MEDIASI - Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi Vol. 2 No.2, Mei 2021

MATINYA SURAT KABAR DALAM PERSPEKTIF SISTEM AUTOPOIETIC NIKLAS LUHMANN (STUDI KASUS KORAN )

Kun Sila Ananda Universitas Negeri Malang Korespondensi: Jalan Semarang, Nomor 5, Malang, Jawa Timur Surel: [email protected]

INFO ARTIKEL ABSTRAK Matinya Surat Kabar dalam Perspektif Sistem Autopoietic Niklas Luhmann (Studi Kasus Koran Sinar Harapan). Belakangan ini di semakin banyak Sejarah Artikel: surat kabar yang gulung tikar, bersamaan dengan maraknya Diterima: 22/04/2021 kemunculan berbagai media daring. Salah satu surat kabar yang Direvisi: 14/05/2021 mengalaminya adalah koran sore legendaris Sinar Harapan yang Dipublikasi: 31/05/2021 berhenti cetak pada 2016 lalu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis matinya koran sore Sinar Harapan melalui perspektif sistem autopoietic Niklas Luhmann. Luhmann menganggap media e-ISSN: 2721-0995 massa sebagai sebuah sistem autopoietic yang harus memiliki p-ISSN: 2721-9046 karakteristik tertentu untuk dapat bertahan hidup. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan perspektif sejarah. Sementara metode pengumpulan data berupa studi literatur. Hasil Kata Kunci: yang didapatkan adalah bahwa koran sore Sinar Harapan sebagai Surat Kabar sistem autopoietic harus mati karena kompleksitas lingkungan Sinar Harapan yang tidak bisa diimbangi oleh kompleksitas diri Sinar Harapan. Sistem Autopoietic Meski Sinar Harapan telah melakukan proses evolusi pada tahap Niklas Luhmann seleksi, tetapi ia gagal melakukan stabilisasi. Di sisi lain, Sinar Keywords: Harapan juga gagal menjalankan fungsinya sebagai sistem media Newspaper untuk selalu menghadirkan kebaruan yang mengiritasi masyarakat. Sinar Harapan Autopoietic System A B S T R A C T The Death of Newspaper in the Perspective of Niklas Luhmann Autopoietic Systems Niklas Luhmann (Case Study of Sinar Harapan Newspapers). Recently in Indonesia, the number of newspapers keep declining while at the same time, more online media emerge. One of the newspapers that has stopped publishing was the legendary evening newspaper Sinar Harapan, which stopped printing in 2016. This study aims to analyze the “death” of the evening newspaper Sinar Harapan from the perspective of Niklas Luhmann’s autopoietic system. Luhmann considers mass media as an autopoietic system that must have certain characteristics in order to survive. This research using case study methods with history perspective. The data were collected using the literature study method. This research shows that the evening newspaper Sinar Harapan as an autopoietic system has to stop operating because of the complexity of the environment that Sinar Harapan cannot compensate for. Although Sinar Harapan has carried out an evolutionary process on the selection stage, it has failed to stabilize itself. On the other hand, Sinar Harapan also failed to carry out its function as a media system to always present novelties irritating the social system.

124 MEDIASI Vol. 2 No.2, Mei 2021 Kun Sila Ananda

PENDAHULUAN Mengawali tahun 2021, dunia pers Indonesia kembali diwarnai dengan undur dirinya sejumlah media massa. Menyusul jejak Koran Tempo dan Indo Pos yang sebelumnya telah berhenti cetak, pada 1 Februari 2021 surat kabar harian Suara Pembaruan juga menyatakan berhenti terbit. Hal ini diungkapkan Primus Dorimulu selaku pompinan perusahaan dan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Aditya L Yudha. Banyaknya media cetak yang menghadapi akhir hayatnya ini telah lama terjadi di Indonesia. Puncaknya pada 2015 lalu yakni 16 unit media gulung tikar hanya dalam rentang waktu satu tahun. Hal yang sama terjadi pada salah satu surat kabar legendaris Sinar Harapan pada 1 Januari 2016. Sinar Harapan yang telah berhasil melewati berbagai macam rezim pemerintahan di Indonesia ternyata justru tumbang ketika berhadapan dengan perubahan teknologi yang semakin cepat. Hal ini juga dibahas oleh Bre Redana dalam esainya berjudul “Inikah Senjakala Kami”. Dalam esainya, Bre mengakui bahwa wartawan media cetak saat ini seperti penumpang kapal yang kian dekat dengan akhir hayat. Salah satu pemicunya, menurut Bre adalah perkembangan teknologi digital (Redana, 2015). Kehadiran teknologi digital membuat pasar media menjadi semakin kompetitif. Tak hanya itu, teknologi digital yang berkembang pesat kemudian membawa konsekuensi bisnis. Teknologi digital seperti televisi dan media daring lebih menggiurkan bagi pengiklan dibandingkan dengan media cetak. Namun, apakah ini berarti jurnalisme juga ikut mati dengan tumbangnya media cetak, seperti tersirat dalam tulisan Bre Redana? Belum tentu. Sebab beberapa media cetak yang berhenti terbit nyatanya tak serta-merta berhenti menjalankan bisnis media. Seperti Globe yang saat ini melanjutkan perjuangannya dengan versi daring dari surat kabar mereka yang sudah berhenti naik cetak. Saat ini juga telah banyak perusahaan media yang masih mempertahankan surat kabar mereka sembari mengembangkan versi daring dari koran yang diterbitkan dengan membentuk portal berita online, seperti Tempo, Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan lainnya. Ini berarti bahwa jurnalisme tak ikut mati bersama dengan matinya beberapa media cetak, seperti ‘ramalan’ Bre Redana, tetapi ‘hanya’ mengalami pergantian wujud.

