19 PENDAHULUAN Partai Masyumi Merupakan Salah Satu Partai Politik

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

19 PENDAHULUAN Partai Masyumi Merupakan Salah Satu Partai Politik PASANG SURUT PERAN POLITIK MASYUMI DALAM PEMERINTAHAN (1945-1960) Insan Fahmi Siregar -urusan SeMarah FIS - U11ES Abstract 0asyumi 3arty (Partai 0aMelis Syuro 0uslimin Indonesia) was a maMor Islamic political party in ,ndonesia. ,t was originally estaElished Ey the occupying -apanese in 1943 in an attempt to control ,slam in ,ndonesia. ,n 1952, 1ahdlatul 8lama seceded from 0asyumi and create the new party, Eased on traditional society. The party came second in the 1955 election with 20.9% of the popular vote. During the period of liberal democracy era, Masyumi members had seats in parliament and the party supplied prime ministers such as 0uhammad 1atsir and Burhanuddin Harahap. The group‘s leaders campaigned for an Islamic state in the 1950‘s not out of a real conviction, but mainly from fear of being outfianked by the larger and more aggressive 0asyumi. 8nder the dictatorships, the group withdrew from partisan politics, but with the restoration of democracy it formed a new party, 1ational Awakening, open to all religions and committed to a secular state. ,n 1958, some 0asyumi memEers Moined the 3RR, reEellion against SuNarno. Two years later in 1960, Sukarno banned 0asyumi and Socialist 3arty, and sent 0asyumi leaders to Mail. Key words: Masyumi Party, opposes, democracy, government PENDAHULUAN politik di Indonesia. Bahkan peran politik Masyumi sangat besar pengaruhnya terhadap Partai Masyumi merupakan salah satu perpolitikan Indonesia. Hal itu tidak terlalu partai politik yang lahir dari rahim proklamasi mengherankan karena Masyumi merupakan kemerdekaan Indonesia. Partai Masyumi salah satu partai besar di Indonesia. Selain didiriNan pada tanggal 7 1opemEer 1945 itu, Masyumi juga memiliki kader-kader melalui Muktamar Umat Islam di Gedung yang cukup cerdas dan ahli dalam bidangnya, Muallimin Yogyakarta. Masyumi merupakan serta mempunyai pengaruh besar dalam satu-satunya partai yang berazaskan Islam masyarakat. Kondisi seperti itulah yang yang lahir pada awal kemerdekaan. Partai mengatarkan Masyumi selalu terlibat dalam Masyumi didukung oleh organisasi-organisasi kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan keagamaan yang sudah ada sebelumnya kata lain, setiap akan membicarakan politik seperti 1ahdatul 8lama, 0uhammadiyah, Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga Persis dan lain-lain. Banyaknya dukungan demokrasi terpimpin tidak akan sempurna dari berbagai organisasi tersebut yang tanpa melihat peran politik Masyumi. mengantarkan Masyumi berkembang dengan Partai Masyumi telah memainkan cepat. perannya dalam setiap persoalan kebangsaan Kehadiran Masyumi sebagai partai dan kenegaraan. Ketika Indonesia masih politik telah ikut mewarnai kehidupan Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 1 Juni 2008 19 dibawah bayang-bayang kembalinya penjajah sebagai menteri atas nama pribadi, dan untuk menguasai kembali Indonesia, Masyumi bukan mewakili Partai Masyumi. Sekalipun turut serta membendung dan melalukan demikian, terbentuknya Departemen Agama perlawanan, baik melalui jalur perang pada tanggal 3 -anuari 1946 tidak lepas dari sebagaimana yang diperjuangkan barisan peran politik yang dijalankan Masyumi, dan Hizbullah sebagai underbouw Masyumi yang menjadi menterinya adalah 0. Rasyidi maupun melalui jalur diplomasi melalui (Noer, 153-154). tokoh-tokohnya seperti 0oh. Roem. Begitu Masyumi bersikap kritis terhadap Kabinet juga halnya ketika masyarakat menuntut untuk Syahrir, dan tidak jarang bertentangan mengembalikan bentuk negara Indonesia dengan pemerintah, seperti dalam menyikapi ke dalam negara kesatuan, Masyumi juga permasalahan imperialis. Partai Masyumi berperan aktif untuk memperjuangkannya, tidak setuju dengan sikap pemerintah seEagaimana yang diperanNan 0. 