Sastra “Bacaan Liar” Harapan Menuju Kemerdekaan 213

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Sastra “Bacaan Liar” Harapan Menuju Kemerdekaan 213 Agus Sulton, Sastra “Bacaan Liar” Harapan Menuju Kemerdekaan 213 SASTRA “BACAAN LIAR” HARAPAN MENUJU KEMERDEKAAN Agus Sulton Lingkar Studi Warung Sastra Jombang Korespondensi: Dusun Payak Santren, Desa Rejoagung RT 03/RW 02 Kec. Ngoro, Kab. Jombang 61473 Pos-el: [email protected] Abstrak Penelitian ini berupaya untuk merangkai sumber informasi terkait sastra yang dianggap sebagai « bacaan liar ». Pada waktu pemerintahan kolonial, media karya sastra sangat efektif sebagai wadah perjuangan bentuk agitator dan protes kepada pemerintah sekaligus suplemen untuk memahami diri dan nasibnya sehingga harapan untuk keluar dari kolonialisme pemerintahan Belanda lekas terwujud. Pandangan ideologi komunis digunakan pijakan mentransmisikan stabilitas nilai-nilai politik, sosial, dan ekonomi dengan cara vergadering dari gerakan-gerakan radikal revolusioner Bumiputera. Kata kunci: Bacaan liar, ideologi komunis, sastra perjuangan,revolusioner Bumiputera. Abstract This study seeks to assemble relevant literature resources that are considered ‘wild readings’. At the time of colonial rule, the literary media was very effective as a vehicle for struggle and protest to the government in addition to serving as a supplement to understand themselves in hopes that Dutch colonialism would soon be over. The communist ideology was used as a framework to transmit stability of political, social, and economic values by way vergadering of radical revolutionary movements of Bumiputera. Keywords: Communist ideology, literary struggle, revolution of Bumiputera, wild reading PENDAHULUAN adalah suatu kenyataan sosial. Sebab Karya sastra merupakan cermin itulah sastra bisa mengandung gagasan dari sebuah realitas kehidupan sosial yang mungkin dimanfaatkan untuk masyarakat.Sebuah karya sastra yang menumbuhkan sikap sosial tertentu atau baik memiliki sifat-sifat yang abadi bahkan mencetuskan peristiwa sosial dengan memuat kebenaran-kebenaran tertentu. Ini dapat dilihat dari karya- hakiki yang selalu ada selama manusia karya bacaan liar1 yang diciptakan oleh masih ada (Sumardjo, 1979). Hal ini, nasionalis radikal sebelum zaman suatu karya lahir tidak lepas dari kondisi kemerdekaan. Selanjutnya Sumarjo akan zamannya. Sastra sebagai wadah (1979: 15) mengungkapkan bahwa merekam kondisi sosial, atau kegelisahan masyarakat menjadi kemungkinan sebagai alat politik agar kegelisahan para pengarangnya. Begitu penikmat sastra (pembaca) terpengaruh pula harapan-harapan, penderitaan- terhadap pesan yang hendak penderitaan, aspirasi mereka menjadi disampaikan kepada penulis. bagian pula dari pribadi pengarang- Menurut Damono (2002: 1), pengarangnya. Inilah sebabnya sifat- sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri bahasa & sastra, Vol.15, No.2, Oktober 2015 sifat dan persoalan suatu zaman dapat menentang terbitan dan penyebarluasan dibaca dalam karya-karya sastranya. Di bacaan-bacaan kaum modal.3 dalamnya memuat fenomena-mefomena Memang pada awal-awal tahun di masyarakat, salah satunya adalah 1920-an atau setelah Sneevliet datang situasi politik saat karya itu diproduksi. ke Hindia Belanda banyak mengubah Sehingga bacaan tidak lain sebagai kondisi politik rakyat pribumi. Serikat- fasilitas komunikasi, propagandis, dan serikat buruh, perhimpunan, organisasi agitator termasuk membentuk tumbuh begitu pesat dengan ideologi sekumpulan organisatoris. komunis yang diusung. Menurut Yuliati Pada dasarnya, bacaan-bacaan (2000:1) tujuan dari organisasi- yang dihasilkan oleh para pemimpin organisasi tersebut, tidak lain adalah pergerakan pada awal abad ke 20 dapat mencari bentuk-bentuk persatuan untuk dikatagorikan sebagai bacaan politik. mewujudkan langkah-langkah demi Hampir semua bacaan yang diproduksi