JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Vol 1, No 2 (2017) ISSN 2503-3166 (print); ISSN 2503-3182 (online)

Table of Contents

page Studi Etnoekologi tentang Nelayan dan Jaring Cantrang di Kabupaten Rembang Hesti Rofika Sari, Nugroho Trisnu Brata (Universitas Negeri Semarang) 135 - 146 Perlawanan Visual Perempuan dalam Poster Misbah Zulfa Elizabeth (Universitas Negeri Walisongo, Semarang) 147 - 160 Kearifan Budaya Lokal sebagai Benteng Munculnya Konflik Agama Alfan Sidik (STAI Natuna) 161 - 176 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18 Didin Nurul Rosidin (Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon) 177 - 194 Membangun Harmoni Sosial: Kajian Sosiologi Agama tentang Kearifan Lokal sebagai Modal Dasar Harmoni Sosial David Samiyono (UKSW, Salatiga) 195 - 206 Analisis Komparatif atas Hasil Tracer Study Program Studi Hubungan Internasional dan Administrasi Negara Muhyar Fanani, Akhriyadi Sofian, Kaisar Atmaja, Endang Supriadi (Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang) 207 - 224 Melihat dari Jendela Papua: Kebinekaan dalam Rajutan Budaya Melanesia Akhmad Kadir (Universitas Cendrawasih, Jayapura) 225 - 246

Author Guidelines

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Vol 1, No 2 (2017) │ i

ii JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Vol 1, No 2 (2017), 177-194 ISSN 2503-3166 (print); ISSN 2503-3182 (online), DOI: http://dx.doi.org/ 10.21580/jsw.2017.1.2.1993

Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18

Didin Nurul Rosidin Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon (e-mail: [email protected] )

Abstract

This article related to the dynamic of islam intellectual network in Cirebon post Sunan Gunung Jati in the late of 16 century until early of 18 century. This era has been crucial because every dynamic of islam intellectual network happened after the death of Sunan Gunung Jati. Then the implication had headed to the existence of islamic education institution which is held in Keraton, one of the basis where islamic intellectual network in Cirebon, and also to the dominant intellectual discourse that evolved for two centuries. There are three stages of islam intellectual network progress in Indonesia which is related to middle east as a center and also main reference since 13 century untill 20 century. Firts, islamisasi (islamisation). This was when Islam for the first time spreaded by moslem’s traders, travelers, and moslem scholars (ulama). This happened around 13 century. Second, neo-. Neo sufism has occured for 3 centuries, since 16 centuries till 18 centuries. In this era some moslem scholars have had significant roles to disseminate knowledge and movement from middle east to Nusantara. And third, purification of islam. Some moslem scholars that have already finished their study and hajj became active to spread the ideas of purification of islam which developed in middle east.

Artikel ini membahas mengenai dinamika jaringan intelektual Islam di Cirebon paska Sunan Gunung Jati pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18. Era tersebut sangat krusial karena setiap dinamika jaringan intelektual Islam berlangsung setelah kematian Sunan Gunung Jati. Sehingga implikasinya mengarah pada eksistensi institusi pendidikan Islam yang ada di dalam Keraton, yang notabene merupakan salah satu basis dari jaringan intelektual Islam yang ada di Cirebon, pun merupakan wacana intelektual dominan yang berlangsung selama dua abad. Terdapat tiga tahap perkembangan jaringan intelektual Islam di Indonesia yang terkait dengan Timur Tengah yang merupakan pusat dan juga referensi utama sejak abad ke-13 hingga abad ke- 20. Pertama, islamisasi ( islamisation ). Tahapan ini merupakan era dimana untuk pertama kali Islam disebarkan oleh para pedagang muslim, penjelajah, dan cendekiawan muslim (ulama). Ini berlangsung sekitar abad ke-13. Kedua, neo-sufism. Neo sufisme telah berlangsung selama tiga

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 177 Didin Nurul Rosidin

abad, sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Dalam era ini sebagian cendekiawan muslim telah mempunyai banyak peran yang sangat signifikan untuk mendiseminasikan pengetahuan dan pergerakan dari Timur Tengah ke seluruh Nusantara. Ketiga, purifikasi Islam. Sebagian cendekiawan muslim telah menyelesaikan pendidikan dan ibadah haji mereka dan kemudian aktif menyebarkan ide-ide mengenai kemurnian Islam yang berkembang di Timur Tengah.

Keywords: moslem intellectual network; keraton; educational institute; scholarly tradition

melahirkan jaringan intelektual Islam baru Pendahuluan dimana sebagai locus utamanya. Artikel ini terkait dengan dinamika Berbagai perubahan inilah yang menjadi jaringan intelektual Islam di Cirebon paska faktor dinamisnya perkembangan jaringan Sunan Gunung Jati pada akhir abad ke-16 intelektual Islam di Cirebon (Azra 1998; hingga awal abad ke-18. Masa ini sangat Carey 2008). krusial mengingat perubahan yang terjadi Pembentukan jaringan intelektual Islam setelah meninggalnya sosok wali agung ini tidak lepas dari proses Islamisasi di yang sangat dihormati di pulau Jawa, bah- Cirebon. Islamisasi di wilayah ini dilakukan kan Nusantara, tersebut. Para pewaris oleh para muballigh seperti Syekh tahta kerajaan Islam ini memiliki beban Hasanuddin, Syekh Nurjati, Pangeran untuk meneruskan berbagai warisan Cakrabuana, Syekh Bayanullah dan Sunan agung yang ditinggalkannya, termasuk Gunung Jati. Gerakan ini telah menjadikan jaringan intelektual Islam yang terwadahi wilayah ini tidak saja menjadi salah pusat dalam beragam institusi pendidikan Islam kekuatan politik Islam yang sangat di- di Keraton.Intervensi VOC yang kafir me- perhitungkan melalui Kerajaan Islam nambah beratnya beban sekaligus Cirebon dan , tetapi juga di ke- tantangan yang harus dihadapi.Pada saat mudian hari menjadikannya sebagai salah yang sama, kekuasaan politik Islam di satu kiblat keilmuan Islam ( puser bumi ) di Cirebon justru terpecah ke beberapa pulau Jawa khususnya dan Nusantara pada Kerajaan kecil. Terlebih lagi bahwa Kom- umumnya. Prestasi yang kedua tersebut peni berhasil menancapkan pengaruhnya membawa Cirebon menjadi salah satu hingga mengakibatkan Keraton seperti sumbu penting dalam jaringan intelektual kehilangan klaim utamanya sebagai pusat Islam di Nusantara (Abdurrahman 1996). syiar sekaligus pendidikan Islam.Hal ini mendorong gerakan oposisi dari kalangan Hal lain yang perlu dicatat terkait ulama Keraton yang pada akhirnya dengan jaringan intelektual Islam ini ialah

