BAB II PERGERAKAN ORGANISASI MAHASISWA ISLAM DI

A. Latar Belakang Berdirinya Organisasi Mahasiswa Islam di Indonesia

Sepanjang dua puluh dua tahun lamanya dari Kemerdekaan Republik Indonesia

1945, pergerakan organisasi mahasiswa telah berdiri dan mengalami dinamika pergerakan tersendiri. Para pelopor dalam pendirian perhimpunan-perhimpunan ini pada tahun awal Republik Indonesia setelah kemerdekaan terutama berasa dari mahasiswa-mahasiswa STI/UII. Pada 2 November 1945, Anwar Harjono dan para mahasiswa lain dari STI dengan dukungan para pemimpin Masyumi berupaya menyatukan mahasiswa dan pemuda muslim dari berbagai aliran Islam dan latar belakang pendidikan dengan mendirikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Perhimpunan ini pertama kali diketuai oleh tokoh pemuda pada periode pendudukan

Jepang, yaitu Harsono Tjokroaminoto. Tujuan gerakan ini adalah mengorganisasi para pemuda pelajar muslim demi perjuangan revolusi kemerdekaan. Kemudian menjadi lahan perekrutan bagi para pemimpin Islam di masa depan, serta menjadi pusat pertemuan antara para pemuda pesantren dan pelajar sekolah sekuler.

Perhimpunan ini dengan segera menjadi sayap pemuda Masyumi dan turut terjun dalam perjuangan revolusi kemerdekaan. Jadi sepanjang perjalanan sejarahnya, GPII tampil sebagai organisasi lancar pemuda pelajar Islam.1

1Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm. 459-160. 20

Seiring dengan pelonjakan jumlah pelajar muslim sekolah menengah tinggi, kepentingan khas kaum terpelajar tidak bisa dipuaskan oleh organisasi-organisasi pemuda yang ada hingga dibentuklah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada awal

1947, sedang untuk pelajar sekolah menengah, dibentuklah Pelajar Islam Indonesia

(PII) pada akhir 1947. Untuk menggambarkan perkembangan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam ini akan disoroti Empat organisasi terpenting: HMI, PII,

PMII, dan IMM.

1. Kemunculan HMI

Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) kini UII (Universitas Islam

Indonesia) yang masih duduk di tingkat I. Latar belakang berdirinya HMI adalah melihat dan menyadari bahwa kehidupan masyarakat dan mahasiswa yang beragama

Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sistem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu, perlu dibentuk organisasi untuk merubah kondisi tersebut.

Pada Rabu, 14 Rabiul Awal 1366 H atau bertepatan pada 5 Februari 1947 M pukul 16.00 WIB,2 lahirlah HMI di tengah pergolakan mempertahankan kemerdekaan dan polarisasi kaum terpelajar ke dalam paham sosialis. HMI lahir sebagai organisasi mahasiswa pertama yang memakai label Islam. Bertepat di ruang kuliah Sekolah

2Solichin, HMI, Candradimuka Mahasiswa, (Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010), hlm. 3. 21

Tinggi Islam / STI (sekarang UII), Lafran Pane, sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah Tafsir Alquran yang di asuh oleh Prof. Husein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Sejak itu secara resmi HMI didirikan dengan beberapa tokoh pendirinya yaitu Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton

Timur Djaelani, Yusdi Ghozali, Suwali, Maisaroh Hilal, Mansyur, Siti Zaenah,

Zulkarnaen, Hasan Basri, Toha Mashudi, M. Anwar, Tayeb Rozak, dan Marwan.3

Semenjak berdirinya, HMI merupakan organisasi Independen. Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, hal ini sebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HMI:

1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.4

Adapun yang melatar belakangi berdirinya HMI yaitu:

Pertama, situasi pergolakan nasional. HMI berdiri pada saat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang telah direbut pada 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang kembali setelah Jepang menyerah kepada sekutu. Pasukan tentara Belanda membonceng di

3Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), (Jakarta: Misaka Galiza, 2008), hlm. 16-17. 4Said Muniruddin, Bintang Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, (Banda Aceh: MW- KAHMI Aceh, 2017), Hlm. 27. 22

belakang sekutu (Inggris) di bawah pimpinan Lednan Jenderal Sir Philip Christison, panglima besar AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Tiga divisi Belanda mendarat kembali di Jakarta 29 September 1945. Saat mereka mendarat, segenap rakyat Indonesia sudah bertekad tidak mau dijajah kembali oleh siapapun dan bangsa manapun. Kembali terjadilah peperangan dan pertempuran antara pasukan Belanda yang didukung Inggris dan pejuang yang terdiri atas segenap rakyat dan bangsa

Indonesia. Dengan adanya peristiwa ini, Terkenal-lah pertempuran lima hari di

Serondol Semarang, di Siantar hotel di kota Siantar Sumatera Utara, di Padang 15

Oktober 1945, di Kota Baru 7 Oktober 1945, di Surabaya 10 November

1945 selama lima belas hari berturut-turut, yang kesemuanya di landasi jihat fi sabilillah.5

Keserakahan Belanda untuk terus menjajah bangsa Indonesia, semakin membuat berkecamuknya perang kemerdekaan. Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasi dilakukan, dengan mengikuti perundingan Linggar Jati, Renville dan

KBM (konferensi meja bundar).6 Perundingan Linggar Jati dilakukan pada 25 Maret

1947 menghasilkan kesepakan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura, dan Sumatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya

Republik Indonesia Serikat (RIS).7 Terlepas dari pro dan kontra hasil dari

5Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), hlm. 5. 6Ahmad Safi’i Maarif, Islam Nusantara: Pengaruh Nilai KeIslaman dalam Sejarah Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 77. 7Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, (Jakarta: Misaka Galiza, 2008), hlm. 27. 23

perundingan tersebut, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa Indonesia.

Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai Sosialis terpecah menjadi dua yaitu Sosialis Demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan Sosialis

Revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi Perdana Menteri dan digantikan oleh Amir

Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan dikalangan Masyumi dan termasuk HMI.

Pada 20 Juli 1947, Belanda kembali melakukan agresi militernya setelah menginjak-injak perjanjian Linggar Jati, anggota-anggota HMI ikut memanggul senjata. Angresi ini berakhir dengan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Meski demikian, perjanjian ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa Indonesia. Oleh kubu yang menentang perundingan ini dijadikan sebagai alat untuk menggulingkan

Amir Syarifuddin, sehingga menimbulkan kekecewaan kelompok-kelompok komunis seperti FDR (Front Demokrasi Rakyat).8 Kemudian mereka kembali menyusun kekuatan, melakukan fitnah dan provokasi. Kepulangan Muso dan Suripno dari

Soviet pada Agustus 1948 memperkuat gerakan PKI. Merasa sudah kuat mereka melakukan pemberontakan pada 18 Agustus 1948 di Madiun. HMI ikut membentuk

Corps Mahasiswa (CM) dan terlibat dalam aksi intelijen dan unit tempur untuk

8Said Muniruddin, Bintang Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, hlm. 28. 24

penggayangan PKI. Dalam kondisi lemah ini, Indonesia kembali diserang Belanda melalui agresi II pada 19 Desember 1948.9

Dalam serangan ini pasukan belanda berhasil menduduki hampir seluruh daerah

Republik, termasuk ibu kota Yogyakarta. Banyak anggota kabinet di tangkap dan di tahan, tidak terkecuali Soekarno dan Moh. Hatta. Pimpinan angkatan bersenjata

Republik Indonesia Jenderal Soedirman berhasil meloloskan diri dan membentuk kekuatan di hutan serta melakukan perang gerilya. Pada masa itu, anggota-anggota

HMI dikerahkan ke gunung-gunung untuk membantu perang gerilya.10 Akhirnya, pada Konferensi Meja Bundar November 1949 di Den Haag Belanda benar-benar mengakui kedaulatan Indonesia.11

Selama revolusi fisik ini sempat terjadi kevakuman di tubuh organisasi kemahasiswaan. Paska perang, anggota HMI kembali ke kampus, ada juga yang meneruskan karir ke kemiliteran seperti Letjen Achmad Tirto Sudiro dan Mayjen

Hartono. Sejalan dengan pindahnya ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta pada 17

Agustus 1950, PB HMI juga di pindahkan ke Jakarta. Pada periode ini sampai 1963

HMI kembali menata pertumbuhan dan pembangunan organisasi.12

9Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1996), hlm. 39-40. 10Ibid., hlm. 41. Baca juga Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, hlm. 26 11Said Muniruddin, Bintang Arasy Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, hlm. 28. 12Ibid. 25

Pada 1964-1965, kembali terjadi ketegangan ideologis dengan komunis. Gagal di

Madiun Affair pada 1948, PKI kembali menyusun strategi untuk kudeta. Sejak 1960 mereka mulai menyusup kepemerintahan. PKI mendapat angin segar melalui

MANIPOL-USDEK NASAKOM (Manifesto Politik, UUD, Sosialisme, Demokrasi

Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, Nasionalis, Agama,

Komunis) yang digagas Soekarno pada 1960.13 Setelah berhasil menjatuhkan

Masyumi dan Bung Hatta yang dituduh sebagai komprador-komprador kapitalis- imperialis Amerika.14 PKI mulai berencana menjatuhkan HMI, karena menyadari

HMI merupakan musuh besarnya, melalui Underbouwnya seperti Konsentrasi

Gabungan Mahasiswa Indonesia (CGMI), mereka mulai menyerang, memfitnah, dan menuntut pembubaran HMI.15

Manuver PKI memanfaatkan Soekarno, puncaknya pada saat Soekarno menganugerahkan bintang Maha Putra kelas III kepada ketua CC PKI DN Aidit pada

13 September 1963, sebagai contoh pahlawan dan keteladanannya dalam kepemimpinan politik. Yang membuat HMI tersohor sebagai target pembubarannya

PKI ialah ketika CGMI menggelar rapat umum dalam rangka kongresnya di Senayan.

Sulastomo dalam buku yang ditulis Alfan Alfian, mencatat bahwa yang menarik dari rapat itu adalah: “Mungkin tidak ada yang menduga, bahwa forum terbuka seperti itu

13Ibid., hlm. 38, baca juga Alfan Alfian, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, (Jakarta: Kompas, 2013), hlm. 35. 14Mohammad Natsir, Revolusi Indonesia, (Bandung: Sega Arsy, 2016), hlm. 159. 15Alfan Alfian. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara,, hlm. 83. Baca juga Rosihan Anwar, Soekarno Tentara PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 310. 26

hanya akan digunakan untuk memaksakan tuntutan CGMI/PKI untuk membubarkan

HMI kepada Soekarno. Ketika memberikan sambutan dengan lantang DN Aidit menuntut pembubaran HMI yang dianggapnya Antimanipol, Kontravolusi, tidak

Progresif-Revolusioner, underbouw Masyumi dan sebagainya. Mengapa Masyumi /

GPII telah dibubarkan, HMI tidak dibubarkan? Kalau tidak dapat membubarkan

HMI, kata DN Aidit, lebih baik pakai sarung, serunya di depan lebih dari 10.000 massa CGMI itu. Yel-yel bubarkan HMI terus bergema”.16

Bukan kali itu saja DN Aidit memprovokasi agar HMI dibubarkan. Dalam ceramahnya di hadapan kader Kursus Tavip Permusyawarahan PII 10 Maret 1965,

Aidit menyatakan bahwa HMI seharusnya di bubarkan bersama Masyumi. Lima hari kemudian di Yogyakarta Aidit mengecap HMI dengan cap kontra-revolusioner.