kemajuan kehidupan bangsa. oleh para pemimpin pergerakan baik Pertumbuhan organisasi serikat berbentuk novel, puisi, roman, surat buruh ini diikuti pula oleh surat kabar perlawanan persdelict dan cerita dari kelompok organisasi, dan sastra bersambung, isinya menampilkan sebagai alat untuk menyampaikan pesan kekritisan dan perlawanan terhadap tata- (propaganda) politik tertentu, mulai dari kuasa kolonial. Sejarah mencatat, syair, cerpen, roman, dan novel seperti sesungguhnya sastra Indonesia sejak Rasa Mardika karya Soemantri (novel mula sejarahnya merupakan sastra 1924), syair Sama Rasa dan Sama Rata protes (Razif, 2005: 30). karya Mas Marco (Sinar Djawa, 10 Bacaan menjadi fasilitas April 1918), syair Bajak Laut karya Mas komunikasi untuk mendidik kaum Marco (Sinar Hindia, 23 Desember kromo. 2 Propaganda ideologi komunis 1918), syair Kehilangan Kecintaan Kita sebagai jalan untuk melawan karya Soetjipto (Hidoep, 1 Maret 1925), ketimpangan kebudayaan. Komunisme Hikajat Kadiroen karya Semaoen (novel dikenalkan di beberapa sekolah, 1920), Semarang Hitam karya Mas kemudian murid yang berprestasi Marco (cerpen 1924), Gadis Desa karya akandirekomendasikan menjadi W.R Soepratman (roman 1920), dan pengurus PKI. Selain itu, PKI sebagainya. melakukan propaganda menggunakan Bacaan-bacaan dari kaum media masa dianggapnya sebagai hal pergerakan sangat membahayakan dan ampuh untuk menyadarkan kepada mengancam keberadaan pemerintah. rakyat Hindia Belanda. Dalam posisi Rinkes (direktur Balai Pustaka) seperti ini, PKI merupakan cikal-bakal menyatakan harus dijauhkan bacaan nasionalisme melawan dominasi kuasa yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah Belanda.Kamudian dari situ pemerintah dan ketentraman negeri dan pada tahun 1924 PKI mendirikan diperluas bacaan-bacaan yang institusi berupa Kommisi Batjaan Dari diproduksi oleh Balai Pustaka. Hal-hal Hoofdbestuur PKI.Komisi ini inilah yang signifikan mendasari, menerbitkan dan menyebarluaskan kenapa karya pribumi berhaluan kiri tulisan-tulisan serta terjemahan- perlu untuk diteliti dan diangkat ke terjemahan “literatuur socialisme” permukaan lagi, setidaknya menemukan istilah ini dipahami oleh orang-orang gambaran awal aktivitas-aktivitas kaum pergerakan sebagai bacaan-bacaan guna pergerakan untuk merealisasikan kehidupan yang lepas dari kolonialisme. Agus Sulton, Sastra “Bacaan Liar” Harapan Menuju Kemerdekaan 215 Dengan kata lain menawarkan solusi pergerakan National Indesche Partij, kontradiksi untuk resolusi sejarah sastra dan Api menyuarakan kepentingan Indonesia yang selama ini tonggak PKI.4 awalnya dimulai dengan produk-produk Pada masa yang sama, di Balai Pustaka. Berdasarkan penilaian Semarang berdiri delapan rumah cetak, Toer (2003: 119-120) bahwa sastra di antaranya firma Benjamin ‘Co, firma tahun belasan telah mulai dengan tradisi Bisschop ‘Co, firma Masman ‘Stroink, memenangkan objektivitas, dapat N.V. Dagblad “De Locomotief”, de dibuktikan dari garapannya tentang N.V. Hap Sing Kongsie, dan de firma realitas sosial, tentang aspirasi nasional Misset ‘Co (Razif, 2005: 31). Ada juga, untuk merdeka. Sudah sejak ini nampak Druk-kerij VSTP 5 sebuah percetakan dan diucapkannya pergulatan bangsa dan penerbitan milik organisasi kereta Indonesia untuk menguasai dirinya api dan traam. Beberapa dari firma sendiri, buminya sendiri. Dan inilah tersebut menjadi corong untuk realitas yang objektif. menerbitkan karya-karya berhaluan kiri, dianggap sangat membahayakan Dalam awal abad ke-20 nuansa pemerintah Hindia Belanda waktu pergerakan di Hindia Belanda itu.Bacaan-bacaan dari kaum mengalami perkembangan yang sangat pergerakan menyuarakan perlawanan, pesat.Organisasi-organisasi dan serikat mendidik rakyat kromo,dan protes buruh membentuk suatu kesatuan untuk kepada pemerintah Belanda. melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda.Gerakan komunis MUNCULNYA BACAAN