Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010

Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah

Rakhmat Hidayat Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri (UNJ)

Abtsrak: Penelitian ini ingin menjelaskan perubahan sosial yang mengakibatkan dipindahkannyanya Cagar Budaya Betawi dari Condet ke Srengseng Sawah. Menggunakan perspektif perubahan sosial, dengan jelas tergambarkan bahwa Condet mengalami transformasi sosial, ekonomi dan kebudayaan. Perubahan sosial yang terjadi di Condet tidak bisa dilepaskan dari struktur Jakarta sebagai pusat kekuasaan. Srengseng Sawah merupakan kawasan yang masih terjaga lingkungannya, yaitu lingkungan yang sejuk, asri dan cukup rindang dengan pepohonan. Daerah ini dipilih sebagai perkampungan budaya Betawi karena masih memiliki budaya Betawi sebagai ciri khasnya. Hal tersebut ditandai dengan masih bertahannya rumah-rumah panggung berarsitektur khas Betawi. Selain itu, masih bertahan juga makanan khas maupun aksesoris khas Betawi. Faktor lainnya karena Srengseng Sawah dianggap memiliki potensi untuk mengembangan pariwisata budaya (cultural tourism).

Kata Kunci: Komunitas Betawi, Kebudayaan, Perubahan Sosial, Urbanisasi.

Abtsract: This study will explain the social changes as a resulted of moved Betawi Cultural Area to Srengseng Sawah. By using the perspective of social change, clearly reflected that Condet transformed the social, economic and cultural. Social changes in Condet not be separated from the structure of Jakarta as a center of power. Srengseng Sawah is the area that still maintained its environment, a cool environment, beautiful and quite shady with trees. Srengseng Sawah chosen as the Township Betawi of Culture because they still have the Betawi culture as his trademark. It is characterized by the persistence of the homes still using typical stage Betawi. Also, still survive Betawi‘s food and many accessories of Betawi. Other factors because Srengseng Sawah is considered to have potential to develop cultural tourism.

Keywords: Betawi Culture, Culture, Social Change, Urbanization

Pendahuluan ketimpangan di masyarakat Condet. Dalam Dalam pembangunan Jakarta, Condet selalu konteks itulah tulisan ini ingin menjelaskan menjadi bahan pembicaraan yang selalu menarik hendak mengkaji perubahan social dibalik untuk dikaji dari berbagai aspek. Pertama, dipindahkannya perkampungan budaya Betawi pembicaraan tentang Condet selalu menarik pada dari Condet ke ke Srengseng Sawah. Perpindahan saat DKI Jakarta memiliki Gubernur baru, yaitu ini tentu saja terkandung berbagai aspek yang komitmen dan konsen setiap Gubernur DKI baru tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial yang terhadap Condet. Kedua, di kalangan aktivis dan terjadi di Condet. pengamat lingkungan, Condet selalu menarik Sebagai bagian yang terintegrasi dari struktur untuk dikaji seiring dengan berbagai problem sosial, politik dan ekonomi Jakarta, Condet lingkungan yang belakangan sering terjadi di menjadi keniscayaan ketika harus terkorporasi Condet, misalnya Kali Ciliwung yang semakin kotor dalam pembangunan Jakarta. Pertumbuhan maupun banjir yang sering terjadi di beberapa ekonomi berlangsung secara cepat di Jakarta. kawasan di Condet. Ketiga, dalam konteks sosio- Sebagai kota yang mewakili kota-kota besar di kultural, Condet merupakan representasi dari belahan dunia, pertumbuhan ekonomi dilihat transformasi sosio-kultural yang berlangsung dengan beberapa indikator seperti industrialisasi lama dan semakin menunjukkan adanya dan komersialisasi di kota-kota besar. Implikasinya,

560 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah adalah terjadi urbanisasi (Evers, 1986). pungan Betawi dipindahkan ke Setu Babakan, Pertumbuhan ekonomi tidak dapat dirasakan Kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta oleh seluruh warga kota-kota besar, dalam hal ini Selatan pada saat menjadi Gubernur DKI termasuk warga Jakarta. Realitas yang terjadi Jakarta. Dalam konteks inilah, menarik untuk memang menunjukkan dualisme. Studi McGee mengkaji lebih mendalam pemilihan Setu Babakan (1971) tampaknya mendukung tesis tersebut. sebagai perkampungan Betawi. Dipertahan- Analisa Mc Gee menjelaskan adanya dua kannya komunitas Betawi merupakan upaya kecenderungan yang menjadi ciri khas di negara- berkesinambungan dalam mempertahankan negara berkembang. Pertama, kota-kota di komunitas lokal dalam pembangunan yang negara berkembang telah membesar secara berlangsung di Jakarta. Komunitas Betawi dalam sangat mengesankan. Kedua, pertumbuhan kota konteks sosio-historis memiliki peran penting di negara-negara berkembang tidak disertai yang tidak dapat diabaikan kontribusinya. dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang Permasalahan penelitian dijabarkan dalam memadai guna memberikan kesempatan kerja pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1) Bagaimana bagi penduduknya yang tumbuh dengan cepat perubahan sosial yang terjadi di Condet yang yang disertai dengan migrasi. mengakibatkan tidak dilanjutkannnya perkam- Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini pungan budaya Betawi? dan 2) Apakah yang Jakarta diserbu oleh para pendatang pribumi dan menyebabkan kawasan Srengseng Sawah dipilih mancanegara yang bermigrasi ke Jakarta. menjadi kawasan Perkampungan Budaya Betawi? Fenomena ini oleh Evers (1986:56) disebut Berdasarkan permasalahan maka penelitian dengan ”transplosi‘, yaitu suatu perluasan ini bertujuan untuk mengetahui: 1) perubahan mendadak dari masyarakat kota yang memiliki sosial yang terjadi di Condet yang mengakibatkan andil merombak citra kota dan masyarakat secara dipindahnya perkampungan budaya Betawi ke besar-besaran. Namun demikian, membludaknya Srengseng Sawah dan 2) faktor-faktor yang kaum pendatang yang membanjiri Jakarta harus menyebabkan dipindahkannya perkampungan dibayar mahal. Pasalnya, komunitas Betawi budaya Betawi dari Condet ke Srengseng Sawah, sebagai kelompok masyarakat asli Jakarta Jakarta Selatan. eksistensinya kian terancam. Perlahan-lahan, komunitas Betawi terus menurun drastis. Tuntutan Kajian Literatur pembangunan kota Jakarta menyebabkan Definisi Perubahan Sosial semakin tergusurnya kawasan-kawasan yang Perubahan sosial merupakan gejala perubahan selama ini dikenal dengan kawasan Betawi asli. dari suatu keadaan sosial tertentu ke keadaan Untuk mempertahankan komunitas Betawi sosial lain. Karena itu perubahan sosial pasti asli ditetapkanlah Condet sebagai kawasan memiliki suatu arah dan tujuan tertentu. perkampungan Betawi pada masa kepemimpinan Perubahan sosial dapat suatu kemajuan sebagai Gubernur DKI Jakarta. (progress) atau sebaliknya dapat berupa suatu Keputusan tersebut dituangkan melalui SK No DI- kemunduran (regress). Perubahan-perubahan 7903/a/30/1975. Hal ini beralasan mengingat yang terjadi dalam masyarakat menimbulkan Condet dikenal sebagai penghasil buah-buahan kesesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada seperti duku dan salak. Bahkan, sebelum duku dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan- Palembang ada, duku Condet dikirim ke seluruh perubahan sosial akan mengubah struktur dan pelosok tanah air termasuk Palembang. fungsi dari unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Dalam perjalanannya, Condet terus meng- Dengan demikian, perubahan sosial dalam alami perubahan. Berbagai macam perubahan masyarakat mengandung pengertian ketidak- baik sosial, budaya maupun ekonomi terjadi di sesuaian diantara unsur-unsur sosial yang saling daerah ini. Faktor lain yang berpengaruh juga berbeda dalam masyarakat sehingga meng- adalah kebijakan pemerintah DKI Jakarta hasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi terhadap wilayah Condet. Salah satunya adalah fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. kebijakan dipindahkannya kawasan perkam-

