2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Interior Interior merupakan ruang-ruang dalam bangunan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk bernaung sekaligus mengatur bentuk aktivitasnya, serta bertujuan untuk memperbaiki fungsi, memperkaya nilai estetika dan meningkatkan aspek psikologis ruang itu sendiri (Ching 46). Sebuah interior terbentuk dari elemen pembentuk ruang yang terdiri atas: 1. Lantai Lantai merupakan alas ruang yang berfungsi sebagai penahan beban dari seluruh isi ruang namun demikian elemen lantai juga berfungsi sebagai penghubung antara ruang yang satu dengan yang lain (Suptandar 123). Berdasarkan terminologie, istilah flooring berasal dari kata floor; ‘Any material used in laying is a floor’ yaitu segala macam bahan yang digunakan sebagai alas. Sedangkan floor sendiri berarti : a. The surface within a room on which one walks. (Permukaan di dalam ruang dimana orang berjalan). b. A division between one storey and another formed by a horizontal surface composed of an assemblage of components (as framing) or a continous mass of material (as reinforced concrete). Pembagian antara tingkat yang satu dengan tingkat yang berikutnya dibentuk oleh permukaan horizontal yang terdiri dari komponen-komponen yang tersusun (sebagai kerangka) atau massa yang berkesinambungan dari material (seperti beton bertulang). Menurut Dipl. Ing. Mangunwijaya, lantai merupakan bagian yang berada di bawah dan dipijak (Suptandar 124). 2. Pengertian Dinding Dinding merupakan unsur penting dalam pembentukan ruang, baik sebagai unsur penyekat/pembagi ruang maupun unsur dekoratif. Dalam proses perancangan suatu “ruang dalam” dinding mempunyai peranan yang cukup dominan dan memerlukan perhatian khusus, disamping unsur-unsur lain seperti

8 Universitas Kristen Petra 9 tata letak, desain furniture serta peralatan-peralatan lain yang akan disusun bersama dalam suatu kesatuan dengan dinding (Suptandar 147). 2. Pengertian Plafon Plafon/ceiling merupakan sebuah bidang yang terletak diatas garis pandangan normal manusia, berfungsi sebagai pelindung lantai atau atap dan sekaligus sebagai pembentuk ruang dengan bidang yang ada di bawahnya (Suptandar 161).

2.2. Klenteng 2.2.1. Pengertian Klenteng Klenteng merupakan bangunan tempat memuja dan melakukan upacara- upacara keagamaan bagi penganut kepercayaan Khong Hu Cu (Poerwadarminta 648). Istilah klenteng sendiri di untuk menyebut kuil China (Fox 56), selain itu juga digunakan untuk menyebut tempat ibadah Tri Dharma.

2.2.2. Asal Mula Kata Klenteng Dari mana asal mula kata Kelenteng. Ada dua versi tentang asal mula kata Kelenteng. Banyak dari kita yang mengira kata Kelenteng adalah istilah luar. Tetapi sebenarnya kata Kelenteng hanya dapat ditemui di Indonesia. Kalau ditilik kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan – seperti Kodok Ngorek, Burung Pipit, Tokek – demikian pula halnya dengan Kelenteng. Ketika di Kelenteng diadakan upacara keagamaan, sering digunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi ‘klinting’ sedang genta besar berbunyi ‘klenteng’. Maka bunyi-bunyian seperti itu yang keluar dari tempat ibadat orang Cina dijadikan dasar acuan untuk merujuk tempat tersebut. (Moertiko 97) Versi lain menurut ‘Kronik Tionghoa di Batavia’, disebutkan bahwa sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa, Guo Xun-guan mendirikan sebuah tempat ibadah untuk menghormati Guan yin di Glodok. Guan yin adalah Dewi welas asih Buddha yang lazim dikenal sebagai Kwan Im. Pada abad ke-17 waktu umat kristen Jepang dianiaya, patung Dewi Kwan Im menggantikan patung Bunda

Universitas Kristen Petra 10

Maria untuk menyesatkan mata-mata polisi Jepang. Tempat ibadah di Glodok itu disebut Guan Yin Ting atau tempat ibadah Dewi Guan Yin (Kwan Im). Kata Tionghoa Yin-Ting ini disebut dalam kata Indonesia menjadi Klenteng, yang kini menjadi lazim bagi semua tempat ibadah Tionghoa di Indonesia. (Heuken 181).

2.2.3. Kategori Klenteng Berdasarkan dari jumlah dewa yang dimuliakan, klenteng dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu (Ratnawaty 9-11): a. Klenteng Umum Merupakan klenteng yang terbuka bagi umum dan kepengurusannya biasanya ditangani oleh yayasan. Dalam klenteng umum lazim ditemui beberapa dewa- dewi dari agama Budha, Tao, dan Khong Hu Cu. b. Klenteng Spesifik Merupakan klenteng umum yang hanya memuliakan satu dewa saja, selain memuliakan Tuhan. c. Klenteng Keluarga Merupakan klenteng yang didirikan oleh sebuah keluarga atau marga tertentu untuk menghormati dewa-dewi yang dianggap sebagai pelindung keluarga tersebut. Pada umumnya klenteng keluarga tidak menutup diri bagi umat lain yang ingin beribadah. Dengan perkembangan umat yang semakin banyak, klenteng keluarga dapat berubah menjadi klenteng umum.

2.2.4. Syarat Bangunan Klenteng Dalam sebuah bangunan klenteng biasanya memiliki syarat-syarat tersendiri dalam penataan ruangnya, dimana dari penataan tersebut memiliki urutan-urutan tersendiri. Untuk ruang suci utama sebuah klenteng pada umumnya terdiri dari (Tjahjono 75): A. Altar utama dengan patung dewa utama kuil, yang kadang-kadang diapit oleh para pendamping. B. Meja altar terletak di depan altar utama tempat persembahan diletakkan. C. Lampu yang terus menyala. D. Altar tambahan dengan dewa-dewa pembantu.

Universitas Kristen Petra 11

E. Wadah berisi pasir tempat batang dupa ditancapkan oleh orang yang bersembahyang. Dupa memberitahukan kehadiran para pemuja, dan mengundang dewa-dewa untuk mendenggarkan doa mereka. Tiang pengapit altar beragam hias ular naga. Makhluk mitos ini digambarkan sedang memuntahkan mutiara ke dalam altar.

Pada umumnya bangunan klenteng dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Denah Klenteng Pada Umumnya (Sumber : Ratnawaty 54)

2.2.5. Fungsi Klenteng Fungsi klenteng bisa dibagi menjadi dua jenis, dengan tinjauan sebagai berikut: 1. Segi Keagamaan Merupakan tempat suci untuk menjalankan ibadah ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, melaksanakan penghormatan kepada para suci serta para nabi, selain itu sebagai tempat untuk menampung semua aktivitas yang berhubungan dengan para dewa di sana baik hanya untuk konsultasi dan sekedar komunikasi. Universitas Kristen Petra 12

2. Segi Sosial Dalam segi ini, klenteng memiliki fungsi sebagai tempat pemberian amal/bantuan bagi umat yang tidak mampu, selain itu juga berfungsi sebagai tempat bermalam bagi umat yang membutuhkannya.

2.2.6. Kegiatan Dalam Klenteng Dalam sebuah klenteng biasanya pengurus maupun pengunjung melakukan kegiatan atau aktivitas seperti: a. Ibadah/sembahyang Bagi penganut agama budha/aliran kepercayaan, klenteng merupakan sarana bagi mereka dalam melakukan ibadah, doa/sembahyang. Di klenteng terdapat peralatan dan perlengkapan yang disediakan untuk pengunjung yang ingin sembahyang. b. Melakukan upacara ritual/keagamaan Selain ibadah/sembahyang, para penganut agama Budha/aliran kepercayaan juga melakukan berbagai macam upacara yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan mereka. c. Menyucikan diri Di klenteng, para penganut agama/kepercayaan dapat menyucikan diri mereka dengan konsentrasi dalam doa. Dalam proses penyucian diri ini mereka tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan duniawi. d. Memohon petunjuk (Jiam Sie) Banyak pengunjung klenteng yang memohan petunjuk bagi kehidupan mereka seperti nasib, jodoh, dan lain-lain dengan melakukan Jiam Sie (ramal nasib). Sebelum melakukan Jiam Sie mereka harus sembahyang terlebih dahulu dan setelah melakukan Jiam Sie dan memperoleh petunjuk, mereka dapat menanyakan arti dari petunjuk yang telah diperoleh tersebut melalui petugas yang ada di klenteng tersebut. Jiam Sie sebenarnya bukan ajaran Budha, melainkan berasal dari ahli-ahli nujum/ramal negara Cina yang membuatnya.

Universitas Kristen Petra 13

2.2.7. Syarat Pengunjung Datang Klenteng Untuk Mengunjungi klenteng, baik yang ingin sembahyang atau hanya ingin berkunjung saja, maka pengunjung harus menuruti beberapa persyaratan/peraturan yang telah ditetapkan, antara lain: a. Berpakaian sopan dan rapi b. Harus mempunyai pikiran dan hati yang bersih, baik secara jasmani maupun rohani. c. Ikut menjaga kebersihan dan kesucian dengan mentaati tata tertib peraturan yang berlaku d. Khusus bagi wanita yang sedang haid, dilarang untuk melakukan ibadah di klenteng tersebut, bagi keluarga yang dalam keadaan berkabung dilarang masuk dalam klenteng, begitu juga dengan orang yang baru datang dari melayat, terkecuali jika mereka perlu untuk sembahyang, ada tugas khusus dan dapat ijin dari pengurus setempat.

2.2.8. Peralatan dan Perlengkapan Ibadah Setiap klenteng selalu menyediakan peralatan dan perlengkapan bagi para pengunjung untuk dapat melakukan ibadah dan upacara ritual yang bernilai spiritual religius, berikut adalah perlengkapan dan peralatan yang terdapat dalam klenteng: a. Altar/meja sembahyang Biasanya terbuat dari kayu dan dipenuhi ukiran. b. Penerangan Berbagai jenis sumber yang melambangkan penerangan seperti lilin, pelita dan lampu selalu tersedia dalam klenteng. Pelita harus tetap menyala, sedangkan lilin dinyalakan apabila ada tamu. Semua jenis penerangan melambangkan kehidupan, pembebasan dari kegelapan menuju pencerahan dan penerangan sempurna, dari kematian menuju kebangkitan rohani, dari kepalsuan kepada kebenaran sejati dan masih banyak lagi sifat dan sikap pembaharuan diri.

Universitas Kristen Petra 14 c. Dupa Biasanya terdapat dua macam dupa bila dilihat dari bentuk dan ukurannya, yaitu dupa besar dan dupa kecil, untuk dupa sendiri mempunyai sebutan lain yang biasa disebut dengan Hio/Yo Shua dalam bahasa mandarinnya. d. Bunga Bunga diletakkan diatas altar/meja sembahyang, dimana harus selalu segar dan harum. Bunga melambangkan bahwa kehidupan manusia tidak kekal dan semua manusia akan mati seperti halnya bunga yang layu. e. Sesajian Biasanya berupa buah-buahan segar, dan persembahan lainnya. f. Air Air ini dapat diminum dengan tujuan untuk mendapat berkah, dapat juga berupa teh. g. Peralatan lain Untuk peralatan lain, dalam sebuah klenteng terdapat peralatan-peralatan seperti: • Wadah (tempat dupa) • Tambur (bedug) dan genta (bel/klenengan) • Berbagai peralatan bunyi-bunyian untuk mengiringi upacara peribadahan • Jiam Sie (merupakan sarana komunikasi guna menanyakan nasib, jodoh, karier, kesehatan, dan lain-lain), Juk Jiam (minta resep obat untuk penyembuhan penyakit lewat obat-obatan) dan Puak Pui sarana komunikasi dengan para dewa-dewi) • Hu, merupakan peralatan dan perlengkapan khusus untuk digunakan pada upacara-upacara khusus dan dipercaya dapat berguna bagi keselamatan.