LIAR diterjemahkan sebagai langkah untuk Istilah “bacaan liar” sendiri ingin merdeka, terlepas dari pertama kali diucapkan oleh Rinkes 6 kesengsaraan secara pada tahun 1914 untuk tulisan-tulisan menyeluruh.Orgaan adalah alat yang kaum pergerakan, baik berupa novel, ampuh untuk mempengaruhi masa, roman, puisi, artikel, maupun buku menciptakan kesadaran kepada kaum pemikiran. Pada waktu itu pemerintah kromo.Selain itu, bentuk-bentuk merasa khawatir terhadap bacaan berupa openbare vergadering, mewujudkan surat kabar dan karya sastra. Pemaparan volksraad, pemogokan, nyanyian dan Razif (2005: 37) menjelaskan kalau karya sastra. pemerintah kolonial mulai gencar Dalam era perkembangannya, mengatasi derasnya bacaan yang mulai Semarang merupakan salah satu tempat menyinggung kekuasaan kolonial, baik perkembangan kehidupan politik dan yang dihasilkan rakyat pribumi atau jurnalistik yang penting. Berbagai Tionghoa peranakan. Sebagaimana organisasi yang berkembang di kota ini diungkapkan: mendorong pertumbuhan dan The only publication that dominated perkembangan persuratkabaran. Sarekat all those, with Darma Kanda as the Islam Semarang mempunyai surat kabar exception, and something more than Sinar Djawa (1914-1918), dalam tahun a local newspaper with personal 1918 berganti nama Sinar Hindia (1918- slanging match (met personlijke scheld partijen) was Medan 1924); Perhimpunan Pegawai Negeri Prijaji....wich besides sharing the Sekolah Rendah, Tjahjo Pramono character with other showed itself menerbitkan Soeara Satelian (1919); as more energetic, gifted, cunning Vereeniging voor Spoor en Tramweg and more poisonous and which Personeel (VSTP) memiliki SI Tetap (1919-1925). Kemudian Persatoean Hindia (1919-1921) menjadi media bahasa & sastra, Vol.15, No.2, Oktober 2015 declared Java as its territory of Bagi kaum pergerakan, bacaan action (terrein van actie). merupakan alat penyampai pesan dari In beginning it was published as a orang-orang atau organisasi-organisasi weekly an after being develop,
Recommended publications
  • Nilai Moral Dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo
    NILAI MORAL DALAM NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO TESIS ARTIKEL PENELITIAN OLEH TIURMINA BR. TAMBUNAN NIM F2161131007 MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2019 NILAI MORAL DALAM NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO Tiurmina Br. Tambunan, Martono, A. Totok Priyadi. Program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Untan Pontianak Email: [email protected] Abstract teaching literature in schools, especially on learning the values of life.The general problem in this research is "What is the Moral Value contained in the Student Hidjo Novel by Mas Marco Kartodikromo?". The researcher focused this research on the moral values contained in the novel Student Hidjo by Mas Marco Kartodikromo. Therefore, the theory used in this study is in the form of learning about values, morals, character, ethics, and character education. The method used in this research is descriptive method with a qualitative research form. The approach used is the sociology of literature approach. Data collection techniques using literature study and documentary studies.The results of the analysis in this study indicate that there are moral values in Student Hidjo's novel. These moral values are moral values known from the relationship between humans and God (believe in God and perform obligations to God). The value of morality is known from the relationship between humans and oneself (responsible, honest, fearful, confident, self- existent, and simplicity). The value of morality is understood from the relationship between humans and fellow humans (mutual love, help, respect, and togetherness). The results of this study can be implemented in Indonesian vocational high school learning in class XII odd metters.