1atsir yang lebih mengedepankan perundingan melalui mosinya untuN mengganti 1egara dalam menghadapi Belanda. Sikap itulah R,S menMadi 1egara .esatuan RepuElik yang membuat Masyumi bersikap oposisi. Indonesia pada tahun1950. Bahkan Masyumi menuntut Syahrir untuk Disamping itu, Masyumi juga berperan mengembalikan mandatnya kepada presiden, aktif dalam parlemen dan konstituante, dan tuntutan itupun dipenuhinya. 1amun, terutama pada masa demokrasi parlementer. Presiden Sukarno menujuk kembali Syahrir 1amun, dalam tulisan ini pembahasan peran untuk membentuk kabinet baru. politik Masyumi hanya difokuskan pada Kabinet yang dibentuk dalam Kabinet peranannya dalam pemerintahan, mulai dari Syahrir II terdapat kader-kader Masyumi, masa awal kemerdekaan sampai pada masa seperti Arudji Kartawinata sebagai menteri demokrasi parlementer. muda pertahanan, 0. 1atsir sebagai menteri penerangan, Mr. Syafrudin Prawiranegara MASYUMI SEBAGAI PARTAI KRITIS sebagai menteri muda keuangan, dan M. TERHADAP PEMERINTAH PADA Rasyidi sebagai menteri agama. Begitu Muga MASA REVOLUSI halnya dengan Kabinet Syahrir III, kader- Seminggu setelah Masyumi didirikan kader Masyumi masih tetap menduduki atau tepatnya pada tanggal 14 1opemEer 1945 beberapa jabatan menteri seperti Mr. Moh. Kabinet Syahrir dilantik. Kabinet Syahrir Roem seEagai menteri dalam negeri, merupakan kabinet pertama di Indonesia Harsono Tjokroaminoto sebagai menteri dalam sistem pemerintahan parlementer. muda pertahanan, 0. 1atsir sebagai menteri Ketika Syahrir membentuk kabinetnya yang penerangan, Mr. Syafrudin Prawiranegara pertama, Partai Masyumi tidak diikutkan sebagai menteri keuangan, Yusuf :ibisono duduk dalam pemerintahan. Meskipun dalam sebagai menteri muda kemakmuran, K.H. NaEinet Syahrir terdapat nama 0. Rasyidi Faturahman sebagai menteri agama, dan sebagai menteri negara, tetapi keberadaaanya ..H. :ahid Hasyim sebagai menteri negara. Meskipun ada kader Masyumi yang duduk 20 Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 1 Juni 2008 dalam kabinet, Partai Masyumi tetap bersikap Kabinet Amir Syarifuddin. Akibatnya Kabinet kritis terhadap pemerintah. Bahkan sikap Amir Syarifuddin pun jatuh. Masyumi semakin keras, terutama setelah Setelah kabinet Amir jatuh, Sukarno adanya Persetujuan Linggarjati. menunjuk M. Hatta sebagai perdana menteri. Persetujuan Linggarjati ditandatangani Pada masa kabinet Hatta, beberapa kader pada tanggal 25 0aret 1947 oleh Sutan Syahrir Masyumi duduk kembali dalam pemerintahan. dari pihak Indonesia, dan Schermerhorn dari Diantaranya adalah Sukiman sebagai menteri pihak Belanda. Persetujuan Linggarjati dalam negeri, Mr. Syarifuddin Prawiranegara tidak hanya ditentang oleh orang Belanda sebagai menteri penerangan, dan K.H. di Belanda, tetapi juga oleh sebagian Masykur sebagai menteri agama. masyaraNat ,ndonesia (/apian, 1992: 4). Ketika kabinet Hatta menjalankan Partai Masyumi sendiri menolak Persetujuan pemerintahannya, meletus pemberontakan Linggarjati karena merugikan kedaulatan 3., di 0adiun pada 18 SeptemEer 1948. Republik Indonesia, dimana Belanda hanya Pemberontakan itu dapat ditumpas dengan mengakui kekuasaan de facto RI atas -awa, mengirim pasukan Siliwangi dan dibantu oleh Madura dan Sumatera. Padahal sikap politik umat Islam. Belum lama menghadapi musuh Masyumi jelas, yakni menuntut Belanda dari dalam, tiba-tiba Belanda melakukan harus mengakui kedaulatan Indonesia seratus agresi militer Nedua pada 19 DesemEer persen. Meskipun menolak Linggarjati, 1948. Agresi itu mengakibatkan ditawannya Masyumi tidak akan berdiam diri, dan akan beberapa pemimpin Indonesia, seperti membantu pemerintah jika timbul akibat dari 3residen SuNarno dan :aNil 3residen 0. persetujuan itu (Nasution, 1978: 38). Hatta. Ketika pemimpin nasional ditawan Sikap kritis Masyumi terhadap pemerintah Belanda, Syafrudin Prawiranegara membentuk terus berlanjut hingga masa Kabinet Amir 3emerintah Darurat RepuEliN ,ndonesia Syarifuddin I. Pada masa kabinet Amir (PDRI) di Bukit Tingggi pada 22 Desember Syarifuddin, tidak ada satu pun kader Masyumi 1948. 