561 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010

Kingsley Davis dalam (Sztompka, 2005:56) Definisi kota juga mendapat perhatian besar mendefinisikan perubahan sosial sebagai dari beberapa tokoh sosiologi klasik seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur Durkheim, Weber, Marx (Saunders, 1989:13). dan fungsi masyarakat. Definisi ini dapat Durkheim melihat kota sebagai hunian masyarakat ditegaskan bahwa dalam perubahan sosial dan yang ditandai oleh solidaritas organik, yaitu suatu sistem sosialnya. Struktur sosial merupakan ikatan yang muncul karena adanya differensiasi bentuk jalinan jaringan hubungan antarindividu (perbedaan) pekerjaan atau division of labour para dalam masyarakat dimana terjalin interaksi, penghuninya. Senada dengan Durkheim, Marx interealism dan komunikasi sosial. Sedangkan (Saunders, 1989:15, Susser, 2002:45) meng- sistem sosial menunjuk pada bagaimana anggap kota sebagai hunian manusia yang hubungan antara unsur-unsur sosial dalam ditandai oleh bentuk yang paling nyata dari mode masyarakat sehingga membentuk kebulatan yang of production kapitalis. Banyaknya pabrik milik kaum berfungsi. borjouis, kaum proletar yang bekerja di pabrik, dan pola hubungan kaum proletar dengan borjuis Definisi Kota yang eksploitatif, merupakan sebagian ciri suatu Sejak abad ke-19, persoalan yang dihadapi kota kegiatan sosial ekonomi kapitalis yang tumbuh di Jakarta adalah masalah pertambahan penduduk. kota. Pada saat itu bertambahnya penduduk Jakarta lebih disebabkan oleh banyaknya orang-orang Definisi Urbanisasi Belanda berdatangan ke (Saidi, Pertumbuhan Jakarta seperti yang terjadi saat ini 1996:350, Syuaib, 1996:366). Persoalan sebenarnya tak dapat dipisahkan dari fenomena pertambahan penduduk hanyalah salah satu urbanisasi. Urbanisasi dapat dipahami sebagai dampak yang dihadapi oleh sebuah kota. Hal yang proses pembentukan kota, yaitu suatu proses sama sebenarnya dialami oleh berbagai kota di yang digerakkan oleh perubahan-perubahan negera-negara dunia ketiga. struktural dalam masyarakat sehingga daerah- Menurut Harris and Ullman dalam Nas (1979) daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan menjelaskan kota sebagai fenomena yang dengan struktur mata pencarian yang agraris paradoks. Pertumbuhannya yang cepat dan maupun sifat kehidupan masyarakatnya lambat luasnya kota-kota menunjukkan cara yang unggul laun atau melalui proses yang mendadak untuk mengeksploitasi bumi. Tetapi di lain pihak, memperoleh sifat kehidupan kota (Nas, 1979:42). justru berkat sukses eksploitasi ini yang berakibat Urbanisasi merupakan salah satu proses yang meluasnya daerah, ternyata kota-kota malahan tercepat di antara perubahan-perubahan sosial merupakan suatu lingkungan yang miskin bagi di seluruh dunia. Tidak salah jika urbanisasi manusia. merupakan pra kondisi untuk modernisasi dan Dengan demikian kota menjadi istilah sentral pembangunan (Evers, 1986:49). Raharjo dalam penelitian ini. Ada berbagai definisi tentang (1983:60) menekankan pengertian urbanisasi kota dari berbagai tokoh. Menurut David dan Jary tidak jauh berbeda dengan konsep akulturasi, (1991), kota dijelaskan sebagai : diffusi, asimilasi dan amalgasi. Proses urbanisasi —an inhabited placxe which is differentiated from tidak hanya proses diffusi kebudayaan kota ke a town or village by its greater size and by the desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu range of activities practiced within its sendiri. boundaries, usually religious, military political, Hal itu pula yang terjadi pada masyarakat economic, educational and cultural“. Betawi yang semakin memudar baik dari segi Secara bebas, kota dapat didefinisikan eksistensinya maupun kebudayaannya. Melon- sebagai kawasan hunian yang relatif besar, jaknya urbanisasi di perkotaan berakibat lebih sehingga dapat dibedakan dengan kampung atau luas lagi, akibatnya terjadi apa yang disebut kota kecil, serta terdapat aktivitas yang relatif sebagai urbanisasi berlebih (overurbanization) beragam di bidang ekonomi, kebudayaan, yaitu suatu keadaan tidak mampunya kota-kota keagamaan, pendidikan, dan politik. menyediakan fasilitas pelayanan pokok dan