    [Show full text]
  • Student Hijo
    STUDENT HIJO Student Hidjo Oleh Marco Kartodikromo (1918) Diambil dari : militanindonesia.org Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. I. KONINGKLIJKE SCHOUWBURG DI ‘SRAVENHAGE [DEN HAAG] Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda. Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan. Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang.
    [Show full text]
  • INDO 94 0 1349469264 57 84.Pdf (672.6Kb)
    From Foe to Partner to Foe Again: The Strange Alliance of the Dutch Authorities and Digoel Exiles in Australia, 1943-1945 Harry A. Poeze The Netherlands East Indies, the vast Dutch colony, was invaded by the Japanese and occupied with relative ease. The Indies government surrendered on March 8,1942. In the days leading up to the surrender, on orders of the Dutch Governor General, a number of government officials left for Australia. The Dutch government in exile in London—Germany occupied the Netherlands from May 1940—authorized the formation of an Indies government in exile in Australia, named the Netherlands Indies Commission. The commission was inaugurated on April 8, 1942, and was headed by H. J. van Mook. Starting in April 1944, the Raad van Departementshoofden (Commission of Departmental Heads) acted as Van Mook's cabinet. It consisted of six members, with Loekman Djajadiningrat as the sole Indonesian among them. Matters regarding the Dutch and Indonesians in Australia were supervised by Ch. O. van der Plas, who held the rank of Chief Commissioner for Australia and New Zealand and who was undoubtedly the most influential member of the Raad. The Indonesians stranded in Australia beginning in March 1942—mostly seamen and soldiers—cost Van der Plas a lot of time and caused him much worry. Moreover, Indonesia 94 (October 2012) 58 Harry Poeze he was also responsible for the almost forgotten community of political prisoners, interned in Boven Digoel, in the Southeast New Guinea jungle. That part of the Netherlands Indies was all that was left of the Dutch realm.
    [Show full text]
  • Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1
    Keio Communication Review No.36, 2014 The Dynamics of Contentious Politics in The Indies: Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1 By YAMAMOTO Nobuto* In the last three decades of Dutch colonialism, the vernacular press in the Netherlands Indies flourished. Journalists played a significant role in mounting various nationalistic and social movements by circulating and articulating both news and political messages. Such a honeymoon relationship between the press and mobilizational politics saw the high days of political radicalism in the 1910s and 1920s Java. Not a small number of the vernacular press functioned as organs of political parties and associations, and being conduits of their propagandas. After the crash of the so-called communist uprisings in 1926 and 1927, however, the colonial authorities suppressed mobilizational politics.2 Despite of the fact that newspapers now recoiled from doing propaganda works or politics altogether, they were actually able to attract more readerships than ever before throughout the 1930s. Dutch colonial authorities did not allow freedom of the press in the Indies and exercised censorship against the emergent periodical markets. Persdelict (press offense) as penal code was introduced in 1914, while persbreidel (press curbing) as an administrative measure was introduced in 1931 and became the dominant tool to curtail press freedom in the 1930s. The former targeted individual journalists including editors and associates, whereas the latter had power to shut down the publisher and the printer of a particular newspaper for a certain period of time. Under these two censorship regimes, journalists were always put under pressure of severe legal punishments and sometimes even being expelled from the Indies.
