KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)

FAKULTAS SASTRA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN SASTRA Jalan Surakarta No. 7G, Malang 65145 Telepon/Fa ks: 0341-567475, 551312 Pesawat 235 Laman: www.um.ac.id

SUSUNAN PANITIA

SEMINAR NASIONAL MAHASISWA DALAM RANGKAIAN ACARA BULAN BAHASA DAN SASTRA (BBS) 2018 DENGAN TEMA “POTENSI BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYA INDONESIA DALAM MENGHADAPI ERA INDUSTRI DIGITAL”

Pelindung : Dekan Fakultas Sastra Prof. Utami Widiati, M.A., Ph.D. Penasihat :Wakil Dekan III Fakultas Sastra Dr. H. Kholisin, M. Hum. Ketua Jurusan Sastra Indonesia Prof. Dr. Heri Suwignyo, M.Pd. Pembina HMJ Sastra Indonesia Teguh Tri Wahyudi, S.S, M.A. Dr. Azizatuz Zahro’, M.Pd. Amalia Nurma Dewi, M.Hum

Penanggung Jawab : Ketua HMJ Sastra Indonesia Cakra Wisnu Megantara Ketua Pelaksana : Hanun Adlan Sekretaris : Rivalda Naulia Putri Bendahara : Fenti Ayu Safitri

Tim Acara Koordinator Acara BBS 2018 : Inayatul Masluchi Koordinator Forum Ilmiah : Iqbal Anwar Zakaria Ilmu Perpustakaan (Rumilus) PJ Acara Forum Ilmiah : Meirisa Anggraeni Ilmu Perpustakaan (Rumilus) Koordinator Festival Literasi : Nur Yuva Prisetiawan Bahasa dan Sastra (FLBS) Diella Rosa PJ Acara Festival Literasi : Fahmi Akbar Farihah Bahasa dan Sastra (FLBS) Zulfah Alani Hidayah KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)

FAKULTAS SASTRA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jalan Surakarta No. 7G, Malang 65145 Telepon/Fa ks: 0341-567475, 551312 Pesawat 235 Laman: www.um.ac.id

Koordinator Festival Teater Mahasiswa : Rosida Eka Oktaviani P.M. PJ Acara Festival Teater Mahasiswa : Anisa Fitri Nur Imami Koordinator Festival Teater SMA : Doni Romadhona PJ Acara Festival Teater SMA : Holy Fikriya Luqis Koordinator Bazar Sasindo : Angesti Dwi Ariani PJ Acara Bazar Sasindo : Nur Alfiah Nisa Koordinator Seminar Nasional : Bissmi Nuriska PJ Acara Seminar Nasional : Faisal Akbar Firmansyah Tim Kesekretariatan : Sindy Lianawati (Koor.) Nun Ainun Ita Ayu Dewi Firma Firdausi

Tim Kesejahteraan : Sella Auliya Rahma (Koor.) Sumiyanti R. Y. Danga Utia Putri Utami Tim Perlengkapan : Kifan Wigrahanto (Koor.) Daniar Bimantara Avi Faulina Sari Ilmi Ma’rifatun Na’imah Tim Publikasi : Wiwin Sulistyorini (Koor.) Yulinda Sari Cahyaningtyas Linda Ayu Margyareta Siti Halimah Tim Hubungan Masyarakat : Imam Jihadi (Koor.) Moch. Nanda Indra Lexmana Putri Ambarwati Pradjna Claudia Larasati Tim Dana Usaha : Firda Farhani (Koor.) Vidiya Safitri Tiara Margareta KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)

FAKULTAS SASTRA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jalan Surakarta No. 7G, Malang 65145 Telepon/Fa ks: 0341-567475, 551312 Pesawat 235 Laman: www.um.ac.id

Nila Ayati Nuzula Tim Dekorasi : Michael Joan Ismayana (Koor.) Deny Nur Diansyah Cantika Oktavia Tim Desain & Kreatif : Anandita Eka Rahayu (Koor.) Hanifia Erma Indahsari Distwenti Refina Tim Dokumentasi : Derin Aypa Berhama Zega (Koor.) Himmatul ‘Aliyah Fika Aghnia Rahma DAFTAR ISI

KONTEKS SITUASI DALAM CATATAN SEORANG DEMONSTRAN KARYA SOE HOK GIE BERDASARKAN PERSPEKTIF FIRTH...... 1

PEYORASI DAN AMELIORASI...... 10 MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN ANCANGAN LITERASI INFORMASI UNTUK PEMBELAJARAN TEKS EDITORIAL...... 17 ANALISIS PELANGGARAN PRINSIP KESANTUNAN BAHASA DALAM VIDEO STAND UP COMEDY DZAWIN SUCI 4...... 27

ANALISIS METAFORA DALAM TEKS PIDATO BUNG TOMO PADA 10 NOVEMBER 1995 MENGGUNAKAN SISTEMATISASI JOHNSON DAN LAKOFF...... 34 ANALISIS KATA YANG BERPOLISEMI DALAM NOVEL “KEMI TUMBAL LIBERALISME 3” KARYA ADIAN HUSAINI...... 45

ELABORASI HIPONIMI PADA LAGU-LAGU ANAK CIPTAAN PAK KASUR...... 55 PREFIKS DAN KELAS KATA DALAM BAHASA MAKASSAR SEBAGAI FITUR LINGUISTIK...... 63

ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI

DALAM DIALOG FILM SURGA YANG TAK DIRINDUKAN 2...... 73

ANALISIS TOKOH BELLA DALAM FILM THE TWILIGHT SAGA : NEW MOON PRESPEKTIF DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA...... 88

TEORI SASTRA PERSPEKTIF TEKS SASTRA:

PASCA STRUKTURALIS: JACQUES DERRIDA: DEKONSTRUKSI...... 102

LINGKUP KEHIDUPAN SASTRA DALAM TEORI NEOMARXIS...... 112

IMPLIKATUR YANG TERJADI PADA NOVEL “JADILAH PURNAMAKU, NING!” KARYA KHILMA ANIS...... 121

TELAAH EKSISTENSI TINDAK TUTUR DAN PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM VIDEO “MALAM MINGGU MIKO EPISODE PEMBACAAN PUISI SILVIA”...... 130

KRITIK SASTRA PADA TEORI EKSPRESIVISME...... 141

HORISON HARAPAN DALAM PEMIKIRAN HANS ROBERT JAUSS...... 151 TEORI SASTRA BERDASARKAN PERSPEKTIF KONSEP ROLAND BARTHES.... 159 REPRESENTASI KEYAKINAN TERHADAP MASYARAKAT DALAM TEKS SERAT BABAD BANYUURIP DALAM PERSPEKTIF PEMBACA HANS ROBERT JAUS:HORIZON HARAPAN...... 171 TEORI SASTRA WOLFGANG ISER ...... 182 GENG KUDA (GERAKAN UNGGAH KUTIPAN DAMAI) GERAKAN BERBAHASA YANG BAIK LAWAN UJARAN KEBENCIAN DI INSTAGRAM...... 191 PRAANGGAPAN DAN PELANGGARAN MAKSIM KESOPANAN DALAM VIDGRAM @ALFYSAGA...... 202 PRINSIP KESANTUNAN DALAM VLOG “DETIK-DETIK YOUNGLEX TOBAT” RICIS OFFICIAL...... 219 ANALISIS PRINSIP KERJASAMA DALAM DIALOG FILM “HIJAB”...... 229 SI BAJA (PASINAON BASA JAWA) DIGITAL INTERAKTIF: PRODUK INDUSTRI KREATIF BIDANG PEMBELAJARAN BERBASIS DIGITAL...... 224 GAYA TUTUR PROMOTIF ARTIS DI MEDIA SOSIAL...... 259 EKSISTENSI CYBERSASTRA DAN KREATIVITAS SASTRA DI ERA INDUSTRI KREATIF...... 280 MIND MAP DENGAN APLIKASI E-MIND MASTER 6.2 DALAM PEMBELAJARAN I’RAB : MEDIA PEMBELAJARAN DALAM MENGHADAPI ERA DIGITAL...... 291

KONTEKS SITUASI DALAM CATATAN SEORANG DEMONSTRAN KARYA SOE HOK GIE BERDASARKAN PERSPEKTIF FIRTH

Abdul Basid Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

Alifatul Hidayatin Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

Nada Nadillah Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

ABSTRACT This study aims to analyze the true meaning that occurs in Soe Hok Gie's poem by observing the context of the situation according to Firth's perspective. This research is a qualitative research with descriptive character. The object of this study was the text of Soe Hok Gie's poem in a Demonstrator's Note book. Data collection techniques use reading techniques and note-taking techniques. Data validity used by researchers is data triangulation by utilizing data. The results of the analysis in this study indicate that, the context of the situation based on the choice of language used in the poems by Soe Hok Gie relates to the struggle, defense of the nation and criticism of the state. Likewise, the context of the situation is based on time found three times (indicating at the time of light (morning, afternoon, and evening), transitional times, and 1967 to 1970) and the context of the situation where there are eight places of Makkah, Miraza, two words Disisimu, Lembah Mendalawangi , Danang, Biafra, and here, but everything is related to the struggle, because he is a figure of the student movement of class 66 with his enthusiasm for the struggle of this nation. Keywords: Conteks, Firth, situation, Soe Hok Gie.

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna sebenarnya yang terjadi pada puisi Soe Hok Gie dengan memperhatikan konteks situasi menurut perspektif Firth. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan bersifat deskriptif. Objek pada penelitian ini berupa teks puisi Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik catat. Validitas data yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi data. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa, konteks situasi berdasarkan pemilihan bahasa yang digunakan pada puisi karya Soe Hok Gie berkaitan dengan perjuangan, pembelaan terhadap bangsa serta pengkritikan terhadap negara. Begitu pula dengan konteks situasi berdasarkan waktu ditemukan tiga waktu (menandakan pada waktu terang (pagi, siang, dan sore), zaman peralihan, dan tahun 1967 sampai 1970) dan konteks situasi tempat terdapat delapan tempat Makkah, Miraza, dua kata Disisimu, Lembah Mendalawangi, Danang, Biafra, dan disini, namun semuanya berkaitan dengan perjuangan, karena beliau merupakan tokoh pergerakan mahasiswa angkatan 66 dengan semangatnya terhadap perjuangan bangsa ini. Kata kunci : Firth, konteks, situasi, Soe Hok Gie.

Soe Hok Gie adalah putera keempat dari seorang penulis redaktur berbagai surat kabar dan majalah seperti Tjin Po, Panorama, Hwa Po, Liberty, Hong Po, Kung Yung Pao, Min Pao,dan terakhir pada yahun 1950 menjadi direktur harian Sadar di . Namun ayahya, Soe Lie Piet, bukan saja redaktur surat kabar tetapi juga seorang penulis yang cukup

1 subur. Tentang lahirnya sendiri, Soe Hok Gie tidak banyak menulis, hanya singkat saja ditulisnya : “saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di pasifik” (Gie, 2015:20-21). Soe Hok Gie selain pemikirannya yang sangat tajam melalui tulisan tulisannya yang sangat menohok karena kerap kali beliau mengkritik dengan pedas di koran-koran dan media lainnya bahkan dengan menyebut nama orang yang beliau kritik, beliau juga pandai mengutarakan isi hati dan emosinya dengan bentuk puisi karena salah satu bidang yang digemarinya adalah kesusasteraan. Sudah sangat banyak puisi yang beliau ciptakan untuk mengutarakan emosinya atau sekedar coretannya namun sangat mengena. salah satu diantaranya adalah puisi yang beliau ciptakan pada 11 November 1969 yang berisikan emosinya pada salah seorang wanita yang beliau kagumi (Gie, 2015:341). Teori kontekstual sendiri adalah salah satu cabang semantik. Dalam bahasa arab teori kontekstual bisa disebut juga dengan An-Nazariyyah al-Siyaqiyyah. Menurut teori ini, cara untuk memahami makna bukan dengan melihat, mendeskripsikan, atau mendefinisikan acuan/ benda. Akan tetapi, makna dipahami melalui konteks kebahasaan (siyaq lughawi) yang digunakan dan konteks situasi-kondisi (siyaq hal-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena itu, studi tentang makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi secara sekaligus, tepat dan cermat (Taufiqurrochman, 2015:32). Menurut Abdul Chaer dalam bukunya Linguistik Umum (2015:290), beliau menjelaskan bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa. Maka dari itu peneliti menerapkan teori konteks situasi dalam perspektif John Rupert Firth pada puisi Soe Hok Gie. Peneliti menjadikan puisi Soe Hok Gie sebagai objek karena peneliti tertarik terhadap puisi karangan Soe Hok Gie yang identik dengan perjuangan, kritikan terhadap kekuasaan dan politik Indonesia pada Ea Akhir Orde Lama, dan pemikiran-pemikirannya yang sangat berpengaruh pada perkembangan dan perubahan pada Era Orde Lama, serta gaya bahasa yang digunakan pada tulisan Gie selalu berkaitan dengan kehidupan praktis sehingga tulisannya saat dikonsumsi publik memiliki khas tersendiri. Beberapa peneliti sudah melakukan penelitian menggunakan teori konteks situasi seperti : Nurfaedah. 2017. Analisis Hubungan sistem transivitas dan konteks situasi dalam pidato politik Hatta Rajasa: Tinjauan Sistemik Fungsional. Artikel ini mengkaji tentang pidato politik yang disampaikan oleh Hatta Rajasa jika analisis dari segi sistem transivitas

2 dan konteks situasi. Dengan hasil konteks situasi pada pidato Hatta Rajasa bahwa beliau Ingin menyampaian maksud untuk mewujudkan cita-cita rakyat Indonesia dengan mengembangkan sistem demokrasi dan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Rosmawaty. 2011. Tautan konteks situasi dan konteks budaya: kajian linguistik sistem fungsional pada cerita terjemahan fiksi “Halillian”. Artikel ini mengkaji bagaimana keterkaitan antara konteks situasi dan konteks budaya dengan menggunakan cerita terjemahan berjudul “Halilian” sebagai objeknya. Dengan hasil keterkaitan konteks situasi dan konteks budaya pada teks terjemahan fiksi dapat menjadi wujud fiksasi dan stabilitas juga pengembangan realitas, peristiwa dan pengalaman hidup. Juga penelitian yang dilakukan oleh Oce a. Langkameng. 2015. Konteks situasi teks ritual “ala baloe” (makan baru padi) masyarakat Bampalola. Penelitian satu ini membahas tentang upacara panen padi yang dilakukan oleh masyarakat Bampaola. Dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara. Dari kegiatan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa, konteks situasi TRAB meliputi medan, pelibat dan sarana teks. Berdasarkan pemaparan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna sebenarnya yang terjadi pada puisi Soe Hok Gie dengan memperhatikan konteks situasi menurut perspektif Firth yakni konteks situasi berdasarkan waktu, tempat dan pemilihan penggunaan bahasa.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni data-data yang diperoleh bersumber dari teks-teks, serta prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan (Sugiyono, 2008:15). Sumber data yang diperoleh oleh peneliti dibagi menjadi dua yakni sumber data primer dan sekunder (Siswanto, 2012:56). Sumber data primer peneliti peroleh dari buku Catatan Seorang Demonstran, sedangkan sumber data sekunder peneliti peroleh dari dari buku-buku dan data yang digali berupa jurnal-jurnal dari internet yang berkaitan dengan teorikontekstual, terutama terfokus pada teori konteks situasi dalam perspektif Firth. Teknik yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data adalah teknik baca dan teknik catat (Sugiono, 2008:308), yakni dengan membaca dan memahami buku yang berkaitan dengan teori kontekstual terutama mengenai kajian konteks situasi menurut perspektif Firth, kemudian peneliti menganalisis puisi dengan menerapkan teori konteks situasi, dan selanjutnnya peneliti mencatat hasil apa yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengujian keabsahan data menggunakan teknik triangulasi. Dan

3 teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan model analisis data menurut Miles dan Huberman yakni dengan reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi data (Sugiyono, 2008:337). Hasil dan Penelitian Adapun berdasarkan metode penelitian diatas, hasil dan penelitian mengenai Kulminasi Dunia Konteks dalam Catatan Seorang Demonstran Karya Soe Hok Gie berdasarkan Perspektif Firth akan dipaparkan pada bab ini. Berikut merupakan data yang diperoleh: 1. Konteks situasi tempat Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah (Gie, 2015:341). Dari bait diatas dapat dijelaskan terdapat konteks situasi tempat berupa “Mekah”. Sebagaimana yang diketahui dari dulu hingga sekarang, bahwa Mekah adalah tempat orang muslim melakukan ibadah rukun islam yang kelima. Yakni Haji. Mereka yang menunaikan ibadah haji berangkat pada musim haji yanki pada bulan Dzulhijjah. Muslim yang berada di Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan dirinya untuk menunaikan ibadah haji. Mereka rela mengantri selama betrahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun demi menuntaskan rukun islam yang ke lima tersebut. Dan Mekah, ia gambarkan untuk menggambarkan bahwa ada orang-orang yang menghabiskan waktunya di dunia dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji, contonya dengan melaksanakan ibadah haji di Mekah. Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza(Gie, 2015:341). Selanjutnya, dalam bait diatas menggunakan “Miraza” sebagai tempat yang digunakan dalam puisinya. Ia menggambarkan bahwa di Miraza banyak orang-orang yang berjudi disana. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa berjudi, meminum minuman keras dan perbuatan tidak terpuji lainnya sangat dilarang. Karena sangat membahayakan, diri sendiri dan orang lain juga. Maka dari itu, Gie menuliskan Miraza sebagai perwakilan bahwa banyak orang yang melakukan pebuatan tidak terpuji dan sebagai pertentangan dai pernyataan di bait pertamanya bahwa banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Lalu ia menuliskan bait kedua untuk menggambarkan pertentangannya dari bait sebelumnya. Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku(Gie, 2015:341). Lalu dalam bait ke tiga, gie menggunakan kata “di sisimu” sebagai pelengkap kalimat dalam puisinya. Kata “di sisimu” menggambarkan tempat di sebelah seseorang yang ia cintai. Ia ingin mati saat ia sedang bersama kekasihnya itu. Jika dihubungkan

4 dengan dua bait diatasnya, dalam bait ini, Gie ingin mengungkapkan isi hatinya selama ini, bahwa setelah selama ia hidup dengan banyak melakukan pertentangan, kritikan, perlawanan, dan lain lain pada orang yang tidak ia sukai terutama pada pemerintah, lalu ia bertanya tanya untuk apa ia seperti itu dan akhirnya bosan dengan hidupnya. Dan ia menuliskan bagaimana ia ingin mati setelah bosan menjalani hidupnya yang amat keras dan beringas tersebut. Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendalawangi(Gie, 2015:341). Gie menuliskan “Lembah mendalawangi” pada bait puisi selanjutnya. Lembah mendalawangi adalah nama lembah yang terletak sekitar 100 meter dari Puncak Pangrango yang berada di ketinggian 3.019 meter diatas permukaan laut. Lembah seluas sekitar 5 hektar ini merupakan satu dari dua padang bunga edelweis yang sangat indah dan tumbuhi bunga-bunga yang sangat menawan dan menentramkan hati para pendaki. Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang(Gie, 2015:341). Gie dilahirkan tahun 1942 tepat tiga tahun sebelum kemerdekaan republik Indonesia. Dan Gie hidup dan berproses pada zaman peralihan dimana Indonesia baru saja mereih kemerdekaannya dan kondidi Indonesia belum benar-benar stabil masih banyak pergolakan dimana mana, masih banyak perpecahan yang terjadi di negara yang baru mendapat title “merdeka” ini. Bahkan, bukan hanya di Indonesia di negara-negara sekutu pun juga banyak terjadi kerusuhan seperti bom yang jatuh di Hiroshima dan nagasaki. Selanjutnya ada juga di Danang orang-orang yang mati terkena bom. Mereka adalah serdadu-serdadu Amerika. Dan gie menulisnya sebagai salah satu tempat yang ia ingat dalam bait puisinya. Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra(Gie, 2015:341). Konteks situasi tempat selanjutnya yang digunakan Gie dalam puisi satu ini adalah “Biafra”. Menurut wikipedia, Biafra adalah sebuah negara yang pernah ada di sebelah tenggara Nigeria selama jangka waktu sekitar tiga tahun antara 30 Mei 1967 hingga 15 Januari 1970. Lalu Biafra mengalami konflik selama tiga tahun. akibatnya banyak orang orang kelaparan disana hingga akhirnya mati dan ada juga yang meninggal karena terkena penyakit. Dan tak sedikit bayi yang meninggal di Biafra. Hingga akhirnya Biafra bubar setelah konflik selama tiga tahun tersebut. Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku(Gie, 2015:341). Soe Hok Gie kembali mengulang kata “di sisimu” sebagai bagian dari puisinya. Ia mengulang kata kata ini untuk menggambarkan sekali lagi kelak dimana ia ingin menghembuskan nafas terakhirnya.

5

Mari sini sayangku(Gie, 2015:341). Gie mengajak orang-orang terkasihnya untuk selalu dekat dengannya. Ia menggunakan kata “sini” untuk mengungkapkan keinginannya tersebut di dalam puisi karangannya 2. Konteks situasi waktu Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendalawangi(Gie, 2015:341). Gie menuliskan “Lembah mendalawangi” pada bait puisi selanjutnya. Lembah mendalawangi adalah nama lembah yang terletak sekitar 100 meter dari Puncak Pangrango yang berada di ketinggian 3.019 meter diatas permukaan laut. Lembah seluas sekitar 5 hektar ini merupakan satu dari dua padang bunga edelweis yang sangat indah dan tumbuhi bunga-bunga yang sangat menawan dan menentramkan hati para pendaki. Jika dilihat saat terang yakni pada pagi atau sore hari, bunga bungany akan tampak cantik dan menawan. Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang (Gie, 2015:341). Gie dilahirkan tahun 1942 tepat tiga tahun sebelum kemerdekaan republik Indonesia. Dan Gie hidup dan berproses pada zaman peralihan dimana Indonesia baru saja mereih kemerdekaannya dan kondidi Indonesia belum benar-benar stabil masih banyak pergolakan dimana mana, masih banyak perpecahan yang terjadi di negara yang baru mendapat title “merdeka” ini. Bahkan, bukan hanya di Indonesia di negara-negara sekutu pun juga banyak terjadi kerusuhan seperti bom yang jatuh di Hiroshima dan nagasaki. Selanjutnya ada juga di Danang orang-orang yang mati terkena bom. Mereka adalah serdadu-serdadu Amerika. Dan Gie menulisnya sebagai salah satu tempat yang ia ingat dalam bait puisinya. Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra (Gie, 2015:341). Selanjutnya yang digunakan Gie dalam puisi satu ini adalah “Biafra”. Menurut wikipedia, Biafra adalah sebuah negara yang pernah ada di sebelah tenggara Nigeria selama jangka waktu sekitar tiga tahun antara 30 Mei 1967 hingga 15 Januari 1970. Lalu Biafra mengalami konflik selama tiga tahun. akibatnya banyak orang orang kelaparan disana hingga akhirnya mati dan ada juga yang meninggal karena terkena penyakit. Dan tak sedikit bayi yang meninggal di Biafra. Hingga akhirnya Biafra bubar setelah konflik selama tiga tahun tersebut. 3. Konteks situasi pemilihan bahasa Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah (Gie, 2015:341).

6

Gie menggunkan pilihan bahasa diatas guna menggambarkan bahwa ada orang- orang yang menghabiskan semasa hidupnya untuk melakukan kebaikan dan hal-hal terpuji. Kali ini Soe Hok Gie mencontohkannya dengan kata “berziarah” untuk menggambarkan orang yang melakukan ibadah haji di Mekah. Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza (Gie, 2015:341). Di bait selanjutnya, masih sangat berhubungan dengan bait pertama. Gie ingin menggambarkan sebaliknya bahwa banyak juga orang yang menghabiskan masa hidupnya dengan berbuat perbuatan yang tidak baik. Lalu Gie memilih gambaran “berjudi” sebagai ibarat orang-orang yang menghabiskan waktu dengan perbuatan yang jelek dan tercela. Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku(Gie, 2015:341). Bait ke tiga, Soe Hok Gie memilih pilihan kata hingga kalimat diatas untuk mengekspresikan tempat dia ingin menghembuskan nafas terakhirnya. Yakni, di sisi orang yang ia cintai. Berhubungan dengan dua bait sebelumnya yang ia gambarkan. Daripada menghabiskan waktu dengan melakukan perbuatan baik terus menerus, atau malah sebaliknya. Gie lebih ingin menghabiskan waktu bersama orang yang ia cintai Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu (Gie, 2015:341). Selanjutnya, Gie akan mengungkapkan bahwa ia ingin menghabiskan waktunya bercakap cakap dengan seseorang yang ia cintai sembari membicarakan hal-hal kecil yang remeh namun menyenangkan. Baginya, menghabiskan waktu dengan cara tersebut adalah cara menghabiskan waktu yang ia idamkan. Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendalawangi (Gie, 2015:341). Masih berhubungan dengan bait diatas. Gie menjelaskan lagi bahwa ia ingin membicarakan tentang bagaimana ia kelak akan menghabiskan waktunya. Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang (Gie, 2015:341). Seperti bait pertama, Gie memilih suatu kalimat yang ia ketahui sebagai ibarat banyak orang yang mati dengan cara yang berbeda-beda pula. Sekarang ia menulis bahwa banyak orang yang mati secara tragis karena terkena bom di Danang. Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra (Gie, 2015:341). Selanjutnya, masih berhubungan dengan bait diatasnya, juga banyak orang yang meninggal dengan sadis karena kelaparan dan kekurangan bahan pangan. Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku (Gie, 2015:341). Tapi Gie ingin mati dengan tenang di sebelah orang yang ia cintai. Bukan mati dengan cara-cara tragis seperti bait-bait diatas yang ditulis sebelum bait ini.

7

Setelah bosan hidup dan terus bertanya tanya Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu(Gie, 2015:341). Jika dilihat dari kehidupan Gie yang penuh dengan kritik dan perlawanan, lama lama ia juga bosan dengan hidup karena ia tak tau hidupnya akan berakhir bagaimana. Maka ia menggunakan diksi diatas untuk mewakili perasaannya Mari sini sayangku (Gie, 2015:341). Dari bait tersebut, Gie mengajak orang-orang yang ia cintai untuk dekat bersamanya. Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku(Gie, 2015:341). Gie menjelaskan bahwa makna kata “sayangku” pada bait sebelumnya adalah yakni orang-orang yang pernah baik, perhatian, dan menyayanginya. Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung(Gie, 2015:341). Sebebelum ia meninggal, ia ingin orang-orang yang ia cintai saat Gie meninggal nanti, mereka tetap tegar dan tabah walau sedang berduka Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita ta`kan pernah kehilangan apa-apa(Gie, 2015:341). Di bait terakhir, gie menuliskan bak ibarat “siapa menanam, dia akan memanen”. Maksudnya, ketika kita tidak pernah merasa memiliki apa-apa maka seharusnya kita tidak akan merasakan kehilangan apa-apa. Kesimpulan Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa Konteks situasi adalah menjelaskan dan memerinci makna konteks tertentu dari suatu penggunaan bahasa terhadap situasi yang terjadi pada karya tersebut. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa. Dalam puisi Soe Hok Gie pada buku Catatan Seorang Demonstran terdapat beberapa konteks situasi yakni (1) konteks situasi tempat, terdapat delapan tempat yang disebutkan yakni Makkah, Miraza, dua kata Disisimu, Lembah Mendalawangi, Danang, Biafra, dan disini. (2) konteks situasi waktu, terdapat tiga waktu yang disebutkan, akan tetapi situasi waktu yang ada pada puisi beliau tersirat yakni menandakan pada waktu terang (pagi, siang, dan sore), zaman peralihan, dan tahun 1967 sampai 1970 (3) konteks situasi berdasarkan pemilihan bahasa, Soe Hok Gie selalu menggunakan bahasa-bahasa yang telah diketahui dari buku-buku yang dibacanya, serta bahasa-bahasa yang digunakan selalu berkaitan dengan perjuangan.

8

DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Umum. Chaer, Abdul. (2015). Psikolinguistik. Jakarta: PT. Rinaeka Umum. Hediani, Ni Nengah. (2015). Analisis teks wacana kelas X MIA di SMA Negeri 2 Singaraja: Tinjauan Konteks Situasi. Jurnal Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Vol 3, No 1. Kholison, Moh. (2016). Semantik Bahasa Arab. Sidoarjo: CV. Lisan Arabi. Langkameng, Oce a. (2015). Konteks situasi teks ritual “ala baloe” (makan baru padi) masyarakat Bampalola. Retorika: Jurnal Ilmu Bahasa. Vol. 1, No. 1. Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Rosda Karya. Nurfaedah. (2017). Analisis Hubungan Sistem Transivitas dan Konteks Situasi dalam Pidato Politik Hatta Rajasa: Tinjauan Sistemik Fungsional. Retorika: Jurnal bahasa, sastra dan pengajarannya. Vol 10, No 1. Rosmawaty. (2011). Tautan konteks situasi dan konteks budaya: kajian linguistik sistem fungsional cerita terjemahan fiksi “Halillian”. Dalam student e-jurnal Universitas Negeri Medan. Litera, Vol 10, No 1. Siswanto, Victorius Aris. (2012). Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Gie, Soe Hok. (2015). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES. Gie, Soe Hok. (2017). Zaman Peralihan. Yogyakarta: Labirin dan Mata Bangsa. Sugiyono. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta. Taufiqurrochman. (2015). Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Maliki Press. Wijaya, Herman. (2013). Analisis wacana lirik lagu “wasiat renungan masa” karya TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid tinjauan kontekstual dan situasi serta aspek gramatikal dan leksikal. Jurnal EducatiO, Vol 8, No 1.

9

PEYORASI DAN AMELIORASI

Aldila Rizki Kartika Dewi Gustinur Maharani Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang [email protected]

Dwi Agustin Lestari Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang [email protected]

ABSTRAK Di dalam bahasa terkadang terdapat bentuk kata yang mengalami pergeseran makna penyebabnya yaitu dari penilaian masyarakat, perbandingan tingkat penggunaan pada masyarakat. Perubahan bentuk kata tersebut mengalami pergeseran makna dimana disebutkan dengan istilah peyorasi dan ameliorasi. Peyorasi terjadi karena perubahan makna kata yang digunakan bernilai rendah atau semakin buruk. Sedangkan ameliorasi terjadi karena perubahan makna kata menjadi lebih tinggi atau lebih bagus. Keduanya memiliki hubungan erat yang sulit berdiri sendiri sebab keduanya secara tidak langsung disebabkan karena adanya perbandingan satu kata dengan lainnya. Artikel ini membahas pergeseran makna dari peyorasi maupun ameliorasi dalam penggunaan kata sehari-hari. Adanya pergeseran tersebut menunjukkan bahwa makna mempengaruhi berbagai penggunaan mengekspresikan bahasa secara tujuan maupun fungsinya. Kata kunci: ameliorasi, pergeseran makna, peyorasi Dalam tata bahasa Indonesia dikenal sebuah kondisi yang dinamakan dengan perubahan makna. Perubahan makna dalam bahasa Indonesia dapat berupa pergeseran, pengembangan atau penyimpangan dari makna awalnya. Chaer dalam bukunya menjelaskan terjadinya perubahan, pergeseran, dan perkembangan makna disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah perkembangan ilmu dan teknologi, sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indera, dan perbedaan tanggapan (Chaer, 2002:132-140). Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari selalu mempengaruhi makna. Jika dikaji lebih jauh bahasa tersebut mengalami pergeseran makna. Pergeseran makna terdiri dari peyorasi dan ameliorasi. Peyorasi merupakan peninggian makna, sedangkan ameliorasi merupakan penurunan makna. Perkembangan peyoratif (merendahkan/melemahkan) sangat biasa dalam bahasa sehingga beberapa ahli semantik–awal memandangnya sebagai suatu kecenderungan yang

10 fundamental, suatu gejala “goresan pesimistik” pada jiwa manusia (Schreuder dalam Ullmann, 2014:284-285). Ameliorasi terjadi bila suatu kata memiliki makna yang memiliki nilai maupun konotasi lebih baik dari makna sebelumnya. Di Indonesia gejala pergeseran makna menuju sifat menghaluskan tampaknya merupakan gejala umum. Seperti halnya kata millennial, kata milenial sekarang ini mengalami pergeseran makna yaitu peyorasi akibat adanya cara pandang terhadap kata ini. Istilah milenial atau generasi milenial menjadi bahan perbincangan, terutama jika berkaitan dengan teknologi, pendidikan, moral, hingga budaya. Istilah itu pada awalnya diciptakan dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe, yakni generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an. Dalam beberapa artikel, generasi ini sering pula disebut dengan istilah generasi Y, generation me, atau echo boomers. Di Indonesia, generasi milenial mendapat perhatian yang cukup istimewa karena dianggap memiliki beberapa potensi, di antaranya wawasan. Kemampuan dalam menggunakan teknologi inilah membuat generasi ini dianggap berwawasan luas. Karakteristik lain yang juga dimiliki generasi ini ialah berpendidikan cukup baik, kreatif, percaya diri, dan perhatian terhadap isu-isu publik. Pada 2020-2030, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 180 juta penduduk berusia produktif yang berasal dari generasi ini. Artikel dari Wall Street Journal malah mempermasalahkan istilah milenial yang dianggap sudah tak pantas lagi dipakai. Wall Street Journal menilai istilah milenial telah menjadi ejekan sinis yang mengambarkan sebuah generasi narsis yang ketagihan Snapchat serta benci kerja keras dan kritik. Media berita Barat lainnya bahkan ada yang menyarankan agar istilah milenial dihentikan sama sekali dan diganti dengan istilah semisal generasi Y atau generasi internet. Karakter paradoksal seperti sensitif, egois, mudah tersinggung, dan suka mengeluh yang inheren pada generasi itu tampaknya telah membuat media massa Barat enggan menggunakan term ini lagi. Jason Dorsey, presiden dan peneliti tentang milenial di Centre for Generation Kinetics, berpendapat istilah milenial sering dianggap negatif karena generasi ini sering digambarkan dari sudut pandang negatif. Pengubahan istilah tidak serta-merta dapat mengubah kesan negatif itu. Menurutnya, sebutan milenial bisa tetap digunakan untuk menunjukkan julukan pada generasi tertentu, lengkap dengan sifat baik dan buruknya. Yang harus dihindari ialah penyebaran stereotip terhadap suatu kelompok (generasi) karena setiap orang pada dasarnya tak suka dipandang secara stereotip.

11

Makna dalam bahasa sejatinya memiliki letak-letak berbahasa tersendiri dalam penggunaannya, seperti hal nya mengenai bentuk-bentuk pergeseran makna yang ditinjau dari segi peninggian dan penurunan makna. Dari makna tentunya dapat disadari bahasa tersebut lebih condong ke arah yang baik atau sebaliknya. Dalam artikel ini akan dijelaskan tentang pengertian peyorasi dan ameliorasi, contoh dan juga penyebab terjadinya.

Pergeseran Makna Makna berkembang dengan melalui perubahan, perluasan, penyempitan dan pergeseran. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) bahasa Indonesia yang disebut eufemisme (melemahkan makna). Pergeseran makna terjadi di dalam bentuk imperative seperti pada segera laksanakan yang bergeser maknanya menjadi harap dilaksanakan atau mohon dilaksanakan, terjadi eufemisme. Modalitas keharusan yang muncul dengan konstruksi harus untuk prinsip eufemisme, misalnya harus datang menjadi mohon hadir, mohon datang. Kata berpidato atau memberi instruksi dirasakan terlalu kasar dan biasanya diganti dengan memberikan pengarahan, memberikan pembinaan, mengadakan sarasehan, dan sebagainya (Djajasudarma, 1999:79). Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frase yang bermakna terlalu menyinggung perasaan orang yang mengalaminya, oleh karena itu kita tidak mengatakan orang sudah tua di depan mereka yang sudah tua bila dirasakan menyinggung perasaan yang bersangkutan, maka muncullah orang yang sudah lanjut usia (Djajasudarma, 1999:79). Pemakaian bahasa dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya untuk memakai semua unsure yang ada di dalam bahasanya. Pemakai bahasa berusaha agar kawan bicara tidak terganggu secara psikologis, oleh karena itu muncul pergeseran makna. Dikatakan pergeseran makna bukan pembatasan makna, karena dengan penggantian lambing (symbol) makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufemisme) menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan biacara atau orang yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau frase yang disebutkan) (Djajasudarma, 2013:97).

Peyorasi dan Ameliorasi Peyorasi atau peyoratif adalah suatu proses perubahan makna di mana arti baru dirasakan lebih rendah nilainya daripada artinya yang lama (Rusmaji, 1995:140). Secara tidak langsung penurunan makna juga dapat berarti degenerasi makna, yaitu perubahan makna kata

12 dari makna yang bersifat lebih tinggi dan mulia digeser atau diubah menjadi makna yang bersifat rendah dan biasa (Taufiqurrochman, 2008:129). Ameliorasi atau ameliorative adalah suatu proses perubahan arti di mana arti baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari arti yang lebih dulu (Rusmaji, 1995, h. 140). Secara tidak langsung kenaikan yaitu perubahan makna dari kata makna yang bersifat rendah, biasa, sederhana, digeser atau diubah menjadi makna yang bersifat tinnggi, kuat dan mulia (Taufiqurrochman, 2008:128).

Contoh Peyorasi dan Ameliorasi Kata bui, penjara atau tutupan berfungsi sebagai tempat menahan orang yang telah diadili, orang yang telah mendapat putusan pengadilan untuk menjalani hukuman badan. Dengan bui, penjara atau tutupan, terbayang pada kita orang-orang yang kehilangan kebebasan untuk melaksanakan aktivitas. Kalau orang mengatakan “Dia baru keluar dari bui”, maka orang atau keluarga orang yang menjalani hukuman tersebut merasa ada tekanan psikologis. Karena itu, maknanya dilemahkan dengan jalan mengganti kata. Kini untuk melemahkan makna kata bui, penjara atau tutupan digunakan urutan kata lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi tambah dengan menyadarkan penghuninya untuk atau agar diterima sebagai anggota masyarakat yang baik. Itu sebabnya didalam lembaga pemasyarakatan dilaksanakan berbagai kegiatan, antara lain melatihkan berbagai keterampilan, misalnya bertukang, dan disamping mereka mendapat santapan rohani dalam bidang agama, dan juga mereka mendapat kesempatan untuk berolah raga dan mengembangkan bakat dalam bidang kesenian. Jadi yang termasuk kata peyorasi adalah bui, sedangkan kata ameliorasi adalah lembaga pemasyarakatan. Kita juga mendengar kata dirumahkan untuk melemahkan makna kata ditahan. Kalau ditahan, rasanya terlalu berat secara psikologis bagi yang ditahan, tetapi kalau digunakan kata dirumahkan, maka maknanya tidak sekeras makna kata ditahan. Secara faktual, orang yang dirumahkan sama dengan orang yang ditahan, hanya ia ditahan di rumah. Ia juga tidak boleh keluar sesuka hati. Hanya dilihat dari segi makna, kata dirumahkan lebih lemah jika dibandingkan dengan makna ditahan. Dalam BI terdapat kata dipecat, mislanya dalam kalimat “Ia dipecat karena selalu terlambat.” Kata dipecat rasanya terlalu dirasakan terlalu memukul bagi orang yang dipecat. Makna kata itu kemudian dilemahkan dengan jalan mengganti kata dipecat dengan urutan kata diberhentikan dengan hormat. Kadang-kadang digunakan kata dipensiunkan. Jadi yang termasuk kata peyorasi adalah dipecat, sedangkan kata ameliorasi adalah dipensiunkan atau diberhentikan dengan hormat.

13

Negara yang sedang berkembang tidak luput dari kegiatan sogok-menyogok. Kata ini dilemahkan maknanya dengan jalan menggunakn urutan kata komersialisasi jabatan, menyalahgunakan wewenang, melaksanakan penyimpangan, menerima upeti, melaksanakan pungli. Kata-kata ini digunakan untuk melemahkan makna kata korupsi, pungli, sogok- menyogok. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang boleh saja terjadi karena persekongkolan antara oknum pejabat dengan pengusaha. Jadi yang termasuk kata peyorasi adalah sogok- menyogoksedangkan kata ameliorasi adalah penyalahgunaan wewenang. Dalam BI terdapat kata orang yang sudah tua. Kini makna urutan kata itu digunakan dengan urutan kata lanjut usia yang disingkat menjadi manula (manusia usia lanjut), atau lansia (lanjut usia); urutan kata orang buta dilemahkan menjadi tuna netra; orang tuli dilemahkan menjadi urutan kata tuna rungu; urutan kata orang gelandangan dilemahkan maknanya dengan menggunakan urutan kata tuna karya; orang yang tidak memiliki rumah dilemahkan dengan urutan kata tuna wisma; orang gila dilemahkan maknanya dengan urutan kata berubah akal, atau cacat mental; orang miskin dilemahkan maknanya dengan urutan kata orang yang tidak beruntung. Selanjutnya, urutan kata pelayanan took dilemahkan maknanya dengan menggunakan kata pramuniaga; pelayanan bayi dilemahkan dengan menggunakan kata pramusiwi; pelayanan dipesawat udara dilemahkan maknanya dengan menggunakan pramugari; pelayanan dirumah dilemahkan maknanya dengan menggunakan kata pembantu dan bukan babu atau jongos. Kata menyanyi dilemahkan maknanya dengan urutan kata tarik suara; urutan pedagang tanpa tempat tetap dilemahkan maknanya dengan urutan kata pedagang kaki lima; urutan kata mendapat pinjaman dilemahkan maknanya dengan urutan kata mendapat kredit; urutan kata organisasi yang tidak diketahui arah perjuangannya dilemahkan maknanya dengan menggunakan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk); urutan kata desa miskin dilemahkan maknanya dengan urutan kata desa tertinggal; orang yang tidak tahu BI + tidak dapat berhitung + buta huruf dilemahkan maknanya dengan urutan kata penyandang tiga buta; urutan kata memulai sesuatu tidak tepat waktu dilemahkan dengan urutan kata jam karet.(Pateda, 2001:192-193).

Penyebab Pergeseran Makna Menurut Aminuddin (2011:131) pergeseran atau perubahan makna disebabkan karena berikut:

14

1. Akibat ciri dasar dasar yang dimiliki oleh unsur internal bahasa. Makna kata selain dapat memiliki hubungan yang erat dengan kata lainnya, juga bisa tumpang tindih. 2. Akibat adanya proses gramatik. Kata ibu misalnya, akibat mengalami relasi gramatik dengan kota, akhirnya tidak lagi menunjuk pada “wanita”, tetapi pada tempat atau daerah. 3. Sifat generik kata. Kata-kata dalam suatu bentuk kebahasaan, maknanya umumnya tidak pernah eksak dan sering kali bersifat lentur. Akibat adanya kekaburan dan kelunturan itu, sering kali makna kata mengalami pergeseran dari makna awalnya. 4. Akibat adanya spesifikasi ataupun spesialisasi. Misalnya pada kataranah, butir, semuanya mengacu pada “wilayah” dan “satuan benda”. Kedua kata tersebut ternyata telah mengalami kekhususan pemakaian sehingga ranah diberi kesejajaran makna dengan “domain”. 5. Akibat unsur kesejarahan. Unsur sejarah yang menjadi latar penyebab pergeseran, perkembangan, dan perbahan makna dalam hal ini dapat berkaitan dengan dengan pelajaran bahasa itu sendiri dari suati generasi ke generasi berikutnya, perkembangan konsep ilmu pengetahuan, kebijakan institusi, serta perkembangan ide dan objek yang dimaknai. 6. Faktor emotif. Unsur emotif yang menyebabkan pergeseran makna terutama ditandai oleh adanya asosiasi, analogi, maupun perbandingan dalam pemakaian bentuk kebahasaan. Terdapatnya asosiasi, analogi, dan perbandingan salah satunya menyebabkan kehadiran bentuk metaforis, baik secara antromorfis (penataan relasi kata yang seharusnya khusus untuk fitur manusia, tetapi dihubungkan dengan benda- benda tak bernyawa), perbandingan binatang, maupun sineastesis. 7. Tabu bahasa. Penyebab pergeseran makna dapat pula dilatari unsur tabu bahasa yang dibedakan antara tabu karena rasa hormat dan takut dengan tabu penghalus. Tabu bahasa lebih lanjut juga berhubungan dengan eufimisme.

Simpulan Pergeseran makna terjadi karena adanya peyorasi dan ameliorasi. Kedua pergeseran itu erat kaitannya dan tidak bisa dipisah satu sama lain. Sebab-sebab pergeseran makna, Akibat ciri dasar dasar yang dimiliki oleh unsur internal bahasa, Akibat adanya proses gramatik, Sifat generik kata, Akibat adanya spesifikasi ataupun spesialisasi, Akibat unsur kesejarahan, faktor emotif dan tabu bahasa.

15

DAFTAR RUJUKAN

Alfonso, R. (2018). Peyorasi Millenial. Online, http://m.mediaindonesia.com/read/detail/184655-peyorasi-milenial. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2018. Aminuddin. (2011). Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensisindo. Chaer, A. (2012). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Djajasudarma, F. (1993). Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Refika. Djajasudarma, F. (2013). Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik, Sintagmatik, dan Derivasional. Bandung: PT. Refika Aditama. HP, Achmad dan Alek Abdullah. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pateda, M. (2001). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Rusmaji, O. (1995). Aspek-Aspek Linguistik. Malang: IKIP Malang. Taufiqqurahman. (2008). Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press. Ullmann, S. ( 2014). Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

16

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN ANCANGAN LITERASI INFORMASI UNTUK PEMBELAJARAN TEKS EDITORIAL

Puspa Zanuar Asmaranty Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang 65145 surel: [email protected]

Abstrak: Penulisan makalah ini bertujuan memaparkan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dengan ancangan literasi informasi untuk pembelajaran teks editorial. Model ini terdiri atas empat tahap, yaitu (1) orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, dan (4) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Model PBM dengan ancangan literasi informasi memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis informasi secara lengkap dan relevan, kemudian mengorganisasikannya, serta menyajikannya secara terpetakan melalui pembelajaran teks editorial. Kata kunci: literasi informasi, model pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran teks editorial.

Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) ialah model yang memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis informasi secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Menurut Suyadi (2013: 137), untuk dapat menggunakan model PBM, guru harus memilih bahan pengajaran yang memiliki permasalahan yang dapat diselesaikan siswa secara terbuka, rasional, dan logis. Permasalahan tersebut dapat diambil dari berbagai sumber. Salah satunya, yaitu peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan media di era digital ini. Model PBM dengan ancangan literasi informasi dirasa penting untuk pembelajaran bahasa Indonesia di era digital ini. Hal ini dikarenakan, pada era ini, informasi bersifat sangat dinamis dan dapat tersedia di mana saja. Akan tetapi, informasi yang ada tidak selalu valid, padahal penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan cara memilah informasi yang akurat untuk mendapatkan solusi yang tepat. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa Indonesia dengan ancangan literasi informasi di era digital ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengakses informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi secara kritis, dan menggunakan informasi secara akurat. Kedua, memiliki pemahaman yang baik mengenai aspek legal dan etika penggunaan informasi. Salah satu teks yang terdapat pada pembelajaran bahasa Indonesia Kurikulum 2013 ialah teks editorial. Teks editorial merupakan jenis teks pada koran atau majalah yang

17 merupakan ungkapan wawasan atau gagasan terhadap sesuatu yang mewakili koran atau majalah tersebut. Pada teks ini terdapat fakta dan opini. Dalam kutipan opini, dikemukakan harapan yang bertujuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan. Pengungkapan opini tersebut dapat dilakukan dengan model pembelajaran teks berbasis masalah. Adapun kriteria masalah yang akan disajikan guru dalam pembelajaran ini minimal mengandung gap atau kesenjangan antara teori yang dipelajari atau dibahas dengan kondisi nyata yang terjadi. Kesenjangan tersebut hendaknya dapat dirasakan siswa melalui kegundahan, keresahan, keluhan, atau kecemasan. Menurut Hamrudi (2009:133), terdapat empat kriteria pemilihan bahan dalam PBM, yaitu (1) bahan pembelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issues) yang bisa bersumber dari berita, rekaman, video, dan lainnya; (2) bahan pembelajaran yang bersifat familiar dengan siswa sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik; (3) bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal) sehingga terasa manfaatnya, dan (4) bahan yang mengandung tujuan atau kompetisi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Terdapat lima tahap dalam PBM. Lima tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama, yaitu tahap orientasi siswa pada masalah. Pada tahap ini, guru dapat menunjukkan adanya gap atau kesenjangan antara realitas yang terjadi dengan idealitas. Pada tahap ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran, mengajukan fenomena atau cerita untuk memunculkan masalah, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Tahap kedua, yaitu tahap mengorganisasi siswa untuk belajar. Pada tahap ini, guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Setelah siswa mampu menangkap gap dalam masalah tersebut, guru perlu membantu siswa untuk merumuskan masalah agar pertanyaan- pertanyaannya lebih fokus dan spesifik. Setelah siswa mampu merumuskan masalah secara spesifik, siswa diharapkan mampu merumuskan hipotesis. Tahap ketiga, yaitu tahap membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Pada tahap ini, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Dalam tahap ini, siswa diharapkan mampu mengumpulkan data yang relevan secepat mungkin, kemudian mengorganisasikannya, serta menyajikannya secara terpetakan sehingga mudah dipahami. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, diharapkan siswa mampu menguji hipotesis. Hipotesis diuji agar dapat dibenarkan secara rasional dan dibuktikan secara empiris.

18

Tahap keempat, yaitu menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Tahap terakhir dari pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah adalah memilih salah satu solusi yang diambil dari hipotesis yang telah teruji kebenarannya sebagai sebuah pilihan. Pada tahap ini, guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan model PBM dengan ancangan literasi informasi untuk pembelajaran teks editorial. Melalui model PBM dengan ancangan literasi informasi, siswa digiring untuk dapat memecahkan masalah yang disajikan dengan informasi yang diperoleh secara efektif, efisien, akurat, dan kritis untuk pembelajaran teks editorial.

Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Ancangan Literasi Informasi Untuk Pembelajaran Teks Editorial Berikut adalah sintaks model pembelajaran berbasis masalah dengan ancangan literasi informasi untuk pembelajaran teks editorial. Tahap 1: Orientasi Siswa Pada Masalah Pada tahap orientasi siswa pada masalah, guru menunjukkan adanya kesenjangan antara keadaan nyata dan yang diharapkan. Pada tahap ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran, mengajukan fenomena untuk memunculkan masalah, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru juga memberikan pertanyaan terkait permasalahan di tingkat aplikasi, analisa, evaluasi, dan kreasi. Oleh karena berbasis masalah, guru harus menyiapkan pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga siswa dapat mengembangkan kekritisan berpikirnya. Hal ini dikarenakan, jawaban dari masalah tersebut belum pasti sehingga setiap siswa akan mengembangkan kemungkinan jawabannya. Dengan demikian, tahap ini akan memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis informasi secara lengkap untuk memecahkan masalah yang disajikan oleh guru. Tahap ini dapat melatih siswa untuk belajar mencari informasi dan menerapkan hubungan antara informasi yang diperoleh dengan permasalahan di kehidupan sehari-hari. Tahap 2: Mengorganisasi Siswa untuk Belajar Pada tahap ini, guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok. Setiap kelompok diberikan sebuah permasalahan yang akan mengarahkan mereka untuk bekerja sama. Permasalahan yang diberikan ialah permasalahan yang mengandung isu-isu yang dekat dengan kehidupan dan pengetahuan siswa. Selanjutnya, siswa dibimbing untuk

19 mengidentifikasi dan memperdalam pengetahuannya terhadap permasalahan tersebut melalui kegiatan identifikasi dan mengeksplorasi masalah. Identifikasi masalah merupakan proses dimana masalah yang tidak jelas dan tidak terstruktur diidentifikasi oleh siswa. Pada tahap ini siswa diharapkan menyadari masalah yang ada dan mencari informasi dari setiap kriteria solusi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Melalui kegiatan identifikasi dan eksplorasi, siswa dituntut dalam membuat hipotesis serta asumsi terkait hubungan sebab akibat dari suatu permasalahan. Siswa diharapkan dapat mengumpulkan informasi yang relevan secepat mungkin, kemudian mengorganisasikannya, serta menyajikannya secara terpetakan. Tahap 3: Membimbing Penyelidikan Individual maupun Kelompok Dalam pembelajaran berbasis masalah, siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan, baik secara individual maupun kelompok. Pada tahap ini, guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk pemecahan masalah. Berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan, diharapkan siswa mampu menguji hipotesis yang diajukan. Siswa diharapkan mampu memilih hipotesis yang sesuai, dapat dibenarkan secara rasional, dan dibuktikan secara empiris. Siswa diajarkan menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai untuk memecahkan masalah tersebut. Selanjutnya, guru mendorong pertukaran ide secara bebas dan menerima sepenuhnya ide-ide tersebut. Melalui kegiatan pembelajaran ini, siswa dapat memperluas informasi dari hasil investigasinya untuk menyelesaikan masalah. Siswa juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis karena siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan informasi yang diperolehnya. Tahap 4: Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah Tahap terakhir dari pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah adalah menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah dilakukan dengan memilih salah satu solusi dari hipotesis yang telah teruji kebenarannya. Hasil dari tahap ini diharapkan mampu memperdalam konsep siswa dalam memutuskan keefektifan dan ketepatan solusi yang digunakannya. Menurut Llewellyn (2013), kegiatan ini dilakukan dengan mendorong siswa mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan baru dari menyelesaikan permasalahan sebelumnya ke fenomena baru yang belum pernah dihadapi oleh siswa. Sintaks pembelajaran ini dirancang untuk mengaktifkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui keterampilan pemilahan informasi untuk mencari solusi terbaik. Menurut Leen,

20 dkk. (2014), dalam memecahkan permasalahan yang nyata, siswa perlu mempertimbangkan dengan berpikir kritis untuk memilih strategi, mengembangkan solusi, atau mempertimbangkan konsekuensi untuk tiap solusi. Tahapan pembelajaran ini dirancang untuk melibatkan siswa agar aktif dalam mengidentifikasi masalah, memecahkan suatu masalah, dan menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, kemampuan yang diharapkan pada tahap terakhir ini adalah kecakapan memilah informasi untuk menyelesaikan masalah secara bijaksana. Berikut adalah contoh model pembelajaran berbasis masalah dengan ancangan literasi informasi untuk pembelajaran teks editorial yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kegiatan Pendahuluan, Inti, dan Akhir dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Ancangan Literasi Informasi untuk Pembelajaran Teks Editorial No. Kegiatan Pendahuluan Ancangan Literasi Informasi 1. Guru mengawali pelajaran dengan mengucap salam dan siswa memimpin doa.  Mengidentifikasi 2. Guru menanyakan kabar dan mempresensi siswa informasi (pendapat, 3. Guru memberikan motivasi kepada siswa dengan alternatif solusi dan menunjukkan video berjudul “Iklan Layanan simpulan terhadap Masyarakat (ILM) „Stop Hoax‟” suatu isu) dalam teks 4. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan editorial dicapai  Menyeleksi ragam 5. Guru memberikan apersepsi dengan mengaitkan informasi sebagai materi dan pengetahuan yang telah dipelajari siswa bahan teks editorial dengan memutarkan video berjudul dan Iklan Layan Masyarakat „Ayo Lawan Hoax‟ No. Kegiatan Inti Ancangan Literasi Informasi 1. Guru menyajikan sebuah model merancang teks  Mengidentifikasi editorial. Siswa diminta untuk mengamati pemodelan. informasi untuk 2. Guru menyajikan materi tentang cara mengetahui manakah mengidentifikasi teks editorial. Siswa diminta untuk teks editorial yang mengamati materi yang ditayangkan. berisi berita hoax dan 3. Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan bukan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan

21

dengan berita hoax. (menanya)  Menyelidiki teks 4. Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok editorial dengan yang beranggotakan 4 orang untuk merencanakan memberikan tugas penyelidikan dan tugas pelaporan berupa identifikasi pelaporan untuk dan seleksi ragam informasi dalam teks editorial. menyeleksi ragam (menanya) informasi pada teks 5. Guru membagikan sebuah lembar kerja pada masing- editorial masing kelompok. (menanya)  Mengonstruk informasi 6. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan bersama kelompok informasi yang sesuai untuk mendapatkan penjelasan (ciri teks editorial yang dan pemecahan masalah. (menanya) dikatakan hoax dan 7. Guru mengecek pemahaman siswa dengan meminta tidak hoax) siswa untuk menanya yang belum dipahami.  Merevisi informasi 8. Guru meminta siswa untuk menulis temuannya hoax tersebut dengan bersama anggota kelompoknya di lembar kerja yang pendapat, alternatif telah dibagikan (menalar). Guru membantu siswa solusi, simpulan, menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir siswa informasi-informasi dan keterampilan penyelidikan yang digunakan. penting, dan ragam 9. Guru meminta perwakilan kelompok untuk informasi terpercaya mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan sebagai bahan kelas (mengkomunikasikan). perbaikan agar teks 10. Guru bersama siswa mengkoreksi hasil kerjasama editorial tersebut tidak para siswa (mengkomunikasikan). lagi dikatakan hoax. 11. Guru memberikan balikan dan penguatan. (mengkomunikasikan) No. Kegiatan Akhir Ancangan Literasi Informasi 1. Guru memberikan siswa kesempatan untuk bertanya  Membuat kesimpulan dan mengungkap kesulitannya pembelajaran 2. Guru dan siswa membuat kesimpulan pembelajaran mengenai cara mengenai memproduksi teks editorial mengidentifikasi 3. Siswa dan guru melakukan refleksi tentang informasi dalam teks pembelajaran yang telah dilakukan editorial 4. Guru memberikan penghargaan pada siswa yang aktif

22

dalam kelas 5. Guru memberikan tugas membaca kepada siswa untuk lebih membantu siswa memahami materi yang telah dipelajari 6. Guru mengakhiri pelajaran dengan mengajak siswa untuk berdoa sebelum mengucapkan salam penutup

Pada kegiatan pendahuluan, guru terlebih dahulu memberikan motivasi kepada siswa. Guru memberikan motivasi kepada siswa dengan menunjukkan video berjudul “Iklan Layanan Masyarakat (ILM) „Stop Hoax‟”. Video tersebut berisi tentang dampak tersebarnya berita hoax dilihat dari berbagai segi kehidupan. Dari video tersebut siswa dimotivasi untuk tidak sembarangan menyebarkan informasi yang diterima sebelum mengetahui kebenarannya. Setelah pemberian motivasi, guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajarannya, yaitu mengidentifikasi informasi (pendapat, alternatif solusi dan simpulan terhadap suatu isu) dalam teks editorial dan menyeleksi ragam informasi sebagai bahan teks editorial. Selanjutnya, guru memberikan apersepsi dengan mengaitkan materi dan pengetahuan yang telah dipelajari siswa dengan memutarkan video berjudul dan Iklan Layan Masyarakat „Ayo Lawan Hoax‟. Dari video tersebut, siswa ditunjukkan berita faktual dan terpercaya mengenai bahaya menyebarkan berita hoax. Guru mengaitkan pesan yang terdapat dalam video tersebut dengan pengalaman mereka saat menerima berita hoax. Pada kegiatan inti, pembelajaran dimulai dengan pemodelan. Guru menyajikan dua buah model teks editorial, yaitu teks editorial yang berisi berita hoax dan teks editorial yang bukan berita hoax. Siswa diminta untuk mengamati pemodelan. Dari pemodelan tersebut, siswa diajak untuk mengidentifikasi informasi yang terdapat dalam kedua teks tersebut, meliputi pendapat, alternatif solusi, dan simpulan. Dari kegiatan identifikasi ini, siswa akan mengetahui manakah teks editorial yang berisi berita hoax dan bukan. Selanjutnya, guru menyajikan materi tentang cara mengidentifikasi teks editorial. Siswa diminta untuk mengamati materi mengidentifikasi teks editorial yang ditayangkan. Dari materi yang disajikan, siswa diharapkan mengetahui bagaimanakah cara mengidentifikasi teks editorial sehingga dapat dikatakan berita tersebut hoax atau tidak. Pada kegiatan selanjutnya, guru membantu siswa mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 4 orang. Siswa akan digiring untuk merencanakan penyelidikan mengenai teks editorial yang berisi berita hoax dan bukan hoax.

23

Penyelidikan dilakukan dengan menugaskan setiap siswa untuk mencari dua buah teks editorial. Teks editorial yang ditemukan tersebut kemudian didiskusikan bersama kelompok untuk tugas pelaporan. Tugas pelaporan yang diberikan yaitu menyeleksi ragam informasi pada teks editorial. Pada kegiatan ini, siswa akan lebih banyak diarahkan untuk menanya dan berkolaborasi. Guru selanjutnya membagikan sebuah lembar kerja pada masing-masing kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengonstruk informasi bersama kelompok, bagaimanakah ciri teks editorial yang dikatakan hoax dan tidak hoax. Dari diskusinya bersama kelompok, siswa mendapatkan pemecahan masalah karena telah mengetahui ciri berita hoax dan bukan sehingga mereka tidak mudah terjerumus dengan arus informasi di media sosial. Ciri-ciri berita hoax tersebut kemudian dituliskan dalam lembar kerja yang telah dibagikan. Guru mengecek pemahaman siswa dengan meminta siswa untuk menanya yang belum dipahami. Setelah itu, guru membantu siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka dalam memecahkan masalah. Jika dirasa pemecahan masalah telah memadai, siswa diminta untuk merevisi informasi hoax tersebut dengan pendapat, alternatif solusi, simpulan, informasi-informasi penting, dan ragam informasi terpercaya sebagai bahan perbaikan agar teks editorial tersebut tidak lagi dikatakan hoax. Selanjutnya, guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Pada kegiatan ini, siswa akan mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan bersama kelompoknya. Guru bersama siswa yang lain menanggapi dan mengkoreksi hasil kerjasama kelompok yang presentasi. Terakhir, guru memberikan balikan dan penguatan. Pada kegiatan akhir, guru memberikan siswa kesempatan untuk bertanya dan mengungkap kesulitannya. Setelah siswa mengungkapkan kesulitannya, guru dan siswa membuat kesimpulan pembelajaran mengenai cara mengidentifikasi informasi dalam teks editorial. Siswa dan guru kemudian melakukan refleksi tentang pembelajaran yang telah dilakukan. Guru memberikan penghargaan pada siswa yang aktif dalam kelas. Selanjutnya, guru dapat memberikan tugas membaca kepada siswa untuk lebih membantu siswa memahami materi yang telah dipelajari. Terakhir, guru mengakhiri pelajaran dengan mengajak siswa untuk berdoa sebelum mengucapkan salam penutup. Kegiatan pembelajaran di atas dapat membangun literasi informasi yang sesuai dengan siswa pada era digital ini. Selain dapat mengembangkan literasi informasi, pembelajaran di atas juga dapat melatih siswa untuk menunjukkan kemampuan mengaplikasikan penemuan solusi dalam kehidupan nyata. Inilah yang dimaksud dengan

24 model pembelajaran PBM dengan ancangan literasi informasi untuk pembelajaran teks editorial.

Simpulan Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) ialah model yang memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis informasi secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan ancangan literasi informasi untuk mendapatkan solusi yang tepat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengakses informasi secara efektif dan efisien, mengevaluasi informasi secara kritis, dan menggunakan informasi secara akurat. Kedua, memiliki pemahaman yang baik mengenai aspek legal dan etika penggunaan informasi. Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dengan ancangan literasi informasi dirasa tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran teks editorial. Hal ini dikarenakan, model ini dapat memperkaya kompetensi dan pengalaman belajar siswa dalam mencari solusi dari permasalahan yang disajikan melalui teks editorial. Model pembelajaran berbasis masalah terdiri atas empat tahap, yaitu (1) orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, dan (4) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dengan ancangan literasi informasi untuk pembelajaran teks editorial dibagi menjadi tiga kegiatan. Pertama, pada kegiatan pendahuluan, ancangan literasi informasinya terdiri atas (1) mengidentifikasi informasi (pendapat, alternatif solusi dan simpulan terhadap suatu isu) dalam teks editorial dan (2) menyeleksi ragam informasi sebagai bahan teks editorial. Kedua, pada kegiatan inti, ancangan literasi informasinya terdiri atas (1) mengidentifikasi informasi untuk mengetahui manakah teks editorial yang berisi berita hoax dan bukan, (2) menyelidiki teks editorial dengan memberikan tugas pelaporan untuk menyeleksi ragam informasi pada teks editorial, (3) mengonstruk informasi bersama kelompok (ciri teks editorial yang dikatakan hoax dan tidak hoax), dan (4) merevisi informasi hoax tersebut dengan pendapat, alternatif solusi, simpulan, informasi-informasi penting, dan ragam informasi terpercaya sebagai bahan perbaikan agar teks editorial tersebut tidak lagi dikatakan hoax. Ketiga, pada kegiatan penutup, ancangan literasi informasinya, yaitu membuat kesimpulan pembelajaran mengenai cara mengidentifikasi informasi dalam teks editorial.

25

DAFTAR RUJUKAN

Hamrudi. (2009). Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Leen, C. C., Hong, H., Kwan, F. F. H. & Ying, T. W. (2014). Creative and Critical Thinking in Singapore Schools. Singapore: National Institute of Education, Nanyang Technological University. Llewellyn, D. (2013). Teaching High Schol Science through Inquiry and Argumentation. Singapura: Corwin Sage Publication. Suyadi. (2013). Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

26

ANALISIS PELANGGARAN PRINSIP KESANTUNAN BAHASA DALAM VIDEO STAND UP COMEDY DZAWIN SUCI 4

Shonhaji Ahmad Faisal Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Email: [email protected] Muhammad Hasyim Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Email: [email protected]

ABSTRACT The purpose of this research is describe about violations of language politeness by Leech for pragmatic studying of Stand Up Comedy Dzawin Suci 4. The method of this research is qualitative method, main data‟s are taken from video performance of stand up comedy by Dzawin SUCI 4, also supported from text books and journals, and this research procedure produces descriptive data for written words. The results of this research are 10 violations of appreciation maxim, 5 violations of sympathy maxim, and 2 violations of wisdom maxim. Keywords: violations, language politeness, appreciation maxim, sympathy maxim, wisdom maxim. ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan pelanggaran-palanggaran Prinsip Kesantunan Bahasa menurut Leech dalam kajian pragmatik pada Stand Up Comedy Dzawin Suci 4. Adapun metode penelitian dalam kajian ini adalah metode penelitian kualitatif, sumber data utama diperoleh dari video penampilan stand up comedy oleh Dzawin SUCI 4, juga ditunjang dengan teks-teks buku maupun jurnal, serta prosedur penelitian tersebut menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 10 pelanggaran Maksim Penghargaan, 5 Pelanggaran Maksim Simpati, dan 2 Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan dari analisis video Stand Up Comedy Dzawin Suci 4. Kata kunci: pelanggaran, kesantunan bahasa, maksim penghargaan, maksim simpati, maksim kebijaksanaan.

Kesantunan merupakan sebuah sikap positif yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Seperti halnya menghormati orang lain, terutama terhadap orang yang lebih tua. Atau istilah ini juga juga bisa dinamakan akhlaq atau etika dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini selalu ditekankan pada setiap orang dalam segala hal. Terutama ketika seseorang masih tergolong usia anak-anak. Mereka akan dididik etikanya dalam bergaul sehari-hari untuk menciptakan sebuah tatanan yang harmonis dalam kehidupan. Namun, terkadang hal ini juga tidak selalu berjalan lurus dengan aturan yang ada. Terutama dalam hal humor ataupun hal-hal yang sifatnya hiburan. Biasanya dalam hal itu cenderung mengenyampingkan prinsip kesantunan bahasa karena memang dengan adanya hal yang demikian. Seseorang akan terhibur dan akhirnya tertawa. Namun, hal seperti ini khusus memang pada orang-orang yang menyukai hal demikian. Karena agar tidak menyakiti hati orang lain yang tidak memiliki rasa humor. Stand Up Comedy merupakan salah satu acara humor yang sedang trend saat ini. Terlebih di kalangan mahasiswa yang mana humor tersebut memang membutuhkan akal yang

27 berpikir agak dalam untuk bisa merangkai kata-kata sehingga bisa menyebabkan mitra tutur terhibur dan tertawa. Dan acara komedi ini merupakan sebuah humor yang dibawakan oleh seseorang tanpa menggunakan properti apapun sebagai penunjang humornya. Namun, komika (sebutan untuk pemain Stand Up Comedy) hanya berdiri di atas panggung dengan membawakan lawakannya dengan mengeluarkan untaian kata-kata yang menarik dalam memikat setiap penonton yang ada. Adapun penelitian mengenai Prinsip Kesantunan Bahasa bukan merupakan penelitian baru. Namun, sudah ada sebelumnya seperti Bea Anggraini dalam jurnalnya “Faktor-faktor Penanda Kesantunan Imperatif Dalam Bahasa Jawa Dialek Surabaya: Analisis Pragmatik”, penelitian ini menjelaskan mengenai Penanda Kesantunan Imperatif. Lalu, R. Kunjana Rahardi dalam jurnalnya yang berjudul “Imperatif dalam Bahasa Indonesia: Penanda- Penanda Kesatuan Linguistiknya” yang didalamnya terdapat 4 Pemarkah Kesantunan Linguistik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia. Ke empat pemarkah tersebut diantaranya: Panjang pendek tuturan, Urutan Tutur, Intonasi dan Isyarat Kinesik, serta Ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Yang ketiga ada jurnal dari I Wayan Simpen (Mahasiswa), Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor), Prof. Drs. I Made Suastra. Ph.D. (Kopromotor I), Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. (Korpromotor II) yang berjudul “Kesantunan Berbahasa Pada Penutur Bahasa KAMBERA DI SUMBA TIMUR” seperti pada umumnya, bahasa Kambera juga mempunyai fungsi untuk menyampaikan, memahami, serta sebagai alat berpikir dan berasa pada diri seseorang. Kesantunan bahasa merupakan salah satu dari aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional sang penutur. Kajian dalam penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mendeskripsikan, serta menganalisis satuan verbal yang digunakan sebagai kesantunan, menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan, makna kesantunan, unsur suprasegmental yang mempengaruhi kesantunan, serta unsur palainguistik yang menyertai kesantunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kesopanan merupakan adab, akhlaq, atau kehalusan dan kebaikan budi pekerti. Dan penggunaan bahasa berskala kecil telah banyak dilakukan orang tanpa melibatkan kehidupan sosial yang sebenarnya. Namun, mayoritas yang kita katakan dalam kehidupansehari-hari ditentukan oleh hubungan sosial kita. Dalam komunikasi tersebut memiliki sebuah makna, dan yang perlu diperhatikan adalah faktor yang berkaitan dengan kesenjangan maupun kedekatan sosial. Faktor tersebut khususnya melibatkan status relatif partisipan, berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang mengikat, seperti halnya usia dan kekuasaan (Yule, 1996:102).

28

Kita bisa ambil contoh: seorang penutur yang memiliki derajat lebih rendah dari pada mitra tutur. Ia akan bertutur menggunakan bahasa yang lebih halus dari pada mitra tutur. begitupun sebaliknya. Akan tetapi, ada faktor lain seperti sejumlah imposisi atau derajat kekerabatan yang sering dipertimbangkan selama terjadi interaksi. Ini merupakan faktor- faktor internal interaksi dan dapat mengakibatkan kesenjangan sosial sebelumnya dan dianggap sebagai kelebihan ataupun kekurangan selama proses. Contohnya, faktor ini bisa jadi yang menyebabkan partisipan berpindah dari yang berbasis titel plus nama menjadi berbasis nama pertama selama percakapan tersebut (Yule, 1996:103). Kedua tipe faktor internal maupun eksternal memiliki pengaruh tidak hanya pada apa yang kita katakan. Namun, terkait bagaimana kita menginterpretasikannya juga. Dalam banyak kasus, seringkali interpretasi keluar jauh melebihi apa yang dimaksudkan untuk disampaikan dan melibatkan penilaian seperti “kasar” dan “tidak tenggang rasa”, atau “tenggang rasa”, dan “penuh pengertian”. Setelah mengetahui pengaruh kuat dari evaluasi ini membuat penginterpretasian menjadi sangat jelas bahwa lebih banyak informasi yang diberikan dari pada dikatakan. Investigasi pengaruh ini biasanya dilakukan dalam bahasan tentang kesopanan (Yule, 1996:103). Dalam tipe pendekatan ini ada jenis kesopanan yang berbeda dimana hal tesebut diasosiasikan dengan asumsi jarak kesenjangan dan jarak kedekatan sosial kekerabatan.

Prinsip kesatuan Leech 1) Maksim Kebijaksanaan Hal ini terkait dengan sikap seseorang yang bisa dianggap bijak dalam kehidupan sosialnya, seperti halnya orang yang berusaha untuk menambah keuntungan orang lain, serta mengurangi kerugian yang akan dialami orang lain. 2) Maksim Kedemarwanan Hal ini terkait dengan sikap seseorang yang dermawan ataupun dikenal gemar memberi, serta rela berkorban bagi siapapun untuk mengurangi keuntungan untuk dirinya sendiri. 3) Maksim penghargaan Hal ini terkait dengan pemberian sebuah apresiasi kepada orang lain seperti halnya dengan mengutarakan pujian-pujian, serta tidak mencaci maki kepada orang lain.

29

4) Maksim Kesederhanaan Sikap ini merujuk pada seseorang yang bersifat rendah hati atau hidup secara sederhana, tanpa memuji setinggi-tingginya dirinya sendiri. 5) Maksim permufakatan Sikap ini merujuk pada seseorang yang bisa beradaptasi secara baik dengan orang lain dan menyesuaikan keadaan dengan orang lain serta mengurangi ketidaksesuaian yang ada dalam dirinya pada orang lain. 6) Maksim simpati Sikap ini menunjukkan kesimpatian seseorang pada orang lain serta mengurangi antipastinya dengan orang lain. metode penelitian dalam kajian ini adalah metode penelitian kualitatif, yang mana data tersebut diperoleh dari teks-teks buku maupun jurnal, serta prosedur penelitian tersebut menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Adapun metode kualitatif menurut Sugiono ialah metode yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah yang menekankan bahwa peneliti berperan sebagai instrumen kunci atau utama, pengambilan sampel dilakukan secara purposive, teknik triangulasi, analisis data bersifat induktif atau kualitatif, lalu hasil penelitian kualitatif lebih menekan pada makna dari pada generalisasi.1

Hasil dan Pembahasan Objek yang penulis ambil dalam penelitian ini adalah sebuah video Stand Up Comedy Dzawin Nur Ikram Suci 4 yang diambil sebagai sampel 3 cuplikan videonya yang berjudul “cewek suka berlebihan, anak yang hilang, dan putus karena MLM” hasil download dari akun youtube. Dalam video tersebut terdapat beberapa pelanggaran dari Prinsip Kesantunan Bahasa menurut Leech dalam kajian pragmatik. Hal ini bisa kita temukan pada kalimat, “Unair ini ceweknya cantik-cantik ya? Nggak kok bercanda. Nggak cantik kok”. Dalam kalimat tersebut termasuk pada Pelanggaran Maksim Penghargaan. Karena kalimat tersebut cenderung menghina pada mitra tuturnya. Bukan untuk menambah pujian untuk menghargai mitra tutur dalam bertutur. Namun, cenderung menghina mitra tutur dengan berkata demikian. Namun, hal itu mmerupakan

1Sugiyono. 2008. Metode Penelitian PendidikanPendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta. Hal.15

30 sebuah komedi. Dan mitra tutur juga memahami hal tersebut sehingga yang terjadi bukanlah sebuah permusuhan. Namun, tercipta sebuah suasana hiburan dalam hal tersebut. Kalimat kedua terdapat pada ungkapan “cewek teriak kalau ada kecoak dan nutupi kuping”. Dalam hal ini, memang sebenarnya itu merupakan hal aneh yang dimiliki oleh seorang perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam Prinsip Kesantunan Bahasa terdapat maksim yang salah satunya adalah Maksim Simpati yang bertujuan untuk meningkatkan simpati antara diri sendiri terhadap orang lain. Walaupun memang benar adanya suatu sikap seseorang terlihat aneh. Tapi, tuntutan pada penutur untuk mengungkapkan kalimat simpati dengan orang lain juga berarti. Kalimat berikutnya adalah “cewek kalau melihat hal yang kurang baik itu akan nutupi mata pakai tangan. Padahal fungsi kelopak mata untuk apa? Untuk nutupin mata”. kalimat ini juga sama. Yaitu termasuk pada Pelanggaran Maksim Simpati yang mana itu menambah ketidak simpatian antara diri penutur sebagai seorang laki-laki terhadap mitra tutur berupa perempuan. “Dan biasanya orang nutupin mata pakai tangan itu untuk ngintip”. Dalam kalimat ini cenderung untuk mencaci mitra tutur yang mana menjadi sebuah pelanggaran dalam Maksim Penghargaan. Karena kalimat tersebut secara jelas menerangkan realita yang ada dan sangat mungkin orang lain memang melakukan hal demikian. Namun, sebenarnya juga perlu dilakukan untuk menyadarkan orang lain dalam bersikap demikian. Pada kalimat “menutup mulut pas teriak pake tangan. Buat apa? Padahal fungsi mulut selain membuka juga bisa menutup”, ini juga cenderung untuk membuka kedok kekonyolan yang biasa dilakukan oleh seorang perempuan dalam kehidupan sehari-hari. dan hal ini juga termasuk dalam Pelanggaran Maksim Simpati yang bertujuan untuk meningkatkan simpati pada orang lain untuk Kesantunan Bahasa. Pada kalimat “profesor iseng macam mana yang meneliti kecoak gitu?”. Dalam kalimat ini, ia juga melanggar Maksim Penghargaan yang bertujuan untuk menambah pujian pada orang lain. Namun, ia sebaliknya. Karena seorang peneliti memang melakukan hal-hal baru yang memang belum pernah ada, dan mengungkapkan fakta secara menarik sehingga menjadi sebuah pengetahuan yang baik. Pada kalimat “ini anak (prasteguh) kalau dijadikan judul film bisa nih dengan judul Kembalinya Anak yang Hilang, lah kemaren keluar malah masuk lagi, udah 5 besar sekarang 5 besar lagi, pras pras” terlihat jelas bahwa ia sedang mengolok-olok rekannya yang bernama prasteguh yang tidak jadi keluar pada edisi sebelumnya. Hal itu bertentangan dengan maksim penghargaan yang mana mempunyai prinsip untuk memuji orang lain, bukan sebaliknya.

