BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1. Islamisasi Jawa Sri Wintala Achmad: 2016, menyatakan asal mula tersebarnya agama Islam di Indonesia awalnya dimulai pada abad ke 7, yang mana para pedagang Islam telah memperkenalkan ajaran Islam ketika melakukan perdagangan. Pada abad ke 10, wilayah Selat Malaka telah menjadi wilayah perdagangan yang sangat penting. Islam nyatanya mampu diterima dengan mudah, karena selain adanya faktor perdagangan, faktor perkawinan juga menjadi penyebab mudahnya agama Islam diterima oleh masyarakat. Para pedagang Islam tersebut melakukan pernikahan dengan wanita-wanita pribumi. Pada sekitaran abad ke 11 juga telah ditemukan bebrapa pemukiman-pemukiman Islam di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Hal lain yang memperkuat keberadaan Islam di Indonesia pada masa itu juga karena ditemukannya berbagai peninggalan seperti makam dengan batu nisan bertuliskan nama Fatimah binti Maimun yang tertulis tahun 475 Hijriyah (1082 masehi) di wilayah Gresik. Makam raja pertama Kerajaan Samudera Pasai Aceh, Sultan Malikus Saleh, dan lain-lain. Proses penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari peranan para mubaliqh dan ulama yang tergabung dalam kelompok wali yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Walisoongo tersebut terdiri dari: 1. Sunan Sunan Gresik (Maulana , wafat tahun 1419) yang menyebarkan agama Islam di Jawa Timur. 2. (Raden Rahmat, wafat tahun 1481) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Ampel, Surabaya, Jawa Timur. 3. (Raden Paku, wafat tahun 1506) yang menyebarkan agama Isllam di wiayan Giri, Gresik, Jawa Timur. 4. (Syarif Hidayatullah/Fatahillah, wafat tahun 1570) yang menyebarkan agama Islam di wilayah , Jawa Barat.

6

5. (Raden Ibrahim, wafat tahun 1525) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Bonang, Jawa Tengah. 6. (Syekh Ja’far Shadiq, wafat tahun 1550) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus, Jawa Tengah. 7. (Raden Qasim, wafat tahun 1522) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Gresik Jawa Timur dan Sedayu Jawa Tengah. 8. Sunan Muria (Raden Umar Said) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Gunung Muria, Jawa Tengah. 9. (Raden Mas Sahid) yang menyebarkan agama Islam di wilayah Demak, Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat beberapa kerajaan Islam di Jawa, antara lain: 1. Kerajaan Demak Awal mulanya Islam masuk ke tanah Jawa yang dibawa oleh para pedagang Islam yang singgah di pelabuhan-pelabuhan di utara pulau Jawa. Kemudian hal ini juga didukung oleh adanya para wali yang ikut serta menyebarkan agama Islam sehingga agama Islam mampu berkembang pesat di seluruh tanah Jawa. Selain itu, pada masa tersebut para adipati Majapahit juga ikut masuk memeluk agama Islam karena dilanda perang saudara dan menjadi sangat lemah. Berdirinya kerajaan Demak sangatlah mudah karena mendapatkan dukungan penuh dari para wali serta bupati yang sudah memeluk agama Islam pada masa itu. Raja pertama Demak, Raden Patah membangun sebuah masjid yang masih berdiri megah hingga sekarang yaitu Masjid Demak. Pada masa itu Masjid Demak sering digunakan oleh para wali untuk bertemu, berdiskusi untuk menentukan pola dakwah agama Islam di Jawa. Kerajaan Demak mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan Trenggono yang memiliki wilayah kekuasaan hampir di seluruh wilayah Jawa. Kerajaan Demak akhirnya runtuh pada masa setelah pemerintahan Arya Panangsang akibat adanya perang saudara dan perebutan tahta kekuasaan.

