Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi Dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi Dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965 Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965 Muhammad Damm Peneliti Independen [email protected] Abstrak Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men- gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan. Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu- mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/ PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu- mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa- han strukturalis terhadap kompleks Monumen Pancasila Sakti—salah satu sarana representasi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966, mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung. Abstract Not only explanations about 30th September Movement (G30S) on 1st October 1965 debatable, the following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer- gence. Nevertheless, both arguments are sufficient to explain how 1965–1966 mass murder possible if only complemented by explanation about “mental mechanism” that worked behind it. That mental mechanism, namely abjection of PKI (Communist), can be revealed through structural inquiry to The Sacred Pancasila Monument complex as a representation and reconstruction of 1st October 1965 his- torical event. Not only made 1965–1966 mass murder possible, abjection mechanism also legitimized New Order’s historiography about 1st October 1965. Using structural anthropology as paradigm and museum ethnography as research method, this article attempts to explain how the abjection transpired. Keywords: The Sacred Pancasila Monument, Pancasila, PKI, communist, latent danger, abjection. PENDAHULUAN Tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu PKI)”—sebuah peristiwa yang menandai pad- episode penting dalam sejarah modern Indone- amnya rezim Soekarno dan munculnya rezim sia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pem- selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai bunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI, “Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/ orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 105 punya hubungan dengan Komunis, selama masa memungkinkan “mitos Lubang Buaya”2 secara kampanye penumpasan PKI yang dipimpin oleh efektif membangun diskursus ketakutan sehingga TNI pada akhir 1965 hingga 1966 (Roosa 2006) orang-orang dari kalangan Islam merasa “harus terutama di Sumatra Utara, Jawa, dan Bali. membunuh atau dibunuh” ketika menghadapi Peristiwa 1 Oktober 1965 dan penumpasan orang-orang PKI; sebagian kalangan tentara yang PKI 1965–1966 merupakan fenomena poli- bersimpati dengan PKI turut serta dalam operasi tis yang sebenarnya terpisah (Anderson dan penumpasannya karena tidak ingin dianggap pro- McVey dalam Purdey tt:4), namun peristiwa Komunis; demikian pula para tokoh dan politisi 1 Oktober 1965 tersebut telah dijadikan dalih yang sebelumnya bersimpati pada PKI menarik bagi pembunuhan massal yang mengikutinya dukungan mereka karena tidak ingin ikut celaka. (Roosa 2006:22). Roosa (2006) mencatat, G30S Atmosfer sosiopolitik nasional pada 1960-an sebenarnya sudah benar-benar padam pada 3 barangkali memang esensial dalam memung- Oktober 1965, namun pembunuhan di berbagai kinkan terjadinya pembunuhan massal pasca- daerah tetap berlangsung, setiap kali setelah Oktober 1965. Kendati demikian, keterangan pasukan RPKAD mendarat di daerah-daerah yang didasarkan pada situasi struktural mengenai tersebut. Berkat “provokasi” (Roosa, 2006; atmosfer sosiopolitik tidak mencukupi untuk Drakeley, 2007) atau upaya RPKAD “membakar menjelaskan mengapa orang-orang dari berbagai semangat perlawanan rakyat terhadap PKI” (film kalangan, baik sipil maupun militer, tiba-tiba Pengkhianatan PKI, 1984), kelompok-kelompok antusias dalam menumpas sesama mereka yang yang terdiri atas orang-orang sipil turut