BAB III

PENGGABUNGAN LASKAR PUTRI DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DI YOGYAKARTA.

A. Kondisi Umum Yogyakarta Tahun 1948-1949.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di Jawa Tengah sebelah

selatan di pulau Jawa. Terletak pada posisi 7˚30’ - 8˚15’ Lintang Selatan (LS)

dan 110˚-110˚50’ Bujur Timur (BT). Luas wilayahnya sekitar 3.185,80 km²,1

yang secara administratif dibagi menjadi 5 Daerah Tingkat II

(Kabupaten/Kotamadya) yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul,

Kabupaten Wonosari, Kabupaten Sleman, dan Kotamadya Yogyakarta yang

termasuk juga menjadi ibukota propinsi ini. Yogyakarta merupakan sebuah

wilayah yang kurang lebih berbentuk segitiga, secara administratif mempunyai

status sebagai Daerah Tingkat I. Bagian barat dan utara berbatasan dengan

Karesidenan Kedu, sedangkan bagian timur dan timur-laut berbatasan dengan

Karesidenan Surakarta. Secara geografis, daerah ini dikelilingi oleh wilayah

Propinsi Jawa Tengah, kecuali disebelah selatan berbatasan dengan Samudera

Indonesia.2

Masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang multikultur. Mayoritas

penduduknya termasuk dalam kelompok etnis Jawa, namun ada juga penduduk

asing dan pendatang yang mendiami Yogyakarta, seperti halnya penduduk

1 Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Tanpa Tahun, hlm. 42.

2 Ki Nayono, Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi. : Perwakilan, 1979, hlm. 221.

42 43

keturunan Cina yang tinggal di daerah Pecinan. Pada tahun 1948 masyarakat

Yogyakarta yang beragama islam 90,2 %, kristen 7,2%, hindu 0,2%, budha

0,1% dan yang lain merupakan penanut aliran kebatinan.3 Terjalinnya kerukunan dalam masyarakat yang beragam tersebut tentunya tidak terlepas dari sosok pemimpin di masyarakat. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianggap sebagai raja yang mampu menganyomi dan melindungi rakyatnya.

Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus

1945, Yogyakarta merupakan kerajaan yang dikenal sebagai Kesultanan

Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Kadipaten

Pakualaman dengan rajanya Paku Alam VIII.4 Namun ketika berita proklamasi diterima, kedua pemimpin Yogyakarta tersebut bersedia mendukung dan bergabung dalam sistem Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari 1946

Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pemindahan ibukota/pusat pemerintahan ke Yogyakarta itu mempengaruhi perpindahan sebagian besar masyarakat ke daerah ini. Tidak hanya para pemimpin dan pegawai-pegawai pemerintahan yang pindah, akan tetapi diikuti oleh beberapa kaum Republik yang ingin melanjutkan perjuangan. Akibatnya jumlah penduduk Yogyakarta bertambah, yang semula sekitar 170.000 jiwa jadi 600.000 jiwa.5 Perpindahan ibukota ke Yogyakarta juga berpengaruh besar terhadap semangat perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan masyarakat Yogyakarta khususnya. Pada saat

3 Ibid., hlm 118.

4 Profil Propinsi Republik Indonesia, op.cit., hlm. 2.

5 Ibid., hlm. 7. 44

itu pula kota Yogyakarta menjadi kota perjuangan dan kota revolusi yang sangat penting bagi sejarah bangsa.

Sementara perjuangan kemerdekaan terus berjalan, pemerintah daerah

Yogyakarta menyempurnakan sistem pemerintahannya. Konsekuensi yang didapatkan sebagai ibukota Negara yaitu bermunculan masalah-masalah politik. Keadaan perpolitikan dan militer untuk mempertahankan kemerdekaan

Indonesia tahun 1948-1949 terpicu oleh permasalahan dari dalam dan luar negeri, seperti permasalahan perjanjian Renville (perjanjian Indonesia-

Belanda) dan pemberontakan oleh PKI. Munculnya berbagai masalah dalam negeri tingkat nasional sekitar tahun 1948 tersebut telah menghambat perkembangan pemerintahan di Yogyakarta.

Peristiwa PKI di Madiun, Jawa Timur tahun 1948 menimbulkan kekacauan daerah-daerah di sekitarnya. Peristiwa ini juga berimbas sampai ke

Yogyakarta. Pemerintah mengirimkan tentara untuk menangkap pemberontak itu, semua organisasi massa, pemuda, tani yang diduga terlibat dalam pemberontakan dengan PKI ditangkap. Anggota dewan legislatif Daerah

Istimewa Yogyakarta juga banyak yang tertangkap. Maka dari itu Sri Sultan membekukan dewan legislatif.6 Pembekuan dewan legislatif tentunya menghambat kegiatan pemerintahan di Yogyakarta untuk sementara, hanya dewan-dewan eksekutiflah yang tetap bekerja.

6 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hlm. 113. 45

Keadaan militer Yogyakarta 1948-1949 juga tidak stabil dikarenakan adanya serangan dari Belanda atau lebih dikenal dengan Agresi Militer

Belanda II. Penduduk Yogyakarta awalnya tidak menyadari bahwa Belanda sedang menyerang kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak ada pengumuman dari pemerintah sebelumnya. Siaran RRI pada tanggal 18 Desember 1948 malam tidak ada pengumuman tentang peristiwa penyerbuan apapun, radio bersiaran seperti biasa. Jalan-jalan dipusat kota seperti Jalan Malioboro cukup ramai mengingat malam itu adalah malam minggu.7 Akan tetapi keesokan harinya, setelah mendengar suara bom dan melihat begitu banyak pesawat udara di atas Yogyakarta mulai timbul berbagai kekacauan.

Agresi Militer Belanda yang kedua atas Yogyakarta ini merupakan tindakan lanjut atas polemik pelanggaran Perjanjian Renville. Perjanjian

Renville itu sendiri merupakan salah satu upaya penyelesaian konflik antara

Indonesia-Belanda atas desakan PBB melalui Komisi Tiga Negara (KTN).

Perundingan yang berlangsung dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17

Januari 1948 tersebut berisi:8

1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.

2. Sebelum RIS terbentuk Belanda tetap berdaulat atas seluruh

Indonesia.

7 Sutopo Jasamiharja, dkk, 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta. Jakarta: Yayasan 19 Desember, 1998, hlm.115.

8 Lapian, A.B, dkk, Termologi Sejarah 1945-1950&1950-1959. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996, hlm, 92- 93. 46

3. Belanda dapat menyerahkan sebagaian kekuasaannya kepada

pemerintah pro-federal.

4. RI dalam RIS merupakan Negara federal.

5. Akan dibentuk UU Indonesia-Belanda dimana keduanya mempunyai

kedudukan yang sama.

6. Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan politik rakyat

Indonesia dalam RIS.

Selain beberapa kesepakatan tersebut, perajanjian Renville juga mengatur masalah pasukan kedua pihak, yakni penghentian tembak-menembak di sepanjang garis van Mook dan penarikan semua pasukan RI dari kantong- kantong gerilya. Untuk menaati peraturan tersebut, dibentuklah sebuah panitia yang menangani perpindahan pasukan yang disebut Panitia Hijrah. Namun, untuk kesekian kalinya perjanjian ini akhirnya juga dilanggar oleh pihak

Belanda, setelah perjanjian sebelumnya yaitu Linggarjati.

Pelanggaran itu dibuktikan dengan serangan Belanda ke Yogyakarta.

Belanda menyerang Ibukota Republik Indonesia (Yogyakarta) dengan tiba-tiba, dan mencoba mendudukinya. Tertanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30 WIB, pihak Belanda menyatakan kepada Komisi Jasa baik PBB, bahwa pihaknya mulai tanggal 19 Desember 1948 pukul 10.00 waktu Jakarta tidak lagi terikat oleh persetujuan Renville.9 Agresi Militer Belanda I memberikan pelajaran kepada Indonesia bahwa Belanda selalu berbuat licik dan curang. Perjanjian

9 Dinas Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro, Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: CV Borobudur Megah, 1977, hlm. 310. 47

yang telah dibuat dan ditandatangani bersama tidak akan ditaatinya, melainkan hanya sebagai siasat untuk mengulur waktu dan menyusun kekuatannya.

Belanda menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948, penyerbuan ini dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda II,

Kerugian yang ditanggung rakyat karena Agresi Militer II ini sangat besar. Rakyat menjadi korban, sebagian besar mereka mengungsi keluar kota/daerah-daerah yang dirasa aman dari serbuan tentara Belanda. Namun, tidak sedikit rakyat yang meninggal akibat serangan Belanda secara membabi buta ke segala penjuru kota dengan melepaskan tembakan di sepanjang jalan yang mereka lewati.10 Dari catatan Pemerintah Daerah akibat serangan Agresi

Militer Belanda II tersebut tercatat 2.718 orang meninggal, 736 luka-luka, 539 hilang serta kerugian harta benda mencapai Rp.252.648.430,00.11

Kondisi ekonomi sejak Belanda mampu menduduki Yogyakarta mengalami kemunduran. Serangan Belanda ke Yogyakarta melumpuhkan kegiatan perekonomian rakyat. Roda perekonomian pada masa perjuangan ditunjang oleh hasil pertanian masyarakat. Disisi lain, banyaknya masyarakat yang mengungsi keluar kota dengan membawa sedikit bekal, mengakibatkan banyak muncul pasar yang diadakan masyarakat dalam pengungsian termasuk yang terjadi di Yogyakarta. Namun gerak para pedagang sangat terbatas, karena mendapat pengawasan lebih dari Belanda. Keluar masuknya barang ke

10 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 9: Agresi Militer Belanda II. Bandung:Penerbit Angkasa, 1996, hlm. 206.

11 Sutopo Jasamiharja, dkk, loc.cit. 48

Yogyakarta dijaga dan diperhatikan secara ketat oleh tentara Belanda.

Pedagang yang dianggap mencurigakan diminta untuk membongkar barang- barangnya oleh tentara patroli Belanda.