3emEentuNan 3DR, menunMuNNan yang duduk dalam kabinet. Kader Masyumi kepada dunia internasional bahwa pemerintah baru duduk kembali dalam kabinet Amir Indonesia tetap ada. Adapun yang menjadi Syarifuddin ,,. 1amun pada tanggal 22 -anuari ketua adalah Syafrudin Prawiranegara 1948 3artai 0asyumi menariN Nadernya yang (SoerMomiharMdMo, 1990: 44). Syafrudin adalah duduk dalam kabinet. Sikap itu diambil orang pertama dari Masyumi yang menduduki sebagai reaksi terhadap 3erjanjian Renville posisi puncak pemerintahan. yang ditandatangani Perdana Menteri Amir Ketika Syafrudin menjalankan roda Syarifuddin. Masyumi menolak perjanjian pemerintahan 3DR,, 0r. 0. Roem tersebut karena lebih menguntungkan mengadakan perundingan dengan pihak Belanda. Sikap Masyumi tidak hanya menarik Belanda yang diwaNili oleh 9an Royen. kadernya dari kabinet, tetapi juga melakukan Perundingan itu menghasilkan Van Royen- demonstrasi dengan tuntutan pembubaran Roem Statements (3ernyataan 9an Royen- Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 1 Juni 2008 21 Roem) pada tanggal 7 0ei 1949. Statement simpati dari berbagai kalangan, termasuk itu Eerisi pengemEalian pemerintah RepuElik dari Presiden Sukarno. Presiden Sukarno Indonesia di Yogyakarta. Selain itu akan Nemudian menunMuN 1atsir untuN memEentuk diadaNan .onferansi 0eMa Bundar (.0B) kabinet. 1atsir berhasil membentuk kabinet, yang membahas proses penyerahan kedaulatan tanpa mengiNutsertaNan 31, dan 3.,. yang benar-benar dan tanpa syarat kepada .abinet 1atsir terdiri dari 3erdana 0enteri Republik Indonesia Serikat (Roem, 1977:43- 0. 1atsir dan diEantu :aNil 30 Sultan 50). Hamengkubuwono IX serta beberapa Berdasarkan pernyataan itu maka menteri dari 0asyumi seperti 0. Roem diadakanlah KMB di Denhaag. Konferensi itu sebagai menteri luar negeri, Mr. Syafrudin menghasilkan keputusan untuk memberikan Prawiranegara sebagai
Recommended publications
  • When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid-1960S
    ROBERT M. CORNEJO When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid-1960s ROBERT M. CORNEJO1 Robert M. Cornejo is a major in the US Army and a graduate of the United States Military Academy, West Point, New York. He recently earned an M.A. in National Security Affairs from the Naval Postgraduate School, Monterey, California, and is currently a student at the Singapore Command and Staff College. lthough Indonesia’s aspirations have been Sukarno’s successor, General Suharto, agreed to inter- largely forgotten today, in the mid-1960s, it national safeguards, thereby effectively ending concerns Asought to acquire and test nuclear weapons. In- that Indonesia might go nuclear. donesian government officials began publicizing their The purpose of this article is to tell the story of intent to acquire an atom bomb shortly after the People’s Indonesia’s nuclear aspirations, study Sukarno’s deci- Republic of China (PRC) exploded its first nuclear de- sion to support nuclear weapons, and identify variables vice in October 1964. By July 1965, Indonesian Presi- that may explain why he professed to seek the bomb. dent Sukarno was publicly vaunting his country’s future The article opens by tracing the evolution of Indonesia’s nuclear status. However, Indonesia did not have the in- nuclear aspirations, from a US Atoms for Peace pro- digenous capability necessary to produce its own nuclear gram of nuclear assistance that began in 1960, to weapon, and as a result, it would have had to secure Sukarno’s declared intention to acquire an atom bomb assistance from an established nuclear weapon state to in 1965.