7

2. Kerajaan Pajang Kerajaan Pajang dibangun oleh Jaka Tingkir atau Raden Hadiwijaya yang merupakan menantu Sultan Trenggono. Kerajaan ini merupakan lanjutan dari kerajaan Demak yang runtuh akibat dari peperangan antara Arya Panangsang dan Jaka Tingkir. Sebelum sepenuhnya mendirikan Kerajaan Pajang, Jaka Tingkir sudah memiliki jabatan kekuasaan di wilayah Pajang. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam pertama yang berada di pedalaman tanah Jawa. Awal berdirinya Kerajaan Pajang hanya memiliki wilayah kekuasaan di Jawa Tengah, dikarenakan setelah kematian Sultan Trenggono banyak wilayah kekuasaan di Jawa Timur yang kemudian melepaskan diri. Akan tetapi setelah dilakukannya pertemuan antara Raden Hadiwijaya dengan beberapa adipati Jawa Timur, maka mereka sepakat untuk mengakui kekuasaan Kerajaan pajang, dan hal ini memperluas wilayah Kerajaan pajang hingga ke Jawa Timur. Setelah kematian Raden Hadiwijaya, jabatannya digantikan oleh Arya Pangiri. Dalam masa pemerintahannya banyak tindakan-tindakan yang sangat merugikan rakyat dan menjadikannya tidak disukai oleh rakyat. Sementara itusalah satu putra Raden Hadiwijaya yang bernama pangeran Benawa bersektu dengan senopati Mataran, Sutawijaya untuk menyerbu Pajang. Setelah berhasil mengalahkan Arya Pangiri, Pangeran Benawa diangkat menjadi raja Pajang selanjutnya. Pada masa itu kekuasaan Kerajaan Pajang berada dibawah Mataram. Namun setelah meninggalnya Pangeran Benawa terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sultan Agung dan mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Pajang.

3. Kerajaan Pada awal abad ke 16 Fatahillah/Syarif Hidayatullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dating dari Pasai (Aceh) karena permintaan dari Sultan Trenggono dengan maksud untuk memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Demak. Fatahilllah berhasil merebut wilayah Sunda Kelapa dan kemudian merubah nama wilayah tersebut menjadi Jayakarta. Hal ini tentunya mempermudah Sunan Gunung Jati untuk memperluas dan menyebarkan ajaran Islam. Pada saat itu wilayah Banten merupakan wilayah kadipaten yang berpusat

8

pada pemerintahan Kerajaan Demak. Setelah runtuhnya Kerajaan Demak, banyak wilayah kekuasaan yang melepaskan diri, salah satunya wilayah Banten. Raja Pertama dari Kerajaan Banten adalah Sultan Hasanuddin. Masa kejayaan Kerajaan Banten berlangsung ketika Sultan Ageng Tirtayasa memimpin. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian digantikan oleh anaknnya, Sultan Haji setelah adannya perang saudara, karena Sultan Haji sangat memihak oleh Belanda. Hal ini juga dimanfaatkan oleh Belanda agar mereka dapat menguasai wilayah Banten dan bermaksud untuk meminta wilayah Cirebon.

2.1.2. Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga merupakan sebutan yang disematkan kepada Raden Sahid, putra dari Tumenggung (Adipati) Wilawatikta (Aria Teja IV), Bupati Tuban pada sekitar tahun 1450 M. Tumenggung Wilawatikta adalah keturunan Patih Ranggalawe (Raden Sahur) dari Kerajaan Majapahit yang sudah beragama Islam. (Ridin Sofwan, 2000) Raden Sahid disebut sebagai “maling budiman” pada masa Majapahit karena kerap merampok orang-orang kaya yang korup dengan cara membajaknya di dalam hutan. Hasil pembajakannya tersebut diberikan kepada masyarakat yang miskin. Gelar Sunan yang diterima oleh Raden Sahid didasarkan atas tingkah lakunya yang baik, sopan santun, berbudi luhur, dan hidup dengan penuh kebajikan menurut tuntunan agama Islam (Ridin Sofwan, 2000: 115). Sunan Kalijaga adalah satu diantara Walisongo dan melakukan dakwah mengenai ajaran agama Islam ke berbagai penjuru daerah. Para bangsawan, agamawan, budayawan, dan masyarakat di wilayah pedesaan berguru kepada Walisongo. Wulangan, wejangan, dan wedharan yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga senantiasa berusaha menjaga keselarasan antara agama dan budaya. Akulturasi teks keagamaan dengan wacana kebudayaan melahirkan kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa. Peralihan dari lama menuju kehidupan baru yang bernuansa Islam tetap berjalan secara aman, tentram dan damai, tanpa menimbulkan kegoncangan. Berkaitan dengan ajaran budi pekerti dijelaskan pula mengenai pengendalian diri,

9 toleransi, dan sifat kemanusiaan (Miftakhurrahman Hafidz, Sutjiro, Kayan Swastika, 2015: 1-9) Seni menjadi media dakwah yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Media seni yang digunakan antara lain seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni , dan wayang dengan karakter Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong (Slamet Muljana, 2005: 115-215)