Keadaan makanan di Yogyakarta sangat mengkhawatirkan. Pihak tentara pendudukan Belanda tanggal 28 Desember mendistribusikan beras kepada penduduk. Setiap keluarga mendapatkan jatah 200gr beras per hari dan

200 gr jagung per hari. Hal tersebut berlaku untuk sementara saja. Kesehatan masyarakat Yogyakarta lumayan membaik, namun persediaan obat-obatan sangat menipis karena diduga ada wabah pes sehingga dilakukan penyuntikan massal oleh Dinas Kesehatan kepada penduduk. 12

Pihak Keraton Yogyakarta tidak hanya tinggal diam melihat kondisi memprihatinkan di masyarakat. Sultan Hamengku Buwono IX melalui Pak

Kusnan sebagai Menteri Sosial dan Perburuhan, membagi-bagikan uang kepada yang membutuhkan. Uang perak gulden Belanda disumbangkan kepada pegawai-pegawai yang berpangkat tinggi sampai rendah di kementerian- kementerian sebagai gaji. Tidak terbatas pada bantuan gaji untuk pegawai pemerintahan, Sultan juga memberikan bantuan untuk keperluan pasukan gerilya dan unit PMI. Pemberian bantuan ini berlangsung sampai beberapa bulan. Besar bantuan yang dikeluarkan pihak Keraton untuk keperluan perjuangan Indonesia cukup besar yakni sekitar lima juta gulden.13 Bantuan

12 Ki Nayono, op.cit., hlm. 204-205.

13 Mohamad Roem, dkk., Takhta untuk Rakyat; Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 76. 49

yang diberikan sebagai gaji sangat membantu para pegawai dan keluarganya yang setia terhadap Republik untuk menyambung hidup.

Pada masa perjuangan di Yogyakarta, seketika menjadikan kota ini sebagai kota yang hanya dihuni oleh wanita, anak-anak, dan orang tua.

Sebagian besar pemuda telah pergi keluar kota, ikut berpartisipasi dalam perjuangan gerilya. Tidak sedikit masyarakat yang mengungsi dan meninggalkan rumahnya, sehingga kosong dan terlantar. Namun, Yogyakarta masih belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda, karena daerah-daerah pedalaman masih dalam kekuasaan Republik. Pasar-pasar masih ramai tempat orang berjual-beli, rakyat masih membayar pajaknya kepada pegawai-pegawai

Republik. Sekolah dan kantor-kantor di daerah-daerah yang dikuasai Republik masih berjalan.14

Secara resmi Yogyakarta diistilahkan sebagai Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (sampai sekarang) sejak tahun 1950 dengan dikeluarkannya

Undang-Undang No.3 tahun 1950, yang mempersatukan wilayah daerah

Kasultanan dan Pakualaman. Selama tahun 1948 Dewan Pemerintahan

Yogyakarta dijabat oleh:15

1. Walikota dijabat oleh KRT. Sudarisman Purwokusuno

2. Wakil Walikota adalah Projoseputro

3. Jawatan Sosial dipegang oleh H. Wazimuri

14 Soebagio I. N, S. K. Trimurti Wanita Pengabdi Bangsa. Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 190.

15 Sayidiman Suryohardiprojo, Suatu Pengantar dalam Ilmu Perang: Masalah Pertahanan Negara. Jakarta:Intermasa, 1981, hlm. 66. 50

4. Jawatan Pendidikan dan Agama dipegang Dalhar Maksum

5. Jawatan Keuangan dijabat oleh Ny. Jusupadi

6. Jawatan Keamanan diisi oleh Projohandoko

7. Jawatan Kemakmuran dijabat oleh M. Jamali

Pada waktu Yogyakarta diduduki oleh Belanda (19 Desember 1948-29

Juni 1949), Haminte Yogyakarta tidak dapat berjalan sesuai fungsinya.

Pemerintahan selama Agresi Militer Belanda II terjadi perubahan, dengan dibentuknya Pemerintahan Militer. Khusus untuk Pulau Jawa, pemerintahan militer tersusun sebagai berikut:16

a. Kepala pemerintahan militer dipimpin Panglima tentara dan

Teritorium Jawa

b. Gubernur militer dipegang Panglima Divisi

c. Pemerintahan militer daerah (karesidenan) dipegang oleh

Komandan Daerah Pertahanan atau Werhkreise

d. Pemerintahan militer kabupaten dipegang oleh Komandan Distrik

Militer (KDM)

e. Pemerintahan militer kecamatan dipegang oleh Komandan Onder

Distrik Militer (KODM)

Pemerintahan militer dihapuskan pada bulan Agustus 1950. Sementara itu Yogyakarta sudah mendapat status Daerah Istimewa. Maka kota

Yogyakarta ditetapkan sebagai kota besar. Dalam sidang DPR Kota

16 Tashadi, Buku Kenangan: 50 Tahun Republik Indonesia di Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT 50 Tahun RI di Yogyakarta, 1995, hlm. 187. 51

Yogyakarta Desember 1950, nama Haminte Kota diganti kembali menjadi

Kotapraja Yogyakarta, sehingga Kota Yogyakarta kembali menjadi DIY, tidak

lagi berhubungan langsung dan bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat

(dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri).17

Kemerdekaan Indonesia telah melahirkan semangat nasionalisme di hati

masyarakatnya. Semangat nasionalisme terlihat pada kegigihan dan perjuangan

rakyat dalam mengusir penjajah dari tanah air. Semangat perjuangan itu juga

tumbuh di hati rakyat Yogyakarta. Sejak pasca proklamasi hingga didudukinya

Yogyakarta oleh Belanda dalam agresinya yang kedua, Yogyakarta menjadi

kota perjuangan. Keterlibatan rakyat dalam perang kemerdekaan diwujudkan

melalui organisasi-organisasi dan badan perjuangan.

B. Latar Belakang dan Proses Perpindahan Laskar Wanita Indonesia ke

Yogyakarta

Pada tanggal 4 Januari 1946 pemerintah pusat Republik Indonesia

memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan keluar dari Ibukota

Jakarta menuju Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan mengingat kondisi

keamanan Jakarta, pertempuran antara pihak Republik dengan Belanda terjadi

semakin sengit. Tentunya masalah seperti itu dapat mengganggu dan

menghambat jalanya pemerintahan Republik Indonesia yang masih muda.

Akibatnya, ibukota dipindahkan dari Jakarta menuju Yogyakarta.

17 Sayidiman Suryohardiprojo, op.cit., hlm.37. 52

Perpindahan ibukota ke Yogyakarta juga atas undangan dari Sultan

Hamengku Buwono IX, mengingat stabilitas kota Yogyakarta masih dapat dikendalikan.18 Berpindahnya ibukota maka ikut berpindah pula tokoh-tokoh politik, cendekiawan, pegawai-pegawai pemerintahan. Sehingga terdapat pertambahan penduduk sekitar 5.000 orang di Yogyakarta.19 Perpindahan ibukota tersebut dengan sendirinya berpengaruh pula terhadap perpindahan instansi-instansi dan jawatan-jawatan pemerintahan ke Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Kabinet Syahrir yang kedua, Arudji

Kartawinata yang semula menjabat sebagai Panglima Divisi III diangkat menjadi Menteri Muda Pertahanan.20 Pengangkatan Arudji Kartawinata menjadi pejabat pemerintahan mengharuskan beliau untuk pindah ke Ibukota

Yogyakarta dan Soemarsih Yati sebagai istrinya juga harus ikut pindah.

Dengan berbagai pertimbangan serta dukungan dari banyak pihak di

Yogyakarta Ny. Arudji Kartawinata melanjutkan perjuangannya yaitu dengan mendirikan Laswi cabang Yogyakarta. Sehingga Laswi pecah menjadi dua, yakni Laswi Pusat di Bandung dan Laswi cabang Yogyakarta. Ketua Laswi yaitu Ny. Arudji Kartawinata dan 24 orang anggota mendirikan Laswi cabang

Yogyakarta, sedangkan Laswi Pusat yang ada di Bandung tetap melanjutkan

18 Selo Soemardjan, op.cit., hlm 76.

19 Ibid, hlm. 71.

20 Pada tanggal 20 Mei 1946 komandemen Jawa Barat memakai nama Siliwangi sebagai pengenalnya. Susunan dan personilnya yaitu, Divisi I / Banten dipimpin oleh K. H. Syam’un, Divisi II / Cirebon dipimpin oleh Kolonel Asikin, dan Divisi III / Priangan dipimpin oleh Arudji Kartawinata. Posisi Arudji sebagai Panglima Divisi III digantikan oleh A. H. Nasution yang kemudian menjadi Panglima Divisi Siliwangi. 53

perjuangan.21 Meskipun berada di kota yang berbeda, antara Laswi pusat dengan Laswi cabang Yogyakarta tetap ada hubungan kerjasama, baik dalam penyaluran tenaga maupun bahan logistik.

Laswi cabang Yogyakarta mendapat sambutan hangat dari masyarakat

Yogyakarta, hal tersebut terbukti dengan adanya wanita baik remaja, ibu rumah tangga yang mau bergabung kedalam Laswi. Di Yogyakarta Laswi bermarkas di Gondokesuman No. 35 Yogyakarta (kediaman Ny. Arudji Kartawinata), dan asrama berada di Bintaran Tengah. Pimpinan Laswi di Yogyakarta yaitu Ibu

Awibowo dan Ibu Pangeran Hadinegoro.22 Sasaran utama perekrutan anggota

Laswi semula adalah remaja putri atau pelajar putri, namun tidak menutup kemungkinan Laswi juga dibuka untuk kalangan ibu-ibu rumah tangga atau wanita yang bersuami. Sebagian dari anggota Laswi di Yogyakarta adalah istri- istri dari pejabat pemerintahan dan istri-istri pejuang. Namun hal ini tidak lantas membuat kesenjangan di dalam keanggotaan Laswi.

Laswi cabang Yogyakarta segera membentuk tim kepengurusan periode awal Laswi, adapun susunan kepengurusan tersebut yaitu sebagai berikut:23

Ketua : Ny. Arudji Kartawinata

Staf Pimpinan : Ny. Aribowo Ny. Rahayu tabrani Ny. Achiriah Maskur Ny. Pangeran Hadinegoro

21 Disjarahdam VI/Siliwangi, Siliwangi dari Masa ke Masa Edisi ke-2. Bandung: Angkasa Bandung, 1979, hlm.53.

22 Ibid.

23 Sri Minarti, Laskar Wanita Indonesia (Laswi) Pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949): Peran Laswi di Yogyakarta Periode 1945-1949. Skripsi: Universitas Gadjah Mada, 1994, hlm. 60-61. 54

Herienrieta (Hetty)

Seksi Palang Merah : Ny. Wilopo Ny. Suwiryo Ny. Asikin Ny. Handoko

Seksi Dapur Umum : Ny. Utami Suriadarman Ny. Herawati Diah Ny. Ali Sastro Amidjojo Ny. Sulianti

Sejak kedatangan sekutu dan Belanda ke Indonesia, pertikaian tidak dapat dielakkan. Pertempuran antara pihak Republik dengan Belanda selalu diakhiri dengan gencatan senjata dan perundingan yang selalu merugikan

Indonesia. Agresi Militer Belanda I bertujuan untuk menguasai Jawa Barat dan

Jawa Timur, dan akhirnya berakhir dengan suatu perjanjian yaitu perjanjian

Renvile. Perjanjian Renvile adalah penyebab hijrahnya pasukan Divisi

Siliwangi dan sebagian anggota Laswi ke Yogyakarta.