31

Pada kalimat “kemaren udah minta saran buat materi, eh malah pas tampil nggak dibawa. Coba dibawa, nggak akan ada dia disini. Susah-susah gue bikin supaya dia nggak masuk” menunjukkan bahwa tidak ada rasa simpati atau kepedulian pada rekannya. Dan hal ini bertentangan dengan yang namanya maksim simpati yang menonjolkan nilai kesimpatian pada seseorang. Pada kalimat “hal yang konyol adalah waktu Dodit closemake, dan yang nangis itu bukan Dodit. Tapi, Prasteguh. Hiks... kenapa lu keluar dit? Hiks hiks.. padahal dalam hati bilang alhamdulillah gue nggak closemake dit hiks hiks... mampus lu dit” juga menunjukkan ketidaksimpatian pada seseorang saat mengalami kesusahan tereliminasi dari kontes. Hal tersebut bertentangan dengan maksim simpati. Pada kalimat “Dodit besok lu closemake” menunjukkan bahwa hal tersebut bertentangan dengan maksim kebijaksanaan yang berprinsip untuk bersikap bijaksana dengan memberi motivasi atau masukan, dll karena kalimat tersebut cenderung untuk menurunkan mental seseorang saat akan tampil sebagai komika di depan umum. Pada kalimat “dan ternyata besoknya Dodit closemake beneran, wah udah direncanain nih. Makanya fansnya dodit, hajar tuh” menunjukkan bertentangan dengan maksim kebijaksanaan yang mengedepankan sikap-sikap bijak dalam setiap peristiwa kesehariannya tanpa bertindak semena-mena. Pada kalimat “nggak nggak, Cuma bercanda. Dasar anak callback” menunjukkan sikap mencaci yang diutarakan olehnya yang mana hal tersebut bertentangan dengan maksim penghargaan yang senantiasa menekankan sikap untuk memuji kepada orang lain. Pada kalimat “gue bingung sama kompas. Prasteguh dikelompokin sama David Nurbianto, lah giliran gue di satu kelompokin sama komodo..” menunjukkan pertentangan dalam maksim penghargaan karena adanya cacian tersebut dalam ungkapan Dzawin. Pada kalimat “ini anak datang dari timur ke barat cari kitab suci” juga menunjukkan pelanggaran pada maksim penghargaan dengan adanya cacian yang bersifat merendahkan dalam kata-kata yang diungkapkan. Pada kalimat “bakal diisi sama siapa? Diisi sama anak yang dianggap bodoh di sekolah bahkan tidak naik kelas 2 kali, prasteguh?” juga sama menunjukkan pelanggaran dalam maksim penghargaan karena ungkapan yang cenderung merendahkan diri seorang Prasteguh. Pada kalimat “bakal diisi anak betawi pinggiran? Yang dulunya tukang ojek yang kalau apa-apa nyanyi apa-apa nyanyi” termasuk juga dalam pelanggaran maksim

32 penghargaan karena dalam ungkapan tersebut termasuk dalam kalimat yang berbau cacian kepada David Nurbiyanto. Pada kalimat “bakal diisi siapa? Bakal diisi sama anak pesisir timur yang dateng ke Malang untuk belajar, dan ketika di jakarta masuk hotel lihat air langsung teriak-teriak, eh dzawin dzawin sumber air sudekat” juga termasuk dalam pelanggaran maksim penghargaan karena terkandung unsur cacian terhadap seorang Abdur dalam kalimat tersebut.

Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dapat diambil. Terdapat beberapa maksim yang ada dalam video Stand Up Comedy Dzawin Suci 4 yang difokuskan pada yang berjudul “cewek suka berlebihan, anak yang hilang, dan putus karena MLM” diantaranya terdapat 10 pelanggaran maksim penghargaan, 5 pelanggaran maksim simpati, dan 2 pelanggaran maksim kebijaksanaan. Namun, tujuan dari cuplikan tersebut bukan untuk merendahkan atau menghina mitra tutur dalam bertutur. Lebih jelasnya sebagai hiburan dan semua orang yang ada ditempat itu menyadari akan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Sugiyono. (2008). Metode Penelitian PendidikanPendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta Yule, G. (2006). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. I Wayan Simpen (Mahasiswa), Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor), Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. (Kopromotor I), Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. (Korpromotor II). Kesantunan Berbahasa Pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur. Denpasar: Universitas Udayana. Rahardi, K. (1999). Imperatif dalam Bahasa Indonesia: Penanda-Penanda Kesatuan Linguistiknya. Yogyakarta: ASMI Santa Maria. Anggraini, B. Faktor-faktor Penanda Kesantunan Imperatif Dalam Bahasa Jawa Dialek Surabaya: Analisis Pragmatik. Surabaya: Universitas Airlangga.

33

ANALISIS METAFORA DALAM TEKS PIDATO BUNG TOMO PADA 10 NOVEMBER 1995 MENGGUNAKAN SISTEMATISASI JOHNSON DAN LAKOFF

Ahmad Fatih Mamduh Bahasa dan Sastra Arab - Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim [email protected]

Nila Zuhriah Bahasa dan Sastra Arab - Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim [email protected]

ABSTRACT This study aims to describe about metaphors on Bung Tomo’s speech in 1998 November 10th with semantic cognitive and theory that described by Lakoff and Johnson from the book metaphor we live by, using qualitative research reading and writing technique. This research found 13 metaphorical concept. In that speech Bung Tomo aims to arouse the spirit of struggle Indonesian people by assuming that death is the greater choice than colonized again. Keywords: Bung Tomo, cognitive semantics, Johnson , Lakoff, metaphors

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna metafora yang terkandung dalam pidato Bung Tomo pada 10 November 1995 dengan konsep sistematisasi Lakoff dan Johnson, peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatf teknik baca dan catat, melalui proses analisis data tersebut ditemukan 13 kata metaforis dalam 4 data pada pidato tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna yang ingin disampaikan Bung Tomo dalam pidato tersebut adalah mengajak rakyat indonesia bersama-sama meyakini bahwa berjuang hingga mati jauh lebih baik daripada harus menyerah dan dijajah kembali. Kata kunci: Bung Tomo, Johnson, Lakoff, metafora, semantik kognitif

Setiap teks yang disampaikan selalu memiliki tujuan komunikatif, hal ini sejalan dengan penjelasan mengenai fungsi bahasa yakni sebagai alat komunikasi paling sempurna yang hanya dimiliki oleh manusia. Secara istilah bahasa merupakan sebuah sistem yakni yang dibentuk dari sejumlah komponen, sistem tersebut berbentuk lambang bunyi bersifat arbitrer, produktif, dan dinamis yang bisa jadi terjadi perubahan atau pembaharuan kapan saja (Chaer, 2014:11-13). Salah satu teks yang disampaikan dengan tujuan tertentu adalah pidato, beberapa tujuan yang disampaikan melalui pidato adalah untuk mempengaruhi dan menyatukan suatu kelompok menjadi semisi dan sevisi, pidato yang disampaikan dengan tujuan tersebut salah

34 satunya adalah pidato Bung Tomo pada 10 November 1995 yang berhasil menggerakkan dan menghidupkan semangat perjuangan Arek Suroboyo. Pemilihan kata yang digunakan dalam suatu teks terutama pidato memiliki berbagai macam, salah satunya adalah berbentuk kiasan yang lebih dikenal dengan metafora. Pengalihan atau pengkiasan tersebut merujuk suatu maksud kepada maksud yang lain untuk menunjukkan kesamaan maupun hubungan diantara keduanya, metafora merupakan kajian yang penting pada beberapa disiplin ilmu yakni filsafat, linguistik, psikologi, sastra dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan beragamnya pengertian mengenai metafora dari berbagai sudut pandang. Salah satu teori yang diungkapkan Aristoteles dalam west dan turner, bahwa metafora merupakan alat terpenting dalam pidato yang berfungsi untuk mempermudah pendengar menangkap apa yang dimaksudkan oleh pembicara, untuk menghindari pendengar merasa bosan karena bahasa yang digunakan terlalu sederhana, sekaligus untuk menghindari adanya pendengar yang merasa frustasi karena terlalu kesulitan memahami bahasa yang digunakan (Bintarti, 2012:2). Penelitian terkait yang membahas mengenai metafora dalam suatu teks dilakukan oleh Siti Aisyah pada tahun 2010 dengan judul Metafora dalam Lagu Iwan Fals yang Bertemakan Kritik Sosial, penelitian tersebut bertujuan menemukan ranah sumber dan jenis metafora dalam teks tersebut, menggunakan metodologi penelitian kualitatif dan menghasilkan kata Binatang sebagai ranah sumber (Aisyah, 2010). Penelitian lain mengenai metafora juga dilakukan oleh Bintarti dan Myrna pada tahun 2012 dengan judul Metafora dalam Pidato Charles De Gaulle pada perang dunia ke II, dengan menggunakan pendekatan semantic dan sistematisasi Lakoff dan Johnson, metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian tersebut meemukan 8 kategori metafora yang terdapat dalam teks pidato tersebut (Bintarti, 2012). Kemudian pada September 2012, dilakukan penelitian serupa mengenai metafora dalam sebuah teks oleh Akhmad Syaifuddin dengan judul Metafora dalam Teks Lagu Kokoro No Tomo Karya Itsuwa Mayumi, bertujuan untuk menemukan kegunaan dan makna metafora dalam teks, metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan system analisis Knowles dan Moon, menghasilkan makna sesungguhnya yang dimaksudkan oleh penulis. Penelitian mengenai metafora tidak hanya berhenti disitu saja, penelitian lain dilakukan oleh Gunawan dan Afdhol dengan judul Metafora dalam Lirik Dangdut pada tahun 2016, bertujuan untuk mengungkapkan bahwa metafora dalam lirik lagu dangdut memuat realitas social, menggunakan pendekatan semantic kognitif dan metodologi kualitatif,

35 menghasilkan data angka dan huruf kata yang mengandung metafora dan mengalami perubahan dari makna literal menjadi makna metaforis karena beberapa persamaan (Gunawan dan Afdhol, 2016). Dari berbagai penelitian sebelumnya, peneliti dapat menyimpulkan bahwa metafora erat kaitannya dengan teks lagu saja, padahal metafora juga banyak digunakan dalam teks- teks pidato untuk berbagai tujuan dan dilatarbelakangi berbagai motif, salah satunya yakni yang dicantukan oleh salah satu jurnal rujukan membahas metafora dalam pidato De Gaulle presiden pertama republik V perancis, pidatonya yang dibacakan saat perang dunia ke-II berhasil menghidupkan kembali semangat juang masyarakat yang hampir menyerah. Dalam pidato tersebut terdapat berbagai contoh yang menarik, sekaligus mengingatkan kita pada pentingnya penggunaan bahasa dengan penyusunan yang tepat bagi kehidupan di berbagai aspek (Bintarti, 2012:1-4). Dari sedikit uraian tersebut, peneliti akan menjelaskan mengenai metafora dalam teks pidato Bung Tomo pada 10 November 1995, tujuan diadakannya penelitian ini yakni untuk mengukur dan mengetahui secara mendalam seberapa banyak sekaligus makna metafora yang terkandung dalam teks pidato tersebut. Melalui teori kognitif yang dicetuskan Lakoff dan Johnsoh yakni dengan menelususri ranah sumber dan ranah sasaran. Menelisik lebih dalam mengenai kandungan majas metafora dalam teks pidato Bung Tomo tentunya perlu paham terlebih dahulu data-data terkait pengertian metafora dan teks pidato bung tomo, tidak hanya itu saja, untuk membuktikan urgensi Bahasa dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan teks pidato bung tomo sebagai studi kasus harus paham terlebih dahulu mengenai kondisi psikologi Bung Tomo dari berbagai literatur. Setelah data terkumpul, peneliti akan menghubungkan keduanya yakni metafora dengan teks pidato bung tomo dengan cara menganalisa satu per satu kata dalam teks tersebut untuk dapat ditarik sebuah kesimpulan. Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi sumber pembelajaran mengenai materi terkait sekaligus bukti yang menyadarkan masyarakat luas bahwa Bahasa merupakan suatu aspek penting dalam kehidupan yang harus dipertahankan dan dipelajari dengan baik. Maka dengan landasan tersebutlah penulis akan menganalisa majas metafora yang terkandung dalam teks pidato bung tomo guna menyadarkan kembali masyarakat luas mengenai urgensi bahasa dalam kehidupan, baik sektor ekonomi maupun politik. Sehingga penulis mengambil judul “Majas Metafora dalam Pidato Bung Tomo pada 10 November 1995”.

36

Peneliti merumuskan permasalahan yakni makna metafora yang terkandung dalam teks pidato bung tomo dengan tujuan untuk mengetahui lebih mendalam maksud yang ingin disampaikan bung tomo dalam pidato tersebut.

Metafora Metafora dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Metafora dalam pembahasan linguistic telah ditelaah lebih dari hitungan 3 kali dalam beberapa periode, salah tiganya yang pernah meneliti mengenai metafora adalah Aristoteles (348 - 322 SM), Searle (1979) dan Moeliono (1989), hal tersebut menyebabkan munculnya banyak pengertian metafora dari berbagai sudut pandang (Aisyah, 2010:2). Pendapat Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rethoric (Retorika) menyatakan bahwa metafora adalah perumpamaan (simile) yang diungkapkan menggunakan kata-kata tambahan like, as, resemble yang mengalami proses penghilangan atau bisa juga disebut dengan ellipsis, contoh: “lelaki tulang punggung keluarga” kaliamat tersebut sebenarnya terdapat kata “adalah” yang dihilangkan. Aristoteles juga menyebutkan bahwa dalam metafora terdapat suatu proses yang dinamakan ephiphora, yakni proses pemindahan satu makna ke makna lain yang bukan sebenarnya, sekaligus alat atau sarana untuk mengungkapkan Bahasa menjadi lebih estetik dan puitis. Sehingga metafora juga bertujuan agar menjadikan tulisan lebih variatif. Menurut kacamata Searle, metafora berisi ungkapan makna maksud, yakni seseorang memiliki maksud yang lain ketika mengucapkan suatu kata maupun kalimat, menurut Searle yang dijadikan pusat kajian bukanlah makna yang dituturkan, akan tetapi makna sesungguhnya yang dimaksudkan oleh penutur. Searle (1979) menginterpretasikan metafora terbagi menjadi beberapa perumpamaan, yang pertama adalah prinsip “S adalah P”. S dalam perumpamaan ini dianggap sebagai makna utama yang diungkapkan menjadi P, Searle juga mengumpamakan S dengan R yang mana R adalah perwujudan makna dari lawan bicara terhadap makna dari P yang bergantung pada maksud penutur. Metafora menurut pendapat dalam buku handbook of semiotics dibagi menjadi dua pengertian yakni metafora dalam makna sempit (Narrow Sense) dan metafora dalam makna luas (Broad Sense). Makna sempit berarti bentuk perumpamaan tertentu dari suatu perumpamaan, sedangkan makna luas berarti semua perumpamaan. Berkaitan dengan makna

37 luas maupun sempit, menurut Moeliono (1989) metafora dalam arti sempit adalah bentuk perumpamaan yang bersifat implisit, tanpa menggunakan kata seperti, adalah, seumpama, bagaikan dan sebagainya. Sedangkan metafora dalam makna luas adalah segala macam bentuk majas perumpamaan yang dibagi menjadi 3 yakni pertautan, perbandingan dan pertentangan (Aisyah, 2010:10). Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kognitif dengan sistematisasi metafora menurut lakoff dan johnson (2003). Sistematisasi menurut lakoff dan johnson tersebut dilakukan berdasarkan beberapa hal yakni target domain (sasaran), source domain (sumber), correspondence/maping/coding (pemetaan), image schema (skema crita) dan highlighting (penyorotan), dari sistematisasi tersebut akan memunculkan data berupa system metafora yang terkandung dalam teks tersebut. Berdasarkan pendapat Knowles dan Moon (2004) metafora konseptual menyepadankan dua konsep yakni ranah sumber (selanjutnya disingkat RSu) yakni berupa konsep atau tempat metafora digambarkan dan ranah sasaran (selanjutnya disingkat RSa) merupakan konsep tempat metafora digunakan, di antara dua hal tersebut terdapat hubungan berupa pemetaan yang tercipta berdasarkan experiental bases (Lakoff, 2003:16) Metafora yang terkandung dalam suatu teks memiliki tujuan tertentu, sehingga untuk memahaminya perlu menggunakan skema tertentu dan skema yang dibuat lakoff dan johnson merupakan skema yang paling mudah digunakan dalam kondisi waktu terbatas seperti penelitian ini. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai metafora yang terkandung dalam teks pidato Bung Tomo, perlu kita pahami terlebih dahulu pula kondisi psikologis bung tomo sejak kecil hingga dewasa. Bung Tomo lahir pada tanggal 3 Oktober 1920 di kampung Blauran, Surabaya. Anak dari seorang ayah yang pemberani bernama Kartawan Kriptowidjojo bekerja sebagai klerk di kantor keresidenan dan pada akhinya memilih beralih profesi menjadi asisten tingkat menengah di kantor pajak pemerintahan kota Praja. Bung Tomo yang terkenal dengan keberaniannya merupakan turunan genealogis dari ayahnya yang juga dikenal dengan keberaniannya. Dalam bukunya frederich mengisahkan bahwa pada tahun 1940 Ayah Bung Tomo diberhentikan dari pekerjaannya sebagai asisten pegawai tingkat menengah dikarenakan perbedaan pendapat dengan atasan (Fadilah, 2015:15) kondisi tersebut menyebabkan perekonomian keluarga Bung Tomo kecil semakin menurun karena hanya bergantung pada penghasilang sang kakek sebagai distributor utama mesin jahit Singer di Hindia-Belanda. Naasnya, krisis ekonomi menyebabkan usaha sang kakek bangkrut sehingga kehidupan keluarga Bung Tomo semakin memprihatinkan, kondisi ini memaksa Bung Tomo untuk bekerja keras demi kehidupan keluarganya yang lebih layak, Bung Tomo

38 setiap harinya bekerja mengantarkan cucian baju milik tetangganya dan berjualan koran dari kampung ke kampung. Kehidupan keras seperti inilah yang melatih mental dan kemampuan berpolitik Bung Tomo.

Pembahasan a. Kategori Metafora Dari proses pencuplikan data dapat kita temukan 4 data metaforis dalam pidato tersebut yakni: Data 1: Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka Dalam data 1 ditemukan 3 kata metaforis yakni Pihak penjajah adalah Tangannya tantara jepang, Menyerah adalah Mengangkat tangan dan Menyerah adalah membawa bendera merah putih. Pada data 1, mengisahkan kondisi dimana rakyat Indonesia dipaksa untuk menyerahkan harta rampasan dari tentara jepang yakni penjajah yang sudah dikalahkan rakyat indonesia sebelumnya, kata angkat tangan serta menyerahkan bendera putih bermakna bahwa masyarakat Indonesia dipaksa untuk menyerah. Keadaan genting ini ditandai dengan sekutu menyebarkan pamflet-pamflet yang menyatakan keharusan pejuang menyerah dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Tentu bukan hal mudah menjadi seseorang yang ucapannya dapat dipatuhi dan membangunkan semangat juang rakyat Indonesia melawan kekuatan sekutu, hal tersebut tentu dikarenakan psikologis Bung Tomo yang memang sejak semasa kecil sudah dilatih keberaniannya, pun kondisi sosiologi masyarakat yang yakin sepenuh hati perihal kemampuan bung tomo di segala bidang.

39

Data 2: Saudara-saudara di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya. Dalam data 2 ditemukan 2 kata metaforis yakni Tidak terkalahkan adalah tidak bisa dijebol dan Keadaan genting adalah terjepit. Pada data ke 2 mengilustrasikan keadaan perjuangan sebelumnya dimana Rakyat Indonesia mulai bersatu antar-umat dan antar-suku sehingga menciptakan suatu kekuatan tanpa celah yang diumpamakan dengan kata tidak bisa dijebol, hal ini mengakibatkan penjajah berada dalam kondisi genting seolah terjepit, terpojokkan dan kebingungan menentukan tindakan. Dalam teks dan data ini, Bung Tomo ingin mengabarkan pada rakyat bahwa keadaan inilah yang bisa membawa dan menyelamatkan rakyat Indonesia dari kelamnya penjajahan.

Data 3: hai tentara inggris kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu

40

kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita: selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga Dalam 3 ditemukan 5 kata metaforis yakni Menyerah adalah membawa bendera merah putih, Menyerah adalah mengangkat tangan, Menyerang adalah menggempur, Rakyat adalah banteng-banteng Indonesia dan Keberanian adalah darah merah. Pada data ke 3, yakni mengilustrasikan kondisi saat bung tomo menegaskan kepada tantara sekutu bahwa bangsa Indonesia tidak akan menyerah, cara bung tomo mengumpamakan bangsa Indonesia dengan banteng-banteng yang kuat, pemberani dan dalam kondisi berapi-api, perumpamaan ini berhasil menggugah semangat bangsa Indonesia untuk bersatu melawan sekutu, sesuai dengan tujuan bung tomo yakni menghidupkan semangat perjuangan. Darah Merah merupakan illustrasi dari keberanian banteng-banteng Indonesia, selama banteng-banteng tersebut masih memiliki darah merah, selama itu pulalah bangsa Indonesia akan terus berjuang melawan sekutu, hal ini menunjukkan bahwa bung tomo memberikan motivasi berupa semangat perjuangan selama masih mampu maka akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Data 4: Dan untuk kita saudara-saudara lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar percayalah saudara-saudara Tuhan akan melindungi kita sekalian Dalam data 4 ditemukan 3 kata metaforis yakni Kalah adalah hancur lebur, Dijajah kembali adalah tidak merdeka, Kepemilikan adalah jatuh ke tangan kita. Pada data ke 4, Hancur lebur menggambarkan kondisi dimana pertahanan dan perjuangan yang dilakukan berujung menjadi kekalahan, sehingga dalam hal ini

41 mengilustrasikan keadaan terburuk, daripada dipaksa tidak merdeka atau menyerah, bangsa Indonesia dibuat memilih hancur lebur. Bung tomo menanamkan sebuah keyakinan kepada pejuang bahwa hancur lebur atau mati adalah pilihan yang lebih baik daripada harus menyerah. Tidak merdeka merupakan kata lain dari menyerah, yang mana ketika pejuang menyerah mereka akan kembali ke keadaan dimana mereka dijajah dan tidak merdeka. Bung tomo menanamkan paham bahwa keadaan ini tidak bisa dipilih sebab akan kembali membawa bangsa Indonesia ke dalam keadaan yang buruk bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya, dan hancur lebur adalah keadaan yang jauh lebih baik daripada harus tidak merdeka. Pada akhir pidato Bung Tomo meyakinkan rakyat bahwa pada akhirnya kemenangan dan kemerdekaan akan menjadi hak milik rakyat Indonesia. a. Pemetaan konseptual metafora Dalam data 1 ditemukan 3 kata metaforis yakni: Pihak penjajah (RSa) adalah Tangannya tantara jepang (RSu) Menyerah (RSa) adalah Mengangkat tangan (RSu) Menyerah (RSa) adalah membawa bendera merah putih (RSu)

Dalam data 2 ditemukan 2 kata metaforis yakni: Tidak terkalahkan (RSa) adalah tidak bisa dijebol (RSu) Keadaan genting (RSa) adalah terjepit (RSu)

Dalam 3 ditemukan 5 kata metaforis yakni: Menyerah (RSa) adalah membawa bendera merah putih (RSu) Menyerah (RSa) adalah mengangkat tangan (RSu) Menyerang (RSa) adalah menggempur (RSu) Rakyat (RSa) adalah banteng-banteng Indonesia (RSu) Keberanian (RSa) adalah darah merah (RSu)

Dalam data 4 ditemukan 3 kata metaforis yakni: Kalah (RSa) adalah hancur lebur (RSu) Dijajah kembali (RSa) adalah tidak merdeka (RSu) Kepemilikan (RSa) adalah jatuh ke tangan kita (RSu) Dari proses pemetaan di atas dapat disimpulkan bahwa angkat tangan merupakan tanda dari menyerah, namun selama keberanian rakyat Indonesia masih ada, kalah dan mati

42 lebih baik daripada harus kembali dijajah. Seluruh makna tersebut mengarah pada satu sumber metafora utama yakni berjuang sampai mati jauh lebih baik daripada harus dijajah kembali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna utama dalam pidato tersebut yang ingin disampaikan Bung Tomo kepada masyarakat adalah mati lebih baik daripada harus menyerah dan tidak merdeka.

Kesimpulan Metafora bukan sekedar dekorasi Bahasa yang berguna untuk memperindah tampilan Bahasa saja, lebih dari itu metafora merupakan proses penyampaian makna dengan cara yang lain, yang mana dalam Teknik penyampaian tersebut terkandung sebuah tujuan/motif utama. Dalam pidato bung tomo jika dianalisis menggunakan pendekatan semantic kognitif skema Lakoff dan Johnson bisa kita simpulkan bahwa tujuan bung tomo adalah menanamkan pemahaman kepada rakyat Indonesia bahwa mati jauh lebih baik daripada kembali dijajah, perumpamaan tersebut berhasil membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia yang mana merupakan tujuan utama dari penyampaian pidato tersebut. Hal ini sekaligus menggambarkan kepribadian bung tomo yang pemberani dan pantang menyerah terbukti dari pilihan hidup mati lebih baik daripada harus kembali dijajah.

DAFTAR RUJUKAN Aisyah, Siti. (2010). Metaforadalam Lagu Iwan Fals yang Bertemakan Kritik Sosial. Depok: FIB UI. Budi Fitriana, Fransiska. (2017). Pemakaian Gaya Bahasa dan Diksi Tokoh Masyarakat dalam Surat Kabar Kompas. Palembang: SeminarNasionalBahasaIndonesia. Vol. 01, N0. 01. Chaer, Abdul. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: PT. RinekaUmum. Chaer, Abdul. (2015). Psikolinguistik. Jakarta: PT. RinekaUmum. Fatma Hidayati. (2016). Kesantunan Verbal Bentuk Imperatif dalam Teks Pidato Presiden Ir.Joko Widodo pada Konferensi Nasional Forum Rektor Indonesia di Auditorium UNY. Surakarta: UNS. Ibnu Hamad. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Masa (Studi Pesan Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999). Depok: Fisip UI. Vol. 08, No. 01. Lakoff, George. (2003). Metaphors We Live By. London: The University of Chicago Press Mayangsari, Bintarti. (2012). Metafora dalam Pidato Charless De Gaulle pada Perang Dunia ke II. Depok: FIB UI.

43

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: RosdaKarya. Muhadjir, Noeng. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT. BayuIndraGrafika. Nasution, Sahkholid. (2017). Pengantar Linguistik Bahasa Arab. Sidoarjo: LisanArabi. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sutopo. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS. Wiradharma, Gunawan. (2016). Metafora dalam Lirik Lagu Dangdut. Jember: UNJ. Vol. 07, No. 01. W Kreidler, Charles. (2002). Introduction English Semantics. New york: Routledge.

44

ANALISIS KATA YANG BERPOLISEMI DALAM NOVEL “KEMI TUMBAL LIBERALISME 3” KARYA ADIAN HUSAINI

Ahmad Irfan Fauzi Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50, Dinoyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144 Email: [email protected]

Muhammad Tegar Arief Fuady Alfadhil Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50, Dinoyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144 Email: [email protected]

ABSTRAK Bahasa tersusun dari sejumlah bentuk dan makna. Dalam mempelajari makna kata, tentunya akan didapati relasi makna antar sejumlah kata. Berkaitan dengan banyaknya makna dalam sebuah kata, salah satunya kata yang bermakna polisemi dan penggunaannya dalam karya sastra tentunya pembaca akan merasa kesulitan dan kekeliruan dalam memahaminya. Tulisan ini, mencoba menyorot tentang relasi makna polisemi yang terdapat dalam karya sastra (novel). Apa bentuk-bentuk polisemi dalam novel dan bagaimana makna yang terkandung di dalamnya?. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk dan makna kata yang berpolisemi dalam novel. Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan makna kata yang berpolisemi yang terdapat dalam novel. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel “Kemi tumbal liberalisme jilid 3” karya Adian Husaini. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah teknik baca dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Hasil penelitian ini, terdapat 5 kata yang bermakna polisemi didalamnya yang menjadi sampel, yaitu kata pesan, jalan, memutar, anak, dan kunci. Kata kunci: Karya Sastra, Polisemi, Semantik

Bahasa tersusun dari sejumlah bentuk dan makna. Bentuk bahasa adalah struktur bahasa yang meliputi aspek fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Semantik merupakan salah satu bidang kajian lingusitik yang mempelajari uraian makna. Semantik dengan objek studinya yaitu makna. Lebih tepat lagi makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. (Nur, 2014:13). Dalam mempelajari makna kata, tentunya akan didapati relasi atau hubungan makna antar sejumlah kata. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan sinonim, antonim, polisemi,

45 homonim dan sebagainya. Dari semua relasi makna tersebut bisa kita jumpai salah satunya dalam karya sastra, seperti novel, cerita pendek, puisi dan drama. Karya sastra yang merupakan karangan dengan bahasa yang indah dan baik menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Tarigan (2008:7) menyatakan bahwa “membaca sebuah karya sastra fiksi berarti menikmati cerita dan menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin”. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat dengan bebas berbicara tentang peraturan dan norma-norma kehidupan yang dialami oleh manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sehingga dalam karya sastra ini banyak makna yang tersirat membuat penafsiran-penafsiran yang berbeda setiap pembacanya. Sehubung dengan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah karya sastra, penulis akan melakukan penelitian mengenai analisis terhadap kata berpolisemi dalam teks novel “Kemi Tumbal Liberalisme 3” karya Adian Husaini. Novel ini menceritakan akhir perjalanan Kemi. Setelah bermain-main, kemudian terjebak serta tersesat dalam kubangan liberalism, santri cerdas bernama Kemi akhirnya menemui nasib tragis: diperas, dihinakan, disiksa, kemudian hampir diakhiri hidupnya. Novel ini juga menjadi novel penutup kisah pergulatan islam versus liberalism dengan babak akhir yang tragis. Meski telah sadar dan berusaha kembali ke jalan yang benar, kemi harus jadi tumbal liberalism. Di novel ini juga menyajikan didalamnya keteladanan tinggi beberapa tokohnya dalam dunia Pendidikan, yang sangat jarang terjadi di dunia nyata. Adapun penelitian yang menggunakan teori semantik (relasi makna polisemi) sebagai pisau analisisnya bukanlah merupakan penelitian baru, melainkan penelitian lama yang tentunya sudah banyak peneliti yang mendalami kajian ini. Berdasarkan beberapa situs publikasi ilmiah, peneliti menemukan beberapa kajian tentang makna polisemi yang telah dikaji oleh Elye Surya, Hamdani & Abdurrahman, dan Irman Nurhapitudin & Fakri Hamdani. Elye Surya, (2017). “Analisis penggunaan polisemi verba kiru (切る) pada kalimat bahasa Jepang (suatu tinjauan semantik)”. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghadirkan sebuah karya ilmiah yang relevan dan memberikan informasi mengenai penggunaan polisemi verba kiru ( 切る) dalam kalimat bahasa Jepang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode penelitian kualitatif deskriptif. Dari sumber data yang diperoleh disimpulkan bahwa terdapat 9 makna verba kiru ( 切る) yaitu 1) memutuskan hubungan atau ikatan sesuatu; memisahkan; 2) membatasi sesuatu; 3)

46 melakukan hingga lelah; melakukan sesuatu sampai akhir; 4) menghalangi lawan dengan menempatkan batu pada papan permainan sugoroku; memotong hubungan batu lawan pada permainan igo; 5) memulai sesuatu dari awal; berinisiatif; 6) mengubah arah tujuan; 7) menyisihkan sesuatu yang tidak memenuhi standar; 8) lebih kecil dari angka yang ada; dan 9) melakukan terlebih dahulu. Adapun perluasan makna yang terjadi pada verba kiru (切る) dipengaruhi oleh 2 gaya bahasa, yaitu metafora dan metonimi. Hamdani, dan Abdurrahman. (2014). “Fenomena Polisemik Bahasa Arab dalam Al- Quran dan Implikasi Pembelajarannya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ihwal polisemi bahasa arab dalam Alquran dan variasi makna leksikal-gramatikalnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif dengan model analisis isi (kualitatif dan kuantitstif). Hasil penelitian tersebut, polisemi yang diperoleh ada 10 bentuk polisemik. Masing-masing mengandung: 4 (empat) makna morfologis; 3 (tiga) makna morfologis; 4 (empat) makna morfologis; 3 (tiga) makna morfologis; 5 (lima) makna morfologis; 3 (tiga) makna morfologis; 2 (dua) makna morfologis; 4 (empat) makna morfologis; 4 (empat) makna morfologis; 5 (lima) makna morfologis. Irman Nurhapitudin dan Fakri Hamdani. (2016). “Hiponimi dan Polisemi Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda”. Penelitian ini bertujuan untuk menafsirkan makna dari dua jenis kosakata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda karena ada kesulitan atau kekeliruan penutur kedua bahasa juga melakukan interaksi dengan penutur lainnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan fenomena yang terjadi antara makna dan relasi makna dari bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa para dwibahasawan sering menggunakan kosakata yang sama baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, dan secara leksikal, kosa kata polisemi bahasa Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan bahasa Sunda. Berkaitan dengan banyaknya makna dalam sebuah kata, salah satunya kata yang bermakna polisemi dan penggunaanya dalam berbagai karya sastra seperti cerpen, novel, dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “analisis kata berpolisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini”. Dalam novel tersebut, terdapat 5 bentuk kata yang bermakna polisemi, yaitu (1) kata pesan yang bermakna nasihat; (2) kata jalan yang bermakna upaya; (3) kata memutar yang bermakna berpikir; (4) kata anak yang bermakna anggota kelompok; dan (5) kata kunci yang bermakna solusi. Definisi Polisemi

47

Polisemi adalah satuan bahasa, terutama kata bisa juga frase yang mempunyai makna lebih dari satu (ganda/ lebih dari satu makna). Definisi ini senada dengan pendapatnya Palmer. Palmer mengemukakan pendapatnya mengenai polisemi, bahwa polisemi adalah suatu kata yang mengandung seperangkat makna yang berbeda, dan mengandunng makna ganda. Sependapat dengan Palmer, Fromkin dan Rodman (1998:164) mengemukakan bahwa ketika suatu kata memiliki banyak makna yang saling berhubungan secara konseptual atau secara historis itu disebut polisemi. Begitupun dengan Naktew berpendapat bahwa polisemi itu adalah satu kata yang memiliki dua atau tiga makna yang saling berhubungan. Kemudian Mukhtar Umar juga berpendapat bahwa polisemi adalah satu kata yang memiliki lebih dari satu makna, karena memperoleh satu atau beberapa makna baru. Polisemi juga bisa disebut “keberagaman makna sebagai akibat perkembangan dari segi makna”. Bisa juga didefinisikan sebagai “satu kata bermakna banyak” (Kholison, 2016:243). Berdasarkan pendapat para ahli ini dapat disimpulkan bahwa polisemi adalah suatu kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda yang dipergunakan untuk berbagai keperluan tapi masih berhubungan dalam maknanya. Tumbuhnya polisemi itu akibat dari faktor kesejarahan dan faktor perluasan makna (Djajasudarma, 2012:65). Contoh kata lisan (lidah) yang memiliki arti bahasa, surat, risalah, reputasi, fasih, dan juru bicara (Hidayatullah, 2017:124). Chaer mencontohkan kata kepala yang memiliki enam makna dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia”, sebagai berikut: 1. Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti yang terdapat pada hewan dan manusia. 2. Bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan, dan merupakan hal yang penting atau terutama seperti kepala suku, kepala meja, dan kepala kereta api. 3. Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku, dan kepala jarum. 4. Pemimpin atau ketua, seperti kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun. 5. Jiwa atau orang, seperti pada kalimat “setiap kepala menerima bantuan 500.000”. 6. Akal budi, seperti dalam kalimat “badannya besar tetapi kepalanya kosong”. (Chaer, 2009:101-102). Perbedaan dan banyaknya makna dari kata kepala tersebut, dapat dimengerti dari contoh-contoh kalimat berikut ini: 1. Ia menyundul bola dengan kepalanya. 2. Ibunya diangkat menjadi kepala Darma Wanita. 3. Setiap kepala mendapat subsidi minyak tanah.

48

4. Rangkaian kereta api itu belum diberangkatkan karena kepalanya rusak. 5. Ada jerawat di mukanya sebesar-besar kepala korek api. (Taufiqurrochman, 2008:71- 72). Karakteristik Polisemi 1) Satu kata memiliki bidang makna yang luas. 2) Dasar konstruksi morfologis dari kata yang berpolisemi adalah sama (bersumber dari satu kata saja). 3) Biasanya makna-makna yang lahir dari kata yang berpolisemi memiliki kedekatan dan keterkaitan atau satu sama lain identik (Kholison, 2016:247).

Terjadinya Polisemi Polisemi tidak begitu saja terjadi dan ada, didalam sebuah tulisan disebutkan faktor apa sajakah yang mengakibatkan adanya polisemi. Faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya diantaranya kecepatan melafalkan kata, seperti kata beruang apakah yang dimaksud itu atau mempunyai uang. Adapun faktor lain yaitu faktor gramatikal, contohnya seperti kata "memukul" dapat bermakna alat yang digunakan untuk memukul atau orang yang memukul. Orang tua dapat bermakna ayah atau ibuk atau orang yang sudah tua. Kemudian faktor selanjutnya yaitu faktor leksikal yang dapat bersumber dari (1) sebuah kata yang mengalami perubahan penggunaan daam ujaran yang mengakibatkan munculnya makna baru seperti kata "kepala" adalah bagian tubuh pada manusia atau hewan dari leher keatas kini dihubungkan dengan benda tak bernyawa, seperti kepala kereta api atau kepala paku; (2) digunakan pada lingkungan yang berbedaseperti kata operasi da;am bahasa Indonesia bila digunakan dalam lingkungan kedokteran diartikan sebagai tindakan pembedahan pada pasien tetapi bila digunakan pada lingkungan militer diartikan sebagai upaya penyerbuan atau pembersihan terhadap musuh; (3) karena bermetafora seperti kata "mata" yang mana intinya adalah alat yang digunakan untuk melihat tetapi karena kesamaan makna munculnya urutan kata mata pedang, mata pencaharian, mata peajaran, mata-mata, dipandang sebelah mata. Faktor selanjutnya terjadinya bahasa Asing, misalnya kata item kini digunakan kata butir atau unsur; kata canggih untuk menggantikan kata sophitiscated kata rencana untuk menggantikan kata planning. Pemakaian bahasa yang menjadikan faktor penghematan dalam menggunakan bahasa. Maksudnya dengan satu kata pemakai bahasa dapat mengungkapkan berbagai ide atau

49 perasaan yang terkandung didalam hatinya. Kadang-kadang karena kata baru belum ditemukan maka kata yang telah ada dapat digunakan tetapi dengan makna yang lain, misalnya kata mesin yang biasanya dihubngkan dengan mesin jahit dan yang terakhir faktor pada bahasa itu sendiri yang terbuka untuk menerima perubahan baik perubahan bentuk maupun oerubahan makna. Metode Penelitian Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada aspek makna dari pada aspek generalisasi (Sugiyono, 2015:68). Untuk memperoleh data yang valid dan sesuai dengan apa yang diharapkan dari kegiatan penelitan ini, maka ada beberapa teknik yang digunakan oleh peneliti, yaitu: Teknik baca dan teknik catat. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu membaca novel, memahami makna isi novel baik secara kata maupun keseluruhan, menyimak seksama demi mendapatkan pemantaban pemahaman, mengidentifikasi kata atau kalimat yang terdapat dalam novel, dan mencatat bentuk-bentuk makna kata polisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini. Penelitian ini dilakukan dalam novel yang berjudul “Kemi tumbal liberalisme 3” karya Nandra R. dengan subyek kata polisemi sebanyak 5 kata. Data-data yang terkumpul pada penelitian ini akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif dengan model analisis data menurut Miles dan Huberman. Sebagaimana dikutip oleh Sugiyono, Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data, verifikasi data (Sugiyono, 2008, h. 337). Setelah data terkumpul, maka peneliti merangkum data yang telah diperoleh, dan memilih data-data yang berkaitan dengan tema. Dalam penelitian ini, langkah yang akan dilakukan dalam mereduksi data yaitu Setelah data terkumpul, maka peneliti merangkum data yang telah diperoleh, memilih data- data yang berkaitan dengan bentuk polisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini, memilih data berdasarkan kata perkata yang mengandung bentuk polisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini, dan membuang data-data

50 yang tidak berkaitan dengan bentuk polisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini. Setelah data direduksi, selanjutnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman, langkah kedua yang dilakukan adalah penyajian data yaitu, menyederhanakan data yang diperoleh berupa tema dan subtema yang mengandung bentuk polisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini, data disederhanakan, dan data disajikan dalam bentuk narasi. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah tahap verifikasi data setelah data melewati proses reduksi data dan penyajian data, kemudian data dibuktikan kesalahannya melalui bukti-bukti valid dan data kemudian disimpulkan.

Hasil dan Pembahasan Adapun bentuk-bentuk polisemi yang terdapat dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini sebagai berikut: 1. “oh, ya, sudahlah. Tetapi, saya perlu penjelasan dari pak Karmi tentang Kemi. Sebab, Kemi kelihatan masih lemas. Siapa tahu perlu tindakan pengobatan. Apa ada makanan-makanan tertentu atau obat-obatan yang khusus diperlukan oleh Kemi?”. “maaf, pak Kiyai, saya juga tidak tahu. Mungkin nanti pak kyai bisa tanya langsung ke Kemi”. "lho, bukannya pak Karmi yang membawa kemi kesini. Dokternya pesan apa untuk merawat Kemi berikutnya?". (Husaini, 2015:169-170) Kata pesan diatas termasuk polisemi. Berdasarkan konteksnya kata pesan memiliki makna ganda. Kata pesan yang ada dalam kontek kalimat diatas memiliki makna nasihat atau anjuran. Bukan dalam artian pesan yang memiliki arti memesan. Tetapi keduanya memiliki hubungan makna sama-sama bertujuan untuk meminta sesuatu kepada objek. Berdasarkan penjelasan tersebut, kata pesan termasuk kata yang berpolisemi. Kata "pesan" termasuk dalam polisemi jenis verba bermakna perbuatan. 2. "Memang, pada satu sisi itu patut disyukuri. Itu kepercayaan masyarakat. Dalam tradisi pesantren, kita tidak pernah menolak santri. Tetapi, faktanya, jumlah guru terbatas. Waktu dan tenaga saya pun terbatas. Saya harus cari jalan keluar agar tidak mengecewakan harapan umat, tetapi tidak mengurangi kualitas pendidikan di pesantren". (Husaini, 2015:172) Kata "jalan" diatas termasuk polisemi. Berdasarkan konteksnya kata "jalan memiliki makna ganda. Kata "jalan" yang ada dalam konteks diatas yang diikuti

51

dengan kata "keluar" memiliki makna 'cara, taktik atau upaya'. Bukan dimaknakan dengan makna leksikalnya yang berarti 'tempat lalu lintas orang (kendaraan dsb)'. Berdasarkan penjelasan tersebut, kata "jalan"termasuk kata yang berpolisemi. Kata "jalan" termasuk dalam polisemi jenis nominal bermakna upaya. 3. Kiai Rois terus memutar otak, mencari-cari kesempatan, bagaimana bisa mengorek keterangan dari Kemi soal perjalanan hidup dan kisah yang dialaminya sehingga ia tidak tersadar beberapa lama. Dilihatnya, wajah Kemi masih cukup sayu dan tubuhnya cukup sayu dan lemas. (Husaini, 2015:172) Kata "memutar" diatas termasuk polisemi. Berdasarkan konteksnya kata "memutar" memiliki makna ganda. Dalam kalimat diatas kata "memutar" yang diikuti dengan kata "otak" memiliki makna berfikir. Bukan makna leksikal 'menggerakan supaya berputar'. 'memutar otak' diartikan berfikir yang dianalogikan ketika dalam proses berfikir terjadi juga proses pemutaran otak disana. Berdasarkan penjelasan tersebut, kata makan termasuk kata yang berpolisemi. Kata "memutar" termasuk dalam polisemi jenis verba bermakna perbuatan. 4. "Saya hanya ingat saat terakhir dikeroyok anak buahnya Roman. Setelah itu tidak sadar. Tahu-tahu, saya sudah ditemani pak Karmi, terus pulang beberapa hari lalu. Rasanya seperti bangun tidur". (Husaini, 2015:173) Kata "anak" diatas termasuk polisemi. Berdasarkan konteksnya yang diikuti dengan buah memiliki makna 'anggota kelomok' atau 'orang yang berada dibawah seorang pemimpin'. Tidak lagi bermakna leksikal atau makna sebenarnya 'keturunan kedua', 'anak benar-benar seorang anak'. Berdasarkan penjelasan tersebut, kata "anak" termasuk kata yang berpolisemi. Kata "anak" termasuk dalam polisemi jenis nominal. 5. “sudah. Tetapi, ia tidak tahu, dan tidak inga tapa-apa selain peristiwa pengeroyokan anak buah roman, dan tiba-tiba, ketika sadar, ia sudah ditemani pak Karmi”. "Kalau begitu, kuncinya ada di pak Karmi," simpul Dokter Nasrul. (Husaini, 2015:184) Kata kunci diatas termasuk polisemi. Berdasarkan konteksnya yang dihungkan dengan bentuk kalimat percakapan sebelumnya pak Karmi yang sebagai tetuah atau orang yang lebih tahu dari yang lainnya. Pak karmi dianalogikan dengan kunci memiliki makna sebagai orang yang memiliki informasi lebih banyak terkait kasus yang terjadi atau solusi. Bukan bermakna leksikal kunci sebagai alat untuk membuka. Berdasarkan penjelasan tersebut, kata "kunci" termasuk kata yang berpolisemi. Kata "kunci" termasuk dalam polisemi berjenis nominal.

52

Kesimpulan Berdasarkan hasil paparan di atas mengenai polisemi dan makna kata yang berpolisemi dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini, maka dapat kita ambil simpulan bahwa polisemi adalah sebuah kata yang maknanya lebih dari satu, sebagai akibat adanya lebih dari sebuah komponen konsep makna pada kata tersebut. Misalnya kata yang bermakna polisemi yang terdapat dalam novel Kemi Tumbal Liberalisme 3 karya Adian Husaini itu ada 5 bentuk yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu kata pesan, jalan, memutar, anak, dan kunci. Kata pesan disini memiliki makna nasihat atau anjuran, bukan bermakna “memesan sesuatu”. Kata jalan memiliki makna “upaya”, bukan memiliki makna secara leksikal “tempat lalu lintas orang”. Kata memutar yang disandingkan dengan kata otak memiliki makna “berpikir”, bukan makna secara leksikal “menggerkan supaya berputar”. Kata anak yang disandingkan dengan kata buah memiliki makna “anggota kelompok”, bukan bermakna leksikal “keturunan kedua”, dan kata kunci memiliki makna “solusi”, bukan bermakna “alat untuk membuka”.

DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Djajasudarma. T. Fatimah. 1999. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT. Rafika Aditama. Djajasudarma T. Fatimah. 2012. Semantik 1 Makna Leksikal dan Gramatikal. Bandung: PT. Refika Aditama. Elye Surya. 2017. Analisis penggunaan polisemi verba kiru (切る) pada kalimat bahasa jepang (suatu tinjauan semantik) dalam Skripsi. Hamdani, Wagino Hamid, dan Maman Abdurrahman. 2014. Fenomena Polisemik Bahasa Arab dalam Al-Quran dan Implikasi Pembelajarannya dalam jurnal Bahasa & Sastra, Vol. 14, No.1, April 2014. Hidayatullah, Moch. Syarif. 2017. Cakrawala Linguistik Arab. Jakarta: PT. Grasindo. Husaini, Adian. 2015. Kemi Tumbal Liberalisme 3. Jakarta: Gema Insani. Irman Nurhapitudin dan Fakri Hamdani. 2016. Hiponimi dan Polisemi Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda dalam Jurnal al-Tsaqafa Volume 13 No. 02 Juli 2016. Kholison, mohammad 2016. Semantik Bahasa Arab Tinjauan historis, teoritik & Aplikatif. Sidoarjo CV. Lisan Arabi. Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Edisi Revisi. Bandung PT. Remaja Rosdakarya.

53

Nur, Tajudin. 2014. Semantic bahasa Arab pengantar ilmu makna. Bandung: CV. Semiotika. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Taufiqurrochman, 2008. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press.

54

ELABORASI HIPONIMI PADA LAGU-LAGU ANAK CIPTAAN PAK KASUR Abdul Basid Bahasa dan Sastra Arab-Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

Alvina Dilla Fudla Bahasa dan Sastra Arab-Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

Selviana Bahasa dan Sastra Arab-Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

ABSTRACT Children’s songs have very simple lyrics, are easy to remember an are commonly used as an alternative in children’s learning. One of them is the songs created Mr. Kasur which are very popular among the wider community. Most of these songs have been created for years, but never once sounds boring. This makes the researcher interested in elaborating on analyzing the lyrics of some of the creation songs Mr. Kasur from a semantic perspective that will narrow down to their hyponym. The aim is to find out what the concept of hyponymy is his songs. in this study, researchers used qualitative methods with research instruments see notes. Researchers only took three samples of many chldern’s songs Mr. Kasur including the song entitled “Lihat Kebunku”, “Naik Delman”, and “Kring-kring Ada Sepeda”. Based on the results of the study found about 29 words hyponymy, and among them there are several repetitive vocabulary words. Keywords: Children’s songs, hyponymy, Mr. Kasur

ABSTRAK Lagu anak-anak merupakan lagu yang memiliki lirik sangat sederhana, mudah diingat dan bersifat mendidik, sehingga biasa digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran anak. Salah satunya yakni lagu-lagu ciptaan Pak Kasur yang sangat terkenal di kalangan masyarakat luas. Kebanyakan lagu- lagu ini telah diciptakan bertahun-tahun lamanya, namun tidak pernah sekalipun terdengar membosankan. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk ngelaborasi atau menganalisis lirik dari beberapa lagu-lagu ciptaan Pak Kasur ditinjau dari perspektif semantik yang akan mengerucut pada kehiponimiannya. Tujuannya yakni untuk mengetahui seperti apa konsep hiponimi yang ada di dalam lagu-lagu ciptaan beliau. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan instrumen penelitian simak catat. Peneliti hanya mengambil tiga sampel dari sekian banyak lagu anak-anak ciptaan Pak Kasur, diantaranya yakni lagu yang berjudul Lihat Kebunku, Naik Delman, dan Kring- kring Ada Sepeda. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan sekitar 29 kata hiponim , dan diantaranya ada beberapa kosa kata yang berulang-ulang. Kata kunci: Hiponimi, lagu anak-anak, Pak Kasur

55

Ada berbagai cara untuk membentuk karakter anak, salah satunya adalah memperkenalkan mereka dengan lagu anak-anak yang bermuatan nilai positif dan pesan moral. Hal ini, dimaksudkan untuk mendidik perkembangan psikologi anak. Salah satu pencipta lagu legendaris di tanah air, adalah beliau yang biasa disebut dengan julukan Pak Kasur. Beliau merupakan pencipta lagu yang selalu menyesuaikan perkembangan anak-anak dan telah melahirkan banyak lagu anak yang mendidik dan sesuai dengan tingkatan psikologis anak (Sugandi, Sutarjo, Wardana, 2016). Menurut peneliti, mendidik disini bukan berarti lagu yang telah beliau ciptakan bernuansa garing dan memiliki lirik yang monoton. Namun sebaliknya, lagu-lagu yang telah beliau ciptakan memiliki lirik yang begitu asik, bernuansa seru dan mudah dihafalkan oleh anak-anak, misalnya lagu yang berjudul satu dua tiga empat, lirik lagu ini begitu asik sekaligus mendidik. Sebab, di dalam lagu tersebut terdapat pesan moral untuk mencari ilmu sampai dapat. Hal itu membuat lagu-lagu ciptaan Pak Kasur ini tidak hanya dinikmati oleh anak-anak pada zaman dahulu saja, namun juga digemari oleh anak-anak zaman sekarang atau mungkin akan abadi hingga generasi selanjutnya. Disamping itu, dengan lirik lagu kita juga dapat belajar linguistik. Dalam sebuah lagu pasti terdapat banyak kajian termasuk kajian semantik. Misalnya kajian tentang hiponimi, hiponimi dapat diartikan sebagai sebuah nama yang berada dibawah naungan nama yang lain (Pateda, 2001:209). Relasi dari hiponimi bukan bersifat dua arah, melainkan hanya bersifat satu arah (Chaer, 1994:306), misalnya mangga, melon, semangka, rambutan, semuanya merupakan hiponim dari buah. Hubungan seperti ini bisa kita sebut sebagai hiponimi. Buah disini bukan berarti tidak memiliki kedudukan, kata buah menjadi kata yang lebih umum dari mangga, melon, semangka, dan rambutan (Taufiqurrahman, 2015:58). Peneliti akan memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang telah mengkaji tentang hiponimi, diantaranya yakni penelitian oleh Masduki. 2013. Penelitian ini mengkaji lebih lanjut tentang semantik sebagai suatu ilmu tentang makna kata memiliki unsur leksikal sebagai akibat tata hubungan (relasi) makna. Relasi makna tersebut adalah sinonimi, antonimi, hiponimi, metonimia, polisemi, homonimi, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti memaparkan lebih lanjut mengenai sinonimi, antonimi, dan hiponimi beserta seluk-beluknya. Rini Handayani. 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengguna penanda sinonimi pada lagu anak-anak karya ibu Sud, dan untuk mendeskripsikan pengguna penanda hiponimi pada lagu anak-anak karya ibu Sud. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan penanda hubungan sinonimi dan

56 hiponimi pada lagu anak-anak karya ibu Sud. Dalam lagu anak-anak karya ibu Sud dalam penelitian ini banyak menggunakan penanda hubungan sinonimi dibandingkan dengan penanda hubungan hiponimi. M. Supriyanto Wahyu U. 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan dan fungsi penggunaan hiponim dan hipernim secara keseluruhan dalam judul wacana Koran Kompas. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, menyatakan bahwa tinjauan semantik dalam pengkajian makna meliputi hiponim, hipernim, sinonim, antonim, polisemi dan homonim. Semantik berkaitan dengan hubungan makna seperti hiponim dan hipernim. Makna hiponim dan hipernim dalam wacana sebagai salah satu bagian keindahan wacana. Pembaca akan lebih jelas memberikan makna pada wacana yang disajikan. Bukan hanya pada karya sastra, melainkan pada wacana lain seperti pada koran maupun wacana lain. Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, sangat menarik apabila kita dapat menggabungkan antara kajian semantik (hiponimi) dengan lagu terutama lagu anak-anak karya Pak Kasur, mengingat lagu-lagu ciptaan beliau sangatlah mendidik bagi anak bangsa dan tidak pernah sedikitpun terdengar basi di kalangan masyarakat luas. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti tentang “Elaborasi Hiponimi pada Lagu-lagu Anak Ciptaan Pak Kasur”.

Metode Penelitian Dalam penelitian ini, Peneliti mengambil objek kajian berupa teori hiponimi dan beberapa lagu anak-anak ciptaan Pak Kasur. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan instrumen penelitian simak catat, simak yang berarti cara memperoleh data dengan menyimak kumpulan lagu anak-anak ciptaan pak kasur. Selanjutnya peneliti berupaya mendeskripsikan konsep atau bentuk hiponimi yang terdapat dalam lagu anak-anak ciptaan pak kasur tersebut. Teknik catat dalam penelitian ini, yakni dengan mencatat data yang berhubungan dengan objek yang diteliti, yaitu unsur hiponimi dalam lagu anak-anak ciptaan pak kasur (Muhammad, 2011:168).

Hasil dan Pembahasan Lagu anak-anak merupakan lagu yang menggunakan lirik atau kosakata yang sangat sederhana (Sugandi, Sutarjo, Wardana, 2016). Bernyanyi, bermain dan mendengarkan musik termasuk bagian-bagian yang penting dalam pendidikan dan pengembangan diri anak. Saat

57 melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, anak-anak akan dapat mengekspresikan apa yang dirasakan, dipikirkan dan dicita-citakan (Panggabean, 2013:1349). Pencipta lagu anak-anak di Indonesia ini tidaklah sedikit, Salah satu yang paling terkenal, yakni yang sering kita panggil dengan julukan Pak Kasur. Selain menjadi pencipta lagu legendaris di tanah air, beliau juga merupakan tokoh pendidikan Indonesia. Dalam sebuah lagu anak maupun dewasa ciptaan Pak Kasur, tanpa disadari akan terdapat gaya bahasa atau rima. Oleh sebab itu, lagu-lagu ciptaan Pak Kasur ini biasa digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran anak. Beberapa lagu ciptaan Pak Kasur yang sangat terkenal hingga saat ini, diantaranya ada Dua Mata Saya, Balonku, Lihat Kebunku, Teka-teki, Menanam Jagung, Naik-naik ke Puncak Gunung, Memandang Alam, Topi Saya Bundar, Naik Kereta Api, Naik Delman, Kring-kring Ada Sepeda, Kucingku, Selamat Pagi Bu Guru, dan lain sebagainya (Sugandi, Sutarjo, Wardana, 2016). Dari beberapa lagu anak-anak ciptaan Pak Kasur, peneliti hanya akan mengambil tiga judul lagu, yakni Lihat Kebunku, Naik Delman, dan Kring-kring Ada Sepeda. Maka hasil dari penelitian yang telah diteliti oleh peneliti terdapat 29 kata hiponim yang akan dipaparkan berikut ini.

1. Analisis Hiponimi Lirik Lagu “Lihat kebunku” “Lihat Kebunku” (Pak Kasur)

Lihat kebunku Penuh dengan bunga Ada yang putih Dan ada yang merah Setiap hari kusiram semua Mawar melati semuanya indah

Tabel 1: Analisis Hiponimi No Data Hiponim/Subordinate 1. 1 Kebun 2 1 Penuh 3. 1 Bunga

58

4. 1 Putih 5. 1 Merah 6. 1 Mawar 7. 1 Melati 8. 1 Indah

Dalam lirik lagu yang berjudul “Lihat Kebunku” terdapat beberapa kata khusus atau hiponimi, diantaranya yakni kata “Kebun” adalah hiponim terhadap kata “Tempat” sebab makna kebun termasuk dalam makna tempat. Namun, tempat memiliki banyak jenis, tidak hanya kebun melainkan ada taman, sawah, ladang dan lain sebagainya. Begitu pula dengan kata penuh, bunga, putih, merah, mawar, melati, dan indah, kata-kata tersebut pun memiliki konsep hiponim yang sama dengan kata “Kebun”, misal kata “Penuh” berhiponim dengan “Isi”, kata “Bunga” dengan “Tanaman”, kata “Putih” dan “Merah” dengan “Warna”, kata Mawar” dan “Melati” dengan “Bunga”, serta kata “Indah” dengan “Sifat”.

2. Analisis Hiponimi Lirik Lagu “Naik Delman” Naik Delman (Pak Kasur)

Pada hari minggu Ku turut Ayah ke kota Naik delman istimewa Ku duduk di muka

Ku duduk samping Pak kusir Yang sedang bekerja Mengendarai kuda supaya baik jalannya Hai tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tuk tik tak tik tuk tik tak Suara sepatu kuda

Tabel 2: Analisis Hiponimi

59

No Data Hiponim/Subordinate 1. 1 Minggu 2 1 Ayah 3. 1 Kota 4. 1 Delman 5. 1 Muka 6. 1 Samping 7. 1 Kusir 8. 1 Kuda 9. 1 Baik 10. 1 Sepatu

Konsep hiponimi pada judul lagu “Naik Delman” ternyata memiliki kata hiponim yang lebih banyak dibandingkan dengan lagu yang berjudul “Lihat Kebunku” pada analisis yang pertama, diantaranya yakni kata “Minggu” berhiponim dengan kata “Hari”, kata “Ayah” dengan “Orang Tua”, kata “Kota” dengan “Wilayah”, kata “Delman” dengan “Kendaraan”, kata “Muka” dan “Samping” berhiponim dengan kata “Arah”, kata “Kusir” dengan “Profesi”, kata “Kuda” dengan “hewan”, kata “Baik” dengan sifat”, dan kata “Sepatu” berhiponim dengan kata “Alas Kaki”.

3. Analisis Hiponimi Lirik Lagu “Kring-Kring Ada Sepeda” Kring-kring Ada Sepeda (Pak Kasur)

Kring-kring ada sepeda Sepedaku roda tiga Kudapat dari ayah Karena rajin belajar

Tok-tok-tok ada sepatu Sepatuku kulit lembu Kudapat dari ibu Karena rajin membantu

60

Tabel 3: Analisis Hiponimi No Data Hiponim/Subordinate 1. 2 Sepeda 2 1 Roda 3. 1 Tiga 4. 1 Ayah 5. 2 Rajin 6. 2 Sepatu 7. 1 Kulit 8. 1 Lembu

Pada analisis yang ketiga, peneliti mengambil sampel lagu “Kring-kring Ada Sepeda”, bentuk-bentuk hiponiminya, yakni Kata “Sepeda” berhiponim dengan kata “Kendaraan”, kata “Roda” dengan “Komponen kendaraan”, kata “Tiga” dengan “Angka”, kata Rajin “ dengan “sifat”, kata “Sepatu” dengan “Alas Kaki”, kata “Kulit” dengan “Anggota badan” dan kata “Lembu” dengan kata “Hewan”. Namun, dalam lirik lagu ini terdapat beberapa bentuk kata yang berulang-ulang, misalnya kata sepeda, rajin, dan sepatu, semuanya disebutkan dua kali dalam lirik lagu tersebut.

Kesimpulan Dari pernyataan beberapa ahli, bisa kita simpulkan bahwa hiponim adalah beberapa kata yang memiliki makna lebih sempit, yang mana makna tersebut merupakan bagian dari kata yang memiliki cakupan makna lebih luas. Dalam tiga lagu-lagu anak ciptaan Pak Kasur, yakni Lihat Kebunku, Naik Delman, dan Kring-kring Ada Sepeda. Maka hasil dari penelitian yang telah diteliti oleh peneliti terdapat 29 kata Hiponimi yang sebagian besar hubungan se arah.

DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Handayani, Rini. (2012). “Analisis Penanda Sinonimi Dan Hiponimi Pada Lagu Anak-anak Karya Ibu Sud” dalam Skripsi thesis Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Agustus 2012.

61

Masduki. (2013). “Relasi Makna (Sinonimi, Antonimi, dan Hiponimi) dan Seluk Beluknya” dalam Prosodi Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Universitas Trunojoyo, Madura, Vol 7, No 1, Januari 2013. Muhammad. (2011). Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: AR-Ruzz Media. Panggabean, Ance Juliet. (2013). “Suatu Kajian Tentang Pengetahuan Dasar dan Kegiatan Ketrampilan Seni Musik untuk Mengembangkan Potensi Musik Anak Usia Dini” dalam Majalan Ilmiah Universitas HKBP Nommensen, Medan, Vol 21, Hal. 1335-1350, Juni 2013. Pateda, Mansoer. (2001). Sematik Lekaikal. Jakarta: Asdi Mahastya. Sugandi, Ahmad, et al. (2016). “Analisis Penggunaan Lagu Anak-Anak Ciptaan Pak Kasur Sebagai Alternatif Pembuatan Bahan Pembelajaran Menulis Pantun Bagi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar” dalam Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, Serang, Vol 4, No 2. Taufiqurrochman. (2015). Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Maliki Press. Wahyu U, M. Supriyanto. (2014). “Kajian Semantik Penggunaan Hiponim dan Hipernim pada Judul Wacana dalam Koran Kompas Edisi September-Oktober 2013” dalam Skripsi thesis Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Agustus 2014.

62

PREFIKS DAN KELAS KATA DALAM BAHASA MAKASSAR SEBAGAI FITUR LINGUISTIK

Dedi Gunawan Saputra

Universitas Negeri Malang

Jalan Semarang Nomor 5

[email protected]

ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan data yang digunakan untuk menunjang pembahasan dalam makalah ini dikutip dari buku-buku bacaan yang berbahasa Makassar dan tuturan lisan masyarakat Makassar. Penelitin ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses afiksasi secara khusus pada prefiks dan beberapa kelas kata dalam bahasa Makassar sebagai fitur linguistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik simak catat dan teknik simak libat cakap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima belas prefiks dalam bahasa Makassar, yaitu: /ak-/, /aŋ-/, /si-/, /siŋ-/, /pa-/, .pak-/, /pi-/, /piŋ-/, /ni-/, /mak-/, /tak-/, /ku-/, /nu-/, /ki-/, /na-/, selain itu terdapat pula kelas kata dalam bahasa Makassar, meliputi: kana gauk, kana apa-apa, kana sipak, kana pappakasingarak, kana pakrekeng, kana passambe, kana pannyambung, kana pannyakbuk, kana dallekang, kana pakkutaknang, kana panjokjok Kata kunci: afiksasi, prefiks, kelas kata, fitur linguistik

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang di dalamnya mengkaji tentang penyelidikan bahasa secara ilmiah. Linguistik dapat dipelajari dengan berbagai maksud dan tujuan salah satunya adalah untuk mengetahui asal-usul sebuah bahasa serta fitur-fitur bahasa itu sendiri. Menurut Crystal (dalam Djajasudarma, 2010:29), linguistik pada saat sekarang tidak hanya mengumpulkan data secara sistematis, melainkan juga menyusun kaidah/formula sesuai dengan sasaran penelitian linguistik itu sendiri.

Bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara dan dijamin oleh undang-undang. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) alat penghubung antarwarga masyarakat daerah. Adapun dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah.

Di Sulawesi Selatan terdapat empat bahasa daerah, yaitu bahasa Bugis, bahasa Makassar, bahasa Toraja, dan bahasa Duri. Keempat bahasa daerah tersebut masih digunakan

63 sebagai alat komunikasi intradaerah atau intramasyarakat. Bahasa Makassar merupakan salah satu bahasa daerah di Sulawesi Selatan yang jumlah penuturnya cukup besar. Menurut Anceaux (dalam Dola, 2005:1), bahasa Makassar merupakan salah satu bahasa dari rumpun bahasa Indonesia dan tergolong rumpun bahasa Oseania yang dibawahi oleh rumpun Austronesia.

Menurut Daeng (2013:11), secara etimologis, kata “Makassar” berasal dari kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem, yaitu morfem terikat “mang” dan morfem bebas “kasarak”. Morfem terikat “mang” mengandung arti: (1) memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya, (2) menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya, sedangkan morfem bebas “kasarak” mengandung arti: (1) terang, nyata, jelas, (2) tampak (dari penjelmaan), (3) besar (lawan kecil atau halus). Berdasarkan tinjauan etimologis, kata “Mangkasarak” mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang. Secara terminologi, kata “Mangkasarak” mengandung arti: (1) nama suku bangsa bersama semangat kebudayaan yang dimilikinya termasuk bahasa yang dipakainya dalam pergaulan sehari-hari beserta daerah yang didiaminya yang terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan, (2) nama kerajaan yang terdapat di Indonesia bagian Timur yang puncak kejayaannya diletakkan oleh pahlawan nasional Sultan Hasanuddin, juga dinamai Kerajaan Gowa, (3) nama selat yang terletak di antara pulau Kalimantan atau pulau Sulawesi.

Metode

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan proses afiksasi secara khusus pada prefiks dan beberapa kelas kata dalam bahasa Makassar sebagai fitur linguistik. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dan data yang digunakan untuk menunjang pembahasan dalam makalah ini dikutip dari buku-buku bacaan yang berbahasa Makassar, dan tuturan lisan masyarakat Makassar. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah teknik baca, catat, dan teknik simak libat cakap.

Hasil dan Pembahasan

Afiksasi

Afiksasi (affixation) adalah proses atau hasil penambahan afiks pada akar, dasar, atau alas (Kridalaksana, 2008:3). Selain itu, Ramlan (2009:55), mendefinisikan afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Lubis (1994:2), mengemukakan bahwa afiks ialah morfem yang tidak mempunyai arti leksikal dan dapat melekat atau memasuki kata-kata lain sebagai prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran), dan konfiks (terbelah). Menurut Chaer (2008:27), dalam proses afiksasi sebuah afiks diimbuhkan pada bentuk dasar sehingga hasilnya menjadi sebuah kata. Berkenaan dengan jenis afiksnya, biasanya proses afiksasi itu dibedakan atas prefiksasi, yaitu proses pembubuhan prefiks, konfiksasi yakni proses

64 pembubuhan konfiks, sufiksasi yaitu proses pembubuhan sufiks dan infiksasi yakni proses pembubuhan infiks.

Dari berbagai pengertian tentang afiksasi yang dikemukakan oleh ahli-ahli bahasa dapat simpulkan bahwa afiksasi adalah proses yang berupa pembubuhan awalan, akhiran, sisipan, atau gabungan yang dapat melekat pada satuan-satuan lain dan membentuk suatu kata baru.

Afiksasi dalam Bahasa Makassar

Kata berimbuhan adalah kata yang sudah mengalami proses pengimbuhan, yaitu prefiks (awalan), sufiks (akhiran), infiks (sisipan), dan konfiks (kombinasi/imbuhan rangkap). Awalan dalam bahasa Makassar disebut pattamba ri olo, akhiran disebut pattambara ri boko, sisipan disebut pannyappik. Imbuhan selalu ditulis serangkai dengan kata yang diikutinya atau kata yang mengikutinya.

Prefiks

Prefiks (prefix) adalah afiks yang ditambahkan pada bagian depan pangkal. Prefiks dalam bahasa Makassar terdiri atas /ak-, aŋ-, si-, siŋ-, pa-, pak-, pi-, piŋ-, ni-, mak-, tak-, na-/ dan prefiks persona /ku-, nu-, ki-/.

1. Prefiks /ak-/ [a?-] Prefiks /ak-/ bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas /k, t, s, p, č/ maka konsonan /k/ atau [?] mengalami penggandaan. Contoh: (1) ak- + jappa → ajjappa „berjalan‟ (2) ak- + sassa → assassa „mencuci‟ (3) ak- + kelong → akkeloŋ „menyanyi‟ (4) ak- + cerak → accera? „berdarah‟ (5) ak- + towak → attowa? „melihat‟ Prefiks /ak-/ bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan vokal, maka ruas glotal pada prefiks tersebut melesap.

Contoh:

(6) ak- + oto → aoto „bermobil‟ 2. Prefiks /aŋ-/ [aŋ-] Prefiks /aŋ-/ bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan fonem /b, p, m/ maka bentuk /aŋ-/ berubah menjadi am-. Fonem /b/ dan /p/ di awal kata mengalami peluluhan menjadi fonem /m/. Jadi, fonem /m/ mengalami penggandaan. Contoh: (7) an- + bingkung → ammiŋkuŋ „mencangkul‟ (8) an- + pangkulu → ammaŋkulu? „memotong‟

65

(9) an- + mempo → ammempo „duduk‟ Jika diimbuhkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /n, j, r, n, t, s, dan k/, bentuk an- tetap menjadi an-. Fonem /t/ di awal kata pada umumnya luluh menjadi fonem /n/, fonem /s/ luluh menjadi fonem /n/, dan fonem /k/ luluh menjadi fonem /ŋ/.

Contoh:

(10) an- + jama → anjama „bekerja‟ (11) an- + takbang → anna?baŋ „menebang‟ (12) an- + korok → aŋoro? „meraut‟ (13) an- + sungke → annyuŋkẻ „membuka‟ Jika diimbuhkan pada dasar yang dimulai dengan fonem vokal, maka bentuk an- berubah menjadi aŋ-

Contoh:

(14) an- + ukiri → aŋukiri? „menulis‟ (15) an- + inung → aŋinuŋ „minum‟ (16) an- + alle → aŋallẻ „mengambil‟ 3. Prefiks /si-/ [si-] Prefiks /si-/ bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan maka tidak mengalami perubahan bentuk, tetapi bila diimbuhkan pada dasar yang berawalan vokal /i/ bertekanan, maka vokal /i/ pada prefiks tersebut akan menjadi elisi (hilang). Contoh: (17) si- + sare → sisarẻ „saling memberi‟ (18) si- + cinik → sicini? „saling melihat‟ (19) si- + isseŋ → sisseŋ „saling mengenal‟

4. Prefiks /siŋ-/ [siŋ-] Bila prefiks /siŋ-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan maka ruas konsonan /ŋ/ pada akhir prefiks akan berasimilasi regresif homogran dengan ruas awal dasar yang mengikutinya. Bila prefiks ini diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal, maka akan terjadi penyisipan nasal /ŋ/ di antara kedua ruas tersebut. Contoh: (20) siŋ- + bodo → simbodo „sama pendek‟ (21) siŋ- + tiŋgi → sintiŋgi „sama tinggi‟ (22) siŋ- + kapalak → siŋkapala? „sama tebal‟ 5. Prefiks /pa-/ [pa-]

66

Digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa pun, prefiks /pa-/ tidak mengalami perubahan bentuk, kecuali diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /a/ membentuk geminasi (penggandaan). Contoh: (23) pa- + pekaŋ → papekaŋ „pemancing‟ (24) pa- + lembarak → palẻmbara? „pemikul‟ (25) pa- + atorok → paatoro? „pengatur‟ 6. Prefiks /pak-/ [pa?-] Bila prefiks /pak-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan /p, t, c, k, s/ maka ruas glotal pada akhir prefiks tersebut berasimilasi dengan ruas-tuas /p, t, c, k, s/ menjadi geminasi (penggandaan). Contoh: (26) pak- + pasaŋ → pappasaŋ „pesan‟ (27) pak- + pakiok → pakkio? „panggilan‟ (28) pak- + sikkok → passikko? „pengikat‟ 7. Prefiks /pi-/ [pi-] Bila prefiks /pi-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan, maka tidak akan menimbulkan perubahan bentuk. Proses perubahan bentuk hanya akan timbul apabila prefiks ini diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /i/. Bila prefiks /pi-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /i/, maka ruas vokal /i/ pada akhir prefiks /pi/ akan bergabung dengan ruas vokal /i/ pada awal dasar, salah satu /i/ melesap (hilang). (29) pi- + naknak → pina?na? „perhatikan‟ (30) pi- + assalak → piassala? „usut‟ (31) pi- + issenŋ → pissẻŋ „beritahu‟ 8. Prefiks /piŋ-/ [piŋ-] Bila prefiks /piŋ-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan, maka akan terjadi proses asimilasi homogran. Bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal, maka akan terjadi penyisipan nasal /ŋ/ di antara prefiks dan dasar. Contoh: (32) piŋ- + tallu → pintallu „tiga kali‟ (33) piŋ- + salapaŋ → pinsalapaŋ „sembilan kali‟ (34) piŋ- + annaŋ → piŋannaŋ „enam kali‟ 9. Prefiks /ni-/ [ni-] Prefiks /ni-/ bila diimbuhkan dengan dasar yang berawal dengan vokal /i/ akan mengalami perubahan bentuk berupa penggabungan antara ruas vokal /i/ pada akhir prefiks dengan ruas vokal /i/ pada awal dasar, salah satu /i/ melesap. Bila prefiks ini

67

diimbuhkan pada dasar yang tidak berawal dengan ruas vokal /i/, maka tidak akan menimbulkan perubahan bentuk. Contoh: (35) ni- + balasak → nibalasa? „dibalas‟ (36) ni- + inuŋ → niinuŋ „diminum‟ (37) ni- + eraŋ → niẻraŋ „dibawa‟ (38) ni- + alle → niallẻ „diambil‟ 10. Prefiks /mak-/ [ma?-] Bila prefiks /mak-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan /p, t, c, k, s/, maka akan menimbulkan proses asimilasi regresif. Ruas glotal pada prefiks itu menjadi seciri dengan ruas konsonan /p, t, c, k, s/ pada awal dasar membentuk geminasi (penggandaan). Bila prefiks /mak-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal, maka ruas glotal pada akhir prefiks melesap (hilang). Contoh: (39) mak- + pikatu → mappikatu „berkirim‟ (40) mak- + bajik → ma?baji? „berdamai‟ (41) mak- + moncombulo → ma?moncombulo „menghijau‟ (42) mak- + eja → maẻja „memerah‟

11. Prefiks /tak-/ [ta?-] Bila prefiks /tak-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan /p, t, c, k, s/, maka akan terjadi proses perubahan bentuk seperti yang terjadi pada prefiks /ak-/, /pak-/, dan /mak-/, yaitu proses asimilasi regresif glotal pada akhir prefiks dengan ruas konsonan awal dasar. Demikian pula halnya bila prefiks /tak-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal, maka ruas glotal pada akhir prefiks tersebut akan melesap (hilang). Contoh: (43) tak- + pokarak → tappokara? „terbongkar‟ (44) tak- + kesok → takkẻso? „tergosok, tergesek‟ (45) tak- + sambila → tassambila „terlempar‟ (46) tak- + ukirik → taukiri? „tertulis‟ 12. Prefiks /ku-/ [ku-] Prefiks persona /ku-/ bila diimbuhkan pada dasar yang tidak berawal dengan ruas vokal /u/, maka tidak akan mengalami perubahan bentuk. Tetapi, bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /u/, maka ruas vokal /u/ pada akhir prefiks akan bergabung dengan ruas vokal /u/ pada awal dasar, salah satu vokal /u/ melesap. Contoh: (47) ku- + palak → kupala? „kuminta‟

68

(48) ku- + inraŋ → kuinraŋ „kupinjam‟ (49) ku- + ukirik → kukiri? „kutulis‟ 13. Prefiks /nu-/ [nu-] Prefiks persona /nu-/ hanya akan mengalami perubahan bentuk bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /u/. Bila prefiks persona /nu-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /u/, maka ruas vokal /u/ pada akhir prefiks tersebut akan bergabung dengan ruas vokal /u/ pada awal dasar, salah satu vokal /u/ melesap. Contoh: (50) nu- + palak → nupala? „kauminta‟ (51) nu- + suro → nusuro „kausuruh‟ (52) nu- + ukirik → nukiri? „kautulis‟ (53) nu- + alle → nuallẻ „kauambil‟

14. Prefiks /ki-/ [ki-] Prefiks persona /ki-/ bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /i/, maka ruas vokal /i/ pada akhir prefiks tersebut akan melesap di depan ruas vokal /i/ pada awal morfem dasar (pangkal). Tetapi, bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas yang bukan ruas /i/, maka tidak akan mengalami perubahan bentuk. Contoh: (54) ki- + kana → kikana „Anda berkata‟ (55) ki- + ŋai → kiŋai „Anda suka‟ (56) ki- + inraŋ → kiinraŋ „Anda pinjam‟ (57) ki- + alle → kiallẻ „Anda ambil‟ 15. Prefiks /na-/ [na-] Prefiks persona /na-/ tidak akan mengubah bentuk bila diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas konsonan dan ruas vokal yang bukan /a/. Bila prefiks persona /na-/ diimbuhkan pada dasar yang berawal dengan ruas vokal /a/, maka ruas vokal /a/ pada akhir prefiks /na-/ akan melesap di depan ruas awal morfem dasar. Contoh: (58) na- + palak → napala? „dia minta‟ (59) na- + tarima → natarima „dia terima‟ (60) na- + alle → naallẻ „dia ambil‟ (61) na- + kana → nakana „dia kata(kan)‟ (62) na- + inuŋ → nainuŋ „dia minum‟ (63) na- + ukirik → naukiri? „dia tulis‟

69

Kelas Kata

Kelas kata (word class) adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya; klasifikasi atas nomina, ajektiva, dsb. itu diperlukan untuk membuat pengungkapan kaidah gramatika secara lebih sederhana (Kridalaksana, 2008:116). Dalam ilmu bahasa (linguistik), kata dikelompokkan berdasarkan bentuk serta perilakunya. Kata yang mempunyai bentuk serta perilaku yang sama, atau mirip, dimasukkan ke dalam satu kelompok, sedangkan kata lain yang bentuk dan perilakunya sama atau mirip dengan sesamanya, tetapi berbeda dengan kelompok yang pertama, dimasukkan ke dalam kelompok yang lain. Dengan kata lain, kata dapat dibedakan berdasarkan kategori atau kelas kata (Alwi, dkk., 2003:35).

Dari kedua pengertian tentang kelas kata (kategori kata) yang disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kata-kata memiliki karakter, ciri, atau sifat yang berbeda, sehingga dalam linguistik dilakukan klasifikasi, penggolongan atau kategorisasi kata-kata. Dalam hal ini kata-kata yang mempunyai karakter, ciri, atau kategori yang sama dimasukkan ke dalam satu kelas atau kelompok yang sama.

Kelas Kata dalam Bahasa Makassar

Dalam sejarah linguistik, kelas kata atau kategori selalu menjadi topik pembicaraan. Hal ini terjadi karena setiap bahasa mempunyai ciri tersendiri. Pembahasan tentang kelas kata bahasa Makassar dianggap sangat penting karena dengan mengenal kelas kata, pembicara dapat memprediksi penggunaan kata itu di dalam ujaran. Adapun kelas kata yang dibahas dalam makalah ini sebagai berikut.

