6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1. Islamisasi Jawa Sri

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1. Islamisasi Jawa Sri BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1. Islamisasi Jawa Sri Wintala Achmad: 2016, menyatakan asal mula tersebarnya agama Islam di Indonesia awalnya dimulai pada abad ke 7, yang mana para pedagang Islam telah memperkenalkan ajaran Islam ketika melakukan perdagangan. Pada abad ke 10, wilayah Selat Malaka telah menjadi wilayah perdagangan yang sangat penting. Islam nyatanya mampu diterima dengan mudah, karena selain adanya faktor perdagangan, faktor perkawinan juga menjadi penyebab mudahnya agama Islam diterima oleh masyarakat. Para pedagang Islam tersebut melakukan pernikahan dengan wanita-wanita pribumi. Pada sekitaran abad ke 11 juga telah ditemukan bebrapa pemukiman-pemukiman Islam di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Hal lain yang memperkuat keberadaan Islam di Indonesia pada masa itu juga karena ditemukannya berbagai peninggalan seperti makam dengan batu nisan bertuliskan nama Fatimah binti Maimun yang tertulis tahun 475 Hijriyah (1082 masehi) di wilayah Gresik. Makam raja pertama Kerajaan Samudera Pasai Aceh, Sultan Malikus Saleh, dan lain-lain. Proses penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari peranan para mubaliqh dan ulama yang tergabung dalam kelompok wali yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Walisoongo tersebut terdiri dari: 1. Sunan Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim, wafat tahun 1419) yang menyebarkan agama Islam di Jawa Timur. 2. Sunan Ampel (Raden Rahmat, wafat tahun 1481) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Ampel, Surabaya, Jawa Timur. 3. Sunan Giri (Raden Paku, wafat tahun 1506) yang menyebarkan agama Isllam di wiayan Giri, Gresik, Jawa Timur. 4. Sunan Gunungjati (Syarif Hidayatullah/Fatahillah, wafat tahun 1570) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon, Jawa Barat. 6 5. Sunan Bonang (Raden Ibrahim, wafat tahun 1525) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Bonang, Jawa Tengah. 6. Sunan Kudus (Syekh Ja’far Shadiq, wafat tahun 1550) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus, Jawa Tengah. 7. Sunan Drajat (Raden Qasim, wafat tahun 1522) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Gresik Jawa Timur dan Sedayu Jawa Tengah. 8. Sunan Muria (Raden Umar Said) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Gunung Muria, Jawa Tengah. 9. Sunan Kalijaga (Raden Mas Sahid) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Demak, Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat beberapa kerajaan Islam di Jawa, antara lain: 1. Kerajaan Demak Awal mulanya Islam masuk ke tanah Jawa yang dibawa oleh para pedagang Islam yang singgah di pelabuhan-pelabuhan di utara pulau Jawa. Kemudian hal ini juga didukung oleh adanya para wali yang ikut serta menyebarkan agama Islam sehingga agama Islam mampu berkembang pesat di seluruh tanah Jawa. Selain itu, pada masa tersebut para adipati Majapahit juga ikut masuk memeluk agama Islam karena dilanda perang saudara dan menjadi sangat lemah. Berdirinya kerajaan Demak sangatlah mudah karena mendapatkan dukungan penuh dari para wali serta bupati yang sudah memeluk agama Islam pada masa itu. Raja pertama Demak, Raden Patah membangun sebuah masjid yang masih berdiri megah hingga sekarang yaitu Masjid Demak. Pada masa itu Masjid Demak sering digunakan oleh para wali untuk bertemu, berdiskusi untuk menentukan pola dakwah agama Islam di Jawa. Kerajaan Demak mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan Trenggono yang memiliki wilayah kekuasaan hampir di seluruh wilayah Jawa. Kerajaan Demak akhirnya runtuh pada masa setelah pemerintahan Arya Panangsang akibat adanya perang saudara dan perebutan tahta kekuasaan. 7 2. Kerajaan Pajang Kerajaan Pajang dibangun oleh Jaka Tingkir atau Raden Hadiwijaya yang merupakan menantu Sultan Trenggono. Kerajaan ini merupakan lanjutan dari kerajaan Demak yang runtuh akibat dari peperangan antara Arya Panangsang dan Jaka Tingkir. Sebelum sepenuhnya mendirikan Kerajaan Pajang, Jaka Tingkir sudah memiliki jabatan kekuasaan di wilayah Pajang. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam pertama yang berada di pedalaman tanah Jawa. Awal berdirinya Kerajaan Pajang hanya memiliki wilayah kekuasaan di Jawa Tengah, dikarenakan setelah kematian Sultan Trenggono banyak wilayah kekuasaan di Jawa Timur yang kemudian melepaskan diri. Akan tetapi setelah dilakukannya pertemuan antara Raden Hadiwijaya dengan beberapa adipati Jawa Timur, maka mereka sepakat untuk mengakui kekuasaan Kerajaan pajang, dan hal ini memperluas wilayah Kerajaan pajang hingga ke Jawa Timur. Setelah kematian Raden Hadiwijaya, jabatannya digantikan oleh Arya Pangiri. Dalam masa pemerintahannya banyak tindakan-tindakan yang sangat merugikan rakyat dan menjadikannya tidak disukai oleh rakyat. Sementara itusalah satu putra Raden Hadiwijaya yang bernama pangeran Benawa bersektu dengan senopati Mataran, Sutawijaya untuk menyerbu Pajang. Setelah berhasil mengalahkan Arya Pangiri, Pangeran Benawa diangkat menjadi raja Pajang selanjutnya. Pada masa itu kekuasaan Kerajaan Pajang berada dibawah Mataram. Namun setelah meninggalnya Pangeran Benawa terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sultan Agung dan mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Pajang. 3. Kerajaan Banten Pada awal abad ke 16 Fatahillah/Syarif Hidayatullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dating dari Pasai (Aceh) karena permintaan dari Sultan Trenggono dengan maksud untuk memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Demak. Fatahilllah berhasil merebut wilayah Sunda Kelapa dan kemudian merubah nama wilayah tersebut menjadi Jayakarta. Hal ini tentunya mempermudah Sunan Gunung Jati untuk memperluas dan menyebarkan ajaran Islam. Pada saat itu wilayah Banten merupakan wilayah kadipaten yang berpusat 8 pada pemerintahan Kerajaan Demak. Setelah runtuhnya Kerajaan Demak, banyak wilayah kekuasaan yang melepaskan diri, salah satunya wilayah Banten. Raja Pertama dari Kerajaan Banten adalah Sultan Hasanuddin. Masa kejayaan Kerajaan Banten berlangsung ketika Sultan Ageng Tirtayasa memimpin. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian digantikan oleh anaknnya, Sultan Haji setelah adannya perang saudara, karena Sultan Haji sangat memihak oleh Belanda. Hal ini juga dimanfaatkan oleh Belanda agar mereka dapat menguasai wilayah Banten dan bermaksud untuk meminta wilayah Cirebon. 2.1.2. Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga merupakan sebutan yang disematkan kepada Raden Sahid, putra dari Tumenggung (Adipati) Wilawatikta (Aria Teja IV), Bupati Tuban pada sekitar tahun 1450 M. Tumenggung Wilawatikta adalah keturunan Patih Ranggalawe (Raden Sahur) dari Kerajaan Majapahit yang sudah beragama Islam. (Ridin Sofwan, 2000) Raden Sahid disebut sebagai “maling budiman” pada masa Majapahit karena kerap merampok orang-orang kaya yang korup dengan cara membajaknya di dalam hutan. Hasil pembajakannya tersebut diberikan kepada masyarakat yang miskin. Gelar Sunan yang diterima oleh Raden Sahid didasarkan atas tingkah lakunya yang baik, sopan santun, berbudi luhur, dan hidup dengan penuh kebajikan menurut tuntunan agama Islam (Ridin Sofwan, 2000: 115). Sunan Kalijaga adalah satu diantara Walisongo dan melakukan dakwah mengenai ajaran agama Islam ke berbagai penjuru daerah. Para bangsawan, agamawan, budayawan, dan masyarakat di wilayah pedesaan berguru kepada Walisongo. Wulangan, wejangan, dan wedharan yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga senantiasa berusaha menjaga keselarasan antara agama dan budaya. Akulturasi teks keagamaan dengan wacana kebudayaan melahirkan kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa. Peralihan dari adat lama menuju kehidupan baru yang bernuansa Islam tetap berjalan secara aman, tentram dan damai, tanpa menimbulkan kegoncangan. Berkaitan dengan ajaran budi pekerti dijelaskan pula mengenai pengendalian diri, 9 toleransi, dan sifat kemanusiaan (Miftakhurrahman Hafidz, Sutjiro, Kayan Swastika, 2015: 1-9) Seni menjadi media dakwah yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Media seni yang digunakan antara lain seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, dan wayang dengan karakter Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong (Slamet Muljana, 2005: 115-215) 2.1.3. Syair Kata syair berasal dari bahasa Arab yakni sya’ara (menembang atau bertembang), sya’ir (penembang), sya’ar (syair atau tembang), dan syu’ur atau syi’ir (perasaan). Terdapat tiga jenis syair, yakni syair yang berisi cerita, syair yang mengungkapkan / mengisahkan kejadian tertentu, dan syair yang berisi ajaran agama (Eko Sugiarto, 2007) Ikatan syair terbentuk dari dua atau empat baris sajak. Setiap baris panjangnya dapat mencapai empat kata seperti pantun. Pantun yang terdiri dari empat baris pada umumnya menyimpulkan suatu pikiran atau perasaan, sedangkan pada syair hampir selalu memakai lipatan empat yang panjang dan menggambarkan suatu cerita, nasihat, ilmu, dan lain sebagainya (Sultan Takdir Alisjahbana, 2009: 46). Syair juga merupakan rangkaian kata-kata yang diciptakan oleh pengarangnya sebagai wujud ekspresinya yang dikontemplasikan dengan alat-alat musik seperti rebana. 