562 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah kesempatan kerja yang memadai untuk penduduk penduduk Jakarta pendatang dan separuh sisanya yang bertambah dengan pesat (Manning dan adalah penduduk asli (Betawi). Komunitas Betawi Effendi, 1996:8) merupakan komunitas yang multi etnik, bahkan Konsep overurbanized pertama kali diung- keanekaragaman itu telah ada sejak ratusan kapkan oleh K. Davis dan H. Herz Golden dalam tahun yang lalu. Nas (1979:53). Mereka menyatakan bahwa ada Shahab (1994) mengkategorisasikan komuni- hubungan yang pararel antara tingkat urbanisasi tas Betawi menjadi tiga hal berdasarkan variasi dan tingkat perkembangan ekonomi. Dengan kata dialek Bahasa Betawi, yaitu Betawi Tengah, lain, persentasi penduduk kota yang sangat besar Betawi Udik, dan Betawi Pinggir. Dalam konteks tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi yang kebih luas untuk melacak siapa yang disebut negara dalam hal ini tersedianya lapangan sebagai komunitas Betawi dapat menggunakan pekerjaan. aspek lainnya misalnya warisan budaya, sejarah Proses pengkotaan di Jakarta juga di- dan bahasa. Mengacu pada penjelasan ini, yang pengaruhi oleh kebijakan berdasarkan urban bias dimaksud dengan orang Betawi adalah mereka yaitu kebijakan-kebijakan yang cenderung yang memiliki darah Betawi serta berbahasa dan mengutamakan kota. Kebijakan ini hanya akan berbudaya Betawi. memperlebar jurang pendapatan antara kota dan Dilihat dari kesukubangsaan, orang Betawi desa (Schwab, 1992:36). Hal tersebut antara lain yang merupakan sebutan bagi penduduk asli dan dilakukan dengan pembangunan pusat-pusat berdiam di Jakarta memiliki latar belakang sejarah komersil (seperti mal, apartemen, hotel, lapangan yang telah melewati rentang waktu yang cukup golf, dan sebagainya) secara gencar di wilayah panjang. Lebih kurang 420 tahun yang lalu perkotaan tanpa memperhatikan pengembangan masyarakat Jakarta atau Betawi dan sekitarnya daerah penyangga, dalam hal ini adalah daerah- banyak mengalami perubahan (Alamsyah, et.al, daerah pedesaan. Risikonya kebijakan tersebut 2004:8). Proses sosial ini adalah hasil pembauran akan terus mendorong tetap berlangsungnya dari berbagai unsur budaya berbagai bangsa dan tingkat migrasi yang tinggi meskipun pengang- suku bangsa yang berasal dari berbagai daerah guran di kota (Jakarta) terus meningkat. di Indonesia. Keadaan Jakarta tersebut di atas telah Komunitas Betawi memungkinkan kota ini menjadi arena tempat Komunitas merupakan suatu unit sosial yang pembauran bangsa antara berbagai bangsa yang penting yang secara sosiologi dapat menjadi ada di Indonesia dan berbagai bangsa di dunia. penentu keberhasilan pembangunan sosial di Mereka datang dengan berbagai alasan dan perkotaan (Sunarto, 2000:133). Komunitas juga berbagai kepentingan. Semua pihak itu datang merupakan sekelompok orang yang tinggal dan dengan latar belakang kebudayaan yang menetap bersama dalam suatu wilayah tertentu beranekaragam. Pembauran itu telah meng- dengan ciri-ciri sebagian besar warganya terdiri hasilkan suatu kebudayaan baru bagi penghuni atas orang Betawi. Definisi ini menunjukkan bahwa Jakarta yang kemudian dikenal sebagai orang community atau masyarakat setempat merupakan Betawi. Nama Betawi berasal dari kata Batavia kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan atas sesudah Belanda (Jan Pieterszoon Coen) datang dasar wilayah yang tidak mempunyai kepentingan- di Indonesia pada tanggal 30 Mei 1619. Dahulu kepentingan yang khusus/tertentu (Soekanto, namanya Sunda Kelapa, kemudian berubah 2002:114). menjadi Betawi. Di zaman kemerdekaan Indonesia Istilah komunitas sendiri merupakan salah disebut Jakarta. Jadi sejak tahun 1527 sampai satu konsep pokok yang sering dijumpai dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jakarta telah kajian perkotaan. Definisi yang lebih tegas mengalami beberapa kali perubahan nama dari diungkapkan oleh Polin dalam Nas (1979:38) yaitu Sunda Kelapa menjadi Jakarta (Alamsyah, et.al, masyarakat lokal yang dibentuk atas dasar ikatan 2004:8). yang kuat dan memiliki identitas yang sama. Menurut Surjomihardjo (1973) separuh dari

563 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010

Definisi Perkampungan Budaya Betawi daerah ini juga sering diselenggarakan acara Perkampungan Budaya Betawi merupakan keseniah daerah Betawi seperti Tari Cokek, Tari sebuah tempat dimana dijadikan sebagai kawasan Topeng, Lenong dan Ondel-ondel pada panggung terpadu pelestarian dan pengembangan budaya terbuka setiap hari Sabtu dan Minggu (Alamsyah, Betawi. Di tempat ini seluruh kehidupan didesain et.al, 2004:45). Pada acara ini biasanya dalam suasana budaya Betawi, mulai dari rumah, pengunjungpun dapat ikut berinteraksi dalam bahasa maupun berbagai acara kesenian. pelaksanaan acara-acara tersebut, seperti ikut Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI menari atau mengomentari para pemain lenong Jakarta Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penetapan yang sedang beraksi. Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan mendefinisikan Definisi Budaya dan Budaya Betawi Perkampungan Budaya Betawi sebagai suatu Kebudayaan (culture) adalah produk dari seluruh kawasan di Jakarta dengan komunitas yang rangkaian proses social yang dijalankan oleh ditumbuhkembangkan budaya Betawi yang manusia dalam masyarakat degan segala meliputi seluruh hasil gagasan dan karya baik fisik aktivitasnya. Dengan demikian, maka kebudayaan maupun non fisik yaitu kesenian, adat istiadat, adalah hasil nyata dari sebuah proses yang folklor kesastraan dan kebahasaan, kesejarahan dijalankan oleh manusia bersama masyarakatnya. serta bangunan yang bercirikan kebetawian. Menurut Koentjaraningrat (1997), culture Jakarta pernah memiliki perkampungan mempunyai kesamaan arti dengan kebudayaan Betawi yaitu Condet. Condet ditetapkan pada era yang artinya mengolah atau mengerjakan yaitu kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI mengolah tanah atau bertani. Culture diartikan Jakarta, tepatnya tahun 1974. Pemerintah Provinsi sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan (SK) mengolah dan mengubah alam. Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April Menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman 1974 tentang Penetapan Condet sebagai Soemardi bahwa kebudayaan sebagai semua hasil Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sedangkan E.B Kemudian disusul SK Gubernur No D.I-7903/a/30/ Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan 75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur Ali merupakan totalitas pengalaman manusia yang Sadikin kembali menetapkan Condet sebagai mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, Daerah Buah-buahan. moral, hukum, adat istiadat dan kapabilitas serta Namun demikian, dalam perkembangannya kebiasaan-kebiasaan lain yang dimiliki oleh lokasi tersebut dipindahkan ke Srengseng Sawah manusia sebagai anggota masyarakat. pada tahun 2004. Daerah ini dijadikan Pusat Per- C Kluckholn menghimpun dan menerbitkan kampungan Betawi bersamaan dengan HUT DKI kembali 164 definisi kebudayaan yang dike- yang ke-474 dikarenakan masih banyaknya per- lompokan menjadi enam: deskriptiif, historical, kampungan Betawi asli di daerah ini. Daerah cagar normatif, psikologis, struktural, dan genetik budaya ini meliputi 165 hektar, terdiri dari Kebun (Saifuddin, 2006 : 83). Melalui Universal Categories Rakyat, perkampungan masyarakat betawi serta of Culture, Kluckholn merumuskan 7 unsur kedua danau yang mengapit perkampungan ini. kebudayaan yang universal, yaitu: a) Sistem Masyarakat di wilayah ini mengembangkan Teknologi yaitu peralatan dan perlengkapan hidup usaha pertanian dan perikanan sekaligus manusia; b) Sistem mata pencaharian hidup dan membantu dalam usaha penghijauan wilayah Situ system-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, Babakan. Selain itu di daerah ini dapat disaksikan system produksi, dan lainnya); c) Sistem pula keseharian masyarakat setempat seperti kemasyarakatan (kekerabatan, organisasi politik, budidaya ikan dalam keramba yang terdapat di dll); d) Bahasa (lisan dan tulisan); e) Kesenian sepanjang pinggiran situ, pemancingan, bercocok (seni rupa, sauara, gerak, dsb); f) Sistem tanam, perdagangan, pembuatan kerajinan pengetahuan; dan g) Religi (Sistem kepercayaan) tangan serta pembuatan makanan khas Betawi Sedangkan Melvile J Herrsovits (Soekanto, seperti dodol Betawi dan Bir pletok. Selain itu di 2002:175) mengajukan 4 unsur pokok kebu-