2.2.9. Arsitektural Klenteng Arsitektur klenteng setua peradaban Cina, sistem konstruksi yang asli dipakai sejak jaman pra-sejarah hingga sekarang. Sistem konstruksi ini abadi sepanjang masa selama ± 4000 tahun. Gaya atap kuil/klenteng yang melengkung ditemukan pada kawasan istana, kuburan maupun rumah rakyat, atap kuil/

Universitas Kristen Petra 15 klenteng pada dasarnya sama dengan atap melengkung Minangkabau dan Toraja yang sama-sama budaya Sino Malayo dan Melanesis. Sifat dasar dari konstruksi tersebut masih digunakan, terdiri dari suatu panggung yang ditinggikan, sebagai pondasi dari struktur rangka kayu yang terdiri dari kolom dan balok, yang menyangga atap lancip dengan overstek yang menjorok keluar. Sistem konstruksi rangka ini memberi kebebasan dalam pengaturan ruang, peletakan dan ukuran jendela serta pintu memberikan kenyamanan yang cocok untuk semua iklim di Indochina hingga daerah tropis di Manchuria. Karena sifatnya yang fleksibel dan mudah menyesuaikan, metode konstruksi ini dapat dipakai dimanapun tersebarnya peradaban Cina. Dilihat dari bentuknya, klenteng mengalami penyesuaian bentuk arsitekturnya seperti di bawah ini: a. Arsitektur klenteng beradaptasi dengan arsitektur modern Salah satu yang dapat dibahas disini, sehubungan dengan adanya perubahan rancangan pada suatu kuil/klenteng Cina adalah kuil Chee Tong, Singapura yang didirikan oleh orang-orang dari propinsi Cina Selatan seperti Guangzhou, Chaozhaou dan Fujian yang kebanyakan memeluk agama Tao daripada Budha atau Khong Hu Cu. Kuil ini didirikan atas inisiatif langsung orang awam tersebut yang merasa perlu mendirikan dan mempertahankan eksistensi kuil mereka di tanah yang baru. Rasa bakti, gotong royong, dan suka rela yang besar tercermin dalam kuil Chee Tong ini. Kuil ini dibangun dengan konsep berdasarkan filsafat yang dianut dalam situasi yang modern, sehingga diciptakan hasil rancangan yang bersifat terbuka atau terang, atap berbentuk piramida dengan tiga tingkatan filosofi yang kemudian diinterpretasikan sebagai tiga lantai yang berbeda-beda. Untuk mendapatkan penerangan yang baik dan pertukaran udara pada ruang pemujaan diletakkan cermin di atas puncak atap yang memantulkan cahaya ke area altar sekaligus memantulkan cahaya lilin ke luar melalui atap pada malam hari. Meskipun cermin hanyalah alat optik penunjang saja tapi memberikan kesan bahwa cermin tersebut sebagai lambang bunga padma yaitu suatu interpretasi yang menunjukkan resonansi dari ilustrasi para umat.

Universitas Kristen Petra 16

Melalui konsep perancangan ini masalah artistik tercapai dengan memberikan suatu keseimbangan menyeluruh dan keindahan tanpa menghilangkan ilustrasi tradisional atau malah memberi ekspresi fungsional dari suatu bentuk industri semata. Penyesuaian skala dekorasi dan perabotan sulit karena perlengkapan pemujaan yang penuh dengan sistem simbol dan tanda-tanda yang kuno sukar untuk dimodifikasi menjadi suatu bentuk baru dan modern. Karena untuk membentuk suatu reinterpretasi dari rancangan-rancangan bagian tersebut akan melibatkan lagi pembahasan tentang ilustrasi keagamaan Cina dan bangunan kebudayaan secara menyeluruh. Kuil ini diresmikan pada tahun 1987, suatu bukti bahwa arsitektur mampu mengungkapkan suatu formulasi filsafat dan ideologi yang mendukung suatu agama dalam bentuk ukuran dan bentuk rancangan yang artistik dan modern. b. Arsitektur klenteng beradaptasi dengan arsitektur tradisional Adanya persamaan pandangan dalam bangunan klenteng dengan pandangan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah terhadap rumah tradisional mereka yang disebut Joglo. Latar belakang arsitektur tradisional Jawa Tengah adalah adanya campuran antara kepercayaan animisme atau dinamisme, Hindu atau Budha dengan yang melahirkan kebudayaan tersendiri yang disebut kejawen, yang mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan sosial masyarakat Jawa bahkan tercermin pula dalam perencanaan arsitekturnya. Pandangan masyarakat Jawa terhadap bangunan bermula pada konsepsi dasar dari keyakinan yang berpusat pada alam sebagai makrokosmos dan pribadi manusia yang mikrokosmos Ornamen pada bangunan tradisional berdasarkan pada falsafah dan merupakan simbol-simbol, biasanya di bagian tengah bangunan ornamen makin rumit. Ornamen juga menunjukkan tingkatan sosial atau status penghuni. Dengan konsep yang hampir sama antara bangunan tradisional Jateng dan bangunan tradisional klenteng, bukan tak mungkin keduanya dapat saling mengisi dan beradaptasi.

Universitas Kristen Petra 17

2.2.10. Klenteng di Letak klenteng yang ada di Surabaya dipengaruhi oleh perkembangan bangunan perumahan masyarakat Cina. Mula-mula lokasi perumahan masyarakat Cina ditempatkan oleh Belanda di sekitar daerah Pabean, Pesapen, Kembang Jepun, batas kali Pegirian timur dan barat sungai Kalimas, dimana diseberangnya merupakan daerah tempat tinggal masyarakat Belanda. Adapun alasan penempatan lokasi pemukiman masyarakat Cina adalah sebagai berikut: 1. Faktor Politik Pemerintah Belanda mengisolisir bangsa pendatang agar tidak dapat langsung berbaur dengan penduduk asli, karena bisa mengancam kedudukan Belanda. 2. Faktor Ekonomi Lokasi tempat tinggal kaum Cina ini sangat strategis, dipandang dari segi perekonomian dan perdagangan khususnya. 3. Faktor Kebudayaan Merupakan pengaruh yang sangat besar dapat dilihat dari bentuk rumah tinggal dan tata cara kehidupan mereka yang mengambil konsep bentuk asli dari tanah asal.

2.3. Tinjauan Ajaran Tri Dharma 2.3.1. Agama Budha/Buddhisme 2.3.1.1. Sejarah Ajaran Budha Agama Budha berasal dari India pada abad ke-5 SM, dimana agama ini terbagi menjadi dua aliran yaitu (tradisi utara) dan Hinayana (tradisi selatan) yang sering disebut sebagai . Aliran Mahayana berkembang di Tibet, Cina, Korea, dan Jepang. Sedangka aliran Hinayana berkembang di Srilangka, Birma, , Kamboja, Laos, dan Indonesia. ( 2003) 2.3.1.2. Ajaran Budha Ajaran Sang Budha tertuang dalam kitab suci Tripitaka yang berarti Tiga Keranjang (Mahatera 2002). Sang Budha mengajarkan proses penciptaan materi yang tidak pernah berhenti, dengan konsep tiada awal tiada akhir, namun secara

Universitas Kristen Petra 18 konstan selalu berubah-ubah. Perubahan yang konstan menjaga keseimbangan alam semesta dalam proses penghancuran dan penciptaan yang tiada henti.

Gambar 2.2. Gambar Roda Kehidupan

Gambar 2.3. Patung Budha di Thailand

2.3.2. Ajaran Tao/Taoisme 2.3.2.1. Sejarah Ajaran Tao Sejarah ajaran Tao dimulai dari kekaisaran Hwang Ti kurang lebih 2698- 2598 SM, dikembangkan oleh Lao Tse dan diwujudkan sebagai agama oleh Zhang Dao Ling (Siu Tao 2000). Taoisme diakui berdasarkan tulisan Lao Tse yang dikenal dengan Tao Te Ching. Dokumen lainnya adalah Kitab Chuang Tzu yang ditulis oleh Chuang Tzu (369-286SM). Kitab Tao Te Ching berupa karya puisi yang terdiri dari sekitar 5000 huruf dan terbagi dalam 81 pasal. Dari 81 pasal tersebut oleh para ahli filsafat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pasal 1-37 berbicara tentang Tao dan pasal 38-81 tentang Te (Wu 2003).

Universitas Kristen Petra 19

Gambar 2.4. Klenteng Thian Hock Keng, Singapura This Daoist temple in the city-state of Singapore illustrates the considerable influence of Chinese culture on the island. The Daoist philosophy and religion originated in China during the 4th century bc and expanded as the Chinese populated other areas. About three-fourths of Singapore’s people are descended from the Chinese. The Image Works/Jon Burbank (Sumber : Encarta 2006)

2.3.2.2. Ajaran Tao Menurut Taoisme semua yang ada di jagat raya tunduk pada hukum polaritas abadi Yin dan Yang yang pada dasarnya alam semesta adalah ekspresi dan perpaduan aktivitas Yin Yang yang abadi (Wu 2003).Ajaran Tao mengajarkan metode untuk menjalani hidup yang selaras dan mengikuti kodrat alam. Proses perkembangan ajaran Tao terjadi secara bertahap (Tao4u 2003). Secara garis besar, perkembangan ajaran Tao dapat dikelompokkan menjadi : a. Hubungan manusia dengan alam semesta Ditujukan agar manusia dapat bertahan hidup maka harus dapat menyesuaikan diri dan menjaga keharmonisan dengan alam. Karena itulah konsep dasar ajaran ini adalah “keharmonisan” antara manusia dengan alam semesta.

Gambar 2.5. Interaksi Manusia dengan Alam

Universitas Kristen Petra 20 b. Hubungan manusia dengan Tuhan/Dewa-Dewi/Para Suci Dalam hal ini manusia berusaha mencari perlindungan kepada “Penguasa Alam” dengan melakukan berbagai pemujaan dan sembahyangan memohan perlindungan.

Gambar 2.6. Altar Untuk Sembahyang c. Hubungan manusia dengan sesama Dalam hai ini mulai diterapkan berbagai aturan dan norma yang berkembang menjadi tradisi, adat istiadat, tata krama, dan sebagainya. Dari hal tersebut diharapkan agar kehidupan sosial dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih nyaman dan teratur.

Gambar 2.7. Interaksi Manusia Dengan Sesama d. Hubungan Manusia dengan Kehidupan Pribadi Merupakan inti dari ajaran Tao yang sangat berkaitan erat dengan naluri manusia untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidup

Universitas Kristen Petra 21

2.3.3. Ajaran Khong Hu Cu 2.3.3.1. Sejarah Ajaran Khong Hu Cu Ajaran ini berasal dari Cina sekitar abad ke-5 dan 6 SM bersamaan dengan ajaran Buddhisme dan Taoisme. Ajaran ini mempengaruhi negeri Cina selama berabad-abad, dimana tokoh yang mempopulerkannya adalah Khong Hu Cu (Kong Fu Tze atau Khong Cu) dalam ajarannya yang disebut dengan konfusianisme. 2.3.3.2. Ajaran Khong Hu Cu Ajaran ini sangat menjunjung tinggi nilai moral, yang mana filosofi, etika, dan gagasan religiusnya banyak dipraktekkan sampai sekarang. Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik, dengan kata lain inti ajaran ini adalah mengajarkan bagaimana manusia bertingkah laku untuk meningkatkan moral dan etika manusia. Ajaran ini selanjutnya dikembangkan oleh muridnya Mensius ke seluruh Tiongkok dengan berbagai perubahan. Khong Hu Cu disembah sebagai seorang dewa dan falsafahnya menjadi agama baru, meskipun dia sebenarnya adalah manusia biasa. Pada mula pertama adalah Maha Tiada/Tiada Kutub yang juga disebut sebagai Maha Ada/Maha Kutub atau bukik yang juga sama sebagai Thai Kik, Tuhan/Thian yang berfirman bahwa di dalam hukumNya ada dua prinsip (Liang Gi) yaitu Yin dan Yang (negatif dan positif) yang saling melengkapi. Dari dua prinsip diciptakan empat peta yang kemudian diciptakan lagi delapan rangkaian (Pakua) yang masing-masing mengandung tiga unsur yang disebut Trigram. Ajaran Khong Hu Cu tertuang dalam beberapa kitab, menurut Tanggok (2000) Kitab Suci yang berisi ajaran agama dan beberapa pedoman kehidupan beragama umat Khong Hu Cu yaitu: 1. Kitab Su Si, terdiri dari empat kitab. - Kitab Thai Hak : berisi tentang etika. - Kitab Tiong Yong : mengenai Tuhan dan manusia, keperwiraan, ajaran etika, keimanan, jalan suci Tuhan, dan hukum di alam ini.

Universitas Kristen Petra 22

- Kitab Lun Yu : berisi tentang belajar, pemerintahan, seni, cinta kasih, nama orang, kampung, dan lain-lain. - Kitab Bing Cu : merupakan ajaran Mencius. 2. Ngo King (Kitab Perubahan), terdiri dari lima kitab: - Si King : berisi kumpulan sajak untuk upacara istana dan ibadah. - Su King : berisi teks dokumentasi sabda, peraturan, nasehat, maklumat para nabi dan raj-raja suci purba. - Ya King/I Ching : mengungkapkan kejadian, perubahan, dan segala sesuatu tentang alam semesta, hidup manusia, beserta segala peristiwanya. - Lee King : berisi tentang susila dan peribadahan. - Chun Chiu King : kitab sejarah zaman Chun Chiu (772-481 SM). 3. Hau King : merupakan kitab yang berisi tentang ajaran laku bakti, makna laku bakti, serta kewajiban menjalankannya.