    [Show full text]
  • Masyumi Dalam Kontestasi Politik Orde Lama 159
    Abdul Rahman / Masyumi dalam Kontestasi Politik Orde Lama 159 MASYUMI DALAM KONTESTASI POLITIK ORDE LAMA Abdul Rahman Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Jl. A.P Pettarani, Kampus Gunungsari Timur, Makassar Email: [email protected] Abstrak - Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongancendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi. Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947. Kata Kunci: Masyumi, Politik, Orde
    [Show full text]
  • Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) Cabang Padang Pariaman (1968-1971)
    Analisis Sejarah Vol.9 No. 2, 2020 Labor Sejarah Unand Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) Cabang Padang Pariaman (1968-1971) Irmun Guru SMP Negeri 5 Payakumbuh, Sumatera Barat Abstrak Partai Islam memainkan peranan penting dalam proses pendewasaan masa awal Orde Baru, ia mempunyai peranan yang lebih kompleks, meskipun sering terpinggirkan oleh kebijakan politik pemerintah. Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai salah satu kekuatan politik pada masa itu, turut serta membangun sistem demokrasi di negeri ini, meskipun dalam perjalanan sejarahnya sering dikooptasi pemerintah. Parmusi Cabang Padang Pariaman adalah partai yang juga ikut turut serta dalam membangun sistem demokrasi di daerah Padang Pariaman dan akhirnya nafas partai ini berakhir setelah adanya fusi partai dibawah kendali pemerintahan Orde Baru. A. PENDAHULUAN Sejak awal kelahirannya Orde Baru ditandai dengan produktivitas yang meningkat, swasembada beras tahun 1984, perkembangan ekonomi nasional rata- rata 7% setahun dari 1960-1980 an.1 Hal yang lebih mengagumkan lagi adalah kemampuan pemerintah di bawah arsitek ekonomi Widjojo Nitisastro mampu mengatasi krisis ekonomi di awal 1960-an. Terlepas dari prestasi ekonomi yang dicapai pemerintah Orde Baru, juga diikuti pengendalian pemerintah terhadap kehidupan sosial politik. Penegasan mengenai stabilitas politik ini menurut Eep Saefulloh Fatah dimulai dengan penghancuran musuh negara yang secara historis bisa menjadi potensi memusuhi dan merongrong kewibawaan Orde Baru.2 Kelompok ini terdiri dari kekuatan loyalis Soekarno, kekuatan Komunis, Kelompok PSI, dan kelompok Masyumi. Pada awal kelahiran Orde Baru, eks pendukung Masyumi yang berjasa dalam menumbangkan Orde Lama, berharap dapat merehabilitasi Masyumi yang diberangus oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin.3 Namun usulan dan harapan itu ditolak mentah-mentah oleh Soeharto, berdasarkan suratnya kepada Prawoto Mangkusasmito tanggal 6 Januari 1967.