1. Kana Gauk (Kata Kerja) Pembagian kana gauk (kata kerja) dalam bahasa Makassar dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: (1) dari segi bentuknya, contoh: tinro (tidur), bolik (simpan), balli (beli), akkelong (menanyi), assassa (mencuci), appikkirik (berpikir), takmuri-muri (berseri-seri), (2) dari segi argumennya, contoh: bassorok (kenyang), cipuruk (lapar), akbalu (menjual), annyamballe (menyembelih), (3) dilihat dari interaksi antara nomina pendampingnya, contoh: sitakgalak (saling memegang), sikamaseang (saling mengasihani), sikatutui (saling menjaga), (4) dilihat dari sudut referensi argumennya, contoh: accarammeng (bercermin), accukkuruk (mencukur), akbaju (memakai baju), amballei (mengobati), appabangung (membangunkan). 2. Kana Apa-apa (Kata Benda) Kana apa-apa ialah kata-kata yang menyatakan benda, yaitu segala sesuatu yang ada di alam ini, baik yang nyata maupun yang tidak nyata tetapi dapat dirasakan. Contoh: tau (manusia), tedong (kerbau), lamung-lamung (tanaman), ballak (rumah), lipak (sarung), bokbok (buku), kabajikang (kebaikan), pakkalumannyanggang (kekayaan). Menurut Nothofer (dalam Mahsun, 2014:198), bahwa pemarkah dalam bahasa- bahasa Austronesia, berwujud *nia, yang refleksnya dalam bahasa-bahasa turunan dapat bervariasi. Dalam bahasa Makassar pada kategori kana apa-apa (kata benda), pemarkah itu

70 dapat muncul sebagai *na, contoh: ballak na Sanusi „rumah milik Sanusi‟, kallik na Baco „pagar milik Baco‟, baju na Hasanuddin „baju milik Hasanuddin‟, bapak na Besse „bapak milik Besse. 3. Kana Sipak (Kata Sifat) Kana sipak adalah kata yang menyatakan sifat atau hal suatu benda, contoh: gakgah (cantik), gammarak (gagah), carakdek (cerdas), tolo (bodoh), kuttu (malas), ballorang (penakut), singarak (terang), sassang (gelap), lompo (besar), cakdi (kecil), bajik (baik), kodi (buruk), lambusuk (jujur), jekkong (curang). 4. Kana Pappakasingarak (Kata Keadaan) Kana pappakasingarak adalah kategori yang berfungsi sebagai keterangan pada kata lain, contoh: sangging (sering), lekbak (telah berlalu). 5. Kana Pakrekeng (Kata Bilangan) Kana pakrekeng adalah kata yang menyatakan bilangan, baik bilangan tentu maupun tidak tentu, contoh: sekre (satu), rua (dua), tallu (tiga), appak (empat), lima (lima), annang (enam), tuju (tujuh), sagantuju (delapan), salapang (sembilan), sampulo (sepuluh), sibilangngang (seratus), limambilangngang (lima ratus), sisakbu (seribu), tawa ruanna (seperdua), tawa sampulo (sepersepuluh). 6. Kana Passambe (Kata Ganti) Kana passambe adalah kata yang menggantikan nama, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Contoh: kata ganti diri pertama, tunggal nakke (saya), jamak kambe (kita), kata ganti diri kedua, katte (Anda), kau (kamu), keknang (mereka), kata ganti diri ketiga, ia (ia, dia). 7. Kana Pannyambung (Kata Penghubung) Kana pannyambung adalah kata yang berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau antarparagraf. Contoh: sabak (sebab), jari (jadi), punna (jika), nampa (lalu), mingka (karena). 8. Kana Pannyakbuk (Kata Sandang) Kana pannyakbuk adalah kategori yang mendampingi nomina dasar. Ada tiga jenis kana pannyakbuk yang digunakan dalam bahasa Makassar, yaitu: i digunakan untuk mendampingi nomina persona, pung digunakan untuk mendampingi satwa, dan daeng digunakan untuk mendampingi gelar atau menggantikan kata ganti orang. 9. Kana Dallekang (Kata Depan) Kana dallekang adalah kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina). Contoh: ri (di), battu (dari) 10. Kana Pakkutaknang (Kata Tanya) Kana pakkutaknang adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui pembicara. Contoh: ke mae (di mana), inai (siapa), ringngapanna (kapan), apayya (apa), kereya (yang mana), siapa (berapa), antekamma (bagaimana), anngapa (mengapa).

71

11. Kana Panjokjok (Kata Penunjuk) Kana panjokjok adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu di dalam maupun di luar wacana. Contoh: anne (ini), anjo (itu), anrinni (di sini), anjoreng (di sana).

Penutup

Afiksasi adalah proses yang berupa pembubuhan awalan, akhiran, sisipan, atau gabungan yang dapat melekat pada satuan-satuan lain dan membentuk suatu kata baru. Proses pembubuhan awalan (prefiks) dalam bahasa Makassar dikenal dengan istilah pattamba ri olo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima belas prefiks dalam bahasa Makassar, yaitu: /ak-/, /aŋ-/, /si-/, /siŋ-/, /pa-/, .pak-/, /pi-/, /piŋ-/, /ni-/, /mak-/, /tak-/, /ku-/, /nu-/, /ki-/, /na-/, selain itu terdapat pula kelas kata dalam bahasa Makassar, meliputi: kana gauk (kata kerja), kana apa-apa (kata benda), kana sipak (kata sifat), kana pappakasingarak (kata keadaan), kana pakrekeng (kata bilangan), kana passambe (kata ganti), kana pannyambung (kata hubung), kana pannyakbuk (kata sandang), kana dallekang (kata depan), kana pakkutaknang (kata tanya), kana panjokjok (kata penunjuk).

DAFTAR RUJUKAN

Alwi, H, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indoesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, A. (2008). Morfologi Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.

Daeng, Kembong dan Bachtiar Syamsuddin. (2013). Bahasa dan Sastra Makassar. Bahan Ajar. Makassar: FBS Universitas Negeri Makassar.

Dola, A. (2005). Fonologi Generatif Bahasa Makassar. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Djajasudarma, T. Fatimah. (2010). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.

Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, A. Hamid Hasan. (1994). Glosarium Bahasa dan Sastra. Bandung: Angkasa.

Mahsun. (2014). Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ramlan. (2009). Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.

72

ANALISIS TINDAK TUTUR ILOKUSI

DALAM DIALOG FILM SURGA YANG TAK DIRINDUKAN 2

Himami Maulidul Hasanah Firdausiyah Jurusan Bahasa dan Satra Arab - Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Mlang Email: [email protected]

Dien Nur Chotimah Jurusan Bahasa dan Satra Arab - Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Mlang Email: [email protected]

ABSTRAK This study’s aims are to find the types of speech act and it form in the dialogue of Surga Yang Tak Dirindukan 2 movie. Speech act is a part of pragmatic analysis that concern about use meaning of participants in the conversation. According to John R. Searle’s theory, there are three types of speech act. And the focus of this study is illocutionary act. This theory is implemented in the dialogue of Surga Yang Tak Dirindukan 2 movie. Using qualitative methode and description, this study get the results: assertive speech act on 9 dialogues, directives speech act on one dialogue, commisive speech act on 3 dialogues, expressive speech act on 8 dialogues, declarative speech act on 7 dialogues. Keywords: speech act, film, illocutionary act

Karya sastra memiliki 3 jenis pembagian, secara garis besar dibagi menjadi tiga jenis yakni prosa, puisi dan drama. Menurut Arifin (dalam Sehandi, 2016:66) Secara umum karya sastra drama (teater) diartikan sebagai salah satu jenis (genre) karya sastra yang berbentuk cerita yang diperagakan dengan gerak dan suara dengan aksentuasi dialog (percakapan) yang disampaikan kepada penonton Seiring dengan perkembangan zaman, banyak istilah mengenai drama ini. Kemudian muncullah istilah film dan sinetron. Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu.

Dewasa ini film telah menjadi sebuah media yang sangat berpengaruh, khususnya pada anak-anak. Karena sifatnya yang audio visual, tidak jarang film membuat hanyut dan mempengaruhi penontonnya karena apa yang disampaikan didalamnya. Didalam film, terkandung banyak muatan pesan, seperti hiburan, pendidikan, agama, moral baik dan buruk

73 dan lain sebagainya. Pesan tersebut disampaikan lewat tindakan pemain film serta perkataannya.

Semakin bertambahnya masa, filmpun semakin banyak macamnya, yang tak lain dirancang untuk keperluan publik. Begitu juga dalam proses pembuatannya, cerita dalam film memerlukan beberapa teknis dan proses pemikiran seperti halnya mencari ide gagasan dan menemukan tahap-tahap alur cerita, sedangkan proses teknis berupa kreatifitas penulis naskah atau sutradara untuk menjadikan film tersebut siap ditonton sebab ide, gagasan dan cerita yang menarik didalamnya.

Didalam KBBI Edisi Kelima yang diterbitkan oleh Badan Bahasa, Kemendikbud. Bahwa pengertian film adalah ; 1. Selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif yang kemudian akan menjadi sebuah potret atau untuk gambar positif yang akan dimainkan di bioskop ; 2. Film adalah lakon (cerita) gambar hidup.

Salah satu film yang cukup memberikan kontribusi pada tanah air adalah film Surga Yang Tak Dirindukan 2 kelanjutan dari film Surga Yang Tak Dirindukan pertama. Hal itu terbukti dengan pencapaian film yang dibintangi Fedi Nuril dan Laudya Cyntia Bella ini berhasil menembus 1,5 juta penonton.

Didalam film tersebut mengisahkan pergulatan hati Meirose (Raline Shah) yang mendapati keraguan dalam pilihan hidupnya ketika bertemu Arini (Laudya Cyntia Bella). Apalagi ditambah Arini yang sangat tulus menyayangi Akbar, anak Meirose. Dan berharap agar Meirose kembali pada Pras (Fedi Nuril) dengan maksud tertentu. Setelah Pras hadir kembali, Meirose tidak dapat memungkiri bahwa dirinya masih saja mencintai pria tersebut. Meirose bingung untuk melangkah mengambil keputusan. Ditengah kebimbangannya itu, muncul pula kehadiran dokter Syarief (Reza Rahadian) yang amat mencintai Meirose dan berharap untuk dapat menikahinya. Disisi lain, ada sosok Arini yang sangat mengharapkan Meirose dapat kembali pada suaminya, agar dapat menggantikan sosoknya jika nanti memang benar bahwa penyakit yang dideritanya akan membuat ia meninggalkan Pras untuk selamanya

Menurut Dardjowojojo, setiap percakapan yang dilakukan oleh para tokoh dalam film ini tidak lepas dari aspek komunikasi. Komunikasi merupakan sistem simbol lisan yang bersifat arbiter yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat bahasa untuk berinteraksi antar sesama (Dardjowojojo, 2008:16)

74

Aspek komunikasi dalam setiap percakapan didalam film sangat erat kaitannya dengan (speech situations) yang terkait dengan tindak tutur pragmatik. Dalam hal ini tindak tutur adalah tindakan seseorang yang disertai dengan tuturan, atau tindakan yang dipengaruhi oleh tuturan, baik tuturan sendiri atau tuturan dari lawan tutur. Maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana antar tokoh dalam film Surga Yang Tak Dirindukan 2 berdialog, sebagai berikut:

Hartono : Mana Pras?

Arini : Mas Pras lagi kerumah sakit. Tadi katanya lagi nolong org yang lagi kecelakaan

Hartono : Perempuan?

Arini : (mengangguk)

Hartono : Aduuuh. kamu kok tenang tenang aja sih, kalo kejadian lagi gimana?

Tuturan dalam dialog tersebut merupakan tindak tutur, dimana seseorang merujuk pada kejadian yang bersifat psikologis di masa lalu. Penutur (Hartono) sedang menanyakan Perihal suami Arini (lawan tutur) yang tidak ikut mengantarkannya ke bandara. Lalu lawan tutur memberi jawaban dan jawaban tersebut adalah merupakan kejadian kelam yang sempat dialami Arini dan sangat membuat kondisi psikologisnya kacau di masa lalu. Dan respon lawan tutur dinyatakan dengan kata “aduuuh” yang berartikan bahwasanya kekhawatiran akan suatu kejadian bisa terjadi lagi. Berdasarkan paparan diatas terdapat tuturan yang mengandung tindak tutur ilokusi, yang dapat dilihat dari tuturan para tokoh tersebut.

Didalam penelitian film surga yang tak dirindukan 2 ini, peneliti mencoba menguraikan aspek pragmatiknya yang berupa tuturan yakni tindak tutur. Ditemukan banyak dialog tokoh pada film surga yang tak dirindukan 2 yang berupa tuturan ilokusi dengan beberapa penanda, seperti aspek linguistiknya, kesopansantunannya, gaya bahasa, mimik wajah, dan isyarat.

Dalam aspek teori, teori tindak tutur yang digunakan dalam penelitian ini adalah tindak tutur ilokusi. Tindak tutur ilokusi (The Act of Doing Something) adalah sebuah tuturan selain untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu juga dapat dipergunakan untuk melakukan sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara saksama (Wijana, 1996:18)

75

John R. Searle membagi tindak tutur ke dalam lima bentuk tuturan yang memiliki fungsi komunikatif tersendiri pada tiap bagiannya, sebagai berikut:

a) Asertif (Assertives) Tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang dituturkan. Adapun yang termasuk dalam jenis tindak tutur adalah menyatakan, memberitahukan, menuntut, membanggakan, melaporkan, mengeluh, mengusulkan, mengklaim, tindak tutur ini biasa disebut dengan representatif. b) Direktif (Directives) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan tersebut. Adapun yang termasuk kedalam kategori tindak tutur ini antara lain meminta, memerintah, memohon, menyarankan, menasehati. c) Komisif (Commissives) Tindak tutur yang melibatkan penuturnya pada tindakan yang akan datang seperti berjanji, bersumpah, menawarkan, memanjatkan (Doa) . d) Ekspresif (Ekspressives) Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penuturnya terhadap suatu keadaan, seperti berterima kasih, meminta maaf, memuji, menyalahkan, mengucapkan selamat, memaafkan dan berbelasungkawa. e) Deklaratif (Declaration) Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan suatu hal yang baru (Status, keadaan, sebainya). Keberhasilan pelaksanaan ilokusi ini akan menimbulkan kesesuaian antara isi proporsi dengan realitas, misalnya menyerahkan diri (berpasrah), memecat, membebaskan, membaptis, menamai, mengucilkan, mengangkut, menunjuk, menentukan, menjatuhkan hukuman.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yang sifatnya deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini mampu memberikan gambaran secermat mungkin objek menjadi penulisan mengenai suatu individu keadaan bahasa dan gejala sosial pada kelompok tertentu. Deskriptif disini menyarankan bahwa penulisan penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta

76 atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga data yang dihasilkan berupa perian bahasa yang sifatnya seperti potret paparan apa adanya (Sudaryanto, 1993:62)

Sedangkan pengumpulan data yang digunakan dalam penetian ini menggunakan metode simak-catat. Dalam sesi pertama, peneliti mengumpulkan data dengan cara menonton, yang didalamnya terdapat aktivitas menyimak tuturan para tokoh pada film surga yang tak dirindukan 2 yang diputar melalui VLC Media Player. Melihat dan mengamati secara langsung untuk mengetahui apakah aspek komunikasi yang terjadi didalam film tersebut, apakah jenis tindak tutur ilokusi yang ada dalam dialog film tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan mencatat sebagai lanjutan dari aktivitas menyimak. Tehnik catat adalah aktivitas yang dilakukan untuk memilih dan memetakan catatan hasil penyimakan ke dalam data.

Hasil dan Pembahasan

Dibawah ini akan dipaparkan hasil analisis data yang dihasilkan oleh peneliti, sebagai pembahasan permasalahan dalam penelitian film surga yang tak dirindukan 2. Yang meliputi jenis tindak tutur ilokusi dalam dialog film tersebut. Berikut adalan uraian hasil analisis data penelitian, sebagai berikut. a) Tindak Tutur Asertif Tindak tutur asertif ialah Tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang dituturkan”, misalnya memberitahukan. Tindak tutur memberitahukan adalah tindak tutur yang mengungkapkan suatu keadaan yang sedang dialami penutur. Dalam tuturan asertif ini di paparkan terdapat tuturan asertif sebanyak 9 tuturan yang meliputi tuturan memberitahukan sebanyak 3 tuturan, mengusulkan 2 tuturan, mengklaim 1 tuturan, melaporkan 1 tuturan, menyatakan 1 tuturan, dan membanggakan 1 tuturan.

Di dalam film tersebut, menggambarkan bahwa Pras yang tidak kunjung datang ketika istrinya (Arini) akan berangkat ke bandara sedangkan jadwal keberangkatan semakin dekat. Arini pun menelpon Pras dan menanyakan keberadaannya. Pras menjawab telefon dari Arini dan mengatakan bahwa ia sedang berada dirumah sakit. Kemudian tuturan Pras ini membuat Arini terkejut, ia meminta kejelasan dan memastikan bahwasanya yang ditolong Pras bukan lagi sosok perempuan, seperti kejadian dulu, lalu Pras memberitahukan yang sebenarnya agar Arini tidak khawatir.

1) Dialog (memberitahukan) :

77

Arini :Assalamualaikum mas, kamu uda sampe mana?

Pras :Rumah Sakit

Arini :Rumah Sakit (dengan mimik kaget), Kenapa mas, ada yang sakit?

Pras :Ngga aku ngga papa, Cuma tadi dijalan ada kecelakaan. Trus korbannya ....

Arini :Perempuan ?

Pras : Iya.

Arini :Tapi tenang aja keluarganya uda aku telfon, dan mereka sekarang menuju kesini

Penutur (Arini) terkejut ketika si mitra tutur (Pras) yang memberitahukan bahwasanya suaminya sedang berada dirumah sakit. Penutur mengungkapkan keterkejutannya dengan menanyakan kembali dan mengulang kata “rumah sakit?”. Tuturan pemberitahuan pertama oleh mitra tutur ditandai dengan tuturan “rumah sakit” yang berarti dia sedang berada di rumah sakit, dan tuturan pemberitahuan yang kedua bisa dilihat dengan kalimat “tapi tenang aja, keluarganya uda aku telfon, dan mereka sedang menuju kesini sekarang” yang merupakan cerminan bahwasanya mitra tutur sedang menenangkan si penutur agar tidak berfikir negatif sekaligus menyiratkan pemberitahuan bahwa sesuatu di masa lalu tidak akan terjadi lagi.

2) Dialog (mengklaim)

Arini : Berapa lama lagi umur saya dok, dua tahun? satu tahun?

Dr. Syarief : Tanpa perawatan bisa jadi lebih cepat

Di dalam dialog di atas diketahui bahwasanya penutur (Arini) mengidap kanker rahim stadium 4 yang telah menyerang sampai otak, dan Arini bertanya pada mitra tutur yakni dokter Syarief, “berapa lama lagi umur saya dok, dua tahun? satu tahun?” dokter Syarief pun menjawab dengan klaimannya berdasarkan hasil diagnosa yang sudah terdeteksi. Dengan mengatakan “tanpa perawatan bisa jadi lebih cepat” yang berarti bahwasanya jika penutur tidak mengikuti anjuran mitra tutur agar melakukan biopsi, usia penutur tidak akan lama lagi.

3) Dialog (menyatakan)

78

Nadia : Nadia sayang sama bunda

Arini : Bunda juga sayang sm nadia

(berpelukan)

Di ilustrasikan, sang penutur (anak Arini) menyatakan perasaannya kepada mitra tutur (bundanya), “nadia sayang sama bunda“ bahwasanya ia menyayangi bundanya, yang tersirat dalam kalimat tersebut adalah ia tidak mau kehilangan bundanya akibat kanker yang diderita. Lalu Arini membalas dengan kalimat yang sama.

4) Dialog (mengusulkan)

Nadia : Gimana kalo kita belanja aja, terus masak disini

Meirose : Bisa juga, gimana mbak?

Arini : Pinter banget si anak bunda

Meirose : Oke

Dalam dialog tersebut, ketika itu Arini sedang berada di rumah Meyrose, dan sedang membicarakan kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya. Arini mengajak Meyrose dan Akbar untuk pergi makan dengan tujuan agar lebih mengakrabkan mereka lagi. Namun si penutur (Nadia) memilih untuk memasak saja. Kalimat mengusulkan ditandai dengan kalimat “gimana kalo kita belanja aja, trus masak disini”.

5) Dialog (membanggakan)

Arini : Aku jadiin satu disitu tu, nah, itu ada shampo, sabun, sabun cuci muka. kamu bete kan kalo sehari ga cuci muka

Pras : Ini cuma kamu yang bisa begini sayang, ga tau gimana jadinya kalo kamu ga ada di hidupku

Arini : Sssstt, ga bole ngomong kayak gitu, semuanya uda aku catet dalam buku, jadi kamu ngga bergantung lagi sm aku.

Sebelumnya dikronologikan bahwa Pras sedang mencari alat mandi nya, kemudian penutur (Arini) mengatakan bahwasanya ia telah mempacking alat mandi Pras didalam tas. Mitra tutur pun mengutarakan perasaan bangganya sebagai suami Arini “ini cuma kamu yang

79 bisa begini sayang, ga tau gimana jadinya kalo kamu ga ada di hidupku” secara tidak langsung tuturan tersebut menandakan sebuah uangkapan perasaan saja, namun terkandung kebanggaan pada diri Pras.

6) Dialog (melaporkan)

Dr. Syarief : Mas pras, mbak arini sudah bisa ditemui

Didalam dialog diatas, dikronologikan sebelumnya bahwa Arini sedang berada di rumah sakit karna kanker yang dideritanya, Pras menunggu diluar ruangan, tempat Arini dirawat. Lalu, penutur keluar dan melaporkan bahwasanya Arini sudah bisa ditemui karna keadaannya yang sudah diperiksa oleh dr. Syarief. Ditandai dengan kalimat “mas Pras, mbak Arini sudah bisa ditemui”. b. Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif ialah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan didalam tuturan tersebut, misalnya menasehati. Tindak tutur menasehati adalah tuturan yang memberikan nasehat atau tuturan yang mengandung suruhan akan suatu hal demi kebaikan si mitra tutur. Didalam tuturan direktif ini diketahui hanya ada satu tuturan yang meliputi tindak tutur menasehati.

Digambarkan oleh seorang pramugari yang menyuruh Arini untuk memasuki area pemberangkatan, lalu Pras meminta waktu sebentar kepada pramugari tersebut, untuk ia mengatakan suatu hal kepada Arini.

1) Dialog (menasehati)

Pramugari : Sudah waktunya bu

Pras : Sebentar ya, (tuturan kepada Pramugari)

kamu jaga kesehatan ya, jangan capek-capek, jangan lupa minum vitamin ya

Arini : Inshaa Allah mas.

Penutur (Pras) menasehati Arini istrinya untuk selalu menjaga kesehatan, ditandai dengan kalimat tuturan “kamu jaga kesehatan ya, jangan capek-capek, jangan lupa minum

80 vitamin ya” Karna suaminya lebih tau kondisi fisik Arini dan apa saja yang harus ia atur ketika berada diluar negeri tanpa pengawasan suaminya. Tuturan menasehati disini ditandai dengan kata “Jaga, Jangan, dan Jangan lupa”. Kata tersebut mengandung unsur nasehat agar melakukan hal yang dikatakan oleh penutur.

c. Tindak Tutur Komisif

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang melibatkan penuturnya pada tindakan yang akan datang, misalnya berjanji. Tindak tutur berjanji adalah tuturan yang menuturkan bahwa sebuah ujaran yang dinyatakan untuk memenuhi suatu hal yang telah ditutur kan, di masa yang akan datang. Didalam data yang diperoleh, peneliti menemukan tuturan komisif dalam film ini sebanyak 3 tuturan yang meliputi berjanji sebanyak 1 tuturan dan menawarkan sebanyak 2 tuturan.

1) Dialog (berjanji) :

Nadia : Nadia janjii ga akan nakal lagi, nadia akan denger semua kata-kata bunda (menangis)

Arini : Nadia ga nakal kok, sini sini coba lihat bunda,

Digambarkan bahwasanya Nadia sebagai penutur menyesali akan perbuatannya yang telah menakutnakuti bundanya, yang berefek pada kekagetan yang luar biasa dan mengakibatkan penyakit jantungnya kambuh, lalu pada saat bundanya (mitra tutur) berada dirumah sakit, Nadia berjanji tidak akan melakukan perbuatan nakalnya lagi yang berujung buruk pada Arini. Penyesalan di iringi dengan uajaran janji yang ditandai dengan kalimat “nadia janji ga akan nakal lagi, nadia akan denger semua kata-kata bunda” yang di katakan oleh penutur.

2) Dialog (menawarkan)

Pras : Ada masjid di sekitar sini dok?

Dr. syarief : Ada, masjid Dar As-salam sekitar sini, mau saya antar?

81

Di ilustrasikan penutur (Pras) ingin melakukan solat, kemudian bertanya pada dr. Syarief dimana ada masjid. Kemudian dr. Syarief menjawab bahwa didekat sini ada masjid dan menawarkan untuk mengantarkan Pras ke masjid tersebut. Kalimat menawarkan ditandai dengan kalimat pertanyaan “mau saya antar?”. yang dituturkan oleh dr. Syarief. d. Tindak Tutur Ekspresif

Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penuturnya terhadap suatu keadaan, misalnya Berterimakasih. Tindak tutur berterimakasih adalah tuturan yang menyatakan pengungkapan rasa syukur dan balas budi atas apa yang di lakukan mitra tutur setelah melakukan atau memberi suatu yang di inginkan, dan berupa kebaikan. Dalam data yang di peroleh, ditemukan tindak tutur ekspresif sebanyak 15 tuturan yang meliputi berterimakasih 2 tuturan, memuji 2 tuturan, menyalahkan 2 tuturan, meminta maaf 1 tuturan, dan berbela sungkawa 1 tuturan.

Disini, dr. Syarief sebagi penutur, mengucapkan terimakasih secara langsung kepada mitra tutur atas apa yang telah dilakukan olehnya.

1) Dialog (berterimakasih)

Dr.Syarief :Saya mengucapkan terimakasih untuk mbak Arini, karna telah mengabulkan impian dari Mikhola

Arini :Mimpi?

Dr. Syarief :Mikhola sangat mengagumi buku istana bintang, dan setiap kali proses kemotheraphy berlangsung, dia selalu ingin dibacakan buku tersebut. Permintaan terakhirnya adalah agar bisa bertemu dengan penulisnya, untuk sebab itu kenapa saya menemui mbak Arini. Sekali lagi terimakasih. Mari.

Penutur (dr. Syarief) mengucapkan terimakasih kepada mitra tutur (Arini) karena telah mengabulkan permintaannya yang tidak lain hanya sebagai perantara penyambung impian pasiennya (Mikhola) bahwa mikhola sangat ingin di bacakan buku “Place of Stars” karya Arini ini oleh penulisnya sendiri. Dengan itu dr. Syarief mengucapkan terimakasih kepada Arini karna telah bersedia datang untuk membacakannya sebelum mikhola meninggal dunia. Ditandai dengan kalimat “Saya mengucapkan terimakasih untuk mbak Arini, karna telah mengabulkan impian dari Mikhola”.

82

2) Dialog (memuji)

Dr. Syarief : Juwitaku yang cantik, tanpa dandanan, hidupku terbuka untukmu. Momen moment ini tanpa puisi rendra itu tidak akan lengkap

Meirose : Pintar kamu

Dalam dialog digambarkan bahwasanya dr. Syarief yang ketika itu sedang memberikan sebuah kejutan kepada teman specialnya yakni Meyrose, dengan di iringi pujian. Ditandai dengan kalimat “ Juwitaku yang cantik” yang bemaksud memuji paras yang dimiliki oleh Meyrose.

3) Dialog (menyalahkan)

Pras : Kenapa saya bisa tidak tau keadaan istri saya sendiri

Dr. Syarief : Tidak perlu menyalahkan diri sendiri mas, kami disini bisa berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan mbak arini

Digambarkan bahwasanya, penutur (Pras) yang sangat kesal dan menyalahkan diri sendiri karna sebagai suami ia tidak peka dan tidak sadar penyakit apa yang dimiliki istrinya. Kalimat kekesalan itu di utarakan kepada dokter Syarief “kenapa saya bisa tidak tau keadaan istri saya sendiri” sembari memegang kepala dengan penuh kekesalan.

4) Dialog (meminta maaf )

Nadia : Ayaaaah ayaaaah

Pras : Nadiia, nadia tuaan putri, (berpelukan) maafin ayah telat ya sayang

Nadia : Ayah ngga telah kok tapi tepat

Digambarkan bahwasanya penutur (Nadia) sangat gembira ketika ayahnya dapat menyusulnya ke bandara sebelum keberangkatan. Kemudian sambil berteriak ia memanggil “ayaaaah ayaaaah” kemudian Pras meminta maaf atas apa keterlambatannya untuk menemani di bandara hingga keberangkatan. Ditandai dengan kalimat “maafin ayah telat ya sayang” yang meminta maaf kepada putrinya

5) Dialog (berbela sungkawa)

83

Meyrose : Setelah berbulan bulan di Jakarta aku berhasil email ayahku, aku kaget ternyata dia di Hungaria

Arini : Boleh aku ketemu sama ayahmu?

Meyrose : Iya sayangnya ayahku uda meinggal mbak, setahun yang lalu.

Arini : Ooh, aku turut berduka cita

Pada kejadian di atas Meyrose sebagai penutur menceritakan bahwa ketika ia telah tinggal berbulan-bulan di Jakarta, ia berhasil mengirimkan E-mail ayahnya. Ternyata ayah Meyrose berada di Hungaria, kemudian mitra tutur (Arini) ingin menemui ayah Meyrose, dan ia memberikan pernyataan bahwa ayahnya telah meninggal setahun yang lalu. Arini sebagai mitra tutur menyatakan “aku turut berduka cita”. Yang berarti berbela sungkawa, karna berduka cita adalah persamaan berbela sungka. e. Tindak Tutur Deklaratif

Tindak Tutur Deklaratif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan suatu hal yang baru (status, keadaan, sebagainya), misalnya Berpasrah diri. Tindak tutur menyerah diri atau berpasrah adalah tindak tutur yang menyatakan bahwasanya seseorang sedang memasrahkan keadaan kepada yang berhak menentukan takdir. Dan tindak tutur deklaratif ini di temukan sebanyak 7 tuturan yang meliputi, tuturan menyerah diri 1 tuturan, mengucilkan 2 tuturan, menentukan 1 tuturan, menamai 1 tuturan dan menunjukkan 2 tuturan.

Pada dialog dibawah ini sosok dr. Syarief tengah memberikan opsi untuk melakukan perawatan prosedural yakni biopsy untuk mengetahui lebih lanjut tentang penyakit si mitra tutur. Namun mitra tutur menolaknya.

1) Dialog (menyerah diri, pasrah)

Dr. Syarief :Tanpa perawatan bisa jadi lebih cepat, oleh sebab itu saya perlu melakukan prosedural biopsy untuk mengetahui lebih lanjut

Arini :Tidak, tolong dokter, saya tidak mau melakukan itu, saya tidak mau melakukan biopsy, saya sudah melakukan beberapa proses penyembuhan dokter, dan saya tidak mau melakukan seperti itu lagi

84

Dr. Syarief :Saya mohon mbak Arini tidak menyerah. Dan terus melawan.

Arini :Saya tidak mau melawan takdir Allah

Penutur (dr. Syarief) merupakan seorang dokter ahli bedah yang bertempat di Hungaria, tengah memberikan opsi kepada pasiennya yang merupakan mitra tutur bahwasanya baiknya dilakukan perawatan lebih lanjut yakni prosedural biopsy agar dapat diketahui lebih lanjut. Namun mitra tutur melakukan penolakan bahwasanya mitra tutur tidak ingin melakukan proses penyembuhan lain karna sudah terlalu banyak proses penyembuhan yang sudah ia lakukan. Lalu dr. Syarief menguatkan, memohon agar tidak menyerah melawan kanker yang sedang di idapnya, namun mitra tutur menolaknya dengan kalimat kepasrahan kepada Allah SWT “saya tidak mau melawan takdir Allah” yang berarti si mitra tutur tetap menolak melakukan prosedural biopsy dan memilih untuk memasrahkan kesembuhannya kepada Allah SWT.

2) Dialog (mengucilkan)

Amran :Sayang, kok bau kamu beda ya (dalam keadaan tidak sadar memeluk Panji)

Panji : Iya mas, abis kerokan

Amran :Pantesan bau mayat, eh ente siapa meluk gue

Panji : Ya ente nyosor-nyosor

Dalam kejadian tersebut di kronologikan bahwa Amran sebagai penutur yang selalu mengidam-idamkan Sheila sang pujaan hati, terlalu terobsesi dengan kehadiran Sheila sehingga tak jarang ia membayangkan orang lain adalah Sheila. Nah pada keadaan tak sadarkan diri, ia sedang memeluk Panji yang ia bayangkan Sheila, kemudian ketika si mitra mengatakan “Abis kerokan” kemudian iya mengucilkan si Panji dengan mengatakan “Pantesan bau mayat”. Kemudian tersadar bahwa yang ia peluk bukanlah Sheila.

3) Dialog (menentukan)

Dr. Syarief : Kamu telah membuka mataku, jujur aku banyak belajar dari kamu,

Meirose : Kita masih harus sama-sama belajar, kamu tetep jadi imamku. Oke

85

Kejadian di atas di kronologikan bahwa dr. Syarief sebagai penutur yang telah mengenal Meyrose begitu lama, menyatakan bahwa Meyrose telah banyak membuka matanya dengan benyak belajar islam dari sosok Meyrose. Kemudian perasaan merendah itu di utarakan kepada Meyrose yang berarti ia kurang pantas untuk menjadi imamnya, disisi lain ia sangat mencintai Meyrose. Disitu pula si mitra tutur menentukan bahwa ia tetap memilih dr. Syarief sebagai calon pendampingnya, ditandai dengan kalimat akhir pada dialog tersebut “kamu tetep jadi imamku, oke”.

4) Dialog (menamai)

Arini : Kalian berdua ngapain sih dateng kesini

Teman Arini : Emang nya mau naek haji ya rame banget rombongannya

Hartono : Tanya aja sm tukang ta’aruf ini, kenapa dia maksa mau kesini

Di gambarkan dalam dialog diatas, seorang Arini yang agak heran kenapa keberangkatannya ke Hungaria didatangi oleh Hartono dan Amran di Bandara, kemudian teman Arini mengeluhkan keadaan dengan kalimat “Emang nya mau naek haji ya rame banget rombongannya”. Kemudian mitra tutur menyuruh teman Arini untuk bertanya pada Amran, ditandai dengan kalimat “Tanya aja sama tukang ta’aruf ini, kenapa dia maksa mau kesini” . didalam kalimat tersebut, Hartono menamai Amran sebagai tukang Ta‟aruf karna kebiasaanya yang selalu berganti ganti perempuan untuk dia ajak ta‟aruf. Di sisi lain, merujuk pada julukan “tukang ta‟aruf” bisa diindikasikan bahwa Amran ikut ke bandara untuk maksud tertentu.

5) Dialog (menunjuk)

Arini : Assalamualaikum

Panji : Waalaikumsalam, kamar sebelah sini, dapur sebelah sana. Bagaimana?

Dalam dialog tersebut, Arini, Sheila dan Nadia telah sampai di Budapest yang diantar oleh Panji sebagai guide, kemudian setelah sampai di apartemen, Arini sebagai penutur mengucapkan salam dan dibalas oleh Panji. Kemudian panji menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Arini serta dapur apartemen tersebut dengan kalimat “kamar sebelah sini, dapur sebelah sana”

86

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas ditemukan tuturan tindak tutur ilokusi sebanyak 28 tuturan dengan perincian sebagai berikut: Tindak Tutur Asertif sebanyak 9 tuturan yang meliputi tuturan memberitahukan sebanyak 3 tuturan, mengusulkan 2 tuturan, mengklaim 1 tuturan, melaporkan 1 tuturan, menyatakan 1 tuturan, dan membanggakan 1 tuturan. Tindak Tutur Direktif sebanyak 1 tuturan yang meliputi tidak tutur menasehati 1 tuturan. Tindak Tutur Komisif sebanyak 3 tuturan yang meliputi berjanji sebanyak 1 tuturan dan menawarkan sebanyak 2 tuturan. Tindak Tutur Ekspresif sebanyak 8 tuturan yang meliputi berterimakasih 2 tuturan, memuji 2 tuturan, menyalahkan 2 tuturan, meminta maaf 1 tuturan dan bersela sungkawa 1 tuturan, Tindak Tutur Deklaratif sebanyak 7 tuturan yang meliputi, tuturan menyerah diri 1 tuturan, mengucilkan 2 tuturan, menentukan 1 tuturan, menamai 1 tuturan dan menunjukkan 2 tuturan. Berdasarkan uraian analisis data diatas, tuturan paling banyak dalam film Surga Yang Tak Dirindukan 2 adalah tindak tutur asertif dan ekspresif.

DAFTAR RUJUKAN

Darwowidjojo, Soejono. (2008). Psikolinguitik : Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Cet. Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Departement Pendidikan Nasional, (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Rusmianto, Nurlaksana Eko. (2015). Analisis Wacana Kajian Teoritis Dan Praktis. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Sehandi, Yohanes. (2016). Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta. Graha Ilmu

Sudaryanto. (1993). Metode & Aneka Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Press

Wijana, Dewa Putu. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Cet. Pertama. Yogyakarta: Andi Yogyakarta

87

ANALISIS TOKOH BELLA DALAM FILM THE TWILIGHT SAGA : NEW MOON PRESPEKTIF DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA

Fadzilah Romadani Kamalia Puspitasari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jalan Gajayana Nomor 50 Malang Email: [email protected]

Abstrak Artikel ini mendiskusikan tentang film yang populer pada zamannya dan masih hangat diperbincangkan hari demi hari khususnya bagi remaja dengan bertujuan untuk mendeskripsikan tokoh wanita dan proses perubahan tokoh wanita protagonis menjadi antagonis, Bella melalui film The Twilight Saga : New Moon, karya Stephenie Meyer menggunakan teori dekonstruksi, Jacques Derrida. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data yang digunakan adalah simak dan catat. Dan teknik validitas data yang digunakan adalah teknik meningkatkan ketekunan dan diskusi dengan sejawat melalui teknik analisis data berdasarkan model Miles dan Huberman, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dekonstruksi adalah metode membaca teks dengan sangat hati-hati sehingga penemuan perbedaan konseptual oleh penulis teks-teks dasar tampak tidak tetap dan bertentangan satu sama lain dalam penggunaan konsep dalam teks secara keseluruhan. Kehadiran dekonstruksi telah memungkinkan sebuah teks memiliki makna ganda. Teks sastra dipandang sangat kompleks. Film ini menceritakan tentang dua orang yang datang dari sisi yang berbeda, yakni Vampire- Human yang bertemu satu sama lain dan saling jatuh cinta. Dengan menggunakan teori dekonstruksi kita bisa mendeteksi proses perubahan tokoh protagonis menjadi tokoh antagonis dalam film The Twilight Saga : New moon. Hal itu tidaklah datang dari karakteristik tokohnya sendiri, tetapi kita dapat menafsirkannya secara tersirat dengan melihat keseluruhan alur dan karakteristik tokoh lain di dalamnya. Kata kunci: Dekonstruksi, Film, Tokoh, Protagonis, Antagonis

Abstract This paper discusses about the movie which is popular in the era and still hot day by day especially for teens and to describe female character and the changing proses of protagonist female character to antagonist, Bella through The Twilight Saga : New Moon, by Stephenie Meyer by using deconstruction’s theory, Jacques Derrida. The method uses a qualitative by collecting data is watching and noting. And the technique of data validation is increasing perseverance, applying triangulation, and discussing with experts through technique of data analysis based on the Miles and Huberman’s models, called by data reduction, data presentation, and conclusion. Deconstruction is method of reading the text very carefully so that the conseptual distinction inventions by the author of the foundations texts seem inconsistent and paradoxes in the use of the concept in the text as a whole. The presence of deconstruction has allowed a text to have multi meanings. Literary text is seen as very complex. This movie tells about two people who do come from different sides, Vampire-Human which meet each others and fall in loves. By using deconstruction’s theory we can detect the changing proses of protagonist character to antagonist

88

character in The Twilight Saga : New moon. It does not come from the own characteristic, but also we can interpret it implicitly by looking the whole plot and others characteristics in it. Keyword: Deconstruction, Movie, Character, Protagonist, Antagonist

Produk dari kemajuan teknologi yakni maraknya film-film dengan genre yang bermacam-macam dari mulai fiksi, aksi, drama, roman, horror, dan sebagainya yang telah membius para penikmat film khusunya remaja. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, cerpen, novel, bahkan drama kini sudah dapat ditonton dalam bentuk film. Film pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-19. Film mengalami perkembangan terus menerus seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung (Wahyuningsih, 2013:316). Film merupakan sarana media dalam penyampaian pesan. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Masyarakat pasti mengenal apa yang dinamakan dengan film. Film telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak kemunculannya yang pertama berupa gambar bergerak berwarna hitam putih, hingga saat ini diproduksi film dengan konsep tiga dimensi (3D) yang menggunakan teknologi canggih (Prasetya, 2012:73). Karenanya film merupakan gambaran hidup dari suatu karya sastra tertulis (naskah). Film merupakan media komunikasi yang bersifat audio visual yang mampu bercerita banyak dalam waktu singkat. Pada dasarnya, film dapat dikelompokkan dalam dua pembagian dasar, yaitu kategori film cerita dan non cerita. Pendapat lain menggologkan menjadi film fiksi dan non fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan dengan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Sedangkan film non cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya, yaitu merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan (Basid dan Fitria, 2017:100). Tidak salah bila dikatakan bahwa industri film memang sebuah industri yang berkecimpung di dunia bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna (Prasetya, 2012:73). Kali ini penulis ingin mengulas sedikit tentang film yang pernah menjadi buah bibir hingga sampai saat ini masih dinikmati kesuksesannya adalah The Twilight Saga : New Moon karya American-Author, Stephenie Meyer. The Twiligh Saga : New Moon, film garapan sutradara apik David Slade yang menceritakan tentang sesosok Vampir baik dan Manusia dimana mereka saling jatuh cinta dan dengan segala aspek perjuangan mereka dapat mengatasi lika liku tersebut. Bagi yang tidak familiar lagi dengan alur ceritanya yang

89 mengusung genre Roman-Fiksi tetapi juga memiliki pesonanya tersendiri yang membuat film ini laku keras di pasaran. Namun dalam membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah disepakati bersama. Pada Era sekarang kita dituntut lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode- metode pembacaan teks salah satunya seperti yang dikemukakan oleh Filosof Perancis, Jacques Derrida dengan teori yang dibawanya yakni teori “Dekonstruksi”. Jacques Derrida, kritikus sastra terkemuka di Amerika yang lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Beliau merupakan keturunan Yahudi sekaligus tokoh filsafat berpengaruh di Perancis yang dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-1970. Ketika masih muda beliau dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersifat diskriminatif. Oleh karena itu banyak dari karyanya yang dilatar belakangi oleh kehidupannya sendiri (Norris, 2017:6). Derrida ikut serta aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah. Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Inspirasi penting lain bagi pemikir awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud (Rohman, 2014:9). Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai “Dekonstruksi” sebelum beliau meninggal dunia pada usia 74 tahun 2004. Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan tentang pendeskripsian tokoh Bella dan proses perubahan karakter tokohnya yang semula merupakan tokoh protagonis menjadi tokoh antagonis dalam film populer remaja The Twilight Saga : New Moon melalui pendekatan Teori Dekonstruksi, Jacques Derrida. Dalam film New Moon, Isabella Swan merupakan tokoh wanita yang digambarkan sebagai gadis remaja yang lemah, dan biasa-biasa saja yang mudah tertimpa sial. Dan ia merupakan anak dari pasangan kepala polisi, Charlie Swan dan Renee. Tulisan ini juga akan menyoroti sisi lain dari teori yang diusung oleh kritikus terkemuka Amerika, Jacques Derrida. Dekonstruksi sendiri adalah cara atau metode membaca teks (Norris, 2017:11). Dekonstruksi menolak bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan sebagaimana halnya pandangan strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik ialah sebuah pendekatan dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni dan anti-historis dan kausal. (Muzakki, 2011:28). Dengan menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan kita bisa melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Dan permasalahan utamanya yaitu bagaimana mendeskripsikan karakter tokoh wanita dan menganalisis serta merubah tokoh wanita protagonis menjadi tokoh wanita antagonis dalam film The Twilight saga : New Moon?

90

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan karakter tokoh wanita dan proses perubahan tokoh wanita protagonis menjadi tokoh antagonis dalam film The Twilight saga : New Moon. Oleh karena itu kali ini penulis ingin mengangkat sebuah judul yang akan menjawab rasa penasaran anda dengan judul Analisis Tokoh Bella dalam Film The Twilight Saga : New Moon Prespektif Dekonstruksi Jacques Derrida.

Pembahasan Setelah kita mengenal dan mengetahui sekilas profil Derrida diatas, penulis akan membahas tentang teori yang dicetus pertama kali oleh tokoh terkemuka diatas yakni teori “Dekonstruksi”. Memang, pada awalnya seperti yang dilansir oleh Norris (2017:11) Dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berasal dari susunan kata de dan konstruksi. Yang berarti de adalah ke bawah, pengurangan atau terlepas dari. Sedangkan konstruksi adalah bentuk, susunan, hal menyusun, dan hal mengatur. Jadi Dekonstrusi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk (konstruksi) yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku (Rohman, 2014:1). Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit dipahami. Dibandingkan teori-teori Postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1999) bahwa setiap kemajuan konseptual akan sama halnya dengan pembaharuan konsep ke usaha menggoyang hubungan yang diakui, antara sebuah kata dan sebuah konsep, antara kiasan dan sesuatu yang penggunaannya sudah tidak berubah lagi, selayaknya apa adanya ataupun sudah lazim ditetapkan orang (Rohman, 2014:10). Jadi, dekonstruksi merupakan teori pembacaan teks yang tidak selalu menurut pada sistem srtukturalisme. Dekonstruksi adalah metode membaca teks dengan sangat hati-hati sehingga penemuan perbedaan konseptual oleh penulis teks-teks dasar tampak tidak tetap dan bertentangan satu sama lain dalam penggunaan konsep dalam teks secara keseluruhan. Kehadiran dekonstruksi telah memungkinkan sebuah teks memiliki makna ganda (Zulfadhli, 2009:131). Adapun menurut Kaelan (1999:299), bahwa dekonstruksi adalah salah kritik atas logosentrisme yang berpandangan bahwa teks-konsep memiliki sesuatu yang tidak sederhana, tak terbaca, beroposisi biner, dan berkontradiksi logis sehingga menghasilkan pemikiran yang lebih mungkin dari sebelumnya (Rohman, 2014:21). Dengan pernyataan tersebut, Dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif yang merupakan

91 cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi bukanlah semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran sesuatu yang sudah mapan. Ini juga tidak bisa dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi ini juga tidak bisa dikatakan hal yang benar mengingat bahwa dekonstruksi merupakan pemahaman yang tidak selalu bersifat relatif ketika berhadapan dengan logika-logika yang hidup di dalam konsep (Rohman, 2014: 2). Derrida mempunyai konsep yang sangat menarik yaitu There is nothing out the text. Tidak ada sesuatu di luar teks. Yang dimaksudkan Derrida dengan konsep itu adalah bahwa tidak ada kenyataan yang berada di luar bahasa. Tidak ada kodrat atau konstruksi biologis yang mendahului proses sosial kesejarahan (Alimi, 2004:35). Sebelum kita telusuri lebih dalam konsep film, mari kita awali dengan mengetahui teori film lebih dahulu. Bahan baku atau materi yang menandai belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik jika seorang sutradara salah mengelolahnya begitupun sebaliknya (Arifuddin, 2017:114). Film juga merupakan suatu karya sastra indah yang memiliki unsur- unsurnya tersendiri. Jadi jangan salah jikalau kita adalah penikmat sejati dari sebuah karya perfilman.

Pengertian Film Film adalah selaput, yang dipakai untuk menambah gulungan serangkaian gambar- gambar yang diambil dari objek-objek yang bergerak dan akhirnya proyeksi daripada hasil dari pengambilan gambar tersebut. (Ensiklopedi Indonesia, 1991). Film merupakan hasil dari karya tangan manusia yang diambil dari objeknya yang bergerak sehingga menghasilkan suatu karya yang dapat dinikmati tidak hanya oleh indra penglihatan, pendengaran, tetapi juga oleh indra perasa. Arifuddin juga mendefinisikannya dalam jurnalnya (2017:113), bahwa film juga diartikan sebagai serentetan gambar yang bergerak dengan atau tanpa suara, baik yang terekam oleh film, video tape, video disk atau media lainnya. Dan sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar. Manusia sebagai makhluk hidup sudah menjadi kodratnya jika ia membutuhkan hiburan bagi dirinya hanya untuk sekedar melepaskan suatu beban dalam dirinya setelah seharian beraktivitas. Film juga dipercaya sebagai pelepas penat, stress seseorang. Oleh karena itu, hadirnya suatu organize yang mendukung serta memproduksi film. Sehingga sebuah karya film mulai diterbitkan dan diperjualbelikan atau dengan kata lain mulai ada value yang harus

92 dikeluarkan oleh masyarakat, mulai ada peraturan-peraturan tentang segala hal yang berkaitan dengan film.

Jenis-Jenis film Setelah mengetahui penjelasan film diatas, penulis ingin mencoba memperkuat konsep dan teori film dari segi jenis-jenis film seperti diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Film Dokumenter (Documentary Films). Film dokumenter menyajikan real kita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, bahwa film dokumenter tidak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi dan pendidikan. Seiring dengan perkembangan zaman, muncul berbagai aliran dari film dokumenter misalnya dokudrama (docudrama). Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. 2. Film Cerita Pendek (Short Films). Durasi film pendek biasanya dibawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat, juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk kemudian dijadikan produksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan perfilman atau seseorang maupun kelompok yang menyukai dunia perfilman dan ingin berlatih membuat film dengan baik. 3. Film Cerita Panjang (Feature-Length Films). Film jenis ini berdurasi lebih dari 60 menit pada umumnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok jenis film ini. Beberapa film berdurasi lebih dari 120 menit sementara film-film produksi India rata-rata berdurasi sekitar 180 menit (Arifuddin, 2017:115).

Klasifikasi Genre Film Genre dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe kesusastraan yang memiliki seperangkat karakteristik umum, atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan style, bentuk atau isi. Hal itu membawa konsekuensi pemahaman bahwa dalam sebuah genre sastra terdapat sejumlah elemen yang memiliki kesamaan sifat, dan elemen- elemen itu menunjukkan perbedaan dengan elemen pada genre yang lain (Nurgiyantoro, 2004:107). Istilah genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Dalam film genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) seperti setting, isi dan subyek, ikon, mood serta

93 karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre popular seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horror, fantasy, western, thriller, film noir, roman, dan sebagainya (Arifuddin, 2017:115). Genre juga berfungsi sebagai klasifikasi sebuah film. Genre membantu penonton dalam menentukan film apa yang akan ditonton. Dengan memutuskan memilih genre tersebut penonton akan telah mengetahui gambaran umum (ide) di kepalanya tentang film yang akan ia tonton.

Pengertian Tokoh Pada setiap karya fiksi, sering menggunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak berpengaruh pada pengertiannya yang hampir sama, atau dalam tulisan ini akan digunakan dalam pengertian yang berbeda, walau memang ada diantaranya yang sinonim. Istilah “tokoh” menunjukkan antara lain pada orangnya atau pelaku cerita, atau pelaku cerita, atau misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “siapakah tokoh utama dalam film itu?”, atau “ada berapakah jumlah pelaku film itu?”, atau “siapakah tokoh protagonis, dan antagonis dalam film itu?”. Watak, perwatakan, dan karakter menuju pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh (Masie, 2010:178-179). Menurut Ambrams (2005:165), Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Selain itu, tokoh menurut definisinya adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau pelaku dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud dengan tokoh cerita atau individu rekaan yang mengalami peristiwa atau pelaku di dalam berbagai peristiwa-peristiwa cerita. Tokoh tertentu saja dilengkapi dengan watak atau karakteristik tertentu. Tokoh dalam cerita sama seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari, salulu memiliki watak-watak tertentu (Kemal, 2014:67) Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi kualitas yang nalar dan jiwa yang membedakannya. Tokoh adalah orang sebagai subjek yang menggerakkan dengan tokoh cerita yang lain. Dalam hikayat, tokoh-tokoh yang ditampilkan secara lengkap, contohnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, sifat, tingkah laku, keadaan sosial, dan kebiasaan

94 termasuk hubungan antara tokoh baik dilukiskan langsung maupun tidak langsung. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaannya, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang mendukung tokoh utama dalam pengembangan cerita (Kemal, 2014:68) Menurut Nurgiyantoro (dalam Masie 2010:179), cerita fiksi dikenal dengan tokoh protagonis dan tokoh antagonis, atau tokoh utama dan tokoh jahat, serta tokoh pelengkap. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi pembaca. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan pembaca. Maka kita sering mengenalnya sebagai sesuatu yang memiliki kesamaan dengan pembaca, permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahan pembaca, demikian pula halnya dalam menyikapinya. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadikan penyebab konflik. Tokoh antagonis ini beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Tokoh antagonis dikenal dengan tokoh jahat yang memiliki kekuatan jahat untuk mengganggu tokoh protagonis.

Pendeskripsian Dan Dekonstruksi Tokoh Bella Film The Twilight Saga merupakan film karya Stephenie Meyer yang awalnya berbentuk sastra novel yang kemudian di karya filmkan berjenis Feature-Length Films yang disutradarai David Slade oleh produksi Summit Entertainment pada tahun 2008. Film yang terdiri dari 4 series ini, dimulai dengan film pertamanya yang berjudul Twilight yang kemudian disusul dengan New Moon yang diliris setahun setelahnya tepatnya pada tahun 2009 hingga Eclipse yang menjadi sorotan dan Best Seller dengan penambahan tokoh yang ada didalamnya. Dengan ini tak heran bahwa Stephenie Meyer juga telah menciptakan rangkaian seriesnya yang terakhir yakni Breaking Dawn part 1 dan 2 yang merupakan lanjutan kisah dari sepasang Vampir-Manusia yang memiliki daya tarik tersendiri bagi penikmat film-film roman-fiction maupun penggemar pribadi karyanya. Pembacaan karya sastra dengan pendekatan dekonstruksi tidak mencari makna sebenarnya pada pendekatan lain, tetapi mencari makna kontradiktif dalam karya sastra yang dibaca. Metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Kualitatif deskriptif adalah menggambarkan apa adanya sesuai hasil penelitian pada karya sastra (film) yang berjudul The Twilight Saga : New Moon. Teknik analisis data pada penelitian ini, melalui 3 (tiga) tahap, yaitu: 1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan hasil. Film yang dipilih dalam menganalisis tokoh melalui pendekatan dekonstruksi adalah The Twilight Saga : New Moon.

95

Alasan memilih film ini, karena isinya syarat dengan perlawanan dan beroposisi pada tokoh cerita yang sesuai dengan syarat dekonstruksi. Film The Twilight saga : New Moon lebih berfokus pada Bella Swan. Film ini mengisahkan tentang ulang tahun Bella yang ke-18 tahun dan mendapatkan hadiah dari seluruh keluarga Cullen (Edward’s family). Dengan kecerobahan yang dilakukan oleh Bella pada saat ia membuka hadiah dari orang tua Edward yang berupa tiket perjalanan luar kota untuk mengunjungi ibunya di Florida, mengiris jari tangannya yang sontak membuat saudara Edward yang merupakan seorang vampir tergiur akan setetes darahnya yang jatuh ke lantai. Akhirnya Edward memutuskan untuk meninggalkan Bella karena ia berfikir tidak bisa melindungi dan menjaga Bella dari gangguan orang luar maupun saudaranya sendiri. Dengan kepergian Edward beserta keluarganya ke Voltera, Italia, (tempat para petinggi vampire tinggal dan hidup) membuat Bella depresi, sedih, dan tidak punya semangat hidup selama berbulan-bulan. Kemudian ayahnya menyarankannya untuk menemui teman-teman lamanya, yakni Jacob Black yang ternyata merupakan sesosok Werewolf (Manusia Serigala). Setelah bertemu dengan Jacob, kehidupan Bella kembali hidup dan dengan quality time nya bersama Jacob, ia akhirnya jatuh cinta padanya yang merupakan teman sekaligus sahabatya. Tetapi Bella juga tidak sepenuhnya melupakan Edward yang merupakan cinta pertamanya, terbukti dengan hal-hal gila yang dilakukan olehnya dengan membahayakan dirinya bahkan sampai membuat sedih ayahnya. Akhirnya setelah lama menghilang, datanglah salah satu saudara Edward, Alice yang melihat kondisinya (Alice dapat membaca visi/masa depan) akan kegilaan yang ia perbuat. Pada saat yang bersamaan, Edward menelpon ke kediaman keluarga Bella dan yang mengangkat telepon adalah jacob. Dan akhirnya kesalahpahaman terjadi pada Edward yang mengira bahwa Bella telah meninggal. Hal inilah yang kemudian membuat Edward ingin melakukan pembunuhan terhadap dirinya sendiri dengan mendatangi para petinggi vampir (Aro, Caius, dan Marcus) untuk meminta memenggal kepalanya. Mendengar hal itu, Alice memberitahu hal itu kepada Bella dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Voltera, Italia dalam rangka menemui dan mengkrarifikasi kebenaran kepada Edward.

Deskripsi Karakter Tokoh Bella Nama lengkap Isabella Marie Swan, lahir di Forks 13 September 1987. Ia bersifat tidak suka dengan keramaian, tidak suka banyak bicara seperti wanita remaja pada umumnya. Dia merasa tidak mempunyai keseimbangan diri, ia sering celaka hanya karena kecerobohannya sendiri. Bella adalah remaja yang simple, sederhana yang tidak suka akan

96 ulang tahunnya dirayakan. Ia pindah ke Forks, Washington dan memilih untuk tinggal bersama ayahnya karena orang tuanya bercerai dan ibunya menikah lagi dengan orang lain di Phoenix, Arizona. Bella adalah remaja yang sangat cantik bahkan teman cowok sekolahnya banyak yang tertarik dengan dia. Namun ia sama sekali tidak tertarik pada mereka. Justru keanehan Bella yang lebih tertarik pada sosok laki-laki misterius, yang berwajah pucat dan dingin yang selalu bersama keluarganya, Cullen. Bella tidak peduli seberapa kuat rintangan dan maslah yang harus ia hadapi, yang terpenting untuknya adalah ia bersama dengan Edward. Di mata Edward, Bella adalah wanita yang kuat dan berbeda dari yang lain. Dia merupakan satu- satunya orang yang tidak bisa Edward baca pikirannya. Setelah ia bertemu dengan Edward, ia berubah menjadi sosok yang pemberani, rela berkorban, kuat jiwa dan mental, serta pantang menyerah dalam menghadapi semua gangguan dan ancaman pihak luar (para vampir luar yang berusaha untuk memakannya dan mencelakainya).

Karakter Tokoh Protagonis Bella Menurut penulis, Bella termasuk sebagai tokoh protagonis dalam film The Twilight Saga : New Moon karena ia berkarakter sebagai seorang remaja usia 18 tahun yang berani, kuat jiwa dan mentalnya dan pantang menyerah dan perannya dapat diterima oleh pembaca serta dapat mendukung jalan cerita.Terbukti bahwa terlalu cintanya kepada Edward, ia rela berkeinginan untuk merubah dirinya menjadi vampir tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Ia tidak memikirkan sebab akibatnya yang akan terjadi entah itu pada dirinya maupun orangtuanya yang sangat menyayanginya. Dengan beraninya ia meminta Edward sendiri yang merubah dirinya menjadi sosok vampir pada perjalanan pulang dari rumah Edward. “You can‟t protect me from everything. And in some later, something will separate us. It‟s goona be an accident or die faster or older age. As long as I‟m human and the only one solution is to change me.” Mendengar pacarnya bicara seperti itu, Edward menjawabnya dengan muka datar dan pucat “It‟s not solution, it‟s tragedy”. Kemudian ia menjawab ”You‟re not too want me when I look like a grandma.” Dengan cepatnya Edward turun dari mobil dan membuka pintu mobil sebelah kanan (tempat Bella duduk). “Bella, don‟t you ever understand how my feelings on you at all”? ia menjawab “Carlisle (Ayah angkat Edward) told me, how you feel about your soul. I‟m not believe that. So don‟t worry about mine.” Lalu Edward berkata “Should go inside”. Tokoh Bella secara strukturalisme merupakan tokoh protagonis dalam film The Twilight Saga : New Moon. Dikatakan protagonis karena sikap dan perannya dapat diterima

97 oleh pembaca dan dapat mendukung jalan cerita. Dalam cerita itu Bella berperan sebagai seorang manusia yang memiliki keberanian, rela berkorban, pantang meyerah, dan kuat dalam hal jiwa dan mental. Film ini menceritakan tentang kehidupan gadis muda yang cantik, sederhana, lemah jiwa dan hatinya yang kemudian bertemu dengan sesosok pemuda tampan, dengan kulit pucat diwajahnya yang mampu meluluhkan hatinya bahkan merubah karakter dalam dirinya.

Dekonstruksi Tokoh Bella Pada Film The Twilight Saga : New Moon Setelah di dekonstruksi, tokoh protagonis tersebut berubah menjadi tokoh antagonis. Sesuai dengan pendekatan dekonstruksi dalam menganalisis tokoh dalam Film The Twilight saga : New Moon, maka proses perubahan tokoh protagonis menjadi tokoh antagonis, sebagai berikut. 1. Bella adalah tokoh yang lemah jiwa dan mentalnya. Terbukti setelah kepergian Edward, ia sangat depresi dan sedih serta kehilangan semangat dalam hidupnya, menyendiri dan tak bersosialisasi dengan teman-temannya. Ia selalu mengirim email pada Alice mekipun ia tahu bahwa surat-suratnya tak akan terbaca. Ia lakukan selama berbulan-bula lamanya. Isi suratnya seperti ini “Dear Alice, you‟ve dissapeared, like everything else. But who else can I talk to?... I‟m lost, Alive. When you left ... and he left ... you took everything with you. But the absence of him is everywhere I look”. Dengan kepedihan yang ia rasakan, setiap tengah malam adalah masa dimana ia selalu bermimpi tentang hal buruk. Tak henti-hentinya ia selalu mengirim pesan pada Alice “Time Passes. Every tick that goes by ...aches...like the pulse of blood of behind a bruise... But in a way I‟m glad. The pain is my only remainder that he was real... that you all were...” 2. Bella adalah tokoh yang ceroboh dan perfikiran sempit. Hal ini didukung oleh pernyataan dirinya “Alice, I saw him (Edward selalu menmpakkan diri ketika Bella sedang melakukan hal-hal yang gila). Maybe I‟m crazy now. But I guess it‟s okay. If with confronting dangerous can make me to see him, then I‟ll find it”. Maka sesuai dengan penyataan dirinya bahwa ia benar-benar melakukan hal yang gila. Ia dengan sengaja hampir membahayakan dirinya dengan menghampiri sekelompok geng motor hanya karena ia berfikir bahwa Edward akan menolongnya seperti yang pernah Edward lakukan pada seri film yang pertama. Kemudian ia membeli motor bekas hanya agar ia bisa melihat Edward dengan meminta bantuan jacob untuk memperbaikinya kemudian ia kendarai seperti yang pernah ia lakukan bersama geng motor dan akhirnya ia melukai dirinya. Sampai hal tergila yang pernah ia lakukan adalah melompat ke laut dari

98

tingginya tebing hanya karena ia berharap bahwa Edward akan menolong dan bertemu dengannya. Melalui pendekatan dekonstruksi tokoh protagonis tersebut dapat berubah menjadi tokoh antagonis. Dalam hal ini maka tokoh Bella (protagonis) dalam film The Twilight Saga : New Moon setelah didekonstruksi berubah menjadi tokoh antagonis. Karena ia bersifat dan berperan sebagai tokoh yang cengeng, lemah jiwa dan mentalnya, serta ceroboh dan berfikiran sempit. Dikatakan antagonis karena tidak dapat diterima oleh pembaca dan bertentangan dengan jalannya cerita.

Simpulan Dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit dipahami. Dibandingkan teori- teori Postrukturalisme pada umumnya, secara definitif, dekonstruksi bukanlah suatu teori yang memandang suatu karya sastra tersebut memiliki makna yang pasti, konstan. Tetapi dengan menggunakan pendekatan teori Dekonstruksi karya sastra tersebut dapat dimaknai dari berbagai sisi. Adapun menurut Kaelan, bahwa dekonstruksi adalah salah kritik atas logosentrisme yang berpandangan bahwa teks-konsep memiliki sesuatu yang tidak sederhana, tak terbaca, beroposisi biner, dan berkontradiksi logis sehingga menghasilkan pemikiran yang lebih mungkin dari sebelumnya. Film merupakan hasil dari karya tangan manusia yang diambil dari objeknya yang bergerak sehingga menghasilkan suatu karya yang dapat dinikmati tidak hanya oleh indra penglihatan, pendengaran, tetapi juga oleh indra perasa. Arifuddin juga mendefinisikannya dalam jurnalnya bahwa film juga diartikan sebagai serentetan gambar yang bergerak denga atau tanpa suara, baik yang terekam oleh film, video tape, video disk atau media lainnya. Dan sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar. Film memiliki banyak jenisnya, diantaranya film dokumenter, film cerita pendek, film cerita panjang. Di dalam film juga terdapat genre yang dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe kesusastraan yang memiliki seperangkat karakteristik umum, atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan style, bentuk atau isi. Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam cerita fiksi dikenal dengan tokoh protagonis dan tokoh antagonis, atau tokoh utama dan tokoh jahat, serta tokoh pelengkap. Pada setiap karya fiksi, sering menggunakan istilah-istilah seperti tokoh dan

99 penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak berpengaruh pada pengertiannya yang hampir sama, atau dalam tulisan ini akan digunakan dalam pengertian yang berbeda, walau memang ada diantaranya yang sinonim. Tokoh Bella secara strukturalisme merupakan tokoh protagonis dalam film The Twilight Saga : New Moon. Dikatakan protagonis karena sikap dan perannya dapat diterima oleh pembaca dan dapat mendukung jalan cerita. Dalam cerita itu Bella berperan sebagai seorang manusia yang memiliki keberanian, rela berkorban, pantang meyerah, dan kuat dalam hal jiwa dan mental. Film ini menceritakan tentang kehidupan gadis muda yang cantik, sederhana, lemah jiwa dan hatinya yang kemudian bertemu dengan sesosok pemuda tampan, dengan kulit pucat diwajahnya yang mampu meluluhkan hatinya bahkan merubah karakter dalam dirinya. Melalui pendekatan dekonstruksi tokoh protagonis tersebut dapat berubah menjadi tokoh antagonis. Dalam hal ini maka tokoh Bella (protagonis) dalam film The Twilight Saga : New Moon setelah didekonstruksi berubah menjadi tokoh antagonis. Karena ia bersifat dan berperan sebagai tokoh yang cengeng, lemah jiwa dan mentalnya, serta ceroboh dan berfikiran sempit. Dikatakan antagonis karena tidak dapat diterima oleh pembaca dan bertentangan dengan jalannya cerita. Inilah pembahasan artikel yang telah kami sajikan, jika dari pembahasan tersebut menyinggung hati para pembaca kami mohon maaf karena artikel tersebut masih belum mencapai kata sempurna dan kami selaku penulis meminta kritik dan saran yang dapat membangun artikel ini sehingga layak untuk dijadikan sebuah tulisan.

Daftar Pustaka Alimi, Moh. Yasir. (2004). Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial, Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Arifuddin, Andi. Fikra Pratiwi. (2017). Film sebagai Media Dakwah Islam dalam AQLAM – Journal of Islam and Plurality, Manado, Vol 2, No 2, Hal. 113-115, Desember 2017. Basid, Abdul & Fitria, Barokatul. (2017). Nilai Moral dalam Film Fabulous Udin Berdasarkan Perspektif Sosiologi Karya Sastra dalam Bahastra, Yogyakarta, Vol 37, No 2, Hal. 100, Oktober 2017. Film. (1991). Dalam Ensiklopedi Indonesia. Diakses tanggal 14 Oktober 2018, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Film. Godfrey, Wyck & Rosenfelt, Karen. (Producer) 2009. The Twilight Saga : New Moon. Summit Entertaiment, LLC. United State, 130 mins.

100

Kemal, Isthifa. (2014). Analisis Tokoh dan Penokohan dalam Hikayat Muda Balia Karya Tueku Abdullah dan M. Nasir dalam Genta Mulia. Vol 2, No 2, Hal. 67-68, Desember 2014. Masie, Sitti Rachmi. (2010). Analisis Tokoh pada Novel Tak Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisyabana (Melalui Pendekatan Dekonstruksi) dalam INOVASI. Gorontalo, Vol 7, No 1, Hal. 178-179, Maret 2010. Muzakki, Ahmad. (2011). Pengantar Teori sastra Arab. Malang: UIN MALIKI PRESS (Anggota IKAPI). Norris, Christopher. (2017). Membongkar Teori Dekonstruksi, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Prasetya, Arif Budi. Penonjolan Tokoh Antagonis dalam Film The Dark Knight (Studi Semiotik Tokoh Joker dalam Film The Dark Knight) dalam Ilmiah Komunikasi/MAKNA. Vol 2, No 2, Hal 72-73, Agustus 2011-Januari 2012.

Rohman, Saifur. (2014). Dekonstruksi : Desain Penafsiran dan Analisis, Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI).

Wahyuningsih, Sri. (2013). Representasi Pesan-Pesan Dakwah dalam Film Ayat-Ayat Cinta dalam KARSA, Vol 21, No 2, Hal 316, Desember 2013.

Zulfadhli. (2009). Dekonstruksi dalam Cerpen Malin Kundang : Ibunya Durhaka Karya A.A. Navis dalam JURNAL BAHASA DAN SENI, Padang, Vol 10, No 2, Hal. 131, 2009.

101

TEORI SASTRA PERSPEKTIF TEKS SASTRA:

PASCA STRUKTURALIS: JACQUES DERRIDA: DEKONSTRUKSI

Ali Makhfud Afiyanto

Dzikrul Hakim Tafuzi Mu‟iz

UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Tujuan daripada artikel ini adalah untuk memaparkan teori Jacques Derrida yang telah menciptakan teori Dekonstruksi sebagai strategi pembacan teks sastra. Penulisan ini merupakan deskriptif kuantitatif yang mengedapankan untuk menjelaskan fenomena dan hubungan-hubungan yang ada didalamnya. Sehingga, data-data yang disajikan disini, sangat berguna untuk mengetahui seluk beluk dari teori dekonstruksi milik derida. Pengambilan data dalam penulisan ini menggunakan dokumentasi yang diambil dari berbagai buku, artikel, maupun jurnal. Hasil penulisan yang dapat diperoleh adalah pembaca dapat menentukan dan menangkap isi yang telah mereka baca, dan pemabaca dapat mengapresiai, meresepsikan serta berinteraksi langsung dengan berbagai karya sastra yang mereka hadapi.

Kata kunci: Dekonstruksi, derrida, teks.

Abstract

The purpose of this article is to describe the theory of Jacques Derrida who has created the Deconstruction theory as a strategy for reading literary texts. This writing is a quantitative descriptive method to explain the phenomena and relationships within them. So, the data presented here is very useful to know the ins and outs of the theory of deconstruction belonging to derida. Data collection in this writing uses documentation taken from various books, articles, and journals. Writing results that can be obtained are readers can determine and capture the content they have read, and readers can appreciate, perceive and interact directly with the various literary works they face.

Keywords: Deconstruction, derrida, text.

102

Di dalam dekonstruksi Derrida terdapat banyak teori-teori yang dapat menghancurkan konsep bahasa yang telah dibangun oleh seorang pengucap bahasa. Karena dengan idenya untuk mencari makna yang lain dari apa yang dimaksudkan oleh teks adalah hal yang sulit untuk dipahami sebagian besar orang. Meskipun dengan teks-teks yang telah ditulisnya merupakan dalam buku Of Grammatology sangat bagus, tetapi terjadi banyak hambatan dalam memahaminya bahkan bagi para pembaca di era modern. Adapun hambatan dalam memahaminya dapat disimpulkan menjadi tiga poin (Ungkang, 2013).

1. Teks tersebut menampilkan sejumlah pemikiran yang bagi pembaca era modern pun masih terasa sulit dipahami. 2. Derrida membacakan gagasan-gagasan yang abstrak, tetapi cara Derrida membaca teks justru sebaliknya karena dilakukan sangat detail hingga hal-hal kecil. 3. Dan ini menurut Bradley, karena dekonstruksi itu sendiri dirancang Derrida sebagai sesuatu yang ada di dalam teks yang dibaca.

Pembahasan

Derrida lahir di El Biar, Aljazair tahun 1930 (Nyoman, Santoso, dkk, 2007). Dia merupakan anak dari ibu-ayah keturunan Yahudi. Ia belajar di Ecole Normule Superieure dan menjadi dosen tetap di sekolah tersebut.

Karya-karya Derrida sangat banyak dan bisa dicari di dalam tulisan Albert Leventure dan Thomas Keenan dalam suntingan buku David Wood (1992) dengan judul Bibliography of the Works of Jacques Derrida. Di antara karyanya yang cukup terkenal, antara lain: L’ecriture et la Difference (Tulisan dan Perbedaan) (1967), De la Grammatologie (Tentang Gramatologi) (1967), dan Marges de la Philosophie (1972)

Definisi para pakar kebahasaan tentang dekonstruksi

Di bawah ini beberapa definisi dari para pakar kebahasaan tentang dekonstruksi

(Rohman, 2014).

103 a. Jacques Derrida

Derrida merupakan pemula gerakan dekonstruksi. Awalnya, metode yang digunakan adalah bentuk berpikir dalam menelaah teks-teks filsafat sebelumnya, missalnya Hegel, Heidegger, Lacan, Gennette, Hooderlin, dan seterusnya. Cara berpikirnya ini pada kelak kemudian hari berada dibawah bendera dekonstruksi. Definisi yang diungkapkan Derrida adalah berikut ini.“Saya yakin bahwa setiap kemajuan konseptual akan samahalnya dengan pembaharuan konsep keusaha menggoyang hubungan yang diakui, antara ssebuah kata ddaan sebuah konsep, antara kiasan dan sesuatu yang penggunaannya sudah tidak berubah lagi, selayaknya apa adanya ataupun sudah lazim ditetapkan orang. Semua pengelompokan ini ada dibawah pengertian dekonstruksi, gambar difference (pemisahan karena berbeda), tentang kesan, unsur-unsur tambahan, dan sebagainya.”

b. Geoffery Hartman

Dalam karyanya, “Word, Wish, Worth, Wordssworth”, dia memberikan definisi sebagai berikut. “Deconstruction, which reveals that turn being taken not only against that will of the author, since it is prescribed in language, but also because any author who stand in that turn can not express that experience, that impersonification, except by that soul, willy nilly, like a displayed or negative theology”.

Artinya: hanya “dekonstruksi” yang menangkap bahwa arah yang diambil tidak hanya melawan niat pengarang, selama niat itu dituliskan dalam bahasa. Tetapi pada arah itu pengaranglah yang mengambil tempat pada bentuk yang tidak dapat mengungkapkan pengalamannya, yakni tak manusiawi, kecuali lewat jiwa sebagaimana yang digambarkan atau teologi yang negatif.

c. Sumaryono

Dalam bukunya Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (1993) dikatakan bahwa “dekonstruksi adalah sebuah cara untuk memberikan penjelasan, misalnya tesis”. Sumaryono

104 membahas konsepsi dekonstruksi dalam prespektif hermeneutik melalui konsepsi Husserl tentang fenomenologi.

d. Bambang Sugiharto

Sugiharto menjelaskan konsepsi dekonstruksi yang diidentikkan dengan postmodern. Dia memberikan definisi sebagai berikut.“Pembacaan dekonstruktif atau teks-teks filosofis adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya bukanlah pertama-pertama inkonsistensilogisnya argumen-argumen lemahnya ataupun premis-premisnya yang tidak meyakinkan, melainkan unsur-unsur yang menjadikan sebuah teks itu filosofis”.

e. Kaelan M.S.

Dalam buku bejudul Filsafat Bahasa dia menjelaskan tentang arti dekonstruksi; “Di bidang sastra, dekonstruksi ini sebagai suatu metode untuk memahami suatu teks”. Dekonstruksi adalah salah satu kritik atas logosentrisme yang berpandangan bahwa teks- konsep memiliki sesuatu yang tidak sederhana, tak terbaca, beroposisi biner, dan berkontra diksi logis sehingga menghasilkan pemikiran yang lebih dari sebelumnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman melalui gagasan difference untuk memahami teks dari berbagai aspek yang menyelimutinya agar mendapatkan pemahaman yang tidak monoton.

Dekonstruksi: Teori dan Gagasan

Dekonstruksi adalah suatu cara membaca teks secara interpretatif atau bisa disebut suatu hermeneutik dengan cara radikal. Berbeda dari hermeneutik “normal” yang mencoba merekonstruksi kembali isi asli sebuah makna atau suatu jaringan makna, dekonstruksi justru meninggalkan usaha rehabilitasi seperti itu. (Hardiman, 2007). Maka perbedaan antara hemeneutika dan dekonstruksi adalah pada usaha rehabilitas terhadap isi dari suatu teks yang dapat berpengaruh pada pengambilan makna suatu kalimat.

Kata kunci dalam dekonstruksi Derrida adalah difference. Difference adalah istilah yang diciptakan Derrida tahun1968 dalam kaitannya dengan pemahaman nya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss (Ghofur, 2015:248). Menurutnya, perbedaan

105 difference dan difference, dalam kamus baik bahasa inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Pengambilan pemahaman dari ucapan yang terlintas dari mulut seseorang yang dalam pelafalannya, terutama dalam mengucapkan difference dan difference, dapat dipastikan tidak dapat dipahami bila tidak ditunjukan secara tertulis.

Oleh sebab itu, dekonstruksi digunakan sebagai strategi baru untuk memeriksa sejauh mana struktur-strukur yang terbentuk dan senantiasa dimapankan batas-batasnya serta ditunggalkan pengertiannya. (Santoso dkk, 2017). Dari struktur yang tersusun rapi dan terbentuk secara baik, besar kemungkinan seseorang untuk memahami dekonstruksi meski hanya sepintas, karena dengan susunan yang bagus akan memunculkan suatu pemahaman yang mudah.

Dekonstruksi seperti dikembangkan oleh Derrida, yaitu pembongkaran terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan pola- pola hubungan yang bersifat hierarkis dikotomis seperti barat dan timur. (Nyoman, 2011). Oposisi biner merupakan unsur utama dalam melakukan dekonstruksi terhadap suatu karya sastra. Karena oposisi biner berperan untuk menstabilkan struktur. Unsur ini harus menjadi pusat, sedangkan unsur-unsur lain hanya sebagai pelengkap. Misalnya dalam cerpen atau novel, oposisi biner bisa disebut sebagai kerangka dalam struktur cerita.

Kata kunci untuk proses dekonstruksi adalah “kontaminasi”. Proses dekonstruksi dilakukan dengan cara menunjukkan kontaminasi atau kesalingtergantungan antara dua unsur dalam oposisi biner yang menjadi fokus pembacaan. Kontaminasi tersebut jug dapat dilakukan dengan melacak tilas unsur dalam oposisi biner secara historis. Cara lain melakukan dekonstruksi adalah dengan menggunakan gagasan-gagasan kunci dekonstruksi. Melaului gagasan-gagasan tersebut relasi hirerarkis antar unsur dalam teks secara sistematis saling mengontaminasi. Dengan kata lain, proses destabilisasi atas struktur teks terjadi pada proses ini.

Derrida menyatakan bahwa “Dalam proposisi apapun, atau dalam setiap sistem riset semiotika, pengandaian-pengandaian metafisika lahir kembar dengan motif-motif kritik” (Norris, 2006). Karena dalam pengandai-andaian seseorang itu melibatkan daya imajinasi yang menyebabkan banyak motif yang tergambar dalam pikirannya. Dengan adanya motif tersebut, seseorang akan selalu terbayang-bayang terhadap sesuatu yang belum pasti dalam pikirannya.