2.4. Ornamen Cina 2.4.1. Pengertian Ornamen Ornamen merupakan salah satu bentuk ekspresi kreatif manusia zaman dulu. Ornamen dipakai untuk mendekorasi badan, dipahat pada kayu, pada tembikar-tembikar, hiasan pada baju, alat-alat perang, bangunan, serta benda bangunan seni lainnya. Menurut Smeets (15) bentuk dari ornamen dibagi atas dua motif dasar yaitu: a. Motif naturalis, yang terdiri atas bentuk flora (tumbuhan), bentuk fauna (hewan), dan bentuk manusia. Ciri khas motif naturalis: bentuk garis lengkung yang bebas luwes dan berkesan pertumbuhan serta merupakan bentuk dasar lingkungan hidup manusia. b. Motif geometris, merupakan ornamen yang dibuat dengan bentuk dasar geometris seperti kotak, bulat, segitiga. Sedangkan untuk motif grafis sebuah ornamen bisa dalam bentuk titik dan garis sederhana bahkan sampai ke bentuk grafis yang lebih rumit seperti bentuk bintang.

Universitas Kristen Petra 23

2.4.2. Ornamen Klenteng Secara Umum 2.4.2.1. Ornamen pada Altar Pada bagian atas altar terkadang digantungkan panji-panji pujian bagi dewa yang bersangkutan, di sisi kanan kiri digantungkan papan/kain bertuliskan puji-pujian. Di depan altar biasanya ditutup oleh secarik kain sutra merah yang disulam aneka pola misalnya: naga, delapan Hyang Abadi, burung hong dan lain- lain. 2.4.2.2. Ornamen pada Dinding dan Pintu Ragam hias pada dinding dan pintu seringkali menggambarkan bunga, bambu yang dikombinasikan dengan binatang seperti kijang, kilin, dan kelelawar. Kelelawar bagi orang Tionghoa melambangkan rejeki atau berkah karena kelelawar dalam bahasa Tionghoa dialek Hokkian adalah Hok yang berarti rejeki. Gambar-gambar lambang Pat Sian juga terdapat diantara lukisan bunga dan kelelawar, kedelapan dewa ini adalah lambang keharmonisan, panjang usia dan kemakmuran. Dewa-dewa dari Pat Sian juga dianggap pelindung berbagai profesi, misalnya: Han Siang Cu melambangkan pelindung tukang ramal, Co Kok Kiu melambangkan pelindung pemain sandiwara dan lain-lain. Pada dinding sering dijumpai lukisan dewa-dewa atau cerita bergambar pendek seperti: cerita Sam Kok, novel Hong Sin, pengadilan Siam Lo Ong di akherat dan lain-lain. 2.4.2.3. Ornamen pada Atap Pada umumnya dia atas atap selalu ditempatkan sepasang naga yang dibentuk dari pecahan porselin dalam kedudukan saling berhadapan untuk berebut sebuah mutiara alam semesta menyala, lambang matahari (Cu). Pada bagian atap bangunan yang lain kadang dihiasi sepasang naga mengapit Houw Lou yaitu buah labu yang telah kering sebagai tempat air/arak. Houw Lou tidak dapat dipisahkan dari bekal para dewa, sehingga dianggap punya kekuatan gaib untuk menjaga keseimbangan Hong Shui dan menangkal hawa jahat. Naga/Liong (bahasa Hokkian) adalah suatu makhluk mitos yang melambangkan kekuatan, keadilan, dan penjaga burung suci. Naga adalah hasil paduan khayalan dari berbagai hewan seperti: berkepala unta, bermata kelinci, berbadan ular, bertanduk rusa, berpaha harimau, bercakar rajawali, bersisik ikan.

Universitas Kristen Petra 24

Selain itu hiasan naga kadang digantikan oleh sepasang ikan naga di atas atap tersebut. Ikan ini berkepala dengan bentuk Liong yang melambangkan keberhasilan setelah mengalami percobaan. 2.4.2.4. Ornamen pada Tiang dan Balok Corak ragam hiasan pada tiang dan balok penyangga sering berupa dewa, panglima perang, tumbuh-tumbuhan, bunga, gajah, kilin, naga, dan lain-lain. Untuk binatang gajah biasanya digunakan untuk melambangkan roh para dewa binatang. Tubuhnya tampak berat tapi belalainya lincah dan kecil berwatak ramah dan setia, selain itu juga melambangkan kecerdikan, kesetiaan, kebijaksanaan, dan kekuatan. Ragam hias tetumbuhan dan bunga yang paling sering menjadi hiasan untuk bubungan dan tiang adalah bunga botan, bambu, anggrek, dan seruni yang mana melambangkan ulet dalam melawan iklim yang kejam di Cina.

2.4.3. Peran Ornamen dalam Segi Kehidupan Bila kita membicarakan mengenai ornamen, terkhususnya dalam sebuah klenteng maka makna-makna yang terkandung dalam masing-masing ornamen tersebut tidak akan terlepas hubungannya dengan faktor/segi kehidupan manusia sehari-hari, bila dikaitkan dalam hubungannya dengan klenteng, maka terdapat tiga faktor sebagai berikut: A. Ornamen sebagai seni dalam kebudayaan Menurut Abdulkadir (19), ”manusia adalah makhluk budaya karena mempunyai akal, perasaan, dan kehendak”. Dengan adanya pernyataan seperti di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia juga mempunyai kebutuhan yang diantaranya meliputi: • Kebutuhan ekonomis yaitu kebutuhan yang bersifat material seperti kesehatan, keamanan. • Kebutuhan rohani (psikis) berupa kebutuhan immaterial seperti religi, hiburan, kesenian, dan lain-lain. • Kebutuhan biologis yaitu kebutuhan yang bersifat seksual. Pernyataan di atas mendukung bahwa dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur universal yang meliputi bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Dari ketujuh unsur

Universitas Kristen Petra 25 tersebut bila dikaitkan hubungannya dengan ornamen maka ornamen termasuk dalam unsur kesenian. Dalam hubungannya ornamen sebagai seni dalam suatu kebudayaan maka kesenian adalah segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan, dan keindahan itu sendiri adalah suatu konsep abstrak yang dapat dinikmati melalui konteks tertentu (Abdulkadir 30). B. Ornamen sebagai simbol-simbol religi suatu budaya Menurut pernyataan Spradley yang dikutip oleh Sobur (121), mengatakan bahwa semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol dan makna hanya dapat disimpan dalam simbol (Geertz 51). Dalam memahami ornamen sebagai simbol-simbol budaya dan religi, sangat terkait dengan kontekstual masyarakat dan kebudayaan sendiri. Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan, dituangkan, dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui manusia berkomunikasi, mengekalkan dan mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini. Simbol dianggap terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial yang diberikan turun temurun secara historis dan berisikan nilai-nilai acuan, dan memberikan petunjuk bagaimana warga budaya tertentu berperilaku dalam menjalani hidup. Dalam hubungannya dengan religi (agama), merupakan satu sistem yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi kuat, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi kepada pancaran faktual, dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Dari penjelasan di atas maka hubungan religi dengan sistem budaya dalam dua poin penting, yaitu: a. Satu sistem simbol merupakan segala sesuatu yang memberikan ide kepada seseorang, dimana seseorang berangkat dari sebuah ide, misalnya sebuah objek khusus yang memberikan perbuatan tertentu tanpa berkata-kata mengenai benda yang memiliki hubungan khusus terhadap penerima pesan.

Universitas Kristen Petra 26

b. Simbol-simbol menciptakan perasaan dan motivasi kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang. Agama sebagai motivasi yang menyebabkan orang merasakan dan melakukan sesuatu, motivasi ini dibimbing oleh seperangkat nilai dan nilai inilah yang memberikan batasan yang baik/buruk, apa yang penting, apa yang benar/salah bagi dirinya. Simbol-simbol merupakan bentuk yang didasari oleh prinsip kemiripan (analogi) atau benda yang mempunyai karakteristik yang sama dengan sesuatu yang lain. Dampaknya dirasakan masyarakat setempat dengan adanya kepercayaan yang timbul dari arti simbol tersebut sehingga tiap-tiap simbol yang dipercaya memiliki nilai idiologi dalam pengalaman keagamaan, dimana terdapat satu kesamaan yaitu adanya hal yang sakral dan memberi petunjuk tentang supranatural. C. Ornamen sebagai ideologi Dalam hubungannya dengan ideologi, ornamen biasanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mitologi/mitos. Mitos oleh manusia dipakai sebagai media komunikasi guna memenuhi kebutuhan non fisik. Mitos memberikan pemahaman sesuatu diluar kemampuan manusia untuk memahami sesuatu fakta yang terjadi, hal semacam ini sering dijumpai pada ornamen-ornamen yang menceritakan tentang asal mula kehidupan manusia. Mitos merupakan uraian naratif/penuturan sesuatu yang sakral, yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa di luar pikiran manusia dan mengatasi pengalaman sehari-hari manusia, dari hal ini bisa didapat makna sesungguhnya dari ornamen sendiri. Disamping itu ornamen juga dapat disebut sebagai alat komunikasi tradisional yang tak langsung sebagai salah satu cara dalam berhubungan dengan sesama maupun dengan penguasa alam semesta.

2.4.4. Ornamen Cina dan Tata Letaknya Klenteng merupakan salah satu tempat ibadah yang kaya akan berbagai mkacam ornamen, yang mana bisa kita lihat dari banyak sisi, diantaranya pada dinding, atap, pilar, dan lain sebagainya dimana ornamen-ornamen tersebut memiliki maksud tertentu sesuai dengan sifat dan peletakan ornamen tersebut. Secara umum jenis ornamen dibagi sebagai berikut :

Universitas Kristen Petra 27

1. Ornamen Hewan, antara lain: a. Naga Naga Cina merupakan simbol kebijaksanaan, kekuatan dan keberuntungan dalam kebudayaan Cina. Menurut Bingbo (6) ”naga merupakan makhluk yang tertinggi dan raja segala binatang di alam semesta”. Memiliki bagian tubuh yang menunjukkan dapat hidup di tiga alam, yaitu kepala seperti buaya, badan seperti ular (bersisik adn berkelok- kelok), lengan dan cakar seperti burung. Naga melambangkan penolak roh jahat, menjaga keseimbangan Hong Sui, kekuasaan, dipercaya dapat mengeluarkan kekuatan hebat dan melimpahkan kebahagiaan (Lingyu 184). Ornamen ini biasanya banyak dipakai pada atap, pilar, lukisan, dinding, pintu, dan altar.

Gambar 2.8. Lukisan Naga

Dari ornamen naga yang ada banyak sekali macam ornamen naga yang memiliki makna berbeda dilihat dari warnanya, berikut adalah macam-macam ornamen naga beserta dengan makna yang terkandung:

Universitas Kristen Petra 28

Universitas Kristen Petra 29

Gambar 2.9. Ragam Ornamen Naga (Sumber: www.all-about-feng-shui.co.uk) b. Phoenix/Burung Api merupakan salah satu lambang binatang Bagua yang menempati posisi selatan, melambangkan matahari dan iklim yang hangat Binatang ini memiliki lima warna bulu yang melambangkan lima kebajikan yaitu hitam, putih, merah, hijau, dan kuning. Phoenix makhluk yang lemah lembut identik dengan empress dan Yin, kebaikan, dan keindahan (Liu 89). Simbol ini digunakan untuk melambangkan kekuatan kerajaan seperti halnya naga, tetapi memberikan perbedaan gender dimana phoenix dimaksudkan untuk wanita (Lingyu 184). Ornamen ini biasa digunakan pada pintu, pilar, atap, dan lain-lain.

Gambar 2.10. Phoenix/Burung Api c. Kura-kura Ornamen ini melambangkan panjang umur, kekuatan, dan daya tahan. Ornamen ini biasa digunakan untuk lukisan, patung. Universitas Kristen Petra 30

Gambar 2.11. Kura-Kura d. Harimau Putih merupakan salah satu ornamen binatang yang melambangkan kekuatan dan kesehatan, binatang dini dihargai sebagai binatang keberuntungan yang dapat melindungi manusia dari bencana.