178 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18 bahwa para muballigh awal tersebut ter- Jika Sunan Gunung Jati nampaknya catat sebagai alumni Timur Tengah, ter- begitu sempurna untuk memerankan utama Mekah dan Madinah. Mereka bisa fungsi sebagai Raja sekaligus wali, hal yang dikatakan sebagai sanad utama transmisi tentunya tidak mudah untuk dilakukan keilmuan Islam dari Timur Tengah ke oleh para penerusnya. Selain faktor kuali- Cirebon. Transmisi ini diperkuat oleh pen- tas personal dari masing-masing penerus- dirian lembaga pendidikan Islam seperti nya, perubahan situasi baik politik maupun Pengguran Amparan Jati, Pejalagrahan, lainnya berikut tantangannya tentunya Dalem Agung Pakungwati, Mesjid Astana juga turut berperan dalam perubahan yang dan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Melalui terjadi di Cirebon setelah meninggalnya lembaga-lembaga pendidikan Islam inilah, sang wali agung tersebut. Cirebon sebagai jaringan intelektual Islam terbentuk di Ke- simbol sekaligus pusat politik, agama dan rajaan Islam Cirebon yang diproklamasi- transmisi keilmuan Islam relatif bertahan kan kemerdekaannya dari Kerajaan Hindu paling tidak ketika Cirebon di bawah Pajajaran pada akhir abad ke-15 (Hardja- kepemimpinan Panembahan Ratu (b. saputra dan Haris Tawalinudin 2011). 1570-1649) yang digambarkan oleh Pendirian Kerajaan Islam berikut sumber-sumber lokal sebagai seorang lembaga-lembaga pendidikannya menjadi- pertapa (Cerbon 1978; Atja 1986). kan Keraton sebagai titik pusat jaringan Namun situasi tersebut berubah setelah intelektual Islam di Cirebon. Transmisi meninggalnya Panembahan Ratu. Panem- keilmuan menjadi identik dengan trans- bahan Girilaya (b. 1949-1662) gagal me- misi politik dan keagamaan. Tidak heran nampilkan diri sebagai sosok ulama sekali- jika sosok pemimpin Kerajaan Islam ini gus raja sebagaimana para pandahulunya. tidak saja mewakili sosok Raja yang ber- Kegagalan ini berdampak pada menurun- kuasa secara politik tetapi juga sosok wali nya wibawa Kerajaan Islam di mata para yang ahli agama dan sumber otoritas ke- penguasa Kerajaan Islam di pulau Jawa. Hal ilmuan Islam. Patatah-petitih Sunan ini terlihat pada gagalnya ia membendung Gunung Jati berfungsi tidak saja sebagai intervensi politik Mataram yang berakhir kebijakan politik tetapi juga ajaran agama dengan tragedi meninggalnya Panembah- yang paling otoritatif sekaligus otentik. an Girilaya dengan status sebagai pe- Kerangka hubungan politik, agama dan sakitan. Krisis politik akibat kekosongan ilmu seperti ini nampaknya telah menjadi penguasa menyusul meninggalnya pe- standar bagi cara pandang kaum Muslim nguasa keempat di dalam tahanan di Cirebon pada masa awal terhadap fungsi ibukota Mataram dipersulit oleh intervensi raja (sultan) dan keratonnya. kekuatan politik Islam lainnya yaitu Ke-

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 179 Didin Nurul Rosidin rajaan Islam Banten. Beragam intervensi nya jaringan intelektual Islam baru dengan politik ini berujung pada terpecahnya Ke- pesantren sebagai basisnya dan berpusat rajaan Islam Cirebon ke tiga pusat ke- di wilayah pedesaan. Kiai Muqoyyim kuasaan kecil (Kasepuhan, Kanoman dan (Mbah Muqoyyim) merupakan pionir Kepanembahan). Krisis politik ini ternyata dalam pembentukan jaringan intelektual terus berlanjut, bahkan bisa dikatakan Islam berbasis pesantren ini di wilayah semakin akut, ketika VOC secara langsung Cirebon. Pada masa selanjutnya, pesantren terlibat dalam urusan politik internal berikut para kiai dan alumninya menjadi Cirebon pada akhir abad ke-17 hingga pelaku utama jaringan intelektual Islam di abad-abad berikutnya ketika Cirebon ber- Cirebon, meskipun tidak berarti bahwa ada dalam penjajahan Pemerintah Kolonial peran Keraton sama sekali hilang sebagai- Belanda. mana terlihat dari lahirnya Pengguran Krisis politik ini tentunya berpengaruh Kaprabon dan pengguran lainnya (Hadi terhadap kedudukan Cirebon sebagai 2014). pusat agama dan keilmuan Islam, paling Tentunya menarik jika kita meng- tidak untuk kaum Muslim lokal. Pada hubungkan jaringan intelektual dan tradisi awalnya, beragam intervensi politik eks- keilmuan Islam Cirebon yang cenderung ternal tersebut belum banyak berpe- menurun pada abad ke-17 dan abad ke-18 ngaruh terhadap kedudukan dan status dengan perkembangan jaringan intelektual Cirebon tersebut.Namun situasi ini ber- dan tradisi keilmuan Islam di Nusantara ubah ketika VOC yang khawatir terhadap yang justru sangat pesat pada masa itu. pengaruh para ulama terhadap eksistensi Terkait dengan topik tersebut di atas dan kepentingan dagang mereka me- dalam konteks Nusantara telah banyak maksa pihak Keraton untuk melepaskan diulas oleh banyak sarjana terutama salah satu fungsi utamanya sebagai pusat (1998), Abdurrahman pendidikan dan belajar Islam pada awal Mas’ud (2006), Michael Laffan, Jajat abad ke-18. Hal itu ditandai oleh ditutup- Burhanudin (2007), Oman Fathurrahman nya Dalem Agung Pakungwati sebagai dan lain-lain. Lebih menantang lagi bahwa pusat pendidikan Islam di dalam Keraton. para sarjana pengkaji jaringan intelektual Selain itu, lembaga pendidikan Islam lain- tersebut nyatanya tidak nya seperti Mesjid Agung Sang Cipta Rasa banyak menyebut apalagi membahas dan Mesjid Astana berada dalam peng- kiprah penting para ulama Cirebon pada awasan ketat pihak VOC. Akibatnya, pusat perkembangan jaringan intelektual Islam pendidikan Islam berpindah ke luar Nusantara pada akhir abad ke-16 sampai Keraton dan menjadi titik awal terbentuk- pertengahan abad ke-18.

