Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965

Muhammad Damm Peneliti Independen [email protected]

Abstrak

Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men- gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan. Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu- mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/ PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu- mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa- han strukturalis terhadap kompleks Monumen Sakti—salah satu sarana representasi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966, mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung.

Abstract

Not only explanations about 30th September Movement (G30S) on 1st October 1965 debatable, the following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer- gence. Nevertheless, both arguments are sufficient to explain how 1965–1966 mass murder possible if only complemented by explanation about “mental mechanism” that worked behind it. That mental mechanism, namely abjection of PKI (Communist), can be revealed through structural inquiry to The Sacred Pancasila Monument complex as a representation and reconstruction of 1st October 1965 his- torical event. Not only made 1965–1966 mass murder possible, abjection mechanism also legitimized ’s historiography about 1st October 1965. Using structural anthropology as paradigm and museum ethnography as research method, this article attempts to explain how the abjection transpired.

Keywords: The Sacred Pancasila Monument, Pancasila, PKI, communist, latent danger, abjection.

PENDAHULUAN Tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu PKI)”—sebuah peristiwa yang menandai pad- episode penting dalam sejarah modern Indone- amnya rezim Soekarno dan munculnya rezim sia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pem- selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai bunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI, “Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/ orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 105 punya hubungan dengan Komunis, selama masa memungkinkan “mitos Lubang Buaya”2 secara kampanye penumpasan PKI yang dipimpin oleh efektif membangun diskursus ketakutan sehingga TNI pada akhir 1965 hingga 1966 (Roosa 2006) orang-orang dari kalangan Islam merasa “harus terutama di Sumatra Utara, Jawa, dan Bali. membunuh atau dibunuh” ketika menghadapi Peristiwa 1 Oktober 1965 dan penumpasan orang-orang PKI; sebagian kalangan tentara yang PKI 1965–1966 merupakan fenomena poli- bersimpati dengan PKI turut serta dalam operasi tis yang sebenarnya terpisah (Anderson dan penumpasannya karena tidak ingin dianggap pro- McVey dalam Purdey tt:4), namun peristiwa Komunis; demikian pula para tokoh dan politisi 1 Oktober 1965 tersebut telah dijadikan dalih yang sebelumnya bersimpati pada PKI menarik bagi pembunuhan massal yang mengikutinya dukungan mereka karena tidak ingin ikut celaka. (Roosa 2006:22). Roosa (2006) mencatat, G30S Atmosfer sosiopolitik nasional pada 1960-an sebenarnya sudah benar-benar padam pada 3 barangkali memang esensial dalam memung- Oktober 1965, namun pembunuhan di berbagai kinkan terjadinya pembunuhan massal pasca- daerah tetap berlangsung, setiap kali setelah Oktober 1965. Kendati demikian, keterangan pasukan RPKAD mendarat di daerah-daerah yang didasarkan pada situasi struktural mengenai tersebut. Berkat “provokasi” (Roosa, 2006; atmosfer sosiopolitik tidak mencukupi untuk Drakeley, 2007) atau upaya RPKAD “membakar menjelaskan mengapa orang-orang dari berbagai semangat perlawanan rakyat terhadap PKI” (film kalangan, baik sipil maupun militer, tiba-tiba Pengkhianatan PKI, 1984), kelompok-kelompok antusias dalam menumpas sesama mereka yang yang terdiri atas orang-orang sipil turut terlibat dilabeli Komunis. Drakeley (2007:20) agaknya dalam penculikan dan pembunuhan orang-orang menyadari hal tersebut dan menambahkan PKI atau yang dituduh PKI di berbagai daerah. bahwa pembunuhan massal 1965–1966 tidak Pembunuhan massal 1965–1966 tidak mung- dapat dilepaskan dari adanya proses “peliyanan” kin terjadi atas dasar sebuah dalih belaka. Pro- (othering) terhadap PKI dan orang-orang yang vokasi yang memantiknya juga tidak mungkin terindikasi punya afiliasi dengannya. Melalui tersulut di ruang hampa. Tentu ada prakondisi- peliyanan ini, kategori sosial baru diciptakan prakondisi tertentu yang membuat dalih dan dan direifikasi—“PKI” atau “Komunis”. Orang- provokasi ini bekerja secara efektif. Drakeley orang yang ditempatkan dalam kategori ini lantas (2007) mengungkapkan, atmosfer sosiopolitik mengalami dehumanisasi, sehingga dianggap di Indonesia pada dasawarsa ’60-an memang sebagai kelompok yang sama sekali berbeda dipenuhi ketegangan dan perselisihan. Ketegan- dari dan berada di luar “kita”. Kendati mem- gan terjadi di tingkat elite antara TNI dan PKI berikan sinyalemen tentangnya, Drakeley tidak dengan ditengahi Presiden Soekarno. Adapun mengelaborasi lebih lanjut mekanisme peliyanan di tingkat akar rumput, ketegangan muncul di ini. antara simpatisan PKI dan kalangan anti-PKI; Peliyanan terjadi sebenarnya tidak hanya terlebih karena memori pemberontakan PKI di dalam masa penumpasan PKI 1965 1966 melalui Madiun 1948 masih membekas.1 Tensi situasi ini “propaganda hitam” (Drakeley, 2007). Selama menjadi begitu tinggi di tengah memburuknya Orde Baru berkuasa proses tersebut juga terus perekonomian nasional. Sebagaimana diung- dilestarikan. Reproduksi sejarah 1 Oktober kapkan Drakeley (2007), atmosfer semacam ini 1965 versi Orde Baru, salah satunya melalui pembangunan kompleks Monumen Pancasila Sakti, memperlihatkan keberlangsungan proses 1 Untuk ulasan lebih lanjut mengenai Peristiwa Madiun 18 September peliyanan ini. Oleh sebab itu, dengan mengkaji 1948, lihat D. C. Anderson, “The Military Aspects of the Madiun Affair,” Indonesia 21 (April, 1976); Soerjono, “On Musso’s Return,” 2 Mitos yang dimaksud adalah cerita tentang kekejian orang-orang Indonesia 29 (April, 1980); Ann Swift, The Road to Madiun: The PKI, terutama dan Pemuda Rakyat, yang menyiksa dan Indonesian Communist Uprising of 1948 (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern membunuh para perwira TNI AD pada 1 Oktober 1965, serta berbagai Indonesia Project, 1989); G. McT. Kahin, Nationalism and Revolution perilaku atau tindakan asusila orang-orang tersebut. in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1952).

106 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 bagaimana situs tersebut menarasikan sejarah “mencemari” identitas. Narasi sejarah yang dan melestarikan memori kolektif “resmi” peris- direpresentasikan melalui kompleks Monumen tiwa politik 1965–1966, kita akan dapat mengkaji Pancasila Sakti merupakan salah satu pintu bagaimana peliyanan terhadap PKI terjadi. Peng- masuk yang baik untuk memahami proses abjeksi kajian inilah yang saya upayakan di dalam tulisan yang dimaksud. ini. Namun sebelum melangkah terlampau jauh, satu persoalan perlu dipahami terkait dengan masalah “waktu”. METODE PENELITIAN Menempatkan reproduksi sejarah di kompleks Paradigma yang digunakan dalam penelitian Monumen Pancasila Sakti sebagai objek studi ini, sejak perumusan masalah, pengumpulan, untuk memahami proses peliyanan yang mem- analisis, dan penafsiran data, hingga penulisan prasyarati pembunuhan massal pasca-peristiwa laporan, dapat digolongkan sebagai antropologi 1 Oktober 1965 memang berpotensi membawa strukturalis. Metode yang digunakan adalah kita pada anakronisme. Oleh sebab itu, sebuah etnografi museum. Sebagai sebuah etnografi pemahaman awal perlu dipegang, bahwa proses museum, penelitian ini tidak ditujukan untuk peliyanan yang terepresentasikan oleh kompleks mempersoalkan kebenaran narasi sejarah yang Monumen Pancasila Sakti merupakan sebuah dikonstruksi melalui kompleks Monumen Pan- proses yang telah mengalami refleksi dan rekon- casila Sakti. Oleh sebab itu, penelitian ini tidak struksi yang berulang, sehingga sampai pada dalam kapasitasnya untuk menolak suatu “ke- kita hari ini dengan membawakan versi tertentu bohongan sejarah” dengan membuktikan narasi penggalan masa lalu dari sejarah bangsa ini. “sejarah yang benar” dari versi mana pun, me- Dengan demikian, pengkajian ini sebenarnya lainkan ditujukan untuk memahami narasi apa bukanlah upaya untuk menelusuri rationale di yang direpresentasikan dan bagaimana kompleks balik pembunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, Monumen tersebut merepresentasikannya. melainkan rasionalisasinya. Salah satu ciri utama kompleks Monumen Dalam merangkai pemahaman atas pem- Pancasila Sakti adalah dominannya benda-benda bunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, tulisan koleksi berupa diorama. Dengan menyajikan ini mengambil posisi yang cukup berbeda dari masa lalu melalui diorama-diorama, versi sejarah penjelasan Drakeley yang lebih menekankan yang coba diceritakan pun sifatnya reflektif— atmosfer atau situasi struktural pada 1960-an narasi yang ditampilkan merupakan konstruksi dan “mitos Lubang Buaya” yang menjadi peman- yang tidak bebas nilai dan apa adanya, melainkan tiknya. Tulisan ini berargumen, situasi struktural hasil dari proses reflektif perancangnya dalam 1960-an baru mencukupi (sufficient) untuk memahami peristiwa masa lampau. Oleh karena menjelaskan pembunuhan massal pasca-Oktober itu, pengkajian terhadap museum ini sangat baik 1965 jika disertai dengan penjelasan mengenai untuk mendapatkan pemahaman tentang proses peliyanan terhadap PKI (Komunis). Selain itu, bernalar yang bekerja di balik perancangannya; pada periode setelahnya, peliyanan ini pula yang tentang proses bernalar dalam merasionalisasi melegitimasi “kebenaran” historiografi Orde pembunuhan massal 1965–1966 yang coba “di- Baru dan membuat dalih pembunuhan massal justifikasi” olehnya; dan akhirnya, tentang proses selama kampanye penumpasan PKI menjadi bernalar yang memungkinkan peristiwa tersebut “masuk akal”. Lebih spesifik, peliyanan yang terjadi. dimaksud merupakan sebentuk abjeksi, yang Data yang dihimpun terdiri atas dokumentasi secara sederhana dapat dipahamkan sebagai benda-benda koleksi yang ada di kompleks Monu- mekanisme pengonstruksian identitas dengan men Pancasila Sakti, hasil wawancara dengan menolak, menista, bahkan berusaha menghan- para informan, serta dokumen dan literatur curkan unsur-unsur yang dianggap “kotor” dan