TINJAUAN PUSTAKA Dinamika kehidupan perusahaan media di Indonesia ini tentu akan sangat menarik untuk dikaji dalam perspektif sistem. Teoretisasi sistem paling termuka dalam sosiologi adalah Niklas Luhmann (1927—1998). Luhmann memperkenalkan pemikirannya yang berbeda mengenai sistem. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah sistem autopoietic. Konsep autopoietic ini merujuk pada diversitas berbagai sistem, mulai dari sel biologis hingga sistem masyarakat dunia. Media pun sesungguhnya juga bisa dilihat sebagai sebuah sistem autopoietic. Sistem autopoietic memiliki beberapa karakteristik (Ritzer, 2007, h. 244—246), antara lain:

125 MEDIASI Vol. 2 No.2, Mei 2021 Kun Sila Ananda

1. Sebuah sistem autopoietic menghasilkan elemen-elemen yang menyusun sistem itu sendiri. Ini berarti bahwa sistem autopoietic memiliki kemampuan untuk menghasilkan unsur dasarnya sendiri dan tak mengambilnya dari luar sistem. 2. Sistem autopoietic mengorganisasikan diri sendiri (self-organizing). Proses mengorganisasikan diri ini dilakukan dengan dua cara. Mereka mengorganisasi batas- batasnya sendiri dengan membedakan antara apa yang ada dalam sistem dengan apa yang ada dalam lingkungannya. Di dalam batas-batas ini, sebuah sistem autopoietic menghasilkan strukturnya sendiri. 3. Sistem autopoietic bersifat self-referential seperti yang diungkapkan Esposito (Ritzer, 2007: 245). Sistem menggunakan referensi untuk mengacu pada dirinya sendiri. Misalnya, sistem ekonomi yang menggunakan harga untuk mengacu pada dirinya, begitu juga dengan sistem hukum yang memiliki referensi berupa undang-undang. 4. Sebuah sistem autopoietic adalah sistem tertutup. Artinya bahwa sistem autopoietic tidak ada kaitan langsung dengan lingkungannya. Namun, meski sistem autopoietic adalah sistem tertutup dan tak ada koneksi langsung dengan lingkungannya, lingkungan masih tetap diizinkan untuk mengganggu representasi di dalamnya. Gangguan dari lingkungan ini sangat penting bagi sebuah sistem, sebab tanpa gangguan tersebut, sistem akan dihancurkan oleh kekuatan lingkungan yang meliputinya (Ritzer, 2007: 246).

Dalam memahami definisi sistem dari perspektif Luhmann, sangat penting untuk membedakan dan memberi batasan yang jelas antara sistem dengan lingkungannya. Kunci perbedaan keduanya terletak pada kompleksitas. Sistem selalu lebih sederhana daripada lingkungannya. Meski begitu, agar tidak dikuasai oleh kompleksitas lingkungannya, sistem mengembangkan kompleksitas dalam dirinya sendiri dengan membangun subsistem- subsistem baru untuk menangani lingkungannya secara efektif (Ritzer, 2007: 244). Satu hal yang juga penting untuk dipahami dalam sistem autopoietic milik Luhmann adalah bahwa individu tidak dianggap sebagai bagian dari sistem. Individu merupakan bagian dari lingkungan dan sebuah sistem lain yang nantinya disebut sebagai sistem psikis. Menurut Luhmann (Ritzer, 2007: 247), individu sebagai organisme biologis dan individu sebagai kesadaran bukanlah bagian dari sistem, melainkan bagian dari luar sistem. Kesadaran individu termasuk dalam sistem psikis. Dalam sebuah sistem autopoietic, seperti perusahaan media massa, maka individu dan kesadaran individu tidak termasuk dalam sistem. Individu akan dilihat sesuai dengan fungsinya dalam sebuah sistem. Misalnya, seorang karyawan akan dilihat sebagai reporter, editor, redaktur, dan lain sebagainya, bukan sebagai individu melainkan sebagai makhluk organisme fisik yang memiliki kesadaran. Selain karakteristik di atas, terdapat beberapa konsep dalam perspektif sistem autopoietic yang penting untuk dijabarkan dalam melihat fenomena matinya surat kabar Sinar Harapan, antara lain: 1. Evolusi Sistem Evolusi sistem dalam teori Luhmann tidak sama dengan apa yang dimaksud oleh