Laskar Wanita Indonesia merupakan kesatuan perjuangan yang berada dibawah naungan Divisi Siliwangi di Bandung. Banyak anggota Laswi yang merupakan istri atau keluarga dari pasukan-pasukan Siliwangi. Berkenaan dengan pembumihangusan Bandung dan sewaktu pasukan Siliwangi diharuskan hijrah ke Yogyakarta sebagian anggota Laswi juga turut hijrah bersama pasukan Siliwangi. Mereka yang tidak turut hijrah bersama pasukan

Siliwangi, tinggal di pengungsian dan melanjutkan perjuangan Laswi dalam bidang sosial.

Peristiwa Hijrah Siliwangi terjadi pada awal bulan Februari 1948, dilatarbelakangi oleh perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari

1948. Salah satu keputusan utamanya yaitu menarik satuan TNI dari kantong- 55

kantong gerilya masing-masing menuju keseberang garis Van Mook.24

Menurut pasal-pasal perjanjian yang ditetapkan oleh Belanda dan RI, mengharuskan pasukan Siliwangi meninggalkan kantong-kantong di Jawa

Barat dan Divisi Brawijaya yang ada di Jawa Timur.25 Perintah ini kemudian menjadi pedoman bagi anggota TNI untuk menuju daerah Republik.

TNI dalam hal ini menjadi contoh yang baik yaitu disiplin dalam menjalankan perintah dan mentaati hasil perjanjian. Meskipun dalam hati mereka pasti ada rasa ketidakpuasan terhadap hasil perundingan Renville tersebut. TNI harus meninggalkan daerah werkhreisenya26 bukan karena kalah dalam pertempuran, tetapi karena delegasi Republik kalah dalam meja perundingan. Sehingga dapat dikatakan mundurnya TNI pada waktu itu karena kalah sebelum berperang (kalah dari meja perundingan). Hal tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi beban psikologis dari anggota-anggota

TNI itu sendiri.

24 Garis Van Mook diambil dari nama Letnan Gubernur Jenderal HJ. Van Mook, garis tersebut menghubungkan pos-pos militer Belanda terdepan yang dianggap sebagai batas wilayahnya dan merupakan garis demarkasi antara daerah kekuasaan RI dan Belanda.

25 Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, Hijrah Siliwangi. Jakarta: Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, 2008, hlm. 2.

26 Werkhreise merupakan istilah dari bahasa Jerman. Wehr berarti pertahanan dan kreise berarti lingkarang. Wehrkreise diterjemahkan sebagai strategi yang membagi-bagi daerah pertempuran ke dalam lingkarang- lingkaran pertahanan yang berdiri sendiri. semua potensi berupa manusia, kondisi alam, bahan-bahan makanan diintegrasikan dan menjadi modal yang sangat berharga dalam perang gerilya. Lihat Dinas Sejarah Militer TNI Angkatan Darat, hlm. 181. 56

Pengunaan istilah “hijrah” untuk menyebut pengunduran pasukan TNI dari kantong-kantong gerilya yang diinstruksikan oleh Panglima Besar

Soedirman bukannya tanpa maksud. Penggunaan istilah itu dianggap lebih bijaksana dan tidak meninggalkan dampak psikologis bagi pasukan TNI, daripada penggunaan istilah “mundur” atau “pemindahan kekuatan”. Pasukan yang “hijrah” yakin bahwa strateginya perjuangan akan mendapatkan kemenangan besar, seperti yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW yang harus hijrah dari Mekkah ke Madinah.27

Mundurnya pasukan Siliwangi dari kantong-kantong gerilya menuju daerah-daerah Republik telah diatur dan diurus oleh Panitia Hijrah. Panitia ini sengaja dibentuk untuk membantu para prajurit dalam proses perpindahannya.

Panitia tersebut ditunjuk oleh Presiden Soekarno dengan Penetapan Presiden

No. 4 Tahun 1948 meliputi urusan permusuhan, penerimaan, pemeriksaan, perlengkapan dan perbekalan, keuangan, keamanan, hiburan dan umum.28

Susunan pengurus Panitia Hijrah yaitu sebagai berikut:

Ketua : Arudji Kartawinata (Kementrian

Pertahanan)

Wakil Ketua I : Jenderal Mayor Ir. Sakirman (TNI

bag Masyarakat)

27 Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Soedirman (Perintah Siasat No. 10). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm.110.

28 Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, op.cit., hlm. 62. 57

Wakil Ketua II : Moh. Siraj (Kementrian Dalam

Negeri)

Ketua Sekretaris : Dr. Hutagalung (Kementrian

Pertahanan)

Wakil Ketua Sekretaris : Mayor Hayono (Anggota Panitia

Istimewa)

Anggota Sekretariat : Sekretariat PP PNI

Penyusunan panitia ini diharapkan dapat memperlancar proses hijrah

TNI dan tidak terlepas dari bantuan rakyat Indonesia. Pembentukan Panitia

Hijrah tersebut bertujuan untuk mempelancar pelaksanaan hijrah. Tugas panitia ini yaitu mengurusi segala sesuatau mengenai pelaksanaan hijrah termasuk juga kebutuhan logistik. Pelaksanaan jihrah kali ini juga mendapat bantuan dari

Belanda, terutama oleh Divisi 7 Desember. Bantuan-bantuan tersebut berupa penyediaan alat-alat transportasi dan komunikasi.29

Khusus Divisi Siliwangi, tidak semua brigade dalam divisi ini melakukan hijrah. Mereka yang tidak melakukan hijrah yaitu Brigade I

Tirtayasa yang bermarkas di Banten. Sebab, wilayah itu termasuk dalam kekuasaan Republik. Namun ada sebagian pasukan Siliwangi yang bergabung dengan mereka seperti Batalyon 22 pimpinan Mayor Sugiharto serta beberapa pasukan dari Laskar Hisbullah dan Sabilillah. Sedangkan lima brigade lainnya yang mengikuti hijrah yaitu Brigade II/Suryakancana, Brigade III/Kian

29 Ibid., hlm. 22. 58

Santang, Brigade IV/Guntur I, Brigade V/Guntur II, dan Brigade VI/Gunung

Jati.30 Sebagian anggota pasukan yang tidak melakukan hijrah seperti laskar

Hisbullah dan Sabilillah yang kecewa diduga bergabung dengan para pemberontak dan membentuk DI/TII.

1. Proses Hijrah

Pemberangkatan kurang lebih 3000 pasukan ke daerah Republik

dibagi menjadi beberapa jalur. Pemberangkatan dilakukan dengan

menggunakan jalur darat, dan laut. Jalur darat ditempuh dengan truk, kereta

api, dan jalan kaki. Perjalanan menggunakan kereta api dari stasiun

Parujakan Cirebon melewati Gombong menuju Yogyakarta. Perjalanan

dengan kapal laut dari pelabuhan Cirebon menuju Rembang, sedangkan

yang berasal dari Priangan Timur berkumpul di lapangan terbang

Cibeureum Tasikmalaya dengan menggunakan truk,31 dan untuk menuju

daerah-daerah pelosok dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Perjalanan darat ditempuh dengan menggunakan truk dan jalan

kaki. Pasukan yang hijrah dengan menggunakan truk adalah pasukan dari

Brigade IV/Guntur I yang memberangkatkan sekitar 2.000 anggota. Mereka

berkumpul di Lapangan Terbang Cibeureum pukul 07.00 dan kemudian

diangkut dengan truk menuju Stasiun Kutoarjo. Tiap truk berisi 20 orang,

dan setiba di Stasiun Kutoarjo meraka melanjutkan dengan kereta api ke

30 Aan Ratmanto, Pasukan Siliwangi; Loyalitas, Patriotisme, dan Heroisme. Yogyakarta: Matapadi Pressindo, 2012, hlm. 80.

31 Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, op.cit., hlm. 66. 59

daerah Republik. Perjalanan dengan jalan kaki, rute yang ditempuh yakni

melalui Kuningan – Ciamis – Gunung Slamet – Pegunungan Dieng –

Karangkobar – Banjarnegara – Wonosobo.32 Jalur itulah yang nanti juga

digunakan ketika Long March. Pasukan yang hijrah dengan berjalan kaki

mendapatkan uang saku Rp.100; 00 untuk masing-masing anggota dari

panitia.33

Ada 3 brigade yang menggunakan kereta api untuk hijrah antara

lain Brigade II/Suryakencana berangkat melalui stasiun Sukabumi, Brigade

III/Kian Santang berangkat dari stasiun Purwakarta, dan Brigade V/Guntur

II dari stasiun Padalarang. Pemberangkatan pasukan dengan kereta api

dikawal ketat oleh tentara Belanda. Semua senjata dan mesiu dikumpulkan

terpisah dalam gerbong sendiri.34 Penjagaan yang ketat dari pihak Belanda

dilakukan mengingat pasukan yang hijrah dalam jumlah yang banyak

lengkap dengan senjatanya, sehingga takut terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan. Namun sebelum berangkat semua anggota sudah dihimbau oleh

ketua masing-masing brigade untuk tetap menjaga emosi dan bersikap

tenang dalam perjalanan.

