Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 148

SYI’AH-SUNNI KONTEMPORER: DARI KONFLIK HINGGA PENTAS POLITIK PASCA ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI CONTEMPORARY SYI'AH-SUNNI: FROM CONFLICT TO POST ARABIC SPRING POLITICS AND ITS IMPLICATIONS IN INDONESIA Ibnu Hajar STISNU Nusantara Tanggerang [email protected]

Abstrak: Konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, bahkan sampai saat ini bisa disebut sebagai konflik yang berkelanjutan dari episode konflik antara Syi’ah dan Sunni yang masing- masing ingin menunjukan eksistensi serta hegemoni mereka khususnya di kawasan Timur Tengah. Konflik yang pada awalnya beranjak dari perbedaan teologis, ini ternyata berkepanjanga hingga sampai konflik yang bersifat politis. Sekte dalam yang sampai saat ini masih eksis dalam pentas idiologis adalah Si’ah dan Sunni. Akan tetapi perlu digaris bawahi, bahwa secara historis konflik antara mereka lebih kepada konflik antara Syi’ah dengan Sunni yang berpaham Asy’ariyyah-Mâturîdiyyah, bukan Sunni yang beridiologi Salafi Wahabi yang muncul belakangan pada abad ke-18 M. Dewasa ini di kawasan Timur Tengah, konflik antara Syi’ah dan Sunni lebih indentik dengan konflik antara Syi’ah (Iran) dan Salafi Wahabi (Arab Saudi), yang mana kedua paham idiologi tersebut mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di kawasan Timur Tengah sehingga menjadi pentas persaingan politik antar keduanya, khususnya setelah terjadinya gerakan demokratisasi di Timur Tengah yang berusaha keluar dari gemelut otoriter rezim penguasa. Arab Spring yang terjadi di Suriah menjadi momentum yang signifikan dalam menunjukkan eksistensi dan hegemoni antara Syi’ah dan Sunni Salafi, sehingga dinamika politik di kawasan Timur Tengah pada dasarnya adalah konfrontasi idiologis antara mereka hingga saat ini. Dampak dari hal tersebut merambat sampai ke beberapa kawasan Asia khususnya Indonesia. Gerakan Salafi yang makin menunjukkan eksistensinya dan Syi’ah yang identik dengan Taqiyyahnya, tetap berdampak terhadap keharmonisan antara Agama dan Paham yang plural di Indonesia hingga dewasa ini, meskipun di Indonesia pada umumnya didominasi oleh Sunni yang berpaham Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah tetapi ketidakharmonisan Syi’ah dan Sunni yang mayoritas di Indonesia tetap berujung pada konflik yang tak kunjung usai. Kata Kunci : Syi’ah-Sunni, Iran, Arab Saudi, Arab Spring, Indonesia Abstract: The prolonged Middle East conflict, even today, can be called a continuous conflict from episodes of conflict between Shi'ites and Sunnis, whom each wants to show their existence and hegemony, especially in the Middle East region. The conflict, which initially moved from a theological difference, turned out to be prolonged until it reached a political conflict. Sects in Islam that still exist in the ideological stage are Shi'a and Sunni. However, it needs to be underlined that historically, the conflict between them was more of a conflict between Shi'ites and Sunnis with an Asy'ariyyah-Mâturîdiyyah ideology Sunnis with a Wahabi Salafi ideology that emerged later in the 18th century AD. The Salafi movement, which increasingly shows its existence, and the Syi'ah, which is identical to its Taqiyyah, still has an impact on the harmony between religion and pluralism in Indonesia until today, even though in Indonesia, in general, it is dominated by Sunnis who understand

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 149

Asy'ariyyah and Mâturîdiyyah. However, the disharmony of Syi ' ah and Sunnis, who are the majority in Indonesia, continue to end up in a conflict that never ends. Keywords: Shi'ah-Sunni, Iran, Saudi Arabia, Arab Spring, Indonesia

Pendahuluan

Konflik Syi’ah-Sunni adalah konflik yang benih-benihnya mulai tumbuh pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Konflik ini dimulai dari suksesi kepemimpinan pacsa meninggalnya Nabi di mana Abu Bakar diangkat menjadi pengganti Nabi, melahirkan fraksi antara pengikut setia ‘Alî ibn Abî Thâlib dan fraksi yang melegitimasi kepemimpinan Abû Bakar. Pengikut ‘Alî ini belakangan dikenal sebagai kelompok Syi’ah, dan pengikut Abu Bakar dikenal dengan kelompok Sunni. Konflik inilah mewarnai perkembangan politik Timur Tengah hingga dewasa ini, terutama setelah kebangkitan Syi’ah yang dimulai dari Imam Khomeini dengan Revolusi Islam Irannya pada tahun 1979.1 Gejolak Arab Spring yang melanda negara-negara Arab menambah catatan sejarah pertistiwa konflik yang melanda Timur Tengah. Istilah Arab Spring (al-rabii’ al-arabiy) dan atau Revolusi Arab (al-thauraat al- arabiyyah) adalah dua frase yang mengandung makna berbeda.2 Arab Spring merupakan suatu proses intelektual atas dorongan yang dibangun dari kesadaran, ide, gagasan dan keinginan rakyat atas pentingya demokratisasi yang tidak terbendung diawali dari media sosial. Sedangkan Revolusi Arab adalah adanya keinginan perubahan dari rakyat bersifat fundamental yang mencakup berbagai bidang dan bersifat kompleks, karena bukan hanya kebebasan berpendapat namun semua aspek kehidupan cukup vital. Seperti tuntutan aktivis Mesir yaitu kesetaraan politik (demokrasi), kesejahteraan, dan membangun martabat. The Arab Spring (Musim Semi Arab) yang menjadi bahasa politik baru terkait dinamika politik di kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara Arab, sejak awal Januari 2011 lalu, tidak hanya ditandai dengan kebangkitan harapan akan lahirnya sistem politik yang lebih baik dan lebih demokratis dengan berjatuhannya para pemimpin otoriter, dimulai dari Tunisia, Zein Al-Abidin Ben Ali (Ben Ali), yang merambat ke Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian menyeberang ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafy yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. The Arab Spring juga ditandai dengan konflik yang makin panas antara Syi’ah dan Sunni seiring dengan musim harapan tersebut.

1Ahmad Sahide, Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah, (Yogyakarta : The Phinisi Press, 3013), h. 111. 2Arab Spring diawali di Tunisia ketika seorang pedagang kaki lima Mohammed Bouazizi (26 tahun) membakar diri sebagai bentuk protes ketidakadilan rezim Ben Ali dan berbuntut demonstrasi yang memaksa Presiden Ben Ali turun dari kekuasaannya (Tocqueville 2011). Penyebaran informasi melalui media massa dan media sosial mendorong tuntutan perubahan rezim menjalar ke negara-negara Arab lainnya. Presiden Libya Moammar Khadlafi jatuh dan terbunuh setelah meletus perang saudara di negara ini. Kemudian, Maroko merespon tuntutan publik dengan melakukan pemilu multi partai pada 27 November 2011. Hal yang sama dilakukan Aljazair dan Yordania. Sementara itu, negara-negara kaya seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman dengan pendekatan kesejahteraan (welfare state) berusaha bertahan dari tuntutan perubahan politik. (Lihat M. Muttaqien, Arab Spring: Dimensi Domestik, Regional dan Global, (Jurnal : Departemen Hubungan Internasional Fisip Universitas Aairlangga, Th. 9, No. 2, Diakses Pada 03 Des 2018).

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 150

The Arab Spring menjadi momentum bagi kedua aliran dalam Islam tersebut untuk memperkuat pengaruhnya dalam politik di kawasan tersebut dengan upaya untuk menyingkirkan yang lainnya. Hal itu terjadi di Bahrain, Mesir, dan Suriah yang masih bergejolak hingga hari ini. Konflik Syi’ah-Sunni yang mengiringi The Arab Spring tidak hanya mempunyai implikasi di kawasan Timur Tengah, tetapi juga memiliki implikasi di Indonesia yang mulai meresahkan sebagian kelompok masyarakat. Dari makalah ini, penulis mengulas perbedaan Syi’ah-Sunni, akar konflik Syi’ah-Sunni, bentuk-bentuk konflik, dan juga pengaruhnya di Indonesia pasca-The Arab Spring. Dalam membaca konflik Syi’ah Sunni di Timur Tengah pasca-The Arab Spring, penulis melihatnya dengan menggunakan pendekatan sejarah.

Hasil dan Pembahasan Genealogi dan Ajaran Teologi Syi’ah-Sunni Sejarah munculnya Syiah tidak lepas dari perdebatan tentang khalifah pengganti Rasulullah. Kalangan Anshar mengklaim golongan merekalah yang berhak memegang amanat itu, sementara kalangan Muhajirin mengklaim sebaliknya. Di pihak yang lain, kelompok yang mendukung ‘Ali ibn Abî Thâlib yang didukung bani Hâshim, Al-Miqdâd ibn al-Aswad, Salman al-Farisi, Abû Dhar al-Giffâri yang mengkristal muncul ketika akhir pemerintahan ‘Utsmân ibn ‘Affân, dan berkembang pesat ketika ‘Ali ibn Abî Thâlib memegang kekuasaan sebagai khalifah.3 Nama Syiah digunakan untuk menunjuk kepada segolongan orang yang loyal pada ‘Ali ibn Abî Thâlib dan ahl al-bayt serta mereka meyakini bahwa ‘Ali adalah orang yang berhak atas imâmah dan khilâfah, baik berdasarkan nash maupun wasiat baik eksplisit maupun implisit bahwa imamah tersebut tidak akan lepas dari anak cucunya sampai hari akhir nanti. Awalnya, Syiah bukan mazhab dalam konteks keagamaan melainkan muncul sebagai kekuatan politik yang beranggapan bahwa ‘Ali ibn Abî Thâlib adalah seorang yang dirampas kepemimpinannya oleh Abû Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmân. Namun pada perkembangannya kelompok ini memiliki pandangan keagamaan di bidang akidah dan hukum, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran besar dengan berbagai sekte. Dalam Syiah dipercayai adanya imâmah, dan yang terkenal dengan Itsna ‘Ashariyah, (dua belas imam) karena mereka percaya bahwa hanya imam yang paling berhak menjadi pemimpin. Adapun nama-nama imam itu adalah ‘Ali ibn Abî Thâlib (Amîr al- Mukminîn), Hasan ibn ‘Ali (Hasan al-Mujtaba), Husayn ibn ‘Ali (Husayn al-Syahid), ‘Ali bin Husayn (‘Ali bin Zaynal ‘Abidîn), Muhammad ibn ‘Ali (Muhammad al-Baqir), Ja‘far ibn Muhammad (Ja‘far al-Shâdiq), Mûsâ ibn Ja‘far (‘Ali al-Ridha), Muhammad bin ‘Ali (Muhammad al-Jawad atau Muhammad al-Tâqi), ‘Ali ibn Muhammad (Ali al-Hâdi), Hasan ibn ‘Ali (Hasan al-Ashkari), dan Muhammad ibn Hasan (Muhammad al-Mahdi). Pengikut Syiah beranggapan bahwa imam ke dua belas Muhammad ibn Hasan (Muhammad al- Mahdi) bersembunyi di ruang bawah tanah ayahnya di Samarra dan tidak kembali, serta akan muncul lagi sebagai ratu adil di akhir zaman untuk menegakkan kebenaran.4

3Sabir Tuaimah, Dirâsat fî al-Firaq, (Riyaâdh : Maktabah al-Ma’ârif, 1983), h. 10. 4Huzaemah T. Yanggo, Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Logos, 1997), h. 152.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 151

Lahirnya kelompok Sunni tidak lepas dari adanya saling tuduh di antara kelompok- kelompok Islam. Mereka saling sesat menyesatkan dan kafir-mengkafirkan, sehingga muncul berbagai perpecahan dalam tubuh umat Islam. Kemunculan Sunni sebagai salah satu respon terhadap fenomena itu. Paham keagamaan ini berpandangan bahwa berpegang teguh dan mengikuti jejak Rasulullah merupakan jalan keluar untuk memperoleh keselamatan, yakni dengan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dalam konteks sosial politik, pergolakan pemikiran Sunni ini tidak terlepas dari adanya perdebatan pemimpin atau pengganti pasca meninggalnya Rasulullah. Dalam pandangan Sunni, pemimpin merupakan tonggak berdirinya agama ini, sehingga kekosongan pemimpin merupakan jurang kehancuran bagi ajaran Islam. Oleh karenanya, perdebatan tentang pentingnya kepemimpinan sudah muncul sejak Rasulullah mengalami sakit yang puncak. Sebuah riwayat menceritakan bahwa Ibn Abbas menanyakan kepada ‘Ali ibn Abī ╡ālib setelah menjenguk Rasulullah yang sakit. Ketika diperoleh jawaban dari mulut Ali bahwa Rasulullah akan sembuh, maka Ibn Abbas menarik tangan Ali dengan mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya engkau lebih mengetahui rona muka Bani Abdul Muthalib saat menjelang kematiannya. Marilah kita bersama-sama menemuinya dan menanyakan kepadanya, kepada siapa urusan ini (imāmah) akan diserahkan? Jika memang itu hak kita, maka kita telah mengetahuinya. Jika hal itu hak orang lain di luar kita, maka kita akan memohon beliau untuk berwasiat kepada kita.” Maka Ali menjawab: “Demi Allah, jika kita menanyakan hal itu kepada Rasulullah dan ternyata dia tidak memberikan kepada kita, niscaya orang-orang tidak akan memberikan kesempatan itu bagi kita pada masa mendatang. Aku sendiri, demi Allah, tidak akan menanyakannya kepada Rasulullah.” Babak sejarah itu menunjukkan bahwa kepemimpinan menjadi pembicaraan yang begitu mendesak untuk dibahas, sehingga sampai-sampai menanyakannya secara langsung kepada pemimpin mengenai siapa penggantinya. Padahal kondisi sang pemimpin tengah menghadapi sakit yang memayahkan fisiknya. ‘Ali ibn Abī ╡ālib meriwayatkan bahwa Nabi pernah ditanya: “Ya Rasulullah, siapakah yang patut diangkat menjadi pemimpin setelah engkau? Rasulullah menjawab, “Jika kalian mengangkat Abū Bakr, kalian akan mendapatkannya sebagai pemimpin yang jujur, zuhud dari kehidupan dunia dan condong kepada kehidupan akherat. Jika kalian mengangkat ‘Umar, kalian akan mendapatkan seorang pemimpin yang kuat, jujur dan tidak takut sedikitpun akan celaan orang yang mencela di jalan Allah. Jika kalian mengangkat ‘Ali, dan aku melihat kalian tidak akan melakukannya. Kalian akan mendapatkannya sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan memberi petunjuk kepada kalian dan akan membawa kalian kepada jalan yang benar.5 Ini berarti bahwa wacana dan pemikiran tentang imāmah muncul sejak zaman Rasulullah masih hidup dan puncak perselisihan itu pasca meninggalnya beliau. Sehingga muncul peristiwa yang terkenal dengan nama Tsaqîfah bani Sa‘îdah yang menyepakati Abû

5Ali Ahmad Al-Salus, Ensiklopedia Sunnah Syi’ah Studi Perbandingan Akidah dan Tafsir, Jil, 1, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 27.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 152

Bakr al-Shiddîq sebagai khalifah pertama. 6 Terpilihnya Abū Bakr tidak membutuhkan waktu yang lama. Bahkan terbilang sangat cepat kalau dibandingkan dengan proses pemilihan pemimpin sepeninggalnya atau bakan pemilihan pemimpin mana pun. Peristiwa Thaqīfah menunjukkan betapa lapang dadanya kaum Anshar yang sebelumnya sudah menetapkan Sa‘ad bin ‘Ubâdah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah, namun mereka kemudian mau membaiat Abû Bakr sebagai khalifah. Dukungan politik terhadap Sa‘ad bin ‘Ubâdah untuk menggantikan kedudukan khalifah begitu besar, sebagaimana yang terjadi di Tsaqīfah. Namun ketundukan dan ketaatan terhadap perintah nabi begitu dijunjung tinggi. Peristiwa penting pengorbanan kaum Anshar dan kejelian kaum Muhajirin dalam menegakkan tonggak agama ini tercatat dalam tinta emas sejarah, sebagaimana perkataan ‘Umar berikut: “Ketika Rasulullah wafat, telah sampai berita bahwa kaum Anshar tidak berkumpul di kediaman Rasulullah. Namun mereka berkumpul untuk bersidang di Tsaqîfah bani Sa‘îdah. Sementara ‘Alî dan Zubayr serta beberapa orang dari kalangan Muhajirin berkerumun menuju Abū Bakr.” Maka ‘Umar ibn al-Khaththâb berkata kepada Abû Bakr: “Wahai Abû Bakr, marilah kita bersama-sama berangkat menjumpai saudarasaudara kita dari kalangan Anshar “Lalu kami berangkat menuju mereka. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan dua orang saleh. Kedua orang itu menceritakan tentang kesepatan kaum Anshar untuk membaiat Sa‘ad bin Ubadah sebagai khalifah, lantas kedua orang itu pun bertanya: “Ingin kemanakah kalian kaum Muhajirin ?” Kami menjawab: “Kami ingin bertemua saudara-saudara kami, kaum Anshar.” Keduanya menyarankan kepada kami untuk tidak mendekati mereka dan memutuskan perkara kami di antara kami sendiri. maka Aku menjawab, “Demi Allah, kami akan tetap mendatangi mereka.” Lalu kami berangkat hingga kita bertemu dengan mereka di Tsaqifah bani Sa‘idah, sementara Sa‘ad bin ‘Ubadah sedang berselimut dan dalam keadaan sakit. Salah seorang kaum Anshar berpidato: “Kami adalah pembela dan penolong agama Allah serta tentara-tentara pembela agama Islam, sedangkan kalian wahai kaum Muhajirin adalah komunitas kecil dibandingkan kaum Anshar yang datang bersama-sama kerabat kalian dari Mekkah. Mereka bermaksud menjegal kami, dan menyingkirkan kami dari perkara ini.” Setelah sambutan itu, maka aku (‘Umar) ingin berbicara dengan kata-kata yang sudah dipersiapkan untuk mempresentasikannya di hadapan Abû Bakr, sedangkan posisiku berada di belakang Abû Bakr beberapa langkah. Ketika aku mau berbicara, Abū Bakr menegur dan berbicara,” Demi Allah, kebaikan atau peranan yang telah kalian uraikan memang tepat dan sesuai bagi kalian, dan perkara khilafah belum pernah dipimpin oleh golongan lain kecuali dari golongan Quraisy, karena mereka adalah bangsa Arab yang memiliki kemuliaan dan keturunan yang baik. Saya merestui salah satu di antara dua orang ini untuk dijadikan pemimpin kalian. Oleh karena itu pilihlah salah satunya yang kalian inginkan. Abû Bakr memegang tanganku dan Abû ‘Ubaidah al-Jarrah.” Kemudian Umar mengatakan,”Demi Allah, jika aku maju lalu leherku dipenggal sehingga tidak mendekatkan diriku kepada perbuatan dosa, itu lebih aku cintai daripada menjadi pemimpin sementara Abû Bakr ada di