126 MEDIASI Vol. 2 No.2, Mei 2021 Kun Sila Ananda

Parsons. Jika Parsons mengasumsikan hanya ada satu jalan pasti untuk perkembangan sebuah sistem, maka menurut teori Luhmann ada banyak variasi jalan yang bisa dilakukan oleh sebuah sistem dalam menyelesaikan masalah tertentu. Lebih lanjut, evolusi bukanlah proses melainkan seperangkat proses yang terdiri dari pelaksanaan tiga fungsi, yaitu: variasi, seleksi, dan stabilisasi karakter yang dapat direproduksi (Ritzer, 2007: 251). Variasi berkaitan dengan proses trial-and-error. Ketika menghadapi masalah, berbagai variasi solusi akan muncul. Kemunculan variasi solusi ini kemudian ditindaklanjuti dengan proses seleksi oleh sistem. Sistem akan memilih salah satu dari variasi solusi yang ada untuk digunakan dalam mengatasi masalah yang ada. Seleksi ini tidak didasarkan pada kualitas solusi, tetapi berkaitan dengan proses selanjutnya dari evolusi, yaitu stabilisasi. Pada saat melakukan proses evolusi, sebuah sistem akan mengalami perubahan dalam berbagai aspek, karena itu sistem seringkali akan memilih solusi yang mudah diterapkan dan direproduksi dalam jangka panjang, serta solusi yang bisa menstabilkan sistem serta membuat sistem menjadi tahan lama. 2. Diferensiasi Dari sudut pandang teori sistem Luhmann, ciri utama masyarakat modern adalah meningkatnya proses diferensiasi sistem sebagai cara menghadapi kompleksitas lingkungannya Rasch (Ritzer, 2007: 252). Diferensiasi dalam sebuah sistem merupakan cara sebuah sistem menangani perubahan dalam lingkungannya. Dalam menghadapi variasi yang ada pada lingkungannya, sistem harus selalu bisa menyesuaikan diri agar tidak dikuasai oleh kompleksitas lingkungan yang bisa menghentikan kehidupan sebuah sistem. Perubahan dan kompleksitas akan diterjemahkan dalam sebuah sistem untuk memunculkan diferensiasi, agar sebuah sistem menjadi lebih kompleks dan dinamis serta mampu bertahan hidup. Luhmann (2000: 23) mengartikan diferensiasi sebagai munculnya subsistem dalam masyarakat yang memiliki karakteristik sebagai formasi sistem, bersifat autopoietic yang berarti mampu mereproduksi dirinya sendiri, mengorganisasi dirinya sendiri, menentukan strukturnya sendiri, serta mampu merealisasikan operasionalnya sendiri. Media massa sebagai sebuah sistem artinya bahwa media massa mampu mengasumsikan dan menentukan fungsinya sendiri sebagai poin referensi untuk menentukan tindakan operasionalnya secara otonom. 3. Kode Kode adalah satu cara untuk membedakan elemen-elemen sistem dari elemen- elemen yang tidak termasuk sistem. Sebuah kode adalah “bahasa” dasar dari sistem fungsional. Kode dipakai untuk membatasi jenis komunikasi yang diperbolehkan. Setiap komunikasi yang tidak menggunakan kode tersebut bukan termasuk dalam komunikasi pada sistem terkait (Ritzer, 2007: 256). Dalam teori sistem Luhmann, tidak ada sistem yang menggunakan dan memahami kode sistem lainnya. Akan tetapi, sistem itu harus mendeskripsikan kebisingan atau gangguan dalam lingkungan yang berhubungan dengan kodenya sendiri (Ritzer, 2007: 257).

127 MEDIASI Vol. 2 No.2, Mei 2021 Kun Sila Ananda

Dalam konteks media massa, Luhmann (2000: 17) berpendapat bahwa kode dari media massa adalah perbedaan antara informasi dan bukan informasi. Kode berupa informasi dan bukan informasi ini yang kemudian digunakan untuk menentukan operasi apa saja yang masuk dalam sistem media massa dan operasi apa saja yang masuk dalam lingkungan media massa. Kode ini penting sebagai pembeda dan batasan antara sistem media massa dengan lingkungannya. Dengan begitu, ini berarti bahwa apa-apa yang termasuk dalam kategori informasi termasuk dalam operasi sistem media massa, sementara apa yang dianggap sebagai bukan informasi masuk dalam lingkungan media massa atau di luar sistem. Lantas, apa yang sebagai informasi? Apa saja yang termasuk kategori informasi? Gregory Bateson (Luhmann, 2000: 18) mengungkap bahwa informasi adalah pembeda yang bisa membuat perbedaan pada waktu atau kejadian yang akan datang. Dari definisi ini kita dapat melihat adanya unsur ‘kebaruan’ dan ‘efek’ dari informasi yang diharapkan dapat memicu adanya perubahan atau perbedaan pada waktu yang akan datang. Melalui informasi, Luhmann (2000: 22) mengungkap bahwa informasi nantinya diharapkan bisa menimbulkan perasaan tak puas atau iritasi pada masyarakat. Iritasi yang diberikan oleh media massa inilah yang kemudian digunakan untuk mengukur efektivitas media massa dalam operasinya sehari-hari. Luhman (2000: 22) menyimpulkan bahwa media massa harus selalu membuat masyarakat teriritasi. Media memproduksi kejutan-kejutan dan gangguan baru bagi masyarakat secara konstan. Dengan pandangan ini, Luhmann mendudukkan media massa sebagai salah satu sistem fungsi yang sama seperti sistem ekonomi, sains, dan politik, yang selalu mengonfrontasi masyarakat dengan masalah-masalah baru.