terlibat dilabeli Komunis. Drakeley (2007:20) agaknya dalam penculikan dan pembunuhan orang-orang menyadari hal tersebut dan menambahkan PKI atau yang dituduh PKI di berbagai daerah. bahwa pembunuhan massal 1965–1966 tidak Pembunuhan massal 1965–1966 tidak mung- dapat dilepaskan dari adanya proses “peliyanan” kin terjadi atas dasar sebuah dalih belaka. Pro- (othering) terhadap PKI dan orang-orang yang vokasi yang memantiknya juga tidak mungkin terindikasi punya afiliasi dengannya. Melalui tersulut di ruang hampa. Tentu ada prakondisi- peliyanan ini, kategori sosial baru diciptakan prakondisi tertentu yang membuat dalih dan dan direifikasi—“PKI” atau “Komunis”. Orang- provokasi ini bekerja secara efektif. Drakeley orang yang ditempatkan dalam kategori ini lantas (2007) mengungkapkan, atmosfer sosiopolitik mengalami dehumanisasi, sehingga dianggap di Indonesia pada dasawarsa ’60-an memang sebagai kelompok yang sama sekali berbeda dipenuhi ketegangan dan perselisihan. Ketegan- dari dan berada di luar “kita”. Kendati mem- gan terjadi di tingkat elite antara TNI dan PKI berikan sinyalemen tentangnya, Drakeley tidak dengan ditengahi Presiden Soekarno. Adapun mengelaborasi lebih lanjut mekanisme peliyanan di tingkat akar rumput, ketegangan muncul di ini. antara simpatisan PKI dan kalangan anti-PKI; Peliyanan terjadi sebenarnya tidak hanya terlebih karena memori pemberontakan PKI di dalam masa penumpasan PKI 1965 1966 melalui Madiun 1948 masih membekas.1 Tensi situasi ini “propaganda hitam” (Drakeley, 2007). Selama menjadi begitu tinggi di tengah memburuknya Orde Baru berkuasa proses tersebut juga terus perekonomian nasional. Sebagaimana diung- dilestarikan. Reproduksi sejarah 1 Oktober kapkan Drakeley (2007), atmosfer semacam ini 1965 versi Orde Baru, salah satunya melalui pembangunan kompleks Monumen Pancasila Sakti, memperlihatkan keberlangsungan proses 1 Untuk ulasan lebih lanjut mengenai Peristiwa Madiun 18 September peliyanan ini. Oleh sebab itu, dengan mengkaji 1948, lihat D. C. Anderson, “The Military Aspects of the Madiun Affair,” Indonesia 21 (April, 1976); Soerjono, “On Musso’s Return,” 2 Mitos yang dimaksud adalah cerita tentang kekejian orang-orang Indonesia 29 (April, 1980); Ann Swift, The Road to Madiun: The PKI, terutama Gerwani dan Pemuda Rakyat, yang menyiksa dan Indonesian Communist Uprising of 1948 (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern membunuh para perwira TNI AD pada 1 Oktober 1965, serta berbagai Indonesia Project, 1989); G. McT. Kahin, Nationalism and Revolution perilaku atau tindakan asusila orang-orang tersebut. in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1952). 106 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 bagaimana situs tersebut menarasikan sejarah “mencemari” identitas. Narasi sejarah yang dan melestarikan memori kolektif “resmi” peris- direpresentasikan melalui kompleks Monumen tiwa politik 1965–1966, kita akan dapat mengkaji Pancasila Sakti merupakan salah satu pintu bagaimana peliyanan terhadap PKI terjadi. Peng- masuk yang baik untuk memahami proses abjeksi kajian inilah yang saya upayakan di dalam tulisan yang dimaksud. ini. Namun sebelum melangkah terlampau jauh, satu persoalan perlu dipahami terkait dengan masalah “waktu”. METODE PENELITIAN Menempatkan reproduksi sejarah di kompleks Paradigma yang digunakan dalam penelitian Monumen Pancasila Sakti sebagai objek studi ini, sejak perumusan masalah, pengumpulan, untuk memahami proses peliyanan yang mem- analisis, dan penafsiran data, hingga penulisan prasyarati pembunuhan massal pasca-peristiwa laporan, dapat digolongkan sebagai antropologi 1 Oktober 1965 memang berpotensi membawa strukturalis. Metode yang digunakan adalah kita pada anakronisme. Oleh sebab itu, sebuah etnografi museum. Sebagai sebuah etnografi pemahaman awal perlu dipegang, bahwa proses museum, penelitian ini tidak ditujukan untuk peliyanan yang terepresentasikan oleh kompleks mempersoalkan kebenaran narasi sejarah yang Monumen Pancasila