2. Kendala-kendala dalam Pelaksanaan Hijrah

Perjalanan pasukan TNI menuju daerah Republik tidak sepenuhnya

berjalan dengan mulus dan lancar tanpa hambatan. Tujuan utama

32 Aan Ratmanto, op.cit., hlm. 82-84.

33 Disjarahdam VI/Siliwangi, op.cit., hlm. 137.

34 Aan ratmanto, loc.cit. 60

dibentuknya Panitia Hijrah oleh pemerintah pada dasarnya guna memperlancar perjalanan hijrah itu sendiri. Namun, dalam pelaksanaannya muncul masalah-masalah kecil. Masalah-masalah tersebut datang dari beberapa faktor intern dan juga ekstern. Masalah intern muncul dari kesalahan yang dilakukan oleh Panitia Hijrah, seperti keterlabatan penjemputan, tidak tersedianya tempat istirahat yang layak, dan makanan yang tidak memenuhi, panitia dinilai gagal dalam melaksanakan tugasnya.

Sedangkan masalah ekstern datang dari gangguan yang disengaja oleh tentara Belanda, seperti terlambat memberikan informasi kedatangan pasukan Siliwangi kepada Panitia Hijrah.35 Hal itu sengaja dilakukan karena untuk mengacau dan menimbulkan masalah antara pasukan Siliwangi dengan Panitia Hijrah.

Pelaksanaan hijrah yang melalui jalur darat lebih banyak mengalami kesulitan dibanding dengan jalur laut. Ada beberapa sebab yang membuat kondisi demikian, antara lain yaitu kinerja panitia yang dianggap kurang maksimal, dan kurangnya koordinasi antara panitia pusat dan lapangan, sehingga mengakibatkan banyak pasukan Siliwangi yang terlantar seperti kurangnya bahan makanan dan tidak ada tempat peristirahatan dalam proses hijrah.36 Seperti yang dikisahkan dalam buku Cuplikan Sejarah TNI

AD berikut ini:

“setibanya di tempat penampungan sementara, mereka kemudian disuruh untuk menunggu terlebih dahulu sebelum pemberangkatan lebih

35 Disjarahdam VI/Siliwangi, op.cit., hlm. 135-136.

36 Aan Ratmanto, op.cit., hlm. 85. 61

lanjut. Dalam penampungan inilah timbul hal-hal yang dirasa kurang manusiawi. Mereka kadang-kadang menginap di sembarang tempat, ada yang di gudang, gerbong-gerbong kereta, stasiun, dan jika beruntung dapat menginap di rumah-rumah warga. Soal makanan pun demikian, makanan dihidangkang di kaleng-kaleng bekas corned beef ataupun sardines, perlakuan yang tidak seharusnya diberikan oleh Belanda karena kuramg manusiawi…” Pengalaman yang dihadapi prajurit Siliwangi selama perjalanan

hijrah, baik yang menggunakan kereta api, truk, berjalan kaki, maupun

dengan kapal laut tidak jauh berbeda. Setelah melakukan perjalanan yang

cukup melelahkan dari Jawa Barat dan akhirnya tiba juga di wilayah Jawa

Tengah dan Yogyakarta. Di wilayah baru nantinya mereka juga harus

mampu menyesuaikan diri dan membaur dengan masyarakat.

Wanita yang terpaksa ikut, atau memilih meninggalkan rumahya di

wilayah-wilayah yang diduduki militer Belanda, harus mengatasi segala

jenis kesulitan hidup, termasuk menyandarkan diri pada keramahtamahan

penduduk desa, melahirkan dan merawat anak atau saudara yang sakit

dalam perjalanan yang jauh dari rumah dan sanak keluarga.37 Begitu juga

dengan anggota Laswi yang melakukan hijrah bersama anggota Siliwangi,

mereka turut tampil bersama suami atau saudara mereka dalam revolusi.

Perjuangan anggota Laswi tetap berjalan meskipun berada di daerah yang

baru. Mereka turun sebagai pejuang gerilya, kurir, dan bergerak di dapur

umum ataupun di PMI.

Ketika TNI hijrah, maka sebagian besar anggota Laswi ikut hijrah

ke Yogyakarta. Mereka bertugas membantu dan mengurus keluarga TNI

37 Anton Lucas, “Pengalaman Wanita Selama Zaman Pendudukan dan revolusi, 1942-1950”. dalam Prisma, N0.5 Tahun XXV, 5 Mei 1996, hlm. 27. 62

yang ikut hijrah dipimpin oleh Ibu Nasution, karena tidak semua anak istri

tentara pergi bersama-sama dengan keluarganya. Dengan menumpang

kereta api rombongan Laswi tiba di Stasiun Tugu, dan disambut oleh Ny.

Arudji Kartawinata yang telah berada di Yogyakarta.38 Setibanya di

Yogyakarta anggota Laswi yang ikut hijrah bergabung dengan Laswi pusat

Yogyakarta di Gondokusuman No. 53, dan mereka ikut dalam Panitia Sosial

yang bertugas dalam penyelenggaraan dapur umum.39 Selain Laswi,

kelaskaran wanita dari Surakarta yaitu Laskar Putri Indonesia juga turut

hijrah ke Yogyakarta. Hijrahnya badan-badan perjuangan ke Yogyakarta

karena ingin mempertahankan Ibukota Republik Indonesia (Yogyakarta)

dari tangan Belanda.

C. Usaha Penggabungan Laskar Putri Indonesia dengan Laskar Wanita

Indonesia serta Kegiatannya

Revolusi telah membawa kita ke dalam suatu medan peperangan.

Peperangan bukan hanya antara kedua belah pihak bersenjata saja yang

berperang. Perang yang kita hadapi dalam menghadapi Belanda merupakan

perang seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Perang yang dilancarkan pihak Belanda terhadap Republik merupakan perang

yang multidimensional, tidak hanya bergolak pada sektor militer namun

38 Sri Minarti, op.cit., hlm. 76.

39 Suhatno, “Sumbangan Wanita Yogyakarta Pada Masa Revolusi”. dalam Jantra, Vol. 1, No. 2, Desember 2006, hlm. 69. 63

menyebar ke bidang ekonomi, sosial, politik, dan psikologis.40 Serangan

Belanda terhadap Republik Indonesia bukan hanya penyerangan secara militer namun juga dengan blokade ekonomi, usaha menghilangkan pemerintahan Indonesia, serta membuat kekacauan dalam negeri yang dapat memecahkan persatuan rakyat. Hal tersebut dilakukan Belanda dengan menduduki Ibukota Yogyakarta dalam agresinya yang kedua.

Perang bukan sekedar usaha angkatan perang saja, melainkan usaha rakyat semesta di berbagai sektor kehidupannya. Sifat serangan yang demikian disebut juga dengan pertahanan rakyat semesta. Maka dalam perang kemerdekaan Indonesia yang kita alami Belanda melancarkan serangan semesta pula terhadap Republik dan kita harus membalasnya dengan perlawanan rakyat yang semesta.41 Rakyat merupakan kekuatan utama dalam perjuangan ini. Tanpa adanya bantuan dari rakyat maka niscaya serangan dari pihak musuh dapat dihadapi. Maka dari itu antara pihak militer (TNI) dan rakyat harus menjalin hubungan yang baik begitu juga dengan sesama badan perjuangan atau laskar-laskar perjuangan.

Panglima Besar Soedirman pernah memberikan amanat kepada semua anggota angkatan perang bahwa segenap laskar, badan perjuangan, angkatan perang, serta polisi Negara untuk mempererat hubungan satu dengan lainnya selaku kekuatan Negara. Saling bekerjasama dan membantu setiap usaha

40 A. H. Nasution, Pokok-Pokok Gerilya: Dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang akan Datang. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2012, hlm. 1.

41 Ibid., hlm. 5. 64

perjuangan, serta tidak mudah terhasut oleh propaganda yang ditimbulkan musuh.42 Hal tersebut berkenaan dengan semakin sengitnya serangan

Belanda. Pihak musuh berusaha untuk membuat kekacauan dan perpecahan dalam masyarakat Indonesia, dan berusaha menunjukkannya kepada dunia internasional bahwa pemerintahan Indonesia masih lemah. Selain itu pihak

Belanda juga berusaha pula untuk memperkuat peralatan militernya dengan mendatangkan pasukan dan senjata baru dari Negeri Belanda.

Selama Belanda masih berusaha menduduki wilayah Indonesia, maka semakin besar pula semangat rakyat Indonesia mempertahankannya. Badan- badan perjuangan dan kelaskaran kembali bersemangat membela tanah air.

Pada masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Laskar Putri

Indonesia (LPI) tidak berjuang sendiri. Mereka menjalin hubungan dengan badan perjuangan yang lain guna memudahkan perjuangan. Hubungan kerjasama tersebut sangat penting untuk meningkatkan kekuatan. LPI sudah pernah beberapa kali menjalin kerjasama dengan kelaskaran atau badan perjuangan lain, meskipun LPI merupakan laskar wanita namun tidak membatasi mereka untuk menjalin hubungan hanya dengan golongan wanita saja, bahkan LPI juga pernah bekerjasama dengan golongan pria. Harapan dari kerjasama tersebut yaitu dapat tercapainya tujuan perjuangan LPI.

Badan-badan perjuangan atau kelaskaran yang pernah bekerjasama dengan

LPI antara lain Laswi, Barisan Benteng, KOWANI, GLPS (Gabungan Laskar

42 Lihat Laskar, 7 Oktober 1946, No. 227, Tahun Republik yang ke II, hlm. 1. 65

Pertahanan Surakarta), TKR Surakarta, TNI, dan Laskar Rakyat.43 Hubungan kerjasama yang biasanya dilakukan seputar kemiliteran seperti latihan dasar kemiliteran, latihan bela diri, persenjataan, atau bahkan pengiriman personel ke medan perang.

Setiap badan perjuangan sudah semestinya mempunyai susunan keanggotaan dengan masing-masing tugas yang jelas, pembagian tugas anggota diharapkan dapat menunjang kegiatan laskar dengan baik. Pengurus

LPI mempunyai tugas yang beragam. Disamping tugas untuk kegiatan intern

LPI, juga ada tugas untuk menjalin hubungan dengan badan perjuangan lain.

Hubungan ini sangat penting untuk mendapatkan bantuan, pengakuan, dan terciptanya kerjasama di dalam perjuangan.44 Badan perjuangan semestinya mempunyai jaringan yang luas di masyarakat sekitar ataupun lembaga lain, sebab jika ada sesuatu yang dibutuhkan dan anggota belum mampu memenuhinya maka dapat meminta bantuan dari pihak lain. Seperti halnya dalam pengadaan persenjataan, tanpa adanya pinjaman dari Batalion 16

Resimen XXVI niscaya LPI dapat memegang senjata pada saat latihan.