Dalam posisi dimana PKI mendominasi wacana politik nasional, pernyataan Aidit merupakan tekanan paling nyata bagi HMI. Akibat dari provokasi itu, dikeluarkannya

HMI dari PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang didominasi unsur-unsur kiri, pada 21 Oktober 1964. Sebelumnya Prof. Ultrecht menetapkan HMI sebagai organisasi terlarang di Fakultas Hukum Universitas Negeri

Brawijaya Cabang Jember 12 Mei 1964.17

Peristiwa Utrecht di Jember mengakibatkan keluarnya intruksi Presiden Nomor.

8. 1964, yang memerintahkan agar menteri PTIP segera memindahkan Drs. Utrecht,

16Ibid., hlm. 85. 17Alfan Alfian, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, hlm.86. 27

S.H., Drs. Sudarpo, dan Drs. Wiryosukarto dari lingkungan

Universitas Brawijaya Cabang Jember.18 Melalui keputusan KOTRAR (Komando

Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi) 15 September 1965, No.

TR/1953/KOTRAR/65, dinyatakan bahwa HMI tidak dibubarkan dan mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan organisasi mahasiswa lainnya.19

Secara sistematis melalui puluhan organisasi masa, surat kabar, dan kantor berita;

HMI dituduh PKI sebagai anti Pancasila, anti Soekarno, Antek Nekolim dan

Imperialisme, antek DI/TII, agen CIA, pro-Malaysia, kelompok perusuh, anti persatuan, setan kota, dan sebagainya. HMI dan anggota-anggotanya coba disingkirkan dari perguruan tinggi. Tujuannya agar kelompok sosialis-komunis tidak terganggu dalam mewarnai lembaga kemahasiswaan.20 Sampai kemudian meletus

GESTAPU 30 September 1965, sebuah gerakan politik yang dimotori oleh PKI untuk menggulingkan pemerintah yang sah.21

Kedua, situasi umat Islam Indonesia. Selain penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya, misi dan zending agama Kristen dan penyebaran peradaban

18Ibid. 19Ibid., hlm. 89 20Said Muniruddin, Bintang Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, hlm. 29. 21Keterlibatan PKI dalam gerakan 30 September 1965, tidak dapat dibantah dan dapat dibuktikan sekurangnya dalam tiga peristiwa: 1. Kehadiran Dn. Aidit serta Anggota-Anggota Pemuda Rakyat/SOBSI/ GERWANI di pangkalan udara Halim 1 Oktober 1965; 2. Dukungan PKI kepada Letkol Untung yang memproklamasikan berdirinya Dewan Revolusi; 3. Pengakuan tokoh PKI Dn Aidit dan Nyono, bahwa PKI memainkan peranan utama “In Organizing The Coup Attempt”, dikutip oleh Solichin dari buku Harold Crouch, The Army And Politich In Indonesia, 1978, hlm. 102 serta Brian May, The Indonesian Tragedy, 1978, hlm. 105. Baca Solichin, HMI, Candradimuka Mahasiswa, hlm. 103. 28

barat dengan unsur-unsur sekularisme dan liberalisme menimbulkan pandangan yang bersifat ke barat-baratan.22

Dengan begitu kondisi umat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi empat golongan, yaitu: Pertama, sebagian besar yang melakukan ajaran

Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan.

Golongan ini tidak memiliki pengetahuan yang utuh dan benar terhadap agama Islam, berdasarkan syariat dan berkaitan dengan muamalah. Kedua, golongan alim ulama yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan Nabi

Muhammad SAW. Golongan ini tidak hanya mencontoh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul, tetapi sifat dan kebiasaannya yang tidak lepas dari masyarakat Arab, yang tentu berlainan dengan masyarakat Indonesia. Ketiga, golongan kaum ulama yang terpengaruh oleh mistisisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Keempat, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.23

Dari keempat golongan ini, golongan kesatu, kedua, dan ketigalah yang paling besar pengaruhnya dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman ajaran Islam

22Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, hlm. 41. 23Ibid., hlm. 55-56. 29

membawa konsekuensi logis terjadinya stagnasi pemikiran dikalangan umat Islam.

Lebih lanjut Agussalim Sitompul mengatakan dengan ini masyarakat mengalami kemunduran dalam berpikir, sehingga kebanyakan masyarakat memahami dan mengartikan agama Islam secara kaku dan sempit, dan tidak lebih dari sebuah agama yang hanya meliputi peribadatan, shalat, zakat, puasa dan upacara-upacara mistik.24

Ketiga, situasi dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Akibat dari penjajahan Belanda, dunia pendidikan dan kemahasiswaan di Indonesia telah dicekoki dan dipengaruhi unsur-unsur dan sistem pendidikan barat yang mengarah kepada sekularisme25 dengan mendangkalkan agama pada setiap aspek kehidupan umat manusia. Dalam berhadapan dengan kebudayaan barat masyarakat Islam terbelah dua. Ada yang menerima kebudayaan barat tanpa kritik sedikitpun, dan ada yang sama sekali lari dari kebudayaan barat itu. Akibat sikap demikian, yang diintensifkan dengan pendidikan barat di Indonesia, maka terdapatlah dua golongan intelegensia Indonesia. Segolongan berkiblat ke barat dan segolongan lagi berkiblat ke Islam. Kenyataan menunjukkan bahwa kehidupan mahasiswa pada saat itu berada dalam krisis keseimbangan, dimana antara iman dan ilmu pengetahuan tidak ada

24Ibid., hlm. 58. 25Sekularisme adalah suatu paham yang dimulai dengan formula: “Berikan kepada kaisar apa yang menjadi kupanyaan kaisar (urusan duniawi), dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi kepunyaan Tuhan (urusan ukhrawi)”. Dengan perkataan lain, sekularisme adalah suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi. Masalah-masalah duniawi harus diurusi dengan cara lain, yang tidak datang dari Tuhan. Jadi, sekularisme adalah paham tidak berTuhan dalam kehidupan duniawi manusia. maka seorang sekular yang sempurna adalah seorang yang ateis. Oleh karena itu kaum sekularis tidak mau menjadikan agama sebagai sumber norma-norma asasi dalam kehidupan asasinya. Nurchalis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 179. 30

keserasian. Para mahasiswa pendamba rasionalisme dengan beralatkan hanya semata- mata ilmu pengetahuan tanpa dasar agama. Sebagian mahasiswa Yogyakarta hidup dalam suasana ke barat-baratan, hidup secara sekuler jauh dari kehidupan religius sebagai pengaruh dari pendidikan barat.26

Di pihak lain, sebelum kelahiran HMI, telah berdiri Perserikatan Mahasiswa

Yogyakarta (PMY), yang dalam anggaran dasarnya dinyatakan dengan tegas bahwa organisasi ini berdasarkan non-agama dan non-politik. Dengan dasar non-agama ini, mahasiswa-mahasiswa Islam tentunya tidak dapat bergerak dengan leluasa untuk turut serta menegakkan agama Islam. PMY adalah sebuah organisasi yang berhaluan komunis di bawah asuhan Sutan Syahrir yang pada waktu itu sebagai Ketua Partai

Sosialis.27

Suasana zaman saat itu terkondisi oleh pikiran bahwa semakin maju seseorang dalam lapangan keilmuan, semakin jauh dari agama. Suasana kehidupan mahasiswa saat itu diidentikkan dengan kelompok pemuda yang paling maju, dengan kehidupan yang lebih diwarnai budaya barat ketimbang budaya Islam atau timur. Malahan terkesan saat itu mahasiswa sebagai kelompok elestis yang jauh dari citra agama.

26Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), hlm. 8. 27Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1996), hlm. 35. 31

Implikasinya adalah gambaran bahwa orang yang taat agama adalah orang yang tidak maju.28

Dari orientasi kenyataan dan pemikiran ini, seandainya para cendekiawan ini semata-mata mengutamakan ilmu pengetahuan tanpa didasari pengetahuan agama atau bahkan membenci agama, kehidupan dan nasib negara ini akan sangat menyedihkan dan agama Islam akan terancam kemusnahannya. Keadaan mahasiswa seperti ini bukan hanya terjadi di Yogyakarta, tetapi hampir melanda seluruh mahasiswa di perguruan tinggi. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, tanpa ada usaha untuk mencegahnya, ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan rakyat dan bangsa

Indonesia. Dari problem ini, timbullah gagasan untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berasaskan Islam dan akhirnya pada 5 Februari 1945 berdirilah

HMI.

Usaha untuk memperkenalkan HMI ketika itu diadakan dengan jalan ceramah- ceramah dari kalangan terkemuka, pemimpin-pemimpin terkenal dengan mengambil tema yang aktual. Isi ceramah-cermah itu kemudian di cetak dan diterbitkan sebagai brosur dan disiarkan HMI. Disamping ceramah-ceramah ini, diadakan pula kegiatan rekreasi dan malam-malam kesenian.29

28Achmad Tirtosudiro, Ranuwihardjo, Agussalim Sitompul, Lafran Pane: Penggagas Besar, (Jakarta: KAHMI Center, 2015), hlm. 5-6. 29Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, hlm. 26 32

Saat kongres PMI di Malang pada 8 Maret 1947, Lafran Pane beserta Asmin

Nasution, sebagai wakil dari HMI sudah mengadakan pendekatan dengan beberapa mahasiswa Islam di kota-kota lain untuk membentuk HMI di kotanya masing-masing sekembalinya dari kongres. Beberapa bulan kemudian, berdirilah HMI Cabang

Klaten, Solo dan Malang.30

2. Kemunculan PII

Pelajar Islam Indonesia (PII) berdiri di Yogyakarta pada 4 Mei 1947.31 Latar belakang yang mendorong berdirinya organisasi PII adalah pengaruh sosial politik yang ditimbulkan oleh kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang serta faktor internal dan eksternal umat Islam di Indonesia.

a. Kekuasaan Pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang

Perjuangan umat Islam sejak lama telah dilakukan. Terutama perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Pemberontakan-pemberontakan dilakukan seperti perang di Ponegoro (1825-1830), perang Paderi (1802-1837), pemberontakan Banten (1988) dan perang Aceh (1873-1911).32

Sejalan dengan usaha pelemahan potensi kekuatan umat Islam, Belanda melakukan kristening politik atau politik kristenisasi yaitu kebijakan yang menunjang

30Ibid. 31Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 43. 32Abdul Qadir Jhaelani, Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia, (Surabaya: Tri Bakti, 1996), hlm. 14-24. 33

kristenisasi dengan mendatangkan para misionaris untuk beroperasi di daerah perbatasan dan penduduk yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Misi ini diimplementasikan dengan mendirikan rumah sakit, sekolah- sekolah, dan gereja-gereja. Dengan sistem politik kristenisasi ini diharapkan anak negeri yang pro-agamanya dengan pemerintah Belanda tidak akan memusuhi

Belanda. Dengan mencapai tujuan itu, Belanda mengeluarkan kebijakan politik asosiasi, yaitu bertujuan untuk mempererat hubungan antara dunia Barat dan Timur melalui kebudayaan, dimana pendidikan menjadi garapan utamanya.33

Aqib Suminto menyimpulkan bahwa Belanda melakukan tiga jenis jenis kebijakan politik terhadap Islam. Pertama, kebijakan netral terhadap agama. Kedua, politik asosiasi kebudayaan. Ketiga, memberikan perhatian secara khusus dan serius pada perkembangan paham tarekat dan Pan-Islamisme. Di antara kebijakan-kebijakan kolonial tersebut mempunyai bidang fokus masing-masing, dan terasa sampai pada tataran pelajar ialah kebijakan asosiasi.34

Pelaksanaan politik asosiasi sendiri yaitu dengan mengirimkan sebagian masyarakat pemuda untuk dididik dengan kehidupan barat, sehingga pola hidup mereka memakai pola hidup barat. Maka pendidikan barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia. Menurut analisa mereka bahwa pendidikan barat adalah alat

33Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 39. 34Ibid., hlm. 12. 34

yang paling pasti untuk mengurangi dan mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia.35

Melalui politik asosiasi belanda berusaha menjauhkan kaum muslimin dengan ajaran

Islam melalui pendidikan barat. Akibatnya, banyak perbedaan sikap dan pandangan antara pelajar Islam yang berpendidikan barat dengan pelajar yang tidak mengenyam pendidikan barat.