6Umar Nahdi, Sejarah Umat Islam Tsaqifah Bani Sa’îdah, (Jakarta : Obor, 1988), h. 36.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 153 antara orang yang aku pimpin.” Lalu seorang dari Anshar bersuara,”Saya tunas pohon yang kokoh, tempat berlindung dan penyangga, dari kami mengangkat seorang pemimpin, dan dari kalian wahai orang-orang Quraish diangkat seorang pemimpin juga.” Akibat dari suara ini terjadi kebisingan sehingga dikhawatirkan akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Lalu aku berkata,” Bentangkan tanganmu ya Abû Bakr.” Maka diulurkanlah tangannya, dan aku membaiatnya yang diikuti oleh kaum Muhajirin dan golongan Anshar pun sama- sama mengikuti kami.7 Peristiwa yang diceritakan di atas menunjukkan betapa besar pengorbanan kaum Anshar dan kekokohannya dalam memegang risalah kenabian dengan memegang teguh perintah Nabi tentang kedudukan orang Quraysh yang memiliki kemuliaan dan keturunan yang baik, sehingga mereka berbesar hati membaiat Abû Bakr sebagai khalifah dengan mengesampingkan Sa’ad bin ‘Ubadah yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Seorang penulis Mesir, Ahmad Amin,8mencoba menyederhanakan ciri-ciri ekslusif Syi’isme menjadi empat prinsip utama saja: ‘ismah (ketakbercacatan Imam), Mahdiisme (Dalam Syi’ah Itsna Asyariah, yang mempercayai adanya dua belas Imam, Muhammad al- Mahdî al-Muntazhar adalah Imam yang kedua belas. Al-Muntazhar gaib (menghilang) pada tahun 260 H. Syi’ah Itsna Asyariah meyakini bahwa suatu saat nanti Muhammad al-Mahdî al-Muntazhar (Imam Mahdi) akan kembali untuk menegakkan keadilan dan kebenaran kepada kaumnya. Paham inilah yang disebut dengan Mahdiisme, taqiyyah (melindungi atau menuntun diri), bahwa Taqiyyah adalah salah satu strategi gerakan politik Syi’ah di mana dalam konsep ini disebutkan bahwa di bawah kondisi yang mengancam keselamatan, seorang pengikut Syi’ah diperbolehkan untuk menyembunyikan identitas ke-Syi’ah-annya dan menampakkan sisi lain dari dirinya. Konsep ini muncul karena sarjana-sarjana Syi’ah menganggap bahwa Syi’ah dalam sejarah selalu menjadi objek persekusi kaum Sunni yang mayoritas dan pemilik kekuatan politik, dan raj’ah (kekembalian) Imam. 9 Salah satu perbedaan Syi’ah-Sunni adalah

7Umar Nahdi, Sejarah Umat Islam Tsaqifah Bani Sa’îdah, h. 30. 8 Ahmad Amin lahir di Kairo pada awal bulan Oktober, 14 tahun menjelang akhir abad ke-19, tepatnya, 1 Oktober 1886 M. atau yang bertepatan dengan 2 Muharram 1304 H. dan meninggal pada tanggal 30 Mei 1954 M. yang bertepatan dengan 30 Ramadham 1373 H. di Kairo pada umur 68 tahun. Sejak kecil dia hidup di tengah keluarga yang terdidik dan penuh disiplin. Sang ayah juga membuatkan rumah yang dipenuhi dengan beberapa literatur beragam bidang keilmuan untuk Amin bersama saudara-saudarinya yang lain, yang membuat mereka betah di dalamnya. Pendidikan lain yang diterima Amin, selain dari kondisi keluarganya yang demikiran ketat mendidik anak-anaknya, dia juga belajar di kuttab untuk tingkat dasar dan menengah. Selanjutnya dia juga belajar di Al-Azhar hingga menamatkan Jurusan Peradilan Agama, kemudian - di samping menjabat sebagai Hakim pada Lembaga Peradilan Agama, dia juga mengajar sampai tahun 1921. Beberapa tahun tinggal di sekitar Al-Azhar, kemudian Amin memutuskan untuk pindah ke Kairo. Di kota kelahirannya tersebut, pada tahun 1926, dia diangkat menjadi dosen Fakultas Sastra Arab (Adab) di Al- Jami'ah Al-Mishriyyah (Mesir University), yang selanjutnya diangkat menjadi dekan di perguruan tinggi tersebut secara berturut-turut pada tahun 1939. Berikutnya, pada tahun 1947, dia diangkat menjadi rektor pada Direktorat Kebudayaan di Liga Arab (Jami'ah Ad-Duwal Al-'Arabiyah) hingga wafatnya. (Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan As-Sunnah, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 80-87. Dan Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 83, 92. 9Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah : Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abd ke- 20, (Yogyakarta : Pustaka, 1988), h. 44.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 154 pemahaman mereka terhadap ijtihad. Menurut salah satu prinsip teosofi Syi’ah yang paling fundamental, kebenaran Islam, seperti halnya realitas pola-dasar dari segala sesuatu yang ada di dunia inderawi ini, hanya dapat ditemukan pada mundus imaginalis. Jadi, perwujudan lahiriah Islam hanyalah mencerminkan sebagian saja dari kebenarannya. Kebenaran yang seutuhnya hanya diketahui oleh Tuhan, Nabi, dan anggota keluarganya. Satu hal yang dikritik oleh Sunni dari Syi’ah adalah klaim Syi’ah bahwa Imamah merupakan salah satu dari rukun iman.10

Konflik Teologis Syi’ah-Sunni Hamid Enayat dalam bukunya menjelaskan bahwa pada dasarnya, perdebatan Syi’ah-Sunni tidaklah berkaitan dengan ajaran-ajaran pokok agama. Berbeda, misalnya, dengan perselisihan-perselisihan di antara mazhab-mazhab Kristen, perdebatan ini tidaklah berkaitan dengan sifat Tuhan, atau fungsi para Rasul, atau cara mencapai keselamatan manusia. Perdebatan yang ada hanyalah berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat marjinal dan persoalan-persoalan tersebut, dan bagaimanapun juga tidak berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pokok seorang Muslim (shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad). Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, perdebatan tersebut telah merosot dari pertengkaran mengenai persoalan penerus Nabi Muhammad saw. menjadi perpecahan ritual, teologi, dan hukum yang dapat mempengaruhi keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap dasar tertentu, paling tidak secara tidak langsung. 11 Hubungan antara Syi’ah-Sunni, dalam perjalanannya, merosot sedemikian rupa sampai-sampai kaum Sunni menganggap kaum Syi’ah sebagai betul-betul kafir. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman terkait dengan ijtihad. Kaum Sunni telah menolak ijtihad sejak abad ke-10 Masehi dan melihatnya sebagai bentuk penyimpangan yang akan menimbulkan kekacauan dan krisis hukum.

Pandangan Politik Syi’ah-Sunni Sepajang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik.12 Pada masa pasca ‘Alî itulah Syi’ah sebagai sebuah mazhab

10Menurut Ibn al-Muthahhar al-Hullî salah satu tokoh Syi’ah Itsna Asyariyah, mengatakan, bahwa masalah imamah adalah salah satu rukun iman yang dengan meyakininya, berhak untuk masuk surga dan kekal di dalamnya, serta selamat dari murka Allah. Bahkan dia mengatakan, bahwa imamah adalah sebuah taufik Allah yang bersifat umum, sedangkan kenabian adalah adalah taufik Allah yang bersifat khusus. Sebab sangat dimungkinkan suatu masa kosong dari seorang Nabi, berbeda dengan imam. Maka mengingkari taufik Allah yang bersifat umum tentu lebih jelek daripada mengingkari taufik Allah yang bersifat khusus. (Lihat Asyrâf al-Jîzâwî, ‘Aqâ’id al-Syî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ ‘Asyriyyah al-Râfidlah, (Mesir : Dâr al-Yaqîn, 2009), h. 91. 11Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, h. 31. 12Menurut Sachedina, ada tiga pengalaman keagamaan yang mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan politik Syiah Imamiyah yaitu, shahādah (martyrdom), ghaybah (occultation) dan taqiyyah (dissimulation). Keghaiban terbagi dalam dua tingkatan yaitu keghaiban kecil (minor occultation) dan keghaiban besar (major accultation). Keghaiban kecil (minor occultation) adalah masa menghilangnya imam Mahdi dan menyerahkan mandate kepemimpinan pada para wakil imam. Pada saat itu, kesulitan akan

