BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca Era Reformasi Di
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasca era reformasi di Indonesia, media dan arus informasi seakan menjadi barang yang bebas pakai dan mudah diakses oleh siapapun. Proses dalam membentuk opini, wacana, bahkan mengkontruksi suatu peristiwa dalam lingkup sosial, politik, dan ekonomi publik menjadi mudah dilakukan oleh media, karena kebebasannya dalam menyampaikan pemberitaan dengan jaminan konstitusi di Indonesia. Saat ini media, baik itu dari internet, televisi, maupun surat kabar, seolah menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat dalam mengakses informasi terkini mengenai peristiwa-peristiwa yang baru terjadi, baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Bahkan, tidak jarang media menjadi aktor yang menghubungkan kepentingan dan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Besarnya peran yang diemban media untuk menyampaikan informasi dan memberikan pemberitaan secara netral dan obyektif memang mutlak harus dilakukan dalam pemberitaan media, agar tidak membentuk perspektif yang salah dalam suatu peristiwa. Mengambil dari pandangan “Hutchins Commission”1 yang mewajibkan jurnalisme dalam pelaporan berita 1 The Hutchins Commission on Freedom of The Press merupakan sekelompok filsuf, ilmuwan, akademisi, tokoh budaya, agama, dan pendidikan. Pada tahun 1947 menghasilkan dokumen yang menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan berita secara faktual benar, namun secara substansial salah. Kelompok ini juga menyerukan agar pers dibebani kewajiban-kewajiban sosial, seperti fair, responsible, accurate agar ada kejelasan fungsi, tugas, 1 yang benar dan akurat. Pertama, media harus memaparkan berita-berita yang akurat, lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna. Kedua, media harus berfungsi sebagai forum pertukaran pikiran masyarakat berkenaan isu-isu yang sedang berkembang. Ketiga, media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konsituen dalam masyarakat. Keempat, media harus menyajikan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Kelima, media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi yang tersembunyi pada suatu saat.2 Namun selanjutnya muncul sebuah pertanyaan, apakah media merupakan entitas yang bebas nilai dan tidak mempunyai kepentingan dalam mengarahkan opini masyarakat? Pertama, nampaknya semua pihak akan sepakat bahwa media bukanlah aktor yang berdiri sendiri dalam menjalankan bisnis media. Dalam perkembangannya, media tentu membutuhkan suntikan modal dari luar yang tidak sedikit untuk menghidupi dirinya. Maka dari itu, media tentu membutuhkan sikap cooperative dan kompromi dengan pemilik modal atau penguasa untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga keberlanjutan dalam bisnis media. Kompromi-kompromi inilah yang kemudian menimbulkan dilema dimana di satu sisi media dituntut untuk netral dan obyektif dalam menyampaikan berita dan informasi, namun disisi lain media juga harus membantu pihak lain yang membantunya ketika pihak tersebut sedang mengalami peristiwa tertentu. Dalam kasus tertentu, media tentu berkewajiban untuk mengamankan dan tanggung jawab mereka.(Hikmat Kusumaningrat dkk, “Jurnalistik : Teori & Praktik”. Bandung, ROSDA 2005) 2 Hikmat Kusumaningrat dkk, “Jurnalistik : Teori & Praktik”. Bandung, ROSDA 2005. Hal. 21 2 kepentingan pemilik modal dan penguasa yang membantunya, dengan menyampaikan gambaran peristiwa tertentu kepada publik, meskipun realitas peristiwa sebenarnya berbeda dengan yang digambarkan oleh media tersebut. Secara singkat bisa digambarkan bahwa dalam proses munculnya sebuah teks pemberitaan, ada pihak-pihak tertentu yang bisa mempengaruhi perspektif media dalam mewacanakan dan memberitakan suatu peristiwa. Gambaran ini menjelaskan bahwa media bukan entitas yang bebas nilai dan akan menggambarkan suatu peristiwa secara netral pula, karena pada dasarnya media hanyalah sebuah saluran yang terikat dengan kepentingan pihak tertentu dan tidak kebal dengan kepentingan aktor-aktor eksternal diluarnya. Kedua, pemberian pemaknaan tertentu dalam suatu peristiwa semata- mata bukan hanya dilakukan ketika media berkompromi dengan pihak eksternal untuk membantu jalannya bisnis media. Tanpa kerja sama dengan pihak luar pun media bisa mengkontruksi suatu peristiwa sesuai dengan perspektif media itu sendiri. Mengapa? Alasan pertama, harus dipahami adanya realitas bahwa media itu merupakan aktivitas bisnis3. Dan lama tidaknya eksistensi suatu bisnis media tergantung kepada publik dengan parameter laku tidaknya gagasan media itu dijual. Singkat kata, pemberitaan sebuah media kadang kala juga dipengaruhi dan harus mempertimbangkan perspektif mayoritas masyarakat agar produk pemberitaan media bisa laku dijual dan menjaga eksistensi media itu sendiri. Alasan kedua, karena