106

Karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya (Rachmat, 2005). Pemberian makna pada suatu bacaan dapat dilakukan dengan pendekatan dekonstruksi Derrida. Dengan pendekatan yang memahami secara detail hingga hal-hal kecil akan menjadikan seseorang memahami suatu teks sastra.

Kumpulan kata yang terucapkan atau tertulis tidak dapat dipahami secara baik dan benar kecuali mengenal secara baik pembicara, mitra bicara, dan konteks pembicaraan serta kondisi sosial, kultural, dan psikologis ketika teks disampaikan. (Shihab, 2015). Karena dalam memahami suatu teks sastra tidak dapat meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan pembicara maupun mitra bicara. Melalui dekonstruksi Derrida yang memahami secara dasar terhadap suatu teks, maka besar kemungkinan untuk memahami teks dengan berbagai aspek, seperti aspek psikologis, kondisi sosial, maupun persoalan yang dialami pengucaap teks ketika teks itu terucap.

Salah satu ciri khas analisis isi adalah penggunaan frekuensi sebagai indeks langsung gejala dasar, seperti: proporsi kata yang menunjukkan gejala kegelisahan sebagai sebuah indeks kecemasan pembicaranya, atau proporsi ruang/ halaman surat kabar sebagai sebuah indeks kadar perhatian (Klaus, 1993). Dengan analisa isi yang cermat, melalui gagasan difference yang dipelopori oleh Derrida dalam teori dekonstruksinya seseorang dapat mengambil pesan melalui berbagai teks dengan sudut padang yang berbeda.

Kesimpulan

Kita dapat mengetahui definisi dari dekonstruksi dan cara mendekonstruksi teks. Salah satu pakar Dekonstruksi adalah Jacques Derrida beliau adalah penggagas adanya teori Dekonstruksi, yang mana beliau ingin membuat kita kritis terhadap teks dengan cara Dekonstruksi yang telah dijelaskan diatas.

Daftar Pustaka

Abd. Ghofur. (2015). “Analisis Dekonstruksi Tokoh Takeshi dan Mitsusaburo dalam Novel Silent Cry Prespektif Derrida” dalam Student e-Journal STAIN Madura, Pamekasan, Vol. 12, No. 2, Hal. 248, Desember 2015

107

Christopher Norris. (2006). Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Djoko Pradopo, Rachmat. (2005). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hardiman, F. Budi. (2007). Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius

Khuta Ratna, Nyoman. (2011). Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan

dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____ (2007).Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Krippendorff, Klaus. (1993). Analisis Isi; Pengantar Teori dan Metodologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Listiyono Santoso, dkk. (2017). Epistimologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Listiyono Santoso, dkk. (2007). Epistimologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Marcelus Ungkang. (2013). “Dekonstruksi Jaques Derrida Strategi Pembacaan Teks

Sastra” dalam Student e-Journal Universitas Negeri Malang, Malang, Vol. 1, No. 1, Hal. 31-32; 36, Maret 2013

Quraish Shihab, Muhammad. (2015). Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang

Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati.

Saifur Rohman. (2014). Dekonstruksi Desain Penelitian dan Analisis, Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

Untoro, Ratun. (2009). “Memahami Karya Sastra Postmodern melalui Pembacaan Dekonstruksi Derrida” dalam widyariset.pusbindiklat, Vol. 12, No. 3 Hal. 76, 2009

108

Curriculum Vitae

Nama: Ali Makhfud Afiyanto

TTL: Lamongan, 05 Juni 2000

Alamat: Dukoh Pringgoboyo Maduran lamongan

Riwayat Pendidikan:

- TK PGRI 1 Pringgoboyo Maduran Lamongan (2004-2005)

- MI Hidayatul Ummah Pringgoboyo Maduran Lamongan (2005-2011)

- MTs Fathul Hidayah Pangean Maduran lamongan (2011-2015)

- MA Fathul Hidayah Pangean Maduran lamongan (2015-2017)

- S1 Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang (2017-Sekarang)

Pengalaman Organisasi:

- Pemangku Adat Ambalan Joko Tingkir MA Fathul Hidayah (2016-2017)

- Bendahara Organisasi Santri Santri Pondok Pesantren Fathul Hidayah (2016-2017)

Motto: Urip Niku Mong Sawang-Sinawang

No. Hp: 081554546162

Email: [email protected]

109

Curriculum Vitae

Nama: Dzikrul Hakim Tafuzi Mu‟iz

TTL: Jombang, 16 Februari 1999

Alamat: Jl. Sulawesi 27 Rt/ Rw 022/ 005 Plandi Jombang Jawa Timur

Riwayat Pendidikan:

- R.A. Muslimat Nanggalan Watugaluh Diwek Jombang Jawa Timur (2003-2005)

- MI Al-Asy‟ary Keras Diwek Jombang Jawa Timur (2005-2011)

- MTs Madrasatul Qur‟an Tebuireng Diwek Jombang Jawa Timur (2011-2014)

- MA Madrasatul Qur‟an Tebuireng Diwek Jombang Jawa Timur (2014-2017)

- S1 Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang (2017- sekarang)

Pengalaman Organisasi:

- Ketua Organisasi Daerah Jombang di pondok pesantren Madrasatul Qur‟an

Tebuireng Diwek Jombang (2014-2016)

- Kordintor perpustakaan pondok pesantren Madrasatul Qur‟an Tebuireng Diwek

Jombang (2016-2017)

- Pengurus Pengaderan CSSMoRA (2018- sekarang)

- Pengurus Dep. Inventaris HTQ UIN Malang (2018- sekarang)

110

Motto: Kritikus itu tidak harus mampu melakukan sesuatu yang dikritiknya

No. HP: 085875696015

Email: [email protected]

111

LINGKUP KEHIDUPAN SASTRA DALAM TEORI NEOMARXIS

Ibtisam Hasniah Ni‟amillah UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia Email: [email protected]

Abstrak Perkembangan baru dalam diskursus teori sastra yang dimotori oleh munculnya pemikiran marxis dengan teori kritisnya. menghadirkan penyegaran-penyegaran terhadap pemikiran strata dalam penyampaian dan penggunaan sastra. Penyegaran ini salah satunya yaitu teori neomarxis yang lahir dari ketidakpuasan penganut teori Karl Marx atas pemikiran marx yang berfaham tentang kehidupan dengan percaya bahwa sosio dan ekonomi adalah penentu kehidupan sastra. Dan dari artikel ini akan menyampaikan makna teori neomarxis dalam kehidupan sastra yang merupakan perkembangan dari teori aliran Funkfrut di Jerman. Lewat artikel ini pula, dipaparkan sejarah lahirnya neomarxis yang merupakan kritik dari teori marxis, hubungan antara ideologi dan kesusastraan, Terry Eagleton dan Walter Benjamin yang merupakan tokoh penting dalam lahirnya teori ini, serta perbedaan teori marxis dan teori neomarxis. Kata kunci: Teori, tokoh, sastra.

Abstract New developments in the discourse of literary theory driven by the emergence of Marxist thinking with its critical theory. Presents refreshments in level thinking in the delivery and use of literature. This refresher is one of them is the neomarxis theory which was born from the dissatisfaction of Karl Marx's adherents of the marking of the idea of life by believing that socio and economics are the determinants of literary life. And from this article will convey the meaning of neomarxic theory in literary life which is a development of Funkfrut's flow theory in Germany. Also through this article, the history of the birth of neomarxis is a critique of Marxist theory, the relationship between ideology and literature, Terry Eagleton and Walter Benjamin who are important figures in the birth of this theory, as well as differences in Marxist theory and neomarxis theory. Keywords: Character, literature, theory.

Merupakan teori yang cukup rumit untuk kita pahami, apalagi ketika kita mulai melangkah kepada kritik sastra dari marxisme yang disebut dengan teori neomarxis. Tetapi dalam penjelasan yang sangat singkat ini maka sangat sulit untuk membahas lebih dalam tentunya. Apalagi untuk pembaca pemula, teori ini sangat mudah membosankan dan tidak terlalu menarik untuk diketahui lebih dalam, karena memang teori ini cukup membingungkan para pembaca yang benar-benar baru dengan teori tersebut. Sebagai penulis saya berusaha

112 memaparkan teori ini dengan sejelas mungkin, walaupun dalam kenyataannya kesulitan untuk memahami teori ini sangat jelas adanya. Namun harapannya, semoga kesulitan-kesulitan ini bisa terjabarkan dengan benar, jelas, dan tepat tentunya. Teori merupakan kajian yang cukup rumit untuk dibahas berkepanjangan, namun tak bisa dipungkiri bahwa pembahasan ini sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa sebagai bahan pokok kajian. Dalam pandangan masyarakat umum, mereka memiliki dua sudut pandang tentang teori. Pertama, teori merupakan sesuatu yang rumit dan manfaat mempelajarinyapun tidak bisa dirasakan langsung. Sedangkan sudut pandang kedua, teori merupakan alat untuk memperbaiki sesuatu yang manfaatnya sangat dibutuhkan untuk proses dan hasil kerja teori tersebut. Sejatinya, teori merupakan sesuatu hal yang sangat tidak mudah dipahami dan sering menimbulkan salah arti. Meskipun terkesan kontroversial, teori sebenarnya memiliki berbagai manfaat konkret yang tak terbantahkan. Kegunaan teori sudah terbukti dalam kemajuan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang memungkinkan kita hidup lebih nyaman dan menyenangkan dari sebelumnya. Sebagai contoh aplikasinya adalah cerita klasik wayang purwa bertitel “Semar Ambangun Kahyangan” yang dibawakan dalang Ki Anom Suroto. Cerita klasik ini seakan menggambarkan semangat kebebasan dan keberanian orang kecil (Semar, yang hanya abdi) dalam menghadapi arogansi para penguasa atasannya. Cerita ini berkekuatan afirmatif-konservatif, seperti pandangan Neomarxis Marcuse. Entah Ki Anom, entah panitia yang meminta Ki Dalang melakonkan itu, sesungguhnya terdorong oleh suatu obsesi ingin meng-reestablishkan tatanan politik keraton yang telah porak poranda ke jalur prosedur yang semestinya. Pandangan negasi-progresif juga tampak sebab Semar yang biasanya diam, sebagai rakyat kecil, berani mengkoreksi dan memproteskesewenang-wenangan penguasa tertinggi, yakni para dewa di kahyangan. Cerita ini, menurut perspektif Marcus, diharapkan mampu menggugah kesadaran penonton, yakni rakyat jelata, yang terlalu lama dininabobokan oleh kekuasaan yang menindas secara hegemonis. (Marwoto, 2001:152). Maka dari itu setelah ini kita akan membahas teori neomarxis.

Pembahasan Pengertian Teori Neomarxis

113

Teori neomarxis atau dikenal juga dengan strukturalisme merupakan kritik terhadap marxis. Teori ini pada dasarnya adalah pengembangan dari teori marxis. Konsep neo-marxis muncul dan melihat kembali pemikiran awal Karl Marx dengan menyerap kembali ide-ide yang menurut mereka hilang atau diabaikan oleh kaum marxis karena adanya misintrepertasi (Teeuw, 2003:216). Menurut Steans dan Pettiford (Taum, 1999:243), asumsi dasar dari teori ini sendiri antara lain sebagai berikut. 1. Sifat dasar manusia tidak tetap maupun bersifat esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat. 2. Kepentingan dan pemahaman manusia sangat ditentukan oleh identitas kolektif (berkenaan dengan status dan kelas) yang pada akhirnya ditentukan oleh sistem ekonomi secara keseluruhan. 3. Strukturalisme merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan ideologi. Sebagai ilmu itu dimaksudkan untuk memberitahu masyarakat tentang sifat dasar dari dunia di mana kita hidup. Dan yang terakhir tidak ada perbedaan jelas antara nasional dan internasional. Asumsi- asumsi tersebut menghantarkan kaum strukturalis kepada pemikiran yang sama terhadap kaum marxis, yakni perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan antarkelas sosial. Kelas ekonomi yang dominan berarti dominan pula secara politik. Pembangunan kapitalis global bersifat tidak seimbang bahkan menghasilkan krisis dan kontradiksi.

Sejarah Lahirnya Teori Neomarxis Teori neomarxis (marxis baru) ini merupakan pengembangan teori marxis. Teori ini secara khusus meneliti ajaran-ajaran Karl Marx pada masa mudanya, namun pada akhirnya teori marxis ditinggalkan karena tidak dapat mengimbangi perubahan kehidupan dari masa ke masa. Dan banyak dari para penganutnya beranggapan bahwa juga memiliki banyak kelemahan pada kasus sastra modern. Penganutnya sudah tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin dan Engel (tiga tokoh kunci paham Marxis), sebagai dokma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap kebudayaan dan ilmu. Kaum neomarxis hanya mengambil ajaran Karl Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis. Teori neomarxis ini dikembangkan oleh kelompok aliran Frankfrut di Jerman. Tokoh-tokoh penting teori

114 neomarxis ini adalah Terry Eagletnon, Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Theodor Adorno (Ratna, 2013:268). Neomarxis adalah teori yang lebih dari epistemologis dari pada teori politis. Walaupun lingkup pembahasannya jauh lebih luas tetapi mereka menganut paham yang bermetode dialektika. Mereka pun tidak hanya berpandangan khusus kepada sastra saja namun menurut Adorno mereka mengemukakan empat gagasan pembicaraan dalam metode dialektika ini yaitu sebagai berikut. 1. Metode dialektika dapat memberi suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat sehingga mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan bagian suatu kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. 2. Metode dilektika berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individu. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. 3. Aspek teleologis tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenearan esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. 4. Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Berdasarkan metode berpikir dialektika tersebut, salah satu tokoh teori neo-Marxism yaitu Fredric Jameson berkata, hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita bukan hanya sekedar ingin menangkap nilai yang sempit terhadap permukaan seperti yng terjadi pada kaum New Criticism (titik baru) di Amerika Serikat, melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara subjek dan objek sesuai dengan kedudukannya (Sehandi, 2014:184).

Kesusastraan dan Ideologi Menurut Frederik Engels didalam buku Ludwing Feverbach and the End of Classical German Philosophy menjelaskan bahwa seni itu lebih kaya dan hal yang sangat sulit dipahami dibandingkan teori politik dan dan ekonomi, karena menurutnya seni tidak semata-mata ideologis. Dari sini kita bisa menangkap makna yang tepat tentang “Ideologi” menurut kaum Marxis. Ideologi bukan saja tentang seperangkat doktrin terhadap kepada masyarakat melalui

115 hubungan sosialnya, namun sejatinya ideologis bersifat memperlihatkan cara manusia memaknai pengalaman yang benar tentang masyarakatnya. Segala seni berasal dari konsepsi dunia, karena menurut Plekhanov seluruh karya seni memiliki kandungan ideologi. Tetapi Engels berpendapat bahwa seni itu lebih kompleks hubungannya dengan ideoligi daripada teori politik dan teori hukum yang cenderung lebih mengunggulkan kelas penguasa. Lalu dari sini timbullah pertanyaan, apa hubungan antara ideologi dan seni? (Eagleton, 2002:20). Pertanyaan ini bukan merupakan sesuatu yang gampang untuk dijawab. Karena terdapat dua kemungkinan posisi penyampaian. Pertama, bahwa kesusastraan tidak memiliki arti apa-apa tanpa ideologi dalam artistuk tertentu, bahwa karya sastra hanyalah ekspresi ide-ide ideologis pada masanya saja. Ini merupakan karakteristik posisi dari sebagian besar kritik “Marxis vulgar”, yang cenderung melihat karya-karya sastra semata refleksi dari ideologi-ideologi yang dominan. Dengan demikian, jawaban ini tidak mampu, dalam satu hal, menjelaskan begitu mengapa begitu banyak kesusastraan secara aktual menentang asumsi-asumsi ideologis pada masanya. Oposisi kedua, yaitu memanfaatkan bahwa begitu banyak kesusastraan yang menentang ideologi yang dimusuhinya dan menjadikan bagian ini definisi seni sastra itu sendiri. Namun, menurut saya seni dirangkum dalam ideologi tapi juga mengatur jarak dirinya dari ideologi sampai titik dimana seni memungkinkan kita „merasa‟ dan „merasakan‟ ideologi darimana seni tersebut berasal (Eagleton, 2002:22).

Tokoh-tokoh penting Neomarxis dan Pemikiran-pemikirannya a. Terry Eagleton Ia lahir pada tanggal 22 Februari 1943 di Inggris dan adapula yang mengatakan ia lahir pada 22 April 1943. Menurut Eagleton teori neomarxis radikal berusaha menghidupkan kembali kritik marxis di Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel Inggris. Menurutnya tugas utama kritik sastra adalah mendefinisikan hubungan sastra dan ideologi, karena sastra bukan merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata. Ragleton menyebutkan teori-teori sastra modern yang murni adalah pelarian diri dari keadaan buruk sejarah masyarakat modern. Ironisnya, menurut dia teori-teori tersebut justru menjadi pelarian dari kenyataan menuju sejumlah alternatif yang tiada batasan. Mereka bukannya melibatkan diri dari puisi manusia tetapi malah melarikan diri dari puisi itu sendiri, dari imajinasi, kebenaran abadi, mitos, bahasa, dan sebagainya (Sehandi, 2014:184).

116

Bagi Eagleton, alternatif pelarian itu lebih merujuk kepada penipuan. Ia menilai secara ironis menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scunirity (peniliti yang cermat, tetapi kaku), yang sudah saatnya ditinggalkan karena kesukarannya, keabstrakannya, serta keabsurdannya (Sehandi, 2014:185). Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraannya dan menempatkan kepada pembaca sebuah ideologi yang subjektivitas, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek tertentu yang barangkali tidak terlalu diharapkan. Ia melihat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal dalam melihat relevansi sosial politiknya, lebih-lebih karena tidak adanya relevansi terhadap ideologi (Sehandi, 2014:186). b. Walter Benjamin Ia lahir pada tanggal 15 Juli 1892 di Jerman. Walter Benjamin merupakan seorang filsuf asal Jerman yang seringkali dianggap sebagai salah satu pemikir terpenting Madzhab Frankfurt. Beberapa pemikiran yng memengaruhi tulisan-tulisannya antara lain Marxisme Berthold Brecht, Mistisisme Yahudi Gershom Scholem. Karya-karya nya memiliki landasan teori yang sangat kuat, tetapi gaya penulisan dan pemilihan subjek kajiannya seringkali tidak mengikuti standar zamannya. Beberapa studi yang dilakukan setelah kematiannya menunjukkan bahwa dia ialah pemikir brilian yang seringkali tidak diakui semasa hidupnya. Kekhasan pandangan Walter Benjamin sebagai pejuang neomarxis terhadap sastra dapat dideskripsikan sebagai berikut (Eagleton, 2002:73): 1. Karya seni sastra adalah ruang yang masih tersedia bagi suatu usaha pembebasan manusia ketika masyarakat dikuasai oleh reifikasi (pemberhalaan, pembendaan) total masyarakat kapitalistik. 2. Dalam dunia kapitalistik sastra telah kehilangan aura kultis-ritual karena didesak oleh reproduksi mekanis karya seni, termasuk sastra, tetapi justru karena itu sastra harus dikeluarkan dari dunia esoterisnya untuk dibawa ke ruang eksoteris, yakni publik masyarakat, sehingga menjadi lebih demokratis. 3. karya seni sastra dengan bahasa eksoteris dapat menjadi media komunikasi politik di tengah- tengah masyarakat yang dikuasai oleh modernisme kapitalistik

Perbedaan-perbedaan teori Neomarxis dan Marxis

117

Perbedaan neomarxis dengan marxis ortodoks dalam beberapa hal sebagai berikut (Munawwar, 2012:131): a. Marxis ortodoks melihat imperialisme dari sudut pandang negara-negara utama (core countries), sebagai tahapan lebih lanjut dari perkembangan kapitalisme di Eropa Barat, yakni kapitalisme monopolistic, neo-marxis melihat imperialisme dari sudut pandang negara pinggiran, dengan lebih memberikan perhatian pada akibat imperilalisme pada negara-negar dunia ketiga . b. Marxis ortodoks cenderung berpendapat tentang tetap perlu berlakunya pelaksanaan dua tahapan revolusi. Revolusi borjuis harus terjadi lebih dahulusebelum revolusi sosialis. Marxis ortodoks percaya bahwa borjuis progresif akanterus melaksanakan revolusi borjuis yang tengah sedang berlangsung dinegaraDunia Ketiga dan hal ini merupakan kondisi awal yang diperlukan untuk terciptanya revolusi sosialis dikemudian hari. Dalam hal ini neo- Marxis percaya, bahwa negara Dunia Ketiga telah matang untuk melakukan revolusisosialis. c. Terakhir, jika revolusi soaialis terjadi, Marxis ortodoks lebih suka pada pilihan percaya, bahwa revolusi itu dilakukan oleh kaum proletar industri di perkotaan. Dipihak lain, neo- Marxis lebih tertarik pada arah revolusi Cinadan Kuba. Ia berharap banyak pada kekuatan revolusioner dari para petani di pedesaan dan perang gerilya tentara rakyat.

Karya Sastra sebagai Jalan Pembebasan (Marcuse) Tokoh neomarxis Herbert Marcus berkeyakinan bahwa pandangan-pandangan ortodoks marxis tentang keradikalan kelas proletar saat ini kurang sesuai. Maka, menurut Marcus, dibutuhkan paradigma baru sosiologi marxis, juga dalam bidang kesenian, termasuk sastra (Susanto, 2001:34). Adapun pandangan khasnya mengenai karya sastra dan jalan pembebasan masyarakat sebagai berikut. a. Karya seni (sastra) yang dapat diberdayakan sebagai media pembebasan sebab karya sastra klasik belum terkontaminasi oleh teknologi modern kapitalisme. b. Karya seni klasik mempunyai dua karakter, yakni (Susanto, 2001:141): 1. Kekuatan afirmatif-konservatif dan 2. Kekuatan negasi-progresif, yang menyajikan citra kebudayaan tandingan (counter culture) terhadap realitas dominan sehari-hari.

118

3. Karya sastra tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia yang pada akhirnya sanggup mengubah dunia.

Simpulan Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa teori neomarxis merupakan teori yang lahir dari teori marxis yang merupakan perkembangan dari teori aliran Funkfrut di Jerman, sejarah lahirnya neomarxis yang merupakan kritik dari teori marxis, hubungan antara ideologi dan kesusastraan, Terry Eagleton dan Walter Benjamin yang merupakan tokoh penting dalam lahirnya teori ini memaparkan bahwa teori neomarxis adalah teori yang akan terus berkembang dari masa ke masa.

Daftar Pustaka Eagleton, Terry. (2002). Marxisme dan Kritik Sastra. Yogyakarta: Nusantara Sejahtera. Jupriono, Darwis. (2009). “Kemampuan Mahasiswa Mengaplikasikan Kritik Sastra Marxis Dalam Penelitian Sastra Interdisipliner” dalam Jurnal Kajian Sast, Hal 2-11, September 2009. Munawwar Fadli (2012). Teori sastra dan kritik sastra marxidme serta pengapliakasian sastra. (Online) Sinta.ristekdikti.go.id, Februari 2012. Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sehandi, Yohanes (2014). Mengenal Teori Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Stanton, Robert. (2007). Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Susanto, Dwi. (2011). Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. Taum, Yoseph Yapi. (1997). Pengantar Teori Sastra. Ende, Flores: Nusa Indah.

119

Teeuw, Andreas. (2003). Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rena dan Austin Warren. (1993). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

120

IMPLIKATUR YANG TERJADI PADA NOVEL “JADILAH PURNAMAKU, NING!” KARYA KHILMA ANIS

Madchan Jazuli Muhammad Hasyim Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Email: [email protected]

Abstract This study aims to see the implications that take place in the novel "Be My Father, Ning!". The novel by Khilma Anis is one of the novels that combine different family backgrounds, that is from the background of the dormitory family and family background which is thick with Javanese customs. This research is a qualitative descriptive study, because the data of this study are in the form of words and descriptions of sentences that compatible to the object of research. The data source in this study is the novel Be Purnamaku, Ning by Khilma Anis. Data collection techniques include library techniques, observation techniques, and note techniques. Library techniques are carried out by using library sources as references in applied research. The technique is used to obtain data in the novel by means of the researcher reading the novel, then proceed with the note-taking technique by recording the data related to the formulation of the problem. The results of this study are) the number of implications that occur in the novel 12 times b) mostly using general implications and conventional implications b)The types of implications contained in the novel are mostly Implications. Keywoards: implications, conversations

Pragmatik yaitu studi mengenai makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Sehingga studi ini lebih banyak berkaitan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya dibanding dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri (Yule. 2006:3). Dalam ilmu pragmatik, implikatur dibangun karena tidak adanya kesesuaian antara tuturan yang diungkapkan dengan maksud yang dituju, seakan-akan tidak ada korelasi. Tapi dari segi makna atau maksudnya sudah memberikan jawaban umpan balik kepada lawan bicara. Sehigga kajian tentang impilkatur suatu tuturan menjadi sangat menarik untuk di bahas. Disini akan dipaparkan implikatur yang terjadi dalam sebuah novel “Jadilah Purnamaku, Ning!” karya Khilma Anis yang mengangkat kisah tentang seorang aktivis perempuan yang lahir dari keluarga jawa, bahkan kakeknya berprofesi sebagai dalang sehari-hari. Berkarir sebagai seorang penulis, dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang kemudian menemukan

121 sosok tambatan hati berliku-liku yang tak pernah disangka berasal dari trah yang berbeda yaitu pondok pesantren. Adapun penelitian implikatur dalam novel, bukanlah merupakan penelitian baru melainkan banyak penelitian lama yang juga sama membahas implikatur percakapan dalami kajian ini, peneliti menemukan penelitian terdahulu : Lailatul Fitriyah. 2017. Perempuan Pada Novel Jadilah Purnamaku, Ning Karya Khilma Anis: Kajian Perspektif Gender. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena data dalam penelitian ini berupa kata dan deskripsi kalimat-kalimat yang sesuai dengan objek penelitian. Dengan hasil penelitan sebagai berikut: (1) struktur masyarakat pesantren yang melatarbelakangi terbentuknya karakter tokoh. Hal ini dibuktikan melalui tokoh Damayanti mengalami trauma akibat pemimpin pesantren yang tidak adil dalam memperlakukan perempuan, (2) bias gender yang terjadi dalam masyarakat pesantren dibuktikan ketika perempuan mengalami posisi yang dirugikan dibandingkan dengan laki-laki, (3) posisi perempuan dilihat dari kacamata gender dibuktikan dengan adanya perempuan mangalami ketidakadilan gender. Bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam novel Jadilah Purnamaku, Ning karya Khilma Anis yakni stereotipe, subordinasi, dan marjinalisasi, (4) peran perempuan yang terdapat dalam novel Jadilah Purnamaku, Ning Karya Khilma Anis adalah pekerjaan perempuan yang terdiri atas dua bentuk, yakni bentuk pekerjaan melalui peran domestik dan bentuk pekerjaan melalui peran publik Husnah. 2014. Implikatur Percakapan Dalam Novel Pesona Izmir Karya Putri Indri Astuti. Hasil penelitian ini ditinjau dari segi makna kalimat, bentuk lingual implikatur percakapan pada novel Pesona Izmir Karya Putri Indri Astuti ada yang berupa kalimat berita, kalimat perintah, kalimat tanya, dan kalimat seru. Tiga jenis yang disebutkan lebih awal (kalimat berita, kalimat perintah, dan kalimat tanya) mendominasi bentuk lingual tersebut, sedangkan jenis kalimat seru hanya ditemukan beberapa buah saja. Bentuk lingual implikatur percakapan dalam novel Pesona Izmir Karya Putri Indri Astuti difokuskan pada tataran kalimat menunjukkan variasi yang cukup kompleks. Dilihat dari segi bentuk kalimatnya, implikatur percakapan pada novel Pesona Izmir Karya Putri Indri Astuti ada yang berupa kalimat tunggal dan ada yang berupa kalimat majemuk.

122

Rumusan masalah yang akan dibahas yaitu: 1) Kalimat apa sajakah yang menjadi implikatur dalam novel “Jadilah Purnamaku, Ning!” ? 2) Jenis implikatur apa yang terjadi dalam novel “Jadilah Purnamaku, Ning!”? Dengan dipaparkan implikatur-implikatur ini, pembaca diharapkan lebih dipahami dan peka terhadap kondisi sehari-sehari yang kita jalani. Dan menambah wawasan sebagai kalangan akademisi.

Metode Penelitian Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, merupakan penelitian yang dilakukan dalam suatu situasi yang wajar atau dalam “natural setting”. Dalam hal ini, peneliti langsung mengamati sekaligus berinteraksi dengan objek permasalahan dalam lingkungan-nya, berusaha memahami dan menafsirkannya. Pendekatan ini terlihat selain dalam rumusan tujuan, juga pada jenis data yang hendak dikumpulkan, yaitu data yang berupa wacana, tuturan, kalimat, atau kata-kata. Disebut kualitatif karena penelitian ini sesuai dengan ciri- ciri rancangan kualitatif, antara lain (1) studi dalam situasi alamiah, (2) analisis induktif, (3)kontak personal langsung peneliti di lapangan, (4) perspektif holistik, (5) perspektif dinamis, perspektif “perkem-bangan”. (6) orientasi pada kasus unik, (7) netralitas empatik, (8) fleksibilitas rancangan, (9) peneliti sebagai instrument utama Patton (Gunawan, 2013, h. 93-95).

Data dan Sumber Data Data yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah kalimat-kalimat yang berada dalam novel “Jadilah purnamaku, Ning!” yang di terbitkan oleh Mata Pena edisi khusus komunitas 2012.

Teknik Pengumpulan Data Peneliti mengumpulkan data yang terdapat dalam novel “Jadilah Purnamaku, Ning!” dengan mengguakan langkah-langkah sebagai berikut. a) Membaca dengan cermat novel “Jadilah Purnamaku, Ning!” karya Khilma Anis. b) Mengenali kalimat-kalimat yang mengandung implikatur percakapan yang terdapat dalam “Jadilah Purnamaku, Ning!” c) Menandai kalimat yang mengandung implikatur percakapan “Jadilah Purnamaku, Ning!”

123 d) Mengklasifikasi jenis-jenis implikatur yang terjadi dalam “Jadilah Purnamaku, Ning!”

Kajian Teori Implikatur Implikatur berasal dari susunan dua kata diturunkan dari verba “to imply” yang berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Sdangkan secara etimologis, “to imply” berarti membungkus atau menyembunyikan sesuatu dengan menggunakan sesuatu yang lain. Oleh sebab itu, implikatur percakapan adalah sesuatu yang disembunyikan dalam sebuah percakapan, yakni sesuatu yang secara implisit terdapat dalam penggunaan bahasa secara aktual. Brown dan Yule menyatakan bahwa implikatur digunakan untuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah. Contohnya seperti ini, jika seorang ibu menyatakan kepada anaknya: ”Nak, bajumu kotor sekali!” dalam kondisi si anak selesai bermain bola, ujaran tersebut tidak hanya baju yang dipakai anaknya kotor setelah bermain bola, akan tetapi si Ibu mengisyaratkan kepada si anak untuk segera mengganti pakaian yang bersih. Yule (2014:3) menyebutkan bahwa macam-macam Implikatur adalah sebagai berikut. 1. Implikatur Percakapan Umum Dalam implikatur percakapan umum disini, tidak ada latar belakang pengetahuan khusus dan konteks tuturan yang diminta untuk membuat kesimpulan yang diperlukan. Sehingga dalam tuturan penutur langsung menyimpulkan dari jawaban lawan tuturnya tanpa harus meikir panjang maksud yang di sampaikan. Contoh: Santi : “Apakah Anda mengundang Bela dan Andi?” Feni : “Saya mengundang Bela.”. Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, seperti pada contoh di atas, maka hal ini disebut implikatur percakapan umum (Yule, 2006:69). 2. Implikatur Berskala Implikatur selanjutnya ini berhubungan dengan pemakaian sebuah kata. Dalam informasi tertentu terkadang menggunakan apa yang ingin di sampaikan oleh penutur dan lawan tutur dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas. Sehingga cara mengidentifikasinya cukup mudah karena terdapat batasan-batasan. Implikatur berskala menggunakan istilah “semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit, selalu, sering, dan

124

kadang-kadang”. Ketika sedang bertutur, seorang penutur memilih kata dari skala itu yang paling informatif dan benar kualitas dan kuantitas. (Yule, 2006, h.69). Contoh: (2) A : “Saya sedang belajar ilmu bahasa dan saya telah melengkapi beberapa mata pelajaran yang dipersyaratkan”. Contoh diatas mengisyaratkan hal yang sudah dilakukan oleh penutur dengan menjelaskan detail menggunakan kata “beberapa” sehingga menciptakan suatu implikatur (tidak semua). Inilah yang disebut sebagai implikatur berskala. 3. Implikatur Percakapan Khusus Implikatur ini lebih menekankan kepada percakapan yang terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Dimana jika di lihat secara susunan atau jawaban lawan tutur tidak bersambung atau berkaitan akan tetapi yang di ujarkan oleh lawan tutur sesuai dengan situasi dan kondisi yang di alami. Contoh: Riki : “Hei! Apakah kamu akan datang di pesta nanti malam?” Tomi: “Orangtuaku akan mengunjungiku”. Disini dapat kita amati bahwa Tomi tidak langsung menjawab sesuai yang di harapkan oleh Riki, tetapi Tomi menjawab dengan situasi dan kondisinya bahwa ia tidak bisa datang ke pesta dikarenakan Tomi akan menghabiskan malam itu bersama orangtuanya. Riki harus memiliki pengetahuan dan penalaran agar dapat menangkap pesan jawaban yang di sampaikan oleh Tomi. 4. Implikatur Konvensional Implikatur konvensional ini sebenarnya adalah kebalikan dari implikatur-implikatur yang ada seperti yang telah kita ketahui di atas. Implikatur ini tidak didasarkan pada sebuah konteks atau batasan-batasan atau maksim-maksim. Bisa terjadi di sebuah percakapan atau tidak. Seperti halnya presupposisi leksikal, yang mana implikatur ini diasosiasikan dengan kata-kata khusus kemudian menghasilkan makna tambahan. Contoh: Udin menyarankan kopiah hitam tetapi saya pilih warna putih”. Implikatur konvensional ialah bahwa situasi pada waktu itu diharapkan berbeda, atau mungkin sebaliknya di waktu yang akan datang. Pada contoh di atas penutur menghasilkan suatu implikatur bahwa dia mengharapkan pernyataan, Denis datang ke pesta.

Hasil dan Pembahasan Novel “Jadilah Purnamaku, Ning!” karya Khilma Anis ini menceritakan sosok perempuan tangguh yang dibesarkan seorang diri, oleh Ibunya bernama Tirta Damayanti,

125 seorang perempuan cantik yang dibesarkan dalam tradisi Jawa. Bahkan ayah ibunya yang bernama Ki Warsito adalah seorang dalang kenamaan. Sehingga tidak heran jika hari-harinya cukup akrab dengan gamelan dan karawitan. Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Nawang Wulan. Ia tak hanya seorang mahasiswi di kampus Jogja. Tetapi juga aktif di komunitas sosial, jalanan, buruh disamping sebagai penulis. Kemudian Alfin, sosok pria keturunan trah yang dibesarkan di dunia pesantren. Lelaki itu yang membuat Nawang Wulan luluh dan berniat meminta restu kepada keluarga Alfin, tapi malah penghinaan yang diterima Nawang setelah bertamu di kediaman Alfin di Banyuwangi. Sampai Nawang berlarut-larut dalam kesedihan dan kepiluan berbulan-bulan. Lalu terakhir Yasfa, seorang aktivis era orde baru yang lolos dari maut dan bisa pulih ideologi dan kembali bersemangat menjalani hari-harinya. Yang akhirnya membuat Nawang bersemangat kembali dan tak disangka akan menjadi pendamping hidup Nawang Wulan.

Berikut implikatur-implikatur yang terjadi dalam novel “Jadilah Purnamaku, Ning!”. 1) “ Nduk. . .Kamu akan terluka, sekarang atau nanti” (hal. 2) Perkataan ibu Damayati kepada puterinya Nawang Wulan, bahwa yang dimaksud bukan luka-luka pada umumnya secara fisik, melainkan luka hati jika Nawang benar-benar ingin melanjutkan hubungannya dengan lelaki yang ia kenalnya itu. Kalimat tersebut merupakan jenis implikatur percakapan khusus. Karena konteks ujaran yang di harapkan kepada putrinya percakapan khusus.

2) “. . . Ibu hanya tidak ingin teriakanmu diredam tembok besar pesantren, Nduk!” (hal. 5) Implikatur percakapannya yaitu ibunya mengkhawatirkan puteri satu-satunya yang ia besarkan dari kecil jika harus mengalami kenyataan seperti ibunya dahulu, yang terkungkung dalam lingkungan pesantren. Ujaran tersebut masuk dalam kategori implikatur percakapan khusus. Karena langsung dituju kepada puterinya, Nawang Wulan.

3) “. . .gak usah kakudung wewulang macan “(hal. 21) Ini lebih kepada peribaha jawa apa yang di lontarkan Nawang kepada Alfin, dimana Alfin adalah keturunan seorang kiyai yang dipandang terkenal sehingga menjadikan tameng untuk

126

Alfin untuk senang dihormati dan mendapat perlakuan khusus terhadapnya. Diumpamakan seperti seekor harimau yang disegani. Jenis implikatur percakapan khusus. Karena ujaran tersebut mengharapkan Alfin untuk tidak bersikap semena-mena menyandang putera kyai.

4) “Jangkrik. . . . Jangkrik! (hal. 29) Ungkapan yang keluar dari Alfian, setelah mendapati Nawang Wulan mengabaikannya. Belum pernah ada perempuan yang bersikap begitu kepadanya. Sehingga Alfin merasa kesal dan melontarkan kata-kata kotor itu kepada temannya. Termasuk jenis implikatur percakapan umum.

5) “ Tapi kita harus punya muara atas perjalanan ini “ (hal. 56) Implikatur dari perkataan Aflin kepada Nawang mengisyaratkan untuk menjalin hubungan serius kepada Nawang yaitu dengan bahtera pernikahan. Termasuk jenis implikatur percakapan konvensional, karena ujaran tersebut sudah jelas dan tidak membutuhkan konteks.

6) “ Kenapa? Bukankah kita datang bukan untuk pulang? Dan, tersesat bukan untuk bingung? “ (hal. 57) Alfin disini terlihat mencoba menyakinkan Nawang bahwa setiap kehidupan ini harus dijalani, bukan untuk menghindari kenyataan dengan perjuangan. Perjuangannya dengan bersama-sama menghadap kedua orang tua untuk meminta restu akan keinginan Alfin untuk mempersunting Nawang Wulan. Jenis implikatur yang terjadi adalah implikatur percakapan khusus, karena ujaran Alfin ditujukan kepada Nawang Wulan untuk meyakinkannya.

7) “ Wang, sudah sampai terminal Banyuwangi” (hal. 77) Alfin mengisyaratkan kepada Nawang untuk bersiap-siap turun dari bus yang mereka naiki dari Joga-Banyuwangi. Untuk menghadap dan memperkenalkan sekaligus meminta doa restu kedua orang tua Alfin.

127

Termasuk jenis implikatur konvensional, karena perkataan Alfin kepada Nawang Wulan tidak membutuhka konteks khusus.

8) “ Yang tukang bengok-bengok itu?” (hal. 88) Ketus Abahnya Alfin menanggapi jawaban Nawang, bahwa ia terkejut kalau perempuan yang di bawa puteranya ini adalah seorang aktivis. Dengan stigma negative para aktivis suka berdemo. Padahal tidak semua aktivis seperti itu, buktinya seperti Nawang yang produktif menulis dan aktif di sosial masyarakat, buruh dan jalanan. Termasuk jenis implikatur percakapan khusus, di tunjukkan dengan kata tukang lalu di perinci dengan kata “bengok-bengok” yang maksudnya ialah tukang unjuk rasa.

9) “ e . . La dalah! Anakmu tambah pinter jebule mi!” Abahnya Alfin, Abu Dardah naik vitam dengan bantahan anaknya yang tidak bias menerima keputusan abahnya mengenai Nawang yang tidak cocok dengan keluarganya, menurutnya tidak sepadan (se-kufu). Termasuk jenis implikatur percakapan umum, karena tidak ada latar belakang pengetahuan khusus dan konteks.

10) “ Sembuhkanlah lukamu, bangkitlah!” (hal. 108) Ibu Damayanti mencoba menenangkan perasaan puteri tercintanya agar tetap kuat dengan menyembuhkan luka hati yang tengah dilandanya saat ini pasca oleh Abu Dardah ibunya di bawa-bawa dalam hubungan dengan Alfin. Termasuk jenis implikatur percakapan percakapan umum,karena tidak ada latar belakang dan konteks khusus.

11) “ Mbak punya sepasang mata uang indah. Tentu Mbak menyukai jus tomat” (hal.128) Yasfa berpura-pura menjadi pelayan di coffenya sendiri, menghampiri Nawang menanyakan ingin berpesan minuman apa. Jauh dari itu maksudnya mencoba memuji secara tersirat. Termasuk jenis implikatur berskala, karena kata “mata” dan di khususkan dengan kata “indah”.

128

12) “Aku tak akan pernah menghalangi kemana kau kembarakan imaji, jiwa, dan ragamu.” (hal. 160) Yasfa mengisyaratkan kepada Nawang bahwa ia mempasrahkan kemanapun Nawang melangkah, Yasfa akan tetap menemaninya. Termasuk jenis implikatur percakapan umum, karena ujaran tersebut tidak membutuhkan latar belakang dan konteks. Novel ini terbilang tidak tebal dan ukurannya hanya kecil, penulis hanya menemukan beberapa kalimat-kalimat yang berimplikatur percakapan. Kebanyakan jenis implikatur percakapan yang muncul yaitu implikatur percakapan umum.

Kesimpulan Dalam novel “Jadilah Purnamaku, Ning!” terdapat implikatur percakapan sebanyak 12 implikatur. Dengan kandungan implikatur percakapan umum, khusus yang sering digunakan dalam novel tersebut. Banyak diksi yang digunakan mudah di cerna oleh pembaca sehingga tak banyak kata-kata yang tersirat dalam setiap percakapan yang terjadi.

Daftar Pustaka Djadjasudarma, T. Fatimah. 2017. Wacana dan Pragmatik. Bandung: Refika Aditama. Khlima A. Cet. II 2012. Jadilah Purnamaku, Ning!, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. Lailatul Fitriyah. 2017. Perempuan Pada Novel Jadilah Purnamaku, Ning Karya Khilma Anis. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

129

TELAAH EKSISTENSI TINDAK TUTUR DAN PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM VIDEO “MALAM MINGGU MIKO EPISODE PEMBACAAN PUISI SILVIA”

Matswaya Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

Abstract This study aims to describe the various of speech acts and the various violation of cooperative principles that existed on the video "Malam Minggu Miko Episode Pembacaan Puisi Silvia ". This research is a qualitative descriptive study. The results are there are 6 locutionary act, 9 Illocutionary act, and 5 perlocutionary effect. The violation that exist in this video are 5 violations of relevance maxims and 1 violation on maxim of quantity. Keywords: maxim, speech act, violation.

Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, tanpa bahasa seorang tidak akan bisa menyampaikan maksud maupun tujuannya kepada mitra tutur. Begitu pula mitra tutur tidak akan menangkap maksud dari lawan tuturnya. Akan tetapi dalam percakapan atau wacana kita sehari-hari, tidak jarang terjadi kesalah pahaman karena kurangnya pemahaman serta kurang jelasnya penutur ketika menuturkan keinginannya. Tarigan dalam Hanifah dkk, keterampilan berbahasa melingkupi empat hal: keterampilan membaca, menyimak dan menulis. Setiap keterampilan berbahasa mempunyai hubungan yang erat dan konsep berpikir yang mendasari bahasa. Bahasa seorang mencerminkan pikiran, semakin tertampil orang berbahasa semakin cerah pula jalan pikirannya (Hanifah dkk, 2014, hal.4). Dalam ilmu pragmatik ada teori wacana yang disebut teori tindak tutur. Tindak tutur yang pertama tama dikemukakan oleh Austin (1956) yang merupakan teori yang dihasilkan dari studinya dan kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul “How to Do Thing with Words?” Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969) dengan menerbitkan sebuah buku “Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language”. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performance of speech acts)(Rohmadi,2004,h.36).

130

Selain tindak tutur, sebuah wacana juga bisa dianalisis berdasarkan macam-macam maksim serta kepatuhan penutur dalam menggunakan maksim. Hanifah dkk, 2014. Dalam karyanya Nilai krakter Pada Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi dalam Novel Astra Astria Karya Fira Basuki. Menemukan 10 nilai pendidikan berupa kemandirian, dan sebagainya. Serta beberapa teori tindak tutur seperti lokusi, ilokusi dan perlokusi. Adapun Triana, 2012, Prinsip Kerja sama Dalam Avatar. Menemukan bahwa prinsip kerja sama dalam kartun tersebut memenuhi penyimpangan prinsip kerja sama. Penelitian lain yang berhubungan dengan tindak tutur dan maksim juga pernah dilakukan oleh Ida Ayu Panuntun dari Universitas Pekalongan dengan mengambil judul “Tindak Tutur dan Pelanggaran Maksim Percakapan pada novel Harry Potter and the Sorcerer Stone”. Tujuan dari pada penelitian ini adalah yang pertama adalah mengidentifikasi prinsip-prinsip yang mengabaikan prinsip koperasi dalam arti arti. Yang kedua adalah mengidentifikasi tindak tutur masing-masing implikatur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan kooperatif pendekatan analisis prinsip. Objek penelitian adalah percakapan. Itu Temuan menunjukkan bahwa ada 47,4% percakapan yang melanggar maksim quaqntity; 13,2% percakapan yang mengabaikan maksim kualitas; 31,6% percakapan yang gagal maksim relevansi dan 7,9% percakapan yang mengulang maksim cara. Sementara itu temuan berikutnya terkait dengan tindak tutur. Ada yang ekspresif, direktif dan wakil. Disarankan bahwa temuan ini dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi para peneliti untuk menggunakan novel lain sebagai objek penelitian dan sudut pandang lain, seperti untuk menggambarkan dan menjelaskan tingkat kesulitan dalam maksim percakapan. Selain itu, Indah Rahmita Sari juga pernah melakukan penelitian yang berhubungan dengan tindak tutur dengan judul “Analisis Pragmatik Pelanggaran Tindak Tutur Guru di SMA Lentera”. Penelitian yang dia lakukan bertujuan untuk menjelaskan ketidaktaatan dalam percakapan di Sekolah Menengah Atas Lentera. Untuk itu, tiga hal utama dijelaskan dalam penelitianya, yaitu (1) percakapan, (2) analisis pragmatis, dan (3) pembangkangan percakapan. seseorang mengatakan sesuatu, itu bukan hanya tentang mengatakan kata-kata tetapi juga melakukan tindakan yang mengacu pada teori percakapan Searle (1975) yang ia membagi percakapan ke dalam tindakan yang berbeda, mereka adalah tindakan ketaatan, tindakan ilokusi, dan tindakan perlocutionary. Penguasaan materi yang kedua adalah tentang (a) kondisi teori

131 percakapan, (b) teori prinsip kerja sama, (c) teori prinsip Politenes. Penguasaan materi yang ketiga adalah tentang (a) ketidaktaatan prinsip kerja sama dan (b) ketidakpatuhan teori politen. Adapun posisi peneliti dalam penelitian ini adalah mengetahui (1) apa saja bentuk tindak tutur pada film pendek “malam minggu miko”. Serta (2) menguraikan pelanggaran maksim yang ada didalamnya.

Teori Tindak Tutur Bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang yang menuturkannya. Berdasarkan pembagiannya bahasa terbagi menjadi dua bagian yaitu bahasa verbal dan nonverbal. Menurut Pranowo dalam bukunya disebutkan bahwa bahasa verbal ialah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata, baik bahasa lisan maupun tulisan yang akan menampakkan benar-salah, dan baik buruknya seseorang dalam ucapan atau tulisan. Sedangkan bahasa non verbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak-gerik tubuh, sikap, atau perilaku saat seseorang mengaktualisasikan diri. Oleh karena itu, terdapat aspek yang perlu diperhatikan dalam berbahasa yaitu kesantunan (Pranowo, 2012:3) Tindak tutur merupakan bagin kecil dari peristiwa tutur guna mencapai tujuan tuturan. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti teori kesantunan berbahasa (politness theory) dan teori praanggapan. Peristiwa tutur dan tindak tutur merupakan dua gejala yang terdapat dalam satu proses, yakni proses komunikasi. Austin (1962) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pernyataan tersebut kemudian mendasari lahirnya teori tindak tutur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu kesatuan fungsional dalam komunikasi dengan mempertimbangkan aspek situasi tutur dan berada dalam peristiwa tutur (Chaer dan Agustina, 2010:50). Tutur yang pertama tama dikemukakan oleh Austin (1956) yang merupakan teori yang dihasilkan dari studinya dan kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul “How to Do Thing with Words?” Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969) dengan menerbitkan sebuah buku “Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language”. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau ahsil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (teh performance of speech acts) (Rohmadi,2004:36).

132

Dua ahli filosoffi, John Austin dan John Searle mengembangkan teori tindak tututr dari keyakinan dasar bahwa bahasa digunakan untuk melakukan tindakan, jadi paham fundamentalnya berfokus pada bagaimana makna dan dan tindakan dihubungkan dengan bahasa(Schiffrin,2007:63). John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Act: An Esay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut dan disebutkan sebagai berikut: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. a) Tindak Lokusi (Lucitionary Act) Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu, atau biasanya penutur hanya bermaksud memberikan informasi tanpa ada niatan lain. Tindak lokusioner atau lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak tutur ini dapat disebut dengan The Act of Saying Something.tindak tutur merupan tuturan yang mudah untuk ditafsirkan, karena memmang penutur hanya bermaksud memberi tau mitra tuturnya. Seperti tuturan “tanganku gatal” , penutur hanya bermaksud untuk memberikan informasi kepada mitratutur bahwa tangannya gatal(Rahardi, hal.35). b) Tindak Ilokusi (Ilucitionary Act) Jika tindak lokusi merupakan kalimat berita yang dituturkan penutur hanya untuk memberikan informasi dan tidak melakukan sesuatu. Maka berbeda dengan tindak ilokusi. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tuturan “tanganku gatal” tidak hanya bermaksud utuk memberikan informasi bahwa pada saat itu tangan si penutur sedang gatal, tetapi sang penutur mengharap sang lawan tutur melakukan tindakan tertentu, mengambilkan lotion gatal misalnya atau hal lain. c) Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act) Tindak perlokusi adaalah tindakan untuk memberikan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seorang agar memiliki daya pengaruh bagi yang lain baik sengaja maupun tidak disengaja. Jadi setelah seorang mengucapkan tuturan ilokusi, lalu dari tuturannya tersebut bisa mempengaruhi mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu yang dimaksud, maka dinamakan tindak tutur perlokusi.

133

Prinsip Kerja Sama Agar mengerti prinsip kerja sama (PK), perlu menggambarkan pandangan Grice tentang makna logis dalam relevansinya dengan bahasa alamiah. Grice (1975) memerhatkan antara logika dengan percakapan (Schiffrin, 2007:272). Dalam Wijana 1996, Grice mengatakan prinsip kerja sama dapat di refleksikan dari beberapa aturan/ketentuan atau maksim percakapan, diantaranya: maksim kuatitas, maksim kualitas, maksim hubungan serta maksim cara (Yendra, 2012:247-248). a) Maksim kuantitas Maksim kuantitas menghendaki setiap penutur dan mitra tuturnya untuk memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan seperti contoh: a. Anak tetangga saya yang laki-laki minggu depan akan sunatan. b. Anak tetangga saya minggu depan akan sunatan Ujaran kedua lebih ringkas,dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran, karena setiap orang pasti menegrti bahwa umumnya yang sunatan adalah lelaki. b) Maksim Kualitas Maksim kualitas menuntut penuturnya agar mengatakan sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataanya serta dapat dibuktikan dengan bukti-bukti. Seperti contoh berikut. a. Dimana letak kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?? b. Di jalan gajayana no.50 Malang Antara penutur dan mitra tuturnya pada tuturan diatas berkontribusi dengan baik, karena mitra tutur menjawab sesuai kenyataandan dapat dibuktikan kebenarannya. c) Maksim Relevansi Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur tanpa ada kontribusi dianggap melanggar prinsip kerja sama(Rahardi, 2008:56). a. “bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani” b. “maaf bu, kasian sekali nenek tua itu” Tuturan di atas terlihat bahwa jawaban sekretaris tidak sesuai atau tidak relevan dengan apa yang diucapkan oleh si bos. Hal ini diucapkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khsus sifatnya(Rahardi, 2008:57).

134 d) Maksim Pelaksanaan Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara lansung, tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebihan, serta runtut seuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Seperti contoh berikut(Yendra, 2018, hal. 255): a. “ayo cepat dibuka” b. “sebentar dulu, masih dingin”

Metode Penelitian Dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menekankan analisisnya pada konteks hubungan antara kata-kata dengan kondisi yang terjadi pada saat itu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembagian Ilokusi menurut Searle. Adapun tekhnik pengumpulan data yaitu berupa simak dan catat untuk memudahkan dalam proses analisa tuturan. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ni adalah (1) dengan simak dan catat video “Malam Minggu Miko episode Puisi Untuk Silvia” (2) mengklasifikasikan bentuk tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama yang adala dalam video tersebut.

Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan penelitian, penulis menemukan lokusi, ilokusi perlokusi serta beberapa pelanggaran maksim kerja sama sebagai berikut:

Tuturan lokusi Tuturan 1: “malam ini gue mau dateng ke acara pembacaan puisi yang dibikin sama gebetan baru gue silvia” Tuturan 2: “kayaknya gue jatuh cinta” Tuturan 3: “di malam ini, kita kedatangan tamu spesial, seorang budayawan dan juga seorang penyair, ibu yayang dewiana purnamawati, beliau juga yang akan mengomentari temen-temen semua dalam pembacaan puisi malam ini” Tuturan 4:

135

“menurut saya, puisi ini secara jeli menerjemahkan kebingungan manusia pada post modernisme yang tersembunyi pada hilangnya koneksi manusia satu dengan yang lainnya” Tuturan 5: Jubaedah :” “aku suka sama puisi-puis chairil anwar mas” Tuturan 6: Jubaedah”kalau aku si,, sukanya sama lagu-lagu yang liriknya romantis, karena aku suka puisi dan sajak mas anca”. Tuturan-tuturan di atas hanya bermaksud untuk memberikan informasi kepada pendengarnya atau mitra tuturnya. Si penutur tidak memiliki tendensi lain pada tuturannya selain sebagai penjelasan atau informasi saja.

Tuturan Ilokusi Tuturan 1: Miko :“gue sendiri udah nyiapin puisi bikinan gue sendiri, gue uda sempet ngetes puisi ini ke beberapa temen gue, gak tau si abis itu mereka gak pernah bales lagi telpon gue” Dalam tuturan ini Miko sebagai penutur selain memberikan informasi, juga ingin menyampaikan kebingungan dan kekhawatirannya kepada mitra tutur, kalau-kalau puisisnya tidak bagus berdasarkan respon temannya. Dan dari sini membuat mitra tutur paham bahwa kemungkinan puisinya tidak bagus Tuturan 2: Mas Anca: “saya sama jubaedah, pembantu tetangga sebelah punya banyak kesamaan, diantaranya kami sama-sama gak suka nyamuk” Pada tuturan tersebut, si penutur selain memberikan informasi memiliki niat lain, ingin memberitahu bahwa ia merasa cocok dengan jubaedah karena memiliki banyak kesamaan. Dengan kata lain ia memberitahu mitra tutur bahwa ia menyukai jubaedah. Tuturan 3: Rian: “berangkat sekarang gak nih?” Miko: “bentar-bentar gue masih belum yakin” Pada tuturan kedua, si penutur sebenarnya ingin agar mitra tuturnya menunda keberangkatan mereka dulu karena ia merasa belum siap. Tuturan 4:

136

Miko: “dengerin gue ya,, baca puisi itu 110 persen cuma pembawaan lo di atas panggung” Disini penutur selain memberikan informasi juga berniat memberi semangat dan meyakinkan mitra tuturnya soal kekhawatirannya diatas panggung agar tidak nervous lagi. Tuturan 5: Rian : “lu minum obat penenang atau apa kek” Miko: “ya lu lupa terakhir kali gue minum obat gitu dan salah obat jadinya kayak gimana” Tuturan miko selain memberikan informasi, ia memiliki maksud lain yaitu menolak saran Rian agar dia minum obat penenang. Tuturan 6: Rian :”barusan tadi dijalanan macet” Tuturan tersebut diucapkan oleh Rian selain untuk memberi informasi terkait kedatangannya, Rian bermaksud agar Silvia memaklumi keterlambatannya. Tuturan 7: Rian :“gue selalu ngerasa bakat gue tu di nulis dan baca puisi.....” Dalam tuturan tersebut, rian Ingin menunjukan betapa hebatnya dia dalam bidang baca puisi. Tuturan 8: “puisi yang sangat menakjubkan” Ibu yayang memberikan pujian kepada Silvia lewata kata-katanya yang berbentuk informasi. Tuturan 9: “ini puisi yang terbaik malam ini” Ibu yayang memuji puisi mas Anca

Tuturan Perlokusi Tuturan 1: Rian:“ngapain lagi, semprotan nyamuk dibuang-buang gitu” Tuturan Rian tersebut memberikan pengaruh bagi mas Anca yang merupakan pembantunya untuk lansung mematikan semprotan nyamuk agar tidak terbuang percuma. Tuturan 2: Rian : “kita mau pergi, titip rumah ya” Tuturan Rian selain mengandung Lokusi, memberi kabar kepada pembantunya bahwa mereka akan pergi, hal itu juga bermaksud lain yaitu menyuruh mas anca menjaga rumah. Setelah itu

137 tuturan ini menjadi perlokusi yaitu mas Anca tidak tidur terlebih dahulu tapi menjaga rumah sesuai yang diperintahkan bossnya. Tuturan 3: “itu puisi merupakan penghinaan terhadap kuping saya” Ibu yayang marah karean menagnggap puisi yang dibacakan Miko sangat buruk.

Pelanggaran Maksim Kerja Sama Tuturan 1: Rian: “Mik, lo udah tau urutan tampil ntar malem???” Miko” disana kan baru ditentuin” Tuturan tersebut tidak sejalan dengan prinsip maksim relevansi, karena seharusnya Miko menjawab sesuai yang dipertanyakan Rian, akan tetapi karena ketidak pahaman, jawaban yang dilontarkan Miko menjadi tidak relevan. Tuturan 2: Jubaedah :“mas Anca lagi ngapain???” Mas anca:“ini nyamuk” Jawaban Mas anca tidak relevan dengan Jubaedah, karena yang ditanyakan Jubaedah adalah apa yang dikerjakan Mas Anca kan tetapi mas anca malah menjawab “ini nyamuk” jadi antar pertanyaan dan jawaban tidak relevan, jadi tuturan ini merupakan pelanggrana terhadap maksim relevansi Tuturan 3: “kalau kamu sukannya lagu apa” “kalai aku sukanya lagu-lagu yang liriknya romantis, karena aku suka puisi dan sajak mas Anca. Tuturan tersebut merupakan pelanggran maksim kuantitas, karena yang ditanyakan mas Anca adalah sukanya lagu apa, akan tetapi jubaedah malah melebih-lebihkan jawabannya. Tuturan 4: “bilamana kamu datang??” “bilamana??” Tuturan tersebut juga erupakan pelanggaran pada maksim relevansi karean kurangnya pemahaman satu sama lain. Miko tidak terlalu mengerti bahasa yang digunakan Silvia, karena jawabanny atidak sesua dengan adek-adek

138

Tuturan 5: Rian :“halo,,,” Silvia: “rian,,, nama yang,,,” Hal itu tidak sejalan dengan jawabann yang diinginkan rian, karena ia menanykan namanya saja dan berkenalan dengan silvia, tetapi Silvia malah berpuisi, tuturan ini juga merupakan pelanggaran maksim relevansi. Tuturan 6: Jubaeda:“aku suka sama puis chairil anwar mas” Mas anca:“anwar anak mana tu”?? Tuturan tersebut juga jerupakan pelanggaran pada maksim relevansi karean kurangnya pemahaman satu sama lain. Miko tidak terlalu mengerti bahasa yang digunakan Silvia, karena jawabanny atidak sesuai dengan apa yang ditanyakan Miko.

Simpulan Tindak tutur terdiri dari lokusi yang ertujuan untuk hanya membagi informasi saja, kemudian ilokusi yang selain memberikan informasi juga memiliki maksud lain. Setelah itu perlokusi yang tuturannya dapat mempengaruhi mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu. Adapun prinsip kerja sama terdiri dari maksim kuantitas, kualitas, relevansi, pelaksanaan. Dari hasil analisa penulis menemukan ada 6 tindak tutur lokusi, 9 tindak tutur Ilokusi, dan 5 tindak tutur perlokusi. Adapun pelanggaran maksim kerja sama yang ditemukan adalah ada 5 pelanggaran maksim relevansi serta 1 pelanggaran maksim kuantitas.

Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. (2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Karya Nur Hanifah dkk. 2014. Nilai Karakter pada TindakTutur Lokusi, Ilokusi, dan perlokusi dalam Novel Astra akiya karya FiraBasuki. Vol.1. juli 2014. Karya Yuli Tiarina. 2010. Prinsip Kerja Sama dalam Kartun Avatar. Vol.11 No.1. 2010. Karya Agustina dkk. 2012. Ilkousi dalam buku humor membongkar Gurita Cikesa Karya Jaim Wong Gendeng dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Penelitian bahasa dan sastra. Vol 1 No.1. september 2012.

139

Pranowo. 2012. Berbahasa secara santun. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Rahardi, Kunjana. 2008. Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media Jogja Scchiffrin, Deborah. 2007. Ancangan kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yendra. 2012. Mengenal Ilmu Bahasa(linguistik). Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.

140

KRITIK SASTRA PADA TEORI EKSPRESIVISME

Ahmad Fajrul Islami Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang [email protected]

Ahmad Sholahuddin Zuhri Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang [email protected]

ABSTRACT Literature is a creative activity and a series of works of art that are passed through speach and written based on humanism and tradition. The division of literature is divided into 3, that is: theory, criticism, and literary history. Where all three have different but mutually sustainable definitions and goals. The author limits his research to the title of literary criticism on the theory of expressivism. Literary criticism on this theory began in the 18th century along with the turbulence of romanticism, expressivism theory is a flow that expresses the emotions of the soul and the attitude of the author like the creation of Abu Al-atiyah when he explained his unwillingness to slay on an impermanent earth. The critique of expressivism literature in romantic times is a major concern, because the theory of expressionism is centered on the soul of the author of the literary creation. But at the end of the 19th century criticism of the theory of expressionism made it difficult for critics, because the theory expressed the emotions, soul, and attitude of the author, making it difficult to account for scientifically. Keywords: Critical of Literature, Expressivism, Theory of Literature

ABSTRAK Sastra adalah suatu kegiatan kreatif dan sederetan karya seni yang disalurkan melewati lisan dan tulisan berdasarkan humanisme dan adat istiadat. Pembagian ilmu sastra terbagi menjadi 3, yaitu: teori, kritik, dan sejarah sastra. Dimana ketiganya memiliki definisi dan tujuan yang berbeda tapi saling berkesinambungan. Penulis membatasi penelitiannya dengan judul kritik sastra pada teori eksprevisme. Kritik sastra pada teori ini di mulai sejak abad ke-18 beriringan dengaan bergejolaknya teori romantisme, teori eksprisivisme merupakan aliran yang mengutarakan emosi jiwa dan sikap pengarangnya seperti karya Abu Al-atiyah ketika ia menjelaskan ketidakmauannya menghamba pada bumi yang tidak kekal. Kritik sastra ekpresivisme pada zaman romantik merupakan perhatian utama, karena teori ekspresivisme terpusat pada jiwa pengarang karya sastra tersebut. Namun pada akhir abad ke-19 kritik terhadap teori ekspresivisme menyulitkan kritikus,

141

karena teori tersebut menggutarakan emosi, jiwa, dan sikpa pengarang, sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kata kunci: Ekspresivisme, Kritik Sastra, Teori Sastra

Sastra merupakan ilmu dan juga seni bahasa yang masih eksis dikalangan universal. menurut Wallek & Warren sastra adalah suatu kegiatan kreatif dan sederetan karya seni. Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat kita lihat pada cabang ilmu pengetahuan lain: yaitu bahwa objek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak karuan (Teeuw, 1979:19). Mahayana menyatakan bahwa ilmu sastra mengenal tiga bidang keilmuan, yaitu: teori sastra , kritik sastra , sejarah sastra (Musthafa, 2008:11). Maka dibutuhkan penarikan perbedaan setiap bidangnya dan mengetahui fungsi dan perannya secara khas dan berkesinambungan. Menurut Wellek & Warren Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra (Taum, 1997:14). Sedangkan Mathew Arnold, seorang ahli kritik sastra Amerika diabad 19-an, mendefinisikan kritik sastra sebagai sebuah disiplin ilmu yang berusaha untuk mempelajari, menganalisis, menginterpretasi, dan mengevaluasi sebuah karya seni (Musthafa, 2008:14). Batasan yang berujuk kritik sastra diidentikkan dengan istilah timbangan bedah karya sorotan, tintingan, dan ulasan (Endaswara, 2013:2). Dan sejarah sastra merupakan pendekatan historik kesustaraan terjelma dalam berbagai bentuk (Teeuw, 1979:238). Ketiga bidang ilmu ini saling mempengaruhi dan berkaitan secara erat. "Tidak mungkin kita menyusun: teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra; kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra". Dari sinilah ilmu sastra juga menjadi bagian dari ilmu seni dan estetika. Bahkan karya sastra sebagian besar diolah dengan bahasa fiksi seperti puisi, cerpen dan novel, sehingga dapat kita simpulkan, bahwa setiap penulis memiliki perasaan yang sering disebut ekspresi. Hal ini dirpekuat dengan buku aesthetics karya Eugene veron, pada tahun 1879 juga menegaskan bahwa hakiki seni adalah manifestasi emosi yang dieksprsikan melalui serangkaian garis, bentuk atau warna, gerak, suara atau kata yang ditata dalam suatu irama tertentu (Sunarto, 2012:2). Hal tersebut mendorong para sastrawan menjadikannya sebuah teori yang disebut dengan teori ekspresivisme. Teori ini memandang bahwa ungkapan-ungkapan dan tulisan seorang individu mempunyai kebebasan dan keutuhan dalam meluapkan emosi, gagasan, dan ide-idenya dalam sebuah karya sastra.

142

Tak hanya dalam karya sastranya saja tetapi dalam metode pengkritisisasiannya teori ini banyak sekali pertentangan dari linguis linguis atau ilmuwa yang mempunya idealisme bahwa setiap karya atau penilitian sejatinya dikritisi secara objektif karna hal tersebut relevan dengan rasional, sedangkan teori ini dikritisi melalui metode biografi atau subjektif yang sangat bertentangan dengan metode objektif. Kedua pertentangan metode tersebut di jelaskan melalui kritik kirgegaard terhadap hegel, hegel merupakan seorang filsuf yang berpegang teguh pada metode objektifitas bahkan ia menyebutkan bahwa masyrakat adalah bentuk objektifitas apabila ia tidak mempunyai peran didalam, masyarakat maka disebut sebagai bentuk penyelewengan atau disebut juga subjektif (Rohman, 2014:116), hal tersebut bertengtangan dengan kirgegaard yang berangkat kepada metode subjektifitas, yang bertujuan untuk mencapai sebuah pengetahuan menyeluruh (Rohman, 2014:119) karena bila kita menggunakan objektifitas sebiagai metode kritisasi karya sastra maka akan timbul kontradiksi antara si pengkritisi dan penulis. Dalam sejarahnya, teori ekspresivisme tidak mengalami perkembangan dan dipandang sebelah mata oleh para satrawan dengan kurun waktu yang sangat lama. Baru pada tahun 1800- an sampai 1900-an, teori ini berkembang sangat pesat karena dipolpulerkan oleh wordsworth seorang sastrawan Inggris yang terkenal menulisakan dokumen penting tentang permulaan pergantian teori pragmatik dan mimetik kepada teori ekspresif. Dalam abad ini disebut juga zaman romantik. Tetapi pada akhir abad ke-19, teori ekspresivisme mulai menurun dalam pengkritikannya. Pembahsasan teori sastra dan kritik sangat universal. Maka dari itu dalam artkel ini penulis memberikan batasan dengan judul kritik sastra pada teori ekspesivisme yang bertujuan untuk menjelaskan kepada pembaca tentang teori ekspresivisme dan kritik teori tersebut.

Teori Sastra Teori Secara Umum Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati, teori berisi konsep/uiaian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu (Taum, 1997:13). Meskipun sering dipahami dengan nada miring, teori sebenarnya memiliki kontribusi penting dalam keseharian kita. Berikut ini beberapa manifestasi teori yang bisa dijadikan rujukan menurut Nealon & Giroux dalam buku karya Bachrudin Musthafa (2008),

143

a) Teori sebagai spekulasi, yang dapat merangsang lahirnya pertanyaan-pertanyaan refleksif tentang bagaimana sesuatu bekerja dan bagaimana sesuatu tersebut dapat bekerja dengan cara lain. b) Teori sebagai perangkat alat dan konsep untuk bereksperimen. c) Teori sebagai lensa pandang yang memungkinkan kita memperoleh perspektif yang berbeda terhadap suatu hal. Teori Sastra Definisi teori sastra mempunyai banyak sekali istilah-istilah sehingga tidak ada istilah secara khusus mengenai definisi teori sastra. Timbulah bermacam-macam pendapat para ahli sastra dalam medefinisikan teori sastra. Yaitu: a) Menurut Wellek & Warren teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra (Taum, 1997:14). b) Menurut Andre Irfevere teori sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal dan sosial sekaligus (Taum, 1997:15). c) Menurut Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn teori sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat (Taum, 1997:15).

Teori Ekspesivisme Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah sebuah teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pernyataan atau ekspresi dunia batin pengarangnya (Taum, 1997:20). Pada abad ke-18, pada masa romantik, perhatian terhadap sastrawan sebagai pencipta karya sastra menjadi dominan. Menurut selden karya sastra adalah kehidupan karya sastra seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang (Siswanto, 2008:74). Karya sastra dipandang sebagai sarana pengungkap ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran, dan pengalaman pengarang. Dalam ungkapan lain, Abrams berpendapat, sastra adalah proses imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-imajinasi, pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pengarang (Taum, 1997: 20). Ekspresivisme merupakan bagian dari Romantisme, yaitu aliran yang mengutarakan cetusan dan ledakan jiwa atau sikap pengarangnya secara langsung, sedangkan objek-objek yang

144 dijadikan media ungkapan tidak lebih hanya sekedar alat saja (Kamil, 2009:179). Contohnya syair Abu Al-atahiyah yang tidak mau mengahamba lagi kepada dunia yang tidak kekal dan dalam salah satu syair Wiladah menuliskan: إ ّني ذكستك باالزهساء هشتاقا # و األفق طلق ووجه األزض قد زاقا Seorang revolusioner dari Wordsworth yang menegaskan bahwa karya sastra yang baik adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang kuat (Taum. 1997: 24). Berarti unsur utama dalam sastra adalah perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia penyair yang dikumpulkan dalam karyanya. Akan tetapi sastrawan yang baik, selalu mendahulukan aspek sponanitasnya (Taum, 1997:25). Ibarat tumbuhnya tanaman yang mengikuti prinsip-prinsip organismenya sendiri secara inheren, demikian pula seharusnya konsep setiap karya seni. Menurut Wellek & Warren, teori ini merupakan studi yang paling mapan dan tertua dalam sejarah studi sastra (Taum, 1997:20). Teori ekspresivisme ialah aliran yang dalam perwujudannya berupa suatu pernyataan jiwa pengarangnya, cinta, bencinya, rasa kemanusiaanya dan lain-lain (Suroto, 1989:141). Teori ini banyak mendapat kritikan karena mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi dan psikologi pengarang. Teori ini pun mempunyai pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis. Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan (Siswanto, 2008:181).

Kritik Sastra Menurut Hartoko kritik sastra, suatu cabang dari ilmu sastra yang mengadakan analisis, penafsiran serta penilaian terhadap sebuah teks (wacana) sastra, juga disebut pengkajian teks (Yudiono, 2009:26). Dan pendapat Pradopo dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu, kemudian ditentukan berdasarkan “hukum-hukum” penilaian karya sastra, bernilai atau kurang bernilaikah karya sastra itu. Di samping itu, dalam kritik sastra juga diuraikan unsur inovasi dan dinamika sastra, serta diuraikan pula relevansi kemasyarakatan dan kebudayaan (Yudiono, 2009:28). Ada bermacam-macam pandangan kritik sastra yang beraliran pragmatisme dan positivisme. Biar pun gagasan ini sudah lama, namun inti konsepsinya masih dapat dimanfaatkan bagi pemerhati kritik sastra. Aliran pragmatis selalu mengetengahkan pentingnya kritik bagi

145 pengembang sastra. Pragmatisme memiliki prinsip, sastra yang bagus tentu yang memenuhi selera pembaca atau penikmatnya. Orang yang pragmatis, seperti sastrawan, ilmuwan, dan teolog menyatakan ketidak sabaran terhadap kritik sastra. Sebaliknya, kritikus sering memegang teguh aliran positisme. Akibatnya, kritikus sering memilih karya yang akan dijadikan lahan kritik. Ada banyak fungsi kritik sastra, pertama, menjelaskan karya sastra. Karena karya sastra, terutama puisi, sering menggunakan bahasa-bahasa padat dan simbolik yang mana maksud sastrawan bukan yang tersurat tetapi tersirat. Kedua, meluruskan kekeliruan karya sastra dari kaidah-kaidah bahasa, logika, teori sastra, dan kekeliruan estetikanya. Dalam fungsi ini, kritik sastra juga membantu sastrawan pemula menjadi sastrawan besar. Ketiga, menunjang ilmu sastra, analisis sastra dari para kritikus memberi sumbangan besar dalam pengembangan teori san sejarah sastra.

Kritik Sastra pada Teori Ekspresivisme Dalam zaman romantik, kritik ekspresif menjadi perhatian utama. Karena karya sastra dipahami sebagai ekspresi, peluapan, atau ungkapan perasaan pengarangnya, maka tolok ukur penilaian terhadap karya sastra terutama ditujukan kepada: Kesungguhan hatinya (sincerity), keasliannya (genuineness), dan kememadaiannya (adequacy) dalam mengungkapkan visi dan pemikiran individual si pengarang itu sendiri (Taum, 1997:25). Aspek-aspek itu seringkali dicari di dalam karya sastra sebagai pembuktian akan watak dan pengalaman-pengalaman khusus pengarang, baik yang disadarinya maupun yang tidak disadarinya. Ketika mengapresiasi karya sastra yang bermatra dan sarat muatan psikologis, kita bisa menikmati, menghayati, dan menjiwai suasana dan situasi-kondisi psikologis melalui berbagai unsurnya, misalnya latar, tokoh-tokoh, alur, dan konflik-konflik yang terdapat dalam karya sastra. Praktik-praktik kritik ekpresif sastra terpusat pada upaya menyelami jiwa pengarang karya sastra tersebut. Materi dan bahan-bahan penulisan karya sastra tidak terletak di luar diri individu melainkan terkandung dalam diri dan jiwa manusia penciptanya. Pengarang dianggap seorang pencipta yang membayangkan imajinasi kehidupan yang terpilih dan teratur (Taum, 1997:25). Tidak cocok dengan gagasan mengenai manusia dalam kebudayaan yang berabad-abad lamanya dikuasai oleh agama kristen dan filsafat yang coraknya sesuai dengan agama itu, mungkin juga diakibatkan faktor yang agak bersifat kebetulan memainkan peranan yang penting, tulisan yang

146 menonjolkan eksprevitas dan kreativitas penyair yang cukup lama tulisan yang dimaksudkan dalam bahasa yunani yang berjudul peri hypsous yang berarti kira kira (Teeuw, 1979:120). Kedudukan pengarang dan karyanya begitu erat, seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya. Tolok ukur sastra yang baik dalam pendekatan ini adalah: orisinalitas, kreativitas, jenialitas, dan individualitas. Benar tidaknya, objektif tidaknya suatu penilaian sastra sangat tergantung peda intensi pengarang dalam mewujudkan keorisinalan dan kebaruan penciptaan seninya. Data-data biografik dan historis menjadi bahan yang penting dalam studi sastra (Taum, 1997:25). Misalnya, mengapresiasi syair Abu Al-Qasim Al-Syabi yang menggambarkan pahit dan sengsaranya hidup didunia ini. Potongan syairnya berbunyi: ياصوين الحياة كن أنا فى الدنيا # غسيب أشقى بغسبت نفسي فى وجىد هكبل بقيىد # تائه فى ظالم شك ونحس فاحتضنني وضوني لك بالوا # ضي قهرا الىجىد علت يأسي Wahai lubuk hati kehidupan Berapa lama aku meninggalkan dunia Aku akan celaka dengan meninggalkan diriku sendiri Hidup dalam alam yang dibelenggu kesesatan Penuh keraguan dan kesialan Peluklah aku Jaminanku kepadamu pada masa lalu Hidup ini Adalah sebab munculnya kesedihan Untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam mengapresiasi syair Abu Al-Qasim Al- Syabi, pertama harus mengetauhi latar belakang, kepribadian, dan aspek-aspek yang terkait dengan psikologisnya. Karena dalam pendekatan ini, hal-hal yang berhubungan dengan biografi pengarang menjadi kehausan untuk dicermati dan diketauhi. Tanpa itu semua, pemahaman akan menjadi kering. Karena munculnya ungkapan dalam syair tersebut sangat dilatar belakangi oleh situasi yang melengkapi pengarangnya (Muzakki, 2006:137). Pada akhir abad ke-19, telaah sastra dengan berpedoman pada biografi pengarangnya menghadapi persoalan-persoalan mendasar yang cukup menyulitkan keabsahanya sebagai teori sastra yang bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah (Taum, 1997:25). Namun Wellek & Warren secara tegas menyebutkan bahwa biografi pengarang bukan masalah sastra sehingga

147 tidak relevan dipergunakan sebagai bahan penelitian sastra secara ilmiah. Seorang pengarang tidak bertanggungjawab secara pribadi terhadap ide, perassan, kebaiakan, atau kejahatan tokoh- tokoh ciptaanya. Sekalipun ada karya sastra yang erat berkaitan dengan kehidupan pengarangnya, karya sastra tetap bukanlah bukti kehidupan pengarang. Barangkali karya sastra tersebut mewujudkan impian atau bahkan “topeng” yang menyembunyikan pribadi pengarang yang sebenarnya (Taum, 1997:27). Subyek pelaku seperti pengarang, pencetus ide tidak penting. Dibalik sebuah karya sastra orang tidak menemukan subjek (pengarang) melainkan “suasana” suatu periode atau tipe-tipe masyarakat tertentu yang dimiliki masalah-masalah tertentu pula. Oleh karena itu bukan semata-mata gambaran hidup pengarang, melainkan dunia “lain” ciptaan pengarang (Endraswara, 2006:32). Wimsatt dan Beardsley dalam buku Yoseph Yapi Taum (1997:26) mengemukakan dalil- dalil untuk membuktikan bahwa niat pengarang tidak pengaruh terhadap keberadaan karya sastra, yaitu: a) Sekalipun sebuah karya sastra terwujud berkat adanya niat penulisanya namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuah teks. b) Harus dipertanyakan apa yang dicari dalam hal niat pengarang itu. Jika pengarang mampu menuangkan makna niatnya dalam karyanya, maka justru makna muatan itu sajalah yang seharusnya dinilai tanpa perlu meneliti apakah pengarang memang berniat demikian. c) Jika ukuran keberhasilan sastra adalah kesejajaran antara makna niatan pengarang dengan makna muatanya maka syarat-syarat subjektivitas pengarang sesungguhnya sudah dilepaskan. d) Apabila makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi, maka kita boleh menggunakan data biografis pengarangnya dengan sangat hati-hati, yakni data-data yang dapat menjelaskan pemakaian bahasanya, akan tetapi jika penggunaan bahasanya sudah jelas tidak perlu meminta penjelasan kepada pengarang. e) Makna niat merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga mencari-cari makna niat pengarang sungguh-sungguh suatu jalan pikiran yang sesat. Meskipun pendekatan biografis tidak membantu dalam memahami karya sastra secara lebih baik, Wellek & Warren mengakui bahwa ada manfaatnya mempelajari biografi pengarang karena ada sosok pribadi di balik karya-karya sastra. Manfaat biografi berguna antara lain:

148 menjelaskan alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra; mempelajari masalah pertumbuhan, kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang; menjelasakan tradisi sastra yang berlaku di daerah pengarang (Taum, 1997:27). Biografi pengarang memang ada manfaatnya bagi penelitian bagi penelitan namun tidak berarti bahwa biografi selalu relevan dengan makna karya yang dihasilkan. Karena itu jika peneliti masih bergantung pada pencipta, makna karya sastra justru diragukan (Endraswara, 2006:32). Menurut Paul Recoeur sebuak teks akan menjadi teks yang sesungguhnya bila pengarangnya telah meninggal. Dengan demikian, relasi pembaca dan teks akan menjadi utuh dan lengkap tanpa ada kewajiban bertanya mengenai intensi pengarangnya (Taum, 2009:27). Pernyataan ini diperkuat oleh Barthes bahwa teks sastra itu tidak bertuan, maka pembacalah yang menjadi tuan atas bacaannya, karena dunia menawarkan karya adalah dunia yang multidimensional, dunia di mana seluruh variestas (tekstur) bergabung (Endraswara, 2006:32).

