PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI BACKPACKER 9 NEGARA SATU TUJUAN KARYA AGUK IRAWAN

Novi Sri Purwaningsih Universitas Pamulang [email protected]

Abstrak

Penelitian ini mencoba memahami cerita perjalanan yang terpengaruh oleh wacana kolonial dalam penggambarannya mengenai tempat dan orang-orang asing yang ditemui tokoh utama cerita selama perjalanannya. Permasalahan itu dipahami dengan teori travel writing Carl Thompson yang mengatakan bahwa cerita perjalanan pada dasarnya tentang negosiasi diri dengan liyan sebagai akibat terjadinya pergerakan dalam ruang. Penelitian ini menunjukkan bahwa segi penggambaran dunia lebih menonjolkan subjektivitas dengan memperlihatkan gerakan dari pandangan jarak jauh ke jarak dekat. Dari segi pola cerita perjalanan yang digunakan, novel ini memperlihatkan tiga kecenderungan, yaitu romantik, eksploratif, dan mitologis. Dibandingkan dengan sifat romantik dan eksploratifnya, pola cerita perjalanan mitologis tampak lebih kuat dan berpengaruh terhadap perjalanan tokoh cerita. Dalam perjalanannya, tokoh cerita seakan dipandu oleh kekuatan gaib yang satu saat seperti menjadi kenyataan. Menyatunya hal-hal nyata dan gaib dalam cerita perjalanan novel ini konsisten sebagaimana strategi peliyanannya yang dominan, yaitu gabungan antara strategi peliyanan kolonial dan poskolonial, disebut strategi peliyanan neo-kolonialisme karena sumber nilai yang dominan adalah nilai primordial. Selanjutnya, terimplikasi agenda etis yang menunjukkan sikap pluralistik dan toleransi dengan mengacu pada nilai-nilai primordial. Nilai-nilai itu membuat novel ini mencoba untuk memahami, tidak segera menghakimi masyarakat dan tempat-tempat yang dikunjungi tokoh utama cerita. Secara politis, cerita perjalanan dalam novel ini berhasil melaksanakan agenda pembebasan diri dari hegemoni kolonialisme, tidak terperangkap dalam neo-kolonialisme yang menganut nilai-nilai kosmopolit Barat sebagai bekas penjajah wilayah geografis, sosial, dan kultural Asia.

Kata kunci: agenda, mitologis, neo-kolonialisme, pluralistik, primordial

LATAR BELAKANG MASALAH Periode awal 2000-an ini televisi, media online, dan media cetak, banyak membahas mengenai cerita perjalanan. Televisi sebagai media penyiaran yang paling banyak dilihat menampilkan berbagai reality show bertema perjalanan dari konsep eksploratif hingga turistik. Konsep perjalanan eksploratif dicontohkan oleh Jejak Petualang yang melakukan perjalanan hanya seorang diri. Konsep perjalanan turistik dicontohkan seperti My Trip My Adventure, Eksplore Indonesia, Survivor, dan Jalan-Jalan Selebriti yang menggambarkan perjalanan bersama. Media online banyak menghadirkan tulisan, foto-foto, dan video bertema perjalanan. Salah satu media online yang mengangkat tema perjalanan ialah naked-traveler.com yang dibuat pada 2005. Blog tersebut berisi kumpulan tulisan perjalanan yang dikirim oleh para pembacanya. Media cetak banyak menghasilkan buku panduan perjalanan, jurnal tentang perjalanan, laporan perjalanan hingga novel perjalanan. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada novel Haji Backpacker 9 Negara Satu Tujuan (2014) karya Aguk Irawan M.N. yang selanjutnya ditulis Haji Backpacker. Novel ini menceritakan perjalanan tokoh Mada melintasi sembilan negara untuk mencari jati dirinya setelah memberontak terhadap Tuhan. Negara-negara tersebut meliputi , Laos, , , , Tibet, , , dan . Novel Haji Backpacer ini bernafas Islami dan memiliki perbedaan dengan novel sejenis lainnya. Dalam hal isu keagamaan novel Haji Backpacker lebih banyak menggambarkan Islam di lingkup Asia yang justru belum banyak diungkapkan dalam karya sastra lainnya. Oleh karena itu, diasumsikan banyak budaya lain yang ditemui. Pertemuan dengan budaya lain di luar tempat asal penulis akan menimbulkan negosiasi sehingga pelaku perjalanan dapat beradaptasi dengan tempat dan budaya yang baru. Negosiasi yang terjadi antara pelaku perjalanan (diri) dengan budaya lain (liyan) tersebut yang menjadi pembahasan utama dalam cerita perjalanan kaitannya dengan teori Travel Writing yang dipaparkan oleh Carl Thompson. Negosiasi tersebut dapat diungkapkan oleh penulis cerita perjalanan melalui penggambaran dunia, pengungkapan diri, representasi liyan, dan agenda (sosial, budaya, politik, dan ekonomi) dalam cerita perjalanan. Pola penggambaran dunia, pengungkapan diri, dan representasi liyan dalam novel Haji Backpacker mengimplikasikan agenda (sosial, budaya, politik, dan ekonomi).