Konsep-konsep autopietic dari Niklas Luhmann di atas akan penulis gunakan untuk mengkaji kasus matinya koran sore Sinar Harapan. Koran sore Sinar Harapan dipilih karena beberapa perbedaan Sinar Harapan dengan media massa lain yang berhenti cetak sejak tahun 2015 hingga saat ini. Media Sinar Harapan tidak hanya berhenti cetak sebagai koran sore, tetapi juga berhenti melakukan update berita pada media daringnya, yakni sinarharapan. co. Sementara media lain seperti Jakarta Globe, Tempo, dan Bola masih menjalankan usaha media mereka lewat versi daring melalui portal lamannya masing-masing. Selain itu, Sinar Harapan juga memiliki keunikan sebagai koran sore yang dianggap juga ikut memengaruhi minat masyarakat untuk membeli dan membaca Sinar Harapan.

METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan metode pengumpulan data berupa studi literatur. Studi literatur digunakan untuk menelaah sumber data tertulis berkaitan dengan koran sore Sinar Harapan. Dalam penelitian ini, data tertulis berupa karya tertulis, hasil penelitian, dan data resmi yang dipublikasikan melalui media massa. Karena penelitian ini mengkaji mengenai matinya koran sore Sinar Harapan yang

128 MEDIASI Vol. 2 No.2, Mei 2021 Kun Sila Ananda sudah tidak beroperasi sejak tahun 2014, maka perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif sejarah. Penelitian sejarah dilakukan melalui lima tahap, yakni (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi berupa analisis dan sintesis, serta (5) penulisan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Harian Sinar Harapan terbit kali pertama pada 27 April 1961 dengan H.G. Rorimpandey sebagai Pemimpin Umum dan J.C.T Simorangkir sebagai Ketua Dewan Direksinya. Pada awal diterbitkan, oplah Sinar Harapan hanya sekira 7.500 eksemplar. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena pada akhir 1961, oplahnya melonjak hingga 25.000 eksemplar. Sejak awal didirikan, Sinar Harapan memang berkonsep sebagai koran sore, dan popularitasnya terus meningkat hingga Sinar Harapan menjadi salah satu koran nasional terkemuka dan mendapatkan julukan sebagai “Raja Koran Sore”. Perkembangan Sinar Harapan yang pesat ini terlihat dari jumlah eksemplarnya yang terus meningkat, yaitu dari 25.000 eksemplar pada 1961 menjadi 250.000 eksemplar pada 1985. Tak hanya itu, pertumbuhan yang cepat juga terlihat dari jumlah karyawannya yang pada 1961 hanya berjumlah sekira 28 orang menjadi sekira 451 orang pada 1986. Meski begitu, Sinar Harapan harus mengalami pembredelan beberapa kali karena sikap kritisnya. Dengan motonya “Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran, dan Perdamaian Berdasarkan Kasih”, Sinar Harapan tak segan untuk bersikap kritis terhadap isu- isu penting nasional. Bahkan, Sinar Harapan tak takut berseberangan dengan pemerintah. Sinar Harapan kali pertama dibredel oleh pemerintah Indonesia pada 2 Oktober 1965. Pada masa itu, harian Sinar Harapan dibredel karena pemerintah khawatir media massa ini akan mengekspos peristiwa G-30-S secara bebas. Hanya ada beberapa media tertentu saja yang masih diperbolehkan terbit. Pada saat itu, Sinar Harapan dibredel selama beberapa hari dan boleh terbit kembali pada 8 Oktober 1965. Sinar Harapan kembali berurusan dengan hukum dan pemerintah pada Juli 1970, saat mengekspos laporan Komisi IV mengenai korupsi. Sinar Harapan dianggap telah melanggar kode etik pers karena laporan tersebut baru akan dibacakan Presiden pada 16 Agustus 1970. Pada Januari 1972, Sinar Harapan juga kembali berurusan dengan Dewan Kehormatan Pers karena pemberitaan 31 Desember 1971 yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Pemberitaan tersebut berjudul “Presiden Larang Menteri-Menteri Beri Fasilitas pada Proyek Mini”. Selanjutnya, Sinar Harapan kembali dibredel dan surat izin cetaknya dicabut sementara pada 2 Januari 1973. Pangkokamtib melarang Sinar Harian naik cetak karena pemberitahuan RAPBN dengan judul “Anggaran ‘73-’74 Rp 826 miliar”. Sinar Harapan baru diperbolehkan terbit kembali pada 12 Januari 1973. Sinar Harapan kembali dibredel pada 1974 berkaitan dengan peristiwa “Malari”. Dalam kasus ini, Sinar Harapan bukan satu- satunya media yang dilarang naik cetak. Bersama sejumlah media, Sinar Harapan dilarang terbit karena memberitakan kegiatan mahasiswa yang dianggap memanaskan situasi politik.