Sakti merupakan sebuah dikonstruksi melalui kompleks Monumen Pan- proses yang telah mengalami refleksi dan rekon- casila Sakti. Oleh sebab itu, penelitian ini tidak struksi yang berulang, sehingga sampai pada dalam kapasitasnya untuk menolak suatu “ke- kita hari ini dengan membawakan versi tertentu bohongan sejarah” dengan membuktikan narasi penggalan masa lalu dari sejarah bangsa ini. “sejarah yang benar” dari versi mana pun, me- Dengan demikian, pengkajian ini sebenarnya lainkan ditujukan untuk memahami narasi apa bukanlah upaya untuk menelusuri rationale di yang direpresentasikan dan bagaimana kompleks balik pembunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, Monumen tersebut merepresentasikannya. melainkan
Recommended publications
  • 50 Years Since 30 September, 1965: the Gradual Erosion of a Political Taboo
    ISSUE: 2015 NO.66 ISSN 2335-6677 RESEARCHERS AT ISEAS – YUSOF ISHAK INSTITUTE SHARE THEIR UNDERSTANDING OF CURRENT EVENTS Singapore | 26 November 2015 50 Years since 30 September, 1965: The Gradual Erosion of a Political Taboo. By Max Lane* EXECUTIVE SUMMARY This year marks the 50th anniversary of the events of 30 September, 1965 and its aftermath. Amidst heightened discussion of the matter, President Widodo, on behalf of his government, stated that there would be no state expression of being sorry for the large scale massacres of 1965. He attended conventional activities on the anniversary consistent with the long-term narrative originating from the period of Suharto’s New Order. At the same time, there are signs of a gradual but steady erosion of the hegemony of the old narrative and an opening up of discussion. This is not driven by deliberate government policy, although some government decisions have facilitated the emergence of a generation for whom the hegemonic narrative holds less weight. The processes weakening the old hegemony have also been fostered by: a) Increased academic openness on the history of the period, both in and outside of Indonesia. b) More activity by lawyers, activists, researchers as well as former political prisoners demanding state recognition of human rights violations in 1965 and afterwards. c) A general attitude to educational processes no longer dominated by indoctrination concerns. 1 ISSUE: 2015 NO.66 ISSN 2335-6677 Hegemony may be slowly ending, but it is not clear what will replace it. *Max Lane is Visiting Senior Fellow with the Indonesia Studies Programme at ISEAS- Yusof Ishak Institute, and has written hundreds of articles on Indonesia for magazines and newspapers.
    [Show full text]
  • Tinjauan Psikoanalisis Sastra Konflik Ideologi Film G30s/Pki (Sutradara: Arifin C
    TINJAUAN PSIKOANALISIS SASTRA KONFLIK IDEOLOGI FILM G30S/PKI (SUTRADARA: ARIFIN C. NOER) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Gunu Mencapai Gelar sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar ANDI AGUS 10533783414 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2018 MOTTO “Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu” (Imam Syafi‟i) “Kita boleh berbeda dalam pikiran karena pustaka kita „mungkin‟ berbeda namun selama lagu kebangsaanmu masih Indonesia Raya saya pastikan kita masih satu nusa satu bangsa (Indonesia)” (Andi Agus) Karya ini kupersembahkan kepada: Kedua orang tuaku yang berkorban untukku Terkhusus ibundaku (Rachmawati) yang telah memotivasiku Sahabat-sahabatku yang berjuang bersamaku sejak tahun 2014 ABSTRAK Andi Agus. 2018. Tinjauan Psikoanalisis Sastra Konflik Ideologi Film Pengkhianatan G30S/PKI (sutradara: Arifin C. Noer). Skripsi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Salam dan Syekh Adiwijaya Latief. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konflik ideologi dan psikologi yang terdapat dapat film G30S/PKI (Sutradara: Arifin C. Noer). Terjadinya suatu konflik dikarenakan adanya oposisi dan manusia harus memilih (pilihan hidup) dan psikologi yang di dalamnya terdapat id, ego, dan superego yang ada dalam diri manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi konflik Ideologi antara pihak Pancasila dengan Komunisme. Film Pengkhianatan G30S/PKI (Sutradara: Arifin C. Noer) diterbitkan oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) durasi waktu 03:37:15. Dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film Indonesia dengan No. SLS: 557/VCD/2.2006/2001 di Jakarta, 23 Februari 2001 dan sasarannya: Remaja.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Sebagai Suatu