Begitu juga dengan Laswi tanpa bantuan dari Divisi Siliwangi mereka tidak dapat belajar tentang kemiliteran. Selain itu untuk mengukur sepak terjang

LPI dalam perjuangan maka dibutuhkan pengakuan dari pihak lain, yang dilakukan dengan menjalin kerjasama dalam perjuangan.

43 Djumarwan, Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah, 2010, hlm. 40.

44 Ibid. 66

Hubungan LPI dengan Laswi bermula dari penggabungan beberapa anggota LPI dengan Laswi pada awal tahun 1948. Kerjasama antara LPI dengan Laswi hanya mampu bertahan 3 bulan, dari Maret sampai Mei 1948.45

Laswi diwakili oleh Ny. Arudji Kartawinata (Ketua Laswi) sedangkan LPI diwakili oleh Sri Kanah Kumpul (sesepuh LPI) dan Sdr. Prasasti (Wakil

Ketua LPI), maka bergabunglah LPI dengan Laswi menjadi Laswi. Nama LPI dihilangkan, karena LPI telah menjadi satu dengan Laswi.46 Hubungan kerjasama diantara keduanya, yaitu dengan pengiriman pasukan ke front yang membutuhkan bantuan tenaga.

Pada saat LPI bergabung dengan Laswi, LPI dipimpin oleh Dartijah, sedangkan Laswi dibawah kepemimpinan Ny. Arudji Kartawinata. Dartijah merupakan ketua kedua di LPI setelah menggantikan Sudijem, pada masa kepemimpinanya LPI berkembang lebih pesat.47 Kecerdasan Dartijah sebagai seorang ketua berhasil memperluas sepak terjang LPI itu sendiri, salah satunya yaitu dengan penggabungan LPI dengan Laswi, meskipun hanya berlangsung tiga bulan saja. Dalam waktu yang singkat yakni tiga bulan masa penggabungan, maka antara kedua laskar belum sempat terbentuk suatu kepengurusan yang baik.

45 Djumarwan, op.cit., hlm. 65.

46 R. T. Condronagoro, Riwayat Laskar Putri Indonesia di Surakarta. Surakarta: Wirjowitono, 1976, hlm. 6.

47 Wawancara dengan Sri Temoe eks anggota LPI (84 tahun), dan diperkuat dengan pengakuan Ibu Endang keponakan Srini dan anak Ibnoe Oemar (56 tahun) tanggal 12 Maret 2014. 67

Para pengurus LPI tidak serta merta langsung menerima ajakan Laswi untuk bergabung, mereka menimbang dan memutuskan penggabungan tersebut secara matang. Sebab, penggabungan dua kelaskaran ini bukanlah hal yang mudah, dua badan kelaskaran dengan segala perbedaannya harus berjalan beriringan satu sama lain. Maka dari itu, sebelum memutuskan untuk menerima penggabungan, wakil-wakil dari LPI perlu meninjau markas dan kinerja Laswi, maka dari itu dikirimlah Sri Kanah Kumpul dan Sdr. Prasasti ke markas besar Laswi di Bandung.48 Setelah berkunjung ke Bandung dan dukungan dari banyak pihak LPI memutuskan bersedia bergabung dengan

Laswi, meskipun dengan konsekuensi nama LPI dihilangkan dan akan tunduk dengan peraturan Laswi.

Baik LPI maupun Laswi sejak berdiri menjadi badan kelaskaran sudah memiliki dasar kepengurusan dan identitas masing-masing, terbukti dengan adanya Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT)49 laskar yang harus dipatuhi oleh setiap anggota. ADRT tersebut yang menjadi pedoman setiap anggota dalam melaksanakan tugas sebagai anggota dari masing-masing laskar.

Semenjak LPI bergabung dibawah nama Laswi maka secara otomatis peraturan yang berlaku adalah ADRT Laswi. Anggota LPI harus mematuhi peraturan tersebut karena LPI sudah menjadi bagian dari Laswi.50

48 R. T. Condronagoro, loc.cit.

49 Penulis sudah menemukan ADRT Laswi sedangkan untuk ADRT LPI belum berhasil ditemukan.

50 Sri Temoe, 12 Maret 2014. 68

Penggabungan LPI ke dalam Laswi mendapat dukungan dari badan perjuangan lainnya, seperti Perwari dan Laskar Rakyat. Penggabungan ini meleburkan nama LPI menjadi Laswi. Pada mulanya penghapusan nama LPI bukan menjadi penghalang anggota-anggota LPI untuk tetap semangat berjuang, toleransi dan keinginan bersatu mereka besar sekali. Bagi anggota

LPI nama bukan soal, yang terpenting maksud dan tujuan perjuangan tercapai.51 Hilangnya identitas kelompok tentunya bukan hal yang mudah diterima oleh sebagian anggota LPI, namun bagaimanapun mereka harus menerima keputusan bersama itu, dan tugas-tugas perjuangan tetap berjalan.

Latar belakang bergabungnya LPI dan Laswi bermula dari kurangnya tenaga Laswi di front-front Jawa Barat akibat dari pembumihangusan kota

Bandung. Peristiwa tersebut menyebabkan penduduk harus mengungsi keluar kota Bandung. Laswi dalam hal ini bertugas membantu penduduk yang mengungsi, mendirikan dapur umum untuk sektor perjuangan, mencari bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.52 Pihak musuh semakin mendesak ke wilayah-wilayah yang diduduki pasukan Republik, serangan

Belanda yang semakin sengit membuat tempat pengungsian berpindah- pindah, selain itu tenaga perjuangan juga semakin berkurang. Guna mengisi kekurangan tenaga, maka Laswi Bandung meminta bantuan kepada Laswi

51 R. T. Condronagoro, loc.cit.

52 KOWANI, Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 100. 69

Yogyakarta untuk mengirimkan pasukannya.53 Menanggapi situasi tersebut maka Laswi Yogyakarta langsung kontak dengan LPI di Surakarta dan meminta sebagian anggotanya untuk bergabung dengan Laswi.

Kegiatan-kegiatan LPI setelah bergabung dengan Laswi yaitu pengiriman pasukan guna membantu perjuangan di front Jawa Barat.

Perjuangan LPI-Laswi54 di front yaitu membantu menyelenggarakan dapur umum dan mengirimkan makanan ke garis depan serta palang merah. Front yang berhasil dituju pada saat penggabungan antara lain Ciparay. Meskipun

LPI sudah bergabung dan berada di bawah nama Laswi, namun perjuangan antara LPI dan Laswi masih berjalan sendiri-sendiri. Hanya beberapa anggota dari LPI yang dikirim untuk bergabung dengan Laswi di front, sedangkan lainnya masih berada di Surakarta.55 Pengiriman personel LPI ke front diatur bergiliran per regu yang terdiri dari 7-12 orang, nantinya di front juga bergabung dengan masyarakat sekitar dan badan perjuangan lain.56

Pejuang-pejuang wanita sebagian besar tugasnya hampir sama yaitu mengkoodinir dapur umum, mencari, menyiapkan, dan mengantar makanan serta pakaian untuk pejuang. Tugas tersebut bukanlah sesuatu yang mudah,

53 Disjarahdam VI/Siliwangi, op.cit., hlm. 52.

54 Penulis menggunakan nama LPI-Laswi untuk menyebut Laswi dengan struktur kepengurusan yang baru, dimana setelah LPI bergabung dengan Laswi dan berubah nama menjadi Laswi.

55 Sri Temoe, 12 Maret 2014.

56 R. T. Condronagoro, Ibid., hlm. 7. 70

setiap saat nyawan mereka menjadi taruhannya.57 Rasa was-was dalam menjalankan tugas selalu dirasakan anggota LPI yang bertugas di front depan, tugas mengirim makanan ke garis depan terasa menakutkan karena diburu kanon oleh musuh, seperti yang pernah terjadi di front Mranggen dan

Brumbung. Bagi para anggota yang dikirim ke garis depan memang harus benar-benar berani dan siap bertaruh apapun, bahkan nyawa mereka sekalipun.58

Sebahaya apapun keadaan di front, tugas mereka laksanakan dengan rasa tanggung jawab. Perjalanan mengantarkan makanan untuk pejuang di garis depan sungguh penuh rintangan. Mereka sering mendapat serangan dari musuh dan harus menyelamatkan semua makanan yang dibawa itu, meskipun dengan merangkak satau merayap di tengah desingan peluru.59 Mara bahaya yang menghadang di garis depan tidak menjadi beban, yang terpenting adalah tujuan perjuangan tercapai. Mereka menyadari bahwa itu semua adalah resiko suatu perjuangan.

Pengiriman anggota LPI-Laswi ke front selain bertugas sebagai pembawa nuk60 dan memasak di dapur umum, juga sebagai pembantu di

57 Wawancara dengan Ibu Iman Sudijat eks Sekretaris KOWANI (94 tahun), pada 13 Mei 2014.

58 Sri Temoe, 12 Maret 2014.

59 Irna Hadi Soewito (peny), Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Jakarta: Yayasan Wirawati Catur Panca, 1992, hlm. 22.

60 Sebutan untuk makanan sehari-hari para pejuang yang terdiri dari nasi dan lauk pauk (ransum nasi) biasanya dibungkus dengan daun jati yang dikirim untuk di garis depan. 71

Palang merah. Tidak semua orang dapat bertugas dan membantu di palang merah. Tugas Palang merah waktu itu terbagi atas dua bagian yakni tugas di garis lini 1 (garis depan), petugas palang merah di lini 1 memberikan pertolongan pertama (PPPK) bagi yang luka ringan dan di garis lini II

(markas palang merah) tugasnya merawat korban dengan luka parah dan menyiapkan keperluan untuk dibawa ke lini 1. Tenaga palang merah yang diperbolehkan ke garis lini 1 hanya terbatas pada mereka yang memiliki kemampuan militer.61

Tenaga palang merah tersebut selain harus memiliki kemampuan militer, juga diutamakan yang mengerti tentang ilmu kesehatan. Sebelumnya mereka dilatih PPPK, seperti cara menolong korban perang, cara membalut, pertolongan darurat, dan pertolongan lain yang berhubungan dengan kesehatan.62 Bagi anggota LPI maupun Laswi, pengetahuan tentang kesehatan sudah pasti paham karena ilmu kesehatan dan PPPK juga diajarkan sewaktu di asrama. Salah satu petugas pembantu yang diperbolehkan ke garis lini 1 di antaranya adalah anggota LPI dan Laswi.