Gambar 2.12. Harimau Putih e. Singa (Ciok Say) Singa batu penjaga pintu masuk klenteng yang berfungsi sebagai penolak roh jahat yang akan mengganggu klenteng tersebut. Singa ini melambangkan keadilan dan kejujuran, terdiri dari singa jantan yang duduk di sebelah kiri pintu sambil menimang bola dan singa betina duduk di sebelah kanan sambil menimang anaknya.

Universitas Kristen Petra 31

Gambar 2.13. Patung Ciok Say f. Rusa Ornamen ini melambangkan kesuksesan dalam berkarir, biasanya digunakan sebagai lukisan di dinding.

Gambar 2.14. Rusa g. Kelelawar Kedua ornamen ini dipakai untuk melambangkan keberuntungan, biasanya digunakan sebagai lukisan pada dinding.

Gambar 2.15. Kelelawar h. Bangau Ornamen ini dipakai untuk melambangkan panjang usia, dan biasanya dipakai untuk lukisan di dinding.

Universitas Kristen Petra 32

Gambar 2.16. Bangau

i. Chi Lin Merupakan hewan mithologi orang China yang berbadan rusa berkepala naga, mempunyai surai dan ekor singa. Hewan ini erat hubungannya dengan Khong Hu Cu karena menampakkan diri pada saat kelahiran dan kematian sang nabi. Sering dilukiskan pada kain merah penutup altar. 2. Ornamen Tumbuhan, antara lain: a. Bunga Teratai Ornamen ini dipakai sebagai lambang kesucian dan kesuburan, karena sesuai dengan warnanya yaitu putih. Ornamen ini biasanya digunakan pada pilar, altar, dan alas duduk para dewa.

Gambar 2.17. Teratai

b. Bunga Seruni, Botan, dan Plum Ornamen ini digunakan untuk melambangkan kekuatan dan keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan, ornamen ini biasanya digunakan pada dinding dan partisi.

Universitas Kristen Petra 33

Gambar 2.18. Plum c. Bunga Peony Ornamen ini digunakan untuk melambangkan perhatian, kasih, kekayaan, dan kehormatan.

Gambar 2.19. Bunga Peony d. Bunga Chrysanthemum Ornamen ini digunakan untuk melambangkan sukacita dan penolakan dari hal-hal tidak diinginkan. Ornamen ini biasanya digunakan untuk lukisan pada dinding.

Gambar 2.20. Bunga Chrysanthemum e. Pohon Bambu, Cemara Ornamen ini digunakan untuk melambangkan umur yang panjang, kekuatan, dan keuletan dalam menjalani kehidupan. Ornamen ini biasanya untuk lukisan pemandangan sebagai latar belakang lukisan pemandangan di dinding.

Universitas Kristen Petra 34

Gambar 2.21. Pohon Bambu

f. Pohon Pinus Ornamen ini digunakan untuk melambangkan kekuatan dan tekad, ornamen ini digunakan untuk lukisan di dinding.

3. Ornamen Manusia, antara lain: a. Men Sin Sepasang perwira penjaga pintu masuk bernama Cin Siok Poo/Perwira Muka Putih di daun pintu kiri, dan Oei Tie Kiong/Perwira Muka Hitam di daun pintu kanan. b. Pat Sian Delapan dewa dalam kisah Tang Yu (kisah perjalanan ke Timur), terdiri dari: Dewa Lie Tie Kway, Ciong Lie Koan, Na Cay Ho, Thio Ko Lo, Ho Sian Kouw, Lie Tong Pin, Han Sian Cu, Co Kok Kiu yang dianggap sebagai dewa-dewa pelindung profesi pekerjaan. Ornamen ini biasanya dipakai pada meja altar atau lukisan di dinding. c. Cuplikan Kisah Sam kok Kisah tentang tiga negara yang berperang, yang diambil episode tentang pengangkatan sumpah saudara antara Lauw Pie, Kwan Kong dan Thio Hwie di taman Persik. Cuplikan kisah ini biasanya dijadikan sebagai ornamen yang diletakkan di dinding. d. Cuplikan Kisah See Yu Merupakan ornamen pada ruang-ruang pemujaan untuk dewa- dewa, biasanya diletakkan pada dinding dan balok tarik kuda-kuda.

Universitas Kristen Petra 35

2.4.5. Simbol-Simbol Religi 2.4.5.1. Yin dan Yang Merupakan simbol yang dipakai dalam masyarakat Cina karena dianggap mewakili prinsip-prinsip kekuatan di alam, Yin dihubungkan dengan bulan (kegelapan, air, dan prinsip feminin) sedangkan Yang dihubungkan dengan matahari (terang, api, dan prinsip maskulin). Keharmonisan dapat dicapai apabila keduanya dalam keadaan yang seimbang

Gambar 2.22. Simbol Yin dan Yang

2.4.5.2. Pakua (Bagua) Pakua yang biasa disebut juga dengan trigrams karena terdiri dari tiga garis di kedelapan sisinya. Tiap garis mewakili tingkat kenyataan yang berbeda, garis terluar (atas) menunjukkan aspek fisik, garis di tengah mengarah pada isi pokok atau tingkat berpikir dan garis terdalam lebih mengarah pada intisari Tao dan simbol ukuran spiritual. Simbol ini merupakan perwakilan tenaga/kekuatan dari yin dan yang. Garis putus-putus ( ) mewakili yin (energi wanita), sedangkan garis solid ( ) mewakili yang (energi laki-laki).

Gambar 2.23. Simbol Pakua

Universitas Kristen Petra 36

Simbol ini juga dalam berbentuk cermin bulat dan digantung di atas pintu untuk menakuti/mengusir roh jahat dengan memantulkan wajah mereka sendiri, dan menjaga agar roh jahat tidak masuk ke dalam rumah.

2.4.6. Meander Dalam zaman perunggu datang dari Asia Tenggara sejumlah ragam hias di Indonesia, yang dalam kepandaian membatik digabungkan dalam perhiasan ” Bandji ” dan dalam seni Tionghoa bandji juga terdapat pula. Salah satu yang sangat dikenal ialah ” Meander ” dalam berbagai bentuk yang dikenal juga dalam seni kuno Yunani. Jika sudut-sudutnya dikirakan bundar, diperoleh lagi pinggir terdiri dari pilin berganda yang bersambung-sambung yang juga berasal dari zaman perunggu. Berikut contoh-contoh ragam hias meander: a. Pinggir meander pada nekara perunggu pra-sejarah dari gunung api dekat Bima.

Gambar 2.24. Meander Pada Nekara b. Pecahan barang tanah kuno ”Jang Ta” di rengas (glazuur) dengan pinggiran meander

Gambar 2.25. Meander Pada Pecahan Barang c. Leher kendi kecil dengan pinggiran meander; barang tanah warna coklat muda pakai pigmen merah. Didapat di Tebing Tinggi daerah hulu Palembang, terletak

Universitas Kristen Petra 37 dekat bujung besar yang digunakan untuk penjenasahan; barang makanan dan air minum untuk orang mati mungkin ditaruh di dalamnya.

Gambar 2.26. Meander Pada Kendi

2.4.6.1. Meander Dan Pinggir Awan Pinggir meander terdapat dalam seni Eropa maupun seni Asia Timur juga dalam bentuk lain. Dapat diterangkan sebagai deretan huruf T yang berdiri tegak lurus dan terbalik berganti-ganti. Bentuk ini umum sekali dalam seni Tionghoa dan demikianlah ia datang melantas juga di Indonesia, Berikut contoh-contoh meander: a. Pinggir meander pada lemari kecil dari Palembang, ukiran kayu merah dengan emas. Selain itu juga terdapat dalam bentuk bundar, mengalir yang kemudian berganti menjadi apa disebut ” Pinggir Awan ” yang dipakai di Tiongkok dan juga dalam seni Cirebon untuk menyatakan awan.

Gambar 2.27. Meander Pada Pinggir lemari b. Pinggir awan pada selapah perak, dibeli di Palembang. Tepi dengan cara Jawa, mungkin sekali cara Cirebon.

Universitas Kristen Petra 38

Gambar 2.28. Pinggir Awan Pada Selapah Perak c. Pinggir awan dilukiskan dalam kayu pada sebuah kotak jamu kuno dari Cirebon.

Gambar 2.29. Pinggir Awan Pada Kotak Jamu d. Pinggir awan pada sebuah ” yoni “ (alas untuk lingga) dalam batu, akhir zaman Hindu-Jawa, Kraksaan dekat Probolinggo, Jawa. Ragam hias ini tidak selalu berarti pinggir awan; dalam seni Hindu-Jawa juga dipakai untuk menyatakan pinggir kain. Dalam seni Eropa ragam hias itu kita jumpai pada Albrecht Duhrer.

Gambar 2.30. Pinggir Awan Pada Yoni e. Pinggir meander sederhana, diulang tiga kali, ditekankan dengan cap kecil pada pecahan periuk kuno dari Galumpung, Sulawesi.

Universitas Kristen Petra 39

Gambar 2.31. Meander Pada Pecahan Periuk f. Pinggir awan dibawah pinggir nyala pada barang porselin Tionghoa.

Gambar 2.32. Pinggir Awan Pada Porselin g. Meander yang diukir pada sebuah seruit besar.

Gambar 2.33. Pinggir Awan Pada Seruit Besar h. Meander yang dibuat melingkar sehingga menjadi bundaran subang, umpamanya pada pinggiran emas yang berasal dari pulau Kisar (sebelah barat-laut pulau Timor jajahan Portugis).

Universitas Kristen Petra 40

Gambar 2.34. Meander Pada Emas i. Pinggir meander berganda diukirkan dalam kayu sebagai perhiasan haluan perahu; Papua Utara.

Gambar 2.35. Meander Pada Haluan Perahu

2.5. Ornamen Arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan-keindahan manusia dan alamnya yang mengeras ke dalam bentuk-bentuk bangunan dengan ragam hias yang dikenakannya. Benda-benda alam yang diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk ragam hias, tumbuh-tumbuhan, binatang unsur alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang harmonis. Bentuk-bentuk hiasan, tata warna, cara membuat dan penempatannya mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan dibentuk dalam pola-pola yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari bangunan atau elemen-elemen yang memerlukan hiasan. Estetika, etika dan logika merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan Universitas Kristen Petra 41 menempatkan ragam hias, dimana bentukannya mengambil tiga kehidupan di bumi seperti berikut: A. Flora Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Cerita pewayangan, legenda dan kepercayaan yang dituangkan ke dalam lukisan atau pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagai macam tumbuh yang menunjang penampilannya. Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan dengan macam-macam ungkapan masing-masing. Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai dengan jenis dan keadaannya, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kekutusan. Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Kekutusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis daun lebar dengan lengkung-lengkung keindahan. Pada umumnya ditatahkan pada bidang-bidang luas atau peperadaan lukisan perada warna emas pada lembar- lembar kain hiasan. Kekutusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai bentuk bunga terung. Kekutusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh- tumbuhan jalar atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan sulur- sulur di sela-sela bunga-bunga dan dedaunan. 2. Kekarangan. Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan. Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati serupa dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar menjangan. Pada umumnya dipakai untuk hiasan sudut bebaturan di bagian atas

Universitas Kristen Petra 42 pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan bade wadah, bukur atau hiasan sementara lainnya.

Gambar 2.36. Karang Simbar (Sumber: Arinton 396)

Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelopak dan seberkas daun yang digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.

Gambar 2.37. Murdha Kusuma (Sumber: Arinton 398)

Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai singa bersayap atau garuda. 3. Pepatraan. Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam pola-pola yang disebut patra atau pepatraan. Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat pula diwujudkan dalam pola berkembang, berikut adalah jenis-jenis pepatraan:

Universitas Kristen Petra 43 a. Patra Wangga. Kembang mekar atau kuncup dengan dedaunan lebar divariasi lengkung- lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur di sela-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra ini juga tergolong kekutusan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagian-bagian keindahannya.

Gambar 2.38. Patra Wangga (Sumber: Arinton 343) b. Patra Sari. Bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-lingkar timbal balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya. Patra sari dapat digunakan pada bidang-bidang lebar ataas, dan umumnya untuk bidang-bidang sempit tidak banyak dapat divariasi karena lingkar batang jalar, daun sari kelopak dan daun bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.

Gambar 2.39. Patra Sari (Sumber: Arinton 344)

Universitas Kristen Petra 44 c. Patra Bun-Bunan. Dapat divariasi dalam berbagai jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun dan bunga dirangkai batang jalar.

Gambar 2.40. Patra Bun-Bunan (Sumber: Arinton 345) d. Patra Pidpid. Melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan daun-daun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang dilukiskan penempatannya pada bidang-bidang sempit.