LANDASAN TEORI Salah satu pengertian “perjalanan” (travel) yaitu pertemuan antara diri dan liyan yang disebabkan oleh pergerakan melalui ruang dan dibatasi pada pengertian perjalanan sebagai cerita perjalanan (travel writing) (Thompson, 2011: 9). Cerita perjalanan bertujuan melaporkan dunia yang luas dan orang atau tempat yang asing (unfamiliar) (Thompson, 2011: 10). Untuk meraih kepercayaan pembaca terhadap cerita perjalanannya, Thompson menunjukkan sebuah strategi yang disebut epistemological decorum. Dalam pembagian jenis pola perjalanan, Thompson (2011: 128) membedakan menjadi dua pola, yaitu perjalanan turistik dan perjalanan eksploratif. Perjalanan turistik merupakan perjalanan yang telah direncanakan, diatur, bahkan lebih mengedepankan tingkat kenyamanan traveler selama perjalanan. Sebaliknya, perjalanan eksploratif mengandung tingkat ketidakpastian cukup tinggi karena perjalanan tersebut tidak diatur atau direncanakan seperti perjalanan turistik. Dalam cerita perjalanan juga sering digambarkan semacam ziarah atau pencarian karena membawa pembaharuan diri. Ziarah dan pencarian merupakan perjalanan yang sering dianggap sebagai ritus perjalanan penting pada periode sebelum akhir abad kedelapan belas (Thompson, 2011: 106). Perjalanan ziarah merupakan perjalanan spiritual, terdapat perubahan eksistensial, dan melibatkan peningkatan keyakinan. Perjalanan ini mengandung ketidaknyamanan, rasa kehilangan, dan penderitaan selama perjalanan (Thompson, 2011: 106). Terungkapnya pola perjalanan tersebut sekaligus mengungkapkan macam diri dalam cerita perjalanan, yaitu diri pencerahan, diri romantik, dan diri postmodern. Diri pencerahan cenderung objektif sekaligus pengamat dan subjek yang kaku sehingga tetap berjarak dengan dunia (Thompson, 2011: 115-118). Diri romantik atau diri yang terlibat cenderung subjektif, yakni bereaksi terhadap peristiwa di sekitarnya. Berbeda dengan diri romantik atau dikatakan sebagai subjek yang longgar, bersifat psikologis karena pengalaman mempengaruhi batinnya (Thompson, 2011: 115). Diri post-modern memiliki sifat lentur dan terus berubah. Diri sebenarnya tidak bisa ditentukan, di samping diri (post-modern), ada diri yang lain. Dengan demikian, dalam diri post- modern menunjukkan batas yang kabur antara diri dengan liyan karena keduanya tumpang tindih. Selain mengenai pengungkapan diri, penulis perjalanan (traveler) memerlukan strategi peliyanan untuk mendefinisikan keunikan dan superioritas traveler. Dalam representasi liyan ini, Thompson menjelaskan adanya tiga strategi peliyanan meliputi peliyanan kolonial, neo-kolonial, dan poskolnial. Pertama, strategi peliyanan kolonial menunjukkan cara-cara kolonial untuk mendominasi maupun menghegemoni yang dijajah. Kedua, mengenai strategi peliyanan neo- kolonial. Sejak berakhirnya masa kejayaan kekuasaan kolonial, cerita perjalanan berubah menjadi apa yang dikatakan Lisle (via Thompson, 2011: 154) sebagai ‘cosmopolitan vision’ (visi kosmopolitan) yaitu visi di mana cerita perjalanan berusaha untuk tidak merendahkan, tetapi untuk mengangkat pihak lain dengan perbedaan budayanya. Ketiga, strategi poskolonial memandang cerita perjalanan tanpa kecuali sebagai kekuatan untuk kebaikan dunia atau secara sederhana sebagai perantara merayakan kebebasan manusia (Cocker via Thompson, 2011: 162). Pada masa poskolonial ini muncul penulis perjalanan dari dunia ketiga, dari kelompok-kelompok yang disebut subaltern. Cerita perjalanan yang ditulis oleh penulis poskolonial berupaya menentang stereotipe dan sikap Barat terhadap budaya atau tempat lain. Dari berbagai pendapat ini, kemudian agenda dalam cerita perjalanan dikatakan sebagai implikasi etis dan politis yang merepresentasikan masyarakat dan budaya lain (Thompson, 2011: 7). Dalam penelitian ini, agenda dalam cerita perjalanan dapat ditelusuri dari cara penulis atau narator menggambarkan dunia yang berupa tempat dan orang. Agenda juga dapat terimplikasi dari genre perjalanan, misal perjalanan wisata/turistik, perjalanan eksploratif, dan sebagainya.