129 MEDIASI Vol. 2 No.2, Mei 2021 Kun Sila Ananda

Kemudian pada 20 Januari 1978, Sinar Harapan juga dilarang terbit oleh Pangdam V Jaya. Pada saat itu, pemerintah menganggap pemberitaan Sinar Harapan tidak menyenangkan penguasa sehingga media tersebut dilarang terbit. Dari perjalanannya, dapat dilihat bahwa Sinar Harapan telah seringkali berurusan dengan pemerintah dan mengalami beberapa kali pembredelan. Namun, puncak dari semua itu terjadi pada Oktober 1986. Pada saat itu, Sinar Harapan dengan Aristides Katoppo sebagai Pemimpin Redaksi, memuat berita yang berjudul “Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Akibat menerbitkan berita ini, SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan) Sinar Harapan dicabut oleh pemerintah Soeharto dan Sinar Harapan pun mati suri selama 14 tahun. Setelah itu, pada 4 Februari 1987 muncul Suara Pembaruan sebagai pengganti Sinar Harapan. Media baru ini menampung hampir seluruh karyawan Sinar Harapan kecuali Aristides Katoppo dan H.G. Rorimpandey. Setelah masa reformasi, Aristides berusaha menerbitkan kembali Sinar Harapan. Bersama dengan H.G. Rorimpandey dan sejumlah redaktur senior Suara Pembaruan, mereka mendirikan PT Sinar Harapan Persada yang menerbitkan Sinar Harapan. Akhir Juni 2001, Sinar Harapan baru edisi contoh muncul dengan mengusung idealisme jurnalisme damai. Lalu pada 2 Juli 2001, Sinar Harapan terbit kembali secara resmi dan masih menggunakan jenis huruf dan logo yang sama seperti 14 tahun lalu. Pada saat itu, meski sudah mati suri selama 14 tahun, Sinar Harapan mendapat respons positif dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, elit politik, pelaku bisnis, biro iklan, hingga agen koran. Namun, tampaknya dalam perjalanannya hingga 2015 Sinar Harapan mengalami banyak lika-liku yang menyebabkan koran sore ini akhirnya harus berhenti cetak. Banyak spekulasi yang muncul terkait faktor-faktor penyebab Sinar Harapan berhenti beroperasi, baik cetak maupun daring. Begitu juga spekulasi terkait harapan apakah Sinar Harapan akan kembali muncul dalam bentuk yang berbeda atau tidak pada masa depan. Niklas Luhmann melihat media massa sebagai sebuah sistem autopoietic (2000: 16). Hal ini berarti media massa, termasuk juga Sinar Harapan, merupakan sistem yang bisa menghasilkan elemen-elemennya sendiri, mengorganisasikan diri sendiri, mengacu pada dirinya sendiri, serta merupakan sistem tertutup. Mengorganisasikan diri sendiri berarti bahwa sebuah sistem mampu membedakan dan memiliki batasan antara dirinya dengan lingkungannya. Bahkan, perbedaan dan batasan antara sebuah sistem dengan lingkungan merupakan kunci dari sebuah sistem autopoietic. Sinar Harapan sebagai sebuah sistem autopoietic tentunya memiliki batasan yang jelas dengan lingkungannya. Sebagai sebuah sistem dan media massa, beberapa hal yang termasuk dalam lingkungan Sinar Harapan, antara lain: 1. Sistem psikis dan kesadaran individu di dalamnya Dalam sebuah sistem hanya ada komunikasi yang didasari oleh kode yang dianut oleh sebuah sistem. Karenanya, dalam media massa seperti Sinar Harapan, manusia yang bekerja di dalamnya dalam konteks biologis dan psikis atau kesadaran, termasuk ideologi

130 MEDIASI - Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi Vol. 2 No.2, Mei 2021

yang dimiliki oleh para karyawan, tidak termasuk dalam sistem. Aristides Katoppo sebagai sebuah pemikiran dan ideologi bukanlah sistem, melainkan fungsinya sebagai Komisaris Utama Sinar Harapan yang merupakan bagian dari sistem. 2. Sistem sosial masyarakat Masyarakat adalah sebuah sistem tersendiri yang merupakan lingkungan dari sistem Sinar Harapan sebagai media massa. Meski begitu, dalam masyarakat, media massa sebagai sebuah sistem fungsional sekaligus agen memiliki ‘tugas’ untuk mengiritasi masyarakat dengan informasi-informasi yang diberikannya. Fungsi inilah yang menjadi bentuk diferensiasi sistem media massa di antara sistem-sistem lainnya seperti sistem politik, ekonomi, sains, dan sebagainya. Keadaan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat juga merupakan bagian dari lingkungan sistem media massa. 3. Sistem lain yang ada dalam masyarakat Bagi Sinar Harapan, sistem lain yang berada di dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, dan teknologi juga merupakan bagian dari lingkungan. Begitu juga dengan media massa lain seperti koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, dan lainnya juga termasuk dalam lingkungan Sinar Harapan.