180 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18

Dari uraian di atas, artikel ini akan ber- pendekatan yang dikembangkan itu se- tumpu pada beberapa masalah yang di- perti studi pemikiran tokoh tertentu dan rumuskan sebagai berikut: Bagaimana karya pemikiran tertentu yang menekan- pola transmisi keilmuan sebagai bagian kan pada peran menonjol sosok-sosok dari pembentukan jaringan intelektual tertentu atau teks-teks atau pemikiran ter- Islam di Cirebon paska Sunan Gunung Jati tentu. Selain itu pendekatan yang terakhir (abad ke-16 sampai abad ke-18)? Siapa juga mengesankan bahwa pemikiran- sajakah para ulama yang menjadi tokoh pemikiran individu tersebut cenderung utama dalam jaringan intelektual Islam statis dan stabil (Burhanuddin 2007: 6). Cirebon pada kurun waktu tersebut? Apa Sebaliknya, pendekatan sejarah intelektual sajakah wacana atau pemikiran yang ber- justru menekankan aspek dinamis dari perkembangan tradisi keilmuan yang kembang dan atau dikembangkan oleh dikembangkan oleh para ulama dari satu para ulama dan melalui jaringan intelek- masa ke masa lain atau dinamika pe- tual Islam tersebut? mikiran antara beragam individu. Dengan tiga pertanyaan tersebut, arti- Pada awalnya, pendekatan sejarah inte- kel ini akan mampu membantu kita untuk lektual ini sebagai kritik terhadap pen- mengetahui pola transmisi keilmuan se- dekatan yang dikembangkan Annales bagai bagian dari pembentukan jaringan Perancis yang melihat teks sebagai sesuatu intelektual Islam di Cirebon paska Sunan yang hanya dijelaskan. Sebaliknya, pen- Gunung Jati (abad ke-16 sampai abad ke- dekatan sejarah intelekual yang di- 18), para tokoh utama jaringan ulama kembangkan oleh beberapa ahli sejarah Cirebon pada kurun waktu tersebut, dan seperti J. G. A. Pocock, Hayden White, wacana-wacana keilmuan yang ber- Dominic Lacapra dan Quentin Skinner kembang dan atau dikembangkan oleh justru melihat teks sebagai sebuah realitas dan melalui jaringan ulama tersebut pada yang otonom yang bisa berperan untuk kurun waktu tersebut. menjelaskan atau bahkan menciptakan realitas sejarah (Burhanuddin 2007: 6). Jaringan Intelektual dalam Tradisi Dengan kata lain, teks sebagai produk Keilmuan Islam sebuah ekspresi bahasa dari berbagai Studi tentang perkembangan tradisi macam ide dan pemikiran yang di- keilmuan di Cirebon paska Sunan Gunung kembangkan oleh para pelaku sejarah Jati harus dilihat dengan kacamata sejarah memiliki posisi yang sama sebagai sebuah intelektual yang menekankan aspek dina- realitas yang memiliki hubungan yang mika perkembangan tradisi itu dari satu sangat erat dengan realitas politik, eko- masa ke masa.Karenanya, tidak tepat jika nomi dan sosial masyarakat yang menjadi

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 181 Didin Nurul Rosidin kajian sejarah. Artinya, teks memiliki mengkonseptualisasikan realitas yang ada peran penting dalam proses penjelasan dihadapi berikut nilai dan normanya yang sejarah. Melalui teks pula, kita bisa melihat dengan itu semua para ulama men- sejarah sebagai sesuatu yang dinamis. definisikan Islam sebagai rujukan untuk Dengan pengertian tentang pendekatan kaum Muslim”. Dalam memberikan pe- sejarah intelektual di atas, pemikiran yang ngertian tentang tradisi seperti itu, Jajat dikembangkan oleh para ulama sebagai Burhanudin merujuk pada pandangan sebuah teks akan berperan dalam mem- Edward Shils yang melihat tradisi sebagai bantu kita memahami sejarah dimana, “suatu proses menciptakan dan me- kapan para ulama itu hidup dan berperan reproduksi apa yang diyakini telah ada dan bagaimana hubungannya dengan dan telah dilaksanakan pada masa lalu”. realitas politik, sosial dan ekonomi saat itu. Dengan dasar itu, tradisi harus dilihat Implikasi lebih lanjut dari pendekatan ini sebagai “sebuah aktivitas mental atau adalah bahwa perkembangan pemikiran salah satu model berfikir” (Burhanuddin ulama berikut jaringannya dari masa ke 2007: 6). Dalam kerangka tersebut, para masa sangat ditekankan dan selalu pula ulama berupaya mengkontruksi ulang, dikaitkan dengan situasi sosial, budaya, modifykasi, beragumentasi dan menemu- politik dan bahkan agama pada masanya. kan kenyataan masa lalu yang dihadapi Dengan kerangka tersebut, para ulama dengan cara pandang kontemporer pada akan dilihat sebagai sosok-sosok yang masa dimana ulama tersebut hidup dan kreatif yang mampu merespon beragam berperan. tantangan yang muncul di hadapannya Sementara itu dari sisi jaringan intelek- dan menariknya seringkali tidak terkait tual yang berfungsi untuk meneruskan langsung dengan isyu agama dengan tetap tradisi kelimuan dari satu masa ke masa berpedoman pada warisan intelektual, berikutnya, pola penyebaran keilmuan nilai dan norma yang pernah dikembang- Islam di pulau Jawa khususnya dan kan oleh ulama-ulama sebelumnya. Nusantara pada umumnya tidak lepas dari Kerangka di atas otomatis membahwa sistem keilmuan Islam klasik yang me- kita untuk memahami tradisi keilmuan di nekankan hubungan yang solid antara sini bukan sebagai sesuatu yang me- guru dengan murid seperti sistem sanad rupakan upaya untuk melanggengkan hadist dan atau mengikuti pola hubungan masa lalu. Akan tetapi, tradisi keilmuan di murshid dan murid dalan tradisi tasawuf sini adalah sebagaimana dijelaskan oleh yang dikenal dengan istilah tariqah Jajat Burhanudin sebagai “suatu pola tarsilah . Pola ini menggambarkan hubung- paradigma budaya dimana para ulama an “vertikal” antara guru dengan murid

182 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18 dalam kerangka pengembangan jaringan dengan abad ke-18 sebagai akar lahirnya intelektual Islam. Sementara bukti akan jaringan pesantren di Cirebon. Selain itu, adanya hubungan tersebut melalui proses masa ini bisa dipandang penting dan sertifikasi atau pemberian lisensi yang di- strategis, jika dilihat sebagai jembatan kenal dengan istilah ijazah atau juga peng- penguhung antara masa Sunan Gunung gunaan karya-karya gurunya sebagai acu- Jati dan masa berkembangnya jaringan an dalam proses pengajaran untuk murid- intelektual Islam melalui pesantren. Arti- muridnya (Azra 2006: 184-5). nya, rentang waktu penelitian ini berujung Selain jalur vertikal, pengembangan pada munculnya pesantren Buntet pada jaringan intelektual Islam juga dilakukan pertengahan abad ke-17. Di sinilah melalui jalur “horizontal” seperti melalui pentingnya artikel yang lebih serius ten- pernikahan maupun rekruitmen yang khu- tang jaringan intelektual dan tradisi sus dilakukan oleh seorang atau kelompok keilmuan Islam yang berkembang paska masyarakat yang menghendaki. Pola ini Sunan Gunung Jati. Kajian model ini juga bahkan terus berlanjut pada saat pe- guna untuk menempatkan secara tepat santren mulai berkembang. Dalam konteks sekaligus juga memahami karakter pe- itu, metode terakhir ini biasanya dilakukan mikiran Islam di kalangan ulama Cirebon dengan cara pihak pengundang menyedia- pada masa itu. Pastinya, karakter pe- kan tempat dan segala kebutuhan guna mikiran Islam yang eksklusif akan mem- pendirian pesantren, sementara beri pengaruh pada perkembangan tradisi yang baru lulus dan beranjak menjadi “Kiai keilmuan pada masa selanjutnya, yaitu ter- anom” direkrut untuk memimpin lembaga utama pada saat Cirebon secara langsung pendidikan tradisional yang baru saja di- berada di bawah pengaruh kolonialisme. dirikan. Jaringan Intelektual Islam Sebenarnya telah banyak penelitian Nusantara dan kajian tentang Islam di Cirebon, beberapa di antaranya seperti Sharon Joy Jika merujuk pada kajian para sarjana Shiddique (1977), Abdul Goffar Muhaimin tentang perkembangan jaringan intelek- tual Islam Nusantara yang dikaitkan de- (1995), Opan Sopari (2010), Machrus el- ngan Timur Tengah sebagai pusat se- Mawa (2010a dan b) Zaenal Masduqi kaligus sumber rujukan sejak abad ke-13 (2012), Didin Nurul Rosidin (2013) dan hingga awal abad ke-20, terdapat paling lain-lain. Meskipun demikian, para sarjana tidak tiga episode perkembangan jaringan tersebut di atas tidak banyak yang mem- intelektual Islam antara kedua wilayah ini. bahas tentang sejarah dan jaringan inte- Episode Islamisasi, episode diseminasi ide lektual terutama pada abad ke-16 sampai yang oleh Azra disebut neo-sufisme (Azra