    [Show full text]
  • Enlightenment and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia
    International Journal of Communication 11(2017), 1357–1377 1932–8036/20170005 Enlightenment and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia RIANNE SUBIJANTO1 Baruch College, City University of New York, USA In the historiography of Indonesian nationalism and the press, much has been made of the vernacular press and its role in the emergence of national consciousness. However, this work has not typically distinguished between the vernacular press and the self- identified “revolutionary press,” which emerged during the early communist movement of 1920–1926. This article recovers the tradition of the revolutionary press and situates it in the history of Indonesian national struggles by examining the production and development of the revolutionary newspaper Sinar Hindia. An investigation of the paper’s content, production, and distribution practices reveals how Sinar Hindia not only embodied the anticolonial national struggle but also became a voice for a project of enlightenment in the colony. By uncovering this “revolutionary” paper’s own discourses of enlightenment and revolutionary struggle, this study sheds light on the role of the press in the production of enlightenment ideas and practices in colonial Indonesia. Keywords: revolutionary press, enlightenment project, Indonesia, communism, social movements, communication history The growth of the native vernacular press and political organizations in the first two decades of the 20th century provided the conditions for an important period in Indonesian press history that saw the rise and fall of the “revolutionary press.” This self-identified revolutionary press (or pers revolutionair) was an outgrowth of the earlier vernacular press, which itself, along with political parties and unions, had become a voice of the colonized people throughout the Dutch East Indies (now Indonesia).
    [Show full text]
  • Buruh Bergerak; Semaun Dan Suryopranoto Dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926
    BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh : Dominikus Bondan Pamungkas NIM : 054314004 NIRM PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 ii Halaman Persembahan Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama. Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di Indonesia, kemarin, kini dan esok. iv v ABSTRAK Dominikus Bondan Pamungkas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926. Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi. Penelitian ini memperoleh
    [Show full text]
  • 2014 Mei 07 Yapi Taum Diskursus Batjaan
    DISKURSUS BATJAAN LIAR: KAJIAN TERHADAP DUA SASTRAWAN LIAR DALAM PERIODE 1900-1933 Yoseph Yapi Taum Dosen Program Studi Satra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Alamat korespondensi: Jl. Affandi Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta Email: [email protected] ABSTRACT Batjaan Liar or devil literature (my translation, YYT) is a term using by Dutch colonial officers to stigmatize works on journalism and literature produced by people of nationalist movement. Those works judged as devil literature because of the power to threatening Dutch colonial status quo. However, in Indonesian canon literary history, those who perceived as devil writers, such as Tirto Adhi Suryo and Mas Marco Kartodikromo, never mentioned. This research aims at exploring the discourse of devil literature to get better understanding on devil writer’s position and to promote appreciation into their works in the light of new Indonesian literary history. This research also aims at discussing reasons why devil literature discourse could not be changed in changing regime. The main objective of this reseacrh is to compose a new discourse on rethinking and rewriting of Indonesian new literary history. Key words:batjaan liar, diskursus, kaum pergerakan, komunis, sejarah sastra. 1. PENDAHULUAN orang-orangnja djangan ada jang memeres satoe sama lain” (Taum, 2011: 191). Dalam sejarah sastra Indonesia formal, kurun Kaum penguasa kolonial menyebut tulisan waktu tahun 1900 – 1933 dikenal sebagai periode atau mereka sebagai ‘bacaan liar’. Mereka biasanya angkatan Balai Pustaka. Angkatan Balai Pustaka merupakan orang-orang pergerakan. Orang-orang merupakan sekelompok sastrawan, penyair dan pergerakan ini jelas-jelas menjadikan media sastra penulis prosa yang menerbitkan karyanya melalui Balai sebagai sarana perjuangan politiknya, yaitu untuk Pustaka.
