PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Proceedings of the International Conference on Islam, Development and Social Harmony in Southeast Asia 2017 Editors: Mohd Nasran Mohamad, Muhamad Razak Idris, Farid Mat Zain, Cheloh Khaegphong, Anis Pattanaprichawong & Nik Abdul Rahim Nik Abdul Ghani © Faculty of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor Malaysia Academy of Islamic and Arabic Studies, Princess of Naradhiwas University, Thailand ISBN 978-983-9368-79-6 (2017), http://www.icdis2017.com

PEMIKIRAN HAMKA DALAM TASAWUF MODEREN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM NOVEL: DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH (DBLK) DAN TENGGELAMNYA KAPAL VAN DERWIJCK (TKVD)

Mahmudah Fitriyah Z.A.

Abstrak: Membaca karya-karya Hamka, pasti akan menguras air mata, tak dapat dielakkan perasaan kita akan terhanyut dalam jalannya cerita yang tak berujung, memainkan hati dan jiwa. Ini tentunya terkait dengan bentuk karya sastera lama yang kecenderungan mengangkat kisah-kisah sosial yang terdapat atau yang dialami oleh anak negeri. Hamka adalah sosok manusia yang produktif, beliau tidak hanya menulis nonfiksyen, akan tetapi beliau juga menghasilkan karya-karya kreatif (fiksyen), seperti novel. Karya monumental Hamka adalah Tasawuf Moderen yang diterbitkan sekitar tahun 30-an. Buku yang syarat dengan ajaran-ajaran akhlak dan akidah ini begitu terkenal dari dahulu sampai sekarang. Hamka seorang pengarang fiksyen dan nonfiksyen, hal ini yang menarik penulis untuk mengkaji bagaimana pikiran-pikiran Hamka di dalam Tasawuf Moderen, tercerminkah pikiran tersebut dalam penokohan yang terdapat di dalam karya fiksyennya (Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapan van Derwijck)? Penokohan yang sangat kental dengan kisah percintaan yang berakhir dengan kesedihan, ini adalah isi dari kedua novel tersebut. Tokoh yang tabah menjalani kegetiran hidupnya dengan kekuatan iman,begitu tergambar di dalam penokohan mereka. Semua perjalanan tokoh utama berakhir dengan kematian. Ternyata Hamka dengan karya sasteranya mengajak pembaca untuk mengasah hati dan juga pikirannya dengan tasawuf. Nilai-nilai mencari kebahgiaan sejati, kasih sayang, hormat kepada orang tua, menghargai adat istiadat, semua teramu indah di dalam karya Hamka ini.

Kata kunci: Hamka, Tasawuf Moderen, penokohan, kebahagiaan, DBLK, TKVD

Abstract: Reading the works of Hamka, people certainly will shed tears, our feeling will inevitably be lost in the endless story line, playing our heartand soul. This is certainly related to the construction of the old literary tendency, lifting social stories that were existed and experienced by local people. Hamka was a productive human figure, he did not just writen on fictions, but also produced creative works (fictions), like a novel. Hamka’s monumental work is “TasawufModeren”, which was published in the 30s. The book that is loaded with the teachings of moral it yand akidah is so well known from the past to the present. Hamka was an author offictions and non fictions, that is why it becomes very interesting to examine the thoughts of Hamka in his work“Tasawuf Moderen”. Are these thoughts reflected in the characterizations of his fictions (Di Bawah Lindungan Ka’bah and Tenggelamnya Kapal van Der Wijck)? Both novels which contents are strongly filled with a love story that ends with sadness. The story was always ended by the death of the person ages. Hamka with his literary works obviously wanted to invite readers to sharpen their heartsand minds. The values of compassion, respect for parents, respect for tradition, all beautifully formulated inside the works of Hamka.

Keywords: Hamka, Tasawuf Moderen, characterization, happines, DLK, TKD

PENGENALAN

Karya sastera selalu hadir untuk dinikmati oleh para pembaca, khususnya penikmat sastera. Dengan harapan para pembaca dapat mengambil pelajaran atau nilai-nilai yang terkandung di dalam novel yang dibaca tersebut. Karya tulis fiksyen lahir dari sebuah fakta yang tentunya dalam penuangannya tercampur dengan pengalaman-pengalaman dan imaginasi seorang penulis. Ketika pembaca menikmati karya-karya tersebut bererti mereka sedang bergomol dengan para tokoh dan penokohan yang terdapat dalam cerita tersebut. Para tokoh rekaan ini menampilkan berbagai watak dan perilaku terkait dengan kejiwaan dan pengalaman atau konflik-konflik sebagaimana dialami oleh manusia dalam kehidupan nyata.