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 107 pendukung yang relevan. Data-data ini dihimpun biasanya terjadi bersamaan dengan dilakukannya menggunakan tiga teknik pengumpulan: pen- sebuah proses rekayasa sosial untuk mencapai gamatan langsung, wawancara mendalam, serta ideal masyarakat dengan cara memusnahkan studi atas dokumen dan literatur rujukan. Penga- elemen-elemen sosial yang dianggap “kontami- matan langsung dilakukan dengan mengunjungi nan”. Kedua, genosida merupakan sebuah proses kompleks Monumen Pancasila Sakti di Lubang yang sifatnya selalu lokal, sehingga dapat dia- Buaya sebanyak empat kali antara bulan Maret nalisis dan dipahami melalui lensa etnohistoris sampai Mei 2014. Sebelumnya, pada Januari antropologi—“genocide is always a local process 2013 saya juga pernah melakukan kunjungan ke and therefore may be analyzed and understood situs yang sama untuk keperluan penelitian yang in important ways through the ethnohistorical berbeda, namun sebagian datanya cukup relevan lens of anthropology”. untuk digunakan dalam penelitian ini.3 Dihadapkan pada kesulitan untuk mengi- Wawancara dilakukan terhadap lima orang dentifikasi natur—dan dengan demikian juga informan yang dipilih (purposive sampling), korban—genosida, Hinton (2002:4) menyarank- terdiri atas (1) seorang sejarawan Monumen, (2) an sebuah definisi minimal untuknya, yakni seorang petugas informasi Monumen, (3) seorang upaya untuk secara sengaja membinasakan suatu pemandu atau guide, (4) seorang pengunjung ber- kelompok sosial yang telah ditandai sebagai yang latar keluarga militer, dan (5) seorang pengunjung berbeda (liyan). Oleh karena itu, genosida selalu berlatar pendidikan arsitektur dan perancangan disertai dengan proses peliyanan (othering), di perkotaan. Teknik wawancara yang dilakukan mana batasan-batasan dari sebuah komunitas lebih banyak berupa wawancara tidak terstruktur. yang dibayangkan (imagined community) diben- Adapun data pendukung saya himpun dari do- tuk ulang sedemikian rupa sehingga sebuah kumen-dokumen dan berbagai literatur rujukan, kelompok yang tadinya termasuk ke dalam ko- baik yang secara langsung berhubungan dengan munitas tersebut dikeluarkan secara ideologis, kompleks Monumen Pancasila Sakti atau seja- seolah-olah kelompok itu bukan bagian dari rah peristiwa politik 1965, maupun yang secara komunitas, melainkan “liyan” yang mengancam tidak langsung berhubungan dengannya, tetapi dan berbahaya sehingga harus dimusnahkan memiliki gagasan yang relevan untuk tulisan ini. (Hinton 2002:6). Konseptualisasi Hinton ini berguna untuk memahami proses sosial yang memungkinkan terjadinya pembunuhan massal KERANGKA TEORI pasca-1 Oktober 1965 di Indonesia. Hal ini teru- Sesuai fokus penelitian dan permasalahannya, tama karena konsepsi Hinton tersebut melampaui pembahasan di dalam tulisan ini ditempatkan definisi genosida dalam arti sempitnya yang dalam kerangka “antropologi genosida” (Hinton, hanya meliputi pembantaian terhadap kelom- 2002:2). Dalam pendekatan antropologis ini, pok kebangsaan, etnis, ras, atau agama (Hinton Hinton (2002:3) menekankan dua hal yang mesti 2002:5), seolah-olah “bangsa”, “etnis”, “ras”, dan diperhatikan untuk membangun pemahaman “agama” merupakan entitas-entitas primordial yang memadai mengenai genosida. Pertama, yang tetap dan tidak memiliki kesejarahan. genosida memiliki keterkaitan erat dengan mo- dernitas—“... genocide is intimately linked to 1 OKTOBER 1965 DAN KOMPLEKS modernity”. Keterkaitan ini tampak dari fakta MONUMEN PANCASILA SAKTI sejarah bahwa kejahatan kemanusiaan tersebut Pada malam antara 30 September–1 Oktober

3 Saya mengunjungi kembali situs tersebut terakhir kali pada 3 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan ter- Desember 2016. Pada saat itu tidak banyak yang berubah, selain hadap enam orang perwira tinggi dan seorang renovasi bangunan Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang mengalami kerusakan di beberapa bagiannya.

108 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 perwira pertama TNI Angkatan Darat: Letjen jadi misteri hingga saat ini, tampaknya tidak ada A. Yani, Mayjen R. , Mayjen M. T. persilangan pendapat yang cukup berarti tentang Harjono, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo, signifikansinya, bahwa peristiwa politik tahun Brigjen D. I. Panjaitan, dan Lettu P. A. Tendean. 1965–1966 yang berpuncak di malam itu menye- Seorang perwira tinggi yang juga menjadi sasa- diakan fondasi bagi berdirinya rezim Orde Baru ran, Jenderal A. H. Nasution, berhasil lolos dari di bawah pimpinan Presiden Soeharto (Heryanto aksi penculikan dan pembunuhan. Para pelaku- 2006; McGregor 2002; Roosa 2006). Berbagai nya, yang berada di bawah pimpinan komandan upaya sistematis dilakukan selama Orde Baru operasi Letkol Untung, menamakan diri mereka untuk menjaga peristiwa politik tersebut tetap ada Gerakan 30 September (G30S). dalam memori kolektif bangsa Indonesia, baik Banyak perkara seputar kejadian tersebut melalui pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, yang hingga kini masih menjadi misteri. Para penetapan peraturan perundang-undangan yang sejarawan pun masih bersilang pendapat dalam membatasi hak-hak dasar orang-orang yang menafsirkannya, terutama terkait pertanyaan dilabeli Komunis, peringatan Hari Kesaktian tentang siapa dalang di balik gerakan tersebut, Pancasila, maupun medium-medium lainnya. serta apa sebenarnya yang menjadi motivasi dan Salah satu upaya yang juga signifikan adalah natur dari gerakan itu sendiri. Menurut Roosa pendirian kompleks monumen dan museum di (2006:62), terdapat setidaknya empat interpretasi Lubang Buaya. umum yang jamak diperdebatkan hingga saat Kompleks Monumen Pancasila Sakti terletak ini. Pertama, interpretasi resmi yang disusun di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipa- oleh pihak TNI Angkatan Darat, bahwa gerakan yung, Timur, tidak jauh dari Markas tersebut didalangi oleh PKI dan bertujuan mere- Angkatan Udara Republik Indonesia di Lanud but kekuasaan negara. Kedua, interpretasi para Halim Perdanakusuma. Kompleks monumen peneliti Cornell, terutama Benedict Anderson dan museum ini sebenarnya terdiri atas beberapa dan Ruth McVey, yang menganggapnya semata- kompleks bangunan yang dibangun tidak secara mata pergolakan internal di dalam tubuh TNI bersamaan. Bangunan-bangunan utamanya ter- AD. Ketiga, interpretasi bahwa gerakan itu di- diri atas Monumen Pancasila Sakti yang dibuka dalangi oleh beberapa perwira TNI AD, namun pada tahun 1969, Paseban atau Museum Pancasila disokong oleh PKI yang juga memainkan peran Sakti yang diresmikan pada tahun 1982, serta besar. Keempat, interpretasi yang merumus- Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang kan hipotesis bahwa gerakan itu digubah oleh diresmikan pada tahun 1992. Para pengelola Mayjen Soeharto dan beberapa perwira tinggi dan petugas kawasan Monumen Pancasila Sakti, anti-Komunis di dalam tubuh TNI AD melalui dalam kesehariannya di kompleks Lubang Buaya, penggunaan agen ganda untuk menyediakan terbiasa membagi situs tersebut menjadi empat dalih bagi penumpasan PKI dan pelengseran wilayah utama: Ring Satu, Museum Pengkhiana- Soekarno dari tampuk kepresidenan. Keempat tan PKI (Komunis), Paseban, dan Ruang Relik. interpretasi tersebut memiliki celah argumen di Monumen Pancasila Sakti berada di Ring sana-sini yang memberikan cukup alasan untuk Satu, berupa bangunan monumen berbentuk timbulnya keragu-raguan terhadap tafsir yang burung Garuda raksasa yang menaungi patung ditawarkan—penyebab utamanya, setiap tafsiran tujuh Pahlawan Revolusi yang terbunuh pada cenderung beranggapan bahwa ada aktor tung- malam Jumat, 1 Oktober 1965. Di bagian gal yang mendalangi semuanya, entah itu PKI, dasarnya terdapat relief yang menggambarkan perwira-perwira TNI AD, ataupun Mayjen Soe- sebagian episode sepak terjang PKI dan pen- harto (Roosa 2006). umpasannya versi historiografi Orde Baru, sejak Namun demikian, meski apa yang sebenarnya peristiwa Madiun 1948, pencetusan Nasakom terjadi seputar malam 1 Oktober 1965 masih men- oleh Presiden Soekarno, peristiwa 1 Oktober