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 183 Didin Nurul Rosidin

1998: 109-110) dan episode yang ketiga Sun 2010). Dengan kata lain, Islamisasi adalah ketika kaum Muslim Nusantara merupakan titik awal terbangunnya yang sadar akan belenggu pejajahan dan jaringan intelektual Islam antara perlunya akan pembaharuan sikap dan Nusantara dengan Timur Tengah. prilaku keagamaan sebagai salah landasan Episode kedua terjadi kurang lebih kokoh bagi perlawanan terhadap kaum selama tiga abad (abad ke-16 s.d 18). Masa penjajah. Melalui tiga episode inilah, kaum ini bisa dikatakan sebagai masa me- Muslim Indonesia mengalami pasang surut ningkatnya hubungan secara politik dan pentingnya jaringan intelektual Islam intelektual antara Muslim Nusantara de- antara Nusantara dengan Timur Tengah (Rosidin 2007: 6). ngan mereka di Timur Tengah, terutama wilayah Hijaz dimana kota suci Mekkah Episode pertama bisa dikatakan sebagai dan Madinah plus Mesjidil Haram berikut cikal bakal terciptanya jaringan intelektual Ka’bah dan Mesjid Nabawi. Pada episode Islam tersebut ketika kaum Muslim baik kedua ini, para penguasa Muslim Nusan- sebagai pedagang, pelancong hingga para ulama dari wilayah lain di dunia Islam, tara seperti Mataram dan Banten men- khususnya Timur Tengah, datang ke jadikan penguasa ( syarif ) Mekkah sebagai wilayah Nusantara dan mengenalkan rujukan untuk melegitimasi kekuasaan ajaran Islam. Inilah episode yang sering mereka atas kaum Muslim di wilayahnya. disebut sebagai awal gerakan Islamisasi Pada saat yang sama, para ulama Nusantara. Orang-orang seperti Syekh Nusantara juga mulai bisa memainkan Hasanuddin (Syekh Quro) di Karawang, peran yang cukup aktif untuk mentrans- Syekh Nurjati di Pasambangan, Maulana misikan ide dan gerakan Islam dari Timur di Gresik Jawa Timur dan Tengah ke Nusantara. Dalam prosesnya, lain-lain adalah para pionir yang berperan para ulama, paling tidak calon ulama, menghubungkan antara Nusantara yang Nusantara seperti Syekh Nuruddin Ar- masih didominasi oleh Hindu dan Budha Raniri, Abdul Rauf al-Singkili, Syekh dengan Timur Tengah dalam konteks pen- Muhammad Yusuf al-Maqasari yang nanti- ciptaan identitas agama baru yang ber- nya dikenal sebagai kelompok Jawiyyin nama Islam. Terlihat jelas bahwa para ulama ”asing alias baru” bisa dikatakan pergi ke dua pusat peradaban utama Islam sebagai aktor utama pembentukan jaring- di wilayah Hijaz, Mekkah dan Madinah, an inteletual Islam paling awal antara untuk belajar kepada para ulama mashur Nusantara dengan Timur Tengah, bahkan yang telah berkembang di sana. Ilmu mungkin dengan belahan dunia Islam pengetahuan dan pengalaman yang lainnya seperti dan Persia, termasuk mereka peroleh selama studi kemudian juga Cina (Reid 2011; Wade 2012; Wade & secara intensif bahkan massif disebarkan

184 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18 kepada kaum Muslim pribumi melalui perlunya pernurnian ajaran Islam dan murid-muridnya seperti Syekh Burhanud- pentingnya ijtihad. Para alumni haji ini din Ulakan, Syekh Abdul Muhyi dan lebih menekankan aspek aktifisme dalam Tengku Dawud al-Jawi al-Fansuri (Fathur- beragama dengan tujuan untuk melaku- rohman 2003: 42) dan atau menjadi kan perlawanan terhadap penjajahan. sumber inspirasi bagi lahirnya perubahan Sementara itu, dari sisi rujukan jaringan kaum Muslim di Nusantara. intelektual, para pembaharu Islam Episode yang ketiga adalah ketika para Nusantara tidak saja mengambil inspirasi alumni haji Nusantara baik setelah belajar dari wilayah Hijaz sebagaimana telah agama atau hanya melaksanakan rukun berlangsung selama episode kedua di atas, islam yang kelima mulai aktif menyebar- tetapi telah menjadikan ulama-ulama kan pemikiran-pemikiran pembaharuan Mesir sebagai rujukan seperti Jamaluddin Islam yang berkembang di Timur Tengah. Al-Afghani dan Muhammad Abduh (lihat Secara umum, pemikiran-pemikiran Islam Jamal 1998: 1-45). Bisa dikatakan bahwa yang baru dikembangkan ini bertujuan menjelang abad ke-20, kaum Muslim untuk memurnikan ajaran Islam baik dari Nusantara pada umumnya dan Hindia tradisi-tradisi lokal maupun dari pengaruh Belanda pada khususnya menyaksikan tasawuf. Pada awal abad ke-19 Tiga orang beragam kontestasi pemikiran Islam yang alumni Mekkah asal Sumatra Barat, Haji dicoba dikampanyekan oleh para ulama, Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji terutama alumni Timur Tengah. Sumanik yang banyak dipengaruhi oleh Singkatnya, Islamisasi telah menjadi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab fondasi bagi dibangunnya jaringan intelek- di Mekkah (1703-1792) berkeyakinan tual Islam antara Nusantara sebagai wila- Islam harus bersih dari pola agama sin- yah pinggiran dengan Timur Tengah se- kretis karena bercampur dengan tradisi bagai poros utama peradaban Islam. Me- lokal dan praktek-praktek sufisme (Fat- nguatnya kedudukan Islam paska Islami- hurrohman 2003: 62-65). sasi baik secara politik, ekonomi dan Gerakan pembaharuan semakin massif sosiologis telah semakin memperkuat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke jaringan intelektual Islam. Mekkah pada 20. Tokoh seperti Syekh Akmad Khatib di masa kejayaan politik Islam di Nusantara Mekkah melalui murid-muridnya, Haji tidak saja berfungsi sebagai pencarian Abdul Karim, Syekh Jamil Jambek dan H, ilmu bagi para ulama dan pelajar Islam di Minagkabau dan yang dengan itu para ulama menjadi- , H. Mas Abdurrahman dan kannya sebagai rujukan standar pe- A. Hassan di Jawa mengkampanyekan mahaman dan praketk keislaman yang