pada dasarnya setiap orang yang terlibat dan berkecimpung dalam bidang jurnalistik pasti mempunyai kemampuan dan 3 William L. Rivers, dkk, 2004, “Media Massa dan Masyarakat Modern”. Hal. 39 3 keinginan untuk mengarahkan perspektif publik sesuai dengan perspektif atau cara pandang yang ia anggap “benar”. Sehingga dalam setiap pemberitaan, wartawan biasanya akan menggunakan pilihan kata dan bahasa tertentu untuk mengarahkan opini publik terhadap suatu peristiwa yang sedang dan telah terjadi. Salah satu peristiwa pelik yang sampai saat ini masih menjadi sorotan media dan belum ditemukan jalan keluarnya adalah masalah proses pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Membicarakan permasalahan RUUK tidak terlepas dari kepentingan pemerintah pusat, DPR, masyarakat Yogyakarta, serta pihak kraton, terutama Sri Sultan Hamengku Buwono X. Di satu sisi pemerintah pusat menginginkan adanya penerapan nilai-nilai demokrasi di Yogyakarta dimana salah satu caranya ialah mengharuskan Yogyakarta untuk menggelar pemilihan secara langsung dalam memilih gubernur dan wakilnya. Namun disisi lain, DPR berpandangan bahwa penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Pakualam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta merupakan pilihan yang terbaik mengingat latar belakang sejarah Yogyakarta dan kesepakatan-kesepakatan yang sudah dilakukan di masa lampau. Di samping itu, permasalahan RUUK DIY ini juga sempat memancing konflik antara Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sri Sultan Hamengku Buwono X sempat menganggap bahwa pemerintah pusat tidak adil terhadap Yogyakarta karena berlarut-larutnya pembahasan RUUK DIY namun tetap tidak ada hasil4. Bahkan, menurut berbagai 4 Dikutip dari harian Kompas, Minggu , 21 September 2008 4 kalangan, masalah pelik RUUK DIY yang tak kunjung selesai inilah yang kemudian membulatkan tekad Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk maju di Pilpres 2009 lalu. Selain itu, berlarut-larutnya pembahasan RUUK DIY yang tanpa hasil ini juga sempat membuat warga Yogyakarta yang tergabung dalam beragam organisasi berang karena menganggap pemerintah pusat tidak peduli terhadap aspirasi dan sejarah panjang Yogyakarta terhadap lahirnya Republik Indonesia. Hingga saat ini, perdebatan mengenai RUU Keistimewaan DIY masih terus berlangsung pasca kesepakatan pemerintah pusat dengan DPR periode 2004-2009 untuk menghentikan pembahasan RUU Keistimewaan DIY. Dalam konteks RUUK DIY, menjadi menarik untuk menulusuri Kompas, sebagai surat kabar tebesar nasional, dalam memberitakan perdebatan mengenai RUUK DIY dengan berbagai aspek yang melingkupinya. Ditinjau dari aspek tersebut, menjadi sangat menarik untuk mengetahui kebijakan internal Kompas dan proses pembentukan opini yang dilakukan oleh harian Kompas dalam memberitakan fenomena tersebut. Mengapa? Karena dengan mengetahui kebijakan internal dan proses pembentukan opini suatu media maka menjadi mudah untuk melihat bagaimana kepentingan suatu media dalam memberitakan suatu peristiwa serta melihat bagaimana pengaruh kekuatan external yang menungganginya berpengaruh terhadap perspektif pemberitaan yang dilakukan media. Mengapa Kompas? Menarik untuk mengamati perspektif media besar seperti Kompas, bukan hanya karena modal usaha mereka yang cukup besar, namun juga melihat bagaimana perspektif pemberitaannya dalam kasus RUUK 5 DIY. Selama ini Kompas identik dengan perusahaan media swasta yang profit oriented. Untuk menjaga kepentingan bisnisnya, Kompas akan berusaha memposisikan dirinya sebagai pihak yang seakan-akan netral dan mengikuti perspektif mayoritas masyarakat agar informasi dan gagasan yang mereka jual “laku” di kalangan publik. Terkait dengan RUUK DIY, pemberitaan yang disampaikan Kompas memang seakan-akan netral. Kompas di satu sisi menjelaskan perspektif pemerintah pusat dalam masalah RUUK DIY, namun juga menggambarkan bagaimana perspektif masarakat Yogyakarta, Sultan, dan DPR dalam kasus RUUK DIY. Nampaknya Kompas tidak mau terjebak untuk mendukung salah satu perspektif untuk menjaga eksistensinya sebagai “pabrik gagasan”. Namun demikian, dalam beberapa artikel dan pemberitaan yang dimuatnya ada beberapa perspektif yang tersirat yang mengarahkan pembaca untuk lebih bersimpati kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan masyarakat Yogyakarta secara umum. Ini menarik untuk diamati lebih jauh, apakah ada pengaruh kepentingan dalam pemberitaan Kompas untuk mengarahkan pemberitaan pada perspektif tertentu dan bagaimana respons Kompas dalam memahami kasus RUUK DIY. Jauh sebelum penelitian ini dirancang, riset mengenai pemberitaan media sebelumnya memang pernah dilakukan. Antara lain riset dari Syahrul Mubarak (2006). Riset dari Syahrul Mubarak ini merupakan kajian mengenai politik media massa, dimana penelitian lebih difokuskan dengan membandingkan perbedaan pemberitaan