86

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Tidak dapat dipungkiri bahawa karya sastera banyak terlahir dari peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta yang terjadi di sekitar kita. Kecerdasan dan kejelian seorang sasterawanlah yang akhirnya dapat merangkai fakta-fakta tersebut menjadi sebuah karya yang indah yang enak dibaca oleh penikmat sastera. Karya sastera pada masa-masa awal dikenal dengan angkatan’20 telah melahirkan nama-nama seperti: Marah Rusli, Hamka, Nur Sutan Iskandar. Merari Siregar dan lain-lain. Nyaris sebahagian besar sasterawan Indonesia banyak terlahir dari daerah Sumatera Barat. Hal ini tidak dapat dipungkiri, kita mengenal Abdul Muis, Asrul Sani, A.A. Navis, Adinegoro, Aman Dt. Madjoindo, Hamid Jabbar, Hamka, Idrus, Leon Agusta, Marah Rusli, Mochtar Lubis, Muhammad Yamin, Nursjamsu, Nur Sutan Iskandar, Remy Sylado, Rosihan Anwar, Rustam Effendi, Selasih, Taufiq Ismail, Usmar Ismail, dan tentunya masih banyak lagi, yang tidak peneliti sebutkan semua. Sumatera Barat yang kaya akan keindahan alamnya ternyata sangat mendukung para sasterawannya untuk melahirkan imaginasi mereka dalam bentuk tulisan. Keragaman budaya dan adat istiadat yang menjadi inspirasi para penulis untuk menuangkan semua itu dalam karya-karya mereka. Para sasterawan tersebut dengan lihainya melahap semua peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar mereka, dan dituangkan dengan bahasa yang indah. Ternyata kedatangan Belanda dengan segala intrik-intrik politik dan pola pendidikan di masyarakat menjadi bahan tulisan yang tak ada habisnya dituai para sasterawan. Tokoh-tokoh dalam kisah mereka terlihat sangat mencerminkan pendidikan Belanda, seperti tokoh Syamsul Bahri dalam Siti Nurbaya yang berpendidikan HIS, Hanafi dalam Salah Asuhan yang berpendidikan HBS, Rustam dalam Asmara Jaya berpendidikan Mulo, dan tentunya masih banyak lagi yang mengangkat tokoh utamanya berpendidikan Belanda dalam tulisan mereka. Menurut Marwan Saridjo, “Satu-satunya yang bukan hasil didikan sekolah Belanda yang turut melancarkan serangan tajam terhadap kebobrokan praktik-praktik adat yang telah menyimpang dari jiwa dan semangat ’adat bersendi syarak, dan syarak bersendi kitabullah’, ialah Hamka, singkatan dari H. Abdul Malik Karim Amrulloh. Tokoh-tokoh yang berperan dalam roman-romannya bukan tokoh-tokoh yang pernah mengecap pendidikan sekolah Belanda seperti komis, jaksa, guru, doktor, tapi semuanya berasal dari orang-orang yang berpendidikan sekolah agama dan rakyat biasa.” (Marwan Saridjo: 2006, 68) Hal inilah yang membuat kisah cerita yang ditulis oleh Hamka berbeza dengan kisah penulis lainnya. Hamka yang memang berlatar belakang pendidikan agama dan melanjutkan sekolah ke negeri Arab, membuat kisah-kisah yang ditulisnya sangat kental dengan nuansa keislamannya. Hal ini menjadi pembeza atau penciri Hamka dengan sasterawan-sasterawan lain semasanya. Dengan perkataan lain karya-karya Hamka mengandung nilai-nilai dakwah Islamiyah. Setelah membaca karya Hamka, pembaca akan mendapatkan penyegaran rohani Islam. Nilai-nilai Islam dimasukkan oleh Hamka ke dalam tokoh dan penokohan dan begitu pula dengan alur cerita yang menggugah pembaca. Tokoh Hamid dan Zainab dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah, meskipun masuk sekolah Belanda, tapi pada akhirnya ia memperdalam pengetahuan agamanya pada sekolah agama. Zainuddin dan Hayati pun dalam Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, berlatar pendidikan pada sekolah agama. Dari latar tokoh inilah tampak bahawa Hamka memasang tokohnya dengan berpendidikan agama. Hamka sosok pengarang yang memiliki kemampuan untuk menulis fiksyen dan nonfiksyen, sastera dan bukan sastera. Karya-karya fiksyen atau sastera beliau antara lain: Tenggelamnya Kapal van Derwijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Terusir, Keadilan Illahi, dan lain- lain. Sedangkan karya-karya nonfiksyen beliau di antaranya: Tasawuf Moderen, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, Semangat Islam, Sejarah Islam di Sumatera, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, dan lain-lain. Tak banyak penulis seperti sosok Hamka yang menulis di dalam dua ranah fiksyen dan non fiksyen, hal ini menjadi menarik bagi penulis untuk melihat bagaimanakah pemikiran beliau di dalam buku Tasawuf Moderen apakah berefek atau mengalir pada tokoh-tokoh di dalam karya- karya sastera beliau: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Derwijck? Tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan agama Islam dan Bahasa Indonesia

87

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017 khususnya bidang sastera. Hal yang tak dapat dinafikan juga bahawa tulisan ini sangat diharapkan menjadi bahan ajar sastera di sekolah-sekolah menengah pertama dan atas di negeri ini.Dan juga penulis berharap penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan atau sebagai langkah awal untuk penelitian selanjutnya. Tentunya penelitian tentang karya-karya Hamka sudah cukup banyak kita temukan di dunia pendidikan, khususnya di kalangan mahasiswa bahasa dan Sastera Indonesia atau mahasiswa di jurusan-jurusan lainnya. Beberapa penelitian terkait karya-karya Hamka telah ditulis, di antaranya: Mohammad Syafiudin Mashud, 2008, melakukan penelitian mengenai “Nilai-Nilai Etika Agama yang Terkandung di Dalam Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah”, Yogyakarta. Penelitian ini memfokuskan pada nilai-nilai etika Islam yang terkandung di dalam novel tersebut. Bambang Edi Santoso, 2013, “Kajian Gaya Bahasa Pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastera di SMA”, Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan gaya bahasa pada isi surat, dialog, dan kalimat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan bagaimana implikasi dalam pembelajaran gaya bahasa di tingkat SMA. Dhiya’an Fathiya Alifah, 2010, melakukan penelitian mengenai, “Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam di Nusantara; Analisis Pemikiran Buya Hamka dalam Tasawuf Moderen”. Penelitian ini mencuba mengupas bagaimana pemikiran Hamka di dalam Tasawuf Moderen berperan di dalam perkembangan Islam di Nusantara. Penulis disini menyimpulkan bahawa buku Tasawuf Moderen Hamka masih sangat signifikan dalam perkembangan pemikiran Islam di Nusantara. Sebuah kajian akademik yang pertama tentang Hamka sebagai sasterawan ialah yang dikerjakan oleh Junus Amir Hamzah dengan judul Hamka sebagai Pengarang Roman. Karangan tersebut berasal dari skripsi untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Sastera Universitas Indonesia. Dalam karangan tersebut Junus Amir Hamzahtelah memberikan gambaran yang jelas tentang dunia Hamka sebagai sasterawan. Ringkasan tentang dunia kepengarangan Hamka yang diungkapkan dalam kajian tersebut sebagai berikut:

1. Rata-rata cerita Hamka membawa tema yang sedih. Gaya bahasanya menyayat hati, menimbulkan kesedihan. Hamka sebagai pengarang mempunyai corak yang khas. Corak itu ialah corak Hamka sendiri. Sentimental dan mengayat. 2. Kalau kawan-kawannya yang seangkatan dan sedaerah melukiskan kepincangan adat Minangkabau bertolak dari pengaruh alam pikiran barat,maka Hamka meninjaunyadari sudut moderenisme Islam. 3. Sebagai seorang yang bidang studinya lebih banyak pada ajaran-ajaran tasawuf, maka pendekatan yang dilakukan Hamka terhadap manusia Indonesia dengan kebudayaannya lebih banyak dari sudut itu. Karena itu yang banyak kita temui dalam karya-karya Hamka ialah masalah-masalah Islam yang berputar sekitar akidah (kepercayaan), ibadah, akhlak dan masalah-masalah yang erat hubungannya dengan ajaran-ajaran tasawuf, iaitu pendekatan diri kepada Tuhan, dan di atas landasan itu dibina pendekatan terhadap individu dalam masyarakat. 4. Penggambaran perputaran hidup tokoh utama (pelaku-pelakunya)adalah gambaran hidup Hamka sendiri. Jadi memang Hamka menimba dari pengalaman hidupnya, dari penderitaan- penderitaannya, dari pengalaman batinya, dan kesemuanya itu dituang dalam bentuk kedua romannya Tenggelamnya Kapal van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan karya sastera yang lainnya. (Marwan Saridjo: 2006, 69—70)

Kajian ketiga penulis di atas terlihat muatan dan kekuatan Hamka sebagai seorang penulis yang tidak terlepas dari budaya, adat istiadat di mana Hamka tinggal. Tulisan mereka menyoroti sebahagian nilai-nilai agama dalam novel karya Hamka tersebut. Tidak terlihat penulisan yang mengaitkan karya sastera beliau dengan karya lainnya.

METODOLOGI

Peneliti dalam menyelesaikan tulisan ini memakai kajian kepustakaan dari beberapa sumber kajian. Sumber primer pada kajian kepustakaan ini adalah buku Tasawuf Moderen yang terbit pertama kali

88

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017 tahun 1939 dan edisi terakhir tahun 2016, Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal van Derwijck yang terbit pertama kali tahun 1943 dan edisi terakhir terbit tahun 2010, ketiga sumber perimer tersebut adalah karya Hamka. Sesuai dengan uraian di atas, penulisan ini dikonsentrasikan pada upaya penggalian bagaimana Hamka dengan pemikiran-pemikirannya di dalam Tasawuf Moderen menjadikan dasar pembentukkan identitas tokoh-tokoh di dalam novelnya: Dibawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Derwijck. Selain itu penggunaan latar belakang budaya Sumatera Barat, merupakan bagian yang tak terpisahkan untuk memahami hubungan antartokoh di dalam novel tersebut. Dalam penelitian awal ini, peneliti menitikberatkan pada sudut kebahagiaan para tokoh utama di dalam kedua novel tersebut dikaitkan degan konteks kebahagiaan di dalam tasawuf Hamka. Menurut Suwardi Endraswara, “Hal yang penting unsur varian, kemiripan, dan kenadaan dapat diraih. Unsur-unsur tersebut pada akhirnya untuk menemukan persamaan dan perbezaan. Persamaan mengarah pada karya yang memang seirama, ada kesengajaan mengambil gagasan, sedang perbezaan mengarah pada orisinalitas karya. Hal yang paling penting di antara persyaratan di atas adalah hadirnya konteks saling ilham-mengilhami. Ada persentuhan estestik karya yang satu dengan yang lain sehingga memunculkan hal-hal yang mirip. (Suwardi Endraswara: 2014, 168) Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode penelitian kualitatif melihat hubungan antarkata atau kalimat yang membentuk suatu makna tertentu. Kata atau kalimat merupakan suatu sistem tanda yang mengurai data-data di mana dengan penghayatan yang dalam akan tercapai suatu pemahaman yang baik (Muhajir, 2002: 301—302). Penelitian ini juga memakai perspektif antardisipliner, karena peneliti mencuba melihat muatan pemikiran tasawuf (agama) Hamka di dalam dua buah novelnya (sastera). Penelitian antardisipliner bukanlah murni penelitian sastera, melihat hubungan karya sastera dengan disiplin ilmu tertentu. Suwardi Endraswara menyatakan, “Penelitian yang berspektif antarindisipliner sering pula disebut sastera interdisiplin. Penelitian ini bukanlah murni penelitian sastera, melainkan berupa penelitian inter dan/atau ekstrinsik sastera. Sifat penelitian ini, sesuai dengan istilahnya, tidak menelaah karya-karya sastera semata, melainkan membicarakan juga hubungan isi karya sastera dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan juga karya-karya seni. (Suwardi Endraswara: 2014, 160) Pada penelitian ini, peneliti menerapkan penelitian antardisplin karena objek penelitian terdapat pada dua disiplin ilmu yang berbeza, iaitu agama dan sastera. Peneliti mencuba menelaah pemikiran agama khususnya tasawuf lalu dikaitkan pada novel, yang sumber penelitian tersebut ditulis oleh satu orang iaitu Hamka. Menurut Suwardi Endraswara, “Ketika objek penelitian sudah dapat dipastikan memiliki varian, baru mulai menerapkan langkah (a) menyejajarkan unsur kata yang ada kemiripan tulisan dan bunyi, (b) menyejajarkan unsur yang ada kemiripan makna, biarpun tulisan berbeza, (c) menyejajarkan unsur yang memiliki konteks yang sama. Unsur-unsur yang telah disejajarkan kemudian digolong-golongkan, dipisahkan satu sama lain, lalu diberi tanda atau nomor. (Suwardi Endaswara, 2014, 174)

TEMUAN

Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu karya sastera berbentuk prosa yang banyak dibaca orang, karena dalam sebuah novel pembaca akan dapat mengetahui secara detail jalannya cerita serta permasalahan yang dialami oleh tokoh di dalam novel tersebut. Secara harfiah novella bererti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Dewasa ini istilah novella dan novellete mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novellete), yang bererti sebuah karya prosa fiksyen yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak juga terlalu pendek. (Burhan Nurgiantoro: 2010, 9—10) Di dalam kamus istilah sastera novel dinyatakan sebagai jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup. (Abdul Rozak Zaidan, dkk: 2007, 136)

89

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Tentunya banyak para ahli memiliki definisi yang berbeza mengenai novel, akan tetapi intinya novel adalah sebuah karya bentuk fiksyen yang bersifat imajinatif (khayalan) yang berbentuk tulisan panjang yang didalamnya terdapat tokoh dengan segala sikap dan tingkah laku berikut permasalahan dalam kehidupan.