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 185 Didin Nurul Rosidin otentik, tetapi juga sebagai legitimasi Dengan dukungan dan bimbingan secara spiritual atas kekuasaan politik. Luluh penuh dari gurunya, Syekh Nurjati, dan lantaknya politik Islam akibat kolonialisme mertuanya, Ki Gedheng Alang-alang, berdampak tidak saja pada polarisasi Pangeran Cakrabuana berhasil mentrans- ulama di Nusantara tetapi juga pandangan formasikan wilayah yang “relatif tidak ber- tentang posisi kota suci Muslim. Para tuan” yang bernama Kebon Pesisir men- ulama pesantren tampil sebagai kelompok jadi wilayah yang maju. Kemajuan wilayah aktor utama penguatan sekaligus perluas- ini telah menarik para pelancong plus an jaringan intelektual. Melalui mereka lah pedagang dari berbagai belahan dunia karya-karya ulama baik Jawi maupun non- baik di Nusantara maupun mancanegara Jawi tersebar luas di Nusantara sekaligus untuk datang, bahkan menetap di wilayah memberikan akses bagi para santri di baru ini.tidak heran jija secara demografis, pesantren khususnya dan kaum Muslim penduduk yang tinggal di wilayah ini pada umumnya terhadap pemikiran-pemikiran masa itu telah heterogen secara etnis, Islam, termasuk fatwa-fatwanya. Jaringan budaya dan bahasa ataupun agama. Se- intelektual Islam inilah, kaum Muslim di bagai seorang penguasa Muslim yang taat, Nusantara mengalami transformasi yang Pangeran Cakrabuana tidak ketinggalan luar biasa pada akhir abad ke-19 dan awal juga membangun pusat syiar sekaligus abad ke-20. pendidikan Islam yang nantinya dikenal dengan nama Pejalagrahan. Dari Islam Keraton Cirebon tempat inilah, Islam berkembang dan me- Berbicara tentang perkembangan Islam nyebar ke wilayah lain di sekitar Cirebon. di Cirebon secara otomatis harus menying- Langkah yang lebih masif lagi dilakukan gung “Islam Keraton”. Hal itu tidak lepas oleh penerus Pangeran Cakrabuana yang dari fakta bahwa meski Islam pada awal- bernama Syarif Hidayatullah atau lebih nya tidak dikenalkan oleh para penguasa dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, lokal, Islam di Cirebon pada masa selanjut- salah seorang dari Sembilan Wali (Wali- nya identik dengan Keraton. Sosok Pa- songo) yang paling dihormati umat Islam ngeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati di pulau Jawa. Di bawah kepemimpinan- tidak saja merepresentasikan sebagai nya, Islam menyebar di pulau Jawa bagian penguasa secara politik tetapi juga sebagai barat mulai Cirebon hingga Banten. Pada sosok penyebar Islam ( muballigh ). Artinya, saat yang sama, ia juga berhasil mendiri- Islam di Cirebon adalah Islam Keraton. kan dua kerajaan Islam sekaligus di Pangeran Cakrabuana tercatat sebagai wilayah ini yaitu Cirebon (1485) dan pendiri pertama Islam politik di Cirebon. Banten (1527) yang akan mendominasi

186 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18 percaturan, bahkan identitas politik Islam nya Panembahan Girilaya akibat intervensi di wilayah ini hingga kini. Kerajaan Islam Mataram. Ketika Kerajaan Gerakan Islamisasi Sunan Gunung Jati Islam Banten yang sedang bersaing dengan diperkuat oleh berbagai kebijakan yang Mataram untuk perebutan pengaruh politik di pulau Jawa juga ikut melakukan dikeluarkannya. Tidak lama setelah di- intervensi politik, situasi politik di Cirebon proklamasikan sebagai penguasa baru, ia semakin memburuk. Kerajaan Islam mendeklarasikan kemerdekaan dari Ke- Cirebon terpecah kepada tiga pusat ke- rajaan Hindu Pajajaran. Langkah-langkah kuasaan kecil (Kasepuhan, Kanoman dan berikutnya adalah pembangunan pusat Kapanembahan) pada akhir abad ke-17, pendidikan Islam Keraton di Dalem Agung sebelum pada awal ke-18 bertambah de- Pakungwati, pembangunan Mesjid Agung ngan lahirnya Kacirebonan. Kondisi politik Sang Cipta Rasa, dan penerapan beberapa yang terpecah ini menjadikan Cirebon aspek utma dalam hukum Islam, Islamisasi pada akhir abad ke-17 dengan mudah budaya dan tradisi lokal Cirebon dan lain- dikuasai oleh VOC yang secara perlahan lain. Massifnya Islamisasi ini menjadikan tapi pasti menghegemoni politik Cirebon. Cirebon sebagai salah satu kiblat utama Para sultan, panembahan dan pangeran kebudayaan dan peradaban Islam sekali- seperti tidak berdaya menghadapi tekanan gus menjadi referensi bagi kaum Muslim dan infiltrasi massif VOC. Sebaliknya, di Nusantara. mereka justru semakin ketergantungan Posisi strategis Keraton sebagai pusat pada “kebaikan dan Bantuan” VOC yang kekuasaan politik dan agama ini relatif sebenarnya lebih berkonsentrasi pada mampu dipertahankan oleh para pe- untuk memastikan akan jaminan keaman- nguasa penerus Sunan Gunung Jati, ter- an kepentingan ekonomi mereka sebagai utama pada masa Fatahillah (b. 1568- sebuah perusahaan dagang asing. 1570), Panembahan Ratu (b. 1570-1649) Gonjang-ganjing politik pada akhir abad dan Panembahan Girilaya (1649-1662). ke-17 dan selama abad ke-18 ini secara Meskipun demikian, sejak awal perlu otomatis berakibat pada merosotnya, jika digarisbawahi bahwa kecenderungannya tidak boleh dikatakan hilangnya, keduduk- terus merosot pamornya karena berbagai an Keraton sebagai pusat politik dan faktor yang mengitarinya sebagaimana agama sekaligus simbol nilai, keagungan telah dijelaskan secara ringkas pada bagi dan identitas tradisional. Inilah yang ke- pendahuluan di atas. mudian menorong lahirnya gerakan- Situasi benar-benar berubah ketika gerakan perlawanan baik secara simbolis Kerajaan Islam Cirebon mengalami krisis maupun fisik. Para tokoh opisisi seperti politik menjelang dan setelah meninggal- Pangeran Kusumajaya, Ki Bagus Rangin

