Shirazy yang lebih akrab dipanggil Kang Abik oleh penggemarnya. AAC disutradarai oleh Hanung Bramantyo, adonan naskah dikerjakan bersama-sama oleh Ginatri S. Noer, Salman Aristo, dan Habiburahman El Shirazy.

Sehingga lahirlah AAC (hasil adaptasi) seperti yang kita tonton.

78Ibid., 83

47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di tahun 2008, film yang berdurasi 120 menit ini ‘memanggil’ pembaca novelnya yang terbit pertama kali pada tahun 2004. Begitu populer dan laris novel ini, hingga akhirnya diadaptasi ke layar lebar oleh MD Picture, yang pada saat itu baru berumur satu tahun. MD Picture salah satu penguasa rumah produksi perfilman yang populer saat ini. Setelah AAC menuai respon di luar perkiraan, kesuksesan MD Picture mulai diikuti oleh produser dan rumah produksi lainnya. Hingga saat ini MD Picture tetap memproduksi film sejenis ini. Dan tentu juga masih laris manis di bioskop.

Naskah novel berlokasi di Kairo, Mesir, akan tetapi kendala perizinan membuat film ini melakukan shooting di India dan beberapa tempat lainnya di Indonesia.

Keberhasilan film ini (yang di luar perkiraan) disebut-sebut sebagai tonggak awal booming-nya film Islam di era pasca-Orde Baru. Begitu juga dengan booming film

Islam dan luar negeri sebagai latarnya.

Sebagai penanda kelahiran (kembali) genre film Islam, AAC didaulat sebagai pemicu kehadiran ‘lautan jilbab’ di bioskop-bioskop jaringan 21. Setelahnya film dengan tema serupa makin sering diproduksi hingga sekuel keempat. Pun begitu dengan

AAC2 yang tayang pada 2018. Kali ini AAC2 berlatar Palestina, Skotlandia, dan Inggris.

Banyaknya penonton berjilbab yang memenuhi bioskop kelas menengah ini menjadi penanda paling terlihat atas perkawinan budaya populer dengan ‘yang Islam’.

AAC diperankan artis populer, di antaranya Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Zaskia

Adya , dan lainnya. Kang Abik sebagai penulis (novel) AAC tidak sepenuhnya senang dengan pencapaian yang didapat oleh AAC. Ia separuh kecewa pada Hanung karena AAC dibuat dengan cara-cara yang dianggap ‘tidak Islami’. Mulai dari para aktor

48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai Islami di kehidupan keseharian, hingga pemilihan tokoh yang tidak beragama Islam.79

Gugatan Kang Abik ini akhirnya dijadikan alasan untuk menyadur novelnya yang lain. Dengan tema dan latar yang hampir sama, Kang Abik mengajak sutradara senior,

Chaerul Umam untuk menyutradarai film Ketika Cinta Bertasbih (2009). Kang Abik melakukan casting terbuka untuk mencari pemain yang dianggap benar-benar kaffah dalam berislam, baik di keseharian maupun di dalam film. Meski tak se-booming AAC, sekuel Ketika Cinta Bertasbih hadir hanya selang setahun dan kemudian diperpanjang menjadi sinetron di televisi.

Sinopsis Ayat-Ayat Cinta

Pembukaan film Ayat-Ayat Cinta (AAC) mengajak kita pada gurun pasir dan unta di Mesir dengan backsound salawatan. Backsound salawatan yang diperdengarkan seperti di awal mula film memenuhi sebagian besar film ini selain soundtrack lagu lirih, melow dan menyayat lainnya. Backsound beralih pada nada ceria, mengajak kita pada persahabatan Fahri dengan Maria yang tinggal dalam satu gedung flat yang sama.

Selama dua jam berikutnya, film AAC mengajak kita mengenal Fahri dan kisah cinta

(poligami) ala mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir.

Perjalanan (cinta) seorang Fahri, mahasiswa semester akhir S2 Al Azhar, Kairo,

Mesir, rupanya tidak selalu mulus. Fahri bin Abdullah Shiddiq (diperankan oleh Fedi

Nuril) adalah anak seorang penjual tapai dari Jawa. Ia menjalankan perkuliahannya sembari bekerja menjadi penerjemah buku. Hal ini membuat Fahri inferior ketika menjalin hubungan asmara dengan perempuan, terutama Nurul yang juga menaruh hati

79Ariel Heriyanto, 2015. Hal 85-87

49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

padanya. Nurul adalah mahasiswa Indonesia, teman satu kampus, putri seorang kyai besar.

Selain Nurul, ada beberapa perempuan yang ingin menikah dengan Fahri (hal ini masih berlanjut pada AAC2). Selain tampan dan dikenal pintar, Fahri adalah salah satu pentolan aktivis kampus, hal ini membuat Fahri populer di kalangan perempuan.

Banyak surat cinta yang sudah diterima Fahri. Surat tersebut diserahkan pada guru

Talaqqi/mengaji untuk disimpan dan diberikan pertimbangan. Fahri memilih untuk tidak berpacaran dan hanya melakukan taaruf (perkenalan dengan calon istri) melalui guru mengaji tersebut.

Perjumpaan Fahri dengan Aisha Greimas (diperankan Rianti Cartwright) terjadi dalam sebuah pertikaian di bus kota. Aisha memberikan tempat duduk pada seorang perempuan paruh baya Amerika (beserta anaknya, Alicia) yang tengah sakit saat semua penumpang bus (warga Mesir) menolak. Fahri yang sedang berada di bus yang sama membantu Aisha ‘melawan’ penolakan tersebut. Kejadian ini menimbulkan benih di hati Aisha. Perjumpaan kedua mereka terjadi saat Fahri memberikan tulisan bertema

‘perempuan dalam Islam’ pada Alicia, wartawan American Times.

Aisha perempuan bermata indah mengenakan cadar ‘memenangkan’ hati Fahri.

Mereka menikah diawali sebuah permintaan taaruf dari pihak Aisha. Aisha keturunan

Jerman-Turki, cantik, kaya raya dengan keluarga terdidik. Pernikahan ini meremukkan hati banyak perempuan, terutama Maria, Nurul, dan Noura.

Pernikahan mereka nyatanya tidak berjalan mulus, justru awal konflik yang dialami Fahri. Mulai dari Nurul yang patah hati, meminta dinikahi Fahri sebagai istri kedua. Lalu Noura menjebloskan Fahri ke penjara atas tuduhan pemerkosaan.

50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Noura adalah tetangga di gedung flat tempat tinggal Fahri dan Maria. Noura warga Mesir seperti halnya Maria. Dua perempuan inilah nantinya menjadi masalah terbesar dalam film ini. Noura (diperankan Zaskia Adya Mecca) mendapat perlakuan buruk dari ayah yang menculiknya sejak bayi (Bahadur); sering dipukul dan akan dijual sebagai pelacur. Pada satu malam, Fahri bersama Maria dan Nurul menyelamatkan

Noura untuk dipertemukan dengan orang tua kandungnya. Noura yang menaruh hati pada Fahri tidak terima ketika cintanya ditolak. Kehamilannya (akibat diperkosa oleh

Bahadur) dituduhkan pada Fahri. Fahri dipenjara dan menjalani sidang yang rumit. Di dalam penjara, Fahri belajar banyak mengenai hikmah perintah Tuhan dari salah satu penghuni sel tahanan (anonim-orang gila?). Salah satu saksi yang dapat menolong kebebasan Fahri adalah Maria, perempuan Kristen Koptik. Namun, Maria kritis (koma) karena ditabrak anak buah Bahadur yang ingin balas dendam.

Aisha akhirnya mengerti bahwa Maria diam-diam mencintai Fahri. Atas permintaan Aisha, Fahri menikahi Maria. Sesaat setelah itu Maria bangun dari koma, mengucapkan syahadat (masuk Islam), dan menjadi saksi di pengadilan. Menyisakan sakit di hati Aisha.

Menjalani poligami bagi seorang Fahri yang peragu dan canggung ternyata tidak berjalan baik. Fahri kesulitan membangun komunikasi mereka bertiga. Namun, bagi sutradara, jalan satu-satunya adalah ‘mematikan’ salah satu tokoh, yaitu Maria. Maria meninggal pada salat pertamanya dengan Fahri dan Aisha. Kematian Maria ini menjadi akhir dari film AAC.

Ayat-Ayat Cinta 2 (Guntur Soehardjanto, 2017) melanjutkan cerita Fahri dan

Aisha ke Skotlandia. Fahri berprofesi sebagai profesor ahli politik Timur Tengah di

Universitas Edinburgh, sekaligus pengusaha mini market. Berbeda dengan film

51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebelumnya, kali ini cerita Fahri lebih banyak berhubungan dengan tetangga sekitar rumahnya.

2. Film 99 Cahaya di Langit Eropa (2013).

Film 99 Cahaya di Langit Eropa (selanjutnya ditulis 99 Cahaya) merupakan film adaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya suami-istri Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Pasangan suami-istri ini adalah pendatang baru di film layar lebar Indonesia. Namun, di dunia media, ia terlebih dahulu bekerja menjadi jurnalis dan reporter Trans TV, detik.com, hingga mendirikan ADI TV, Yogyakarta. Hanum dan

Rangga menerbitkan sebuah novel perjalanan yang akhirnya difilmkan. Meski tidak menjadi produser ataupun sutradara, nama pasangan ini melejit setelah film 99 Cahaya rilis di 2013 (part 1) dan 2014 (part 2).

Penulis naskah 99 Cahaya adalah Alim Sudio, Hanum Salsabiela Rais, dan

Rangga Almahendra. 99 Cahaya disutradarai oleh Guntur Soeharjanto dan diproduksi oleh Maxima Pictures. Dengan deretan pemain seperti , Abimana

Aryasatya, , Nino Fernandez, Dewi Sandra, Marissa Nasution, Alex Abbad, dan Geccha Qheagaventa. Film ini didaku berdasarkan kisah nyata Rangga dan Hanum yang telah dijadikan novel. Meski foto-foto kejadian sebenarnya (di akhir film) justru membuktikan bahwa terdapat perbedaan kisah yang mencolok.

Berbeda dengan 99 Cahaya di Langit Eropa part 1 dan 2 yang berlokasi di beberapa negara di Eropa, sekuel ketiganya Bulan Terbelah di Langit Amerika berlokasi di Amerika pasca-Peristiwa 11 September.Disutradarai oleh Rizal Mantovani, film ini juga berdasarkan novel karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra. Masih bercerita mengenai pengalaman Hanum dan Rangga. Pertanyaan utama film ini adalah

52

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Apakah dunia lebih baik tanpa Islam?” dengan mengambil konteks tragedi 9/11 di

New York yang menyebabkan Islamophobia merebak di Amerika. Hanum yang telah berkerudung menjadi salah satu ‘sasaran’ dari Islamophobia tersebut. Sekuel keempat film ini berjudul Bulan Terbelah di Langit Amerika part 2 (Rizal Mantovani, 2016), berlatar San Fransisco, California. Kali ini Hanum dan Rangga ingin membuktikan bahwa pelayar Muslim Tiongkok adalah penemu Benua Amerika, jauh sebelum

Colombus berlayar.

Sinopsis 99 Cahaya di Langit Eropa

Rangga Almahendra (diperankan oleh ) merupakan mahasiswa program doktoral di salah satu kampus di Vienna, Austria. Sementara istrinya, Hanum Salsabiela Rais (diperankan oleh Acha Septriasa), menemani selama di

Vienna. Film ini dimulai dari kedatangan Hanum ke Eropa untuk menemani Rangga.

Baru tiga bulan di Vienna, Hanum sudah bosan. Beruntung sewaktu mengambil khursus bahasa Jerman, Hanum berkenalan dengan Fatma Pasha.

Berkenalan dengan Fatma membuat Hanum betah di Vienna. Fatma Pasha

(diperankan oleh Raline Shah) adalah seorang berkebangsaan Turki. Fatma Pasha mempunyai seorang anak perempuan bernama Ayse Pasha (diperankan oleh Geccha

Qheagaventa). Fatma mempunyai cita-cita menjadi desainer pakaian Muslim yang terkenal di Eropa, agar bisa menjelajah Eropa untuk melihat jejak sejarah peradaban

Islam. Cita-cita Fatma tersebut tidak terwujud karena di Eropa perempuan berhijab sulit mendapatkan pekerjaan. Dari Fatma inilah Hanum pertama kali mengenal sejarah kejayaan Islam di Eropa.80

80“Mengenal sejarah Kejayaan Islam di Eropa” merupakan pilihan kata yang diucapkan secara eksplisit di film 99 Cahaya

53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Cita-cita Fatma yang ingin melihat sejarah peradaban Islam di Eropa menggelitik

Hanum. Fatma dan Ayse mengajak Hanum jalan-jalan ke beberapa tempat yang dianggap menjadi sejarah peradaban Islam di Vienna; Bukit Kahlenberg, Gereja

Stephenplatz, Museum Albertina, Vienna. Pada saat di bukit, Fatma bercerita, “Bukit ini menjadi bukti sejarah kekalahan orang-orang Turki sewaktu berekspansi ke Eropa. ”Di sebuah café, Hanum mendengar dua orang bule lokal mengibaratkan kekalahan pasukan

Turki sebagai roti Croissant. Hanum marah dan Fatma sempat bersitegang karena Fatma malah membayar makan dua orang tersebut. Fatma beralasan bahwa ia harus menjadi agen Islam yang baik di Eropa karena ia menggunakan hijab. Di Museum Albertina,

Vienna, Fatma dan Ayse menangis di depan lukisan Kara Mustafa Pasha. Mereka berdua memberi tahu Hanum bahwa Kara Mustafa adalah nenek moyangnya.

Ayse (anak Fatma Pasha) masih duduk di sekolah dasar. Namun, ia sangat keukeuh mempertahankan hijab.81 Meski dirundung teman dan dilarang oleh guru kelas,

Ayse tetap mempertahankan hijabnya. Penyakit kanker membuat Ayse tidak berumur panjang. Akan tetapi, melalui Ayse, Hanum dan Marion mendapat hidayah untuk mengenakan hijab.

Marion Latimer (diperankan Dewi Sandra) seorang mualaf berkewarganegaraan

Perancis. Sebagai seorang sejarawan, Marion memahami sejarah kejayaan Islam di

Eropa. Bersama Marion, Hanum mengunjungi artefak dan bangunan sisa sejarah peradaban Islam di Perancis. Marion banyak bercerita kepada Hanum mengenai peninggalan dan “jasa” Islam di Eropa, terutama Cordoba, Spanyol. Dari sinilah akhirnya Hanum dan Rangga berkunjung ke Spanyol (pada 99 Cahaya part 2).

81hijab merupakan pilihan kata dalam film ini untuk menyebut jilbab

54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sementara itu, selama 200 menit durasi kedua film ini tidak satu pun membahas kuliah apa yang sedang dijalani oleh Rangga di Vienna. Tidak ada perdebatan ilmiah mengenai topik penelitian doktoralnya. Di samping itu tidak ada pertemanan antara

Rangga dan Hanum dengan orang Indonesia (mahasiswa Indonesia) lainnya di Vienna.

Tidak ada pergaulan antara Rangga dan Hanum dengan masyarakat lokal di sana. Satu- satunya konflik Rangga dengan perkuliahannya adalah karena ia tidak bisa mengikuti ujian yang bertepatan dengan jadwal salat Jumat. Namun, yang mendominasi dalam film ini adalah konflik antara Rangga, Steven, Khan, dan Marja mengenai agama Islam.

Mereka berempat (Rangga, Steven, Khan, dan Marja) adalah mahasiswa doktoral di kampus yang sama. Steven seorang ateis dan dianggap “perwakilan” orang Eropa pada umumnya. Khan warga negara Pakistan yang sejak kecil telah ditanamkan jihad dengan dengan ilmu pengetahuan oleh sang ayah. Khan sebagai representasi Islam

“garis keras” yang harus berkompromi seperti Rangga. Sementara Marja “mewakili” perempuan Eropa yang “takluk” pada lelaki Muslim. Marja menjadi salah satu sumber konflik antara Hanum dengan Rangga.

Konflik utama mereka adalah perdebatan mengenai agama. Dalam perdebatan antara Rangga, Steven, Khan, dan Marja mengenai Islam, selalu dimulai oleh Steven yang tidak bisa memahami agama Islam.Steven mempertanyakan beberapa aturan dalam Islam, seperti larangan memakan babi, larangan meminum alkohol, kewajiban berpuasa, dan dibolehkannya poligami. Hal ini dijawab Rangga dengan “elegan” dan

“logis”. Rangga ditampilkan dengan sangat bijak dalam menjawab gugatan-gugatan

Steven mengenai agama Islam. Namun, Steven (sepanjang film) menjadi bahan

“olokan” karena kalah ‘argumen’, konyol, dan tidak bisa memahami Islam.

55

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Wajah Barat digambarkan dalam diri Steven yang konyol, emosional, menyepelekan agama orang lain, bahkan mengamini perselingkuhan. Steven meminta

Rangga menerima cinta Marja tanpa mempertimbangkan status Rangga yang sudah menikah. Steven tidak mau berkomitmen untuk menikah, lebih percaya “rasionalitas” dan asuransi daripada takdir dan keimanan pada Tuhan. Steven hadir sebagai Barat yang mengolok Islam, berbalik menjadi bahan olokan dan tertawaan.

Perjalanan Rangga dan Hanum di Vienna dan Paris pada 99 Cahaya part 1 berlanjut ke Cordoba, Spanyol. Di bagian kedua ini Rangga menyelesaikan kuliah lebih dulu dari Marja, Steven, dan Khan. Steven mengalami kecelakaan, asuransi yang ia banggakan tidak berguna, Khan menyelamatkannya. Ketidaksukaan Steven pada kari hanya karena bau kari yang tidak enak. Hal ini selalu menjadi perdebatan antara Steven dengan Khan. Steven dan Khan akhirnya berdamai, setelah mencicipi kari yang ternyata enak.

3. Film Haji Backpacker (2014)

Haji backpacker adalah sebuah memoar dari Aguk Irawan yang berjudul Haji

Backpacker #1 dan #2: Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji (2009). Memoar ini menjadi inspirasi pembuatan film Haji Backpacker. Setelah film ini tayang, Aguk

Irawan berkolaborasi dengan Danial Rifki menerbitkan novel berdasarkan film Haji

Backpacker.82 Film Haji Backpacker, disutradari oleh Danial Rifki dan dirilis oleh

Falcon Pictures pada 2014 lalu. Film ini diperankan oleh Abimana Aryasatya, Laudya

Cynthia Bella, Dewi Sandra, HB Naveen, dan lainnya. Film ini meraih penghargaan

82https://hot.detik.com/art/d-2647151/haji-backpacker-juga-hadir-dalam-versi-novel (Diunduh pada 12/06/2019)

56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Indonesian Movie untuk pemeran wanita pendukung terbaik dan Piala Citra untuk pemeran utama pria terbaik. Berbeda dengan dua film sebelumnya, Haji

Backpacker memilih keliling dunia dengan cara backpacking melalui jalur darat di sembilan negara sekaligus, dengan Mekkah menjadi gong perjalanan. Menonton film

Haji Backpacker mengingatkan kita pada film Perancis yang berjudul Le Grand Voyage

(Ismael Ferroukhi, 2004). Film ini berkisah tentang perjalanan haji seorang anak dan ayah dengan menggunakan mobil dari Perancis.