Profil Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan panggilan Hamka, yakni singkatan dari namanya sendiri. Lahir di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908.Beliau adalah salah satu sasterawan Indonesia yang sekali gus menjadi ulama dan politikus. Belakangan beliau dipanggil dengan sebutan Buya,berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab yang bererti ‘ayahku’ atau ‘orang yang dihormati’. Sebutan ini biasanya dipakai untuk orang Minangkabau. Ayah Hamka adalah Syekh Abdul Karim bim Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1906. (Hamka: 2002, 20) Hamka adalah sosok seorang tokoh yang multidisipliner, beliau seorang agamawan, politikus, juga seorang wartawan, penulis, dan juga sekali gus sebagai penerbit. Sebagai seorang agamawan, beliau adalah sebagai salah seorang pendiri organisasi Muhammadiyah. Sepak terjang beliau selalu menjadi sorotan. Karena terlibat kesalahpahaman dengan pemerintah, Hamka yang pada tahun 60-an berpaham masyumi dipenjarakan (1964—1966) oleh pemerintah Soekarno. Akan tetapi waktu ditahanan ini beliau habiskan waktunya dengan menulis, yang akhirnya lahirlah sebuah buku tafsir Al Qur’an, Tafsir Al Azhar yang merupakan karya terbesar beliau sebanyak 5 jilid. Hamka sebagai politikus, beliau pernah berguru kepada H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1944—1952) dan beberapa tokoh lainnya, yang pada akhirnya beliau menjadi ketua Muhammadiyah pada tahun 1946. Sebenarnya kegiatan politik beliau dimulai pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarikat Islam. Dan pada tahun yang sama juga Hamka ikut mendirikan Muhammadiyah di Panjang. Hamka juga aktif menulis, hal ini menjadikan beliau seorang wartawan, kegiatan awal kewartawanan dimulai tahun 20-an, menjadi wartawan surat khabar untuk Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Aktivitas sebagai wartawan tersebut berlanjut sampai beliau menjadi editor di majalah Panjimas. Sebagai seorang penulis, Hamka telah banyak menghasilkan karya yang monumental.Dari tulisan nonfiksyen sampai tulisan fiksyen semua digarapnya. Karya-karya fiksyen beliau yang cukup terkenal adalah di antaranya Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan Tenggelamnya Kapal van Derwijck, yang akhirnya kedua novel tersebut dibuat ke layar lebar (film). Karya nonfiksyennya yang tidak kalah menarik adalah tulisan beliau Tasawuf Moderen yang akhirnya buku ini menjadi salah satu buku terlaris dan banyak dibaca oleh masyarakat muslim Indonesia. Irfan Hamka menyatakan, “Buya Hamka bukan hanya seorang ulama, namun juga seorang sasterawan yang sangat produktif di zamannya. Sungguh bias kita hitung dengan jari, di negeri yang majoriti penduduknya adalah muslim, berapa banyak ulama yang juga seorang budayawan, sasterawan, politisi, dan penulis. Dari yang sedikit itu, salah satu di antaranya adalah Buya Hamka”. (Irfan Hamka: 2012, viii) Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada tingkat nasional dan internasional, anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, dari Universitas al-Azhar pada tahun 1958.Anugerah Doctor Honoris Causadari Universitas Kebangsaan Malaysia, pada tahun 1974.Anugerah ini diberikan karena kontribusi keilmuan agama Islam di Indonesia Hamka cukup besar. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Hamka meninggal dunia pada tanggal 24 Julai 1981.Hamka memang telah tiada, tapi karya-karyanya tetap beredar di muka bumi ini.

90

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Buku Tasawuf Moderen

Sebenarnya Buku Tasawuf Moderenmerupakan salah satu karya besar Hamka. Buku ini berasal dari kumpulan tulisan yang diterbitkan di majalah Pedoman Masyarakat.“Tasawuf Moderen” adalah rubrik yang biasa ditulis oleh Hamka sebanyak 43 seri pada tahun 1937—1938, dengan memakai judul “Bahagia”. Ternyata buku ini cukup laris terbukti dengan diterbitkan oleh 10 penerbitan.Luasnya pemikiran Hamka terlihat dari buku ini. Hamka menunjukkan kemampuannya dalam menulis. Sesekali Hamka menulis dengan gaya prosa, di antara berkisah tentang nabi, tokoh pemikir, dan juga hikayat. Seperti yang diutarakan di atas konsep pertama yang diangkat oleh Hamka adalah tentang “bahagia”.Masyarakat dipandang perlu untuk memaknai kehidupan ini lebih hakiki. Hamka mencuba menggabungkan antara tasawuf dan moden. Dalam artian pemikiran Hamka ingin mengangkat bahawa tasawuf sebaiknya berjalan beriringan dengan moden, karena sebaiknya tasawuf menyesuaikan konteks zaman untuk mengarahkan manusia agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan dan celaka. Begitu pun sebaliknya Hamka menyatakan dalam bukunya, jangan sampai zaman moden menjadikan manusia lumpuh karena kekeringan makna spiritualnya, karena manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua dimensi jasmani dan rohani. Menurut Hamka pokok Islam terletak pada akidah. Akidah ini yang nantinya tergambar dalam akhlak. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, tanpa akidah maka tidaklah akan menimbulkan akhlak. Hamka meyakini bahawa akidah yang akan membawa kepada kemajuan, “Suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian, dan martabat yang mulia di antara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasarkan kepada Akidah Islam”. (Hamka: 2002, 34) Pandangan Hamka dalam akidah adalah beriman kepada Allah SWT dan Rasul Muhammad saw yang pada dasarnya adalah pada memerintahkan untuk melakukan yang ma’ruf dan mencegah berbuat munkar. Pemikiran tasawuf Hamka, amar ma’ruf nahy munkar tidak saja dilakukan dengan lisan dan tulisan, tetapi juga dengan akhlak atau budi pekerti yang mulia. (Hamka: 1990, 154) Menurut Hamka sebagai manusia hendaknya seseorang harus memiliki akhlak terpuji, karena dengan demikian orang tersebut bisa menanamkan nilai-nilai Islam kepada orang lain. Begitupun orang yang memiliki jabatan di pemerintahan, mereka dapat melaksanakan dakwahnya dengan cara memberikan contoh yang baik dan berlaku adil sesuai dengan kedudukan posisinya. Dalam Tasawuf Moderen ini, Hamka memberitahukan bahawa pemikirannya tentang tasawuf tidak boleh hilang, selama manusia masih mencari kebahagiaan. Kebahagiaan yang sejati tidak dapat didapatkan di dunia, dunia adalah tempat menanam bibit kebahagiaan yang nanti hasil dari tanaman tersebut adalah kebahagiaan sejati iaitu di akhirat. Jiwa kita selalu terjaga agar tetap bersih, supaya nantinya dapat menerima kebahagiaan sejati di akhirat. Dan sumber kebahagiaan itu adalah Tuhan. Intinya tasawuf seperti itu adalah untuk membersihkan jiwa kita agar mendapatkan kebahagiaan sejati. Prinsip dari tasawuf adalah keseimbangan dunia dan akhirat. Buku Tasawuf Moderen karya Hamka terdiri atas 13 bab, adapun bagian-bagian dari bab tersebut terurai seperti berikut:

Bab 1: berisi tentang pendapat-pendapat para tokoh dunia mengenai hakikat kebahagiaan. Bab 2: pada bagian ini Hamka membicarakan tentang bahagia dan agama yang terbagi menjadi 4 bagian iaitu: a) I’tikad yang bersih; b) yakin; c) iman; dan d) agama. Bab 3: di dalam bab ini Hamka menuturkan tentang Bahagia dan Utama, Keutamaan di sini adalah: a) keutamaan otak dan b) keutamaan budi. Bab 4: di sini Hamka menjelaskan bahawa bahagia yang keempat adalah kesihatan jiwa dan badan. Bab 5: Hamka membahas tentang harta benda dan bahagia. Bab 6: dalam bab ini Hamka membahas tentang qana’ah (menerima cukup). Bab 7: membicarakan tentang tawakal. Bab 8: berisi tentang bahagia yang dirasakan Rasulullah Saw. Bab 9: membicarakan hubungan reda dengan keindahan alam. Bab 10: mengulas tentang tangga bahagia. Bab 11: mengulas mengenai senangkanlah hatimu. Bab 12: menguraikan tentang celaka. Bab 13: membicarakan tentang munajat.

91

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah

Novel ini terbit pertama kali pada tahun 1943, dan cetakan terakhir terbit pada tahun 2011 dengan penerbit . Tebal buku 76 halaman. Novel Di bawah Lindungan Ka’bah menceritakan kisah hidup pemuda yang taat beribadah bernama Hamid. Hamid sebagai anak yatim tidak pernah berkeluh kesah meratapi nasibnya. Hamid tidak dapat menikmati masa kanak-kanaknya karena dia harus membantu ibunya menjajakan kuih keliling kampung. Pekerjaan tersebut dilakukan untuk meringankan beban ibunya. Hidupnya sedikit terasa ringan ketika dia mendapatkan tetangga baru yang kaya raya, keluarga haji Ja’far, yang memiliki seorang anak perempuan sebaya Hamid, yang bernama Zainab. Karena rasa iba melihat Hamid menjajakan kue, Mak Asiah, ibu Zainab berniat membantu Hamid untuk meneruskan pendidikannya. Hamid di sekolahkan di sekolah yang sama dengan anaknya Zainab di MULO. Selepas dari MULO Hamid melanjutkan ke sekolah agama di Padang Panjang, sedangkan Zainab tidak melanjutkan karena menurut kepercayaan yang berlaku di Sumatera Barat pada waktu itu anak perempuan hanya boleh melanjutkan sekolah sampai jenjang pendidikan MULO lalu dia harus siap-siap dipinang oleh pemuda pilihan orang tuanya. Takdir tak dapat terelakkan oleh Hamid, bangsawan haji Ja’far tiba-tiba meninggal dunia. Kehidupan Hamid pun berubah, pintu rumah haji Ja’ar yang dahulunya terbuka untuknya sekarang sudah tertutup. Setelah berselang tak begitu lama ibu Hamid diserang penyakit sesak dada. Hamid dengan sabar merawat ibunya sampai akhirnya menutup mata. Hamid pun hidup sebatang kara. Zainab yang dahulu sebagai teman sepermainannya kini sudah beranjak dewasa, menjadi gadis yang cantik. Tidak sengaja ternyata kedua insan ini menyimpan rasa, saling menyayangi secara diam-diam. Namun mak Asiah tidak menyadari hal tersebut, beliau malah meminta Hamid untuk membujuk Zainab agar menerima lamaran seorang pemuda yang masih keluarga jauh Zainab. Dengan berat hati Hamid menemui Zainab, dan merayu Zainab yang sudah seperti adiknya sendiri untuk menerima lamaran pemuda itu. Perasaan Hamid yang hancur karena cintanya yang tak mendapat tempat akhirnya memutuskannya untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Awal mulanya Hamid pergi ke Medan, dan di sana Hamid sempat mengirim surat ke Zainab untuk menumpahkan semua rasa cinta dan sayangnya kepada pujaan hatinya Zainab. Selepas dari Medan Hamid pergi ke Tanah Arab untuk melakukan ibadah haji. Tanpa sengaja di Tanah Suci Hamid bertemu dengan temannya Saleh, sahabatnya ketika menimba ilmu di Padang Panjang. Saleh membawa berita tentang Zainab yang ternyata mempunyai rasa yang sama terhadap Hamid. Hamid yang sudah mulai melupakan perasaannya kepada Zainab jadi teringat kembali. Kabar Zainab yang juga memiliki perasaan yang sama kepadanya didapat dari istri Saleh, Rosna yang menjadi teman dekat Zainab. Zainab yang sakit-sakitan karena memendam rindu pada Hamid akhirnya meninggal dunia setelah mengirim surat pada Hamid dengan mengutarakan isi hatinya. Hamid yang dalam waktu bersamaan selesai melakukan tawaf penyakitnya pun semakin parah. Setelah membaca surat dari Sumatera yang mengabarkan Zainab telah tiada, betapa sakit hatinya mendengar orang yang dicintainya telah pergi untuk selamanya. Tak selang berapa lama Hamid-pun menghembuskan nafasnya di bawah lindungan Ka’bah, tepatnya di Multazam, tempat ia memanjatkan doa terakhirnya. Kasih tak sampai.