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 187 Didin Nurul Rosidin hingga Kiai Muqoyyim tampil untuk me- sekaligus rujukan ilmu pengetahuan Islam mimpin perlawanan. Mereka bergerak di pulau Jawa (Rido 2014: 45). 1 keluar Keraton dan membangun basis- Dalam konteks kelembagaan pendidik- basis perlawanan di wilayah pedesaan an Islam di Cirebon, Muhaimin mem- yang jauh dari pusat kekuasaan yang baginya ke dalam tiga episode (Muhaimin berada di perkotaan. 1995: 207). Pertama, pendidikan Islam Dari gambaran tersebut di atas, terlihat yang berada dan dikelola oleh masyarakat. jelas bahwa intervensi berbagai kekuatan Episode ini terjadi pada masa awal luar mulai dari Mataram, Banten dan Islamisasi yaitu saat Syekh Nurjati men- Kompeni Belanda membawa implikasi dirikan lembaga pendidikan Islam yang yang luar biasa. Keraton Cirebon yang sering disebut dalam naskah-naskah lokal memang sejak awal tidak menampilkan sebagai pengguran, meskipun terkadang diri sebagai institusi politik Kerajaan an juga disebut pesantren. sich tetapi juga sebagai pusat dakwah Islam Kemudian terjadi transformasi ke- kehilangan kharismanya. Sebagai reaksi lembagaan pendidikan ketika Pangeran akan runtuhnya kharisma Keraton, be- Cakrabuana yang menjadi penguasa berapa ulama melakukan perlawanan baik Cirebon mendirikan tajug sebagai lembaga secara langsung seperti yang dilakukan pendidikan Islam dan menjadi bagian dari oleh Pangeran Kusumajaya maupun secara struktur kekuasaan. Masuknya lembaga tidak langsung seperti dengan mendirikan pendidikan ke dalam lingkungan kekuasa- pesantren di luar wilayah Keraton sebagai- an semakin dominan tatkala Syarif mana yang dilakukan oleh Kiai Muqoyyim. Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menjadi raja sekaligus wali pada kerajaan Islam. Jaringan Intelektual Islam Cirebon Selain mempertahankan tajug Pejalagrah- Pembentukan jaringan intelektual an, ia mendirikan lembaga pendidikan Islam serta pola transmisi keilmuan Islam Islam baru seperti Pengguran Dalem di Cirebon sangat terkait dengan per- ______kembangan lembaga pendidikan Islam. 1Dalam sumber sejarah lokal yang berjudul Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara sebagaimana Terlebih lagi jika dihubungkan dengan yang dikutip oleh Rosidi Rido dinyatakan bahwa klaim yang banyak dicatat dalam naskah- dalam konteks Islamisasi pulau Jawa, Cirebon merupakan salah satu dari tiga puser bumi selain naskah lokal bahwa Cirebon merupakan Demak di Jawa Tengah dan Ampel Denta di Jawa salah satu dari tiga puser bumi ilmu-ilmu Timur.Cirebon menjadi puser bumi di Jawa Barat. Secara rinci dalam naskah tersebut dinyatakan, “ Ing Islam di pulau Jawa selain Demak dan Jawa dwipa hana telung siku puserbumi yatiku/ Jawa Ampel Denta, Surabaya. Tidak heran jika kulwon yata Carbon/ Jawa mudhiya yata Demak/ Jawa wetan yatiku/ Ngampel denta neher giri/ ring Cirebon menjadi salah satu kiblat nguni Geresik/.

188 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18

Agung Pakungwati dan Mesjid Agung Sang diri memperdalam agama di lembaga- Cipta Rasa. Selain itu, Mesjid Astana yang lembaga tersebut. Sanad keilmuan hanya menjadi pusat pendidikan Islam yang terpusat pada silsilah guru yang ada di dibangun oleh Syekh Nurjati dan berada di lembaga pendidikan itu.Inilah yang men- Amparan Jati dimasukan menjadi bagian jadi cikal bakal lahirnya jaringan intelek- dari Kerajaan. Inilah periode kedua di- tual Islam lokal yang dalam banyak hal mana lembaga pendidikan Islam menjadi seperti terlepas dari jaringan intelektual bagian dari Keraton. Islam Nusantara bahkan global yang se- Khusus terkait dengan peran dan fungsi makin berkembang pada abad ke-17 dan lembaga pendidikan Islam (Dalem Agung ke-18 (Effendi 1994). Pakungwati dan Mesjid Agung Sang Cipta Status Dalem Agung Pakungwati, Rasa) di Keraton, Sunan Gunung Jati Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dan Mesjid menjadikannya sebagai “ kawah candra- Astana sebagai lembaga pendidikan Islam dimuka ” bagi calon-calon pemimpin pe- utama mengalami kemunduran akibat merintahan kerajaan Islam Cirebon dan masuknya intervensi VOC. Pada tahun kader-kader intelektual Islam yang akan 1702, VOC memaksa pihak Keraton yang Islam ke berbagai wilayah di pulau Jawa menjadi tiga saat itu untuk menutup Peng- bagian barat khususnya dan Nusantara guran Dalem Agung sebagai pusat pen- pada umumnya. Di sinilah Panembahan didikan Islam. Selain itu, pihak VOC juga Ratu, Panembahan Girilaya, bahkan Sultan secara intensif mengontrol lembaga- Agung Mataram pernah mengenyam pen- lembaga pendidikan Islam lainnya ter- didikan Islam pada masa mudanya. Fungsi utama Mesji Agung Sang Cipta Rasa dan dan kedudukan tersebut menjadikan Mesjid Astana selain tempat-tempat lain- lembaga-lembaga pendidikan Islam ter- nya yang dipandang sebagai basis ulama sebut sebagai “mekkah”-nya bagi kaum yang dipandang dapat membahayakan Muslim di Cirebon khususnya. Petatah- kedudukan VOC. petitih Sunan Gunung Jati menjadi bahan Intervensi VOC mendorong sebagian ajar utama sekaligus wacana yang paling ulama untuk keluar dari lingkungan dominan. Para ulama yang telibat pada Keraton dan membangun institusi pen- lembaga-lembaga tersebut berperan se- didikan Islam yang tidak akan bisa di- bagai guru, mufti bahkan qadi bagi pe- intervensi pihak Kompeni. Pesantren laksanaan tata kehidupan keagamaan di Buntet yang didirikan oleh Kiai Muqoyyim, Kerajaan Islam Cirebon. Begitu pentingnya seorang Mufti Kesultanan Kanoman, pada posisi lembaga-lembaga pendidikan ter- pertengahan abad ke-18 menjadi cikal sebut telah mendorong para pelajar bakal lahirnya lembaga pendidikan di luar Muslim di Cirebon untuk mencukupkan lingkungan Keraton. Inilah yang oleh