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 109 Gambar 1. Monumen Pancasila Sakti. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

1965 oleh Gerakan 30 September (G30S), pen- digunakan oleh para “pemberontak” yang terafi- umpasan PKI oleh TNI di bawah pimpinan liasi dengan PKI. Mayjen Soeharto, hingga turunnya Surat Per- Adapun Museum Pancasila Sakti atau Pas- intah Sebelas Maret (Supersemar), digelarnya eban merupakan museum yang menampilkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk 16 diorama yang mereka ulang adegan-adegan mengadili pentolan G30S/PKI, dan pidato Jen- pada malam 30 September–1 Oktober 1965, juga deral Soeharto di hadapan sidang MPRS ketika beberapa momen sebelumnya terkait rapat per- menerima amanah sebagai pejabat presiden meng- siapan G30S dan pelatihan militer sukarelawan gantikan Soekarno. Di kisaran monumen tersebut G30S,4 serta momen-momen setelahnya seperti juga terdapat bangunan cungkup yang menaungi pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma dan sumur “maut” tempat dibuangnya mayat tujuh prosesi pemakaman para Pahlawan Revolusi.5 Pahlawan Revolusi serta tiga rumah yang menjadi Selain itu, di kompleks bangunan ini juga dapur umum, tempat penahanan dan penyiksaan terdapat Ruang Relik yang menyimpan benda- para perwira TNI AD, serta pos komando G30S. Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) 4 Kebenaran tentang keberadaan “sukarelawan G30S” ini memang masih perlu penjelasan-penjelasan dan penelitian yang lebih adalah bangunan utama yang didirikan paling cermat. Deskripsi untuk diorama berjudul “Latihan Sukarelawan belakangan. Museum ini berupa bangunan besar PKI di Lubang Buaya” di Museum Pancasila Sakti menyebutkan penjelasan yang cukup mengambang atas perkara ini: “Dalam upaya berlantai dua dengan koleksi utama berupa 34 menumbangkan pemerintah Republik Indonesia yang sah, PKI mempersiapkan diri dengan mengadakan latihan kemiliteran bagi para diorama yang menggambarkan sepak terjang anggotanya. Dalih yang digunakan ialah melatih para sukarelawan PKI, sejak 1945 sampai penumpasannya pada dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia”. akhir 1960-an dan awal 1970-an. Selain diorama, 5 Sebelum mengalami renovasi pada Maret 2013, bangunan ini hanya memiliki 9 diorama, 3 di antaranya menampilkan “Proses Lahirnya di museum ini juga terpajang mosaik foto-foto Surat Perintah 11 Maret 1966 (11 Maret 1966)”, “Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia (12 Maret dokumentasi terkait peristiwa politik 1965, serta 1967)”, dan “Tindak Lanjut Pelarangan Partai Komunis Indonesia (26 beberapa senjata baik asli maupun replika yang Juni 1982)”. Setelah renovasi, ketiga diorama tersebut dipindahkan, diganti dengan 10 diorama lain yang berfokus pada kejadian-kejadian antara 30 September dan 1 Oktober 1965.

110 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 benda peninggalan para perwira TNI AD yang yang terdapat di Museum Pengkhianatan PKI gugur pada malam tersebut, terutama pakaian (Komunis), Museum Pancasila Sakti (Paseban), yang mereka kenakan sewaktu dijemput ajal dan dan Ruang Relik. beberapa barang pribadi yang mereka tinggalkan. Pada dasarnya narasi seputar peristiwa politik Tidak hanya itu, di ruangan ini juga tersimpan 1965 dan berbagai kejadian lain yang (dianggap) benda-benda peninggalan Kolonel Katamso dan terkait dengannya diceritakan di Lubang Buaya Letkol Sugiyono yang gugur di Yogyakarta, serta dengan satu skema dasar yang sederhana: berto- beberapa benda lain terkait operasi penumpasan lak dari kekacauan, berujung pada kembalinya G30S, seperti radio yang digunakan Mayjen tatanan. Baik narasi pada relief Monumen Pan- Soeharto untuk memimpin operasi, aqualung casila Sakti maupun diorama Museum, diceri- yang digunakan saat pengangkatan jenazah dari takan dengan skema ini. Pada relief Monumen, sumur maut, serta sepeda angin yang dikendarai narasi diawali dengan cuplikan (1) pemberon- agen polisi Soekitman saat berpatroli pada malam takan PKI di Madiun pada 18 September 1948 penculikan. yang berhasil dipadamkan oleh pasukan TNI Sebagai situs sejarah yang dikelola di bawah di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, ke- Badan Pelaksana Pusat Mabes TNI, Pusat Se- mudian (2) pencetusan Nasakom oleh Presiden jarah (Pusjarah) TNI, kompleks monumen dan Soekarno; (3) penculikan dan pembunuhan per- museum di Lubang Buaya merupakan situs yang wira TNI AD pada 1 Oktober 1965; (4) operasi merepresentasikan narasi sejarah tentang peris- penumpasan Gerakan 30 September (G30S) di tiwa politik tahun 1965 versi historiografi Orde bawah pimpinan Mayjen Soeharto; (5) prosesi Baru, serta momen-momen sejarah terkait baik pemakaman ketujuh perwira TNI AD yang men- sebelum maupun setelahnya. jadi korban G30S; (6) penyerahan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Men/Pangad Letjen Soeharto; (7) Mah- SATU NARASI: DARI KEKACAUAN KE kamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk TATANAN mengadili para pemimpin G30S; (8) diakhiri Sebagai situs yang menceritakan sejarah versi pelantikan Jenderal Soeharto sebagai pejabat rezim, tidak mengherankan jika kompleks Monu- presiden dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. men Pancasila Sakti dirancang untuk mencerita- Tepat di bagian tengah relief adalah segmen kan satu saja narasi. Melalui penceritaan narasi yang menceritakan penculikan dan pembunuhan tunggal ini suatu rezim—dalam kasus ini, Orde tujuh perwira TNI AD oleh G30S yang dipimpin Baru—berusaha menghegemoni memori kolektif Letkol Untung Syamsuri. Di bagian atas-tengah sebuah bangsa—dalam hal ini, Indonesia—dan dari segmen tersebut terdapat lambang Garuda pada saat bersamaan merepresi potensi-potensi Pancasila yang menandai titik balik dalam per- subversif sekaligus melanggengkan legitimasinya jalanan sejarah bangsa Indonesia akibat tragedi sebagai penguasa yang sah. Namun demikian, 1 Oktober 1965. Peran sentral segmen tersebut dalam tulisan ini bukan nilai propagandis dari sebagai sebuah titik balik terlihat jelas jika kita corak narasi tersebut yang menjadi tekanan membandingkan penggalan relief di sebelah observasi dan analisisnya, melainkan struktur kiri—yang dalam urutan waktu terjadi sebelum naratif dari penceritaan sejarah itu sendiri. 1 Oktober 1965—dengan penggalan relief di Secara eksplisit, narasi yang terdapat di kom- sebelah kanannya—yang terjadi setelah 1 Ok- pleks Monumen Pancasila Sakti kita dapati pada tober 1965. dua bagian: pertama, relief yang terdapat pada Segmen pertama yang menggambarkan pem- bagian dasar Monumen Pancasila Sakti; kedua, berontakan PKI di Madiun 1948 hanyalah satu koleksi diorama dan benda-benda bersejarah contoh kekacauan yang dilakukan PKI. Kendati pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan,