    [Show full text]
  • A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950S
    The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s Stephen Miller A thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences, UNSW@ADFA, Canberra, Australia August 2015 2 Acknowledgements This dissertation would not have been possible without the enthusiasm, good humour, intelligence and patience of my primary supervisor, Paul Tickell. I cannot thank him enough for his continuing support and faith. He was well supported by my co-supervisors, Emeritus Professor Barbara Hatley and Dr. Edwin Jurriens. I want to especially thank Barbara for her patience in reading drafts in the final throes of thesis production. Dorothy Meyer saw the project through from the beginning of candidature until submission, providing companionship, coding advice, proof reading, and general editing support. Her enthusiasm and passion for my work were central to the thesis reaching the point of submission. The keen grammar sense of my mother, June Miller, helped improve the readability of many sections of the writing. Dr. Kaz Ross also deserves to be mentioned for a late reading of a complete draft and pushing me to submit. It is great to have good colleagues in your corner. I would also like to thank the administrative staff at UNSW at ADFA, especially Bernadette McDermott, who has always been flexible and helpful when dealing with a candidature that lasted far too long. During the prolonged revision process Rifka Sibarani’s support, enthusiasm, and affection was much appreciated, as it continues to be post-thesis. So many other people have also helped me out at various times—students, colleagues, friends, family, comrades.
    [Show full text]
  • The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo's
    Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema Umi Lestari Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia, Volume 4, Number 2, October 2020, pp. 313-345 (Article) Published by NUS Press Pte Ltd DOI: https://doi.org/10.1353/sen.2020.0014 For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/770704 [ Access provided at 25 Sep 2021 00:27 GMT with no institutional affiliation ] This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema UMI LESTARI Abstract Basuki Resobowo (1916–99) is known primarily as a painter, activist and head of Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute for People’s Culture). He was affil- iated with left-wing politics during Sukarno’s Old Order (1945–65) and first entered the film industry in the 1940s when he played the role of Basuki in Jo An Djan’s film Kedok Ketawa (1940). During the Japanese Occupation (1942–45), Resobowo was part of Keimin Bunka Shidoso (Culture Centre). Literature on Resobowo’s artistic practice has mostly referred to his background in painting. However, in the 1950s, he joined Perusahaan Film Negara Indonesia (Perfini) as an art director and scriptwriter, making seven films, includingDarah dan Doa (Blood and Prayer) in 1950, which is regarded as the firstfilm nasional (national film). This article, while devoting some space to Resobowo’s overall career, chiefly endeavours to revisit the early Perfini films and examine the influence of Reso- bowo’s ideas about art and theatre on cinematographic mise-en-scene.
    [Show full text]
  • The Position of Low Malay Short Stories in the History of Indonesian Literature
    HUMANIORA VOLUME 28 No. 1 Februari 2016 Halaman 97-105 THE POSITION OF LOW MALAY SHORT STORIES IN THE HISTORY OF INDONESIAN LITERATURE Pujiharto1, Sudibyo1 1 Indonesian Department, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] ABSTRACT This article tries to determine the factors causing the Low Malay short stories became unaccounted, especially those that were collected in Miss Koelit Koetjing (2005), in the constellation of the history of modern Indonesian literature. To answer these problems, this paper explores the criteria applied by the author of the history of Indonesian literature, comparing it with the Low Malay short stories, and relates them to their cultural historical context. The results showed the reason that Low Malay short stories collected inMiss Koelit Koetjing were not accounted, are caused by the following factors. First, most of the short stories still retain the traditional genres, such as hikayat (saga) and fairy tales, which show the strength of the cultural orientation of the past. Second, the authors of short stories are not natives; the author is not in the sense of the creator, the creator, but a storyteller, just to recount a story that has been there before. Third, short stories were published in newspapers and not in the book form. Fourth, the world of their stories came from diverse cultures and not from the world of the Indonesian archipelago. With a similar reality, it can be concluded that the short stories collected in Miss Koelit Koetjing, in the broad realm of Low Malay literature, is a literary tradition of its own in the constelation history of Indonesian literature.