564 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah dayaan yakni: 1) Alat-alat teknologi; 2) Sistem maupun Srengseng Sawah. ekonomi; 3) Keluarga; dan 4) Kekuasaan Politik. Lokasi Penelitian Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Srengseng Pendekatan Penelitian Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang sudah dijadikan sebagai Perkampungan kualitatif (Travers, 2001:9-10; Newman, 1994:62). Budaya Betawi. Namun demikian untuk menjawab Pendekatan kualitatif memfokuskan telaahnya pertanyaan penelitian, lokasi penelitian juga pada makna-makna subyektif, pengertian- dilakukan di kawasan Condet khususnya di pengertian, metafor-metafor, simbol-simbol, dan Kelurahan Bale Kambang, Jakarta Timur. Dipilihnya deskripsi-deskripsi ihwal suatu kasus spesifik Kelurahan Bale Kambang karena sejak Condet yang hendak diteliti. Pendekatan ini dipilih agar dijadikan cagar budaya pada saat Ali Sadikin studi ini memperoleh gambaran detail dan men- menjadi Gubernur merupakan pusat kawasan dalam informasi mengenai suatu gejala sosial cagar budaya dan cagar buah-buahan khas tertentu yang bersifat fenomenologis. Dalam studi, Jakarta. Hal dimaksudkan untuk menjelaskan pendekatan kualitatif berupaya mendapatkan dipindahkannya perkampungan budaya Betawi penjelasan yang mendalam tentang dipilihnya dari Condet ke Srengseng Sawah. Penelitian ini Srengseng Sawah sebagai Perkampungan Budaya berlangsung sejak bulan Desember 2005 hingga Betawi. Februari 2006. Penelitian di lapangan dilakukan Penelitian ini berusaha memperoleh kejelasan selama dua bulan mulai Desember 2005 hingga mengenai perubahan sosial yang terjadi di Condet Januari 2006. Proses penulisan laporan penelitian yang menyebabkan terjadi perpindahan berlangsung selama Februari 2006 pengembangan perkampungan budaya Betawi ke Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Oleh karena Hasil Penelitian dan Pembahasan itu, pendekatan kualitatif relevan digunakan dalam Perubahan Sosial di Condet penelitian ini karena bertujuan untuk memperoleh Saat ini Condet mengalami perubahan sosial yang pemahaman (insight) yang menyeluruh (whole) sangat dinamis dalam berbagai aspek. Condet dan tuntas (exhaustive) mengenai struktur- yang dulu berbeda dengan Condet hari ini. Pada struktur yang ada. tahun 1970-an Condet memiliki berbagai prestasi dan sejarah yang khas. Secara fisik, Condet sudah Teknik Pengumpulan Data berubah. Salah satu yang masih bertahan adalah Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data beberapa tokoh masyarakat Condet yang masih yang digunakan meliputi: 1) Studi pustaka yang hidup yang sempat menjadi saksi bagaimana dilakukan sejak penyusunan proposal sampai Condet dijadikan sebagai cagar budaya dan cagar dengan laporan hasil penelitian. Teknik ini buah-buahan. merupakan data primer dalam menganalisa tema Condet yang ditetapkan Gubernur Ali Sadikin yang dibahas. Berbagai pustaka yang akan sebagai cagar budaya dan cagar buah-buahan dianalisa dalam studi ini yaitu hasil penelitian yang sejak 1978 boleh dikata gagal. Warga Betawi yang berhubungan dengan Condet dan komunitas dahulu mayoritas di Kawasan Kramat jati, Jakarta Betawi. Selain itu, data sekunder juga meliputi Timur, sudah banyak yang pindah atau makin gambaran umum mengenai Condet dan Srengseng terdesak ke pinggiran. Sementara kebun dan Sawah seperti keadaan geografi dan demografi, pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata struktur okupasi, dan sebagainya; 2) Observasi tidak tertembus sinar matahari karena rimbunnya, dilakukan dengan cara pengamatan secara kini berganti menjadi rumah-rumah, kontrakan dan terbuka yaitu mengamati berbagai gejala, tempat-tempat perkantoran Pusat Jasa Tenaga perilaku, perubahan fisik yang terjadi di Kerja Indonesia (PJTKI). (masyarakat) Condet dan Srengseng Sawah; dan Pada saat Condet dijadikan cagar buah- 3) Wawancara dilakukan dengan beberapa buahan, setiap kepala keluarga pasti memiliki masyarakat dan tokoh masyarakat di Condet lahan untuk menanam buah duku atau buah salak.