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 189 Didin Nurul Rosidin

Muhaimin disebut episode ketiga per- Berbagai perkembangan yang terjadi baik kembangan lembaga pendidikan Islam di secara politik, ekonomi, sosial, budaya Cirebon ketika pengelolaan lembaga pen- maupun agama tidak bisa dilepaskan dari didikan kembali ke masyarakat sebagai- berbagai perkembangan yang terjadi di mana yang pernah terjadi pada masa awal Nusantara. Bahkan, khusus untuk wilayah Islamisasi. bagian barat pulau Jawa, Cirebon adalah Pada masa selanjutnya, tidak heran jika rujukan utama. Bermula dari Cirebon, jaringan intelektual Islam juga mem- politik Islam berkembang hingga me- bangun channel baru di luar Keraton. lahirkan dua kerajaan Islam terbesar di Menariknya, sebagaimana pada masa awal wilayah bagian barat pulau Jawa sebelum Islamisasi Cirebon, jaringan intelektual masa kolonialisme yaitu Cirebon dan Islam yang dibangun oleh Kiai dan alumni Banten. Dari tempat ini dan melalui pesantren adalah jaringan intelektual lembaga-lembaga pendidikan Islam yang Islam global dengan menjadikan Mekkah didirikan berikut para ulama dan alumni- dan Madinah dalam arti yang sebenarnya nya, Islam berikut keilmuannya menyebar sebagai rujukan otoritas ilmu keislaman. ke semua bagian wilayah tersebut. Tentu Para ulama berbasis pesantren ini meng- tidaklah mengagetkan jika Cirebon men- hubungkan diri dengan sanad tarekat- jadi rujukan akan Islam dan keilmuannya tarekat yang dibawa oleh para alumni atau sekaligus cikal bakal pusat jaringan memiliki jalur silsilah dengan alumni intelektual Islam di pulau Jawa. Timur Tengah seperti Syattariyah sebagai- mana yang dilakukan oleh Kiai Muqoyyim Secara historis, abad ke-16 s.d. 18 dan Kiai Anwarudin Kriyan. Sebagian merupakan masa peralihan dari episode ulama tersebut bahkan pergi langsung ke kedua ke ketiga jaringan intelektual Islam kota suci kaum Muslim tersebut sebagai- di Cirebon. Masa ini menyaksikan per- mana yang dilaksanakan oleh Kiai Tolkhah ubahan pusat tradisi keilmuan Islam yang yang menyebarkan tarekat qadiriyah wa tadinya berpusat di Keraton kemudian naqsabandiyah dan Kiai Abbas yang me- berpindah dan menyebar di beberapa nyebarkan tarekat Tijaniyah . Sejak saat itu wilayah pinggiran di luar keraton seiring dan hingga saat ini, jaringan pesantren dengan munculnya lembaga pendidikan mendominasi jaringan intelektual Islam di pesantren. Terjadi perpindahan otoritas Cirebon dan sekitarnya. keagamaan dari Qadi di Keraton ke Kiai di pesantren. Sementara itu dari sisi wacana Kesimpulan yang dikembangkan secara umum tidak Cirebon secara historis merupakan jauh berbeda dengan wacana yang ber- salah pusat peradaban Islam di Nusantara. kembang di dunia Islam Nusantara secara

190 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18 umum yaitu Islam sufistik, meskipun Carey, Peter. 2008. The Power of Prophecy: dalam beberapa kasus warna Islam orto- Prince Dipanagara and the End of an Old Order in , 1785-1855 . Leiden: doks yang berorientasi pada fiqh juga KITLV Press. cukup berkembang. Hanya saja, pada epi- Cerbon, Pangeran Arya. 1978. Purwaka sode ketiga ini, Islam sufistik semakin Tjaruban Nagari (Asal Mula Berdiri- berkembang seiring dengan diperkenal- nya Negara Cirebon) dialih bahasa kannya tarekat-tarekat ke masyarakat oleh H.A. Dasuki, Indramayu: t.p. Muslim di Cirebon pada pertengahan abad Danasasmita, Saleh dkk. 1984. Rintisan Pe- ke-18 hingga awal abad ke-20.[] nelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (Jilid Keempat), Bandung: Daftar Pustaka Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat Pemerintah Provinsi Daerah Abdurrahman. 1996. “Nawawi al-Bantani: Tingkat I Jawa Barat. An Intelectual Master of the Pesantren Tradition.” Studia Islamika 3 (3). Dahuri, Rochmin dkk. 2004. Budaya Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon . : Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari, Perum Percetakan Negara RI. Karya Sastra sebagai Sumber Penge- tahuan Sejarah. Bandung: Proyek De Graaf, H.J. dkk, 1998. Cina Muslim di Jawa Pengembangan Permesiuman Jawa Abad ke 15 dan 16 Antara Historisitas Barat. dan Mitos. Yogyakarta: Tiara Wacana. Azra, Azyumardi. 1995. “Hadhrami Scholars Effendi, Khasan. 1994. Petatah-Petitih Sunan in the Malay-Indonesian Diapora: A Gunung Jati Ditinjau dari Aspek Nilai Preliminary Study of Sayyid Uthman,” dan Pendidikan . Bandung: CV Indra Studia Islamika 2 (2). Prahasta. ———. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah Hadi, Abdul. 2014. Pendidikan di Kota dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Cirebon 1910-1945 , Cirebon: LeKAS. dan XVIII. Bandung: Mizan. Hardjasaputra, A. Sobana dan Haris Tawalin- ———. 2002. Jaringan Global dan Lokal: udin. 2011. Cirebon: Dalam Lima Islam Nusantara . Bandung: Mizan. Zaman (Abad ke-15 hingga Per- tengahan Abad ke-20). Bandung: Dinas ———. 2006. Islam in the Indonesian World: Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi An Account of Institutional Formation , Jawa Barat. Bandung: Mizan. Hoadley, Mason C. 2009. Islam dalam Tradisi Burhanudin, Jajat. 2007. Islamic Knowledge, Hukum Jawa dan Hukum Kolonial . Aunthority and Political Power The Yogyakarta: Graha Ilmu. Ulama in Colonial Indonesia (Ph.D Dissertation ). Leiden University. Irianto, Bambang dan Siti Fatimah. 2009. Leiden. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan , Cirebon: STAIN Press.

