Bab Ii Pergerakan Organisasi Mahasiswa Islam Di Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB II PERGERAKAN ORGANISASI MAHASISWA ISLAM DI INDONESIA A. Latar Belakang Berdirinya Organisasi Mahasiswa Islam di Indonesia Sepanjang dua puluh dua tahun lamanya dari Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, pergerakan organisasi mahasiswa telah berdiri dan mengalami dinamika pergerakan tersendiri. Para pelopor dalam pendirian perhimpunan-perhimpunan ini pada tahun awal Republik Indonesia setelah kemerdekaan terutama berasa dari mahasiswa-mahasiswa STI/UII. Pada 2 November 1945, Anwar Harjono dan para mahasiswa lain dari STI dengan dukungan para pemimpin Masyumi berupaya menyatukan mahasiswa dan pemuda muslim dari berbagai aliran Islam dan latar belakang pendidikan dengan mendirikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Perhimpunan ini pertama kali diketuai oleh tokoh pemuda pada periode pendudukan Jepang, yaitu Harsono Tjokroaminoto. Tujuan gerakan ini adalah mengorganisasi para pemuda pelajar muslim demi perjuangan revolusi kemerdekaan. Kemudian menjadi lahan perekrutan bagi para pemimpin Islam di masa depan, serta menjadi pusat pertemuan antara para pemuda pesantren dan pelajar sekolah sekuler. Perhimpunan ini dengan segera menjadi sayap pemuda Masyumi dan turut terjun dalam perjuangan revolusi kemerdekaan. Jadi sepanjang perjalanan sejarahnya, GPII tampil sebagai organisasi lancar pemuda pelajar Islam.1 1Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm. 459-160. 20 Seiring dengan pelonjakan jumlah pelajar muslim sekolah menengah tinggi, kepentingan khas kaum terpelajar tidak bisa dipuaskan oleh organisasi-organisasi pemuda yang ada hingga dibentuklah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada awal 1947, sedang untuk pelajar sekolah menengah, dibentuklah Pelajar Islam Indonesia (PII) pada akhir 1947. Untuk menggambarkan perkembangan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam ini akan disoroti Empat organisasi terpenting: HMI, PII, PMII, dan IMM. 1. Kemunculan HMI Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk di tingkat I. Latar belakang berdirinya HMI adalah melihat dan menyadari bahwa kehidupan masyarakat dan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sistem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu, perlu dibentuk organisasi untuk merubah kondisi tersebut. Pada Rabu, 14 Rabiul Awal 1366 H atau bertepatan pada 5 Februari 1947 M pukul 16.00 WIB,2 lahirlah HMI di tengah pergolakan mempertahankan kemerdekaan dan polarisasi kaum terpelajar ke dalam paham sosialis. HMI lahir sebagai organisasi mahasiswa pertama yang memakai label Islam. Bertepat di ruang kuliah Sekolah 2Solichin, HMI, Candradimuka Mahasiswa, (Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010), hlm. 3. 21 Tinggi Islam / STI (sekarang UII), Lafran Pane, sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah Tafsir Alquran yang di asuh oleh Prof. Husein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Sejak itu secara resmi HMI didirikan dengan beberapa tokoh pendirinya yaitu Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali, Suwali, Maisaroh Hilal, Mansyur, Siti Zaenah, Zulkarnaen, Hasan Basri, Toha Mashudi, M. Anwar, Tayeb Rozak, dan Marwan.3 Semenjak berdirinya, HMI merupakan organisasi Independen. Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, hal ini sebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HMI: 1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.4 Adapun yang melatar belakangi berdirinya HMI yaitu: Pertama, situasi pergolakan nasional. HMI berdiri pada saat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang telah direbut pada 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang kembali setelah Jepang menyerah kepada sekutu. Pasukan tentara Belanda membonceng di 3Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), (Jakarta: Misaka Galiza, 2008), hlm. 16-17. 4Said Muniruddin, Bintang Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, (Banda Aceh: MW- KAHMI Aceh, 2017), Hlm. 27. 