Gambar 2.41. Patra Pidpid (Sumber: Arinton 346) e. Patra Punggel. Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung- lengkung daun muda pohon paku (a). Patra ini merupakan patra yang paling banyak digunakan, selain bentuknya yang murni sebagai patra punggel utuh, patra punggel umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan sebagai hiasan. Untuk patra tunggal atap disebut Bantala (b) pada atap yang bukan berpuncak satu, sedangkan untuk hiasan atap berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan motif-motif Kusuma (c), Tirtha Amertha (d) dan Murdha Bajra (e) yang masing-masing dilengkapi Universitas Kristen Petra 45

dengan patra punggel sebagai hiasan bagian dari Karang Goak di sudut- sudut alas Murdha.

(a) (b) (c)

(e) (f) Gambar 2.42. Variasi Patra Punggel (Sumber: Arinton 1986) f. Patra Samblung. Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk pola yang disebut patra samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dihias lengkung-lengkung harmonis.

Gambar 2.43. Patra Samblung (Sumber: Arinton 346) g. Patra Pae. Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang dipolakan berulang dalam deretan memanjang.

Universitas Kristen Petra 46

Gambar 2.44. Patra Pae (Sumber: Arinton 348) h. Patra Ganggong. Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Gambar 2.45. Patra Ganggong (Sumber: Arinton 348) i. Patra Batun Timun. Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan diagonal berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-bentuk patra mas-masan setengah bidang.

Gambar 2.46. Patra Batun Timun (Sumber: Arinton 349)

Universitas Kristen Petra 47

j. Patra Sulur Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun sulur bercabang- cabang tersusun berulang, patra ini dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang.

Gambar 2.47. Patra Sulur (Sumber: Arinton 349)

k. Patra Bun denga motif Mengambil bentuk dasar yang menyerupai patra wangga, patra punggel, patra sari dan patra samblung. Bentuk-bentuk dasar divariasi dengan motif-motif cerita pewayangan, cerita rakyat, cerita dari dunia fauna atau dengan gabungan beberapa patra yang disesuaikan.

Bentuk Ragam Hias flora Ragam hias yang digunakan dalam bangunan tradisional diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, pepulasan, pepalihan dan lelengisan, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Ukiran Elemen-elemen bangunan, bebaturan, tiang dan kerangka atap yang dihias dengan jenis flora diwujudkan dalam bentuk ukiran. Bidang datar dengan ukiran relief; bidang tepi, batas dan sudut diukir dengan bentuk ukiran timbul. Bahan- bahan kayu dan batu merupakan bahan ukuran untuk hiasan-hiasan bangunan. 2. Tatahan. Untuk hiasan-hiasan pada bidang-bidang lembaran logam atau kertas dipakai bentuk-bentuk tatahan. Tatahan pada kertas umumnya tembus seperti pepatraan hiasan pada bangunan bade atau bukur. Pada lembaran logam seperti hiasan pada emas, perak, tembaga atau perunggu ditatah timbul tenggelam tanpa

Universitas Kristen Petra 48 atau sebagian tembusan. Untuk tatahan logam umumnya dikerjakan pada landasan-landasan pembentuk. 3. Pepulasan. Bentuk-bentuk hiasan yang diterapkan pada bidang kayu yang dihaluskan atau kain-kain hias dibentuk dengan pepulasan. Untuk bahan pepulasan digunakan jenis cat minyak perada cat mas, atau ramuan pewarna tradisional. Untuk pepulasan umumnya dipakai warna-warna polos. 4. Pepalihan. Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan, batu untuk pelinggih pemujaan atau bale kul-kul, pepalihan dengan berbagai macam variasi yang berpedoman pada pakem-pakem dasar pepalihan. Bentuk-bentuk pepalihan umumnya tanpa ukiran, keindahan bentuk pada variasi permainan garis- garis pepalihan 5. Lelengisan. Bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari bentuk-bentuk hiasan dengan permainan variasi timbul tenggelamnya bidang-bidang hiasan dan penonjolan bagian-bagian tertentu. Bentuk-bentuk hiasan lelengisan umumnya disatukan dengan hiasan pepalihan.

Arti dan Maksud Ragam Hias Flora. Ragam hias dalam bangunan tradisional mengandung arti dan maksud- maksud tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi merupakan maksud dan arti ragam hias pada bangunan, peralatan dan perlengkapan. Adapun arti dan maksud dari ragam hias flora adalah sebagai berikut: 1. Ragam hias untuk keindahan. Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan lebih indah dan menyegarkan pandangan.

Universitas Kristen Petra 49

2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis. Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Bentuk-bentuk hiasan pepalihan menyimbolkan pula tingkat ketinggian bangunan yang dihias. 3. Ragam hias sebagai alat komunikasi. Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan- bangunan tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan yang dikenakan. Hiasan serba putih pada wade wadah yang berbentuk padma menunjukkan fungsinya untuk pedanda. Jumlah tumpang atap bade wadah atau meru juga menunjukkan fungsinya. Hiasan peralatan dan perlengkapan upacara juga sebagai alat komunikasi.

B. Fauna Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang bervariasi dari berbagai macam binatang dan patung dari beberapa macam binatang. Hiasan fauna pada penempatannya umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan. Ukiran fauna pada bidang-bidang relief di dinding, panel atau bidang- bidang ukiran lainnya umumnya menerapkan cerita-cerita rakyat legenda tantri dari dunia binatang. Berikut adalah jenis-jenis ragam hias fauna, diantaranya: 1. Kekarangan. Penampilannya yang ekspresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang diekspresikan secara abstrak. Berikut adalah macam macam kekarangan: a. Karang Boma. Hiasan ini berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher keatas lengkap dengan hiasan dari mahkota, diturunkan dari cerita Baomantaka. Karang ini ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan jari-jari mekar, disamping itu karang ini dilengkapi dengan patra bun-bunan atau patra punggel. Karang ini ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu dari kori agung atau pada bade wadah dan di beberapa tempat sebagai

Universitas Kristen Petra 50

hiasan elemen lepas seperti papan nama di meja, papan hiasan gamelan dan bentuk-bentuk hiasan serupa.

Gambar 2.48. Karang Boma (Sumber: Arinton 378) b. Karang Sae. Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi runcing. Karang sae umumnya dilengkapi dengan tangan-tangan seperti pada karang boma.hiasan ini ditempatkan di atas pintu kori atau pintu rumah tinggal dan juga pada beberapa tempat lainnya.

Gambar 2.49. Karang Sae (Sumber: Arinton 379) c. Karang Asti Disebut pula karang gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabstrakkan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan dengan bentuk kekarangan. Sesuai dengan kehidupannya gajah di tanah, karang asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah.

Universitas Kristen Petra 51

Gambar 2.50. Karang Asti/Karang Gajah (Sumber: Arinton 383) d. Karang Goak. Bentuknya menyerupai burung gagak atau goak, disebut juga karang manuk karena serupa pula dengan kepala ayam dengan penekanan pada paruhnya. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap, hiasan ini ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas.

Gambar 2.51. Karang Goak (Sumber: Arinton 383) e. Karang Tapel Serupa dengan karang boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya dengan bibir atas, gigi datar, taring runcing, mata bulat dengan hidung ke depan, lidah berjulur. Hiasan ini ditempatkan sebagai hiasan peralihan bidang di bagian tengah.

Universitas Kristen Petra 52

Gambar 2.52. Karang Tapel (Sumber: Arinton 380)

f. Karang Bentulu Bentuknya serupa dengan karang tapel lebih kecil dan lebih sederhana, biasanya ditempatkan di bagian tengah atau pada peralihan bidang tengah. Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas, gigi datar, taring runcing, lidah terjulur, hanya bermata satu di tengah, tanpa hidung.

Gambar 2.53. Karang Bentulu (Sumber: Arinton 381)

2. Patung Untuk patung patung hiasan permanen umumnya mengambil bentuk- bentuk dewa-dewa dalam imajinasi manifestasinya. Patung-patung dari jenis fauna dijadikan hiasan sebagai elemen bangunan umumnya merupakan patung- patung ekspresionis yang dilengkapi dengan elemen-elemen hiasan dari jenis-jenis pepateraan. Berikut adalah macam macam patung sebagai ragam hias: a. Patung Garuda. Perwujudannya merupakan garuda dengan sikap tegak siap terbang, sayap dan ekor mengepak melebar. Penempatannya pada bangunan sebagai sendi Universitas Kristen Petra 53

alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak atap, sesungguhnya tiang tugeh bebas beban sehingga memungkinkan ukiran patung garuda sebagai alas penyangganya. Patung garuda yang difungsikan sebagai hiasan ruang umumnya lengkap dengan pijakan naga atau kura-kura dan naga serta awatara Wisnu sebagai pengendaranya. b. Patung Singa Perwujudan dari singa bersayap yang juga disebut Singa Ambara Raja, dalam keadaan sebenarnya tidak bersayap. Patung singa difungsikan untuk sendi alas tugeh seperti patung garuda, bahannya dari kayu jenis kuat, keras, dan awet; digunakan pula untuk sendi alas tiang pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan bahan dari batu padas keras atau batu karang laut yang putih masif dan keras. c. Patung Naga Perwujudan ular naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong leher anting-anting telinga, rambut terurai, rahang terbuka taring gigi runcing,lidah api bercabang. Patung naga sikap tegak bertumpu pada dada, ekor menjulang ke atas serta gelang dan permata di ujung ekor. Patung ini sebagai penghias bangunan yang ditempatkan sebagai pengapit tangga bangunan parhyangan sebagai tempat pemujaan, disamping itu patung naga ini berfungsi sebagai hiasan, stabilitas filosofis dan sebagai simbol pemujaan yang disakralkan. d. Patung Kura-kura Perwujudannya melukiskan kura-kura raksasa yang disebut bedawang sebagai simbol kehidupan dinamis yang abadi. Keempat kakinya berjari lima dengan kuku runcing mencengkeram tanah, kepalanya berambut api, hidung mancung, gigi kokoh datar bertaring runcing dan matanya bulat serta wajah angker memandang ke arah atas depan berpandangan dengan naga yang membelitnya. Pemakaian bedawang tidak berdiri sendiri, selalu merupakan kesatuan yang berbelit dengan naga sebagai pijakan garuda yang dikendarai awatara Wisnu. Garuda dan bedawang merupakan kesatuan dalam mitologi yang membawakan filosofi kehidupan ritual.

Universitas Kristen Petra 54

3. Patra Dasar Ukiran relief pada bidang-bidang datar menampilkan pula jenis-jenis fauna dalam pola pepatraan yang merupakan pakok dasar hiasan dilengkapi dengan pepatraan pelengkap atau pengisi sisa bidang. Patra dasar melukiskan jenis-jenis fauna yang diturunkan dari legenda tantri sebagai suatu cerita dari kerajaan binatang, biasanya dilengkapi dan divariasi dengan bentuk-bentuk tumbuhan dalam bentuk pepatraan. Bidang pada dinding tembok bangunan merupakan tempat penampilan patra-patra dasar dari jenis fauna dan jenis lainnya. Bahan ukiran umumnya memakai batu padas kelabu pada bidang-bidang tembok dan papan-papan/panel hiasan atau pemisah ruangan.

Bentuk Ragam Hias Fauna. Ragam hias fauna dalam penampilannya mendekati realis atau dengan sedikit variasi yang diabstraksikan dengan pepatraan jenis flora, dimana bentuk- bentuk yang diterapkan disesuaikan dengan bahan dasar dan penempatannya, berikut adalah bentuk-bentuk dari ragam hias fauna: 1. Ukiran Untuk hiasan bangunan umumnya dengan betuk patung fauna, kekarangan dalam dan relief. Ukiran patung sebagai bagian yang ditempatkan pada bangunan, ukir-ukiran kekarangan diukir langsung pada bagian-bagian bangunan, ukiran relief yang diukir langsung pada bangunan merupakan hiasan-hiasan bidang, sedangkan relief panel umumnya diukir pada bidang papan untuk hiasan terlepas yang ditempatkan pada bangunan sebagai elemen interior. 2. Tatahan Ragam hiasan dari jenis fauna diwujudkan pula dalam bentuk-bentuk tatahan pada bangunan-bangunan logam, kulit dan kertas sebagai hiasan sementara. Jenis-jenis fauna ditatahkan sebagai hiasan dasar yang dilengkapi dengan patra-patra dari jenis flora serupa dengan relief. 3. Pepulasan Jenis-jenis fauna digambarkan pada bidang-bidang hiasan dengan pulasan warna yang kontras dengan warna dasar, bahan pulasan dipakai perada atau cat emas perada gede dan jenis-jenis cat bahan alam atau cat emas kimia. Sebagai

Universitas Kristen Petra 55 pelengkap juga digunakan pepatraan dari jenis-jenis flora dirangkaikan dalam suatu kesatuan penampilan perwujudan. Beberapa bentuk ukiran pada elemen- elemen bangunan, tiang dan bagian-bagian lainnya yang diukir ada pula yang diselesaikan dengan pulasan perada cat emas pada bentuk-bentuk ukirannya. 4. Lelengisan Hiasan pada bangunan bebaturan ada pula yang diwujudkan dalam bentuk lelengisan yang seakan mendekati bentuk fauna pada kekarangan atau sendi alas tiang. Bentuk lelengisan hanya merupakan pola-pola dasar dari bentuk bagian- bagian fauna seperti pada sendi singa ada kepala, badan, kaki tanpa penyelesaian tanpa ukiran.