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 155 terbentuk. Awal sejarah Syi’ah dimulai dengan apa yang dapat dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Terpinggirkan dari ranah politik yang membuatnya apolitis, sehingga paham Syi’ah ini, yang digambarkan oleh Sayyid al-Murtadhâ (w. 436/1043), menganut paham politik dengan watak “isolasionis”. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam Syi’ah, yang berhak menjadi Imam adalah dari keturunan Nabi (ahl al-Bayt). Konsepsi Imamah, yang dianut Syi’ah, inilah yang menjadi garis pemisah yang tegas antara aliran Syi’ah dengan aliran Sunni. 13 Bagi kaum Syi’ah, menurut al-Qasim menegaskan bahwa seorang imam adalah anugerah dari Tuhan.14 Ia menolak konsepsi pemilihan umum dengan alasan bahwa manusia sejak dulu suka berdebat, mereka tidak akan pernah sepakat tentang apapun. Syi’isme, menolak mengakui bahwa pendapat mayoritas dengan sendirinya adalah benar, dan tetap meyakini bahwa semua kekuasaan duniawi dalam kondisi ketiadaan Imam adalah tidak sah.15 Menurut Syekh Muhammad al-Husain al-Kâsyif al-Ghithâ, perbedaan utama antara Syi’ah dan kelompok-kelompok Islam yang lain ialah dalam masalah imamah, kepemimpinan spiritual para imam.16Selanjutnya, tentang politik Sunni pada intinya, mereka sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerja sama untuk meraih tujuan hidupnya yang sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik berdasar syariah yang pada gilirannya, akan menghasilkan bagi mereka tempat yang baik di kehidupan akhirat. Akan tetapi, Sunni juga membatasi seorang khalifah, atau pengganti Nabi Muhammad saw. bahwa mereka haruslah laki-laki dan dari keturunan suku Quraisy, dari kelompok mereka. Pada pandangan politik kaum Sunni, mereka mengembangkan strategi pemisahan radikal antara otoritas agama dan otoritas politik. Otoritas agama membentuk sebagain besar tubuh sosial dan menjadi politik didukung oleh kekuatan militer. Untuk menjadi Imam (pemimpin), seseorang tidak perlu, seperti dalam pandangan politik Syi’ah, terbebas dari kemungkinan melakukan kesalahan (ma’shum) atau memiliki karakter yang istimewa.17

kepemimpinan agama dan politik relatif bisa diatasi. Para wakil imam pada saat itu dijabat oleh empat wakil imam Mahdi yaitu Abū ‘Amr ‘Uthmān, Abū Ja’far Muḥammad, Abū al-Qāsim al-Husain dan Abū Hasan ‘Alī. Masa keghaiban besar (major accultation) adalah masa sesudah meninggalnya empat wakil imam sampai kembalinya imam Mahdi. Lihat Abdul Aziz Sachedina, Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syiah, (Bandung: Mizan, 1991), h. 156. Lihat juga Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: Gema Pustaka Utama, 1996), h. 128. 13Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : Serambi, 2006), h. 558. 14Menurut Syi ‘ah, doktrin imamah dikemukakan oleh Nabi dalam haji wada’ di Gadir Khumm, suatu tempat antara Makkah dan Madinah. Doktrin ini menyatakan, bahwa ‘Ali sebagai pengganti (khalifah) Nabi yang sah. Doktrin ini juga dipahami sebagai contoh dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum, serta memberikan suatu teori politik yang koheren. Akan tetapi, prinsip dasar tentang suksesi yang dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara universal, dan tetap menjadi harapan eskatologis yang tak realistik. Sebagaimana terdapat beberapa kesulitan dalam menafsirkan dan menerjemahkan sunnah Nabi ke dalam teori politik terlihat dalam sejarah hadis yang mendasari doktrin tersebut. (Lihat Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan, 2004), h. 34). 15Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, h.19-26. 16M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, (Tangerang : Lentera Hati, 2014), Edisi Revisi, h. 54. 17Lesley Hazleton, After The Prophet Kisah Lengkap Perpecahan Sunni-Syi’ah, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2018), h. 140.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 156

Sejarah Singkat Akar Konflik Syi’ah-Sunni Akidah yang paling ekstrem yang menyulut api permusuhan dalam dada kaum Syi’ah adalah keyakinan mereka bahwa kaum Sunni musuh bagi kaum Syi’ah, mereka membenci, memarahi, dan mencela kelompok Syi’ah. Sementara dalam pandangan kaum Sunni, Syi’ah adalah musuh, bahkan sebesar-besarnya musuh. Karena itulah mereka menyebut kaum Sunni dengan gelar al-Nawâsib yaitu orang-orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam memusuhi (Ahl al-Bayt). Oleh karena itu, ada beberapa pendapat dari para syaikh dan fuqaha kaum Syi’ah bahwa musuh kaum Syi’ah yang sebenarnya adalah kaum Sunni, bukan yang lain. 18 Al-Musawi, dalam bukunya menjelaskan, bahwa hal-hal yang mengganggu perasaan kaum Syi’ah sehingga sulit untuk bercampur, atau bersatu-padu dengan saudaranya yang Sunni karena adanya kebiasaan dari kaum Sunni mengkafirkan, menghina, mencerca, dan melakukan kebohongan kepada kaum Syi’ah. Sementara itu, hal yang mengganggu bagi kalangan Sunni yang membuatnya sulit bersatu-padu dengan Syi’ah adalah karena Syi’ah membenci seluruh Sahabat dan mencerca semua kalangan salaf (tokoh-tokoh Muslim terdahulu).19 Pada Abad pertama hijriyah tepatnya ketika Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah, maka lahirlah Kekhalifahan Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah adalah salah satu cabang dari Syi’ah Ismailiyah, juga dapat disebut dengan Ismailiyah Fatimiyah, yang berdiri di Afrika Utara kemudian berpindah ke Mesir. Dinasti Fatimiyah merupakan satu-satunya Dinasti Syi’ah dalam Islam yang kuat. 20 Mereka menganggap gerakan mereka sebagai sebuah alternatif bagi gerakan diam Syi’ah Imamiyah ketika berhadapan dengan Dinasti Abbasiyah yang korup dan pemerintahan lainnya yang tiran. Padahal, mereka (Syi’ah) juga termasuk pihak yang ikut membangun kekhalifahan Abbasiyah dan turut menumbangkan Umayah. Para Khalifah Fatimiyah mempunyai ambisi untuk menyatukan seluruh dunia Muslim di bawah kekuasaannya. Setelah Fatimiyah sudah mulai percaya diri dengan kekuatannya. Ia kemudian, setelah menaklukkan Mesir, mulai melakukan ekspansi besar- besaran ke wilayah kekuasaan Umayah di Cordova. Fatimiyah di bawah pendirinya, Ubayd Allal al-Mahdi, membangun aliansi dengan Umr ibn Hafsun. Umar ibn Hafsun hadir pada masa pemerintahan Muhammad 1.21 Kehadirannya melahirkan pemberontakan yang berbahaya dan berhasil menghancurkan wilayah Tenggara Andalusia. Bekerjasama dengan ibn Hafsun, Ubaydi al- Mahdi mengirim mata-mata ke Spanyol. Ini dimulai ketika Umayah masih di bawah kekuasaan Muhammad ibn Abdurrahman II sampai Abdurrahman III. Oleh karena itu, pada masanya, Abdurrahman III harus berurusan dengan Fatimiyah di Afrika Utara untuk mencegah bahaya serangan terhadap Spanyol dari kebangkitan Dinasti Fatimiyah. 22 Fatimiyah merupakan ancaman yang paling serius dalam sejarah internal dari Andalusia di