Setelah penjajahan Belanda berakhir dengan ditandai datangnya pasukan Jepang di Indonesia 1942. Dalam kurun waktu 3.5 tahun (1942-1945) penjajah Jepang juga mengeluarkan kebijakan terhadap keberlangsungan kehidupan umat Islam di

Indonesia.36 Menurut Djayadi Hanan ada tiga langkah kebijakan yang dibuat Jepang:

Pertama, Jepang berusaha mengubah segala corak kebudayaan rakyat Indonesia.

Semua sekolah harus bercorak Jepang dan yang tidak mematuhi akan dilarang melakukan kegiatannya. Pemuda dan pelajar dididik secara militer. Kemudian mereka dimobilisasi ke dalam berbagai barisan militer seperti Seinendan (remaja), Keibon

(untuk remaja), Fujinkai (untuk pemudi) dan Haco (untuk kalangan dewasa). Kedua,

Jepang melaksanakan kerja paksa (romusa) dan menjerat kaum perempuan untuk menjadi budak seks bagi tentara Jepang. Ketiga, Jepang mewajibakan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan sekere yakni penyembahan Tenno Heiko (kaisar

Jepang) setiap pagi dengan cara menghadap kearah negeri Jepang. Secara akidah

35Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 48. 36Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 28. 35

umat Islam tidak membenarkan hal itu karena sama saja menggiring orang untuk berlaku musyrik.37

b. Faktor Intern Umat Islam

Perjuangan umat Islam di Indonesia sejak lama sudah dilakukan dan pada masa sebelum kemerdekaan terdapat dua jenis organisasi Islam yakni: Syarikat Islam (SI), kemudian Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Secara internal dikalangan umat

Islam terjadi perpecahan akibat kebijakan penjajah Belanda dan Jepang. Namun, disisi lain umat Islam ingin bersatu dan gagasan ini terwujud pada 21 September 1937 dengan terbentuknya Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya.38 Organisasi ini bersifat federatif, dengan tujuan utama mempererat persatuan kaum muslimin di dunia, khusunya di Indonesia. Dalam status pendiriannya disebutkan, “Mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia, baik yang telah bergabung dengan MIAI ataupun yang belum”. Tujuan MIAI, sebagaimana tertulis dalam dokumen-dokumen pendiriannya, bukan dalam bidang politik praktis. Hal ini dapat dimaklumi karena ketatnya pengawasan penjajah kolonial terhadap Islam. Namun secara tersirat, seperti dikemukakan oleh Prawoto

Mangkusasmito, terdapat pernyataan, ”Mempersatukan gerakan Islam untuk melawan kolonial Belanda.” Hal ini kemudian terbukti ketika pada tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda MIAI banyak mengajukan tuntutan politis kepada pemerintah

37Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara: Studi Kasus Pelajar Islam Indonesia Tahun 1980-1997, (Yogyakarta: PB PII & UII Press, 2006), hlm. 50. 38Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 96. 36

Belanda.39 Ketika Jepang menjajah Indonesia, MIAI dibubarkan pada Oktober 1943.

Alasan pembubaran MIAI ialah dikhawatirkan bahwa MIAI akan membelokkan arah anak panahnya kepada Jepang.40

Hingga masa kemerdekaan, organisasi umat Islam berupaya bersatu kembali dalam naungan satu organisasi politik Islam yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia

(Masyumi) yang dibentuk dalam Kongres Umat Islam Indonesia di gedung Madrasah

Mu’allimin Muhammadiyah, tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta. Dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik

Islam Indonesia dan Masyumilah yang akan memperjuangkan politik umat Islam

Indonesia.41

Dalam kutipan Yudi Latif, menurut Ghazali, pendirian PII terinspirasi oleh keberadaan JIB yang pernah eksis dan dimaksudkan untuk menyatukan para pelajar muslim di sekolah-sekolah sekuler dan agama dalam rangka menciptakan intelek- ulama dan ulama-intelek. Hal ini dipadang perlu untuk memperkuat Islam dalam perjuangan nasional. Namun, pemicu sesungguhnya bagi pendirian PII ialah karena kekecewaan yang dirasakan para pelajar muslim terhadap Ikatan Pelajar Indonesia

(IPI) yang didominasi oleh akitivis sayap kiri.42

39Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 144-145. 40Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, hlm. 100. 41Ahmad Aziz Tabba, Islam dan Negara dalam Politik orde Baru, hlm. 159. 42Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, hlm. 466. 37

PII bergerak dikalangan pelajar sekolah menengah atas, dan cenderung menekankan pendekatan pedagogis dalam menanamkan nilai-nilai Islam kepada kalangan remaja dalam masa perkembangan emosi mereka yang mudah berubah.

Jadi, dibandingkan dengan HMI, kecenderungan keIslaman PII jauh lebih kuat. Hal ini tercermin dalam tujuannnya: untuk menyempurnakan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan sesuai dengan ajaran Islam bagi seluruh rakyat Indonesia.”43

Namun, penekanan PII terhadap pengajaran Islam juga dibarengi dengan pengajaran rasionalisme modern dan keterampilan kejuruan. Para anggota diberi pelatihan kepemimpinan, panduan dan klup percakapan bahasan Inggris. Salah satu kontribusi terpenting PII terhadap perkembangan intelektual muslim Indonesia adalah usaha rintisannya sejak 1955 dan seterusnya untuk mengikuti program pertukaran pelajar internasional melalui AFISIS (American Field Service For Internasional

Scholarship). Seperti HMI, selama periode demokrasi terpimpin, PII mengalami proses radikalisasi ideologi dengan kecenderungan Islam yang lebih tegas dari pada

HMI. Selama 1960-1965, dalam upaya mempertahankan hubungan baik dengan

Soekarno,44 HMI secara organisasi bersedia menerima Ideologi Manipol-USDEK.

Namun, PII menolak berbuat yang sama, sehingga menjadikan PII lebih diidentikkan dengan Masyumi.

43Ibid. 44Ibid., hlm. 467-468. 38

3. Kemunculan PMII

Pada 1950-an juga merupakan periode pembentukan intelegensia NU. Ketika intelegensia muslim reformis-modernis telah menjadi bagian dari elite politik yang berkuasa, sejumlah besar intelegensia tradisionalis baru mulai masuk universitas.

Dalam kutipan Yudi Latif, menurut Rudolf Mrazek menggambarkan dengan bagus ihwal kelangkaan intelegensia tradisionalis yang berpendidikan tinggi sebelum akhir

1950-an. Ketika pemilihan umum 1955, pemimpin besar PSI, Sutan Syahrir, mengatakan kepada seorang sosialis Belanda, Saloman Tas, bahwa seorang pemimpin

NU yang secara praktis tidak memiliki kader.45

Selama beberapa tahun setelah revolusi kemerdekaan, kalangan pelajar dari keluarga-keluarga tradisionalis tidak memiliki pilihan lain kecuali bergabung dengan

PII dan HMI. Alasannya bukan hanya karena afiliasi NU dengan Masyumi hingga

1952 dan keputusan kongres Al-Islam pada 1949 yang merekomendasikan PII dan

HMI sebagai satu-satunya organisasi pelajar/mahasiswa Muslim. Namun, yang lebih penting lagi karena para pelajar dari keluarga-keluarga tradisionalis yang masuk ke sekolah-sekolah modern masih relatif sedikit.46 Jadi para mahasiswa dari keluarga- keluarga tradisionalis seperti Toha Mashudi dan Mukti Ali dari STI turut mendirikan

HMI dan PII. Para mahasiswa tradisionalis yang masuk universitas pada 1950-an, seperti Tolhah Mansur daru UGM, Ismail Makki dari IAIN Yogyakarta, dan Mahbub

45Ibid., hlm. 468. 46Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, hlm. 46. 39

Djunaaedi dari UI juga bergabung dengan HMI sebelum kemudian mendirikan organisasi tradisionalnya sendiri. Bahkan meskipun NU telah mengundurkan diri dari

Masyumi, hal ini tidak segera membuat para pelajar/mahasiswa mengundurkan diri dari PII dan HMI.47

Karena jumlah mahasiswa tradisionalis meningkat dalam paruh kedua 1950-an, ditempuhlah upaya-upaya pembentukan sebuah organisasi mahasiswa tersendiri bagi para mahasiswa tradisionalis. Pada Desember 1955, para mahasiswa tradisionalis di

Jakarta dipimpin Wail Haris Sugiarto mendirikan Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama

(IMANU). Pada tahun yang sama, di Surakarta dipimpin oleh Mustahal Ahmad dari

Universitas Tjokroaminoto mendirikan Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) yang menyerupai organisasi pelajar NU yang telah ada di Timur Tengah.48

Pada akhir 1950-an mahasiswa tradisionalis semakin meningkat, terutama setelah pendirian Perguruan Tinggi Agama. Di luar IAIN, pada 1958 NU mendirikan sendiri sebuah perguruan tinggi Islam, yaitu Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama di Solo.

Peningkatan mahasiswa tradisionalis, yang dibarengi dengan penguatan afinitas HMI dengan Masyumi, telah melahirkan konflik tajam dalam dunia politik mahasiswa. Hal ini kemudian memotivasi para pemimpin IPNU untuk membangun organisasi khusus bagi mahasiswa tradisionalis. Kongres Nasional IPNU di Kaliurang (Yogyakarta) pada 14-16 Maret 1960 menunjuk 13 anggota IPNU untuk membentuk organisasi

47Ibid., hlm. 469. 48Ibid., hlm. 470. 40

yang diinginkan itu. Hingga akhirnya melahirkan Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) pada 17 April 1960 dengan Mahbub Djunaedi sebagai ketua pertama, Chalid Mawardi sebagai wakil ketua dan Said Budairy sebagai Sekretaris

Jenderal.49

Secara historis PMII merupakan mata rantai dari dapartemen perguruan tinggi

IPNU yang dibentuk dalam muktamar III PNU di Cirebon Jawa-Barat pada 27-31

Desember 1958. Di dalam wadah IPNU-IPPNU ini banyak terdapat mahasiswa yang menjadi anggotanya, bahkan mayoritas fungsionaris pengurus pusat IPNU-IPPNU berpredikat sebagai mahasiswa. Itulah sebabnya, keinginan dikalangan mereka untuk membentuk suatu wadah khusus yang menghimpun para mahasiswa Nahdliyin.50

Upaya yang dilakukan oleh IPNU dengan membentuk dapartemen perguruan tinggi untuk menampung aspirasi mahasiswa Nahdliyin, tidak banyak berarti bagi kemajuan dan perkembangan Mahasiswa Nahdliyin, hal tersebut disebabkan beberapa hal:51

1. Kondisi objektif menunjukkan bahwa keinginan para pelajar sangat berbeda

dengan keinginan, dinamika dan perilaku mahasiswa.

49Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, hlm. 471. 50Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Jakarta: Intimedia, 2015), hlm. 1. 51Ibid., hlm. 3. 41

2. Kenyataan gerak dari Dapertemen Perguruan Tinggi IPNU itu sangat terbatas

sekali. Terbukti untuk duduk sebagai anggota PPMI (Persatuan Perhimpunan

Mahasiswa Indonesia), suatu konfederasi organisasi mahasiswa ekstra

universitas tidak mungkin bisa, sebab PPMI merupakan organisasi yang

hanya menampung ormas-ormas mahasiswa. Apalagi dalam MMI (Majelis

Mahasiswa Indonesia), suatu federasi dari Dewan/Senat Mahasiswa, juga tak

mungin dilakukan.

Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan dalam rapat pimpinan pusat IPNU itu: Pertama, wadah dapartemen perguruan tinggi tidak lagi memadai, tidak cukup kuat untuk mewadahi gerakan mahasiswa. Kedua, perkembangan politik dan keamanan dalam negeri menuntut pengamatan yang ekstra hati-hati, khususnya bagi mahasiswa Islam. Ketiga, satu-satunya wadah kemahasiswa

Islam yang ada pada waktu itu ialah HMI, yang tokoh-tokohnya dinilai terlalu dekat dengan Partai Masyumi, sedangkan tokoh Masyumi telah terlibat dalam pemberontakan PRRI.52

Ada beberapa situasi dan kondisi yang melatar belakangi proses kelahiran PMII saat itu, antara lain situasi politik Negara Republik Indonesia, posisi umat Islam

Indonesia, dan keadaan organisasi mahasiswa saat itu. Yang dimaksud dengan keadaan organisasi mahasiswa di sini adalah suatu wadah aktivitas para mahasiswa di luar kampus. Dengan wadah seperti itu aktivitas mahasiswa banyak memberikan

52Ibid., hlm. 4. 42

andil besar terhadap pasang surut sejarah bangsa Indonesia, khususnya generasi muda. Generasi muda khususnya mahasiswa merupakan kelompok terpelajar yang mendapat perhatian dari pemerintah, lantaran menyangkut masa depan kehidupan bangsa. Situasi dunia kemahasiswaan saat itu banyak terkait dengan kondisi politik nasional. Sebab sejarah kemahasiswaan di Indonesia pun paralel dengan apa yang terjadi pada masa 1950-an, kegiatan mahasiswa pada masa itu banyak berkaitan dengan persoalan-persoalan politik, sebab mahasiswa pada masa itu lebih cenderung merupakan alat politik.53

Keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis diimbangi pula oleh aktivitas- aktivitas di bidang kepemudaan, baik dalam skala nasional maupun internasioal.

Porpisi dan FPII (Front Pemuda Islam Indonesia) adalah dua organisasi yang telah mengantarkan peran serta para pemuda Islam Indonesia. Kemudian juga kehadiran

GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) sebelumnya telah memainkan peran penting dalam hubungannya dengan BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) yang dipimpin oleh Khairul Saleh.54

Sementara PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan MMI

(Majelis Mahasiswa Indonesia) yaitu wadah federatif organisasi ekstra dan intra- universitas telah memberi warna tersendiri dalam dunia kemahasiswaan. Dalam perjalanan sejarahnya PMII dan MMI juga tidak bisa terlepas dari soal politik. Oleh

53Ibid., hlm. 6. 54Ibid., hlm. 7. 43

karena itu pada 1950-an tidak lepas dari adanya persaingan politik antara kedua organisasi tersebut dan berlangsung hingga 1965 di saat meletus G30SPKI. PMII dan

MMI didominasi oleh CGMNI yang berhaluan komunis kemudian tamat riwayatnya bersamaan dengan penggayangan terhadap G30SPKI.55

Melihat dinamika kehidupan mahasiswa seperti diatas telah mendorong sekelompok Mahasiswa Nahdliyin untuk ikut berperan di dalamnya, sebab dalam suasana seperti itu Mahasiswa Nahdliyin merasa tidak cukup tersalurkan aspirasinya hanya melalui HMI. Oleh karena itu, para mahasiswa Nahdliyin ini pun membentuk wadah tersendiri yaitu PMII.

4. Kemunculan IMM

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berdiri pada 14 Maret 1964. Para pendiri organisasi ini adalah Djazman Al-Kindi, M. Amien Rais, A. Sulamo, Sudibjo

Markus, Katolani, Slamet Sukirnanto, Dzulkabir, Rosjad, dan A. Muis dari IAIN

Yogyakarta. Sebagian mahasiswa ini berasal dari Sekolah Kedokteran dan Fakultas

Sosial Politik UGM. Para mahasiswa dari fakultas-fakultas ini mewakili kepedulian untuk melancarkan layanan-layanan sosial terutama pelayanan kesehatan bagi masyarakat bawah dan juga melancarkan kritik ideologis terhadap lawan-lawan politiknya.56

55Ibid., hlm. 8. 56Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, hlm. 472. 44

Kelahiran IMM sendiri merupakan refleksi dari bobroknya moralitas-akhlak mahasiswa, umat, bangsa, politik, pendidikan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Maka, secara tegas IMM mengatakan dirinya sebagai gerakan Islam yang ber-aqidah Islam bersumber pada Alquran dan Sunnah. Dengan cita-cita dan tujuan besar mengusahakan terbentuknya akademisi-intelektual Islam yang berakhlak mulia demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarnya.57

Berdirinya IMM dilandasi oleh dua faktor integral, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu bersal dari Muhammadiyah sendiri, sedangkan Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar Muhammadiyah, khususnya umat Islam

Indonesia dan pada umumnya apa yang terjadi di Indonesia.58

Faktor internal berdirinya IMM lebih dominan dalam bentuk motivasi idealisme, yaitu motif untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah, yaitu faham dan cita- cita Muhammadiyah. Pada awal dalam gerakan dakwahnya Muhammadiyah telah memiliki organisasi otonom seperti Pemuda Muhammadiya dan Naasyi’atul Aisyiyah yang dianggap cukup mampu menampung mahasiswa dan putra-putri

Muhammadiyah untuk melaksanakan aktivitas keilmuan, keagamaan, dan kemasyarakatan. Namun, pada Muktamar Muhammadiyah ke-25 di Jakarta 1963, dihembuskan cita-cita untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah sekaligus

57Amirullah, IMM untuk Kemanusiaan dari Nalar ke Aksi, (Jakarta: CV. Mediatama Indonesia, 2016), hlm. 247-248. 58Aisyah Rosita Kumalaningtyas, “Ideologi dan Sejarah Kemuhammadiyahan dan IMM”, www. academia. edu. 45

agar mampu menghimpun mahasiswa Muhammadiyah dalam bentuk wadah organisasi otonom. Pasca lahirnya PTM pada akhir 1950-an mendorong kuat untuk mendirikan organisasi mahasiswa Muhammadiyah.59

Menjelang muktamar di Jakarta 1962, mahasiswa Muhammadiyah mengadakan kongres mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Kongres ini merupakan upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah. Dorongan ini juga muncul dari mahasiswa Muhammadiyah di Jakarta, maka PP Pemuda

Muhammadiyah mengusulkan kepada PP Muhammadiya untuk mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah dengan disetujui PP

Muhammadiyah maka dibentuklah IMM.60

Faktor ekternal berdirinya IMM dipengaruhi oleh keadaan dan kehidupan umat

Islam yang masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Sementara itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi komunis

(PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar golongan dan partai politik. Pergolakan organisasi mahasiswa antara 1950 s/d 1965 membawa perubahan peta pergerakan organisasi kemahasiswaan. Seiring dengan dominannya PKI dalam percaturan politik 1965, HMI yang identik dengan Masyumi menjadi sasaran politik pemberangusan lawan politiknya, PKI. Sehingga muncul

59Ibid. 60Ibid. 46

desakan untuk membubarkan HMI oleh PKI. Kondisi ini merupakan sinyal bahaya bagi eksponen mahasiswa Muhammadiyah. Sehingga, dibutuhkan organisasi alternatif untuk menyelamatkan kader-kader Muhammadiyah yang ada di HMI. Oleh karena itu, didirikanlah IMM.61

B. Upaya Pembentukan Identitas Kolektif Mahasiswa Islam di Indonesia

Upaya pembentukan identitas dan ideologi kolektif mahasiswa muslim di

Indonesia sendiri disebabkan karena adanya ancaman-ancaman eksternal dari front nasional dan komunis. Selain organisasi-organisasi mahasiswa Islam banyak bermunculan, muncul juga organisasi-organisasi mahasiswa Kristen (Protestan dan

Katolik) dan tradisi-tradisi intelektual sekuler. Wakil tradisi intelektual Kristen adalah

HMKI dan PMKRI. Wakil tradisi intelektual nasional adalah Gerakan Mahasiswa

Nasional Indonesia (GMNI) dan Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo). Tradisi intelektual sosialis diisi oleh Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos). Mahasiswa- mahasiswa yang bercorak PSI mungkin bergabung dengan organisasi-organisasi mahasiswa lokal yang relative independen, antara lain Serikat Organisasi Mahasiswa

Lokal (SOMAL). Tradisi intelektual komunis diisi oleh Central Gerakan Mahasiswa

Indonesia (CGMI) selain itu ada juga organisasi mahasiswa radikal kiri lain, yaitu

Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi) yang didirikan pada akhir 1950-an oleh sekelompok kecil mahasiswa radikal keturunan Cina. Pada mulanya Perhimi merupakan organisasi yang berorientasi Belanda dan eksklusif keturunan Cina.

61Ibid. 47

Organisasi-organisasi ekstra kampus ini bersatu secara longgar dalam Perserikatan

Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI, berdiri 1947).62

Sementara itu, dalam setiap universitas juga terdapat sebuah lembaga mahasiswa intra-kampus yang hanya beroperasi di lingkungan kampus universitas bersangkutan.

Organisasi ini disebut organisasi intra-kampus. Lembaga eksekutif mahasiswa intra kampus di tingkat universitas disebut sebagai Dewan Mahasiswa, sedang pada level fakultas terdapat Senat Mahasiswa Fakultas. Organisasi-organisasi mahasiswa ekstra- kampus saling bersaing untuk menempatkan anggotanya ke dalam setiap Dewan

Mahasiswa dan Senat Mahasiswa Fakultas. Selain itu, pada awal 1957, sebuah forum nasional organisasi-organisasi intra-kampus dibentuk di bawah pengawasan

Dapartemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, yang dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah untuk memainkan pengaruhnya ke universitas-universitas.

Forum Nasional Dewan Mahasiswa ini disebut sebagai Majelis Mahasiswa Indonesia

(MMI). Forum ini juga menjadi medan pertarungan persaingan politik di antara front- front mahasiswa yang menjadi perpanjangan partai. Persaingan supremasi juga terjadi pada tingkat tertentu antara MMI dan PPMI dalam memperebutkan posisi juru bicara resmi atas nama semua mahasiswa Indonesia.63

Pada awal-awal 1960-an, ketegangan politik mahasiswa sangat tajam yang menyebabkan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra dan intra kampus serta forum-

62Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, hlm. 474-476. 63Ibid., hlm. 476. 48

forum mahasiswa lain menjadi sangat terpolitisasi. Meski beragam, ada dua blok utama yang mencerminkan polarisasi antara elemen –elemen yang pro dan anti rezim.