565 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010

Menurut salah satu informan penelitian, Haji Mat Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang Zakap (72 tahun) yang peneliti wawancarai penyusunan konsep pelaksanaan daerah Condet mengatakan bahwa setiap warga yang memiliki sebagai daerah buah-buahan. Pada tahun 1986, rumah 500 meter persegi, tanah tersebut terbit Instruksi Gubernur No 19/1986 tentang dialokasikan 100 meter persegi untuk bangunan status quo pengembangan kawasan Condet. Pada rumah sisanya untuk penghijauan di antaranya tahun yang sama, dikeluarkan Instruksi Gubernur ditanami pohon buah-buahan seperti salak, duku, No 227/1986 tentang pencabutan status quo. melinjo, duren, manggis atau mangga. Tidak salah, Isinya agar setiap kegiatan pembangunan jika mengapa Condet dulu dikenal sebagai disesuaikan dengan konsep pengembangan pemasok buah-buahan terkenal di tanah air Condet. Gagal menjadikan Condet sebagai cagar khususnya buah duku dan salak karena hampir budaya, Sutiyoso menetapkan Srengseng Sawah setiap rumah terdapat pohon buah-buahan. sebagai Perkampungan Budaya Betawi melalui Ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI pada Perda No 3 Tahun 2005 tentang Penetapan tahun 1966-1977 perhatian terhadap Condet Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan boleh dikata sangat besar. Hal itu dibuktikan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta tersedianya anggaran untuk melestarikan budaya Timur. Perda tersebut ditetapkan pada 10 Maret Betawi di Condet. Setiap rumah Betawi diberi 2005. dana rehabilitasi dan pemeliharaan terutama Perubahan yang terjadi di Condet, meminjam untuk lantai dasar rumahnya sebesar Rp 30.000 perspektif Wallerstein dalam Smith dan Feagin per bulan. Sayang, pendanaan itu hanya berjalan (1987:37) mengalami apa yang disebut singkat seiring dengan pergantian gubernur. pheriperalization yaitu transformasi lebih lanjut Perhatian Ali Sadikin untuk mempertahankan kehidupan sehari-hari penduduk setempat yang keaslian (genuine) komunitas Betawi melalui bersifat baru seperti pola pikir, cara berperilaku, Condet boleh dikatakan sebagai kebijakan yang perubahan institusi, maupun perubahan sangat positif. Padahal, bersamaan Condet pemukiman. Proses peminggiran dan perubahan ditetapkan sebagai cagar budaya, Jakarta sedang tersebut sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari mengalami pembangunan yang gencar, yaitu pengaruh ekonomi global yang terjadi di berbagai berlangsung sejak akhir 1960-an dan awal 1970- kota besar seperti halnya Jakarta. Tambora, an (Jellinek, 1984:1-2). Studi Jellinek meng- Jakarta Barat. gambarkan terjadinya simbiotis antara kampung Menurut Alwi Shahab dalam Ramelan (1977) dan kota. Menurutnya, berbagai kekuatan menganalisa pada tahun 1950-an penduduk perubahan di Jakarta terus bergerak dengan Pekojan hampir 95 persen masih keturunan Arab. cepat seiring dengan modernisasi yang justru Perlahan-lahan mereka mulai terdesak dengan mengancam keberadaan kampung-kampung. kehadiran warga pendatang di daerah mereka. Apalagi, kebijakan tersebut dilakukan dengan Beberapa penduduk Pekojan mulai mencari penggusuran besar-besaran terhadap kampung- tempat-tempat yang dianggap lebih nyaman. kampung kumuh yang dianggap merusak dan Daerah-daerah baru tersebut diantaranya adalah mengganggu pembangunan kota. Ali Sadikin Condet, Jatinegara, dan Tanah Abang. Tujuan tampaknya berupaya mengakomodasi ke- mereka mencari daerah-daerah tersebut pentingan lokal dibanding nasional. Asvi Warman sebenarnya tidak lain untuk mengembangkan Adam dalam Herlambang (2006:x;xii) menyebut usaha bisnis yaitu Penyalur Jasa Tenaga Kerja orientasi politik yang dilakukan Ali Sadikin dengan Indonesia (PJTKI) yang dikelola oleh warga istilah ”politik (mikro) kota‘. Bahkan, Asvi keturunan Arab. membandingkan Ali Sadikin dengan MH Thamrin Setelah itu di Condet menjamur kantor-kantor yang mengembangkan program perbaikan PJTKI yang dilengkapi juga dengan asrama kampung (kampung verbetering) penampungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Condet pasca kepemimpinan Ali Sadikin terus Tenaga Kerja Wanita (TKW). Kebanyakan TKI dan berubah. Pada saat kepemimpinan Gubernur TKW tersebut berasal dari daerah-daerah Pantai Soeprapto mengeluarkan Instruksi Gubernur DKI Utara (Pantura) Jawa seperti Subang, Indramayu,

566 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah

Karawang, Brebes, Tegal, Pekalongan, Pemalang, sepuluh rumah yang tua agar direnovasi dan biaya dan Cirebon. Mereka banyak diberangkatkan ke pemeliharaan dengan tidak merubah arsitektur negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, rumah lama (Ramelan, 1977:38). Yordania, Mesir, Yaman. Negara-negara tetangga Kehadiran warga keturunan Arab dari Pekojan seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura ke Condet mengakibatkan berkembangnya juga menjadi incaran para TKW dan TKI. Sebelum sumber ekonomi baru di luar pertanian. Umumnya berangkat ke negara tujuannya, mereka pergeseran itu dilakukan dengan cara mem- diharuskan tinggal di tempat penampungan/ perluas atau memperbanyak aktivitas ekonomi asrama yang sudah disediakan oleh penyalurnya mereka ke luar usaha tani (off-farm). Warga selama beberapa bulan atau beberapa minggu keturunan Arab yang datang ke Condet tentu saja untuk dibekali keterampilan maupun bahasa. membutuhkan kantor, asrama/tempat penam- Tidak sedikit PJTKI yang mengambil jalan pungan TKW dan TKI atau juga digunakan sendiri pintas, tanpa memberikan bekal yang cukup untuk tempat tinggal mereka. Banyak kebun kepada TKW dan TKI. Namun demikian dalam pertanian milik warga dijual kepada warga sejarah masyarakat Condet, menurut salah pendatang. Masyarakat Condet pun banyak yang seorang warga Bale Kambang yang bernama tergiur menjual tanah dan kebunnya kepada Dudung, pernah ada satu orang warga Condet warga keturunan Arab. Salah satu faktor yang yang menjadi TKW ke Arab Saudi menjadi tukang menyebabkan itu terjadi karena warga jahit. Dudung yang sehari-hari menjadi tukang ojek penghasilan yang mereka andalkan dari usaha dan tinggal di Jalan Munggang, warga Condet tani buah-buahan tidak lagi menjanjikan. yang menjadi TKW tersebut karena terpaksa. Akibatnya, perlahan-lahan kebun buah-buahan Perubahan Condet juga ditunjukkan dengan yang hampir tersedia di setiap rumah mulai tercemarnya kali Ciliwung yang mengaliri kawasan berkurang. Condet. Hal itu disebabkan karena bermunculan Sisi sebaliknya mulai muncul kantor-kantor pabrik plastik di sekitar kali Ciliwung. Sampah- PJTKI, tempat penampungan TKI dan TKW. sampah plastik mencemari kali Ciliwung. Menurut Fenomena baru muncul di Condet, mulai Haji Mat Zakap (72 tahun) pabrik-pabrik plastik berkembang kontrakan dengan model kos-kosan itu memproduksi limbah industri yang sulit hancur. (hanya 1 kamar, kamar mandi terpisah dan Haji Mat Zakap mengatakan : digunakan secara kolektif), atau ada juga ”model —Sebelum marak berdiri pabrik-pabrik plastik, paviliun‘, yaitu rumah kecil yang terdiri atas rumah warga yang tinggal di bantaran kali Ciliwung tamu, 1 kamar tidur, dapur dan kamar mandi. sangat nyaman dan diuntungkan dengan Sebagian orang lazim menyebutnya dengan keberadaan kali Ciliwung. Dulu, masyarakat ”rumah petak‘. Rumah kontrakan tersebut banyak sehari-hari menggunakan air kali Ciliwung dimiliki oleh warga Condet yang memanfaatkan untuk mandi, minum, dan mencuci pakaian. kebun buah-buahan yang dimilikinya. Maka tidak Sekarang, jik air itu digunakan untuk mandi, heran, saat ini di sepanjang Condet bermunculan dan mencuci pakaian, tangan dan kaki akan kontrakan-kontrakan yang banyak dihuni oleh gatal-gatal“ warga pendatang, sebagian juga oleh karyawan- Perubahan di Condet juga diperlihatkan karyawan PJTKI. Satu hal yang tak dapat dengan semakin menghilangnya rumah-rumah- dipisahkan adalah keberadaan Pusat Grosir rumah Betawi. Menurut Ramelan (1977:38) yang Cililitan (PGC) yang baru dibangun beberapa tahun dimaksud rumah Betawi yang dahulu di- terakhir memberikan pengaruh bagi masyarakat kembangkan di Condet adalah rumah yang Condet, banyak karyawan-karyawan PGC yang berlantaikan tanah, berdinding bambu, mengontrak di kawasan Condet karena jarak yang beratapkan genting, serambi muka terbuka. Pada tak terlalu jauh dengan tempat kerja mereka. saat Condet ditetapkan sebagai cagar budaya, Menjamurnya bisnis kontrakan dan kantor PJTKI Pemerintah DKI Jakarta memberi perhatian tentu saja menyebabkan semakin berkurangnya khusus kepada rumah Betawi dengan memberikan secara drastis kebun buah-buahan yang selama bantuan dana sebesar Rp 2.000.000 untuk ini menjadi ciri khas Condet.