Novel Tenggelamnya Kapal van Derwijck

Novel ini pertama terbit tahun 1943, dan sampai sekarang buku ini masih terus dicetak ulang, dikeranakan banyak peminatnya. Novel yang tebalnya 223 halaman ini cukup menguras air mata pembacanya. Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Zainuddin (peranakan Padang dan Makasar) dan Hayati, gadis Minang yang cantik dan telah memikat hati Zainuddin. Kisah cinta mereka berujung pahit, karena Zainuddin bukanlah orang Minang asli, dia memiliki ibu kelahiran Makasar. Karena itu hubungan mereka tidak mendapat restu dari pihak keluarga Hayati. Mamak datuk Hayati sangat menentang percintaan mereka berdua. Zainuddin pada akhirnya harus terusir dari tanah leluhurnya tersebut lalu pindah ke Padang Panjang. Hayati memiliki sahabat dekat, iaitu Khadijah. Khadijah mempengaruhi sikap dan penampilan Hayati. Hayati, gadis anggun yang selalu menutup kepalanya dengan kerudung dan selalu memakai pakaian tertutup akhirnya berubah menjadi gadis moden dengan gaya busana terbaru yang mengobral lekuk tubuhnya. Akhirnya Aziz kakak Khodijah terpikat dengan kecantikan Hayati.

92

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Aziz melamar Hayati, Hayati tidak dapat menolak lamaran itu karena Ninik Mamak Hayati telah menerima lamaran Aziz dan menolak Zainuddin. Setelah kejadian ini Zainuddin jatuh sakit. Akhirnya dia bertemu dengan Muluk sahabatnya. Untuk melupakan masa lalunya Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Zainuddin mulai menunjukkan kepandaian menulisnya, karya-karya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”. Tak lama kemudian mereka berdua pindah ke Surabaya, di kota inilah Zainuddin menjadi penulis yang terkenal dermawan dan memiliki harta melimpah. Hayati dan Aziz, kehidupan rumah tangga mereka hancur berantakan, Aziz yang gemar berjudi dan main perempuan, selalu marah-marah pada Hayati. Hutang merak di mana-mana. Mereka terusur dari kontrakan. Tanpa sengaja mereka bertemu Zainuddin, mereka berdua diajak singgah ke rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu kepada Zainuddin, Aziz pergi mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Tak berapa lama, sampailah dua pucuk surat dari Aziz yang berisi, pertama perihal menceraikan Hayati, dan surat kedua perihal permintaan maaf dan meminta kepada Zainuddin untuk menerima Hayati kembali. Tak lama setelah itu tersiar berita Aziz bunuh diri di kamar hotel. Hayati meminta maaf kepada Zainuddin, dan dia rela mengabdi padanya. Namun karena masih merasa sakit hati Zainuddin menyuruh Hayati untuk pulang ke kampung halamannya. Esok harinya Hayati pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin merasa bahawa dia tidak dapat hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati kepadanya yang bertuliskan, “Aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau”. Maka segeralah dia bersiap-siap menyusul Hayati ke Jakarta. Ketika itu tiba-tiba tersiar berita bahawa kapal Van Der Wijck tenggelam, Zainuddin kaget dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati. Di sebuah rumah sakit di Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbaring lemah sambil memegang foto Zainuddin. Hari itu adalah hari terakhir pertemuan mereka, Hayati menghembuskan nafas terakhirnya dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung, akhirnya dia sakit dan meninggal dunia. Zainuddin dimakamkan bersebelahan dengan Hayati. Kasih tak sampai.

PEMBAHASAN

Hamka memberi arti tasawuf dengan makna kehendak memperbaiki budi dan membersihkan batin. Lalu mengapa Hamka menamakan tasawufnya dengan Tasawuf Moderen? Beliau menjelaskan dengan kalimat berikut: “Kita diberi keterangan yang moden, meskipun asalnya terdapat dari buku- buku tasawuf juga. Jadi, Tasawuf Moderen yang kita maksudkan adalah keterangan ilmu tasawuf yang dipermoderen”. (Mohammad Damami 2000: 166-167) Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftzani, membagi kelompok sufi menjadi 3, iaitu: 1) para sufi yang berhenti hanya sebatas tujuan moral saja, iaitu meluruskan jiwa, mengendalikan kehendak yang membuat manusia hanya konsisten terhadap keluhuran moral. Tasawuf yang ini lebih bersifat mendidik, yang ditandai dengan coraknya yang praktis; 2) para sufi yang bertujuan mengenal Allah secara dekat. Untuk merealisasikan tujuan, ini dibutuhkan syaratsyarat khusus menuju penyikapan langsung (kashf); 3) para sufi yang mengembangkan ajarannya dengan disertai filosofis (al-Taftzani 1985:7) Dari uraian di atas terlihat bahawa Hamka termasuk dalam kemompok sufi yang pertama, iaitu bukan seseorang yang telah mengalami perjalanan rohani, akan tetapi lebih cenderung kepada menerima dan mengamalkan tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah. Lalu bagaimanakah keterkaitannya dalam karya- karya sasteranya? Hamka memperlihatkan makna kebahagiaan secara nyata. Manusia pasti melakukan segala macam hal untuk meraih kebahagiaan. Setiap capaian kebahagiaan manusia tidaklah sama, ada tingkatannya. Semua ini tergantung pada darjat akal yang dimiliki oleh setiap orang. Orang yang paling maksimal menggunakan akalnya adalah orang yang paling bahagia. Karena akallah yang dapat membezakan antara yang baik dan buruk.