2.1.4. Tembang Istilah tembang identik dengan kebudayaan dan kesenian masyarakat Jawa yang bertahan hingga saat ini. Tembang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional yang dilantunkan dalam bahasa Jawa yang setiap baitnya mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu. Pada tiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan berakhir pada bunyi sajak akhir (F. X. Rahyono 2009: 94) Tembang berbeda dengan lagu yang umum dilantunkan dan didengarkan oleh masyarakat. Cara membawakan tembang dapat digambarkan sebagai hal yang unik 10 karena memiliki standar (pakem) tertentu untuk melantunkannya. Tembang dalam tradisi lisan budaya Jawa disajikan dalam
Recommended publications
  • Bustamin , Islam Di Jawa Hubungannya Dengan Dunia Melayu | 113
    Bustamin , Islam Di Jawa Hubungannya Dengan Dunia Melayu | 113 ISLAM DI JAWA Hubungannya Dengan Dunia Melayu Oleh: Bustamin [email protected] Abstrak : Islam di Asia Tenggara mempunyai daya tarik untuk diteliti, karena tidak hanya sekedar tempat bagi agama besar dunia –Islam, Budha, Kristen dan Hindu—tetapi juga penyebarannya sedemikian rupa sehingga ikatan-ikatan yang mempersatukan pengikutnya dapat mengaburkan dan sekaligus menegaskan batas-batas perbedaan politis dan teritorial. Dalam masalah ini kasus Islam adalah yang paling menarik, mengingat para pengikutnya terdapat di hampir semua negara Asia Tenggara dalam jumlah yang besar. Penelusuran kembali sumber-sumber lokal yang berhubungan dengan kesultanan di Jawa menjadi penting dilakukan. Dengan penelusuran ini diharapkan akan diperoleh data dan fakta mengenai sejarah awal dan perkembangan Islam di Jawa. Data dan fakta tersebut kemudian diidentifikasi, dideskripsikan, diverifikasi, dan dihadirkan sebagai bukti sejarah yang dapat dipercaya. Dalam rangka penelusuran data dan fakta tersebut, ISMA mengadakan seminar Islam di Asia Tenggara, salah satunya adalah Islam di Jawa, yaitu datang, masuk dan berkembangnya. Kata Kunci: Islam, Jawa, Melayu, Dunia, Sejarah A. Pendahuluan Sampai sekarang, sejarah masuknya dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara, masih menjadi perdebatan dan menjadi kajian yang menarik. Permasalahannya masih berkisar kapan masuknya Islam, siapa pembawanya, wilayah mana yang pertama kali didatangi, serta bagaimana proses pengislamannya. Terkait dengan perkembangan
    [Show full text]
  • Kearifan Lokal Tahlilan-Yasinan Dalam Dua Perspektif Menurut Muhammadiyah
    KEARIFAN LOKAL TAHLILAN-YASINAN DALAM DUA PERSPEKTIF MENURUT MUHAMMADIYAH Khairani Faizah Jurusan Pekerjaan Sosial Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga Yogyakarta [email protected] Abstract. Tahlilan or selamatan have been rooted and become a custom in the Javanese society. Beginning of the selamatan or tahlilan is derived from the ceremony of ancestors worship of the Nusantara who are Hindus and Buddhists. Indeed tahlilan-yasinan is a form of local wisdom from the worship ceremony. The ceremony as a form of respect for people who have released a world that is set at a time like the name of tahlilan-yasinan. In the perspective of Muhammadiyah, the innocent tahlilan-yasinan with the premise that human beings have reached the points that will only get the reward for their own practice. In addition, Muhammadiyah people as well as many who do tahlilan-yasinan ritual are received tahlian-yasinan as a form of cultural expression. Therefore, this paper conveys how Muhammadiyah deal with it in two perspectives and this paper is using qualitative method. Both views are based on the interpretation of the journey of the human spirit. The human spirit, writing apart from the body, will return to God. Whether the soul can accept the submissions or not, the fact that know the provisions of a spirit other than Allah swt. All human charity can not save itself from the punishment of hell and can not put it into heaven other than by the grace of Allah swt. Keywords: Tahlilan, Bid’ah, Muhammadiyah Abstrak. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah mengakar dan menjadi budaya pada masyarakat Jawa yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya.
    [Show full text]
  • Kajian Historis Relasi Keraton Kanoman Dan Pesantren Buntet Cirebon
    Jejak Syiah Dalam Kesenian Tabot Bengkulu; Suatu Telaah Sejarah GERAKAN ISLAM KEBANGSAAN MBAH MUQAYYIM; KAJIAN HISTORIS RELASI KERATON KANOMAN DAN PESANTREN BUNTET CIREBON Yoyon PPM Islam Nusantara STAINU Jakarta Abstract The article talks about a relationship system between keraton and pesantren in Cirebon in framework of historical of the 18th M century. It Refers to discuission tendency about pesantren and its authority. Both two institutions are interpreted in a separated manner. Whereas there is a number of evidences that this relationship between pesantren and keraton as an institution power in Java has a close connection. This Study is based on an argument that keraton and pesantren have close relationship with a side lineage or in building Cirebon Islamic character. Except uses historical approach, this research also uses multidimensional approach through many knowledge discipline approaches, such as Anthropology, Sociology, and Cultures. This article is not only revealing the historical element of keraton relationship but also discusses about Islamic nationality movement by a mufti figure, Mbah Muqayyim. An against religion movement’s figure to colonialist which basically, is spirit protectionto the religion and nationality. The result can be concluded that keraton and pesantren relationship system in Cirebon is made through kinship, scientific transmission and tradition preservation concept Where Mbah Muqayyimas an important figure who contributes to save the keraton’s religious tradition whichis threatened by colonial ist dominance in surroundings Keraton Kanoman. Key words: Indigenous Institutions, Dutch Colony, Religious Agents Abstrak Tulisan ini membahas tentang pola hubungan antara keraton dan pesantren di Cirebon dalam kerangka historis abad ke 18 M. Mengacu pada kecenderungan kajian-kajian tentang pesantren dan kekuasaan, dua institusi tersebut cenderung didekati secara terpisah.
    [Show full text]
  • The Wayangand the Islamic Encounter in Java
    25 THE WAYANG AND THE ISLAMIC ENCOUNTER IN JAVA Roma Ulinnuha A Lecture in Faculty of Ushuluddin, Study of Religion and Islamic Thoughts, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas hubungan antara wayang dan proses penyebaran Islam. Wayang adalah fenomena budaya Jawa yang digunakan oleh para wali pada sekitar abad ke-15 dan ke-16 sebagai media dakwah Islam. Tulisan ini fokus pada Serat Erang-Erang Nata Pandawa yang mengulas tentang karakter Pandawa dalam hubungannya dengan Islam. ﻣﺴﺘﺨﻠﺺ – (Wayang ) ) . ( . (Serat Erang-Erang Nata Pandawa ) - ( ) . Keywords: Wayang, Serat Erang-Erang, Javanese, Wali A. Introduction It has been an interesting stance to discuss the relationship between religion and community in terms of the variety of possibilities of some unique emergences in the process. While people regards religious realms a total guidance that relates the 26 Millah Vol. X, No. 1, Agustus 2010 weakness of human being to the powerful—the Covenant, Javanese people, views religion providing a set of beliefs, symbols and rituals which have been faced a rigorous encounter along with the development of communities in the past, in the present and in the future. The dawn of Islam in Java shared the experience of this relationship, found in why and how the wali used the wayang in supporting their religious types of activities under the authority of the Court of Demak. The research discusses the relationship between the wayang and the role of wali ‘Saint’ in spreading Islam under the patron of the Court of Demak from the fifteenth to the sixteenth centuries. There have been some research conducted on the same field, but this aims at discussing the wayang as the phenomena of cultural heritage of the Javanese descendents and inhabitants, while the wali ‘Saint’ is framed as the element of religious representation in Java at the time.