Pendukung utama pro-rezim adalah GMNI yang didukung CGMI, Germindo, dan

Perhimi. Pendukung utama anti-rezim adalah HMI, yang didukung oleh Gemsos,

PMKRI, PMII, IMM, dan dalam tingkatan tertentu GMKI. Yang cukup menarik meskipun NU, Partai Katolik dan Parkindo bergabung dalam Front Nasional yang tengah berkuasa, organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengannya cenderung menggabungkan diri dengan para mahasiswa anti-kemapanan. Dalam kasus PMII, segera setelah G30SPKI 1965, dia mengambil jarak dari NU dan bergabung dengan gerakan mahasiswa anti-kemapanan.64

Sebagian besar pemimpin PMII pada pertengahan 1960-an berada di bawah patronase Subchan Z.E. (wakil ketua NU) daripada (ketua NU).

Pertarungan sengit terjadi antara GMNI dan HMI. kedua organisasi melakukan pelbagai upaya untuk mendominasi forum-forum, dewan-dewan, dan senat-senat mahasiswa di mana pertarungan paling ketat terjadi di universitas-universitas elite.

Namun, setelah Masyumi dinyatakan terlarang pada 1960, HMI karena koneksi kuatnya kuat dengan partai tersebut semakin bersikap defensif.

GMNI dan sekutunya kemudian mendominasi forum-forum demokrasi terpimpin, baik di dalam maupun di luar kampus. Forum-forum mahasiswa dan sejumlah besar Dewan Mahasiswa dan Senat fakultas dengan cepat berada di bawah

64Ibid., hlm. 476. 49

kontrol para pendukung GMNI yang berhasil mengalahkan organisasi lain, terutama

HMI dan kelompok-kelompok mahasiswa yang terorganisasi dalam lembaga- lembaga intra kampus. Pada kongres nasional MMI yang diadakan pada April 1964 di

Malino (Sulawesi Selatan), GMNI menguasai kepengurusan MMI yang baru dengan meraih 18 dari 24 posisi. Di tengah-tengah situasi ini, dewan-dewan mahasiswa di UI dan ITB, yang masing-masing dipimpin oleh Bakir Hasan dari HMI dan Muslimin

Nasution dari kelompok independen, menolak hasil pemilihan itu dengan alasan bahwa hasil itu merupakan penghinaan terhadap dua universitas tertua dan paling prestusiun di negeri ini. Sebagai konsekuensinya, kedua Dewan Mahasiswa dikeluarkan dari keanggotaan MMI.65

Kampanye anti HMI menjadi lebih agresif setelah insiden MMI itu. HMI dituduh sebagai anti-Manipol dan kontra revolusi dan dicap sebagai Onderbouw Masyumi.66

GMNI dan sekutu-sekutunya mulai menuntut agara HMI dilarang. Berhadapan dengan ancaman itu HMI dapat bertahan hidup karena strateginya dengan menjalin hubungan dengan Soekarno, dan terutama karena HMI menerima Manipol-USDEK.67

Secara internal, sebagai reaksi atas serangan ideologis dari gerakan-gerakan mahasiswa kiri, kerangka berpikir HMI menjadi semakin terIslamkan. Secara eksternal, karena kebutuhan mendesak untuk mengembangkan aliansi-aliansi strategis dengan para pelaku politik dan kelompok non-Islam, terutama untuk memastikan

65Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, hlm. 478. 66Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini; Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, (Jakarta: Jalasutra, 2013), hlm. 62. 67Ibid., hlm. 63. 50

jaminan Soekarno bahwa HMI tetap diperbolehkan hidup, HMI terpaksa mengembangkan bahasa politik yang inklusif (nasionalistik). Ketegangan antara dua arus ini membuat corak-kuat keIslaman HMI diperlunak dengan relasi inklusif.

Namun, di luar kecenderungan umum ini, para anggota HMI mulai terbelah menjadi dua kecenderungan rasional dan ideasional “eksklusif” (Islamis) dan “inklusif”

(liberal).68

Gerakan G30SPKI merupakan titik balik bagi kebangkitan kembali HMI. kegagalan maneuver politik PKI dan perlawanan balik yang cepat dari Angkatan

Darat terhadap gerakan itu melahirkan iklim politik yang menguntungkan gerakan mahasiswa anti-kemapanan. Karena PPMI tak lagi relevan dalam situasi politik yang baru itu, pada akhir Oktober 1965, para mahasiswa anti-kemapanan membuat sebuah koalisi longgar yang terdiri dari organisasi-organisasi mahasiswa ekstra-kampus dengan dukungan dan perlindungan angkatan darat. Front persatuan yang bersifat longgar ini dikenal dengan Kesatuan Mahasiswa Indonesia (KAMI). Mengingat

Soekarno masih berkuasa dan hubungan NU dengannya masih kuat, Zamroni mahasiswa IAIN dari PMII ditunjuk sebagai ketua presidium KAMI yang pertama.69

Meletusnya G30S/PKI menimbulkan kesadaran baru di tengah mahasiswa.

Gelombang masa menyuarakan agar PKI ditumpas sampai ke akar-akarnya, karena

68Yudi Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke- 20, hlm. 478-479. 69Ibid., hlm. 480. 51

sudah berulang kali membahayakan kehidupan bangsa.70 Pada saat yang sama juga muncul tuntutan untuk stabilisasi pemerintahan yang terkooptasi Komunis, serta upaya pemulihan perekonomian melalui penurunan harga. Tiga Tuntutan Rakyat

(Tritura) ini disuarakan pada 10 Januari 1966 oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa

Indonesia (KAMI)71 yang diikuti HMI. Sebulan sebelum demonstrasi kampus secara besar-besaran, sembari mengabaikan tuntutan KAMI, Soekarno malah membentuk kabinet baru dengan membawa beberapa orang yang dikenal sebagai simpatisan

Komunis.72

Rangsangan Presiden Soekarno ini memancing protes amarah baru kalangan mahasiswa yang didukung oleh Angkatan Darat. Sekali lagi KAMI, dipimpin oleh

HMI, melancarkan demonstrasi besar-besaran. Kali ini bergerak dari kampus langsung menuju kegerbang istana Presiden. Di sini mereka mengulangi tuntutannya agar Presiden membubarkan Partai Komunis. Tetapi sekali lagi suara mereka tak ditanggapi. Akibatnya terjadi bentrokan kekerasan antara mahasiswa dengan pasukan pengawal istana yang menimbulkan korban mahasiswa tewas. Presiden Soekarno mengobarkan pertentangan mengenai komunis sampai ketitik-didih yaitu dengan tindakannya yang paling akhir, pembubaran KAMI, yang dengan sendirinya mengakibatkan para mahasiswa dan golongan-golongan anti-komunis lainnya mengamuk. Hingga Soekarno merasa terdesak dan akhirnya mengeluarkan surat

70Taufik Adi Susilo, Ensiklopedi Presiden Republik Indonesia: Soekarno, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 142-147. 71Francois Raillon, Politik dan Ideology Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, hlm. 17. 72Ibid., hlm. 18. 52

perintah 11 Maret 1966 kepada Letjen Suharto untuk pembubaran PKI dan penyerahan sebagian kekuasaannya.73

Tidak berhenti sampai di situ, mahasiswa Indonesia berada di garis depan dalam kampanyenya melawan Presiden Soekarno yang masih berkuasa. Merasa memiliki tugas sejarah, dengan dukungan yang kuat, mahasiswa Indonesia memimpin perjuangan angkatan ’66. Perlunya menjatuhkan Soekarno karena dianggap sebagai lambang dan penanggungjawab dari satu tirani yang korup dan sikap tidak kompeten.

Presiden musti mundur, sehingga keadilan atas kesalahan-kesalahan di masa lampau dapat ditegakkan. Pribadi dan gaya pemerintahannya dianggap satu penghalang untuk melakukan rehabilitas ekonomi dan modernisasi Indonesia. Yang terakhir dan utama adalah tetapnya Soekarno sebagai kepala Negara akan menciptakan dualisme politik yang akan melumpuhkan dan memecah belah Indonesia. Serangan terhadap Soekarno dilakukan melalui tulisan-tulisan dan juga lewat aksi-aksi melalui badan kerjasama pers dan kesatuan aksi.74

Sampai kemudian pada sidang paripurna MPRS, jalan-jalan raya di ibu kota dan

Bandung di duduki berbagai gerakan pemuda menyerang kewibawaan dan politik

Presiden: “Mencabut keputusan MPRS yang bertentangan dengan UUD ’45 (No. 2.

Juni 1966)”, jabatan Presiden seumur hidup Inkonstitusional, (no. 1 Juni 1966).

Bahwa Soekarno adalah pencipta Pancasila dipertanyakan”. Pidato 9 pasal berjudul

73Francois Raillon, Politik dan Ideology Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, hlm. 19. 74Ibid., hlm. 47. 53

Nawaaksara yang dibicarakan Soekarno di muka MPRS dinyatakan tidak memuaskan.75

Pada 5 Juli, dengan selesainya sidang MPRS Jenderal Nasution sebagai ketua

MPRS, badan ini juga mengesahkan Surat Perintah Sebelas Maret yang berisikan pelimpahan wewenang dari Soekarno ke Suharto. Selain itu hak Soekarno sebagai

Presiden seumur hidup di cabut, MPRS juga membubarkan Kabinet Dwikora yang dipimpin oleh Soekarno. Suharto diminta membuat kabinet baru yang disebut dengan

Kabinet Ampera. Pemilihan umum dicanangkan harus diadakan paling lambat 5 Juli

1968.76 Maret 1967, Soekarno ditolak pertanggungjawabannya dan digantikan

Suharto sebagai pejabat Presiden.77

Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti komunis sekitar pertengahan 1960-an membantu mengukuhkan solidaritas kolektif di kalangan para intelektual muda.

Dengan kesamaan pengalaman, proyek historis, dan bahasa anti kemapanan, generasi keempat intelegensia Indonesia pun tampil dalam ruang publik. Dengan kehadiran generasi ini, intelegensia muda muslim hadir untuk pertama kalinya dalam sejarah

Indonesia memperlihatkan posisinya yang dominan.

