1 Menafsir Ulang Masa Awal Sastra Indonesia Modern

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

1 Menafsir Ulang Masa Awal Sastra Indonesia Modern MENAFSIR ULANG MASA AWAL SASTRA INDONESIA MODERN Ahmad Bahtiar [email protected] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra khususnya sejarah sastra Indonesia modern adalah menentukan masa awal sebagai kelahirannya. Banyak ahli sastra berpendapat bahwa sastra Indonesia lahir sekitar 1920-an. Pendapat itu dirujuk sebagai permulaan sastra Indonesia dalam banyak buku Sejarah Sastra Indonesia Modern. Oleh karena itu, Balai Pustaka yang muncul pada waktu itu dianggap tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia meskipun produk kolonial. Kekurangcermatan dalam pengumpulan data serta pandangan terhadap kelompok tertentu menyebabkan banyak fakta yang terlewatkan sehingga tidak komprehensif menggambarkan perjalanan sastra Indonesia. Fakta tersebut ialah karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar. Claudine Salmon menyebutkan bahwa produktivitas pengarang Melayu Tionghoa pada 1875—1997 jauh dari karya pengarang yang selama ini tercatat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia. Karya-karya tokoh pergerakan yang dikenal bacaan liar sudah muncul pada 1850-an yang kemudian menjadi alasan lahirnya Balai Pustaka tidak banyak dibicarakan. Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang masa awal sastra Indonsia modern tersebut dengan memundurkan kelahiran Indonesia dengan memasukan karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar serta mencoba melihat lebih objektif peran Balai Pustaka dalam sastra Indonesia modern. Kata kunci : menafsir ulang, masa awal, sastra Indonesia modern A. Pendahuluan Penulisan sejarah sastra Indonesia sangatlah rumit dan komplek. Salah satu permasalahan penting dalam penulisan sejarah sastra adalah menentukan masa awal atau kapan sastra Indonesia lahir. Banyak pendapat dari berbagai ahli beserta argumen-argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Hal itu menyebabkan titik tolak awal perkembangan kesuastraan Indonesia pun berbeda pula. Perbedaan tersebut juga dalam memamandang setiap peristiwa atau persoalan yang kaitannya dengan kehidupan sastra. Akibatnya, sebuah peristiwa dalam pandangan seorang penulis dianggap penting sehingga harus dimasukkan dalam sejarah kesusastraaan Indonesia. Tetapi penulis lain dapat beranggapan berbeda sehingga peristiwa tersebut tidak perlu menjadi catatan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. 1 Selain itu, kekurangcermatan dalam pengumpulan data serta sikap dan pandangan penulis sejarah sastra menyebabkan karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dan Bacaan Liar yang memperlihatkan produktivitas yang luar biasa luput dalam penulisan sejarah sastra termasuk persoalan yang berkaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Beberapa pengarang dan karyanya tidak pernah dibicarakan ataupun kalau dibicarakan hanya mendapat porsi yang kecil oleh para penulis dan pemerhati sejarah sastra Indonesia Tulisan ini mencoba menafsirkan ulang masa awal sejarah sastra Indonesia modern dengan memasukan beberapa fakta yang sebelumnya tidak tercatat dalam buku-buku sejarah sastra seperti sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar. Dalam tulisan ini, kedua hal tersebut dijelaskan secara komprehensif sehingga awal sejarah sastra yang biasa dimulai tahun 1920-an dimundurkan ke masa kedua sastra tersebut mulai berkembang. Beberapa pendapat tentang awal sastra Indonesia yang selama berkembang dijelaskan secara singkat. B. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research). Kegiatan ini dilakukan dengan menelusuri buku-buku, jurnal, dan berbagai literatur yang berkaitan dengan karya dan peristiwa dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia. Karya-karya tersebut baik yang berbentuk buku maupun terdapat pada media cetak. Selain itu digunakan wawancara yang dilaksanakan dengan mewancarai beberapa pelaku sastra seperti ahli sastra, pemerhati sastra serta sastrawan untuk melengkapi kepustakaan yang diperoleh. Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan berbagai perspektif. Yudiono K.S (2007) merujuk artikel Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra”, menjelaskan bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra sedemikian rupa sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya, terkait dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra dalam tulisan ini mengacu pada hal itu. 2 C. Pembahasan 1. Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia Pembicaraan tentang sejarah sastra Indonesia dimulai dengan pertanyaan kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Jawaban pertanyaan tersebut memunculkan beragam pendapat dari banyak ahli. Pertama, Umar Junus dalam karangannya yang dimuat majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960), berpendapat bahwa, “Sastra ada sesudah bahasa ada. Sastra X baru ada setelah bahasa X ada”, yang berarti bahwa sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada. Oleh karena itu, bahasa Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka Umar Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”. Karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka—menurut Umar Junus tidak dapat dimasukkan “golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai hasil sastra Melayu Baru/Modern”. Alasannya, karya-karya itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”. Dengan dasar, ia membagi sastra Indonesia dengan a) Pra Pujangga Baru atau Pra Angkatan ’33 (1928-1933); b) Pujangga Baru atangtan ’33 (1933 – 1945); dan c) Angkatan ’45, dan seterusnya Kedua, pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya kesusastraan Indonesia dapat kita baca tulisannya dalam Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985). Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa. Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu sudah ada sebelumnya dan sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Ajip berpendapat “kesadaran kebangsaanlah” seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan kebangsaan ini, ia menetapkan bahwa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920/1921 atau 1922. Ia memilih tahun itu bukan karena terbitnya Azab dan Sengsara maupun Siti Nurbaya 3 melainkan karena pada tahun itu para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan sajak-sajaknya yang bercorak kebangsaaan dalam majalah Jong Sumatra (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra). Sajak-sajak mereka sifatnya tegas, berbeda dengan umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun bentuknya. Tema tentang tanah air yang dijajah adalah hal yang tidak biasa dijumpai dalam kesusastraan Melayu. Kumpulan sajak Muhammad Yamin, Tanah Air, menurut Ajip, mencerminkan corak/semangat kebangsaan, yang tidak ada/tampak pada pengarang-pengarang sebelumnya (1998 : 6). Ketiga, A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia 1, menjelaskan bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920 dengan alasan: “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan (1980: 15). Alasan lainnya menurut Teeuw ialah : “Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bagi pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir dalam diri mereka (1980 : 18). Berdasarkan pemikiran tersebut, ia menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk soneta yang digunakan pengarang. Keempat, Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusatraan Indonesia dari sudut lain. Ia melihat dari sudut lahirnya sebuah negara. Indonesia adalah sebuah negara di antara banyak negara di dunia. Bangsa Indonesia merdeka tahun 1945, secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45. Oleh karena itu, Kesusastraan Indonesia baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang resmi sebagai 4 bahasa negara. Kesusastraan sebelum kemerdekaan adalah Kesusastraan Melayu, belum Kesusastraan Indonesia. Kelima, Hokyas dan Drewes. Kedua peneliti Belanda tersebut menganggap bahwa Sastra Indonesia merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur). Perubahan “Het Maleis” menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian, kesusastraan Indonesia mulai sejak Kesusastraan Melayu. Pengarang Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya sastranya seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia. Pendapat lain ialah dikemukan beberapa ahli sastra yang beranggapan bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920. Alasannya, pada waktu itu lahir novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional
Recommended publications
  • Surrealist Painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong
    University of Wollongong Research Online University of Wollongong Thesis Collection University of Wollongong Thesis Collections 1995 Surrealist painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong Recommended Citation Marianto, Martinus Dwi, Surrealist painting in Yogyakarta, Doctor of Philosophy thesis, Faculty of Creative Arts, University of Wollongong, 1995. http://ro.uow.edu.au/theses/1757 Research Online is the open access institutional repository for the University of Wollongong. For further information contact the UOW Library: [email protected] SURREALIST PAINTING IN YOGYAKARTA A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the award of the degree DOCTOR OF PHILOSOPHY from UNIVERSITY OF WOLLONGONG by MARTINUS DWI MARIANTO B.F.A (STSRI 'ASRT, Yogyakarta) M.F.A. (Rhode Island School of Design, USA) FACULTY OF CREATIVE ARTS 1995 CERTIFICATION I certify that this work has not been submitted for a degree to any other university or institution and, to the best of my knowledge and belief, contains no material previously published or written by any other person, except where due reference has been made in the text. Martinus Dwi Marianto July 1995 ABSTRACT Surrealist painting flourished in Yogyakarta around the middle of the 1980s to early 1990s. It became popular amongst art students in Yogyakarta, and formed a significant style of painting which generally is characterised by the use of casual juxtapositions of disparate ideas and subjects resulting in absurd, startling, and sometimes disturbing images. In this thesis, Yogyakartan Surrealism is seen as the expression in painting of various social, cultural, and economic developments taking place rapidly and simultaneously in Yogyakarta's urban landscape.