PEMBAHASAN Penggambaran Dunia dan Epistemological Decorum Penggambaran dunia dalam novel Haji Backpacker meliputi Thailand, Laos, Vietnam, Cina, Tibet, Nepal, India, Pakistan, Iran, dan Saudi Arabia sebagai negara-negara yang dikunjungi. Dalam penggambaran dunia ini terdapat dua pola penggambaran dunia, yakni pola objektif dan pola subjektif. Penggambaran objektif tidak melibatkan perasaan, pandangan, sikap, dan penilaian narator. Dunia yang digambarkan dalam cerita perjalanan dikatakan berjarak dengan penulis (narator). Sesampai di perbatasan para penumpang turun untuk mengantri di imigrasi perbatasan. Cukup cepat rupanya. Para penumpang kemudian kembali ke bus untuk membawanya menuju Thai Lao Friendship Bridge sebuah jembatan yang melintasi sungai Mekong. Di jembatan itu bendera-bendera Thailand berjajar lalu disambut dengan bendera- bendera Laos. Setengah jam kemudian bus sudah memasuki imigrasi Vientieane. Dan kembali penumpang turun untuk mengisi formulir kedatangan. Mada mulai mengantri, namun saat petugas melihat tampang Mada, petugas tersebut langsung memerintahkan Mada di antrian bebas visa. Lumayan..., Mada bisa secepatnya kembali ke bus yang sudah menunggu untuk duduk istirahat (Irawan, 2014: 96).

Penggambaran di atas selintas menggambarkan subjektivitas tokoh yang bertumpang-tindih dengan narator, yaitu seperti yang terlihat dari kata “cukup cepat” dan “lumayan”, subjektivitas itu sangat dekat dengan netralitas, mengambil posisi tengah-tengah sehingga yang terasa dominan tetap kesan objektifnya.

Tidak hanya dalam menggambarkan tempat-tempat yang dikunjungi, objektivitas juga terlihat dalam penggambaran mengenai orang-orang yang ada di negara di atas. Narator/tokoh cerita menggambarkan tokoh yang berasal dari Indonesia, yang ditemuinya di Thailand, juga penduduk asli masing-masing negara yang dikunjungi. Selanjutnya mengenai penggambaran dunia subjektif yang melibatkan perasaan, penilaian, penafsiran, atau pandangan narator. Penggambaran dunia subjektif juga dikatakan sebagai keterlibatan diri dalam menggambarkan dunia. Sebagaimana dalam penggambaran objektif, penggambaran dunia secara subjektif ini juga ditunjukkan narator di berbagai negara Asia yang dikunjungi tokoh Mada. Di antara kasus-kasus yang menunjukkan penggambaran subjektif, terdapat kasus yang berbentuk pertanyaan- pertanyaan, yang diarahkan untuk pembaca sehingga sifatnya tidak personal. Karena bersifat tidak personal, maka subjektivitas semacam itu dikatakan sebagai subjektivitas kolektif. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan wujud lain dari ekspresi, artinya sesuatu yang tidak terduga karena lepas dari norma atau pandangan yang sudah ada. Perhatikan kutipan di bawah ini. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah-sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan peninggalan kolonial bertebaran di segala penjuru? (Irawan, 2014: 275)