Setelah Orde baru memunculkan banyak harapan untuk stabilnya keamanan dan pembangunan. Namun sikap pemerintah yang Represif dan otoriter membuat kekecewaan masyarakat. Islam dicurigai. Organisasi-organisasi Islam seperti HMI

75Ibid., hlm. 46-47. 76Ibid,. hlm. 48. 77Said Muniruddin, Bintang Arasy: Tafsir Filosofis-Gnostik Tujuan HMI, hlm. 29. 54

pun ikut terancam akan dibubarkan. Organisasi-organisasi Islam menghadapi ancaman bubar oleh Orba karena dipaksa menerima azas tunggal Pancasila melalui

UU. No. 8 tahun 1985, yang berakhir pada terbelahnya HMI menjadi dua kubu yaitu:

DIPO dan MPO.78

Pembaruan politik yang dilakukan pemerintah orde baru secara mendasar meliputi tiga hal: 1. Perubahan orientasi pembangunan dari orientasi ideologis ke orientasi program, 2. Penyederhanaan partai, dari Sembilan partai, dan satu Golkar, menjadi dua partai79 dan satu Golkar, 3. Pembaruan di bidang ideologi, yaitu seluruh partai dan organisasi kemasyarakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai satu- satunya asas.80

Tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas, dimulai sejak dibicarakannya RUU tentang organisasi kemasyarakatan di DPR pada 1983. RUU tersebut baru disahkan menjadi UU No. 8 pada 17 Juni 1985. Dengan disahkannya UU tersebut, Pancasila ditempatnya secara proporsional. Penempatan Pancasila pada area kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara dipahami sebagai langkah yang rasional dan objektif guna memperkukuh wawasan kebangsaan. Dengan berlakukanya UU ini, organisasi kemasyarakatan yang sudah ada diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri, selambat-lambatnya dua tahun. Apabila sampai batas waktu tersebut partai dan

78Ibid,. hlm. 30. 79Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hlm. 522. 80Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan HMI, 1947-1997, hlm. 132. 55

Ormas belum menyesuaikan diri, menurut pasal 15 UU Ormas tersebut, pemerintah dapat membubarkan partai dan organisasi tersebut.81

Karena konsep Presiden Soeharto tentang asas tunggal Pancasila akhirnya berdampak pada terpecahnya HMI menjadi dua kubu. Kubu pertama dinamakan HMI

MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), yang menolak Pancasila sebagai asasnya, pertimbangan sederhana dari penolakan ini adalah bahwa HMI akan semakin kehilangan Independensi sebab ketentuan azas tunggal Pancasila dianggap sangat menghambat proses revitalisasi perkaderan dan upaya rekayasa masa depan peradaban muslim,82 dan kedua HMI (HMI DIPO) yang menerima

Pancasila sebagai asasnya.83

Berbeda dengan HMI, PII memutuskan untuk menolak pancasila sebagai asas tunggal. Pada 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka secara resmi, sejak saat itu PII tidak diakui lagi keberadaannya secara formal.84

C. Sejarah Awal Berdirinya HMI di Palembang

Setelah kogres ke-2 HMI 1951, perkembangan HMI maju pesat. Dimana ada perguruan tinggi, maka didirikanlah cabang HMI. Ini merupakan suatu prestasi yang

81Ibid., hlm.133. 82Ahmad Syafi”i Safinuddin, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, (Jakarta: Hijau Hitam, 2003), hlm. 66. 83Ibid,. hlm. 138. 84Ahmad Aziz Tabba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hlm. 273. 56

patut dibanggakan pada masa kepengurusan A. Dahlan Ranuwiharja sebagai Ketua

Umum PB HMI. Selanjutnya dalam posisi kemantapan itu, diselenggarakan kongres ke-3 HMI sesuai dengan ketentuan AD/ART HMI. Kongres berlangsung di Bandung pada 30 Agustus sampai dengan 5 September 1953, dengan dihadiri Sembilan cabang: Yogyakarta (5 Februari 1947), Jakarta (1950), Bandung (1950), Surabaya

(1953), padang (1951), Makassar (1953), Medan (1952), Surakarta (1952) dan Bogor

(1952).85 Dengan terbentuknya Sembilan cabang di tiap-tiap Universitas yang ada di ibukota berarti HMI cabang di Kepulauan Nusantara telah lengkap meskipun belum tersebar luas di setiap kota-kota Provinsi. Di antara keputusan kongres yang terpenting adalah mengesahkan AD/ART HMI yang dikonsepkan HMI cabang

Yogyakarta, pengesahan atribut dan lambang HMI, yang diciptakan oleh Ahmad

Sadali (Alm) dari HMI Cabang Bandung. Serta menetapkan Deliar Noer sebagai

Ketua Umum PB HMI.86

Dari awal berdirinya HMI terus tumbuh. Dari hari kehari menjamur ke seluruh

Ibu kota Provinsi di mana terdapat perguruan tinggi. Dengan demikian, HMI semakin popular dikalangan masyarakat. Perkembangan HMI setelah kongres ke-3 terus meluas, sehingga pada 1954 HMI sampai di kota Palembang. Pertumbuhan perguruan tinggi di seluruh Nusantara berjalan dengan cepat seiring dengan pertumbuhan HMI di setiap ibu kota Provinsi.

85Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993, (Jakarta: Misaka Galiza, 2008), hlm. 23-24. 86Ibid,. hlm. 24. 57

a. Inisiatif Mendirikan HMI Cabang Palembang

Secara Historis, pada 7 April 1954 secara resmi dibentuklah HMI Cabang

Palembang dengan status anak cabang tanpa adanya susunan kepengurusan.87

Diberikannya status anak cabang karena anggotanya belum mencukupi dan juga belum pernah diadakannya musyawarah anggota untuk memilih ketua umum dan susunan pengurus sebagai syarat utama berdirinya sebuah cabang penuh.88

Menurut Tamami Takrori (Ketua Umum HMI Cabang Palembang 1960-1961) mengatakan: “HMI Cabang Palembang berdiri pada dasarnya sama dengan berdirinya

HMI di Jakarta yaitu, adanya persatuan dan kesatuan mahasiswa dalam menghadapi politik di Indonesia. Pada waktu berdirinya HMI Cabang Palembang, sudah berdiri beberapa Perguruan Tinggi di antaranya Pergurun Tinggi Islam Sumatera Selatan

(PTISS) yang menjadi cikal bakal berdirinya IAIN Raden Fatah Palembang serta

Universitas Syakhyakirti, di mana pada waktu itu terjadi perbedaan pandangan antara mahasiswa. Salah satu untuk mengurangi perbedaan itu, maka dibentuklah HMI untuk menampung aspirasi mahasiswa. Hal ini disebabkan karena mahasiswa yang belajar di Perguruan Tinggi Umum kurang pengetahuan agama dan mahasiswa yang belajar di Perguruan Tinggi Agama kurang pemahaman umum.89

87Budi Riyoko, Kumpulan Materi dan Puisi Materi Tentang: Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, Kepemimpinan Managemen Organisasi, Sejarah Perjuangan HMI, KeKohatian, Pengantar Filsafat Ilmu dan Teknik Persidangan, Serta Silabus Untuk Senior Couse, (Palembang: Lembaga Pengelola Latihan Cabang Indralaya, t.th), hlm. 117. 88Lihat AD/ART HMI pasal 30 tentang pendirian cabang. 89Budi Riyoko, Kumpulan Materi dan Puisi Materi Tentang: Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, Kepemimpinan Managemen Organisasi, Sejarah Perjuangan HMI, KeKohatian, Pengantar Filsafat Ilmu dan Teknik Persidangan, Serta Silabus Untuk Senior Couse, hlm. 121. 58

Sedangkan menurut (Ketua Umum Periode 1974-1976) mengatakan: HMI Cabang Palembang bukan didirikan atas surat keputusan PB HMI melainkan atas musyawarah yang diadakan oleh organisasi Islam yang ada di

Palembang yang dipelopori oleh Dahlan Husen dan Siti Zaenah serta Rusdy

Chosim.90

Berdarkan perdebatan itu berdirinya HMI Cabang Palembang tidak lepas dari dua orang mahasiswa Palembang yang juga merupakan pendiri HMI pertama di

Yogyakarta yaitu: Dahlan Husein dan Siti Zaenah. Pada 1952 setelah keduanya kembali ke Palembang dan melihat telah adanya Perguruan Tinggi Syakhyakirti.

Muncullah ide untuk mendirikan HMI di Palembang. Ide itu pun disampaikan kepada

Rusdhy Chosim dan A. Muthalib Yusuf yang menjadi Mahasiswa di Fakultas

Ekonomi Syakhyakirti Palembang, karena ketertarikan mereka terhadap HMI, maka keduanya pun mencari teman-teman yang mau masuk HMI. Setelah mendapat delapan orang anggota pada awal Februari 1954 yang terdiri dari: Rusdy Chosim, A.

Muthalib Yusuf, Daud Ukabi, Ahmad Rawi Yazid, H. A Majid, Sihabar, Chadijah

Saman, dan Anam Bastari Ahmad. Mereka pun mendirikan HMI Cabang Palembang, untuk itu dibuatlah surat menyurat untuk dilaporkan ke HMI pusat di Jakarta.91

Pada 7 April 1954 PB HMI mengeluarkan keputusan bahwa resmi dibentuk HMI

Cabang Palembang dengan status anak cabang tanpa adanya pengurus. Diberikannya status anak cabang karena pada waktu itu anggota HMI hanya tujuh orang sedangkan

90Ibid. 91Wawancara dengan Umar Husen (Ketua Umum HMI Cabang Palembang Periode 1985-1986) pada Selasa, 28 Mei 2018 di Palembang. 59

untuk mencapai cabang penuh anggotanya harus berjumlah lima belas orang.

Peraturan ini diatur dalam ART HMI pasal 30 pada bagian dua tentang syarat-syarat menjadi cabang penuh.92

Setelah jumlah anggotanya 15 orang, pada 15 Oktober 1955 di ruang

Syakhyakirti (sekarang Ruang Kuliah Fakultas Hukum di Bukit Besar Unsri) pada pukul 10.00 WIB diadakanlah musyawarah anggota dengan agenda pemilihan Ketua

Umum. Dari musyawarah tersebut akhinya terpilihlah Rusdhy Chosim sebagai

Formatur, dan A. Muttalib Yusuf serta Daud Ukabi masing-masing sebagai Mide

Formatur. Setelah pemilihan Ketua Umum, maka disusun komposisi pengurus cabang yang sudah disepakati oleh semua anggota HMI yang hadir dalam musyawarah tersebut. Komposisi pengurus cabang tersebut kemudian di kirim ke PB HMI di

Jakarta selanjutnya berdasarkan laporan tersebut PB HMI mengeluarkan surat keputusan No: 007/A/SEK/1955 pada 13 November 1955 yang isinya mengesahkan pengurus HMI Cabang Palembang masa bakti 1955-1956.93

Dari uraian di atas, ada tiga kelompok yang berperan dalam pendirian HMI

Cabang Palembang yaitu: kelompok pertama, yang disebut sebagai pemerakarsa berdirinya HMI yaitu orang yang pertama kali mempunyai ide untuk mendirikan HMI di Palembang yang terdiri dari Dahlan Husein dan Siti Zaenah. Kelompok kedua, disebut dengan pendiri HMI Cabang Palembang yaitu mahasiswa yang mempunyai peran dalam proses pendirian awal HMI Cabang Palembang serta menjadi anggota

92AD/ART HMI Pasal 30 Bagian Dua Tentang Syarat-Syarat Menjadi Cabang Penuh. 93Wawancara dengan Kurnati Abdullah, Anggota HMI Periode 1965-1967 Komisariat AANN Palembang, Pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 60

yang pertama. Pendirian itu terdiri dari Rusdhy Chosim, A. Muthalib Yusuf, Daud

Ukabi, A. Rawi Yajiz, H. A Majid, Sihabar, Chodijah Saman, dan Anam Bastari

Rahman. Kelompok ketiga, disebut pengurus HMI Cabang Palembang yang pertama yaitu Rusdhy Chosim sebagai Ketua, A. Muahlib Yusuf sebagai Wakil Ketua I, Daud

Ukabi sebagai Wakil Ketua II, A. Rawi Yazid sebagai Sekertaris I, Moch

Choesnoeon sebagai Sekertaris II, Sihabar sebagai Bendahara I, Chodijah sebagai

Bendahara II, Abdullah Sidioq dan A. Hanan TN sebagai Ketua Seksi Penerangan, H.