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis geneologi, lalu membangun dan mempertahankan keistimewaan suatu peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang).1 Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia Modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian yang terpenting. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga dapat diharapkan sejarawan akan mengungkapkan secara objektif.2 Perjalanan sejarah banyak meninggalkan kesan faktual betapa pemikiran seorang tokoh mempunyai peran penting dan kontribusi di jamannya. Negara Indonesia lahir dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari tanpa konflik yang menerpa Indonesia. Peritiwa sejarah Indonesia ketika menghadapi Agresi Militer 1 Rhoma Dwi Aria Y, Fiktif Sejarah, Sejarah Fiktif, Istoria, vol. 2 nomor 1, September 2006, hlm.121. 2 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1955, hlm.13. 1 2 Belanda II3, setelah itu perang-perang menyusul menghantam Republik Indonesia sampai Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat yang kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai konflik ini melanda lahir kembali konfrontasi menentang pembentukan Federasi Malaysia4 tahun 1963. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat menguras energi nasional, kehidupan berbagai sektor tidak stabil. Namun bagi Angkatan Darat, keadaan ini membuka peluang untuk tampil sebagai benteng pertahanan Republik.5 Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh Pemerintah suatu negara adalah Militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil.
    [Show full text]
  • The Contestation of Social Memory in the New Media: a Case Study of the 1965 Killings in Indonesia
    Aktuelle Südostasienforschung Current Research on Southeast Asia The Contestation of Social Memory in the New Media: A Case Study of the 1965 Killings in Indonesia Hakimul Ikhwan, Vissia Ita Yulianto & Gilang Desti Parahita ► Ikhwan, H., Yulianto, V. I., & Parahita, G. D. (2019). The contestation of social memory in the new media: A case study of the 1965 killings in Indonesia. Austrian Journal of South-East Asian Studies, 12(1), 3-16. While today’s Indonesian democratic government remains committed to the New Order orthodoxy about the mass killings of 1965, new counter-narratives challenging official history are emerging in the new media. Applying mixed-methods and multi-sited ethnography, this study aims to extend our collaborative understanding of the most re- cent developments in this situation by identifying multiple online interpersonal stories, deliberations, and debates related to the case as well as offline field studies in Java and Bali. Practically and theoretically, we ask how the tragedy of the 1965 killings is contest- ed in the new media and how social memory plays out in this contestation. The study finds that new media potentially act as emancipatory sites channeling and liberating the voices of those that the nation has stigmatized as ‘objectively guilty’. We argue that the arena of contestation is threefold: individual, public vs. state narrative, and theoretical. As such, the transborder space of the new media strongly mediates corrective new voices to fill missing gaps in the convoluted history of this central event of modern Indonesian history. Keywords: 1965 Killings; Master vs. Counter Narratives; Memory Studies; New Media; Southeast Asia INTRODUCTION Indonesia experienced one of the 20th century’s worst mass killings.