    [Show full text]
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • FENOMENA PERGESERAN KONFLIK PEMIKIRAN ISLAM DARI TRADISIONALIS Vs MODERNIS KE FUNDAMENTALIS Vs LIBERALIS
    20 FENOMENA PERGESERAN KONFLIK PEMIKIRAN ISLAM DARI TRADISIONALIS vs MODERNIS KE FUNDAMENTALIS vs LIBERALIS Khoirul Huda* Abstract: A new mode of religious conflict has emerged in Indonesia following the fall of the old regime in the country. The conflict in point is that between the fundamentalists and the liberals, one that means that the nuance of the conflict is no longer organizational any more than it is ideological. We now rarely hear about the conflicts between the traditionalists and the modernists, just as we now rarely are capable of differentiating their basic tenets. The difference between the two has now become to a large extent vague. In the meantime, conflicts are now taking place between the fundamentalists and the liberals on almost regular basis. Hence, we hear the conflict for example between the FUUI and Ulil Abshar Abdalla who received death threat from the afro-mentioned organization. And also the so-called Monas Tragedy, which for some reflects the real tension between the two currents of thought. This paper is designed to analyze this conflictual phenomenon and the implication that may emerge thereof by using the Post- structural theory, which is the continuation of the structuralist theory of Levi-Strauss. What we mean by the Post-structural theory is that which is developed by Michel Foucault (d. 1984) where he speaks of the archeology of knowledge and the genealogy of power. In Foucault’s theory, the former is to do with the organization of documents, their classification, their distribution and management in an orderly manner so as to enable us to differentiate between which are relevant and which are not.
    [Show full text]
  • Sejarah Islamisasi Di Banyumas Laporan
    i SEJARAH ISLAMISASI DI BANYUMAS LAPORAN PENELITIAN Oleh Ahmad Mutaqin Agus Sunaryo Mawi Khusni Albar INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO KERJASAM DENGAN PUSLITBANG LEKTUR DAN KHAZANAH KEAGAMAAN BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA 2017 ii KATA PENGANTAR Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan KaruniaNya, sehingga pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian ini. Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian ini kami menghadapi beberapa kendala, namun berkat kemauan dan kerja keras serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka laporan ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kapus Litbang Lektur yang telah memberikan kesempatan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian ini. 2. Rektor IAIN Purwokerto, yang telah memberikan kesempatan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian ini. 3. Berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya Penulis berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta wawasan dan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Amien. Purwokerto, 21 Nopember 2017 Peneliti iii DAFTAR ISI Kata Pengantar ...................................................................................................................