PENUTUP Teori ekspresivisme adalah teori yang memandang karya sastra sebagai luapan rasa atau perasaan pengarang. Teori ini dipopulerkan oleh wordworth seorang sastrawan Inggris. Teori ini memiliki pendekatan ekspresif, yang mana pendekatan tersebut menitikberatkan pada ekspresi perasaan pengarang dan penilaian. Dalam pendekatan ini menekankan pada keaslian dan kebaruan. Kritik sastra pada teori ekspresivisme di zaman romantik merupakan kritik sastra yang dilakukan dengan menilai karya sastra itu dengan menganalisis orisinalitas, kreativitas, individualitas, dan data-data biografik dan historis menjadi bahan yang penting dalam studi sastra seperti syair Abu Al-Qasim Al-Syabi tentang pahitnya hidup di dunia ini, syair tersebut apabila tidak dianalisis biografi pengarangnya atau latar belakang penulisnya, maka pemahaman karya tersebut akan terasa hampa dikarekan kemuculan karya tersebut dilatar belakangi keadaan seorang penulis. Kemudian pada akhir abad ke-19 kritik terhadap teori ekspresif tidak bergantung pada latar belakang dan biografis pengarang. Karena keliru apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah karya sastra orang dengan berpedoman pada maksud (intensi) dan latar belakang pengarang. Dan sebuah teks sastra bisa menjadi teks sesungguhnya apabila pengarang karya tersebut sudah meninggal karena seorang pembaca akan lebih leluasa memahami teks tersebut tanpa menanyakan intensi ke pada pengarang. Akan tetapi pendekatan biografis dapat membantu dalam memahami karya sastra tersebut, Wellek & Warren mengakui

149 manfaat mempelajari latar belakang pengarang diantaranya karena ada sosok pribadi di balik karya-karya sastra tersebut.

DAFTAR RUJUKAN Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service) . Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Modal, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Kamil, Sukron. 2009. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. K.S, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktek Sastra Dalam Penelitian dan Pengajaran. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Muzzaki, Akhmad. 2006. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media. Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah. Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya. Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmaterapublishing. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. Sunarto. 2009. “Seni Sebagai Ekspresi Emosi (Telaah Hakiki dan Nilai Seni dalam ekspresivisme)” dalam jurnal imajinasi Universitas Negeri Semarang Vol.5, No.1 (2009) Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

150

HORISON HARAPAN DALAM PEMIKIRAN HANS ROBERT JAUSS

Muh. Zuhdy Hamzah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia Surel: [email protected]

Nurmiati Habib UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia Surel: [email protected]:[email protected] malang.ac.id

Kamila Maryam Kotta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia Surel: [email protected]:[email protected] malang.ac.id

ABSTRACT This article was written with the aim of explaining literary theories in the reader perspective or literary reception, especially the horizon theory of hope expressed by Hans Robert Jauss and his theses, as for the background of writing this article because of many differences of opinion about reception theory literature: the perspective of the reader. Among them are the theories of Hans Robert Jauss: Horizon of Hope. The research method used is descriptive method and qualitative research form. Sources of data in this study use the literature related to this theory. Data collection techniques in this study using library techniques, reading data about the thesis, concluding the data in accordance with the objectives. Data analysis techniques in this study are by reducing the data in accordance with the objectives, concluding the data in accordance with the objectives. The results of the writing of this article found a literary reception theory by a philologist, Hans Robert Jauss: The Horizon of Hope with his seven theses. Keywords : Fiology, horizon, literary reception, theses

ABSTRAK Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan teori-teori sastra yang ada dalam perspektif pembaca atau resepsi sastra khususnya teori horison harapan yang dikemukakan oleh Hans Robert Jauss serta tesis-tesisnya, adapun yang menjadi latar belakang penulisan artikel ini adalah karena

151

banyak perbedaan pendapat tentang teori resepsi sastra: perspektif pembaca. Diantaranya adalah teori milik Hans Robert Jauss: Horison Harapan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan bentuk penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan literatur- literatur yang berkaitan dengan teori ini. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, membaca data-data tentang tesis, menyimpulkan data-data sesuai dengan tujuan. Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu dengan mereduksi data-data sesuai dengan tujuan, menyimpulkan data-data sesuai dengan tujuan. Hasil penulisan artikel ini di temukan satu teori resepsi sastra oleh seorang fiologi yakni Hans Robert Jauss: Horison Harapan dengan tujuh tesisnya. Kata kunci : Fiologi, horison harapan, resepsi sastra, tesis.

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana „pembaca‟ memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, teori resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan. Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, yang berbeda dengan kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini tekanan diberikan kepada teks, dan untuk kepentingan teks ini, biasanya untuk pemahaman „seorang peneliti‟ mungkin saja pergi kepada penulis teks (Umar Junus, 1985:1). Memang harus diakui bahwa penelitian sastra, masih enggan lepas dari teks sastra. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh dominannya kritik teks dan teori sastra seperti teori biografi, formalis, strukturalis, dan terutama new criticism. Akibat dari ketimpangan ini, orientasi penelitian yang kearah pembaca sastra atau penikmat terabaikan. Padahal, aspek penelitian pembaca sastra yang dikenal dengan istilah pragmatik sastra justru tidak kalah pentingnya bagi perkembangan kesusastraan. Melalui resepsi pembaca akan diketahui seberapa jauh karya tersebut berguna bagi sasarannya. Seperti telah terlihat dari uraian di atas, ternyata bahwa meskipun peran penyambut, pembaca, dalam teori sastra sangat menonjol, tetapi tetap dalam relasi pengarang dan karya sastra. Kehidupan sejarah sebuah karya sastra tak terpikirkan tanpa partisipasi aktif penyambutnya. Sejarah sastra adalah proses resepsi estetik sebagai bagian dari reseptif pembaca, refleksi kritikus dan pengarang dalam kesinambungan kreativitasnya (Jabrohim, 2012:168).

152

Resepsi sastra melahirkan cakrawala baru dalam memaknai karya-karya tekstual sehingga dapat melahirkan bentuk baru dalam sebuah karya melalui proses resepsi dimana pembaca memaknai karya sastra sehingga dapat melahirkan karya yang lainnya, melalui sebuah pengalaman literer dimana pembaca menerima sekaligus mengelola bacaan yang dibacanya berdasarkan wawasan yang dimilikinya oleh Jauss dikenal dengan horison harapan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan peran resepsi sastra dalam memaparkan kongkretisasi sebuah karya melalui horison harapan pembacanya sehingga mampu menghasilkan sebuah karya dalam bentuk lain yang tidak hanya memiliki nilai estetika baru melainkan nilai ekonomi di masyarakat dan mempengaruhi dunia literasi secara umum dan sastra secara khususnya (Nyoman, 2011:167). Sungguh menarik perkembangan teori dari Jauss yang menyempurnakan suatu lingkaran dari perkembangan penelitian sastra. Penelitian itu dimulai dengan kepentingan penulis. Keterangan tentang arti suatu karya ditanyakan kepada penulisnya. Bila ini tidak dapat dilakukan lagi, ia dapat dicari pada riwayat hidup penulisnya. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang melihat karya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, yang mempunyai maknanya sendiri, dan ini dapat ditemui melalui analisa karya itu sendiri. Dari sini berkembang resepsi sastra yang memang melihat adanya skema yang diberikan oleh suatu karya untuk dapat memahaminya. Tetapi untuk menemuinya, pembaca harus menggunakan imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti (Umar Junus, 1985:143-144).

Definisi dan Perkembang Teori Resepsi Sastra Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meniliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan ( Emizir dan Saifur Rohman, 2016:111).

153

Teeuw menerjemahkan rezeptiona esthetk sebagai “resepsi sastra” yang dikemukakan oleh Junus. Resepsi dapat juga diterjemahkan sebagai “penerimaan estetik” sesuai dengan aesthetic of reception. Menurut Pradopo, resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai suatu aliran yang meniliti sastra yang bertitik tolak terhadap reaksi pembaca atau tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Ratna mengemukakan bahwa resepsi sastra berasal dari recipire (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penilitian yang memfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra sehingga memberikan reaksi atas teks sastra tersebut ( Emizir dan Saifur Rohman, 2016:195). Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara literer study yang kemudian banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi terasa benar saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang disosialisakan dengan strukturalis, pascastrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang sering kali lebih radikan dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak (Alfian, 2014:112).

Pemikiran Hans Robert Jauss: Horison Harapan Teori resepsi yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika Hans Robert Jauss menerbitkan tulisan yang berjudul Literary Theory as a Challange to Literary Theory. Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dengan kurun waktu yang berbeda. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptionsund wirkungsasthetik atau “tanggapan dan efek”. Menurutnya pembacalah yang menilai, menikamti, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi

154 demikianlah yang mampu menentukan nasib peranannya dari segi sejarah dan estetika. Menurut Jauss yang menjadi perhatian utama dalam teori estetika resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk sejarah (Alfian, 2014:112-113). Jauss mencoba menjembatani kesenjangan antara sastra dan sejarah, antara pendekatan estetik dan pendekatan historis. Ia berangkat dari sudut pandang yang kurang mendapat perhatian, baik dari kaum Formalis maupun kaum Marxis. Kaum Formalis memandang fakta literer dalam lingkaran tertutup produksi estetik, sedangkan kaum Marxis memandang fakta literer sebagai lingkaran tertutup penggambaran kenyataan. Dengan kata lain, mereka berusaha menghilangkan dimensi lain, yaitu penerimaan dan pengaruhnya, yang sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik dan atau fungsi sosialnya ( Jabrohim, 2012, h. 160). Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh “horizon harapan” (horizon of expectation). Teori ini merupakan interaksi antara karya sastra disatu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat dilain pihak. “Horizon harapan” karya sastra yang memungkinkan pembaca memberi makna terhadap karya tersebut, sebenarnya telah diarahkan oleh penyair lewat sistem konvensi sastra yang dimanfaatkan di dalam karyanya. Konsep “horizon” menjadi dasar teori Jauss. Ia ditentukan oleh tiga kriteria (Suwardi, 2003:109): 1. Norma-norma umum yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca pembaca; 2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya. 3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalya kemampuan pembaca memahami teks baru, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon “luas” dari pengetahuan tentang kehidupan.

Tesis-tesis Pemikiran Hans Robert Jauss Kontribusi Jauss dalam bukunya yang berjudul Toward Aesthetic of Reception mengenalkan tujuh tesis tentang wawasan ekspektasi pembaca (Jabrohim, 2012:162-167), yakni sebagai berikut: Tesis 1. Pembaharuan sejarah sastra menuntut pembuangan prasangka objektivisme historis dan dasar-dasar estetika karya sastra dan penggambaran kenyataan yang tradisional.

155

Kesejarahan sastra tidak tergantung pada organisasi fakta-fakta literer yang dibangun oleh post festum, tetapi dalam pengalaman kesastraan sebelumnya oleh para pembacanya. Tesis 2. Analisis pengalaman kesastraan pembaca menyisihkan perangkap-perangkap psikologi yang mengancam, jika analisis itu mendiskripsikan penerimaan (resepsi) dan pengaruh karya sastra dalam sistem-sistem harapan yang dapat dinyatakan yang muncul untuk masing- masing dalam momen historis kemunculannya, dari pemahaman genre sebelumnya, dari bentuk dan tema karya-karya sastra yang telah diakrabinya, dan dari perbedaan antara poetika dan bahasa praktis Tesis 3. Jika direkrontuksikan dengan cara ini, „horizon hrapan‟ karya sastra mengikuti salah satu untuk menentukan ciri-ciri artistiknya dengan macam dan tingkat pengaruhnya pada pembaca yang ditentukan. Jika seseorang mengkarakterisasikan perbedaan antara „horizon harapan‟ dengan pemunculan karya baru sebagai jarak estetik, maka penerimaannya dapat menghasilkan „perubahan horizon-horizon‟ melalui negasi terhadap pengalaman-pengalaman yang telah dikenalnya, atau melalui pengangkatan pengalaman-pengalaman barunya pada tingkat kesadaran. Dengan demikian, jarak estetik dapat diobjektivasikn secara historis sepanjang spektrum reaksi-reaksi audiens dan penentuan kritik (keberhasilan yang spontan, penolakan, atau shock, penyetujuan di beberapa bagian, pemahaman bertahap atau ditunda). Tesis 4. Rekonstruksi „horizon harapan‟, dalam hal ini karya sastra dicipta dana diterima pada waktu lampau, menyebabkan seseorang bertanya kembali tentang teks itu, dan mencoba menemukan bagaimana pembaca saat ini (kontemporer) memandang dan memahamai karya itu. Pendekatan ini membenarkan norma-norma klasik yang tidak dikebal atau pemahaman sen (karya) modern, dan mengabaikan jalan lain pada “semangat zaman” yang umum. Hal ini menimbulkan pandangan hermeneutic yang berbeda dengan yang dahulu atau sekarang; hal ini menimbulkan kesadaran sejarah pada resepsi (penenrimaannya) yang menjembatani kedua pandangan itu, dan membuang diktum metafisik fisiologis yang telah mapan yang menganggap karya sastra sebagai. Tesis 5. Teori estetika tidak hanya memandang makna dan bentuk karya sastra dalam penjelasan historis pemahamannya. Teori ini juga menuntut kerja individual sebagai bagian dari jajaran kerja lainnya, untuk mengetahui arti dan kedudukan hitorisnya dalam kontek pengalaman sastra. Di dalam tahapan dari sejarah resepsi sastra ke sejarah sastra, yang kedua ini memanifestasikan diri sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang.

156

Karya (pemahaman) berikutnya dapat menyelesaikan problem-problem moral dan formal yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan dapat menghadirkan problem baru bagi pemahaman berikutnya. Tesis 6. Hasil-hasil yang dicapai dalam linguistik melalui perbedaan dan interelasi metodologis analisis sinkronis dan diakronis ialah pembenahan atau penyempurnaan observasi diakronis yang sampai sekarang menjadi metode yang menjadi biasa dalam studi sejarah sastra. Karena hal ini membuka perubahan dan perilaku estetik, prespektif sejarah resepsi selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya- karya terdahulu. Prespektif ini juga dapat mempertimbangkan pandangan sinkronis juga menyusun karya-karya yang heterogen yang berbeda waktunya kedalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga didapat sistem hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu. Tesis 7. Perbedaan antara sastra dengan sejarah, antara estetika dengan pengetahuan historis, dapat dijembatani, jika sejarah tidak hanya mendeskripsikan karya sastra sebgai refleksi proses sejarah umum, tetapi juga dalam evolusi kesastraannya menemukan fungsi formatif sosialnya yang benar-benar menjadi milik karya sastra itu, yang bersama-sama dengan seni dan kekuatan sosial lainnya dalam emansipasi kemanusiaan dari ikatan sifat kealamiahannya, keagamaan dan sosialnya. PENUTUP Teori prespektif pembaca atau teori resepsi sastra merupakan tanggapan pembaca terhadap suatu karya sastra yang di dalamya pembaca terlibat dalam proses pemberian reaksi sebuah teks sastra. Hans Robert Jauss yang mengemukakan teori horison harapan (horizon of expectation) mengimpretasikan dalam teorinya bahwa interaksi antara karya sastra disatu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat dilain pihak. Hasil pemikirannya, Jauss membagi menjadi tujuh tesis dalam wawasan ekspektasi pembaca.

DAFTAR RUJUKAN Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra .Yogyakarta: Graha Ilmu. Emzir & Rohman, Saifur. 2016. Teori dan Pengajaran Sastra. Depok:

157

PT Rajagrafindo Persada. Kutha Ratna, Nyoman. 2011. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Fokkema, D.W. 1998. 2011. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT Geamedia Pustaka Utama Anggota IKAPI Djoko, Pradopo. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Prasetia Widia Pratama. Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komperhensif. Yogyakarta: Anggota Ikapi Pradopo, Rachmat Djoko. 1986 Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

158

TEORI SASTRA BERDASARKAN PERSPEKTIF KONSEP ROLAND BARTHES

Arina Haque UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia Email: [email protected]

Ni‟ma Rofidah UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia Email: [email protected]

ABSTRACT Literature theory is branch of literature knowledge which is very influence with the other . It has appeared as contradiction as structuralism theory after realizing erroneous thing and finding that purposing the text wasn’t stable in essence. Roland Barthes as prominent figure of naratology postructuralism think that text has much meanings and the author wasn’t the only and principal source of the literature labor. He expressed his views in the theory of narrative which is a theory in the realm of narrative and mythology which later became the basis of semiotics. This article describes various important things and objects ranging from the definition of literary theory itself to the meaning of text throught narrative and mythological theory especially after getting to know the short biography. The authors hope that after this publication ca add insight into the meaning of literary theory and the hidden purpose of the posttructuralist sparks as a theory of structarilsm rebuttal, especially the ideas of Roland Barthes as another view of various literary theories. Keywords: mythology, naratology, postructuralism, Roland Barthes, theory literature.

ABSTRAK Teori sastra merupakan disiplin ilmu sastra yang sangat mempengaruhi bidang ilmu sastra lainnya. Kemunculan teori pascastrukturalis merupakan bantahan atas teori strukturalis setelah menyadari kekeliruan dan menemukan bahwa pemaknaan teks tidak stabil secara esensial. Roland Barthes sebagai tokoh naratologi pascastrukturalis berpendapat bahwa teks memiliki banyak arti dan penulis bukanlah sumber utama sebuah karya. Ia mengemukakan pandangannya dalam teori naratologi yang merupakan teori dalam ranah narasi dan mitologi yang selanjutnya menjadi dasar teori semiotiknya. Artikel ini menjabarkan berbagai hal dan objek penting mulai dari definisi teori sastra itu sendiri hingga pemaknaan teks melalui teori naratologi dan mitologi terlebih setelah mengenal biografi singkatnya. Harapan penyusun setelah dipublikasikannya artikel ini adalah menambah wawasan pemaknaan teori sastra dan tujuan terselubung dari pencetusan

159

pascastrukturalis sebagai teori bantahan strukturalisme teutama gagasan-gagasan Roland Barthes sebagai pandangan lain mengenai ragam teori sastra. Kata kunci: mitologi, naratologi, pascastrukturalis, Roland Barthes, teks jamak, teori sastra.

Ilmu sastra dalam kajiannya mencakup tiga bidang: teori sastra (literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Ketiga bidang kajian ini saling berkaitan satu sama lain. Meski dalam perkembangan ilmu sastra pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga kajian tersebut, namun dalam praktiknya ketiga cabang ilmu ini tetap saling terkait. Teori sastra sebagai salah satu disiplin ilmu sastra sangat dibutuhkan oleh bidang sastra yang lain yaitu kritik dan sejarah sastra. Ketika seorang kritikus sastra memiliki pemahaman yang baik dalam teori sastra, akan memudahkan baginya untuk mengkritik suatu karya secara objektif dengan berpijak pada teori tersebut. Sebaliknya, tanpa berpijak pada teori sastra, memungkinkan ia sangat subjektif dalam kritiknya yang tidak mendasar. Begitu pula bagi sejarahwan sastra, kedua cabang ilmu tersebut sangat dibutuhkan dalam pengembangan sastra yang layak dijadikan rujukan dalam sejarah (Musthafa, 2008:11-12). Sebagai langkah awal pembelajaran mengenai ilmu sastra, artikel ini akan membahas tentang teori sastra. Sesuai dengan namanya, kajian teori sastra tentu menjurus pada bidang teori. Teori sastra, menurut Lye (1988) merupakan cabang ilmu yang menjelaskan apa itu sastra, hubungan antara teks dengan pengarang dan pembaca, bahasa, masyarakat dan sejarah. Secara umum, teori sastra adalah mengenai interaksi yang luas antara teks sastra dengan dunia luar yang menjadi latar belakang kemunculan sebuah teks karya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perjalanan teori sastra tidak akan lepas dari kritik sastra. Dalam menganalisis sebuah karya, akan muncul pertanyaan-pertanyaan dasar yang berhubungan dengan karakteristik, psikologis, fungsi dan deskriptif sebuah teks. Ini merupakan praktik dari teori sastra yang sama- sama timbul dari interaksi antara kritikus dengan sebuah teks karya (Endraswara, 2011:168). Pada umumnya, teori dan praktik memang merupakan dua hal yang bertentangan. Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil di konsep dalam suatu rumusan ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya yaitu teori itu sendiri, maka teori itersebut harus dioperasikan secara praktis . dan jika belum bisa diujikan dalam praktiknya, maka belum bisa dikatakan teori yang valid yang gagal mencapai tujuannya yakni untuk membantu proses penelitian. Maka pada dasarnya, teori dan praktik itu bersifat saling membantu dan saling melengkapi. Oleh karenanya, untuk dapat

160 melakukan kritik sastra, perlu kiranya kita ketahui lebih dahulu tentang teori-teori sastra (Ratna, 2004:2)

Teori Sastra Salah satu manifestasi teori adalah apa yang dikatakan Nealon dan Giroux (2003), “Teori sebagai lensa pandang yang memungkinkan kita memperoleh perspektif yang berbeda terhadap suatu hal”. Dalam dunia sastra, penemuan teori resepsi atau respons pembaca, misalnya, bagi peminat dan penikmat sastra, pendapat tentang makna sebuah karya sastra seperti novel atau puisi yang bergantung pada otoritas teks sebagaimana yang dituturkan oleh teori kritik baru, pendapat tersebut akan mengalami pergeseran. Berpijak pada teori respons pembaca, pembaca terlibat dalam proses transaksi pemaknaan dalam sebuah teks karya. Dalam pandangan yang ekstrim, pembacalah yang menentukan makna, dan ia memiliki otoritas tertinggi dalam pemaknaan sebab otoritas pengarang telah mati (the death of the author) ketika karya berada ditangan pembaca. Teori adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian yang tujuan utamanya adalah mempermudah pemahaman terhadap suatu objek, sekaligus memberikan keluaran yang maksimal. Secara khusus, teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan gejala-gejala sastra (Musthafa, 2008:6). Teori sastra mulai berkembang di dunia kesusastraan dan retorika pada zaman Yunani klasik. Sejak abad ke-18, teori sastra sudah masuk dalam ruang lingkup bidang estetika dan hermeneutika. Dalam perkembangannya ia menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri dengan dipengaruhi oleh bidang filsafat di abad 20. Meskipun demikian, praktik penggunaannya sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno, seperti “poetic-nya Aristoteles, dan Romawi kuno, seperti On the Sublime-nya Longinus. Di Barat, dalam dunia akademik, teori sastra memperoleh popularitasnya sejak tahun 1960-an. Sampai pada tahun 1980-an, ia menjadi mata kuliah wajib yang diajarkan untuk program studi sastra hampir di seluruh perguruan tinggi (Musthafa, 2008:11) Berkembang mekarnya teori sastra sejak awal abad ke-20, dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi yang menopang sarana dan prasarana sebuah penelitian memudahkan proses pelaksanaan penelitian tersebut. Fungsi utama karya

161 sastra adalah untuk melukiskan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri mengalami perubahan dan perkembangan di setiap waktunya. Dalam hubungan inilah diperlukan adanya perbedaan genre, dan diperlukan pula teori yang berbeda untuk memahaminya. Teori strukturalisme, yang berhasil memasuki hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman dengan baik. Dalam sejarahnya, perkembangan teori ini terjadi melalui dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Disamping itu, dalam perkembangannya juga terkandung beberapa ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung ia menjadi akibat dari perkembangan strukturalisme. Teori ini lahir dari ketidakpuasan dan berbagai kritik terhadap teori formalisme, teori yang muncul akibat penolakan terhadap paradigma positivme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas. Kemudian dalam perkembangan keilmuan sastra, teori ini pada akhirnya juga terbantahkan oleh teori pascastrukturalisme yang dalam penelitiannya menemukan banyak kelemahan yang perlu diperbaiki hingga memunculkan teori baru dari evaluasi dan sebagai revisi dari strukturalisme, yaitu teori postrukturalisme, atau yang sering disebut juga pascastrukturalisme.

Roland Barthes Lahir pada 12 November 1915 di Kota Cherbourg, Normandy, Barthes berasal dari golongan keluarga menengah Protestan yang ditinggal mati ayahnya saat ia berusia satu tahun. Ayahnya, seorang perwira angkatan laut terbunuh dalam tugas di North Sea. Sejak itu Ibunya, Enriette Barthes, bibinya, dan neneknya mengajak pindah ke kota Bayonne, sebuah kota kecil di dekat Pantai Atlantik, sebelah barat daya Perancis. Di sana ia pertama kali mendapat pelajaran soal kebudayaan. Barthes kecil juga giat bermain musik, terutama piano dari bibinya. Ketika berumur sembilan tahun, ia pindah ke kota Paris mengikuti ibunya yang bekerja sebagai penjilid buku dengan gaji kecil. Sepanjang tahun 1934-1947, ia menderita TBC sehingga mengharuskannya berobat ke Pyrenees. Dalam proses penyembuhan itulah Barthes banyak menghabiskan waktu dengan membaca. Pada tahun 1962, Barthes telah memperoleh posisi di Ecole Pratique de Hautes Etudes sebagai dosen reguler. Di bulan Februari 1980, saat ia menyeberang jalan setelah keluar dari pertemuan makan siang dengan para politisi dan intelektual sosialis, Barthes ditabrak truk binatu di depan College de France. Empat minggu kemudian, di masa penyembuhannya, ia meninggal dunia (Ratna, 2004:259-260).

162

Barthes adalah sosok ilmuwan yang produktif menulis. Karya-karya Barthes mencakup banyak bidang, di antaranya teori-teori semiotik, esai-esai tentang kritik sastra, sejarah, catatan perjalanan, hingga psikobiografi. Berbagai buku dan kumpulan tulisan Barthes di antaranya: A Barthes Reader, Camera Lucida, Critical Essays, The Eiffel Tower and other Mythologies, Elements of Semiology, The Empire of the Signs, The Fashion System, The Grain of the Voice, Image-Music-Text, Incidents, A Lover’s Discourse, Mythologies, New Critical Essays, The Pleasure of the Text,The Responsibility of Forms, The Rustle of Language, Sade/Fourier/Loyola, The Semiotic Challenge, S/Z, Writing Degree Zero, Michelet par Lui-Meme (1952),The Photogrphic Message in Barthes (1971), The Rethoric of the Image in Barthes (1975), The Third Meaning in Barthes (1977), Roland Barthes par Roland Barthes (1975), Plaisir du Texte (1973), de I’Ecriture (1952), dan yang paling kontroversial hingga melambungkan namanya; Suracine (1963). Pada buku yang disebutkan terakhir inilah Barthes menggagas sebuah pendekatan baru yang diberi nama nouvelle critique (kritik sastra baru). Tokoh naratologi postruktural atau bisa juga disebut pascastruktural Perancis, Roland Barthes ini dikenal sebagai semiolog yang sangat aktif dalam memanfaatkan teori struktural Saussurean sekitar tahun 1960-an sejajar dengan Levi-Strauss, Michel Fouchault, dan Jacques Lacan. Pada akhirnya Barthes mengakui bahwa proses pemaknaan tidak terbatas pada bahasa seperti yang banyak dikemukankan oleh para tokoh strukturalisme. Pemaknaan juga meliputi seluruh kehidupan ini tetapi tetap atas dasar konsep-konsep linguistik, sebagaimana dilakukan Barthes dalam analisis berbagai gejala masyarakat dalam bukunya yang berjudul Mythologies. Sesuatu yang menandai fase pascastrukturalis dalam karya–karya Barthes adalah usahanya melepaskan aspirasi ilmiah. Dapat dikatakan bahwa periode pasca– strukturalis Barthes yang paling baik digambarkan oleh esai pendeknya “Kematian Penulis”. Ia menolak pandangan tradisional yang menyatakan bahwa pengarang adalah asal–usul teks, sumber artinya, dan satu– satunya otoritas penafsiran (Ratna, 2004:259). Dalam kaitannya dengan teks, Barthes juga tidak membedakan antara teks sastra, filsafat, dan agama. Karyanya yang terkenal dan menjadi karya pendobrak adalah S/Z (1970), analisis terhadap novel pendek karya Balzac yang berjudul Sarrasine. Secara khas Barthes membagi novel menjadi satuan-satuan bacaan, yang disebut leksia, dan harus dipahami melalui sistem kode. Leksia mungkin terdiri atas satu kata, beberapa kata, kalimat, alinea, atau beberapa alinea. Menurut Barthes, karya sastra bukanlah pelaksanaan sistem kode, melainkan „dilalui‟ oleh

163 berbagai sistem kode. Dalam S/Z Barthes (Selden, 1986:76-77 dalam Ratna, 2004:259) menawarkan lima kode, sistem yang memungkinkan untuk memahami teks, yaitu: 1. Kode hermeneutik, yang berhubungan dengan penafsiran di mana teka-teki dan kebingungan harus dipecahkan, dalam rangka memperoleh kebenaran. 2. Kode semes (semantic), yang berhubungan dengan hakikat konotasi yang dikaitkan dengan peristiwa dan tokoh-tokoh. 3. Kode simbolik, yang berhubungan dengan polarisasi dan antithesis, dalam rangka menemukan multivalensi, bahkan perlawanan. 4. Kode proairetic (aksi), yang berhubungan dengan aksi naratif yang dapat terjadi dalam beragam sekuen. 5. Kode kultural yang berhubungan dengan semua referensi yang dihasilkan oleh masyarakat. Menurut Roland Barthes, teks merupakan objek baru yang diperoleh dengan pemindahan atau pembalikan kategori-kategori yang telah dipergunakan sebelumnya. Kata teks dipandang lebih sesuai dengan mode perkembangan dan lebih menunjukkan aspek-aspek tertentu. Dunia teks amat luas, teks tidak hanya di peruntukkan buat sastra yang baik. Teks tidak dapat dikuasai sebagai bagian dari suatu jenjang atau pembagian sederhana suatu aliran-aliran dalam sastra. Teks merupakan hal-hal yang berada dalam lingkup aturan pengucapan yang bersifat rasional dan mempunyai kemampuan untuk dibaca. Teks bersifat imajiner karena itu ia berada pada lingkup aturan pengucapan yang kemudian mempraktekkan suatu penundaan yang tidak terbatas terhadap hal yang penting. (Ratna, 2004:260) Dari hasil pemikiran teks jamak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian membaca dalam arti mengkonsumsi tidak berarti bermain dengan teks. Teks bermain dengan sendirinya. Pembaca kemudian mempermainkan suatu teks dengan suatu permainan, dia mengamati untuk melakukan suatu praktek yang akan dapat menghasilkan kembali suatu teks. Teks menuntut kerja sama secara aktif. Pengulangan dan peniruan dalam membaca untuk konsumsi menjadi penyebab terjadinya kebosanan yang mungkin dirasakan orang ketika sedang menghadapi teks, terutama ketika menghadapi teks yang tidak dapat dipahami. Apabila terjadi demikian berarti, bahwa orang tersebut tidak dapat menghasilkan teks, memainkannya, membukanya, dan kemudian membiarkannya pergi. Teks dapat memberi suatu kenyamanan dan kenikmatan. Kenikmatan umum sebuah teks ialah sesuatu yang melampaui makna yang jelas. Pada waktu membaca terlihat hubungan, gema, atau rujukan, Gangguan kebenaran, kejajaran dan aliran teks ini memberikan nikmat (Selden, 1986; terjemahan Umar Junus, 1989:78).

164

Teori Mitologi Secara etimologis, mythology (Yunani) menunjukkan arti ilmu atau pengetahuan tentang mitos (mhytos) dan mite (myth). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata mitos diartikan pada cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut dengan arti mendalam yang diungkapkan secara gaib. Sedangkan mite, berarti cerita yang memiliki latar belakang sejarah yang dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci dan mengandung hal-hal ajaib yang pada umumnya juga tentang dewa. Kedua pengertian ini pada intinya sama, yaitu mengarah pada cerita tentang hal-hal gaib yang dianggap suci. Kedua ilmu pengetahuan ini masuk dalam bidang mitologi. (Sehandi, 2014:198). Mitologi, dalam KBBI (2001:749) diartikan sebagai suatu ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan. Jadi, mitologi merupakan teori sastra yang mengkaji atau menganalisis tentang mitos-mitos yang ada pada kebudayaan dan masyarakat tertentu. Menurut Ratna, (2009:67) karya sastra memang bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetika karya sastra adalah manifestasi dari mitos itu sendiri (Sehandi, 2014:200). Pandangan Roland Barthes mengenai mitologi tidak sebagaimana pengertian konteks mitologi-mitologi lama yang mengarah pada orientasi masa lalu dan bentukan sejarah yang bersifat statis. Menurut Roland Barthes, ungkapan mitologis tidak hanya berbentuk ungkapan oral, akan tetapi ungkapan itu bisa berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olahraga, pertunjukan, iklan dan lukisan. Dalam konteks mitologi lama, mitos berhubungan dengan sejarah dan bentukan masyarakat atau budaya. Berbeda dengan pandangan Barthes, ia menganggap mitos sebagai bentuk pesan atau ungkapan yang harus diyakini kebenarannya meskipun bukti secara nyata tidak dapat dipastikan (Iswidayati, 2012:1) Mitologi merupakan buku pertama Barthes di Perancis (bagian I Mythologies). Berdasarkan mitologi tersebut Barthes menyusun teori semiotik yang dibahas dalam bagian II (Myth Today). Inti pembahasan Barthes dalam buku ini lebih menekan pada relasi antara ekspresi dan konteks, atau relasi antara ekspresi dan isi. Untuk menganalisis mitologi Perancis, pendekatan yang diterapkan oleh Barthes adalah pendekatan konotatif (Iswidayati, 2012:3) Contoh analisis Barthes pada mitologi Perancis adalah dalam artikel wine atau anggur (1972:58). Dalam budaya Perancis, anggur merupakan simbol status sosial yang tinggi

165

“keperancisan” dan virtilitas. Pesan yang disampaikan oleh anggur Perancis adalah “kualitas yang baik”. Tetapi mitos ini harus dipertanyakan melihat bahwa anggur juga merupakan suatu barang komoditas seperti barang lain yang diproduksi oleh rejim kapitalis. Di sisi lain, di daerah bagian utara Afrika dijadikan sebagai tempat penanaman anggur (vineyard) yang sebenarnya, lahan tersebut dikenal dengan tempat produksi makanan. Mereka yang bekerja di lahan anggur adalah mayoritas populasi muslim. Maka, dalam hal ini, Perancis yang dimitoskan sebagai Negara Anggur yang berkualitas telah merusak dan mengalienasikan lingkungan dan kultur orang-orang Afrika Utara. Dari contoh diatas terdapat dua lapisan logika mitologi. Pertama, pesan dibaca sebagai isi tentang sikap dan budaya. Kedua, adanya suatu keinginan untuk menyembunyikan yang sangat eksploitatif dengan mengugkapkan kerja struktur ekonomi yang terpendam (Iswidayati, 2012:3) Hubungan mitos dan semiologi berkaitan dengan dua istilah, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified), yang kemudian berkaitan lagi dengan istilah tanda (sign). Misal, satu karangan bunga menandakan cinta. Pernyataan ini tidak hanya berurusan dengan penanda (signifier) dan petanda (signified), bunga dan cinta, karena pada tahap analisis terdapat tiga istilah, yaitu bunga yang menandakan cinta adalah sebagai tanda (sign). Dalam hal ini penanda (bunga) adalah suatu konsep bahasa. Sedangkan petanda adalah gambaran dari mental bunga, dan tanda merupakan hubungan antara konsep dan gambaran mental yang menumbuhkan satu arti, cinta (Iswidayati, 2012:6) Melihat pada contoh diatas, menunjukkan bahwa hubungan mitos dan semiotik yang diungkapkan Barthes telah melebihi dari apa yang diungkapkan oleh Saussure. Perkataan Saussure mengenai makna hanya berbatas pada apa yang didenotasikan oleh tanda. Lebih dari itu, Barthes menambah pengertian tersebut menjadi makna pada tingkat konotasi, yang masuk pada wilayah pertandaan tingkat kedua. Bagi Barthes, konotasi ini lah yang mendenotasikan suatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos (Hermawan, 2005)

Teori Naratologi Teori naratologi yang berasal dari narration (Latin) yang berarti perkataan, kisah, hikayat, dan cerita, sedangkan logi dari logos (Latin) berarti ilmu. Teori naratologi sering kali juga disebut sebagai teori wacana (pada analisis bahasa, linguistik), teori narasi (pada analisis sastra, naratologi), dan teori tekstual (teks sebagai objek otonom). Secara definitif teori naratologi

166 adalah seperangkat konsep mengenai cerita (narasi) dan struktur penceritaan (plot atau alur) yang terdapat dalam karya sastra. (Sehandi, 2014:113) Secara etimologis, naratologi bisa diartikan sebagai ilmu tentang narasi. Sebagaimana Roland Barthes (1991:166) pernah menggunakan naratologi struktural dengan membaginya ke dalam sekuen-sekuen dan unsur sintaksis naratif yang berupa aktan. Kemudia ia membagi aktan- aktan menjadi dua bagian, yakni nuclei dan catalyzers. Nuclei adalah sebuah aktan yang harus hadir, sedangkan catalyzer adalah sebuah aktan yang bisa dihilangkan tanpa harus merusak alur cerita. Di samping itu, Jonathan Culler (1975:139) mendukung upaya ini. Sebagai alasannya yakni karena bisa melihat garis besar, juga melakukan verifikasi fakta dan bisa dijadikan upaya untuk meringkas plot atau cerita pada saat yang sama. Kegiatan memverifikasi fakta ini bisa dilakukan oleh para pembaca ahli (mature readers) sebagai eksplisitasi atas pembacaan yang mendalam untuk memuaskan pembacaannya. Roland Barthes (1977:79) menjelaskan bahwa naratologi bersifat inheren atau berhubungan erat dan melekat di seluruh peradaban manusia, meskipun makna dari setiap narasi bisa jadi dipahami secara berbeda, bahkan kadang saling bertentangan, karena latar budaya yang berbeda. Secara ringkas, uraian Barthes terkait naratif dapat dipahami dalam lima proposisi, yakni: pertama, cerita atau narasi ada di mana-mana, tidak ada ada satu hal di dunia yang luput dari cerita; kedua, bukan hanya manusia yang bercerita, melainkan manusia itu sendiri terdapat dan dapat dikenai di dalam cerita; ketiga, penyampaian suatu cerita selalu terkait dengan kekuasaan, kepemilikan, dan dominasi; keempat, cerita bersifat jamak atau plural, tidak tunggal; kelima, setiap cerita selalu memiliki suatu pesan tentang cerita itu sendiri yang ingin disampaikan, yang dikenal dengan prinsip self-reflexive dan metafictional dimensions. Tujuan teori naratologi adalah untuk menganalisis atau mengkaji karya sastra dalam bentuk narasi atau wacana. Secara umum teori naratologi tidak bisa dipisahkan dengan teori-teori sastra yang lain. Karena teori-teori sastra lainnya, baik yang termasuk dalam kelompok strukturalisme maupun postrukturalisme, pada dasarnya berada dalam bentuk narasi atau wacana cerita. Objek yang dianalisis dalam teori ini juga konsep-konsep yang digunakan dan diambil melalui dan disesuaikan dengan konteks dan kompetensi wacana. Dalam analisis prosa (novel dan cerpen) dan drama, misalnya, bagaimana tokoh dan penokohan terbentuk, demikian juga tema dan pandangan dunia, gaya dan gaya bahasa, plot atau alur, dan lain-lain, adalah dalam bentuk analisis wacana atau analisis penceritaan itu sendiri. (Sehandi, 2014: 114)

167

Karya sastra menjadi rumit dan kompleks sehingga berbeda dengan deskripsi-deskripsi yang lain adalah akibat peranan strutur naratif. Dengan demikian, memerlukan pengetahuan tambahan untuk memahaminya. Komplikasi antara fibula dan sjuzet (formalis pada umumnya), histoire dan recite (Genette), story dan text (Mieke Bal dan Rimmon-Kennan), menampilkan problematika ruang-ruang kosong yang harus dipecahkan oleh pembaca. Tanpa adanya komplikasi dan penyusunan kembali, maka karya sastra akan sama dengan jenis-jenis narasi yang lain. Dengan pertimbangan perbedaan dalam khazanah perbendaharaan bahasa, yaitu antara bahasa sumber dan bahasa Indonesia di satu pihak, penelitian sastra bertujuan utama untuk memahami objek karya di pihak yang lain. Maka untuk menghindarkan perbedaan pendapat tersebut disarankan menggunakan istilah cerita dan penceritaan. Cerita adalah fakta-fakta cultural sebagai bahan kasar, sedangkan penceritaan adalah aktivitas penyusunan kembali ke dalam alur, yaitu plot itu sendiri. (Ratna, 2007: 240) Pada zaman modern teori naratologi dibedakan menjadi dua macam, yakni (1) naratologi strukturalis, yang memberikan intensitas pada oposisi biner, dengan sejumlah tokoh yang berpengaruh, antara lain Claude Levi-Straus, Tzvetan Todorv, A.J. Greimas, dan lain-lain. (2) Naratologi postrukturalis yang melakukan dikotomi tersebut, dengan tokohnya antara lain Roland Barthes, Gerard Genette, Jonathan Culler, Umberto Eco, dan lain-lain. Setiap tokoh naratologi ini menawarkan seumlah varian teori naratologi. Sementara Barthes sendiri mengemukakan teori narasi dengan lima kode, yakni kode hermeneutik, semantik (semes), simbolik, aksi (proairetik), dan kode kultural. (Sehandi, 2014:114) Ratna (2013:513) memberikan catatan khusus dalam memahami teori naratologi ini. Pertama, perlu dibedakan teori wacana bahasa dan teori wacana sastra. Teori wacana bahasa jelas hanya berkaitan dengan bahasa itu sendiri, sedangkan teori wacana sastra berangkat lebih jauh, yakni ke struktur makna (sastra) dank e struktur sosial budaya. Kedua, teori wacana adalah teori yang berkaitan dengan hakikat wacana itu sendiri, yang secara umum didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan. Dalam teori wacana, ada istilah discourse (d kecil) untuk menjelaskan wacana sebagai analisis bahasa, dan Discourse (D besar) untuk menjelaskan wacana sebagai analisis sastra.

168

PENUTUP Tujuan akhir suatu ilmu adalah melahirkan sebuah teori. Meskipun demikian, sebuah teori dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk memahami sejumlah disiplin yang berbeda. Teori sastra sendiri dibedakan dengan kritik dan sejarah sastra. Teori sastra memberikan intensitas pada konsep, prinsip, dan kategori. Sedangkan kritik sastra memberikan intensitas pada penilaian. Adapun sejarah sastra pada proses perkembangannya. Ketiga bidang tersebut pada dasarnya merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Namun, ketiga bidang tersebut saling berhubungan, penjelasan terhadap suatu aspek memerlukan penjelasan aspek-aspek lain. Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori, maupun metode dan teknik yang digunakan dalam mengkaji objek. Postrukturalisme sendiri adalah bentuk perlawanan pada strukturalisme. Roland Barthes berpendapat bahwa setiap teks sastra memiliki banyak arti, dan bahwa penulis bukanlah sumber utama atau simantik karya tersebut. Singkatnya, postrukturalisme ini menolak ide tentang pemberian makna secara stabil, karena makna merupakan sesuatu yang tidak stabil yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat, atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Teori mitologi adalah teori sastra yang mengkaji atau menganalisis tentang mitos-mitos yang ada pada kebudayaan dan masyarakat tertentu. dinilai paling pluralis dan multidisiplin, karena teori ini memasukkan hampir semua unsur kebudayaan lain, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Sehingga ia memberikan peluang besar terhadap kajian sastra di Indonesia, terutama kajian sastra lisan yang tersebar dan terbentang luas di wilayah nusantara. Hal ini bermanfaat bagi para peneliti sastra dan budaya. Teori Naratologi adalah seperangkat konsep mengenai cerita (narasi) dan struktur penceritaan (plot atau alur) yang terdapat dalam karya sastra. Teori ini bersifat inheren atau berhubungan erat dan melekat di seluruh peradaban manusia, meskipun maknanya dipahami secara berbeda, bahkan kadang saling bertentangan, karena latar budaya yang berbeda. Secara ringkas, uraian Barthes terkait naratif dapat dipahami dalam lima proposisi, yakni: pertama, cerita atau narasi ada di mana-mana, tidak ada ada satu hal di dunia yang luput dari cerita; kedua, bukan hanya manusia yang bercerita, melainkan manusia itu sendiri terdapat dan dapat dikenai di dalam cerita; ketiga, penyampaian suatu cerita selalu terkait dengan kekuasaan,

169 kepemilikan, dan dominasi; keempat, cerita bersifat jamak atau plural, tidak tunggal; kelima, setiap cerita selalu memiliki suatu pesan tentang cerita itu sendiri yang ingin disampaikan, yang dikenal dengan prinsip self-reflexive dan metafictional dimensions.

DAFTAR RUJUKAN

Eagleton, Terry. (2010). Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: JALASUTRA. Endraswara, Suwardi, 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Musthafa, Bachrudin, 2018. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Jakarta: Cahaya Insan Sejahtera. Ratna, Nyoman Kutha, 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sehandi, Yohanes, 2014. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: penerbit Ombak. Suroso, Santosa Puji, Suratno Pardi, 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing. http://atavisme.web.id/index.php/atavisme/article/view/113/106 diakses pada tanggal 13.10.2018 http://publikasi.dinus.ac.id/index.php/lite/article/view/1108/820 diakses pada tanggal 13.10.2018 http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31 diakses pada tanggal 13.10.2018 http://download.portalgaruda.org/article.php diakses pada tanggal 15.10.2018

170

REPRESENTASI KEYAKINAN TERHADAP MASYARAKAT DALAM TEKS SERAT BABAD BANYUURIP DALAM PERSPEKTIF PEMBACA HANS ROBERT JAUS:HORIZON HARAPAN

Isna Nur Azizah Uin Maulana Malik Ibrahim Malang Indonesia [email protected] Indonesia

Ilma Nadhirotul Khusna Uin Maulana Malik Ibrahim Malang Indonesia [email protected] Indonesia

ABSTRACK The writing of this paper aims to describe the belief in the story, the reality of belief in the Banyuurip community. And the influence of belief in increasing the confidence of the Banyuurip community. The research method used is note taking techniques, observation techniques, interview techniques. The results of this study are as follows: 1) representation of beliefs in folk tales about faith in the myths told in the text of Serat Babad Banyuurip. And their thoughts about things that are considered to have the power of ancestors. 2) reality with the Banyuurip community's beliefs. They do not believe that there are mythical places in Banyuurip because the Banyuurip community does not know of places that are considered to have the strength of their ancestors. 3) The implication of belief in the Banyuurip community is the lack of knowledge of the ancestors of previous ancestors, so that Banyuurip students lack confidence in the existence of places considered sacred in Banyuurip village. Keywords: Beliefs, Myths, Readers, Texts of the Babad Banyuurip Fiber

ABSTRAK Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk mendeskripsikan keyakinan dalam cerita, realita keyakinan dalam masyarakat Banyuurip. Dan pengaruh keyakinan terhadap peningkatan keyakinan masyarakat Banyuurip. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik catat, teknik observasi, teknik wawancara. Hasil penelitian ini sebagai berikut: 1) representasi keyakinan dalam cerita rakyat babat tentang keyakinan terhadap mitos-mitos yang diceritakan dalam teks Serat Babad Banyuurip. Dan pemikiran mereka tentang hal-hal yang dianggap mempunyai kekuatan dari nenek moyang. 2) realita dengan keyakinan masyarakat Banyuurip. Mereka tidak menyakini adanya tempat-tempat mitos di Banyuurip dikarenakan Masyarakat Banyuurip belum mengetahui tempat-

171

tempat yang dianggap memiliki kekuatan dari nenek moyang. 3) Implikasi keyakinan terhadap masyarakat banyuurip yakni kurangnya pengetahuan akan peninggalan nenek moyang terdahulu, sehingga mahasiswa Banyuurip kurang percaya dengan adanya tempat-tempat yang dianggap keramat di desa banyuurip. Kata Kunci: keyakinan, Mitos, Pembaca, Teks Serat Babad Banyuurip

Indonesia atau yang disebut Nusantara merupakan Negara kepulauan yang terkenal dengan khazanah ragam budayanya. Beranekaragaman kebudayaan daerah tersebut merupakan alat penunjang untuk memperkaya koleksi kebudayaan Indonesia. Keanekaragaman budaya, bahasa dan sastra diwariskan secara turun menurun kepada generasi penerus melalui berbagai upaya dan cara yang dituangkan di dalam media, salah satu diantaranya adalah media berupa peninggalan dalam bentuk naskah lama dengan tulisan tangan (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018). Menurut Suryani, naskah dipandang dari kandungan makna wacana yang berupa teks klasik mengemban fungsi tertentu, yaitu membayangkan pikiran dan membentuk norma yang berlaku, baik bagi orang sezaman maupun bagi generasi mendatang (Suryani, 2012:4). Naskah merupakan hasil budaya masa lampau dalam bentuk tulisan tangan yang memuat unsur kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baried, 1994:1). Teks sastra tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis. Sastra berfungsi memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Kadang-kadang dengan membaca sastra justru muncul ketegangan-ketegangan dan dari ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah justru kemungkinan muncul kenikmatan estetis dan bersifat menghibur (Priyatni, 2010:21). Teks yang menjadi objek penelitian ini berjudul Serat Babad Banyuurip. Teks dalam naskah ini dengan aksara jawa dan merupakan jenis naskah dengan teks bergenre sastra. Isi dari teks tersebut sangat menarik yaitu dengan mengisahkan tentang pengembaran seorang pangeran dari kerajaan Majapahit. Penulis teks ini menemukannya di Dusun Cokroyasan Rt 01/ Rw 03, Desa Banyuurip, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten purworejo. Naskah ini merupakan naskah koleksi pribadi Bapak Mulyoto. Ada pula naskah berupa fotokopi yang disimpan oleh Bapak Sumarto sealaku kuncen situs punden perigi di Desa Banyuurip. Situs Punden Perigi adalah sebuah petilasan bekas tempat pertapaan seorang pangeran dari Majapahit yang bernama

172

Pangeran Jayakusuma. Benyuk teks ini adalah tembang jawa yang terdiri atas pupuh-pupuh. Teks Serat Babad Banyuurip ini ditulis oleh sesepuh Desa Banyuurip yang bernama Ki Amat Takjin (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018). Naskah Serat Babad Banyuurip hingga saat ini tersimpan dengan baik sebagai asset penting yang mengandung nilai-nilai historis bagi mahasiswa Banyuurip. Akan tetapi, keberadaan teks dalam naskah Serat Babad Banyuurip sendiri justru kurang diketahui oleh mahasiswa desa Banyuurip sendiri. Sejauh ini mahasiswa desa Banyuurip memang tahu secara garis besar bagaimana cerita dari Babad Banyuurip berdasarkan warisan tradisi sastra lisan yang berkembang dari mulut ke-mulut. Karena kurangnya informasi, atau pemahaman dari naskah Serat Babad Banyuurip sendiri, mahasiswa Banyuurip seolah seperti mengabaikan betapa pentingnya keberdaan teks dalam naskah Serat Babad Banyuurip sebagai sumber autentik atas keseluruhan isi cerita Babad Banyuurip itu sendiri. (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018). Menurut Luxemburg, sastra berfungsi memberikan kebermanfaatan secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang manusiawi, social, maupun intelektual dengan cara yang khusus (priyatni, 2010:21). Menurut Hans Robert Jauss, sejarah sastra bukan semata-mata rangkaian peristiwa sastra, sejarah sastra adalah rangkaian resepsi pembaca, dimana peneliti berada pada rangkaian mata rantai terakhir (Ratna, 2007:108). Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan peran pembaca dalam hal mengungkapkan kongkretisasi sebuah karya melalui horison harapan pembacanya sehingga mampu menghasilkan sebuah karya dengan bentuk lain yang tidak hanya memiliki nilai estetika baru melainkan juga nilai ekonomi di masyarakat dan mempengaruhi dunia literasi secara umum dan sastra secara khusunya (Jabrohim, 2012:145). Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan terhadap suatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh “horison harapan” (horizon of expectation). ”horison harapan” ini merupakan interaksi antara karya sastra, dan pembaca secara aktif, system atau ”horizon harapan” karya sastra aktif, system atau ‟horizon harapan‟ karya sastra di satu pihak dan system interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak. ‟Horizon harapan‟ karya sastra yang memungkinkan pembaca memberi makna terhadap karya tersebut, sebenarnya telah diarahkan oleh penyair lewat system konfensi sastra yang dimanfaatkan di dalam karyanya (Jabrohim, 2012:146).

173

Horison harapan mengubah penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma-norma estetik yang telah dimiliki menjadi produksi estetika baru, estetika sebagai pesan dalam hubungan ini nilai estetis diperoleh dengan adanya cara estetis, yaitu horison harapan itu sendiri, sebagai harapan- harapan yang berbeda dengan kenyataan yang ada dalam karya sastra (Ratna, 2007:109-110). Teori sastra menurut perspektif pembaca memperlihatkan fungsi-fungsi sastra dalam masyarakat. Diantaranya adalah sebagai sarana menyampaikan ajaran (moral atau agama), untuk kepentingan politik pemerintah, dan untuk kepentingan social kemasyarakatan yang lain. Konsep ‟pembaca‟ dalam kegiatan bersastra menunjukkan pada saran yang dituju oleh ciptaan yang bernama sastra. Jadi, kata ‟pembaca‟ disini tidak hanya dikaitkan dengan karya sastra yang tertulis, tetapi juga pada karya sastra lisan. Kata lain yang sering dipakai untuk menunjuk konsep ‟pembaca‟ tersebut adalah ‟penikmat‟ dan ‟konsumen‟. Kata ‟pembaca‟ karya sastra disini menunjukkan tidak mengkonsumsi karya sastra, oleh karenanya dalam rangka poros produksi konsumsi, wujud karya sastra dipahami sebagai satu bentuk produk yang ditujukan untuk dikonsumsi (Jabrohim, 2012:185).

Teori Sastra Hans Robert Jaus Horison Harapan Jauss adalah seorang filolog yang mencoba memperbaharui teori filologi sebelumnya yang hanya melihat kesejarahan teks tanpa memperhatikan aspek hermeneotiknya. Tidaklah berlebihan jika ia dianggap sebagai bapak filologi modern karena usahanya untuk memberikan makna kepada karya sastra (teks) lama, meskipun tidak dapat dikesampingkan bahwa teorinya itu berguna juga pada pemahaman sastra modern (Jabrohim, 2012, h.160). Cara-cara yang dilakukan oleh jauss dalam mendekati aspek-aspek estetis karya sastra mirip dengan cara-cara yang dilakukan oleh mukarov sky, khususnya konsep-konsep yang dilakukannya melalui artikel dan atau bukunya yang berjudul literary history as a challenge to literary theory (1967). Sesuai dengan judul tulisannya, tujuan pokok jauss adalah membongkar kecenderungan sejarah sastra tradisonal yang dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan sejarah nasional, sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi logis yang ditimbulkan melalui keyakinan tersebut, sama dengan mukarov sky adalah keterlibatan pembaca. Dengan kalimat lain, atas dasar kekurangan pendekatan tradisional yang lebih banyak memberikan perhatian terhadap peranan ekstra literernya, maka

174 dalam rangka membangun sejarah sastra perlu dipertimbangkan peranan pembaca sebagai pemberi makna (Ratna, 2007:108-109). Tanggapan pembaca terhadap karya sastra dapat bersifat aktif maupun pasif. Tanggapan yang bersifat aktif berupa komentar, kritik, ulasan, resensi, karya sastra yang lain, maupun karya seni yang lain. Sementara tanggapan yang bersifat pasif tidak dapat diketahui orang lain karena mengacu pada bagaimana seorang pembaca dapat memahami suatu karya sastra dan menemukan habitat estetika di dalamnya (Effendi, 2006:101-102). Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan tehadap suatu karya sastra pembaca diarahkan oleh “horizon harapan” (horizon of expectation) horison arapan ini merupakan interaksi antara karya sastra, dan pembaca secara aktif, system atau horison harapan karya sastra di satu pihak dan system interpretasi dalam masyarakat penikmat dilain pihak. Horison harapan karya sastra yang memungkinkan pembaca memberi makna terhadap karya tersebut, sebenarnya telah diarahkan oleh penyair lewat system konvensi sastra yang dimanfaatkan di dalam karyanya (Jabrohim, 2012:146). Konsep „horizon‟ menjadi dasar teori jauss. Ia ditentukan oleh 3 kriteria : (1) norma-norma umum, yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. (2) pengetauan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya. (3) pertentangan fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru, baik dalam Horison „sempit‟ dari harapan sastra maupun dalam horison „luas‟ dari pengetahuannya tentang kehidupan (Jabrohim, 2012:146).

Cerita Singkat Teks “Serat Babad Banyuurip” Naskah Serat Babad Banyuurip memuat kisah Babad Banyuurip dari awal yang dimulai dari kisah singkat di Kerajaan Pajajaran yang kemudian melatar belakangi berdrinya kerajaan Majapahit. Kemudian mengisahkan bagaimana perjalanan pangeran Jayakusuma setibanya di Banyuurip hingga sampai pangeran Jayakusuma Muksa (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018, h.11). Pangeran jayakusuma adalah sosok yang arif bijaksana ketika menjadi sosok pemimpin di Desa Banyuurip, beliau merupakan sosok pemberani yang amat disegani dikalangan masyarakatnya karena memliki darah keturunan dari kerajaan majapahit dan kerajaan pajajaran. Pangeran Jayakusuma merupakan sosok heroic yang melatar belakangi berdirinya desa

175

Banyuurip. Namun disisi lain Pangeran Jayakusuma juga merupakan seorang penjudi, seorang yang tidak mau menerim kekalahan serta seseorang yang telah merusak Pager Ayu dengan cara berselingkuh (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018, h.8). Peninggalan enam buah batu Yoni yang merupakan wadah air untuk mensucikan diri umat Hindu juga ditemukan di Desa Banyuurip. Adanya Batu Yoni ini menunjukkan bahwa pangeran Jayakusuma adalah seorang Bergama Hindu yang menganut kepercayaan terhadap Dewi Durga. Bahkan Pangeran Jayakusuma adalah seorang penganut Hindu yang tidak mau menerima kehadiran islam dimasanya yang kala itu masih menjadi minoritas (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:9). Peninggalan yang ditinggalkan dalam peristiwa Serat Babad Banyuurip yaitu punden parigi. Punden parigi merupakan petilasan dari leluhur masyarakat banyuurip, sehingga mereka tetap menghormati para leluhur dengan cara menjaga dan merawat petilasan tersebut. Selain petilasan Punden parigi, ada pula peninggalan berupa bentuk-bentuk fisik lainnya seperti pasar senen, sumur beji, sumur pinatak, dan batu yoni yang bejumlah 6 buah. Khusus pasar senin sendiri hingga saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Desa Banyuurip apabila salah seorang anggota keluarga mereka baru saja sembuh dari sebuah penyakit, biasanya bernadzar untuk mengadakan syukuran di pasar senin. Istilah syukuran yang diadakan di pasar senin sendiri biasa dikenal dengan istilah ngidam. Awal mula dengan adanya pasar senin diriwayatkan dahulu merupakan tempat orang-orang mengantri untuk sowan kepada Pangeran Jayakusuma. Banyaknya orang yang mengantri disana kemudian menjadikan suasan menjadi ramai dan berisik seperti pasar, karena hal itu Pangeran Jayakusuma agak terganggu lalu menyuruh untuk nyeneni/memarahi mereka. Kata nyeneni adalah kata dari bahsa jawa berasal dari kata senin yang artinya memarahi, maka tempat itu kemudian dinamakan pasar senin (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:8-9). Adapula peninggalan berupa 2 sumur, yaitu sumur beji dan sumur tinatah. Sumur beji merupakan petilasan bekas tancapan senjata pangeran jaya Jayakusuma yang bernama ki kurung dalang menjadi terkenal sebagi peristiwa yang melatar belakangi asal mula desa Banyurip, sedangkan sumur pinatak merupakan sumur yang dibuat oleh Ki Manguyu atas permintaan Nyi Putri Galuh Wati untuk mandi. Sumur tinatah ini sebenarnya berasal dari kata tinatah yang artinya ditata. Maksudnya di tata dikarenakan terdapat sebuah landasan datardidasar sumur yang

176 ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah relief yang menggambarkan panji asmoro bangun serta galuh candra kirana (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki, 2018:9).

Keyakinan Masyarakat Terhadap Teks “Serat Babad Banyuurip” Cerita Babad Banyuurip yang mengandung mitos serta versi yang berbeda membuat kepercayaan masyarakat Desa Banyuurip menjadi beragam. Ada yang meyakini bahwa cerita tersebut memang benar-benar ada dan terjadi seperti yang tertulis dalam naskah Serat Babad Banyuurip, ada pula yang masih ragu akan kebenaran cerita tersebut apakah benar-benar terjadi (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:10). Di dalam teks Serat Babad Banyuurip serta menurut cerita Babad yang beredar di masyarakat terdapat suatu mitos berupa suatu pantangan bagi masyarakat Desa Banyuurip tidak diperkenankan untuk menikah dengan masyarakat Desa Ganggeng. Jika sampai ada yang melanggarnya, maka akan terjadi sesuatu yang buruk atau petaka di keluarganya. Namun, adapula masyarakat Desa Banyuurip yang menolak percaya terhadap mitos tersebut dan menganggap pantangan tersebut bukanlah suatu hal yang harus ditakutkan (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:10). Padepokan Pundhan Parigi yang dulunya adalah tempat pertapaan pangeran Jayakusuma dianggap sebagai tempat yang sakral oleh masyarakat Desa Banyuurip. Setiap kali masyarakat Desa Banyuurip akan memiliki hajat, biasanya mereka mengadakan syukuran atau selamatan yang diselenggarakan di depan padepokan Punden Parigi, kemudian dihadiri masyarakat Desa Banyuurip yang lainya. Masyarakat Desa Banyuurip mempercayai bahwa Punden Parigi merupakan petilasan dari leluhur mereka, sehingga mereka tetap menghormati para leluhur dengan cara menjaga dan merawat petilasan tersebut (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:8). Masyarakat Banyuurip memiliki sebuah sugesti apabila masyarakat Desa Banyuurip ada yang sedang hamil dan akan melangsungkan tradisi mitoni, biasanya mengambil air dari sumur (sumur Beji dan sumur Tinatah) itu terlebih dahulu untuk mandi. Konon masyarakat mempercayai jika seorang yang hamil kemudian mandi dari kedua air sumur itu sebelum mitoni dipercaya nanti kelak supaya anaknya cantik bagi yang perempuan, dan tampan bagi yang laki- laki (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:9).

177

Kisah Babad Banyuurip juga melahirkan sebuah tradisi yang biasa dikenal masyarakat Desa Banyuurip dengan istilah Rejeban.Tradisi rejeban ini memang sudah ada sejak dahulu yang biasa dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Banyuurip selepas musim panen. Tradisi ini merupakan wujud rasa syukur masyarakat Desa Banyuurip pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang diberikan. Masyarakat datang berbondong-bondong dengan membawa tumpeng. Tumpeng-tumpeng tersebut diletakkan di tengah-tengah masyarakat kemudian mereka memanjatkan doa bersama yang dipimpin oleh seorang sesepuh Desa. Kemudian di puncak acara diadakan pagelaran Wayang Kulit. Dari kegiatan ini terlihat masyarakat Desa Banyuurip masih sarat akan tradisi-tradisi atau adat yang sudah turun temurun dilakukan, hanya saja caranya sudah digiring menjadi bernuansa islami. Terkadang tradisi rejeban dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:9).

Horison Harapan Masyarakat Desa Banyuurip Terhadap Teks Serat Babad Banyuurip

Masyarakat Desa Banyuurip menyakini bahwa cerita serat Babad Banyuurip tidak sekedar cerita penuh mitos yang diwariskan secara turun-menurun, melainkan juga percaya akan adanya cerita tersebut apabila telah mendengarkan bagaimana isi cerita dalam teks serat Babad Banyuurip. Bukti-bukti peninggalan sejarah atas peristiwa yang terjadi turut memperkuat kepercayaan masyarakat atas cerita Babad Banyuurip. Peninggalan tersebut diantaranya situs Punden Parigi, Sumur Beji, Pasar Senen serta Batu Yoni penyangga masjid nurul Huda yang masih ada hingga saat ini. Masyarakat Desa Banyuurip memiliki horizon harapan yang berbeda- beda dalam menganalisa teks Serat Babad Banyuurip. Mayarakat Desa Banyuurip mengetahui cerita Babad Banyuurip dengan cara cerita yang beredar di masyarakat yang dituturkan oleh para sesepuh dan orang tua mereka (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:6-7). Masyarakat justru lebih dahulu mengetahui bagaimana cerita Babad Banyuurip yang beredar secara lisan, kemudian mengetahui bahwa ternyata ada naskah kuno yang berisikan tentang cerita Babad Banyuurip. Sempitnya pengetahuan masyarakat mengenai naskah menjadi pemicu masyarakat menganggap naskah tersebut menjadi sesuatu yang sacral. Padahal naskah tersebut berisikan mengenai tembang-tembang yang isinya menceritakan perjalanan pangeran Jayakusuma dengan terbentuknya Desa Banyuurip. Hal ini karena keterbatasan masyarakat yang

178 tidak bisa membaca huruf Jawa (Aksara Jawa) serta kurang bisa memahami bagaimana cara membaca naskah yang berisikan tembang-tembang macapat (sastra Indonesia, diterbitkan oleh Arista Nur Rizki: 2018:7).

Perspektif Pembaca Pembaca adalah individu yang menilai, menikmati, menafsirkan, memahami suatu karya sastra, secara psikologis dan sosiologis bacaan yang dibaca oleh pembaca erat kaitanya dengan kehidupan pembaca, karya-karya yang pernah dibaca sebelumnya meliputi nilai-nilai estetikanya.Penerimaan yang bersifat sosiologis sebagaimana dikutip dari Newton bahwa fungsi social sastra yang hanya dapat dimungkinkan apabila pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horizon harapan dari praktek yang dihidupinya, membentuk pemahamanya tentang dunia dan dengan demikian juga mempengaruhi tingkah laku sosialnya dalam ( Resepsi Sastra:Literasi berbasis Horison Harapan, Diterbitkan oleh MF Muslimin, 2007). Karya-karya yang memiliki kemampuan untuk berbagi informasi yang berbeda-beda dengan pembacanya dan melahirkan interpretasi yang berbeda pula, resepsi dimaksutkan bagaimana seorang pembaca memaknai karya yang dibacanya dan memberikan respon sekaligus reaksi terhadap karya tersebut. Respon yang dimaksutkan adalah pembaca dapat menggali potensi yang terdapat pada karya tersebut sehingga dapat menghasilkan karya yang lainya yang memiliki nilai tertentu. Beberapa karya-karya pembaca hasil resepsi dapat memiliki bentuk berbeda-beda tergantung terhadap horizon harapan pembacanya (Resepsi Sastra:Literasi berbasis Horison Harapan, Diterbitkan oleh MF Muslimin, 2007). Proses pembacaan, bagi teori resepsi selalu bersifat dinamis, pergerakan dan pemekaran yang kompleks sepanjang waktu. Karya sastra sendiri eksis hanya sebagai apa yang disebut ahli teori Polandia Roman Ingardent sebagai seperangkat ‟schemata‟ atau arah yang umum, yang harus diaktualisasikan oleh pembaca. Untuk melakukan ini, pembaca akan membawa ‟prapemahaman‟ tertentu ke dalam karya, sebuah konteks kepercayaan dan ekspetasi yang samar-samar, yang di dalamnya pembaca akan memeriksa ciri-ciri karya yang bervariasi. Tetapi selagi proses pembacaan berjalan,ekspetasi tadi sendirinya akan dimodifikasi oleh apa yang akan kita pelajari, dan lingkaran hermeneutik-bergerak dari bagian kekeseluruhan dan kembali ke bagian-akan mulai berputar. Sambil berusaha membangun pemahaman yang koheren dari teks, pembaca akan menyeleksi dan mengorganisir elemen-elemen karya menjadi satu

179 keseluruhan yang konsisten, menyisihkan beberapa elemen dan mengedepankan yang lain. Selagi kita terus membaca, kita menanggalkan asumsi, merefisi kepercayaan, semakin banyak membuat kesimpulan dan antisipasi yang kompleks; setiap kalimat membuka sebuah cakrawala yang dikonfirmasi, ditantang, atau dilemahkan oleh kalimat selanjutnya (Eagletton, 2010:109- 110). Tidak seorang pun menyanggah bahwa seorang pembaca dapat berusaha menyatakan arti yang dimaksutkan oleh pengarang. Ada dua pentanyaan penting yaitu (a) Apakah pembaca harus mencoba dan (b) Apakah pembaca dapat berhasil bila ia memang mencoba.Jawaban Hirsch (1976) yang sangat penuh perhatian terhadap pertanyaan itu adalah ”iya”. Hal ini artinya bahwa pembaca seharusnya mencoba menyusun kembali arti pengarang dan pada prinsipnya pembaca dapat berhasil dalam usahanya. Keberhasilan itu ditentukan oleh genre karya tersebut (Astuti, 2002:26 ).

PENUTUP Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh peneliti dalam rangka menjawab tujuan penulisan yang telah dipaparkan pada pendahuluan peneliti kemudian menarik kesimpulan bahwa Teks Serat Babad Banyuwangi belum melekat terhadap masyarakat Banyuurip, dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat akan teks tersebut. Hanya minoritas masyarakat yang mempercayai akan adanya cerita serat Babad Banyuurip dan peninggalan-peninggalan yang memiliki nilai kesakralan tersendiri. Peran masyarakat Desa Banyuurip selaku penikmat sastra dalam menanggapi suatu teks memiliki peranan penting sebagai pemberi makna atas suatu karya. Keberadaan teks Serat Babad Banyuurip membutuhkan kehadiran penikmat sastra atau pembacanya yang seharusnya diketahui melalui penyebaran sastra lisan dan hasil pengamatan masyarakat Banyuurip sendiri. Masyarakat Desa Banyuurip diharapkan mampu berperan aktif sebagai penikmat, pemilik sekaligus turut mendukung cerita di dalam teks Serat Babad Banyuurip agar selalu terjaga kelestariannya.

DAFTAR RUJUKAN Suryani, Elis. 2012. Filologi. Bogor: PT Ghalia Indonesia. Barried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta:BPFF Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

180

Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Celeban Timur UH III/548. Effendi, Nuha. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: PUSTAKA (Kelompok Penerbit Pinus). Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Riski, Arista Nur. 2018, Sastra Indonesia, LINGUA Muslimin, Muhammad Fadli. 2007. Resepsi Sastra:Literasi berbasis Horison Harapan, LINGUA https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=penerapan+teori+sastra+hans+ro bert+jauss ( Diakses 15 Agustus 2018 pukul 13:35 )https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=penerapan+teori+sastra+h ans+robert+jauss

181

TEORI SASTRA WOLFGANG ISER

Ainu Habibi Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahing, Malang, Indonesia [email protected]

Mohamad Rizky Salsabila Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahing, Malang, Indonesia [email protected]

ABSTRACT The purpose of this article is to find out more about the content of the theory that was sparked by a constant Islamic exponent named Wolfgan Iser. This writing includes the understanding of the reader, the types of readers, the process of the occurrence of literary theory, and the reader's responses to various kinds of literary works. The understanding of the reader here is that the reader can determine and appreciate the content in the literary work in accordance with their respective understanding. From there the reader interaction with literary works is ongoing. According to Iser, there are only two types of readers, namely the real reader and the hypothetical reader. Iser also explained in his theory that the existence of this theory was due to the frequent absence of understanding from readers of literary works. And from that, the responses from various readers of the literary work emerged, that the response of each literary work was different. The results of article writing that can be obtained are Readers can determine and capture the content they have read, and readers can appreciate, perceive and interact directly with the various literary works they face. Keywords : Implied Reader, Literary Theory

ABSTRAK Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam apa isi teori yang telah dicetuskan oleh seorang eksponen madzhab konstan yang bernama Wolfgan Iser. Penulisan ini mencakup pengertian pembaca, tipe-tipe pembaca, proses terjadinya teori sastra, serta tanggapan pembaca dengan berbagai macam karya sastra. Pengertian pembaca disini ialah pembaca dapat menentukan dan mengapresiasikan isi yang ada dalam karya sastra sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dari situlah terjadinya interaksi pembaca dengan karya sastra sedang berlangsung. Menurut iser, tipe-tipe pembaca hanya ada dua, yakni pembaca sebenarnya dan pembaca hipotetis. Iser juga menjelaskan dalam teorinya bahwa adanya teori ini disebabkan sering tidak adanya pemahaman dari pembaca karya sastra. Dan dari itu pula, adanya tanggapan dari berbagai pembaca karya sastra

182

itu bermunculan, bahwa tanggapan masing-masing karya sastra itu berbeda. Hasil penulisan artikel yang dapat diperoleh adalah Pembaca dapat menentukan dan menangkap isi yang telah mereka baca, dan pembaca dapat mengapresiasi, meresepsikan serta berinteraksi langsung dengan berbagai karya sastra yang mereka hadapi. Kata kunci : Pembaca Implisit, Teori Sastra

Awalnya, sebelum ada teori-teori yang berkembang sampai sekarang, karya sastra itu mempunyai efek sedikit sekali pada diri pembaca. Karena faktor kekuatan dalam memaknai yang dimiliki masing-masing pembaca itu berbeda. Mereka lebih fokus dengan membaca saja tanpa mengetahui apa isi yang dalam suatu karya sastra tersebut. Pembaca yang dapat menerapkan objek yang sudah diperoleh dan yang sudah di saring betul pemahamannya dari suatu teks yang sudah dibaca itu bisa dikatakan sukses dalam memaknai. Tidak semua orang dapat memahami dan menginterpretasikan apa yang sudah dibaca (Siswanto, 2008:92). Kegiatan membaca dalam lingkup karya sastra, karya sastra sendiri tidak akan ada nilainya sampai karya sastra tersebut dibaca oleh sebagian orang. Dalam pemaknaan masing- masing yang sudah mereka baca. Banyak sekali perbedaan dalam menciptakan suatu ide untuk pemaknaan kalimat. Itulah mengapa, pembaca sangat berperan aktif dalam menghasilkan ide-ide tertentu setelah sekian lama menghabiskan waktu untuk membaca dan menelaah ulang kata per- kata yang baginya sangat sulit untuk ditafsirkan. Dengan ini, berkaitan juga dengan pendekatan pragmatik, yang mana kita akan mengenal jauh dalam meresepsikan suatu karya sastra (Selden dalam Siswanto, 1985: 106-107). Wolfgang Iser merupakan seorang eksponen Mahzab Konstanz. Iser lebih menfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (Wirkungs Estetik, estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan Implied Reader (pembaca implisit). Secara singkat dapat di katakan bahwa „pembaca Implisit‟ merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks –teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu (Wati, 2013:1). Teks sastra hanya dapat menghasilkan sebuah tanggapan jika dibaca (iser: 1980). Oleh karena itu, sangatlah tidak mungkin untuk mendeskripsikan tanggapan (pembaca) itu tanpa menganalisis proses pembacaannya. Iser sendiri menitik beratkan dalam teorinya ini dalam lingkup pembacaannya. Banyak sekali efek setelah membaca diantaranya, dapat

183 mengintepretasikan sebuah bacaan, mendalami makna yang masih umum, dan bisa juga menjelaskan apa sebetulnya makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks-teks baca an (Marwata, 1997:48). Terjadinya interaksi antara pembaca dengan karya sastra merupakan sebuah wujud dimana komunikasi sastra itu sedang berlangsung. Saat proses itu berlangsung, dari itulah memungkinkan bahwa teori sastra sedang dibangun. Pembaca dapat menggapai isi teks bacaan saat ia berinteraksi dan berkomunikasi dengan suatu karya sastra. Oleh karenanya, ekstetika tanggapan masing-masing pembaca sangatlah berbeda, baik dalam menganalisis dialektik antara teks, pembaca dan interaksi antara keduannya (Damono, 2011:34). Dalam pandangan Iser mencetuskan bahwa tugas kritikus bukan menerangkan teks sebagai obyek, melainkan lebih menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang mengiznkan beraneka- ragam kemungkinan pembacaan. Istilah “pembaca” dapat di bagi menjadi “pembaca implisit” dan “pembaca nyata”. Pembaca implisit adalah pembaca yang diciptakan sendiri oleh teks untuk dirinya dan menjadi “jaringan kerja struktur yang dapat mengundang jawaban”, yang mempengaruhi kita untuk membaca dalam cara tertentu. Sedangkan Pembaca nyata itu menerima citra mental tertentu dalam proses pembacaan; bagaimanapun juga, citraan itu akan secara tak terhindarkan diwarnai oleh “persediaan pengalaman yang ada” (Wati, 2013:1).