Mada (Abimana Aryasatya), seorang anak muda Jakarta yang pada awalnya taat beragama menjadi pemberontak Tuhan. Ia mempertanyakan hidupnya yang seolah dibuat berantakan oleh takdir. Ibunya meninggal dan ia pun kehilangan cinta dari seorang perempuan yang ternyata ragu dengan cinta mereka. Perempuan itu, Sofia

(Dewi Sandra), melarikan diri di hari pernikahan mereka tanpa memberi alasan dan kejelasan. Mada marah pada hidup dan dirinya sendiri. Mada meninggalkan Tuhan, keluarga, dan sahabat. Lalu hidup bebas dengan seorang perempuan pekerja malam asal

Indonesia di , Maryati/Marbel ().

Suatu peristiwa bentrok dengan geng membuat Mada harus pergi dari tempat tinggalnya.Saat inilah Mada harus pindah ke negara lain untuk menyelamatkan diri dari ancaman geng di Thailand. Ia pun menyesal dengan kematian ayahnya di tanah suci.

Dalam perjalanan ini, Mada merasa rohaninya kering. Di saat yang penuh kerapuhan inilah, Tuhan mengajaknya kembali melalui serangkaian peristiwa (terutama mimpi yang sama berkali-kali). Berkelana dari satu negara ke negara lain, menyingkap kesadaran demi kesadaran, Mada sadar ternyata Tuhan sebenarnya mencintai dan selalu menjaganya. Akhirnya Mada mendapatkan jawaban dari semua hal yang diragukannya.

Mada punya tujuan, menemui Ayahnya yang dikuburkan di Mekkah, Arab Saudi.

57

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sesampainya di Mekkah, ia pun umrah dan bekerja. Sedikit lagi ia bisa melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu berhaji.

4. Film Assalamualaikum Beijing (2014)

Assalamualaikum Beijing merupakan novel yang ditulis oleh Asma Nadia pada

2013. Asma Nadia menulis sendiri skenario film ini dan tetap menggunakan judul novel tersebut. Film ini disutradarai Guntur Soehardjanto dan diproduksi oleh Maxima Picture pada 2014. Film ini meraih penghargaan Piala Maya untuk aktor pendatang baru terpilih. Film ini diperankan oleh Revalina S. Temat, Laudya Cynthia Bella, Morgan

Oey, Ibnu Jamil, Desta, Cynthia Ramlan, Ollyne Apple, dan Jajang C. Noer.

Hampir serupa dengan tokoh Mada di Haji Backpacker, Asmara meninggalkan

Indonesia karena patah hati. Asmara (diperankan oleh Revalina S Temat), sehari sebelum pernikahannya kecewa setelah mendapatkan kenyataan pahit bahwa kekasihnya, Dewa (Ibnu Jamil), pernah berselingkuh dengan teman sekantor, Anita

(Cynthia Ramlan). Perselingkuhan tersebut menyebabkan Anita hamil. Meskipun Dewa memohon agar dimaafkan dan meminta pernikahan tetap dilanjutkan, Asma bersikukuh untuk membatalkan pernikahan. Tak lama, Asma menerima tawaran pekerjaan di

Beijing (dari seorang kawan) menjadi wartawan majalah Islam. Di Beijing, Asma bertemu Zhongwen (Morgan Oey), lelaki Cina tampan yang agnostik. Zhongwen mengenalkan Asma dengan legenda cinta Ashima, putri cantik dari Yunnan. Zhongwen diam-diam menaruh hati pada Asma, mempelajari Islam, hingga akhirnya mengimani

Islam dan menyusul Asma ke Jakarta yang pulang terlebih dahulu karena sakit APS yang sudah akut.

58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

E. “Pesan” dalam Keempat Film

Sub-bab ini mengupas “pesan” yang ada di dalam film dengan mengelompokkan informasi penting mengenai latar (setting/lokasi film), tokoh dan penokohan, relasi antar tokoh, tata rias busana, dan gaya bahasa. Pengelolaan data “pesan” dalam unsur intrinsik ini sebagai langkah awal untuk menemukan tanda dalam analisis semiotika.

Tanda ini berfungsi sebagai landasan awal untuk menjelaskan penanda dalam analisis tingkat kedua dan ketiga yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya (bab 3).

1. Latar (setting) lokasi film

Pada AAC1, latar film berada di Kairo, Mesir, dan sekitarnya. Ikon utama Mesir seperti piramida, Sungai Nil, gurun pasir, Universitas Al Azhar, dan lokasi ikonik lainnya tampil tidak begitu mendominasi sebagai sebuah narasi. Meski menjadikan

Mesir sebagai lokasi film, akan tetapi kendala perijinan dan administrasi membuat AAC mesti syuting di India dan Tawanmangu, Indonesia. Setelah sembilan tahun kemudian

AAC2 melanjutkan kisah Fahri sebagai profesor ahli politik Timur Tengah di

Universitas Edinburgh, Skotlandia. Film lainnya serupa AAC, yaitu Ketika Cinta

Bertasbih 1&2 (Chaerul Umam, 2009) juga turut menjadikan Kairo, Mesir, sebagai latar utama film.

Sangat berbeda dengan AAC dan KCB, film 99 Cahaya di Langit Eropa 1&2 berlokasi di Austria, Perancis, Turki, dan Arab Saudi. Dengan mengambil ikon-ikon lokasi (wisata) bersejarah di hampir sebagian besar kota di setiap negara. Terutama yang dianggap mempunyai pertemuan antara Islam dan Eropa.

Di Vienna, Austria, lokasi utama film di Univeristas Vienna dan kawasan

Museum Albertina yang menyimpan sejarah ekspansi Islam ke Austria. Bukit

59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kahlenberg sebagai lokasi kekalahan Merzifonlu Kara Mustafa Pasha dari Kesultanan

Ustmaniyah/Ottoman ketika melakukan ekspansi ke Eropa Timur. Hanum melanjutkan perjalanan yang dianggap mencari jejak peninggalan Islam di Eropa (99 Cahaya di

Langit Eropa Part 2) hingga ke Perancis, Spanyol, dan Turki. Situs utama yang didatangi adalah Museum Louvre dan Menara Eiffel di Perancis, Mezzquita di Spanyol, dan Hagia Sophia di Turki. Sedangkan Pakistan hanya sebagai latar peristiwa salah satu tokoh (Khan). Kisah Hanum dan Rangga dalam sekuel 99 Cahaya diakhiri di Mekkah,

Arab Saudi.

Berikutnya 99 Cahaya berlanjut ke Amerika Serikat. Berjudul Bulan Terbelah di

Langit Amerika 1 (2015) mengambil latar peristiwa penyerangan World Trade Centre

(WTC) 11 September 2001 di kota New York, Amerika Serikat. Sementara itu Bulan

Terbelah di Langit Amerika 2 (2016) berlatar (asumsi) penemuan Benua Amerika oleh

Cheng Ho di California dan San Fransisko, Amerika Serikat.

Berbeda dengan AAC dan 99 Cahaya, kisah Mada dalam Haji Backpacker melakukan perjalanan melalui jalur darat dan laut. Mulai dari Jakarta-Indonesia,

Thailand, , China, India, Tibet, , , dan berakhir di Mekkah, Arab

Saudi. Danial Rifki, sutradara film ini mengatakan bahwa sembilan negara tersebut melintasi Jalur Sutra yang dilalui oleh pedagang pada masa lampau.83 Mulai dari

Thailand, Mada melakukan jalur darat hingga ke Iran. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalur laut menuju Mekkah, Arab Saudi. Kesemuanya dilakukan dengan cara backpacker, yaitu menumpang kendaraan umum atau pribadi dengan membawa satu tas punggung/backpack.

83https://www.liputan6.com/showbiz/read/2037237/syuting-di-sembilan-negara-haji-backpacker- berbujet-10-miliar dan https://www.republika.co.id/berita/senggang/film/14/04/16/n43j0w-ini- alasan-9-negara-yang-dipilih-dalam-film-haji-backpacker diakses pada Desember 2018

60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari beberapa film di atas, Assalamualaikum Beijing memilih Indonesia dan

China sebagai latar film. Tak berbeda jauh dari film lainnya, lokasi syuting juga memilih tempat-tempat yang menjadi destinasi wisata. Di antaranya, Tempel of Heaven,

Lapangan Tiananmen, Hohai, pusat belanja Wang Fujing, Tembok Besar China, dan

Provinsi Yunnan.

Produser masing-masing film ini berlomba-lomba mendaku sebagai film berbiaya mahal dari produksi-produksi sebelumnya. Kendala teknis alam (musim dingin misalnya) sering menjadi bumbu cerita pada saat konferensi pers.

2. Tokoh dan Penokohan

Fahri (AAC) Hanum & Rangga (99 Cahaya)

Asmara & Zhongwen Mada (Haji Backpacker) (Assalamualaikum Beijing) Gambar 1. Tokoh utama dalam empat film

Tokoh sentral dalam AAC dan Haji Backpacker terdapat pada tokoh pria. Fahri

(AAC) adalah sosok yang sederhana, inferior, peragu, alim, pintar, memiliki kecakapan berbahasa (penerjemah). Fahri berasal dari keluarga sederhana dan harus bekerja keras demi kelangsungan kuliahnya. Hal ini membuat Fahri menjadi inferior, peragu, dan

61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

canggung. Termasuk ketika berhadapan dengan perempuan. Namun ia begitu percaya diri dan berani ketika berhadapan dengan kemungkaran dan kekerasan. Tegas menegakkan syariat agama, yaitu menyelamatkan Noura yang sering disiksa oleh

Bahadur.

Empat orang tokoh utama lainnya adalah: Aisha, Maria, Nurul, dan Noura. Semua berasal dari kalangan terdidik dan kelas menengah, kecuali Noura. Akan tetapi, ayah kandung Noura adalah seorang tokoh yang penting. Meski dalam film ini tidak dijelaskan.

Empat orang tokoh utama perempuan ini berasal dari beberapa negara. Aisha keturunan Jerman-Turki memiliki kewarganegaraan ganda. Aisha satu-satunya perempuan bercadar di antara tiga wanita lainnya. Cantik, kaya, dan dari keluarga terpelajar. Dengan kepercayaan diri yang tinggi didukung oleh finansial keluarga yang kuat membuat tokoh Aisha lebih materialistis, tinggal di flat mewah dan mobil bagus.

Aisha berani mengambil keputusan sendiri dengan membeli peralatan mahal untuk

Fahri (laptop, buku baru, dll.). Bahkan menyanggupi menyuap hakim dalam kasus persidangan Fahri. Hal inilah perbedaan paling besar Aisha dari Fahri yang terbiasa hidup sederhana dan apa adanya. Dengan punya kekuatan finansial ini Aisha tampil berani, sekaligus pencemburu dengan perempuan lainnya yang mendekati Fahri.

Nurul perempuan manis dan lembut dari Indonesia, anak seorang ustaz besar. Ia diam-diam mencintai Fahri sejak lama. Dengan jilbab lebar dan rok panjang dan tanpa make up membuat Nurul tampil sederhana. Meski mencintai Fahri, Nurul tetap menahan diri, menolong Fahri menjadi saksi pembela di sidang.

Maria seorang Kristen Koptik dengan ibu seorang dokter. Bertetangga dengan

Fahri di gedung flat yang sama membuat Maria bersahabat dengan Fahri dan teman-

62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

temannya. Maria sering membantu Fahri, baik dalam literatur maupun perhatian- perhatian kecil seperti memberi makanan atau minuman. Persahabatan mereka ternyata diam-diam menimbulkan benih cinta di hati Maria terhadap Fahri. Berbeda dengan

Fahri yang diam-diam juga mencintai Nurul, tidak dengan Maria. Maria seperti halnya dengan Nurul mencatat diam-diam perasaan hati di diarynya. Maria punya penyakit yang membuatnya tak banyak melakukan aktivitas. Tidak disebutkan aktivitas Maria selain berteman dengan Fahri. Meski sebagai Kristen Koptik yang taat, Maria bersimpati dengan Islam, bahkan sudah mempelajari beberapa hal dalam Islam, terutama Surat Mariam.

Dengan latar Kairo, Mesir, film ini menampilkan berbagai tokoh baik itu pemeran utama atau pembantu atau cameo lintas negara. Akan tetapi hampir semua tokoh diperankan oleh orang Indonesia.

Tidak berbeda jauh dengan Fahri, Mada sebagai tokoh sentral dalam Haji

Backpacker lebih memperlihatkan sifat maskulin. Mada terlibat perkelahian dengan gengster hingga tak sengaja membunuh salah satunya. Mempunyai teman dekat perempuan yang bekerja sebagai pekerja pijat plus-plus. Hingga bertemu dan ditangkap oleh teroris. Sebagai tokoh sentral, Mada tidak punya tokoh lain yang mengimbanginya, hanya tokoh peran pembantu yang lebih banyak didominasi oleh perempuan. Dalam hal ini perempuan yang terlibat urusan personal, entah cinta atau saudara (kakak kandung

Mada). Tokoh pendukung Mada ini (cameo) berasal dari latar negara yang beragam.

Dan seragam dengan yang lain, mereka diperankan oleh orang Indonesia.

Relasi Mada dengan tokoh lainnya berlangsung tidak dalam kategori heroisme seperti Fahri. Mada dengan aksi maskulinnya berjuang untuk keselamatan dirinya dalam mencari pencerahan yang mendorong ia kembali kepada ‘Islam’. Hal ini paling tampak

63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam relasi Mada dengan Su Chun di Yunnan, China. Ia menghindari relasi percintaan dengan perempuan yang ditemuinya, meski ada yang menaruh hati.

Sementara dalam 99 Cahaya dan Assalamualaikum Beijing, tokoh sentral terletak pada tokoh perempuan, Hanum dan Asmara. Meski tokoh lelaki (Rangga dan

Zhongwen) dalam dua film ini tidak bisa dibilang hanya sekadar pendamping tokoh perempuan belaka. Peran mereka sebagai pasangan cukup berarti. Namun, narasi cerita tetap berpusat pada tokoh perempuan.

Hanum sebagai istri yang menemani suaminya kuliah di Vienna, Austria, memperlihatkan posisi perempuan yang mandiri. Ia melakukan beberapa kegiatan untuk mengusir kebosanannya. Di antaranya khursus bahasa Jerman, berkunjung ke beberapa lokasi sejarah yang dianggap merupakan jejak kejayaan Islam (bukan jejak pertemuan antara Timur dan Barat) serta menjadi wartawan lokal di Vienna.

Selain Mandiri, Hanum adalah perempuan yang percaya diri, pintar, dan supel.

Relasi Hanum hanya intens dengan Rangga dan perempuan keturunan Turki, Fatma

Pasha. Fatma Pasha sebagai ibu satu anak ditampilkan dengan sosok yang independen, berbakat dalam fashion, dan aktivis sosial.

Tokoh yang terlibat dalam 99 Cahaya cukup beragam, mulai dari Indonesia,

Jerman, Turki, Pakistan, Perancis, dan Amerika. Tentu saja hampir semua tokoh penting di film ini diperankan oleh orang Indonesia. Tokoh kunci utama di film ini terdiri dari perempuan Islam dan mualaf yang independen dan berdaya. Sementara satu tokoh perempuan sebagai pembanding dari sisi yang lain, Marja. Marja adalah teman satu kampus dan menggilai Rangga. Hal ini membuat Hanum begitu cemburu. Marja tampil sebagai perempuan Eropa yang independen, pintar, dan tak peduli dengan status Rangga

64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang sudah beristri. Marja bersama Steven yang masih satu kelas doktoral dengan

Rangga ditampilkan tidak bisa memahami ritual agama dan keyakinan Rangga.

Tokoh Steven sebagai yang paling frontal menolak cara berpikir dan bertindak

Rangga terhadap Islam. Steven digambarkan konyol, egois, dan semena-mena terhadap perbedaan di sekitarnya, terutama Islam. Sementara Steven sering bertengkar dengan

Khan yang di dalam film ini mewakili Islam konservatif. Khan berasal dari Pakistan. Di antara mereka, hanya Rangga yang terlihat bijak, dewasa, dan cerdas dalam menanggapi komentar Steven. Steven dan Marja adalah sosok Barat yang dipertentangkan dengan sosok tokoh utama (Hanum dan Rangga).

Sementara itu, Asmara sebagai tokoh sentral dalam Assalamualaikum Beijing merupakan seorang perempuan yang bertekad kuat. Meski dalam kondisi patah hati,

Asmara tak lantas berdiam diri. Berkat seorang teman, Asmara berhasil mendapatkan pekerjaan dan berangkat ke Beijing, China.

Pemeran utama pria, Dewa dan Zhongwen tampil dalam karakter yang bertolak belakang. Meski sama-sama mencintai Asmara, Dewa yang keras kepala dibenturkan dengan Zhongwen yang kalem. Dewa yang Muslim, tapi tidak taat gagal merebut kembali cinta Asmara. Zhongwen yang agnostik berakhir menjadi mualaf dan menikahi

Asmara. Tokoh lainnya, teman Asmara, Sekar dan suami yang tampil dalam visualisasi keislaman (kesalehan) berbeda dengan Anita, teman kantor Dewa yang tak memperlihatkan tampilan Islami. Anita adalah istri Dewa yang memberikannya satu orang anak dari hasil perselingkuhannya ketika masih berhubungan dengan Asmara.

3. Relasi antar tokoh

65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ada beberapa bentuk nuansa relasi yang hampir sama dibangun dalam empat film ini. Di antaranya relasi antara laki-laki dan perempuan, orang Indonesia (Islam) dengan selain Indonesia (yang tidak Islam), orang Islam Indonesia dengan Islam Indonesia

(yang lain), relasi pahlawan-penjahat, dan relasi antara manusia dengan Tuhan.

Dalam relasi laki-laki dan perempuan, terutama Fahri (AAC) dan empat orang perempuan lainnya. Relasi yang terbentuk adalah relasi antara sosok idola dan pengagum. Dalam hal ini Fahri berada pada posisi sentral, diidolakan dan diinginkan oleh empat perempuan sekaligus. Tak hanya Fahri, tokoh Rangga dalam 99 Cahaya,

Mada dalam Haji Backpacker menjadi laki-laki yang banyak disukai oleh perempuan.

Baik perempuan yang saleh dan tidak. Begitu juga pada Assalamualaikum Beijing, tokoh utama Asmara disukai dua orang pria sekaligus.

Dalam relasi antara orang Islam dan yang bukan Islam menjadi dominasi dalam keempat film ini. Pada AAC, relasi yang terbentuk antara orang Islam dan yang bukan

Islam adalah relasi antara Fahri dan Maria. Sebagai seorang Kristen Koptik dan berkebangsaan Mesir, Maria adalah teman yang baik untuk Fahri. Menghargai perbedaan agama yang ada pada mereka. Maria, karena ketertarikan pada Fahri, mendorongnya memperlajari Islam lebih banyak. Tidak dengan Fahri yang tidak perlu mempelajari Kristen Koptik atau agama lainnya. Begitu juga dengan tokoh perempuan

Amerika, Alicia yang ditolong oleh Fahri. Alicia seorang wartawan diperkenalkan dengan Islam, bagaimana Islam memandang perempuan, lagi-lagi melalui Fahri. Akan tetapi Fahri tidak diperkenankan mendengar bagaimana agama si perempuan memandang berbagai hal. Tidak ditunjukkan juga perempuan tersebut beragama apa.

Namun, dalam versi novel AAC, Alicia masuk Islam, berkat tulisan esai Fahri soal posisi perempuan dalam Islam yang ditulisnya dalam satu malam saja.

66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Relasi antar bangsa dalam film ini dipertegas dengan relasi antara orang Indonesia dengan yang bukan Indonesia. Bahadur, tokoh antagonis di bus kota, polisi, tahanan, dan Noura adalah warga Mesir yang juga Islam, namun sangat berbeda dalam tingkah laku, moral, dan tindak tanduk. Fahri dalam hal ini adalah korban dari keburukan moral mereka, warga lokal.

Menjadi korban dalam relasi yang tidak seimbang antara orang Indonesia dan

Mesir, menjadikan Fahri berakhir sebagai seorang pahlawan. Dalam persidangan ia akhirnya membuktikan diri tidak bersalah. Ia menjadi pahlawan yang dihadapkan pada tokoh antagonis lainnya.

Dalam 99 Cahaya, relasi Rangga dengan teman-teman yang non-Muslim terlibat dalam perdebatan mengenai ajaran agama Islam. Steven dan Marja seringkali mempertanyakan ajaran Islam. Adapun satu tokoh dosen Rangga, meski paham dengan

Islam, namun dianggap tidak memihak ‘Islam’. Profesor Reinhart tidak mengijinkan

Rangga ujian susulan yang berlangsung pada waktu salat Jumat. Sementara itu relasi yang terterima adalah relasi antara Rangga-Hanum dengan Fatma Pasha (perempuan keturunan Turki) dan Marion Latimer (perempuan Perancis) karena mereka Muslim dan menjalankan Islam dengan kaffah (berhijab).

Pada Haji Backpacker, Mada lebih banyak berinteraksi dengan tokoh yang beragama Islam dari berbagai negara. Mada dekat dengan dunia malam selama di

Thailand. Kedekatannya dengan bule pun dalam lingkup ‘bersenang-senang’. Termasuk dengan tokoh perempuan asal Indonesia yang bekerja di tempat pijat plus-plus.

Sementara itu, relasi Asmara dengan tokoh lain selain dengan orang Indonesia di

Beijing hanya dengan Zhongwen dan pemandu lokal perempuan.

67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam relasi pertemanan, sebagai mahasiswa S2 di kampus yang cukup bergengsi, AAC tidak memperlihatkan diskusi akademik, baik antar mahasiswa ataupun mahasiswa-dosen. Begitu juga dengan Rangga dan teman-temannya di kampus sebagai mahasiswa S3. Diskusi lebih banyak persoalan jodoh, poligami, taaruf, dan persoalan

Islam itu sendiri. Beberapa hal yang menarik dalam obrolan maupun anekdot yang menonjol adalah persoalan bagaimana Islam memandang perempuan, jodoh, dan pertentangan antara Islam dengan yang lain (Kristen Koptik) –Islam sebagai Timur dan

Amerika (Barat/penjajah) serta isu Islam teroris, meskipun hal ini ditolak oleh Fahri dan

Rangga secara implisit. Akan tetapi tidak membendung counter wacana Islam teroris.

Pertemanan antara Asmara dan Zhongwen juga melibatkan pembicaraan seputar agama

Islam. Zhongwen yang agnostik pun akhirnya belajar soal Islam karena mencintai

Asmara. Berujung pada Zhongwen yang masuk Islam, meski Asmara sudah pulang ke

Indonesia.

Dalam AAC salah satu orang Mesir yang lebih memahami Islam secara filosofis berada satu sel dengan Fahri. Tokoh ini digambarkan layaknya orang gila. Dengan bahasa yang nyeleneh, pakaian compang camping dan rambut berantakan. Rangga dan

Hanum (99 Cahaya) belajar lebih banyak soal keislaman pada orang Islam dari Turki dan Perancis (Fatma Pasha dan Marion Latimer). Sedangkan Mada disergap teroris di

Iran karena dianggap mata-mata. Dari paspornya, Mada terlihat bepergian dari satu negara ke negara lain dalam jangka waktu yang terlalu singkat. Namun, tes membaca Al

Quran menyelamatkan nyawanya. Bahkan mereka akhirnya berteman. Mada pun dibantu hingga bisa berangkat ke Mekkah, Arab Saudi.

68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4). Tata Rias Busana

Nurul, dkk. (AAC) Hanum, Fatma & Ayse (99 Cahaya)

Asmara & Zhongwen Sofia (Haji Backpacker) (Assalamualaikum Beijing) Gambar 2. Tokoh perempuan dalam keempat film

AAC menghadirkan empat orang tokoh perempuan, tiga di antaranya beragama

Islam. Satu lainnya beragama Kristen Koptik. Aisha dengan penampilan bercadar, hanya kelihatan matanya yang indah dan berbulu mata lentik. Cadar dan gamis atau baju terusan berwarna gelap/tidak mencolok. Sedangkan dalam wilayah privat antara Aisha dan Fahri, Aisha tidak mengenakan cadar/jilbab yang menutupi kepala. Rambutnya dibiarkan tergerai.

Sementara Nurul dan Noura tampil dalam balutan jilbab lebar, baju longgar, dan rok panjang. Dalam aktivitas privat, mereka juga tidak mengenakan jilbab. Tampil sederhana dengan warna-warna yang teduh, Nurul dan Noura tampil sederhana tanpa make up yang tebal. Mereka berdua tidak tampil mencolok dengan aksesoris yang biasa dan tak terlihat berlebihan.

Maria seorang Kristen Koptik tidak berjilbab dan tampil dalam pakaian yang sopan dan sederhana. Maria mulai berkerudung ketika mengetahui Fahri sudah

69

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menikah. Dalam keadaan bersedih, Maria duduk menghadap cermin sambil mengenakan selembar kerudung merah di atas kepalanya. Sementara Alicia (perempuan

Amerika) tampil dalam baju tanpa lengan dan bertato. Namun pada versi novel AAC,

Alicia masuk Islam dan mengenakan jilbab lebar.

Enam tahun kemudian, dimulai dengan 99 Cahaya yang syuting di Eropa, fashion tokoh di film ini begitu jauh berbeda daripada AAC maupun Ketika Cinta Bertasbih.

Tokoh perempuan dalam 99 Cahaya (terutama yang Muslim) begitu gaya dan menarik.

Mereka memoles wajah dengan tren make up kekinian, pakaian yang modis, dan tetap memenuhi syarat berjilbab (longgar dan menutupi dada). Meski istilah yang digunakan dalam film ini adalah hijab. Tak hanya itu, aksesoris pelengkap seperti sepatu, tas, dan syal (sebelum Hanum berjilbab) semuanya memenuhi standar fashion. Produk kosmetik yang identik dengan perempuan Muslim (Wardah) hadir secara eksplisit dalam film.

Begitu juga ikon desainer hijab, Dian Pelangi, hadir sebagai cameo di film ini. Dalam

99 Cahaya dan AAC menjadi perempuan Muslimharus berhijab (dan gaya?). Hanum pada 99 Cahaya Part 2 pada akhirnya menggunakan hijab. Sebelumnya ada tiga kali proses ‘penjilbaban’ terjadi. Pertama kepada Marion oleh Ayse, momen ini digambarkan sangat sakral dan dengan musik yang menyayat hati, Marion menangis haru. Kedua pada Hanum oleh teman-teman Fatma Pasha, momen ini berjalan biasa,

Hanum dihadiahi kerudung oleh sahabatnya dan coba dipakai. Ketiga kepada Hanum

(lagi) oleh dirinya sendiri dibantu Fatma Pasha di depan makam Ayse pada 99 Cahaya part 2. Momen ini berlangsung haru, tanpa dialog, dan musik pengiring di hampir penghujung film.

Penggunaan jilbab secara modis juga terdapat di film Assalamualaikum Beijing.

Asmara sering menggunakan outer/blazer tebal, jilbab yang gaya, syal panjang, celana

70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

panjang, dan sepatu boots. Sementara dalam Haji Backpacker, tokoh perempuan yang dicintai Mada (Sofia) tampil dengan jilbab modis dan cantik, namun lebih praktis.

Tokoh Su Chan, anak seorang ustaz dan tabib di pelosok Yunnan, memakai selendang saja untuk menutup rambut (tidak dijilbabkan). Mada sebagai tokoh sentral tampil lebih maskulin dibandingkan dengan tokoh pria lainnya. Rangga sendiri tampil lebih elegan, cenderung gaul dengan penekanan aksen intelek (seperti Fahri). Meski Mada dan

Rangga diperankan orang yang sama.

Penampilan sederhana Marya (AAC) Alicia, Ibunya, & Aisha (AAC)

Produk kecantikan Wardah Dian Pelangi (di tengah) (99 Cahaya) (99 Cahaya) Gambar 3. Penokohan dan karakter melalui kostum dan tata rias

71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tampilan modis Hanum setelah berhijab (Bulan Terbelah) Gambar 4. Penokohan Hanum dengan tampilan modis

5. Gaya bahasa

Dalam keempat film ini, bertaburan berbagai bahasa. Film AAC menggunakan beberapa bahasa, yaitu Arab, Jerman, Inggris, dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi bahasa utama yang digunakan dalam keseluruhan film. Meski dengan pencitraan aktor dari berbagai negara, namun mereka fasih berganti bahasa, dari Arab ke Indonesia dan yang lainnya. Dialog publik seperti di bus kota dan sidang pengadilan

Mesir, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.

Begitu juga halnya dengan tiga film lainnya. Tak beda jauh dengan AAC, film 99

Cahaya yang terdiri dari berbagai negara, mereka berbincang dengan bahasa Indonesia.

Seringkali dimulai dalam bahasa Inggris dalam satu kalimat dan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia. Hanya Haji Backpacker yang menjaga agar keberlangsungan dialog tidak terlihat janggal ketika berhadapan dengan tokoh lainnya yang berasal dari beberapa negara. Mada menggunakan bahasa Inggris kepada tokoh lainnya. Sedangkan

Asmara bisa berbahasa Indonesia dengan Zhongwen karena status pekerjaannya sebagai

72

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemandu wisata. Zhongwen bisa berbahasa Indonesia, meski aksen China tak terlihat sama sekali. Interaksi Asmara sendiri memang tidak banyak dengan warga lokal.

73

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab III Dunia yang Dibayangkan Muslim Melankolik: Analisis Naratif Melalui Tingkat Kedua dan Ketiga Atas Keempat Film

Pendahuluan

Dalam penelitian kajian budaya berkaitan dengan teks media (film) diperlukan dua tahapan. Pertama, analisis secara tekstual dan kedua adalah kontekstual. Analisis tekstual diperoleh salah satunya dari analisis naratif dengan menganalisis struktur, bentuk dan bagaimana sebuah film dibangun dan dituturkan.84 Analisis struktural terhadap teks dilakukan dengan membedah struktur pembentukan makna film melalui tiga tingkat makna Roland Barthes. Tahap pertama penelitian ini bertujuan untuk membedah unsur intrinsik film sebagai basis dasar penelitian tesis ini. Analisis tingkat pertama sudah dibahas pada bab sebelumnya. Bab ketiga ini melanjutkan pemaknaan tingkat kedua dan ketiga (Roland Barthes) atas teks film Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di

Langit Eropa, Haji Backpacker, dan Assalamualaikum Beijing. Mempunyai pesan konotatif apa unsur informatif instrinsik yang sudah dibahas di sub-bab sebelumnya.

Setelah itu kita bisa menyimpulkan unsur filmis yang bisa ditemukan dari empat film ini.

Unsur filmis bertujuan untuk menemukan bentuk-bentuk pengalaman kehilangan yang ada di film-film berlatar luar negeri. Seberapa jauh makna kebanggaan terhadap kebesaran Islam dan bagaimana tokoh mengelola pengalaman kehilangan terhadap kejayaan Islam.

84Chris Barker. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius, 2014.Hal 186.

74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Seberapa dalam kehilangan (gejala patologis) yang dihadirkan oleh film dalam membaca fenomena Muslim kelas menengah Indonesia saat ini? Apakah menjadi

Muslim melankolik berarti melanggengkan wacana kolonial? Bagaimana Muslim melankolik ditempatkan di masyarakat Indonesia yang pascakolonial sekaligus pasca-

Orde Baru?

A. Kontestasi Simbol

Mencari makna tingkat kedua berarti menganalisis simbolisasi tentang keislaman dalam empat film. Proses konotasi ini menguraikan makna simbolik (apa saja yang hampir hadir di setiap film tersebut). Bagaimana citra Islam ditampilkan ketika berhadapan dengan berbagai bangsa yang ditemui? Bagaimana orang Islam Indonesia membicarakan keislaman mereka hari ini? Interaksi seperti apa saja yang dibangun serta sedang menyampaikan pesan apa? Setelah sebelumnya ditemukan beberapa unsur intrinsik penting yang dibahas bab sebelumnya, ditemukan beberapa simbolisasi yang dibagi ke dalam beberapa kategori, di antaranya:

1. Narasi Kejayaan Islam di Penjuru Dunia

Empat film ini secara simbolik ingin memperlihatkan jejak kejayaan Islam yang ada di seluruh dunia. Ada usaha melekatkan Islam sebagai sumber peradaban dengan setiap negara yang dikunjungi. Hal ini secara simbolik tampak pada visualisasi film, maupun unsur lain yang tak tampak seperti narasi historis dan laku hidup tertentu.

Keempat film ini menunjukkan rangkaian pencarian (iman) Islam dengan menemui beberapa negara. Perjalanan dari empat film ini mendorong kita untuk melihat perkembangan imaji Islam dari kacamata anak muda Islam kaum perkotaan (kelas menengah) Indonesia. Empat film ini memilih beberapa negara sebagai latar cerita.

75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Citra Islam di mata internasional berusaha ‘direka ulang’. Citra itu ditempatkan di antara masyarakat internasional. Masyarakat internasional yang dianggap sudah terlanjur Islamphobic.

1.1 Sungai Nil dan Peradaban

Pada AAC kita diajak untuk mengenal citra dan imaji Islam di Timur Tengah.

Timur Tengah diwakili oleh Kairo, Al Azhar, Sungai Nil, dan sekitarnya. Timur Tengah bagi orang Islam (Indonesia) sangat berarti. Tempat di mana Islam dan rasulnya lahir dan berkembang. Mekkah, Arab Saudi, adalah gong hidup bagi sebagian besar umat

Islam di Indonesia. Bagi pelajar agama Islam di Indonesia, Al Azhar Kairo adalah

‘kiblat’ pusat studi Islam. Mimpi Fahri dan banyak orang Indonesia lainnya menempuh studi sarjana hingga doktoral di Al Azhar. Fahri mengajak kita ke lokasi favoritnya,

Sungai Nil. Dalam dialog dengan Maria di Sungai Nil, ia mengatakan:

“Sebelum aku ke sini cuma ada dua hal yang bikin aku kagum sama Mesir, yaitu Al Azhar dan Sungai Nil. Karena tanpa Sungai Nil, gak ada Mesir dan gak ada Al Azhar.”

Dibalas oleh Maria:

“Aku juga suka Sungai Nil. Kalau gak ada Sungai Nil, pasti gak ada Mesir. Gak ada peradaban (dunia?). Yang ada hanya gurun pasir. Sungai Nil adalah ‘sumber peradaban’.”

Ditambahkan Maria, bahwa Sungai Nil dan Mesir itu berjodoh. Seperti halnya

Maria dan Fahri. Konsep Sungai Nil yang tak terpisahkan dari Mesir dipinjam begitu saja untuk menarasikan pernikahan kedua Fahri dengan Maria.

76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 5. Adegan Fahri dan Maria di atas jembatan Sungai Nil

Bagi Fahri, gurun pasir yang gersang tetaplah terasa indah. Setelah menikah dengan Aisha, mereka bertamasya di gurun pasir. Tak banyak adegan di sini, hanya

Fahri dan Aisha yang menunggangi unta sambil tertawa riang (gambar 6). Gambar

Sungai Nil muncul beberapa kali dan gurun pasir muncul lagi setelah Maria meninggal.

Di gurun pasir, Fahri dan Aisha berjalan bergandengan tangan (gambar 7) layaknya

Adam dan Hawa? Berjodoh dan tak terpisahkan meski Fahri menikahi Maria walau sebentar.

Gambar 6. Bulan Madu Fahri dan Aisha

77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 7. Fahri dan Aisha berjalan di gurun pasir

1.2 Utang budi peradaban Eropa terhadap peradaban Islam

Kemudian kita diajak oleh film 99 Cahaya ke Eropa yang megah. Kita diperkenalkan dengan narasi sejarah Austria pada saat ‘bertemu’ dengan Islam (Turki):

“Pada awal abad 15, Turki telah berhasil menaklukkan hampir seluruh wilayah Eropa Timur. Di tahun 1683, pasukan Turki di bawah kepemimpinan Kara Mustafa berhasil mengepung pasukan Austria. Namun kemudian, Austria mendapat bantuan militer dari Polandia dan Jerman sehingga mereka berhasil mengalahkan pasukan Kara Mustafa.”

Narasi kekalahan Turki (Islam?) menjadi pembuka film ini, berlatar lukisan perang Austria-Turki dari Museum Albertina, Austria. Narasi ini disampaikan oleh guru di Sekolah Dasar (SD) Ayse (anaknya Fatma Pasha). Seketika itu Ayse dirundung oleh teman sekelasnya karena memakai kerudung dan nama belakang yang sama dengan

Kara Mustafa Pasha. Ayse dianggap ‘teroris’ seperti halnya Kara Mustafa yang menyerang Austria. Kara Mustafa Pasha (1634-1683) adalah pemimpin militer

Kesultanan Utsmaniyah, tokoh sentral dalam ekspansi kekaisaran ke Eropa Tengah dan

Eropa Timur.

Pada kenyataan dalam 99 Cahaya, Ayse dan ibunya Fatma Pasha adalah keturunan dari Kara Mustafa Pasha. Nama belakang mereka menjadi bukti satu-satunya

78

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bahwa mereka satu keturunan. Meski rentang waktu mereka hidup berjarak ratusan tahun lamanya.

Selain narasi sejarah Austria, Hanum mengajak kita mengenal Vienna layaknya mata wisatawan. Seperti mata Hanum memandang Vienna dan lanskap Eropa yang penuh dengan aura magis modernitas. Sekian gedung megah tinggi besar menjulang di pusat kota Vienna, peninggalan zaman dulu yang berjejer rapi di pusat-pusat kota, jalanan lebar dengan kereta trem berseliweran di tengah kota. Vienna yang gemerlap dan modern.

Pemandangan kota Vienna (99 Cahaya) Gereja Stephenplatz (99 Cahaya) Gambar 8. Lanskap Pemandangan Kota Vienna dan Gereja Stephenplatz

Beberapa kali dalam 99 Cahaya, secara eksplisit dikatakan bahwa Islam berperan besar dalam mengembangkan peradaban Eropa. Termasuk dengan beberapa bangunan yang ada di Vienna, terutama yang kelihatan sama dengan karakter Islam atau berhubungan dengan Islam di masa lalu. Ketika melihat Gereja Stephenplatz di pusat kota Vienna, Fatma Pasha mengatakan kepada Ayse:

“Gereja ini bukan sekadar gereja biasa. Gereja ini terinspirasi dari menara- menara masjid di Turki. Nenek moyang kamu jadi inspirator pembangunan gereja ini.”

Seketika Hanum datang dan menyambung omongan Fatma:

“Makanya kamu harus bangga menjadi Muslim, Ayse.”