567 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010

Faktor lain mengapa warga Condet menjual Meskipun jumlah tukang ojek yang ada di gang- tanahnya kepada warga pendatang adalah gang kecil tersebut tak sebanyak dengan karena kemajuan pemikiran masyarakat saat itu. pangkalan ojek yang mangkal di pertigaan atau Pada tahun 1980-an, pemikiran warga Condet perempatan jalan raya. Saat ini menjadi tukang mulai maju yang ditandai dengan banyaknya ojek menjadi pilihan profesi yang relatif tidak sulit, warga Condet yang ingin menyekolahkan apalagi dengan fasilitas kredit motor yang mudah, anaknya minimal SMA. Oleh karena itu, mereka setiap orang dapat memiliki motor dengan mudah. membutuhkan biaya besar, sedangkan hasil Keberadaan tukang ojek di kawasan Bale pertanian tidak mencukupi. Warga Condet banyak Kambang khususnya maupun Condet umumnya yang menjual tanah ke warga pendatang. diuntungkan dengan aktivitas karyawan PJTKI Kemajuan pemikiran tidak dapat dipisahkan dari yang merupakan salah satu konsumen utama kemampuan pendidikan seseorang. Roda tukang ojek. perubahan sosial di Condet tampaknya terus Keterkaitan masyarakat Condet dengan berputar. Macionis seperti dikutip Sztompka sistem ekonomi di luar pertanian dapat (2005:5) mengatakan bahwa perubahan sosial menciptakan sumber-sumber ekonomi baru dan adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, menumbuhkan kesempatan-kesempatan ekonomi dalam pola berpikir dan dalam pola perilaku pada baru di daerah yang awalnya berbasiskan waktu tertentu. pertanian. Perubahan ini kontinu dengan Setelah warga Bale Kambang dan kelurahan perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada lainnya di Condet tidak lagi mengandalkan kebun masyarakat Condet. Banyak diantara warga buah-buahan sebagai sumber pendapatan, Condet yang cenderung konsumtif, dapat dilihat mereka kemudian beralih profesi, antara lain di dari kepemilikan peralatan/perabotan rumah sektor jasa. Padahal pada saat Condet menjadi tangga. cagar budaya Betawi sangat dikenal dengan Pergeseran okupasi ini tentu saja membawa penghasil buah-buahan. Penduduk Condet saat konsekuensi terjadinya pergeseran struktur sosial itu hampir 80 persen bermata pencaharian ke sistem yang lebih luas dari sekadar pertanian. sebagai petani buah-buahan. Di Kelurahan Bale Perubahan tersebut terjadi melalui jalinan Kambang misalnya, sebagai lokasi dimana hubungan sosial melalui sistem kelembagaan penelitian utama dilangsungkan, pada tahun sosial yaitu kelembagaan hubungan kerja agraris 1970-an mata pencarian masyarakatnya hampir berdasarkan kekuasaan tanah tidak lagi menjadi 60 persen petani salak, 20 persen petani buah- faktor yang determinan. buahan, 10 persen karyawan/buruh, 10 persen lain-lain (Ramelan, 1977:38). Ciri khas penghasil Faktor yang Menjadi Dasar Dipilihnya buah-buahan yang ada di Condet telah Srengseng Sawah sebagai Perkampungan berlangsung sejak lama, bahkan sudah ada sejak Budaya Betawi leluhur mereka. Selain pohon duku dan salak, Pasca kepemimpinan Ali Sadikin. Pada saat Condet juga dikenal penghasil pohon melinjo, Soeprapto menjadi Gubernur DKI perhatian yaitu bahan untuk makanan emping. terhadap Condet tak sebesar pendahulunya. Saat ini banyak warga Condet yang Bahkan, boleh dibilang Condet nyaris terabaikan. mengandalkan perekonomian keluarga dari bisnis Paling tidak, ini diungkapkan oleh Haji Mat Zakap, kontrakan rumah, membuka warung makan, dan salah satu tokoh masyarakat Condet yang cukup warung kelontong yang menjual kebutuhan hidup disegani dan dihormati oleh warga Condet. Pria sehari-hari. Di antara mereka juga tidak sedikit yang pernah diundang ke Thailand karena yang menjadi tukang ojek. Di sepanjang kawasan dianggap berhasil menggerakkan petani buah- Condet khususnya Bale Kambang selalu buahan di Condet itu merasa kecewa dengan ditemukan pangkalan ojek. Menariknya, pangkalan kepemimpinan Gubernur Soeprapto yang kurang ojek itu tidak hanya ditemukan di setiap perhatian terhadap masyarakat Condet. perempatan jalan raya, akan tetapi di setiap Kekecewaan ini sangat beralasan mengingat pada gang-gang kecil kerap dijumpai pangkalan ojek. saat Condet ditetapkan sebagai cagar budaya,