    [Show full text]
  • Elections in Indonesia
    Not logged in Talk Contributions Create account Log in Article Talk Read Edit View history Search Wikipedia Elections in Indonesia From Wikipedia, the free encyclopedia Main page Elections in Indonesia have taken place since 1955 to elect a legislature. At a national level, Indonesian people did not elect a head Indonesia Contents of state – the president – until 2004. Since then, the president is elected for a five-year term, as are the 560-member People's Featured content Representative Council (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR) and the 128-seat Regional Representative Council (Dewan Perwakilan Current events Daerah).[1] Random article Donate to Wikipedia Members of the People's Representative Council are elected by proportional representation from multi-candidate constituencies. Wikipedia store Currently, there are 77 constituencies in Indonesia and each returns 3-10 Members of Parliament based on population. Under Indonesia's multi-party system, no one party has yet been able to secure an outright victory; parties have needed to work together in Interaction coalition governments. Members of the Regional Representative Council are elected by single non-transferable vote. There, This article is part of a series on the Help Indonesia's 34 provinces treated as constituencies and, regardless of the size and population, every provinces return 4 senators. politics and government of About Wikipedia Indonesia Community portal Starting from the 2015 unified local elections, Indonesia started to elect governors and mayors simultaneously on the same date. Pancasila (national philosophy) Recent changes The voting age in Indonesia is 17 but anyone who has an ID card (Indonesian: Kartu Tanda Penduduk (KTP)) can vote, since persons Contact page Constitution under 17 who are or were married can get a KTP.
    [Show full text]
  • Studia Islamika
    Volume 24, Number 2, 2017 ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ، ﺍﻟﻌﺪﺩ ٢، ٢٠١٧ T R K S S O S S: E L, E G Achmad Ubaedillah ‘R’ N -S: A B B D Mehmet Özay E I S L C S T C اﻟﺤﺮﻛﺎت اﻟﻤﻨﺎﻫﻀﺔ ﻟﻠﻤﺸﺎﻳﺦ Raihani واﻟﻌﻠﻤﺎء اﻟﺤﻤﺮ ﻓﻲ Priangan: P E C D ( I I U P (PSII اﻻﺗﺤﺎد اﻷﺧﻀﺮ ١٩٤٢-١٩٢٠ ﻧﻤﻮذﺟﺎ Valina Singka Subekti ﳏﻤﺪ ﺇﺳﻜﻨﺪﺭ E-ISSN: 2355-6145 STUDIA ISLAMIKA STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic Studies Vol. 24, no. 2, 2017 EDITOR-IN-CHIEF Azyumardi Azra MANAGING EDITOR Oman Fathurahman EDITORS Saiful Mujani Jamhari Didin Syafruddin Jajat Burhanudin Fuad Jabali Ali Munhanif Saiful Umam Ismatu Ropi Dadi Darmadi Jajang Jahroni Din Wahid INTERNATIONAL EDITORIAL BOARD M. Quraish Shihab (Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, INDONESIA) Tauk Abdullah (Indonesian Institute of Sciences (LIPI), INDONESIA) M.C. Ricklefs (Australian National University, AUSTRALIA) Martin van Bruinessen (Utrecht University, NETHERLANDS) John R. Bowen (Washington University, USA) M. Kamal Hasan (International Islamic University, MALAYSIA) Virginia M. Hooker (Australian National University, AUSTRALIA) Edwin P. Wieringa (Universität zu Köln, GERMANY) Robert W. Hefner (Boston University, USA) Rémy Madinier (Centre national de la recherche scientique (CNRS), FRANCE) R. Michael Feener (National University of Singapore, SINGAPORE) Michael F. Laffan (Princeton University, USA) ASSISTANT TO THE EDITORS Testriono Muhammad Nida' Fadlan Endi Aulia Garadian ENGLISH LANGUAGE ADVISOR Dick van der Meij Daniel Peterson ARABIC LANGUAGE ADVISOR Tb. Ade Asnawi COVER DESIGNER S. Prinka STUDIA ISLAMIKA (ISSN 0215-0492; E-ISSN: 2355-6145) is an international journal published by the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, INDONESIA.