79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dialog ini menjadi salah satu bentuk penggunaan simbol kebesaran Islam dengan

‘mencaplok’ ikon lokal seperti Gereja Stephenplatz. Simbolisasi yang seolah historis, namun dipakai semena-mena. Konsep kubah dalam Yahudi, Nasrani, dan Islam merupakan budaya padang pasir untuk mengurangi panas.85 Klaim berlanjut pada

Gerbang Kemenangan yang diprakasai oleh Napoleon setelah ekspansi dari Mesir.

Dikatakan bahwa Arc de Triomphe (Gerbang Kemenangan) dengan patung Napoleon menunjuk/mengarah (jika ditarik garis lurus) ke Timur hingga akhirnya menuju Ka’bah,

Mekkah. Hal ini sengaja dilakukan Napoleon, seperti disampaikan oleh Marion (juga

Fatma) karena ia seorang mualaf. Napoleon dan bangunan di pusat kota Paris (tata kota

Paris), Arc de Triomphe dipakai untuk menguatkan klaim kemenangan (penaklukkan)

Islam atas Barat. Dengan pengertian bahwa Napoleon sebagai salah satu pahlawan nomor satu di Perancis ‘takluk’ pada Islam/mengakui Islam. Bahwa tata kota paling modern di dunia (Paris) dibuat sedemikian rupa agar mengarah menuju (Jalan

Kemenangan), Ka’bah, Mekkah.

The Virgin & Child (99 Cahaya) Dari atas Arc de Triomphe, jalan lurus ini menuju ke Mekkah (99 Cahaya) Gambar 9. Perebutan simbol melalui lukisan The Virgin & Child dan Arc de Triomphe)

Begitu juga pada saat Marion memperlihatkan lukisan Maria, The Virgin and

Child di Museum Louvre yang di kerudungnya terdapat tulisan kaligrafi Arab kuno

85https://id. m. wikipedia. org/wiki/Kubah diakses pada Juni 2019 https://m. brilio. net/amp/news/kubah-masjid-bukan-arsitektur-asli-islam-begini-penjelasan- sejarahnya-150708h. html (penjelasan bahwa Kubah bukan berasal dari tradisi Islam), diakses pada Juni 2019.

80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(kufic) Laa Illaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah). Tulisan ini juga terdapat pada pinggir jubah lukisan Raja Rogers yang ada di Museum Vienna. Hanum terpukau.

Begitu juga ketika melihat beberapa artefak lain yang memiliki tulisan Kufic. Meski

Marion mengatakan:

“Jadi dulu seniman melukis huruf-huruf Arab tanpa tahu persis apa artinya.”

Hanum menimpali:

“Jadi pengaruh budaya Islam terhadap kebangkitan di Eropa itu besar sekali, ya. Eropa seharusnya berutang budi terhadap peradaban Islam.”

Pernyataan Hanum dan adegan di Museum Louvre ini menjadi simbol utama film

99 Cahaya untuk mengungkapkan kejayaan/kebesaran Islam (di masa lalu). Padahal pernyataan Marion dan Hanum saling bertolak belakang, namun diabaikan begitu saja.

Museum Louvre dianggap sebagai citra modern Paris sebagai kota budaya dunia.

Dengan adanya tulisan Arab kufic bertuliskan Laa Illaha Illallah (di kerudung Bunda

Maria pula/simbol Nasrani) menjadi semacam ‘klaim’ paling sahih untuk mendaku kebudayaan Eropa yang berutang budi terhadap Islam. Pernyataan Hanum ini berikutnya disampaikan berulang-ulang dalam film ini secara eksplisit. Baik ketika di film 99 Cahaya di Langit Eropa part 1 maupun part 2.

1.3 Meminjam laku backpacker untuk berhaji

Jika di film lainnya simbolisasi kejayaan/kebesaran Islam dituturkan dengan bangunan megah di kota-kota besar Eropa, Haji Backpacker menggunakan simbol lain.

Keunggulan Islam sebagai agama yang mendunia (dengan meminjam imaji penyebaran

Islam melalui Jalur Sutra), kali ini disimbolkan dengan ziarah iman dengan meminjam laku yang lazim oleh masyarakat Barat, yaitu laku backpacking. Masyarakat di Asia,

81

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

khususnya Indonesia tidak punya kebiasaan berkelana antar negara dengan cara menjadi backpacking. Bagi orang Indonesia, laku backpacker adalah hal baru seturut dengan perkembangan tren wisata yang datang dari Barat.86

Mada melakukan backpacking dari Indonesia hingga delapan negara lainnya melalui jalur darat. Meminjam Jalur Sutra seperti yang dilalui oleh pedagang Timur

Tengah dalam menyebarkan Islam hingga masuk ke China bagian tengah pada abad ketujuh.

Di Yunnan, China, Mada diperkenalkan legenda masyarakat setempat. Yaitu

Gunung Naga Jed, tempat ziarah pasangan yang sedang jatuh cinta. Menurut legenda, pasangan akan terjun ke jurang bersama agar selalu terikat cinta selama-lamanya.

Legenda ini seolah ingin mengafirmasi keinginan Mada untuk terikat cinta dengan Sofia selama-lamanya.

1.4 Legenda Cinta Ashima dan Asmara di Beijing hingga Jalur Sutra

Zhongwen begitu menyukai legenda cinta Ashima, putri dari Yunnan, China.

Legenda ini menjadi representasi dari kisah cinta Asmara dengan Zhongwen. Asmara dan Zhongwen membawa kita menemui China dan bangunan bersejarah dari ratusan tahun lalu. Salah satu yang mereka datangi adalah Masjid Niujie, masjid tertua dan terbesar yang dibangun pada tahun 996 di Beijing. Hal ini merupakan ‘bukti/fakta’ dari

86Di era modern, laku backpacker dipopulerkan oleh Kaum Hippies “Gaya traveling backpacker berawal dari perjalanan Kaum Hippies yang terjadi pada kisaran tahun 1950-1960-an. Kaum Hippies melakukan perjalanan dari Eropa menuju India dengan melakukan perjalanan darat.” Dikutip langsung dari https://kumparan.com/@kumparantravel/backpacker-dan-cerita-di-balik- eksistensinya-1537162937594906851diakses pada Juni 2019 Sejarah mula backpacker lainnya bisa dilihat https://magazine.yoexplore.co.id/infografik/sejarah- backpacker/ diakses pada Juni 2019. Backpacker dan wisata bisa dilihat pada penelitian Lisistrata Lusandiana berjudul “Menolak Wisata, Menjadi Warga Dunia?Analisis Identitas Backpacker sebagai Subjek Wisata Alternatif” di IRB, Sadhar tahun 2014.

82

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perjalanan Jalur Sutra yang legendaris. Bahwa kejayaan Islam bisa sampai ke negeri

China, meninggalkan peradaban tinggi yang masih bertahan hingga hari ini.

Asmara juga menekankan narasi penyebaran Islam di China dalam bentuk voice- over sebagai berikut:

“Di abad ketujuh ajaran Islam menyebar dari Timur Tengah masuk ke China tengah melalui Jalur Sutra yang legendaris. Karenanya Islam memiliki sejarah yang kaya di China dan diakui sebagai satu dari lima agama resmi di China. Hanya jumlah pengikutnya yang paling kecil, cuma dua puluh juta umat Muslim. Angka yang fantastis sebenarnya dan sekarang ini aku menjadi salah satu di antara dua ratus lima puluh ribu penduduk Muslim di kota Beijing. Kota yang menjadi keseimbangan tradisi dan perkembangan kota modern. Seperti mereka yang menjaga kemurnian Islam di tengah pemeluk agama lain.”

Hampir di keseluruhan lanskap film ini berusaha menampilkan masyarakat

Muslim yang ada di China. Di bus, pasar, pusat wisata, mata kamera selalu menyorot masyarakat Muslim China yang menggunakan atribut Islam seperti jilbab (pada perempuan) dan peci putih (pada lelaki). Pengambilan gambar ambiens Muslim (lokal) untuk mendukung pernyataan film, bahwa Islam juga populer (berjaya) di China.

Asmara memotret perempuan lokal Lelaki Muslim berpeci di sebuah berjilbab pasar Gambar 10. Kemunculan masyarakat Muslim di sekitar Asmara (Assalamualaikum Beijing)

Dari penjabaran di atas, terlihat pertarungan/kontestasi simbol yang begitu nyata.

Tarik menarik simbol ini berujung pada perebutan/klaim beberapa hal. Kontestasi simbol mencaplok/klaim bermuara pada persoalan narasi sejarah (historis), agama, hingga budaya seperti yang telah dijabarkan di atas.

83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2. Muslim ideal dan heroik

Simbolisasi Muslim ideal dan heroik begitu gamblang di empat film ini.

Tercermin dalam penokohan tokoh utama. Kesamaan tokoh utama di empat film ini adalah mereka muda, rupawan, profesional, bermoral, dan saleh. Mereka berasal dari kelas menengah berpendidikan. Meski berasal dari Indonesia yang seringkali dianggap sebagai warga dari ‘dunia ketiga’ (dalam kacamata Barat dan diamini juga oleh film ini),87 mereka diidolakan dan ‘heroik’ bagi masyarakat dunia. Narasi ini berusaha membalikkan cara pandang terorisme dengan heroisme. Seperti contoh berikut ini;

2.1 Fahri, idola dan pahlawan dari Al Azhar, Kairo88

Fahri adalah sosok ideal bagi mahasiswa Al Azhar, maupun bagi Kairo di film ini.

Ia tak hanya mahasiswa berprestasi yang dicintai oleh dosen dan teman. Fahri dicintai sekaligus oleh empat orang perempuan dari berbagai bangsa.89 Dua orang darinya dipersunting oleh Fahri, yaitu Aisha dan Marya.

Sosok ideal dalam tokoh Fahri tak hanya pintar, tampan, soleh, dan baik (seperti ketika di Kairo, Mesir), namun berprestasi hampir di semua lini. Idealitas Fahri yang berasal dari keluarga sederhana diperkuat pada AAC2 dengan menggenapi identitas

Fahri sebagai pengusaha sukses dan dosen di kampus bergengsi di Eropa, Edinburgh

University!

87Di film Ayat-Ayat Cinta 2 dikatakan secara eksplisit oleh salah satu mahasiswa Fahri: “…sebentar lagi kita dididik seorang dari negara terbelakang.” 88Pada Ayat-Ayat Cinta 2, secara eksplisit Kaira dan Nenek Katarina (Yahudi) mengatakan bahwa Fahri seperti seorang malaikat. Sementara bagi Hulusi (supir sekaligus asisten Fahri) menjuluki Fahri sebagai seorang guru dan memanggilnya Hoca (guru). 89Hal ini tetap berlanjut pada Ayat-Ayat Cinta 2. Fahri menikah (ketiga kalinya) dengan Hulya, sepupu Aisha. Sementara Aisha dengan muka cacat dan bercadar menjadi pembantu di rumah Fahri dan menutupi identitasnya. Namun di akhir film, Hulya meninggal dan Fahri kembali bersama Aisha setelah wajah Aisha dioperasi (diganti dengan wajah Hulya). Salah satu tokoh perempuan (Kaira) memohon untuk dinikahi oleh Fahri karena merasa berutang budi telah dibantu.

84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Fahri yang heroik, membela Alicia (wartawan dari Amerika) di bus kota.

Sementara yang lain mengatakan Alicia dan ibunya kafir. Fahri hanya diam, tak ikut menghujat, malah membela. Ketika yang lain tidak memberikan tempat duduk untuk orang tua Alicia yang sedang sakit, Aisha memberikan tempat duduknya. Ini adalah pertemuan pertama Aisha dan Fahri. Warga Kairo yang ada di bus menolak dan memaki

Aisha dengan mengatakan:

“Mereka kafir Amerika. Kamu tahu apa yang mereka lakukan Amerika di Afganistan, Palestin, Irak, hah? Mereka menuduh Islam itu teroris. Padahal mereka sendiri yang teroris.”

“Jika kamu mahasiswa Al Azhar, kamu harusnya tahu apa yang dilakukan Amerika. Mereka itu bukan orang asing. Amerika itu teroris. Kafir.”

Fahri (berbicara dalam bahasa Arab) mengatakan:

“Muhammad SAW berkata ‘Barangsiapa menyakiti orang asing, berarti dia menyakiti diriku, barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah’.” (Disambung dengan bahasa Indonesia) “Kita boleh benci perbuatan buruk seseorang, tapi harus tetap adil.” (Kemudian Fahri dipukul dan terjatuh).

Tak hanya itu, Fahri pahlawan bagi Noura dan masyarakat Kairo. Seperti cerita

Nabi Yusuf yang dituduh memerkosa, Fahri difitnah Noura karena menolak cintanya.

Namun, persidangan memenangkan Fahri, berita tentang itu dimuat di koran-koran lokal Kairo. Al Azhar tidak jadi memberhentikan Fahri sebagai mahasiswa S2. Ia menang melawan ‘pengadilan’ Mesir.90

90Pada AAC2 Fahri menjadi dosen di kampus Edinburgh, Skotlandia. Fahri pun menjadi pahlawan bagi seorang perempuan Yahudi lanjut usia, bagi Kaira dan adiknya, tetangganya Brenda, juga bagi Hulusi (supir, orang Turki, mantan preman jalanan), Sabina (Aisha), mempekerjakan imigran serta membantu menguruskan izin legalitas tinggalnya.

85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2.2 Hanum, agen Islam yang baik di Eropa

Hanum dan Rangga mewakili pasangan anak muda kelas menengah Indonesia yang ‘sukses’ dan ‘ideal’. Tak hanya tampil gaya, trendi, modis, dan modern (Rangga berpendidikan S3 hingga ke luar negeri, Hanum berprofesi sebagai jurnalis). Modernitas seperti ini meminjam cara pandang ‘Barat’. Hanum dan Rangga lebih ‘sukses’ dari kaum Muslim di Vienna dan Paris serta teman-teman Muslim Hanum lainnya (hanya tiga orang, Fatma dan dua lainnya). Tampilan luar ini menegaskan mereka yang muda dan berprestasi ingin menjadi agen Muslim yang baik di tengah Eropa (yang

Islamphobic). 99 Cahaya menegaskan secara eksplisit persoalan apa itu menjadi

Muslim dan menjadi agen Islam. Seperti yang dikatakan oleh Fatma Pasha:

“Dengan jilbabku, aku wajib menjadi agen Islam yang baik. Jadi berkah, ikhlas dan membawa kedamaian bagi siapapun. Termasuk mereka yang tidak beragama Islam.”

Salah satu bentuk praktis menjadi agen Islam yang disampaikan oleh Fatma Pasha adalah dengan membayar makanan orang yang telah menghina mereka (Islam). Hal ini terjadi dua kali. Satu, di 99 Cahayapart 1 ketika seorang warga lokal Vienna menceritakan histori roti Croissant yang mewakili kekalahan orang Turki. Kedua, ketika Hanum dan Rangga membayar makanan petugas keamanan Mezzquita, Cordoba,

Spanyol.

Imaji menjadi agen Muslim yang baik di Eropa terkesan bertolak belakang dengan aktivitas keseharian mereka. Hanum dan Rangga sebagai warga pendatang di Vienna, hanya berinteraksi dengan orang-orang tertentu. Menetap selama tiga tahun, mereka tetap‘terpisah’ dari masyarakat Vienna. Mereka tak pernah terlibat dengan masyarakat

Vienna. Salah satu tokoh yang menggambarkan ‘penduduk lokal’ adalah Alex yang berada satu bangunan apartemen dengan mereka. Alex berteman dengan Hanum setelah

86

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mencicipi mie goreng dan ikan asin yang sebelumnya menjadi sumber konflik mereka.

Tak jelas identitas Alex seperti apa, apakah warga Vienna atau pendatang/imigran juga seperti Fatma dan teman-temannya?

Memberi makanan sebagai bentuk Ikan asin yang akhirnya disukai Alex Menjadi agen Islam di Eropa Gambar 11. Hanum memberi mie goreng dan ikan asin kepada Alex (99 Cahaya)

Rangga dalam beberapa hal berusaha bernegosiasi dengan permasalahan agama dan perkuliahan, tak seperti Khan yang marah dan tak mau bernegosiasi;

“…Gila itu Profesor Reinhart! Kalau saya dikasih banyak PR dan banyak kerjaan, tidak ada masalah, tapi kalau dia minta saya untuk mengorbankan ibadah saya demi ujian, itu keterlaluan.... Untuk masalah ibadah saya tidak bernegosiasi.”

Rangga adalah mahasiswa berprestasi kesayangan Profesor Reinhart. “Gak heran ya, Profesor Reinhart memuji disertasi kamu setinggi langit,” ucap Steven satu kali ketika ‘kalah’ berdebat soal makanan halal-haram.

“Masak sih, siswa brilian kayak kamu belum siap ujian?” ucap Marja yang melihat Rangga masygul karena jadwal ujian jatuh pada waktu salat Jumat.

“Karena kamu mahasiswa kesayangan Profesor Reinhart, kamu coba bicarakan saja soal perubahan jadwal ujian,” saran Steven.

Rangga adalah mahasiswa yang terpilih untuk presentasi di Paris. Ia juga terpilih untuk pesta bergengsi bersama Marja. Pada saat kelulusan, Rangga mahasiswa yang berpidato mewakili yang lain. Rangga menjadi mahasiswa unggul dibanding yang lainnya.

87

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain Hanum dan Rangga, karakter ideal pada 99 Cahaya adalah Ayse Pasha, anak dari Fatma Pasha. Masih usia belia, Ayse teguh berhijab. Meski dirundung teman sekelasnya karena berhijab, guru sekolah menyuruh menanggalkan hijab, ia tetap menggunakannya. Hingga pada 99 Cahaya part 2, sebelum meninggal karena kanker,

Ayse meminta dipakaikan hijab. Ayse mengatakan malu jika nanti bertemu malaikat karena rambutnya botak. Ayse juga yang memasangkan hijab pada Marion (mualaf) sebelum belajar mengaji hingga Marion tersentuh dan menggunakan hijab setelahnya.

Berkat Ayse juga, Hanum terinspirasi memakai hijab (di depan makam Ayse).

Ayse minta dipakaikan hijab sebelum Hanum memutuskan berhijab di meninggal makam Ayse Gambar 12. Pengerudungan terhadap Ayse dan Hanum (99 Cahaya part 2)

2.3 Mada, Haji Backpacker yang maskulin

Maskulinitas Mada terasa ambigu. Sosok Mada dengan karakter maskulin hingga mempertanyakan Tuhan tak lain disebabkan oleh kehilangan perempuan yang dicintainya, Sofia. Jauh di masa kecil, Mada kehilangan ibunya. Hanya karena cinta ditolak, Mada melawan orang tua hingga Tuhan, mempertaruhkan nyawa dan keimanannya?

Perjalanan backpacking dipicu oleh perkelahian Mada dengan seorang gengster.

Perkelahian ini menyebabkan lawan terbunuh dan Mada terluka di bagian perut.

Peristiwa ini mengharuskan Mada meninggalkan Thailand. Kelompok gengster ini mencari Mada untuk balas dendam. Pada saat yang sama, Mada menerima kabar kalau

88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ayahnya meninggal dunia ketika melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Maka dimulai perjalanan Mada menjadi backpacker untuk ‘menemui’ sang ayah.

