42 Bab Iii Penggabungan Laskar Putri Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB III PENGGABUNGAN LASKAR PUTRI INDONESIA DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DI YOGYAKARTA. A. Kondisi Umum Yogyakarta Tahun 1948-1949. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di Jawa Tengah sebelah selatan di pulau Jawa. Terletak pada posisi 7˚30’ - 8˚15’ Lintang Selatan (LS) dan 110˚-110˚50’ Bujur Timur (BT). Luas wilayahnya sekitar 3.185,80 km²,1 yang secara administratif dibagi menjadi 5 Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Wonosari, Kabupaten Sleman, dan Kotamadya Yogyakarta yang termasuk juga menjadi ibukota propinsi ini. Yogyakarta merupakan sebuah wilayah yang kurang lebih berbentuk segitiga, secara administratif mempunyai status sebagai Daerah Tingkat I. Bagian barat dan utara berbatasan dengan Karesidenan Kedu, sedangkan bagian timur dan timur-laut berbatasan dengan Karesidenan Surakarta. Secara geografis, daerah ini dikelilingi oleh wilayah Propinsi Jawa Tengah, kecuali disebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.2 Masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang multikultur. Mayoritas penduduknya termasuk dalam kelompok etnis Jawa, namun ada juga penduduk asing dan pendatang yang mendiami Yogyakarta, seperti halnya penduduk 1 Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Tanpa Tahun, hlm. 42. 2 Ki Nayono, Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta: Perwakilan, 1979, hlm. 221. 42 43 keturunan Cina yang tinggal di daerah Pecinan. Pada tahun 1948 masyarakat Yogyakarta yang beragama islam 90,2 %, kristen 7,2%, hindu 0,2%, budha 0,1% dan yang lain merupakan penanut aliran kebatinan.3 Terjalinnya kerukunan dalam masyarakat yang beragam tersebut tentunya tidak terlepas dari sosok pemimpin di masyarakat. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianggap sebagai raja yang mampu menganyomi dan melindungi rakyatnya. Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Yogyakarta merupakan kerajaan yang dikenal sebagai Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Kadipaten Pakualaman dengan rajanya Paku Alam VIII.4 Namun ketika berita proklamasi diterima, kedua pemimpin Yogyakarta tersebut bersedia mendukung dan bergabung dalam sistem Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pemindahan ibukota/pusat pemerintahan ke Yogyakarta itu mempengaruhi perpindahan sebagian besar masyarakat ke daerah ini. Tidak hanya para pemimpin dan pegawai-pegawai pemerintahan yang pindah, akan tetapi diikuti oleh beberapa kaum Republik yang ingin melanjutkan perjuangan. Akibatnya jumlah penduduk Yogyakarta bertambah, yang semula sekitar 170.000 jiwa jadi 600.000 jiwa.5 Perpindahan ibukota ke Yogyakarta juga berpengaruh besar terhadap semangat perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan masyarakat Yogyakarta khususnya. Pada saat 3 Ibid., hlm 118. 4 Profil Propinsi Republik Indonesia, op.cit., hlm. 2. 5 Ibid., hlm. 7. 44 itu pula kota Yogyakarta menjadi kota perjuangan dan kota revolusi yang sangat penting bagi sejarah bangsa. Sementara perjuangan kemerdekaan terus berjalan, pemerintah daerah Yogyakarta menyempurnakan sistem pemerintahannya. Konsekuensi yang didapatkan sebagai ibukota Negara yaitu bermunculan masalah-masalah politik. Keadaan perpolitikan dan militer untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1948-1949 terpicu oleh permasalahan dari dalam dan luar negeri, seperti permasalahan perjanjian Renville (perjanjian Indonesia- Belanda) dan pemberontakan oleh PKI. Munculnya berbagai masalah dalam negeri tingkat nasional sekitar tahun 1948 tersebut telah menghambat perkembangan pemerintahan di Yogyakarta. Peristiwa PKI di Madiun, Jawa Timur tahun 1948 menimbulkan kekacauan daerah-daerah di sekitarnya. Peristiwa ini juga berimbas sampai ke Yogyakarta. Pemerintah mengirimkan tentara untuk menangkap pemberontak itu, semua organisasi massa, pemuda, tani yang diduga terlibat dalam pemberontakan dengan PKI ditangkap. Anggota dewan legislatif Daerah Istimewa Yogyakarta juga banyak yang tertangkap. Maka dari itu Sri Sultan membekukan dewan legislatif.6 Pembekuan dewan legislatif tentunya menghambat kegiatan pemerintahan di Yogyakarta untuk sementara, hanya dewan-dewan eksekutiflah yang tetap bekerja. 6 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hlm. 113. 