18 Imad Ali Abdus Sami, Penghianatan-penghianatan Syi’ah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat Islam, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 19. 19Syarafuddin Al-Masawi, Dialog Sunnah-Syi’ah, (Bandung : Mizan, 2008), h. 205. 20Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 787. 21S. Imaduddin, A Political History of Muslim Spain, (Dhaka : Najmah, 1969), h. 45. 22S. Imaduddin, A Political History of Muslim Spain, h. 148.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 157 bawah Abdurrahman III. Dari sini konflik Syiah-Sunni pun terus berkepanjangan. Selanjutnya, Dinasti Fatimiyah yang berdiri pada 909 Masehi ini berakhir masa kejayaannya pada 1171 M. Ada beberapa faktor kemunduran Fatimiyah, antara lain, meskipun Isma’iliyah yang dianut oleh Fatimiyah menekankan masalah keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, paham ini belum dapat diterima oleh sebagaian besar masyarakat Islam yang kebanyakan berpaham Sunni.23 Shalahuddin al-Ayyubi, seorang yang beraliran Sunni yang teguh merupakan tokoh penting yang mengakhiri masa kejayaan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1171 M. Shalahuddin mendirikan kembali kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah, yaitu Dinasti Ayyubiyah yang Sunni. Pada 1501 M, Isma’il menduduki Tabriz (sebuah kota di Iran yang terletak di bagian barat laut) dan mengklaim dirinya sebagai Shahdan dalam satu dekade telah menaklukkan wilayah Iran. Sementara pesaingnya Kekaisaran Ottoman di Barat menguasai wilayah Anatolia Timur dan Kekaisaran Shaybani di Timur menguasai Transoxania sepanjang sungai Oxus.24 Persaingan politik memutus Kekaisaran Ottoman dari budaya Islam di Iran dan memperkuat pembagian budaya yang tumbuh antara Iran dan Asia Tengah. Batasan- batasan ini membagi Timur Tengah ke dalam pemerintahan yang terpisah antara Ottoman di Turki, Iran, dan budaya-budaya Muslim Asia Tengah. Isma’il, yang tidak hanya mengklaim diri sebagai representsai Imam yang tersembunyi, tetapi Imam yang tersembunyi itu sendiri. Setelah berkuasa, mengambil keputusan mengubah Iran menjadi negara yang menganut Syi’ah Imamiyah, dan hal ini dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Shah Tahmasp. Kebijakan ini melahirkan tindakan pembasmian terhadap kaum ekstremis, pengeksekusian terhadap penganut aliran sufisme, penindasan terhadap kaum Sunni, dan penyebaran ajaran Syi’ah Imamiyah. Ketegangan Syi’ah-Sunni yang telah berpusat di Iran di bawah Safawiyah ini mencapai puncaknya pada abad XX, ketika Imam Khomeini berhasil menggulingkan Reza Shah Pahlevi dengan revolusi Islam yang digagasnya. Dinasti Safawiyah memerintah Iran hingga tahun 1722 M. 25 Setelah Safawiyah, Dinasti Qajar memerintah Iran dari tahun 1779 M sampai 1925 M banyak meniru Safawiyah. Selanjutnya beranjak kepada revolusi Iran yang ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Dinasti Qajar ke Dinasti Pahlevi pada tahun 1925 M oleh Reza Khan dengan cara kudeta diwarnai kekejaman-kekejaman. Tidak heran anak penggantinya, Mohammad Reza Shah Pahlevi mewarnai perilaku represifnya. Sejak Reza Shah berhasil menggulingkan Dinasti Qajar, maka beberapa program modernisasi besar-besaran dari Barat di bidang pendidikan, militer, industri, dan pertanian dilakukan.26 Percepatan proses modernisasi yang dilakukan oleh Reza Shah Pahlevi ini

23Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009), h. 202-203. 24Sungai ini merupakan sungai utama di Asia Tengah. Sungai ini dibentuk oleh persimpangan Vakhsh dan sungai Panj. Pada zaman kuno sungai ini dianggap sebagai batas antara Iran dan Turan. 25Ardison Muhammad, Iran Sejarah Persia dan Lompatan Masa Depan Negeri Kaum Mullah, (Surabaya : Penerbit Liris, 2010), h. 81-82. 26Noor Maulana, Revolusi Islam Iran dan Realisasi Vilayat-1 Faqih, (Yogyakarta : Publication Study Club, 2003), h. 40.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 158 menjadi bumerang dan menyebabkan keruntuhannya 319 kekuasaannya pada tahun 1979 M. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dijalankan oleh Shah Iran bertentangan dengan kebudayaan Islam, istiadat masyarakat Iran yang sesuai dengan syari’at Islam, dan juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat bawah baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.27 Puncak dari ketidakpuasan ini adalah ketika meledak revolusi Islam Iran pada tahun 1979 M yang digerakkan oleh Imam Khomeini. Imam Khomeini berpandangan bahwa asas kebangkitan Islam ini berasal dari dua faktor, yaitu pertama, dari banyaknya tekanan luar dan dalam negeri. Kedua, harapan dia dan umat membentuk suatu pemerintahan Islami, dan harapannya agar hukum Islam diterapkan di Iran seperti era awal Islam. Revolusi Islam Iran ini telah menjadi konsep-konsep pemerintahan faqih (wilayat al- faqih), yaitu Konsep wilayat al-faqih berpandangan bahwa Allah SWT adalah pencipta dan hakim mutlak yang mengatur alam semesta dan segala isinya. Allah juga memilih manusia sebagai khalifah di muka bumi.Untuk keselamatan manusia di muka bumi, Allah memilih orang-orang yang memiliki unsur-unsur kepribadian yang murni serta luhur secara fitrah. Merekalah yang berhak memimpin umat, yaitu para Nabi, para Imam, dan para Fuqaha. Para anbiya’ sudah berlalu dan auliya’ atau Imam sudah ghaib, maka sekarang umat berada pada kepemimpinan para fuqaha atau faqih, dan marja’ taqlid (tempat rujukan dan anutan umat) merupakan bagian dari perkembangan doktrin imamah Syi’ah.28

Bentuk-Bentuk Konflik Konflik Syi’ah-Sunni adalah konflik yang memiliki akar sejarah yang panjang. Di atas telah dijelaskan bahwa konflik ini berawal setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, jika kita mencermati dengan seksama konflik Syi’ah-Sunni, terutama di kawasan Timur Tengah, konflik tersebut memiliki dua bentuk universal. Pertama, konflik antara kelompok masyarakat dengan rezim, baik itu rezim yang Syi’ah dan kelompok masyarakat yang Sunni maupun sebaliknya. Kedua, konflik antarnegara (rezim). Bentuk konflik yang pertama dapat dilihat bahwa pada bulan April 2013 lalu, dunia disuguhi berita dari Hawija, Irak Utara, terkait tewasnya lebih dari 50 orang dari pengunjuk rasa Muslim Sunni.29 Apa yang terjadi dari Hawija pada waktu itu adalah akibat dari ‘kebencian lama’ yang dibangun oleh Saddam Hussein ketika berkuasa. Di era Saddam, yang menganut Islam Sunni, kelompok Syi’ah, yang jumlahnya kurang lebib 60%, mendapatkan perlakuan politik yang sangat kejam dari Saddam karena dianggap berpihak pada Iran dalam Perang Teluk. Bahkan pada tahun 1980 M, pemimpin umat Syi’ah Irak, Imam Ayatullah Baqir al-Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan pengikutnya.30 Setelah Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada tahun 2003 lalu, rezim Saddam pun, yang dicap sebagai pemimpin tiran, berakhir dan bergulirlah demokratisasi. Sunni

27Noor Maulana, Revolusi Islam Iran dan Realisasi Wilayat-1 Faqih, h. 163. 28Mumtaz Ahmad, Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1996), h. 129. 29Kompas, Dari Riyadh Ke Tel Aviv, Edisi 25 April 2013. 30M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Islam, Dunia Arab, Iran, (Bandung : Mizan, 1991), h. 37.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 159 yang berkuasa penuh pada era Saddam berlahanlahan tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan. Hawija, yang dulunya dianakemaskan oleh Saddam, kini menghadapi alur sejarah yang berkebalikan. Hawija merasa dianaktirikan oleh PM Nouri al-Maliki yang Syi’ah. Tesis Jack Snyder sepertinya tepat dalam melihat perkembangan demokratisasi di Irak saat ini bahwa demokratisasi sekedar mencerminkan cita-cita kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan cita-cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” merupakan salah satu bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat”. Perlakuan sebagai anak tiri bagi warga Hawija (yang mayoritas Sunni) oleh PM Nouri al-Maliki sepertinya tidak bisa lepas dari argumen ‘kebencian lama’ tersebut. Snyder menambahkan bahwa demokratisasi (pemilihan umum) sekedar menjadi sensus dan bukan proses permusyawaratan. Demokratisasi, dengan 320 nasionalisme SARA, akan cenderung menghasilkan tirani mayoritas atau pertarungan hidup-mati antara kelompok SARA yang sama-sama menghendaki negara buat kelompok sendiri. Di Suriah melihat konflik yang bentuknya sama dengan konflik di Irak; perlawanan rakyat kepada rezim yang alirannya berbeda. Presiden Suriah, Bashar al-Assad, berasal dari kelompok Syi’ah Alawite yang minoritas. Sejak Hafez al-Assad hingga Bashar al-Assad, akses krusial pada pusat-pusat kekuasaan sangat terkait dengan afiliasi agama dan keluarga. Sumber-sumber keuangan dan politik mengalir ke Alawite yang memegang jabatan-jabatan kunci dalam “korps perwira, pasukan keamanan internal, dan partai Ba’ath.” Pola seperti ini terus dijalankan oleh Bashar al-Assad hingga saat ini. Dengan mempertahankan pola seperti ini, maka Assad sebenarnya membuka peluang pecahnya perang saudara. Bila kaum Alawite yang sangat sedikit itu tetap setiap pada keluarga Assad karena memperoleh keuntungan dari kesetiaannya, sementara kelompok yang mayoritas, yaitu Sunni, terpinggirkan, maka terpecahnya Suriah tinggal menunggu waktu dan ini yang sedang menjadi pertunjukan menarik di Suriah hari ini. Hal yang sama pernah terjadi di Irak 31 yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pertarungan sengit di Suriah hari ini adalah pertarungan antara rezim dan kelompok oposisi. Aron Lund menyebutkan bahwa, ada tiga generasi oposisi Suriah. Generasi Pertama merupakan salah satu generasi yang dibentuk pada era-prakemerdekaan dan saat ini direpresentasikan oleh Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood). Partisipasinya dalam pergolakan bersenjata pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, dengan agenda sektarian Sunni-nya, membuat MB menjadi kambing hitam dari rezim yang berkuasa, dan Undang- undang Pidana, pasal 49 melarang keanggotaan kelompok ini.32 Gejolak politik di Bahrain awal-awal Musim Semi Arab (The Arab Spring) juga kuat diwarnai bentuk konflik yang sama. Di Bahrain, kelompok mayoritas Syi’ah (70%) telah sejak lama menjadi warga kelas dua bagi para penguasa Sunni. Tidak lama setelah revolusi meledak di Tunisia yang mengakhiri kekuasaan Zein al-Abidin Ben Ali, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2011 M, gejolak demonstrasi juga dimulai di Bahrain dan bentrokan terjadi hingga helicopter berputar-putar di atas kota Manama, tempat berkumpulnya para demonstran. Sedikitnya