Peristiwa maskulin sekaligus heroik kedua adalah ketika Mada ditangkap ‘teroris’ yang beragama Islam di Iran. Mada dituduh sebagai mata-mata. Dibawah ancaman popor senjata dan pukulan yang bertubi-tubi, Mada harus membuktikan dirinya seorang

Muslim (dari Indonesia), bukan mata-mata Israel. Mada berhasil membuktikan dirinya dengan ‘adab’ membaca Al Quran yang benar. Sebelum membaca Al Quran (Surat

Yassin), ia meminta ikatan tangannya dilepas karena mau mensucikan diri. Mada mensucikan diri dengan tayamum (memakai debu yang ada di meja untuk berwudu).

Mengubah posisi Al Quran dengan ‘benar’ dan mulai membacanya. Dengan wajah khidmat dan suara yang merdu (lipsing), Mada melantunkan Surat Yassin. Belum sampai selesai, pimpinan ‘teroris’ memeluk Mada penuh haru sambil mengatakan,

“Sudah cukup. Kamu seorang Muslim yang baik. Kamu saudara saya.” Tak hanya berhasil menyelamatkan nyawanya, Mada akhirnya berteman dengan ‘teroris’ tersebut dan memuluskan jalannya menuju Mekkah. Dengan keislamannya, Mada menaklukkan

‘teroris’ di Iran.

Penampilan maskulin Mada Mada bertayamum, bersiap membaca Al Quran di bawah ancaman senjata Gambar 13. Penampilan Mada dan adegan membaca Al Quran di bawah ancaman (Haji Backpacker)

Meski bekerja serabutan dalam perjalanan backpacking, Mada berakhir menjadi pekerja kerah putih di Arab Saudi. Standar ideal manusia modern khas ‘Barat’. Menjadi

89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

manusia sukses dengan standar tertentu (mempunyai pekerjaan yang bagus), di luar negeri pula.

2.4 Asmara dan Zhongwen, kisah cinta ideal

Seperti yang lain, Asmara adalah perempuan independen dengan pekerjaan sebagai seorang jurnalis kolom di Beijing. Cantik, pintar, profesional, dan percaya diri.

Asmara tak takut hidup sendiri (menjomblo) setelah membatalkan pernikahannya dengan Dewa. Asmara kecewa begitu mendengar Zhongwen bukan seorang Muslim.

Namun, Asmara tetap membelikan peci untuk Zhongwen.

Kisah cinta Asmara dan Zhongwen seperti halnya kisah cinta Putri Ashima dari

Yunnan. Bagi Sekar (teman Asmara), kisah cinta mereka jauh lebih romantis dari kisah cinta di film-film Korea (Selatan). Zhongwen yang agnostik memilih memeluk Islam, menikahi Asmara meski sakit. Pengorbanan cinta Zhongwen kepada Asmara bak kisah cinta Ashima dengan Pangeran Hue yang melegenda.

3. Identifikasi diri dari other/liyan (meliyankan)

Salah satu garis merah penghubung dalam beberapa film ini adalah afirmasi

Muslim Indonesia di antara Muslim lainnya di berbagai negara yang disentuh oleh karakter tokoh utama. Mereka mengidentifikasi diri lewat other/liyan. Dalam membincangkan liyan Muslim ini terdapat semacam pernyataan implisit mengidealkan

Muslim Indonesia.

Lebih luas, liyan di empat film ini adalah masyarakat global dari berbagai negara.

Mereka bertemu (namun tak sepenuhnya berinteraksi) dengan orang-orang dari berbagai negara. Mereka ingin diterima/diakui di dunia global yang berarti ingin menjadi

90

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kosmopolitan, menjadi warga dunia. Pengadeganan dan scene dalam film ini justru mempertebal identitas mereka (Muslim Indonesia). Namun, karakter liyan digunakan terbalik. Penokohan liyan tak serius dan solid dalam garapan empat film ini. ‘Wagu’ ketika karakter berbagai negara bisa berbahasa Indonesia-Inggris (dan bahasa lainnya) saling bergantian tanpa alasan yang logis.

Ada beberapa tahap peliyanan dalam empat film ini. Pertama, tahap mengenali liyan. Mereka (tokoh utama) dipertemukan dengan beragam liyan. Liyan sesama

Muslim selalu muncul di dalam film ini. Begitu juga liyan dari berbagai agama dan negara. Interaksi mereka dengan liyan dipandang dalam kacamata tokoh utama.

Memandang liyan, membuat mereka membedakan diri dari yang lain. Simbol agama lain dalam liyan hadir tak hanya dalam laku ibadah, namun juga dalam nama, seperti nama Marya (Marja) sering muncul di film ini. Terkadang liyan tak diperkenankan untuk ‘menjelaskan’ dirinya. Seringkali liyan muncul dalam stereotyping tertentu, seperti kasus Steven, Marja, dan Alicia.

Kedua, tahap ditolak liyan (viktimisasi). Mereka selalu berkonflik dengan liyan.

Konflik berujung ditolak liyan dan mengalami kekecewaan. Alasan penolakan lebih banyak karena masalah agama. Entah karena memakai jilbab, salah paham karena

Islamophobia, dan lain sebagainya. Hal ini ditengarai oleh pengalaman menyakitkan dan merusak kebanggaan diri (dan Islam). Fahri masuk penjara karena tuduhan memerkosa. Maupun pertengkaran di buskota karena warga Amerika yang dikatakan sebagai antek zionis.91 Adegan-adegan ini merupakan bentuk lain dari viktimisasi, memakai wacana korban. Bahwa Muslim (Indonesia) selalu terzalimi (seringkali oleh

91Begitu juga penolakan Fahri oleh tetangganya hanya karena ia seorang Muslim. Bapak Keira dan Jasson meninggal dalam peristiwa peledakan bom di London.Tak jelas apakah pelaku teror seorang Muslim atau tidak.Tetapi narasi film (Jasson dan Keira selalu menyalahkan Fahri atas peristiwa tsb.) seolah-olah menyalahkan Fahri karena mempunyai kemiripan dengan peristiwa tersebut.

91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Barat), namun tak jarang oleh Muslim (selain Indonesia) yang belum kaffah. Dalam 99

Cahaya digambarkan oleh adegan ketika Fatma Pasha ditolak bekerja di sebuah butik.

Alasannya adalah karena Fatma memakai hijab, begitu kesimpulan Fatma dan Hanum.

Begitu juga dengan konflik Rangga dan Profesor Reinhart. Meskipun ia mengerti

Islam dan ajarannya, bukan berarti Profesor Reinhart memihak Rangga dan memberi

‘toleransi’. Begitu juga penyekapan dan penyandraan yang dialami Mada oleh ‘teroris’ di Iran pada Haji Backpacker. Zhongwen yang agnostik dan mempertanyakan syariat keislaman layaknya Steven yang mempertanyakan hukum Islam dan laku hidup seorang

Muslim.

Ketiga, tahap dialogis/kompromi dengan liyan. Langkah dialogis menyelesaikan konflik adalah dengan cara menjadi agen Islam yang baik, berprestasi, modern, dan pintar. Atau menunjukkan ‘keunggulan/kehebatan’ seorang Muslim.

Sehingga akhirnya terterima/diakui di dunia global (Barat). Liyan pada akhirnya mengakui keunggulan Muslim (Indonesia), dengan itu mengakui Islam.

Keempat, liyan akhirnya mengakui/takluk. Agar liyan ‘takluk’, segala cara mesti dilakukan. Tujuannya membuat liyan jera dan mendapatkan hukuman sehingga mengakui ‘Islam’. Sebagai contoh, Steven kecelakaan, Dewa tak bisa lagi merebut hati

Asmara. Lalu Noura dan Bahadur92 yang ketahuan belangnya di pengadilan. Pada akhirnya liyan menerima ‘hidayah’, mengakui Islam, dan menjadi mualaf. Bentuk lainnya adalah azan di Menara Eiffel. Zhongwen, Alicia, Marion, dan

Maryamengucapkan syahadat, menjadi mualaf. Bagi liyan Muslim akhirnya terdorong untuk menjadi kaffah. Tak utuh menjadi Muslimah jika tidak menutup aurat. Untuk itu secara simbolis, mereka dijilbabkan (bentuk politisasi tubuh perempuan?).

92Pada AAC2, Bahadur mati ditembak polisi.

92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Rangga azan dari Menara Eiffel (99 Zhongwen mempelajari Islam dan Cahaya) menjadi mualaf (Assalamualaikum Beijing) Gambar 14. Adegan Rangga azan dari Menara Eiffel (99 Cahaya) dan Zhongwen mempelajari Islam untuk menjadi mualaf (Assalamualaikum Beijing)

B. Mencari Filmis:Objek (a) yang Hilang

Naik pada level ketiga dari tiga tingkat makna Roland Barthes tak pernah mudah.

Sebuah usaha untuk menemukan unsur filmis di luar film juga di luar bahasa dan meta bahasa. Filmis tak bersifat mekanis. Maknanya sangat liar, oleh karena itu menemukan filmis mesti dibantu dengan kajian ilmu yang lain. Dalam hal ini saya meminjam teori psikoanalisa Lacan, khususnya objek a dalam pemenuhan hasrat. Dalam fotografi, objek a sejajar dengan punctum, yaitu titik kosong (Gaze) di dalam karya seni, merupakan pertemuan subjek dengan objek.

Untuk menemukan makna ketiga (filmis/objek a) kita harus menemukan terlebih dahulu simptom yang ada. Simptom adalah jejak-jejak yang muncul dari sebuah represi akan lack. Di dalam bahasa, simptom muncul dalam fase imajiner dan simbolik , seperti yang sudah diuraikan pada makna kedua sebelumnya.

Mengapa objek a begitu penting dan setara dengan filmis? Objek a (object of desire) merupakan hasrat yang selalu ingin dicapai oleh setiap subjek bahasa. Yaitu subjek yang berhasil dikastrasi oleh bahasa (hukum sang ayah). Kastrasi ini (lacking) menyebabkan orang menjadi ‘normal’. Pemenuhan akan hasrat (desire) ini merupakan sesuatu yang nikmat (jouissance phallic). Namun kenikmatan ini masih bersifat

93

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

patologis/sakit karena masih berada di dalam koridor hukum (sang ayah, agama/sosial/negara). Di dalam film, hasrat ini adalah roh utama dari film tersebut, yang mengendalikan/mendorong berjalannya alur dan plot sebuah film.

Objek a muncul di tataran simbolik. Tujuan menemukan objek a untuk mengetahui landasan identifikasi diri subjek. Jejak-jejaknya terlihat pada makna tingkat kedua yang sebelumnya (makna tingkat kedua Roland Barthes). Objek a dalam teori psikoanalisa disebut juga sebagai lack, lubang yang menganga di dalam diri subjek

(bahasa). Subjek bertahan hidup dengan menutupi lack agar terasa utuh. Proses tersebut menyenangkan dan nikmat. Karenanya dilakukan terus-menerus. Namun tetap tidak pernah bisa utuh. Objek a dijadikan pintu masuk untuk kembali mengingat (kehilangan).

Objek a harus simbolik, disebut juga reminder (residu/sisa-sisa/jejak/pengingat) akan kehilangan sesuatu. Objek a harus bersentuhan dengan imaginer (apa yang diingat oleh image). Dalam hal ini sangat berhubungan dengan liyan. Objek a mendorong orang kembali ke pengalaman (personal/primordial) sehingga bersinggungan dengan real.

Namun, apakah menemui objek a ini membuat mereka berhasil sampai kepada tataran real (sublimasi)? Atau orang tetap merasa kehilangan?

Setelah memaparkan makna simbolik yang dibahas pada makna tingkat kedua, kita bisa uraikan ke dalam dua pokok objek/desire yang terdapat di empat film ini, yaitu:

1. Moralitas

Normatif, bahwa yang ideal itu adalah yang bermoral, yaitu Islam yang kaffah.

Menandai diri sebagai yang ideal, dari proses imajiner dengan liyan. Tak ada yang sama dengan dirinya/tak ada yang seideal dirinya. Dalam hal ini, tokoh utama dalam empat film ini merupakan sosok yang ideal dan heroik. Ia menjadi sorotan ideal oleh tokoh

94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lainnya. Salah satu sosok yang tidak begitu ideal di awal film adalah Mada. Namun pada akhirnya Mada bertobat, berhaji ke Mekkah, Arab Saudi, menjadikannya seorang

Muslim yang baik dan ideal.

Empat film ini menjadikan liyan sejajar dengan demon/kafir, ateis, berperilaku bebas, konyol, seenaknya melanggar ‘aturan’, dan tidak mendapatkan hidayah. Fahri, di antara liyan yang tak bermoral justru memperlihatkan sosoknya yang semakin ideal.

Fahri memperlakukan perempuan yang menyukainya sesuai etika moral yang berlaku

(dalam Islam). Meski Mada seorang petarung dan pemarah, ia tetap mempertahankan moral yang baik sebagai seorang Muslim yang beriman. Jauh di dalam hatinya, ia tetaplah seorang Muslim yang baik dan beradab. Walaupun ia secara tak sengaja telah membunuh orang, pertobatannya diterima.

Film ini mengusung standar moralitas pada keislaman tertentu (berislam secara kaffah). Kecenderungan memaksakan idealitas keislaman tertentu. Berislam harus utuh

(kaffah), kalau tidak, kita jadi berbeda (seketika meliyankan). Yang ditakutkan dari hal seperti ini adalah berujung menjadi fasis? Ada beberapa contoh simbolik yang bisa menjelaskan hal tersebut:

Penggunaan nama Marya dan Marja adalah simbolik yang tampak dalam memandang liyan dalam relasi kuasa agama (Islam-Nasrani). Meski pada akhirnya

Marya (AAC) masuk Islam, menjadi mualaf, ia harus berkerudung agar diterima (karena disandingkan dengan Aisya yang bercadar). Hal ini dapat kita lihat dalam adegan Marya mengerudungi dirinya di bawah salib. Proses ini dianggap ‘tanpa paksaan’ karena ia sendiri yang melakukannya. Scene ini dapat kita artikan mengambil alih relasi kuasa oleh yang Islam terhadap Marya yang Kristen Koptik.

95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tak hanya sampai di situ, Marya (Kristen Koptik) tidak berislam sedari lahir, artinya Islam tak begitu mendarah daging darinya, ia harus dihentikan agar tidak menjadi ‘pengganggu’ kebahagian Fahri dan Aisha. Jelas ia adalah ‘pendatang’, meski sudah mualaf, posisinya tak cukup kuat untuk membuatnya bertahan. Sedangkan pada

Marja di 99 Cahaya, ia jelas bukan bagian dari Hanum dan Rangga (beserta Fatma

Pasha dan Marion Latimer). Meski ia mahasiswa S3, cantik, dan seksi, namun secara moralitas gagal masuk ke lingkaran ‘ideal’. Begitu juga dengan Steven yang menjadi olok-olokan dan terlihat bodoh.

Dewa (Assalamualaikum Beijing), meskipun ia Islam, namun kelakuannya tak sesuai adab, ia tak layak mendapatkan Asmara (sosok ideal). Dewa, akibat perselingkuhannya dengan Anita, tak mendapatkan kesempatan kedua. Ia ‘terusir’ dari lingkaran ideal. Zhongwen kemudian diizinkan masuk ke dalam zona ideal Asmara karena menjadi mualaf.

Mada, meski ia sempat mempertanyakan Tuhan, membunuh orang, dan berkencan dengan perempuan malam, namun karena masih ada iman dan Islam di hatinya, ia diberi kesempatan kedua. Perjalanan berat sebagai backpacker dianggap mampu menebus moralitas yang tadinya buruk. Salah satu yang menjadikan iman dan Islam masih ada di dalam dirinya, yaitu ketika ia disuruh membaca Al Quran oleh ‘teroris’ di Iran.

Suaranya bagus, adab Mada memperlakukan Al Quran terpuji. Ia ‘dihadiahi’ berhaji ke

Mekkah.

2. Agama

Subjek neuroris obsesional menjadikan agama sebagai objek a. Empat film ini masih bersifat represif, belum sampai kepada sublimasi. Represif yang bersifat

96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

melankolik. Beberapa contoh dari empat film ini menjadikan agama sebagai hasrat

(objek a).

2.1 Agama (Islam) sebagai objek libidinal

Tindakan tokoh utama dalam film ini selalu ingin berada di koridor (hukum)

Islam. Apa pun tindakan mereka selalu dipayungi oleh hukum Islam. Seperti perdebatan yang selalu terjadi antar tokoh utama dengan liyan selain Muslim. Ketika Rangga berdebat dengan Steven, Asmara dengan Zhongwen, selalu menjelaskan soal hukum

Islam mengapa tak boleh berpacaran, makan babi, dan bersentuhan tangan karena bukan mahrom. Bahkan Mada pun dipertanyakan agamanya oleh bapaknya Su Chun. Jika ia tak beragama Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan justru beragama Islam, lalu mengapa tak salat?

Ketika Fahri salat (AAC) Rangga & Khan salat di ruang doa(99 Cahaya)

Mada salat di India Asmara salat di Masjid Nijeu (Haji Backpacker) (Assalamualaikum Beijing) Gambar 15. Adegan salat oleh tokoh utama di setiap film

Di setiap film semua tokoh melaksanakan salat. Bahkan di dalam penjara yang kumuh sekalipun, Fahri tetap melaksanakan salat lima waktu. Salat menjadi masalah keseharian Rangga dan Khan karena harus dilaksanakan di ruang doa umum untuk

97

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berbagai agama. Protes Khan juga karena lokasinya di sebelah dapur umum. Rangga bahkan membaca Al Quran di perpustakaan ketika galau akan jadwal ujian yang bertepatan dengan salat Jumat. Asmara bahkan salat di sebuah masjid tua di Beijing.93

Adegan penjilbaban menjadi salah satu hal yang penting di setiap film ini.

Penjilbaban kepada Marion yang mualaf oleh Ayse, kepada Hanum di kuburan Ayse oleh Fatma Pasha, dan Marya kepada dirinya sendiri di depan cermin. Marya menutup rambutnya dengan kerudung ketika ia patah hati menemukan kenyataan bahwa Fahri sudah menikah dengan Aisya.94 Adegan penjilbaban ini dibuat sebegitu dramatis, tak jarang berurai air mata dan musik yang sendu. Seolah ingin menggambarkan ‘hidayah’ yang diterima oleh masing-masing tokoh.

Maria mengerudungi diri Marion dikerudungi Ayse sendiri (AAC) (99 Cahaya)

Hanum dikerudungi atas keinginan Zhongwen dipasangkan peci sendiri di makam Ayse (99 Cahaya2) (Assalamualaikum Beijing) Gambar 16. Adegan pelekatan simbol Islam (kerudung/peci) kepada tokoh

93Di film Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri bahkan salat di ruang kelas. Adegan Fahri salat di ruang kelas sebelum memulai perkuliahan menjadi bahan perbincangan dan perundungan oleh mahasiswanya. Namun Fahri beralasan jika ia memilih di tempat lain, maka jadwal perkuliahan akan molor karena lokasinya lebih jauh. Sementara sebagai seorang dosen, Fahri punya kantor yang bersifat privat, mengapa ia tak salat di kantor? 94Di film Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri meminta Hulya untuk memakai kerudung. Duduk di bangku taman, Fahri memasangkan selembar kain ke atas kepala Hulya. Adegan ini berlangsung secara dramatis dengan latar tempat yang eksotik di kala senja.

98

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Begitu juga dengan adegan Zhongwen dipakaikan peci oleh Asmara. Meski

Zhongwen mengatakan dirinya bukan Islam, Asmara tetap menghadiahkannya peci.

