33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh

Penulis

Acep Zamzam Noor Jamal D. Rahman Agus R. Sarjono Joni Ariadinata Ahmad Gaus Maman S. Mahayana Berthold Damshäuser Nenden Lilis Aisyah

Diterbitkan untuk Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 1 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Perpengaruh

@Jamal D. Rahman dkk Hak Cipta Dilindung Undang-undang All right reserved

Penulis Acep Zamzam Noor Agus R. Sarjono Ahmad Gaus Berthold Damshäuser Jamal D. Rahman Joni Ariadinata Maman S. Mahayana Nenden Lilis Aisyah

Penyelia Aksara A. Zakky Zulhazmi

Sampul dan Isi K-grafia

Cetakan Pertama Januari 2014

Penerbit Cetakan Kepustakaan Populer Gramedia

E-book inspirasi.co

2 Jamal D. Rahman dkk. Sambutan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 3 4 Jamal D. Rahman dkk. Sambutan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin

Diorama Sejarah Kesusastraan Indonesia

elamat kepada Tim 8 atas terbitnya buku 33 Tokoh Sastra S Indonesia Paling Berpengaruh ini. Dalam proses penyusunan buku ini, sampai batas tertentu sumber tulisan yang dibutuhkan oleh Tim 8 diperoleh dari koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Buku ini merupakan salah satu diorama dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Tim 8, yang terdiri dari para pakar sastra Indonesia. Saya yakin bahwa dalam penentuan tokoh-tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh baik terhadap dunia sastra itu sendiri maupun terhadap fenomena sosial, politik, maupun budaya secara umum, tentunya melalui proses yang tidak mudah. Dan ternyata hasil penyeleksian tokoh yang dipilih oleh Tim 8 bukan saja kalangan sastrawan, tetapi juga tokoh dari profesi lain yang menaruh perhatian terhadap dunia sastra.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 5 Sebagai lembaga yang bertugas mendokumentasi karya- karya sastra Indonesia, buku ini tentu saja merupakan suatu karya yang menambah dan memperkaya khazanah kesusas- traan Indonesia, yang berisi informasi tentang tokoh-tokoh sastra yang berpengaruh. Akhir kata, saya menyambut baik terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Buku ini akan menjadi koleksi yang bermanfaat bagi pencari informasi sastra yang datang ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Jakarta, 31 Oktober 2013

Dra. Ariany Isnamurti Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin

6 Jamal D. Rahman dkk. Pengantar

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 7 8 Jamal D. Rahman dkk. Pengantar Mencari Tokoh bagi Sastra

Negara lahir dari tangan penyair. Jaya dan runtuhnya di tangan para politisi. Mohammad Iqbal

Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. John F. Kennedy

eranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak Pjarang dipertanyakan, terutama saat negara sibuk de- ngan pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi juga di Indone- sia. Di satu sisi, para penguasa kerap merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan beberapa kebi- jakan politik menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka cenderung mengang- gap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kerja keras pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Di lain sisi, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pemba- ngunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra cuma berisi lamunan dan kata-kata indah mendayu.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 9 Tapi John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengemukakan bahwa jika kekuasaan memba- wa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan keter- batasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan manusia akan kaya dan beragam- nya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi member- sihkannya. Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai pengimbang —bahkan anti toksin— bagi penguasa dan kekuasaan. Dalam pada itu, Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf ter- kenal asal Pakistan, mengemukakan bahwa negara lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya, ungkapan tersebut benar secara metaforis. Na- mun, bagi bangsa-bangsa terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial- politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahir- nya negara Indonesia di awal abad ke-20. Konsep Indonesia sebagai sebuah negara-baru dicanang- kan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah Sumpah Pemuda —bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indo- nesia— adalah deklarasi politik dalam bentuk puisi? Bukan- kah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa Indo- nesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda —

10 Jamal D. Rahman dkk. yang dikonsep oleh Muhammad Yamin— adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru sesung- guhnya dideklarasikan lewat puisi. Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula dari sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air” (1920) karya Muhammad Yamin, di mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula- mula bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu mene- gaskan bahwa kesusastraan lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama Indonesia. Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda. Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora, setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama mengimajinasikan kemung- kinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru: Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai wilayah Nusantara menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 11 kemudian negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjut- nya memang berada di tangan para politisi. Di masa-masa awal nasionalisme Indonesia, hubungan politik dengan sastra sedemikian dekatnya. Saat Indonesia berada di bawah kolonialisme dan —sebagai akibatnya— pengaruh kerajaan dan/atau kesultanan di Indonesia mulai menurun, masyarakat tampak kehilangan acuan nilai. Pada saat itulah para sastrawan memainkan peranan baru, mena- warkan nilai-nilai baru bagi kehidupan, mengajukan perta- nyaan-pertanyaan mendasar, antara lain menimbang kete- gangan antara modernitas dan tradisi, menggali dan mende- dahkan kegelisahan dan impian manusia Indonesia. Sejurus dengan itu, para sastrawan menarasikan lahirnya bangsa dan tanah air baru yang merdeka dari kolonialisme, dan hal itu mendorong terbitnya fajar nasionalisme Indonesia. Dalam konteks inilah, khususnya dari segi ide, hubungan para pendiri bangsa dengan para sastrawan sedemikian dekatnya, hubungan mana dibangun setidaknya atas dua hal penting. Pertama, para pendiri bangsa dan para sastra- wan adalah kaum intelektual yang tentu saja berbasis pada keberaksaraan (literacy). Kedua, mereka diikat oleh kegeli- sahan dan impian yang sama, yakni lepas dari penjajahan. Baik pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang me- mahami dengan baik potensi dan peranan strategis kesu- sastraan bagi sebuah bangsa. Mereka juga menyadari bahaya kesusastraan bagi kelangsungan penjajahan. Itu sebabnya dengan sadar dan terprogram pemerintah kolonial Belanda

12 Jamal D. Rahman dkk. mendirikan Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian dikenal dengan nama , sementara pemerintah pendu- dukan Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayan). Keduanya bertugas untuk mengelola sekaligus mengawasi kehidupan sastra dan para sastrawan serta kese- nian pada umumnya. Dengan ketat mereka mencoba meng- gunakan sastra sebagai sarana untuk menanamkan nilai- nilai mereka kepada masyarakat jajahan demi kepentingan dan kelangsungan kolonialisme di Indonesia. Lebih dari itu, lewat Keimin Bunka Shidoso Jepang bahkan berupaya me- nyebarkan kesadaran akan kesatuan Asia Timur Raya di kalangan masyarakat Nusantara agar mendukung pepe- rangan mereka melawan sekutu. Para sastrawan dan seni- man pun dihimpun dan diberi fasilitas untuk mewujudkan agenda Jepang tersebut. Namun, sastra dalam dirinya sendiri memiliki potensi me- merdekakan manusia. Baik di bawah Balai Pustaka maupun Keimin Bunka Shidoso, boleh jadi para sastrawan berkarya sesuai dengan agenda yang dicanangkan kolonial. Namun pada kenyataannya, karya sastra ibarat permata dengan banyak faset. Karya sastra membuka beragam pintu dan jendela bagi kemungkinan-kemungkinan kesadaran yang tak sepenuhnya bisa dikontrol. Maka, meski ditekan dan diagendakan dengan ketat baik oleh Belanda maupun Jepang, karya sastra Indonesia mampu meloloskan diri dari berbagai tekanan, sekaligus membuka pintu dan jendela bagi kesadaran pembaca untuk membayangkan kemungkinan lain di luar kenyataan sebagai bangsa terjajah. Paling tidak untuk sebagian, adanya kesadaran akan kemungkinan-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 13 kemungkinan lain itulah yang membawa Indonesia pada semangat kemerdekaan. Demikianlah karya-karya Marah Rusli, Chairil Anwar, Idrus, Mochtar Lubis, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer —untuk menyebut sebagian— menyuarakan gairah revolusi kemerdekaan, sekaligus perasaan cemas, takut, dan tertekan bangsa Indo- nesia di zaman penjajahan, khususnya di zaman revolusi. Dikatakan dengan cara lain, kesusastraan Indonesia dengan cerdas meloloskan diri dari berbagai kontrol kolonial dan bahkan melakukan perlawanan terhadap kolonial itu sendiri, demi mewujudkan impian negara baru yang merdeka. Peranan sastra(wan) dalam menumbuhkan perasaan cinta tanah air dan mengobarkan semangat perjuangan, baik di awal munculnya nasionalisme Indonesia maupun di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemer- dekaan, merupakan fakta yang sangat jelas. Sejak mula kesusastraan memainkan peranan penting dalam sejarah kebangsaan. Peranan ini, baik secara individual maupun kolektif melalui berbagai organisasi seni yang secara lang- sung mendukung perjuangan merebut dan mempertahan- kan kemerdekaan, disambut baik dan dihargai sedemikian rupa khususnya oleh kaum intelektual dan tokoh-tokoh pergerakan. Dengan demikian, peranan kesusastraan bagi kehidupan masyarakat Indonesia dalam rentang sejarahnya yang panjang ditempatkan secara proporsional sesuai de- ngan arti dan kedudukan kesusastraan itu sendiri. Arti penting sastra khususnya secara politik masih disadari sam- pai penghujung Orde Lama. Tidaklah mengherankan kalau posisi sastra(wan) dan seni(man) ketika itu diperebutkan

14 Jamal D. Rahman dkk. oleh kubu-kubu yang berseteru secara politik maupun ideologi. Pada masa kini, posisi kesusastraan sebenarnya tidak begitu berbeda dengan peranan yang telah dimainkannya baik di masa-masa terbitnya fajar nasionalisme maupun di masa pergerakan dan revolusi Indonesia. Namun, terdapat kecenderungan besar di Indonesia dewasa ini untuk meng- abaikan hasil renungan, imajinasi, pemikiran, kiprah, dan peranan sastra(wan) Indonesia dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya secara umum. Selepas hiruk-pikuk sastra dan politik di penghujung Orde Lama, perlahan tapi pasti masyarakat menjauh dan/atau dijauhkan dari sastra. Kesu- sastraan tidak lagi diapresiasi secara wajar, meskipun ternya- ta tetap ditakuti dan diwaspadai secara politik. Penangkapan dan pemenjaraan sastrawan dan pelarangan buku sastra tetap terjadi. Dalam pada itu, masyarakat Indonesia yang belum beranjak dari kelisanan ke keberaksaraan dengan cepat memasuki era kelisanan kedua. Buku bacaan serta tradisi membaca, khususnya sastra, tidak dijadikan bagian penting dan mendasar dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, tanpa banyak perdebatan, sastra telah digusur habis dalam Kurikulum 2013, yang merupakan antiklimaks dari pen- jauhan sastra dari masyarakat dan sebaliknya. Dilihat dari banyak segi, Indonesia cenderung durhaka pada puisi sebagai ibu kandung yang telah melahirkannya, yakni Sumpah Pemuda. Menjauhkan sastra dari masyarakat Indonesia dan/atau sebaliknya adalah memisahkan ibu kandung dari anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, menjauhkan masyarakat dari sastra adalah memisahkan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 15 anak kandung dari ibu kandungnya. Jika kedurhakaan terse- but dibiarkan, apalagi terus berlanjut, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami nasib sebagaimana lazimnya anak-anak durhaka. Jika kepada masyarakat Indonesia belakangan ini dita- nyakan siapakah tokoh Indonesia, bukan tidak mungkin yang segera terbayang adalah serombongan selebriti dan para politisi bermasalah. Mau bagaimana lagi, merekalah yang terus-menerus hadir dan tampil mengisi ruang pembe- ritaan media cetak dan terutama media elektronik. Para politisi, pejabat, dan aparat bermasalah mendapatkan porsi pemberitaan yang sangat besar. Demikian juga para pela- wak, pemain sinetron, penyanyi pop maupun dangdut meru- pakan tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan media massa Indonesia belakangan ini. Nyaris seluruh sepak terjang mereka diberitakan secara rinci setiap hari. Kisah asmara mereka (mulai dari diisukan pacaran, sedang pacaran, diisu- kan mau menikah, menikah, bertengkar, cerai, hampir ru- juk, rujuk, berebut anak dan sebagainya) dengan rinci dan detail diberitakan, ditayangkan, bahkan dikomentari dan dibahas tuntas. Media massa menjadikan para selebriti ini tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan, tak peduli mereka berprestasi atau tidak. Jarang sekali bangsa Indonesia mendapat pemberitaan dan berkenalan dengan sosok-sosok yang benar-benar berprestasi dan mengabdikan dirinya di dunia ilmu penge- tahuan, pemikiran, penelitian, sosial, budaya, dan kesusas- traan. Para pemikir, intelektual, peneliti, penemu, dan sastra-

16 Jamal D. Rahman dkk. wan yang hebat tidaklah dikenal karena mereka tidak diberitakan. Demikian juga politisi, pejabat, dan aparat yang tidak bermasalah, yakni mereka yang jujur, bersih dan berprestasi, tidak jadi berita —dengan sedikit sekali pengecualian. Sampai batas tertentu, fenomena yang sangat menonjol tersebut menunjukkan kecenderungan budaya dewasa ini untuk mengabaikan hasil-hasil kreatif di bidang pemikiran, renungan, imajinasi, dan berbagai sumbangan budaya dalam kehidupan masyarakat, termasuk kesusastraan. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, ketika negara dilanda kesusahan, sastra tampil memainkan peranan. Di masa pen- jajahan, saat kerajaan-kerajaan lama kehilangan pamornya, sastrawan tampil ke depan merenungkan visi dan arah serta menarasikan lahirnya bangsa. Setelah kemerdekaan, saat kehidupan bernegara goyah dan nyaris hilang arah, kembali para sastrawan bersuara lewat karya mereka hingga di anta- ra mereka harus masuk penjara. Dan sastra terus ditulis, disingkirkan maupun dibaca. Para sastrawan tetap bersike- ras menjaga nurani bangsa, meski sebagian besar sastrawan kini disingkirkan terutama oleh pasar dan industri ke ruang- ruang sunyi. Kecenderungan budaya tersebut tentu saja berbahaya. Di antara bahaya itu adalah kemungkinan terjadinya kemandeg- an intelektual dan kecupetan imajinasi yang pada gilirannya akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kehidupan buda- ya yang kerdil. Dalam konteks inilah bisa difahami bahwa di zaman kerajaan atau kesultanan yang maju dan beradab,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 17 sastrawan atau pujangga ditempatkan dalam posisi penting dan bermartabat, misalnya sebagai penasehat raja/sultan atau dijadikan guru spiritual. Para pujangga itulah yang melahirkan karya, baik mengenai kiprah dan keagungan raja untuk melegitimasi kebesaran dan kekuasaan raja mau- pun sebagai sumber inspirasi atau landasan etik masyarakat. Itu sebabnya para pujangga berada dalam pengayoman raja. Seluruh anggota keluarga pujangga tidak hanya mendapat perlakuan istimewa, tetapi juga dijamin kehidupan dan keselamatannya oleh kerajaan. Mereka diposisikan sebagai penasehat raja di bidang pendidikan, kebudayaan, dan agama. Makin kecil peranan pujangga pada suatu kerajaan, makin mudah kerajaan itu menjadi lemah, goyah, dan dika- lahkan penjajah. Makin kecil peranan pujangga, makin kecil pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala imajinasinya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan.

*** Didasarkan pada kegelisahan atas makin terpinggirkan- nya posisi dan peranan sastra yang sama sekali tidak patut bagi bangsa yang hendak beradab, maka kami 8 orang yang terdiri dari sastrawan, kritikus, akademisi, dan pengamat sastra —karena itu disebut Tim 8— mengambil prakarsa un- tuk memilih 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Demikianlah kami mendiskusikan dan kemudian memilih 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang sangat dikenal, yaitu nama-nama yang berada di jalan raya sastra Indonesia;

18 Jamal D. Rahman dkk. sebagian yang lain tidak begitu dikenal dan bahkan diabaikan dan dianggap berada di pinggir jalan raya sastra Indonesia itu sendiri namun sesungguhnya memiliki pengaruh atau dampak atas kehidupan masyarakat luas. Oleh sebab itu, pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini tidak hanya menimbang nama-nama yang populer dan sering disebut-sebut dalam sastra Indonesia atau pemberita- an, melainkan dengan sungguh-sungguh memperhatikan juga nama-nama yang cenderung diabaikan atau dipinggir- kan namun sesungguhnya memainkan peranan penting da- lam kehidupan sastra dan budaya. Dengan peranan penting yang mereka mainkan, tentu saja mereka berhak dan patut diperhitungkan dan ditempatkan di jalan raya sastra Indo- nesia. Yang dimaksud dengan tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh adalah orang yang melalui karya sas- tra, gagasan, pemikiran, kiprah, dan tindakannya memberi- kan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas. Di samping itu, tokoh sastra Indonesia di sini adalah warga Indonesia. Dari segi waktu, tokoh sastra yang dipertimbangkan adalah tokoh yang berkiprah dalam rentang masa sejak awal abad ke-20, yakni saat fajar kesadaran kebangsaan dan konsep nasionalisme Indonesia mulai menyingsing, sampai sekarang. Dengan demikian, tokoh-tokoh sastra Indonesia yang berasal dari negara lain tidak dipertimbangkan meskipun mereka memberikan pengaruh dan dampak besar dalam kehidupan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 19 sastra Indonesia, seperti Prof. Dr. A. Teeuw. Demikian juga sastrawan besar di masa sebelum abad ke-20 seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ranggawarsita, atau Haji Hasan Mustapa, misalnya, pun tidak dipertimbangkan. Dengan menyebut tokoh sastra, maka ia bukan hanya sastrawan, melainkan mencakup pribadi-pribadi yang de- ngan satu dan lain cara memberikan pengaruh pada kehidup- an sastra atau kebudayaan Indonesia secara umum. Peran- an sastra dalam kebudayaan tidak hanya dimainkan oleh sastrawan, melainkan juga oleh akademisi, pemikir, kritikus, penggiat sastra, dan lain-lain. Meskipun peranan sastra dalam kebudayaan dimainkan terutama oleh karya sastra dan sastrawannya, bagaimanapun sektor-sektor lain di dunia sastra memainkan peranan yang tak kalah penting, seperti pemikiran, kritik, penerbitan, gerakan, lembaga, komunitas, berbagai kegiatan, dan lain sebagainya. Dalam konteks itu, sangat mungkin seorang sastrawan sebenarnya kurang berhasil —atau mungkin biasa saja— dalam capaian estetika karyanya, tetapi justru memicu kehebohan yang luas, menimbulkan kontroversi, mendorong munculnya semacam gerakan, dan menarik sejumlah pengikut, sebab tindakan dan kiprahnya dalam membangun kesusastraan Indonesia. Mungkin seorang sastrawan secara sadar menco- ba melakukan pemberontakan terhadap konvensi sastra dan belakangan terbukti berhasil, sehingga corak karyanya men- jadi konvensi baru dan membentuk (semacam) paradigma baru dalam perkembangan kesusastraan selanjutnya. Yang pertama-tama dipertimbangkan dari tokoh semacam ini bukanlah capaian estetikanya, bukan pula pemberontakan-

20 Jamal D. Rahman dkk. nya, melainkan dampak atau pengaruhnya yang luas baik bagi dunia sastra maupun di luarnya. Hal lain yang juga mendapat perhatian adalah situasi dan kondisi zaman, yakni bila, di mana, dalam hal apa, dan di kalangan mana tokoh sastra memainkan peranan dan mem- berikan dampak. Tentu saja tokoh sastra memberikan pe- ngaruh pertama-tama dan terutama pada zamannya, dalam konteks situasi dan kondisi zamannya pula. Tingkat penga- ruh dan dampak tokoh-tokoh tentu pula berbeda satu sama lain, sama halnya dengan seberapa jauh dan lama pengaruh masing-masing tokoh bagi zaman kemudian. Namun sebe- rapa besar pengaruh seorang tokoh sastra bagaimanapun akan lebih mudah dilihat dan dipahami dari situasi dan kondisi zamannya. Pengaruh seorang tokoh sastra bagi za- man dan generasi kemudian tentu saja menunjukkan daya pengaruh tokoh itu sendiri, sebagai pengaruh lanjutan dari pengaruh besar yang telah dimainkannya terutama pada zamannya sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, yang men- jadi perhatian utama di sini adalah seberapa besar pengaruh tokoh sastra pada zamannya sebagai respons tokoh itu sen- diri atas situasi dan kondisi aktual zamannya. Adapun sebe- rapa lama pengaruhnya dipertimbangkan lebih sebagai bukti bahwa sang tokoh tetap berpengaruh hingga masa-masa kemudian. Jadi, siapakah tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh? Melacak rekam jejak tokoh-tokoh sastra, menelusuri masa silam jauh ke belakang, dan menelisik alur perjalanan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 21 sejarah sastra Indonesia, menjadi langkah yang mutlak perlu. Dari situ jelas bahwa sastra Indonesia tidaklah datang begitu saja dari ruang kosong. Sastra Indonesia tidak ditu- runkan malaikat dari langit. Terjadi pengaruh timbal-balik antara sastra dan masyarakat yang melingkarinya. Ada tarik-menarik dan saling mempengaruhi antara sastrawan dan tokoh sastra sebagai anggota masyarakat di satu pihak dengan lingkungan yang mengelilinginya, kebudayaan yang melahirkannya, dan masyarakat yang menerima atau meno- laknya di lain pihak. Di situ pengaruh tokoh sastra bagi ma- syarakat akan terlihat relatif mudah. Saat satu nama disebut, tentu ada dasar pemikirannya, ada alasan yang mendasarinya, dan ada pula pertimbangan atas peranan dan kiprah yang dimainkannya. Dalam kenya- taannya, penyebutan satu nama memunculkan pula nama- nama lain yang kontribusinya tidak dapat diabaikan dalam peta perjalanan sastra Indonesia. Jadilah jawaban atas per- tanyaan “siapakah tokoh sastra Indonesia paling berpenga- ruh?” memunculkan begitu banyak nama. Tidak terhindar- kan, tidak dapat diabaikan, bahkan tidak terbantahkan: nama-nama itu memang telah berbuat dan melakukan sesuatu yang fenomenal. Maka, setelah melakukan penelu- suran lebih jauh ke belakang, melacak rekam jejak setiap tokoh sastra, dan menelisik alur perjalanan sejarah kesusas- traan Indonesia, kemunculan nama-nama itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: Pertama, karya dan/atau pemikiran sang tokoh. Yang di maksud di sini adalah karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) dan pemikiran sang tokoh, baik pemikiran itu

22 Jamal D. Rahman dkk. dikemukakan dalam karya sastra atau esai dan sejenisnya. Pertimbangan atas hal ini dapat dirumuskan dengan sejum- lah pertanyaan: seberapa penting karya dan/atau pemikiran- nya? Apakah karya dan/atau pemikirannya memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya? Apakah karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional, sehingga melahirkan semacam gerakan, baik yang berkaitan dengan sastra, maupun dengan kehidupan sosial-budaya yang lebih luas? Apakah karya dan/atau pemikirannya membuka jalan bagi munculnya tema, gaya, dan pengucapan baru yang jejaknya dapat dikembalikan pada tokoh tersebut? Apakah karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam monumen, sehingga sulit bagi siapa pun untuk menghilangkannya dalam peta perjalanan sastra Indonesia? Apakah karya dan/ atau pemikirannya menjadi semacam pemicu lahirnya pemikiran tentang kebudayaan, kemasyarakatan, bahkan kebangsaan? Kedua, kiprah dan kegiatan sang tokoh. Yang dimaksud di sini adalah berbagai tindakan dan kegiatan sang tokoh di bidang sastra dan budaya secara lebih luas. Pertimbangan atas hal ini dapat dirumuskan dengan sejumlah pertanyaan: seberapa penting kiprah dan kegiatannya? Apakah kiprah dan kegiatannya berdampak luas, sehingga mempengaruhi perkembangan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia? Apakah kiprah dan kegiatannya melahirkan semacam gerak- an yang sama atau berbeda, yang berdampak pada kehidup- an sastra dan kehidupan sosial-budaya? Apakah kiprah dan peranannya mendapat dukungan luas, sehingga membentuk semacam aliran atau komunitas, atau sebaliknya memun-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 23 culkan penolakan luas, sehingga menciptakan semacam perlawanan yang cukup besar? Ketiga, muara dari dua pertimbangan tersebut —yang dapat diperinci melalui sejumlah pertanyaan di atas— adalah sejauh mana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidup- an sastra, dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di tanah air. Melihat pengaruh sejumlah tokoh, segera tampak bahwa lingkup dan skala pengaruh mereka berbeda- beda, dari pengaruh yang relatif terbatas hingga pengaruh yang sangat luas. Beberapa tokoh berpengaruh sangat besar dan dia menempati posisi penting secara budaya di kawasan atau wilayah tertentu. Mereka memberikan dampak yang dalam bagi kehidupan masyarakat lokalnya. Sementara, beberapa tokoh lain memberikan dampak melampaui ling- kup masyarakat lokal tertentu. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam berbagai cara dan bentuk mereka berpengaruh secara nasional. Dalam memilih 33 tokoh paling berpengaruh, lingkup pengaruh merupakan bahan pertimbangan penting. Makin besar dan luas pengaruh seorang tokoh makin besar peluang- nya untuk dipilih. Dalam kaitan ini, tidak tertutup kemung- kinan pengaruh seorang tokoh pada awalnya mungkin ber- sifat lokal, namun tanpa tindakannya secara langsung lagi pengaruh tersebut dapat saja terus bergerak sehingga bela- kangan melampaui lingkup lokalnya. Jika ini terjadi, dia dipertimbangkan serius untuk dipilih sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Khususnya berkaitan dengan karya sastra, yang dipertim- bangkan adalah sastra “serius”, yang di sini dibedakan

24 Jamal D. Rahman dkk. dengan sastra populer. Sastra populer sengaja tidak diper- timbangkan, sebab —di samping karena perbedaan “nilai” antara keduanya— sampai batas tertentu sastra populer bisa dipastikan berpengaruh terutama karena dukungan sangat besar dari dunia industri, media, dan pasar. Demikianlah misalnya novel-novel Marga T (misalnya Badai Pasti Berlalu), Eddy D. Iskandar (misalnya Gita Cinta dari SMA), Ike Soepomo (misalnya Kabut Sutra Ungu), Habiburrah- man El Shirazy (misalnya Ayat-ayat Cinta), dan Andrea Hirata (misalnya Laskar Pelangi) tidak dipertimbangkan, meskipun sangat berpengaruh dan meledak di pasar. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan-pertimbang- an di atas, akhirnya Tim 8 menetapkan kriteria pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut:

1. Pengaruhnya berskala nasional, tidak hanya lokal. Mungkin saja pada awalnya pengaruh sang tokoh berge- rak dalam komunitas yang relatif terbatas dan bersifat lokal. Tetapi dalam perkembangannya kemudian gerak- an itu terus menggelinding, sehingga pengaruhnya me- nyebar ke berbagai daerah dan mencapai wilayah yang begitu luas. 2. Pengaruhnya relatif berkesinambungan, dalam arti tidak menjadi kehebohan temporal atau sezaman belaka. Pe- ngaruhnya berdampak tidak hanya pada zamannya, tetapi terus bergerak melampaui zamannya, bahkan hingga beberapa dekade sesudahnya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 25 3. Dia menempati posisi kunci, penting dan menentukan. Dalam masyarakat atau komunitas sastra, kadangkala peranan seorang sastrawan atau tokoh sastra tidak begitu menonjol, lantaran pada masanya ada sastrawan atau tokoh lain yang lebih berwibawa. Tetapi, jika tokoh sastra yang pada mulanya kalah pamor tadi melakukan sesua- tu, membuat gerakan kecil atau besar, dan kemudian ternyata menjadi wacana penting, dan terus berlanjut dan berkesinambungan, maka namanya layak dimasuk- kan ke dalam senarai tokoh ini. 4. Dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya men- jadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Meskipun berbagai pertimbangan dan kriteria sudah ditetapkan, tetaplah tidak mudah memilih 33 nama. Masalahnya adalah bahwa mungkin saja seorang sastrawan tak diragukan lagi kedudukan pentingnya dalam sastra Indonesia karena karya-karyanya sangat berhasil dan meyakinkan secara estetis. Namun kenyataannya tidak semua tokoh sastra yang karyanya mencapai tingkat estetis sangat mengesankan memenuhi kriteria yang kami tetapkan, khususnya menyangkut lingkup pengaruhnya. Ternyata beberapa tokoh sastra(wan) sangat mengesankan dari segi karya namun, dalam pandangan kami, pengaruh dan dampaknya relatif terbatas secara sosial dan budaya. Sebaliknya, beberapa tokoh lain tidak mengesankan dari segi

26 Jamal D. Rahman dkk. karya, bahkan sama sekali bukan sastrawan, namun dilihat dari lingkup pengaruhnya di bidang sastra membuat mereka menempati posisi penting bahkan tak terbantahkan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Dalam diskusi memilih 33 tokoh, dari kalangan tokoh sastra yang dipandang meyakinkan dan mengesankan dilihat dari karya sastra mereka muncullah nama-nama seperti Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan K.H., Umar Kayam, Y.B. Mangunwijaya, Wing Kardjo, Budi Darma, Danarto, Saini K.M., D. Zawawi Imron, dan Ahmad Tohari. Dari kalangan tokoh sastra yang menonjol pengaruh dan dampaknya muncullah nama-nama seperti Utuy Tatang Sontani, Asrul Sani, A. Mustofa Bisri, Ratna Sarumpaet, Rida K. Liamsi, Fredie Arsi, Seno Gumira Ajidarma, dan Wiji Thukul. Namun dengan berbagai pertimbangan setelah diskusi sengit, akhirnya diputuskan mereka tidak masuk dalam senarai 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Sebagai- mana dapat diduga, diskusi memilih 33 tokoh sastra berjalan dengan penuh perdebatan, dinamika dan persilangan argu- mentasi, sehingga beberapa tokoh terpilih secara mulus nya- ris tanpa diskusi, sebagian yang lain terpilih setelah melewati diskusi yang cukup alot, dan sebagian yang lain lagi terpilih berdasarkan prinsip mayoritas setelah diskusi dan per- debatan seru. Sudah barang tentu siapapun anggota Tim 8 —memenuhi kriteria atau tidak—sama sekali tidak dipertimbangkan untuk dinilai dan dimasukkan dalam tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 27 Tim 8 sepakat untuk mengurut 33 tokoh sastra ber- dasarkan tahun dan/atau tanggal kelahiran masing-masing tokoh. Demikian juga urutan tulisan demi tulisan dalam buku ini. Dengan demikian, urutan mereka sama sekali tidak menunjukkan skala pengaruh setiap tokoh dan sejenisnya. Buku ini memang tidak bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengaruh seorang tokoh sastra lebih besar dibanding pengaruh tokoh-tokoh lainnya. Yang pasti, dalam pandang- an kami mereka adalah tokoh sastra Indonesia paling ber- pengaruh. Inilah 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpe- ngaruh pilihan Tim 8:

1. Kwee Tek Hoay (1886-1952) 2. Marah Rusli (1889-1968) 3. Muhammad Yamin (1903-1962) 4. HAMKA (1908-1981) 5. Armijn Pane (1908-1970) 6. Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) 7. Achdiat Karta Mihardja (6 Maret 1911-2010) 8. Amir Hamzah (20 Maret 1911-1946) 9. Trisno Sumardjo (1916-1969) 10. H.B. Jassin (1917-2000) 11. Idrus (1921-1979) 12. Mochtar Lubis (7 Maret 1922-2004) 13. Chairil Anwar (26 Juli 1922-1949) 14. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) 15. Iwan Simatupang (1928-1970)

28 Jamal D. Rahman dkk. 16. Ajip Rosidi (31 Januari 1935) 17. Taufiq Ismail (25 Juni 1935) 18. Rendra (7 November 1935-2009) 19. Nh. Dini (1936) 20. Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940) 21. Arief Budiman (3 Januari 1941) 22. Arifin C. Noer (10 Maret 1941-1995) 23. Sutardji Calzoum Bachri (24 Juni 1941) 24.Goenawan Mohamad (29 Juli 1941) 25. (1944) 26. Remy Sylado (1945) 27. Abdul Hadi W.M. (1946) 28. Emha Ainun Nadjib (1953) 29. Afrizal Malna (1957) 30. Denny JA (4 Januari 1963) 31. Wowok Hesti Prabowo (16 April 1963) 32. Ayu Utami (1969) 33. Helvy Tiana Rosa (1970).

*** Demikianlah 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam perjalanan sastra Indonesia. Setelah 33 tokoh disepakati dan diputuskan, tugas Tim 8 selanjutnya adalah menulis tentang tokoh-tokoh tersebut. Setiap anggota Tim 8 pun memilih tokoh yang akan mereka tulis. Kami sepakat bahwa penulisan setiap tokoh dilakukan tidak secara

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 29 bersama-sama, melainkan oleh masing-masing anggota Tim 8. Itu sebabnya, nama penulis diterakan pada setiap tulisan, dan gaya tulisan dibiarkan sesuai dengan gaya penulis ma- sing-masing. Dengan demikian, setiap tulisan tentang tokoh dalam buku ini pada dasarnya menjadi tanggung jawab pri- badi penulisnya. Tapi bagaimanapun, secara umum buku ini merupakan satu kesatuan dan menjadi tanggung jawab bersama Tim 8.

*** Lalu, apa pentingnya nama-nama itu ditempatkan seba- gai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Apa penting- nya kegiatan dan buku semacam ini? Pertama, pemilihan 33 tokoh sastra ini dilakukan dengan semangat membangun kebudayaan Indonesia yang lebih bermartabat. Sebagai produk budaya, kehidupan sastra tentu saja dibangun oleh tokoh-tokoh sastra yang juga hidup dalam lingkungan kebudayaan Indonesia. Oleh karenanya, berbagai kiprah tokoh sastra tidak bisa tidak harus ditempat- kan sebagai bagian dari perjuangan untuk memajukan kebu- dayaan Indonesia itu sendiri, yakni untuk mencapai kebuda- yaan yang lebih bermartabat. Sejurus dengan itu, pemilihan 33 tokoh sastra ini kiranya memiliki arti penting dalam upaya menempatkan peranan sastra dalam memperjuang- kan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi. Kedua, dalam hampir semua buku sejarah sastra Indo- nesia, sorotan utama kerap bertumpu pada data biografis pengarang berikut senarai karya-karyanya, dan kadang-

30 Jamal D. Rahman dkk. kadang sedikit ulasan atas karyanya. Tidak sedikit mereka yang menulis beberapa puisi, lalu menerbitkannya sendiri dalam bentuk stensilan, fotokopian, atau cetakan atas biaya sendiri, masuk pula dalam buku-buku dimaksud. Begitu banyak nama yang tercantum di sana, tanpa uraian mema- dai tentang kiprah dan peranan sosial-budayanya. Sementara itu, dalam buku-buku leksikon sastra Indonesia, peristiwa- peristiwa penting hanya ditulis dalam satu-dua paragraf. Akibatnya, selain uraiannya terasa kering, ada hal penting yang terabaikan, yaitu konteks historis di mana tokoh sastra memainkan peranan sosial, politik, dan budayanya. Berbeda dengan itu, pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini menitikberatkan pada pengaruh dari kiprah, karya, dan gagasan yang dihasilkan tokoh sastra — sastrawan, kritikus, pemikir, ilmuwan, dan penggiat sastra. Dengan penitikberatan tersebut, tidak bisa tidak berbagai peristiwa di sekitar tokoh sastra digunakan sebagai landasan dan latar belakang, yang sebisa mungkin dapat melihat dan menjelaskan posisi sang tokoh, peranan yang dimaikannya, berikut pengaruh yang diberikannya. Di sinilah buku ini punya arti penting, yaitu dalam upaya menempatkan tokoh- tokoh sastra dalam peranan penting mereka bagi kehidupan budaya, sosial, politik, kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, pemilihan 33 tokoh sastra ini mencoba menjawab pertanyaan atau keraguan masyarakat umum tentang peranan sastra dalam kehidupan. Secara agak khusus, ia juga mencoba meluruskan pandangan yang keliru bahwa kedu- dukan sastra hanyalah khayalan belaka, yang tak berkaitan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 31 dengan kehidupan konkret masyarakat. Semua tokoh yang dipilih di sini menunjukkan kiprah mereka —termasuk me- lalui karyanya— dalam kehidupan konkret. Dengan demiki- an, kegiatan ini memiliki arti penting untuk mengungkapkan fakta sejarah yang terabaikan, yakni bahwa sastra Indonesia memainkan peranan penting dalam sejarah, mulai zaman pergerakan sampai zaman modern kini. Keempat, mengingat yang dipertimbangkan di sini adalah peristiwa atau fenomena yang berkaitan dengan sastra Indo- nesia, di mana tokoh-tokoh sastra memainkan peranan di dalamnya atau bahkan ditimbulkan oleh kiprah mereka, maka kegiatan ini memiliki arti penting khususnya untuk melengkapi data, fakta, peristiwa, dan fenomena kesejarahan sastra berikut fakta historisnya. Seperti terlihat dari semua tulisan dalam buku ini, dalam berbagai peristiwa dan feno- mena sosial, budaya, politik, dan sejarah, sastra memainkan peranan penting yang tak bisa diabaikan. Dengan demikian, buku ini dapat pula digunakan untuk melengkapi bahan pembelajaran sastra di sekolah. Pelajaran sejarah sastra di sekolah yang selalu berkutat pada nama pengarang dan karya-karyanya, dapat dilengkapi dengan penjelasan me- ngenai peristiwa atau fenomena penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, yang untuk sebagian adalah juga perjalanan sejarah Indonesia itu sendiri. Kelima, kebanyakan sastrawan, sarjana dan peminat sastra Indonesia tentu mengenal cukup baik nama-nama tokoh sastra —khususnya dari kalangan sastrawan— terda- hulu atau yang sezaman dengan mereka. Tetapi, tidak sedikit dari kalangan sastrawan, sarjana dan peminat sastra Indo-

32 Jamal D. Rahman dkk. nesia yang hanya tahu tokoh-tokoh sastra dan karya-karya- nya, namun kurang mengetahui kiprah dan peranan sosial- budaya-politik mereka. Jika di kalangan sastrawan dan pemerhati sastra saja terjadi hal seperti itu, bagaimana pula di kalangan masyarakat umum yang cuma tahu sastra secara sayup-sayup. Dengan buku ini setidaknya kami ber- harap agar para sastrawan, sarjana sastra, peminat sastra, guru sastra, dan masyarakat pada umumnya, lebih mudah melihat peranan dan pengaruh tokoh-tokoh sastra dalam kehidupan luas. Dalam konteks itu semua, buku ini dilengkapi dengan indeks, sehingga pada dasarnya dapat digunakan sebagai sumber informasi bersifat ensiklopedis mengenai sejarah sastra Indonesia sejak awal abad ke-20.

*** Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami atas 33 tokoh sastra Indonesia paling berpenga- ruh ini. Kegiatan sejenis ini memang cenderung polemis dan memancing kontroversi. Apalagi bila pandangan seseorang atau sekelompok orang didasarkan atas sudut pandang, pers- pektif, pertimbangan, dan kriteria yang berbeda. Suara apa pun sebagai tanggapan terhadap pendapat Tim 8 ini kiranya akan menyuburkan diskusi dan polemik yang akan menye- hatkan tradisi intelektual kita. Perbedaan pandangan jelas memiliki arti penting khususnya untuk memperkaya wawas- an dan pengetahuan kita, sekaligus untuk mendewasakan sikap kita dalam menghadapi perbedaan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 33 Bagaimanapun, kegiatan dan buku ini merupakan upaya menawarkan sesuatu yang baru. Bukankah dalam sejarah kesusastraan Indonesia hal semacam ini belum pernah ada? Jadi, kegiatan ini merupakan rintisan yang semoga saja dapat memberikan inspirasi bagi berbagai pihak untuk melakukan hal sejenis, baik di bidang sastra maupun bidang- bidang lain seperti teater, film, seni rupa, musik, tari, dll. Demikianlah setidaknya kami berharap.[]

Cisarua, 3 Maret 2013

Tim 8

Ketua Jamal D. Rahman

Anggota Acep Zamzam Noor Agus R. Sarjono Ahmad Gaus Berthold Damshäuser Joni Ariadinata Maman S. Mahayana Nenden Lilis Aisyah

34 Jamal D. Rahman dkk. Daftar Isi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 35 36 Jamal D. Rahman dkk. Daftar Isi

Sambutan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Diorama Sejarah Kesusastraan Indonesia ...... 5

Pengantar Mencari Tokoh bagi Sastra ...... 9

Kwee Tek Hoay Tajem atawa Puntulnya Kitaorang Punya Ujung Pena .. 45 Agus R. Sarjono

Marah Rusli Pengaruh Sitti Nurbaya1 ...... 65 Maman S. Mahayana

Muhammad Yamin Indonesia dalam Imajinasi ...... 93 Maman S. Mahayana

HAMKA Pengaruh Multidimensi Seorang Sastrawan-Ulama ..... 127 Nenden Lilis Aisyah

Armijn Pane Melepaskan Belenggu, Menawarkan Dunia Baru ...... 153 Maman S. Mahayana

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 37 Sutan Takdir Alisjahbana Kontribusi dan Kontroversi ...... 181 Maman S. Mahayana

Achdiat Karta Mihardja Karya dan Pengaruhnya...... 203 Maman S. Mahayana

Amir Hamzah Revolusi Memangsa Anaknya Sendiri ...... 225 Acep Zamzam Noor

Trisno Sumardjo Bapak Penerjemahanan Sastra ...... 247 Berthold Damshäuser

H.B. Jassin Pengacara Sastra Indonesia Modern ...... 273 Agus R. Sarjono

Idrus Bagi Bahasa dan Bangsa Indonesia Baru ...... 301 Agus R. Sarjono

Mochtar Lubis Melawan Takut ...... 321 Jamal D. Rahman

Chairil Anwar Revolusi Puisi Indonesia ...... 351 Ahmad Gaus

Pramoedya Ananta Toer Mewacanakan Kelahiran Bangsa ...... 367 Agus R. Sarjono

38 Jamal D. Rahman dkk. Iwan Simatupang Ziarah Kemanusiaan Sang Pembaharu ...... 401 Jamal D. Rahman

Ajip Rosidi Sastrawan Produktif yang Progresif ...... 423 Acep Zamzam Noor

Taufiq Ismail Berkabar pada Sesama...... 453 Acep Zamzam Noor

Rendra Daya Hidup bagi Hewan yang Terluka ...... 477 Jamal D. Rahman

Nh. Dini Perintis Prosa Feminis Indonesia ...... 501 Nenden Lilis Aisyah

Sapardi Djoko Damono Penemuan Kembali Puisi Lirik ...... 515 Acep Zamzam Noor

Arief Budiman Sumbangan bagi Kritik dan Pemikiran Sastra...... 535 Jamal D. Rahman

Arifin C. Noer Sastra Lakon yang Indonesia ...... 561 Agus R. Sarjono

Sutardji Calzoum Bachri Jalan Baru Estetika Puisi ...... 591 Ahmad Gaus

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 39 Goenawan Mohamad Simbol Kebebasan Kreatif ...... 611 Nenden Lilis Aisyah

Putu Wijaya Teror Mental dan Dekonstruksi Logika ...... 635 Joni Ariadinata

Remy Sylado Jalan Mbeling dan Pengaruhnya...... 655 Nenden Lilis Aisyah

Abdul Hadi W.M. Antara Timur dan Barat ...... 669 Acep Zamzam Noor

Emha Ainun Nadjib Tafakur Orang Desa...... 691 Joni Ariadinata

Afrizal Malna Jalan Keluar bagi Bahasa ...... 711 Ahmad Gaus

Denny JA Penggagas Puisi Esai ...... 729 Ahmad Gaus

Wowok Hesti Prabowo Penyair Buruh dan Bangkitnya Komunitas Pinggiran .. 749 Joni Ariadinata

Ayu Utami Gerakan Sastra Feminis ...... 765 Ahmad Gaus

40 Jamal D. Rahman dkk. Helvy Tiana Rosa Melingkarkan Pena ke Mana-mana ...... 775 Nenden Lilis Aisyah

Penutup Yang Indah dan yang Luput...... 793

Biodata Singkat Tim 8...... 811

Indeks ...... 821

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 41 42 Jamal D. Rahman dkk. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 43 44 Jamal D. Rahman dkk. Kwee Tek Hoay Tajem atawa Puntulnya Kitaorang Punya Ujung Pena

AGUS R. SARJONO

Roh Manoesia djadi mateng dalam tangisan Kwee Tek Hoay

esusastraan Indonesia modern, sebagaimana banyak K dikenal dan diajarkan di sekolah, dimulai secara terang oleh Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya sastra yang ditulis dengan bahasa Melayu tinggi. Namun, sesungguhnya kenyataannya tidaklah demikian. Balai Pustaka tidak berjalan sendirian, ia berjalan bersamaan dengan maraknya karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah. Balai Pustaka adalah lembaga yang didirikan pemerintah kolonial Belanda yang dengan komisi bacaan rakyat memang ingin menyediakan bacaan yang “bersih” bagi bumiputera. Bacaan bersih adalah bacaan yang tidak hanya bersih secara moral susila, namun terutama bersih dari unsur-unsur politis yang merongrong kekuasaan pemerintah kolonial. Maka, kedua jalur sastra tersebut dihadapi sebagai dikotomi antara sastra tinggi dan sastra

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 45 rendah, dan antara keluaran pemerintah resmi kolonial Belanda dengan keluaran “saudagar kitab yang kurang suci hatinya”. Balai Pustaka terutama diredakturi para sastrawan asal Minangkabau yang lewat Balai Pustaka mengembang- kan sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu tinggi dan formal tentu tanpa dapat melepaskan diri sepenuhnya dari tradisi bercerita dalam kaba dan hikayat lengkap dengan petatah-petitihnya. Sebaliknya, bersama —bahkan sebe- lum— sastra terbitan Balai Pustaka, ramai juga penerbitan sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu pasar alias bahasa Melayu rendah, baik ditulis oleh para penulis pribumi maupun oleh para penulis peranakan Tionghoa.1 Claudine Salmon, misalnya, mendapati 806 penulis dengan total 3.005 karya.2 Bandingkan dengan karya-karya keluaran Balai Pustaka yang hanya melahirkan sekitar 400 karya dari 176 penulis dalam kurun waktu 50 tahun. Melalui perban- dingan ini saja, jelas terlihat bahwa sastra Melayu pasar, termasuk sastra Melayu-Tionghoa, jauh lebih ramai. Tentu jumlah yang besar ini berkaitan erat dengan industri dan pertimbangan pasar sehingga jika Balai Pustaka menyensor dengan ketat buku-buku terbitannya, maka penerbit swasta

1 Lihat misalnya Jakob Sumardjo. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah. : Galang Press; Nio Joe Lan. 1962. Sastra Indonesia-Tionghoa. : Gunung Agung; Thomas Rieger. 1996. “From Huaqiao to Minzu: Constructing New Identities in Indonesia’s Peranakan-Chinese Literature” dalam Lisbeth Littrup. Identity in Asian Literature. Surrey: Curzon Press; dan Claudine Salmon. 1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a Provisional Annotated Bibliography. Paris: Etudes insulindiennes-Archipel. 2 Claudine Salmon. Ibid.

46 Jamal D. Rahman dkk. milik kaum peranakan dengan leluasa menerbitkan karya apa saja. Di antara kedua kubu sastra ini, kiranya Kwee Tek Hoay (KTH) memiliki tempat yang khas dan menonjol. Dilihat dari segi bahasa yang digunakannya, jelas KTH termasuk dalam sastra Melayu rendah3. Namun, dilihat dari isi dan muatannya ia dapat dimasukkan ke dalam kategori sastra- wan Balai Pustaka. Baik dalam drama maupun novel, KTH —eksplisit maupun implisit— mengemukakan nilai-nilai yang kurang lebih sama dengan Balai Pustaka.4 Kekhasan KTH juga terlihat pada keprihatinan dan keberaniannya untuk bermuka-muka dengan tradisi dan realitas sosial budaya masyarakat yang dominan saat itu, khususnya kaum peranakan Tionghoa. Sebelum melangkah jauh untuk mengenali sosok dan karya KTH, ada baiknya kita mengenal situasi masyarakat pembaca saat itu. Dalam “Permoelaan Kata boeat Tjitakan Kadua” novel Boenga Roos dari Tjikembang, KTH mengaju-

3 Penggunaan bahasa Melayu Rendah itu diakui tanpa ragu dan bahkan dengan cukup yakin dan bangga, sebagaimana terlihat dalam drama Korbannya Kong- Ek: “...Aku bukan sombong, tapi aku percaya, aku dan engko Kioe Gie punya bua kalam tida aken jadi linyap sebegitu lama masih ada orang yang membaca bahasa Melayu Renda.” Kursif ARS. 4 Lihat kecaman Kwee Tek Hoay atas roman picisan: “Iaorang pande membaca dan menulis, tapi pengatahuannya tida cukup luas buat bisa mengarti atawa katarik pada buku-buku yang menggenggem pengetahuan tinggi, hingga kasudahannya iaorang punya pikiran terputer-puter dalem kalangan rendah, dan angen-angennya tida meliwati lebih jauh dari apa yang dilukisken dalem buku- buku romans percinta’an kwaliteit murah...” Kwee Tek Hoay. Pendekar dari Chapei. Termuat dalam Marcus A.S. & Yul Hamiyati (peny.). Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid 8, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), hal. 33. Kursif ARS.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 47 kan keprihatinannya sebagai berikut:

Orang tentoe merasa heran, bagimana di Indonesia jang mempoenyai pendoedoek satoe persapoeloeh dari djoem- blahnja pendoedoek di Tiongkok, satoe tjerita jang baek tida bisa terdjoeal sampe 1000 djilid, sedeng sekarang, berhoe- boeng dengen kamadjoeannja onderwijs, orang jang bisa membatja Melajoe telah tambah bebrapa lipet dari 25 taon laloe. Inilah sebagian ada dari lantaran kaoem terplajar, jang pande bahasa Blanda atawa Inggris, lebih senang membatja boekoe-boekoe tjerita jang tertoelis dalem itoe bahasa dari pada dalem bahasa Melajoe....5

Kwee Tek Hoay boleh jadi mengalamatkan pernyataan keprihatinannya tersebut kepada publik yang berasal dari kalangan peranakan Tionghoa. Namun, sebenarnya pernya- taan keprihatinan tersebut berlaku umum bagi masyarakat Indonesia secara umum. Ia pasti bermimpi pun tidak bahwa keluhannya tersebut akan abadi dan persoalan yang dia hadapi masih tetap seperti sediakala setelah 85 tahun kemudian, setelah hampir 70 tahun Indonesia merdeka dan jumlah penduduk yang dapat baca-tulis bukan hanya sekedar bebe- rapa kali lipat. Bahkan, boleh jadi jika ia hidup di masa kini, ia tentu akan meralat anggapannya bahwa kaum terpelajar yang pandai berbahasa Belanda atau Inggris lebih senang membaca karya sastra dalam bahasa tersebut. Lepas dari keluhannya akan kurangnya minat baca masyarakat, ternyata novel Boenga Ross dari Tjikembang dalam tempo satu tahun telah harus mengalami cetak ulang

5 Kwee Tek Hoay, Boenga Roos dari Tjikembang, (Batavia: Moestika Panorama, 1930).

48 Jamal D. Rahman dkk. yang segera disusul dengan cetakan-cetakan berikutnya. Novel itu selain sering diangkat ke panggung sandiwara, dalam waktu dekat sudah dua kali diangkat ke layar film. Tema tradisi dan modernitas yang menjadi tema utama para sastrawan Balai Pustaka hingga menembus era Pujang- ga Baroe, bukanlah tema utama karya-karya KTH. Meski begitu, perkara ini kerap muncul dan tersebar dalam karya- karyanya secara sekilas. Berbeda dengan Abdoel Moeis — bahkan STA— yang tokoh utamanya merindukan pernikah- an dengan gadis modern, Ay Tjeng yang menjadi protagonis novel Boenga Roos dari Tjikembang, justru berpendapat semacam ini:

...Ia tida maoe pikoel risico aken toekar penghidoepan jang begitoe memoeaskan dengen menika pada satoe gadis “modern” jang ia koeatir tida oengkoelan aken penoehken.

Meski demikian, kebanyakan tokoh-tokoh perempuan dalam karya KTH adalah perempuan terpelajar, pandai, dan gemar membaca, bahkan kadang menguasai bahasa-bahasa asing. Hanya saja, dalam pertentangan perempuan modern dengan perempuan tradisional, KTH cenderung tidak mela- kukan dikotomi yang tajam. Dalam novel Boenga Roos dari Tjikembang, misalnya, Marsiti yang “tradisional” maupun Gwat Nio yang modern sama-sama dicintai dan dihormati oleh Ay Tjeng. Bian Koen pun tidak tidak memiliki banyak keberatan saat beralih dari Lily –tunangannya yang “mo- dern”– ke Roosminah yang tradisional. Dalam drama Kor- bannya Yi Yung Thoan, Elsie kekasih Tjin Hie Seng yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 49 modern dan kaya, ternyata dapat dengan mudah dibohongi oleh Lie Bo Hong, propagandis Yi Yung Thoan.

*** Kwee Tek Hoay, lahir di Bogor, Jawa Barat, 31 Juli 1886. Anak bungsu pasangan Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio ini semasa sekolah sering membolos. Penyebabnya adalah ternyata Kwee Tek Hoay yang bersekolah di sekolah Tionghoa yang berbahasa pengantar bahasa Hokkian itu tidak dapat memahami bahasa Hokkian. Ia jadi lebih sering memilih ikut membantu bisnis tekstil ayahnya. Kwee Tek Hoay kemu- dian belajar tata buku dan akuntansi dari seorang guru seko- lah Belanda. Dengan giat ia mempelajari bahasa Melayu, Belanda, dan Inggris. Bahasa Inggris dipelajarinya secara privat dari S. Maharaja, seorang berkebangsaan India yang menjadi guru di Tiong Hoa Hwee Koan, Bogor. Sedangkan bahasa Belanda dipelajarinya dari Lebberton dan Wotman pengurus Loge Theosophie. Keduanya di Bogor. Berbekal itu semua ia pun dengan lahap membaca buku-buku dalam ketiga bahasa tersebut. Di sela-sela kesibukannya membantu sang ayah berda- gang, KTH mengisi waktunya dengan membaca buku. Seringkali ia juga harus membaca secara sembunyi-sembu- nyi karena takut ayahnya marah jika mengetahui bahwa dia membaca justru di sela-sela tugas menjaga toko. Kegemaran membaca ini di kemudian hari justru mem- pengaruhi jalan hidupnya sekaligus membantunya saat ia berkarier di dunia penulisan baik sebagai wartawan maupun sastrawan.

50 Jamal D. Rahman dkk. Kegemarannya menulis sudah dimulai sejak Kwee Tek Hoay masih di bangku sekolah. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai surat kabar terkenal pada saat itu seperti Li Po, Sin Po, Ho Po dan Bintang Betawi.6 Bakatnya di bidang jurnalistik bersinar terang pada masa sekitar Perang Dunia I berkat tulisan-tulisannya “Pemandangan Perang Dunia I Tahun 1914 - 1918” yang dimuat di surat kabar Sin Po. Seba- gai wartawan ia mengawali kerjanya sebagai anggota redak- si majalah Ho Po dan surat kabar Li Po yang berkedudukan di kota kelahirannya, Bogor. Setelah itu dia pindah ke Jakarta (Batavia) untuk bekerja di majalah Sin Po. Tahun 1926, berbekal pengalamannya sebagai jurnalis di berbagai media, KTH mendirikan majalahnya sendiri yang diberi nama Panorama. Majalah itu dimanfaatkannya untuk menyuarakan pandangan politiknya yang kerap dianggap kontroversial oleh para pemimpin koran lain yang menjadi pesaingnya.7 Pada tahun 1952, Kwee Tek Hoay menjadi Pimpinan Redaksi Harian Sin Bin di , ia juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Mingguan Panorama (1926 – 1932) dan Majalah Bulanan Moestika Romans (1930 – 1932). Pada tahun 1932 – 1934 ia mendirikan Majalah Mingguan

6 Menurut Prof. Dr. Claudine Lombard-Salmon dari Perancis, sejak tahun 1902 Kwee Tek Hoay telah menyumbangkan banyak karya tulisnya di banyak surat kabar pada masa itu. Lihat Salmon, Claudine. Literature in Malay by The Chinese of Indonesia. 7 Karena dianggap terlalu vokal, dia pun diseret ke pengadilan. Namun hal itu tidak menciutkan nyalinya untuk terus menyuarakan kebenaran. KTH memahami benar risikonya sebagai wartawan. Pengalaman ini kelak muncul pada dramanya Allah yang Palsoe.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 51 Moestika Dharma dan Majalah Bulanan Sam Kauw Gwat Po (1934 – 1947). Majalah Moestika Dharma dan Sam Kauw Gwat Po memuat berbagai tulisan Kwee Tek Hoay dan rekan-rekannya, terutama mengenai masalah Buddhisme, Confucianisme, dan Taoisme. Namun Kwee Tek Hoay juga sering menulis artikel-artikel tentang ajaran lainnya, seperti Islam dan Kristen.8 Sebagai penulis, ia kerap kali menggunakan inisial KTH. Nama itu pulalah yang dijadikannya sebagai nama toko tekstil yang menjadi usaha bisnisnya.Selain mengelola bisnis tekstil, KTH juga membuka Percetakan Moestika. Selain aktif sebagai sastrawan dan wartawan, Kwee Tek Hoay pun aktif di dunia teater.9 Pada tahun 1926 hingga 1930 ia memimpin kelompok sandiwara Miss Intan yang cukup terkenal pada masa itu. Perkumpulan sandiwara ini sering berkeliling ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Repertoar yang dipertunjukkan kebanyakan diambil dari drama maupun novel karangan Kwee Tek Hoay sendiri seperti Drama Gunung Merapi, Drama Dari Krakatau, Drama di Boven Digoel dan Boenga Roos dari Tjikembang.

8 Belakangan majalah Sam Kauw Gwat Po menjadi sumber dan media komunikasi bagi organisasi Sam Kauw Hwee yang diprakarsai oleh Kwee Tek Hoay pada tahun 1935. 9 Kwee Tek Hoay juga ternyata seorang pecinta musik. Ia mempunyai seperangkat alat musik tradisional seperti kecapi, gambang, suling, dan piano. Di waktu senggang ia gemar mengarang dan mengaransir lagu dengan piano yang terdapat di rumahnya di Cicurug. Kegemarannya menyanyi membuat banyak temannya datang berkumpul ke rumahnya bila malam tiba untuk bernyanyi bersama-sama. Tidak sedikit lagu yang dikarangnya salah satu diantaranya adalah “Tridharma Gita” yang hingga sekarang masih dinyanyikan oleh umat Tridharma.

52 Jamal D. Rahman dkk. Dalam pada itu, karangan-karangan KTH baik novel mau- pun drama juga kerap dipentaskan oleh kelompok Darda- nella yang dipimpin Mr. Pedro dengan artis/aktor seperti kenamaan seperti Miss Dja, Tan Tjeng Bok, dan Andjas Asmara.10 Selama lebih dari 20 tahun, karyanya sudah berjumlah kurang lebih 100 judul, baik karya asli, saduran, maupun terjemahan. Minatnya pun meluas. Selain menulis karya sastra dan jurnalistik, ia pun menulis masalah sosial, agama, dan filsafat. Perhatiannya pada dunia spiritual cukup tinggi yang ditunjukkan oleh karangannya mengenai Buddhisme, Confucianisme, Taoisme, Hinduisme, Brahmaisme, Kristen, Islam, dan Theosofi. Ia menulis mulai hikayat Yunani sam- pai India dan China kuno. Ia juga menulis mengenai Omar Khayyam maupun Rabindranath Tagore. Bermacam hal nyaris telah ditulisnya, mulai dari novel sampai drama, mulai dari puisi sampai cerita detektif, mulai dari masalah sosial politik sampai urusan mistik dan ilmu gaib. Perkembangan jaman yang mempengaruhi peranakan Tionghoa membuat mereka mengalami krisis identitas kebu- dayaan dan agama. Kwee Tek Hoay kemudian berusaha me- ngembalikan kebudayaan leluhurnya dengan menulis ten- tang “Agama Tionghoa” yang merupakan gabungan dari tiga agama: Konfusionisme, Buddhisme dan Daoisme (Taois- me). Pemikirannya tentang tiga agama itu kemudian dimuat dalam majalah Sam Kauw Gwat Po.

10 Akhir-akhir ini, karya-karya Kwee Tek Hoay pun sering dimainkan oleh beberapa grup teater mutakhir, seperti Teater Koma, Kelompok Main Teater, atau Teater Bejana.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 53 Nama Kwee Tek Hoay sebagai sastrawan mulai dikenal ketika novelnya yang pertama, Yoshuko Ochidaatawa Pembalesannja Satoe Prampoean Japan, terbit secara bersambung di majalah Ho Po, Bogor (1905). Namun, namanya menjadi benar-benar terkenal setelah ia menulis dramanya Allah jang Palsoe, dan terutama novel Boenga Roos dari Tjikembang. Drama Allah jang Palsoe (1919) yang terdiri dari 6 babak, mengisahkan dua kakak beradik bernama Tan Kioe Gie dan Tan Kioe Lie yang berbeda nasib maupun pemikiran meski keduanya sama-sama berasal dari keluarga tani miskin di Cicurug, Bogor. Tan Kioe Gie bekerja di Jakarta sebagai letter zetter di surat kabar Kemajuan, sedangkan Tan Kioe Lie bekerja di Bandung sebagai mandor kuli di firma Bie Hoo. Keduanya sukses dalam karir maupun finansial berkat usaha dan kerja keras mereka. Namun, ternyata keduanya berbeda dalam menyikapi kesuksesan mereka. Tan Kioe Gie seorang yang idealis, patuh pada orang tua, dan suka beramal, sedangkan Tan Kioe Lie seorang yang hidupnya sepenuhnya berorientasi pada kekayaan, licik, dan egois. Pemujaan yang berlebihan pada uang sebagaimana dilakukan Tan Kioe Lie lah yang oleh KTH disebut sebagai memuja Allah yang palsu. Saat Tan Kioe Gie mendapatkan jabatan hoofdredacteur (pemimpin redaksi) di surat kabar Kemajuan, Tan Kioe Gie didera masalah politik. Berpegang pada idealismenya yang enggan goyah, ia mengundurkan diri dari jabatannya dan memilih menjadi petani di Cicurug, desanya, dan mencapai sukses berkat kerja kerasnya bersama istri dan anaknya. Dalam pada itu, kesuksesan ekonomi Tan Kioe Lie justru membuatnya gelap hati lupa daratan. Ia tak mematuhi

54 Jamal D. Rahman dkk. permintaan ayahnya untuk menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya yang bernama Hap Nio, dan bersikeras menikahi Houw Nio yang dipilihnya sendiri karena harta. Akhirnya Tan Kioe Lie dibelit hutang dan bahkan ditinggalkan istri. Tan Kioe Lie pun kemudian bunuh diri. Dari gambaran tersebut, KTH mengangkat nilai-nilai yang dihidupi masyarakat Tionghoa dan mempermasalahkannya. Nilai-nilai yang menjadi tradisi Tionghoa seperti taat pada orangtua, rajin dan ulet, suka beramal dan sebagainya diasal- kan pada ajaran Confusius. Dalam pada itu, nilai-nilai yang juga hidup di masyarakat Tionghoa adalah bekerja rajin dan ulet untuk beroleh kekayaan. Sukses secara ekonomi dan menjadi kaya merupakan orientasi kebanyakan orang dan dengan menjadi kaya ia akan dihormati. Kedua nilai yang hidup dengan kuat di masyarakat ini oleh KTH diperha- dapkan secara tajam. Dalam penghadapan kedua nilai ini, KTH cukup jelas berpihak pada nilai Confusius sehingga dengan tegas menggambarkan bahwa kekayaan adalah Allah yang palsu: memujanya secara berlebihan akan berujung pada nasib yang tragis. Dalam drama Korbannya Kong-Ek, KTH juga menam- pilkan tokoh idealis bernama Tek Beng yang bergiat dalam organisasi Tiong Hoa Hwe Koan. Di sana digambarkan bagaimana Tek Beng yang menjadi sekretaris perkumpulan (Kong-Ek) Tiong Hoa Hwe Koan dengan penuh kesung- guhan dan jujur demi kemajuan warga Tionghoa harus berhadapan dengan para petinggi (lid bestuur) perkumpulan yang sama sekali tidak punya perhatian pada perjuangan Tiong Hoa Hwe Koan dan duduk di kepengurusan semata-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 55 mata untuk mendapat nama dan kehormatan belaka tanpa kerja dan keterlibatan jiwa. Saat rapat perkumpulan (yang selalu tertunda karena mereka jarang hadir dan lebih suka menghabiskan waktu di meja judi atau main perempuan) ternyata para lid bestuur tersebut ingin rapat segera ditutup dan enggan membicarakan masalah-masalah penting seperti kondisi sumur dan wc sekolah yang gawat, mutu sekolah, keuangan perkumpulan dan sebagainya. Saat diajukan masalah perbaikan sekolah yang memerlukan uang Rp 200 para pemimpin keberatan dan tak peduli, namun justru pada saat bersamaan lebih suka membicarakan pengumpulan uang untuk hadiah bagi pejabat Belanda yang mau pesta nikah. Berbeda dengan uang perbaikan sekolah yang hanya Rp 200, mereka antusias mengumpulkan uang hadiah dan tidak ingin kurang dari Rp 1.000. Rapat penting itu pun kemudian dihabiskan waktunya dengan gugatan seorang petinggi perkumpulan pada Tek Beng karena keponakannya yang tertangkap basah sedang berjudi di sekolah disita uangnya sebanyak Rp 5 dan dengan serius meminta uang Rp 5 itu diambil kembali dari kas sekolah. Drama ini dengan tajam dan penuh ironi menggam- barkan kemunafikan para tokoh masyarakat yang duduk di perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Sosok para petinggi (lidbestuur) Tionghoa itu diperha- dapkan dengan sosok para petinggi Belanda oleh KTH. Nyata para petinggi Belanda digambarkan sebagai sosok yang jujur dan bermoral sementara para hartawan Tionghoa yang duduk sebagai lidbestuur Tiong Hoa Hwe Koan digambarkan

56 Jamal D. Rahman dkk. sebagai sosok yang buruk, penjilat, dan munafik.11 Pada dasarnya nyaris semua tulisan KTH merupakan gugatan keras atas ketimpangan di masyarakat.12 Dan dalam hal ini KTH selain berani juga konsisten. Sikapnya dalam kepenulisan selain tersebar di banyak karyanya, secara gamblang tergambar pada dramanya Korbannya Kong-Ek. Saat Hong Kie, rekannya di perkumpulan, bertanya buku apa yang hendak dikarang Tek Beng, Tek Beng —yang dapat dianggap sebagai alter ego pengarang—menjawab sebagai berikut:

Terutama buku-buku lelakon komedie, buat beber pada orang banyak segala cacat dan kebusukan dalem maatschappij Tionghoa, menurut apa yang aku dan engko Kioe Gie telah pernah mengalamin selama kitaorang campur dalem urusan kong-ek.13

Dalam novelnya Pendekar dari Chapei pun KTH memberi pengantar sebagai berikut:

Tujuannya terutama aken unjuk satu kelucuan menjengkel- kan, yang sring tertampak dalem penghidupan dan pergaul- annya jejaka-jejaka dan gadis-gadis Tionghoa “modern” di mana-mana di Java dan laen-laen bagian dari Indonesia.14

11 Kajian post-colonial pada drama-drama KTH niscaya akan menghasilkan sesuatu yang menarik. 12 Kwee sendiri dalam pengantar bukunya Pendekar dari Chapei, mengemukakan: “Biarlah siapa yang tida kapotong jangan kasusu unjuk kaperiahannya!” 13 Kwee Tek Hoay, Korbannya Kong-Ek: Tooneelstuk dalem Empat Bagian, (Semarang: Drukk Map Sing Kongsie, 1926). 14 Kwee Tek Hoay, Pendekar dari Chapei, loc. cit.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 57 Dan saat ditanya apakah ia yakin dengan hasilnya, jawabannya adalah: Itu ada bergantung dengen tajem atawa puntulnya kitaorang punya ujung pena. Segala kejustaan dan fitenahan meskipun bagaimana rapi diatur, lekas juga jadi terpeca dan ilang kemanjurannya. Tapi buanya satu kalam yang tajem, seperti dari Charles Dickens, Nyonya Stowe dan Multatuli, selamanya nanti tinggal segar di hatinya segala orang yang baca. Aku bukan sombong, tapi aku percaya, aku dan engko Kioe Gie punya bua kalam tida aken jadi linyap sebegitu lama masih ada orang yang membaca bahasa Melayu Renda.15

Tindakan KTH untuk dalam menulis “lelakon komedie buat beber pada orang banyak segala cacat dan kebusukan dalem maatschappij Tionghoa” itu pada gilirannya juga membeber segala cacat dan kebusukan yang dihadapi masyarakat saat itu. Siapa nyana karya-karya KTH yang “membeber cacat dan kebusukan” itu setelah waktu berlalu zaman berganti ternyata dianggap relevan pada zaman kini sehingga drama-dramanya pun dipentaskan kembali dan cukup memikat publik masa kini. Tidak sulit memang untuk, misalnya, membaca drama Korbannya Kong-Ek dalam perspektif perilaku politisi dan kehidupan partai politik masa kini; atau membaca drama Korbannya Yi Yung Thoan dalam kaitan dengan pengiriman TKI/TKW ke luar negeri. Karyanya yang dianggap monumental adalah Drama di Boven Digul16 setebal kurang lebih 800 halaman yang mewacanakan gebalau politik kaum komunis dan nasionalis

15 Kwee Tek Hoay. Ibid. 16 Jakob Sumardjo. Ibid. Thomas Rieger. Ibid.

58 Jamal D. Rahman dkk. pada 1926 yang memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Semua yang “dianggap” terlibat dalam pemberon- takan ini ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, tempat yang amat mengerikan bagi kaum pergerakan. Di dalam novel ini dikatakan bahwa tempat ini dipilih pemerintah kolonial untuk membunuh mereka secara perlahan-lahan. Boven Digul adalah koloni nyamuk malaria yang memati- kan, hutan lebat tak terjamah, yang dipilih pemerintah kolonial untuk membunuh pejuang kemerdekaan secara perlahan-lahan. Drama di Boven Digul memang menjalin- kelindankan berbagai hal mulai dari masalah sosial, politik, ideologi, hingga hubungan Tionghoa dengan pribumi serta gagasan kebangsaan.

*** Secara estetik, kepengarangan Kwee Tek Hoay boleh dibilang baru, baik dilihat dari umumnya karya sastra Melayu Rendah maupun Balai Pustaka. Bagaimanapun saat itu tradisi sastra Melayu sangat kuat dan telah menghasilkan karya-karya yang meyakinkan berupa hikayat, syair, dan pantun. Para sastrawan Balai Pustaka yang menulis dalam tradisi sastra Eropa —sebagaimana diajarkan dalam pendidikan gaya Belanda— pun tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari tradisi ini. Dalam pada itu, sebagai sastrawan peranakan Tionghoa, KTH pun sedikit banyak hidup dalam tradisi sastra Tionghoa dan mengenal para penyair klasik Tionghoa, kisah-kisah seperti Kisah Tiga Negara (Sam Kok), Sam Pek Eng Tay, dan sebagainya, termasuk genre cerita silat (wuxia) yang sangat populer dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 59 digemari pembaca. Semua tradisi sastra tersebut —Melayu dan Tionghoa— memiliki kesamaan dalam urusannya dengan realitas, yakni “tidak realis”. KTH justru menulis sebagian besar karya-karyanya dalam bentuk realis yang menjadikan fakta sehari-hari —sosial, ekonomi, politik, budaya— dalam kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa khususnya, dan masyarakat Hindia Belanda umumnya, sebagai sumber utama karyanya. Hampir-hampir seluruh karyanya dapat diberi label based on true story, atau —untuk meminjam istilah yang populer waktu itu— didasarken atas kejadian yang sesungguhnya terjadi. Kecenderungan KTH untuk menulis secara realis nampaknya tidak dapat dilepaskan dari posisinya sebagai seorang wartawan. Kerja jurnalistik sebagai wartawan yang mencari dan mengumpulkan berita demi berita akan menghasilkan “lebihan” yang tidak dapat —atau tidak mungkin, berdasar kebijakan media massa tertentu, situasi politik dan sebagainya—dilaporkan sebagai berita. Lebihan berita-berita dari kehidupan nyata yang tidak dapat diberitakan di media massa itu kemudian diolahnya menjadi cerita. Tidak mengherankan jika KTH terpengaruh oleh dramawan Henrik Ibsen yang dikenal sebagai tokoh realisme. Dalam pada itu, perhatian KTH pada kehidupan sehari-hari, khususnya masyarakat kecil, dan semangat perlawanannya, membuat KTH terpikat pada Charles Dickens, Harriet Becher Stowe, dan Multatulli. Charles Dickens dikenal dengan karya-karyanya yang mengungkap kehidupan kaum gembel sebagaimana terlihat pada karyanya Oliver Twist, David Copperfield, dan lain-lain,

60 Jamal D. Rahman dkk. termasuk penggambaran situasi revolusi Perancis dalam The Tale of Two Cities. Sementara Uncle’s Tom Cabin karya Harriet Becher Stowe yang mengangkat isu perbudakan di AS telah menggugah masyarakat AS hingga berujung pada perang saudara. Sedang Multatulli dengan novelnya Max Havelaar, sejauh itu merupakan novel perlawanan paling keras atas kolonialisme Belanda di Indonesia. Selain secara teknik estetik terpengaruh oleh realisme Henrik Ibsen, ketiga sastrawan yang disebut KTH dengan penuh hormat dalam dramanya Korbannya Kong-Ek sebagai acuan penulisannya —Dickens, Stowe, Multatulli— merupakan penulis realis yang kritis. Hal ini bersesuaian dengan sikap kepengarangan KTH yang hendak “membeber pada orang banyak segala cacat dan kebusukan” di masyakarat. Bentuk realisme sendiri boleh dibilang bukan bentuk yang lazim pada saat itu, baik dalam tradisi sastra Melayu maupun Tionghoa klasik. Tentu dapat diduga bahwa sastrawan Tiongkok modern Lu Xun yang sezaman dengan KTH (25 September 1881-19 Oktober 1936), belum dapat diakses oleh KTH, meski sama-sama menulis secara realis. Dengan demikian, KTH dapat dikatakan sebagai peletak dasar awal bagi “realisme” di Indonesia. Jika pun ia harus sesekali “keluar” dari gaya realis, kaitan eksplisitnya diacukan pada Barat. Dalam novelnya Boenga Roos dari Tjikembang, misalnya, dengan eksplisit ia mengaku mengacu pada drama nonrealis Shakespeare, A Midsummer Night’s Dream, dan bukannya Sampek Eng Tay atau hikayat Melayu. Selain kritis, karya-karya KTH juga tidak jarang meman- faatkan unsur ironis dan kadang tidak ragu untuk menter-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 61 tawakan diri sendiri. Hal ini cukup jarang terjadi, karena lazimnya para penulis karyanya diniatkan untuk “memper- juangkan” atau “melawan” sesuatu cenderung merasa diri pada posisi yang benar dan memandang dunia secara hitam putih dengan menjadikan lawannya sebagai si hitam dan diri sendiri sebagai sang putih bersih. Dalam drama Korban- nya Yi Yung Thoan, misalnya, ia dengan leluasa meledek korannya sendiri. Peralatan puitik pun digunakannya dengan baik, sebagaimana terlihat pada Boenga Roos dari Tjikembang di bawah ini:

“Tjobalah djoeragan tengok ka sablah kidoel,” kata poela Marsiti, “liatlah bagimana tebel itoe awan item jang lagi melajang ka djoeroesan sini. Langit jang tadinja begitoe indah, dilipoetin oleh sinarnya lajoeng jang seperti bianglala sekarang dengen lekas telah berobah dan keliatannya seperti diselimoetin oleh kaen item....”17

Dan saat Ay Tjoan mencoba menenangkan Marsiti untuk tidak khawatir akan hujan besar, Marsiti menjawab:

“Saja tida koeatir satoe apa pada oedjan dan angin riboet atawa gledek dan kilap. Saja tjoema pikir, kasenangan manoesia di doenia seringkali terdjadi sematjem ini. Baroesan oedara ada begitoe indah dan bergoemilang, segala apa keliatan bertjahja dan moelia, tapi sekarang ...?”18

Popularitas karya-karya Kwee Tek Hoay di bidang sastra, baik isi maupun bentuknya, berpengaruh pada para sastra-

17 Kwee Tek Hoay, Boenga Roos dari Tjikembang, (Batavia: Panorama, 1930), hal. 7. 18 Ibid., hal. 8.

62 Jamal D. Rahman dkk. wan peranakan pada masa itu maupun para penulis pribumi, sekurang-kurangnya para penulis di luar Balai Pustaka. Bahkan, sulit untuk mengatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer tidak terpengaruh oleh karya Kwee Tek Hoay, meski juga sulit untuk membuktikannya. Yang mudah terlihat adalah pengaruh KTH pada para penganut agama Budha di Indonesia. Banyak orang yang tidak tahu bahwa jasa Kwee Tek Hoay dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia setelah mengalami masa tenggelamnya bersamaan dengan runtuh- nya Kerajaan Majapahit. Kwee Tek Hoay adalah orang Indo- nesia pertama yang menjadi pelopor kebangkitan Agama Buddha yang pertama di Indonesia, khususnya Tridharma (Buddhisme, Confucianisme & Taoisme). Selain menulis buku mengenai agama Buddha, KTH juga menerbitkan majalah serta mendirikan organisasi Sam Kauw Hwee bagi perkembangan agama Buddha. Atas kiprahnya, KTH men- dapatkan piagam penghargaan dari Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Bimbingan Masya- rakat Buddha sebagai Pelopor/Pengembang Agama Buddha di Indonesia & sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Dalam karya sastra, unsur Budha tersebut terlihat jelas misalnya pada drama Bidji Lada (1936) dan Mahabhiniskramana (1937).

19 Salmon, misalnya, mencatat bahwa Kwee Tek Hoay menulis tidak kurang dari 115 judul buku, tidak termasuk berbagai esai yang pernah ditulisnya dalam surat kabar dan majalah. Nyata KTH merupakan penulis paling produktif dibandingkan dengan penulis peranakan Tionghoa, bahkan sastrawan Indonesia di masa kini.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 63 Sebagai sastrawan, baik pada masanya maupun dalam perspektif masa kini, KTH terhitung penulis yang sangat produktif.19 Selain prosa dan drama, Kwee Tek Hoay juga membuat syair dan puisi yang di antaranya dimuat di Maja- lah Panorama. Ia pun pernah menyunting buku kumpulan syair Melayu yang diberi judul Bouquet Panorama. Disitu terdapat syair-syair para pengarang ternama yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah namanya tenggelam dibawah periodisasi sastra yang berbasis pada pandangan kolonial Belanda, belakangan ini nama Kwee Tek Hoay kembali dimunculkan. Dan begitu nama dan karya-karyanya dimunculkan kembali, nama Kwee Tek Hoay segera muncul sebagai sastrawan paling menonjol dalam khasanah sastra peranakan Tionghoa dan sastra Melayu Rendah. Novel-novelnya kembali dibaca dan drama-dramanya kembali dipentaskan. Pada tanggal 7 November 2011, sesuai dengan KEPPRES R.I. NO. 115 /TK/TAHUN 2011 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memberi Piagam Penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma atau Pahlawan Sastrawan Melayu kepada Kwee Tek Hoay atas karya-karyanya yang sangat berguna untuk bangsa Indonesia. Atas jasanya yang sangat besar di bidang sastra, sosial, dan agama, pada tanggal 16 September 2012, nama Kwee Tek Hoay oleh Gubernur DKI Jakarta diresmikan menjadi nama kawasan Pecinan / Glodok dan sekitarnya dan kini resmi diberi nama Kawasan China Town Kwee Tek Hoay.[]

64 Jamal D. Rahman dkk. Marah Rusli Pengaruh Sitti Nurbaya1

MAMAN S. MAHAYANA

ovel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (Balai Pustaka, N1922) karya Marah Rusli sebenarnya bukanlah novel pertama yang diterbitkan Balai Pustaka. Dua tahun sebelum novel itu, Balai Pustaka sudah menerbitkan novel Azab dan Sengsara: Kisah Kehidupan Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar. Bahkan, jika kedua novel itu dianggap sebagai novel yang memperlihatkan kebaruan atau diper- lakukan sebagai novel perintis tema-tema sosial karena mengangkat kehidupan kemasyarakatan, kita perlu mencer- mati novel berbahasa Sunda karya D.K. Ardiwinata berjudul Baruang ka nu Ngarora (Racun bagi Anak Muda) yang diterbitkan tahun 1914, terbit justru sebelum lembaga

1 Sumber utama tulisan ini berasal dari makalah saya dalam Seminar Karya Sastra Periode Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, 16 Juni 2004. Dengan penambahan di sana-sini dan melakukan penyesuaian untuk kepentingan buku ini, saya mengembangkannya dengan sejumlah informasi lain —termasuk catatan kaki sebagai penjelasan atau keterangan tambahan yang penting dan relevan— yang berkaitan dengan pengaruh novel Sitti Nurbaya dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kita.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 65 penerbitan itu bernama Balai Pustaka.2 Secara intrinsik, Baruang ka nu Ngarora sebenarnya lebih kuat dibanding- kan novel Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya.3 Lalu mengapa yang kemudian ramai menjadi pembicaraan dan pengaruhnya begitu luas menyelusup dalam tata kehidupan masyarakat, justru novel Sitti Nurbaya? Mari kita telusuri duduk perkaranya.

2 Pada tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur). Karena naskah yang masuk ke komisi itu semakin banyak, maka pada tanggal 22 September 1917 komisi itu berganti nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka. Pendirian komisi itu sebenarnya berkaitan dengan perkembangan politik yang terjadi di Belanda, dan sekaligus juga berkaitan dengan mulai munculnya kesadaran kebangsaan serta mulai ramainya penerbitan surat- surat kabar dan majalah serta buku-buku yang diterbitkan pihak swasta. Menjelang berakhir abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda menghadapi banyak masalah. Akibat-akibat perang Aceh yang belum juga dapat diselesaikan menguras biaya besar dan ribuan korban jiwa pasukan Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro yang disebutnya sebagai perang Jawa—sebuah pemberontakan paling lama yang terjadi di Pulau Jawa—juga menghabiskan dana sangat besar dengan korban jiwa yang juga tidak sedikit. Kemudian terjadinya pemberontakan di berbagai daerah, teristimewa perang Paderi dan pemberontakan pajak di , telah membuat pemerintahan kolonial Belanda menghadapi banyak kecaman di negerinya sendiri. Tambahan pula, terlepasnya Belgia dari Belanda Raya, memaksa pemerintah Belanda mengambil kebijaksanaan politik jalan pintas, yaitu dengan menerapkan kebijaksanaan politik Cultuurstelsel, untuk mendapatkan keuntungan yang cepat dan besar melalui produksi pertanian dengan sistem penanaman dan penyetoran wajib dan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil-hasil pertanian seperti nila, gula, teh, kapas, tembakau, dan kopi di atas sekitar seperlima dari luas tanah tertanam di seluruh desa-desa di Jawa. Pada hakikatnya kebijaksanaan Cultuurstelsel ini tidak berbeda dengan tanam paksa dan kerja rodi, karena Belanda benar-benar mengeksploitasi hasil pertanian tanpa memberi kesejahteraan kepada para petani. Menghadapi beberapa masalah itulah, kelompok oposisi dari partai sosialis, terutama Pieter Brosshooft dan C. Th. van Deventer mendesak agar pemerintah Belanda memberi sedikit kebaikan untuk penduduk pribumi di Hindia Belanda (Indonesia). Pada tanggal 17 September

66 Jamal D. Rahman dkk. 1901, Ratu Wilhelmina menanggapi usul kedua tokoh itu tentang panggilan moral dan utang budi (een eerschuld) bangsa Belanda kepada penduduk pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina merumuskannya sebagai program Trias van Deventer yaitu program (1) Irigasi (pengairan), yaitu membangun dan memperbaiki bendungan dan pengairan untuk pertanian, (2) Emigrasi, yaitu mengirimkan penduduk Jawa melakukan transmigrasi ke Sumatera, terutama ke lokasi-lokasi perkebunan di Lampung dan Deli, semenanjung Melayu, dan Suriname, dan (3) Edukasi yakni memperluas bidang pengajaran dan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah rendah untuk pribumi. Nah, dalam kaitannya dengan program edukasi itulah, pemerintah Belanda kemudian menyiapkan bahan- bahan bacaan, di samping untuk memenuhi keperluan sekolah-sekolah rendah itu, juga untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Muatan bacaan-bacaan penerbit swasta itu, selain mengangkat persoalan nasionalisme, juga tidak sedikit yang menempatkan gambaran negatif orang-orang Belanda, sebagaimana yang terdapat dalam novel Hikayat Kadirun (Semaun, 1920) dan Hikayat Soedjanmo (Soemantri, 1924). Inilah alasan didirikannya Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Periksa Maman S. Mahayana, “Politik di Balik Pendirian Balai Pustaka,” dalam Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, (Jakarta: Bening Publishing, 2005). 3 Novel Azab dan Sengsara mengisahkan serangkaian penderitaan tokoh Mariamin. Mula-mula ia gagal menikah dengan kekasihnya, Aminuddin, lantaran sang kekasih dikawinkan dengan pilihan ayahnya. Mariamin lalu menikah dengan tokoh Kasibun, lelaki begundal, yang baru saja menceraikan istrinya. Rumah tangga mereka bubar, karena Kasibun, didenda dan ditahan polisi akibat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mariamin akhirnya meninggal dalam penderitaan. Novel Sitti Nurbaya juga menyorot penderitaan Nurbaya yang terpaksa menikah dengan Datuk Meringgih, akibat urusan utang-piutang ayahnya. Novel Baruang ka nu Ngarora sebenarnya lebih problematik. Penokohannya tidak karikaturis, konflik kelas sosial priayi yang diwakili Aom Usman— dan pedagang yang diwakili Ujang Kusen –lebih merepresentasikan problem sosiologis masyarakat Sunda. Bagaimana priayi (Aom Usman) yang jadi sumber bencana rumah tangga Ujang Kusen—Nyi Rapiah, tetap hidup bahagia, sementara Ujang Kusen dan Nyi Rapiah, justru jadi pecundang dan hidup menderita (tema seperti itu, tidak lain merupakan tuntutan Balai Pustaka untuk tetap menempatkan priayi dan ambtenaar dengan citra positif). Jadi, dilihat dari tarikh penerbitan dan unsur instriknya, Baruang ka nu Ngarora sebenarnya jauh lebih unggul dibandingkan Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Di sinilah pemakaian bahasa Melayu sangat menentukan penyebarluasan dan pengaruhnya dibandingkan dengan bahasa daerah.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 67 Ketika Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volks- lectuur) berdiri tahun 1908, buku-buku yang diterbitkan lembaga itu sebagian besar berupa karya-karya saduran.4 Dalam lima tahun, antara tahun 1911 sampai 1916, Balai Pustaka menerima naskah sebanyak 598 berbahasa Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa Melayu.5 Jadi, secara kuantitas, pengarang dan karya berbahasa Jawa dan Sunda, jauh lebih banyak dibandingkan pengarang dan karya berbahasa Melayu. Tetapi, Balai Pustaka punya kepentingan lain yang berkaitan dengan politik kolonial di tanah jajahan. Maka, pilihan pada bahasa Melayu sebenarnya merupakan realisasi dari politik bahasa yang dijalankan Belanda, yaitu menjadikan bahasa Melayu Balai Pustaka sebagai acuan yang penyeragamannya diberlakukan Gubernur Jenderal Rochussen tahun 1850 dan ejaannya sudah ditetapkan oleh van Ophuyssen tahun 1901 yang kemudian dikenal sebagai Ejaan van

4 Sebagian besar karya saduran ini diterbitkan setelah lembaga itu berganti nama menjadi Balai Pustaka. Karya saduran Merari Siregar, Si Jamin dan si Johan, terbit tahun 1917. Sebelum itu, Balai Pustaka sudah gencar menerbitkan cerita sejenis. Beberapa yang dapat saya catat, antara lain, Hikayat Erman, saduran M.S. Tjakrabangsa dari bahasa Sunda karya R.A. Lasminingrat; terbit tahun 1917, Cet. III, 1930. Dilihat dari isi ceritanya, saduran ini jelas berasal dari karya Eropa, seperti gambaran mengenai gembala kambing yang ditawari makan roti dan keju. Hikayat si Kecil saduran Toekang Dongeng Rembang dari cerita Belanda, Klein Duimpje —mungkin karangan H. Aderson— cet. V, 1938. Cerita Si Junus karya asli, bukan saduran karya Mas Partasoeganda, guru sekolah Noormal, Jember, terbit tahun 1922. Lebih lengkap, lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, (Magelang: Indonesia Tera, 2001). 5 Sapardi Djoko Damono. Novel Sastra Indonesia sebelum Perang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979.

68 Jamal D. Rahman dkk. Ophuyssen.6 Oleh karena itu, meskipun Baruang ka nu Ngarora secara intrinsik lebih unggul, pihak Balai Pustaka lebih mementingkan penerbitan naskah berbahasa Melayu. Lalu, bagaimana dengan novel Azab dan Sengsara yang juga ditulis dalam bahasa Melayu? Tema novel Azab dan Sengsara masih berkisar pada persoalan konflik adat lokal () dengan latar tempat terjadi di Sipirok, Sumatera Utara. Dengan demikian, secara ideologis novel itu tidak memberi gambaran positif pada bangsa Belanda. Padahal, tujuan pendirian Balai Pustaka dilatarbelakangi oleh peristiwa politik, oleh karena itu Balai Pustaka perlu membawa suara ideologi kolonial. Nah, dalam kerangka itulah, Sitti Nurbaya dipandang memenuhi pesan ideologi kolonial, sebagaimana dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana7 berikut ini:

Balai Pustaka didirikan untuk memberi bacaan kepada orang- orang yang sudah pandai membaca, yang tamat sekolah ren- dah dan yang lain-lain, di samping untuk memberikan bacaan yang membimbing mereka supaya jangan terlampau tertarik kepada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang lam- bat-laun toh agak menentang pihak Belanda.

6 Mengenai politik bahasa yang dijalankan Belanda, simak Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600-1950, Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995. Mengenai tarik-menarik antara bahasa Melayu atau bahasa Belanda dalam sistem pengajaran yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan politik kolonial di tanah jajahan, lihat Maman S. Mahayana, “Perkembangan Bahasa Indonesia-Melayu dalam Sistem Pendidikan,” Insania, Jurnal Tarbiyah, Vol. 14, No. 3, Desember 2009, hal. 395-424. 7 Sutan Takdir Alisjahbana “Perjuangan Budaya dan Pengalaman Pribadi Selama di Balai Pustaka” dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 20.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 69 Di bagian lain, Alisjahbana juga menambahkan:

Ketika itu boleh dikatakan Balai Pustaka mewakili pikiran- pikiran golongan Belanda yang agak “enlightened” yang sedi- kit banyak mengandung “etische politiek”, seperti yang timbul di negeri Belanda pada masa perubahan dari abad ke-19 ke abad ke-20.

Dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia, berdirinya Balai Pustaka jelas punya arti penting, betapapun di dalam- nya dilatarbelakangi oleh persoalan politik dan tentu saja untuk kepentingan politik kolonial Belanda. Buku Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (Jakarta: Balai Pustaka, 1992) yang memuat sejumlah artikel secara jelas hendak menempatkan Balai Pustaka dalam peranannya sebagai lembaga penerbitan buku-buku sastra khususnya, dan buku-buku pelajaran umumnya. Dalam hal ini, tidak dapat disangkal jasa Balai Pustaka dalam melahirkan sastra- wan dan kritikus sastra Indonesia, sekaligus juga dalam memperkembangkan kesusastraan Indonesia Modern. Meskipun peranan Balai Pustaka sangat penting dalam menumbuhkembangkan kesusastraan Indonesia, ada persoalan lain yang berkaitan dengan kepentingan politik kolonial di tanah jajahan. Bagaimanapun juga, Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, tentu saja segala sesuatunya dibangun untuk mendukung politik itu.8 Lalu, bagaimana mungkin Balai Pustaka sebagai lembaga yang

8 Dalam sambutannya, Dr. D.A.R. Rinkes, Kepala Balai Pustaka pertama menyatakan: “…janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik … Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca

70 Jamal D. Rahman dkk. didirikan untuk kepentingan politik kolonial Belanda, dapat menerbitkan buku-buku (: karya sastra) yang mengangkat persoalan nasionalisme (kebangsaan)? Di sinilah, sastra memainkan peranannya. Ketika surat-surat kabar diawasi secara ketat, ketika masyarakat dibungkam untuk tidak membicarakan masalah kebangsaan, sastra justru meng- angkatnya dalam kemasan yang lain. Sastra menyampaikan gagasan atau ideologi pengarangnya secara terselubung dan dibungkus sangat halus. Sebagai contoh kasus, marilah kita mencermati novel Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968).

*** Apabila kita membaca kembali novel Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli maka sangat boleh jadi kita akan mene- mukan makna-makna baru. Sesungguhnya setiap karya sastra selalu menjanjikan makna baru. Setiap kali kita membaca ulang sebuah karya sastra, setiap itu pula makna baru akan sangat mungkin muncul. Demikian halnya dengan Sitti Nurbaya. Persoalan yang terkandung di dalamnya, belumlah selesai. Banyak makna terselubung yang belum terungkap. Sedikitnya ada tiga hal

itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.”

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 71 yang dapat kita angkat ke permukaan. Tujuannya bukan hendak mempertanyakan kepengarangan Marah Rusli, melainkan justru hendak menempatkan keberadaan novel itu secara proporsional, baik dalam konteks perjalanan sejarah novel Indonesia modern, maupun dalam konteks situasi dan semangat zamannya. Dalam konteks itu pula kita akan dapat melihat, sejauh mana pengaruh novel ini dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Adapun ketiga persoalan tersebut menyangkut: (1) ideologi pengarang yang berkaitan dengan masalah nasionalisme, (2) kebijaksanaan Balai Pustaka sebagai badan penerbit kolonial, dan (3) hubungan Sitti Nurbaya dengan karya Marah Rusli lainnya yang terbit kemudian.9

*** Sejauh ini, kebanyakan pembicaraan Sitti Nurbaya cenderung lebih memusatkan perhatian kepada persoalan kawin paksa dalam hubungannya dengan adat Minangkabau. Tidak sedikit pula yang menyebutkan bahwa novel Sitti Nurbaya menyangkut persoalan kawin paksa.10 Padahal, masalahnya tentu saja tidaklah sesederhana itu. Apa yang terjadi dan menimpa Sitti Nurbaya bukanlah lantaran ada-

9 Belakangan ini, tidak sedikit kajian atas novel Sitti Nurbaya dikaitkan dengan persoalan-persoalan (1) gender dan feminisme, (2) pendidikan wanita, (3) postcolonial, (4) sosiologis atau kondisi masyarakat pada zamannya, dan (5) historis. 10 Dalam sebuah lagu pop yang dibawakan penyanyi Nur Afni Octavia disebutkan bahwa persoalan kawin paksa hanya terjadi pada zaman Sitti Nurbaya yang menunjukkan popularitas novel itu seperti tidak dapat dipisahkan dari persoalan kawin paksa.

72 Jamal D. Rahman dkk. nya paksaan dari pihak orang tua agar ia bersedia kawin dengan Datuk Meringgih, melainkan karena kesadaran sendiri untuk menyelamatkan ayahnya, Baginda Sulaiman yang hendak dijebloskan ke penjara. Jadi, secara sadar, Nurbaya memilih menjadi “tumbal” keluarga, untuk menye- lamatkan sesuatu yang lebih besar: keluarga! Persoalannya sangat berbeda dengan nasib yang menim- pa Rapiah —Hanafi dalam Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, Nuraini— Rustam dalam Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro, atau Aminu’ddin dan Mariamin dalam Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Kecuali Nuraini— Rustam dalam Asmara Jaya, tokoh-tokoh tersebut di atas tak mampu menolak kawin paksa. Mereka melangsungkan perkawinan semata-mata karena persoalannya bersangkut paut dengan adat. Dalam karya Adinegoro, sebenarnya tokoh Nuraini sudah dinikahkan —menurut adat— tanpa kehadiran mempelai pria (Rustam). Tetapi kemudian Rus- tam menolak perkawinan itu dan bersiteguh mempertahan- kan wanita pilihannya, Dirsina, yang memang sudah men- jadi istri sahnya.11 Dalam Sitti Nurbaya persoalan kawin paksa dalam hubungannya dengan adat (Minangkabau), justru menimpa tokoh bawahan (Sitti Nurbaya). Jadi, kehadiran tokoh Meringgih berperan sebagai pencipta konflik bagi tokoh-

11 Dari beberapa novel yang disebutkan itu, tampak ada perkembangan tematik yang berkaitan dengan persoalan perkawinan. Azab dan Sengsara mengangkat persoalan perkawinan dalam kaitannya dengan suku (Batak), Asmara Jawa mengangkat perkawinan antarsuku (Minang dan Sunda), dan Salah Asuhan mengangkat perkawinan antarbangsa (Minang/Indonesia dan Prancis).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 73 tokoh lainnya, —khususnya Samsulbahri dan Nurbaya. Tokoh Meringgih pula yang membuat percintaan Samsul- bahri dan Nurbaya menjadi kisah kasih tak sampai. Dalam konteks ini, masalah kawin paksa dan sisi negatif adat Minangkabau, menjadi semacam “ilustrasi” dalam bingkai besar konflik antara Sitti Nurbaya —Datuk Meringgih— Samsulbahri. Dalam Bagian XII, “Percakapan Nurbaya dengan Alimah” (hal. 191-214), misalnya, dialog antara Ahmad Maulana dan istrinya, Fatimah, dan kemudian dilanjutkan dengan dialog antara Nurbaya dan Alimah, tampak lebih menyeru-pai suara (baca: amanat) pengarangnya daripada suara tokoh- tokoh tersebut. Bagaimana misalnya tokoh Ahmad Maulana mengungkapkan sikap ketidaksetujuannya terhadap masalah poligami:12

“Sebenarnya pikiranku, sekali-sekali tiada setuju dengan adat beristri banyak; karena lebih banyak kejahatannya daripada kebaikannya” kata Ahmad Maulana, sambil termenung meng- embuskan asap rokoknya. “Banyak kecelakaannya yang sudah

12 Sampai sekarang, masalah poligami kerap menjadi wacana yang dihembuskan gerakan perempuan. Meskipun Islam mengizinkan poligami, banyak pihak di kalangan Islam sendiri yang menentangnya. Bahkan, pada zaman Orde Baru, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 menegaskan, bahwa poligami dibolehkan sejauh mendapat izin tertulis dari istri pertama. Tetapi kasus-kasus poligami sampai sekarang terus saja menjadi pembicaraan publik. Ingat saja peristiwa Syeikh Puji (Pujiyono Cahyo Widianto atau Dwiyanto/Wibowo?) yang dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Agama Ambarawa tahun 2009 untuk berpoligami dan mengawini Lutfiana Ulfah, gadis berusia 16 tahun. Barangkali kita juga belum lupa kisah poligami Puspo Wardoyo pemilik restoran Wong Solo, peristiwa Bupati Garut yang enteng saja melakukan kawin-cerai dalam waktu singkat, atau kasus yang belum lama ini terjadi pada Eyang Subur. Dari segi ini, boleh dikatakan, Marah Rusli dalam novel Sitti Nurbaya sudah jauh-jauh hari menggugat persoalan itu.

74 Jamal D. Rahman dkk. kudengar dan banyak sengsaranya yang sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri.” (hal. 192). Selanjutnya, secara panjang lebar Maulana menjelaskan pula keburukan-keburukan seorang lelaki beristri lebih dari satu (poligami) dalam hubungannya dengan adat Minangkabau. Lalu, bagaimana pula tanggapan Sitti Nurbaya sendiri mengenai persoalan tersebut? Perhatikanlah kutipan-kutipan di bawah ini:

“...Cobalah kau pikir benar-benar, nasib kita perempuan ini. Dari Tuhan yang bersifat rahman dan rahim, kita telah dikurangkan daripada laki-laki, teman kita itu. Sengaja kuka- takan teman kita laki-laki itu, karena sesungguhnyalah demi- kian walaupun banyak di antara mereka yang menyangka, mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hamba- nya. Pada persangkaan mereka, mereka lebih dari pada kita, tentang kekuatan dan akal mereka....”(hal. 201).

“... Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terja- uh ia daripada bahaya, dan terpelihara anak, suaminya dengan sepertinya...” (hal. 205).

“... Memang demikianlah nasib kita perempuan. Adakah akan berubah peraturan kita ini? Adakah kita akan dihargai oleh laki-laki, kelak? Biar tak banyak, sekedar untuk yang perlu bagi kehidupan kita saja pun cukuplah, aku tiada hendak meminta, supaya perempuan disamakan benar-benar dengan laki-laki dalam segala hal; tidak, karena aku mengerti juga, tentu tak boleh jadi.… Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan mendengar segala yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya; supaya dapat bertukar pikiran, untuk menajam- kan otaknya. Dan berilah ia kuasa atas segala yang harus

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 75 dikuasainya, agar jangan sama ia dengan boneka yang bernya- wa saja.” (hal. 208). Dari kutipan-kutipan tersebut di atas, sedikitnya kita dapat melihat, bagaimana Marah Rusli —lewat tokoh Sitti Nurbaya — mempertanyakan kembali sisi pekat adat masyarakat negerinya. Pernyataan “kita laki-laki” yang dalam teksnya dicetak miring, mengisyaratkan bahwa sesungguhnya derajat kaum wanita pada hakikatnya sejajar dengan derajat kaum laki-laki. Satu tuntutan untuk menempatkan wanita sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Untuk sampai pada tujuan itu, masalah pendidikan menjadi salah satu syarat yang mutlak mesti diperoleh kaum wanita sendiri. Kata-kata seperti “terpelajar”, “menuntut ilmu”, “menambah pengetahuan”, “bertukar pikiran”, “menajamkan otak”, dan “berilah ia kuasa atas segala yang harus dikuasainya” memperlihatkan perlunya pendidikan bagi kaum wanita.13 Dengan demikian, persoalan sebenarnya bukanlah semata-mata menyangkut kawin paksa, melainkan juga perlakuan tak adil terhadap kaum wanita serta hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Mengapa keberadaan kaum perempuan dipersoalkan? Di

13 Masalah pendidikan bagi kaum pribumi sebagai implementasi politik etis Belanda mengenai edukasi, sesungguhnya dijalankan pemerintah kolonial Belanda setengah hati. Pendirian sekolah-sekolah untuk pribumi sebagian besar berada di daerah- daerah perkebunan. Jadi tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan penduduk pribumi yang sekadar bisa baca-tulis (Belanda) serba sedikit. Mengenai kebijaksanaan Belanda di bidang pendidikan ini yang sebenarnya diarahkan untuk kepentingan Belanda sendiri, periksa esai Mestika Zed. “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah”, dalam Sejarah 1, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991).

76 Jamal D. Rahman dkk. sinilah Marah Rusli membungkus masalah nasionalisme lewat dialog-dialog tersebut. Pada masa itu, semangat untuk memajukan pendidikan bagi kaum perempuan, cukup gencar disampaikan justru oleh kaum perempuan sendiri. Terbitnya Door Duisternis tot Licht (1911), sebuah buku yang berisi kumpulan surat-menyurat Kartini dengan Abendanon sekitar empat tahun (1900-1904), boleh jadi ikut berpengaruh pada pandangan dan sikap kaum perempuan pada masa itu. Kesadaran itu tampak jelas jika kita mencermati sejumlah suratkabar atau majalah wanita yang terbit pada awal abad ke-20.14

*** Amanat dalam karya sastra —dalam hal ini novel— dapat disampaikan pengarangnya, baik secara tersirat (implisit) maupun secara tersurat (eksplisit). Dalam kasus Sitti Nur- baya, amanat pengarangnya, khususnya yang menyang- kut soal pendidikan dan harkat kaum wanita, juga disam- paikan secara tersurat, terutama yang terungkap pada Bagian XII (hlm. 191-214). Sebenarnya, jika bagian ini dihilangkan —kecuali peristiwa pembelian kue lemang yang membawa

14 Sebelum novel Sitti Nurbaya terbit, sedikit ada sekitar 15-an suratkabar atau majalah wanita yang beredar secara luas. Dua di antaranya yang penting, Poetri Hindia (terbit di Batavia, 1 Juli 1908) dan Sunting Melayu (terbit di Padang, 10 Juli 1912). Dari sejumlah suratkabar dan majalah itu, masalah pendidikan menjadi titik tekan yang perlu disadari kaum wanita. Jadi, perbincangan yang terjadi pada bagian XII dalam novel Sitti Nurbaya telah menjadi wacana yang luas dan menjadi perhatian kaum wanita terpelajar Indonesia. Pembahasan mengenai majalah wanita yang terbit awal abad ke-20, periksa Maman S. Mahayana, “Majalah Wanita Awal Abad XX,” (Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000). (Laporan Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 77 kematian Sitti Nurbaya— secara keseluruhan tidaklah akan mengganggu rangkaian peristiwa (alur) utama. Bagian tersebut hanya penting justru dalam kaitannya dengan amanat, sikap dan pandangan pengarang mengenai soal perkawinan, kedudukan wanita, dan pendidikan. Jika dihubungkan dengan kebijaksanaan Balai Pustaka sebagai lembaga penerbit resmi pemerintah kolonial Belanda, Sitti Nurbaya dalam beberapa hal sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan lembaga itu. Ada semacam kriteria yang ditetapkan Balai Pustaka dalam menjalankan usaha penerbitannya. Menurut A. Teeuw,15 bahwa Balai Pus- taka mengambil sikap yang amat netral dalam persoalan- persoalan agama (dan ini berarti bahwa buku-buku yang mengandung unsur-unsur keagamaan tidak akan diterima untuk diterbitkan); pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah juga tidak dapat diterima; demikian pula hasil-hasil sastra yang bersifat “cabul” Dalam pengumuman “Perlombaan Mengarang”16 dinyatakan bahwa penokohan yang dapat dianggap lazim oleh penerbit Balai Pustaka adalah penokohan hitam-putih:

Dengan tjara demikian soedah banjak kesoekaran dan perdjoeangan jang digambar-diloekiskan dalam boekoe- boekoe keloearan Balai Poestaka, antara orang toea jang koeno dengan anak-anaknja jang berpendidikan modern, — antara hati jang ingin akan kemoeliaan dan kemasjhoeran dengan sifat sederhana dan ichlas,—antara sifat loba dan tama’ akan harta dengan sifat loeroes dan benar,—antara

15 A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, (Jakarta: Nusa Indah, 1980), hal. 32. 16 Periksa Pedoman Pembatja No. 6, Februari 1937.

78 Jamal D. Rahman dkk. tjinta dengan kewadjiban menoeroet perintah orang toea,— antara sifat tjongkak dan sombong dengan baik boedi, dsb. Dengan menetapkan kriteria tersebut, Balai Pustaka tidak hanya diberhakkan untuk menolak naskah yang dipandang tidak sejalan dengan kebijaksanaan Balai Pustaka sendiri— sebagaimana yang terjadi pada novel Belenggu karya Armijn Pane (1940), tetapi juga “diberhakkan” melakukan penyen- soran naskah-naskah yang akan diterbitkan.17 Itulah sebab- nya, tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel terbitan Balai Pustaka pramerdeka umumnya cenderung bersifat karikaturis. Periksa tokoh Samsulbahri, misalnya, betapa “sempurnanya” mewakili sosok seorang pemuda terpelajar. Bandingkan pula dengan Datuk Meringgih yang dalam banyak hal, tampil begitu busuk. Lalu mengapa kedua tokoh itu harus dipertemukan dalam perjuangan yang saling ber- lawanan. Mengapa pula kedua tokoh itu mesti “gugur”. Dalam menempatkan kedua tokoh itu secara kontekstual, agaknya kita perlu lebih cermat dan mencoba pula meng- ungkapkan berbagai hal yang (mungkin) menyelimutinya. Dilihat secara instrinsik, unsur-unsur yang membangun Sitti Nurbaya tampak sejalan dengan kriteria yang telah ditetap- kan Balai Pustaka. Tema yang tidak menyinggung persoalan agama, penokohan yang hitam-putih, cara pengajaran yang disampaikan secara eksplisit, serta tidak bertentangan dengan politik pemerintah kolonial, semuanya —secara

17 Lebih jauh mengenai kasus penyensoran ini, cermati Maman S. Mahayana, “Unsur Sejarah dalam Novel Salah Asuhan,” dalam Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 79 tersurat— terungkap dalam Sitti Nurbaya. Sesungguhnya, kelihatan juga di dalamnya usaha penga- rang (Marah Rusli) untuk menyiasati pembaca, dan itu berkaitan dengan masalah nasionalisme yang hendak disampaikan pengarang. Kematian tokoh Samsulbahri — yang dapat dipandang mewakili golongan muda yang berpendidikan modern— dan tokoh Datuk Meringgih —yang dapat dipandang mewakili golongan tua yang kolot— sebenarnya dapat kita tafsirkan sebagai bentuk “kompromi” pengarangnya untuk tidak memenangkan salah satu pihak. Sangat boleh jadi jika keberpihakan pengarang jatuh kepada golongan tua, Meringgih memenangkan pertempuran, misalnya, novel Sitti Nurbaya tidak akan diterbitkan Balai Pustaka. Sebaliknya, jika Samsulbahri yang memenangkan pertempuran itu, rasanya sulit dipahami, mengapa Marah Rusli yang lahir dari tradisi masyarakat Minangkabau, mesti “membela” seorang tokoh —betapapun itu merupakan tokoh rekaan— yang tidak hanya membela bangsa asing (Belanda), tetapi juga memerangi bangsanya sendiri.18 Niscaya, bukan tanpa alasan Marah Rusli mengangkat fakta sejarah peristiwa belasting menjelang bagian akhir novelnya itu (Bagian XV. 244-255). Sungguhpun dalam Sitti

18 Untuk menghormati tokoh Sitti Nurbaya dan Samsulbahri, masyarakat Minangkabau membuat sepasang kuburan, yaitu makam Sitti Nurbaya yang bersebelahan dengan makam Samsulbahri di sebuah bukit. Bukit itu pun lalu diberi nama Bukit Sitti Nurbaya. Untuk sampai ke bukit itu, para pelayat harus melewati sebuah jembatan yang juga diberi nama Jembatan Sitti Nurbaya. Demikianlah, begitu kuatnya pengaruh novel itu dalam ingatan kolektif masyarakat, sehingga tokoh-tokoh fiksi itu diperlakukan sebagai tokoh sejarah.

80 Jamal D. Rahman dkk. Nurbaya peristiwa itu terjadi tahun 1889 —sepuluh tahun sejak Samsulbahri berusaha membunuh diri setelah menulis surat untuk ayahnya, Sutan Mahmud Syah, dan untuk Sitti Nurbaya, 13 Juli 1879 —peristiwanya sendiri terjadi tahun 1920-an.19 Di Padang sendiri, sekitar tahun 1923-1924, terjadi protes terhadap pemerintah Belanda yang hendak menyewakan tanah yang diakui sebagai tanah milik pemerintah, kepada rakyat. Padahal, menurut adat Minangkabau, tanah yang hendak disewakan itu merupakan tanah milik ninik- mamak.20 Salah seorang pemrotesnya adalah Abdul Muis

19 Sartono Kartodirdjo (Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jilid 2. Jakarta: Gramedia, 1990, hal. 61 dan 82) mencatat, bahwa kenaikan pajak rakyat yang diberlakukan pemerintah Belanda; di satu pihak, telah mendatangkan begitu banyak keuntungan bagi pemerintah kolonial, dan di lain pihak, makin membebani rakyat itu sendiri. Sejak dinaikkannya pajak rakyat tahu 1919 sampai tahun 1921 pemerintah Belanda berhasil mengeruk keuntungan sebesar 24 juta gulden setahun. Jumlah itu naik menjadi 28 juta gulden pada tahun 1922; 32 juta gulden pada tahun 1923; dan 34 juta gulden pada tahun 1925. Kekayaan yang diangkut dari bumi Nusantara inilah yang mengangkat Ratu Wilhelmina sebagai ratu terkaya di dunia setelah Ratu Inggris, Elisabeth. Lihat juga Deliar Noer (Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900—1942. Jakarta: LP3ES, 1988, cet. IV,hal. 215) yang menyebutkan bahwa keadaan itulah yang kemudian pecah menjadi gerakan pemberontakan lokal, di antaranya terjadi di Cimareme, Jawa Barat; Toli-Toli di Sulawesi Tengah; dan Padang, Sumatra Barat; di samping beberapa usaha pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api. Dalam kasus di Toli-Toli dan pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api, Belanda menganggap Abdul Muis sebagai salah seorang tokoh penting yang terlibat dalam kasus itu. Tuduhan itu pula yang kemudian menjadi alasan pemerintah Belanda memecat Abdul Muis sebagai pegawai pegadaian. 20 Dalam novel Sitti Nurbaya, kasus itu disebutkan sebagai kasus belasting digambarkan sebagai pemberontakan pajak. Peristiwa itulah yang kemudian mempertemukan Datuk Meringgih sebagai tokoh pemberontak dan Samsulbahri (yang sudah menjadi Kapten Mas) berada di pihak Belanda.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 81 —pengarang novel Salah Asuhan. Ilustrasi mengenai fakta sejarah ini, sekadar hendak menegaskan bagaimana Marah Rusli, kelihatan berkehendak menyiasati pembaca dengan menyebutkan angka tahun peristiwa belasting secara un- cronicle atau anakronisme. Ada dua kemungkinan adanya usaha pemanipulasian seperti itu. Pertama, Marah Rusli hendak memberi kesan bahwa Sitti Nurbaya sama sekali tidak menyimpang dari kebijaksanaan Balai Pustaka—yang dalam hal ini tentu saja erat kaitannya dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Uraian tentang maksud dan tujuan belasting (hal. 245-254) makin mem- pertegas kesan tersebut. Kedua, Marah Rusli boleh jadi hendak mempertegas kembali bahwa tindakan-tindakan pemerintah Belanda sering kali tidak sejalan dengan keinginan rakyat. Dan hal tersebut digambarkan lewat pecahnya kerusuhan yang membawa korban di pihak Belanda sendiri (hal. 255, et seqq.).21 Dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme itu pula, karakterisasi tokoh Samsulbahri dan Datuk Meringgih, mesti mempunyai makna tertentu. Penggambaran karakter kedua tokoh itu yang begitu bertolak belakang, dimaksudkan untuk mewakili golongan tertentu. Samsulbahri yang mulanya digambarkan begitu “sempurna”, dalam perkembangannya ternyata begitu “cengeng”, setidak-tidaknya jika dilihat dari

21 Periksa juga uraian Rusli Amran (Sumatra Barat: Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan,1985) tentang kelicikan dan kejahatan pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya menguasai wilayah Sumatera Barat dan daerah sekitarnya melalui politik adu domba para pemimpin tradisional, sebagaimana yang terjadi pada Perang Paderi.

82 Jamal D. Rahman dkk. lima kali usahanya bunuh diri (hal. 239). Bagaimana mungkin seorang pemuda terpelajar dapat begitu mudah patah semangat, gampang frustasi, dan berulang kali hendak bunuh diri! Dalam beberapa bagian Sitti Nurbaya, tampak pula bahwa sesungguhnya Samsulbahri bukanlah tokoh ideal bagi pengarangnya. Dalam hal ini, ada semacam kritik terselu- bung yang dilontarkan pengarang terhadap tokoh semacam Samsulbahri:

Mendengar pantun ini, tiadalah tertahan oleh Nurbaya hatinya lagi, lalu dipeluknya Samsu dan diciumnya pipinya. Dibalasnya oleh Samsu cium kekasihnya ini dengan pelukan yang hasrat. Di dalam berpeluk dan bercium-ciuman itu, tiba- tiba terdengar di belakang mereka, suara Datuk Meringgih berkata... (hal. 152).

Satu kesalahan telah dilakukan Samsulbahri, yaitu ber- mesraan dengan wanita yang bukan muhrimnya, bahkan wanita yang telah bersuami, betapapun wanita itu (Sitti Nurbaya) membenci suaminya, Datuk Meringgih. Jadi, apa pun alasan Samsu maupun Nurbaya, perbuatan itu tetap merupakan kesalahan bagi keduanya, baik dilihat dari nor- ma adat, maupun agama. Yang menjadi persoalannya seka- rang: Mengapa Samsulbahri melakukan perbuatan tersebut, padahal baru saja ia dinasihati panjang lebar oleh Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya? Atau, apakah Marah Rusli memang sengaja mengangkat salah satu dampak negatif pengaruh kebudayaan Barat? Sisi negatif karakter Samsulbahri terlihat pula pada saat ia bercakap-cakap dengan Letnan Yan van Sta. Perhatikan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 83 kutipan di bawah ini yang memperlihatkan sikap Samsul- bahri dalam memandang kedudukan wanita: “... tak hendak kawin seumur hidup, tak dapat kubenarkan. Bila ada sesuatu cacat di badan, misalnya penyakit atau celaan yang lain, sudahlah! tak mengapa. Tetapi jika membujang itu, karena hendak menurutkan kesukaan hati saja, kurang baik. Bagaimana jadinya manusia itu kelak.” (hal. 235). “Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan dewasa ini, yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat demikian, apakah kelak akan pekerjaan laki-laki? Harus ke dapurkah mereka, mengurus rumah tangga dan menjaga anak? Berbalik hujan ke langit, (hal. 235). Pada sangkaku pikiran perempuan tadi salah. Apa gunanya perempuan menuntut kepandaian laki-laki dan memegang pekerjaan laki-laki? Bukankah sesuatu pekerjaan itu ada mak- sudnya? Dalam hal itu yang diutamakan ialah kehidupan dan kesenangan. Apabila maksud ini dapat diperoleh dari suami, apakah perlunya perempuan hendak mencari sendiri? ... (hal. 236)

Dari kutipan pertama di atas, kita dapat melihat ketidak- setujuan Samsulbahri terhadap kehidupan yang tanpa perka- winan. Tetapi ia sendiri justru lebih suka hidup sendiri. Tidak mau hidup berumah tangga hanya lantaran cinta pertamanya kandas:

“Apakah faedahnya aku beristri, jika akan menambah susah badanku sendiri dan tiada dapat menolongku dalam kehidupanku sehari-hari? Lebih baik aku membujang, karena jika perempuan itu saja, banyak di jalan.” (hal. 236).

Kutipan-kutipan tadi sedikitnya memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya sikap Samsulbahri dalam me- mandang kedudukan wanita dalam hubungannya dengan

84 Jamal D. Rahman dkk. soal perkawinan. Sikapnya itu menjadi terasa aneh karena Samsulbahri sendiri termasuk pemuda terpelajar yang seharusnya bersikap lebih rasional, dan tidak emosional. Lalu bagaimana pula sikap Samsulbahri dalam keduduk- annya sebagai serdadu Belanda? Setelah pertempuran di Aceh dan Lhokseumawe yang lalu menempatkannya sebagai “pahlawan” bagi Belanda, ada perasaan menyesal dalam diri pemuda yang kini berganti nama menjadi Letnan Mas. Sebuah kesadaran bahwa bagaimanapun juga, yang diha- dapi adalah bangsa sendiri, dan ia justru menjadi pembela bangsa asing (Belanda). Begitu pula saat mendapat surat perintah untuk memadamkan pemberontakan di Padang, penyesalan itu timbul lagi. “Kini aku bukan disuruh mem- bunuh bangsaku saja lagi, tetapi disuruh pula membunuh kaum keluarga, sahabat kenalanku sendiri.” (hal. 243). Jadi, sesungguhnya ia sadar betul, siapa “musuh” yang akan diha- dapinya. Tetapi, kembali kita melihat kenyataan, Samsulbahri menerima tugas itu dengan sungguh-sungguh, betapapun motivasinya lain. Jika benar Samsulbahri mencari kematian, lalu mengapa pula harus melalui jalan membunuh bangsa- nya, keluarganya, dan sahabatnya sendiri? Berlawanan dengan Samsulbahri, Datuk Meringgih tam- pil sebagai “pejuang” bangsanya. Memang, awalnya perjua- ngan Datuk Meringgih lebih banyak didasarkan pada kepen- tingan pribadinya sendiri. Tetapi, menjelang duelnya dengan Samsulbahri, ia menyadari bahwa perjalanan hidupnya da- hulu dipandangnya sebagai suatu kesalahan, kekeliruan, dosa! Perhatikanlah kutipan di bawah ini:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 85 Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah katapun, sebab baru dirasanya waktu itu kebenaran perkataan Samsulbahri ini. Di situlah nyata padanya, bahwa sebenarnya, sampai kepada waktu itu, belumlah lagi ia berbuat kebaikan dengan hartanya yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini, tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur? Tak lain nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, berangkali ada- lah juga yang mendoakan arwahnya.

Di sana tatkala ia telah hampir ke pintu kubur, baru diinsyafi- nya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya, untuk kehidupannya di negeri yang baka. Maka timbullah sesal dalam hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi memperbaiki kesalahannya itu. (hal. 261-263).

Ada saat datang penyesalan pada diri Datuk Meringgih, ia melihat Samsulbahri mengangkat pistolnya. Pada saat itulah, Datuk Meringgih menerjang Letnan Mas sambil berteriak, “Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai anjing Belanda!” (hal. 263; cetak miring dari penulis, MSM).

Saat-saat terakhir itulah sebenarnya, “kunci” pemaknaan masalah heroisme bagi kedua tokoh itu. Di situ, masalah nasionalisme coba diangkat Marah Rusli melalui tokoh- tokoh simbolik: Samsulbahri dan Datuk Meringgih. Masa- lahnya akan menjadi lain, jika saja Samsulbahri —terutama pada saat-saat terakhir itu— menyadari bahwa ia telah menjadi algojo bangsa, keluarga, dan kerabatnya sendiri. Namun, penyesalan itu justru tak muncul dalam diri Samsulbahri. Sebaliknya, Datuk Meringgih yang malah menyadari kesalahannya; insyaf! Dengan demikian, jelas keduanya telah menjadi “pahlawan” bagi bangsa yang dibela-

86 Jamal D. Rahman dkk. nya masing-masing: Samsulbahri menjadi pahlawan bagi bangsa Belanda, dan sebaliknya, Datuk Meringgih menjadi pahlawan bagi ninik-mamaknya *** Sebagai usaha melihat sikap kepengarang Marah Rusli, kiranya patut pula kita melihat dua novel lainnya, yaitu La Hami (Balai Pustaka, 1953) dan Anak dan Kemenakan (Balai Pustaka, 1956). Lewat kedua novel itu, sedikitnya kita akan lebih memahami sikap kepengarangannya dalam hubung- annya dengan akar tradisi, masyarakat, dan lingkungan yang sedikit banyak akan terungkap lewat karya-karyanya. La Hami sebenarnya lebih menyerupai cerita hikayat. Di dalamnya unsur mistik dan dunia supernatural, banyak menghiasi karakterisasi tokoh-tokohnya. Menurut penga- rangnya sendiri, novel itu bersumber dari informasi sahabat- nya di pulau Sumbawa mengenai peristiwa sebelum Gunung Tambora meletus tahun 1815. A. Teeuw22 mengatakan bah- wa ceritanya sebagian berdasarkan peristiwa sejarah yang terjadi di Sumbawa. Di dalam prakata novel itu sendiri, di- nyatakan bahwa selama tiga tahun (1912-1915) Marah Rusli tinggal di Pulau Sumbawa ia memperoleh perlakuan yang sangat baik dari masyarakat di sana yang baginya merupa- kan kenangan yang sangat berkesan. “itulah sebabnya kuka- rangkan cerita ini, agar sekalian kenang-kenangan itu dapat kuabadikan, sebagai suatu tanda kesyukuran dan terima ka- sihku kepada Pulau Sumbawa dan penduduknya (hal. 8).

22 A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, (Jakarta: Balai Pustaka Jaya, 1989), hal. 4.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 87 Apa artinya pernyataan itu dalam konteks sikap kepenga- rangan seorang Marah Rusli? Pertama, novel itu dapat ditafsirkan bahwa sebagai seorang manusia, Marah Rusli tidak mudah begitu saja melupakan kebaikan orang lain. Sangat wajar pula jika ia ingin membalas kebaikannya. Kedua, sebagai pengarang, pengangkatan peristiwa itu ke dalam novel merupakan penghargaan yang kepada masya- rakat yang bersangkutan.

Novel berikutnya adalah Anak dan Kemenakan yang kebetulan berlatar masyarakat Minangkabau di Padang. Dalam novel ini, yang disoroti juga masalah perkawinan dalam hubungannya dengan adat Minangkabau. Dilihat dari konflik golongan tua dan golongan muda, Marah Rusli kini kelihatan lebih berpihak kepada golongan muda. Golongan muda yang diwakili oleh tokoh-tokoh Yatim, Puti Bidasari, Dr. Aziz dan Siti Nurmala, terpaksa mengalah kepada golongan tua dengan pergi meninggalkan Padang. Perhatikan kutipan di bawah ini:

“Setelah keluarlah sekalian orang yang cerdik pandai dari Padang ini, tinggallah yang tua-tua yang masih kukuh meme- gang adat-istiadat kuno negerinya. Kepada merekalah terse- rah untung nasib bangsa dan negeri Padang ini. Apa yang dapat diperbuat mereka dan ke mana akhirnya akan dibawa mereka bangsa dan negaranya, Tuhan saja yang akan tahu. Hanya yang terang dan nyata jika keadaan di sini terus begitu, kerusakan dan kebinasaan juga yang akan menjadi nasib negeri ini,” kata Dr. Aziz.

Baginda Mais termenung mendengar buah pikiran menan- tunya ini atas bangsa dan negerinya dan hatinya kecut ter-

88 Jamal D. Rahman dkk. ingat nasib anak cucunya dan tanah airnya di masa yang akan datang.

“Ramalan Dokter itu mungkin akan terjadi,” katanya lambat- lambat lalu pulang perlahan-lahan meninggalkan Teluk Bayur dengan masygulnya (hal. 264).

Uraian sepintas kilas atas kedua novel Marah Rusli itu, makin mempertegas sikap kepengarangan Marah Rusli terhadap masyarakat negerinya, termasuk di dalamnya tradisi dan adat-istiadatnya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat Minangkabau, ia masih begitu peduli terhadap negeri lelu- hurnya. Kepeduliannya semata-mata lantaran ia ingin meli- hat kemajuan dan keadilan berlaku di sana. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan masalah nasionalisme yang digambarkan melalui “pengkhianatan” tokoh Samsulbahri dalam Sitti Nurbaya yang tidak hanya “membantai” bangsa- nya, tetapi juga masyarakat, sahabat, dan keluarga sendiri langkah yang diambil Samsulbahri—apa pun motivasinya— sangat ganjil, menyimpang, dan tidak beradat. Sementara apa yang dilakukan Datuk Meringgih, betapapun busuknya, tidaklah bakal “menyinggung” masyarakat Minangkabau sendiri, mengingat tidak ada penjelasan mengenai asal-usul tokoh itu. Artinya, penggambaran ketokohan sosok Samsulbachri sebenarnya bukanlah tokoh ideal generasi muda yang diharapkan Marah Rusli. Ia ingin menegaskan, bahwa generasi muda Minangkabau, jika kelak kembali ke tanah leluhurnya, justru mesti membangun dan mengang- kat derajat puaknya ke tingkat yang lebih terhormat dan bermartabat!

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 89 *** Demikianlah, dibandingkan La Hami dan Anak dan Kemenakan, novel Sitti Nurbaya memberi pengaruh luas, tidak hanya bagi perkembangan tematik novel-novel Balai Pustaka sebelum perang, tetapi juga bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia, jauh melampaui zamannya. Dalam perbincangan sejarah sastra Indonesia, hampir semua kritikus atau pengamat sastra Indonesia menempatkan Sitti Nurbaya sebagai novel penting yang menandai tonggak sejarah perjalanan novel Indonesia. Pada novel ini pula kita melihat serangkaian kritik sosial yang berkaitan dengan persoalan kedudukan perempuan, adat- istiadat, perkawinan poligami, tradisional-modern, pendidikan bagi kaum wanita, dan perkara nasionalisme. Pada tahun 1969, novel ini memperoleh anugerah hadiah tahunan pemerintah Indonesia sebagai penghargaan bagi karya-karya fenomenal yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus. Di Malaysia, pada tahun 1963 novel ini diterbitkan dalam edisi bahasa Melayu dan menjadi salah satu buku wajib dalam pelajaran kesusastraan di sekolah-sekolah lanjutan. Pada tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya yang ternyata mendapat sambutan luas masya- rakat. Sampai kini, Sitti Nurbaya hampir selalu digunakan sebagai representasi persoalan kawin paksa zaman lampau. Ia telah menjadi ingatan kolektif masyarakat Indonesia.

***

90 Jamal D. Rahman dkk. Marah Rusli dilahirkan di Padang, 7 Agustus 1889, dan meninggal di Bandung, 17 Januari 1968. Setelah menyelesai- kan pendidikan sekolah rendahnya diselesaikan di Padang, ia melanjutkan pendidikan Sekolah Guru di Bukittinggi. Sebagaimana anak-anak muda pada zamannya ketika itu, dapat melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa adalah sebuah kebanggaan. Maka, ia pun hijrah ke Bogor dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Dokter Hewan —kini Institut Pertanian Bogor— yang diselesaikannya tahun 1915. Menjelang sampai awal kemerdekaan tahun 1945, Marah Rusli tercatat pernah menjadi Mayor Angkatan Laut yang bertugas di Tegal. Pada zaman perang kemerdekaan, ia kem- bali ke habitatnya, yaitu menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten (1948). Setelah memasuki masa pensiunnya tahun 1951, ia kembali ke Bogor dan kemudian pindah ke Bandung sampai akhir hayatnya.[]

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 91 92 Jamal D. Rahman dkk. Muhammad Yamin Indonesia dalam Imajinasi

MAMAN S. MAHAYANA

etiap tahun, pada tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia Stidak pernah lupa merayakan peringatan hari Sumpah Pemuda. Tetapi bagaimana persisnya latar belakang proses pendeklarasian ketiga butir Sumpah Pemuda itu? Indonesia sesungguhnya dibangun dengan landasan semangat Sumpah Pemuda. Maka, pemahaman mengenai latar belakangan lahirnya Sumpah Pemuda penting artinya untuk menumbuhkan kembali kesadaran keindonesiaan bangsa ini. Siapakah tokoh kunci dari semua peristiwa itu? *** Ketika terjadi kerusuhan sosial, konflik etnik, dan gejala disintegrasi bangsa, kita menyadari pentingnya persatuan bangsa. Pemerintah pun mengimbau, bahwa bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa, budaya, bahasa, dan agama itu, perlu menjalin persatuan dan kesatuan. Itulah salah satu dasar filosofi, mengapa Republik Indonesia, di depannya terdapat frasa Negara Kesatuan (Republik Indonesia) (NKRI). Dari mana dan siapa yang memperkenalkan kata kesatuan dan persatuan itu, sehingga

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 93 menjadi semacam kata keramat ketika muncul berbagai persoalan kebangsaan? *** Bagaimana jadinya, bangsa Indonesia yang multi-etnik ini bersama entah berapa ratus bahasa etnik, dapat berko- munikasi satu sama lain, tanpa bahasa yang dipahami kedua belah pihak? Perkara perbedaan bahasa di beberapa negara, sebutlah, India, Filipina, Malaysia atau Singapura, tidak jarang menciptakan kesalahpahaman yang berujung pertumpahan darah.1 Bangsa Indonesia yang multi-etnik ini, telah disela- matkan bahasa Indonesia. Maka mudah saja tercipta perka- winan janda (Jawa-Sunda) atau linda (Bali-Sunda), madusutra (Madura-Sumatera) atau pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera), dan deretan panjang perkawinan antar-etnis. Dari sanalah, berkembang generasi baru: hibrida Indonesia dari perpaduan dua etnik yang berbeda. Bahasa Indonesia menjadi alat pertemuan berbagai etnik dan budaya. Itulah tuah bahasa Indonesia yang kelahirannya terjadi pada hari Sumpah Pemuda. Lebih dari itu, lahirnya bahasa Indonesia seketika me- numbuhkan semangat nasionalisme; sentimen kebangsaan. Jadi, lahirnya bahasa Indonesia berdampak luas. Pertama, melebur perasaan fanatisme kedaerahan dan primordial- isme ke dalam wadah Indonesia. Dengan demikian, secara sosiologis, tumbuh sentimen yang sama tentang sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Kedua, bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi politik berbagai organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia.

1 Periksa Maman S. Mahayana, “Bahasa Indonesia sebagai Alat Persatuan,” Bahasa Indonesia Kreatif, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009).

94 Jamal D. Rahman dkk. Kembali, kita mengajukan pertanyaan. Atas dasar apa bahasa Melayu terpilih menjadi bahasa Indonesia? Siapakah pendorong utama disepakatinya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia? Mengapa pula, Kongres Pemuda pertama, 1926, gagal ketika hendak menentukan pilihan bahasa persatuan?

*** Sumpah Pemuda! Itulah sumber dan cikal-bakal terbentuknya konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terbentuk dari keanekaragaman suku-bangsa (satu bangsa) dengan kesatuan wilayahnya yang terdiri dari unit-unit kepulauan (satu Tanah Air). Rumusan teks Sumpah Pemuda adalah Indonesia yang dibayangkan, dan tuah peristiwa itu sungguh dahsyat. Sumpah Pemuda seketika merekatkan segala perbedaan yang dilatarbelakangi suku bangsa (etnik), bahasa, agama, dan budaya. Nusantara yang terdiri dari gugusan daratan yang terpisah lautan, ribuan pulau yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan, dan wilayah yang lintang-melintang melintasi sekitar sepuluh negara asing, seketika dipersatukan oleh sentimen yang sama yang mengacu pada tiga kata bertuah: Tanah Air, bangsa, dan bahasa (Indonesia)!2

2 Bandingkan dengan jazirah Timur Tengah yang juga berbangsa dan berbahasa yang sama, yaitu Arab. Bahkan juga dengan mayoritas agama yang sama, Islam, Tetapi, mengapa wilayahnya terpecah-belah membentuk negara-negara dengan berbagai kepentingan dan ideologi yang berbeda-beda, sehingga mencipta-kan peperangan yang tak berkesudahan? Kondisi Nusantara sebenarnya lebih kompleks. Tetapi mengapa ikatan tentang tanah air-bangsa-bahasa, begitu kukuh- kuat? Itulah tuah Sumpah Pemuda.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 95 Marilah kita memulai dari teks Sumpah Pemuda, sebab, teks itu sesungguhnya menyimpan latar belakang sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan latar depan tentang bentangan harapan Indonesia di masa depan. Berikut saya kutip teks Sumpah Pemuda yang dibacakan sebagai salah satu hasil keputusan Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928.3

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

3 Teks ini agak berbeda dengan notula keputusan Kongres Pemuda-Pemuda Indonesia. Di sana tertulis, butir Pertama: “Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia,” bukan Tanah Air Indonesia. Begitu juga dalam notula yang disebutnya sebagai Sumpah Indonesia Raya, perbedaan terja-di pada butir Pertama: “Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia” dan butir Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Toempah Darah Indonesia.

96 Jamal D. Rahman dkk. Bagaimana ceritanya bisa lahir teks seperti itu—yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri (2002) dan Jamal D. Rahman (2003) sebagai puisi?4 Secara genealogis, teks Sumpah Pemuda dapat ditelusuri asal-muasalnya pada puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903-17 Oktober 1962) yang berjudul “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921), dan “Tanah Air” (9 Desember 1922) yang lebih panjang dari puisi sebelumnya. Hampir semua pengamat sastra Indonesia menempatkan sejumlah puisi Yamin itu dalam kaitannya dengan semangat kebangsaan. Tetapi, tidak ada satu pun pengamat sastra Indonesia itu yang menghubungkannya dengan teks Sumpah Pemuda. Maka, catatan sejarah kesu- sastraan Indonesia menempatkan kepeloporan Yamin dalam puisi itu menyangkut dua hal, yaitu tema yang dikede- pankan, dan bentuk yang digunakan. Muhammad Yamin pada mulanya mengangkat tema kedaerahan sebagai ekspresi kekagumannya pada alam. Bukit Barisan, alam Sumatera, dan Nusantara adalah dunia yang membuatnya kagum dan mencintai tanah leluhur. Tetapi, apa yang akan diwariskan leluhurnya jika alam

4 Perhatikan pola repetisi dalam sejumlah puisi Muhammad Yamin. Meski dikatakan A. Teeuw, pola repetisi itu sebagai klise, Teeuw tak menyadari, bahwa Yamin hidup dalam kepungan syair dan pantun, juga sejumlah puisi etnik yang kaya dengan pola repetisi. Maka, tidak perlu heran, teks Sumpah Pemuda memakai pola repe-tisi. Jadi, jika Sutardji Calzoum Bachri dan Jamal D. Rahman menempatkan teks itu sebagai puisi, saya lebih dari sekadar setuju. Teks Sumpah Pemuda itu merupakan konsepsi Indonesia yang dibayangkan. Sejak itu, Indonesia secara de facto telah wujud de-ngan Tanah Air, Bangsa, dan bahasa persatuan Indonesia, secara de jure, Indonesia masih berada dalam kekuasaan bangsa asing (Belanda). Berdasarkan data dan peristiwa lain, menjadi jelas bagi kita, bahwa perumus teks Sumpah Pemuda itu tidak lain dari Muhammad Yamin.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 97 Nusantara dikuasai bangsa asing (Belanda)? Dari kesadaran inilah pemikiran Yamin bergerak menuju tema kebangsaan. Dari sudut ini, ia telah menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspresikan perasaan pribadinya, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Ia menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-Sumatera) dalam hubung- annya dengan Tanah Air Indonesia.5 Itulah mula pertama

5 Pemikiran Muhammad Yamin tentang Indonesia sebagai Tanah Air dapat ditelusuri mula-mula melalui puisinya yang berjudul “Tanah Air” yang ditulis di Bogor tahun 1920 kemudian diperluas lagi pada 9 Desember 1922 dengan 30 bait dalam rangka memperingati lima tahun Jong Sumatranen Bond (Perhimpunan Pemuda Perca). Lihat Susanto Zuhdi, “Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia” (Pidato Pengukuhan Gurubesar, 25 Maret 2006). Tanah Air yang mula diperlakukan sebagai tanah kelahiran dalam arti sempit (Minangkabau-Sumatera) kemudian dilekatkan pada kawasan Nusantara dan Indonesia sebagai sebuah wilayah milik bangsa Indonesia. Dari pemahaman itu, Yamin menyadari pentingnya bangsa itu mempunyai bahasa sebagai alat perekat penduduknya. Bahasa yang memungkinkan penduduknya bisa berkomunikasi dan bergaul tidak lain adalah bahasa Melayu yang sudah sejak lama dikenal dan menjadi lingua franca penduduk Nusantara. Di situlah Muhammad Yamin makin gencar meneriakkan pentingnya memiliki sebuah bahasa yang dapat dijadikan sebagai pemersatu kesukubangsaan (Indonesia). Oleh karena itu, gagasan Muhammad Yamin mengenai Tanah Air sebagai wilayah sebuah bangsa sesungguhnya jauh lebih penting dibandingkan dengan usahanya memperkenalkan soneta dalam perpuisian Indonesia. Kesadarannya dalam merumuskan Indonesia dilandasi oleh tiga faktor penting, yaitu (1) Indonesia sebagai Tanah Air yang secara geografis tercakup dan wujud sebagai wilayah Nusantara; (2) Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai sejarah panjang keagungan raja-rajanya; dan (3) Indonesia yang terdiri dari berbagai sukubangsa, etnis, agama, dan bahasa yang mendiami pulau-pulau besar dan kecil yang dipersatukan oleh kesadaran menggunakan bahasa yang sama sebagai alat komunikasi. Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dilahirkan atas kesadaran pada ketiga faktor itu. Dalam pidatonya yang bertajuk “Bangsa dan Kebangsaan” yang dibacakan pada Kerapatan Besar Indonesia Moeda yang Pertama, di Surakarta, 29 Desember-2 Januari 1931, Yamin menegaskan bahwa ketiga faktor itu tidak ada artinya jika Indonesia tetap berada sebagai bangsa terjajah, maka kebangunan merupakan hal penting untuk mencapai kemerdekaan. Lihat Pitut Soeharto dan A. Zainoel Ihsan, Permata Terbenam (Jakarta: Aksara Jayasakti, 1981), hal. 251-282.

98 Jamal D. Rahman dkk. konsep Tanah Air digunakan yang sejalan dengan perkem- bangan pemikiran Muhammad Yamin, pemaknaannya bergerak dari makna yang sempit tentang Tanah Tumpah Darah sebagai tempat kelahiran (Minangkabau-Sumatera) menjadi vaderland, fatherland (motherland) —ibu pertiwi— dan kemudian meluas sebagai Tanah Air dalam makna sebagai sebuah negara. Perkembangan pemikiran Muhammad Yamin tentang konsep Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa, yang mula dituang- kan dalam sejumlah puisinya itu, makin jelas manakala kita mencermati puisinya yang berjudul “Bahasa, Bangsa.” Di bawah judul puisi itu, Yamin mengutip perkataan Wolfgang von Goethe: “Was du ererbt von deinen Vatern hast/ Erwirb es um es zu besitzen.”6 Selain itu, bentuk persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat naratif, melalui Yamin nada itu menjadi bentuk ungkapan ekspresif yang lahir dari gejolak perasaan dan pikiran.7 Dari sudut pemakaian bahasa Melayu, apa yang telah dilakukan Muhammad Yamin telah membuka

6 “(Apa) yang kauwarisi dari leluhur(mu), patut kau pelajari untuk menjadikannya milikmu” (terima kasih untuk Berthold Damshäuser yang telah memberikan terjemahan ini). Muhammad Yamin agaknya hendak menegaskan tentang masa lalu bangsa (Indonesia) yang mendiami wilayah Nusantara dan sejarah perjalanan bahasa Melayu. Keagungan masa lalu bangsa ini, menurut Yamin, harus dihidupkan kembali pada abad ke-20. Itulah yang dimaksudkannya sebagai renaissance bagi bangsa Indonesia. 7 Umar Yunus menganggap puisi-puisi Muhammad Yamin masih belum meninggalkan pola berkisah sebagaimana yang lazim digunakan dalam syair. Dalam persajakannya, bahkan masih terasa bentuk pantun yang mengandungi sampiran tentang alam yang mengantarkan maksud dan isi (Umar Yunus, Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Jakarta: Bhratara, 1981, hlm. 13). Bagi A. Teeuw (Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953, hal. 51-53), puisi-puisi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 99 peluang bagi pemanfaatan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu menjadi bahasa budaya yang modern, dan tidak lagi terkungkung oleh kata-kata klise.8 Perhatikan bait kedua puisi pertamanya, “Tanah Air” dimuat Jong Sumatra, Juli 1920:

Sesayup mata, hutan semata, Bergunung bukit, lembah sedikit; Jauh di sana, di sebelah situ, Dipagari gunung satu persatu Adalah gerangan sebuah surga, Bukannya janat bumi kedua -Firdaus Melayu, di atas dunia! Itulah tanah yang kusayangi, Sumatra namanya, yang kujunjungi.9

Muhammad Yamin belumlah memperlihatkan ciri-ciri puisi modern. Di luar pandangan Yamin mengenai bahasa Melayu, puisi-puisi Yamin tidak memperlihat- kan keindahan lantaran terjebak oleh “klise-klise, kata-kata penyumbat, ulangan- ulangan yang tak ada artinya…” Dalam konteks itu, Teeuw lupa, bahwa bagaimanapun juga, Yamin telah membuat rintisan dalam perpuisian Indonesia yang mulai berbeda dengan syair dan pantun. Bahwa di dalamnya ada begitu banyak bentuk klise atau masih belum lepas dari pengaruh pantun dan syair, tentu saja itu merupakan sesuatu yang wajar. Periksalah Antologi Puisi Indonesia Periode Awal yang disusun Suyono Suyatno, Juhriah, dan Joko Adi Sasmito (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000). Di sana, kita akan mendapati kuatnya pengaruh pantun dan syair. “Tradisi puisi lama yang diadopsi dalam puisi Indonesia periode awal … hadir dalam pola-pola ekspresi pantun dan syair (hal. 15). Bahkan, dalam puisi-puisi Pujangga Baru pun, pola syair dan pantun masih bertebaran di sana- sini. Jadi, bagi saya, tidak pada tempatnya penilaian yang dilakukan A. Teeuw atas puisi-puisi Muhammad Yamin yang tidak berdasarkan ukuran zamannya. 8 Bagi A. Teeuw, pola persajakan seperti baikpun hampir jauh dan dekat atau menggembirakan jantung serta kalbuku merupakan bentuk klise yang boleh jadi juga terjadi pada pola persajakan Bergunung bukit, lembah sedikit/Jauh di sana, di sebelah situ. 9 Dalam puisi ini, Muhammad Yamin masih menempatkan Tanah Air itu sebagai tempat kelahiran: Sumatera. Dalam perkemba-ngannya, sebagaimana telah

100 Jamal D. Rahman dkk. Puisi “Tanah Air” yang dimuat Jong Sumatra, Juli 1920 itu, rupanya dikembangkan lagi dengan beberapa perubahan dan penambahan jumlah bait. Lengkapnya, “Tanah Air” men- jadi sebuah buku puisi dengan judul yang sama, terdiri dari lima belas nomor dengan masing-masing nomor terdiri dari dua bait. Jadi seluruhnya terdiri dari 30 bait dan setiap baitnya terdiri dari sembilan larik. Buku tipis itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen Bond, tahun 1922. Dari puisi yang bertanggal 9 Desember 1922 itu, kita dapat melihat adanya perkembangan gagasan Yamin mengenai Tanah Air. Ia tidak sekadar menggambarkan kecintaannya pada tanah air (Sumatera), tetapi juga mulai menyinggung soal tanggung jawab pada Tanah Air, bahasa, dan keber- adaan bangsa asing. Mengenai tanggung jawab pada tanah air, Yamin mengatakan: Tetapi Andalas di zaman nan tiba/ Itu bergantung ke tuan dan hamba. Sedangkan mengenai bahasa, ia mengungkapkan: o, Tanah, wahai pulauku/ tempat bahasa mengikat bangsa.10

disinggung, konsep Tanah Air dimaknai tidak sekadar sebagai vaderland, fatherland, motherland, ibu pertiwi, Tanah Air, melainkan juga state sebagai wilayah (negara) Indonesia yang secara de facto telah mengada. 10 Belakangan, Muhammad Yamin menegaskan tentang keduduk-an bahasa (Indonesia) sebagai berikut: “Pertama-tama tentang bahasa Indonesia berhubung dengan keperluan masyarakat dan kebudayaan yang lahir. Hendaklah bahasa itu mendapat keduduk-annya yang sempurna, dan janganlah dijadikan kayu cangkokan, dipupuk dalam gedong arca atau pura-pura dihidupkan di ujung lidah seorang dua orang pegawai negeri. Dalam dunia pengajaran dan pendidikan hendaklah bahasa itu mendapat tempat yang selayaknya sejak dari sekolah Frobel/taman anak-anak sampai ke puncak perguruan tinggi; bukan oleh karena bahasa kita berkata begitu, melainkan karena masyarakat Indonesia yang waras sudah memestikannya begitu.” (Poedjangga Baroe, Nomor 8, Th I, Februari 1934, hal. 268).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 101 Muhammad Yamin juga melihat keberadaan bangsa asing yang menginjak bangsanya: karena hatiku haram ‘lai girang/kalau bangsaku diinjak orang. Oleh karena itu, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hal yang penting untuk membangun kemakmuran bangsanya. O, bangsaku penduduk Emas/Mari bekerja sampaikan bebas. Atau lebih tegas lagi dikatakannya: Selama badanku segenap ketika/ Selagi menumpang di dunia nan baka/ Kubawa Andalas ke pada merdeka. Dalam puisi “Bahasa, Bangsa” yang bertarikh Februari 1921, hubungan bangsa dan bahasa, lebih tegas lagi dinya- takan Muhammad Yamin. Meskipun bangsa yang dimaksud –pada awalnya— masih berkaitan dengan tanah kelahir- annya, Sumatera, demikian pula dengan bahasa yang ia maksudkan bahasa Melayu, Yamin makin menyadari pentingnya mempunyai bahasa sendiri sebagai identitas sebuah bangsa.11 Terlahir di bangsa/berbahasa sendiri ...

11 Keyakinan Muhammad Yamin tentang masa depan bahasa (Indo-nesia) sebagai bahasa yang dapat mempersatukan kesukubangsa-an Indonesia, bahkan juga sebagai alat persatuan kebangsaan Indonesia disampaikan sebagai Pidato dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama, tahun 1926. Sutan Takdir Alisjahbana dalam tulisannya yang berjudul “Bahasa Indonesia” mengutip pendapat Muhammad Yamin (Poedjangga Baroe, No. 5, Th. I, November 1933, hal. 158-159) sebagai berikut: “Bagi saya sendiri, saya mempunyai keyakinan bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia, dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu.” Sejarah kemudian mencatat, bahwa Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 itu gagal menghasilkan deklarasi, tetapi bersepakat untuk melanjutkannya ke Kongres Pemuda Indonesia

102 Jamal D. Rahman dkk. Lupa ke bahasa, tiadakan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsapun hilang.12 Perkembangan gagasan Muhammad Yamin yang semula melihat Sumatera dan Minangkabau sebagai tanah airnya menjadi Nusantara (Indonesia) yang menjadi tanah airnya, tampak pula dalam puisinya yang berjudul “Bandi Mataram”. Mengenai hal itu A. Teeuw, menyatakan:

Usaha mencari tapak sejarah bagi konsep dan cita-cita nasional Indonesia yang merupakan suatu ciri biasa dalam seluruh kehidupan serta Yamin itu, juga amat jelas kelihatan

berikutnya. Salah satu penyebab kegagalan itu ketika hendak mengangkat sebuah bahasa (etnik) untuk dijadikan sebagai bahasa Indonesia. Dari sanalah kemudian telah disepakati bahwa bahasa Melayu kelak akan dipilih menjadi bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda Indonesia kedua, 28 Oktober 1928, disepakatilah bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa Indonesia: “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”. 12 Gagasan Muhammad Yamin tentang bahasa dan bangsa dalam perkembangannya makin jelas berkaitan dengan semangat ke-bangsaan—nasionalisme (Indonesia) dalam tarik-menarik dengan bahasa dan bangsa asing (Yamin tidak eksplisit menyebut Belanda: MSM). Dalam majalah Poedjangga Baroe (Nomor 8, Th I, Februari 1934, hal. 268) dimuat sebuah tulisan yang mengulas pandang-an Muhammad Yamin mengenai bahasa Indonesia. Dikatakan di sana, “… mula- mula dahulu bahasa Indonesia mendapat kekalah-an. Bahasa Indonesia terusir dari dunia pendidikan dan pengajar-an, dari rumah tangga dan dari masyarakat seumumnya. Sesudah kekalahan timbul keinsyafan, di antaranya, yaitu keinsyafan ke-bangsaan yang memagari beberapa pusaka masyarakat dan mem-beri tenaga baru. Oleh itu tertolaklah bahasa asing dan bahasa Indonesia yang mula-mula kalah itu mendapat kemenangan, seperti terbukti pada pers bahasa Indonesia, pendidikan dan pe-ngajaran Indonesia, pujangga baru, bahasa rapat, bahasa pergaul-an dan sebagainya. Pokok pangkal dari pada kemenangan bahasa Indonesia itu ialah semangat baru yang timbul di tengah-tengah masyarakat Indonesia.” Bandingkan dengan puisi S. Yudho, berjudul “Bahasakoe”. Bait terakhir puisi itu tertulis sebagai beri-kut: Bahasakoe,/Poesaka mojangkoe loehoer/Djika linyap, bila loentoer/Berarti bangsakoe moendoer/Akoe sedia toeroet mengatoer// (Poedjangga Baroe, No. 8, Th I, Februari 1934, hlm. 261-262).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 103 dalam sebuah puisi panjang dari zaman itu juga, Bandi Mataram judulnya …disiarkan tahun 1923 menyambut ulang tahun kelima Jong Sumatera.13 Dalam bait terakhir puisi itu, Yamin mengatakan: Kini bangsaku, insafkan diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/ Menjelang padang ditumbuhi mujari/14 Dicayai Merdeka berseri-seri. Bait ini mengungkapkan, sekarang telah tum- buh kesadaran pada bangsa ini untuk menatap masa depan menjelang terjadinya persaudaraan setanah air yang disinari semangat untuk merdeka. Secara simbolik, Yamin menulis

13 A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia I (Ende: Nusa Indah, 1978). Teeuw mengungkapkan tema kebangsaan dalam puisi Yamin merupakan hal biasa sesuai zamannya. Kembali, kita melihat Teeuw sama sekali tidak melihat kaitan puisi Yamin dengan teks Sumpah Pemuda. Dalam notula penjelasan tentang ketiga butir Sumpah Pemuda itu, ada keterangan bahwa dasar pemikiran tentang ketiga butir Sumpah Pemuda dengan mempertimbangkan faktor kemauan, sedjarah, hukum adat, pendidikan, dan kepanduan. Kemaunan (bersama) adalah kemerdekaan; sejarah (yang sama) adalah latar belakang Indonesia dengan kebesaran masa lalu raja-raja Nusantara dan kesadaran pentingnya persatuan; hukum adat adalah penghormatan pada kultur dan bahasa etnik; pendidikan adalah usaha memajukan pendidikan bagi bangsa bumiputra; dan kepanduan adalah kesadaran pentingnya kepeloporan para pemuda (Indonesia) berada di garis terdepan dalam mencapai cita-cita (kemerdekaan). Kekaguman Yamin pada tokoh-tokoh sejarah, terutama pada perjuangan mereka melakukan perlawanan pada bangsa asing (Belanda). Bahwa kegagalan Teuku Cik Ditiro (Perang Aceh), Imam Bonjol (Perang Paderi), Diponegoro (Perang Jawa) atau Hasanuddin (Makasar), bahkan jauh sebelum itu (Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit) tidak lain, karena tidak adanya kesadaran untuk bersatu. Dari itulah, kata persatuan dan kesatuan menjadi semacam kata bertuah untuk mempersatukan keanekaragaman perbedaan etnik, budaya, bahasa. Maka, dalam teks Sumpah Pemuda, frasa bertoempah darah jang satoe atau bertanah air jang satoe, berbangsa jang satoe, dan mendjoendjoeng bahasa persatoean tidak lahir begitu saja. Ada latar sejarah panjang tentang patriotisme yang berada di balik ketiga butiran teks Sumpah Pemuda itu. 14 mujari: nama pohon, daunnya dikunyah sebagai sirih (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 759)

104 Jamal D. Rahman dkk. larik ketiganya dengan Menjelang padang ditumbuhi mujari. Mujari adalah sejenis tumbuhan yang daunnya harum dan biasa digunakan untuk makan sirih. Ada dua makna yang dapat kita tafsirkan dari larik ini. Pertama, Tanah Air yang mulai harum namanya, dan kedua, terjadinya persaudaraan lewat perkawinan antarsuku bangsa. Makna kedua ini ditarik dari peristiwa membawa sirih yang biasanya dilakukan menjelang perkawinan. Bagi masyarakat Melayu, sirih adalah simbol persaudaraan-perkawinan-persatuan. Jadi, keanekaragam-an sukubangsa itu dapat lebur sebagai kesatuan (Indonesia) melalui persaudaraan-perkawinan- persatuan. Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “... Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.” Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memper- juangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam prasarana-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 105 nya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia....” Di bagian lain, ia ber- pendapat: “... saya sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan persatuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan....”15 Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan mate- ri-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Muhammad Yamin dipercaya untuk membuat konsep- konsepnya. Satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis: “Kami putra dan putri Indo- nesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu.” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan sebagai Melayu diganti menjadi sebagai berikut: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hajar Dewan- tara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa

15 Pernyataan Muhammad Yamin itu dikutip Sutan Takdir Alisjah-bana dalam esai panjangnya berjudul, “Bahasa Indonesia” Poedjangga Baroe, No. 5, Th. I, November 1933, hal. 158-159.

106 Jamal D. Rahman dkk. Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia. Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya:

... membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.”

Ditegaskannya pula:

... bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu ... Pengeta- huan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendi- rian bahwa bahasa Indonesia mendapat tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebuda- yaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.

Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945.

*** Demikianlah, tampak jelas bagaimana perkembangan gagasan Muhammad Yamin mengenai (1) Tanah Air, (2) bangsa, dan (3) bahasa persatuan. Dengan gagasan itulah,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 107 cita-cita untuk mempersatukan bangsanya mempunyai dasar pemikiran yang jelas, yaitu didasarkan atas pertimbangan faktor geografis (Tanah Air), sosiologis dan historis (bangsa dan bahasa persatuan). Hal tersebut, seperti telah disinggung, kemudian memperoleh momentum yang tepat di dalam perwujudan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Itulah sebabnya, dalam puisi yang ditulisnya menje- lang ikrar para pemuda itu, Muhammad Yamin tidak lagi mengatakan tanah air dan bangsanya semata-mata Sumatera atau Minangkabau, melainkan Indonesia. Dalam larik ter- akhir bait pertama, kedua, dan keempat, misalnya, ia mengatakan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku// Bertanah air di- Indonesia. Selain itu, secara tegas Yamin mengungkapkan pula kebesaran tokoh-tokoh atau kerajaan masa lalu yang ter- catat dalam deretan kemegahan bangsa Indonesia, seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol, dan Gajah Mada. Hal itu juga memperlihatkan kebanggaannya terhadap tokoh-tokoh Nusantara itu.16

16 Bagi Muhammad Yamin, keagungan masa lalu bangsa Indonesia itu tidak hendak dijadikan sebagai sebuah nostalgia, melainkan sebagai sebuah kebangunan kembali. Menurutnya, ada dua janji (: sumpah) yang telah dipancangkan bangsa Indonesia pada masa lalu, yaitu (1) Soempah Seriwidjaja yang berlaku tahun 686 yang isinya supaya bangsa kita (Nusantara: Indonesia) berbakti pada persatuan, karena itulah kemauan nenek moyang, dan (2) janji Patih-Mangkoeboemi Gadjahmada (+1340) yang berusaha hendak mempersatukan kepulauan Nusantara (Indonesia). Dengan demi-kian, Sumpah Pemuda boleh dikatakan merupakan janji ketiga dari bangsa ini atas apa yang dikatakan Muhammad Yamin sebagai persatuan. Pitut Soeharto dan A Zainoel Ihsan, Permata Terbenam (Jakarta; Aksara Jayasakti, 1981), hal. 258.

108 Jamal D. Rahman dkk. Demikianlah, kepeloporan Muhammad Yamin sebenar- nya lebih penting bukan pada usahanya memperkenalkan soneta, melainkan pada muatan puisi-puisinya yang berge- rak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme dan tema kebahasaan (Melayu) menuju bahasa (Indonesia) sebagai alat persatuan. Dengan begitu, bagaimanapun juga kita tidak dapat menafikan kepeloporan Muhammad Yamin. Dalam hal tema yang dikedepankan dan dalam hal bentuk yang digu- nakan. Dalam hal itulah, kedudukan Muhammad Yamin tetap tak tergoyahkan sebagai perintis puisi baru Indonesia dan penegas tentang konsep Tanah Air dan posisi bahasa Indonesia sebagai alat perekat persatuan keindonesiaan.

*** Jika Muhammad Yamin, lewat Surat Keputusan Presiden RI, 6 November 1973, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasio- nal, penghargaan itu sungguh merupakan penghormatan yang pantas. Yamin merupakan salah seorang tokoh pergerak- an, pemikir, penyair, sastrawan, dan budayawan yang meli- hat kehidupan bangsa ini ke masa depan jauh melam-paui zamannya. Sebuah teladan dari sosok manusia yang gagas- annya mengenai pentingnya persatuan bagi bangsa yang multi-etnik waktu itu, mutlak perlu segera dipancangkan. Muhammad Yamin, lahir 23 Agustus 1903 di Talawi, dekat Sawahlunto, Sumatra Barat. Selepas tamat sekolah Melayu, ia memasuki HIS dan kemudian melanjutkan ke sekolah guru di Bukittinggi. Pernah mengikuti Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor (1923), namun tidak selesai. Pada tahun 1927, ia merampungkan pendidikannya di AMS

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 109 Yogyakarta. Belum puas dengan itu, ia masuk sekolah Hakim Tinggi di Jakarta hingga selesai tahun 1932 dengan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum). Seperti juga pemuda-pemuda terpelajar yang hidup di zaman kolonial, Yamin pun aktif berorganisasi. Antara tahun 1926-1928, misalnya, ia menjadi Ketua Jong Sumatra Bond dan Ketua Indonesia Muda (1928). Setelah itu, Yamin hampir tidak pernah meninggalkan aktivitasnya dalam organisasi politik kebangsaan waktu itu. Tercatat, ia pernah menjadi anggota Partindo dan anggota Volksraad. Selepas merdeka, ia terus aktif dalam membangun negeri ini. Jabatan penting yang pernah disandangnya, antara lain, anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1952-1955), Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961-1962), dan Ketua Dewan Perancang Nasional (1962). Pada tanggal 17 Oktober 1962, Muhammad Yamin menghembuskan nafasnya yang terakhir di Jakarta, dan dimakamkan di tanah kelahirannya Talawi. Sesungguhnya, sejumlah jabatan penting yang pernah dipegang Muhammad Yamin, menunjukkan bagaimana peran yang telah dimainkannya dalam perjalanan perju- angan bangsa ini. Ketika sebagian besar kaum terpelajar kita lebih suka berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda, misalnya, Yamin dalam majalah Jong Sumatra justru menulis dalam bahasa Melayu. Secara sadar, ia hendak meng- angkat bahasa Melayu sebagai bahasa yang sesungguhnya sangat berpeluang menjadi alat untuk mempersatukan keanekaragaman suku bangsa kita.

110 Jamal D. Rahman dkk. Peranan Muhammad Yamin dalam mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dan dalam memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, diakui pula oleh para pakar sejarah. Hampir semua buku sejarah yang meng- angkat peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, selalu menyinggung peranan yang dimainkan Muhammad Yamin, baik sebagai pencetus gagasan diselenggarakannya kongres itu, maupun sebagai salah seorang tokoh yang merumuskan ketiga butiran Sumpah Pemuda: “Bertanah Air, Berbangsa, dan Menjunjung bahasa Persatuan Indonesia.” Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Monash Australia, M.C. Ricklefs, mengatakan: “Muhammad Yamin. menjadi salah satu pemimpin politik Indonesia yang paling radikal, meninggalkan bentuk-bentuk pantun dan syair dan menerbitkan sajak-sajak pertama yang benar-benar modern dalam tahun 1920-1922.” Ricklefs selanjutnya menambah- kan: “Yamin menulis sekumpulan sajak yang diterbitkan tahun 1929 dengan judul Indonesia Tumpah Darahku. Sajak- sajak tersebut mencerminkan keyakinan di kalangan kaum terpelajar muda bahwa pertama-tama mereka adalah orang Indonesia, dan baru yang kedua orang Minangkabau, Batak, Jawa, Kristen, Muslim, atau apa saja.” Sebagai politikus terpelajar, selain aktif di politik dan pemerintahan, Muhammad Yamin masih sempat membuah- kan beberapa karya yang sekaligus juga memperlihatkan minatnya di lapangan kebudayaan. Kumpulan puisi awalnya Tanah Air terbit tahun 1922. Kemudian kumpulan puisi beri- kutnya, Indonesia Tumpah Darahku terbit tahun 1928, sedang-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 111 kan drama awalnya, Ken Arok dan Ken Dedes pertama kali dipentaskan 27 Oktober 1928 dan baru diter-bitkan tahun 1934. Dua tahun sebelum terbit naskah drama itu, terbit pula dramanya, berjudul Kalau Dewi Tara sudah Berkata (1932). Selain karya asli, Yamin juga dikenal sebagai penerjemah andal. Berbagai karya terjemahannya, antara lain, Menanti Surat dari Raja (1928) dan Di dalam dan di luar Lingkungan Rumah Tangga (1933) keduanya karya Rabindranath Tagore, Julius Caesar (1951) karya William Shakespeare. Sedangkan karyanya yang menyangkut sejarah dan kebudayaan umum, antara lain, Gadjah Mada (1946), Pangeran Dipanegara (1950), dan 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954). Kedua buku sejarah itu mengangkat kebesaran tokoh Gajah Mada dan kegigihan perjuangan Pangeran Diponegoro, sedangkan karya berikutnya mengisahkan keakraban bangsa Indonesia sejak dahulu terhadap warna merah dan putih yang kemudian dijadikan sebagai bendera kebangsaan Indonesia. Demikianlah sosok ketokohan Muhammad Yamin. Ia tidak melupakan tanah leluhurnya. Namun, ia juga hidup sebagai warga Indonesia. Oleh karena itu kepentingan bangsa menjadi yang utama baginya. Dan ia telah membuk- tikannya dengan mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang ternyata kemudian menjadi alat untuk mempersatukan keanekaragaman bangsa Indonesia. Seperti dikatakan dalam puisinya “Indonesia Tumpah Darahku” ia mengawali kata kunci persatuan: “Bersatu kita teguh/ Bercerai kita jatuh.” Begitulah, tanpa kita sadari, setiap saat kita ikut

112 Jamal D. Rahman dkk. menyuarakan gagasan-gagasan Muhammad Yamin dan pengaruhnya memasuki kehidupan bangsa ini, juga setiap saat. Sebut saja, misalnya, kata majemuk Tanah Air, Ibu Pertiwi, Tanah Tumpah Darah yang bermakna negara, kata persatuan dan kesatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, Bersatu kita teguh/Bercerai kita jatuh (runtuh), tidak lain adalah buah pemikiran Muhammad Yamin. Bahkan, gambar Mahapatih Gajah Mada, adalah kreasinya sebagai ungkapan kekagumannya pada kiprah Patih Majapahit itu dalam menyatukan wilayah Nusantara. Bahkan lagi, pilihan kata Sumpah (Pemuda), dan bukan deklarasi, penyataan atau sikap, dikatakannya sebagai Sumpah Ketiga, setelah (1) Soempah Seriwidjaja tahun 686, (2) janji Patih-Mangkoeboemi Gadjahmada (+ 1340) yang lebih dikenal sebagai Sumpah Palapa, dan (3) Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Jadi, sejumlah pertanyaan yang diajukan di awal tulisan ini, jawabannya jatuh pada Muhammad Yamin![]

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 113 LAMPIRAN 1

POETOESAN CONGRES PEMOEDA PEMOEDA INDONESIA

Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra, (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia; memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta; sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan kerapatan tadi; sesoedahnya menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini; kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. Kedoea : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA. Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloear- kan kejakinan azas jang wadjib dipakai oleh segala perkoem- poelan perkoempoelan kebangsaan Indonesia; mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja;

114 Jamal D. Rahman dkk. KEMAOEAN SEDJARAH HOEKOEM ADAT PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN

dan mengeloearkan penghargaan, soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.

LAMPIRAN 2

SOEMPAH INDONESIA RAJA

DAN apakah jang berlakoe pada tanggal 28 Oktober 1928 digedoeng Keramat 106 dikota Djakarta-Raja dalam sidang penoetoep jang menjoedahi Congres Indonesia Moeda dan persoempahan terbagi atas doea bagian, jaitoe: soempah jang ketiga dan poetoesan jang tiga poela. Djadi enam semuanja djumlah keboelatan jang diambil dalam sidang penoetoep itoe. Marilah saja oelangi boenji soempah jang tiga:

SOEMPAH JANG TIGA

Pertama : Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia. Kedoea : Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Toempah Darah Indonesia. Ketiga : Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.

Dalam rapat itoe hadirlah lagoe Indonesia-Raja, karena pertama kalinja poedjangga Wage Soepratman melagoekan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 115 lagoe Indonesia-Raja, sebagai soembangan kepada perdjoe- angan Indonesia Merdeka menoedjoe Indonesia-Raja jang akan bergolak dikalangan rakjat pedjoeang. Dalam rapat itoe dikibarkan pertama kalinja sesoedah beratoes-ratoes tahoen, bendera Sang Merah Poetih sebagai bendera-persatoean, jang nanti akan menjadi bendera negara jang merdeka-berdaoelat pada hari Proklamasi. Kepoetoesan ketiga jaitu meletakkan dasar bersatoe dalam kesatoean boelat dan kokoh jang dina- mai dasar oenitarisme dengan segala akibatnja bagi perge- rakan pemoeda dan pergerakan politik, jang haroes disoe- soen kembali menoeroet dasar oenitarisme. Dengan demi- kian lenjaplah dasar berpoelaoe-poelaoe, bernoesa-noesa ataoe dasar insoelarisme, dan bersihlah roeangan-roehani dan organisasi perdjoeangan dengan dasar kelahiran bangsa, jaitoe dasar oenitarisme.

LAMPIRAN 3

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama: - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA Kedua: - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA Ketiga: - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOEDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

116 Jamal D. Rahman dkk. Begitulah teks Soempah Pemoeda yang dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27–28 Oktober 1928.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari: Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI) Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java) Sekretaris: Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond) Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bond) Pembantu I: Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond) Pembantu II: R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III: Senduk (Jong Celebes) Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon) Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Catatan 1. Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu ”Indonesia Raya” gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya. 2. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya Nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. 3. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang, yaitu : a. Kwee Thiam Hong b. Oey Kay Siang c. John Lauw Tjoan Hok d. Tjio Djien kwie

(Sumber: sumpahpemuda.org)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 117 LAMPIRAN 4

BAHASA, BANGSA

Was du ererbt von deinen Vatern hast. Erwirb es um zu besitzen. Wolfgang von Goethe

Selagi kecil berusia muda, Tidur si anak di pangkuan bunda Ibu bernyanyi, lagu dan dendang Memuji si anak banyaknya sedang; Berbuai sayang malam dan siang Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri Diapit keluarga kanan dan kiri Besar budiman di tanah Melayu Berduka suka, sertakan rayu; Perasaan serikat menjadi padu Dalam bahasanya, permai merdu.

Merayap menangis bersuka raya Dalam bahagia bala dan baya; Bernafas kita pemanjangan nyawa Dalam bahasa sambungan jiwa Di mana Sumatera, di situ bangsa Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana bejana Sejakkan kecil muda teruna Sampai mati berkalang tanah Lupa ke bahasa, tiadakan pernah Ingat pemuda, Sumatera malang Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

118 Jamal D. Rahman dkk. TANAH AIR

Pada batasan, bukit Barisan, Memandang aku, ke bawah memandang; Tampaklah hutan rimba dan ngarai; Lagipun sawah, sungai yang permai: Serta gerangan, lihatlah pula, Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk, daun kelapa; Itulah tanah, tanah airku Sumatra namanya, tumpah darahku.

Sesayup mata, hutan semata, Bergunung bukit, lembah sedikit; Jauh di sana, di sebelah situ, Dipagari gunung satu persatu Adalah gerangan sebuah surga, Bukannya janat bumi kedua -Firdaus Melayu, di atas dunia! Itulah tanah yang kusayangi, Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Pada batasan, bukit Barisan, Memandang ke pantai, teluk permai; Tampaklah air, air segala, Itulah laut, samudra Hindia. Tampaklah ombak, gelombang pelbagai Memecah ke pasir, lalu berderai, Ia memekik, berandai-randai: “Wahai Andalas, pulau Sumatra, “Harumkan nama, selatan utara!

Bogor, Juli 1920

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 119 TANAH AIR

Di atas batasan Bukit Barisan Memandang beta ke bawah memandang: Tampaklah hutan rimba dan ngarai Lagipun sawah, telaga nan permai: Serta gerangan lihatlah pula Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk daun kelapa; Itulah tanah, tanah airku Sumatera namanya tumpah darahku.

Indah ‘alam warna pualam Tempat moyangku nyawa tertumpang; Walau berabad sudah lampau Menutupi Andalas di waktu nan silau Masih kubaca di segenap mejan Segala kebaktian seluruh zaman, Serta perbuatan yang mulia-hartawan Nan ditanam segala ninikku Dikorong kampung hak milikku.

Rindu di gunung duduk bermenung Terkenangkan masa yang sudah lindang; Sesudah melihat pandang dan tilik Timur dan Barat, hilir dan mudik, Teringatlah pulau tempat terdidik Dilumuri darah bertitik-titik, Semasa pulai berpangkat naik: O, Bangsaku, selagi tenaga Nan dipintanya berkenan juga.

Gunung dan bukit bukan sedikit Melengkung di taman bergelung-gelung Memagari daratan beberapa lembah; Di sanalah penduduk tegak dan rebah Sejak beliung dapat merambah

120 Jamal D. Rahman dkk. Sampai ke zaman sudah berubah: Sabas Andalas, bunga bergubah Mari kujunjung, mari kusembah Hatiku sedikit haram berubah!

Anak Perca kalbunya cuaca Apabila terkenang waktu nan hilang, Karena kami anak Andalas Sejak dahulu sampai ke atas Akan seia sehidup semati Sekata sekumpul seikat sehati Senyawa sebadan sungguh sejati Baik di dalam bersuka raya Ataupun diserang bala bahaya.

Hilang bangsa bergantikan bangsa Luput masa timbullah masa... Demikianlah pulauku mengikutkan sejarah Sajak dunia mula tersimbah Sampai ke zaman bagus dan indah Atau tenggelam bersama ke lembah Menyerikan cahaya penuh dan limpah. Tetapi Andalas di zaman nan tiba Itu bergantung ke tuan dan hamba.

Awal berawal semula asal Kami serikat berpagarkan ‘adat, Tapi pulauku yang mulia raya Serta Subur, tanahnya kaya Mari kupagar serta kubilai Dengan Kemegahan sorak semarai Lagi ketinggian berbagai nilai, Karena di sanalah darahku tertumpah Serta kupinta berkalangkan tanah.

Yakin pendapat akan sepakat ‘Akibat Barisan manik seikat; Baikpun hampir jauh dan dekat, Lamun pulauku mari kuangkat

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 121 Dengan tenaga kata mufakat Karena, bangsaku, asal’lai serikat Mana yang jauh rasakan dekat Waktu yang panjang rasakan singkat, Dan Kemegahan tinggi tentu ditingkat.

O, tanah, wahai pulauku Tempat bahasa mengikat bangsa, Kuingat di hati siang dan malam Sampai semangatku suram dan silam; Jikalau Sumatera tanah mulia Meminta kurban bagi bersama Terbukalah hatiku badanku reda Memberikan kurban segala tenaga, Berbarang dua kuunjukkan tiga Elok pemandangan ke sana Barisan Ke pihak Timur pantai nan kabur, Sela bersela tamasa nan ramai Diselangi sungai yang amat permai: Dengan lambatnya seperti tak’kan sampai Menghalirlah ia hendak mencapai Jauh di sana teluk yang lampai; Di mana dataran sudah dibilai Tinggallah emas tiada ternilai.

Tanah Pasundan, 9 Desember 1922

122 Jamal D. Rahman dkk. INDONESIA, TUMPAH DARAHKU

Bersatu kita teguh Bercerai kita jatuh

Duduk dipantai tanah yang permai Tempat gelombang pecah berderai Berbuih putih di pasir terderai, Tampaklah pulau di lautan hijau, Gunung gemunung bagus rupanya, Dilingkari air mulia tampaknya: Tumpah darahku Indonesia namanya.

Lihatlah kelapa melambai-lambai Berdesir bunyinya sesayup sampai Tumbuh di pantai bercerai-berai Memagar daratan aman kelihatan; Dengarlah ombak datang berlagu Mengajari bumi ayah dan ibu, Indonesia namanya, tanah airku.

Tanahku bercerai seberang-menyeberang Merapung di air malam dan siang Sebagai telaga dihiasi kiambang, Sejak malam di hari kelam Sampai purnama terang benderang; Di sanalah bangsaku gerangan menompang Selama berteduh di ‘alam nan lapang.

Tumpah darah Nusa-India Dalam hatiku selalu mulia Dijunjung tinggi atas kepala Semenjak diri lahir ke bumi Sampai bercerai badan dan nyawa Karena kita sedarah-sebangsa Bertanah air di-Indonesia

Bangsa Indonesia bagiku mulia Terjunjung tinggi pagi dan senja,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 123 Sejak syamsiar di langit nirmala Sampaikan malam di hari kelam Penuh berbintang cahaya bulan; Mengapatah mulai, handai dan taulan, Badan dan nyawa ia pancarkan.

Selama metari di alam beredar Bulan dan bintang di langit berkisar Kepada bangsaku berani berikrar; Salam awan putih gemawan Memayungi telaga ombak-ombakan, Selama itu bangsaku muliawan Kepada jiwanya kami setiawan.

Ke Indonesia kami setia Di manakah ia di hatiku lupa, Jikalau darah di badan dan muka Berasal gerangan di tanah awal; Sekiranya selasih batang kemboja Banyak kulihat ditentang mata Menutupi mejan ayah dan bunda?

Di batasan lautan penuh gelombang, Mendekati pantai buih berjuang, Terberai tanahku gewang-gemewang Sebagai intan jatuh terberai Dilingkari kerambil lembai-melambai Menyanyikan lagu dan indah permai Di sela ombak memecah ke pantai.

Duduk di pantai tanah permai Tempat gelombang pecah berderai Berbuih putih di pasir terderai, Tampaklah pulau di lautan hijau Gunung gemunung bagus rupanya, Dilingkari air mulia tampaknya: Tumpah darahku Indonesia namanya.

124 Jamal D. Rahman dkk. Memandang ‘alam demikian indahnya Ditutupi langit dengan awannya Berbilaikan buih putih rupanya, Rindulah badan ingin dan rewan, Terkenangkan negeri dengan bangsanya Berumah tangga selama-lamanya Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.

Pasundan, 26 Oktober 1928

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 125 126 Jamal D. Rahman dkk. HAMKA Pengaruh Multidimensi Seorang Sastrawan-Ulama

NENDEN LILIS AISYAH

… Engkoe HAMKA, pertemoekanlah Hajati dengan Zainoeddin, djangan dia dimatikan. Kasihani anak saja, tiap-tiap menoenggoe samboengan tjeritera itoe berdoa djoega, tolonglah kedoea orang moeda itu! ...

… Engkoe HAMKA, generasi dan semangat moeda menghendaki kemenangan. Adat kolot mesti kalah, sebab itoe hendaklah kedoeanya bertemoe joega …

… Toean HAMKA, kasihani saja, soenggoeh kalau toean tidak akan toetoep itoe tjerita dengan kematian!1

egitulah surat-surat dari pembaca yang mengalir ke Bmeja Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama singkatan HAMKA, sang pengarang roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, saat roman tersebut termuat sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat (1938) yang dipimpinnya.

1 Dikutip dari artikel HAMKA, “Mengarang Roman” dalam Pedoman Masyarakat (1938) edisi 4 (51), hal. 1033-1034, lihat pula E. Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta, 2000), hal.71.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 127 Roman tersebut memang sangat populer dan berpenga- ruh di masyarakat luas. Cuplikan surat-surat di atas menjadi gambaran sejauh mana kepopuleran karya tersebut sampai pembaca begitu larut di dalamnya. Bahkan saking populer- nya cerita itu, sang pengarang, ke mana dia pergi, sering dipanggil anak-anak dengan julukan “Engkoe Van Der Wijck”.2 Pengaruh roman tersebut di masyarakat dibuktikan pula dengan berkali-kali mengalami cetak ulang. Setahun setelah menjadi cerita bersambung pada majalah Pedoman Masyarakat, roman tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit di Medan. Tahun 1949 mengalami cetak ulang yang kedua, tahun 1951 dicetak ulang yang ketiga oleh Balai Pustaka berturut-turut hingga cetakan yang ketujuh. Cetakan kede- lapan ditangani penerbit Nusantara, Jakarta (1961). Cetakan berikutnya hingga cetakan kedelapan belas diterbitkan penerbit Bulan Bintang. Selain itu, novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia sejak 1963 dan hingga kini terus mengalami cetak ulang . Uraian di atas hanya salah satu contoh saja dari pengaruh luas yang ditunjukkan oleh karya-karya HAMKA. Karya- karya HAMKA lainnya yang tak kalah berpengaruhnya di masyarakat adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau ke Deli (1939), Tuan Direktur (1939), dan lain- lain. Tak kalah menariknya juga karya-karya HAMKA, yang berbentuk cerpen yaitu Di Dalam Lembah Kehidupan. Tak mengherankan jika karya-karyanya dari waktu ke waktu menjadi bahan berbagai kajian dan penelitian seperti skripsi hingga disertasi.

2 Ibid.

128 Jamal D. Rahman dkk. Karya-karya di atas hanya sebagian kecil dari-karya- karya HAMKA yang begitu luas dan multidimensi yang telah demikian luas pula pengaruhnya di berbagai kalangan masyarakat. Siapa tak kenal HAMKA? Tokoh yang fenomenal tidak hanya pada lapangan kesusastraan, tapi juga lapangan ke- agamaan, kenegaraan, sosial, politik, dan budaya. Sastrawan kelahiran Maninjau Sumatera Barat, 16 Pebruari 1908, dan wafat di Jakarta, 24 Juli 1982 ini merupakan putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh yang dikenal sebagai pemimpin pembaharuan Islam. Salah satu contoh dari ketokohan ayah HAMKA ini yang menunjukkan pendirian- nya yang kuat dalam membela Islam dari hal-hal yang dapat menyimpangkannya adalah penentangannya terhadap Jepang, yang memaksakan penyembahan terhadap maharaja Jepang oleh orang Indonesia. Penyembahan itu jelas suatu penyimpangan dari prinsip ketauhidan Islam. Sebagai putera dari seorang tokoh Islam, kehidupan dan pendidikannya kental dengan nuansa keagamaan. Ia mengecap pendidikan Sekolah Desa sampai kelas 2. Kemudian mengikuti pendidikan agama dan bahasa Arab di Perguruan Thawalib, Parabek, Bukittinggi Sumatera Barat. Pada saat berumur enam belas tahun, HAMKA meninggalkan kampung halamannya untuk belajar pada H.O.S Tjokroaminoto di , kemudian ke beberapa negara Arab, termasuk Mekkah. Sepulangnya ke Indonesia, HAMKA sempat menjadi guru agama di Deli Sumatera Timur, selanjutnya pergi ke Medan dan terjun dalam lapangan jurnalistik (penerbitan). Dalam

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 129 bidang ini, HAMKA pernah memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, dan Panji Masyarakat. Kontribusi lainnya dari sastrawan penerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir (1956) ini adalah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, meski sempat mengundurkan diri karena teguh mempertahankan prinsipnya.3 HAMKA memang tokoh multidimensi. Ia bukan hanya dikenal sebagai sastrawan dan wartawan, tapi juga tokoh agama dan pemikir masalah-masalah umum dengan bidang perhatian yang sangat luas. HAMKA (seperti dikemukakan M. Dawam Rahardjo dalam salah satu analisisnya mengenai pandangan-pandangan HAMKA) menanggapi soal-soal sosial, misalnya tentang adat dan kedudukan wanita, revolusi, negara, arti kemerdekaan, kebudayaan, keadilan sosial, ideologi, paham kebatinan, HAM, politik, isu-isu nasional, dan lain-lain.4 Di antara banyak ulama yang ada, hanya sedikit orang seperti HAMKA, yakni ulama yang penulis. Hingga akhir hayatnya, pada usia kurang lebih 73 tahun ia masih menulis. Dari berbagai sumber diketahui bahwa ada kurang lebih 100 judul buku HAMKA yang telah terbit, yang terus mengalami cetak ulang dari waktu ke waktu. Selain buku-buku sastra

3 Lihat pernyataan Afif Hamka, “Buya Hamka, Ayah Spiritual bagi Segala Lapisan Masyarakat”, Majalah sastra Horison edisi XLIII/9/2008 (Jakarta, 2008), hal. 33. 4 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim. (Bandung, 1993), hal 201.

130 Jamal D. Rahman dkk. yang telah disebut di atas, beberapa contoh buku HAMKA dalam ranah keilmuan, keagamaan, dan falsafah adalah Tasawuf Modern (1939), Falsafah Hidup (1939), Lembaga Hidup (1940), dan Lembaga Budi (1940). Buku-buku tersebut, setelah kemerdekaan dicetak ulang, kemudian diterbitkan kembali menjadi satu buku dengan judul Mutiara Filsafat (977 halaman). Buku-buku lainnya dalam bidang keagamaan, selain ketiga buku di atas, antara lain Pelajaran Agama Islam, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Falsafah Hidup, Lembaga Hikmat, Pandangan Hidup Muslim, dan Pribadi, dll. HAMKA juga memiliki perhatian besar terhadap sejarah perkembangan Islam Buku-bukunya di bidang ini antara lain Sejarah Umat Islam, Jamaludin Al-Afghani, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Sejarah Islam di Sumatera, Ayahku: Riwayat Hidup Dr.H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Buku ini merupakan biografi tentang ayahanda HAMKA yang sekaligus memberikan gambaran perkemba- ngan Islam di Sumatera. Biografi, otobiografi, serta buku- buku lainnya adalah Dijemput Mamaknya, Karena Fitenah, Keadilan Ilahi, Menunggu Beduk Berbunyi, Kenang- Kenangan Hidup I-IV, Lembah Nikmat, Cemburu, Cermin Kehidupan, dll. Di samping itu, HAMKA menulis tafsir yang monumental berjudul Tafsir Al-Azhar. Tafsir ini ditulisnya dalam penjara. HAMKA, yang merupakan tokoh besar Muhammadiyah dan Masyumi yang bertentangan dengan PKI itu, dipenjarakan tanpa proses pengadilan di masa Demokrasi Terpimpin dengan tuduhan terlibat dalam sebuah komplotan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 131 yang berencana membunuh Presiden Soekarno dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Penahanan selama dua setengah tahun tersebut tidak pernah didasari bukti. Ulama besar ini hampir mendapatkan penyiksaan ketika Gestapu (kudeta 1 Oktober 1965) terjadi. Dalam penahanan inilah Seri Tafsir Al-Azhar diselesaikannya.5 Pemenjaraan oleh rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno dianggap banyak kalangan sebagai pemenjaraan yang zalim. Namun oleh HAMKA diterima dengan penuh tawakal. Sebaliknya, musibah itu bahkan dirasakannya sebagai anugerah Allah yang memberi kesempatan padanya untuk dapat menuntas- kan tafsir itu lebih cepat. Pada saat Orde Lama tumbang, Orde Baru membebaskan dan merehabilitasi nama HAMKA. Meskipun Soekarno mengalami kejatuhan yang tragis, HAMKA tak sedikitpun memendam dendam. Bahkan, saat Soekarno wafat, HAMKA mengimami salat jenazahnya.6 Buku-buku dan tulisan-tulisan HAMKA merupakan buku-buku dan tulisan-tulisan yang segar karena menggu- nakan bahasa yang komunikatif, populer, dan enak dinik- mati, dengan contoh-contoh dan gagasan-gagasan yang diakui banyak pihak sangat kontekstual hingga mudah dipahami dan terasa kebermaknaanya di tengah masyarakat luas (membumi). Tak mengherankan jika buku-buku dan

5 Taufiq Ismail, “Buya Hamka (1908-1981) Teladan Sikap Ikhlas, Cemerlang, Bercahaya”, majalah sastra Horison edisi XLIII/9/2008 (Jakarta, 2008), Hal. 24-25. 6 Afif Hamka, loc. cit., hal. 33.

132 Jamal D. Rahman dkk. tulisan-tulisannya sangat berpengaruh di berbagai kalangan. Cetak ulang terus menerus untuk buku-buku HAMKA me- nunjukan bahwa tulisan-tulisannya benar-benar dibutuhkan masyarakat. Buku-buku HAMKA kerap menjadi inspirasi dan rujukan berbagai pihak. Sebagai contoh, buku-buku sejarah Islam yang ditulis HAMKA banyak menginspirasi dan menjadi referensi para cendekiawan muslim sesudah- nya. Azyumardi Azra, A. Syafii Maarif, M. Dawam Rahardjo, dan masih banyak lagi intelektual muslim yang menjadikan buku-buku HAMKA sebagai bahan dan rujukan dalam karya-karya mereka.7 Bahkan, jauh sebelum itu, sejak tahun 1937, di awal-awal HAMKA menulis tulisan-tulisan ke- agamaan dengan feuilleton pada majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dalam judul Tasawuf Modern, tulisan-tulisan yang berkesinambungan itu seperti digambarkan kembali oleh Dawam Rahardjo, mendapat sambutan luas dari pembacanya, terutama karena dalam tulisan-tulisan itu dijumpai pembahasan-pembahasan tentang soal-soal kesucian batin yang tadinya disangka hanya dapat ditemui dalam teosofi.8 Buku-buku dan tulisan HAMKA seperti diuraikan di atas tidak hanya berpengaruh dan memiliki pembaca di dalam negeri tapi juga hingga tanah semenanjung Melayu,

7 Contohnya dapat dilihat pada buku hasil kajian-kajian para cendeikiwawan Islam seperti A. Syafii Maarif dalam buku Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung, 1993) Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama (Bandung, 1993), M. Dawam Rahardo dalam buku Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim. (Bandung, 1993), dll. 8 M. Dawam Rahardjo, op. cit., hal. 202.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 133 termasuk Malaysia dan Singapura. Tidak hanya melalui tulisan, pengaruh HAMKA juga meluas lantaran ia seorang mubaligh. Sebagai mubaligh, seperti dinyatakan A. Syafii Maarif, HAMKA dikenal sebagai mubaligh yang dakwahnya selalu disampaikan dengan penuh kesabaran dan dengan cara yang agak mendalam sebagai bayangan keikhlasan para penyeru kebenaran.9 Seperti diketahui bersama HAMKA kerap berdakwah dari majelis ke majelis. Ia pun rutin menyapa para pemirsa lewat ceramah-ceramahnya yang sejuk di RRI dan televisi. Tidak hanya radio dan televisi Indonesia tapi juga di negara-negara tetangga. Mengenai kegiatan sastrawan-ulama luar biasa itu, Afif Hamka, putra kandung HAMKA, menggam-barkan sebagai berikut: Dalam kiprah perjalanan hidupnya, HAMKA bukan hanya ayah dari tujuh putera dan tiga puteri, anak-anak kandungnya. Namun ia juga merupakan ayah bagi jutaan jemaahnya, umat pada umumnya. Setiap subuh masyarakat di seantero tanah air, sambil menikmati kopi pagi, asyik mendengarkan kuliah subuh lewat siaran RRI, yang setiap Selasa subuh pemandu siaran itu membacakan surat-surat pendengar yang bertanya tentang berbagai hal, dan sang Buya menjawabnya langsung dengan bahasa sejuk, seorang ayah atas pertanyaan anak-anaknya. Senyum khas Buya sebagai seorang ayah yang ramah selalu tampil ketika mengunjungi pemirsa TVRI lewat layar kaca. Dengan bahasanya yang lembut ayah berjuta umat ini menyampaikan pesan-pesan Ilahi yang menyejukan di hati umat lewat tutur bahasa yang santun dan mudah dicerna. Proses keakraban yang terbentuk dengan cepat antara Buya HAMKA dengan

9 A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung, 1993), hal. 105.

134 Jamal D. Rahman dkk. jemaahnya, yakni lewat buku-buku karyanya dan siaran televisi, berlangsung pula di kalangan masyarakat muslim melayu di Malaysia, Singapura, dan bahkan di Thailand. Sekurangnya, setahun dua kali Buya terjadwal berkunjung ke sana, selain diundang sebagai mubaligh untuk berceramah langsung di hadapan ribuan massa di berbagai tempat di negara-negara bagian di Malaysia, ia pun diminta mengisi berbagai rekaman siaran televisi sebagai stok simpanan untuk beberapa kali tayangan dalam acara “Syarahan Agama Islam” di Radio Televisi Malaysia (RTM) yang ditunggu- tunggu khalayak bersama.10

Dari gambaran di atas terlihat betapa luar biasanya pengaruh kuliah, ceramah, dakwah, atau tausyiah, yang beliau berikan. Selain melalui media-media di atas, kegiatan dakwah Buya HAMKA berpusat di Masjid Agung Al-Azhar, Masjid yang pada awalnya bernama Masjid Agung Kebayoran. Sejak 1958 seperti diceritakan Afif Hamka,11 HAMKA yang rumah tempat tinggalnya berhadapan dengan Masjid, sejak awal telah mengimami shalat rawatib di sana dan HAMKA pun membangun jemaah masjid tersebut secara berangsur-angsur, mulai dari para penghuni rumahnya, para kuli bangunan masjid, dan keluarga-keluarga yang tinggal dekat masjid. Diadakanlah pengajian-pengajian rutin, dan pengajian bulan Ramadhan, yang pada masa tersebut belum ada model dakwah seperti yang dilakukan HAMKA tersebut. Lambat laun dakwah HAMKA yang berpusat di masjid tersebut menjadi terkenal dan bergaung hingga ke daerah-daerah lain, baik di Indonesia, maupun

10 Afif Hamka, loc. cit., hal. 32-33. 11 Ibid., hal. 33.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 135 mancanegara. Apa yang dilakukan HAMKA ini kemudian menjadi model dakwah di masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia. Hingga akhir hayatnya HAMKA menjadi imam besar masjid Al-Azhar tersebut. Bukan hanya di masjid, majelis taklim, atau media massa, peran HAMKA sebagai ayah umat, berlangsung pula hingga rumahnya. Masih dikisahkan oleh Afif Hamka, putera kandung beliau yang menyaksikan dan mengikuti aktivitas ayahandanya, HAMKA membuka pintu rumahnya bagi kedatangan setiap tamu dari berbagai kalangan yang sengaja menemui Buya untuk mengadukan berbagai persoalan hidup yang mereka rasakan untuk mendapatkan saran bagi jalan keluar dari problem tersebut. Bapak yang arif ini, di tengah kesibukannya yang padat, tetap dengan sabar menerima dan melayani mereka. Segala yang dilakukannya itu dijalankan dengan penuh keikhlasan. Demikianlah peran dan kiprah HAMKA yang menjangkau berbagai kalangan, dari mulai rakyat kecil hingga pemimpin teratas. Pengaruhnya tidak terbatas pada suku bangsa tertentu. HAMKA bahkan menjembatani persaudaraan berbagai kalangan. Sebagai contoh, HAMKA menjadi “ayah” bagi warga muslim Tionghoa perannya ini diawali dari persahabatannya dengan tokoh-tokoh muslim Tionghoa seperti Oei Tjin Hin (Abdul Karim Oey) yang berlanjut ke generasi berikutnya yang terwadahi dalam Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).12 Berbicara pengaruh sastrawan besar yang juga ulama dan

12 Ibid., hal. 35.

136 Jamal D. Rahman dkk. tokoh Islam ini, memang berbicara hal yang sangat luas. Ia memiliki pengaruh dalam bidang sastra, jurnalistik, bahasa, sosial, politik, dan sudah tentu keagamaan. Selain pengaruh lewat tulisan dan dakwahnya seperti dikemukakan di atas, untuk merunutkan pembicaraan, di bawah ini akan disampaikan contoh-contoh lain kiprah dan pengaruh HAMKA pada bidang-bidang tersebut.

Bidang Sastra Dalam kaitannya dengan bidang kesusastraan, HAMKA selalu menarik untuk dibicarakan secara khusus. Hal itu terjadi karena beberapa sebab. Pertama, dari segi pendidikan. Seperti terlihat dari penelitian yang dilakukan Jakob Sumar- djo13 mengenai pendidikan para pengarang Indonesia, baik pengarang yang termasuk dalam zaman kolonial, maupun zaman peralihan (tahun 1940-an), mereka rata-rata ber- pendidikan tinggi dan menengah, semacam STOVIA, OSVIA, Sekolah Tinggi Hukum, MULO, AMS, Sekolah Guru, Kweek School, dan lain-lain. Atau dalam istilah A. Teeuw,14 kaum pribumi yang terjun ke lapangan kesusastraan itu rata-rata berpendidikan Barat. Menurut penelitian Jakob Sumardjo di atas, lulusan pendidikan tingkat tersebut kemampuannya menguasai bahasa asing (Belanda, Inggris, Perancis, Jerman) cukup kuat. Ini yang menyebabkan mereka dapat belajar sastra dari sumber-sumber berbahasa

13 Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977 (Bandung, 1999), hal. 102-105. 14 A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende-Flores, 1979 ), hal.104.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 137 asing, terutama melalui bahasa Belanda, baik berupa sastra Belanda sendiri, maupun terjemahan sastra dunia. Dengan demikian, dapat diduga orientasi sastra para pengarang tersebut, tentunya tidak jauh dari sastra Barat. HAMKA berbeda. Ia tidak mengenyam pendidikan Barat. Bahkan, menurut A. Teeuw, ia tidak bisa berbahasa Belanda atau Inggris. Minat sastranya lebih berkembang karena bacaan-bacaan dari kesusastraan Arab modern. Pengarang yang paling digemarinya adalah pengarang Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942). Selain menulis karya sastra asli, Manfaluthi menulis juga saduran dari karya sastra Eropa, terutama Perancis. Dengan demikian, HAMKA lebih mengenal sastra Barat ini melalui saduran-saduran dalam kesusastraan Arab tersebut. Kedua, berkenaan dengan latar belakang keagamaan, keulamaan, atau kekiyaiannya. Pada masa yang sering disebut dengan masa sebelum perang, seiring dengan semangat nasionalisme yang mulai tumbuh, antara lain lewat ikrar para pemuda Indonesia untuk berbahasa satu bahasa Indonesia, kesusastraan Indonesia modern lebih banyak diisi oleh para penulis roman dari Sumatera, khususnya Minangkabau. Hal ini terjadi karena akar bahasa yang diikrarkan sebagai bahasa pemersatu itu, yakni bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Melayu. Adapun yang lebih dekat dengan bahasa tersebut adalah Sumatera (Minang- kabau). Tak mengherankan apabila kesusastraan masa ini banyak ditulis oleh pengarang Sumatera Barat atau Minangkabau ini (60%). Oleh karena pendidikan yang diterimanya dan kiprahnya

138 Jamal D. Rahman dkk. di masyarakat, para pengarang tersebut, meski berasal dari Sumatera, tidak banyak disorot secara khusus dari segi agama. Hal itu berbeda dengan HAMKA, latar belakang pendidikannya dan ketokohannya sebagai ulama Islam, sering disorot dan dikait-kaitkan dengan kiprahnya sebagai penulis roman. Dalam kaitan ini, HAMKA sering mendapat gugatan dan kritikan tajam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun di luar itu, tentang kiprahya sebagai pengarang roman tersebut. Ketiga, berhubungan dengan orang-orang di lingkaran penerbitan tempat HAMKA beraktivitas, maupun mempublikasikan karya-karyanya. Orang-orang dalam lingkaran penerbitan Medan dan karya-karyanya seringkali mendapat sorotan tajam, khususnya oleh pemerintah kolonial. Mereka adalah para pengarang pribumi yang berasal dari kalangan Islam, seperti Joesoef Syou’yb, Tamar Djaja, Rifa’i Ali, A. Damhuri, A.M. Pamuntjak (nama samaran), dan lain-lain. Mereka sering dijuluki sebagai pujangga surau (julukan yang pertama kali diberikan A.S. Hamid)15 karena mereka berlatar belakang pendidikan sekolah agama. Mereka menulis berbagai jenis roman, termasuk roman detektif. Di dalam roman-roman tersebut sesungguhnya mereka tidak murni mengemukakan cerita sebagai penghibur, tetapi juga memasukkan semangat pergerakan dan nasionalisme. Hal ini tentu menggentarkan pemerintah Hindia-Belanda

15 A.S. Hamid, “Banjir Roman”, Pedoman Masyarakat (1939) edisi 5 (49), hal. 960-961.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 139 karena sangat mengancam status quo mereka. Untuk melawannya, dilabelilah karya-karya mereka sebagai bacaan liar, roman picisan, cabul, sastra populer, komersil, dan sejenisnya. Bahkan, tak segan-segan pemerintah kolonial Belanda melakukan pemenjaraan terhadap penulis roman jenis ini, contohnya terhadap Maisir Thalib (Martha) akibat romannya berjudul Leider Mr. Semangat. HAMKA adalah salah seorang yang juga sering dikategorikan sebagai pengarang surau. Namun, berbeda dengan pengarang yang juga sering disebut pengarang surau lainnya, yang karya-karyanya tak pernah dan sangat tak mungkin diterbitkan Balai Pustaka, karya-karya HAMKA justru diterbitkan penerbit bentukan pemerintah Hindia- Belanda. Keempat, berkaitan dengan polemik-polemik yang mengiringi aktivitas kepengarangan dan karyanya. Terutama polemik yang berkenaan dengan romannya yang telah disebutkan di awal, yakni Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Oleh beberapa pihak diduga sebagai jiplakan dari karya pengarang Perancis Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls, yang disadur pengarang Mesir, Manfaluthi, dengan judul Madjulin (Magdalena). Marilah kita telusuri keempat hal di atas satu persatu. Karya-karya HAMKA, dari segi tema dan pengungkapan, tidak berbeda dengan karya-karya pengarang lain sezaman- nya, terutama yang berlatar belakang Minangkabau. Karya- karya HAMKA (seperti dapat dilihat dalam berbagai judul roman yang telah disebutkan), bertema gugatan terhadap

140 Jamal D. Rahman dkk. adat Minangkabau, terutama kawin paksa. Bentuk peng- ungkapannya pun sejalan dengan karya-karya pengarang lain masa itu yang cenderung bertutur dalam teknik ekspo- sitori, moralistis, plot yang selalu berakhir dengan kematian tokoh-tokoh utamanya, dan cenderung sentimentil, serta penggunaan bahasa yang berbunga-bunga (mendayu- dayu). Beberapa kritikus, termasuk Teeuw, memandang bahwa dari segi sastra, karya-karya HAMKA ini tidak istimewa. Menurut Teeuw, HAMKA tidak bisa dianggap sebagai penga- rang besar. 16 Penilaian seperti itu dapat dimaklumi dari latar belakang mereka yang memandang kesusastraan dari kaca mata Barat, terutama kaca mata yang timbul dari lahirnya pandangan akibat renaisance di Eropa yang diikuti oleh paham rasionalisme. Pengaruhnya ke dalam sastra modern Indonesia awal, seperti dicatat Ajip Rosidi,17 adalah peno- lakan terhadap karya-karya sastra berbau dakwah (seperti yang terdapat dalam kesusastraan tradisional di daerah- daerah Nusantara, semacam hikayat dan serat). Penolakan ini berimplikasi pula pada penolakan terhadap karya-karya sastra bertendens atau yang memperlihatkan aspek moralitas secara eksplisit. Penilaian itu akan berbeda apabila menggunakan kaca- mata lain dari sudut latar belakang pengarang yang tentunya

16 Teeuw, op. cit., hal 107. 17 Ajip Rosidi, “Sastra Dakwah Islamiyah di Nusantara sebagai Landasan Pengembangan Sastra Modern” dalam Sastra dan Budaya, Kedaerahan dalam Keindonesiaan (Jakarta, 1995), hal. 349.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 141 tak lepas dari tradisi lokal, terutama Minangkabau. Keterkait- an pengarang dengan tradisi lokal ini dapat dilihat dari per- nyataan HAMKA dalam tulisan “Mengarang Roman” yang dimuat majalah Pedoman Masyarakat (1938) Edisi 4 (51):

… Bekal kita dalam mengarang adalah dari doea aliran, pertama aliran kesoesastraan dari desa kita sendiri dari Manindjau jang dikelilingi oleh Boekit Barisan, dari Oedjoeng Djoengoet dan Oedjoeng Tandjoeng, dari Rakok Tandjoeng Balat, dari bidoek jang berlajar dari taloek ke taloek, dari tapian ke tapian, dari njanjian kita seketika menggerakkan padi di sawah menoeroetkan iboe ketika badan masih ketjil. Setelah itu kita dididik oleh ajah menoeroet didikan soerau….

Dalam tradisi lokal (Nusantara), sastra, baik yang berbentuk puisi, maupun prosa, biasa digunakan untuk menyampaikan nilai moral tertentu. Dalam pantun, misal- nya dikenal pantun nasihat, pantun budi pekerti, pantun agama, dan lain-lain. Demikian pula cerita-cerita rakyat, seperti legenda, dongeng, hikayat, dan lain-lain, adalah sarana bagi masyarakat untuk bercermin dalam bertingkah laku. Dengan demikian, satu hal yang wajar apabila ‘sema- ngat’ memasukkan unsur moralitas seperti ini muncul dalam karya-karya pengarang zaman sebelum perang, termasuk HAMKA. Adapun dalam hubungannya dengan kebiasaan para pengarang tersebut menulis bahasa yang berbunga-bunga (penuh peribahasa, kiasan, pantun, dan lain-lain), juga dialog-dialog panjang, dapat dilihat dari latar belakang mereka yang berasal dari adat Minangkabau, khususnya yang berkenaan dengan kebiasaan masyarakat Minangka- bau tradisional yang disebut dengan musyawarah untuk

142 Jamal D. Rahman dkk. mencapai kata sepakat. Dalam tradisi ini kerap terjadi perbincangan kedua pihak dengan menguraikan hal-hal terdahulu dan banyak mengucapkan peribahasa dan pepatah adat, sebab dalam adat Minangkabau, peribahasa dan pepatah-pepatah itu adalah undang-undang masyarakat.18 Dengan menyadari pengaruh tradisi lokal ini, penggunaan bahasa dalam karakteristik seperti disebutkan di atas, dapat dipandang bukan sebagai sebuah kekurangan, tetapi sebagai unsur lokalitas. Meski secara tema dan estetika karya HAMKA senapas dengan para pengarang sezamannya, terutama para penga- rang Minangkabau yang karya-karyanya banyak diterbitkan Balai Pustaka, ada satu hal yang sering disorot dari karya HAMKA, yakni unsur keislamannya. Contoh karyanya yang sering disebut mengandung unsur keislaman yang kental ini adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah. Bahkan, H.B. Jassin19 terang-terangan menyebut karya tersebut memaju- kan falsafah keislaman dan bercorak serta beraliran keislaman. Pendapat yang berbeda datang dari Jakob Sumardjo.20 Dalam penelitiannya tentang “Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977”, dalam sorotannya tentang agama pengarang (yang di dalamnya termasuk juga HAMKA dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah) Jakob Sumardjo

18 Hal ini diakui Teeuw, op.cit., hal. 87. 19 H.B. Jassin Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (Jakarta, 1985), hal. 46. 20 Sumardjo, op. cit., hal. 93.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 143 menilai bahwa agama pengarang tidak berpengaruh besar dalam menentukan tema yang diusung para pengarang. Pengarang yang berlatar agama tertentu tidak mengangkat tema-tema yang bersifat agama yang mereka anut. Latar agama ini hanya terlihat pada kehidupan masyarakat yang seagama dengan penulisnya. Sebenarnya, apabila kita membaca karya-karya HAMKA, termasuk dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, aspek-aspek keislaman dan dakwah keislaman dapat kita rasakan. Dalam roman di atas misalnya, dakwah keislaman itu terasa dari penokohan yang dilakukan pengarang. Sebagai contoh, ada pernyataan dalam roman tersebut bahwa tokoh Zainuddin, setelah berpisah dengan Hayati, berniat dan bercita-cita untuk memperdalam ilmu dunia dan akhirat supaya kelak menjadi seorang yang berguna. Angan-angan Zainuddin adalah menjadi orang alim, jadi ulama, sehingga apabila kembali ke kampungnya dapat membawa ilmu. Zainuddin sendiri adalah turunan dari ayah dan ibu ahli ibadah. Apa yang dilakukan HAMKA dalam penokohan di atas, menurut saya, adalah salah satu cara dakwah yang dilakukannya, suatu upaya untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa betapa mulia orang yang berilmu dan ahli ibadah. Dakwah yang dilakukannya sangat halus. Cara dakwah seperti ini, jika melihat karya-karya sastra pada zaman itu yang rata-rata penuh tendensi, tentunya adalah suatu hal yang bisa kita nilai pula sebagai kelebihan HAMKA. Dengan kelebihan cara berdakwah seperti ini, sangatlah wajar jika kemudian karya-karya HAMKA dapat lolos dalam

144 Jamal D. Rahman dkk. penerbitan Balai Pustaka, penerbit yang justru menghindar- kan diri dari karya-karya berbau agama. Sayang sekali, apa yang dilakukan HAMKA ini justru dikecam, baik oleh kalangan Islam sendiri maupun oleh kalangan yang berbeda ideologi. Kiprah HAMKA (dan pengarang-pengarang lainnya yang berlatar pendidikan agama), dalam penulisan roman dianggap tidak pantas, karena HAMKA seorang ulama. Seperti terlihat dari pernya- taan A.S. Hamid,21 buku-buku dari kalangan tersebut (yang kemudian oleh A.S. Hamid disebut Pujangga Surau) seharusnya membawa kebudayaan surau ke tengah-tengah masyarakat, kebudayaan yang damai dan tentram. Semen- tara apa yang dibawa dalam cerita roman para pengarang ini oleh para pengecamnya dianggap telah keluar dari kebudayaan tersebut, bahkan dianggap dapat merusak moral masyarakat. Sebagai contoh, penggambaran pertemu- an tokoh Zainuddin dan Hayati di sebuah dangau di sawah dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck telah mengan- tarkan HAMKA pada julukan ‘kijahi I love you, kijahi tjabul’. Ujung-ujungnya, majalah Pedoman Masyarakat, Pustaka Islam, dan penerbitan lain yang sejalan dianggap memba- hayakan moral. Ada dua hal yang dapat kita simpulkan dari kecaman- kecaman tersebut. Yang pertama adalah masih dominannya pandangan konservatif dalam memahami agama di masya- rakat, dalam arti agama masih dipahami sebatas persoalan-

21 A.S. Hamid, loc. cit.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 145 persoalan ritual dan akhirat. Tugas ulama dan kiyai dipaha- mi hanya sebatas di wilayah itu. HAMKA dan kawan-kawan berani menerobos konservatisme tersebut. Pandangan mere- ka yang penuh pembaharuan untuk mengoreksi sempitnya pandangan itu tampak dalam tulisan-tulisan yang mereka tulis, bahkan dalam roman-romannya. Sebagai contoh, dalam roman karangan HAMKA, ditemui pernyataan seperti ini:

… Kota itu adalah kota kemauan. Murid-murid sekolah agama belajar di sana, telah mengubah bentuk “orang siak” atau santri pelatuk, yang tersisih dari masyarakat lantaran hanya mengetahui kitab-kitab bahasa Arab, dengan kepala dicukur, kain pelekat kasar dan baju gunting Cina. Semuanya telah ditukar dengan model yang baru, murid-murid telah boleh berdasi, boleh berpakaian cara Barat, karena agama bukan pakaian, tetapi sanggup bertempur, berjuang di dalam menjalankan agama. Dalam pada itu, oleh guru-guru diizinkan pula murid-murid mempelajari musik, mempelajari bahasa asing, sebagai Belanda dan Inggris. … (dari Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck).

Apa yang dilakukan HAMKA dalam menyadarkan sempit- nya pandangan masyarakat akan agama seperti digambar- kan di atas tentunya merupakan kontribusi yang tidak terni- lai. Ia telah membuka dan menguak medan berat yang se- mula tertutup. Sastra sebagai bagian dari seni yang sering dicap haram, lewat upaya yang dilakukannya, lambat laun disadari sebagai bagian dari upaya menjaga moralitas masyarakat, memperhalus budi pekerti, menyadarkan dari kebatilan, dan lain-lain. Selanjutnya, hal kedua yang dapat disimpulkan dari

146 Jamal D. Rahman dkk. kecaman-kecaman yang tertuju pada HAMKA adalah perlunya pandangan kritis dalam memandang persoalan tersebut. Pandangan kritis ini diperlukan karena tidak setiap kecaman tersebut bersifat murni. Ada berbagai kepentingan politis dan ideologis di baliknya, yang oleh beberapa pihak disinyalir dilakukan untuk menjatuhkan keulamaan HAMKA. Sebab tak jarang kecaman-kecaman itu dilontarkan pihak-pihak yang bersebrangan ideologi dengan sang sastrawan. Termasuk polemik plagiasi yang dilakukan HAMKA dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Polemik-polemik yang terkait dengan HAMKA seperti dikemukakan di atas menunjukkan sosok ini sangat diperhitungkan sepak terjangnya karena pengaruhnya yang besar di masyarakat. Yang jelas, hingga kini, karya-karya HAMKA terus menjadi bahan pembelajaran dan kajian di berbagai sekolah, perguruan tinggi, dan lain-lain.

Bidang Jurnalistik Seperti diutarakan di depan, setelah HAMKA pulang ke Indonesia dari menuntut ilmu di negeri Arab, HAMKA sempat menjadi guru Agama di Deli. Sesudah itu beliau terjun ke lapangan jurnalistik dengan memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, dan Panji Masyarakat. Bahkan, ia memimpin Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya. Tulisan-tulisan HAMKA berupa karya sastra, pandangan-pandangan keagamaan, pemikiran-pemikiran umum masa-lah sosial, politik, dan budaya mula-mula dipublikasikan melalui media tersebut. Dalam bidang ini

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 147 banyak pihak mengakui bahwa HAMKA adalah salah seorang pelopor jurnalisme Islam di Indonesia.

Bidang Politik Jika orang menyebut tokoh organisasi Islam Muhamadi- yah dan Masyumi, maka nama HAMKA langsung disebut. Pada tahun 1995, lewat pemilu pertama, beliau terpilih menjadi anggota konstituante dari fraksi Masyumi, dan pada tahun 1960-an menjadi salah satu wakil ketua PP Muhamadiyah. Tetapi, peran dan pengaruhnya dalam bidang ini melewati batas kedudukan formal tersebut berkat pandangan-pandangannya tentang masalah-masalah kenegaraan, revolusi, isu-isu nasional, dan persoalan- persoalan politik lainnya yang dituangkannya melalui pena tulisannya.

Bidang Pendidikan Di masa mudanya HAMKA pernah menjadi guru agama. Di masa-masa berikutnya, di tengah berbagai aktivitasnya sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat, seperti dikisahkan Afif Hamka, HAMKA menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi di Nusantara. Beliau juga memeloprori berdirinya sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Mengenai ide dan perwujudan konkret HAMKA mendirikan sekolah- sekolah yang merupakan lembaga pendidikan Islam ini, Afif Hamka mencatat:

Di awal-awal tahun 60-an ketika Jakarta Selatan khusus- nya Kebayoran mulai dibuka sebagai kawasan pemukiman baru, arus urbanisasi kalangan muslim “gedongan” mulai

148 Jamal D. Rahman dkk. mengisi rumah-rumah mereka yang baru dibangun. Muncul persoalan pendidikan bagi anak-anak mereka. Jumlah sekolah dasar negeri sangat terbatas. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Ibtidaiyah masih sangat jarang. (...) Itupun boleh dibilang sangat tradisional dan tidak diminati kalangan muslim gedongan itu. Sekolah-sekolah swasta yang dianggap baik, bersih dan berdisiplin pada masa itu dikelola oleh lembaga pendidikan Katolik (...) Banyak jemaah masjid berkeinginan besar menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang bagus, bersih, dan berdisiplin, akhirnya terpaksa dan berat hati memasukkan mereka ke sekolah-sekolah swasta milik Katolik dan Kristen itu. (...) Problem yang muncul ini terangkat menjadi bahan diskusi yang serius bagi para jemaah bersama imam mereka, Buya HAMKA. Dari sanalah lahirnya ide mendirikan sekolah islam Al-Azhar yang kini telah berkembang sebagai lembaga pendidikan bergengsi (...) HAMKA adalah tokoh yang mencetuskan ide itu sekaligus turut aktif mendirikannya (...) Bahkan kini sudah berdiri Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).22

Lembaga pendidikan Islam di atas kini menjadi model lembaga pendidikan Islam modern. Terlepas dari kiprahnya tersebut, di atas semua itu HAMKA —meminjam pernyataan Arief Rachman— adalah guru besar bagi guru-guru Indo- nesia dan meminjam istilah M. Dawam Rahardjo, adalah pendidik massa.

Bidang Bahasa Di Indonesia, sangat langka ulama yang aktif mengikuti kongres-kongres kebahasaan, apalagi turut memikirkan dan

22 Afif Hamka, loc. cit., hal. 33.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 149 menentukan peristilahan-peristilahan dalam bidang bahasa, tidak demikian dengan HAMKA. Seperti dicatat Ali Audah,23 sejak tahun 1950-an, HAMKA sudah menunjukkan perhati- annya yang besar terhadap pembentukan bahasa Indonesia terutama yang menyangkut peristilahan agama Islam. Beliau kerap menghadiri dan menjadi pembicara dalam kongres-kongres kebudayaan dan bahasa. Sebagai contoh, dalam kongres bahasa Indonesia di Medan 1954, HAMKA menanggapi dengan keras pernyataan preadvis Dr. Prijohu- tomo yang mengusulkan agar dalam menentukan istilah baru tidak dicari dari bahasa Arab karena bahasa Arab asing bagi bangsa Indonesia. Jadi, sebaiknya dicari dari bahasa- bahasa yang terdapat di Indonesia terlebih dahulu. Dalam pidato yang meluap-luap, HAMKA membantah pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa bahasa Arab tetap mendu- duki tempat yang terkemuka dalam hati mereka yang menganut agama Islam. Pendirian HAMKA ini didukung oleh pembicara-pembicara lain. Contoh lainnya, masih diceritakan Ali Audah, dalam sebuah kongres bahasa di Jakarta, ketika ada suara hendak mengubah ejaan Al-Quran menjadi Kuran berhubung kai- dah Bahasa Indonesia tidak menggunakan huruf q, HAMKA yang kembali tampil mewakili umat Islam memper- tahankan penulisan Al-Quran tersebut dengan huruf q kapi- tal karena Al-Quran adalah kitab suci. Hasilnya, hingga seka-

23 Ali Audah, “HAMKA: Sastrawan, Ulama, Mufassir”, majalah sastra Horison edisi XLIII/9/2008 (Jakarta, 2008), hal. 18-19.

150 Jamal D. Rahman dkk. rang, ejaan bahasa Indonesia tidak mengubah penulisan yang terkait dengan istilah-istilah agama.

Bidang Keagamaan Semua kiprah dan pengaruh HAMKA yang diurakan di atas, tak lepas dari ketokohan dan keulaman HAMKA. Peran dan pengaruh-pengaruh HAMKA dalam bidang ini beberapa di antaranya sudah dikemukakan dalam uraian-uraian sebelumnya. Pengaruh lainnya dari tokoh tangguh ini yang akan dikemukakan di sini adalah terkait dengan pembaharu- an-pembaharauannya yang telah turut mempengaruhi perjalanan umat Islam dan dinamika pemikiran Islam di Indonesia. M. Dawam Rahardjo, melalui analisisnya tentang panda- ngan dan peran HAMKA sebagai agamawan dan sastrawan di masyarakat modern, memberi kesimpulan sebagai berikut. 1. HAMKA merupakan sosok multidimensi yang memiliki kombinasi jiwa ulama dan budayawan. Kombinasi ini terjelma ke dalam karya-karyanya mengenai tasawuf, yakni berhasil melakukan sintesis antara teologi dan filsafat yang dijalin dengan gaya sastrawan, yang dina- makan dengan tasawuf modern. 2. HAMKA telah berhasil menjembatani berbagai pihak, antara yang tradisional dan modern, antara agama yang cenderung berat berorientasi kepada fiqih dengan paham kebatinan Jawa, juga menjembatani paham-paham kegamaan doktriner yang seringkali kaku dengan kehi- dupan kebudayaan yang penuh rasa keindahan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 151 3. HAMKA telah berkontribusi dalam “membumikan” dan “mempribumikan” Islam di Indonesia, dengan cara menginterpretasikan ajaran Islam lewat pengalaman- pengalaman hidup yang konkret. Agama menjadi terasa kontekstual sehingga mudah diterima masyarakat Indonesia dan masyarakat modern. Begitulah. Berbicara tentang sosok fenomenal ini bagai menulusuri sumber mata air yang dalam, luas, dan mengalir menjadi sungai-sungai, menjadi pengobat dahaga dan penyejuk jiwa. Oleh karena itu, tulisan inipun hanya mampu mendedahkan sebagian saja dari peran dan pengaruh sang “ayah spiritual” ini guna menunjukkan dan memberikan gambaran tentang tokoh sastra yang telah berpengaruh luas di masyarakat ini.[]

152 Jamal D. Rahman dkk. Armijn Pane Melepaskan Belenggu, Menawarkan Dunia Baru

MAMAN S. MAHAYANA

ika dikatakan, sastra berada dalam ketegangan antara Jkonvensi dan inovasi, penjelasannya tentu tidak berhenti pada usaha pemberontakan pada konvensi. Seperti juga gagasan yang dikemukakan Thomas S. Khun mengenai revolusi ilmu pengetahuan,1 tarik-menarik konvensi dan inovasi dalam sastra pada hakikatnya merupakan penolakan atau pemberontakan pada estetika yang diterima sebagai karakteristik yang berlaku umum yang melekat dalam unsur intrinsik karya sastra. Jadi, pemberontakan itu ditandai lewat karya sastra dan objek pemberontakannya adalah unsur- unsur yang mengusung model estetik baru atau yang

1 Thomas S. Khun, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: University of Chicago, 1962. Gagasan Khun tentang revolusi ilmu pengetahuan itu dirumuskan

sebagai berikut: P1—Ns—A—C—R—P2. P1 adalah fase ketika sebuah simbol (atau teori) diterima masyarakat ilmiah. Selama simbol atau teori atau penerimaan itu tak ada y0ang coba menggugatnya, ia tetap kukuh sebagai sebuah paradigma. Pengetahuan itu pun lalu memasuki tahap Ns, yaitu normal science. Masyarakat

ilmiah berorientasi dan memegang teguh pada paradigma sebelumnya (P1). Tetapi, lantaran hakikat pengetahuan adalah selalu mengawali riset atau penelitiannya dengan pertanyaan yang lalu berakhir lagi dengan pertanyaan, maka jika gerakan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 153 berbeda dari model estetik sebelumnya. Oleh karena itu, inovasi, pembaruan, atau pemberontakan pada konvensi sama sekali tidak berarti menghilangkan segenap unsur karya sastra. Ia sekadar membarui bentuk atau estetika karya-karya sebelumnya. Itulah yang kemudian disebut capaian estetik. Jadi, apa yang disebut pembaruan dalam dunia sastra, ia tidak lahir begitu saja, sama sekali tidak berangkat dari kekosongan, melainkan dari konvensi yang berlaku pada zamannya. Capaian-capaian estetik yang kemudian diterima, bahkan juga diikuti sastrawan lain secara luas, mengantarkannya menjadi konvensi baru. Itulah yang dilakukan sastrawan atau seniman dalam perjalanan sejarahnya berkesenian. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, deretan nama yang termasuk sastrawan pembaharu, dapat kita sebutkan dalam daftar panjang. Dalam deretan itu, termasuklah sastrawan Armijn Pane, salah seorang pembaharu dalam kesusastraan Indonesia sebelum perang. Langkah pembaruannya merupakan reaksinya dalam menyikapi model estetik yang

mempertanyakan itu semakin kuat, terjadilah fase ketika paradigma sebelumnya mengalami goncangan. Itulah fase yang disebut Anomali (A). Jika goncangan itu

tak cukup kuat menumbangkan paradigma sebelumnya (P1), situasi itu akan

kembali pada (P1), tetapi jika goncangan itu sangat besar, terjadilah situasi krisis

(C) hingga berhasil menumbangkan paradigma sebelumnya (P1). Itulah yang dimaksud Khun sebagai revolusi (R). Revolusi ini pun kemudian menghasilkan paradigma baru jika masyarakat ilmiah menerimanya. Itulah yang disimbol-kan

sebagai P2. Begitulah perkembangan ilmu pengetahuan selalu ditandai revolusi yang lalu menghasilkan paradigma baru. Dalam bidang sastra, yang disebut paradigma lebih merupakan capaian estetik yang lalu menjadi konvensi. Artinya, capaian estetik itu kemudian diikuti sastrawan lain, sehingga membentuk sebuah kecenderungan baru, aliran baru, genre baru, atau konsep baru yang menjadi karakteristik karya-karya itu yang muncul pada zaman tertentu.

154 Jamal D. Rahman dkk. sudah menjadi konvensi sastra yang berlaku pada zamannya. Meskipun waktu itu tidak lazim seorang pengarang menyampaikan semacam pertanggungjawaban estetik sebagai dasar, sebagaimana yang juga tidak dilakukan sejumlah sastrawan lain, Armijn Pane justru merasa perlu menyampaikan semacam keterangan mengenai sikap kepe- ngarangannya berkaitan dengan apa yang dilakukannya dalam novel Belenggu. Sebuah novel, seperti yang akan kita lihat nanti, ditulis Armijn Pane dengan kesadaran menyam- paikan sesuatu yang baru. Jadi, dari segi ini saja, Armijn Pane melakukan sesuatu yang belum dilakukan sastrawan lain. Belenggu memang memperlihatkan adanya beberapa hal yang berbeda dengan novel-novel sezamannya. Perbedaan itu juga sekaligus menunjukkan, bahwa Armijn Pane telah mempelajari dengan baik karya-karya sebelumnya. Maka, ketika ia coba menawarkan sesuatu (yang baru) ia juga menyadari kemungkinan munculnya reaksi atau tanggapan negatif atas karyanya. Dalam pandangan Armijn Pane, novel-novel yang ada waktu itu cenderung seragam: meng- angkat tema yang sama (rencana perkawinan yang meng- hadapi problem, karena perbedaan suku bangsa atau status sosial); konflik lantaran perbedaan itu atau akibat semangat yang bertentangan antara dua generasi; amanat pengarang yang mudah dibaca; dan nasib tokoh-tokohnya yang harus mengalami kematian. Akibatnya, novel-novel itu sama sekali tidak menunjukkan karakteristik yang khas.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 155 Dalam novel Belenggu (1940),2 Armijn Pane mengawali- nya dengan semacam kredo atau pernyataan sikap kepenga- rangannya sebagai berikut: Banyak yang hendak saya nyatakan, apakah yang dapat menghalangi saya, kalau menurut keyakinan saya, saya patut berbicara? Karena cara saya melahirkan keyakinan akan dicela setengah orang? Karena soal yang saya kemukakan, menurut setengah orang mesti didiamkan? Karena saya akan dihinakan orang? Karena saya akan dimaki? Kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain. Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru.

Bukan tanpa alasan Armijn Pane menyampaikan isyarat tentang kemungkinan risiko yang akan diterima berkaitan dengan novelnya itu. Risiko pertama yang diterimanya adalah penolakan penerbit Balai Pustaka untuk menerbitkan

2 Naskah novel Belenggu selesai ditulis Armijn Pane tahun 1938. Konon semula novel itu berjudul Pintu Kemana? Sebagaimana yang dinyatakan pada kalimat terakhir novel itu: “Pintu kemanakah itu!” Ketika Armijn menawarkan naskah novelnya ke Balai Pustaka, penerbit itu menolaknya, meski sebenarnya Armijn Pane punya hubungan pribadi yang baik dengan para redaktur penerbit itu, karena Armijn pernah bekerja di sana. Armijn Pane kemudian menerbitkannya di majalah Poedjangga Baroe, edisi No. 7, Januari 1940 dengan judul Belenggu yang ternyata mendapat sambutan dan pujian dari para pembacanya. Pada tahun itu juga penerbit Pustaka Rakyat, milik Sutan Takdir Alisjahbana, menerbitkan novel itu.

156 Jamal D. Rahman dkk. novel itu.3 Berikutnya adalah kemungkinan munculnya kritikan dan kecaman terhadap novel itu, termasuk kritikan yang disampaikan Sutan Takdir Alisjahbana. Berikut ini saya kutip keberatan STA atas novel itu:

Dan kalau buku Armijn ini diletakkan di tengah-tengan usaha dan perjuangan sekarang ini untuk kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita memasukkannya dalam lectuur defaitistis (sic!)4 yang melemahkan semangat, meski betapa sekalipun gembira bunyi kata pendahuluannya. Sebabnya, “dunia baru” yang dilayari oleh Sumartini, Rohayah, Hartono, dan Sukartono pada akhir buku ini pun sebenarnya masih dunia lama, dunia determinisme dan belenggu.5

3 Dr. D.A.R. Rinkes, Kepala Balai Pustaka yang pertama, sejak awal berdirinya lembaga penerbitan itu telah menerapkan sensor yang ketat atas naskah-naskah yang akan diterbitkan. Kriteria atau persyaratan yang tertuang dalam Nota Rinkes (1910) itu menye-butkan tiga syarat: (1) tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, (3) tidak menyinggung suatu perasaan agama tertentu. Di dalamnya, termasuk masalah pornografi. Lihat K. St. Pamuntjak, Balai Pustaka Sewadjarnya, (1948), hlm. 5-6. Alasan penolakan Balai Pustaka terhadap novel Belenggu di antaranya, karena novel itu dianggap bertentangan dengan ukuran moral masyarakat pada masa itu, yaitu hubungan antara tokoh Tono (dokter) dan Yah (pelacur). Yah kemudian menjadi istri selingkuhan Tono. Selain itu, ada pula perbincangan mengenai situasi pergerakan nasional ketika itu. Jadi tentu saja itu bertentangan dengan Nota Rinkes yang melarang adanya unsur antipemerintah kolonial. Dari segi bahasa, Balai Pustaka juga menerapkan aturan berbahasa yang sangat ketat, sesuai dengan aturan ejaan van Ophuijsen dan semangatnya menjaga bahasa Melayu standar. Maka, kata-kata kerosi, recept, aphotheek, atau patient, serta beberapa kesalahan ketik, tentu tidak akan kita jumpai jika novel ini diterbitkan Balai Pustaka. 4 lectuur defaitistisch: bacaan yang melemahkan. Maksudnya, bacaan dengan semangat pecundang. 5 Sutan Takdir Alisjahbana, “Pertimbangan Buku” Pujangga Baru, No. 7, Tahun VIII, Januari 1941, hal. 173-174. (Ejaan disesuai-kan dengan Ejaan Yang Disempurnakan)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 157 Sebagaimana yang akan kita lihat, bagaimana tanggapan atas terbitnya novel Belenggu begitu beragam, pro dan kontra, kecaman dan pujian.6 Di luar perkara itu, kita dapat melihat bagaimana usaha Armijn Pane memberikan sesuatu yang baru pada novelnya dibandingkan dengan novel-novel pada zamannya. Usaha menawarkan sesuatu yang baru itu dilakukannya, lantaran ia melihat, seperti telah disebutkan, bahwa konvensi yang melekat pada novel-novel sebelumnya cenderung menampilkan karakteristik yang seragam, yaitu mengakhiri nasib tokoh-tokohnya dengan kematian. Menga- pakah para pengarang itu —sejak Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya sampai tahun 1940, selalu mengakhir tokoh-tokoh pentingnya dengan kematian? Tidakkah ada cara lain yang memungkinkan pembaca ikut berpikir dan “menentukan” nasib tokoh-tokoh cerita itu? Tujuan pengarang mematikan tokoh-tokoh cerita itu, menurut Armijn Pane, tidak lain, adalah berikut ini:

Pengarang itu semuanya mencoba menerbitkan perasaan duka dalam hati pembaca, perasaan kesal, perasaan tidak senang, perasaan kecewa, supaya terbit perasaan kasihan akan mereka yang mati itu, supaya dengan jalan demikian, pembaca membenarkan cita-cita, maksud suci dan apa yang diperjuangkan oleh orang yang diceritakan dalam roman itu.7

6 Memperhatikan ulasan-ulasan atas novel Belenggu, dapat ditarik kesimpulan, bahwa pandangan dari mereka yang tidak setuju menempatkan novel itu tidak memberi contoh yang baik, karena menceritakan keburukan sebuah rumah tangga. Sementara yang setuju memberi pujian yang tinggi atas tema dan capaian estetik novel itu. 7 Armijn Pane, “Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan,” Pujangga Baru, No. 9, Th. VIII, Maret 1941, hal. 225-231.

158 Jamal D. Rahman dkk. Di bagian akhir tulisannya, Armijn Pane kembali menegaskan:

Pengarang zaman sekarang hendak menimbulkan perasaan, dengan jalan… menghidupkan kesadaran dalam hati pem- bacanya, bahwa soal… adat… perkawinan paksa, hal perka- winan dengan orang dari daerah lain, bahwa soal yang dike- mukakannya itu… patut diberantas, bahwa adat itu menahan kemajuan bangsa adanya. Dan perasaan dapat ditimbulkan sehebat-hebatnya dengan jalan menerbitkan perasaan sedih dan kasihan, perasaan… kasihan itu dapat dihidupkan dengan jalan mematikan orang yang baik hati, yang baik budi, yang tinggi cita-citanya….8

Dalam mencermati novel-novel Indonesia, khususnya novel terbitan Balai Pustaka pada masa itu, setidak-tidak menurut Armijn Pane, ada kecenderungan umum yang menyangkut beberapa berikut ini: (1) tema cerita seputar perkawinan (kawin paksa, kawin antarsuku, dan kawin antarbangsa), (2) tokoh-tokoh berperan sebagai protagonis —antagonis (pemuda-pelajar—orang tua-bangsawan atau posisi lemah perempuan dalam kekuasaan laki-laki), dan (3) kuatnya campur tangan pengarang dalam menentukan nasib tokoh-tokohnya (mematikan atau menutup peluang pembaca memasuki peristiwa dalam cerita). Nah, sekarang coba cermati novel Belenggu. Dalam novel itu, kita melihat perkawinan tokoh Sukartono (Tono) dan

8 Ibid., hal. 231.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 159 Sumartini (Tini), terjadi dengan kesadaran keduanya. Artinya tidak ada pihak lain yang memaksa perkawinan itu.9 Jadi, terjadinya perkawinan itu sebelumnya tidak mengha- dapi masalah serius. Dengan demikian, tema novel itu tidak berkaitan dengan persoalan kawin paksa. Tetapi, rumah tangga mereka berantakan juga, meski nasib tokoh-tokoh- nya tidak harus berakhir dengan kematian. Kehadiran pihak ketiga (Rohayah), boleh jadi salah satu faktor penyebab per- ceraian mereka. Tetapi, kehadiran Yah lebih sebagai pemicu makin tajamnya suasana rumah tangga yang sudah reng- gang itu. Dan renggangnya rumah tangga itu penyebab utama- nya adalah tiadanya saling pengertian akibat masing-masing (Tono dan Tini) tetap memelihara keangkuhannya. Dengan begitu, Armijn Pane dalam Belenggu, secara sadar menawar- kan persoalan lain yang tidak perlu harus sejalan dengan tema-tema yang terdapat dalam novel pada zamannya. Dalam Belenggu, kita juga tidak melihat adanya posisi tokoh-tokoh protagonis-antagonis. Apakah tokoh Tini atau tokoh Yah yang berperan sebagai tokoh antagonis atau justru tidak ada tokoh antagonis di sana. Meskipun karakter Tini sebagai istrinya yang kerap menentang dan tidak mau kalah pada Tono, bahkan juga pada tokoh lain, kenyataannya

9 Masalah kawin paksa justru terjadi pada diri tokoh Rohayah. Ia dikawinkan dengan lelaki berusia 20 tahun lebih tua dari usianya. Setelah dibawa ke Palembang, Yah merasa tidak bahagia. Ia kabur ke Betawi kemudian ke Bandung, meninggalkan suaminya. Itulah awal Yah memasuki kehidupan dari satu lelaki ke lelaki lain.

160 Jamal D. Rahman dkk. selain dipertajam oleh kahadiran tokoh Yah, Tono sendiri yang kurang memberi perhatian pada istrinya ikut berperan dalam menciptakan suasana tidak harmonis dalam kehidupan rumah tangga mereka. Di samping itu, posisi suami-istri —Sukartono-Sumartini— dalam kehidupan sosial, tidak memperlihatkan perbedaan kelas sosial yang dalam novel-novel sebelumnya kerap digunakan sebagai pintu masuk menciptakan konflik. Keduanya berada dalam status sosial yang sama, yaitu kelas priayi. Lalu, bagaimana pula dengan kedudukan perempuan di sana? Tini adalah aktivis perempuan yang sibuk dengan berbagai kegiatannya sehingga sering kali meninggalkan kedudukan dan peranannya sebagai istri. Ia juga sebenarnya punya kehidupan masa lalu yang buruk ketika ia berhu- bungan dengan Hartono, yang tanpa sepengetahuannya, adalah sahabat Sukartono ketika di Malang. Lalu, bagai- mana pula dengan posisi Rohayah? Apakah tokoh ini berada dalam posisi yang lemah yang dieksploitasi Tono? Ternyata tidak juga. Rohayah, meski digambarkan sebagai perempuan hotel, ia melayani Tono justru lantaran perasaan cintanya. Ia pun tergolong perempuan yang luas pengalamannya dan cukup berpengetahuan ketika ia menjadi simpanan seorang Belanda. Rohayah juga punya reputasi yang baik sebagai penyanyi kroncong. Jadi, Rohayah tidak dalam posisi memanfaatkan Tono. Begitu juga, posisi Tini —Rohayah tidak berada dalam tarik-menarik hegemonik konflik akibat perbedaan kelas sosial; kuat-lemah, kaya-miskin, terhormat- ternista. Bahkan, ketika Tini mendatangi Rohayah, justru

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 161 Rohayah yang memberi penyadaran kepada Tini, sehingga ia memutuskan untuk berpisah dengan suaminya.10 Kembali, kita melihat, Armijn Pane tidak mau ikut terje- rumus menampilkan tokoh perempuan yang selalu lemah dan kalah. Atau, dalam posisi yang menerima keputusan pihak lain. Keputusan Tini dan Yah meninggalkan Tono, juga tidak berarti kedua tokoh perempuan itu berada dalam posisi sebagai pemenang atau pecundang, penguasa atau korban kekuasaan. Belenggu tidak menghadirkan tokoh- tokoh yang harus selalu kalah atau menang. Mereka menja- lankan perannya sesuai dengan tuntutan cerita. Atau seti- dak-tidaknya, pengarang tidak perlu harus ikut menentukan nasib tokoh-tokoh itu sebagai pemenang atau pecundang. Tokoh-tokoh dalam Belenggu tidak berada dalam posisi sebagai korban. Biarlah, pembaca yang menafsirkan sendiri. Hal lain yang juga termasuk usaha pembaruan Armijn

10 Pada bagian ini (hal. 141-148) keberpihakan Armijn Pane tampak cenderung jatuh kepada tokoh Rohayah daripada kepada Tini. Akibatnya, terjadi ketidakwajaran lantaran perubahan sikap Tini terjadi begitu cepat. Tini yang biasanya tidak mau mengalah pada siapa pun, yang juga sebenarnya lebih terpelajar, tiba-tiba saja jadi pecundang ketika berada di hadapan Rohayah. Sebaliknya Rohayah tampil sebagai perempuan yang jauh lebih bijaksana. Sebelumnya, juga terjadi ketidakwajaran ketika ketertarikan Tono pada Yah digambarkan begitu cepat. Bahkan, tak dijelaskan pula, bagaimana proses perkawinan Tono dan Yah. Tiba-tiba saja keduanya sudah merasa resmi menjadi suami-istri. Meskipun demikian, untuk ukuran novel pada zamannya, kejanggalan atau ketidakwajaran itu, rupanya tersisihkan oleh tema dan cara peng-isahan Armijn Pane yang baru dan segar, seperti yang juga dising-gung Karim Halim: “Meskipun begitu pada beberapa bagian ada terdapat kelemahan, tetapi pada kelemahan ini pulalah tersimpul rahasia kemenangannya, ah kemenangannya, Belenggu! Armijn, Belenggu! (Pujangga Baru, No. 6, Th. VIII, 1940).

162 Jamal D. Rahman dkk. Pane berkaitan dengan teknik atau penggambaran tokoh (penokohan). Jika pada novel-novel sebelumnya pengarang menciptakan tokoh-tokohnya melalui apa yang disebut deskripsi langsung (telling) dan tidak langsung (showing). Deskripsi langsung adalah penggambaran tokoh yang diceritakan langsung oleh pengarangnya. Misalnya, gam- baran bentuk fisik dan keadaan perasaan atau pikiran si tokoh. Sedangkan yang dimaksud dengan deskripsi tidak langsung adalah penggambaran tokoh melalui cakapan dan lakuan tokohnya. Tentu saja, Armijn Pane pun tidak dapat menghilangkan teknik kisahan seperti itu. Tetapi, di sana, dalam novel Belenggu, ada teknik lain yang ditawarkan Armijn Pane, yaitu monolog interior atau cakapan batin atau berkelindannya lakuan dan perasaan atau pikiran si tokoh. Dengan demikian, kerisauan atau kegelisahan terpendam yang berada dalam pikiran dan perasaan si tokoh, justru memperkuat konflik batik yang dihadapi tokohnya. Perhatikan kutipan berikut:

Sehabis menulis itu, diteruskannya membaca surat: “Kudengar engkau bertanya: “Kalau engkau sudah tua, tiada dapat mencari rezeki, apa dayamu? Yu mulai sekarang aku mesti sudah pandai menyimpan. Engkau mengerti apa maksudku, bukan? Kira-kiraku, engkau tiada bedanya dengan daku. Barang apa saja, kau taruh di tempat cita-cita, engkau simpan di tempat yang disinari oleh cahaya angan-anganmu. Tetapi mengapa Yu, barang apa yang kau pandang bagus, tahan diuji tiada hendak rusak-rusak, tiada termakan oleh bubuk? Kecewa lebih banyak kau peroleh, meskipun begitu, pandanganmu terang juga, sedang aku, terasa padaku, di dalam hatiku patah satu demi satu.” (Belenggu, hlm. 76-77).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 163 Kutipan di atas adalah bagian surat yang ditulis Tini untuk sahabatnya Mbak Tati. Ketika Tini —dalam suratnya itu— coba mengungkapkan perasaan hati, tiba-tiba saja ia mene- gaskannya lagi melalui monolog berikut ini:

Ah, dia tiada tahu, di dalam hatiku sudah lama patah, kayu jati sudah lama dimakan bubuk, lama kelamaan akan rusak sama sekali, kalau bubuk ini akan terus juga, kalau Tono tiada juga menopang aku. (Belenggu, hal. 77).

Itulah yang dimaksud monolog interior11 yang kemudian termasuk bagian dari apa yang disebut arus kesadaran (stream of consciousness).12 Begitulah, gambaran dalam novel Belenggu adalah kesadaran Armijn Pane dalam coba menentang konvensi. Kesadaran itu menjadi lebih jelas dengan munculnya artikel Armijn Pane yang memperta- nyakan cara pengarang ketika itu yang selalu mematikan tokoh-tokoh rekannya. Sapardi Djoko Damono menyebutkan, bahwa Belenggu merupakan puncak perkembangan novel modern Indonesia

11 A. Teeuw bahkan mengatakan, bahwa sebenarnya seluruh buku ini dapat disebut sebuah monologue interieure yang berganda tiga (Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah, 1978, hal. 122). 12 Dalam perkembangan novel Indonesia, teknik arus kesadaran (stream of consciousness) ini kemudian banyak dimanfaatkan oleh Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Budi Darma, dan entah siapa lagi sebagaimana dapat kita temukan dalam novel-novel mereka. Perbincangan lebih lengkap mengenai konsep arus kesadaran berikut pembahasan dan contoh kasusnya (dalam khazanah kesusastraan Barat), silakan periksa Robert Humphrey, Stream of Consciousness in the Modern Novel, (Berkley & Los Angeles: University of California, 1954) dan Melvin J. Friedman, Stream of Consciousness: A Study in Literary Method, (New Heaven: Yale University Press, 1955).

164 Jamal D. Rahman dkk. sebelum perang. Ditinjau dari segi stilistika dan tematik, novel ini adalah hasil seorang novelis yang lebih menekankan pada pembaruan daripada sekadar mengulang-ulang apa yang pernah dikerjakan pengarang sebelumnya.13 Menurut Sapardi Djoko Damono, setidaknya ada dua hal penting berkaitan dengan pembaruan yang dilakukan Armijn Pane:

Pertama, pengarang memberi perhatian utama kepada serangkaian pikiran masing-masing tokoh rekaannya. Dengan demikian peristiwa-peristiwa fisik yang ada seolah-olah merupakan penyokong gerak pikiran tersebut. Teknik ini bukannya sama sekali baru dalam perkembangan novel Indonesia. …Namun teknik cakapan dalam hati (interior monologue) baru benar-benar dikembangkan secara sadar dan fungsional dalam Belenggu. Kedua, pengarang menampilkan pandangan tertentu terhadap keadaan sosial kota besar, suatu pandangan yang belum pernah menjiwai novel-novel sebelum perang.14

Keberhasilan Belenggu sebagaimana dikatakan Sapardi Djoko Damono, sebenarnya tidaklah cuma menyangkut persoalan tematik, stilistika dan teknik bercerita. Novel ini juga menampilkan semangat pengarangnya untuk coba mengeksploitasi kualitas bahasa Indonesia. Pemanfaatan metafora atau analogi, banyak dijumpai di sana-sini, meski juga kadang-kadang —untuk ukuran sekarang— terkesan hiperbolis. Dalam hal pengeksploitasian kualitas bahasa Indonesia itulah Belenggu dianggap menunjukkan keberha-

13 Sapardi Djoko Damono, Novel Indonesia sebelum Perang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978). 14 Ibid.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 165 silannya sebagai novel modern, seperti komentar Ida Nasu- tion yang disertakan dalam novel itu, berikut ini:

Terbitnya buku itu… dapat kita pandang ialah puncaknya kehidupan dan kegiatan pengarang-pengarang modern itu di dalam lapangan sastra…. Tetapi sedikit saja orang yang insyaf, bahasa sudah berubah, di dalam buku ini sudah diwujudkan segala akibat bahasa Melayu melompat kepada bahasa Indonesia…. Belenggu ialah perlambang pembaha- ruan bahasa ke arah bahasa Indonesia.15

Menurut A. Teeuw, Belenggu merupakan satu-satunya roman zaman sebelum perang dalam bahasa Indonesia yang pada seorang pembaca Barat akan menimbulkan rasa dirinya sungguh-sungguh terlibat.16 Bagi Teeuw, novel Belenggu merupakan sumbangan yang terpenting bagi kesusastraan Indonesia, karena buku itulah yang paling luas diperbincangkan pada zaman sebelum perang.

*** Sekarang, mari kita lihat, bagaimana tanggapan masya- rakat pembaca atas terbitnya novel Belenggu.17 M.R. Dajoh menyampaikan pujiannya yang begitu tinggi. Dikatakannya:

15 Belenggu, hal. 8. 16 A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. (Ende: Nusa Indah, 1978), hal. 121. 17 Ada 12 cuplikan komentar yang disertakan dalam novel itu sebagai endorsement. Sebagian besar berasal dari komentar-komentar yang dimuat dalam nomor khusus majalah Pujangga Baru, No. 6, Th. VIII, 1940. Menyusul kemudian tulisan S. Danilah dan Sutan Takdir Alisjahbana yang dimuat dalam Pujangga Baru No. 7, Th. IX, Januari 1941. Beberapa tanggapan atas novel Belenggu, juga muncul dalam surat-surat kabar akhir tahun 1940.

166 Jamal D. Rahman dkk. Belenggu ialah kitab kita yang semodern-modernnya yang amat baru sajian isinya, lagi pula amat baru bentuk gambaran hal masyarakat dan kehidupan yang dilihat pengarangnya. Caranya menggambar (ialah karena amat baru dan sangat realistis) —akan amat menggali banyak masyarakat. Kaum kolot tentu akan gempar oleh cemeti realisme yang dilecut- lecut dengan sangat beraninya oleh pengarang, —kaum muda, kaum baru, tentu akan bersorak membacanya, oleh keinsyaf- an keberanian pengarang memancarkan cahaya pada hal-hal yang tak patut dan tak layak.

Di bagian lain esainya, Dajoh mengatakan: “Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk pemba- ngunan semangat baru Indonesia.” Karim Halim juga memuji begitu tinggi. Dikatakannya:

Satu kemenangan telah tentu: kesusastraan Indonesia dapat aliran baru, aliran dan cara Armijn. Armijn identik zaman baru, zaman teknik, abad kedua puluh.”…Belenggu, Belenggu ciptaan Armijn Pane, memberi arah baru dalam kesusastraan Indonesia, baru dalam segalanya, baru dalam ceritanya, baru dalam gaya bahasanya, baru dalam cara mengarang, bentuk. Ah, baru semuanya. Dan buku ini teristimewa kedudukannya. Ceritanya menggambarkan perjuangan batin generasi sekarang.

Bagi L.K. Bohang, Belenggu dianggap sebagai buku yang ajaib dan luar biasa. Cerita dalam Belenggu merupakan realitas kehidupan masyarakat zamannya dengan segala dinamika: suka-duka, cinta-benci, emansipasi, harapan, dan cita-cita. Di bagian akhir esainya, Bohang mengatakan:

Sementara membaca terus, banyak impian, banyak perasaan, banyak pikiran dan kritik yang lain datang mendorong, dengan tidak diundang, tetapi tiba di halaman yang pengha-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 167 bisan, kesemuanya hilang lenyap. Bukan lagi penghidupan Tono, Tini, Jah, Hartono… bukan lagi lagu, emansipasi, massa dsb., yang menguasai hati dan otak, tetapi layar penghidupan kita sendiri yang terkembang di hadapan mata kenang- kenangan kita…. Alangkah baiknya, alangkah bagusnya, alangkah indahnya hidup yang sudi berkurban, hidup yang bermanfaat, bagi kawan segolongan khususnya dan bagi masyarakat umumnya.

Tidak ketinggalan pula, dalam esainya yang panjang H.B. Jassin juga menyampaikan pujian yang tinggi atas novel Armijn Pane itu. “Pengarang membuat manusia kenal kembali akan dirinya, membuat orang melepaskan kritik atas dirinya sendiri. Zelfcorrecti, itulah yang hendak dike- mukakannya. Manusia supaya kenal akan dirinya kembali dan memperbaiki dirinya.” Selanjutnya, Jassin mengatakan: Cara penulis melukiskan gambarannya berlainan dengan cara yang sampai sekarang diturut orang. Dalam lukisannya itu bukan laku seseorang yang dikemukakannya, melainkan pikirannya dan semangatnya. Tidak banyak ia menceritakan gerak-gerik pemain. Ia membawa pembaca berpikir bersama- sama dengan pemain roman itu. …. Pada akhir cerita semuanya tergantung-gantung di awang- awang, Tono. Tini, Jah. Tiada tempat mereka berpegang, semuanya terlepas, masing-masing mencari…. Inilah lukisan zaman sekarang, itulah orang zaman pancaroba.

Meskipun sejumlah besar pembicaraan tentang novel Belenggu memperlihatkan berbagai pujiannya, beberapa esai lain justru menanggapi secara sinis, bahkan juga negatif. Bagi S. Djojopoespito, misalnya, kisah tentang percintaan Tono dan Jah, sebenarnya menunjukkan kebodohan seorang

168 Jamal D. Rahman dkk. dokter dengan nafsu seksualnya. Kisah itu juga menegaskan, bahwa pengarang menghadirkan tokoh-tokohnya sekadar sebagai boneka belaka. Maka, bagi Djojopoespito, “buku itu sangat mengkhawatirkan.” Lebih tegas lagi dikatakan oleh Soesilowati:

Buku sebagai Belenggu dapat menggaduhkan pikiran, karena kurang diberi alasan-alasannya. Karena tak diberi obat untuk penyakit yang telah diketahuinya. Apakah penyakit itu? Karakterloosheid18 dan kelemahan, itulah yang pengarang ingin melukiskannya. Itulah belenggu yang kita takuti. Akan tetapi sayang, dalam buku itu tak kita jumpai alasan-alasan yang dapat menuntun pikiran kita. Dengan buku Belenggu ini seolah-olah hawa nafsu saja yang dikobar-kobarkan, sehingga perasaan dan pikiran lain terjepit. …Biarpun buku ini dianggap sebagai ontspanningslectuur,19 kita berpendapatan, bahwa masyarakat kita sekarang mem- butuhkan ontspanningslectuur yang sehat, bukan prikkel- lectuur.20 Maksud pengarang barangkali bagus, akan tetapi caranya mengerjakan salah. Sayang sekali.

Salah seorang pembaca yang mengaku sebagai seorang istri yang tidak pandai berbahasa Indonesia, menulis kritik- annya dalam bahasa Belanda, dimuat dalam Tjahaja Timur, 18 Juni 1940. Tulisan itu kemudian dimuat dalam buku Belenggu dalam terjemahan bahasa Indonesia berikut ini:

18 Karakterloosheid: hilangnya kepribadian. 19 Ontspanningslectuur: bacaan ringan. 20 Prikkellectuur: bacaan yang merangsang (: bacaan porno).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 169 Belenggu imitasi roman Barat, dan memajukan onzedelijk- heid dan immoraliteit21… buku itu betul-betul terang dilettantwerk22…. Lihatlah, orang-orang yang digambarkan Armijn tidak tegas gambaran sifatnya dan tidak consequent. Sering-sering Armijn bingung…. Tentang bentuk cerita itu, pembaca mestinya sudah biasa dengan bentuk cerita roman Barat, malahan dengan cerita roman Barat yang modern, barulah dapat mengerti maksud pengarang. Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda, sering-sering sia-sia menerka maksud pengarang meskipun mereka itu baik sekali bahasa Melayunya. Banyak kalimatnya dan bagiannya sangat keberatan, sehingga perlu disalin dahulu ke dalam bahasa Belanda, barulah dapat mengerti maksudnya.23

Adanya beberapa pandangan negatif itu, tentu saja merupakan hal yang wajar mengingat setiap pembaca mendasari penafsirannya sesuai dengan sudut pandangnya sendiri. Perbedaan itulah yang kerap menghasilkan pemak- naan berbeda, karena penafsiran ditentukan pula oleh pengalaman bacaan dan pengalaman hidupnya sendiri. Sasaran keberatan mereka jatuh pada persoalan moral. Tentu saja waktu itu hubungan Tono-Yah (dokter-pelacur) dan Tini-Hartono (hubungan di luar nikah) termasuk persoalan sangat sensitif untuk masyarakat priayi. Meski begitu, adanya beberapa pandangan negatif itu juga sekali- gus menunjukkan pengaruh luas novel Belenggu dalam perjalanan kesusastraan Indonesia.

***

21 onzedelijkheid dan immoraliteit: asusila dan amoral. 22 Dilettantwerk: kerja amatiran. 23 Belenggu, hal. 9-10.

170 Jamal D. Rahman dkk. Meskipun Armijn Pane dengan Belenggu-nya telah menempati posisi penting dalam perjalanan kesusastraan Indonesia sebelum perang, peran yang dimainkannya tidak- lah sebatas pada novel itu. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan Amir Hamzah, Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe, Juli 1933. Armijn Pane lah yang mem-prakarsai penerbitan majalah itu, meskipun kemudian STA yang paling banyak bergerak dan melontarkan berbagai gagasannya yang kontroversial. Dalam hal kebijaksanaan keredaksian dan rencana tulis- an-tulisan yang akan dimuat, segalanya ditentukan berda- sarkan kesepakatan redaksi. Dalam hal ini, baik Armijn Pane maupun STA, tidak dapat bertindak sendirian. Di sinilah posisi keduanya sangat penting dalam memainkan peranan majalah Poedjangga Baroe. Majalah ini kemudian menjadi wadah berkiprah para sastrawan Indonesia dari pelosok Tanah Air.24 Tetapi yang juga penting adalah semangat para pengelola majalah itu untuk melakukan pembaruan dalam cara berpikir mengenai kesusastraan, kebudayaan, dan masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa, sebagaimana tercantum dalam subjudul majalah itu sebagai berikut: “Madjalah Kesoesasteraan, Bahasa, dan Keboedajaan Oemoem”.

24 Mencermati esai Sanusi Pane, “Menghadapi Kolotisme,” (Poedjangga Baroe, No. 3, Th.I, September1933, hal. 85-87) dan esai Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe,” bagian IV, “Sedikit Sedjarahnja” (Poedjangga Baroe, No. 4, Th.I, Oktober 1933, hal. 112-119), tampaknya muncul tudingan bahwa Poedjangga Baroe tidak lain adalah kepanjangan Pandji Poestaka, majalah yang berada di bawah naungan Balai Pustaka. Mengingat Balai Pustaka merupakan lembaga kolonial,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 171 Dalam hal sikap mereka berkesenian, baik STA, Armijn Pane, maupun Amir Hamzah, masing-masing mempunyai pendirian dan pandangan yang berbeda. STA meski berorientasi ke Barat, ia menempatkan seni (sastra), harus memberi manfaat bagi masyarakat. Maka, dalam karya sastra, mesti ada pesan pendidikannya bagi masyarakat. Tambahan lagi, pada masa itu, masyarakat perlu diberi penyadaran guna membangun bangsa Indonesia. Maka, kesusastraan dapat memainkan peranannya memberi

maka Poedjangga Baroe pun membawa misi kolonial. Kedua esai kakak-beradik itu jelas dialamatkan untuk menangkis tudingan itu. Sanusi Pane menyebut golongan kolotisme sebagai pulut-pulut (barangkali maksudnya provokator: MSM), para pengarang yang mem-fabriceer syair-syair, seloka-seloka, pantun- pantun berkeranjang-keranjang. Mereka adalah bagian dari zaman lama yang sudah mulai runtuh. “Pandu zaman yang lama telah mengarang karangannya penghabisan. Pujangga Baru telah menjelma, bermahkota waktu baru, berpakaian langit bertabur bintang.” Di akhir esainya, Sanusi Pane menegaskan, “Perpustakaan baru telah timbul. Dan ia akan menang. Sudah mulai menang.” Esai Armijn Pane lebih pada penjelasan hubungan Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe. “Kesusastraan baru yang berlingkung kepada Pujangga Baru, Panji Pustaka-lah yang menimbulkannya, sebab pujangga-pujangga muda yang sekarang di sanalah, katanya, menempatkan sajaknya atas ajakan dan bujukan! Balai Pustaka itu ... badan pemerintah yang hendak meneguhkan imperialismenya? Jadi kesusastraan baru ini bukan timbul dari dalam bangsa kita, tetapi dari dalam neraka imperialisme!” Tuduhan itulah yang coba ditolak Armijn Pane dengan menjelaskan awal bermunculannya majalah-majalah yang memuat karya sastra (puisi), jauh sebelum Panji Pustaka membuka rubrik Ruang Kesusastraan tahun 1932. Dikatakan Armijn Pane, “Agak aneh rasanya, pihak kolot dalam menyerang kesusastraan baru hanya menyerang bagian puisinya, seolah-olah kesusastraan baru itu hanya mengenai itu saja, sedang kesusastraan melingkungi puisi, prosa, segala hasil epik, lirik, dan drama.”Substansi esai Armijn Pane itu hendak menegaskan kembali posisi majalah Poedjangga Baroe yang tidak ada hubungannya dengan Pandji Poestaka —Balai Pustaka, serta semangat Poedjangga Baroe hendak mengangkat bahasa Indonesia, kesusastraan baru dengan berbagai ragamnya, dan kebudayaan Indonesia baru.

172 Jamal D. Rahman dkk. penyadaran. Dalam hal ini, kesusastraan Indonesia dapat dijadikan alat pendidikan bagi masyarakat. Ringkasnya, dalam berkesenian, STA menganut pandangan seni untuk masyarakat. Sikap Armijn Pane —dan kakaknya, Sanusi Pane— berbeda. Meski tidak secara tegas Armijn menyatakan sikap berkeseniannya pada pandangan seni untuk seni, novelnya Belenggu, antologi puisinya Jiwa Berjiwa (1939), kumpulan cerpennya, Djinak-Djinak Merpati(1940) menunjukkan sikapnya yang mendukung seni untuk seni. Maka, dalam sejumlah karyanya itu, kita melihat bahwa pesan tentang ajaran moral atau pendidikan dalam karya sastra, tidaklah mesti dinyatakan sebagai suara pengarang yang segalanya digambarkan serba baik atau serba jelas. Dalam hal yang buruk pun, pembaca dapat menarik pelajaran berharga, yaitu tidak melakukan perbuatan buruk itu. Pembaca pun tidaklah perlu harus dijejali segala sesuatunya secara eksplisit. Biarlah pembaca diberi kebebasan untuk menafsir dan memaknai karya sastra sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Itulah sebenarnya pesan yang hendak disampaikan Armijn Pane. Mengenai majalah Poedjangga Baroe, seperti telah disinggung, persoalan sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia adalah lapangan perjuangan yang diemban para pengelola majalah itu. Dalam konteks ini, mereka seperti melakukan semacam strategi menawarkan pandangan baru mengenai ketiga hal tadi, yaitu sastra, bahasa, dan budaya Indonesia. Oleh karena itu, kita akan menemukan banyak

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 173 esai yang berkaitan dengan kesusastraan, bahasa, dan kebudayaan Indonesia. Di samping itu, pemuatan puisi, hampir terjadi dalam setiap edisinya. Pemuatan puisi ini juga berkaitan dengan tiadanya majalah yang secara serius memuat puisi. Bahkan, Balai Pustaka, seperti sengaja mengabaikan puisi (dan drama). Dalam kesusastraan Indonesia sebelum perang, kita tidak menemukan antologi puisi dan naskah drama yang diterbitkan Balai Pustaka. Itulah sebabnya, buku-buku puisi, termasuk juga naskah drama dalam kesusastraan Indonesia sebelum perang, hampir semuanya diterbitkan bukan oleh penerbit Balai Pustaka. Di sinilah, Poedjangga Baroe telah memainkan peranannya yang penting dalam menyemarakkan kehidupan perpuisian Indonesia serta pemuatan naskah-naskah drama. Disadari pula, bahwa konsep tentang kesusastraan dan kebudayaan Indonesia baru, perlu diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia. Maka, sejumlah esai yang ditulis STA, Amir Hamzah, dan Armijn Pane memperlihatkan kesadaran mereka tentang pentingnya semangat baru dalam menyikapi terjadinya perubahan zaman, dan perubahan itu terjadi juga dalam lapangan kesusastraan dan kebudayaan. Mereka lewat esai-esainya tentu saja leluasa menawarkan gagasan-gagasannya, memuatkan karya-karya yang sesuai dengan semangat pembaruan mereka, dan menghadirkan polemik pada tulisan atau esai lain, baik yang dimuat majalah Poedjangga Baroe, maupun majalah atau surat kabar lain, jika dipandang tidak sejalan dengan gagasan mereka. Kadangkala, di antara ketiganya itu —Armijn Pane- STA-Amir Hamzah— juga terjadi polemik. Jadi, di satu sisi,

174 Jamal D. Rahman dkk. mereka bisa saling mendukung, sebagaimana penolakan STA dan Armijn Pane pada pantun dan syair,25 dan di pihak lain, mereka bisa berbeda pendapat, bahkan juga saling melaku- kan kritik, sebagaimana Armijn Pane mengkritik novel Layar Terkembang (STA), dan STA mengkritik novel Belenggu (Armijn Pane). Mengenai pantun dan syair misalnya, STA secara tegas mencampakkan pantun dan syair sebagai barang lama yang tidak berguna dan mati-semati-matinya, sementara Armijn Pane melihatnya, ada pembaruan yang wujud dalam bentuk (vorm), sehingga meski terkesan masih ada pertaliannya dengan pantun atau syair, kedua jenis puisi itu sudah tidak mendapat tempat lagi pada penyair zaman Pujangga Baru. Amir Hamzah justru melihatnya lain dan melakukan pembelaan atas keberadaan pantun dan syair. Dikatakan Amir Hamzah: “…bentoek pantoen jang biasa itoe ja’ni, bahwa ia terdjadi dari empat baris dan doea baris jang di atas itoe pada sekali pandang tiada bersangkoet paoet dengan doea boeah kalimat jang di bawah. Inilah kegandjilannja

25 Berbeda dengan STA dan Armijn Pane, Amir Hamzah dalam esai-esainya justru tidak menolak pantun dan syair. Bahkan, Amir Hamzah mengingatkan, bahwa puisi —dan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan— tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kesusastraan dan kebudayaan Timur: Amir Hamzah mengatakan: “Kesusastraan Indonesia ini banyak dipengaruhi oleh kesusastraan tanah luar, tanah yang hampir dengan kepulauan Indonesia. Tambahan pula tanah yang mengelilingi Indonesia ini kaya dalam ilmu sastra. Dalam pergaulan antara dua bangsa itu berpinjam-pinjaman kebudayaanlah mereka. Juga oleh jalan memeluk agama mereka yang datang itu maka diambil anak bumiputralah akan kebudayaan dan kesusastraan mereka, seperti kesusastraan dan kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam.” (“Kesoesasteraan,” Poedjangga Baroe, No. 12, Th. II, Juni 1934).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 175 pantoen Indonesia.”26 Ia juga mengingatkan, bahwa untuk memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei kehi- doepan pikiran serta kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah moengkin kita menerangkan sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Esai itu sebenarnya tersirat hendak menentang pan- dangan STA yang melihat pantun dan syair sebagai karya yang sudah tidak berguna lagi. Bagaimanapun, bagi Amir Hamzah, pantun atau khazanah puisi lama dapat menjadi inspirasi untuk menghasilkan karya-karya modern. Maka, memelihara khazanah sastra lama, tetaplah akan bermanfaat. Berbeda dengan Amir Hamzah, Armijn Pane melihat, bahwa kesusastraan Indonesia, khususnya puisi Indonesia, tetaplah mempunyai pertalian dengan khazanah sastra lama. Paling tidak, bentuk pantun masih dapat ditelusuri pada puisi-puisi modern yang dimuat majalah Poedjangga Baroe. Selain menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menu- rutnya merupakan bentuk baru dari pantun:

“Poedjangga baroe boekan hanja memindjam dari bangsa asing akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega membaoetkan vorm jang lama soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat baroe.”

26 Amir Hamzah, “Pantoen,” Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934. Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, (Jakarta: Dian Rakyat, 1982), hal. 49- 59.

176 Jamal D. Rahman dkk. Untuk mendukung pernyataannya itu, Armijn menyam- paikan beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada masa itu. Berikut ini akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh kasus sebuah puisi karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932:

Kalau tidak karena sinar boelan Tidaklah malam terang tjuatja Beta termenoeng Karena bingoeng

Kalau tidak karena kesadaran Tidaklah kira, poetra bekerdja Beta berloetoet Ingin bersoedjoet

“Dengan sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen, tetapi Waktoe membatjanja, tiadalah ter- singkirkan perasaan daripada kita, bahwa ini ijalah pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama dengan pantoen.” Dalam sejumlah esainya, tampak benar Armijn Pane tidak hanya bertindak sebagai kritikus, tetapi juga teoretikus. Argumennya yang luas dan mendalam tentang kesusastraan baru —termasuk juga yang dikatakannya sebagai vorm baru— menjadi semacam panduan bagi para penyair sezamannya. Sejumlah besar puisi yang dimuat Poedjangga Baroe menunjukkan sebuah gerakan yang coba membuat bentuk baru yang berbeda dengan pola pantun dan syair, meski juga jejak puisi lama itu masih terasa. Secara tematik, meski di sana-sini penyair cenderung mengobarkan sema- ngat romantik, beberapa di antaranya mengangkat persoal- an bahasa Indonesia sebagai alat persatuan bangsa. Gagasan-gagasan Armijn Pane, seperti dikatakan Sanusi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 177 Pane, ibarat cakra yang sakti bagi Poedjangga Baroe yang me-nyebar pengaruhnya begitu luas pada sastrawan seangkat-annya dan sastrawan generasi berikutnya. Satu gagasan yang entah mengapa kini dipakai secara keliru adalah konsep pujangga. Dikatakan Armijn Pane dalam artikelnya yang dimuat Suara Umum, 3 Mei 1933: “Kami tidak menyebut diri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Pertanyaannya, mengapa kini para penulis puisi disebut sebagai penyair —penulis syair— yang pada zaman Pujangga Baru justru ditolak Armijn Pane, dan bukan pujangga?

*** Armijn Pane lahir 18 Agustus 1908, di kampung halaman yang sama dengan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu Muara Sipongi, Mandailing, Natal, Sumatera Utara, sebuah desa di tengah hutan Bukit Barisan. Pendidikan yang ditempuh- nya mula-mula HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Padang Sidemuan dan Tanjung Balai, kemudian masak ELS (Europeesche Lagere School) di Sibolga dan Bukittinggi. Konon, dalam usia 15 tahun (1923) ia terdaftar sebagai pelajar Stovia (Sekolah Kedokteran) di Jakarta, namun tidak selesai. Ia pindah ke Surabaya tahun 1927 dan masuk NIAS (Nederlands—Indische Artsen School), yaitu sekolah kedokteran yang didirikan di kota itu tahun 1913. Ia pindah lagi ke Solo dan masuk AMS-A (Algemene Middelbare School) hingga selesai tahun 1931. Seperti juga kebanyakan sastrawan waktu itu yang

178 Jamal D. Rahman dkk. pekerjaan utamanya guru atau wartawan, Armijn Pane pun menekuni dunia jurnalistik. Tercatat ia pernah menjadi wartawan Soeara Oemoem, Surabaya (1932), mingguan Penindjaoean (1934), dan suratkabar Bintang Timur (1953). Ia juga pernah menjadi guru Taman Siswa di Kediri, Malang, dan terakhir di Jakarta. Memprakarsai penerbitan majalah Poedjangga Baroe dan menjadi redaktur majalah itu selama lima tahun (1933-1938). Armijn Pane juga pernah menjadi redaktur Balai Pustaka (1936). Dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo (1938), Armijn Pane bertindak sebagai sekretarisnya. Pada zaman Jepang, bersama kakaknya, Sanusi Pane, Armijn Pane bekerja sebagai kepala bagian Kesusastraan, Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) (1942—1945). Selepas merdeka, Armijn Pane bekerja sebagai redaktur majalah Indonesia (1948—1955) dan sekretaris Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) (1950—1955) dan anggota Panitia Sensor Film (1950-1955). Pada tahun 1969, Armijn Pane mendapat Anugerah Seni dari Pemerin- tah Indonesia. Sejumlah karyanya, selain novel fenomenalnya, Belenggu (1940), juga antologi puisi Djiwa Berdjiwa (1939) dan Gamelan Djiwa (1960), antologi cerpen Djinak-Djinak Merpati (1940) dan Kisah Antara Manusia (1953), dan sebuah naskah drama berjudul Antara Bumi dan Langit (dimuat dalam majalah Pedoman, 27 Februari 1951). Karya lainnya yang berupa kajian tentang sastra Indonesia, antara lain, Kort Oversicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949) dan Sandjak-sandjak Muda Mr Muham-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 179 mad Yamin (1954). Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia (1950) dan Jalan Sejarah Dunia (1952). Karya terjemahannya, Tiongkok Zaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19–sekarang (1953), sebuah novel karya Ilya Ehrenburg berjudul Membangun Hari Kedua (1956) dan terjemahan surat-surat Raden Ajeng Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (1968), serta sebuah saduran drama karya Hendrik Ibsen, berjudul Ratna (1943). Armijn Pane wafat di Jakarta, 16 Februari 1970.[]

180 Jamal D. Rahman dkk. Sutan Takdir Alisjahbana Kontribusi dan Kontroversi

MAMAN S. MAHAYANA

utan Takdir Alisjahbana (STA) dalam sejarah Skebudayaan Indonesia, kerap ditempatkan dalam perbincangan tentang Polemik Kebudayaan. Benar, bahwa munculnya perbalahan tentang konsep kebudayaan Indonesia bermula dari esai STA yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia—Prae- Indonesia”.1 Dikatakan STA, bahwa sejarah Indonesia dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu zaman Pra-Indonesia dan zaman Indonesia. Zaman Pra-Indonesia dimasukkannya sebagai zaman jahiliyah, zaman yang penduduknya masih berpikir provinsional, statis, dan seterusnya. Sedangkan zaman Indonesia adalah zaman yang masyarakatnya sudah mulai berpikir tentang Indonesia, tentang perlunya persa- tuan Indonesia. Ibarat pemisahan zaman prasejarah—yang belum mengenal tulisan, dan zaman sejarah—yang sudah

1 Sutan Takdir Alisjahbana, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia—Prae-Indonesia” Pujangga Baru, Tahun III, No. 2, Agustus 1935. Dimuat juga dalam suratkabar Suara Umum, Agustus 1935.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 181 mengenal tulisan, itulah yang terjadi pada sejarah Indonesia. Oleh karena itu, zaman Indonesia sebenarnya tidak ada hubungan lagi dengan zaman Pra-Indonesia. Menurut STA, sejarah Indonesia dimulai pada abad ke-19, karena sebelum itu, belum ada pemikiran tentang Indonesia. Banyak pandangan STA dalam esai itu yang memang kontroversial. Itulah sebabnya, esai STA ini mendapat cukup banyak kritikan. Setidak-tidaknya, tanggapan datang dari Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Armijn Pane, Ki Hadjar Dewantara, dan tokoh-tokoh intelektual Indonesia waktu itu. Bahkan, Poerbatjaraka menyebut cara berpikir STA tentang sejarah Indonesia sebagai waringin sungsang, yaitu pohon beringin yang akarnya ke atas.2 Perbalahan itu lalu meluas menjadi perdebatan pemikiran tentang kebudayaan Indonesia dan bagaimana bangsa Indonesia menyikapi kebudayaan masa lalu dalam berha- dapan dengan kebudayaan baru (Barat).3 Simpang-siur pemikiran itu terjadi bukan dalam sebuah forum seminar atau diskusi publik, melainkan dalam esai-esai yang dimuat di berbagai media massa yang terbit ketika itu.4 Achdiat Karta Mihardja lalu menghimpunnya kembali dalam sebuah buku

2 Poerbatjaraka, “Sambungan Zaman,” Suara Umum, No. 276, 4 September 1935. 3 Dalam sanggahannya terhadap para pengkritiknya, tampak benar, STA selalu coba berkilah atau menyangkal apa yang pernah diucapkannya. Pernyataan bahwa zaman pra-Indonesia sebagai zaman jahiliyah, dalam esai-esai STA berikutnya, tidak lagi digunakan. 4 Achdiat Karta Mihardja baru mengumpulkan sebagian esai yang dimuat majalah Pujangga Baru (Jakarta), Suara Umum (Surabaya), Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur (Jakarta), dan Wasita. Majalah yang disebut terakhir ini terbit pertama kali 1928 di Yogyakarta dengan pemimpin redaksi Ki Hadjar Dewantara.

182 Jamal D. Rahman dkk. berjudul Polemik Kebudayaan yang terbit tahun 1948.5 Jadilah perbalahan yang terjadi pertengahan dasawarsa 1930-an itu hingga kini disebut sebagai Polemik Kebudayaan.6 Sesungguhnya, kontroversi STA tidak cuma menyangkut gagasan tentang kebudayaan Indonesia, melainkan juga pandangannya tentang sejumlah konsep kesusastraan dan bahasa Indonesia. Tetapi dengan begitu, pengaruh STA berdampak begitu luas. Bahkan, sampai sekarang warisan pemikirannya masih dapat ditemukan dalam bidang pendi- dikan, kesusastraan, bahasa, dan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Itulah sebabnya, posisi penting penga-

5 Dalam perbincangan dengan Achdiat Karta Mihardja (5 Juni 2005) di FIB-UI, buku Polemik Kebudayaan direncanakan terbit dalam dua jilid. Buku Polemik Kebudayaan yang terbit tahun 1948 adalah jilid pertamanya. Entah mengapa jilid keduanya, hingga Achdiat wafat di Canberra, Australia, 8 Juli 2010, tidak juga terbit. Dalam pengantar buku itu, juga disebutkan: “Maksud kami hendak menyusul kumpulan ini dengan kumpulan kedua, ialah yang terdiri atas karangan- karangan para akhli yang juga pernah mengupas soal Timur—Barat yang menjadi pokok persoalan di dalam polemik ini. “ (hal. 7). Bahkan, di alinea akhir kata pengantar itu, Achdiat Karta Mihardja menegaskan lagi, “Itulah maka dengan insyaf, kami mengumpulkan polemik ini. Kumpulan kedua menyusul.” (hal. 8). Apa maknanya informasi itu bagi kita? Tentu saja esai-esai yang terhimpun dalam buku itu baru sebagian dari simpang-siur pemikiran tentang kebudayaan Indonesia yang menjadi polemik waktu itu. Sayangnya lagi, banyak di antara sastrawan dan budayawan kita yang tahu tentang polemik kebudayaan itu sekadar kulitnya saja, dan nyaris tak pernah menelesik pemikiran yang berkembang dalam polemik kebudayaan itu. Dari sanalah sesungguhnya konsep kebudayaan Indonesia coba dirumuskan. 6 Jadi yang memberi label Polemik Kebudayaan mengenai perdebatan yang terjadi pertengahan dasawarsa 1930-an itu tidak lain adalah Achdiat Karta Mihardja, dan buku yang berjudul Polemik Kebudayaan memang berisi sebagian esai-esai perdebatan itu. Esai STA tentang seni yang juga kontroversial berjudul “Menuju Seni Baru” (dimuat majalah Pujangga Baru, No. 1, Th. I, Juli 1933), juga esai Amir Hamzah, Armijn Pane, dan beberapa tulisan lain yang menolak pandangan STA, tidak terdapat dalam buku yang dihimpun Achdiat itu.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 183 ruh STA sebenarnya tidak pada novelnya Layar Terkembang (1936), melainkan pada pemikirannya yang kritis, sekaligus juga kontroversial. Esai ini akan coba melacak, mengungkap, dan mendedahkan sejumlah gagasan dan pemikiran STA yang sampai sekarang masih bertahan, di antara gagasan- nya yang lain yang kontroversial.

*** Ketika STA mendirikan majalah Pujangga Baru, usianya menginjak seperempat abad. Budayawan yang di kalangan ilmuwan internasional lebih dikenal sebagai filsuf Indonesia ini, lahir di Natal, Sumatera Utara, sebuah daerah terpencil di tengah hutan di kaki Bukit Barisan, 11 Februari 1908, dan wafat di Jakarta, 17 Juli 1994. STA menamatkan sekolah dasar di Bengkulu tahun 1921, lalu meneruskan ke Kweek School (Sekolah Guru) di Lahat, Muara Enim. Dari situ ia melanjutkan pendidikannya ke Hogere Kweek School (Sekolah Guru Tinggi) di Bandung yang diselesaikannya tahun 1928. Dengan bekal pendidikan itu, pengarang intelektual ini hijrah ke Palembang dan menjadi guru Sekolah Dasar di sana untuk beberapa waktu lamanya. Namun tumbuhnya kegandrungan terhadap ilmu pengetahuan makin tak kuasa dibendungnya. Ia pun lalu pergi ke Jakarta guna mengikuti Hoofdacte Cursus selama dua tahun (1931-1933). Diploma yang diraihnya dalam pendidikan itu merupakan penghargaan tertinggi bagi seorang guru yang dapat dicapai di daerah jajahan Hinda Belanda waktu itu. Adapun diploma sejenis yang lebih tinggi lagi, hanya dapat diperoleh di negeri Belanda sendiri.

184 Jamal D. Rahman dkk. Ternyata, diploma yang diraihnya itu malah membuat STA kian penasaran pada ilmu yang dimilikinya. STA kemudian masuk ke Fakultas Hukum (waktu ini masih bernama Sekolah Hakim Tinggi) di Jakarta yang diselesai- kannya kurang dari enam tahun (1937-1942) dengan gelar Mr. (Meester in de Rechten). Di samping itu, ia juga mengikuti kuliah di Fakultas Sastra terutama bidang ilmu bahasa (linguistik) umum, Kebudayaan Asia Timur, dan Filsafat. Atas kiprahnya di bidang bahasa Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1979, Universitas Indonesia memberi gelar doktor (Honoris Causa) dan atas peranannya dalam membimbing guru-guru Melayu7 dan meningkatkan kerja sama bahasa Indonesia —bahasa Melayu, Universitas Sains Malaysia pada tahun 1987 juga memberi gelar doktor (Honoris Causa). *** Sebelum STA berkecimpung di bidang bahasa dan sastra Indonesia, sebagai anak muda, mula-mula ia lebih banyak bergerak dalam kegiatan organisasi kepemudaan yang pada

7 Ketika hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pulih kembali selepas terjadi konfrontasi, Universitas Nasional (Unas) di bawah pimpinan STA membuka kuliah jarak jauh kepada guru-guru Melayu di Malaysia. Beberapa dosen Unas juga dikirim ke Malaysia untuk menjadi dosen tamu atau melakukan pembimbingan. Pada awal tahun 1970-an, sekitar 200-an guru di berbagai daerah di Malaysia berhasil menjadi sarjana sastra berkat kuliah jarak jauh yang diselenggarakan Unas. STA sendiri sejak tahun 1950-an —sebelum Singapura menjadi sebuah negara— sudah dikenal luas di kalangan sastrawan dan guru-guru di sana. Bahkan, penamaan Asas 50 (Angkatan 50) yang melahirkan sastrawan-sastrawan terkemuka Malaysia, menurut keterangan Masuri SN, salah seorang pendiri Asas 50, berasal dari gagasan STA ketika ia berkunjung ke sana, pertengahan tahun 1950.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 185 zamannya membawa semangat nasionalisme. Pada tahun 1924, misalnya, ia mendirikan Jong Sumatranen Bond (Perkumpulan Pemuda Sumatera) cabang Muara Enim. Ia kemudian terpilih menjadi ketua organisasi itu untuk cabang Muara Enim. Selanjutnya, ketika ia menjadi siswa Hogere Kweek School di Bandung (1925-1928), ia menduduki Wakil Ketua dan Sekretaris perkumpulan itu untuk cabang Bandung. Dalam kongres kedua, 28 Oktober 1928 yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda, salah satu wakil Jong Sumatranen Bond itu pula yang mengusulkan agar bahasa Melayu Riau diangkat menjadi bahasa Indonesia.8 Menyusul diangkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dalam kongres itu, STA yang ketika itu menjadi guru Sekolah Dasar di Palembang, segera menerbitkan majalah mingguan Semangat Muda yang secara tegas menyebutkan bahwa majalah itu menggunakan bahasa Indonesia (STA tidak lagi memakai istilah bahasa Melayu). Baru setahun mengelola majalah itu (1928-1929), tahun berikutnya, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka dengan jabatan redaktur kepala majalah Panji Pustaka (1930-1933). Sebagai pemimpin redaksi, STA punya kesempatan luas untuk menumpahkan gagasannya dan menyebarkannya melalui majalah itu. Salah satu rubrik penting yang dikelola-

8 Wakil Jong Sumatranen Bond dalam Kongres Pemuda Kedua, 28 Oktober 1928 itu, tidak lain adalah Muhammad Yamin yang bertindak sebagai sekretaris panitia. Yaminlah yang mengusulkan bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa Indonesia. STA sendiri tidak hadir dalam kongres itu.

186 Jamal D. Rahman dkk. nya adalah rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan”.9 Dalam rubrik itu, STA mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu sambil sekalian mengungkapkan konsep-konsep puisi dan secara umum, konsep kesusastraan Indonesia lama-baru, tradisional-modern.10 Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas,

9 Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya dimulai sejak awal tahun 1932 ketika Sutan Takdir Alisjahbana dalam majalah Pandji Poestaka membuka rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sejumlah istilah puisi, seperti bait, bunyi sajak akhir (rima), perbandingan, aliterasi-asonansi, metafora, personifikasi, onomatope, dan beberapa istilah lain, diperkenalkan STA dengan mengambil contoh puisi-puisi berbahasa Melayu. Periksa juga Maman S. Mahayana, “Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia,” Jurnal Kritik, No. 2, 2012, hal. 93-121. 10 Dikotomi puisi (kesusastraan) Indonesia lama-baru, tradisional-modern, sesungguh- nya berasal dari gagasan STA. Berikut ini saya paparkan ciri-ciri yang membedakan puisi (kesusastraan) Indonesia lama-baru, tradisional-modern menurut STA, yaitu: anonim-tidak anonim, statis-dinamis, terikat-bebas, lisan-tulisan, milik masyarakat (komunal)-individual, berkisah tentang dunia supranatural-kehidupan nyata, dan istana sentris-kehidupan pribadi (individu) atau masalah sosial. Pandangan inilah yang sampai sekarang melekat dalam dunia pendidikan atau pengajaran kesusastraan Indonesia. Padahal contoh-contoh yang dibicarakan STA hanya menyangkut kesusastraan Melayu. Itu pun, yang sesuai dengan gagasannya sendiri. Terbukti, pandangan dikotomis ini telah menafikan keberadaan puisi non-Melayu, dan meng- anggap kesusastraan lama/tradisional tidak ada gunanya, harus diapkir, dan mati semati-matinya. Gagasan yang dikemukakan STA sebenarnya berangkat dari asumsi- asumsi, dan terbukti, hampir seluruh keterangan yang dicirikan STA pada puisi- puisi lama —tradisional itu, tidak sesuai dengan kenyataan atau karakteristik yang terdapat dalam puisi-puisi yang disebutnya puisi lama atau tradisional itu. Pantun, misalnya, merupakan model puisi Indonesia yang memperlihatkan kreativitas, spontanitas, dan kecerdasan si pemantun. Pantun juga merupakan bentuk puisi yang dinamis, meski di sana ada sampiran dan isi. Jadi, apakah karena pantun mensyaratkan adanya lampiran dan isi, lalu ketentuan itu dianggap membatasi kebebasan dan kreativitas. Apakah pantun menunjukkan sifatnya yang statis? Jadi, ciri-ciri yang dikemukakan STA —kecuali soal sampiran dan isi, serta persajakan a-b-a-b— tidak terdapat pada pantun. Belum lagi puisi-puisi berbahasa daerah yang sebenarnya tidak sesuai dengan ciri-ciri yang dikemukakan STA.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 187 tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama.11 Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, dimuat artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan” yang di dalamnya terdapat pandangan STA mengenai perlunya karya sastra diulas, dianalisis, dan dikritik untuk menumbuhkan kega-irahan menciptakan karya sastra yang lebih baik. Dapat dika-takan, artikel inilah yang pertama secara eksplisit mencan-tumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia.12 Pada tahun 1929, untuk pertama kalinya ia menulis roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang (Balai Pustaka, 1929). Roman keduanya, Dian yang Tak Kunjung Padam baru terbit tiga tahun kemudian (1932). Sementara STA bekerja di Panji Pustaka, semangat mudanya yang mendambakan kebebasan dan lepas dari ikatan-ikatan Pemerintah Belanda, kian membuatnya risau. Ia meng- inginkan adanya satu wadah yang dapat mempersatukan para sastrawan Indonesia dari pelosok Tanah Air. Atas dasar itulah, ia mengajak Armijn Pane dan Amir Hamzah untuk mendirikan majalah Pujangga Baru.13

11 Menurut STA, ciri puisi baru, selain tidak terikat oleh bentuk, juga isi mengungkapkan sukma-perasaan jiwa si penyair. Meskipun STA membuat ciri- ciri puisi baru, dalam praktiknya, puisi-puisinya sendiri, bahkan hampir semua puisi karya para penyair Pujangga Baru, masih belum dapat meninggalkan pola syair dan pantun. Jadi, STA sebenarnya hanya berhasil secara teoritis, dan gagal ketika hendak dipraktikkan dalam karya-karyanya. 12 Maman S. Mahayana, “Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia,” Jurnal Kritik, No. 2, 2012, hal. 93-121. 13 Boleh dikatakan, hampir semua persiapan pendirian majalah Pujangga Baru dilakukan STA. Amir Hamzah ketika itu berada di Solo. Belakangan, Amir Hamzah tidak bersedia namanya dicantumkan dalam majalah itu, meskipun turut membantu dalam masalah keredaksian. Inisiatif pendirian majalah tersebut pada awalnya datang dari Armijn Pane. STA menyambutnya lantaran ia ingin segera hengkang dari majalah Panji Pustaka.

188 Jamal D. Rahman dkk. Seperti juga sejumlah majalah dan surat kabar yang terbit waktu itu, masalah keuangan selalu menjadi kendala. STA kemudian menghubungi beberapa istri bupati dan pegawai pemerintah untuk membantu keuangan dengan cara berlangganan. Hussein Djajadiningrat yang juga dimintai donasinya, bersedia memberi kata sambutan untuk majalah itu. Maka, pada Juli 1933 terbitlah edisi perdana majalah Pujangga Baru dengan tiras tidak lebih dari 200 eksemplar.14 Meskipun tiras majalah itu dalam setiap edisinya tidak lebih dari 500 eksemplar, Pujangga Baru menjadi satu- satunya majalah yang terbit sebelum merdeka yang paling berpengaruh dalam bidang sastra, bahasa, dan kebudayaan secara umum.15 Dalam masa belum genap satu dasawarsa itu (Juli 1933- Februari 1942), Pujangga Baru sesungguhnya telah berhasil mengangkat isu kebudayaan persatuan Indonesia sebagai isu yang mewakili nasionalisme kebudayaan. Dari sikap

14 Sampai Maret 1942 ketika Pujangga Baru mengakhiri penerbitannya karena kedatangan Jepang, setiap bulan majalah itu terbit dengan tiras tidak lebih dari 500 eksemplar. Meskipun pada edisi pertama sudah ada 150-an pelanggan, dalam perkembangannya jumlah pelanggan dan pembeli majalah itu, tidak pernah lebih dari 500 orang. 15 Sebenarnya, majalah Pujangga Baru bukanlah satu-satunya majalah yang terbit pada masa itu. Majalah Panji Pustaka (1922-1945) yang terbit sebelum Pujangga Baru dan diterbitkan Balai Pustaka dengan keuangan dari pemerintah Belanda, tirasnya jauh melebihi Pujangga Baru. Demikian juga penyebarannya, karena majalah ini dikirim secara gratis ke sekolah-sekolah. Tetapi, pengaruhnya nyaris tidak terdengar, apalagi setelah ditinggalkan STA. Di Medan, terbit pula majalah Pedoman Masyarakat (1935-1942), dengan HAMKA sebagai salah satu redakturnya. Majalah Pedoman Masyarakat terbit mingguan dengan tiras yang jauh lebih banyak dibandingkan Pujangga Baru. Penyebarannya juga lebih luas,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 189 konsisten Pujangga Baru, khususnya yang terungkap pada gagasan-gagasan STA, pemahaman mengenai Indonesia baru yang hendak menatap masa depannya dan masa pra- Indonesia yang berlumut, pucat dan letih, menjadi bahan yang justru harus dipikirkan bersama. Konsep kebudayaan dan identitas Indonesia, mengemuka dan bergeser menjadi sebuah pemikiran mengenai nasionalisme kebudayaan. Inilah kontribusi penting Pujangga Baru yang ternyata berpengaruh kuat pada sikap, pemikiran, dan orientasi budaya generasi berikutnya.16 Kontribusi lainnya atas peranan yang dimainkan STA melalui Pujangga Baru, di antaranya menyangkut lahirnya tradisi berpolemik sebagai sebuah dinamika tentang kebuda- yaan, tentang bangsa atau tentang hal lain sebagai usaha menciptakan cara berpikir kritis. Mencermati esai-esai STA, Armijn Pane, Sanusi Pane atau Amir Hamzah dalam maja- lah itu, kita melihat bahwa mereka pada dasarnya punya pandangan yang berbeda, bahkan tidak jarang bertolak belakang satu sama lain, baik yang menyangkut konsep seni,

tidak hanya di kota-kota besar di Nusantara, tetapi juga di Semenanjung Melayu, Mesir, dan Belanda. Sebagai mingguan, Pedoman Masyarakat memuat isu-isu sosial, politik, budaya, dengan titik berat pada persoalan keislaman. Boleh dikatakan, majalah ini yang pertama mengangkat persoalan nasionalisme Islam. Meski begitu, pengaruhnya dalam bidang kesusastraan, kebudayaan, dan pemikiran, hampir tak bergaung. Boleh jadi juga, pengaruh Pujangga Baru lebih luas lantaran tidak sedikit esai-esai yang dimuat di sana, cenderung menciptakan kontroversi. 16 Maman S. Mahayana, “Monumen Pujangga Baru,” dalam Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, (Jakarta: Bening Publishing, 2005).

190 Jamal D. Rahman dkk. pengaruh-memengaruhi, peranan sastrawan, dan penyi- kapan terhadap persoalan Timur-Barat. Ketika STA mena- warkan konsep seni baru dengan orientasi ke Barat,17 misal- nya, Amir Hamzah justru mengangkat kata-kata Melayu arkhaik yang hampir tidak pernah digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.18 Secara tegas, Amir Hamzah juga menekankan, bahwa seni (sastra) Indonesia pada dasarnya bersumber dan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kebudayaan Timur (India, Timur Tengah, Cina, dan Jepang) serta sistem kepercayaan animisme, Hindu-sme, dan Islam yang oleh STA dianggap harus mati semati-matinya. Pan- dangan Amir Hamzah itu juga didukung Armijn Pane19 dan Soewandhi20 yang sekaligus menolak gagasan STA. Sejak berdirinya sampai datang bala tentara Jepang yang kemudian melarang terbitnya majalah itu Februari 1942, STA bertindak sebagai pemimpin redaksinya. Pada masa selama itu pula, ia menumpahkan segala pemikirannya untuk memajukan kebudayaan, sastra dan bahasa Indonesia. Salah

17 STA, “Menuju Seni Baru,” (PB, No. 1, Th. I, Juli 1933), “Tidak Ada yang Dinanti,” (PB, No. 3, Th. I, September 1933), “Mengha-dapi Kebudayaan Baru,” (PB, No. 12, Th. I, Juni 1934), “Puisi Indonesia Zaman Baru,” (PB, No. 3-7, dan 9, Th. II, September 1934-Januari 1935 dan Maret 1935, No. 1, Th. III, Juli 1935, No. 9-10, Th. III, Januari-Februari 1936, No. 3-4, Th. IV, September- Oktober 1936, No. 10, April 1937). 18 Amir Hamzah, “Kesusasteraan,” Pujangga Baru, No. 12, Djoeni 1934 19 Armijn Pane, “Kesusasteraan Baru,” Pujangga Baru, No. 1-5, Th. I, Juli- November 1933. 20 Soewandhi,”Mencari Bentuk Baru,” Pujangga Baru, No. 10, Th. I, April 1934.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 191 satu esai panjangnya yang penting, berjudul “Bahasa Indonesia”21 merupakan telaah mendalam dan luas, yang menegaskan, betapa pengangkatan bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa Indonesia merupakan pilihan yang tepat, baik ditinjau dari sudut sejarah, penyebaran, jumlah pemakai, kesederhaan struktur bahasanya, sifat dan karak- teristiknya yang inklusif dan mudah menyerap unsur asing, dan prospeknya sebagai bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia yang multi-etnik.

*** Kelahiran bahasa Indonesia, 28 Oktober 1928, berdampak sangat luas. Tokoh-tokoh pergerakan dan kaum terpelajar, yang pada awalnya lebih suka berbicara atau menulis dalam bahasa Belanda, kini tidak ragu-ragu lagi memakai bahasa Indonesia. Partai-partai politik dan organisasi pemuda waktu itu memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat untuk menumbuhkan sentimen persatuan keindonesiaan. Meskipun demikian, pemerintah kolonial Belanda masih belum mengakui kenyataan itu dan masih tetap menyebutnya sebagai bahasa Melayu. Guna memberi legitimasi kultural dan sosiologis, beberapa tokoh pergerakan dan kaum terpelajar bersepakat untuk menyelenggarakan kongres bahasa Indonesia pertama. Dipilihlah kota Solo

21 Sutan Takdir Alisjahbana, “Bahasa Indonesia” Poedjangga Baroe, Nomor Peringatan, I, 1933, hlm. 129—178. Sebagian dimuat lagi dalam bukunya, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1975 (cetakan I, 1953). Lihat juga Harimurti Kridalaksana (Ed.), Masa Lampau Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 95-109.

192 Jamal D. Rahman dkk. sebagai penyelenggara Kongres Bahasa Indonesia pertama tahun 1938.22 Kesadaran STA tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebagaimana dinyatakan dalam butir ketiga teks Sumpah Pemuda, “Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia,” terungkap pula dalam tulis- annya yang berjudul “Pengadjaran Bahasa.”23 Dalam esai itu, STA mengingatkan bahaya pelajaran bahasa Indonesia yang berorientasi pada tata bahasa (linguistik). Menurutnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sebagian besar menggunakan buku-buku tata bahasa karya para penulis Belanda, maka materi yang diajarkan adalah tata bahasa Melayu yang ditulis dengan cara berpikir Belanda.

22 STA termasuk salah seorang pendukung awal diselenggarakan-nya Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo, 25-27 Juni 1938. STA dan para penulis Pujangga Baru dihubungi pemrakarsa kongres itu, Raden Mas Sudardjo Tjokrosiworo, wartawan suratkabar Suara Umum yang datang bersama Mr. Sumanang untuk mendukung dan bersedia menyampaikan prasarannya. Pilihan kota Solo sesungguhnya bersifat politis, sekaligus sosiologis dan kultural. Solo dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa yang masyarakatnya memakai bahasa Jawa standar. Kegagalan Kongres Pemuda Pertama tahun 1926 terjadi lantaran penolakan sejumlah budayawan Jawa dan Sunda berkaitan dengan penunju-kan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Maka, pilihan Kong-res Bahasa Indonesia di Solo menegaskan kepada pihak Belanda dan masyarakat non-Melayu, bahwa Solo (: masyarakat Jawa) sekarang sudah mendukung penuh kelahiran bahasa Indonesia. Kongres ini dianggap sangat berhasil karena gagasan-gagasan yang berkembang di sana semuanya dapat diimplemen-tasikan, seperti pembentukan lembaga bahasa, pembentukan perguruan tinggi (bahasa dan sastra Indonesia), penyusunan kamus, penyusunan tata bahasa, ejaan, pemakaian bahasa Indonesia di Volksraad, pengajaran bahasa Indonesia di semua tingkat pendidikan, dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan. Lihat Harimurti Kridalaksana (Ed.), Masa Lampau Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 235-255. 23 “Pengajaran Bahasa,” Pujangga Baru, No. 2, Th. I, Agustus 1933.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 193 Gagasan STA berkenaan dengan persoalan tata bahasa ini disampaikan pula dalam prasarannya pada Kongres Bahasa Indonesia di Solo yang kemudian menjadi salah satu kepu- tusan atau rekomendasi kongres itu. Berikut saya kutip keputusan tersebut:

Sesoedah mendengar praeadvis toean-toean St. Takdir Ali- sjahbana dalil ke-VI dan Mr. Muh. Jamin, maka Konggeres berpendapat bahwa gramatika jang sekarang tidak memoeasa- kan lagi dan tidak menoeroet woedjoed bahasa Indonesia, karena itoe perloe menjoesoen gramatika baroe, jang menoeroet woedjoed bahasa Indonesia.24

Di samping itu, karena penekanan pelajaran bahasa Indonesia jatuh pada tata bahasa, maka pelajaran bahasa Indonesia cenderung menjadi sangat linguistis. Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sama sekali tidak mengarahkan penguasaan keterampilan berbahasa, melainkan membawa siswa seolah-olah hendak menjadi seorang linguis atau ahli bahasa.25 Dikatakan Alisjahbana:

24 Harimurti Kridalaksana (ed.), Masa Lampau Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 235-255. Itulah salah satu alasan STA menulis buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1953; dalam Buku Pintar Sastra Indonesia yang disusun Pamusuk Eneste, buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia diterbitkan tahun 1936) yang di dalamnya, tidak hanya menggunakan istilah- istilah bahasa Indonesia, seperti kata kerja, kata sifat, kata benda dan seterusnya, tetapi juga coba membuang cara berpikir (bahasa) Belanda untuk bahasa Indonesia. STA juga mengusulkan agar penulisan kata-kata tertentu, sesuai dengan pengucapan lidah orang Indonesia, misalnya, sastera, putera, puteri, peribumi, dan seterusnya, dan tidak sastra, putra, putri, pribumi. Cara penulisan seperti itu, juga diikuti Ajip Rosidi yang sampai sekarang tetap mempertahankan penulisan sebagaimana yang diusulkan STA. 25 Ketika akhir-akhir ini banyak pihak berkeluh-kesah tentang rendahnya kemam- puan bahasa Indonesia para siswa, bahkan juga mahasiswa, tumpuan

194 Jamal D. Rahman dkk. Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” … Selanjutnya, Alisjah- bana mengatakan, bahwa “Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa. … Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.26

Apa yang disarankan STA dan semangatnya menulis buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1953), sebenarnya bertujuan pada dua hal: (1) pelajaran bahasa Indonesia tidak

kesalahan itu jatuh pada sistem pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Kurikulum dan Ujian Nasional (bahasa Indonesia) dianggap gagal. Sesungguhnya sumber masalahnya jatuh pada penekanan pelajaran bahasa Indonesia yang bersifat teoretis-linguistis, dan bukan pada usaha menjadikan siswa terampil atau mempunyai kemampuan berbahasa (: menulis-mengarang). STA waktu itu sudah melihat kegagalan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang lebih menekankan pada tata bahasa. Jadi, sampai kapan pun, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah akan berhadapan dengan kegagalan, jika yang diberikan kepada siswa lebih banyak tata bahasa dan teori-teori kebahasaan, dan bukan bagaimana bahasa itu digunakan dalam bentuk karangan (tertulis) dan kegiatan sehari-hari yang bersifat praktis. 26 Pernyataan STA itu sesungguhnya relevan dengan kondisi sekarang tentang pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Selain materi pengajarannya yang didominasi tata bahasa, juga ada kecenderungan pengajaran bahasa Indonesia sekadar memenuhi tuntutan kurikulum atau mengejar target Ujian Nasional. Periksa Maman S. Mahayana, “Apresiasi Sastra di Sekolah,” makalah Seminar Bahasa dan Sastra diselenggarakan Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 22-23 Januari 2007. Lihat juga Maman S. Mahayana, “Perkembangan Bahasa Indonesia-Melayu dalam Sistem Pendidikan,” Insania, Jurnal Tarbiyah, Vol. 14, No. 3, Desember 2009, hal. 395-424.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 195 perlu lagi menghamba pada tata bahasa, dan (2) tata bahasa bahasa Indonesia sendiri sebaiknya tidak lagi menggunakan buku-buku tata bahasa yang ditulis orang Belanda yang cara berpikirnya juga Belanda. Oleh karena itu, tata bahasa bahasa Indonesia perlu menggunakan istilah, konsep, dan cara berpikir orang Indonesia. Sayangnya, sistem ulangan dan ujian sekolah (atau ujian nasional) dalam pelajaran bahasa Indonesia menutut penilaian objektif, benar—salah, maka penekanan mengajarkan tata bahasa lebih sesuai dengan tuntutan ulangan dan ujian itu daripada ulangan atau ujian dalam bentuk esai untuk menilai kemampuan dan keterampilan bahasa Indonesia para siswa. Akibatnya, kembali, pelajaran bahasa Indonesia dijejali oleh tata bahasa. Itulah sebabnya, buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1953) karya STA menjadi buku tata bahasa bahasa Indonesia yang paling berpengaruh di sekolah-sekolah selama tiga dasawarsa.

*** Sebagai sastrawan, karya-karya STA yang berupa novel dan puisi tidaklah menciptakan kehebohan sebagaimana gagasan-gagasan dan pemikirannya. Meskipun begitu, novelnya Layar Terkembang (Balai Pustaka, 1936) menegaskan tema sejenis yang berkaitan dengan posisi perempuan sebagaimana terdapat dalam novel Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan. Tokoh Tuti dalam Layar Terkembang, dilukiskan tampil sebagai tokoh wanita yang memperjuangkan kebebasan dan emansipasi wanita, tidak sebagaimana tokoh Sitti Nurbaya (Sitti Nurbaya) dan Rapiah (Salah Asuhan) yang menjadi pecundang. Sebelum

196 Jamal D. Rahman dkk. menerbitkan novel ini, sebenarnya ia telah merampungkan novel yang lain, Anak Perawan di Sarang Penyamun, namun novel itu baru diterbitkan tahun 1941. Kumpulan puisi STA, Tebaran Mega (1935) diterbitkan Pujangga Baru dalam nomor khusus. Konon kumpulan puisi itu, ditulis sesaat setelah istrinya, Raden Ajeng Rohani Baha, meninggal dunia. Berbeda dengan gagasannya mengenai bangsa Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya dan oleh karena itu, tidak bisa lain, kecuali berorientasi dan menyerap semangat Barat, dalam kumpulan puisi itu, STA justru condong memperlihatkan pengaruh kuat filsafat Hinduisme, Khrisnamurti. Boleh jadi, puisi-puisi itu dihasilkan STA ketika ia begitu kehilangan istri tercintanya, maka pesan-pesan spiritualitas memperlihatkan semangat sentimentalisme, individualisme, dan primitivisme yang begitu kuat. Boleh jadi juga, ia ingin menunjukkan pengaruh romantisisme Belanda,27 tetapi gagal mengimplementasikan teori-teorinya tentang puisi baru.28 Tentang puisi lama yang

27 Menurutnya, semangat yang melatarbelakangi Poejangga Baroe adalah spirit romantik angkatan 80-an (De Tachtiger Beweging) Belanda. Sesungguhnya yang diterima para sastrawan (: penyair) Pujangga Baru bukanlah hakikat persoalan yang melahirkan gerakan romantisisme sebagaimana yang terjadi di Eropa, yaitu dampak buruk revolusi industri, melainkan sekadar mengambil ciri-ciri yang melekat dalam puisi para penyair romantik itu. 28 Puisi baru yang diyakini STA telah menenggelamkan pantun dan syair semati- matinya sebenarnya tidak juga, sebab hampir semua puisi yang muncul pada zaman Pujangga Baru —di luar puisi Amir Hamzah— masih belum terlepas sama sekali dari jejak pantun dan syair. STA, “Puisi Indonesia Zaman Baru,” (Pujangga Baru, No. 3-7, dan 9, Th. II, 1934, No. 1, Th. III, Juni 1935. Menurut STA, ada lima ciri yang menandai puisi baru, yaitu (1) kuatnya suara sukma

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 197 ditolaknya itu, STA sendiri malah menerbitkan buku berjudul Puisi Lama (Dian Rakyat, 1941) yang berisi sejumlah contoh puisi yang menurutnya sebagai puisi tradisional.

*** Seperti telah disebutkan, penerbitan majalah Pujangga Baru berakhir pada Februari 1942, bersamaan dengan kedatangan Jepang ke Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang beranggapan bahwa Pujangga Baru membawa semangat kolonial Belanda, oleh karena itu tidak sesuai dengan kebijaksanaan Jepang. Meskipun begitu, pada tanggal 20 Oktober 1942, atas desakan pemerintah pendudukan Jepang, STA ditunjuk sebagai salah seorang anggota Komisi Istilah Bahasa Indonesia. Tugasnya, mengganti istilah-istilah bahasa Belanda, Inggris atau bahasa yang berbau Sekutu dengan istilah bahasa Indonesia.29 Hasilnya adalah terciptanya sekitar 7.000 istilah bahasa Indonesia. Pada Oktober 1945 istilah-istilah yang dihasilkan Komisi Istilah Bahasa Indonesia ini diterbitkan dengan judul Kamoes Istilah (Pustaka Rakyat, 1945).30

penyair yang disebutnya dengan frase: djiwa bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu individu penyair. Oleh karena itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya berbagai macam bentuk aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair untuk memanfaatkan pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi penyair. Lihat juga Maman S Mahayana, “Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia,” Jurnal Kritik, No. 2, 2012, hlm. 93-121. 29 STA kemudian menerbitkan kembali dalam dua jilid, yaitu Kamus Istilah I (Pustaka Rakyat, 1946) dan Kamus Istilah II (Pustaka Rakyat, 1947) 30 H.B. Jassin, Gema Tanah Air, (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hal. 5-7.

198 Jamal D. Rahman dkk. Pada bulan Maret 1948, STA coba menghidupkan kembali Pujangga Baru. Tetapi situasi sosial, politik, budaya telah berubah tidak lagi seperti tahun 1930-an. Semangat Pujangga Baru telah surut ke belakang dan digantikan dengan gerakan yang penuh vitalitas dengan pengalaman pahit selama masa pendudukan Jepang dan situasi zaman yang sedang mengha- dapi peperangan melawan Belanda. Kondisi itu dipengaruhi pula oleh tumbuhnya kesadaran nasional serta usaha mem- pertahankan kemerdekaan dari berbagai usaha Belanda yang coba menanamkan kembali kekuasaan kolonialnya di Indonesia. H.B. Jassin dalam “Kata Pengantar” bukunya Gema Tanah Air menggambarkan situasi tersebut sebagai berikut:

Pada angkatan Pudjangga Baru rasa kebangsaan jang baru timbul melihat segala dengan katja mata tjita-tjita dan semuanja dirasakan dengan perasaan berlebih-lebihan.Pada angkatan sesudah perang perasaan itu telah dikoreksi oleh pengalaman. ... Lebih lagi dari Pudjangga Baru perhatian angkatan sesu- dah perang ini lebih intensif tertudju ke luar negeri, seperti terbuk-ti dari studi2 mereka tentang pengarang-pengarang Rusia, Perantjis, Inggeris, dan Amerika. ... beberapa buku mereka telah diterdjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sesudah 21 Djuli 1947 muntjul madjalah Gema Suasana jang membawa pikiran-pikiran jang paling madju dari seluruh dunia.... Siasat mengadakan ruangan sastera dan budaja “Gelanggang” jang penuh pula dengan karangan-karangan jang menundjukkan kesungguhan mendalami soal. Usaha- usaha dipedalaman untuk pembaharuan kesusasteraan dan kebudajaan kelihatan dalam penerbitan Arena di Djokja dan Seniman di Solo.31

31 Jurusan (sekarang Program Studi) Sastra Indonesia dan Sastra Inggris Unas adalah yang pertama dimiliki sebuah universitas swasta di Indonesia.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 199 Dalam situasi yang telah berubah itu, kehadiran majalah Pujangga Baru tidak lagi berpengaruh, dan posisinya tergan- tikan oleh majalah Siasat (1947), Generasi Gelanggang, majalah Gema Suasana (1948-1950), dan Mimbar Indo- nesia (1947). Pada bulan Maret 1953, majalah Pujangga Baru menghentikan penerbitannya.

***

Sejalan dengan kegiatannya di bidang kebudayaan dan keilmuan, Sutan Takdir Alisjahbana pun tidak menutup mata pada kegiatan politik. Ia masuk sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia dan aktif dalam aktivitas partai itu. Pada awal kemerdekaan, ia terpilih menjadi anggota Parlemen (1945- 1960) dan pada tahun beri-kutnya, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia, serta anggota Konstituante selama sepuluh tahun (1950-1960).

Kegiatannya di bidang politik sama sekali tidak meng- urangi minatnya untuk terus berkarya. Pada tahun 1946, ia menulis dua buah buku, masing-masing berjudul Pembim- bing ke Filsafat dan Puisi Baru. Pada waktu itu pula STA mulai mengajar “Bahasa Indonesia”, “Sejarah Sastra” dan “Kebudayaan” di Universitas Indonesia selama dua tahun (1946-1948). Setelah itu, STA bersama sejumlah intelektual yang terhimpun dalam Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (PMIK) —di dalamnya termasuk H.B. Jassin— mendirikan sebuah perguruan tinggi yang bernama Universitas Nasional (Unas), 15 Oktober 1949. Salah satu

200 Jamal D. Rahman dkk. fakultasnya adalah Fakultas Sastra dengan program studi Sastra Indonesia dan Sastra Inggris.32 Dalam forum internasional, tokoh yang pernah meneri- ma Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah tahun 1970 ini, tercatat sebagai anggota Sosiete de Linguistique de Paris sejak tahun 1951. Selama lima tahun (1954-1959), ia aktif sebagai anggota Committee of Direction of the International Federation of Philosophical Societies. Ia juga sebagai anggota Board of Direction of the Study Mankind, AS sejak 1968, anggota World Future Studies Federation, Roma sejak 1974, serta anggota kehormatan Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde, Belanda sejak 1976. Untuk Indonesia sendiri, sejak tahun 1970 ia menjabat ketua Perkumpuluan Filsafat Indonesia dan Ketua Akademi Jakarta. Berbagai kegiatan dan organisasi yang dimasuki STA itu, tetap tidak membuatnya berhenti berkarya. Dua buah karyanya yang membicarakan persoalan bahasa Indonesia, berjudul Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (dua jilid, Pustaka Rakyat, 1948).33 Setahun sebelum itu, ia memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1958), sedang majalah umum yang dikelolanya bernama Konfrontasi (1954-1962).

32 Dalam sejarah linguistik Indonesia, STA yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia untuk istilah dan konsep kebahasaan yang berkaitan dengan tata bahasa Indonesia. Pembagian kelas kata dalam bahasa Indonesia, seperti kata kerja (sekarang: verba), kata benda (nomina), kata sifat (adverbia), kata keterangan, dan seterusnya, berasal dari gagasan STA.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 201 Karya penting lainnya, yaitu Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bangsa Indonesia (Pustaka Rakyat, 1967), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (1969), Grotta Azzura (tiga jilid, 1970, 1970, 1971), Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977), Lagu Pemacu Ombak (1978), Amir Hamzah sebagai Penyair dan Uraian Sajak Nyanyi Sunyi (1978), Kalah dan Menang (1978), serta sejumlah karya lain yang mencapai sekitar 20-an buku. Begitulah Sutan Takdir Alisjahbana, lewat berbagai gagasan dan kiprahnya demi kemajuan bangsa ini, ia tampil sebagai salah seorang tokoh yang pengaruhnya memasuki berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia.[]

202 Jamal D. Rahman dkk. Achdiat Karta Mihardja Karya dan Pengaruhnya

MAMAN S. MAHAYANA

ebagai sastrawan, Achdiat Karta Mihardja (AKM) Ssebenarnya tidaklah termasuk kelompok sastrawan produktif. Tidak banyak karya yang dihasilkannya. Tetapi sebuah masterpiece-nya yang penting, novel berjudul Atheis (Balai Pustaka, 1949), telah menjadi monumen dalam perjalanan novel Indonesia, bahkan juga dalam kesusastraan Indonesia. Sebuah novel yang secara estetik menampilkan sejumlah capaian yang kemudian berhasil memberi pengaruh luas. tidak hanya pada perkembangan sastra Indonesia, tetapi juga pada pemikiran tentang penyikapan bangsa ini pada ideologi teologis yang sebelumnya selalu didominasi oleh kekuasaan para ulama. Tema novel itu seperti membuka jalan bagi sastrawan kita untuk memikirkan dan mempertanyakan kembali, atau setidak-tidaknya, mengangkat tema-tema yang dianggap sensitif, seperti masalah sistem kepercayaan dan agama, perkara misteri roh dan kematian, atau kisah-kisah akhirat, bahkan juga keyakinan tentang eksistensi malaikat dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 203 Tuhan. Secara tematik novel itu mempertanyakan sistem kepercayaan tradisional (Islam) yang eksklusif, hitam-putih, dan cenderung mementingkan urusan akhirat. Sebuah tema yang tidak hanya baru, tetapi juga sangat berani untuk ukuran keadaan masyarakat masa itu. Sebuah tema yang boleh dikatakan spektakuler. Tidak mengherankan jika tema soal kepercayaan dan ketuhanan itu memberi inspirasi bagi para sastrawan berikutnya.1 Tetapi keberhasilan Atheis bukan semata-mata lantaran tema itu, melainkan juga karena novel itu memperlihatkan adanya kebaruan dalam hal struktur alur, pergantian posisi

1 Sejak Atheis terbit (1949) sedikitnya ada dua novel dan beberapa cerpen yang coba menyentuh soal kepercayaan (agama) dan Tuhan. Novel tipis Idrus yang berjudul Aki (1950), misalnya, menampilkan tema kematian sebagai olok-olok. Secara komedis, Idrus menampilkan tokoh Aki yang bersiap menghadapi kematian yang waktunya telah ditentukannya sendiri. Pada waktunya, Aki ternyata tidak mati. Yang meninggal lebih dahulu adalah kepala kantornya. Dalam hal ini, Idrus memang tidak menyinggung soal agama. Namun, masalah ajal yang sensitif dan tidak boleh dibicarakan sembarangan, terkesan malah dibuat main- main. Dengan perkataan lain, kematian di tangan Idrus seolah-olah sengaja dijadikan sebagai alat permainan belaka dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan menakutkan. Pada tahun 1963, Djamil Suherman menerbitkan novel tipis, Perjalanan ke Akhirat yang menceritakan peristiwa setelah kematian. Kisah roh tokoh Salim yang tewas tertabrak dan istrinya Salamah yang mati bunuh diri. Peristiwa di akhirat itulah yang kemudian diceritakan pengarang dalam novel itu. Belakangan Ali Audah dalam Jalan Terbuka (1971) juga mengangkat persoalan ketuhanan di antara kekisruhan kehidupan orang-orang politik tahun 1950-an. Sejumlah cerpen yang muncul tahun 1950-an yang mengangkat tema-tema agama, ketuhanan, dan kepicikan orang beragama, di antaranya, dapat disebutkan cerpen “Robohnya Surau Kami” A.A. Navis yang secara kritis menyinggung kepicikan penganut agama. Ramadhan K.H., dalam cerpennya “Antara Kepertjajaan”, juga menyinggung masalah ini, terutama penganut Islam dan Kristen, secara tajam. Pada tahun 1978, Ramadhan juga menulis novel Keluarga Permana yang berkisah tentang problem perkawinan beda agama. Rendra dalam cerpen “Mungkin Parmo Kemasukan Setan” juga

204 Jamal D. Rahman dkk. pencerita (focus of narration), sudut pandang (point of view), dan penokohan yang berhubungan dengan psikoanalisis Freud. Beberapa kritikan yang dialamatkan pada keberhasilan novel Atheis pada dasarnya menegaskan bahwa novel itu menandai terjadinya perkembangan baru dalam kesusastraan dan pemikiran kebudayaan Indonesia.2 Dalam konteks perbincangan Achdiat Karta Mihardja (AKM) dalam tulisan ini, saya coba melihat dari perspektif perkembangan pemikirannya sebagaimana yang tertuang dalam ketiga novel yang dihasilkannya, yaitu Atheis (Balai Pustaka, 1949), Debu Cinta Bertebaran (Pustaka Nasional Singapura, 1973; Balai Pustaka, 2004), dan Manifesto Khalifatullah (Arasy Mizan, 2005). Bagaimanapun, ketika majalah Pujangga Baru diterbitkan kembali Maret 1948 dan Sutan Takdir Alisjahbana mengajak AKM menegakkan kembali kewibawaan majalah itu dengan memasukkannya sebagai salah seorang redakturnya, tentu saja AKM tidak

secara implisit mengkritik disiplin ketat yang diterapkan dalam asrama yang dikelola pastor Katolik. Rijono Pratikto mengangkat cerita-cerita misteri atau yang berhubungan dengan dunia gaib. Bahkan, Api dan Beberapa Tjerita Pendek lain (Balai Pustaka, 1951) Rijono menampilkan tokoh roh dan kekuatan akal manusia yang dapat bersaing dengan Tuhan. Begitulah, setelah terbit Atheis, sejumlah cerpen atau novel Indonesia coba mengangkat tema-tema keagamaan yang waktu itu masih dianggap sensitif. Termasuk juga cerpen “Langit Makin Mendung” (dimuat majalah Sastra, No. 8, Agustus 1968) Ki Panji Kusmin yang menimbulkan gelombang protes dari kalangan umat Islam. Dengan begitu, terbitnya novel Atheis seperti membuka jalan bagi pengarang Indonesia untuk mengangkat tema-tema keagamaan. 2 Sekadar menyebut dua kritikan di antaranya yang penting, pe-riksa Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja: Suatu Pembicaraan (Jakarta: Gunung Agung, 1962) dan Subagio Sastrowardoyo, “Pendekatan kepada Roman Atheis” dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita, Jakarta: Balai Pustaka, 1983.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 205 dapat menghindarkan diri dari berbagai perdebatan yang terjadi ketika itu.3 Perdebatan tentang penamaan Angkatan 45,4 yang kemudian kembali menjadi polemik ketika Jogas- wara5 dalam artikelnya yang dimuat majalah Spektra, April 1951 menanggapi artikel H.B. Jassin, “Angkatan 45”6 dengan mengatakan, bahwa Angkatan 45 sudah mampus. AKM

3 Keterlibatan Achdiat Karta Mihardja sebagai salah seorang redaktur majalah Pujangga Baru, tidaklah terlalu banyak membantu mengangkat kembali kewibawaan majalah itu mengingat situasi zaman dan terjadinya perubahan sosial- politik tidaklah mendukung semangat yang diusung para pengelola majalah itu. Pada bulan Maret 1953, majalah Pujangga Baru menghentikan penerbitannya. 4 Seperti juga tokoh-tokoh Angkatan 45 lainnya, keterlibatan mereka dalam pergolakan kehidupan sosial-budaya terjadi begitu intens sejak awal kemerdekaan sampai pertengahan 1950-an sampai puncaknya terjadi tahun 1965. Begitu juga keterlibatan Achdiat Karta Mihardja (AKM) dalam kehidupan sosial budaya dan pemikiran terjadi pada awal kemerdekaan sampai akhir tahun 1950-an (1948-1959). Bagaimanapun, usaha AKM mengumpul-kan sebagian esai yang dimuat majalah Pujangga Baru (Jakarta), Suara Umum (Surabaya), Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur (Jakarta), dan Wasita (Yogyakarta) dalam buku Polemik Kebudaya-an (1948) merupakan sumbangan penting berkaitan dengan kon-sep kebudayaan Indonesia, meskipun AKM sendiri tidak ikut terli-bat dalam polemik itu. Tetapi, dalam polemik Angkatan 45 yang melibatkan Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutan Takdir Ali-sjahbana, Aoh Karta Hadimadja, Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Hazil Tanzil, dan Rosihan Anwar, AKM termasuk yang men-dukung penamaan Angkatan 45. Lihat Achdiat Karta Mihardja, “Angkatan ’45 Angkatan Chairil Angkatan Merdeka,” Poedjangga Baroe, No. 10, Oktober 1949. Dalam perbincangan saya dengan AKM di FIB-UI (5 Juni 2005) dan di Taman Ismail Marzuki (7 Juni 2005), sebelum diskusi novelnya, Manifesto Khalifatullah (Ban- dung: Mizan, 2005), Achdiat menyatakan, bahwa pendirian Lem-baga Kebudayaan Rakyat (Lekra) konsep dasarnya berasal dari gagasan AKM yang juga ikut merumuskan Mukadimah organisasi itu. Oleh karena itu, AKM menyatakan bahwa dia termasuk salah seorang pendiri Lekra. Tetapi, dari sumber-sumber yang saya pelajari, tidak ada satu pun keterangan yang menyebutkan AKM sebagai salah seorang pendiri Lekra. Dalam obrolan saya dengan A.S. Dharta di rumahnya di Cianjur, Jawa Barat, (23 September 2006), A.S. Dharta menyatakan, bahwa sebagai pribadi, dia me-mang dekat dengan AKM, bahkan juga dengan sejumlah tokoh Angkatan 45. Tetapi, dalam kaitannya dengan pendirian Lekra, Dharta juga tidak

206 Jamal D. Rahman dkk. juga terlibat dalam perdebatan seni untuk seni dan seni untuk masyarakat. Dalam pertemuan para seniman (sastrawan) di Tugu yang diikuti seniman yang mewakili Lekra dan para pendukung Generasi Gelanggang, 9-10 September 1950, misalnya, terjadi perdebatan tentang tugas, peranan, dan fungsi seniman (sastrawan) bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pertemuan itu tidak menghasilkan rekomendasi apapun, meski mulai terjadi garis tegas antara pendukung seni untuk seni yang ditawarkan Generasi Gelanggang dan seni untuk masyarakat yang hendak diperjuangkan seniman Lekra.7 Dalam pertemuan berikutnya, 17 Februari 1951, AKM (Achdiat Karta Mihardja) melaporkan, bahwa pertemuan yang berlangsung di antara orang-orang yang mewakili Lekra, seperti Nyoto dan A.S. Dharta dengan orang-orang

menyebut nama Achdiat Karta Mihardja sebagai salah seorang pendiri Lekra. Dalam kepengurusan Lekra, nama Achdiat Karta Mihardja juga tidak tercantum. 5 Nama lain Jogaswara adalah Klara Akustia, Kelana Asmara, Barmaraputra, Rodji, A.S. Dharta. Nama sebenarnya Agus Dharta. Belakangan ditambahkan pula kata Simbolon yang mengesankan sebagai orang Batak. Periksa artikelnya, “Kepada Seniman Universil” dimuat dalam Aoh K. Hadimadja, Beberapa Paham Angkatan ‘45, (Jakarta: Tintamas, 1952). 6 H.B. Jassin, “Angkatan 45” dimuat sebagai edisi kebudayaan mingguan Mimbar Indonesia, Zenith, No. 3, 15 Maret 1951. Artikel Jassin ini sekaligus mengakhiri polemik tentang penamaan Angkatan 45. Tetapi kemudian ramai kembali ketika Jogaswara menyatakan bahwa Angkatan 45 telah mampus dan revolusi belum selesai sebagaimana ditulisnya dalam artikelnya yang dimuat Spektra, April 1951. 7 S. Rukiah dalam laporannya yang dimuat Pujangga Baru, No. 3, XII, September 1950, menyimpulkan bahwa meski terjadi perbedaan pandangan, “Pertemuan- pertemuan yang demikian itulah, biasanya tempat lahir paham-paham baru. Dan pertemuan-pertemuan yang demikian itu pulalah yang memberi corak kepada zamannya, dan menghidupkan dunia cipta dalam zaman itu.”

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 207 yang lain pendiriannya, seperti Mr. Takdir Alisjahbana, Ir. Udin, Prof. Resink, R. Nieuwenhuis, Beb Vuyk, Rustandi Karta Kusuma, T. Sumardjo, Basuki Resobowo, dan lain- lain, kembali mengangkat persoalan bentuk dan isi yang melatarbelakangi sikap para pendukung seni untuk seni dan seni untuk masyarakat.8 Ketika perdebatan antara dua kelompok pendukung seni untuk seni (humanisme universal) dan seni untuk masyarakat (realisme sosialis) dimasuki kepentingan politik dan perdebatan itu berubah menjadi konflik yang tidak sehat, posisi AKM seperti surut ke belakang. AKM tidak lagi terlibat di dalamnya. Itulah salah satu alasan tulisan ini coba memusatkan perhatian pada perkembangan pemikiran AKM, dan tidak pada keterlibatannya dalam hiruk-pikuk konflik ideologis yang terjadi tahun 1950-an itu. Dengan cara itu, kita akan melihat bagaimana sesungguhnya pengaruh ketiga novel AKM dalam kesusastraan Indonesia. Perbincangan mengenai perkembangan pemikiran AKM ini selain untuk melihat sejauh mana pengaruhnya, juga sesungguhnya dapat pula digunakan sebagai pintu masuk untuk lebih memahami pemikiran pengarang dalam hubungannya dengan sikap, ideologi, dan tanggapannya atas situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Bagaimana-

8 Dilaporkan AKM (Achdiat Karta Mihardja) dalam Pujangga Baru, No. 8, XII, Februari 1951. Dalam laporan itu belum mengemuka konsep humanisme universal yang menjadi dasar pemikiran para pendukung seni untuk seni dan realisme sosialis yang menjadi dasar ideologi pendukung seni untuk masyarakat. Lebih luas mengenai perdebatan ideologis itu, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, (Edisi Revisi Akar Melayu) (Jakarta: Bukupop, 2010).

208 Jamal D. Rahman dkk. pun juga, pemahaman terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap jika karya itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.9 *** Melihat tarikh penerbitan ketiga novel itu (1949, 1973, dan 2005), serta-merta kita dapat menempatkan ketiga karya itu ke dalam tiga fase perkembangan pemikiran Achdiat Karta Mihardja (AKM). Atheis sebagai fase pertama, Debu Cinta Bertebaran (DCB) sebagai fase kedua, dan Manifesto Khalifatullah (MK) sebagai fase ketiga. Dari sana, sangat mungkin kita dapat mengungkapkan lebih jauh pandangan dan kegelisahan AKM dalam menyikapi problem bangsa ini. Mari kita coba menelusurinya. *** Kesusastraan Indonesia pada tahun awal pascaperang ditandai dengan tiadanya badan sensor yang mengawasi penerbitan karya sastra. Penerbit Balai Pustaka kini sepenuhnya hendak dimanfaatkan untuk kepentingan menyemarakkan pertumbuhan kesusastraan Indonesia dengan berbagai latar belakang kebudayaan pengarangnya. Boleh jadi lantaran itu pula, dalam soal bahasa, novel-novel Balai Pustaka terbitan sebelum dan sesudah perang, memperlihatkan adanya perbedaan yang mencolok. Dalam

9 Sheldon Norman Grebstein, Perspectives in Contemporary Criticism. (London: Harper & Row, 1968), hal. 164-165.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 209 hal ini, Sapardi Djoko Damono mengungkapkan, “Di zaman Jepang, penerbit pemerintah itu (Balai Pustaka: MSM) lebih menegaskan fungsinya sebagai lembaga propaganda. ... Keadaan itu berubah ketika pada tahun 1949 penerbit tersebut memasarkan Atheis, Achdiat Karta Mihardja ....” Sebelum perang, bahasa yang digunakan dalam novel- novel Balai Pustaka boleh dikatakan seragam dengan menggunakan standar yang sudah ditetapkan Balai Pustaka. Itu membuktikan bahwa para anggota redaksi bersungguh- sungguh menggarap naskah yang akan terbit, sehingga benar-benar menggunakan bahasa yang berciri Balai Pustaka.10 Tetapi sesudah perang, redaksi memiliki pandangan berbeda; bahasa adalah ciri khas yang bisa membedakan pengarang satu dari yang lain. Oleh karenanya campur tangan redaksi jangan sampai mengubah tema dan style karya yang bersangkutan. Hasilnya adalah bahwa Atheis menampilkan bahasa Indonesia yang dipengaruhi bahasa Sunda dan novel-novel Pramoedya Ananta Toer mengandung beberapa kata dan ungkapan Jawa.11

10 Ada kriteria yang ditetapkan Balai Pustaka terhadap naskah yang akan diterbitkan Balai Pustaka, yaitu tidak boleh menying-gung agama, suku bangsa, politik, dan pornografi. Lihat syarat-syarat sayembara mengarang yang diselenggarakan Balai Pusta-ka (Pedoman Pembatja, No. 6, Februari 1937). Maka, novel Buiten Het Gareel (Utrech, 1940) karya Soewarsih Djojopoespito dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane ditolak Balai Pustaka karena dianggap tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan lembaga penerbitan itu. Novel Buiten Het Gareel kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan, berjudul Manusia Bebas (1975). Pembicaraan yang agak lengkap mengenai buku ini, periksa buku tipis Keith Foulcher, Angkatan 45, Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994. 11 Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), hal. 57- 58.

210 Jamal D. Rahman dkk. Perhatikan pendapat A. Teeuw12 mengenai novel Atheis (1949) berikut ini: Ditinjau dari segi sastra, salah satu kelemahan buku ini ialah nada didaktis yang agak kuat yang kadang-kadang digunakan oleh pengarang—umpamanya dalam percakapan antara pengarang dengan Hasan, kita dihidangi pembahasan yang panjang lebar tentang Marx, Freud, dll., yang bagi seorang pembaca Barat sekurangnya terasa sebagai sesuatu yang sesungguhnya tidak mengena. Akan tetapi maklumlah, Achdiat termasuk golongan Takdir yang beranggapan bahwa tugas utama bagi seorang seniman ialah tugas mendidik, dan tambahan pula bagi para pembaca tahun 1949, segala hal itu mungkin merupakan sesuatu yang amat baru sehingga pengarangnya hanya dapat memasukkannya ke dalam ceritanya dengan menjadikannya terang dalam percakapan- percakapan. Dalam hubungan ini teringatlah saya akan penafsiran kembali secara Freud akan kecemasan anak-anak Islam terhadap neraka yang memainkan peranan yang demikian penting dalam krisis besar pada keyakinan Hasan, dan menyebabkan dia dalam keadaan panik menolak sebutan atheis yang dikenakan kepadanya.

Pada setiap halaman buku jelaslah bahwa pengarangnya se- orang Sunda. Hal ini dapat dilihat pada kata dan bentuk kalimat yang dipinjam dari bahasa Sunda dan pada penyim- pangan-penyimpangan dari norma-norma sintaksis bahasa Melayu. Nyatalah juga bahwa pengarang ini tidak menguasai bahasa Indonesia dengan kelancaran yang sama dengan pe- nulis yang lebih muda daripadanya pada zaman sesudah pe- rang, yaitu penulis-penulis yang dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa revolusi. Achdiat dibesarkan de- ngan bahasa Belanda dan juga bahasa Sunda, dan bahasa In- donesia ternyata merupakan bahasa asing baginya. Ada se- suatu yang terasa dipaksa-paksa dalam penggunaan bahasa- nya dan hal ini lebih kentara pula oleh penggunaan segala

12 A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, (Ende: Nusa Indah, 1980).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 211 macam bentuk anak kalimat yang dicari-cari dan penggunaan perbandingan yang terlalu banyak dan kadang-kadang janggal.

Bagi saya, pernyataan itu menunjukkan, bahwa A. Teeuw menutup mata pada perkembangan dan perubahan sosial politik yang terjadi pada zaman novel Atheis terbit.Teeuw lalai, bahwa Indonesia sudah merdeka ketika novel Atheis itu terbit, dan penerbitnya, Balai Pustaka, tidak lagi dalam genggaman kebijaksanaan politik kolonial. Maka, satu hal yang menonjol selepas Indonesia merdeka adalah adanya kebebasan berkreasi karena tiadanya badan sensor sebagai- mana yang terjadi pada zaman Belanda dan Jepang. Balai Pustaka yang pada zaman sebelum perang menjadi alat pemerinah untuk menyuarakan ideologi penguasa, kini ditempatkan sebagai badan pembangun kebudayaan (Indo- nesia).13 Begitu pula dalam soal pemakaian bahasa Indonesia yang pada zaman sebelumnya begitu ketat diseragamkan sesuai tuntutan bahasa yang berciri Balai Pustaka, kini dibiarkan untuk menunjukkan ciri khas yang dapat membe- dakan pengarang yang satu dengan pengarang yang lain. Dengan begitu, tiadanya badan sensor, telah sangat berperan membuka saluran bagi para sastrawan untuk mengekspresi- kan berbagai gagasan dengan tema-tema yang lebih bera- gam. Oleh karena itu, terbitnya novel Atheis menegaskan posisi Balai Pustaka yang tidak lagi menjadi badan sensor, dan sekaligus memperlihatkan peranannya sebagai lembaga pembangun kebudayaan Indonesia.

13 K. St. Pamuntjak, Balai Pustaka Sewadjarnja, (Djakarta, 1948), hal. 33.

212 Jamal D. Rahman dkk. Jika A. Teeuw mengatakan bahwa “… pembahasan yang panjang lebar tentang Marx, Freud, dll., yang bagi seorang pembaca Barat sekurangnya terasa sebagai sesuatu yang sesungguhnya tidak mengena....” tentu saja begitu, sebab novel itu memang ditujukan bukan untuk pembaca Barat. Adapun anggapan bahwa Achdiat Karta Mihardja tidak me- nguasai bahasa Indonesia, persoalannya perlu dilihat dari latar belakang sosio-budaya pengarangnya yang Sunda, seperti juga pengarang lain yang dibesarkan dalam kultur Jawa atau kultur etnik lain. Dalam hal ini, pandangan A. Teeuw didasari oleh kepentingan ideologi Nederlando sentris, yaitu cara berpikir berdasarkan kepentingan Belanda.

*** Novel Atheis14 bolehlah dikatakan sebagai buah pemikiran dan kegelisahan seorang Achdiat Karta Mihardja (AKM) atas situasi zaman ketika bangsa Indonesia berada dalam masa transisi. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel itu seperti merepresentasikan berbagai golongan masyarakat dalam

14 Sejauh pengamatan, sudah puluhan –bahkan sangat mungkin juga sudah mencapai ratusan—karya ilmiah yang mengkaji novel Atheis. Hampir semua buku yang membicarakan sejarah sastra Indonesia, niscaya juga menyinggung dan mengulas novel ini. Catatan ini tentu saja belum termasuk tulisan-tulisan yang berupa artikel lepas yang dimuat di berbagai media massa yang dapat dipastikan jumlahnya dapat mencapai ratusan. Meski begitu, secara umum perbincangannya menyangkut lima hal: (1) struktur novel, (2) tema ketuhanan, (3) aspek psikologis tokoh utama, (4) bentuk penceritaan, dan (5) perbandingan novel Atheis dengan karya sebelumnya atau dengan karya sesudahnya. Jadi, jika tulisan ini mengungkapkan novel Atheis sebagai pemikiran Achdiat Karta Mihardja atas situasi zamannya, bolehlah ia ditambahkan sebagai butir keenam. Catatan ini sekadar hendak menegaskan kembali, betapa novel Atheis telah menjadi salah satu monumen, tonggak penting perjalanan sastra Indonesia.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 213 menyikapi problem Timur-Barat yang belum selesai dalam perdebatan Polemik Kebudayaan.15 Dalam perdebatan itu, posisi AKM jelas: menolak feodalisme (kebudayaan Timur yang lapuk) dan menerima modernisme dengan catatan kritis. Bagi AKM sendiri, pengertian Timur-Barat tidak dalam pengertiannya yang sempit, melainkan dalam pengertian yang lebih luas, yaitu yang menyangkut perbedaan masyarakat dan kebudayaannya –di dalamnya tentu saja termasuk sistem kepercayaan. Perhatikan kutipan berikut yang memperlihat- kan sikap AKM mengenai hal tersebut:

Seorang dialektikus Sutan Sjahrir, pernah berkata … bahwa kini tak usah pilih-pilih antara Timur dan Barat, sebab kedua- duanya akan silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam. Maksud Sjahrir ialah Barat yang kapitalistis dan Timur yang feodalistis. Dengan menyetujui pendapat Sjahrir tersebut, timbullah soal yang hangat bagi kita. Kalau tidak Timur tidak Barat, apakah harus kita pilih?16

15 Achdiat Karta Mihardja (Peny.), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1977). Buku ini menghimpun perdebatan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka (Polemik I), Sutan Takdir Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara (Polemik II), Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. M. Amir (Polemik III). Sayang sekali, kumpulan kedua yang direncanakan AKM, hingga kini tak jelas nasibnya. 16 Achdiat Karta Mihardja (Peny.), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1977), hal., 7. Di awal Kata Pengantar buku itu, AKM mengatakan, “Sisa- sisa susunan masyarakat feodal masih besar pengaruhnya atas kehidupan jiwa dan kebudayaan bangsa kita. Di dalam susunan masyarakat feodal, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik semata-mata dikuasai oleh suatu kelas yang hanya kecil jumlahnya, akan tetapi sangat besar kekuasaannya, ialah kelas bangsawan yang berpusat pada raja yang memerintah secara absolut dan sewenang-wenang, atas kerugian rakyat jelata yang merupakan suatu kelas yang jauh lebih besar jumlahnya tetapi merana dalam kesengsaraan dan kemiskinan.” Inilah pernyataan AKM dalam memandang feodalisme.

214 Jamal D. Rahman dkk. AKM menyatakan pentingnya sikap kritis dalam meman- dang persoalan Timur-Barat, yaitu dengan menyelidiki, mengupas, dan memeriksa dengan seksama agar bangsa ini tidak terikat sesuatu dogma, “suatu hal yang menjadi syarat penting untuk perkembangan kebudayaan kita.” Berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang secara tegas menerima Barat dan menjadikan Barat sebagai orien- tasinya, AKM justru menerimanya dengan catatan, “menye- lidiki, mengupas, dan memeriksa dengan seksama agar bangsa ini tidak terikat sesuatu dogma.” Hal itu juga yang dilakukannya dalam menyikapi kebudayaan sendiri. Jadi, jika mencermati pernyataan itu, ada tiga hal yang menurut- nya perlu diselidiki, yaitu (1) pengaruh Barat, (2) kebuda- yaan sendiri, dan (3) dogma. Lalu bagaimanakah gagasan itu bisa diselusupkan ke dalam Atheis, meski novel itu sendiri sesungguhnya tidak sesederhana itu. Tokoh Rusli yang karena kesadaran politik dan ideologi- nya, justru berhasil memanfaatkan pengaruh (: pemikiran) Barat untuk kepentingan perjuangannya. Dalam hal keper- cayaan, Rusli memang atheistik, tetapi ia menolak kapital- isme. Tentu saja itu berkaitan dengan ideologi yang dianut- nya. Jadi, dalam hal ini, Rusli seperti mewakili kelompok atau golongan masyarakat tertentu yang dapat menentukan pilihan apapun atas dasar kesadaran, dan bukan sekadar ikut-ikutan. Citra tokoh Rusli yang cerdas, terpelajar, propa- gandis, dan konsekuen atas pilihan ideologinya itu, sangat berbeda dengan gambaran ketokohan Anwar yang anarkis, individualis, dan kerap tidak konsekuen antara ucapan dan perbuatan. Ada kesan, Anwar dicitrakan sebagai orang yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 215 sok “kebarat-baratan”. Meskipun demikian, baik Rusli maupun Anwar, keduanya sangat menyadari bahwa itulah ideologi yang dianutnya, itulah pilihan hidupnya. Pertanyaannya kini: mengapa AKM membiarkan kedua tokoh itu tetap hidup dan tidak mengalami cedera apa-apa, sebagaimana yang terjadi pada diri Hasan —yang mengidap TBC, ditangkap Kempetai, dan mati —dan ayahnya, Raden Wiradikarta —yang kecewa atas perubahan sikap Hasan, dan kemudian juga mati?17 Sangat mungkin itu merupakan bentuk “penghukuman” atas sikap pembeo, penuh keraguan, dan taklid buta seorang tokoh Hasan. Bahwa Raden Wiradikarta itu juga mati, bolehlah kita tafsirkan sebagai korban keragu-raguan tokoh Hasan atau kekhawatirannya terikat oleh suatu dogma. Hal lain yang disorot AKM dalam novel itu adalah persoalan tahayul, dogma agama, dan kisah-kisah neraka yang menem- patkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Dan itulah yang terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Ber- ibadat bukan lantaran pengabdian atau kecintaan kepada Tuhan, melainkan lantaran ketakutan masuk neraka atau

17 Bandingkan dengan kematian tokoh-tokoh: Samsul Bahri—Datuk Maringgih (Sitti Nurbaya), Corrie—Hanafi (Salah Asuhan) atau Maria (Layar Terkembang). Tampak di sini sikap pengarang atas tokoh-tokoh itu. Dalam kasus Layar Terkembang, Alisjahbana membiarkan Tuti sebagai tokoh idealnya tetap hidup. Dalam Belenggu, Armijn Pane membiarkan tokoh-tokohnya (Tono, Tini, dan Yah) mencari jalan hidupnya sendiri. “Penghukuman” atas tokoh-tokoh rekaan itu tampak juga dalam Gerilya (1949), Pramoedya Ananta Toer. Sang Ayah yang pengkhianat, dieksekusi oleh anak-anaknya yang jadi gerilyawan. Jadi, dengan mencermati tokoh-tokoh dalam novel, kita boleh jadi akan sampai pada kesimpulan, bagaimana sesungguhnya keberpihakan pengarang atas tokoh-tokoh rekaannya.

216 Jamal D. Rahman dkk. agar kelak bisa masuk surga. Itulah beberapa persoalan yang diangkat AKM dalam Atheis. Meskipun pembicaraan ini sangat simplistis, setidak-tidaknya kita dapat menangkap, bagaimana pemikiran AKM menyikapi persoalan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia masa itu. Kenyataannya, tahayul dan cara pengajaran agama yang kerap dihiasai kisah- kisah surga dan neraka itu sampai kini masih banyak kita jumpai. *** Berbeda dengan Atheis, persoalan yang diangkat AKM dalam Debu Cinta Bertebaran (DCB),18 menyangkut konsep cinta yang tidak jarang diterjemahkan secara keliru. Jika perkara teisme-ateisme menyangkut keyakinan manusia akan keberadaan atau ketiadaan Tuhan, maka persoalan cinta menyangkut hubungan dua atau lebih manusia, bisa sejenis bisa juga tidak. Dengan mengambil latar waktu sekitar tahun 1960-an sampai awal pemerintahan Orde Baru dengan latar tempat di Australia, AKM sangat leluasa memasukkan pandangan-pandangannya tentang itu. Hal tersebut dimungkinkan juga oleh cara bertuturnya yang memberi banyak ruang pada dialog. Dengan memanfaatkan tokoh Rivai, seorang wartawan yang entah mengapa harus meninggalkan istrinya –yang gila— di Indonesia, AKM dapat memasukkan pemikiran dan gagasannya jauh lebih leluasa dibandingkan dengan

18 Dalam pembicaraan ini, saya menggunakan buku Debu Cinta Bertebaran edisi Singapura mengingat novel DCB terbitan Balai Pustaka telah mengalami revisi, sehingga di sana-sini ada perubahan dan pengurangan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 217 penggunaan bentuk pencerita “Aku” sebagaimana yang terjadi dalam Atheis. Dengan alasan hendak menulis novel,19 Rivai banyak berhubungan dengan manusia dari berbagai macam bangsa. Cinta dengan berbagai definisi dan tafsirnya, ternyata juga bukan persoalan sederhana. Cinta Rivai terhadap istrinya, Fatimah, yang gila, lambat-laun akhirnya berubah menjadi kasih sayang dan belas kasihan. Berpisah selama 15 tahun, ternyata juga tidak harus berakhir dengan perceraian. Sementara itu, cinta Frieda terhadap suaminya, Ulf yang didera penyakit paru-paru, menggiringnya pada pemikiran agar dokter yang merawat suaminya itu melakukan euthanasia atau mercy killing —melepaskan penderitaan seseorang dengan menyegerakan kematiannya. Pasangan kumpul kebo Janet dan Peter Thomas lain lagi dalam menerjemahkan konsep cinta. Bahwa cinta tidak harus mengorbankan kebebasan individu masing-masing pasangan. Maka, cinta tidak harus diwujudkan dalam ikatan perkawinan, dan masing-masing pasangan bebas pula melakukan hubungan seks dengan siapa pun yang disukainya. Sedangkan tokoh Judy yang bercinta dengan Hermanus, beranggapan bahwa cinta tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran dan hubungan badani.

19 Tokoh Rivai yang digambarkan akan menulis novel itu, mengesankan keterpengaruhan AKM pada struktur cerita novel Atheis. Dalam hal ini, AKM seperti tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang novel yang ditulisnya sendiri tahun 1949 itu. Dalam kasus yang lain, Ahmad Tohari, juga mengalami hal yang sama selepas ia menghasilkan novel pentingnya, Ronggeng Dukuh Paruk.

218 Jamal D. Rahman dkk. Demikianlah, beraneka ragam pemahaman tentang cinta datang dari kepentingan masing-masing dalam urusan itu. Ia tidak dibatasi oleh suku bangsa, agama atau usia. Tokoh Rivai sendiri akhirnya juga jatuh cinta lagi kepada Deanne Jorgensen, meskipun pada saat-saat tertentu, Rivai harus kalah oleh hasrat seksnya pada Janet atau Frieda. Satu hal yang tampaknya hendak ditekankan AKM dalam perkara ini adalah ekses yang mungkin ditimbulkannya, yaitu seks bebas. Banyak tokoh dalam novel ini yang cenderung mengusung seks bebas. Tokoh Dr. Ingrid Fry, misalnya, yang sama sekali tidak mementingkan makna kegadisan dan perlunya memahami seks pranikah (sex premarital), seks di luar nikah (sex extramarital), Janet dan Peter Thomas yang bisa seenaknya gonta-ganti pasangan, atau Christine yang akhirnya hamil. Dalam konteks ini, gagasan AKM —meski dalam DCB— tak memperlihatkan keberpihakannya pada tokoh-tokoh tertentu atau cenderung sekadar memotret fenomena sosial yang terjadi di Australia —yang kebetulan juga banyak dilakukan orang-orang Indonesia di sana— seperti hendak mengingatkan bahaya dari ekses kebebasan seks. Dan persoalan seks bebas itu, kini sangat mungkin benar-benar terjadi di Jakarta.20

20 Periksa buku Moammar Emka, Jakarta Undercover: Sex ‘n City, (Yogyakarta: Galang Press, 2002). Terlepas dari adanya keraguan dan kelemahan metode ilmiah yang digunakan Emka dalam —konon— penelitiannya, buku ini mengungkapkan perilaku seks –remaja dan kalangan selebritis— secara sangat mencengangkan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 219 Jadi, jika ada pertanyaan: Mengapa AKM dalam DCB mengungkapkan berbagai ragam debu cinta yang terjadi di negeri asing, tidak sebagaimana yang dilakukannya dalam Atheis yang berbicara tentang problem masyarakat bangsanya? Apa pula maknanya bagi kemajuan bangsa ini? Justru dalam konteks sekarang inilah novel DCB seperti hendak mengingatkan kita akan bahaya seks bebas. Dan AKM telah mengisyaratkan itu lebih dari 30 tahun yang lalu. *** Berbeda dengan Atheis dan DCB, dalam novel ketiganya yang berjudul Manifesto Khalifatullah,21 AKM seperti sengaja menegaskan sikap keseluruhan perjalanan hidupnya selama hampir satu abad ini. Novel setebal 219 halaman ini terdiri dari empat bagian, yaitu (1) Prolog, (2) Fantasi Cerah Menem- bus Gelita Jahiliah Modern, (3) Manifesto Khalifatullah, dan (4) Epilog. Di bagian akhir Prolog, si tokoh saya mengatakan, “… setelah banyak merenung dan kedua belah mata saya yang “buta huruf” dapat bantuan tenaga typist komputer yang cukup cerdas dan cekatan orangnya, maka khayal kreatif saya berhasillah menciptakan sebuah kispan …” (hlm. 81). Kembali, pola ini mengingatkan kita pada tokoh “saya” yang menerima naskah otobiografi tokoh Hasan (Atheis) dan tokoh Rivai yang

21 Dalam diskusi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sekitar tahun 1988-an, AKM sudah merancang hendak menulis novel lagi. Waktu itu dikatakan, bahwa judul novelnya Kiyai Istimewa. Apakah novel Kiyai Istimewa ini kemudian menjadi Manifesto Khalifatullah? Mudah-mudahan bukan. Dengan begitu —semoga Allah SWT memberi kesehatan dan kekuatan untuk AKM— di usia senjanya, Aki masih dapat menghasilkan satu novel lagi.

220 Jamal D. Rahman dkk. berniat menulis novel (DCB). Batas tipis antara fakta dan fiksi seperti sengaja dihadirkan di sana, dan bentuk penceritaan Atheis laksana terus membayangi pikiran AKM. Persoalannya sendiri berawal pada penentangan tokoh saya atas ideologi kapitalisme dan sekularisme. Mula-mula ia bertemu dengan pengusaha Amerika yang menganggap Tuhan sekadar persoalan sepele. Kemudian tokoh saya jumpa dengan Rosy Brisley, janda yang belum lama ditinggal mati suaminya. Rosy beranggapan bahwa “Manusia adalah ciptaan alam, dan … tidak ada yang Maha Pencipta kecuali alam sendiri.”22 Dari sana kemudian cerita bergulir hingga menyinggung persoalan kapitalisme dan sekularisme. Tokoh-tokoh dunia pun bermunculan, mulai tokoh-tokoh pemikir Indonesia seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Sjahrir, Bung Karno, para pemikir seperti Nietzsche, Goethe, rohaniawan agung Siddharta dan Pastor Calvinus, ekonom Adam Smith, tokoh-tokoh Komunis macam Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin, sampai ke tokoh kunci Abah Arifin, Manusia Biasa Saja. Tokoh inilah yang kemudi- an memproklamasikan manifestonya.23 Bahwa kunjungan ekonom Adam Smith dan tokoh-tokoh Komunis macam Karl Marx, Engels, dan Lenin ke tempat

22 Gagasan ini mengingatkan saya pada buku Madilog —Materialisme—Dialektika— Logika— Tan Malaka. Uraian Tan Malaka tentang proses penjadian manusia dari alam dan alam dari sebuah gugus planet, sangat meyakinkan. Sayang sekali, tokoh ini tidak dihadirkan dalam dialog dengan tokoh saya atau Abah Arifin. 23 Munculnya tokoh-tokoh dunia itu mengingatkan saya pada Javid Namah, Mohammad Iqbal yang menggambarkan pengelanaan ruh ke berbagai planet. Di planet-planet itulah, sang ruh berjumpa dengan Nietzsche, Karl Marx, Al Hallaj, dan sederetan panjang penyair sufi.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 221 Abah dan kemudian Abah membekali mereka dengan sebuah amplop berisi sebuah cerita, secara simbolik menun- jukkan pentingnya kapitalisme dan komunisme diisi oleh spiritualitas agama agar terjadi keseimbangan antara indi- vidualisme dan nilai-nilai keagamaan. “… agama dan ilmu pengetahuan harus bersatu berbimbingan tangan. Kalau tidak, agama maupun ilmu pengetahuan bisa acak-acakan. … Agama kehilangan akal sehatnya, ketinggalan zaman, bahkan antikemajuan. Sebaliknya, ilmu pengeta-huan tanpa iman kepada Yang Maha Esa lebih acak-acakan lagi…” (hlm. 144). Dalam bahasa Einstein: “science without religion is blind; religion without science is lame.” (Ilmu tanpa agama, buta; agama tanpa ilmu, pincang). Selain itu, kehadiran Pastor Calvinus dan proklamasi Manifesto Khalifatullah yang disampaikan tokoh Manusia Biasa Saja, Abah Arifin, seorang ulama (sufi) di hadapan umat manusia (modern) menegaskan kembali pentingnya makna kerja. Slogan Ora et Labora (berdoalah dan bekerjalah) menunjukkan pentingnya kesadaran akan tugas dan kewa- jiban manusia di muka bumi ini, yaitu adanya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Keduanya sama-sama penting. Keduanya saling melengkapi. Yang satu baru ber- makna jika yang satunya lagi tidak diabaikan. *** Demikianlah, sebagai novel gagasan, Manifesto Khalifatullah tidak hanya menegaskan sikap hidup seorang Achdiat Karta Mihardja dalam memandang Indonesia dan hubungannya dengan berbagai ideologi di dunia, melainkan juga memberi begitu banyak “PR” kepada generasi bangsa

222 Jamal D. Rahman dkk. ini, bahwa tantangan global tidak dapat dianggap enteng. Ia berkaitan dengan berbagai usaha banyak pihak untuk menyelusupkan ideloginya agar bangsa ini masuk ke dalam barisannya. Bagi saya, munculnya tokoh Abah Arifin dan istrinya Umi Sakinah seperti reinkarnasi Raden Wiradikarta dan istrinya yang coba memberi penyadaran pada tokoh Hasan atau Rivai, yang kini telah menjadi seorang intelektual yang tak lagi ragu akan keimanannya. *** Achdiat Karta Mihardja, lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Lahir dari keluarga Islam yang taat dan dibesarkan dalam lingkungan Islam tradisional, Achdiat berhadapan dengan kebudayaan Barat melalui pendidikan Belanda yang dimasukinya. Ia menyerap sendiri suasana religius kehidupan pesantren. Ia juga menerima langsung kebudayaan Barat melalui bahasa sumbernya. Jadi, ke belakang, ia melihat masa lalu yang tak dapat melepaskan diri dari dogma agama, ke depan terbentang harapan tentang manusia Indonesia di masa mendatang yang tak dapat menghidar dari pengaruh kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara masa lalu yang religius dan kerap juga dogmatis, dan masa depan yang cerah penuh peng- harapan itu, kemudian dianggap sebagai representasi pergulatan Timur-Barat. Puncaknya terjadi ketika wacana ini menjadi ajang perdebatan kaum terpelajar dan tokoh pemikir kita di zaman Pujangga Baru. Perdebatan itulah yang —berkat usaha Achdiat mengumpulkan sejumlah tulisan mengenai itu— dikenal dengan nama Polemik

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 223 Kebudayaan. Achdiat sendiri memang tidak terlibat langsung dalam kancah polemik itu. Tetapi sikapnya jelas, sebagai- mana yang dikatakannya dalam Pengantar buku Polemik Kebudayaan (1948). AKM muda seperti diterjang kegelisahan. Ia harus menya- takan sikapnya. Dan wadah kegelisahannya itu seperti ter- salurkan melalui novel. Lahirlah dari tangannya sebuah mahakarya yang berjudul Atheis (1949), sebuah novel yang ternyata menjadi salah satu monumen penting dalam sejarah sastra Indonesia. Selepas itu, AKM menghasilkan sejumlah karya lagi, antara lain: naskah drama Bentrokan dalam Asrama (1952), anto- logi cerpen Keretakan dan Ketegangan (1956) yang mendapat hadiah sastra BMKN 1957, drama satu babak Pak Dullah in Extremis (1957), Kesan dan Kenangan —sebuah kumpulan kisah perjalanan (1960), novel kaleidoskop Debu Cinta Berte- baran 1973; 2004), antologi cerpen Belitan Nasib (1975), anto- logi cerpen Pembunuh dan Anjing Hitam (1975), kumpulan dongeng lucu Si Kabayan, Manusia Lucu (1997), dan sebuah novel gagasan berjudul, Manifesto Khalifatullah (2005). AKM selain pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, sejum- lah majalah dan suratkabar, juga pernah menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961). Pada tahun 1970, AKM memeroleh Anugerah Seni dari Pemerin- tah Indonesia. Sejak tahun 1961, AKM mengajar di Australia dan tinggal di sana sampai meninggalnya, 8 Juli 2010.[]

224 Jamal D. Rahman dkk. Amir Hamzah Revolusi Memangsa Anaknya Sendiri

ACEP ZAMZAM NOOR

mir Hamzah dilahirkan tanggal 28 Februari 1911 dari Akalangan bangsawan di Tanjungpura, Langkat, Suma- tera Utara. Meninggal pada tanggal 20 Maret 1946 sebagai korban dari sebuah revolusi sosial yang bergolak hebat di daerahnya. Maka ungkapan yang mengatakan bahwa “revo- lusi memangsa anaknya sendiri” sangatlah tepat jika dikena- kan pada Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru terbesar dan paling berpengaruh, yang kedalaman serta keindahan sajak-sajaknya tak bisa terhapuskan dari sejarah kesusastra- an Indonesia. Begitu juga perjalanan hidupnya yang roman- tis sekaligus tragis, tak akan mudah terlupakan. Setidaknya ada dua hal yang sering kali saling berkelindan jika kita berbicara tentang seorang penyair, yaitu realitas sebagai manusia dan realitas kepenyairannya itu sendiri. Yang pertama meliputi hal-hal yang bersifat biografis, sedangkan yang kedua berkenaan dengan nilai-nilai, pencapaian serta posisi kepenyairannya di dunia sastra. Dalam praktiknya kadang sulit membedakan apalagi memisahkan antara keduanya. Yang satu tentang kenyata- an pribadi seorang manusia yang berinteraksi dan berhu-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 225 bungan dengan realitas sejarah, sedangkan yang lain adalah sajak-sajaknya itu sendiri yang merupakan ekspresi murni yang lahir dari proses kontemplasi serta sublimasi pengalam- an empirisnya sebagai penyair. Lebih-lebih dalam konteks Amir Hamzah, hampir setiap pengamat (juga penikmat) selalu mencoba untuk menemukan mata rantai atau me- ngaitkan antara kehidupannya yang tragis dengan sajak- sajak indah yang ditulisnya.

Abrar Yusra dalam pengantar buku Amir Hamzah Penyair dan Manusia yang dieditorinya, menulis sebagai berikut:

Barangkali saja menyangkut Amir Hamzah, yang demikian boleh jadi suatu kekeliruan. Paling tidak apabila berbicara tentang gejolak sosial politik dalam kaitannya dengan Revo- lusi Kemerdekaan di Indonesia, dirasakan semacam ironi apabila dikaitkan dengan kematian Amir Hamzah: kenapa seorang penyair harus dibunuh? Meskipun dalam sajak- sajaknya ia pernah menyeru-nyeru maut, namun maut yang datangnya dipaksakan atas nama apapun, mungkin tak pernah diharapkannya. Sebaliknya apabila kita mencoba mengahaya- ti sajak-sajak yang ditulisnya dalam batas umur yang relatif pendek (1911-1946), maka inner ears kita —meminjam istilah T.S. Elliot— melibatkan diri kita, setidaknya kesadaran kita, tentang betapa gemuruh dan tidak mati-matinya Amir Ham- zah sebagai penyair. Boleh jadi karena suaranya yang murni, yang seolah keluar langsung dari hati kecilnya, sehingga ahli- ahli dan penganut kebenaran fiqih tidaklah memprotesnya ketika ia melukiskan Tuhan sebagai: Engkau cemburu/ Engkau ganas/Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas.

226 Jamal D. Rahman dkk. Kritikus sastra kita, H.B. Jassin, menyebut penyair yang dikenal berhati lembut ini sebagai raja penyair Pujangga Baru, dan ia menggunakan sebutan tersebut untuk judul bukunya yang terkenal mengenai Amir Hamzah. Bagi kriti- kus sastra ini, Amir merupakan penyair besar dan religius yang berhasil meletakkan tradisi kesusastraan Indonesia modern. Kemurnian nada dan gaya kepenyairannya yang tak dapat ditiru orang, juga kerinduannya kepada Tuhan, niscaya telah menempatkan kepenyairannya melampaui batas-batas angkatan serta lingkungan geografis sosial. Profesor A. Teeuw, seorang kritikus dan teoritikus sastra yang paling berwibawa dari Belanda, memandang Amir Hamzah yang sajak-sajaknya selalu menyiratkan kesepian ini sebagai satu-satunya penyair sebelum perang yang telah mencapai level internasional dengan karya-karya sastranya yang akan menjadi abadi. Sementara kritikus asing lainnya, A.H. John, menyebut Amir Hamzah dalam satu helaan nafas panjang sebagai pangeran Melayu penyair Indonesia. Lebih jauh, A.H. John mengatakan, “Ia adalah penyair pa-ling berhasil yang muncul dari dunia Melayu di tahun-tahun sebelum perang dunia, dan yang pertama yang sepenuhnya menggali potensi-potensi bahasa Indonesia untuk menjadi medium bagi puitika modern. Malahan ia tak dapat dilihat hanya sebagai anggota dari suatu kelompok atau angkatan, sebab seolah-olah ia tumbuh dan menonjol karena upaya dirinya sendiri. Tak ada kaitannya dengan suatu kelompok atau kecenderungan tertentu.” Studi tentang kepenyairan Amir Hamzah yang dilakukan Salleh Yaafar dari Malaysia menempatkan penyair santun

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 227 ini sebagai penyair religius yang matang, yang sajak-sajak- nya mempunyai pengaruh kuat serta menjadi sumber inspi- rasi bagi para penyair yang datang sesudahnya, termasuk Chairil Anwar salah satunya. Ajip Rosidi berpandangan bahwa di antara penyair sebe- lum perang, Amir Hamzah adalah penyair yang paling halus, paling mesra dan paling mengkhususkan diri sebagai penya-ir. Meski ia pun ada juga menulis sejumlah karya prosa, di antaranya berupa studi tentang kesusastraan Melayu Lama, namun kehadiran Amir Hamzah dalam dunia kesu-sastraan Indonesia, terutama ditandai oleh dua kumpulan sajaknya yang terkenal, yakni Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937). Berbagai predikat atau sebutan yang diberikan pada Amir Hamzah tersebut menunjukkan bahwa ia memang sebuah nama besar dalam sejarah kesusastraan Indonesia, sekaligus nama besar sebagai penyair terakhir sebelum kemerdekaan yang berakar pada tradisi bahasa dan sastra Melayu. Itu me- rupakan satu hal. Sementara hal lainnya adalah, bahwa kebesarannya sebagai penyair tak bisa dilepaskan begitu saja dari ironi kehidupan pribadi yang menyertainya. Amir Hamzah mula-mula bersekolah MULO di Medan, namun hanya sebentar. Ia menyambung pendidikannya di Jakarta sampai menamatkan MULO, lalu pergi ke Solo untuk masuk AMS Ketimuran sampai tamat. Pada masa belajar di Solo itulah ia mulai aktif dalam kegiatan pemuda pergerakan, malah pernah menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo. Setamat AMS ia pindah ke Jakarta untuk

228 Jamal D. Rahman dkk. melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hogesschool), sedang kegiatannya dalam gerakan kebangsaan tidak menurun. Amir sudah berkali-kali diberi peringatan oleh pamannya, Sultan Langkat yang membia- yainya sekolah (karena ayahnya sudah meninggal) agar menghentikan kegiatan tersebut. Pamannya sendiri sudah mendapat peringatan dari pemerintah Hindia Belanda agar melarang keponakannya itu aktif dalam kegiatan kebangsa- an. Kalau tidak maka nasib kesultanan Langkat akan men- jadi taruhannya. Sepertinya Amir Hamzah kurang mempedulikan peri- ngatan dari pamannya tersebut. Amir dan teman-temannya terus aktif dalam pergerakan kebangsaan. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, ia malah menerbitkan majalah Poedjangga Baroe, yang tujuannya tak lain hendak memberikan dorongan terhadap terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Sultan Lang- kat memanggil Amir Hamzah pulang dan menikahkannya dengan anaknya sendiri, artinya menjadikan Amir sebagai menantu. Setelah proklamasi kemerdekaan dan pembentu- kan pemerintah RI, Amir Hamzah diangkat sebagai Wakil Residen Langkat yang berkedudukan di Binjai. Tapi pada awal tahun 1946, terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Persatuan Perjuangan yang dibentuk oleh partai dan organi- sasi pergerakan lainnya seperti PKI (Partai Komunis Indo- nesia), PNI (Napindo), Pesindo, Hisbullah dan Volks-front. Menurut Ajip Rosidi dalam pengantar buku Amir Hamzah Sang Penyair, Volksfront yang dikuasai oleh PKI

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 229 menangkapi dan membunuh banyak keluarga istana kesul- tanan, termasuk kesultanan Langkat yang banyak terdapat di berbagai tempat di Sumatera dengan tuduhan “feodal” dan “memeras rakyat”, sehingga kesultanan harus dibubar- kan. Padahal sebenarnya Sultan Langkat sudah menyatakan memilih berpihak kepada Republik Indonesia, bahkan sudah memberikan bantuan uang 10.000 gulden kepada pemerin- tah Republik Indonesia. Amir Hamzah ikut diculik dalam pergolakan tersebut dan dibawa ke Perkebunan Kuala Begu- mit (sekitar 10 kilometer dari Binjai). Ia bersama 26 orang tawanan termasuk saudara-saudaranya sendiri dihukum pancung oleh Mandor Riang (Ijang Widjaja) yang pernah menjadi guru silat di istana Langkat. Setelah pergolakan yang disebut sebagai revolusi sosial pada bulan Maret 1946 tersebut, Amir Hamzah dianggap hilang tak tentu rimbanya atau mati tak tentu kuburnya. Namun tiga tahun berselang, yakni tahun 1949, jejak pangeran sekaligus penyair yang naas ini ditemukan pada sebuah kuburan massal yang dangkal di Perkebunan Kuala Begumit, setelah kerangkanya diotopsi dan diyakini secara medis sebagai Amir Hamzah, kemudian dimakamkan kembali dengan layak di Tanjungpura. Informasi awal tentang kuburan massal di mana kerangka Amir Hamzah berada ini berasal dari interogasi polisi terhadap seorang tersangka dalam kasus pembunuhan yang lain. Namun istri Amir Hamzah, Tengku Putri Kamaliah, sampai mening- galnya pada tanggal 22 Mei 1961, tetap tidak mempercayai bahwa yang dimakamkan kembali itu kerangka suaminya.

230 Jamal D. Rahman dkk. Itulah yang kemudian menjadi ironi, ketika kematian yang mengejutkan bahkan tak masuk akal ini seolah-olah menjadi bagian dari kontroversi atau misteri sejarah yang belum terungkap hingga kini. Dengan demikian pertanyaan kenapa penyair yang santun dan berhati lembut itu dipaksa harus menerima kematian dengan cara yang mengenaskan, akan selalu muncul sampai kapan pun. Banyak yang men- duga bahwa kematian Amir Hamzah hanyalah karena ia ditakdirkan lahir dari keluarga feodal. Tidaklah mengheran- kan jika ada yang memandang peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh bangsa ini. Penyair Mansur Samin menulis dalam mingguan Indo- nesia Raya, 30 Maret 1969: “Kami beranggapan bahwa kematian penyair Amir Hamzah perlu diselidiki, perlu diteliti, siapa yang seharusnya bertanggungjawab dan siapa yang bersalah dalam pembunuhan terhadap penyair haruslah diadili. Di samping itu sudah waktunya pula memperhatikan nilai-nilai historis. Tuduhan tanpa fakta tidaklah dapat dipertanggungjawabkan.” Sungguh suatu peristiwa yang tragis, Amir Hamzah yang sejak usia muda giat dalam usaha memperjuangkan kemer- dekaan bangsa dan negara, namun setelah cita-cita itu terca- pai dan ia sendiri ikut duduk dalam pemerintahan sebagai tanda bahwa jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan diketahui dan diakui, malah menjadi korban revolusi sosial. Menurut Suprayitno dalam makalah Revolusi Sosial di Sumatera Timur 1946, kejadian tersebut lebih merupakan pembunuhan dan penjarahan:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 231 “Setelah menyerbu Istana Langkat, barisan bersenjata itu bertebaran ke Jawa dan Malaya. Tiga kaleng sigaret 555 penuh berisi intan berlian sebesar-besar buah kemiri telah dirampas dan dijual ke Pulau Pinang. Mereka tidak kembali lagi ke induk pasukannya untuk melanjutkan perjuangan”. Pada tahun 1975, pemerintah Republik Indonesia melalui SK Presiden no. 106/TK Tahun 1975 mengakui Amir Hamzah sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dan pengorbanannya bagi bangsa dan negara. Namun demikian, menurut Ajip Rosidi, pengangkatan tersebut lebih berdasarkan kegiatannya dalam pergerakan kemerdekaan dan pengorbanannya sebagai korban revolusi sosial daripada berkat jasa-jasanya dalam bidang kesusastraan. Sampai sekarang pemerintah belum pernah mengakui Pahlawan Nasional berkat jasa-jasa seseorang dalam bidang kesusastraan ataupun dalam bidang kebudayaan. Muh. Yamin dan Abdoel Moeis juga diakui sebagai Pahlawan Nasional lebih karena kegiatannya dalam bidang politik dan pergerakan nasional, daripada jasa-jasanya dalam bidang kesusastraan.

*** Seperti yang sempat disinggung di muka, bahwa kebesaran seorang penyair tak bisa dilepaskan dari ironi kehidupan pribadi yang menyertainya. Demikian juga halnya dengan penyair Amir Hamzah. Ketika melanjutkan sekolahnya di Solo, ia berkenalan dengan seorang gadis Jawa bernama Ilik Sundari yang juga aktif dalam organisasi- organisasi perjuangan kemerdekaan. Keduanya pernah main

232 Jamal D. Rahman dkk. dalam sebuah sandiwara Siti Nurbaya yang disadur oleh Armijn Pane berdasarkan roman karya Marah Rusli. Amir bermain sebagai Samsul Bahri, sedang Ilik menjadi Siti Nurbaya. Permainan mereka mendapat sambutan yang meriah. Keduanya dianggap cocok satu sama lain. Kebersa- maan mereka dalam sebuah sandiwara kemudian mengu- kuhkan hubungan keduanya di panggung percintaan yang nyata.

Namun orangtua Ilik menganggap bahwa pernikahan antar pulau belum waktunya buat mereka. Apalagi Amir Hamzah jelas seorang pangeran yang niscaya jodohnya haruslah dari kalangan bangsawan juga. Oleh ayahnya Ilik Sundari kemudian dipindahkan sekolahnya ke Majalengka, Jawa Barat, tak lain dan tak bukan supaya mereka berjauh- an. Nh. Dini dalam novel biografis Pangeran dari Seberang, berhasil melukiskan percintaan kedua insan yang berlainan suku serta penuh rintangan ini dengan indah dan meng- harukan. Konon setiap liburan sekolah Amir selalu mengun- jungi kekasihnya tersebut di Majalengka, atau menyusul ke rumah kerabat Ilik di Lembang.

Amir Hamzah ditinggal mati ibunya ketika sedang sibuk menghadapi ujian akhir di Solo. Tak lama kemudian disusul ayahnya yang meninggal ketika Amir mau melanjutkan kuliah di Jakarta. Dengan demikian ia kehilangan kedua orangtua yang selama ini membiayainya belajar di Jawa. Pamannya, Sultan Langkat, kemudian bersedia menang- gung biaya kuliah. Namun karena aktivitasnya dalam gerak- an kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan semakin

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 233 menonjol, pamannya memanggil Amir pulang ke Langkat sebelum menyelesaikan masa kuliahnya, dan seperti telah disinggung di muka, ia dinikahkan dengan Tengku Putri Kamaliah. Sutan Takdir Alisjahbana dalam makalahnya Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman, menceritakan bahwa tak lama setelah menikah dengan sepupunya di Langkat, Amir Hamzah meminta izin kembali dahulu ke Jakarta untuk menyelesaikan berbagai urusan. Selama sebulan penuh di Jakarta ia mengeram sendirian dalam kamarnya, tak mau ditemui atau menemui siapapun. Rupanya ia tengah berkonsentrasi menyelesaikan kumpulan sajak yang diberinya tajuk Nyanyi Sunyi, kumpulan sajak ini kemudian diterbitkan dalam nomor khusus majalah Poedjangga Baroe, November 1937. Sebelum menerbitkan Nyanyi Sunyi yang menjadi monumental itu, sebenarnya Amir Hamzah sudah banyak menulis sajak-sajak lain dan tersebar di berbagai majalah seperti Indonesia Muda, Timboel, Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe. Sajak-sajak tersebut, yang sebagian besar telah ditulis semasa sekolah di Solo, kemudian diterbitkan sebagai kumpulan sajaknya yang kedua dengan tajuk Buah Rindu dalam nomor khusus majalah Poedjangga Baroe, Juni 1941. Ajip Rosidi menilai sajak-sajak Amir Hamzah dalam Buah Rindu tak sekuat, sematang atau sesublim sajak-sajaknya dalam Nyanyi Sunyi, bahkan Ajip menengarai bahwa sajak- sajak yang ditulis pada masa remajanya tersebut sebagai

234 Jamal D. Rahman dkk. latihan berpuisi sebelum secara serius menulis sajak- sajaknya yang terkumpul dalam Nyanyi Sunyi. Umumnya sajak-sajak dalam Buah Rindu merupakan nyanyian atau ratapan seorang perantau terhadap ibunya (Bonda) serta tanah airnya (Sumatera). Kita kutip dua bait dari sajak “Tinggallah” yang menggambarkan kerinduan yang mendalam pada ibu dan tanah airnya:

Selamat tinggal padaku Perca Panjang umur kita bersua Cobalah cempaka anakda bawa Jadikan gelang di kaki Bonda

Gelang cempaka pujaan Dewa Anakda petik di tanah Jawa Akan Bonda penambah cahaya Akan ibu penambah mulya.

Untuk mempertegas kerinduan tersebut kita kutip lagi bait terakhir dari sajaknya yang berjudul “Bonda I”, yang bagi sebagian pembaca mungkin ungkapan indahnya ini akan selalu dihubung-hubungkan pada pengalaman empiris penyairnya yang jatuh cinta pada seorang gadis dari tanah Jawa: Bunga mawar putih setangkai Anakda petik di kaki Wilis Di atas bumi Jawa raya Akan penunggu telapakan Bonda.

Menyelami sajak-sajak Amir Hamzah dalam Buah Rindu kita merasakan bagaimana kata-kata maupun idiom lama yang diserap dari tradisi Melayu klasik muncul sebagai sesuatu yang baru dan segar, baru karena penyair bukan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 235 hanya menyerap namun menyaringnya dengan ketat serta menggosoknya hingga mengkilap. Kata-kata yang sudah disaring dan digosok hingga mengkilap tersebut kemudian disusun pada sebuah komposisi yang terukur dan rapi. Komposisi tersebut, yang rancang bangunnya berasal dari tradisi pantun dan gurindam kemudian menjadi penyangga yang kokoh bagi sajak-sajaknya yang lahir kemudian. Di sisi lain, Amir mengapresiasi dengan baik bentuk soneta dan kwatrin, yang banyak ditulis rekan-rekannya di majalah Poedjangga Baroe. Sejak masih menjadi siswa HIS (setingkat sekolah dasar), seperti yang diceritakan Saidy Husny dalam sebuah tulisan di harian Abadi tahun 1969, Amir Hamzah sudah menampakkan minatnya yang besar terhadap bahasa dan sastra Melayu, sekalipun di sekolah ia dibiasakan untuk berbahasa Belanda. Ketika tamat HIS di kamarnya terdapat koleksi buku karya Abdullah Munsyi dan Tun Sri Lanang seperti Sejarah Melayu, Hikayat Panca Tanderan, Syair Siti Zubaidah, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah serta riwayat nabi-nabi. Amir pun serius mempelajari pantun dan gurindam dari kakeknya Tun Sri Indah, yang waktu itu sudah berusia 80 tahun. Achdiat K. Mihardja yang menjadi teman akrab Amir Hamzah selama sekolah di Solo, lewat tulisan obituarinya Amir Hamzah Dalam Kenangan, juga bercerita mengenai temannya tersebut:

Di zaman itu belum banyak pemuda-pemuda terpelajar yang membikin sajak dalam bahasa Indonesia. Kebanyakannya

236 Jamal D. Rahman dkk. masih mencurahkan isi hatinya atau buah pikirannya dalam bahasa Belanda. Memang tengara perjuangan untuk bahasa persatuan baru saja berbunyi. Hanya sekali-kali kita berjumpa dengan sajak-sajak Indonesia di dalam majalah Indonesia Muda atau Timboel yang setengah berbahasa Belanda, setengah lagi berbahasa Indonesia. Pujangga- pujangga yang terkenal baru Sanuse Pane, atau Yamin. Aku tahu pula bahwa Armijn pada waktu itu sudah biasa juga membikin sajak dalam bahasa Indonesia. Tapi setahuku baru Amir dan Armijn saja. Yang lain-lain belum bisa melepaskan dirinya dari belenggu bahasa Belanda, atau bila bisa, mereka lari ke bahasa daerahnya.

Tentu saja sebagai penyair yang kreatif dan mempunyai visi yang jelas, Amir Hamzah tidak hanya menggali kekayaan bahasa dan sastra Melayu saja. Dalam sajak- sajaknya kita juga menemukan banyak kosakata atau idiom yang berasal dari bahasa Kawi, Jawa dan Sunda. Dalam catatan Achdiat sejumlah kosakata yang berasal dari bahasa daerah yang kerap muncul dalam sajak-sajak Amir Hamzah antara lain: dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, rangkum-rangkum dan sebagainya. Nampaknya bukan sekedar persamaan bunyi atau nuansa bahasa yang dikejar Amir dari kosakata-kosakata lokal tersebut, namun lebih pada kesadaran akan sebuah proses perjalanan menuju puisi Indonesia modern. Itulah salah satu sumbangan berharga dari kepenyairan Amir Hamzah dalam membangun puisi Indonesia modern, yang pada kenyataannya sekarang bahasa Indonesia sendiri banyak diperkaya oleh kosakata maupun idiom yang berasal dari bahasa-bahasa daerah. Pada titik ini sumbangan Amir Hamzah dan Chairil Anwar dalam memperkaya bahasa

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 237 Indonesia, khususnya dalam persajakan, sama penting dan berharganya. Amir membuat bahasa Indonesia menjadi anggun dan berwibawa, sementara Chairil membuat bahasa Indonesia menjadi komunikatif dan ekspresif. Kita tentu setuju dengan pendapat Ajip Rosidi yang meni- lai bahwa sajak-sajak dalam Buah Rindu tak sekuat dan se- matang Nyanyi Sunyi, namun tentunya pendapat ini tidak berlaku untuk semua sajak. Memang ada sajak-sajak yang kesannya hasil dari latihan berpuisi, tapi beberapa sajak seperti “Cempaka Mulia”, “Buah Rindu”, “Bonda”, “Tinggal- lah”, “Kenang-kenangan”, “Dalam Matamu” dan terutama “Berdiri Aku” dengan sangat meyakinkan sudah menunjuk- kan kematangan serta keutuhannya sebagai sajak, meskipun ditulis pada usia sangat muda. Yang membedakannya mungkin hanya pada tema dan atmosfir penciptaan saja, di mana dalam Buah Rindu hampir semua sajaknya bernada- kan kerinduan serta penuh ratap kesedihan cinta birahi. Sementara dalam Nyanyi Sunyi kerinduan dan ratapannya tersebut sudah melompat naik pada maqom yang rohani. Mari kita selami bersama sajak “Berdiri Aku”, yang ditulis Amir Hamzah pada usia muda:

Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayang bakau mengurai puncak Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun-ayun di atas alas

238 Jamal D. Rahman dkk. Benang raja mencelup ujung Naik marak mengerak corak Elang leka sayap tergulung Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa maha sempurna Rindu-sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Menyecap hidup bertentu tuju.

***

Abdul Hadi W.M. yang merupakan pakar sastra sufistik dalam esainya “Amir Hamzah dan Relevansi Sastra Melayu”, mengajak kita untuk menengok sejenak kesusastraan Melayu klasik sebagai salah satu cara untuk memahami sajak-sajak Amir Hamzah. Menurut Abdul Hadi, membaca sajak-sajak- nya secara mendalam dan kemudian membandingkannya dengan puisi-puisi terbaik Melayu klasik, akan tampak bahwa di belakang kepenyairannya membentang suatu khazanah sastra dengan gagasannya yang mungkin berbeda jika dibanding gagasan modernisme Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar. Perbedaan tersebut terutama tercermin pada gambaran dunia serta wawasan estetik yang mendasari sistem sastra masing-masing. Hal ini tidak semata-mata disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman maupun latar belakang sosial, melainkan disebabkan terutama oleh pandangan terhadap agama dan kebudayaan. Kesusastraan Melayu, sebagaimana kesusastraan Jawa bagi kebudayaan Jawa, sangat penting karena merupakan fondasi utama kebudayaan Melayu itu sendiri. Kesusastraan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 239 Melayu juga mempunyai relevansi serta keterkaitan yang kuat dengan perkembangan agama Islam di Nusantara, sua- tu agama yang pemeluknya pada awal sejarah kedatangan bangsa Eropa merupakan penentang paling sengit bagi penjajah Portugis dan Belanda. Karya-karya Melayu klasik selama lebih dua abad telah menjadi model serta sumber ilham bagi sastra yang bercorak Islam di berbagai daerah seperti Aceh, Jawa dan Sunda. Bahasa yang digunakan sebagai medianya merupakan asal-usul bahasa persatuan kita, yakni bahasa Indonesia. Dengan demikian, dalam membicarakan sejarah bahasa dan kesusastraan Indonesia maupun sejarah pemikiran keagamaan dan kebudayaan, termasuk di dalamnya sajak- sajak Amir Hamzah, tidaklah sepatutnya kita melupakan nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri dan Raja Ali Haji. Para pujangga besar Melayu klasik ini umumnya memandang alam semesta sebagai kitab agung yang indah, atau dengan kata lain sebagai sebuah karya sastra. Pribadi manusia, dengan segala wujud lahir maupun batinnya juga merupakan sebuah kitab, sebuah karya sastra. Pada manusia keseluruhan hikmah alam semesta diserap setelah diringkas dan dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat Tuhan yang penuh rahasia. Lebih jauh Abdul Hadi menulis:

“Selaras dengan gambaran tersebut, karya mestilah dibentuk menyerupai pribadi manusia. Ungkapan lahir atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh manusia dan wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran

240 Jamal D. Rahman dkk. rahasia dan keberadaan Tuhan. Gejala-gejala alam, peristiwa- peristiwa kemanusiaan dan sejarah, keindahan yang tak terpermanai dan berbagai-bagai di alam syahadah, adalah manifestasi cinta Tuhan dan pengetahuan-Nya yang tak terhingga. Semua itu dihadirkan agar dikenal dan dijadikan jalan kenaikan. Ini sesuai dengan prinsip-prinsip metafisika atau ontologi Islam; yang banyak adalah manifestasi keindahan Yang Satu, yakni cinta dan pengetahuan-Nya.

Apa yang dipaparkan guru besar Universitas Paramadina di atas, jejaknya dapat kita telusiri pada sebagaian besar sajak-sajak Amir Hamzah, baik dalam Rindu Dendam, Nyanyi Sunyi maupun pada prosa-prosa lirisnya. Gam- baran dunia maupun wawasan estetik sajak-sajaknya meru- pakan hasil penelusuran serta penggalian dari khazanah kesusastraan Melayu klasik, yang lewat kreativitas serta visi yang jelas kemudian diekspresikan dalam idiom baru yang segar. Sajak “Berdiri Aku” dan “Padamu Jua” misalnya, bisa ditandai sebagai sajak yang berhasil menghadirkan gambaran alam dengan segala pergerakannya serta meng- isyaratkan sebuah perjalanan spiritual atau tangga kenaikan menuju Yang Satu. Camar yang menepis buih, bakau yang mengurai puncak, ubur yang berkembang, angin yang menyejuk bumi, lari ke gunung memuncak sunyi. Semua itu seolah memberi petunjuk bahwa lewat gejala-gejala alam seorang penyair dapat membayangkan keindahan Sang Pencipta. Di bawah ini kita kutip bagian dari sajak “Padamu Jua”, yang seperti halnya sajak-sajak Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji atau penyair-penyair sufistik lainnya yang secara

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 241 tersirat sekaligus tersurat berusaha menyuarakan kerinduan hakiki untuk sampai pada keadaan fana, leka, lampus, hanyut dan lenyap dalam keindahan Yang Satu. Setelah fana, maka ia akan kudus dan baqa dalam pelukan Yang Abadi:

Satu kekasihku Aku manusia Rindu rasa Rindu rupa

Di mana engkau Rupa tiada Suara sayup Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu Engkau ganas Mangsa aku dalam cakar-Mu Bertukar tangkap dengan lepas.

Jika mengamati penyair-penyair Melayu klasik, maka kita akan menemukan sisi perbedaannya dengan pujangga- pujangga Jawa kuno, terutama dalam menempatkan diri pada lingkungan sosial. Pujangga-pujangga Jawa umumnya memandang diri mereka sebagai empu yang memiliki kekuatan spiritual berkat tapa bratanya, sehingga mereka disanjung dan disegani masyarakatnya serta mendapat pujian dari kaum bangsawan bahkan raja-raja. Sebaliknya, penyair-penyair Melayu klasik memandang diri mereka sebagai fakir, pedagang atau anak hulubalang. Sering juga mereka menyebut dirinya talib, salik atau asyik yang maknanya kurang lebih sebagai penempuh jalan rohani.

242 Jamal D. Rahman dkk. Seorang faqir selalu memerlukan kehadiran Tuhan karena pada dasarnya manusia tidak memiliki apa-apa. Begitu juga dengan Amir Hamzah, dalam banyak sajak ia sering menyebut dirinya musafir lata yang maknanya tak jauh berbeda dengan fakir, orang yang selalu merindukan kehadiran Tuhan. Sajak-sajak Amir Hamzah, termasuk karya-karya terjemahannya yang dikumpulkan dalam Setanggi Timur merupakan dokumen pencarian serta perjalanan kerohaniannya menuju Yang Satu: Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu biar berbinar gelakku rayu!

*** Amir Hamzah yang namanya tidak asing di kalangan siswa dan guru-guru sekolah, yang tanggal kelahiran maupun kematiannya sering diperingati di berbagai tempat, yang sajak-sajaknya terus dibahas dan dianalisis para akademisi di kampus-kampus, sejauh mana sebenarnya pengaruhnya pada kesusastraan Indonesia modern, khususnya pada perkembangan kepenyairan kita hari ini? Dalam sebuah tulisan tahun 1968 di majalah Horison, Goenawan Mohamad menyebut kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono, Duka-Mu Abadi, sebagai nyanyi sunyi kedua. Lebih jauh tentang kumpulan sajak ini Goenawan menyatakan:

Setelah Amir Hamzah hampir tigapuluh tahun yang lalu menyusun Nyanyi Sunyi, sajak-sajak ini adalah nyanyi sunyi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 243 kedua seorang penyair Indonesia. Saya harap saya tidak terlalu berlebihan dalam mengatakan itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Sapardi Djoko Damono di sini telah menunjukkan, secara utuh, tentang satu kenyataan: kita adalah yatim piatu. Kesadaran akan kenyataan ini barangkali suatu kesadaran yang murung tentang situasi kita. Tapi saya beranggapan, bagaimana pun juga, ini adalah sah untuk zaman kita.

Seperti kita ketahui, sebelum tahun 1968 kesusastraan kita begitu riuh rendah dan berdarah-darah dengan sajak-sajak serta perbincangan sastra yang tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan pengaruh sastra realisme sosial, baik bagi para pendukung maupun penentangnya. Hal ini dimulai de- ngan ditulisnya sajak-sajak perjuangan oleh hampir semua penyair, lalu diakhiri dengan sajak-sajak pergolakan pada tahun 1966. Di mana kepahlawan, pemujaan pada tanah air, potret sosial politik, nasib rakyat kecil dan optimisme pada perubahan seolah telah menjadi tema milik bersama. Maka munculnya sajak-sajak Sapardi Djoko Damono yang lembut, merdu, ngungun dan sublim, yang kembali berbicara tentang senja dan sunyi menjadi sebuah pembeda yang tegas. Apalagi rancang bangun sajak yang dipilihnya juga konvensional, mengarah pada bentuk soneta atau kwatrin dengan sedikit pengaruh pantun. Tepat sekali jika Goenawan menyambut kehadiran sajak-sajak tersebut dengan suka cita dan kemudian mengaitkannya dengan Amir Hamzah. Seperti halnya Amir Hamzah, penyair asal Solo ini telah menghadirkan kembali puisi di bumi Indonesia lewat sajak-sajaknya.

244 Jamal D. Rahman dkk. Selain Sapardi Djoko Damono, tentu saja banyak nama- nama penting lain yang bisa dikaitkan dengan spirit persa- jakan Amir Hamzah, baik sebelum maupun sesudah Sapardi. Sajak-sajak Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Har-tojo Andangdjaja, Kirjomulyo, Ajip Rosidi, Dodong Djiwa-pradja, Taufiq Ismail, Wing Kardjo, Saini K.M.., Abdul Hadi W.M. bahkan Soetardji Calzoum Bachri, sedikit banyak mempunyai keterkaitan baik dari segi tema, bahasa, estetika maupun rancang bangunnya. Nama-nama tersebut meru-pakan penyair yang dalam proses kepenyairannya sangat mengagungkan puisi dengan segala kesublimannya, lebih-lebih kreativitas mereka digali dari khazanah-khazanah lama seperti soneta, kwatrin, balada, pantun atau mantra. Jejak yang digoreskan Amir Hamzah nampak semakin memanjang ketika pada awal 1980-an Abdul Hadi W.M. dan kawan-kawan menyerukan untuk kembali ke akar, kembali ke sumber. Ratusan esai yang merupakan hasil studinya tentang sastra profetik dan sufistik dari khazanah kesusatraan Timur, termasuk Melayu klasik dan Jawa kuno, kemudian menandai hadirnya gerakan sastra religius di tanah air. Lewat rubrik budaya di harian Berita Buana, Pelita dan Ulumul Qur’an banyak penyair yang berkecenderungan sufistik muncul ke permukaan. Nama-nama seperti Hamid Jabbar, A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Ajamuddin Tifani, Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Nurulloh dan Jamal D. Rahman ikut menegaskan adanya gerakan sastra religius ini. Dan jika diteliti dengan seksama,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 245 kita akan segera menemukan benang merah yang menghubungkan kepenyairan mereka dengan jejak yang ditinggalkan Amir Hamzah. Dan nampaknya jejak tersebut akan terus memanjang dan semakin memanjang.[]

Kepustakaan

A Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Abdul Hadi W.M. 1999. Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus. Abdul Hadi W.M. 2000. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Abrar Yusra dkk. 1996. Amir Hamzah Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin. Ajip Rosidi. 2013. Amir Hamzah Sang Penyair. Bandung: Pustaka Jaya. Amir Hamzah. 1996. Esai dan Prosa. Jakarta: Dian rakyat. Amir Hamzah. 2008. Setanggi Timur. Jakarta: Dian Rakyat. Goenawan Mohamad. 2005. Setelah Revolusi Tak ada Lagi. Jakarta: Alvabet. H.B. Jassin. 2013. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Bandung: Pustaka Jaya. H.B. Jassin. 2013. Pujangga Baru. Bandung: Pustaka Jaya. Jakob Sumardjo. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni. Maman S. Mahayana. 2012. Pengarang Tidak Mati. Bandung: Nuansa Cendekia. Nh. Dini. 1981. Pangeran dari Seberang. Jakarta: Gaya Favorit Press. S. Takdir Alisjahbana. 1979. Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.

246 Jamal D. Rahman dkk. Trisno Sumardjo Bapak Penerjemahanan Sastra

BERTHOLD DAMSHÄUSER

ama Trisno Sumardjo pertama kali saya baca pada Ntahun 1976. Saat itu saya tengah mempersiapkan diri untuk perjalanan saya yang pertama kali ke Indonesia, dan di tangan saya ada sebuah kumpulan cerpen Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Jerman.1 Saya melahap cerpen- cerpen itu, sadar bahwa karya sastralah yang akan memberi gambaran mendalam tentang budaya dan alam pikiran sebuah negeri yang saat itu masih begitu asing bagi saya. Dalam buku itu, cerpen yang paling mengesankan saya adalah cerpen berjudul “Die Masken” (Topeng) karya Trisno Sumardjo. Cerpen yang ditulis dalam prosa liris yang indah ini, menceritakan riwayat seorang seniman yang bukan kebetulan diberi nama “Atma”. Cerpen filosofis-mistis ini membicarakan menyatunya atman dan brahman, manunggaling kawula-gusti. Tentu saat itu saya belum

1 Perlen im Reisfeld. Indonesien in Erzählungen der besten zeitgenössischen Autoren (Mutiara-mutiara di Sawah, Indonesia dalam Cerita-cerita Sastrawan Kontemporer yang Paling Baik), editor: Irene Hilgers-Hesse dan Mochtar Lubis, penerjemah: Irene Hilgers-Hesse, Tübingen/Basel 1971.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 247 menyadari, juga belum mengetahui, betapa Jawa, betapa Indonesia cerpen itu. Tapi saya rasakan bobot cerpen itu, dan sampai sekarang saya menganggapnya sebagai salah satu cerpen Indonesia paling gemilang. Enam tahun kemudian, pada tahun 1982, saya meram- pungkan skripsi Master di Jurusan Sastra Indonesia Univer- sitas Köln. Judulnya: Trisno Sumardjo —der Schriftsteller und sein Werk (Trisno Sumardjo —Sang Sastrawan dan Karya-karyanya).2 Tentu saja tema itu saya pilih karena Trisno Sumardjo saya anggap sastrawan dan budayawan Indonesia yang cukup penting, dan dalam hal ini saya sependapat dengan A. Teeuw.3 Maka, agak mengherankan bagi saya bahwa di Indonesia Trisno Sumardjo kurang dihargai, kurang diper- hatikan,4 dan —sepertinya— karya-karya sastranya kini hampir terlupakan.

2 Skripsi itu tidak pernah diterbitkan, apalagi diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dalam rangka penelitian saya tentang Trisno Sumardjo telah saya kumpulkan cukup banyak karya sastra dan esai Trisno yang belum pernah dipublikasikan. Bahan itu saya peroleh dari arsip pribadi Ibu Sukartinah Sumardjo, isteri Trisno Sumardjo. Semacam ringkasan skripsi itu saya publikasikan di: Pampus, K.H./ Nothofer, B.: Die deutsche Malaiologie, Heidelberg 1988, hal. 37-58 (“Bemerkungen zum literarischen Werk Trisno Sumardjos”). 3 Dalam bukunya Modern (1967) Teeuw menulis: “Trisno Sumardjo definitely deserves more attention than is generally accorded to him.” Teeuw membicarakan Trisno Sumardjo dalam satu bab tersendiri, berarti sederajat dengan berbagai sastrawan “Angkatan 45” yang lain, misalnya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Mochtar Lubis. 4 Di luar negeri perhatian itu ada. Bahkan pada tahun 1949 telah terbit terjemahan sebuah cerpen Trisno Sumardjo (Narcissus) dalam bahasa Jerman, yakni dalam sebuah antologi berjudul Die schönsten Geschichten der Weltliteratur (Cerita- cerita Paling Indah dari Sastra Dunia), editor: Goldschmidt-Jentner, Heidelberg

248 Jamal D. Rahman dkk. Secara tak terduga dan tiba-tiba, nama Trisno Sumardjo hadir kembali. Pada sebuah akhir pekan di bulan Maret tahun 2013, tiga puluh enam tahun setelah saya pertama kali membaca nama Trisno Sumardjo, dalam sebuah per- temuan di kawasan puncak, Jawa Barat, para penyusun buku ini (Tim 8) yang saya anggotai, memilih Trisno Sumardjo sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh. Tentu saja hal ini menggembi- rakan saya. Namun, saya memahami kalau ada pihak yang terkejut dengan pemilihan ini, ragu akan ketokohan dan pengaruh Trisno Sumardjo, sastrawan yang hampir terlupakan ini. Dan memang, pengaruh Trisno sebagai sastrawan dapat dipertanyakan. Akan tetapi, ia jelas berpengaruh sebagai tokoh sastra, khususnya sebagai penerjemah karya sastra dunia. Terutama karena peranan itulah, Tim 8 telah memilih Trisno Sumardjo. Pertimbangan umum dan khusus yang melatari keputusan ini adalah sebagai berikut. Perkembangan budaya tak terbayangkan tanpa proses saling memperkaya melalui terjemahan teks-teks agung. Sejarah telah membuktikannya dan contoh pun tak terhitung jumlahnya: bangsa dan budaya Romawi tidak mungkin berkembang ke arah kemajuan, andai orang Romawi tidak dapat membaca teks-teks yang ditulis para filosof dan pujangga Yunani. Orang Eropa abad pertengahan

1949. Terjemahan cerpen Topeng ke bahasa Belanda dimuat dalam Vuyk, B./ Teeuw, A., Moderne Indonesische Verhalen, Amsterdam 1967. Sedangkan terjemahan Jerman dari puisi-puisi Trisno terdapat di Damshäuser, B./Ramadhan K.H., Gebt mir Indonesien zurück! Bad Honnef, 1994.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 249 akan tetap tenggelam dalam keterbelakangan, andai warisan Yunani tidak sempat mereka terima —khususnya karya filosofis Aristoteles dan Plato— lewat terjemahan ke bahasa Arab yang tentu kemudian mereka terjemahkan ke bahasa- bahasa mereka sendiri. Kesusastraan Jawa menjadi kaya karena penerjemahan atau adaptasi atas karya agung India, epos Mahabharata dan Ramayana. Bagi agama-agama besar, penerjemahan pun sangat penting. Penyebaran suatu agama akan semakin pesat setelah kitab-kitab suci agama tersebut diterjemahkan ke sebanyak mungkin bahasa. Misi atau zending agama Nasrani, misalnya, senantiasa beriring dengan penerjemahan Bibel. Semua ini membuktikan maha pentingnya teks dalam penyebaran wawasan dan/atau pertukaran budaya. Sedangkan teks senantiasa membutuhkan terjemahan, atau lebih tepat: penerjemah. Yang terjadi di bidang budaya atau agama, secara khusus berlaku di bidang kesusastraan. Mandeklah tiap kesusas- traan nasional andai ia menutup diri terhadap karya-karya sastra dunia. Dengan membuka diri, ia membuka pintu untuk kebaruan, baik di bidang wawasan/ide maupun bentuk. Dan, tidak bisa tidak penerjemah sastralah yang menjadi pem- buka pintu. Para sastrawan besar sudah menyadari hal ini sejak dulu. Tidaklah mengherankan jika banyak di antara mereka yang juga giat sebagai penerjemah. Selain memper- kaya diri atau bangsanya, mereka pun turut membangun- kan sesuatu yang lebih besar. Pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1998, sastrawan Portugal José Saramago, pernah merumuskannya sebagai berikut: Sastrawan dengan

250 Jamal D. Rahman dkk. bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia dicip- takan oleh penerjemah. Sastra dunia memang dihasilkan para penerjemah! Ada juga jasa penerjemah sastra yang tidak jarang dilu- pakan. Tadi sudah disebutkan bahwa penerjemah, khusus- nya penerjemah karya sastra, bukan saja seorang penyebar wawasan atau ide yang terdapat dalam karya yang diterje- mahkannya, melainkan juga seorang yang menyebarkan bentuk-bentuk baru, yang sebagian mesti ia ciptakan sendiri, terutama di bidang bahasa. Contoh fenomenal dalam hal ini adalah Martin Luther, sang reformator gereja dari abad ke-16, yang telah juga berjasa sebagai penerjemah pertama dari Bibel ke bahasa Jerman. Terjemahannya demikian me- nakjubkan, baik dari segi pembaruan bahasa Jerman mau- pun dari segi estetika, sehingga bahasa Jerman yang diguna- kan dalam terjemahannya berkembang menjadi bahasa Jerman yang baku bagi semua suku bangsa Jerman dan ratusan tahun sempat mengilhami para sastrawan. Dalam sejarah bahasa dan sastra Jerman, disebutkan tiga tokoh atau maestro yang paling berjasa dalam memperkaya dan mengembangkan bahasa Jerman, yaitu pujangga Johann Wolfgang von Goethe, filosof dan penyair Friedrich Nietzsche, dan Martin Luther. Dengan demikian, Luther untuk perkembangan sastra (bahasa sastrawi) Jerman dianggap sangat berjasa. Kita perlu mencacat: penghargaan itu diberikan kepada Martin Luther bukan sebagai sastrawan melainkan sebagai penerjemah. Adalah Novalis, pujangga Jerman dari aliran romantik yang memberi rumusan yang canggih dan dalam tentang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 251 penerjemah sastra: Der Übersetzer ist der Dichter des Dichters, yang dalam bahasa Indonesia kira-kira bisa diartikan: penerjemah adalah penyairnya penyair, atau pujanggannya sang pujangga. Rumusan ini mengangkat penerjemah ke tingkat sastrawan serta menimbulkan pertanyaan penting: bukankah penerjemah sastra sesung-guhnya juga sastrawan? Sastrawan dalam arti “seniman bahasa”? Saya yakin, perta- nyaan itu wajib dijawab dengan “ya”. Karena seorang penerje- mah sastra yang baik —melalui proses yang kreatif— menjadi pencipta ulang sebuah karya sastra saat ia bekerja keras mentransformasikannya ke baha-sa tujuan. Bila kreativitas- nya sebagai seniman bahasa melebihi kreativitas penulis karya asli, hasilnya bahkan bisa lebih bermutu daripada karya asli- nya. Itu tidak jarang terjadi di dunia penerjemahan. Tentu saja kebalikan pun sering sekali terjadi. Selain itu, penerjemah tidak saja menciptakan sastra dunia, ia sebenarnya juga menciptakan sastra nasional. Karena sebuah karya sastra yang terdapat dalam bentuk sebuah bahasa (nasional ataupun daerah), sah dipandang sebagai bagian khazanah sastra bahasa itu. Secara konkret ini berarti, bahwa terjemahan Jerman sebuah puisi Chairil Anwar, misalnya, pada dasarnya adalah juga karya sastra Jerman, karya seorang Indonesia yang dicipta ulang dalam bahasa Jerman. Sebaliknya juga demikian: terjemahan Indonesia sebuah drama William Shakespeare sah dipandang sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia.5

5 Definisi filologis, yakni: Sastra Indonesia = sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu-Indonesia menurut saya merupakan definisi yang paling aman. Definisi

252 Jamal D. Rahman dkk. Dengan menyebutkan nama Shakespeare, mau tidak mau kita harus menyebut nama Trisno Sumardjo. Trisno Sumardjo menghadirkan karya-karya agung sastrawan Inggris tersebut menjadi khazanah sastra Indonesia. Mengingat drama-drama Shakespeare ditulis dalam bahasa Inggris kuno dan bentuknya pun sangat liris sehingga sangat sulit diterjemahkan, maka sungguh mencengangkan jumlah karya Shakespeare yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Inilah daftar karya pujangga Inggris legendaris yang telah diterjemahkannya: 1) The Merchant of Venice (Saudagar Venezia) 2) Hamlet, Prince of Denmark (Hamlet, Pangeran Denmark). 3) Macbeth (Macbeth) 4) As You Like It (Manasuka) 5) The Tempest (Prahara) 6) A Midsummer Night’s Dream (Impian di Tengah Musim) 7) Romeo and Juliet (Romeo dan Julia) 8) Antony and Cleopatra (Antonius dan Cleopatra) 9) King Lear (Raja Lear) 10)Othello (Othello) 11) Venus and Adonis (Venus dan Adonis) 12) Sonnets (Soneta-soneta).

Pertimbangan utama yang melatari pemilihan Trisno sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh berkaitan erat dengan kenyataan bahwa Trisno

itu serta definisi sepadan untuk sastra-sastra lain memang mengabaikan faktor penulis, juga faktor latar budaya penulis. Ia sebuah definisi non-kontekstual, yang paling sedikit dapat dipertimbangkan, khususnya berkaitan dengan karya terjemahan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 253 Sumardjo adalah “Sang Penerjemah” karya Shakespeare ke bahasa Indonesia. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa sebagian besar pembaca Indonesia maupun pementasan drama-drama Shakespeare di Indonesia niscaya berpegang serta mengandalkan hasil terjemahan Trisno Sumardjo. Hal ini tidak terbatas pada group teater terkemuka di masa hidup Trisno Sumardjo, seperti Studiklub Teater Bandung (STB) dengan sutradara Suyatna Anirun, Teater Populer dengan sutradara , Bengkel Teater dengan sutradara Rendra, hingga pada kelompok teater terkemuka pada generasi kemudian, seperti Main Teater dengan sutradara Wawan Sofwan. Drama Shakespeare yang pernah dipentaskan di Indo- nesia antara lain: Saudagar Venezia (The Merchant of Venice), Hamlet, Pangeran Denmark (Hamlet, Prince of Denmark), Macbeth (Macbeth), Impian di Tengah Musim (A Midsummer Night’s Dream), Romeo dan Julia (Romeo and Juliet), Raja Lear (King Lear), dan lain-lain. Beberapa drama bahkan dipentaskan berkali-kali baik oleh kelompok teater yang sama maupun bebeda-beda, baik pada satu masa maupun masa yang berbeda, misalnya Romeo dan Julia. Karya ini mengilhami sejumlah saduran maupun alih wahana, seperti lenong, ketoprak, dan film. Tidak bisa tidak keberhasilan drama Shakespeare menemui publik Indonesia dan mempengaruhi berbagai pengolahan atas tema-tema maupun kadangkala gaya Shakespeare adalah berkat jasa Trisno Sumardjo. Menerjemahkan sepuluh drama Shakespeare, epos bersajak Venus and Adonis, serta puisi (soneta) pujangga

254 Jamal D. Rahman dkk. besar Inggris pada era Elizabethan tersebut jelas merupakan sesuatu yang fenomenal. Hal tersebut jelas pantas dicatat sebagai prestasi paling besar yang dihasilkan seorang penerjemah Indonesia pada abad ke-20. Hal ini belum ditambah dengan berbagai terjemahannya yang lain, misalnya saja Doktor Zhivago karya besar Boris Pasternak.6 Dengan semua prestasinya dan keperintisannya yang sungguh-sungguh dan tak putus-putus di bidang penerje- mahan sastra, maka Trisno Sumardjo boleh disebut “Bapak Penerjemahan Indonesia”. Sebagai penerjemah saya bisa membayangkan betapa sulit dan betapa menghabiskan tenaga kalau menerjemahkan karya-karya Shakespeare dengan bahasa Inggrisnya yang kuno, sekaligus sangat puitis. Dapat dipahami kalau Trisno dalam sebuah surat kepada H.B. Yassin sempat mengeluh:

Pengalaman menunjukkan bahwa krachttoer ini sampai sekarang memakan otak saya benar-benar; adakalanya tenaga habis sama sekali meluncur ke situ! Kenikmatan jahanamlah Shakespeare itu! Kalau tak ada obat pelepas jerih-payah, maka juga berat rasanya....7

6 Selain karya Shakespeare, Trisno Sumardjo juga menerjemahkan karya sastra dunia yang lain, yaitu: Jean de La Fontaine, Fables, diterbitkan Balai Pustaka dengan judul Dongeng-Dongeng Perumpamaan pada tahun 1959; Boris Pasternak, Zhivago, diterbitkan Djambatan dengan judul Doktor Zhivago pada tahun 1960; Cerita-cerita Edgar Allan Poe, diterbitkan Djambatan dengan judul Maut dan Misteri pada tahun 1969. 7 Surat bertanggal 18 Oktober 1949. Dikutip dari: Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo. Pejuang Kesenian Indonesia, (Jakarta: Yayasan Arus, 1985), hal. 63.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 255 Tapi, Trisno tak pernah menyerah. Dengan tekun, ia mengabdikan diri selama bertahun-tahun menjadi penerje- mah Shakespeare. Tentu dengan honor minimal, bahkan dengan tiada kepastian, apakah terjemahan rampung akan segera diterbitkan.8 Trisno menerjemahkan langsung dari teks aslinya, dengan juga memperhatikan terjemahan ke bahasa Belanda. Hasil terjemahannya bagus dan banyak dipuji, misalnya oleh Jakob Sumardjo:

Sebagai penerjemah dramawan besar tersebut kariernya belum pernah teratasi oleh penerjemah mana pun di Indonesia. Ia menciptakan gaya terjemahan Shakespeare yang khas, klasik, mantap, rasional dan bersih [....] Citra Shakespeare di Indonesia sudah terlanjur diwarnai terjemahan Trisno Sumardjo.9

Sepadan dengan kata mutiara Novalis yang disebut di atas, Trisno Sumardjo memang sudah berhasil menjadi “penyairnya Shakespeare”. Ia yang menjadikan syair-syair10 Shakespeare menjelma dalam bahasa Indonesia yang puitis.

8 Nashar mengutip Trisno sebagai berikut: “Kapan, ya, ada orang atau suatu badan yang bermurah hati akan memberi saya sekedar modal untuk menyelesaikan terjemahan dari seluruh karangan Shakespeare ke bahasa Indonesia?” (Nashar, “In Memoriam Trisno Sumardjo”, dalam Korrie Layun Rampan, op. cit., hal. 25). 9 Jakob Sumardjo, “Warisan Sastra Trisno Sumardjo”, dalam Korrie Layun Rampan, op. cit., hal. 54. 10 Kebetulan istilah “syair” ataupun sajak di sini cukup tepat, karena Shakespeare dalam drama-dramanya tidak hanya menggunakan prosa, melainkan juga rhymed verse atau blank verse (rima dan metrum). Terutama bahasa bermetrum pada teks asli merupakan tantangan besar bagi penerjemah ke bahasa Indonesia, karena metrum-metrum itu jarang ada padanannya dalam bahasa/tradisi Indonesia. Maka, penerjemah harus cukup kreatif untuk menghasilkan terjemahan Indonesia yang paling sedikit terasa irama bahasanya. Menurut saya, Trisno Sumardjo dalam hal ini cukup berhasil.

256 Jamal D. Rahman dkk. Dalam bahasa Jerman digunakan kata kongenial bagi terje- mahan yang sangat berhasil. Artinya: sejenius, tidak kalah dengan teks aslinya. Maka —lepas dari pertanyaan, apakah terjemahan Trisno sampai ke tingkat kongenial atau barangkali “cuma” terje- mahan yang berhasil— ucapan Taufiq Ismail yang sebenar- nya cukup ramah:

Mungkin tidak perlu dibicarakan ada tidaknya karya monumental Trisno Sumardjo, tetapi harus dicacat bahwa telah berangkat seorang pejuang kesenian Indonesia, yang gigih bertahan dan keras hati, seorang pejuang yang getir dan sepi11 dapat kita komentari sebagai berikut: karya-karya mo- numental Trisno Sumardjo niscaya ada, dan jumlahnya banyak, lihat saja terjemahannya atas drama-drama Shakespeare. Adalah sebuah ironi dan hampir tragis, bahwa Trisno Sumardjo sendiri kurang bangga dengan posisinya sebagai penerjemah. Dalam surat lain kepada H.B. Jassin ia menge- luh, bahwa ia seringkali —termasuk oleh H.B. Jassin sendiri— “hanya” disebut sebagai penerjemah, bukan sebagai sastra- wan “kreatif”. Dalam surat itu bahkan terdapat kalimat ini: “Penerjemah, dan sekali lagi penerjemah. Lambat-laun predikat ini terasa sebagai olok-olokan”.12 Jangan-jangan Trisno Sumardjo kembali kecewa, andai mengetahui alasan

11 Taufiq Ismail, “Epitaf”, dikutip dari Korrie Layun Rampan, op. cit., hal. 16. 12 Surat bertanggal 4 Juni 1963. Dikutip dari Korrie Layun Rampan, op. cit., hal. 69.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 257 utama Tim 8 untuk memilih dia sebagai tokoh berpengaruh. Tapi, saya berharap bahwa ia akan terhibur oleh gambaran umum tentang pentingnya penerjemahan dan jasa para penerjemah yang dipaparkan di atas. Dan, saya boleh me- nambahkan: lebih terpuji, lebih bermanfaat, menghasilkan satu terjemahan gemilang dari satu karya gemilang daripada puluhan karya “kreatif” yang kurang bermutu yang toh akan dan pantas dilupakan segera. Pertimbangan khusus untuk memilih Trisno Sumardjo berkaitan dengan keyakinan Tim 8 bahwa terjemahan yang dihasilkannya telah memberi dampak besar pada dinamika kehidupan sastra di Indonesia. Walaupun tingkat pengaruh Trisno sebagai penerjemah tidak dapat diukur secara posi- tivistis atau kuantitatif13:

kami yakin bahwa penghadiran lebih dari 10 karya sastra dunia yang monumental, terutama karya Shakespeare —juga karya Poe, La Fontaine dan Pasternak— bukan saja prestasi besar melainkan menimbulkan dampak nyata pada jumlah tak terhitung pembaca Indonesia, bukan saja dari masyarakat sastra tapi juga masyarakat umum.

Kenyataan bahwa drama-drama Shakespeare yang ter- masuk ke dalam karya sastra paling agung dalam sastra dunia kini hadir dalam bahasa Indonesia, telah memungkin- kan manusia Indonesia untuk menenggelamkan diri dalam dunia puitis Shakespeare, mengakrabi pemikiran jenius itu

13 Dari segi positivistik-kuantitatif, pengaruh berbagai tokoh dalam buku ini memang dapat dianggap pengaruh yang diduga, atau paling sedikit belum sepenuhnya dibuktikan secara ilmiah.

258 Jamal D. Rahman dkk. mengenai kemanusiaan, memperkaya diri dan memperluas wawasan.14 Semua itu sangat berarti, juga berdampak. Mena- fikannya akan berarti menafikan peranan teks agung dalam perkembangan manusia dan masyarakat. Trisno Sumardjo telah membuka akses orang Indonesia terhadap dunia Shakespeare, menjadikan karya Shakespeare sebagian dari perbendaharaan sastra Indonesia. Juga me- mungkingkan karya Shakespeare dipentaskan di panggung- panggung di Indonesia. Ia juga teladan sastrawan Indonesia yang rela menjadi abdi demi kesusastraan, mengabdi sebuah posisi yang yang sering diremehkan padahal sangat mulia dan menjadi ujung tombak maju mundurnya suatu kebudayaan, yakni sebagai penerjemah. *** Trisno Sumardjo lahir di Tarik, Jawa Timur, pada tanggal 6 Desember 1916 dari keluarga Muhamad Asari, seorang guru bantu di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Setamat dari sekolah MULO di Surabaya, sekitar akhir tahun 1933, Trisno melanjutkan pendidikannya di AMS II (Barat Klasik) Yogyakarta. Sekolah lanjutan di zaman kolonial ini diselesaikannya pada tahun 1937. Setelah itu ia mengikuti jejak ayahnya sebagai guru sekolah partikelir di kota Jember, Jawa Timur (1938-1942). Ketika Jepang menguasai pulau Jawa, Trisno pindah ke Madiun untuk bekerja sebagai pegawai di Jawatan Kereta Api (1942-1946). Di Madiun pula

14 Sangat diharapkan bahwa semua terjemahan karya Shakespeare yang dihasilkan Trisno Sumardjo pada satu saat diterbitkan atau diterbitkan ulang. Dengan demikian dampak terjemahan itu dapat berlangsung di masa depan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 259 ia berkenalan dengan seorang gadis kelahiran Surabaya, Sukartinah, yang dinikahinya pada tahun 1951. Mereka dikaruniai tiga anak, Lestari dan Budi Santosa yang lahir pada tahun 1954 dan 1956. Anak mereka yang pertama lahir tahun 1953 meninggal dunia setelah hidup tiga hari. Bosan bekerja di Jawatan Kereta Api, Trisno pindah ke Solo pada tahun 1947. Di pusat kebudayaan Jawa itu, ia bergabung dengan organisasi Seniman Indonesia Muda, dan selama dua tahun menjadi pemimpin redaksi majalah Seniman yang diterbitkan organisasi itu. Di majalah itu ia untuk pertama kalinya mempublikasikan karya sastranya. Pada awal tahun 1950 Trisno memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, yang ia anggap sebagai pusat kebudayaan modern Indonesia. Di ibu kota, ia selama hampir dua puluh tahun bekerja di bidang budaya. Ia menjadi sekretaris majalah Indo- nesia (1950-1952), redaktur majalah Seni (1954-1955), redaktur majalah Gaya (1968). Pada tahun 1950/1951 ia menjadi sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia, dan sejak tahun 1956 ia berkali-kali menjabat sebagai sekretaris umum Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Saat menempati posisi itu Trisno ikut merintis berdirinya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki. Perintisan itu kemudian mengundang tanggung jawab lebih jauh. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang melihat kemampuan Trisno untuk mengelola pusat kesenian baru ini, pada tanggal 19 Juni 1968 mengangkatnya menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, sekaligus dipilih sebagai Ketua Badan Pengurus Harian lem- baga yang baru didirikan itu. Namun, Trisno tidak lama duduk di posisi yang terhormat itu. Pada tanggal 21 April 1969 Trisno Sumardjo meninggal dunia akibat sera-ngan jantung. Sebulan

260 Jamal D. Rahman dkk. kemudian —posthumous— ia dianugrahi Satya Lencana Kebudayaan oleh Pemerintah Indonesia, pengakuan negara terhadap jasanya di bidang seni dan budaya. Posisi-posisi resmi yang diemban menandakan bahwa Trisno Sumardjo selama dua dasawarsa menjadi seorang penting dan berpengaruh dalam kehidupan budaya di Indo- nesia, terutama juga sebagai organisator. Tapi, hal ini akan menjadi lebih jelas lagi, bila kita mengamati keseluruhan dari kegiatan Trisno Sumardjo. Ia bukan saja tokoh sastra (sastrawan dan penerjemah sastra), melainkan juga pelu- kis,15 kritikus seni rupa, dan esais. Terutama tulisannya ber- bentuk esai atau resensi bertemakan seni dan budaya menye- babkan ia diberi gelar “pejuang kesenian Indonesia” atau “pemikir kebudayaan”. Selain itu, Trisno pernah melibatkan diri dalam kegiatan politik (budaya), yakni sebagai salah seorang pencetus dan penandatangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1963. Sejak awal karirnya di bidang budaya, Trisno Sumardjo membuktikan diri sebagai cendekiawan yang menautkan peranan seniman dengan peristiwa atau perkembangan sosiopolitis. Bergabungnya dengan kelompak Seniman Indo- nesia Muda di Solo pada tahun 1947 disebabkan keyakinan- nya, bahwa ia bersama teman-teman seniman lain wajib memberi sumbangan untuk suksesnya Revolusi Indonesia.

15 Sebagai pelukis Trisno Sumardjo tidak memiliki kedudukan tersohor dalam sejarah seni lukis Indonesia. Para pelukis dan kritikus seni rupa cenderung menganggapnya sastrawan. Sedangkan jasanya sebagai kritikus seni rupa sangat diakui.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 261 Revolusi itu bukan saja ia pahami sebagai perjuangan kemer- dekaan republik yang baru didirikan, melainkan juga upaya untuk menciptakan sebuah Indonesia Baru, dengan melibat- kan sang seniman sebagai pembangun rasa. Dalam puisinya berjudul “Pintu” (1947), Trisno menggambarkan perjuangan bersama oleh seniman (“kita”) dan tentara:

PINTU

Kita di sini di belakang pintu, Sebelah sana tempat tentara. Kita di sini pembangun rasa, Mereka di sana pengawal nusa Kita di sini di alam rasa, Terkadang kembali ke dunia nyata; Mereka di sana penjuang bangsa, Perjurit belaka darah dan raga. Di antara kita pintu terbuka Menghubung dunia beragam dua, Tempat seniman bersua tentara, Timbul rasa sesama saudara.

Mereka dan kita sepadan cita, Manusia sebangsa secita-cita, Di antara kita pintu membuka. Kehendak masa membela bangsa.

Kita di sini di belakang pintu, Sebelah sana tempat tentara; Antara saudara hidup bersama Pintu terbuka sepanjang masa.

Seniman modern oleh Trisno dianggap sebagai wakil suatu semangat baru dan perintis revolusi ruhani yang mencakup seluruh bidang masyarakat. Dalam sebuah esai berbahasa Inggris dari tahun 1947 ia menuliskan sebagai berikut:

262 Jamal D. Rahman dkk. We [Seniman Indonesia Muda] are an association of artists, concentrated in Solo. When I say: artists, I mean that new group in the Indonesia society today with the dynamics of the new spirit as the essential part of our national awaken- ing and revolution, with the mind of the new born artistic opinion and the idea of youth.16

Yang disebutkan Trisno sebagai new born artistic opinion, sampai tahun-tahun 60-an menjadi tema menonjol pada bagian besar dari esai-esai atau resensi-resensinya. Di situ, ia mengembangkan konsepnya tentang Kesenian Indonesia Baru. Menurutnya, kesenian itu mesti menjauh dari tradisi- tradisi seni klasik Indonesia yang bersifat kesukuan, dan mesti mengarah ke sebuah sintesis antara budaya-budaya daerah, budaya dunia, dan kepribadian sang seniman. Kesenian Baru Indonesia bersifat keindonesiaan, kerakyatan, universalistis dan jujur. Seniman yang sanggup menghasil- kan kesenian demikian, menurutnya, boleh dianggap jelma- an sang Manusia Indonesia Baru sebagai prasyarat mutlak terciptanya Indonesia Baru. Dalam konsep itu, Trisno menekankan unsur kerakyatan sebagai salah satu sifat utama seniman Indonesia modern. Itu didasarkan kepada keyakinannya, bahawa Manusia Indonesia Baru akan lahir dari kalangan rakyat, bukan dari kalangan kaum intelektual yang telanjur dipengaruhi pemikiran Barat dan telah mengasingkan diri dari budaya sendiri. Bagi Trisno, adalah kaum intelektual demikian yang bersama dengan wakil budaya-budaya daerah, yang

16 Trisno Sumardjo, “Art, Spirit and People”, dalam Seniman I-5, hal. 159-161.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 263 menutup diri terhadap inovasi apapun, yang bertanggung jawab atas krisis ruhani di Indonesia yang menurutnya sudah berlangsung sejak 300 tahun, dan juga berkaitan dengan zaman penjajahan. Hanya sang seniman modern yang akan sanggup memecahkan krisis itu, yakni melalui Kesenian Baru-nya. Hanya dengan demikian terbukalah pintu ke Kebudayaan Baru serta Indonesia Baru sebagai tujuan akhir revolusi Indonesia yang bagi Trisno sama sekali belum selesai. Konsep Trisno mengenai Kesenian Indonesia Baru dan rele- vansinya bagi revolusi Indonesia sesuai dengan pesan Surat Kepercayaan Gelanggang dari tahun 1950. Surat itu, yang merupakan manifestasi Humanisme Universal, juga menun- tut seniman yang terbuka kepada budaya dunia (universal) dan juga meletakkan manusia pada pusat penciptaan seni. Maka, tak mengherankan, bila Trisno menjadi tokoh dan pembela Humanisme Universal yang gigih. Perjalanan sejarah Indonesia sangat mengecewakan Trisno dan menghapuskan semangat revolusinya yang juga cukup kentara pada karya sastranya yang ia tulis pada tahun 1947 dan 1948. Mulai tahun 1949 ia mulai berpikir bahwa Revolusi Indonesia telah atau akan gagal, dan itu, menurutnya, disebabkan elite politik yang terdiri dari para intelektual yang kebarat-baratan. Kaum itu sama sekali tidak tertarik dengan revolusi menyeluruh, dan karena itu tidak bersedia mengakui peranan seniman modern sebagai perintis perubahan budaya. Pola berpikir dari zaman kolonial tetap berlaku, sehingga perubahan atau revolusi baru bisa terjadi di bidang ekonomi dan politik, namun sama sekali tidak

264 Jamal D. Rahman dkk. terjadi di bidang budaya atau mentalitas bangsa. Dengan sinis Trisno mencatat bahwa perubahan utama adalah kenyataan bahwa yang berkuasa bukan lagi orang Belanda, melainkan tuan-tuan baru yang pribumi. Sandiwaranya dari tahun 1949, berjudul Cita Teruna, mengangkat tema gagal- nya revolusi. Dalam bentuk alegori, ia menampilkan tokoh bernama Teruna yang mengalahkan Harta dan Jaya, lalu membebaskan Murba dan Jelata. Duduk di puncak kekuasa- an, ia melupakan cita-citanya dan menjadi tiran seperti pendahulunya. Di adegan terakhir terdapat kalimat ini:

Nasib Murba tiada berubah! Walau berjasa berlimpah-limpah! Dari tuan yang satu ke lain tuan, Sekali diinjak, tetap sasaran!

Sedangkan dalam puisinya berjudul “Warisan Yang Me- nuntut” dari tahun 1953, pemimpin-pemimpin politik dise- rang secara langsung:

Tulang dan nyawa kami wariskan, kami serahkan padamu serta pengharapan. Sebab perjuangan berangkai-rangkai, penghidupan kami belum selesai, namun telah terkapar ke dalam tanah. Bukannya pada Nasib kami menyerah, tapi pada Maut, dan Tuhan tak pernah salah. Sehabis tanah dijarah musuh dan keluarga kami terbunuh, kamu dirikan istanamu bermegah atas pergorbanan bangsamu; namun pelabuhan terakhir bukan istana, semua patriot tak ‘kan berhenti di sana. Tulang dan nyawa menanti perampungan oleh Kasih yang tak mati disanggah Maut.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 265 Kami tahu: rakyat mendamba perampungan, dan dari balik makam jiwa kami tetap menuntut.

Kekecewaan Trisno atas gagalnya revolusi juga kelihatan di cerpennya “Daun Kering” dari tahun 1951. Dalam bentuk mimpi apokalitis, si pencerita memaparkan —kembali dalam bentuk alegori— sebuah tanah (Indonesia) yang hancur oleh kurangnya semangat revolusi. Pencerita mendengarkan dialog berikut:

“Mengapa tanah ini tandus belaka?” “Penduduknya tak berdaya. Habis tenaganya oleh pergulatan berebut kuasa.” “Wah! Tak sayangkah mereka pada negerinya?” “Matanya buta, hatinya terpendam oleh runtuhan kepentingan diri.” “Indahkah bumi ini dahulu?” “Sangat indah. Tapi kaum penghuni matanya kabur. Hatinya tak terbuka oleh keindahan.” “Apa sebab?” “Buta! Buta oleh keserakahan dan kedunguan. Buta karena tak sanggup menelaah yang baru. Buta karena terpaut pada yang lapuk!” “Sayang, sayang!”

“Terpaut kepada yang lapuk”, “Hati tak terbuka oleh kein- dahan”. Kalimat-kalimat ini jelas mengarah ke perihal seni- man modern yang tak dilibatkan dalam pembangunan, yang oleh masyarakat diperlakukan sebagai —demikian istilah Trisno— displaced person. Tak diakuinya seniman, kesen- dirian seniman, memang menjadi tema utama dalam cukup banyak karya sastra Trisno Sumardjo, baik puisi maupun cerpen. Ke dalam karya-karya itu Trisno bagai menuangkan kekecewaan dan kesedihan pribadinya, misalnya dalam puisi berjudulkan “Ajakan Tak Berwajab” dari tahun 1953. Melalui simbol (angin = kesenian; riak dan laut = masyarakat; badai = tanggapan/reaksi yang diharapkan) digambarkan betapa ajakan seniman tiada digubris:

266 Jamal D. Rahman dkk. Tenang-tenang langit gemilang Dan riak-riak rusuh, namun riak-riak main-mainnya. Pasir pantai berkerisik oleh angin yang mengeras. Nyiur berkerosok di balik punggungku. Tetapi taufan tak datang, angin resah ‘nyerah. Kembali riak-riak ramai berdendang, Hanya main-main – dan angin berjuang tak terkenang! Kubalikkan punggungku kecewa: Mengapa tenaga besar laut tak menyahut ajakanku Dan riak-riak tak menggelagak Dan langit hanya harapan jauh dari gemilang?

Biarpun karya sastranya sering diwarnai sikap resignatif, bahkan putus asa, Trisno Sumardjo dalam realitas tidak pernah menyerah, dan terus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya di bidang budaya dan kehidupan bernegara. Itu menjadi sangat nyata, saat ia bersama wakil-wakil lain dari Humanisme Universal semakin ditekan pada pertengahan pertama tahun 60-an. Saat diserang Lekra sebagai pengk- hianat terhadap revolusi dan sebagai wakil prinsip l’art pour l’art yang dekaden dan burjuis, saat ideologi (komunis) mau menjadi panglima di Indonesia, Trisno ikut bertindak dan melawan dengan mencetuskan Manifes Kebudayaan pada tahun 1963. Ia memang bersedia mengambil risiko tinggi dalam membela kebebasan intelektual, bersedia kena dampak yang merugikan. Dan itu terjadi setelah Manifes dilarang Presiden Sukarno. Trisno, misalnya, tak boleh lagi mengadakan pameran lukisan, dan —konon— ia bahkan tercatat pada sebuah daftar orang yang akan “disingkirkan” setelah PKI berkuasa mutlak di Indonesia. Kurun waktu 1963 sampai 1965 cukup berat bagi Trisno Sumardjo, juga berdampak kepada kesehatannya, khususnya penyakit jantungnya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 267 Maka, tidak mengherankan bahwa Trisno sangat me- nyambut lahirnya Orde Baru dan gembira karena kemena- ngannya atas ideologi komunis. Patos sebuah puisinya dari tahun 1966 membuktikannya:

KEPADA SEORANG JENDERAL

Ada jalan yang menempuh bulan! Jenderal, mari jalan bersama-sama, tahap terakhir belum tercapai: rapatkan barisan, tepatkan tujuan. […] menegakkan Kemanusiaan mendobrak kekhianatan demi hancurnya kemunaf ikan, keserakan dan kepicikan. […] dan di hadapan mata dunia sedang tumbuh bangsa besar antara dua samudra, antara dua benua.

Lahirnya Orde Baru menimbulkan harapan Trisno bahwa revolusi multikompleks atau revolusi budaya yang sesuai dengan konsep-konsepnya sendiri kelak akan dilaksana- kan.17 Namun, sebagai orang yang sama sekali tidak naif, Trisno segera menyadari bahwa harapannya sangat berle- bihan. Ia segera memahami, bahwa Orde Baru memfokus- kan ekonomi, bukan budaya. Ia melihat bahwa, dengan menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalistis, Indonesia

17 Lihat esai Trisno Sumardjo, “Orde Baru Sebagai Kekuatan Kulturil”, dalam Sinar Harapan, 2 Januari 1967, hal. 3.

268 Jamal D. Rahman dkk. akan semakin tenggelam di lubang materialisme, juga ter- ancam oleh proses pendangkalan yang antara lain dikare- nakan “amerikanisasi” dalam bentuk dangkal.18 Trisno Sumardjo tidak sempat melihat perkembangan Indonesia setelah tahun 60-an. Menarik kiranya andai suara dia sebagai budayawan masih kedengaran setelahnya. Di sini tidak tersedia ruang cukup untuk membicarakan karya-karya sastra Trisno secara memadai. Ia telah meng- hasilkan oevre yang cukup besar, seperti terbukti melalui daftar buku berisikan karya sendiri yang berikut: 1. Pasang-Surut (Kumpulan berisikan 30 sajak), Solo, Seniman Indonesia Muda, 1948. 2. Katahati dan Perbuatan (Kumpulan berisikan 5 cerpen, 2 drama, dan 23 sajak), Jakarta, Balai Pustaka, 1952. 3. Cita Teruna (drama bersajak), Jakarta, Balai Pustaka, 1953. 4. Rumah Raya (dua cerita), Jakarta, Pembangunan, 1957. 5. Daun Kering (kumpulan berisikan 9 cerpen), Jakarta, Balai Pustaka, 1962. 6. Penghuni Pohon (cerita), Jakarta, Balai Pustaka, 1963. 7. Keranda Ibu (cerita), Jakarta, Balai Pustaka, 1963. 8. Wajah-wajah Yang Berobah (kumpulan berisikan 15 cerpen), Jakarta, Balai Pustaka, 1963. 9. Silhuet (kumpulan berisikan 16 sajak), Jakarta, Yayasan UNIK, 1965.

18 Lihat tulisan Trisno Surmardjo, “Sadisme dan Pornografi dalam Film-film Indonesia Sekarang”, dalam Sinar Harapan, 8 April 1969, hal. 3. Dalam esai itu Trisno bertolak dari perfilman untuk membicarakan masalah-masalah budaya dan dasariah.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 269 Ini berarti, karya sastra Trisno Sumardjo yang terbit dalam bentuk buku berjumlah 3 drama, 4 cerita, 17 cerpen dan 69 sajak. Namun, oevre lengkapnya jauh lebih besar, karena jumlah itu perlu ditambahi dengan karyanya yang terbit di berbagai majalah dan yang sama sekali belum dipublikasikan. Berdasarkan data yang ada pada saya,19 oevre Trisno Sumardjo merangkup 39 cerpen atau cerita (panjang), 3 drama, 5 sandiwara radio, dan 239 sajak. Selain itu Trisno menulis 134 esai atau resensi. Ini jelas sebuah oevre yang cukup luas, ditulis dalam waktu kira-kira dua dasawarsa. Semoga pada satu saat karyanya dapat dikumpulkan dalam sebuah edisi yang lengkap. Semoga para peneliti pada satu saat terpanggil untuk membicarakannya. Tersedianya dan ditelitinya sebuah oevre memang syarat pertama untuk ia sempat dan sanggup berpengaruh. Jasa Trisno dalam perkembangan sastra Indonesia mo- dern jelas ada, terutama di bidang cerpen. Puisinya mungkin bermutu sedang, dan dari segi bentuk tak ada yang baru di situ. Di cerpen-cerpennya, Trisno membuktikan kemahiran- nya, dengan menulis cerita bertingkat intelektualitas, cerita yang dengan halus dan dalam menggambarkan keadaan batin si tokoh. Itu kiranya membuat Jakob Sumardjo me- nyimpulkan bahwa cerpen-cerpen Trisno bukan bercirikan “plot kejadian”, melainkan “plot watak”.20 Cerpen Trisno

19 Lihat catatan kaki nomor 2. 20 Lihat Jakob Sumardjo, “Warisan Sastra Trisno Sumardjo”, dalam Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia, (Jakarta: Yayasan Arus, 1985), hal. 54-59.

270 Jamal D. Rahman dkk. berjudul Topeng yang saya sebutkan pada awal tulisan ini merupakan contoh gemilang. Kita hanya bisa berspekulasi, mengapa nama Trisno Sumardjo tidak seharum nama berbagai sastrawan Indone- sia yang lain. Apa memang disebabkan kenyataan bahwa kritikus Indonesia yang paling berpengaruh hampir tidak pernah membicarakan karyanya? Dalam suratnya kepada H.B. Yassin bertanggal 4 Juni 1963, Trisno sempat menge- luhkan nasibnya:

Ada suatu hal yang saya ingin tanyakan kepada Saudara. Sejak buku saya yang pertama, “Katahati dan Perbuatan” (tahun 1952), Saudara tak pernah membuat resensi tentang buku-buku saya. […] Selanjutnya yang Saudara bicarakan hanyalah terjemahan-terjemahan belaka. […]

Yang dikeluhkan Trisno memang kenyataan. Dan harum nama seorang sastrawan tergantung dari berbagai kebe- tulan, termasuk dukungan kritikus. Namun dan bagai- manapun, karya-karya agung jelas telah disediakan Trisno sebagai penerjemah. Di situ namanya akan tetap harum dan tak terlupakan dalam sejarah sastra Indonesia. Tulisan ini tidak akan lengkap tanpa menyinggung kepri- badian Trisno Sumardjo. Yang sangat menonjol pada tulisan semua orang yang mengenal dia dan pernah menulis sesuatu tentang Trisno Sumardjo adalah pujian untuk kesediaannya memberi segala yang dimiliki demi budaya dan kesenian. Juga, dan terutama, pujian terhadap kejujurannya. Sehingga susah sekali kita tidak percaya bahwa Trisno sangat jujur

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 271 saat ia mengatakan, “Kesenian bukanlah alat untuk menge- jar materi atau untuk keharuman nama.”21 Betapa bagus, andai saja Trisno Sumardjo pernah berhasil mempengaruhi melalui sikap luhur itu.[]

Kepustakaan A. Teeuw, Modern Indonesian Literature, The Hague, 1967. Berthold Damshäuser, “Bemerkungen zum literarischen Werk Trisno Sumardjos” (Catatan Mengenai Karya-karya Trisno Sumardjo), dalam Pampus, K.H./Nothofer, B., Die deutsche Malaiologie, Heidelberg, 1988. Jakob Sumardjo, “Warisan Sastra Trisno Sumardjo”, dalam Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia, Yayasan Arus, Jakarta, 1985. Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia, Yayasan Arus, Jakarta 1985. Nashar, “In Memoriam Trisno Sumardjo”, dalam Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia, Yayasan Arus, Jakarta 1985. Taufiq Ismail, “Epitaf”, dalam Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia, Yayasan Arus, Jakarta 1985. Trisno Sumardjo, “Art, Spirit and People”, dalam Seniman I-5. Trisno Sumardjo, “Orde Baru Sebagai Kekuatan Kulturil”, dalam Sinar Harapan, 2 Januari 1967. Trisno Surmardjo, “Sadisme dan Pornografi dalam Film-film Indonesia Sekarang”, dalam Sinar Harapan, 8 April 1969.

21 Dikutip berdasarkan Nashar, “In Memoriam Trisno Sumardjo”, dalam Korrie Layun Rampan (editor), Trisno Sumardjo: Pejuang Kesenian Indonesia, 1(Jakarta: Yayasan Arus, 1985), hal. 54-59.

272 Jamal D. Rahman dkk. H.B. Jassin Pengacara Sastra Indonesia Modern

AGUS R. SARJONO

alau orang ditanya siapakah kritikus sastra Indonesia, Khampir pasti semuanya akan mengatakan H.B. Jassin lah orangnya. Bahkan, ia dijuluki sebagai Paus Sastra Indo- nesia. Julukan itu awalnya dimaksudkan sebagai cemooh, namun ternyata melekat sebagai pujian dan bahkan penga- kuan. Sudah berbagai upaya, sengaja atau tidak, untuk me- ngecilkan peran dan nama H.B. Jassin, namun hingga seka- rang tak pernah berhasil. Kebesaran H.B. Jassin dan posisi- nya yang penting dalam sejarah sastra Indonesia Modern, tak tergoyahkan. Ada dua monumen yang ditinggalkannya bagi kita: kritik dan bahasannya, serta Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Ada sejumlah suara yang mencoba meyakinkan kita bah- wa H.B. Jassin sebenarnya bukanlah seorang kritikus sastra, melainkan Dokumentator Sastra. H.B. Jassin juga dicemooh karena tidak ilmiah dan tidak akademis. Seingat saya mereka yang mengatakan bahwa H.B. Jassin bukan kritikus melain- kan dokumentator sastra umumnya tidak pernah menunjuk- kan kinerja unggulnya di bidang kritik, apalagi di bidang dokumentasi sastra.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 273 Jika penamaan tidak ilmiah dimaknai sebagai tidak ber- teori-teori, maka anggapan itu ada benarnya. Dilihat dari banyak segi, H.B. Jassin memang lebih banyak menulis kritik- kritiknya berdasarkan common sense dan tidak mengguna- kan teori solid tertentu secara sistematis. Lagi pula, saat itu teori sastra relatif belum dikenal di Indonesia sebagai disiplin ilmu yang solid. Tentu saja pelajaran teori sastra dalam berbagai bentuknya sudah dikenal secara sporadis pada masa itu, namun teori-teori sastra sebagai disiplin akademis yang ketat baru belakangan dikenal di Indonesia berkat pengenalan yang dilakukan oleh Prof. A. Teeuw. Teeuw lah yang meng- ajar dan menjadi “guru pertama” teori sastra dengan penga- ruh yang cukup luas di kalangan akademisi sastra. Bahkan, bisa dikatakan bahwa keilmiahan dan dasar teori sastra di kalangan akademis ditubuhkan oleh A. Teeuw. Sejak saat itu, strukturalisme dan New Criticism menjadi buah bibir di fakultas-fakultas sastra. Untuk pertama kalinya para akade- misi memiliki pegangan (teoretis) dalam membahas, meng- kaji, dan mengkritik sastra. Lepas dari fakta bahwa teori sastra tidak selalu difahami dengan baik dan dijalankan dengan konsisten dalam mengkaji suatu karya sastra, sejak saat itu teori sastra menjadi pegangan dalam menulis skripsi, tesis, dan disertasi. Yang paling populer —bahkan hingga saat ini– adalah “analisis makna, struktur, dan fungsi”. Ini adalah pen- dekatan paling elementer dalam kajian sastra tapi paling dite- rima di kalangan akademisi sastra. Hampir bisa dikatakan suatu kajian disebut bersifat ilmiah manakala ia mengkaji (makna), struktur dan fungsi. Kajian ini, sekaligus adalah kajian paling aman dan jarang mendapat penolakan di kalangan akademisi sastra.

274 Jamal D. Rahman dkk. Belakangan, perkenalan kalangan akademisi sastra dengan teori-teori sastra makin meluas dan beragam. Mulai dari new criticism, strukturalisme dengan segala variannya, hermeneutik dengan segala variannya, semiotik dengan segala variannya, pascastrukturalisme, dan sebagainya. Belum lagi semua itu berkembang dengan hasil-hasil kajian yang memadai, ia sudah terasa meredup dan muncul teori- teori yang lebih populer: kajian feminis, dekonstuksi, pasca- kolonial, cultural studies, dan lain-lain. Semua banjir teori sastra itu telah menyibukkan para akademisi di fakultas-fakultas sastra, dan –agak mengheran- kan– juga sebagian kalangan sastrawan. Begitu sibuknya para akademisi sastra dengan gelombang-gelombang teori sastra sehingga membuat mereka abai dengan karya sastra itu sendiri. Maka jumlah kajian sastra yang terbit dalam bentuk buku yang ditulis dengan suatu disiplin teoretis tertentu jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding buku-buku perkenalan berbagai macam teori sastra dari mulai buku pengenalan teori struktural sampai struktural genetik, dari mulai semiotik sampai pascakolonial. Banyak kalangan akademisi yang mengenal dan gemar bercakap mengenai bermacam-macam teori tersebut kerap kali langsung gagal ketika berhadapan langsung dengan karya sastra untuk menerapkan teori-teori yang dipercakapkannya. Tidak jarang juga ada kecenderungan untuk memperla- kukan teori sastra seperti mode pakaian dalam fashion show. Seorang pembicara dan “ahli” strukturalisme yang belum pernah menulis kritik meyakinkan menggunakan teori strukturalisme yang dipakarinya, apa lagi buku kritik atas

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 275 suatu karya berdasar strukturalisme, tiba-tiba enggan bicara strukturalisme karena dianggap sudah tidak populer. Maka, ia mulai asyik membicarakan teori ‘baru’ yang dianggap sedang populer. Di tengah situasi semacam ini kita jadi ingat pada H.B. Jassin, dan perlahan-lahan kita menjadi tahu mengapa dia menjadi besar dan demikian penting posisinya di awal kehadiran sastra Indonesia modern. H.B. Jassin memang tidak banyak mempercakapkan teori sastra, tidak dikenal sebagai “pakar” suatu teori sastra tertentu, dan tidak menulis buku untuk menyarikan berbagai teori dan pendekatan dalam kritik sastra. Namun, H.B. Jassin menjalani proses penting dan paling elementer dalam kritik sastra, yakni membaca baik-baik karya sastra yang akan dibahasnya. Ia hanya membaca, membaca, dan membaca dengan sungguh- sungguh suatu karya sastra. Kadang ia ikut hanyut dengan karya sastra yang dibacanya, mencoba menemukan segi-segi unggul dan kuat pada karya sastra bersangkutan sembari pada saat yang sama menemukan dan mencatat segi-segi yang dianggapnya lemah, kurang memuaskan, atau mengganggu. Jika yang dibacanya sudah terbit sebagai buku, ia menuliskan apresiasi dan tanggapannya atas buku itu dalam bentuk kritik sastra. Jika yang dibacanya masih berupa manuskrip, ia tak segan-segan menuliskan cacatan dan masukan/saran per- baikan, bahkan tidak jarang ia turun tangan mencarikan penerbit bagi karya sastra yang dianggapnya bagus. Memang belakangan H.B. Jassin secara serius menuntut ilmu di perguruan tinggi untuk belajar teori sastra dan men- jalani perkuliahan akademis di bidang sastra. Namun demi- kian, tetap saja minatnya bukan pada teori sastra melainkan

276 Jamal D. Rahman dkk. pada karya sastra itu sendiri. Ia jatuh cinta pada sastra. Sebagai insan yang sangat gemar membaca, tentu dalam keluasan bacaannya berbagai pengetahuan dan teori-teori sastra pun diserapnya sehingga memperkaya dan memper- dalam bahasannya atas suatu karya sastra. Namun, H. B. Jassin tidak pernah berpegang atau berkutat pada suatu teori solid tertentu. Cintanya pada sastra tidak terbagi, bahkan meski dengan teori sastra sekalipun.

Redaktur Sastra di Mana-mana Membaca karya para sastrawan sebelum karya itu diter- bitkan adalah salah satu posisi khas H.B. Jassin karena ia menjadi redaktur hampir semua media sastra terkemuka. Sebagai redaktur, pada dasarnya ia menjalankan kerja dasar seorang kritikus: membaca, memberi catatan, membaca dengan penuh apresiasi dan kritis. Semua itu dilandasi oleh kepekaan intuisinya, ketelitian, kesabaran, dan cinta. Ada semacam keadilan dan objektivitas ilmiah dalam dirinya yang membuat ia bersedia membaca dan mengapresiasi semua karangan yang masuk, menolak karangan yang dianggapnya buruk, bahkan memberi catatan dan usulan. Semuanya ia lakukan tanpa terlalu direpotkan oleh hal-hal di luar karya. Ini menyebabkan Jassin terkenal sebagai penemu bakat dan ‘pembaptis’. Banyak sastrawan merasa mapan setelah ‘dibaptis’ oleh H.B. Jassin, hingga sebagian sastrawan memuji dan sebagian lagi mengejeknya sebagai Paus Sastra yang ternyata memang cocok dengan sosoknya hingga andaikan penamaan itu berupa cemoohan, cemooh itu pun berkat dedikasi H.B. Jassin akhirnya mengubah dirinya sendiri menjadi pujian.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 277 Dalam menulis kritik, kerja redaktur itu mendapat inten- sifikasi. Tanpa teori, tanpa pegangan, tanpa route, tanpa peta, ia bertemu langsung dengan suatu karya dan bermuka- muka secara pribadi dengannya. Bermuka-muka dengan suatu karya sastra tanpa perantara maupun backing teori sastra bukan hal yang mudah. Bagi beberapa kalangan hal ini cukup memputusasakan. Bagaimanakah sesungguhnya “cara membaca dan menilai sastra”? Tidak semua orang memiliki wawasan, kepekaan, dan intuisi seperti Jassin. Untunglah kemudian terbit di Indonesia buku A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra. Pada buku-buku A. Teeuw, orang merasakan adanya sesuatu yang bisa dijadikan pe- gangan dalam membaca dan menilai sastra.1 Namun, akan segera terbukti bahwa “pegangan” itu bukanlah sebuah for- mula di mana seorang kritikus tinggal memasukkan bahan dan mengolahnya dengan formula itu lalu hasilnya akan meyakinkan. Menjadikan teori sastra sebagai juklak (petun- juk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) tentu bukan cara tepat, meskipun inilah yang kerap terjadi. Menulis kritik sastra demi kritik sastra, tak putus-putus, sampai menghasilkan sekurang-kurangnya empat buku (Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei jilid 1 sampai 4), tanpa teori solid tertentu melainkan berbekal common sense dan intuisi, ternyata membuat H.B. Jassin

1 Buku ini adalah kumpulan esai A. Teeuw yang sebenarnya sepadan dengan esai- esai Jassin periode belakangan. Namun bukunya Tergantung Pada Kata, dan Sastra dan Ilmu Sastra benar-benar dijadikan pegangan para akademisi sastra sebelum kemudian berkenalan dengan teori-teori sastra yang lebih beragam. Buku praktek kritiknya yang luas, antara lain Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.

278 Jamal D. Rahman dkk. tampil sebagai sosok yang memberi dampak besar bagi per- kembangan sastra Indonesia modern. Di negeri yang minat dan tradisi membacanya sangat rendah ini, tidak bisa dibayangkan bahwa sastra Indonesia modern dapat langsung diterima dan mengisi khazanah perbincangan dan khazanah batin masyarakat Indonesia. H.B, Jassin lah yang dengan sabar tak putus-putusnya mengabarkan fenomena sastra Indonesia modern langsung dari gelanggang kesastraan kepada masyarakat umum. Sejumlah pelabelan yang dilakukannya melekat di ingatan masyarakat dan tak kunjung bisa digeser atau dihapuskan lagi, seperti “Angkatan Pujangga Baru”, “Angkatan 45”, juga “Angkatan 66”. Selain angkatan, julukan yang ia buat pun populer dan melekat dalam ingatan pembaca sastra, seperti “Chairil Anwar Tokoh Penyair Angkatan 45”, “Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru”, dan sebagainya. Ketika sastra Indonesia modern diajarkan ke sekolah- sekolah, mau tidak mau kepada H.B. Jassin lah guru bahasa dan sastra menyandarkan dirinya. Dengan jumlah karya sastra yang terbatas pada saat itu, dan lebih-lebih jumlah pembahasan atas karya sastra yang lebih terbatas lagi, H.B. Jassin adalah satu-satunya tokoh yang menyediakan ulasan terbanyak dan relatif terpercaya. Saat situasi politik memaksanya tampil ke muka untuk mempertahankan cerpen Ki Panji Kusmin “Langit Makin Mendung” di depan pengadilan, H.B. Jassin menulis pledoi yang gemilang dengan judul “Imajinasi di Depan Penga- dilan”. Pledoi gemilang itu memang tidak berhasil mem- bebaskan dirinya dari hukuman penjara, tapi pledoi itu

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 279 berhasil memaksa masyarakat luas untuk menengok sastra modern Indonesia. Jika seseorang bersedia dipenjara untuk sesuatu, maka sesuatu itu pastilah berharga. H.B. Jassin memaksa masyarakat untuk memberi harga pada sastra, saat ia terbukti masuk bui untuk membela barang aneh bernama sastra Indonesia modern, di tengah situasi masyarakat yang megap-megap dihimpit mahal dan sulitnya mendapat kebutuhan pokok buat hidup mereka.

*** Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, Tifa Penyair dan Daerahnya, merupakan kritik sastra dan pandangan H.B. Jassin mengenai sastra. Umumnya kritik dan esainya pendek-pendek, sesuai dengan kepentingan media yang ditujunya, baik koran maupun majalah. Sebagian besar tulisan awalnya lebih berupa resensi dibanding kritik sastra yang sesungguhnya. Nadanya pun cenderung menyapa publik umum agar bisa memahami dan menikmati buku sastra yang telah dan/atau hendak mereka baca. Ini terlihat, misalnya, pada tulisannya atas Belenggu Armijn Pane yang kelahirannya sangat kontroversial pada masa itu:

Mestikah kita marah pada pengarang ini? Mestikah dia kita caci, kita cela habis-habisan sampai ia menarik kembali apa yang dituliskannya? mestikah dia kita dera supaya insaf pada dirinya, supaya dia tahu kesalahannya, kesalahannya mem- perlihatkan manusia, memperlihatkan keadaan, memperli- hatkan jiwa masyarakat sebagai yang telah diperlihatkannya pada diri kita itu?

Tidak!

280 Jamal D. Rahman dkk. Bukan salah manusia atau masyarakat, sehingga jiwa masyarakat seperti yang dilukiskannya itu. Dia melihat dan dia menuliskan. Tetapi apakah sebabnya dituliskannya yang buruk-buruk itu? Mengapa keburukan bangsanya dituliskan terang-terangan demikian? Sebab dia merasa wajib untuk menuliskan sekaliannya itu sebagai pujangga, pujangga yang memperlihatkan kemajuan bengsanya. Bangsanya diperiksa- nya, akan mengetahui rohaninya, akan menyelami batinnya. Dan apa yang didapatnya? Itulah lukisan yang telah dilukis- kannya dalam romannya Belenggu. Disitulah manusia dinilai- nya hidup-hidup, jiwanya dianalisisnya. Itulah yang telah dibawanya kepada kita. (H.B. Jassin, Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei)

Ulasan-ulasan sastra yang ditulis H.B. Jassin umumnya cenderung personal dan intuitif. Kritik-kritiknya boleh dibi- lang tepat dan sesuai bagi situasi sastra waktu itu yang keba- nyakan sastrawannya berbekalkan “bakat alam”. Memang kebanyakan sastrawan saat itu lahir dari bakat alam. Bah- kan beberapa sastrawan yang secara akademis berhasil mencapai puncak, misalnya Nugroho Notosusanto, pun saat menulis cerpen-cerpennya pada dasarnya berangkat dari disiplin “bakat alam” dibanding intelektualisme.2 Cerpen dan novel saat itu cenderung ditulis sebagai perpanjangan atau pendedahan pengalaman hidup alias biografi pengarangnya. Makin unik dan menarik pengalaman penulisnya, makin besar peluang karyanya menjadi kuat. Dalam posisi ini, H.B. Jassin menjadi seorang pembaca dan pembimbing sastra- wan agar bahan bagus yang dimiliki sastrawan bersangkutan

2 Untuk pembagian “bakat alam”dan “intelektualisme”, lihat Subagio Sastro- wardojo, Bakat Alam dan Intelektualisme, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983). Lihat juga Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan Sastra. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 281 dapat mereka olah menjadi karya sastra yang berhasil baik dari segi penggarapan tema, sudut pandang, konflik, mau- pun penceritaannya. Demikian pula dengan puisi, ia mem- bimbing para penyair menulis dengan pengolahan tema, rima, perlambangan dan sebagainya dengan harapan pe- nyair bersangkutan dapat menghasilkan karya personal yang segar. Cara ini yang telah membuatnya menemukan keunggulan Amir Hamzah dan terutama Chairil Anwar di bidang puisi. Ternyata, setelah diuji waktu, baik Amir Hamzah maupun terutama Chairil Anwar memang tetap unggul dan memikat. Saat teknik bersastra menjadi beragam sesuai dengan semangat avant garde di era 1970-an, H.B. Jassin tidak menulis kritik segencar dan serajin sebelumnya. Sejumlah karya avant garde tersebut memang tidak selalu mudah dan sesuai dibahas dengan cara yang biasa dilakukan H.B. Jassin sebelumnya. Sekalipun begitu, H.B. Jassin terbukti memiliki kepekaan dan pemahaman yang baik atas segala bentuk pembaruan yang dihasilkan pada masa itu. Kesulitan mela- kukan pembahasan tidak dengan sendirinya mengandaikan bahwa H.B. Jassin tidak memahami kebaruan dan pencapai- an generasi sastra yang datang kemudian. Hal ini terlihat dari antusiasme H.B. Jassin atas novel-novel avant garde Iwan Simatupang.3 Ia tidak menulis kritik intensif atas novel-novel Iwan Simatupang sebagaimana pernah dilakukannya atas karya-karya Amir Hamzah atau Chairil Anwar, tapi (boleh

3 Lihat pengantar Dami N. Toda dalam bukunya Novel Baru Iwan Simatupang, (Jakarta: Pustaka Jaya).

282 Jamal D. Rahman dkk. jadi secara intuitif) ia merasakan dan mengakui kebaruan novel-novel Iwan Simatupang tersebut. Rumusannya tentang angkatan-angkatan sastra yang dibuatnya pun sangat populer dan paling diterima di masyarakat. Selepas pembabakan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66, yang dibuat H.B. Jassin dan telah populer serta diajarkan terus-menerus di sekolah, ada beberapa upaya penulis lain untuk mengajukan juga persoal- an angkatan. Abdul Hadi W.M., misalnya, merumuskan lahirnya Angkatan 70-an, atau Korrie Layun Rampan yang menghimpun sastrawan untuk dinamainya Angkatan 2000. Namun, keduanya tidak menangguk sukses seperti yang dicapai H.B. Jassin. Meskipun rumusan H.B. Jassin menge- nai Angkatan 66, misalnya, banyak mendapat kecaman dan kritik, namun semua kritik itu tidak berhasil menggugurkan popularitas penamaan Angkatan 66 yang diproklamirkan H.B. Jassin. Jadi, walaupun rumusannya mengenai Angkat- an 66 sangat lemah dan sembrono, tetap saja reputasi H.B. Jassin terlalu besar untuk digoyang dengan mudah. Sekali lagi, semua reputasinya dalam kritik sastra didapat dari kete- kunannya membaca, mengapresiasi, kemudian menuliskan semua pendapat pribadinya atas karya sastra yang dibaca- nya. Cara tersebut boleh dibilang sangat sederhana dilihat dari keberbagaian sastra yang beredar di Indonesia sekarang ini. Namun, mengapa kritikus-kritikus dengan teori canggih tak pernah mencapai popularitas dan posisi sekokoh H.B. Jassin? Saya mendapat kesan bahwa justru tindakan elementer dan sederhana yang dijalani H.B. Jassin itulah yang kini

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 283 kerap alpa dijalani kritikus pasca H.B. Jassin, khususnya dari kalangan akademis. Saya kerap berjumpa dengan komposisi khas ulasan sastra yang lazim muncul di kalangan akademis. Misalkan ada ulasan sepanjang 10-12 halaman, maka kom- posisinya kurang lebih adalah: 2-3 halaman penda-huluan, berisi penjelasan umum; 4-5 halaman berisi uraian teori dan kutipan pendapat sejumlah ahli tentang teori tersebut; 2 hala- man berupa kutipan puisi/cerpen/novel yang akan dibahas, dan hanya 1 sampai 2 halaman berisi pembahasan lengkap dengan kesimpulannya. Sisa halaman akan berisi daftar pus- taka. Dalam skripsi, tesis, atau penelitian, yang halamannya jauh lebih banyak, komposisinya kurang lebih sama. Perte- muan pribadi —dengan atau tanpa cinta— dengan karya yang dibicarakan nyaris tidak ada. Saat membahas suatu karya, sesuatu yang disangka teori itulah yang utama. Bahkan, tidak jarang terjadi keajaiban: apapun teori yang digunakan, hasil- nya kurang-lebih sama. Tindakan dasar, yakni membaca dan mengapresiasi sastra jarang dilakukan. Padahal tindakan ini benar-benar dasar dan tak terhindarkan untuk dilakukan bahkan oleh pembaca biasa yang tidak hendak mengulas atau mengkritik karya sastra. Pertemuan pribadi dari hati ke hati, jiwa ke jiwa, antara pembaca dengan karya yang dibaca tidak dapat dilewati dan diabaikan oleh seorang kritikus. Setelah pembacaan dari hati ke hati dilakukan, baru teori yang akan digunakan dalam pembahasan menjadi bahan pertimbangan. Membaca dan mencintai sastra, itulah yang dilakukan dan dijalani H.B. Jassin sepanjang hidupnya. Bahkan saat ia membaca dan menilai sastra, ia menjalaninya dalam proses membaca dan mencintai sastra. Tanpa cinta, sebagian

284 Jamal D. Rahman dkk. kalangan yang mencoba menjadi kritikus dengan membaca dan menilai sastra, kerap kali gagal total. Namun cukup banyak jumlah mereka yang mencoba menjadi kritikus sastra tanpa cinta yang cukup pada karya sastra. Bahkan, meski hal ini ajaib dan tak masuk akal, cukup banyak orang yang menjadi kritikus dengan “tidak membaca” tapi nekat untuk menilai sastra. Kadang, untuk menutupi ketidak- membacaan sastra yang hendak dinilainya, sang kritikus menaburkan berbagai penjelasan mengenai berbagai pende- katan dan teori sastra sebagai kamuflase. Kritikus semacam ini bisa saja nampak canggih, namun tak mampu menggeser kebersahajaan kritik H.B. Jassin, baik dalam kepekaan maupun kecintaan.

Dokumentator Kecintaan H.B. Jassin pada sastra terlihat dari ketekun- annya mendokumentasikan bukan hanya karya sastrawan melainkan segala dokumen yang diperkirakannya akan berguna dalam memahami karya seorang sastrawan: surat- surat pribadi,4 pengantar pengarang saat mengirimkan naskah, dan sebagainya. Bahkan, tidak jarang H.B. Jassin turun tangan memecahkan persoalan yang dihadapi sastra- wan mulai dari hubungan pribadi hingga masalah ekonomi. Chairil Anwar mungkin akan berbeda tanpa sentuhan dan keterlibatan H.B. Jassin.

4 Surat-menyurat H.B. Jassin tersebut sebagian telah diterbitkan sebagai buku setebal 386 halaman. Lihat, H.B. Jassin, Surat-surat 1943-1983 (penyunting Pamusuk Eneste), (Jakarta: Gramedia, 1984).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 285 Selain menulis kritik, H.B. Jassin juga mengabdikan hidupnya untuk membangun dokumentasi sastra. Manuskrip- manuskrip, kartu pos, surat sastrawan dan berbagai bahan dia kumpulkan lebih dari 50 tahun. Semua ini kemudian dia perluas dengan koleksi buku hingga kemudian menjadi Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Sebenarnya, sejumlah bukunya pun menunjukkan kecenderungan dokumentatif itu, misalnya: Gema Tanah Air (1948); Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang (1948); Angkatan 45 (1951); Kesusasteraan Dunia Dalam Terdjemahan Indonesia (1956); Pujangga Baru Prosa Dan Puisi (1963); Angkatan 66 Prosa Dan Puisi (1968); Heboh Sastera 1968 (1970); dan Surat-Surat 1943-1983 (1984). Apa yang dikumpulkan dan didokumentasikan oleh H.B. Jassin tak pelak lagi menjadi bukti kecintaan H.B. Jassin pada sastra. Ia menjadi monumen dan warisan berharga bagi sastra modern Indonesia. Masalah yang dihadapi Pusat Doku- mentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin belum lama ini dan belum sepenuhnya terpecahkan hingga sekarang, dengan jelas menunjukkan bahwa kecintaan seluruh rakyat Indonesia digabung menjadi satu tidak sebanding dengan kecintaan H.B. Jassin seorang diri. Untunglah banyak pihak, baik kaum muda maupun tua, yang turun tangan menunjukkan kepri- hatinan dan dukungan bagi PDS H.B. Jassin sehingga kita semua mengetahui bahwa masih ada cinta pada dunia sastra. Harus dikatakan bahwa ada sejumlah kritik sastra yang baik dan meyakinkan pasca H.B. Jassin. Sayang penulisnya tidak mengabdikan dirinya pada kritik sastra secara total sebagaimana ditunjukkan oleh H.B. Jassin. Dalam pada itu,

286 Jamal D. Rahman dkk. penguasaan dan akses terhadap teori sastra yang beragam pun makin mudah dan terbuka. Jika H.B. Jassin yang menulis kritik berbekal common sense telah menghadiahi khazanah sastra Indonesia modern dengan sumbangan yang sangat berarti, maka dapat dibayangkan akan luar biasa dunia sastra kita jika para akademisi sastra juga memiliki kecintaan pada sastra serta memiliki ketekunan dalam mengkaji dan mengkritik sastra, tentu setelah membaca karya sastra yang hendak diteliti, dikaji, dan dikritiknya.

Tonggak dan Dasar Estetik versus Dasar Politik Dilihat dari gambaran di atas terlihat jelas jasa dan pengaruh H.B. Jassin atas kehidupan sastra Indonesia modern. Boleh dibilang wajah sastra Indonesia terbentuk sebagaimana sosoknya sekarang ini tidaklah dapat dipisahkan dari peran H.B. Jassin. Bukunya Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru menggarisbawahi sekaligus mengkanonkan Amir Hamzah sebagai puncak estetik perpuisian Pujangga Baru sehingga para pembaca umum- nya, dan para penyair khususnya, dalam memasuki dunia sastra Pujangga Baru telah dituntun sejak mula oleh H.B. Jassin melalui capaian estetik Amir Hamzah. Dengan meletakkan Amir Hamzah sebagai tonggak keberangkatan, pembaca dan terutama penyair yang datang kemudian dituntut untuk maju menggapai capaian estetik baru dan/ atau minimal menulis dengan mutu tidak kurang dari Amir Hamzah. Sudah barang tentu dalam kenyataannya tuntutan tersirat H.B. Jassin tersebut tidak selalu dapat dipenuhi, sehingga baik pada masa itu maupun masa kini dengan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 287 mudah kita dapati puisi-puisi yang mutu maupun capaian estetiknya tidak melampaui —jika enggan disebut jauh dan kurang— dibanding mutu dan capaian estetik Amir Hamzah. Dengan tonggak estetik Amir Hamzah sebagai awal yang patut bagi pepuisian Indonesia modern, dapat dipahami — sekaligus logis— jika ia kemudian mengajukan puisi-puisi Chairil Anwar sebagai tonggak berikutnya. Dengan melawan pendapat atas cita rasa semasa, H.B. Jassin dengan gigih berjuang meyakinkan kalangan sastra akan kebaruan puisi Chairil Anwar sekaligus memperkenalkan tonggak baru ini kepada publik lewat bukunya Chairil Anwar Pelopor Ang- katan 45. Ia tahu, pada Chairil Anwar tantangan dan tuntut- annya lewat ketonggakan Amir Hamzah mendapat jawaban yang signifikan dan memuaskan. Chairil Anwar jelas menun- jukkan diri sebagai penyair yang mengenal dengan baik serta menghargai capaian estetik perpuisian Amir Hamzah dan dengan itu ia melanjutkan sekaligus mengadakan pembaruan estetik yang meyakinkan. Andai capaian estetik dan pembaru- an Chairil Anwar itu tidak segera dikenali dan diperjuangkan serta dijurubicarai oleh H.B. Jassin, maka bukan tidak mung- kin Indonesia tidak akan segera mengenal Chairil Anwar dan menghargainya seperti sekarang ini. Boleh jadi karya-karya- nya akan berada di tempat sampah dibuang oleh para redaktur atau otoritas-otoritas sastra berselera kolot dan bercakrawala sempit. Kekerashatian dan kegigihan H.B. Jassin mewacana- kan perpuisian Chairil Anwar lah yang membuat perpuisian Indonesia menemukan bentuk seperti sekarang ini. Dengan mudah kita menemukan besarnya pengaruh perpuisian Chairil Anwar pada banyak penyair generasi sesudahnya.

288 Jamal D. Rahman dkk. Situasi politik dan perseteruan Lekra versus Manikebu – dan H.B. Jassin ada di salah satu kubu itu serta menjadi korban kubu lainnya— membuat orientasi H.B. Jassin yang semula nyaris sepenuhnya pada estetika mulai bergeser ke arah pertimbangan (sosial) politik. Hal ini terlihat cukup jelas pada bukunya Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Berbeda dengan upayanya meletakkan tonggak mutu estetik sembari menyuarakan pencapaian estetik Amir Hamzah dan Chairil Anwar, pada Angkatan 66 H.B. Jassin cenderung mendasarkan pilihan dan penggarisbawahinya pada situasi (perubahan) politik. Maka, boleh dibilang saat memilih para sastrawan bagi antologinya, pertimbangan utama H.B. Jassin bukanlah mutu estetik melainkan jejak- jejak perubahan politik. Tidak mudah, ternyata, bagi H.B. Jassin untuk kembali lagi sepenuhnya pada pertimbangan estetik. Sejak itu, pertimbangan mutu estetik pun perlahan mulai diabaikan dalam pembabakan sastra Indonesia. Kira- nya perlu penelitian mendalam mengenai sejauh mana trau- ma perseteruan politik di penghujung Orde Lama mempe- ngaruhinya. Selepas menerbitkan buku Angkatan 66 yang dibangun dengan basis pertimbangan politik –bukan pertimbangan estetik seperti pada Amir Hamzah dan Chairil Anwar— H.B. Jassin tidak pernah lagi mengeluarkan buku berupa sebuah angkatan sastra tertentu. Pembabakan sastra berdasar per- timbangan estetik putus sampai di situ. Namun, karena H.B. Jassin merupakan sosok berpengaruh, maka perubahan orientasinya dari estetik ke politik pun memberi pengaruh yang luas dan mendalam. Baik pengamat maupun publik

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 289 sastra kemudian menjadikan pertimbangan tematik berda- sarkan situasi sosial politik sebagai landasan utama jauh mele- bihi pertimbangan estetik.5 Minimnya buku, skripsi, tesis, dan disertasi yang mengkaji sastra secara estetik bukan tidak mungkin memiliki kaitan erat dengan perubahan orientasi H.B. Jassin tersebut. Tidak begitu jelas apakah hal ini pun mempengaruhi perubahan fakultas sastra (yang estetik) men- jadi fakultas ilmu budaya (yang tematik/sosial politik). Meski H.B. Jassin kemudian cenderung mempertimbang- kan dengan sangat suatu karya sastra berdasarkan orientasi sosial-politik, H.B. Jassin tetap teguh beranggapan bahwa sastrawan dan imajinasinya memiliki kebebasan yang tidak dapat ditawar. Kebebasan berimajinasi adalah hak prerogatif seorang sastrawan saat mereka menuliskan karya sastranya. Maka, ketika cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin diperkarakan, H.B. Jassin bersikeras enggan membu- ka siapa nama asli sang sastrawan dan memilih untuk tampil menghadapi segala tuntutan. H.B. Jassin dengan teguh dan berani mengambil segala risiko yang mungkin tiba serta me- nolak untuk mengorbankan pengarang dan imajinasinya. H.B. Jassin bahkan menulis sendiri pledoinya dalam kasus ini serta menghasilkan sebuah karangan yang luar biasa: “Imajinasi di Depan Pengadilan”.

5 Abdul Hadi W.M. yang mencoba mengembalikan pembabakan sastra ke kriteria estetik dengan memperkenalkan “Angkatan 70” tetap tidak berhasil menggeser popularitas Angkatan 66 H.B. Jassin yang lebih didasarkan pada pertimbangan politik dibanding estetik. Penyebabnya boleh jadi karena wibawa dan popularitas H.B. Jassin, bisa juga karena pertimbangan tematik-politik kemudian lebih dominan, atau karena keduanya.

290 Jamal D. Rahman dkk. Majunya H.B. Jassin ke pengadilan jelas menjadi berita besar di media massa dan menjadi pembicaraan di kalangan yang luas jauh melampaui publik sastra. Hal ini jelas mem- beri pengaruh besar pada masyarakat umum yang pada dasarnya bukanlah pembaca sastra dan tidak menghiraukan keberadaan sastra. Dengan itulah masyarakat dipaksa untuk memberi perhatian pada sastra Indonesia modern, sekaligus memaksa masyarakat untuk menghargainya, karena jika seseorang sudi mengorbankan diri dan mengambil risiko sebesar itu bagi sesuatu, maka sesuatu itu pastilah penting, berharga, dan bukan main-main.

Bidan dan Penjaga Kuburan Sastra Pengaruh H.B. Jassin bagi sastra Indonesia lewat PDS- nya sangat luar biasa dan masih terasa hingga kini. Boleh dibilang nyaris semua sarjana dan pengkaji sastra Indonesia modern —terutama dari mancanegara— pastilah mengambil manfaat dari PDS H.B. Jassin. Hal ini menjadi makin terasa jika diingat bahwa H.B. Jassin berada di tengah sebuah bang- sa yang mudah lupa, gemar barang baru, dan gemar meng- hapus semua masa lalu, serta ceroboh dalam mendokumen- tasi dan memelihara bahan-bahan dari masa silam. Saat terjadi polemik dan serangan cukup gencar dari beberapa sastrawan terhadap H.B. Jassin, ia hanya diam dan tidak menulis satu pun tanggapan di media massa. Karena penasaran atas ketutupmulutannya, Moh. Ridlo Eisy dan saya pun menemuinya untuk wawancara, dan dengan kalem ia mengemukakan:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 291 Para sastrawan boleh bicara apa saja tentang saya. Yang jelas, saya mengenal mereka: kapan mereka lahir dan kapan mereka mati. Di tempat sayalah mereka lahir, dan di tempat saya juga kuburannya.6

Pernyataannya tersebut tidaklah terlalu berlebihan, karena memang pada dasarnya sebagian besar sastrawan Indonesia mengirimkan karya mereka ke majalah sastra di mana dia duduk sebagai redaktur. Jikapun tidak, karya pertama mereka —baik karya yang dimuat media massa maupun buku mereka yang pertama— didokumentasikan di PDS H.B. Jassin. H.B. Jassin mengetahui dan meyimpan bukti kelahiran mereka. Ia pun tahu, siapa saja sastrawan tersebut yang sudah jarang berkarya, bahkan yang sudah tidak lagi menulis karya sastra alias mati sebagai sastrawan, meskipun orangnya masih hidup. Kuburan mereka, yakni karya terakhir yang tidak disusul karya berikutnya, ada juga di PDS H.B. Jassin.

Sang Penerjemah: Dari Fiksi ke Kitab Suci Sebagai kritikus, redaktur, dan sekaligus orang yang banyak dimintai masukan dan saran oleh kalangan sastra, baik calon sarjana maupun calon sastrawan, H.B. Jassin mungkin tidak selalu sukar untuk memberikan jawaban. Namun, namun bisa diduga tidaklah selalu mudah baginya untuk memberikan contoh dan perbandingan. Di sisi lain, sebagai pembaca dan pencinta sastra ia kerap terserap oleh karya-karya sastra yang dianggapnya indah, bermutu, dan menggugah jiwa. Dalam situasi ini, saat selepas membaca

6 Dimuat di Pikiran Rakyat sekitar tahun 90-an.

292 Jamal D. Rahman dkk. sastra dan ingin berbagi, kerap muncul dorongan untuk menerjemahkan. Tidak mengherankan jika kemudian H.B. Jassin pun menerjemahkan karya sastra. Sebagai penerjemah, H.B. Jassin boleh dibilang pener- jemah yang hebat.7 Ini terlihat pada hasil terjemahannya atas karya Vincent Mahieu (nama samaran dari Tjalie Robin- son yang adalah nama samaran dari Jan Bonn) Tjuk, juga Tjis; Antoinet de Saint-Exupery, Terbang Malam, dan terutama karya Multatulli, Max Havelaar. Cerpen-cerpen karya Vincent Mahieu maupun Multatulli, selain mutunya unggul juga berkisah tentang Indonesia. Selain penting bagi pembaca Indonesia, karya-karya tersebut dapat dijadikan perbandingan bagi para sastrawan Indonesia yang usia khazanah sastra modernnya masihlah muda. Puncak dari kerja H.B. Jassin sebagai penerjemah adalah saat ia memutuskan untuk menerjemahkan Al Quran dengan menghormati dan mengupayakan segi keindahan bahasanya secara sastrawi. Pekerjaan ini dimulai dengan menerjemahkan surat-surat pendek yang yang termasuk dalam Juzz Amma. Terjemahan tersebut terbit sebagai buku. Baru kemudian disusul dengan terjemahan Al Quran secara keseluruhan. Tindakan H.B. Jassin menerjemahkan Al Quran pun melahirkan kontroversi.8 Meskipun H.B. Jassin

7 Untuk bidang penerjemahan ia mendapat dari Pangeran Benhard, Belanda. Dalam pemberian Prof. A. Teeuw Award pun kiprah dan mutu H.B. Jassin sebagai penerjemah digaris bawahi. 8 Kontroversi terjemahan Jassin atas Al Quran pun meluas dan terkenal, bahkan terjadi dua kali, yakni saat cetak ulang. Kontroversi ini pun melibatkan banyak tokoh untuk ikut angkat bicara, misalnya HAMKA, Abdurahmad Wahid, dsb.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 293 dikenal sebagai sosok yang tekun dan relatif pendiam, tapi pada kenyataannya tindakannya kerap memancing kontro- versi sehingga menjadikannya berkali-kali menjadi –untuk meminjam istilah belakangan ini— trending topic. Tindakan kontroversialnya yang pertama adalah saat ia menjadi juru bicara dan pembela Chairil Anwar yang ditu- duh sebagai plagiat. Pembelaan semacam ini juga ia lakukan atas tuduhan yang sama pada HAMKA. Kontroversi berikut- nya yang makin heboh adalah kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin.9 Kembali Jassin tampil sebagai pembela. Dalam posisinya sebagai redaktur, ia menolak membuka identitas asli Kipanjikusmin dan memilih menghadapi sendiri semua tuduhan di pengadilan. Kontro- versi lain yang tak kalah hebohnya adalah terjemahannya atas Al Quran yang menerbitkan pro dan kontra secara luas. Sebagaimana pada kontroversi sebelumnya, pada heboh ter- jemahan Al Quran ini pun H.B. Jassin tetap teguh, tak bisa dicegah, dan enggan menyerah. Ia beranggapan bahwa sebagai kitab yang indah, kitab suci Al Quran pun sepatutnya diterjemahkan secara indah. H.B. Jassin mungkin satu- satunya sosok bukan sastrawan yang bergelut di bidang sastra dan paling banyak menimbulkan kontroversi, lebih dari para sastrawan itu sendiri.

9 Pro dan kontra dalam masalah ini sangat meluas dan melibatkan banyak pihak. Kontroversi langit makin mendung tersebut kemudian dibukukan dengan judul Heboh Sastra. Lihat Jamal D. Rahman, Antropomorfisme Islam dalam Sastra Indonesia: Kasus Langit Makin Mendung. Tesis FIB UI, 2003.

294 Jamal D. Rahman dkk. Lahir di Gorontalo, 13 Juli 1917, dengan nama Hans Bague Jassin, ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di HIS Balikpapan, lalu ikut ayahnya pindah ke Pangkalan Bran- dan, Sumatera Utara, dan menyelesaikan pendidikan Hogere Burger School (HBS) di sana. Pada saat itu ia sudah mulai menulis dan karya-karyanya dimuat di beberapa majalah. Setelah sempat bekerja sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo selama beberapa waktu, ia menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan Balai Pustaka, 1940. Tak lama kemudian ia menjadi redaktur berbagai majalah budaya dan sastra di Indonesia, antara lain Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, dan Horison. Jassin memiliki lima saudara. Ibunya adalah Habibah Jau, dan ayahnya adalah Bague Mantu Jassin, seorang pega- wai Muslim Bibliophilic Bataafsche Petroleum Maatschappij. Jassin bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar Belanda buat anak pribumi. Di sanalah ia mulai gemar membaca secara intensif. Keluarganya kemudi- an pindah ke Medan, dan di sanalah ia melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS), sekolah menengah Belanda untuk pribumi. Di masa itulah ia mulai menulis, khususnya ulasan-ulasan sastra yang dimuat di media massa setempat. Di masa sekolah menengah ini pulalah ia intensif membaca karya sastra Barat. Setamat dari HBS di Medan, ia kembali ke Gorontalo dan bekerja sebagai pegawai relawan di kantor pamong praja. Pada tahun 1940, ia ditawari bekerja di penerbit Balai Pus- taka oleh Sutan Takdir Alisjahbana, yang saat itu menjabat

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 295 sebagai direkturnya. Di sana ia mulai menulis cerita pendek dan puisi, namun tak lama kemudian memutuskan untuk memfokuskan diri dalam menulis ulasan dan kritik sastra. Sembari menulis ulasan dan kritik sastra, ia secara pribadi mulai mendokumentasi karya sastra. Semasa pendudukan Jepang ia mempublikasikan sejumlah karyanya, termasuk puisi dan cerita pendek, di Asia Raya, media massa yang disponsori Jepang. Pada tahun 1953, Jassin mendaftar ke Jurusan Sastra Uni- versitas Indonesia (UI), sembari menjadi dosen untuk sastra Indonesia modern. Selulus dari sana, 1957, ia mendalami sastra bandingan di Yale University, Amerika Serikat. Sekem- balinya dari sana, H.B. Jassin kembali bekerja sebagai dosen sastra di Universitas Indonesia. Namun, enam tahun kemu- dian ia dipecat sebagai dosen UI karena menjadi penanda tangan Manifes Kebudayaan yang disusun untuk melawan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang dianggap dominan dan menekan saat itu. Manifes Kebudayaan sendiri kemudi- an dilarang, 8 Mei 1964. Selepas Orde Lama, ia kembali mengajar di UI, dan dari UI pula ia mendapat Doktor Honoris Causa. Gelar yang sama ia dapatkan kemudian dari Universiti Malaya, untuk bidang persuratan. Semua kerja dokumentasi sastranya yang ia mulai sejak usia muda dikumpulkan, dan ia pun mendirikan Pusat Doku- mentasi Sastra H.B. Jassin (1976), bertempak di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Reputasinya sebagai kritikus sastra membuatnya menjadi sosok yang disegani dan kerap dijadikan ikon bagi dunia sastra sehingga populer dengan julukan Paus Sastra.

296 Jamal D. Rahman dkk. H.B. Jassin menikah tiga kali. Pernikahannya yang per- tama, yakni dengan Tientje van Buren, seorang Indo, berakhir dengan perceraian. Selepas itu ia menikah dengan Arsiti. Wafatnya Arsitilah yang menuntunnya untuk menerjemah- kan Al Quran karena setiap dirundung kesedihan ia selalu melafazkan surat Yasin. Hampir setahun kemudian ia meni- kah dengan Yuliko Willem. Sejumlah penghargaan telah diterima H.B. Jassin, di antaranya Satyalencana Kebudayaan (1969) dan Anugerah Seni (1983). Kedua penghargaan tersebut diberikan oleh pemerintah RI. Penghargaan lain yang diterimanya adalah Martinus Nijhoff Prize (1973), Ramon Magsaysay Award (1987), dan Prof. Teeuw Award. Hingga masa tua, H.B. Jassin masih bergiat di dunia sastra, meskipun mulai jarang menulis kritik sastra. Kesehatannya kian lama kian menurun, pendengarannya makin berkurang, dan sejak tahun 1996 ia menjalani aktivitas di atas kursi roda karena stroke. Beberapa karya terjemahannya tak mampu ia selesaikan, misalnya Also Sprach Zarathustra, karya agung Friedrich Nietzsche, yang hanya sempat ia terjemahkan sebagian saja. Pada sebuah pagi, 11 Maret 2000, H.B. Jassin meninggal dunia di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 83 tahun. Ia meninggalkan empat anak, yaitu Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Julius Firdaus Jassin, dan Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu dan 1 orang cicit. Setelah disemayam- kan di Taman Ismail Marzuki, jenazah tokoh sastra ini dike- bumikan di Makam Taman Pahlawan, Kalibata, Jakarta. Bangsa Indonesia, dan terutama sastra modern Indonesia

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 297 kehilangan pencinta dan pembelanya yang paling teguh dan keras kepala.[]

Kepustakaan

A Teeuw. 1967. Modern Indonesian Literature. The Hague: Martinus Nijhoff. Abdullah Saaed. 2005. Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia. Qu’ranic Studies Series. London: Oxford University Press. Agus R. Sarjono et al. (ed.) (2004), Mengenang Mochtar Lubis: 40 Hari Wafatnya, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta. Darsjaf Rahman. 1986. Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi H.B. Jassin. Jakarta: Gunung Agung. H.B. Jassin. “Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia”, pidato pada penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 14 Juni 1975 H.B. Jassin. 1948. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi 1942-1948. Jakarta: Balai Pustaka. H.B. Jassin. 1962. Amir Hamzah, Radja Penjair Pudjangga Baru. Jakarta: Gunung Agung. H.B. Jassin. 1968. Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung H.B. Jassin. 1970. Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab. Jakarta: Gunung Agung. H.B. Jassin. 1978. Al Quran Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan. H.B. Jassin. 1985 (1962). Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jilid 1). Jakarta: PT. Gramedia. H.B. Jassin. 1985 (1965). Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung. H.B. Jassin. 1985. Kesusasteraan Indonesia di Masa Djepang. Jakarta: Balai Pustaka. H.B. Jassin. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jilid 2). Jakarta: PT Gramedia. H.B. Jassin. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jilid 3). Jakarta: PT Gramedia. H.B. Jassin. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Jilid 4). Jakarta: PT Gramedia. H.B. Jassin. 1986. Analisa: Sorotan Atas Cerita Pendek. Jakarta: Gunung Agung. H.B. Jassin. 1987. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta: Haji Masagung H.B. Jassin. Angkatan 45. Jakarta: Jajasan Dharma. 1972. Jamal D. Rahman, Antropomorfisme Islam dalam Sastra Indonesia: Kasus “Langit Makin Mendung”. Tesis FIB UI, 2003. Multatulli. Max Havelaar, atau Lelang Kopi Maskapi Dagang Belanda. Jakarta: Djambatan. 1972. (terjemahan H.B. Jassin). 300 Jamal D. Rahman dkk. Idrus Bagi Bahasa dan Bangsa Indonesia Baru

AGUS R. SARJONO

astra Indonesia modern sebagaimana dikembangkan Sdan ‘dirumuskan’ Balai Pustaka, dilihat dari bentuk, isi, maupun cara berbahasa (Indonesia)-nya, boleh dibilang bernuansa sastra pegawai: formal, rapi, serius, moralis, dan gemar menangis. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kepulauan Riau, namun dalam penggunaannya sebagai wahana sastra Indonesia modern, pengembangan secara cukup dominan dilakukan oleh para penulis asal Minangkabau seperti Tulis Sutan Sati, Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Abdoel Moeis dan sebagainya, yang sebagian besar merupakan pegawai Komisi Bacaan Rakyat alias Balai Pustaka. Bahasa yang digunakan oleh mereka adalah bahasa Melayu tinggi dan ragam yang digunakan pun ragam formal sebagaimana lazimnya ragam bahasa kantoran, meski masih kerap dimuati unsur petatah-petitih Minang yang rupanya sulit dilepaskan para pengarang tersebut. Maka, meski dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minang memiliki sense of humor yang tajam, tapi humor dan ironi jarang sekali

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 301 hadir dalam karya sastra Indonesia modern zaman Balai Pustaka. Bahkan, Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh penting Pujangga Baru yang menggoyang kemapanan sastra pega- wai dengan semangatnya yang berapi-api dan esai-esai polemisnya yang “menengok ke barat” sambil menekankan bahwa tradisi sudah mati semati-matinya, pun menuliskan novel-novelnya dengan bahasa Indonesia yang formal, tanpa humor, berpetatah-petitih, dan kaya dengan airmata.1 Dilihat dari perspektif tersebut, posisi Idrus sangatlah khas. Idrus adalah seorang sastrawan asal Minangkabau dan juga bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Dua unsur ini sebenar- nya sudah cukup untuk membuat Idrus menulis sastra penuh petatah-petitih –baik petatah-petitih Minang maupun petatah-petitih modernitas– dengan bumbu airmata seperti pendahulu-pendahulunya yang dikenal sebagai sastrawan Balai Pustaka. Namun, Idrus ternyata dapat melepaskan diri –bahkan memberontak– dari tradisi sastra Balai Pustaka dan menempuh jalan baru yang memperkaya tradisi sastra Indonesia modern sekaligus mendewasakan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern. Di tangan Idrus lah “bahasa Indo- nesia modern” benar-benar mewujud. Idrus lah yang lewat karya-karyanya —terutama Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma– dengan sangat meyakinkan menampilkan pengguna- an bahasa Indonesia sebagai bahasa baru yang modern, lugas,

1 Tidaklah mengherankan jika STA mengecam keras novel Belenggu karangan Armijn Pane yang boleh dibilang novel Indonesia modern pertama yang bukan sastra pegawai: bahasa Indonesianya mengalir lugas tanpa petatah-petitih, memperta- nyakan urusan langsung ke jantung moralitas formal dan menggugatnya, serta – meski menanggung derita di sekujur halaman novelnya– tidak menitikkan setetes pun airmata.

302 Jamal D. Rahman dkk. cerdas, tidak formalistis, penuh ironi dan kaya akan humor. Secara agak berani, dapat kita katakan bahwa Idrus lah – bersama Chairil Anwar dalam puisi– yang membuat bahasa Melayu Indonesia siap menjadi bahasa Indonesia modern, khas, serta menempuh arah “berbeda” dengan bahasa Melayu Malaysia dan Brunei Darussalam yang hingga kini tidak selugas dan setangkas bahasa Melayu yang dipengaruhi Idrus dan Chairil Anwar. Beginilah Idrus membuka cerpennya “Surabaya”:

Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya di luar dugaannya dan mimpinya. Keberanian timbulnya seko- nyong-konyong seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir. Pema- kaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.2

Dari pembukaan tersebut sudah terasa bahwa Idrus mem- bangun jarak yang cukup dengan apa yang ditulisnya sehing- ga melahirkan semacam sikap “objektif” dan bahkan kritis. Ada semacam pengolahan dalam proses menjadikan fakta menjadi fiksi, berita menjadi cerita, sehingga fakta dan fiksi dalam karya-karyanya selalu dapat pulang pergi untuk saling mengoreksi dan berbenah diri. Hal ini berbeda dengan karya fiksi —prosa atau bahkan puisi— yang ditulis langsung dari fakta ke fiksi, dari berita ke cerita, tanpa proses sastrawi sehing- ga meski setelah menjadi novel, drama, cerita pendek, atau

2 Cerpen "Surabaya”, dalam Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, hal. 119.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 303 puisi, tetap saja ia pada dasarnya adalah fakta atau berita (mentah) yang tidak bisa pergi kemana-mana selain sebagai fakta dan berita sebagaimana asalnya. Karya-karya awal Idrus memang telah menunjukkan gejala menuju penggunaan bahasa yang lugas dan bentuk realisme, namun pada dasarnya masih belum dapat mele- paskan diri dari gaya romantik yang berbunga-bunga. Ung- kapan berbunga-bunga terutama muncul saat membawakan propaganda Jepang yang hendak memerdekakan Indonesia. Unsur propaganda Jepang dalam karya Idrus bercampurbaur antara rela berkorban demi tanahair dengan nasionalisme rumusan Jepang. Dalam dramanya “Kejahatan Membalas Dendam”,3 misalnya, digambarkan bahwa para petani yang menyambut tibanya panen justru nyanyiannya sumbang. Nyanyian sumbang para petani tersebut diakibatkan oleh keharusan para petani menyerahkan sebagian panennya kepada kuco. Mendengar ini, Ishak —sang protagonis dalam drama “Kejahatan Membalas Dendam”– segera bangkit untuk menemui petani dan ‘menyadarkannya’. Keinginan menya- darkan para petani itu tidak bisa ditunda sebagaimana terlihat dalam kutipan di bawah ini:

Tapi aku hendak berkata sekarang pada mereka. Supaya besok, jika mereka pergi ke sawah pula pagi-pagi, mereka akan

3 Drama “Kejahatan Membalas Dendam”. Bersama cerpen “Ave Maria”, drama ini beserta cerpen-cerpen yang terkumpul dalam Corat-coret di Bawah Tanah, novelet Surabaya, dan cerpen “Jalan Lain ke Roma” dikumpukan dalam satu buku dan terbit di bawah judul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Untuk memudahkan, semua pengutipan karya yang terdapat dalam buku ini akan menggunakan acuan Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), cet. 16

304 Jamal D. Rahman dkk. menyanyikan nyanyi girang. Kita harus berbakti kepada tanah air. Aku menulis semalam-malaman, bukan untuk mencari duit, begitu juga banyak lagi orang yang begitu. Itu cara mere- ka berbakti dan petani bisa dan harus berbakti dengan padi- nya (cepat berlari, mengambil sehelai kertas di balai-balai). Dengar, dengarlah nek, kata penghabisanku: Dari sepuluh gu- nung mengalirlah menjadikan sepuluh sungai kecil-kecil, mengalir melalui lembah dan hutan, ke satu tujuan, menjadi- kan sungai yang besar dan luas, mengalir ke lautan bahagia. Demikianlah bakti rakyat Indonesia (perempuan tua ter- pekur).4

Semangat kebangsaan yang sama, juga muncul pada cerpen “Ave Maria”. Cerpen ini tidak semenggebu drama “Kejahatan Membalas Dendam” semangat propagandanya. Bahkan, dari awal cerpen ini bernada kisah sehari-hari, agak realis, namun ia ditutup dengan:

… Bacalah sendiri suratnya ini. Semua terasa keluar dari hati yang tulus ikhlas hendak berkorban untuk nusa dan bangsa. Bacalah pada penghabisan suratnya: ini adalah sebagai pem- bayaran utangku kepada tanah air yang sudah sekian lama kulupakan karena mengingat kepentingan diri sendiri.5

Pidato berbunga-bunga penuh propaganda ini, sebenar- nya bertentangan dengan sikap yang dikemukakan Ishak sendiri sebelumnya, yakni:

ISHAK: aku juga mengarang untuk nusa dan bangsa. Tapi caraku lain, bukan cara tukang pidato semangat.6

4 Drama “Kejahatan Membalas Dendam”, ibid., hal. 63 5 Cerpen “Ave Maria”, ibid. hal 20. 6 Drama “Kejahatan Membalas Dendam”, op. cit., hal. 25. Kursif ARS.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 305 Cara lain itu, baru kemudian terlihat nyata pada karya- karya Idrus dalam “Corat-coret di Bawah Tanah” dan sesu- dahnya. Ia cemas bahwa cara mengarang lain tersebut tidak dipahami. Kecemasan itu ditimbulkan oleh serangan penga- rang tua padanya. Maka, ditimbulkan pula dalam karya Idrus pertentangan antara kaum muda melawan kaum tua, seba- gaimana terlihat di bawah ini:

SATILAWATI: Pasti aku bisa menangkap maksudmu. Aku bisa menghargakan karangan yang begitu. Segalanya diceritakan dengan kiasan dan sindiran.

ISHAK: Engkau selalu menimbulkan semangatku untuk ber- juang, berjuang mati-matian untuk memahamkan pengarang kolot akan cara baru. Cerita semangat juga, tapi dengan cara baru. Tapi sekarang ini aku mesti pergi, jauh, jauh sekali.7

Kecemasan Ishak bahwa cara mengarang lain tersebut tidak dipahami ternyata tidak terbukti. Sekurang-kurangnya Satilawati, tunangannya, dan Asmadisastra, sahabatnya, dengan mudah dapat memahaminya.8 Kecemasan itu ditim- bulkan oleh kritikan keras yang dilakukan pengarang tua padanya, dan dengan begitu ia mengandaikan bahwa

7 Ibid., hal. 25. Kursif ARS 8 Asmadisastra, seorang sarjana hukum yang menjadi sahabat karibnya, dengan penuh gairah menyambut buku karangan Ishak, bahkan dengan teriakan “Dichtung und wahrheit!”, ibid. hal. 75. Teriakan Asmadisastra ini bukan sekedar pemaha- man, melainkan bahkan merupakan penerimaan mesra atas karya dan gaya sastra baru Ishak dan mengaitkannya dalam keluarga besar kesusastraan dunia yang unggul lewat acuan teriakan penerimaan tersebut pada buku Dichtung und wahrheit, autobiografi terkenal karya Johann Wolfgang von Goethe (terbit tahun 1833). Tentu ini pun berkaitan dengan motto kepengarangan Ishak yang berbunyi: “Lebih baik menulis kebenaran satu halaman dalam sebulan. Dari membohong berpuluh halaman dalam sehari.” Ibid. Loc. Cit.

306 Jamal D. Rahman dkk. karyanya tidak dapat dipahami pengarang tua. Namun, pertentangan antara kaum tua (yang kolot) dengan kaum muda, dalam drama Idrus ini tidak terlalu meyakinkan. Dan memang, pada bagian akhir dramanya Idrus mempertemu- kan keduanya dalam sebuah islah. Di sini, kaum tua akhir- nya mengisyafi bahwa mereka di pihak yang salah, dan Ishak –sang pengarang muda– menyatakan dengan tegas bahwa: “Dan dunia selalu membuktikan, bahwa pemuda lah yang selalu menang dalam perjuangannya dengan ang- katan lama.9 *** Bagaimanakah sikap kepengarangan Idrus? Jika sikap kepengarangan Idrus identik dengan tokoh Ishak dalam drama KMD, yakni “Biasa saja. Tapi caraku menulis lain. Itu yang tidak dapat dipahamkan orang,”10 maka posisi Idrus mungkin tidak sepenting sekarang. “Cara menulis yang lain”, alias teknik mengarang, bukanlah alasan penting untuk membuat seorang sastrawan menjadi besar atau tidak, men- jadi penting atau biasa. Sebagaimana politisi atau pejabat korup —bagaimanapun teknik dan gaya korupsinya– tidak menjadikan ia negarawan besar. Gaya dan teknik menga- rang pun tidak pernah menjadi penanda penting kebesaran seorang sastrawan. Hal ini terbukti pada Idrus sendiri. Saat

9 Ibid. hal. 74. Ini menunjukkan bahwa apa yang disebut Ben Anderson sebagai “Ideologi Pemuda”, cukup merata pada bangsa Indonesia dan terlihat nyata pada karya sastranya. Mengenai “ideologi pemuda”, lihat Benedict Anderson. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, (New York: Cornell University Press, 1972). 10 Ibid. hal. 24.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 307 ia menulis dengan “cara lain”, yakni cerita semangat juga, tapi dengan cara baru, tetap saja hasilnya tidak meyakinkan. Gaya dan bahasa Indonesia yang digunakannya sudah baru dan modern tapi karyanya tidak mengesankan. Barulah saat ia melebur cara mengarang dengan sikap dan spirit menga- rang serta concern kepengarangan yang baru, Idrus menjadi seorang sastrawan yang otentik. Inilah hasilnya kemudian:

Jalan-jalan di luar kota penuh dengan manusia, kebanyakan kaum perempuan. Muka mereka kelihatan letih dan lesu kare- na lama berjalan. Di belakang mereka asap, api kebakaran, koboi-koboi, dan bandit-bandit dan segala yang dicintainya: suaminya, rumahnya yang terbakar, ayam Eropanya, anak- nya, dan tempat tidur keronya.11

Perjumpaannya dengan situasi masyarakat di bawah pendudukan Jepang membuat Idrus tidak bisa lagi menulis karya berbau propaganda Jepang. Bahkan, makin lama karyanya makin kritis terhadap Jepang. Hal ini terlihat pada cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Corat-coret di Bawah Tanah. Kritik dan sinismenya pada Jepang sangatlah terasa sebagaimana terlihat di bawah ini:

Beberapa hari sesudah itu terdengar kabar angin, di kam- pung anu si anu telah menggantung diri, karena ... kalah rolet. Dan di ruang besar, indah seperti ruang istana, duduk bebera- pa orang Nippon tertawa-tawa, sambil melihat ke atas sehelai kertas, penuh dengan angka-angka. Yang seorang meregang tangannya seperti orang baru bangun tidur dan katanya, “obat mujarab untuk memberantas inflasi.”12

11 Cerpen “Surabaya”, Ibid. Hal. 122-123 12 Cerpen “Pasar Malam Zaman Jepang”, ibid., hal. 92.

308 Jamal D. Rahman dkk. Di Malang rumah gadai membayar empat rupiah untuk sebuah karung beras. Pemerintah perlu akan karung itu untuk membawa beras ke negeri Nippon, rakyat perlu akan karung untuk penutup aurat.13

Nada kritis dan sinisnya kian lama kian bertambah. Jika sebelumnya kritik pada Jepang itu berupa sindiran halus, makin lama ia menjadi kritikan keras dan bahkan kasar:

Kata orang yang di belakangnya, sambil mengambil sapu tangannya, “Kalau Tuan sakit dada jangan meludah di tanah, dong. Kan berbahaya bagi orang banyak.” Anak muda itu batuk kembali dari mulutnya keluar susu kental, di tengah-tengah campur warna merah seperti bendera Nippon.14

Setelah menyamakan dahak orang penyakitan TBC dengan bendera Nippon, Idrus bahkan menjadikan Jepang sebagai perumpamaan bagi hal yang buruk secara langsung, yakni:

Dadanya bengkok seperti akal orang Nippon.15

Setelah memasuki masa kemerdekaan, daya kritis dan bahkan sinisme Idrus tidak berkurang. Ini terlihat pada kar- ya-karya Idrus yang ia masukkan dalam kelompok “Setelah 17 Agustus 1945”, terutama karyanya “Surabaya”. Ia meno- lak segala bentuk propaganda dan ungkapan muluk, baik propaganda dan ungkapan muluk Jepang maupun propa- ganda dan ungkapan muluk revolusi. Semua konsep dan

13 Cerpen “Jawa Baru”, ibid., hal. 87. 14 Cerpen “Oh... Oh... Oh...!”, ibid., hal. 102-103. 15 Cerpen “Heiho”, ibid., hal 108.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 309 ungkapan muluk dan semua bentuk “tukang pidato sema- ngat”, ditolaknya dengan berpegang pada prinsip “Lebih baik menulis kebenaran satu halaman dalam sebulan. Dari mem- bohong berpuluh halaman dalam sehari.” Sebuah prinsip yang ingin mendasarkan sastra pada kebenaran. Dalam cerpennya “Celana Pendek” yang dimasukkan Idrus dalam kelompok Sesudah 17 Agustus 1945, dalam gaya Chekovian yang mengidrus, Idrus menulis semacam ini:

Tidak, rakyat sederhana tidak mau perang, ia hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana. Tapi orang tinggi-tinggi dan besar-besar mau perang, yang satu untuk demokrasi yang lain untuk kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. Kusno tidak tahu arti demokrasi dan perkataan kemak- muran sangat menarik hatinya. Ia sebenarnya ingat kepada celananya. Kemakmuran berarti baginya celana. Dan sebab itu disambutnya tentara Jepang dengan peluk cium dan salaman tangan. Dan seperti kebanyakan bangsa Indonesia hidup dengan pengharapan akan kemerdekaan, Kusno hidup dengan peng- harapan akan celana baru, terus-menerus berharap selama tiga setengah tahun.16

Selepas itu, karya-karya Idrus —terutama cerpen-cerpen- nya— makin penuh dengan humor dan terutama ironi, bahkan sarkasme. Untuk pertama kalinya, bahasa Indonesia muncul sebagai bahasa yang cair, akrab, pandai mencemooh dan mengejek, serta tidak ragu mentertawakan diri sendiri.

16 Ibid., hal. 116-117.

310 Jamal D. Rahman dkk. Kapasitas seseorang —tentunya juga suatu bangsa— untuk mampu menertawan diri sendiri merupakan tanda utama kedewasaan dan modal terbesar menggapai kebijaksanaan. Hanya dengan kemampuan untuk mentertawakan diri sen- diri —melihat kemungkinan diri tidak selalu benar belaka— lah yang memungkinkan terbukanya peluang bagi seorang individu maupun suatu bangsa untuk melepaskan diri dari sifat kekanak-kanakan yang serba mau menang sendiri, be- nar sendiri, dan gemar menuding serta mengkambinghitam- kan pihak lain. Di tengah banjirnya karya sastra yang memadahkan revolusi kemerdekaan lewat epos-epos revolusi yang hitam putih, Idrus justru melahirkan karya-karya yang kritis, penuh humor dan ironi. Maka, revolusi kemerdekaan dalam karya-karya Idrus bukanlah perpanjangan dari seruan “merdeka atau mati”, juga bukan gema dari pidato panas para pemimpin revolusi. Bahkan, sosok Bung Tomo yang legendaris dengan pidatonya yang berapi-api itu, digam- barkan Idrus secara karikatural sebagai berikut:

Bung Tomo, kepala “Pemberontak” bicara! Mula-mula ia bicara lambat-lambat untuk menentramkan rakyat. Suaranya besar dan bengis, orangnya kecil dan manis. Matanya ber- sinar-sinar seperti cahaya menara di tengah lautan. Dengan pendek dan tegas diceritakannya pengalamannya di medan pertempuran: Yang saya takutkan hanya satu: mata-mata musuh perem- puan. Perempuan jika berjiwa penjahat, lebih kejam dan licik daripada laki-laki. Jika saya berjalan-jalan di kota Malang, anak-anak gadis pada melihat kepada saya dengan senyum merayu. Tapi ketahuilah, hai gadis-gadis, bahwa Bung Tomo hanya akan mengambil satu gadis saja, dan gadis itu harus bukan mata-mata musuh. Sebab itu selama revolusi ini Bung

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 311 Tomo akan sendirian saja dan sebab itu pula janganlah lagi melihat kepada Bung Tomo dengan pandangan yang merayu- rayu sukma Bung Tomo. Orang-orang yang beribu-ribu itu tertawa gelak-gelak dan bersorak karena setuju dengan Bung Tomo. Pemuda-pemuda yang sudah beristri berminat dalam hatinya hendak mence- raikan istrinya setiba di rumah nanti. Tapi setelah berpikir agak panjang, katanya membujuk diri sendiri. Ah, tidak apa, istri saya pasti bukan mata-mata musuh! Mendengar sorak yang riuh-rendah itu, Bung Tomo tiba- tiba menjadi manusia lain. Banteng ketaton. Dengan suara yang besar lagi bengis itu, dicelanya perbuatan-perbuatan sekutu di Surabaya sejak hari mendaratnya. Dengan sinar mata yang menghypnotisir pendengar-pendengar dan penon- ton-penonton, digambarkannya kekejaman-kekejaman ser- dadu sekutu terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang di- tangkapnya. Dan setelah kering air ludahnya bicara, ia me- nyudahi pidatonya yang berapi-api dan yang membakar semangat itu dengan kata-kata tegas, “Kita harus memberan- tas tukang-tukang catut: tukang catut biasa, tukang catut pangkat, tukang catut peluru, tukang catut pakaian militer, dan tukang catut Inggris! Kita harus berjuang terus! Sekarang baru enam bulan, tapi kalau perlu enam puluh tahun lagi kita akan terus berjuang! Kita harus mengusir Belanda-belanda dan semua bangsa asing yang hendak menjajah kita!”17

Idrus, dengan karyanya di era revolusi dengan mantap melakukan dekonstruksi terhadap segala bentuk mitos revolusi. Revolusi kemerdekaan dengan ideologi nasionalis- menya, adalah sebuah ide besar dan mulia, nyaris suci sesuci agama.18 Namun, tidak dengan sendirinya manusia yang

17 Ibid., hal. 146-147. 18 Mengenai nasionalisme sebagai ideologi yang dianggap suci, lihat Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalis, (London: Verso, 1991), revised edition.

312 Jamal D. Rahman dkk. mengusung ide itu pun lantas jadi suci dan mulia. Tidak jarang orang-orang memanfaatkan revolusi yang mulia untuk urusan dan kepentingan yang rendah, jauh dari hal suci dan mulia. Idrus menolak pandangan korup semacam itu. Revolusi Kemerdekaan Indonesia diangkat Idrus dalam cerpen-cerpennya dengan sikap realistis, kritis, dan penuh humor serta ironi. Alih-alih dengan tutup mata pura-pura tidak tahu sambil berteriak kencang “Merdeka atau mati!”’ Idrus dalam cerpennya “Surabaya” menggambarkan situasi barak pengungsi semacam ini:

Di sebuah kota, tempat kaum pelarian terbanyak pergi, didirikan badan-badan amal dua buah bedeng. Yang satu untuk pelarian-pelarian perempuan dan yang satu lagi untuk pelarian-pelarian laki-laki tua. Badan-badan amal telah mengatur dengan sebaik-baiknya supaya kedua bedeng itu mendapat makanan yang sama. Tapi setelah pelarian-pelarian perempuan berjalan-jalan dengan pengawal bedeng di tempat gelap dan di bawah cahaya bulan kabur, pembagian makanan itu menjadi berat sebelah. Bedeng laki-laki tua memprotes ke atas dan penuh harapan mereka menunggu-nunggu hasil protesnya. Tepat keesokan harinya hasil itupun datang dan dirasai oleh laki-laki tua dan oleh setiap perut mereka: hari itu kepada bedeng laki-laki tua tidak dibagikan makanan sama sekali. Pengawal-pengawal bedeng tertawa geli dan katanya kepada laki-laki tua, “Jangan suka protes. Tiru pelarian- pelarian perempuan itu. Mereka menyerahkan diri kepada nasib dan dapat makanan berlebih-lebihan.” .... Bedeng pelarian-pelarian perempuan bertambah lama bertambah banyak dapat makanan dan cinta pengawal- pengawal. Perempuan-perempuan itu semakin hari semakin liar. Mereka sering lupa kepada suaminya yang ditinggal- kannya bertempur di Surabaya dan pergi mengecap kese- nangan dengan pengawal-pengawal ke tempat gelap. Gadis-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 313 gadis kehilangan benda berharganya di sini, tapi mereka tidak menyesal. Minggu-minggu yang akhir ini penderitaan mereka bukan main, perjalanan kaki yang berkilo-kilo panjangnya, haus dan lapar, dan waktu kesenanngan datang, itu akan mereka tolak mentah-mentah? Manusia tetap manusia. Ia mau menderita.... Di dalam bedeng, setiap hari lahir perkataan-perkataan kotor baru, dan beberapa bulan lagi bayi-bayi.19

Sekalipun pandangannya terhadap revolusi sangatlah kritis dan penuh ironi, namun penghargaannya pada para pejuang kemerdekaan sangat positif dan penuh hormat, sebagaimana terlihat di bawah ini:

Dan tawanan-tawanan perang sekutu ini melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dengan tiada mengeluh. Dari muka- nya yang tersenyum pahit dan getir itu memancar cahaya baja, baja sejati, baja kemerdekaan.20

Dengan daya kritisnya atas segala mitos dan propaganda, maka Idrus pun menyadari bahayanya stigma. Mungkin Idrus lah sastrawan indonesia pertama yang menyadari bahayanya kata dan stigma. Sebuah kata, apalagi stigma, bisa menjadi dan dijadikan aparat untuk menzalimi orang lain.21 Kita mencatat betapa banyaknya korban manusia yang diakibatkan oleh kata dan stigma. Silakan dihitung berapa banyak korban dari kata (dan stigma) komunis,

19 Op. cit., hal. 127-128. 20 Ibid., hal. 142-143. 21 Pidato Heinrich Böll dalam penerimaan hadiah sastra di Wuppertall, dengan tepat menggambarkan masalah ini: “Di belakang tiap kata berdiri suatu dunia. Tiap orang yang menggunakan kata harus menyadari bahwa ia menggoyang dunia. ... kata-kata bisa membunuh.”

314 Jamal D. Rahman dkk. kontra revolusioner, revisionis, Cina, Islam, Kristen, Katolik, Protestan, Yahudi, Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dan yang saat ini populer sekaligus banyak memakan korban: teroris dan Islam fundamentalis. Dalam cerpen “Sanyo”, Idrus meng- gambarkan bagaimana sebuah kata, yakni “Sanyo” yang tidak dimengerti maknanya oleh si penjual kacang rebus bisa digunakan orang untuk menggertak, dan bahkan pada akhir cerpen itu si penjual kacang dihadapkan pada nasib buruk semata-mata karena dia tidak tahu apa arti kata “Sanyo”. Dalam urusannya dengan bentuk realis, Idrus sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Kwee Tek Hoay. Namun, bacaan dan kiblat penulisan dalam bentuk realisme yang mereka pilih berbeda. Jika Kwee Tek Hoay mengaku berkiblat pada realisme Ibsen, maka Idrus nampaknya lebih berkiblat pada realisme Chekov. Cerpen idrus “Celana Pendek”, misalnya menunjukkan hal tersebut. Penggunaan humor gaya Chekov memang terasa pada karya-karya Idrus, dan pada karya yang ditulisnya di masa pendudukan Jepang dan terutama selepas Revolusi, humor, sinisme dan satirisme Idrus menunjukkan juga pengaruh Jaroslav Hasek, Luigi Pirandelo, dan ketangkasan Guy de Maupassant. Hal ini tidak mengherankan mengingat Idrus secara khusus pernah menulis buku Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslav Hasek, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant. Pada cerpen Jalan Lain ke Roma, misalnya, kita merasakan pemanfaatan tokoh lugu penuh ironi dari novel termasyhur Hasek, Schweik Prajurit yang Baik. Sekalipun demikian, pengaruh gaya Chekov, Hasek,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 315 Pirandello, dan de Maupassant sudah dileburnya menjadi “gaya Idrus”. Pengaruh Idrus, terutama dalam karyanya Corat-coret di Bawah Tanah, Aki, dan Surabaya, terasa sekaligus dalam dua bidang: bahasa dan sastra. Dalam bidang bahasa, pengaruh Idrus sangat terasa. Kelugasan dan kelincahan bahasa Indonesia modern tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Idrus. Penelitian yang ketat di bidang linguistik tentunya sangat diperlukan untuk melihat penggunaan bahasa Indonesia sebelum dan setelas kelahiran karya-karya Idrus, khususnya pengaruh bahasa Indonesia Idrus pada bahasa Indonesia selepas Idrus. Dalam bidang sastra, pengaruh Idrus terlihat bukan saja pada kelugasan ungkapannya, melainkan juga pada peng- gunaan humor, ironi, dan daya kritisnya. Unsur humor dan ironi Idrus dapat dirasakan mulai dari karya-karya Asrul Sani hingga Mahbub Djunaidi, dan ironi serta sarkasmenya dapat terlihat pengaruhnya pada cerpen-cerpen Joni Ariadinata. H.B. Jassin mengemukan bahwa:

Dalam hanya dua vel format oktave, Idrus telah memberikan apa yang bisa diceritakan oleh romantikus avonturir tua dan muda dalam berpuluh-puluh dan beratus- ratus halaman dengan perkataan-perkataan yang indah-indah dan merayu-rayu, tapi penuh dengan kebohongan.22

***

22 H.B. Jassin, “Pendahuluan” dalam Idrus. Op. cit.

316 Jamal D. Rahman dkk. Idrus, yang nama lengkapnya Abdullah Idrus, lahir di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921. Dia mengenal sastra sejak di bangku sekolah, terutama sekolah menengah, dan sangat rajin membaca novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Tak lama kemudian dia mulai menulis cerpen. Karena minatnya pada sastra sedemikian besar, ia memilih untuk belerja di Balai Pustaka dengan harapan dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut serta berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu terwujud. Ia berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain- lain. Namun, belakangan Idrus keluar dari Balai Pustaka dan menjadi kepala bagian pendidikan di GIA (Garuda Indonesia Airways) dari tahun 1950-1952. Karya-karya yang dihasilkan di masa itu adalah Gorda & Pesawat Terbang (1951), Kisah Wanita Termulia (1952), Dua Episode Masa Kecil (1952, kumpulan cerita). Tahun 1953 ia menjadi redaktur majalah Kisah. Di majalah ini ia juga membuat studi tentang teknik menulis beberapa sastrawan dunia terkemuka yang diterjemahkan dan diminatinya. Lahirlah kemudian buku- buku perkenalan seperti Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslav Hasek, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant. Nama-nama tersebut bukan tidak ada pengaruhnya pada Idrus. Bahkan, nama-nama inilah di antaranya yang mempengaruhi bentuk realisme yang dipilih Idrus. Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 317 mereka, Idrus pun mendapat banyak tekanan dan karya- karyanya dilarang beredar. Ia akhirnya memutuskan untuk pindah dan menetap di Malaysia. Selama di Kuala Lumpur ia tetap berkarya, melahirkan kumpulan cerpen Dengan Mata Terbuka (1961) dan novel Hati Nurani Manusia (1963). Karyanya kemudian baru boleh beredar lagi setelah peristiwa Gestapu. Ia kemudian bekerja sebagai dosen di universitas Monash Australia (1965-1979). Di sana Idrus mengajar sastra Indo- nesia modern dan menerjemahkan karya cerpen Indonesia ke bahasa Inggris. Novel terakhirnya yaitu Puteri Penelope (1973) di tulis di masa ini. Idrus mendapat gelar M.A. dari Universitas Monash tahun 1974 dan sekaligus seorang kandidat untuk gelar Ph.D yang tidak sempat ia selesaikan karena meninggal dunia. Selain sejumlah karya kreatifnya berupa drama, cerpen, dan novel, Idrus juga mewariskan karyanya berisi studi dan pengenalan sastra, yakni Teknik Mengarang Cerpen serta International Understanding Through the Study of Foreign Literature. Sebagai pengarang yang baik dan sekaligus menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Jerman) Idrus menghasilkan sejum- lah terjemahan sastra mancanegara, antara lain: Acoka, Cerita Wanita Termulia, Dari Penciptaan Kedua, Dua Episode Masa Kecil, Ibu yang Kukenang, Keju, Kereta Api Baja, Roti Kita Sehari-hari, dan lain-lain. Sosok Idrus dalam sastra modern Indonesia tidak diragu- kan lagi mutu, dampak, dan pengaruhnya, terutama setelah ia melahirkan cerita-cerita pendek dan karikaturnya yang

318 Jamal D. Rahman dkk. terkumpul dalam Corat-Coret di Bawah Tanah, yang disusul dengan Aki dan berpuncak pada Surabaya. Ketiga karya monumental tersebut ditulis Idrus bermuka-muka dengan kehidupan sehari-hari dan suasana sosial, ekonomi, politik, dan budaya Indonesia. Kepindahannya ke Malaysia dan kemudian ke Australia akibat tekanan Lekra memang masih menyisakan energi kreatif padanya. Namun, karya-karya yang ditulis Idrus di luar Indonesia tidak lagi semengesan- kan karya-karyanya yang ia tulis di dan mengenai Indonesia. Bahkan, pada karyanya yang akhir, yakni Putri Penelope, kita nyaris kehilangan semua kecanggihan, kelugasan, ironi, dan daya humor khas Idrus yang memukau itu. Sekalipun demikian, sosoknya sebagai sastrawan terkemuka dan ber- pengaruh tidaklah pernah tergoyahkan.[]

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 319 320 Jamal D. Rahman dkk. Mochtar Lubis Melawan Takut

JAMAL D. RAHMAN

Tiap orang punya ketakutan sendiri, dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya. (Mochtar Lubis, 2002: 163)

ochtar Lubis sedang ditahan di Rumah Tahanan MMiliter (RTM) Madiun, Jawa Timur, ketika novelnya Twilight in Jakarta terbit di London, Inggris, 1963. Dia masih ditahan di tahanan itu juga —bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain— ketika tahun berikutnya novel yang sama terbit di Amerika Serikat. Novel Mochtar Lubis yang diterjemahkan Claire Holt itu merupakan buku pertama dari serial terbitan Congress for Cultural Freedom (CCF) dalam proyek Suara-suara Baru dalam Terjemahan, yang mencakup karya para pengarang Dunia Ketiga. CCF adalah organisasi budaya internasional yang dalam suasana Perang Dingin sangat berpengaruh, dibentuk di Berlin, Jerman, pada tahun 1950 atas sokongan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 321 diam-diam Amerika Serikat. Mochtar Lubis bergabung dengan organisasi ini sejak 1954. Dalam waktu relatif singkat novel tersebut kemudian terbit dalam berbagai bahasa lain, di antaranya Belanda, Spanyol, Korea, dan Italia. Di Indone- sia, novel tersebut baru terbit pada tahun 1970 dengan judul Senja di Jakarta. Penerbitan Twilight in Jakarta membuat Mochtar Lubis dikenal di mata internasional sebagai sastrawan yang dipenjara oleh rezim otoriter. Dia adalah seorang pengarang yang tertindas, dan dalam tekanan politik yang berat tidak saja berjuang untuk merebut kembali kebebasan dan kemerdekaannya, melainkan juga untuk terus berkarya. Dengan itu dia adalah novelis Indonesia pertama yang berbicara kepada dunia tentang penindasan yang diderita seorang pengarang Dunia Ketiga di bawah rezim otoriter pengarang itu sendiri, satu hal yang baru dilampaui Pramoedya Ananta Toer, lawan politik dan ideologinya, dua dasawarsa kemudian. Dengan relasi internasionalnya yang relatif luas, dukungan moral dan protes atas penahanannya dari beberapa komunitas dan lembaga internasional sudah diberikan hampir sepanjang masa penahanannya bahkan sejak sebelum Twilight in Jakarta terbit. Di masa Orde Lama Mochtar Lubis ditahan dua kali, semuanya tanpa proses pengadilan. Penahanan pertama berlangsung sejak 21 Desember 1956 sampai 26 April 1961. Penahanan kedua dari 14 Juli 1961 sampai 17 Mei 1966. Dengan demikian, ketika Twilight in Jakarta terbit, dia sedang dipenjara untuk kedua kalinya. Selama menjalani masa tahanan, dia tetap menulis baik tajuk rencana, artikel, catatan

322 Jamal D. Rahman dkk. harian, atau karya sastra. Novel Senja di Jakarta ditulis Mochtar ketika dia menajalani masa tahanan rumah dalam penahanannya yang pertama. Bahwa ketika Twilight in Jakarta terbit di Inggris (1963) dan Amerika (1964) penulisnya masih dipenjara (untuk keduanya kalinya), pastilah hal itu menambah bobot bahwa sang pengarang benar-benar tertin- das di bawah rezim otoriter, di Dunia Ketiga. Dengan kata lain, novel itu ditulis ketika penulisnya menjalani hukuman sebagai tahanan rumah, dan terbit ketika penulisnya sekali lagi menjalani hukuman sebagai tahanan politik yang dipen- jara di Rumah Tahanan Militer nun jauh di Madiun, Jawa Timur, dipisahkan dari istri dan anak-anaknya di Jakarta. Perlu digarisbawahi: seorang sipil ditahan di penjara militer. Karena tanpa proses pengadilan, tak jelas benar alasan penahanannya. Tapi bisa dipastikan bahwa penahanannya yang pertama berkaitan dengan laporan-laporan koran Indonesia Raya di mana Mochtar Lubis duduk sebagai pemimpin redak- sinya sejak koran itu terbit di tahun 1950.1 Sejak paruh

1 Mochtar Lubis adalah juga wartawan yang gigih dan tak kenal kompromi menyangkut prinsip-prinsip moral yang diyakininya, di mana dia menanggung risiko mental dan fisik lewat serangkaian interogasi dan penahanan. Sebagai wartawan dia menekankan investigasi untuk laporan-laporan jurnalistik. Lewat koran Indonesia Raya yang dipimpinnya, dia membongkar kebusukan-kebusukan moral di lingkaran elit politik dan mengemukakan keberatannya atas kebijakan politik yang menurutnya keliru, baik di zaman Orde Lama maupun Orde Baru (tentang ini lihat David T. Hill [2011]). Di samping itu, dia adalah generasi Indonesia awal untuk wartawan perang, yang terjun langsung ke medan Perang Korea, 1950. Mochtar Lubis (2010a [1951]) mencatat secara cukup rinci apa yang dilihatnya di medan perang, terutama tentang korban-korban kemanusiaannya yang mengerikan. Tambahan lagi, salah satu musuh utama Mochtar Lubis adalah korupsi, yang menjadi perhatiannya hampir sepanjang hidupnya, baik lewat pers yang dipimpinnya, karya sastranya, maupun publikasi-publikasi lain yang mungkin dilakukannya (tentang ini lihat Mansyur Semma [2008]).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 323 pertama 1950-an, dengan gencar koran itu membongkar hal-hal sensitif (dan sebagiannya sensasional) di pusat-pusat kekuasaan politik. Ia menginvestigasi perkawinan rahasia Presiden Soekarno dengan Hartini Suwondo, seorang Salatiga, Jawa Tengah, satu hal yang tentu sangat memalu- kan sang presiden. Ia juga menginvestigasi panitia Konferensi Asia Afrika yang ternyata menyediakan pelacur bagi para tamu peserta Konferensi. Juga membongkar suap yang diterima Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Di samping itu, koran tersebut menunjukkan keberpihakannya pada satu faksi dan penolakannya yang tegas pada faksi lain dalam konflik internal militer. Sikap keras bahkan kecaman ter- bukanya ditujukan terutama kepada Presiden Soekarno dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) AH Nasution, khusus- nya dalam menyikapi ketidakpuasan dan pemberontakan daerah kepada Jakarta. Dengan demikian dia dituduh bersekongkol dengan daerah, termasuk kekuatan militernya, dalam merongrong dan bahkan menyulut pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat. Adapun penangkapannya yang kedua, yang terjadi hanya dua setengah bulan setelah dia dibebaskan dari penahan- annya yang pertama, berkaitan dengan pidatonya di kongres Institut Pers Internasional (IPI) di Tel Aviv, 30 Mei sampai 1 Juni 1961. Di situ dia berbicara tentang peranan pers dan apa yang mesti dilakukannya di tengah persaingan demo- krasi dan totalitarianisme di dunia. Menurutnya (dikutip dari David T. Hill, 2011: 81), propaganda komunis merupakan ancaman terhadap demokrasi, dan ada kecenderungan pemimpin nasional dengan mudah mengorbankan prinsip-

324 Jamal D. Rahman dkk. prinsip kebebasan berekspresi dan demokrasi selagi mereka memandang pada sistem-sistem totaliter sebagai contoh bagi negara-negara mereka. Maka, pers “harus memenangkan perjuangan rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan... [karena] api kemerdekaan tak pernah bisa ditindas.” Lebih jauh dikatakannya, satu-satunya cara para korban bisa lolos dari penindasan terhadap demokrasi “ialah dengan tidak mengorbankan butir terkecil apapun prinsipnya, dengan tidak berkompromi”. Pidatonya ini rupanya ditafsirkan seba- gai menyerang Manipol/ USDEK Soekarno, ideologi Orde Lama yang tak bisa ditawar. Maka, sepulang dari Tel Aviv dan tiba di bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, paspor Mochtar disita, dan selanjutnya dia menjalani serang-kaian interogasi, hingga akhirnya ditahan lagi pada 14 Juli 1961. Bagaimanapun, masalah sesungguhnya tentu sangat kompleks, dan akan tetap merupakan teka-teki dan dugaan yang sulit dipastikan. Mochtar Lubis sendiri percaya ada tangan komunis di balik penangkapannya, karena penolak- annya yang terus terang dan tiada ampun terhadap komunisme. Hal itu tak berlebihan, mengingat kedekatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Presiden Soekarno —dan keduanya merupakan sasaran kritik dan perlawanan Mochtar Lubis pula.

Reputasi Internasional Sebenarnya tak ada hubungan langsung antara novel Mochtar Lubis dan penahanannya. Dia dipenjara bukan karena karya sastranya atau dalam kapasitasnya sebagai sastrawan, melainkan karena tindakannya sebagai

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 325 wartawan —dan kelak berulang lagi di zaman Orde Baru.2 Tetapi fakta bahwa novel Senja di Jakarta ditulis ketika Mochtar Lubis masih menjalani masa tahanan rumah di tahun 1957, dan versi Inggrisnya terbit di Inggris dan Amerika ketika dia masih dipenjara, telah memberinya suatu keyakinan: perjuangannya menegakkan moral politik, membela demokrasi dan hak asasi manusia, melawan korupsi dan berbagai kejahatan ekonomi-politik, dan lain sebagainya demi mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan, telah dilakukannya lewat segenap sumber daya yang dimilikinya, terutama lewat profesinya sebagai wartawan dan sastrawan. Lebih dari itu, ia telah memberinya keyakinan bahwa dia kini tidak saja menyampaikan gagasan, prinsip, dan keyakinannya kepada bangsanya sendiri, melainkan juga kepada dunia internasional. Apapun anggapan dan imajinasi dunia inter- nasional tentang Mochtar Lubis dan karya sastranya berikut posisinya sebagai seorang pengarang yang dipenjara, pastilah

2 Setelah tak terbit sejak akhir 1950-an yang disebabkan oleh perbedaan strategi perjuangan di internal Indonesia Raya akibat tekanan politik Orde Lama, koran itu terbit lagi dengan harapan-harapan baru setelah Orde Lama tumbang, atas sokongan Orde Baru. Mochtar Lubis tetap duduk sebagai pemimpin redaksi. Namun gaya dan sikap Indonesia Raya, yang mencerminkan gaya dan sikap Mochtar Lubis, tak berubah: sangat kritis secara terang-terangan terhadap penyimpangan dan kebijakan politik dan ekonomi yang dipandangnya keliru, di antaranya menyangkut kebijakan ekonomi yang lebih menguntungkan pengusaha Tionghoa, korupsi di Pertamina, dan kebijakan penanaman modal asing. Menyusul kerusuhan dalam demosntrasi mahasiswa menentang investasi asing pada 15 Januari 1974 (yang kemudian dikenal dengan Malari, Malapetaka Limabelas Januari), bersama media cetak Harian KAMI, Abadi, dan The Jakarta Times, surat izin terbit Indonesia Raya dicabut. Dan, pada 4 Februari 1975, Mochtar Lubis ditangkap lalu ditahan selama hampir dua setengah bulan (David T. Hill, 2011: 143-150; untuk catatan harian Mochtar Lubis selama dalam penjara Orde Baru, lihat Mochtar Lubis, 2008).

326 Jamal D. Rahman dkk. hal itu mengukuhkan reputasi internasionalnya, yang menambah bobot dan lingkup pengaruh sosial, politik, dan budayanya di Indonesia. Bagaimanapun, melalui Twilight in Jakarta Mochtar Lubis seakan melaporkan situasi dan perkembangan politik di Indonesia, khususnya Jakarta tahun 1950-an, yang akan membuat pembaca internasionalnya memahami —tanpa menyetujui— penahanan sang pengarang. Dia mengisahkan situasi buruk dalam politik negaranya, membongkar borok- borok korupsinya, kebusukan praktek bisnisnya, dan kejahatan para politisi partai dan petinggi negara di tengah kebanyakan rakyatnya yang sengsara. Novel itu melukiskan bagaimana para elit partai bersekongkol dengan pejabat negara dalam mendapatkan lisensi impor kebutuhan pokok, dengan cara membuat perusahaan-perusahaan fiktif, untuk mendapatkan dana demi pemenangan partai dalam pemilu. Pendeknya, novel itu berbicara tentang persekongkolan elit partai politik dan pejabat negara yang bersifat gelap mata dan sungguh keterlaluan dalam kerakusan paling kemaruk dalam mengeruk kekayaan demi kepentingan partai dan pribadi, di hadapan mata telanjang berjuta rakyat yang menderita —tema yang tetap relevan tidak saja untuk Indonesia di zaman Orde Lama dan Orde Baru, melainkan juga dan lebih-lebih di zaman Reformasi kini. Dan sejauh itu, dengan reputasinya yang tak kenal kompromi menyangkut prinsip-prinsip yang diyakininya terutama sebagai wartawan, dia adalah juga sastrawan dengan reputasi yang sudah kukuh pula. Meskipun sejak memimpin Indonesia Raya dia lebih banyak disibukkan oleh

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 327 tugas-tugas jurnalistik, bagaimanapun dia telah dikenal sebagai sastrawan lewat sejumlah cerpen yang dimuat di beberapa media cetak dan dua novelnya yang —betapapun dipandang mengandung kelemahan— secara umum men- dapat penilaian positif dari kritikus sastra. Dua novelnya yang sudah terbit sampai saat itu adalah Tidak Ada Esok (1950) dan Jalan Tak Ada Ujung (1952). Sementara, cerpen-cerpen- nya yang tersebar di berbagai media dikumpulkan dalam buku Perempuan (1956). Tentang Tidak Ada Esok, di tahun 1950 H.B. Jassin m.emberikan penilaiannya (1967: 198):

Komposisi cerita gerak yang spontan, kejadian yang satu terjadi di samping kejadian yang lain, jalinan jiwa tidak susup- menyusup seperti nyawa dalam tubuh, hingga ketegangan agak kendor, hanya tergantung pada menarik-tidaknya soal- soal satu-satu pada sesaat-sesaat yang diceritakan, dan dalam hal ini untunglah ada kecakapan pengarang dalam mengemu- kakan kelir sejarah, masyarakat, kadang-kadang dibumbui pandangan falsafi, sekali-sekali anekdot yang lucu, ditambah pula oleh gaya bahasa kepenyairan. Menarik hati apa yang diceritakannya tentang pengalaman Johan dengan uninya Syarifah, bayangan masyarakat kolonial tatkala Johan pertama kali mulai kerja di kantor maskapai Belanda sebelum perang sebagai keluaran AMS yang dibedakan dengan Belanda-Belanda keluaran HBS.... (Ejaan disesuaikan, JDR).

Selanjutnya, A. Teeuw (1955) membicarakan dua novel Mochtar Lubis tersebut, dan sebagaimana Jassin, mengemu- kakan kesannya yang kurang puas terutama terhadap Tidak Ada Esok. Hal itu antara lain karena “gaya bahasanya sering menyerupai gaya laporan (jurnalistik), dan oleh sebab itu agak dingin suasananya dan sebagai ditulis dari jarak yang jauh.” Tapi bagaimanapun, katanya, “ada juga gaya men- dahsyatkan justru dalam suasana yang dibuat-buat bersifat

328 Jamal D. Rahman dkk. dingin ini, dan oleh sebab itu seringkali timbul keasyikan yang hebat.” Membandingkan Tidak Ada Esok dengan Jalan Tak Ada Ujung,Teeuw akhirnya lebih memilih yang kedua tinimbang yang pertama, sebab “kesatuan komposisinya lebih kuat terpelihara.” Novel itu, katanya, “amat meng- asyikkan dan mengharukan saya.” Lebih lanjut Teeuw (1955: 152) menulis:

Dengan alat-alat yang amat sederhana saja dapat Mochtar Lubis membawakan ke hadapan kita manusia ini [Guru Isa], di dalam masanya, dan sebagai korban masanya; gaya bahasanya dalam buku [Jalan Tak Ada Ujung] ini sudah tentu tidak lagi menjadi alangan bagi melaksanakan tujuan keseniannya, lebih tepat jika dikatakan bahwa di sini terletak di hadapan kita sebingkah kesusastraan murni yang utuh. (Ejaan disesuaikan, JDR).

Sementara itu, M.S. Hutagalung membicarakan novel Jalan Tak Ada Ujung dalam buku khusus berjudul Djalan Tak Ada Udjung Mochtar Lubis (1961). Membicarakan juga cerpen-cerpen Mochtar Lubis secara sekilas, di sini Hutagalung membahas novel tersebut secara relatif luas dari sudut pandang psikoanalisa, filsafat eksistensialisme, dan sosiologi. Dibicarakan juga segi perwatakan (penokohan) dan gaya bahasa Mochtar Lubis. Meskipun pada akhirnya Hutagalung menyatakan bahwa dengan novel ini Mochtar Lubis belum memberikan yang terbaik dari dirinya —sebuah pernyataan yang lebih merupakan harapan tinimbang penilaian—, ia menilai bahwa dilihat dari keseluruhannya Jalan Tak Ada Ujung merupakan novel yang berhasil. Mengutip Hutagalung (1961: 80):

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 329 Saya rasa tema cerita Jalan Tak Ada Ujung, mengenai perjuangan manusia melawan takut adalah umum disukai manusia, sebab semua manusia mempunyai rasa takut. Manusia ingin mengetahui tentang dirinya sendiri. Soal-soal seksual yang banyak terdapat dalam buku ini akan terus menarik tua dan muda. Mengenai teknik ... dengan pendek dapat saya sebutkan bahwa kita dapat merasakan cerita yang menarik perhatian kita terus-menerus. Mengenai keaslian, biarpun Mochtar ternyata banyak mendapat pengaruh, karena ia dapat mengucapkannya sebagai kepunyaan sendiri, kita dapat mengatakan ceritanya adalah asli. (Ejaan disesuaikan, JDR)

Lebih dari itu, Mochtar Lubis telah mendapat sejumlah penghargaan pula. Novelnya Jalan Tak Ada Ujung (1952) memenangkan penghargaan novel terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), 1952. Cerpen “Angin Musim Gugur” (kemudian dimuat dalam buku kumpulan cerpennya Perempuan [1956]) memenangkan hadiah majalah Kisah, 1953. Buku kumpulan cerpen Perempuan (1956) mendapatkan hadiah dari BMKN, 1956. Dan pada Agustus 1958, ketika masih terhukum sebagai tahanan rumah, Mochtar Lubis menerima Hadiah Ramon Magsaysay dari Filipina untuk bidang jurnalisme, sastra, dan komunikasi kreatif, sebuah penghargaan prestisius untuk keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi di tingkat Asia. Mochtar baru menerima penghargaan itu di tahun 1966 setelah bebas dari tahanan Orde Lama. Dengan penilaian positif para kritikus sastra berikut beberapa penghargaan ini, maka jelas posisi Mochtar Lubis sebagai sastrawan sudah sedemikian mantap ketika profesinya tampak sangat menonjol sebagai wartawan. Selanjutnya, dia kian meman-

330 Jamal D. Rahman dkk. tapkan posisinya sebagai sastrawan lewat novel-novel yang ditulisnya kemudian, terutama Harimau! Harimau! (1975) dan Maut dan Cinta (1977). Harimau! Harimau! mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama (1975), sedangkan Maut dan Cinta (1971) mendapat penghargaan dari Yayasan Jaya Raya, 1971. Lalu, di tahun 1992 dia meraih Penghar- gaan Sastra Chairil Anwar dari Gubernur DKI Jakarta. Dan, karya-karyanya terus menjadi perhatian kritikus (misalnya Sri Rahayu Prihatmi, 1990). Dengan demikian, setidaknya sejak paruh pertama 1960- an, Mochtar Lubis sudah menyandang reputasi nasional dan bahkan internasional baik sebagai wartawan maupun sastrawan, dua profesi yang —dalam kasus Mochtar Lubis— sesungguhnya tak bisa benar-benar dipisahkan. Perlu ditambahkan pula bahwa di tahun 1968, Jalan Tak Ada Ujung diterjemahkan (oleh A.H. John) ke dalam bahasa Inggris, yang tentu saja memperkuat reputasi internasional- nya. Dengan reputasinya yang begitu meyakinkan, Mochtar Lubis telah memastikan diri sebagai pribadi yang kokoh dalam memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan demo- krasi, dan sebaliknya dalam melawan kezaliman, ketidak- adilan, kebobrokan moral, otoritarianisme, dan sejenisnya. Dalam perjuangannya, sang pengarang telah menggunakan sumber daya utama yang dimilikinya, termasuk sastra, tanpa karya sastranya terjatuh menjadi jargon politik. Sampai batas dan dengan penafsiran tertentu, novel-novel Mochtar Lubis menyuarakan gagasan-gagasan yang diperjuangkannya, misalnya Senja di Jakarta seperti telah dikemukakan di atas. Bahkan Jalan Tak Ada Ujung,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 331 novelnya yang dari segi tema tidak langsung berkaitan dengan apa yang secara umum diperjuangkan Mochtar, tetap menyiratkan gagasan pokok yang diperjuangkannya. Di antara novel-novel Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung paling meyakinkan khususnya dalam menggali dimensi- dimensi psikologis manusia di hadapan pergolakan hidup yang dihadapinya. Adalah Guru Isa, seorang guru berjiwa lembut, suka musik, impoten, dan antikekerasan. Hazil, kawan akrabnya yang juga suka musik, sering datang ke rumah Guru Isa, termasuk ketika sang guru tidak di rumah. Sampai akhirnya Hazil selingkuh dengan istri Guru Isa bahkan di kamar Guru Isa sendiri. Dapatlah dibayangkan konflik batin Guru Isa sebagai seorang guru dan mengidap impotensi ketika tahu perselingkuhan itu. Dia tentu marah, tetapi segera sadar bahwa dia tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis istrinya, dan sang istri bagaimanapun tetap mencintainya. Bagaimanakah perasaan Guru Isa menerima kenyataan bahwa sang istri selingkuh dengan kawan dekat yang dipercayainya, di kamar tidurnya sendiri pula, dan dia seorang guru, dan sadar bahwa dia impoten? Tetapi dimensi psikologis yang lebih kompleks dan relevan dengan perjuangan Mochtar Lubis adalah riwayat Guru Isa yang antikekerasan namun harus terjun ke tengah revolusi fisik, ke tengah gelanggang kekerasan. Dia bertugas sebagai pengirim senjata untuk perjuangan melawan Belanda. Sang guru menjalankan tugasnya dengan baik, namun dengan rasa takut luar biasa. Guru Isa selalu dihantui oleh perasaan takut yang mencekam, apalagi tugas yang dijalankannya memang sangat berbahaya. Sampai suatu ketika Guru Isa

332 Jamal D. Rahman dkk. dan Hazil ditangkap Belanda, diinterogasi, dan disiksa. Ketakutan Guru Isa memuncak. Tetapi justru dengan ketakutan yang memuncak itulah Guru Isa tak takut lagi terhadap berbagai siksaan yang mungkin dialaminya lagi. Di puncak ketakutan itu, Guru Isa justru berhasil melawan dan mengalahkan ketakutannya sendiri. Dia menemukan kebebasannya. Mochtar Lubis (2002: 164) melukiskan perasaan Guru Isa:

.... Dia telah menguasai dirinya sendiri. Tiada benar dia tidak merasa takut lagi. Tetapi dia telah damai dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan akutnya. Dan ketika pada suatu pagi Guru Isa terbangun, — apabilakah itu? Waktu tidak ada artinya dalam kamar tempat waktu telah berhenti mengalir itu— merasa darah mengalir segar dan panas di seluruh tubuhnya, seluruh urat-uratnya keras, kuat dan panas, maka dia tahu... dan dia merasa amat berbahagia. Kelaki-lakiannya telah kembali! Dan dia ingin melompat dan berteriak menyatakan kebahagiaannya kepada seluruh dunia.... Dan ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar..., dia merasa damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Di telah bebas.

Mengalahkan ketakutan diri sendiri. Merasa damai dalam ketakutan sendiri. Inilah gagasan inti yang sejalan dengan perjuangan Mochtar Lubis. Perjuangan bagaimanapun menanggung risiko, dan seorang pejuang dihadapkan pada risiko paling berat yang mungkin dan mesti diterimanya. Adalah manusiawi bila seorang pejuang dihantui oleh perasaan takut dalam perjuangannya. Pun seorang Mochtar Lubis. Katanya (dalam M.S. Hutagalung, 1961: 13), “Ya, saya

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 333 dianggap berani. Tetapi saya juga mempunyai rasa takut. Saya takut ditembak, takut dipenjarakan.... Saya selalu menentang yang batil. Ketika hendak menentang memang ketakutan datang menyelinap ke dalam diri. Tetapi biasanya prinsiplah yang menang.” Ya, seorang pejuang sadar bahwa dia harus mengalahkan perasaan takutnya sendiri, sebab dengan itulah dia akan meraih kemenangan moral bahkan meskipun perjuangannya tidak membuahkan hasil yang diinginkannya. Sebagaimana telah ditunjukkan, Mochtar Lubis membuktikan bahwa dia berhasil melawan dan mengalahkan ketakutannya sendiri dalam perjuangannya membongkar korupsi dan lain sebagainya. Dengan itu semua, sepak terjang Mochtar Lubis telah memberikan dampak dan pengaruh cukup luas baik secara sosial, politik, maupun budaya.

Dua Lembaga, Dua Isu Lahir di di Padang, 7 Maret 1922, Mochtar Lubis tumbuh dengan berbagai minat dan hobi, yang hampir semua dijalaninya dengan penuh ketekunan: melukis, mematung, memelihara tanaman hias terutama anggrek, membuat film, dan jadi penerbang —dia memiliki lisensi, semacam surat izin mengemudi, penerbang dengan pesawat udara Piper Cub. Dengan tinggi 1.85 meter, dia juga suka olahraga, main karate, tenis, dan yoga. Tapi bagaimanapun minat dan perhatian utamanya adalah kebudayaan dan politik, dan belakangan memiliki perhatian pula terhadap isu-isu global seperti masalah lingkungan. Maka sosok Mochtar Lubis sebenarnya tak bisa direduksi sebagai tokoh sastra belaka.

334 Jamal D. Rahman dkk. Dia adalah intelektual publik yang memberikan hampir seluruh perhatiannya demi kemaslahatan umat manusia, demi kebaikan dan kemajuan bangsanya. Dia telah menulis dan menyusun lebih dari 30 buku, meliputi karya sastra (cerpen dan novel), laporan jurnalistik, kumpulan esai tentang kebudayaan, catatan harian dalam penjara, sadur- an, terjemahan, dan tuntunan mengarang. Yang tak kalah penting adalah hal-hal strategis yang dilakukannya, yang memberikan dampak lebih luas dan panjang tidak saja terhadap kehidupan sastra, melainkan juga terhadap kehi- dupan kebudayaan dan intelektual Indonesia secara umum. Misalnya apa yang dilakukannya sebagai Anggota dan kemudian Ketua Akademi Jakarta, lembaga yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta untuk memilih anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) secara independen. Tapi yang paling penting dalam kaitan ini, di mana Mochtar Lubis memberi- kan pengaruhnya bahkan secara langsung, adalah dua lem- baga yang didirikannya, yaitu Horison dan Yayasan Obor Indonesia, dan dua isu yang dilontarkannya, yaitu pidato tentang manusia Indonesia dan pengembalian Hadiah Ramon Magsaysay. Horison. Dia pendiri Horison, majalah sastra yang terbit perdana Juli 1966. Dan di antara para pendiri lain (P.K. Ojong, Zaini, Taufiq Ismail, dan Arief Budiman), dia paling senior. Dalam “Kata Perkenalan” Horison edisi perdana, Mochtar Lubis (1966) menulis, “Majalah Horison kami lancarkan ke tengah masyarakat kita di tengah-tengah suasana kebangkitan baru semangat untuk memperjuang- kan kembali semua nilai-nilai demokratis dan kemerdekaan-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 335 kemerdekaan manusia, martabat manusia Indonesia.” Lebih jauh dikatakannya pula, “Horison juga ingin mengembangkan kesadaran yang teguh, bahwa dunia dan umat manusia adalah satu. Dan kita mesti mengem-bangkan hubungan antara bangsa-bangsa dan perseorangan di dunia ini sebanyak mungkin dan seerat mungkin, agar dapat diciptakan kerja sama, pengertian, dan saling-meng-hargai yang bertambah- tambah besar dalam segala bidang penghidupan manusia, untuk mencapai persaudaraan dan perdamaian, serta kebahagiaan seluruh umat mansuia.” Horison kemudian berkembang sebagai majalah sastra yang sangat berpengaruh, dengan pembaruan-pembaruan yang dilakukan para sastrawan Indonesia terkemuka. Dan sejak 1996, majalah ini memperluas jangkauan pengaruhnya dengan masuk ke dunia pendidikan di seluruh Indonesia. Mochtar Lubis memimpin majalah ini hingga akhir hayatnya, 2004. Dan Horison tetap terbit setiap bulan hingga sekarang setelah hampir 10 tahun kepergiannya, sehingga ia meru-pakan majalah sastra paling tua dan berumur paling panjang di Indonesia.3 Yayasan Obor Indonesia. Dia juga pendiri Yayasan Obor Indonesia, 1970, bersama P.K. Ojong (1920-1980) dan Jacob Oetama. Yayasan ini bergerak di bidang penerbitan buku, khususnya penerjemahan buku-buku humaniora dan hak asasi manusia ke dalam bahasa Indonesia. Melalui Obor, Mochtar Lubis mewujudkan obsesinya untuk memperkenal- kan sastra dunia kepada masyarakat Indonesia. Obor adalah

3 Untuk pembicaraan lebih jauh tentang Mochtar Lubis dan Horison, lihat David T. Hill (2011: 151-162) dan Taufiq Ismail (2004).

336 Jamal D. Rahman dkk. penerbit terdepan di bidang ini. Ia menerbitkan terjemahan karya sastra dunia, baik dari negara-negara maju maupun Dunia Ketiga, baik Barat maupun Timur. Di samping itu, melalui Obor yang dipimpinnya, Mochtar menunjukkan minat dan perhatiannya pada isu-isu hak asasi manusia, demokrasi, dan masalah lingkungan. Dia menulis pengantar hampir semua terjemahan buku dengan tema-tema global tersebut. Dan, hampir semua buku Mochtar Lubis sendiri kemudian diterbitkan oleh Obor. Dalam menjalankan programnya, Obor bekerja sama terutama dengan lembaga- lembaga asing dengan tetap menjaga independensinya. Hal itu membuat buku-buku terbitannya relatif terjangkau. Terus aktif hingga sekarang di bidang penerbitan buku, Yayasan Obor Indonesia jelas telah memperkaya wacana dan kesadaran kaum intelektual Indonesia, khususnya me- nyangkut sastra dunia dan isu-isu global.4 Manusia Indonesia. Pada tanggal 6 April 1977, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Mochtar Lubis menyam- paikan ceramah yang kemudian menghebohkan. Ceramah itu bertajuk “Kondisi dan Situasi Manusia Indonesia Kini, Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai/Manusia”.5 Dalam ceramah setebal 78 halaman itu, Mochtar Lubis (2001)

4 Untuk pembicaraan lebih jauh tentang Mochtar Lubis dan Yayasan Obor Indonesia, lihat David T. Hill (2011: 168-173) dan Toeti Heraty (2004). 5 Makalah Mochtar Lubis digandakan secara terbatas untuk keperluan acara ceramah di TIM, dan baru belakangan terbit sebagai buku dengan judul Manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 2001). Setelah terbit sebagai buku, Manusia Indonesia memuat juga beberapa artikel —jadi, tidak semua— tanggapan atas ceramah Mochtar Lubis dan tanggapan Mochtar Lubis atas tanggapan-tanggapan tersebut.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 337 dengan gaya terus terang dan blak-blakan menggarisbawahi 6 ciri manusia Indonesia: (1) hipokritis alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya, (3) berjiwa feodal sehingga cenderung asal bapak senang (ABS), (4) percaya pada takhayul, (5) berjiwa artistik, yang dengan kepercayaan atau keyakinan dan kedekatan dengan alam melahirkan karya seni yang tinggi, (6) berwatak lemah dalam mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya. Di samping itu, Mochtar juga menyebutkan ciri-ciri lain manusia Indonesia, yaitu tidak hemat, tidak bekerja keras, kurang sabar, cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia, gampang senang dan bangga pada yang hampa-hampa, cenderung bermalas- malas, dan tukang tiru. Dikatakannya pula bahwa manusia Indonesia adalah manusia-sok: kalau berkuasa mabuk- kuasa; kalau kaya mabuk-harta. Dari semua ciri itu, sudah tentu ciri artistik merupakan hal yang menarik perhatiannya. Katanya (2001: 33), “Bagi saya, ciri artistik manusia Indonesia adalah yang paling menarik dan mempesonakan, dan merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia Indonesia.” Di samping itu, Mochtar melihat sisi-sisi positif lain pada manusia Indonesia. Menurutnya, jauh dalam jiwa manusia Indonesia masih hidup kemesraan hubungan manusia dengan manusia lain, kasih ibu dan bapak pada anak- anaknya dan sebaliknya, berhati lembut dan suka damai, dan cepat belajar. Tentu saja, sisi-sisi positif ini merupakan modal untuk membangun masa depan manusia Indonesia.

338 Jamal D. Rahman dkk. Ceramah Mochtar Lubis diliput beberapa media cetak, dan memancing polemik. Sarlito Wirawan Sarwono (2001), misalnya, menyayangkan ceramah Mochtar hanya merupa- kan kesan subjektif dan tidak didasarkan pada penelitian ilmiah. Dikatakannya juga bahwa sifat-sifat buruk manusia Indonesia yang digambarkan Mochtar sesungguhnya meru- pakan sifat-sifat buruk pada manusia mana saja. Lebih dari itu, ciri-ciri negatif manusia Indonesia itu jelas tidak bisa diberlakukan umum. Tidak semua manusia Indonesia munafik, sebagaimana juga tidak semua manusia Indonesia bersikap feodal. Dia mencontohkan, seorang ibu warung berani memarahi mahasiswa yang mencorat-coret meja warungnya. Demikian juga tidak semua manusia Indonesia malas, seperti para petani yang bekerja keras, rajin, dan ulet. Sementara itu, Margono Djojohadikusumo (2001) me- nyatakan bahwa sebagai orang Jawa dia tersinggung dengan pidato Mochtar, khususnya menyangkut pandangan Mochtar tentang feodalisme Jawa yang sepenuhnya negatif. Menurut Margono, pidato Mochtar itu “dapat menimbulkan gejala seolah-olah Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia dalam kepribadiannya anti suku Jawa.” Nilai-nilai Jawa bagaimanapun tidaklah negatif, dan, sebagaimana tercer- min dari pengalaman keluarganya, orang Jawa jelas mewa- risi nilai-nilai tersebut. Kebudayaan Jawa menjunjung tinggi misalnya nilai sepi ing pamrih. Dan, untuk tujuan yang sama kebudayaan Jawa memiliki cara yang khas Jawa, yang mungkin berbeda dengan cara kebudayaan lain. Dicontoh- kannya, menghadapi orang yang keringat atau badannya bau, seseorang dengan terus terang mungkin mengatakan,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 339 “Kamu jangan dekat-dekat saya, keringatmu bau.” Tapi orang Jawa akan mengatakan, “Baiklah Saudara minum kencur atau pakai bedak apu (kapur sirih) untuk menyegar- kan badan Saudara.” Inti atau maksud dua perkataan terse- but sama, namun cara Jawa tidak menyinggung perasaan yang bersangkutan. Tanggapan-tanggapan lain, misalnya dari Wildan Yatim (2001) dan Abu Hanifah (2001), memberikan konteks sosial dan politik serta sumber-sumber yang lebih kaya atas gagas- an Mochtar Lubis. Secara implisit mereka memahami bah- kan setuju dengan moral gagasan Mochtar yang keras dan lantas. Mochtar Lubis (2001b, 2001c, 2001d) menjawab tangga- pan-tanggapan tersebut langsung ke jantung persoalan yang dikemukakan penanggapnya. Terhadap Sarlito Wirawan Sarwono dikatakannya bahwa sudah jelas dia berbicara tentang manusia Indonesia, bukan manusia lain di mana pun. Kalau terdapat hal-hal yang sama pada manusia di negara lain dengan manusia Indonesia, hal itu tidaklah membantah apa yang dikatakannya tentang manusia Indo- nesia. Juga, tak perlu dikatakan bahwa ada pengecualian manusia Indonesia tertentu dalam apa yang secara umum dikatakannya sebagai ciri manusia Indonesia. Terhadap tanggapan Margono Djojohadikusumo, Mochtar mengata- kan bahwa dalam makalahnya tidak ada pendapat yang dapat dipandang sebagai anti-Jawa. Kritik yang keras ter- hadap feodalisme Jawa sama kerasnya dengan kritiknya terhadap feodalisme Melayu dan suku-suku Indonesia yang lain. Akhirnya, Mochtar Lubis mengarahkan tanggapannya

340 Jamal D. Rahman dkk. untuk memikir-kan manusia Indonesia ke depan. “Saya memberikan lukisan yang suram, tetapi saya tidak melihat hari depan manusia dengan mata yang suram,” katanya. Semangatnya adalah “bagaimana memperbaiki manusia dan masyarkat kita dengan sumber kekuatan-kekuatan yang ada di dalam negeri kita dan dalam diri kita sendiri.” Hadiah Magsaysay. Pada tanggal 9 Juli 1995, Yayasan Hadiah Ramon Magsaysay, Filipina, mengumumkan bahwa yayasan tersebut akan memberikan penghargaan kepada Pramoedya Ananta Toer. Pengumuman itu kontan mendapat reaksi dari sejumlah sastrawan, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Dua puluh hari kemudian, tepatnya pada 29 Juli 1995, 26 tokoh terdiri dari sastrawan, cendekiawan, sineas, aktor, dan pengarang mengeluarkan sebuah Pernyataan di Jakarta, bernada keberatan atas rencana pemberian penghar- gaan kepada Pram.6 Mereka menduga Yayasan Ramon Magsaysay tidak tahu sepakterjang Pram di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin, “ketika dia memimpin penin- dasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.” Secara singkat Pernyataan itu mengemukakan kegiatan Pram pada masa merajalelanya komunisme di Indonesia. “Dia memimpin penindasan kreativitas penulis, dramawan,

6 Para penanda tangan Pernyataan tersebut adalah (sesuai urutan dalam Pernyataan itu sendiri): Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Ali Hasjmy, Rosihan Anwar, Asrul Sani, Wiratmo Soekito, Rendra, Yunan Helmy Nasution, Bokor Hutasuhut, D.S. Moeljanto, Musbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Lukman Ali, Taufiq Ismail, Sori Siregar, Leon Agusta, Syu’bah Asa, Rachmat Djoko Pradopo, Danarto, Abdul Rahman Saleh, Amak Baljun, Chairul Umam, Ikranagara, Budiman S. Hartoyo, Slamet Sukirnanto, Mochtar Pabottingi (lihat Fadli Zon, 2009).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 341 sineas, pelukis, dan musikus non-komunis, melecehkan kebebasan ekspresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam serta mengeluelukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya. Dia juga melancar- kan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap seniman-seniman non-Lekra/PKI, teror mental dan intimidasi, mengembangkan gaya bahasa caci-maki di pers Indonesia, melakukan kampanye pembabatan terhadap penerbit-penerbit indepen....” Maka, demikian Pernya-taan itu selanjutnya, “terasa sangat ironis apabila dengan keputusan tersebut Pramoedya jadi duduk sebangku dengan pemenang hadiah Magsaysay Mochtar Lubis dan H.B. Jassin.” Pernyataan tersebut ditutup dengan: “Kami khawatir bahwa pemberian hadiah kepada Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa yayasan Hadiah Magsaysay membayar- nya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif sejak awal hingga pertengahan 60-an di Indonesia.” Pernyataan ini menimbulkan reaksi pro-kontra di Indonesia. Arief Budiman (2009), misalnya, menyatakan tidak setuju dengan Pernyataan tersebut. Seperti juga para penanda tangan Pernyataan, Arief Budiman adalah korban agitasi Pramoedya di tahun 1960-an. Dan, katanya, dia tidak lupa itu. Namun dia menekankan perlunya budaya baru yang demokratis, di mana kekuasaan tidak digunakan untuk mengganyang orang lain yang berbeda paham. “Saya tidak ingin mempertahankan budaya lama di mana yang lebih berkuasa selalu ingin menggunakan kekuasaannya untuk ‘menggebuki’ lawannya yang lebih lemah,” kata Arief. Dia menambahkan pula, “Kita ingin menciptakan manusia baru bagi bangsa ini yang tidak menggunakan kekuasaannya

342 Jamal D. Rahman dkk. secara sewenang-wenang, ‘yang tidak mendendam kalau ditindas, dan tidak menindas kalau berkuasa’.” Menurut Arief, sikapnya ini disetujui oleh sejumlah kiai. Terutama sebagai tanggapan terhadap Arief Budiman dan kalangan yang tidak setuju dengan protes tersebut, hampir semua penanda tangan Pernyataan kemudian menulis di koran, memberikan argumen kenapa mereka membuat Pernyataan tersebut.7 Secara umum, tanggapan mereka mengingat(kan pembaca) lagi pada kampanye dan kekejaman Pramoedya di tahun 1960-an dalam pengalaman mereka masing-masing. Dengan itu mereka sama-sama menegaskan, adalah ironis bahwa Hadiah Magsaysay —yang nota-bene merupakan penghargaan terhadap penegakan demokrasi, kebebasan, dan kemanusiaan— justru diberikan kepada sosok yang dalam hidupnya jelas-jelas melakukan pelanggaran terhadap demokrasi, kebebasan, dan kemanusiaan. Berpusat di Manila, Yayasan Hadiah Ramon Magsaysay dibentuk pada tahun 1957, untuk mengenang dan menghor- mati mantan Presiden Filipina Ramon Magsaysay, yang tewas dalam kecelakaan pesawat di tahun 1957. Ramon Magsaysay dikenal sederhana, rendah hati, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap keadilan, khususnya bagi rakyat miskin, dan usaha-usaha mengangkat martabat manusia. Untuk mengabadikan semangat almarhum, secara rutin Yayasan memberikan hadiah kepada tokoh-tokoh Asia

7 Tentang Pernyataan para seniman dan intelektual berikut tulisan-tulisan sekitar polemik Hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer, lihat Fadli Zon (2009).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 343 dalam berbagai bidang, yang dipandang memiliki semangat integritas almarhum dalam memberikan layanan publik dan idealisme pragmatis dalam masyarakat demokratis. Sampai tahun 2013, sebanyak 24 tokoh Indonesia dalam berbagai bidang telah menerima penghargaan ini sejak 1958, tahun pertama Yayasan memberikan penghargaan.8 Dan Mochtar Lubis adalah tokoh Indonesia pertama penerima Hadiah Ramon Magsaysay, 1958. Dia berada di urutan paling atas di antara penanda tangan Pernyataan, menunjukkan bahwa dia berdiri di barisan paling depan dalam menyampaikan protes. Dan dia teguh pada pendirian dan sikapnya bahwa pemberian Hadiah Ramon Magsaysay kepada Pramoedya adalah keliru. Dia bahkan mengancam akan mengembalikan Hadiah Magsaysay bila hadiah yang sama tetap diberikan kepada Pramoedya. Dan benar, setelah Hadiah Ramon Magsaysay akhirnya tetap diberikan kepada Pramoedya, Mochtar Lubis mengembalikan hadiah itu, berupa sertifikat, medali emas, dan uang. Dia datang khusus ke Manila, Filipina, untuk mengembalikan hadiah tersebut langsung kepada Ketua Yayasan Hadiah Ramon Magsaysay, Bienvenido Tan, 30 Agustus 1995. Dengan kurs Rupiah yang melorot, dia tak sanggup mengembalikan hadiah uang

8 Sampai tahun 2013, di antara penerima Hadiah Ramon Magsaysay dari Indonesia adalah: Mochtar Lubis (1958), Ali Sadikin (1971), Soejatmoko (1978), HB Jassin (1987), Abdurrahman Wahid (1993), Pramoedya Ananta Toer (1995), Dita Indah Sari (2001), Teten Masduki (2005), Ahmad Syafii Maarif (2008), Komisi Pemberantasan Korupsi (2013). Seluruh penerima Hadiah Ramon Magsaysay, baik dari Indonesia maupun negara-negara lain, serta berbagai informasi seputar hadiah ini dapat dilihat di laman resmi Ramon Magsaysay Award Foundation: http://www.rmaf.org.ph/newrmaf/main/awardees/filter/all/all/all/ID/. Diakses 14 Agustus 2013.

344 Jamal D. Rahman dkk. secara kontan. Maka dia mengembalikannya dengan cara mencicil. Ketika itu, dia mengembalikan 1000 dolar AS dari 5000 dolar AS yang diterimanya. Bagi Mochtar (2009), seorang sastrawan tak dapat melepaskan diri atau dilepaskan oleh pihak lain dari karya sastranya. Pribadi pengarang, karya sastranya, tindakan, sikap dan nilai-nilai pribadinya adalah satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dilepaskan satu sama lain. Benar bahwa Pramoedya telah menulis karya sastra yang hebat. Namun menurut Mochtar, Pramoedya jelas telah menghancurkan hak asasi manusia dan menghapuskan kebebasan kreatif sastrawan dan seniman yang secara politik tak sekubu dengannya. “Dengan memberi Pramoedya Hadiah Magsay- say, maka Yayasan Hadiah Magsaysay telah mengaburkan garis tegas antara kreativitas artistik dan serangan-serangan politik yang keji, yang bertujuan tidak saja untuk mendiskreditkan, melainkan juga untuk menghancurkan sastrawan dan seniman non–komunis melakukan kegiatan kreativitas.” Maka, lanjut Mochtar, “Hal [pengembalian hadiah] ini saya lakukan dengan berat hati karena saya mengenal Presiden Magsaysay (almarhum) sejak dia meluncurkan kampanye pemilihan kepresidenannya dan saya menghargai cita-cita politik, ekonomi, sosialnya bagi rakyat Filipina, dan semangat kedemokrasiannya yang teguh. Karena saya menghormati dan mencintainya, maka saya mengembalikan Hadiah Magsaysay.” Pernyataan yang memprotes Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya dan pengembalian Hadiah Magsaysay oleh Mochtar Lubis sekali lagi menunjukkan sikap dan pendirian

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 345 tak kenal kompromi Mochtar Lubis. Meskipun tak dapat dikatakan bahwa para penandatangan Pernyataan protes itu telah membubuhkan tanda tangan mereka karena penga- ruh Mochtar, bagaimanapun Mochtar Lubis berada di garis terdepan. Dia memberikan bobot moral paling kuat atas Pernyataan dan polemik serta pro-kontra sekitar Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya. Dan, sampai batas tertentu hal itu bagaimanapun menunjukkan dampak dan pengaruhnya yang kuat pula. *** Membaca Mochtar Lubis adalah membaca seorang tokoh sastra yang melewati sebagian besar hidupnya di pusaran gejolak sosial, politik, dan budaya. Di pusaran itu dia berdiri tegak dan kokoh dengan prinsip-prinsip yang diyakini dan diperjuangkannya. Dia berusaha melawan dan berdamai dengan ketakutannya sendiri di tengah pusaran gejolak sosial dan politik yang penuh ancaman dan marabahaya akibat perjuangannya, dan secara moral dia menang. Setelah keper- giannya pada 2 Juli 2004, tepat pada usia 38 tahun majalah Horison yang didirikannya, dia dikenang sebagai tokoh yang berkepribadian kuat, berhati baja, dengan pengaruh yang melampaui lingkungan sastra dan jurnalistik.9 Dia tetap tegar menjalani masa-masa paling berat dalam hidupnya, yaitu di penjara, di mana dia merindukan istri dan anak-anaknya,

9 Untuk tulisan-tulisan mengenang Mochtar Lubis, lihat Taufiq Ismail (2004), Agus R. Sarjono (2004), Salim Said (2004), Ali Audah (2004), Marianne Katoppo (2004), Toeti Heraty (2004), Aristides Katoppo (2004), dan Siti Zainon Ismail (2004).

346 Jamal D. Rahman dkk. menyapa sang istri dengan sangat mesra, dan di penjara Orde Baru menulis sajak sepi (Mochtar Lubis, 2008: 54):

SEPI

bulan perak di langit penuh awan angin berdesau burung malam menjerit sepi.[]

Kepustakaan

Abu Hanifah, Dr. “Menyambut Ceramah Mochtar Lubis: Renungan tentang Manusia Indonesia Masa Kini”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Sinar Harapan, 25 Mei 1977. Agus R. Sarjono. 2004. “Integritas”, dalam Horison, Agustus 2004. Ali Audah. 2004. “Mengenang Mochtar Lubis”, dalam Horison, Agustus 2004. Arief Budiman. 2009. “Hadiah Magsaysay dan Budaya Baru”, dalam Fadli Zon (editor). 2009. Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Institute for Policy Studies. Semula dimuat , 14 Agustus 1995. Aristides Katoppo. 2004. “Mochtar Lubis dan Penjara”, dalam Horison, Agustus 2004. A Teeuw. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia. Jakarta: Pembangunan. Cetakan ketiga. Cetakan pertama, 1952. David T. Hill. 2011. Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 347 Fadli Zon (editor). 2009. Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Institute for Policy Studies. H.B. Jassin. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta: Gunung Agung. Cetakan kedua. Cetakan pertama, 1962. Laman Ramon Magsaysay Award Foundation. http://www.rmaf.org.ph/ newrmaf/main/. Diakses 14 Agustus 2013. M.S. Hutagalung. 1961. Djalan Tak Ada Udjung Mochtar Lubis. Jakarta: Gunung Agung. Magono Djojohadikusomo. 2001. “Feodalisme, Ne-Feodalisme, Aristokrasi”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Kompas, 13 Mei 1977. Mansyur Semma. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Marianne Katoppo. 2004. “Tokoh, Lambang, dan Sahabat”, dalam Horison, Agustus 2004. Mochtar Lubis. 1966. “Kata Perkenalan”, dalam Horison, Juli 1966. Mochtar Lubis. 1982. Harimau! Harimau! Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan ketiga. Cetakan pertama, 1975. Mochtar Lubis. 2001a. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Mochtar Lubis. 2001b. “Kondisi dan Situasi Manusia Indonesia Masa Kini: Tanggapan atas Tanggapan Saudara Sarlito Wirawan Sarwono”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Kompas, 14 Mei 1977. Mochtar Lubis. 2001c. “Tanggapan Atas Tanggapan: Situasi dan Kondisi Manusia Indonesia Kini”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Kompas, 1 Juni 1977.

348 Jamal D. Rahman dkk. Mochtar Lubis. 2001d. “Tanggapan Atas Tanggapan Manusia Indonesia Kini”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Kompas, 16 Juni 1977. Mochtar Lubis. 2002. Berkelana dalam Rimba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kedua. Cetakan pertama, 1980. Mochtar Lubis. 2002. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kedua. Cetakan pertama, 1952. Mochtar Lubis. 2008. Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LSPP. Mochtar Lubis. 2009. “Sang Pengarang”, dalam Fadli Zon (editor). 2009. Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Institute for Policy Studies. Semula dimuat Horison, Oktober 1995. Mochtar Lubis. 2009. Senja di Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kedua. Cetakan pertama, 1970. Mochtar Lubis. 2010a. Catatan Perang Korea. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kedua. Cetakan pertama, 1951. Mochtar Lubis. 2010b. Perempuan: Kumpulan Cerita Pendek. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kedua. Cetakan pertama, 1956. Sarlito Wirawan Sarwono. 2001. “Kondisi dan Situasi Manusia Indonesia Masa Kini, Dilihat dari Sudut Psikologi: Sebuah Tanggapan terhadap Gagasan Mochtar Lubis”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Kompas, 5 Mei 1977. Siti Zainon Ismail. 2004. “Hari Sudah Petang Mochtar Lubis di Jalan Bonang”, dalam Horison, Agustus 2004. Taufiq Ismail. 2004. “Mochtar Lubis, Kuli Kontrak dan Penerbang Piper Cup”, dalam Horison, Agustus 2004. Th. Sri Rahayu Prihatmi. 1990. Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya. Jakarta: Balai Pustaka.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 349 Toeti Heraty. 2004. “Mochtar Lubis: Pejuang Kesatria yang Tiada”, dalam Horison, Agustus 2004. Wildan Yatim. 2001. “Menata Mendasar Kembali”, dalam Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cetakan kelima. Semula dimuat di Kompas, 24 Mei 1977.

350 Jamal D. Rahman dkk. Chairil Anwar Revolusi Puisi Indonesia

AHMAD GAUS

asanya mustahil membicarakan jati diri puisi Indonesia Rtanpa menyebut nama Chairil Anwar. Sama mustahil- nya dengan membicarakan jati diri bangsa Indonesia tanpa menyebut Bung Karno. Bukan kebetulan bahwa keduanya hidup di zaman yang sama, zaman revolusi, dan sama-sama menjadi patriot bagi revolusi itu sendiri, walaupun di antara keduanya ada selisih usia yang cukup jauh —Chairil Anwar lahir pada 1922 dan Bung Karno lahir pada 1901. Daya ledak terkuat dalam sajak-sajak Chairil Anwar — yang membuatnya terus bergema keras hingga sekarang— sebenarnya juga karena di dalamnya mengandung spirit besar dari orang-orang besar semisal Bung Karno itu. Dalam hal anti-kolonialisme Chairil tidak tanggung-tanggung menempatkan dirinya satu barisan dan satu jiwa, dengan Bung Karno, sebagaimana dapat dibaca dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” ini:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 351 Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang di atas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh.

Posisi Chairil sebagai penyair-patriotik tidak bisa diabai- kan karena sajak-sajaknya yang memberi kesaksian atas zaman yang sedang bergolak tersebut (Aku, Prajurit Jaga Malam, Krawang-Bekasi, 1943, Diponegoro, adalah sebagian dari sajak-sajak yang dimaksud). Bahkan lebih dari sekadar memberi kesaksian tapi juga mampu menghadirkan suasana dan emosi yang kuat pada saat sajak itu ditulis. Dalam sajak Krawang-Bekasi yang merupakan sajak saduran dari The Young Dead Soldier karya Archibald MacLeish, Chairil juga menyebut tokoh-tokoh penting bangsa ini: Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ menjaga Bung Hatta/ menjaga Bung Sjahrir (1948). Sedangkan dalam sajak Diponegoro ia menulis: … /Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar/ Lawan banyaknya seratus kali/ .../ Sekali berarti/ Sudah itu mati. Sajak-sajak di atas menempatkan Chairil sebagai penyair paling penting sepanjang sejarah republik. Nama Chairil bukan semata-mata identik dengan sajak namun juga dengan per- juangan kemerdekaan. Tidak setiap penyair memiliki reputasi semacam itu – walaupun hidup di zaman yang sama. Sebagian ada yang tenggelam kemudian hilang ditelan waktu. Chairil

352 Jamal D. Rahman dkk. terus hidup. Ia benar-benar perwujudan dari kepercayaan mistik bahwa karya seseorang membuatnya tak pernah mati. Salah satu karya Chairil berjudul “Aku” terus dibaca hingga sekarang. Bahkan bisa dikatakan, sampai saat ini tidak ada puisi di Indonesia yang terkenal melebihi puisi “Aku”. Anak-anak sekolah tingkat dasar sampai pejabat tinggi sangat akrab dengan puisi ini. Dalam buku-buku pela- jaran bahasa Indonesia, puisi ini juga masih dicantumkan, dihapalkan, dan dibaca (dideklamasikan) oleh para siswa dalam momen-momen tertentu. Di panggung-panggung agustusan yang tiap tahun digelar di seluruh pelosok negeri, puisi “Aku” masih menjadi pilihan paling favorit untuk dibacakan, selain Krawang-Bekasi. Puisi “Aku” mengandung spirit pemberontakan terhadap penindasan (penjajahan Jepang). Itulah yang menempatkan Chairil tidak hanya dianggap sebagai penyair tapi juga peju- ang. Kosakata yang digunakannya dalam sajak itu adalah kosakata keseharian yang mudah dipahami sehingga siapa saja bisa menikmatinya tanpa kendala bahasa. Itu pula yang membuka aksesnya pada pemahaman awam dan membu- atnya sangat popular. Dan sebagaimana dituturkan seorang kritikus sastra, melalui sajak itu Chairil mendayagunakan bentuk, bunyi, dan metafora yang gamblang untuk meni- kamkan sentakan akustik pada pembacanya.1 Mari kita simak puisi tersebut:

1 Pernyataan ini dikemukakan esais Geger Riyanto ketika membandingkan puisi- puisi Afrizal Malna dan Chairil Anwar. Lihat tulisannya, “Afrizal dan Puisi Peristiwa”, Kompas, 10 Maret 2013.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 353 AKU

Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Sajak itu terdapat dalam antologi Deru Campur Debu2 dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus,3 yang keduanya merupakan antologi sajak tunggal Chairil Anwar. Selama masa kepenyairannya yang terbilang pendek, Chairil telah menulis 70 sajak.4 Semuanya diterbitkan dalam

2 Diterbitkan oleh Dian Rakyat, Jakarta, dan merupakan kumpulan puisi pertama Chairil Anwar. Buku ini memuat 45 judul puisi. Juga diterbitkan oleh Penerbit Pembangunan, Jakarta, 1966. 3 Diterbitkan oleh Dian Rakyat, Jakarta. Sampai tahun 2007 telah mengalami cetak ulang 16 kali. Dan sesuai judulnya buku ini dibagi dua bagian: Bagian I. Kerikil Tajam berisi 29 puisi, Bagian II. Yang Terampas dan Yang Putus berisi 9 puisi. 4 Jika dihitung dari puisi pertamanya, “Nisan”, yang bertanggal Oktober 1942 sampai meninggalnya pada 28 April 1949, maka masa kepenyairannya kurang dari 7 tahun.

354 Jamal D. Rahman dkk. buku yang berbeda. Selain dalam dua buku di atas, sajak- sajak Chairil juga terdapat dalam Tiga Menguak Takdir yang ditulis bersama Asrul Sani dan Rivai Apin,5 serta dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.6 Puluhan tahun kemudian seorang sastrawan dan editor, Pamusuk Eneste, mengumpulkan kembali sajak-sajak Chairil Anwar yang berserakan dalam berbagai antologi dan menerbitkannya di bawah judul Aku Ini Binatang Jalang, yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1986. Buku ini memuat seluruh sajak Chairil Anwar. Sangat beralasan bahwa judul buku ini tidak mengambil salah satu dari judul-judul sajak Chairil, melainkan dari salah satu baris dalam sajak “Aku” yang terkenal itu. Frasa “Aku Ini Binatang Jalang” dengan jelas mewakili karakter kepenyairan Chairil Anwar yang diketahui publik sebagai seorang pendobrak yang revolusioner. Dalam gaya pengucapan dan pilihan diksi sajak-sajak Chairil boleh dibilang tanpa preseden. Pendahulunya, Amir Hamzah, memang bisa disebut sang pendobrak. Bahkan Chairil juga menyebut Amir Hamzah sebagai puncak dari angkatan Pujangga Baru. Penyair tersebut diakuinya telah berhasil mendekonstruksi bahasa lama dan menyajikan bahasa Indonesia yang cemerlang. Namun, di hadapan kebesaran Amir Hamzah, Chairil justru menjadi “binatang jalang” yang meletakkan gaya baru

5 Diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, 1950. 6 H.B. Jassin (editor), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1983).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 355 dalam pemakaian bahasa puisi dan membuat perbedaan yang cukup menonjol dengan pendahulunya tersebut. Dan karena itu sering disebut sebagai pelopor pembaruan bahasa puisi. Sejauh mana penyebutan ini absah, mari kita lihat dalam beberapa puisinya. Pertama-tama di sini akan ditampilkan dua buah puisi karya Chairil yaitu “Nisan”, yang merupakan puisi awalnya, dan “Derai-Derai Cemara”, yang merupakan puisi terakhir- nya7. Setelah itu kita akan melihat puisi-puisinya yang lain.

NISAN

Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertahta.

Oktober 1942

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh terasa hari jadi akan malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini

7 Dalam buku Aku Ini Binatang Jalang, sang editor Pamusuk Eneste, menurunkan puisi-puisi Chairil Anwar secara kronologis, yang menempatkan “Nisan” di awal dan “Derai-Derai Cemara” di akhir urutan.

356 Jamal D. Rahman dkk. hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.

1949

Membaca puisi “Nisan” dan “Derai-Derai Cemara” terasa seperti membaca pantun dengan rima berselang a-b-a-b. Puisi jenis ini mendominasi khazanah sastra Melayu dengan berbagai jenisnya: pantun nasihat, pantun muda-mudi, pantun agama, pantun adat, dan sebagainya. Penulisan puisi berpola pantun Melayu sebenarnya sudah mulai jarang dilakukan oleh para penyair sejak masa Pujangga Baru. Bahkan Sutan Takdir Alisjahbana mengejeknya sebagai ocehan nenek-nenek yang tidak ada kerja.8 Para penyair, termasuk Chairil, mulai menulis dalam bentuk soneta, yang merupakan tradisi sastra Eropa dengan jumlah baris empat belas (4-4-3-3). Setelah diejek dan ditinggalkan, kedudukan pantun bergeser dari tradisi tulis menjadi tradisi lisan. Lalu mengapa Chairil masih menulis puisi bergaya ucap pantun seperti di atas? Apakah dia tidak mendengar suara-suara miring terhadap puisi asli Nusantara tersebut? Bandingkan dua puisinya di atas dengan dua contoh pantun berikut:

PANTUN KIASAN Berburu ke padang datar Dapatkan rusa belang kaki Berguru kepalang ajar Bagaikan bunga kembang tak jadi Pantun agama

8 Mengenai pudarnya tradisi penulisan pantun sejak tahun 1930-an, lihat pengantar Ajip Rosidi dalam bukunya Pantun Anak Ayam (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 357 Asam kandis asam gelugur Ketiga asam si riang-riang Menangis mayat dipintu kubur Teringat badan tidak sembahyang

Bunyi sajak akhir dua puisi Chairil serupa dengan bunyi sajak akhir dua pantun Melayu di atas. Bagaimana seorang Chairil yang menyebut diri binatang jalang dan disebut sebagai sang pemberontak terhadap pola pengucapan bahasa lama bergaya pantun bisa terjerumus menggunakan persajakan pantun itu sendiri? Kalau kita cermati dua contoh pantun di atas memang tampak serupa, tapi tidak sama, dengan dua puisi Chairil. Ciri pantun Melayu yang tiap barisnya terdiri atas dua periodik,9 dan tiap periodik terdiri atas dua kata (contoh: asam kandis, asam gelugur), tidak muncul secara konsisten dalam puisi Chairil, kecuali pada larik: cemara menderai sampai jauh, dan hidup hanya menunda kekalahan. Dalam pantun Melayu selalu terdapat sampiran (dua baris pertama) dan isi (dua baris penutup). Lagi-lagi itu pun tidak terlihat dalam puisi Nisan maupun Derai-Derai Cemara. Bahkan bisa dikatakan bahwa semua larik dalam puisi Chairil adalah isi. Jadi, walaupun puisi Nisan dan Derai- Derai Cemara, berima akhir a-b-a-b sehingga terasa seperti pantun, tampaknya rima itu hanya dimanfaatkan oleh Chairil untuk menghasilkan nada yang seirama supaya terdengar seperti musik yang mengalun indah. Alhasil, puisi Chairil bukanlah pantun dalam pengertian konvensional.

9 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 8 dan 9.

358 Jamal D. Rahman dkk. Juga, berbeda dengan puisi-puisi dari pujangga lain yang juga mulai “memberontak” terhadap pola persajakan Melayu konvensional seperti Roestam Effendi dan Amir Hamzah, yang sesungguhnya masih terasa kental kemelayuannya dengan bahasa mendayu-dayu, “puisi pantun” Chairil diba- ngun dengan susunan kata-kata yang hampir sepenuhnya berbunyi Indonesia yang sedang berteriak menegaskan kemandirian bahasanya sendiri. Dalam Aku Ini Binatang Jalang yang menghimpun semua puisi Chairil Anwar, tergambar dengan jelas bagaimana pergumulan bahasa Indonesia yang sudah kadung diikrarkan sebagai bahasa persatuan (dalam Sumpah Pemuda) namun berdiri gamang di pundak kejayaan bahasa Melayu yang berabad-abad telah menjadi lingua franca. Bukan hanya citra adiluhung yang melekat dalam bahasa kawasan itu yang menjadi beban untuk ditinggalkan. Namun, estetika sastra yang dibangun dengan kosakata Melayu yang indah telah menempatan puisi ke posisi sakral dengan daya pukau yang mencekam seperti pada puisi-puisi Amir Hamzah. Puisi-puisi dalam Aku Ini Binatang Jalang merupakan pemberontakan terhadap corak bahasa melankolis yang lazim muncul pada puisi para penyair sebelumnya. Kosakata “binatang jalang” adalah contoh —walaupun jelas bukan satu-satunya— yang menegaskan bahwa efek impresif puisi tidak harus bergantung pada kesakralan kosakata yang digunakannya. Kosakata yang tak suci, “duniawi”, dan dipungut dari jalanan, juga mampu menghadirkan kesan mendalam pada sebuah bangunan puisi. Kalau sampai waktuku/ Ku mau tak seorang kan merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu. Bait ini, kalau diartikan sebagai

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 359 kepasrahan pada ajal yang bersemayam dalam misteri ilahiyah, sungguh merupakan ungkapan yang tak senonoh dan angkuh. Dan keangkuhan itu dipertegas lagi: Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang/ Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih peri. Puisi ini ditutup dengan bait yang merupakan ungkapan antiklimaks: Dan aku akan lebih tidak perduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi. Apakah dengan memasukkan kosakata yang banal dan tak elok seperti “peluru”, “meradang”, “menerjang”, “luka”, “bisa”, “tidak peduli”, nilai puisi itu menjadi rendah dan kehilangan impresinya? Dengan menilik makna intrinsik- nya, puisi itu bukan saja tidak kehilangan daya pukaunya, bahkan justru memberi efek yang lebih tajam pada pesan yang dikandungnya. Dua baris terakhir menegaskan elan vital bagi kehidupan yang ingin terus dijalani selamanya tan- pa peduli bahwa ajal menanti persis di hadapannya dengan sikap sempurna. Puisi-puisi “Aku”, “Nisan, Derai-Derai Cemara”, “Yang Terampas dan Yang Putus”, bahkan juga “Cintaku Jauh Di Pulau”, berbicara tentang kematian sebagai teka-teki yang kadang dipertanyakan, kadang diterima dengan pasrah sebagai kemestian, dan bahkan ditunggu:

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

360 Jamal D. Rahman dkk. aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku.

1949

Pribadi si “Aku” yang tegar dalam sosok “binatang jalang” seakan lenyap ditelan kepasrahan dan penerimaan pada nasib manusia yang harus berjumpa dengan ajal di setiap tikungan. Bahkan jiwa yang revolusioner dan menggebu- gebu seperti tunduk menyerah tatkala si “Aku” diperbudak oleh perasaan cinta seperti pada: “Hampa”, “Pemberian Tahu”, dan “Senja Di Pelabuhan Kecil”. Dalam puisi-puisi cintanya yang lebih optimistik seperti “Taman”, “Lagu Biasa”, dan “Sajak Putih”, memang tidak ada ruang bagi kesedihan, dimana kesedihan sudah didendangkan: sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba/ meriak muka air kolam jiwa/ dan dalam dadaku memerdu lagu/ menarik menari seluruh aku (“Sajak Putih”). Namun jeritan sentimentil dalam puisi- puisi cinta itu tetap terasa kental. Dalam puisi berjudul “Doa” di bawah ini, si “Aku” bahkan tampak menyerah:

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 361 cayaMu panas suci tinggal berkedip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpulang.

13 November 1943

Kepasrahan semacam itu menjadi anomali pada jiwa yang selalu menikmati kegelisahan dan tidak pernah peduli, sehingga menimbulkan pertanyaan: Apakah ini merupakan kelemahan bagi si “Aku” yang mendakwa diri “binatang jalang”?10 Jawaban dari pertanyaan itu ialah pertanyaan yang lain: Jika bukan dari jiwa yang sentimentil, mungkin- kah akan tumbuh cinta yang revolusioner terhadap tanah air? Apa yang bergelora dalam diri Chairil Anwar kalau bukan rasa cinta yang sentimentil terhadap negerinya, yang mela- hirkan puisi: “Merdeka”, “Diponegoro”, “Cerita buat Dien Tamaela”, “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “1943”, “Catetan Tahun 1946”, “Prajurit Jaga

10 Persoalan ini pernah dikemukakan, misalnya, oleh Arief Budiman yang menyatakan bahwa si Binatang Jalang itu sudah menyerah, sebab tanpa Tuhan ia akan “remuk dan hilang bentuk”, sehingga merasa perlu untuk mengetuk pintu Tuhan dan kemudian “tidak bisa berpaling”. Lihat Arief Budiman, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)

362 Jamal D. Rahman dkk. Malam”, dan sebagainya? Hanya jiwa yang sentimentil yang menggerakkan tangan seseorang untuk mampu menuliskan rasa cintanya yang mendalam pada tanah air. Pangakuan seperti ini disampai-kan pula oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono dalam epilog buku Aku Ini Binatang Jalang: “Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan.... Bahkan sebenarnya... salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.” Sampai sekarang ungkapan yang diambil dari sajak-sajak Chairil Anwar masih terus diingat dan dikutip: Sekali berarti, Sudah itu mati (“Diponegoro”), Hidup hanya menunda keka-lahan (“Derai-Derai Cemara”), Nasib adalah kesunyian masing-masing (“Pemberian Tahu”), Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian (“Karawang-Bekasi”), Sedang dengan cermin aku enggan berbagi (“Penerimaan”), Orang ngomong anjing nggonggong (“Kesabaran”), Aku mau hidup seribu tahun lagi (“Aku”), dan lain-lain. Tidak bisa dimungkiri bahwa puisi “Aku” merupakan puisi paling terkenal dari Chairil Anwar. Namun, mereduksi Chai- ril menjadi sekadar “Aku” tentu sebuah simplifikasi. Seluruh puisinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena dalam keseluruhannya tergambar salah satu tonggak terpenting perkembangan sastra Indonesia. Jika pada Nyanyi Sunyi-nya Amir Hamzah kita membaca kesepian yang mencekam, maka pada Aku Ini Binatang Jalang kita membaca kesepian yang menggelora.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 363 Dalam kata-kata Afrizal, sepi dihadirkan sebagai makhluk yang buas.11 Dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, H.B. Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai orang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusas- traan Indonesia. Para penyair yang lahir sesudahnya pun tidak luput dari pengaruhnya, baik dalam soal wawasan este- tik maupun orientasi kepenyairan. Wawasan estetikanya yang membunyikan kesepian eksistensial manusia (sebagai hamba Tuhan maupun bangsa terjajah) menjadi lagu penuh gejolak mudah ditemukan pada penyair sesudahnya.12 Sajak-sajak Chairil Anwar memang tidak sama sekali memutus zamannya dengan zaman sebelumnya. Tetapi ia membuat perbedaan yang sangat besar, yang dapat diletak- kan di atas “reruntuhan” gaya bahasa lama. Dan, boleh jadi hal ini juga terkait dengan hidupnya yang selalu berdiri di atas “reruntuhan”. Kedua orangtuanya bercerai saat ia masih remaja. Setelah dewasa dan menikahi Hapsah, pernikahan itu juga akhirnya kandas karena kesulitan ekonomi yang terus mendera. Ia pernah berjualan buku untuk menyam- bung hidup. Dan pernah mendekam dipenjara Cipinang

11 Afrizal Malna, “Chairil dalam Kardus Masa Kini”, Kompas, 28 April 2013 12 Dalam sebuah esainya, penyair Afrizal Malna mengatakan bahwa mainstream puisi ala Chairil Anwar sangat sulit ditinggalkan pada masa-masa sesudahnya. Lihat, Afrizal Malna, “Kota Di Bawah Bayangan Api”, Kompas, 17 Maret 2013. Nur Zen Hae dalam sebuah ceramah pada peluncuran dua buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, 70 Puisi dan Don Quixote, di Jakarta, pada 27 Juli 2011 mengatakan bahwa perjalanan kepenyairan Goenawan Mohamad memperoleh pengaruh dari Chairil Anwar, selain dari Amir Hamzah dan Miguel de Cervantes Saavedra.

364 Jamal D. Rahman dkk. karena kasus pencurian. Sekolahnya hanya sampai tingkat menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan itu pun tidak selesai. Namun demikian, Chairil menguasai sejumlah bahasa asing yang memungkinkannya membaca karya-karya para pengarang internasional seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Karya-karya para pengarang itulah yang mempengaruhi tulisan-tulisannya. Masa kepenyairan Chairil yang singkat sebanding belaka dengan usianya yang relatif pendek. Ia mati muda. Lahir di di Medan pada 25 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta pada 28 April 1949. Jika masa kepenyairannya dihitung sejak publikasi sajaknya yang pertama “Nisan” pada tahun 1942 (ketika dia berusia dua puluh tahun) maka Chairil menulis sajak hanya selama 7 tahun (sampai ia wafat pada 1949). Selama masa yang pendek itu ia menulis 70 buah sajak asli, 10 terjemahan, 4 saduran, dan 6 prosa asli dan 4 terjemahan. Karya sadurannya yang sangat popular ialah “Kerawang- Bekasi”, yang sering dianggap sebagai karyanya sendiri. Sedangkan karya-karya terjemahannya antara lain: “Pulanglah Dia Si Anak Hilang” (1948, Andre Gide) dan Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Karya Chairil sendiri bisa ditemukan dalam berbagai terjemahan bahasa asing seperti bahasa Inggris: Sharp Gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); bahasa Spanyol:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 365 Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); dan bahasa Jerman: Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/ Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978). Tanggal meninggalnya Chairil 25 Juli ditetapkan sebagai Hari Puisi Indonesia yang selalu diperingati setiap tahun dengan berbagai acara sastra. Penetapan ini memperluas spektrum pengaruhnya di dunia perpuisian di tanah air, setelah sebelumnya dikukuhkan oleh Paus Sastra HB Jassin sebagai pelopor Angkatan 45. Menilik karya-karya dan pengaruhnya yang melintasi zaman, padahal rentang kepenyairannya terbilang sangat pendek (7 tahun), maka Chairil Anwar sangat pantas atas penghargaan-penghar- gaan tersebut.[]

366 Jamal D. Rahman dkk. Pramoedya Ananta Toer Mewacanakan Kelahiran Bangsa

AGUS R. SARJONO

egitu nama Pramoedya Ananta Toer disebutkan, segera Bsejumlah kontroversi bermunculan. Bahkan, nyaris dalam segala segi —karya maupun sosok— Pramoedya selalu memancing kontroversi dan perdebatan, dukungan dan penolakan. Besarnya kontroversi dan perdebatan yang selalu muncul saat sosok Pramoedya dikemukakan lah saya kira yang menyebabkan saat nama ini dimunculkan sebagai sosok yang berpengaruh dalam sastra Indonesia ia diterima oleh Tim 8secara bulat, tanpa kontroversi dan tanpa perde- batan. Tim 8 kurang lebih sama pendapatnya bahwa satu sosok yang menimbulkan kontroversi dan perdebatan demikian besar, nyaris pasti merupakan sosok yang besar pengaruhnya sehingga mampu menggerakkan sejumlah besar pendukung dan sejumlah besar penolakan. Alasan kedua yang juga meyakinkan adalah penahanan sastrawan ini di Pulau Buru tanpa pengadilan dan pelarangan seluruh karya-karyanya di masa Orde Baru. Seseorang yang sosok dan apalagi karyanya tidak berpengaruh, tentu saja tidak

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 367 akan dicekal, dibisukan, dan dilarang dengan keras beredar. Alasan ketiga adalah kenyataan bahwa pencekalan baik sas- trawan maupun karya Pramoedya Ananta Toer tidak mam- pu mencegah orang —baik di Indonesia maupun bahkan di mancanegara— terpikat pada karya-karya sastrawan ini. Pramoedya lah sastrawan Indonesia yang nama dan karya- nya paling terkenal dan beredar luas di mancanegara. Pramoedya pulalah nyaris satu-satunya sastrawan Indone- sia yang mendapat beragam anugerah sastra dari negeri yang berbeda-beda. Sejumlah penghargaan tersebut antara lain: Barbara Goldsmith Freedom to Write Award, PEN (1988); The Fund for Free Expression Award, New York, Amerika Serikat (1989); English P.E.N Centre Award, Inggris (1992); Stichting Wertheim Award, Belanda (1992); Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts (1995); Doctor Honoris Causa dari the University of Michigan (1999); Chancellor’s Distinguished Honor Award dari the University of California, Berkeley (1999); Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari Perancis (2000); 11th Fukuoka Asian Culture Prize, Jepang (2000); Norwegian Authors’ Union Award for his contribution to world literature and his continuous struggle for the right to freedom of expression, Norwegia (2004); Pablo Neruda Award, Chili (2004); Global Intellectuals Poll by the Prospect (2005); dan lain-lain. Dari sebaran lembaga dan negeri yang memberikan penghargaan tersebut dapat disimpulkan luasnya pengaruh Pramoedya Ananta Toer, sebuah reputasi yang hingga saat ini tidak tertandingi sas- trawan Indonesia manapun.

368 Jamal D. Rahman dkk. Pramoedya dilahirkan di Blora, 6 February 1925. Ayahnya adalah seorang guru yang juga aktif di Boedi Oetomo sedang ibunya berjualan nasi. Namanya yang sebenarnya adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Namun, nama Mastoer yang didapat dari nama ayahnya dirasakannya agak kebangsawan- bangsawanan dan karena itu ia membuang kata “Mas” se- hingga namanya tinggal Toer. Ia bersekolah di Sekolah Keju- ruan Radio, Surabaya namun tidak selesai karena pendu- dukan Jepang (1942). Ia kemudian bekerja sebagai juru ketik di koran milik Jepang di Jakarta. Pramoedya kemudian masuk militer di Kerawang dan bertugas di Jakarta. Pada masa itu pula ia menulis cerita pendek serta novel. Ia dipen- jarakan oleh pemerintah kolonial Belanda (1947-1949). Sela- ma dalam penjara itulah ia menulis novelnya yang berjudul Perburuan, kemudian Keluarga Gerilya, dua novel yang mendapat perhatian luas di kalangan sastra Indonesia. Pramoedya kemudian pergi ke Belanda dalam proram pertukaran budaya. Selain itu, kemudian ia mengikuti per- tukaran budaya dengan pergi ke Uni Sovyet dan Republik Rakyat Cina. Pengalaman tersebut yang kemudian makin mendekatkan dia ke wilayah kiri. Ia menerjemahkan sejum- lah karya sastra dari mancanegara, di antaranya karya dua sastrawan besar Sovyet, Maxim Gorky, Ibunda (Matj) dan Leo Tolstoy. Ia juga menerjemahkan novel John Steinbeck, Mice and Man serta novel Heinrich Böll, Die verlorene Ehre der Katharina Blum oder: Wie Gewalt entstehen und wohin sie führen kann (Hilangnya Kehormatan Katharina Blum atawa Bagaimana Kekerasan Berkembang dan Apa Akibat yang Ditimbulkannya).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 369 Selain menulis karya sastra Pramoedya juga menulis artikel dan esai yang dimuat di sejumlah media massa umum maupun media sastra. Ia menjadi anggota Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia juga menelola lembaran budaya Lentera di Harian Bintang Timur. Di situlah ia aktif menulis dan berpolemik. Karya-karyanya pun makin kritis secara politis sebagaimana terlihat pada novelnya Korupsi yang mengkritisi munculnya bibit-bibit penyelewengan aparat pemerintah terhadap cita-cita revolusi dengan begitu cepatnya mereka terjangkit korupsi.1 Di masa itu pulalah ia mulai mengajar sejarah sastra di Universitas Res Publica yang kiri. Di saat ia menyiapkan bahan perkuliahan itu lah ia kemudian menyadari bahwa kajian atas bahasa dan sastra Indonesia telah terdistorsi oleh pandangan kolonial Belanda. Ia pun mencari dan mengumpulkan bahan yang dipinggir- kan oleh pendidikan Belanda yang ternyata juga terus ber- lanjut peminggirannya bahkan setelah Indonesia merdeka. Perhatiannya terhadap sejarah pun makin besar dengan mengumpulkan bahan-bahan sejarah dan sejumlah besar kliping koran. Hasil pergulatannya dengan bahan-bahan sejarah tersebut melahirkan buku Sang Pemula berisi kiprah R.M. Tirto Adhi Suryo berikut karya-karyanya baik fiksi maupun nonfiksi yang diterbitkan di tahun 1985. Sebelum

1 Novel Korupsi tersebut berpengaruh terhadap hubungan Pramoedya dengan pemerintahan Soekarno. Sangat menarik untuk melihat modus dan skala korupsi di masa itu dengan modus dan skala korupsi di masa kini. Untuk masalah pewacanaan sastra atas korupsi, lihat Jurnal Kritik edisi 2, 2012, yang khusus mengangkat tema tersebut.

370 Jamal D. Rahman dkk. itu, nama Tirto Adhi Suryo nyaris tidak pernah disebut-sebut oleh para sejarawan, padahal ia merupakan pendiri koran Medan Priyayi dan tokoh Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam).2 Di masa itu pula ia aktif berhubungan dengan para penulis di China dan menghasilkan buku Hoakiau di Indonesia (1960). Terbitnya buku ini membuat Pramoedya dipenjara oleh tentara di LP Cipinang selama 9 bulan. Pramoedya Ananta Toer cukup banyak mengenyam tahanan. Selain dipenjara oleh Belanda (3 tahun), ia pernah dipenjara di masa Orde Lama (1 tahun), dan kemudian di masa Orde Baru dipenjarakan selama 14 tahun. Di masa Orde Baru tersebut ia ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan di Pulau Nusakambangan (1965-1969, di Pulau Buru (1969 – 1979), dan sebulan di Magelang. Selama masa penahanannya di Pulau Buru tersebut ia dilarang me- nulis, namun ia tetap memproses karya terkenalnya tetralogi Pulau Buru yang kerap dikisahkannya secara lisan pada rekan-rekan sepenjaranya. Tetralogi Pulau Buru tersebut kemudian ia tulis dan diam-diam diselundupkan ke luar negeri untuk di terbitkan di Indonesia dan luar negeri. Ia kemudian dibebaskan dari penjara pada tanggal 21 Desember 1979 dan dinyatakan secara hukum tidak bersalah serta tidak terlibat G30S/PKI, namun masih dikenakan tahanan rumah

2 Bahkan M.C. Ricklef yang dianggap sejarawan berwibawa dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern tidak memberi perhatian pada sosok R.M. Tirto Adhi Suryo. Nama ini baru menjadi perhatian setelah Pramoedya mengangkatnya baik lewat Sang Pemula maupun lewat tetralogi Bumi Manusia-nya, sebagaimana terlihat dengan cukup besarnya perhatian pada R.M. Tirto Adhi Suryo dalam buku Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 371 di Jakarta hingga tahun 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun 1999, selain wajib lapor sekali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia melahirkan novel Gadis Pantai, yang ia tulis berdasarkan pengalaman nenek-nya sendiri. Dua buah buku berisi catatannya otobiografinya selama ditahan di Pulau Buru terbit dalam dua jilid berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Buku tersebut dicekal dan dilarang beredar.

Kontroversi Pramoedya Trauma yang ditimbulkan perseteruan antara kubu Lekra versus kubu Manifes Kebudayaan tertanam cukup dalam di batin para sastrawan yang berseteru tersebut. Di antara kedua kubu tersebut, trauma terdalam dan terbesar justru dialami oleh sastrawan dari kubu Manifes Kebudayaan dibanding sastrawan dari kubu Lekra meski secara politis mereka yang kalah. karena mereka lah pihak yang “ditekan”, “diserang”, dan “dikalahkan”. Sementara trauma dan derita yang dialami pihak Lekra tidak pernah diacukan pada pihak sastrawan dan/atau seniman Manifes, melainkan ke arah pihak yang mengalahkan mereka dengan telak, yakni militer atau lebih luasnya Orde Baru.3

3 Setiap nama Pramoedya disebut, siapa saja dari kubu Manifes Kebudayaan – sedikit atau banyak— langsung merasa iritasi, baik dari mereka yang termasuk “garis lunak” seperti Arief Budiman dan Goenawan Mohammad maupun garis keras seperti Taufiq Ismail. Hal yang sama terjadi setiap kubu Lekra mendengar nama Soeharto atau Orde Baru, sementara reaksi mereka datar saja saat mendengar nama sastrawan manapun dari kubu Manifes Kebudayaan.

372 Jamal D. Rahman dkk. Perseteruan kedua kubu sastrawan tersebut pada dasar- nya berakar pada perseteruan politik nasional yang lebih besar, yakni perseteruan antara kubu progresivitas versus stabilitas. Sebenarnya perseteruan ini pun dapat diasalkan pada perseteruan komunis dan nonkomunis. Kubu progre- sivitas menyatakan bahwa mereka menyambut ketidaksta- bilan sosial karena membuka peluang bagi kemajuan. Kemajuan membutuhkan unsur-unsur ketidakstabilan, bahkan risiko. Sementara pihak Orde Baru mengemukan bagaimana kontrol politik dilatihcobakan di tingkat lokal untuk menggeser masyarakat yang terpolarisasi antara komunis dan nonkomunis menjadi kesatuan agar pemerin- tahan militer mampu mengelola negeri, karena pemerintah ingin mengedepankan tatanan dan pengawasan.4 Persete- ruan komunis versus nonkomunis berlaku dengan masif di berbagai tingkat, nasional maupun lokal. Perseteruan seni- man/sastrawan hanya merupakan puncak gunung es dari perseteruan masif dan keras tersebut yang terjadi di semua lini dan di semua tingkatan.5

4 Adrian Vickers. A History of Modern Indonesia (2nd edition), (Cambridge: Cambridge University Press, 2013). 5 Sebagai contoh dapat dilihat perseteruan di tingkat para pekerja rel kereta, Pak Sumitra –veteran perang kemerdekaan—saat diangkat menjadi mandor ternyata nyaris semua pekerja adalah komunis sementara dia seorang anti komunis (ke- luarganya dibunuh Komunis saat peristiwa Madiun), dan dia berupaya keras menggatikan pekerja komunis menjadi dengan pekerja nonkomunis. Terbelahlah para pekerja kereta menjadi komunis vs nonkomunis dan tak butuh waktu lama masing-masing kelompok makin terikat dengan gelombang besar kubu mereka yang masing-masing memberi suplai atas kubu mereka dengan alat seni maupun bahan pokok. Adrian Vickers. Ibid.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 373 Pada awalnya Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penganut paham humanisme universal sebagaimana dianut para eksponen surat kepercayaan gelanggang seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, juga H.B. Jassin. Keith Foulcher mengemukakan bahwa “Keluarga Gerilya too was inspired by patriotic semangat, and from another angle, by humanity (humanitas) –an utopian idealism that lives and dies by its rejection of existing reality.6 Liu bahkan menunjuk- kan bahwa Keluarga Gerilya, misalnya, bukan hanya mengu- tuk Belanda dan Inggris karena mengebom Surabaya, tapi juga mengutuk komunis karena pemberontakan berdarahnya di Madiun. Liu juga menyatakan bahwa tulisan Pramoedya lainnya di awal 50-an tetap dengan kuat menunjukkan kega- lauan serta tema mengenai the universal loneliness of man.7 Hingga ia memasuki Lekra, “humanisme universal” tersebut tetap menjadi paham yang diam-diam dianutnya. Kepergi- annya ke luar negeri mengubah sikap Pramoedya dalam ber- sastra. Kepergiannya ke Belanda memberi kesan negatif

6 Keith Foulcher “The Early Fiction of Pramoedya Ananta Toer, 1946. Lihat juga Benedict Anderson. “Reading ‘Revenge’ by Pramoedya Ananta Toer (1978- 1982)” dalam A.L. Becker (Ed.). Writing on the Tongue (Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan 1989), hal. 13-94 7 Hong Liu. 1996. “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual”, Indonesia, No. 61 (Pramoedya Ananta Toer and His Work (April 1996). Southeast Asia Program Publications at Cornell University. hal. 119-143. Lihat juga Anthony Johns, “Pramoedya Ananta Toer: The Writer as Outsider: The Indonesian Example”, dalam Cultural Option and the Role of Tradition, (Canberra: Australian National University Press, 1979), hal. 96-108; serta Pramoedya Ananta Toer, “Ada Humanisme di Oranje Nasaulaan 5 dan Komunisme telah Mati bersama Lenin”, Medan Bahasa 3, 10 Oktober 1953. Halaman 29-32.

374 Jamal D. Rahman dkk. dimana Pramoedya melihat perbedaan besar antara dia sebagai orang timur dengan orang Belanda berkulit putih dan mengambil kesimpulan bahwa ia berasal dari sebuah negeri yang tengah menjadi, sementara mereka (Belanda) berada pada situasi yang sudah selesai dan tanpa kemungkinan. Sekalipun begitu, melihat perkem-bangan Indonesia merdeka Pramoedya merasa kecewa. Margaret Scott mengutip pernya- taan Pramoedya: “I saw that all the promises of the revolution had been left unfulfilled.8 Maka kepedulian utama dalam karya Pramoedya selama paruh pertama tahun 1950-an adalah mengurus pertanyaan “Mengapa dan bagaimana kita bisa terperosok dalam kekacauan macam ini?”9 Pramoedya mengalami perubahan saat ia berkunjung ke RRC pada tahun 1957. Selama di China ia sangat terkesan oleh perkembangan di sana dan oleh peran yang dimainkan para intelektual/sastrawan di sana. A. Teeuw berpendapat bah-wa perjalanan Pramoedya ke China di tahun 1957 me- rupakan sebuah tonggak, karena sepulangnya dari Peking impiannya sebagai sastrawan berubah menjadi aksi perla- wanan sosial.10 Sementara Boen S. Oemarjati menyatakan bahwa:

8 Margaret Scott, “Waging War with Words,” Far Eastern Economic Review, 15 Agustus 1995, hal. 27. 9 Lihat Patricia Henry, “The Writer’s Responsibility: A Plemliminary Look at the Depiction and Construction of Indonesia in the Works of Pramoedya Ananta Toer.” Crossroads 6, 1991, hal.59-72. 10 A.Teeuw, Modern Indonesian Literature, 2nd. The Hague: Martinus Nijhoff, 1978, hal. 167.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 375 Before it (the 1856 trip) Pramoedya may be regarded to have written a kind of engageé literature... After his Peking visit he seemed to have developed himself to a kind of enrage writer.11

Hal ini diperkuat pendapat Harry Aveling, bahwa:

Pramoedya was captivated by the social and economic progress made by China. From that time (October 1956) on, Pramoedya became increasingly involved with left-wing cultural and literary activities in Indonesia.12

Perubahan sikap politik dan orientasi kesastrawanan Pramoedya Ananta Toer berubah saat dia kembali dari RRC, dan hal ini ditengarai oleh A. Teeuw, Boen S. Oemarjati, dan Harry Aveling. Namun, kajian luas mengapa terjadi perubahan tersebut dan bagaimana hal itu dapat terjadi dibahas dengan mendalam oleh Hong Liu.13 Selepas itu Pramoedya Ananta Toer aktif di Lekra (Lem- baga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia. Di sana lah Pramoedya menunjukkan perubahan sikapnya atas sastra dan dengan meminjam

11 Boen S. Oemarjati, “The Depelopment of Indonesian Literature” dalam H. Sobadio & C.A.M. Sarvaas. Dynamics of Indonesian History, (Amsterdam: Elsevier, 1978), hal. 327-328. 12 Harry Aveling, “Introduction” in Pramoedya The Girl from the Coast, (Singapore: Select Book, 1991). 13 Lihat Hong Liu. “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual”, dalam Indonesia No. 61 yang bertemakan “Pramoedya Ananta Toer and His Work” (April, 1996), hal. 119-143. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Lihat juga Hong Liu. 1995. ’The China Metaphor’: Indonesian Intellectuals and the PRC, 1949-1965. Disertasi di Ohio University.

376 Jamal D. Rahman dkk. pendapat Mao ia pun berpendapat bahwa sastra adalah alat. Ia juga menerjemahkan artikel Zhou Yang (Cau Yang) “Realisme Sosialis – Jalan Kemajuan bagi Kesusastraan Tionghoa,” dan diterbitkan di Harian Rakyat (8 Mei 1954). Sejumlah tulisannya yang keras pun mulai bermunculan. Demikian pula sastrawan lain dari kelompok Lekra, misalnya Jogaswara (nama samaran A.S. Dharta) yang dengan keras menulis “Angkatan 45 sudah Mampus”.14 Sejumlah sastra- wan dan intelektual yang tidak setuju dengan gelombang ini kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan. Selan- jutnya, tahun-tahun yang menyusul setelah itu adalah tahun-tahun perseteruan yang panas antara kubu Lekra versus kubu Manikebu.15 Masuknya Pramoedya ke kubu Lekra dan aktif di sana membuatnya menjadi bagian dari perseteruan besar dan masif antara komunis versus non-komunis sehingga tidaklah mengherankan jika keterlibatan Pramoedya dalam Lekra untuk selanjutnya menjadi kontroversi besar atas sosok Pramoedya. Pramoedya semasa Lekra dianggap ganas menyerang dan menghantam pengarang-pengarang lain yang berasal dari kubu berbeda, khususnya setelah para sas- trawan nonkomunis menandatangani Manifes Kebudayaan. Nyaris semua penandatangan Manifes mengalami tekanan politik serta gencar diserang di media-media massa oleh kelompok Lekra, khususnya di media massa yang dikuasai

14 Dimuat di Spektra, 27 Oktober 1949. 15 Lihat pembahasan Martina Heinschke, “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya’s Development Literary Concepts.”Indonesia, No. 61. Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 1996, hal. 119-143.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 377 Lekra. Pramoedya dianggap mengambil peran penting dalam serangan-serangan dan tekanan ini. Saat Pramoedya mendapat Ramon Magsasay Award (1995), 26 tokoh sastra Indonesia menandatangani surat ‘protes’ ke Yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju dan menganggap Pramoedya —yang dianggap “jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang” di masa demokrasi terpimpin— tidak pantas mendapat anugerah tersebut. Berita berkenaan dengan hal ini pun ramai dan simpang-siur. Taufiq Ismail yang menjadi pem- rakarsa petisi tersebut meralat pemberitaan yang menyata- kan bahwa petisi menuntut pencabutan. Taufiq menyatakan bahwa para sastrawan penandatangan petisi bukan menun- tut ‘pencabutan’, tetapi mengingatkan ‘siapa Pramoedya itu’. Katanya, banyak orang tidak mengetahui ‘reputasi gelap’ Pram dulu. Pemberian penghargaan Magsasay dengan demikian adalah suatu kecerobohan. Mochtar Lubis kemu- dian mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerah- kan padanya di tahun 1958. Alasan-alasan penolakan tersebut baik berupa tulisan maupun hasil wawancara (liput- an koran) dan sebagian terkumpul dalam majalah Horison yang mengangkat persoalan ini sebagai edisi khusus.16 Untuk memperkenalkan situasi perseteruan Lekra versus Manikebu agar dapat diketahui oleh kalangan muda masa kini, Taufiq Ismail bersama D.S. Mulyanto kemudian menerbitkan buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. yang berisi kliping tulisan dan berita

16 Majalah Sastra Horison, 30 Oktober 1995.

378 Jamal D. Rahman dkk. mengenai situasi perseteruan Lekra vs Menikebu di masa itu. Penulis buku ini niscaya tidak membayangkan akan muncul pendapat sebagaimana dikemukakan Martina Heinschke yang menyoroti konsepsi budaya Gelanggang dan Lekra. Dalam tulisannya, Martina Heinschke mengemuka- kan bahwa Kaum Gelanggang dan Manikebu merasa bahwa konsepsi estetik mereka tidak menarik lagi di kalangan muda. Untuk menjaga situasi ini orang Manikebu menerbitkan Prahara Budaya.17 Bahkan, penolakan Hadiah Ramon Magsaysay kepada Pramoedya masih diasalkan pada alasan tersebut. Dalam pada itu, Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 tidak lebih tidak kurang termasuk polemik biasa yang boleh diikuti siapa saja, dan menyangkal terlibat aksi di luar polemik yang kelewat jauh,

17 Meski buku ini oleh pendukung Pramoedya ditanggapi dengan negatif, pada dasarnya buku ini merupakan upaya yang baik untuk menyajikan bahan sejarah berupa kliping tulisan, berita, dan polemik yang terjadi di masa itu sehingga dapat dijadikan bahan bagi penelitian sejarah (sastra). Sayang buku ini diberi pengantar oleh Taufiq Ismail dengan menggebu dan sepenuhnya subjektif lengkap dengan sisa kegeraman penulis atas lawan-lawan politiknya. Andai buku ini diberi pengantar dengan objektif dan netral berupa gambaran proses pengumpulan bahan, kriteria dan metode yang digunakan, dan kesulitan yang dialami (pendek- nya proses kerja ilmiah kesarjananan), maka buku ini akan menjadi bahan sejarah yang benar-benar berharga. Pandangan Martina Heinschke tersebut pada pendapat saya tidak meyakinkan karena pada dasarnya generasi sastrawan kemudian relatif tidak peduli dengan perseteruan itu dan menganggapnya sebagai masa lalu yang kontra produktif dan tidak memiliki kaitan emosional dengan mereka. Lekra dan realisme sosialis sudah lama ketinggalan zaman, Manifes Kebudayaan pun sudah mengaku salah dan minta maaf. Bahkan Soetardji Calzoum Bachri yang gene- rasinya tidak terpaut sangat jauh dengan generasi “Gelanggang” mengecam gene- rasi Gelanggangg karena sibuk meminta-minta warisan kebudayaan dunia bukan- nya bekerja keras untuk memperkaya dan mewariskan sesuatu bagi kebudayaan dunia.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 379 misalnya membakar buku dan sebagainya. Ia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan andai materinya cu- kup. Jika tidak cukup, ia sarankan dibawa ke forum terbuka di mana ia dibolehkan menjawab dan membela diri. Baik pengadilan maupun forum terbuka itu tidak pernah ada. Belakangan Pramoedya Ananta Toer dan Taufiq Ismail hadir dalam satu forum di Universitas Indonesia dan kurang lebih “bersepakat” bahwa masalah di antara mereka dianggap selesai.

Pramoedya Ananta Toer dan Karyanya Dilihat dari segi karya, Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan Indonesia satu-satunya yang karyanya dapat disenaraikan sebagaimana terlihat di bawah ini: Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (The Fugitive) (1950), Keluarga Gerilya (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Cerita dari Blora (1952), Gulat di Jakarta (1953), Korupsi (Corruption) (1954), Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954), Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957), Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980), Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980), Jejak Langkah (Footsteps) (1985), Rumah Kaca (House of Glass) (1988), Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1962), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (1999); Larasati (2000). Hal ini masih ditambah buku nonsastra, antara lain: Hoakiau di Indonesia (1960), Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962), Sang Pemula (1985), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute’s Soliloquy) (1995). Nyaris sebagian besar dari karya-karyanya tersebut sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang berjumlah tidak kurang dari 200 buah. Senarai ini akan bertambah sangat

380 Jamal D. Rahman dkk. panjang jika kita memasukkan penelitian, kajian, dan bahasa mengenai Pramoedya baik yang ditulis para kritikus dan sarjana Indonesia maupun kritikus dan sarjana asing. Pramoedya boleh dibilang aktif menulis sampai akhir hayatnya. Ia wafat April 2006. Sebelumnya perayaan ulang tahun Pramoedya Ananta Toer yang ke-81 sempat diadakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, dimeriahkan dengan pameran khusus tentang sampul buku dari karya-karya Pramoedya baik yang terbit di Indonesia maupun di manca- negara dengan tajuk “Pram, Buku dan Angkatan Muda”. Menggali Sejarah Mewacanakan Bangsa Pada masa kepenulisan awal, nyaris semua karya Pra- moedya mengangkat tema revolusi kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar karyanya diangkat dari bahan-bahan auto- biografis penulisnya yang diramu dengan pengalaman dan pengamatan pribadi atas kejadian-kejadian semasa revolusi kemerdekaan sebagaimana terlihat dalam Kranji-Bekasi Jatuh. Pengalaman pribadi sebagai tahanan Belanda difor- mulasikan menjadi tokoh protagonis yang diburu dan dipen- jara sebagaimana muncul dalam novelnya Perburuan dan Keluarga Gerilya. Pengalaman-pengalaman autobiografis- nya diramu dan muncul dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora dan Bukan Pasar Malam. Kisah hidup neneknya dari pihak ibu pun diramu menjadi novel Gadis Pantai. Dalam novel-novelnya yang bertema revolusi kemerde- kaan dan sangat nyata pada novelnya yang terkenal pada periode ini yakni Keluarga Gerilya, Pramoedya menggambar- kan hubungan individu dengan bangsa, keluarga Indonesia dengan keluarga besar bangsa Indonesia. Dalam Keluarga

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 381 Gerilya, misalnya, sebagian besar anasir keluarga menjadi korban, berkorban, dan/atau dikorbankan dalam revolusi kemerdekaan demi sebuah keluarga besar baru dan penuh janji, yakni keluarga besar bangsa (nasion) Indonesia. Putra pertama dipenjara (akibat penghianatan bangsa sendiri), putra kedua dan ketiga mengorbankan nyawa di medan laga, putri tersayang diperkosa (oleh bangsa sendiri), dan bahkan di bagian akhir novel ini, rumah keluarga gerilya terbakar habis. Keluarga dan rumahnya habis terbakar, hancur dan porak-poranda, namun semua dapat ditahankan karena ada harapan bahagia dalam rumah besar nasion Indonesia.18 Setelah menulis mengenai situasi Indonesia semasa dan pasca revolusi Indonesia dan melihat mulai bermunculan bibit-bibit pengkhianatan pada amanat revolusi (yang mem- buat ia percaya bahwa bahkan keluarga dan rumahnya boleh dikorbankan untuk masa depan yang lebih baik dan bermartabat), terutama penghianatan yang dilakukan pemerintah, ia menulis novel Korupsi yang menggam- barkan berjangkitnya korupsi di kalangan pegawai peme- rintah, khususnya di kalangan kaum tua.19 Belakangan minat Pramoedya pada sejarah makin meluas dan menda-

18 Lihat Agus R. Sarjono. 2001. Citra Rumah dalam Novel Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer dan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis. Tesis S2 FIB UI, tidak diterbitkan. 19 Penggambaran kaum tua yang bobrok dan korup ini pada dasarnya mewarnai nyaris semua karya Pramoedya. Boleh jadi hal ini ada hubungannya dengan kuatnya apa yang ditengarai Ben Anderson sebagai “ideologi pemuda”. Pada novel Korupsi yang ditulis Tahar Ben Jelloun berdasar novel Pramoedya ini isu kaum tua versus kaum muda sama sekali tidak ada. Untuk masalah ideologi pemuda, lihat Ben Anderson, Java in a Time of Revolution, (Ithaca: Cornell University Press, 1972)

382 Jamal D. Rahman dkk. lam. Setelah ia kemudian ditahan di Pulau Buru mau tidak mau ia harus merenungi saat dia dipenjara oleh Kolonial Belanda, dan dipenjara oleh pemerintahan bangsanya sen- diri, yakni semasa Orde Lama dan terutama semasa Orde Baru. Maka penggaliannya atas sejarah Indonesia seperti identik dengan upayanya menggali genealogy Indonesia untuk memahami bagaimana negeri yang dilahirkan dari cita-cita kemerdekaan dan pemuliaan martabat manusia Indonesia itu bisa berakhir seperti ini. Masa itu pulalah lahir tetraloginya yang terkenal yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Sebagai sebuah kesatuan, keempat novel tersebut tidak lain merupakan pewacanaan tentang lahirnya sebuah bangsa. Novel besar ini mengisahkan tentang masa kebangkitan nasional yang kelak akan melahirkan negara Indonesia Merdeka. Berlahiranlah kemudian karya-karyanya yang mengolah sejarah, antara lain: Arok-Dedes, Mangir, dan terutama Arus Balik. Sejarah, kemudian menjadi salah satu bahan utama kekaryaan Pramoedya. Sudah barang tentu meski Pramoedya menulis sejumlah karya sastra yang berupa konfrontasinya dengan sejarah, ia pada dasarnya tidaklah sedang menyajikan sejarah Indonesia dalam bungkus sastra. Ia menyajikan sejarah sebagai bagian untuk dikonfrontasikan dengan situasi nyata Indonesia saat ini.20 Dalam kaitan ini, benarlah apa yang dikemukakan Koh Young Hun, guru besar dan peneliti sastra dari Korea Selatan di berikut ini:

20 Agus R. Sarjono. “Sastra Sejarah dan Masa Kini: Harapan dan Kritikan”, dalam Jurnal Kritik, edisi 3, 2012.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 383 Ciri yang khas dari kepujanggaan Pramoedya adalah bahwa dia dengan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa Indonesia teruta- ma generasi mudanya, mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru. Untuk itu dia tetap menggunakan media bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra, meski kisah yang dia bawa sarat muatan politik. Dan, lahan serta bahan ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara sendiri.21

Karyanya terbesar adalah tetralogi Bumi Manusia. Apa- kah sejarah yang dijadikan landasan Tetralogi Bumi Manusia tersebut merupakan sejarah nasional yang adekuat dan fakta-faktanya teruji secara ilmiah? Tidak begitu jelas. Yang jelas baik sosok maupun semangat sejarah yang diangkat dan dijadikan latar belakang novel-novel tersebut bukanlah sosok dan semangat yang lazim dalam —jika bukan justru bertolak belakang dengan— sejarah resmi. Yang cukup jelas adalah bagaimana novel ini menjadikan Minke, sang prota- gonis, sebagai sosok pembawa misi nasionalisme sebagai- mana diidealkan oleh Pramoedya.22 Minke sebagai putra pembesar Jawa yang bersekolah di sekolah Belanda dan memiliki semua syarat untuk menjadi elite politik Bumi Putera di masa kolonial, menolak semua

21 Koh Young Hun, “Sastra dan Sejarah dalam Dunia Pengkaryaan Pramoedya Ananta”, Jurnal Kritik, edisi 3, 2012. 22 Minke mengacu pada tokoh sejarah R.M. Tirto Adhi Suryo. Dalam “sejarah resmi” Indonesia R.M. Tirto Adhi Suryo jarang disebut. Rickelfs, misalnya, dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern setebal 468 halaman, hanya menyebut R.M. Tirto Adhi Suryo sekali saja, itupun sambil lalu. Selepas terbitnya tetralogi Bumi Manusia, sosok ini lebih mendapat perhatian. Ini terlihat, misalnya, pada buku Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, (Jakarta: Grafiti, 1997)

384 Jamal D. Rahman dkk. tawaran dan kemungkinan hidup makmur sejahtera, aman dan berkuasa sebagaimana menjadi cita-cita sebagian besar orang Indonesia, khususnya para elitenya alias para priyayi- nya23. Ia justru memilih menjalani kehidupan keras dan sulit sebagai pejuang kemerdekaan. Dalam bahasa Minke sendiri:

Kepriyayian bukanlah duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecu- rangan? Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.24

Seluruh pewacanaan sejarah dalam Tetralogi Bumi Manusia ini dihadirkan sebagai gambaran atas cita ideal Pramoedya mengenai bagaimana menjadi Indonesia.25 Dalam keempat novel itu, proses menjadi Indonesia tersebut dimulai dengan menjadi murid Barat, tepatnya murid Belanda. Minke menjadi seorang student yang memandang potret Ratu Wilhelmina –yang baru dinobat- kan– dengan kecintaan dan pengagungan. Ratu Belanda yang belia itu menjadi idola Minke muda. Minke dengan penuh semangat menyelami berbagai pengetahuan Barat dan belajar mewujudkan diri sebagai manusia modern yang Barat. Kritiknya yang pedas atas tradisi feodal Jawa yang mengharuskan seorang manusia ngesot (semi merangkak) saat menghadap pembesar dan cambuk kemaluan sapi

23 Bandingkan sosok priyayi (resmi) Minke yang pemberontak ini dengan sosok priyayi (karier) seperti Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam. 24 Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia. (Jakarta: Hasta Mitra), hal. 120. 25 Tentu saja nasion Indonesia waktu itu belum ada. Novel ini mewacanakan suatu nasion sebagai komunitas imajiner sebagaimana dirumuskan oleh Ben Anderson dalam Imagined Communities.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 385 jantan yang dipegang sang penguasa untuk menegakkan ketertiban menjadi bahan kebencian Minke muda yang tetap tertanam sampai akhir hayatnya:

Apa guna belajar ilmu pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, ber- ingsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang berangkali buta huruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri.26

Boleh dibilang, sejak itu Minke secara definitif memutus- kan hubungannya dengan tradisi Jawa tanpa ada gelagat untuk kembali lagi. Bagaimanapun ia menyaksikan bahwa humanisme dalam peradaban modern Barat yang dipelajari anak muda terpelajar dan penuh semangat ini benar-benar bertolak belakang dengan tradisi priyayi Jawa tempatnya berasal. Manusia yang posisinya mandiri berpilarkan akal budi ini, harus merangkak di hadapan manusia lain —yang mungkin buta huruf dan bodoh— hanya semata karena jabatannya yang diproleh secara turun-temurun. Ibu Minke yang sangat dicintai dan mencintai anaknya itu berkata: “Kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, belanda coklat semacam ini.27

26 Pramoedya Ananta Toer. Ibid., hal. 116. 27 Pramoedya. Ibid. Halaman 124. Ucapan Ibu Minke, dalam rumusan Frantz Fanon boleh jadi akan berbunyi: black skin, white masks; dan dalam rumusan Hommi K. Bhaba menjadi almost white but not quite. Belakangan Minke menyadari soal ini dan perlahan melepaskan diri dari kompleks inferioritas sebagaimana terlihat pada novel Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, maupun Rumah Kaca. Bandingkan dengan pendapat Frantz Fanon yang mengemukakan bahwa rakyat terjajah itu bukan hanya mereka yang kerjanya telah dirampas, tetapi juga mereka yang “dalam jiwanya telah diciptakan kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya lokal mereka.” (1967: 18).

386 Jamal D. Rahman dkk. Belakangan Minke yang mempelajari Belanda dengan penuh kekaguman itu harus berhadapan dengan Belanda sebagai realitas lewat kekuasaan politik kolonialnya. Bahkan, ia menghadapi kenyataan bahwa nilai-nilai akal budi dan kemanusiaan universal yang diagungkan Barat ternyata tidak terbukti dalam kenyataan ketika istrinya dirampas dengan keji dari tangannya semata-mata hanya karena masalah ras dan strata penjajah atas sang terjajah. Selanjutnya Minke mulai belajar melihat kenyataan dan bergaul dengan pemi- kiran Barat secara lebih luas. Ia juga kemudian berhadapan dengan kondisi nyata rakyat di pedesaan-pedesaan dan keti- dakadilan yang mereka alami. Ia juga belajar pada nasional- isme China yang saat itu sedang bangkit. Pada dasarnya Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa berkisah mengenai pende- wasaan diri Minke mulai dari pemuja modernitas Belanda hingga kesadaran akan gawatnya dan menindasnya sistem kolonial Belanda bagi kehidupan manusia di Indonesia. Jejak Langkah mengisahkan pengalaman Minke memasuki dunia perjuangan politik sejak ia menginjakkan kaki di Batavia hingga ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial. Rumah Kaca mengisahkan kiprah Minke dan segala bentuk perlawanan terhadap kolonial dari sudut pandang Pangemanan, abdi kolonial yang bertugas mengawasi seluruh perlawanan terhadap kolonial di Hindia Belanda sekaligus memastikan bahwa sistem kolonial tetap tegak. Berdasar semua penga- laman mulai dari Bumi Manusia hingga Jejak Langkah, Minke berkonfrontasi terus-menerus dengan sistem feodal. Ia berenang dalam arus nasionalisme yang tengah tumbuh di mana-mana, khususnya nasionalisme yang bangkit di Hindia Belanda. Pengalaman mengelola surat kabar Medan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 387 Priyayi ditambah pertemuannya dengan berbagai segi buruk kolonialisme (dan feodalisme) yang dialami rakyat pribumi, membuat Minke kemudian menemukan nasionalismenya sendiri. Pada saat itulah ia justru ditangkap dan dibuang oleh Kolonial Belanda. Keempat novel tetralogi Bumi Manusia menggambarkan bagaimana pencarian dan proses pendewasaan Minke dalam menemukan keindonesiaannya. Cita ideal mengenai Indo- nesia sebagai sebuah nasion yang kelahirannya diwacanakan dan dibayangkan oleh protagonis novel ini meneguhkan sebuah bayangan tentang Indonesia yang ideal. Nasionalisme dan gambaran Indonesia yang dicita-citakan sejak awal kelahirannya oleh pendiri bangsa dihadirkan bermuka-muka dengan Indonesia kenyataan pada masa ini. Dengan menguji dan mengkonfrontasikan kenyataan masa kini dengan cita-cita masa lalu, maka masa kini segera mendapat kritik cukup keras. Akal budi dan rasionalisme, martabat manusia dan kemerdekaan, kemandirian dan kesejahteraan, kedaulatan rakyat dan kebhinekaan, yang menjadi alasan (raison de etre) pemerdekaan Indonesia dari penjajah ternyata kondisinya masih kurang lebih sama —jika bukan lebih buruk— dengan kondisi saat masih terjajah. Siapa bisa menduga bahwa setelah setengah abad kemerdekaan Republik Indonesia, ternyata feodalisme Jawa yang dikritik keras para pejuang kemerdekaan (dan mendapat kritik sangat keras dalam Bumi Manusia), masih utuh dan kuat menceng- keram kehidupan politik Indonesia di masa Orde Baru. Bahkan, dalam banyak bidang —termasuk upacara kene- garaan dan peresmian berbagai proyek negara— feodalisme

388 Jamal D. Rahman dkk. Jawa tersebut menggejala dengan kuatnya hingga nyaris dianggap sebagai landasan utama pemerintahan Orde Baru.28 Dengan demikian, novel-novel sejarah yang ditulis Pramoedya cenderung memfungsikan sejarah sebagai aparat kritik atas kenyataan masa kini.29 Pewacanaan sejarah sebagai aparat kritik bagi masa kini juga ditunjukkan Pramoedya lewat novelnya Arus Balik. Arus Balik bermula dari masa kemerosotan Majapahit dan munculnya kesultanan Demak hingga sandyakala Kesultan- an Demak. Dalam novelnya, Pramoedya juga mengisahkan perjumpaan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan bibit imperialisme Barat dan ketidakmampuan kerajaan-kerajaan ini untuk bertahan dan mengusir imperialisme Portugis dan Spanyol akibat konflik internal mereka sendiri. Intrik-intrik di istana dan kebodohan serta kelemahan para penguasa merupakan sebab utama bertaklukannya kerajaan-kerajaan

28 Presiden Soeharto mengumpulkan kebijakan-kebijakan Jawa dalam sebuah buku. Bandingkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya dengan nilai-nilai yang dianut para raja Jawa. Untuk nilai-nilai Jawa, lihat Soemarsaid Moertono. 1968. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century. Cornell Modern Indonesia Studies, Monograf Series. Ithaca, NY: Cornel University Press. Lihat juga Kenji Tsuchiya. 1990. “Javanology and the Age of Ranggawarsita: An Introduction to Nineteenth-Century Javanesse Culture,” dalam Takashi Shiraishi (ed). Reading Southeast Asia. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program. Buku Soeharto diniatkan sebagai persembahan bagi anak-cucu. Jika kita sepakat pada pandangan Saya Shiraishi yang menyimpulkan bahwa Orde Baru dibangun dalam bentuk keluarga di mana presiden menempati posisi Sang Bapak, maka “bagi anak cucu” bermakna —jika bukan justru memang ditujukan— bagi seluruh rakyat Indonesia. Lihat Saya Shiraishi, Young Heroes: The Indonesian Family in Politics, (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 1997). 29 Lebih jauh lihat Agus R. Sarjono. Ibid.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 389 Nusantara pada para penjajah. Pada novel ini, digambarkan pula bagaimana penghianatan Tuban pada ekspedisi Pangeran Sabrang Lor yang membawa armadanya untuk bersama kesultanan Malaka memerangi Portugis. Armada bantuan sengaja diperlambat hingga hampir tidak ada gunanya sama sekali dan berakhir dengan kekalahan armada Demak oleh Portugis. Dalam Arus Balik diwacanakan pula bagaimana pergeseran perhatian pada lautan ke daratan. Perhatian atas kekuatan maritim dan armada laut sebagai-mana dicanang- kan Raden Fatah dan para pendiri Kesultanan Demak, pada masa Sultan Trenggono beralih secara drastis menjadi per- hatian ke daratan dengan melakukan penguatan pada pasu- kan darat, yang di mata Pramoedya tidak lain adalah tindak penguasaan wilayah daratan dengan memerangi saudara sebangsa sendiri. Dengan memperkuat angkatan darat, Sultan Trenggono berniat menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di Jawa dan mengabaikan ancaman Portugis dan Spa- nyol yang armadanya sudah bergerak ke Malaka. Dengan perubahan orientasi dari lautan ke daratan, Sultan Treng- gono lebih memilih memerangi saudaranya sendiri diban- ding mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negeri dari penaklukan asing.30 Sebagaimana tetralogi Bumi Manusia, dalam novel Arus Balik pun sejarah diangkat sebagai kaca untuk bercermin atas kondisi masa kini yang sibuk mengurus daratan dengan memerangi saudara sebangsa dan abai melihat lautan dan dunia luar.

30 Tidak sulit untuk mencari kaitan antara novel ini dengan kenyataan politik Indonesia atas mana kritik dalam novel ini dialamatkan.

390 Jamal D. Rahman dkk. Berbeda dengan tetralogi Bumi Manusia yang memiliki landasan kesejarahan yang relatif mantap, Arus Balik melan- daskan diri pada latar sejarah yang sumir31. Bagaimanapun sangat tidak masuk akal bagaimana protagonis novel ini mendadak sontak berubah dari Si Galeng orang desa biasa, menjadi “intelektual tercerahkan” hanya berkat ceramah singkat Rama Cluring, seorang penceramah jalanan yang kebetulan lewat di desanya. Apalagi jika diingat bahwa nilai- nilai yang diajarkan sambil lewat itu dianut secara fanatik dan mendarah daging oleh sang protagonis. Penggambaran yang nyaris hitam putih atas berbagai hal pun mewarnai hampir keseluruhan novel ini. Sekalipun demikian, novel ini menjadi penting justru bukan karena apa yang dituliskan melainkan karena apa yang tidak dituliskan. Dilihat secara bulat dari awal kepengarangan hingga karyanya yang ditulis pada akhir hidupnya, boleh dibilang Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan Indonesia satu-satunya yang selalu berurusan dengan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Berawal dari mengisahkan kisah-kisah revo- lusi Indonesia di masa revolusi hingga upayanya menggali genealogi kebangsaan Indonesia di masa kemudian, seluruh ouvre Pramoedya tidak lain tidak bukan adalah upaya mewa- canakan bangunan besar keindonesiaan. Ironisnya, sastra- wan yang nyaris seluruh hidupnya diabdikan untuk berurusan dengan Indonesia dan mewacanakan kebangsaan Indonesia

31 Bandingkan misalnya dengan paparan para sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo mengenai Tuban dan kerajaan lain masa itu dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Dari Emporium Sampai Imperium. Bandingkan juga dengan H.J. De Graaf dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 391 sejak kelahirannya ini justru dalam kenyataan berkali-kali dicederai oleh (pemerintah) negeri yang diwacanakannya. Sudah barang tentu pencederaan terhadapnya tidak semata-mata diakibatkan oleh kesastrawanan dan karya- karya sastranya, melainkan juga oleh pilihan dan aktivitas politiknya. Ia dipenjarakan oleh Belanda karena menjadi tentara Republik dan melawan kolonial Belanda. Ia dipenja- rakan Orde Lama karena apa yang ditulisnya sementara oleh Orde Baru ia dipenjarakan karena afiliasi politiknya. Selain penjara yang pertama, dua penjara lainnya me- rupakan tragedi, khususnya penjara ketiga. Tragedi itu muncul karena pada dasarnya kesastrawanan dan keikut- sertaan dalam politik praktis dibawah suatu bendera partai adalah komposisi yang ganjil sejak awalnya. Apalagi kalau partai itu adalah Partai Komunis yang mendasarkan diri pada diktator proletariat. Keberpihakan seorang sastrawan, jika dia sastrawan sejati, pastilah kepada rakyat kecil, kaum tertindas dan terpinggirkan, dan kelompok-kelompok yang dinistakan. Dengan demikian, pada dasarnya ada semacam aroma “kekirian” pada sastrawan semacam itu. Aroma “laten kekirian” pada seorang sastrawan akan membuatnya menjadi berlebihan manakala dia secara formal berbaris di bawah bendera partai, apalagi partai kiri. Aroma kekirian itu pada dasarnya justru “mengharuskan” sang sastrawan untuk tetap berada dalam kebebasan dari segala bentuk partai politik dan berdiri sebagai intelektual bebas. Tentu meskipun seorang sastrawan memilih posisi sebagai intelektual bebas, penjara penguasa —yang otoriter terutama— masih akan selalu mengancam, apalagi di negeri

392 Jamal D. Rahman dkk. yang terbelakang peradabannya.32 Tentu saja, meski Pramoedya Ananta Toer merupakan anggota Lekra yang berafiliasi pada PKI, jika PKI menang pun bukan tidak mungkin Pramoedya akan tetap kritis dan dipenjarakan oleh rezim PKI.33 Apalagi bila diingat nyaris dalam semua karyanya tidak ada garis bawah yang kuat pada ideologi komunis. Tokoh utama tetralogi Bumi Manusia, Minke, tidak lain adalah seorang priyayi dan kapitalis pemilik sejumlah bisnis termasuk bisnis media. Wiranggaleng dalam Arus Balik adalah pemuda desa yang menerjunkan diri berkarir di ketentaraan dan menjadi panglima.

Pengaruh Pramoedya Secara estetik Pramoedya Ananta Toer boleh jadi tidak memiliki pengaruh luas bagi para penulis Indonesia yang kemudian mengingat nyaris semua karya Pramoedya ditulis secara konvensional. Namun, secara tematik dan secara etik Pramoedya memberi pengaruh besar bukan hanya di Indo- nesia melainkan juga melintas batas Indonesia. Salah satu- nya adalah Tahar Ben Jelloun, sastrawan kelahiran Maroko yang kini bermukim di Perancis. Tahar Ben Jelloun tidak diragukan lagi merupakan sastrawan terkenal yang karya-

32 Rendra adalah sastrawan dan intelektual bebas yang tidak pernah bernaung di bawah partai politik apapun, namun ia dipenjarakan rezim Orde Baru dan karya sastra serta pementasannya pun dicekal. 33 Maxim Gorky adalah sastrawan yang paling dipuja di Sovyet komunis dan dianggap sebagai bapak realisme sosialis yang menjadi acuan karya sastra di bawah rezim komunis, namun di masa akhir hidupnya Maxim Gorky sendiri merasa terpukul dan kecewa dengan kenyataan yang dialami masyarakat Russia dibawah pemerintahan diktator proletariat Stalin.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 393 karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat berbagai penghargaan bergengsi di bidang sastra, antara lain Prix Goncourt (1987), the International IMPAC Dublin Literary Award (2004), dan Prix Ulysse(2005). Sastrawan masyhur ini menulis novel berjudul Corruption (1994)34 yang diakuinya ia tulis berdasar novel Korupsi Pramoedya Ananta Toer. Pemberian judul yang sama terse- but disengaja sebagai semacam penghormatan, persem- bahan, dan solidaritas atas nasib yang dialami Pramoedya. Sejumlah sastrawan terkemuka pun memberi perhatian besar terhadap Pramoedya, termasuk Gunter Grass sastra- wan terkenal Jerman pemenang Hadiah Nobel Sastra. Perhatian besar lebih banyak lagi diberikan oleh para peneliti dan pengkaji sastra maupun peneliti dan pengkaji sosial budaya baik di Indonesia maupun mancanegara. Jumlah disertasi, kajian, penelitian, dan tulisan mengenai Pramoedya Ananta Toer sangatlah berlimpah, mulai yang ditulis oleh Benedict Anderson dari Amerika Serikat hingga Koh Young Hun dari Korea Selatan; mulai dari A. Teeuw dari Belanda hingga Hong Liu dari RRC; mulai dari Bahrum Rangkuti di Indonesia sampai Savitri Scherer dari Australia. Setelah reformasi, penelitian, kajian, dan bahasan atas karya-karya Pramoedya pun segera menjadi marak mulai dari skripsi, tesis, dan disertasi kesarjanaan sampai tulisan

34 Sejauh menyangkut Tahar Ben Jelloun, novel Corruption (L‘homme Rompu) ini lah yang paling bersifat politis dan menyerang sehingga relatif berbeda dibanding semua novel-novel lainnya. Lihat wawancara Tahar Ben Jelloun dengan Shusha Guppy bertajuk “The Art of Fiction”, The Paris Review, No. 159. Musim Gugur, 2001.

394 Jamal D. Rahman dkk. di koran dan jurnal ilmiah. Ketika Pramoedya meninggal dunia nyaris semua media massa di Indonesia memberita- kannya, dan sejumlah media massa terkemuka di manca- negara pun memberitakannya.35 Pramoedya Ananta Toer pun memiliki pengaruh besar di kalangan anak muda yang beragam dan sebagian besar justru bukan penulis. Mereka membentuk kelompok yang mereka namakan Pramis. Kelompok ini adalah kelompok pencinta Pramoedya Ananta Toer dan diinspirasi oleh karya- karya Pramoedya dan menolak untuk dilekatkan dengan partai politik atau ideologi besar manapun. Kelompok inilah yang di antaranya pernah menyelenggarakan Pameran sampul buku-buku Pramoedya yang di terbitkan di Indo- nesia maupun mancanegara dalam rangka ulang tahun Pramoedya Ananta Toer yang ke-81. Dengan sosok sebesar dan sekontroversial Pramoedya Ananta Toer dengan sendirinya pengaruh yang ditimbul- kannya pun tidaklah kecil, bahkan tidak terbatas hanya pada gaya bersastra semata. Apalagi gaya bersastra pada dasarnya bukanlah pengaruh yang akan diikuti oleh para sastrawan sejati tidak peduli seaneh dan sehebat apapun gaya sastra tersebut, karena begitu seorang sastrawan mengikuti sebuah gaya sastra tertentu dan bukan menggunakan gaya otentik- nya sendiri maka dengan sendirinya dia bukan seorang

35 Di antaranya Tariq Ali, “On the Death of Pramoedya Ananta Toer Indonesia’s Greatest Writer”, dalam Counterpunch, 2 Mei 2006 (diunduh 3 September 2013); Jane Perez, “Pramoedya Ananta Toer, 81, Indonesian Novelist, Dies”, The New York Times, Mei 2006, dll.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 395 sastrawan yang bernilai. Demikian pula dengan Pramoedya Ananta Toer. Pengaruhnya melebar ke berbagai bidang hingga ke bidang penulisan sejarah, di mana seorang tokoh yang sebelumnya tidak disentuh dengan patut oleh para sejarawan ternama, begitu diolah Pramoedya dalam karya sastranya, tokoh tersebut segera mendapat perhatian serius dalam kajian sejarah dan kajian sosial sebagaimana terjadi dengan tokoh R.M. Tirto Adhi Suryo yang demikian nyata bedanya di mata sejarawan sebelum dan setelas ditulis Pramoedya dalam novelnya. Pengaruh tersebut akan makin membesar dan meluas bagi bangsa Indonesia jika bangsa Indonesia telah tumbuh sebagai bangsa yang literat dan menjadikan karya-karya sastra unggul bangsanya sebagai bagian utama dalam pendidikan intelektualitas mereka. Jika itu terjadi, niscaya tetralogi Bumi Manusia yang mewaca- nakan kelahiran bangsa Indonesia dengan segala anasirnya akan berpengaruh pada pandangan bangsa Indonesia atas keindonesiaan mereka.[]

Kepustakaan

A. Teeuw. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya. A. Teeuw. 1978. Modern Indonesian Literature, 2nd. The Hague: Martinus Nijhoff. Adrian Vickers. 2013. A History of Modern Indonesia (2nd edition). Cambridge: Cambridge University Press. Agus R. Sarjono. 2001. Citra Rumah dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer dan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis. Tesis S2, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (tidak diterbitkan).

396 Jamal D. Rahman dkk. Agus R. Sarjono. 2012. “Sastra Sejarah dan Masa Kini: Harapan vs Kritikan”, dalam Jurnal Kritik Edisi 3 yang bertema “Sejarah di Hadapan Sastra”. Bahrum Rangkuti. 1963. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya. Jakarta: Gunung Agung. Benedict Anderson. 1972. Java in a Time of Revolution. Ithaca: Cornell University Press.Benedict Anderson. “’Reading ‘Revenge’ by Pramoedya Ananta Toer (1978-1982)” dalam A.L. Becker (Ed.). 1989. Writing on the Tongue. Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan. Benedict Anderson. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press. Benedict Anderson, Richardd O’Gorman. 1992. Imagined Communities (revised and extended edition). London, New York: Verso. Boen S. Oemarjati. 1978. “The Depelopment of Indonesian Literature” dalam H. Sobadio & C.A.M. Sarvaas. Dynamics of Indonesian History. Amsterdam: Elsevier. Chris GoGwilt. 1995. Pramoedya’s Fiction and History: An Interview with Indonesian Novelist Pramoedya Ananta Toer 16 January. Mimeograph. Frantz Fanon. 1967. Black Skin, White Masks. (terj, C.L. Markmann). New York: Grove Press. H.J De Graaf. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti Pers Harry Aveling. 1991. “Introduction” dalam Pramoedya The Girl from the Coast. Singapore: select Books. Hong Liu. 1995. ’The China Metaphor’: Indonesian Intellectuals and the PRC, 1949-1965. Disertasi di Ohio University. Hong Liu. 1996. “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual”, Indonesia No. 61 (Pramoedya Ananta Toer and His Work), April. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Horison, Majalah Sastra, 30 oktober 1995. Jane Perez. 2006.”Pramoedya Ananta Toer, 81, Indonesian Novelist, Dies”, The New York Times, Mei 2006.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 397 Jogaswara (A.S. Dharta. 1949. “Angkatan 45 Sudah Mampus”, Spektra. 27 Oktober 1949. Johns Anthony. 1979. “Pramoedya Ananta Tur: The Writer as Outsider: The Indonesian Example”, dalam Cultural Option and the Role of Tradition. Canberra: Australian National University Press. Jurnal Kritik, Edisi 2. 2012. Jurnal Kritik, Edisi 3. 2012. Keith Foulcher. 1946. “The Early Fiction of Pramoedya Ananta Toer”. Keith Foulcher. 1986. Social Commitment in Literature and the Arts : the Indonesian “Institute of Peoples Culture” 1950-1965. Clayton, Victoria: Monash University. Kenji Tsuchiya. 1990. “Javanology and the Age of Ranggawarsita: An Introduction to Nineteenth-Century Javanesse Culture,” dalam Takashi Shiraishi (ed). Reading Southeast Asia. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program. Koh Young Hoon. 1996. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel- Novel Mutakhirnya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Koh Young Hun. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koh Young Hun. 2012. “Sastra dan Sejarah dalam Dunia Pengkaryaan Pramoedya Ananta”, Jurnal Kritik Edisi 3 yang bertema “Sejarah di Hadapan Sastra”. M.C Ricklefs. 1993. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers. Margaret Scott. 1995. “Waging War with Words,” Far Eastern Economic Review, 15 Agustus. Martina Heinschke.1996. “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya’s Development Literary Concepts”. Indonesia No. 61. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Mochtar Lubis. 1992. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan Obor. Mohamad Zamri bin Shaari. 1985. Sebuah Analisis Kebahasaan terhadap

398 Jamal D. Rahman dkk. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Disertasi di Universitas Nasional. Patricia Henry. 1991. “The Writer’s Responsibility: A Plemliminary Look at the Depiction and Construction of Indonesia in the Works of Pramoedya Ananta Toer.” Crossroads 6. Pramoedya Ananta Toer, “Ada Humanisme di Oranje Nasaulaan 5 dan Komunisme telah Mati bersama Lenin”, Medan Bahasa 3, 10 Oktober 1953. Pramoedya Ananta Toer. 1950. Keluarga Gerilya. Pramoedya Ananta Toer. 1951. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1960. Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1988. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1995. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 2002 (1954). Korupsi. Jakarta: Hasta Mitra. Razif Bahari. 2003. “Remembering History, W/Righting History: Piercing the Past in Pramoedya Ananta Toer’s Buru Tetrology”, Indonesia No.75. Sartono Kartodirdjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia. Savitri Scherer. 1981. From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya Ananta Toer. Disertasi di Australian National University. Saya Shiraishi. 1997. Young Heroes: The Indonesian Family in Politics. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 399 Soeharto. Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Lamtorogung Persada. Soemarsaid Moertono. 1968. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century. Cornell Modern Indonesia Studies, Monograf Series. Ithaca, NY.: Cornel University Press. Tahar Ben Jelloun. 2001. “The Art of Fiction” (diwawancara oleh Shusha Guppy), The Paris Review No. 159. Musim gugur. Tahar Ben Jelloun. 2010. Korupsi (Terj. Okke K.S. Zaimar). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Takashi Shiraisi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926 (Terj. Hilmar Farid). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Tariq Ali.2006. “On the Death of Pramoedya Ananta Toer Indonesia’s Greatest Writer”, dalam Counterpunch, 2 Mei 2006 (diunduh 3 September 2013). Taufiq Ismail dan D.S. Mulyanto. 1995. Prahara Budaya. Bandung: Penerbit Mizan dan H.U. Republika. Umar Kayam. 1999. Para Pryayi. Jakarta: Grafiti Press.

400 Jamal D. Rahman dkk. Iwan Simatupang Ziarah Kemanusiaan Sang Pembaharu

JAMAL D. RAHMAN

lgojo pemancung kepala para pengkhianat itu siap Amenjalankan tugasnya. Di hadapannya kini tegak se- orang pengkhianat besar yang mesti dipancung. Darahnya, haus darahnya, menggelegak. Tapi tiba-tiba dia ingat pela- jaran tentang maaf dan ampun di seminari dulu. Sang algojo pun tak ingin buru-buru menamatkan pengkhianat itu. Dia menyuruhnya untuk sembahyang sebelum hukuman pancung dijalankan. Mereka pun saling berpandangan, membuat lutut sang terhukum tak berdaya, rebah, tangannya berjalin, dan wajah- nya tengadah ke atas —arah dari segala derita dan harap manusia. Dia sembahyang. Mungkin tanpa sadar, sang terhu- kum mengucapkan beberapa patah kata tentang maaf, insaf, dan ampun. Juga tentang Tuhan. “Bapa! Selesailah semua,” dia bergumam masih dengan mata memandang ke langit. Lalu dengan tenang dia berkata kepada algojo, “Saya sudah siap. Laksanakan tugas Saudara.” Suaranya nyaring. Senyumnya membebaskan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 401 Tapi algojo itu tiba-tiba merasa darahnya beku. Jari- jemarinya kaku. Dia tak sanggup mengangkat samurai, apa- lagi mengayunkannya tepat ke leher sang pengkhianat yang kini dalam posisi sembahyang. Hatinya kelu. “Silahkan, Saudara. Atas nama Bapa....” Kata-kata pengkhianat ini menyengat hati sang algojo, mengingatkannya pada kata-kata yang setiap saat diucap- kannya di seminari dulu: atas nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Tiba-tiba darahnya terasa mengalir kembali. Tenaga- nya pulih kembali. Matanya nanar sekali. Tangannya meng- genggam pedang kuat sekali. Dia mengayunkannya sekali tebas tepat di.... “Bapa! Selesailah semua....” Sang algojo menjalankan tugasnya. Setelah itu dia pun tidur nyenyak, sehari semalam. Tapi sejak itulah pikirannya kacau, sehingga dikirim ke sanatorium sakit jiwa. Itu satu fragmen Merahnya Merah (1995: 23-24), novel Iwan Simatupang yang pertama sampai ke tangan pembaca (1968). Dua tahun kemudian novel ini disusul dengan novel yang sebenarnya ditulis Iwan lebih awal, Ziarah (1969), kemudian disusul pula dengan novel Kering (1972) dan Kooong (1975). Ziarah dan Kering diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris, masing-masing dengan judul The Pilgrim (1975) dan Drought (1975). Sebelum menulis novel, Iwan Simatupang sebenarnya telah menulis puisi, drama, esai, dan cerpen di berbagai media. Gaya cerpen-cerpennya (1985) dapat dipandang sebagai persiapan bagi gaya novel-novelnya, sementara beberapa esainya —

402 Jamal D. Rahman dkk. bersama surat-surat pribadinya kepada HB Jassin— menjelaskan obsesi Iwan tentang novel yang telah, sedang, atau akan ditulisnya. Dengan demikian, khususnya melalui cerpen dan esainya, Iwan sebenarnya menyiapkan novel- novelnya dalam satu proses pematangan baik konsep mau- pun ide cerita, baik gaya maupun tema. Tidaklah menghe- rankan kalau Iwan mencapai tingkat kematangan berkarya terutama melalui novel-novelnya. Maka, Merahnya Merah akhirnya meraih Hadiah Nasional 1970, dan Koong menda- patkan Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendi- dikan dan Kebudayaan RI di tahun 1975. Sementara itu, Ziarah mengantarkan Iwan Simatupang menerima Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) dari , Thailand di tahun 1977.

Diskusi dan Publikasi Sinopsis dua novelnya disajikan di sini sekadar untuk menunjukkan bahwa jika cerita diringkas menjadi cerita yang sangat sederhana sekalipun akan segera terasa hal- hal ganjil. Dilihat dari novel konvensional, struktur cerita novel Iwan memang tampak aneh dan tokoh-tokohnya tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang mantan rahib menjadi algojo pembunuh, dan kemudian hidup bersama para pekerja seks komersial tanpa merasa berdosa, menjadi gelandangan, namun kelak setelah meninggal dimakamkan dengan upacara militer? (Merahnya Merah). Bagaimana mungkin seorang pelukis bersedia menjadi pengapur tembok kuburan, kemudian menjadi opseter kuburan? Bagaimana mungkin seorang mahasiswa filsafat yang brilian bersedia

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 403 menjadi opseter kuburan dan akhirnya bunuh diri? (Ziarah). Bagaimana mungkin pula seorang transmigran bertahan di daerah transmigrasi yang kekeringan seorang diri, dan menggali sumur seorang diri pula? (Kering). Dilihat dari struktur cerita, kemungkinan-kemungkinan dalam novel Iwan itu tidak meyakinkan. Aneh dan tak masuk akal. Dan, begitu banyak fragmen yang aneh dan tak masuk akal dalam novel-novel Iwan. Novel-novel Iwan mendapatkan aneka reaksi dan panda- ngan dari banyak kritikus. Sebagian menyangsikan keber- hasilannya sebagai novel; sebagian menilainya sebagai novel yang terlalu dibebani oleh pemikiran filsafat; sebagian ragu apakah novel-novel itu layak disebut novel, dan lain sebagai- nya. Namun tak sedikit pula yang memujinya. Ya, novel Iwan mengguncang asumsi-asumsi mapan tentang novel konvensional, menguji dasar-dasar teoritisnya yang sudah umum diterima, sekaligus membuka kemungkinan baru bagi dunia novel sebagai media mengemukakan gagasan katakanlah dalam suatu bagan proyek intelektual. Maka, karya-karyanya menjadi bahan diskusi dalam rentang yang cukup panjang, dan lambat-laun dipandang sebagai menandai babak baru sejarah novel Indonesia modern. Iwan Simatupang jelas merupakan gema yang memberikan pengaruh cukup luas, bahkan dapat dikatakan menggempar- kan jagat sastra Indonesia. Luasnya publikasi dan diskusi tentang Iwan Simatupang pastilah menunjukkan pengaruh tokoh sastra Indonesia modern ini, terutama di kalangan kritikus sastra. Barangkali dia merupakan penulis novel yang paling banyak dibicarakan

404 Jamal D. Rahman dkk. khususnya di tahun 1970-an sampai 1980-an. Kurnia JR, salah seorang peneliti Iwan yang cukup tekun, mencatat, sampai tahun 1988 saja sedikitnya ada 105 tanggapan telah dipublikasikan sejak Merahnya Merah terbit, mendiskusikan karya-karya Iwan dengan segala persoalan teoritis sastra dan pemikiran Iwan sendiri. Sementara, buku puisi Iwan Simatupang Ziarah Malam (2002), yang disunting Oyon Sofyan dan S. Samsoerizal Dar, mencantumkan daftar esai tentang karya-karya Iwan sebanyak 184 esai. Tentu masih banyak lagi publikasi dan penelitian (akademis, baik program S1, S2, maupun S3) tentang Iwan Simatupang. Yang sangat penting di antaranya adalah disertasi Okke K.S. Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang (1990) —yang secara agak khusus akan disinggung di bawah. Juga publikasi esai dan puisi Iwan sendiri dalam bentuk buku, serta penelitian atas cerpen dan dramanya — yang semuanya akan memberikan pemahaman yang lebih baik dan lebih utuh tentang Iwan Simatupang sebagai seorang sastrawan. Mula-mula karya sastrawan kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928, ini diterima secara agak skeptis oleh beberapa kritikus. Karya Iwan dianggap menyajikan cerita secara fragmentaris, tokoh-tokohnya tidak menjalankan fungsinya sesuai kedudukan sosial masing-masing, dan semuanya tidak melukiskan kehidupan sosial secara realistis dan objektif. Jalan ceritanya tidak utuh pula. Di tahun 1969, Wing Kardjo mengulas Merahnya Merah, di mana dia mengemukakan pendapat yang secara tipikal mewakili pandangan skeptis atas novel Iwan (dikutip dari Kurnia JR, 1999: 63-64):

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 405 Bagaimanakah kita mesti menerima roman [Merahnya Merah] ini? Apakah kita harus menganggapnya sebagai sebuah roman fragmentaris, di mana segala-galanya hanya fragmen? Tokoh yang fragmentaris dalam waktu yang fragmentaris? Begitulah karena hanya ingin menyoroti aspek kejiwaan saja dari tokoh-tokohnya, maka kita kebanjiran kata-kata. Keba- likan dari suatu cerita yang ingin berkisah atau mengajak pem- baca mengalami pengalaman-pengalaman tokoh-tokohnya, kita merasa disuguhi keterangan-keterangan, penjelasan-pen- jelasan dan keinginan tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan persoalan. Jalan cerita berulang-ulang diputuskan, ditunda oleh penjelasan latar belakang sesuatu situasi atau suasana hati para tokoh. Dengan demikian kita merasakan lambatnya jalan kisah. Hingga saat-saat yang paling dramatik pun dikorbankan demi penjelasan. Padahal kita melihat betapa kuat gaya bahasa pengarang..., setiap tokoh nampak terlampau sadar akan situasi atau proses diri masing-masing. Sebuah roman yang baik tentulah tidak akan melewatkan pemikiran- pemikiran yang mendalam, tetapi janganlah hendaknya filsafat itu menenggelamkan tokoh-tokohnya dan “action-action”- nya, sehingga intriguennya kehilangan keotentikan dan roman kehilangan jiwanya.

Beberapa publikasi dan diskusi tentang karya Iwan selan- jutnya muncul di mana-mana. Lambat-laun publikasi ter- sebut mengarah pada menguatnya pemahaman dan peneri- maan atas gaya novel sastrawan yang wafat di Jakarta, 4 Agustus 1970 ini. Sudah tentu pembicaraan tentang karya Iwan mengandung banyak segi, namun hampir semua sepa- kat dalam satu hal: novel-novel Iwan merupakan percobaan paling radikal dalam sejarah novel Indonesia hingga masa itu. Dalam konteks ini, Dami N. Toda tampil sebagai pembela yang sangat kreatif dalam menafsirkan karya-karya Iwan Simatupang dan sangat artikulatif dalam menjelaskannya, baik menyangkut gaya maupun temanya. Dia menelaah karya-

406 Jamal D. Rahman dkk. karya Iwan kurang-lebih selama 10 tahun, dan kemudian mengkajinya untuk program penelitian akademisnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dia jelas merupakan wakil paling representatif dari para pembela Iwan sejak mula, sekaligus jadi juru bicaranya yang paling vokal. Dia mema- hami dan menafsirkan novel Iwan Simatupang antara lain lewat surat-surat pribadi Iwan kepada HB Jassin. Dengan cara itu Dami menemukan wawasan estetik Iwan yang merupakan landasan bagi karya-karya Iwan itu sendiri. Dalam sebuah esainya yang menarik, “Iwan Simatupang (1928-1970), Manusia Hotel Salak Kamar 52”, Dami menulis (1984: 55):

Novel-novel Iwan ditandai satu tema pokok yang sama, yakni kegelandangan. Suatu “Kegelandangan” yang harus, karena ia merupakan suatu kesadaran hakikat manusia yang tiada pilihan lain. Eksistensial! Kegelandangan itu, bukan dalam cita rasa material, tetapi mendukung bersusun-susun perta- nyaan/ renungan tentang “kesunyian” hidup ini. Kesunyian mempertanyakan tujuan hidupnya sendiri, sesudah sempat menjadi “pahlawan sementara” membela tanah air dengan menghalalkan pembunuhan manusia lain, dan melaksanakan tuntutan naluri biologis yang jujur dari manusia (Merahnya Merah). Kesunyian manusia, setelah kematian menyusup ke jantung kehidupan, merobek dan menguburkan segala kega- irahan untuk hidup menuruti akal budi dan jadwal-jadwal rencana kehidupan yang bahagia. Perobekan dan penguburan itu tanpa persetujuan manusia lebih dulu, tanpa upacara (Ziarah). Kesunyian manusia menghadapi segala kesibukan rutin, menggumuli rencana-rencana kesejateraan sosial untuk kecukupan sang pangan, yang dihapus secara sekali pupus saja oleh kemutlakan hukum alam yang “tak terpegang” upaya dan rencana kerja manusia (Kering). Kesunyian manusia memper- tanyakan tujuan pembangunan desa, makna kebebasan manusia itu apa, makna keisengan-keisengan manusia itu apa, dan semuanya yang nampak hanya irasionalisme-irasio- nalisme belaka (Kooong).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 407 Dami N. Toda adalah kritikus yang sejak awal paling jelas melihat corak baru novel-novel Iwan, dengan argumen- argumen yang meyakinkan. Argumennya lebih meyakinkan lagi dalam penelitian akademisnya yang kemudian terbit sebagai buku dengan judul Novel Baru Iwan Simatupang (1980). Sejak itu kedudukan Iwan sebagai pembaharu sastra Indonesia tak tergoyahkan lagi. Hampir semua pembicaraan tentang Iwan selanjutnya merupakan penafsiran positif atasnya, dengan perspektif, pendekatan, atau konteks sosial tertentu, yang secara umum memberikan dimensi-dimensi baru dalam memahami karya Iwan Simatupang. Judul buku himpunan tulisan yang membicarakan karya-karya Iwan selanjutnya kian meneguhkan posisi pengarang ini: Iwan Simatupang: Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan [editor], 1985). Itu bukan berarti tak ada lagi pandangan kritis terhadap karya Iwan. Budiarto Danujaya (1985), misalnya, mengatakan bahwa tema novel-novel Iwan Simatupang bersifat metafisis, sehingga tidak menyentuh kehidupan aktual masyarakat, tidak terlibat dalam masalah konkret kehidupan sosial. Padahal, menurut- nya, seni tak hanya untuk seni, tetapi untuk kesejahteraan umat manusia. Tapi bagaimanapun, Budiarto mengakui dan memuji sumbangan baru Iwan Simatupang.

Realisme Iwan Simatupang Apa yang menggerakkan berbagai tanggapan dan menjadi daya pengaruh Iwan Simatupang? Sudah sejak novel Merahnya Merah —sekali lagi, ini novel pertama Iwan yang sampai ke tangan pembaca, namun

408 Jamal D. Rahman dkk. novel pertama yang ditulisnya adalah Ziarah— Iwan memperlihatkan corak baru penulisan novel. Corak baru itu lebih jelas lagi pada seluruh novelnya, di samping cerpen- cerpennya yang ditulis lebih awal dibanding novel-novelnya. Yang terpenting di antaranya adalah corak realismenya, yakni caranya menggambarkan tokoh, alur, dan latar. Di sinilah terletak daya pengaruh novel-novel Iwan, yang — tentu saja bersama tema yang diusungnya, yang akan diuraikan di bawah— menggerakkan pemikiran, kontroversi, diskusi, dan penelitian paling tidak hingga 3 dasawarsa kemudian. Berbeda dengan tokoh utama dalam novel-novel lain, tokoh-tokoh utama dalam novel Iwan tak memiliki nama. Iwan hanya memberi beberapa petunjuk tentang profesi dan pekerjaan sang tokoh secara fragmentaris, misalnya seorang algojo yang dulunya calon rahib, dan kini seorang gelandangan (Merahnya Merah), seorang pelukis yang kesepian setelah ditinggal wafat istrinya (Ziarah), seorang transmigran yang bertahan sendiri di daerah transmigrasi yang kekeringan (Kering). Iwan menyebut tokoh utamanya sebagai tokoh kita, tanpa nama. Mungkin ini tampak sederhana, namun dalam konteks novel Iwan, menyajikan tokoh tanpa nama memiliki arti penting. Nama adalah tanda yang atas konvensi atau ketetapan formal menunjuk pada sesuatu yang jelas, hampir dalam keseluruhannya. Nama Soeharto menunjuk pada seseorang yang bernama Soeharto dengan segala sifat, karakter, dan kepribadiannya. Jika nama adalah tanda yang menunjuk atau mengacu pada seseorang hampir dalam keseluruhannya, maka tokoh kita yang tak

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 409 bernama dalam novel Iwan tidak menunjuk pada sosok khusus tertentu. Memang, tokoh kita menunjuk pada tokoh yang jelas dalam novel Iwan, yaitu tokoh kita itu sendiri, namun pada hakekatnya ia tidak mewakili tokoh itu sendiri, melainkan mewakili konsep atau persepsi sesosok manusia sejenis tokoh kita yang secara keseluruhannya mewakili suatu gagasan. Dia bukanlah tokoh imajiner yang menggambarkan atau mewakili sosok konkret tertentu, melainkan personifikasi pemikiran tentang manusia dan kehidupannya, penggambaran ide tentang nasib tragis manusia, dan lebih jauh merupakan penggambaran tentang irrasionalitas kehidupan manusia. Semua itu sejalan dengan alur cerita yang diambil Iwan. Kisah tokoh-tokoh ini bukanlah kisah utuh tentang nasib mereka dalam profesi dan kedudukan sosial mereka masing- masing. Bukan satu rangkaian kisah linear yang logis dari A, B, C, sampai Z dalam satu struktur yang koheren secara konvensional. Ia seakan merupakan fragmen-fragmen dari riwayat hidup mereka yang sepintas tak saling berhubungan satu sama lain. Fragmen-fragmen itu muncul seringkali secara tak terduga, bahkan terasa mendadak, dan seringkali mengejutkan. Dengan demikian juga, fragmen-fragmen itu berfungsi sebagai kejutan-kejutan cerita yang bukan saja tak terduga, melainkan juga irrasional. Dalam Merahnya Merah, misalnya, tokoh kita tiba-tiba menghilang dari gerombolan gelandangan pekerja seks komersial kelas bawah yang telah menjadi lingkungan terdekatnya, pergi entah ke mana tanpa pamit, namun kelak tiba-tiba dia muncul kembali. Dalam Ziarah, tokoh kita tiba-tiba memutuskan untuk berhenti dari

410 Jamal D. Rahman dkk. pekerjaannya mengapur tembok kuburan, namun kelak memilih menjadi opseter kuburan sebab dengan demikian, katanya, dia bisa ziarah pada istrinya setiap saat. Dalam Kering¸ tokoh kita tetap bertahan dalam kota yang telah ditinggalkan seluruh warganya akibat kemarau panjang. Dengan beberapa fragmen seperti ini, novel Iwan Simatupang hampir-hampir merupakan satu mozaik dari serpihan-serpihan cerita yang sepintas tampak terpisah satu sama lain, namun sesungguhnya saling berhubungan dan menjadi bangunan yang utuh dengan koherensi dan rasionalitasnya sendiri. Dikemukakan dengan cara lain, dalam novel Iwan, alur bukanlah alat utama untuk mengisahkan satu rangkaian cerita yang secara kronologis memiliki hubungan sebab- akibat yang dengan jelas bersifat logis dan koheren, dengan segala konflik, klimaks, dan selesaiannya. Alih-alih ia hanyalah konsekuensi tak terhindarkan dari suatu cerita, sebab cerita bagaimanapun mustahil tanpa alur. Dalam novel Iwan, cerita bersama alurnya lebih merupakan alat untuk mengusung pokok-pokok gagasan tertentu, obsesi intelektual tertentu, yang merupakan tema novel. Maka alur dapat diinterupsi misalnya oleh renungan dan pemikiran, atau uraian tentang filsafat baik dari tokoh maupun narator, atau oleh suatu fragmen dengan latar lain yang tak masuk akal dan absurd —sebab novel itu sendiri memang berbicara tentang hidup yang tak masuk akal dan absurd. Dalam hal latar, berbeda dengan corak umum novel- novel Indonesia, realisme Iwan tidak mendeskripsikan latar tempat dan waktu dengan cara sedemikian detailnya, yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 411 dengannya latar tersebut memiliki hubungan atau makna referensial yang cukup jelas dengan tempat dan waktu tertentu di dunia nyata. Meskipun pelukisannya begitu nyata, latar tidaklah mengacu pada ruang dan waktu khusus secara real dan objektif dalam sejarah. Maka kisah algojo di awal tulisan ini, misalnya, tidak dimaksudkan untuk melukiskan suatu proses pemancungan atas pengkhianat-pengkhianat revolusi di Jakarta atau di daerah tertentu, dan revolusi di situ tidak mengacu pada zaman revolusi Indonesia secara khusus pula. Indonesia bukanlah latar tempat cerita, dan zaman revolusi bukan latar waktu cerita. Melesetlah anggapan atau horison harapan bahwa fragmen itu benar- benar menggambarkan bagaimana pengkhianat revolusi dipancung di Indonesia atau di mana pun. Meleset pulalah anggapan atau horison harapan bahwa demikianlah seorang algojo di zaman revolusi Indonesia menjalankan tugasnya. Demikian juga latar sosial cerita bukanlah lukisan tentang kehidupan suatu kelompok sosial dalam interelasinya dengan kelompok-kelompok sosial lain, yang mengacu pada kehidupan masyarakat yang konkret. Tentu saja, karena cerita bagaimanapun mengisahkan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, maka ia mengisahkan kehidupan sosial, atau tepatnya mengisahkan nasib seorang anggota masyarakat di tengah masyarakat itu sendiri. Tapi bagaimanapun perilaku sosial di situ tidaklah memproyeksi- kan kehidupan sosial yang sesungguhnya, tidak mencermin- kan perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat. Seluruh kehidupan sosial dalam novel lebih merupakan konstruksi imajiner atas suatu gagasan tentang kompleksitas manusia dan kehidupan yang mesti dihadapinya. Dalam arti itu maka

412 Jamal D. Rahman dkk. novel-novel Iwan Simatupang bukanlah mimesis dari situasi sosial tertentu, di tempat tertentu, di waktu tertentu. Dalam novel Iwan, baik latar tempat, latar waktu, mau- pun latar sosial hanyalah memenuhi tuntutan tak terhindar- kan dari sebuah cerita, sebab cerita bagaimanapun tak mungkin tanpa latar. Latar hanyalah deskripsi artifisial bagi cerita, bukan kesatuan koheren dengan cerita itu sendiri dalam kerangka realisme konvensional. Demikianlah kalau gerombolan gelandangan pekerja seks komersial itu tinggal di gubuk-gubuk kecil di semak belukar di satu sudut tak terusus di kota (Merahnya Merah), maka dengan latar tempat tersebut cerita tidak bermaksud melukiskan seluk- beluk praktik prostitusi di sebuah kota, atau bagaimana kehidupan sehari-hari para pekerja seks komersial di kota tertentu, sebagaimana mungkin terjadi di dunia nyata. Demikian juga kalau tokoh kita menjadi seorang pengapur tembok kuburan atau opseter kuburan (Ziarah), hal itu tidaklah bermaksud menggambarkan kehidupan sehari-hari seorang pengapur tembok kuburan atau opseter kuburan di daerah tertentu, di waktu tertentu, sebagaimana mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Alih-alih, baik latar tempat, latar waktu, maupun latar sosial digunakan lebih sebagai bagian kompleks dari gagasan atau ide tentang nasib tragis manusia, dari irrasionalitas kehidupan mereka. Tragedi dan irrasionalitas kehidupan manusia bagaimanapun mengatasi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, realisme Iwan Simatupang sesungguhnya diciptakan untuk mengkonkret- kan gagasan-gagasannya sendiri sebagai obsesi intelek- tualnya yang sesungguhnya abstrak dan merupakan tema karya-karyanya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 413 Komunikasi Barat dan Timur Mendiskusikan tema karya-karya Iwan Simatupang bisa dimulai dari salah satu motif yang cukup menonjol dalam novel-novelnya, yaitu maut. Dalam novel Ziarah disebutkan kepada siapa novel tersebut dipersembahkan, sebanyak dua kali pula. Yang pertama berbunyi: “kepada c grotesk ini kupersembahkan, sebagai ziarahku selalu padanya”. Yang kedua berbunyi: “untuk Corry, yang dengan novel ini aku ziarah terus-menerus”. Beberapa tokohnya meninggal dengan berbagai cara dan sebab: dipancung, ditembak, digorok, dibunuh, dicincang, dilindas kereta api, ditelan ombak, bunuh diri, menembak diri sendiri, linglung, kelaparan, kena sambar petir, dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan latar tempat yang secara langsung berkaitan dengan maut, misalnya pekuburan dan kamar mayat. Ditambah lagi dengan dialog tentang kematian di beberapa bagian novel, yang kadangkala merupakan humor yang getir, kadangkala renungan yang pahit. Lebih dari sekadar motif, dari novel-novelnya tampak bahwa maut merupakan aspek penting dalam renungan- renungan Iwan, sebagaimana dibicarakan misalnya oleh Satyagraha Hoerip (1985). Dalam kesatuannya dengan hidup, maut akhirnya merupakan aspek penting pula dari tema umum novel-novel Iwan. Tetapi maut di sini bukanlah kemungkinan atau pilihan dalam oposisi binernya dengan hidup, melainkan sebagai bagian dari irrasionalitas yang tak terpahami, sebagai bagian dari absurditas hidup yang tragis. Maut adalah akhir sekaligus kontinuum dari hidup dengan segala irrasionalitas dan absurditasnya. Dengan demikian,

414 Jamal D. Rahman dkk. hidup dan maut merupakan dua sisi dari satu keping uang logam yang tak terpahami, tapi bagaimanapun manusia harus menghadapi keduanya. Manusia terlempar ke dunia tanpa keinginan, kemauan, dan persetujuannya, tapi toh dia harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, juga hidup orang lain, bahkan atas kehidupan itu sendiri secara umum. Memang, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan hidupnya, yang dengannya dia memiliki landasan moral bagi tanggung jawab yang mesti diberikannya. Tetapi kebe- basan manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan eksistensial di satu sisi, dan pilihan-pilihan yang tersedia secara sosial di lain sisi. Sayangnya, pilihan-pilihan ini seringkali bersitegang, bersitembung, bahkan bertabrakan. Maka itu, meski sebuah pilihan diambil atas dasar kebebasan, seringkali pilihan tersebut justru menghempaskan manusia ke jurang perasaan terasing dan hampa. Dalam konteks itu kebebasan justru menyakitkan. Tapi toh manusia harus menjalani hidup dengan segala irrasionalitasnya yang tak terpahami. Dan hidup akan berakhir dengan maut. Jika hidup hanya akan berakhir dengan maut dalam berbagai cara yang kadang mengenaskan pula, tidakkah hidup ini sia-sia belaka? Jika hidup sia-sia belaka, tidakkah bunuh diri merupakan jalan keluar dari kesia-siaan? Tidak. Maut jelas merupakan satu persoalan krusial bagi hidup, dan ia merupakan irasionalitas dan absurditas yang lain. Meskipun hidup merupakan “permainan abadi” yang irrasional dan absurd, manusia bagaimanapun berada di rimba raya hidupnya, yang dengan atau tanpa kemauannya sendiri mesti terus

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 415 berjalan di tengah gelap-terang rimba raya hidup itu sendiri. Dia mungkin tak berdaya menghadapi ketidakpastian- ketidakpastian, bahkan mungkin terkapar di rimba gelap setelah gagal memahami semuanya yang memang tidak masuk akal dan tak terpahami. Dia mungkin terkapar di telapak kaki irasionalitas dan absurditas hidupnya sendiri. Tapi bagaimanapun dia harus terus berjalan sampai akhir hayatnya, tanpa harus menyudahi sendiri hidupnya, terus mencari makna hidup dan mati secara terus-menerus tanpa akhir. Pencarian makna hidup dan mati tanpa akhir ini mungkin membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari hidupnya, bahkan dari masyarakatnya, namun ia juga akan memberikan arti eksistensial pada hidupnya meskipun dia gagal menemukan makna hidup dan mati itu sendiri. Tokoh kita dalam novel-novel Iwan merupakan personifikasi sekaligus pelukisan atas gagasan tentang irrasionalitas kehidupan manusia yang tragis dan absurd. Tokoh kita dalam Merahnya Merah merumuskan dirinya sebagai seorang gelandangan. Namun jelas gelandangan di situ digunakan bukan dalam arti leksikal atau sebagai kategori sosial, melainkan dalam pengertian eksistensial dan filosofis: manusia yang memiliki dan menguasai kebebasannya, manusia tanpa alamat, tak menetap di satu tempat tinggal sehingga dia terus berjalan, tidak harus tunduk pada kuasa profesi, merdeka semerdeka-merdekanya namun terkadang jadi korban kemerdekaannya sendiri, meragukan tujuan hidup namun terus berjalan merayakan kegelandangannya dengan segala nasib tragis dan bahagianya. Dengan demikian, menjalani hidup adalah

416 Jamal D. Rahman dkk. menggelandang, terombang-ambing antara kemerdekaan dan ketakberdayaannya, menjalani irrasionalitas yang tak memiliki tujuan pasti tapi toh tetap harus terus dijalani — satu perjalanan yang tak akan selesai. Menggelandang dan merayakan kegelandangannya tanpa henti, di situlah tokoh kita seakan merumuskan dan menemukan dirinya. Gagasan seperti ini jelas mewarnai novel-novel Iwan. Sering dikatakan bahwa novel Iwan Simatupang menyuarakan pemikiran Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, dua filsuf Prancis itu (misalnya Nami N. Toda [1980] dan Budiarto Danujaya [1985]). Namun dalam penelitiannya atas Ziarah, Okke K.S. Zaimar (1990) membuktikan bahwa Iwan tidak menyuarakan Sartre dan Camus bulat-bulat. Benar bahwa di sana-sini dalam Ziarah ditemukan banyak pemikiran Sartre, misalnya tentang kebebasan, pilihan, dan tanggung jawab manusia. Namun Iwan mengutipnya secara karikatural dan tanpa respek atas pemikiran eksistensialistis Sartre. Benar juga bahwa hampir di sepanjang novel ditemukan pemikiran Camus, yang utama adalah tentang absurditas hidup berikut kematian sebagai salah satu pokok masalah dalam absurditas hidup itu sendiri. Namun terdapat perbedaan antara Iwan dan Camus dalam memandang hubungan manusia dan alam. Bagi Camus, alam tidak peduli dengan nasib manusia yang tragis karena alam tak tersentuh oleh kekhawatiran akan kematian. Sebaliknya, dalam Ziarah hubungan manusia dan alam selalu digambarkan harmonis. Misalnya, pelukis dan istrinya tinggal harmonis di tepi pantai, dan setelah sang istri meninggal si pelukis menyerahkan semua lukisannya

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 417 pada laut. Bakat pelukis berasal dari alam, dan hasil bakatnya dikembalikan pada alam. Sementara Camus mewakili filsafat Barat; Iwan mewakili filsafat Timur. Dengan demikian, Iwan Simatupang tidak hanya menyuarakan pemikiran Barat, melainkan juga gagasan yang berlandaskan filsafat Timur. Sejurus dengan itu, maka pencarian akan makna hidup dan maut dalam Ziarah pada akhirnya merupakan hasil komunikasi antara pandangan Barat dan Timur. Kegelisahan akan makna hidup dan maut merupakan kegelisahan orang-orang Barat (Eropa), setidaknya sebagaimana banyak dibicarakan dalam karya sastranya. Dalam Ziarah, kegelisahan itu ditampilkan melalui pemikiran Sartre dan Camus. Tokoh Ziarah mencari jawaban masalah tersebut dengan cara Barat, yaitu lewat kuliah-kuliahnya di universitas, namun akhirnya dia meninggalkan kampus. Selanjutnya dia mencari jawaban dengan cara Timur, yaitu lewat meditasi selama dua puluh tujuh tahun di pekuburan, namun tak berhasil juga. Akhirnya, rasa cintanya pada istrinya membimbingnya untuk menerima kematian istrinya dengan lapang dada. Di sini dia sampai pada penerimaan akan hidup dan mati. Walaupun demikian, tokoh kita terus mencari, namun bukan lagi mencari makna hidup dan maut, melainkan “... ziarah pada kemanusiaan. Pada dirinya sendiri.” Dengan memahami kesadaran filosofis tentang hidup dan maut sebagai gagasan atau tema novel-novel Iwan Simatupang, maka realisme Iwan paling baik dipahami sebagai realisme simbolis. Kalau dia bercerita tentang kaum

418 Jamal D. Rahman dkk. transmigran, dia tidak menceritakan program pemerintah di bidang pertanian dengan segala akibat sosial dan ekonominya, melainkan pilihan-pilihan yang mungkin diambil di tengah ketakberdayaan manusia menghadapi ketidakpastian yang dahsyat, pilihan mana didasarkan pada kebebasannya sendiri dengan segala konsekuensinya. Demikian juga kalau dia bercerita tentang gelandangan, ia bukan menceritakan kaum gelandangan sebagai kelompok sosial urban, melainkan nasib tragis manusia yang terlempar ke tengah rimba hidup dengan atau tanpa kemauannya sendiri. Demikian juga kalau dia bercerita tentang ziarah ke kuburan, ia tidak bercerita tentang ziarah kubur sebagai kategori budaya atau tradisi agama, melainkan pencarian akan makna kematian sebagai batas akhir hidup manusia. Dalam novel-novel Iwan, pencarian makna hidup dan mati dengan segala perasaan absurd ini secara simbolik mengemuka lewat fragmen, perilaku tokoh, dan sejumlah adegan. Di samping itu, secara verbal ia mengemuka lewat dialog para tokoh dan komentar narator. Realisme Iwan terasa mengandung bahkan mengaktifkan konotasi yang berkaitan dengan tema. Dengan melihat realisme Iwan Simatupang sebagai realisme simbolis, maka struktur cerita novel yang tak masuk akal bagaimanapun akan terlihat logis dan koheren dengan tema utama. Okke K.S. Zaimar (1990) membuktikan koherensi itu. Novel Iwan adalah pencarian bentuk dan gaya novel baru, sebagaimana telah diuraikan. Menurut Okke, pencarian bentuk novel Ziarah berkaitan erat dengan pencarian makna hidup dan mati; peniadaan logika naratif

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 419 sesungguhnya menyembunyikan makna absurditas kehidupan. Lebih jauh Okke mengatakan, “Bahkan dapat dikatakan bahwa keseluruhan struktur novel yang menunjukkan perjalanan ke arah novel baru Indonesia juga sejalan dengan pencarian makna kehidupan.” Dan pencarian makna kehidupan itu tak akan selesai. Mungkin tak akan pernah selesai, sebab ia adalah ziarah pada kemanusiaan. Dan ziarah pada kemanusiaan tak perlu berakhir bahkan setelah seseorang mencapai suasana yang khidmat seperti di akhir Merahnya Merah (1995: 123-124):

Seorang calon biarawati, bertubuh besar, bersimpuh di hadapan patung Ibu Maria. Ditatapnya wajah patung itu. Jari- jarinya menjalin doa. — Dan ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun meng- ampuni yang bersalah terhadap kami.... Airmatanya yang berderai, menangkap kilatan merah ter- akhir di langit itu dalam bintik-bintik warna merah. Merah dari merahnya merah. Matahari tenggelam. Seluruhnya. Merah di langit berkelom- pok-kelompok menuju warna kelabu. Kemudian berangsur menuju warna hitam. Malam telah tiba. Bumi tenang. Damai.[]

Kepustakaan

Budiarto Danujaya. 1985. “Beberapa Catatan tentang Pembaharuan Iwan Simatupang dalam Penokohan dan Tema”, dalam Korrie Layun Rampan (editor). 1985. Iwan Simatupang: Pembaharu Sastra Indonesia. Jakarta: Yayasan Arus.

420 Jamal D. Rahman dkk. Dami N. Toda. 1980. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Pustaka Jaya. Dami N. Toda. 1984. Hamba-hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan. Iwan Simatupang. 1975. Kering. Jakarta: Pustaka Jaya. Iwan Simatupang. 1982a. “Mencari Tokoh bagi Roman”, dalam Satyagraha Hoerip. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Iwan Simatupang. 1982b. “Faktor Ketaksengajaan dalam Roman”, dalam Satyagraha Hoerip. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Iwan Simatupang. 1982c. “’T’ dari Tanggung Jawab”, dalam Satyagraha Hoerip. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Iwan Simatupang. 1985. Tegak Lurus dengan Langit. Jakarta: Sinar Harapan. Cetakan kedua Iwan Simatupang. 1995. Merahnya Merah. Jakarta: Gunung Agung. Cetakan kedua belas. Iwan Simatupang. 2001. Ziarah. Jakarta: Penerbit Djambata. Cetakan kedelapan. Iwan Simatupang. 2002. Ziarah Malam. Bandung: PT Alumni Bandung. Disunting oleh Oyon Sofyan dan S. Samsoerizal Dar. Iwan Simatupang. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air. Jakarta: Kompas. Korrie Layun Rampan (editor). 1985. Iwan Simatupang: Pembaharu Sastra Indonesia. Jakarta: Yayasan Arus. Kurnia JR. 1999. Inspirasi? Nonsen! Novel-novel Iwan Simatupang. Magelang: Indonesia Tera. Okke K.S. Zaimar. 1990. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermasa. Satyagraha Hoerip. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Satyagraha Hoerip. 1985. “Novel-novel Iwan Simatupang: Luapan Utuh Pergumulannya atas Ajal”, dalam Korrie Layun Rampan (editor). 1985. Iwan Simatupang: Pembaharu Sastra Indonesia. Jakarta: Yayasan Arus.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 421 422 Jamal D. Rahman dkk. Ajip Rosidi Sastrawan Produktif yang Progresif

ACEP ZAMZAM NOOR

alah satu penulis sastra yang sangat produktif adalah SAjip Rosidi. Tulisan sastranya juga beragam. Ia menulis puisi, cerpen, novel, kritik, biografi, otobiografi atau memoar, terjemahan, serta sejumlah esai kebahasaan hingga kebuda- yaan secara umum. Tulisannya yang banyak itu, juga tersebar di berbagai media masa serta dalam bentuk buku. Ia juga sangat fasih menulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Keluasan ilmunya, serta minatnya yang tak hanya terhadap kesusastraan, terutama menyangkut beragam persoalan budaya, agama, sosial, hingga politik, membuat- nya juga dikenal sebagai budayawan. Tulisannya yang kritis dan bernas, kemudian sangat berpengaruh terhadap per- kembangan sastra dan budaya Indonesia serta Sunda. Belakangan, Ajip Rosidi mendirikan Yayasan Rancage, yang memberikan penghargaan terhadap sastrawan berprestasi yang menulis karya sastra dalam bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Sehingga Ajip tak hanya dikenal sebagai pengembang sastra Indonesia, namun juga sastra daerah.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 423 Dalam bidang kesusastraan, Ajip Rosidi memulainya pada usia yang masih muda. Pada tahun 1952, saat ia berusia 14 tahun (SMP kelas tiga), tulisan pertamanya dimuat di majalah kebudayaan Mimbar Indonesia dan Zenith. Bukunya yang pertama kali terbit adalah kumpulan cerita pendek berjudul Tahun-tahun Kematian pada tahun 1955. Sejak itu karyanya terus bermunculan. Sedangkan kumpul-an sajak pertamanya, Lipatan Setangan, terbit pada tahun 1956 dalam buku Ketemu di Jalan bersama-sama dengan Sobron Aidit dan S.M. Ardan. Di tahun itu ia juga menerbitkan kumpulan puisi Pesta, dan kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga. Selajutnya terbit pula Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957). Tahun 1958 terbit novelnya yang berjudul Perjalanan Pengantin. Saat itu, dua tahun berturut-turut, Ajip Rosidi yang setamatnya dari Taman Siswa terus menulis secara otodidak, mendapat Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), yaitu tahun 1955-1956 untuk puisi, dan tahun 1957- 1958 untuk prosa. Tulisan Ajip hampir setiap tahun bermunculan. Tahun 1959 terbit empat kumpulan sajak dalam satu jilid berjudul Cari Muatan, dan tahun 1960 muncul lagi dengan Surattjinta Enday Rasidin yang juga memuat beberapa sajak lamanya. Sedangkan kumpulan cerpennnya muncul lagi di tahun 1961 berjudul Pertemuan Kembali. Beberapa karya puisinya yang dibukukan ialah Djeram (1970), Ular dan Kabut (1973), Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Nama dan Makna (1987). Lalu terbit pula Mimpi Masa Silam (kumpulan cerpen) di tahun 1987, serta Nyanyian Tanah Air (Novel) di tahun 1985. Bakat menulis Ajip Rosidi memang tak muncul serta merta. Sejak kecil, ia sudah suka membaca buku-buku

424 Jamal D. Rahman dkk. bermutu. Maka tak heran produktivitas menulisnya juga diimbangi dengan kualitas, yang membuat namanya diper- hitungkan sebagai sastrawan tanah air. Dalam bukunya Hurip Waras (Bandung, 1988) yang merupakan catatan kenangan dalam bahasa Sunda, pada bab Resep Maca (Senang Membaca), ia memulainya dengan sebuah kutipan pengarang Ingris terkenal, Graham Greene dalam bukunya The Lost Childhood (1951):

Buku yang dibaca saat anak-anak hingga usia empat belas tahun, lebih dalam tertancap dalam ingatan, lebih besar pengaruhnya terhadap kehidupan kita selanjutnya. Sebab saat setelah kita berumur, yang dibaca itu lebih banyak hanya mengkonfirmasikan, mengiyakan, pengalaman kita sendiri.

Dalam catatan awalnya, ia menyebutkan pada usia anak- anak hingga empat belas tahun itu, ia banyak membaca buku-buku Sunda yang terbit jauh sebelumnya. Buku-buku berbahasa Sunda itulah yang sangat besar pengaruhnya. Dan yang disebutnya buku-buku berbahasa sunda itu bukan hanya karangan orang Sunda, bahkan kebanyakan merupakan saduran dan terjemahan, seperti Nunggul Pinang karya Hector Malot, Pependeman Nabi Sulaeman karya Rider Haggard pujangga Inggris, Graaf de Monte Cristo karya Alexander Dumas, Mahabharata karya Wyasa pujangga India, juga Batara Rama karya Walmiki. Tentu, saat itu, di usia 7-9 tahun, Ajip Rosidi juga mem- baca beberapa karangan asli sastrawan Sunda terkenal, misalnya Munjung, Burak Siluman, dan Numbuk di Sue karya Mohammad Ambri, Mantri Jero dan Pangeran Kornel karya R. Memed Sastrahadiprawira, Carita Budak Minggat

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 425 dan Jatining Sobat karya Samsudi, Laleur Bodas karya Samsoe. Ada pula beberapa bacaan dalam bentuk wawacan yang terkurung oleh beberapa aturan pupuh, seperti Panji Wulung karya R.H. Moehammad Moesa dan Purnama Alam karya R. Soeriadiredja.

Buku-buku bacaan itu, umumnya diterbitkan oleh Balai Pustaka, ia peroleh dari perpustakaan Sakola Rakyat di Jatiwangi. Dalam hal membaca, diakui Ajip sesukanya dia. Maksudnya tidak ada yang menuntun memilih buku bacaan. Apa saja yang ia temukan ia baca. Dan karena yang mengu- rus perpustakaan itu adalah ayahnya sendiri, maka ia agak leluasa untuk meminjam beberapa buku, yang dengan cepat ia selesaikan. Buku-buku yang ia baca juga menyangkut ilmu alam, tumbuhan, hingga hewan piaraan. Namun bacaan sastralah yang paling ia sukai.

Maka, bekal bacaan yang banyak dan berkualitas itulah, yang kemudian membuatnya terdorong pula untuk mampu menulis. Ajip Rosidi muda telah banyak menyerap kebuda- yaan dunia hingga saat melahirkan karya pun, di usianya yang masih muda itu, merupakan karya sastra yang bermutu pula. Pelajaran lain yang ia peroleh dari bacaan, ialah saat di tahun 1948 akhir atau 1949 awal, muncul surat kabar Sinar Madjalengka. Kadang-kadang di koran tersebut sesekali muncul guguritan karya ayahnya. Di koran itu ia tertarik pada sebuah cerita bersambung, dan ceritanya ternyata menyangkut orang yang ia kenal. Ajip pun menulis dalam Hirup Waras:

426 Jamal D. Rahman dkk. Hal itu membangkitkan kesadaran pada diri saya, bahwa sebuah cerita yang ditulis oleh seorang manusia itu, tak selamanya berupa khayalan saja, tapi bisa ada hubungannya dengan realitas, dan kenyataan. Namun meski yang membaca cerita itu, saat itu mengetahui siapa yang diceritakan di sana, selalu saja merasa penasaran ingin tahu bagaimana akhirnya.

Kesukaannya membaca, juga bertambah saat muncul surat kabar Indonesia Raya yang dipimpin sastrawan Mochtar Lubis. Ajip Rosidi menyukai ruangan untuk anak- anak, hingga ia tertarik pula untuk menulis, dan karang- annya kemudian dimuat di sana. Saat di SMP, lewat kenalan- nya, ia memperluas bacaannya, hingga ia mengenal beberapa karya berbahasa Indonesia seperti Pramudya Ananta Toer dan Roekiyah, hingga beberapa karya lain seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Anggun Cik Tunggal dan lain-lain. Saat hijrah ke Jakarta, untuk melanjutkan kelas dua SMP- nya, dari pamannya yang menjadi guru, Ajip Rosidi makin berkenalan dengan buku-buku pengajaran, terutama mengenai kesusastraan. Ia pun banyak membaca karya sastrawan Pujangga Baru hingga Angkatan 45, meskipun tidak mudah mendapatkannya. Ia juga terkejut saat diberi- tahu pamannya, bahwa sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana dan Usman Effendi pernah mengajar di sekolah tersebut. Kegemarannya membaca, membuatnya juga sering berjalan- jalan ke Senen, terutama masuk ke toko buku. Buku pertama yang ia beli adalah Pembebasan Pertama karya Amir Hamzah, dan Tiga Menguak Takdir kumpulan sajak Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Ajip menulis:

Sejak saat itu saya suka menulis sajak dalam bahasa Indonesia. Tapi tak ada yang dikrimkan ke majalah, dikumpulkan saja.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 427 Maksudnya ingin dibukukan. Saya juga menulis cerpen, baik yang pendek maupun yang panjang, namun juga tak dikirim- kan ke majalah. Ya, karena ingin dibukukan. Sebabnya ingin menerbitkan buku, karena pernah membaca buku karangan Si Uma, Penuntun Karang Mengarang yang dibeli di toko buku Oesaha Tresna di Kadipaten (sebelum pindah ke Jakarta). Di sana diceritakan mengenai para pengarang Inggris serta Eropa lainnya, yang setelah wafat meninggalkan warisan yang jum- lahnya (menurut aggapan saya waktu itu) sangat besar. Karena keadaan orang-orang tua sangat kekurangan, saya sangat ingin mendapatkan uang yang banyak agar dapat mengangkat harkat hidupnya. Menurut perhitungan, jika ada buku yang terbit, tentu saya akan mendapat honorarium yang besar. Maksudnya ya buat diberikan kepada Kakek, Uwak, Bibi dan yang lainnya.

Namun beberapa sajaknya yang ia tulis saat liburan, yang dikirimkan ke penerbit, dikembalikan lagi. Pamannya, yang mengatahui kegemaran Ajip, kemudian memberi saran untuk mengirimkannya ke majalah. Dan seperti penjelasan di awal tulisan ini, karya Ajip kemudian dimuat di majalah kebuda- yaan Mimbar Indonesia dan Zenith. Maka Ajip pun makin produktif menulis, hingga memenangkan penghargaan. Ketekunan Ajip dalam membaca dan menulis, memang merupakan contoh yang banyak ditemukan pada pengarang- pengarang besar. Para sastrawan dan budayawan ternama, pada umumnya adalah mereka yang sudah berkenalan dengan bacaan bagus saat masih kecil hingga remajanya. Bacaan yang didapatkan itu, diam-diam menjadi amunisi kata-kata, gudang berbagai perbendaharaan ilmu, yang mengendap dan meresap hingga menjadi salah satu daya dorong untuk menulis. Endapan karya-karya bermutu itu menjadi magma, yang pada saatnya ke luar, dapat menjadi ledakan yang hebat dan mencengangkan.

428 Jamal D. Rahman dkk. Produktivitas Ajip Rosidi dalam menulis, yang juga diimbangi dengan kualitas serta kebergunaan dan penga- ruhnya terhadap kebudayaan Indonesia, apalagi Sunda, memang sulit dicari tandingannya. Hal itu makin membuat- nya dikenal, sehingga banyak diundang untuk ceramah di berbagai tempat, baik di dalam maupun luar negeri. Maka dapat dimengerti jika beberapa sajaknya ada yang ia tulis saat berada di luar negeri, dan justru pada saat seperti itu kreativitas seorang sastrawan malah kian menjadi-jadi. Jarak yang jauh dari tanah air, sering membuat seorang penulis menemukan roamantismenya terhadap tanah air hingga menjadi penulis produktif, dengan banyak menge- nang, mengingat, serta kadang menggugat hal-hal yang kadang luput saat berada di tanah air. Kadang, kesibukan justru berjodoh dengan penulisan karya kreatif. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz, hingga 1983, Ajip merupakan pengarang sajak dan cerpen Indonesia paling produktif. Lebih dari seratus judul buku telah ditulisnya. Baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Sedangkan sastrawan dan jurnalis kawakan Rosihan Anwar menyebut- kan bahwa Ajip Rosidi mempunyai kecenderungan sikap ‘haantje de voorste’ atau ayam jago paling depan jalannya di masa muda.

*** Ajip Rosidi telah dikenal sebagai sastrawan ternama. Wajar jika kemudian banyak penulis lain, terutama yang menulis kritik, menjadikan karya-karya Ajip Rosidi sebagai objek studi kritiknya. Salah satunya adalah peletak dasar

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 429 teori kritik di Indonesia, yakni kritikus asal Belanda. Dalam Bukunya, Sastra Indonesia Modern II, Prof. Dr. A. Teeuw menemukan sejumlah tema dan motif yang menarik dalam sejumlah sajak karya Ajip Rosidi: “Pertama-tama ialah tema alam Pasundan: pemandang- annya, manusia, kebudayaan, dan tradisinya. Menarik, walaupun tidak aneh, sajak-sajak dengan tema semacam ini seringkali mencari warna yang konvensional, seperti sangat jelas terasa pada Surattjinta Enday Rasidin, yang sebagian besar merupakan penciptaan ulang atas hikayat- hikayat dan legenda-legenda Sunda ke dalam bentuk puisi modern. Di sana-sini Ajip berhasil dengan sangat baik dalam mempertahankan dampak suasana magis yang terdapat dalam bentuk asli cerita-cerita ini, dan merupakan sajak- sajak yang khas untuk dibacakan bersama”. Teeuw kemudian membahas secara rinci mengenai salah satu sajak Ajip Rosidi yang dianggapnya terbaik, yakni Jante Arkidam, sebuah balada yang melukiskan gambaran mengesankan tokoh jagoan desa. Sebagai bandingan, balada ini dapat kita sandingkan dengan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya Rendra. Tema kedua, seperti yang juga ditemukan Dr. Wendy Solomon (Wendy Mukhrejee), yang ditemukan Teeuw dalam sajak Ajip Rosidi ialah pertentangan serta ketegangan antara desa dan kota besar, antara kehidupan desa dan kehidupan metropolitan. Teeuw melihat hal tersebut secara tegas misalnya dalam sajak Sebuah Parabel dari kumpulan Ular dan Kabut:

430 Jamal D. Rahman dkk. Orang-orang mendaki gunung, memahat batu Dan pulang senja hari; Orang-orang berlayar ke laut, menangkap ikan Dan pulang sehabis badai; Orang-orang berangkat ke hutan, menebang kayu Dan pulang dengan beban yang berat; Dan orang-orag masuk kota, menjerat angan-angan Tak seorangpun pulang kembali.

Sedangkan tema ketiga adalah keagamaan, yakni hubungan pribadinya dengan Tuhan. Teeuw misalnya melihat sajak-sajak perjalanan hajinya Ajip Rosidi ke Tanah Suci, yang terdapat dalam bagian pertama kumpulannya tahun 1979 di bawah judul Ingat Aku Akan Doamu, terasa bersuasana mistis dan ekstasis. Sementara itu, karyanya yang belakangan lebih menonjolkan isi keagamaan atau filsafat ketimbang kelincahan persajakannya, seperti ia temukan dalam sajak Kabut, sajak utama dari kumpulannya di tahun 1973. Bagi A. Teeuw, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa sajak-sajak Ajip telah menjadi menjurus bermain otak. Terutama bagian kedua dari kumpulannya yang terakhir ini berisi sangat banyak kilatan-kilatan kebijak- sanaan atau angan-angan bergaya petatah-petitih singkat, atau kesan-kesan sederhana semata-mata, dengan membiar- kan pembaca sendiri yang mencari asosiasi-asosiasi dan kono- tasi-konotasinya. Sebagai contoh terakhir Teeuw mengutip sajak Ajip yang berjudul pelangi: Titian warna yang meng- hubungkan kita dengan dunia gaib/bermula pada hatiku, berakhir pada matamu yang tak berkedip. Pandangan lain terhadap sajak-sajak Ajip Rosidi, misal- nya, dapat kita simak dari tuturan Apip Mustopa, sastrawan Sunda yang sudah lama mengenal sepak terjang Ajip. Bagi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 431 Apip Mustopa, Ajip bukan pujangga yang berada di puncak menara gading. Ajip adalah masyarakat, yang menganggap siapa saja yang dihadapinya sederajat dengan dirinya. Baik hidupnya, juga keilmuannya. Maka pantas jika puisi- puisinya riuh bercerita merambah berbagai tingkatan. Ajip pun berbicara dalam sajaknya Telah Banyak Kutulis:

telah banyak kutulis tentang langit, tentang laut, angin dan gunung. telah banyak kutulis tentang hidup, tentang maut, lara, dan untung. telah banyak dan masih akan kutulis tentang langit, tentang laut, angin dan burung-burung; tentang hidup, mati dan tentang cinta yang memberikan harapan dan kepercayaan membangkitkan manusia dari lembah putus asa dan menjadikan hidup lebih berwarna.

Apip mulai mengenal sajak-sajak Ajip dalam buku kumpulan sajak Ketemu di Jalan. Ia melihat sajak-sajak Ajip sebagai karya yang indah, namun sederhana. Dan makin ke sini, sajak-sajak Ajip dalam pandangan Apip Mustopa bukan tak lagi indah. Namun lebih dari itu, karena ditopang dengan bobot isinya yang kian serius. Ajip dipandang dapat menempatkan posisi kata yang sangat tepat untuk menun- jang situasi yang digambarkannya. Misalnya pada paparan berikut:

Inilah penyair dengan darah di matanya

Inilah penyair dengan bulan di tangannya

432 Jamal D. Rahman dkk. ia melihat kepadaku jalan dan kota yang pengap terbayang

ia merenungi kaca jernih malam terus mengalun penuh duka

hujan turun gerimis lidah api menari jadi kikis.

Namun bagi Apip Mustopa sendiri, sajak-sajak Ajip Rosidi dalam bahasa Sunda terasa lebih dalam. “Bisa jadi hal itu karena rasa bahasa Sunda saya lebih besar daripada rasa bahasa Indonesia,” tulis Apip Mustopa dalam buku Ajip Rosidi Setangah Abad. Ulasan lain mengenai karya Ajip Rosidi, ditulis dalam sebuah makalah oleh Maman S. Mahayana, yang berjudul “Kultur Etnik dalam Perjalanan Penganten Ajip Rosidi”. Pada paparan awal, Maman menulis:

Ketika sastrawan Indonesia pada dasawarsa 1950-an itu banyak yang mengangkat tema-tema revolusi atau kisah-kisah perang kemerdekaan dengan berbagai akibatnya, Ajip Rosidi justru mengangkat persoalan etnik dan perubahan sosial yang terjadi pada zamannya. Dalam peta novel Indonesia modern sesudah merdeka, sejauh pengamatan, novel ini boleh dikata- kan merupakan novel Indonesia pertama yang begitu kuat menggambarkan warna lokal etnik Sunda.

Dalam makalah tersebut, lebih jauh Maman S. Mahayana menyebut novel yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Henry Chambert-Loir berjudul Voyage de Noces (1975), serta diterjemahkan ke dalam bahasa Yogoslavia

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 433 (1978) ini, sebagai karya yang tak ada kesan hendak berfilsafat, berkhotbah, atau menggurui:

Ketika ia mendeskripsikan rangkaian peristiwanya, kita seperti diajak untuk melihat sebuah panorama, potret sosial yang terjadi di sebuah kota kecil yang bernama Jatiwangi. Dengan cara itu, maka deskripsi yang dibangunnya seperti merepresentasikan gambaran perilaku, tata nilai, dan sikap budaya masyarakatnya. Di sinilah novel ini menjadi penting sebagai potret budaya sebagian masyarakat Sunda.

Pada bagian lain, Maman S. Mahayana melihat bahwa karya novel tersebut mempunyai semangat humor, berke- lakar, berguyon dan bergurau:

Kita juga melihat bahwa tradisi diperlakukan sebagai kebiasaan yang harus dipertahankan, walau di sana sini telah terjadi pergeseran. Jadi meski tradisi itu tak benar-benar dihayati atau diakrabinya, ia tetap dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan. Setidak-tidaknya, tradisi harus tetap menjadi sebuah ritus. Orang perlu menjalani itu, meski tidak tahu persis makna di sebaliknya. Dengan begitu, pemeliharaan tradisi sesungguhnya berfungsi semata-mata untuk menegaskan identitas. Perhatikan gambaran yang diperlihatkan tokoh aku dalam memperlakukan tradisi. Ia seperti berhadapan dengan sesuatu yang ia sendiri sebenarnya tidak begitu akrab atau bahkan tak memahami maknanya, tetapi toh tetap dijalaninya tanpa penolakan.

Lantas, kritikus sastra terkemuka setelah era Subagio Sastrowardoyo itu kemudian menegaskan: “Sungguh, Perja- lanan Penganten sebagai sebuah karya seorang Ajip Rosidi muda yang masih dalam usia 18 tahun, telah mewujud sebagai karya yang kematangannya jauh melampaui usia- nya. Luar Biasa!”

434 Jamal D. Rahman dkk. Sedangkan S.I Poeradisastra yang membahas karya Ajip, yakni novel Anak Tanah Air terbitan Gramedia, Jakarta, menyebutkan, bahwa novel Ajip Rosidi tersebut, tak pelak lagi merupakan karya prosa berkisah Ajip yang terpenting. Bakatnya sebagai pengamat kehidupan yang bermata jeli telah tampak sejak ia menulis cerpen-cerpen mulai usia 16 tahun, ketika masih bercelana pendek. Beb Vuyk, pengarang roman berkebangsaan Indonesia keturunan Belanda (yang menulis dalam bahasa Belanda) di dalam suatu tulisan di harian Indonesia Raya menyebutnya seorang anak ajaib (wunderkind) yang suka kepada bermain-main (speielerei): “Yang pasti di dalam roman ini Ajip tak bermain-main, karena betapa pun ia tampil dengan segala keunggulan melukiskan kehidupan seni umumnya dan seni rupa khusus-nya di dalam suatu episode sulit sejarah Indonesia modern.” Beberapa pandangan yang dikutip tersebut, setidaknya kemudian menandai posisi penting Ajip Rosidi sebagai penulis sastra di Indonesia, baik puisi maupun prosa. Selain, seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagai penulis produktif, Ajip Rosidi juga membuat tulisan berupa esai atau karangan-karangan yang sifatnya ilmiah. Jadi selain banyak karya Ajip Rosidi yang diulas oleh penulis atau sastrawan dan kritikus di Indonesia, Ajip Rosidi juga banyak mengulas sejarah hingga karya-karya sastrawan Indonesia dan juga Sunda. Bukunya yang berjudul Sejarah Sastra Indonesia (1988) membuktikan kecakapan serta produktifitas Ajip dalam mengulas karya sastra dan berbagai faktor ekstrinsik sastra Indonesia. Buku ini juga setidaknya memperlihatkan ketekunan Ajip Rosidi dalam membaca berbagai karya sastra

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 435 lama dan baru, serta bagaimana ia memberikan tanggap- annya terhadap karya-karya sastrawan sebelum dan sejaman dengannya itu. Jadi bisa dikatakan bahwa Ajip Rosidi adalah juga seorang kritikus. Yang menarik dalam buku tersebut, Ajip misalnya mengulas masalah angkatan dan periodisasi sejarah sastra Indonesia. Persoalan yang diangkat Ajip merupakan masalah krusial dan penuh perdebatan yang tak kenal kata putus. Pada persoalan ini, dalam majalah Horison terbitan Agustus 1966, H.B. Jassin mengumumkan tulisannya yang berjudul Angkatan 66 Bangkitnya Satu Generasi. Tulisan ini sangat menarik dan menimbulkan banyak reaksi dari para sastrawan dan pemerhati sastra yang mengasah penanya di majalah-majalah hingga surat kabar. Beberapa di antaranya ada yang menolak dan ada juga yang mendukung. Sebelumnya, masalah angkatan juga pernah menjadi polemik, saat H.B. Jassin mengemukakan lahirnya Angkatan Chairil Anwar yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan 45, serta timbulnya masalah Angkatan sesudah Chairil Anwar atau yang dikenal dengan nama Angkata 50 dan Angkatan Terbaru. Huru-hara mengenai angkatan ini kemudian ditanggapi Ajip Rosidi seperti berikut:

Kalau kita teliti dengan agak cermat, maka akan kelihatan bahwa keributan sekitar persoalan angkatan ini disebabkan oleh karena senantiasa tidak dijelaskan dahulu apa yang dimaksud dengan istilah ‘angkatan’ itu. ‘Angkatan’ yaitu ter- jemahan dari ‘generatie’ adalah masalah yang sesungguh-nya seharusnya erat bertalian dan timbul dalam sejarah sastra,

436 Jamal D. Rahman dkk. terutama dalam masalah pembabakan waktu atau periodisasi sejarah sastra. Jadi sebenarnya merupakan masalah para penelaah sastra, lebih tepat lagi: para penelaah sejarah sastra. Sedangkan kita di sini, biasanya yang paling banyak bicara tentang masalah tersebut adalah para pengarang yang sendiri aktif terlibat. Pengarang yang terlibat dalam menghadapi persoalan ini niscaya tidak bisa berdiri objektif, melainkan akan berbicara atas landasan-landasan yang erat bertalian dengan pengakuan atas dirinya sebagai pengarang.

Lebih jauh Ajip Rosidi kemudian menanggapi beberapa catatan yang dibuat Drs. Rachmat Djoko Pradopo dan H.B. Jassin. Tanggapan Ajip ini misalnya membandingkan penamaan angkatan di ranah sastra dengan pergolakan politik. Berbagai argumen yang dikutip dan diberi tanggapan itu kemudian memberikan banyak gambaran bagaimana hiruk pikuk persoalan angkatan dan periode sejarah sastra itu menjadi bagian diskusi yang menarik hingga kini, semisal kemunculan Angkatan 2000 yang digemakan Korie Layun Rampan bertahun-tahun setelah polemik tersebut. Angkatan 2000 sendiri pernah disinggung H.B. Jassin sebagai kemungkinan lahirnya gerakan baru di ranah karya sastra setiap 15 hingga 20 tahun. Perdebatan itu sendiri akhirnya makin memperbanyak khazanah pemikiran kesusastraan yang membuat kesusastraan Indonesia menjadi pembicaraan penting. Dan perdebatan sastra di ranah tulisan, seperti polemik Sastra Kontekstual-nya Arief Budiman dan Ariel Heryanto, setidaknya merupakan imbas dari tardisi tulisan kritis seperti yang telah dilakukan Ajip Rosidi sebelumnya. Selain membahas kecenderungan perkembangan polemik kesusastraan, Ajip juga membahas beberapa gejala kecen-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 437 derungan estetik hingga muatan karya sastra para pengarang yang ia ulas. Dalam mengulas karya Chairil Anwar, misal- nya Ajip Rosidi menjelaskan begini: “Dengan sajak-sajak dan prosa-prosanya, Chairil membukakan kakilangit-kakilangit bagi sastra dalam bahasa Indonesia yang sudah menjadi. Bahasa sehari-hari dengan imajinasinya yang hidup serta pilihan katanya yang plastis, dituangkannya menjadi suatu cipta sastra yang melukiskan kehidupan rohaniah manusia Indonesia modern.” Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia tersebut, Ajip kemudian juga membahas beberapa karya J.E. Tatengkeng, Armijn Pane, Taufik Ismail, Boen S. Umardjati, Poppy D. Hutagalung, Amir Hamzah, HAMKA, HB Jassin, Rosihan Anwar, A.A. Navis serta beberapa tulisan lain mengenai pendidikan apresiasi sastra, masalah angkatan dan periodisasi sejarah sastra Indonesia, pelarangan buku, puisi Indonesia dalam masa duapuluhan, permasalahan Islam dalam roman Indonesia, serta perlunya peningkatan penelitian sastra Indonesia. Di sisi lain, Ajip Rosdi yang fasih menulis dalam bahasa Sunda, juga mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap kesusastraan dari bahasa ibunya itu. Selain menulis karya sastra berbahasa Sunda dalam bentuk puisi dan prosa, Ajip Rosidi juga banyak mengulas karya serta berbagai hal yang berkitan erat dengan masalah kesundaan, khususnya sastra Sunda. Beberapa buku Ajip Rosidi dalam bentuk karya sastra, misalnya dapat kita temukan pada upaya saduran dari cerita rakyat, baik Sunda dan Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa di antaranya ialah Purba Sari Ayu

438 Jamal D. Rahman dkk. Wangi (1958), Mundingkaya di Kusumah (1961), Ciung Wanara (1961), Jalan ke Surga, Si Kabayan (1961), Sang Kuriang Kesiangan (1961), Roro Mendut (1961), dan Candra Kirana (1962). Selain itu, Ajip juga mengenalkan kekayaan sastra Sunda modern agar dikenal oleh orang Indonesia lainnya, lewat karya Kisah Si Emed, bacaan anak-anak karya asli Samosedi, Dua Urang Dukun dan Cerita Pendek Sunda Lainnya (1970), yakni kumpulan sepuluh cerita pendek pilihan, dan Mengurbankan Diri karya Moch. Ambri. Dalam buku Kesusasteraan Indonesia Dewasa Ini (1966), Ajip telah menunjukkan bahwa cerpen berbahasa Sunda dalam bentuknya yang modern (sebagai misal), merupakan hasil pengaruh kesusastraan Barat, dalam hal ini melalui sastra Belanda, yakni berhubungan dengan munculnya majalah sebagai media. Ajip juga menunjukkan adanya fakta-fakta yang memperlihatkan bahwa cerita-cerita pendek yang pertama dalam bahasa Sunda (dan juga dalam bahasa Indsonesia) mempunyai persamaan dengan kisah- kisah lucu yang umunya diceritakan dengan tokoh utama yang tetap dan terkenal, seperti Si Kabayan, Djaka Dolog, Pak Belalang, dan lain-lain. Menurut Ajip, itu terbukti dengan cerita-cerita karya G.S. yang dimuat dalam kumpulan Dogdog Pangrewong (1930) yang merupakan buku kumpulan cerpen pertama – mungkin bukan hanya dalam bahasa Sunda saja tetapi juga di seluruh Indonesia, mengingat bahwa kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang pertama pun, Teman Duduk karya M. Kasim baru terbit tujuh tahun kemudian (1937). Penemuan Ajip itu, sekitar terbitnya buku karya G.S. setidaknya membuat beberapa pengarang Sunda

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 439 merasa terhenyak sekaligus bangga, bahwa carita pondok (cerita pendek) dalam bahasa Sunda telah mendahului cerpen sastra Indonesia. Tentu yang penting bukan soal sebagai pendahulu, namun kekaryaan itu perlu dipelihara dan dikembangkan. Apalagi pembuatan buku, terutama sastra daerah, terbilang sulit, selain minat terhadap cerpen saat itu masih belum kuat. Misalnya, meskipun pada tahun-tahun (sebelum perang) itu, selain G.S. banyak pengarang lain yang menulis cerpen, seperti Moh. Ambri dan M.A. Salmun, tetapi menulis cerpen nampaknya masih belum menjadi minat utama para pengarang Sunda. Cerpen-cerpen tersebut hanya dimuat di beberapa majalah saja, namun tidak dibukukan menjadi sebuah antologi tunggal maupun bersama. Sehingga tiga puluh tahun setelah terbitnya buku Dogdog Pangrewong, buku kumpulan cerpen lainnya tidak ada. Setelah itu barulah terbit Tjarita Biasa yang memuat tujuh cerpen karya Rachmatullah Ading Affandie (R.A.F.) di tahun 1960. Publik dan pecinta sastra Sunda, termasuk Ajip, kemudian mencatat beberapa lagi kumpulan cerpen berbahasa Sunda lainnya, seperti Papatjangan (1960) karya Rusman Setiasumarga, Hujan Munggaran (1960) karya Ajatrohaedi, Dongeng- dongeng Enteng Ti Pasantren (1961) karya R.A.F., Neangan (1963) karya Tjaraka, Djurig (1963) dan Pasea (1965) karya Tini Kartini, Beja Ti Maranehna (1964), Diwadalkeun ka Siluman (1965) dan Teu Tulus Paeh Nundutan (1965) karya Ki Umbara, Di Luhureun Djukut Reumis (1965) karya Yus Rusyana, Tamiang Meulit Ka Bitis (1964) dan Di Pangberokan (1967) karya Ermas, Si Kabayan Tapa (1966)

440 Jamal D. Rahman dkk. karya Mien Resmana, Parawan djeung Dedemit (1966) karya Jus Rusamsi, dan lain-lain. Beberapa kritik Ajip Rosidi terhadap karya-karya sastra Sunda (terutama cerpen) di antaranya kadang sangat kentara sekali tendensinya. Ini berkaitan erat dengan keadaan masyarakat Sunda sendiri, dimana nilai-nilai kebudayaan dan pola-pola kehidupan masyarakat sedang mengalami desintegrasi. Dalam keadaan demikian, dalam pandangan Ajip, para pengarang Sunda menunjukkan kecenderungan untuk bertindak sebagai guru masyarakat agar tetap mempertahankan nilai-nilai kebudayaan lama yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan kebudayaan baru. Dalam pengantar buku Dua Urang Dukun, Ajip menulis:

Tak dapat disangkal bahwa tendensi yang terlalu sangat kentara itu kadang-kdang menyebabkan cerpen-cerpen itu gagal sebagai karya sastera. Maka hanya menjadi manisfestasi dakwah belaka. Tidak semua cerpen Ki Umbara atau Min Resmana dapat mencapai nilai, sering juga tergelincir men- jadi bahan dakwah atau silaturahmi kritik belaka. Yang merata terdapat dalam cerpen Sunda ialah humor. Kadang-kadang humor itu membersit dengan segar, tetapi karena itu pula sering para pengarangnya lalu keenakan dalam penulisan cerita-cerita banyolan belaka. Keinginan berlelucon yang tak dapat dikendalikan menyebabkan karya para pengarag itu yang mencapai nilai sebagai lelucon belaka.

Dalam perkembangan berikutnya, beberapa penerbit sastra Sunda, seperti Rachmat Tjijulang (garapan sastrawan Rachmat M. Sas. Karana), Mangle Panglipur (lini pener- bitan buku majalah Mangle), Geger Sunten (kepunyaan pengarang Taufik Faturochman), dan terutama penerbit

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 441 yang didirikan Ajip hingga saat tulisan ini dibuat yakni Kiblat Buku Utama (peleburan dari penerbit sebelumnya yakni Girimukti Pasaka) terus produktif menerbitkan buku-buku sastra Sunda, baik kumpulan cerpen, sajak maupun esai serta terjemahan. Ajip memang berjasa besar mengenalkan karya- karya sastrawan Sunda ke publik Indonesia dalam bentuk terjemahan, termasuk juga menerbitkan beberapa peng- arang Sunda tersebut dalam bentuk buku dan jurnal. Buku-buku Ajip Rosidi mengenai perkembangan budaya sastra Sunda serta karya kreatifnya dalam bentuk sajak dan prosa, terhitung sangat banyak. Di antaranya ialah: Jante Arkidam (kumpulan sajak, 1967), Masyitoh (drama, 1969), Si Pucuk Kalumpang (bacaan anak-anak, 1965), Nyi Bungsu Rarang (bacaan anak-anak, 1965), Buntut Oa (kumpulan lelucon, 1964), Eunteung (cerita dari tarikh Islam, 1970), Beber Layar (kumpulan esei, 1964), Dur Panjak (kumpulan esai, 1966), Ngalanglang Kasusatraan Sunda (kritik sastra, 1983), Kanjutkundang (antologi sastra Sunda sesudah perang, 1963), Dengkleung Dengdek (kumpulkan tulisan, 1986), Polemik Undak Usuk Basa Sunda (kumpulan esai, 1987), Hurip Waras! Dua Panineungan (memoar, 1988), Puisi Sunda Modern dalam Dua Bahasa (antologi sajak, 2001), Apa Siapa Orang Sunda (2003) dan lain-lain. Aam Amilia, sastrawati Sunda yang pernah menjabat redaktur harian Pikiran Rakyat, mengkaji pikiran-pikiran Ajip Rosidi lewat berbagai tulisan di majalah Sunda. Menurutnya Ajip merupakan orang yang pertama kali memberi warna dan gaya (wanda) serta memberi penghar- gaan terhadap bahasa Sunda, dalam arti bahwa bahasa

442 Jamal D. Rahman dkk. Sunda pun dapat dijadikan bahasa politik. Lebih lanjut Aam mengatakan:

Bukan hanya dapat dipakai membuat cerita pendek mengenai kejadian di perkampungan. Mengkritik dengan bahasa Sunda-nya itu halus tapi menyengat. Kang Ajip pula yang memulai mendirikan Paguyuban Pangarang Sastra Sunda (PP-SS). Lewat gagasannya, para sastrawan Sunda dapat berkumpul saling mengenal. Ajip pula yang menggagas pemberian Piagam Mohammad Ambri kepada sastrawan yang menulis cerita terbaik dalam bahasa Sunda. Nyatanya Kang Ajiplah yang pertama kali memberi penghargaan, memberi cahaya terhadap sastra Sunda, dalam beragam tulisan, baik kritik maupun penelitian.

*** Sejak 1981 Ajip Rosisi mengembara ke Jepang, untuk mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka University of Foreign Studies). Memang meskipun pendidikan resminya hanya tamat SMA, namun sejak 1987 Ajip telah mengajar di Universitas Padjadjaran Bandung untuk mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia dan Kritik Sastra Sunda. Sebagaimana telah disebutkan, selain sebagai sastrawan dan budayawan, Ajip juga menulis se- jumlah kritik sastra, baik Sunda maupun Indonesia. Bebera- pa bukunya memang berhubungan dengan ulasan atau pan- dangan, penelitian, serta pengajaran bahasa dan sastra. Bebe-rapa bukunya yang menunjukkan hal itu ialah: Cerita Pendek Indonesia (1959), Kapankah Kesusasteraan Indone- sia Lahir (1964), Beber Layar (1964), Kesusasteraan Sunda Dewasa Ini (1966), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (1973), Beberapa Masalah Pembinaan Minatbaca dan Peneli-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 443 tian Sastra Indonesia (1973), Puisi Indonesia (1975), Laut Biru Langit Biru (1977), dan Undang-undang Hak Cipta (1985). Dalam sebuah ceramahnya di Bandung kepada para sastrawan Sunda, Ajip Rosidi menjelaskan beberapa hal mengenai pengangkatannya jadi dosen di Jepang:

Yang menjadi ukuran untuk diangkat jadi dosen di Jepang, atau di Malaysia, adalah jumlah karangan yang sudah dibukukan. Mereka tidak pernah menanyakan gelar kesarjanaan, tapi bertanya: Sudah berapa puluh buku yang Anda karang? Pernah saya ditanya oleh seorang civitas akademika di Osaka Gaidai. Saudara Ajip dulunya kuliah di universitas mana? Saya jawab saja, saya tidak pernah kuliah di universitas manapun. Tapi kalau memberikan kuliah di universitas-universitas terhitung sering. Karuan saja orang- orang itu kaget….

Di Jepang, Ajip Rosidi selain mengajar di universitas, juga mengajar di sebuah tempat kursus di daerah Kansai. Di Osaka Gaidai dia juga mengajar bahasa Indonesia, masalah agama Islam, sastra Indonesia, dan lain-lain. Namun pada umumnya dia mengajar bahasa Indonesia. Kecuali pada tahun 1982 hingga 1984 dia mengajar bahasa Sunda. Dalam pandangan Mikihiro Moriyama, murid pertama Ajip dalam mata pelajaran bahasa Sunda di Jepang, sastrawan asal Jatiwangi itu mampu membuat senang murid-muridnya saat mengikuti kuliahnya. Sesudah Ajip datang ke Osaka hasilnya pun betul-betul meningkat. Sebelumnya jarang ada mahasiswa yang bisa berbicara bahasa Indonesia walaupun sudah tamat dan mendapat gelar sarjana. Para mahasiswanya rata-rata 40% dapat

444 Jamal D. Rahman dkk. berbicara lancar dan 40% dapat berbicara kata demi kata. Tambah lagi masalah pengetahuan tentang Indonesia menjadi lebih mantap dan lebih dalam. Di masa lalu tidak ada mahasiswa yang mengetahui nama sastrawan seperti Ajip Rosidi. Sekarang mahasiswa tahu benar siapa Pramudya Ananta Toer, bahkan Ahmad Tohari. Lebih jauh, penulis buku Semangat Baru (Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad Ke-19) ini menjelaskan bahwa secara ilmiah menonjol sekali penting- nya peranan Ajip Rosidi di bidang Indonesianologi baik di daerah Kansai maupun di Kyoto. Juga dalam bidang Sunda- nologi. Sebelum ia datang ke Jepang belum banyak orang Jepang mengetahui atau memperhatikan kebudayaan Sunda atau bahasa Sunda. Tapi sekarang muncul peneliti atau dosen yang berminat pada Sundanologi baik sejarahnya maupun bahasanya. Keberadaan studi Sunda tidak akan dikenal kalau Ajip tidak datang ke Jepang. Ajip Rosidi telah menanamkan bibit kebudayaan Sunda di sawah Jepang. “Minat saya terhadap bahasa dan kesusastraan Sunda mulai tumbuh pada 1980, ketika saya menjadi mahasiswa S-1 di Osaka University of Foreign Studies. Saya berutang budi pada dua orang dosen, yakni Ajip Rosidi dan Hiroshi Matsuo yang mengajar di sana. Ajip Rosidi memberi saya inspirasi dengan pengetahuannya yang luas dan ‘nasionalisme’ kesundaannya.” Di Jepang nyatanya Ajip lebih leluasa untuk melanjutkan beberapa garapannnya yang tertunda, di antaranya menyusuri jejak langkah salah seorang sastrawan Sunda ternama serta karya-karyanya, yakni Haji Hasan Mustapa,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 445 yang semula hanya dikenal oleh kalangan keluarganya saja di lingkungan Galih Pakuan. Bahkan Ajip mencari data hingga ke Kairo dan Belanda. Setelah di Jepang pula Ajip menulis riwayat hidup Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang kemudian terbit dengan judul Syafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah (1968), disertai dengan kumpulan tulisannya yang dieditori Ajip sendiri dengan judul Islam Sebagai Pedoman Hidup. Selain itu, Ajip kemudian mener- jemahkan novel dan kumpulan cerpen karya Yasunari Kawabata (Sastrawan Jepang yang mendapat Hadiah Nobel), yaitu Daerah Salju dan Penari-penari Jepang. Seperti dituturkan Abdullah Mustappa, dalam sebuah pengantar buku Mengenang Lima Puluh Tahun Ajip Rosidi, saat setelah lama tinggal di Jepang kemudian cuti ke Bandung, salah seorang sastrawan Sunda, yakni Ki Umbara, merasa khawatir Ajip akan terlalu betah di Jepang. Saat itu Ajip menjawab, bahwa justru di Jepang ia mendapat kesempatan lebih leluasa untuk menulis. *** Ajip Rosidi lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Maja- lengka, Jawa Barat. Ayahnya bernama Dayim Sutawiria, pensiunan pegawai Departemen Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten Majalengka. Ibunya adalah Hajjah Siti Konaah. Di Jatiwangi Ajip hanya sempat tamat Sekolah Rakyat (setingkat SD) hingga kelas satu SMP. Selanjutnya ia mengembara ke Jakarta meneruskan sekolah mengikuti pamannya. Meski begitu, sejak di bangku Sekolah Rakyat ia senang membaca yang kelak akan memberinya bakal merambah bahasa, sastra, serta budaya yang lebih dalam.

446 Jamal D. Rahman dkk. Dari sana pula lahirnya keinginan untuk menulis, yang dalam pandangan awalnya agar mendapat honorarium atau royalti, sehingga ia berniat membuat banyak buku. Maka wajar jika sejak awal Ajip tak mengirimkan karya- nya ke majalah. Namun ketika beberapa tulisannya yang dijadikan buku ditolak penerbit, maka atas saran pamannya ia pun mengirimkannya dahulu ke majalah-majalah kebudayaan seperti Mimbar Indonesia dan Zenith. Sejak SMP Ajip sudah terjun mengurus majalah Suluh Pelajar yang menyebar ke segenap penjuru tanah air. Begitu pun saat di Taman Madya (setingkat SMA) Taman Siswa juga mendapat kepercayaan mengasuh majalah Prosa, yang khusus menghadirkan cerita pendek. Ajip menikah dengan Patimah, putri Majalengka, yang banyak mengilhaminya membuat novel Perjalaan Pengan- ten. Dari pernikahannya, lahirlah enam orang anak, yakni Nunun Nuki Aminten, Titi Surti Nastiti, Uga Perceka, Nundang Rundagi, Rangin Sembada, dan Titis Nitiswati. Setamatnya dari Taman Siswa, Ajip terus belajar secara otodidak. Ia pun pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, tapi tak lama. Ajip kemudian terjun dalam membina dan mengembangkan kebudayaan Sunda. Bersama-sama bebe- rapa rekannya ia mendirikan Badan Pangulik Budaya “Kiwari”, yang selain menerbitkan majalah Kiwari, juga menerbitkan beberapa buku-buku Sunda pilihan, di antara- nya Jurig (kumpulan cerita pendek Tini Kartini), Lalaki di Tegal Pati (kumpulan sajak Sayudi), Neangan (kumpulan cerpen Caraka), Diwadalkaeun Ka Siluman (kumpulan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 447 cerpen Ki Umbara), hingga Rusiah Nu Goreng Patut atau Karnedi Anemer Bangkong (roman pendek Yuhana). Pada tahun 1969 Ajip mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun & Folklore Sunda, yang mendapat bantuan Koninklijk Instituut voor Taal, Land–en Volkenkunde (KITLV) dari negeri Belanda. Badan tersebut kemudian menegadakan penelitian dan merekam pantun serta cerita rakyat Sunda yang hampir punah. Ada sekitar 30 pantun (sastra lisan) dari berbagai tempat, termasuk Baduy, yang telah direkam dan kemudian ditranskipsi. 16 judul di antaranya telah dibukukan lewat proyek dari Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Kerja keras Ajip dan progresivitasnya mendapat peng- hargaan tak hanya dari dalam negeri namun juga luar nege- ri, sehingga ia diundang menghandiri Kongres Orientalis di Paris pada tahun 1973. Serta oleh Asia Foundation diberi kesempatan berkelana ke Malaysia Timur dan Malaysia Barat dalam rangka meneliti cerita rakyat. Dari Bandung, Ajip kemudian pindah lagi ke Jakarta. Ia lantas memimpin majalah Budaya Jaya (1968-1979), majalah bulanan kebudayaan umum yang dimaksudkan pula untuk menemani berdirinya Dewan Kesenian Jakarta, yang diprakarsai Ali Sadikin, Gubernur DKI saat itu. Pada periode itu pula Ajip merintis dan mendirikan penerbit Pustaka Jaya, yang kemudian menjadi Dunia Pustaka Jaya, yang mengawali dan menerbitkan kembali buku-buku bacaan anak-anak yang saat itu sangat langka. Sejak 1971 Pustaka Jaya banyak menerbitkan karya satra, budaya, dan ilmu pengetahuan, baik karya asli sastrawan Indonesia

448 Jamal D. Rahman dkk. maupun terjemahan. Pada saat itu Ajip juga ikut mempra- karasai berdirinya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Pustaka Jaya ternyata menjadi pemicu sehingga peme- rintah mengadakan kembali bacaan untuk anak-anak lewat proyek inpres, yang bertujuan untuk menyebarkan bacaan anak-anak ke sekolah-sekolah di seluruh penjuru tanah air. Pada masa itu pula Ajip dipercaya untuk menjadi ketua Ikat- an Penerbit Indonesia (IKAPI) hingga dua periode (1973- 1979), selain menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan Staf Ahli Menteri Pendidkan dan Kebudayaan (1978 -1980). Sedangkan pada tahun 1981 Ajip diundang ke Jepang untuk menjadi dosen bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda di jurusan Studi Bahasa Asing Universitas Osaka (Osaka Uni- ver-ity of Foreign Studies) dan diangkat sebagai guru besar. Sejak tahun 1989 Ajip memprakarsai pemberian Hadiah Sastra Rancage dibawah Yayasan Rancage hingga kini. Hadiah ini diberikan setiap tahun sejak 1989 kepada sastrawan yang menulis buku dalam sastra Sunda yang terbit tahun sebelumnya, dan tokoh yang dianggap berjasa dalam bidang pengembangan bahasa dan sastera Sunda. Tahun 1994 Hadiah Rancage juga diberikan kepada satrawan yang menulis dalam bahasa Jawa, dan sejak 1998 juga untuk yang menulis dalam bahasa Bali, kemudian diikuti bahasa Lampung, Tegal dan Banyumas. Hadiah tersebut juga diberikan kepada penulis yang dianggap berjasa dalam pengembangan bahasa daerahnya masing-masing. Pada tahun 2000 Ajip membidani lahirnya penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung. Penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku sastra dan budaya Sunda, serta menerbitkan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 449 majalah bulanan Cupumanik yang memuat karya sastra dan penelitian budaya Sunda, selain juga menyusun Ensiklopedi Sunda yang cukup tebal. Pada tahun 2001 ia memprakarsai Konferensi Internasional Budaya I di Bandung, yang diikuti para peserta dari dalam dan luar negeri. Pasca konferensi itu, pada tahun 2002 ia mendirikan Pusat Studi Sunda. Penghargaan yang diterima Ajip Rosidi di antaranya ialah Hadiah Sastera Nasional (1955-1956 dan 1957-1958), Hadiah Seni dari pemerintah RI (1993), Kun Santo Jui ho Sho dari pemerintah Jepang (1999), Hadiah Sastera Mastera (2003), dan Profesor Teeuw Award (2004). Setelah bekerja selama 22 tahun di Osaka, Ajip Rosidi pulang kembali ke tanah air. Ia tidak kembali ke Jatiwangi, Bandung atau Jakarta, namun membangun rumah dan perpustakaan pribadi di Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah. Ajip Rosidi juga pernah dikabarkan mempunyai empat istri. Namun ternyata rumor itu hanya lelucon meski agak mendekati kenyataan. Maklum saja, istri Ajip yang bernama Hj. Patimah, sering dipanggil Empat, sebagaimana orang Sunda suka memanggil nama seperti Tatang menjadi Entang, Pipin menjadi Empin, atau Popon menjadi Empon, dan lain-lain.[]

Kepustakaan

A Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya-Girimukti Pasaka.

450 Jamal D. Rahman dkk. A Teeuw. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. A. Chaedar Alwasilah dkk. 1928. Jejak Langkah Urang Sunda, 70 Tahun Ajip Rosidi. Bandung: Kiblat Buku Utama Abdullah Mustappa dkk. 1988. Ajip Rosidi Satengah Abad. Bandung: Pustaka Karsa Sunda. Ajip Rosidi. 1983. Ngalanglang Kasusasteraan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Ajip Rosidi. 1988. Hurip Waras. Bandung: Pustaka Karsa Sunda. Ajip Rosidi. 1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Bina Cipta. Ajip Rosidi. 2001. Dua Orang Dukun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ajip Rosidi. 2001. Puisi Sunda Modern dalam Dua Bahasa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Ajip Rosidi. 2003. Apa Siapa Orang Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. Ajip Rosidi. 2007. Sajak Sunda. Puisi Sunda Jilid III. Bandung: Kiblat Buku Utama. Ajip Rosidi. 2008. 100 Tahun Affandi. Bandung: Nuansa Cendikia. Ajip Rosidi. 2008. Hidup Tanpa Ijazah. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Eriyandi Budiman. 2008. Puisi-puisi Nusantara. Bandung: Wahana Iptek. Eriyandi Budiman. 2008. Sastra dan Pintu Surga. Tasikmalaya: Magma Insan Prima. Maman S. Mahayana. 2006. “Kultur Etnik dalam Perjalanan Penganten Ajip Rosidi”. (Makalah Lokakarya Pengembangan Apresiasi Sastra Daerah Tingkat Sekolah Menengah). Jakarta: Depdiknas. Mikihiro Moriyama. 2005. Semangat Baru: Nasionalisme, Budaya Cetak, dan Kesusasteraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kelompok Penerbit Gramedia (KPG).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 451 452 Jamal D. Rahman dkk. Taufiq Ismail Berkabar pada Sesama

ACEP ZAMZAM NOOR

aufiq Ismail merupakan salah seorang penyair TIndonesia yang secara teknis sangat terampil dan staminanya luar biasa. Ia bisa menulis puisi dalam gaya apa saja, juga dengan tema apa saja. Tak banyak penyair kita yang ungkapan sajaknya begitu beragam, mulai dari yang liris, simbolis, lugas, kontekstual, parodi, naratif, deskriptif, argumentatif sampai provokatif. Bentuk sajaknya pun tidak baku namun terus bergerak dari waktu ke waktu. Mulai dari bentuk tradisional seperti pantun dan gurindam, bentuk konvensional seperti kwatrin, soneta, stanza, terzina, balada sampai bentuk eksperimental. Sementara ukuran sajaknya juga lentur sehingga bisa panjang, bisa sedang, bisa pendek atau pendek sekali. Begitu juga dalam hal menyusun tipografi, ia banyak sekali melakukan variasi. Sedikit penyair kita yang mampu menggarap beragam tema seperti halnya Taufiq Ismail, apalagi jika dilakukan pada kurun waktu yang bersamaan. Jika kita membaca kumpulan sajaknya mulai dari Tirani yang terbit menjelang runtuhnya Orde Lama sampai Malu (Aku) Jadi Orang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 453 Indonesia yang terbit setelah runtuhnya Orde Baru, maka kita akan menemukan begitu banyak tema yang digarap, dan tema-tema tersebut merupakan tema yang selama ini kurang menarik perhatian penyair lain. Tema tentang cinta, pemandangan alam, pemujaan tanah air, kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, sejarah atau politik rasanya sudah biasa digarap penyair manapun. Tapi sajak tentang Dharma Wanita, UUD 1945, narkoba, sepakbola, tinju, atau rokok? Rasanya belum banyak –kalau bukan tidak ada– penyair yang menggarapnya. Jika kita tanyakan padanya untuk apa menggarap semua itu? Maka penyair yang pola hidupnya sehat dan teratur ini akan menunjuk sebuah sajak yang ditulisnya pada tahun 1965, sajak yang kemudian populer sebagai lagu pop karena dinyanyikan dan direkam oleh Bimbo. Sajak tersebut berjudul “Dengan Puisi Aku”, yang merupakan konsep atau kredo kepenyairannya sendiri. Puisi bagi Taufiq Ismail adalah nyanyian, di mana ia ingin bernyanyi sampai akhir hayatnya nanti. Puisi adalah cinta, yang keluasannya berbatas cakrawala. Puisi adalah renungan, tempat ia menerawang pada keabadian. Puisi adalah tangisan, jika kesedihan tak tertahankan. Puisi adalah kutukan, ketika napas zaman sudah membusuk. Puisi adalah permohonan, yang senantiasan dipanjatkan kepada Tuhan. Mari kita baca kutipan sajak tersebut seutuhnya:

Dengan puisi aku menyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbatas cakrawala

454 Jamal D. Rahman dkk. Dengan puisi aku mengenang Keabadian yang akan datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Nafas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa Perkenankanlah kiranya.

Setiap penyair mempunyai proses kreatif yang berbeda satu sama lain. Ada penyair yang menulis puisi dengan mengeram diri di kamar, ada yang bermeditasi di tempat- tempat tertentu, ada yang melakukan perjalanan ke gunung dan pantai. Ada yang menyusuri lorong-lorong pasar, ada yang terbengong-bengong di bangku stasiun, ada yang keluyuran dan begadang di malam hari. Ada yang rajin menonton televisi atau menyimak berita di koran pagi, ada yang berwudu dan sembahyang terlebih dahulu dan seterus- nya. Begitu juga dengan penyair yang satu ini, ia mempunyai cara serta kebiasaannya sendiri. Seperti yang dituturkan Suminto A. Sayuti dalam bukunya Taufiq Ismail Karya dan Dunianya, bagi Taufiq Ismail menulis sajak adalah upaya mengingat kembali berbagai peristiwa dalam kehidupan dengan cara menyingkatnya. Dengan demikian inspirasi menulis sajak bisa datang kapan serta dari mana saja. Peristiwa-peristiwa aktual yang berlangsung di sekitar maupun di kejauhan, yang secara langsung dialami atau hanya ditonton, baginya sudah dapat menjadi bahan untuk memulai bersajak. Sumber-sumber bacaan mulai dari laporan jurnalistik ringan sampai buku- buku tebal semua diperhitungkan sebagai sumber inspirasi. Begitu juga menonton film dan teater, menyaksikan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 455 pameran lukisan atau mendengar musik tidak jarang menjadi pemicu yang merangsang proses kreatifnya, baik berupa denyar-denyar perasaan, percik-percik pikiran, kelebat-kelebat gagasan atau malah berupa paket yang sudah jadi, misalnya berupa kalimat-kalimat yang utuh. Terlepas bagaimana proses dan teknis penulisannya, yang jelas menulis sajak merupakan sesuatu yang membahagia- kan. Apabila selesai menulis sebuah sajak misalnya, ia akan merasakan kenikmatan yang sulit dijelaskan. Jika proses penulisannya lama maka kenikmatan yang dirasakannya juga lama. Kenikmatan tersebut akan hilang seiring ber- akhirnya proses penulisan, namun akan muncul lagi ketika sajak tersebut dibacakan di depan publik. Sejak awal penulisan ia selalu memperhitungkan kemungkinan sajak- sajaknya dibacakan, dengan demikian bentuk naratif sering menjadi pilihan agar mudah dicerna khalayak.

*** Yang membuat seorang penyair populer dan dikenal luas kadang bukan disebabkan oleh sajak-sajak terbaik yang pernah ditulisnya. Chairil Anwar dikenal orang karena sajak- sajak awalnya yang heroik seperti “Aku”, “Diponegoro” atau “Antara Krawang-Bekasi” yang sebenarnya merupakan sajak saduran. Orang lupa bahwa di akhir hidupnya Chairil menulis sajak-sajak yang sangat matang seperti “Cintaku Jauh di Pulau”, “Catetan Tahun 1946”, “Yang Terampas dan yang Putus” serta “Derai-derai Cemara”. Begitu juga dengan Taufiq Ismail, ia sudah lama dikenal dengan sajak-sajak demonstrasinya, dan sekarang malah semakin populer

456 Jamal D. Rahman dkk. karena selalu tampil di depan publik —termasuk di televisi — dengan sajak-sajak yang merespon hampir semua peristiwa aktual yang terjadi di negeri ini. Orang mungkin sudah lupa atau tidak tahu bahwa antara dekade 1950-an sampai 1970-an penyair ini banyak menulis puisi-puisi lirik yang matang dan sublim. Termasuk di dalamnya puisi-puisi cinta yang dalam. Dalam bukunya Bakat Alam dan Intelektualisme yang terbit tahun 1971, Subagio Sastrowardoyo menilai bahwa sebagai orang yang terlibat langsung dalam perjuangan KAMI melawan tirani, sajak-sajak Taufiq Ismail menyuara- kan iktikad, semangat dan cita-cita KAMI pada masa demonstrasi. Dengan demikian sajak-sajaknya tidak mengucapkan pengalaman pribadinya yang berdiri sendiri, melainkan pengalaman bersama yang kolektif. Dengan menyatukan diri dengan lingkungan kepentingan yang lebih besar lagi, ia telah mengarah kepada kekitaan, perangkuman dimensi kehidupan yang niscaya akan mendatangkan nilai pada persajakannya. Lebih lanjut Subagio menyatakan:

Tapi Taufiq baru mengarah, dan belum sampai pada taraf kita. Sajak-sajaknya baru sampai pada taraf kami. Seperti sudah nasibnya yang dikandung sajak-sajak protes dan sajak-sajak perlawanan, sikapnya harus memihak. Di dalam memilih pihak ada kecenderungan untuk bilang kepada lawan: Kami putih bersih karena benar dan adil, kalian hitam legam karena batil dan zalim.

Hampir sejalan dengan Subagio, pada tahun 1973 Sutardji Calzoum Bachri menulis esai di harian Indonesia Raya, yang antara lain mengatakan bahwa pada hakikatnya Taufiq

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 457 Ismail adalah penyair yang sederhana. Ia tidak meminta agar sajak-sajak yang dipublikasikannya punya nilai dimensi yang dalam atau bertahan lama. Ia juga tidak mempeduli- kan apakah sajak-sajaknya akan menimbulkan kesan yang mendalam atau tidak pada pembaca. Ia juga tidak mem- pedulikan bahasa yang dipakainya. Bahkan ia tak peduli apakah baris-baris yang dipakainya cenderung pada prosa atau puisi. Jamal D. Rahman dalam catatan kebudayaannya di majalah Horison tahun 2008 seakan memaklumi sinyalemen itu, bahwa puisi-puisi sosial Taufiq yang tajam, memang sering kali hadir tanpa begitu peduli pada capaian estetika tinggi yang justru merupakan obsesi terbesar dari kebanyakan penyair. Tentu saja pandangan ketiga penyair dan kritikus beda generasi tersebut lebih diarahkan pada sajak-sajak perlawan- an dan kritik sosialnya yang berasal dari kumpulan Tirani (1966) dan Benteng (1966), juga kumpulan Sajak Ladang Jagung (1973) yang masih menyertakan sajak-sajak perla- wanan dan kritik sosial, di samping memuat sajak-sajak lirik yang pencapaian estetikanya justru sangat mengagumkan. Sajak-sajak lirik tersebut sebagian ditulis sekitar tahun 1971- 1972 saat Taufiq Ismail mengikuti program penulisan kreatif di University of Iowa, Amerika Serikat. Dalam sebuah ceramah di TIM tahun 1995, Sapardi Djoko Damono dengan serius dan penuh empati menyoroti keberadaan sajak-sajak lirik yang ditulis Taufiq Ismail, yang selama ini cenderung kurang mendapat perhatian. Sapardi mengatakan bahwa sajak-sajak Taufiq Ismail sudah sampai pada taraf keterampilan yang canggih, yang hanya bisa

458 Jamal D. Rahman dkk. dicapai lewat serangkaian eksperimen bahasa yang dikerjakan secara intensif. Pada dasarnya setiap karya sastra, setiap sajak, adalah suatu eksperimen bahasa, di samping sekaligus eksperimen moral. Penyair adalah orang yang berusaha menghayati dan memahami kehidupan ini, untuk kemudian menciptakan tanggapan dan penilaian terhadap- nya dalam bentuk sajak. Dengan demikian sajak bukanlah sekedar tiruan melainkan eksperimen yang hasilnya meru- pakan semacam alternatif. Kemudian Sapardi menunjuk sajak “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco” sebagai sajak di mana penyair dengan sadar menjaga jarak antara aku lirik dengan lawan bicara- nya, yang tak lain adalah objek yang dilukiskannya. Jarak itu terjaga sebab si aku lirik mamandang objek yang dilukis- kannya itu dari suatu ketinggian. Deretan citra visual yang tajam susul-menyusul dalam sajak ini. Menurut Sapardi: Dalam bait pertama segera tampak citraan visual yang tajam, dengan mempergunakan simile dan metafora yang orsinil. Dalam gambaran mengenai suasana sekitar jembatan, laut digambarkan sebagai bubur agar-agar dan kabut turun sebagai tepung nilon yang berceceran. Dalam bait berikutnya, Taufiq menciptakan citra visual yang sangat tajam, satu di antara beberapa citra visual yang sangat indah yang pernah diciptakan penyair Indonesia modern. Warna-warna kota itu disiratkannya dengan menggambarkan sebuah peti cat mele- dak di udara, dan tumpah atas bangunan-bangunan di kota. Dalam salah satu kalimatnya, Taufiq mempergunakan piranti puitik yang sangat rumit: jaringan citra visual, metafora, citra kenetik, dan sinestesia. Angin yang ‘mengeringkan dan meng- aduk’ tumpukan cat itu adalah citra visual, yang berurusan dengan indera penglihatan; ‘aroma daun-daun peladangan jeruk’ adalah citra bauan, yang berurusan dengan penciuman; lompatan dari satu indera ke indera lain itulah sinestesia;

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 459 dan sayap kawanan camar yang mengibas-ngibaskan semua itu adalah citra kinetik, yang menyangkut gerak, dan sekaligus citra visual.

Sementara dalam sebuah esai di majalah Horison tahun 2008, Budi Darma mengatakan bahwa untuk menilai seorang penyair, cara yang paling tepat tentu saja menengok langsung pada sajaknya. Tapi kalaupun tidak langsung ke sajaknya, cara lain adalah menengok terjemahan-terjemah- annya kalau penyair tersebut suka menerjemahkan. Kebe- tulan Taufiq Ismail selain menulis sajak, juga seorang penerjemah yang handal. Bahkan pada tahun 1990-an ia merencanakan penerbitan sajak-sajak terjemahan Amerika. Banyak sekali nama penyair dilibatkan, termasuk yang masih hidup waktu itu seperti Bob Dylan. Kumpulan sajak yang dibayangkan akan tebal dan monumental —namun sayang belum terbit juga sampai sekarang– ini diberi judul Rumputan Dedaunan yang mengingatkan kita pada salah satu kumpulan sajak Walt Whitman, yang berjudul Leaves of Grass. Dalam kaitan ini Budi Darma menulis:

Jiwa Taufiq Ismail seperti jiwa Emily Dickinson dan Walt Whitman, adalah jiwa pengembara. Taufiq Ismail memiliki hasrat besar untuk mencakup semua, agar seluruh aspek kehidupan dapat ditangkap secara komprehensif, dan dapat pula disampaikan secara komprehensif. Berbagai latar, masalah, dan nuansa berbagai peristiwa masuk dalam puisi Emily Dickinson, Walt Whitman dan Taufiq Ismail. Emily mungkin tidak akan menyampaikan pesan-pesannya secara langsung ke dunia luar dengan bebas, sementara Walt Whitman dan Taufiq Ismail mempunyai kesempatan untuk bergerak ke mana-mana. Karena itu, mayoritas puisi Emily Dickinson adalah puisi salon, yaitu puisi untuk dibaca sendiri

460 Jamal D. Rahman dkk. diam-diam, sedangkan puisi Walt Whitman bukanlah puisi salon, namun disampaikan secara langsung kepada khalayak. Puisi yang disampaikan secara langsung kepada publik, tentu, lebih kaya retorika, antara lain pengulangan, dan penekanan- penekanan.

Walt Whitman adalah penyair penting Amerika pada abad ke-19. Latar sajaknya adalah Amerika pada umumnya pada masa itu, yaitu padang-padang luas, alam terbuka, dedaunan dan rumputan dengan berbagai nuansa warna, deru angin, gemericik sungai, dan hal-hal semacam itu. Kendati negara itu sudah menggeliat untuk menjadi sebuah negara industri, nuansa rural dan agraris masih sangat dominan. Bahkan pada abad ke-20 dan ke-21 pun, ketika Amerika sudah menjadi negara raksasa industri, di berbagai kawasan yang cukup luas dan terbuka, suasana rural dan agrarisnya sama sekali tidak terkikis. Budi Darma menambahkan:

Karena itu, jangan heran manakala sekian banyak puisi Taufiq Ismail tidak terlepas dari padang-padang luas, alam terbuka, dedaunan dan rerumputan dengan berbagai nuansa warna-warninya, gemericik air, dan berbagai kekayaan alam. Situasi dan kondisi alam disesuaikan dengan alam terbuka Indonesia, misalnya Sumba.

Mari kita baca sajak “Beri Daku Sumba” yang didedikasi- kan kepada penyair Umbu Landu Paranggi. Sajak ini, seperti halnya sajak yang dibahas Sapardi Djoko Damono yang melukiskan kota San Francisco, juga ditulis dengan kesa- daran menjaga jarak antara aku lirik dengan objek yang dihadapinya, dan dengan jarak yang terjaga itu terbentang- lah keluasan, keterbukaan sekaligus keheningan:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 461 Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka Di mana matahari membusur api di atas sana Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput Kleneng genta, ringkik kuda dan ternak gembala Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari Beri daku sepucuk gitar, bossanova dan tiga ekor kuda Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap cokelat tua Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.

Sajak “Beri Daku Sumba” yang termuat dalam kumpulan Sajak Ladang Jagung menurut banyak pengamat merupa- kan salah satu sajak lirik terbaik Taufiq Ismail, di samping sajak “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco”, “Pantun Terang Bulan di Midwest”, “Pelabuhan Sebelum Pasang”, “Fortaleza de Malaca” dan “Adakah Suara Cemara” yang juga termuat dalam kumpulan tersebut. Namun jauh sebelumnya, Taufiq sudah berlatih menulis sajak-sajak lirik seperti “Gerimis Putih”, “Di Teluk Ikan Putih”, “Messina- Gilbaltar” dan “Surat dari Lampung” ketika usianya masih belasan tahun pada tahun 1950-an. Sementara pada tahun

462 Jamal D. Rahman dkk. 1960-an, di tengah kesuntukannya menggarap sajak-sajak perlawanan, beberapa puisi lirik yang sempat ditulisnya seperti “Bukit Biru, Bukit Kelu”, “Turun Malam”, “Dalam Gerimis” dan “Ode Pada Van Gogh” menjadi terasa seperti oase di tengah padang pasir. Untuk menyegarkan ingatan kita kutip sajak “Ode Pada Van Gogh” yang merupakan sajak pendek dengan citraan visual yang padat dan hidup:

Pohon sipres. Kafe tua Di ujung jalan Sepi. Sepi jua

Langit berombak Bulan di sana Sepi. Sepi namanya.

Abdul Hadi W.M. dalam pengantar buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (Jilid 1) secara garis besar membagi tiga periode kepenyairan Taufiq Ismail. Periode awal, meliputi karyanya yang ditulis sejak tahun 1950-an hingga tahun 1970-an. Sajak-sajak ini antara lain termuat dalam kumpulan Tirani, Benteng dan Sajak Ladang Jagung. Periode kedua meliputi karyanya yang ditulis sejak pertengahan 1970 hingga awal 1980-an. Dalam periode ini kita disuguhi sajak-sajak religius serta sajak-sajak fabel yang diserap dari berbagai cerita sufi seperti yang nampak antara lain dalam kumpulan Perkenalkan, Saya Hewan (1976) dan serial sajak Balada 25 Nabi yang dinyanyikan Bimbo. Lalu periode ketiga, yang bermula dari pertengahan 1980-an hingga sekarang, sebagian besar termuat pada kumpulan Puisi-puisi Langit (1990) dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 463 Jika kita perhatikan dengan cermat, terdapat perbedaan yang mencolok antara sajak-sajak periode awal, kedua dan ketiga. Perbedaannya terutama terletak pada corak peng- ucapan puitiknya. Pada periode awal Taufiq Ismail cende- rung menekankan citraan visual dalam menggambarkan pengalaman estetik yang dibentuk oleh pengamatan yang tajam pada momen-momen penting sejarah di mana ia terlibat di dalamnya. Ia berhasil menggunakan kekuatan bahasa figuratif yang secara efektif dapat menumbuhkan imajinasi pembaca. Sebagai penyair yang peka terhadap sejarah, sajak- sajaknya menyajikan lukisan-lukisan yang ditulis dengan pengamatan cermat dan detail tentang demonstrasi maha- siswa tahun 1966. Dengan citraan-citraan yang cenderung visual tersebut maka peristiwa yang dilukiskannya seolah terpampang di depan mata. Ini berbeda dengan sajak-sajak naratifnya yang cenderung prosais yang kebanyakan ditulis sejak pertengahan 1970-an hingga periode mutakhir kepe- nyairannya. Jika periode sebelumnya banyak menggunakan bahasa figuratif, pada periode terakhir tampak bergeser ke arah bahasa diskursif yang dominan, yang kemudian diper- kaya lagi dengan kecanggihan permainan kata-kata. Pada periode awal ia terlibat langsung dengan peristiwa yang dilu- kiskannya. Tapi pada periode berikutnya, ia tidak lagi melibat- kan diri secara fisik melainkan lewat perasaan dan pikirannya. Ada satu hal lagi mengenai kepenyairan Taufiq Ismail, yaitu tentang nilai-nilai religiusitas yang tersirat dalam sajak- sajaknya, meski nilai-nilai tersebut hanya dapat dirasakan oleh pembaca yang mempunyai kepekaan terhadap pesan-

464 Jamal D. Rahman dkk. pesan moral atau kerohanian yang tersembunyi di balik ungkapan sajaknya yang kadang sangat bersahaja. Sajak- sajak seperti “Lima Syair Tentang Warisan Harta”, “Sebuah Ziarah ke Kubur Sendiri”, “Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja”, “Celupkan Jarimu ke Air Lautan”, “Bermata tapi Tak Melihat” sampai “Sajadah Panjang” merupakan contoh dari sajak-sajak religiusnya tersebut.

*** Taufiq Ismail atau lengkapnya Taufiq Abdul Gaffar Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935, dan dibesarkan di tengah- tengah keluarganya yang religius di Pekalongan. Ia mendapat sejumlah penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri, antara lain Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Hadiah Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa dari Depdikbud (1994), Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999), Penghargaan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk dedikasi dan aktivitas anti narkoba (2003), Pedati Award dari Pemkot Bukittinggi, Sumatera Barat (2007), dan Habibie Award untuk bidang sastra dari The Habibie Center (2007). Sajak-sajaknya dikumpulkan antara lain dalam Mani- festasi (1963, bersama Goenawan Mohamad dan Hartojo Andangjaya), Benteng (1966) Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993) dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 465 Bersama dengan Ali Audah dan Goenawan Mohamad menerjemahkan The Recontruction of Religious Thought in Islam (1964), salah satu karya penting Mohammad Iqbal. Sedangkan bersama D.S. Muljanto, menyunting bunga rampai Prahara Budaya (1994) yang merekam gejolak politik kebudayaan pada masa Orde lama. Bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya dan Agus Dermawan T. menyunting bunga rampai puisi dan lukisan Ketika Kata Ketika Warna (1995). Lalu bersama sejumlah sastrawan muda yang menjadi rekannya di majalah Horison, ia menyunting bunga rampai Dari Fansuri Ke Handayani (2001), Horison Sastra Indonesia 1-4 (2002), dan Horison Esai Indonesia 1-2 (2004). Tahun 2008 tulisan-tulisannya berupa puisi, cerpen, lakon, esai, makalah dan laporan jurnalistiknya diterbitkan dalam edisi lengkap yang diberinya judul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit dan terdiri dari 4 jilid, di mana jilid 1- 3 masing-masing tebalnya lebih dari 1000 halaman. Sedang jilid 4 hanya berisi 102 halaman. Jilid terakhir ini berisi sajak- sajaknya yang telah dijadikan lirik lagu oleh Bimbo, God Bless, dan lain-lain. Sajak-sajak yang umumnya bertema religius ini telah menambah popularitas Taufiq Ismail sebagai penyair yang terampil dan serba bisa. Sajak- sajak ini memang khusus ditulis untuk lirik lagu dengan memperhitungkan segala pesan maupun aspek musikalnya. Tidak semua penyair mampu melakukan pekerjaan ini. Ketika masih remaja Taufiq Ismail mendapat beasiswa AFSIS (American Field Service International Scholarship) di kelas 3 SMA Whitefish Bay High School di Milwaukee,

466 Jamal D. Rahman dkk. Amerika Serikat, melanjutkan studi dan lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia di Bogor (1963). Dan pada bulan Februari 2003, atas jasa- jasanya dalam ikut memajukan dan mengembangkan pendidikan sastra di Indonesia ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Pendidikan Sastra oleh Univer- sitas Negeri Yogyakarta. Pada awal Orde Baru, di tengah euforia pembebasan bersama beberapa sastrawan dan buda- yawan ia mendirikan majalah sastra Horison, juga men- dirikan Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dan sempat menjadi rektor lembaga tersebut selama sepuluh tahun, 1968-1978. Ia pernah dua kali mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat, yakni pada tahun 1971-1972 dan 1991-1992. Pada tahun 1990, setelah pensiun dari PT Unilever Indonesia tempatnya bekerja selama puluhan tahun, ia sempat belajar bahasa Arab di American University, Kairo, Mesir, namun tidak sampai tuntas karena meletusnya perang Iraq. Pada tahun 1994 ia menjadi sastrawan tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Selain itu, ia melakukan perjalanan budaya ke berbagai negara, tepatnya ke 24 kota Asia, Amerika Serikat, Australia, Eropa dan Afrika untuk baca sajak, seminar atau konferensi. Taufiq Ismail dikenal sebagai salah seorang penanda- tangan Manifes Kebudayaan. Sajak-sajak perlawanan dan kritik sosial yang ditulisnya dalam suasana penuh ketegangan politik ketika itu telah memikat hati H.B. Jassin

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 467 untuk mengukuhkannya sebagai sastrawan Angkatan ’66. Dalam pidato keseniannya berjudul “Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung” yang disampaikan di TIM tahun 1995, Taufiq menjelaskan panjang lebar kenapa menulis sajak- sajak perlawanan dan kritik sosial, juga kenapa memilih bentuk pengucapan yang prosais atau naratif, yang mene- kankan pentingnya komunikasi dengan publik. Bagian dari pidato ini seakan ingin menjawab berbagai pandangan orang terhadap sajak-sajaknya selama ini:

Demikianlah saya ingin berkabar. Saya mau menyam- paikan berita, mendalang dan berkisah lewat puisi saya, kepada pendengar dan pembaca saya. Ketika menuliskan buram per- tama puisi saya, sudah terbayang oleh saya pendengar acara baca puisi yang akan berbagi nikmat menyimaknya. Puisi saya terbanyak ditulis dengan kesadaran akan hadirnya audiens. Saya menolak atau lebih tepatnya tidak menerima penuh bahwa puisi harus padat dan minimum kata tapi tak indah serta gagap berkomunikasi, saya memilih puisi banyak kata tapi cantik, menyentuh perasaan, laju menghilir dan komunikatif. Puisi saya wajib musikal. Kata-kata harus sedap didengar. Tentu saja kata-kata itu mengalami ketatnya seleksi.

*** Setelah pensiun dari PT Unilever Indonesia, tepatnya sepulang dari Kairo dan Kuala Lumpur, Taufiq Ismail seperti mendapat semacam pencerahan batin untuk mengubah strategi perjuangan kebudayaannya. Sudah lama ia merasa prihatin memikirkan merosotnya kualitas pendidikan dan apresiasi sastra di sekolah, yang tentu akan sangat berdam- pak pada karakter serta kualitas anak-anak bangsa sekarang maupun masa yang akan datang. Ia juga merasa sangat

468 Jamal D. Rahman dkk. prihatin dengan minat baca masyarakat yang terus menurun dari waktu ke waktu. Usulannya pada menteri pendidikan agar memisahkan antara mata pelajaran sastra dan bahasa serta memberikan porsi yang cukup dalam kurikulum tidak mendapat tanggapan berarti. Padahal usul tersebut sudah disampaikan berulang kali sejak menteri pendidikan dijabat Nugroho Notosusanto. Taufiq Ismail merasa bahwa untuk melakukan perubahan di masyarakat tak cukup hanya menulis karya sastra saja, namun harus ada langkah- langkah konkret yang mendukung supaya karya-karya sastra tersebut bisa memasyarakat. Langkah awal yang diambil untuk mewujudkan gagas- annya terbilang sederhana. Ia tiba-tiba seperti tergerak hatinya untuk kembali menangani majalah Horison secara langsung, yang sekian lama dipercayakannya pada rekan- nya Hamsad Rangkuti. Setelah merekrut beberapa sastrawan muda sebagai tenaga segar dan terus menggodok gagasan- nya tersebut, akhirnya muncul konsep untuk memulai sebuah gerakan budaya dalam rangka meningkatkan apresasi sastra. Ada 6 program dengan sasaran awal tertuju pada dunia pendidikan, yakni program untuk meningkatkan minat membaca buku, kemampuan mengarang dan apre- siasi sastra, khususnya bagi siswa dan guru sekolah serta mahasiswa dari fakultas keguruan. Berikut ini adalah daftar program tersebut:

Sisipan Kakilangit Sejak bulan September 1996, majalah Horison membuka sisipan Kakilangit khusus untuk siswa SMA dan sederajat

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 469 seperti Madrasah Aliyah atau SMK. Karena banyak sekolah yang berada di lingkungan pesantren, maka sisipan ini juga melibatkan para santri di dalamnya. Sisipan tersebut berisi karya terpilih seorang sastrawan Indonesia terkemuka, dari mulai ulasan terhadap karya-karyanya, proses kreatifnya, riwayat hidupnya, hingga anekdot yang berkaitan dengan sastrawan tersebut. Sisipan ini sangat membantu guru dalam mengajarkan sastra di kelas, juga memicu semangat para siswa. Disediakan juga rubrik yang memuat karya- karya siswa lengkap dengan foto mereka bersama guru- gurunya di halaman sekolah. Di samping ada rubrik khusus buat guru-guru sastra untuk menuliskan pengalaman serta gagasannya mengenai pengajaran sastra. Setelah berlang- sung selama belasan tahun, tak sedikit pengarang dan penya- ir yang mengawali proses kepenulisannya di Kakilangit ini, muncul ke permukaan.

Pelatihan Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) Program MMAS ditujukan kepada para guru untuk dilatih dalam meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan apresiasi sastra. Peserta pelatihan dipilih dari guru-guru yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia, yang dilakukan secara bertahap dan per angkatan. Materi pelatihan disusun oleh tim dari majalah Horison dan dilaksanakan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Guru Bahasa di berbagai kota secara bergilir. Selama seminggu sekitar 30 sampai 60 guru dilatih dalam hal membaca, menulis dan mengapresiasi karya sastra, juga mereka diberi

470 Jamal D. Rahman dkk. kesempatan berdiskusi dengan sastrawan tamu yang sengaja diundang. Program ini merupakan kerjasama dengan pihak Depdikbud, dimulai tahun 1999 dan masih berlangsung sampai sekarang.

Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) Program SBSB mendatangkan sejumlah sastrawan terkemuka ke sekolah-sekolah di berbagai daerah seluruh Indonesia. Para sastrawan tampil membacakan karyanya, mengutarakan konsep dan pengalamannya. Lalu para siswa bertanya dan berdiskusi dengan mereka. Untuk mendukung program ini sejumlah buku pendukung seperti Dari Fansuri ke Handayani, Horison Sastra Indonesia dan Kakilangit Sastra Pelajar yang merupakan antologi karya-karya siswa yang dimuat Kakilangit diterbitkan. Buku-buku tersebut dibagikan secara gratis kepada sekolah-sekolah yang menjadi peserta SBSB. Dimulai tahun 1999, program yang disponsori The Ford Foundation ini sudah menyambangi hampir seluruh wilayah Indonesia. Kini program yang dinilai penting dan bermanfaat untuk apresiasi sastra, dilanjutkan oleh Depdikbud dengan frekuensi tak segencar dulu lagi.

Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) Program dengan sasaran perguruan tinggi ini bentuknya hampir mirip dengan SBSB. Sejumlah sastrawan didatang- kan ke kampus-kampus, membaca karya, mengutarakan konsep dan pengalamannya, kemudian berdiskusi dengan mahasiswa. Kampus yang dipilih adalah fakultas keguruan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 471 di mana para mahasiswanya merupakan calon-calon guru sastra ke depannya. Namun ada bedanya dengan SBSB yang diikuti ratusan siswa dan menjangkau daerah-daerah di pelosok, SBSM hanya diikuti oleh puluhan mahasiswa yang dipilih oleh pihak fakultas. Meskipun jangkauannya tak seluas SBSB, sejumlah universitas yang mempunyai fakultas keguruan di berbagai kota besar pernah menjadi tuan rumah. Program ini disponsori The Ford Foundation dan berlang- sung antara tahun 2000-2001.

Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) dan Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) Sebuah sayembara mengarang esai tingkat nasional bagi guru-guru bahasa dan sastra Indonesia yang dimulai sejak tahun 2000. Dalam sayembara ini peserta diharuskan mengulas satu dari 50 novel, drama, cerpen dan puisi pilihan yang ditetapkan panitia. Sayembara dilaksanakan setiap tahun antara bulan Juli hingga Oktober, dengan hadiah uang yang lumayan besar. Sementara sayembara mengarang cerpen juga dilaksanakan setiap tahun dengan tema-tema yang ditentukan panitia, misalnya tema-tema aktual di lingkungan pendidikan seperti pencegahan tawuran dan narkoba di kalangan siswa. Respon guru-guru untuk kedua sayembara ini sangat bagus, setiap tahun pesertanya terus meningkat. Dalam catatan Taufiq Ismail, ternyata ada satu lapis guru, meskipun lapis itu sangat tipis, yang menunjuk- kan kemampuan tinggi dalam mengarang. Juara-juara dari sayembara ini tak sedikit yang kemudian dikenal sebagai sastrawan dan menerbitkan buku. Program ini masih ber- langsung dan ditangani oleh Dirjen Dikdasmen, Depdikbud.

472 Jamal D. Rahman dkk. Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) Program ini dilakukan setelah program SBSB berlang- sung dan mendapat respon yang baik di berbagai daerah. Sebagai tindak lanjut dari respon tersebut maka dirasa perlu membentuk sebuah sanggar untuk secara khusus menjadi wadah bagi siswa-siswa peminat sastra. Karya-karya dari anggota sanggar ini ditampung untuk dimuat pada sisipan Kakilangit. Setelah berlangsung selama 2 tahun program ini diubah menjadi Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) dengan melibatkan remaja-remaja putus sekolah. Ada 12 kota yang dipilih sebagai percontohan sanggar, dikelola oleh aktivisis sastra atau sastrawan setempat. Pihak majalah Horison memberikan stimulan berupa bantuan buku-buku, langganan majalah serta perlengkapan lain. Meski bantuan stimulan yang disponsori The Ford Foundation hanya berlangsung beberapa tahun namun sejumlah sanggar masih beraktivitas sampai sekarang, dan tak sedikit yang melahirkan pengarang serta penyair potensial.

*** Tahun 2009 Taufiq Ismail mendirikan Rumah Puisi di tanah kelahirannya, antara kota Padangpanjang dan Bukittinggi, tepatnya di kampung Aie Angek yang diapit gunung Singgalang dan Merapi. Rumah Puisi adalah obsesi lain dari penyair yang berdarah Minang ini untuk berbakti pada tanah kelahirannya. Di tempat yang sejuk dan indah berdiri dengan megah tiga bangunan bergaya minimalis, satu bangunan utama berfungsi sebagai perpustakaan, tempat pelatihan terbatas dan rumah tinggal, bangunan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 473 kedua berupa mess untuk para tamu. Dan satu bangunan lagi adalah mushola. Di sekeliling ketiga bangunan tadi menghampar kebun-kebun sayur yang selalu diselimuti kabut. Salah satu program Rumah Puisi adalah mengundang sastrawan untuk tinggal dan berkarya di sana. Setiap sastrawan diundang untuk tinggal selama satu bulan. Selain menulis dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, mereka juga “berkewajiban” untuk memberikan ceramah dan diskusi mengenai sastra pada sejumlah guru, siswa, mahasiswa dari berbagai sekolah maupun perguruan tinggi. Program residensi ini konon diilhami program penulisan kreatif di University of Iowa yang pernah diikutinya. Di antara sastrawan yang pernah diundang pada tahun pertama program ini adalah Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Joni Ariadinata dan Acep Zamzam Noor. Di luar program residensi, program-program yang pernah dirintisnya bersama majalah Horison seperti pelatihan guru, juga dilaksanakan meski dalam skala yang lebih kecil. Sementara perpustakaan yang menyimpan ribuan buku koleksi pribadi Taufiq Ismail, kini sudah banyak dimanfaatkan mahasiswa serta dosen sastra yang melakukan penelitian. Taufiq Ismail dan istrinya, Ati Ismail, terpaksa harus membagi waktu antara Jakarta dan Aie Angek. Dua minggu mereka beraktivitas di Jakarta, dua minggu lagi dihabiskan di Rumah Puisi. Program-program pelatihan guru biasanya dilaksanakan ketika mereka sedang berada di Rumah Puisi, meskipun tidak selalu.

474 Jamal D. Rahman dkk. Dalam kaitannya dengan dunia kepenyairan secara umum, nama Taufiq Ismail bisa disandingkan dengan Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah satu komponen penting dalam memasyarakatkan pembacaan sajak di Indonesia. Taufiq termasuk penyair yang paling rajin tampil di depan publik, bukan hanya di panggung-panggung sastra namun juga merambah sampai ke mimbar masjid, kantor KPU dan layar televisi. Meski tergolong jarang menerbitkan kumpulan sajak, namun namanya terus beredar dari panggung ke panggung dengan sajak-sajaknya yang baru. Sedang mengenai corak puitika sajak-sajaknya sendiri yang penuh dengan eksperimentasi itu, nampaknya tidak terlalu banyak diikuti penyair-penyair yang datang sesudahnya, ini pun jika kita dibandingkan dengan Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad yang sajak-sajaknya menjadi orientasi artistik banyak penyair muda. Sebagai salah seorang sastrawan dan budayawan penting Indonesia, yang diwariskan Taufiq Ismail kepada bangsa ini tentu bukan hanya sajak-sajak serta esai-esai tajamnya tentang sastra, budaya, sejarah dan negara yang begitu luar biasa, namun lebih-lebih adalah perbuatan sederhananya dalam upaya meningkatkan minat membaca, menulis serta mengapresiasi karya sastra di kalangan masyarakat, khususnya para siswa dan guru. Perbuatan inilah yang tidak setiap sastrawan, sehebat apapun sastrawan itu, bisa melakukannya dengan tulus.[]

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 475 Kepustakaan

Agus R. Sarjono dkk. 2006. Mengantar Sastra ke Tengah Siswa. Jakarta: Horison. Budi Darma. “Individuasi Taufiq Ismail”. Majalah Horison XLIII/7/2008. Jamal D. Rahman. “Taufiq Ismail: Sebuah Dering Peringatan”. Majalah Horison XLIII/7/2008. Sapardi Djoko Damono. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus. Subagio Sastrowardo yo. 1971. Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta: Pustaka Jaya. Suminto A Sayuti. 2005. Taufiq Ismail: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo. Sutardji Calzoum Bachri. 2007. Isyarat. Magelang: Indonesia Tera. Taufiq Ismail. 1973. Sajak Ladang Jagung. Jakarta: Pustaka Jaya. Taufiq Ismail. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda. Taufiq Ismail. 2005. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yayasan Ananda. Taufiq Ismail. 2008. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (Jilid 1). Jakarta: Horison. Taufiq Ismail. 2008. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (Jilid 4). Jakarta: Horison.

476 Jamal D. Rahman dkk. Rendra Daya Hidup bagi Hewan yang Terluka

JAMAL D. RAHMAN

nilah ungkapan seorang pejabat tentang Rendra: I”Memang saudara-saudara seniman pandai mengeritik, dengan tulisan, dengan pertunjukan. Sedangkan kami, militer tidak pandai bermain kata-kata. Tidak pandai mengeritik. Tapi kami punya bedil! Apa jasa Rendra terhadap bangsa dan tanah air? Apa peranannya dalam revolusi 45? Saya, biar begini ikut berjuang mempertahankan proklamasi 17 Agustus.” Pejabat itu berkata dengan geram. Asrul Sani, Ajip Rosidi, dan beberapa anggota Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta (DPH DKJ) menemui pejabat tinggi DKI Jakarta itu untuk memintanya turun tangan segera membebaskan Rendra yang sedang ditahan. DKJ adalah mitra Gubernur DKI Jakarta di bidang kebudayaan, yang antara lain bertugas merancang acara- acara seni dan budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Rendra ditangkap aparat keamanan dalam acara pembacaan puisi di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki (TIM), 1979, atas undangan DKJ, di mana panggung acara dilempari bom, diduga oleh aparat keamanan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 477 Usaha DPH DKJ untuk membebaskan Rendra melalui pejabat DKI Jakarta itu rupanya tak berhasil. Asrul Sani, yang jago diplomasi dan retorika, dan selalu berhasil meya- kinkan pejabat, pun kali ini tak berdaya. “Rupanya tak setiap orang dapat kauyakinkan, Rul,” kata Ajip Rosidi usai ber- temu pejabat tadi. “Bung Karno dapat kauyakinkan ketika mau membuat film ‘Tauhid’. Ali Sadikin dapat kauyakinkan mengenai pentingnya kesenian dalam masyarakat. Tapi sang pejabat tadi....” “Itulah,” jawab Asrul Sani, sineas yang juga dokter hewan. “Aku sendiri heran. Aku kan sudah mempelajari segala macam binatang. Tapi entah yang tadi, keledai dari mana seperti itu....” Rendra baru dibebaskan setelah ditahan —tanpa proses pengadilan— selama 9 bulan. Melalui beberapa kegiatan, gerakan, drama, teater, dan terutama puisi-puisinya, sudah sejak lama Rendra melontar- kan kritik terhadap pemerintah Orde Baru, dan kerapkali berurusan dengan aparat keamanan. Di tahun 1970, dia ditahan setelah melibatkan diri dalam demonstrasi maha- siswa di Jl. Thamrin, Jakarta Pusat, menentang kebijakan- kebijakan Orde Baru. Di tahun 1978 sekali lagi dia ditahan setelah melibatkan diri dalam gerakan mahasiswa menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden untuk ketiga kalinya. Di tahun 1994 dia dipukul dan ditahan lagi saat turut unjuk rasa menentang pembredelan Tempo, Detik, dan Editor. Tak pelak lagi, lebih dari sekadar melibatkan diri dalam gerakan-gerakan melawan Orde Baru, Rendra berdiri di barisan terdepan gerakan-gerakan cerdik-pandai itu.

478 Jamal D. Rahman dkk. Di bawah rezim otoriter Orde Baru, sudah tentu Rendra kerap pula menghadapi kesulitan perizinan untuk pemen- tasan-pementasan teater dan pembacaan-pembacaan puisinya. Beberapa pementasannya dilarang. Film yang dibintanginya, Yang Muda Yang Bercinta, pun sempat dilarang. Tapi dia tak pernah menyerah. Dia tetap tegak dan kokoh berdiri di atas sikap dan pendiriannya. Dia terus melancarkan kritik terutama terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan Orde Baru, termasuk lewat ceramah- ceramahnya, dan selalu siap menanggung risiko atas semua itu. Dia adalah pribadi yang teguh hati memegang prinsip- prinsip yang diyakininya dengan risiko apa pun. Reaksi Orde Baru —pelarangan, pemukulan, penangkap- an, interogasi, dan penahanan— terhadap sepak terjang Rendra jelaslah menunjukkan daya pengaruh sosial-politik tokoh ini. Tentu saja, suara dan tubuhnya selalu menjadi daya tarik yang kuat bagi para murid, pengikut, pendukung, dan kolega gerakannya, tetapi selalu menggetarkan dan menakutkan bagi rezim penguasa. Yang tak kalah penting adalah bahwa berbagai aktivitas keseniannya mendapat liputan luas, menjadi bahan pembicaraan, diskusi, dan penelitian ilmiah, yang semuanya memperkuat posisi sosial, politik, dan budaya tokoh yang gagah berani ini. Dia adalah penggerak yang menggerakkan. Dan perpaduan dari semua itu tentulah memperkuat pula daya pengaruhnya. Tapi tentu saja semua pengaruh yang ditimbulkannya bersumber dari energi budaya dan daya intelektual penyair sendiri, digerakkan oleh daya hidupnya sendiri. Dalam banyak hal, dia adalah sosok tak tergantikan setelah kepergiannya pada

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 479 6 Agustus 2009 —dan acara mengenang sang penyair digelar di mana-mana, baik di dalam maupun di luar negeri.

Rendra sebagai Penyair Rendra adalah perpaduan antara berbagai pesona dari sikap kritis yang berani, pandangan sosial-politik yang tajam, sikap budaya yang kokoh, drama dan teater yang aktual, puisi liris yang lembut, puisi sosial yang aktual, dan pembacaan puisi yang memukau. Dia adalah sosok yang mencapai keberhasilan seni, sosial, dan politik dalam konteks kebudayaan. Semua aktivitas budaya itu dikerjakan dengan dedikasi tinggi, pengorbanan besar, dan keyakinan yang kuat. Tapi bagaimanapun Rendra pertama-tama adalah seorang penyair, sebagaimana diakui dan disadarinya sendiri. Seorang penyair menyadari arti penting pembaruan, yang dalam konteks Rendra bukan saja pembaruan estetika melainkan juga pembaruan sosial dan politik. Dia menunjukkan capaian estetika yang meyakinkan khususnya dalam puisi, dan sebagai penyair memberikan corak baru dalam puisi Indonesia modern —dengan harapan baru pula di bidang sosial, politik, dan kebudayaan secara umum. Dalam hal puisi, corak baru yang diberikan Rendra adalah bentuk balada, yaitu puisi naratif (dengan sejumlah tokoh dan alur cerita berikut masalah sebagai ide pokok) yang memperkaya corak puisi Indonesia modern. Sebagai- mana tercermin dari judul buku puisi pertamanya, Ballada Orang-orang Tercinta (1957), dialah penyair yang sangat menyadari arti penting cerita dalam puisi, sekaligus membuktikan bahwa cerita dalam puisi bisa menarik

480 Jamal D. Rahman dkk. bahkan memukau. Dia membuktikan bahwa puisi naratif bisa mengesankan. Puisi baladanya mendapat sorotan luas dan pujian dari para kritikus sastra, terutama “Khotbah” dan “Nyanyian Angsa” —dua puisi baladanya yang paling indah, dimuat dalam buku puisi ketiganya, Blues untuk Bonnie (1971). Puisi balada Rendra jelas sangat berhasil: ceritanya gesit, tokoh-tokohnya mempesona, bahasanya lincah, suasananya hidup, klimaksnya mengesankan, imajinya liar, dan penuh kejutan. Ide, gagasan, atau temanya pun segar, dan menggugah —bahkan dalam arti tertentu dan dengan halus bernada menggugat. Sudah tentu dalam puisi tradisional bentuk naratif bukan hal yang sama sekali baru, misalnya dalam puisi Jawa — akar kebudayaan Rendra— dan puisi Melayu —akar sastra Indonesia modern. Tetapi, sejauh itu dalam puisi Indonesia modern belum dikenal bentuk balada atau cerita. Meskipun berakar pada sastra Melayu, dan dalam puisi Melayu dikenal bentuk puisi naratif, puisi Indonesia sejauh itu hanya mewarisi bentuk syair dan pantun, dan kemudian menyerap bentuk soneta, lalu berkembang dengan bentuk puisi bebas. Rendralah yang mula-mula secara sungguh-sungguh memperkenalkan bentuk cerita dalam puisi. Dalam perkembangannya, balada atau cerita relatif banyak kita temukan dalam puisi Indonesia modern, terutama Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. Sekali lagi, cerita dalam puisi adalah cara yang diambil Rendra untuk menyampaikan gagasan dan gugatan sosialnya. Dilihat dari sepak terjang budayanya yang penuh gugatan sosial, yang kerap menghantui penguasa itu, Rendra tampak

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 481 sebagai sosok yang keras. Tapi Rendra sebenarnya pribadi yang lembut. Dia adalah seorang yang hangat dalam bersahabat. Seorang yang ramah dalam bergaul. Tentu juga seorang yang sangat romantis dalam bercinta. Dan, untuk sebagian, watak lembut itu tercermin juga dari pementasan teaternya, misalnya Kereta Kencana yang secara artistik sangat memesona. Sebagai penyair, watak lembutnya lebih tercermin lagi dari puisi-puisinya, khususnya beberapa puisi awal karier kepenyairannya. Misalnya dua sajak berikut:

KENANGAN DAN KESEPIAN

Rumah tua dan pagar batu. Langit di desa sawah dan bambu

Berkenalan dengan sepi pada kejemuan disandarkan dirinya. Jalanan berdebu tak berhati lewat nasib menatapnya

Cinta yang datang burung tak tergenggam. Batang baja waktu lengang dari belakang menikam.

Rumah tua dan pagar batu. Kenangan lama dan sepi yang syahdu.

482 Jamal D. Rahman dkk. REMANG-REMANG

Di jalan remang-remang ada bayangan remang-remang aku bimbang apa kabut apa orang. Di langit remang-remang ada satu mata kelabu aku bimbang apa cinta apa dendam menungguku. Di padang remang-remang ada kesunyian tanpa hati aku bimbang malam ini siapa bakal mati. Di udara remang-remang ada pengkhianatan membayang selalu Wahai, betapa remang-remangnya jalan panjang di hatiku.

Demikianlah, ada saatnya Rendra menghadapi perasaan- nya sendiri, suasana hatinya sendiri: kesepiannya, kebim- bangannya, kecemasannya, rindunya, cintanya, dan lain sebagainya. Terutama dalam konteks itulah puisi-puisinya terasa lembut dan begitu liris. Dalam hal ini, Rendra berbeda misalnya dengan Chairil Anwar, yang tetap menggebu-gebu dan menggelora meskipun menghadapi kesepian. Rendra cenderung selalu lembut pada dirinya sendiri, apalagi dalam menyikapi perasaan-perasaanya yang halus dan suasana hatinya sendiri. Namun Rendra tidak hanya lembut ketika dia membicarakan kesepian, kebimbangan, kecemasan, rindu, dan cinta pribadinya, melainkan juga ketika berbicara tentang alam. Ini sama sekali tidak mengherankan, terutama karena alam merupakan bagian dari kosmologinya, bagian dari pandangan-dunia mistisnya. Dalam pandangannya, alam mesti diterima secara wajar dengan segala hukumnya yang tetap, dalam kesatuan wujudnya dengan Tuhan dan manusia. Dalam konteks itu, berbeda dengan puisi Indonesia tahun 1930-an yang bernada romantik, yang merupakan pemujaan terhadap keindahan alam, puisi Rendra kadang merupakan deskripsi suasana alam sebagai lukisan suasana hati (misalnya puisi “Stanza” yang cukup terkenal), di kala

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 483 lain merupakan upaya menarik arti moral dan filosofis alam itu sendiri, misalnya puisi (“Lautan”) berikut ini:

Daratan adalah rumah kita dan lautan adalah kebebasan Langit telah bersatu dengan samudera dalam jiwa dan dalam warna. ... Daratan adalah rumah kita, dan lautan adalah rahasia.

Tapi bagaimanapun, perhatian utama Rendra hampir sepanjang kepenyairannya adalah masalah sosial. Puisi balada Rendra sesungguhnya memberikan jejak-jejak awal bagi perhatiannya atas manusia sebagai anggota masyarakat, yang dalam perkembangan kepenyairan Rendra selanjutnya akan sangat jelas dan kuat. Paling tidak untuk sebagian, puisi balada Rendra membicarakan masalah-masalah sosial: pembunuhan, perselingkuhan, perkosaan, kemiskinan, dll. Tokoh-tokoh yang dibicarakan dalam Ballada Orang-orang Tercinta (1957) adalah tokoh yang malang, dikhianati, dan disakiti. Pendeknya, mereka adalah para korban dan tokoh- tokoh malang yang menderita, terpinggirkan, tersingkir, terbuang, dan semuanya seakan melolong minta tolong. Dan, seperti tersirat dari judul buku puisi pertamanya itu, di mata Rendra, mereka semua adalah orang-orang tercinta. Kepada merekalah simpati dan pembelaan Rendra diberikan. Dengan demikian, tema-tema sosial yang sangat menonjol dalam karier keseniannya, baik dalam drama, teater, maupun puisinya, merupakan kesinambungan dari perhatian, kepedulian, dan keberpihakan sang penyair yang sudah tumbuh sejak awal karir kepenyairannya.

484 Jamal D. Rahman dkk. Kesadaran sosial (dan politik) penyair mengalami proses pematangan terus-menerus, dan kian lama kian terumuskan dengan jelas, baik menyangkut kelompok sosial yang dibelanya maupun nilai dasar yang mendorong sang penyair dalam melancarkan pembelaannya. Proses pematangan itu bergerak ke arah simbolisasi dan konseptulisasi. Simbolisasi digunakan penyair dalam mewakili dan melukiskan manusia dan kelompok sosial yang dibelanya, sedangkan konsep- tualisasi digunakan dalam memantapkan nilai-nilai dasar perjuangan penyair. Akan segera jelas bahwa menyangkut kelompok sosial yang dibelanya, penyair menggunakan kata kunci yang bersifat ambigu dan polisemis, sebab ada banyak nuansa, dimensi, dan masalah yang berbagai-bagai di sana. Berbeda dengan itu, menyangkut nilai dasar perjuangannya, penyair menggunakan kaca kunci yang secara konseptual sangat jelas dan pasti, sebab perjuangan tak bisa didasarkan pada nilai-nilai yang ambigu apalagi kabur. Simbolisasi kelompok sosial yang dibela penyair dikemu- kakan dengan jelas dalam puisi “Aku Mendengar Suara”, yang ditulis pada tahun 1974:

AKU MENDENGAR SUARA

Aku mendengar suara Jerit hewan yang terluka

Ada orang memanah rembulan Ada anak burung terjatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan Kesaksian harus diberikan Agar kehidupan bisa terjaga.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 485 Kiranya jelas bahwa kelompok sosial yang dibela Rendra disimbolisasi dengan hewan yang terluka, yaitu hewan yang jatuh dari sarang karena terkena panah seseorang yang memanah rembulan. Hewan itu sendiri barangkali bukan sasaran langsung sang pemanah, namun hewan itulah yang menjadi korban langsungnya. Demikianlah maka hewan yang terluka merupakan kata kunci dalam puisi-puisi sosial Rendra. Dengan simbolisasi ini, betapa luas kelompok sosial yang dicakupnya; betapa luas pula nuansa dan masalah sosial yang dikandungnya. Dan, lebih dari sekadar simbol- isasi kelompok sosial yang dibelanya, puisi tersebut dapat dipandang sebagai kredo kepenyairan Rendra: dia selalu mendengar suara jerit hewan yang terluka, dan memberikan kesaksian tentang itu merupakan panggilan moral kepe- nyairannya. Mendengar dan memberikan kesaksian tentang jerit hewan yang terluka itu didorong oleh, atau dibangun di atas nilai dasar yang tentu saja diyakini penyair. Bagi Rendra, nilai dasar itu adalah daya hidup, yang dipertentangkannya dengan daya mati. Seluruh perjuangan penyair dilakukan dalam kerangka membela daya hidup ini, sekaligus melawan daya mati dalam kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Rumusan tentang konsep daya hidup dan daya mati ini sangat jelas dalam esai “Penyair dan Kritik Sosial”, yang ditulis Rendra pada tahun 1996:

Pada diri setiap manusia terkandung “daya hidup” dan “daya mati”. Sejak remaja saya sudah memilih untuk menge- lola daya hidup di dalam diri pribadi dan di dalam kebudayaan umat manusia. Sedangkan sikap saya kepada daya mati: biarlah saya terima sebagai kewajaran di dalam alam, tetapi tidak usah dibudayakan.

486 Jamal D. Rahman dkk. .... Kelahiran adalah permulaan. Mati adalah akhir peng- habisan. Hidup adalah kebudayaan, yang artinya: usaha manusia untuk memperluas, memperbaiki, dan memperindah kemungkinan-kemungkinan dari keinginannya. Sedangkan mati, mengakhiri semua daya dan hasil usaha seorang manusia di dunia. Meninggal dunia! Kebudayaan hanya bermanfaat untuk yang hidup. Itulah sebabnya saya memilih memihak daya hidup di dalam diri saya sendiri dan di dalam masyarakat umat manusia. Bagi saya, membela kebudayaan dan kemanusiaan berarti mem- bela daya hidup. Sedangkan terhadap daya mati, saya melawannya. Bukan- nya saya melawan takdir bahwa kelak atau nanti saya harus mati. Melainkan karena saya membaca di dalam alam dan hidup manusia, bahwa sebelum maut yang ditakdirkan itu tiba, daya mati yang juga mendampingi manusia sejak kelahir- annya itu, selalu bisa mengganggu unsur-unsur daya hidup dan menimbulkan rusaknya kesejahteraan hidup apabila manusia tidak waspada. Gangguan dari daya mati itu berwujud penyakit yang bisa merusak daya akal, daya organisasi, daya tumbuh-kembang, dan daya cipta di dalam diri manusia. Jadi bukan mati sebagai takdir yang saya lawan, tetapi “daya mati” sebagai penggang- gu “daya hidup”. Itulah yang akan saya lawan.

Dengan demikian, puisi-puisi Rendra adalah pembelaan sekaligus perlawanan. Yakni pembelaan terhadap hewan yang terluka demi menjaga daya hidup mereka, sekaligus perlawanan terhadap pemanah rembulan yang menjadikan anak burung terjatuh dari sarangnya. Hal tersebut harus dilakukan demi menampik daya mati yang mengancam daya hidup anak burung itu sendiri, juga demi menghalau daya mati yang diidap pemanahnya. Dalam perkembangan kesadaran sosialnya, penyair sebenarnya sudah mencapai titik kematangan tertentu

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 487 dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), tidak saja menyangkut masalah-masalah sosial yang menuntut perhatian dan kepeduliannya, melainkan juga menyangkut cara penyair mengemukakan gagasannya. Di sini secara sadar dia mulai memproklamasikan puisi-puisinya sebagai pamflet. Dia berbicara secara langsung dan terang-terangan menyangkut pokok-pokok masalah yang menjadi perhati- annya, nyaris tanpa mempedulikan lagi estetika subtil yang selama ini telah dicapainya. Masalah sosial yang menjadi perhatian dan menuntut kepeduliannya bagaimanapun lebih penting ketimbang estetika puisi yang paling misterius sekalipun. Panggilan moralnya terhadap masalah manusia lebih besar ketimbang masalah pribadinya. Meskipun kesadaran sosialnya sudah tumbuh sejak awal kepenyairannya, namun dalam Potret Pembangunan dalam Puisi inilah dia menyadari bahwa puisi tidak harus bertujuan pada puisi itu sendiri, keindahan tidak untuk keindahan itu sendiri. Pada titik itulah dia mengubah haluan dan corak estetika kepenyairannya. Dalam konteks itu, Rendra menulis (2001: 10-11): “Saya tak bisa lagi memahami estetika yang lama, saya tak bisa lagi mengagung-agungkan misteri puitis, tetapi saya harus betul-betul bisa menyajikan fakta-fakta ini secara plastis. Kalau begitu, estetika saya harus berganti.” Maka dia mulai menarik diri dari estetisme puisi, mening- galkan tema-tema individualnya, dan dengan tegas menyu- arakan kepedulian sosialnya (“Sajak Sebatang Lisong”): ... aku bertanya,/ tetapi pertanyaanku/ membentur jidat penyair- penyair salon,/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya....

488 Jamal D. Rahman dkk. Rendra sangat menyadari bahwa puisi yang ditulisnya kini adalah pamflet. Judul asli Potret Pembangunan dalam Puisi sebenarnya adalah Pamflet Penyair. Terbit pertama kali di Belanda, dalam dua bahasa Indonesia dan Belanda (terjemahan Prof. A. Teeuw). Seterusnya Pamflet Penyair diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Jepang. Kemudian terbit pula di Australia dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris (terjemahan Prof. Harry Aveling) dengan judul State of Emergency (Masa Darurat). Judul terakhir ini diambil dari larik puisi pamflet Rendra sendiri: Inilah sajakku pamflet masa darurat. Di Indonesia buku itu terbit dengan judul Potret Pembangunan dalam Puisi, sebab penerbit pertamanya adalah Lembaga Studi Pem- bangunan, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah-masalah pembangunan. Demikianlah Rendra menyadari arti penting pamflet sebagai puisi, dan memandang pamflet bukan tabu bagi penyair. Lebih dari itu, bagi Rendra pamflet toh tetap merupakan karya sastra. Berbicaralah penyair bahwa lembaga pendapat umum tidak lagi berfungsi dengan benar, sementara orang-orang tak berani mengontrol atau mengoreksi lembaga tersebut (“Aku Tulis Pamflet Ini”). Orang-orang tertekan, penuh kekhawatiran, kegamangan, dan ketakutan, karena kekua- saan sedemikian kuat dan totaliter, serta memandang keku- atan di luar kekuasaan sebagai ancaman dan marabahaya. Di bawah rezim Orde Baru, suara semacam ini amat perlu diperdengarkan, tidak untuk memperhadapkan antara kawan dan lawan, sebab menurut Rendra, kawan dan lawan bagai-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 489 manapun adalah saudara. Suara semacam ini amat perlu diperdengarkan dalam rangka memperjuangkan daya hidup. Berbicara pulalah penyair tentang masa depan anak-anak muda yang gelap, karena pendidikan yang mereka terima keliru: dasar pendidikan kita adalah kepatuhan/ bukan pertukaran pikiran// ilmu sekolah adalah ilmu hafalan/ dan bukan ilmu latihan menguraikan (“Sajak Anak Muda”). Anak-anak muda adalah generasi yang salah urus. Mereka dididik untuk menjadi alat birokrasi yang berlebihan, tidak berguna, bahkan menjadi benalu. Mereka tidak dididik untuk memiliki rasa keadilan, tidak dididik untuk memiliki keberanian dalam melawan tirani dan ketidakadilan. Mereka belajar hukum, sementara hukum sendiri dikhianati; belajar ekonomi, sementara terjadi kebangkrutan ekonomi dan korupsi. Maka: Gelap. Pandanganku gelap./ Pendidikan tidak memberi pencerahan/ Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan./ Gelap. Keluh-kesahku gelap./ Orang yang hidup di dalam pengangguran. Berbicara pulalah penyair tentang orang-orang miskin, yang kalah dalam pergulatan, disingkirkan, dan dibuang (“Orang-orang Miskin”). Bagaimanapun mereka tak boleh ditinggalkan dan diabaikan. Sebab, bila kamu remehkan mereka,/ di jalan kamu akan diburu bayangan./ Tidurmu akan penuh igauan,/ dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Orang-orang miskin jelas sangat banyak jumlahnya, dan mereka tak menikmati bahkan sekadar remah-remah pembangunan. Bagaimana mungkin di sebuah negara yang konon kaya, masih bergelimangan orang-orang miskin tanpa perhatian dan kepedulian yang memadai dari saudara-

490 Jamal D. Rahman dkk. saudaranya yang berada dan terutama dari pemerintah. Dan berserulah penyair:

Jangan kamu bilang negara ini kaya Karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa Jangan kamu bilang dirimu kaya Bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Anak-anak muda yang tak punya masa depan. Korban- korban pendidikan yang keliru. Orang-orang miskin yang papa. Korban-korban pembangunan yang mengandalkan modal asing. Korban-korban totalitarianisme politik dan birokrasi yang tidak efisien. Korban-korban keserakahan dan ketamakan. Para pelacur sebagai korban sosial dan ekonomi. Dan seterusnya dan seterusnya. Merekalah hewan yang terluka, yang terancam oleh daya mati oleh berbagai sebab dalam kebudayaan. Maka membela mereka tak lain adalah membela daya hidup sebagai potensi manusia dalam menyelamatkan hidup dan kebudayaannya. Ya, Rendra adalah daya hidup bagi hewan yang terluka.

Rendra sebagai Pembaca Puisi Dan Rendra masih memiliki daya tarik yang lain, yang tak kalah memikat dibanding puisinya. Ialah pembacaan puisinya di panggung pertunjukan. Dan itu bisa ditelusuri dari profesi Rendra dan bentuk puisinya di satu sisi, yang bertemu dengan corak sosial masyarakat dan situasi obyektif sosial-politik Indonesia di sisi lain. Rendra adalah seorang aktor kawakan, dengan kemam- puan akting yang sangat tinggi. Dia mendirikan dan memimpin Bengkel Teater, membintangi dan menyutradarai

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 491 pementasan-pementasan teaternya dengan sangat berhasil, di samping membintangi beberapa film. Dalam pada itu, puisi-puisi pamfletnya sangat komunikatif dengan banyak orang, terutama karena tema-temanya yang aktual dan bahasanya yang cenderung denotatif. Tema puisi-puisi itu sendiri tidak hanya menyangkut diri pribadi penyair, melain- kan menyangkut kepentingan orang banyak, khususnya masalah sosial dan politik. Sejurus dengan itu, corak masya- rakat Indonesia bagaimanapun cenderung komunal, di mana —sekurang-kurangnya secara normatif— kepentingan bersama lebih utama tinimbang kepentingan dan masalah pribadi. Penyair dan puisinya ditempatkan tepat di titik tengah garis lingkar kepentingan bersama masyarakat. Sementara itu, situasi obyektif kehidupan sosial yang bersifat monolitik, otoriter, dan represif —khususnya di lapangan politik— telah menutup kemungkinan munculnya suara-suara lain di luar kebijakan dan ketetapan resmi pemerintah. Dalam konteks itu, puisi Rendra adalah suara yang mewakili suara-suara lain yang tertekan di bawah rezim monolitik itu. Pertemuan antara kepiawaian seorang aktor dan puisi pamflet yang diciptakannya di satu sisi dengan corak komunal masyarakat dan otoritarianisme sosial-politik di lain sisi ini merupakan faktor-faktor penting daya tarik pembacaan puisi Rendra. Dia membuka katup bagi suara- suara yang sejauh itu cenderung ditahan dalam botol kehidupan masyarakat. Maka, di atas panggung, penyair kelahiran Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935, ini adalah sosok yang memesona dan kharismatis, yang seakan memancarkan aura wibawa-

492 Jamal D. Rahman dkk. nya ke dalam hati seluruh penonton. Suaranya padat, pandangannya tajam, artikulasinya jelas, tubuhnya lentur namun kokoh. Saat membacakan puisi, sekali-sekali dia mengepalkan dan mengangkat tangan kanannya ke langit, menegaskan satu keyakinan akan gagasan dalam puisi yang dibacakannya, sekaligus memberikan tenaga yang kuat bagi penampilannya. Dia juga biasa melemparkan kertas-kertas puisi yang sudah dibacakan selembar demi selembar, satu aksentuasi sebuah pertunjukan baca puisi. Dengan semua itu, didukung pula oleh kemampuan aktingnya yang luar biasa, saat baca puisi dia tak hanya menguasai panggung dengan amat baiknya, melainkan juga menguasai semua penonton yang bisa ribuan jumlahnya. Seluruh atmosfir pertunjukan hanyut dalam pesona penampilannya. Pembacaan puisinya tak hanya memukau di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Sudah tentu Rendra sering menghadiri dan membacakan puisi dalam forum- forum penyair dunia. Di antaranya, di tahun 1971 dia mem- bacakan puisi dalam festival puisi dunia, Poetry International Rotterdam, di Belanda. Di sini Rendra —yang hadir bersama Taufiq Ismail— membacakan puisi panjangnya “Khotbah”, dan berhasil menyihir seluruh penonton. Sehabis pembacaan puisi yang dramatis itu, dia membungkuk memberi hormat kepada hadirin, sementara hadirin memberikan aplaus panjang, semua berdiri, dan tepuk tangan membahana tak putus-putus di ruang pertunjukan itu. Di antara penyair- penyair dari 21 negara yang mengikuti festival tersebut, tak ada penyair yang mendapat aplaus seterhormat itu. Bahkan, Pablo Neruda, penyair Chile yang belakangan, di tahun 1971

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 493 juga, mendapatkan hadiah Nobel, mendatangi Rendra, memeluk, dan menciumi kedua pipinya. Sebagai pembaca puisi yang memukau, Rendra adalah penyair yang paling berhasil menarik sebanyak mungkin penonton ke arena pembacaan puisi. Acara pembacaan puisi- nya selalu ramai dihadiri penonton terutama dari kalangan anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa. Penampilannya di panggung pembacaan puisi selalu dinanti. Dia tampil di kampus-kampus besar, di samping tentu saja di pusat-pusat kesenian, di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan kota-kota lain. Semua dipadati penonton. Pembacaan puisinya di Yogyakarta, 5 Desember 1978, berhasil menarik 2.500 penonton, suatu angka fantastis untuk acara pembacaan puisi di Indonesia. Sudah tentu Rendra tampil membacakan puisinya dengan penuh percaya diri, di manapun, dalam forum atau panggung apapun. Demikianlah sang penyair tak hanya membacakan puisi di atas panggung pembacaan puisi atau forum-forum sastra, melainkan juga dalam drama, film, pertunjukan musik, pidato, dan lain sebagainya. Dalam drama Mastodon dan Burung Kondor, bahkan ada tokoh penyair bernama Jose Karosta, yang membacakan beberapa puisi —dan tokoh itu jelas merupakan prototipe Rendra sendiri, baik dari hal gagasan dasar maupun sikap kebudayaannya. Pendeknya, di mana dan dalam forum apapun Rendra tampil, maka dia akan membacakan puisi —sebab dia memang seorang penyair sekaligus seorang pembaca puisi yang memesona. Dengan semua itu, Rendra telah mengukuhkan tradisi pembacaan puisi di Indonesia, di mana dia sendiri adalah

494 Jamal D. Rahman dkk. tokoh utamanya. Memang, tradisi baca puisi sudah muncul sebelum fenomena pembacaan puisi Rendra yang meng- hebohkan itu. Di tahun 1950-an, di Surakarta, Jawa Tengah, Mansur Samin memimpin pusat deklamasi, istilah untuk pembacaan puisi waktu itu. Mansur Samin sendiri adalah sastrawan yang juga pembaca puisi yang hebat, lebih senior dari Rendra. Dalam sebuah lomba baca puisi di Solo, yang diadakan dalam rangka mengenang Chairil Anwar di tahun 1953, Mansur Samin keluar sebagai juara I, sedangkan Rendra juara II. Tetapi dilihat dari berbagai aspek pem- bacaan puisi, tak diragukan lagi Rendra adalah tokoh penting dan pelopor yang memantapkan pembacaan puisi sebagai tradisi baru dalam sastra Indonesia modern. Yang lebih penting lagi, khususnya dalam konteks tulisan ini, adalah bahwa pembacaan puisi Rendra yang menarik perhatian banyak orang dan berjalin-berkelindan dengan tema-tema aktual yang dibicarakannya, telah memperkuat sekaligus memperluas daya pengaruh penyair ini, khususnya secara sosial dan politik.

*** Lahir dari keluarga priyayi Jawa, Rendra sangat meng- hayati nilai-nilai Jawa, terutama dimensi-dimensi mistik dan spiritualnya. Dia rajin melakukan meditasi, baik meditasi pribadi maupun meditasi kolektif terutama untuk latihan olah batin bagi anggota Bengkel Teater yang dipimpinnya. Tetapi dia menolak feodalisme Jawa, sebab menurutnya feodalisme Jawa merupakan fenomena relatif baru, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang lebih

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 495 tua. Di tahun 1970 dia memeluk Islam, antara lain karena di sini dia menemukan kedudukan manusia sama di mata Tuhan, dan manusia bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Tetapi bagaimanapun dia tetap memegang nilai-nilai Jawa, di antaranya menyangkut hubungan kosmis antara alam, manusia, dan masyarakat. Alam dengan hukum-hukumnya yang tak berubah merupakan takdir yang mesti diterima secara tulus, dan ia bisa menjadi jalan bagi renungan-renungan meditatif, moral, dan spiritual. Sementara itu, manusia dikarunia potensi untuk menjaga dan mengembangkan kehidupan manusia itu sendiri lewat daya akalnya yang hebat. Tetapi manusia selalu merupakan anggota masyarakat, sehingga dia bertanggung jawab pula baik secara individual maupun kolektif terhadap perikehidupan masyarakat itu sendiri, yakni dengan setia pada, dan menjunjung konvensi serta hukum-hukum sosial yang berlaku. Rendra memadatkan ketiga unsur tersebut menjadi hukum alam, hukum akal sehat, dan hukum masyarakat. Keteraturan kosmis hanya bisa dicapai dengan mematuhi ketiga hukum tersebut. Sudah tentu pandangan ini mendasari karya-karya Rendra. Dalam konteks itu, bisa difahami kenapa Rendra selalu berbicara tentang manusia sebagai korban sosial-politik dan hal-hal yang menyalahi akal sehat, tetapi agak jarang — kalau bukan tidak pernah sama sekali— berbicara tentang manusia sebagai korban bencana alam. Korban-korban sosial-politik haruslah dibela sebab di sana bercokol daya mati yang menghancurkan daya hidup kemanusiaan dan kebudayaan. Dengan alasan yang sama, hal-hal yang

496 Jamal D. Rahman dkk. menyalahi akal sehat harus dilawan. Membela korban sosial- politik berarti menyelamatkan daya hidup kemanusiaan dan kebudayaan. Melawan hal-hal yang menyalahi akal sehat berarti melawan daya mati kemanusiaan dan kebudayaan. Dalam konteks itulah kesaksian penyair mesti diberikan, dan orang-orang mesti dibangunkan. Adapun korban-korban bencana alam tidak menuntut pembelaan dan perlawanan, melainkan simpati, empati, solidaritas, bantuan, dan pertolongan. Dalam solidaritas untuk korban bencana alam, tak ada pembelaan, tak ada perlawanan. Dengan demikian, solidaritas untuk korban sosial dan korban penyimpangan akal sehat merupakan solidaritas budaya, sedangkan solidaritas untuk korban bencana alam merupakan solidaritas “murni”, katakanlah demikian. Satu hal lagi yang penting pada Rendra. Sebagai penyair dia membuktikan bahwa bahasa Indonesia —yang berasal dari bahasa Melayu— di tangan orang Jawa bisa menjadi alat artikulasi yang sangat berhasil baik secara artistik maupun sosial dan politik. Dia melakukan percobaan- percobaan dalam puisi Indonesia, sebuah percobaan bahasa yang mengantarkannya ke bentuk-bentuk ekspresi bahasa puisi yang beragam namun sampai batas tertentu merupakan kesinambungan dari corak yang sudah ada sebelumnya, dengan serba seginya yang tentu saja kaya nuansa. Tetapi yang lebih penting pada akhirnya adalah masalah-masalah sosial-politik yang menuntut perhatian- nya, yang mesti diartikulasikan dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa puisi modern. Jadilah bahasa puisi Rendra di satu sisi begitu halus, lembut, sublim, liris, dan plastis, di

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 497 mana nuansa-nuansa konotasi diaktifkan sejauh mungkin. Di sisi lain, bahasa puisinya begitu langsung, terus terang, ekspesif, dan sangat komunikatif, di mana arti denotatif dimaksimalkan. Dirumuskan dengan cara lain, Rendra dengan baik membuktikan bahwa dalam puisi bahasa Indonesia dapat berdaya maksimal dalam mengemukakan baik konotasi maupun denotasi, ambivalensi makna maupun presisi makna. Bangunan puisi Rendra secara umum adalah perpaduan kompleks dari tegangan kreatif antara keduanya, dan penyair sampai pada dua corak estetika yang berbeda, yang dipilih penyair dengan penuh kesadaran dan keyakinan. Dengan sepak terjang dan sumbangannya terhadap kebudayaan Indonesia, dia telah menerima 12 penghargaan, baik dari pemerintah maupun swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antara penghargaan yang diterimanya adalah Dr. HC dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2008). Dan kekallah karya-karyanya, setelah dia sendiri pergi ke dunia yang kekal. Puisi Rendra “Ia Telah Pergi” seakan melukiskan dirinya sendiri setelah kepergiannya:

Ia telah pergi Lewat jalannya kali Ia telah pergi Searah dengan mentari Semua lelaki ninggalkan ibu Dan ia masuk serdadu Kemudian ia kembang di perang Dan tertelentang. Bagi lain orang.[]

498 Jamal D. Rahman dkk. Kepustakaan

A Teeuw. 1989. Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. Ajip Rosidi. 1997. “Asrul, Asrul...”, dalam Ajip Rosidi dkk. 1997. Asrul Sani 70 Tahun. Jakarta: Pustaka Jaya. Bakdi Soemanto. 2003. Rendra: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo. Bramantyo Prijosusilo. 2009. “Obituary: Farewell WS Rendra, Poet, Playwright and Father of Indonesian Theater”, dalam http:// www.thejakartaglobe.com/archive/obituary-farewell-ws-rendra- poet-playwright-and-father-of-indonesian-theater/. Diunduh 9 Juni 2013. Danarto. 2000. “Akulah Ronin yang Mengembara”, dalam Edi Haryanto (editor). 2000. Rendra dan Teater Modern Indonesia. Yogyakarta: Kepel Press. Edi Haryanto (editor). 2000. Rendra dan Teater Modern Indonesia. Yogyakarta: Kepel Press. Edi Haryanto (editor). 2004. Ketika Rendra Baca Sajak. Yogyakarta: Kepel Press. Goenawan Mohamad. 2000. “Sang Penyair dan Sang Panglima”, dalam Edi Haryanto (editor). 2000. Rendra dan Teater Modern Indonesia. Yogyakarta: Kepel Press. Puji Santoso. 2003. “Mansur Samin (1930-2003): Naik Haji dari Hasil Mengarang”, dalam sisipan Kakilangit, majalah Horison, Agustus 2003. Rendra. 1993. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan ke-6. Cetakan pertama tahun 1971. Rendra. 1996. Ballada Orang-orang Tercinta. Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan ke-8. Cetakan pertama tahun 1957. Rendra. 1997. Perjalanan Bu Aminah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rendra. 2001. Megatruh. Yogyakarta: Kepel Press. Rendra. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 499 Rendra. 2003. Sajak-sajak Sepatu Tua. Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan ke-8. Cetakan pertama tahun 1972. Rendra. 2004. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan ke-9. Cetakan pertama tahun 1961. Rendra. 2013. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya. Cetakan ke-3. Cetakan pertama tahun 1980. Sapardi Djoko Damono. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus. Taufiq Ismail. 2009. “Rendra (1935-2009): Catatan Persahabatan 47 Tahun”, dalam Horison, Oktober 2009.

500 Jamal D. Rahman dkk. Nh. Dini Perintis Prosa Feminis Indonesia

NENDEN LILIS AISYAH

ika ada orang yang berulang tahun empat tahun sekali, Jitulah Nh. Dini, nama yang sudah familiar tidak hanya di kalangan sastra, tapi juga di masyarakat luas. Novelis kena-maan yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini memang lahir pada tahun kabisat, yakni tanggal 29 Februari 1936, di Semarang Jawa Tengah. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dari Ibu Kusaminah dan Bapak Saljowidjoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api. Sewaktu kecil, seperti anak-anak pada umumnya, ia memiliki cita-cita. Tapi bukan menjadi pilot atau dokter seperti yang lain. Ia ingin menjadi sopir lokomotif alias masinis. Akan tetapi, jalan hidupnya membawanya menjadi seorang pengarang. Perjalanan hidup yang membawanya menjadi pengarang memang berawal dari masa kecilnya. Sejak kecil ia sudah akrab dengan dunia cerita dan seni. Di masa kanaknya, waktu menjelang tidur merupakan saat yang ditunggu- tunggu. Di saat itulah ia akan mendengarkan dongeng yang diceritakan ibu, bapak, atau kakaknya. Ada dongeng yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 501 merupakan kelanjutan atau sambungan dari dongeng di malam sebelumnya atau dongeng baru yang dijanjikan. Ia selalu tertarik pada setiap dongeng yang diceritakan, sampai- sampai sering bingung memilih dongeng mana yang ingin didengarnya lebih dulu. Kesukaannya pada cerita yang dipupuk orang tua dan keluarganya ini terus terbawa hingga ia dewasa. Terlebih lagi, ia diakrabkan dengan kesenian-kesenian rakyat seperti per- tunjukan wayang, ketropak, dan film. Dengan begitu, bioskop pun tak asing bagi Nh. Dini di masa itu. Selain itu, ia juga diarahkan untuk belajar menari dan bermain gamelan Tibalah masa Nh. Dini harus memasuki sekolah. Sayang- nya, terputus oleh masuknya Jepang ke Indonesia. Nh. Dini pun belajar membaca dan menulis di rumah, di bawah bim- bingan bapak dan kakak perempuannya. Buku yang dijadikan bahan pelajarannya adalah karya sastrawan besar India, Rabindranath Tagore, “Surat dari Raja” terjemahan dan ter- bitan Balai Pustaka. Dengan demikian, ketika keadaan sudah mulai tenang kembali dan ia bisa sekolah, ia sudah bisa membaca dan menulis. Kegemarannya pada dunia cerita, membawanya pada kegemaran membaca. Kegemaran mem- baca kemudian mendorongnya untuk menulis. Ya, dorongan menulis cerita berawal dari kegemarannya membaca. Pada waktu ia membaca, ia berpikir bahwa ia mampu menulis seperti itu. Setelah ia mencoba menulis, ia menyadari bahwa menyampaikan cerita secara lisan berbeda dengan secara tulisan. Beruntung ia memiliki guru yang memberi perhatian pada karangan yang ditulisnya. Saat itu ia memasuki masa SMP, saat yang membawa perubahan-

502 Jamal D. Rahman dkk. perubahan besar dalam kehidupannya karena pada saat itu ayahnya meninggal. Ibunya menjadi sibuk mencari biaya hidup karena tulang punggung keluarga sudah tiada. Kakak- kakaknya pun sibuk dengan masa remaja mereka, semen- tara Nh. Dini sendiri mulai memasuki masa pubertas. Oleh karena itu, seperti yang diungkapkan dalam proses kreatifnya (Eneste, 1982:112): “Terang-terangan merasa ter- lantar, ditinggal sendirian menyelesaikan semua persoalan. Karena memang semua selalu saya anggap masalah besar. Pegangan yang saya cari tidak ditemukan, akhirnya semua membalik ke dalam, saya berpikir seorang diri. Renungan dan khayalan inilah barangkali yang turut membentuk perkem- bangan saya.” Demikianlah, karangan pertamanya pun lahir di tengah kondisi tersebut, pada waktu kelas satu SMP. Gurunya membacakan karangannya di depan kelas. Sang guru memberinya pujian, juga kritikan terhadap karyanya. Sejak itu, ia semakin bersemangat menulis karangan, berupa syair, maupun cerita pendek, prosa-liris, juga skenario untuk sandiwara radio, yang pada awal-awal kepengarang- annya ia kirim ke majalah dinding sekolah dan radio. Karya prosa-lirisnya ia kirim ke RRI Semarang dan disiarkan dalam bentuk pembacaan yang diiringi musik. Ia pun mengirim sajak-sajaknya ke RRI Jakarta untuk siaran Tunas Mekar, yakni pembacaan sajak yang juga dilatari musik. Dari karya- karyanya yang disiarkan tersebut, terutama di RRI Semarang, Nh. Dini mendapat honorarium. Honor tersebut memiliki arti besar baginya dan keluarganya saat itu. Nh. Dini pun semakin bersemangat menulis dan mempublikasikan karya- karyanya. Selain untuk mendapatkan uang, juga untuk menyenangkan dan membuat bangga hati orang-orang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 503 yang disayanginya: ibu, guru-guru, dan kawan-kawannya. Terlebih ibunya, yang selalu menunjukkan perhatian besar dalam setiap perkembangan menulis putri bungsunya itu. Maka, cerpen-cerpen Nh. Dini terus tercipta. Jika di masa SMP karangan-karangannya lebih bercerita tentang kemurungan hati, peristiwa-peristiwa yang menyangkut keluarganya, dan sejenisnya, pada masa berikutnya, ia sudah mulai menunjukkan kematangan dengan menulis berbagai tema lain, termasuk kritik sosial. Cerpen-cerpennya susul menyusul mengisi majalah-majalah Jakarta dan Jogja seperti Mimbar Indonesia, Kisah, Siasat, dan lain-lain. Selain itu, ia juga rutin menulis skenario sandiwara untuk radio di Semarang, bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio Kuncup Berseri. Ia sendiri di samping menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, membentuk kelompok sandiwara radio sendiri di sekolahnya yang diberi nama Pura Bhakti. Hingga tahun 1955, ia memenangkan hadiah pertama untuk festival sandiwara radio tingkat Jawa Tengah. Kemenangannya ini sudah diyakini ibunya sebelumnya, karena ibunya demikian tekun mendengarkan siaran sandiwara radio itu, dan mengatakan “Itu (skenario Nh. Dini-pen) adalah cerita yang paling bagus di antara cerita-cerita lain.” Pernyataan ibunya yang membuat Nh. Dini terharu itu terbukti seminggu kemudian: Nh. Dini memang menjadi pemenang pertama. Pada masa-masa selanjutnya, Nh. Dini menulis berbagai jenis karangan dan tulisan lain. Cerita kenangan (istilah yang ia pinjam dari bahasa Perancis, souvenirs), cerita panjang (Nh. Dini lebih menyukai istilah cerita panjang daripada novel), biografi, dan tulisan-tulisan lain, termasuk tulisan pesanan, sepanjang idenya dapat menyentuh hatinya. 504 Jamal D. Rahman dkk. Dari tulisan-tulisannya ia sudah dapat menghasilkan uang. Namun ia menyadari bahwa di Indonesia, seorang pengarang belum dapat hidup dari hasil karangannya. Ia harus memiliki pekerjaan lain. Oleh karena itu, selepas SMA, Nh. Dini bekerja sebagai pramugari di Garuda Indonesia Airways (GIA). Meskipun dengan bekerja waktunya menulis menjadi terbatas, ia tetap menghasilkan karangan. Pada 1956 saat ia bekerja di GIA, kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia terbit. Sebetulnya, selepas SMA, pamannya menawarinya kuliah. Namun Nh. Dini menolak karena ingin segera mencari uang untuk meringankan hidup ibunya yang sudah menjanda. Tahun 1960, seorang diplomat asal Perancis yang tengah bertugas di Indonesia Yves Coffin mempersuntingnya. Setelah menikah, Dini berpindah-pindah tempat tinggal dan negara mengikuti tugas suaminya. Pertama-tama ia tinggal di Jepang. Tiga tahun kemudian ia diboyong ke Pnomh Penh, Kamboja. Lalu kembali ke negara suaminya, Perancis. Pada waktu mengikuti suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis de la Nature (Green Peace). Dini pernah ikut misi menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi akibat tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis. Tahun berikutnya ia pindah lagi ke Manila, Filipina, lalu pada tahun 1976 ke Detroit, Amerika Serikat. Akan tetapi, pada 1984, Dini memutuskan bercerai dengan suaminya dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Jakarta. Dari pernikahannya ia dikaruniai dua orang anak: Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Piere Louis Padang, kemudian dikenal dunia atas kiprahnya sebagai sutradara film animasi andal dari dua filmnya, yaitu

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 505 Despicable Me (2010) dan Despicable Me 2 (2013). Kedua film ini menjadi film yang sukses hampir di seluruh dunia. Selepas perceraiannya dengan sang suami, pengarang yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku ini kembali ke tanah air dalam keadaan sakit. Mula-mula ia tinggal di Sekayu, beberapa kilometer arah barat laut kota Semarang. Ia memulihkan kesehatannya sambil mengasuh bakat menulis anak-anak di Pondok Baca yang ia dirikan. Akan tetapi, kesehatannya terus memburuk. Kehidupannya selama 60 tahun menjadi pengarang ternyata tidak menjamin. Untuk berobat dan makan ia banyak dibantu teman-temannya. Ia pun menjual barang-barang berharga yang ia punya untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika sakitnya semakin keras, Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, membantu biaya peng- obatannya. Dewan Kesenian Jawa Tengah pun tak tinggal diam, mereka menggalang dompet kesehatan Nh. Dini. Ia sangat terharu karena begitu banyak orang yang peduli kepadanya. Dini amat tersentuh oleh guru-guru SD yang juga ikut menyumbang. Ia mengirimi mereka surat satu per satu untuk menyampaikan terima kasih tulusnya. Tahun 2003, atas bantuan GKR Hemas, istri Sultan Hamengkubuwono X, Nh. Dini pindah ke Sleman, Yogyakarta. Tepatnya di komplek Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas menyarankan agar Nh. Dini membawa serta Pondok Baca- nya yang berisi sekitar 7000 buku itu. Nh. Dini menyeleksi buku-buku itu untuk ia bawa ke Yogya. Pondok Baca tersebut kemudian diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Lima tahun menetap di sana, pengarang yang mendapat banyak pengharagaan itu kembali ke Semarang, bermukim di Panti

506 Jamal D. Rahman dkk. Wredha Lerep Unggaran, 30 kilometer selatan Semarang yang disediakan istri Gubernur Jawa Tengah kala itu, Effi Murbayati. Pondok Baca Nh. Dini kini selain di Semarang, juga memiliki cabang di Jakarta dan Kupang Timur. Karya-karya pengarang yang juga pecinta tanaman dan lingkungan ini berkali-kali mengalami cetak ulang – suatu hal yang sulit dicapai buku-buku sastra pada umumnya. Karya-karya Nh. Dini itu antara lain: Sebuah Lorong di Kotaku (1976), Padang Ilalang di Belakang Rumah (Pustaka Jaya, 1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (Pustaka Jaya, 1979), Sekayu (Pustaka Jaya, 1981), Kuncup Berseri (Gramedia Pustaka Utama, 1982), Kemayoran (Gramedia 2000), Jepun Negerinya Hiroko (Gramedia Pustaka Utama, 2000), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Cerita-cerita tersebut merupakan cerita kenangan tentang masa kecilnya, remaja, setelah menikah hingga kehidupannya kini bersama pondok bacanya. Karya-karya Nh. Dini lainnya yang berupa puisi antara lain “Bagi Seorang Jang Menerima” (Gadjah Mada 1954), dan “Kematian” (Indonesia, 1958). Adapun kumpulan cerpennya antara lain Dua Dunia (NV Nusantara, 1956), Tuileries (Sinar Harapan, 1982), Segi dan Garis (Pustaka Jaya 1983), Istri Konsul (1989), Monumen (2002), Pencakar Langit (2003) dan Janda Muda (2001). Di samping itu, Nh. Dini menulis biografi berjudul Pangeran dari Negeri Seberang (Gaya Favorit Press, 1981). Dini juga menerje- mahkan buku karya Albert Camus, Sampar (1985). Selanjut- nya karya-karya Nh. Dini yang berupa novel antara lain: Hati yang Damai (NV Nusantara, 1961), Pada Sebuah Kapal (Pustaka Jaya, 1972), La Barka (Pustaka Jaya, 1975),

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 507 Namaku Hiroko (Pustaka Jaya, 1977) Orang-Orang Trans (1985), Pertemuan Dua Hati (Gramedia, 1972), Keberang- katan (Gramedia, 1987), Jalan Bendungan (Jambatan, 1989), Tirai Menurun (Gramedia, 1993) Tanah Baru, Tanah Air Kedua (Grasindo, 1997) Dari Fontenay ke Magallianes (2005), La Grande Borne (2007), dan karya terbarunya cerita kenangan Pondok Baca Nh. Dini. Dalam bidang yang digelutinya, pengarang yang juga berdarah Jawa-Bugis ini sering mendapat hadiah dari berbagai sayembara mengarang. Tahun 1963, cerpennya “Di Pondok Salju” mendapat hadiah kedua majalah Sastra. Cerpennya yang lain, “Burung Putih” menjadi Pemenang Sayembara Femina (1987). Pada tahun itu juga ia meraih hadiah pertama lomba mengarang dalam bahasa Perancis yang diseleng- garakan Le Monde dan Radio France Internasionale. Atas jasa-jasa dan kiprahnya di dunia kesusastraan ini, pada 14 Agustus 2011, Nh. Dini dianugerahi penghargaan Achmad Bakrie Award. Sebelumnya, ia juga mendapat penghargaan SEA Write Award bidang sastra dari pemerintah Thailand. Nh. Dini juga mendapat penghargaan Prix de la Francophonie (2007).

*** Putu Wijaya pernah menjuluki Nh. Dini sebagai penga- rang yang memiliki “kebawelan yang panjang” karena produktivitas dan kontinuitas (ketelatenan) menghasilkan karangan. Akan tetapi, sebagai pengarang perempuan, Nh. Dini sendiri menyatakan sebetulnya merasakan perjuangan yang berat untuk menghasilkan karya-karyanya. Ia menya-

508 Jamal D. Rahman dkk. takan bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Hal ini ada hubungannya dengan persoalan, apa yang oleh Virginia Woolf disebut “ruang” untuk menulis. Kondisi dan peran yang dituntut perempuan berbeda dengan laki-laki. Perempuan, pada umumnya, bukanlah milik diri- nya sendiri, ia milik keluarganya: suaminya, anak-anaknya, yang setiap saat seolah punya hak untuk menginterupsinya, dan perempuan seolah mau tidak mau wajib memenuhinya. Sementara untuk menulis ia memerlukan “ruang pribadi” bukan hanya dalam arti fisik. Ia perlu diberi kekuasaan waktu dan hal-hal lainnya untuk dibiarkan sendiri tanpa diinterupsi. Ia butuh “ruang” untuk merenung, mengkontemplasikan ide- idenya, merancang, dan menjalani proses kreatif lainnya. Dan “ruang” itu cukup sulit untuk didapat Nh. Dini. Ketika ada dosen mengatakan bahwa selama 20 tahun Nh. Dini “tertidur” (tidak mengeluarkan karya), Nh. Dini menyatakan bahwa masa tertidur itu ada sebabnya, seperti dikemukakannya berikut ini:

... Yang pertama-tama ialah karena memang saya tidak mengumumkan bagian-bagian dari cerita yang sedang saya susun. Selain waktu itu merupakan masa-masa peralihan yang peka dari kekurangan alat komunikasi (majalah yang sesuai dengan cita rasa saya), anak-anak saya juga masih kecil-kecil. Liburan yang diberikan kepada saya belum dapat saya habiskan seorang diri. Masih selalu ada anak-anak yang turut. Bagaimanapun bebasnya seorang ibu di Eropa, setiap hari masih harus memikiri menyapu, mencuci pakaian, berbe- lanja, dan memasak makanan. Karena di sana tidak ada pembantu atau nenek atau tetangga yang bisa dimintai tolong mengurus tektek bengek semacam itu. (Eneste: 119)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 509 Hal seperti ini sering tidak dipertimbangkan dalam melihat posisi perempuan pengarang dalam masyarakat patriarkhi. Untunglah dalam ruang yang demikian terbatas itu Nh. Dini tetap mengusahakan menulis, tidak pernah berhenti menulis. Ternyata dari perjuangan tersebut, Nh. Dini layak berbesar hati karena karyanya dinilai para ahli sastra sebagai karya sastra yang membawa kebaruan yang mempengaruhi penu- lisan karya sastra, khususnya novel di masa kemudian, terutama novel yang ditulis kaum perempuan. Sebelumnya di Indonesia, telah lahir para perempuan novelis seperti Selasih (Sariamin Ismail/Seleguri), Hamidah (Fatimah Hasan Delais), S. Rukiah, dan lain-lain. Namun, tidak seperti Nh. Dini, mereka tidak dikenal oleh masyarakat luas. Dalam penilaian Korie Layun Rampan (1997: XVII), karya-karya perempuan masa sebelum Nh. Dini, masih memperlihatkan tema tentang rumah tangga. Begitu pula sebenarnya novel-novel Nh. Dini. Akan tetapi, novel-novel Nh. Dini memiliki unsur lain. A. Teeuw dalam Sastra Modern II (1989), selain menjuluki Nh. Dini sebagai pengarang sastra prosa terkemuka Indonesia modern, juga menyatakan bahwa novel-novelnya sangat mengesankan, baik dari segi jumlah, maupun mutunya. Ahli sastra asal Belanda ini memuji karya Nh. Dini sebagai karya yang menunjukkan jejak-jejak kecenderungan dan pengalaman internasional sang pengarang. Walaupun demikian, dia hampir tidak terpengaruh oleh penulisan novel barat modern, tetapi berpegang pada pribadinya.

510 Jamal D. Rahman dkk. Selain sifat kosmopolitan yang disebut A. Teeuw itu, hal lainnya yang dianggap sebagai pengaruh Nh. Dini terhadap penulisan novel para penulis sesudahnya adalah ide feminis- me dan keberaniannya untuk mengungkap dan meresistensi persoalan seksualitas dan penubuhan dalam konstruksi masyarakat patriarkis. Budi Darma misalnya menyatakan bahwa Nh. Dini merupakan pengarang feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Di sam- ping itu, tak terhitung lagi hasil-hasil penelitian, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, atau laporan-laporan penelitian yang menunjukkan ide feminisme dalam novel-novel Nh. Dini. Sebagai contoh, dalam tulisan ini akan diambil hasil pene- litian Aquarini Priyatna Prabasmono, dosen sastra Inggris Unpad yang menyelesaikan S2 di University of Lancaster (Feminist Studies) dan Program Kajian Wanita Universitas Indonesia. Dalam thesis magisternya pada program Kajian Wanita UI, Aquarini meneliti “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya Nh. Dini”. Dalam novel Pada Sebuah Kapal misalnya, Aquarini, seperti yang diungkapkannya kembali dalam esai “Tubuh dan Penubuhan Pada Sebuah Kapal”, menemukan bahwa lewat novelnya ini Nh. Dini menunjukkan bahwa membicarakan feminitas dan seksualitas tidak cukup hanya memandang persoalan tersebut dalam kerangka laki-laki atau perempuan, tetapi bagaimana kerangka itu juga bersinggungan dengan konstruksi global barat atau timur, terutama dalam konstruksi rasial putih dan nonputih. Nh. Dini melakukan resistensi terhadap konstruksi seksual patriarkal dan rasial yang mereduksi subjektivitas dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 511 seksualitas perempuan ke dalam kategori monolitik (semua perempuan sama atau memiliki pengalaman yang sama) dan biner (misalnya perempuan baik-baik dan perempuan jalang). Hal itu ditujukkan lewat tokoh utama novel tersebut, Sri, yang memanfaatkan posisinya yang diasumsikan sebagai objek dan male gaze (pandangan laki-laki) untuk menjadi subjek yang memandang. Posisi objek dapat memberikan ruang bagi perempuan untuk menjadi subjek dan sebaliknya menjadikan subjek yang dibangun di dalam konstruksi atau ideologi patriarki sebagai objek. Artinya, dengan representasi seksualitas perempuan yang dihadirkan melalui tubuh tersebut, menurut Aquarini, Nh. Dini telah melepaskan perempuan dari wacana korban. Perempuan tidak selalu merupakan korban atau objek karena perem- puan memiliki kesadaran. Pengungkapan tema-tema demikian dalam karangan- nya, pada masa-masa novel-novel tersebut dikeluarkan, ada- lah suatu keberanian. Tak mengherankan jika akibat dari novel- novelnya itu Nh. Dini mendapat kecaman-kecaman dari masyarakat selain fitnah-fitnah yang menegasikan dirinya. Bahkan bukan hanya karena novel-novelnya, tapi karena dia seorang perempuan yang mengarang. Contoh dari kecaman- kecaman tersebut, seperti yang diungkapkan Nh. Dini, yang dikutip kembali oleh Silvia Galikano sebagai berikut:

Di awal masa kepengarangannya, tahun 1950-an ketika cerpen-cerpennya dimuat di majalah Kisah, Dini banyak menerima cibiran, tak lain karena dia seorang perempuan dan di masa itu, sangat jarang perempuan yang memilih jadi pengarang. Bentuk ketidaksukaan dituangkan dalam bentuk macam-macam, dari dimuatnya berita bohong di koran Jawa

512 Jamal D. Rahman dkk. Timur tentang pertunangan Dini dengan seniman asal Surabaya, sampai gosip Dini bergaul intim dengan Rendra. “Bagaimana mungkin bergaul intim? Saya masih bersekolah. Bersentuhan tangan saja gemetaran.” Pergaulan intim selalu jadi bahan pertanyaan—dari dulu dan masih terus diajukan sampai diskusi di Semarang kali itu akibat di beberapa bukunya Dini menulis hubungan seksual tokoh-tokohnya. Bukan karena perempuan lain tidak menulis tentang hubungan seks sebagai bagian dari cerita, melainkan karena yang menulis ini adalah Nh Dini, yang tulisannya sangat lembut dan santun, sebagai misal dia menggunakan istilah “bergaul intim” dan bukan “berhubungan badan” atau “nggarap sari” sebagai pengganti “haid”. Pernah ada suatu masa ketika guru melarang murid mem- baca Pada Sebuah Kapal dan La Barka karena ada bagian yang dianggap cabul dan tidak mencerminkan adat ketimuran, walau hanya meminta satu halaman dari 350 halaman Pada Sebuah Kapal atau satu dari 200 halaman La Barka. Dini pun kerap mendapat sindiran sebagai orang yang tak bermoral.