31Trias Kuncahyono, Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir, (Jakarta : Kompas, 2013), h. 148. 32Trias Kuncahyono, Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir, H. 150.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 160

14 orang terluka dalam bentrokan tersebut dan aparat menggunakan udara mata dan peluru karet memasang gas untuk membubarkan pengunjuk rasa di desa Syi’ah, sebagian besar Nuwaidrat di negara barat daya. 33 Bentuk konflik yang kedua adalah konflik antarnegara. Sebagaimana kita ketahui bahwa Revolusi Islam Iran yang meledak pada tahun 1979 M, yang digerakkan oleh ulama Syi’ah, telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar di dunia Islam, khususnya di negara-negara kawasan Timur Tengah.34 Di kawasan ini, pengaruh tersebut berupa, antara lain, munculnya apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan-gerakan Islam “Fundamentalis”, “radikal”, “militan” maupun “ekstrem”. Gerakan-gerakan semacam itu yang di beberapa negara cenderung “antikemapanan”, dan biasanya disebut juga sebagai kelompok-kelompok Iran.35 Revolusi Islam Iran 1979 M memang membangkitkan semangat dan eksistensi kaum Syi’ah dan hal ini mempengaruhi hubungan internasional di kawasan kaya minyak tersebut. Salah satu dampaknya yang dilihat adalah pascarevolusi tersebut, hubungan Iran dengan beberapa negara yang dipimpin oleh kelompok Sunni memanas. Sejak saat itu, hubungan Kairo- Teheran rusak berat. Haluan politik kedua negara juga berseberangan; Iran anti-Amerika sementara Mesir membangun hubungan yang cukup mesra dengan Amerika. Pada Perang Teluk Iran-Irak 1980-1988 juga tidak terlepas dari sentimen Syi’ah-Sunni. Negara-negara Sunni, yang takut dengan ekspansi Syi’ah Imam Khomeini, berada di 321 belakang Saddam Hussein. Di satu sisi, Iran didukung oleh negara-negara atau kelompok-kelompok pemimpin Syi’ah, seperti Suriah, Hezbollah, gerakan Hamas, dan beberapa gerakan perlawanan di negara-negara lain.36 Konflik Syi’ah-Sunni yang berkepanjangan itu turut mewarnai dinamika politik di kawasan tersebut pasca-The Arab Spring. Hal ini dapat di lihat dari prahara Suriah yang hingga kini belum selesai. Pada konflik Suriah, ada permainan asing yang memiliki pengaruh sangat besar. Dari konflik ini, ada pertarungan antara Amerika Serikat dan sekutunya yang mayoritas negara Sunni dengan China dan Rusia yang selalu menggandeng Iran yang dikenal sebagai negara Syi’ah itu. Negara-negara Sunni pun berada di belakang Amerika, salah satunya adalah Arab Saudi, sementara negara-negara Syi’ah berada di belakang China dan Rusia. Hubungan Arab Saudi dan Iran sudah sejak dulu memiliki masalah besar, baik soal politik, strategis, maupun ideologis (Syi’ah dan Sunni yang dalam arti Sunni Salafi Wahabi).37 Mereka berebut pengaruh serta supremasi di Timur Tengah dan Teluk. Pada krisis Suriah sangatlah jelas: Iran mendukung rezim Bashar al-Assad yang Syi’ah, sedangkan Arab Saudi mendukung kelompok oposisi yang mayoritas Sunni. Kepemilikan Iran akan nuklir juga menjadi persoalan bagi Arab Saudi. Arab Saudi sangat

33Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah, Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah, (Yogyakarta : Narasi, 2011), h. 159-160. 34Ahmad Sahide, Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah, h. 91. 35M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Islam, Dunia Arab, Iran, h. 191. 36Ahmad Sahide, Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah, h. 103. 37Dua pandangan yang berbeda ini semakin meruncing dengan klaim Arab Saudi yang menyatakan diri sebagai “pemimpin Sunni dunia.” Padahal, di negara terdapat dua tempat suci Islam, Mekah dan Madinah. Di sisi lain, Iran memiliki penduduk Syiah terbesar dunia dan sejak revolusi Iran pada tahun 1979 menjadi “pemimpin Syiah dunia.”

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 161 tidak menginginkan posisinya sebagai primus inter pares yang terkemuka di antara sesama negara-negara Muslim disaingi oleh Iran. Berita terbaru terkait dengan sentiment Syi’ah- Sunni antarnegara adalah ketika Kepala Inteligen Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan, negara 90% Sunni, diam-diam bertemu dengan kepala badan inteligen Israel di Genewa, Swiss. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 27 November 2013, tidak lama setelah pertemuan Iran, dan P5+1 (AS, Rusia, China, Inggris, Perancis, dan German). Pertemuan badan inteligen kedua negara karena kekecewaan negara Wahabi itu dengan hasil dari pertemuan di Genewa yang dilihat menguntungkan Iran terkait dengan program nuklirnya.

Sejarah Singkat Dampak Konflik Syi’ah-Sunni di Indonesia Indonesia yang sudah lama membangun wacana toleransi dan pluralisme tidak lepas dari dampak prahara yang belum berujung di Timur Tengah pasca The Arab Spring. Sebagaimana di atas telah dijelaskan bahwa ada sentimen Syi’ah-Sunni yang mewarnai konflik politik di negara-negara Timur Tengah pasca The Arab Spring, sentimen itu adalah sentimen mazhab Syi’ah-Sunni yang memiliki akar sejarah yang panjang. Kelompok Syi’ah, di beberapa kota, belakangan ini sempat terusik dengan adanya isu-isu penyerangan terhadap markas mereka. Beberapa di antara mereka tutup untuk sementara, misalnya yayasan Rausyanfikr di Yogyakarta.38 Selain itu, ada banyak selebaran yang bertuliskan “Jangan Ragu, Syi’ah Bukan Islam”, seminar yang diadakan, serta buku-buku yang diterbitkan oleh kelompok tertentu untuk mendiskreditkan kelompok masyarakat yang beraliran Syi’ah. Tanpa bermaksud membenarkan aliran keyakinan mereka, tetapi jika hal ini dilihat lebih obyektif, selebaran-selebaran dan propaganda itu tidak lepas dari kepanjangan prahara konflik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah pasca The Arab Spring. Hal ini dapat dilihat dari beberapa faktor. Pertama dari segi momentum. Wacana mendiskreditkan Syi’ah ini begitu masif pasca-The Arab Spring bergejolak di Timur Tengah. Pada tahap awal penyebaran Syi’ah, perkembangan Syi’ah tidak banyak mengalami benturan dengan kelompok lain, karena pola dakwah yang dilakukan. Prinsip taqiyah digunakan untuk menghindari tekanan dari pihak penguasa. Selama periode pertama, hubungan antara Sunni-Syi’ah di Indonesia, pada umumnya, sangat baik dan bersahabat tidak seperti yang terjadi di negeri-negeri lain seperti, misalnya, Pakistan, Irak, atau Arab Saudi. Meskipun demikian pernah terjadi insiden seperti dibunuhnya karena dituduh menyebarkan faham waḥdat alwujûd.39 Lalu datanglah gelombang kedua