Peci adalah simbol seorang Muslim. Memakaikan peci bagi Zhongwen layaknya memakaikan jilbab pada seorang perempuan. Adegan Zhongwen menjadi mualaf dibuat secara dramatis. Penandaan terhadap pemenuhan aturan-aturan Islam, menutup aurat, tidak berjabat tangan (laki-perempuan), taaruf (bentuk penolakan terhadap laku berpacaran), adalah kenikmatan dan kepatuhan dalam menjalankan aturan Tuhan.

Mada berkali-kali bermimpi dan mengalami kejadian ‘mistis’. Penyesalan- penyesalannya disalurkan di alam mimpi. Begitupun penyelesain terhadap berbagai masalahnya hadir di alam bawah sadar. Secara eksplisit disebutkan bahwa Mada sedang belajar Tasawuf.

Mimpi Mada Mada bertemu ayah (alm) di Mekkah

Gambar 17. Penyesalan-penyesalan Mada yang muncul dalam mimpi (Haji Backpacker)

Pada awalnya, di Thailand dan Vietnam Mada mimpi melihat dirinya mati. Ia melihat dengan jelas wajahnya yang sudah mati. Kemudian mimpi terbang dengan balon udara yang besar, namun terjatuh karena balon tertusuk kubah. Di India, Mada bermimpi bertemu dengan Sofia. Masalah di antara mereka selesai di dalam mimpi.

Sofia memberi Mada tasbih. Namun ketika terbangun di kala subuh, Mada menemukan tasbih tersebut berada di dalam genggaman tangannya.

99

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di Thailand Mada bermimpi bertemu dengan sang ayah. Di dalam mimipi sang ayah menyuruh pulang, namun Mada menolak. Ayahnya memakai pakaian ihram

(pakaian haji), percakapan mereka berdua berujung ayah Mada terjun ke jurang. Ketika sampai di kuburan jemaah yang wafat ketika berhaji, Mada melihat ayahnya berjalan beriringan bersama jemaah lain dan tersenyum padanya.

Tulisan Arab kufik di kerudung Bunda Maria (lukisan The Virgin and Child) dan di artefak yang berada di Museum Louvre menjadi penanda sesuatu yang Islam bagi

Hanum dan film ini. Ia melegitimasi Bunda Maria (yang Nasrani) sebagai Islam.

Hanum dan Rangga pada akhirnya menunaikan ibadah haji ke Mekkah, begitu juga dengan Mada. Berhaji adalah bentuk kepatuhan ‘ideal’ yang menjadi pamungkas dalam rukun Islam kelima. Menandakan kepatuhan kepada sang Khalik dengan menjalankan perintahnya (lima rukun Islam).

Keyakinan/iman (pada Tuhan) merupakan salah satu bentuk paling jelas dari pemenuhan objek a agama. ‘Other’ dalam agama adalah liyan yang penuh, di film ini

Mada mencari-cari Tuhan hingga mengelilingi sebagian dunia dan menemukannya hingga ke Mekkah. Rangga, Fahri, dan lainnya, menjadikan Tuhan sebagai alasan dari segala tindak-tanduknya. Asmara yakin bahwa Tuhan akan memberikan jodoh yang baik padanya.

2.2 Kehilangan kebanggaan Islam sebagai objek a (filmis)

Ada beberapa perasaan kehilangan terhadap kebanggaan Islam yang terlihat jelas dalam film ini. Kehilangan ini menjadi garis merah paling jelas dalam empat film ini.

Hal ini dapat dijadikan gambaran/representasi dari masyarakat Muslim Indonesia zaman sekarang. Beberapa objek a yang menandai kehilangan tersebut adalah:

100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pertama, Pencarian jejak kejayaan Islam. Ayat-Ayat Cinta mengafirmasi kejayaan Islam di Mesir. Bahwa Sungai Nil adalah ujung tombak dari peradaban

(dunia). Tanpa Sungai Nil tak ada peradaban dunia. Hanum secara eksplisit mengatakan mempunyai misi untuk mencari jejak-jejak Islam di Eropa. Dengan hasrat itulah ia berkeliling di Eropa, melihat kota, masuk ke museum, dan menggunakan ‘logika historis’.95 Sementara pada Haji Backpacker dan Assalamualaikum Beijing mengafirmasi sejarah Jalur Sutra, yaitu sejarah penyebaran Islam di Asia.

Kopi Capuccino sebagai minuman khas Italia, menurut Fatma, berasal dari biji kopi yang ditinggalkan oleh pasukan Turki sewaktu melakukan ekspansi ke Austria.

Biji-biji kopi inilah yang diolah menjadi Capuccino seperti yang kita kenal sekarang.

Napoleon masuk Islam ungkap Fatma dan Marion Latimer. Pada saat memasuki

Museum Louvre, Marion bertanya kepada Hanum, “Tahukah Hanum, kota mana yang disebut The City of light?” Hanum menjawab, “Paris kan, kota ini?” Marion melanjutkan, “Bukan. Ada kota yang menjadi inspirasi Eropa sehingga semaju sekarang ini. Filsuf Ibnu Rusyd atau Averroes, ilmuwan Muslim yang membuka jalan Eropa menjadi peradaban yang cerah. Yaitu Cordoba!”

Marion melanjutkan, “Paris itu tidak hanya Menara Eiffel, aku menemukan imanku di sini. Kota ini juga menyimpan banyak misteri peradaban Islam.” Hal yang dimaksud adalah lukisan The Virgin and Child.

Kedua, Hilangnya kebanggaan terhadap Islam. Perasaan kehilangan kebanggaan terhadap Islam ini selalu muncul di empat film ini. Bagi Fatma, kebanggaan terhadap Islam terkikis karena Kara Mustafa yang melakukan ekspansi ke

Eropa. Sehingga citra terhadap Islam di Austria sangat dipengaruhi oleh hal ini. Pada

95Pada sekuel keempat 99 Cahaya yaitu Bulan Terbelah di Langit Amerika Part 2, film ini mengemukakan tesis (mengambang) soal penemuan benua Amerika oleh Muslim China, Laksamana Cheng Ho. Namun tesis film ini tidak berhasil dan dibiarkan mengambang begitu saja.

101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

saat mengunjungi Museum Albertina Austria, Fatma dan Ayse menangis dan terpaku menatap lukisan Kara Mustafa. Fatma mengatakan, “Ayo Hanum, kita biarkan Kara

Mustafa menempati malam-malamnya di sini, menyesali sendiri atas apa yang dilakukannya.”

Fatma, Hanum dan Ayse di depan Hanum sujud di Mezzquita lukisan Kara Mustafa (99 Cahaya) (99 Cahaya part 2) Gambar 18. Respon Fatma menyesali Kara Mustafa ketika di museum Albertina Austria dan Hanum yang dengan spontan sujud di Mezzquita.

Mezzquita (sekarang menjadi katedral) dianggap sebagai salah satu bentuk jejak peradaban Islam di Eropa. Namun, seringkali terjadi orang Islam bersujud di dalam

Mezzquita. Hanum sendiri secara spontan sujud di Mezzquita (99 Cahaya part 2) dan kemudian diusir oleh satpam setempat.

Begitu juga ketika menelusuri ‘jejak kejayaan Islam’ di Paris, Perancis, merupakan pengalaman yang berharga bagi Hanum. Secepatnya ia ingin menceritakannya kepada Fatma. Hanum dalam voice-over mengatakan:

“Fatma, sejarah telah mencatat ada garis imajiner lurus yang menghubungkan bangunan dan jalanan di Paris ini ke satu titik. Jalan yang membuat siapapun jatuh cinta dengan Eropa, Voie Triomphale yang artinya jalan menuju kemenangan….”

Perasan bangga dibagi dengan suaminya, Rangga. Rangga yang diliputi perasaan bangga sekaligus kehilangan (karena yang terlihat riil adalah Paris hari ini), melakukan azan di Menara Eiffel. Suaranya menggema ke penjuru kota Paris, menyapu hingga pelosok kota Paris di waktu senja.

102

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di zaman modern, hancurnya kebanggaan terhadap Islam dipertegas oleh

Peristiwa 11 September 2001. Hal ini tampak pada sekuel 99 Cahaya ketiga yang berjudul Bulan Terbelah di Langit Amerika Part 1. Film ini mengatakan dunia terbelah sejak peristiwa tersebut. Voice-over suara Hanum sebagai narasi pembuka di film ini mengatakan;

“Dunia terbelah sejak peristiwa itu. Kami yang juga menjadi korban dan kerap disudutkan akan berteriak lebih lantang menjaga keyakinan ini…untuk menyatukan yang terbelah. Dunia tanpa Islam adalah dunia tanpa kedamaian.”

Pernyataan Hanum diiringi oleh video perang Israel-Palestina dan kliping koran penyerangan terhadap Islam di berbagai tempat. Tokoh pembantu utama film ini, Azima

Hussein berganti nama menjadi Julia Collins, melepas hijab dan suaminya dituduh sebagai teroris penyebab hancurnya Gedung World Trade Centre (WTC). Namun, ternyata ia menutupi rambutnya dengan rambut palsu. Hanum bertanya, kapan ia terakhir menggunakan hijab dan kenapa mengganti nama? Azima melepas rambut palsunya dan mengatakan, “Aku tak pernah benar-benar melepaskannya. I love

Islam,but I lost the pride.”

Mengomentari hal ini, dalam voice-over Hanum mengatakan:

“Seharusnya kebanggaan berislam hadir di setiap hati seorang Muslim. Azima dan mungkin jutaan Muslim di luar sana kehilangannya karena segelintir manusia yang membajak nama Islam. Islam telah sempurna, namun manusia tidak akan pernah sempurna.”

Asmara sendiri mengatakan bahwa pada awalnya tidak percaya diri begitu akan ke

Beijing. Ia merasa akan seperti alien nantinya di Beijing;

”Semula kubayangkan aku akan menjadi alien di negeri Tirai Bambu ini. Perempuan berkerudung di tengah masyarakat berkulit kuning. Ternyata bayanganku salah. Islam bukan sesuatu yang asing di sini. Mereka menyebut Islam, Yisilan Jiabao, artinya agama yang murni. Sementara

103

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mereka menyebut Mekkah sebagai ‘Buddha Ma-hia-wu’ alias Nabi Muhammad SAW. Gadis berkerudung pun bukan hanya kami, aku dan Sekar sahabatku, tapi banyak juga Muslimah lainnya.” (Pernyataan Asmara ini diiringi visual kemegahan bangunan yang ada di Beijing).

Azima melepas rambut palsu

Gambar 19. Azima melepas rambut palsu, simbolisasi kehilangan kebanggaannya terhadap Islam (Bulan Terbelah di Langit Amerika)

C. Pengalaman menjadi Muslim Melankolik

Dari uraian di atas, kita dapat meninjau kembali asumsi awal mengenai pelabelan

Muslim kosmopolit. Sifat-sifat dari kosmopolitan terhadap sosok Muslim di film ini menjadi terbantahkan. Dari penjelasan objek filmis keempat film tersebut kita dapat menamai dengan Muslim melankolik. Yaitu Muslim yang kehilangan kejayaan/kebesaran Islam (di masa lalu) seperti yang telah dijelaskan di atas. Sub-bab ini akan menjelaskan beberapa bentuk pengalaman kehilangan yang dialami Muslim

(Indonesia) dari empat film di atas.

Narasi film ini dengan jelas memperlihatkan gagasan akan kejayaan Islam di masa lalu. Jejak-jejak kejayaan yang terhampar luas di dunia. Tren film Islam berkeliling dunia dengan beragam kisah tokoh utamanya adalah usaha untuk membuktikan hal tersebut. Tak hanya di wilayah asalnya (seperti Ayat-Ayat Cinta), namun Islam menyebar di Eropa (99 Cahaya) hingga ke wilayah Asia (Haji Backpacker dan

104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Assalamualaikum Beijing).96 Hal ini menandai bahwa Islam pernah berjaya di dunia.

Oleh karena itu berjasa terhadap peradaban dunia di mana pun. Narasi tersebut berlanjut, bahwasanya Islam tetap eksis sejak awal penyebarannya hingga kini di berbagai penjuru dunia, bahkan jauh setelah Muhammad SAW wafat. Ke mana pun mereka berada dan bepergian, akan selalu ada Islam dan jumlahnya tak sedikit. Bahkan di pelosok Yunnan, China, sekaligus (Haji Backpacker). Tempat di mana Islam adalah agama minoritas, namun salat berjamaah di masjid dihadiri oleh banyak sekali jemaah.

Dalam penyebaran dan perkembangannya, Islam meninggalkan jejak-jejak kejayaannya. Jejak-jejak inilah yang dihadirkan terus-menerus. Melalui visualisasi bangunan megah, entah itu bangunan yang merupakan simbol Islam seperti masjid maupun yang tidak berhubungan langsung, seperti gereja, museum, dan simbol kota.

Bangunan yang dianggap peninggalan Islam ini diklaim sebagai seni arsitektur terbaik sepanjang masa.

Di Eropa maupun Asia serta Timur Tengah, bangunan yang dijadikan point of view yang banyak disorot mata kamera adalah bangunan yang mencerminkan simbol kebanggaan dari kota yang didatangi. Bangunan yang digambarkan sebagai bangunan modern dan hebat seketika diklaim untuk mendukung narasi kejayaan Islam yang memengaruhi dunia.

Visualisasi kebanggaan akan Islam dan ‘jejaknya’ berkelindan dengan visualisasi

Barat yang modern dan gemerlap. Simbolisasi akan ‘fakta’ kejayaan Islam ditampilkan dengan berlimpah, bahkan terlihat seperti tempelan di sana-sini dan a-historis di beberapa titik. Salah satunya adalah bangunan yang dibuat oleh Napoleon yang dikatakan mengarah langsung ke Ka’bah, Mekkah. Bangunan Arc de Triomphe dan

96Penemuan benua Amerika oleh pelayar Muslim yang dipimpin oleh Cheng Ho pada film Bulan Terbelah di Langit Amerika 2. Film ini tidak berhasil membuktikan narasi yang dibangunnya sejak awal.

105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

jalan Voie Triomphale serta tata kota di Paris semuanya mengarah ke tempat tersebut.

Dengan wacana bahwasanya Napoleon menjadikan kota Paris dan jalan tersebut sebagai jalan kemenangan menuju Ka’bah, Mekkah. Tak tanggung-tanggung, secara eksplisit dikatakan bahwa Napoleon masuk Islam. Begitu juga dengan tulisan Arabkufic di lukisan The Virgin and Child, jubah Pangeran Wina, dan artefak lainnya di Museum

Louvre. Di satu sisi mereka mengatakan bahwa hal itu terjadi karena seniman zaman dulu tak tahu apa arti tulisan tersebut, menganggap hanya ornamen biasa dan memakai begitu saja. Di saat yang bersamaan justru dikatakan bahwa hal itu merupakan bukti bahwa kebudayaan Eropa berutang terhadap kebudayaan Islam.

Beberapa legenda, lokal maupun global digunakan untuk mengafirmasi status kejayaan Islam ke dalam konstruk tertentu. Meski benar, misalkan soal legenda kopi

Capuccino (yang dikenal khas Italia), namun pernyataan tersebut dipakai untuk mengklaim bahwasanya peradaban Islam sangat berpengaruh terhadap peradaban

Eropa. Pertemuan antar kebudayaan dan dipakai oleh budaya setempat tidak dilihat sebagai hal yang lumrah dan normal dalam dunia global, namun disikapi sepihak sebagai jasa (Islam) atas yang lain.

Sementara di Asia, Jalur Sutra menjadi salah satu simpul yang dipakai untuk mengungkap kejayaan Islam. Meski di beberapa tempat penganutnya sedikit, Islam tetap menjadi salah satu kebudayaan dengan peradaban tinggi tak kalah dari kebudayaan lokal tempat ia berada. Seperti Masjid Niujie berusia seribu tahun di Beijing, China, dikaitkan dengan teknologi yang dipakai oleh arsitektur bangunannya.

Namun, dari berlimpahnya penanda yang ada di film-film ini, kita bisa melihat ruang kosong yang ingin diisi. Ruang kosong/objek a virtual akan perasaan kehilangan terhadap kejayaan Islam itu sendiri. Beberapa film memperlihatkan hal tersebut secara

106

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

eksplisit, di film lainnya masih bayang-bayang. Namun masih sangat bisa dilacak simptomnya.

99 Cahaya dan sekuelnya memperlihatkan dengan gamblang akan hal ini.

Perasaan kekalahan ini digambarkan dalam beberapa peristiwa. Di antaranya, gambaran kekalahan Kara Mustafa pada perang Turki-Austria menjadi penanda utama akan

‘kekalahan’ Islam di Eropa. Kemudian Peristiwa 11 September 2001 dan perang Israel-

Palestina menjadi latar diskriminasi terhadap Muslim dan Islam di dunia. Begitu juga perang antara Taliban dan Pakistan, untuk memperlihatkan bahwa dunia Islam sedang diadu-domba. Islam sedang berjuang untuk membela diri di mata dunia.

The City of Light, Cordoba, Spanyol dianggap sebagai pusat peradaban Islam di

Eropa. Memberi pengaruh sangat besar di tren film ini untuk memperlihatkan peradaban

Islam di Eropa sekaligus menjadi penanda kehilangan yang paling jelas. Hanum dan

Rangga mengunjungi Mezzquita. Voice-over Hanum menggema dengan visual interior

Mezzquita yang megah:

“Mezzquita, Cordoba, Mas! Masjid Agung Cordoba, Subhanallah. Indah sekali masjid ini, Mas. Peradaban Muslim yang sangat mengagumkan. Kenapa ya sejarah harus berakhir seperti ini, hilang tanpa bekas?”

Setelah mengatakan ini, Hanum sujud syukur sambil menangis.

Mezzquita menjadi simbol kebanggaan dan pengalaman kehilangan itu sendiri.

Hal itulah yang menandai cara film ini merasakan kenikmatan atas kehilangan. Meski

Mezzquita sudah menjadi Katedral, namun masih banyak Muslim yang bersujud di tempat ini. Begitu juga dengan Hanum. Aktivitas bersujud di Mezzquita ini sering diprotes oleh Steven dan menjadi bahan perdebatannya dengan Khan.

Pada narasi pembuka film 99 Cahaya part 2 dituliskan:

“Dua ratus tahun setelah Muhammad SAW wafat, penyebaran Islam sudah mencapai Eropa. Cordoba, sebuah kota peradaban Islam di Eropa. Di mana

107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dakwah bisa bersatu dengan teknologi dan harmoni antar umat beragama. Namun, semua berakhir ketika keserakahan atas nama keyakinan, saling curiga, dan pengkhianatan antar manusia ditabuh genderangnya”

Narasi tersebut memperlihatkan rasa bangga sekaligus kehilangan. Kehilangan akan Islam yang sangat membanggakan di Eropa; Austria, Perancis dan Spanyol.97

Perasaan kehilangan ini ditampilkan tumpang-tindih dengan kegemerlapan Eropa. Haji

Backpacker dan Assalamualaikum Beijing memperlihatkan wacana kekalahan ini secara samar-samar. Yaitu Jalur Sutra sebagai simbol untuk mewartakan Islam yang menyebar luas di Asia. Bagi Mada, pengalaman melakukan backpacker naik haji dengan

‘mengulang’ kisah perjalanan penyebaran Islam melalui Jalur Sutra menjadi pengalaman untuk ‘menikmati’ kehilangan. Bahwasanya yang digadang adalah penyebaran Islam hingga pelosok negara manapun, meski kenyataannya Islam tetap menjadi minoritas di negara-negara tersebut.