Dari dua cara penggambaran dunia dalam novel ini, maka penggambaran dunia secara subjektif lebih dominan daripada penggambaran dunia secara objektif. Pola penggambaran dunia dalam novel ini bergerak dari objektif ke subjektif. Penggambaran dunia secara objektif ada yang menggambarkan dunia secara objektif murni sehingga menyerupai wacana ilmiah seperti penjelasan dalam buku-buku geografi. Ditemukan juga penggambaran dunia secara objektif dengan menampilkan subjektivitas, namun pandangan objektif yang lebih dominan. Penggambaran dunia secara objektif menginformasikan dunia yang dikunjungi, sedangkan penggambaran dunia secara subjektif menunjukkan kehadiran (keterlibatan) diri yang lebih dominan. Novel Haji Backpacker sebagai sebuah cerita perjalanan terkandung strategi-strategi untuk meraih kepercayaan pembaca atau yang disebut epistemological decorum oleh Thompson. Strategi yang dominan digunakan narator/penulis novel ini ialah strategi objektivis faktual (detail). Strategi ini ditemukan dalam penggambaran dunia di berbagai negara Asia yang dikunjungi untuk menunjukkan kekhasan suatu negara seperti makanan, transportasi, dan lain- lain. Tujuannya untuk menginformasikan kepada pembaca mengenai hal-hal asing atau baru di berbagai negara Asia. Selain itu, strategi empirik dalam hal pemunculan beberapa bahasa asing, baik bahasa Inggris maupun bahasa lokal untuk meyakinkan bahwa tokoh cerita benar-benar melakukan perjalanan ke beberapa negara Asia dan berinteraksi langsung dengan penduduk di sana.

Pengungkapan Diri dalam Novel Haji Backpacker Cerita perjalanan dalam penelitian ini memperlihatkan pola campuran, yaitu antara pola eksploratif, pola romantik, pola ziarah, bahkan pola picaresque. Pola picaresque sebenarnya termasuk eksploratif, tetapi mengandung hal-hal mistis seperti dongeng tentang petualangan seorang pangeran yang penuh dengan peristiwa-peristiwa magis dalam upayanya menemukan (kembali) putri yang hilang. Penelitian ini memilih istilah pola perjalanan mitologis yang sekaligus akan mengungkapkan diri mitologis. Perjalanan eksploratif ditunjukkan dari perjalanan Mada yang tidak terencana, tidak seperti perjalanan turistik yang biasanya diatur oleh sebuah agen perjalanan. Perjalanan yang dilakukan tokoh Mada ini berangkat dari rasa keraguan terhadap keyakinannya selama menjadi seorang Muslim. Hal ini terjadi karena Mada tidak mampu menghadapi musibah yang datang padanya seperti meninggalnya ibunya, ditinggalkan calon istri di hari pernikahan, lalu sang ayah pun meninggal saat Mada berada di Thailand. Penderitaan ini digambarkan narator sebagai sebuah petualangan yang berakhir bahagia karena berhasil mencapai tujuan di sebuah tempat suci bagi Muslim di dunia, yaitu Mekah, Saudi Arabia. Ada kenyataan lain yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar masalah teratasi justru karena pertolongan orang lain, termasuk kekuatan gaib. Dalam hal ini sifat eksploratif novel menjadi melemah. Begitu juga subjek yang tersingkap darinya. Hal ini pula yang membuat novel ini menjadi dekat dengan pola cerita perjalanan yang lain, yaitu perjalanan ziarah dan mitologis. Perjalanan ziarah adalah perjalanan ke tempat-tempat yang sakral atau suci dengan maksud untuk memperkuat iman, memperbesar kekayaan spiritual, dan biasanya melalui berbagai penderitaan. Tempat-tempat yang dianggap suci dalam cerita perjalanan ini merujuk pada tempat-tempat ibadah seperti masjid, kuil, vihara, Istana Potala, dan Mekah yang masing-masing terletak di Cina, Tibet, India, Pakistan, dan Saudi Arabia. Hanya saja, di antara penggambaran tempat-tempat ibadah tersebut, yang terutama adalah masjid dan makam. Perjalanan mitologis ialah perjalanan yang di dalamnya tokoh yang melakukan perjalanan masuk ke berbagai wilayah yang jauh dan asing. Meskipun demikian, ia tidak pernah merasa takut dan terasing karena di sepanjang perjalanan selalu akan ada kekuatan kodrati maupun adikodrati yang memberikan pertolongan padanya. Dalam perjalanan yang penuh petualangan ini sang tokoh sebenarnya tidak beranjak dari posisinya semula. Sejauh apa pun ia mengembara, yang ditemukannya adalah dunia yang sudah lama dikenalnya. Begitu pula perjalanan Mada yang membawanya kembali kepada posisinya semula, yaitu sebagai orang yang beriman. Hal itu menunjukkan adanya keyakinan animis yang demikian tumbuh dalam komunitas kecil yang biasanya disebut sebagai suku-suku tribal yang muncul jauh sebelum terbentuknya masyarakat feodal yang melahirkan cerita perjalanan picaresque. Oleh karena itu, dengan mendasarkan diri pada pengertian mengenai masyarakat pendukung epik yang diberikan oleh Georg Lukacs (via Faruk, 2010: 92), yaitu masyarakat yang masih sangat dekat dengan alam dan kekuatan-kekuatan adikodrati dewa-dewa. Penelitian ini menyebut perjalanan Mada di atas sebagai perjalanan epik atau mitologis. Lukacs mengajukan cerita perjalanan Odyssey sebagai contoh dari perjalanan epik atau mitologis yang demikian. Pola perjalanan yang ada di dalam novel ini tidak sepenuhnya sama dengan perjalanan mitologis karena di dalamnya terkandung juga pola perjalanan yang eksploratif dan ziarah. Apabila di dalam cerita perjalanan epik sang tokoh tidak pernah merasakan keraguan sedikit pun dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada di hadapannya, di dalam novel ini Mada digambarkan sebagai tokoh yang sejak semula ragu, mengalami kegoyahan iman kepada Tuhan. Di samping itu, apabila perjalanan epik/mitologis mengimplikasikan kepercayaan yang animistik, politeis, perjalanan ziarah mengimplikasikan kepercayaan yang monotheis. Dari pola perjalanan yang demikian dengan berbagai indikasi tambahannya, dapat dikatakan bahwa diri yang diungkapkan oleh cerita perjalanan ini adalah diri campuran antara diri yang ukhrawi dengan duniawi, diri yang monoteistik dengan yang animistik dan politeistik. Dengan didukung oleh kenyataan bahwa ajaran keagamaan yang dianut Mada sebenarnya adalah ajaran keagamaan yang berbasis tasawuf. Dalam sejarah Islam di Indonesia diri yang demikian bisa dimasukkan ke dalam diri penganut Islam tradisional yang secara organisasional dimasukkan ke dalam bagian dari umat Nahdlatul Ulama (NU). “Alhamdulillah, aku sudah bisa dekat dengan ayah. Aku selalu berziarah. Aku juga, alhamdulillah, bisa berziarah ke makam Rasul. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku…” “Amin, amin…jadi, kapan kamu pulang?” “Insyaallah, selepas ibadah haji nanti, kak. Doakan aku…” “Emang kamu punya uang?” “Setidak-tidaknya,” seloroh Mada, aku bisa menelpon kakak dari sini. Itu artinya aku punya… (Irawan, 2014: 308)