Membaca Implisit Iser sendiri mengajukan konsep Implied Reader untuk mengatasi kelemahan pandangan- pandangan teoritis mengenai pembaca. “pembaca tersirat sesungguhnya telah di bentuk dan distrukturkan di dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi aktualisasi yang memungkinkan pembenukan maknanya dalam bentuk pembaca”(Iser, 1982:34). Dengan demikian, kita harus mencoba memahami efek tanggapan pembaca terhadap teks tanpa prasangka, tanpa mencoba membatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten maupun tidak teks menampung segala macam pembaca, siapapun dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya. Perhatikan bahwa teks sastra yang di susun seorang pengarang(denan pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama yakni pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemui ari teks. Arti sebuah teks dapat di peroleh jika keeempat perspektif ini dapat di pertemuka dalam aktifitas

184 atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspektif–perspektif tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang di pandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif (Wati, 2013:4). Instruksi-instruksi yang di tunjukan teks merangsang bayangan mental dalam menghidupkan gambaran yang di berikan oleh struktur teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas teks kedalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret, isi nyata dari gambaran mnetal itu sangat di pengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep Implied Reader memungkinkan kita mendeskripsikan efek-efek struktur sastra dan tanggapan- tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Pada prinsipnya, penelitian hubungan antar teks dan pembaca itu dapat dikatakan termasuk esensi ilmu sastra, namun hal ini tidak berarti bahwa secara metodik dan teknik penelitian resepsi jelas dan tidak menerbitkan masalah lagi. Sebaliknya. Pertama-tama tugas penelitian resepsi dalam rangka ilmu sastra harus dibatasi dan dijelaskan keberbagai arah. Dalam kalangan kelompok ahli di jerman, khusunya universitas konstanz, sudah ada dua pendekatan utama. Yang memang berkaitan tetapi tidak identik, yang dalam bahasa jerman biasanya disebut wirkungsegeschichte dan razeptionsgeschichte. Wirkungsegeschichte adalah sejarah efek teks sastra dilihat dari segi karya sastra itu sendiri. Tokoh penting dalam madzab ini adalah wolfgang iser, antara lain dengan dua buku : Der Implizzite Leser: Komunikat ionformen des romans von Bunyan Bis Buckeet (1972: Pembaca yang implisit; bentuk komunikasi roman dari Bunyan sampai ke Buckertt) dan Der Aktdeslesson (Tindakan membaca: 1976). Peran „pembaca‟ yang terlihat dominan dalam komunikasi sastra ini memperlihatkan bahwa pendekatan terhadap karya sastra tidak dapat hanya memperlihatkan pada teksnya saja, tetapi harus memberi tempat pada peran pembacanya, yaitu dalam proses berinteraksi dengan teks sastranya. Sejalan dengan pandangan ini, faktor-faktor yang berhubungan dengan pembaca, dengan tindak pembacaan, dan dengan situasi pembaca, membuat penelitian sastra resepsi memerlukan bantuan disiplin lain, seperti semiotik untuk mengungkapkan aspek ketandaannya sebagai fakta sosial, sosiologi sastra untuk mengungkapkan latar belakang yang membuat komunikasi sastra berkembang, psikologi sastra untuk memberi bantuan metodologis dalam melihat pengaruh suatu karya pada suatu masyarakat pembaca (segers dalam chamamah, 1990),

185 dan disiplin filologi untuk mengungkap sejarah perkembangan teks yang tersimpan dalam sejumlah sastra. Menurut iser, tidak ada teori yang berkaitan dengan teks sastra yang dapat menjadi pegangan utama tanpa membawa serta pembaca ke dalamnya. Peran pembaca itu sekarang makin ditingkatkan ke suatu kerangka referensi potensi semantik dan pramagtik teks. Persoalannya adalah jenis pembaca seperti apakah itu?. Untuk mengatasi berbagai keterbatasan konsep- konsep tentang membaca, menurut iser, kita harus memberi keleluasaan bagi kehadiran pembaca tanpa lebih dahulu menentukan karakter serta situasi historisnya. Untuk keperluan itu mungkin kita dapat menghadirkan the implied reader (pembaca yang hadir yang termasuk dengan sendirinya, pembaca tersirat, pembaca yang di implikasikan (diasumsikan) ada ? . Dengannya kita membingkai disposisi awal yang penting bagi karya sastra untuk menggunakan efek-efeknya disposisi awal ditetapkan, bukan oleh kenyataan empiris di luar teks, tetapi dengan teks itu sendiri (Marwata, 1997:53). Sebagai konsekuesinya, pembaca tersirat sebagai suatu konsep memiliki akar yang benar- benar tumbuh dalam struktur teks, dan merupakan sebuah konstruksi, dan tidak dapat (dengan cara apapun)di identifikasikan dengan pembaca nyata (sebenarnya) mana pun. Konsep pembaca tersirat merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menetukan siapa dia. Konsep ini menunjukan sebuah jaringan struktur yang mengundang tanggapan, yang merangsang pembaca untuk memahami teks (Marwata, 1997:54). Dalam kaitan ini tidaklah menjadi masalah tentang siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca yang sebenarnya (yang secara nyata membaca teks) selalu diberi sebuah tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni menyusun konsep tentang implied reader. Ada dua aspek dasar dalam konsep ini: peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual, dan peran pembaca sebagai act (tindakan) yang stuktur (Marwata, 1997:54).

Tipe-tipe Pembaca Menurut iser akan muncul beberpa tipe pembaca yang berlainan ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang efek-efek karya sastra atau memberikan tanggapan-tanggapan tersendiri. Dalam hal ini, secara umum akan muncul dua kategori pembaca, yakni pembaca sebenarnya dan pembaca hipotetis. Jika penekannya pada sejarah tanggapan-tanggapan akan muncul tipe pembaca yaitu Pembaca Sebenarnya atau bisa disebut dengan the real reader.

186

Pembaca ini bisa ketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Dan jika penekannya pada efek-efek potensial teks, maka pembaca ini disebut dengan Pembaca Hipotetis atau bisa disebut dengan hypothetical reader (Marwata, 1997:49).

Pembaca Sebenarnya Pembaca jenis ini terutama muncul dalam pengkajian sejarah tanggapan – tanggapan, yakni ketika perhatian studi sastra dipastikan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat pembaca khusus. Yang termasuk dalam kategori pembaca sebenarnya telah mendapatkan perhatian besar salama ini. Biasanya tanggapan pembaca kontemporer dikaji dalam penelitian eksperimental, yang secara material berbeda dengan pengkajian terhadap pembaca ideal dan pembaca tersirat (Marwata, 1997:49). Menurut segers (1978:52) pembaca sebenarnya ini tercukupi oleh struktur arti individual yang dihadirkan oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca sebenarnya lebih penting untuk estetika resepsi dari pada jenis pembaca ideal atau pembaca tersirat. Apalagi jika di ingat bahwa menurut iser, penilaian-penilaian apa pun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca. Dengan demikian, karya sastra dapat di katakan sebagai cermin kode kultural yang mengondisikan penilaian- penilaian tersebut (Marwata, 1997:49). Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelestarian dokumen-dokumen masa kini. Makin jauh kita kembali ke masa lalu (misalnya melampaui abad ke-18), makin jarang pula dokumen yang bisa ditemukan. Sebagai konsekuesinya, rekontruksi tersebut sering sangat tergantung pada apa yang dapat dikumpulkan dadri karya itu sendiri. Yang menjadi masalah disini adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu, atau secara sederhana merepresentasikan peran di mana mengarang mengharapkan pembaca berasumsi (Marwata, 1997:49).

Pembaca Hipotetis Pembaca ini berada diatas semua kemungkinnan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Jenis ini sering dibagi menjadi dua bagian, yakni ideal reader (pembaca ideal) dan contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini). Keduanya terdapat perbedaan, dikarenakan dalam jenis pembaca ideal bersifat

187 objektif sedangkan tidak mengalami keraguan didalamnya, sulit menemukan wujud sebuah generalisasi. a. Pembaca Kontemporer Untuk mengetahui bagaimana membedakan antara pembaca kontemporer dan pembaca ideal adalah pembaca kontemporer memiliki tiga tipe: Pertama, Real dan historis, tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen. Yang kedua Hipotis, terkontruksi dari pengetahuan sosial dan historis suatu waktu. Yang ketiga. Hipotis di ramalkan atau diperhitungkan dari peran pembaca yang di tetapkan atau tersimpan dalam teks (Marwata, 1997:49). b. Pembaca Ideal Pembaca ideal merupakan sebuah kiontruksi hipotesis yang dibentuk oleh seorang kritikus (teoretikus) dalam proses interpretasi(Heru Marwata, 1997:50). Pembaca ini kemungkinan terbentuk dari suatu alasan dari seorang penulis, misalnya ketika penulis tersebut merencanakan alur. Hampir berlawanan secara diametris dengan pembaaca kontemporer. Sulit menunjukan secara tepat dari dan dimana pembaca ideal tergambar, walaupun banyak sekali yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca ideal cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik mungkin secara baik terarah dan tersaring melalui berbagai teks yang berhadapan dengannya (Marwata, 1997:54). Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata dan pembaca historis (seperti yang ditemukan dalam studi sejarah resepsi ;bdk. Jauss) dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan / dihipotesiskan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam suatu konteks secara memadai; seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan (Wati, 2013:3). a) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah Superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda- beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi sematik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila erdapat

188

penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan refensi lain di luar teks (Wati, 2013:4). b) Stanley Fish mengajukan istilah Informed reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Riffatere. Untuk menjadi seorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syarat-syarat: kemampuan dalam bidang bahasa; kemampuan semantik dan kemampuan sastra. Melalui kemampuan- kemampuan ini seorang Informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman pembacaan (Wati, 2013:4). c) Erwin Wolff mengusulkan Intended reader, yakni model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia mengkontruksikan idenya. Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika seorang pembaca yang tidak di tuju pengarang tetapi mampu memberikan arti kepada sebuah teks (Wati, 2013:4).

Tanggapan Pembaca Karya sastra selalu memberikan wajah yang lain kepada pembaca yang lain, dari generasi yang satu ke generasi yang lain selalu memberikan orkestrasi yang berbeda (Jauss, 1974: 14). Apresiasi karya sastra suatu priode akan ditentukan oleh generasi sesudahnya, dan seterusnya (Pradopo, 2001:34). Dari pendekatan prragmatik, kita mengenal dengan resepsi sastra. Resepsi sastra adalah kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun aktif. Pentingnya peranan pembaca dalam memberikan arti terhadap kary sastra dapat dilihat pada kenyataan bahwa karya yang sama akan dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang berbeda (Junus, 1985). Sebagai contoh, disebuah kelas, seluruh siswa diminta unntuk membaca puisi. Setelah membaca puisi, siswa ditanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan puisi itu. Selain ada

189 persamaan pemahaman, pasti ada perbedaan jawaban antara satu siswa dan siswa yang lain. Dalam bidang kritik, Damono(1983) menyatakan, “Dua orang kritikus tidak mungkin menghasilkan kritik-kritik yang persis sama meskipun mereka telah bertemu dengan sajak yang sama” (Siswanto, 2008:93).

PENUTUP Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, bahwa teori sastra perspektif pembaca hanya terfokuskan kepada para pembaca. Terjadinya interaksi antara pembaca dengan karya sastra merupakan sebuah wujud dimana komunikasi sastra itu sedang berlangsung. Saat proses itu berlangsung, dari itulah memungkinkan bahwa teori sastra sedang dibangun. Pembaca dapat menggapai isi teks bacaan saat ia berinteraksi dan berkomunikasi dengan suatu karya sastra. Oleh karenanya, ekstetika tanggapan masing-masing pembaca sangatlah berbeda, baik dalam menganalisis dialektik antara teks, pembaca dan interaksi antara keduannya.

DAFTAR RUJUKAN

Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT.Prasetia Widiya Pratama. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rafiek, Muhammad. 2010. Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama. Wati, Syamsurya. 2013. Pembaca Implisit. Blogspot , hlm. 1. Marwata, Heru. 1997. Pembaca dan Konsep Pembaca Tersirat Wolfgang Iser. Humaniora: hlm. 48,49 dan 52. Selden, Raman. 1985. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. The Harvester Press Damono, Supardi Djoko. 2011. Pengarang, Karya Sastra dan Pembaca. Jakarta: Universitas Indonesia.

190

GENG KUDA (GERAKAN UNGGAH KUTIPAN DAMAI) GERAKAN BERBAHASA YANG BAIK LAWAN UJARAN KEBENCIAN DI INSTAGRAM

Yesaya Novianto Agan Universitas Negeri Malang [email protected]

ABSTRAK: Ujaran kebencian menjadi masalah yang sering terjadi dan memberikan dampak negatif di era digital ini. Media sosial menjadi perantara untuk menyebarkan ujaran kebencian, salah satunya instagram. Kurangnya kesadaran mengenai pentingnya menjaga perdamaian dapat memperburuk keadaan. Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA) dapat digunakan sebagai alternatif untuk menyadarkan khalayak umum mengenai pentingnya menjaga perdamaian dengan menggunakan bahasa yang baik untuk membangun pengertian satu sama lain. Kata kunci : ujaran kebencian, instagram, GENG KUDA

ABSTRACT: Hate speech is often become problem that happen a lot and give negative impact on digital era. Most of the time hate speech occurs in the social media, in particullary instagram. The lack of awarness of peacefulness can make situation even worse. Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA) is able to become alternative to wake people up about the importance of maintenancing peacefulness with the use of good speech in purpose to build understanding with each other. Keywords : hate speech, instagram, GENG KUDA

Ujaran kebencian semakin marak terjadi akhir-akhir ini. Selama tahun 2017, Polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian di Indonesia (Medistiara, 2017). Menurut Kabiro Humas Kominfo Nur Iza juga menyatakan bahwa tren ujaran kebencian di tahun 2017 meningkat sangat tajam (Salim, 2017). Dari data dan pernyataan tersebut membuktikan bahwa ujaran kebencian adalah kasus yang sangat serius di Indonesia. Ahnaf dan Suhadi (2015:15) menyatakan bahwa di Indonesia, perhatian di kalangan aktivis terhadap dampak penyebaran ujaran kebencian terhadap kultur toleransi sudah lama muncul; namun sejauh ini nampaknya belum ada gerakan sosial yang terfokus merespon penyebaran ujaran kebencian. Hal tersebut menyatakan bahwa belum ada gerakan sosial untuk menanggulangi atau mewadahi tindakan ujaran kebencian. Meski tidak serta merta dapat menghentikan ujaran kebencian karena memang ada beberapa kelompok yang sengaja menggunakannya untuk alat propaganda atau provokasi. Ujaran kebencian yang merugikan perlu diperhatikan secara khusus supaya tidak terjadi konflik berkepanjangan.

191

Media sosial menjadi tempat yang digunakan untuk mengungkapkan kebencian. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa media sosial memiliki peran penting sebagai media penyalur ujaran kebencian. Hal tersebut tak serta merta memandang media sosial sebagai sesuatu yang negatif. Di sinilah peran pengguna media sosial agar bijak untuk mengunggah hal-hal yang baik. Hal-hal yang baik tersebut diupayakan untuk melawan unggahan ujaran kebencian dengan ujaran yang mendamaikan. Instagram sebagai media yang sering diakses di Indonesia dapat digunakan sebagai perantara menyebarkan virus kedamaian. Pengguna aktif bulanan alias montly active user (MAU) instagram tembus 1 miliar per Juni 2018 (Bohang, 2018). Menurut hasil survei WeAreSocial.net dan Hootsuite, pengguna aktif di Indonesia per Januari 2018 sebanyak 55 juta. Pengguna Instagram yang besar membuktikan bahwa banyak orang Indonesia beraktivitas daring di Instagram. Instagram yang dalam unggahannya menampilkan atau mengunggulkan gambar dapat digunakan sebagai media melawan ujaran kebencian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat gambar yang diberi kutipan bijak yang membawa damai. Di sini peran bahasa diuji sebagai bahasa yang juga dapat mempersatukan antar netizen di Indonesia. Kutipan pesan yang bijak dan mendamaikan dapat mengayemkan pikiran meski tak serta merta langsung terjadi, namun usaha kecil perlu dilakukan. Bahasa yang baik tumbuh dari lingkungan yang baik. Media sosial adalah lingkungan atau ruang lingkup ujaran kebencian. Instagram menjadi media sosial yang sering diakses di Indonesia. Menciptakan lingkungan yang baik di instagram tak dapat dilakukan oleh satu dua orang. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah gerakan. Menumbuhkan berbahasa yang baik dapat mempengaruhi orang lain juga. Pengaruh tersebut dapat menimbulkan hal positif untuk menekan ujaran kebencian yang terus merebak di media sosial. Pada bab pembahasan akan dijelaskan lebih lanjut mengenai Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA). Dimulai dari penjelasan mengenai instagram, ujaran kebencian, bahasa sebagai pendamai di era digital, dan pembahasan terakhir mengenai Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA) itu sendiri.

Instagram

192

Di awal milenium III ini kalangan pakar teknologi komunikasi umumnya, berpendapat bahwa akan terjadi pemekaran jenis-jenis media komunikasi massa (Muis, 2001:4). Hal tersebut sudah nyata terjadi dengan media daring yang dikenal dengan media sosial. Media sosial sudah menjadi kebutuhan untuk sebagian besar orang di dunia. Salah satu media sosial di Indonesia yang saat sering digunakan adalah Instagram. Instagram disusun dari dua kata, yaitu “Insta” dan “Gram”. Arti kata pertama diambil dari istilah “Instan” atau serba cepat/mudah. Sedangkan kata “Gram” diambil dari “Telegram” yang maknanya dikaitkan sebagai media pengirim informasi yang sangat cepat (Indriani, 2017:3). Aplikasi ini dirilis pada Oktober, 2010. Aplikasi yang didirikan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger digunakan untuk menggungah foto atau gambar. Aplikasi ini dapat diakses di android dengan mudah. Pada awalnya instagram hanya dapat digunakan untuk mengunggah foto atau gambar. Dari tahun ke tahun instagram mengalami perkembangan mengikuti tren yang ada. Mulai mengunggah video hingga akhirnya ada riwayat story yang hanya dapat dilihat satu kali dua puluh empat jam. Seiring berkembangnya teknologi, instagram tidak hanya digunakan sebagai aplikasi untuk memposting foto atau video dengan berbagai fitur menarik tetapi juga digunakan sebagai media untuk berbisnis. Pengguna instagram di Indonesia cukup besar. Menurut hasil survei WeAreSocial.net dan Hootsuite, pengguna aktif di Indonesia per Januari 2018 sebanyak 55 juta. Pengguna instagram mayoritas anak muda. Rata-rata berusia 18-24 tahun sebanyak 59 persen, usia 45-34 tahun 30 persen, dan yang berusia 34-44 tahun 11 persen (Mailanto, 2016). Instagram menjadi media sosial yang sering diakses di Indonesia.

Ujaran Kebencian Ujaran kebencian menjadi persoalan yang serius di Indonesia. Banyak orang memiliki definisi mengenai ujaran kebencian. Definisi tersebut akan terangkum dalam pembahasan berikut. Selain itu, dampak dan penyebab ujaran kebencian akan dipaparkan sedikit untuk melengkapi pembahasan berikut. Sebuah ujaran (speech) bisa dikatakan kebencian (hate) apabila yang pertama ia mengekspresikan perasaan kebencian atau intoleransi yang bersifat ekstrim dan yang kedua perasaan tersebut ditujukan kepada kelompok lain berdasarkan identitas mereka seperti ras dan

193 orientasi seksual (Ahnaf dan Suhadi, 2015:5). Sebuah ujaran dapat disebut kebencian karena mengekspresikan sikap intoleransi. Selain itu, sebuah ujaran yang ditujukan kepada kelompok lain berdasarkan identitas secara spesifik dapat disebut sebagai ujaran kebencian yang ekstrim. Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun di dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar (Widayati, 2018:2). Perbedaan tersebut tergantung dari maksud yang akan disampaikan dalam ujaran tersebut. Makna yang terkandung di dalamnya menjadi tujuan utama ke arah mana ujaran itu akan diberikan. Dalam arti hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut (Febriyani, 2018:1). Dalam hukum, ujaran kebencian dilarang karena dapat memicu kekerasan dan prasangka buruk dari pihak pelaku ataupun pihak korban sendiri. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang mengandung kebencian, menyerang, dan berkobar-kobar ditujukan kepada kelompok tertentu oleh oknum yang ingin menyerang identitas seperti ras dan orientasi seksual. Ujaran kebencian dapat memberikan dampak serius bagi yang membacanya dan terprovokasi dengan ujaran tersebut. Orang yang membacanya dapat menjadi korban atau menjadi pelaku selanjutnya. Ujaran kebencian dapat terjadi karena prasangka. Prasangka terjadi karena orang yang mengungkapkan kebencian memiliki perbedaan, entah dari segi ras, suku, agama, ataupun pemikiran. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi (Gerungan, 1988:167). Prasangka ini menyebabkan sikap diskriminatif yang dapat merugikan atau menghambat kehidupan orang yang diprasangkai. Prasangka yang tidak diluruskan kebenarannya dapat menjadi api untuk memantik orang lain menyetujui prasangka tersebut. Orang lain akan ikut-ikutan dan menganggap prasangka tersebut sebagai hal yang mutlak. Prasangka ini dapat menimbulkan masalah baru karena pola pikir seseorang telah berubah mengenai kelompok tertentu. Selain prasangka, ada kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan ujaran kebencian sebagai alat provokasi atau propaganda. Ujaran kebencian menjadi senjata baru zaman sekarang

194 yang digunakan untuk menyerang orang lain. Hal ini merupakan kesempatan bagi transformasi sejumlah kelompok garis keras untuk mengalihkan arena perjuangan dari „perang bersenjatakan bom‟ ke „perang bersenjatakan kata-kata‟ (dalam Ahnaf dan Suhadi, International Crisis Group 2008). Keberadaan kelompok-kelompok tersebut memang perlu ditindak tegas oleh pemerintah. Apabila dibiarkan tetap seperti itu akan semakin meresahkan. Kelompok-kelompok tersebut dapat mempengaruhi orang lain untuk ikut-ikutan melakukan ujaran kebencian. Hal tersebut dapat menambah orang-orang baru yang bisa jadi tidak mengerti dengan tindakan yang sedang mereka lakukan. Orang awam tidak perlu ikut-ikutan untuk menghakimi atau menyalahkan pelaku-pelaku ujaran kebencian. Usaha menyalahkan pihak lain hanya akan berimplikasi tidak memperjelas akar masalahnya (Nurudin, 2008:118). Hal yang dapat dilakukan dengan menyadari pentingnya menjaga perdamaian. Ujaran kebencian telah menimbulkan perpecahan dengan menimbulkan pemikiran yang salah mengenai adanya perbedaan. Sebagai orang awam yang terhormat, hal yang dapat dilakukan adalah menyaring informasi yang ada. Selain menyaring, orang awam dapat melakukan langkah kecil dengan memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga perdamaian melalui media sosial dengan mengunggah kutipan damai melalui bahasa yang baik. Hal tersebut akan menjadi pembahasan pada sub bab berikutnya.

Bahasa sebagai Pendamai di Era Digital Chaer (2009:267) menyatakan bahwa berbahasa adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau serangkaian ujaran. Bahasa digunakan untuk menyampaikan maksud kepada orang lain secara lisan ataupun tulis. Dalam proses menyampaikan maksud tersebut, bahasa digunakan sebaga alat komunikasi. Bahasa sebagai alat yang digunakan untuk komunikasi antara satu dengan yang lain. Komunikasi tersebut dapat disampaikan satu arah ataupun dua arah. Tergantung pada situasi dan kondisi saat seseorang akan menyampaikan maksud tertentu. Bahasa yang baik dapat diterima dengan baik dan disampaikan dengan baik. Bahasa yang baik adalah bahasa yang memiliki ujaran yang memberikan damai. Bahasa itu seperti pisau, dapat digunakan untuk mengupas apel atau membunuh orang. Sebagai orang yang sadar akan pentingnya bahasa, sudah selayaknya bahasa digunakan untuk

195

“mengupas apel” atau dikembalikan pada kodratnya. Bahasa adalah ruang untuk pembawa damai antara satu dengan yang lain. Dalam pemerolehan bahasa ada istilah nature dan nurture. Kedua teori tersebut saling mendukung satu sama lain. Di sini akan dibahas mengenai pemerolehan bahasa dari nurture. Bahasa diperoleh secara alami oleh penutur dan bahasa diperoleh dari lingkungan. Dengan menciptakan lingkungan berbahasa yang baik, seseorang dapat memasuki wilayah yang baik dan bertutur baik pula. Bahasa dapat digunakan sebagai kontrol sosial. Kontrol sosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindakan-tanduk orang lain (Keraf, 2004:7). Bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi orang lain dalam konteks yang baik. Hampir sama dengan Keraf, Chaer menggunakan istilah kontrol sosial dengan fungsi persuasif. Fungsi persuasif adalah penggunaan bahasa yang bersifat mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara baik-baik (Chaer, 2009:33). Hal tersebut menegaskan bahwa fungsi bahasa untuk mengajak atau mempengaruhi orang lain yang menerimanya. Dari kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dapat mempengaruhi tingkah laku dan mengajak orang lain secara baik-baik. Fungsi bahasa ini dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan lingkungan yang baik. Hal tersebut dilakukan dengan mempengaruhi orang lain menciptakan lingkungan yang baik pula. Octaviani (2017:2) menyatakan bahwa bahasa yang biasa digunakan untuk bertutur penuh dengan nilai-nilai kesopanan, kebanyakan manusia dapat meniru bahasa yang diucapkan, yang didengar dan yang dilihatnya, oleh karena itu salah satu yang dapat mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang yaitu media sosial instagram. Hal tersebut menegaskan bahwa instagram dapat menjadi salah satu pengaruh untuk seseorang bertutur. Instagram dapat digunakan sebagai media untuk menyebarkan kedamaian dengan unggahan yang tidak membuat orang lain sakit hati, tetapi berbahagia dan tersenyum saat membacanya.

GENG KUDA Ujaran kebencian semakin meresahkan bila terus-menerus dibiarkan. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan. Baik korban atau pelaku ujaran kebencian telah masuk ke dalam lingkaran setan. Orang yang menjadi korban dapat depresi atau merasa

196 dikucilkan, bahkan dapat juga menyebabkan seseorang bunuh diri. Sedangkan pelaku apabila tidak disadarkan dapat terus-menerus melakukan hal tersebut yang dapat merugikan orang lain dan merugikan si pelaku sendiri. Gerakan sosial adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah merebaknya ujaran kebencian. Hal tersebut dapat memberi semangat korban atau merubah cara pandang pikiran korban. Hal serupa dapat menyadarkan sang pelaku sehingga dapat mengentikan perbuatannya yang merugikan orang lain. Meskipun sangat kecil kemungkinan dapat dihentikan, tetapi hal yang diupayakan diharapkan dapat membuka pikiran banyak orang.

Ahnaf dan Suhadi (2015:15) menarik kesimpulan sebagai berikut Gerakan sosial yang secara khusus memberi perhatian terhadap bahaya kebencian sudah lama muncul di negara-negara maju. Di Eropa terdapat organisasi No Hate Speech Movement (http://www.nohatespeechmovement.org/) yang secara rutin mempublikasikan kasus-kasus ujaran kebencian, kesaksian para korban dan pendidikan literasi media untuk menangkal pengaruh ujaran kebencian. Di Amerika ada gerakan bernama AntiDefamation League (ADL) dan National Association for the Advancement of Colored People (NAACP). Kedua gerkan ini secara rutin menerbitkan laporan tentang praktek hate crime yang dilakukan terhadap kelompok identitas tertentu seperti Yahudi dan penduduk non-kulit putih Di luar negeri, gerakan sosial untuk menangkal ujaran kebencian sudah ada dan terus bertumbuh. Sayangnya, gerakan semacam ini belum hadir di Indonesia. Di Indonesia, perhatian di kalangan aktivis terhadap dampak penyebaran ujaran kebencian terhadap kultur toleransi sudah lama muncul; namun sejauh ini nampaknya belum ada gerakan sosial yang terfokus merespon penyebaran ujaran kebencian (Ahnaf dan Suhadi, 2015:15). Indonesia perlu perhatian khusus mengenai gerakan ini supaya dapat menyadarkan masyarakat Indonesia sendiri. Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain yaitu melalui orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat dimuka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak maupun elektronik, dan pamflet. Banyak media yang dapat digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian. Salah satu media yang sering digunakan adalah media sosial.

197

Terdapat beberapa kasus mengenai ujaran kebencian di media sosial. Pemerintah telah melakukan upaya untuk memblokir akun yang ikut menyebarkan ujaran kebencian. Menurut Rudiantara, dari sekitar empat ribu akun yang di-take down Kominfo sejak akhir bulan Mei 2018, hampir setengah di antaranya berada di Instagram dan Facebook (CNN Indonesia). Data tersebut membukikan bahwa instagram juga digunakan untuk menyebar ujaran kebencian. Media sosial tidak hanya memiliki kekuatan untuk membentuk sikap, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mengubah sikap dan perilaku. Media sosial menjadi alat untuk mempengaruhi orang lain. Cangara (2015:185) menyatakan bahwa pengaruh bisa terjadi dalam bentuk perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavior). Media sosial dapat mempengaruhi sikap dan perilaku menuju ke hal yang baik atau hal yang buruk. Melalui media sosial seseorang memproses hal yang diterima lalu diterima dan diyakini. Hal yang dapat dilakukan dengan mengunggah kutipan damai di sosial media, salah satunya instagram. Instagram menjadi salah satu sosial media yang sering digunakan di Indonesia. Mengunggah kutipan damai di instagram dapat digunakan sebagai bentuk alternatif menebarkan kedamaian. Peluang ini dapat digunakan menyadarkan akan pentingnya menjaga perdamaian antar satu dengan yang lain. Mengingat propaganda ujaran kebencian yang merebak di instagram. Counter Propaganda harus dilakukan agar dampak negatif atau informasi yang salah yang sudah menyebar dan mempengaruhi perilaku masyarakat tidak diteruskan (Nurudin, 2008:125). Propaganda yang negatif dampak dilawan dengan propaganda yang bersifat positif. Hal tersebut dilakukan untuk kembali menyadarkan atau memberi informasi yang benar kepada pembaca. Dengan Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA) yang terus digalakkan dapat membantu menyadarkan orang lain yang membaca. Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA) ini dapat dilakukan dengan mengajak lembaga pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang akan bekerja sama dengan guru-guru. Hal tersebut dapat diawali di kelas-kelas. Guru sebagai orang yang mengarahkan dengan memberi tugas untuk mengunggah gambar atau foto dengan caption yang membuat damai. Dari tugas ini dapat menjadi model pembelajaran dan setiap orang dapat membaca atau melihat secara tidak langsung. Selain itu, komunitas-komunitas juga dapat digunakan untuk ikut dalam gerakan ini. Setiap orang berkomitmen untuk mengunggah gambar atau foto untuk melawan ungkapan

198 kebencian. Tidak lupa menggunakan tagar #lawanujarankebencian atau #kutipandamai sebagai bentuk gerakan baru di instagram untuk menekan angka caption #ujaran #kebencian. Gerakan ini diharapkan dapat mempengaruhi orang lain juga untuk mengunggah gambar atau foto. Diharapkan juga dari caption orang dapat terpengaruh dalam mengungkapkan kata- kata yang bijak untuk orang lain. Dalam perilaku juga diharapkan orang dapat berubah dan terpengaruh sehingga dunia menjadi damai. Bahasa tidak lagi disalahgunakan untuk hal yang negatif, tetapi juga digunakan untuk hal yang positif. Membangun antar satu manusia dengan manusia lain melalui perkataan yang baik. Tidak merendahkan, meremehkan, bahkan membenci tetapi menjadi pribadi yang saling mengerti satu dengan yang lain. Mengembalikan citra Indonesia yang gotong royong dan ramah tamah antara satu dengan yang lain.

Kesimpulan Ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang mengandung kebencian, menyerang, dan berkobar-kobar ditujukan kepada kelompok tertentu oleh oknum yang ingin menyerang identitas seperti ras dan orientasi seksual. Ujaran kebencian menjadi salah satu masalah di Indonesia yang harus ditangani secara serius. Sebuh gerakan dapat digunakan untuk menangani masalah tersebut. Gerakan untuk melawan ujaran kebencian. Instagram menjadi salah satu media yang sering digunakan di Indonesia. Instagram juga sering digunakan untuk mengunggah ujaran kebencian. Jika dibiarkan instagram akan menjadi media untuk menyebarkan ujaran kebencian di Indonesia. Ujaran kebencian ini disampaikan dalam bahasa yang buruk sehingga mempengaruhi pola pikir orang yang membacanya. Hal tersebut dapat ditanggulangi dengan cara berbahasa yang baik. Bahasa yang biasa digunakan untuk bertutur baik akan memberi dampak yang baik pula. Menciptakan lingkungan berbahasa yang baik di instagram perlu dilakukan dengan melakukan sebuah gerakan kecil dengan mengunggah kutipan damai untuk melawan ujaran kebencian. Gerakan Unggah Kutipan Damai (GENG KUDA) dapat dilakukan oleh siapa saja. Dimulai dari diri sendiri untuk ikut menyadarkan orang lain. Pemerintah juga dapat melakukan gerakan ini bekerjasama dengan lembaga pendidikan tingkat SMA untuk menerapkan menjadi tugas di kelas. Selain itu, peran komunitas juga penting untuk turut melakukan gerakan ini

199 sehingga instagram dipenuhi dengan kutipan damai. Lingkungan yang baik tercipta dan setiap orang yang membacanya dapat terberkati dengan setiap kata damai yang muncul dari sana.

DAFTAR RUJUKAN Ahnaf, M.I. dan Suhadi. 2015. Isu-Isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasinya terhadap Gerakan Sosial Membangun Toleransi dalam Harmoni: Jurnal Multikultur Multireligius. Jakarta: Kementerian Agama RI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan. Bohang, F. K. (2018). Juni 2018, Pengguna Aktif Instagram Tembus 1 Miliar. Online, https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/tekno/read/2018/06/21/10280037/jun i-2018-pengguna-aktif-instagram-tembus-1-miliar. Diakses pada 1 Oktober 2018 pukul 13:19 WIB. Cangara, H. 2015. Pengantar Ilmu Komunikasi. Depok: Rajagrafindo Persada. Chaer, A. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Fitriah, E. A.. 2014. Psikologi Sosial Terapan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Gerungan, W.A.. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco. Indriani, E. (2017). Sejarah dan Perkembangan Instagram. Online, http://ilmuti.org/wp- content/uploads/2017/02/Eka-Indriani-Sejarah-dan-Perkembangan-Instagram-1.pdf. Diakses pada 11 Oktober 2018 pukul 11:30 WIB. Keraf, G. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kamahiran Berbahasa. Flores: Nusa Indah. Mailanto, A. (2016). Pengguna Instagram di Indonesia Terbanyak, Mencapai 89%. Online, https://techno.okezone.com/read/2016/01/14/207/1288332/pengguna-instagram-di- indonesia-terbanyak-mencapai-89. Diakses pada 14 Oktober 2018 pukul 17:25 WIB. Medistiara, Yulida. (2017). Selama 2017 Polri Tangani 3.325 Kasus Ujaran Kebencian. DetikNews. Online, https://news.detik.com/berita/d-3790973/selama-2017-polri- tangani-3325-kasus-ujaran-kebencian. Diakses pada 3 Oktober 2018 pukul 07.35 WIB. Mius, A. 2001. Indonesia di Era Dunia Maya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2008. Komunikasi Propaganda. Bandung: Remaja Rosdakarya. Octaviani, A. 2017. Ungkapan Kebencian Tuturan Heaters di Akun Instagram Basukibtp Relevansinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sma. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

200

Salim, H. J.. (2017). Kominfo: Tren Ujaran Kebencian Meningkat di Januari 2017. . Online, https://www.liputan6.com/news/read/3101896/kominfo-tren-ujaran-kebencian- meningkat-di-januari-2017. Diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 11.48 WIB. Widayati, L. S.. 2018. Ujaran Kebencian: Batasan dan Larangannya. Info Singkat: Vol. X, No. 06/II/Puslit/Maret/2018.

201

PRAANGGAPAN DAN PELANGGARAN MAKSIM KESOPANAN DALAM VIDGRAM @ALFYSAGA

Ifi Erwhintiana Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Email: [email protected]

Dien Nur Chotimah Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Email: [email protected]

Madchan Jazuli Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Email: [email protected]

ABSTRACT The study aims to desribe the forms of presuposition in @alfysaga‟s vidgram and explain the types of violations in politness principle in @ alfysaga‟s vidgram. This study is descriptive qualitative study. The subject of this study are @alfysaga‟s videos. The techniques of data collections are watching, and writing. The techniques of data validation are appliying triangulation, and discussing with the experts. The techniques of data analysis used are Miles and Huberman model. This techniques consist of three phases are data reduction, data presentation, data verification. The result of this study are; the forms of presuposition in @alfysaga‟s videos are 39 forms. All of the forms are classified into several presuposition. There are 9 data in exsistential presupositions, 6 data in factive presupositions, 2 data in non-factive presupositions, 5 data in lexical presupositions, 10 data in structural presupositions, and 7 data counterfactual presupositions. In other side, there some types of violation in politness principle on alfysaga‟s vidgram are 11 types with details; 3 types in wisdom violations, 2 types in simplicity violations, 2 types in appreciation principle, 2 types in agreement principle, and also 2 types in sympathy principle but its not found in philantropy violation in this vidgram. Presupositions are influential in communications, although it will be true or false. Beside it, the application of politness principle is also influential in communication, even it can describes someone‟s personality through the way of their communications. Keywords: Pragmatic, Presupositions, Vidgram, Alfysaga

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk praanggapan dalam vidgram @alfysaga, dan memaparkan bentuk pelanggaran maksim dalam prinsip kesopanan yang digunakan dalam vidgram @alfysaga. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subyek dari penelitian ini adalah vidgram @alfysaga. Teknik pengumpulan data yng digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan catat. Peneliti menggunakan trianggulasi data dan diskusi dengan teman sejawat sebagai teknik validitas data. Kemudian peneliti menggunakan teknik analisis data menurut Miles and Huberman yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 39 indikator praanggapan.

202

Keseluruhan data tersebut dapat dklasifikasikan pada seluruh jenis praanggapan, dengan rincian sebagai berikut; 9 data praanggapan eksistensial, 6 data praanggapan faktiv, 2 data praanggapan nonfaktiv, 5 data praanggapan leksiskal, 10 data praanggapan struktural, dan 7 data praanggapan konterfaktual. Selain itu juga ditemukan beberapa bentuk pelanggaran maksim dalam prinsip kesopanan dalam vidgram @alfysaga sejumlah 11 bentuk dengan perincian; 3 pelanggaran maksim kebijaksanaan, 2 pelanggaran maksim kesederhanaan, 2 pelanggaran maksim penghargaan, 2 pelanggaran maksim kemufakatan, 2 pelanggaran maksim simpati dan tidak ditemukan pelanggaran maksim kedermawanan dalam vidgram tersebut. Adanya praanggapan dalam sebuah komunikasi sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya komunikasi, baik praanggapan itu benar atau salah. Selain itu penerapan prinsip kesopanan juga memicu berlangsungnya komunikasi bahkan dapat menggambarkan kepribadian seseorang melalui tuturan saat komunikasi berlangsung. Kata Kunci: Pragmatik, Pranggapan, Vidgram, Alfysaga

Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para era gobalisasi yang diiringi dengan modernisasi baik secara geografis atau sosiologis ini, cukup membawa pengaruh yang cukup besar dalam gaya hidup suatu masyarakat. Adapun salah satu dampaknya ialah bidang komunikasi, dimana negara ini didominasi oleh digitalisasi sebagai media untuk mendapatkan segala informasi terutama media sosial. Sebagaimana yang dikatakan Perwitasari dalam penelitiannya bahwa media sosial merupakan media pendukung interaksi sosial dimana media berbasis teknologi ini memberikan banyak faedah bagi si pengguna (perwitasari, 2017, h, 2). Seiring berkembangnya zaman, digitalisasi pun cukup berkembang pesat baik di negara maju atau berkembang seperti Indonesia. Berbagai media sosial mulai bermunculan seperti facebook, whatsApp, skype dan instagram hingga saat ini. Selain menjadi sarana komunikasi, media sosial juga menjadi sarana hiburan bagi penggunanya, serta media untuk berbagi informasi berbasis teknologi. Dewasa ini maraknya Instagram sebagai salah satu media sosial yang cukup fenomenal di berbagai kalangan. Instagram merupakan suatu aplikasi berbasis internet untuk berbagi informasi baik berupa foto atau video yang berdursi maksimal 1 menit (perwitasari, 2017, h, 9). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa fungsi utama dari instagram ialah media untuk mebagikan informasi dengan cepat, sehingga si pengguna telah berkomunikasi melalui dunia maya dan akan mendapatkan respon yang cukup cepat. Dalam hal ini peneliti menfokuskan salah satu fitur dalam instagram yakni video atau yang biasa disbut dengan vidgram. Sebagaimana yang dikatakan severin dan Tankard dalam penelitian perwitasari tentang pengambaran komunikasi yaitu; “who says what which channel to whom with what effect” (severin dalam perwitasari, 2017, h, 4). Selain itu dalam setiap vidgram

203 pasti terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh si pengguna (user) yang ditujukan pada pengguna instagram lainnya, sehingga secara tidak langsung muncullah sebuah interaksi sosial dalam instagram. Berbagai postingan vidgram yang beragam, baik mencuplik seputar aktivitas keseharian, berbagai tutorial, kejadian settingan, bahkan vidgram kocak berbau komedy seperti @alfysaga, @inivindy, @riaricis, @d_kadoor. Dalam hal ini, banyak akun pribadi atau official yang secara khusus mengunggah vidgram-vidgram tersebut hingga memiliki berjuta-juta followers yang cukup menguntungkan bagi mereka, misalnya menjadi viral, menambah followers, bahkan menjadi selebgram. Berdasarkan fenomena tersebut, salah satu akun yang cukup viral di kalangan remaja saat ini adalah @alfysaga. Akun tersebut banyak mengunggah video seputar keseharian remaja saat ini baik dialog antar sahabat, teman, bahkan pacar. Oleh karena itu, vidgram ini sangat populer di kalangan remaja khusunya mahasiswa. Melihat fenomena tersebut, banyak kajian linguistik yang dapat mengkaji fenomena kebahasaan tersebut, salah satunya ialah pragmatik. Pragmatik merupakan salah cabang linguistik yang mengkaji bahasa dengan konteks, yaitu mengkaji bagaimana bahasa digunakan oleh si penutur dan hal berkaitan dengannya. Dalam hal ini peneliti berfokus pada salah dua wilayah kajian pragmatik yaitu praanggpan dan prinsip kesantunan. Menurut rahardi sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraangggapkan mengakibatkan kebenaran atau tidak (rahardi, 2005, 42). Sedangkan menurut Brown dan Levinson merumuskan strategi kesopanan berbahasa dalam komunikasi yang berkaitan dengan konsep muka sebagai wujud pribadi seseorang dalam masyarakat (Yule, 2006, 60). Melihat fenomena tersebut, banyak kajian linguistik yang dapat mengkaji fenomena kebahasaan tersebut, salah satunya ialah pragmatik. Pragmatik merupakan salah cabang linguistik yang mengkaji bahasa dengan konteks, yaitu mengkaji bagaimana bahasa digunakan oleh si penutur dan hal berkaitan dengannya. Dalam hal ini peneliti berfokus pada salah dua wilayah kajian pragmatik yaitu praanggpan dan prinsip kesantunan. Menurut rahardi sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraangggapkan mengakibatkan kebenaran atau tidak (rahardi, 2005, 42). Sedangkan menurut Brown dan Levinson merumuskan strategi kesopanan berbahasa dalam komunikasi yang

204 berkaitan dengan konsep muka sebagai wujud pribadi seseorang dalam masyarakat (Yule, 2006, 60). Dari pemaparan diatas, peneliti cukup tertarik untuk meneliti vidgram @alfysaga melalui teori praanggpan dan prinsip kesopanan. Selain itu penjelasan tersebut cukup mendukung peneliti dalam mengkaji fenomena kebahasaan berupa vidgram dari sosok selebgram yang terkenal dan cukup memberi pengaruh terhadap pengguna instagram lainnya. Peneliti menggungkap praanggapan yang terdapat pada alfysaga dalam ungghan vidgramnya. Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut; pertama, bentuk praanggapan dalam vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret 2018. Kedua, bentuk pelanggaran maksim kesopanan dalam vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret 2018. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan bentuk praanggapan dalam vidgram @alfysaga periode 16-30 April 2018, dan memaparkan bentuk pelanggaran maksim dalam prinsip kesopanan dalam vidgram @alfysaga periode 16-30 April 2018.

Definisi Praanggapan Pranggapan atau presuposisi merupakan salah satu cabang dari kajian pragmatik. Praanggapan juga dianggap sebagai hal dasar dalam pembicaraan oleh si penutur. Dalam bahasa Inggris praanggapan atau presuposition berasal dari kata to pre-suppose yang memiliki makna to suppose beforehand atau menduga sebelumnya (pandiangan dalam jumadiana, 2016, 20). Dari kutipan tersebut dapat diasumsikan bahwa seorang penutur sudah memiliki dugaan akan mitra tutur sebelum ia mengutarakan tuturannya. Adapun menurut Wijana praanggapan ialah makna yang tersirat atau tambahan makna yang diperoleh melalui kegiatan berbahasa (wijana, 1996, 2). Senada dengan hal tersebut Cummings juga menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi tersirat dalam ungkapan linguistik tertentu (cumming, 2007, h. 77). selain itu dalam sebuah tuturan selalu diikuti oleh sebuah asumsi yang beragam pada si penutur, sehingga mengakibatkan banyak respon dari mitra tutur. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Griffiths dalam bukunya menyatakan sebagai berikut: “such presumed-to-be-shared beliefs that are taken for granted by the speaker or writer and are expected to be used for interpreting the message are called presuposition”, lalu dia menjelaskan lebih lanjut bahwa praanggapan tidaklah selalu benar karena komunikasi tergantung pada

205 kesadaran mutual dalam hal ideologi atau prasangka yang salah dari banyak individu dan lain lain (Griffiths dalam Hadiyani, 2014, 44). Begitu juga dengan Levinson yang memberikan konsep presuposisi atau praanggapan sebagai suatu macam anggapan atau latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori atau ungkapan yangmemiliki makna (nababan, 1987, 48). Hal ini juga didukung dengan pernyataan Cruse yang menjelaskan praanggapan sebaagai informasi yang melatarbelakangi penutur untuk menyampaikan fakta (Cruse dalam Hadiyani, 2014, 44). Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa praanggapan merupakan suatu informasi yang mendasari seorang penutur untuk mengungkapka sebuah tuturan, baik dinilai benar atau salah, karena praanggapan merupakan asumsi awal penutur yang sudah dipahami oleh pembaca atau mitra tutur. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Nababan dalam bukunya bahwa praanggapan merupakan penyimpulan dasar mengenai konteks (situasi) yang membuat bentuk bahasa (tuturan) memiliki makna bagi mitra tutur, sehingga membantu penutur untuk meyampaikan pesan yang dimaksud (Nababan, 1987, 46).

Jenis-jenis Praanggapan Sebagaimana yang dipaparkan oleh para ahli linguistik, Yule (2006:46) pun berpendapat demikian lalu ia mengklasifisikan praanggapan menjadi enam jenis, diantaranya: a) Praanggapan Eksistensial Praanggapan eksistensial adalah praanggapan yang menunjukkan eksistensi referen yang diungkapkan dengan kata yang definit. Presuposisi ini menunjukkan bagaimana keberadaan suatu hal disampaikan melalui praanggapan (jumadiana, 2016, 23). Misalnya; Mobil itu berjalan. Praanggapan yang menyatakan keberadaan dari kalimat tersebut ialah 1) ada mobil berjalan, 2) ada orang menyetir. b) Praanggpan Faktif Praanggpan faktif adalah praanggapan dimana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja yang dianggap sebagai suatu kenyataan. Pesan yang akan disampaikan ditandai dengan adanya kata-kata kerja yang menunjukkakn suatu fakta. Misalnya; Dia kecewa setelah mengetahui hal tersebut. Pernyataan tersebut memiliki praanggapan bahwa dia mengetahui hal tersebut. selain kata kerja yang menunjukkan sebuah fakta seperti

206

mengetahui, menyadar, mengatakan, kefaktualan suatu pernyataan dapat dilihat dari partisipan tutur, konteks, situasi, dan pengetahuan bersama (jumadiana, 2016, 24). c) Praanggapan Leksikal Praanggapan leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan dimana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan suatu makna lain yang tersirat dapat dipahami. Dalam praanggapan leksikal, penggunaan ungkapan khusus oleh penutur diambil untuk mempranggapkan sebuah konsep lain (tersirat), sedangkan dalam praanggapan faktif, pemakaian ungkapan khusus digunakan untuk mempraanggapkan kebenaran informasi yang dinyatakan setelah itu (setiawati, 2017, 272). Misalnya; mereka mulai mengeluh. Pernyataan tersebut memiliki praanggapan sebelumnya mereka tidak mengeluh. Kata mulai menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak mengeluh. d) Praanggapan Struktural Praanggapan structural merujuk pada struktur-struktur kalimat tertentu yang telah dianalisis sebagai praanggapan konvensional bahwa bagian stuktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Praanggapan ini biasanya muncul dalam kalimat tanya, praanggapan ini dapat diidentifikasi dengan struktur penyataan yang jelas (Rahman, 2016, 2). Misalnya; Dimana Tika mencari refrensi? Pernyataan tersebut menunjukkan praanggapan bahwa keberadaan Tika sedang mencari refrensi dapat dipahami melalui struktur kalimat. e) Praanggapan non-faktif Praanggapan nonfaktif adalah pranggapan yang diasumsikan tidak benar. Praanggapan ini memungkinkan adanya pemahamaan yang salah karena mengandung ambiguitas (jumadiana, 2016, 24). Misalnya; Andai aku bisa ke Singapore. Pernyataan tersebut memiliki praanggpan yang menunjukkan ketidak factualan sebuah informasi atau masih diragukan kebenarannya. f) Praanggapan konterfaktual Praanggapan konterfaktual berarti apa yang dipranggpkan bukan hanya tidak benar, melainkan kebalikan dari benar atau tidaknya kenyataan. Praanggapan ini menunjukkan pemahaman yang kontradiktif dari pernyataan (setiawati, 2017, 272). Misalnya; kalau cuaca hari ini cerah pasti pameran tersebut ramai. Pernyataan tersebut memiliki praanggapan bahwa cuaca hari itu tidak cerah. Dari contoh tersebut, tuturan tidak hanya menjelaskan apa yang ada dalam tuturan melainkan juga menjelaskan sesuatu yang tersirat pula.

207

Kesantunan Berbahasa Bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang yang menuturkannya. Berdasarkan pembagiannya bahasa terbagi menjadi dua bagian yaitu bahasa verbal dan nonverbal. Menurut Pranowo Bahasa verbal ialah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata, baik bahasa lisan maupun tulisan yang akan menampakkan benar-salah, dan baik buruknya seseorang dalam ucapan atau tulisan (Pranowo, 2012, 3). Berkenaan dengan hal tersebut, Abdul Chaer memaparkan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam berbahasa agar seseorang dapat dikatakan manusia beradab, yaitu; kesantunan, kesopanan, dan etika berbahasa. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan unsur bahasa, kesopanan mengacu pada kepantasan suatu tuturan yang disampaikan pada mitra tutur, sedangkan etika berbahasa berkenaan dengan norma sosial dan budaya yang berlaku daam suatu masyarakat (Chaer, 2010, 4).

Prinsip Kesopanan Sebagaimana pakar Linguistik lain Leech juga menyatakan bahwa sopan santun berkenaan dengan relasi antara dua pemeran serta yang boleh dinamakan diri dan lain. Dalam hal ini Leech memiliki enam prinsip dalam teori kesantunan (Leech, 2011, 206), diantaranya adalah: a) Maksim kebijaksanaan dimana para peserta tutur hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain. Apabila sebuah komunikasi berpegang teguh pada maksim ini, maka ia dapat menghindari sikap dengki, iri hati, dan sikap lain yang kurang santun. b) Maksim kedermawanan dimana para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Sebuh penghormatan dapat terjadi apabila seseorang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain. c) Maksim penghargaan dimana para peserta tutur diharapkan untuk tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan orang lain. d) Maksim kesederhanaan dimana peserta tutur diharapkan untuk bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap diriny sendiri, sehingga menghindari sifat dengki dan sombong. e) Maksim kemufakatan dimana peserta tutur ditekankan untuk saling membina kecocokan dalam kegiatan bertutur, sehingga masing-maing dapat bersikap santun.

208 f) Maksim simpati dimana peserta tutur diharapkan untuk memaksimalkan rasa simpati antara pihak satu dengan yang lain.

Instagram Instagram berasal dari kata “instant” berarti penting dan “telegram” dimana telegram memiliki arti cara kerja yang cepat, sehinga dapat disimpulkan bahwa instagram berarti membagikan foto atau video dengan instan dan cepat (Perwitasari, 2017, h. 10). Dalam kajian komunkasi, pemilik akun berperan sebagai komunikator dan followers berperan sebagai komunikan, foto ataupun video yang diunggah merupakan pesan dari komunikator dan instagram adalah media tempat berkomunikasi (www. Gudangilmukomputer.com). Adapun salah satu fitur instagram ialah video atau vidgram. Banyak kalangan yang menggunakan fitur ini untuk merekam suatu moment lewat suatu audio dan visual baik secara individu atau komunitas. Selain itu instagram memberikan kesempatan pengguna untuk mengunggah vidgram dalam durasi menit dengan tambahan caption atau location (perwitasari, 2017, h. 19). Oleh karena itu banyak akun yang terkenal karena memanfaatkan fitur ini baik dengan tujuan tertentu atau tidak. Adapun salah satu akun yang cukup ternal saat ini adalah @alfysaga. Pada kumpulan vidgram AlfySaga menunjukkan tema-tema humoris dimana selain sebagai salah satu media hiburan juga menyamppaika banyak pesan yang tersirat, terutama pada dialognya yang mengandung banyak kajian kebahasaan yang cukup menarik untuk diteliti, salah satunya pragmatic yang berfokus pada penggunaan sebuah tuturan. Berbagai episode baru selalu menyongsong tema-tema yang cukup viral pada waktu itu. Selain itu penyajian video cukup singkat, padat, dan penuh makna.

Metodologi Penelitian Pada penelitian ini, metode yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada aspek makna dari pada aspek generalisasi (Sugiyono, 2015, h.48).

209

Dalam penelitian ini studi kasus merupakan metode yang kami gunakan dalam pengumpulan berbagai data yang kami butuhkan. Dimana kajian pustakanya diambil dari literatur – literatur internet dan buku – buku penunjang. Studi kasus merupakan suatu penelitian yang empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dengan konteks tidak tampak dengan tegas, dan multisumber digunakan. Adapun sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer sebagai objek utama dalam penelitian ini, sedangkan suber data sekunder berfungsi sebagai penunjang untuk mempermudah peneliti dalam mewujudkan peneletian. Sumber data primer pada penelitian ini berupa vidgram dari Alfy Saga, sedangkan sumber data sekunder berupa literatur–literatur internet dan buku–buku yang berkaitan dengan teori praanggpan. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian karena tujuan utamanya adalah mendapatkan data yang akurat (Sugiyono, 2008, h. 208). Untuk memperoleh data yang valid dan sesuai dengan apa yang diharapkan dari kegiatan penelitan ini, maka ada beberapa teknik yang digunakan oleh peneliti, yaitu teknik simak dan catat. Adapun langkah peneliti dalam mengumpilkan data, sebagai berikut; peneliti menonton beberapa episode dari vidgram Alfy Saga berulang-ulang terutama dialog yang mengandung unsur-unsur praanggapan, lalu memahami makna baik perkalimat atau keseluruhan dialog, kemudian peneliti mengidentifikasi tuturan yang mengandung unsur praanggapan, menonton sekali lagi untuk memantabkan pemahaman makna dalam tuturan, dan terakhir peneliti mencatat hal-hal, informasi yang terkait dengan praanggapan. Teknik validitas data dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi data dan diskusi dengan teman sejawat. Teknik trianggulasi merupakan teknik pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu (sugiyono, 2008, 372). Triangulasi terdiri dari beberapa macam, diantranya adalah triangulasi sumber, data, pakar, dan waktu. Adapun dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan data. Selain itu peneliti juga berdiskusi dengan teman sejawat untuk menvalidkan data yang diperoleh sebelumnya. Data-data yang terkumpul pada penelitian ini akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif dengan model analisis data menurut Miles dan Huberman yaitu data reduction, data display, conclusion darwing/verification (Sugiyono, 2008, h. 337). Setelah data terkumpul, maka peneliti merangkum data yang telah diperoleh, memilih data-data yang berkaitan dengan tema

210 yang mengandung unsur-unsur praanggapan, kemudian memilih data berdasarkan subtema- subtema yang mengandung unsur-unsur praanggapan, dan membuang data-data yang tidak berkaitan dengan tema dan subtema yang mengandung unsur-unsur praanggapan.

Hasil dan Pembahasan Bentuk Praanggapan 1. Pranggapan Eksistensial Konteks: Tuturan ini terjadi pada dialog 16 Maret saat Fatma menanyakan pendapat temannya seputar cowok yang selingkuh. Tuturan tersebut mengandung sindiran terhadap temannya yang sedang berselingkuh dengan cowoknya. Tuturan: F, “eh aku mau nanya nih, apasih yang kamu lakuin kalo cowok kamu selingkuh?” T, “tergantung sih, kalo masih sayang ya dimaafin” F, “terus kalo sama selingkuhannya?” (dengan nada menyindir). T, “nah itu.. baru racunin..” Penjelasan: Dari tuturan tersebut, fatma memiliki pranggapan bahwa cowoknya selingkuh dengan teman sendiri dengan indikator fatma menanyakan apa akibat dari perselingkuhan, apalagi dengan teman sendiri. Praanggapan itu benar karena temannya berpendapat tentang akibat dari perselingkuhan. Pemaparan diatas merupakan bentuk praanggapan eksitensial yang terdapat pada vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret 2018. Selain contoh diatas juga terdapat bentuk praanggapan eksistensial yang lain, dimana dari keseluruhan vidgram pada periode tersebut ada 9 data yang menunjukkan praanggapan eksistensial. 2. Praanggapan Faktiv Konteks: tuturan ini terjadi pada dialog 21 Maret saat fatma dan temannya sedang mengintai pacar mereka dan mereka mengetahui bahwa mereka berbohong, dan fatma merasa kecewa dan marah setelah melihat fakta tersebut. Tuturan: T, “fy, kamu lagi sama arief gak sih?” A, “dari tadi aku gak ketemu arief sih? F, “kita emang gak bisa percaya 100% sama pacar kita dan temennya” Penjelasan: dari tuturan tersebut, teman Fatma memiliki praanggapan bahwa cowoknya berbohong dengan indikator ia mengetahui fakta bahwa cowoknya berbohong saat

211

ditelfon oleh fatma. Praanggapan itu benar adanya karena Fatma menanggapi bahwa pacar tidak bisa dipercaya 100% jika dengan temannya. Pemaparan diatas merupakan bentuk praanggapan faktiv yang terdapat pada vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret 2018. Selain contoh diatas juga terdapat bentuk praanggapan faktiv yang lain, dimana dari keseluruhan vidgram pada periode tersebut ada 6 data yang menunjukkan praanggapan faktiv. 3. Praanggapan NonFaktiv Konteks: tuturan ini terjadi pada vidgram @alfysaga episode 28 Maret saat Alfy berusaha menjelaskan kesalahpaham Fatma terhadapya akibat jarang keliatan. Tuturan: A, “nanti kalo ketemu kamu, kamu bakal ill feel sama aku” F, “cuman gara-gara jerawat doang, pakai aja produk yang aku pakek.”, “lagian aku terima kamu apa adanya kok”. Penjelasan: dari tuturan tersebut, Alfy memiliki praanggapan bahwa fatma akan illfeel bertemu dengannya dalam keadaaan berjerawat. Indikatornya ialah saat Alfy membayangkan betapa illfeelnya Fatma saat melihat ia berjerwat. Akan tetapi praanggapan itu salah karena tanggapan fatma menunjukkan bahwa ia terima Alfy apaadanya. Beberapa pemaparan diatas merupakan bentuk praanggapan Nonfaktiv yang terdapat pada vidgram @alfysaga episode 28 Maret. Praanggapan tersebut hanya ditemukan pada episode ini dengan 2 bentuk praanggapan yang berebeda. 4. Praanggapan Leksikal Konteks: tuturan ini terjadi pada vidgram @alfysaga episode 19 Maret saat alfy mulai mengeluh pada dirinya sendiri karena sudah kehabisan cara untuk ikut hangout bersama teman-temannya. Tuturan: A, “Baru aja sehari ngelawan cewek aja udah sial, aku keterlaluan banget deh kayaknya sama dia” lalu ia meneleponnya dan berkata, “sayang maafin kata-kataku tadi yah, aku sayang banget sama kamu, nanti malem aku ke rumahmu yaa..”. F, (tersenyum puas). Penjelasan: dari tuturan diatas, Alfy memiliki praanggapan bahwa ia mulai lelah dan mengeluh akibat melawan pacarnya dengan berkata kasar terhadap fatma tadi siang. Hal ini ditandai dengan keluhan Alfy pada tuturan tersebut dan menunjukkan sikap

212

penyesalannya atas apa yag ia perbuat. Praanggapan itu benar karena tanggapan fatma atas permintaan maaf Alfy ialah tersenyum puas karena ia berhasil membuat cowoknya sadar atas perlakuannya. Pemaparan diatas merupakan bentuk praanggapan leksikal yang terdapat pada vidgram @alftsaga, selain contoh diatas juga terdapat conotoh lain. Dari keseluruhan vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret, terdapat 5 data yang menunjukkan praanggapan leksikal. 5. Praanggapan Struktural Konteks: tuturan ini terjadi pada vidgram @alfysaga episode 30 Maret saat Alfy mengetahui Fatma menangis dan ia penasaran dengan apa yang sedang terjadi padanya, serta penyebabnya. Tuturan: A, “kamu kenapa lagi sih, kok nangis?” F, “aku tuh baru tau kalo kamu diluar sana, mata kamu jelalatan” A, “siapa yang ngomong?” F, “Temenku yang ngasih tau, nih buktinya...” Penjelasan: dari tuturan tersebut, alfi memiliki praanggapan bahwa Fatma menangis tanpa sebab, oleh karena itu ia menjadi penasaran. Indikatornya iaalah raut wajah yang bingung dan dikuatkan dengan kata “kenapa” untuk menanyakan penyebab Fatma menangis. Praanggpan itu benar karena tanggapan fatma ialah alfy penyebab ia menangis. Beberapa pemaparan diatas merupakan bentuk praanggapan struktural yang terdapat pada vidgram @alftsaga, selain contoh diatas juga terdapat conotoh lain. Dari keseluruhan vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret, terdapat 10 data yang menunjukkan praanggapan struktural. 6. Praanggapan Konterfktual Konteks: tuturan ini terjadi pada vidgram @alffysaga episode 16 Mret saat Fatma mengutarakan keinginannya jika ia mengetahui pacarnya selingkuh dengan temannya sendiri. Tuturan: F, “kalo aku, sesayang apapun akan bakal ilang jika ketauan dia selingkuh, infin kupataahkan kakinya, ku presto badannya dan kalo sama selingkuhannya gak bakal lolos, apalagi sama teman sendiri, gak ada kata maaf” T, “emang kenapa nanya-nanya tentag selingkuh”

213

F, “karena aku mencium bau perselingkuhanmu” Penjelasan: dari tuturan tersebut fatma memiliki praanggapan bahwa jika ia mengetahui cowoknya selingkuh, bahkan dengan teman sendiri sekalipun, ia akan membalas dendam dengan memberi pelajaran yang setimpal buat cowoknya. Indikatornya ialah raut wajah Fatma yang geram saat ia mengutarakan tuturan tersebut. Praanggpan itu benar karena tanggapan dari devi ialah ia mulai gugup dan bertanya mengapa Fatma menanyakan hal semacam itu. Pemaparan tersebut merupakan bentuk praanggapan konterfaktual yang terdapat pada vidgram @alftsaga, selain contoh diatas juga terdapat contoh lain. Dari keseluruhan vidgram @alfysaga periode 16-30 Maret, terdapat 7 data yang menunjukkan praanggapan konterfaktual.

Bentuk Pelanggaran Prinsip Kesantunan

1. Maksim Kebijaksanaan Tuturan: T, “terus kalo kamu gimana?” F, “kalo aku sih, sesayang apapun bakal ilang kalo cowoknya ketauan selingkuh, rasanya itu, pengen kupatahkan kakinya, ku presto tulangnya, ku geprek badannyya” Penjelasan: Berdasarkan data diatas yaitu vidgram pada tanggal 16 Maret, tuturan tersebut menunjukkam adanya pelanggaran prinsip kesantunan dalam maksim kebijaksan. Hal itu dapat dibuktikan karena fatma banyak menguntungkan dirinya sendiri daripada sag pacar (alfy). Selain itu, tuturannya juga membuat lawan bicaranya merinding dengan jawaban Fatma karena faktanya temannya itulah pelaku dari perselingkuhan tersebut, Tuturan: A, “kamu tuh cemburuan, overprotective, aku juga butuh waktu sama teman- teman aku tanpa kamu”. F, “iya maaf, aku salah” A, “berarti aku boleh jalan sama teman-teman aku”, F, (menjawab dengan anggukan). Penjelasan: Berdasarkan data pada 19 Maret yaitu tuturan alfy kepada fatma. Terdapat pelanggaran maksim kebijaksanaan dimana tuturan alfy menguntungkan dirinya sendiri tanpa mendengarkan penjelasan dari Fatma. Hal tersebut menunjukkan bahwa alafy

214

mempebanyak keuntungan bagi diri sendiri dan meminimalisir hak fatma untuk menjelaskan larangannya terhadap alfy. Tuturan: A, “yaudah aku ke toilet bentar ya...” F, “kenapa handphonenya dibawa?‟ A, “aku mau dengerin lagu ke toilet” F, (cowok pembohong tak bisa bohongin cewek pintar) Penjelasan: Berdasarkan data pada 23 April dalam vidgram alfysaga, terdapat pelanggaran maksim kebijaksanaan yang dilakukan oleh Alfy karena dengan senang hati dia pamit ke toilet tanpa persetujan dari fatma ditambah ia membawa handphone dengan alasan ingin mendengarkan lagu di tolet. Akan tetapi sebenarnya itu hanya alasan belaka karena fatma tahu bahwa ia berbohong. Tuturan tersebut jelas sangat mengutungkan sepihak yaitu pada alfy karena sebenarnya ialah motif kebohongan alfy agar ia dapat berchatting ria dengan cewek lain. 2. Maksim Penghargaan Tuturan: T, “eh fy.. kalian tiap hari sama-sama melulu, makan bareng, kulian, ngerjain tugas bareng, udah jadian belum sih?” A, “emmm... maunya sih...” F, “kita cuman teman, malah dia udah kuanggap kakak aku sendiri, walau kita dekat...kita gak saling baper kok, malah niatku.. aku mau comblangin dia sama temen aku, iya kan?” Penjelasan: Berdasarkan tuturan diatas dalam vidgram alfysaga pada 30 April, terdapat pealanggaran maksim yang diutarakan oleh Fatma terhadap teman alfy. Fatma mengungkapkan bahwa mereka hanya sebatas friendzone padahal sebenarnya alfy ingin berkata lain akan tetapi hal tersebut sudah didahuli oleh tuturan fatma yang cukup menjelaskan status mereka saat itu. 3. Maksim Kesederhanaan Tuturan: A,”kamu tuh kenapa lagi sih?” F, “gapapa” A, “ngomong aja kenapa?” F, ”udah lupain aja” A, “serius lupain aja?” F, “iya terserah...” Penjelasan: Berdasarkan vidgram alfysaga pada 30 Maret, terdapat pelanggaran maksim kesederhanahan dalam tuturan Fatma terhadap Alfy dimana tuturan tersebut

215

menunjukkan tidak ada kerendahan hati Fatma terhadap Alfy saat mereka berbincang, ditambah dengan intonasi cuek dan acuh tak acuh, sehingga membuat alfy semakin kesal dan bingung harus berbuat apa. A, “mungkin oran-orang gak tau kalo kamu pacar aku” F, “makanya kalo punya pacar tuh selalu unggah diunggah di social media, biar orang tau siapa pacarmu, makanya tuh seharusnya kamu tuh cepet nikahin aku” A, (hanya diabaikan) F, “Eh kita tuh udah lama pacaran, cewek butuh kepastian, keja itu uanya ditabung, kalo gak perlu gak usah beli macam-macam” A, “iya aku pulang duluan” F, “aku tuh gak butuh janji, aku butuhnya bukti” Penjelasan: Melihat tuturan diatas, terdapat pelanggaran maksim penghargaan dalam vidgram alfysaga pada 25 April yang dilakukan oleh Fatma. Dalam tuturan tersebut Ftma terlihat tidak menghargai apa yag dituturkan oleh alfy, dengn menunutut jawaban yang lebih hingga mengusik segala aktivitas alfy. Dalam konteks tersebut alfy seolah- olah terpojkkan denga seribu pertanyaan dari fatma yang meminta kepastian dari staus mereka saat itu, sehingga fatma dianggap tidak menghargai jawaban alfy pada saat itu. 4. Maksim Kemufakatan Tuturan: F, “eh aku ada tebakan nih....., kenapa air laut rasanya asin?” A, ”karena mengandung garam lah” F, “salah lah...” A, terus kenapa?” F, “karena ikannya dikejar nelayan jadinya keringetan” A, “eh kamu lagi nonton apa?” F, “nonton drama korea, ini lucu dan romantis” A, “tapi kan aku gak suka nonton drama korea” F, “pasti beda, cobak aja nonton dulu, pasti seru” Penjelasan: Berdasarkan data pada 27 April pada vidgram alfysaga, terdapat pelnggaran maksim kemufakatan dala tuturan alfy terhadap fatma saat mereka berbincang. Hal ini ditujukan saat alfy menjawab tebakan dari fatma dengan jawaban yang logis, akan tetapi fatma membelokkan dengan jawaban yang intermezzo. Dari situlah terlihat tidak ada kecocokan antara soal dan jawaban, sehingga dianggap melanggar maksim kemufakatan. Selain itu, alfy juga menolak ajakan fatma dengan halus atas ajakannya terhadap alfy karena sejujurnya ia tak suka dengan drama korea, sehingga ia menolak ajakan tersebut.

216

5. Maksim Simpati Tuturan: T, “walaupun kita jomblo, jangan sampai gila kayak dia gitu..” A, “busyet dah... tuh bocah ngapain yak?” T, “jangan juga kita galau, kayak gitu tuh” A, “gila.. bocah zaman sekarang, ya tapi kita gak boleh benci sama mantan, kayak dia tuh...”. Penjelasan: Berdasarkan data dalam vidgram alfysaga 11 April, terdapat pelanggaran maksim simpati yang dilkukan oleh alfy saat berbincang dengan temannya. Hal itu ditujukkan saat ekspresinya melihat korban bocah zaman sekarang yang heboh pacaran, dalam hal tersebut alfy tidak menunjukkan rasa simpati justru ia merasa jijik dengan ekspresi para bocah zaman sekarang. Dari situlah, dapat disimpulkan bahwa alfy melanggar maksim simpati saat ia berbincang dengan temannya tentang korban pacaran yang kandas.

Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti menemukan praanggapan dalam vidgram @alfysaga periode 16-30 April 2018 sejumlah 39 indikator pranaggapan. 39 data tersebut dapat diklasifikan terhadap seluruh jenis praanggapan, diantaranya; 9 data praanggapan eksistensial, 6 data praanggaan faktiv, 2 data praanggapan nonfaktiv, 5 data praanggapan leksikal, 10 data praanggapan struktural, 7 data praanggapan konterfaktual. Dalam setiap data yang dipaparkan, peneliti juga menyertakan indikator praanggapan, tanggapan mitra tutur, serta identifikasi atas benar dan salahnya sebuah praanggapan. Selain bentuk praanggapan, terdapat bentuk pelanggaran maksim dalam prinsip kesantunan yang terdapat dalam vidgram @alfysaga periode 16-30 April 2018 sejumlah 11 bentuk pelanggaran maksim beserta indikasinya. Adapun perinciannya sebagai berikut; 3 bentuk pelanggaran maksim kebijaksanaan, 2 bentuk pelanggaran maksim penghargaan, 2 bentuk pelanggaran maksim kesederhanaan, 2 bentuk pelanggaran maksim kemufakatan, 2 bentuk pelanggaran maksim simpati.

217

DAFTAR RUJUKAN Beden, S. dan Zahid, I. (2015). Analisis Kesopanan Bahasa dalam Novel Melunas Rindu Aplikasi Maksim Leech dan Grice. Jurnal Bahasa Jilid 15. Chaer, A. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Cumming, L. 2007. Pragmatik: sebuah perspektif multidispliner. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Fitriani, A. 2017. Fenomena Komunikasi Vidgram Pada Komunitas @pkuvidgram. Pekanbaru: Universitas Bina Widya. Hadiyani, T. (2014). Tipe Pertanyaan, Respon, dan Praanggapan yang Muncul pada Interview Investigatif Kepolisian. vol.04, no.01. Online, https://www.gudangilmukomputer.com. Juliani, N. H., dkk. 2016. Presupositions in the Novel Mahamimpi Anak Negeri By Suyatna Pamungkas. Riau: Universitas Riau. Jumadiana, dkk. 2016. Analisis Presuposisi dalam Novel Koala Kumal Karya Raditya Dika. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Vol. 01. No. 01. Leech, G. 2011. Prinsip-prinsip pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia-Press. Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perwitasari, D. 2017. Analisis konflik pada akun instagram Alfysaga. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Rahardi, R.K. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta. Erlangga. Rahman, Y. 2016. Praanggapan Dalam Drama Der Kaukasische Kreidekreis Karya Bertolt Brecht. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Vol. V, no.02. Setiawati, S. 2017. Analisis Praanggapan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan dan Kegiatan Pembelajaran Menulis Teks Eksposisi. Jakarta: Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2015. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi. Yule, G. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

218

PRINSIP KESANTUNAN DALAM VLOG “DETIK-DETIK YOUNGLEX TOBAT” RICIS OFFICIAL

Novia Salsabila Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

Moh.Zawawi Bahasa dan Sastra Arab-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected]

ABSTRACT The writing of the article is motivated by the question of how the principle of politeness is used in VLOG Detik-Young Young Penitents. The purpose of this study aims to describe the speech with the principle of politeness and violation. This research is included in the type of descriptive qualitative research. Technique of collecting data in this research is technique of note and data collector used is the researcher himself as a key instrument. The results of the analysis found that the Maksim used in the Young Police Detective vlogs "is the maxim of appreciation, the maxim of generosity, and the maxim of consensus. And found violation of the principle of politeness in this vlog. The maximal violation on the "Younglex Penetration vlog" vlog is on the maxim of simplicity. Keywords: Principles of Modesty, Maxim, Vlog.

Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai „diri sendiri‟ dan „orang lain‟. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Wijana, 1996). Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan

219 agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Dalam era milenial, Video Blog atau yang sering disebut Vlog sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Vlog (Video Blogging) yakni suatu bentuk kegiatan blogging dengan menggunakan medium video di atas penggunaan teks atau audio sebagai sumber media perangkat seperti ponsel berkamera, kamera digital yang bisa merekam video, atau kamera murah yang dilengkapi dengan mikrofon merupakan modal yang mudah untuk melakukan aktivitas blog video. Di Indonesia, penggunaan blog video mulai disadari ketika pada tahun 2009 muncul sebuah video rekaman pribadi seorang aktris dan penyanyi muda terkenal bernama Marshanda, yang tersebar luas di YouTube dan menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan saat itu, karena video tersebut berisikan ungkapan perasaan pribadi sang artis. Youtube juga semakin tenar dengan banyaknya pengguna yang mengunggah vlog-vlog yang menarik. Bersamaan dengan tenarnya vlog di Indonesia, permasalahan-permasalahan baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun dengan lainya pasti akan muncul setelahnya. Baik karena tuturan atau perbuatan yang ada dalam sebuah video blog. Penelitian tentang vlog sudah pernah dilakukan oleh Annisa Tiara Larasati dan S.Rauli Manalu dengan judul “Dampak Menonton Vlog terhadap Viuwers Remaja”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati perilaku apa pun yang muncul sebagai efek menonton vlog dalam hal pemirsa remaja. Non probability sampling dan teknik snowball sampling digunakan untuk memperoleh sampel untuk penelitian ini. Remaja berusia 13-24 adalah populasi sampel. 1000 responden berpartisipasi sebagai sampel dalam penelitian ini. Statistik deskriptif kuantitatif digunakan sebagai analisis data dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini ada empat perilaku yang muncul sebagai efek dari menonton vlog sebagai remaja. Yang pertama adalah perubahan dalam pola konsumsi media. Itu ditunjukkan oleh hasil bahwa 99% responden memilih internet sebagai platform media informasi. YouTube menjadi situs yang paling sering dikunjungi, dan vlog menjadi konten video yang paling disukai untuk ditonton. Ini menunjukkan bahwa penampilan vlog di YouTube telah mengubah perilaku menonton remaja, juga menjadikan vlog sebagai sumber informasi dan hiburan. Yang kedua adalah identifikasi para remaja terhadap para pengguna YouTube. Menurut hasil penelitian, sekitar 82% responden telah meniru atau mengidentifikasi ke arah vlogger. Remaja meniru perilaku dan perilaku vloggers

220 karena mereka menganggapnya sebagai ideal karena mereka menemukan diri mereka kurang dalam. Yang ketiga adalah perilaku menonton vlog dan keputusan membeli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 84% responden dibantu dalam hal menentukan keputusan pembelian dengan ulasan yang dibuat oleh vlogger. Tinjauan vlogger menjadi salah satu dari beberapa faktor yang menentukan keputusan pembelian seseorang. Yang keempat adalah fenomena fandom. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa 76% responden telah bergabung sebagai anggota fanclub untuk seorang blogger. Fakta seperti itu mengungkapkan bahwa tidak hanya para remaja yang mengagumi perilaku dan penampilan vlogger, tetapi juga mendukung apa pun yang dia lakukan. Penulis menyarankan bahwa vlogger harus memberikan contoh yang baik dalam hal perilaku, sikap, dan ekspresi verbal saat membuat vlog. Dan untuk pemirsa, terutama pemirsa remaja, mereka harus memilih dengan bijak tentang video mana yang harus ditonton dan tidak untuk ditonton. Kata kunci: youtube; vlogger; tingkah laku; identifikasi; keputusan pembelian; fandom lain, secara instan. Penelitian lain yang berhubungan dengan vlog juga pernah dilakukan oleh Ronny Yudhi Septa Priana dari Univer Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul “Pemanfaatan Vlog sebagai Media Pembelajaran Terintegrasi Teknologi Informasi. Penelitian ini bertujuan untuk menguatkan bahwa vlog juga dapat dijadikan sebagai media dalam pembelajaran sehingga pemanfaatan dari vlog ini lebih positif dari pada penggunaanya untuk yang lainya. Hal ini dikarenakan Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat menuntut semua pihak ikut serta mengembangkan diri dan beradaptasi serta mengikuti arus dengan memanfaatkan hasil tekhnologi dalam segala aktifitas. Dampak perkembangan teknologi ini berimbas pula pada proses pembelajaran dimana para pendidik harus mampu melakukan berbagai inovasi dan kreatifitas agar proses pembelajaran selalu relevan dengan perkembangan yang ada. Inovasi dan kreatifitas yang dapat dilakukan pendidik salah satunya dengan penggunaan teknologi informasi sebagai media pembelajaran. Media pembelajaran yang teritegrasi dalam tekhnologi informasi dapat menjadi daya tarik dan memberikan gairah belajar pada peserta didik. Salahsatu hasil perkembangan tekhnologi informasi yang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang menyenangkan adalah Video Blog atau Vlog. Vlog merupakan media komunikasi dan informasi berbasis video dan web yang mengkolabirasikan kreatifitas, informasi dan hiburan dalam satu hasil.