Keberanian Nh. Dini telah membuka jalan bagi para penulis perempuan berikutnya yang menulis tema-tema femisnisme yang lebih terbuka dan keras lagi dalam meng- gugat wacana patriarki, baik masa-masa tahun 1970-an yang diisi oleh Marga T, Mira W, dan lain-lain, atau masa mutakhir yang dilakukan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Abidah El-Khalieqy, dan lain-lain. Pendo- brakan Nh. Dini di masa tahun 1950-an hingga 1980-an itu telah membuat tulisan-tulisan dengan tema-tema demikian yang hadir sesudahnya diterima masyarakat dengan wawasan yang lebih terbuka. Banyak yang menyatakan bahwa Nh. Dini adalah “Hulu atau Induk Novelis Perempuan Indonesia”, seperti diungkap Linda Sarmili berikut ini:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 513 Tak pelak lagi, Nh. Dini menjadi induk dari novel-novel populer yang ditulis pengarang perempuan, juga menjadi pendahulu bagi karya sejumlah penulis-perempuan yang sejak akhir 1990-an mendorong lebih jauh lagi feminisme ke arah pengungkapan seks dan seksualitas. Anda pernah membaca betapa hebatnya novel-novel otobiografisnya Nh. Dini? Edgar Cairo, salah seorang penyair dari Amsterdam selalu memuji buku novel Nh. Dini karena memiliki kedalaman ilmu tentang tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Penilaian serupa juga kerap dikemukan banyak praktisi kebudayaan dan sastrawan di Indonesia.

Dengan demikian, dengan kiprah dan karyanya tersebut Nh. Dini secara lebih luas lagi telah mempengaruhi perkem- bangan tema-tema novel Indonesia.[]

Kepustakaan

A.Teeuw. 1989. Kesusastraan Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. Aguarini Priyatna Prabasmono. “Tubuh dan Penubuhan dalam Pada Sebuah Kapal”. Kornel Nomor 4/ Oktober 2003. Aguarini Priyatna Prabasmono. 2003. “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya Nh. Dini”. (thesis). Jakarta: Program Kajian Wanita Universitas Indonesia. Korrie Layun Rampan. 1997. Wanita Penyair Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Korrie Layun Rampan. 2005. Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Indonesia. Jakarta: Grasindo. Pamusuk Eneste (ed.). 1983. Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Jakarta: Gramedia. Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

514 Jamal D. Rahman dkk. Sapardi Djoko Damono Penemuan Kembali Puisi Lirik

ACEP ZAMZAM NOOR

ahun 1968 sebuah kumpulan sajak berjudul Duka-Mu TAbadi terbit. Penyairnya bernama Sapardi Djoko Damono. Inilah kumpulan sajak pertamanya yang terbit atas bantuan teman lama yang sudah menjadi pelukis terkenal di Bandung, yaitu Jeihan Sukmantoro. Wujud kumpulan sajak ini sederhana, sampulnya hitam putih dengan ilustrasi lukisan cukil kayu minimalis karya Jeihan. Jumlah halamannya hanya sedikit sehingga buku ini nampak sangat tipis. Kertasnya agak buram dan cetakannya kurang rapi karena memakai mesin hand-press. Jenis huruf yang digunakannya kecil-kecil, namun memiliki karakter kuat. Kumpulan ini hanya berisi 42 sajak yang umumnya pendek-pendek, ditulis pada kurun 1967-1968, ketika Orde Baru mengawali kekuasaannya. Menariknya, kumpulan sajak yang serba sederhana – kalau tidak dikatakan darurat— ini mendapat sambutan hangat. Goenawan Mohamad menyambut dengan suka cita kehadiran kumpulan sajak ini, bahkan ia menjulukinya sebagai nyanyi sunyi kedua, dengan mengacu pada Nyanyi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 515 Sunyi-nya Amir Hamzah. Sejumlah pengamat yang mengu- las kumpulan sajak ini memang mengaitkannya dengan Raja Penyair Pujangga Baru itu. Karena sebagai penyair ia dianggap berhasil mempertahankan tradisi kepenyairan Amir Hamzah, terutama menghadirkan kembali apa yang disebut puisi lirik. Dengan kekuatan lirik yang cenderung subjektif, dengan pengucapan yang ringkas karena memper- tahankan keutuhan emosi, dengan lebih banyak mengguna- kan imaji-imaji sugestif ketimbang pernyataan-pernyataan konklusif, sajak-sajak Sapardi Djoko Damono membawa angin segar pada zamannya. Ketika kumpulan sajak Duka-Mu Abadi terbit, suasana euforia pembebasan memang sedang dirasakan setelah pada periode tahun-tahun sebelumnya dunia kesusastraan kita disibukkan dengan hiruk-pikuk sajak-sajak slogan. Serta perdebatan yang tak habis-habisnya mengenai setuju dan tidak setuju pada gagasan realisme sosial. Tak lama setelah periode yang berat dan melelahkan itu lewat, eksperimen- eksperimen baru mulai menampakkan diri baik di lapangan puisi, prosa maupun naskah drama. Hal yang sama juga terjadi di lapangan tari, teater, musik dan seni rupa. Keadaan seperti ini seakan memberi isyarat akan munculnya gerakan kesenian avant-garde seperti yang terjadi di tahun 1945 dan sesudahnya. Di majalah Horison, tak lama setelah kumpulan sajak itu terbit, Goenawan Mohamad menulis dengan penuh empati:

Itulah sebabnya saya melihat ke-42 sajak dalam kumpulan ini sebagai perkembangan baru. Berbeda dengan sajak-sajak “berjuang” sebelumnya, Sapardi Djoko Damono telah menyu- supkan diri dalam masalah-masalah yang lebih otentik: teka-

516 Jamal D. Rahman dkk. teki kematian, satu pokok soal yang oleh puisi realisme sosial dan sebangsanya justru disensor dari kesadaran kita. Kini ia telah membebaskan diri dari sensor itu. Kini baginya bukan suatu yang tak patut untuk mengetengahkan kegelisahan dan potret jujur seorang yang fana. Pembebasan ini juga meru- pakan penemuan kembali, yakni penemuan kembali kepada perasaan yang sebenarnya tentang kehidupan.

Kita setuju dengan pandangan Goenawan Mohamad di atas, meskipun mungkin tidak sepenuhnya. Pada sekitar pertengahan 1960-an, di tengah maraknya sajak-sajak slogan, sebenarnya bukan hanya Sapardi Djoko Damono yang mengumumkan sajak-sajak lirik dan imajis di media massa, tapi juga Goenawan Mohamad sendiri, di samping Taufiq Ismail, Wing Kardjo dan beberapa nama lagi. Goenawan tentu masih kita ingat lewat sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”, Taufiq kita ingat lewat sajak “Adakah Suara Cemara” dan Wing Kardjo kita ingat lewat sajak “Salju”, bahkan sajak karya Taufik dan Wing tersebut kemudian menjadi terkenal setelah dinyanyikan Bimbo pada awal 1970-an. Dalam kaitan dengan keberadaan sajak lirik dan posisi kepenyairan Sapardi waktu itu, Bakdi Soemanto lewat bukunya Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, mencoba mengambil jalan tengah:

Oleh karena itu, barangkali, yang paling tepat dikatakan bahwa Sapardi adalah seorang penyair yang ikut mengem- balikan keberadaan lirik dengan teguh di tengah hiruk pikuk perpuisian Indonesia pada waktu itu. Dengan pernyataan ini, bukan saja dari segi data lebih tepat juga menyiratkan kerendahan hati yang merupakan salah satu ciri kuat dari kepenyairan Sapardi.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 517 Sampai di sini, kita kutip dulu salah satu sajak terbaik Sapardi Djoko Damono dari kumpulan pertamanya, yakni “Saat Sebelum Berangkat”. Sajak yang mendapat apresiasi positif dari Prof. Dr. A. Teeuw ini merupakan sajak pertama dari tiga sajak yang disebut Teeuw sendiri sebagai tri tunggal tentang waktu. Seperti halnya dua sajak lainnya, yakni “Berjalan di Belakang Jenazah” dan “Sehabis Mengantar Jenazah”, sajak ini bercerita tentang kematian meski tak sekalipun penyair menyebut kata maut di dalamnya, satu- satunya lambang yang mengisyaratkan pada kematian dalam sajak ini hanyalah kata waktu:

Mengapa kita masih juga bercakap Hari hampir gelap Menyekap beribu kata di antara karangan bunga Di ruang semakin maya, dunia purnama

Sampai tak ada yang sempat bertanya Mengapa musim tiba-tiba reda Kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini Di luar para pengiring jenazah menanti.

Dalam kumpulan sajak Duka-Mu Abadi, Sapardi Djoko Damono memang lebih konsisten dengan sajak-sajak lirik yang lembut, ngungun, merdu dan sublim. Sedang sajak- sajak lirik Goenawan Mohamad yang tak kalah merdu dan sublimnya, misalnya yang termuat dalam kumpulan Parikesit, sepertinya masih bercampur dengan bentuk- bentuk sajak lain seperti balada. Begitu juga sajak-sajak lirik Taufiq Ismail dalam kumpulan Tirani dan Benteng, hanya terselip di antara sajak-sajak demonstrasinya yang dominan. Maka masuk akal jika kemudian Taufiq dikenal masyarakat luas karena sajak-sajak demonstrasinya tersebut.

518 Jamal D. Rahman dkk. Konsistensi Sapardi sebagai penyair lirik dan imajis rupanya bukan hanya nampak pada kumpulan sajak pertamanya. Dalam kumpulan sajak berikutnya, yakni Mata Pisau dan Akuarium yang terbit secara bersamaan pada tahun 1974, ia malah lebih jauh menempatkan imaji sebagai unsur paling penting dan dominan dalam sajak-sajaknya. Mengenai perkembangan ini, ia berpendapat bahwa lewat imaji-imaji yang konkretlah pembaca akan menghidupkan fantasinya sendiri. Lewat pilihan-pilihan imaji yang ketat dan cermatlah, pengalaman puitik yang unik dari seorang penyair akan terhubung dengan pembacanya. Pengalaman puitik, kata Sapardi pada sebuah ceramah tahun 1969, adalah unik dan otentik. Dan keunikan serta keotentikan tersebut hanya akan terjamin apabila penyair berhasil menghadirkannya dalam bahasa yang unik pula. Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubung-kan pembaca dengan ide penyair, tetapi sekaligus menjadi pendukung imaji yang mengantarkan pembaca pada dunia intuisi penyair, namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya dengan kata-kata dalam bukan puisi. Karena imaji dianggap penting dan dominan, maka sudah sewajarnya apabila sajak-sajak Sapardi Djoko Damono kemu- dian menjadi sajak-sajak yang sering disebut banyak penga- mat sebagai sajak suasana. Dalam sajak jenis tersebut nampak sekali bahwa setiap kata harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan suasana imajis. Dengan demikian kata-kata harus melewati perhitungan serta pertim-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 519 bangan yang matang agar mampu ber-bicara serta menya- takan dirinya sendiri. Mengenai hal ini dengan sangat tepat Goenawan Mohamad menggambarkan: “Kata-kata tidak lagi melekat menempel, tetapi bergerak hidup-bulat: menjadi tanda dan sekaligus mikrokosmos sendiri.” Mata Pisau dan Akuarium yang awalnya terbit sendiri- sendiri, pada tahun 1982 menyatu dalam satu buku dengan judul Mata Pisau. Lalu pada tahun 1983 terbit kumpulan sajak berikutnya, Perahu Kertas. Setahun kemudin disusul oleh Sihir Hujan, kumpulan sajaknya yang terbit sebagai pemenang lomba menulis sajak di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada tahun 1994 terbit juga Hujan Bulan Juni, yang meru- pakan kompilasi sajak-sajak terbaiknya yang berasal dari berbagai kumpulan yang pernah terbit, ditambah beberapa sajak yang belum dibukukan. Hujan Bulan Juni merupakan kumpulan sajak yang peredarannya cukup luas dan mudah didapat serta mengalami beberapa kali cetak ulang. Lewat kumpulan sajak Hujan Bulan Juni, khususnya lewat sajak “Aku Ingin” nama Sapardi Djoko Damono men- jadi terkenal, termasuk di kalangan luar sastra. Selain dire- kam sebagai lagu dan lagunya cukup digemari, sajak ini juga sering dikutip untuk berbagai keperluan, antara lain surat cinta dan undangan perkawinan. Banyak anak muda yang sebelumnya tidak mengenal sajak menjadi menggemarinya, yang tadinya tidak suka menulis menjadi bercita-cita jadi penulis, yang tadinya memandang sebelah mata pada penyair menjadi pemburu tanda tangan para penyair. Seperti apakah sajak yang populer itu? Mari kita kutip seutuhnya:

520 Jamal D. Rahman dkk. aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

*** Sejak masih remaja di Solo, Sapardi Djoko Damono ber- teman akrab dengan Jeihan Sukmantoro sampai keduanya berpisah ketika masing-masing melanjutkan kuliah ke kota lain. Jeihan ke Bandung belajar seni rupa, Sapardi ke Yogyakarta belajar sastra. Meskipun demikian mereka tetap berhubungan bahkan sampai sekarang ketika mereka sudah sama-sama tua. Jakob Sumardjo bercerita dalam buku Jeihan Ambang Waras dan Gila yang ditulisnya, bahwa ketika masih remaja Sapardi dan Jeihan pergi mengunjungi sebuah komplek pekuburan Belanda di pinggiran kota, dan di hadapan nisan-nisan mereka berikrar untuk menjadi seniman besar Indonesia. Ikrar yang mereka ucapkan sekitar tahun 1950-an itu rupanya menjadi kenyataan. Baik Sapardi maupun Jeihan sekarang menjadi nama penting di bidangnya masing-masing. Untuk mengetahui lebih lanjut riwayat hidup penyair lirik dan imajis yang sedang kita bicarakan ini, ada baiknya kita membaca bagian dari “Tentang Diri Sendiri” yang ditulis Sapardi pada tahun 2000:

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo sebagai anak pertama pasangan Sadyoko dan Saripah. Pada tanggal 20 Maret 1940. Ia tinggal di Ngadijayan, kampungnya pangeran Hadiwijaya, kira-kira 500 meter dari rumah W.S. Rendra dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 521 B. Sutiman yang tinggal di kampung Patangpuluhan, dan sekitar 500 meter dari rumah Bakdi Soemanto dan Sugiarta Sriwibawa yang tinggal di kampung Kratonan – tetapi ketika itu ia sama sekali tidak mengenal “calon-calon” penyair tersebut. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang SD) Kraton “Kasatriyan” tempat ia bergaul dengan para putra pangeran, sementara di rumah ia menikmati kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan masa kecilnya bermain benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut, main jailangkung, adu jangkrik, main kelereng, main layang- layangan, dan bal-balan di gang sempit atau di alun-alun selatan. Suasana perjuangan yang berlangsung sampai 1949, yang kadang-kadang berupa pemboman oleh pesawat terbang Belanda dan dar-dor di malam hari oleh pejuang kita, seperti tidak mempengaruhi keasyikan masa kanaknya.

Selain itu ia juga suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang waktu itu banyak terdapat di kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain – di samping berbagai jenis komik seperti yang diciptakan R.A. Kosasih. Ia, bersama adik satu-satunya, bahkan pernah “mengusahakan” sewaan komik bagi anak-anak di kampungnya. Masa kanak itu berlangsung seperti lama sekali dan tak akan pernah selesai, sampai mendadak pada tahun 1957 rumah warisan keluarganya dijual dan keluarganya pindah ke pinggir kota di sebelah utara, di desa yang waktu itu belum berlistrik dan suasana desa-kampungnya diwarnai rumpun bambu, kicau burung, bunga sepatu, air kali, dan bedhidhing kalau kemarau. Sama sekali berbeda dengan yang di Ngadijayan yang di pusat kota dan senantiasa hiruk pikuk itu. Waktu itu ia duduk di kelas 2 SMA. Dan waktu itu pulalah ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti sampai sekarang.

522 Jamal D. Rahman dkk. Sejak itu waktu bagai melesat, berlalu cepat sekali, berbeda dengan masa kanaknya. Selepas SMA ia belajar di Yogya. Di masa mahasiswa ia suka main drama, main musik, siaran sastra di radio, menerjemahkan, dan terus menulis puisi. Lulus dari UGM ia cepat-cepat berumah tangga, bekerja sebagai guru di Madiun, Solo dan Semarang. Belajar sebentar di Amerika. Lalu pindah ke Jakarta pada 1973. Pada tahun itu juga ia diminta membantu Australian Film Commission membuat dua film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan Solo, masing-masing selama dua bulan. Ia pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun, mengajar di Universitas Diponegoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja di majalah Horison ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra UI dan terus menulis sambil mencari tambahan nafkah sebagai penerjemah dan juri pelbagai sayembara penulisan, lomba baca puisi, dan festival teater. Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, pelaksana harian Pusat Dokumentasi sastra H.B. Jassin, dan pengurus RT. Ia pun pernah menjadi anggota redaksi majalah Basis di Yogya, country editor untuk Tenggara, jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur, dan correspondent untuk Indonesian Circle, jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies, University of London. Setelah bekerja selama 20 tahun, ia mengundurkan diri dari Horison dan kemudian membantu Kalam, sebuah jurnal kebudayaan. Bersama-sama Subagio Sastrowardojo, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan John H McGlyn ia mendirikan Yayasan Lontar yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 523 terutama bergerak di bidang penerbitan terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris. Bersama rekan-rekannya di FSUI ia mendirikan Yayasan Puisi, yang menerbitkan jurnal Puisi, yang sekarang ini mengalami kesulitan dana tetapi moga-moga saja ada yang membantu agar bisa hidup lagi untuk selama-lamanya. Amin. Hal yang menarik jika kita membaca riwayat hidupnya adalah pengakuan Sapardi sendiri yang merasa biasa-biasa saja, tidak mempunyai pengalaman yang menegangkan atau petualangan yang menantang. Kalah heroik dan tragis jika dibanding dengan penyair-penyair lain, apalagi penyair dunia yang legendaris. Ia merasa penampilannya pun tidak menonjol, pergaulannya tidak atraktif sehingga keberada- annya gampang dilupakan orang. Ia pun bukan anak bandel yang suka membantah guru atau ngotot jika berdebat, juga bukan jagoan berkelahi. Dalam tulisan mengenai proses kreatifnya sebagai penyair Sapardi menulis dengan jujur:

Saya suka iri setiap membaca riwayat hidup penyair yang penuh dengan saat menegangkan, petualangan, kesengsaraan, dan ketabahan; penyair-penyair seperti Lord Byron, Arthur Rimbaud dan Chairil Anwar memiliki riwayat hidup semacam itu. Kalau saja salah satu syarat kepenyairan seseorang adalah kehidupan semacam itu, rasanya tidak pantaslah saya menjadi penyair.

Tapi sejarah kemudian membuktikan bahwa tanpa harus terbunuh dalam kerusuhan sosial seperti Amir Hamzah, tanpa hidup berantakanan dan mati muda karena penyakit seperti Chairil Anwar, tanpa dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik seperti Pramoedya Ananta Toer, tanpa harus keluar masuk penjara seperti Mochtar Lubis, atau tanpa

524 Jamal D. Rahman dkk. dimusuhi negara seperti Rendra, toh sajak-sajaknya mem- buktikan sebagai sajak yang berkualitas dan kepenyairan- nya mendapat tempat khusus dalam sejarah kesusastraan kita. Hal ini menegaskan bahwa hidup yang lurus, tertib, selalu memakai jas dan topi kep, menjadi guru besar di universitas ternama dan memegang sekian jabatan di ber- bagai lembaga, bukan alasan untuk tidak menghasilkan sajak-sajak yang bagus. Sosoknya yang kurus, yang kalau berjalan agak miring ke kiri, yang bicaranya pelan dan teratur, yang jika baca puisi di panggung lebih mengesankan sedang berdoa, yang sehari-harinya tidak merokok apalagi minum bir, ternyata tidak menghambatnya untuk terus menulis puisi cinta sampai tua.

*** Tahun 2000 tepat ketika usia Sapardi Djoko Damono menginjak 60 tahun terbit kumpulan sajaknya Ayat-ayat Api. Berbeda dengan kumpulan-kumpulan sebelumnya yang rata- rata berhalaman tipis dengan sampul hitam putih yang seder- hana, kumpulan sajak yang satu ini cukup tebal dengan meng- gunakan kertas HVS 80 gram, dan sampulnya yang diker- jakan Danarto nampak meriah karena full color. Ada dua foto tentang kerusuhan (sepertinya kerusuhan Mei di Jakarta) di bagian depan dan belakang, lalu di bawah foto kerusuhan berderet foto-foto tokoh mulai dari Marsinah sampai Gus Dur. Di bawah deretan foto tokoh ada juga foto sekelompok wanita cantik yang tergabung dalam grup vokal Spice Girls, yang salah satu anggotanya adalah istri pemain bola David Beckham. Di samping wanita-wanita cantik itu ada foto Sapardi tanpa topi kep, berkacamata dan nampak semakin kurus.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 525 Bukan hanya sampul dan jumlah halamannya yang lain, namun juga kandungannya. Ayat-ayat Api terdiri dari tiga bagian, yakni Ayat Nol, Ayat Arloji dan Ayat Api. Bagian pertama adalah sejumlah puisi yang dipetik dari kumpulan sajak lamanya, Sihir Hujan, yang memang tidak beredar di Indonesia. Bagian dua berisi lebih banyak sajak dan di antaranya “Dongeng Marsinah”, sajak panjang dengan 6 bagian yang ditulis dengan cara agak lain dari biasanya, yakni bergaya mirip balada. Selain itu, sejumlah sajak yang merupakan respon terhadap perubahan politik di tanah air seperti terbunuhnya para mahasiswa. Bagian tiga berisi lebih sedikit sajak, hanya 6 sajak, namun sajak terakhir “Ayat- ayat Api” terdiri dari 16 bagian, jadi cukup panjang. Sajak terakhir ini bercerita tentang kerusuhan Mei yang memakan banyak korban, meskipun temanya kontekstual namun tetap ditulis dengan gaya Sapardi yang sudah kita kenal. Kita kutip salah salah satu bagian dari sajak “Dongeng Marsinah”:

Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan – sempurna, sendiri

Pangeran, apa sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya

526 Jamal D. Rahman dkk. hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan?

Sapardi Djoko Damono yang usianya kala itu memasuki kepala enam masih terus saja menulis sajak, dan salah satu alasannya adalah untuk menjaga kesehatan dan keseim- bangan emosi. Tak lama setelah terbitnya Ayat-ayat Api, pada tahun 2002 terbit pula Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? Sebuah kumpulan sajak yang menunjukkan kecen- derungan lain, jika dibanding dengan kumpulan-kumpulan sebelumnya. Hanya menampilkan 12 sajak namun di anta- ranya merupakan sajak-sajak panjang. Ada yang menarik dari catatan pengantar Sapardi tentang kumpulan sajaknya ini, mari kita baca:

Tiba-tiba saja malam ini saya merasa buku kumpulan sajak ini, yang semuanya ditulis tahun 2001, adalah yang terakhir. Segera saja saya kirim SMS kepada Nirwan Dewanto dan Dorothea Rosa Herliany, dua sahabat yang mengurus pener- bitannya. Saya ingin menulis pengantar ringkas, begitu kira- kira bunyi SMS itu. Ini cengeng, mungkin. Mungkin pula karena merasa tidak perlu lagi menulis puisi. Moga-moga dua-duanya tidak. Sejak menerbitkan Duka-Mu Abadi, saya terus-menerus dalam keadaan tertekan karena ada suara yang selalu mengingatkan, “Jangan marah!” Sampai dengan Ayat-ayat Api (2000), larangan itu tidak saya langgar meskipun situasi ketika sajak-sajak itu ditulis dan (sebagian) disiarkan, yakni tahun 1996-1998, memaksa orang untuk marah. Usaha saya untuk tidak marah tentu saja tidak berhasil, seperti yang mungkin tampak dalam beberapa sajak dalam kumpulan itu. Waktu nampaknya mengharamkan orang untuk tidak marah, padahal saya berkeyakinan bahwa orang marah tidak

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 527 akan mampu menulis puisi. “Apakah orang marah bisa menulis cerita?” tanya suara yang mendesak muncul. Saya akan mencari jawabannya.

Sapardi ternyata masih mampu menulis puisi meskipun hari-harinya banyak dilanda kemarahan menyaksikan berbagai kekisruhan sosial dan politik yang tak henti- hentinya melanda negeri ini, dan semua pemandangan yang memancing emosi tersebut setiap saat muncul di televisi. Namun sebagai penyair lirik ia bungkus kemarahan tersebut dengan cara bercerita, dengan cara bertutur seperti yang nampak pada kumpulan sajak Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? Cara bertuturnya tentu saja tidak linier, penuh kelokan, tikungan, tanjakan sekaligus turunan tajam seperti biasanya. Dengan lincah ia mainkan imaji-imaji, dan meskipun imaji-imaji tersebut disusun dalam kalimat yang longgar namun diksinya masih tetap ketat. Kecenderungan naratif ini sebenarnya sudah dimulai sejak kumpulan Perahu Kertas, bahkan jauh sebelumnya. Hanya saja apa yang dinarasikannya belakangan ini, terutama sejak Ayat- ayat Api, lebih mengacu pada realitas sosial ketimbang lukisan alam, atau berupa perpaduan keduanya. Hasan Aspahani, seorang penyair dari Batam, merasa curiga bahwa Sapardi Djoko Damono telah dengan sengaja mengambil gaya sajak-sajak panjang ala T.S. Eliot yang memang sejak lama dikaguminya dan sajak-sajak penyair Inggris itu sangat ia kuasai. Dalam esai Kenapa Masih Ada Sore Hari?, penyair produktif yang juga wartawan gesit ini menulis:

528 Jamal D. Rahman dkk. Dari segi bentuk, saya amat tertarik dengan sajak “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?”. Terasa Sapardi di situ sepe- nuhnya bebas dari beban pencapaian persajakan terdahulu. Saya bayangkan, akan ada sesuatu yang dahsyat seandainya Ayat-ayat Api digarap dengan gaya ini dan dengan intensitas seperti dalam sajak ini. Begitu pun sajak “Surat Penghujan: Ayat 1-24”. Bagi Sapardi ternyata tema hujan belum habis dan masih amat menarik baginya untuk dijadikan objek per- sajakan. Tema hujan terasa masih segar ketika ia sajikan dalam bentuk yang mengejutkan: bak rangkaian ayat-ayat dalam sebuah surah dari sebuah kitab. Sajak ini seperti menjawab tuntas apa yang ingin tanyakan sendiri (dalam sajak ini juga): Pak Tua, apa yang kaudengar dalam hujan?

Tahun 2009, menjelang usia Sapardi gelap 70 tahun, terbit lagi kumpulan puisinya yang berjudul Kolam, setelah sebelumnya ia memuatkan terlebih dahulu sajak-sajak terbarunya itu di berbagai media massa. Ada jarak sekitar enam tahun dari sajak-sajaknya di kumpulan terakhir yang diakuinya penuh dengan kemarahan itu. Dalam kumpulan Kolam sajak-sajaknya kembali menjadi liris, kembali ngungun dan lembut, kembali banyak melukiskan fenomena alam seperti hujan, bahkan bentuknya pun kembali pada disiplin sonata yang ketat, terutama pada sajak-sajak yang terhimpun pada bagian dua buku itu yang semuanya diberi judul “Sonet”. Sebagai penyair lirik tentu saja Sapardi tidak asing dengan soneta dan yang memang sudah ditekuninya sejak awal. Jauh sebelum Duka-Mu Abadi terbit sebagai buku, ia sudah banyak menulis sajak dalam bentuk soneta. Di majalah Horison dan Basis terbitan awal banyak ditemukan serial dari soneta-sonetanya yang kemudian ia kumpulkan sebagai manuskrip dengan judul “Soneta-soneta dari Djakarta”,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 529 namun belum juga terbit sampai sekarang. Meskipun begitu, beberapa soneta dari manuskrip tersebut masuk dalam kumpulan sajak pertamanya. Seperti kita ketahui soneta merupakan salah satu bentuk sajak yang jelas jumlah larik maupun baitnya, begitu juga aturan iramanya. Namun sebagai penyair modern nampak- nya Sapardi tidak selalu setia dengan aturan karena pada dasarnya ia menulis sajak bebas. Tapi prinsip-prinsip dasar dari soneta termasuk kaitannya dengan rancang bangun dan tema, tetap ia pertahankan. Kita kutip salah satu sonetanya yang termuat dalam Kolam pada bagian dua yang diberinya judul “Sonet 13”:

Titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu; ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas: sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu. Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.

Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.

Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas. Pohon itu tak lagi menatapmu. Membasahi kerudungmu, meluncur ke pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.

Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?

*** Sapardi Djoko Damono juga menulis berbagai jenis esai dan karangan ilmiah, terutama untuk disampaikan di

530 Jamal D. Rahman dkk. seminar-seminar. Karangan-karangannya jenis itu yang dibukukan antara lain Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) di samping dalam sejumlah antalogi karangan bersama. Kesukaannya menerjemahkan telah menghasilkan beberapa buku antara lain Puisi Klasik Cina, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak Goege Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti: Sepilihan sajak Australia, Afrika yang Resah ( diterjemahkan dari “Song of Lawino” dan “Song of Ocol” karya Okot p’Bitek), Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea karya Hemingway), Daisy Manis (Daisy Miller karya Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wendt dan Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (Mourning becomes Electra, drama trilogi karya Eugene O’Niell), Shakuntala dan Amarah (The Grapes of Wrath karya John Steinbeck). Bersama rekan-rekannya di FSUI ia menerjemahkan karya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Sejumlah terjemahannya yang sudah diterbitkan di majalah dan koran atau dipentaskan, tapi belum dibukukan, antara lain Pembunuhan di Katedral (Murder in the Cathedral karya T.S. Elliot), Singa dan Permata (The Lion and the Jewel karya Wole Soyinka), Brown Sang Dewa Agung (The Great God Brown karya O’Neill), Asap Musim Panas (Summer and Smoke karya Tenesse Williams), Di Bawah Langit Afrika (kumpulan cerpen Afrika), dan sejumlah besar sajak, drama pendek, dan cerpen.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 531 Kegiatannya di bidang karang-mengarang telah mem- berinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award (1978) dari Australia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah RI, Mataram Award (1985) dan Kalyana Kretya (1996) dari Menristek RI. Kegiatannya sebagai pengajar telah menghasilkan gelar doktor dan guru besar, di samping beberapa jabatan struktural antara lain Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999). Ia juga mengetuai bidang humaniora di Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi dan menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Jika ditanyakan apa sebenarnya yang berharga dari perjalanan panjang Sapardi Damono Damono baik dari ranah kreatifitas maupun aktivitasnya sebagai akademisi bagi kesusastraan kita? Tentu saja cuplikan riwayat hidupnya di atas bisa menjelaskan dengan sendirinya. Sebagai seorang akademisi bahkan guru besar Sapardi sudah banyak menghasilkan makalah-makalah ilmiah, riset-riset yang berkaitannya dengan sosiologi dan humaniora, esai-esai sastra dan budaya serta sejumlah terjemahan dari khazanah sastra dunia. Lalu sebagai penyair seperti sudah kita bicarakan sejak awal tulisan ini, posisinya sangat kuat. Posisi kepenyairannya yang kuat itu bukan hanya ditandai sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri, namun lebih-lebih karena ia telah mewariskan sajak-sajak yang berkualitas pada sejarah kesusastraan kita. Dan sajak-sajak yang berkualitas itu, yang dari dekade ke dekake dibaca, dinikmati, dianalisis dan diteliti baik oleh

532 Jamal D. Rahman dkk. kalangan kampus maupun luar kampus, juga oleh kalangan sastra maupun luar sastra. Tak bisa dimungkiri bahwa pada sisi lain sajak-sajaknya juga telah memberikan inspirasi, gairah, semangat, dorongan dan tantangan bagi penyair- penyair yang datang kemudian. Banyak penyair penting dari dekade 1970-an, 1980-an, 1990-an dan 2000-an yang kepenyairannya dipicu oleh sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Sajak-sajak awal dari Abdul Hadi W.M., Linus Suryadi A.G., Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Kriapur, Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda sampai Soni Farid Maulana sulit untuk dilepaskan dari jejak Duka-Mu Abadi, meskipun dalam perjalanannya mereka menemukan bahasanya masing-masing. Lalu sajak-sajak awal Beni Setia, Afrizal Malna, Gus Tf, Dorothea Rosa Herliany, Agus R. Sarjono, Joko Pinurbo sampai Hasan Aspahani sulit untuk dikatakan tidak pernah belajar pada Mata Pisau, Akuarium dan Perahu Kertas, meskipun tentu saja pada akhirnya mereka juga menempuh jalannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, setelah Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi merupakan penyair lirik beri- kutnya yang mempunyai pengaruh kuat pada penyair- penyair lain. Itulah sumbangan penting dari Sapardi Djoko Damono.[]

Kepustakaan

A Teeuw. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya. Bakdi Soemanto. 2006. Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo. Goenawan Mohamad. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 533 Jakob Sumardjo. 2007. Jeihan Ambang Waras dan Gila. Bandung: Jeihan Institute. Pamusuk Eneste (editor). 2009. Proses Kreatif Jilid 1. Jakarta: KPG. Riris K Toha-Sarumpaet (editor). 2010. Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan Obor. Sapardi Djoko Damono. 1982. Mata Pisau. Jakarta: Balai Pustaka. Sapardi Djoko Damono. 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka. Sapardi Djoko Damono. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Balai Pustaka. Sapardi Djoko Damono. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus. Sapardi Djoko Damono. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus. Sapardi Djoko Damono. 2002. Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?. Magelang: Indonesia Tera. Sapardi Djoko Damono. 2009. Kolam. Jakarta: Editum. Sapardi Djoko Damono. Mata Jendela (2001). Magelang: Indonesia Tera.

534 Jamal D. Rahman dkk. Arief Budiman Sumbangan bagi Kritik dan Pemikiran Sastra

JAMAL D. RAHMAN

ia seorang aktivis yang turut menentang Orde Lama Ddan —langsung atau tidak— turut melahirkan Orde Baru. Namun dialah tokoh yang sangat lantang —jika bukan paling lantang— menentang Orde Baru setelah disadarinya bahwa Orde Baru melenceng dari cita-cita awalnya. Di antaranya, sejak awal tahun 1970-an bersama kawan- kawan aktivisnya dia mengampanyekan Golongan Putih (Golput) sebagai gerakan politik melawan dominasi dan penyimpangan-penyimpangan politik Golkar. Dan dia adalah seorang sosiolog. Setelah meraih gelar Doktor di bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat (1980), dia mengajar di Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Namun akibat konflik di kampus itu, dia akhirnya diberhentikan (1996). Selanjutnya dia mengajar di Universitas Melbourne, Australia, sampai pensiun. Sebagai ahli ilmu sosial, dia meraih Ahmad Bakrie Award di tahun 2006. Tapi dia sudah menghubungkan diri dan bergaul dengan dunia seni, khususnya sastra, sejak mahasiswa. Dan Arief

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 535 Budiman, tokoh itu, harus diperhitungkan dalam kancah sastra Indonesia modern. Sumbangannya pada sastra Indonesia tak bisa diabaikan. Meskipun lebih dikenal sebagai aktivis sosial-politik dan sosiolog, bagaimanapun Arief menaruh minat dan perhatian besar pada sastra Indonesia (dan kesenian serta kebudayaan secara umum) sejak usia relatif muda. Dia —ketika itu masih bernama Soe Hok Djin— adalah salah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan (1963), suatu pernyataan sikap para seniman dan cendekia- wan Indonesia terhadap tekanan politik dan ideologi Revolusi dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang disokong Presiden Soekarno. Seperti diketahui, Manifes Kebudayaan selanjutnya menimbulkan reaksi dan polemik hebat hingga dilarang Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Sebabnya adalah Manifes Kebudayaan dipandang menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi. Tak pelak lagi para penanda- tangan Manifes Kebudayaan kian tertekan baik secara mental, sosial, maupun fisik. Keadaan ini secara berangsur berakhir setelah Orde Lama tumbang di tahun 1966, di mana Arief Budiman juga ambil bagian dalam gerakan menum- bangkan Orde Lama tersebut. Arief Budiman juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sejak lembaga itu didirikan di tahun 1968 sampai 1971. DKJ adalah mitra gubernur DKI Jakarta (ketika itu Ali Sadikin) dalam usaha memajukan kebudaya- an ibukota, yang memainkan peran sangat penting bagi perkembangan seni Indonesia melalui berbagai kegiatan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Yang sangat penting

536 Jamal D. Rahman dkk. dari seluruh kerja DKJ saat itu adalah bahwa lembaga semi pemerintah tersebut memberikan sekaligus menjamin kebebasan berekspresi bagi seniman dan cendekiawan di TIM, suatu hal yang sangat relevan bagi zaman ketika Indo- nesia baru lepas dari otoritarianisme Orde Lama. Hasilnya adalah kegairahan berkesenian yang memunculkan berba- gai karya seni eksperimental, termasuk di bidang sastra dan pemikiran kebudayaan secara luas. TIM jelas memainkan peran sangat penting tidak saja dalam memajukan kesenian ibukota, melainkan juga kesenian Indonesia secara umum. Bahkan, di sini pula berkembang pemikiran-pemikiran baru di bidang kebudayaan dalam arti luas, termasuk masalah lingkungan, sains, teknologi, agama, dan lain-lain. Memang, dilihat dari posisinya sejauh itu Arief tampak- nya bukan tokoh yang paling menonjol. Dalam hal Menifes Kebudayaan posisi Arief barangkali tidak semenonjol tokoh- tokoh lain yang lebih senior seperti Wiratmo Soekito (yang menyusun konsep Manifes Kebudayaan), H.B. Jassin, atau Trisno Sumardjo. Di DKJ perannya tidaklah semenonjol rekan-rekannya seperti Ajip Rosidi yang sangat dekat dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Tapi bagaimana pun, keterlibatannya dalam momen-momen yang sangat bersejarah itu memberikan jejak-jejak panjang dalam sejarah kesenian dan kebudayaan Indonesia hingga bebe- rapa dekade selanjutnya. Dan, yang tak kalah penting, keter- libatannya itu menunjukkan minat dan perhatian besarnya pada kesenian dan kebudayaan dalam arti luas, sekaligus merupakan batu dasar bagi kegiatan Arief selanjutnya di bidang sastra, khususnya di bidang kritik dan pemikiran, di

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 537 mana dia menempati posisi penting dan memberikan pengaruh sangat luas —betapapun tentu saja dia tidak berperan seorang diri. Posisi penting Arief terutama dimulai dari Horison. Arief Budiman (Soe Hok Djin) adalah salah seorang pendiri majalah sastra ini bersama Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini, dan Taufiq Ismail. Terbit pertama kali pada Juli 1966, Horison selanjutnya menjadi majalah sastra yang sangat penting, bahkan dalam kurun tertentu merupakan majalah sastra paling berpengaruh dan menjadi barometer nomor wahid mutu sastra Indonesia. Ia memberikan ruang bagi percobaan-percobaan kreatif para sastrawan, khususnya penyair dan penulis cerita pendek. Juga bagi gagasan-gagas- an baru di bidang sastra dan kebudayaan, misalnya gagasan Arief sendiri soal metode ganzheit dalam kritik sastra dan gagasan sastra kontekstual —seperti akan diuraikan nanti. Percobaan Sutardji Calzoum Bachri di bidang puisi, Budi Darma dan Danarto di bidang cerpen, misalnya, mula-mula mendapat tempat di majalah ini. Tak syak lagi hampir semua sastrawan Indonesia terkemuka sejak tahun 1970-an lahir dari Horison. Didukung pula oleh para redaktur yang adalah tokoh-tokoh sastra terkemuka seperti H.B. Jassin, Sapardi Djoko Damono, dan Sutardji Calzoum Bachri, Horison tampil sebagai majalah sastra yang sangat berwibawa. Dan, meski- pun mengalami pasang-surut khususnya di bidang keuang- an, Horison tetap hidup dan terbit rutin setiap bulan sampai sekarang, 47 tahun kemudian. Sumbangan penting dan pengaruh luas Arief Budiman tampak lebih nyata dalam lapangan pemikiran dan kritik

538 Jamal D. Rahman dkk. sastra. Dalam hal itu dia adalah lonceng yang bergema kencang, menarik perhatian dan partisipasi para kritikus, pemikir, dan para sastrawan dalam kancah polemik yang asyik dan menggairahkan. Tak syak lagi dia telah merang- sang pemikiran baru di bidang kritik teoritis dan —sampai batas tertentu— kritik terapan di Indonesia. Dia mengajukan metode ganzheit untuk kritik sastra Indonesia sekaligus mencoba menerapkannya dalam suatu kajian ilmiah. Di samping itu, dalam perkembangan minat dan perhatiannya pada sastra Indonesia selanjutnya, dia juga mengajukan perlunya semacam orientasi sosial atau orientasi alternatif di tengah orientasi dominan dalam sastra Indonesia, yang kemudian dikenal dengan sastra kontekstual. Dua gagasan tersebut menandai polemik penting dan luas dalam sastra Indonesia modern.

Metode ganzheit : Kritik Teoritis dan Praktis Di tahun 1968, Arief Budiman mengajukan ganzhiet sebagai metode kritik sastra. Perlulah terlebih dahulu meletakkan gagasan tersebut dalam konteks perkembangan kritik sastra Indonesia saat itu. Sampai paruh kedua dekade 1960-an, kecenderungan umum kritik sastra Indonesia — terutama dari para akademisi sastra— bercorak analitis, dalam arti menempatkan karya sastra sebagai objek otonom dan pusat orientasi dalam suatu kerja analisis ilmiah. Meskipun kadang-kadang atau sambil lalu berorientasi ekspresif juga, yakni menempatkan karya sastra dalam hubungannya dengan pengarang, kecenderungan itu bermaksud mengkaji karya sastra sebagai objek penelitian ilmiah yang tentu saja bertendensi objektif.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 539 Dalam konteks ini, penelitian atau kritik sastra pertama- tama merupakan analisis terhadap unsur-unsur instrinsik karya sastra, bertolak dari dalam karya sastra, dan —paling tidak untuk sementara— mengabaikan unsur-unsur ekstrinsiknya, termasuk pengarang atau sastrawannya sendiri. Dengan demikian, kritik sastra mengurai unsur- unsur karya sastra dan menunjukkan hubungan fungsional- nya satu sama lain. Dalam karya sastra yang baik, semua unsur intrinsiknya pastilah saling berhubungan dan saling menunjang untuk membangun satu bangunan yang utuh, baik bentuk maupun isi. Betapapun unsur-unsur ekstrinsik karya sastra penting dalam memahami karya sastra, bagai- manapun karya sastra itu sendirilah yang harus menjadi pusat utama orientasi suatu kerja penelitian atau kritik sastra. Dirumuskan dengan cara lain, pada saat itu kritik sastra Indonesia berbasis atau berorientasi kuat pada pendekatan objektif dan struktural.1 Terutama bagi kalangan sastrawan, orientasi kritik sema- cam itu tidak memuaskan. Kritik terhadap orientasi kritik analitis sudah muncul sejak dekade 1950-an, dan terus ber- lanjut hingga dekade berikutnya. Menurut para pengkritik- nya, kritik analitis hanya mencincang karya sastra secara anatomistis, menganalisis unsur-unsurnya sedemikian rupa, sehingga kritik terhadap sebuah karya sastra gagal menang- kap karya sastra itu sendiri sebagai satu kesatuan, sebagai suatu keseluruhan yang hidup. Dalam kritik analitis karya sastra diperlakukan —dalam kata-kata Taufiq Ismail (via

1 Untuk diskusi tentang ini lihat misalnya A Teeuw (1989) dan terutama Rachmat Djoko Pradopo (2002).

540 Jamal D. Rahman dkk. Goenawan Mohamad, 1967 [1978: 108])— “sebagai kadaver di atas meja praktikum untuk dicincang-cincang secara ana- tomistis.” Paling tidak untuk sebagian, metode ganzheit dalam kritik sastra (dan seni) merupakan respon terhadap orientasi kritik analitis. Ia adalah alternatif yang ditawarkan sebagai metode kritik di tengah ketidakpuasan para kritikus sastra, khusus- nya dari kalangan sastrawan, terhadap kritik analitis. Diskusi atau polemik tentang kritik analitis sendiri sudah menyebut- nyebut pentingnya melihat karya sastra sebagai suatu ganzheit (keseluruhan). Dalam pembelaannya terhadap kritik analitis, Sutisna Adji (1965 [1978: 94]), misalnya, menekan- kan pentingnya kesadaran atas ganzheit suatu karya sastra. Metode analitis, menurutnya, hanyalah metode pembantu dalam menggali hal-hal yang lebih subtil dalam karya sastra. Dengan metode analitis seorang kritikus tidak boleh melupa- kan ganzheit, keseluruhan, dari puisi atau karya sastra lainnya. Goenawan Mohamad (1967 [1978: 108]) juga menyinggung perlunya melihat ganzheit sebuah puisi dalam analisis puisi itu sendiri. Menurutnya, dengan analisis saja kritikus bisa kehilangan ganzheit dari puisi, kehilangan suasana sajak, dan akhirnya kehilangan puisi itu sendiri. Tapi bagaimanapun, Arief Budimanlah (1968 [1978]) yang mula-mula secara cukup jelas merumuskan dan mengajukan ganzheit sebagai metode kritik seni. Dalam proposalnya tentang ganzheit sebagai metode kritik seni, dia bertolak dari pandangan dasar “aliran psikologi Gestalt, yang menyatakan bahwa suatu keseluruhan atau totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 541 semua elemen-elemennya.” Menjelaskan gagasan dasar tersebut, selanjutnya Arief menulis (1968 [1978: 117-118]):

... pada hakekatnya, yang kita hayati ialah sebuah totalitas. Sebuah totalitas bukanlah elemen yang kita susun satu per satu. Sebuah totalitas langsung kita hayati sebagai keselu- ruhan, bukan melalui penghayatan elemen-elemennya satu per satu. Sebuah wajah bukanlah kita hayati dengan meng- hayati hidungnya, kemudian kita tambah dengan pengha- yatan pada matanya dan kemudian lainnya lagi.... Kita berha- dapan langsung sebagai keseluruhan dan kita menghayati langsung sebagai sebuah keseluruhan. Elemen-elemennya, secara dinamis mengadakan interferensi yang menghasilkan sebuah kwalitas baru. Kwalitas baru inilah yang langsung kita hayati, yang kita tangkap pertama. Elemen, baru muncul pada tahap kedua, setelah kita mengadakan refleksi dan analisa.

Di samping itu, penghayatan tiap manusia atas sebuah objek yang sama niscaya akan berbeda-beda satu sama lain. Setiap penghayatan adalah re-kreasi, penciptaan kembali atas sebuah objek yang dihayati. Dengan demikian, manusia merupakan faktor dinamis dalam proses penghayatan atas sebuah objek. Kata Arief, “Inilah prinsip dari aliran psikologi Ganzheit, yang mengikutsertakan faktor manusia yang menghayati sebagai elemen yang turut mengadakan inter- ferensi dinamis dalam menyusun kualitas total yang baru.” Dengan prinsip bahwa manusia merupakan faktor dinamis dalam menyusun kualitas total yang baru dari suatu objek yang dihayatinya, maka kritik seni sejatinya bekerja atas dasar prinsip dan gagasan dasar tersebut. Dari sinilah dia mengajukan ganzheit sebagai metode kritik seni. Menurut Arief, metode kritik ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif sang kritikus terhadap karya seni yang

542 Jamal D. Rahman dkk. dihadapinya. Dengan metode tersebut, maka kritik seni tak lain merupakan pertemuan sang kritikus dengan karya seni, sebuah interferensi dinamis antara keduanya, yakni subjek yang hidup dan merdeka. Pada praktiknya, tanpa konsepsi apriori apa pun juga, sang kritikus akan membiarkan karya seninya secara merdeka berbicara sendiri, berdialog dengan- nya. Menurut Arief pula, metode ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui dunia merdeka yang hidup dari manusia- manusia yang menghayati. Ini berbeda dengan kritik analitis yang, menurut Arief, mengutamakan analisa sebelum adanya penghayatan atas totalitas. Dalam kritik analitis, tidak terjadi interferensi dinamis antara dua subjek yang merdeka, melainkan sebuah hubungan dari seorang subjek yang merdeka dan subjek lain yang tidak merdeka. Proposal Arief Budiman menemukan gemanya terutama melalui dan setelah diskusi kritik sastra yang diadakan Direktorat Bahasa dan Kesusastraan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta pada 31 Oktober 1968 di Balai Budaya, Jakarta. Forum itu sendiri mendiskusikan pendirian ganzheit sebagai metode kritik sastra. Pemrasaran diskusi adalah Goenawan Mohamad dan Arief Budiman (1968 [1978]). Mereka menyampaikan prasaran tentang pendirian metode kritik ganzheit dalam makalah berjudul “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian”. Sementara, S. Effendi dan J.U. Nasution masing-masing tampil sebagai pembanding. Para penang- gapnya antara lain Anton Moeliono, Fuad Hassan, M.S. Hutagalung, Usep Fathuddin, Salim Said, dan Satyagraha Hoerip.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 543 Makalah Goenawan dan Arief merupakan elaborasi atas gagasan metode kritik ganzheit yang diajukan Arief, berikut pendirian mereka tentang kritik sastra. Menegaskan lagi metode tersebut, mereka mengatakan bahwa dalam metode ganzheit sang kritikus bertindak sebagai seorang kedua dalam suatu pembicaraan yang akrab: menghadapi karya sastra tanpa memasukkannya ke dalam kotak-kotak yang sudah tersedia, melainkan menghadapi karya sastra tersebut dengan membiarkannya bebas, hidup, bergerak terus secara unik, seakan-akan sebagai suatu pribadi tersendiri, sebagai suatu subjek lain, dan bukan objek. Dengan demikian, kritik sastra adalah dialog antara sang kritikus dengan karya sastra yang dihayati dan dianalisisnya. Dan, dialog tersebut “bukanlah ‘berdialog’ dengan satu hasil teknik, tetapi dengan pengarangnya sebagai pribadi, bukan dengan sederetan konsep-konsep... tetapi dengan pengarangnya sebagai subyek yang lain.” Di bagian lain makalah itu, Goenawan dan Arief menegaskan bahwa setiap karya sastra harus dihadapi sebagai sesuatu yang unik. Karena itu, kritik sastra tidak bisa bertolak dari suatu kaidah umum. Lagi pula, kritik yang bertolak dari kaidah umum cenderung memisahkan bentuk dari isi atau sebaliknya, sehingga kritik sastra tersebut merenggut isi dari bentuk atau merenggut bentuk dari isi. Dalam karya sastra, bentuk dan isi bagaimanapun tak bisa dipisahkan. Tambahan pula, tanpa memandang karya sastra sebagai sesuatu yang unik, kritik sastra bisa terjatuh pada kemungkinan mencungkil satu atau beberapa kata dalam puisi, misalnya, terlepas dari konteks keseluruhannya —dan ini tidak sejalan dengan pendirian mereka tentang ganzheit.

544 Jamal D. Rahman dkk. Menanggapi prasaran tersebut, S. Effendi (1968 [1978]) mengatakan bahwa metode ganzheit sesungguhnya didasar- kan pada data-data reseptif yang sangat subjektif. Menurut- nya, kritik sastra tidak perlu menggunakan data-data reseptif semata, yang sangat subjektif itu, melainkan perlu mem- buka diri untuk juga menggunakan data-data objektif yang bersumber dari karya sastra itu sendiri. Dia menegaskan pendiriannya bahwa kritik sastra dapat dilakukan dengan metode reseptif dan metode objektif secara bersama-sama. Dengan menggunakan dua metode tersebut, kritik akan sampai pada “realitas” dalam sebuah karya sastra, bukan saja “realitas” dalam resepsi subjektif sang kritikus, melain- kan juga “realitas” sebagaimana mengemuka secara objektif dalam karya sastra. Sementara itu, J.U. Nasution (1968 [1978]) memper- soalkan asumsi dasar gestalt dan ganzheit. Dia mengatakan bahwa pada kenyataannya seseorang sering memperhatikan bagian tertentu yang unik dari suatu objek sebelum akhirnya dia melihat keseluruhannya. Bahkan tak jarang bagian tertentu yang unik dari suatu objek dipandang sudah cukup mewakili keseluruhannya. Dalam konteks itu, ada perbedaan nilai, yakni kapan dan kenapa sebuah objek dilihat secara keseluruhan, kapan dan kenapa sebuah objek dilihat bagian demi bagian sebelum akhirnya sampai pada keseluruhannya. Dalam kaitannya dengan sastra, J.U. Nasution sampai pada rumusan atau pendirian ini: “Arti bahagian-bahagian dari suatu karya sastra dan seni umumnya ditentukan oleh arti keseluruhannya, arti keseluruhannya ditentukan oleh bahagian-bahagiannya.”

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 545 J.U. Nasution juga menolak pendapat Goenawan dan Arief bahwa dialog dengan karya sastra bukanlah dialog dengan hasil teknik, tetapi dengan pengarangnya sebagai pribadi. Menurut Nasution, benar bahwa dialog itu bukan dialog dengan hasil teknik, tapi bukan pula dialog dengan pengarang, melainkan dengan karya sastra itu sendiri. Menikmati karya sastra, katanya, bukanlah mencari-cari pengarangnya untuk dimasukkan pada suatu kasus. Dari sini, sebagaimana juga J.U. Nasution, dia menekankan orientasi dan pendirian objektif dalam kritik sastra, seraya menegaskan pula bahwa kritik sastra harus bertopang pada teori, kriteria, kategori, dan sejarah sastra. Diskusi itu sendiri berlangsung hangat. Dan selanjutnya muncul polemik di berbagai media. Di antara peserta polemik adalah Salim Said, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, dan Achdiat K. Mihardja —nama-nama penting dalam sastra Indonesia.2 Inilah diskusi dan polemik penting dalam kritik sastra Indonesia modern, khususnya kritik teoritis, yang menunjukkan pengaruh Arief Budiman. Yang tak kalah penting, tentu terdorong untuk mengembangkan metode yang diajukannya, Arief Budiman sendiri tidak berhenti pada kritik teoritis, melainkan beranjak pada kritik praktis. Dia mencoba menerapkan metode kritiknya. Mula-mula Arief (1969) menulis esai ringkas, membicarakan cerpen Usamah dengan pendekatan ganzheit. Selanjutnya dia (1976) mene- rapkan metodenya dengan lebih sungguh-sungguh dalam karyanya Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Dengan demi-

2 Makalah-makalah diskusi ini, baik dari pemrasaran maupun para penanggap dan rekaman jalannya diskusi, berikut esai-esai sekitar topik polemik ini, dihimpun dalam S. Effendi dkk. (1978).

546 Jamal D. Rahman dkk. kian, di samping merupakan kritik teoritis (dengan segala pro-kontra dan kontroversinya), ganzheit sebagai metode kritik sastra adalah juga kritik praktis atau terapan.

Sastra Kontekstual: Perlawanan Terhadap Sastra Universal Di tahun 1984, Arief Budiman mengajukan pemikiran tentang sastra kontekstual, pemikiran mana, sekali lagi, menimbulkan diskusi dan reaksi luas dari para sastrawan, sarjana sastra, dan kritikus sastra. Gagasan itu bermula dari Sarasehan Kesenian di Surakarta, 28-29 Oktober 1984. Meskipun merupakan sarasehan kesenian, kenyataannya forum tersebut lebih banyak membicarakan kesusastraan. Adalah menarik bahwa pemikiran beberapa pembicara, khususnya Yudhistira Ardi Massardi, Ariel Heryanto, Arief Budiman, dan Y.B Mangunwijaya memiliki benang merah dan bahkan kesamaan, yaitu kesadaran tentang perlunya sastra yang relevan dengan publiknya, sastra yang berbijak di bumi, sastra yang berarti bagi suatu kelompok sosial, sastra yang kontekstual dengan masyarakatnya. Benang merah pemikiran ini sesungguhnya merupakan respon terhadap fenomena dominan dan mapannya suatu orientasi sastra dalam sosiologi sastra Indonesia. Istilah sastra kontekstual sebenarnya mula-mula diguna- kan oleh Ariel Heryanto (1985b) dalam makalah yang disam- paikannya dalam Sarasehan Kesenian di Solo itu.3 Di situ

3 Tulisan Ariel Heryanto (1985b), yang dimuat dalam Ariel Heryanto (1985a), merupakan versi yang dielaborasi dari makalah yang disampaikannya dalam Sarasehan Kesenian di Surakarta, 28-29 Oktober 1984.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 547 Ariel membahas fenomena dan kecenderungan dua kelom- pok orientasi nilai sastra di Indonesia pada masa itu. Kelom- pok pertama adalah mereka yang beranggapan bahwa sastra bersumber “dari batin”. Kelompok kedua beranggapan bahwa sastra bersumber dari “kehidupan sosial”. Kelompok pertama pada umumnya menganut pandangan “sastra universal”, sedangkan kelompok kedua mengaitkan sastra dengan lingkungan sosialnya, yang karenanya dapat disebut sebagai menganut “sastra kontekstual”. Untuk kelompok kedua ini, Ariel (1985b: 44) menambahkan, “(Saya tak tahu apakah para penganut pandangan ini suka menerima penamaan ini; tapi untuk memudahkan pembahasan saya akan pakai istilah tersebut).” Dengan demikian, istilah sastra kontekstual pada mulanya digunakan sebagai kategori fenomena sastra sebagai cara untuk memudahkan pembahasan. Tetapi maksud yang dikandungnya cukup jelas, yaitu pandangan yang mengaitkan sastra dengan ling- kungan sosial. Sementara itu, dalam Sarasehan di Solo itu Arief Budiman (1984 [1985]) berbicara tentang perlunya sastra yang ber- publik, yaitu sastra yang menyadari dan mengenali publik yang dituju karyanya, yang bukan saja kelas menengah kota atau kelompok terpelajar khususnya para sastrawan, kriti- kus, dan akademisi sastra, melainkan suatu lingkungan sosial tertentu. Arief mengakui bahwa sastra yang berorientasi pada kelas menengah kota —yang jumlahnya sedikit itu— punya hak untuk hidup dan berkembang, tapi itu bukan satu-satunya sastra yang punya hak hidup. Maka dia mena- warkan kesadaran baru bagi sastra Indonesia. Menurutnya,

548 Jamal D. Rahman dkk. “Sastra dan seni pada umumnya harus sadar publik, harus masuk ke dalam sejarah, yaitu kenyataan ruang dan waktu. Harus diciptakan suatu kesadaran yang penuh pada diri seniman bahwa dia mencipta untuk publik tertentu.” Di sini kiranya jelas bahwa gagasan Arief sejalan dengan gagasan sastra kontekstual —betapapun sastra kontekstual pada mulanya merupakan kategori fenomena sastra. Tetapi yang tak kalah penting, mulai jelas bahwa gagasan tersebut merupakan alternatif terhadap sastra “universal”, paham yang sudah mapan dan dominan dalam sastra Indonesia. Arief terus mematangkan konsep sastra kontekstual. Dalam makalah “Sastra Kita yang Kebarat-baratan”, yang disampaikan Arief dalam Temu Redaktur Budaya se-Jawa dan Temu Sastrawan se-Jawa Tengah di Semarang, 21-22 Desember 1984, dia menyebut sastra Indonesia dipengaruhi oleh sastra Barat, bahkan cenderung kebarat-baratan, yang memperkuat posisi sastra universal. Maka, di samping menegaskan bahwa sastra kontekstual merupakan peno- lakan terhadap sastra universal, dia merumuskan sastra kontekstual dengan lebih jelas. Dia menulis (1984b [1985: 105]):

Apakah sastra kontekstual? Sastra kontekstual adalah sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusastraan. Nilai-nilai sastra terikat oleh waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut terus tumbuh dan berubah sepanjang sejarah. Nilai-nilai tersebut berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dari kelompok manusia yang satu ke kelompok manusia yang lain (suku, agama, kelas sosial, dan sebagainya). Hanya dengan mengakui kenisbian nilai ini, maka sastra kita dapat berkembang di buminya yang nyata, bukan di dunia yang diidealkan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 549 Dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, Arief memperkuat argumen sastra kontekstual antara lain dengan mengubah konsep indah dengan konsep berarti dalam sastra. Dalam esai “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual”, Arief (1985a) mengatakan bahwa sastra yang baik adalah sastra yang berarti bagi seseorang. Sastra yang baik adalah sastra yang punya arti bagi penikmatnya. Sudah tentu masyarakat bervariasi, berbeda-beda, dan berkelompok-kelompok, tapi bagaimanapun “dapat kita katakan bahwa citarasa warganya relatif sama”. Demikian- lah maka apa yang berarti dan apa yang tidak berarti bagi masyarakat Jawa di desa, misalnya, relatif sama. Begitu juga dengan masyarakat di daerah-daerah lain. Dengan meng- ganti prinsip keindahan dengan prinsip keberartian sebagai nilai karya sastra ini, maka Arief memberikan argumen dan justifikasi lebih lanjut bagi sastra kontekstual yang diajukannya. Yang tak kalah penting, di sini sekali lagi Arief menegaskan penolakannya atas sastra universal, seraya menekankan lagi perlunya sastra kontekstual. Dia mengemukakan lagi pendiriannya bahwa tidak ada sastra universal, tidak ada nilai yang benar-benar universal. Namun masalahnya adalah bahwa pandangan sastra universal —yang notabene dianut oleh kelas menengah kota— sedemikian dominan, bahkan, kata Arief, “... yang kita hadapi sebenarnya adalah diktatur nilai sastra kelas menengah.” Pendirian Arief jelas: “Yang ada adalah nilai yang kontekstual.” Merumuskan pendirian ini, dia mengatakan bahwa dalam sastra kontekstual para sastrawan sadar benar bahwa dia mencipta

550 Jamal D. Rahman dkk. untuk kelompok konsumen tertentu. Selanjutnya Arief mengatakan pula, “Dia tidak berpretensi bahwa karya sastranya akan dinikmati oleh seluruh umat manusia, karena dia sadar dia bukan seorang superman yang dapat terbang ke luar dari kenyataan konteks sejarah.” Gagasan sastra kontekstual ini mendapat liputan relatif luas dari media massa cetak, antara lain Horison, Kompas, Pikiran Rakyat, Berita Buana, Surabaya Post, dan Suara Karya. Di samping itu, topik ini kerap menjadi pembicaraan dalam forum atau diskusi sastra. Lebih dari itu, ia juga mendapat tanggapan luas dari para sastrawan, sarjana, dan kritikus sastra. Tak kurang dari 18 esai di berbagai media cetak mendiskusikan topik ini, baik pro maupun kontra, melibatkan tokoh-tokoh seperti Umar Kayam, Satyagraha Hoerip, Abdul Hadi W.M., Korrie Layun Rampan, Jakob Sumardjo, Afrizal Malna, dll. Sebagian mendiskusikan segi- segi teoritis dan “ideologis” gagasan tersebut; sebagian lagi menerapkannya sebagai metode kritik sastra atau, tepatnya, membahas karya sastra secara kontekstual sebagaimana disarankan Arief. Cukuplah di sini dikutip satu tanggapan, yaitu tanggapan Umar Kayam, untuk memberikan sedikit gambaran tentang polemik sastra kontekstual ini. Dalam esainya yang berjudul “Sastra Kontekstual yang Bagaimana?”, Umar Kayam (1985) mengemukakan 3 poin keberatan atas pendapat Arief. Pertama, benar bahwa masyarakat kita berkelompok- kelompok, tetapi kurang benar jika dikatakan bahwa apa yang berarti bagi masyarakat Jawa di desa, misalnya, relatif sama. Bagaimanapun masyarakat tidaklah tunggal selera,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 551 tidak sama citarasanya. Masyarakat desa pun, bahkan masyarakat desa Jawa saja, tidaklah tunggal: ada yang me- miliki radio; ada yang memiliki tivi; ada yang memiliki honda bebek, dan seterusnya. Sebagiannya menjadi bagian dari ekonomi nasional; menjadi bagian langsung dari pertanian nasional; menjadi bagian dari gaya hidup kota; menjadi bagian langsung dari bahasa nasional. Semua itu menentukan citarasa, selera, dan tentang apa yang berarti dan apa yang tidak berarti bagi mereka. Kedua, benar bahwa sastra Indonesia modern berkem- bang dengan pengaruh sastra (kelas menengah) Barat, tetapi kurang benar jika perkembangan itu dibayangkan sebagai satu arah dari Barat ke Timur, hingga menjadi “kebarat- baratan”. Sastra Indonesia pada hakekatnya merupakan proses perkembangan yang tengah belajar memakai bahasa nasional yang baru dan menerjemahkan berbagai pema- haman tentang nilai-nilai baru, baik dari Barat maupun dari Indonesia sendiri. Sebagaimana aspek-aspek kebudayaan lain, sastra Indonesia modern adalah hasil ramuan dari dialog antarberbagai nilai dalam bahasa Indonesia yang sangat cair kedudukannya sebagai bahasa sastra. Ketiga, tentang sastra Indonesia modern sebagai diktator nilai kelas menengah kota. Pendapat Arief ini benar hanya apabila dia mendudukkannya dalam perspektif perkembang- an budaya kota sebagai pelopor perkembangan kebudayaan Indonesia modern. Sebab, di mana pun pertumbuhan dan perkembangan budaya baru atau modern hampir selalu dimulai dari kota untuk selanjutnya merembes ke desa. Sebagaimana unsur-unsur kebudayaan lain, kesusastraan

552 Jamal D. Rahman dkk. juga tumbuh dan berkembang di kota untuk selanjutnya merembes ke desa-desa. Tentu saja kelas menengah kota mendiktekan citarasa dan selera mereka, termasuk dalam hal sastra. Tapi bagaimanapun pendiktean kelas menengah kota kita adalah pendiktean yang encer saja kualitasnya. Maka, kalau Arief mengajukan sastra kontekstual, bagi Umar Kayam persoalannya adalah “sastra kontekstual yang bagaimana?”. Masyarakat Indonesia tengah mengalami perubahan dan guncangan budaya dalam proses menuju masyarakat modern. Sebagaimana banyak orang-orang desa bergerak ke kota, menjadi masayarakat kota, demikian pula banyak sastrawan berasal dari desa dan menjadi bagian dari budaya kota. Mereka adalah pejalan budaya ulang-alik (cultural commuters) antara (budaya) desa dan (budaya) kota, dan hal itu tercermin dalam banyak karya sastra Indonesia, seperti karya Linus Suryadi A.G, Emha Ainun Nadjib, Mangunwijaya, Korrie Layun Rampan, dan Chairul Harun. Maka, kata Umar Kayam (1985 [1985: 236]):

Dari sudut ini semua... kesusastraan Indonesia modern... adalah sastra kontekstual. Dan dari dulu pun kesusastraan modern kita sudah konsekuen kontekstual! Karena sudah selalu berpijak pada bumi kita sendiri. Sastra kita itu selalu kontekstual karena ia kontekstual dengan kondisi masyarakat kita yang memang sedang digoyah oleh dinamika perubahan dahsyat. Perubahan dahsyat yang memang kita niati dan kita kehendaki!

Menjawab Kayam, Arief (1985b) mengatakan bahwa tanggapan Kayam merupakan perpaduan antara kesalah- fahaman dan langkah maju bagi polemik sastra kontekstual. Kesalahfahamannya adalah Kayam seakan menuduh

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 553 bahwa, dalam pandangan sastra kontekstual, sastra Indonesia tidak kontekstual. Arief menegaskan, tesis sastra kontekstual sebenarnya sederhana, “yakni bahwa pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual.” Dengan tesis ini, maka sastra menyadari keterbatasannya sekaligus kekuatannya. Keterbatasannya adalah bahwa ia tidak bisa hidup di luar publik penikmat atau pembacanya. Sastra diciptakan untuk penikmat atau kalangan pembaca tertentu, dan tidak bisa lepas dari publik penikmatnya itu. Tak ada sastra yang bisa dinikmati oleh semua orang di segala zaman, sebagaimana diyakini pandangan sastra universal yang, menurut Arief, utopis. Kekuatannya adalah, dengan menyadari keterbatasannya tersebut, para sastrawan dipaksa untuk menyadari kelompok penikmat karyanya, dan mencipta berdasarkan nilai-nilai nyata yang hidup di kalangan publik penikmat tersebut. Dengan demikianlah sastra jadi kontekstual. Selanjutnya, Arief mengakui bahwa pertanyaan Kayam tentang “sastra kontekstual yang bagaimana?” merupakan langkah maju. Dengan pertanyaan tersebut, kata Arief, sastra Indonesia perlu dikaji kembali dengan melihat atau meletakkannya dalam konteks sosial-historisnya. “Kita akan memasuki sebuah daerah penelitian sastra yang menarik, di mana studi mengenai estetika bertemu dengan studi mengenai masyarakat, baik aspek sosial, ekonomi, maupun politiknya.” Dan itu, kata Arief lagi, secara embrional sudah dilakukan oleh Kayam sendiri dalam esainya tersebut. Dengan demikian, penelitian sastra dengan pendekatan kontekstual sejatinya merupakan kegiatan lanjutan, yang akan memperjelas bagai- mana bentuk dan wujud kontekstual setiap karya sastra.

554 Jamal D. Rahman dkk. Tapi diskusi atau polemik masih berkisar sekitar pematangan konsep dasar sastra kontekstual yang terus dielabori. Perlulah di sini dikemukakan pemikiran lebih lanjut tentang asumsi-asumsi dasar sastra kontekstual yang dikemukakan Ariel Heryanto, kolega Arief Budiman khususnya dalam polemik ini. Ariel Heryanto memberikan argumen yang sangat mendasar bagi gagasan sastra kontekstual vis a vis sastra universal, dua paham yang dari awal memang diposisikan sebagai berhadapan. Pertama- tama dia (1985c) membedakan antara karya sastra dan hakikat sastra. Sementara karya sastra bersifat material (yang dapat dibaca, dipegang, atau dibakar), hakikat sastra bersifat non-material. Hakikat sastra ada dalam fikiran sebagai kategori yang membedakan apa yang “sastra” dan apa yang “bukan sastra”. Menurut Ariel, sastra universal dan sastra kontekstual memiliki pandangan dasar yang berbeda, bahkan berten- tangan, menyangkut hakikat sastra dan hubungan antara hakikat sastra dan karya sastra. Faham universal meyakini bahwa hakikat sastra bersifat universal, yakni hakikat tunggal yang seragam untuk segala masyarakat dari segala zaman. Meskipun paham universal mengakui keragaman karya sastra, ia meyakini bahwa karya sastra yang beragam dan berbeda-beda itu bagaimanapun berasal dari sumber yang sama, yaitu hakikat sastra yang universal dan abadi. Karya sastra dipandang sebagai penjelmaan fana dari sumber yang universal dan abadi itu. Nah, paham kontekstual tidak mempercayai adanya hakikat sastra yang bersifat universal. Bagi paham konteks- tual, karya sastra bukan bersumber dari hakikat sastra

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 555 universal, melainkan dari konteks sosial-historis, yaitu rangkaian peristiwa konkret dan tingkah laku manusia, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan berbeda-beda dari satu ke lain tempat. Karenanya, dalam paham kontekstual, hakikat sastra dibentuk oleh perilaku konkret manusia yang berbeda-beda, sehingga hakikat sastra pun berbeda-beda sesuai dengan konteks sosial-historis berikut batas-batas ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, sastra konteks- tual tidak saja mengakui keragaman karya sastra, melainkan juga mengakui keragaman hakikat sastra. Dari uraian di atas kiranya dapat difahami bahwa pada kenyataannya gagasan sastra kontekstual bukanlah suatu gagasan yang bulat dan utuh. Bukan gagasan yang sudah jadi dan matang sejak mula. Ia dirumuskan terus-menerus sepanjang perkembangan polemik, rumusan mana secara perlahan-lahan memperjelas, memperdalam, dan memper- kuat gagasan pokoknya. Demikianlah maka berbagai tang- gapan terhadap gagasan ini merupakan lawan tanding yang langsung atau tidak turut mempertajam gagasan sastra kontekstual.4 Hal ini menunjukkan bahwa sastra kontekstual sesungguhnya merupakan konsep yang “terbuka” bagi kemungkinan-kemungkinan elaborasi atas prinsip-prinsip dasar sastra kontekstual itu sendiri.

***

4 Dalam kata-kata Arief Budiman sendiri (Untung Suhendro, 1996: 32), “Saya ini senang pada yang hidup dan berdialektik. Serangan mereka mengundang dialog, itu saya pikir baik dan menyuburkan. Jadi saya senang sekali pada orang-orang yang tidak senang dengan sastra kontekstual, karena dari sini sastra kita jadi hidup dan dinamis.”

556 Jamal D. Rahman dkk. Membaca sepak terjang dan kiprah Arief Budiman di dunia sastra adalah membaca sumbangan seorang aktivis sosial-politik, yang secara sadar mengambil profesi ilmuwan dan akademisi non-sastra, terhadap sastra Indonesia modern. Sejak muda pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941, ini sadar bahwa dia menaruh minat dan perhatian pada seni dan budaya Indonesia, khususnya sastra Indonesia modern, dan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas kesenian. Posisinya sebagai aktivis dan ilmuwan, langsung atau tidak, sedikit banyak menentukan pandangan dan sikapnya di dunia kesenian, khususnya sastra. Pandangan dan pemikirannya tentang ganzheit sebagai metode kritik seni (sastra) jelas dipengaruhi oleh satu aliran dalam psikologi. Hal itu tidak mengherankan, sebab dia memang mengambil studi psikologi di Universitas Indonesia hingga dia meraih sarjana (1968). Sementara itu, pandangan dan pemikirannya tentang sastra kontekstual dipengaruhi oleh disiplin ilmu sosial, paling tidak untuk sebagian. Yang tak kalah menarik adalah caranya memposisikan diri di arena “politik” pemikiran sastra (di samping di arena sosial dan politik), yang dapat dijelaskan oleh posisinya sendiri sebagai seorang aktivis sosial. Dia cenderung mengambil posisi di seberang jalan kekuatan budaya (dan politik) yang tengah dominan. Dengan cara itu dia bersikap kritis terhadap kekuatan-kekuatan budaya yang dominan, seraya mengajukan alternatif demi menghindari kemungkinan kekuatan dominan itu menjadi mutlak, bahkan meskipun kekuatan dominan tersebut pada mulanya muncul atas dukungannya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 557 Demikianlah ketika kritik analitis cukup dominan di arena pemikiran dan kritik sastra Indonesia, dia mengajukan ganzheit sebagai metode kritik. Demikian juga ketika sastra universal begitu dominan, dia mengajukan sastra kontekstual. Perlu diingat bahwa Arief Budiman adalah salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan (1963), paham yang menganut sastra universal. Dengan demikian pada mulanya Arief adalah pendukung sastra universal, yaitu ketika paham tersebut berada dalam tekanan politik Lekra yang sangat kuat terutama berkat dukungn politik Orde Lama. Tetapi ketika sastra universal berkembang menjadi paham yang begitu kuat dan dominan, dia pun mengajukan alternatif lain, bahkan melawan gagasan yang dulu disokongnya itu. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa tawaran yang diajukannya dalam kritik dan pemikiran sastra mendapat sambutan relatif luas, baik pro maupun kontra, dan menjadi bahan diskusi atau polemik hingga beberapa tahun kemudian. Dapatlah dikatakan bahwa gagasan- gagasannya merangsang pemikiran baru dalam belantika sastra Indonesia modern, dengan segala pendukung dan penentangnya —dan semuanya menunjukkan pengaruh pemikirannya.[]

Kepustakaan

A Teeuw. 1989. Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. Arief Budiman. 1968. “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni”, dalam S. Effendi dkk. 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Esai ini semula dimuat

558 Jamal D. Rahman dkk. dalam Horison, April 1968, kemudian dimuat pula dalam Ariel Heryanto (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Arief Budiman. 1969. “Beberapa Wadjah dari Tjerita Pendek Usamah: Sebuah Penilaian Ganzheit”, dalam Horison, April 1969. Arief Budiman. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya. Arief Budiman. 1984a. “Sastra yang Berpublik”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985a. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Arief Budiman. 1984b. “Sastra Kita yang Kebarat-baratan”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Esai ini semula merupakan makalah dalam Temu Redaktur Budaya se-Jawa dan Temu Sastrawan se-Jawa Tengah di Semarang, 21-22 Desember 1984, kemudian dimuat dalam Minggu Ini, 6 Januari 1985. Arief Budiman. 1985a. “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Esai ini semua dimuat dalam Horison, Januari 1985. Arief Budiman. 1985b. “Sastra Kontekstual: Menjawab Kayam”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Esai ini semula dimuat dalam Horison, Juni 1985. Ariel Heryanto (editor). 1985a. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Ariel Heryanto. 1985b. “Sastra ‘dan’ Politik (Sebuah Upaya Memahami Persoalan Kesusastraan Mutakhir di Indonesia)”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Ariel Heryanto. 1985c. “Memahami Sastra Secara Kontekstual”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985a. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Esai ini semula merupakan makalah yang disampaikan dalam acara Pesta Sastra ’85 di Bandung, 28 Arpril 1985.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 559 Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. 1968. “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian”, dalam S. Effendi dkk. 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Goenawan Mohamad. 1967. “Dari Warna Ungu Cerita Pendek s.d. Sajak- sajak Diafan”, dalam S. Effendi dkk. 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Esai ini semula dimuat dalam Horison, Maret 1967. J.U. Nasution. 1968. “Pendirian Atas Pendirian tentang Kritik Sastra”, dalam S. Effendi dkk. 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rachmat Djoko Pradopo. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. S. Effendi. 1968. “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian Lagi”, dalam S. Effendi dkk. 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sutisna Adji. 1965. “Pengertian yang Salah terhadap Metode Analitik dalam Kritik Puisi”, dalam S. Effendi dkk. 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Esai ini semula dimuat dalam Indonesia, Juli 1965. Umar Kayam. 1985. “Sastra Kontekstual yang Bagaimana?”, dalam Ariel Heryanto (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Esai ini semula dimuat dalam Horison, Februari 1985. Untung Suhendro. 1996. “Wawancara dengan Arief Budaman: Sastra Kontekstual dan Manikebu”, dalam Horison, Januari 1996.

560 Jamal D. Rahman dkk. Arifin C. Noer Sastra Lakon yang Indonesia

AGUS R. SARJONO

ika kita menyebut naskah lakon yang Indonesia, maka Jbisa kita katakan Arifin C. Noer lah yang “pertama” menuliskannya. Memang beberapa penulis Belanda —F. Wiggers, Victor Ido, misalnya— maupun Tionghoa —Kwee Tek Hoay, Nyoo Cheong Seng, Tio Jr. misalnya— telah me- nulis sejumlah naskah lakon yang mengesankan.Demikian pula dengan penulis Indonesia seperti Roestam Effendi dan Sanusi Pane, misalnya. Meskipun demikian, naskah lakon yang ditulis dan dipentaskan di masa zaman Orion dan Dardanella1 umumnya merupakan saduran dari hikayat atau kisah populer Arab, Parsi, India, China, atau Eropa. Beberapa waktu kemudian naskah lakon yang lebih baku dan tekstual, yakni naskah lakon yang menjadi pegangan “resmi” pemen- tasan teater, pun ditulis dengan hasil meyakinkan sebagai- mana dilakukan oleh sastrawan seperti Kwee Tek Hoay,

1 Untuk suasana awal kehidupan teater di Indonesia masa Hindia Belanda, lihat misalnya Jakob Sumardjo, “Teater Indonesia Era 1900 – 1945” dalam Tommy F. Awuy (ed.), Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 561 Sanusi Pane, bahkan di masa revolusi oleh Utuy Tatang Sontani, Idrus, Usmar Ismail, dan lain-lain. Problem-pro- blem yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia diangkat dalam lakon-lakon yang mereka tulis. Pengaruh dramawan barat seperti Shakespeare, dan terutama dramawan realis seperti Ibsen dan Chekov, misalnya, telah mestimulasi lahir- nya lakon-lakon drama yang kuat dan mampu bertahan hingga saat ini. Penulisan lakon tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari perikehiduan teater yang marak pada saat itu. Suatu naskah lakon kadang kala melayani keperluan pementasan teater dan dengan demikian ditulis dengan mempertimbang- kan dramaturgi dan gaya teater yang berkembang saat itu. Namun, tidak jarang juga suatu naskah lakon ditulis justru untuk "melawan" dan menyajikan alternatif alias tandingan bagi perikehidupan teater di zamannya. Kebanyakan lakon yang ditulis Kwee Tek Hoay, misalnya, merupakan perla- wanan atas kecenderungan berteater yang marak di kalang- an peranakan Tionghoa. Demikian pula dengan naskah lakon yang ditulis Utuy dan Usmar Ismail serta Asrul Sani. Sekalipun demikian, dilihat dari segi lakon teater, apa yang mereka capai merupakan rintisan bagi lahirnya naskah lakon yang Indonesia. Demikian pula dengan gaya bertea- ternya. Tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa Rendra lah yang dengan memuaskan telah "mengindonesiakan" pertunjuk-kan teater di tanah air. Tak peduli apapun repertoir yang di-pentaskan, Rendra telah mementaskannya secara "Indone-sia". Jika Rendra tokoh yang berhasil mengindone- siakan teater di tanah air, maka dapat dikatakan bahwa Arifin C. Noer lah yang telah mengindonesiakan naskah

562 Jamal D. Rahman dkk. lakon di tanah air. Lakon-lakon yang ditulis Arifin C. Noer mulai dari Kapai-Kapai sampai Interogasi merupakan sastra lakon yang dengan mudah dapat dirasakan sebagai sesuatu yang Indonesia: tema, suasana, gaya, dan citarasanya. Secara dramaturgi, tidak dapat dinafikkan bahwa Arifin C. Noer jelas mendapat pengaruh dari Bertolt Brecht, drama- wan Jerman yang menjadi penggagas apa yang disebut de- ngan epic theatre. Epic theatre dikembangkan Bertolt Brecht sebagai perlawanan dan kritiknya yang keras terhadap teater realis dan metode berteater yang dikembangkan Stanislavski.2 Brecht beranggapan bahwa metode Stanislavski hingga per- kembangannya di Hollywood telah menjadikan teater sebagai pabrik impian.3 Secara sederhana, teknik pemeranan dalam metode Stanislavski disebut sukses jika seorang aktor menjadi sosok yang diperankannya. Lewat magical if, seorang aktor (mahasiswa, pegawai kantoran, makelar tanah, dsb.) mem- posisikan diri pada posisi sosok karakter yang hendak diperan- kan (debt collector, perwira tentara, politisi busuk, rentenir, anggota teroris, play boy yang patah hati, dsb.). Hal ini dilaku- kan dengan mengidupkan andaian kreatif seolah-olah sang

2 Metode teater dan pemeranan Stanislavski inilah yang kemudian mempengaruhi apa yang disebut sebagai teater realis. Metode Stanilavski dipopulerkan di Amerika Serikat oleh muridnya, Boleslavsky, hingga berkembang dan melahirkan Actors Studio yang didirikan oleh Elia Kazan, Cheryl Crawford, Robert Lewis, dan Anna Sokolow. Lee Strasberg bergabung kemudian dan memberi pengaruh luas pada perfiman Hollywood. Actors Studio kini dipimpin oleh Al Pacino. Untuk mengenal lebih jauh metode ini, periksa Konstantin Stanislavsky, Persiapan Seorang Aktor, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). 3 Bahkan ungkapan ini oleh Bertolt Brecht dijadikan judul salah satu puisinya yang mengkritik teater dan film, lihat Bertolt Brecht, Zaman Buruk bagi Puisi (Diterjemahkan dan dieditori oleh Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser), (Jakarta: Horison, 2006)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 563 pemeran adalah yang diperankan. Makin meyakinkan —dan makin penonton percaya— bahwa pemeran adalah sosok yang diperankan, maka makin berhasil lah pemeran tersebut. Sementara Brecht justru menghendaki pemeran tidak mem- buat penonton hanyut dalam ilusi tersebut hingga tergoda untuk mempercayai bahwa apa yang terjadi di panggung tea- ter adalah sama dengan kehidupan nyata. Dengan itu Brecht menghendaki aktornya melakukan tindak pengasingan. Efek pengasingan (verfremdungseffekt), bertujuan agar penonton tidak terserap sepenuhnya dalam dunia fiksional (yang ilusif, menurut Brecht) dan tetap menyadari bahwa tontonan teater adalah tontonan teater, bukan pelarian dari kehidupan nyata. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mencapai efek ini, misal- nya dengan membuat gedung pertunjukkan —dan bukan hanya panggung– terang oleh cahaya, membuat seorang pemeran sekaligus memainkan berbagai peran berbeda, memperlihatkan bahwa pemeran juga ikut mengatur set per- tunjukkan, bahkan ke luar dari peran dan berbicara langsung dengan penontonnya.4 Bertolt Brecht sendiri dalam menemukan dan menggagas pemikiran teaternya banyak dipengaruhi oleh teater Asia, khususnya China. Apa yang menjadi acuan pemikiran Brecht tersebut sebenarnya telah hidup dan mentradisi dalam keba- nyakan teater di Nusantara seperti lenong, longser, masres, ludruk, dan sebagainya. Maka, tidak mengherankan jika Arifin

4 Lebih jauh lihat Bertolt Brecht, “A Short Organum for the Theatre”, dalam John Willett (ed. & trans), Brecht on Theatre: The Development of an Aesthetic, (London: Methuen, 2006). Judul asli Kleines Organon für das Theater.

564 Jamal D. Rahman dkk. C. Noer setelah mendapat inspirasi dari Bertolt Brecht segera merasakan bahwa apa yang digagas Brecht memiliki kesamaan dengan khasanah teater tradisi di Nusantara, dan oleh sebab itu ia pun mulai menggali ke sumber tradisi teater Nusantara, khususnya teater tradisi di tanah kelahirannya, Cirebon. Maka, Arifin C. Noer pun mulai menulis lakon-lakon sendiri yang bersuasana, berlatar, bergaya ucap "Indonesia". Teater tradisi dan pemikiran teater Barat, khususnya Brecht, berjalin berkelindan dalam garapan teater Arifin C. Noer dan terlihat jelas pada naskah-naskah lakon yang ditulisnya. Hal ini sudah terlihat pada lakonnya Kapai-kapai. Drama ini mengisahkan seorang jelata yang didera oleh judi buntut. Fakta dan fiksi berbaur dalam lakon ini, demikian pula gaya realis dan dongeng. Drama ini dibuka dengan suasana dongeng:

Dongeng Emak Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-tombaknya mengepung istana cahaya itu, sang Pangeran Rupa- wan menyelinap diantara pokok-pokok puspa, se- mentara air dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun sang Putri Jelita, dengan debaran jantung dalam dadanya yang baru tumbuh, melambaikan setangan sutranya dibalik tirai mer- jan, di jendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang-dayangnya. Melentik air dari matanya bagai butir-butir mutiara. Abu : Dan sang Pangeran, Mak? Emak : Dan Sang Pangeran, Nak? Duhai, seratus ujung tom- bak yang tajam berkilat membidik pada satu arah; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran ce- mas, air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya, dan....

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 565 Abu : Dan Sang Pangeran selamat, Mak? Emak : Selalu selamat. Selalu selamat. Abu : Dan bahagia dia, Mak? Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia. Abu : Dan sang Putri, Mak? Emak : Dan sang Putri, Nak? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Sang Pangeran dalam mimpi yang sangat panjang, diam seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu penuh cahaya. Abu : Dan bahagia, Mak? Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia. Majikan: Abu! Emak : Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore. Abu : Sang Pangeran juga tidur sore-sore, Mak? Emak : Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng. Kau seperti Sang Pangeran Rupawan. Namun suasana dongeng, suasana fiksional yang "ilusif" segera diperhadapkan dengan kenyataan yang dialami Abu dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana di bawah ini:

SETELAH IA MENGENAKAN PAKAIANNYA SEBAGAI PESURUH KANTOR TERDENGAR GEMURUH SUARA PABRIK Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan.

566 Jamal D. Rahman dkk. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan. Majikan : Abu! Abu : Hamba, Tuan. Majikan : Bangsat kamu! Kerja sudah hampir tiga tahun masih saja kamu melakukan kesalahan yang sama. Lebih bodoh kamu dari pada kerbau.

Dunia dongengan dengan pangeran yang happily ever after itu, dikonfrontasikan dengan dunia nyata yang keras bagi seorang buruh yang di Indonesia nyaris tidak dapat menggapai kehidupan yang happily ever after, jika bukan justru tragedy ever after. Dalam Kapai-kapai, yang modern dan yang tradisi bercampur baur, yang teater rakyat dan teater sekolahan berpadu; yang gaya teater Dardanella dengan gaya kelompok Maya dikocok merata. Di tengah drama modern Indonesia yang "realis" itu tiba-tiba muncul bagian semacam ini dalam naskah drama Kapai-kapai Arifin C. Noer:

Raja Jin :Hahaha. Akulah raja jin. Jin Bagdad namaku. Aku telah curi Putri Cina paling ayu. Aku mau persun- ting dia jadi permaisuriku. Putri Cina :Akulah Putri Cina yang malang. Yang baru saja tidur bermimpi di atas ranjang. Mimpi bercumbu dengan seorang Pangeran dari Jepang. Begitu sedang meluap nafsuku dadanya yang lapang. Dan tangan Pangeran membelai rambutku yang panjang. Tiba-tiba si bandot Raja Jin dari Bagdad datang. Tak dinyana ia sekonyong bertengger di jendela, di atas permadani terbang. Aduh Tuhan- ku Yang Maha Kuasa, tolonglah hambamu yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 567 maha malang. Dari cengkeraman dan ciuman Raja Jin yang berkumis panjang. Raja Jin :He Putri Cina Ayu. Putri Cina :Tolong. Raja Jin :He Putri Cina Ayu. Putri Cina :Tolong. Raja Jin :Lihatlah bulan di atas sahara dan bintang bertebar bagai pijar bara. Lihatlah daunan kurma melam- bai tanpa suara. Dan wahai jernih airnya tenang tak bertara. Itulah semua lambang aku punya gai- rah asmara. Kuadukan kini dendam nafsuku tanpa pura-pura. Dihadapanmu he Putri Cina bak Si Gahara. Putri Cina :Tolong. Maling. Raja Jin :Akulah Gatotkoco gandrung. Putri Cina :Maling. Raja Jin :Akulah Romeo. Putri Cina :Maling. Raja Jin :Akulah Pronocitro. Putri Cina :Maling. Raja Jin :Akulah Qais yang dahaga di atas sahara. Putri Cina :Tolong. Pangeran :Tenang, tuan-tuan. Tenang! Jangan takut. Jangan cemas. Tuan-tuan Pangeran Rupawan telah ber- ada dihadapan tuan-tuan. Inilah lakon yang seca- ra bahagia akan diselesaikan dengan pertarungan seru dan penuh ketegangan. Antara Raja Jin Bag- dad dan aku Sang Pangeran Tampan. Tenang tuan-tuan. Putri Cina Ayu akan kuselamatkan. He hidung belang. Jangan ganggu wanita itu. 5

5 Inilah perwujudan dari teater perkotaan zaman Orion dan Dardanella yang melambungkan para aktor seperti Anjasmara, Tan Tjeng Bok, Mis Tjitjih dsb. Arifin memasukkan kembali semua itu sebagai sesuatu yang mengejutkan bagi perteateran maupun sastra drama Indonesia saat itu.

568 Jamal D. Rahman dkk. Sedangkan Orkes Madun dibuka dengan dialog semacam ini:

MEREKA SEMUA MENYANYIKAN LAGU KEBANGSAAN. SAYA TIDAK TAHU APAKAH MEREKA KHUSYUK TIDAK DALAM MENYANYIKANNYA.

DUA

BADUT PERTAMA Tuhan, kedua belah tangan yang kotor ini adalah tangan bumi, dan tangan ini memohon ampun atas segala perbuatan yang tidak pernah jelas mengandung dosa atau kebajikan; kalimat- kalimatmu terlalu tinggi mutu sastranya, sehingga tidak terla- lu jelas isi maksudnya. Karena itulah, kalau tangan ini meren- tang semata-mata lantaran kalimatMu. Dan apabila kelak ter- nyata tiada dosa atas perbuatan kami padahal kami telah ter- lanjur memohon ampun, maka limpahkanlah kami apa saja yang bernama berkah, entah pangan ujudnya maupun angan- angan. Sebentar, Tuhan. Para penonton yang bahagia maupun yang tidak, terlebih da- hulu sebelum ada kesalahpahaman perlu saya jelaskan bahwa ini sandiwara sungguh-sungguh sandiwara, dan ini sandiwara menyangkut masalah pencopet dan pelacur dan segala tetek bengek persoalan-persoalan lain yang terseret tidak disenga- ja dan tidak dinyana. Dan sebagai lumrahnya ini sandiwara sekedar permainan, namun sedikit banyak mengandung ke- sungguhan dan kesungguh-sungguhan, bak kehidupan itu sendiri laiknya. Dipandang dari segala sudut, sandiwara ini dijamin baik mutu- nya dan pasti disenangi oleh segala lapisan masyarakat, tua maupun muda, baik pencopet maupun pelacur, baik dokter hewan maupun dokter lainnya, baik komunis maupun mus- lim. Dan kenapa ini sandiwara pasti akan disenangi, sebab ini sandiwara dan sandiwara merupakan hiburan buat hati yang lara. Sebentar penonton. Siapa berhati lara?

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 569 BADUT KEDUA Saya

BADUT KETIGA Saya!

BADUT KEEMPAT Saya!

BADUT KELIMA Saya!!!

Hal yang kurang lebih sama terdapat dalam naskahnya Mega-mega, Kucak-kacik, dan sebagainya. Bahkan, dalam lakon psikologisnya yang cukup gelap berjudul Sumur Tanpa Dasar, hubungan pemeran-penonton-tontonan sudah tidak dibiarkan stabil dan menjelma kesatuan dunia fiksional (yang harus diwujudkan, menurut Stanislavski; yang ilusif menurut Brecht). Hubungan pemeran-penonton-tontonan sudah dimulai dengan proses pengasingan melalui ditekan- kannya bahwa ini adalah sandiwara, sebagaimana terlihat pada bagian awal Sumur Tanpa Dasar di bawah ini: JUMENA Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang. Kalau saya percaya dan bisa tidak per- caya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini.

Hampir semua lakon Arifin C. Noer ditulis bukan sebagai closet teater (drama yang ditulis untuk dibaca dan nyaris tak dapat dipentaskan) melainkan sebagai drama untuk dibaca dan terutama dipentaskan. Dalam hampir semua lakon Arifin C. Noer cerita, peristiwa, diskusi wacana, dan

570 Jamal D. Rahman dkk. bahkan spektakel disusun sedemikian rupa sebagai sebuah tontonan sehingga manakala diskusi serius berlangsung, dan penonton terancam bosan, adegan selanjutnya langsung berupa spektakel “yang menghibur”. Demikian pula sebalik- nya. Saat tawa dan hiburan berlangsung seru, adegan yang kemudian menyusul adalah bagian yang serius. Arifin C. Noer memiliki kecermatan luar biasa dalam mengatur — meminjam istilah wayang— suluk, kisahan, dan goro-goro secara seimbang. Hampir semua drama Arifin C. Noer terke- mas dengan baik untuk dipentaskan sehingga kelompok mana pun yang mementaskannya ia hanya bisa menjadi bagus atau jelek, namun jarak bisa membosankan karena naskah itu sendiri sudah tersusun sebagai bahan tontonan yang padu. Hanya kelompok teater yang benar-benar luar biasa buruk dan malas yang mampu mementaskan naskah Arifin C. Noer sebagai tontonan yang membosankan. Dilihat secara tematik, nyaris semua karya Arifin C. Noer mengurus tema ketidakadilan sosial, modernitas versus tradisi, yang duniawi versus yang ukhrawi, yang pedesaan versus perkotaan. Bahkan, secara bentuk pun Arifin C. Noer memperhadapkan yang tradisi dengan yang modern, yang fakta dengan yang fiksi, yang mengkota dan yang kam- pungan. Tema dan permasalahan yang diangkatnya boleh jadi universal, namun suasana dan cita-rasanya Indonesia. Tema rakyat miskin yang diperhadapkan dengan ketidak- pedulian kaum kaya, merupakan tema yang berkali-kali muncul dalam drama-drama Arifin C. Noer. Dalam drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil, misalnya, Arifin C. Noer menggambarkan kontras tersebut dengan tajam. Setelah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 571 menampilkan kehidupan rakyat miskin –yang ternyata juga kadang menipu rakyat miskin lain sekadar untuk dapat makan, juga bagaimana ganasnya rakyat miskin yang frustasi tersebut pada sesama rakyat miskin— drama ini ditutup dengan menampilkan kehidupan sebuah keluarga kaya. Demikianlah ia digambarkan:

TUAN E... kau lupa kata Profesor Sumarjo. Besok herder kecilnya akan bertamu kemari. Beliau akan menawarkan anjing kecil itu agar dapat menggantikan Tony.

NYONYA Saya mau diam tapi kau harus melakukan permintaanku.

TUAN Apa saja, apa saja asal kau mau diam.

NYONYA Betul? TUAN Asal kau diam sayang.

NYONYA Tapi kau mau berjanji akan meluluskan apa saja pintaku?

TUAN Tidak ada alasan untuk tidak mengabulkan segala permin- taanmu.

NYONYA Saya sudah diam sekarang, kau harus melakukan apa saja yang kukatakan (suaminya mengangguk). Pertama kau harus me- ngabarkan kemalangan kita ini kepada tetangga-tetangga dan beberapa kenalan kita, jangan lupa undang beberapa warta- wan malam ini.

572 Jamal D. Rahman dkk. TUAN Tapi sayang.

NYONYA Kedua kau harus mengucapkan pidato pada waktu mereka datang dan waktu upacara penguburan.

TUAN Tapi sayang, itu semua.

NYONYA Akan menjadikan suatu lelucon, begitu? Dan kau anggap apa Tony?

TUAN Seekor anjing, apa lagi?

Manusia-manusia yang kelaparan dan dirundung derita, mereka tidak peduli, sementara untuk anjingnya yang mati sang nyonya mengerahkan semua perhatiannya, bahkan menginginkan upacara penguburan resmi dengan pidato dan liputan wartawan. Tema-tema seperti jelata miskin versus bos dan orang kaya, modernitas versus tradisi, global versus lokal, fakta versus fiksi, cerita versus berita, bahkan pandangan psiko- logi/kebudayaan versus struktural, menyatu dalam drama- nya Interogasi yang terdiri dari dua buah drama, yakni Dalam Bayangan Tuhan dan Ari-ari.6 Dalam drama bersambung ini, Arifin C. Noer meramu diskusi filosofis, perdebatan kritis mengenai kehidupan sosial politik dan

6 Naskah ini merupakan bagian pertama dari Interogasi. Bagian kedua berjudul Ari-Ari. Dalam Bayangan Tuhan dimuat di majalah Horison, sedangkan Ari-ari masih berupa manuskrip yang beredar di kalangan para pegiat teater.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 573 ekonomi, pendedahan situasi psikologis kaum pekerja dan juragan dengan nyanyian, gaya detektif, dan komedi satiris. Kita juga menemukan semangat teater tradisi dan pemikiran teater epik Brecht dalam lakon ini. Lakon Dalam Bayangan Tuhan dibuka dengan kehadiran sutradara. Tentu saja sutradara di sini adalah tokoh sutradara yang diperankan oleh seorang aktor dan bukan sutradara yang menyutradarai pertunjukkan tersebut, meskipun bukan tidak mungkin sutradara suatu pertunjukkan juga tampil sebagai aktor. Tokoh sutradara ditampilkan berbicara langsung pada penonton mengenai pertunjukkan yang akan dipentaskan. Perhatikan interaksi antar pemeran, interaksi pemeran dengan peran yang dimainkan, maupun interaksi mereka semua dengan para penonton, lewat kutipan di bawah ini:

SUTRADARA : Sebagai seorang sutradara saya bertanggung jawab akan kelancaran dan keberesan pementasan ini, setidak-tidaknya secara fisik. Jadi Saudara-saudara sebelum sandiwara ini saya mulai saya minta dengan sangat tapi hormat agar pihak keamanan gedung teater ini mengamankan terlebih dahulu tempat ini dan sekitarnya. Saya termasuk di antara orang- orang yang percaya bahwa kebenaran pada dasarnya tidak selaras dengan kekerasan. Barang kali ini bentuk lain dari kepengecutan, tapi saya tetap beranggapan bahwa kekerasan atau cara-cara kekerasan adalah sisa dari sifat kebinatangan manusia dari masa silam kita yang disebut oleh ahli-ahli sejarah sebagai masa prasejarah.

Berbeda dengan naluri yang lain yang bernama seks, kekeras- an itu sangat tidak menentramkan, sementara seks sebalik- nya, tetapi kecuali tentu bagi mereka yang maniak. Atau paling sedikit saya akan memilih seks daripada kekerasan walaupun kadang-kadang sama kerasnya. Pengarang sandiwara ini

574 Jamal D. Rahman dkk. termasuk di antara orang-orang yang percaya bahwa kekeras- an pada dasarnya tidak selaras dengan kebenaran. Salah satu tujuan yang paling ambisius dari sandiwaranya adalah membicarakan dan mendiskusikan kebenaran dan lebih jauh ia berharap kebenaran akan berkenan hadir di dalam pertemuan ini nanti, setidak-tidaknya semangatnya. Selain itu, juga untuk menghindari hal-hal dan kejadian- kejadian yang tidak kita inginkan bersama, dan juga terutama sekali untuk menjaga mereka-mereka yang temperamental atau yang suka kelewat emosional serta punya hobi ugal-ugal- an, maka para petugas keamanan saya minta segera melaku- kan penggeledahan atas siapa saja yang hadir di sini. Senjata apa saja, baik senjata tajam, senjata api, maupun senjata ghaib berupa sihir, guna-guna, tenung, teluh dan semacamnya harap dibersihkan dari tempat ini. Silakan. Dan sementara itu kepada para hadirin saya minta kerja sama- nya, karena jangankan negara, teater pun tak akan berlang- sung tanpa suatu kerjasama yang hangat. (Segera bermuncul- an para petugas keamanan dan segera pula mereka melaku- kan penggeledahan.)

SUTRADARA: Sengaja saya menyebutnya dengan istilah kerjasama yang hangat, karena bentuk serta sifat kerjasama itu banyak ragam- nya. Ada kerjasama yang terpaksa, kerjasama yang yang diliputi ketakutan, kerjasama yang berpola pemerasan, dan lain-lainnya. Adapun kehangatan berarti saling percaya, dan saling percaya adalah benih dari keamanan yang sejati. (Tiba- tiba di suatu sudut penonton terjadi keributan antara bebe- rapa petugas. Puncak keributan itu adalah ketika dua orang petugas akan berkelahi dan beberapa orang melerainya.)

SESEORANG: 'Kan saya petugas kenapa saya ikut digeledah? Ngawur!

SESEORANG: Lho saya kan cuma patuh kepada sutradara dan aturan di sini bahwa siapa saja tanpa kecuali musti digeledah.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 575 SESEORANG: La situ siapa yang menggeledah?

SESEORANG: Ya situ!

SESEORANG: Lho kok gitu?

SESEORANG: Ya memang gitu!

SUTRADARA: Sebentar, sebentar. Kok malah yang terjadi anarkhi. Ini bukan kehangatan lagi. Tapi malah terlalu hangat.

SESEORANG: Tapi saya betul, 'kan? Tanpa pandang bulu saya geledah semua. SUTRADARA: Ya tapi hanya penonton, bukan bulu-bulu petugas.

SESEORANG: O penonton. Bilang dong sedari tadi. Bikin peraturan kok samar-samar.

SESEORANG: Sudah. Jangan panjang-panjang ngedumelnya, nanti lebih panjang ngedumelnya daripada sandiwaranya. (Kemudian sesaat sutradara melihat sekitar, tapi tak ada yang terjadi).

SUTRADARA: Sudah tentu mereka tak akan bersedia berdiri dan mencatat- kan namanya, sebab kalau demikian berarti mereka bukan profesional yang baik. Kalau begitu biarkanlah untuk semen- tara kita bermimpi sejenak seolah-olah dunia yang cuma segelintir ini sedang hidup dalam zaman maha tentram maha

576 Jamal D. Rahman dkk. sejahtera, zaman kehangatan, zaman saling percaya, zaman tanpa intel, tanpa spai, tanpa KGB tanpa CIA tanpa ketakutan. Untuk mimpi kita marilah kita semua berdoa sesuai dengan keyakinan kita masing-masing.

(Seseorang dengan biola mendekati sutradara).

SESEORANG: Musik?

SUTRADARA: Belum perlu. Sandiwara Belum dimulai. Ini doa sungguhan. (Seseorang mundur sambil minta maaf. Dan sementara itu sutradara memimpin upacara doa. Dan sementara itu pula bermunculan pemain-pemain menempatkan dirinya masing -masing).

SUTRADARA: Amin.

PARA PEMAIN: Amin. (Ketika kedengaran suara bayi menangis lampu mulai surut dan kemudian gelap sama sekali. Layar lalu diangkat sementara seluruh pemain bernyanyi, kecuali pemain San- dek dan Direktur Umum).

Dari kutipan di atas terlihat bagaimana penonton kerap diajak percaya dan menghayati kehidupan fiktif di panggung, namun pada saat yang sama selalu dicegah untuk tidak hanyut dalam dunia fiksional pertunjukkan yang dimainkan. Bahkan, pemeran dapat saja mengomentari secara langsung peran yang dimainkannya maupun keseluruhan sandiwara yang dipentaskan, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 577 SANDEK: Yang paling menyedihkan dalam lakon sandiwara ini adalah kenyataan bahwa Sandek, tokoh utama sandiwara ini, bukanlah tokoh yang riil. Sebagai tokoh fiktif tentu saja ia memiliki beberapa kelemahan dasar, seperti misalnya segi- segi historisnya. Bahkan kelahiran Sandek boleh dikatakan sebagai dipaksakan, seperti sebuah revolusi. Karena itu pada posisinya yang menurut beberapa kalangan sebagai tidak alami Sandek telah melakukan dua hal besar, yaitu melakukan penyimpangan hukum kejadian, dalam hal ini adalah me- nyimpangkan arah sejarah bangsa ini, dan kedua sekaligus ini berarti memberikan satu ciri tambahan baru pada pola kepribadian bangsa ini. Para penonton yang terhormat, sebentar lagi Sandek —yang saya mainkan dalam keadaan tanpa pegangan dan posisi yang labil, malah bisa dikatakan tidak konstan, bagai layaknya sesuatu yang berada pada tingkat prosesing— akan dihadapkan kepada Direktur Umum dari manajemen pabrik tempat Sandek bekerja sebagai buruh.

Dalam Bayangan Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan drama Ari-ari. Ari-ari dibuka dengan pertentangan antara tokoh Malin dengan tokoh Sandek yang ternyata merupakan saudara kembar. Mereka memiliki ibu yang sama, masa lalu yang sama. Sosok ibu itu sendiri merupakan simbol yang terbuka baik sebagai citra masa lalu maupun ibu pertiwi (tanah air). Sejarah (dan kesempatan) memisahkan mereka sehingga hadir berbeda: Malin menjadi direktur dan Sandek menjadi pekerja/buruh. Karena tindakan Malin yang sewe- nang-wenang terhadap kaum pekerja, Sandek dan kawan- kawan memutuskan untuk melakukan pemogokan. Semen- tara itu, Malin bersikeras mengundang Sandek berdialog. Namun, peluang dialog antara Malin dan Sandek ternyata tidak mungkin dilaksanakan sebab antara Malin dengan Sandek terdapat perbedaan bahasa dan kerangka berpikir. Malin memahami kemiskinan Sandek sebagai konsekuensi

578 Jamal D. Rahman dkk. logis dari kebodohan dan kemalasan Sandek (serta Sandek- Sandek lainnya). Sementara Sandek justru merasa miskin dan bodoh karena adanya struktur yang memiskinkan dan memperbodoh kaum Sandek. Kemiskinan dan kebodohan bukanlah sekedar kebodohan dan kemiskinan individual, melainkan kemiskinan dan kebodohan struktural. Akhirnya tercipta jarak dan kesenjangan bahasa antara keduanya. Kemiskinan Sandek dan kesangatkayaan Malin menjadikan pengertian mereka tentang banyak hal seperti: lapar, rumah, miskin, dan sebagainya, juga berbeda. Sandek kemudian memilih gagu dan bisu, karena dialog dirasanya tak mung- kin. Sandek merasa bahwa bahasa yang ada adalah bahasa milik Malin dan kaumnya. Sandek memilih mogok dan membisu. Pemogokan kaum Sandek melumpuhkan kehi- dupan masyarakat. Dari sana pula terbukti bahwa dibutuh- kan sekian banyak Sandek untuk kebahagiaan dan kemaju- an kaum Malin. Namun demikian, Malin enggan mengalah untuk menaikkan taraf hidup kaum Sandek. Ia memburu Sandek untuk berdialog, untuk memenangkan diskusi dengan telak, yang pada hakekatnya sama dengan ingin mengukuhkan sebuah pembenaran rasional bagi dirinya sendiri. Sandek akhirnya sakit dan masuk ke rumah sakit. Perlakuan rumah sakit terhadap orang kecil seperti Sandek sangatlah seenaknya. Mereka diperlakukan tidak lagi seperti manusia. Melihat Sandek menghilang dari aksi pemogokan, Malin menduga Sandek dengan lihai bersembunyi dan mengatur aksi pemogokan dari persembunyiannya. Malin menyewa detektif untuk melindunginya dan memata-matai Sandek. Makin lama sepak terjang Malin makin menjadi-jadi.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 579 Sebagai seorang modernis dengan kepercayaan tinggi kepada keunggulan manusia, ia membuat berbagai proyek teknolo- gi. Ibu Malin yang melihat Malin makin tidak peduli pada tradisi dan etik masyarakat, datang untuk mengingatkan Malin. Malin mencemoohkan ibunya dan kembali menekan- kan keunggulan manusia. Ibunya marah dan mengutuk Malin menjadi batu. Malin tetap tegak. Ibunya lah yang jus- tru berubah menjadi batu. Malin merayakan kejadian ini besar-besaran dan menjadikan patung ibunya sebagai monumen keunggulan modernitas dan teknologi. Peristiwa sang ibu yang mengutuk Malin menjadi batu dan ternyata justru ibunya lah yang berbalik menjadi batu, jelas merupa- kan pembalikan terhadap cerita rakyat asal Minangkabau yang populer dan sudah kita kenal. Hal ini, bisa saja dianggap sebagai “permainan”. Namun, dilihat dalam perspektif wacana kebudayaan di Indonesia, pembalikan tersebut bukan tidak memiliki makna yang lebih mendalam. Beberapa tahun selepas konflik Lekra versus Manifes Kebudayaan yang berakhir dengan kekalahan Lekra dan tumbangnya PKI yang disusul dengan pergantian Orde Lama ke Orde Baru, Goenawan Mohamad menerbitkan kumpulan esai Potret Seorang Penyair Sebagai Si Malin Kundang.7 Dalam esai tersebut Goenawan mengukuhkan diri sebagai Si Malin Kundang yang dikutuk oleh ibunya, oleh masa lalunya. Dengan demikian, ia menggambarkan realitas kesusastraan Indonesia modern sebagai “pengembara” yang berdiri bebas tanpa masa lalu dalam mana massa masyarakat desa meru-

7 Goenawan Mohamad, Potret Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1972).

580 Jamal D. Rahman dkk. pakan sisa peradaban masa lalu. Dengan demikian, pada dasarnya ia mengukuhkan pilihan budaya pada individualitas yang diletakkan pertama kali oleh Sutan Takdir Alisyahbana yang kemudian memancing polemik kebudayaan. Secara sastrawi, sikap budaya ini mencapai sukses literer justru di tangan Chairil Anwar. Apa yang dikemukakan Goenawan Mohamad dalam esainya tersebut merupakan peneguhan atas sikap budaya STA (era Pujangga Baru) yang berlanjut pada “Surat Kepercayaan Gelanggang” (era 45-an) dan terlihat pula jejaknya pada “Manifes Kebudayaan” (era 60-an). Sikap budaya dan sikap berkesenian ini sebelumnya sempat ber- muka-muka dengan pandangan seni Lekra. Namun, dengan tersingkirnya Lekra dari panggung politik dan budaya maka sikap budaya dan sikap berkesenian ini lah yang kemudian menjadi dominan. Tidaklah mengherankan jika selepas perseteruan Lekra versus Manifes Kebudayaan, sastra Indo- nesia di awal Orde Baru diramaikan kecenderungan menggali konflik psikologis di bidang prosa dan kecenderungan kuat pada bentuk lirik di bidang puisi, tentu dengan nafas human- isme universal. Bersama itu, arah kebudayaan Indonesiapun berjalan —meskipun tidak eksplisit dan terarah— dengan kecenderungan ekonomi bebas di satu sisi dan “ekonomi ter- kendali” di sisi lain. Namun, nyaris pasti “perpisahan” dan “keterputusan” budaya Indonesia dengan masa lalu, dan dalam beberapa hal dengan politik, makin didefinitifkan.8

8 Mengenai silang gagasan tersebut, lihat Agus R. Sarjono, “Discourse Community of Contemporary Indonesian Poetry”. Makalah dalam SEA Writers Conference, Manila, 1994. Versi bahasa Indonesia kemudian dimuat di Prisma. Masalah ini dibicarakan juga dalam beberapa tulisan dalam Agus R. Sarjono, Sastra Indonesia dalam Empat Orba, (Yogjakarta: Bentang Budaya, 2001)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 581 Belakangan Arief Budiman —salah seorang tokoh penandata- ngan Manifes Kebudayaan— mengajukan kritik sekaligus di dua tempat: sastra dan politik/ekonomi. Kritik terhadap politik/ekonomi diajukan lewat bukunya Sistem Perekonomi- an Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia, dan kritik terhadap sastra diajukannya lewat esainya “Sastra Konteks- tual”.9 Dengan demikian, pemilihan nama Malin sebagai tokoh utama Lakon Ari-ari, tentu bukan tak ada hubungannya (baik disadari maupun tidak) dengan citra Malin Kundang dalam cerita rakyat maupun terutama citra Malin Kundang dalam esai Goenawan Mohamad. Goenawan Mohamad yang esainya mengidentifikasi diri (dan penyair/sastrawan/ seniman modern umumnya) sebagai Malin Kundang yang dikutuk10 masa lalu dan kini mengembara dalam gundah dan bimbang tanpa masa lalu, dijungkirbalikkan oleh Arifin C. Noer. Kenyataan masa kini lah justru yang mengutuk (harapan-harapan) masa lalu menjadi batu. Berkaitan dengan wacana sastra kontekstual versus universal, Arifin C. Noer sejak awal dan makin terus me- nguat, senantiasa menjalinkelindankan keduanya. Kepeduli- an pada rakyat jelata disatu sisi diperhadapkannya dengan

9 Arief Budiman, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990). 10 Citra penyair (seniman pada umumnya?) sebagai Le poète maudit menguat sejak Chairil Anwar dan terus melekat —tebal atau tipis— pada para penyair hingga sekurang-kurangnya era 90-an. Istilah ini dicitrakan pertama kali oleh François Villon (1431-1474), namun baru meluas pada awal abad 19, terutama lewat sosok penyair seperti Charles Baudelaire, Paul Verlaine, dan Arthur Rimbaud.

582 Jamal D. Rahman dkk. penguasa ekonomi di sisi lain. Problem budaya11 (perspektif psikologi kebudayaan) yang menghambat kaum jelata di satu sisi diperdampingkan dengan ketimpangan penguasaan dan struktur masyarakat (perspektif struktural). Dalam Kapai-kapai, misalnya, kemiskinan dan penderitaan rakyat terjadi akibat keterjerumusan mereka pada judi buntut. Dan dalam Sumur Tanpa Dasar, juragan yang kaya dan gam- pang curiga, menjalani hidup makmur namun kosong jiwa dan tak bahagia. Dalam Interogasi 1 (Dalam Bayangan Tuhan) dan Interogasi 2 (Ari-ari), kaum juragan dan kaum pekerja ditampilkan sebagai saudara kembar yang dipisah- kan oleh nasib, peruntungan, dan struktur sosial-politik-eko- nomi masyarakat. Dalam Ozone, masalah lingkungan di- munculkan sebagai tema utama. Semua diskursus di atas hadir dalam banyak segi: karya sastra, umumnya hasil seni, perilaku politik, pemikiran dan ideologi ilmuwan sosial, serta pembangunan sosial di Indo- nesia. Ini semua kemudian dijadikan hypogram12 bagi Arifin bagi drama-dramanya. Adanya proses intertekstualitas

11 Kemiskinan maupun kesuksesan dalam peskpektif psikologi/kebudayaan difahami sebagai hasil individu dan ditentukan oleh besar tidaknya gairah untuk maju (need for achievement). Sedang dalam perspektif stuktural kemiskinan kerap ditentukan oleh struktur sosial yang tidak adil. Demikian pula halnya dengan kesuksesan, kerap ia diakibatkan oleh struktur yang memihak dan menguntungkan pihak tertentu. Lihat bahasan Arief Budiman, Ibid. Istilah Need for achievement (N-Ach) dipopulerkan oleh ahli psikologi bernama David McClelland. Untuk bahasan lebih jauh mengenai N-Ach, lihat David McClelland, The Achieving Society, (Free Press: New York, 1961). Pandangan atas kemiskinan sebagai hasil ketimpangan struktural dalam masyarakat menjadi pandangan utama pemikiran Karl Marx dan semua varian penerusnya. 12 Mengenai istilah hypogram dan intertekstualitas, lihat Michel Riffatterre, Semiotic of Poetry, (Bloomington: Indiana University Press, 1978)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 583 antara Ari-ari, misalnya, dengan wacana dominan sastra Indonesia terlihat jelas. Hubungan intertekstual antara Malin sebagai tokoh utama drama dengan Malin dalam cerita rak- yat serta Malin dalam esai Goenawan Mohamad cukuplah jelas. Goenawan Mohamad sendiri menjadikan kisah Malin Kundang dari tradisi Minang sebagai acuan esainya dalam upaya melihat masalah dari sudut pandang dan posisi Malin Kundang. Baik Malin Kundang dalam cerita rakyat maupun dalam esai keduanya dikutuk menjadi batu oleh ibunya. Pada drama Arifin C. Noer hal kisah tersebut mengalami pem- balikan karena sang ibu yang mengutuk anaknya menjadi batu itu justru berubah menjadi batu. Persoalan utama yang ditanggapi dan dikritik Arifin C. Noer adalah persoalan modernitas. Dalam dramanya kerap ditampilkan sosok manusia modern yang serakah, meng- halalkan segala cara, namun kesepian. Manusia modern digambarkan Arifin sebagai manusia tanpa akar, tanpa tradisi, tanpa rasa hormat pada ibu budayanya. Malin, misalnya, sebagai pengusaha sukses menghidupi era globalisasi dan meninggalkan segala bentuk tradisi. Dengan tegas Malin memposisikan dirinya sebagai manusia yang hanya percaya pada dirinya. Ia hanya percaya pada keadikuasaan manusia.13 Jika pada Jumena dalam Sumur Tanpa Dasar hal ini masih samar-samar, pada Malin dalam Interogasi hal ini diberi garis bawah. Dengan Interogasi (Dalam Bayangan Tuhan

13 Tentu hal ini mengingatkan kita pada karya besar Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. Kini beberapa karyanya dalam Also Sprach Zarathustra telah diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono. Lihat, Friedrich Nietzsche, Syahwat Keabadian, (Jakarta: Komodo Books, 2005), khususnya pengantar mendalam dari Berthold Damshäuser.

584 Jamal D. Rahman dkk. dan Ari-ari), khususnya, Arifin C. Noer melakukan kritik terhadap dominannya humanisme yang menurut Arifin tak lagi mencukupi. Malin yang percaya benar pada keunggulan manusia hingga bahkan tidak dapat dikutuk menjadi batu oleh tradisi lokal tempat ibunya berasal, ternyata diakhir drama digambarkan tidak pernah bisa berbahagia. Semen- tara kritik sosial dalam drama ini terutama ditujukan terhadap penindasan kaum majikan terhadap kaum buruh. Penindasan kaum majikan terhadap kaum pekerja tersebut bukan hanya terbatas pada ekonomi melainkan nyaris pada semua aspek, termasuk bahasa. Kaum pekerja dibuat bisu dan kehilangan bahasa karena semua dimonopoli kaum majikan. Arifin C. Noer dan kawan-kawan pada tahun 1968 men- dirikan kelompok teater yang diberi nama Teater Ketjil. Kelompok ini diniatkan sebagai sebuah teater eksperimental. Untuk membina anggota-anggotanya dan peminat-peminat lain, perkumpulan kekeluargaan ini juga memiliki kelas latihan/diskusi yang bernama Lab Teater Ketjil. Mengenai Teater Ketjil, Arifin C. Noer menyatakan sebagai berikut:

Kalau terpaksa dirumuskan konsep dasar Teater Ketjil adalah “Teater Tak Terbatas” yang mengambil ruh teater-rakyat sebagai semangatnya. Karena ‘kecil’ maka ia tak punya batas. Karena ia esensiil. Karena ia hidup. Dan karena itu pula ia bebas. Lincah.

Dalam urusan teater, tentunya juga sastra lakon, Arifin C. Noer berkali-kali menekankan tentang pentingnya aktor. Hal ini ia kemukakan baik dalam forum diskusi, dalam esai- esainya, bahkan juga dalam naskah lakonnya. Salah satunya adalah sebagai berikut:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 585 Sutradara boleh mati tapi tidak aktor. Kalau aktor mati, teater akan ikut mati. Kalau teater mati niscaya masyarakat akan kesepian dan segera akan menjadi gila. Dan kalau masyarakat gila, teater palsu akan merajalela. Dan akibatnya yang paling parah, semua warga masyarakat akan beramai–ramai main teater. Para ilmuwan akan sibuk bermain teater dan lupa akan ilmunya. Akan bermunculan Teater Ilmu, Teater Pers, Teater Agama, Teater Politik dan sejumlah teater palsu lainnya. Dan kalau keadaan jadi begini, teater sejati akan mati secara abadi. Seniman–seniman sejati juga ikut punah. Dan akhirnya ma- syarakat tidak akan pernah mampu lagi membedakan mana pemain mana penonton. Kembali primitif!14

Dengan jumlah naskah yang ditulis dan dipentaskan Arifin C. Noer dengan Teater Ketjilnya, Arifin C. Noer menjadi fenomena penting dalam sastra Indonesia, khususnya sastra lakon, pada era 70-an dan terutama 80-an. Naskah-naskah- nya banyak dipentaskan di mana-mana dan berpengaruh luas dalam penulisan lakon maupun gaya berteater. Sebelum menemukan bentuknya sendiri, Budi S. Otong dengan Teater SAE maupun Dindon dengan Teater Kubur-nya tidak bisa tidak mendapat pengaruh dari Arifin C. Noer. Pengaruh ini makin terasa pada teater dan penulis lakon yang berasal dari Teater Ketjil seperti Ikranagara dengan kelompok Teater Saja, Yusef Muldiana dengan Laskar Panggung-nya maupun Iman Soleh dengan CCL-nya. Pengaruh Arifin C. Noer juga dapat dirasakan pada naskah drama yang ditulis Arthur S. Nalan, misalnya. Apa yang disebut pengaruh di atas adalah pengaruh Arifin C. Noer pada penulisan lakon dan pertunjukan teater. Selain itu, pengaruh —yang juga terasa namun tidak terlalu terlihat jelas— terjadi lewat gagasan-gagasan dan sikap

14 Arifin C. Noer, Dalam Bayangan Tuhan. Ibid.

586 Jamal D. Rahman dkk. berteaternya. Salah satu yang sangat jelas adalah penyikapan- nya terhadap sistem teater Brecht di satu sisi dan teater-teater tradisional di sisi lain. Sikapnya yang rilek pulang-pergi antara kedua sistem teater tersebut masih ditambah dengan peman- faatan berbagai gaya teater yang populer di masa silam — seperti Orion dan Dardanella— ke dalam pertunjukan maupun naskahnya. Padahal, baik teater tradisi mau pun teater kota (juga naskah dramanya) yang populer di mata penonton dengan spaktakel-nya itu sempat dipinggirkan dan “ditolak” oleh teater sekolahan dan kaum intelektual era sebelum dan semasa revolusi kemerdekaan. Arifin C. Noer dapat membuat tradisi teater pop perkotaan maupun teater tradisi tampil menjadi sebuah kemasan baru yang dapat diterima secara meyakinkan oleh tradisi sastra Indonesia modern dan teater Indonesia modern. Perhatian pada sistem berteater Brecht dan teater tradisi Nusantara serta penggalian atas tradisi teater kota yang dipinggirkan kaum intelektual tersebut digali lebih jauh oleh N. Riantiarno dengan Teater Koma-nya15 yang juga mengha- silkan sejumlah besar naskah teater mengenai kaum miskin kota serta sejumlah besar pertunjukkan dengan lakon-lakon

15 N. Riantiarno dengan Teater Koma-nya dengan mengesankan mementaskan drama musikal Die Dreigroschenoper karya Bertolt Brecht (komposer Kurt Weill), dengan judul Opera Ikan Asin. N. Riantiarno mementaskannya juga sebagai drama musikal dengan juga memanfaatkan sebagian aransemen Kurt Weill. Selepas itu lahirlah opera-opera Riantiarno, termasuk trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini. Dalam mementaskan opera-operanya N. Riantiarno kerap berkolaborasi dengan Harry Roesli. 16 Misalnya Opera Rama-Shinta, Opera Mahabharata, Opera Anoman, Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, Republik Bagong (wayang) dan Sampek Engtay, Opera Ular Putih (kisah asal Tiongkok).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 587 yang terbuka bagi khasanah teater tradisi Nusantara, khasa- nah cerita wayang maupun khasanah kisah dari Tiongkok maupun Tionghoa peranakan.16 Pengaruh Arifin C. Noer tidak terbatas pada sastra drama maupun pertunjukkan teater melainkan juga dunia film,17 khususnya penulisan skenario film. Sebagai sineas ia telah menyutradarai sejumlah film dan mendapat piala Citra baik dalam penyutradaraan maupun terutama dalam penulisan skenario film. Ia mendapat penghargaan untuk skenarionya Pemberang, Rio Anakku, dan Melawan Badai. Pemberang dipilih sebagai skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan Arifin C. Noer mendapat piala The Golden Harvest. Film yang disutradarainya antara lain: Rio Anakku (1973), Suci Sang Primadona (1977), Petualang-Petualang (1978), Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979), Harmonikaku (1979), Serangan Fajar (1981), Djakarta 1966 (1982), Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984), Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), Bibir Mer (1991), dan Taksi (1992). Filmnya yang sangat kontroversial adalah Peng- khianatan G 30 S/PKI yang sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan seniman dan kaum terpelajar di Indone-

17 Arifin berkali-kali mendapat Piala Citra baik sebagai penulis skenario maupun sebagai sutradara. Bahkan dalam film-nya Arifin menghadirkan wajah dan citarasa yang Indonesia. Hal ini, misalnya, diakui oleh Volker Schlöndorf saat mengomentari film “Suci Sang Primadona”. Sineas yang mengangkat novel besar Günter Grass Die Blechtrommel ke layar film dan memenangkan Palme d’or dalam Festival Cannes 1979 ini, mengemukakan bahwa film Arifin C. Noer tersebut “menampil- kan sosok wajah rakyat Indonesia tanpa bedak. Arifin cermat mengamati tempat- nya berpijak.” Dalam naskah dramanya, Arifin bukan hanya menampilkan sosok wajah rakyat Indonesia tanpa bedak, melainkan menuliskannya dengan citarasa Indonesia yang tanpa bedak —atau justru dengan bedak yang sangat tebal.

588 Jamal D. Rahman dkk. sia. Film ini meledak di pasaran dan dianggap super box office, baik karena keingintahuan masyarakat maupun ter- utama karena diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru. Arifin C. Noer dilahirkan dengan nama Arifin Chairin Noer di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941. Anak kedua Mohammad Adnan ini menamatkan SD di Taman Siswa, Cirebon, SMP Muhammadiyah, Cirebon, lalu SMA Negeri Cirebon tetapi tidak tamat, kemudian pindah ke SMA Jurnalistik, Solo. Setelah itu ia kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. Kiprahnya di bidang seni sejak ia tengah duduk di bangku SMP dengan menulis cerpen, puisi, dan naskah sandiwara. Ia kemudian terjun ke dunia teater sebagai pemeran dan sutradara. Ia mulai belajar drama di bawah bimbingan Mus Mualim. Di sana ia bukan hanya belajar pemeranan melainkan juga belajar menyanyi. Ia sempat menjadi juara lomba nyanyi tingkat daerah. Namun, ia memutuskan untuk terjun sepenuhnya di dunia teater dan penulisan. Saat kuliah di Universitas Cokroaminoto, ia bergabung dengan Teater Muslim yang dipimpin Moham- mad Diponegoro. Naskahnya Mega, Mega, ditulis pada masa itu. Ia pun bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra. Selain sebagai aktor, ia pun terus menulis naskah-naskah dramanya sendiri sekaligus menyutradarainya. Belakangan ia hijrah ke Jakarta dan bersama kawan-kawannya mendiri- kan Teater Ketjil. Pada tahun 1972-1973 ia mengikuti Inter- national Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Naskah-naskah dramanya pun bermuncul- an, antara lain Kapai-kapai, Mega-mega, Sumur tanpa Dasar, Kisah Cinta dan lain-lain, Tengul, Kucak-kacik, Madekur dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 589 Tarkeni, Umang-umang, Sandek Pemuda Pekerja, Dalam bayangan Tuhan, Ari-ari, Ozone, Aa Ii Uu, Pada Suatu hari, dan lain-lain. Sebagian gagasan-gagasannya mengenai teater diterbitkan dalam buku Ideologi Teater Modern Kita (2000). Selain mendapat penghargaan dalam bidang film dan naskah drama, ia juga meraih penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia. Pada tanggal 28 Mei 1995 Arifin meninggal karena penyakit kanker hati. Dramawan dan sineas besar Indonesia ini wafat dalam usia 54 tahun.[]

590 Jamal D. Rahman dkk. Sutardji Calzoum Bachri Jalan Baru Estetika Puisi

AHMAD GAUS

alam hal eksperimentasi, puisi Indonesia dasawarsa D1970-an hampir-hampir identik dengan nama Sutardji Calzoum Bachri. Melalui puisi-puisi mantranya yang mengusung ‘pembebasan kata dari makna’, puisi Indonesia mendapatkan nafas baru setelah berpuluh tahun dibebani pesan-pesan moral dan perjuangan. Nama Sutardji kemudian tidak pernah dipisahkan dari perdebatan sastra kontemporer. Ia dianggap membawa corak baru dalam penulisan puisi yang didominasi oleh puisi lirik.1 Memang, dibandingkan puisi-puisi mainstream pada zamannya, puisi-puisi mantra ala Sutardji melampaui puisi lirik. Aku dalam puisi lirik menirukan kenyataan dan mengekspresikan perasaan individual. Dua hal itu nyaris lenyap dalam puisi-puisi mantra Sutardji. Jejaknya masih terlihat, tapi tidak dianggap penting. Sebab yang penting ialah kehadiran kata-kata itu sendiri, dan bukan represen- tasinya atas kenyataan, apalagi pengertiannya.

1 Untuk melihat berbagai pandangan mengenai Sutardji Calzoum Bachri, lihat Maman S. Mahayana, (editor), Raja Mentera, Presiden Penyair (Depok: Yayasan Panggung Melayu, 2007).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 591 Dalam puisi-puisi mantra Sutardji, kata yang dihadirkan adalah kata sebagai dirinya sendiri, bukan kata yang ke dalamnya sudah disusupkan makna tertentu oleh rezim bahasa. Dalam kredo puisinya, Sutardji mengatakan ingin membebaskan kata dari makna dan mengembalikan kata pada awal mulanya, yaitu mantra.

Eksperimentasi Selama rentang waktu satu dasawarsa (1970-1980), Sutardji bergumul dengan eksperimen puisi-puisi mantranya yang kemudian diterbitkan dalam antologi O yang terbit tahun 1973, kemudian Amuk yang terbit tahun 1977, dan menyusul Kapak yang terbit tahun 1979. Pada tahun 1981, ketiga antologi tersebut dikumpulkan menjadi satu dan diterbitkan kembali dengan judul O Amuk Kapak.2 Buku setebal 133 halaman ini memuat 67 puisi. Jika ada pernyataan “puisi ditulis tidak untuk dimengerti”, maka pernyataan itu absah sepenuhnya pada sosok penyair Sutardji. Kredo pembebasan kata dari makna menjadi ikon yang mengukuhkan penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, ini sebagai Sang Pembebas.3 Karena kata sudah dibebaskan dari makna, maka kata-kata puisi benar- benar menjadi rahasia sebagaimana lazimnya ungkapan- ungkapan mantra. Makna yang terkandung di dalamnya menjadi berbau magisme yang biasa dihadirkan dalam

2 Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981). 3 Lihat “Sutardji Calzoum Bachri, Sang Pembebas”, dalam Jamal D. Rahman, et al., Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan (Jakarta: Komodo Books, 2010), hal. 157.

592 Jamal D. Rahman dkk. sebuah komunikasi spiritual. Karena itu, penyair Abdul Hadi W.M. pernah menyebut puisi-puisi Sutardji sebagai puisi- puisi sufistik.4 Menangkap pesan dalam puisi-puisi sufistik —atau dalam istilah Sutardji, puisi mantra— tidak semudah membaca pesan dalam puisi lirik yang merepresentasikan pengalaman atau perasaan sang penyair. Dalam puisi Sutardji, makna itu ada, tapi seperti tiada, bagaikan semut hitam di atas batu hitam yang merayap pada suatu malam yang sangat gelap. Tetapi jelas bahwa semut itu ada. Hanya mata yang tajam yang sanggup melihatnya. Simaklah beberapa puisi Sutardji berikut:

MANTERA

lima percik mawar tujuh sayap merpati sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka

puah! kau jadi Kau Kasihku.

4 Lihat dalam Ahmadun Yosi Herfanda, Inspiring Stories: 30 Kisah Para Tokoh Beken yang Menggugah (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 282.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 593 O

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...

AMUK

.... aku bukan penyair sekedar aku depan depan yang memburu membebaskan kata memanggilMu

pot pot pot pot pot kalau pot tak mau pot biar pot semau pot mencari pot pot hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu pot hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba itasatali tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh...! nama kalian bebas carilah tuhan semaumu

594 Jamal D. Rahman dkk. DOA

O Bapak Kapak beri aku leherleher panjang biar kutekak biar ngalir darah resah ke sanggup laut

Mampus!

Apa yang dinyatakan oleh puisi-puisi di atas selain pengekpresian pengalaman estetika penyairnya? Terlalu gegabah untuk menyimpulkan bahwa puisi-puisi di atas tidak bermakna. Makna tidak harus timbul dari rangkaian kata yang dapat dipahami. Sebab makna adalah senyawa bebas yang dapat direkatkan pada pengalaman individual. Dan individu dalam puisi-puisi Sutardji bukan aku-lirik dalam pengertian konvensional, melainkan subjek yang menyatakan diri dalam kata-kata yang sudah merdeka dari penjajahan makna. Setelah kata-kata dibebaskan dari makna, segenap makna yang dibangunnya justru menjadi mungkin. Seperti Chairil Anwar yang sangat berani menyimpang dari tradisi penulisan puisi pada zamannya, Sutardji juga mengambil jalan yang berbeda dari jalan umum. Tapi, berbeda dengan Chairil yang menegaskan konsep puisinya sebagai “sebuah dunia yang menjadi”, Sutardji lebih dari itu. Ia menyajikan konsep tentang dunia yang tak dikenal, persisnya, dunia metafisis yang dilupakan akibat modernitas yang membuat pemahaman manusia atas kenyataan menjadi terpecah. Kesatuan transendental manusia dan Tuhan dibatasi oleh teknologi, falsafah, dan ideologi, yang sesungguhnya asing dalam pengalaman primordialnya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 595 Dunia kenyataan dalam pengalaman manusia modern bagaikan belantara topeng dan citra. Kata-kata biasa tidak sanggup lagi memberi petunjuk ke mana arah untuk mene- mukan jatidiri manusia yang hilang di belantara citra itu, maka dibutuhkan mantra —kata-kata sakti untuk menguak dunia gaib yang bebas dari pencitraan. Mantra dalam puisi-puisi Sutardji menjadi metafora yang menggambarkan keresahan dan kepedihan jiwa manusia dalam kesepian dan keterasingan akibat modernitas. Simak puisi berikut:

SEPISAUSEPI

sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupoi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi.

Puisi di atas sebenarnya berbicara tentang dua hal yang sangat akrab dalam kehidupan sehar-hari, yakni sepi dan pisau. Dengan meleburkan keduanya menjadi “sepisau” lalu “pisausepi” bukan saja memperlihatkan kelenturan sekaligus kejeniusan bahasa puisi ini, namun juga menghadirkan makna yang sama sekali tak terduga —makna baru yang dimungkinkan sebagai hasil pembebasan kata dari penja-

596 Jamal D. Rahman dkk. jahan makna. Sebelum membahas keunikan tipografi puisi dalam O Amuk Kapak, yang membedakannya dengan puisi- puisi mainstream, baik kita simak lagi puisi di bawah.

BATU

batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu jarum batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se- dang lambai tak sampai. Kau tahu?

batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji?

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 597 AH rasa yang dalam! datang Kau padaku! aku telah mengecup luka aku telah membelai aduhai! aku telah tiarap harap aku telah mencium aum! aku telah dipukau au! aku telah meraba celah lobang pintu aku telah tinggalkan puri purapuraMu rasa yang dalam rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala Anu puteri pesonaku! datang Kau padaku!

apa yang sebab? jawab. apa yang senyap? saat. apa yang renyai? sangsai! apa yang lengking? aduhai apa yang ragu? guru. apa yang bimbang? sayang. apa yang mau? aku! dari segala duka jadilah aku dari segala tiang jadilah aku dari segala nyeri jadilah aku dari segala tanya jadilah aku dari se- gala jawab aku tak tahu

siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak si- apa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?

bulan di atas kolam kasikan ikan! bulan di jendela kasikan remaja! daging di atas paha berikan bosan! terang di atas siang berikan rabu senin sabtu jumat kamis selasa minggu! Kau sendirian berikan aku!

598 Jamal D. Rahman dkk. Ah rasa yang dalam aku telah tinggalkan puri purapuraMu

yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu yang mana tiang selain Hyang mana Kau selain aku? nah rasa yang dalam tinggalkan puri puraMu! Kasih! jangan menampik masuk Kau padaku!

Lagi-lagi pertanyaannya, apa yang hendak disampaikan dalam 2 puisi di atas? Kalau memang pengertian, tentunya bukan pengertian yang biasa. Sebab tidak ada yang dapat diindera dengan ungkapan “batu mawar” atau “mengecup aduhai” atau “batu Kau-ku” atau “aku telah tinggalkan puri purapuraMU”. Namun karena kata telah dibebaskan dari makna, kemudian kembali ke fungsi awalnya sebagai mantra, maka keseluruhan bahasa yang digunakan hanya dapat dipahami sebagai kendaraan untuk menghadirkan sugesti kepada pembaca. Terang bahwa Kau dan Mu merujuk kepada Tuhan. Dan untuk mencapai Tuhan yang sudah terjajah oleh pemahaman diskursif pengetahuan dan falsafah tidaklah mudah. Si Aku lirik yang semula terjerembab dalam kebingungan dan hanya berteriak O... sekarang ia meng-Amuk, membawa Kapak untuk memba-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 599 bat semua rintangan yang menghalangi jalan menuju ke aras-Nya. Keberhasilan puisi-puisi Sutardji sebenarnya adalah kejernihannya dalam menggunakan bahasa mantra untuk menguak dimensi alam gaib. Mantra, dan memang hanya bahasa mantra, yang mampu berkomunikasi dengan dunia mistik. Gejala seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat. Saat kaum muslim, misalnya, memuja dan berkomunikasi dengan Allah, mereka membaca atau melafalkan ayat-ayat suci yang tak mereka pahami. Artinya, ayat-ayat suci berfungsi sebagai mantra, yang di dalamnya dipercaya menyimpan kekuatan magis. Bahkan kalau kita mau sedikit menengok pada tradisi ilmu kanuragan dalam masyarakat kita, maka kita akan bertemu dengan apa yang disebut wafaq atau jimat. Yakni, tulisan-tulisan ayat suci pada sehelai kain yang disusun dalam pola tertentu sehingga menghasilkan kesaktian apabila dipakai, seperti bisa menghilang, kebal dari pukulan atau tembakan, dan sebagainya. Puisi-puisi Sutardji yang disusun dalam tipografi tertentu yang unik menyerupai tulisan pada jimat. Efek yang hendak dimunculkannya sudah pasti ialah sugesti yang bersifat magis, senafas dengan kata-kata mantra yang digunakannya. Dan sebagaimana dalam jimat yang tersusun dari kata-kata yang tidak meru- juk pada makna konvensional. Dalam puisi-puisi Sutardji pun kata-kata menyimpang dari fungsinya sebagai pengantar pengertian. Sutardji menandaskan hal ini dalam manifesto kepenyairannya sebagai berikut:

600 Jamal D. Rahman dkk. Kredo Puisi Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap seba- gai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan- penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masya- rakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasa- nya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba- tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fung- sinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan ber- kali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menya- tukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu mem- bunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa meno- lak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 601 Sebagai penyair saya hanya menjaga—sepanjang tidak mengganggu kebebasannya— agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri Bandung, 30 Maret 1973.

Demikianlah, puisi mantra telah mengantarkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah satu penyair terpenting di tanah air —ia bahkan dikenal sebagai Presiden Penyair Indonesia. Perannya tidak bisa direduksi menjadi sekadar pionir pembebasan kata dari makna, yang untuk itu sering dijuluki sang pembebas, atau penggagas puisi mantra yang membedakan dirinya dengan penyair-penyair lain.5 Lebih dari itu, ia menjalankan peran profetik untuk suatu peru- bahan yang mendasar dalam kesusastraan. Dalam suatu kesempatan, penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, 24 Juni 1941, ini bahkan pernah menyatakan bahwa peran penyair dalam mencipta puisi secara ekstrem bisa disamakan

5 Istilah puisi mantra belakangan tidak selalu berkonotasi sakral. Sebuah tudingan bahwa Sutardji bukan penyair melainkan tukang mantra tentu bermaksud menurunkan kesakralan posisi itu. Mengenai ini lihat, Nurel Javissarqi, Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (Pustaka Pujangga dan Sastranesia, 2011).

602 Jamal D. Rahman dkk. dengan peran Tuhan dengan ciptaannya, yakni sama-sama tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.6

Perdebatan Sebagai penyair besar tentu saja Sutardji tidak lepas dari bidikan para kritikus atau penikmat sastra pada umumnya. Ajip Rosidi, misalnya, pernah menilai bahwa dalam puisi- puisi Sutardji yang paling penting hanya tipografinya,7 Artinya, tidak perlu bersusah-payah menangkap pengertian dalam puisi Sutardji karena kata-katanya sudah dibebaskan dari makna. Tinggal yang tersisa hanya bunyi, sebagaimana juga menjadi kritik A. Teeuw ketika menganalisis puisi “Husspuss” karya Sutardji. Guru Besar Bahasa dan Kesusas- traan Melayu-Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, yang pernah menjadi dosen tamu di UGM (1977-1978), ini menyatakan bahwa puisi Sutardji itu puisi biasa saja bahkan cenderung kurang berhasil karena tidak memberi celah bagi pembaca untuk mengerti atau menginterpretasinya. Bagi A Teeuw, kata tanpa pengertian tidaklah mungkin, sebab jika begitu ia telah kehilangan cirinya sebagai suatu bahasa, melainkan hanya bunyi saja.8 Teeuw seperti melihat kontradiksi dalam puisi-puisi Sutardji yang telah membebaskan kata dari makna namun

6 Lihat makalah Orasi Budaya Sutardji Calzoum Bachri, “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, dalam acara Pekan Presiden Penyair. Makalah ini dimuat di harian Republika, 9 September 2007. 7 Ajip Rosidi, Puisi Indonesia Moderen, Sebuah Pengantar, (Bandung: Pustaka Jaya, 2012), cet. VI, Edisi Revisi, hal. 92. 8 A. Teeuw, Tergantung Pada Kata: Sepuluh Sajak Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 148.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 603 tetap ingin menyampaikan sesuatu melalui kata-kata itu sen- diri, sehingga ia memakai ungkapan satiris dalam tulisannya tentang Sutardji: “Terikat dalam Pembebasan Kata”. Perdebatan seputar puisi-puisi mantra Sutardji terus ber- gema hingga sepanjang tahun 1970-an. Perdebatan yang bukan hanya menghasilkan sekian kritikus, namun juga melahirkan para pembelanya. Salah satu pembela Sutardji yang paling gigih ialah Dami N. Toda. Dalam esainya yang berjudul “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, pengamat sastra ini menyatalan bahwa jika Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri dalam perpuisian Indonesia modern. Dami N. Toda mencoba meyakinkan publik sastra bahwa puisi-puisi Sutardji memperlihatkan inovasi dan ledakan bom estetika.9 Sementara itu pengaruh Sutardji bisa dilihat dari puisi-puisi para penyair setelahnya seperti Ibrahim Sattah dan Abdul Kadir Ibrahim. Jadi klaim bahwa puisi ala Sutardji tidak bisa diikuti tidak sepenuhnya benar. Belakangan bahkan penyair Nanang Suryadi menyata- kan terang-terangan bahwa ia terpengaruh Sutardji.10 Puisi Religius Banyak kalangan terkejut ketika belakangan Sutardji menulis puisi religius dengan bahasa yang lebih gamblang.

9 Dami N. Toda, “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”, semula merupakan kertas kerja yang diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam Satyagraha Hoerip (ed.) Semua Masalah Sastra (1982). 10 Nanang Suryadi, Telah Dialamatkan Padamu (Jakarta: Dewata Publishing, 2002), hal. 69.

604 Jamal D. Rahman dkk. Mungkin bukan karena penyimpangan dari tradisi mantra itu sendiri yang mengejutkan melainkan karena pengakuan pada masa lalunya yang kelam sebagai “si penyair bir”. Dalam puisinya yang berjudul Idul Fitri yang dipublikasikan pada 1987, ia menulis seperti ini:

[..] O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut di jalan lurus Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu di ujung sisa usia O usia lalai yang berkepanjangan Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini Kukenakan zirah la ilaha illAllah aku pakai sepatu sirathal mustaqim aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat Dan kurayakan kelahiran kembali di sana.

Sutardji tampaknya menyadari bahwa sastra sebagai sebentuk seni dalam budaya masyarakat tengah berada dalam gerusan modernitas yang memenjarakan kesadaran eksis- tensial manusia. Karena itu puisi-puisinya ditulis untuk me- merdekakan manusia. Tak bisa lain, puisinya ialah puisi-puisi religius, yakni usaha transedental sang penyair untuk menemu- kan jalan lain menuju Tuhan, sekaligus jalan baru bagi estetika

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 605 puisi untuk keluar dari kesunyian yang mence-kam ala Nyanyi Sunyi atau kesunyian yang buas ala Binatang Jalang. Sebelum menutup uraian ini, mari kita nikmati lagi beberapa puisi dari Sutardji di bawah ini:

WALAU

walau penyair besar takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak

kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang nyeri hari mengucap ucap di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah

1979

TRAGEDI WINKA DAN SIHKA

kawin kawin kawin kawin kawin ka win ka

606 Jamal D. Rahman dkk. win ka win ka win ka winka winka winka sihka sihka sihka sih ka sih ka sih ka sih ka sih ka sih sih sih sih sih sih ka Ku

HILANG (KETEMU)

batu kehilangan diam jam kehilangan waktu pisau kehilangan tikam mulut kehilangan lagu langit kehilangan jarak

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 607 tanah kehilangan tunggu santo kehilangan berak

Kau kehilangan aku

batu kehilangan diam jam kehilangan waktu pisau kehilangan tikam mulut kehilangan lagu langit kehilangan jarak tanah kehilangan tunggu santo kehilangan berak

Kamu ketemu aku.

TAPI

aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resahku padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wah!

PARA PEMINUM

di lereng-lereng para peminum mendaki gunung mabuk

608 Jamal D. Rahman dkk. kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak

mereka oleng tapi mereka bilang - kami takkan karam dalam laut bulan – mereka nyanyi nyanyi jatuh dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk mereka berhasil memetik bulan mereka menyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka

di puncak semuanya diam dan tersimpan.

Sajak-sajak Sutardji telah diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Selain menulis puisi, Sutardji juga menulis cerpen dan esai sastra. Kumpulan cerpennya diterbitkan oleh penerbit Indonesia Tera pada tahun 2001 dengan judul Hujan Menulis Ayam. Sementara itu, kumpulan esainya diterbitkan oleh penerbit yang sama pada tahun 2007 dengan judul Isyarat.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 609 Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. Beberapa penghargaan lain yang pernah diterimanya antara lain: Penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979); Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993); Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta (1990); Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan Anugrah Gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).[]

610 Jamal D. Rahman dkk. Goenawan Mohamad Simbol Kebebasan Kreatif

NENDEN LILIS AISYAH

nak pesisir itu, sejak kelas 6 SD menyukai siaran Tunas AMekar di Radio Republik Indonesia (RRI), Programa Nasional, Jakarta. Ia kerap mendengarkan pembacaan puisi diiringi piano. Dari acara itu ia mulai mengenal puisi. Ia semakin akrab dengan puisi setelah membaca majalah Kisah asuhan H.B. Jassin yang dilanggan kakaknya, Kartono Mohamad. Kakaknya sedang studi di Jakarta kala itu, kelak ia menjadi dokter dan Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia. Ia pun sering mengirimi Goenawan buku dan bahan bacaan lain. Begitulah awal mula pintu masuk menuju kesusastraan dan dunia intelektual yang dialami Goenawan Soesatyo Mohamad, atau lebih dikenal dengan nama Goenawan Mohamad. Sastrawan yang kemudian dikenal sebagai jurnalis dan pemikir ini memang terlahir di lingkungan Jawa pesisiran, yakni di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Anak bungsu yang nantinya menjadi sastrawan besar ini sejak kecil sudah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 611 yatim. Ayahnya yang pejuang kemerdekaan terbunuh Belanda saat Goenawan usia 5 tahun. Ayah Goenawan ada- lah tokoh pergerakan di kotanya. Meskipun demikian, ia mendorong Goenawan untuk menulis dengan meninggal- kan bacaan yang memadai di rumahnya. Kakak perempuan- nya juga senang menulis, tulisannya pernah dimuat di sebuah majalah di zaman Jepang. Tak mengherankan jika sejak masih remaja (di Pekalongan) Goenawan mulai belajar menulis. Pertama-tama ia menulis puisi. Selain menulis puisi karya sendiri, ia pun membaca dan menerjemahkan karya Emily Dickinson dan Guillame Apolinaire yang kemudian dipublikasikan di Harian Abadi (1960). Seperti kakaknya yang juga hijrah ke Jakarta untuk studi, selepas SMA, Goenawan pun meninggalkan kampung halaman. Beberapa bulan sebelumnya ia sempat menjadi guru Bahasa Inggris di sebuah SMP. Goenawan lantas diterima sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UI (1960- 1964). Ia terdorong masuk Fakultas Psikologi karena ingin mengerti jiwa manusia seiring dengan cita-citanya menjadi sastrawan. Tugas sastrawan juga menggeledah jiwa manusia sampai ke sudut-sudut terpencilnya, tulis Hamid Basyaib dalam pengantar kumpulan esai Goenawan Mohamad, Sesudah Revolusi Tak Ada Lagi, mengetengahkan masa kuliah tokoh yang akrab disapa dengan panggilan GM itu. Meskipun kuliah di Fakultas Psikologi, kegelisahan dan pengembaraan intelektual Goenawan Mohamad menerobos keluar pintu-pintu ruang kuliah dan pagar kampusnya. Ia banyak bergaul dengan kalangan sastrawan, jurnalis dan para cendekiawan yang telah lebih dulu hadir di negeri ini.

612 Jamal D. Rahman dkk. Kuliahnya di UI tak selesai, namun Goenawan Mohamad tak berhenti di situ. Goenawan belajar filsafat di College d’Europe, Belgia (1965-1966). Lantas melanjutkan ke Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan kemudian di Harvard (1989-1990) berkat Nieman Fellow. Goenawan mulai aktif menulis sejak tahun 1960-an semasa kuliah di UI. Puisi-puisinya dimuat di lembar kebudayaan Manifestasi di Harian Abadi. Sejak itulah, menurut F. Rahardi, era kepenyairannya dimulai. Karya- karya yang dimuat tersebut kemudian dikumpulkan dalam kumpulan, sesuai dengan nama rubrik yang pernah memuatnya, Manifestasi (1963), bersama penyair-penyair lainnya yang juga menulis pada rubrik tersebut, antara lain Taufiq Ismail, M. Saribi Afn, Armaya dan Djamil Suherman. Setelah puisi-puisinya dimuat dalam antologi bersama, terbit kumpulan puisi tunggal pertamanya, yaitu Pariksit (1971), memuat 26 puisi bertitimangsa 1961-1970. Dua tahun kemudian dibukukan kumpulan puisi tunggal keduanya, Interlude (1973), memuat 16 puisi. Lalu dalam rentang waktu cukup lama, tahun 1992, keluar kumpulan puisi ketiganya, Asmaradana. Puisi-puisi yang telah dimuat dalam Pariksit dan Interlude disertakan lagi dalam kumpulan ini ditambah puisi-puisi lamanya yang belum pernah dibukukan, serta 36 puisi baru. Puisi-puisi tersebut disusun berdasarkan urutan tahun penciptaannya yang menunjukan rentang waktu penciptaan 1961-1991. Selanjutnya, di ujung pemerintahan Orde Baru tahun 1998, sastrawan yang di masa Orde Lama menjadi perumus

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 613 dan penandatangan Manifes Kebudayaan ini, mengeluarkan kumpulan puisi berikutnya yang sebagian besar isinya mengungkapkan rasa prihatin terhadap nasib warga Bosnia, Misalkan Kita di Sarajevo. Kumpulan ini berisi 30 puisi yang berperiode penulisan 1993-1998. Tidak berhenti sampai di situ, pada ulangtahunnya yang keenam puluh, atas usaha Ayu Utami dan , puisi-puisi Goenawan Mohamad dari rentang waktu 1961-2001 dikumpulkan dan diterbitkan kembali sebagai buku dalam Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 menandai 40 tahun kreativitas kepenyairannya. Puisi-puisi Goenawan Mohamad telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Jerman, dan Perancis. Terjemahan puisi-puisi pilihan Goenawan Mohamad oleh Laksmi Pamuntjak berjudul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004) Selain dikenal sebagai penyair terkemuka, Goenawan Mohamad dikenal sebagai penulis esai yang tangguh. Dalam bidang penulisan esai, Goenawan merintisnya seiring dengan karirnya sebagai jurnalis. Bidang itu ia geluti sepulang studi dari Belgia dengan aktif dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Saat itu peristiwa politik berdarah G 30 S baru saja berlalu, tetapi Indonesia sedang berada dalam transisi pemerintahan yang gonjang-ganjing. Rakyat bersama maha- siswa meneriakkan protes, respon atas keadaan bangsa yang carut marut di berbagai bidang lantaran ambisi Pemimpin Besar Revolusi. Selanjutnya, Goenawan menjadi wartawan harian Kami (1966). Tahun 1970-1971, Goenawan turut men- dirikan majalah Ekspres dan menjadi pemimpin redaksinya. Namun, belum genap setahun Goenawan dipecat dari maja-

614 Jamal D. Rahman dkk. lah itu, buntut dari tulisannya mengenai kasus PWI. Selepas itu, bersama sejumlah sastrawan dan seorang pengusaha besar, Goenawan mendirikan majalah mingguan Tempo (1971). Goenawan menjadi pemimpin redaksinya hingga majalah itu dibredel penguasa Orde Baru (1994). Ia masih menjadi pemimpin redaksi pada waktu majalah itu terbit kembali. Selain menulis esai-esai sastra dan esai-esai lainnya yang mengupas berbagai persoalan sosial, politik, budaya, filsafat, dan lain-lain, Goenawan Mohamad menjadi sangat terkenal dengan esai-esainya pada kolom “Catatan Pinggir” di maja- lah Tempo. Hamid Basyaib menyebutnya sebagai anak sulung Goenawan, esai tetap tertua di Indonesia yang dirawat dengan stamina satu orang. Dalam bidang esai ini, Goenawan telah menghasilkan beberapa buku, yaitu Potret Seorang Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang (1972) Seks, Sastra, Kita (1980) dan Kesusastraan dan Kekuasaan (1993) Ketiga buku ini berisi pandangan-pandangan dan kritik-kritik Goenawan seputar kesusastraan. Adapun kumpulan esainya dengan berbagai topik terbit dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata Waktu (2001) Eksotopi (2002), dan Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai (2007) yang terdiri atas 99 esai liris. Buku ini diterjemahkan Laksmi Pamuntjak ke dalam bahasa Inggris dalam judul On God and Other Unfinished Things. Esai Goenawan Mohamad lainnya yang diterjemah- kan ke dalam bahasa Inggris adalah esai-esai dalam Catatan Pinggir. Penerjemahnya Jennifer Lindsay, dengan judul Sidelines (Lontar Foundation, 1994). Selain mengisi kolom

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 615 untuk media di Indonesia, Goenawan pun menulis kolom untuk luar negeri, antara lain harian Mainichi Shinbun, Tokyo, Jepang. Dalam masa pembredelan majalah Tempo, suami dari Widarti Djajadisastra, yang juga jurnalis terkemuka, kembali beraktivitas di bidang kesenian. Berkolaborasi dengan musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel, Goenawan membuat libretto untuk opera kontemporer Kali (1996- 2003). Karya ini dipentaskan di Seatle (2000). Kembali berkolaborasi denganTony Prabowo, The King’s Witch (1997- 2000) dipentaskan di New York, kemudian opera Tan Malaka Selanjutnya, puisi-puisi Goenawan Mohamad digubah dalam konser musik bertajuk “Pastoral” oleh Tony Prabowo, dan dipertunjukan di Tokyo, Jepang (2006). Selain berkolaborasi dengan musisi, Goenawan juga berkolaborasi dengan bidang-bidang pertunjukan lainnya, seperti drama tari dan pertunjukan wayang. Tahun 2006, Goenawan Mohamad berkolaborasi dengan koreografer Wayan Dibya, penari Ketut, dan grup gamelan Sekar Jaya dengan menulis teks drama tari Kali-Yuga. Drama-tari ini dipentaskan di Berkeley, California. Adapun untuk pertunjukan wayang kulit, pada tahun 1995, Goenawan bekerja sama dengan Sujiwo Tejo, dan pada tahun 2002 dengan dalang Slamet Gundono. Goenawan menulis lakon Wisanggeni dan Alap-alapan Surtikanti. Goenawan Mohamad menulis teksnya untuk pertunjukan tersebut dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Tak hanya menulis naskah, Goenawan juga menyutradarai pementasan dua tari, Panji Sepuh dan Dirada Meta.

616 Jamal D. Rahman dkk. Dalam masa ini pun, Goenawan mendirikan dan menghi- dupkan Komunitas Utan Kayu (dan kemudian Komunitas Salihara), yang bergerak di bidang budaya dalam arti luas. mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan mengem- bangkan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Juga terlibat dalam berbagai macam aktivitas politik seperti turut mem- bentuk Partai Amanat Nasional (PAN) dan lain-lain. Untuk berbagai aktivitasnya di atas, Goenawan Moha- mad dianugerahi sejumlah penghargaan oleh lembaga- lembaga ternama, baik secara nasional maupun internasio- nal. Pada awal-awal merintis karir sebagai penulis puisi dan esai, Goenawan mendapat hadiah pertama majalah Sastra untuk esainya “Alam dalam Tangkapan Pertama Puisi” dan “Agama dalam Penciptaan Seni”. Esai lainnya, “Revolusi sebagai Kesusastraan dan Kesusastraan sebagai Revolusi” dan esai “Seribu Slogan dalam Sebuah Puisi” mendapat hadiah pertama dari media yang sama (majalah Sastra) tahun 1963. Berikutnya, esai “Seks, Sastra, Kita” mendapat penghargaan dari Majalah sastra Horison (1969). Tahun 1971, sebagai penyair dan pemikir, Goenawan Mohamad mendapat Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia. Muncul polemik dalam pemberian anugerah ini karena Goenawan Mohamad menolak, terkait dengan tata cara penentuan penerima anugerah seni tersebut. Sepuluh tahun kemudian, 1981, Hadiah Sastra ASEAN dianugerahkan kepadanya. Tahun 1992, dalam posisinya sebagai penyair, Goenawan Mohamad menerima penghargaan Profesor A. Teeuw di Universitas Leiden Belanda. Kemudian, bukunya Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 mendapat penghargaan Khatulistiwa

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 617 Literary Award., juga Anugerah Sastra dan David Prize. (2006). Dalam bidang jurnalistik, Goenawan mendapat penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Conscien in Journalism dari Nieman Foundation (1997). Dua tahun kemudian, tahun 1999, World Press Review Amerika Serikat memberinya penghargaan International Editor of The Year Award. Sebagai sosok yang senantiasa memperjuangkan kebebasan pers, Goenawan mendapat anugerah Internatio- nal Press Freedom Award dari Comitte to Protect Journalists, lalu Wartheim Award (2005).

Pengaruh Goenawan Mohamad Kiprah Goenawan Mohamad, baik dalam bidang sastra, jurnalistik, budaya, maupun politik, ternyata telah mena- namkan pengaruh tersendiri dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pada bidang-bidang tersebut. Pengaruh yang akan diuraikan tulisan ini memang tidak akan men- dalam, namun diharapkan dapat memberi gambaran tentang pengaruh yang dimaksud.

Pengaruh dalam Bidang Puisi Seperti telah digambarkan di atas, Goenawan terutama menulis karya sastra berupa puisi. Puisi-puisi yang ditulisnya yang kemudian dibukukan, bukanlah karya sembarangan. Goenawan dianggap telah menggariskan kekhasan estetik tersendiri dalam perpuisian Indonesia. Puisi-puisi Goenawan terkenal sebagai puisi liris, bahkan untuk puisi-puisi kritik sosialnya. Banyak yang menilai puisi-puisi Goenawan Mohamad lebih intens dinikmati

618 Jamal D. Rahman dkk. secara pribadi. Sapardi Djoko Damono (1999:46 dalam Maulana, 2004:114) menyebut puisi-puisi Goenawan Mohamad sebagai puisi ‘suasana hati’ atau ‘gumam’. Maksud dari puisi ‘suasana hati’ atau ‘gumam’ adalah puisi yang sulit dipahami sepenuhnya karena tidak berurusan dengan konsep, tetapi dengan penghayatan. Untuk menegaskan maksud dari istilah yang digunakannya, Sapardi menggunakan pernya- taan T.S Eliot, penyair besar Inggris, bahwa puisi bisa dihayati sebelum dipahami. A. Teeuw menghubungkan puisi Goenawan Mohamad dengan pasemon, dan Goenawan menyambut istilah ini. Mengenai apa yang dimaksud dengan pasemon, mari kita tengok kembali pernyataan Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang dibacakan pada saat memeroleh penghar- gaan A. Teeuw di Leiden Belanda (1992):

Kita tahu, pasemon adalah suatu bentuk (atau lebih tepat suatu cara) ekspresi yang selama bertahun-tahun, mungkin berabad-abad dikenal di Jawa (dan mungkin juga terdapat di tempat-tempat lain dengan nama yang berbeda). Dalam bahasa Inggris barangkali ia bisa diterjemahkan sebagai “allusion”. Tetapi pada hemat saya ia bukanlah sekedar sebuah “muslihat”, atau device, tertentu dalam tata komunikasi. Sebagaimana “allusion”, ia mengandung unsur permain- an makna kata itu sendiri beragam, tetapi semuanya berkaitan dengan isyarat atau sugesti: pasemon bisa berarti ekspresi wajah yang menunjukan tanpa kata-kata suatu sikap pada suatu saat. Ia juga bisa berarti kias, dan bisa pula berarti sindiran. Dilihat dari kata dasarnya, “semu”, ia sekaligus menyarankan sesuatu yang “bukan sebenarnya” tetapi juga sesuatu yang “mendekati suatu sifat tertentu”. Dengan kata lain, dalam pasemon makna tidak secara apriori hadir. Makna itu seakan-akan sesuatu yang hanya bisa muncul dalam suatu

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 619 konteks, dalam satu perbandingan dengan suatu keadaan, termasuk keadaan diri kita, atau dengan suatu ekspresi yang lain yang pernah ada. Makna yang muncul itu pun tak pernah final. Ada unsur permainan di sana, tetapi sekaligus ada unsur berjaga-jaga, untuk mengelak, dari setiap terkaman perumusan yang mematikan. (Mohamad, 1993:117) .... Tak aneh bila cukup kuat tendensi dalam kesusastraan Indonesia untuk menampilkan kembali sifat puisi sebagai pasemon: berbicara dari hati ke hati hanya dengan menyajikan suatu set “kenyataan”, seakan-akan sebuah perubahan wajah, atau sebuah kias dengan cuma menghadirkan serangkaian benda-benda di luar atau di dalam kesadaran. (Mohamad, 1993:123)

Menurut Goenawan Mohamad, puisi tidak hanya terdiri atas deretan kalimat, melainkan juga terdiri atas celah-celah bisu yang membayang di antara kalimat, bahkan melatar- belakangi kalimat itu. Hal ini ditegaskannya dalam pernya- taan yang dikutip kembali pada buku puisinya Misalkan Kita di Sarajevo:

Puisi tidak cuma kata, tidak cuma kalimat yang menuntut kita untuk melotot. Ia juga nada, bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran, atau jika setuju dengan Freud, ungkapan yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluri puisi tidak hanya proses “simbolik” melainkan juga “semiotik” … proses pengaturan dorongan naluriah yang terjadi dalam tubuh, yang ikut berperan dalam pemberian makna. … puisi membujuk kita untuk justru hanya mendengarkan, dalam sikap yang dalam bahasa jawa disebut sumelah. Kita menghidupkan proses “semiotik” itu dalam diri kita, dari mana masuk dan juga lahir kata, suara, gerak, goresan tangan, dalam semacam ritme, yang tak terumuskan. Nietzsche mempunyai satu pengertian yang mendekati itu. Yakni, stimmung, semacam suasana afektif nada-nada….

620 Jamal D. Rahman dkk. Puisi-puisi seperti yang dirumuskan Goenawan Mohamad di atas, banyak yang kemudian menyebutnya sebagai puisi suasana, seperti yang diungkapkan kembali Dami N. Toda (1984:72), misalnya Budi Darma (dalam Berita Yudha, 23 September 1972), Abdul Hadi W.M. (dalam Budaya Jaya, 1975), bahkan Goenawan Mohamad sendiri (dalam ceramah pada tahun 1975 di Fakultas Sastra UI). Adapula yang menyebut puisi demikian dengan puisi imajis.

Apapun istilah untuk puisi semacam itu, yang jelas, konsep puisi seperti yang dicetuskan Goenawan Mohamad di atas, pada tahun 1970-an (bahkan hingga kini) berpengaruh luas. Dami N. Toda (1984:73) menggambarkan:

Di kalangan banyak penyair muda, selera terhadap sajak-sajak jenis ini kini merupakan model, ambil saja contoh dari majalah Horison atau-sajak-sajak kolom surat kabar.

Hal yang sama dikemukakan F. Rahardi dalam makalah tentang “Puisi-Puisi Turis Goenawan Mohamad” (2000) berikut ini: … Sebagai penyair, Goenawan Mohamad benar-benar pernah menjadi “raja” (kiblat) bagi para penyair yang lebih muda. Gaya kepenyairannya yang menghadirkan suasana (imaji), serba remang dan penuh keraguan, pada kurun waktu 1970an menjadi semacam standar wajib para penyair pemula.

Oleh karena begitu kuatnya pandangan tentang standar estetika puisi yang semacam itu, maka saat itu timbul ang- gapan telah terjadi dominasi dari penyair-penyair mapan (estabilished). Penyair mapan itu salah satunya adalah Goe- nawan Mohamad. Kondisi ini menimbulkan suatu gerakan “perlawanan” dari beberapa pihak. Perlawanan tersebut telah menimbulkan suatu gerakan dan peristiwa sastra yang men-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 621 jadi catatan sejarah sastra Indonesia, yaitu peristiwa Pengadilan Puisi di Bandung (1974) dan gerakan puisi mbeling di kota-kota di Indonesia. Pengadilan puisi terjadi pada 8 September 1974 di aula Universitas Parahyangan Bandung. Peristiwa yang berlang- sung tak ada bedanya dengan sidang pengadilan. Pada peng- adilan itu, sebagai terdakwa adalah Puisi Indonesia. Slamet Kirnanto (Slamet Sukirnanto) bertindak sebagai jaksa lewat tuntutannya yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas, dan Brengsek!” Bertindak sebagai pembela adalah Taufiq Ismail, hakim ketua oleh Sanento Yuliman. dan Darmanto Jatman sebagai hakim anggota. Adapun saksi yang memberatkan adalah Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudiyarto DS, dan Abdul Hadi W.M. Sementara, saksi yang meringankan adalah Saini K.M.., Wing Kardjo, Adri Darmaji, dan Yudhistira A.N. Masardi. Menurut Sapardi Djoko Damono (Eneste, 1986: 2), pencetus pertama kali gagasan pengadilan puisi adalah Darmanto Jatman Dalam pengadilan tersebut, salah satunya, muncul tuntut- an terhadap beberapa penyair Indonesia yang dianggap “ma- pan” yang harus bertanggungjawab terhadap kehi-dupan puisi Indonesia yang pada saat itu dinilai tidak sehat. Para penyair mapan yang disebut-sebut dalam “pengadilan” ter- sebut, disamping W.S. Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., adalah Goena- wan Mohamad. Maka sebagai jawaban terhadap pengadilan puisi di Bandung itu, para kritikus dan penyair-penyair yang disebut namanya dalam pengadilan tersebut memberi

622 Jamal D. Rahman dkk. jawaban pada acara “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” yang diselenggarakan di Fakultas Sastra UI (21 September 1974). Goenawan Mohamad tampil memberi tanggapan atas peristiwa di Bandung tersebut. Pemberontakan terhadap estetika puisi yang dianggap “mapan”, selain oleh para sastrawan yang disebutkan di atas, juga oleh anak-anak muda saat itu yang digerakkan oleh Remy Sylado lewat apa yang disebut puisi mbeling. Gerakan yang awalnya tercetus dari kota Bandung ini, ternyata dengan cepat mendapat sambutan luas di berbagai kota lain.

Pengaruh dalam Bidang Prosa Meskipun Goenawan Mohamad tidak dikenal sebagai penulis prosa, namun salah satu esainya dianggap mempe- ngaruhi penciptaan prosa (dalam hal ini novel) pada tahun 2000-an. Tahun 1980, Goenawan Mohamad menulis esai yang berjudul “Seks, Sastra, Kita”. Esai tersebut mempermasalah- kan sikap menghindar dari tema seks dalam kesusastraan Indonesia modern. Pada tahun 1999, Ayu Utami, salah seorang penulis yang bergiat di Komunitas Utan Kayu (KUK) di mana Goenawan Mohamad menjadi “kepala suku” memenangkan sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta, dengan novelnya Saman. Para kritikus sastra umumnya menganggap novel tersebut mengangkat tema seksualitas dan tubuh. Estetika dan tema seksualitas dan tubuh kemudian merebak dalam kesusastraan Indonesia, bahkan sempat menjadi semacam standar estetika dalam mengukur kualitas karya-karya di Indonesia, terutama

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 623 karya perempuan. Dewi Sartika, penulis novel Dadaisme (juga pemenang Sayembara Novel DKJ) mengaku menulis novel karena terinspirasi Ayu Utami (Kompas, 7 Maret 2004). Begitu pula Dinar Rahayu yang mengakui bahwa ia menulis novelnya Ode untuk Leopold Van Sacher Masoch setelah membaca Saman. Banyak pihak menganggap, langsung atau tidak lang- sung, pandangan Goenawan Mohamad berpengaruh terha- dap penciptaan novel Saman karya Ayu Utami tersebut. Hal itu antara lain dapat dilihat dari catatan proses kreatif Ayu Utami tentang penulisan novel Saman dan Larung yang mengandung pandangan yang hampir sama dengan per- nyataan Goenawan Mohamad dalam esainya “Seks, Sastra, Kita”. Dalam esai tersebut, Goenawan Mohamad berpan- dangan demikian:

(…) yang kita butuhkan adalah semacam sikap wajar, yang mengembalikan seksualitas ke dalam kehidupan, dan menerima kenyataan itu tanpa ketegangan, sebagaimana kita menerima badan sebagai diri kita (…) Ayu Utami pun berpandangan kurang lebih sama: (…) Sastra adalah “bahasa jiwa” (…) Di sinilah kita berhadapan dengan bagaimana tubuh, serta kesadaran yang ditimbulkannya, menari atas instruksi realitas. Ia bukan bahasa “akal sehat” yang suci dari seksualitas, langue yang bertahta di ujung menara gading yang membuatnya berjarak dan objektif, melainkan bahasa yang dibentuk dari tanah dan rusuk (…). Melalui pemilihan terhadap masokisme, saya ingin membuat kesejajaran antara bahasa masokisme dengan bahasa sastra. Bahasa masokisme dan sastra adalah tarian

624 Jamal D. Rahman dkk. atas realitas yang kejam. Ia tidak beraksi dengan menyadari (artinya berjarak dengan) ketidakadilan, mengutuknya, melainkan beroperasi dengannya (…) ia tidak berjarak dengan kenyataan.

Selain itu, novel Saman, seperti diberitakan Kompas (5 April 1998), dalam prosesnya mendapat penggodokan di Komunitas Utan Kayu (KUK), yang tentunya tak lepas dari nama Goenawan Mohamad. Berita Kompas itu berbunyi:

(…) Ayu Utami juga memiliki komunitas semacam, yang sebut saja Komunitas Utan Kayu, di mana ada Teater Utan Kayu dan Galeri Lontar yang menyelenggarakan peristiwa kesenian dengan amat selektif dan diskusi; juga ada redaksi majalah kebudayaan Kalam di mana dia mejadi salah satu anggotanya; dan juga Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang melakukan kajian khas. Bila hendak menyebut nama, maka dalam komunitas ini ada penyair-dramawan Sitok Srengenge, ada mahasiswa filsafat IAIN kemudian STF Drijarkara Achmad Sahal, ada mantan yesuit yang pernah melakukan studi Islam dan fasih berbahasa Arab Prasetyohadi, ada penyair-esais Nirwan Dewanto yang sekarang ada di Amerika Serikat, dan tentu saja “kepala suku” komunitas ini: penyair-esais Goena- wan Mohamad. “Nasib” membawa Ayu masuk dalam komuni- tas ini. Di sinilah naskah “Saman dalam proses” mendapat kritikan dan masukan, bahkan bantuan penelitian. Komunitas inilah yang menjadi lahan subur, hingga muncullah ledakan meteor baru sastrawan Indonesia (…)

Dengan demikian, merebaknya tema tersebut dalam kesusastraan Indonesia, yang secara langsung dipengaruhi novel Saman Ayu Utami, secara tidak langsung juga adalah sebagai imbas dari pengaruh pemikiran Goenawan Mohamad.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 625 Pengaruh dalam Aktivitas Kesusastraan Aktivitas kesusasteraan Goenawan Mohamad yang sering disebut dalam catatan sejarah kita adalah saat terjadi polemik Lekra dan Manifes Kebudayaan. Goenawan Mohamad adalah salah seorang perumus sekaligus penandatangan Manifes Kebudayaan. Peristiwa itu terjadi tahun 1960-an dalam cuaca politik Demokrasi Terpimpin. Manifes Kebudayaan pada intinya adalah suatu pernyataan dari sejumlah seniman dan sastrawan yang seperti dinyatakan kembali oleh Goenawan Mohamad (1993:14), “Suatu ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri – yang independen dari desakan politik dan berbagai tata cara “revolusioner” tahun 1960-an awal.” Sementara saat itu, seni harus mengikuti garis politik Panglima Besar Revolusi, Soekarno. Seni harus sejalan dengan ajaran Bung Karno yang disebut “manipol”, manifesto politik. Politik adalah ‘panglima’ dalam berbagai segi kehidupan, termasuk sastra. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebuah lembaga kebudayaan yang dekat dengan PKI adalah pendukung manipol. Manifes kebudayaan diikrarkan dalam majalah Sastra pimpinan H.B. Jassin (edisi September 1963) di tengah intimidasi dari para pendukung Lekra di majalah Lentera. Hingga akhirnya, 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Setelah itu para pencetus dan penan- datangannya hidup dalam suasana penuh ancaman dan ketakutan.

626 Jamal D. Rahman dkk. Goenawan Mohamad bukan satu-satunya seniman yang merumuskan manifes tersebut. Ada sejumlah seniman lain, yaitu H.B. Jassin, Trisno Soemardjo, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Zaini, Arif Budiman dan masih banyak lagi. Peristiwa ini tentu saja menjadi catatan tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia, dan berpengaruh dalam catatan sejarah kesusastraan yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran para pelakunya dalam merumuskan arah kebuda- yaan dan wawasan estetik dalam penciptaan karya, selain juga berpengaruh pada generasi selanjutnya.

Pengaruh dalam Bidang Jurnalistik Mayarakat luas mengenal Goenawan Mohamad terutama sebagai tokoh dalam bidang jurnalistik, yakni melalui majalah Tempo yang kerap menyajikan tulisan dan berita-berita yang berani, cerdas, dan kritis, memberi kesan tersendiri di hati masyarakat, seolah mewakili suara hati masyarakat. Latar belakang sastra Goenawan Mohamad mewarnai tulisan-tulisannya sebagai jurnalis. F. Rahardi (2000) menyatakan:

Kepenyairannya (Goenawan Mohamad) dan kemampu- annya untuk mengoraganisir sastrawan (antara lain Bur Rasuanto, Usamah, Budiman S. Hartojo, Putu Wijaya, dan Isma Sawitri), telah melahirkan gaya (style) baru dalam dunia jurnalistik. Oleh para pakar, gaya ini kemudian disebut gaya Cross X jurnalism. Konon gaya demikian khas majalah Tempo dan tidak ada duanya di dunia. Gaya penulisan Tempo ini kemudian menyebar ke majalah-majalah lain, lebih-lebih setelah personil Tempo pindah dan mendirikan majalah-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 627 majalah baru. Selain itu, imbas dari kepenyairan Goenawan juga berpengaruh pula terhadap lahirnya para penulis kolom (lepas) yang “dibidani” oleh Tempo. Mohamad Sobari misalnya dulunya seorang penulis cerita anak-anak. Kemudian ketika belajar di Australia ia mencoba untuk menulis di Tempo. Sekarang ia dikenal sebagai kolumnis atau pemikir terkemuka di Indonesia.

Adapun mengenai pengaruh Goenawan di majalah Tempo, dalam pengantar untuk kumpulan esai Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Hamid Basyaib menulis: “Seperti diketahui, namanya (Goenawan Mohamad) kemudian menjadi sinonim majalah yang menjelma tonggak penting jurnalisme Indonesia itu, menjadikannya salah seorang wartawan paling berpengaruh, dan barangkali pejuang kebebasan pers yang paling dikenal di kancah Internasional terutama sejak Tempo dibredel.” Tahun 1994 Tempo dibredel akibat keberaniannya mem- bongkar kebobrokan pemerintah Orde Baru. Pembredelan Tempo ini malah semakin menguatkan posisi Goenawan Mohamad. Meminjam istilah F. Rahardi, Goenawan adalah simbol bagi kebebasan pers sekaligus kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia. Selain majalah yang dipimpinnya dibredel, ia juga dipecat dari keanggotaanya di PWI. Goenawan kemudian aktif melakukan demonstrasi- demonstrasi yang menggugat pembredelan. Tidak hanya itu, ia menggugat Menteri Penerangan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) akibat pembredelan itu dengan maksud menguji keadilan dalam sistem hukum di Republik Indonesia. Tanggal 3 Mei 1995 ia memenangkan gugatan tersebut lewat hakim Benjamin Mangkudilaga, S.H. Namun,

628 Jamal D. Rahman dkk. seperti sebuah permainan, ia dikalahkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Selain dipermainkan dalam perjuang- an penegakan keadilan dalam sistem hukum di Indonesia, pada tahun-tahun tersebut nama Goenawan pun dihubung- hubungkan dengan demo terhadap Presiden Soeharto dan rombongan di Dresden, Jerman. Sejak itu, seperti dinyatakan kembali oleh Hamid Basyaib, ia merayap di bawah tanah, mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk menentang korporatisme PWI (yang cenderung “memahami” pembredelan itu), turun berdemonstrasi di jalan dan mengadakan roadshow ke kantong-kantong oposisi di sejumlah daerah dan berkam- panye ke beberapa negara. Ia makin akrab dengan para aktivis pro-demokrasi, turut membentuk dan mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), sambil terus menulis di berkala independen terbitan AJI.

Komunitas Utan Kayu dan Salihara Setelah setahun Tempo dibredel, di sebuah kompleks yang menyatu dengan deretan ruko dan beberapa kantor perusahaan dagang, Goenawan Mohamad membentuk dan mendirikan komunitas, yang diberi nama Komunitas Utan Kayu (sesuai dengan nama jalan tempat komunitas itu berada). Di jalan Utan Kayu 68 H yang diberi nama Teater Utan Kayu (TUK) itu, bertemu sejumlah elemen: seniman, cendekiawan, dan aktivis pro-demokrasi. Di tempat ini terdapat Institut Studi Arus Informasi (ISAI), organisasi yang dibentuk Goenawan bersama rekan-rekannya dari AJI dan Tempo serta para cendekiawan lainnya. ISAI meman-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 629 carkan Radio 68 H dan menerbitkan sejumlah buku yang berisi perlawanan terhadap Orde Baru. Di tempat ini terdapat Galeri Lontar, Teater Utan Kayu, dan Jurnal kebudayaan Kalam. Ketiganya bergerak di bidang kesenian dan kebudayaan. Galeri Lontar kerap menyeleng- garakan pameran lukisan, foto, patung, seni instalasi, dan sejenisnya, baik dari seniman dalam negeri maupun luar negeri, yang dianggap terdepan yang memiliki kualitas dan semangat inovatif. Teater Utan Kayu menghadirkan berbagai pementasan, seperti teater, musik, tari, film, juga ceramah dan diskusi tentang seni, kebudayaan, dan filsafat. Seniman yang tampil terdiri atas seniman tradisi, dan mutakhir, yang dianggap menawarkan eksperimen dan kebaruan. Adapun jurnal Kalam adalah jurnal kebudayaan yang mengete- ngahkan berbagai kajian mengenai berbagai pemikiran sastra, kebudayaan, dan filsafat. Selain itu, di komunitas inipun lahir Jaringan Islam Liberal (JIL) dan sekolah jurnalisme penyiaran. Komunitas ini terbiasa mengelola, kegiatan berskala nasional, maupun internasional, seperti Jakarta Interna- tional Puppertry Festival (2006), Slingshort Film Festival (2006), dan International Literary Bienalle yang telah berlangsung sejak 2001. Seniman-seniman yang tampil di komunitas tersebut adalah seniman-seniman yang terseleksi melalui hasil kurasi. Pada tahun 2008, tepatnya sejak 8 Agustus 2008, Komu- nitas Utan Kayu mengembangkan sayapnya menjadi komu- nitas Salihara. Berlokasi di atas tanah seluas 3.800 meter

630 Jamal D. Rahman dkk. persegi di jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di lokasi ini terdapat Teater Salihara, Galeri Salihara, perpustakaan, kafe, dan ruang perkantoran. Komunitas ini disebut sebagai pusat kebudayaan alternatif yang bervisi memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghor- mati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual. Sejumlah program dijalankan oleh komunitas ini untuk mewujudkan visi tersebut. Prioritas dari program-program yang diseleng- garakan Salihara adalah kesenian-kesenian yang dianggap bermutu dan inovatif. Program-program komunitas Sali- hara antara lain dalam satu tahun menampilkan sekitar 100 mata acara pentas tari dan teater, konser musik, pembacaan dan diskusi sastra, pameran seni rupa, pemutaran film, dan bengkel kerja tari, sastra, dan musik. Komunitas ini juga menyelenggarakan berbagai diskusi dan ceramah. Selain program reguler yang berlangsung tiap bulan, komunitas Salihara menyelenggarakan program-program berskala internasional untuk berbagai bidang kesenian yang dianggap sebagai karya-karya puncak dari seniman nasional dan internasional. Program-program tersebut antara lain Festival Salihara, Bienalle Sastra Salihara, Salihara Jazz Buzz, diskusi bulanan Salihara, dan Seri Kuliah Umum Salihara. Adapun dewan kuratornya terdiri atas: Asikin Hasan, Ayu Utami, Eko Endarmoko, Goenawan Mohamad, Hasif Amini, Muhamad Guntur Romli, Nirwan Derwanto, Sitok Srenge- nge, dan Tony Prabowo. Dengan program dan seleksi seniman dengan kriteria di atas, muncul pandangan bahwa program-program komu-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 631 nitas tersebut merupakan ajang bergengsi. Komunitas Salihara, secara tidak langsung sebagai “pembaptis” kesas- trawanan dan kesenimanan seseorang. Seniman atau sastra- wan yang diundang tampil pada program-program komu- nitas tersebut dianggap telah menyandang kualitas di atas yang lainnya. Dengan demikian, secara tidak langsung, Goenawan Mohamad dan komunitasnya telah memberi pengaruh dengan menjadi semacam “kiblat” sastra dan seni Indonesia saat ini, di samping lembaga-lembaga lainnya seperti DKJ, Horison, dan media-media cetak lainnya. Apa yang dilakukan Goenawan Mohamad dan komuni- tasnya ini tidak sepenuhnya disambut mulus oleh kalangan sastra dan kalangan lainnya. Sumber dana penyelenggaraan even-even di komunitas tersebut oleh beberapa pihak diper- tanyakan. Hujatan-hujatan terhadap kelompok yang dimo- tori Goenawan Mohamad sebagai agen imperialis pun ber- munculan. Polemik pun meruyak seputar politik kanoni sastra, penjajahan budaya dan sejenisnya. Hal itu misalnya bisa kita temukan dalam Djoernal Sastra Boemipoetra yang digawangi Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo, Koesprihyanto Namma. Mereka melakukan perlawanan langsung terhadap Goenawan Mohamad dan komunitasnya dengan hujatan-hujatan yang cukup frontal. Begitulah kiprah dan pengaruh Goenawan Mohamad. Seperti banyak dialami tokoh-tokoh lainnya yang berpengaruh, selalu akan berhadapan dengan dua sisi: sisi pro dan kontra.[]

632 Jamal D. Rahman dkk. Kepustakaan

Ayu Utami. 2004. “Takluk pada Tubuh, Sastra pada Masokisme”, dalam Seks, Teks, Konteks. Bandung: Jurusan Sastra Inggris Unpad dan Isntitut Nalar Jatinangor. Dami N.Toda. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan. Djoernal Sastra Boemipoetra, edisi November-Desember 2007. Djoernal Sastra Boemipoetra, edisi triwulan pertama 2007. F Rahardi. “Puisi-Puisi Turis Goenawan Mohamad”. Majalah Sastra Horison edisi Agustus 2000. Goenawan Mohamad. 1973. Interlude. Jakarta: Yayasan Indonesia. Goenawan Mohamad. 1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan. Goenawan Mohamad. 1992. Asmaradana. Jakarta: Grasindo. Goenawan Mohamad. 1993. Kesusasteraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus. Goenawan Mohamad. 1998. Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta: Kalam. Goenawan Mohamad. 2001. Setelah Revolusi tak Ada Lagi. Jakarta: AlvaBet. Goenawan Mohamad. 2002. Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor Publishing. Pamusuk Eneste (ed.). 1986. Pengadilan Puisi. Jakarta: PT Gunung Agung Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern. Bandung: Remaja Rosda Karya. Remy Sylado. 1993. Potret Mbeling. Jakarta. Sapardi Djoko Damono. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Jaya. Soni Farid Maulana. 2004. Selintas Pintas Puisi Indonesia. Bandung: Grafindo. “Tentang Komunitas Salihara”. http://salihara.org/about/about-us. Diakses 24 Agustus 2013.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 633 634 Jamal D. Rahman dkk. Putu Wijaya Teror Mental dan Dekonstruksi Logika

JONI ARIADINATA

da seorang tokoh dalam sebuah cerita pendek, pada Asuatu pagi ia terbangun tanpa kepala. Kemudian dengan panik membangunkan istrinya dan bertanya, “Apakah kamu tahu, di mana kepala saya?” Sebuah cerpen yang lain, digam- barkan seorang tokoh memiliki mulut yang lebar. Saking lebarnya hingga sanggup memakan apa saja, dari nasi goreng hingga mobil, rumah, gedung, bahkan jalan raya. Seorang tokoh dalam cerita pendek yang lain bisa saja tiba- tiba kelaminnya pindah ke kepala, atau payudaranya pindah ke tangan. Cerita-cerita semacam ini, di awal tahun 1980- an hingga akhir 1990-an begitu mewabah, dan “menggoda” hampir semua penulis untuk melakukannya. Kita bisa meli- hat misalnya pada karya-karya awal Agus Noor, Gus Tf Sakai, Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Munif, Triyanto Triwikromo, Shoim Anwar, dan lain sebagainya. Penggem- paran dari penciptaan tokoh-tokoh cerita yang aneh, tidak masuk akal, mustahil, menjadi sebuah trend yang dengan serentak diikuti oleh para penulis muda yang rata-rata dipublikasikan di koran-koran. Dan “penggemparan” dengan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 635 mempermainkan logika semacam ini, yang kemudian mewarnai perkembangan kesusastraan Indonesia, selalu dikaitkan dengan pengaruh kelahiran karya-karya ekspe- rimental Putu Wijaya. Dia menulis:

Teknik saya liar, tak bisa ditebak. Sasaran saya teror mental. Dan objek saya anekdot,” begitu seringkali diucapkan Putu Wijaya atas karya-karyanya yang dianggap memberi angin kebaruan. Ratusan cerita pendek, puluhan novel, serta naskah drama, yang hampir semuanya memberi nafas sejenis, lahir dari tangannya. Tidak saja keliaran teror pada isi, bahkan hingga kelaziman penamaan judul pada karya yang umumnya sangat memperhitungkan estetika, dimainkan Putu Wijaya dengan sangat enteng dan (terkesan) main-main. Dor, Aduh, Ben, Gol, Yel, Nol, Wah, adalah contoh-contoh judul karya- karya Putu Wijaya yang hampir semuanya hanya terdiri dari satu kata. Mempermainkan judul, mempermainkan tokoh, mempermainkan isi, menolak konvensi, ia lakukan pada semua karya, dari cerita pendek, novel, hingga naskah drama.

Hampir tak ada yang tak mungkin dalam karya-karya Putu, karena seluruh tokoh, latar, plot, serta peristiwa, yang lazimnya menjadi dasar paling penting dalam menilai kekokohan sebuah karya konvensional, semuanya bisa dikorbankan untuk kepentingan ide. Ide lah tokoh utama yang harus diperjuangkan, karena hampir semua karya sastra, berangkat dari ide. Karena berangkat dari ide, maka Putu Wijaya tak peduli apakah tokoh dan peristiwanya masuk akal atau tidak. Seorang tokoh bisa saja terus hidup meskipun tanpa kepala, ia bisa jatuh dari gedung tinggi kemudian mati dan hidup lagi, seorang suami selingkuh tiba- tiba menjadi benar hanya karena istrinya tak pernah selingkuh, atau seorang pembunuh menyalahkan korbannya

636 Jamal D. Rahman dkk. karena justru sang korban tidak memiliki salah apa-apa. Putu Wijaya mengganggu pemikiran mapan menjadi sesuatu yang menggelisahkan. Hal yang secara umum dianggap salah, tiba-tiba kelihatan bisa menjadi benar, dan sebaliknya. Ia menjungkirbalikan setiap konsep dan ide-ide pemikiran mapan yang sudah terlanjur dipercaya sebagai kebenaran. Ia mengganggu, menggelitik, dan memprovokasi setiap orang untuk mendevinisikan ulang setiap tindakan berpikir. Karya-karya Putu Wijaya adalah virus yang memporakpo- randakan sebuah bangunan yang mapan, menjadi kepingan- kepingan yang harus disatukan kembali menjadi bangunan baru. Ia mempermainkan segala persoalan, dari hal-hal yang remeh hingga hal-hal yang besar, dengan gaya bercerita yang segar, kocak, dan seringkali menjengkelkan. Ignas Kleden, dalam pengantar kumpulan cerpen Yel (1996), menyebut Putu Wijaya adalah tukang cerita yang profesional, dan ahli ngobrol yang piawai:

Hampir semua yang kelihatan di mata atau tersentuh kakinya dapat dijadikannya sebuah cerita atau obrolan yang memikat. Menurut perasaan saya, daya tarik cerpen-cerpen ini bukanlah lantaran jalan ceritanya, tapi terutama karena Putu bisa menggabungkan beberapa hal yang nampaknya saling bertentangan dan karena itu saling menantang atau saling mengejek: gayanya yang bermain-main tanpa beban, kalimatnya yang tegas dan lugas, peristiwa-peristiwa remeh- temeh dan sebuah surprise yang serius di salah satu bahagian ceritanya. Membaca setiap cerpennya saya seperti selalu dalam rasa tegang untuk menikmati surprise yang seakan selalu dijanjikan Putu, sekaligus juga dibuat tertawa oleh keisengannya yang spontan dan segar.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 637 Lebih jauh Ignas Kleden menyebutkan bahwa karya-karya Putu Wijaya sebagai sebuah dongeng modern. Dongeng yang memikat seperti halnya dongeng anak-anak yang seringkali juga mengesampingkan logika realis. Maka tidak heran, seperti halnya sebuah dongeng yang penuh imajinasi, semua hal yang tidak mungkin menjadi serba mungkin. Pohon- pohon yang bicara, binatang, bahkan batu dan benda-benda mati lainnya, tidak mustahil menjadi bagian cerita yang aktif berkomunikasi seperti halnya manusia. Seluruh ketidak- mungkinan adalah mungkin di tangan Putu Wijaya. Dunia yang dibangun Putu adalah dunia yang bisa sepen-uhnya berada di luar mainstream —di luar nalar biasa. Karena bangunan cerita-ceritanya yang dianggap menyimpang itu- lah, maka karya-karya Putu Wijaya seringkali digolongkan dalam kategori karya-karya absurd. Apakah benar karya-karya Putu bisa sepenuhnya digo- longkan pada aliran absurd, seperti halnya yang bisa ditelu- suri pada jejak-jejak karya Eugene Ionesco dan Samuel Beckett, yang berkembang di Eropa pada tahun-tahun 50- an? Tentu, hal ini masih bisa diperdebatkan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan “dongeng” Putu Wijaya tak bisa dilepaskan dari jejak kelahiran naskah drama Putu yang memenangkan sayembara naskah drama Dewan Kesenian Jakarta pada 1973, Aduh, yang menuai banyak kekaguman dan juga sekaligus kritik yang sangat pedas. Tak kurang dari seorang Mh. Rustandi Kartakusuma, mengatakan dengan nada miring bahwa karya-karya Putu (juga beberapa naskah Arifin C Noer dan naskah Bip-Bop- nya Rendra) sebagai “jiplakan dari karya-karya Barat”.

638 Jamal D. Rahman dkk. Sebuah tuduhan yang kemudian dibantah keras oleh Goenawan Mohamad, dengan mengatakan bahwa tudingan Mh. Rustandi Kartakusuma semata-mata hanyalah sebuah ilusi. Adalah tidak berdasar, begitu tulis Goenawan, mem- buat label tiruan pada seseorang hanya dengan didasarkan pada satu pembacaan naskah tak tuntas. Seorang kritikus sastra harusnya juga mempelajari latar belakang, serta perkembangan-perkembangan karya berikutnya. Ia harus membaca tuntas tidak saja seluruh karyanya, akan tetapi juga seluruh hal yang melingkupi kelahiran sebuah karya: dunia yang melingkupinya, latar belakang yang bisa ditelu- suri, pandangan-pandangan yang mengikutinya, serta gaya otentik yang dimilikinya. “Yang terlihat oleh saya ialah bah- wa paling sedikit separuh dari pernyataan-pernyataan-nya hanyalah hasil suatu fantasi yang ekstrim. “Absurditas” yang disangkanya merupakan kehendak lakon Putu Wijaya, begitu juga “peniruan Ionesco” yang ia katakan sebagai gam- baran umum teater mutakhir, pada hakikatnya cuma ada di kepalanya. Mh. Rustandi Kartakusuma ingin meng-hajar setan, tapi setan itu —diabolus ex machina— sebenar-nya sebuah ilusi.” (Goenawan Mohamad, Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir, 1980). Ada sebuah penggambaran menarik tentang karakter karya-karya absurd Ionesco, yang mungkin bisa digunakan untuk mempertimbangkan penilaian terhadap karakter karya-karya Putu Wijaya. Dalam sebuah catatan pendek yang ditulis oleh Iwan Simatupang, naskah-naskah drama Ionesco digambarkan sebagai karya yang memberi penekanan pada realitas yang terjadi sehari-hari, yang diberi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 639 tafsir baru dengan pengulangan kata-kata tertentu, atau peristiwa-peristiwa tertentu, untuk memberi efek terhadap “penggemparan” makna. Di dalam karyanya Korban- Korban Kewajiban (Victimes du Devoir, dipentaskan untuk pertama kalinya pada 1953 oleh Theater du Quartier Latin di Paris), Ionesco menyuruh seorang tokoh nyonya rumah sepanjang 2/3 pertunjukan hanya pontang-panting saja membawa cangkir-cangkir berisi kopi dari dapur ke ruang tamu. Sehingga, ketika pertunjukan akan berakhir, ruangan itu berisi cangkir-cangkir berisi penuh kopi. Tak ada peristiwa lain, selain pengulangan-pengulangan adegan tersebut. Ketika Iwan Simatupang bertemu Ionesco di Amsterdam dalam sebuah festival di tahun 1957, dan ia bertanya, apa yang dimaksud dengan adegan-adegan minum kopi yang diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung? Ionesco menjawab:

Saya ingin membuktikan, betapa degilnya sebenarnya ulah dari nyonya-nyonya rumah kita, yang seolah otomatis saja mesti siap dengan cangkir-cangkir minumannya bagi seisi rumah, dan siapa saja yang datang bertamu. Sadarkan nyonya-nyonya rumah kita, berapa kali sehari mereka harus melakukan gerak-gerak yang itu-itu juga: begitu tamu datang, secepat kilat lari ke dalam untuk menyediakan dan membawa minuman? Kumpulkan hasil gerak-gerak ini dalam waktu setahun, maka rumah mereka akan penuh bertimbun cangkir- cangkir. Hasilnya seumur hidup mereka? Oho, Tuan, dunia kita ini akan penuh dengan cangkir-cangkir, dan kita tak kebagian ruang lagi untuk hidup, untuk bereksistensi. Dengan kata-kata yang lain: ini adalah absurd, oleh sebab ia adalah juga dunia cangkir-cangkir, dunia di mana manusia harus bertarung melawan antara lain cangkir-cangkir.

640 Jamal D. Rahman dkk. Di dalam karya yang lain, Pelajaran (La Lecon, dipentas- kan pertama kali pada 1951 oleh Theater de Poche di Paris), Ionesco menciptakan seorang tokoh guru, yang berbicara di hadapan salah seorang muridnya dengan pengulangan kata-kata serupa (diambil istilah dari ilmu bahasa, ilmu politik, ilmu sejarah, dan seterusnya) dengan intensitas irama yang berbeda, makin naik, makin cepat, dan semakin berteriak dengan keras. Tak mengherankan jika muridnya (seorang gadis) begitu tertekan dan ketakutan, yang mem- buat sang Guru jengkel, kemudian mencekiknya sampai mati. Untuk karya yang ini, Ionesco kemudian menjelaskan bahwa, “Tidak ada pekerjaan yang lebih absurd dari seorang guru. Coba Anda bayangkan, sepanjang tahun mereka ini mengunyah-ngunyah bahan pelajaran yang itu-itu juga, sampai ia pensiun dan mampus!” Jika dibandingkan dengan karakter karya-karya Putu Wijaya, yang melibatkan lebih banyak gerak serta peristiwa, serta beragam tafsir dari respon peristiwa sosial yang aktual, tentulah sangat berbeda. Putu Wijaya telah menemukan sebuah karakter khas, yang memadukan antara ide-ide absurditas dengan pandangan-pandangan lokal yang melatarbelakangi setiap karyanya. Sebuah contoh respon Putu Wijaya pada kasus pembredelan majalah Tempo oleh rezim Orde Baru pada pertengahan tahun 1990-an misalnya. Ia menulis sebuah cerita pendek dengan judul “Coro”, yang menggabungkan antara dunia fabel dengan kehidupan manusia sehari-hari. Seorang tokoh, ketika memasuki rumah, menemukan seekor coro yang tengah merayap di balik pintu. Sebagaimana konvensi yang berlaku secara

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 641 umum, jika seorang manusia menemukan coro, lebih-lebih coro yang melintas persis dekat telapak sepatunya, maka secara refleks ia akan menginjaknya sampai gepeng. Begitu- pun yang berlaku untuk tokoh kita, dengan gerakan refleks, ia hendak menginjak sang coro —sebagai sebuah kewajiban. Hanya saja, “dongeng” Putu Wijaya kemudian dimainkan, dan sang coro yang selayaknya mati sebagai sebuah kewa- jaran, tiba-tiba berkata: “Jangan Bung.” Terjadilah dialog antara coro-manusia, tentang sebab-sebab coro harus mati. Sebuah perdebatan sengit, yang kadang kocak tapi sekaligus menggiriskan, yang berakhir dengan kesimpulan, bahwa coro tetap harus menerima kematian sebagai sebuah kewa- jiban (dan tak layak untuk mempertanyakan apakah itu benar atau salah). Coro akhirnya mati. Tapi coro yang mati selalu hidup kembali, bahkan semakin banyak mati, akan semakin banyak yang hidup kembali. Siapakah itu coro? Coro itu bernama Tempo (majalah berita, metafor dari perjuangan menegakkan kebebasan). Cara Putu Wijaya menggabungkan antara dunia dongeng dengan fakta, membawa pembacanya pada sebuah petuala- ngan yang asyik, menegangkan, sekaligus kocak dan penuh ironi. Bahkan lebih lanjut, Ignas Kleden selain menyebut Putu Wijaya sebagai juru cerita dari dongeng-dongeng modern, ia juga menyebutkan bahwa pola-pola karya Putu sangat erat kaitannya dengan pola-pola kelisanan yang memberi ruang kebebasan ekspresi seluas-luasnya bagi pembaca. Menurut Ignas Kleden:

Kadangkala, teks-teks yang ditulis Putu, terasa sebagai teks yang setengah selesai, kalimatnya terburu-buru, dan ejaan- ejaan tidak konsisten. Ada cerita pendek yang selesai hanya

642 Jamal D. Rahman dkk. dalam 300 kata (artinya: satu setengah halaman kuarto spasi rangkap, kalau diketik di komputer). Dari satu segi terlihat bahwa hal ini dikerjakan tidak begitu telaten. Tetapi di lain pihak hal ini menunjukkan keterbukaan yang disiapkan pengarang untuk merangsang keturut-sertaan dan keterlibatan pembacanya. Dengan lain perkataan, cerpen Putu rupanya hanya semacam draft yang diharap disempur- nakan dan dilengkapkan oleh siapa pun yang membacanya. Bahkan teks sebagai teks tertulis dilibatkan Putu dalam suatu proses yang berjalan terus dan tidak pernah berhenti. Dengan demikian segala-galanya dibuat terbuka: makna cerita, struktur cerita, dan bahkan bentuk teks sebagai inskripsi dan fixasi bahasa lisan. Dengan membikinnya mentah dan terbuka, seakan-akan Putu hendak mengembalikan lagi wujud teks tertulis kepada bahasa lisan, yang dapat diceritakan dengan berbagai variasi oleh tukang cerita yang berbeda- beda.

Bangunan teks yang serupa, juga dijumpai dalam hampir semua naskah lakon yang ditulis Putu Wijaya. Naskah- naskah lakon Putu, seringkali hanya serupa draft yang tak selesai, dengan tokoh-tokoh yang bebas dan tanpa nama, serta dialog-dialog tanpa petunjuk yang jelas. Tidak heran jika peran sutradara dalam menerjemahkan lakon Putu di panggung begitu dominan. Putu Wijaya membebaskan semua tafsir yang hendak diwujudkan di dalam panggung, bahkan ia begitu terbuka sehingga menampung seluruh respon spontan, bahkan yang tidak ada di dalam teks naskah yang tertulis. Dalam naskah lakon Aduh misalnya, ketika mengenalkan tokoh, cukup hanya disebut “sekelompok orang” kemudian diikuti dengan perintah “melakukan kegiatan”. Tidak jelas bagaimana karakter tokoh dalam sebutan “sekelompok

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 643 orang” tersebut (yang ternyata mereka semua adalah tokoh utama), dan juga tidak dideskripsikan bagaimana “mela- kukan kegiatan” yang dimaksudkan. Rangkaian selanjutnya, teks hanyalah berisi serentetan dialog yang diawali oleh penanda “salah seorang”.

SALAH SEORANG: Lihat sudah gelap! SEMUA TERSENTAK DAN PANIK SALAH SEORANG: Cepat! SALAH SEORANG: Cepat! SALAH SEORANG: Ayo! SALAH SEORANG: Cepat! SALAH SEORANG: Ayo! SALAH SEORANG: Ayo! SALAH SEORANG: Ayo! —DAN SETERUSNYA.

Putu Wijaya adalah dunia tersendiri, baik dalam cerita pendek, novel, maupun naskah drama. Ada serangkaian isyarat, dari beberapa bocoran biografis, bahwa ia (mungkin) menerima pengaruh yang kuat dari angin aliran absurd yang berkembang pesat di Eropa pada tahun-tahun 1950- an, terutama yang diperkenalkan lewat karya-karya Ionesco dan Samuel Becket. Tapi pada bocoran biografis berikut-nya, ada kemungkinan kuat bahwa ia begitu dalam menye-rap keabsurdan lokal (dalam hal ini Bali), yang dilebur bersama penerapan-penerapan pandangan modern yang kritis mengenai berbagai hal. Bukankah ada banyak hal yang juga bisa dipandang absurd ketika kita mencoba menelisik bagaimana ideologi-ideologi yang didasarkan pada keyakin- an, kepercayaan, serta agama, yang telah berpadu dengan

644 Jamal D. Rahman dkk. kekayaan lokal? Cara pandang serta pola pikir manusia Jawa misalnya, atau manusia Bali. Sistem kasta pada pola kemasyarakatan Bali, dengan keyakinan agama, dan juga aroma mistis yang mengikutinya, yang kemudian menjadi satu kesatuan sistem kebudayaan. Ada dunia bawah dan dunia atas pada manusia Bali, ada jagat kecil dan jagat besar pada kebatinan Jawa. Semuanya mempengaruhi cara pandang, yang di dalamnya selalu tersimpan pikiran-pikiran absurd —hal-hal yang tak masuk akal. Pada bocoran kecil yang lain, yang barangkali juga penting untuk melengkapi keliaran logika dan imajinasi Putu Wijaya, adalah kegemarannya pada film-film kartun. Pada film-film kartun, logika sudah memiliki dunianya sendiri yang jauh berbeda dari kelaziman. Tokoh dalam film kartun tak pernah mati, dan selalu bisa melakukan apa saja. Ia menciptakan dunia baru yang benar-benar di luar kewajaran, hingga pada adegan-adegan yang paling tidak masuk akal. Akan akan tetapi, seliar apa pun, semustahil apa pun, dunia rekaan dari film-film kartun tetap bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari mulai anak-anak hing-ga orang dewasa. Faktor kuatnya cerita, kekonyolannya, keanehannya, menjadi sebuah daya tarik yang membuat film-film kartun selalu hidup dalam imajinasi setiap orang. Dari ketiga bocoran itu, hal apakah yang paling kuat mencengkram seorang Putu, sehingga energi kreatifnya selalu membuat orang-orang tercengang? Tentu tidak gampang memilah mana yang paling berperan, karena bisa jadi bahwa ketiga-tiganya sama-sama pentingnya.

***

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 645 Dunia Bali adalah sebuah dunia yang kompleks. Bali adalah pusat agama Hindu, di mana upacara-upacara keaga- maan merupakan denyut nadi yang tak terpisahkan dari kehidupan. Bali juga pusat pariwisata, tempat berkumpulnya orang-orang dari seluruh penjuru dunia, —karena itulah maka ia sangat heterogen. Karena denyut pariwisata serta daya tarik yang unik dan khas, yang mendatangkan beragam manusia dan budaya dari seluruh penjuru itulah, maka Bali juga bangkit sebagai daerah metropolis yang dinamis. Di “dunia” semacam inilah Putu Wijaya lahir. Ia lahir dari kalangan bangsawan, di sebuah Puri yang bernama Puri Anom, yang tentu berbeda dengan kalangan biasa. I Gusti Ngurah Putu Wijaya, demikian ia mendapat nama, sebuah nama dengan label kehormatan yang menunjukkan kedudukan pada kasta pemiliknya. Tapi Putu Wijaya yang egaliter, menolak seluruh kedudukan itu, dan masuk ke dalam pergaulan lintas kalangan, dengan membuang I Gusti Ngurah, dengan hanya mencantumkan namanya saja: Putu Wijaya. Ia menyukai segala yang bernuansa seni, lukisan tradisional Bali yang dekoratif tapi menyimpan absurditas dalam tema-temanya, tarian dan pentas “keagamaan” yang berbau mistis, upacara-upacara; sekaligus ia menyukai denyut Bali yang dinamis. Ia memandang Bali sebagai sebuah dunia yang selalu berada di tapal batas, dan merumuskan Bali seb- agai batu granit yang padat dan terus berproses membentuk dirinya. “Dalam alam pikiran Bali,” begitu tulisnya, “segala yang ada sekaligus juga tak ada. Segala yang niskala menjadi nyata. Hitam menjadi putih dan sebaliknya. Kosong pun berisi. Suka-duka hadir komplit. Siang dan malam tak

646 Jamal D. Rahman dkk. pernah sendirian. Manusia pun selalu berteman. Alam dan kehidupan merupakan satu kesatuan luruh yang saling berhubungan lewat benang-benang rahasia. Yang mungkin dan tak mungkin, yang masuk akal dan di luar jangkauan nalar berbaur saling melengkapi. Tak mengherankan kalau ada yang berkata bahwa untuk mempelajari ilmu hitam, harus dimulai dari ilmu putih dan sebaliknya untuk mempe- lajari ilmu putih harus dimulai dari ilmu hitam” (Putu Wijaya, Bor, 1999). Alam pikiran yang selalu berada di tapal batas inilah, yang membentuk Putu Wijaya menjadi pribadi yang tak pernah selesai, selalu mencari, dan selalu bertanya. Pikiran-pikiran realis dari kenyataan keseharian yang dipadukan dengan pandangan-pandangan mistis di luar nalar, menjadi titik dari mana karakter karya-karya Putu Wijaya bisa ditelusuri. Pada lukisan dekoratif Bali misalnya, yang tidak mengenal pers-pektif, bagi Putu hal itu telah memberi sebuah pandangan bahwa yang nyata dan yang imajiner pada dasarnya adalah sama. Mimpi dan kenyataan selalu membaur, fokus yang berserakan, kanvas sesak sama sekali tak ada ruang kosong, tidak ada kesatuan imej dan peristiwa, serta terdapat anakronisme yang disengajakan. “Dalam lukisan-lukisan tersebut, kita akan banyak menemukan pemberontakan kepada logika. Sekaligus, pada saat yang sama, pemberon-takan itu sendiri memberikan logika kepada berbagai hal yang tak masuk akal. Tiadanya perspektif juga menandakan sebuah upaya untuk menerima, bahwa segalanya sesua-tunya adalah sama.” Karena itulah maka bagi Putu, baurnya angan-angan (yang imajiner)

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 647 dengan kenyataan, merupa-kan potret dari realitas yang sebenarnya. Di mana mimpi, harapan, fakta dan realitas, selalu datang serentak pada hidup manusia. Lebih jauh Putu Wijaya menulis:

Karena tiadanya kesatuan imej, maka kesenian bukanlah rekayasa. Bukan manipulasi batin, sehingga pengertian ‘empati’ yang merupakan acuan nilai dalam terminologi kesenian Barat, harus diberontaki. Kesenian bukanlah kehidupan itu sendiri. Kesenian hanya bayangan, hanya jembatan menuju kebenaran yang sesungguhnya. Karenanya ia tidak seragam, tidak bisa diatur. Ia hidup, bahkan bisa jadi liar. Itulah kodratnya.

Bali telah menanamkan sebuah keyakinan awal yang penting dalam memandang sebuah realitas, dan ia menulis- kannya untuk melunaskan seluruh kegelisahan yang selalu menjadi hantu yang senantiasa memburu –kodrat, atau kutukan bagi seorang penulis. Ia membuka jendela dunia dari hal apa saja yang menyentuhnya, dari hal yang paling remeh, hingga sesuatu yang dianggap besar. Bali yang dinamis, juga menjadikan Putu seorang maniak yang menihilkan waktu ketika ia harus menulis. Ia bisa menulis di mana saja: di bandara, di ruang tunggu stasiun, di tengah keramaian atau di puncak kesunyian. Ia adalah penulis cepat yang tak sabar memburu kalimat akhir, untuk kembali berburu kalimat pertama pada tulisan yang baru. Menulis sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama), tapi ia selalu mengatakan bahwa, “Menulis buat saya adalah peker- jaan yang tidak mudah.” Begitulah cara Putu Wijaya menge- nang siapapun yang telah memberi kontribusi bagi perkem-

648 Jamal D. Rahman dkk. bangan kepenulisan dirinya. Ia mengagumi Pramoedya Ananta Toer yang bagi dia, memiliki kekokohan, serta bahasa yang mengalir dan kaya akan ungkapan-ungkapan baru. Ia juga belajar pada Toha Mohtar yang menuntunnya pada kesederhanaan dan kejujuran. Kemudian Trisnoyuwono yang mengajarkan keberanian untuk menelanjangi diri sendiri. Riyono Pratikto dalam hal pentingnya imajinasi dan plot. Lalu Goenawan Mohamad yang membuka cakrawala wa- wasan serta menajamkan gagasan. Sedangkan pengalaman- nya sebagai wartawan telah mendidik Putu untuk disiplin terhadap deadline. Tidak hanya itu, Putu Wijaya juga mengaku banyak belajar dari karya-karya asing. Ia menyebut nama-nama seperti: Wiliam Saroyan, Hemingway, John Steinbeck, Anton Chekov, O. Henry, Guy de Maupassant, Edgar Allan Poe, Christian Anderson, Boris Paternak, Samuel Beckett, bahkan juga Agatha Christie dan Sir Conan Doyle. Putu mem- pelajari dengan serius beragam teknik menyusun plot, takaran dan bobot, pertukangan dan dimensi menulis. Sebab bagi Putu, menulis bukan hanya sekedar bercerita, tetapi juga mengemukakan pendapat dengan strategi yang diper- hitungkan namun tanpa kehilangan rasa dan spontanitas. Ia mempelajari Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis ketika duduk di bangku SMA, dan memiliki kenangan yang sangat kuat ketika pada saat itu ia dipertemukan dengan dramawan Kirjomulyo yang menyutradarainya saat mementaskan drama Anton Chekov, Badak. Selepas SMA yang ia selesaikan di Singaraja, Putu kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (lulus

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 649 pada 1969), tiga tahun di ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film), dan satu tahun di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Pada saat berproses di Yogyakarta itulah, ia bergabung dengan Bengkel Teater Rendra (1967-1969). Yogyakarta, sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, tentu semakin melengkapi jalan panjang Putu Wijaya. Bali dan Jawa, memiliki dinamikanya sendiri, serta proses batin sendiri. Jika Bali mengajarkan Putu pada keramaian yang hening, pada trance serta upacara-upacara dan tarian teatrikal; maka Yogyakarta menawarkan kebatinan yang lambat dan hati-hati. Benturan dua proses yang sepertinya (secara lahiriah) bertabrakan, akan tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang serupa. Hingga ia kemudian hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Mandiri (1971), dan di sanalah gejolak Putu menemukan muaranya. Lahirnya naskah-naskah lakon yang merupakan tonggak-tonggak Putu, bersama Teater Mandiri yang menjadi kawah perco- baan setiap pemanggungannya, adalah dua sungai dalam satu muara. Karakteristik Putu Wijaya, semakin kokoh dengan ekperimen-eksperimen karyanya, yang mengalir seperti banjir bandang. Ratusan cerita pendek, puluhan novel dan naskah lakon, kemudian lahir dari tangannya.

*** Tidak semua karya-karya Putu menampilkan sebuah dunia jungkir balik, yang aneh dan ajaib, serta di luar nalar kelaziman. Pada Bila Malam Bertambah Malam (1971) misalnya, Putu menampilkan dirinya sebagai penulis realis yang telaten, rapi, dengan cerita dan struktur cerita, karakter

650 Jamal D. Rahman dkk. tokoh, serta peristiwa yang mengalir biasa seperti lazimnya cerita. Novel yang mengisahkan tentang hubungan sosial antara kelas bangsawan dengan kelas rakyat jelata, antara Brahmana dan Sudra itu, ditulis dengan sungguh-sungguh gaya seorang penulis realis yang piawai. Dalam novel itu, tak satu pun ditemukan tokoh, atau peristiwa, yang di luar kewajaran. Cerita mengalir, dengan tema besar yang terga- rap dengan jelas. Putu Wijaya, yang lahir dari keluarga Puri (keluarga bangsawan), menertawakan dirinya dengan mempertanyakan bagaimana bisa sebuah masyarakat dipilah-pilah berdasarkan garis keturunan. Kritik pedas Putu dialamatkan pada tokoh-tokoh bangsawan, yang pada kenyataannya juga memiliki sifat-sifat buruk sebagaimana pada umumnya manusia. Perbedaaan, serta perubahan gaya Putu kemudian diperlihatkan pada novel berikutnya, Telegram (1973). Pada novel ini batas antara fantasi dan realitas mulai dikacaukan. Pusat penceritaan hanyalah seorang tokoh yang tengah menunggu telegram dari ibunya (dari Bali), dan mengalami transisi hebat dari kehidupan desa yang tradisional menuju sebuah peradaban kota yang modern. Tokoh-tokoh nyata, bermunculan dalam novel ini bersama tokoh hayalan yang saling berebut mengisi, menimbulkan sebuah sensasi yang aneh. Kemudian pada novel Pabrik (1975), orientase Putu pada latar yang wajar, mulai tidak penting. Ia lebih fokus pada peristiwa-peristiwa keji yang menyangkut karakter tokoh, hubungan antara majikan dan bawahan. Ironi-ironi yang kejam, kenakalan dan kelicikan, serta kejahatan- kejahatan manusia, diperlihatkan Putu lewat berbagai

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 651 peristiwa. Tidak jelas latar tempat kisah itu berlangsung di mana, Putu hanya menampilkan sebuah dunia khas yang mewakili suara orang-orang kecil yang selalu tertindas ketika menghadapi kekuasaan yang lebih besar. Keliaran dan keanehan Putu yang semakin menjadi-jadi ketika kemudian muncul novel Stasiun (1977), diikuti oleh Lho (1982) dan Perang (1990). Antara yang nyata, yang hayal, yang masuk akal dan tidak masuk akal, dicampur menjadi sebuah teror mengerikan yang menghantam pikiran setiap pembacanya. Dalam Stasiun, seorang tokoh tiba-tiba kepalanya copot diterkam orang gila, kemudian dipasangkan kembali seperti seseorang memasangkan topi di kepalanya. Dalam Lho, seorang tokoh tiba-tiba digambarkan memiliki hasrat yang sangat kuat untuk melakukan pembunuhan pada orang-orang yang justru tidak diinginkannya. Kemudian pada Perang, Putu dengan seenaknya mempermainkan pakem-pakem pada dunia pewayangan, yakni perang Bharatayudha, dengan sebab yang sangat sepele: perebutan sebuah jeruk yang jatuh ke tangan Yudhistira. Tokoh-tokoh wayang dalam novel ini, dengan kocak memperbincangkan persoalan-persoalan yang terjadi pada masa kini, yang sama sekali tak ada hubungan- nya dengan dunia pewayangan. Goenawan Mohamad yang pertama kali menyebut Putu Wijaya melakukan sebuah dekonstruksi. Seperti tak terben- dung, ia membanjiri kepala pembacanya dengan karya- karya sejenis, dengan tema-tema yang tak terduga. Putu sepertinya tak pernah kehabisan sesuatu untuk ditulis, dari hal apa saja, bisa melahirkan sebuah cerita. Sangat pantas

652 Jamal D. Rahman dkk. jika Ignas Kleden, disamping menjuluki karya-karya Putu sebagai dongeng modern, juga menjuluki Putu sebagai Tukang Cerita yang piawai. Putu bisa bisa menyentuh apa saja, dan dengan mudah menjadikannya cerita, lalu dengan mahir membawakannya di panggung. Jika Putu sudah tampil di panggung, maka seluruh apa yang dilihatnya, tiba- tiba menjadi hidup dan secara spontan menjadikannya bagian dari cerita. Ia bisa saja melompat dari panggung menunju kursi, dan menjadikan kursi itu sebagai tokoh. Atau melompat dari kursi menuju salah seorang penonton, lalu secara spontan menjadikan penonton yang dituju itu sebagai tokoh utama. Tidak heran, jika setiap pementasan Putu, baik pementasan naskah lakon bersama teaternya, Teater Man- diri, maupun ketika ia bermonolog membawakan cerpen- cerpennya, selalu saja ada yang baru dalam pertunjukan itu. Tentu tidak setiap aktor bisa melakukan, seperti apa yang dilakukan Putu Wijaya. Putu Wijaya memang tak pernah selesai. Selalu tak sabar memburu kalimat akhir, atau adegan akhir, untuk kembali berburu kalimat awal atau adegan awal. Kata-katanya, kalimat-kalimatnya, telah membangun sebuah dunia baru yang khas, yang mutlak milik Putu Wijaya. Dunia yang dipenuhi kenakalan berpikir, kecerdasan dalam menafsir, serta dunia yang penuh gelak tawa dan ironi, untuk mem- bangunkan mereka yang lengah.[]

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 653 654 Jamal D. Rahman dkk. Remy Sylado Jalan Mbeling dan Pengaruhnya

NENDEN LILIS AISYAH

etiap kali ia ke gereja, dipandanginya mimbar di mana Ssetiap tahun ia bermain dalam sandiwara cerita Natal sebagai binatang rusa. Setiap memandangi mimbar itu, ia selalu berkata dalam hatinya: tahun depan aku akan ikut lagi, tapi tidak lagi sebagai rusa. Pada saat itu, usianya 8 tahun. Dialah Japi Tambayong alias Remy Sylado. Ia, seperti terlihat dari gambaran masa kecilnya di atas, memang sosok yang tak pernah puas, baik dengan sesuatu yang telah dicapainya, maupun dengan sesuatu yang ada dalam masyarakatnya. Selama ia berkiprah dalam bidang yang digelutinya, ia selalu muncul dengan pandangan kritis, ide dan sepak terjang yang sering kali mengejutkan dan menggemparkan. Ia kerap menghadirkan hal yang beda dan penuh daya dobrak. Ia juga cenderung muncul sebagai pelopor dan penggerak. Akibat berbagai sepak terjangnya itu, ia dikenal sebagai seniman “nakal”, mbeling, dan nyentrik. Seniman mbeling, itulah predikat yang dilekatkan pada Remy Sylado, sastrawan yang nama aslinya sesungguhnya

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 655 cukup panjang ini: Jubal Anak Perang Immanuel Abdiel Tambayong atawa disingkat Japi Tambayong. Mbeling, dalam bahasa Jawa, artinya nakal, suka membantah (memberon- tak). Citra seperti itulah yang melekat pada sastrawan yang dilahirkan di Ujung Pandang dalam keluarga pendeta gereja Christian and Missionary Alliance, 12 Juli 1945 ini. Berbagai kiprah dan sepak terjang di beberapa bidang yang digelutinya selama ini dari mulai sastra, teater, musik, seni rupa, film hingga dunia pendidikan dan pers, menunjukkan hal itu. Julukan mbeling sendiri pertama kali muncul setelah pada tahun 1970-an ia bersama sejumlah seniman lain di Ban- dung, mencetuskan gerakan puisi yang dinamakannya dengan Puisi Mbeling di Majalah Musik Aktuil yang diasuh- nya. Gerakan ini merupakan pemberontakan kaum muda terhadap kemapanan puisi saat itu yang dikuasai kaum tua yang dipandang cenderung tak memberi tempat bagi kebe- radaan kaum muda dengan berbagai ekspresi dan eksplora- sinya. Gerakan ini pun merupakan sikap menolak terhadap kaidah-kaidah puisi yang selama itu menjadi konvensi yang seolah-olah merupakan pakem yang tak bisa diganggu gugat. Kaum muda ini meronta dengan membentuk kubu dan konsepnya sendiri bahwa puisi bukan lagi inti pernyataan sastra yang menuntut keseriusan tersendiri di dalam mencip- ta dan menikmati. Bagi mereka, puisi merupakan hasil kerja main-main yang lahir secara spontan, terus-terang, santai, penuh humor, dan cenderung mengejek.1 Meskipun begitu, puisi-puisi mbeling itu sebenarnya bukan puisi yang kosong

1 Sujarwo, “Puisi Mbeling: Sensasional, Tersendat, Akhirnya Surut”, Waspada, 25 Januari 1981.

656 Jamal D. Rahman dkk. sama sekali. Banyak dari puisi mereka sebetulnya sangat serius dalam melihat dan memetakan suatu persoalan. Jika kita melihat konteks sosial saat itu, puisi mbeling sebenarnya bukan sekadar pemberontakan terhadap situasi kesusastraan. Tidak sekedar pemberontakan terhadap kaidah estetik, linguistik, dan artistik. Jika kita menyimak pernya- taan-pernyataan para pencetus puisi ini, dalam hal ini Remy Sylado, dan juga mendalami isi puisi-puisi mereka, akan terlihat bahwa mereka juga memberontaki moralitas masyarakatnya, baik dalam kehidupan politik, maupun sosial, terutama terhadap sikap korup dan munafik generasi tua yang telah menjadi semacam status quo.2 Apa yang dikibarkan Remy Sylado di majalah yang banyak mengupas kelompok-kelompok musik cadas itu, diteruskan- nya di majalah lain, yakni majalah Top dengan nama Puisi Lugu dan Soliloquy yang kemudian berubah lagi jadi Puisi Awam pada waktu diasuh Jeihan Sukmantoro. Remy duduk sebagai redaktur di kedua majalah paling populer zaman itu. Gebrakan Remy dan kawan-kawan ini memberi dampak yang sangat besar dan luas di kalangan anak muda. Gerakan yang awalnya tumbuh di Bandung ini menjalar ke kota-kota lain seperti Jakarta, Jogja, Semarang dan Surabaya. Di mana-mana timbul puisi-puisi sejenis puisi mbeling, seperti puisi sinting, eksentrik, sok nylekit, jengki, underground, dan lain-lain. “Kenakalan” Remy tidak hanya sebatas pada bidang puisi. Seniman serba bisa yang menyandang seabrek gelar: penyair,

2 Lihat pengantar-pengantar Remy Sylado dalam majalah Aktuil dan Top pada rubrik puisi Mbeling. Lihat pula pernyataannya dalam “Sepatah Dua Kata dari Remy Sylado” pada buku Potret Mbeling, Kumpulan Puisi, (Jakarta, 1993), hal. i.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 657 novelis, cerpenis, sutradara, dramawan, pemusik, pelukis, war- tawan, dosen, hingga pemain sinetron ini, pada periode yang sama (tahun 70-an) membuat heboh dengan kelompok musiknya, Remy Sylado Company. Karya-karya Remy dalam bidang musik ini pun dianggap sebuah revolusi seni yang mengandung perlawanan. Salah satu kasetnya yang digemari anak-anak muda saat itu sempat mendapat larangan beredar dari Kepala Humas Pemda Bandung, karena dianggap mengadu domba orang tua dan anak. Namun, Remy tak merasa jera. Sekali mbeling tetap mbeling. Dalam bidang teater, ia pun pernah diamankan polisi gara-gara pementasan dramanya yang bertajuk “Genesis 2”. Petugas menganggap drama tersebut cabul. Tidak hanya sebatas itu. Nama Remy Sylado merupakan bentuk mbeling-nya yang lain. Remy Sylado adalah terje- mahan dari sederetan angka 23761. Deretan angka ini tentu saja bukan deretan nomor undian. Deretan angka yang diu- capkan dalam not musik (re-mi-si-la-do) yang kemudian digu- nakannya sebagai namanya ini, konon merupakan tanggal, bulan, dan tahun tatkala pertama kali ia mencium seorang perempuan (tanggal 23, bulan 7, tahun 1961). Di samping nama tersebut, seniman berperawakan kekar, wajah ber- cambang, dan kulit kuning langsat yang memiliki segudang kemampuan ini punya sejumlah nama samaran lain, salah satunya Dova Zillla untuk artikel-artikelnya di surat kabar. Namun, nama yang secara tetap digunakannya hingga sekarang adalah Remy Sylado. Mbeling-nya Remy Sylado seperti digambarkan di atas, tentu saja tak dimaksudkan sebagai sekadar nyentrik- nyentrikan, menarik perhatian, atau menimbulkan kegem-

658 Jamal D. Rahman dkk. paran. Menurut Remy, dalam sebuah wawancara di H.U. Media Indonesia, makna kata nakal dalam kata mbeling yang berasal dari bahasa Jawa ini, menyiratkan konotasi positif. Nakal, tapi punya konotasi sembada, punya tanggung jawab. Membongkar, tapi ingin memperbaiki. Dan pembe- rontakan itu harus jelas, ada yang ingin ditawarkan. Bukan sekadar mengadakan revolusi, tapi reformasi. Ke-mbelingan, dengan demikian, didasari sikap yang penuh idealisme. Sikap seperti itu tidak hanya ia tunjukkan dalam bidang seni, tapi juga dalam bidang pekerjaannya. Sebagai contoh, pada saat ia menjadi managing editor sebuah majalah di Jakarta, ia banyak menolak tulisan-tulisan yang masuk sebab tulisan-tulisan itu ia anggap berisi iklan selundupan. Sikap idealis Remy ini banyak tidak disukai wartawan lain dan dianggap tidak mengerti situasi wartawan saat itu. Teta-pi, Remy adalah Remy. Sebagai seorang seniman intelektual, ia tak mau kompromi dalam mempertahankan idealismenya.

*** Jika dihitung dari awal kiprahnya hingga sekarang, hampir setengah abad Remy malang melintang di dunia seni dan budaya. Sastrawan yang lahir dalam keluarga yang mencintai seni ini (terutama seni musik), telah akrab dengan seni sejak usia 8 tahun, tatkala ia sering pentas dalam sandiwara cerita Natal. Ia juga telah menunjukkan bakatnya dalam bidang musik sejak kecil. Ayahnya, yang meninggal dibunuh Jepang, karena menyadari bakat anaknya ini, memberinya nama Jubal, bapak musik, yang diambil dari kitab Genesis. Kecintaannya pada seni ia teruskan ketika ia pindah ke Semarang melanjutkan SMA (1954-1959) setelah menye-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 659 lesaikan SD dan SMP di Makassar. Di kota ini ia sempat ikut main mementaskan beberapa pementasan drama, antara lain dalam Midsummer Night’s Dreams karya sastrawan dan dramawan Inggris, Shakespeare. Untuk memperdalam bidang ini, selanjutnya ia belajar formal di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) (1959-1962). Namun, rupanya ia tak puas menyelami satu bidang saja. Maka, ia puh kuliah di Akademi Bahasa, Akademi Seni Rupa Indonesia, dan Seminari Teologi. Di luar pendidikan formal, Remy yang lahir di tengah keluarga Kristen dan masa kecilnya dilalui di lingkungan Katolik, pernah belajar di pesantren karena rasa ingin tahu- nya yang besar. Ia memang ingin belajar agama langit yang ada di dunia. Tak heran apabila ia paham isi Taurat, Mazmur, Bibel, dan Alquran. Semua ini kebutuhan, ujarnya dalam sebuah wawancara di tahun 1990. Dalam bidang menulis, Remy mulai menulis novel pada usia 17 tahun di Semarang tatkala kuliah sambil bekerja seba- gai wartawan Sinar Indonesia (1963-1965), kemudian dilan- jutkan sebagai redaktur pelaksana harian Tempo di kota yang sama (1965-1966). Namun, jejak, bakat, dan produktivitas dalam bidang kepenulisan juga dalam bidang lainnya mulai menonjol setelah pada akhir 1968 ia hijrah ke kota Bandung. Di kota yang sempat menjadi pusat berkumpul dan berprosesnya seniman-seniman Indonesia yang kini punya nama besar, Remy, seniman yang menguasai 15 bahasa di dunia secara lisan dan tulisan ini bergabung sebagai redaktur di majalah Aktuil (1970-1975) dan Top. Lewat dua majalah inilah ia melahirkan gerakan puisi mbeling.

660 Jamal D. Rahman dkk. Pada tahun 70-an, Remy mengaku sangat produktif menulis. Tahun-tahun itu, di kota Paris van Java ini bahkan ia berani melayani beberapa majalah dan koran untuk mengisi cerita bersambung dalam waktu yang bersamaan. Tak hanya bidang menulis, bidang teater pun ia jajaki dengan lebih dalam. Di kota itu ia membentuk grup teater 23761 (1969) yang di dalamnya bergabung siswa Akademi Teater dan Film (ATF) Bandung, yang saat itu ditinggalkan salah satu tokohnya, Jim Lim ke Prancis. Selain dari ATF, di kelom- pok teater yang dibentuknya ini bergabung siswa-siswa dari Akademi Sinematografi. Di akademi ini pula Remy mengajar dalam bidang dramaturgi, ikonografi, dan make up. Bersama Teater 23761 ini, Remy aktif menggelar karya dramanya. Beberapa pementasan drama yang pernah disutradarainya adalah Manusia Terakhir, Generasi Semau Gue, Siti Mudjenah (adaptasi dari cerita karya Elvy Mitchele), Impromptu karya Mosel, Red Carnation, Hair, dan No Room, Messiah 2, Genesis 2 yang merupakan drama-drama yang digemari kaum muda-mudi, dan masih banyak lagi. Kini, dari perjalanan kesenimanannya, budayawan yang juga pernah menjadi redaktur majalah Vista Jakarta ini, telah menghasilkan puluhan volume kaset musik, lebih dari 50 novel dewasa dan bacaan anak-anak, dan lebih dari 30-an naskah drama. Salah satu karya Remy yang terkenal adalah Ca Bao Kan (1999), sebuah novel yang mengupas kehidupan masyarakat Cina di Jakarta. Novel yang telah mengalami cetak ulang lebih dari enam kali ini telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Nia Dinata. Film itu sukses dan menjadi salah satu tonggak kebangkitan perfilman nasional.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 661 Novel lainnya yang diluncurkan pada medio 2000 dan juga mempopulerkan nama seniman peraih nominasi aktor pembantu dalam film “Taksi” dan “Tinggal Sesaat Lagi” ini adalah Kembang Jepun, yang berkisah tentang kehidupan geisha asal Manado di rumah pelacuran yang dibangun orang Jepang. Tahun 2002, novelnya Kerudung Merah Kirmizi, sebuah novel berlatar masa reformasi, meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award untuk kategori fiksi. Novelnya yang lain, yang berlatar sejarah abad 15, Sam Pho Kong, diluncurkan tahun 2004. Juga tak bisa dilupakan novel- novelnya berjudul Paris van Java, dan Siau Ling. Puisi-puisi mbeling dan puisi-puisi yang ditulis Remy sebelum dicetuskan puisi mbeling, dibukukan dalam kumpulan puisi Potret Mbeling (1993). Adapun kumpulan puisi berikutnya, yang dijuluki buku 1000 puisi dengan jumlah halaman mencapai lebih dari 500 halaman, Kerygma (1999), boleh jadi merupakan buku kumpulan puisi tertebal di Indonesia. Selain menulis karya fiksi, sebagai seniman yang punya kepedulian pada masalah dan perkembangan teater dan musik, Remy juga menulis sejumlah buku nonfiksi mengenai kedua bidang itu, antara lain Dasar-Dasar Dramaturgi, Menge- nal Teater Anak, Menuju Apresiasi Musik, Sosiologi Musik, dan Ensiklopedi Musik. Di luar kegiatan menulis kreatif, sosok seniman all round ini, kerap memberi ceramah perihal teologi. Begitulah sekilas tentang sosok seniman yang memiliki potensi luar biasa ini. Hingga sekarang, seperti musik cadas yang digemarinya, ia masih suka menghantam: menge- mukakan pandangan-pandangannya yang kritis, tajam, dan

662 Jamal D. Rahman dkk. keras tentang berbagai hal. Usia tidak menghentikan “kena- kalan”-nya. Ia punya prinsip, tidak selalu orang hidup harus mengulur, hidup harus ada getaran. Dan ia telah membukti- kannya lewat berbagai kiprah dan karyanya yang memberi getaran yang sangat bernilai bagi pertumbuhan dan kehi- dupan kesenian di tanah air. Pengaruh yang paling menonjol dari tokoh ini dalam kesu- sastraan Indonesia adalah tatkala ia mencetuskan dan memelopori gerakan puisi mbeling yang mendobrak kema- panan estetika perpuisian Indonesia. Seperti apa gerakan dan pengaruh yang timbul dari ide Remy Sylado dengan puisi mbeling-nya, akan dipaparkan berikut ini.

Lebih Jauh tentang Puisi Mbeling Apa yang terbayang di benak Anda jika sebuah majalah pop, tepatnya majalah musik yang kerap menyajikan tulisan-tulisan tentang musik cadas semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Grand Funk Railroad dan menampilkan kehidupan artis-artis yang penuh sensasi: seks bebas, obat terlarang, dunia malam, dan lain-lain, memasang rubrik puisi di dalamnya? Kalau kita meninjaunya dari situasi sekarang tentulah agak aneh kedengarannya sebab rata-rata rubrik puisi saat ini hadir di majalah-majalah kebudayaan (terkhusus sastra). Kalaupun hadir di koran-koran umum, tentulah dibingkai dalam sebuah kolom budaya. Akan tetapi, apa yang digambarkan di atas, pernah terjadi dalam sejarah kesusastraan kita. Pada tahun 1972, sebuah majalah musik paling populer saat itu, yang terbit di Bandung,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 663 menampilkan puisi yang cukup menghebohkan. Puisi-puisi itu ditulis anak-anak muda dengan semangat menyimpang dari konvensi puisi yang dianggap mapan saat itu. Puisi-puisi tersebut tampak penuh daya pemberontakan: terkesan main- main, terus terang, santai, penuh humor, cenderung mengejek. Hal ini sangat bertentangan dengan situasi saat itu yang cen- derung menempatkan puisi sebagai karya agung dan serius. Kehadiran puisi-puisi itu selalu diiringi dengan esai-esai pengantar yang isinya tajam dan keras mengkritik situasi sosial dan kesusastraan saat itu, yang semakin meneguhkan tendensi pemberontakan dari kehadiran puisi-puisi tersebut. Majalah yang memuat puisi-puisi yang mendapat respon sangat besar dari kalangan muda tersebut adalah majalah Aktuil. Rubrik puisi di majalah itu diberi tajuk Puisi Mbeling. Nama yang sangat terkait erat sebagai pelopor Puisi Mbeling ini adalah Remy Sylado. Di samping Remy Sylado, nama-nama lain yang turut me- macu kehadiran Puisi Mbeling yang menjadi sebuah gerakan karena kemudian meluas adalah: Jeihan Suksmantoro (sastrawan, pelukis), Jim Supangkat (kritikus seni), Alm. Sanento Yuliman, dan Sony Suriaatmadja. Mereka sama- sama menjadi pengasuh (redaktur) di majalah Aktuil. Selain di Aktuil, Puisi Mbeling juga hadir di majalah Top dengan nama Puisi Lugu dan Soliloquy (1973, diasuh Remy Sylado), dan Puisi Awam (1975, diasuh Jeihan Suksmantoro yang kemudian dilanjutkan oleh Sony Suriaatmadja). Selain di majalah-majalah tersebut, Puisi Mbeling juga mengisi ruang kebudayaan di berbagai koran yang terbit di berbagai kota, seperti Suara Karya (Jakarta), Eksponen (Yogyakarta),

664 Jamal D. Rahman dkk. Waspada (Medan), dll. Para penyumbang puisi tersebut mencapai ratusan nama dan puisi yang masuk redaksi mencapai 10.000 yang berasal dari Indonesia dan luar negeri.3 Walaupun para kritikus sastra saat itu agak meremehkan puisi-puisi semacam itu, misalnya dengan menyebutnya sebagai kelompok ria remaja dan gejala mempopkan puisi (puisi populer), kehadiran puisi-puisi tersebut menimbulkan pengaruh luas dan dampak yang kuat dalam peta dan perkembangan kesusastraan saat itu. Gerakan puisi yang bermula dari Bandung ini menjalar dan mendapat sambutan meriah di kalangan anak muda kota-kota lainnya, seperti Jakarta, Yogya, Semarang, Surabaya, dengan berbagai nama. Di Yogya, Yudhistira A.N. Massardi menggelar “Puisi Jengki”, di majalah Astaga ada “Puisi Rusak”. Di tempat- tempat lainnya timbul puisi-puisi dengan nama puisi sinting, eksentrik, sok nylekit, dan sebagainya. Apa yang dilawan dan menjadi pemberontakan kalangan muda saat itu? Bagi generasi yang hidup tahun 1970-an, tentunya masih segar dalam ingatan bagaimana gemuruh dan gelisahnya masa itu: sebuah masa yang secara global menghadapi transisi budaya, dan secara politik nasional baru keluar dari transisi kekuasaan (Orde Lama ke Orde Baru). Selain menghadapi transisi, masa itu Indonesia sedang menghadapi krisis: kebobrokan moral, krisis lingkungan dan politik, krisis keadilan dan HAM, merajalelanya kebudayaan pop dan sikap materialistis, membabi butanya teknologi yang

3 Tim Peneliti Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Budaya Universitas Diponegoro Semarang, “Puisi Mbeling, Telaah Singkat Atas Sajak-Sajak Indonesia Populer” (Jakarta, 1979), hal. 10.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 665 cenderung mengasingkan manusia dari sifat-sifat humanis. Ditambah lagi oleh penguasa yang mulai represif dan mengalami distorsi moral dalam mempertahankan status quo. Contoh dari krisis yang saat itu menjadi isu penting adalah korupsi. Adapun dalam bidang moral misalnya menjamurnya night club, seks bebas, dan obat terlarang. Gerakan Puisi Mbeling, seperti yang dapat dilihat dari esai- esai pengantar para penggagas puisi ini (Redaksi Aktuil, 1972), hendak menelanjangi kebobrokan moral, kebodohan, kebegoan, dan kemunafikan, seperti diuraikan di atas. Sasaran utama kelompok ini adalah generasi tua, sebagai eksponen kebudayaan yang lebih mapan, yang dalam hal ini sering hadir sebagai pemegang kekuasaan, yang menurut mereka cenderung munafik: seolah moralis tapi tidak bermoral; memberi wejangan, tapi korup. Gerakan Puisi Mbeling menolak kemapanan generasi tua yang seperti itu.4 Kemapanan yang demikian, dalam pandangan para pen- cetus puisi ini, terjadi pula dalam kesusastraan. Kalangan muda saat itu merasakan kesusastraan, khususnya puisi, dikuasai kaum tua dengan segala konvensi puisinya yang mapan dan seolah merupakan pakem yang tak bisa diganggu gugat, dan tak memberi tempat bagi ekspresi dan eksplorasi kaum muda. Oleh karena itu, kalangan muda membentuk kubunya sendiri dengan mencipta puisi-puisi yang meronta terhadap kema- panan estetik, linguistik dan moralitas. Sikap memberontak yang dikibarkan Remy Sylado itu, dinyatakan Seno Gumira Ajidarma, sangat inspiratif sehingga

4 Seno Gumira Ajidarma, “Menghujat Generasi Munafik: Mbelingisme 23761” dalam Remy Sylado, Potret Mbeling, Kumpulan Puisi, (Jakarta, 1993), hal. iv.

666 Jamal D. Rahman dkk. cepat dicaplok oleh generasi serba gelisah dan tak punya jalan keluar seperti saat itu.5 Di sini tampak, melalui gagasan sastra- nya, Remy berupaya menjalankan peran sebagai pengarah masyarakat, atau dalam istilah Seno, Remy telah hadir seba- gai ideolog, seorang penganjur, yang pikiran-pikirannya ber- pengaruh dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Apabila musik yang digemari generasi pengusung Puisi Mbeling ini termasuk musik cadas yang gemuruh dan keras, tidak demikian dengan pemberontakan mereka. Mereka tidak frontal. Mereka lebih senang menentang dengan cara mbeling: nakal, main-main untuk mengejek dan menyindir yang serba munafik: sok moralis, sok serius, sok agung, dan sebagainya. Hal ini memang sejalan dengan konsep mbeling yang telah mereka pilih sebagai prinsip perlawanan mereka. Rendra, pada saat itu, sebetulnya juga mencetuskan apa yang dinamakannya dengan generasi urakan untuk merespon kemapanan kesenian saat itu yang menurutnya perlu dibongkar. Akan tetapi, Remy melihat istilah yang lebih tepat adalah istilah dari bahasa Jawa: mbeling. Menurutnya, mbe- ling berarti nakal (suka membantah), tapi tidak kurang ajar dan tak tahu sopan santun. Mbeling memiliki konotasi positif: nakal, tapi bertanggung jawab. Memberontak, membongkar, tapi ingin memperbaiki. Pemberontakannya jelas, ada yang ditawarkan. Kemapanan bahasa, artistik (termasuk karakter visual), dan isi, oleh Puisi Mbeling ini, berupaya dibongkar. Dan di balik pembongkaran itu, ditawarkan sesuatu.

5 Ibid., hal. vi.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 667 Gerakan Puisi Mbeling saat ini memang sudah surut. Tetapi, pengaruhnya terhadap perkembangan estetika perpu- isian Indonesia setelah munculnya gerakan tersebut sangat terasa. Hal ini bahkan diakui Sapardi Djoko Damono setelah dobrakkan itu terjadi. Dalam sebuah kertas kerja yang disampaikan dalam Konferensi Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1978, Sapardi mengakui bahwa sumbangan Puisi Mbeling terhadap puisi Indonesia mutakhir tidak bisa dihindari.6 Pengaruh itu terbukti dengan terbitnya buku-buku yang ditulis Yudhistira A.N.M. Massardi berjudul Biarin, Piala, Omong Kosong, dan Sajak Sikat Gigi; Muhammad Ali dengan bukunya buku puisi Diat, dan Arthur John Horoni lewat buku Buletin Alif.7 Lebih dari semua itu, estetika perpuisian Indonesia barangkali akan tetap stagnan tanpa adanya pemberontakan tokoh pencetus Puisi Mbeling, Remy Sylado. Kehadiran Gerakan puisi ini telah memungkinkan generasi sesudahnya berani bereksplorasi dengan berbagai jenis puisi yang keluar dari pakem generasi selanjutnya. Puisi-puisi humor, ironi, parodi, dan jenis-jenis lainnya berani bermunculan. Tentu saja ini membuat perpuisian Indonesia menjadi kaya, variatif, dan inovatif.[]

6 Berita Buana, “Puisi Mbeling Sumbang Puisi Indonesia Mutakhir”, 18 Februari 1978. 7 Tim Peneliti Tim Peneliti Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Budaya Universitas Diponegoro Semarang, op. cit, hal. 21.

668 Jamal D. Rahman dkk. Abdul Hadi W.M. Antara Timur dan Barat

ACEP ZAMZAM NOOR

i bawah naungan pohon-pohon siwalan dan cemara Dduri, di antara debur ombak lautan dan semerbak aroma tembakau yang sayup sampai, seorang remaja yang masih bercelana pendek berjalan sendirian sambil merasakan kedekatannya dengan alam. Remaja itu masih duduk di bangku SMP, sudah senang membaca buku dan menunjukkan minat yang kuat untuk menjadi penyair. Ia rajin mendengarkan siaran sastra yang secara rutin ditayangkan RRI Sumenep, dan kemudian menjadi anggota pecinta sastra Gita Taruna di radio tersebut. Ia sudah terlebih dahulu mengenal apa itu yang namanya sajak. Sanusi Pane, Amir Hamzah dan Chairil Anwar sudah ia akrabi lewat sajak-sajak yang dibacanya. Kakeknya kebetulan pembaca sastra yang punya banyak koleksi buku, termasuk kumpulan sajak. Dari kakeknya pula ia mendengar nama Mpu Sedah, Mpu Panuluh dan Mpu Kanwa. Selain itu, kakeknya sering berce-rita tentang epos Bharatayudha dan Arjunawiwaha. Semen-tara ayahnya adalah pengagum Emile Zola,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 669 Mohammad Iqbal dan Al-Ghazali, yang berlangganan majalah Mimbar Indonesia dan Panji Masyarakat. Abdul Hadi Wiji Muthari nama remaja yang bercelana pendek itu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih dan rambutnya ikal agak kecokelat-cokelatan. Sejak duduk di bangku SMP ia sudah menulis sajak yang dipasang di majalah dinding dan dikirim ke radio untuk dibacakan. Karena minatnya yang kuat pada sastra maka ia melanjutkan SMA di Sura- baya. Di kota buaya ini bacaannya semakin luas, dan mulai berani mengirimkan sajak-sajaknya ke ruang remaja surat kabar di Surabaya. Ia juga bergaul dengan teman-teman yang mempunyai minat serupa sehingga semangatnya untuk berkarya menjadi terpacu. Meskipun begitu, sajak- sajak yang dikirimkannya sering kali ditolak redaktur. Abdul Hadi Wiji Muthari kemudian menyingkat namanya menjadi Abdul Hadi W.M. Pada tahun 1983 ia menulis “Catatan-catatan Seorang Penyair” yang dimuat dalam bunga rampai Proses Kreatif suntingan Pamusuk Eneste. Salah satu bagian dari tulisan tersebut menarik untuk kita simak:

Sekarang setelah besar, saya merasakan bahwa dorongan untuk menjadi penyair lebih ditentukan oleh naluri dan kemauan yang keras. Saya tak pernah merasa bahwa saya begitu berbakat, kecuali bahwa sebagai manusia saya memiliki potensi-potensi terpendam yang harus digali dengan kemauan dan kerja keras. Di sini pengetahuan kemanusiaan dan kebudayaan menjadi amat penting bagi saya: pengetahuan yang banyak mewartakan tentang kreativitas manusia dan dinamikanya sepanjang sejarah. Terutama dalam keadaan manusia menghadapi kesulitan-kesulitan atau tantangan besar.

670 Jamal D. Rahman dkk. Lebih jauh Abdul Hadi melanjutkan:

Tahun 1962 saya pindah sekolah dari SMA Negeri di Sumenep ke SMA Negeri I Surabaya. Kegiatan saya menulis makin meningkat. Pertama, karena banyak kawan yang gemar pada kesusastraan dan bersama-sama mengisi beberapa ruang remaja di surat kabar yang ada di Surabaya. Kedua, munculnya pertarungan antara pengarang kelompok Lekra dan penulis-penulis yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan (1963), yang saya ikuti dengan aktif. Pertarungan mereka ikut memacu kreativitas saya, karena saya melihat bahwa sastra di situ ternyata merupakan masalah yang penting, masalah hidup matinya kebudayaan. Sayangnya, karangan-karangan saya puluhan kali ditolak oleh berbagai majalah. Untuk mengirim ke majalah Sastra, saya masih enggan.

Tahun 1964 remaja bertubuh kurus dan berambut ikal ini pindah ke Yogyakarta, tepatnya melanjutkan kuliah di fakultas sastra (kemudian pindah ke fakultas filsafat) di Universitas Gajah Mada. Pada tahun pertama kuliahnya ia gencar sekali mengirimkan sajak ke majalah Basis yang terbit di kota itu. Namun lagi-lagi, Andre Hardjana yang menjadi redaktur sastra selalu menolaknya. Karena dorongan yang kuat dari dalam, penolakan-penolakan tersebut kemudian diambil hikmahnya. Di samping terus menulis dengan tekun, ia pun mulai mendalami sajak-sajak penyair lain dengan sungguh-sungguh. Sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono yang waktu itu sudah menguasai majalah-majalah terke- muka, ia pelajari habis-habisan. Mengenai proses belajar ini Abdul Hadi mengakuinya dengan jujur: “Pembandingan terus-menerus secara tekun

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 671 dengan karya yang dianggap telah berhasil, ternyata mem- buahkan hasil yang tak sedikit. Saya mulai merasa bahwa sajak saya lebih baik dari sebelumnya, dan mulai mengetahui di mana kelemahan-kelemahan saya”. Kita kutip dulu “Nyanyian Petani” yang ditulis tahun 1965, salah satu sajak dari periode awal yang masih bisa dilacak:

Berilah kiranya yang terbaik bagiku tanah berlumpur dan kerbau pilihan bajak dan cangkul biji padi yang manis

Berilah kiranya yang terbaik angin mengalir hujan menyerbu tanah air bila masanya buahnya kupetik ranumnya kupetik rahmat-Mu kuraih.

Mari kita bandingkan “Nyanyian Petani” dengan “Sajak Samar” yang akan kita kutip selanjutnya. Dalam sajak yang ditulis tahun 1967 ini nampak penyair mencoba menyatakan perasaannya yang samar-samar dengan cara yang sederhana, yakni dengan cara menyerahkan dirinya kepada alam. Tema- nya mungkin tak jauh beda dengan sajak pertama, sama- sama tentang alam, namun yang mengesankan adalah cara pengungkapannya yang lain, yang lebih segar namun sublim. Pada sajak kedua ini mulai terlihat keterampilan Abdul Hadi sebagai seorang penyair lirik yang berbakat:

Ada yang memisahkan kita, jam dinding ini ada yang mengisahkan kita, bumi bisik-bisik ini ada. Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum pergi tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri.

672 Jamal D. Rahman dkk. Sapardi Djoko Damono yang waktu itu sudah banyak menulis esai sastra, tangannya seperti tergerak untuk mem- berikan apresiasi terhadap sajak-sajak Abdul Hadi yang sudah mulai banyak beredar di majalah-majalah sastra, termasuk kedua sajak pendek ini. Dalam esainya yang berjudul “Keremang-remangan: Suatu Gaya” yang dimuat majalah Horison, Sapardi menulis dengan penuh semangat:

Mula-mula adalah kabut. Lalu muncul perahu-perahu, para nelayan yang mengurus jangkar mereka, ombak laut, rombongan buih, lalu kabut lagi. Kemudian muncul bulan, suara angin, percakapan-percakapan lirih, lalu kabut lagi. Warna-warna yang samar-samar, dan kemudian segalanya tenggelam dalam kabut. Demikianlah sajak-sajak Abdul Hadi W.M. sampai kepada saya. Bermula dengan keremang- remangan dan berakhir pada keremang-remangan: suasana yang remang-remang yang muncul dari alam, alam yang lahir dari suasana yang remang-remang. Tidak ada kontur yang tegas, tidak ada warna-warna yang mencolok, segalanya mengabur dalam suasana yang seperti kabut. Suasana yang tidak memaksa saya untuk mengernyitkan dahi terhadap semacam teka-teki silang, yang kalau sudah terisi semua sudah habis. Suasana yang tak membimbing saya ke suatu sudut untuk kemudian menyumpal saya dengan semacam kebenaran-kebenaran; suasana yang tak menghendaki adanya keseragaman imajinasi pembacanya. Demikianlah, maka suasana itu sugestif, tidak cerewet sebab bukan poster.

Mengenai sajak-sajak Abdul Hadi pada periode awal ini, Subyantoro Atmosuwito juga menulis di majalah Budaya Jaya: “Kalau Goenawan Mohamad mendapat ilham dari religiusitas dan kenangan, Abdul Hadi beroleh ilham dari intensitas dan estetika kenangan. Berbeda dengan sajak-sajak Sapardi yang sering berorientasi ke agama Kristen, Abdul Hadi menyuguhkan fakta multi agama di Indonesia. Sebagai

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 673 penyair religius Abdul Hadi bisa diketengahkan sebagai wakil dari Islam yang berada di luar”. Sapardi sepertinya jatuh cinta pada sajak-sajak Abdul Hadi. Begitu juga Subyantoro. Sedang penyair Angkatan ’66 yang waktu itu namanya sedang berkibar, Taufiq Ismail, malah turut membantu penerbitan kumpulan sajaknya yang pertama. Taufiqlah yang menyurati Abdul Hadi agar segera mengumpulkan sajak-sajaknya untuk diterbitkan. Penerbit- nya bernama Litera, sebuah lembaga non-profit yang dikelola Ali Audah. Dari penerbitan tersebut tak ada honorarium buat penyair. Abdul Hadi setuju. Maka terbitlah Laut Belum Pasang pada tahun 1971. Waktu kumpulan pertamanya terbit, ia masih kuliah di Yogyakarta. Tentu saja tawaran penerbitan kumpulan sajak kepada Abdul Hadi datangnya tidak serta merta. Antara tahun 1966 sampai 1970 sajak-sajaknya sudah banyak dimuat majalah Horison, majalah Budaya Jaya dan mingguan Mahasiswa Indonesia. Sajak-sajaknya mendapat perhatian dan sebagai penyair ia mulai diperhitungkan. Bahkan sajak “Madura” yang dimuat majalah Horison tahun 1968 mendapat apresiasi yang tinggi dari redaksi, dan dinyatakan sebagai puisi terbaik pada tahun itu. Tak lama kemudian Abdul Hadi mendapat tawaran jadi redaktur mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung, di mana sebelumnya pernah menjadi koresponden mingguan tersebut. Ia pun meninggalkan Yogyakarta tahun 1971. Di Bandung ia bergaul rapat dengan Sutardji Calzoum Bachri, Remy Sylado, Jeihan, Sanento Yuliman, T. Sutanto, Hamid Jabbar, Wilson Nadeak dan Saini K.M.

674 Jamal D. Rahman dkk. Di Bandung pula aktivitasnya sebagai penyair meningkat. Sajak-sajaknya tambah subur, dan posisinya sebagai penyair semakin diperhitungkan. Berkat kumpulan sajak Laut Belum Pasang yang sebenarnya disiapkan dengan tergesa-gesa, tahun 1973 ia diundang menjadi pembicara pada seminar kesusastraan di Kuala Lumpur, Malaysia. Kemudian melaku- kan kunjungan ke Thailand, Laos dan Kamboja. Berkat kum- pulan sajak itu pula ia terpilih mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat, dilanjutkan dengan Poetry International Festival di Rotterdam, Belanda, serta festival serupa yang digelar di London, Inggris. Di festival internasional tersebut ia bertemu dengan penyair yang sangat dikaguminya, yaitu Octavio Paz dan Vasco Poppa. Tak lama setelah pulang ke tanah air, Abdul Hadi mening- galkan Bandung dan pindah ke Jakarta. Tinggal di kota yang sibuk malah membuatnya tambah produktif, baik sajak maupun esainya terus muncul di berbagai media massa. Kumpulan sajak kedua, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1975. Kum- pulan ini sebagian besar masih bermaterikan sajak-sajak yang ditulisnya selama menjadi mahasiswa, di luar yang termuat dalam Laut Belum Pasang tentunya. Ada cerita menarik mengenai proses lahirnya sajak-sajak dalam kumpulan kedua ini:

Sekembali ke Yogya dari Madura, beberapa hari setelah pem- berontakkan PKI meletus, saya langsung ikut demonstrasi- demonstrasi anti PKI. Kemudian juga ikut bergabung dengan KAMI. Tapi tak lama kemudian, saya jera dengan aktivitas semacam itu. Politik ternyata tidak cocok buat saya, apalagi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 675 hanya salah satu buah caturnya. Lagi pula saya yakin bahwa berjuang tidak cukup hanya dengan meneriakkan slogan- slogan Tritura. Saya ingin situasi yang penuh kekerasan fisik itu berakhir, supaya mahasiswa bisa belajar dan seniman bisa kreatif lagi. Maka itu, saya tinggalkan Yogya dan berangkat menuju Bali. Di Bali menyepi beberapa bulan, lalu pindah ke Banyuwangi. Di sana saya menulis sajak-sajak saya, dengan semangat yang berkobar-kobar menyambut matinya Lekra dengan ajaran-ajarannya yang doktriner dan tidak toleran,” tulisnya dalam “Catatan-catatan Seorang Penyair.

Sajak-sajak dalam kumpulan kedua ini umumnya meru- pakan sajak lirik yang menyuarakan kemurnian alam, renungan tentang waktu serta pengembaraan ke berbagai tempat yang bukan hanya bersifat fisik, namun juga batin. Imaji-imaji visual tentang laut dengan segala detailnya mendominasi kumpulan ini. Pada beberapa sajak imaji-imaji tersebut ditarik atau dikaitkan pada sesuatu yang filosofis dan sufistik. Dalam kumpulan ini terdapat tiga sajak panjang yang tergolong unggul kwalitasnya, yakni “Madura”, “Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur” dan “Doa Untuk Indonesia”. Tak lama setelah Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, kumpulan sajak Cermin (1975) dan Meditasi (1976) diterbitkan Budaya Jaya secara berturut-turut. Kedua kumpulan sajak yang sebagian besar merupakan impresi- impresi spiritualnya selama mengembara ke sejumlah negara di Asia, Amerika dan Eropa, juga mendapat sambutan baik dari publik sastra. Dalam Cermin nampak kematangan Abdul Hadi W.M. mengolah sajak-sajak liriknya dengan ketat, singkat dan

676 Jamal D. Rahman dkk. efektif. Lanskap-lanskap alam, warna-warni kota — khusus- nya kota Iowa dengan segala perubahan musimnya — diung- kapkan lewat imaji-imaji visual yang meriah, namun terukur takarannya. Musim semi, musim dingin, semak-semak salju, tungku pemanas, lonceng gereja, hutan dan gurun tidak men- jadi sesuatu yang artifisial, namun mengendap dan lirih. Selain itu, beberapa sajak panjang seperti “Sanctuary”, “Illuminasi”, “Luang Prabhang”, “Hidup” dan Elegi III” menambah bobot kumpulan ini. Dengan frasa-frasa yang sedikit bergeser menjadi lebih prosais kita dapat merasakan bagaimana sebuah perjalanan ruhani yang berliku dilukis- kan seperti tamasya mengunjungi reruntuhan sejarah. Seba- gai pembaca kita juga dituntun untuk kembali memperta- nyakan sangkan paraning dumadi. Kesan itu bukan hanya muncul pada sajak “Sanctuary”, “Illuminasi” atau “Luang Prabhang”, tapi juga pada “Elegi III” yang salah satu bagiannya berbunyi:

Antara Chittagong dan Hanoi, kami telah berjalan sekian ribu mil, lewat kesepian dan masa kanak-kanak Dan hidup dengan penuh impian gemilang, seraya menyanyikan sajak Li Po dan kata-kata Iqbal:

“Tiongkok dan Arab adalah tanahku India semua malahan juga tanahku...”

Antara Chitagong dan Hanoi, kami telah berjalan sekian ribu mil dan mengawasi Gangga dan Yangtze lewat pintu kereta masa silam, di mana Tembok raksasa dan Borobudur didirikan, kemudian kapal-kapal Inggris dan Portugis membangun Hongkong, Singapura, Macao dan Goa buat persediaan gandum dan perang di masa datang.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 677 Kumpulan sajak Meditasi yang terbit tahun berikutnya nampak seperti kelanjutan dari sajak-sajak sublimnya yang termuat dalam kumpulan Cermin. Selain memuat sajak-sajak pendek yang ditulis pada kurun yang sama, juga terdapat beberapa sajak panjang seperti “Laut”, “Gerimis”, “Meditasi” dan “Labirin”. Sajak-sajak pendeknya tentu saja liris, kaya akan deskripsi dan seperti biasa iramanya terjaga. Sedang sajak- sajak panjangnya terasa semakin menukik ke dalam. Ia terus melakukan perjalanan, bolak-balik antara Timur dan Barat, berdialog dengan segala ajaran, berceng-krama dengan semua kepercayaan dan agama, bertanya pada setiap penyair, filsuf, rahib, yogi dan nabi. Ia terus mengembara menyusuri luasnya semesta, membaca laut, langit, gunung, pohon dan batu. Kita kutip bagian akhir dari sajak panjangnya yang berjudul “Meditasi”:

Tidak. Sebaiknya kau datang saja sore hari di saat aku bercermin. Tapi jangan lagi mewujud atau menjelma. Tuhan, siapakah nama-Mu yang sebenar-Nya? Dari manakah asal-Mu? Apakah kebangsaan-Mu? Dan apa pula agama-Mu? Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori tentang aku dengan susah payah. Tapi siapa aku yang sebenarnya aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya aku, dari mana dan sedang menuju ke mana.

Mengenai sajak-sajaknya dari periode “Meditasi” ini, Abdul Hadi dalam tulisan proses kreatifnya menjelaskan bahwa pada mulanya alam ditampilkan ke dalam sajak hanya sebagai lanskap biasa, lalu hadir sebagai pelengkap suasana hati. Kemudian meningkat menjadi imaji-imaji simbolik untuk pertanyaan-pertanyaan dalam kaitannya dengan pengalaman religius atau mistik.

678 Jamal D. Rahman dkk. Lebih jauh ia menyatakan: “Kenyataan paling penting bagi penyair untuk sajak-sajaknya bukan melulu kenyataan di dunia luar, melainkan justru dunia di dalam dirinya sendiri yang disebut jagat kecil atau alam saghir. Menulis puisi terutama adalah bagaimana menyelami jagad kecil ini secara kreatif, mencari getaran-getaran hidup di dalamnya, dan mencoba berdialog dengan yang kekal dan menyatu- kannya dengan yang fenomenal”. Sementara Harry Aveling, kritikus dari Australia yang pernah menterjemahkan sajak-sajaknya ke dalam bahasa Inggris, menulis dalam Arjuna in Meditation: Tree Young Indonesian Poets: Lewat ketepatan dan teknik formilnya Abdul Hadi menya- jakkan sikapnya terhadap hidup dan mati yang berpusat pada hubungan alam dan manusia. Sajak-sajaknya yang awal, sekitar 1967-an, menunjukkan hal itu terutama yang mengenai peris- tiwa-peristiwa sekilas. Sajak-sajaknya yang lembut, banyak menggunakan statemen-statemen semu dan subtil. Tapi sajak- sajaknya setelah 1970-an mulai bebas dalam bentuk dan humor- humor yang terdapat di dalamnya menunjukkan perkembangan yang dewasa, yang merupakan ciri serta usahanya sendiri.

Tahun 1977 kumpulan sajaknya yang keempat kembali diterbitkan Budaya Jaya, judulnya Tergantung Pada Angin. Kumpulan ini berisi sajak-sajak yang ditulis antara tahun 1975-1976, dan umumnya berupa sajak-sajak pendek. Seperti halnya kumpulan sajak terdahulu, kumpulan ini pun mendapat sambutan hangat dari publik sastra. Bahkan beberapa sajaknya kemudian menjadi terkenal karena sering dikutip dalam berbagai tulisan, misalnya sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat”.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 679 Sejumlah penyair dan kritikus membahas kumpulan sajak yang disebut-sebut sebagai puncak dari kepenyairan Abdul Hadi W.M. Bahkan A. Teeuw, kritikus dari Belanda, meng- analisisnya panjang lebar dan hasil analisisnya tersebut kemudian dibukukan dengan judul Tergantung Pada Kata, yang terbit pada tahun 1980. Judul buku Teeuw sendiri jelas mengambil inspirasi dari judul kumpulan sajak Abdul Hadi. Dan pada tahun 1978 kumpulan sajak ini mendapat Hadiah Buku Puisi Terbaik dari DKJ. Setelah Tergantung Pada Angin terbit, kita mulai jarang melihat sajak-sajaknya muncul di media massa. Tapi pada tahun 1983 tiba-tiba Abdul Hadi menerbitkan Anak Laut Anak Angin, yang merupakan kompilasi sajak-sajak terbaik yang disaring dari kumpulan-kumpulannya terdahulu. Kompilasi sajak ini kemudian membawanya meraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 1985. Dan setelah itu sajak-sajaknya kembali jarang menampakkan diri lagi. Baru sekitar dua puluh tahun kemudian, setelah rambut ikalnya penuh uban, terbit kumpulan sajak Pembawa Matahari pada tahun 2002.

*** Abdul Hadi W.M. lahir tanggal 24 Juni 1946 di Sumenep, Madura. SMA diselesaikannya di Surabaya, lalu mempelajari filologi dan kesusastraan Indonesia di fakultas sastra dan kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Setelah itu ia pindah ke fakultas filsafat di universitas yang sama. Gelar master dan doktor diperolehnya dari Pusat Pengkajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Saint Malaysia di Pulau

680 Jamal D. Rahman dkk. Penang, Malaysia, dengan disertasi Estetika Sastra Sufistik: Kajian Sastra Hermeneutik Terhadap Karya-karya Shaykh Hamzah Fansuri. Di samping mempelajari kesusatraan Indonesia dan filsafat Barat, Abdul Hadi secara sungguh- sungguh mendalami kesusastraan dan kebudayaan Timur. Abdul Hadi W.M. pernah menjadi redaktur mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung, lalu pindah ke Jakarta dan berturut-turut menjadi redaktur majalah Dagang dan Industri, staf ahli bagian pernaskahan Balai Pustaka, mengasuh lembar budaya “Dialog” di harian Berita Buana, menjadi redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur’an dan menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada periode inilah esai-esainya tentang sastra, khususnya tentang sastra profetik mengalir deras dari tangannya. Ia banyak mengulas konsep sastra profetik, yang menurutnya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari khazanah kesusastraan Timur, termasuk kesusastraan yang hidup di kawasan Nusantara. Ia selalu menyebut Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Nuruddin Ar-Raniri sampai Amir Hamzah yang menurutnya tetap masih mempunyai kesinambungan dengan sastrawan masa kini. Dalam salah satu esai di buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, ia menulis: Dalam kesusastraan Nusantara misalnya, kemoderenan yang mendahului zamannya dapat dilihat dari karya-karya Hamzah Fansuri, seorang penyair sufi abad ke-16. Kepe- nyairan Hamzah Fansuri ternyata mempunyai kesinam- bungan dengan penulis-penulis Indonesia abad ke-20. Kesinambungan tersebut tampak dalam wawasan estetik dan puitika yang dipilih dua penyair Pujangga Baru terkemuka,

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 681 yakni Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Contoh lain adalah puisi-puisi profetik Iqbal. Ia menjadi lebih modern dan bermakna karena di belakang proses penulisannya terdapat sumber ilham karya abadi dari sastra Persia klasik seperti Mantiq al-Thayr karya Fariduddin Attar serta Matsnawi karya Jalaluddin Rumi.

Menurut Abdul Hadi, sepanjang satu dasawarna pertama Orde Baru, kebebasan kreatif yang diperoleh para seniman Indonesia telah mendorong mereka menghasilkan banyak eksperimen yang bermakna. Eksperimen-eksperimen tersebut bukan saja memberi nafas baru bagi kehidupan seni modern Indonesia, tetap sangat menentukan bagi perkembangan kreativitas pada masa sesudahnya. Berbagai wawasan atau estetik baru, begitu juga penemuan bentuk dan teknik pengucapan baru telah memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi perkembangan seni modern yang berpijak dan berciri Indonesia. Perkembangnya yang dimaksud, yaitu ikhtiar memadu- kan unsur tradisi dan modernitas. Dalam ikhtiar ini terdapat berbagai cara dan kecenderungan dalam menggali dan memilih anasir-anasir tradisi, baik demi kemanfaatan tradisi itu sendiri maupun demi modernitas. Ada yang cenderung mengutamakan tradisi di atas modernitas, dengan tujuan lebih menonjolkan semangat keindonesiaan atau kedae- rahan. Ada juga yang menggali tradisi semata-mata demi pembaharuan yang lebih bermakna. Namun apapun kecen- derungan yang muncul, tampak bahwa telah terdapat kesa- daran baru di kalangan seniman atau sastrawan kita akan pentingnya tradisi sebagai asas penciptaan karya baru.

682 Jamal D. Rahman dkk. Kecenderungan pertama yang menyikapi tradisi secara kreatif dengan melakukan banyak inovasi dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater nampak pada karya Sardono W. Kusumo, Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya dan Ikranegara. Kecenderungan kedua dapat dilihat pada karya Nh. Dini, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Darmanto Jatman, Linus Suryadi A.G. atau Ibrahim Sattah. Motifnya mungkin berbeda-beda namun mereka kebanyakan melihat tradisi sebagai produk sejarah yang bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas masyarakat tertentu. Sementara kecenderungan ketiga, lanjut Abdul Hadi, ialah yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama serta bentuk-bentuk spiritualitas tampak pada karya Danarto, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, M. Fudoli Zaini, Emha Ainun Nadjib dan D. Zawawi Imron. Mereka tidak berpretensi kedaerahan walaupun sadar sudah mengambil unsur tradisi tertentu. Malahan mereka tidak membatasi diri pada satu atau dua tradisi saja, dan sadar pula bahwa yang ingin disampaikan ialah pengalaman dan sikap hidup manusia masa kini yang telah tercerabut dari akar tradisi dan agama. Dalam lembar budaya “Dialog” di harian Berita Buana, selain banyak membahas sastra profetik dan pengaruhnya seperti yang disinggung di atas, Abdul Hadi juga mendorong munculnya gerakan sastra religius atau yang kemudian disebut sebagai sastra sufistik. Untuk itulah lembar budaya

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 683 “Dialog” menyediakan lahan yang leluasa bagi sajak-sajak religius yang tidak dibatasi sekat agama tertentu. Selain dari kalangan Islam, banyak penyair dari kalangan Katolik dan Hindu yang menulis di situ. Dalam waktu yang bersamaan ia menjadi redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur’an yang juga membuka rubrik sajak, dan rubrik itu pun terbuka bagi semua kalangan. Pada sisi lain, harian Pelita membuka lembar budaya “Memo” yang diasuh Sutardji Calzoum Bachri. Lembar budaya ini mempunyai semangat yang sama dalam menggalakkan sastra religius. Dari atmosfir kreatif yang digelorakan Abdul Hadi selama kurang lebih satu dekade tersebut telah hadir penyair- penyair potensial seperti Kriapur, Afrizal Malna, Beni Setia, D. Zawawi Imron, Heru Emka, B.Y. Tand, Ajamuddin Tifani, Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Nurullah, Ook Nugroho, Wahyu Prasetya, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, Ahmad Syubanuddin Alwy, Dorothea Rosa Herliany, Isbedy Stiawan ZS, IGK Raka Kusuma, I Made Suantha, Bambang Widiatmoko, Arief Joko Wicaksono, Joko Pinurbo, Jamal D. Rahman dan masih banyak lagi. Pada pertengahan 1980-an muncul reaksi keras terhadap pandangan-pandangan Abdul Hadi, terutama dalam hubungannya dengan sastra universal. Reaksi tersebut dikirimkan Ariel Heryanto dari Salatiga yang mengusung gerakan sastra lain, yakni sastra kontekstual. Sempat terjadi polemik yang hangat baik di forum-forum diskusi maupun media-media massa. Tentu saja polemik seperti ini sangat berharga karena telah mewarnai dinamika kepenyairan di tanah air. Selain meninggalkan jejak berupa buku Perde-

684 Jamal D. Rahman dkk. batan Sastra Kontekstual yang dieditori Ariel Heryanto, polemik ini juga menghadirkan seorang penyair bernama Wiji Thukul.

*** Pada tahun 1969 Abdul Hadi W.M. mendapat Hadiah Puisi Terbaik dari majalah Horison, tahun 1978 mendapat Hadiah Buku Puisi Terbaik dari DKJ, 1979 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, tahun 1985 mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand, dan Hadiah Sastra Mastera dari Malaysia tahun 2003. Abdul Hadi sudah banyak menulis buku yang berkaitan dengan sastra sufistik, misalnya Rumi Sufi dan Penyair, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi- puisinya, Rubayat Omar Khayam, Kembang Para Suhada, Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Shaykh Hamzah Fansuri (disertasi), Kembali ke Akar Kembali Ke Sumber dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Selain itu ia juga sudah banyak menerjemahkan karya-karya Rumi, Hafiz, Tagore, Iqbal, Goethe, Octavio Paz dan lain-lain. Ketertarikan Abdul Hadi W.M. terhadap sastra sufistik ternyata bukan kebetulan karena ketemu di jalan, tapi jauh sebelumnya ia sudah menunjukkan kecenderungannya itu. Di majalah Budaya Jaya tahun 1968, termuat tujuh sajaknya yang sebagian mungkin tidak terdapat dalam kumpulan-kumpulan sajaknya. Ketujuh sajak tersebut adalah “Senja Susut di Wajahku”, “Penyair, Gerimis, Bulan dan Kumandang”, “Surat Seorang Pengembara Kepada

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 685 Ibunya”, “Dalam Gerimis Ini”, “Sarangan”, “Wajah Sendiri” dan “Jawaban Kepada Hamzah Fansuri”. Sajak-sajaknya yang dimuat majalah Budaya Jaya ini secara estetik sudah menemukan bentuknya yang utuh, melukiskan alam dengan padat namun tanpa kontur yang tegas, seakan —seperti yang disebut Sapardi Djoko Damono – bermula dari keremang-remangan dan berakhir pada keremang-remangan. Di antara sajak-sajak itu terdapat sebuah sajak yang mengisyaratkan pada kecenderungannya kemudian. Sajak tersebut mungkin bukan yang terbaik, namun menjadi menarik karena menyebut-nyebut nama Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri adalah nama yang sejak dekade 1980-an sampai sekarang masih terus disebut- sebutnya, masih terus dibahas dan digali kedalamannya. Dan nama tersebut ternyata sudah hadir dalam kehidupan kreatif Abdul Hadi ketika masih berusia sangat muda. Mari kita baca kutipan sajak “Jawaban Kepada Hamzah Fansuri” yang ditulis tahun 1967:

Begini, aku tidak tahu di mana jung perahumu dilabuhkan dalam badai Ingin melabuhkan sampan juga dengan madah Karena kudengar dari semua cerita betapa rinai sauh yang dulu kauangkat sekalipun penuh lumpur liat aku ingin melihat

Sementara syukurlah, duh pemabuk, aku pun disebut pengembara karena hari memang tidak terlalu cepat redup cuaca.

686 Jamal D. Rahman dkk. Tahun 2002 kumpulan sajak Pembawa Matahari terbit. Kumpulan sajak ini agak berbeda bentuk maupun corak puitikanya, terutama karena sebagian besar mengacu pada bentuk-bentuk sastra Melayu klasik dan umumnya merupakan sajak-sajak prosais atau naratif. Bisa jadi ia sedang melakukan pencarian dalam pengucapan baru bagi pengalaman-pengalaman sosial, sejarah maupun spiritual yang lebih kompleks. Sajak-sajak dari suatu zaman atau periode tertentu memang sering tidak dapat dipisahkan dari pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan ingatan kolektif yang merupakan kecenderungan dominan pada periode itu. Sebuah sajak yang kembali menyebut nama Hamzah Fansuri rasanya menarik untuk kita simak bersama. Sajak ini agak berbeda dengan umumnya sajak yang terhimpun dalam kumpulan ini, terutama karena corak puitikanya yang liris rasanya lebih mengarah pada estetika sajak-sajak Persia klasik. Frasa-frasa sajak ini seakan mengisyaratkan pada kita tentang keheningan personal di tengah kerutinan- kerutinan massal. Sajak tersebut berjudul “Nyanyian Hamzah Fansuri”, kita kutip seutuhnya:

Tiada yang lebih kurindu selain Dia Dan mendirikan kemah di padang kehendak-Nya Menjadikan Dia satu-satunya matahari Dan hujan bagi bumi kerontang dalam jiwa

Demikian ayat orang asyik masyuk bercinta Tak terikat apa pun selain kungkungan hasrat-Nya Merdeka berjalan di antara taring ajal dan raung serigala Tak takut apa pun kecuali bila tercerai dari-Nya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 687 Dekade 1990-an adalah dekade kehidupan akademik yang suntuk bagi kepenyairan Abdul Hadi W.M. Sebagai sastrawan tamu Universiti Saint Malaysia di Pulau Penang, ia berkewajiban menyampaikan makalah untuk berbagai seminar, memberikan kuliah kesusastraan Indonesia dan kesusastraan Timur, membimbing sejumlah mahasiswa untuk kelas penulisan kreatif serta menyiapkan sebuah kumpulan sajak yang sifatnya tematis. Kumpulan sajak tersebut sebenarnya sudah rampung sejak tahun 1993, namun rencana penerbitannya di Malaysia menjadi terbengkalai, terutama karena kesibukannya menyiapkan disertasi untuk program doktor. Pembawa Matahari baru berkesempatan terbit tahun 2002 setelah penerbit Bentang memintanya. Abdul Hadi W.M. merupakan perpaduan unik antara dunia akademik dan kepenyairan, antara dunia formal dan intuitif, antara sesuatu yang rasional dan mistis, juga antara tradisi dan modernitas. Jejak-jejak yang ditinggalkannya sangat jelas dan tegas. Ia meninggalkan sajak-sajak yang berharga, esai- esai yang mencerahkan, makalah-makalah yang bernas, kajian-kajian budaya yang mendalam, ditam-bah aktivitasnya sebagai budayawan yang selalu menawar-kan ruang serta atmosfir bagi tumbuhnya kreativitas yang bersumber pada akar tradisi, modernitas dan juga religiusitas. Semua ini menunjukkan bahwa Abdul Hadi bukanlah penyair atau sarjana kebanyakan. Ia bukan doktor atau pro-fesor administratif, seperti yang sekarang banyak bertebaran baik di kampus maupun partai politik. Sebuah sajak yang berjudul “Barat dan Timur” yang secara tersirat maupun tersurat menggambarkan sosok pribadinya, kita kutip sebagai penutup tulisan ini:

688 Jamal D. Rahman dkk. Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Budha Pengikut Zen atau Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Budha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rosululloh Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpa di mana-mana.[]

Kepustakaan

Abdul Hadi W.M. 1975. Cermin. Jakarta: Budaya Jaya. Abdul Hadi W.M. 1975. Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur. Jakarta: Pustaka Jaya. Abdul Hadi W.M. 1976. Meditasi. Jakarta: Budaya Jaya. Abdul Hadi W.M. 1977. Tergantung pada Angin. Jakarta: Budaya Jaya. Abdul Hadi W.M. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus. Abdul Hadi W.M. 2000. Islam: Cakrawala Estetik Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Abdul Hadi W.M. 2002. Pembawa Matahari. Yogyakarta: Bentang. Abdul Hadi W.M. 2006. Madura, Luang Prabhang. Jakarta: Grasindo. Abdul Hadi W.M. 2012. Tuhan, Kita Begitu Dekat. Jakarta: Komodo Books. Malajah Budaya Jaya , Tahun 1, Nomor 5, Oktober 1968. Pamusuk Eneste (ed.). 2009. Proses Kreatif Jilid 1. Jakarta: KPG. Sapardi Djoko Damono. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 689 690 Jamal D. Rahman dkk. Emha Ainun Nadjib Tafakur Orang Desa

JONI ARIADINATA

ibuan orang datang memadati panggung di ruang Rterbuka: meluber ke jalan-jalan, memadati hampir seluruh ruang yang tersisa. Bahkan, di beberapa titik dipa- sang layar lebar untuk menayangkan acara secara langsung. Di rumah-rumah penduduk, layar televisi disambungkan dengan kabel ke panggung untuk memudahkan para penon- ton (jamaah), yang tidak mau berdesak-desakkan. Ratusan pedagang kakilima menggelar dagangan di gang-gang sem- pit, berbaur dengan penduduk setempat yang memanfaat- kan teras rumahnya untuk menjual makanan dan minum- an. Suasana seperti sebuah pertunjukan konser rakyat yang meriah. Jalan-jalan yang dapat diakses menuju kampung macet total. Para jamaah harus memarkir kendaraan (sepeda motor, mobil pribadi, bus hingga truk) jauh dari lokasi acara, sehingga mereka harus berjalan kaki hingga ratusan meter. Itulah gambaran suasana Kampung Menturo pada tahun 1996, ketika Emha Ainun Nadjib mengawali gerakan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 691 “tafakur orang desa” dengan nama Pengajian Padhang mBulan. Sebuah perjumpaan yang mesra antara seorang penyair dengan khalayak yang bukan penyair (bahkan bukan pembaca puisi). Emha Ainun Nadjib, sang penyair, berdiri bak meteor yang mengalirkan magnet raksasa. Menyihir panggung dengan lantunan puisi, serta puisi yang dinyanyikan, lengkap bersama tafsir-tafsir religius yang disampaikan dengan cara yang sangat egaliter. Ia menyitir puisi, mengumandangkan ayat-ayat Tuhan, dan berdialog langsung dengan para jamaahnya mengenai berbagai hal: dari agama, politik, hingga persoalan-persoalan sosial. Tak ada sekat yang menghalangi, semua boleh tampil, boleh saling mengkritik, —boleh saling mengadukan setiap persoalan, untuk mencari solusi bersama-sama. Tak ada orang yang patut direndahkan dan ditinggikan. Semua dianggap sama. Di dalam arena Padhang mBulan, pertemuan berbagai ide dari beragam manusia (lintas sosial dan lintas agama), disatukan menjadi sebuah perenungan akbar yang menggembirakan sekaligus mencerahkan. Emha Ainun Nadjib yang tangkas dan penuh humor, menyediakan diri sebagai katalisator bagi setiap beban persoalan yang menyangkut persoalan masyarakat, dari hal-hal kecil yang remeh hingga persoalan besar yang menyangkut bangsa dan tanah air. Puisi menjadi daya tarik, dikemas dalam musik dan nyanyian, diselipkan di antara gurauan, serta dikumandangkan dalam rentang perbincangan. Antara nilai-nilai sastra dan persoalan nyata kehidupan, disatukan

692 Jamal D. Rahman dkk. tanpa sekat yang membingungkan. Sastra yang konon “berumah di atas angin”, dan estetika seni yang konon memiliki kasta yang rumit, tiba-tiba menjadi mudah dinikmati dan dipahami berbagai kalangan. Malam semakin larut. Bergantian orang berbicara di panggung, dari mulai budayawan, politisi, mahasiswa, bahkan petani dan pedagang. Mereka mengeluarkan uneg- unegnya. Ada yang serius berkobar-kobar, ada yang lugu dan tak sanggup merumuskan apa yang diinginkan, semuanya diluapkan dengan kegembiraan pesta. Sesekali musik dari kelompok Kiai Kanjeng menyelingi dengan berbagai macam respon aransemen musik: dari yang serius hingga slengekan (musik guyonan). Tiba-tiba melengking ayat suci yang dilantunkan seorang santri. Lantas seseorang berteriak dari arah kerumunan untuk protes mengadukan nasibnya. Nun, kesibukan lain di luar panggung, para pedagang menangguk untung. Warung-warung tiban (dadakan) yang rata-rata dikelola penduduk setempat menyuguhkan kopi panas yang mengepul, ubi goreng dan jadah tempe, juga nasi bungkus. Para pedagang yang berasal dari luar Kampung Menturo telah membawa gerobaknya jauh sebelum sore tiba: bakso, mie ayam, soto, dan skoteng. Ada yang menggelar tikar untuk memajang poster-poster (gambar Emha Ainun Nadjib dengan berbagai pose), stiker- stiker bernuansa religius, kaos yang jumawa dengan label Padhang mBulan dengan kutipan puisi Emha, serta kaset dan buku-buku. Soal buku inilah yang paling unik, karena

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 693 di samping buku-buku keagamaan yang memang merupakan pajangan utama, juga terdapat buku-buku kebudayaan, serta buku-buku puisi yang selalu diburu: puisi- puisi Emha Ainun Nadjib. Siapa berani mengatakan bahwa puisi dan penyair tidak bisa bergandengan mesra dengan masyarakat yang bukan pembaca sastra? Semua orang yang datang ke perhelatan Padhang mBulan tahu, bahwa Emha Ainun Nadjib adalah seorang penyair. Dan di antara deretan penyair-penyair seangkatannya, barangkali hanya Emha Ainun Nadjib yang bisa, dan mau berendah hati untuk melakukan “revolusi” pada cara pembacaan sastra, dari panggung mewah menuju kerumunan orang-orang yang pada umumnya bukan pembaca sastra. Gerakan untuk memasyarakatkan sastra agar tidak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu yang eksklusif, adalah spirit yang terus ia kobarkan di berbagai tempat. Emha Ainun Nadjib tak pernah peduli apakah karya- karyanya memiliki estetika seperti yang disebut oleh para kritikus sastra sebagai “karya sastra yang agung”, atau bahkan “bukan karya sastra”. Sastra bagi Emha, adalah kemesraan yang harus dinikmati oleh semua kalangan. Sastra adalah komunikasi cinta dan kebersamaan, cara untuk mengajak masyarakat bersikap kritis, serta dialog mesra yang mudah dipahami oleh semua kalangan. Maka tak heran, jika Emha lebih suka membacakan puisi-puisinya di depan khalayak yang bukan pembaca sastra: para petani, buruh, nelayan, ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, tentara, hingga guru, dosen, dan mahasiswa. Ia pun bebas mengekspresikan puisi-puisinya dengan penambahan-

694 Jamal D. Rahman dkk. penambahan spontanitas yang disesuaikan dengan situasi, bahkan merombak apa yang ia tulis menjadi sepenuhnya panggung kelisanan yang bisa jadi sangat jauh berbeda dengan teks tertulis dalam buku-buku puisi yang telah ia terbitkan. Dari perjamuan mesra Padhang mBulan Kampung Menturo, komunikasi sang Penyair kemudian menyebar ke kota-kota lainnya, menjadi tradisi yang rutin. Di Surabaya menjadi Haflah Shalawat (kemudian berubah menjadi Pengajian Bangbang Wetan), Obor Ilahi di Malang, Kenduri Cinta di Jakarta, Gambang Syafaat di Semarang, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Paparandang Ate di Mandar Sulawesi Barat, dan kemudian semua format pertemuan itu melebur menjadi gerakan Jamaah Maiyah, —sebuah perjamuan sosial kerakyatan menuju pada nilai-nilai ketuhanan. Sebagai pengemban tanggungjawab sosial, bagi Emha, puisi tidak hanya sebatas ide. Akan tetapi, puisi juga sekaligus bisa menjadi sebuah gerakan yang diwujudkan dalam aktivitas sosial nyata di tengah-tengah masyarakatnya. Puisi bukan hanya lebah tanpa sengat (meminjam istilah Sapardi), tapi juga lebah dengan sengatan-sengatan keras, sekaligus menyimpan madu. Ia kerapkali membuat jengah para politisi, pejabat publik, yang dengan sengaja ia hadirkan di panggung untuk menjadi bahan bidikan, tapi ia juga membangun komunitas-komunitas kreatif dari gerakan- gerakan yang diusungnya. Di bawah sorotan lampu panggung, di tengah-tengah gamelan yang dipadu alat musik modern dari kelompok musik Kiai Kanjeng yang dipimpinnya, ia “menyeret” para bupati, walikota, hingga

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 695 mentri, untuk berdialog langsung dengan rakyatnya. Lontaran-lontaran penggiringan opini yang langsung berhadapan dengan pengemban kebijakan, seringkali lebih banyak membuahkan hasil yang konkret. “Apakah kalian kenal saudara saya yang sekarang ada di tengah-tengah kita ini? Beliau juga pasti kenal kalian, wahai orang-orang yang disayangi Allah, karena jabatan yang diembannya telah mewajibkan beliau untuk mengenal persis siapa saja yang menjadi tanggungjawabnya,” begitu selalu ia memancing setiap orang untuk berbicara. Jika ada seorang petani yang lantang berbicara soal kehilangan masa tanam lantaran janji pemerintah soal irigasi tidak pernah diwujudkan, atau seorang pedagang yang meradang lantaran lapaknya digusur paksa, atau para pelacur yang terang-terangan menuntut agar pekerjaannya dianggap “halal” lantaran sangat susah mencari nafkah selain dengan jalan itu; maka itulah yang memang diinginkan dalam setiap pertemuan besar yang menjadi gerakannya. Para pejabat publik kerapkali menjadi bulan-bulanan, tapi sekaligus dirangkul dengan mesra, dan didoakan sebagai manusia mulia yang kelak akan pantas menjadi penghuni surga. “Pada malam ini, bersama kalian wahai orang-orang yang dicintai Allah dan Kanjeng Nabi, serta ribuan malaikat yang turut mengamini doa kita, semoga inilah kelahiran baru yang akan bisa merombak setiap keburukan menjadi kebaikan. Malam ini, pemimpin kalian telah berdiri di sini, untuk menyaksikan ada banyak kasih-sayang yang bertaburan dari setiap wajah. Para bapak yang menjadi

696 Jamal D. Rahman dkk. tulang punggung keluarganya, para ibu yang menggendong putra-putrinya, anak-anak muda, semuanya adalah kekasih Allah yang memiliki wajah dan kedudukan yang sama. Malam ini adalah malam kelahiran baru, kita doakan beliau yang penuh kasih sayang ini, akan semakin mengenal tanggungjawabnya, sehingga kelak beliau dan kita semua, adalah makhluk-makhluk yang pantas menghuni surga. Amin.” Jangan dibayangkan bahwa pertemuan “mesra” antara rakyat dan penguasa ini terjadi di alam reformasi di mana segala kritik dan keterbukaan boleh dilontarkan. Tapi bayangkanlah, bahwa itu terjadi pada puncak-puncak kejayaan Orde Baru, di mana segala hal yang berbau kritik bisa menjadi sangat berbahaya. Ketajaman lidah Emha Ainun Nadjib yang menjadikan kepenyairannya sebagai lebah yang penuh sengatan, serta keberaniannya menghimpun massa dan turun ke daerah-daerah untuk mengumpulkan segenap elemen masyarakat menjadi kesatuan “jamaah”, telah membuat gentar para pemegang kebijakan. Ia menghimpun, tidak saja secara politis bertemunya antara rakyat dan penguasa, akan tetapi juga membentuk komunitas-komunitas kreatif yang berbasis ekonomi. Di kampungnya, Dusun Menturo, ia mengumpulkan para ibu untuk mendirikan koperasi, dan mendirikan sekolah. Di berbagai kota, ia himpun anak-anak muda untuk kreatif menciptakan usaha mandiri. Di Jakarta misalnya, di Kelapa Gading II, ia menjadikan rumahnya sebagai markas gerakan Maiyah, sekaligus tempat berteduh bagi

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 697 puluhan pedagang gerobak asongan. Di Yogyakarta ia himpun anak-anak jalanan untuk bersatu membentuk unit koperasi, mendirikan sekolah, rumah bagi anak yatim piatu, serta rumah produksi bagi penerbitan buku-buku. Ia mempertemukan para preman jalanan dengan para pedagang yang menjadi wilayah kekuasaannya untuk saling berpelukan. Ia rangkul para pecandu narkoba dari berbagai kota untuk menjadi bagian penting dari gerakan Padhang mBulan. Ia himpun para mahasiswa dari berbagai perguruaan tinggi untuk menjadi relawan ketika terjadi bencana. Emha Ainun Nadjib, menjadi bagian penting dari setiap gerakan perubahan, yang menginspirasi banyak kalangan muda untuk berbondong-bondong datang menghadiri ceramah-ceramahnya, mendatangi rumahnya, untuk berdiskusi dan merumuskan berbagai pemikiran. Di tengah kegentingan kekuasaan militer, pada puncak kekuatan Orde Baru, ia tak segan-segan mengajak petinggi militer untuk naik ke atas panggung, dan berbicara tentang tugas-trugasnya. Prabowo Subianto, Moerdiono, adalah dua pertinggi militer di zaman Orde Baru yang tercatat pernah menjadi bagian penting dari “doa Padhang mBulan” yang menuai kecaman dari kelompok-kelompok tertentu yang tidak setuju. Para aktivis yang kecewa misalnya, lantaran kasus penculikan mahasiswa yang diduga dilakukan oleh kalangan militer, berbalik mengecam Emha sebagai “antek militer”. Tapi Emha Ainun Nadjib tetap kukuh pada pendiriannya. Sebagaimana ia memperlakukan para pejabat yang juga seringkali dikecam sebagai “penguasa lalim”, dan dipaksa lewat panggung Padhang mBulan untuk melihat

698 Jamal D. Rahman dkk. realitas rakyatnya dengan kacamata cinta; maka militer pun harus melihat realitas yang sama, untuk diperlakukan sama. Kalau dua-duanya dimusuhi, tanpa disapa dan diajak ikut serta untuk melihat, bagaimana cara mereka bisa mengenal. Lalu siapa yang berani menjadi mediator untuk mencoba membuka matanya? Bukankah kesadaran (kalaupun itu adalah tujuan akhirnya), serta kasih sayang, bisa diwujudkan kalau keduanya bisa saling bertemu? Toh, keramahan dari upaya kooperatif untuk mengajak mereka yang berseberangan, tidak menyurutkan suara keras dari puisi- puisi Emha yang tetap garang memaki kekuasaan, —jika ia memang harus memaki. Puisi-puisi Emha tetap mengaum,dengan caranya sendiri. Seperti halnya puisi “wajib” Padhang mBulan yang seringkali dilagukan pada pembuka panggung, yang diiringi musik Kiai Kanjeng:

PADHANG MBULAN

Cahaya kasih sayang menaburi malam Hidayah dan rembulan menghadirkan Tuhan Alam raya, cakrawala pasrah dan sembahyang Yang palsu ditanggalkan yang sejati datang Yang dusta dikuakkan, topeng-topeng hilang Jiwa sujud, hati tunduk pada-Mu Tuhan Beribu hamba-Mu bernyanyi rindu Bergerak menari bagai gelombang Sepi mereka karena dipinggirkan Oleh kedzaliman kekuasaan dan kesombongan Suara mereka merobek langit Bergolak suara sunyi mereka semua Waktu berhenti, alam menanti Tuhan kekasih akan mengakhiri Kekasih mendampingi setiap langkah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 699 Pada laparmu, cinta-Nya merekah Tataplah wajah-Nya, hatimu pun cerah Lihatlah, lihatlah mentari baru Yang terbit dari dalam tekadmu Sesudah senja diujung duka Nikmatilah mengalirnya cahaya.

Pada puncak-puncak kegentingan kekuasaan Orde Baru, Mei 1998, di saat mahasiswa dari hampir seluruh kota di Indonesia turun ke jalan untuk memaksa Presiden Soeharto meletakkan jabatan, dan Jakarta nyaris menjadi lautan api, Emha Ainun Nadjib adalah salah satu tokoh di antara sembilan nama (Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, KH Ali Yafie, Malik Fadjar, Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma’aruf Amin) yang berhasil menemui Soeharto dan ikut meyakinkan akan pentingnya ia turun dari kekuasaan. Reformasi dengan segala euforianya telah menumbuhkan banyak partai. Keran keterbukaan di mana segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin (segala macam kritik yang pada rezim Orde Baru dianggap berbahaya), seperti air bah yang mengarahkan negeri ini pada sebuah zaman baru dengan pergolakan baru. Emha Ainun Nadjib yang sesung- guhnya bisa mengambil peran politik, seperti pada keba- nyakan para tokoh yang “berjasa” menggulirkan reformasi, tidak memilih itu. Ia kembali ke jalan sunyi, mengambil jarak bersama jamaahnya. Menyapa orang-orang desa, para petani dan pedagang, orang-orang yang terpinggirkan, untuk bersama-sama bersenandung. Puisi-puisinya masih terdengar melengking, di sela-sela ayat suci dan nyanyian

700 Jamal D. Rahman dkk. yang khusyuk. Ia bahkan membawa serta kelompoknya, Kiai Kanjeng, melanglang buana ke berbagai negara. Semua perjamuan mesra itu, dari berbagai perjumpaan di panggung Padhang mBulan (dan kemudian menjadi Jamaah Ma’iyah), adalah manifestasi dari seluruh pemikir- an-pemikiran Emha Ainun Nadjib yang dituangkan pada gerakan sosial menuju pencerahan. Pemberdayaan untuk membangkitkan pikiran kritis yang terbuka, menuju keimanan pada Tuhan pemilik semesta. Dalam bukun Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1983), Emha Ainun Nadjib mengatakan: “Bagi seniman, karya sastra bukan saja merupakan media untuk mengeks- presikan keindahan, namun juga merupakan media untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan nasib rakyat.” Kebenaran adalah jalan Tuhan, sedangkan perjuangan nasib rakyat adalah gerakan sosial yang nyata. Ada proses penciptaan yang melibatkan seluruh persoalan yang dirasa- kan oleh masyarakat, dan ada proses penyampaian yang harus bisa diterima oleh masyarakat. Maka seni, bagi Emha Ainun Nadjib, bukan saja berurusan dengan kepuasan atas penciptaan keindahan semata, namun lebih dari itu, bagai- mana keindahan seni bisa diterima sebagai jalan pencerahan bagi siapa saja. Sedangkan dalam buku Jalan Sunyi Emha (2006), Emha Ainun Nadjib menegaskan kembali hubungannya dengan sastra yang “tidak dapat terpisahkan”. Ia mengakui bahwa dalam menjalani tugas-tugas sosial, budaya, politik, dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 701 keagamaan selama ini, seluruhnya didasari oleh “disiplin sastra”. Baginya, “Tanpa bantuan sastra, langkah komunika- si akan sangat terbatas. Dengan sastra, di samping dapat menemukan berbagai format komunikasi, ia juga tetap bisa memelihara pandangan terhadap dimensi-dimensi kedalam- an manusia dan masyarakat, yang biasa diperdangkal oleh mata pandang parsial: ekonomi, politik, dan terutama kekuasaan praktis.”

Kiai mBeling: dari Jalanan Menuju Rumah Tuhan Kepenyairan Emha Ainun Nadjib yang panjang telah membuktikan bagaimana ia sangat produktif melahirkan karya. Tercatat dalam periode 1970 awal hingga 1990 akhir, ia telah menerbitkan belasan antologi puisi, yakni: M Frustasi (1976), Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Tak Mati-Mati (1978), Tuhan Aku Berguru Pada-Mu (1980), Kanvas (1980), Tidur Yang Panjang (t.t), Nyanyian Gelandangan (1982), 99 Untuk Tuhanku (1984), Iman Perubahan (1985- 1986), Isra’ Mi’raj Yang Asyik (1986), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), Syair-Syair Asmaul Husna (1984-1990), Syair Lembu (t.t), Minuman Keras Nasibku (1987-1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Suluk Pesisiran (1990), dan sebagainya. Terkumpul 800-an puisi yang telah dilahirkan dari tangannya, hingga kurun 30 tahun terakhir. Sebagai penulis esai, barangkali tak ada yang bisa menyamai produktifitas Emha Ainun Nadjib. Analisisnya yang cerdas, gaya bertuturnya yang khas, serta daya humor- nya yang tinggi, telah melahirkan sebuah genre tersendiri

702 Jamal D. Rahman dkk. bagi esai-esainya. Ia menulis hampir seluruh persoalan, dari mulai persoalan sosial, politik, kebudayaan, hingga agama, dengan pendekatan personal yang akrab dan segar. Setidaknya, tercatat 30-an buku esai yang telah terbit, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985), Sastra Yang Membebaskan (1985), Secangkir Kopi Jon Pakir (1990), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), Opini Plesetan (1996), Gerakan Punakawan (1994), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996), Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994), Slilit Sang Kiai (1991), Sudrun Gugat (1994), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995), Bola-Bola Kultural (1996), Budaya Tanding (1995), Titik Nadir Demokrasi (1995), Tuhanpun Berpuasa (1996), Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997), Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997), 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998), Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998), Kiai Kocar Kacir (1998), Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998), Keranjang Sampah (1998), Ikrar Husnul Khatimah (1999), Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000), Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000), Menelusuri Titik Keimanan (2001), Hikmah Puasa 1 & 2 (2001), Segitiga Cinta (2001), Kitab Ketentraman (2001), Trilogi Kumpulan Puisi (2001), Tahajjud Cinta (2003), Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003), Folklore Madura (2005), Puasa ya Puasa (2005), Kerajaan Indonesia (2006), kumpulan wawancara), Kafir Liberal (2006), dan, Jalan Sunyi Emha (2006). Disamping puisi dan esei, Emha Ainun Nadjib juga membidani beberapa repertoar dan pementasan teater.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 703 Bersama teater Dinasti yang ia dirikan, ia mementaskan drama, di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto), Patung Keka- sih (1989, tentang pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemim- pinan modern). Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun), Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram), Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan, serta Tikungan Iblis (dipentaskan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti). Terakhir bersama Teater Perdikan dan Letto mementaskan Nabi Darurat Rasul (2012). Sementara antologi cerita pendeknya diterbitkan dengan judul Atas Nama Saya (1992). Emha Ainun Nadjib adalah figur yang lengkap. Akhirnya ia tidak hanya dikenal sebagai penyair, akan tetapi juga seorang kyai, budayawan, esais, penulis naskah drama, penulis cerita pendek, pemusik, dan sejumlah penamaan lain yang merujuk pada identitasnya yang multi talenta. Meski- pun ia yang sangat egaliter selalu menyebut dirinya “bukan siapa-siapa”, tapi bukti karya dan gerakannya selama hampir 30 tahun telah melahirkan sebuah revolusi diam-diam di kalangan bawah yang merasa menemukan sebuah cara

704 Jamal D. Rahman dkk. pandang baru dalam menyikapi setiap persoalan. “Kiai mBeling” disematkan pada keberaniannya mendekonstruksi pemikiran-pemikiran keagamaan yang dinilai lebih universal, dan diterima berbagai kalangan. Ia tak segan- segan melontarkan pendapat-pendapat kontroversial, dan merangkul siapa saja yang dianggap “tidak beriman” untuk didudukkan pada porsi kemanusiaannya yang luhur. Dari mulai kalangan preman, anak jalanan, hingga yang terang- terangan mengaku atheis; tercatat menjadi jamaah setianya (dan seringkali mereka dijadikan narasumber di atas pang- gung). Bersama kelompok musik yang ia dirikan, kelompok Kiai Kanjeng, ia tak segan-segan mendekonstruksi nilai-nilai dari semua agama, yang digubahnya menjadi nyanyian ber- nuansa agama. Berkali-kali ia menjadi musuh Orde Baru. Beberapa pementasannya pernah dicekal di berbagai kota. Tulisan- tulisannya menginspirasi banyak kalangan. Ia memiliki beragam cara untuk memompa spirit, menggerakkan semangat perubahan pada masyarakat (terutama) lapisan bawah. Bahkan tak segan-segan ia menjadikan kaum yang terpinggirkan, sebagai tokoh yang bicara. Sebuah buku Orang-Orang Maiyah bisa menjadi salah satu contoh, bagaimana upaya Emha Ainun Nadjib menjadikan orang- orang terpinggirkan bebas berbicara dan menuliskan sendiri apa yang menjadi persoalannya. Lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Setamat SD, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, selama dua setangah tahun. Kemudian hijrah ke

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 705 Yogyakarta, menamatkan SMA, dan melanjutkan pendidik- an di ke Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), yang hanya dijalaninya selama empat bulan. Ia tidak betah menjalani pedidikan formal, dan memilih Malioboro sebagai “universitas terbuka” dengan bergabung dalam Persada Studi Klub (PSK). Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, dan belajar sastra dari guru yang dika- guminya, Umbu Landu Paranggi. Seiring dengan klemun- culannya, ia kemudian menjadi pengasuh ruang sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970-1976), mendirikan Teater Dinasti (1977), dan kelompok musik musik Kiai Kanjeng (hingga kini). Tahun 1980, Emha Ainun Nadjib diundang ke Filipina untuk mengikuti lokakarya puisi dan teater, kemudian International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Bersama kelompok musik Kiai Kanjeng, hingga kini setiap bulan Emha Ainun Nadjib berkeliling rata-rata 10-15 kali ke berbagai wilayah Indonesia, dengan acara massal yang pada umumnya dilakukan di area luar gedung, dengan dihadiri ratusan hingga ribuan orang.

Pengaruh pada Ideologi dan Cara Komunikasi Sastra yang membebaskan, adalah ideologi yang terus ia perjuangkan. Bahwa sastra, harus membawa perubahan nyata, tidak hanya pada pemikiran semata, akan tetapi

706 Jamal D. Rahman dkk. langsung menyentuh realitas sosial masyarakat. Dalam sebuah tulisan di majalah Tempo, Juni 1984, Yudhistira A.N.M Massardi menyebutkan bahwa: Emha ingin agar sastra (puisi) masa kini meninggalkan apa yang disebutnya ke-”bisu”-annya dan beramai-ramai menggarap masalah sosial di sekitarnya. Dengan kata lain, ia harus memekik Iebih nyaring. Lebih konkret. Kemudian, para kritikus dituntut agar tak menilai karya sastra dari segi teknik-estetis belaka. Mereka, ‘mestinya mampu menangkap kesenian dalam kanvas kehidupan, bukan hanya dalam kanvas kesenian’. Format apakah yang bisa menyatukan keduanya (antara ide dan kenyataan) sehingga sastra bisa menghasilkan sebuah perubahan yang betul-betul bisa dirasakan secara langsung? Upaya menggabungkan antara puisi, musik, repertoar, dan dialog, diwujudkan ketika Emha Ainun Nadjib membentuk kelompok Teater Dinasti pada 1977. Karakteristik dari gaya model Teater Dinasti, menjadi cikal-bakal komuni- kasi sastra yang efektif pada masyarakat. Sebuah konsep komunikasi yang egaliter, akrab, mudah dipahami, dan selalu mengangkat persoalan-persoalan aktual, dari persoalan-persoalan sosial, politik, hingga agama. Puisi menjadi tidak seseram yang dibayangkan. Ia bisa dibuat guyonan (humor), slengekan (seenaknya), tapi juga sekaligus bisa sangat serius dan mengharukan. Perlawanan kultural lewat pemanggungan-pemanggungan puisi dalam format yang sedemikian akrab, menjadikan penonton bahkan yang buta pada puisi, dengan enteng bisa menikmatinya. Inilah yang kemudian menjadi magnet luar biasa sehingga pemanggungan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib bisa menye-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 707 dot perhatian seluruh lapisan masyarakat, baik yang ber- pendidikan rendah maupun yang berpendidikan tinggi, bah- kan bagi yang tidak berpendidikan (secara formal). Situasi yang selalu menghebohkan di balik spirit pemang- gungan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, yang selalu dibanjiri ratusan bahkan ribuan penonton, menjadi perlawanan kultural yang seringkali merepotkan rezim penguasa. Maka tidak heran jika Emha Ainun Nadjib seringkali menjadi target pencekalan dari pihak penguasa (Orde Baru ketika itu). Tema-tema yang diangkat selalu kontroversial. Ketika pemerintah melarang pemakaian jilbab di sekolah (tahun 80-an), Emha Ainun Nadjib mementaskan Lautan Jilbab di mana-mana. Ketika kerusuhan akibat pembangunan waduk Kedung Ombo yang memakan banyak korban, Emha Ainun Nadjib mementaskan repertoar Pak Kanjeng, yang ketika pementasan di Yogyakarta dihentikan di tengah pementasan oleh tentara. Latar belakang Emha Ainun Nadjib yang santri, juga pada akhirnya mewarnai, bahkan menguat menjadi identi-tas. Dari tema-tema jalanan, tema kerakyatan yang meng-gugat, serta tema politik kekuasaan, sejumlah antologi Emha Ainun Nadjib mengerucut pada ketuhanan. Hanya saja, berbeda dengan kecenderungan tahun 70-an (ketika genre puisi sufi menguat) di mana para penyair menjadikan Tuhan semata- mata sebagai urusan individu, puisi-puisi religius Emha Ainun Nadjib juga menjadikan Tuhan sebagai urusan sosial. Tuhan tidak saja harus diakrabi sebagai jalan pembebas dari kesadaran individu, akan tetapi bisa juga sebagai jalan untuk membebaskan manusia dari cengkram-an kejahatan- kejahatan sosial. Tuhan tidak hanya ada dalam sajadah yang

708 Jamal D. Rahman dkk. khusuk, di tengah malam dalam isak dan doa; tetapi juga bisa ada pada gedung parlemen yang busuk, bisa ada pada kerumunan rakyat yang kelaparan, bisa ada di pasar, di jalan raya, bahkan ada di komplek pelacuran. Definisi Tuhan yang sedemikian agung dan tak tersentuh, mengalami dekonstruksi yang sedemikian luas sehingga penafsirannya bisa sangat akrab. Bahkan Tuhan bisa saja disapa dengan lepas, tanpa mengurangi peng-agungan terhadap esensinya yang sejati. Dalam puisi “Nyanyian Gelandangan” misalnya, Emha Ainun Nadjib dengan lantang menyurakan potret dan wajah gelandangan, dengan cara mengajak pembacanya ziarah langsung pada rumah rumah besar tempat mereka tinggal, pada kepengap-an dan keruwetan, pada keliaran dan keputusasaan, sehing-ga pembaca ditenggelamkan pada suasana yang sedemikian tak ada ujung, dan diam-diam mengatakan bahwa ada Tuhan di sana. Dalam sebuah tulisan di majalah sastra Horison, Juli 2009, Budhy Munawar Rachman, menempatkan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib sebagai puisi-puisi yang bersifat “teologis-sosial”, yang diakui sangat khas dalam peta pemikiran Islam di Indonesia. Ada beberapa pemetaan yang dipaparkan Budhy, yakni pemetaan teologi rasional yang meletakkan dasar berpikir secara rasional dan analitik seperti yang dikembangkan oleh Harun Nasution, kemudian pemetaan teologi hermeunetik yang menafsir ulang apa yang disebut Islam modern melalui filsafat baru seperti yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, kemudian pemetaan teologi perenial yang melihat kemungkinan-kemungkinan pengertian dari agama-agama tanpa harus mereduksi ke-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 709 beradaan agama-agama itu sendiri. Emha Ainun Nadjib menerjemahkan ketiganya, dan menampilkan pemahaman baru yang lebih luwes, merakyat, serta mudah dipahami. Puisi-puisi Emha Ainun Nadjib telah mempengaruhi sedemikian banyak para penulis dalam menafsirkan kembali esensi ketuhanan dalam konteks sosial yang nyata, yang dihadapi sehari-hari. Juga pada penghargaan atas keragam- an agama-agama, dalam konteks bernegara yang jelas-jelas menganut sistem Pancasila di mana bumi Indonesia dipenuhi oleh beragam keyakinan. Pemanggungan-pemanggungan puisinya juga memberi warna pada pemahaman cara baca sastra yang lebih akrab dan egaliter, tanpa ada sekat antara penulis dan pembaca.[]

Kepustakaan

Budhy Munawar Rachman. 2009. “Puisi-puisi Perenial Emha Ainun Nadjib dan Pemikiran Islam Indonesia”. Majalah Horison /07/XXIX. Emha Ainun Nadjib. 2008. Dari Pojok Sejarah, Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib. Yogyakarta: Progress. Emha Ainun Nadjib. 1983. Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya. Solo: Jatayu Emha Ainun Nadjib. 1984. Sastra yang Membebaskan. Yogyakarta: PLP2M. Emha Ainun Nadjib. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ian L. Betts. 2006. Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Buku Kompas. Prayogi R Saputra. 2012. Spiritual Jorney, Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib. Jakarta: Buku Kompas.

710 Jamal D. Rahman dkk. Afrizal Malna Jalan Keluar bagi Bahasa

AHMAD GAUS

ama Afrizal Malna lebih lekat dengan puisi daripada Nkarya-karya lain yang juga ditulisnya seperti cerpen, novel, naskah teater, dan esai-esai sastra. Dan lebih lekat lagi dengan jenis puisi tersendiri yang kerap disebut “puisi gelap” atau puisi absurd. Seperti lazimnya para penyair pendahu-lunya yang menonjol karena mengambil jalan berbeda, demikian pula Afrizal. Jadi, bukan karena genre kegelapan yang diusungnya yang membuat Afrizal pantas dibicarakan melainkan karena struktur dan batin puisi- puisinya yang membawa warna baru yang menyimpang dari tradisi maupun wawasan estetika puisi yang pernah ada sebelumnya. Penyair Joko Pinurbo pernah menulis bahwa yang membe-dakan Afrizal Malna dengan penyair lainnya ialah kefasihan-nya memainkan kata-kata dan idiom-idiom yang digali dari khazanah dunia modern. Ketika banyak penyair masih gamang menghadapi kemelut budaya industri dan teknologi, Afrizal memilih untuk bergelut di dalamnya dan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 711 menjadikan-nya sebagai kancah pergulatan estetik dan intelektualnya.1 Zaman peralihan yang mengantarkan masyarakat dari budaya agraris ke budaya industri memang menimbulkan sejumlah anomali nilai dan sekaligus ketegangan eksistensial manusia di hadapan produk teknologi. Dan itu terutama dialami oleh masyarakat kota (urban) yang menjadi lokus perenungan Afrizal. Sebagai penyair, ia tidak berdiri di ruang hampa. Dan sebagai pewaris tradisi kepenyairan ia sendiri kerap tidak sungkan-sungkan mengakui wawasan esteti- kanya dipengaruhi oleh para penyair sebelumnya. Seorang budayawan bahkan mengatakan bahwa puisi-puisi Afrizal ialah hasil eksplorasi dari puisi Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri.2 Yang unik dari puisi-puisi Afrizal memang sudut pandang- nya yang dominan pada dunia benda di lingkungan budaya modern (urban). Penyair melukiskan dunia modern beserta objek-objeknya sedemikian rupa sehingga menciptakan nuan- sa dan gaya puitik tersendiri.3 Karena ruang (kota) yang dipi- lihnya sendiri sebagai kancah pergulatan, dan ia menjadikan

1 Joko Pinurbo, “Puisi Indonesia, Jelajah Estetik dan Komitmen Sosial”, Jurnal Kebudayaan Kalam 13, 1999. 2 Tommy F. Awuy , “Sastra Indonesia Kontemporer” dalam Jurnal Budaya Kolong 3, Th. I, 1996). 3 Esai ini mengutip Barbara Hatley. “Nation, ‘Tradition’, and Constructions of the Feminine in Modern Indonesian Literature,” dalam Imagining Indonesia, ed. J. Schiller and B. Martin Schiller, hal. 93, dikutip dari Harry Aveling, Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (diterjemahkan dari Secrets Need Words, Indonesian Poetry 1966-1998 oleh Wikan Satriati), (Magelang: IndonesiaTera, 2003).

712 Jamal D. Rahman dkk. dirinya sendiri sebagai bagian dari “benda” di ruang itu, dan berdialog secara mesra dengan televisi, kabel, pabrik, hotel, pecahan kaca, maka ia tidak mengalami kesunyian atau terl- uka. Inilah yang menjadikan dirinya unik. Bisa dibilang, puisi-puisi Afrizal adalah antitesis dari puisi- puisi tentang sunyi dan luka dari para penyair raksasa sebe- lumnya: sunyi yang duka dan kudus (Amir Hamzah), sunyi yang buas dan menderu (Chairil Anwar), dan sunyi yang absurd dan menyayat –sepisaupa sepisaupi, sepisausepi (Sutardji Calzoum Bachri). Jika mainstream puisi sunyi meneriakkan kegelisahan eksistensial aku-lirik, puisi-puisi Afrizal meneri- akkan hak hidup seluruh makhluk yang bernyawa maupun tidak, untuk mengada bersama. Dalam puisi Afrizal, aku-lirik berubah menjadi aku- publik4 —lagi-lagi menjadi antitesis dari tradisi puisi sebe- lumnya— yang beranggotakan, saya sebutkan lagi dengan penambahan secukupnya: televisi, bensin, coklat, sapu- tangan, gerobak, sandal jepit, lemari, kucing, toilet, linggis, nenek moyang, panci, kartu nama, pabrik, sejarah, pipa air, parfum, popok bayi, dan nama-nama benda yang hanya biasa disebut dalam kamus, bukan dalam puisi. Benda-benda itu dihidupkan, dibunyikan, bahkan diberi loudspeaker. Puisi- puisi Afrizal adalah puisi-puisi tentang keramaian dan kebisingan di supermarket, kios elektronik, jalan raya, jem- batan, lobi hotel, bioskop, dan lain-lain. Apakah itu kebisingan

4 Bagi penyair Agus R. Sarjono, perubahan dari aku-lirik menjadi aku-publik dalam puisi-puisi Afrizal Malna memperlihatkan kegelisahan eksistensial penyairnya. Lihat esai Agus R. Sarjono, “Puisi Indonesia Mutakhir” dalam Ulumul Qur’an, No. 1/VIII/1998.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 713 yang sesungguhnya (sungguh-sungguh ramai) ataukah seka- dar halusinasi penyairnya (Afrizal Malna), itu soal lain. Apakah sang penyair menikmati keberadaannya di tengah benda-benda yang bercampur dari masa lalu dan masa seka- rang itu, atau justru refleksi dari rasa cemasnya, itu juga soal lain. Esai ini tidak berminat pada pendekatan psikologi. Di tengah gemuruh estetika kesunyian, kehadiran benda-benda yang ditabuh secara bersamaan itu menjadi penting, sebab ia berpotensi memutus tradisi sunyi dan luka dalam penciptaan puisi, dan lahirnya pergerakan baru dalam proses kreatif. Kita tahu bahwa resonansi Nyanyi Sunyi Amir Hamzah terus terbawa hingga ke masa-masa penulisan puisi kontem- porer. Kesunyian dan luka menyelinap dengan perkasa ke alam bawah sadar para penyair. Ia menjadi melodi yang terus diperdengarkan dalam bait-bait puisi hujan, senja, angin, cemara, laut, pasar, masjid, hingga pabrik terompet. Puisi Afrizal memperdengarkan melodi yang berbeda. Sebab melodi itu diletakkan di dalam ruang yang berisik yang di dalamnya ada benda-benda lain, sehingga suara hujan tidak melulu terdengar sebagai ritme kesunyian. Tentu saja puisi-puisi Afrizal tidak bebas sama sekali dari desah kesunyian, tetapi sunyi pada Afrizal bukan sunyi yang kudus, buas, atau absurd, melainkan sunyi yang pejal, yang diisi oleh benda konkret dan memiliki ukuran.5 Karena itu

5 Puisi-puisi Afrizal banyak menggunakan penanda bilangan, misalnya: “5 sentimeter dari kiri”, “500 meter dari bahasa yang telah kau campakkan”, “karikatur 15 menit”, “cerita dari 2 hijau”, “biografi Yanti setelah 12 menit”, “pulogadung dari peta 15 menit”, “1 menit dari halaman rumahku”, “cerita dari tata bahasa 16.000 liter minyak tanah yang berjalan di depanku”, “16.000 liter jadi lehermu”, “16.000 liter minyak tanah mulai mencium bau warganegara”.

714 Jamal D. Rahman dkk. ia tidak mengelak dari sunyi dengan bersimpuh di hadapan Tuhan, sebab Tuhan sendiri ialah benda dalam puisinya. Ingat ketika ia berusaha meminjamkan “sebait Tuhan” kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri, dalam puisi “Matahari Bachri” —apapun makna konotasi dari frase itu.6 Jika bagi para penyair seluruh ruang berisi Tuhan, maka dalam puisi Afrizal ruang ini berisi benda-benda, Tuhan ha- nya salah satu di antaranya. Menarik bagaimana ia menyu- sun benda-benda itu dalam puisi-puisinya, memberi mereka hak untuk muncul ke permukaan dan dikenal sebagai bagian yang sah dari semesta dan perkembangan zaman. Untuk memahami amanat dalam puisinya mungkin harus menge- tahui makna di balik benda-benda itu. Atau, jangan-jangan seperti Sutardji yang membebaskan kata dari makna, Afrizal pun berusaha membebaskan benda dari kungkungan makna konvensionalnya.7 Berikut beberapa puisinya:

WARISAN KITA

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku,

6 Dalam Abad yang Berlari (Lembaga Penerbit Altermed, Yayasan Lingkaran Merahputih, 1984), hal. 21), demikian: .... Mabukmu membawa penyair kepada keperihan kamus-kamus, bachri. kepada siapa mengajari tuhan kepada siapa mengajari bintang-bintang. langit menurunkan mataharimu setangga-setangga. dan tanah terus berkibar menyimpan hidup dalam rahasia-rahasia. // Di kubur mabuk, lonceng oleng, kita hanya barisan kata-kata, bachri. siapkan rumput di padang-padang telanjang. aku pinjamkan sebait tuhan untukmu. 7 Dalam salah salah satu esainya, Tommy F. Awuy menyatakan bahwa puisi- puisi Afrizal Malna memaknai benda-benda bukan sesuatu yang “an sich”; setiap benda menjadi simbol masing-masing, bahkan kadang satu benda merupakan wakil dari sekian banyak simbol. Lihat, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, (Yogyakarta: Bentang, 1995).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 715 geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat- alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.

Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab- kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat- tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.

Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau

1989

MASYARAKAT ROSA

Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.

Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi sejumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku meng- gigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.

Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.

Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar

716 Jamal D. Rahman dkk. cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.

Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti menyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.

Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ... dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari layar-layar f ilm, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.

1989

MITOS-MITOS KECEMASAN

Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari- hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.

Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 717 Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.

1985

MIGRASI DARI KAMAR MANDI

Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan kematian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi diriku sendiri.

Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Pekalongan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.

Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggal- kan dirinya sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.

1993

Barangsiapa mencari amanat dalam puisi-puisi di atas niscaya ia akan kecewa. Tapi untunglah rumusan sesuatu itu puisi atau bukan tidak terletak pada amanat yang bisa diserap. Ada hal lain yang lebih membahagiakan orang ketika membaca puisi yakni penghayatan yang intens terhadapnya. Bisa dimengerti atau membingungkan adalah ranah bahasa

718 Jamal D. Rahman dkk. Indonesia yang baik dan benar. Bahasa puisi, bagaimanapun, adalah bahasa yang dikreasi oleh penyairnya, bukan bahasa yang sudah lecek karena terlalu sering digunakan orang. Adalah Sapardi Djoko Damono yang melihat adanya kesejajaran puisi Warisan Kita, yang dikutip di atas, dengan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dalam hal aspek bunyi yang menyerupai mantra. Menurut penyair senior itu, terdapat ketegangan antara tulisan dan ucapan dalam puisi- puisi Afrizal Malna. Namun ia juga menambahkan bahwa dua penyair itu (Sutardji dan Afrizal) mampu menjalin kata, larik, dan baitnya sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bangunan puisi yang solid.8 Bukan soal benar bahwa Afrizal dipengaruhi oleh Sutardji, bahkan juga oleh para penyair lain sebelumnya. Sebab atmos- fer pernafasannya ialah wawasan estetika yang sudah terben- tuk secara mapan, yang bisa ditelusuri hingga Raja Ali Haji. Lihat puisinya “Buku Harian dari Gurindam Duabelas”, yang memperlihatkan kefasihannya membaca masa lalu: Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji ber- kata: Bismillah permulaan kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga... Jelas bahwa Afrizal meletakkan lokus kreativitasnya pada sinopsis historia puisi yang terserak di alam bawah sadarnya sebagai penyair. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ: “para nabi, sutra, dan barang-barang elektonik juga” menandai pergerakan di ruang kreativitasnya.

8 Sapardi Djoko Damono, “Kelisanan dan Keberaksaraan, Kasus Puisi Indonesia Mutakhir”, Jurnal Kebudayaan Kalam 13, 1999.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 719 Bahkan puisinya yang berjudul Chanel OO bisa disepa- dankan dengan puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Tuan. Perhatikan dan bandingkan keduanya.

CHANEL OO

Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar, Bunga dan bensin di halaman

Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.

1983

TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.9 *** Genre Puisi Afrizal Keterpengaruhan bukanlah sebuah cacat bagi seorang penyair. Bahkan secara ekstrim TS Elliot berkata: “Penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.” Tidak ada penyair —dan pada umumnya penulis— yang lahir sebagai penyair. Ia belajar dari para pendahulunya, mencerna, dan meneri- ma pengaruh mereka dengan lapang dada. Masalahnya, apakah dia selamanya berada di bawah bayang-bayang pendahulunya atau bertumbuh menjadi dirinya sendiri.

9 Dikutip dari 3 Buku Puisi Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Editium, 2010), hal. 72.

720 Jamal D. Rahman dkk. Afrizal, rasanya, telah menjadi Afrizal yang kita kenal dengan puisi-puisi uniknya yang mudah dibedakan dengan puisi- puisi dari penyair lain, baik pendahulunya maupun yang semasanya. Bahkan pada awal 1990-an arus puisi gaya Afrizal menjadi arus kuat, yakni puisi dengan mosaik ber- citraan dunia urban dan berwarna gelap.10 Ini menandakan bahwa Afrizal memberikan pengaruh penting pada per- puisian Indonesia mutakhir. Membaca Afrizal dari gaya yang dilahirkannya mau tidak mau akan mendorong kita pada satu kesimpulan bahwa sebagai penyair Afrizal telah menunjukkan kematangannya sehingga ia menjadi gaya tersendiri dalam jagat perpuisian di tanah air. Puisi-puisi Afrizal seperti hendak mengajak pembaca untuk mencari “jalan keluar bagi bahasa” yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan. Jika Chairil Anwar menggali kata hingga akarnya untuk membangun makna, Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata dari makna, maka Afrizal meng- anggap kata tidak penting dalam proses penciptaan makna, yang penting adalah relasinya dalam struktur.11 Bahkan ia cenderung tidak percaya pada kata, dia menulis dalam sajak Black Box: aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/ kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.12

10 Lihat, Ahmadun Yosi Herfanda, “Heterogenitas Puisi Indonesia Mutakhir”, Republika, Minggu, 10 Juni 2007. 11 Acep Iwan Saidi, “Jalan Bahasa Afrizal Malna”, Pikiran Rakyat Minggu, 16 Mei 2010. 12 Afrizal Malna, Pada Bantal Berasap (Yogyakarta: Omahsore, 2010), hal. 26.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 721 Walhasil, puisi-puisi Afrizal harus dilihat dari bahasa atau strukturnya secara keseluruhan. Dan di sinilah tampak keunikan puisi-puisi Afrizal. Ia tidak menggunakan bahasa konvensional melainkan bahasa visual hasil rekaannya atas realitas. Jika ada inovasi terkuat pada Afrizal maka ia adalah kemampuannya mendekonstruksi bahasa dari yang sekadar alat untuk mendeskripsikan dunia menjadi “sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengkonstruksi dunia hingga ke titik yang paling misterius.”13 Membaca puisi-puisinya kita seperti menonton sebuah pertunjukan. Perhatikan beberapa fragmen puisinya berikut ini: Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu (“Bau Airmata di Bantal Tidurmu”); Perempuan mengenakan kebaya putih, tali bhnya membuat lorong dari punggungmu hingga kenalpot kendaraan umum di jalan (“Kupu-kupu dari Pakaian Pengan- tin”); Kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba (“Pindah ke Kota Lain”); Aku mendengar langkah- langkah gula yang mengambil satu persatu semua barang dari dalam tubuh ibuku (“Naik Perahu Bersama Ibu”). Proses kepenyairan Afrizal yang terbilang panjang sejak 1980-an diwarnai oleh pencarian yang konsisten. Pada 1984 ia melahirkan antologi Abad Yang Berlari, yang walaupun telah memperlihatkan jatidirinya sebagai penyair yang ber- beda dengan yang lain, masih memperlihatkan pencarian dan penyempurnaan wawasan estetik. Hal ini sejajar belaka dengan puisi-puisi awal Amir Hamzah dalam Buah Rindu sebelum mencapai taraf kematangan dalam Nyanyi Sunyi. Selanjutnya pada 1985 ia menerbitkan Mitos-Mitos Kece-

13 Ibid.

722 Jamal D. Rahman dkk. masan. Lalu pada 1990 terbit pula Yang Berdiam Dalam Mikrofon. Antologi-antologi tersebut berada dalam satu nafas eksperimetasi dan pencarian akan wawasan estetika yang kelak berpuncak pada Arsitektur Hujan (1995). Antologi yang terakhir ini adalah puisi-puisi karya Afrizal Malna yang diambil dari kumpulan puisinya yang pernah terbit meliputi Narasi dari Semangka dan Sepatu (25 puisi), Yang Berdiam dalam Mikropon (11 puisi), Mitos-mitos Kecemasan (12 puisi), dan Membaca Kembali Dada (5 puisi). Dari segi fisiknya, puisi-puisi hasil kerja kepenyairan Afrizal selama 15 tahun ini (1980-1995) berbeda dengan puisi-puisi yang biasa kita kenal karena ditulis dalam paragraf lazimnya sebuah prosa. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan indeks sebagaimana buku ilmiah. Dan kini, atau nanti, setiap kita membaca sebuah puisi semacam itu, dengan tanpa melihat penulisnya kita bisa mengatakan itu puisi Afrizal, atau setidaknya —jika ternyata ditulis oleh penyair lain— bercorak Afrizalian. Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa penyair yang lahir di Jakarta, 7 Juni 1957, ini adalah somebody dalam gelanggang sastra di tanah air. Ditambah lagi karya-karyanya dalam genre esai, cerpen, novel, dan naskah teater juga cukup menonjol dan menorehkan jejak tersendiri. Pada 1994 Afrizal memenangkan Republika Award untuk esainya yang dimuat dalam Senimania Republika, Harian Republika. Pada 1997, ia juga menjadi pemenang esai di Majalah Sastra Horison. Salah satu buku kumpulan esainya yang paling terkenal ialah Sesuatu Indonesia: Esei-Esei dari Pembaca Tak Bersih yang diterbitkan oleh Yayasan Bentang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 723 Budaya pada tahun 2000. Selain itu Afrizal juga menulis esai pengantar untuk buku kumpulan puisi beberapa penyair Indonesia, antara lain Juniarso Ridwan, Soni Farid Mau- lana, Dorothea Rosa Herliany, Made Wianta, dan dan lain- lain).14 Karya prosa Afrizal Malna antara lain: Lubang dari Separuh Langit (novel), Novel Yang Malas Mencerita-kan Manusia (novel). Cerpen Afrizal dimuat di kumpulan cerpen Kompas Pistol Perdamaian (cerpen) dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (cerpen).