Kutipan di atas menunjukkan keyakinan Mada yang bergerak di antara keyakinan sufistik yang vertikal dan abstrak dengan kehidupan duniawi yang konkret, antara kedekatan dengan Tuhan dengan ikatan yang kuat pada kerabat. Meskipun digambarkan sebagai penganut tasawuf, kekuatan dan daya hidup Mada tidak hanya didorong oleh kekuatan Illahiah yang impersonal, melainkan juga ikatan dalam hubungan dengan orang tua yang bersifat personal. Di dalam sejarah sistem kepercayaan umat manusia, keyakinan keagamaan yang juga dipengaruhi oleh ikatan kerabat yang demikian dikenal sebagai keyakinan animis yang memuja nenek moyang. Halnya berbeda dari keyakinan agama Islam yang mengikatkan diri pada Tuhan yang Esa dan bersifat impersonal.

Representasi Liyan dalam Novel Haji Backpacker Representasi liyan dalam novel Haji Backpacker didasarkan pada beberapa kategori seperti sosial, ras, geografi, politik, dan budaya/tradisi. Strategi kolonial berdasar sosial memandang Asia (Timur) terdiri dari kesatuan sosial yang tidak utuh, liyan berstatus sosial tinggi dipandang buruk, sedangkan liyan berstatus sosial rendah dipandang baik. Peliyanan berdasar ras memandang Barat sebagai liyan berkulit putih yang heterogen, ada Barat yang diposisikan lebih tinggi daripada Timur, ada juga Barat yang disejajarkan dengan Timur, dan tidak melakukan pelecehan terhadap Timur.