    [Show full text]
  • Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan Di Indonesia Tahun 1966-1998
    Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Elisabeth Endah Retnoningrum 024314018 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 i ii iii HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan untuk: • “Tuhanku Yesus Kristus” yang selalu mendampingi aku disaat sedih maupun senang. Terimakasih ya Tuhan karena kemampuanku tidak terlepas dari anugerah dan karunia yang Kau berikan padaku. • Mami dan Papiku yang selalu mendampingi dan bersabar support aku. • Putraku Bonaventura Fajar P.N …..my son your is my inspiration” • Saudara-saudaraku yang selalu mendukung aku disaat aku rapuh dan tidak menentu, thanks to my big familiys. • Teman-teman dan Jurusan ilmu sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, thanks there give me the lot of experience n sience in this real word. • Segala kepanatan, kemarahan, kesulitan, kekacauan, kekecewaan, penghianatan,kebahagian, keceriaan dan juga keramaian yang tak kunjung usai dan segala masalah yang mendera aku, thanks karena mereka juga bagian dari hidup aku yang penuh dengan konflik. Tanpa semua ini aku tidak pernah selesai. iv HALAMAN MOTTO “ Hidup Penuh Dengan Tantangan Maka Berjuanglah “ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka seperti layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 23 Juli 2009 Penulis Elisabeth Endah Retnoningrum vi ABSTRAK Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998 Elisabeth Endah Retnoningrum UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Penulisan skripsi ini ditulis untuk mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1966-1998, dimana awal peristiwa 1 Oktober merupakan awal dan suatu peng- hancuran PKI dan Gerwani.
    [Show full text]
  • Studi Semiotika Terhadap Film Pengkhianatan G 30 S Pki)
    PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (STUDI SEMIOTIKA TERHADAP FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh : Mamik Sarmiki NIM : 1111051000115 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H /2015 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 21 Mei 2015 Mamik Sarmiki ABSTRAK Mamik Sarmiki NIM 1111051000115 PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FILM FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Berawal dari sebuah tragedi sadis pada tahun 1965, saat itu terjadi kudeta yang dilakukan oleh sekelompok pasukan yang menculik para Jederal dan menguburnya di Lubang Buaya yang sampai sekarang dikenal sebagai peristiwa G 30 S PKI. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tragedi ini pun diangkat ke layar lebar dengan judul Pengkhianatan G 30 S PKI. Film Pengkhianatan G 30 S PKI ini membawa
    [Show full text]
  • Collective Memory and State's Stigmatization of Ex-Political
    Indonesian Historical Studies, Vol. 3, No. 2, 116-124 © 2019 | E-ISSN: 2579-4213 Collective Memory and State’s Stigmatization of Ex-Political Prisoners on G-30S in 1965 Hamdan T. Atmaja Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Semarang Corresponding Author: [email protected] DOI: https://doi.org/10.14710/ihis.v3i2.6588 Abstract The state as an institution that holds power has an obligation to protect the public interest. However, power is often used to shackle public interest. In the context of the Thirtieth of September Movement (G30S) in 1965, the state has the power to build a collective memory of the incident. The state even led the community to stigmatize the ex-political prisoners of the Communist Party of Indonesia (PKI). Received: Through an oral history approach, this research attempts to reveal the collective 25 November 2019 memory and stigmatization of ex-political prisoners of PKI, as well as how history must make peace with the G30S incident. This research elaborates on the collective Accepted: 5 December 2019 memory of ex-political prisoners of PKI on the incident that has put them as political victims due to the state’s stigmatization. The stigma destroyed ex-political prisoners, both politically and socially. The collective memory and stigma are very contradictory to the meaning of G30S built by the New Order. For this reason, ex- political prisoners of PKI and the state need to go through a dialogue process that results in an agreement that the incident should not be repeated. It can be done if there is a reconciliation of the past.