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 111 Gambar 2. Relief: pemberontakan PKI di Madiun 1948 (sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

namun aktivitas PKI sebagai “agen kekacauan” kembalinya tatanan diperlihatkan pula melalui tidak pernah surut; terlebih, karena ideologi Ko- kerumunan massa yang muncul pada latar be- munis yang menjadi jiwa PKI dibiarkan tumbuh lakang hampir di sepanjang relief. Kerumunan oleh rezim Soekarno dengan dicetuskannya Na- yang sebelumnya lebih banyak menggambarkan sakom sebagaimana terlihat pada segmen kedua. massa atau gerombolan pengacau yang diger- Segmen-segmen setelah peristiwa 1 Oktober akkan oleh PKI, lambat laun digantikan oleh 1965 menggambarkan upaya TNI di bawah pimp- pasukan TNI, dan kemudian rakyat sipil yang inan Mayjen Soeharto menangani kekacauan menuntut pembubaran PKI. Secara keseluruhan, yang diakibatkan oleh PKI sekaligus mengemba- keberadaan kerumunan di hampir sepanjang likan tatanan dan ketertiban. Penggambarannya relief seolah menggambarkan kekacauan yang mulai dari operasi militer sebagaimana tergam- selalu menghantui perjalanan kehidupan bangsa bar pada segmen keempat (operasi penumpasan Indonesia, namun pada akhirnya, dengan dijiwai G30S) hingga penyerahan Supersemar (segmen Pancasila—yang diwakili oleh lambang Garuda keenam) dan pelaksanaan Mahmilub (segmen di pusat relief—tatanan akan senantiasa dapat ketujuh). Bagian ini memberikan penekanan pada dipulihkan. Pesan dari penggambaran relief sentralitas Soeharto sebagai tokoh yang sangat itu cukup jelas: sampai kapan pun, kekacauan berperan dalam pemulihan tatanan, sejak op- dapat muncul sewaktu-waktu karena selalu ada erasi penumpasan G30S hingga “kesediaannya” “bahaya laten” yang mengancam kehidupan har- mengemban tugas sebagai pejabat presiden pada monis bangsa ini. Pesan tersebut dieksplisitkan Sidang Istimewa MPRS 12 Maret 1967.6 dalam penggalan kalimat yang terpahat pada Selain dari tokoh-tokoh utama yang dit- landasan Monumen: “Waspada...... dan mawas ampilkannya, perubahan dari kekacauan ke diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi—Djakarta, 1 Oktober 1965, dini hari.” 6 Keterangan pada sebuah diorama yang berjudul “Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia (12 Lokus kedua dari narasi tunggal mengenai Maret 1967)” menyebutkan, “Sementara itu pimpinan partai-partai politik dan para senior ABRI meminta Jenderal Soeharto agar bersedia PKI terdapat pada koleksi diorama yang ber- menerima kepemimpinan negara” (penekanan oleh penulis). Diorama jumlah 50 buah—34 di Museum Pengkhianatan tersebut dahulu tersimpan di Museum Pancasila Sakti (Paseban), tetapi kemudian dipindahkan ketika Museum direnovasi pada bulan PKI (Komunis) dan 16 di Museum Pancasila Maret 2013.

112 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 Gambar 3. Relief: Soeharto, tokoh sentral yang mengembalikan tatanan (sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Sakti (Paseban). Alur penceritaan narasi yang 20 menampilkan pengacauan, pembunuhan, direpresentasikan dengan koleksi diorama ini pemberontakan, maupun sepak terjang lain yang tidak lepas dari rute yang mesti pengunjung dilakukan atau didalangi PKI di berbagai daerah lalui ketika menyaksikan diorama-diorama, di Indonesia, 2 menampilkan tindakan tegas TNI yang dimulai dari Museum Pengkhianatan PKI terhadap PKI—“Pembebasan Gorang-Gareng (Komunis), berlanjut ke Paseban, dan berakhir (28 September 1948)” dan “Penghancuran PKI di Ruang Relik. di Sooko, Ponorogo (28 September 1948)”—serta Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam 3 sisanya menampilkan konsekuensi yang mesti koleksi diorama merentang dalam kurun kurang diterima para pimpinan PKI akibat perbuatan lebih 28 tahun, sejak Peristiwa Tiga Daerah 4 mereka—“Musso Tertembak Mati (31 Oktober November 1945 hingga tertembak matinya S. A. 1948)”, “Penangkapan Amir Sjarifuddin (29 Sofyan 12 Januari 1974. Perentangan narasi men- November 1948)”, dan “D. N. Aidit Diadili (25 genai PKI hingga kurun 20 tahun ke belakang Februari 1955)”. dari 1965 seolah hendak menunjukkan bahwa Diorama yang menceritakan kurun 8 tahun organisasi tersebut, beserta ideologinya, telah sejak 1 Oktober 1965 terdiri atas tujuh diorama. sejak lama menjadi duri dalam daging bangsa Semuanya menampilkan peristiwa-peristiwa Indonesia. Adapun perentangannya hingga 8 penting dalam upaya membersihkan bumi tahun ke depan sejak akhir 1965 seolah hendak Indonesia dari sisa-sisa “pengkhianat” PKI— menunjukkan bahwa “pengkhianat” bangsa “Rapat Umum Front Pancasila (9 November tersebut tidak pernah dibiarkan begitu saja oleh 1965)”, “Penangkapan D. N. Aidit (22 November para penjaga kemuliaan dan kemurnian dasar 1965)”, “Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa negara Pancasila, terutama TNI. (Mahmilub) (14 Februari 1966)”, “Rakyat Jakarta Diorama-diorama sebelum 1 Oktober 1965 Menyambut Pembubaran PKI (12 Maret 1966)”, sebagian besar menampilkan berbagai gang- “Operasi Trisula di Blitar Selatan (20 Juli 1968)”, guan keamanan baik yang dilakukan oleh PKI “Penumpasan Gerakan PKI Ilegal Iramani di maupun organisasi-organisasi massa yang Purwodadi (27 Januari 1973)”, dan “Tertembak “dihasut” olehnya. Dari 25 diorama, sebanyak Matinya S. A. Sofyan (12 Januari 1974)”.