93

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Novel Di Bawah Lindungan Ka’Bah (DLBK)

Di dalam novel ini Hamka menempelkan kebahagiaan pada tokohnya sangat berbeza. Tokoh Hamid, seorang yang pendiam tak banyak cakap, berbicara seperlunya saja. Pemuda yang rajin beribadah dan tutur bahasanya halus. Budi pekertinya baik, penyabar, gemar membaca buku-buku agama, dan memiliki tekad yang kuat dalam menjalani cubaan hidup yang selalu datang padanya. Hamid dapat menerima dan mengontrol emosinya ketika dia harus menerima kenyataan bahawa Zainab orang terpandang yang tidak boleh bersanding dengannya yang golongan rendah, Hamid memakai akal sebagai penunjuk bahawa dia dapat memaknai kehidupan dan menghargai cintanya untuk Zainab..

“Wahai ibu, cuba anakanda tahu bahawa cintaku mendapat sambutan dengan semestinya, agaknya tidaklah akan separah ini benar luka hatiku. Karena cinta yang dibalas itulah obat yang paling mujarab bagi seorang anak muda dalam hidupnya, tak akan lebih pintanya daripada itu. Hati anakanda akan besar dan merasa beruntung, jika anakanda ketahui bahawa irmata anakanda yang selama ini telah banyak tercurah, tidak bagai air tenggelam di pasir, bahawa pengharapan dalam menuju hidup tak terhambat di tengah jalan; bahawa cita-cita hendak memandang langit tidak dihalangi oleh awan. Cinta anakanda kepadanya bukan mencintai tubuhnya dan bentuk badannya, tetati jiwa anakandalah yang mencintai jiwanya. Kecintaan anakanda bukan pula karena kepandaian menyusun surat-surat kiriman. Kebebasan pergaulan bisa ditutup dengan perangai yang dibuat-buat dan kepintaran mengarang surat dapat pula menyembunyikan kepalsuan hati. Anakanda mencintai Zainab karena budinya; di dalam matanya ada terkandung suatu lukisan hati yang suci dan bersih.” (DBLK: 2010, 30)

Hamka memberikan gambaran betapa kuatnya Hamid menahan penderitaannya terkait buah hatinya Zainab. Setelah berbicara panjang dengan ibunya yang sedang sakit, akhirnya Tuhan mengambil ibunya dari sisi Hamid. Tinggallah Hamid sebatang kara. Ketika bertemu dengan ibunya Zainab, Mak Asiah, beliau tidak tahu kalau Hamid ada hati dengan anaknya. Mak Asiah meminta tolong kepada Hamid untuk membujuk Zainab menerima lamaran dari pemuda yang masih saudara jauhnya. Betapa beratnya cubaan yang diterima Hamid. Hamid menghibur dirinya sendiri.

“Memang mula-mula hati itu mesti berguncang; bukankah lonceng-lonceng di rumah juga berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke sedikit, dengung itu akan berhenti jua. Cuma saja saya mesti berikhtiar supaya luka-luka yang hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha, supaya dia berangsur sembuh. Untuk itu saya mengambil keputusan, saya mesti meninggalkan kota Padang, terpaksa tak melihat wajah Zainab lagi, saya berjalan jauh.” (DBLK: 2010, 40)

Terlihat sekali Hamka meletakkan kekuatan akal pada penokohan Hamid. Ini adalah keputusan Hamid untuk menempuh kebahagiaannya. Hamid melakukan perjalanan panjang di mulai dari kota Padang, Medan, Singapura, Bangkok, Hindustan, Karachi, Basrah, Irak, Sahara Nejd, dan akhirnya sampai ke Tanah Suci. Di Tanah Suci, Hamid sendiri, dihabiskannya hari-hari dengan ibadah sampai suatu hari bertemulah dia dengan teman ketika dia menuntut ilmu di Padang iaitu Saleh. Ternyata istri Saleh, Rosna adalah teman dekat Zainab. Betapa terkejutnya Salaeh melihat keadaan Hamid yang kurus kering karena selalu memikirkan pujaan hatinya Zainab. Saleh membawa berita baik, Zainab tidak jadi menikah dengan saudaranya, dia menunggu kedatangan Hamid, tapi sayang dia tak tahu di mana Hamid. Betapa kagetnya Hamid mendengar berita tersebut, timbullah semangat dalam hidupnya. Hamka mencuba, mengajak pembaca untuk melihat sifat-sifat tasawuf yang menempel pada tokoh cerita. Kebahagiaan yang diceritakan ternyata tercermin dalam diri Hamid.

“Dahulu, kalau disebut orang di dekat saya untung dan bahagia, tidak lain yang terlintas dalam fikiran saya dari rumah yang indah, gedung yang permai, wang berbilang, mas bertahil, cukup dengan kenderaan dan kehormatan, dijunjung orang ke mana pergi. Sekarang saya insaf, bahawa semua itu bukan untung bahagia. Untung bahagia sejati ialah jika tahu, bahawa kita bukan hidup terbuang di dalam dunia ini, tetapi ada orang yang mencintai kita…sekarang barulah saya tahu bahawa diri saya ada harganya buat hidup, sebab ada orang yang mencintai saya, iaitu orang yang saya cintai!” (DBLK: 2010, 53—54)

Tampak sekali bahawa Hamid merasa bahagia, karena mengetahui bahawa Zainab begitu mencintainya, itulah kebahagiaan yang dirasakan tokoh Hamid dalam novel DBLK. Walaupun cinta mereka tidak pernah menyatu. Tetapi saling mengetahui bahawa mereka saling mencintai itulah arti sebuah kebahagiaan yang sejati.

94

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVD)

Tak beza dengan DBLK, dalam novel TKVD Hamka juga mengakhiri hubungan percintaan tokoh utamanya dengan kematian. Zainuddin yang menaruh hati pada Hayati, karena peranakan Makasar, maka tertolak oleh adat Minang. Hatinya hancur tapi dia tetap memakai akal sihatnya.