    [Show full text]
  • Indo 13 0 1107127212 183
    DIVISIONS AND POWER IN THE INDONESIAN NATIONAL PARTY, 1965-1966* Angus McIntyre The principal division which split the PNI into two sharply opposed factions in 1965-1966 had its origins as far back as 1957, when the PKI made spectacular advances in large part at PNI expense in the 1957 regional elections in Java and South Sumatra. In Central Java, where the PKI supplanted the PNI as the region's strongest party (based on the 1955 general elections results) , the PNI reaction at the time was most outspoken. Hadisubeno, the regional party chairman, blamed the party's poor showing on its past association with the PKI1 and accordingly urged the party's central executive council to re­ view this relationship. He suggested that the party consider forming an alliance with the Masjumi (the modernist Islamic party) and the Nahdatul Ulama (NU, the traditional Islamic party).2 A conference of the Central Java PNI passed a resolution forbidding cooperation with the PKI.3 These acts were interpreted by many as a slap at President Sukarno,** who had made it increasingly clear in the preceding months that to oppose the PKI was to oppose him as well; however, the party's central leadership, no less hostile to the PKI, was unwilling to risk such an interpretation and thereby further impair its relations with Sukarno. Indeed, only a few months before, Sukarno had indicated strong displeasure with the PNI in his address to the party on the occasion of its thirtieth anniversary celebrations. He implied that PNI members had lost their commitment to the goal of a socialist or marhaenist5 society, the realization of which had been his very reason * The writer would like to express his gratitude to the Jajasan Siswa Lokantara Indonesia for providing him with the opportunity to con- duct research in Indonesia in 1966 and 1967 and to the Myer Founda­ tion for giving him financial assistance in 1967.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com10/01/2021 01:16:39PM Via Free Access | Islam and the Making of the Nation
    5 The ‘War of the Roses’ The Islamic state and the Pancasila Republic (1949-1962) [The government] should not consider [the Darul Islam] an enemy, rather like a father his son. Regardless of how naughty the son, if taught a lesson he should not be beaten to death, rather given a lecture, or dealt just one blow, drenched in affection. It is similar with a domestic rebellious movement.1 Disillusioned by the Republic’s acquiescence to Dutch demands, under pressure by the TNI’s operations in West Java and let down by Masyumi’s inability to make political Islam relevant in parlia- mentary politics, on 7 August 1949 Kartosuwiryo and the dewan imamah had officially proclaimed the establishment of the Negara Islam Indonesia. As shown in the previous chapter, Masyumi’s political leadership and some elements of the TNI reached out to Kartosuwiryo’s NII in the following months to find a political solution to what had become known as the ‘Darul Islam problem’ (soal Darul Islam). This chapter follows the relationship between the Islamic state and the Indone- sian Republic in the aftermath of the surrender of Dutch sovereignty, focusing in particular on how the transformation from the federal RIS to a unitary state affected NII’s attitude and activities. Diplomacy had dictated the rhythm of Indonesian politics for years, with treaties followed by ceasefires followed by their infringe- ment. Some provinces in the archipelago were slowly warming up to the idea of a federal Republic under the patronage of the House of Orange, but the population of West Java – regardless of its alle- giance to the Islamic state – remained unimpressed by the Roem- Van Royen agreement, which, far from confirming the country’s independence, had established the Negara Pasoendan as an instru- ment of The Hague.
    [Show full text]
  • ISLAMIC PARTY and PLURALISM the View and Attitude of Masyumi Towards Pluralism in Politics (1945-1960)
    Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 54, no. 2 (2016), pp. 273-310, doi: 10.14421/ajis.2016.542.273-310 ISLAMIC PARTY AND PLURALISM The View and Attitude of Masyumi towards Pluralism in Politics (1945-1960) Firman Noor Centre for Political Studies, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Jakarta, Indonesia email: [email protected] Abstract This article discusses Masyumi’s response towards pluralism, particularly about the political diversity in the first fifteen years of Indonesia independent era. As the largest Islamic party in Indonesian history, Masyumi was well known by many as the champion of democracy and one of the essential elements in the nationalist movement. However, regarding pluralism, for some, Masyumi positive attitude on this matter has been doubtful, regarding this party as the guru of intolerance for some contemporary Islamic organisations. By exploring the ideals and practical aspects of this party, this article wants to show the nature of Masyumi’s view and attitude in answering political diversity that in the long run indicates the real position of this party in pluralism in politics. The discussion indicates that despite some weaknesses in undergoing the spirit of honouring diversity, in particular when dealing with the communists, Masyumi, in general, had proven its position as one of the essential elements in Indonesian political history that in many ways eager to develop and maintain the spirit of pluralism. [Tulisan ini mendiskusikan perihal respons Masyumi terhadap pluralisme, khususnya terkait dengan politik keragaman dalam rentang limabelas tahun setelah Indonesia merdeka. Sebagai partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia, Masyumi dikenal luas sebagai terdepan dalam praktik Firman Noor demokrasi dan pemain penting dalam gerakan nasionalisme.