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 113 Salah satu hal yang menarik dari penataan di- dianggap paling penting. Koleksi diorama di orama di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) Paseban berfungsi meng-close-up peristiwa 1 ini adalah absennya penculikan dan pembunuhan Oktober 1965 yang absen di Museum Pengkhi- tujuh perwira TNI di Lubang Buaya. Diorama anatan PKI (Komunis), sementara koleksi Ruang untuk periode Oktober 1965 hanya berjumlah Relik berfungsi “membuktikan” kekejaman PKI dua buah, masing-masing menampilkan “Pen- dengan meng-close-up siksaan dan kematian para guasaan Kembali Gedung RRI Pusat (1 Oktober Pahlawan Revolusi. 1965)” dan “Peristiwa Kentungan, Yogyakarta (2 Dengan memperhatikan progres penarasian Oktober 1965)”. G30S hanya diceritakan secara pada rangkaian diorama ini, kita kembali melihat singkat pada paragraf pembuka dalam keteran- adanya skema dasar yang sama dengan yang kita gan untuk kedua diorama tersebut. Kendati temukan pada relief Monumen Pancasila Sakti: demikian, absen ini segera terkompensasi ketika dari kekacauan ke kembalinya tatanan. Untuk pengunjung beranjak ke Museum Pancasila Sakti mewadahi cerita tentang PKI, perentangan kurun (Paseban), di mana terdapat 16 diorama yang sejarah yang jauh lebih panjang dari sekadar didedikasikan untuk peristiwa 1 Oktober 1965 operasi militer 1 Oktober 1965 oleh G30S meng- di Lubang Buaya. hasilkan signifikansi tersendiri. Bahkan dalam Di Paseban, penculikan ketujuh perwira buku-buku sejarah keluaran resmi pemerintah TNI AD masing-masing digambarkan dengan Orde Baru, aksi G30S pada 1 Oktober 1965 hanya satu diorama, di samping diorama mengenai ditempatkan sebagai “puncak” dari sepak terjang upaya penculikan Jenderal A. H. Nasution serta PKI yang sudah dimulai sejak 1913, ketika ide- tertembaknya Ade Irma Suryani Nasution dan ologi Komunis masuk ke Indonesia melalui H. J. AIP I K. S. Tubun yang tengah bertugas menjaga F. M. Sneevliet, bekas Ketua Sekretariat Buruh kediaman Waperdam II Dr. Leimena. Selain itu, Nasional dan bekas pimpinan Partai Revolusioner tiga diorama lain menggambarkan dimasukkan- Sosialis di salah satu provinsi di negeri Belanda nya jenazah perwira TNI AD ke dalam sumur (Pusjarah ABRI 1995a:5). Pada permulaan tua oleh personel G30S, pengangkatan jenazah sebuah wawancara, salah seorang sejarawan para perwira dari sumur tersebut, serta prosesi Monumen Pancasila Sakti yang menjadi infor- pemakaman mereka. Segmen-segmen diorama man saya juga menekankan hal senada, bahwa ini memperlihatkan adanya penekanan pada sejarah G30S/PKI tidak dapat dilihat dari periode pembunuhan terhadap para perwira TNI AD. 1965 saja, melainkan harus dilihat jauh ke be- Tekanan ini diperkuat dengan sebuah diorama lakang hingga awal mula masuknya Komunisme lain mengenai penyiksaan terhadap Mayjen R. di Indonesia (wawancara 25 April 2014). Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo Perentangan kurun di atas hendak menunjuk- S., dan Lettu P. A. Tendean yang terdapat di kan bahwa ideologi Komunis sudah sejak lama rumah penyiksaan di Ring Satu, serta “dibuk- bercokol di Indonesia, namun selama itu pula tikan” dengan relik-relik—“pakaian dan bekas ideologi tersebut—dan PKI sebagai manifesta- darah” para perwira yang dibunuh, benda-benda sinya—menjadi biang keladi dari berbagai peris- pribadi, serta beberapa benda lain seperti radio tiwa yang mengganggu keamanan, merongrong komunikasi dan aqualung—yang tersimpan di kewibawaan negara, hingga mengancam Pancas- Ruang Relik, yang akan pengunjung kunjungi ila sebagai ideologi sah negara-bangsa Indonesia. setelah Paseban. Kendati berulang kali tindakan keras dan tegas Alur kunjungan dan penataan koleksi di telah diambil untuk menangani kekacauan yang Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Pas- diakibatkan PKI, namun sepak terjangnya tidak eban, dan Ruang Relik membawa kita pada pernah padam. Hal ini karena PKI bukan seka- cerita panjang mengenai “pengkhianatan” PKI dar organisasi politik, namun lebih dari itu, PKI dengan penekanan pada momen-momen yang adalah manifestasi dari sebuah ideologi “yang

114 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 secara diametral bertentangan dengan Pancasila” digambarkan sebagai tokoh sentral yang mem- (Pusjarah TNI 2008:v). Dengan demikian, logika bawa kembali ketertiban dan tatanan. Adapun yang dibangun dari penarasian ini kurang lebih Soekarno, melalui penggambaran relief ini hendak mengatakan bahwa kendati Komunisme agaknya didepresiasi ketokohannya. Sosoknya merupakan ideologi “asing”, namun telah menyu- muncul sebanyak dua kali: pertama, sebagai sup dan berurat akar dalam kehidupan bangsa In- pencetus Nasakom Soekarno secara tidak lang- donesia dalam rupa “bahaya laten”—bahaya yang sung turut bertanggung jawab atas keberlanjutan sewaktu-waktu dapat termanifestasikan sebagai ideologi Komunis yang setelah 1965 dicirikan malapetaka “yang mengancam kelangsungan sebagai ideologi “terlarang” dan senantiasa hidup bangsa Indonesia” sehingga “perlu kita menjadi “bahaya laten” bagi bangsa Indonesia; waspadai secara terus-menerus dan berlanjut” kedua, sebagai Presiden RI Soekarno digambar- (Pusjarah TNI 2008: vi). kan tidak mampu memulihkan keamanan dan Selain itu, penataan sejarah ke dalam satu ketertiban pasca-1965 sehingga harus menyerah- narasi tunggal tentang sebuah bangsa Pancasi- kan wewenang untuk memulihkan keamanan lais—Indonesia—yang selalu saja dirongrong dan ketertiban tersebut kepada Letjen Soeharto dan dikhianati oleh suatu “bahaya laten”—PKI melalui Supersemar. (Komunis)—juga memaksa segenap orang yang Upaya untuk mengangkat ketokohan Soe- menjadi bagian dari bangsa Indonesia ambil harto dan mendepresiasi ketokohan Soekarno bagian dalam sejarah tersebut. Tidak semua dari melalui penarasian sejarah ini mengandung kita sebenarnya mengalami perseteruan—atau arti penting tersendiri bagi penguatan fondasi bahkan, mungkin sekadar perjumpaan—dengan Orde Baru sebagai rezim yang memiliki legiti- PKI maupun Komunisme, tetapi sebagai orang masi untuk memerintah di Indonesia. Dengan Indonesia, kita pun harus menerima bahwa ditetapkannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian narasi tersebut merupakan bagian dari sejarah Pancasila oleh Presiden Soeharto sejak 1 Oktober kita sendiri,7 dan pada gilirannya, setiap dari 1967, misalnya, hari di mana Pancasila terbukti kita diharuskan memosisikan diri pada salah lulus menjalani cobaan sejarah dan membuktikan satu dari dua kekuatan besar yang bertarung kesaktiannya, yang ditandai dengan tumpasnya dalam narasi itu—apakah berpihak pada Pan- G30S tidak lama setelah mereka menjalankan casila atau “bahaya laten” yang terus-menerus aksinya, lantas menjadi hari yang lebih pent- mengancamnya. ing bagi bangsa Indonesia daripada Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945 (McGregor 2002:45). DUA KUTUB DIKOTOMI: PANCASILA Namun demikian, terkait dengan inti argumen VS “BAHAYA LATEN” dalam tulisan ini, terdapat signifikansi lain di balik pengangkatan dan pendepresiasian ketoko- Bukan hanya menghadirkan kepada kita han mereka, selain keperluan untuk melegitimasi cuplikan peristiwa-peristiwa dari satu narasi berkuasanya sebuah rezim. Signifikansi tersebut sejarah, relief Monumen Pancasila Sakti juga dapat dijelaskan sebagai berikut. menghadirkan tokoh-tokoh utama yang ambil Meski senantiasa menjaga netralitasnya selama bagian dalam drama “pengkhianatan” G30S/ Perang Dingin, namun pemerintahan Soekarno PKI. Di antara tokoh-tokoh tersebut, dua yang tidak dimungkiri memberikan lingkungan yang tampaknya diposisikan sebagai sentral adalah cukup kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya Soekarno dan Soeharto. Komunisme di Indonesia, sehingga pada awal Sebelumnya telah disebutkan, Soeharto 1960-an PKI menjadi organisasi politik yang 7 Sebuah pesan yang tertulis pada salah satu dinding di koridor memiliki basis dukungan sangat kuat di kalangan Ruang Relik mengeksplisitkan hal ini. Pesan tersebut berbunyi: “Zaman dan generasi boleh berganti / Fakta pengorbanan ini adalah rakyat kebanyakan (Roosa 2006). Sampai awal milikmu, milikku, milik kita sebagai bangsa yang besar yang selalu menghargai pahlawannya.” 1960-an, di samping Soekarno dan TNI, PKI