38RausyanFikr dibentuk pada awal tahun 1990-an oleh komunitas mahasiswa di Yogyakarta yang berkumpul atas dasar semangat pemikiran dan dakwah Islam dan bersamaan dengan gaung Revolusi Islam Iran di kampus-kampus di Yogyakarta. Pada pertengahan tahun 1995 kelompok diskusi ini memformalkan diri dalam bentuk yayasan yang diberi nama RausyanFikr. Menjelang akhir tahun 1999 dan awal tahun 2000 RausyanFikr lebih mempertajam fokus pada isu strategis yayasan RausyanFikr yaitu kajian filsafat Islam dan mistisisme terutama mengapresiasi serta mengembangkan wacana dari filsafat Islam dan mistisisme oleh para filosof Muslim Iran yang kiranya memiliki relevansi untu dikontribusikan demi pengembangan masyarakat Indonesia pada orientasi intelektual dan spiritual. (Lihat http://www.rausyanfikr.org/2013/09/profil-rausyanfikr-institute.html. Di akses pada 4 Des 2018, Pukul 22.50 WIB. 39Sirajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta : Putaka Tarbiyah, 1998), h. 138.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 162 masuknya Syiah ke Indonesia, yaitu setelah revolusi Islam di Iran pada 1979. Ketika itu orang Syiah mendadak punya negara, yaitu Iran. Sejak kemenangan Syi’ah pada Revolusi Iran, muncul simpati yang besar di kalangan aktivis muda Islam di berbagai kota terhadap Syiah. Figur Ayatullah Khomeini menjadi idola di kalangan aktivis pemuda Islam. Buku-buku tulisan Ali Syari’ati, seperti buku Tugas Cendekiawan Muslim menjadi salah satu “inspirator” Revolusi Iran, dibaca dengan penuh minat. Bahkan tokoh cendekiawan , Amin Rais, dengan sengaja menerjemahkan dari versi Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Naiknya popularitas Syi’ah itu membuat khawatir dan was-was negeri yang selama ini menjadi “musuh” bebuyutan Iran, yakni Arab Saudi. Melalui lembaga- lembaga bentukan pemerintah, Saudi Arabia melakukan upaya untuk menangkal perkembangan Syi’ah, termasuk penyebarannya di Indonesia. Sejumlah buku yang anti- Syiah diterbitkan, baik karangan sarjana klasik seperti Ibn Taymiyah (1263-1328), atau pengarang modern, seperti Ihsan Ilahi Zahir, seorang propaganda anti-Syi’ah yang berasal dari Pakistan. Reaksi terhadap pekembangan Syi’ah di Indonesia ditunjukkan melalui penyebaran isu negatif dari buku-buku yang berisi informasi Syiah atau paling tidak menunjukan sikap penolakan terhadap Syiah di antaranya: 1. Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi’ah al-Imamiyah dan Perbedaanya dengan Ahli Sunnah, penulis Sayyid Muhibbudin al-Khathib, penerjemah Munawwar Putra. Buku ini diterbitkan oleh Pt. Bina Ilmu Surabaya Tahun 1984. 2. Beberapa Kekeliruan Akidah Syiah, pengarang Muhammad Abdul Sattar al- Tunsawi, Ketua Ahlus Sunnah Pakista. Diterjemahkan oleh A. Ra-dzafatzi. Penerbit PT. Aneka Ilmu Tahun 1984. 3. Apa Itu Shiah? Ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi. Diterbitkan oleh Harian Umum Pelita Tahun 1984. 4. Syiah dan Pemalsuan Al-Qur’an. Penulis Dr. Moh, Malullah, diterjemahkan oleh Drs. Abdulkarim Hayaka, diterbitkan oleh CV. Mustaka Mantiq, Solo. 5. Hakekat Syiah, Penulis Dr. Abdullah Muh. Gharib. Buku ini diterjemahkan oleh Mustafa Mahdamy dan diterbitkan oleh CV. Pustaka Mantiq, Solo. 6. Kebohonan Syiah terhadap Ahli Sunah, penulis Sayyid Muhibin al-Khatib, diterjemahkan oleh Drs. Tammam Qaulany. Buku ini diterbitkan oleh Toko Kitab Utama Surabaya. Meski telah begitu banyak buku-buku diterbitkan untuk menghadang faham Syi’ah, kekhawatiran masuknya Syiah tidak juga surut. Kemudian pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1984 M, melalui surat ketetapan tanggal 7 Maret 1984 M yang ditandatangani oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen, merekomendasikan tentang faham Syi’ah, yang isinya sebagai berikut: Faham Syiah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh umat Islam Indonesia. Perbedaan yang disebutkan dalam ketetapan MUI tersebut di antaranya: 1. Syiah menolak Hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait. 2. Syiah memandang “Imam” itu ma ‘ṣum (orang suci).

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 163

3. Syiah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”. 4. Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama. 5. Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abû Bakar al-Shiddîq, ‘Umar Ibn al-Khatthâb, dan Utsmân bin Affân. Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang imâmah (pemerintahan), Majelis Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah. Reaksi yang ditunjukkan oleh MUI tersebut adalah bentuk kekhawatiran terhadap berkembangnya faham Syi’ah di Indonesia secara berlebihan. Akan tetapi upayaupaya untuk membendung perkembangan Syi’ah itu, tidak membuahkan hasil apa-apa. Ketertarikan masyarakat kepada Syiah semakin kuat. 40 Hal ini dibuktikan dengan semakin terus terangnya pengagum-pengagum Syi’ah menunjukkan eksistensinya dengan mendirikan lembaga pendidikan berhaluan Syiah. Seperti Alumni Qum, Ustad Ahmad Baraqbah, mendirikan Al-Hadi di Pekalongan. Ustadz Husain al-Habsyi mengubah haluan Pesantren Yayasan Pesantren Islam (YAPI) yang didirikannya pada tahun 1974 dari ideologi Ihwanul Muslimin pada ideologi Syi’ah. Pada tahun 1997, perkembangan Syi’ah di Indonesia kembali mendapatkan reaksi negatif kembali dari kalangan di luar Syi’ah. Penolakan kembali terhadap Syiah digelar melalui sebuah seminar nasional di Masjid Istiqlal Jakarta. Melalui seminar itu peserta merekomendasikan dan mendesak kepada pemerintah untuk melarang Syiah berada di Indonesia. Dari kalangan Syiah pun tidak mau ketinggalan, respon negatif yang ditunjukkan dari hasil seminar itu, ditang gapi kembali oleh kalangan Syiah dengan menerbitkan sebuah buku Syiah Ditolak, Syi’ah Dicari, karya O. Hashem, RausyanFikr, Yogyakarta, 2011. Seiring dengan bergulirnya era Reformasi, gelombang perkembangan Syiah di Indonesia memasuki fase ketiga. Menurut Jalaluddin Rahmat, penyebaran Syiah di Indonesia pada fase ketiga, didorong oleh meminat pengagum Syiah secara falsafi ke arah pemahaman fiqih. Fase ketiga ini dimotori oleh para Habib (keturunan arab/ Nabi) atau orang-orang Syi’ah yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Qum, Iran. Karena pemahaman Syiah sudah masuk ke ranah fiqih, maka pada tahap ini benih-benih konflik sudah mulai tumbuh secara terbuka. Era Reformasi sebagai era keterbukaan, membawa perubahan besar pada prinsip-prinsip dakwah kelompok Syi’ah. Syiah tidak lagi tersembunyi dalam doktrin taqiyah. Di berbagai daerah, kelompok Syiah secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya kepada publik melalui perayaan hari besar Syi’ah, seperti peringatan Tragedi Karbala (‘Asyuro), Hari Arbain, Yaum al-Quds, dan Hari al-Ghadir (perayaan pengangkatan

40Lihat Moh. Hasim, Syi’ah : Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia, (Jurnal “Analisa” No. 2, Vol. XIX.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 164

Sayyidina Ali sebagai Imam pertama).41 Syi’ah memasuki fase gelombang keempat, yaitu ketika orang Syiah mulai membentuk ikatan, yaitu Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), berdiri 1 Juli 2000. Sehingga secara terbuka Syi’ah eksistensinya semakin diakui oleh sebagian masyarakat Indonesia. Perkembangan Syi’ah secara terbuka ini didorong oleh semangat keterbukaan dan pluralisme sebagai buah dari semangat Reformasi. Dengan semakin meningkatnya penganut yang mengamalkan ajaran fiqh Syi’ah, maka tingkat ketegangan kelompok Sunni dengan Syi’ah semakin meningkat. Perseteruan pertama terjadi pada pesantren milik Ustad Ahmad, di Desa Brayo, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 8 April 2000. Ketika itu, massa menyerbu pesantren seusai shalat Jumat, sekitar pukul 14.00 hingga 16.30. Akibatnya, tiga rumah di Pondok Pesantren al-Hadi dirusak dan satu dibakar massa. Tahun 2006 muncul konflik secara beruntun, terulang kembali di desa Brayo, Batang; aksi kekerasan terhadap Syiah di Sampang; dan muncul konflik di Bondowoso dengan sasaran pesantren milik Kiai Musowir yang sedang sedang menggelar yasinan pada malam Jumat. Penyerbuan kemudian terjadi lagi pada rumah pengurus Masjid Jar Hum di Bangil, Jawa Timur, November 2007. Massa merusak rumah itu lantaran menolak kehadiran pengikut Syi’ah. Usaha menyerang penganut Syiah terjadi juga di Jember, Jawa Timur. Pada bulan Ramadhan, Agustus 2012, muncul sejumlah spanduk yang menyebutkan ajaran Habib Syi’ah adalah sesat. Namun kain propaganda itu berhasil diturunkan warga dan petugas Pamong Praja sebelum memicu konflik. Dan pada tahun yang sama, kasus Syi’ah di Sampang mencuat, yang berbuntut di hukumnya Tajul dengan tuduhan penodaan agama. Kalau ditelusuri lebih jauh, persebaran Syi’ah di Indonesia yang sudah berlangsung permulaan Islam datang ke nusantara, telah banyak memberikan warna keagamaan di Indonesia. Banyak sekali ritus Islam Indonesia yang terindentifikasi terpengaruh dari ajaran Syi’ah. Ritual dan tradisi Syi’ah mempunyai pengaruh yang mendalam di kalangan komunitas Islam Indonesia, bukan saja di kalangan Syi’ah sendiri, tetapi juga di kalangan Sunni. Salah satunya ialah praktik perayaan 10 Muharram yang biasa dirayakan oleh pengikut Syi’ah untuk memperingati terbunuhnya Husain ibn Ali, cucu Nabi Muhammad. Husein terbunuh dalam Perang Kabala pada 10 Muharram 61 H. Perayaan 10 Muharam dipandang sebagai ritual suci bagi kelompok Syi’ah juga berkembang di beberapa komunitas Islam Indonesia di luar Syi’ah. Sebagai contoh, terdapat perayaan serupa yang disebut dengan “tabot tebuang”. Di , Sumatera Barat, dan ada perayaan “ritual tabuik”. Jika ditelusuri tabot atau tabuik berasal dari kata tabut dalam Bahasa Arab kotak. Kata tabut ini dalam peraaan diwujudkan dengan peti sebagai simbol peti jenazahnya imam-imam kaum Syi’ah yang telah dibunuh secara kejam se-masa pemerintahan Bani Umayyah Ritual di kalangan Sunni seperti tradisi ziarah kubur dan membuat kubah pada kuburan adalah tradisi Syiah. Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi’i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i yang dijalankan di negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggaling Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan

41Miftah Rakhmat, Catatan Kang Jalal : Visi Media, Politik dan Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998), h. 443-460.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 165 pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan akidah Syi’ah. Infiltrasi Syiah dalam penyebaran Islam di Indonesia tampak jelas pada masyarakat NU sebagai representasi kelompok Aluhus-Sunnah, pengaruh tradisi Syiah pun cukup kuat di dalammya. Dr. Said Agil Siraj sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan bahwa kebiasaan Barjanji dan Diba’i adalah berasal dari tradisi Syi’ah. Dan bahkan KH pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi’ah. Di Yogyakarta, yayasan Rausyanfikir sudah cukup lama berdiri dan aktif dengan berbagai macam kegiatan-kegiatan keilmuan yang melibatkan banyak kaum terdidik, misalnya mahasiswa, tetapi baru kali ini yayasan Syi’ah tersebut diancam untuk diserang oleh kelompok tertentu. Jika penyerangan yayasan Rausyanfikir ini berdalih dengan alirannya yang dianggap sesat, tentulah sejak awal berdirinya ia diserang. Penyerangannya bukan setelah ia berdiri selama lebih dari sepuluh tahun. Oleh karena itu, jika melihat dari segi momentumnya di mana wacana pendiskreditan ini masif tentulah tidak lepas dari prahara politik yang kini sedang menjadi tontonan menarik di Timur Tengah. Kedua dari faktor Arab Saudi. Arab Saudi adalah negara yang sudah sejak awal resmi memfatwakan Syi’ah sebagai aliran yang sesat. Di Arab Saudi, aliran Syi’ah tidak mendapatkan toleransi sedikit pun. Tidak ada kompromi untuk Syi’ah di sana. Lebih dari itu, pemerintah Saudi sudah menyatakan bahwa aliran Syi’ah terlarang di negaranya. 42 Oleh karena itu, hubungan Iran, yang mayoritas Syi’ah, dengan Arab Saudi tidak pernah harmonis. Bahkan Arab Saudi lebih memilih Amerika sebagai sahabat mulia daripada Iran dan negara-negara Syi’ah lainnya. Pertarungan Iran dan Arab Saudi mendapatkan momentum dalam kasus Suriah. Iran dengan sepenuh hati dan totalitas berdiri di belakang Bashar al-Assad, presiden yang berasal dari kelompok Syi’ah Alawite. Sementara Arab Saudi berada di belakang kelompok oposisi yang terus berupaya menggulingkan rezim Syi’ah yang berkuasa di Suriah. Menurut beberapa analisis, kekesalan Arab Saudi yang selalu gagal menggulingkan 323 rezim Syi’ah di Suriah ini membuatnya mengambil langkah lain dengan menghabisi sayap-sayap gerakan Syi’ah di seluruh dunia, termasuk di Indnonesia. Di Indonesia, Arab Saudi punya banyak kantong- kantong gerakan berupa yayasan atau lembaga pendidikan yang didukungnya dengan suntikan dana yang cukup melimpah. Sayap-sayap gerakan ini tentulah bermanfaat bagi Arab Saudi sebagai pelampiasan dendamnya yang gagal di Suriah dengan menghabisi kelompok sayap gerakan Syi’ah di Indonesia. Jika melihat dari propaganda pendiskreditan ini, seminar dan penerbitan buku yang dibagikan secara gratis tersebut menghabiskan dana dengan nominal yang tinggi. Hal itu tidak bermasalah bagi Arab Saudi yang kaya akan sumber daya alam minyaknya.

42Ardison Muhammad, Iran Sejarah Persia dan Lompatan Masa Depan Negeri Kaum Mullah, h. 113.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 166

Kesimpulan Pendekatan sejarah untuk membaca konflik Syi’ah-Sunni yang kembali hangat pasca Arab Spring, akan terlihat dengan jelas bahwa konflik tersebut lebih banyak diwarnai oleh faktor politik. Hamid Enayat, dalam bukunya, memperkuat pandangan ini dengan mengatakan bahwa pada dasarnya perdebatan Syi’ah-Sunni tidaklah berkaitan dengan ajaran-ajaran pokok agama. Perbedaannya terletak pada perselisihan-perselisihan di antara mazhab-mazhab Kristen, perdebatan ini tidaklah berkaitan dengan sifat Tuhan, atau fungsi para Rasul, atau cara mencapai keselamatan manusia. Perdebatan yang ada hanyalah berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat marjinal dan persoalan- persoalan tersebut, dan bagaimanapun juga tidak berkaitan dengan kewajiban-kewajiban primordial seorang Muslim (shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad). Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, perdebatan tersebut telah bergeser dari pertengkaran mengenai persoalan penerus Nabi Muhammad SAW menjadi perpecahan ritual, teologi, dan hukum yang dapat mempengaruhi keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap dasar tertentu, paling tidak secara tidak langsung.43 Apa yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini adalah konflik politik yang kemudian merambat kepada konflik agama yang dampaknya terasa sampai ke Indonesia.

Referensi Abdul Aziz Sachedina. Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syiah, Bandung: Mizan, 1991. Apriadi Tamburaka. Revolusi Timur Tengah, Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara- negara Timur Tengah, Yogyakarta : Narasi, 2011. Ardison Muhammad. Iran Sejarah Persia dan Lompatan Masa Depan Negeri Kaum Mullah, Surabaya : Penerbit Liris, 2010. Asyrâf al-Jîzâwî. ‘Aqâ’id al-Syî’ah al-Imâmiyyah al-Itsnâ ‘Asyriyyah al-Râfidlah, Mesir : Dâr al- Yaqîn, 2009. Ahmad Sahide. Ketegangan Politik Syi’ah-Sunni di Timur Tengah, Yogyakarta : The Phinisi Press, 2013. Abdul Majid Khon. Pemikiran Modern dalam Sunnah, Jakarta: Kencana, 2011. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009. Ali Ahmad Al-Salus. Ensiklopedia Sunnah Syi’ah Studi Perbandingan Akidah dan Tafsir, Jil, 1, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2011. Erfan Soebahar. Menguak Fakta Keabsahan As-Sunnah, Bogor: Prenada Media, 2003. Hamid Enayat. Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah : Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abd ke-20, Yogyakarta : Pustaka, 1988. Imad Ali Abdus Sami. Penghianatan-penghianatan Syi’ah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat Islam, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006. Kompas, Dari Riyadh Ke Tel Aviv, Edisi 25 April 2013.

43Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, h. 31.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam || Liwaul Dakwah: Volume 10, No. 1 Januari – Juni 2020 167

Lesley Hazleton. After The Prophet Kisah Lengkap Perpecahan Sunni-Syi’ah, Yogyakarta : IRCiSoD, 2018. Mahmoud M. Ayoub. The Crisis of Muslim History : Akar-akar Krisis Politik Dalam Sejarah Muslim, Terj. Munir A. Mun’im, Bandung : Mizan, 2004. M. Quraish Shihab. Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Tangerang : Lentera Hati, 2014. M. Muttaqien. Arab Spring: Dimensi Domestik, Regional dan Global, Jurnal: Departemen Hubungan Internasional Fisip Universitas Aairlangga, Th. 9, No. 2, Diakses Pada 03 Des 2018. M. Riza Sihbudi. Bara Timur Tengah, Islam, Dunia Arab, Iran, Bandung : Mizan, 1991...... Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta : Gema Pustaka Utama, 1996. Mumtaz Ahmad. Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung : Mizan, 1996. Miftah Rakhmat. Catatan Kang Jalal : Visi Media, Politik dan Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998. Moh. Hasim. Syi’ah : Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia, Jurnal “Analisa” No. 2, Vol. XIX. Noor Maulana. Revolusi Islam Iran dan Realisasi Vilayat-1 Faqih, Yogyakarta : Publication Study Club, 2003. Philip K. Hitti. History of The Arabs, Jakarta : Serambi, 2006. S. Imaduddin. A Political History of Muslim Spain, Dhaka : Najmah, 1969. Sirajuddin Abbas. I’itiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta : Putaka Tarbiyah, 1998. Syarafuddin Al-Masawi. Dialog Sunnah-Syi’ah, Bandung : Mizan, 2008. Trias Kuncahyono. Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir, Jakarta : Kompas, 2013. Umar Nahdi. Sejarah Umat Islam Tsaqifah Bani Sa’îdah, Jakarta : Obor, 1988. http://www.rausyanfikr.org/2013/09/profil-rausyanfikr-institute.html. Di akses pada 4 Des 2018, Pukul 22.50 WIB.

|| Liwaul Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Masyarakat Islam ||