    [Show full text]
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • Periodisasi Sastra Indonesia
    PERIODISASI SASTRA INDONESIA 1. Zaman Peralihan Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban. Ciri-ciri : a. individualis dan tidak anonym lagi b. progresif, tetapi masih tradisional dal;am bentuk dan bahasanya c. menulis apa yang dilihat dan dirasakan d. sudah mulai masyarakat sentris e. temanya tentang kisah perjalanan, biografi, adat- istiadat, dan didaktis Hasil karya sastra pada zaman ini antara lain: . Kisah Abdullah ke Malaka Utara . Perjalanan Abdullah ke Kelantan dan Tenggano . dan Hikayat Abdullah . Hikayat Puspa Wiraja . Hikayat Parang Punting . Hikayat Langlang Buana . Hikayat Si Miskin . Hikayat Berma Syahdan . Hikayat Indera Putera . Hikayat Syah Kobat . Hikayat Koraisy Mengindera . Hikayat Indera Bangsawan . Hikayat Jaya Langkara . Hikayat Nakhoda Muda . Hikayat Ahmad Muhammad . Hikayat Syah Mardan . Hikayat Isma Yatim . Hikayat Puspa Wiraja . ANGKATAN BALAI PUSTAKA Angkatan Balai Pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit “Bali Pustaka”. Prosa (roman, novel,cerpen, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, hikayat, dan kazhanah sastra di Indonesia pada masa ini Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan sastra melayu rendah yang tidak menyoroti pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam 3 bahasa yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda, dan dalam jumlah yang terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
    [Show full text]
  • Melahirkan Sastra Indonesia …………
    POTRET SASTRA INDONESIA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) POTRET SASTRA INDONESIA Penulis : Drs. Harjito, M.Hum Editor : Dra. Sri Suciati, M.Hum. IKIP PGRI Semarang Press, 2007 vi, 102 / 16 X 24,5 cm ISBN: 978 – 602 – 8047 – 01 - 2 Hak cipta, 2007 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dengan cara apa pun termasuk menggunakan mesin fotokopi tanpa seizin penerbit. 2007 POTRET SASTRA INDONESIA IKIP PGRI Semarang Press Prakata Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan dan menerbitkan buku ini. Buku ini berisi tentang sejarah sastra Indonesia. Terbagi atas sebelas bab, buku ini diawali dengan pembahasan tentang sastra lama dan foklor. Bab berikutnya berisi tentang sastra Indonesia dan sastra daerah. Bab-bab berikutnya membahas tentang periode Balai Pustaka hingga Periode Pasca 66. Sejarah adalah sesuatu yang bergerak dan selalu akan terus bergerak. Menulis sejarah sastra Indonesia adalah menuliskan sesuatu yang terus bergerak. Yang patut disadari adalah pada saat menuliskan sejarah, selalu dibutuhkan jarak waktu antara peristiwa dan penulisannya. Hal ini dilakukan agar terdapat jarak pandang dan objektivitas dalam memandang sebuah peristiwa, termasuk perisiwa dalam kesastraan. Tidak mudah menulis tentang sejarah sastra, terutama sejarah sastra Indonesia. Selalu ada keberpihakan atas satu peristiwa dan mengabaikan sudut pandang yang lain. Dalam satu sisi, itulah kelemahan penulis. Di sisi lain, di situlah secara sadar atau tidak penulis berdiri
    [Show full text]
  • Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya
    B U K U P A N D U A N PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Ferdinal, Donny Eros, Gindho Rizano L P T I K U N I E R S I T A S A N D A L A S BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN WISATA SASTRA SITI NURBAYA Penyusun Drs. Ferdinal, MA, PhD Donny Eros, SS, MA Gindho Rizano, SS, MHum Layout Multimedia LPTIK Unand Ilustrasi Cover Sampul Novel Siti Nurbaya Terbitan Balai Pustaka (Dihimpun dari berbagai sumber) Penerbit Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas Alamat: Gedung Perpustakaan Lantai Dasar, Kampus Universitas Andalas Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Email: [email protected] Web: lptik.unand.ac.id ISBN 978-602-5539-45-9 Cetakan Pertama, 2019 Hak cipta pada penulis Isi diluar tanggung jawab penerbit KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, buku saku Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya Kota Padang ini dapat diterbitkan. Publikasi Buku Panduan Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya ini merupakan hasil dari penelitian dengan judul Model Pengembangan Wisata Sastra Siti Nurbaya di Padang Sumatra Barat. Publikasi ini memuat data yang menggambarkan kondisi wisata Siti Nurbaya Padang tahun 2018. Publikasi ini menyajikan informasi mengenai wisata sastra Siti Nurbaya, atraksi wisata Siti Nurbaya, dan model pengembangan wisasta Sastra Siti Nurbaya. Secara lebih detil, buku saku pengembangan wisata sastra Siti Nurbaya ini memberikan gambaran tentang potensi dan model pengembangan wisata Siti Nurbaya menuju wisata sastra.