Sebagai sistem autopoietic yang tertutup, Sinar Harapan tidak berkaitan langsung dengan lingkunganya, tetapi berkaitan dengan representasi dari lingkungan. Meski begitu, lingkungan masih bisa memberikan gangguan pada Sinar Harapan melalui representasi di dalamnya. Gangguan merupakan hal yang penting bagi sebuah sistem, sebab gangguan akan membuat sistem terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam dirinya sehingga dia bisa mengimbangi kompeksitas lingkungan. Namun, ada kalanya sebuah sistem tidak mampu menanggulangi gangguan dan akhirnya berhenti beroperasi, seperti yang terjadi pada Sinar Harapan. Ekonomi dan teknologi adalah beberapa aspek lingkungan yang bisa menyebabkan gangguan dalam kasus ini, dan nantinya akan lebih lanjut dijabarkan dalam faktor-faktor yang mendorong kematian Sinar Harapan. Seorang wartawan asal Australia menganalogikan Sinar Harapan dengan seekor kucing, karena telah berkali-kali mati dan bisa hidup kembali (Suwanti, 2015). Dalam perjalanannya, Sinar Harapan memang telah beberapa kali mengalami kematian sementara karena dibredel oleh pemerintah. Dalam perspektif sistem autopoietic, kematian sementara yang dialami oleh Sinar Harapan sebelumnya bisa dilihat sebagai ketidakmampuan sistem dalam menghadapi kuasa lingkungannya. Sinar Harapan sebagai salah satu sistem fungsional dalam masyarakat merupakan subsistem dari pemerintah Indonesia pada masa itu. Pemerintah Indonesia sebagai sistem yang lebih besar mampu mematikan Sinar Harapan dengan cara mencabut izin usahanya. Namun, ‘kematian’ Sinar Harapan pada 2015 ini tentunya berbeda karena disebabkan oleh faktor-faktor yang jauh berbeda dari lingkungan sistem itu sendiri. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan kematian Sinar Harapan berdasarkan perspektif sistem autopoietic Niklas Luhmann. 1. Kompleksitas lingkungan

131 MEDIASI - Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi Vol. 2 No.2, Mei 2021

Kompleksitas lingkungan yang terus meningkat dan berkembang pesat adalah satu faktor yang menjadi pemicu matinya media Sinar Harapan. Kompleksitas ini bisa dilihat dari sisi teknologi yang kemudian berimbas pada ekonomi dan bisnis. Teknologi sendiri memiliki pengaruh yang besar dalam kaitannya dengan media massa. Bahkan, Luhmann (2000: 2) menyebut media massa sebagai aspek kunci media massa. Dalam pemikiran Luhmann, istilah media massa digunakan untuk semua institusi masyarakat yang menggunakan teknologi pengganda untuk menyebarkan informasi. Di sini terlihat jelas bahwa teknologi merupakan salah satu aspek penting dari definisi komunikasi massa sendiri. Faktanya, teknologi memang memiliki imbas yang besar dalam bisnis media massa. Kemunculan teknologi digital membuat pasar media massa menjadi semakin kompetitif. Teknologi digital memicu munculnya media-media massa baru yang memanfaatkan teknologi tersebut dalam bentuk portal web atau media daring. Bahkan, Bre Redana (2015) menyebut perkembangan teknologi digital kemudian melahirkan era baru di dunia media massa yang memiliki sifat bergegas, serba cepat, dan tergopoh- gopoh. Di Indonesia sendiri media daring telah banyak bermunculan dan menjadi sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi media lain seperti media cetak dan media penyiaran. Ancaman ini bisa berupa kecepatan yang dimiliki oleh media daring, tetapi tidak dimiliki oleh media cetak sehingga peminatan masyarakat semakin bergeser kepada media daring. Selain itu, dari aspek bisnis juga membuat media cetak menjadi lebih sedikit dilirik investor. Perkembangan teknologi dan munculnya banyak media berbasis teknologi digital yang serba cepat juga membawa konsekuensi bisnis yang berimbas pada ekonomi media massa. Ini terlihat dari surutnya jumlah pengiklan yang berinvestasi pada media cetak dan lebih memilih berinvestasi pada media daring ataupun media siar seperti televisi. Kompleksitas-kompleksitas inilah yang muncul pada lingkungan Sinar Harapan dan sebagai sebuah sistem, Sinar Harapan harus melakukan diferensiasi untuk mengatasi kompleksitas tersebut. Seperti yang telah diungkap sebelumnya, bahwa sebuah sistem harus selalu lebih sederhana daripada lingkungannya. Ketika kompleksitas lingkungan bertambah, sistem harus mampu mengembangkan kompleksitas dalam dirinya sendiri agar tidak tergilas oleh kompleksitas lingkungan yang melingkupinya. Untuk mengembangkan kompleksitas tersebut, sistem harus membangun subsistem-subsitem baru untuk menangani kompleksitas lingkungannya. Hal ini pula yang dilakukan oleh Sinar Harapan. 2. Sinar Harapan gagal melakukan evolusi Sinar Harapan juga mengembangkan subsistem baru dengan membuat versi daring dari media cetaknya yang terbit setiap sore. Diluncurkannya portal web sinarharapan.co pada 2013 adalah salah satu bentuk diferensiasi yang ditempuh oleh Sinar Harapan untuk mengatasi kompleksitas lingkungan dalam hal teknologi digital yang berkembang pesat. Dari sisi evolusi sistem, pemunculan sinarharapan.co juga merupakan salah satu jalan