Selama bertugas sebagai pengantar nuk ke garis depan, bahaya kapan saja dapat menyerang anggota karena serangan dari musuh tidak dapat diprediksi. Maka dari itu seperti halnya petugas palang merah, pengantar nuk hingga di garis lini depan tidak sembarang orang. Mereka yang bertugas harus mengerti siasat pertahanan, pengetahuan militer dan persenjataan.

61 Djumarwan, op. cit., hlm. 58.

62 Sri Minarti, op. cit., hlm. 36. 72

Anggota LPI-Laswi yang bertugas sebagai pengantar makanan di garis lini depan dibekali beberapa senjata untuk melindungi diri yaitu berupa granat tangan dan sebuah karaben.63 Dengan bekal senjata tersebut mereka merasa lebih kuat dan aman.

Keberadaan dapur umum di masa revolusi merupakan wujud partisipasi rakyat dalam perjuangan. Makanan sehari-hari pejuang berasal dari dapur umum yang disediakan oleh pejuang-pejuang wanita dan dibantu oleh rakyat. Menurut Hisbaron Muryantoro, dapur merupakan suatu tempat yang multifungsi, selain berfungsi sebagai tempat memasak makanan dan menyiapkan perbekalan, dapur umum juga sering digunakan sebagai tempat mengatur siasat serta bertukar informasi antar pejuang.

Fungsi lain dari dapur umum, selain sebagai tempat memasak makanan dan menyiapakan perbekalan, juga digunakan untuk:64 1. Sebagai tempat pertemuan antara para pejuang yang saling memberi informasi posisi musuh berada. 2. Tempat penyimpanan dan pemeliharaan persenjataan. 3. Tempat merencanakan dan mendiskusikan serta menentukan kapan sebaiknya serangan dilakukan. 4. Tempat membuat keputusan untuk mengadakan serangan

Tugas mensuplai makanan untuk pejuang dilakukan dengan berbagai macam taktik, sekadar untuk mengelabuhi musuh dan kaki tangannya. Taktik yang digunakan seperti meletakkan ransum di tempat sampah, yang kemudian diawasi terus sampai malamnya diambil oleh gerilyawan. Berbagai cara dilakukan supaya makanan atau barang dapat sampai ke garis depan. Pada

63 Irna Hadi Soewito (peny), Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45. Jakarta: Grasindo, 1995, hlm. 190.

64 Hisbaron Muryantoro, “Pemberontakan Rakyat Indonesia Putri 1945-1948”. Jantra Vol 1, No. 2, Desember 2006, hlm. 64. 73

siang hari bekerja di dapur umum dan mengantarkan makanan, sedang di malam hari bertugas di bagian penerangan atau ikut bergerilya dengan pejuang.65

Kegiatan LPI-Laswi yang pertama kali setelah penggabungan yakni pengiriman pasukan ke Ciparay, dengan tugas membantu para pengungsi dari

Bandung. Peristiwa Bandung Lautan Api menyebabkan Kota Bandung dengan radius 11 km dari pusat kota harus dikosongkan. Pemerintah Kota

Bandung beserta masyarakatnya terpaksa mengungsi keluar kota dan berkedudukan berturut-turut di Soreang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciparay.66

Rakyat Bandung bertahan di pengungsian dalam waktu yang cukup lama, sejak peristiwa Bandung Lautan Api 1946 hingga akhir 1948, ketika Bandung dinyatakan aman mereka baru kembali ke kampung halaman.67

Di Ciparay inilah markas LPI-Laswi berada, selama di Ciparay mereka mengurus pengungsi yang hidup seadanya. Pengungsi hidup berbagi dengan penduduk desa dan sebagian dari mereka ada yang melanjutkan sekolah serta pekerjaannya sebagai pedagang.68 Di pengungsian ini kita dapat menyaksikan proses sosialisasi jiwa kejuangan mempertahankan kemerdekaan di kalangan penduduk desa. Rakyat di pedesaan dengan senang

65 Irna Hadi Soewito, 1992, op.cit., hlm. 25.

66 Edi Ekadjati, S. dkk, Sejarah Kota Bandung: 1945-1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1985, hlm. 75.

67 Ratnayu Sitaresmi, dkk., “Saya Pilih Mengungsi” Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Bandung: Bunaya, 2002, hlm. 121-122.

68 Ibid., hlm. 138. 74

hati menampung dan membantu pengungsi maupun para pejuang bersenjata

RI. Keterlibatan penduduk kota dan desa dalam mendukung perjuangan pasukan RI, secara tidak langsung merupakan pelaksanaan pertahanan rakyat semesta karena rakyat ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan meskipun dengan bentuk yang berbeda.

Sebagian besar para pengungsi adalah orang tua, ibu-ibu, dan anak dibawah umur yang tidak turut dalam perjuangan. Banyaknya jumlah pengungsi tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit, untuk menghidupi para pengungsi mereka mencari dana dengan cara mengadakan bazar dll.

Pada saat senggang, bila tidak ada pertempuran, sebagian anggota ditugaskan untuk mengajar anak-anak di desa, terutama tentang kesehatan dan kebersihan.69 Memberikan pengajaran kesehatan, bukan menjadi persoalan yang berat, karena sebagian besar dari mereka adalah pelajar dan sempat diberikan pelajaran tentang kesehatan sewaktu di asrama.

Tugas di front Ciparay hanya bertahan sebentar, karena sudah disusul dengan perpisahan LPI dari Laswi. Setelah menyatakan berpisah dari Laswi, anggota LPI kembali ke Surakarta dan meneruskan perjuangan ke front-front lain. Masa penggabungan selama tiga bulan tersebut tidak melahirkan suatu kerjasama yang cukup baik. Banyak terjadi konflik-konflik dan perbedaan prinsip selama masa penggabungan itu, hal tersebut maklum terjadi karena pada dasarnya susah menyatukan dua organisasi perjuangan dengan identitas

69 Tim Redaksi, “Bertahan di Tanah Sultan”, Majalah Historia, Nomor 1, Tahun 1, 2012, hlm. 128-129. 75

yang berbeda satu sama lainnya. Dengan penuh pengertian dan toleransi mereka memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. LPI kembali berdiri sendiri di Surakarta dan Laswi tetap berada di Bandung dan Yogyakarta.

Setelah berpisah dengan Laswi, LPI masih terus melanjutkan perjuangannya untuk kemerdekaan, bedanya hanya LPI berjuang dibawah nama dan panji kelaskaran mereka sendiri bukan dibawah Laswi lagi.70

Penggabungan selama tiga bulan itu telah mengaburkan pengertian umum tentang LPI Surakarta, terbukti dengan banyaknya foto kegiatan LPI sebelum bergabung diberi keterangan sebagai kegiatan Laswi.71 Kegiatan LPI selepas dari Laswi yaitu bersama dengan GLPS melakukan blokade ekonomi di

Salatiga. Selain mengirimkan anggota ke luar kota, LPI juga turut serta dalam kegiatan dalam kota Surakarta, yaitu membuat kubu pertahanan dan ikut latihan perang total, untuk menghadapi kemungkinan serangan Belanda.72

70 R. T. Condronagoro, loc.cit.

71 Djumarwan, op.cit., hlm. 65. Selain itu penulis juga sempat mencocokan salah satu foto di beberapa buku dengan koleksi foto Sri Temoe, dan ada beberapa foto LPI yang diberi keterangan sebagai Laswi. Foto LPI dengan keterangan yang salah berhasil ditemukan penulis dalam buku Yogya Benteng Proklamasi dan Majalah Historia.

72 Ibid., hlm. 68. 76

D. Pisahnya Laskar Putri Indonesia dari Laskar Wanita Indonesia

Penggabungan dua kelaskaran atau lebih dalam tujuan perjuangan

yang sama sebenarnya memberikan banyak keuntungan bagi masing-masing

kelaskaran. Namun terkadang permasalahan juga datang silih berganti, bagi

badan perjuangan yang tidak mampu melewati permasalahan-permasalahan

tersebut pastinya akan bubar. Menurut Kartodirdjo, ada tiga

komponen yang esensial dalam suatu badan perjuangan, tiga komponen

tersebut adalah kepemimpinan, ideologi, dan organisasi.73 Setiap badan

perjuangan yang tidak mampu menjalankan tiga komponen tersebut dengan

baik maka dengan mudah musuh merongrong perjuangan mereka.

Penggabungan antara dua laskar wanita yaitu LPI dengan Laswi, tidak

berjalan lama. Kerjasama itu hanya bertahan 3 bulan saja, terhitung dari bulan

Maret sampai dengan Mei 1948. Penggabungan tersebut telah dibubarkan

oleh kedua belah pihak, karena tidak ada kecocokan. Ketidakcocokan

disebabkan adanya hal-hal yang menyangkut prinsip perjuangan yang tidak

dapat disatukan.

Penggabungan LPI dengan Laswi yang menghilangkan nama LPI

secara tidak langsung mempengaruhi semangat anggota LPI. Menghilangkan

identitas LPI dan meleburkannya dibawah kekuasaan Laswi merupakan

pukulan psikis bagi anggotamya, sebab dalam Laswi mereka dianggap

sebagai anggota baru dan harus tunduk kepada anggota lama atau senior

73 Sartono Kartodirdjo, “Peranan Badan-badan Perjuangan dalam Revolusi Indonesia”. Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan dan Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: Museum Benteng Yogyakarta, hlm. 14. 77

(anggota Laswi).74 Ketidakcocokan ini lebih dititikberatkan pada masalah identitas kelompok, sebagian anggota LPI tidak menghendaki nama dan kegiatan laskarnya hanya ada dibelakang Laswi. Perasaan di nomor duakan dalam kelompok dapat mempengaruhi sikap anggota LPI yang harus bekerjasama dengan anggota Laswi lainnya, sehingga hal tersebut mempengaruhi hasil kerja mereka di front.

Suatu kelompok supaya dapat mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut- pengikutnya.75 Pertukaran positif yang di maksudkan di sini yaitu suatu komunikasi searah antara pemimpin dan anggota kelompok. Apabila antara pemimpin dan anggota tidak terjalin komunikasi yang baik, maka muncul kesenjangan dalam kelompok tersebut. Kesenjangan dalam kelompok perjuangan Laswi juga dirasakan oleh anggota baru yakni anggota LPI.