    [Show full text]
  • Peranan Sunan Gunung Jati Dalam Islamisasi Di
    PERANAN SUNAN GUNUNG JATI DALAM ISLAMISASI DI KESULTANAN CIREBON Skripsi Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar Oleh: AMINULLAH NIM. 40200111004 FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2015 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Aminullah NIM : 40200111004 Jurusan : Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora Tempat/tgl. Lahir : Berau, 22 Juli 1993 Alamat : Jl. Hertasning Baru Samata-Gowa Judul Skripsi : Peranan Sunan Gunung Jati dalam Proses Islamisasi di Kesultanan Cirebon Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atapun seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum. Makassar, 26 Desember 2015 Penyusun AMINULLAH NIM : 40200111004 ii PERSETUJUAN PEMBIMBING Pembimbing penulisan skripsi Saudara Aminullah, NIM: 40200111004, Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar, setelah meneliti dan mengoreksi secara seksama skripsi berjudul: “Peranan Sunan Gunung Jati dalam Proses Islamisasi di Kesultanan Cirebon”, memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidang Munaqasyah. Demikian persetujuan
    [Show full text]
  • Ulama Jawa Dalam Perspektif Sejarah VOLUME 16 No
    HUMANIORA Ahmad Adaby Darban, Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah VOLUME 16 No. 1 Februari 2004 Halaman 27 - 34 ULAMA JAWA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Ahmad Adaby Darban* ABSTRAK Ulama Jawa di samping berperan sebagai pemuka agama Islam juga memiliki fungsi sebagai informal leaders , dan juga sebagai key person dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan Kolonial Belanda. Fungsi itu berlaku karena sebagai besar masyarakat adalah pemeluk Islam, dan kehidupan ulama sebagai religious elite dekat dengan rakyat (merakyat). Keberpihakan kaum birokrat tradisional kepada pemerintah kolonial menyebabkan masyarakat mencari kepemimpinan baru yaitu para ulama sebagai pengayom dan pemuka dalam perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Kata kunci : ulama Jawa - sejarah - key person PENGANTAR tata cara feodal. Di samping itu, ulama juga memiliki otoritas karismatik sebagai elite lama atau lebih dikenal dengan kyai, religius, yang punya pengaruh besar di kala- di Jawa sebagai pemuka agama Is- ngan rakyat serta sebagai key person masya- lam yang dalam dirinya memiliki rakat desanya.2 otoritas kharismatik, karena ketinggian ilmu Dengan demikian, pembicaraan ulama agamanya, kesalehannya dan kepemim- di Jawa dalam perspektif sejarah dianggap pinannya. Biasanya ulama dijadikan Uswatun penting untuk melihat seberapa jauh peran khasanah, atau contoh panutan yang baik dan kedudukan para ulama dalam panggung di dalam lingkungan masyarakatnya. Oleh sejarah. Oleh karena itu, pembicaraan ini masyarakat, ulama diberi tempat sebagai berusaha mengungkap status para ulama penasihat, sebagai guru (ustadz), dan seba- dan peranannya dalam sejarah Indonesia, gai konsultan kehidupan baik kehidupan tidak hanya terbatas sebagai penyebar rohani maupun duniawi. Di samping itu, ulama agama Islam, tetapi juga dalam bidang politik sering juga diangkat sebagai pemimpin politik dan sosial. dan pergerakan oleh masyarakat karena dekat dan merakyat.
    [Show full text]
  • BAB II MAKAM SUNAN KALIJAGA PADA TAHUN 2014 2.1. Sekilas
    BAB II MAKAM SUNAN KALIJAGA PADA TAHUN 2014 2.1. Sekilas tentang Sunan Kalijaga Kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pihak pengelola makam Sunan Kalijaga diantaranya adalah melalui juru kunci makam Sunan Kalijaga, dimana daya tarik utama yang ada sebenarnya lebih kepada kepribadian, perjuangan dan peninggalan Sunan Kalijaga. Sebagai juru dakwah yang diteladani, apa yang telah dilakukan Sunan Kalijaga merupakan sumber inspirasi yang juga mempunyai daya tarik sangat kuat. Apa yang ada dalam diri Sunan Kalijaga ibarat mata air yang tiada pernah kering, sebagai sumber teladan perjuangan dan pencarian ilmu pengetahuan. Di sekitar makam Sunan Kalijaga juga dijual banyak buku-buku yang menceritakan hal ihwal Sunan Kalijaga. Selain itu, juga dijual foto-foto yang mampu mengkomunikasikan karisma Sunan Kalijaga. Di dekat ruang juru kunci juga bisa ditemukan foto-foto kegiatan yang terkait dengan makam Sunan Kalijaga dari tahun ke tahun, kirab dan penjamasan peninggalan Sunan kalijaga sebagai bentuk upaya mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga yang tetap dijaga sampai sekarang. Pada saat penelitian ini disusun, yaitu di tahun 2014, dalam masyarakat Jawa, khususnya di Kabupaten Demak, nama Sunan Kalijaga sudah tidak asing lagi bagi mereka. Legenda yang beredar dari mulut ke mulut, secara turun temurun dan berantai terus berkembang.Kita bisa menemukan di pelosok-pelosok 1 pedesaan terhadap orang-orang yang buta huruf, bahwa cerita Sunan Kalijaga begitu lekat di ingatan mereka. Cerita tentang Sunan Kalijaga telah bercampur antara fakta dan mitos, baik yang tersebar di masyarakat maupun yang tertulis di buku-buku. Di media elektronik, internet serta radio, kita juga bisa menemukan cerita mengenai Sunan Kalijaga yang banyak beredar.