    [Show full text]
  • The Negation of Prri in High School History Textbooks
    THE NEGATION OF PRRI IN HIGH SCHOOL HISTORY TEXTBOOKS Sarilan Doctoral Student of History Education, Sebelas Maret University, Surakarta Email: [email protected] ABSTRACT Textbooks are a means of conveying subject matter to students. This study aims to analyze the causes and approach of the settlement carried out by the central government towards the events of the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI), which was proclaimed by Colonel Ahmad Husein based in Bukittingi, West Sumatra. The method used is Critical Discourse Analysis (CDA) on textbook material High School History Curriculum 1984, Education Unit Level Curriculum (KTSP) in 2016, and Curriculum in 2013. The results showed that in all three textbooks, events that occurred were categorized as a rebellion against the Jakarta's central government so that its suppression was carried out through military operations. However, the causes were not stated in full as initiated by the regional and central government's disharmony. The injustice of central government in distributing development cake, economic difficulties, complicated licensing, dropping regional employees from the center, demands regional autonomy, regional discontent arose mainly due to the resignation of Hatta as Deputy President, the castration of the power of the West Sumatra armed group by KSAD General Abdul Haris Nasution, and the dominance of the PKI after the 1948 Madiun incident. Keywords: confirmation, PRRI, history textbooks, senior high school INTRODUCTION On 15 February 1958, the establishment of the revolutionary government in Sumatra was announced with its headquarters in Bukittinggi. This government is known by the name of the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI).
    [Show full text]
  • H. Bachtiar Bureaucracy and Nation Formation in Indonesia In
    H. Bachtiar Bureaucracy and nation formation in Indonesia In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128 (1972), no: 4, Leiden, 430-446 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/26/2021 09:13:37AM via free access BUREAUCRACY AND NATION FORMATION IN INDONESIA* ^^^tudents of society engaged in the study of the 'new states' in V J Asia and Africa have often observed, not infrequently with a note of dismay, tihe seeming omnipresence of the government bureau- cracy in these newly independent states. In Indonesia, for example, the range of activities of government functionaries, the pegawai negeri in local parlance, seems to be un- limited. There are, first of all and certainly most obvious, the large number of people occupying official positions in the various ministries located in the captital city of Djakarta, ranging in each ministry from the authoritative Secretary General to the nearly powerless floor sweepers. There are the territorial administrative authorities, all under the Minister of Interna! Affairs, from provincial Governors down to the village chiefs who are electecl by their fellow villagers but who after their election receive their official appointments from the Govern- ment through their superiors in the administrative hierarchy. These territorial administrative authorities constitute the civil service who are frequently idenitified as memibers of the government bureaucracy par excellence. There are, furthermore, as in many another country, the members of the judiciary, personnel of the medical service, diplomats and consular officials of the foreign service, taxation officials, technicians engaged in the construction and maintenance of public works, employees of state enterprises, research •scientists, and a great number of instruc- tors, ranging from teachers of Kindergarten schools to university professors at the innumerable institutions of education operated by the Government in the service of the youthful sectors of the population.