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 191 Didin Nurul Rosidin

———. dan Ki Tarka Sutarahardja. 2013. Transmission of Traditional Islam in Sejarah Cirebon: Naskah Keraton Java,” Studia Islamika 4 (1). Kacirebonan Alih Aksara dan Bahasa Nugrahanto, Widyo. 2007. Bertahan di Teks KCR 04 (alih aksara dan bahasa). Perantauan. Wacana Cina Muslim di Yogyakarta: Deepublish. Nusantara Abad ke-15 dan ke-16 , Johns, A.H. 1961. “Sufism as a Category in Bandung: Uvula Press. Indonesian Literature and History.” Pigeud, Theodore G. T. H. dan H.J. De Graaf. Journal of Southeast Asian History 2 1976. Islamic States in Java 1500-1700 , (2). The Hague: Nijhof. ———. 1975. “Islam in : Putuhena, M. Sholeh. 2007. Historiografi Haji Reflections and New Directions,” Indonesia , Yogyakarta: LKiS. Indonesia 19, April. Ricklefs, M. C. 2001. The Histrory of Modern Kertawibawa, Besta Besuki. 2007. Dunasti Indonesia since c. 1200 , McMillan: Raja Petapa I: Pangeran Cakrabuana. Palgarve. Sang Perintus Kerajaan Cirebon . Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Rochani, Ahmad Hamam. 2008. Babad Cirebon , Cirebon: Dinas Kebudayaan Ki Kampah. 2013. Babad Cirebon Carub dan Pariwisata Kota Cirebon. Kandha Naskah Tangkil , Bambang Irianto dan Ki Tarka Sutarahardja (alih Rido, Rosidi. 2014. Pengguran Sunan Gunung aksara dan bahasa). Yogyakarta: Jati Abad XV-XVI M . (Disertasi). Deepublish. Universitas Islam Negeri . Yogyakarta. Masduki, Zaenal. 2011. Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial , Cirebon: Rosidin, Didin Nurul. 2013. Syekh Nurjati: Nurjati Press. Studi atas Islamisasi Pra-Walisongo di Cirebon pada Abad ke-15 . Cirebon: ———. dkk. 2012. Islamisasi, Suksesi Puslit IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kepemimpinan dan Awal Munculnya Kerajaan Islam Cirebon: Kajian dan ———. dkk. 2013. Kerajaan Cirebon , Jakarta: Penulisan Sejarah Kesultanan Cirebon. Puslitbang Lektur dan Khazanah Jakarta: Puslitbang Lektur Balitbang Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. Kementrian Agama RI. Mas’ud, Abdurrahman. 2006. Dari Haramain Safari, Achmad Opan. 2010. Tarekat ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Kaprabon: Suatu Kajian Filologis , tesis, Pesantren , Jakarta: Kencana Predana Bandung: Universitas Pajajaran. Media Group. Shiddique, Sharon J. 1977. The Relics of the Muhaimin, A. G. 1995. The Islamic Traditions Past? Sociological Study of the of Cirebon: Ibadat and among Sultanates of Cirebon, , Javanese Muslims , Ph.D Thesis, ANU. (Disertasi Doktor) Universitat of Bielefeld. ———. 1997. “Pesantren and Tarekat in the Modern Era: An Account on the

192 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18

Sulendraningrat, P. S. 1972. Purwaka van Bruinessen, Martin. 1994. “The Origins Tjaruban Nagari, Jakarta: Bhratara. and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast Asia.” Studia ———. 1984. Babad Tanah Sunda Babad Islamika 1 (1). Cirebon , Cirebon: t.p. ———. 1995. “Shari’a Court, Tarekat amd Sunardjo, R. H. Unang. 1983. Meninjau Pesantren: Religious Institutions in the Sepintas Pangguran Sejarah Pe- ,” Archipel 50. Paris. merintahan Kerajaan Cirebon 1479- 1809 . Bandung: Tarsito. Wahyu, Amman N. 2005. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Syatibi, Ibi. 2013. Nilai-nilai Islam dalam (Naskah Mertasinga). Cet. 1 , Bandung: Hukum Adat Papakem (Studi atas Pustaka. Kitab Adilullah Kesultanan Cirebon Abad XVII (Laporan Penelitian) ———. 2005. Sejarah Wali, Syarif Cirebon: Puslit IAIN Syekh Nurjati. Hidayatullah, Sunan Gunung Jati (Nas- kah Kuningan) Cet. 1. Bandung: Tim Peneliti. 1998. Kota Dagang Cirebon Penerbit Pustaka. sebagai Bandar Jalur Sutra , Jakarta: Departemen Pendididikan dan Wildan, Dadan. 2012 . Sunan Gunung Jati: Kebudayaan RI. Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang Wali di Tanah Sunda. Ciputat: Salima. Tjandrasasmita, Uka. 2005. “Kedatangan dan Penyebaran Islam.” Eksiklopedi Zuhdi, Susanto ed. 1996. Cirebon sebagai Tematis Dunia Islam. Jilid 5 Asia Bandar Jalur Sutra . Jakarta: Depar- Tenggara . Jakarta: PT Ichtiar Baru van temen Pendidikan dan Kebudayaan Hoeve. RI. k

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 │ 193 Didin Nurul Rosidin

194 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor 2, 2017 Lahirnya Zaman Bahagia

Author Guidelines

A. Persyaratan Umum 1. Naskah merupakan hasil penelitian sosial keagamaan dan modernitas yang sudah diformat sesuai pola penulisan artikel jurnal ilmiah. 2. Naskah diutamakan ditulis dalam Bahasa Inggris. 3. Naskah merupakan karya orisinil (bukan plagiasi) dan belum pernah dimuat di jurnal atau media cetak/online lainnya. 4. Naskah dikirim ke Redaksi JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo melalui submission Open Journal Systems (OJS) pada http://journal.walisongo.ac.id/index.php/jsw 5. Naskah diketik menggunakan Microsoft Word format RTF, font Times New Roman, size 12 pt, 1,5 spasi, ukuran halaman A4, dengan panjang tulisan 20-25 halaman (sekitar 5.000 – 7.000 kata). 6. Untuk menperoleh keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi redaksi melalui email: [email protected] atau menghubungi kantor redaksi (024) 76435986.

B. Persyaratan Khusus 1. Naskah merupakan hasil penelitian dalam bidang sosial keagamaan dan modernitas. 2. Naskah tidak mencantumkan nama penulis, instansi, dan alamat email. Nama penulis, instansi, dan alamat email dicantumkan saat melakukan registrasi OJS dan pengisian metadata naskah. 3. Naskah memuat: a. Judul, dengan ketentuan: - Judul merupakan rumusan pokok bahasan yang singkat, padat, dan jelas. - Dalam judul sudah tercantum variabel-variabel utama penelitian. - Judul diketik dengan hurup kapital tebal ( capital, bold ). b. Abstrak, dengan ketentuan: - Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Vol 1, No 2 (2017) │ 17 Dewi Ratna Sari, Kuncoro Bayu Prasetyo

- Abstrak merupakan intisari dari pokok bahasan naskah. - Abstrak ditulis dalam satu paragraf berjarak satu spasi, dengan panjang 100- 250 kata. - Abstrak disajikan secara singkat dan jelas, dengan memuat empat unsur argumentasi logis, perlunya dilakukan penelitian untuk memecahkan masalah, pendekatan yang digunakan (metode), hasil yang dicapai, serta simpulan yang diperoleh (IMRAD: introduction, methods, results, analysis and discussions ). c. Kata Kunci (keywords ) maksimal 5 (lima) kata. d. Isi naskah, dengan sistematika sebagai berikut: - Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta metodologi yang digunakan (IMRAD: introduction, methods, results, analysis and discussions). - Review pustaka yang berisi kajian teoretik dan hasil penelitian terdahulu yang relevan. - Hasil dan pembahasan. - Simpulan dan rekomendasi. - Daftar pustaka. 4. Rujukan menggunakan ASA ( American Sociological Association ).[]

18 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Vol 1, No 2 (2017)