221

Berangkat dari pemaparan di atas, Peneliti tertarik menganalisis prinsip kesantunan dan pelanggarannya dalam vlog “Detik-Detik Younglex Tobat”, pertama karena tema yang diangkat video ini sempat viral pada saat pengungghan vidio tersebut dan mendapatkan ditonton lebih dari 234.867 kali bahkan mendapat 1757 Komentar. Yang kedua, untuk memperdalam pemahaman prinsip-prinsip kesantunan dan pelanggarannya dalam tuturan. Dan yang ketiga, untuk mengetahui prinsip-prinsip yang digunakan dalam vlog “Detik-Detik Younglex Tobat”. Video „Detik-Detik Younglex Tobat‟ oleh Ricis Official adalah video blog yang berisi tentang talkshow bersama Younglex yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan dan lagunya yang menjadi trending topic di Youtube. Di dalam video ini terdapat beberapa prinsip kesantunan bahasa yang digunakan dan pelanggaran maksim kesantunan oleh penutur. Pada penelitian ini, tujuan peneliti meneliti tentang prinsip kesantunan dalam vlog ini adalah (1) karena dalam vlog ini terdapat banyak bahasa pragmatik dan sesuai dengan prinsip kesantunan, maka peneliti ingin membahas prinsip kesantunan dalam vlog ini (2) Selain itu peneliti juga ingin menganalisis pelanggaran prinsip kesantunan dalam vlog ini.

Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini mencatat secara teliti semua fenomena kebahasaan yang nyata adanya, meneliti dan memberikan sistem bahasa berdasarkan data yang sebenarnya (Subroto, 2007 :8). Menurut Maleong (1991:16) di dalam metode deskriptif data yang dikumpulkan dapat berasal dari catatan-catatan, naskah wawancara, photo, video, tape, dokumen pribadi, memo atau catatan, dan dokumen resmi lainnya. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peniliti adalah teknik simak dan catat. Adapun teknik pengumpulan data ini telah disebutkan bahwa kualitas data sangat ditentukan oleh kualitas alat pengumpulan datanya. Kalau alat pengumpulan datanya (instrumennya) cukup valid, reliable, dan obyektif, maka datanya juga akan valid, reliable, dan obyektif (Narbuko & Achmadi, 2007: 64). Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dengan beberapa langkah, yaitu: (1) menyimak/mendengarkan video blog atau vlog detik-detik younglex tobat (2) mencatat hasil dari menyimak tersebut, (3) mengklasifikasikan ke dalam jenis kategori prinsip kesantuan menurut perspektif leech dalam video blog tersebut.

222

Kajian Teori Pengertian Video Blog (VLOG) Perkembangan teknologi yang semakin canggih media yang biasa digunakan untuk penyampaian informasi ke khalayak publik yang dulu menggunakan blog kini telah digantikan oleh vlogger. Istilah "vlogger" merupakan gabungan dari 2 suku kata yaitu: kata video dan blogger. Sedangkan vlogger sendiri memiliki makna seseorang yang memposting suatu video secara teratur untuk blog mereka ataupun menguploadnya ke situs social video seperti youtube, vimeo, dailymotion dan lain-lain. Biasanya para vloggers akan memposting video yang menampilkan diri mereka sendiri layaknya seorang selebrity yang diliput infotainment dan direkam secara pribadi untuk di upload kesitus social video ataupun ke blog yang dikelolanya, selain itu ada juga beberapa vlogger yang membuat suatu video secara team dengan memiliki topik tertentu seperti ilmu pengetahuan, humor, ataupun olahraga. Semoga dengan adanya artikel ini dapat mengenalkan pengertian, pengembangan dan manfaat dari vlog ke masyarakat luas. Vlog (Video Blogging) yakni suatu bentuk kegiatan blogging dengan menggunakan medium video di atas penggunaan teks atau audio sebagai sumber media perangkat seperti ponsel berkamera, kamera digital yang bisa merekam video, atau kamera murah yang dilengkapi dengan mikrofon merupakan modal yang mudah untuk melakukan aktivitas blog video. Vlog atau Video blog adalah sebuah blog yang bermediakan video. Apabila kalian sering mengunjungi situs YouTube, tentu sudah mengenal apa itu vlog. Vlogging (istilah para vlogger membuat vlognya) biasanya dilakukan dengan berbicara di depan kamera menceritakan tentang sesuatu yang ia suka, berbicara berbagai tips,berbagi apapun yang ada di dalam pikiran, montase, bahkan ada pula yang membuat klip seperti film. Sekarang ini, vlogger biasanya membuat vlog secara regular, harian, mingguan atau bahkan bulanan. Ada pula istilah take-a-long vlogging yang berarti vlogger yang menceritakan kesehariannya dalam durasi yang panjang, seperti pergi ke mall, kemudian mengendarai sepeda motor, lalu, pulang ke rumah dan tidur yang dimuat dalam sebuah video.

Prinsip Kesantunan Leech a. Maksim Kebijaksanaan (tact maxim) Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya

223 sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.” Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.” Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu. b. Maksim Kedermawanan Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Anak kos A : “Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor” Anak kos B : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.” Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B. c. Maksim Penghargaan Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

224

Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali.” Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B. d. Maksim Kesederhanaan Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Ibu A : “Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.” Ibu B : ” Waduh..nanti grogi aku.” Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: ”Waduh..nanti grogi aku.” e. Maksim Pemufakatan/Kecocokan Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu.” Guru B : “He‟eh. Saklarnya mana ya?” Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang. f. Maksim Kesimpatian Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah

225 penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Mahasiswa A : “Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.” Mahasiswa B : “Wah, selamat ya. Semoga sukses.”

Analisis Maksim-Maksim Kesantunan Yang Dipakai Dalam Vlog 1. Maksim Penghargaan a. Tuturan (1) Peserta : Younglex (Y), Ria Ricis (R) Nada : santai Y : Aku Cuma tidur dua jam setengah tadi R : itulah orang orang sukses tu gitu. Y : memang, jam tidur dikit, yang banyak, “uang”. Analisis : dalam tuturan R di atas menggunakan maksim penghargaan. R berusaha memberikan penghargaan atau pujian kepada Y karena waktu tidur yang sedikit menandakan bahwa ia orang sukses. 2. Maksim Kedermawanan a. Tuturan (2) Peserta : Younglex (Y) Nada : Santai Y : “Kalau misalnya gue harus menanggung beban untuk dibenci, tapi gue gak masalah yang penting anak-anak gue makan.” Analisis : dalam tuturan Y menggunakan maksim kedermawanan. Anak-anak dalam kalmat ini diartikan sebagai rekan kerja yang berada dibawahnya. Y memaksimalkan keuntungan orang lain daripada dirinya sendiri. 3. Maksim Pemufakatan a. Tuturan (3) Peserta : Younglex (Y), Ria Ricis (R), Atika (A) Nada : Semangat

226

Y : “Gue bikin orang ketawa gue bawa pahala kan?” R & A : “Banget” Analisis : Dalam tuturan antara Y, R, & A terjadi maksim pemufakatan. Ketika Y meminta persetujuan kepada R dan A bahwa ia akan mendapat pahala dengan b. Tuturan (4) Peserta : Younglex (Y), Ria Ricis (R) Nada : santai Y : kita ngga bisa pilih warna kulit kita, kita ngga bisa pilih lahir di keluarga siapa, suku apa, jadi lo jangan ngatain rasis, selama ceng-cengan masih yang bercanda. Santai-santai hidup ini santai. R : “Setuju, keren banget, ini bener-bener panutan Ricis banget, jadi kita harus kenal lebih dekat lagi”. Analisis : Dalam tuturan R mengandung maksim pemufakatan , setelah Y bertutur maka R merespon dengan menyetujui tuturan Y. Y menasehati untuk tidak rasis, karena setiap orang tidak bisa memilih warna kulit dan lahir dari keluarga siapa, lalu R menyetujui pernyataan dari Y untuk membina kecocokan. Pelanggaran Prinsip Kesantunan 1. Pelanggaran maksim kesederhanaan a. Tuturan (5) Peserta : Ria Ricis (R), Younglex (Y) Nada : santai Ria Ricis : “Ricis lagi bersama kakak yang lagi viral” Young lex : “Viral sih setiap tahun kayaknya.” Analisis : dalam tuturan (5), terdapat tuturan yang melanggar maksim kesederhanaan yakni mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Akan tetapi dalam tuturan Younglex mengandung unsur pujian terhadap sendiri atau membanggakan diri sendiri. b. Tuturan (6) Peserta : Ria Ricis (R), Younglex (Y) Nada : santai Y : Aku Cuma tidur dua jam setengah tadi R : Itulah, orang orang sukses tu gitu.

227

Y : memang, jam tidur dikit, yang banyak, “uang”. Analisis : Pernyataan Younglex dalam tuturan (3) melanggar prinsip kesederhanaan yakni mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Dalam tuturan younglex, ia membanggakan dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia mempunyai banyak uang meskipun waktu tidurnya sedikit. Hal itu meyatakan bahwa ia tidak rendah hati dalam bertutur.

Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. 1. Maksim yang digunakan dalam vlog “Detik-Detik Younglex Tobat” adalah maksim Penghargaan, maksim kedermawanan, dan maksim pemufakatan. 2. ditemukan pelanggaran prinsip kesantunan dalam vlog ini. Pelanggaran maksim pada vlog “Detik-Detik Younglex Tobat” ada pada maksim kesederhanaan. Karena ada satu penutur yang beberapa kali melanggar prinsip kesantunan bahasa.

DAFTAR RUJUKAN Wijana, I. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yule, G. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press. Subroto, E. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) Moleong, J.L. 1991. Penelitian Kualitatif. Bandung : POT. Remaja Rosda Karya Narbuko, C. & Abu A. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. Leech, G. 1991. Principle of Pragmatics. London: Longman.

228

ANALISIS PRINSIP KERJASAMA DALAM DIALOG FILM “HIJAB”

Ratih Firdausi Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Email: [email protected]

Dien Nur Chotimah Bahasa dan Sastra Arab - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Email: [email protected]

ABSTRACT This research aims to describes and explains (1) Grice cooperation principle which includes maxim of quality, maxim of quantity, maxim of relevance, and maxim of manner contained in film “Hijab”dialogue (2) deviations from the maxims of cooperation principle embodied in the dialogue of the “Hijab” movie. Data analysis technique in this study using techiques to watch and record. Type of research method is qualitative descriptive method. As for the results of this study (1) there are 41 speeches in “Hijab” movie which contains principles of cooperation based Grice theory among the 19 speeches obey the maxim of quantity, 5 speeches obey the maxim of quality, 12 speeches obey the maxim of relevance, and 5 speeches obey the maxim of manner (2) as much as 25 speeches in the dialogue of “Hijab” movie indicates the existence of irregularities against the maxims in the principle of cooperation. Keywords: Cooperative principles, film “Hijab”, Grice theory

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan (1) prinsip kerjasama Grice yang meliputi maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan yang terdapat dalam dialog film “Hijab” (2) penyimpangan terhadap maksim-maksim prinsip kerjasama yang terkandung dalam dialog film “Hijab”. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik simak-tonton-catat. Jenis metode penelitian adalah metode deskriptif-kualitatif. Adapun hasil dari penelitian ini ialah (1) terdapat 41 tuturan dalam dialog film “Hijab” yang mengandung prinsip kerjasama. Diantaranya 19 tuturan mematuhi maksim kuantitas, 5 tuturan mematuhi maksim kualitas, 12 tuturan mematuhi maksim relevansi, dan 5 tuturan mematuhi maksim pelaksanaan (2) sebanyak 25 tuturan dalam dialog film “Hijab” menunjukkan adanya penyimpangan terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerjasama. Kata kunci : Prinsip kerjasama, Film “Hijab”, Teori Grice.

Film merupakan salah satu media untuk menyalurkan gagasan dan kreativitas seseorang. Melalui film, seseorang dapat menyampaikan realita kehidupan sosial dalam masyarakat, seperti bentuk-bentuk problematika kehidupan, nilai-nilai religi, usaha pelestarian suatu budaya, dan sebagainya. Film juga dapat dimaknai sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian (Effendi, 1986: 239). Tak jarang cerita yang diangkat dalam suatu film berupa fakta dan realita yang terjadi dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, film juga dianggap sebagai media komunikasi yang

229 paling dinamis di era ini. Suatu film dapat dikatakan baik dan bermanfaat apabila ia tidak hanya sekedar memberikan hiburan, tapi juga memberikan nilai-nilai positif yang dapat diteladani dan menambah wawasan penontonnya, seperti nilai moral, nilai religi, nilai pendidikan, nilai kemanusiaan, dan sebagainya. Jenis-jenis film dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu film cerita, film berita, film dokumenter, dan film animasi (Effendi, 2000: 210). Film cerita adalah jenis film yang bertema fiktif atau non fiktif yang biasa dipertontonkan di gedung bioskop dengan aktor-aktor terkenal sebagai pemainnya dan dipromosikan sebagai barang dagangan. Jenis film ini sering sekali kita jumpai. Film berita adalah film yang mengangkat suatu peristiwa berdasarkan fakta. Sedangkan film dokumenter ialah film yang berbeda dari film berita yang merekam suatu peristiwa nyata. Film dokumenter lebih cenderung pada hasil interpretasi pembuatnya terhadap suatu kenyataan tersebut. Jenis film terakhir adalah film kartun. Film kartun adalah film yang aman untuk dikonsumsi anak-anak. Biasanya film ini merupakan karya imajiner yang tidak dapat kita jumpai di kehidupan nyata. Seperti bebek yang bisa berbicara, kisah seorang putri cantik yang tertidur selama seratus tahun tanpa menua sedikitpun, dan sebagainya. Salah satu jenis film yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia adalah film cerita. Film yang lazimnya ditayangkan di gedung bioskop ini bisa terdiri dari beberapa genre, seperti horror, action, romance, comedy, family, dan masih banyak lagi. Termasuk jenis film cerita adalah film “Hijab” yang tayang pada tahun 2015 silam dengan mengusung genre family drama ini menampilkan nama sejumlah bintang film ternama di tanah air, seperti Carissa Puteri, Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Natasha Rizky, Nino Fernandez, Ananda Omesh, Mike Lucock, Dion Wiyoko, dan masih banyak lagi. Dengan disutradarai oleh sutradara fenomenal Indonesia, Hanung Bramantyo, yang sebelumnya sudah sukses dengan film-filmnya seperti Ayat-Ayat Cinta 1, Rudy Habibie, Perempuan Berkalung Sorban, Sang Pencerah, dan sebagainya, film ini berhasil menarik minat dan perhatian masyarakat Indonesia. Film “Hijab” bercerita tentang empat sekawan bernama Bia, Sari, Tata, dan Anin yang mendirikan sebuah butik bernama “Meccanism”. Inisiatif mendirikan butik dipelopori oleh Sari, yang merasa mati gaya dan bosan menjalani rutinitas hariannya hanya sebagai ibu rumah tangga, padahal ia mempunyai bakat dan naluri dagang luar biasa yang sayang jika tidak dimanfaatkan. Gagasan Sari disetujui oleh ketiga sahabatnya yang memang berpikiran sama dengan Sari. Tata yang sebelum menikah merupakan aktivis di kegiatan-kegiatan feminisme, merasa gengsi jika ia

230 harus dibiayai oleh suaminya. Bia yang bersuamikan seorang artis kawakan juga merasa bosan dan ingin mencari kesibukan baru. Sedangkan Anin –satu-satunya yang tidak berjilbab dan belum menikah- memang ingin mencari peluang bisnis baru dengan membuka butik hijab. Ternyata mendirikan butik tidak semudah yang mereka ekspetasikan. Ada perjuangan di dalamnya. Bahkan, mereka harus berbohong pada suami masing-masing demi kelancaran usaha butik mereka. Sari yang bersuamikan seorang Arab kolot yang melarang istri bekerja, harus melanggar aturan sang suami dan berbohong padanya. Bia, istri dari seorang artis sinetron yang biasanya setia menemani sang suami di tempat syuting, menjadi lebih sering alpha karena sibuk mengurus butik. Sementara Tata, istri dari seorang fotografer jurnalis, yang sehari-hari sibuk mengurus putranya yang belum genap dua tahun, menjadi lebih sering keluar rumah dan menitipkan anaknya pada ibunya. Mereka juga harus berhutang pada teman ibu Anin untuk mendirikan butik. Perjuangan mereka dalam mendirikan butik tidak main-main, namun sayang, ketika “Meccanism” mulai sukses dan berkembang, para suami mulai mengetahui bahwa istri mereka bekerja. Hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik yang mengancam kelangsungan rumah tangga mereka. Film ini menyajikan drama yang epic dan menyelipkan beberapa komedi di dalamnya. Selain itu, genre family drama nya juga unik dan tergolong jarang diangkat oleh industri perfilman Indonesia. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk menganalisis film “Hijab”. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada dialog film yang mengandung prinsip kerjasama dan penyimpangannya. Setiap percakapan yang dilakukan oleh para tokoh dalam film ini, sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Sebagaimana yang kita ketahui, sebuah komunikasi harus dilakukan dengan jelas agar tidak menimbulkan kesalah pahaman antar peserta percakapan. Maka Grice, seorang ahli bahasa, menggagas teori “prinsip kerjasama (cooperation principle)” yang terdiri dari beberapa maksim yang harus dipatuhi agar tercipta komunikasi yang jelas dan mudah dipahami.

Kajian Teori Prinsip kerjasama (cooperative principle) adalah salah satu sub bab dalam kajian pragmatik yang membahas tentang prinsip utama sebagai landasan acuan terhadap implikasi sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh penutur dapat ditangkap secara jelas dan benar oleh mitra tuturnya. Jika seorang penutur hendak menyampaikan sesuatu terhadap mitra tuturnya,

231 maka ia harus berusaha supaya tuturannya jelas, mudah dipahami, dan relevan dengan konteks. Maka dalam hal ini, prinsip kerjasama sangat berpengaruh terhadap terjadinya suatu percakapan. Prinsip kerjasama dapat direfleksikan dari beberapa aturan atau ketentuan dari maksim percakapan (conversational maxim), yakni (Yendra, 2012: 247-248): (1) Maksim kuantitas (maxim of quantity) yaitu penutur memberikan informasi secukupnya kepada mitra tutur, tidak lebih apalagi kurang. Informasi yang diberikan harus bersifat informatif dan tidak hiperbolis. Agar lebih jelas, silahkan lihat ilustrasi berikut: A: “Kemana saja kamu liburan kemarin?”. B: “Aku di rumah saja”. A: “Lah, kenapa? Tumben kamu nggak jalan-jalan?”. B: “Aku kena tipes”. Tuturan di atas termasuk mematuhi maksim kuantitas, karena penutur (B) menyampaikan informasi secara informatif dan secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan mitra tutur (A), sehingga mitra tutur (A) dapat menerima dengan mudah apa yang disampaikan oleh penutur (B). Coba bandingkan dengan ilustrasi di bawah: A: “Kemana saja kamu liburan kemarin?”. B: “Aku di rumah saja. Abisnya, aku kena tipes, sih. Bosen tau di rumah mulu. Tiap hari cuman makan bubur juga. Iyuuuhh. Nggak asyik banget pokoknya liburan kemarin. Pingin libur lagi deh, rasanya. Hiks...”. Tuturan di atas tergolong jenis tuturan yang menyimpang dari maksim kuantitas, karena penutur (B) tidak memberikan kontribusi secukupnya pada mitra tutur (A). Informasi yang disampaikan penutur (B) terlalu hiperbolis (berlebihan) sehingga tuturan diatas dinilai tidak kooperatif. (2) Maksim kualitas (maxim of quality) yaitu penutur menyatakan sesuatu berdasarkan fakta dan realita yang ada. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut: A: “Kayaknya minggu depan aku sudah mulai pindahan ke Jakarta”. B: “Beneran kamu bakal kerasan di Jakarta?”. A: “Iya, dong. Emang kenapa?”. B: “Jakarta kan terkenal dengan kemacetannya. Belum lagi sering banjir kalo musim hujan kayak gini”.

232

Tuturan di atas termasuk mematuhi maksim kualitas, karena penutur (B) menyampaikan suatu fakta, yaitu Jakarta adalah kota besar yang sudah dikenal dengan “kemacetannya” dan sering banjir jika musim hujan tiba. Selanjutnya, perhatikan ilustrasi di bawah: A: “Lho, ngapain kamu bawa payung?”. B: “Biasa. Di luar lagi hujan duit. Kamu jangan lupa bawa payung juga, ya”. Tuturan tersebut termasuk menyalahi maksim kualitas karena penutur (B) tidak mengungkapkan fakta. Penutur (B) mengatakan bahwa di luar sedang terjadi hujan uang, padahal faktanya, tidak pernah ada uang turun dari langit seperti hujan. Jadi, tuturan di atas dinilai tidak kooperatif karena menyimpang dari maksim kualitas. Terkadang, penyimpangan pada maksim kualitas bertujuan untuk memberi efek lucu (comic effect) seperti ilustrasi di atas (Wijayana, 1996: 49). (3) Maksim hubungan atau relevansi (maxim of relevance) yaitu penutur dan mitra tutur menyatakan suatu hal yang serasi (relevan) dengan ujaran sebelumnya. Maksim relevansi menggariskan bahwa ujaran lanjut terhadap ujaran sebelumnya itu serasi dan nyambung (Pangariban, 2008: 131). Pada maksim relevansi, supaya antara penutur dan mitra tutur terjalin sebuah kerja sama yang baik, maka mereka harus berusaha agar apa yang mereka tuturkan mematuhi maksim relevansi. Seperti pada ilustrasi di bawah: A: “Jangan lupa, nanti jam 15.10 kita nonton Avengers: Infinity War di bioskop”. B: “Oke, siap!”. Tuturan tersebut termasuk jenis tuturan yang mematuhi maksim relevansi, karena ujaran antara penutur dan mitra tutur relevan. Perkataan yang diucapkan oleh (B) merupakan tanggapan dari ujaran (A) yang dinilai memenuhi aturan maksim relevansi. Bandingkan dengan ilustrasi berikut: A: “Jangan lupa, nanti jam 15.10 kita nonton Avengers: Infinity War di bioskop”. B: “Eh, kamu tau nggak? Kemarin, tetanggaku yang cerewet mati tersedak ludahnya sendiri” Tuturan di atas tergolong tuturan yang menyimpang dari maksim relevansi, karena tidak ditemukan keserasian (relevansi) dalam dialog antara penutur dan lawan tutur. Dari cuplikan dialog di atas, diketahui bahwa si (A) mengingatkan temannya bahwa nanti sore mereka akan menonton film “Avengers: Infinity War”. Kemudian, si (B) merespon dengan menceritakan perihal tetangganya yang cerewet mati sebab tersedak ludahnya sendiri. Karena tidak adanya kesinambungan antara tuturan mereka, maka dialog di atas dianggap menyalahi maksim relevansi.

233

(4) Maksim Pelaksanaan atau Cara (maxim of manner), yaitu maksim yang mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, lugas, runtut, tidak berbelit-belit, tidak ambigu, dan tidak berlebihan. Perhatikan ilustrasi di bawah ini: A: “Bu, tadi aku makan nasi bungkus yang ada di atas meja makan”. B: “Oh iya, itu memang buat kamu. Ibu lupa bilang”. Tuturan tersebut dinilai mematuhi aturan maksim pelaksanaan, karena apa yang dituturkan oleh si (A) dan (B) sudah jelas. Selain itu, tuturan tersebut diujarkan secara runtut, lugas, tidak berbelit- belit dan tidak mengandung ambiguitas. Coba bandingkan dengan ilustrasi berikut: A: “Kemarin aku sudah membeli perlengkapan bayi”. B: “Oh ya? Wah, untung tadi hujan”. Tuturan di atas dinilai melanggar maksim pelaksanaan, karena apa yang dituturkan oleh si (B) relatif kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si (B) ialah, bukan hanya karena ia bersyukur karena tadi hujan turun, tapi di sisi lain, ia ingin memberitahu si (A) bahwa dirinya pun memiliki inisiatif untuk membeli perlengkapan bayi tadi siang, tapi berhubung tadi hujan, maka si (B) membatalkan niatnya. Berkat hujan yang turun, ia jadi menghemat biaya karena tidak jadi membeli perlengkapan bayi yang ternyata sudah lebih dulu dibeli oleh si (A). Karena tuturan si (B) memiliki maksud yang relatif kabur, maka si dialog di atas dinilai tidak kooperatif karena menyalahi maksim pelaksanaan (cara). Namun terkadang, penyimpangan-penyimpangan seperti ini seringkali dituturkan dengan maksud kesopanan berbahasa. Akan tetapi, mitra tutur harus pandai-pandai menangkap apa makna terselubung di balik tuturan penutur. Maka dari itu, penyimpangan terhadap salah satu atau bahkan seluruh maksim dalam prinsip kerjasama, akan melahirkan implikatur (Rahardi, 2005: 58). Seperti contoh ilustrasi yang dituturkan oleh seorang anak kepada ibunya di bawah ini: Anak: “Bu, kemarin aku baru beli kitab seratus ribu, sama beli peralatan mandi tiga puluh ribu”. Ibu: “Iya, sudah ibu transfer kok tadi pagi”. Tuturan di atas termasuk menyimpang dari maksim relevansi dan maksim pelaksanaan, karena apa yang dituturkan oleh ibu kepada anaknya tidak relevan dengan ujaran sebelumnya. Selain itu, tuturan sang anak kepada ibunya bisa dikatakan relatif kabur, karena ia bukan semata-mata memberitahukan kepada ibunya bahwa kemarin ia baru saja membeli kitab dan peralatan mandi, namun dibalik itu, si anak ingin menginformasikan bahwa uang jajannya tinggal sedikit atau

234 bahkan sudah habis. Akan tetapi, si anak mengutarakan maksudnya dengan bercerita kepada ibunya bahwa ia baru mengeluarkan uang untuk membeli kitab dan peralatan mandi, dengan tujuan kesopanan berbahasa. Dan sang ibu, menangkap makna terselubung di balik ujaran anaknya.

Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode deskriptif-kualitatif. Metodologi penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Muhammad, 2011: 30). Metodologi ini dinilai relevan dengan objek penelitian, karena data penelitian ini berupa kata-kata, atau gambar-gambar. Selain itu, metode ini dinilai mampu memberikan gambaran informasi dengan cermat dan dapat mengembangkan pemahaman, sebab dengan analisis deskriptif kualitatif, data dan bukti-bukti yang diperoleh tidak dimaksudkan untuk membuktikan atau menolak hipotesis (Suandi, 2008, h.68). Metode ini juga dianggap dapat menyajikan hasil penelitian lebih detail dan rinci, karena hasil penelitiannya dituangkan dalam bentuk deskripsi dan penjelasan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah teknik simak-tonton- catat. Peneliti menggunakan teknik ini karena objek kajiannya berupa audio-visual. Teknik simak adalah teknik pengumpulan data dengan cara menyimak penggunaan bahasa yang diungkapkan melalui bahasa lisan. Teknik tonton adalah teknik dimana mengharuskan seorang peneliti untuk mengamati secara visual objek yang ada di hadapannya. Sementara teknik catat adalah teknik lanjutan dari teknik simak dan teknik tonton, dimana seorang peneliti menuliskan kembali apa yang telah ia simak dan tonton dari suatu objek (Mahsun, 2014: 92-93).

Hasil dan Pembahasan Berikut ini adalah hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang muncul dalam dialog film “Hijab”. Berdasarkan hasil penelitian, dalam dialog film “Hijab” terkandung empat maksim prinsip kerjasama dan beberapa dialog yang melanggar aturan-aturan dari empat maksim prinsip kerjasama atau bisa juga disebut dengan “penyimpangan prinsip kerjasama”. Hasil analisis penelitian akan dipaparkan sebagai berikut: Dialog-dialog yang Mengandung Prinsip Kerjasama - Maksim Kuantitas (the maxim of quantity)

235

Berikut dialog-dialog dalam film “Hijab” yang mengandung maksim kuantitas: Situasi Satu: Gamal dan keluarga Sari sedang berada di ruang tamu : Gamal : “Haram!”. Sari : “Hah? Nyetir mobil haram?”. Gamal : “Iya, haram!”. Tuturan tersebut dinilai mematuhi maksim kuantitas karena Gamal memberikan kontribusi secukupnya berupa jawaban atas pertanyaan Sari. Situasi Dua: Tata dan Sari sedang sibuk melayani pembeli secara online. Tata melakukan percakapan dengan pembeli melalui via telepon. Sementara Bia membantu Tata mengecek stok dagangan mereka. Tata : “Ijo. Ada ijo nggak?”. Bia : “Ijo apa?”. Tata : “Ijo pete”. Bia : “Ada. Ntar, gue ambilin”. Tuturan tersebut adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas. Tata merespon pertanyaan Bia tentang warna hijau seperti apa yang dimaksud dirinya, secara lugas dan jelas, yaitu warna hijau pete. Situasi Tiga: Bia, Sari, Tata, dan Anin sedang berkumpul di “Meccanism”. Mereka baru saja berkonflik dengan pasangan masing-masing. Kecuali Anin yang memang belum bersuami. Anin sedang mengecek grafik hasil penjualan mereka dari bulan ke bulan. Sementara tiga sahabatnya tertunduk lesu di kursi masing-masing. Anin : “Eh, pendapatan kita naik, loh. Lo liat nih! Pada seneng, nggak? (baru menyadari bahwa sahabat-sahabatnya berwajah kusut) “Eh, pada kenapa sih? Hah? Kenapa?”. Bia : “Laki gue jobless”. Tata : “Ujul juga”. Anin : “Hah? Gue kirain Chaki doang yang jobless”. Tata : “Laki lo gimana, Sar?” (baru sadar kalau Sari sedang terisak) “Eh, lo kenapa?”.

236

Sari : “Gue ke-gap bo‟ong ama laki gue”. Tuturan di atas dianggap kooperatif karena mematuhi maksim kuantitas. Baik Bia, Tata, maupun Sari memberikan respon secukupnya atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada mereka. - Maksim Kualitas (the maxim of quality) Berikut dialog-dialog dalam film “Hijab” yang mengandung maksim kualitas: Situasi Satu: Anin baru saja tiba di rumah Bia sehabis membeli coca cola. Di tangannya terdapat beberapa kantung plastik yang isinya bermacam-macam barang. Anin mengeluhkan keadaan Jakarta yang semakin hari semakin macet dan panas. Anin : “Panas banget tau gak di Jakarta?! Gue kalo kayak gini terus rasanya pingin pindah ke Paris tau ga sih?”. Tata : “Iya, emang panas di Jakarta”. Tuturan di atas dianggap kooperatif karena mematuhi maksim kualitas. Baik Anin maupun Tata sama-sama mengungkapkan fakta, yaitu cuaca di Jakarta yang sangat panas setiap harinya. Situasi Dua: Bia sedang memberikan kultum dalam sebuah event terkait perintah untuk berhijab. Bia : “Selain perintah agama, jilbab membuat perempuan terlihat lebih teduh dan juga lebih bersahaja. Ini adalah nilai kecantikan yang diinginkan oleh agama. Cantik yang bersahaja”. Audience : (bertepuk tangan dengan meriah) Tuturan tersebut dinilai memenuhi maksim kualitas karena Bia mengatakan suatu fakta, yaitu jilbab merupakan perintah agama dan membuat kecantikan yang terpancar dari wanita pemakainya tampak lebih bersahaja. Situasi Tiga: Marsha, putri salah satu sahabat mama Anin membagi pengetahuannya tentang hijab. Dia adalah seorang blogger terkenal yang mempunyai puluhan ribu followers. Sebelumnya, dia adalah remaja millenial yang senang memakai pakaian terbuka dan sangat sinis terhadap fashion hijab. Namun begitu mencoba pakaian dan hijab yang dirancang “Meccanism” ia menjadi lebih terbuka terhadap fashion hijab. Marsha : “80% population in this country is moeslem. Hijab adalah pakaian yang mereka yakini bisa ngebuat cewek-cewek jadi lebih baik. Ya,

237

suka nggak suka, mau nggak mau, kenyataannya hijab udah jadi gaya hidup yang gantiin sanggul dan konde di jaman orde baru, kan? Anyway, itu hasil riset aku, sih”. Tante Elma : “Wow, smart girl. Hijab is a new culture. It’s a big market. And, saya akan tambahkan modal kalian, kalo butiknya lebih fokus pada hijab”. Tuturan di atas termasuk kooperatif karena mematuhi aturan maksim kualitas. Baik Marsha maupun Tante Elma sama-sama mengatakan fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan hijab merupakan suatu budaya baru yang masuk di Indonesia menggantikan sanggul dan konde pada era orde baru. Hijab juga merupakan bisnis yang sangat menjanjikan. - Maksim Relevansi (the maxim of relevance) Berikut dialog-dialog dalam film “Hijab” yang mengandung maksim relevansi: Situasi Satu: Anin dan Bia sedang duduk bersama sekretaris Tante Elma. Mereka baru saja melunasi hutang untuk modal yang mereka pinjam beberapa bulan lalu. Anin : “Mbak, tolong sampaikan rasa terimakasih kami ke tante Elma, ya”. Sekretaris : “Oke, nanti saya sampaikan”. Tuturan tersebut tergolong kooperatif karena mematuhi maksim relevansi. Percakapan antara Anin dan sekretaris tante Elma mempunyai relevansi (kesinambungan). Situasi Dua: Bia, Tata, dan Sari sedang melakukan syuting dalam rangka mempromosikan butik “Meccanism”. Mereka membahas kronologi bagaimana awal terbentuknya “Meccanism”. Dan itu berarti mereka harus berbicara seputar keluarga masing-masing, karena lahirnya “Meccanism” memang dari sana. Sari : “Eh tapi ya, Tata ini bisa berjilbab itu justru kebalikannya gue. Jadi dia itu berjilbab karena pengen ngejar perhatian cowok yang jadi suaminya sekarang”. Bia : “Tapi awalnya bukan gara-gara itu”. Sari : “Oh iya, hahaha...”. Tuturan tersebut dianggap memenuhi maksim relevansi karena ujaran peserta percakapan relevan dengan ujaran-ujaran sebelumnya.

238

Situasi Tiga: Gamal dan Sari sedang menonton TV di ruang keluarga. Gamal : “Widih, kece bener tuh jas”. Sari : “Jasnya produk “MAN” tuh, bi”. Gamal : “Produk “MAN”?”. Sari : “Iya, lagi hits banget! Keren ya kalo dipake, jadi body fit gitu”. Tuturan tersebut dinilai kooperatif karena ujaran penutur dan mitra tutur relevan. - Maksim Pelaksanaan atau cara (the maxim of manner) Berikut dialog-dialog dalam film “Hijab” yang mengandung maksim pelaksanaan / cara: Situasi Satu: Sari, Tata, dan Anin mengadakan pertemuan kedua kalinya dengan ketiga sahabat mama Anin. Kali ini, sahabat-sahabat mama Anin yakin terhadap produk yang dijual oleh “Meccanism” karena nyatanya begitu diluncurkan, produk tersebut sudah laku keras di pasaran. Tante Eli : “Jadi bagaimana? Kapan kalian mau buka butik?”. Sari : “Kita nggak ada rencana mau buka butik, tan. Soalnya modalnya besar. Jadi, rencananya kita mau jualan online aja”. Tante Eli : “Bagaimana kalau minta modal sama suami-suami kalian? Suami desainer itu kan seorang artis sinetron?”. Tata : “Kita nggak mau ngrepotin para suami, tante. Kita mau mandiri”. Tuturan tersebut dinilai mematuhi maksim pelaksanaan karena diucapkan secara langsung, jelas, dan tidak mengandung ambiguitas. Maknanya pun tidak kabur sehingga mudah dipahami oleh peserta percakapan. Situasi Dua: Tata sedang meminta uang pada Ujul untuk membayar arisan. Ujul : “Bukannya aku udah ngasih lebih minggu ini?”. Tata : “Ya abislah, Yang. Kan tiga hari ini kamu bawa temen kamu meeting di rumah. Aku harus nyiapin makanan, minuman ekstra”. Tuturan di atas dianggap memenuhi maksim pelaksanaan karena ujarannya jelas dan tidak mengandung ambiguitas, sehingga mudah dipahami oleh mitra tutur. Situasi Tiga: Bia cs. sedang berdiskusi di teras rumah Sari.

239

Sari : “Bener. Kita jualan fashion hijab”. Bia : “Nah, lucu tuh”. Anin : “Tapi jangan cuman hijab. Kenapa? Karena hijab itu kan macem-macem modelnya. Dari yang kalian pake aja udah pada beda-beda, kenapa nggak umum aja? Ada modern, klasik, hijab. Tapi desainnya yang lebih spesifik. Ada batik, sutera, songket. Itu lebih Indonesia banget nggak sih?”. Tuturan di atas termasuk kooperatif karena memenuhi maksim pelaksanaan. Sebab, ujarannya jelas dan tidak mengandung ambiguitas, sehingga mudah dipahami oleh mitra tutur. Dialog-Dialog yang Menyimpang dari Prinsip Kerjasama Di bawah ini adalah sejumlah dialog yang dinilai tidak mengandung prinsip kerjasama, karena menyalahi atau menyimpang dari aturan-aturan empat maksim di atas: Situasi Satu: Bia, Tata, dan Sari sedang melakukan syuting dalam rangka mempromosikan butik “Meccanism”. Mereka membahas kronologi bagaimana awal terbentuknya “Meccanism”. Sari yang sedikit nervous, sedari tadi hanya mondar-mandir di studio. Sari : “Aduh, gue nervous nih. Aduh, gue kalo nervous sakit perut lagi! Masa gue ke WC lagi, sih? Aduuh”. Bia : “Udah, tenang aja. Elo cantik, kok!”. Sari : “Aduh, Bi. Kayaknya gue sekarang lagi butuh obat anti depresan deh, daripada pujian!”. Tuturan di atas dianggap menyimpang dari maksim relevansi, karena antara apa yang diujarkan oleh Sari dan Bia tidak terdapat keserasian (relevansi). Situasi Dua: Mat Nur dan Bia sedang berada di dalam mobil. Mat Nur baru saja mengecek tagihan mereka, tapi ternyata tagihan itu sudah dilunasi oleh Bia. Mat Nur : “Rating “kerdus” itu masih bagus ya, sayang. Top 20 di TV-TV swasta. Aku itu belum dibuang dari industri”. Bia : “Aku cuman mau bikin surprise aja buat kamu”. Tuturan di atas dianggap menyalahi maksim pelaksanaan, karena apa yang diujarkan oleh Mat Nur relatif kabur maknanya. Mat Nur tidak semata-mata memberitahu istrinya bahwa rating film

240 yang diperankannya masih tinggi, tapi dibalik itu ia juga ingin menyampaikan rasa tidak terima jika sang istri membantunya melunasi tagihan pembayaran bulanan. Situasi Tiga: Bia dan Anin sedang berdiskusi di “Meccanism” untuk membahas perihal rencana bubarnya butik mereka. Bia : “Utang udah lunas. Masing-masing dari kita juga udah punya tabungan lebih, kan? Kita bikin usaha dan udah berhasil. Ya udah. Kita jual aja “Meccanism”. Kan ada untungnya. Kita bagi berempat. Aku mutusin utuk jadi ibu rumah tangga lagi, Nin”. Anin : (menunjuk undangan pemberian SOI magazine terkait Djakarta International Fashion Week) “Terus ini gimana, Bi? Ini kesempatan yang nggak datang dua kali, lho. Lo yakin?”. Bia : “Buat apa lo berhasil ngeraih kesempatan, tapi lo harus ngorbanin keluarga? Buat apa harus dilanjutin, tapi gue kehilangan sahabat-sahabat gue? Retak! Sakit! Gue ikhlas, kok. Lo juga harus ikhlas”. Tuturan tersebut dianggap menyalahi maksim relevansi dan maksim pelaksanaan, karena ujaran Bia dinilai tidak relevan dengan ujaran sebelumnya yang menanyakan perihal apakah dirinya benar-benar sudah yakin untuk menjual “Meccanism”. Selain itu, ujaran Bia juga relatif kabur maksudnya, karena ada makna lain dibalik perkataannya, yaitu dibalik keyakinannya untuk menjual butik, sebenarnya Bia sedih dengan kenyataan itu karena “Meccanism” selama ini dibangun dari keringat dan kerja keras mereka berempat. Situasi Empat: Sari dan Gamal sedang berada di sebuah mobil. Mereka hendak pergi mengunjungi launching “Meccanism”. Gamal : “Fulusnya dari abinya, kan?”. Sari : “Ya iyalah. Emang dari siapa lagi?”. Gamal : “Ente nggak ikutan juga, kan?”. Sari : “Nggaklah. Dosa”. Tuturan di atas menyimpang dari maksim kualitas karena Sari berbohong. Dia tidak mengungkapkan fakta. Dalam film ini, sebenarnya uang untuk modal butik didapat dari

241 pinjaman sahabat-sahabat mama Anin, dan tentunya Sari ikut berkontribusi dalam pendirian “Meccanism”. Dia malah bertugas mengurusi administrasi butik. Situasi Lima: Anin dan Tante Elma sedng mengobrol di sebuah kafe. Tante Elma : “Bagaimana? Kamu sudah dapet kabar dari Djakarta International Fashion Week?”. Anin : “Loh? Kok tante tau?”. Tante Elma : “Dunia ini terlalu sempit untuk orang-orang seperti tante”. Tuturan tersebut dianggap tidak kooperatif karena menyimpang dari maksim relevansi dan maksim pelaksanaan. Dinilai menyimpang dari maksim relevansi, karena ujaran Tante Elma tidak sesuai dengan ujaran-ujaran sebelumnya dan cenderung keluar konteks. Sedangkan disebut menyimpang dari maksim pelaksanaan, karena ujaran Tante Elma relatif kabur maknanya, yaitu ia sebenarnya ingin memberitahukan bahwa tidak ada yang tidak ia tahu di dunia ini karena ia memiliki banyak koneksi dan jaringan yang luas.

Simpulan Dari hasil pembahasan di atas, disimpulkan bahwa dialog pada film “Hijab” mengandung banyak prinsip kerjasama Grice dan beberapa dialog dinilai menyimpang dari prinsip kerjasama Grice. Adapun dialog yang mengandung prinsip kerjasama Grice terdapat dalam empat puluh satu dialog, dengan perincian: sembilan belas dialog mengandung maksim kuantitas, lima dialog mengandung maksim kuantitas, dua belas dialog mengandung maksim relevansi, dan lima dialog mengandung maksim pelaksanaan. Maksim yang sering muncul dalam dialog film “Hijab” adalah maksim kuantitas dan maksim relevansi. Sedangkan sebanyak dua puluh lima dialog dinilai menyimpang dari prinsip kerjasama Grice, karena di dalamnya tidak mematuhi aturan empat maksim prinsip kerjasama. Penyimpangan yang sering muncul ialah penyimpangan pada maksim relevansi dan penyimpangan pada maksim pelaksanaan.

242

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, O. U. 1986. Televisi Siaran, Teori, dan Praktek. Bandung: Alumni. Effendi, O. U. 2000. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruz Media. Pangariban, T. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardi, K. 2008. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Suandi, I. 2008. Pengantar Penelitian Bahasa. Bali: Universitas Pendidikan Ganesha (dalam bentuk pdf). Wijayana, D. P. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Yendra. 2012. Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik). Yogyakarta: CV Budi Utama. Tiarina, Y. 2009. Prinsip Kerjasama dalam Film Kartun Avatar. Jurnal Bahasa dan Seni. Vol 11. No 01. Hal 62-70 (jurnal dalam bentuk pdf).

243

SI BAJA (PASINAON BASA JAWA) DIGITAL INTERAKTIF: PRODUK INDUSTRI KREATIF BIDANG PEMBELAJARAN BERBASIS DIGITAL

Nila Ayati Nuzula Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang [email protected]

ABSTRAK Produk industri kreatif di masa ini dapat mendukung berbagai aspek kebutuhan. Salah satu aspek kebutuhan yang dapat didukung oleh industri kreatif adalah pendidikan. Pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan pembelajaran. Di era digital ini pembelajaran yang notabene harus dilakukan bersama antara siswa dan guru di dalam kelas, dapat dilaksanakan secara bebas. Artinya siswa dapat belajar saat guru ada maupun tiada di tempat. Melalui multimedia belajar digital interaktif, siswa dapat belajar secara efisien, menyenangkan, dan tidak terbatas waktu. Selama ponsel cerdas atau alat lain yang sesuai dapat dioperasikan, maka kegiatan belajar melalui media ini dapat dilangsungkan. Selain itu, multimedia interaktif ini memberikan manfaat bagi siswa seperti memberikan motivasi untuk selalu belajar dan terampil dalam mempelajari Bahasa Jawa, memotivasi siswa untuk cinta budaya Jawa, dan memberikan prestise pada pembelajaran Bahasa Jawa. Si Baja (Pasinaon Basa Jawa) Digital Interaktif ini merupakan produk industri kreatif bidang pendidikan khususnya pembelajaran Bahasa Jawa karena memiliki potensi dalam kancah ekonomi jika senantiasa dikembangkan. Kata kunci: Industri kreatif, Si Baja, media interaktif, digital

Pendahuluan Menurut DCMS (Creative Digital Industries National Mapping Project ARC Centre of Excellent for Creative Industries and Innovation, 2007) industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta Individu tersebut (Kompas, 2011). Menurut Rochani (2017: 83) istilah industri kreatif di Indonesia sering diartikan sebagai tindakan industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu yang melekat pada seseorang. Menurut United Nations Conference on Trade and Development/UNCTAD (2008) dalam Mohammad Adam Jerusalem (2009), industri kreatif adalah (a) siklus kreasi, produksi, dan distribusi dari barang dan jasa yang menggunakan modal kreatifitas dan intelektual sebagai input utamanya; (b) bagian dari

244 serangkaian aktivitas berbasis pengetahuan, berfokus pada seni, yang berpotensi mendatangkan pendapatan dari perdagangan dan hak atas kekayaan intelektual; (c) terdiri dari produk-produk yang dapat disentuh dan intelektual yang tidak dapat disentuh atau jasa-jasa artistik dengan muatan kreatif, nilai ekonomis, dan tujuan pasar; (d) bersifat lintas sektor antara seni, jasa, dan industri; dan (e) bagian dari suatu sektor dinamis baru dalam dunia perdagangan. Indonesia berupaya untuk mengembangkan industri kreatif dalam beberapa sektor. Hal tersebut dicanangkan pada Instruksi Presiden RI nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Industri kreatif. Diharapkan dengan kebijakan tersebut, perekonomian dapat berkembang atas upaya rakyat dalam mengoptimalkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu. Ketercapaian perkembangan tersebut dapat menciptakan daya kreasi serta daya cipta yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia. Intruksi Presiden RI nomor 6 Tahun 2009 memuat beberapa aspek yang diupayakan untuk dikembangkan. Diantaranya adalah sebagai berikut (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan, (5) desain, (6) fashion (mode), (7) film, video, dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) radio dan televisi, dan (14) riset serta pengembangan. Beberapa aspek di atas berkaitan erat dengan beberapa bidang aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, salah satunya bidang pendidikan. Bidang pendidikan tidak akan terlepas dari proses pembelajaran. Pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara formal dan nonformal. Secara formal pembelajaran dapat dilakukan secara terstruktur di dalam kelas. Sedangkan pembelajaran nonformal dapat dilakukan di luar kelas sesuai dengan bidang yang dipelajari. Keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Hendaknya kedua cara pembelajaran tersebut dapat dilakukan secara beriringan agar saling melengkapi antara satu dengan yang lainnnya. Artinya peserta didik dapat memperoleh pengalaman belajar secara luas. Pada dasarnya secara tidak langsung, peserta didik mendapatkan kedua pengalaman belajar tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena lingkungan tempat belajar (selain sekolah) yang mendukung. Peserta didik di era digital kini tidak hanya belajar dari lingkungan fisikal. Artinya mereka di zaman ini tidak hanya belajar dari dunia nyata namun juga dari dunia maya. Mereka sering belajar dari sumber-sumber belajar dalam jaringan (online) daripada luar jaringan (offline) atau buku. Hal tersebut mempengaruhi waktu belajar peserta didik. Kecenderungan tersebut

245 memiliki dua dampak, yaitu positif dan negatif. Semakin tinggi daya penggunaan akses online oleh anak-anak yang ada pada usia sekolah semakin tinggi kualitas dan keluasan wawasan serta pengetahuannya. Sedangkan di sisi lain, akses online tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas pengetahuan peserta didik akibat daya belajar yang seharusnya dapat dioptimalkan justru merosot karena keteledoran penggunaan waktu. Menurut data terbaru, setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan. Hasil studi menemukan bahwa 80 persen responden yang disurvei merupakan pengguna internet, dengan bukti kesenjangan digital yang kuat antara mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dan lebih sejahtera di Indonesia, dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan (dan kurang sejahtera). Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Banten, misalnya, hampir semua responden merupakan pengguna internet. Sementara di Maluku Utara dan Papua Barat, kurang dari sepertiga jumlah responden telah menggunakan internet. Studi ini merupakan yang pertama diantara penelitian sejenisnya, dengan keunikan data pada golongan anak dan remaja yang belum pernah menggunakan internet. Kesenjangan yang paling jelas terlihat, di daerah perkotaan hanya 13 persen dari anak dan remaja yang tidak menggunakan internet, sementara daerah perdesaan, menyumbang jumlah 87 persen. Mayoritas dari mereka yang disurvei telah menggunakan media online selama lebih dari satu tahun, dan hampir setengah dari mereka mengaku pertama kali belajar tentang internet dari teman. Studi ini mengungkapkan bahwa 69 persen responden menggunakan komputer untuk mengakses internet. Sekitar sepertiga - 34 persen - menggunakan laptop, dan sebagian kecil - hanya 2 persen - terhubung melalui video game. Lebih dari setengah responden (52 persen) menggunakan ponsel untuk mengakses internet, namun kurang dari seperempat (21 persen) untuk smartphone dan hanya 4 persen untuk tablet (Kominfo, 2014). Survei penggunaan ponsel cerdas di kalangan siswa menunjukkan bahwa banyak peserta didik yang memiliki fasilitas berupa ponsel cerdas. Ini merupakan peluang bagi kreator untuk menciptakan aplikasi ataupun program belajar yang dapat dinikmati oleh siswa di ponselnya masing-masing. Hal tersebut selain memudahkan siswa juga memudahkan guru saat di dalam kelas. Siswa mendapatkan keuntungan yaitu belajar materi yang seharusnya diajarkan di dalam kelas dengan cara yang lebih menyenangkan. Guru mendapatkan kemudahan yaitu dapat menyampaikan materi secara tidak langsung sehingga saat di dalam kelas guru hanya

246 mengarahkan pada suatu aktivitas ataupun melakukan reviu terhadap siswa. Aplikasi yang dapat dinikmati siswa di ponsel cerdas salah satunya adalah media belajar interaktif. Media pembelajaran interaktif adalah suatu sistem penyampaian pengajaran yang menyajikan materi video, gambar, teks, animasi dan audio/suara dengan pengendalian komputer kepada penonton (siswa) yang tidak hanya mendengar dan melihat unsur visual dan suara, tetapi juga memberikan respon yang aktif, dan respon itu yang menentukan kecepatan dan sekuensi penyajian (Seels Glasgow dalam Arsyad, 2002:36). Media interaktif banyak digunakan untuk memudahkan pembelajaran ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, ataupun sejenisnya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan media interaktif dapat digunakan untuk mata pelajaran lain seperti pelajaran Bahasa Jawa. Menurut Rusman (2012: 173) media pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat, jangkauan, dan teknik pemakaiannya. Dari sifatnya, media dapat dibagi ke dalam (a) media auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja atau media yang mempunyai unsur suara, (b) media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara, (c) media audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang dapat dilihat. Dari kemampuan jangkauannya, media dapat dibagi ke dalam (a) media yang memiliki daya liput yang luas dan serentak, (b) media yang mempunyai daya liput yang tidak terbatas ruang dan waktu Dari teknik pemakaiannya, media dapat dibagi ke dalam (a) media yang diproyeksikan (b) media yang tidak diproyeksikan. Pengelompokan jenis media pembelajaran tersebut tidak dapat diklasifikasikan ke dalam media yang baik ataupun tidak baik. Pengelompokan jenis media di atas akan dinilai baik jika penggunaannya cocok dengan materi atau pelajaran yang diajarkan. Fungsi dari media pembelajaran dalam proses belajar mengajar sebagai berikut (1) media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi, (2) media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga menimbulkan motivasi, (3) media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu, dan (4) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman tentang peristiwa dilingkungan mereka (Azhar, 2011: 26). Menurut Novaliendry (2013, 110) multimedia adalah pemanfaatan komputer untuk membuat dan menggabungkan teks, grafik, audio, video dan animasi, dimana hasil

247 penggabungan unsur-unsur tersebut akan menampilkan informasi yang lebih interaktif. Multimedia interaktif dianggap sebagai media yang cocok digunakan dalam pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas karena secara langsung maupun tidak langsung, multimedia ini telah mendukung adanya interaksi antara guru bayangan & teman bayangan, untuk memperkuat pemahaman tentang topik atau materi tertentu. Artikel ini membahas tentang “Si Baja (Pasinaon Basa Jawa) Digital Interaktif sebagai Produk Industri Kreatif Bidang Pembelajaran Berbasis Digital”. Si Baja ini merupakan salah satu media interaktif pendukung proses pembelajaran bahasa Jawa. Dalam hal ini yang dijadikan contoh adalah Pasinaon untuk tingkat SMP khususnya bab wawancara. Contoh yang disajikan berikut merupakan karya kreatif dari Bapak Sutriono Hariadi, seorang guru di salah satu SMP daerah Probolinggo. Si Baja (Pasinaon Basa Jawa) Digital Interaktif ini disusun sesuai dengan kurikulum yang sudah ditentukan. Media ini memiliki nilai efektif karena cara pengaplikasiannya yang mudah. Adanya intruksi terbaca dan tertulis dalam media ini semakin mempermuah pengguna dalam pengaplikasiannya. Apakah media pembelajaran dapat menggantikan peran guru? Peran guru dalam proses pembelajaran sangat penting. Media pembelajaran tidak dapat secara utuh menggantikan peran guru. Media pembelajaran interaktif ini menjadi pendukung proses pembelajaran. Guru sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, serta evaluator akan diperkuat dengan adanya media belajar interaktif ini. Apakah media pembelajaran ini tepat jika digunakan di luar kelas? Media belajar interaktif ini tepat digunakan baik di dalam maupun di luar kelas. Hal tersebut merupakan tujuan atas pengadaan media yakni agar keterampilan berbahasa Jawa anak dapat selalu dikembangkan dimanapun dan kapanpun melalui alat digital yang dimiliki yang biasa disebut android. Ciri-ciri pembelajaran adalah sebagai berikut. 1. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan dengan sistematis. 2. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar. 3. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik perhatian dan menantang siswa. 4. Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan menarik. 5. Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan bagi siawa.

248

6. Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran, baik secara fisik maupun secara psikologi. 7. Pembelajaran menekankan keaktifan siswa. 8. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan sengaja (Hamdani, 2011) Dari delapan ciri pembelajaran telah jelas bahwa kegiatan belajar di dalam kelas siswa bersama guru merupakan proses pembelajaran. Sedangkan belajar di luar kelas juga merupakan pembelajaran selama sesuai dengan ciri atau syarat yang telah disebutkan sebagai patokan pembelajaran. Tujuan pencanangan media interaktif pada mata pelajaran Bahasa Jawa ini adalah untuk meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari bahasa Jawa di era digital ini sehingga sesuai dengan unen-unen Jawa, mereka tidak akan menjadi generasi Jawa tapi ora njawani. Selain itu penggunaan media interaktif ini juga ditujukan sebagai sarana pemanfaatan teknologi digital masa ini dengan kemasan yang lebih menarik. Dengan demikian, diharapkan siswa lebih terampil dan tekun dalam belajar bahasa Jawa agar tidak kehilangan budayanya.

Hasil Program aplikasi multimedia alat bantu pembelajaran Bahasa Jawa masih belum banyak mendapatkan perhatian dari peneliti. Indikasinya adalah belum banyaknya hasil-hasil penelitian dalam publikasi ilmiah baik jurnal maupun seminar nasional. Pada kesempatan ini penulis akan membedah cara untuk menyusun multimedia interaktif ini. Strategi pembelajaran bahasa jawa menggunakan konsep strategi pembelajaran yang berhubungan dengan asas belajar. Asas belajar merupakan asas yang dirumuskan berdasarkan teori psikologi, dalam hal ini adalah psikologi belajar. Menurut psikologi belajar, ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam memahami kegiatan belajar yaitu mengenai bentuk perihal apa yang dipelajari dan mengenai proses berlangsungnya kegiatan belajar. Keduanya merupakan sasaran yang dapat diamati dengan panca indra. Dimana dalam bentuk pembelajaran yang menarik akan lebih menarik juga untuk dipelajari (Purwaningsih, 2008). Program aplikasi multimedia adalah sebuah program komputer yang memanfaatkan fasilitas yang ada pada komputer seperti video dan audio yang digunakan untuk visualisasi. Contoh program aplikasi yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari adalah program permainan (game), gambar, film dan musik. Syarat utama agar program multimedia dapat dijalankan pada

249 suatu komputer adalah komputer yang akan digunakan mempunyai sistem operasi yang sesuai dengan kebutuhan program aplikasi dan komputer tersebut mempunyai perangkat multimedia pendukung yang meliputi perangkat lunak dan perangkat keras seperti kartu grafis dan speaker (Supriyono, dkk, 2015:2). Fungsi pembelajaran Bahasa Jawa, dalam konteks pendidikan adalah berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dalam rangka mengakses informasi dan dalam konteks sehari-hari adalah sebagai alat untuk membina hubungan interpersonal, bertukar informasi serta menikmati estetika bahasa dalam budaya Jawa. Adapun tujuan pembelajaran bahasa Jawa adalah untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Jawa dalam bentuk lisan dan tulis; menumbuhkan kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia; dan untuk mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya (Dinas P dan K Prov. Jawa Tengah, 2006 dalam Rochmad, 2012). Dalam Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang penulis menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa Jawa hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning getting, tetapi berupa proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Dengan pola itu, siswa tidak dijejali dengan seperangkat kaidah untuk dimengerti secara kognitif, tetapi diarahkan untuk pengembangan aspek afektif, sesuai dengan sifat bahasa Jawa itu sendiri yang penuh akan muatan afektif. Demikian juga pada bahasa daerah lain, pola pembelajaran seperti itu akan dapat diterapkaan dengan baik, karena bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama, yaitu penuh akan muatan afektif (Wibawa, 2007:8). Konsep dan eksekusi pembuatan multimedia Pasinaon Basa Jawa hendaknya mengikuti dan mencapai tujuan yang diinginkan secara bersama seperti yang disebutkan di atas. Pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa hendaknya dilaksanakan lebih bermakna dan menarik. Dalam praktik pembelajaran hendaknya terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa yang bertujuan terutama untuk mengembangkan aspek afektif sesuai dengan sifat bahasa Jawa itu sendiri yang penuh akan muatan afektif. Pendekatan “penyatukaitan diri dengan yang dipelajari” (immerison, mencelupkan diri ke dalamnya) kiranya cocok digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran (Wibawa, 2007). Internalisasi di atas dapat diwujudkan ketika siswa memiliki kuantitas lebih dalam mempelajari Bahasa Jawa, mengingat belajar bahasa itu membutuhkan keterampilan. Sedangkan keterampilan membutuhkan latihan. Dengan

250 menggunakan atau mengaplikasikan multimedia Si Baja tersebut, itu berarti siswa mau untuk berlatih. Semakin sering berlatih, siswa makin dapat menginternalisasi wawasan yang didapat untuk kehidupannya. Secara praktis media interaktif ini membutuhakan kecermatan gagasan, ide, dan desain. Kecermatan tersebut harus dikelola bersama dengan kemampuan seputar isi yang akan dipaparkan. Media belajar interaktif yang dibuat harus sesuai dengan pedoman kurikulum agar tidak melenceng dari aturan utama. Dengan demikian, dalam proses penyusunan media ini, kreator harus memahami urutan atau langkah-langkah berikut. 1. Analisis Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar 2. Analisis Indikator dan tujuan pembelajaran 3. Analisis tujuan pembuatan media 4. Analisis materi 5. Kerangka media 6. Pembuatan pendukung media 7. Pengembangan media di powerpoint 8. Publishing media Powerpoint dengan Ispring 9. Convert hasil langkah nomor 8 menjadi APK dengan website APK. Hasil dari proses di atas dijelaskan pada gambar-gambar berikut. Sajian Pembuka

Gambar pembuka menunjukkan identitas bahwa media yang dioperasikan adalah media belajar bahasa Jawa atau Pasinaon Basa Jawa atau disebut Media Si Baja (Sinau Basa Jawa).

251

Sajian aturan

Sajian aturan menunjukkan cara penggunaan media belajar ini. Selain itu pada halaman ini juga ditujukkan tentang simbol-simbol yang digunakan dalam media. Diharapkan dengan membaca sajian ini, siswa atau peserta didik lancar dalam menggunakan program media ini.

Sajian sampul media

Sajian sampul media ini menunjukkan bahwa setelah halaman ini peserta didik akan mengikuti pembelajaran bahasa Jawa. Di halaman ini siswa diberi kejelasan tentang lagu yang mengiringi, pembuat media ini, logo yang disesuaikan, da beberapa komponen lainnya. Sajian Arahan Berdoa

252

Pada sajian ini, peserta didik diarahkan untuk melakukan do‟a agar ada manfaat atas pproses pembelajaran tersebut. Sajian ini diiringi dengan suara tokoh yang ada pada gambar. Suara tersebut memandu peserta didik untuk berdoa bersama.

Sajian Pilihan Menu

Pada halaman ini peserta didik berhak memilih menu apakah yang akan pilih. Menu yang tersedia ada beberapa. Diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Kompetensi Dasar dan Indikator,

253

(2) Peta materi, (3) Belajar/ Sinau, (4) Gladhen/Latihan, (5) Dudutan/ Simpulan, (6) Referensi, (7) Ucapan Terima kasih, dan (8) Profil Pengembang. Hal ini memudahkan peserta didik jika ingin membuka kembali atau membaca materi, soal, atau pun simpulan. Sajian Kompetensi Dasar

Sajian ini menyajikan tampilan lengkap. Tampilan lengkap yang dimaksud antara lain kompetensi dasar, indikator kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran media. Diharapkan adanya halaman ini dapat membantu peserta didik untuk memahami tujuan penggunaan media. Selain itu tampilan tersebut berguna untuk memotivasi siswa untuk berpresatasi dan mencapai target yang ditentukan.

Sajian Peta Materi

254

Sajian peta materi ini menunjukkan materi apa yang dibahas pada media tersebut. Penyajian berbentuk peta diharapkan dapat memudahkan peserta didik dalam memahami maksud menu sajian materi. Sajian Materi Teks Wawancara

Sajian materi teks wawancara terdiri dari beberapa pilihan. Masing-masing pilihan memiliki cabang materi. Cabang materi tersebut disesuaikan dengan sub judul materi.

Sajian Latihan

255

Sajian latihan ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan peserta didik tersebut. Hal tersebut sebagai acauan untuk mengelompokkan proses belajar pada masa berikutnya sehingga lebih sukses dalam pembelajaran. Sajian Simpulan

Sajian simpulan ini merupakan halaman yang berisi tentang simpulan materi yang sudah disampaikan pada halaman-halaman sebelumnya.

Penutup Produk Si Baja (Sinau Basa Jawa) Digital Interaktif merupakan media yang sesuai dengan kondisi siswa di era digital yang memiliki kecenderungan untuk menggunakan akses digital dimanapun dan kapanpun. Media interaktif ini menjadi produk industri kreatif di bidang

256 pembelajaran karena dapat dihasilkan secara berkelanjutan dengan kreatifitas dan ketrampilan yang diwujudkan untuk kepentingan kemajuan sektor penting kehidupan, yaitu pendidikan.

DAFTAR RUJUKAN Azhar Arsyad. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Bina Informatika Bintaro 2018. Mengenal Media Interaktif (Online). (http://smkbinainformatika.sch.id/mengenal-media-interaktif/), diakses tanggal 10 Oktober 2018. Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hariadi, Sutriyono memiliki karya Media Belajar Bahasa Jawa yang disebut Pasinaon Basa Jawa. InstruksiPresiden Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Jerusalem, M Adam, “Perencanaan Industri Kreatif Dengan Pendekatan Benchmarking pada Queensland’s Creative Industry”, Fakultas Teknik UNY. Kompas, Era Ekonomi Kreatif, http://ekonomi.kompas.com/read/ 2011/11/03/ 06582548/ twitter.com Novaliendry, Dony. 2013. Aplikasi Game Geografi Berbasis Multimedia Interaktif (Studi Kasus Siswa Kelas Ix Smpn 1 Rao). Jurnal Teknologi Informasi & Pendidikan, 6(2), 106— 118. Purwaningsih, C. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora. 8(2), Agustus 2008:65 –73. Rochani, Agus. 2017. Strategi Pengembangan Industri Kreatif Dalam Mewujudkan Kota Cerdas. Jurnal Inovasi Pengembangan Smart City, 1(01), 81—93. Dari http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/smartcity/issue/view/213 Rochmad. 2012. Pengelolaan Pembelajaran Bahasa Jawa Berbasis Budaya. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer, Mengembangkan Profesionalisme Guru Abad 21. Bandung: Alfabeta SIARAN PERS NO. 17/PIH/KOMINFO/2/2014. Kominfo (online). (https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3834/Siaran+Pers+No.+17-PIH- KOMINFO-2-), diakses tanggal 10 Oktober 2018.

257

Supriyono, Heru. 2015. Rancang Bangun MediaPembelajaran Bahasa dan Huruf Jawa Berbasis Adobe Flash Cs6. The 2nd University Research Coloquium 2015. Wibawa, Sutrisno. 2007. Implementasi Pembelajaran Bahasa Daerah menjadi muatan Lokal. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya, UNY, Yogyakarta, 8 September 2007

GAYA TUTUR PROMOTIF ARTIS DI MEDIA SOSIAL

Wevi Lutfitasari

258

Pascasarjana Universitas Negeri Malang [email protected]

ABSTRAK Bahasa secara fungsional menjadi perhatian penting di era digital khususnya untuk kepentingan komersial seperti berpromosi. Pelibatan artis dan media sosial dalam kegiatan promosi merupakan langkah strategi yang dilakukan sebuah perusahaan saat ini. Berdasarkan realitas tersebut penelitian ini bertujuan untuk menganalisisi tindakan verbal dan nonverbal artis ketika melakukan promosi melalui media sosial sehingga dapat dikategorikan sebagai gaya tuturan promotif. Metode yang digunakan sebagai dasar pengambilan data dalam penelitian ini adalah metode simak. Terdapat tiga prosedur analissi data dalam penelitian ini, yaitu reduksi data, displai, dan penarikan kesimpulan. Gaya tutur promotif artis berasal dari bentuk verbal berupa tindak deklaratif dan direktif yang dilengkapi dengan tindakan nonverbal berupa pemberian kesan, pembujukan, dan peragaan. Kata kunci: Bahasa, Promosi, Gaya tutur

Potensi bahasa pada era digital terlihat melalui tindakan verbal untuk kepentingan komersial yang memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Promosi merupakan realisasi konkret dari tindakan verbal yang berkembang pesat di media sosial. Hal tersebut sebagai strategi perusahaan atau perseorangan untuk menarik minat konsumen terhadap produk yang dipasarkan salah satunya dengan memanfaatkan citra artis. Artinya sebagian perusahaan sengaja melibatkan artis dalam mempromosikan produknya melalui media sosial seperti di instagram dan youtube. Menurut Gitosudarmo (2000), Promosi merupakan bentuk kegiatan yang bertujuan menarik minat konsumen agar membeli produk yang ditawarkan. Minat tersebut dapat muncul melalui bauran promosi dari sebuah perusahaan. Bauran promosi dijadikan sebagai strategi lanjutan oleh sebuah perusahaan untuk mempromosikan produknya (Stanton, 1996). Wujud strategi tersebut adalah pelibatan artis dalam kegiatan promosi yang dilakukan melalui media sosial. Keterlibatan artis dalam berpromosi tidak pernah lepas dari tindakan verbal yang menjadi karakteristik tuturnya ketika mempromosikan sebuah produk. Karakteristik tutur artis dapat berupa tindakan verbal dan nonverbal ketika berpromosi yang dapat diasumsikan sebagai gaya tuturnya. Indikator penentuan kriteria gaya tutur artis ketika berpromosi berasal dari konsep tentang alat bauran promosi. Artinya di dalam alat bauran promosi terdapat langkah-langkah pemasaran yang perlu ditempuh untuk meningkatkan daya jual promosi. Menurut Darmesta (2002), terdapat empat alat bauran promosi yang didalmnya terdapat teknik khusus. Teknik yang dapat dihubungkan dengan topik ini terdiri atas tiga

259 tindakan, yaitu pemberian kesan, pembujukan, dan peragaan. Tiga tindakan tersebut yang dijadikan sebagi indikator dari gaya tutur artis ketika berpromosi. Selain dari segi tindakan terdapat pula kriteri tuturan yang dikategorikan dalam gaya tutur artis ketika berpromosi. Tuturan tersebut berasal dari teori Searle (1979), tindak tutur terdiri atas lima kategori, yaitu tindak asertif, direktif, ekspresif, deklaratif, dan komisif. Tujuan pengembangan kajian ini adalah untuk menganalisisi tindakan verbal dan nonverbal artis ketika melakukan promosi melalui media sosial sehingga dapat dikategorikan sebagai gaya tuturan promotif. Tindak verbal artis ketika berpromosi dapat dianalisis melalui kriteria tindak tutur yang terdiri atas tindak asertif, direktif, dan ekspresif. Tindak nonverbal artis dapat dianalisis menjadi tiga tindakan, yaitu pemberian kesan, pembujukan, dan peragaan.

Metode Penelitian Metode yang digunakan sebagai dasar pengambilan data dalam penelitian ini adalah metode simak. Mahsun (2014) berpendapat bahwa metode simak merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian bahasa. Realisasi metode simak dalam penelitian ini terwujud melalui menyimak gaya tutur artis ketika promosi melalui video yang telah diunggah di media sosial. Terdapat tiga prosedur analisis data dalam penelitian ini, yaitu reduksi data, displai, dan penarikan kesimpulan. Pertama, reduksi data berfungsi untuk menyeleksi data hasil penelitian ke dalam tiga kategori gaya tutur (pemberian kesan, pembujukan, dan peragaan) ketika berpromosi. Selain itu dalam tahapan reduksi ini dilakukan kalsifikasi dan pengkodean dengan menyertakan instrumen pengkodean data. Kedua, displai data yang berhubungan dengan penyajian data dan pemaparan hasil temuan. Ketiga, penarikan kesimpulan terhadap temuan penting dari hasil penelitian. Tabel 1 Instrumen Pengkodean Data untuk Penomoran Gaya Tutur Promotif No. Kalimat Promotif Indikator Kode 1. Hasil Unduhan (1) Instagram Ig (2) Youtube Yo 2. Kode Kalimat (1) Tuturan T1, T2, dst 3. Kode Informan (1) Gisella Anastasia Suryanto Gas (2) Sharena Gunawan Shg (3) Anindya Alyssa Soebandono Aas

260

(4) Shafa Tasya Kamila Stk (5) Prilly Latuconsina Prl (6) Ashanty Siddik Hasnoputro Ash

Hasil dan Pembahasan Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini didasarkan atas analisis gaya tutur artis ketika berpromosi. Analisis tersebut didasarkan atas gaya tutur promotif artis yang terdiri atas pemberian kesan, pembujukan, dan peragaan yang dilengkapi analisis wujud tuturan dalam gaya tersebut. Berikut rincian dari gaya tutur artis ketika berpromosi dengan memanfaatkan media sosial. Pemberian Kesan Pemberian kesan dalam kegiatan promosi dikategorikan sebagai tindakan pembangunan citra baik produk yang dipromosikan. Berikut kutipan data yang mengarah pada gaya tutur artis ketika berpromosi dengan memberikan kesan baik pada produk. Gisella: Felicesecret body cream ini bisa bikin kulit aku instant white dalam satu kali oles hasilnya natural banget. Nah ini kalau kamu pakai rutin bisa permanen putihnya. (Ig.T1.Gas) Konteks (Kalimat itu dituturkan ketika ia memegang produk yang sedang dipromosikan.) Kutipan di atas diambil dari sebuah video yang di ungah ke media sosial berupa instagram. Tuturan di atas termasuk dalam tuturan promotif sebab ia sedang menjelaskan kepada orang lain tentang suatu produk. Berdasarkan dari wujudnya tuturan di atas termasuk dalam tindak tutur deklaratif. Hal tersebut diperjelas dengan pernyataan informasi tentang karakteristik dan kegunaan produk dari felicesecret. Maksud dari tuturan tersebut adalah Gisella ingin menarik minat orang lain untuk membeli produk yang ia promosikan melalui pernyataan yang bersifat informatif. Berdasarkan dari tindakannya kegiatan promosi di atas dikategorikan sebagai tindakan pemberian kesan terhadap produk. Pemberian kesan tersebut ditandai dengan penyebutan karakteristik produk. Citra baik yang dipilih Gisella yaitu penyebutan manfaat yang ia dapatkan setelah menggunakan produk dari felicesecret. Hal tersebut menandakan bahwa Gisella sedang memberikan kesan baik terhadap produk yang dipromosikan untuk menarik minat konsumen.

261

Selain data di atas terdapat kutipan gaya tuturan artis ketika berpromosi suatu produk yang termasuk dalam tindakan pemberian kesan. Berikut rincian data yang menggambarkan tindakan pemberian kesan. Sharena: Jadi pengen di hairtalty deh. Udah pakai tiga bulan berasa banget loh bedanya di rambut. Kegunaannya banyak banget bisa merangsang akar rambut tumbuh lebih cepat otomatis rambut jadi lebih tebal kan….(Ig.T1.Shg) Konteks (Sharena berjalan di sebuah taman sambil memegang produk yang ia promosikan) Data di atas di ambil dari rekaman video yang diunggah ke media instagram. Tuturan di atas termasuk dalam kegiatan berpromosi sebab ia sedang mengenalkan suatu produk kepada oranag lain. Berdasarkan wujdunya tuturan tersebut dikategorikan sebagai tindak tututr deklaratif. Artiinya tuturan tersebut disampaikan dengan maksud agar pendengar dapat menangkap informasi tentang gamabaran produk yang dipromosikan. Hal tersebut dilakukan agar orang lain berminat terhadap produk tersebut. Peninjauan kegiatan promosi pada kutipan di atas dapat dikategorikan sebagai tindakan pemberian kesan. Sharena menggambarkan manfaat dari produk yang ia promosikan dengan menggunakan ungkapan „udah pakai tiga bulan‟. Penggalan kalimat tersebut menandakan bahawa ia telah menggunakan produk tersebut selama tiga bulan. Ungkapan Sharena menandakan bahwa ia sedang membangun citra baik dengan menyebutkan keunggulan produk yang dipromosikan. Terdapat dua kesimpulan untuk menggambarkan gaya tutur artis dalam mempromosikan suatu produk. Pertama, gaya tutur artis dilakukan dengan tindakan pemberian kesan melalui tindak tutur deklaratif. Kedua, pemberian kesan dalam tindakan promosi mengarah pada penggamabaran manfaat dari produk yang bersifat informatif. Hal terebut ditandai dengan penggamabaran salah satu karakteristik berupa kandungan bahan dari produk yang dipromosikan. Pembujukan Pembujuka dalam kegiatan promosi dikategorikan sebagai tindakan ajakan, perintah, dan permintaan kepada orang lain untuk membeli prduk yang sedang dipromosikan. Berikut kutipan data yang mengarah pada gaya tutur artis ketika berpromosi dengan pembujukan. Anindya: Assalamualaikum semuanya?

262

Anindya: Kalau kalian ingin kasih kado untuk orang tersayang dan kadonya itu unik. coba deh pesan eksklufif box card di Beauticardofficial. Jadi ini lucu banget... Jadi kalau kalian ingin pesan ingat ya di Beauticardofficial. (Ig.T1.Aas) Konteks (Anindya menjelaskan sambil membuka produk yang ia promosikan) Tuturan di atas termasuk dalam kegiatan promosi yang mengenalkan sebuah produk kepada orang lain melalui media sosial. Hal tersebut ditandai dengan penyebutan produk tertentu untuk dikomunikasi kepada orang lain. Berdasarkan wujudnya tuturan di atas termasuk dalam tindak tutur direktif. Maksud dari tuturan di atas adalah Anindya ingin mengajak orang lain yang melihat video tersebut untuk membeli produk yang sedang ia promosikan. Tindakan nonverbal pada kutipan data di atas dapat dikategorikan sebagai tindakan pembujukan. Anindya menyematkan kalimat ajakan pada tuturan tersebut yang menandakan adanya pembujukan. Ajakan tersebut ditandai dengan penggalan kalimat „coba deh pesan‟ yang dipertegas dengan adanya kalimat „kalau kalian ingin pesan ingat ya di Beauticardofficial‟. Terdapat data lain yang menunjukkan gaya tutur artis dalam berpromosi melalui tindak pembujukan. Berikut rincian data yang menggambarkan tindakan pembujukan. Shafa: Hai buat kalian yang jago nyanyi, dance atau perform. Ayo ikutan 1 Million Audition di Tiktok! Pemenangannya bakal diberangkatin ke Korea dan ketemu sama tiktok readers lainnya. (Ig.T1.Stk) Tuturan di atas teramasuk dalam kegiatan promosi yang mengenalkan sebuah produk aplikasi bernama Tiktok kepada orang lain. Pada kegiatan pengenalan produk tersebut Shafa meminta orang lain untuk ikut audisi yang diadakan oleh perusahaan tersebut. Berdasarkan wujudnya tuturan yang disampaikan oleh Shafa termasuk dalam tindak tutur direktif. Tuturan tersebut bermaksud memerintah orang lain untuk ikut dalam acara yang diselenggarakan produk yang ia promosikan. Kegiatan promosi di atas dikategorikan sebagai tindakan pembujukan. Hal tersebut ditandai dengan adanya pernyataan yang mengharuskan orang lain untuk terlibat didalamnya. Selain itu, Shafa juga menjelaskan tentang imbalan yang didapat orang lain jika ikut dalam kegiatan tersebut. Artinya tindakan pembujukan disini dilengkapi dengan imbalan yang berupa hadiah untuk berpergian ke Korea.

263

Terdapat dua kesimpulan untuk menggambarkan gaya tutur artis dalam mempromosikan suatu produk. Pertama, gaya tutur artis dilakukan dengan tindakan pembujukan melalui tindak tutur direktif. Kedua, pembujukan dalam tindakan promosi mengarah pada ajakan dan perintah kepada orang lain untuk membeli atau terlibat dalam promosi tersebut. Selain itu, tindak pembujukan turut dilengkapi dengan imbalan berupa hadiah undian sebagai bentuk apresiasi terhadap orang lain yang terlibat di dalam produk yang dipromosikan. Peragaan Peragaan dalam kegiatan promosi dikategorikan sebagai tindakan pemberian contoh terhadap cara kerja produk yang sedang dipromosikan. Berikut kutipan data yang mengarah pada gaya tutur artis ketika berpromosi dengan peragaan. Prilly: Nah ini itu ayam krispi terus nanti kalian dapat sambelnya kayak gini. Jadi caramakannya itu kalian buka sambalnya. Nah udah gitu sambelnya dituangin ke dalam toples. tuh kayak gini secukuonya ajha. Terus kita tutup. Enak banget sambelnya. lalu dikocok-kocok kayak gini. Tuh jadi kecampur semua. udah gitu langsung bisa kita ngemilin deh. (Ig.T1.Prt) Konteks (Prilly memeragakan cara menikmati camilan ayam crispi) Tuturan di atas teramasuk dalam kegiatan promosi yang mengenalkan sebuah produk makanan dari Nona. Pada kegiatan pengenalan produk tersebut Prilly menberikan contoh tata cara penggunaan produk. Berdasarkan wujudnya tuturan yang disampaikan termasuk dalam tindak tutur deklaratif. Hal tersebut ditandai dengan pernyataan yang bermaksud untuk memberitahu orang lain tentang tata cara penggunaan produk yang sedang ia promosikan. Kegiatan promosi di atas dikategorikan sebagai tindakan peragaan. Hal tersebut ditandai dengan adanya prosedur yang dijelaskan Prilly tentang tata cara memakaan produk dari Nona. Artinya kegiatan promosi di atas bermaksud untuk pemebrian informasi kepada orang lain tentang cara kerja produk. Selain itu, dalam kegiataan peragaan terdapat ungakap tentang keunggulan produk. Terdapat kutipan data lain yang menunjukkan gaya tutur artis ketika berpromosi yang diekspresikan melalui tindak peragaan. Berikut rincian data yang menggambarkan tindakan tersebut Ashanty: Hai semuanya?