    [Show full text]
  • ISLAM MELAYU DALAM PUSARAN SEJARAH Sebuah Transformasi Kebudayaan Melayu Nusantara
    Khairul Huda : Islam Melayu dalam Pusaran Sejarah..... ISLAM MELAYU DALAM PUSARAN SEJARAH Sebuah Transformasi Kebudayaan Melayu Nusantara Khairul Huda Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang [email protected] Abstak Agama Islam masuk ke Tanah Melayu tidak dalam kekosongan budaya, melainkan kaya akan budaya-budaya nenek moyang yang sudah mendarah daging seperti warna dasar negara Indonesia. Islam kemudian mewarnai dalam setiap gerak budaya di ranah melayu. Sehingga budaya melayu pada selanjutnya sangat diwarnai oleh Islam, seperti tasawuf dan seterusnya. Kontruksi dialektis antara Islam dan Budaya Melayu inilah kemudian menjadi kebudayaan bangsa Indonesia sebagai bagian dari ekspresi Islam Nusantara. Kata kunci: Islam, Melayu, dan Budaya Pendahuluan Etnik-etnik serumpun lain pada Sebenarnya apa yang disebut orang umumnya menempati suatu daerah Melayu bukanlah suatu komunitas etnik tertentu. Tetapi orang Melayu tidak. atau sukubangsa sebagaimana dime- Mereka tinggal di beberapa wilayah yang ngerti banyak orang dewasa ini. Ia terpisah, bahkan di antaranya saling sebenarnya mirip dengan bangsa atau berjauhan. Namun di mana pun berada, kumpulan etnik-etnik serumpun yang bahasa dan agama mereka sama, Melayu menganut agama yang sama dan dan Islam. Adat istiadat mereka juga menggunakan bahasa yang sama. Ke relatif sama, karena didasarkan atas asas agama dan budaya yang sama. Karena itu dalamnya melebur pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, tidak mengherankan apabila Kemelayuan Cina dan India, disamping keturunan identik dengan Islam, dan kesusastraan dari etnik Nusantara lain. Semua itu Melayu identik pula dengan kesusastraan dapat terjadi karena selain mereka hidup Islam. Bagi mereka yang tidak lama bersama orang Melayu, karena juga mengetahui latar belakang sejarahnya memeluk agama yang sama serta fenomena ini tidak mudah dipahami.
    [Show full text]
  • Historiography of Indonesian Islam
    IJISH (International Journal of Islamic Studies and Humanities) p-ISSN 2614-3836 | e-ISSN 2615-7403 First Received: 5 January 2018 Final Proof Received: 30 March 2018 HISTORIOGRAPHY OF INDONESIAN ISLAM (Historical Analysis of the Transitional Era of Social and Political System in Java in the 15-16th Century and the Contribution of Javanese Kings in Islamization) Ali Sunarso Email : [email protected] Universitas Negeri Semarang ABSTRACT This writing explained about the social, economic, and political Keywords background around the local leaders which happened when there was Historiography; political power change in harbors of Java north seashores throughout Indonesian the 15th century. This explanation could make clear about the process Islam; of Islamic settle through the politic power shift from Hindu-Budha Imam-mollah; to Muslim leaders in Java north seashores to be something which was Trade; plausible. The above description has ignored the social, economic, Politic; and political contexts in the societies, where the king lives and leads. This description also assumed that it was not important about the marriage relationship among Muslim sellers with princesses and between infidel leaders with Muslim leaders’ daughter in other places. A special discussion should be made to make the religious and political change to be more made sense. The way was by looking at the religious change of the area leaders as the last process of Islamic political era. The roles of imam-mollah enabled them to have practical politic activity and have high position in the activity that was as king’s adviser. The role of imam-mollah as king’s adviser was seen as the arousing of big position and role of the Brahmin and social politic system of Hindu-Budha in Indonesia.
    [Show full text]