A. Majid bergerak di bidang Pendidikan dan Sudiro bergerak di bidang Perpustakaan.

b. Hubungan Antara Daerah dan Pusat

Oleh karena di Palembang pada saat itu telah ada perguruan tinggi Syakhyakirti, maka didirikanlah HMI Cabang Palembang dengan status anak cabang, karena anggotanya belum mencukupi. Setelah jumlah anggota mencukupi sekitar 15 orang, maka pada 15 Oktober 1955 diadakanlah musyawarah anggota dengan agenda pemilihan ketua umum; sehingga terpilihlah Rusdhyi Chosim sebagai Ketua Umum.94

Dengan berubahnya status dari anak cabang ke cabang penuh, dimulailah untuk mengenalkan HMI di perguruan tinggi. Perekrutan anggota berdasarkan pendekatan perseorangan dengan membawa formulir pendaftaran serta langsung mengisi dan mengembalikan hari itu juga kepada pengurus cabang. Dengan adanya kegiatan ini

PB HMI yang seharusnya melakukan pembinaan merasa tidak perlu lagi untuk melakukan pelatihan. Namun, setiap dua bulan sekali PB HMI menerima laporan

94Wawancara dengan Budi Riyoko, (Pengurus HMI Cabang Palembang periode 1995-2000), pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 61

perkembangan HMI Cabang Palembang baik dari pengurus maupun jumlah anggota.95

Akan tetapi, karena adanya kesalah pahaman terhadap kesekretariatan HMI

Cabang Palembang yang terletak di Jalan Sayangan 620 Kelurahan 17 Ilir, yang mulanya milik organisasi terlarang Partai Perkumpulan Buruh Mesin Gin Ngal

(BAPERKI/PKI) yang diambil alih oleh HMI Cabang Palembang pada 1967. Untuk menyelesaikan masalah ini, kesekretariatan diserahkan ke Dandim 0918 Garnizum

Palembang.96 Dengan adanya peristiwa itu, proses perkaderan untuk memperoleh anggota baru tidak terlaksana dan hubungan HMI Cabang Palembang dengan pengurus pusat terputus, karena tidak adanya alamat kesekretariatan.97 Namun, sejak

1987 akhirnya kesekretariatan dipindahkan ke Yayasan Pembinaan Umat (YPU) yang terletak di Jalan Radial No.1321-24 Ilir Palembang.

c. Nuansa Perkaderan HMI di Palembang

Setelah lebih dari satu tahun status anak cabang disahkan menjadi cabang penuh pada November 1955, hambatan yang dialami oleh pengurus pertama dalam menjalankan tugas sehari-hari menyangkut persoalan kesekretariatan, persoalan dana awal untuk menjalankan kegiatan dan minimnya pengalaman pengurus. Untuk melancarkan kegiatan organisasi kesekretariatan menumpang di rumah Abdul

95Ibid. 96Wawancara dengan Umar Husen (Ketua Umum HMI Cabang Palembang Periode 1985-1986), pada Selasa, 28 Mei 2018 di Palembang. 97Wawancara dengan Budi Riyoko, (Pengurus HMI Cabang Palembang periode 1995-2000), pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 62

Muthalib (Wakil Ketua II) yang terletak di Jl. Pagar Alam No.10 dan untuk perlengkapan organisasi masih kurang seperti Bendera, Stempel dan Kop Surat.98

Permasalahan yang dihadapi HMI Cabang Palembang awal berdirinya adalah masalah kesekretariatan dan keuangan. Sebagaimana wawancara yang dilakukan oleh

Budi Riyoko dengan Rusdi Chosim pada 11 Maret 2000, mengatakan:

“kesekretariatan selalu pindah sesuai dengan siapa yang menjadi sekretaris umum.

Kesekretariatan lama berada di Pagar Alam No. 10 kemudian dipindahkan ke Jalan

Ario Damar No.17. karena yang menjadi sekertaris umum adalah Moh. Nazib yang tinggal di sana. Masalah keuangan yang belum mencukupi karena iuran anggota belum berjalan, sehingga setiap mengadakan kegiatan sering meminta bantuan dengan membuat proposal kegiatan”.99

Mula-mula keanggotaan HMI Cabang Palembang pada awal berdirinya berasal dari pengurus yang ditunjuk oleh PB HMI tanpa ada seleksi dan menerima anggota berdasarkan pengisian dan pengambilan formulir. Anggaran dasar yang digunakan mengacu pada anggaran dasar yang di pakai oleh PB HMI dengan penerapan secara

98Ibid,. 99Masalah keuangan dan harta benda diatur dalam AD/ART HMI bagian XII. Keuangan dan harta benda, Pasal. 52. Pengelolaan Keuangan dan Harta Benda. Sebagaimana terdiri dari 9 pasal, yaitu: 1. Prinsip halal maksudnya adalah setiap satuan dana yang diperoleh tidak berasal dan tidak diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 2. Prinsip transparansi maksudnya adalah adanya keterbukaan tentang sumber dan besar dana yang diperoleh serta kemana dan besar dana yang sudah dikelola. 3. Prinsip bertanggung jawab maksudnya adalah setiap satuan dana yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan sumber dan keluarnya serta tertulis belia perlu melalui bukti nyata. 4. Prinsif efektif maksudnya adalah setiap satuan dana yang digunakan berguna dalam rangka usaha organisasi mewujudkan tujuan HMI. 5. Prinsif efisien maksudnya adalah setiap satuan dana yang digunakan tidak melebihi kebutuhan. 6. Prinsif kesinambungan maksudnya adalah setiap upaya untuk memperoleh dan menggunakan dana tidak merusak sumber pendanaan untuk jangka panjang dan tidak membebani generasi yang akan datang. 7. Uang pangkal dan iuran anggota bersifat wajib yang besaran serta metode pemungutan ditetapkan oleh pengurus cabang. 8. Iauran anggota dialokasikan dengan proporsi 60% untuk komisariat, 40% untuk cabang. 63

fleksibel sesuai kondisi. Masa kepengurusan awal hanya digunakan untuk mencari anggota dan memperkenalkan HMI dikalangan mahasiswa ekonomi bersamaan dengan Dien Natalis IV Fakultas Ekonomi pada 31 Oktober 1957 dan diresmikannya

Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Perguruan Tinggi Syakhyakirti dengan

Ketua Umum A. Ghani Mustafa. Pada masa itu, keanggotaan HMI Cabang

Palembang dilakukan berdasarkan dari penunjukan hasil pengembalian formulir pendaftaran.100

Kegiatan HMI Cabang Palembang terus berkembang pada 1957-1958, dengan ketua umum Muchtar Abu Bakar. Kegiatan dibidang pendidikan melakukan kursus agama secara gratis setiap bulan. Seksi perpustakaan menjalin kerjasama dengan

Asian Foundation. Kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan antara lain, ikut sertanya HMI Cabang Palembang dengan Organisasi Badan Kontak Organisasi

Pemuda Islam Sumsel (BKOPISS) sebagai Ketua Dewan Pelaksana dalam Federasi

Badan Kerjasama Pemuda Pelajar Mahasiswa (BKKSPPM). Sebagai Ketua Pelaksana dan Dewan Pertimbangan di Badan Kerjasama Pemuda Militer II Sriwijaya.101

Pada 1958 HMI Cabang Palembang dikembangkan hingga ke perguruan tinggi

Islam yang diketuai oleh Ramli Muhammad serta dikembangkan juga di Akademi

Perniagaan yang diketuai oleh Darul Ulum. Pada masa ini juga diadakan pemilihan ketua umum yang dilaksanakan di Aula Perguruan Tinggi Islam Jl. Kepandean dengan terpilihnya kembali Rusdy Chosim sebagai ketua umum hingga 1960

100Wawancara dengan Budi Riyoko, (pengurus HMI Cabang Palembang periode 1995-2000), pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 101Ibid,. 64

menggantikan Muchtar Abu Bakar. Pada tahun ini untuk pertama kalinya diadakan kegiatan penerimaan anggota melalui pelatihan khusus yang disebut dengan Masa

Perkenalan Anggota (MAPERCA).102 Setelah kepemimpinan Rusdhy Chosim

Berakhir kemudian terpilihlah St Amiruddin Tahar sebagai ketua umum HMI Cabang

Palembang dari 1961-1963.

Hingga pada 1965-1966, di bawah pimpinan Aidil Fitrisyah sebagai ketua umum dan Marhami Ali sebagai sekretaris umum HMI Cabang Palembang merubah haluan politiknya kepolitik praktis dengan cara ikut dalam kepengurusan sekretaris bersama

Golongan Karya. Dengan berubahnya arah haluan politik ini, nilai perjuangan mengalami pergeseran dari perjuangan moral menjadi perjuangan politik praktis.103

Meskipun mengalami pergeseran prinsif pada masa ini dibetuklah HMI di tingkat Fakultas (Komisariat) seperti: HMI Komisariat IKIP Bandung Cabang

Palembang (sekarang FKIP UNSRI) pada 6 Desember 1965 dengan Ketua Umumnya

Ahmad Paitul Hambom dan Sekretaris Umumnya Asan zawani Alim. Kemudian disusul oleh Komisariat Pertanian pada 16 November 1966. Komisariat Ushuluddin

Lahat dengan Ketua Umumnya Segiawan Siwani dan Sekretaris Umumnya Sukarnu

B.104

102Wawancara dengan Budi Riyoko, (pengurus HMI Cabang Palembang periode 1995-2000), pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 103Wawancara dengan Darul Qudni (Pengurus Cabang Periode 1977-1978), pada Kamis, 10 Mei 2019 di Palembang. 104Budi Riyoko, Kumpulan Materi dan Puisi Materi Tentang: Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, Kepemimpinan Managemen Organisasi, Sejarah Perjuangan HMI, KeKohatian, Pengantar Filsafat Ilmu dan Teknik Persidangan, Serta Silabus Untuk Senior Couse, (Palembang: Lembaga Pengelola Latihan Cabang Indralaya, t.th), hlm. 128. 65

Selain pembentukan komisariat, usaha lain yang dilakukan adalah pembentukan lembaga khusus seperti: Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) yang diketuai oleh Yunus Hari (Fakultas Teknik) dan Asrur Dostunuan (Fakultas Hukum). Selain membentuk komisariat dan lembaga khusus juga dibentuk Koordinator HMI

Seberang Ulu dengan pimpinan Zainal Abidin dan Romzi Abdullah masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretris Umum. Di bidang perkaderan juga untuk pertama kalinya diadakan pelatihan dengan nama Basic Training dengan materi menyangkut keorganisasian, keIslaman, ke-HMI-an serta ikut kongres HMI ke-8 di Solo.105

Di bidang perkaderan, pada masa ini jumlah anggota meningkat sekitar 350 anggota muda dan 75 anggota luar biasa.106 Dengan jumlah 24 komisariat yang terdiri dari Komisariat UNSRI (Ekonomi, Hukum, Teknik, Kedokteran, Pertanian). IAIN