Arti dan Maksud Ragam Hias Fauna Ragam hias dari jenis-jenis fauna selain berfungsi sebagai hiasan juga mengandung arti dan maksud tertentu untuk beberapa macam hiasan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Fauna sebagai hiasan keindahan Penempatan hiasan jenis-jenis fauna pada bangunan peralatan, perlengkapan, dan elemen-elemen penghias ruang menonjolkan bentuk-bentuk keindahan yang disempurnakan ataupun diabstrakkan. Pepatraan jenis flora yang melengkapi jenis fauna untuk keharmonisan kesatuan penampilan beberapa bagian bentuk hiasan. Untuk keindahan karakter penampilan sikap-sikap fauna sebagai ragam hias diekspresikan dengan kesan galak, angker atau agung mempesona. 2. Fauna sebagai simbol ritual Penampilannya dalam hubungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Bedawang naga sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan di bumi dijadikan dasar padmasana atau bade wadah; garuda wisnu sebagai simbol kesetiaan keyakinan dan ketangguhan; singa ambara atau singa bersayap sebagai simbol ketangkasan dan kekuasaan; angsa dan burung merak pada patung saraswati masing-masing sebagai simbol kesucian dan keindahan abadi.

Universitas Kristen Petra 56

3. Fauna sebagai media edukatif Ragam hias dari jenis fauna yang ditirukan dari bagian-bagian cerita tantri sebagai legenda yang telah memasyarakat mengandung arti dan maksud edukatif konstruktif yang ditampilkan ke dalam bentuk ragam hias. 4. Fauna sebagai media komunikatif Angka tahun atau candra sangkala pada bangunan kuno ada pula yang melukiskan dengan penampilan beberapa fauna yang mengandung arti nilai angka. Gajah juga disebut asti yang berarti pula asta atau delapan. Angka-angka lainnya dilukiskan oleh fauna atau benda-benda alam lainnya yang dapat pula dalam bentuk-bentuk rangkaian kata yang bernilai angka. Fauna dalam fungsinya sebagai pengider menunjukkan arah di bumi.

C. Alam ragam hias yang mengungkapkan alam sebagai ungkapan keindahan menampilkan unsur-unsur alam sebagai materi hiasan. Ragam hias yang alamiah adalah perwujudan yang naturalis sebagaimana adanya benda-benda alam di alam raya. Berbeda dengan pepatraan yang menampilkan sebagian terindah dari bagian-bagian flora dan fauna yang diabstrakkan dalam ekspresi sebagai pola-pola hiasan. Alam sebagai ragam hias dalam pengertian alam benda sebagai materi hiasan menampilkan jenis flora dan fauna dalam keadaan lengkap sebagai mana adanya di alam raya. Berikut adalah macam-macam dari ragam hias alam: 1. Air Dalam penampilannya sebagai ragam hias, air ditampilkan sebagai kolam telaga danau atau laut. Air dalam penampilannya sebagai ragam hias melengkapi atau dilengkapi materi ragam hias lainnya, pepohonan, bebatuan atau ikan-ikan dilukiskan bersama air dalam suatu cerita di air. 2. Api atau api-apian Dilukiskan dalam bentuk pepatraan, patra api-apian atau dalam bentuk pendekatan lidah-lidah api untuk cerita-cerita pertempuran. Penampilan api-apian sebagai ragam hias untuk menunjang suasana angker, magis, dahsyat dan suasana pertempuran.

Universitas Kristen Petra 57

Gambar 2.54. Karang Api (Sumber: Arinton 344.)

3. Awan Ragam hias menceritakan suasana di udara atau di ruang angkasa sperti Jetayu yang menerbangkan Sita dalam cerita wayang Ramayana, gerhana yang melukiskan bulan dimangsa raksasa kalarau dan peristiwa langit lainnya menampilkan awan sebagai suasana langit. 4. Gegunungan Penampilannya dalam ragam hias dalam bentuk pendekatan yang menyerupai gunung, sebagai hiasan pada wadah, homa dan karang asti dihias dengan mahkota yang menyerupai pegunungan. 5. Bebaturan Dijadikan sebagai materi ragam hias bebatuan dalam wujud kekarangan dan alam wujud naturalis yang mendekati keadaan yang sebenarnya. Bebatuan sebagai materi ragam hias umumnya menyertai air yang melukiskan telaga, danau atau laut.

Gambar 2.55. Karang Bebaturan (Sumber: Arinton 344)

Universitas Kristen Petra 58

6. Kekayonan kayu-kayu sebagai isi dari jenis tumbuh-tumbuhan merupakan ragam hias naturalis yang melukiskan pendekatan keadaan sebenarnya yang umumnya melengkapi penampilan suatu cerita dalam bentuk relief. Kekayonan sebagai ragam hias disesuaikan dengan jalan cerita yang di latar belakangi. 7. Geginan (raja dan pertapa) ragam hias juga diambil dari kegiatan-kegiatan profesi yang disebut geginan. Petani mengetam padi, nelayan menangkap ikan, kesibukan di pasar dan kegiatan-kegiatan lain dalam hubungan manusia dengan alamnya. Manusia, alam dan lingkungan merupakan materi ragam hias dari alam yang dipahatkan pada relief-relief bidang dinding pada bangunan.

Bentuk Ragam Hias Alam Ragam hias yang diambil dari alam, perwujudannya mendekati keadaan sebenarnya dalam bentuk-bentuk ukiran relief pada bidang-bidang datar, tatahan dan lain sebagainya. Berikut adalah bentuk dari ragam hias alam: 1. Ukiran Ragam hias dari alam umumnya untuk bidang-bidang dinding luas atau bidang-bidang yang memerlukan ragam hias berirama. Pasangan batu padas sebagai dinding tembok atau pelapis dinding, diratakan halus rapi diukir dengan menampilkan cerita-cerita yang dilatarbelakangi keadaan alam. 2. Tatahan Alam sebagai materi ragam hias ada pula yang ditampilkan dalam bentuk tatahan pada lembar logam atau wayang kulit dan juga pada lembar kertas hias yang ditatah tembus ditempelkan di atas warna dasar. 3. Pepulasan Hiasan yang mengambil materi dari isi alam atau unsur-unsur alam dibentuk pula dengan bentuk-bentuk pepulasan. Pada bentuk-bentuk pepulasan bahan pewarna tidak diharuskan sama dengan warna benda alam yang dijadikan materi hiasan.

Universitas Kristen Petra 59

Arti dan Maksud Ragam Hias Alam Ragam hias dari alam selain untuk keindahan juga ada yang mengandung arti dan maksud tertentu yang disampaikan pada pemakai atau pengamat. Dari ragam hias yang ditampilkan tercapai maksud-maksud informatif, komunikatif dan edukatif. Berikut adalah arti dan maksud dari macam-macam ragam hias alam yang ada di atas: 1. Api Api-apian mengandung arti panas, suasana panas jiwa, panas dan keadaan panas lainnya. Suasana pertempuran, perang-perangan yang keluar api, lidah api pada naga, rangka dan bentuk-bentuk sakti lainnya mengandung arti yang serba panas. 2. Air Merupakan materi hiasan yang mengandung arti keindahan, kesejukan dan sumber segala sumber 3. Gegunungan, kekayonan, dan bebatuan Merupakan materi ragam hias yang mengandung arti kebesaran alam, keindahan alam dan perlunya alam untuk kehidupan.

D. Agama Dan Kepercayaan Ragam hias pada bangunan atau bentuk-bentuk perwujudan yang mengenakan ragam hias selain flora, fauna dan alam, ada juga agama dan kepercayaan dijadikan atau diungkapkan sebagai ragam hias. Agama dengan filosofis, etika dan ritualnya masing-masing diterapkan sebagai materi, tata cara dan upacara dalam perwujudan suatu ragam hias. Falsafah bangunan atau nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diungkapkan dalam bentuk-bentuk perwujudan ragam hias pada bangunan. Tata cara penempatan, fungsi atau pemakaiannya dan bentuk-bentuk penampilannya memperhatikan ketentuan-ketentuan etika yang berlaku, berikut adalah jenis-jenis ragam hias dari agama dan kepercayaan: 1. Patung Sebagai ragam hias yang diterapkan pada bangunan, patung dengan bentuk-bentuk perwujudan selain fungsinya sebagai elemen hiasan, berfungsi pula

Universitas Kristen Petra 60 sebagai ungkapan nilai-nilai kesakralan. Patung-patung merupakan manifestasi dewa-dewa dalam bentuk-bentuk perwujudannya ditampilkan dalam sikap-sikap ketenangan. Penempatan pada bangunan di bagian atas sesuai dengan alam tempatnya yang utama. 2. Pratima Pratima merupakan bentuk-bentuk perwujudan dari garuda wisnu, naga bersayap, singa bersayap atau bentuk-bentuk perwujudan lainnya yang disakralkan. Pada upacara pemujaan patung pratima dihias dan diistanakan di tempat pemujaan sebagai lambang atau simbol-simbol pemujaan. Untuk fungsinya sebagai pratima, patung bukan sebagai penghias bangunan, melainkan merupakan simbol awatara yang dihias dengan pola dan hias fauna yang difungsikan untuk keperluan keagamaan. 3. Rerajahan Hiasan yang mengandung kekuatan menjiwai bangunan yang diisinya, bentuknya dapat berupa pahatan ukiran relief datar seperti sibol Tuhan yang dipahatkan pada dinding ulu di puncak padmasana sebagai tempat pemujaan. Rerajahan pada bangunan yang dilukiskan pada kain atau yang dipahatkan sebagai simbol juga berfungsi utama untuk sarana upacara yang diabadikan untuk menjiwai bangunan. Penempatan, bentuk dan penampilannya merupakan ragam hias pada bangunan yang ditempatinya. 4. Patung Bagian Merupakan ukiran patung yang menjadi bagian dari bangunan padmasana atau bangunan tempat pemujaan lainnya. Perwujudan patung-patung merupakan bagian dari bangunan, naga dan bedawang sebagai dasar yang mengandung filosofi stabilitas dinamis.elemen-elemen ragam hias tersebut, proses dan fungsinya dilakukan dengan tahap-tahap upacara keagamaan. 5. Relief Religi Ragam hias dalam bentuk ukiran relief ada pula yang melukiskan cerita- cerita yang mengandung ajaran-ajaran keagamaan yang simbolis filosofis. Selain fungsinya untuk hiasan juga berfungsi menyampaikan nilai-nilai ajaran keagamaan, bentuk-bentuk pepulasan yang mengungkapkan cerita-cerita

Universitas Kristen Petra 61 pewayangan dan cerita lainnya yang erat kaitannya dengan nilai ajaran keagamaan dan kepercayaan.

Bentuk Ragam Hias Agama dan Kepercayaan Ragam hias pada bangunan atau bentuk-bentuk perwujudan yang mengenakan ragam hias selain flora, fauna, dan alam, ada juga dari agama dan kepercayaan yang dijadikan atau diungkapkan sebagai ragam hias. Agama dengan filosofis, etika dan ritualnya masing-masing diterapkan sebagai materi, tata cara dan upacara dalam perwujudan suatu ragam hias. Nilai-nilai dan kepercayaan yang dijadikan ragam hias, perwujudannya ditampilkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: 1. Ukiran. Bentuk perwujudan patung-patung dan pratima dikerjakan dengan bentuk- bentuk ukiran. Ukiran yang membentuk sikap badan patung yang diwujudkan dalam relief juga dibuat dengan ukiran-ukiran pada bidang hias, sebagai ragam hias yang mengandung nilai-nilai agama dan kepercayaan, bentuk-bentuk patung dan pratima mengandung nilai kesakralan religi. 2. Tatahan Tatahan timbul dan tidak tembus dibentuk pada peralatan upacara dari perak atau logam lainnya, untuk peralatan pemujaan yang dibuat dari logam kuningan atau logam lain dihias pula dengan ukiran dan tatahan datar yang pada umumnya merupakan rerajahan bernilai sakral. 3. Pepulasan Bidang-bidang hias papan kayu dan lembaran kain hias dibentuk dengan pepulasan yang melukiskan nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan. Pepulasan sebagai bentuk ragam hias pada patung dan pratima mengikuti bentuk-bentuk ukiran dengan keserasian warna 4. Akit-akitan dan anyaman Ragam hias yang dibentuk dengan akit-akitan atau perangkaian beberapa elemen anyaman atau tatahan dipakai pula untuk yang bernilai keagamaan. Perwujudan bentuk-bentuk barong dan sarana seni tari lainnya juga bernilai keagamaan.