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd
    14 The capital of pulp fiction and other capitals Cultural life in Medan, 1950-1958 Marije Plomp The general picture of cultural activities in Indonesia during the 1950s emanating from available studies is based on data pertain- ing to the nation’s political and cultural centre,1 Jakarta, and two or three other main cities in Java (Foulcher 1986; Rhoma Dwi Aria Yuliantri and Muhidin M. Dahlan 2008). Other regions are often mentioned only in the framework of the highly politicized debate on the outlook of an Indonesian national culture that had its origins in the 1930s (Foulcher 1986:32-3). Before the war, the discussions on culture in relation to a nation were anti-colonial and nationalistic in nature, but after Independence the focus shifted. Now the questions were whether or not the regional cul- tures could contribute to a modern Indonesian national culture, and how they were to be valued vis-à-vis that national culture. What cultural life in one of the cities in the outer regions actually looked like, and what kind of cultural networks – national, trans- national and transborder – existed in the various regions has yet to be researched. With this essay I aim to contribute to a more differentiated view on the cultural activities in Indonesia in the 1950s by charting a part of the cultural world of Medan and two of its (trans)national and transborder cultural exchange networks in the period 1950- 1958. This time span covers the first eight years of Indonesia as an independent nation until the start of the insurrection against the central army and government leaders by North Sumatran army commander Colonel Maludin Simbolon on 22 December 1958 (Conboy 2003:37-51).
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Analisa of Social Science and Religion Volume 01 No
    ISSN : 2502 – 5465 / e-ISSN: 2443 – 3859 Accredited by LIPI Number: 543/AU1/P2MI-LIPI/06/2013 JournalAnalisa of Social Science and Religion Volume 01 No. 01 June 2016 Analisa is a peer-reviewed journal published by Office of Religious Research and Development Ministry of Religious Affairs Semarang Indonesia. It specializes in these three aspects; religious life, religious education, religious text and heritage. Analisa aims to provide information on social and religious issues through publication of research based articles and critical analysis articles. Analisa has been published twice a year in Indonesian since 1996 and started from 2016 Analisa is fully published in English as a preparation to be an international journal. Since 2015, Analisa has become Crossref member, therefore all articles published by Analisa will have unique DOI number. Advisory Editorial Koeswinarno Religious Research and Development, Ministry of Religious Affairs, Semarang, Indonesia Editor in Chief Sulaiman Religious Research and Development, Ministry of Religious Affairs, Semarang, Indonesia International Editorial Board Florian Pohl, Emory University, United State of America Alberto Gomes, La Trobe University, Melbourne Australia Nico J.G. Kaptein, Leiden University, Leiden the Netherlands David Martin Jones, University of Queensland, Brisbane Australia Patrick Jory, University of Queensland, Brisbane Australia Dwi Purwoko, The Indonesian Institute of Science, Jakarta Indonesia Heddy Shri Ahimsa, Gajah Mada University, Yogyakarta Indonesia Irwan Abdullah,
    [Show full text]
  • Membayangkan Indonesia Dari Novel-Novel Antaretnis Dan Antaragama Periode 1920-An Hingga 1970-An
    MEMBAYANGKAN INDONESIA DARI NOVEL-NOVEL ANTARETNIS DAN ANTARAGAMA PERIODE 1920-AN HINGGA 1970-AN IMAGINE INDONESIA FROM INTERETHNIC AND INTERRELIGIOUS NOVELS PERIOD 1920’S TO 1970’S Dwi Rahariyoso Jalan Cipto Mangun Kusumo 59, Ponorogo, Jawa Timur Pos-el: [email protected] Telepon 085643728390 Abstrak Penelitian ini menguraikan persoalan perkawinan antaretnis dan antaragama yang terdapat dalam novel Indonesia periode 1920-an hingga 1970-an. Pengelompokan kategori novel berdasarkan genre yang terdapat dalam novel-novel yang mempunyai kapasitas dalam membahas tema perkawinan antaretnis dan antaragama. Melalui genre yang dimunculkan dalam novel, pola dan bentuk struktur penceritaan bisa dicermati secara saksama. Kategori antaretnis dan antaragama dalam novel periode 1920-an hingga 1970-an mengindikasikan bahwa kesadaran tentang multikulturalisme, pluralitas, dan kebangsaan sebagai sebuah gagasan penting bagi jati diri bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang penuh kebhinekaan telah menjadi isu sentral yang dikembangkan oleh pengarang pada periode tersebut melalui kisah-kisah percintaan (roman) kaum muda dalam novel Indonesia modern. Kata kunci: antaretnis, antaragama, genre, pola, roman, kebangsaan, pluralitas, multikulturalisme, toleransi, Indonesia Abstract Husband research outlines the issue of inter-ethnic and inter-religious marriages are hearts novel Indonesia the 1920’s period until 1970's. Novel category grouping by genre what are hearts novel-novel that had the capacity hearts discuss the theme of interethnic and inter-religious marriages. The hearts raised through a new genre, patterns and The narrative structure can be observed carefully. Category interethnic and interreligious new hearts 1920’s period until 1970's indicated that awareness about multiculturalism, pluralism, and nationality AS an idea essentials personal identity of the Indonesian nation.
    [Show full text]
  • Kaba: an Unfinished (His-) Story *
    Southeast Asian Studies, Vol. 32, No.3, December 1994 Kaba: An Unfinished (His-) Story * Umar JUNUS ** Background Information The word kaba, 'kabar' in Malay, is derived from the Arabic khabar 'news'. It is synonym­ ous with Malay 'berita' - barito in traditional Minangkabau but berita in presentday colloquial Minangkabau. However, in a kaba there is an expression: tibo di langit tabarito, jatuah ka bumi jadi kaba [reaching the heaven it becomes a barito, falling to earth it becomes a kabaJ, thus both are regarded as two distinct terms. It is simply taken for granted that a barito is different from a kaba. As it is taken for granted that everybody knows what a kaba is, it is assumed that they should know what a barito is. If a kaba, semiotically, has (+), a barito would have (-), or vice versa, but in fact, nobody bothers to define barito. A kaba is a traditional Minangkabau literary genre. As far as the story is con­ cerned, it is similar to hikayat, a genre in Malay or carito/curito 'story' - cerita in Malay. Because of this, J. L. van den Toorn published Kaba Sutan Manangkerang [1885J and Kaba Manjau Ari [1891] as 'hikayat'. A kaba is usually understood as a curito, or the terms are used simultaneously to become kaba curitoY However, technically or stylistically, there are some literary devices differentiating a kaba from a hikayat or cerita. The units in a hikayat or cerita are linguistic units-sentences and paragraphs. A kaba unit, on the other hand, is neither a linguistic nor a poetic unit 2 although it is related to both, or it is simply something between the two.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI MOTTO “Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup” (NN) iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ABSTRAK (Indonesia) Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika
    [Show full text]
  • Sejarah Sastra Indonesia
    0 | Sejarah Sastra Indonesia 1 | Sejarah Sastra Indonesia KATA PENGANTAR Sastra Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis. Hal itu tidak hanya mendapat perhatian dari pemerhati sastra, sastrawan maupun pengajar sastra melainkan juga masyarakat umum yang juga merupakan penikmat sastra. Membicarakan perkembangan sastra suatu bangsa tentunya harus membicarakan sejarah sastra itu. Kehadiran kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari sejarah yang melahirkan dan membesarkannya. Beberapa ahli sastra memberikan argumen yang dijadikan landasan pijakan kapan kelahiran sastra Indonesia. Beberapa pendapat tersebut menyiratkan bahwa perjalanan sastra Indonesia belumlah panjang.Usia kesusastraan Indonesia tidaklah sepanjang kesusastraan Inggris, Amerika, Arab, Jepang, Cina atau kesusastraan negara lainnya. Namun demikian, dengan usia yang belum terlalu panjang tersebut bukan berarti sastra Indonesia sepi dari karya-karya yang monumental. Kehidupan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai sekarang sangatlah marak. Banyak sastrawan yang lahir pada setiap masa dan membawa bentuk-bentuk yang berbeda dengan masa sebelumnya. Berbagai peristiwa kesusastraan datang silih berganti mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Hasil sastra yang dilahirkan terus bertambah setiap saat. Fakta itulah yang harus diketahui oleh siapapun yang berminat terhadap kesusastraan Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang bersifat komprehensif. Buku tersebut tidak hanya mengenai sastrawan dan karyanya tetapi juga mencakup berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sastra Indonesia dari sejak kelahiran sampai sekarang. Banyak penulis yang telah melahirkan buku sejarah sastra Indonesia, seperti Sejarah Sastra Indonesia (Bakri Siregar, 1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1968), Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Pamusuk Eneste, 1988), Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (Jacob Sumardjo, 1992) dan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yudiono K.S., 2007).
    [Show full text]