Dunia Teater Tak lengkap mengupas sosok Afrizal tanpa menyebut keterlibatannnya di dunia teater. Sejak awal tahun 1980-an ia telah aktif terlibat dalam Teater SAE pimpinan Boedi S. Otong. Kelompok teater di Jakarta yang didirikan pada tahun 1977 ini mulanya lahir dari Festival Teater Remaja Jakarta, yang kemudian tumbuh sebagai teater ‘eksperimental’ yang menonjol pada dekade delapan puluhan. Pentas-pentas teater ini banyak menarik perhatian kritikus, terutama ketika membawakan karya-karya Afrizal Malna yang dominan mewartakan keterasingan manusia seperti: Pengantar Ekstase Kematian Orang-Orang (1984), Happening Channel OO (1986), Biografi Yanti Setelah 12 Menit (1992), dan Migrasi dari Ruang Tamu (1993).15 Pada tahun 1981, naskah drama karya Afrizal Malna memperoleh penghargaan dalam

14 Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hal. 19. 15 http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2646/SAE-Teater.7 Juni 2013, pukul 23.50.

724 Jamal D. Rahman dkk. sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomreop. Dan karya dramanya yang berjudul Pertumbuhan di atas Meja Makan, terpilih dalam Antologi Drama Indonesia yang diterbitkan Yayasan Lontar, serta diterjemahkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul Things Growing on the Table. Pada 1995 Afrizal membuat pertunjukan Seni Instalasi bersama Beeri Berhard Batscholat dan Joseph Praba di Solo. Dan tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-Batu, dengan seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta. Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hambrug, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka per- tunjukan Teater SAE 1993 yang mementaskan naskahnya. Tahun 2003, ia mementaskan Telur Matahari berkolaborasi dengan Jecko Kurniawan Harris Pribadie Bah. Beberapa kali ia diundang dalam festival dan acara sastra nasional maupun internasional, seperti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1995), dan Utan Kayu International Literary Biennale di Jakarta (2006).16 Sambil menutup uraian ini, mari kita nikmati lagi puisi- puisi Afrizal Malna.

KEBIASAAN KECIL MAKAN COKLAT

“Aku tak suka kakimu berbunyi.” “Ini coklat, seperti cintaku padamu.”

16 http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/afrizal.html. 7 Juni 2013, pukul 23.40.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 725 James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju, pita-pita pada jalinan rambut sebahu.

Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih per- caya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan kecil seperti itu.

Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu- kutu di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen gula.

Ini coklat untukmu.

Jangan mengenang diri seperti itu.

1994

LEMBU YANG BERJALAN

Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.

1984

726 Jamal D. Rahman dkk. GADIS KITA

O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Jangan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. 1985

BUKU HARIAN DARI GURINDAM DUABELAS

Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.

Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap tubuhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,” aku Melayu dari Pejanggi.” ... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 727 Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.

1993

ASIA MEMBACA

Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa- dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu- waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.

Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.

Asia.

1985.[]

728 Jamal D. Rahman dkk. Denny JA Penggagas Puisi Esai

AHMAD GAUS

ama Denny JA dikenal luas masyarakat di dunia Npolitik. Reputasinya sebagai konsultan politik melam- bung setelah dua kali dia menjadi arsitek kemenangan Susilo Bambang Yudoyono dalam pemilihan presiden RI (2004 dan 2009), 23 gubernur dari 33 propinsi di Indonesia serta 51 bupati/walikota. Rangkaian suksesnya itulah yang mem- buat pria kelahiran Palembang, 4 Januari 1963, ini dinobat- kan sebagai the king maker politik Indonesia.1 Tidaklah mengherankan jika kemunculannya yang tiba-tiba di dunia sastra cukup mengagetkan baik kalangan sastra maupun kalangan politik. Apalagi kemunculannya di dunia sastra ter- sebut ia lakukan dengan menerbitkan sebuah buku yang ia beri label “puisi esai”. Bentuk puisi maupun bentuk esai sudah lama diketahui publik, tapi puisi esai? Segera sejumlah

1 Lihat, “Denny JA, King Maker Politik Indonesia”, Majalah Men’s Obsession, edisi 036, April-Mei 2007; lihat juga, Denny JA, King Maker Indonesia dalam http://suarapublik.co.id/web/2013/02/08/denny-ja-king-maker-indonesia/. Diakses pada 7 Juni 2013, pukul 23.30.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 729 pertanyaan, bahkan pro dan kontra, mengenai puisi esai pun bermunculan.2 Sebenarnya pergumulan Denny JA dengan dunia seni budaya, tentu juga sastra, bukanlah baru dilakukannya belakangan ini. Sebelum menerjunkan diri ke dunia politik lewat lembaga survei dan konsultasi politiknya, ia telah bergelut intens di dunia seni budaya, baik sebagai redaktur budaya, maupun sebagai penulis kolom dan esai sosial budaya. Apalagi ia memang aktif dalam forum-forum diskusi seni budaya. Di kalangan intelektual dan aktivis sezaman, Denny JA dikenal sebagai penggagas kelompok studi mahasiswa di era 1980-an. Kelompok studi mahasiswa saat itu dirasakan sebagai jalan keluar yang masuk akal sekaligus strategis dalam situasi penuh keterbatasan bagi aktivis mahasiswa yang dengan paksa dijauhkan Orde Baru dari politik lewat NKK/BKK. Tidak butuh waktu lama, kelompok studi maha- siswa pun menjadi gerakan di seluruh Indonesia hingga jurnal Prisma mengangkatnya sebagai tema khusus, dan pemerintah Orde Baru –via Dirjen Dikti— “dipaksa” untuk mencermatinya hingga secara harus mengundang berbagai aktivis kelompok studi mahasiswa dan mengundangnya dalam pertemuan khusus untuk mencermati dan mendengar

2 Tulisan-tulisan, baik pro, kontra, maupun netral, dikumpulkan, disunting dan diberi pengantar oleh Acep Zamzam Noor dan terbit sebagai buku. Lihat Acep Zamzam Noor (editor), Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Jakarta: Jurnal Sajak, 2013). Bunga rampai ini memuat tulisan-tulisan para sastrawan terkemuka dan para intelektual seputar puisi esai.

730 Jamal D. Rahman dkk. suara mereka.3 Denny JA sendiri mendirikan Kelompok Studi Proklamasi yang menurutnya merupakan “reinkarnasi” dari kelompok studi mahasiswa di tahun 1920-an era Bung Karno dan Bung Hatta.4 Rupanya memang sudah ada bakat perintis dalam dirinya. Tidak mengherankan jika setelah berhasil meraih gelar Ph.D. di bidang comparative politics dan business history dari Ohio State University, Amerika Serikat, di Indonesia ia merintis dan mempopulerkan survei-survei opini publik yang secara ilmiah mampu memprediksi keme- nangan calon pemimpin dalam pemilu atau pilkada. Maka, lagi-lagi, ia digelari sebagai penggagas dan perintis tradisi baru politik Indonesia. Dalam perspektif inilah kemunculan- nya di dunia sastra dapat dilihat. Dan tahun lalu, pria yang meraih 11 penghargaan dari Museum Rekor Republik Indo- nesia (MURI) di bidang akademis, politik, dan jurnalisme ini kembali membuat gebrakan. Namun, kali ini di dunia sastra, bukan di dunia politik, yakni dengan menerbitkan buku Atas Nama Cinta sebagai sebuah kumpulan puisi esai.5 Sekali lagi, walaupun istilah puisi dan esai sudah lazim dipahami oleh umum, bagaimanapun menggabungkan

3 Pertemuan ini dilangsungkan Dirjen Dikti di Partere Bumi Siliwangi IKIP Bandung (kini UPI), dengan menghadirkan sejumlah aktivis Kelompok Studi Mahasiswa, antara lain Erick Wardana, Taufik Rahzen, Agus R. Sarjono, M. Toriq, dsb.). 4 Mengenai kelompok studi mahasiswa di era tersebut, lihat Dr. Abdul Rivai, Student Indonesia di Eropa, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). 5 Denny JA, Atas Nama Cinta (Sebuah Puisi Esai): Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati, (Jakarta: Rene Book, Jakarta, 2012).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 731 keduanya menjadi satu tentulah menimbulkan konsekuensi semantik tersendiri.6 Menurut Denny JA, puisi esai ialah puisi panjang dan berbabak, karena ia pada dasarnya adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, lanjutnya, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas sosial. Dinamika karakter dan perubahan sebuah realitas sosial itu dengan sendirinya membutuhkan kisah yang berbabak.7 Sejak terbitnya buku Denny JA tersebut, puisi esai menjadi nama baru yang belum pernah dikenal dalam sejarah perpuisian di tanah air. Bukan hanya memperkenalkan nama baru, namun juga menawarkan konsep baru penulisan puisi, yang nanti akan kita bahas. Dengan konsep bercerita, puisi-puisi Denny JA dalam Atas Nama Cinta dapat dibaca seperti layaknya membaca cerpen atau syair klasik Melayu. Berbeda dengan puisi lirik, puisi esai sedapat mungkin menghindari simbol dan metafor yang kelewat pribadi yang mungkin dapat menyulitkan pemaha- man pembaca. Semua ungkapan, bahkan yang simbolis dan metaforis sekalipun mendapat kejelasan lewat bentuk kisahan yang melibatkan penokohan, plot, latar, sudut

6 Bahasan yang cukup lengkap mengenai puisi dan esai, serta konsekuensi semantiknya ketika dua istilah itu digabungkan, lihat Agus R. Sarjono, “Puisi Esai: Sebuah Kemungkinan, Sebuah Tantangan”, dalam Jurnal Sajak, No. 03, Tahun III/2012. 7 Denny JA, “Puisi Esai: Apa dan Mengapa”, dalam Jurnal Sajak, No. 03, Tahun III/2012.

732 Jamal D. Rahman dkk. pandang, dan sebagainya. Dengan demikian, jikapun ada simbol, metafor, atau ungkapan yang pelik, pembaca dapat menafsirkannya dengan berpegang pada penokohan, latar waktu dan tempat, sudut pandang yang dipilih, motif pembentuk plot dan sebagainya. Bahkan, ketaksaan (ambiguitas) yang lazim muncul dalam puisi liris, dapat diminimalisir selain dengan unsur intrinsik puisi esai, juga dengan dihadirkannya catatan kaki. Bahkan, catatan kaki menjadi penanda khas bagi puisi esai. Dengan catatan kaki, semua keterangan faktual maupun referensial yang dibutuhkan bagi penokohan, latar, peristiwa, sikap tertentu, dan sebagainya menjadi terbuka dan dapat dicek kembali maupun digugat/dilengkapi pembaca. Mungkin ada yang beranggapan bahwa catatan kaki dalam puisi esai hanya sekedar keterangan tambahan, atau bahkan dianggap mengada-ada. Padahal, dalam puisi esai, catatan kaki adalah sesuatu yang dapat dianggap prinsip karena menjamin ketegangan hubungan fakta dengan fiksi sekaligus menjamin tidak terjadinya pemfiksian fakta maupun pemfaktaan fiksi. Hal ini dapat dipahami mengingat Denny JA pada dasarnya seorang ilmuwan sosial yang sekaligus aktivis sosial. Sebagai seorang ilmuwan sosial, ia dapat menuliskan penelitian atau pengamatan serta pendapatnya dalam bentuk penelitian, risalah ilmiah, atau artikel di surat kabar. Namun, sebagai aktivis sosial, ada kebutuhan bagi Denny JA untuk menggugah kesadaran masyarakat akan suatu fenomena sosial bukan sekedar secara kognitif melainkan juga secara emotif. Inilah pengakuan Denny JA sendiri:

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 733 Sebagai penulis, aktivis, dan peneliti, sejak lama saya mere- nungkan cara agar aneka isu diskriminatif itu menarik perhati- an publik. Jika kasus itu dituliskan dalam paper akademis, kolom, atau esai biasa, sulit menggambarkan kepekaan emosi dan suasana interior psikologi korban diskriminasi. Jika kisah itu dituliskan dalam puisi biasa atau prosa liris biasa, sulit juga menyajikan data dari isu yang faktual, yang minimal harus muncul di catatan kaki. Saya bukan penyair dan tidak berpretensi menjadi penyair. Tapi memang kisah ini lebih memadai disajikan dalam medium baru, yang saya sebut Puisi Esai.8

Kegelisahannya sebagai seorang aktivis sosiallah yang membuat ia ingin mengangkat isu-isu sosial, dalam hal ini isu diskriminasi sosial, agar mendapat perhatian masyarakat seluas-luasnya. Isu-isu diskriminasi dianggap tidak akan cukup menggugah masyarakat luas jika dituliskan dalam bentuk paper ilmiah (apalagi jika paper ilmiah tersebut sekedar beredar di kalangan ilmiah dan hanya menjadi perbincangan terbatas di kalangan akademisi ilmu sosial). Sementara jika ditulis dalam bentuk sastra (cerpen maupun puisi) sebagaimana dikenal selama ini maka ditakutkan isu- isu diskriminasi sosial tersebut tumbuh sebagai fiksi dan diterima sebagai peristiwa fiktif yang secara faktual dapat/ mungkin terjadi di mana saja. Masalahnya, Denny JA tidak ingin isu-isu sosial yang ditulisnya dianggap fiksi yang dapat atau mungkin terjadi di mana saja. Ia justru ingin menekan- kan bahwa isu dan peristiwa sosial yang ditulis tersebut sudah terjadi (bukan mungkin dan dapat terjadi) di sebuah

8 Denny JA, “Pengantar” buku Atas Nama Cinta.

734 Jamal D. Rahman dkk. tempat dan waktu tertentu yang jelas (bukan di mana saja) dan telah memakan korban-korban nyata pula. Serangkaian kegelisahan itu pula nampaknya yang membuat Denny JA tiba pada istilah puisi esai, yakni bukan puisi dan bukan esai, melainkan puisi esai. Buku Denny JA yang berisi lima puisi panjang tersebut menandai munculnya genre baru: puisi esai. Dalam komentarnya mengenai Atas Nama Cinta, Abdul Kadir Ibrahim, sastrawan dan kritikus sastra asal Kepualauan Riau, mengemukakan:

Di tangan Denny JA, puisi bukan lagi sekadar keindahan dan nilai ataupun pesan, juga rasa, melainkan sekaligus menimbulkan pemikiran, pengetahuan, dan pengalaman..., kata-kata, larik-larik puisi, menjadi ada makna baru dan kuat, karena disokong dan ditunjang oleh keberadaan data atau fakta.... Pembaca puisi semacam ini dapat menikmati keindahan dan sekaligus pengetahuan....9

Kelahiran sesuatu yang baru, yang berbeda dengan yang lazim, sudah selayaknya menimbulkan pertanyaan, gugat- an, pro dan kontra. Maka, kelahiran puisi esai pun sempat menimbulkan polemik di jejaring sosial, komunitas sastra, dan media cetak.10 Para penyair ternama seperti Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, dan Nirwan Dewanto dalam akun twiter-nya pernah menyerang puisi esai dan pence-

9 Abdul Kadir Ibrahim, “Puisi Esai: Kalam Menyerbak Kemanusiaan”, dalam Acep Zamzam Noor (editor), ibid., hal. 145. 10 Misalnya tampak pada tulisan Maman S. Mahayana, “Posisi Puisi, Posisi Esai”, Kompas, 30 Desember 2012, dan tanggapan Leon Agusta, “Mempersoalkan Legitimasi Puisi Esai”, Kompas, 13 Januari 2013.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 735 tusnya, Denny JA –secara langsung maupun tidak langsung. Berbagai polemik dan isu menyangkut kelahiran puisi esai yang tersebar dalam aneka media tersebut, sebagaimana dikemukakan di atas, telah didokumentasikan oleh penyair Acep Zamzam Noer dalam sebuah buku.11 Dilihat dari segi bentuknya, puisi esai boleh dibilang merupakan pembaruan12 dari puisi yang lazim dikenal selama ini. Apalagi jika diingat bahwa sudah puluhan tahun tradisi puisi modern Indonesia didominasi oleh lirisisme. Di bawah dominasi tradisi puisi liris, tidak mengherankan jika segala bentuk puisi bermuatan sosial maupun berupa kritik sosial kerap dipandang sebelah mata.13 Apalagi kemunculan puisi esai Denny JA pun membuka kemungkinan bagi mereka yang bukan penyair untuk ambil bagian menulis puisi esai. Dengan ini, dapat dianggap Denny JA telah melakukan demokratisasi di bidang puisi yang sebelumnya

11 Acep Zamzam Noor, loc. cit. 12 Tentu semua pembaruan sekaligus mengandaikan adanya hubungan dengan yang tidak baru karena memang “tidak ada yang baru di bawah matahari”. Pembaruan Chairil Anwar memiliki hubungan dengan gerakan puisi modern Eropa, dan pembaruan Sutardji Calzoum Bachri memiliki hubungan dengan mantra Melayu, misalnya. Puisi esai pun memiliki hubungan dengan semangat syair Melayu klasik dan tradisi puisi epik (Balada, misalnya). Namun, sebagaimana puisi Sutardji tidak sama dengan mantra, puisi esai pun tidak sama dengan balada maupun syair. 13 Sapardi Djoko Damono bahkan menyatakan bahwa kritik sosial dalam sastra ibarat lebah tanpa sengat. Lihat Sapardi Djoko Damono, “Kritik Sosial dalam Sastra: Lebah Tanpa Sengat”, dalam Prisma. Kritik dan cemoohan pun dilontarkan pada Rendra saat ia beralih dari puisi liris dan balada ke puisi kritik sosial yang keras dalam bentuk pamflet penyair seperti terlihat dalam bukunya Potret Pembangungan dalam Puisi. Lihat juga Agus R. Sarjono, “Kritisnya (Sajak) Kritik Sosial”, dalam Jurnal Sajak, No. 04, Tahun III/2012.

736 Jamal D. Rahman dkk. —dalam kata-kata Chairil Anwar— “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Para peneliti, aktivis sosial, aktivis hukum, aktivis perempuan, aktivis lingkungan, dan sebagainya dapat menuliskan hasil-hasil pengamatan dan pengalamannya dalam bentuk puisi esai. Masih menjadi bagian dari demokratisasi tersebut, Denny JA mempublikasikan puisi esainya di website puisi esai. Dalam tempo satu bulan setelah dipublikasikan di website, ia telah berhasil mencatat lebih dari 1 juta hits dari pengguna internet. Bersamaan dengan itu, sejumlah puisi esai maupun kumpulan puisi esai, pun lahir dan ditulis oleh intelektual, dosen, guru sekolah, aktivis, wartawan, dan sebagainya berdasar inspirasi gagasan puisi esai Denny JA. Menyusul terbitnya buku puisi esai Denny JA, sejumlah buku puisi esai pun terbit dengan penulis dari beragam latar belakang, sebagai berikut:

1. Kutunggu Kamu Di Cisadane (Penerbit: Komodo Books, 2012) karya Ahmad Gaus. Kata pengantar: Jamal D. Rahman. 2. Manusia Gerobak (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013) karya Elza Peldi Taher. Kata pengantar: D. Zawawi Imron 3. Mata Luka Sengkon-Karta (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai karya Peri Sandi Huizche, Beni Setia, dan Saifur Rohman. Penyair Agus R. Sarjono bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini. 4. Dari Rangin ke Telpon (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai Katherine Ahmad, Kedung

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 737 Darma Romansha, Rahmad Agus Supartono, Wendoko, dan Yustinus Sapto Hardjanto. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini. 5. Dari Singkawang ke Sampit (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai karya Arief Setiawan, Arif Fitra Kurniawan, Catur Adi Wicaksono, Hanna Fransisca, dan Jenar Aribowo. Penyair Jamal D. Rahman bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk antologi ini. 6. Mawar Airmata (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai karya Nur Faini, Onik Sam Nurmalaya, Sahasra Sahasika, Syifa Amori, Stefanus P Elu, Yudith Rosida. Antologi ini diberi kata pengantar oleh kritikus Sunu Wasono. Penyair Jamal D. Rahman bertindak selaku editor. 7. Penari Cinta Anak Koruptor (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Antologi ini memuat puisi esai karya Alex R. Nainggolan, Baiq Ratna Mulyaningsih, Carolina Betty Tobing, Chairunnisa, Damhuri Muhammad, dan Huzer Apriansyah. Penyair Nenden Lilis Aisyah menulis kata pengantar untuk antologi yang disunting oleh penyair Jamal D. Rahman ini. 8. Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Penerbit: Jurnal Sajak, 2013). Buku ini merupakan bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan para sastrawan terkemuka dan para intelektual seputar puisi esai. Penyair Acep Zamzam Noor bertindak sebagai editor dan pemberi kata pengantar untuk buku ini.

738 Jamal D. Rahman dkk. 9. Imaji Cinta Halima (Penerbit Renebook, 2013) karya Novriantoni Kahar, dengan Sekapur Sirih dari Goenawan Mohamad.

Dalam pada itu, sejak tahun 2012 diadakan pula Lomba Menulis Puisi Esai, diselenggarakan oleh Jurnal Sajak. Mengingat antusiasme peserta Lomba Menulis Puisi Esai 2012 yang sebanyak 450-an peserta, bukan mustahil peserta Lomba Menulis Puisi Esai 2013 bertambah jumlahnya. Bukan mustahil pula dalam tempo singkat jumlah buku puisi esai yang terbit pun akan bertambah. Bahwa sebuah “gerakan” sastra dalam waktu singkat telah menimbulkan polemik dan melahirkan karya-karya dengan melibatkan berbagai penulis dengan latar belakang berbeda-beda, tentulah merupakan fenomena yang menarik dan tak boleh diabaikan.

Keluar dari Jalur Utama Berdasarkan pemaparan di atas, puisi esai berbeda dengan puisi liris yang selama ini lebih dikenal oleh publik sastra dan menjadi arus utama perpuisian Indonesia.14 Lirisisme dalam sejarah perkembangan puisi Indonesia telah mendominasi semua ruang kreativitas, bahkan menjadi sebuah hegemoni bagi para penyair. Namun demikian, banyak penyair yang mencoba keluar dari jalur utama itu

14 Puisi liris sebagai arus utama perpuisian Indonesia terungkap dalam diskusi “Imperium Puisi Liris” di Bentara Budaya Jakarta (19/3/2008), yang menghadirkan penyair Afrizal Malna dan Sapardi Djoko Damono.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 739 dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.15 Puisi esai merupakan salah satu jalan lain yang berada di luar jalur utama lirisisme. Puisi esai mengambil bentuk penulisan yang, menurut Denny JA, pesannya sangat jelas dengan latar dan konteks yang juga tidak dirahasiakan. Bahasa yang dipilih ialah bahasa yang mudah dipahami.16 Ini mengingatkan kita pada keakraban puisi lama dengan masyarakat. Bentuk-bentuk puisi lama seperti pantun, syair, gurindam, dan sebagainya, merupakan puisi rakyat di mana semua orang bisa terlibat aktif baik dalam menikmati, memahami, maupun mencipta. Masyarakat awam sangat dekat dengan bentuk-bentuk puisi lama dan, pada masanya, ikut bertanggung jawab memelihara dan menghidupkannya. Sayangnya masa itu sudah lewat. Saat ini puisi nyaris tidak lagi memiliki “kaki” di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangan Denny JA, gejala elitisme dalam puisi liris telah menjauhkan masyarakat dari bentuk kesusastraan yang dulu sangat populer ini. Hal itu, menurutnya, bukan hanya gejala di Indonesia melainkan juga terjadi di mana- mana, sehingga melahirkan kerisauan tersendiri di kalangan penikmat sastra. Dalam hal ini Denny JA merujuk pada pan-

1 5 Misalnya pada awal 1970-an pernah lahir genre puisi mbeling yang dipelopori oleh Remy Sylado. Menurut Sapardi Djoko Damono, puisi mbeling lahir sebagai suatu usaha pembebasan. Istilah mbeling menurutnya kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak. (Bahasa dan Sastra, tahun IV No. 3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud). 16 Denny JA, “Puisi Esai: Apa dan Mengapa”, dalam Jurnal Sajak, No. 03, Tahun III/2012, hal. 68-75.

740 Jamal D. Rahman dkk. dangan John Barr, pemimpin Foundation of Poetry. Dalam tulisannya yang berjudul American Poetry in New Century yang dipublikasikan dalam Poetry, A Magazine of Verse tahun 2006, John Barr mengatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Masih Menurut John Barr, sebagaimana dikutip Denny, para penyair asyik-masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas. Saat itu puisi juga memotret aura dan persoalan zamannya. Buku puisi esai Denny JA, Atas Nama Cinta, berada di dalam aras itu. Ia hadir dengan bahasa yang lugas dan mu- dah dipahami publik pembaca sehingga masalah-masalah sosial yang diusungnya mudah menyapa publik.

Konsep Estetik Kelahiran buku puisi esai Atas Nama Cinta disambut dengan pertanyaan tentang konsep estetika yang ditawar- kannya.17 Sebab, bagaimanapun sebuah bentuk baru

17 Lihat lagi Maman S. Mahayana, “Posisi Puisi, Posisi Esai” dalam Kompas, 30 Desember 2012, dan sanggahan atas artikel itu oleh Leon Agusta, “Mempersoalkan Legitimasi Puisi Esai” dalam Kompas, 13 Januari 2013.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 741 membutuhkan konsep estetik yang relatif jelas agar masya- rakat dapat membedakannya dengan konsep estetik yang sudah menjadi konvensi secara umum. Bagaimanapun, setiap karya sastra —dan sebenarnya setiap karya seni— disajikan kepada khalayak dengan konsep keindahan atau estetika tertentu. Konsep keindahan yang ditawarkan Atas Nama Cinta tidak terletak pada rima atau persajakan, juga tidak melulu pada pilihan-pilihan kata (diksi) sebagaimana pada puisi baru, namun pada keseluruhan bangunan puisi itu sendiri, termasuk struktur cerita yang ditampilkan, dan pesan-pesan yang disampaikannya. Dalam wacana filsafat, nilai keindahan dikaitkan dengan kemampuan seseorang melakukan “diskriminasi” sensorik pada objek yang dilihat atau dirasakan. Seseorang memperoleh nilai keindahan atas suatu objek melalui pengalaman pribadinya yang bersifat khusus. Namun konsep keindahan pada seseorang itu (yang bersifat partikular) bisa saja berubah menjadi konsep keindahan yang dianut oleh banyak orang apabila ia mampu memengaruhi persepsi keindahan orang lain. Begitu juga dalam puisi. Konsep keindahan puisi pertama terletak pada bahasa yang digunakannya, karena bagaimana pun puisi menggunakan media bahasa. Namun, karena bahasa terus berkembang, maka konsep keindahan yang melekat padanya seharusnya juga berkembang. Selama ini bahasa yang dalam dan sublim pada sebuah puisi dijadikan patokan untuk menilai keindahannya. Masalahnya, yang dalam dan sublim itu selalu berarti sulit dan abstrak. Sebuah puisi yang sulit dan abstrak dikatakan telah mencapai estetika tertinggi. Pembaca dipaksa untuk menyelami keindahan di

742 Jamal D. Rahman dkk. lorong-lorong gelap bahasa yang tidak memberi jaminan akan kepastian maknanya. Membaca puisi bagaikan mene- bak sebuah teka-teki. Denny JA menganut paham yang berbeda. Ia ingin me- ngembalikan puisi agar mudah dipahami publik seluas- luasnya. Baginya, pencapaian estetika tidak harus dengan bahasa yang sulit dan abstrak. Jika bahasanya sulit dipaha- mi, itu bukan pencapaian estetika tapi ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik. Dengan pandangan seperti ini, lanjutnya, bukan berarti puisi esai mengenyahkan sama sekali keindahan bahasa. Seluruh perangkat yang mendukung terciptanya bahasa yang indah tetap digunakan dalam puisi esai. Pemakaian metafora, simbol, rima, me- trum, dan berbagai gaya bahasa lainnya justru dianjurkan, namun harus tetap komunikatif dan sudah dipahami. Puisi esai dianggap berhasil jika dapat dipahami publik seluas- luasnya.18 Namun komitmen estetika puisi esai tidak terutama pada keadaan apa adanya (as it is) itu sendiri, melainkan pada nilai-nilai yang dimunculkan darinya. Dengan kata lain, keindahan bukan sesuatu yang diciptakan di dalam imajinasi melainkan diturunkan dari realitas. Di dalam realitas melekat nilai-nilai yang saling bertentangan dan kadang tidak disa- dari tetapi menghegemoni kesadaran. Misalnya nilai baik dan buruk, benar dan salah, cinta dan benci, adil dan lalim, tulus dan serakah, dan sebagainya.

18 Denny JA, “Puisi Esai: Apa dan Mengapa?” dalam Jurnal Sajak, No. 3, Tahun III/2012, hal. 68-75.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 743 Sastrawan Leon Agusta menuturkan bahwa konsep kein- dahan yang dianut oleh buku puisi esai Denny JA ialah keberpihakannya pada nilai-nilai universal dan pembebasan manusia dari belenggu diskriminasi. Ia menyebut konsep keindahan itu sebagai estetika pembebasan.19 Denny JA menganut pandangan bahwa keindahan terbit dari peng- gambaran yang menggugah atas realitas sosial, yang pesan- pesannya dapat ditemukan karena bahasanya mudah dipahami. Karena keberpihakan dan perhatiannya pada isu- isu kemanusiaan itu maka karyanya Atas Nama Cinta merupakan karya puisi esai yang nilai-nilainya bisa dikenali oleh pembaca. Salahkah sebuah karya sastra semisal puisi memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan? Menurut penyair Sapardi Djoko Damono, tidak. Sebab, para penyair justru terdorong untuk menulis puisi karena ingin berbagi penghayatan hidup. Dan di dalam proses itu ia selalu berada dalam ketegangan untuk menjadi anak-anak yang bermain- main dengan bahasa dan untuk menjadi nabi yang diutus- Nya untuk membebaskan manusia dari malapetaka.20

Gerakan Baru

Sebagai sebuah rintisan baru, tampaknya wajar jika puisi esai menyulut kontroversi, baik yang disuarakan dalam

19 Lihat Leon Agusta, “Tentang Puisi Esai Denny JA” dalam majalah Horison, November 2012, hal. 31-36. 20 Sapardi Djoko Damono, Bilang Begini, Maksudnya Begitu (Jakarta: Editum, 2010), hal. 105.

744 Jamal D. Rahman dkk. bentuk tulisan maupun di forum-forum diskusi. Namun di luar itu, kehadiran buku puisi esai Atas Nama Cinta disambut tokoh-tokoh dari berbagai kalangan. Dua penyair senior Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, serta seorang sosiolog terkemuka Ignas Kleden menulis epilog untuk buku ini. Sementara sambutan dan testimoni untuk buku ini diberikan oleh Siti Musdah Mulia (aktivis perempuan), Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi), Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Jimly Asshidique (Pakar Hukum Tata Negara), Bondan Winarno (wartawan senior), dan Mohamad Sobary (budayawan). Selain versi cetak, buku Atas Nama Cinta juga terbit dalam versi mobile web, sehingga dapat diakses melalui internet, bahkan telepon genggam. Dan sebagaimana telah dikatakan di atas, dalam waktu satu bulan setelah rilis, hits di web buku puisi ini melampaui satu juta.21 Bukan hanya disajikan dalam web dan mobile web, puisi-puisi dalam buku Atas Nama Cinta juga ditransformasikan ke dalam film oleh sineas Hanung Bramantyo sebagai co-produser bersama Denny JA selaku penulis buku. Beberapa nama terlibat sebagai sutradara dan artis dalam film-film tersebut:

1. Sapu Tangan Fang Yin disutradarai oleh Karin Bintaro. Para aktor/aktris: Leoni Vitria, Hartanti Reza Nangin, dan Verdi Solaiman.

21 Sebagian pembaca juga menyampaikan kesan dan komentar, seperti yang bisa dilihat di www.puisi-esai.com.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 745 2. Romi dan Yuli dari Cikeusik disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Zascia Adya Mecca, Ben Kasyafani, dan Agus Kuncoro. 3. Minah Tetap Dipancung disutradarai oleh Indra Kobutz. Para aktris/aktor: Vitta Mariana, Saleh Ali, dan Peggy Melati Sukma. 4. “Cinta Terlarang Batman dan Robin” difilmkan dengan judul Cinta yang Dirahasiakan, disutradarai oleh Rahabi MA. Para aktor: Rizal Syahdan, Zack Nasution, dan Tio Pakusadewo. 5. Bunga Kering Perpisahan disutradarai oleh Emil Heradi. Para aktris/aktor: Rawa Nawangsih, Arthur Brotolaras, dan Teuku Rifku Wikana.

Kelima puisi dalam buku Atas Nama Cinta juga dibuatkan versi poetry reading-nya dalam bentuk video klip yang melibatkan para sastrawan dan budayawan Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sudjiwo Tedjo, dan Fatin Hamama. Tema-tema puisi esai yang sudah difilmkan dan dibuatkan video klipnya, dijadikan simulasi dalam pertemuan korban tragedi kekerasan bulan Mei 1998, peringatan hari lahir Pancasila di Taman Ismail Marzuki, dan momen hari buruh memperingati kematian Ruyati, TKW Indonesia yang dipancung di Arab Saudi.22 Dalam perkembangannya, kelima puisi esai dalam buku Atas Nama Cinta diterjemahkan ke dalam banyak bentuk.

22 Lebih lengkapnya lihat di web resmi www.puisi-esai.com.

746 Jamal D. Rahman dkk. Selain film pendek dan video klip pembacaannya seperti disebutkan di atas, juga diekspresikan dalam medium teater, lukisan, foto, lagu, dan social movement.23 Dalam pengantar bukunya, Denny JA menegaskan bahwa puisi-puisi esainya memang sengaja ditulis untuk menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat. Sejak diterbitkan, buku Atas Nama Cinta memperoleh perhatian dari publik dan media.24 Buku ini mengusung dua misi yaitu menyadarkan publik tentang praktik-praktik diskriminatif yang masih terjadi dalam masyarakat dan memperkenalkan genre baru dalam dunia sastra Indonesia, yaitu puisi esai. Penerbitan buku Atas Nama Cinta kelak diikuti oleh terbitnya karya-karya puisi esai dari penulis lain, seperti telah disebutkan. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah menjadi genre baru yang memiliki pengaruh di kalangan publik. Kendatipun jenis puisi esai yang lahir dari para penulis lain tidak melulu sama dan sebangun dengan puisi

23 Pada tanggal 10 Juni 2012 sedikitnya 50 lembaga swadaya masyarakat menjadi panitia Sepekan Tribute untuk Korban Kekerasan Agama di Indonesia yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Minggu (10/6). Para LSM itu antara lain YLBHI, ICRP, Maarif Institute, Wahid Institute, Kontras, PGI, dan PP Ansor. Ribuan pengunjung yang hadir ikut larut dalam keprihatinan memburuknya toleransi agama di Indonesia. Di acara puncak yang juga hadiri oleh Hj.Sinta Nuriyah itu, diputar sebuah film yang diangkat dari puisi esai Denny JA dengan sutradara Hanung Bramantyo. (Indopos, 11 Juni 2012). 24 Lihat, misalnya, “Puisi Esai Denny JA Ajak Berempati” (Media Indonesia, 12 Juni 2012); “Pemutaran Video Puisi Esai Denny JA Menjadi Puncak Acara Lomba Sastra Antar SLTP dan SLTA se-Provinsi Banten” (Media Indonesia, 5 Juni 2012); “Puisi Esai Denny JA Menjelma Jadi Film Romantis Sarat Pesan” (MediaIndonesia.com – 11 Juni 2012); “Kisah Romi dan Yuli dari Cikeusik” (kompas.com – Selasa, 12 Juni 2012).

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 747 esai Atas Nama Cinta karya Denny JA, kesemua karya tersebut telah membentuk sebuah tradisi baru dalam kesusastraan Indonesia. Sebagai penggagas puisi esai, Denny JA telah membuktikan bahwa puisi ternyata bisa berubah, baik bentuk maupun isinya, setelah puluhan tahun membeku. Bahkan dipercaya hampir-hampir secara gaib bahwa puisi itu hanya karya Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad. Lalu semua orang menulis puisi seperti itu.[]

748 Jamal D. Rahman dkk. Wowok Hesti Prabowo Penyair Buruh dan Bangkitnya Komunitas Pinggiran

JONI ARIADINATA

residen Penyair Buruh, begitulah ia disebut. Sebuah Pidentitas yang tentu penuh risiko pada zaman Orde Baru, karena ia bisa saja distempel dengan cap kiri (komu- nis). Ia juga bisa hilang seperti nasib penyair Wiji Thukul yang puisi-puisinya kerap membela kaum yang dipinggirkan. Juga mungkin bisa lenyap seperti nasib Marsinah, —pejuang buruh yang dibunuh seusai demonstrasi. Tapi Wowok Hesti Prabowo seakan mengabaikan risiko itu. Ia tetap memupuk keyakinan, bahwa kaum buruh harus memiliki harga diri. Mereka harus pintar, dan belajar membela nasibnya sendiri, dengan keberanian mengungkapkan apa yang dialami, lewat tulisan. Maka ia pun menggalang para buruh untuk diajak menulis puisi, dan meneriakkan apa yang dialaminya. Dibuatnya wadah-wadah komunitas, untuk menyatukan semangat. Menerbitkan buku, dan membacakannya dalam setiap demonstrasi. Wowok lahir di Purwodadi, Grobogan, 16 April 1963. Ia lulus STMA (semacam STM Kimia) di Yogyakarta pada 1983.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 749 Belasan tahun menjadi buruh pabrik, di antaranya PT Ispat Indo (pabrik baja, Surabaya), PT Diamond Keramik (pabrik keramik, Gresik), PT Beruang Plastik Utama dan PT Berlina (di Tangerang). Selama di Tangerang, ia memanfaatkan waktu malam hari untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Kimia Tekstil UNIS, dan lulus pada 1996. Ia kemudi- an menjadi Ketua Unit Kerja SPSI di PT Berlina, diangkat menjadi manager personalia, dan akhirnya dipecat karena terlalu memihak pada kepentingan buruh. “Kemiskinan, adalah kekayaan buruh yang tiada banding- nya,” begitu ia berkata, dalam sebuah wawancara yang dimuat di Jurnal Nasional, Edisi ke 7 Minggu III, Maret 2007. Keringat, bahkan darah, melumuri setiap produk massal yang keluar dari sebuah gedung besar dengan cerobong asap menyala. Sudah lama kaum buruh menjadi robot, menjadi sekrup dari sebuah mesin bernama kapitalis- me. Padahal mereka adalah manusia, memiliki kehidupan yang mungkin sama dengan manusia lainnya. “Mereka bisa jatuh cinta, bisa patah hati, dan bisa bahagia. Mereka juga punya kelemahan seperti pada umumnya manusia, bisa memiliki nafsu, memiliki dendam dan sakit hati. Nah, kehidupan inilah yang hendak coba saya ungkapkan lewat tangan mereka sendiri. Bagaimana sih rasanya hidup di sebuah kamar petak yang sumpek, dikejar kebutuhan, jam- jam yang padat, ditekan target. Bagaimana sih rasanya ketika gaji habis untuk membayar hutang. Bagaimana sih rasanya menjadi mahluk Tuhan yang taat, dan sekaligus mahluk Tuhan yang frustasi dan meninggalkan norma-norma aga- ma. Ada banyak buruh yang terpaksa melenceng dan ber-

750 Jamal D. Rahman dkk. main dengan atasan, atau hidup bersama tanpa nikah dengan sesama pekerja. Tapi sebagian besar buruh hidup lurus dengan kejujuran menerima nasib. Ratusan, bahkan ribuan persoalan bisa diceritakan, supaya orang-orang di luar tembok sana tahu, betapa persoalan buruh itu teramat kompleks.” Roda Roda Budaya dibentuk, menjadi tempat berkumpul menikmati kebebasan sejenak, dari tekanan target dan kekuasaan. Tidak hanya para buruh tempat Wowok Hesti Prabowo bekerja, akan tetapi juga melebar pada pabrik- pabrik yang lain. Pabrik sepatu, pabrik tekstil, pabrik accu, bahkan hingga kuli-kuli angkut stationery, sopir truk, dan para pekerja lainnya. Seperti diketahui, Tangerang adalah kota seribu pabrik. Tempat puluhan ribu buruh hidup di bedeng-bedeng, berdesak-desak di tanah sempit menghirup asap dan kebisingan. Juga tempat hidup ratusan majikan, serta ribuan kelas pekerja atasan (dari mandor, pegawai kantor, sampai satpam). Jurang pemisah antara dua dunia terbentang jelas di kota ini: dunia majikan tempat mereka memandang ke bawah, dan dunia pekerja bawah yang selalu takut memandang ke atas. Masa Orde Baru adalah masa paling suram dalam sejarah perburuhan. Ada banyak aturan-aturan yang membatasi gerak mereka, yang bertujuan agar para buruh tetap setia bekerja tanpa harus bertanya. Daya tarik yang selalu diiming-imingi dengan “upah buruh murah” di negeri ini, dan jaminan “stabilitas keamanan”, menjadi alat negara untuk menarik sebanyak mungkin investor asing mengeruk keuntungan. Serikat pekerja dibatasi, dan diawasi dengan

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 751 ketat. Setiap bibit-bibit aksi yang akan berpotensi membaha- yakan stabilitas pabrik, tak segan-segan dibungkam dengan melibatkan aparat. Banyak aparat justru lebih membela majikan ketimbang buruh. Setiap aksi demonstrasi, bahkan jauh sebelum aksi demonstrasi dilakukan, selalu dapat dila- cak dan ditangkap pemicunya. Ancaman fisik berupa keke- rasan, penangkapan hingga pemecatan, selalu membayang. Lebih-lebih bagi seseorang yang dianggap penghasut, yang berani mengorganisir buruh untuk sebuah aksi. Maka, ketika Roda Roda Budaya didirikan, dan diketahui selalu menjadi rumah para buruh untuk berkumpul, Wowok Hesti Prabowo seringkali menerima ancaman. ”Ada beberapa intel yang selalu memantau, kadang menyamar menjadi buruh dan ikut sebagai anggota. Tapi saya biarkan saja. Toh, apa yang saya lakukan tidak berbahaya. Apa bahayanya mengajari mereka membaca buku, berdiskusi, dan menulis puisi? Tak pernah ada rencana aksi untuk pemogokan di Roda Roda Budaya, apalagi menggalang demonstrasi. Kegiatan Roda Roda Budaya adalah kegiatan seni yang menggembirakan, mengajak mereka sejenak melepaskan diri dari rutinitas, dan menikmati kebahagiaan dengan belajar mengekspresikan diri,” katanya. Tentu Wowok tidaklah bodoh dalam hal ini. Ia paham bahwa pengaruh pikiran dan buku bisa lebih hebat dari peng- galangan aksi yang mungkin hanya berdampak secara temporal dan gampang dipatahkan dalam rezim represif. Celah itulah yang tidak diketahui para majikan yang berkongsi dengan aparat. Pengalaman Wowok selama 15 tahun menjadi pekerja pabrik, telah mengajari bagaimana

752 Jamal D. Rahman dkk. cara untuk berkelit secara licin dalam menumbuhkan sebuah gerakan. Ia memulai dari pekerja kecil, mengalami pahit getirnya menjadi kasta paling bawah dalam struktur mesin pabrik, hingga kemudian menjelma menjadi sosok yang diperhitungkan dalam perusahaan tempat terakhir ia bekerja. Wowok adalah seorang organisatoris yang terbiasa bergerilya dan bekerja di bawah tanah, yang mampu mem- pengaruhi banyak orang untuk tunduk. Ketika buku pertamanya terbit, Buruh Gugat, dan diikuti oleh terbitnya buku-buku yang ditulis para buruh, saat itulah ia mendeklarasikan secara terang-terangan “kebangkitan buruh”. Buruh tidak boleh bodoh! Buruh harus kaya! Itulah jargon yang selalu ia teriakkan. Ia bergerilya membangun jaringan, dan meluncurkan buku-buku puisi buruh di berbagai kota. Ia menyerbu media dengan aksi-aksi kontro- versial, dan meneriakkan namanya sebagai “Presiden Penyair Buruh”. Wacana tentang buruh kembali mengemu- ka, di tengah semakin represifnya negara. Tapi negara, rezim Orde Baru, jelas-jelas telah kecolongan. Wowok Hesti Pra- bowo, dengan dukungan jaringan yang ia ciptakan beserta media yang selalu meliput aksinya, tiba-tiba telah menjelma menjadi salah seorang tokoh. Melenyapkan dan memenjara- kan seorang tokoh yang mulai dikenal, tentu lebih beresiko daripada menangkap pekerja pabrik biasa. Di samping Roda Roda Budaya, Wowok juga mendirikan sebuah forum yang lebih serius menangani para buruh yang telah benar-benar tertarik, dengan nama Institut Puisi Tangerang. Ia merangkul banyak tokoh muda untuk ikut terlibat menjadi “guru” di dalamnya. Dari sinilah kemudian

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 753 lahir nama-nama penyair buruh lain, yang karya-karyanya mandapat perhatian di kalangan sastra Indonesia. Fenomena buruh pada periode 1990-an, menjadi sebuah fenomena kebangkitan yang luar biasa. Tumbuhnya komunitas-komunitas buruh, seiring dengan kesadaran mereka untuk memperjuangkan hak-haknya, merebak di berbagai kota. Puisi-puisi dibacakan di tengah demonstrasi, dan buku-buku puisi yang ditulis para buruh diluncurkan di mana-mana. Dalam catatan Iwan Gunadi (“Menebar Sastra Buruh Menuai Badai Fitnah dan Kesejajaran Karya”, 2008), tercatat sekitar 30 buruh yang menulis puisi-puisi secara intens di Tangerang, kemudian 20 buruh muncul dari Kudus, serta puluhan lain dari berbagai kota yang memiliki kawasan industri: Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, Solo, Surabaya, Gresik, Kediri, Blitar dan Medan. Mereka adalah para buruh yang menulis dengan tema buruh. Sedangkan para buruh yang menulis di luar tema buruh, dan dipublikasikan pada media-media alternatif (selain buku dan koran) kemungkinan jumlahnya bisa ratusan. Jumlah itu akan semakin fantastik jika ditambahkan dengan para buruh yang bekerja di luar negeri. Puisi menjadi alat untuk penyadaran, dan juga perlawanan. “Mogok kadangkala lebih banyak tidak menghasilkan apa-apa, kecuali penderitaan yang bertambah bagi mereka sendiri. Tapi dengan berpuisi, membuat mereka lebih peka dan kritis terhadap kondisi di sekeliling mereka. Puisi juga memberi citra yang lebih tinggi, menepis anggapan bahwa para buruh adalah kaum yang bodoh. Dengan citra yang semakin tinggi, akan menaikkan daya tawar posisi

754 Jamal D. Rahman dkk. buruh, sehingga tidak bisa dengan begitu saja diperlakukan secara semena-mena,” begitu tegas Wowok. Puisi-puisi perlawanan ditulis para buruh di toilet ketika ketidakadilan dirasakan, menjadi poster yang dibentangkan, serta dibacakan dalam demonstrasi dan pemogokan. Puisi- puisi para buruh juga dipublikasi di koran-koran, di majalah- majalah, dan diterbitkan dalam bentuk buku. Di luar Wowok Hesti Prabowo, nama-nama lain muncul, diantaranya yang paling menonjol adalah Husnul Khuluqi, Aries Kurniawan, Mahdiduri, Aef Sanusi, Dingu Rilesta, Nurjana Sutarji, Sarjuki, Siti Istikharah, S. Penny, Andre, Manyus Albertus, Pramu Andi Hernawan, Gito Carito, Gito Waluyo, Nasaruddin, Saidul Anam, dan lain sebagainya. Mereka adalah wakil-wakil “citra buruh” yang ikut meng- angkat kaum buruh menjadi bagian dari kaum intelektual. Peran, serta gerakan Wowok Hesti Prabowo yang terus dilakukan untuk memperkuat jaringan di berbagai daerah, telah semakin menambah kuat wibawa puisi buruh di kancah sejarah sastra Indonesia. Dalam rentang upaya gerilya yang terus menerus dilakukan itulah, tercatat Wowok Hesti Prabowo telah meluncurkan beberapa buku selain Buruh Gugat (1999), yakni Presiden dari Negeri Pabrik (1999), dan Lahirnya Revolusi (2000). Pengaruh Wowok Hesti Prabowo dalam menanamkan kepercayaan diri para buruh untuk berkarya dan bertarung dalam kancah kesusastraan Indonesia, tentu tidak bisa diabaikan. Hingga kekuasaan Orde Baru kemudian tumbang, dan era reformasi lebih membuka pintu bagi setiap gerakan buruh di seluruh Indonesia.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 755 Dari Buruh ke Komunitas Anti Jakarta Sementara itu, di luar pergolakan kaum buruh yang tengahmemperjuangkan eksistensinya, sejarah sastra Indonesia juga mencatatkan beberapa polemik serius menyangkut pengakuan akan mutu sastra buruh yang diusung Wowok Hesti Prabowo dan kawan-kawan. Sebagian menilai bahwa mutu sastra buruh, yang kemudian melebar pada mutu sastra produk komunitas-komunitas pinggiran, belum bisa diakui sejajar dengan karya-karya mainstream. Karya-karya mereka yang rata-rata diterbitkan dalam komunitas, serta publikasi terbatas pada media-media alternatif, membuat karya-karya itu dipandang sebagai karya kelas dua. Hegemoni kesusastraan Indonesia yang dikendalikan oleh media-media besar di Jakarta, serta lembaga-lembaga kebudayaan yang dipandang telah mapan, dianggap telah menjadi biang keladi ketidakadilan penilaian atas mutu karya sastra yang dihasilkan para penulis Indonesia. Koran-koran besar terbitan Jakara, Majalah Sastra Horison, Taman Ismail Marzuki (TIM), serta Komunitas Utan Kayu, menjadi sasaran tembak utama dari gejolak komunitas-komunitas di berbagai daerah. Apakah hanya karya-karya yang melewati lembaga-lembaga itulah yang berhak disebut karya sastra? Apakah karya-karya terbitan komunitas-komunitas “pinggiran” sama sekali tidak berharga dalam konstalasi mutu karya sastra di republik ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kemudian menjadi titik utama perbincangan atas bangkitnya komuni- tas-komunitas pinggiran untuk melawan arus besar yang diwakili oleh Jakarta. Bahkan beberapa komunitas dengan

756 Jamal D. Rahman dkk. tegas dan terang-terangan menolak campur tangan Jakarta sebagai “pembaptis” para sastrawan. Mereka menggugat “penyeragaman estetika” yang dianggap secara sistematis telah dilakukan oleh lembaga- lembaga itu, dan telah dengan sengaja membunuh apa disebut “kekayaan lokal”. Tudingan keras kepada salah satu lembaga (Komunitas Utan Kayu) serta media dan lembaga kepanjangan tangannya (Dewan Kesenian Jakarta) yang terlalu menghamba pada keindahan bahasa serta tema- tema tentang kebebasan seksual, semakin mengeras seiring dengan semakin merebaknya jumlah komunitas yang tumbuh di berbagai daerah. Polemik keras yang menuntut desentralisasi sastra, di- muat secara berturut-turut di harian Jawa Pos pada perte- ngahan tahun 90-an, seiring dengan berdirinya kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) yang dimotori oleh Kusprihyanto Namma (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas (Semarang). Seperti halnya Wowok Hesti Prabowo yang merasa gerah dengan tidak diliriknya karya-karya buruh oleh para sastrawan, RSP lewat juru bicaranya Kusprihyanto Namma juga menyuarakan hal yang serupa. “Sudah saat- nya kita kembali menengok tambang-tambang emas kesu- sastraan di daerah-daerah, yang selama ini terpendam di bumi sendiri,” begitulah yang secara lantang disuarakan RSP. Mereka menuntut adanya keadilan “pusat” (dalam hal ini Jakarta) untuk turun melihat bagaimana mutu yang dihasilkan para penulis daerah yang juga tidak kalah bagus- nya dengan apa yang dihasilkan para penulis yang berada di lingkaran pusat.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 757 Meskipun tuntutan pengakuan atas kualitas karya yang didasarkan pada kategori “pusat” dan “daerah” masih dapat diragukan keabsahannya, akan tetapi secara politis gerakan ini berhasil mengubah paradigma para sastrawan dalam memandang geliat komunitas pinggiran yang selama ini jarang disebut. Kusprihyanto Namma dalam sebuah wawancara yang dimuat di harian Suara Merdeka pada 24 Maret 2007 (kurang lebih sepuluh tahun sejak gerakan RSP pertama kali disuarakan) mengatakan. “Gerakan RSP cukup berhasil secara politis. Para pelaku kesenian dari Jakarta sekarang makin sering turun gunung ke daerah-daerah. Jakarta juga tak lagi dilihat sebagai faktor dominan kesuksesan bagi seorang seniman. Jika dulu seniman baru bisa dianggap berhasil jika sudah masuk atau pentas di Jakarta, sekarang tidak. Sekarang justru seniman dari Jakarta yang mencari pengakuan dengan mendatangi Solo, Semarang, Yogya, dan luar Jawa. Seniman dari daerah pun sudah mempunyai kesadaran bahwa Jakarta bukan lagi tolok ukur kesuksesan.” Dalam catatan Iwan Gunadi (“Wajah Komunitas Sastra 1990-an”, 2008), pada periode 90-an tercacat sekurang-kurangnya ada 20 provinsi yang memiliki komunitas sastra. Mereka tidak hanya menyebar di Jawa, akan tetapi juga Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara. Bahkan komunitas-komunitas di Jawa, tidak saja berada di kabupaten-kabupaten, akan tetapi beberapa di antaranya sudah menyebar hingga ke kecamatan.” Komunikasi intens yang dibangun berdasarkan jaringan antar komunitas, kemudian melahirkan gagasan berupa

758 Jamal D. Rahman dkk. pentingnya sebuah angkatan baru dalam sastra Indonesia, yakni Angkatan 2000. Dimulai pada Maret 1998, Wowok Hesti Prabowo (Tangerang) dan Sosiawan Leak (Solo), membentuk sebuah gerakan yang bernama Gerakan Angkatan Sastra (GAS), yang kemudian didukung oleh Kusprihyanto Namma (Ngawi), Jumari HS (Kudus), Budi Tunggal Rahayu (Semarang), dan Asa Jatmiko (Yogyakarta). Mereka menganggap bahwa telah terjadi pergeseran estetika yang memungkinkan munculnya sebuah angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia. Serangkaian diskusi digelar di berbagai kota, di antaranya adalah Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Sebuah jurnal yang mengakomodir pentingnya Angkatan 2000, dengan nama Jurnal Angkatan, diterbitkan secara bulanan sejak September 1998. Jurnal Angkatan hanya mampu terbit 4 bulan, dan sejak itu ide tentang Angkatan 2000 tidak terdengar lagi. Hingga dua tahun kemudian terbit sebuah buku yang disusun oleh Korrie Layun Rampan dengan judul Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Gramedia, November 2000). Kebangkitan sastra buruh, Gerakan RSP, munculnya gairah komunitas-komunitas daerah yang semakin menyebar, serta menguatnya ide pentingnya Angkatan 2000, pada akhirnya menjadi kegelisahan bersama di kalangan sejumlah penyair di Jakarta. Ketika Roda Roda Budaya menerbitkan antologi puisi Trotoar (antologi puisi yang menghimpun karya-karya para buruh serta para penyair dari komunitas di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), dan diluncurkan di PDS HB Jassin, sejumlah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 759 penyair Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi berkumpul dan mencetuskan pentingnya sebuah wadah yang bisa menyatukan suara komunitas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Awal Agustus 1996, embrio wadah yang bercita-cita menyatukan visi komunitas-komunitas dirumuskan dengan lebih serius, dan sejumlah nama (di luar Wowok Hesti Prabowo) dari mulai kalangan buruh, sastrawan, pemerhati dan peminat sastra, guru, wartawan, hingga anak jalanan, ikut memberi masukan dan dukungan. Di antara mereka yang hadir dan ikut merumuskan adalah: Agusta Karyanto, Asa Jatmiko, Asmian, Ayid Suyitno PS, Azwina Azaz Miraza, Diah Hadaning, Dingu Rilesta, Endang Supriadi, Entis Sutisna, Hasan Bisri BFC, Hendry Ch Bangun, Iwan Gunadi, Ahmadun Yosi Herfanda, Kardi Syaid, Kennedi Nurhan, Medy Loekito, Nanang R. Supriyatin, Nurjana Sutarji, Shobir Poerwanto, Rais, Sumar, Toto D. Asmoyo, Wididi Arumdono, Wig SM, dan sejumlah nama lain. Kemudian pada 7 September 1996, bertempat di Kantor Dinas Kebudayaan Jakarta Pusat, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) secara resmi didirikan. Melewati serangkaian rapat dan diskusi setelahnya, akhirnya disepakati untuk mengangkat Wowok Hesti Prabowo sebagai ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI), untuk periode 1996-1999. Di bawah kepemimpinan Wowok Hesti Prabowo, KSI semakin gencar menjalin kerjasama dengan komunitas- komunitas daerah, dan secara tegas menguatkan kembali posisi sastra buruh sebagai bagian dari perjuangan penting. Sastra buruh adalah sastra pinggiran, dengan karakteristik

760 Jamal D. Rahman dkk. hampir sama dengan karya-karya yang ditulis para penulis non buruh yang menulis di bawah komunitas, yakni bercorak swadaya (penerbitan dengan biaya mandiri), dicetak dengan jumlah eksemplar terbatas, dan didiskusikan di antara sesama jaringan komunitas. Dengan gerakan buruhnya, serta melebar kemudian dengan mengangkat isu- isu sensitif dari karya-karya yang ditulis anggota komunitas pinggiran dan para penulis WNI Keturunan Tionghoa, KSI mendapat porsi pemberitaan yang gencar di media. Bahkan seorang sosiolog Daniel Dhakidae, serta dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia Suyadi, dalam makalah seminar menyambut satu tahun berdirinya KSI di PDS H.B. Jassin pada 25 Oktober 1997, menilai bahwa kehadiran KSI menunjukkan adanya upaya membuka eksklusivitas di kalangan sastrawan. KSI merupakan sebuah upaya dekonstruksi terhadap kemapanan pekerja seni yang mengakibatkan makin transparannya batas-batas profesi sastrawan. KSI dinilai mencoba memperbaiki atau memaksimalkan hubungan yang selama ini kurang harmonis, bahkan saling curiga antar komponen dalam sebuah komunitas sastra.

Sastra Buruh dan Bangkitnya Komunitas Pinggiran Kepercayaan diri yang dibangkitkan oleh spirit buruh dan spirit “kekayaan lokal” yang dihasilkan para penulis yang selama ini mengklaim diri sebagai penulis pinggiran, serta menguatnya komunitas-komunitas daerah sebagai wadah untuk menyatakan diri, merupakan salah satu tujuan utama yang dicita-citakan Wowok Hesti Prabowo. Dalam

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 761 pengantar antologi puisi Buruh Gugat, Eka Budianta menulis, bahwa fenomena Wowok adalah fenomena reaktif terhadap arus negatif industrialisasi yang senantiasa berulang dari masa ke masa. “Ia dikenal baik oleh para dedengkot perpuisian Indonesia seperti Sutardji Calzoum Bachri, hingga para pemula yang baru belajar menulis di rumah-rumah petak, kawasan industri Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi), dan kota-kota lain di Kaliman- tan, Sumatera, Sulawesi, apalagi Jawa. Wowok adalah orga- nisator yang menggerakkan aktivitas budaya di kalangan pinggiran, termasuk Kudus, Surakarta, Purwokerto, dan seterusnya. Wowok telah menjadi semacam fenomena klasik yang khas dalam proses industrialisasi di Asia Tenggara pada umumnya, dan di pulau Jawa pada khususnya (Prabowo: 1999). Bahwa gerakan sastra buruh kemudian melebar menjadi perjuangan para penulis komunitas, adalah sebuah kenis- cayaan. Sastra buruh ditulis oleh mereka yang dianggap “bukan siapa-siapa”, dan para penulis komunitas juga memiliki karakteristik yang sama, yakni selalu dianggap “bukan siapa-siapa”. Persamaan karakteristik inilah, yang menguatkan gerakan Wowok Hesti Prabowo untuk mencari dukungan lebih luas sebagai sebuah strategi,dan terbukti efektif. Serangkaian polemik “membenturkan kelas” dimunculkan, dan mendapat respon yang tinggi dari media. Hingga pencetusan Angkatan Sastra 2000 yang bertujuan membentuk kanon-kanon baru di luar mainstream yang diakui, —meskipun hingga sekarang penamaan Angkatan 2000 masih terus dipertanyakan. Tapi secara politis gerakan-

762 Jamal D. Rahman dkk. gerakan itu telah mengubah percaturan sastra Indonesia yang semakin menghargai suara-suara pinggiran. Jika pada era tahun 80-an, hampir semua even-even sastra besar yang ingin mendapat respon media dan mempengaruhi opini harus selalu terjadi di pusat-pusat seperti Jakarta, maka kini semakin bergeser pada kantong-kantong budaya yang lebih kecil. Tidak mengherankan jika sebuah event sastra berskala nasional, bahkan internasional, bisa terjadi di sebuah kota kecil Magelang, Kudus, Ubud, atau Palembang, —dan tidak mengurangi kualitas pemberitaan media. Penerbitan buku sastra, juga mendapat imbas dari bangkitnya kepercayaan diri para penulis komunitas yang tidak lagi membutuhkan penerbit besar berskala nasional untuk mendapatkan sebuah pengakuan. Penerbit-penerbit kecil, bahkan penerbitan swadaya mandiri yang diterbitkan komunitas, atau diterbitkan dan dibiayai oleh penulisnya sendiri, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat- kan penghargaan bergengsi. Khatulistiwa Literary Award (KLA) tercatat pernah memberikan penghargaan kepada dua buku puisi pemenang utama, Mardi Luhung dan Gunawan Maryanto, untuk buku puisi yang diterbitkan secara terbatas oleh penulisnya sendiri. Anugerah Hari Puisi juga memberikan hal yang sama pada penyair Acep Zamzam Noor, untuk buku puisi yang diterbitkan secara terbatas oleh penulisnya sendiri. Belum terhitung Yayasan Sagang yang selalu memberikan Hadiah Sastra Melayu bagi para penulis daerah, serta KSI yang memberikan KSI Award bagi buku- buku puisi yang diterbitkan oleh komunitas, dan lain sebagainya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 763 Di samping buku-buku sastra, beberapa jurnal sastra secara swadaya juga terbit, dan menjadi perekat jaringan di antara mereka. Djoernal Sastra Boemipoetra adalah salah satu yang cukup fenomenal karena selain dimaksudkan sebagai jurnal perlawanan (terbit berkala hingga 5 tahun terakhir ini), juga dianggap sebagai maskot dari kebangkitan komunitas “sastra pinggiran”. Djoernal Sastra Boemipoetra yang dipimpin oleh Wowok Hesti Prabowo itu, hingga sekarang tetap menjadi penjaga gawang yang setia memperjuangkan suara pinggiran, untuk tidak dilupakan.[]

Kepustakaan

Ahmadun Yosi Herfanda dkk. 2008. Komunitas Sastra Indonesia, Catatan Perjalanan. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia. Djoernal Sastra Boemipoetra, Edisi Maret-April 2008. Djoernal Sastra Boemipoetra, Edisi Mei-Juli 2009. Djoernal Sastra Boemipoetra, Edisi Oktober-Desember 2009. Melani Budianta dkk.1998. Pemetaan Komunitas Sastra di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Tangerang: Komunitas Sastra Indonesia. Selasar, Jurnal Nasional, Edisi 007, Minggu III Maret 2007. Suara Merdeka, Wawancara Tokoh, 24 Maret 2007. Wowok Hesti Prabowo. 1999. Buruh Gugat. Jakarta: Gitakara.

764 Jamal D. Rahman dkk. Ayu Utami Gerakan Sastra Feminis

AHMAD GAUS

iskursus kebudayaan di tanah air pada awal dasawarsa D1990-an diramaikan oleh perdebatan seputar ideologi feminisme. Gerakan-gerakan kesetaraan gender yang marak sebelumnya nyaris buntu —hanya berputar-putar pada ide tentang emansipasi kaum perempuan, dengan konsentrasi pada partisipasi perempuan di ruang publik. Para aktivis perempuan yang telah bersentuhan dengan ideologi feminis- me memandang bahwa gagasan emansipasi masih berada dalam kerangka penafsiran kaum pria untuk menempatkan kaum perempuan di ruang publik sesuai dengan kodratnya. Secara filosofis, gagasan ini tetap melestarikan konstruksi budaya patriarki dan ortodoksi agama yang mensubordinasi kaum perempuan di dunia yang dikuasai oleh kaum pria. Dengan mengadopsi ideologi feminisme yang secara tegas memihak pada kebebasan, gerakan kesetaraan gender tidak lagi berkutat pada persoalan emansipasi. Ide-ide feminisme memberi perangkat metodologi untuk mendekonstruksi dunia perempuan yang didefinisikan oleh kaum pria, dalam rangka mendefinisikan dirinya sendiri secara lebih radikal. Dalam

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 765 konteks inilah kita melihat sastra feminis mengambil tempat dan sekaligus peranan penting dalam mewacanakan ide-ide pembebasan kaum perempuan secara lebih massif. Salah satu nama penting dalam genre sastra ini ialah Ayu Utami. Pada mulanya Ayu adalah seorang jurnalis dan menjadi aktivis pro-reformasi ketika rezim Orde Baru bersi- kap represif dengan menutup tiga media massa besar yakni Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik. Namun nama Ayu melambung melebihi kiprahnya di dunia aktivisme setelah ia memutuskan menjadi novelis dengan meluncurkan novel pertamanya Saman. Novel inilah yang membawa Ayu Utami ke puncak popularitas seiring dengan kontroversi menyangkut novelnya tersebut. Saman terbit beberapa waktu sebelum run- tuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998, ketika suara-suara yang menuntut kebebasan bergema di setiap penjuru. Dan dengan caranya sendiri, Saman ikut melipatgandakan suara- suara itu sehingga terdengar lebih keras. Tema yang ditulis Ayu Utami dalam Saman boleh jadi senada belaka dengan tema-tema dalam novel-novel sebe- lumnya yang bertutur tentang hubungan erotis pria-wanita. Namun, novel-novel sebelumnya pada umumnya lebih menonjolkan erotisme sebagai erotisme. Sedangkan pada Saman, Ayu Utami meletakkan erotisme dalam bingkai pemberontakan, di mana perempuan dideskripsikan sebagai makhluk yang memiliki tubuhnya sendiri, bukan tubuh milik pria atau tubuh yang didefinisikan secara tradisional oleh agama dan norma sosial. Setelah itu terbit karya-karya serupa dari para penulis perempuan. Untuk menyebut beberapa nama: Djenar Maesa Ayu (Jangan Main-main

766 Jamal D. Rahman dkk. Dengan Kelaminmu, 2004) dan novel Nayla (2005); Dinar Rahayu (Ode Untuk Leopold von Sacher Masoch, 2002); Ana Maryam (Mata Matahari, 2003); Ratih Kumala (Tabula Rasa, 2004); Maya Wulan (Swastika, 2004); Fira Basuki (Jendela-Jendela, 2001), dan lain-lain. Saman menjadi pembuka jalan bagi karya-karya fiksi yang “menelanjangi” tubuh perempuan. Itu pula yang menyebabkan takdir Saman berbeda dengan karya-karya lainnya yang lazim hanya dipandang sebagai follower. Dan ketika publik merasa “gerah” terhadap karya-karya jenis ini, maka Saman-lah yang ditunjuk sebagai biang keladi dan menjadi episetrum kontroversi. Ayu Utami kemudian memang identik ide pembebasan perempuan yang kedua paska Siti Nurbaya. Konon, ia diun- tungkan oleh situasi kebebasan politik yang mulai membun- cah di masa gerakan reformasi 1998. Namun penilaian itu tidak sepenuhnya benar karena pada Ayu Utami orang meli- hat “usaha sekuler” untuk membuka pintu kebebasan moral. Setiap orang setuju bahwa pintu kebebasan politik harus dibuka. Tapi pintu kebebasan moral? Di sinilah masa-lahnya. Novel Ayu Utami dianggap terlalu vulgar dalam menggam- barkan perilaku seks yang dalam karya sastra selama ini biasanya disuguhkan secara sublim, atau melalui metafora, atau bahkan dihindari sama sekali. Nilai-nilai seks bebas dianggap tabu diangkat dalam karya sastra karena sastra identik dengan sesuatu yang luhur, media bagi orang-orang mulia untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral. Maka bagi para penentangnya, Saman adalah “fiksi alat kelamin” yang dengan kasar menabrak nilai-nilai agama dan tak lagi mem-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 767 pedulikan budaya malu. Dan dalam konteks kemerdekaan ruang publik di masa euforia reformasi, Saman dicurigai sebagai bagian dari “gerakan syahwat merdeka.”1 Ayu Utami memiliki alibi kuat soal tuduhan-tuduhan itu. Dalam berbagai kesempatan ia menjelaskan bahwa novel yang ditulisnya bukan hanya soal alat kelamin. Salah besar kalau fokusnya ke soal itu. Seks hanya sebagai bumbu. Saman ialah kritik sosial pada kekuasaan yang arogan, pada relasi gender yang menempatkan kaum perempuan melulu sebagai korban. Dengan latar belakang seorang penganut Katolik, Ayu menggambarkan kehidupan seorang pastur yang belakangan rela melepaskan baju kepasturannya untuk menjadi aktivis di antara kaum miskin. Sang pastur muda bernama Saman itu kemudian dikelilingi para perempuan muda: Yasmin (seorang pengacara), Laila (seorang penulis dan fotografer), Shakuntala (seorang penari), dan Cok (seorang waita pengu- saha). Jadi, walaupun menyuarakan kebebasan perempuan, tokoh utama novel ini sebenarnya bukan perempuan, melain- kan seorang pemuda bernama Saman itu. Ayu menceritakan pergulatan sang pastur Saman sejak ia mendapat tugas pastoral di Prabumulih, Sumatera Selatan. Di sini ia melihat banyak hal yang merugikan masyarakat. Penduduk yang tidak berpendidikan tidak memperoleh penghidupan yang layak dan hanya bergantung pada usaha yang tidak dikelola dengan baik. Saman tampil sebagai

1 Kritik paling keras mengenai ini disuarakan oleh sastrawan Taufiq Ismail. Bahkan istilah “fiksi alat kelamin” juga berasal dari penyair “Tirani dan Benteng” tersebut saat memberi Pidato Kebudayaan ”Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka,” di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006.

768 Jamal D. Rahman dkk. pembela masyarakat ketika ada pengusaha besar yang mau mengubah perkebunan karet rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit. Ia pun ditangkap dan dipaksa mengaku sebagai anggota sayap kiri, komunis berjubah pastur, yang menyusup ke masyakarat. Gereja pun tidak mampu membelanya. Akhirnya ia melepaskan baju kepasturannya, selain karena tidak ingin membahayakan gereja. Bagian pertama novel ini berkisah tentang Laila yang pergi ke pertambangan minyak bumi milik Texcoil Indonesia untuk mengambil gambar sebagai bahan iklan perusahaan minyak yang mengontrak kantor tempatnya bekerja. Di sini ia bertemu dengan Sihar Situmorang, seorang sarjana pertam- bangan yang sedang berseteru dengan atasan, Rosano, yang memaksanya melakukan pengeboran lepas pantai padahal menurutnya kondisi tekanan di bawah laut masih terlalu tinggi sehingga dapat membahayakan. Dan ia benar. Alat bor tidak bekerja semestinya, dan mengakibatkan gempa lokal dan salah seorang rekan Sihar yang bernama Hasyim Ali terlempar ke laut. Untuk menyelidiki kasus ini Laila mem- perkenalkan Sihar dengan Saman dan Yasmin (pengacara). Di sini aroma kritik sosial pada fenomena khas zaman Orde Baru bermunculan. Misalnya ketika Sihar menjelaskan bahwa orang yang mereka hadapi, Rosano, adalah anak seorang pejabat. “Kamu pikir Rosano itu siapa? Texcoil punya uang lebih dari yang diperlukan untuk membungkam keluarga Hasyim dan polisi.” (hal. 21) Memang selain menyuguhkan banyak kritik sosial, novel ini sangat kental dengan unsur seksualitas di antara tokoh- tokoh utamanya. Laila yang jatuh cinta kepada Sihar menga-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 769 lami dilema karena pria itu sudah beristri, namun tidak menu- tupi hasratnya untuk bercinta dengannya. Seorang temannya, Shakuntala yang telah berada di New York, Amerika Serikat, menyediakan tempat baginya dan dua temannya (Saman dan Yasmin) untuk bertemu Sihar di New York. Shakuntala sendiri digambarkan sebagai seorang perempuan yang hidup dengan kebebasan, yang muak dengan segala kemapanan dan aturan yang mengatakan bahwa wanita harus menjaga diri sebelum menikah. Laila menjelaskan hasratnya kepada Sihar dalam kata- kata: “Barangkali saya sudah letih dengan segala yang menghalangi hubungan kami di Indonesia. Capek dengan nilai-nilai yang kadang menjadi teror. Saya ingin pergi dari itu semua, dan membiarkan hal-hal yang kami inginkan terjadi. Mendobrak yang selama ini menyekat hubungan saya dengan Sihar.” Di sinilah kisah-kisah yang sering dikritik sebagai vulgar itu bermunculan. Bagian-bagian yang sering disorot itu menyangkut tidak saja hubungan seks di antara pasangan yang bukan suami-istri (seks bebas) namun juga cara penggambarannya yang sangat terus terang:

“Kami melakukannya tanpa melepaskan pakaian, sebab hari masih terlalu dingin untuk telanjang. Setelah itu, mengu- langinya di kamar hotel, tanpa berlekas-lekas di mana kulit saya menikmati kulitnya, dan kulitnya menikmati kulit saya, sebab kami telah menanggalkan semua pakaian. Dan kami berkeringat. Lalu setelah usai, kami akan bercerita satu sama lain. Tentang apa saja. Setelah itu, sayang, kita tertidur. Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tidak lagi perawan.” (hal. 30)

770 Jamal D. Rahman dkk. “Saman, tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajah- mu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.” (hal. 195)

“Dan aku menamai keduanya puting karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menamainya kelentit karena serupa kontol yang kecil.” (hal. 198).

Dalam studi budaya novel Saman dimasukkan dalam kategori karya sastra feminis di mana tema-tema yang diang-katnya berkisar pada pertanyaan-pertanyaan kritis masalah perkawinan, pendidikan, pekerjaan, diskriminasi, dan seksu-alitas. Namun sebagaimana ditunjukkan dalam sebuat riset, karya-karya sastra feminis yang ditulis penga- rang wanita Indonesia pada periode tahun 1980-2005 lebih khusus memi-lih tema novelnya dengan mengangkat masa- lah seksualitas, kekerasan dan tubuh wanita ke dalam sebuah kerangka memerdekakan diri dari eksploitasi laki-laki terhadap wanita yang umumnya terjadi tiga aspek. Pertama, eksploitasi laki-laki terhadap wanita melalui seks. Kedua, penindasan laki-laki terhadap wanita melalui kekerasan dan ketiga, pengu-asaan laki-laki atas wanita melalui tubuh wanita.2 Ayu Utami tidak secara khusus mengangkat tema-tema tersebut karena di dalam novelnya ada nuansa politik yang sangat kental, juga masalah agama/iman. Bahkan isu gender tidak diposisikan sebagai resultan dari motif eksploitasi laki- laki. Tokoh-tokoh perempuan yang diangkatnya adalah

2 Disertasi Ahyar Anwar S.S MSi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Lihat, http://ugm.ac.id/ugm/id/berita/374-dinamika.18.novel.feminis.karya.wanita. indonesia. Diakses 20 Juni 2013, pukul 22.40.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 771 orang-orang yang mandiri dan memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup mereka. Potret perempuan modern yang sukses dalam karir atau mereka yang well-educated kemudian memilih untuk tidak menikah, juga tergambarkan dalam novel ini. Lembaga perkawinan tidak dihinakan tapi juga tidak disakralkan. Seperti halnya keperawanan yang tidak lagi dianggap sebagai masalah besar seperti di masa lalu. Novel Ayu yang terbit setelah Saman seperti Larung dan Bilangan Fu masih konsisten mengangkat tema relasi gender dan masalah kekuasaan. Tiga karya Ayu Utami tersebut telah menjadi bahan penelitian akademik, baik di dalam maupun di luar negeri. Ayu Utami mengguncang dunia literasi Indonesia karena ia memperlebar dunia sastra yang dulu dibatasi oleh tembok dengan apa yang disebut sastra pop. Ia berhasil memasuki dunia novel populer yang selama puluhan tahun dikuasai para penulis roman percintaan dewasa seperti Mira W, Marga T, Freddy S, dan lain-lain. Karya pertama Ayu Utami, Saman, dipandang penting dalam pergerakan kesusastraan Indonesia yang mela- hirkan kecenderungan tersendiri. Hal ini tampak dari nama- nama besar sastrawan yang memberi komentar atas terbitnya novel ini. Dalam pengantar novel, kritikus sastra Faruk mengatakan bahwa dalam sejarah sastra Indonesia tak ada novel yang sekaya novel ini ... lebih kaya daripada Para Priyayi-nya Umar Kayam dan Ziarah-nya Iwan Simatupang. Sementara itu pe- nyair senior Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa karya Ayu Utama ini memamerkan teknik komposisi yang belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan

772 Jamal D. Rahman dkk. mungkin di negeri lain. Hal senada diungkapkan Ignas Kleden bahwa, “Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaian-nya, kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.” Tentang komentar orang bahwa novel Saman agak sulit dimengerti, Ayu yang menyelesaikan S1-nya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini pernah menjelaskannya dalam acara peluncuran novel terbarunya saat itu, Bilangan Fu, di Pameran Buku Ikapi di Jakarta, Juli 2008. Menurutnya, novel itu memang strukturnya tidak rapi, seperti mozaik atau frag- men yang terpisah-pisah. Tidak memakai plot yang lurus. “Tapi itu merupakan salah satu cara yang saya ambil sebagai reaksi saya dari terlalu tertibnya nilai-nilai dan terlalu tertibnya kai- dah menulis yang saya rasakan di zaman itu,” ujar perempuan yang lahir di Bogor, Jawa Barat tahun 1968 dan juga menulis Larung, Parasit Lajang, Sidang Susila, Bilangan Fu, Lalita, Manjali dan Cakrabirawa, dan Cerita Cinta Enrico itu. Novel Saman mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta 1998. Pada tahun 2000, Saman mendapatkan penghargaan Prince Clause Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, Belanda, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Di negeri kincir angin ini pula Saman terbit dalam bahasa Belanda dengan judul Samans Missie, yang diluncurkan di Amsterdam pada 9 April 2001 dan dihadiri oleh Ayu Utami. Saman telah diterjemah- kan ke dalam delapan bahasa asing. Pada 2008 novel ini juga mendapat penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 773 Selain menulis novel, Ayu Utami juga menulis cerita pendek (cerpen). Salah satu cerpennya yang paling banyak dibicarakan orang ialah “Terbang”3 yang berkisah tentang kesetiaan seorang istri saat jauh dari suaminya.[]

3 Cerpen ini dimuat dalam Cerpen Pilihan Kompas, 2009.

774 Jamal D. Rahman dkk. Helvy Tiana Rosa Melingkarkan Pena ke Mana-mana

NENDEN LILIS AISYAH

nak perempuan itu, bersama adik-adiknya, sering diusir A dari tempat penyewaan buku yang berada di dekat rumahnya di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat gara-gara tidak punya uang untuk menyewa komik-komik yang ingin dibacanya. Bahkan, ia sering dianggap mengganggu pengun- jung lain karena pertanyaannya tentang buku-buku itu. Diperlakukan seperti itu, anak itu berkata pada adiknya, “De, suatu hari kalau kita sudah besar, kita akan membuat rumah-rumah baca yang lebih banyak dan besar daripada ini…”. Di masa dewasanya, apa yang diucapkan anak terse- but menjadi kenyataan. Bukan hanya rumah-rumah baca, siapa yang menyangka anak itu kemudian menjadi salah seorang penulis yang menggerakkan orang-orang untuk menulis dan pembaca yang mendirikan rumah-rumah baca. Ya, dialah Helvy Tiana Rosa. Sejak ia bisa membaca pada usianya yang belum genap 5 tahun, ia memang sangat suka membaca. Akan tetapi, keterbatasan ekonomi keluarganya tak selalu dapat memu- askan minat membacanya. Untunglah, ia punya ibu yang

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 775 yang memiliki perhatian besar pada dunia membaca dan pantang menyerah untuk memuaskan dahaga membaca putra-putrinya. Sang Ibu, Maria Arifin Amin, yang sehari- hari berjualan seprai keliling, selalu berusaha pulang mem- bawa buku buat Helvy dan adik-adiknya, Asmarani Rosalba dan Aeron Tomino. Ia tak segan meminjam buku-buku cerita pada teman-temannya atau pada para pembeli seprai-seprai- nya itu dengan janji akan menjaga buku-buku itu dengan baik, bahkan akan memberinya sampul jika buku itu belum disampul. Oleh karena itu, karena teman-temannya dan pembeli-pembeli tersebut meminjamkan buku, Helvy tidak kekurangan bacaan, dalam sehari ia bisa membaca tiga sampai sepuluh buku. Tak hanya itu, ibunya juga mentradisi- kan menulis buku harian pada anak-anaknya. Helvy sering melihat ibunya menulis diary setiap malam. Ia memotivasi anak-anaknya untuk menulis buku harian sebagai sarana untuk berlatih mengemukakan perasaan dan gagasan melalui tulisan. Ibunya pun senantiasa mendongeng tentang hal-hal yang membangkitkan sikap optimistis. Itulah tampaknya yang mengasah kemampuan Helvy dan menumbuhkan sikap gigih dalam dirinya sehingga menjadi Helvy yang kita kenal sekarang. Helvy juga sudah mengenal syair sejak kecil. Ayahnya, Amin Usman —masyarakat umum lebih mengenalnya dengan nama Amin Ivo’s— adalah pencipta lagu yang populer pada masanya. Melihat anaknya punya ketertarikan besar pada syair dan suka menulis puisi dengan bagus, ayahnya selalu meminta putri sulungnya ini untuk memberikan masukan pada syair-syair yang ditulisnya. Lagu-lagu sang

776 Jamal D. Rahman dkk. ayah ini dinyanyikan Andi Meriem Matalata, Broery Pesolima, Dewi Yull, Christine Panjaitan, Iis Sugianto. Lagu- lagu itu menjadi hits pada zamannya sehingga membawa perbaikan ekonomi pada keluarganya Perempuan yang kehidupan masa kecilnya berada di perkampungan sekitar rel kereta api Gunung Sahari Jakarta Pusat dan bersekolah di SD Kartini II Jakarta ini, saat kelas tiga SD sudah mencoba mewujudkan apa yang pernah dikatakannya pada adiknya. Ia membuat perpustakaan kecil di rumahnya dari buku-buku miliknya yang ia kumpulkan, ditambah buku-buku yang dibelinya dari uang tabungan. Perpustakaan itu ia gratiskan agar teman-teman sebayanya dapat membaca sesuka hati. Sementara itu, ia pun mulai mempublikasikan tulisan- tulisannya berupa puisi dan cerpen ke majalah anak-anak seperti Bobo, Ananda, Halo, dan Tomtom. Dari karya-karya- nya yang dimuat tersebut, ia dapat menambah koleksi buku- buku di perpustakaannya, karena waktu itu honor yang diberikan berupa buku. Minat dan perhatian Helvy pada dunia baca-tulis dan sastra makin berkembang di usia remaja dan dewasa. Selain menulis cerita, ia pun mulai meluaskan kemampuannya dalam bidang teater. Minatnya pada bidang teater muncul setelah ia sering bermain ke Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Ibu Su’amah, guru SD-nya, yang memperkenal- kannya pada gairah kesenian di TIM. Sejak itu ia sering pergi ke TIM dan mengamati para seniman di sana berkesenian. Helvy sering berangkat ke TIM dengan berjalan kaki dari rumahnya yang jauh jika tidak punya uang untuk ongkos. Di TIM, selain melihat nama-nama seniman besar, ia pun

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 777 melihat anak-anak seusianya yang berlatih teater. Helvy kecil sangat ingin bergabung dengan mereka, namun ia sadar akan keterbatasan keuangan keluarganya. Meskipun demi- kian, ia tak putus asa. Dengan gembira dipelajarinya diam- diam ilmu-ilmu yang diserapnya dari pengamatan terhadap anak-anak yang sedang berlatih tersebut. Ia baru dapat berga- bung dengan grup teater di sekolahnya setelah ia masuk men- jadi siswa SMPN 78 Jakarta, yakni Teater 78. Ia pun membuat sanggar untuk remaja di rumahnya yang dinamakannya Sanggar Zuluq. Untuk pertunjukan teater sekolah dan sang- garnya tersebut Helvy mulai menulis naskah drama. Hal itu berlanjut hingga ia masuk SMA, kuliah, dan menjadi dosen. Kegigihan Helvy kecil tak sampai di situ. Selama ini, jika ia menulis, ia meminjam mesin tik tetangganya. Ia memim- pikan memiliki mesin tik sendiri. Tanpa sepengetahuan keluar- ganya, ia pun mengamen puisi di bus-bus yang membuatnya berkeliling Jakarta, terkadang hingga malam hari. Pernah suatu kali, karena ingin bertemu para sastrawan idolanya, ia mengamen di TIM. Gayung bersambut, dilihatnya Taufiq Ismail, Putu Wijaya, Ramadhan K.H, Sutardji Colzoum Bachri, dan Leon Agusta tengah mengobrol di sebuah warung di TIM. Sekadar mencuri perhatian mereka, Helvy pun mem- bacakan puisi-puisinya. Helvy merasa puas sekalipun mereka hanya memandangnya sekilas karena sibuk dan memberi beberapa keping uang receh. Helvy berjanji dalam hatinya, ia akan menjadi sastrawan seperti mereka, dan mendirikan wadah menulis untuk mendorong anak-anak seusianya, terutama anak-anak tak mampu. Untuk menyemangati dirinya, ia menulis surat untuk Taufiq Ismail dan Putu Wijaya. Surat-surat itu tak pernah

778 Jamal D. Rahman dkk. dikirimnya. Ia membalas sendiri surat-surat itu seolah-olah dari sastrawan yang dikaguminya tersebut. Hingga suatu saat, ia bertemu Putu Wijaya dalam sebuah acara. Dihampi- rinya sastrawan kawakan itu dengan buku kecil di tangan- nya. Ia meminta sang sastrawan untuk menulis pesan di buku itu untuknya. Putu Wijaya pun menulis, “Helvy, menu- lis adalah berjuang!”. Helvy menempelkan tulisan tersebut pada cermin di kamarnya untuk mengukuhkan tekadnya menulis. Menulis adalah berjuang. Kata-kata ini tampaknya sangat mengendap dalam diri Helvy. Ia terus menulis berbagai karya yang dikirimnya ke berbagai media massa. Tidak hanya menulis untuk dirinya, ia menyebarkan ilmu dan kemampu- annya ini pada orang-orang di sekitarnya. Pertama-tama pada adiknya, Asmarani Rosalba yang kini dikenal dengan nama Asma Nadia, yang kemudian menjadi penulis terkenal hingga karya-karyanya banyak mendapat penghargaan dan difilm- kan. Helvy juga mewariskan bakat menulis pada putranya, Abdurahman Faiz. Tekadnya menumbuhkan minat dan kemampuan mem- baca serta menulis pada anak-anak kurang mampu pun dapat diwujudkan dengan mengajari anak-anak tak mampu dalam gerbong-gerbong kereta api tua di sekitar Gunung Sahari dan Statsiun Senen. Ia terinspirasi kisah Toto Chan yang dibacanya dari buku yang ia dapat dari Sinar Harapan Minggu (imbalan atas puisinya yang dimuat). Helvy terus berkarya dan beraktivitas dalam bidang sastra dan teater. Ia mengikuti berbagai lomba baca puisi, yang mengantarkannya menjadi juara mulai dari tingkat Jakarta

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 779 Pusat, DKI hingga nasional. Ia belajar puisi dari Ical Vrigar, pimpinan Sanggar Kapas Jakarta. Helvy pun bergabung pada sanggar ini yang membuat kemampuan bertaternya semakin terasah. Saat ia bersekolah di SMAN 5 Jakarta, ia sempat menjadi ketua Teater Lima, dan sempat mengantarkan teater ini menjadi pemenang Festival Teater Tingkat SLTA (1988). Minatnya pada bidang teater ini diteruskannya di masa kuliah di Program Studi Asia Barat Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) dengan mendirikan Teater Bening, teater alternatif muslimah kontemporer yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Grup teater ini pentas keliling Jabodetabek antara lain mementaskan naskah drama atau naskah dari cerpen-cerpen Helvy. Helvy sendiri bertindak sebagai sutradaranya. Kebanyakan karya-karya yang dipentaskannya bertema gugatan terhadap penindasan yang dirasakan umat Islam, seperti “Aminah dan Palestina” (1991), “Negeri Para Pesulap” (1993), “Maut di Kamp Loka” (1994), “Fathiya dari Sebrenica” (1994), dan lain-lain. Naskah drama berjudul “Tanah Perempuan” mengantar- kan perempuan yang dipanggil teman-temannya semasa kuliah dengan sebutan Al-Hamasah (semangat) ini, meme- nangi urutan tiga besar dalam Workshop Penulisan Naskah Drama Perempuan yang diselenggarakan Women Play- wrights Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Budaya UI dan DKJ (2005). Atas undangan Indonesian Dramatic Reading Festival, ia pun menulis lakon “Jiroris”. Kiprahnya pada bidang teater ini diteruskannya hingga ia menjadi dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan mendirikan Bengkel Sastra UNJ.

780 Jamal D. Rahman dkk. Sementara itu, sambil berteater, perempuan yang pada masa kuliah di kelasnya kerap mendapat nilai tertinggi dalam mata kuliah penulisan populer yang diampu peraih hadiah Pegasus Prize dari Amerika Serikat, Ismail Marahimin, tak pernah surut menulis. Selain mengirim karya ke majalah dan koran, Helvy pun aktif mengikuti berbagai lomba penu- lisan di kampusnya. Di tengah beragam aktivitasnya, Helvy tidak melupakan pengabdiannya mengajar mengaji, mem- baca, dan menulis pada anak-anak dan remaja di Jabo- detabek. Suatu hari, guru Bahasa Indonesianya di SMAN 5 Jakarta, Muhyidin Dasuki, mengatakan, “Helvy akan menjadi penga- rang terkemuka Indonesia.” Helvy menjawab apa yang dira- sakan dan dinyatakan gurunya itu: jika ia menjadi pengarang terkemuka, ia akan membuat Indonesia menulis, mengajak orang lain untuk-ramai-ramai menulis, karena menulis ada- lah perjuangan yang menyenangkan. Apa yang Helvy impi- kan sekarang benar-benar menjadi kenyataan. Bukan hanya menjadi pengarang terkemuka, Helvy adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar dan luas dalam pergerakan kesusas- traan Indonesia dan dunia Islam.

Helvy dan Majalah Annida Nama dan pengaruh pengarang kelahiran Medan, Suma- tera Utara, 2 April 1970 ini mulai menasional setelah ia ber- gabung menjadi redaktur majalah remaja Islam Annida. Kiprahnya di majalah Annida ini berawal dari pertemuan- nya dengan Dwi Septiawati, pemimpin redaksi majalah Annida. Saat itu kebetulan Helvy tengah mengubah arah

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 781 penulisannya menjadi lebih Islami dan ia sedang mencari media yang tepat untuk publikasi karya-karyanya dan ternyata Annida menyambutnya. Helvy kemudian diangkat menjadi readaktur pelaksana dan bertanggungjawab atas rubrik fiksi (1992). Melihat animo pembaca yang besar terha- dap rubrik ini, tahun 1993 majalah itu berubah menjadi maja- lah yang khusus berisi cerpen-cerpen Islam yang ditujukkan kepada remaja dengan tajuk Kisah-Kisah Islami Annida. Majalah itu memiliki visi menjadi bacaan bernuansa Islami yang kreatif, edukatif, dan inovatif. Dengan demikian, dakwah Islam bagi kaum remaja tersampaikan secara halus dan tidak terkesan menggurui. Distribusinya mencapai seluruh Indonesia. Pada waktu Helvy menjadi pemimpin redaksinya (1997-2001), tirasnya mencapai 100.000 eksemplar/bulan. Oplahnya terus meningkat seiring undangan-undangan yang diterima Helvy ke berbagai daerah di Indonesia untuk temu pembaca, menjadi pembicara dalam acara keislaman, atau workshop penulisan. Annida diam-diam telah membentuk apa yang dikatakan Taufiq Ismail entitas baru kaum muda yang mencintai Islam dan sastra sekaligus. Annida, melalui cerita-ceritanya, telah mengubah pandangan remaja kota yang menganggap nilai dan atribut-atribut agama sebagai sesuatu yang kuno dan tidak gaul menjadi tergerak untuk lebih religius dan memandangnya sebagai sesuatu yang keren. Sebaliknya, remaja-remaja masjid atau pesantren yang tadinya asyik hanya dengan lingkungannya dan jauh dengan seni, cende- rung menjadi lebih terbuka dan mulai dekat dengan sastra dan seni. Annida pun telah melahirkan banyak penulis yang

782 Jamal D. Rahman dkk. menjadi acuan kaum remaja, seperti Asma Nadia, Muth- mainnah (Maimon Herawati), Izzatul Jannah, Rahmadi- yanti Azzimah Rahayu, dan masih banyak lagi. Para penulis- nya berasal dari berbagai kalangan. Selain Annida, salah satu yang manandai dan memper- lihatkan pengaruh Helvy Tiana Rosa terhadap sikap kaum remaja adalah cerpennya “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP). Cerpen ini pernah dimuat dalam rubrik kisah utama Annida, 1993. Berkat cerpen ini, dari mulai terbit pertama kali di Annida hingga menjadi buku yang terus mengalami cetak ulang hingga sekarang, Helvy banyak menerima surat ham- pir setiap hari dari para pembacanya. Mereka menyatakan cerpen itu mengharukan, mengubah pribadi pembaca ke arah yang lebih baik, dan membuat para remaja muslimah tergerak untuk memakai jilbab. Sebelum diterbitkan sebagai buku oleh Pustaka Annida (1997), kumpulan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi mengalami penolakan oleh beberapa pe- nerbit. Siapa yang mengira, sambutan masyarakat terhadap kumpulan tersebut ternyata begitu luar biasa. Seperti dikemukakan Hanik Nusanturo yang pada saat itu bekerja di bagian distribusi Pustaka Annida, kumpulan tersebut habis terjual 10.000 eksemplar sebelum selesai dicetak sebagai buku. Kemudian, ketika diterbitkan Penerbit Syaamil, mengalami cetak ulang hingga 20 kali dalam rentang 4 tahun (2000-2005). Tahun 2011 buku tersebut diterbitkan kembali oleh Asma Nadia Publishing House (ANPH) dengan judul Ketika Mas Gagah Pergi… Dan Kembali dan dalam waktu tiga bulan telah empat kali cetak ulang. Cerpen tersebut kini tengah dalam proses difilmkan oleh Sinemart.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 783 Cerpen dan novel Helvy Tiana Rosa selain berisi tema- tema dan nilai-nilai Islam yang penyampaiannya sesuai dengan karakteristik remaja sehingga mudah diterima dan dicerna, juga menggugat penindasan kaum muslim di berbagai wilayah di dunia dengan berbasis fakta, sejarah, dan penelitian. Lewat karya-karya tersebut Helvy melakukan pelurusan dan resistensi terhadap pencitraan dan fakta-fakta salah dari pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Islam. Dalam salah satu catatan proses kreatifnya, seperti dapat dibaca pada buku Sebab Sastra yang Merenggutku dari Pasrah (1999), Helvy dengan tegas menyatakan misi pencip- taan karya-karya fiksinya, “Ketika terjadi distorsi informasi dunia Islam di berbagai media, ketika konspirasi global menghantam, ketika saya dan kaum muslimin sekonyong- konyong tiba pada “ketidakberdayaan”, saya tak ingin pas- rah. Maka saya berjuang dalam sastra.” Apa yang dilakukan Helvy Tiana Rosa kemudian menjadi warna pula dalam hampir sebagian besar para penulis fiksi-Islami yang pada umumnya lahir lewat Annida dan FLP. Karya-karya Helvy diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Jepang dan Swedia. Karya- karya Helvy yang masih berserakan di berbagai media dan belum sempat dibukukan mengalami pembajakan di Malay- sia. Cerpen-cerpen Helvy yang berserakan itu diterbitkan sebagai buku oleh Ummah Media Malaysia dan diakui sebagai karya Ahmad Faris Muda, warga Malaysia yang bekerja sebagai dosen. Helvy sempat berniat menjalurhukumkan plagiator tersebut, namun karena berbelit-belit dan mem- butuhkan biaya untuk pengacara.

784 Jamal D. Rahman dkk. Helvy dan Forum Lingkar Pena (FLP) Pengaruh Helvy yang utama adalah lewat organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) yang didirikannya. Siapapun yang menyebut nama FLP akan langsung terkait dengan nama Helvy Tiana Rosa. Oleh karena itu, banyak yang menjuluki Helvy sebagai lokomotif, brand image, dan patron FLP. FLP bermula dari kegelisahan Helvy akan minat mem- baca dan menulis di kalangan remaja Indonesia. Helvy, seperti diungkap dalam makalah tentang “Forum Lingkar Pena: Sejarah, Konsep, dan Gerakan”, merasakan mende- saknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Selain itu, banyak anak muda yang berminat dan berpotensi dalam bidang kepenulisan, namun kurang tersalurkan kare- na tiadanya pembinaan. Maka, Helvy yang saat itu masih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Annida, mengajak Asma Nadia, Muthmainnah, dan beberapa temannya dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk bertemu di masjid Ukhuwah Islamiyah UI. Dari pertemuan ini disepa- katilah untuk membentuk organisasi kepenulisan yang kemudian dinamai Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah wadah bagi kaum muda dan berbagai kalangan dalam bidang ke- penulisan. FLP berdiri pada 22 Februari 1997 sebagai badan otonom Yayasan Prima (pada Desember 2003 namanya berubah menjadi Yayasan Lingkar Pena) dengan Helvy Tiana Rosa sebagai Ketua Umumnya (1997-2005). Pada awal pendirian, anggotanya baru berjumlah 30 orang. Mereka rutin mengadakan diskusi mingguan dan bulanan dengan mengundang beberapa ahli di bidang terse- but. FLP kemudian mengadakan rekrutmen anggota FLP

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 785 di seluruh Indonesia. Lambat laun, jumlah anggota FLP mencapai lebih dari 5.000 (data tahun 2003) yang tersebar di kepengurusan wilayah (propinsi), cabang-cabang (kota, kabupaten), dan ranting (sekolah, universitas, dan sejenis- nya), baik di Indonesia maupun mancanegara. Kepengurusan FLP wilayah, seperti dikatakan Helvy dalam makalahnya, dimulai dari Kalimantan Timur (1998) atas prakarsa seorang penulis muda dari provinsi tersebut, Muthi Masfufah. Sekretariatnya berpusat di Bontang, dan cabangnya di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah untuk membentuk kepengurusan di tiap wilayah. Maka, hingga sekarang, telah terbentuk kepengurusan wilayah dan cabang FLP di 30 provinsi di Indonesia. Tidak hanya itu, FLP juga memiliki cabang di luar negeri, didirikan oleh mereka yang sedang melanjutkan pendidikan di luar negeri atau ting- gal di luar negeri. Muthmainnah mendirikan FLP di Inggris, A. Rifanti (Amerika Serikat), Ummu Itqon (Kanada), Hadi Susanto (Belanda), Ikhwan Arifin (Sudan), Femina Sagita (Jepang), Serra Rivalina (Singapura), Ahmad Mahajir (Korea), Lulu Naning (Pakistan), Habiburahman El-Shirazy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir), dan masih banyak lagi. Para pengu- rus dan anggota FLP tersebut berasal dari berbagai kalangan, bahkan FLP Hongkong didirikan oleh para pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Anggota FLP sebagian besar berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa, sebagian lainnya merupakan pegawai negeri, karyawan, guru, buruh, ibu rumah tangga, petani,

786 Jamal D. Rahman dkk. dan lain-lain. Mereka kebanyakan berusia 15-25 tahun. Namun banyak pula anak-anak dan orang tua. Seperti dicatat Helvy, anggota FLP termuda berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. Banyaknya anggota anak-anak ini mendo- rong beberapa FLP wilayah membentuk FLP Kids, seperti di DKI, Jawa Barat dan Kaltim. Diakui Helvy, majalah Annida menjadi sarana bagi mun-culnya karya-karya anggota FLP. Sekitar 75% penulis majalah Annida bergabung dalam FLP. Selain itu terdapat ratusan pengelola dan penulis media kampus menjadi anggota FLP. Helvy mencatat, ada sekitar 700 penulis aktif di FLP. Lahirnya penulis demi penulis dari FLP merupakan indikasi keberhasilan sistem pembinaan FLP. Sistem pembinaan FLP, seperti dinyatakan Helvy dalam makalah- nya sebagai berikut:

Asas pembinaan bagi anggota-anggota FLP adalah keber- samaan, kontinuitas dan kompetensi. Kebersamaan berarti tidak mementingkan karya atau kemajuan diri sendiri, konti- nuitas berarti secara kontinyu berkarya dan membina, serta kompetensi berarti setiap anggota akan berkarya sebaik mung- kin, meningkatkan kualitas karya dan memiliki kejelasan arah serta tujuan dalam mencerahkan masyarakat. Dengan sistem keanggotaan yang berjenjang memung- kinkan para anggota yang memiliki tingkat lebih tinggi mem- berikan pembinaan kepada anggota dibawahnya. Jenjang keanggotaan tersebut terdiri dari anggota muda, madya dan andal. Anggota muda adalah mereka yang memiliki keinginan kuat, ketekunan untuk menulis namun belum memiliki penga- laman dan pengetahuan menulis. Anggota madya yaitu mereka yang telah menghasilkan karya di media massa lokal atau atau nasional atau pernah memenangkan sayembara penulisan tingkat daerah, namun belum cukup aktif menulis. Anggota

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 787 andal yaitu mereka yang aktif menulis di berbagai media, telah membukukan karya-karyanya, pernah menjuarai sayembara penulisan tingkat nasional dan atau menjadi akademisi pada bidang sastra (kritikus) atau bidang komunikasi (jurnalistik), sering menjadi pembicara dalam berbagai acara yang berkaitan dengan penulisan. Selain sistem pembinaan yang berlapis, FLP juga mene- rapkan sistem rekomendasi bagi karya-karya penulis muda yang layak diterbitkan. Para anggota FLP yang telah mem- punyai nama, mengenalkan nama-nama lain – penulis FLP yang layak menerbitkan buku – setiap bertemu penerbit. Bentuk support yang lain adalah dengan memberikan endorsement di belakang karya-karya mereka, memberikan pengantar buku atau memberikan satu cerpen dalam antologi (kumpulan cerpen) bersama penulis-penulis baru. Dalam perkembangan selanjutnya, nama-nama yang ikut bergabung dalam antologi tersebut produktif pula menghasilkan karya- karyanya sendiri dan menjelma “mentor-mentor” baru yang kembali berkeliling sebagai relawan, turut membidani kelahiran penulis baru dan membantu menggodok penulis lain agar bisa meningkatkan kualitas karya mereka.

Munculnya para penulis baru dan muda berkat sistem pembinaan FLP membuat banyak pihak mengakui FLP telah memberikan kontribusi besar bagi dunia kesusastraan Indonesia. Kontribusi ini pun dirasakan anggotanya secara ekonomi karena FLP telah turut memberdayakan ekonomi anggotanya lewat pemuatan di media massa dan penerbitan buku. Melihat kontribusinya ini, Koran Tempo (Maret 2003) menjuluki Helvy sebagai Lokomotif Penulis Muda. Berkat sang lokomotif FLP itu, lahirlah para penulis muda di mana-mana. Dalam rentang 10 tahun, FLP telah berhasil menerbitkan sekitar 600 buku karya penulis FLP lainnya yang pemasarannya rata-rata bagus. Sambutan masyarakat ter-

788 Jamal D. Rahman dkk. hadap karya-karya pengarang FLP yang demikian besar, membuat banyak penerbit berlomba-lomba untuk dapat bekerja sama dengan FLP. Di samping menulis dan menerbitkan karya, para aktivis FLP pun mendirikan Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya) di setiap sekretariat cabang FLP. Tak hanya itu, lewat program-programnya, FLP pun terus melakukan gerakan menulis untuk kemanusiaan. FLP misalnya mela- kukan penggalangan dana dari karya-karyanya yang diterbit- kan yang hasilnya disumbangkan bagi kepentingan kemanu- siaan seperti untuk korban gempa, tsunami Aceh, sumbang- an bagi para korban perang di Palestina, membantu para penulis yang membutuhkan dana pengobatan, dan lain-lain. FLP bukan hanya merupakan gerakan sastra atau gerakan literasi yang terbuka bagi berbagai kalangan seperti ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan, hingga para pem- bantu rumah tangga. FLP pun, seperti dinyatakan Helvy, menjadi satu-satunya organisasi pengarang yang berhasil membentuk rantai tidak putus antara pengarang-penerbit- pembaca-pengarang. Tidak mengherankan jika Taufiq Ismail, sastrawan besar Indonesia, menyebut FLP sebagai hadiah Tuhan untuk Indonesia, dan kritikus sastra kawakan negeri ini, Maman S. Mahyana, menyatakan FLP sebagai organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontri- businya begitu menakjubkan.

Buku Ketika Mas Gagah Pergi, tak hanya disambut luas oleh masyarakat. Buku ini mengantarkannya terpilih sebagai

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 789 salah seorang peserta progran penulisan cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara, 1998. Tahun 1999 Helvy diundang mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Baru, Malaysia. Tahun 2000 cerpennya tentang Aceh: “Jaring- Jaring Merah” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Majalah Horison dalam satu dekade (1990-2000). Ia juga diminta menjadi juri kehormatan Golden Point Award, suatu ajang penghargaan sastra bergengsi di Singapura. Ia pernah diundang oleh University of Wisconsin dan University of Michigan, Amerika Serikat, untuk berbicara mengenai karya- karyanya dan Forum Lingkar Pena yang ia dirikan. Helvy juga terpilih sebagai Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2003-2006 bersama Agus R. Sarjono, Maman S. Mahayana, dan Jamal D. Rahman. Tahun 2005 Helvy memberi workshop penulisan bagi para buruh migran FLP bekerja-sama dengan Kowloon City University, Hong Kong. Kemudian ke Tokyo, untuk memberi pelatihan pada FLP Jepang dan mengisi kuliah di Chun Yao University, Jepang. Tahun 2006 Helvy terpilih sebagai Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera). Tahun 2007 Los Angeles Times, menyatakan bahwa karya-karya Helvy mengangkat persoalan hak-hak asasi manusia, terutama bagi wanita dan anak-anak di wilayah konflik. Helvy mendapat sejumlah penghargaan, antara lain: Anugerah Balai Pustaka-Horison (2013), The World’s Most 500 Influential Muslims, Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan (2009, 2010, 2011, 2012), “Kartini Masa Kini” Pilihan Majalah Gatra (2012), Tokoh Perbukuan Islam IBF Award, IKAPI (2006), dan Pena Award untuk buku Lelaki

790 Jamal D. Rahman dkk. Kabut dan Boneka/ Dolls and The Man of Mist (Syaamil, 2002),[]

Kepustakaan

“Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia”, dalam The Straits Times, 28 Juli 2002 “FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda” dalam Republika, 20 September 2002 Ceramah Helvy Tiana Rosa tentang proses kreatifnya, salah satunya berlangsung di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI, Bandung, 2011. Helvy Tiana Rosa dkk. 1999. Kembara Kasih. Jakarta: Seri Kisah-Kisah Islami Annida Helvy Tiana Rosa. 1999. Sebab Sastra yang Merenggutku dari Pasrah. Jakarta: Gunung Djati Helvy Tiana Rosa. 2003. Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil Helvy Tiana Rosa. 2007. “Forum Lingkar Pena: Sejarah, Konsep, dan Gerakan”. Makalah (Disampaikan pada Konferensi Internasional HISKI, UI) Helvy Tiana Rosa. 2011. Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali. Jakarta: Asma Nadia Publishing House Koran Tempo. “Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda”. Maret, 2003 Maman S. Mahayana. “Fenomena Forum Lingkar Pena”. Makalah (Disampaikan pada Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena), Jakarta, 2007

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 791 792 Jamal D. Rahman dkk. Penutup Yang Indah dan yang Luput

etelah 33 tokoh sastra pilihan Tim 8 dipaparkan, tibalah S kini penutup buku. Dalam pengantar telah dikatakan bahwa memilih 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ternyata tidak mudah, betapapun Tim 8 telah merumuskan beberapa pertimbangan dan menetapkan kriteria. Sekali lagi, masalahnya adalah bahwa mungkin saja seorang sastrawan tak diragukan lagi kedudukan pentingnya dalam sastra Indonesia karena karya-karyanya sangat berhasil dan meyakinkan secara estetis. Namun kenyataannya tidak semua tokoh sastra yang karyanya mencapai tingkat estetis yang sangat mengesankan memenuhi kriteria yang kami tetapkan, khususnya menyangkut lingkup pengaruhnya. Ternyata beberapa tokoh sastra(wan) sangat mengesankan dari segi karya namun pengaruh dan dampaknya relatif terbatas secara sosial dan budaya. Sebaliknya, beberapa tokoh lain tidak begitu mengesankan dari segi karya, bahkan sama sekali bukan sastrawan, namun dilihat dari lingkup pengaruhnya di

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 793 bidang sastra, mereka menempati posisi penting bahkan tak terbantahkan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Di bawah ini adalah tokoh-tokoh sastra yang dalam perdebatan Tim 8 cukup alot didiskusikan untuk dipilih dan dimasukkan ke dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Sebagian dari mereka jelas mencapai tingkat estetis yang sangat indah dan mengesankan, dan sampai batas tertentu berpengaruh pula. Sebagian yang lain sangat menonjol bukan terutama karena karya sastra mereka yang mengesankan, bahkan sama sekali bukan karena karya sastra mereka, melainkan karena kiprah tak kenal lelah dan dedikasi mereka yang sangat tinggi di dunia sastra. Sampai batas tertentu jelas mereka semua berpengaruh, tapi dalam pandangan kami pengaruh mereka tidak sebesar dan seluas 33 tokoh sastra yang kami pilih. Itu sebabnya mereka luput dari pilihan kami. Bagaimanapun, mereka semua sangat kami pertimbangkan dalam pemilihan ini. Utuy Tatang Sontani (l. 1920). Sastrawan ini menulis novel dan cerpen, namun terutama dikenal luas di masa revolusi dengan drama-dramanya. Dramanya yang terkenal adalah Suling (1948), Bunga Rumah Makan: Pertundjukan Watak dalam Satu Babak (1948), Awal dan Mira: Drama Satu Babak (1952), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang: Opera Dua Babak (1955), Si Kabajan: Komedi Dua Babak (1959), Tak Pernah Mendjadi Tua (1963), Manusia Kota: Empat Buah Drama (1961). Ia juga menulis novel antara lain Tambera (1948), Selamat Djalan Anak Kufur (1956), Si Kampeng (1964), Si Sapar (sebuah novelet tentang kehidupan penarik becak di Jakarta,

794 Jamal D. Rahman dkk. 1964), Kolot Kolotok. Sementara, kumpulan cerpennya adalah Orang-orang Sial: Sekumpulan Tjerita Tahun 1948- 1950 (1951), dan Menuju Kamar Durhaka (2002). Ia adalah sastrawan generasi ‘45 yang terkemuka dan dramanya banyak dipentaskan baik pada masa itu maupun masa kemudian. Namun akibat pecahnya G30S pada 1965 di Indonesia, ia —yang bersama sejumlah pengarang dan wartawan Indonesia menghadiri perayaan 1 Oktober di Beijing atas undangan pemerintah Tiongkok— tak bisa pulang. Ia kemudian pergi ke Moscow dan menulis sambil mengajar di sana. Utuy wafat di Moscow, dan sebagai penghormatan, nisannya ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moscow. Di Bawah Langit Tak Berbintang (2001) merupakan memoar dan otobiografi mengenai kehidupannya sebagai orang usiran. Sitor Situmorang (l. 2 Oktober 1924). Di bidang puisi dia jelas maestro. Puisi-puisinya indah dan mengesankan, misalnya “Bunga di Atas Batu”, “Lagu Gadis Itali”, “Si Anak Hilang”, dan “Catedrale de Chartes”. Jumlah karya dan buku puisinya pun terbilang banyak, seperti Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak atau Wajah Tak Bernama. Selain menulis sajak, Sitor menulis cerpen dan drama yang juga mengesankan. Dalam organisasi seniman, dia aktif sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun, sebagian besar masa kreatifnya dijalaninya di luar Indonesia, yang sedikit-banyak pastilah memutus hubungan sang penyair dengan khala- yaknya, dan paling tidak untuk sebagian mengakibatkan relatif terbatasnya pengaruh Sitor Situmorang sendiri.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 795 A.A. Navis (l. 17 November 1924). Dia menggebrak sastra Indonesia dengan cerpennya “Robohnya Surau Kami”. Tapi yang dia gebrak sesungguhnya adalah paham keagama- an atau cara beragama dalam tradisi Islam yang cenderung formalistik ketimbang substantif. Cerpen tersebut jelas menunjukkan pemikiran Navis yang sangat maju tentang cara beragama, dan itu dikemukakannya lewat sastra. Dan selanjutnya dia dikenal sebagai pengarang dan pemikiran yang sangat tajm dan kritis. Di samping menulis cerpen, dia novel, puisi, dan esai sosial-budaya. Buku kumpulan cerpennya, Robohnya Surau Kami (1955), Bianglala (1963), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Jodoh (1999), Kabut Negeri si Dali (2001), dan Bertanya Kerbau Pada Pedati (2002). Novelnya, Kemarau (1967), Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi (1970), dan Gerhana (2004). Sedangkan buku kumpulan puisinya, Dermaga dengan Empat Sekoci (1975). Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2004). Asrul Sani (l. 1926). Dia dikenal sebagai pengarang cerpen dan dramawan, selain sebagai penulis skenario dan sineas. Asrul Sani mulai dikenal lewat antologi puisinya bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, Tiga Menguak Takdir. Dikenal pula lewat buku cerpennya, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat. Puisi dan cerpennya dibicarakan secara khusus oleh kritikus M.S. Hutagalung dalam sebuah buku berjudul Tanggapan Dunia Asrul Sani. Namun, kemudian ia lebih dikenal sebagai penulis skenario film, dan berkali- kali mendapat Piala Citra, lambang supremasi perfilman Indonesia. Pengaruhnya yang besar sangat tampak di

796 Jamal D. Rahman dkk. bidang film. Karya dramanya yang terkenal adalah Mahkamah. Ia juga dikenal berkat Surat Kepercayaan Gelanggang yang digagas dan dirumuskannya. Ramadhan K.H. (l. 1927). Dia terkenal dengan buku puisinya Priangan Si Jelita. Ia menulis novel berjudul Ladang Perminus mengenai korupsi di perusahaan minyak negara. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Anggota Akademi Jakarta. Melalui dua lembaga inilah dia memainkan peranan penting, tidak saja dalam dunia sastra, melainkan juga di dunia seni dan kebudayaan yang lebih umum. Dalam arti tertentu, melalui peranannya dalam dua lembaga tersebut dia memberikan pengaruh dan dampak pada sastra dan seni Indonesia. Kecuali itu, kiprah yang membuatnya lebih terkenal terutama adalah buku- buku biografinya, termasuk biografi Ali Sadikin dan biografi Soeharto. Ia pun —bersama Berthold Damshäuser— mulai membangun jembatan sastra antara Indonesia dan Jerman, misalnya melalui antologi puisi Jerman yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan antologi puisi Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Jerman. Y.B. Mangunwijaya (l. 6 Mei 1929). Dia dikenal terutama melalui novelnya yang meyakinkan, Burung- Burung Manyar (1981). Novelnya yang lain adalah Ikan- Ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Roro Mendut, Durga Umayi, dan Burung-Burung Rantau (1992). Dia kerap menawarkan gagasan-gagasan baru. Dalam Burung-burung Rantau, misalnya, pria yang akrab disapa Romo Mangun ini menga- jukan apa yang disebutkan generasi pasca-Indonesia, yakni generasi yang tidak hanya terkungkung oleh keindonesiaan.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 797 Bukunya Sastra dan Religiositas mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik di tahun 1982, dan menjadi rujukan penting setiap pembicaraan tentang relijiusitas. Dia adalah juga pembela rakyat kecil (wong cilik) yang gigih, sehingga di zaman Orde Baru dia beroposisi dengan penguasa. Dengan semua kiprahnya di bidang humaniora, demokrasi dan kemanusiaan, dia mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina, 1996. Toto Sudarto Bachtiar (l. 12 Oktober 1929). Sebagai penyair, dia menghasilkan sajak-sajak master piece, misalnya “Ibu Kota Senja”, “Gadis Peminta-minta”, “Pahlawan Tak Dikenal”, dan “Malam Laut”. Pada dasarnya penyair ini memang tidak gemar memasuki ruang yang berkaitan dengan hajat orang banyak —organisasi, komunitas, lembaga, media, dan sejenisnya. Karya-karya- nya yang indah pun tidak ditulis dalam semangat avant garde atau upaya pembaruan ekstrem tertentu. Buku puisinya adalah Suara dan Etsa. Selain sebagai penyair yang bagus, Toto Sudarto Bachtiar adalah penerjemah yang bagus seba- gaimana terlihat pada terjemahannya atas novel Farewell to Arm Ernest Hemingway. Umar Kayam (l. 1932). Kemaestroannya tak dapat diragukan lagi. Cerpen-cerpennya nyaris seluruhnya ber- mutu tinggi, terutama yang terkumpul dalam Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975). Selain kuat, cerpen-cerpennya pun ditandai oleh kehangatan kemanusiaan dan bahasa yang memukau. Novelnya Para Priyayi menjadi perbincangan dan dianggap

798 Jamal D. Rahman dkk. novel mengenai priyayi Jawa yang kuat. Guru Besar Univer- sitas Gajah Mada yang pernah menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan RI ini juga menulis esai dan kolom. Kolom tetapnya di Kedaulatan Rakyat terbit dalam serangkaian buku, yakni Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih Ngadep Kidul Sugih, serta Satrio Piningit. Karyanya yang lain adalah buku cerita anak Totok dan Toni (1975), kumpulan cerpen Parta Karma (1997), dan novel Jalan Menikung (2000). Wing Kardjo (l. 23 April 1937). Puisi-puisi penyair ini cukup mengesankan, terutama sajak-sajaknya yang ter- kumpul dalam Selembar Daun (1974) dan Perumahan (1975). Kumpulan puisinya yang lain adalah Fragmen Malam (1997). Ia juga menerjemahkan Sajak-sajak Perancis Modern dalam Dua Bahasa (1972) dan karya mashur Antoine St. Exupery, Pangeran Kecil (1979). Dia pernah menjabat Pembantu Dekan Universitas Padjadjaran, Ban- dung. Dan antara tahun 1984-1990 dia diundang ke Jepang sebagi Guru Besar di Tokyo University of Foreign Studies. Budi Darma (l. 25 April 1937). Dia adalah pengarang cerpen dan novel yang sangat menonjol, di samping penga- rang esai dan kritik. Cerpen-cerpennya yang khas sejak “Kritikus Adinan” sampai belakangan ini menempatkan Budi Darma sebagai sastrawan yang hebat. Ini belum ditambah dengan novelnya, terutama Olenka (1983). Kumpulan cerpennya yang memukau adalah Orang-orang Blooming- ton (1980). Karyanya yang lain adalah kumpulan cerpen Kritikus Adinan (2002), Fofo & Senggring (2005), dan Laki-

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 799 laki Lain dalam Sepucuk Surat (2008). Novelnya yang lain adalah Rafilus (1988) dan Ny.Talis (1995). Esai-esainya pun tajam, khususnya yang terkumpul dalam Soliloqui (1983). Buku esainya yang lain adalah Sejumlah Esai Sastra (1984), Harmonium (1995), Moral dalam Sastra (1981), dan Art and Culture in Surabaya: A Brief Introduction (1992). Guru Besar Universitas Negeri Surabaya yang pernah menjadi Rektor IKIP Surabaya ini, adalah sastrawan terkemuka. Dia adalah maestro sastra Indonesia. Saini K.M. (l. 1938). Tidak diragukan lagi dia adalah penyair, dramawan, maupun inspirator. Sajak-sajaknya yang konvensional dan kuat sebagaimana terlihat dalam Nyanyian Tanah Air (1968) dan Rumah Cermin (1979), misalnya, atau sajak protes sosialnya sebagaimana terkum- pul dalam Sepuluh Orang Utusan (1989), menempatkan Saini K.M. sebagai sosok yang tidak diragukan ketokohan- nya. Hal ini masih ditambah dengan drama-dramanya seperti Pangeran Geusan Ulun (1963), Ben Go Tun (1977), Siapa Bilang Saya Godot (1977), Egon (1978), Serikat Kacamata Hitam (1979), Restoran Anjing (1979), Sebuah Rumah di Argentina (1980), Sang Prabu (1981), Panji Koming (1984), Ken Arok (1985), Amat Jaga (1985), Syekh Siti Jenar (1986), plus dua drama anak-anak Kerajaan Burung (1980) dan Kalpataru (1981). Esai-esainya yang telah terbit adalah Beberapa Gagasan Teater (1981), Beberapa Dramawan dan Karyanya (1985), Apresiasi Ke- susastraan (1986), Protes Sosial dalam Sastra (1986), Teater Modern Indonesia dan Beberapa Masalahnya (1987), dan Puisi dan Beberapa Masalahnya (1994). Ia juga pernah

800 Jamal D. Rahman dkk. menjadi redaktur majalah Mangle dan redaktur kebudayaan harian Harapan Rakyat (1967-1969). Sejak 1979 ia menga- suh kolom “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat. Tulisan- tulisannya mengenai sajak dan kepenyairan dalam kolom itu memberikan pengaruh besar pada kepenyairan dan perpuisian, terutama di Jawa Barat. Danarto (l. 1940). Tak seorangpun akan meragukan kualitas dan nama besarnya. Kemunculannya lewat kum- pulan cerita pendek Godlob (1975) menjadi fenomena tersendiri. Kumpulan cerpennya yang lain adalah Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1996), dan Setangkat Melati di Sayap Jibril (2000). Adapun novelnya adalah Asmaraloka (1987). Catatan perjalanan naik hajinya terbit dengan judul Orang Jawa Naik Haji (1983). Danarto adalah lambang kecemerlangan dalam menggali kebudayaan Jawa, khususnya mistisismenya, untuk sastra Indonesia modern. Karya-karyanya memadukan realisme dengan fantasi, dunia “atas” dengan dunia “bawah”, dunia lahir dengan dunia batin, bahkan manusia dengan Tuhan —dengan spirit manunggaling kawulo-Gusti. Di tangannya, apa yang tak mungkin dalam cerpen jadi mungkin; apa yang mustahil jadi niscaya. Rida K. Liamsi (l. 17 Juli 1943). Dia mulai menulis puisi sejak usia 16 tahun ketika ia berada di SMP dan mempublikasikan karya-karyanya di majalah sekolah. Baru pada tahun 1968 Rida K. Liamsi mulai menerbitkan karya- karyanya di majalah sastra Horison, Solarium, Zaman, Aktuil dan surat kabar nasional seperti Indonesia Raya dan Suara Karya. Beberapa antologi puisinya antara lain: Jelaga

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 801 (1978), Ode X (1971), Tempuling (2003), Perjalanan Kelekatu (2007), dan Rose (2013). Novelnya adalah Bulang Cahaya (2008). Sastrawan yang telah membacakan puisinya di Malaka, Kuala Lumpur, Seoul, Hanoi, dan Ha Long ini, mendirikan Yayasan Sagang. Selain menerbitkan majalah sastra Sagang, secara rutin setiap tahun yayasan tersebut memberikan penghargaan kepada penulis dan seniman yang berlatar belakang budaya Melayu. Yayasan ini juga men- sponsori berbagai kegiatan budaya di Riau. Belakangan, Chairman di Riau Pos Group dan Presiden Direktur PT Jawa Pos National Network (JPNN) serta Presiden Direktur PT Indopos Media Press ini menjadi salah seorang inisiator Hari Puisi Indonesia dan dengan group Indopos-nya memberi Anugerah Hari Puisi Indonesia bagi buku puisi terbaik di Indonesia. Rida K. Liamsi tak pelak memberikan pengaruh besar dalam kehidupan sastra dan budaya di Riau khusus- nya, dan wilayah budaya Melayu umumnya. Kuntowijoyo (l. 18 September 1943). Menulis puisi, cerpen, novel, drama, dan esai, dia adalah sastrawan yang kuat. Di antara karya terbaiknya adalah Khotbah di Atas Bukit (1976). Dia mendapat banyak penghargaan baik dengan cerpen, novel, maupun dramanya. Di antaranya adalah Penghargaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999), SEA Write Award (1999), dan Penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggaran, atas novelnya Mantra Pejinak Ular (2001). Di samping dikenal sebagai sastrawan dan sejarawan, dia adalah juga pemikir sastra yang tajam. Di antara pemikiran- nya yang orisinal adalah apa yang disebutnya Sastra Profetik,

802 Jamal D. Rahman dkk. yang didiskusikan oleh beberapa kritikus sastra dan kemudian dirumuskannya dalam sebuah esai yang bagus, “Maklumat Sastra Profetik” (Horison, Mei 2005). Fredie Arsi (l. 20 Juli 1944). Dia adalah tokoh yang sangat jarang disebut padahal peranannya sangat besar dalam menghidupkan musikalisasi puisi di Indonesia. Di kalangan aktivis musikalisasi di berbagai wilayah Indonesia ia disapa sebagai Papa, dan mereka memang mengakuinya sebagai Bapak Musikalisasi Puisi Indonesia. Aktivitasnya yang tak putus-putus dalam menghidupkan musikalisasi puisi dimulainya dengan mendirikan kelompok musikasasi puisi bernama Davies Sanggar Matahari. Kelompok ini telah melahirkan sejumlah album musikalisasi puisi. Selepas itu, nyaris sepanjang hidupnya dia mendedikasikan diri untuk memberi bengkel kerja musikalisasi puisi dan memotivasi berbagai kelompok musikalisasi puisi di Indonesia. Selain di kalangan umum, mahasiswa, dan pelajar, ia kerap hadir di wilayah-wilayah yang terkena bencana untuk mendampingi para korban dengan musikalisasi puisi dan kegiatan budaya lainnya. Bersama sejumlah seniman, ia mendirikan Komuni- tas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI), dengan banyak cabang dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bahkan kecamatan di seluruh Indonesia. Tak syak lagi, dialah tokoh sastra yang telah mengukuhkan musikalisasi puisi sebagai fenomena baru dalam sastra Indonesia modern. A. Mustofa Bisri (l. 10 Agustus 1944). Seorang penyair yang juga ulama, atau ulama yang juga penyair. Di samping itu, dia adalah penulis cerpen, esai keagamaan, dan pelukis. Buku kumpulan cerpennya adalah Lukisan Kaligrafi. Buku

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 803 puisinya antara lain Ohoi: Sajak-sajak Balsem dan Pahlawan dan Tikus. Apa yang khas pada puisi pria yang akrab disapa Gus Mus ini adalah kritik-kritik sosialnya yang keras namun lembut, serius namun jenaka. Sebagai ulama, dia memimpin Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin di Rembang, Jawa Tengah. Dia adalah tokoh NU yang disegani. Di samping kerap tampil membacakan pusi, tentu saja dia kerap pula memberikan ceramah agama di berbagai daerah hingga pelosok-pelosok desa. Dengan seluruh kiprahnya, tak syak lagi dia adalah tokoh yang berpengaruh. Dan dia meraih gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. D. Zawawi Imron (l. 1946). Dia dikenal dengan sajak- sajak lirisnya, seperti Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999), Lautmu Tak Habis Gelombang (2000). Ia juga menulis esai, di antaranya Sate Rohani dari Madura: Kisah-kisah Religius Orang Jelata (2001), Soto Sufi dari Madura: Perspektif Spiritualitas Masyarakat Desa (2002), dan Jalan Hati Jalan Samudera (2010). Di antara puisinya yang mengesankan adalah “Ibu”, “Madura Akulah Darahmu”, “Zikir”, dan “Sungai Kecil”. Bukunya Bulan Tertusuk Lalang meng- inspirasi Garin Nugroho, seorang sutradara film kenamaan, untuk filmnya yang kemudian diberinya judul Bulan Ter- tusuk Ilalang. Sebagai penyair, dia telah menerima sejumlah penghargaan, di antaranya SEA Write Award dari Thailand.

804 Jamal D. Rahman dkk. Di samping itu, dia adalah juga mubalig yang memberikan ceramah agama di berbagai daerah di Indonesia. Ahmad Tohari (l. 1948). Karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk, merupakan salah satu novel Indonesia yang cemerlang. Novel ini sebelumnya terdiri dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Novel ini sudah dua kali diangkat ke layar lebar dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng dan Sang Penari. Novelnya yang lain adalah Kubah (1980), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Bekisar Merah, dan Orang-orang Proyek (2002). Selain menulis novel, Ahmad Tohari juga produktif menulis cerpen, antara lain terkumpul dalam Senyum Karyamin (1989) dan Nyanyian Malam (2000). Dia juga produktif menulis kolom. SEA Write Award adalah satu dari banyak penghargaan yang telah diterimanya. N. Riantiarno (l. 6 Juni 1949). Dia adalah dramawan yang terkenal, sangat produktif, dan pertunjukan teaternya selalu dipadati penonton selama berhari-hari. Karya dramanya adalah Rumah Kertas, J.J Atawa Jian Juhro, Maaf. Maaf. Maaf, Kontes, Opera Kecoa, Bom Waktu, Opera Julini, Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Suksesi, Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat, Opera Ular Putih, RSJ atau Rumah Sakit Jiwa, Semar Gugat, Opera Sembelit, Presiden Burung-Burung, Republik Bagong, Cinta yang Serakah, dan lain-lain. Ia juga menulis novel, antara lain Percintaan Senja, Cermin Merah, Cermin Bening, Primadona, dan Cermin Cinta. Kumpulan cerpen dan noveletnya adalah Fiksi di Ranjang Bayi. Bahasannya

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 805 tentang teater terbit dalam Teguh Karya dan Teater Populer, dan Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar Teater Kita. Ratna Sarumpaet (l. 16 Juli 1949). Perempuan baja ini adalah penulis naskah drama, novel, dan sutradara Teater Satu Merah Panggung yang didirikannya tahun 1974 serta sutradara film. Novelnya adalah Maluku Kobaran Cintaku. Di antara dramanya yang terkenal dan dipentaskan di ber- bagai kota di Jawa dan Sumatera adalah Marsinah Meng- gugat, sebuah protes atas fakta terbunuhnya Marsinah, se- orang buruh di Sidoarjo, Jawa Timur, yang sangat kritis dalam memperjuangkan hak-hak buruh di zaman Orde Baru. Dia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ratna dikenal pula sebagai aktivis hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan. Karena aktivitasnya, dia bebe- rapa kali dipenjara dan berurusan dengan aparat keamanan. Karya-karyanya, baik drama, pentas teater, maupun novel- nya adalah perlawanan terhadap berbagai hal yang meng- ancam kemanusiaan, demokrasi, dan kebebasan. Hamid Jabbar (l. 27 Juli 1949). Dia penyair yang agak nyentrik khususnya dalam pembacaan puisi: memakai gendang, menyanyikan puisinya dengan gaya Minangkabau, jazz atau blues. Di antara puisinya yang indah adalah “Indonesiaku” dan “Sajak dalam Sajak”. Banyak puisinya bersifat tipografis, termasuk puisinya yang indah itu, yang tentu menunjukkan pentingnya tipografi bagi penyair ini. Dia pernah duduk di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan menjadi redaktur senior majalah sastra Horison. Dia telah menerbitkan 6 buku puisi. Puisi-puisi terbaiknya kemudian diterbitkan dengan judul Indonesiaku (2004) setelah

806 Jamal D. Rahman dkk. kepergian sang penyair, 23 Mei 2004. Dia pernah menghadiri forum-forum puisi internasional, antara lain di Belanda dan Iraq. Juga menerima penghargaan, antara lain dari Pusat Bahasa. Dia adalah salah seorang arsitek program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB), program Horison membawa sastra dan sastrawan ke sekolah dan pesantren di seluruh pelosok Indonesia sejak tahun 2000, yang terus berjalan sampai sekarang. Dia adalah penyair yang wafat saat mem- bacakan puisi di kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Seno Gumira Ajidarma (l. 1958). Menulis cerpen, novel, dan esai, Seno seringkali menyuarakan kritik sosial lewat karya-karyanya. Kredonya adalah “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Demikianlah ketika pers tak berani memberitakan kekerasan yang dilakukan militer di Timor Timur akibat tekanan politik penguasa, dia menulis banyak cerpen seputar tema tersebut. Tetapi cerpennya ka- dang lembut juga. Dia memang menonjol dalam penulisan cerpen. Di antara karyanya adalah Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), Sepotong Senja untuk Pacarku (2001). Novelnya adalah Negeri Senja (2003), Jazz, Parfum & Insiden (1996), Kitab Omong Kosong (2004), Kalatidha (2007). Pada tahun 1987, Seno mendapat SEA Write Award. Pada tahun yang sama dia memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary. Wiji Thukul (l. 1963). Seorang penyair yang melalui puisi-puisinya bersuara keras menentang otoritarianisme

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 807 Orde Baru, sehingga dia masuk daftar para aktivis yang paling dicari aparat keamanan. Rupanya dia adalah penyair yang paling ditakuti penguasa. Bersama masyarakat, dia memprotes pencemaran lingkungan akibat pabrik tekstil di kampungnya, Solo, Jawa Tengah. Dia membacakan puisi protesnya di mana saja, dari satu ke lain tempat. Di tahun 1989 dia diundang membacakan puisi di Goethe Institut, Jakarta, dan di tahun 1991 dia ngamen di Pasar Malam Puisi di Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta. Di tahun 1991 dia menerima Wertheim Encourage Award dari Belanda. Puisi-puisinya semula tersebar dari tangan ke tangan di kalangan para aktivis HAM dan demokrasi, teman, dan pengagumnya, kemudian dikumpulkan dalam Aku Ingin Jadi Peluru (2000). Dia akhirnya hilang dan tak dike- tahui keberadaannya sampai sekarang. Adapun nama-nama lain, baik mereka yang telah men- capai prestasi estetis tinggi di bidang sastra maupun yang berkiprah penuh dedikasi selama bertahun-tahun, tak mungkin untuk disebutkan semuanya, mulai Umbu Landu Paranggi, Leon Agusta, Hamsad Rangkuti, Husni Jamalud- din, Sori Siregar, Rahman Arge, Leila S. Chudori, Sitok Srengenge, Soni Farid Maulana dan lain-lain. Kami juga mencatat nama para penggerak sastra yang dengan penuh dedikasi bekerja keras demi kehidupan sastra di daerah masing-masing: Sosiawan Leak yang berbasis di Solo, Jawa Tengah dengan berbagai aktivitasnya mulai dari perkemahan sastra hingga gerakan “puisi melawan korupsi” belakangan ini. Dorothea Rosa Herliany yang selain merupakan penyair yang cukup penting juga telah

808 Jamal D. Rahman dkk. memberi sumbangan berarti kepada maraknya kehidupan sastra dan budaya pada umumnya, misalnya melalui jeja- ring dan penerbit Indonesia Tera dan sebagai organisator berbagai festival dan kegiatan budaya, khususnya di Jawa Tengah. Demikian pula dengan Gol A Gong lewat Rumah Dunia-nya di Serang, Banten dan Tarmizi Rumah Hitam dengan Komunitas Rumah Hitamnya di Batam, Kepulauan Riau. Perlu pula dicatat Bandung Mawardi dengan Komu- nitas Pawon-nya, Juniarso Ridwan dengan Forum Sastra Bandung, M. Aan Mansyur di Makassar, serta Wan Anwar (alm.) dengan Kubah Budaya di Banten. Juga Azhari dengan Komunitas Tikar Pandan di Aceh, dan Warih Wisatsana yang aktif membina penyair muda di Bali. Demikianlah tokoh-tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh pilihan Tim 8 dengan segala diskusi dan perdebatannya yang seru. Dengan beberapa alasan dan pertimbangan yang telah dikemukakan, apa boleh buat beberapa maestro sastra akhirnya tidak masuk dalam 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Niscaya dibutuhkan buku-buku lain, dengan pertimbangan dan kriteria berbeda, tentang tokoh-tokohnya, misalnya Tokoh Sastra Paling Kritis, Tokoh Sastra Paling Romantis, Sastrawan Paling Merakyat, dsb. Atau tentang karya sastra, misalnya Karya Sastra Indonesia Paling Mengesankan, Karya Sastra Indonesia Paling Relijius, Puisi Indonesia Paling Banyak Dibaca, Novel Indonesia Paling Romantis, 99 Puisi Indonesia Terbaik, dll. Demikianlah setidaknya kami tak putus-putusnya berharap.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 809 Betapa banyak hal yang harus dikerjakan dalam mena- ngani dunia sastra Indonesia, dunia yang menginspirasi lahirnya bangsa namun kerap diabaikan, dilupakan, bahkan disingkirkan oleh bangsa itu sendiri. []

810 Jamal D. Rahman dkk. Biodata Singkat Tim 8

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 811 812 Jamal D. Rahman dkk. Biodata Singkat Tim 8

ACEP ZAMZAM NOOR adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As- Syafi’iyah, Jakarta. Kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia. Mengikuti workshop seni rupa di Filipina, Belanda dan Cina. Di antara buku puisinya adalah Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004) dan Menjadi Penyair Lagi (2007). Sedang kumpulan puisi Sundanya adalah Dayeuh Matapoé (1993) dan Paguneman (2011). Sebagian dari esai-esai sastranya dibukukan dalam Puisi dan Bulu Kuduk (2011). Sejumlah puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Portugal, Prancis, Jepang dan Arab. Antologi puisinya Di Luar Kata meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra (2000) dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasi-onal RI. Sedang Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghar-gaan Penulisan Karya Sastra (2005) dari Pusat Bahasa, juga men- dapat South East Asia (SEA) Write Award, 2005, dari

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 813 Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Kebudayaan 2006 dari Gubernur Jawa Barat atas kiprahnya sebagai aktivis kebudayaan. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI untuk opini budaya terbaik yang dimuat media massa. Antologi puisinya yang lain, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisi Sundanya, Paguneman, meraih Hadiah Sastra Rancage, 2012. Buku puisinya Bagian dari Kegembiraan mendapat Anugerah Hari Puisi Indonesia, 2013.

AGUS R. SARJONO menulis puisi, kritik, esai, monolog, dan drama. Karyanya dimuat di berbagai media terkemuka Indonesia dan beberapa antologi di dalam dan luar negeri. Buku puisinya Lumbung Perjumpaan (2011) mendapat Penghargaan Mastera dari Malaysia (2012). Ia juga mendapat Sunthorn Phu Award dari Thailand (2013) atas lifetime achievement-nya dalam sastra. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Inggris, Belanda, Prancis, Finlandia, Portugal, Serbia, Turki, Jepang, China, Korea, Vietnam, Thai, dan Arab. Lebih dari 20 buku tentang sastra, budaya, teater, dan seni telah dieditorinya. Bersama Berthold Damshäuser menjadi penerjemah dan editor Seri Puisi Jerman. Selain memberi workshop pada guru bahasa dan sastra se-Indonesia (2003- sekarang), ia pun memberi workshop menulis bagi penulis Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura Dalam Program Penulisan Mastera (1997- sekarang). Sajaknya “Suatu Cerita dari Negeri Angin” bersama nukilan cerpen “Die Brücke” Franz Kafka digarap menjadi komposisi musikal “ears – mouths” (baritone, four instruments and speaker) oleh Komposer Austria Prof.

814 Jamal D. Rahman dkk. Christian Utz. Redaktur Horison (1997-2013), Ketua Komite Sastra DKJ (1997-2002) dan Ketua DKJ (2003-2006) ini adalah dosen Jurusan Teater STSI Bandung, Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik, dan Pemimpin Umum Jurnal Sajak. Ia pernah menjadi sastrawan tamu di International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden; Heinrich Böll Haus, Langenbroich; ilmuwan tamu Universitas Bönn, dan kurator seni per-tunjukan pada Jakarta-Berlin Arts Festival 2011. Ia pernah diundang baca puisi dan diskusi dalam Festival Internasional atau seminar di Belanda, Jerman, Prancis, Finlandia, Arab Saudi, Mesir, Dubai, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina dll. Dia juga salah seorang pendiri Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI). Sajaknya pernah dua kali diluncurkan Dinas Antariksa Jepang ke luar angkasa. Buku puisinya yang terbit tahun ini adalah Kopi, Kretek, Cinta (2013).

AHMAD GAUS adalah penulis produktif. Lebih dari 20 buku telah lahir dari tangannya. Selain menulis buku, ia juga menulis artikel dan kolom di berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Karya, Gatra, Matra, Gamma, Panji Masyarakat, Jurnal Kultur, Jurnal Afkar, dan lain-lain. Sebagian besar bukunya bertema agama, politik, dan kebudayaan. Belakangan ia banyak menulis biografi tokoh-tokoh nasional seperti Nurcholish Madjid (cendekiawan), Djohan Effendi (mantan Mensesneg), Taufiq Effendi (mantan Men-PAN), Utomo Dananjaya (pakar pendidikan), Farouk Muhammad (Jenderal Polisi), Koes Hadinoto (ahli radar), Jusuf Talib (politisi). Alumnus Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 815 dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, yang pernah mondok di Pesantren Daar el-Qolam, Banten, ini adalah Pemimpin Redaksi Penerbit Paramadina (1999-2004) dan Direktur Publikasi dan Jaringan Internasional pada LibForAll Foundation, Amerika Serikat (2005-2008). Ia juga menjadi pembicara dalam berbagai forum seminar baik di dalam maupun luar negeri. Kini ia mengajar mata kuliah Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan di Swiss German University (SGU), Tangerang, Banten.

BERTHOLD DAMSHÄUSER lahir di Wanne-Eickel, Jerman, pada tanggal 8 Februari 1957. Sejak tahun 1986 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Pemimpin Redaksi Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan- kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi Indonesia ke bahasa Jerman ini dikenal luas di Indonesia. Ia menjadi penyunting antologi puisi Indonesia dan Jerman bersama Ramadhan K.H. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman, dan sejak tahun 2003 sampai sekarang telah menerbitkan buku puisi Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe, Hans Magnus Enzenberger, Friedrich Nietzsche, dan Georg Trakl. Anggota Komisi Jerman- Indonesia untuk Bahasa dan Sastra yang didirikan di tahun 1997 atas petunjuk Kanselir Jerman dan Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2010 dia dipilih menjadi Presidential Friend of Indonesia. Sejak tahun 2011 ia juga giat sebagai redaktur Jurnal Sajak. Ia kerap menulis kolom bertemakan bahasa untuk Tempo.

816 Jamal D. Rahman dkk. JAMAL D. RAHMAN menulis puisi, esai, dan kritik sastra. Pemimpin Redaksi majalah sastra Horison dan Jurnal Sajak serta Redaktur Jurnal Kritik. Dia juga dosen sastra UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura, IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) ini pernah menjadi Ketua Komite Sastra dan Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Mengikuti forum- forum sastra di dalam dan luar negeri, antara lain di Jerman, Mesir, Saudi Arabia, Iran, Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan berbagai kota di Indonesia. Buku puisinya: Airmata Diam (1993), Reruntuhan Cahaya (2003), Garam- garam Hujan (2004), dan Burn Me with Your Letters (terjemahan Nikmah Sarjono, 2004). Puisi-puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Portugal, dan Korea. Salah seorang pendiri Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI) ini menjadi kontributor sejumlah buku, dan (ko)editor lebih dari 25 buku. Selain itu, dia giat memberikan workshop sastra bagi guru bahasa dan sastra Indonesia maupun pelajar di seluruh Indonesia. Karyanya dimuat dalam berbagai media terkemuka di Indonesia.

JONI ARIADINATA lahir di Majalengka, 23 Juni 1966. Ia mulai menulis cerita pendek pada pertengahan tahun 1993. Karya-karyanya disiarkan di beberapa media massa, di antaranya majalah Horison, Matra, Basis, Kalam, Bahana (Brunei Darussalam), Orientierungen (Bonn), Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Bernas, dan lain sebagainya.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 817 Karyanya dimuat juga dalam berbagai antologi, antara lain Lampor (1994), Guru Tarno (1995), Negeri Bayang Bayang (1996), Candramawa (1996), Pistol Perdamaian (1996), Gerbong (1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (1999), Embun Tajjali (2000), Horison Sastra Indonesia (2002), dan lain-lain. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah Kali Mati (1999), Kastil Angin Menderu (2000), Air Kaldera (2000), dan Malaikat Tak Datang Malam Hari (dwibahasa, 2004). Redaktur majalah sastra Horison dan Pemimpin Redaksi Jurnal Cerpen ini pernah diundang dalam Festival de Winternachten (Den Haag, Belanda), Jakarta-Berlin Arts Festival (Berlin, Jerman), dan tampil membaca cerpen di Belanda, Prancis, dan Jerman. Cerpennya terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas (1994). Ia juga mendapat FLP Award dan Hadiah Mastera (2011).

MAMAN S. MAHAYANA, kritikus dan peneliti sastra. Dosen Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana UI ini adalah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006). Ia terpilih sebagai peneliti berprestasi di lingkungan UI (2003). Selain terlibat dalam banyak penelitian sastra dan budaya, ia kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar sastra di Indonesia dan mancanegara. Dia menulis esai dan kritik di berbagai media massa terkemuka di Indonesia dan Malaysia. Lebih dari 20 buku telah dieditorinya. Bukunya yang telah terbit antara lain: Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992), Kesusastraan Malaysia Modern (1995), Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia (2001), Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (2001),

818 Jamal D. Rahman dkk. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (2005), dan Bermain- main dengan Cerpen (2006). Buku kritiknya terpilih sebagai pemenang Penghargaan Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara di Kuala Lumpur, Malaysia (2006). Peneliti sastra dan budaya, khususnya sastra dan budaya Melayu ini, kini mengajar sebagai Profesor di Universitas Hankuk, Korea Selatan.

NENDEN LILIS AISYAH, lahir di Malangbong, Garut, Jawa Barat, 26 Desember 1971. Lulus dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Bandung, kemudian mendapat gelar Master Pendidikan dari Program Pacasarjana IKIP Bandung. Tulisannya berupa puisi, esai, dan cerpen, tersebar di berbagai media massa ibukota dan daerah. Sejumlah puisinya telah dibukukan, antara lain dalam antologi Malam 1000 Bulan (1995) dan Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Kumpulan puisi tunggalnya berjudul Negeri Sihir (1999). Dosen di FPBS UPI, Bandung, ini pernah tampil di Festival de winternachten, Den Haag, Belanda (1999) dan juga di INALCO, Paris, Prancis (1999). Selain mengajar dan menulis sastra, dia giat melakukan penelitian di bidang sastra dan gender. Dia juga giat memberikan workshop menulis bagi guru-guru bahasa dan sastra di seluruh Indonesia.

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 819 820 Jamal D. Rahman dkk. Indeks

A A. Mustofa Bisri 27, 245, 803, 821 A. Syafii Maarif 133, 134 A. Teeuw 20, 78, 87, 97, 99, 100, 103, 104, 137, 138, 164, 166, 211, 212, 213, 227, 248, 272, 274, 278, 293, 328, 375, 376, 394, 396, 430, 431, 489, 510, 511, 518, 603, 617, 619, 680 A.A. Navis 204, 438, 796 A.S. Dharta 206, 207, 377, 398 Abdul Hadi W.M. 29, 239, 245, 246, 283, 290, 463, 533, 551, 593,621, 622, 669, 671, 672, 673, 674, 675, 676, 678, 679, 680, 681, 682, 683, 684, 685, 688, 689 Abdul Kadir Ibrahim 604, 735 Abdul Muis 73, 81, 821 Abidah El-Khalieqy 513 Acep Iwan Saidi 721, 722 Acep Zamzam Noor 2, 34, 225, 423, 453, 474, 515, 669, 730, 735, 736, 738, 763 Achdiat Karta Mihardja 28, 183, 203, 205, 206, 209, 210, 213, 214 Afrizal Malna 29, 711 Agus Noor 635 Agus R. Sarjono 2, 34, 45, 273, 298, 301, 346, 347, 367, 382, 383, 389, 396, 397, 476, 533, 561, 563, 581, 584, 713, 731, 732, 736, 737, 790, 814, 816 Ahmad Gaus 2, 34, 351, 591, 711, 729, 737, 765, 815 Ahmad Syubanuddin Alwy 684

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 821 Ahmad Tohari 27, 218, 445, 474, 683, 805 Ajatrohaedi 440 Ajip Rosidi 9, 39, 141, 194, 228, 229, 232, 234, 238, 245, 246, 357, 423, 424, 425, 426, 427, 429, 430, 431, 433, 434, 435, 436, 437, 438, 441, 442, 444, 445, 446, 450, 451, 477, 478, 499, 537, 603, 822 Al-Ghazali 670 Albert Camus 417, 507 Alex R. Nainggolan 738 Alexander Dumas 425 Ali Audah 346 Amir Hamzah 28, 38, 171, 172, 174, 175, 176, 183, 188, 190, 191, 197, 202, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 243, 244, 245, 246, 279, 282, 287, 288, 289, 298, 355, 359, 363, 364, 366, 427, 438, 516, 524, 533, 669, 681, 682, 713, 714, 722, 822 Angkatan 45 206, 207, 210, 248, 279, 283, 286, 299, 355, 364, 366, 377, 398, 427, 436 Angkatan 66 279, 283, 286, 289, 290, 298, 436 Apip Mustopa 431, 432, 433 Arief Budiman 29, 39, 335, 342, 343, 347, 362, 372, 437, 535, 536, 538, 539, 543, 546, 547, 548, 555, 556, 557, 558, 559, 560, 582, 583, 822 Ariel Heryanto 437, 547, 555, 559, 560, 684, 685 Arifin C. Noer 39, 561, 562, 563, 564, 565, 567, 570, 571, 572, 573, 582, 584, 585, 586, 587, 588, 589, 683, 822 Aristides Katoppo 346

822 Jamal D. Rahman dkk. Armijn Pane 28, 79, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 162, 163, 164, 165, 167, 168, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 182, 183, 188, 190, 191, 210, 216, 229, 233, 280, 302, 438 Asma Nadia 779, 783, 785, 791 Asrizal Nur 809 Asrul Sani 27, 206, 316, 341, 355, 374, 427, 477, 478, 499, 562, 796 Ayu Utami 29, 40, 513, 614, 623, 624, 625, 631, 633, 765, 766, 767, 768, 771, 772, 773, 774, 822

B Bahrum Rangkuti 394, 397 Bakdi Soemanto 499, 517, 522, 533 Balai Pustaka 13, 45, 46, 47, 49, 59, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 78, 79, 80, 82, 87, 90, 128, 140, 143, 145, 156, 157, 159, 171, 172, 174, 179, 186, 188, 189, 196, 198, 203, 205, 209, 210, 212, 217, 224, 255, 269, 281, 295, 298, 301, 302, 304, 317, 349, 355, 426, 447, 502, 514, 534, 681, 724, 790 Bandung Mawardi 809 Berthold Damshäuser 2, 34, 38, 99, 247, 272, 563, 584, 797, 814, 816 Bertolt Brecht 563, 564, 565, 587, 816 Bintang Timur 179, 182, 206, 370 Budi Darma 460, 461, 476, 511, 538 Budiarto Danujaya 408, 417, 420 Budiman S. Hartojo 627

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 823 C Chairil Anwar 14, 28, 206, 221, 228, 237, 239, 248, 252, 279, 282, 285, 288,289, 294, 303, 331, 351, 353, 354, 355, 356, 359, 362, 363, 364, 365, 366, 374, 427, 436, 438, 456, 475, 483, 495, 524, 533, 546, 559, 581, 582, 595, 610, 669, 712, 713, 721, 736, 737, 748, 796 Charles Dickens 58, 60

D D. Zawawi Imron 804 D.S. Muljanto 466 Damhuri Muhammad 738 Dami N. Toda 282, 406, 408, 421, 604, 621 Danarto 27, 341, 499, 525, 538, 683, 801 Daniel Dhakidae 761 Darmanto Jatman 622, 683 Denny JA 29, 729, 730, 731, 732, 733, 734, 735, 736, 737, 740, 741, 743, 744, 745, 747, 748 Dimas Arika Miharja 809 Djenar Maesa Ayu 513, 766 Dorothea Rosa Herliany 527, 533, 684, 724, 808

E Eddy D. Iskandar 25 Edgar Allan Poe 255, 649 Edgar du Perron 365 Edi Haryanto 499 Eka Budianta 762

824 Jamal D. Rahman dkk. Emha Ainun Nadjib 29, 40, 245, 533, 553, 683, 691, 692, 693, 694, 697, 698, 700, 701, 702, 703, 704, 705, 706, 707, 708,709, 710, 824 Emile Zola 669 Emily Dickinson 460, 612 Ernest Hemingway 798 Eugene Ionesco 638

F F. Rahardi 613, 621, 627, 628 Fariduddin Attar 682 Fredie Arsi 27, 803 Friedrich Engels 221 Friedrich Nietzsche 251, 297, 584, 816

G ganzheit 539, 541, 825 Geger Riyanto 353 Generasi Gelanggang 200, 207 Goenawan Mohamad 29, 243, 246, 364, 465, 466, 475, 499, 515, 516, 517, 518, 520, 523, 533, 541, 543, 546, 560, 580, 581, 582, 584, 611, 612, 613, 614, 615, 616, 617, 618, 619, 620, 621, 622, 623, 624, 625, 626, 627, 628, 629, 631, 632, 633, 639, 649, 652, 671, 673, 683, 735, 739, 748 Gol A Gong 809 Gunter Grass 394, 588 Gus tf Sakai 635

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 825 H H.B. Jassin 1, 3, 5, 6, 28, 143, 168, 198, 199, 200, 206, 207, 227, 246, 257, 273, 274, 276, 277, 278, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289,290, 291, 292, 293, 294, 296, 297, 298, 299, 316, 317, 328, 341, 342, 348, 355, 364, 374, 436, 437, 449, 467, 523, 537, 538, 611, 626, 627, 761 Hamid Basyaib 612, 615, 628, 629 Hamid Jabbar 245, 466, 674, 806 HAMKA 28, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 189, 293, 294, 438 Hamzah Fansuri 20, 240, 241, 681, 685, 686, 687 Harry Aveling 376, 397, 402, 489, 609, 679, 712 Hartojo Andangjaya 465 Hasif Amini 631 Horison 130, 132, 243, 295, 335, 336, 346, 347, 348, 349, 350, 378, 398, 436, 458, 460, 466, 467, 469, 470, 471, 473, 474, 476, 499, 500, 516, 523, 529, 538, 551, 559, 560, 563, 573, 617, 621, 632, 633, 673, 674, 685, 709, 710, 723, 756, 790, 801, 803, 806, 807, 815, 817, 818 humanisme universal 208, 374, 581

I Idrus 14, 28, 204, 301, 302, 303, 304, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 562 Ignas Kleden 637, 638, 642, 653, 745, 773 Ismail Marahimin 781 Iwan Simatupang 28, 164, 282, 283, 401, 402, 403, 404, 405, 406, 407, 408, 411, 413, 414, 417, 418, 419, 420, 421, 639, 640, 772

826 Jamal D. Rahman dkk. J J.E. Tatengkeng 438 Jacob Oetama 336 Jakob Sumardjo 46, 58, 137, 143, 246, 256, 270, 272, 521, 534, 551, 561 Jalaluddin Rumi 682 Jamal D. Rahman 1, 2, 34, 97, 245, 294, 299, 321, 401, 458, 476, 477, 535, 592, 684, 737, 738, 790 Jaroslav Hasek 315 Jeihan Sukmantoro 515, 521, 657 Jennifer Lindsay 615 Johann Wolfgang von Goethe 306 John F. Kennedy 9, 10 John Steinbeck 365, 369, 531, 649 Joni Ariadinata 2, 34, 316, 474, 635, 691, 749, 817 Jumari HS 759 Juniarso Ridwan 724, 809

K Keimin Bunka Shidoso 13 Keith Foulcher 210, 374, 398 Ki Panji Kusmin 205, 279, 290, 294 Kirjomulyo 245, 649 Koh Young Hun 383, 384, 394, 398 Kompas 347, 348, 349, 350, 353, 364, 421, 551, 624, 625, 710, 724, 735, 815, 817, 818 Korrie Layun Rampan 255, 256, 257, 270, 272, 283, 408, 420, 421, 514, 551, 553, 724, 759

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 827 Kurnia JR 405, 421 Kusprihyanto Namma 757, 758, 759 Kwee Tek Hoay 28, 45, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 315, 561, 562

L Lekra 206, 207, 267, 289, 296, 317, 319, 342, 370, 372, 374, 376, 377, 378, 379, 393, 399, 536, 558, 580, 581, 626, 671, 676 Leo Tolstoy 369 Leon Agusta 341, 735, 744, 778 Linus Suryadi AG 481

M M. Aan Mansyur 809 M. Fudoli Zaini 683 Mahbub Djunaidi 316 Maman S. Mahayana 2, 34, 65, 67, 68, 69, 77, 79, 93, 94, 153, 181, 187, 188, 190, 195, 203, 208, 246, 299, 433, 434, 451, 591, 735, 790, 791, 818 Manifes Kebudayaan 261, 267, 296, 372, 377, 379, 467, 536, 537, 558, 580, 581, 582, 614, 626, 671 Mansur Samin 231, 495, 499 Marah Rusli 14, 28, 65, 71, 72, 74, 76, 77, 80, 82, 83, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 233, 301 Marianne Katoppo 346, 348 Matdon 809 Maxim Gorky 369, 393 Merari Siregar 65, 68, 73 Mimbar Indonesia 207, 295, 424, 428, 447, 504, 670

828 Jamal D. Rahman dkk. Mochtar Lubis 14, 28, 247, 248, 298, 321, 322, 323, 325, 326, 327, 328,329, 330, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 339, 340, 341, 342, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 350, 378, 382, 396, 397, 399, 427, 522, 524, 538, 649 Mohammad Diponegoro 589 Mohammad Iqbal 9, 221, 466, 670 Mohammad Roem 321 Muhammad Ali 668 Muhammad Yamin 11, 28, 93, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 186

N N. Riantiarno 587, 805 Nanang Suryadi 604 Nashar 256, 272 Nenden Lilis Aisyah 2, 34, 37, 39, 40, 41, 127, 501, 611, 738, 775, 819, 829 Nh. Dini 29, 39, 233, 246, 501, 502, 503, 504, 505, 506, 507, 508, 509, 510, 511, 512, 513, 514, 683, 829 Nirwan Dewanto 527, 625, 735 Nugroho Notosusanto 281, 469 Nur Sutan Iskandar 301 Nurcholish Madjid 700, 709, 815 Nuruddin Ar-Raniri 240, 681

O O. Henry 649 Octavio Paz 675, 685 Oka Rusmini 513 Okke K.S 400, 405, 417, 419, 421

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 829 P P.K. Ojong 335, 336 Pamusuk Eneste 194, 285, 355, 356, 514, 534, 633, 670, 689 Panji Masyarakat 130, 147, 670, 815 Panji Pustaka 172, 186, 188, 189 Pedoman Masyarakat 127, 128, 130, 133, 139, 142, 145, 147, 189, 190 Peri Sandi Huizche 737 Poedjangga Baroe 101, 102, 103, 156, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 192, 206, 229, 234, 236 Polemik Kebudayaan 181, 183, 214, 223, 224 Pramoedya Ananta Toer 14, 28, 63, 206, 210, 216, 248, 278, 322, 341, 343, 344, 347, 348, 349, 367, 368, 371, 374, 375, 376, 380, 381, 382, 385, 386, 391, 393, 394, 395, 396, 397, 398, 399, 400, 522, 524, 649 puisi esai 729, 730, 731, 732, 733, 735, 736, 737, 738, 739, 741, 743, 744, 745, 746, 747, 748 Pujangga Baru 100, 157, 158, 162, 166, 172, 175, 178, 181, 182, 183, 184, 188, 189, 190, 191, 193, 197,198, 199, 200, 205, 206, 207, 208, 223, 225, 227, 246, 279, 283, 286, 287, 299, 302, 355, 357, 427, 516, 581, 681 Pustaka Jaya 87, 214, 246, 282, 348, 357, 362, 396, 421, 448, 449, 450, 451, 476, 499, 500, 507, 508, 514, 533, 558, 559, 563, 580, 603, 633, 675, 689 Putu Wijaya 29, 164, 508, 627, 635, 636, 637, 638, 639, 641, 642, 643, 644, 645, 646, 647, 648, 649, 650, 651, 652, 653, 683, 746, 778, 779

R R.A. Kosasih 522

830 Jamal D. Rahman dkk. Rabindranath Tagore 53, 112, 502 Rachmat Djoko Pradopo 341, 358, 437, 540, 560 Rachmatullah Ading Affandie 440 Rahmad Agus Supartono 738 Rainer M. Rilke 365 Raja Ali Haji 20, 240, 241, 592, 681, 719, 727 Ramadhan K.H. 27, 204, 249, 797, 816 Ranggawarsita 20, 389, 398 realisme sosialis 208, 379, 393 Remy Sylado 29, 623, 633, 655, 657, 658, 663, 664, 666, 668, 674, 740 Rendra 29, 204, 254, 341, 393, 430, 475, 476, 477, 478, 479, 480, 481, 482, 483, 484, 486, 487, 488, 489, 491, 492, 493, 494, 495, 496, 497, 498, 499, 500, 513, 521, 525, 531, 534, 562, 589, 622, 633, 638, 650, 667, 671, 683, 689, 736 Rida K. Liamsi 27, 801, 802 Riris K Toha-Sarumpaet 534 Rivai Apin 355, 374, 427, 796 Riyono Pratikto 649 Roestam Effendi 359, 561 Rosihan Anwar 206, 341, 429, 438 Rusman Setiasumarga 440 Rustandi Karta Kusuma 208

S S. Djojopoespito 168 S. Effendi 543, 545, 546, 558, 560 S. Rukiah 207, 510

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 831 Salim Said 346, 543, 546 Samuel Beckett 638, 649 Sanento Yuliman 622, 664, 674 Sanusi Pane 106, 171, 172, 173, 178, 179, 182, 190, 214, 561, 562, 669, 682 Sapardi Djoko Damono 29, 68, 164, 165, 210, 243, 244, 245, 363, 458, 461, 475, 476, 500, 515, 516, 517, 518, 519, 520, 521, 525, 527, 528, 530, 533, 534, 538, 619, 622, 633, 668, 671, 673, 683, 686, 689, 719, 720, 736, 739, 740, 744, 745, 748, 772 Sardono W. Kusumo 683 Sarlito Wirawan Sarwono 339, 340, 348, 349 sastra buruh 756, 759, 760, 762 sastra kontekstual 538, 539, 547, 548, 549, 550, 551, 553, 554, 555, 556, 557, 558, 582, 684 sastra profetik 245, 681, 683 Satyagraha Hoerip 414, 421, 543, 551, 604 Savitri Scherer 394, 400 Seno Gumira Ajidarma 27, 666, 667, 807 Shakespeare 61, 112, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 562, 660, 741 Sheldon Norman Grebstein 209 Shoim Anwar 635 Siasat 199, 200, 504 Sides Sudiyarto DS 622 Sir Conan Doyle 649 Sir Conan Doyle 649 Siti Zainon Ismail 346, 349 Sitok Srengenge 614, 625, 735, 808 Sitor Situmorang 27, 206, 245, 795

832 Jamal D. Rahman dkk. Sjahrir 214, 221, 321, 352 Slamet Gundono 616 Slamet Kirnanto 622 Sobron Aidit 424 Soebadio Sastrosatomo 321 Soewarsih Djojopoespito 210 Soni Farid Maulana 533, 633, 684, 724, 808 Sosiawan Leak 759, 808, 809 Stanislavski 563, 570 Sujiwo Tejo 616 Suminto A. Sayuti 455 Sumpah Pemuda 10, 11, 12, 15, 65, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 104, 105, 108, 111, 113, 117, 186, 193, 359 Sunu Wasono 738 Sutan Takdir Alisjahbana 28, 69, 102, 156, 157, 166, 171, 178, 181, 187, 192, 202, 205, 214, 215, 221, 229, 234, 239, 295, 302, 317, 357 Sutardji Calzoum Bachri 29, 97, 457, 466, 475, 476, 538, 591, 592, 593, 595, 596, 600, 602, 603, 604, 605, 606, 609, 610 622, 674, 683, 684, 712, 713, 715, 719, 721, 736, 745, 746, 762 Suyatna Anirun 254 Syafruddin Prawiranegara 446

T T. Sumardjo 208 T. Sutanto 674 T.S. Elliot 226, 531 Tahar Ben Jelloun 382, 393, 394, 400 Tan Lioe Ie 809

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 833 Tan Malaka 221, 616 Tarmizi Rumah Hitam 809 Taufiq Ismail 29, 132, 245, 257, 272, 335, 336, 341, 346, 349,372, 378, 379, 380, 400, 453, 454, 455, 456, 457, 458, 460, 461, 462, 463, 464, 465, 466, 467, 468, 469, 472, 473, 474, 475, 476, 493, 500, 517, 518, 538, 540, 613, 622, 627, 674, 683, 768, 778, 782, 789 Teguh Karya 254, 806 Tempo 615, 642, 788 Thomas S. Khun 153 Tirto Adhi Suryo 370, 371, 384, 396 Toeti Heraty 337, 346, 350 Toha Mohtar 649 Tommy F. Awuy 561, 712, 715 Tony Prabowo 616, 631 Toto Sudarto Bachtiar 27, 245, 798 Trisno Sumardjo 28, 38, 247, 248, 249, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 263, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 537 Trisnoyuwono 649 Triyanto Triwikromo 635 Tulis Sutan Sati 301

U Ulrich Kratz 127, 429 Umar Kayam 27, 385, 400, 523, 551, 553, 560, 683, 772, 798 Umar Yunus 99 Usep Fathuddin 543 Usman Effendi 427

834 Jamal D. Rahman dkk. Usmar Ismail 562 Utuy Tatang Sontani 14, 27, 562, 794

V Vasco Poppa 675 Victor Ido 561 Virginia Woolf 509

W W.H. Auden 365 Walt Whitman 460, 461 Wan Anwar 809 Warih Wisatsana 809 Wendoko 738 Wendy Solomon 430 Wiji Thukul 685, 749, 807 Wildan Yatim 340, 350 Wiliam Saroyan 649 Wilson Nadeak 674 Wing Kardjo 27, 245, 405, 517, 622, 799 Wiratmo Soekito 341, 537, 627 Wowok Hesti Prabowo 29, 632, 749, 751, 752, 753, 755, 756, 759, 760, 761, 762, 764

Y Y.B. Mangunwijaya 797 Yudhistira Ardi Massardi 547 Yustinus Sapto Hardjanto 738

33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 835 Z Zaini 335, 538, 627, 683 Zenith 207, 295, 424, 428, 447

836 Jamal D. Rahman dkk.