(Syariah, Ushuluddin, Tarbiyah), IKIP Bandung Cabang Palembang (Ilmu

Pendidikan, Ilmu Sosial, Keguruan, Ilmu Eksakta, Seni dan Sastra), Fakultas

Ushuluddin Yayasan Perguruan Tinggi Sumatera Selatan (FU-YPIT SS). Akademi

Akuntansi Negara (AAN), Akademi Koperasi Negara (AKN).107

Pada 1967-1968 jumlah angggota mencapai kurang lebih 305 anggota muda dan

85 anggota biasa. Untuk meluruskan perjuangan HMI pada 1968 dibawah pimpinan

Muhammad Anwar B.A dan Usman Djakfar selaku Ketua Umum dan Sekretaris

105Budi Riyoko, Kumpulan Materi dan Puisi Materi Tentang: Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, Kepemimpinan Managemen Organisasi, Sejarah Perjuangan HMI, KeKohatian, Pengantar Filsafat Ilmu dan Teknik Persidangan, Serta Silabus Untuk Senior Couse, hlm. 129. 106Data Anggota HMI Cabang Palembang. 107Wawancara dengan Aan Asmuni Hambali (Ketua Umum HMI Cabang Palembang Periode 1984-1985), pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 66

Umum menindak tegas oknum HMI Cabang Palembang yang melanggar peraturan dan merumuskan kembali tujuan HMI Cabang Palembang “Membina Insan

Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam Menuju Terwujudnya

Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT” dan ditetapkannya pedoman perjuangan bagi HMI Cabang Palembang yang terdiri dari; mukadimah dan tafsir azaz HMI serta Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai landasan ideal, AD/ART sebagai landasan struktural, kepribadian HMI menjadi landasan psikologis, dan garis- garis pokok perjuangan sebagai landasan operasional.108 Pada 1968-1969 di bawah kepengurusan Tamami Takrori yang mendaftar menjadi anggota HMI Cabang

Palembang mencapai 406 orang.109

Pada 1971-1972 dengan diadakannya kongres ke-10 di Palembang kembali dirumuskannya tujuan HMI yaitu: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.110

Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa selain masalah pendanaan masalah kesekretariatan juga mempengaruhi perkaderan di HMI Cabang Palembang. Selain terputusnya komunikasi dengan PB HMI juga berdampak pada tidak berjalannya roda perkaderan hingga 1971-1977 jumlah anggota yang masuk hanya sekitar 46 orang.111

108Wawancara dengan Hasyim Zamzam (Pengurus HMI Cabang Palembang Periode 1987-1988), pada Jumat, 9 Februari 2018 di Palembang. 109Data Anggota HMI Cabang Palembang. 110Wawancara dengan Darul Qudni (Pengurus HMI Cabang Palembang Periode 1977-1978), pada Kamis, 10 Mei 2019 di Palembang. 111Arsif HMI Cabang Palembang. 67

Turunnya jumlah anggota ini disebabkan karena sibuknya pengurus HMI Cabang

Palembang pada masalah kesekretariatan yang berpindah dari gedung 901 ke Jalan

Jenderal yang sering disebut dengan gedung perjuangan yang direbut oleh militer sehingga menyebabkan terbengkalainya kegiatan perkaderan. Kondisi ini diperparah dengan tidak aktifnya pengurus karena sibuk dengan urusan akademis.

Sehingga komisariat yang tertinggal hanya 14 komisariat: UNSRI (Ekonomi, Hukum,

FKIP, Teknik, Pertanian, Kedokteran), IAIN (Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin) dan diluar terdiri dari: Akper, AAN Negeri, AIP Perbanus, Akademi Teknologi Negeri.

Meskipun mengalami penurunan jumlah anggota, perkaderan tetap diteruskan.112

Memasuki periode 1978-1979 di bawah kepengurusan Islahuddin Daud kembali diadakanlah latihan dasar kepemimpinan (Basic Training) HMI Cabang Palembang sampai IV gelombang dan yang mendaftar sekitar 128 orang, sedangkan jumlah anggota yang melakukan registrasi ulang sebagai anggota HMI Cabang Palembang mencapai 318 orang. Pada 1980-1981 dengan diketuai M. Syiros Saleh dan Fairus

Zaman sebagai Sekretaris pelaksana, diadakanlah Maperca dengan diikuti sekitar 278 peserta. Kemudian pada 1981 diadakan kembali Maperca dengan Ketua Pelaksana

Hatta Wazol Matheir dengan diikuti sekitar 380 peserta lalu diadakan Basic Training yang diikuti oleh 36 orang.113

Memasuki periode 1981-1982 daftar anggota HMI yang melakukan registrasi ulang sekitar 172 anggota. Pada masa ini juga diadakannya penindakan tegas kepada

112Wawancara dengan Darul Qudni (Pengurus Cabang Periode 1977-1978), pada Kamis, 10 Mei 2019 di Palembang. 113Arsip HMI Cabang Palembang. 68

kader HMI Cabang Palembang yang terbukti melanggar aturan. Oleh karena itu, pada periode ini dinamakan periode penegakan hukum dengan dimulainya menjatuhkan skorsing kepada Naisam Yunus (Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Sumbagsel) karena masuk dalam kepengurusan DPD KNPI TK I Sumsel.114 Pada periode 1984, kegiatan Maperca terus dilakukan, yang mendaftar sekitar 293 orang. Hingga pada

1987 diadakanlah Intermediate Training Se-Sumatera dengan diikuti peserta sekitar

41 peserta, kemudian diadakan Basic Training dengan diikuti 37 peserta.115

Pada 1987, sekretariatan dipindahkan ke Gedung Pembinaan Umat (YPU) yang terletak di Jalan Radial No. 1321. 24 Ilir Palembang.116 Karena HMI merupakan organisasi perkaderan, maka sejak saat itu dibentuklah Lembaga Pengelola Latihan

(LPL) yang sekarang di ganti menjadi Badan Pengelola Latihan (BPL).117 Badan ini bergerak dalam masalah perkaderan dan setiap tiga bulan sekali mengadakan pelatihan untuk menghasilkan tenaga perkaderan.118

114Wawancara dengan Aan Asmuni Hambali (Ketua Umum HMI Cabang Palembang Periode 1984-1985), pada Jumat, 1 juni 2018 di Palembang. 115Arsip HMI Cabang Palembang. 116Wawancara dengan Umar Husen (Pengurus HMI Cabang Palembang Periode 1985-1986), pada Selasa, 29 Mei 2018 di Palembang. 117Latihan kader pada hakikatnya merupakan bentuk perkaderan HMI yang berorientasi pada pembentukan watak, pola, piker, visi, orientasi serta berwawasan ke-HMI-an yang paling elementer. Kedudukan dan peran latihan ini adalah untuk meletakkan fundamen bagi setiap kader HMI yang dituntut siap mengemban amanah dan tanggung jawab untuk membangun bangsa Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, posisi latihan ini sangat menentukan gerak dan dinamika para kader maupun organisasi, sehingga apabila penanggung jawab pengelola latihan keliru dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan semangat dan gagasan dasarnya maka keliru pula pengembangan bentuk-bentuk pembinaan berikutnya, baik pada up-grading maupun aktifitas. Berkaitan dengan persoalan tersebut dalam latihan sangat dibutuhkan lembaga serta forum yang mencurahkan konsentrasi pemikiran pada pengembangan kualitas para pengelola latihan, kemampuan konsepsi maupun managerial. Berawal dari kesadaran dan tanggung jawab tersebut, maka dibentukla badan pengelola latihan (BPL) himpunan mahasiswa Islam. “Hasil-hasil Kongres HMI Ke XXIX, Pekanbaru, 22 November-5 Desember 2015”, Hlm. 376. 118AD/ART HMI, Bagian X. Pasal. 49. Badan Pengelola Latihan, hlm. 102. 69

Memasuki 1990-1991, perkaderan terus dilakukan. Pada masa ini anggota muda mencapai 217 orang. Pada 1992 diadakan Basic Training oleh HMI Komisariat FE.

Unsri dan anggotanya sekitar 21 orang. Pada 1993 diadakan kembali Pra Latihan

Kader (PLK) yang dilakukan oleh Komisariat Ushuluddin IAIN Raden Fatah dengan peserta 110 orang disusul kembali oleh Komisariat FKIP Unsri yang juga mengadakan PLK dengan jumlah peserta 83 peserta. Untuk mewujudkan kualitas insan cita HMI Komisariat FP. Unsri mengadakan Basic Training dengan jumlah anggota 46 anggota. Pada 1995-1996 HMI Komisariat Unsri kembali mengadakan

PLK dengan jumlah anggota muda mencapai 199 anggota.119 Pada 1997-1998, jumlah anggota biasa yang telah melakukan Basic Training mencapai 148 anggota.

Kegiatan-kegiatan pentrainingan ini dilakukan adalah untuk membangkitkan nilai perjuangan. Sehingga pada 1980-1998 merupakan periode pencarian kader, karena kegiatan dipusatkan hanya pada masalah perkaderan. Kebijakan ini juga di ambil karena kurangnya ketersediaan instruktur kegiatan untuk mengisi materi perkaderan.

Dari 1982-1983 dipimpin oleh Yusman Haris Serunting dan Aan Asmuni Hambali, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretris Umum. Pada 1983-1984 diketuai oleh Djabaruddin AR dan Hatta Wazol masing-masing sebagai Ketua Umum dan

Sekretaris Umum.120 Pada 1984-1985 dipimpin oleh Aan Asmuni Hambali dan Bandi

Hermawan selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum. Pada 1985-1986 dipimpin oleh Umar Husein dan Alma’arif Setaf sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum.

119Arsip HMI Cabang Palembang. 120Wawancara dengan Aan Asmuni Hambali (Ketua Umum HMI Cabang Palembang Periode 1984-1985), pada Jumat, 1 Juni 2018 di Palembang. 70

Kemudian pada 1986-1987 dipimpin oleh Al-Ma’arif Setaf. Dilanjutkan Humaidi

Sibawhi (1987-1988). Sarbini Matnur (1988-1989). M. Endang Zauhari (1989-1990).

Rahmat Shajini Putra (1990-1991). Ahmad Syartoni (1991-1992). Zainal Abidin

(1993-1994). Azimi Asnawi (1994-1995). Fernando Arpan (1995-1996). Isnendar

(mundur dari Ketua Umum) digantikan Solehun (1996-1997). Edy Sutriono (1997-

1998).121

Pemilihan Ketua Umum ini melibatkan komisariat-komisariat yang ada di

Palembang. Adapun masa jabatan Ketua Umum HMI Cabang Palembang adalah selama satu tahun.122 Hal tersebut sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga yang terdapat dalam konstitusi HMI. Konferensi Cabang (Konfercab) merupakan musyawarah tertinggi di tingkatan cabang.123 Selain untuk memilih Ketua

Umum, Konfercab digunakan sebagai ajang konsolidasi organisasi untuk menetukan arah cabang ke depan melalui perancangan program-program yang akan dijalankan organisasi selama setahun ke depan. Cabang juga bertanggung jawab terhadap keaktifan seluruh komisariat yang sudah terbentuk dan menambah komisariat pada perguruan tinggi yang belum berdirinya komisariat HMI.124

121Data HMI Cabang Palembang. 122AD/ART HMI, Bagian VI. Cabang, Pasal. 28. Tentang Status, hlm. 87. 123AD/ART HMI, Bagian II. Konferensi Cabang/Musyawarah Anggota Cabang, Pasal. 14, Tentang Status, hlm. 79. 124AD/ART HMI. Pasal. 30. Tugas dan Wewenang, hlm. 90. 71