Syi'ah-Sunni Kontemporer: Dari Konflik Hingga Pentas Politik
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 148 SYI’AH-SUNNI KONTEMPORER: DARI KONFLIK HINGGA PENTAS POLITIK PASCA ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI INDONESIA CONTEMPORARY SYI'AH-SUNNI: FROM CONFLICT TO POST ARABIC SPRING POLITICS AND ITS IMPLICATIONS IN INDONESIA Ibnu Hajar STISNU Nusantara Tanggerang [email protected] Abstrak: Konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, bahkan sampai saat ini bisa disebut sebagai konflik yang berkelanjutan dari episode konflik antara Syi’ah dan Sunni yang masing- masing ingin menunjukan eksistensi serta hegemoni mereka khususnya di kawasan Timur Tengah. Konflik yang pada awalnya beranjak dari perbedaan teologis, ini ternyata berkepanjanga hingga sampai konflik yang bersifat politis. Sekte dalam Islam yang sampai saat ini masih eksis dalam pentas idiologis adalah Si’ah dan Sunni. Akan tetapi perlu digaris bawahi, bahwa secara historis konflik antara mereka lebih kepada konflik antara Syi’ah dengan Sunni yang berpaham Asy’ariyyah-Mâturîdiyyah, bukan Sunni yang beridiologi Salafi Wahabi yang muncul belakangan pada abad ke-18 M. Dewasa ini di kawasan Timur Tengah, konflik antara Syi’ah dan Sunni lebih indentik dengan konflik antara Syi’ah (Iran) dan Salafi Wahabi (Arab Saudi), yang mana kedua paham idiologi tersebut mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di kawasan Timur Tengah sehingga menjadi pentas persaingan politik antar keduanya, khususnya setelah terjadinya gerakan demokratisasi di Timur Tengah yang berusaha keluar dari gemelut otoriter rezim penguasa. Arab Spring yang terjadi di Suriah menjadi momentum yang signifikan dalam menunjukkan eksistensi dan hegemoni antara Syi’ah dan Sunni Salafi, sehingga dinamika politik di kawasan Timur Tengah pada dasarnya adalah konfrontasi idiologis antara mereka hingga saat ini. Dampak dari hal tersebut merambat sampai ke beberapa kawasan Asia khususnya Indonesia. Gerakan Salafi yang makin menunjukkan eksistensinya dan Syi’ah yang identik dengan Taqiyyahnya, tetap berdampak terhadap keharmonisan antara Agama dan Paham yang plural di Indonesia hingga dewasa ini, meskipun di Indonesia pada umumnya didominasi oleh Sunni yang berpaham Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah tetapi ketidakharmonisan Syi’ah dan Sunni yang mayoritas di Indonesia tetap berujung pada konflik yang tak kunjung usai. Kata Kunci : Syi’ah-Sunni, Iran, Arab Saudi, Arab Spring, Indonesia Abstract: The prolonged Middle East conflict, even today, can be called a continuous conflict from episodes of conflict between Shi'ites and Sunnis, whom each wants to show their existence and hegemony, especially in the Middle East region. The conflict, which initially moved from a theological difference, turned out to be prolonged until it reached a political conflict. Sects in Islam that still exist in the ideological stage are Shi'a and Sunni. However, it needs to be underlined that historically, the conflict between them was more of a conflict between Shi'ites and Sunnis with an Asy'ariyyah-Mâturîdiyyah ideology Sunnis with a Wahabi Salafi ideology that emerged later in the 18th century AD. The Salafi movement, which increasingly shows its existence, and the Syi'ah, which is identical to its Taqiyyah, still has an impact on the harmony between religion and pluralism in Indonesia until today, even though in Indonesia, in general, it is dominated by Sunnis who understand || Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 149 Asy'ariyyah and Mâturîdiyyah. However, the disharmony of Syi ' ah and Sunnis, who are the majority in Indonesia, continue to end up in a conflict that never ends. Keywords: Shi'ah-Sunni, Iran, Saudi Arabia, Arab Spring, Indonesia Pendahuluan Konflik Syi’ah-Sunni adalah konflik yang benih-benihnya mulai tumbuh pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Konflik ini dimulai dari suksesi kepemimpinan pacsa meninggalnya Nabi di mana Abu Bakar diangkat menjadi pengganti Nabi, melahirkan fraksi antara pengikut setia ‘Alî ibn Abî Thâlib dan fraksi yang melegitimasi kepemimpinan Abû Bakar. Pengikut ‘Alî ini belakangan dikenal sebagai kelompok Syi’ah, dan pengikut Abu Bakar dikenal dengan kelompok Sunni. Konflik inilah mewarnai perkembangan politik Timur Tengah hingga dewasa ini, terutama setelah kebangkitan Syi’ah yang dimulai dari Imam Khomeini dengan Revolusi Islam Irannya pada tahun 1979.1 Gejolak Arab Spring yang melanda negara-negara Arab menambah catatan sejarah pertistiwa konflik yang melanda Timur Tengah. Istilah Arab Spring (al-rabii’ al-arabiy) dan atau Revolusi Arab (al-thauraat al- arabiyyah) adalah dua frase yang mengandung makna berbeda.2 Arab Spring merupakan suatu proses intelektual atas dorongan yang dibangun dari kesadaran, ide, gagasan dan keinginan rakyat