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 115 Gambar 4. Relief: Soekarno, Nasakom, dan Supersemar (sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

menjadi satu dari tiga pilar kekuatan dalam politik seolah mengawali pengategorian biner “Pancas- Indonesia (Feith 1964; Roosa 2006). Lebih jauh, ila–Komunisme”, “benar–salah”, “baik–buruk”, Feith (1964) memprediksi bahwa pada akhirnya “pahlawan–pengkhianat”, yang semakin tajam PKI akan berhasil meraih kekuasaan, meski TNI dan kokoh melalui presentasi dua tokoh utama akan pula muncul sebagai kekuatan yang dominan dalam tragedi 1 Oktober 1965: Para Pahlawan dan memperlakukan PKI sebagai musuh. Berdiri Revolusi vis a vis PKI. Kategorisasi biner ini di antara dua kekuatan ini, Presiden Soekarno berkisar pada pendikotomian dua kekuatan yang menjadi figur yang mencegah terjadinya konflik menggerakkan alur sejarah seperti digambarkan terbuka antara PKI dan tentara. Bahkan di saat pada kompleks Monumen Pancasila Sakti—dua kampanye anti-PKI dan operasi penumpasannya kekuatan yang “secara diametral bertentangan” mulai digalakkan pasca-1 Oktober 1965, Soek- dan saling meniadakan: Pancasila dan “bahaya arno termasuk tokoh yang senantiasa memprotes laten” Komunis. Di dalam kompleks Monumen, langkah tersebut dan menuduh TNI bertindak kekuatan-kekuatan tersebut terutama diwakili berlebihan karena telah “membakar rumah hanya oleh para Pahlawan Revolusi dan PKI; maka untuk membunuh seekor tikus” (Roosa 2006:22). tidak mengherankan, jika fokus narasi sejarah Melalui pendepresiasian kekokohan Soekarno, yang kita dapati di sana berulang-alik di antara narasi sejarah versi Orde Baru bukan hanya beru- kedua aktor ini. Bersama-sama, keduanya meru- paya melepaskan diri dari bayang-bayang rezim pakan bagian dari sebuah narasi tunggal namun Soekarno, tetapi juga membersihkan dirinya dari diceritakan dengan cara yang berbeda. unsur-unsur Komunis, termasuk dari tokoh-tokoh Cerita mengenai para Pahlawan Revolusi nasional yang dinilai berperan dalam membiarkan dikonstruksi dengan skema yang serupa dengan hidupnya ideologi tersebut di bumi pertiwi. yang biasa kita dapati dalam martirologi.8 Keseru-

Pengontrasan antara Soeharto dan Soekarno— 8 Secara sederhana, martirologi dapat diartikan sebagai di mana yang satu digambarkan berjuang men- kisah tentang orang-orang suci yang mati sebagai martir; banyak kita temukan dalam tradisi Kristen dan Islam. egakkan Pancasila, sementara yang lain memberi Untuk diskusi mengenai martirologi, lihat misalnya Febe Armanios dan Boğaç, “A Christian Martyr under tempat bagi Komunisme—dalam cerita yang Mamluk Justice: The Trials of Şalīb (d. 1512) according digambarkan oleh relief Monumen Pancasila Sakti to Coptic and Muslim Sources,” dalam The Muslim World Vol. 96 (2006), pp. 115–144; Adam H. Becker,

116 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 Gambar 5. Cungkup sumur Monumen Pancasila Sakti (sumber: dokumentasi pribadi, 2014) paan ini dapat kita lihat dari beberapa aspek. Perta- A. Yani yang menudingkan telunjuk kanannya ma, kisah ketujuh Pahlawan Revolusi memberikan ke arah cungkup sumur, seolah menunjukkan di penekanan lebih kepada kematian mereka, dan mana mereka dikuburkan setelah dibunuh secara bukan pada cerita kehidupannya. Ketika berkun- keji. Oleh karena itu, anak tangga dan setapak jung ke Ring Satu, rute yang pengunjung lalui berlantai merah yang membimbing pengunjung akan langsung mengantarkan mereka kepada dari lapangan upacara ke Monumen Pancasila cungkup sumur. Di Jawa, cungkup sendiri biasa Sakti sebenarnya membawa mereka ke dalam dibangun di atas makam orang-orang yang dihor- sebuah situs penziarahan. mati. Dengan demikian, membangun cungkup Namun demikian, dalam martirologi ses- itu juga menandai sumur tua di Lubang Buaya eorang menjadi martir bukan sekadar karena ia sebagai makam, mengingat ketujuh jenazah per- mati, namun karena ia dibunuh secara keji lanta- wira TNI AD dipendam dan disembunyikan di ran mempertahankan suatu gagasan, kebenaran, sumur ini. Di balik sumur tersebut berdiri tegak keyakinan, atau ideologi. Aspek-aspek ini tampak Monumen Pancasila Sakti, seolah-olah berfungsi jelas dari cara penceritaan kematian para Pahla- sebagai nisan bagi ketujuh Pahlawan Revolusi. wan Revolusi melalui diorama yang terdapat di Di tengahnya berdiri patung Jenderal (Anumerta) rumah penyiksaan di samping cungkup sumur, di samping sejumlah diorama di Paseban yang ‘Martyrdom, Religious Difference, and “Fear” as A Category of Piety in the Sasanian Empire: The Case merekonstruksi drama penculikan serta pakaian of the Martyrdom of Gregory and the Martyrdom of dengan bekas darah mereka yang tersimpan di Yazdpaneh,’ dalam Journal of Late Antiquity Vol. 2 Issue 2 (Fall, 2009), pp. 300–336; Christine Caldwell, “Peter Ruang Relik. Diorama tersebut memperlihatkan Martyr: The Inquisitor as Saint,” dalam Comitatus: A Journal of Medieval and Renaissance Studies Vol. personel-personel G30S tengah menyiksa Mayjen 31 Issue 1 (2000), pp. 137–174; Carl W. Ernst, “From R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo Hagiography to Martyrology: Conflicting Testimonies to a Sufi Martyr of the Delhi Sultanate,” dalamHistory of S., dan Lettu P. A. Tendean. Religions Vol. 24 Issue 4 (1985), pp. 308–327; Shelley Matthews, Perfect Martyr: The Stoning of Stephen and Kendati rekonstruksi menggunakan diorama Construction of Christian Identity (Oxford: Oxford tampaknya dimaksudkan untuk “mengabadikan” University Press, 2010).

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 117 Gambar 6. Diorama di rumah penyiksaan (sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

Gambar 7. Detail ukiran burung garuda dan bunga bakung di cungkup sumur (sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

118 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 peristiwa yang terjadi 49 tahun silam, namun gaan ini agaknya hendak mengabarkan bahwa martirologi bukanlah sebuah peristiwa (event), para pahlawan yang terkubur di sana gugur melainkan diskursus (discourse) (Matthews dalam perjuangan mereka mempertahankan 2010:4). Penculikan dan pembunuhan terhadap kemurnian dan kemuliaan Pancasila. Di dekat para perwira TNI AD itu memang terjadi, namun bibir sumur juga terdapat sebuah prasasti dengan kemudian kejadiannya diceritakan dengan se- pesan yang menguatkan hal ini. Pesan tersebut bentuk narasi yang—sebagaimana umumnya seolah-olah tengah diucapkan langsung oleh martirologi—“menjungkirbalikkan” kategori- para Pahlawan Revolusi: “Tjita-tjita perdjuangan kategori tertentu seperti benar–salah, pemenang– kami untuk menegakkan kemurnian Pantja-sila pecundang, ataupun pahlawan–penjahat. tidak mungkin dipatahkan hanja dengan men- Menjelang dan selama drama 1 Oktober 1965, gubur kami dalam sumur ini—Lobang Buaja, 1 baik pihak tentara—dalam hal ini TNI AD— October 1965.” maupun pentolan G30S—termasuk petinggi- Pada titik ini kita juga mulai dapat meraba petinggi PKI yang terlibat di dalamnya—sama- aspek lain yang hampir selalu ada dalam cerita sama mengaku sebagai elemen bangsa yang kemartiran, namun tidak selalu diceritakan menjunjung revolusi, bahkan Soekarnois (Roosa, secara eksplisit, yakni pengutukan terhadap para 2006). Namun, dalam perkembangannya, G30S/ pembunuh martir. Kompleks Monumen Pancasila PKI—sebagai pihak yang kalah setelah kegaga- Sakti—dan buku-buku sejarah keluaran Orde lan operasi mereka—mulai dicirikan sebagai ger- Baru, tentu saja—menampilkan pengutukan akan yang “kontra-revolusioner”. Padahal tadinya terhadap G30S—terutama PKI yang dituding mereka melancarkan operasi tersebut untuk— sebagai dalangnya—melalui sebuah mekanisme setidaknya dalam perspektif mereka—menyela- yang dapat kita sebut dehumanisasi. matkan negara dan revolusi bangsa Indonesia di Sebagai sebuah organisasi, PKI sebenarnya bawah kepemimpinan Soekarno dari rongrongan telah mengalami pertumbuhan dan berbagai Dewan Jenderal. “Penjungkirbalikan” kategori perubahan. PKI di masa awal berdirinya pada semacam ini tidak lepas dari cerita kemartiran dasawarsa 1920-an adalah organisasi yang ber- Pahlawan Revolusi yang diproduksi tidak lama beda dari PKI di tahun 1948, juga tidak sama setelah penculikan dan pembunuhan mereka. Jika dengan PKI di tahun 1965. Selain itu, PKI juga G30S berjaya, hampir pasti ketujuh perwira TNI tidak lepas dari variasi internal dan faksi-faksi, AD inilah yang akan kita kenal sebagai “peng- meski memang terbukti menjadi salah satu or- khianat”. Namun kenyataannya tidak demikian. ganisasi paling solid dan disiplin di masanya Sebagai martir, ketujuh perwira TNI AD (Roosa 2006). Namun demikian, terutama dalam digambarkan gugur dalam mempertahankan pameran diorama di Museum Pengkhianatan ideologi Pancasila, sehingga mereka layak dike- PKI (Komunis) dan Paseban, PKI digambarkan nang dengan predikat Pahlawan Revolusi. Secara sebagai satu entitas yang relatif utuh dan homo- visual, hal ini ditampilkan dengan patung Garuda gen. Bahkan penyebutan “PKI gaya baru” pada raksasa yang menaungi patung ketujuhnya di beberapa diorama yang menceritakan peristiwa- Monumen Pancasila Sakti, serta ukiran-ukiran peristiwa pasca-1965—“Operasi Trisula di Blitar jatayu (burung garuda) dan bunga bakung yang Selatan (20 Juli 1968)” dan “Tertembak Matinya menghiasi tiang-tiang penyangga cungkup S. A. Sofyan (12 Januari 1974)”—agaknya masih sumur.9 Dalam pandangan umum, bunga bakung membawa kecenderungan esensialis semacam merupakan lambang kemurnian dan kemuliaan; ini. Secara keseluruhan, koleksi diorama tersebut bersama ukiran burung garuda, ukiran bebun- seakan hendak menegaskan bahwa sejak dan sampai kapan pun PKI tetaplah manifestasi dari 9 Adapun lambang garuda yang terdapat di pucuk atap cungkup ideologi Komunisme “yang secara diametral merupakan lambang TNI Angkatan Darat, sebagai penegasan bahwa para Pahlawan Revolusi berasal dari kesatuan tersebut. bertentangan dengan Pancasila”.