132 MEDIASI - Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi Vol. 2 No.2, Mei 2021

Sinar Harapan untuk menyelesaikan masalahnya. Di sini Sinar Harapan telah melakukan proses variasi dan seleksi solusi untuk mempertahankan kelanjutan hidupnya sebagai sebuah sistem. Namun, tampaknya proses evolusi yang dilakukan Sinar Harapan tidak semulus yang diinginkan. Sinar Harapan kesulitan dalam proses akhir sebuah evolusi sistem, yaitu stabilisasi. Stabilisasi merupakan proses penerapan dan reproduksi solusi dalam jangka panjang yang diharapkan bisa membuat sebuah sistem kembali stabil dan bertahan lama. Stabilisasi Sinar Harapan gagal bukan karena kegagalan portal beritanya, melainkan lebih pada faktor lainnya, yaitu masalah finansial. Meski sudah berupaya mengikuti kompleksitas lingkungan dalam hal teknologi, tetapi kompleksitas lain dalam bentuk persaingan yang semakin ketat, serta larinya investor ke media-media daring dan siaran televisi terbukti tak mampu ditangani oleh Sinar Harapan. Media cetak menjadi lahan yang dilihat tandus oleh investor. Komersialisasi dalam lingkungan Sinar Harapan pun menjadi faktor pemicu yang menentukan. Puncaknya, investor yang kemudian mencabut investasinya di Sinar Harapan menjadi pukulan telak yang mematikan bagi surat kabar ini. Hal ini juga diungkapkan oleh Kristanto Hartadi (2015) selaku anggota Dewan Redaksi dalam salah satu artikelnya di sinarharapan.co. Hartadi menyebut bahwa surat kabar Sinar Harapan sejak awal memang selalu mengalami kesulitan keuangan. Faktanya, Sinar Harapan memang dimulai secara sederhana dengan komputer yang harus dipakai bergantian karena jumlahnya yang tidak memadai, serta kendaraan operasional yang terbatas. Perputaran uang selama 14 tahun penerbitan Sinar Harapan juga kerap bermasalah. Akibatnya, perusahaan menjadi sulit memperoleh keuntungan yang signifikan. Selain itu, faktor lain dalam lingkungan Sinar Harapan yang tak mampu diatasi adalah semakin kecilnya pangsa pasar yang tersedia bagi surat kabar sore. Hartadi (2015) menyebut bahwa sejak awal Sinar Harapan tak pernah melakukan survei pasar untuk mengetahui pangsa pasar koran sore dengan jelas dan bagaimana persaingan dengan sesama surat kabar yang ada ataupun dengan media lainnya seperti stasiun televisi yang bertambah dan perkembangan new media yang semakin pesat. Menurut Hartadi, surat kabar sore ini masih dipenuhi oleh semangat masa lalu, tanpa disertai dengan asumsi- asumsi baru. Padahal asumsi baru ini sangat penting bagi sebuah sistem untuk terus menyeimbangkan diri dengan kompleksitas lingkungannya. Stabilisasi gagal dilakukan oleh Sinar Harapan karena faktor-faktor tersebut. Jika dilihat dari penjabaran di atas, kegagalan stabilisasi disebabkan oleh sistem yang tak mampu mengimbangi kompleksitas lingkungannya. Selain itu, faktor internal dalam bentuk konflik-konflik juga ikut memicu gagalnya evolusi dalam tahap stabilisasi. Konflik- konflik internal yang terus muncul hingga hari-hari terakhir ini bisa dilihat sebagai bentuk deviasi yang tidak fungsional dan hanya menghambat proses stabilisasi yang tengah dilakukan oleh media massa.

133 MEDIASI - Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi Vol. 2 No.2, Mei 2021

3. Fungsi Sinar Harapan sebagai media massa yang tidak berjalan baik Sebelumnya telah disebutkan bahwa menurut Luhmann (2000: 17) kode dari media massa adalah perbedaan antara informasi dan noninformasi. Informasi tersebut memiliki beberapa unsur kunci, antara lain adalah kebaruan dan efek dari informasi yang mampu memicu adanya perubahan serta perbedaan pada waktu yang akan datang. Melalui informasi inilah kemudian media massa diharapkan bisa menimbulkan perasaan tak puas atau iritasi pada masyarakat. Kemudian, dari fungsi mengiritasi masyarakat ini, efektivitas sebuah media massa diukur. Dalam kompleksitas lingkungan yang mana new media berkembang semakin cepat, Sinar Harapan tentu memiliki tantangan besar sebagai sebuah surat kabar yang terbit setiap sore. Sinar Harapan diharapkan mampu menyajikan informasi baru yang tidak dimiliki oleh surat kabar pagi, televisi, ataupun media daring. Tentunya menjadi sangat sulit bagi Sinar Harapan untuk memproduksi kejutan dan gangguan baru bagi masyarakat yang belum dihadirkan oleh media lain yang lebih cepat. Di sinilah kemudian Sinar Harapan mulai tergilas oleh lingkungannya. Hartadi (2015) sebagai pimpinan Sinar Harapan periode 2001—2010 mengungkap bahwa tak adanya survei pasar membuat Sinar Harapan tak mengetahui apakah kehadirannya masih dibutuhkan oleh pasar. Ketika media sudah tak mampu lagi menghadirkan informasi-informasi baru bagi masyarakat, maka saat itulah surat kabar akan ditinggalkan. Surat kabar tersebut tak akan lagi ditunggu dan diharapkan kehadirannya oleh masyarakat. Media kehilangan fungsi dan diferensiasinya sebagai sistem dalam masyarakat. Tampaknya hal inilah yang kemudian terjadi pada surat kabar sore Sinar Harapan sehingga memutuskan untuk berhenti terbit baik dalam bentuk cetak maupun daring.