    [Show full text]
  • Sejarah Sumedang Dari Masa Ke Masa
    NASKAH AKHIR TENTANG 1. Pergerakan Kebangsaan dan Gejolak Politik Lokal; 2. Kehidupan Sosial Budaya; 3. Merebut dan Mempertahankan Kemer- dekaan; 4. Pembangunan Semasa Bupati Dr. H. Don Murdono, S. H., M. Si. Untuk buku Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa kerja sama Pusat Kebudayaan Sunda (PKS), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran Dengan Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten Sumedang Untuk memenuhi persyaratan bagi pengajuan kenaikan Golongan/ Pangkat ke IIIc/Penata pada jabatan fungsional Lektor. BAGIAN KEDUA MASA KERAJAAN HINGGA BERDIRINYA KABUPATEN SUMEDANG 4. Pergerakan Kebangsaan dan Gejolak Politik Lokal Eksploitasi kolonial yang terjadi pada abad ke-19 di Nusantara telah menciptakan kondisi-kondisi yang mendorong rakyat untuk melakukan pergerakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung terus menerus telah menimbulkan disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional beserta lembaga- lembaganya. Dalam menghadapi pengaruh penetrasi Barat yang memiliki kekuatan disinteragtif, masyarakat tradisional mempunyai cara-cara tersendiri. Cara-cara tersebut dilakukan mengingat di dalam sistem pemerintahan kolonial tidak terdapat lembaga untuk menyalurkan rasa tidak puas ataupun untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, satu- satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan gerakan sosial sebagai bentuk proses sosial.1 Gerakan sosial yang menjadi fenomena dari gejolak politik tingkat lokal sejak akhir abad ke-19 pun terjadi di Sumedang. Gerakan sosial di Sumedang yang perlu dikemukakan di sini adalah Gerakan Nyi Aciah yang terjadi pada tahun 1870-1871 dan dikategorikan sebagai sebuah gerakan keagamaan.2 Gerakan Nyi Aciah terjadi ketika Pangeran Aria Suria Kusuma Adinata atau Pangeran Sugih menjabat sebagai Bupati Sumedang (1834-1882). Ditulis oleh Miftahul Falah, S. S. sebagai bagian dari buku Sumedang dari Masa ke Masa.
    [Show full text]
  • ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﻥ ١٦ ﺍﻟﻤﻴﻼﺩﻱ T M M  R   Psii: a C B  K.H
    Volume 20, Number 1, 2013 ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ، ﺍﻟﻌﺪﺩ ١، ٢٠١٣ B M I : ﺍﻟﺘﺼﺎﻟﺢ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺘﺼﻮﻑ Karel Steenbrink ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺑﻨﻮﺳﻨﺘﺎﺭﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﻥ ١٦ ﺍﻟﻤﻴﻼﺩﻱ T M M R PSII: A C B K.H. A A ﺇﺋﲔ ﺳﻮﺭﻳﺎﻧﻴﻨﺠﺴﻴﻪ Kevin W. Fogg ﺟﺪﻭﻝ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ ﺍﻻﺳﻼﻣﻴﺔ : A P H I W K ﻓﻲ ﺍﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺎ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﺮﺓ: ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻭﺍﻟﺪﻳﻤﻮﻗﺮﺍﻃﻴﺔ Faizal Amin ﺗﺎﲰﺎﻥ STUDIA ISLAMIKA STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic Studies Vol. 20, no. 1, 2013 EDITORIAL BOARD: M. Quraish Shihab (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Tauk Abdullah (LIPI Jakarta) Nur A. Fadhil Lubis (IAIN Sumatra Utara) M.C. Ricklefs (Australian National University, Canberra) Martin van Bruinessen (Utrecht University) John R. Bowen (Washington University, St. Louis) M. Kamal Hasan (International Islamic University, Kuala Lumpur) Virginia M. Hooker (Australian National University, Canberra) EDITOR-IN-CHIEF Azyumardi Azra EDITORS Saiful Mujani Jamhari Jajat Burhanudin Oman Fathurahman Fuad Jabali Ali Munhanif Saiful Umam Ismatu Ropi Dina Afrianty ASSISTANT TO THE EDITORS Testriono Muhammad Nida' Fadlan ENGLISH LANGUAGE ADVISOR Melissa Crouch Simon Gladman ARABIC LANGUAGE ADVISOR Nursamad COVER DESIGNER S. Prinka STUDIA ISLAMIKA (ISSN 0215-0492) is a journal published by the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (STT DEPPEN No. 129/SK/DITJEN/PPG/ STT/1976). It specializes in Indonesian Islamic studies in particular, and South-east Asian Islamic Studies in general, and is intended to communicate original researches and current issues on the subject. is journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. All articles published do not necessarily represent the views of the journal, or other institutions to which it is affiliated.
    [Show full text]