1 Menafsir Ulang Masa Awal Sastra Indonesia Modern
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MENAFSIR ULANG MASA AWAL SASTRA INDONESIA MODERN Ahmad Bahtiar [email protected] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra khususnya sejarah sastra Indonesia modern adalah menentukan masa awal sebagai kelahirannya. Banyak ahli sastra berpendapat bahwa sastra Indonesia lahir sekitar 1920-an. Pendapat itu dirujuk sebagai permulaan sastra Indonesia dalam banyak buku Sejarah Sastra Indonesia Modern. Oleh karena itu, Balai Pustaka yang muncul pada waktu itu dianggap tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia meskipun produk kolonial. Kekurangcermatan dalam pengumpulan data serta pandangan terhadap kelompok tertentu menyebabkan banyak fakta yang terlewatkan sehingga tidak komprehensif menggambarkan perjalanan sastra Indonesia. Fakta tersebut ialah karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar. Claudine Salmon menyebutkan bahwa produktivitas pengarang Melayu Tionghoa pada 1875—1997 jauh dari karya pengarang yang selama ini tercatat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia. Karya-karya tokoh pergerakan yang dikenal bacaan liar sudah muncul pada 1850-an yang kemudian menjadi alasan lahirnya Balai Pustaka tidak banyak dibicarakan. Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang masa awal sastra Indonsia modern tersebut dengan memundurkan kelahiran Indonesia dengan memasukan karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar serta mencoba melihat lebih objektif peran Balai Pustaka dalam sastra Indonesia modern. Kata kunci : menafsir ulang, masa awal, sastra Indonesia modern A. Pendahuluan Penulisan sejarah sastra Indonesia sangatlah rumit dan komplek. Salah satu permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra adalah menentukan masa awal atau kapan sastra Indonesia lahir. Banyak pendapat dari berbagai ahli beserta argumen-argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Hal itu menyebabkan titik tolak awal perkembangan kesuastraan Indonesia pun berbeda pula. Perbedaan tersebut juga dalam memamandang setiap peristiwa atau persoalan yang kaitannya dengan kehidupan sastra. Akibatnya, sebuah peristiwa dalam pandangan seorang penulis dianggap penting sehingga harus dimasukkan dalam sejarah kesusastraaan Indonesia. Tetapi penulis lain dapat beranggapan berbeda sehingga peristiwa tersebut tidak perlu menjadi catatan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. 1 Selain itu, kekurangcermatan dalam pengumpulan data serta sikap dan pandangan penulis sejarah sastra menyebabkan karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dan Bacaan Liar yang memperlihatkan produktivitas yang luar biasa luput dalam penulisan sejarah sastra termasuk persoalan yang berkaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Beberapa pengarang dan karyanya tidak pernah dibicarakan ataupun kalau dibicarakan hanya mendapat porsi yang kecil oleh para penulis dan pemerhati sejarah sastra Indonesia Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang masa awal sejarah sastra Indonesia modern dengan memasukan beberapa fakta yang sebelumnya tidak tercatat dalam buku-buku sejarah sastra seperti sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar. Dalam tulisan ini, kedua hal tersebut dijelaskan secara komprehensif sehingga awal sejarah sastra yang biasa dimulai tahun 1920-an dimundurkan ke masa kedua sastra tersebut mulai berkembang. Beberapa pendapat tentang awal sastra Indonesia yang selama berkembang dijelaskan secara singkat. B. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research). Kegiatan ini dilakukan dengan menelusuri buku-buku, jurnal, dan berbagai literatur yang berkaitan dengan karya dan peristiwa dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia. Karya-karya tersebut baik yang berbentuk buku maupun terdapat pada media cetak. Selain itu digunakan wawancara yang dilaksanakan dengan mewancarai beberapa pelaku sastra seperti ahli sastra, pemerhati sastra serta sastrawan untuk melengkapi kepustakaan yang diperoleh. Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan berbagai perspektif. Yudiono K.S (2007) merujuk artikel Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra”, menjelaskan bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra sedemikian rupa sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya, terkait dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra dalam tulisan ini mengacu pada hal itu. 2 C. Pembahasan 1. Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia Pembicaraan tentang sejarah sastra Indonesia dimulai dengan pertanyaan kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Jawaban pertanyaan tersebut memunculkan beragam pendapat dari banyak ahli. Pertama, Umar Junus dalam karangannya yang dimuat majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960), berpendapat bahwa, “Sastra ada sesudah bahasa ada. Sastra X baru ada setelah bahasa X ada”, yang berarti bahwa sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada. Oleh karena itu, bahasa Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka Umar Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”. Karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka—menurut Umar Junus tidak dapat dimasukkan “golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai hasil sastra Melayu Baru/Modern”. Alasannya, karya-karya itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”. Dengan dasar, ia membagi sastra Indonesia dengan a) Pra Pujangga Baru atau Pra Angkatan ’33 (1928-1933); b) Pujangga Baru atangtan ’33 (1933 – 1945); dan c) Angkatan ’45, dan seterusnya Kedua, pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya kesusastraan Indonesia dapat kita baca tulisannya dalam Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985). Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa. Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu sudah ada sebelumnya dan sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Ajip berpendapat “kesadaran kebangsaanlah” seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan kebangsaan ini, ia menetapkan bahwa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920/1921 atau 1922. Ia memilih tahun itu bukan karena terbitnya Azab dan Sengsara maupun Siti Nurbaya 3 melainkan karena pada tahun itu para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan sajak-sajaknya yang bercorak kebangsaaan dalam majalah Jong Sumatra (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra). Sajak-sajak mereka sifatnya tegas, berbeda dengan umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun bentuknya. Tema tentang tanah air yang dijajah adalah hal yang tidak biasa dijumpai dalam kesusastraan Melayu. Kumpulan sajak Muhammad Yamin, Tanah Air, menurut Ajip, mencerminkan corak/semangat kebangsaan, yang tidak ada/tampak pada pengarang-pengarang sebelumnya (1998 : 6). Ketiga, A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia 1, menjelaskan bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920 dengan alasan: “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan (1980: 15). Alasan lainnya menurut Teeuw ialah : “Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bagi pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir dalam diri mereka (1980 : 18). Berdasarkan pemikiran tersebut, ia menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk soneta yang digunakan pengarang. Keempat, Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusatraan Indonesia dari sudut lain. Ia melihat dari sudut lahirnya sebuah negara. Indonesia adalah sebuah negara di antara banyak negara di dunia. Bangsa Indonesia merdeka tahun 1945, secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45. Oleh karena itu, Kesusastraan Indonesia baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang resmi sebagai 4 bahasa negara. Kesusastraan sebelum kemerdekaan adalah Kesusastraan Melayu, belum Kesusastraan Indonesia. Kelima, Hokyas dan Drewes. Kedua peneliti Belanda tersebut menganggap bahwa Sastra Indonesia merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur). Perubahan “Het Maleis” menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian, kesusastraan Indonesia mulai sejak Kesusastraan Melayu. Pengarang Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya sastranya seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia. Pendapat lain ialah dikemukan beberapa ahli sastra yang beranggapan bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920. Alasannya, pada waktu itu lahir novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional