Kajian Historis Relasi Keraton Kanoman Dan Pesantren Buntet Cirebon
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Jejak Syiah Dalam Kesenian Tabot Bengkulu; Suatu Telaah Sejarah GERAKAN ISLAM KEBANGSAAN MBAH MUQAYYIM; KAJIAN HISTORIS RELASI KERATON KANOMAN DAN PESANTREN BUNTET CIREBON Yoyon PPM Islam Nusantara STAINU Jakarta Abstract The article talks about a relationship system between keraton and pesantren in Cirebon in framework of historical of the 18th M century. It Refers to discuission tendency about pesantren and its authority. Both two institutions are interpreted in a separated manner. Whereas there is a number of evidences that this relationship between pesantren and keraton as an institution power in Java has a close connection. This Study is based on an argument that keraton and pesantren have close relationship with a side lineage or in building Cirebon Islamic character. Except uses historical approach, this research also uses multidimensional approach through many knowledge discipline approaches, such as Anthropology, Sociology, and Cultures. This article is not only revealing the historical element of keraton relationship but also discusses about Islamic nationality movement by a mufti figure, Mbah Muqayyim. An against religion movement’s figure to colonialist which basically, is spirit protectionto the religion and nationality. The result can be concluded that keraton and pesantren relationship system in Cirebon is made through kinship, scientific transmission and tradition preservation concept Where Mbah Muqayyimas an important figure who contributes to save the keraton’s religious tradition whichis threatened by colonial ist dominance in surroundings Keraton Kanoman. Key words: Indigenous Institutions, Dutch Colony, Religious Agents Abstrak Tulisan ini membahas tentang pola hubungan antara keraton dan pesantren di Cirebon dalam kerangka historis abad ke 18 M. Mengacu pada kecenderungan kajian-kajian tentang pesantren dan kekuasaan, dua institusi tersebut cenderung didekati secara terpisah. Padahal ada sejumlah bukti bahwa hubungan pesantren dan keraton sebagai institusi kekuasaan di tanah Jawa memiliki hubungan yang erat. Studi ini mendasarkan argumen bahwa keraton dan pesantren memiliki hubungan yang erat baik pada sisi nasab atau peran dalam membentuk watak dan karakter Islam-Cirebon. Disamping menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), penelitian ini juga menggunakan pendekatan multidimensi, yaitu melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi dan budaya. Tulisan ini tidak hanya mengungkap unsur sejarah relasi keraton dan pesantren tetapi juga mengkaji gerakan Islam kebangsaan yang dilakukan oleh satu tokoh ulama yaitu Mbah Muqayyim. Sebuah gerakan perlawanan tokoh agama terhadap penjajah yang didasari oleh semangat pembelaan terhadap agama dan bangsa. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa pola hubungan keraton dan pesantren di Cirebon dibentuk melalui jalur kekerabatan, transmisi keilmuan dan gagasan pelestarian tradisi, dimana Mbah Muqayyim Vol. 4 No. 1 April 2018 Halaman 59 – 80 59 Jejak Syiah Dalam Kesenian Tabot Bengkulu; Suatu Telaah Sejarah memainkan peran yang sangat penting dalam upaya menjaga tradisi keagamaan keraton yang terancam pudar bersamaan dengan dominasi kekuasaan penjajah Belanda di lingkungan Keraton Kanoman. Kata Kunci : Gerakan Islam, Mbah Muqayyim, Keraton Kanoman PENDAHULUAN Kajian tentang pesantren dan kekuasaan cenderung didekati secara terpisah, padahal ada banyak bukti bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satunya terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam Jawa adalah melalui proses akulturasi antara unsur Islam yang dibangun oleh pesantren dan unsur kearifan lokal (Tradisi Jawa) yang dibangun oleh keraton (kekuasaan) (Joko Suryo, 2011: 1). Keraton dan pesantren di Jawa mempunyai pola hubungan yang erat dalam sejarahnya. Hubungan tersebut bisa dimulai sejak munculnya Kerajaan Demak yang mewarisi kekuatan Majapahit dalam memegang hegemoni atas Jawa. Dalam perjalanannya Kerajaan Demak secara nyata memberikan ruang politik kepada Wali Songo dengan tujuan mempercepat penyebaran Islam di Jawa. Kesempatan ini kemudin dimanfaat oleh Wali Songo untuk membuat wadah pendidikan Islam sebagai media mencetak kader-kader pendakwah (Selamet Muljono, 2005:11). Munculnya pesantren di Cirebon lahir dari tradisi membangun peguron (tempat belajar agama Islam) oleh para penguasa Cirebon. Pangeran Cakrabuwana dan Sunan Gunung Jati sebelum membagun Keraton Pakungwati terlebih dahulu membangun pusat keagamaan di perkampungan Amparan Jati di tahun 1477. Pada tahun 1706 Pangeran Raja Keprabon juga membangun Peguron Kacerbonan sebagai sarana belajar agama anak-anak di lingkungan keraton. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara keraton dan peguron (pesantren) di Cirebon karena keduanya berasal dari akar sejarah yang sama. (M. Sugianto Prawirarerdja, 2005: 80) Pasca Perang Diponegoro (tahun 1750-1850) merupakan masa kebangkitan pesantren-pesantren di Jawa. Bangkit kembangnya pesantren ini berawal dari para ulama keraton yang memilih menjauh dari istana karena tidak puas dengan dominasi penjajah yang ikut mengatur urusan pemerintahan raja-raja di Jawa. Hijrahnya para ulama dari istana ini kemudian berdampak dengan kemunculan pesantren-pesantren di Vol. 4 No. 1 April 2018 Halaman 59 – 80 60 Jejak Syiah Dalam Kesenian Tabot Bengkulu; Suatu Telaah Sejarah Pulau Jawa dan Madura. (M. Sugianto Prawirarerdja, 2005: 75) Pertengahan abad ke 18 merupakan puncak tumbuh dan berkembangnya pesantren-pesantren di Cirebon yang didirikan oleh ulama-ulama keraton. Pesantren Buntet adalah yang paling awal berdiri, didirikan oleh seorang Kiai Penghulu Keraton Kanoman yaitu Mbah Muqayyim pada tahun 1770. Di ujung barat Cirebon juga berdiri Pesantren Babakan Ciwaringin yang menurut cerita masyarakat setempat didirikan oleh Pangeran Alimudin yang kemudian lebih dikenl dengan nama Kiai Ali. Dalam catatan H.Zamzami Amin dijelaskan bahwa Pesantren Babakan didirikan Kiai Hasanudin (Kiai Jatira). Kiai Hasanudin adalah putra KH.Abdul Latif (dari Plumbon) ia adalah keturunan dari Sultan Keraton Cirebon. Di desa Kempek, Palimanan juga berdiri Pesantren yang didirikan Kiai Harun pada tahun 1808. Di selatan Cirebon terdapat Pesantren Balarante yang didirikan oleh Kiai Romli atas perintah Sultan Saifudin atau Sultan Matangaji pada tahun 1774-1784. Dan diujung timur Cirebon berdiri Pesantren Gedongan di desa Ender Kecamata Astana Japura, didirikan oleh Kiai Said pada tahun 1880.(Zamzami Amin, 2014: 86) HUBUNGAN KERATON KANOMAN DAN PESANTREN BUNTET CIREBON Pendiri pesantren-pesantren di Jawa sebagian besar adalah ulama yang berasal dari keraton. Para ulama keraton ini terkumpul dalam sebuah wadah dengan nama Dewan Parapara, mereka memiliki peran penting dalam memberi kebijangan politik keraton, keberadaannya sudah ada jauh sebelum datangnya penjajah Belanda ke tanah air. Di Cirebon, pesantren memiliki hubungan yang erat dengan keraton, baik nasab (genealogi), kerabatan, atau dalam sejarah perjuangannya. Salah satunya hubungan antara Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet yang tetap terjaga sampai sekarang, salah satu contohnya masing-masing dari keduanya saling menitipkan dan mengingatkan tentang fenomena yang terjadi ditengah-tengah masayarakat. Juga pada setiap penyelenggaraan tradisi baik di Pesantren Buntet dan Keraton Kanoman masing- masing menghadiri untuk mempererat kekeluargaan.(Wawancara Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet, 2015) Hubungan Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet setidaknya bisa dilihat dari tiga latar belakang sejarah. Pertama pendiri Pesantren Buntet dan beberapa penerusnya Vol. 4 No. 1 April 2018 Halaman 59 – 80 61 Jejak Syiah Dalam Kesenian Tabot Bengkulu; Suatu Telaah Sejarah pernah menjadi Penghulu Keraton Kanoman. Kedua Pendiri Pesantren Buntet Mbah Muqayyim dan Kiai Muta’ad adalah keturunan Sunan Gunung Jati pendiri Keraton Cirebon. Dan ketiga, Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet merupakan pusat penyebaran tarekat Syatariyah. Dari tiga latar belakang sejarah hubungan Keraton Kanoman dan Pesantren Buntet tersebut, bisa dijelaskan sebagai berikut : MBAH MUQQAYIM DAN KETURUNANNYA SEBAGAI KIAI PENGHULU KERATON KANOMAN Salah satu taktik Belanda dalam melanggengkan imperialisnya bukan hanya dengan menggunakan kekuatan militer, tetapi juga dengan upaya pendekatan agama. Salah satunya adalah merekrut para ulama untuk menjadi penghulu keraton sebagai pengatur kebijakan sosio-religius masyarakat, meski sebenarnya fungsi ulama di Kerajaan Nusantara dengan istilah (Penasehat Tinggi Kerajaan) sudah ada jauh sebelum datangnya penjajah Berlanda (Ibnu Qoyim Ismail,1997: 20). Sir James Lancaster (perwakilan inggris) mencatat di Kerajaan Aceh, penghulu kerajaan masyhur menggunakan istilah Syaikhul Islam. Diperkiraan pada tahun 1602 Hamzah Fansuri yang menduduki jabatan ini. Kerajaan Demak pun menggunkan Kadi atau penghulu di dalam Istana, tercatat pada awal kekuasaan Raden Patah Sunan Bonang pernah berperan sebagai Kiai Penghulu Kesultanan Demak di tahun 1490, ketika Pangeran Sabrang Lor berkuasa Rahmatullah yang menempati posisi ini ditahun 1521. Sampai kemudian Sunan Kudus menggantikannya. Sedangkan di Banten Kiai Penghulu Mashur dengan nama Pakih Najmudin. Di tahun 1680 Kesultnan Banten memiliki Syekh Yusuf Al-Makasari sebagai mufti di era Sultan Ageng Tirtayasa (Abu Hamid, 1994: 95). Di Cirebon, Keraton Kanoman semenjak berdirinya merupakan bentukan Belanda, maka tak heran jika Belanda- lah yang mengendalikan segala tatanan pemerintahannya, termasuk mengatur tata hukum peradilan agama. Tujuan Belanda bukan untuk kemaslahatan masyarakat Cirebon, tetapi