Liyan berdasar geografis meliputi negara-negara yang dikunjungi yang sudah disebutkan sebelumnya. Wilayah geografis pada liyan dibatasi pada ruang perbatasan, ruang kota, ruang pegunungan, dan persawahan. Pandangan terhadap liyan dipengaruhi cara pandang kolonial pada ruang perbatasan dan ruang kota, sedangkan pandangan poskolonial ditujukan pada ruang pegunungan dan ruang persawahan. Liyan berdasar politik memicu cara pandang yang dipengaruhi kolonial karena politik dalam novel ini dianggap sumber dari konflik yang terjadi di negara seperti Pakistan dan Iran. Konflik politik menyeret agama sebagai korbannya sehingga menyebabkan aksi-aksi terorisme dan kekerasan lainnya.

Liyan berdasar kebudayaan/tradisi selalu dipandang baik meskipun kebudaayaan/tradisi berbeda dengan diri. Narator menggambarkan subjek atau diri sebagai diri yang mudah membaur dengan ritual-ritual keagamaan di tempat asing selama masih satu keyakinan dengan dirinya, yakni Islam. Berbeda saat melihat ritual keagamaan di Tibet yang menunjukkan ritual agama Buddha. Selain Tibet, India sebagai liyan memberikan pengaruh kuat terhadap diri yang terungkap. Banyaknya kasus dalam novel ini yang menunjukkan penghargaan budaya lain semakin menguatkan sikap plural narator/Mada sebagai subjek postmodernis. Dikatakan demikian karena subjek/diri dalam cerita perjalanan ini menunjukkan tumpangtindih antara diri dengan liyan, penemuan diri, Tuhan, dan kerabat sehingga hierarki antara Barat dan Timur tidak berlaku lagi di sini.

Dari pemaparan mengenai strategi peliyanan ini, narator/tokoh cerita lebih banyak menggunakan pandangan yang mendua terhadap liyan atau negara-negara yang dikunjungi. Pandangan mendua ini menunjukkan perubahan pandangan dari pandangan buruk (merendahkan) menjadi pandangan yang baik. Pandangan yang buruk/merendahkan masih dipengaruhi oleh pandangan kolonial, sedangkan pandangan baik/menghargai liyan merupakan pandangan poskolonial. Dengan demikian, antara kolonial atau poskolonial, strategi peliyanan yang digunakan dalam novel Haji Backpacker menunjukkan strategi peliyanan poskolonial. “Aku pikir, menjadi manusia dan beragama itu hak setiap orang,” jawab Fuzhi. “Haruskah perbedaan mendatangkan pertikaian? Itulah politik. Aku pedagang. Dan aku bukan politisi” (Irawan, 2014: 210).

Kutipan di atas sebagai salah satu bukti bahwa novel ini memperlihatkan kecenderungan pluralistik dalam strategi peliyanannya. Negeri-negeri Asia yang dikunjungi digambarkan sebagai tempat-tempat dan orang-orang yang tidak homogen, mengandung unsur Timur dan Barat di dalam dirinya secara sekaligus. Dasar nilai yang digunakan narator dalam novel perjalanan ini tidak eksplisit dan hanya dapat dilihat secara analitik. Dalam novel ini setidaknya terdapat dua pernyataan mengenai sikap apolitis. Pertama adalah sikap seorang tokoh cerita bernama Fuzhi yang mengecam diskriminasi etnis/agama yang terjadi di Cina. Kedua ditunjukkan oleh sikap Mada terhadap konflik politik antara Iran dengan Pakistan. Pandangan Fuzhi di atas tampaknya didasarkan pada hak asasi manusia yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)1

1 Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 2 The Universal Declaration of Human Rights, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini, tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya, pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau internasional dari negara atau wilayah seseorang berasal, apakah itu independen, kepercayaan, non-pemerintahan sendiri, atau berada di bawah batasan kedaulatan yang lain” (The Universal Declaration of Human Rights, diakses dari www.un.or pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB). dan dapat dimasukkan ke dalam bagian dari nilai-nilai kosmpolitan. Begitu juga nilai yang kedua mengenai “perbedaan”2 di atas. Kenyataan tersebut yang membuat strategi peliyanan novel ini lebih tepat ditempatkan dalam strategi peliyanan postmodern3 daripada peliyanan neo-kolonial. Neo-kolonial ialah istilah yang kadang-kadang digunakan untuk tatanan dunia modern, yang sebagian besar negara- negara maju di Barat memiliki bentuk nyata dari dominasi kolonial. Namun demikian, terus menjalankan kekuasaan yang sangat besar di seluruh dunia melalui ekonomi dan budaya.4 Dalam bahasa yang lebih sederhana, Loomba (2003: 9) menjelaskan bahwa kondisi neo-kolonial merupakan kondisi yang berusaha lepas dari dominasi maupun pengaruh kolonial, namun masih tergantung dalam hal ekonomi dan budaya.Hal tersebut tidak dengan sendirinya diartikan bahwa novel ini menolak nilai-nilai Barat. Ia hanya membedakan diri dari Barat seperti yang terungkap dalam kasus perbedaan tafsir mengenai mimpi