45 Keadaan militer Yogyakarta 1948-1949 juga tidak stabil dikarenakan adanya serangan dari Belanda atau lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Penduduk Yogyakarta awalnya tidak menyadari bahwa Belanda sedang menyerang kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak ada pengumuman dari pemerintah sebelumnya. Siaran RRI pada tanggal 18 Desember 1948 malam tidak ada pengumuman tentang peristiwa penyerbuan apapun, radio bersiaran seperti biasa. Jalan-jalan dipusat kota seperti Jalan Malioboro cukup ramai mengingat malam itu adalah malam minggu.7 Akan tetapi keesokan harinya, setelah mendengar suara bom dan melihat begitu banyak pesawat udara di atas Yogyakarta mulai timbul berbagai kekacauan. Agresi Militer Belanda yang kedua atas Yogyakarta ini merupakan tindakan lanjut atas polemik pelanggaran Perjanjian Renville. Perjanjian Renville itu sendiri merupakan salah satu upaya penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda atas desakan PBB melalui Komisi Tiga Negara (KTN). Perundingan yang berlangsung dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 tersebut berisi:8 1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera. 2. Sebelum RIS terbentuk Belanda tetap berdaulat atas seluruh Indonesia. 7 Sutopo Jasamiharja, dkk, 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta. Jakarta: Yayasan 19 Desember, 1998, hlm.115. 8 Lapian, A.B, dkk, Termologi Sejarah 1945-1950&1950-1959. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996, hlm, 92- 93. 46 3. Belanda dapat menyerahkan sebagaian kekuasaannya kepada pemerintah pro-federal. 4. RI dalam RIS merupakan Negara federal. 5. Akan dibentuk UU Indonesia-Belanda dimana keduanya mempunyai kedudukan yang sama. 6. Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia dalam RIS. Selain beberapa kesepakatan tersebut, perajanjian Renville juga mengatur masalah pasukan kedua pihak, yakni penghentian tembak-menembak di sepanjang garis van Mook dan penarikan semua pasukan RI dari kantong- kantong gerilya. Untuk menaati peraturan tersebut, dibentuklah sebuah panitia yang menangani perpindahan pasukan yang disebut Panitia Hijrah. Namun, untuk kesekian kalinya perjanjian ini akhirnya juga dilanggar oleh pihak Belanda, setelah perjanjian sebelumnya yaitu Linggarjati. Pelanggaran itu dibuktikan dengan serangan Belanda ke Yogyakarta. Belanda menyerang Ibukota Republik Indonesia (Yogyakarta) dengan tiba-tiba, dan mencoba mendudukinya. Tertanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30 WIB, pihak Belanda menyatakan kepada Komisi Jasa baik PBB, bahwa pihaknya mulai tanggal 19 Desember 1948 pukul 10.00 waktu Jakarta tidak lagi terikat oleh persetujuan Renville.9 Agresi Militer Belanda I memberikan pelajaran kepada Indonesia bahwa Belanda selalu berbuat licik dan curang. Perjanjian 9 Dinas Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro, Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: CV Borobudur Megah, 1977, hlm. 310. 47 yang telah dibuat dan ditandatangani bersama tidak akan ditaatinya, melainkan hanya sebagai siasat untuk mengulur waktu dan menyusun kekuatannya. Belanda menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948, penyerbuan ini dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda II, Kerugian yang ditanggung rakyat karena Agresi Militer II ini sangat besar. Rakyat menjadi korban, sebagian besar mereka mengungsi keluar kota/daerah-daerah yang dirasa aman dari serbuan tentara Belanda. Namun, tidak sedikit rakyat yang meninggal akibat serangan Belanda secara membabi buta ke segala penjuru kota dengan melepaskan tembakan di sepanjang jalan yang mereka lewati.10 Dari catatan Pemerintah Daerah akibat serangan Agresi Militer Belanda II tersebut tercatat 2.718 orang meninggal, 736 luka-luka, 539 hilang serta kerugian harta benda mencapai Rp.252.648.430,00.11 Kondisi ekonomi sejak Belanda mampu menduduki Yogyakarta mengalami kemunduran. Serangan Belanda ke Yogyakarta melumpuhkan kegiatan perekonomian rakyat. Roda perekonomian pada masa perjuangan ditunjang oleh hasil pertanian masyarakat. Disisi lain, banyaknya masyarakat yang mengungsi keluar kota dengan membawa sedikit bekal, mengakibatkan banyak muncul pasar yang diadakan masyarakat dalam pengungsian termasuk yang terjadi di Yogyakarta. Namun gerak para pedagang sangat terbatas, karena mendapat pengawasan lebih dari Belanda. Keluar masuknya barang ke 10 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 9: Agresi Militer Belanda II. Bandung:Penerbit Angkasa, 1996, hlm. 206. 11 Sutopo Jasamiharja, dkk, loc.cit. 48 Yogyakarta dijaga dan diperhatikan secara ketat oleh tentara Belanda. Pedagang yang dianggap mencurigakan diminta untuk membongkar barang- barangnya oleh tentara patroli Belanda. Keadaan makanan di Yogyakarta sangat mengkhawatirkan. Pihak tentara pendudukan Belanda tanggal 28 Desember mendistribusikan beras kepada penduduk. Setiap keluarga mendapatkan jatah 200gr beras per hari dan 200 gr jagung per hari. Hal tersebut berlaku untuk sementara saja. Kesehatan masyarakat Yogyakarta lumayan membaik, namun persediaan obat-obatan sangat menipis karena diduga ada wabah pes sehingga dilakukan penyuntikan massal oleh Dinas Kesehatan kepada penduduk. 12 Pihak Keraton Yogyakarta tidak hanya tinggal diam melihat kondisi memprihatinkan di masyarakat.