Terbukti dengan anggota atau pengurus LPI tidak pernah diajak bermusyawarah bila membicarakan sesuatu masalah yang menyangkut LPI dan Laswi.76

Tidak diikutsertakannya anggota LPI dalam setiap rapat atau musyawarah kelompok membuat mereka merasa dirugikan. Mereka bekerja hanya menunggu komando dari atasan, sedangkan anggota LPI sudah terbiasa untuk selalu berkegiatan baik itu di front ataupun latihan. Semangat yang

74 Djumarwan, op.cit., hlm. 64.

75 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm. 288.

76 Djumarwan, loc.cit. 78

menggebu-gebu mereka tidak cocok apabila hanya disuruh untuk menunggu komando saja.77 Sifat-sifat seperti itu maklum terjadi, karena sebagian besar dari mereka masih remaja.

Faktor usia juga mempengaruhi sikap seseorang dalam kelompok.

Pada dasarnya anak perempuan pada usia remaja lebih banyak didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat ditambah dengan keinginan untuk menjadi dewasa, serta hasrat berprestasi. Mereka akan merasa tertekan dan bertindak menentang atau memberontak terhadap sesuatu yang dirasa kurang baik ataupun kurang memuaskan dalam lingkungannya.78 Wajar apabila anggota

LPI begitu kecewa atas tindakan Laswi yang hanya menganggap mereka sebagai junior. Kekecewaan yang mendalam tersebut dapat menimbulkan konflik-konflik batin dan dapat juga menimbulkan gangguan psikis dalam kepribadian setiap anggota.

Rasa kecewa terhadap suatu pemimpin bukan pertama kalinya dialami anggota LPI. Kekecewaan anggota LPI terhadap pemimpin juga pernah di lontarkan kepada Soedijem79 yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua

LPI. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1946 sewaktu pengiriman anggota ke front Salatiga. Konflik antara anak buah dan pimpinan ini terjadi karena

Soedijem tidak pernah memberikan penjelasan tentang situasi sebenarnya

77 Sri Temoe, 12 Maret 2014.

78 Kartini Kartono, Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja & Wanita Dewasa Jilid 1. Bandung: Mandar Madu, 1992, hlm. 44-45.

79 Soedijem merupakan ketua pada kepengurusan LPI yang pertama, sebelum digantikan oleh Dartijah. 79

kepada anggotanya, mereka dibiarkan menunggu tanpa ada kepastian di front, akibatnya muncul kesalahpahaman antara pemimpin dengan para anggota.80

Konflik antara Soedijem dengan anak buahnya berakhir dengan kembalinya pasukan ke asrama dan diputuskan untuk mencari pengganti Soedijem sebagai Ketua. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada saat tergabung dalam Laswi. Di Laswi, konflik antara anggota Laswi dan LPI berakhir dengan keluarnya anggota LPI dari Laswi.

Anggota LPI sebagian besar adalah remaja putri yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Unsur eksklusifitas dan kesetiaan sangat dijunjung tinggi, khususnya mereka menghargai rasa loyalitas dan solidaritas terhadap penderitaan sesama rekannya.81 Anak gadis juga cenderung tidak puas dengan otoritas orang tua atau pengasuhnya yang dianggap “berkuasa” atas dirinya.82

Tidak salah jika mereka sangat setia berjuang di bawah naungan LPI, dan merasa kecewa atas penghapusan nama LPI. Wajar apabila anggota LPI merasa tertekan dengan sikap anggota Laswi yang merasa berkuasa.

Perpisahan LPI dari Laswi juga didorong oleh keinginan menuntut hak-hak dan pengakuan atas diri atau kelompoknya (LPI).

Latar belakang ketidakcocokan lainnya, antara LPI dan Laswi lebih mendasar pada perbedaan prinsip kepemimpinan yang tidak dapat disatukan.

Hal ini dapat ditelusuri dari latar belakang kepercayaan kedua tokoh pencetus

80 Djumarwan, op.cit., hlm. 51.

81 Kartini Kartono, op.cit., hlm. 42.

82 Ibid., hlm. 44. 80

ide pendiri masing-masing laskar. Ny. Arudji Kartawinata sebagai pendiri

Laswi adalah seorang Islam yang taat, sehingga Laswi dijiwai oleh semangat keagamaan, sedangkan Srini sebagai pencetus ide pendirian LPI beraliran ilmu kebatinan.83 Perbedaan-perbedaan tersebut tentunya mempengaruhi corak dan kegiatan perjuangan masing-masing laskar.

Sumarsih Subiyati Arudji Kartawinata atau yang lebih dikenal dengan

Ny. Arudji Kartawinata lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga pejuang

Islam. Ayahnya, Kadhol, aktif menjadi anggota dan pendiri

Kartinischool di dalam komplek kabupaten, sementara ibunya mendirikan dapur umum untuk karyawan kereta api dan kantor pegadaian yang tergabung dalam Sarekat Islam.84 Ny. Arudji mengikuti jejak perjuangan kedua orang tuanya, Beliau dan suaminya juga aktif dalam Partai Syarekat Islam Indonesia

(PSII). Pengalaman organisasi dimulai ketika menjadi pimpinan Syarekat

Islam Afdeling Pandu Putri (SIAP), kemudian menjadi anggota Kepanduan

Muslimin Indonesia, lalu aktif dalam PSII menjadi ketua Departemen Wanita

PSII dari tahun 1936 sampai 1940.85 Latar belakang keluarga dan organisasinya inilah yang mempengaruhi corak perjuangan Ny. Arudji dalam

Laswi.

Berbeda dari Ny. Arudji Kartawinata yang sejak remaja sudah berkecimpung dalam dunia perjuangan dan keorganisasian Islam, Srini

83 R. T. Condronegoro, op.cit., hlm. 15.

84 Annie Bertha S., “Ibu Aruji Mendirikan Laskar Wanita” dalam Satu Abad Kartini 1879-1979. Jakarta:Sinar Harapan, 1979, hlm. 168.

85 Tim Redaksi Majalah Historia, op.cit., hlm. 130. 81

sebagai pendiri LPI lebih dikenal sebagai ‘orang tua’ yang banyak mengabdi kepada sesama manusia, khususnya dalam hal mengobati orang sakit dengan cara kebatinan.86 Srini termasuk dalam lingkungan keluarga Keraton

Surakarta, Beliau lahir dan tumbuh dalam keluarga yang mengenal agama

Islam dan kebudayaan Jawa yang kental. Keluarga Srini berasal dari keluarga abdi dalem atau pegawai kesunanan. Di bidang pendidikan, Srini hanya tamat dari sekolah rakyat, dan dilanjutkan dengan les Bahasa belanda di sekolah

Kasatriyan Surakarta. Srini tidak mempunyai pengalaman dalam hal keorganisasian apapun, sejak kecil kebiasaannya hanya berpuasa dan mengamalkan keahliannya dalam ilmu kebatinan.87

Kemampuan kebatinan Srini sudah terlihat semasa beliau anak-anak.

Sejak usia 12 tahun Srini sudah menerima ilham/wahyu, dan seiring bertambahnya usia sesuai dengan wahyu yang diterimanya, beliau semakin mengabdikan hidupnya untuk agama, negara, bangsa serta masyarakat sekitar.88 Di dalam proses pembentukan LPI ilmu kebatinan Srini sangat berpengaruh, latar belakang terbentuknya LPI berdasar atas ilham Illahi

(Jawa: dawuhing Pangeran) yang diterimanya yaitu, kemerdekaan Bangsa

Indonesia yang sesungguhnya akan lambat tercapai (atau dengan kata-kata lain: rintangan-rintangan menuju kemerdekaan tidak cepat pergi) selama hanya laki-laki saja yang berjuang. Hendaknya putri-putrinya pun ikut

86 Djumarwan, op.cit., hlm. 20.

87 Tanpa Nama Pengarang, Srini. Tanpa Penerbit, hlm. 1-2.

88 Ibid., hlm 3-4. 82

bersama-sama mempertahankan kemerdekaan. Berdasarkan dawuh

(wahyu/ilham) itulah akhirnya dibentuk LPI.89 Perpaduan antara kepercayaan

Islam dengan ilmu kebatinan yang dianut Srini merupakan ciri khas dari budaya masyarakat Jawa, yang juga diakui oleh masyarakat LPI.

Sebagian besar masyarakat Jawa memang memeluk agama Islam, dan 80% dari mereka termasuk dalam golongan Islam statistik. Golongan ini termasuk golongan bukan Muslim santri, mereka telah mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam dunia ini dan alam adikoderati (alam gaib: supernature). Dasar agama

Jawa (Javaisme) adalah keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah Satu, merupakan kesatuan hidup.90

Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa, perilaku dan sikap masyarakatnya juga mencerminkan budaya yang dianut.

Pandangan dan pengalaman orang Jawa menurut Mulder bersifat keseluruhan, tidak memisahkan antara individu dengan lingkungannya, golongannya, zamannya, bahkan dari alam. Mulder juga menyatakan bahwa gaya hidup orang Jawa adalah kebatinan, yaitu gaya hidup manusia yang memupuk

“batinnya”. Kebatinan seringkali dianggap sebagai inti-pati Javaisme. Orang yang mempelajari ilmu kebatinan berusaha memperoleh pengetahuan mengenai alam raya dengan cara melakukan hubungan langsung antara

89 Ibid., hlm. 12.

90 Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986, hlm. 31. 83

individu dengan Yang Maha Kuasa melalui mengheningkan diri atau upacara- upacara tertentu.91

Sumber pengetahuan terhadap kenyataan yang gaib terdapat dalam rasa yang bersumber dari dalam batin. Pengetahuan itu merupakan pengetahuan yang diwahyukan, sehingga manusia harus menerima dan selalu mendekatkan diri kepadaNya. Tokoh-tokoh yang dianggap telah menerima wahyu-wahyu serupa itu biasanya menjadi guru bagi semua orang yang ingin mendekatkan diri lebih erat dengan kenyataan sejati.92 Kemampuan Srini dalam ilmu kebatinan sangat berpengaruh terhadap proses perkembangan

LPI. Meskipun Beliau tidak duduk di kepengurusan LPI, anggota dan pengurus mengakui bahwa beliau merupakan saka guru.93 Sebagai pencetus berdirinya LPI, Beliau mempunyai peran khusus dalam perjuangan LPI. Srini merupakan sosok pemimpin yang kharismatis, dan dianggap mampu mengayomi semua anggota LPI.