Pada Bulan Terbelah di Langit Amerika part 1 (sekuel ketiga 99 Cahaya) kehilangan akan kebanggaan terhadap Islam terlihat jelas pada adegan Azima Husein

(Julia Collins) melepas rambut palsu. Ia mengatakan, “Aku tak pernah benar-benar melepaskannya. I love Islam, but I lost the pride.” Simbol jilbab sebagai kesempurnaan dalam berislam (kaffah) bertebaran di sana-sini. Baik jilbab sebagai kewajiban seorang

Muslimah, maupun jilbab sebagai sebuah kebanggaan akan Islam. Berbagai simbol pengerudungan hadir terus-menerus. Simbol jilbab tak lagi menjadi proses religius personal seseorang, namun ia adalah simbol kebanggaan terhadap Islam di dunia mancanegara. Dengan begitu, orang yang berjilbab harus menjadi agen Islam yang baik, mencerminkan Islam di mata dunia.

97Dan Amerika (Bulan Terbelah di Langit Amerika part 1 dan 2) serta Skotlandia (Ayat-Ayat Cinta2).

108

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Cara membangkitkan kebanggaan akan kehilangan kejayaan Islam adalah dengan mengungkapkan kejayaan-kejayaan Islam tersebut. Berikut dengan simbol yang melekat pada personal tokoh, salat (Jumat), membaca Al Quran, dan naik haji. Frasa peninggalan peradaban Islam dan kehebatan ilmuwan Islam dipakai untuk membangkitkan rasa bangga tersebut. Juga sebagai upaya pembuktian atas narasi yang dibangun sedari awal.

Dalam melankolia, kehilangan bisa berarti dua pengalaman yang bersamaan.

Pertama, perasaan menyedihkan, namun menyenangkan (jouissance). Kedua, orang merasakan nikmat atas objek (a) yang hilang. Pengalaman ini tercermin dalam dua hal:

1. Munculnya pahlawan dalam bentuk agen Islam (sosok Muslim ideal)

Hanum mengatakan kepada Fatma, “Kalian telah berhasil menebus kesalahan

Kara Mustafa.” Bagi film ini ekspansi yang dilakukan oleh Kara Mustafa menjadi salah satu penyebab dari Islamophobia yang dialami Muslim di Eropa. Di film lainnya, penyerangan terhadap WTC-lah yang jadi penyebab Muslim Amerika mendapatkan tindakan diskriminatif. Untuk itu, Muslim hari ini, terlebih yang menggunakan jilbab harus menjadi agen Muslim yang baik. Pernyataan eksplisit ini disampaikan berulang dan terus-menerus.

Bagi film ini, menjadi agen Islam rupanya melalui cara-cara yang banal.

Misalnya, beberapa kali dilakukan dengan cara mentraktir makan dan minum.

Memberikan makanan atau kue. Kemudian seperti Khan yang membayarkan rumah sakit Steven. Muhammad Husein, suami Azima, bahkan mengorbankan nyawa untuk menolong orang lain yang bahkan tak dikenalnya di gedung WTC. Dengan cara ini, orang-orang yang tak peduli dengan mereka (yang Islam) pada akhirnya akan paham dan merasa bersalah telah menyakiti Muslim. Seorang milyoner Amerika, Piliphus

109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Brown pun berubah menjadi sosok yang lemah lembut dan baik hati berkat pertolongan

Muhammad Husein.

Hanum mengajar bahasa Inggris kepada Tulisan yang tertempel di dinding Fatma dan teman-teman (99 Cahaya) rumah Fatma (99 Cahaya) Gambar 20. Adegan Hanum mengajar bahasa Inggris kepada Fatma dan teman-teman

Pada pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan Hanum kepada Fatma dan teman- temannya (imigran dari Turki), salah satu kalimat yang mereka pelajari adalah“Be the best Muslim agents. Keep smiling, help others and spread the peace.”

Tulisan ini juga ada di tembok rumah Fatma. Menjadi latar dari beberapa adegan.

Tokoh utama di film ini memperlihatkan kepada kita sosok ideal seorang Muslim, baik dalam bidang akademik maupun urusan langit. Mereka adalah pribadi yang tampan, tangguh, berprestasi, modern, sekaligus beriman. Usaha ini dilakukan dalam bentuk menjadi pribadi yang unggul di mata global. Menjadi agen Islam terbaik. Wacana menjadi agen Islam dapat dilihat sebagai wacana tandingan untuk melawan wacana

Islam sebagai agama teroris. Meski penonton film ini adalah masyarakat Indonesia.

Pada Ayat-Ayat Cinta 2 yang berkisah mengenai Fahri di Skotlandia menjadi usaha yang lebih dari hanya sekadar agen Muslim. Secara eksplisit, di film ini Fahri disanjung bak malaikat. Fahri tak hanya mentraktir makan seperti Hanum dan Rangga, namun membelikan rumah untuk seorang Yahudi (Nenek Katarina), membantu mempekerjakan banyak imigran, membayar les Violin secara cuma-cuma untuk Kaira.

110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melalui sosok-sosok ideal yang dihadirkan, kita bisa melihat bahwa hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang berasal dari kelas menengah. Yang mempunyai modal dan kemampuan intelektual untuk bisa bepergian ke luar negeri dan hidup dalam masyarakat global. Meski yang terlihat justru mereka ‘terpisah’ dari masyarakat.

Dengan pendidikan tinggi dan mempunyai profesi yang canggih. Seperti halnya Fahri pada akhirnya menjadi pengajar di Edinburgh University dan University of Oxford.

Menjadi agen Islam dan sosok ideal, menutupi perasaan (penyangkalan) kehilangan akan kejayaan Islam. Untuk itu, Muslim yang bepergian ke mancanegara ini harus membuktikan bahwa mereka adalah representasi Muslim yang hebat dan luar biasa bagi dunia global. Representasi sosok ideal di mata global, di satu sisi merupakan keinginan untuk terterima oleh pergaulan dunia. Rangga menjadi murid terbaik dan kesayangan Profesor Reinhard dan Fahri melampaui itu dengan menjadi profesor di kampus bergengsi di dunia. Melalui film ini kita melihat mereka ingin menjadi warga dunia yang melampaui teritori, menjadi kosmpolitan.

Akan tetapi kosmopolitan yang digadang-gadang dibangun di atas sekat agama yang begitu tajam. Terlihat jelas film tersebut justru menebalkan teritori dan agama mereka, Muslim Indonesia yang ideal dibandingkan warga mana pun di dunia, bahkan

Muslim lainnya di mancanegara. Mengidentifikasi diri seolah paling kosmpolitan.

Namun dengan cara meliyankan yang selain mereka. Wacana ini mempertegas kenyataan bahwa mereka melupakan historis relasi kuasa Barat-Timur sebelum membangun wacana yang bertaburan kejayaan Islam tersebut.

2. Melanggengkan wacana kolonial

Kehilangan kejayaan Islam menjadi pengalaman terancam (insecurity mayoritas/playing victim) di dalam sebuah relasi kuasa. Namun film ini seolah ambigu

111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

akan relasi kuasa yang sedang bekerja pada mereka. Mereka mengerucutkannya pada relasi kuasa agama semata. Mereka tersesat oleh ambiguitas mereka sendiri.

Akan tetapi, kita bisa melihat pertarungan dikotomis antara Barat-Timur ala wacana kolonial masih berlanjut di dalam film ini. Relasi kuasa yang menjadi jembatan

Barat-Timur seolah dilupakan begitu saja oleh film ini. Sehingga kesan betapa Timur

(Islam) tak kalah hebat dari negara Barat yang hari ini jauh terlihat lebih modern. Film ini melanggengkan wacana kolonial dalam kenikmatan (jouissance parsial). Memenuhi object of desire¸ ambisi untuk terlihat setara di mata Barat. Karena Barat adalah sumber kemajuan dan peradaban dunia, sementara peradaban Islam yang diagungkan saat ini sudah tak terlihat lagi. Yang ada hanyalah jejaknya, peninggalan dari kejayaan Islam tersebut. Hal itulah yang selalu ingin dijemput kembali. Hal ini menunjukkan ambvalensi dalam Muslim melankolik itu sendiri.

Berusaha membalik relasi kuasa ‘khas’ cara pandang Barat; bahwa kami yang terbaik, liyan bisa baik karena jasa subjek. Bahwa Eropa maju karena berutang terhadap ilmuwan Islam dan pengaruh peradaban Islam. Pada adegan melihat lukisan The Virgin and Child menjadi penanda relasi kuasa Islam yang ingin melegitimasi Kristen (Barat).

Melalui Museum Louvre dan Vienna menyimpan ‘jejak kejayaan’ Islam, seolah Barat mau tak mau mengakui peradaban Islam itu sendiri. Lukisan The Virgin and Child dianggap lebih fenomenal dibandingkan dengan lukisan Monalisa karena diklaim sebagai fakta sejarah yang mencatat kalimat suci umat Islam.

Di dalam pengantar Orientalisme98, disimpulkan empat jenis relasi kuasa khas orientalisme Said:

Kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme), kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan

98Edward W. Said. “Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal x.

112

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pengetahuan lain), kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks, dan nilai- nilai)…, kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh Timur).

Dari kutipan di atas, terlihat jelas pola relasi kuasa yang dipraktikkan Barat terhadap Timur dipakai dalam film ini. Usaha untuk membalikkan relasi kuasa Barat-

Timur, dengan meminjam cara-cara khas Barat. Salah satunya dengan bentuk eksotisme

Barat. Penonton disajikan tak hanya objek yang dianggap jejak Islam, namun juga bangunan megah dan canggih ikon kota di Eropa (dan penjuru dunia). Mata penonton disajikan tontonan layaknya turisme menjelajahi tempat baru yang memesona, glamour, penuh cahaya. Memuji Barat, merindu, menginginkan, sekaligus cemburu dan ingin menaklukkan.

Setelah mendengar cerita Hanum soal kunjungan ke Museum Louvre, Rangga mengajak Hanum menaiki Menara Eiffel dan azan Magrib di atas ketinggiannya. Azan

Rangga menggema ke pelosok Paris yang eksotik di kala senja. Gema azan menyapu kota Paris dan membuat penonton membayangkan andai Islam masih berjaya di Paris, tentu lantunan azan yang indah akan berkumandang setiap hari di kota itu.

3. Menulis ulang sejarah dunia (Islam)

Di dalam Notes on a Deleuzean Theory of Melancholia: Object, Cinema, World99,

Roffe menjelaskan bahwa bagi Delueze, objek a melankolia virtual di film yang menggambarkan modernitas, pada dasarnya bukan soal apa yang telah hilang dari dunia, akan tetapi dunia itu sendiri yang telah hilang. Deleuze mengatakan, “We are lacking something very different: the world”. Dunia itu sendiri yang menjadi object of desire (a) di dalam film. Deleuze membicarakan hal ini di dalam konteks modernitas yang

99Jhon Roffe

113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dibangun oleh sistem kapitalisme yang tampak di dalam film-film Hollywood setelah

Perang Dunia. Deleuze menggunakan istilah universal schizhophrenia untuk menyebut masyarakat modern yang melankolia/traumatis/patologis. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang sakit, yang membutuhkan alasan untuk percaya pada dunia, “Wether we are Christians or atheists, in our universal schizhophrenia, we need reasons to believe in this world.”100 Fase krisis yang penting dari subjek psikotik melankolia tersebut adalah terlihat ketika tokoh mulai menebalkan keimanan dan keyakinan pada

Tuhan.

“The world is indeed there, but what is now lacking is the hope required to create new possibilities of life in it. The true modern problem is thus the problem of a faith that can make the word livable and thinkable once again, not in it self, but for us.”

Dari apa yang dibicarakan Deleuze, kita bisa melihat cara pandang film-film yang diteliti ini melihat modernitas, yaitu dicemburui, dikagumi, sekaligus diklaim dari sudut pandang tertentu. Bahwa modernitas yang dimiliki oleh Eropa dan negara mana pun adalah jasa dari peradaban Islam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri khas dari melankolia adalah mendapat kenikmatan dengan mengandaikan kembalinya yang hilang. Film adalah salah satu cara masyarakat untuk menyeimbangkan berbagai pengalaman traumatis atas dunia.101 Film memberi imaji baru tentang dunia kepada kita,“…they give us a new image of the world.”102 Begitu juga dengan empat film ini, berupaya menciptakan konstruksi baru akan dunia dengan kehadiran (kejayaan) Islam

(kembali). Dalam film ini dunia dikonstruksi berdasarkan sudut pandang tertentu

(keislaman tertentu). Yaitu Muslim kelas menengah Indonesia. Hal ini sangat tampak di film Bulan Terbelah di Langit Eropa part 1 dan 2, melalui pertanyaan utama film ini,

100Ibid.,hal 158 (Roffe mengutip dari Deleuze dalam The Time Image). 101Ibid. 102Ibid.,hal 157.

114

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yaitu apakah dunia lebih baik tanpa Islam? Pertanyaan ini dijawab oleh Philipus Brown dalam bahasa Inggris yang artinya:

“Jika anda bertanya kepada saya apakah dunia lebih baik tanpa Islam? Maka jawaban saya sudah tentu tidak. Dunia akan lebih baik dengan adanya Islam.”

Lagi-lagi pertanyaan penting ini dijawab dengan meminjam suara dari seseorang yang berkuasa dari Amerika. Pernyataan ini begitu penting sehingga perlu/harus mendapat legitimasi oleh Barat.

115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab IV Penutup

Bagi saya sendiri perkembangan Islam dan budaya populer ternyata cukup menjadi fenomena mengagetkan. Menimbulkan banyak pertanyaan mengenai eksistensi

Muslim di dunia yang berlarian dengan cepat seperti sekarang. Dunia digempur berbagai budaya populer yang bentuknya bisa melewati lintas teritori yang ada. Agama

(Islam) sebagai salah satu produk budaya yang paling tua, bukannya melemah, justru semakin menguat (setidaknya begitu di Indonesia). Rupanya perkembangan komodifikasi produk budaya memberi manfaat pada perkembangan Muslim kelas menengah Indonesia. Ia mendapat tempat di alam sosial politik Indonesia yang semakin terbuka, terlebih setelah Orde Baru tumbang.

Muslim Indonesia mulai menulis kembali tentang dirinya. Menulis ulang dan mengidentifikasi diri melalui budaya populer, yaitu film Islam. Fenomena film Islam bukan hal baru di perfilman Indonesia. Ia telah ada semenjak orang Indonesia belajar membuat film sendiri. Sebagai agama mayoritas tentu wajar jika tema film Islam menjadi objek yang menarik dijajaki oleh para sineas. Setidaknya pasar/konsumen telah tersedia untuk mereka.

Film Islam kembali menjadi tren ketika gerakan Islam populis mencapai

‘keberhasilannya’ pada awal tahun 2000-an. Hal ini ditandai dengan hadirnya Ayat-Ayat

Cinta yang mencengangkan jagat perfilman sekaligus masyarakat Muslim muda perkotaan. Mereka dapat melihat diri mereka di layar lebar, bioskop. Media yang sebelumnya ‘diharamkan’ dan distigma sebagai ladang maksiat. Menjadi idola baru untuk berdakwah, setelah era film dakwah Roma Irama lama meredup.

116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tren film Islam dalam empat film yang diteliti sedang membangun citra Islam yang lebih baik di mata dunia internasional. Meski disuguhkan kepada penonton dalam negeri sendiri saja. Narasi film dihadirkan melulu soal anak muda saleh yang nyaris sempurna. Mereka muda, rupawan, intelek, gaya, punya segudang prestasi, dan yang paling penting saleh. Modernitas dan kesalehan menjadi entitas yang tunggal pada mereka. Mereka mengidealisasi diri di dalam ruang lingkup pergaulan global.

Membedakan diri dari yang lain. Bahkan dari Muslim mana pun di dunia. Muslim

Indonesia yang paling ideal dan canggih.

Film-film ini tidak punya narasi yang jelas sebagai sebuah film cerita fiksi. Film ini lebih banyak disusupi oleh aktivitas turistik. Aktivitas turistik yang ingin memperlihatkan (dan membangkitkan) kejayaan/kebesaran Islam di masa lalu. Namun dengan visualisasi Eropa yang glamor dan eksotisme khas turistik. Hal ini justru semakin memperlihatkan mental inferior.

Mereka membangun citra kosmopolit. Namun, imajinasi kosmopolit mereka compang-camping. Mereka mendakwa diri sebagai Muslim ideal dan heroik. Ingin melawan wacana global yang salah kaprah memandang Islam (Islamophobic). Alih-alih ingin melawan ‘dunia’, mereka justru memuja sepenuh hati dunia yang sedang mereka lawan. Meminjam dan melanggengkan cara pandang yang khas bagaimana Barat melihat Timur.

Tokoh di film-film ini berusaha menghadirkan citra Islam yang penuh masa keemasan, kejayaan, dan kebesaran (di masa lalu). Terkadang mereka menyadari bahwa kejayaan itu sudah lewat, namun berusaha mengingkarinya dengan cara memaparkan

‘fakta-fakta’ kejayaan Islam di seluruh dunia. Ayat-ayat Cinta di Timur Tengah dengan meminjam Sungai Nil. 99 Cahaya di Langit Eropa dengan lukisan The Virgin and Child

117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan Napoleon Bonaparte. Napoleon adalah salah satu tokoh orientalisme yang paling berpengaruh mengonstruk Timur dan ketimuran.

Hal tersebut direpetisi dengan maksud hati ingin membuka cakrawala penonton terhadap kebesaran Islam, yang ditemukan dalam penelitian ini adalah ruang kosong dan objek yang hilang dari Muslim yang kita bicarakan. Kejayaan Islam merupakan objek yang hilang tersebut. Objek yang menjadi hasrat untuk terus dikejar dan dipenuhi.

Hasrat ini memberi roh yang besar terhadap film-film yang diteliti. Meski kehilangan

(kejayaan Islam) merupakan sesuatu yang menyakitkan, namun juga memberikan kenikmatan. Karena dengan membayangkan kejayaan itu hadir kembali hari ini, mereka sudah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Meskipun belum mencapai level sublim dalam teori psikoanalisa Lacanian. Kehilangan objek a berupa kejayaan Islam membuat kita bisa menyimpulkan subjek Muslim yang sedang kita bicarakan, yaitu Muslim melankolik. Muslim yang kehilangan kebesaran (kebanggaan) terhadap Islam.

Islam seperti apa yang sedang dikonstruksi oleh Muslim melankolik ini? Mereka ingin menulis kembali sejarah (Islam) di dunia. Menulis kembali sejarah hubungan

Timur-Barat. Subjek melankolik di satu sisi merasa ideal, di sisi lain playing victim, selalu merasa menjadi korban. Korban dari kesalahpahaman antara Timur-Barat. Alih- alih ingin berdamai dengan trauma (sejarah), yang ada adalah meminjam logika kolonial dan merepetisi orientalisme. Mengapa dimungkinkan menulis kembali hubungan

Timur-Barat? Karena keinginan yang menggebu-gebu untuk menciptakan Islam yang baru. Islam yang sesuai dengan imajinasi mereka sebagai Muslim melankolik. Deleuze mengatakan di dunia modern kapitalisme yang sedang sakit, merumus ulang dunia dalam wacana tertentu (agama) menjadi salah satu cara untuk bertahan menjadi ‘waras’.