Agenda dalam Novel Haji Backpacker Novel Haji Backpacker sebagai cerita perjalanan menggambarkan jejak-jejak Islam di beberapa negara Asia di luar Indonesia yang meliputi Thailand, Pakistan, Iran, Saudi Arabia, Cina, dan India. Akan tetapi, di antara negara-neagra tersebut ada satu negara sebagai tempat diri narator/tokoh cerita menemukan dirinya, yaitu Islam yang sesuai dengan dirinya. Tempat yang dimaksud ialah India yang memiliki persamaan dengan Islam di negeri tokoh cerita, yakni Indonesia (Irawan, 2014: 237). Persamaan ini terutama dalam hal ajaran tasawuf dan tokoh sufi yang ditemui di India yang juga terdapat di Indonesia, bahkan wali yang menjadi pimpinan mereka juga dihormati di Indonesia. Ajaran keagamaan yang berlatarbelakang tasawuf, di

2 The Universal Declaration of Human Rights, loc. cit.

3 Postmodern sering digunakan untuk menggambarkan pergeseran selera dan gaya yang terjadi dalam budaya Barat pada pertengahan hingga akhir abad ke-20. Jadi, penyebutan postmodernisme memilih dari berbagai sumber sehingga sulit untuk mengkategorikannya secara tepat, tetapi mewujudkan gaya atau kepekaan postmodernis biasanya perwujudan main-main yang bersifat ironis. Penganut postmodernis biasanya menyatakan bahwa kebenaran adalah relatif dan mutlak bahwa moral dan narasi besar mengenai kemajuan dan perkembangan sejarah hanyalah fiksi (Carl Thompson, 2011, Travel Writing, Routledge Taylor & Francis Group, New York, hlm. 204). 4 Ibid, hlm. 202

Indonesia dianut oleh para penganut Islam tradisional yang secara organisasi dimasukkan ke dalam bagian dari umat Nahdlatul Ulama (NU). Sehubungan dengan penjelasan di atas, relasi antara Timur, Barat, dan Islam menunjukkan hubungan yang saling mempengaruhi. Dalam novel Haji Backpacker ini Timur mencakup negara-negara yang menjadi bekas jajahan Barat, termasuk Indonesia. Islam juga ditemukan di Timur seperti Indonesia, Thailand, India, Pakistan, Iran, dan Saudi Arabia. Islam yang ditemukan di negara-negara tersebut berbeda-beda karena diri narator/tokoh cerita sudah memiliki standar keislamannya sendiri. Ketika diri dalam novel melihat ritual keagamaan yang tidak sesuai dengannya, ia memberikan jarak meskipun diri tetap terpengaruh. Setelah diri menemukan Islam yang sesuai dengan jati dirinya, yakni Islam tradisional seperti di Indonesia diri membaur sebagaimana tergambar di India. Kemudian mengenai Barat yang kehadirannya sangat minim di dalam novel ini. Meskipun demikian, Barat tetap teridentifikasi dari gambaran negara-negara Timur yang juga menggambarkan Islam di beberapa negara. Jadi, antara Timur, Islam, dan Barat, Islamlah yang kedudukannya lebih penting karena pada akhirnya Islam yang menjadi perantara lancarnya perjalanan yang dilakukan oleh diri hingga perjalanannya usai. Dalam novel Haji Backpacker, terdapat beberapa hal yang menunjukkan bahwa Islam tradisional yang tergambar dari subjek mitologis merupakan Islam sinkretik, yang menurut Islam modern telah dipengaruhi TBC.5 Adanya kepercayaan terhadap animisme-dinamisme digambarkan dari komunikasi lewat mimpi antara diri tokoh dengan kedua orang tuanya yang telah meninggal. Kehadiran sosok kedua orang tuanya yang telah meninggal memberikan pengaruh yang kuat di kehidupannya sebagai manusia. Hal ini menguatkan adanya kepercayaan animisme seperti yang pernah dibahas sebelumnya. Tergambar pula pada saat berada di India, makam seorang pimpinan tarekat terkenal di India begitu banyak didatangi para peziarah yang percaya bahwa mereka bisa memperoleh berkah di sana. Dari seluruh uraian di atas, novel Haji Backpacker telah berusaha membebaskan diri dari wacana kolonial maupun poskolonial. Novel ini juga tidak menunjukkan wacana neo-kolonial