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 119 Esensialisasi pada gilirannya mentransen- bertarung dalam epik sejarah kita sebagai sebuah densikan PKI menjadi sebuah kategori abstrak bangsa. Dalam epik inilah setiap orang Indonesia yang dicirikan sebagai “bahaya laten”—selama diharuskan ambil bagian dan menentukan keber- Orde Baru berkuasa, “bahaya laten” itu bahkan pihakan. Namun melalui narasi besar ini pula melingkupi berbagai paham lain di luar Komu- setiap diri kita diingatkan: siapa pun yang me- nisme yang dianggap merongrong dasar negara milih “berkhianat” terhadap Pancasila, mereka Pancasila dan dapat mengakibatkan disintegrasi akan—dan layak untuk—dihancurkan. bangsa, termasuk Islam radikal di masa mere- baknya isu Komando Jihad (McGregor 2002). Penempatan orang-orang yang terlibat atau di- MEKANISME ABJEKSI DALAM PEM- tuduh terlibat PKI ke dalam kategori abstrak ini, BENTUKAN IDENTITAS NASIONAL melucuti kemanusiaan mereka dan menempatkan “KITA” DI MASA ORDE BARU mereka sepenuhnya sebagai liyan (other). Hak- Pada sebuah panel yang terpasang di lobi hak mereka sebagai warga negara ditanggalkan Paseban, tertulis: “Ancaman terhadap ideologi dan secara moral mereka pun didepresiasi. Pros- Pancasila adalah masalah kelangsungan hidup esnya bekerja terutama dengan memuati kategori bangsa dan negara. Museum ini merupakan salah abstrak tadi dengan berbagai stigma, seperti satu sarana untuk mengingatkan bangsa Indone- “pengkhianat”, “penghasut”, atau “orang tak sia, bahwa Komunisme merupakan bahaya laten beragama”—stigma-stigma semacam ini dengan yang harus terus-menerus diwaspadai.” Pesan mudah kita dapati pada keterangan-keterangan serupa dapat kita temukan di berbagai sudut yang melengkapi setiap diorama di Museum kompleks Monumen Pancasila Sakti, seperti di Pengkhianatan PKI (Komunis) dan Paseban. bagian dalam dinding pintu gerbang Monumen Pengonstruksian aktor-aktor utama dalam (“Anda meninggalkan Monumen Pancasila Sakti, tragedi 1 Oktober 1965 melalui mekanisme bukan berarti Anda melupakan peristiwa sejarah yang telah saya jelaskan di atas akhirnya meng- pengkhianatan G30S/PKI”), bagian akhir dari hadirkan kepada kita pahlawan yang berwajah Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) (“Jangan dan penjahat yang tidak berwajah. Ketujuh biarkan peristiwa semacam itu terulang kembali. Pahlawan Revolusi ditampilkan sebagai pribadi Cukup sudah tetes darah dan air mata membasahi biasa—dibuktikan dengan koleksi memorabilia bumi pertiwi”), serta landasan Monumen Pan- pribadi para pahlawan di Ruang Relik, seperti casila Sakti (“Waspada...... dan mawas diri agar pakaian, surat, cincin, jam tangan, tongkat peristiwa sematjam ini tidak terulang kembali”). golf, raket tenis, bahkan rokok kegemaran Berbagai publikasi resmi menyangkut Monu- mereka—yang juga dapat mengalami rasa sakit men Pancasila Sakti maupun sejarah PKI dan penderitaan—sebagaimana ditampilkan keluaran pemerintah, terutama di masa Orde melalui diorama-diorama tentang penculikan Baru, juga kerap diawali dengan ungkapan- dan pembunuhan ketujuh perwira TNI AD. ungkapan senada: “... kehadiran museum ini Adapun PKI (Komunis) cenderung ditampilkan diharapkan mampu membangkitkan kesadaran sebagai ideologi jahat yang termanifestasikan dan kewaspadaan bangsa Indonesia terhadap dalam tindakan-tindakan tak manusiawi melalui bahaya Komunis yang bersifat laten” (Pusjarah tangan siapa saja. Rakyat biasa dan organisasi- TNI 2013); “Dengan Monumen Pancasila Sakti organisasi “pengacau keamanan” hampir selalu ini pengunjung dapat mengetahui tragedi yang digambarkan sebagai instrumen dan “korban pernah menimpa bangsa kita yang dilakukan hasutan” PKI (Komunis). Ketujuh Pahlawan Rev- oleh Komunis, sehingga mampu membang- olusi dan PKI dikonstruksi sebagai perwujudan kitkan kesadaran dan sikap waspada terhadap kekuatan baik dan jahat—Pancasila dan “bahaya bahaya Komunis yang bersifat laten tersebut” laten” yang mengancamnya—yang senantiasa (Pusjarah TNI 2008:vi); “... [buku ini] henda-