    [Show full text]
  • Reactions to Persdelict
    Chapter 5 Reactions to Persdelict The 1919 novel Student Hidjo begins with an introduction that reads: This story has already been published in the newspaper under my man- agement, the daily Sinar Hindia, in the year 1918. Essentially, this composition is the product of my pen when I was serv- ing a sentence due to a persdelict case, in the civil and military prison in Weltevreden, for the period of one year. Although I could not write for the newspaper while in prison, I could produce books like Sair Rempah- Rempah, Student Hidjo, Matahariah, etc. Hopefully this book can be of use to all its readers. - Marco Kartodikromo, Semarang, 26 March 19191 In those few lines, the author provides a representative picture of indigenous political activism in the second decade of the twentieth century in the Indies. The author, Marco Kartodikromo (1890–1932)—commonly referred to as Mas Marco—was a star journalist and well-known political activist. He was the editor-in-chief of Doenia Bergerak (World in Motion) and founder of the In- landsche Journalisten Bond (Union of Native Journalists) in Soerakarta. Here journalists played the role of movement (pergerakan) leaders without a well- defined organizational base.2 Mas Marco was known for his frequent organiza- tion of political rallies for Sarekat Islam, and for his rousing speeches. In the introduction of Student Hidjo, Marco remarks that he was imprisoned for a year because of persdelict, and yet he managed to produce books that contin- ued to communicate his thoughts for his audience. In effect, the imprisonment provided him with the opportunity to gather his thoughts and ideas, which he otherwise might not have been able to do had he continued to focus on orga- nizing rallies all over Java.
    [Show full text]
  • DIAN HEZEDILA SHARON 1651140016.Pdf
    SKRIPSI PANDANGAN BARAT TENTANG TIMUR PADA NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO (KAJIAN ORIENTALISME EDWARD SAID) WESTERN VIEW OF THE EAST IN THE STUDENT HIDJO NOVEL BY MAS MARCO KARTODIKROMO ((STUDY OF EDWARD SAID’S ORIENTALISM) DIAN HEZEDILA SHARON 1651140016 PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2020 SKRIPSI PANDANGAN BARAT TENTANG TIMUR PADA NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO (KAJIAN ORIENTALISME EDWARD SAID) WESTERN VIEW OF THE EAST IN THE STUDENT HIDJO NOVEL BY MAS MARCO KARTODIKROMO (STUDY OF EDWARD SAID’S ORIENTALISM) Diajukan kepada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana DIAN HEZEDILA SHARON 1651140016 PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2020 i ii iii MOTO Berproses dengan iman yang teguh, pengharapan yang tiada akhir, dan kasih yang selalu dinyatakan kepada sesama. iv PERSEMBAHAN Karya ini dipersembahkan untuk semua orang yang menyayangi dan yang disayangi sebagai wujud terima kasih untuk doa dan dukungan sampai saat ini. v ABSTRACT Sharon, Dian Hezedila. 2020 Western View of the East in The Student Hidjo Novel by Mas Marco Kartodikromo (Study of Edward Said’s Orientalism. Skripsi. Indonesian Language and Literature Department. Language and Literature Faculty. State University of Makassar (guided by Anshari dan Juanda). This research is a study of text in a Student Hidjo novel by using the post-colonial study of Edward Said's orientalism as the tool. The data in this research used data analysis techniques with identification, classification, analysis and interpretation of data.
    [Show full text]