Konstruk dunia seperti apa yang sedang dibayangkan oleh Muslim melankolik ini?

118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Yaitu bahwa peradaban dunia berutang budi pada peradaban Islam, dengan begitu dunia akan lebih baik dengan adanya (kejayaan) Islam.

Dari tesis ini bisa kita lihat bahwa penelitian budaya populer menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk melihat film populer dan

Muslim Indonesia dengan cara yang berbeda (dari biasanya). Penelitian ini ikut menyumbang analisis formal dan kritik film Indonesia. Ada beberapa poin penting dari penelitian ini yang perlu diuraikan:

1. Banyak kritikus film Indonesia/luar yang melabeli sosok Muslim di film Islam

berlatar luar negeri sebagai Muslim kosmopolitan atau Muslim transnasional.

Label ini menjadi terbantahkan, penelitian ini justru menemukan sosok

Muslim yang berbeda, yaitu Muslim (kelas menengah) yang melankolik. Apa

itu Muslim melankolik? Yaitu orang Islam (tertentu) yang sedang gagal

meratapi kehilangan kebesaran/kejayaan Islam di masa lalu. Sebagian sosok

yang hadir di film menyadari kehilangannya (sekuel 99 Cahaya di Langit

Eropa), namun tidak pernah selesai meratapi kehilangan. Ia gagal berdamai

dengan objek of desire tersebut. Pada tiga film lainnya, tidak menyadari apa

yang hilang. Ia kehilangan akan kehilangan, tak tahu apa yang telah hilang.

Yang tampak adalah simptom. Simptom kehilangan ini telah diuraikan di bab

sebelumnya.

2. Lalu, sosok Muslim melankolik sedang menggambarkan apa? Fenomena apa

yang hadir di balik sosok Muslim melankolik tersebut? Mengapa penemuan

ini begitu penting? Fenomena ini menjadi identifikasi gejala masyarakat

Muslim (Indonesia) yang patologis/sakit/traumatis. Atas apa? Atas relasi

hubungan global dalam wacana subjek pascakolonial. Yaitu persentuhan

119

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

historis masyarakat dengan kolonial dan neo-kolonial itu sendiri. Hubungan

(yang tak sehat) tersebut berlangsung dalam relasi kuasa tertentu

(orientalisme-Edward Said) menghasilkan residu-residu seperti yang kita lihat

dalam Muslim melankolik tersebut. Dalam orientalisme, Timur (Islam)

seringkali dilegitimasi dan diidentifikasi menjadi subjek yang termarjinalkan,

inferior, rendah, bodoh, dan mesti diberdayakan oleh Sang Ayah (Barat) yang

lebih beradab dan maju, tentunya lebih ‘berkuasa’. Hal ini menghasilkan

trauma sejarah bagi Timur (Islam), masyarakat Muslim Indonesia. Sialnya,

bagi subjek pascakolonial, ia mengidentifikasi diri dari identifikasi yang

diberikan oleh Barat. Ini tampak dari bagaimana ia memandang dirinya ketika

bertemu liyan. Alih-alih berusaha berdamai dengan traumatik sejarah, ia justru

mengadopsi cara pandang orientalisme. Dengan bentuk membalikkan begitu

saja cara pandang Barat terhadap Timur, kali ini Timur mengidentifikasi

Barat. Hal ini bisa dipandang sebagai fase cermin (yang gagal?) dalam proses

simbolik subjek bahasa studi psikoanalisa Lacanian. Situasi ini sekaligus

menjadi kritik terhadap gagasan oksidentalisme yang ditawarkan oleh Hassan

Hanafi, bahwa saat yang Timur membicarakan yang Barat.103 Gagasan ini

gampang menjebak Timur, berputar-putar mereproduksi wacanan kolonial dan

orientalisme. Orang gagal melampaui orientalisme jika masih terjebak dalam

dikotomi Barat-Timur. Pernyataan asumsi awal ini dapat diperiksa dan

ditelaah melalui penelitian yang lebih intens. Dalam penelitian ini, hal tersebut

belum menjawab banyak (belum ada kedalaman soal tersebut).

103Hassan Hanafi. Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.

120

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3. Mengapa subjek melankolik di film bisa kita simpulkan sebagai (cerminan)

subjek Muslim Indonesia kelas menengah hari ini? Bisakah? Bukankah yang

sedang kita bahas adalah Muslim di dalam film Islam, kalau bisa, mengapa?

Bisa! Film Islam berlatar luar negeri ini lahir dari sebuah kebudayaan populer.

Budaya populer punya peran penting untuk melihat gejala simptomatik suatu

masyarakat di masa tertentu. Populer dapat berarti ia diminati, booming, laku,

dan direpetisi terus menerus. Di satu sisi film tematik ini menjadi komoditas

kesalehan tertentu di dalam industri film yang kapitalistik. Di sisi lain, ia

merepresentasikan hasrat masyarakat yang menontonnya. Penonton yang

menikmati pertemuan dengan objek a (objek filmis/punctum) yaitu kejayaan

Islam! Pertemuan ini adalah pengalaman yang nikmat (jouissance phallic).

Dibuktikan oleh jumlah penontonnya yang tak pernah sepi. Narasi film ini jadi

tren yang terus direpetisi. Tidak masalah alur cerita khas turistik, a-historis,

dan penokohan yang stereotyping, karena yang lebih penting adalah narasi

mereka mengenai kejayaan Islam dilegitimasi oleh ‘fakta-fakta’ sejarah dan

mendapat ‘pengakuan’ liyan.

Kita bisa menyimpulkan sementara, namun perlu studi lebih lanjut untuk

membuktikan apakah Muslim Indonesia adalah Muslim melankolik? Seperti

halnya masyarakat Al Hambra, klangenan terhadap era Suharto, Left-Wing

melankolic, dan peristiwa lainnya di dunia.

4. Apa yang terjadi jika masyarakat sakit/patologis/traumatis dari paparan

mengenai Muslim melankolik ini? Penelitian ini menunjukkan ada bibit-bibit

orang bisa menjadi fasis dan menjadi titik pemosisian saya sebagai peneliti.

Bahwa penelitian ini menjadi kritik penting terhadap masyarakat Indonesia

121

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Muslim kelas menengah) hari ini. Salah satu aspek gejala fasis yang terlihat

di film tersebut adalah Muslim yang dituntut untuk menjadi kaffah (utuh) dan

praktik agamis yang mendukung gagasan tersebut. Pola ini menjadi berbahaya

secara politis karena meliyankan dan mengeksklusifkan diri. Ia berkembang

tidak mengakar dari masyarakat yang dihidupinya. Ia lahir dari kelas elit

tertentu dan berada di menara gading. Ia gagal membicarakan masyarakat

(Indonesia) yang lebih luas, namun sedang berupaya menjadi pahlawan agama

(Islam). Karakteristik ini bisa kita lihat di dalam aktivitas kelompok

keagamaan tertentu dan sudah merambah ke hukum negara, Perda Syariah. Di

sisi lain, film-film ini tidak tegas memosisikan diri, apakah ia anti terorisme

atau justru mengingkarinya? Sosok Khan dan pertemuan Mada dengan teroris

membuktikan ambivalensi tersebut.

5. Apa solusi yang ditawarkan melankolia dan psikoanalisa dari gejala

masyarakat yang seperti ini? Bagaimana caranya agar masyarakat tidak terus-

terusan sakit/traumatis? Lacan menawarkan obat ramuan yang bernama

sublimasi. Sublimasi adalah menaikkan objek a ke das ding, mengubah

simptom menjadi simpthome. Akan tetapi ini juga berbahaya, orang bisa

perversif (kriminal/fasis). Bukannya objek a yang naik ke posisi das ding,

tetapi subjek yang masuk ke das ding, ia menjadi ‘hukum’ itu sendiri.

6. Penelitian menggunakan teori melankolia ini menarik karena bisa melihat

gejala-gejala patologis masyarakat. Melankolia yang menjadi sublimasi itu

bentuknya seperti apa? Studi melankolia memahami masyarakat dan patologis

masyarakat pascakolonial dengan meninggalkan jejak-jejak/simptom yang

bertebaran di dalam fenomena sosial dan produk budaya (populer). Untuk itu

122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

melankolia sebagai sebuah pisau bedah penting didalami untuk memahami

situasi sosial masyarakat Indonesia yang terlalu banyak trauma (historis dan

kultural).

7. Penelitian ini memiliki banyak kekurangan, baik secara metodologis dan

penggunaan konsep-konsep terkait lainnya. Perlu untuk mengecek kembali

metodologis penelitian yang dipakai agar tidak terjebak menjadi klaim dan

generalisasi belaka. Terutama ketika menggunakan istilah ‘masyarakat

Indonesia’ atau Muslim melankolik.

8. Beberapa hal masih belum bisa terjawab dari metodologi penelitian seperti ini,

yaitu analisis studi penonton. Film Islam berlatar luar negeri mempunyai

konsumen yang tak sedikit. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa film ini

eksis di masyarakat. Studi penonton dapat dipakai sebagai salah satu kriteria

untuk melihat melankolia yang menjangkiti masyarakat Indonesia.

9. Film Islam yang berlatar luar negeri mempunyai banyak aspek yang bisa

digali lebih lanjut. Salah satunya pengecekan terhadap kritik gender dan

Muslim yang direpresentasikan oleh film sejenis. Kritik terhadap laku

poligami dan idealisasi tokoh lelaki yang terus dipertahankan oleh Ayat-Ayat

Cinta berlanjut pada sekuel berikutnya masih menggelisahkan dan semakin

mengkhawatirkan. Dikarenakan wacana ini terus direproduksi menjadi festival

poligami dan training bagaimana cara cepat punya istri empat. Hal ini

mendesak diteliti lebih jauh.

123

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Daftar Pustaka

Aljuneid, Khairudin. Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2017.

Anderson, Benedict. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist, 2008

Arofat, Syiqqil. “Representasi Perempuan dalam Film Bernuansa Islami” dalam Jurnal Refleksi, Volume 13, Nomor 4. Jakarta: Magister Universitas Indonesia, 2013.

Barker, Chris. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Barker, Chris. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: Sage, 2004.

Barker, Thomas Alexander Charles. A Cultural Economy of the Contemporary Indonesian Film Industry (Thesis). Singapura: National University of Singapore, 2011.

Barthes, Roland. Imaji Musik Teks. Yogyakata: Jalasutra, 2010.

Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Bordwell, David, & Kristin Thompson.Film Art: An Introduction. New York: McGraw- Hill, 2008.

Bordwell, David. Narration in the Fiction Film. USA: The University of Wisconsin Press, 1985.

Bordwell, David. Planet Hong Kong: Popular Cinema and the Art of Entertainment. Cambridge: Harvard University, 2000.

124

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bordwell, David. The Way Hollywood Tells it: Story and Style in Modern Movies. Berkeley: University of California Press, 2006.

Erickson, John. Islam and Postcolonial Narrative. New York: Cambridge University Press, 1998

Fiorni, Leticia Glocer, dkk. On Freud’s “Mourning and Melancholia”. London: KARNAC, 2009.

Hanafi, Hassan. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.

Hariyadi, “Islamic Films and Identity: The Case of Indonesian Muslim Youths”. Dalam prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Etnicity and Globalization.

Heryanto, Ariel (ed.). Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan. Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG, 2015.

Ismail, Usmar. Usmar Ismail Mengupas Film.Jakarta : PT. Pustaka Sinar Harapan, 1986.

Izharuddin, Alicia. Gender and Islam in Indonesian Cinema. Singapura: Springer Nature, 2017.

Jati, Wasisto Raharjo. Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia. Depok : LP3ES, 2017.

Klinken, Gerry van & Ward Berenschot (ed). In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Menengah. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, 2016.

Lionnet, Francoise. Postkolonial Representations: Women Literature Identity. USA: Cornel University, 1995.

125

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lusadiana, Lisistrata. “Menolak Wisata, Menjadi Warga Dunia? Analisis Identitas Backpacker sebagai Subjek Wisata Alternatif”. Yogyakarta: IRB, Sanata Dharma, 2014.

Palmer, R. Barton (ed). The Cinematic Text: Methodes and Approaches.

Pasaribu, Adrian Jonathan, dkk. Merayakan Film Nasional. Jakarta: Direktorat Sejarah DIRJEN Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.

Purnama, Ari. A Historical Poetics of Independent Fiction Films from Southeast Asia: Toward A Multidisciplinary, Objects-centered and Historically Sensitive Southeast Asian Film Scholarship.

Purnama, Ari. Film Studies and film theory: Mapping out the Complex Terrain From Russian Formalism to the Cognitive Approaches. Tanpa Tahun

Roffe, John. “Notes on a Deleuzean Theory of Melancholia: Object, Cinema, World” dalam Crisis & Critique volume 3/issue 2

Said, Edward.Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Said, Salim. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Grafiti Pers, 1982.

Sen, Krihsna. Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009.

Stam, Robert. New Vocabularies in Film Semiotic. London: Routledge, 1992.

Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.

Striniti, Dominic. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Popular. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2016.

Syah, Hakim. “Dakwah dalam Film Islam di Indonesia (Antara Idealisme Dakwah dan Komodifikasi Agama)”. Jurnal Dakwah Vol. XIV, No 2, Tahun 2003.

126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tjasmadi, HM. Johan. 100 Tahun Sejarah Bioskop di Indonesia. Bandung: PT. Megindo Tunggal Sejahtera, 2008.

http://cinemapoetica.com/hikmat-darmawan-kritik-film-bukan-pemandu-belanja/ https://ericsasono.wordpress.com/2015/01/03/mencatat-film-indonesia-2014-bagian-1 https://hot.detik.com/art/d-2647151/haji-backpacker-juga-hadir-dalam-versi-novel https://id.m.wikipedia.org/wiki/ https://kumparan.com/@kumparantravel/backpacker-dan-cerita-di-balik-eksistensinya- 1537162937594906851 https://m.brilio.net/amp/news/kubah-masjid-bukan-arsitektur-asli-islam-begini- penjelasan-sejarahnya-150708h.html https://magazine.yoexplore.co.id/infografik/sejarah-backpacker/ https://www.academia.edu/3134645/antara_Hijab_Jilbab_dan_Hijabers https://www.facebook.com/hanumsalsabiela/posts/10153075179644198?comment_trac king=%7B%22tn%22%3A%22O%22%7D&pnref=story# https://www.liputan6.com/showbiz/read/2037237/syuting-di-sembilan-negara-haji- backpacker-berbujet-10-miliar https://www.republika.co.id/berita/senggang/film/14/04/16/n43j0w-ini-alasan-9-negara- yang-dipilih-dalam-film-haji-backpacker

127

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISTILAH

1. Rohis : adalah singkatan dari Rohani Islam, merupakan salah satu kegiatan

ekstrakurikuler yang berorientasi pada keagamaan Islam. Rohis biasanya ada dan

diakui di sekolah negeri, mulai dari SMP dan SMA. Biasanya Rohis dibagi menjadi

dua organ, AnNisa (kegiatan khusus untuk perempuan) dan ArRijal (khusus laki-

laki). Rohis biasanya dimentori oleh alumni yang sedang berada di jenjang kuliah

atau lainnya.

2. Forum Perkumpulan Dakwah Aktivis Sekolah: adalah forum perkumpulan

organisasi Rohis dari berbagai sekolah di kota Padang dan Sumbar. Beberapa SMP

yang memiliki Rohis turut serta bergabung. Pertemuan forum ini dilaksanakan

minimal sebulan sekali di sekolah-sekolah secara bergantian. Anggota Rohis

biasanya menamakan diri sebagai ‘aktivis dakwah (sekolah)’.

3. Liqo’ : merupakan kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai delapan orang.

Kegiatannya adalah belajar kajian ke-Islam-an, dari mulai membaca Al Quran,

hafalan, tadabur (jalan-jalan) alam hingga belajar memasak. Kegiatan ini diinisiasi

oleh Rohis sekolah dan dimentori oleh anak-anak kuliahan dari Aktifis Dakwah

Kampus (biasanya alumni dan jaringannya). Anggota liqo’ tidak boleh keluar

masuk kelompok yang lain begitu saja. Keanggotaan harus dengan sepengetahuan

mentor. Termasuk jika pindah kota, akan dicarikan liqo’ yang masih satu jaringan.

4. Kaffah : Merupakan padanan kata dari bahasa Arab yang berarti menyeluruh.

Kaffah diartikan sebagai anjuran untuk memeluk/menjalankan ajaran Islam secara

menyeluruh/ sempurna sesuai hukum Islam (syar’i).

128

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5. Taaruf : berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti perkenalan/saling

mengenal. Dalam konteks hari ini, taaruf diartikan sebagai proses perkenalan antara

laki-laki dan perempuan untuk perjodohan/menjajaki calon istri/suami. Biasanya

proses taaruf dijembatani oleh guru ngaji ataupun orang terdekat yang mengenal

salah satu pihak. Taaruf juga merupakan simbol penolakan terhadap laku pacaran

yang dianggap tidak islami.

129

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tokoh sentral dalam empat film……………………………………….Hal 61

Gambar 2. Tokoh perempuan dalam keempat film………………………………..Hal 69

Gambar 3. Penokohan dan karakter melalui kostum dan tata rias…………………Hal 71

Gambar 4. Penokohan Hanum dengan tampilan modis……………………………Hal 72

Gambar 5. Adegan Fahri dan Maria di atas jembatan Sungai Nil…………………Hal 77

Gambar 6. Bulan Madu Fahri dan Aisha…………………………………………..Hal 77

Gambar 7. Fahri dan Aisha berjalan di gurun pasir………………………………..Hal 78

Gambar 8. Lanskap Pemandangan Kota Vienna dan Gereja Stephenplatz (99

Cahaya)…………………………………………………………………………….Hal 79

Gambar 9. Perebutan simbol melalui lukisan The Virgin & Child dan Arc de Triomphe

(99 Cahaya)………………………………………………………………………..Hal 80

Gambar 10. Kemunculan masyarakat Muslim di sekitar Asmara (Assalamualaikum

Beijing)…………………………………………………………………………….Hal 83

Gambar 11. Hanum memberi mie goreng dan ikan asin kepada Alex (99

Cahaya)…………………………………………………………………………….Hal 87

Gambar 12. Pengerudungan terhadap Ayse dan Hanum (99 Cahaya part

2)…………………………………………………………………………...………Hal 88

Gambar 13. Penampilan Mada dan adegan membaca Al Quran di bawah ancaman (Haji

Backpacker)………………………………………………………………….…….Hal 89

Gambar 14. Adegan Rangga azan dari Menara Eiffel (99 Cahaya) dan Zhongwen mempelajari Islam untuk menjadi mualaf (Assalamualaikum Beijing)……………Hal 93

Gambar 15. Adegan salat oleh tokoh utama di setiap film...... …………...Hal 97

130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 16. Adegan pelekatan simbol Islam (kerudung/peci) kepada tokoh……...Hal 98

Gambar 17. Penyesalan-penyesalan Mada yang muncul dalam mimpi (Haji

Backpacker)………………………………………………………………………..Hal 99

Gambar 18. Respon Fatma menyesali Kara Mustafa ketika di museum Albertina Austria dan Hanum yang dengan spontan sujud di Mezzquita…………………………...Hal 102

Gambar 19. Azima melepas rambut palsu, simbolisasi kehilangan kebanggaannya terhadap Islam…………………………………………………………………….Hal 104

Gambar 20. Adegan Hanum mengajar bahasa Inggris kepada Fatma dan teman- teman……………………………………………………………………………...Hal 110

131