atas pentingya demokratisasi yang tidak terbendung diawali dari media sosial. Sedangkan Revolusi Arab adalah adanya keinginan perubahan dari rakyat bersifat fundamental yang mencakup berbagai bidang dan bersifat kompleks, karena bukan hanya kebebasan berpendapat namun semua aspek kehidupan cukup vital. Seperti tuntutan aktivis Mesir yaitu kesetaraan politik (demokrasi), kesejahteraan, dan membangun martabat. The Arab Spring (Musim Semi Arab) yang menjadi bahasa politik baru terkait dinamika politik di kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara Arab, sejak awal Januari 2011 lalu, tidak hanya ditandai dengan kebangkitan harapan akan lahirnya sistem politik yang lebih baik dan lebih demokratis dengan berjatuhannya para pemimpin otoriter, dimulai dari Tunisia, Zein Al-Abidin Ben Ali (Ben Ali), yang merambat ke Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian menyeberang ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafy yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. The Arab Spring juga ditandai dengan konflik yang makin panas antara Syi’ah dan Sunni seiring dengan musim harapan tersebut. 1Ahmad Sahide, Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah, (YoGyakarta : The Phinisi Press, 3013), h. 111. 2Arab Spring diawali di Tunisia ketika seoranG pedaganG kaki lima Mohammed Bouazizi (26 tahun) membakar diri sebaGai bentuk protes ketidakadilan rezim Ben Ali dan berbuntut demonstrasi yanG memaksa Presiden Ben Ali turun dari kekuasaannya (Tocqueville 2011). Penyebaran informasi melalui media massa dan media sosial mendoronG tuntutan perubahan rezim menjalar ke neGara-negara Arab lainnya. Presiden Libya Moammar Khadlafi jatuh dan terbunuh setelah meletus peranG saudara di neGara ini. Kemudian, Maroko merespon tuntutan publik dengan melakukan pemilu multi partai pada 27 November 2011. Hal yang sama dilakukan Aljazair dan Yordania. Sementara itu, negara-negara kaya seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman denGan pendekatan kesejahteraan (welfare state) berusaha bertahan dari tuntutan perubahan politik. (Lihat M. Muttaqien, Arab Spring: Dimensi Domestik, Regional dan Global, (Jurnal : Departemen HubunGan Internasional Fisip Universitas AairlanGGa, Th. 9, No. 2, Diakses Pada 03 Des 2018). || Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 150 The Arab Spring menjadi momentum bagi kedua aliran dalam Islam tersebut untuk memperkuat pengaruhnya dalam politik di kawasan tersebut dengan upaya untuk menyingkirkan yang lainnya. Hal itu terjadi di Bahrain, Mesir, dan Suriah yang masih bergejolak hingga hari ini. Konflik Syi’ah-Sunni yang mengiringi The Arab Spring tidak hanya mempunyai implikasi di kawasan Timur Tengah, tetapi juga memiliki implikasi di Indonesia yang mulai meresahkan sebagian kelompok masyarakat. Dari makalah ini, penulis mengulas perbedaan Syi’ah-Sunni, akar konflik Syi’ah-Sunni, bentuk-bentuk konflik, dan juga pengaruhnya di Indonesia pasca-The Arab Spring. Dalam membaca konflik Syi’ah Sunni di Timur Tengah pasca-The Arab Spring, penulis melihatnya dengan menggunakan pendekatan sejarah. Hasil dan Pembahasan Genealogi dan Ajaran Teologi Syi’ah-Sunni Sejarah munculnya Syiah tidak lepas dari perdebatan tentang khalifah pengganti Rasulullah. Kalangan Anshar mengklaim golongan merekalah yang berhak memegang amanat itu, sementara kalangan Muhajirin mengklaim sebaliknya. Di pihak yang lain, kelompok yang mendukung ‘Ali ibn Abî Thâlib yang didukung bani Hâshim, Al-Miqdâd ibn al-Aswad, Salman al-Farisi, Abû Dhar al-Giffâri yang mengkristal muncul ketika akhir pemerintahan ‘Utsmân ibn ‘Affân, dan berkembang pesat ketika ‘Ali ibn Abî Thâlib memegang kekuasaan sebagai khalifah.3 Nama Syiah digunakan untuk menunjuk kepada segolongan orang yang loyal pada ‘Ali ibn Abî Thâlib dan ahl al-bayt serta mereka meyakini bahwa ‘Ali adalah orang yang berhak atas imâmah dan khilâfah, baik berdasarkan nash maupun wasiat baik eksplisit maupun implisit bahwa imamah tersebut tidak akan lepas dari anak cucunya sampai hari akhir nanti. Awalnya, Syiah bukan mazhab dalam konteks keagamaan melainkan muncul sebagai kekuatan politik yang beranggapan bahwa ‘Ali ibn Abî Thâlib adalah seorang yang dirampas kepemimpinannya oleh Abû Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmân. Namun pada perkembangannya kelompok ini memiliki pandangan keagamaan di bidang akidah dan hukum, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran besar dengan berbagai sekte. Dalam Syiah dipercayai adanya imâmah, dan yang terkenal dengan Itsna ‘Ashariyah, (dua belas imam) karena mereka percaya bahwa hanya imam yang paling berhak menjadi pemimpin. Adapun nama-nama imam itu adalah ‘Ali ibn Abî Thâlib (Amîr al- Mukminîn), Hasan ibn ‘Ali (Hasan al-Mujtaba), Husayn ibn ‘Ali (Husayn al-Syahid), ‘Ali bin Husayn (‘Ali bin Zaynal ‘Abidîn), Muhammad ibn ‘Ali