2.1.3. Syair Kata syair berasal dari bahasa Arab yakni sya’ara (menembang atau bertembang), sya’ir (penembang), sya’ar (syair atau tembang), dan syu’ur atau syi’ir (perasaan). Terdapat tiga jenis syair, yakni syair yang berisi cerita, syair yang mengungkapkan / mengisahkan kejadian tertentu, dan syair yang berisi ajaran agama (Eko Sugiarto, 2007) Ikatan syair terbentuk dari dua atau empat baris sajak. Setiap baris panjangnya dapat mencapai empat kata seperti pantun. Pantun yang terdiri dari empat baris pada umumnya menyimpulkan suatu pikiran atau perasaan, sedangkan pada syair hampir selalu memakai lipatan empat yang panjang dan menggambarkan suatu cerita, nasihat, ilmu, dan lain sebagainya (Sultan Takdir Alisjahbana, 2009: 46). Syair juga merupakan rangkaian kata-kata yang diciptakan oleh pengarangnya sebagai wujud ekspresinya yang dikontemplasikan dengan alat-alat musik seperti rebana.

2.1.4. Tembang Istilah tembang identik dengan kebudayaan dan kesenian masyarakat Jawa yang bertahan hingga saat ini. Tembang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional yang dilantunkan dalam bahasa Jawa yang setiap baitnya mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu. Pada tiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan berakhir pada bunyi sajak akhir (F. X. Rahyono 2009: 94) Tembang berbeda dengan lagu yang umum dilantunkan dan didengarkan oleh masyarakat. Cara membawakan tembang dapat digambarkan sebagai hal yang unik

10 karena memiliki standar (pakem) tertentu untuk melantunkannya. Tembang dalam tradisi lisan budaya Jawa disajikan dalam bentuk puisi. Puisi sebagai bagian tradisi lisan tersebut berupa syair-syair rakyat dengan beberapa bentuk yakni nyanyian rakyat (puisi yang dilagukan rakyat seperti lagu dolanan anak), pantun Jawa (parikan-sajak semi terikat), dan tembang (puisi yang terikat oleh berbagai aturan seperti macapat) (Suwardi Endraswara, 2005: 37). Istilah tembang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua makna, yakni syair yang diberi lagu (untuk dinyanyikan) dan bermakna puisi. Makna tembang Jawa dalam pandangan masyarakat umum adalah lagu Jawa.

2.1.5. Lir-Ilir Lir-ilir merupakan tembang Jawa yang menjadi media bagi Sunan Kalijaga untuk berdakwah mengenai ajaran agama Islam kepada masyarakat pada sekitar abad 15 di tengah perkembangan pesat agama Hindu dan Budha khususnya di tanah Jawa. Tembang ini pada masa sekarang ini umumnya dinyanyikan oleh anak-anak ketika sedang bermain. Bagi orang dewasa, tembang ini kerap dianggap sebagai tembang kenangan berbahasa Jawa yang mengingatkan seseorang tentang kegiatan bermain dan kebersamaan di masa kecil, namun tidak memaknai arti dari tembang tersebut. Makna utama tembang Lir-ilir adalah mengajak masyarakat untuk menjalani hidup dengan lebih taat kepada pencipta-Nya, memaksimalkan kehidupan untuk ma’rifat bil Allah, tidak hanya sekedar untuk mengajak masyarakat agar memeluk agama Islam (Ahmad Chodjim, 2003: 176-177). Lirik dalam tembang Ilir-ilir diantaranya bertuliskan “dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore” yang memiliki arti bahwa selain perumpamaan mengenai hati, pakaian juga turut melambangkan kepercayaan kepada Tuhan. Pemikiran Sunan Kalijaga tersebut sejalan dengan Sri Susuhunan Mangkunegara IV (Raja Surakarta periode 1853-1881) yang tercantum dalam kitab Wulangreh yakni ageming aji yang berarti agama adalah pakaian yang harus dirawat dan dijaga agar jangan sampai rusak bahkan hancur (Munawwar J. Khaelani, 2014: 188-189).

11

Makna yang tersirat di dalam tembang Lir-ilir secara keseluruhan adalah tentang keimanan dalam agama Islam, yakni rukun Islam, hal pertobatan, muhasabah, serta memperbaiki kesalahan selagi masih ada waktu dimasa sekarang sebelum ajal menjemput.