264

Aku hari ini di mulai dengan cuci muka dulu. Aku selalu pakai Ashanty Beauty Cosmetics facial washnya super magic. Ini yang buat wajah aku itu lebih bagus, glowing. Sudah kelar handukan deh. Habis pakai facial wash dari Ashanty Beatuy Cosmetics facial washnya super magic aku pakai anti agin itu the best banget. (Yo.T1.Ash) Konteks (Ashanty mencuci muka dengan menggunakan produk yang ia promosikan) Kutipan di atas merupakan rekaman tuturan Ashanty yang diunggah melalui media youtube. Pada tuturan tersebut Ashanty sedang mempromosikan produk dari Ashanty Beauty Cosmetics. Berdasarkan wujudnya promosi yang disampaikan oleh Ashanty termasuk dalam tindak tutur deklaratif. Maksud dari tuturan tersebut adalah Ashanty ingin memberikan prosedur pemakaian produk dari Ashanty Beauty Cosmetics. Kegiatan promosi di atas dikategorikan sebagai tindakan peragaan. Hal tersebut ditandaai dengan tindakan Ashanty yang secara langsung menggunakan produk yang ia promosikan untuk sabun pencuci muka. Teknik peragaan yang dilakukan Ashanty dilengkapi dengan pernyataan pujian berkaitan dengan keunggulan produk yang sedang ia promosikan. Terdapat dua kesimpulan untuk menggambarkan gaya tutur artis dalam mempromosikan suatu produk. Pertama, gaya tutur artis dilakukan dengan tindakan peragaan melalui tindak tutur deklaratif. Kedua, peragaan dalam tindakan promosi mengarah pada tindakan pemberian contoh terhadap cara kerja atau pemakaian produk. Selain itu, tindak peragaan turut dilengkapi dengan pernyataan pujian yang mengerah pada pemberian informasi tentang keunggulan produk yang sedang dipromosikan.

Simpulan Terdapat tiga kseimpulan yang diperoleh dari penelitian ini terkait gaya tutur promotif artis. Pertama, gaya tutur promotif artis dikategorikan sebagai tindakan pemberian kesan yang diungkapkan melalui tindak tutur deklaratif. Pemberian kesan diarahkan pada penggambaran manfaat dari produk. Kedua, gaya tutur promotif artis dikategorikan sebagai tindakan pembujukan yang diungkapkan melalui tindak tutur direktif. Tindak pembujukan mengarah pada ajakan dan perintah untuk membeli atau terlibat dalam promosi tersebut. Selain itu, tindak pembujukan turut dilengkapi dengan imbalan berupa hadiah undian sebagai bentuk apresiasi terhadap orang lain yang terlibat di dalam produk yang dipromosikan. Ketiga, gaya tutur artis

265 dikategorikan sebagai tindakan peragaan yang diungkapkan melalui tindak tutur deklaratif. Peragaan dalam tindakan promosi mengarah pada contoh terhadap cara kerja atau pemakaian produk yang didalamnya ada pujian terhadap keunggulan produk. DAFTAR RUJUKAN Darmesta, B.S. 2002. Menenjemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty. Fakta dan Gosip. (2018). Tutorial Makeup by Ashanty. Online, (http://www.youtube.com). Diakses pada 17 Oktober 2018. Gisella. (2018). Body Cream Instan White yang Aman dari Falicesecret. Online, (http://www.instagram.com). Diakses pada 16 Oktober 2018. Gitosudarmo, I. 2000. Menejemen Pemasaran Edisi Ke Dua Cetakan Keenam. Yogyakarta: BPFE. Ichaseobandono. (2018). Terlalu Gemes Sama Explosion box dari bauticardofficial. Online, (http://www.instagram.com). Diakses pada 11 Oktober 2018. Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Mrssharena. (2018). Like I Said. Online, (http://www.instagram.com). Diakses pada 11 Oktober 2018. Prillyratuconsina96. (2018). Selamat Makan Siang!. Online, (http://www.instagram.com). Diakses pada 16 Oktober 2018. Searle, J. 1979. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press. Stanton, W. 1996. Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga Tasyakamila. (2018). Buruan Buka Aplikasi Tiktok dan ikutan Million Auditional Indonesia. Online, (http://www.instagram.com). Diakses pada 17 Oktober 2018

CURRICULUM VITAE Nama : Wevi Lutfitasari, S.Pd Tempat, tanggal lahir : Banyuwangi, 10 Februari 1994 Jenis Kelamin : Perempuan

266

Alamat : Dsn. Krajan, Rt/Rw 003/004, Desa Songgon, Kec. Songgong, Kab. Banyuwangi, Jawa Timur Status : Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang Surel : [email protected] No. Hp : 085211733193 Riwayat Pendidikan : 1. TK Perwanida Songgon 2. SD Negeri 1 Songgon 3. SMP Negeri 1 Songgon 4. SMA Negeri 1 Rogojampi 5. Universitas Jember 6. Universitas Negeri Malang (Mahasiswa Aktif)

ATURAN BAHASA YANG PUNAH DI ERA KE DEPAN

Bagas Kurniawan Bima Wicaksono

267

M. Misbahuddin Zaki Lazuardi Fakhri Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya, Indonesia [email protected] [email protected] [email protected] [email protected]

ABSTRAK Di era sekarang aturan bahasa Indonesia telah dilupakan dilain pihak dikarenakan telah berkembang pesat budaya luar yang masuk ke Indonesia , dalam hal ini upaya yang dilakukan untuk mencegah kurangnya aturan berbahasa yaitu dengan cara hindari berbicara yang berbelit,selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap kesempatan dan pemilihan diksi dengan tepat. Aturan berbahasa Indonesia yang telah dilupakan dapat ditanggulangi dengan cara belajar ilmu tersebut. Kata kunci: Aturan berbahasa

Bahasa adalah yang paling baik dalam menunjukkan identitas suatu bangsa.Dengan kata lain bahasa menunjukkan bangsa. Itu sebabnya penting bagi bangsa melestarikan sekitar 250 bahasa etnisnya dari arus besardominasi „bahasa Indonesia‟. Namun di dalam suatu etnis masih terdapat masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia tanpa mengetahui aturan kebahasaan yang benar. Kesadaran akan hal ini kurang dimengerti oleh setiap warga Indonesia dikarenakan kurangnya percaya diri, ketakutan akan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan sekarang dunia telah memasuki industri modern yang berkembang pesat sehingga banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyadari perlunya kemampuan berkomunikasi yang baik dan dapat dimengerti. Oleh karena itu makalah ini bertujuan untuk: 1.Mengetahui aturan kebahasaan dalam kehidupan sehari hari 2.Mengetahui kekurangan aturan berbahasa Indonesia 3.Mengetahui alasan perlunya memperhatikan aturan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi Untuk menjalankan tujuan itu memerlukan rasa ketertarikan terhadap bahasa Indonesia dengan cara selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,hindari berbicara yang berbelit,pemilihan diksi dengan tepat sesuai,perhatikan susunan kata ,dan mencari tambahan ilmu tentang aturan berbahasa Indonesia. Dan hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi era

268

industri sekarang , melestarikan budaya yang telah dijaga sejak nenek moyang untuk kedepan tanpa ada kesalahpahaman. Hal ini dapat ditinjau dari data yang diperoleh dari CNN Indonesia (2016) yaitu daerah daerah yang masih tertinggal dalam hal pendidikan antara lain: Papua Pulau paling timur di Indonesia ini ,memang sering kali masuk dalam daerah tertinggal. Tidak terkecuali dari segi pemdidikan, di Papua stimulasi wajib sekolah masih jarang terlihat. Salah satu contoh keberadaan PAUD, yang jarang sekali terlihat dan banyaknya sekolah hanya menggunakan tenda seadanya. Nusa Tenggara Barat NTB juga termasuk daerah yang tertinggal dalam hal pendidikan . terdapat 417.991 warganya yang buta aksara. Nusa Tenggara Timur Dari 80 ribu guru hanya 44,63% yang berizasah SMA. Alhasil pendidikan di daerah NTT sangat minim. Banten Banyaknya pengangguran yang terjadi di Banten diakibatkan 90 persen masyarakat tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi Aceh Pasca tsunami tahun 2004, provinsi ini banyak berbenah dalam infrastruktur kota.Hal ini mengakibatkan aspek pendidikan juga turun yang menjadikan aceh termasuk dalam provinsi yang pendidikannya masih tertinggal.

2.1 Aturan Kebahasaan dalam Kehidupan Sehari-hari Berbahasa adalah menggunakan bahasa dalam berkomunikasi kepada siapapun kita berinteraksi, menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari hari tentu bukan hal asing lagi bagi setiap orang. Dalam berbahasa kita harus senantiasa memperhatikan aspek aspek kebahasaan agar menjadi bahasa yang baik dan benar, ada beberapa ahli bahasa yang menjelaskan apa itu bahasa yang baik dan benar seperti Hasan Alwi yang dijelaskannya dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Penjelasan lengkapnya seperti berikut ini

269

Berbahasa Indonesia yang baik menurut Alwi (2007:15) adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicara, dan sesuai dengan topic pembicaraan. Bahasa Indonesia yang baik tidak selalu perlu beragam baku. Yang perlu diperhatikan dalam berbahasa Indonesia yang baik adalah pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa. Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baik (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1988, halaman 19). Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik perlu memperhatikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya. (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 20). Dalam berbahasa orang orang indonesia cenderung memakai bahasa daerahnya masing masing dalam berbahasa sehari hari, Untuk itu keseragaman berbahasa sangatlah penting, supaya komunikasi berjalan lancer, maka bangsa Indonesia pada tahun 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan sampai sekarang pemakaian bahasa Indonesia makin meluas dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Didalam berbahasa sehari hari kita perlu mematuhi aturan dan norma yang berlaku di masyarakat atau dengan kata lain kita harus pandai pandai menempatkan diri kita dengan siapa dan dimana kita berbicara, misalnya dalam situasi nonformal seperti di warung, di pasar, di rumah dan lain- lain hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang tidak terlalu terikat. Contohnya, “ Berapa nih, Bu, ikannya ? “. Sedangkan pada situasi formal seperti kuliah, seminar, rapat dan lain- lain, menggunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal serta memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, seperti kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat dan kaidah

270 penataan penalaran. Jika kaidah – kaidah bahasa kurang ditaati, maka pemakaian bahasa Indonesia tersebut tidak benar atau tidak baku. Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan juga mengikuti kaidah bahasa yang benar. Agar penggunaan bahasa Indonesia dapat digunakan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Isi atau makna, yaitu berhubungan dengan pikiran, gagasan atau perasaan yang disampaikan 2. Keadaan pemakaian bahasa, yaitu yang berhubungan dengan suasana tempat, atau waktu bahasa 3. Khalayak/sasaran, yaitu yang berkenaan dengan usia, kelamin, pendidikan, pekerjaan dan kedudukan 4. Sarana saluran yang digunakan, umpamanya melalui telepon, radio, televise 5. Cara berhubungan langsung atau tidak langsung, misalnya melalui forum rapat, radio, dan surat Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia yang baik dan benar yang berarti pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat kita menggunakan bahasa Indonesia yaitu : 1. Tata bunyi (fonologi), 2. Tata bahasa (kalimat) 3. Kosakata 4. Ejaan 5. Makna

2.2 Kekurangan Aturan Berbahasa Indonesia Keadaan fisik seseorang sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar bahasanya.Yang termasuk dalam segi fisik seseorang berkaitan dengan kemajuan belajar bahasanya ialah segi kesehatan umum,dimana hal ini mencakup kekurangan gizi,ketidak normalan kelenjar,kelelahan mental serta kondisi secara umum yang buruk. Selain itu perlunya

271

kesadaran masyarakat akan pentingnya belajar bahasa Indonesia juga sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasanya. Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan sekolah mulai surut. Banyak kalangan mulai dari mahasiswa, artis, politisi, pegawai swasta maupun pejabat lebih menyukai menggunakan bahasa asing. Menggunakan bahasa atau istilah-istilah asing terasa lebih membanggakan dan terlihat intelektual daripada menggunakan bahasa Indonesia meskipun susah dicerna orang lain. Sejatinya fenomena berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang sudah waktunya memposisikan nasionalisme kita dimana. Tentu hubungannya erat dengan bahasa. Banyak salah kaprah yang beredar sekarang, bahwa dengan fasih berbahasa asing, itu akan membuat kita menjadi „keren‟ dan „gaul‟. Sayang, sebenarnya kita mempelajari bahasa asing, bukan untuk jadi keren atau sejenisnya, namun untuk mempermudah komunikasi kita dengan orang asing. Disamping itu masyarakat juga harus mana kalimat kalimat yang termasuk kalimat baku dan mana kalimat tidak baku untuk digunakan digunakan dalam berkomunikasi,misalnya Senin (baku) menjadi Senen (tidak baku), film (baku) menjadi pilem (tidak baku) dan lain sebagainya. Kelemahan aturan kebahasaan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kesamaran Untuk mempermudah dalam memahami makna kesamaran, saya akan memberikan suatu ilustrasi. Misalkan saat tamu meminta segelas air kepada tuan rumah, tuan rumah tersebut mengambilkan segelas air putih. Dan di berbagai tempat, mungkin akan terjadi hal serupa, yaitu apabila seseorang meminta segelas air, maka yang diberikan adalah air putih. Inilah yang dinamakan dengan kesamaran bahasa. Dimana makna yang dimiliki bahasa hanya mewakili hal tertentu. Dalam kasus tadi, air mewakili air putih. Padahal, air tidak harus berwarna putih. Salah satu kekurangan bahasa adalah kesamaran, yaitu ketidakmampuan menghadirkan sepenuhnya objek realitas. 2. Ketaksaan dan Ambiguitas Mungkin kita sering mendengar istilah ambigu, yang dalam kehidupan seharihari menggambarkan sesuatu yang tidak jelas. Dalam bahasa Indonesia, ambigu yaitu adanya

272 multitafsir dalam bahasa yang memiliki lebih dari satu makna. Ketaksaan dapat terjadi dalam kata, frasa, klausa, kalimat, maupun dalam wacana. Ambuguitas tidak melulu disebabkan karena ketidakmampuan seseorang untuk memilah kata yang tepat dalam menyampaikan pikirannya. Terkadang, ambiguitas dalam bahasa sengaja digunakan untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Misalnya, saat seseorang menyindir dengan perkataan yang berbanding terbalik dengan realitas. Berdasarkan jenisnya, ada dua macam ketaksaan dalam bahasa, yaitu: • Ketaksaan leksikal – kata yang memiliki makna ganda dan dapat mengacu ke dua hal yang berbeda, bergantung dengan lingkungan pemakaian. • Ketaksaan gramatikal – biasanya disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal yang menyebabkan perubahan makna atau ketaksaan karena kemiripan frasa. 3. Tidak Eksplisit Kelemahan bahasa sebagai media komunikasi modern bisa disebabkan oleh pengolahan kata yang tidak eksplisit. Eksplisit artinya jelas, gamblang, tidak bertele-tele, dan tersurat. Untuk mengungkapkan pesan dengan jelas dan dapat diterima dengan tafsir yang tepat, seseorang perlu menyampaikan bahasa secara eksplisit. Namun apabila bahasa bersifat tersirat, pesan bisa jadi tidak tertangkap sempurna oleh penerima, bahkan bisa kesalahan penafsiran. Contoh-contoh penggunaan bahasa secara eksplisit pada media massa adalah berita di koran, majalah, dan pidato. Sedangkan penggunaan bahasa yang biasanya menggunakan bahasa tersirat adalah bait, syair, dan puisi. 4. Bergantung pada Konteks Seringkali ketika kita tidak memahami suatu kata tertentu, kita melihat konteks untuk memahami kalimat secara keseluruhan. Inilah yang dinamakan dengan ketergantungan bahasa dengan konteks. Suatu struktur bahasa yang sama dapat memiliki arti yang berbeda apabila konteks gramatiknya berbeda. Hal ini karena dalam kebahasaan, konteks merupakan lahan yang berada di luar struktur bahasa itu sendiri. Karena sifat bahasa yang arbriter atau manasuka, makna dalam suatu bahasa tidak mengikat dan tergantung dalam persepsi masyarakat. Sehingga, dalam kehidupan multikulturalisme, bahasa dapat menyebabkan kesalahpahaman apabila terdapat berbedaan referensi atau persepsi antara komunikator dan komunikan. Misalnya, saat seseorang mengatakan “malam ini akan dilaksanakan operasi.” Bagi pendengar yang berada dalam lingkungan kedokteran, mungkin dengan cepat akan menangkap operasi yang dimaksud

273 berhubungan dengan kesehatan. Namun, bagi pendengar yang kehidupannya di lingkungan kepolisian, dia akan lebih mudah mencerna kata operasi sebagai operasi keamanan. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang lumayan susah-susah gampang untuk dipelajari, terutama oleh orang luar negeri. Contohnya adalah penggunaan Bahasa Inggris yang diartikan dalam Bahasa Indonesia seperti contoh sebagai berikut, yaitu “He is okay” yang berarti “Dia baik-baik atau Dia baik-baik saja”, “He lives in Bandung” yang berarti “Dia hidup di Bandung atau Dia tinggal di Bandung”,”My mathematic teacher is Mr. Anto” yang berarti “Guru matematikaku adalah Pak Anto atau Guru matematika saya adalah Pak Puji”,”is/are” yang berarti adalah, yaitu, merupakan. Bagi orang luar negeri yang mempelajari Bahasa Indonesia mungkin agak sedikit bingung, mau memakai kata yang mana untuk digunakan. Disamping itu, terkadang kata-kata seperti „saya‟ terdengar lebih kaku ketika kita sedang berbicara dengan teman sebaya dibandingkan dengan kata „aku‟. Banyaknya aturan-aturan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbicara maupun penulisan. Misalnya, di dalam Bahasa Indonesia kita mengenal adanya EYD (Ejaan yang Disempurnakan), penulisan kata dan kalimat baku, penggunaan kalimat majemuk, dan sebagainya. Adanya ungkapan-ungkapan yang sering digunakan dalam Bahasa Indonesia, sehingga kita harus memahami apa arti ungkapan tersebut. Seperti: Meja Hijau, Buah hati, Tangan Kanan, Buah Tangan, dll. Bahasa Indonesia sulit untuk dipromosikan sebagai salah satu bahasa internasional, karena kita masih tertinggal dalam beberapa bidang seperti teknologi dan ekonomi, yang dimana dua hal tersebut merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menilai kelayakan suatu bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional. Kelemahan dari bahasa Indonesia yaitu banyaknya aturan-aturan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbicara maupun penulisan. Misalnya, di dalam Bahasa Indonesia kita mengenal adanya EYD (Ejaan yang Disempurnakan), penulisan kata dan kalimat baku, penggunaan kalimat majemuk, dan sebagainya. Masih banyak yang kesulitan dengan pengungkapan makna, seperti “ringan tangan”, “Buah hati”, “buah bibir” dan masih banyak lagi. Di Negeri sendiri bahasa Indonesia semakin sedikit pengguna “Bahasa Indonesia yang baik dan benar” karena pencampuran dengan bahasa asing, bahasa daerah, bahasa gaul bahkan bahasa “alay”. Banyak orang yang justru hampir kesulitan mengungkapkan atau membuat ungkapan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena terbiasa menggunakan campuran-campuran bahasa yang menurut mereka itu “keren”, menarik dan sebagainya. Memang, keunikannya menarik perhatian dari negara lain, tetapi di

274 negeri sendiri tidak terlalu diperhatikan penerapannya berbahasa negeri sendiri yang baik dan benar. Adapun tambahan kekurangan Bahasa Indonesia antara lain bahasa yang cukup sulit dipelajari bagi orang luar negeri, penggunaan bahasa indonesia yang baku membuat pemikiran seseorang terhadap kita menjadi kaku, banyaknya aturanaturan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbicara maupun penulisan. Misalnya, di dalam Bahasa Indonesia kita mengenal adanya EYD (Ejaan yang Disempurnakan), penulisan kata dan kalimat baku, penggunaan kalimat majemuk, dan sebagainya, adanya ungkapan-ungkapan yang sering digunakan dalam Bahasa Indonesia, sehingga kita harus memahami apa arti ungkapan tersebut, sulit untuk dipromosikan sebagai salah satu bahasa internasional, karena kita masih tertinggal dalam beberapa bidang seperti teknologi dan ekonomi, yang mana dua hal tersebut merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menilai kelayakan suatu bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional. Kesimpulannya adalah bahwa Bahasa Indonesia masih tertinggal dengan Bahasa lain, karena makna Bahasa Indonesia masih sulit untuk dipelajari, munculnya kata kata baru membuat orang tidak memakai bahasa baku dalam komunikasi sehari hari. Hal lain yang menyebabkan Bahasa Indonesia kurang dimengerti karena munculnya kata kata gaul seperti zaman sekarang ini yang sedang populer adalah “lebay”, “baper”, “jombs”, dll. Sehingga orang luar negeri yang baru belajar Bahasa Indonesia akan bingung dengan kata tersebut. Namun dibandingkan dengan bahasa lain, dalam tingkat pembelajaran Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang mudah dihafal dibandingkan Bahasa Inggris karena dalam segi lafal pembicaraan, Bahasa Indonesia cukup mudah disebut walaupun agak “kebule-bulean”. Jadi, sebenarnya jangan takut untuk mempelajari bahasa, karena masing masingnya memiliki tingkat kesulitan dan apa salahnya kita belajar berbagai bahasa di belahan dunia ini.

2.3 Mengapa Aturan Berbahasa Indonesia saat Berkomunikasi Perlu Diperhatikan Bahasa merupakan suatu jembatan antara satu orang dengan orang lain, dengan kata lain dengan bahasa lah kita dapat berinteraksi dengan orang lain, menyampaikan pendapat kita, mengungkapkan maksud dan tujuan kita, karenanya hanya dengan bahasa yang baik kehidupan kita dapat berjalan seperti semestinya.dan perlunya memperhatikan aturan berbahasa adalah untuk menghindari penipuan dan rekayasa dalam bahasa Indonesia. Dan kedepannya bahasa Indonesia dapat menjadi acuan di era modern.

275

Sebagai bangsa yang baik, tentulah kita harus memperhatikan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun macam aturan itu sangat banyak sekali, salah satunya aturan kebahasaan. Terkadang kita menganggap sebuah aturan sebagai sebuah jeruji besi, bahkan seperti penjara bagi kehidupan. Misalnya seorang mahasiswa baru ketika ada ospek jurusan, maka mahasiswa tersebut kebanyakan akan mengeluh, mengapa sih harus ada acara beginian, padahal dia belum tau manfaat dari kegiatan tersebut. Selayaknya seseorang pun harus bertemu dengan badai sebelum ada pelangi, itu berarti bahwa seseorang tidak akan menemukan makna sebuah kebahagiaan sebelum berjumpa dengan kesengsaraan. Kita harus bersyukur bahwa bangsa kita atau negara kita sangat memperhatikan bagian aturan kebahasaan, karena di beberapa negara, bahkan negara besar pun terkadang kurang memperhatikan hal yang satu ini, yang berakibat pada semakin beragamnya penggunaan bahasa dalam kehidupan seharihari dalam negara tersebut. Seperti di negara Swiss, di negara tersebut kita akan menjumpai bagian negara yang punya bahasa masing-masing, bahkan negatif nya suatu daerah yang berbeda bahasa, tidak akan dilintasi oleh daerah lain. Memang ketika mendengar kata “beragam” mayoritas dari kita akan berpandangan bagus akan hal tersebut, lalu sekarang letak masalahnya adalah ketika ada suatu acara resmi dalam negara atau bangsa tersebut, mereka akan sedikit kesulitan menentukan bahasa mana yang akan dipakai dalam acara resmi tersebut, karena ketika acara resmi, tentu semua orang harus tahu-menahu tentang segala maksud dan tujuannya, apalagi bahasa dikatakan sebagai penyampai tujuan atau penyampai maksud secara universal, serta diharapkan bahwa semua “Audience” dalam acara resmi tersebut paham akan apa maksud dan tujuan dari acara resmi tersebut, disinilah letak pentingnya aturan kebahasaan. Bangsa kita sangat menekankan adanya bahasa yang satu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun bukan berarti dalam setiap kali berbiacara harus berbahasa Indonesia,tidak. Perhatian khusus bangsa kita terhadap bahasa persatuan ditunjukkan oleh berbagai upaya peresmian bahasa Indonesia di berbagai ajang forum nasional, salah satunya budi utomo. Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek tata bunyi (fonologi), tata bahasa (kata dan kalimat), kosa kata (termasuk istilah), ejaan, dan makna. Pada aspek tata bunyi, misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi, zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, ijin. Masalah

276 lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot. Pada aspek tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah, robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban. Dari segi kalimat pernyataan di bawah ini tidak benar karena tidak mengandung subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat atau dan objek. Pada aspek kosa kata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa yang benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar udara, keluaran (output), dan pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi. Dari segi ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas, dan hierarki. Dari segi maknanya, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya dalam bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang sifatnya konotatif (kiasan). Jadi penggunaan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa. Ketika kita mencoba berbahasa indonesia dengan baik,sebenarnya akan banyak sekali manfaat yang kita dapat, berikut adalah beberapa manfaat berbahasa Indonesia yang baik dan benar: 1.Menghargai Jasa para Pahlawan Jujur ketika kita berbicara apapun mengenai bangsa kita, tidak terkecuali bahasa, maka pikiran kita akan tertuju kepada para pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia. bagaimana tidak, bahasa Indonesia merupakan salah satu faktor pemersatu bangsa, dimana kesatuan dan persatuan bangsa merupakan tujuan utama para pahlawan pada zaman sebelum proklamasi. 2. Menghargai Perbedaan Mengapa menghargai perbedaan? Kita tahu bahwa negara kita, negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia,yang mana hal itu berakibat pada banyaknya suku dan ragam penduduk. Tak terkecuali pada bahasa, sejalan dengan banyaknya suku, tentunya banyaknya bahasa pun mengikuti. Namun,dengan banyaknya perbedaan tersebut lah kita (bangsa Indonesia) belajar menghargai perbedaan yang ada bangsa ini. Selain itu,hadirnya bahasa Indonesia seolah menjadi jalan tengah antara berbagai perbedaan tersebut. Bahasa

277

Indonesia,sebagai bahasa yang senantiasa menjadi simbol nasionalisme yang tinggi dimana bahasa Indonesia menjadi salah satu “Accessories” bagi bangsa Indonesia yang tak terelakkan. 3. Mengetahui Nilai-Nilai Luhur Budaya Indonesia Salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Mengapa demikian? Kosakata dalam suatu bahasa mencerminkan budaya suatu bangsa. Misalnya, mempelajari peribahasa. Budaya hidup rukun di Indonesia tercermin dalam peribahasa Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh. Begitu juga dengan peribahasa Tiada Rotan, Akar pun Jadi menunjukkan budaya gigih bangsa Indonesia. Ungkapan-ungkapan juga mencerminkan budaya. Misalnya, buah tangan yang bermakna oleh-oleh. Hal tersebut menunjukkan budaya kebersamaan. Biasanya kita akan membawa oleholeh untuk orang lain setelah bepergian atau menjinjing sesuatu di tangan saat datang ke rumah orang lain. Kementrian pendidikan dan kebudayaan mengajak seluruh gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia untuk mengutamakan penggunaan

3.1 Kesimpulan Aturan kebahasaan sangat penting untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana aturan kebahasaan, komunikasi akan berjalan lebih teratur danyang paling penting mudah dimengerti. Karena salah satu tujuan kita berkomunikasi adalah menyampaikan pendapat atau suara kita kepada orang lain. Kekurangan aturan kebahasaan terjadi karena kebutuhan fisik dan cara kita berkomunikasi dalam kehidupan kita sehari hari yang dimana kurangnya ilmu yang diberikan ketika menjalani pendidikan sehingga terjadi kesalahan dalam mengucapkan kata-kata. Dan karena faktor luar yang menyebabkan bahasa mengalami kekurangan Aturan kebahasaan harus diperhatikan karena bahasa merupakan jembatan kita dalam berkomunikasi dan mengetahui hal luar supaya kita tidak mudah tertipu karena kita tidak tahu tentang bahasanya.aturan bahasa sangat penting untuk menghadapi era industri digital sekarang yang berkembang pesat agar dapat mengembangkan ilmu dan memahami hal yang belum dimengerti melalui bahasa. Dan pentingnya memperhatikan aturan bahasa untuk mengetahui budaya luhur, menghargai jasa pahlawan ,serta menghargai apa yang dimaksud perbedaan.

278

DAFTAR RUJUKAN

Alwi, H. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Online, http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100964/potongan/D3- 2016http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/100964/potongan/D3-2016-351228- bibliography.pdf351228-bibliography.pdf. Diakses pada 10 Oktober 2018. Ali, S. (2014). Penggunaan Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Online, https://aliseptiansyah.wordpress.com/2014/10/08/penggunaan- bahasahttps://aliseptiansyah.wordpress.com/2014/10/08/penggunaan-bahasa-indonesia- dengan-baik-dan-benar/indonesia-dengan-baik-dan-benar/. Diakses pada 3 Oktober 2018. CNN Indonesia. (2016). Daerah-daerah yang Minim Pendidikan. Online, https://student.cnnindonesia.com/inspirasi/20160502150028-322-128110/lima-daerah- dengan-kondisi-pendidikan-tidak-layak/ Hasan, L. dkk. (1988). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Online, https://www.goodreads.com/book/show/1773460.Tata_Bahasa_Baku_Bahasa_Indonesia. Diakses pada 10 Oktober 2018. Rifan, M. 2013. Pentingnya Berbahasa Yang Baik Dan Benar. http://maulanarifan.blogspot.com/2013/10/pentingnya-berbahasa- yanghttp://maulanarifan.blogspot.com/2013/10/pentingnya-berbahasa-yang-baik- dan.htmlbaik-dan.html. Diakses pada 3 Oktober 2018.

279

EKSISTENSI CYBERSASTRA DAN KREATIVITAS SASTRA DI ERA INDUSTRI KREATIF Amalia Juningsih [email protected] (Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia) Universitas Negeri Malang

ABSTRAK Sastra merupakan suatu karya yang indah baik dalam bentuk tulisan dan lisan, sastra hadir sebagai karya fiksi yang memiliki pemahaman yang lebih mendalam, tidak hanya sekadar cerita khayal melainkan wujud dari kreativitas pengarang. Sastra Indonesia telah mengalami banyak perkembangan sesuai dengan bergulirnya waktu. Termasuk yang terjadi di awal abad 21. Setelah mengenal angkatan sastra reformasi, kini ranah sastra Indonesia mulai mengenal istilah cybersastra. Cybersastra merupakan aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet, dalam hal ini karya sastra yang dihasilkan oleh penulis dapat disajikan dan disebarluaskan melalui media internet. Peranan sastra cyber menjadi wahana berkreasi yang mampu memperbaharui karya secara singkat sehingga menunjang produktivitas dan mendorong perkembangan sastra. Selain itu, sastra cyber mampu mengembangkan wacana kritis dan asah kemampuan maupun pemikiran. Dengan lahirnya sastra cyber, inovasi tidak terbatas dan akan terus berkembang dengan pengenalan daya cipta baru. Oleh karena itu, sastra cyber sejalan dengan perkembangan sastra visual yang sangat relevan dengan kebutuhan industri masa kini. Industri kreatif merupakan salah satu konsep yang banyak dibahas dikalangan akademisi maupun pembuat kebijakan akhir-akhir ini, pemanfaatan kreativitas dari sastra cyber dapat menciptakan daya kreasi penulis serta menunjang kesejahteraan bagi penulis jika dapat mengelola dengan baik dan inovatif. Sastra cyber memberikan kemudahan dalam mengakses informasi langka sehingga dapat memacu kreativitas dan mutu karya kreatif. Adapun fenomena-fenomena sastra cyber di era industri kreatif yaitu (1) eksistensi cybersastra dalam masyarakat majemuk, (2) kreativitas penulis dalam menciptakan karya, dan (3) penyebaran karya sastra dimedia sosial. Kata kunci: Eksistensi, Cyber Sastra, Kreativitas, Industri Kreatif.

Salah satu kajian sastra yang menarik untuk dikaji adalah sastra cyber. Menurut Endraswara (2011:182), cybersastra dapat dirunut dari asal katanya. Cyber, dalam bahasa Inggris tidaklah berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan kata lain seperti cyberspace, cybernetics. Cyberspace berarti ruang (berkomputer) yang saling terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Cybernate, berarti pengendalian proses menggunakan komputer. Cybernetics berarti mengacu pada sistem kendali otomatis, baik dalam sistem komputer (elektronik) maupun jaringan syaraf. Dari pengertian ini, dapat dikemukakan bahwa cybersastra adalah akitivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh penulis dapat disajikan dan disebarluaskan melalui media internet, hal tersebut menandakan bahwa siapa saja dapat mengakses dan mengomentari karya sastra yang secara gratis dilihat oleh jutaan pasang mata karena akses internet yang kita tahu bahwa tanpa

280 batas ruang dan waktu, dalam hal ini penulis juga harus hati-hati karena bisa saja karya sastra yang dihasilkan menimbulkan plagiasi atau hak cipta yang tidak diinginkan. Siapapun bisa menulis karya sastra jika cybersastra ini menjadi daya tarik baru dikalangan pemerhati sastra. Sejalan dengan hal tersbeut Endraswara (2011:186) menjelaskan dengan kata lain, cybersastra telah merobek sekat-sekat negara dalam bersastra. Persoalan waktu, tempat, dan kesempatan menjadi semakin terpampang. Dalam hal ini kreativitas penulis dalam menciptakan karya sastra menjadi tantangan tersendiri, penulis harus memperhatikan konten dan kemenarikan isi. Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya, dengan menggunakan bahasa yang indah. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi yang memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengola gagasan yang ada dalam pikirannya. Hal ini sangat berhubungan dengan karya sastra sebagai wujud dari kecintaan penulis terhadap sastra dengan berbagai karya dan latar belakang yang berbeda. Peristiwa di dalam karya sastra menyerupai peristiwa dalam kehidupan nyata. Hal tersebut dikarenakan segala peristiwa, baik yang dialami oleh penulis maupun hasil pengamatan dari peristiwa orang lain dapat dijadikan sebuah tulisan. Melalui tulisan tersebut, dapat dikatakan bahwa penulis dapat mencurahkan segala pikiran dan perasaan yang dialaminya. Seorang penulis tidak akan membuat tulisan yang sederhana, tetapi seorang penulis akan memikirkan matang- matang dan merenungkan hal-hal yang akan ditulisnya. Bagi seorang penulis, tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu memberikan kesan tersendiri bagi pembacanya, sehingga hal-hal positif yang ada dalam tulisannya dapat dijadikan panutan yang patut untuk dicontoh. Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai dengan pendapat Najid (2009:6-7) yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra tidak semata-mata berisi hal-hal yang tidak bernilai. Terciptanya karya sastra oleh seorang penulis telah mengalami berbagai proses perenungan yang panjang, sehingga akan tercipta karya yang bernilai dan bisa dinikmati oleh semua orang yang membacanya. Berdasarkan hal tersebut karya sastra memiliki bermacam-macam bentuk, misalnya novel, puisi, cerpen, dan sebagainya. Namun bagaimana jika karya sastra yang dihasilkan dalam dunia maya dengan kemenarikan yang berbeda dalam hal ini web, blog dan lain sebagainya.

281

Eksistensi Cybersastra Dalam Masyarakat Majemuk Masyarakat diberbagai belahan dunia merupakan masyarakat yang beragam. Beragam bangsa, bahasa, agama, dan budaya tersebar di seluruh penjuru dunia. Keragaman tersebut seharusnya tidak menjadi salah satu penyebab perpecahan namun keragaman tersebut semakin memperkaya kehidupan karena dengan perbedaan yang ada menambah wawasan dan keunikan tersendiri. Masyarakat majemuk atau masyarakat pluralisme akan menerima orientasi-orientasi nilai di dalam masyarakat modern. Menurut Kurniawan (2012:8), suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Dalam hal ini sastra juga mempunyai hubungan dengan dunia sosial, menurut Diana Laurenson dan Alan Swingewood (dalam Suwondo, 1994), sastra berurusan dengan dunia sosial manusia, dalam arti bahwa manusia memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri dan untuk mengubahnya. Dalam hal ini karya sastra dapat dipandang sebagai upaya untuk menciptakan kembali dunia sosial melalui karya-karya yang diciptakan, keberagaman dalam masyarakat mejemuk akan berpengaruh pada sudut pandang dan latar belakang pengarang. Karya sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi yang terjadi di masyarakat sebagai contoh puisi diciptakan oleh penulis berdasarkan gejala-gejala dalam realitas kehidupan, yang diolah secara matang, sehingga menjadi suatu karya yang bernilai sastra serta memberikan manfaat bagi pembaca. Keberadaan puisi sebagai bentuk cipta karsa, tidaklah lahir begitu saja, puisi lahir dan diciptakan oleh penulis melalui proses tertentu. Proses tersebut mungkin saja sama antara penulis yang satu dan yang lain, atau mungkin juga berbeda. Hal itu harus disadari mengingat setiap penulis memiliki pandangan, pengetahuan dan pengalaman yang berbeda pula. Dengan ketiga faktor itu dan beberapa faktor yang lain, seperti : sosial budaya, agama, masyarakat dan lain-lain bekerjasama membentuk suatu kesatuan sehingga melahirkan sebuah puisi. Mempelajari karya sastra suatu negara sama halnya mempelajari latar belakang penciptaan karya sastra dan negara itu sendiri. Karya sastra dan kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian masing-masing sebagai sesuatu yang eksistensial (Suyitno, 1986). Sastra dan masyarakat memiliki keterkaitan hubungan, hal tersebut terbentuk atas konstruksi sosial yang menyebabkan kenyataan bahwa seorang sastrawan

282 dihadapkan pada budaya tertentu dan menjadikan sebuah interpretasi muncul di dalam teks. Karya sastra dan dunia nyata memiliki hubungan yang spesifik. Hal inilah yang menjadikan sastra tidak pernah lepas dari persoalan kehidupan. Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra diilhami oleh fenomena kehidupan. Membicarakan keterkaitan antara sastra dengan kehidupan Rudolf Unger (dalam Wellek dan Wareen, 1990) menyatakan sastra diterjemahkan melalui ekspresi atau sikap umum terhadap kehidupan. Permasalahan yang digarap sastra antara lain (1) masalah nasib, yakni hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, (2) masalah keagamaan, (3) masalah mitos dan ilmu gaib, (4) masalah yang menyangkut konsepsi manusia, hubungan manusia dengan kematian dan konsep cinta, dan (5) masalah masyarakat dan keluarga. Terkait dengan hal tersebut, Damono (1984), mengatakan dalam karya sastra tersirat gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Dalam hal ini kehidupan mencakup (1) hubungan antarmasyarakat, (2) antarmanusia, (3) antarmasyarakat dengan orang-seorang, dan (5) pantulan hubungan orang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sastra cyber sebagai sistem komunikasi yang merupakan bagian dari internalisasi dan ekspresi aspek budaya yang didalamnya mencakup rasa cinta daerah dan nasionalisme bahkan masuknya unsur-unsur dari mancanegara yang berkembang menjadi kebudayaan global. Semakin berkembangnya nasionalisme masyarakat, fanatisme kedaerahan berangsur-angsur berkurang dan menuju semangat kehidupan antarbangsa. Hal ini mendorong perubahan konsep sastra yang lebih bersifat pluralistik sehingga budaya lokal, nasional, dan budaya global dapat berkembang secara harmonis tanpa harus mengesampingkan satu dengan lainnya. Jika dulu karya sastra kental dengan budaya etnis daerah, kini sastra dapat memasukkan unsur-unsur budaya bangsa lain sehingga terciptalah nuansa universal. Cita rasa „universal‟ ini terasa dalam beberapa karya sastra mutakhir.

Kreativitas Penulis Dalam Menciptakan Karya Membahas mengenai karya sastra tidak lepas adanya campur tangan dari penulis itu sendiri. Terlepas dari latar belakang pengarang, penulisan karya sastra terdapat tiga unsur penting menurut Roekhan (1991:4), (1) kreativitas, (2) bekal kemampuan bahasa, dan (3) bekal kemampuan sastra. Kreativitas dapat menjadikan seorang penulis mampu memunculkan ide-ide baru dan mengolah ide itu sehingga menjadi ide yang matang dan utuh. Dengan daya kreativitas,

283 seorang penulis selalu menggunakan pemakaian bahasa agar karya-karyanya berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Dengan daya kreativitas, seorang penulis dapat memanfaatkan pengetahuan bersastranya untuk menghasilkan karya sastra yang unik dan menarik untuk dibaca, dalam hal ini juga mempengaruhi hak cipta dan ruang alternatif bagi penerbitan, pendokumentasian, pandangan, serta interaksi visual yang mendukung karya sastra dapat diterima dengan baik dalam pembacanya dan industri saat ini. Melalui kegiatan menulis karya sastra, seseorang dapat mengungkapkan banyak hal yang terkadang tidak dapat diungkapkan secara lisan. Untuk itu, keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Salah satu jenis kegiatan menulis adalah menulis kreatif. Menulis kreatif terkait dengan penggunaan daya kreativitas dan eksploitasi kemampuan seseorang untuk menciptakan hal baru atau mengelola sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam konteks itu, Roekhan (1991:4- 5) mengatakan bahwa kreativitas merupakan perilaku yang berbeda dengan perilaku umum, kecenderungan jiwa seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru atau lain dari yang lain, bentuk berpikir yang cenderung jelimet dan menantang arus, serta hasil yang berbeda dengan yang pernah ada. Kreativitas memiliki unsur-unsur penting menurut Roekhan, (1991 :6-8), yakni (1) kemampuan berpikir kritis, (2) kepekaan emosi, (3) bakat, (4) dan daya imajinasi.

Penyebaran Karya Sastra di Media Sosial Perkembangan teknologi yang semakin pesat dalam beberapa tahun terakhir berpengaruh pada perkembangan informasi yang semakin cepat, mudah, mutakhir dan mempermudah komunikasi antar wilayah, pengembangan wawasan dan mempermudah pertukaran data secara cepat dan efektif. Kemudahan dan kecepatan informasi yang diberikan oleh internet juga mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat saat ini. Perkembangan informasi juga berpengaruh dalam dunia sastra yang memanfaatkan internet sebagai sarana untuk daya kreativitas dan kebutuhan untuk mencipta karya sastra. Sastra Cyber memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana dan prasarana berkarya. Kehadiran sastra cyber seperti http://cybersastra.org/dari-redaksi/, http://www.jendelasastra.com/karya/puisi dan khususnya www.cybersastra.net yang dikelola oleh Yayasan Multimedia Sastra adalah sebuah inovasi yang menarik untuk diamati. Cybersastra dalam hal ini akan dibahas mengenai antologi puisi digital yang menggunakan program komputer, yakni antologi puisi F. Aziz manna yang terdapat pada laman

284 jurnalruang.com, yang menyajikan beberapa puisi dari beliau dan puisi yang berjudul Playon karya F.Aziz Manna merupakan kumpulan puisi yang diadaptasi dari kisah nyata perjalanan hidup seorang figur sederhana yang melihat sebuah permainan, benda serta kebiasaan masyarakat kelas bawah. Pada laman jurnal ruang.com disajikan cover buku yang dengan gambar sederhana namun menarik. Pada sampul buku terlihat judul kumpulan puisi “Playon” yang ditulis dengan huruf besar. Warna coklat serta ditambah dengan unsur gambar seperti daun menggambarkan bahwa cover buku terlihat menarik meskipun sederhana karena tidak banyak gambar yang disajikan.

Pada kumpulan puisi F.Aziz Manna terdapat tema kemiskinan,perjuangan dan permainan yang akan dibahas seperti berikut :

Kemiskinan kemiskinan merupakan suatu kondisi yang sulit dimana ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,pakaian, tempat tinggal dalam hal ini kemiskinan yang tampak pada puisi karya F. Aziz Manna, yakni terdapat puisi yang berjudul “Tuding”, dan “Pawon”,Dalam puisi “Tuding” digambarkan kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan meski dalam kondisi ekonomi yang sulit semua dilakukan dengan keyakinan dan keikhlasan. Buktinya adalah sebagai berikut

dengan bilah rautan bambu kueja huruf- hurufmu. Bacaan yang harus dimulai dengan basuhan. Ta‟ dommah, ha‟fathah, nun sukun, dan bilah bambu itu memanjang jadi galah. Penghalau

285

sekaligus pecut. Debu berhamburan. Menyiasati nafas dan pandangan.(Manna, 2016)

Pada puisi tersebut tidak ditemukan secara eksplisit kata kemiskinan. Tetapi pada data dengan bilah rautan bambu kueja huruf-hurufmu menggambarkan sebuah kesederhanaan untuk belajar dengan hanya menggunakan bilah rautan, hal ini menampakkan kesungguhan dari seseorang yang meski dalam keadaan yang sulit tetapi tidak berputus asa untuk menjalani kehidupan. Selanjutnya jika diperhatikan pada larik dan bilah bambu itu memanjang jadi galah dan Penghalau sekaligus pecut hal ini dapat dilihat kata bambu tersebut menjadi pelindung bagi dirinya yang diibaratkan bamboo berubah memanjang menjadi galah selanjutnya pada larik setelahnya terdapat kata penghalau sekaligus pecut hal ini dapat diartikan sesuatu yang sederhana jika dipegang kuat akan menjadi pelindung bagi dirinya namun jika apa yang dipegang teguh itu goyah maka akan menjadi cambuk bagi diri sendiri. Selanjutnya wujud dari kemiskinan juga terdapat dalam puisi “Pawon” yang berarti pawon dalam bahasa Indonesia adalah dapur. Puisi ini menggambarkan dapur yang identik dengan asap, keringat dan segala keresahan di dalamnya. Buktinya adalah sebagai berikut awu,getih,luh, menyatu dilempeng lempung tungku, seorang anak, lanang, uring-uringan, membanting piring beling. (dia marah).(Manna, 2016) Pada puisi tersebut terdapat frasa awu,getih,luh yang dalam bahasa Indonesia berarti abu,darah, air mata tipis yang biasanya keluar tanpa sengaja karena dorongan emosi yang sangat halus. Hal ini timbul karena keadaan sulit yang dialami yang menjadi kerisauan dan air mata. Selanjutnya pada larik setelahnya terdapat seorang anak, lanang, uring-uringan hal tersebut menunjukkan bahwa kenyataan yang dihadapi bahwa anak lanang yang dalam bahasa Indonesia berarti anak laki-laki tersebut selalu marah-marah dengan keadaan yang sulit sehingga hal tersebut membuat resah. Selain kumpulan puisi F. Aziz Manna yang berjudul “Playon” ada pula puisi Puisi yang diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra, Antologi Puisi Digital

286

Cyherpnoilika, 2002, merupakan puisi yang diterbitkan dalam bentuk CD (compact duce). Puisi digital ini menggunakan program komputer Ali(roso/I PowerPoint dengan berdasarkan pada inspirasi lukisan, foto, atau musik. Penyair menciptakan puisi berdasarkan inspirasi salah satu dari ketiga media seni maupun gabungan dari ketiganya yakni musik, lukisan, dan foto. Berikut pembahasannya : Puisi karya Iwan Soekri Munaf (Sutan Roedy Irawan Syafrullah) tersebut mengandung unsur gambar lukisan Jeihan 1 “A Non-Fiction of Indonesia”, yaitu gambar seorang perempuan terlentang dengan posisi miring ke kanan sebagai manifestasi seseorang yang dimaksudkan si aku.

Warna pada setiap larik berubah-ubah yaitu warna putih pada bait pertama, kuning pada bait kedua, bait pertama dan kedua berlatar lukisan Jeihan, gradasi warna hijau pada bait ketiga dengan perubahan latar berwarna krem. Ketiga, unsur bunyinya yaitu whoosh, under.wav, glass, camera, projctor, typewriter, dan chime. Latar suara karya Sapto Raharjo 2 hingga puisi selesai.Yang keempat ialah unsur gerak, unsur gerak inilah yang membentuk tipografi pada setiap slide/bait puisi. Unsur geraknya ialah kiri ke kanan atas dan sebaliknya, lalu atas ke bawah. Aplikasi gerak pada slide sebagai berikut, aplikasi slide pertama ialah dissolve slide transitions, slide kedua aplikasi slide transition checkerboard, dan slide ketiga slide transition push from top. Selanjutnya unsur gerak pada puisi, yaitu aplikasi effect zoom,random bars, strips, fly in, swivel,dan center revolve unsur gerak tersebut berlaku untuk tiap bait dan gambar yang muncul pada slide. Selain website dan blog, karya sastra yang dikemas dimedia sosial seperti instagram juga menarik untuk dibahas, pada saat ini instagram tidak hanya digunakan untuk mengunggah foto dan video saja namun karya sastra seperti puisi yang dikemas

287

menarik dengan foto, video, animasi dan suara yang mendukung sebuah karya sastra. Berikut contohnya:

Contoh puisi yang diunggah diatas merupakan puisi dengan animasi gambar yang bergerak dengan iringan musik klasik sehingga animasi foto dengan puisi seakan hidup. Fenomena ilustrasi gambar bergerak di media sosial instagram telah menjadi tren di tahun 2018 sehingga karya sastra seperti puisi yang dikemas dengan animasi tersebut dapat menarik pembaca larut didalam makna puisi yang dalam.

Penutup Cybersastra merupakan kajian sastra yang menjadi ruang bagi penulis untuk dapat bebas berekspresi dan berkarya dengan bebas karena memanfaatkan jaringan internet dan media sosial. Ketika karya sastra sudah dapat dinikmati tanpa batas ruang dan waktu maka kepemilikan karya sastra dan hak cipta penting untuk dilakukan karena plagiasi mudah dilakukan ketika media internet dan media sosial dapat dengan mudah diakses. Kreativitas dalam menciptakan karya

288 sastra menjadi sangat penting untuk dilakukan karena di era industri kreatif pada saat ini melihat adanya peluang menghasilkan produk yang berkualitas sehingga penciptaan karya sastra juga dapat menguntungkan bagi penulis yang sudah memiliki banyak penikmat sastra dengan karya- karya yang dihasilkan, kreativitas itu mencakup (1) kemampuan berpikir kritis, (2) kepekaan emosi, (3) bakat, (4) dan daya imajinasi. Penyebaran karya sastra juga dapat dijumpai di website atau blog, puisi yang dimuat pada website yakni kumpulan puisi F. Aziz Manna yang ditulis sendiri oleh beliau diwebsite pada tanggal 17 januari 2017 memuat beberapa puisi beliau yang juga pemenang sayembara sastra dewan kesenian Jawa Timur pada tahun 2015. Puisi beliau dimuat pada website dan juga sekarang terdapat versi cetaknya. Dilihat dari penampilan slide terlihat puisi digital bermula dari puisi yang lebih dominan dengan unsur bahasa yang kemudian diberi warna dan animasi serta dimasukkannya efek bunyi. Unsur bahasa masih berperan untuk mengungkapkan gagasan walaupun ada huruf-huruf yang dianimasi tertutup oleh foto atau lukisan yang digunakan sebagai bahan inspirasi.Penggunaan fasilitas animasi pada huruf serta ukuran huruf membatasi usaha pembacaan puisi karena kecepatan gerak yang dinamis atau berubah-ubah. Memaknai puisi secara umum adalah membaca kata-kata yang menunjukkan pada emosi, imajinasi, pemikiran dari pengalaman batin penyair.Unsur visual (tipografi, tata baris) yang sejak semula sebagai perwakilan bunyi dari bahasa lisan menjadi tidak sekadar susunan huruf atau kata tetapi juga gambaran dari benda nyata yang kemudian dikenal sebagai puisi konkret. Selain itu karya sastra juga terdapat pada unggahan di instagram yang tidak hanya digunakan untuk mengunggah foto dan video saja namun karya sastra seperti puisi yang dikemas menarik dengan foto, video, animasi dan suara yang mendukung sebuah karya sastra.

DAFTAR RUJUKAN Damono, S. D. (1984). Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud Endraswara, Suwandi.2011. Metodologi Penelitian Sastra : Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: CAPS. Kurniawan, B. (2012). Ilmu Budaya Dasar. Tanggerang Selatan: Jelajah Nusa. Najid, Moh. (2009). Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press. Suyitno. (1996). Sastra Tata Nilai dan Eksesgesis. Yogyakarta: Penerbit Hanindita. Roekhan. (1991). Menulis Kreatif: Dasar-dasar dan Petunjuk Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asuh Asuh.

289

Suwondo, Tirto,dkk. (1994). Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa. Wellek, R., & Wareen, A. (1990). Teori Kesusastraan. Jakarta: Penerbit Gramedia.

290

MIND MAP DENGAN APLIKASI E-MIND MASTER 6.2 DALAM PEMBELAJARAN I’RAB : MEDIA PEMBELAJARAN DALAM MENGHADAPI ERA DIGITAL

Ilham Fatkhu Romadhon M. Alfin Khoirun Na‟im Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Malang (UM) Jalan Semarang No. 5 Universitas Negeri Malang [email protected]

ABSTRAK Dalam pembelajaran bahasa Arab, ada beberapa kesulitan dalam mempelajari i‟rab di antaranya kurangnya pemahaman ilmu I‟rab sehingga menyulitkan pembelajar bahasa Arab untuk mengatur kata-kata dalam susunan kalimat yang benar, adanya hubungan struktur antar kaidah yang kompleks, kurang menariknya media pengajaran perlu ditingkatkan media pembelajaran beserta inovasinya sehingga pembelajar bahasa Arab akan menjadi mudah dalam belajar dan memahami serta menghafal kaidah-kaidah I‟rab. Metode peta konsep (Mind Mapping) merupakan cara terbaik bagi menjelaskan materi i‟rob. Kelebihannya seperti membuat pikiran terstruktur, memudahkan hubungan antar materi, memudahkan pengingat materi, dan bersifat unik dan menarik. Dengan berkembangnya zaman maka diperlukan media modern pembelajaran berbasis Mind Mapping tidak hanya pada media tulis konvensional tapi juga pada komputer (Computer-Based Media). Tujuan penulisan iniuntuk mempelajari kaedah-kaedah dalam ilmu i‟rab dengan aplikasi E-Mind Map sebagai media pembelajaran I’rab yang variatif dan menjadikan proses pembelajaran lebih menarik dan dapat digunakan, baik penggunaanya yang mudah karena disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran untuk meningkatan kemampuan ketrampilan berbahasa Arab. Kelebihan penggunaan aplikasi ini adalah bentuk peta konsep yang instan sehingga memudahkan pembuatan, tampilan dengan pemakaian aplikasi yang mudah dengan tombol fungsi yang sederhana, User Interface menarik dan tersedia berbagai tema menyenangkan, ringan digunakan untuk berbagai kebutuhan peta konsep, dan dapat di eksport ke berbagai ekstensi (Versi Pro). Kata Kunci: Pembelajaran, I‟rab , E-Mind Master 6.2, Mind Map

Keberhasilan tujuan pendidikan merupakan tujuan utama setiap pengajar dan pembelajar dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu faktor pendukung yang kuat. Salah satu diantaranya untuk mendorong keberhasilan tersebut tentunya menggunakan media pembelajaran. Aminuddin (2014) menjelaskan bahwasanya, untuk meraih tujuan pendidikan perlu diciptakan suasana kelas yang kondusif. Salah satu cara terbaik untuk menciptakan suasana kondusif adalah dengan menggunakan media

291 pembelajaran. Keberhasilan penggunaan media pembelajaran yang menarik selaras dengan teori bahwasannya penerimaan ilmu pengetahuan, sikap dan keterampilan paling banyak dipengaruhi oleh indra penglihatan dan pengalaman sendiri, disamping menggunakan indra yang lain. Guru sebagai pendidik dituntut membuat suasana kelas kondusif dan menyenangkan. Oleh karena itu pembuatan media pembelajaran sangat dianjurkan. Media pembelajaran dalam kelas dapat menumbuhkan minat belajar peserta didik dalam penyampaian materi. Memudahkan siswa untuk lebih merangsang pemikirannya, mampu memberikan gambaran jelas dan terstruktur mengenai materi yang sedang dipelajari (Dariyadi, 2018). Bahasa Arab di Indonesia masih menjadi bahasa yang asing dibawah bahasa Inggris. Bahasa Arab yang banyak berkembang di pesantren-pesantren menjadikan bahasa Arab bagi orang awam menjadi sangat sulit dan banyak problematika pembelajaraanya. Fakta dilapangan problematika pengajaran bahasa arab dengan metode klasikal begitu membosankan sehingga kurang menarik (Khoiri, 2017). Tidak adanya teknologi atau meda pembelajaran adalah salah satu problematikanya. Selain dalam hal tersebut, keragaman gramatikal bahasa Arab yang terkenal rumit juga menyulitkan pembelajar bahasa arab dalam mempelajarinya. Sari (2017) menyebutkan untuk memahami teks tertulis dalam bahasa Arab setidaknya harus menguasai ilmu gramatika bahasa Arab atau yang lebih dikenal dengan nahwu dan sharaf. Ilmu nahwu dan sharaf sangat diperlukan guna mengingat suatu kata yang dapat berubah pola sesuai i’rab dan perubahan kata. Dengan memperlajari dua ilmu tersebut diharapkan mempermudah dalam belajar bahasa Arab. Materi yang paling mendasar untuk menguasai ilmu tersebut adalah materi mengenai i’rab. I’rab dengan ilmu nahwu menurut Sangidu (2006) (dalam Sari, 2017) berkaitan sangat erat dimana i’rab membahas perubahan akhir kalimay baik segi harokat atau huruf. Peletakan dasar ini sangat penting bagi pembelajar bahasa arab. Materi i’rab yang sangat beragam cabang membutuhkan pemetaan strategis dalam pembelajarannya. Media mind map adalah salah satu hal yang dapat menarik perhatian. Mind map merupakan media pembelajaran inovatif. Melalui mind map peringkasan materi menjadi lebih mudah. Seluruh informasi dan kata kunci penting tersusun secara terorganisir dengan bagan yang radian sesuai dengan mekanisme kerja otak sehingga mudah diingat dan difahami (Silaban, 2012). Penelitian terdahulu menurut Akinoglu (2007) (dalam Pardede, 2011)

292 mengenai mind map menunjukkan bahwa teknik mencatat peta konsep materi pembelajaran, mengatasi kesalahpahaman konsep, dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Pemanfaatan teknologi memberikan dampak positif terhadap hasil belajar peserta didik (Asrori, 2015). Oleh karena itu, perlu mencoba mengunakan teknologi untuk membantu membuat media tersebut. Media mind map i’rab menggunakan software E-Mind Master 6.2 diharapkan mampu membantu pembuatan media secara menarik, inovatif, kreatif, murah serta mudah. Tujuan penulisan ini adalah mengenalkan media pembelajaran i’rab menggunakan software E-Mind Master 6.2 bagi pendidik. Manfaat yang dituukan penulisan ini bagi pendidik sebagai panduan pembuatan media yang menarik menggunakan mind map dalam pembelajaran i’rab. Bagi peserta didik berguna untuk tambahan informasi media menarik yang dapat digunakan untuk lebih memahami materi i’rab. Untuk khalayak umum dapat berguna sebagai alternative media pembelajaran untuk dikembangkan dalam materi materi lain dengan penulisan ini.

Pembelajaran Ilmu I’rab Di zaman sekarang ini, setelah berkembangnya penelitian tentang analisis kebahasaan, para ahli bahasa cenderung memperluas pengertian ilmu nahwu, bukan hanya terpusat pada pembahasan i’rab dan bina’, namun dapat pula mencakup pembahasan tentang kosakata,pertalian interen antara beberapa kata, penyatuan beberapa kata dalam rentetan bunyi tertentu dan hubungan antara kata-kata yang ada dalam kalimat serta komponen-komponen yang membentuk sebuah ungkapan atau prasa. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri ialah perkembangan baru mengenai pengertian baru tentang ilmu nahwu ini tetap mempertahankan urgensi i’rab. Karena, i’rab merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan kalimat bahasa Arab, di mana tanpa i’rab, sebuah kalimat bahasa Arab tidak akan sempurna, ciri khas ke-Arabannya akan hilang bila i’rab-nya tidak sempurna. Kecenderungan orang untuk meninggalkan masalah i’rab karena merasa cukup dengan mensukûn pada akhir setiap kata adalah kecenderungan yang tidak dapat diterima. Walaupun demikian, agar tidak terlalu menyulitkan para pelajar, materi ilmu nahwu yang akan diajarkan harus efektif penggunaannya dalam bahasa Arab sehari-hari dan berhubungan secara langsung dengan

293 fungsi dasar nahwu, yaitu penentuan baris ujung kata dan cara membentuk kalimat yang sempurna (Sehri, 2010). Pembelajaran terkait dengan bagaimana membuat pembelajar bahasa Arab dapat belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari apa yang teraktualisasikan dalam kurikulum sebagai kebutuhan pembelajar bahasa Arab . Oleh karena itu, pembelajaran berupaya menjabarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kurikulum dengan menganalisis tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang studi bahasa Arab khususnya materi I‟rab yang menjadi dasar untuk mengatur kata-kata dalam susunan kalimat yang benar, adanya hubungan struktur antar kaidah yang kompleks. Selanjutnya dilakukan kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan cara-cara (strategi) pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai kondisi yang ada, agar kurikulum dapat diaktualisasikan dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar terwujud dalam diri pembelajar bahasa Arab. Sehingga, tidak dapat dipungkiri dalam pembelajaran terdapat tiga komponen utama yang saling berpengaruh dalam proses pembelajaran Bahasa Arab (termasuk pembelajaran I‟rab). Ketiga komponen tersebut antara lain (Ahmad Falah, 2014: 68-69): 4. Kondisi pembelajaran bahasa Arab, 5. Metode dan strategi pembelajaran bahasa Arab, 6. Hasil pembelajaran bahasa Arab. Dalam problematika yang dihadapi dalam pembelajaran bahasa Arab bagi Non-Arab antara lain (Munajat, 2015). - Kesulitan dalam pelafalan bunyi bahasa Kesulitan dalam penulisan aksara arab karena memiliki berbagai bentuk sesuai dengan letaknya dalam sebuah kata. - Perbedaan sistem bahasa seperti ketiadaan kategori dual /tastniyah di bahasa selain arab atau pada kategori jama taksir karena banyaknya variasi. - Kesulitan dalam kategori bilangan, - Kesulitan dalam imla. Dan Kamal Bisyr secara khusus menyebut problematika pembelajaran bahasa Arab bagi non-Arab terkait pada empat hal antara lain (Munajat, 2015). - Perbedaan level pengetahuan pembelajar bahasa Arab bagi non-Arab,

294

- Perbedaan tujuan pembelajar dalam mempelajari bahasa Arab, - Adanya beberapa ragam bahasa Arab yang dipelajari, - Persoalan dalam penyajian materi ajar. Berdasarkan penjelasan tentang problematika di atas, Salah satu ilmu yang dipelajari dalam bahasa Arab adalah ilmu I‟rab yang mengkaji kaidah-kaidah yang menjadi dasar bentuk bahasa, struktur bahasa. Oleh karena itu, Orang menyebut bahwa ilmu I‟rab adalah penentuan baris ujung kata dan cara membentuk kalimat yang sempurna dalam bahasa Arab. Berdasarkan problematika pembelajaran bahasa Arab, Maka dalam pembelajaran I‟rab juga harus memperhatikan strategi dan metode pembelajaran I‟rab. Salah satu cara pembelajaran I‟rab yang menarik adalah membuat peta-pikiran (Mind Map).

Sekilas Tentang Mind Map Di era digital ini, banyak cara yang digunakan pengajar untuk memudahkan pembelajar dalam suatu materi, salah satunya adalah pembuatan Mind Map atau peta konsep. secara umum suatu cara untuk mengorganisasikan ide dalam bentuk kelompok berupa kata- kata atau angka-angka, kalimat, paragraf dan meninjau pengorganisasian tersebut dari banyak sudut pandang. Mind Map sendiri ditemukan oleh ahli psikologi dari Inggis yaitu Tony Buzan pada tahun 1970-an. Sedangkan penggunaan istilah “Mind Maps” biasa ditulis “Mind Map™” diklaim sebagai trademark (merek dagang) oleh The Buzan Organisation, Ltd. di United Kingdom dan Amerika Serikat pada tahun 1990 (Arifa dan Chamidah, 2011). Buzan menyatakan (dalam Melina, 2018), “Mind Map adalah suatu teknik-grafik ampuh yang menyediakan suatu kunci universal untuk membuka seluruh potensi otak manusia sehingga dapat menggunakan seluruh kemampuan yang ada di kedua belahan otak seperti kata, gambar, angka, logika, ritme, warna dalam suatu cara yang unik”. Di Zaman Modern ini, pembuatan segala sesuatu tidak terlepas dari Media Digital termasuk pembuatan Mind Map. Akan tetapi, Setidaknya pelajar akan mengetahui cara pembuatan Mind Map sederhana yang dibuat oleh tangan. Sehingga, memudahkan pembelajar dalam pembuatan Mind Map di waktu-waktu tertentu (di waktu pembelajar tidak memegang alat Teknologi seperti laptop dan Handphone) dan mengurangi kecanduan dalam penggunaan Teknologi. Dalam pembuatan Mind Map sederhana hanya perlu 3 Bahan dasar yaitu: Kertas putih yang polos (tidak bergaris), ukuran minimal A4, Pensil warna atau spidol, minimal 3

295 warna, bervariasi tebal dan tipis (jika memungkinkan). Setelah mempunya bahan dasar untuk pembuatan mind map ada beberapa langkah untuk membuat mind map sederhana. Berikut ini adalah petunjuk atau langkah-langkah membuat peta pikiran yang dikemukakan oleh Tony Buzan ( dalam Darusman, 2014:169): - Mulailah dengan menulis topik utama di tengah kertas, - Gunakan ilustrasi gambar, simbol, kode pada keseluruhan peta pemikiran, - Pilih kata-kata kunci pada tiap-tiap cabang yang dikembangkan, - Setiap kata/gambar harus berdiri sendiri pada setiap garis/cabangnya, - Cabang-cabang yang dibuat harus terkait dengan topik utama di tengah kertas. Garis cabang utama lebih tebal dan menjadi lebih tipis ketika semakin menjauh dari cabang utama, - Buat garis/cabang yang sama panjangnya dengan kata-katanya, - Gunakan warna-warni dalam peta pikiran paling tidak tiga warna, sesuai selera, - Kembangkan bentuk peta pikiran yang sesuai dengan gaya atau kreativitas masing- masing, - Sisakan ruang untuk penambahan tema berikutnya.

Manfaat Mind Map Menurut Silaban dan Napitupulu (2012) Mind Map mempunyai manfaat yang banyak sebagai berikut: (1) memberikan pemahaman konsep yang lebih utuh karenadapat menciptakan kesan yang lebih kuat sehingga mudah dihafal, (2) membebaskan diri dari seluruh jeratan aturan ketika mengawali belajar, (3) membantu seseorang mengalirkan diri tanpa hambatan, (4) membuat rencana atau kerangka cerita, (5) mengembangkan sebuah ide, (6) membuat perencanaan sasaran pribadi, (7) memulai usaha baru, (8) meringkas isi sebuah buku, (9) fleksibel, (10) dapat memusatkan perhatian, (11) meningkatkan pemahaman, (12) menyenangkan dan mudah diingat (13) mind mapping juga dapat meningkatkan imajinasi dan kreativitas , (14) memecahkan masalah, (15) membantu mereka ingat kembali informasi untuk tes atau ujian, (16) menyelidiki setiap kemungkinan kesempatan yang terbuka dalam menyelesaikan masalah, memberikan kebebasan intelektual yang tak terbatas, (17) memungkinkan melakukan penilaian terhadap gagasangagasan yang menjadi prioritas.

296

Manfaat Mind Map tidak hanya dinilai dari yang terlihat, namun juga hal-hal yang melandasi prinsip pembuatannya yang sungguh-sungguh mengikuti apa yang diinginkan oleh otak anak, karena mind map memiliki hal-hal berikut ini (Hikmawati, 2013):

a. Gambaran Keseluruhan Cukup dengan satu gambar saja, pelajar sudah dapat melihat keseluruhan dari isi bab. Otak menyukai cara seperti ini. Saat pelajar membaca buku catatan atau buku cetak pelajarannya yang berlembarlembar, setiap anak membalikkan halaman bukunya informasi yang masuk ke otak ini akan terganggu dan menjadi berserakan di otaknya. Sesuatu yang berserakan sulit untuk disatukan sehingga mengurangi daya pemahamannya.

b. Detail informasi Selain mendapatkan gambaran keseluruhan mengenai materi pelajaran tersebut, pada saat yang bersamaan anda bisa melihat detil informasinya secara mudah. Kata kunci yang kuat Semua kata dalam mind map adalah kata tunggal yang disebut kata kunci. Kata kunci adalah kata-kata yang paling kuat yang dapat mewakili sebua kalimat atau frasa. Dan otak sebenarnya hanya dapat mengingat kata kunci saja. Hal ini akan membuat waktu belajar anak menjadi efektif dan efisien. c. Gambar Mengaktifkan Otak Kanan Dalam mind map, ada gambar-gambar yang menyebabkan otak kanan anak menjadi lebih aktif dan sebera menyeimbangkan diri dengan beban otak kirinya. Dan, keseimbangan kedua belah otak adalah kondisi terbaik untuk belajar dan berkonsentrasi. d. Warna Menyenangkan Otak Mind map mengharuskan anak untuk memakai berbagia warna dalam pembuatannya. Dan hal ini disukai oleh otaknya. Kedua belah otak pun terlibat, dan yang dirasakan anak adalah bukan suatu kegiatan belajar, namun sifatnya lebih pada menggambar dan bermain. Sehingaa Learning is fun itulah prinsipnya. Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa Mind Map mempunyai beberapa keunggulan seperti Ide utama materi pelajaran ditentukan secara jelas, dapat menarik perhatian mata dan otak kita sehingga memudahkan membantu mendapatkan ide dan berkonsentrasi, membantu melihat gambaran secara menyeluruh, sekaligus detailnya.mempunyai hubungan antarinformasi yang satu dengan yang lainnya jelas, terdapat

297 pengelompokan dan pengorganisasian informasi sehingga mudah diingat, prosesnya menyenangkan (fun) dan menghemat waktu, tidak membosankan karena banyak menggunakan unsur otak kanan, seperti gambar, warna, dimensi, dll.

Sekilas Tentang Software E-Mind Master 6.2 Software E-Mind Master 6.2 adalah software yang bisa kita gunakan untuk membuat mind map (peta konsep) secara mudah dengan hasil yang memuaskan. Software ini produk dari Edrawsoft, sebuah startup yang membuat aplikasi-aplikasi kreatif, inovatif dan menarik. Versi 6.2 ini dirilis tanggal 6 Februari 2018 dengan masih ada pengembangan lebih lanjut oleh developer. Tersedia dua versi yakni versi gratis (free) dan berbayar (pro). Dalam versi free kita sudah bisa menikmati fitur-fitur unggulan yang ditawarkan. Namun dengan versi pro, keseluruhan fitur yang ada dalam aplikasi ini dapat digunakan. Untuk mengakses fitur pro, kita diharuskan membeli lisensi seharga $69 atau seharga Rp 1.043.000,- untuk setahun (www.edrawsoft.com). Keunggulan yang ditawarkan oleh provider melalui aplikasi E-Mind Master 6.2 seperti yang dijelaskan dalam web nya adalah: 1. Antarmuka pengguna friendly 2. Fungsi serbaguna dan sumber daya berlimpah 3. Tema tema yang menakjubkan 4. Tampilan gantt profesional 5. Mode presentasi lanjutan Selain itu, fitur yang dirasakan penulis dalam memakai aplikasi ini untuk mengembangkan media pembelajaran antara lain: 1. Bentuk peta konsep yang instan sehingga memudahkan pembuatan. 2. Tampilan dengan pemakaian aplikasi yang mudah dengan tombol fungsi yang sederhana. 3. User Interface menarik dan tersedia berbagai tema menyenangkan. 4. ringan digunakan untuk berbagai kebutuhan peta konsep 5. dapat di eksport ke berbagai ekstensi (Versi Pro)

298

Penjelasan Fungsi Software E-Mind Master 6.2

1

2

3 4

Gambar 1. Membuat Proyek

1. File Ribbon : berisi beberapa fungsi untuk dokumen. : a.untuk membukaOpen proyek/lembar kerja yang sudah dibuat b. New : untuk membuat proyek/lembar kerja baru c. Save : untuk menyimpan dokumen d. Save as: menyimpan dokumen ketika dalam format baru e. Print : mencetak proyek/lembar kerja f. Import : memasukkan ekstensi lain dalam proyek/lembar kerja g. Export & send : merubah proyek/lembar kerja ke ekstensi lain h. Close : menutup proyek/lembar kerja i. Option : pengaturan aplikasi/Software j. Exit : menutup aplikasi/Software 2. Blank Template : tema kosong untuk proyek 3. Local Template : tema menarik yang tersedia

299

4. Create & Open : membuat atau membuka dokumen

6 7

8

9

10

Gambar 2. Keterangan Menu

5. Tabs : Berisi menu-menu yang tersedia untuk membuat peta konsep a. File : membuka file ribbon b. Home : kostumisasi umum dalam membuat peta konsep c. Page style : kostumisasi lembar halaman peta konsep dengan tema, font, dan warna d. Slideshow : membuat peta konsep dalam tampilan slide e. Advanced : Pengaturan lanjutan dalam peta konsep f. View : Pengaturan tampilan lembar kerja g. Help : informasi mengenai aplikasi/Software 6. Command : Perincian tools yang tersedia bagi setiap tabs 7. Page : banyak lembar kerja yang sedang dikerjakan 8. Worksheet : Lembar kerja aktif untuk membuat peta konsep 9. Page Panel : kostumisasi untuk peta konsep a. Format : kostumisasi font, warna, layout, line dan tema

300

b. Outline : tulisan yang ada dalam peta konsep c. Mark : memberikan tanda atau symbol ke dalam peta konsep d. Clipart : memasukkan icon atau gambar kedalam peta konsep e. Task : menambah perintah khusus ke dalam peta konsep 10. Command page panel : perincian yang tersedia dalam page panel Cara Penggunaan Software E-Mind Master 6.2

1. Buka aplikasi E-Mind Master 6.2. 2. Pilih tema yang diinginkan, lalu klik create. 3. Akan masuk ke lembar kerja dengan tema yang telah terpilih. Buatlah peta konsep seperti yang telah dirancang sebelumnya. Jika sudah proses ke penulisan peta konsep. Klik ke daerah bagan/chart yang akan ditulis. Klik dua kali. Lalu tulislah tulisan yang diinginkan.

Gambar 4. Membuat Peta Konsep

301

4. Jika ingin menambah cabang atau mengurangi cabang, arahkan ke tepi bagan/chart, lalu pilih tanda [+] untuk menambah cabang, atau [-] untuk mengurangi atau menghapus cabang. Perintah ini juga berlaku untuk setiap cabang-cabangnya juga.

302

Gambar 5. Menambah atau Mengurangi Cabang Bagang

5. Jika ingin mengganti warna dan jenis font dalam bagan, warna atau bentuk cabang nya, warna atau bentuk bagan nya, arahkan pada page panel, pilih format dan perhatikan page panel command.

a

b

c

Gambar 6. Page Panel a. Mengubah layout peta konsep, seperti latar belakang, tema umum, memberi nomor tiap bagannya b. Pengaturan bentuk bagan meliputi, warna garis dalam, warna dalam bagan, bentuk bagan, bayangan bagan, jenis garis bagan, kelengkungan tepi bagan. c. Memasukkan gambar dari computer ke dalam bagan d. Pengaturan cabang mulai dari warna cabang, tepian cabang, jenis garis cabang, kelengkungan cabang, hingga tebal tipisnya garis.

303 e. Pengaturan huruf dalam bagan, jenis ukuran hingga warna. 6. Jika dirasa materi dalam peta konsep sudah selesai, proyek bisa di simpan dengan cara pilih file, lalu save dan pilih dimana akan disimpan proyek tersebut. Proyek akan tersimpan dalam ekstensi (.emmx) artinya ekstensi yang hanya dapat dibuka dalam software E-Mind Master 6.2 ini. 7. Jika berkehendak untuk mengekspor proyek/lembar kerja ini ke dalam format lain, pilih file, lalu eksport & send lalu pilih format yang dikendaki. (catatan: untuk ekspor dalam bentuk .pdf atau .doc hanya bisa dilakukan ketika software sudah dalam versi pro).

Penutup Di zaman serba teknologi ini, pengajar dituntut memiliki kreativitas yang tinggi untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif, salah satunya adalah dengan memanfaatkan media pembelajaran Mind Map yaitu Aplikasi EMind Master untuk menghasilkan peta konsep yang menarik dan mampu meningkatkan pemahaman terhadapat materi pembelajaran I‟rab sebagai dasar pembelajaran bahasa Arab.

DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. (2014). “Media Pembelajaran Bahasa Arab”. Jurnal Al-Munzir Vol. 7, hlm. 14. Arifa, Z. and Chamidah, D., 2011. Pengembangan bahan ajar qawaid Bahasa Arab berbasis Mind Map untuk tingkat perguruan tinggi. El-Qudwah: Jurnal Penelitian Integrasi Sains dan Islam, 4. Asrori, Imam dan Ahsanuddin, Moh. 2015. Media Pembelajaran Bahasa Arab. Malang: CV Bintang Sejahtera. Dariyadi, Moch. Wahib. 2018. “Penggunaan Software “Sparkol Videoscribe” Sebagai Media Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis ICT”. Prosiding Konferensi Bahasa Arab IV, hlm 344-34). Darusman, Rijal. 2014. Penerapan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa SMP. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika, Vol. 3, No. 2, September 2014, STKIP Siliwangi Bandung. Edrawsoft. (2018). Mind Master (Online).www.edrawsoft.com. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018.

304

Falah, Ahmad. (2014). Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Mind Map. Jurnal Arabia, Vol. 6, No. 1, Januari - Juni 2014, Stain Kudus. Hikmawati, C.R., (2013). Penerapan Strategi Mind Map untuk Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 1(2). Khoiri, Abdul Aziz, and Ilham Fatkhu Romadhon. 2017. "Arabic Teacher: Pembelajaran Modern Bahasa Arab Berbasis E-Learning Bagi Non-Native Speaker." Prosiding Konfererensi Nasional Bahasa Arab 3.3, 289-299. Melina, A., (2018). Upaya Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Ips Terpadu Siswa Kelas Viii Smp Negeri 2 Junjung Sirih Kabupaten Solok Melalui Penggunaan Media Mind. Istoria: Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah Universitas Batanghari, 2(1), hlm.128-136. Pardede, R. (2011). “Pengaruh Peta Pikiran dalam Tatanan Pembelajaran Inquiri Dan Konvensional Terhadap Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar Biologi Kognitif Tingkat Tinggi (C3-C5) di SMA Negeri 1 Tanjung Morawa”. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Negeri Medan, Medan. Sari, Ana Wahyuning. (2017). “Analisis Kesulitan Pembelajaran Nahwu pada Siswa Kelas VIII MTs Al Irsyad Gajah Demak Tahun Ajaran 2015/2016”. Journal of Arabic Learning and Teaching, hlm. 16-19. Sehri bin Punawan, Ahmad, (2010). Metode Pengajaran Nahwu Dalam Pengajaran Bahasa Arab. Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.1, April 2010:47-60, STAIN Datokarama Palu. Silaban, R. and Napitupulu, M.A., (2012). Pengaruh media mind mapping terhadap kreativitas dan hasil belajar kimia siswa SMA pada pembelajaran menggunakan advance organizer. Jurnal Universitas Negeri Medan.

305