Universitas Kristen Petra 62

Arti dan Maksud Ragam Hias Agama dan Kepercayaan Nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan yang dijadikan ragam hias bermaksud menginformasikan ajaran agama secara ritual dan menanamkan kepercayaan, dimana di dalamnya terkandung pula arti magis, sakral, dan angker sesuai dengan bentuk penampilannya. Masing-masing elemen ragam hias mengandung arti filosofis dengan maksud-maksud pengarahan dan penertiban atau pembentukan sikap hidup sesuai ajaran agama.

2.6 Dewa-Dewi Ajaran Tri Dharma Karena jumlah dewa-dewi yang disembah demikian banyak, sehingga penulis mencoba mengelompokkan mereka menurut agama dalam tiga kelompok dan membahas pengaruh dan riwayat hidup mereka secara singkat. A. Dewa-dewi yang berasal dari aliran Budhis: 1. Sam Poo Hud yang terdiri atas: • Sekia Moni Hud/Sidharta Gautama.

Gambar 2.56. Sekia Moni Hud (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/sahya_ji_lay_hud.html)

Lahir tepat hari Waisak malam bulan purnama antara tahun 624 – 560 SM di Kapitala Vastu sebagai pangeran Sidharta putra raja Sidodana, ibu Dewi Maya. Di usianya 29 tahun, ia prihatin atas kesengsaraan dan kemiskinan sesamanya hingga timbul tekad untuk menyucikan diri mencari keseimbangan dan kesempurnaan dalam hidup. Akhirnya ia sadar bahwa usahanya itu sia-sia sehingga ia merubah cara ekstrim dan mulai melakukan yoga dan meditasi hingga memperoleh “Pencerahan

Universitas Kristen Petra 63

Sempurna” pada usia 35 tahun, tepatnya pada hari Waisak, lima tahun lamanya setelah mencapai kesempurnaan ia mulai berkotbah dan membina banyak pengikut. Ketika menyadari saat akhirnya telah tiba, ia berbaring di atas papan penuh bunga di antara dua pohon Sal di Kunisara wilayah India. Di sana beliau wafat dengan perasaan damai pada usia 80 tahun, tepat pada hari Waisak. • Yok Soe Hud (Bhaisjya Guru Budha). Merupakan salah satu Budha dari masa paling awal, ahli menyembuhkan orang sakit dan guru obat, perbuatannya mendatangkan kemakmuran dan dipuja masyarakat. Sejak Dinasti Cin (317–420 SM) sutra dari Buddha pengobatan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. Terjemahan Bhaisajyaguru, sutra itu dilakukan oleh Mahathera Tong Sam Cong (dinasti Tong) dengan judul Bhaisajyaguru Vaidurva Prabhasa Tathagata, menjadi karya yang terkenal dan dibaca orang hingga saat ini. Tanda pengenal yang khas dari Yok Soe Hud adalah pada tangannya terdapat mangkok obat dan pagoda. • Omi To Hud (Amitabha Budha). Sebenarnya ia seorang raja yang meninggalkan tahtanya untuk menjadi biksu dengan gelar Dharmakara (Putra Dharma). Dharmakara mengucapkan 48 janji untuk menyelamatkan makhluk yang sengsara, sejak itu ia disebut Bodhisatva Dharmakara. Setelah melewati 5 masa penempaan diri akhirnya ia menjadi Budha Amitabha dan janji-janjinya telah terpenuhi. 2. Kuan Sie Im Po Sat atau dewi Welas Asih/Bodhisatva Avalokitesvara.

Gambar 2.57. Kuan Sie Im Po Sat/Bodhisatva Avalokitesvara (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/koan-im.html)

Universitas Kristen Petra 64

Nama kecilnya adalah Miao San putri ketiga dari putri raja Miao Chuang dari dinasti Shing Lin. Kedua kakaknya telah menikah, tapi saat Miao San akan dinikahkan ia malah menolak dan mengatakan bahwa ia ingin mencari kesempurnaan hidup dan berharap jadi dewa yang menolong rakyat kecil. Ayahnya murka sehingga Miao San dihukum mati, akan tetapi takdir mengatakan bahwa ia harus turun ke bumi kembali sebagai hukuman dari dewa. Raja Miao Chuang menderita sakit kulit yang tidak dapat disembuhkan, akhirnya atas pertolongan putrinya sendiri yang berkorban besar untuk orang tuanya itu dapat disembuhkan. Miao San dianugerahi gelar Po Sat yang berarti murah hati dan welas asih. 3. Tee Tjong Ong Po Sat/Bodhisatva Khsitigarba. Dilahirkan sebagai putra mahkota di kerajaan Sin Lo Kok, Korea Timur dengan nama Kim Kiau Kak. Di usianya 24 tahun ia mulai berkelana dan bertapa di puncak Kiu Hoa San didampingi seekor anjing setia. Pada usia 99 tahun tanggal 30 bulan VII penanggalan Imlek ia meninggal dunia, di atas makamnya dibangun menara yang bercahaya pada malam hari dan sejak itu Kiu Hoa San diagungkan sebagai tanah suci kaum Budhis.

B. Dewa-dewa dari aliran Taoisme: 1. Hian Thian Siang Tee/Siang Te Kong Merupakan dewa dari salah satu Sin Bing yang sangat luas pemujaannya dari klenteng di Tiongkok Utara hingga Asia Tenggara. Kedudukannya tinggi, hanya setingkat di bawah Giok Hong Tay Te yang bertahta di langit. Wilayah kekuasaannya langit belahan utara dan menjadi pemimpin tertinggi para dewa dan malaikat di kawasan tersebut. Hian Thian Siang Tee dilukiskan dalam posisi duduk memegang pedang dan kedua kakinya menginjak kura-kura dan ular yang sebelumnya ditaklukan dan menjadi pengiring setia.

Universitas Kristen Petra 65

2. Thian Siang Sing Bo.

Gambar 2.58. Thian Siang Sing Bo (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/thian_shiang_sing_bo.html)

Merupakan gadis suci yang meninggal di usia muda yang lahir kembali dengan nama Liem Bik Nio yang mempunyai tanda-tanda luar biasa sejak lahir. Hal ini terbukti dengan menjadi anak yang jenius, dimana pada usia 5 tahun sudah dapat menghafal kitab ajaran Kwan Im Hud Co, pada masa remaja sudah mempunyai kekuatan dengan menolong nelayan dari amukan ombak dan sering muncul dalam wujud bayangan gadis dengan menolong menarik tali perahu keluar dari amukan angin ribut di laut. Sayang tidak lama kemudian ia wafat dan sebagai penghormatan, para nelayan mendirikan rumah-rumah pemujaan baginya. 3. Sam Koan Tay Te/Sam Kay Kong Sam Koan adalah sebutan untuk ketiga penguasa ditinjau dari pangkat mereka yaitu Thian Koan, To Koan dan Cui Koan. Secara umum pemujaan kepada mereka ini diidentifikasikan terhadap tiga penguasa alam yaitu: langit, bumi dan air. Ditinjau dari ajaran Confusius, ketiga penguasa alam ini disebut Sam Hong Kay Thian (Hong=pelopor, Kay=buka dan Thian=langit/alam semesta). Sam Koan Tay Te dipuja karena kebijaksanaan dan pengabdian rakyatnya.

Universitas Kristen Petra 66

4. Thay Siang Loa Kun/Tai Shang Lao Jun

Gambar 2.59. Thay Siang Loa Kun/Tai Shang Lao Jun (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/thay_shiang_lao_kun.html)

Thay Siang Lo Kun (Thai Shang Lao Jun) dikenal juga dengan nama Maha Dewa Thay Siang, yang diwujudkan dalam diri Li Er alias Li Dan alias Lao Tse (Lao Zi) atau Lo Kun Ya (Lao Jun Ye), pendiri ajaran Tao. Lao Tse atau Lao Zi dilahirkan pada tahun 604 SM, dengan nama Lie Djie (Li Er). Konon menurut cerita, sejak dilahirkan memang rambut dan alis Li Er sudah putih semua, mirip orang tua. Menurut buku Lao Zi Nei Zhuan (kisah-kisah Lao Zi), disebutkan bahwa Tai Shang Lao Jin menjelma menjadi Li Er, alias Bo Yang atau Zhong Er, berasal dari negeri Zhu. Ibunya menjadi hamil setelah intisari hati matahari yang berupa bintang, masuk ke dalam mulutnya. Kehamilan itu berlangsung selama 72 tahun, dan barulah Li Er dilahirkan di bawah pohon Li, dengan melewati ketiak sebelah kiri ibunya. Karena pada waktu lahir ia sudah terlihat tua, maka ia dikemudian hari disebut Lao Tse (Lao Zi = Si Anak Tua). Disebutkan pula bahwa ia bermuka warna emas, dan darahnya berwarna putih. Telinganya berlubang tiga, sehingga ia sering juga disebut dengan nama Lao Dan. Li Er tinggal di kota Lo Yang dan setelah dewasa bekerja sebagai pegawai perpustakaan kerajaan. Ia mengarang kitab Tao Te Cing (Dao De Jing), yang berisi 5.000 huruf. Suatu hari, saat ia berniat meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi bertapa, ia memberikan kitab Tao Te Cing tersebut kepada kawan-kawannya sebagai kenang-kenangan. Kitab Tao Te Cing ini kelak menjadi salah satu kitab suci Taoisme. Lao Tse pergi meninggalkan kota dengan mengendarai seekor kerbau hijau. Universitas Kristen Petra 67

Berkat kegigihan dalam berlatih, Lao Tse akhirnya mencapai kedewaan, dan terkenal sebagai Thay Siang Lo Kun (Maha Dewa Thay Siang). Ia mendapat tugas sebagai pengawas pemerintahan kahyangan. Dalam cerita klasik See Yu Ki (Xi You Ji) atau Kisah Perjalanan ke Barat, diceritakan bahwa Thay Siang Lo Kun membuat pil dewa. Pil-pil itu dicuri Sun Go Kong yang kemudian memporakporandakan kahyangan. Sebenarnya tokoh Taoisme selain Thay Siang Lo Kun, juga ada Thio Thian Su (Zhang Shi) dan Leng Koan Tiang Kun (Ling Guan Tian Jun). tetapi Lao Tse yang merupakan perwujudan dari Thay Siang Lo Kun, lebih dikenal oleh masyarakat umum. Ajaran Tao sendiri sebenarnya sudah diterapkan sejak zaman Hwang Te (Huang Di) sekitar tahun 2697 SM – 2597 SM. Dari zaman Huang Di inilah mulai diciptakan huruf-huruf sebagai alat komunikasi. Dipercaya bahwa Huang Di juga merupakan salah satu penjelmaaan Thay Siang Lo Kun. Arca Thay Siang Lo Kun biasanya ditampilkan sebagai orang tua sesuai dengan perwujudannya sebagai Lao Tse, wajahnya berseri-seri, rambut putihnya digelung ke atas seperti konde, jenggot putihnya panjang, memakai jubah berwarna putih atau kuning cerah dan satu tangannya 5. Hok Tek Ceng Sin/Fu De Zheng Shen

Gambar 2.60. Hok Tek Ceng Sin/Fu De Zheng Shen (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/thay_shiang_lao_kun.html)

Ho Tek Ceng Sin (Fu De Zheng Shen) secara umum disebut sebagai Thou Te Kong (Tu Di Gong) atau Dewa Bumi. Terkenal juga sebagai Dewa Keberuntungan. Dewa ini sebenarnya masuk dalam jajaran dewa setempat, sebab di setiap tanah, daerah atau wilayah ada dewanya sendiri-sendiri. Di