568 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah

Haji Mat Zakap adalah sebagai penggerak dalam Sains Teknologi Nasional (ISTN), Universitas pengembangan budaya Betawi dan pertanian Pancasila, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik buah-buahan di Condet. Paling tidak apa yang (IISIP), Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) dikeluhkan oleh Haji Mat Zakap merupakan maupun Universitas Indonesia (UI). Di lokasi PBB, representasi masyarakat Condet yang sudah Srengseng Sawah terdapat sebuah danau yang dengan susah payah berpartisipasi dalam disebut ”Setu Babakan‘. membangun Condet sebagai cagar budaya. Hal Menurut Indra Sutisna, Sekretaris Pengelola ini pula yang dapat menjelaskan bahwa partisipasi PBB mengatakan dipilihnya Srengseng Sawah sosial masyarakat di Condet berlangsung secara sebagai cagar budaya bertujuan untuk bottom up untuk mengembangkan lingkungannya. melestarikan dan mengembangkan budaya Gagal menjadikan Condet sebagai cagar Betawi secara keseluruhan. Selain itu, di luar unsur budaya Betawi, Pemerintah DKI Jakarta merasa pariwisata dan budaya Srengseng Sawah juga berkepentingan untuk memiliki kawasan berfungsi sebagai pelestarian resapan air, dan pelestarian budaya Betawi. Ide ini awalnya mengembangkan nilai pendidikan. Salah satu berasal dari arahan Pemprov DKI Jakarta pada perbedaan mendasar PBB di Condet dengan tahun 1996 agar ada asset wisata di Jakarta Srengseng Sawah adalah pengelolaan PBB Selatan yang dapat dimaksimalkan. Pada 13 Srengseng Sawah dilakukan secara terpadu, September 1997 diselenggarakan Festival Setu sementara di Condet kurang terpadu. Babakan sebagai cikal bakal penentuan Setu Pada saat ini PBB di Srengseng Sawah Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi dikelola oleh sebuah tim yang bernama Tim (PBB). Dari lima lokasi yang telah disurvei yaitu Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang Marunda (Jakarta Utara), Kemayoran (Jakarta terdiri atas 30 orang. Tim ini terdiri atas unsur Pusat), Condet (Jakarta Timur), Srengseng masyarakat dan pemerintah yang dibentuk sejak (Jakarta Barat), dan Srengseng Sawah (Jakarta tahun 2002. Pemeliharaan sehari-hari per- Selatan), akhirnya pilihan jatuh ke Srengseng kampungan budaya Setu Babakan ditangani oleh Sawah, Jakarta Selatan. tim pengelola. Tetapi, tim itu hanya bertugas Alasan dipilihnya Srengseng Sawah sebagai melakukan pemeliharaan harian, dan tidak PBB antara lain karena dianggap lingkungannya berwenang menetapkan program. Sementara itu, masih sesuai dengan karakter kehidupan Dinas-Dinas yang terkait dalam penetapan masyarakat Betawi, keasrian adat maupun tradisi kebijakan pengembangan perkampungan budaya Betawi. Keberadaan Srengseng Sawah dipilih itu sangat banyak, lebih dari 20 unit kerja. Soal sebagai PBB tidak dalam waktu singkat, taman, ditangani Dinas Pertamanan. Rumah adat, puncaknya dilakukan ketika Gubernur DKI Jakarta ditangani Dinas Perumahan. Pembinaan Sutiyoso mengajukan Rancangan Peraturan pedagang dodol dan bir pletok, misalnya, Daerah (Raperda) mengenai PBB untuk Kawasan ditangani Dinas Perindustrian. Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Draf Raperda PBB Srengseng Sawah terdiri atas empat tersebut diajukan pada awal Februari 2005, komponen utama yaitu panggung, pintu gerbang, setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya rumah adat dan wisma. Pada tahun 2002, Raperda tersebut ditetapkan sebagai Perda pada sebanyak 67 rumah warga Srengseng Sawah 10 Maret 2005. Perda tersebut sekaligus mendapat subsidi pembangunan dari pemerintah mencabut status Condet sebagai cagar budaya untuk memugar rumahnya dengan menggunakan dan cagar buah-buahan. arsitektur Betawi. Setiap sabtu dan minggu, di Di atas tanah seluas 289 hektar, semua panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh bangunan baik rumah, toko, maupun perkantoran Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata yang ada di Kawasan Srengseng Sawah, seperti tari ondel-ondel, upacara adat per- ditetapkan harus bercorak Betawi. Kawasan kawinan, khitanan. Turis mancanegara banyak Srengseng Sawah sejak awal tahun 1980-an yang mengunjungi lokasi ini. banyak mengalami perkembangan khususnya Srengseng Sawah masih memiliki budaya sejak beberapa kampus berdiri, seperti Institut Betawi sebagai ciri khasnya. Hal tersebut ditandai

569 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010 dengan masih bertahannya rumah-rumah tukang ojek. Perubahan juga terjadi secara panggung berarsitektur khas Betawi. Selain itu, ekologis, yaitu tercemarnya kali Ciliwung akibat masih bertahan juga makanan khas maupun menumpuknya sampah-sampah terutama sampah aksesoris khas Betawi. Srengseng Sawah juga plastik. Hal ini dikarenakan berdirinya pabrik plastik sangat potensial untuk mengembangan pari- di kawasan Condet. Selain itu, karena semakin wisata budaya. Hal ini berkaitan dengan rencana padatnya pemukiman di daerah Condet baik rumah pengembangan budaya Betawi sebagai komoditi penduduk maupun gedung-gedung perkantoran pariwisata dalam kemasan perkampungan yang yang akibatnya menjadikan iklim dan hawa menarik bukan saja bagi masyarakat lokal tetapi Condet tak lagi sejuk seperti tahun 1980-an. juga bagi masyarakat di luar lingkungan etnis Dipindahkannya pusat perkampungan budaya Betawi. Setiap rumah di perkampungan budaya Betawi dari Condet ke Srengseng Sawah juga tak itu juga akan disulap menjadi home stay. dapat dipisahkan dari struktur politik Jakarta Pengunjung boleh menginap di rumah-rumah dibawah Penetapan kepemimpinan Gubernur. penduduk. Dengan demikian, para wisatawan bisa Perhatian gubernur setelah era Ali Sadikin tidak menyaksikan dari dekat budaya masyarakat lagi memusatkan perhatiannya pada pengem- Betawi. Menurut Indra Sutisna, informan yang bangan Condet. Srengseng Sawah dipilih sebagai diwawancarai menjelaskan ide awalnya semua pusat perkampungan budaya Betawi karena orang yang belajar seni Betawi di Srengseng beberapa hal, yaitu: 1) daerah ini merupakan Sawah bisa tidur di rumah khas Betawi yang ada kawasan yang masih terjaga lingkungannya, yaitu di situ. Ia menjelaskan: lingkungan yang sejuk, asri dan cukup rindang —Mereka bisa makan masakan khas Betawi, dengan pepohonan; 2) Srengseng Sawah masih membeli cendera mata dari rumah-rumah memiliki budaya Betawi sebagai ciri khasnya. Hal penduduk di situ, menyaksikan upacara adat, tersebut ditandai dengan masih bertahannya pokoknya semua di situ.“ rumah-rumah panggung berarsitektur khas Dua tahun setelah Srengseng Sawah Betawi. Selain itu, masih bertahan juga makanan ditetapkan sebagai perkampungan budaya khas maupun aksesoris khas Betawi; 3) Dipilihnya Betawi, wisatawan yang mengunjungi Srengseng Srengseng Sawah karena di daerah ini sangat Sawah cukup meningkat. Berdasarkan data yang potensial untuk mengembangan pariwisata didapatkan dari Indra Sutisna pada akhir minggu budaya. Hal ini berkaitan dengan rencana jumlah wisatawan bisa mencapai 300 orang. pengembangan budaya Betawi sebagai komoditi Sedangkan di saat diselenggarakan pertunjukan pariwisata dalam kemasan perkampungan yang budaya, seperti pementasan lenong, jumlah menarik bukan saja bagi masyarakat lokal tetapi pengunjung bisa mencapai 1.500 orang. juga bagi masyarakat di luar lingkungan etnis Betawi. Simpulan dan Saran Simpulan Saran Perubahan sosial yang terjadi di Condet yang Srengseng Sawah sebagai PBB harus berkaca kemudian mengakibatkan dipindahkannya dari kegagalan Condet. Oleh karena itu, perkampungan budaya Betawi dapat ditelusuri mengembangkan berbagai macam pendekatan sejak kehadiran warga keturunan Arab dari partisipatoris dari masyarakat untuk terlibat aktif Pekojan. Pada saat warga keturunan Arab dari dalam melestarikan dan mengembangkan Pekojan, Jambora, Jakarta Barat hijrah ke Srengseng Sawah sebagai PBB. Sedapat mungkin, kawasan Condet untuk mengembangkan bisnis orientasi pembangunan yang top down dalam PJTKI banyak menimbulkan berbagai perubahan pengembangan Condet dikurangi. Pendekatan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya. Perubahan bottom up perlu dilakukan karena dengan yang signifikan adalah terjadinya pergeseran pendekatan ini akan dapat meningkatkan rasa okupasi di luar sektor pertanian (off farm), yaitu memiliki dan lebih aware tentang Setu Babakan. sektor jasa seperti bisnis kontrakan, membuka Dalam pengembangannya, pusat perkam- warung makan, warung kelontong, karyawan, pungan budaya Betawi tidak bisa hanya