“Biarlah saya ditolak-kata Zainuddin-karena tidak semua maksud itu akan dihasilkan Tuhan, asal Hayati tetap cinta kepadaku. Dan saya percaya dia tiadakan mungkir, masakan gadis cantik sejujur itu akan mungkir dari janjinya yang telah dipersaksikan oleh cahaya matahari naik. Tidak ada kulihat tanda-tanda pada wajahnya bahawa dia termasuk gadis- gadis yang demikian itu. Kalau dia hanya terpaksa, maka paksaan pun tiadakan menghilangkan cinta.” (TKVD: 2008, 117)

Zainuddin masih dapat berpikir jernih, dia masih mempercayai cintanya Hayati. Dia mempunyai cita-cita lain. Dikuatkannya hatinya. Zainuddin pun meninggalkan Tanah Sumatera, menuju Tanah Jawa, tak dibiarkan hatinya berlarut-larut dengan kisah kasihnya yang tak sampai pada Hayati. Kepandaiannya menulis dimanfaatkannya. Hamka membuat kekuatan pada penokohan Zainuddin, walaupun sempat sakit parah tapi karena semangat hidupnya kuat, akhirnya membuat tokoh Zainuddin sukses menjadi seorang penulis pada akhirnya.

“Diakuinya sekarang dia sudah kaya, sudah ada padanya sumber mas. Asal dia mengarang satu buku, bukan dia lagi yang mengantarkan kepada penerbit, tetapi oranglah yang mencari dan meminta dengan tidak ada kesabaran. Uang pusakanya telah berlipat ganda, dalam pergaulan dia terkenal, pendeknya sudah hampir cukup kemegahan yang sepadan dengan dirinya. Tetapi … apakah gunanya, rumah cantik yang ditinggalinya, perkakas rumah yang cukup, kemegahan dan kepujian, kalau sekiranya tak ada tempat hati, tempat cinta pertama yang mula-mula membekukan hatinya, dan sekarang telah tertutup kembali. Satu makhluk pun tidak ada yang kuasa membukanya, kalau bukan yang pertama jua. (TKVD: 2008, 175-176)

Terlihatlah bagaimana Hamka membuat tokoh Zainuddin, tak diberinya kebahagiaan selain menyatu dengan kasih pertamanya iaitu Hayati, yang telah menikah dengan Aziz. Jadi kebahagiaan Zainuddin adalah Hayati. Tetapi ketika Aziz meninggal dunia, dan menceraikan Hayati dan menyerahkannya kepada Zainuddin, dia mengusik akan Hayati, dia menjaga nilai-nilai agama. Tidaklah dia merendahkan harga dirinya. Hayati yang memohon untuk tinggal, ditolaknya. Di suruhnya Hayati pulang ke kampung halamannya. Cintanya besar kepada Hayati, tetapi harga dirinya pun lebih tinggi dari itu. Walaupun mereka tidak menyatu, mereka berdua menghembuskan nafas dengan membawa cinta mereka masing-masing. Karya Hamka Tasawuf Moderen ternyata tercermin dalam kehidupan tokoh-tokoh di dalam kedua novelnya tersebut. Penokohan yang digambarkan juga kental dengan nilai-nilai tasawuf. Hubungan antarsesama tokoh, menjaga adat istiadat, aktiviti keagamaan, dan banyak lagi semua termuat di dalam karya sasteranya. Buku Tasawuf Moderen ternyata tercermin dalam karya-karya sastera Hamka.

Kesimpulan

Penokohan yang terdapat di dalam dua novel karya Hamka di atas, peneliti dapat melihat muatan tasawuf di dalam mengisahkan perjalanan hidup mereka. Tokoh Hamid dan Zainuddin yang mencari kebahagiaan dengan mencintai gadis pujaan mereka, yang keduanya ternyata tidak dapat diperisteri oleh mereka. Dalam kegagalan itu kedua tokoh tersebut justeru, mendalami agama dan tetap menjalani hidup mereka dengan keikhlasan, menerima takdir kehidupan. Hamka mengalirkan ilmu tasawufnya pada semua aktiviti tokoh-tokohnya. Akidah dan Akhlak yang mulia Hamid dan Zainuddin tergambar jelas, mentaati aturan-aturan sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Walaupun kebahagiaan dunia tidak mereka dapatkan, tetapi kebahagiaan batin kedua tokoh tersebut tergambar dengan jelas di dalamnya. Manusia adalah sama dimata Sang Khalik, Allah SWT. yang membezakan iman dan takwanya, oleh sebab itu janganlah berlaku sombong akan kekayaan dan kepangkatan dan membezakan-bezakan orang lain, suku atau golongan. Jangan menghina dan memgunjing orang lain, tepati janji, berikan hak orang lain, saling menghormati dan membantu sesama, patuh pada orang tua, janganlah berfoya-foya dan menghambur-hamburkan harta, bersungguh-sungguh dalam

95

PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017 menuntut ilmu, rendah hati dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu baik perbuatan maupun perkataan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya penelitian awal ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian ke Thailand. Terima kasih juga kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memotivasi para dosen untuk meneliti. Dan tak lupa terima kasih kepada Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastera Indonesia, yang selalu memfasilitasi dosen-dosen di jurusan untuk selalu berkompetisi dalam mengembangkan keilnmuan. Semoga semua amal kebaikan dibalas oleh Allah SWT, amin.

Rujukan

Alifah. Dhiya’an Fathiya. 2010. “Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam di Nusantara; Analisis Pemikiran Buya Hamka dalam Tasawuf Moderen”. Hasil Penelitian. Damami, Mohammad. 2000. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastera. Jakarta: MedPress. Hamka. 1969. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Pustaka Nasional. Hamka. 1990. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hamka. 2002. Pengaruh dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-2. Jakarta: Theresia Slamet. Hamka. 2002. Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Jakarta: Bulan Bintang. Hamka. 2002. Dari Hati ke Hati. Jakarta: Pustaka Panjimas. Irfan Hamka. 2013. Ayah. Jakarta: Republika. Mashud, Mohammad Syafiudin. 2008. “Nilai-Nilai Etika Agama yang Terkandung di Dalam Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah”, dalam Hasil Penelitian. Yogyakarta. Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksyen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ryan, Michael. 2011. Teori Sastera. Yogjakarta: Jalasutra. Saridjo, Marwan. 2006. Sastera dan Agama; Tinjauan Kesusasteraan Indonesia Moden Bercorak Islam. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara. Santoso, Bambang Edi. 2013. “Kajian Gaya Bahasa pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastera di SMA”. Hasil Penelitian. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. : Alfabeta. al-Taftzani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka. Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2007. Kamus Istilah Sastera. Jakarta: Balai Pustaka.

96