Universitas Kristen Petra 68

Semarang ada Thouw Te Kong, di Pekalongan ada Thouw Te Kong, di Tegal ada Thouw Te Kong, dan tempat-tempat lainnya. Pemujaan kepada Dewa Bumi ini sangat banyak ragam dan macamnya, menyebar hampir ke semua wilayah. Boleh dikatakan bahwa kelenteng Dewa Bumi atau Hok Tek Ceng Sin lah yang paling banyak jumlahnya. Demikian pula dengan cerita asal-muasalnya, sangat banyak beragam. Diceritakan bahwa pada dinasti Zhou, pada masa pemerintahan Zhou Wu Wang, ada seorang menteri urusan perpajakan bernama Thio Hok Tek (Zhang Fu De). Ia seorang yang bijaksana dan arif. Bagi rakyat yang hidup kekurangan, ia tidak menarik pajak yang berlebihan, sehingga rakyat tidak terbebani. Bahkan kadang-kadang ia sering memberikan hartanya untuk menolong rakyat miskin, sehingga ia sangat dicintai rakyatnya. Diceritakan bahwa ia lahir pada tahun 1134 SM dan meninggal pada usia 102 tahun. Setelah kematiannya, jabatan beliau digantikan oleh Wei Chao. Sepak terjang Wei Chao sangat bertolak belakang dengan Thio Hok Tek. Wei Chao sering menekan rakyat, dan tidak segan-segan menghukum mereka dengan berat, hanya karena terlambat atau kurang jumlahnya dalam membayar pajak. Perlakuan Wei Chao yang kejam, menjadikan rakyat kemudian mendambakan seorang yang arif seperti Thio Hok Tek. Mereka kemudian membuat gambar dan patung Thio Hok Tek dan memujanya. Mereka mengharap agar hidup mereka dilindungi, sama seperti waktu Thio Hok Tek masih hidup. Di sinilah mereka mulai memberikan julukan kepada Thio Hok Tek sebagai Dewa Bumi. Dipercayai bahwa tugas dewa bumi adalah menjaga agar kehidupan rakyat aman, bahagia dan banyak rezeki. Akan tetapi ia juga mencatat perbuatan-perbuatan jahat dan maksiat yang dilakukan setiap orang, dan kemudian melaporkannya kepada Seng Hong (Cheng Huang – Dewa Penjaga Kota), agar nantinya menjadi bahan pemeriksaan pada waktu orang tersebut meninggal. Pemujaan kepada Dewa Bumi biasanya dilakukan sehabis panen raya, dimana para petani bersyukur atas rezeki yang diperoleh dari hasil panen tersebut. Kemudian pada zaman dinasti Siang/Shang (1783 SM – 1134 SM),

Universitas Kristen Petra 69 seorang penasehat agung kaisar yang bernama Ie In (Ou Hing atau A Hang) memberikan makna pesta panen raya tersebut dengan istilah Hok Tek Ceng Sin, yang berarti “Memperoleh rezeki (Hok/Fu) dalam kebajikan (Tek/De) dengan tetap menegakkan (Ceng/Zheng) nilai-nilai rohani (Sin/Shen)”. Makna atau istilah ini kemudian menjadi populer dan mengakibatkan munculnya tokoh baru yaitu Hok Tek Ceng Sin sebagai Dewa Rezeki, yang seolah-olah berbeda atau lain sama sekali dengan Thouw Te Kong si Dewa Bumi/Tanah. Arca Hok Tek Ceng Sin atau Thouw Te Kong biasanya ditampilkan sebagai seorang kakek tua, berambut dan berjenggot putih, wajahnya menampakkan senyum ramah, dan berpakaian model seorang hartawan atau Wan Gwe (Yuan Wai). Ada yang menampilkan dengan satu tangan memegang uang emas kuno, ada yang hanya dalam posisi duduk biasa. Kadang-kadang juga ditampilkan berpasangan dengan nenek Thouw Te (Tu Di Po), atau ditemani seekor harimau yang disebut Houw Ciang Kun (Hu Jiang Jun).

Tabel 2.1. Gelar Dewa-Dewi Ajaran Tao

(Sumber: www.tao-4u.net/dewa-dewi_tao.html)

Universitas Kristen Petra 70

C Dewa dari aliran Khong Kouw dan kepercayaan kalangan rakyat. 1. Kwan Seng Te Kun/Kwan Kong.

Gambar 2.61. Kwan Seng Te Kun/Kwan Kong (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/koan_kong.html)

Dikenal sebagai Kwan Kong dalam hikayat Sam Kok/peperangan tiga negara yaitu negri Siok, Gui dan Go. Dalam sejarah kehidupan Kwan Kong di arena perang terbukti betapa hebat dan kuat lahir batinnya menghadapi jaman yang kacau itu. Takdir mengatakan lain, sehebat-hebatnya Kwan Kong akhirnya ia tewas di tangan Sun Kian. Dalam gambar/lukisan terlihat Kwan Kong selalu dikawal oleh dua orang pengawalnya (Ciu Jong dan Kwan Ping). Seribu tahun setelah ia meninggal, arwahnya dinobatkan sebagai dewa perang dan disebut Kwan Te Ta. 2. Seng Hong Lo Ya Hidup di kota Lam Jiang propinsi Kang Sai sebagai tabib bijak dan sangat sosial, hidup sederhana dan memberi resep kadang dengan cuma-cuma bagi kaum miskin, meskipun bahan obatnya mahal. Ia wafat tiga hari setelah genap usianya 80 tahun, ketika suatu pagi ia duduk seorang diri tiba-tiba terdengar alunan musik dari angkasa yang makin keras mendekat di atas rumah. Saat istrinya masuk, dilihatnya suaminya telah tiada dengan tenang tanpa siksa dan derita duduk di kursinya. Karena amal baktinya terhadap masyarakat ia dipuja sebagai salah satu Seng Hong Lo Ya yang patut dikenang jasa-jasanya. 3. Kong Tek Cun Ong Sewaktu kecil bernama Kwee Ang Hok yang bekerja sebagai gembala pada seorang hartawan di Cwan Ciu, karesidenan Laman. Ketika sudah Universitas Kristen Petra 71 dewasa Ang Hok mendapat firasat bahwa dirinya akan menjadi orang suci. Setelah mandi ia bermeditasi, ketika ibunya masuk ke ruang meditasi Ang Hok sudah tiada dengan posisi duduk semedi di atas kursi yang terangkat di udara. Kejadian itu membuat rakyat memberinya gelar Kwee Seng Ong atau raja keramat dari marga Kwee karena ia dipandang sebagai malaikat yang memberi pertolongan bila ada bencana alam, banjir, kebakaran atau huru hara. 4. Jay Sin Ya

Gambar 2.62. Dewa Jay Sin Ya (Sumber: www.geocities.com/hoksingbio/jay_sin_ya.html)

Lahir di zaman dinasti Ciu dengan nama Tio Kong Bing tanggal 15 bulan ke-3, ia gemar memberi keberuntungan dan rejeki sehingga banyak dipuja oleh pengusaha, bankir dan lain-lain. Ia dikenal sebagai hian Thian Goan Swe sebagai pengawal pribadi Hian Thian Seng Te dan Po Seng Tay Te. Ia digambarkan sebagai dewa yang naik macan putih bersenjata ruyung perak. 5. Jing Cui Co Soe Disebut juga Co Su Kong dari pegunungan Hong Jai San kabupaten Ceng Khe propinsi Hokhian. Semasa hidup ia mendarmabaktikan ilmu pengobatan, membantu petani mengundang hujan bila kemarau. Karena jasanya ia disembahyangi sebagai dewa pelindung rakyat setempat.dalam pemujaannya ia dilukiskan dengan wajah berbeda-beda, kadang berwarna hitam, kuning, emas atau merah. Warna wajahnya yang berbeda itu disebabkan karena asal daerah pemujaannya yang berbeda. Patungnya mengenakan topi Budha bersusun lima, jubahnya tertutup kasa merah.

Universitas Kristen Petra 72

6. Khong Hu Cu /Khong Cu

Gambar 2.63. Dewa Kong Hu Cu/Kong Cu

Ketika berumur 6 tahun, telah nampak tanda-tanda bahwa ia seorang anak yang luar biasa. Beliau menikah dengan Song kian Sie pada umur 19 tahun, dan mulai mengajar pada usia 22 tahun di daerah Khwat Li. Beliau wafat di usia 72 tahun, semua muridnya berduka cita atas wafat gurunya dan tak berhenti sembahyang di kubur Khong Cu.

2.7. Ikonografi Kata ‘ikonografi’ berasal dari kata bahasa Yunani eikon (gambar, patung dan lai-lain; sama dengan kata bahasa Inggris image) dan graphe (tulisan). Fokus dari ikonografi adalah pembahasan tentang makna dari ‘pokok persoalan’ (subject matter) karya seni rupa. Dengan kata lain ikonografi membahas isi/muatan (content) dari karya seni rupa. Dalam perkembangan selanjutnya ‘ikonografi’ menjadi ‘ikonologi,’ yakni kajian tentang isi/muatan simbolik dan budaya (politis, literer, religius, filosofis dan sosial) dari karya-karya seni rupa. Namun apapun bentuk kajiannya, istilah umum yang digunakan adalah ‘ikonografi.’ Pendekatan ikonografi bisa diterapkan pada berbagai cabang seni rupa seperti seni lukis, seni patung, seni kriya, komik dan lain-lain. Menurut Panofsky ada tiga tingkat (level) atau jenis isi/muatan karya; pertama, ‘pokok persoalan’ primer atau alami; kedua ‘pokok persoalan’ sekunder atau konvensional; ketiga, makna atau muatan intrinsic. Seni rupa Kristen dan Hindu/Budha adalah tradisi –tradisi kesenian yang kaya dengan ikon. Isi karya-karya seni rupa Kristen dan Hindu/Budha sering didasarkan pada teks-teks keagamaan dan mitologi.penelitian ikonografi yang

Universitas Kristen Petra 73 lengkap sangat bertumpu pada teks, karena itu penelitian ikonografi tentang seni rupa Kristen dan Hindu/Budha sangat sering dilakukan. Kata ‘ikon’ tidak harus berarti patung, gambar atau lukisan. Dalam penelitian ini hiasan yang dibahas umumnya kombinasi tanaman dengan kaligrafi, bentuk geometris dan kadang- kadang bentuk binatang. Sebuah penelitian ikonografi yang lengkap, dengan syarat tersedia teks yang menjadi acuan isi karya, bisa dilakukan dengan mengikuti delapan langkah dasar berikut ini (Jones 76). 1. Menjelaskan secara tepat subjek, kejadian atau objek yang digambarkan dalam karya. 2. Memahami pengertian istilah-istilah terkait, dalam arti luas dan sempit, yang terdapat dalam referensi ikonografi maupun ensiklopedia seni rupa (juga kalau perlu ensiklopedia agama) untuk memperoleh kunci-kunci pemahaman awal bagi penafsiran karya dan pemahaman topik secara menyeluruh. 3. Jika subjek atau simbol berasal dari karya sastra, perlu dibaca karya sastra yang dulu digunakan oleh seniman dalam mencipta. 4. Menyusun bibliografi tentang topik yang sedang ditangani, dimulai dari artikel-artikel umum kemudian ke bahan yang lebih khusus. 5. Jika mungkin perlu dikumpulkan kronologi orang-orang (nyata atau fiktif) yang digambarkan dalam karya atau kronologi terjadinya perubahan cara penggambaran subjek. 6. Mempelajari sebanyak mungkin karya yang menggambarkan subjek yang sama untuk menentukan pada tahun-tahun berapa ‘subjek’ itu populer dan perubahan makna apa yang terjadi. 7. Jika seniman-seniman tertentu menggunakan simbol, teliti seniman-seniman tersebut beserta karya-karya mereka. Pelajari catatan-catatan kaki dan bibliografi pada penerbitan ilmiah. 8. Mempelajari teks-teks antar disiplin dan buku-buku sejarah terkait untuk mengetahui periode sejarah dan negara dari mana karya berasal. Penelitian ikonografi yang lengkap mengikuti semua langkah di atas dalam kenyataan tidak mudah dilaksanakan karena ketersediaan teks-teks seringkali menjadi kendala, tetapi penelitian ikonografi tetap dapat dilaksanakan

Universitas Kristen Petra 74 meskipun teks-teks yang tersedia tidak banyak. Alasannya adalah karena penafsiran dalam penelitian ikonografi antara lain juga ditujukan bagi orang yang hidup di zaman sekarang. Di Indonesia banyak topik yang bisa diteliti dengan pendekatan ini di mana teks-teks yang dibutuhkan pun tersedia dalam jumlah banyak.

Universitas Kristen Petra