Pemimpin merupakan kunci utama kesuksesan suatu kelompok.

Otoritas pemimpin badan perjuangan menurut Sartono Kartodjirjo bersumber pada prestige (wibawa) pribadi antara lain, karena sifat-sifat keunggulan, seperti pengetahuan, keterampilan, kreativitas, inisiatif, keberanian moral, dan sebagainya, arti lainnya yaitu suatu keunggulan pada pribadinya.

91 Ibid., hlm 12-13.

92 Ibid., hlm. 31-32.

93 Djumarwan, loc.cit. 84

Pemimpin tersebut juga diakui oleh komunitas atau kelompoknya.

Keunggulan itu juga dapat dikatakan sebagai kharismatis.94

Secara kepengurusan LPI diketuai oleh Dartijah, namun Dartijah dan anggota LPI yang lainnya juga mengakui bahwa Srini adalah pencetus ide berdirinya LPI sehingga masyarakat LPI mengakui bahwa peranan dan kedudukan Beliau di LPI sangat penting. Kharisma Srini dan ketenarannya dalam bidang kebatinan membawa pengaruh baik bagi pertumbuhan LPI.

Kepemimpinan kharismatis dari Srini lah yang tidak didapatkan ketika mereka bergabung dengan Laswi. Ny. Arudji Kartawinata sebagai pemimpin

Laswi memang seorang pemimpin yang berdedikasi dan disiplin tinggi.

Beliau dikenal sebagai pemimpin yang keras dan tegas dalam kepengurusan juga hal agama, namun cukup menjaga jarak dengan masyarakat.95 Sifat Ny.

Arudji yang keras dan tegas dalam hal perjuangan serta agama, sangat dipengaruhi dari lingkungan keluarganya. Keluarga besarnya merupakan keluarga pejuang Islam, begitu juga suaminya adalah seorang anggota militer.

Peranan orang tua dan keluarga cukup besar dalam hal menanamkan semangat seseorang dalam berorganisasi.

Di LPI sudah ada tradisi, dimana setiap anggota LPI yang hendak menunaikan tugas di mana pun selalu menghadap kepada Srini terlebih dahulu untuk berpamitan dan mohon restu.96 Terlebih lagi apabila anggota

94 Sartono Kartodjirjo, op.cit., hlm.15.

95 Tim Redaksi Majalah Historia, op.cit., hlm.130.

96 Djumarwan, op.cit., hlm. 51. 85

LPI menemui permasalahan dalam menjalankan tugas, baik pada waktu perjalanan ataupun di front selalu menemui Srini untuk mendapatkan petunjuk. Pernah sewaktu Sri Temoe dan anggota LPI lainnya bertugas di

Imogiri, di tengah perjalanan menuju tempat yang dituju beliau dan teman- temannya di tawan selama berhari-hari oleh kesatuan militer setempat karena di tuduh sebagai mata-mata. Beberapa hari kemudian mereka dilepaskan karena tuduhan tersebut tidak benar, sesampainya di Imogiri mereka menemui Srini dan menceritakan kejadian tersebut. Srini berpesan yaitu, apabila memasuki kota telinga hendaknya disumbat dengan kapas, dan sewaktu-waktu menemui kesulitan supaya menyebut Srini serta terus berhati- hati. Sepanjang perjalanan terus-menerus menyebut nama Srini dengan telinga tersumbat kapas, dan tak lupa juga berdoa kepada Allah SWT, akhirnya mereka sampai ditempat tujuan dengan selamat.97

Sewaktu di Imogiri, Sri Temoe dan teman-temannya tinggal di sebuah rumah milik warga. Setiap harinya Tentara Belanda berpatroli keliling desa mencari pemuda-pemuda yang ikut serta dalam gerilya. Pernah suatu kali tentara-tentara tersebut menggeledah rumah yang ditinggali Sri Temoe, tentara tersebut menaruh curiga bahwa di rumah itu ada aktifitas para gerilyawan maka dari itu setiap harinya tentara mendatangi rumah tersebut.

Semua yang tinggal di rumah tersebut merasa takut bercampur khawatir, sehingga mereka sowan ke Srini dan menceritakan kejadian yang dialami.

Pada akhirnya Srini memerintahkan supaya di depan rumah diberi sapu lidi

97 Sri Temoe, 12 Maret 2014. 86

dengan posisi terbalik, dan ternyata setelah ada sapu lidi di depan rumah

Tentara Belanda tidak pernah masuk lagi.98 Demikian ampuhnya perintah

Srini sehingga anggota LPI merasa aman dan terlindungi, perasaan seperti itu membuat anggota LPI lebih dekat dengan Srini.

Latar belakang Srini yang Kejawen dan Ny. Arudji Kartawinata yang

Islamis, cukup mempengaruhi corak pergerakan masing-masing laskar.

Semangat keagamaan Laswi tercermin dalam ADRT Laswi yang menyebutkan bahwa setiap anggota Laswi diwajibkan membaca dua kalimat syahadat. Hal ini menunjukkan bahwa semua anggota Laswi adalah mereka yang beragama Islam, dan ajaran Islam menjadi dasar perjuangan Laswi.99

Berbeda dengan LPI yang lebih bercorak pada kejawen didukung dengan ilmu kebatinan Srini. Perbedaan ADRT laskar tersebut juga menjadi salah satu pemicu keretakan hubungan kerjasama LPI dan Laswi.100

Angggaran Dasar merupakan pegangan utama anggota laskar dalam bertugas di medan perang, baik di garis depan maupun yang bertugas di garis belakang, semua anggota wajib menjalanankan tanpa terkecuali. Di setiap kegiatan LPI dalam perjuangan tidak terlepas dari tradisi-tradisi budaya

Kejawen yang melekat pada Srini. Hal-hal yang berbau mistik seperti yang dilakukan anggota LPI tentu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

98 Wawancara Sri Temoe, 12 Maret 2014. Lihat juga Sri Temoe Soegioto, Otobiografi: Potret Seorang Lasykar Muslimah Teladan. Solo: Tanpa Penerbit, 2006, hlm. 24.

99 Lihat Lampiran 1

100 Wawancara Sri Temoe dan Ibu Endang, 12 Maret 2014. 87

Tradisi tersebut juga dianggap bertentangan dengan prinsip anggota Laswi, seperti yang tercantum dalam ADRT nomor satu, yang menyebutkan bahwa tidak ada yang boleh disembah selain Tuhan.

Perjuangan LPI tidak dapat dipisahkan dengan unsur kebatinan dan tradisi Kejawen, sebab dari awal berdiri LPI sudah melekat dengan ilmu kebatian yang dimiliki Srini sebagai pendiri. Faktor lingkungan di sekitar anggota LPI yang kental akan budaya Jawa, menyebabkan kegiatan-kegiatan tidak lepas dari kuatnya tradisi Jawa (Kejawen) itu sendiri. Usaha penghilangan tradisi dalam LPI bukan perkara yang mudah, kebiasaan untuk menghadap, meminta doa restu dan petunjuk kepada Srini sebelum menjalankan tugas, pernah dicoba untuk dihilangkan namun usaha tersebut gagal.

Pernah sewaktu Soedijem masih menjadi komandan LPI berusaha menghilangkan semua tradisi yang berhubungan dengan ilmu kebatinan Srini, namun berakhir dengan turunnya Soedijem dari kepengurusan LPI. Soedijem sebagai komandan LPI dengan tegas menandaskan dan menghendaki agar peraturan dan disiplin LPI sama seperti militer dan badan kelaskaran lain umumnya.101 Tradisi semacam itu tidak disetujui dan ditentang oleh

Soedijem, Ia menganggap bahwa hal tersebut adalah kegiatan yang membuang-buang waktu dan merepotkan. Sebagai anggota laskar perjuangan harus bersikap disiplin, apabila ada tugas harus segera dilaksanakan, itulah yang ingin diterapkan Soedijem di LPI. Selain masalah yang terjadi di front

101 Djumarwan, op.cit., hlm. 51. 88

Salatiga antara Soedijem dengan pasukannya, hal ini pula yang menyebabkan penggantian Soedijem sebagai komandan LPI. Soedijem kiranya lupa akan kharisma Srini, yang memperoleh pengakuan kuat dari masyarakat LPI.

Tanpa disadari, perbedaan pandangan yang terjadi antara Soedijem dengan anggota LPI yang lain berakibat fatal karena perbedaan itu telah menciptakan konflik batin.102 Perbedaan pandangan serupa juga terjadi antara anggota LPI dengan anggota Laswi, dan sampai memunculkan konflik batin anggotanya. Apabila konflik tersebut telah sampai pada harga diri atau identitas kelompok, terlebih pada pertentangan paham atau adat yang telah melembaga, penyelesaian konflik secara damai akan sulit ditempuh. Salah satu cara penyelesaian konflik antara LPI dan Laswi yakni dengan berpisah secara baik-baik.

Pada dasarnya masing-masing badan kelaskaran cenderung berorientasi pada ideologi induk laskarnya, yang menjadi ciri pembeda diantara masing-masing organisasi. Disamping itu pada saat kritis menghadapi Belanda sering timbul konflik antar laskar misalnya konflik berasal dari masalah-masalah isu identitas sosial, perasaan stereotype yang tidak logis, dan salah paham yang berasal dari prasangka timbal balik yang mendalam.103 Konflik-konflik tersebut juga turut mewarnai pola perjuangan

LPI dan Laswi selama masa penggabungan mereka.

102 Ibid.

103 Eric A. Nordlinger, Militer dalam Politik Kudeta dan Perjuangan. Diterjemahkan oleh Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 55. 89

Latar belakang masing-masing pendiri laskar seperti yang dijelaskan diatas, dapat mempengaruhi sifat perjuangan masing-masing laskar. Laswi tumbuh dari seorang Islam yang taat, sehingga Laswi dijiwai oleh semangat keagamaan. Berbeda dengan LPI, meskipun Srini adalah penganut agama

Islam, namun justru kebudayaan Jawalah yang paling mempengaruhi sikap perjuangan LPI. Anggota LPI adalah wanita Jawa, sehingga perjuangan mereka tidak terlepas dari adat budaya Jawa serta tidak pula menentang dari norma agama. Perbedaan-perbedaan prinsip itulah yang tidak dapat disatukan, sehingga menyebabkan ketidakcocokan antara kedua laskar.