22 belakang sekutu (Inggris) di bawah pimpinan Lednan Jenderal Sir Philip Christison, panglima besar AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Tiga divisi Belanda mendarat kembali di Jakarta 29 September 1945. Saat mereka mendarat, segenap rakyat Indonesia sudah bertekad tidak mau dijajah kembali oleh siapapun dan bangsa manapun. Kembali terjadilah peperangan dan pertempuran antara pasukan Belanda yang didukung Inggris dan pejuang yang terdiri atas segenap rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan adanya peristiwa ini, Terkenal-lah pertempuran lima hari di Serondol Semarang, di Siantar hotel di kota Siantar Sumatera Utara, di Padang 15 Oktober 1945, di Kota Baru Yogyakarta 7 Oktober 1945, di Surabaya 10 November 1945 selama lima belas hari berturut-turut, yang kesemuanya di landasi jihat fi sabilillah.5 Keserakahan Belanda untuk terus menjajah bangsa Indonesia, semakin membuat berkecamuknya perang kemerdekaan. Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasi dilakukan, dengan mengikuti perundingan Linggar Jati, Renville dan KBM (konferensi meja bundar).6 Perundingan Linggar Jati dilakukan pada 25 Maret 1947 menghasilkan kesepakan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura, dan Sumatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).7 Terlepas dari pro dan kontra hasil dari 5Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), hlm. 5. 6Ahmad Safi’i Maarif, Islam Nusantara: Pengaruh Nilai KeIslaman dalam Sejarah Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 77. 7Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, (Jakarta: Misaka Galiza, 2008), hlm. 27. 23 perundingan tersebut, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa Indonesia. Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai Sosialis terpecah menjadi dua yaitu Sosialis Demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan Sosialis Revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi Perdana Menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan dikalangan Masyumi dan termasuk HMI. Pada 20 Juli 1947, Belanda kembali melakukan agresi militernya setelah menginjak-injak perjanjian Linggar Jati, anggota-anggota HMI ikut memanggul senjata. Angresi ini berakhir dengan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Meski demikian, perjanjian ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa Indonesia. Oleh kubu yang menentang perundingan ini dijadikan sebagai alat untuk menggulingkan Amir Syarifuddin, sehingga menimbulkan kekecewaan kelompok-kelompok komunis seperti FDR (Front Demokrasi Rakyat).8 Kemudian mereka kembali menyusun kekuatan, melakukan fitnah dan provokasi. Kepulangan Muso dan Suripno dari Soviet pada Agustus 1948 memperkuat gerakan PKI. Merasa sudah kuat mereka melakukan pemberontakan pada 18 Agustus 1948 di Madiun. HMI ikut membentuk Corps Mahasiswa (CM) dan terlibat dalam aksi intelijen dan unit tempur untuk 8Said Muniruddin, Bintang Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, hlm. 28. 24 penggayangan PKI. Dalam kondisi lemah ini, Indonesia kembali diserang Belanda melalui agresi II pada 19 Desember 1948.9 Dalam serangan ini pasukan belanda berhasil menduduki hampir seluruh daerah Republik, termasuk ibu kota Yogyakarta. Banyak anggota kabinet di tangkap dan di tahan, tidak terkecuali Soekarno dan Moh. Hatta. Pimpinan angkatan bersenjata Republik Indonesia Jenderal Soedirman berhasil meloloskan diri dan membentuk kekuatan di hutan serta melakukan perang gerilya. Pada masa itu, anggota-anggota HMI dikerahkan ke gunung-gunung untuk membantu perang gerilya.10 Akhirnya, pada Konferensi Meja Bundar November 1949 di Den Haag Belanda benar-benar mengakui kedaulatan Indonesia.11 Selama revolusi fisik ini sempat terjadi kevakuman di tubuh organisasi kemahasiswaan. Paska perang, anggota HMI kembali ke kampus, ada juga yang meneruskan karir ke kemiliteran seperti Letjen Achmad Tirto Sudiro dan Mayjen Hartono. Sejalan dengan pindahnya ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta pada 17 Agustus 1950, PB HMI juga di pindahkan ke Jakarta. Pada periode ini sampai 1963 HMI kembali menata pertumbuhan dan pembangunan organisasi.12 9Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1996), hlm. 39-40. 10Ibid., hlm. 41. Baca juga Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, hlm. 26 11Said Muniruddin, Bintang Arasy Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, hlm. 28. 12Ibid. 25 Pada 1964-1965, kembali terjadi ketegangan ideologis dengan komunis. Gagal di Madiun Affair pada 1948, PKI kembali menyusun strategi untuk kudeta. Sejak 1960 mereka mulai menyusup kepemerintahan. PKI mendapat angin segar melalui MANIPOL-USDEK NASAKOM (Manifesto Politik, UUD, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagas Soekarno pada 1960.13 Setelah berhasil menjatuhkan Masyumi dan Bung Hatta yang dituduh sebagai komprador-komprador