570 Rakhmat Hidayat, Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah mengandalkan Pemda DKI Jakarta tetapi dapat bangan PBB Srengseng Sawah. Tidak kalah melibatkan pemangku kepentingan lain di- pentingnya juga adalah media massa yang dapat antaranya pihak swasta, universitas maupun mempublikasikan berbagai kegiatan dan program media massa. Pihak swasta sebisa mungkin harus yang dilakukan sehingga gaungnnya semakin lebih sering dilibatkan dengan berbagai kegiatan dan terpublikasikan baik di tingkat nasional maupun program yang dimiliki PBB Srengseng Sawah. intenasional. Dengan demikian, diharapkan, Pihak universitas dapat dilibatkan dalam kegiatan- Srengseng Sawah menjadi ikon dan kebanggaan kegiatan penelitian maupun pengabdian bukan hanya komunitas Betawi tetapi juga masyarakat. Dalam bidang penelitian, pihak kebanggaan nasional yang dapat mengharumkan universitas dapat dilibatkan untuk melakukan nama baik Indonesia. penelitian yang dapat memberikan berbagai rekomendasi dan masukan terhadap pengem-

Pustaka Acuan Alamsyah P, Suwardi, Agus Heryana, Ria Intani, Endang Supriatna, Nina Merlina, T. Dibyo Harsono. 2004. Fungsi Keluarga dalam Penanaman Nilai-Nilai Pada Masyarakat Betawi di DKI Jakarta (Jakarta:Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata). Evers, Hans Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan;Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta:LP3ES) Herlambang, Soerjono. 2006. Kisah Lapangan Monas, Politik Kota dan Hak Atas Kota dalam Chris Verdiansyah. 2006. Politik Kota dan Hak Warga Kota;Masalah Keseharian Kota Kita (Jakarta:Penerbit Buku Kompas) Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang Penyusunan Konsep Pelaksanaan Daerah Condet sebagai Daerah Buah-Buahan Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 19 Tahun 1986 tentang Status Quo Pengembangan Kawasan Condet. Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 227 Tahun 1986 tentang Pencabutan Status Quo Pengembangan Kawasan Condet. Jary, David and Julia Jary. 1991. The Harper Collins Dictionary Sociology. (New York:Harper Collins Publisher). Jellinek, Lea 1984. Seperti Roda Berputar;Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta (Jakarta:Penerbit LP3ES) Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi I. (Jakarta : PT. Rhineka Cipta) Manning, Chris dan Effendi, Noer Tadjuddin. 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia) McGee, T.G. 1971. The Urbanization Process in The Third World (London:G Belll and Sons, Ltd). Nas, PJM. 1979. Kota di Dunia Ketiga ; Pengantar Sosiologi Kota dalam Tiga Bagian (Jakarta:Bhratara Karya Aksara) Neuman, Lawrence. 1994. Social Researchs Methods:Qualitative and Quantitative Approaches. (Boston:Allyn and Bacon). Peraturan Daerah DKI Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan Raharjo, 1983. Perkembangan Kota dan Permasalahannya. (Jakarta:PT Bina Aksara). Ramelan, Ran. 1977. Condet Cagar Budaya Betawi, (Jakarta:Penerbit Lembaga Kebudayaan Betawi) Saidi, Ridwan. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Betawi dalam Najib, Muhammad, dkk (1996). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (Yogyakarta:Penerbit LKPSM) Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2006. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. (Jakarta:Penerbit Kencana) Saunders, Peter. 1989. Social Theory and the Urban Question. (London:Unwin Hyman)

571 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, September 2010

Schwab, William A., 1992. The Sociology of Cities, (New Jersey: Prentice Hall) Shahab, Yasmine Zaki. 1994. The Creation of Ethnic Tradition ; The Betawi of Jakarta (London:School of Oriental and African Studies) Smith, Michael Peter dan Joe R. Feagin (ed). 1987. The Capitalist City. (Oxford-Cambridge:Blackwell Publishing) Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta:Penerbit Rajawali Pers). Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. (Jakarta:Penerbit LP FE UI). Syuaib M, Fauzie. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Betawi dalam Najib, Muhammad, dkk (1996). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (Yogyakarta:Penerbit LKPSM). Sztompka, Piotr.2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terjemahan Alimandan), (Jakarta: Penerbit Prenada). Surjomihardjo, Abdurachman.1973. Perkembangan Kota Jakarta (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI) Susser, Ida (ed). 2002. The Castells Reader on Cities Social Theory. (Oxford:Blackwell Publishing). Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 tentang Penetapan Condet sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Surat Keputusan Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, tentang Penetapan Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Travers. 2001.Qualitative Researchs Through Case Studies.(London:Sage Publications).

572