5 TBC digunakan kelompok modern untuk menyebut tiga jenis kebatilan/keburukan yang masih dilakukan oleh umat Islam hingga saat ini. TBC n singkatan dari takhayul, bid’ah, dan churofat (ajaran yang tidak masuk akal). karena nilai-nilai yang terdapat di dalamnya bukan nilai-nilai universal Barat, tetapi nilai-nilai NU.6 Meskipun nilai-nilai yang tergambar adalah nilai-nilai NU, bukan berarti tidak ada nilai-nilai universal. Dalam novel ini juga terdapat nilai-nilai universal yang berdasarkan nilai Barat, tetapi yang dominan adalah nilai-nilai NU. Hal itu tidak berarti bahwa agendanya terperangkap pada wacana Barat yang disebut dengan wacana neo-kolonial.

KESIMPULAN Dari segi penggambaran dunia, negara-negara yang dikunjungi tokoh lebih menonjolkan subjektivitas dengan memperlihatkan gerakan dari pandangan jarak jauh ke jarak yang dekat. Dari segi pola cerita perjalanan yang digunakan, novel ini memperlihatkan tiga kecenderungan, yaitu kecenderungan kepada pola cerita perjalanan romantik, pola perjalanan eksploratif, dan pola cerita perjalanan mitologis. Dibandingkan dengan sifat romantik dan eksploratifnya, pola cerita perjalanan mitologis tampak lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap perjalanan tokoh cerita. Di sepanjang perjalanan dan di banyak masalah yang dihadapi, tokoh cerita seakan dipandu oleh kekuatan gaib, terutama mimpi atau bisikkan yang satu saat seakan menjadi kenyataan. Menyatunya hal-hal nyata dan gaib dalam cerita perjalanan dalam novel Haji Backpacker konsisten dalam strategi peliyanannya yang dominan, yaitu gabungan antara strategi peliyanan kolonial dengan poskolonial, yang disebut sebagai strategi peliyanan neo-kolonialisme karena sumber nilai yang dominan adalah nilai lokal/primordial. Selanjutnya, dari ketiga hal di atas terimplikasi agenda etis dan politis. Secara etis, novel Haji Backpacker menunjukkan sikap pluralistik dan toleransi dengan mengacu pada nilai-nilai lokal/primordial. Nilai-nilai itu membuat novel ini mencoba untuk memahami dan tidak segera melakukan penghakiman terhadap masyarakat dan tempat-tempat Asia yang dikunjungi tokoh. Secara politis, cerita perjalanan dalam novel ini berhasil melaksanakan agenda pembebasan diri dari hegemoni kolonialisme, tidak terperangkap ke dalam neo-kolonialisme yang menganut nilai- nilai kosmopolit Barat sebagai bekas penjajah wilayah geografis, sosial, dan kultural dari Asia. Hal

6 Lihat Clifford Geertz, 1989, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 202-204 itu menunjukkan sikap postmodern novel ini sebagaimana telah disebutkan dalam strategi peliyanan.

DAFTAR PUSTAKA

Bhabha, Homi K. 1994. Location of Culture. New York: Routledge.

_____. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik sampai Post- modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

http://www.goodreads.com/book/show/10318904-haji-backpacker-2. Diakses pada 1 Oktober 2015 pukul 10.43 WIB.

Irawan, Aguk. 2014. Haji Backpacker 9 Negara Satu Tujuan. Jakarta: MBooks.

Lisle, Debbie. 2006. The Global Politics of Contemporary Travel Writing. New York: Cambridge University Press.

Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. 2003. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Said, Edward W. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

The Universal Declaration of Human Rights diakses dari www.un.or pada Kamis, 15 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB.

Thompson, Carl. 2011. Travel Writing. New York: Routledge Taylor & Francis Group.