120 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 knya dapat digunakan sebagai bahan kajian dan Kecenderungan pendapat itu barulah pada sekaligus sumber acuan dalam meningkatkan tingkat pra anggapan” (penekanan oleh penulis) kewaspadaan, guna menghadapi siasat licik sisa- (Pusjarah ABRI, 1995c:vii). Sebagai ideologi, ia sisa PKI dan sisa-sisa G30S/PKI, agar mereka dapat terus hidup dan mengambil bentuk dalam tidak muncul kembali di bumi Indonesia” (Pus- rupa apa pun; setidaknya, demikianlah ingatan jarah ABRI 1995a:vi; 1995b:vi); “Penerbitan yang setiap tahun disegarkan melalui peringatan buku semacam ini merupakan salah satu sarana Hari Kesaktian Pancasila sejak 1 Oktober 1967 untuk mengingatkan pada bangsa Indonesia (McGregor, 2002). Kelanggengan Komunisme bahwa Komunisme dan pola sikap ala Komu- dalam sentimen kebangsaan ini terekspresikan nisme merupakan bahaya bagi suatu bangsa yang secara kuat dalam terminologi yang sudah sejak lemah penghayatan ideologinya” (Pusjarah ABRI lama kita akrabi untuk mencirikannya: “bahaya 1995c:vi; 1995d:vi; 1995e:vi). laten” dan “organisasi tanpa bentuk”—sebagai Pernyataan-pernyataan di atas kurang lebih ideologi (laten yang berbahaya), ia dapat ter- menggarisbawahi pesan moral yang diajarkan manifestasikan dalam beragam wujud (karena melalui rekonstruksi sejarah di kompleks Monu- pada dirinya ia tak punya bentuk). men Pancasila Sakti, bahwa sebagai bangsa Dengan konstruksi semacam ini, tidak meng- Indonesia kita harus terus-menerus waspada herankan jika bangsa kita selalu saja dihantui terhadap keberadaan bahaya laten Komunis oleh dirinya sendiri, karena ancaman terbesar yang senantiasa mengancam ideologi negara kita tidak datang dari luar, melainkan ada di Pancasila—jangan sampai bahaya laten terse- dalam dan menjadi bagian dari kedirian kita. but termanifestasikan lagi. Kita telah melihat, Kendati demikian, bagian diri yang tidak pernah konstruksi sejarah yang dipelihara di situs ini benar-benar enyah ini justru harus selalu kita membentuk dan menempatkan PKI (Komunis) waspadai, kita kutuk, dan kita perangi. Dalam sebagai liyan, bahkan entitas asing, yang tidak pengertian inilah kita dapat memahamkan “PKI” cocok, bahkan bertentangan, dengan Pancasila atau “Komunisme” sebagai abjek—dan dengan sebagai jiwa dari kebangsaan kita. Kendati demikian, pembentukan sentimen kebangsaan demikian, sang liyan ini selalu ada di dalam dan kita pun, khususnya semenjak Orde Baru, tidak menjadi bagian dari diri kita. Bersamaan dengan pernah lepas dari mekanisme abjeksi. Dalam proses pembentukan sentimen kebangsaan In- pembentukan identitas, abjeksi memang senan- donesia, terutama selama periode pemerintahan tiasa mengiringi subjeksi atau proses pencip- Orde Baru, liyan tersebut juga turut selalu di(re) taan subjek. “[S]ubjeksi dan abjeksi merupakan produksi. Bahkan setelah Perang Dingin usai dua hal yang tak terpisahkan... Subjeksi selalu dan Komunisme runtuh bersama bubarnya Uni mensyaratkan abjeksi; dan sebaliknya, abjeksi Soviet, liyan ini tidak pernah (dibiarkan) hilang merupakan konsekuensi tak terelakkan dari dari formasi internal kebangsaan kita. “... [P] subjeksi” (Polimpung 2014:70). Oleh karena, erkembangan Komunisme dunia dewasa ini ketika kita menyerap berbagai unsur dan me- memang cenderung menurun popularitasnya. nyatukannya dalam identitas kita, di saat yang ... Namun jika diamati secara cermat, hal itu bersamaan kita pun mengeksklusi unsur-unsur hanya merupakan perubahan yang bersifat tidak lain yang kita anggap tidak sesuai. Unsur-unsur mendasar, yang semata-mata ditempuh dalam yang mengganggu identitas, sistem, tatanan, rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan ambigu inilah yang disebut sebagai abjek Komunisme itu sendiri” (penekanan oleh penulis) (Kristeva 1982:4). (Pusjarah ABRI 1995a:v; 1995b:v). “Bahkan ada Narasi sejarah versi Orde Baru agaknya juga yang cenderung berpendapat, bahwa Komunisme berupaya membangun identitas kebangsaan me- bukan lagi bahaya karena ideologi itu telah usang lalui mekanisme serupa. Unsur-unsur Pancasilais dan ditinggal oleh jaman, tidak perlu dirisaukan. diserap sebagai bagian dari kepribadian bangsa,

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 121 sementara unsur-unsur Komunis dan bahaya Sebagai upaya menjelaskan relasi antara laten lainnya ditolak, dikutuk, disingkirkan. Ken- peristiwa 1 Oktober 1965 dengan pembunuhan dati demikian, unsur-unsur “kontaminan” yang massal 1965–1966, argumentasi Roosa menitik- ditolak dan dikutuk ini juga tidak pernah dibiar- beratkan pada justifikasi pembunuhan massal kan mati. Melalui rekonstruksi dan reinterpretasi, tersebut. Argumentasi ini tidak dapat menjelas- dari waktu ke waktu unsur-unsur tersebut terus- kan bagaimana pembunuhan massal itu mungkin. menerus dipelihara dan direproduksi—melalui Untuk persoalan terakhir ini, argumentasi Drake- penulisan dan pengajaran buku-buku sejarah, ley agaknya lebih menjanjikan. Namun demikian, film, pembangunan museum dan monumen, analisis mengenai atmosfer sosiopolitik 1960-an hingga perumusan regulasi dan legislasi. Oleh yang ia ajukan juga tidak mencukupi, karena karena itu, tidak mengherankan jika kemudian analisis semacam ini bersandar pada kekhasan pihak yang sebenarnya dianggap paling bertang- situasional kurun sejarah tertentu sebagai dasar gung jawab setiap kali “bahaya laten” Komunis penjelasannya. Dengan kata lain, penjelasan manifes adalah diri kita sendiri—bangsa Indo- semacam ini hanya dapat mengatakan bahwa nesia. Kitalah yang membiarkan abjek, bagian peristiwa tersebut dengan sendirinya muncul jahat dari diri kita itu, berulah. “Salah satu karena kompleksitas situasi pada masa itu tragedi akibat kekurangwaspadaan kita terhadap memang memungkinkan hal demikian. ideologi dan gerakan Komunis adalah peristiwa Penjelasan situasi struktural seperti yang dia- pemberontakan yang kedua kalinya yang dilan- jukan Drakeley akan mencukupi hanya jika dis- carkan oleh PKI pada tahun 1965 atau dikenal ertai dengan penjelasan mengenai “mekanisme dengan G30S/PKI” (penekanan oleh penulis) mental” yang memungkinkan pembunuhan (Pusjarah ABRI 1995a:vii). massal 1965–1966 “masuk akal”, terutama dari perspektif para pelakunya. Mekanisme mental KESIMPULAN yang dimaksud, sebagaimana sudah didiskusi- Penulisan sejarah 1965 warisan Orde Baru kan dalam tulisan ini, adalah proses abjeksi cenderung memberikan penekanan pada “peng- yang mengiringi konstruksi dan rekonstruksi khianatan” PKI melalui G30S-nya, dan di saat peristiwa 1 Oktober 1965. Lebih jauh, proses ini yang bersamaan, menyamarkan kekerasan dan bekerja tidak hanya ketika atau sesaat setelah pembunuhan massal yang mengikutinya dengan pembunuhan massal terjadi, tetapi juga dalam narasi patriotik tentang “penumpasan PKI”. melegitimasi historiografi peristiwa tersebut Dalam tafsiran Roosa (2006), peristiwa 1 Oktober selama beberapa dasawarsa setelahnya. Hanya 1965 merupakan dalih bagi pembunuhan massal dengan memahami proses abjeksi ini, bukan 1965–1966. Di sisi lain, atmosfer sosiopolitik di hanya kita dapat menjelaskan bagaimana pem- Indonesia pada dasawarsa ’60-an menjadi ling- bunuhan massal 1965–1966 mungkin, tetapi juga kungan yang kondusif bagi efektivitas provokasi mengupayakan antisipasi atas kemungkinan TNI melalui diseminasi “mitos Lubang Buaya” terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. sehingga memungkinkan pembunuhan massal ini terjadi (Drakeley, 2007).

122 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 REFERENSI

Cribb, Robert. 2009 “The Indonesian Massacres.” From Century of Genocide. 3rd Edition. Taylor and Francis, Inc. Drakeley, Steven. 2007 “Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.” Nebula 4, 4 Desember 2007:11-35. Feith, Herbert. 1964 “President Soekarno, The Army and the Communists: The Triangle Changes Shape.” Asian Survey 4(8):969-980. Heryanto, Ariel. 2006 State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London dan New York: Routledge. Hinton, Alexander Laban, ed. 2002 Annihilating Difference: The Anthropology of Genocide. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press. Kristeva, Julia. 1982 Powers of Horror: An Essay on Abjection. New York: Columbia University Press. McGregor, Katharine E. 2002 ‘Commemoration of 1 October, “Hari Kesaktian Pancasila”: A Post Mortem Analysis?’ Asian Studies Review 26(1):40-72. Pohlman, Annie. 2004 “Women and the Indonesian Killings of 1965-1966: Gender Variables and Possible Direc- tions for Research.” Makalah, dipresentasikan dalam The 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004. Polimpung, Hizkia Y. 2014 Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik. Purdey, Jena. tt. “Being an Apologist? The Cornell Paper and a Debate between Friends.” Diunduh dari http:// aust-neth.net/transmission_proceedings. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI (Pusjarah ABRI). 1995a Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhiana- tan Komunisme di Indonesia (1913-1948). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI. 1995b Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid II: Penumpasan Pemberontakan PKI. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI. 1995c Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 123 1995d Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penump- asannya. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI. 1995e Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid V: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-Sisanya. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI. Pusat Sejarah TNI (Pusjarah TNI). 2008 Buku Panduan Monumen Pancasila Sakti. Jakarta: Pusat Sejarah TNI. 2013 Museum Diorama Paseban, Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Jakarta: Pusat Seja- rah TNI. Roosa, John. 2006 Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and ’s coup d’État in Indo- nesia. Wisconsin: University of Wisconsin Press. Matthews, Shelley. 2010 Perfect Martyr: The Stoning of Stephen and Construction of Christian Identity. Oxford: Oxford University Press. Film C. Noer, Arifin (sutradara). 1984 Pengkhianatan G30S/PKI. Pusjarah TNI. tt. Pengkhianatan PKI.

124 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017