2.1.6. Pendidikan Karakter Agus Prasetyo & Emusti Rivasintha (2011: 3) mengemukakan bahwa pendidikan karakter merupakan sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada siswa yang didalamnya meliputi unsur-unsur pengetahuan, kemauan, kesadaran untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, kepada Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan sekitar maupun kebangsaan. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter tersebut antara lain; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat dan atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

2.1.7. Pemaahaman Benjamin S. Bloom mengemukakan bahwa pemahaman/komperhensi (Comperhension) merupakan kemampuan individu dalam mengerti atau memahami suatu hal setelah hal tersebut diketahui dan diingat dalam pikiran seorang individu. Memahami merupakan mengerti tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai sudut pandang. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa peserta didik dapat dikatakan paham jika peserta didik tersebut dapat memberikan penjelasan atau uraian yang lebih rinci perihal yang dipahaminya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Tingkatan yang lebih diatasnya adalah jika peserta didik juga dapat memberikan contoh konkrit dengan hal-hal yang ada disekitarnya. Peserta didik dituntut untuk dapat dapat memahami apa yang telah diajarkan, dan mengerti hal apa saja yang sedang dikomunikasikan. Sedangkan tingkatan-dalam pemahaman antara lain; a. Menerjemahkan, yaitu pengalihaan atas satu bahasa terhadap bahasa lain atau konsep abstrak menjadi suatu hal simbolik untuk mempermudah orang dalam

12

memahaminya, misalnya dalam mengartikan kalimat Ing Ngarsa Sung Tuladha. b. Menafsirkan, yaitu kemampuan dalam hal mengenal suatu hal dan memahaminya. Tahapan ini dapat dilakukan dengan cara menghubungkan pengetahuan-pengetahuan dimasa lalu dengan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh pada masa berikutnya. c. Mengekstrapolasi, yaitu dalam tahapan yang lebih tinggi. Seseorang dituntut untuk dapat membuat ramalan hasil akan sebab akibat, memperluas kemampuan persepsi dalam waktu, dimensi, kasus dan masalah-masalah yang lainnya.

2.2. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan yang penulis gunakan adalah Pengaruh Pemahaman Siswa Tentang Tembang Lir-ilir Bernuansa Islami Terhadap Karakter Siswa di SMA Negeri 2 Ngaglik Sleman Yogyakarta, Skripsi oleh Herman Supratman Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Namun terdapat perbedaan dalam penelitian yang penulis lakukan dengan perbandingan penelitian yang relevan tersebut, antara lain; penulis melakukan penelitian ini di Salatiga sedangkan penelitian yang relevan tersebut dilakukan di Yogyakarta. Penulis melakukan penelitian ini di sekolah menengah pertama (SMP) sedangkan penelitian relevan tersebut dilakukan pada sekolah menengah atas (SMA). Penelitian ini dilakukan pada sekolah swasta Kristen, sedangkan penelitian yang relevan tersebut dilakukan pada sekolah negeri. Pemahaman yang dilakukan pada penelitian ini bersifat nilai- nilai umum, sedangkan pada penelitian yang relevan tersebut berpusat pada nilai- nilai Islami. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019 sedangkan penelitian yang relevan tersebut dilakukan pada tahun 2015.

13

2.3. Kerangka Pikir

ISLAMISASI SUNAN METODE JAWA KALIJAGA DAKWAH

KARAKTER SISWA SISWA KELAS VII KELAS VII B SMP TEMBANG B SMP LIR-ILIR KRISTEN KRISTEN SATYA SATYA WACANA WACANA SALATIGA SALATIGA

Dalam penelitian ini penjelasan materi akan dimulai dari proses Islamisasi yang terjadi di wilayah Pulau Jawa. Dimulai dengan pengenalan tokoh yang terlibat, dalam hal ini adalah Walisongo. Salah satu yang termasuk dalam Walisongo tersebut adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan satu- satunya sunan yang berasal dari tanah Jawa dan merupakan putra dari bupati Tuban. Untuk mendekati dan memudahkan agar ajaran Islam dari Sunan Kalijaga dapat diterima oleh masyarakat, Sunan Kalijaga mencampurkan ajaran Islam dengan seni kebudayaan masyarakat Jawa pada saat itu, salah satunya menggunakan media tembang. Salah satu tembang yang masih dikenal oleh masyarakat pada saat ini adalah tembang Lir-ilir. Tembang ini memiliki banyak makna dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya adalah mengenai toleransi. Tidak ada paksaan dari Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa sehingga agama Islam menjadi sangat mudah dan pesat berkembang di Jawa. Melalui penelitian yang diterapkan pada siswa kelas VII B SMP Kisten Satya Wacana Salatiga ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan karakter siswa yang lebih baik, terutama dalam aspek religius, sosial dan hal toleransi.

14