SIMPULAN Dari penjabaran di atas dapat diketahui bagaimana surat kabar Sinar Harapan sebagai sebuah sistem autopoietic yang memiliki karakteristik-karakteristik khusus dan berbeda dengan lingkungannya. Selain itu, juga dapat disimpulkan beberapa faktor yang mendorong matinya Sinar Harapan sebagai media massa. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah kompleksitas lingkungan yang semakin pesat dalam segi teknologi, bisnis, dan pangsa pasar. Kompleksitas lingkungan ini tidak bisa diimbangi dengan kompleksitas yang berusaha dibangun oleh surat kabar Sinar Harapan untuk menangani masalah-masalah dari lingkungannya. Meski dalam upayanya Sinar Harapan telah melakukan proses evolusi hingga tahap seleksi, tetapi ternyata surat kabar sore ini gagal melakukan stabilisasi yang disebabkan oleh banyak faktor baik dari segi lingkungan maupun dari sisi internal sistem dalam bentuk deviasi yang menghambat terjadinya evolusi. Hal ini membuat Sinar Harapan pada akhirnya tergilas oleh kompleksitas lingkungannya. Sebagai sebuah sistem berbentuk media massa, Sinar Harapan juga dianggap tak mampu menjalankan fungsinya untuk mengiritasi

134 MEDIASI - Jurnal Kajian dan Terapan Media, Bahasa, Komunikasi Vol. 2 No.2, Mei 2021 masyarakat karena kendala kecepatan. Pada akhirnya, Sinar Harapan sebagai sistem harus berhenti beroperasi dan mengalami kematian. Meski begitu, bukan tidak mungkin jika pada masa depan akan muncul kembali Sinar Harapan sebagai sebuah sistem autopoietic dengan bentuk baru yang telah berevolusi untuk bertahan hidup dalam kompleksitas yang saat ini tak mampu ditanganinya.

DAFTAR RUJUKAN Essra, Try Reza. (2015, Desember 31). Sinar Harapan di Hari Terakhir 2015. Retrieved from http://www.antaranews.com/berita/537719/ sinar-harapan-di-hari-terakhir-2015., diakses pada 2 Januari 2021 pukul 15.23 WIB Hartadi, Kristanto. (2015, Desember 31). Semangat yang Tak Akan Padam. Retrieved from http://www.sinarharapan.co/news/read/151231032/semangat-yang-tak-akan-padam. ,diakses pada 2 Januari 2021 pukul 19.27 WIB Katoppo, Aristides. (2015, Desember 31). Sampai Jumpa Lagi. Retrieved from http://www. sinarharapan.co/news/read/151231023/sampai-jumpa-lagi-., diakses pada 2 Januari 2021 pukul 15.09 WIB Luhmann, Niklas. (2000). The Reality of the Mass Media (Translated by Kathleen Cross). Cambridge: Polity Press. Redana, Bre. (2015, Desember 27). Inikah Senjakala Kami. Retrieved from http://print. kompas. com/baca/2015/12/27/Inikah-Senjakala-Kami., diakses pada 31 Desember 2020 pukul 11.23 WIB Remotivi. (2015, Desember 28). Media Cetak yang Berhenti Terbit Tahun 2015. Retrieved from http://www.remotivi.or.id/kabar/247/Media-Cetak-yang-Berhenti-Terbit-Tahun-2015-. (diakses pada 31 Desember 2020 pukul 12.05 WIB Ritzer, George. (2007). Teori Sosiologi Modern (Edisi Tujuh). Jakarta: Prenada Media Group. Suwanti, Ninuk C. (2015, Desember 19). Bak Kucing Bernyawa Sembilan. Retrieved from http://www. sinarharapan.co/news/read/151219022/bak-kucing-bernyawa-sembilan, diakses pada 1 Januari 2021 pukul 19.17 WIB Utomo, Wisnu P. (2015, November 23). Sinar Harapan dan Senjakala Media Cetak. Retrieved from http://pindai.org/blog/sinar-harapan-dan-senjakala-media-cetak/., diakses pada 31 Desember 2020 pukul 16.00 WIB Zed, M. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

135