    [Show full text]
  • Film Pengkhianatan G30s/Pki Karya Arifin C Noor
    LUBANG BUAYA: MITOS DAN KONTRA-MITOS Yoseph Yapi Taum ABSTRAK Wacana tentang Lubang Buaya merupakan salah satu wacana dominan dalam masa pemerintahan Orde Baru. Narasi-narasi resmi yang diproduksi negara (state) dan direproduksi masyarakat (society) cenderung menyebarkan kesan menakutkan bahkan menyeramkan. Tulisan bertujuan mengungkapkan narasi-narasi tentang Lubang Buaya sebagai sebuah mitos politik. Dalam penelusuran, ditemukan kenyataan bahwa mitos Lubang Buaya yang telah diawetkan melalui narasi sejarah, monumen, museum, film, hari peringatan sesungguhnya telah mengalami proses demitologisasi. Secara khusus, sastrawan Indonesia mengawali proses demitologisasi Lubang Buaya dengan menciptakan kontra mitos dalam karya-karya mereka. Tulisan ini menyimpulkan tiga hal. Pertama, mitos tentang peristiwa yang terjadi di Lubang Buaya mengandung muatan nilai-nilai emosional yang jelas-jelas dimaksudkan untuk kepentingan propaganda politik. Kedua, mencuatnya pandangan-pandangan yang berbau kontroversial dalam mitos itu menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi proses demitologisasi, yaitu proses menghilangkan mitos sebelumnya. Ketiga, sebagai sebuah tragedi nasional, peristiwa Lubang Buaya dan G30S tetap akan dikenang. Sebagai bagian dari usaha untuk tetap mempelajari pengalaman masa lampau itulah, kita akan tetap terbuka menerima segala penafsiran baru mengenai peristiwa itu. KATA KUNCI G30S, Orde Baru, mitos, kontra-mitos, demitologisasi 1. Pengantar Setiap kali membicarakan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), nama Lubang Buaya pasti
    [Show full text]
  • Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.1
    Nebula 4.4 , December 2007 Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.1 By Steven Drakeley In 1992 when this work was first presented at a postgraduate seminar at the University of Sydney a very different political climate pertained in Indonesia. Then the airing of topics such as this in the public domain was totally taboo inside Indonesia, unless the writer adhered strictly to the “script” sanctioned by the Soeharto regime. Even outside Indonesia, scholars thought twice before venturing into this highly sensitive terrain. 2 At that juncture few expected that within a few years President Soeharto would be removed from power and that his New Order regime would fall (or begin to fall) with him, ushering Indonesia towards democracy. 3 Perhaps nothing has better epitomised the new atmosphere of political openness that has pertained in Indonesia since May 1998 than the public questioning of the New Order’s foundation narrative that has begun to emerge, although not without considerable resistance and reluctance. 4 An important dimension of this questioning has been the hitherto unimaginable publication in Indonesia of numerous works of history related to this sensitive subject matter, a phenomenon echoed beyond Indonesia where overseas scholars have also been prompted by the new climate to engage in this re-examination. 5 I hope that this revised work can make a contribution to the revived scholarly discussion of this pivotal period in Indonesia’s post-independence history. This foundation narrative in question, foundation myth to put it less politely, was centred on the regime’s version of events associated with what it referred to as “Gestapu”.
    [Show full text]
  • BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pengenalan Pahlawan Revolusi
    BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pengenalan Pahlawan Revolusi Tahukah apa gelar pahlawan revolusi, pahlawan Revolusi adalah gelar pahlawan yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur pada peristiwa G30S tahun 1965. G30S merupakan kepanjangan dari Geraka 30 September atau sering juga di sebut GESTAPU gerakan september tiga puluh, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional. Ada 10 pahlawan revolusi tersebut: 1. Jenderal Achmad Yani Jenderal Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 10 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun semakin cepat menanjak. Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut.
    [Show full text]
  • G-Plasma Edisi Kali Ini Hadir Untuk Mengulas Sejarah Yang Membahas Kisah-Kisah G30/SPKI Dan Kesaktian Pancasila Dalam Cerita Yang Informatif Dan Menarik Untuk Dibaca
    BULETIN PLASMA SejarahGESS Bangsa Jangan Dilupa, Generasi Muda Pelajari Kisahnya JAS MERAH “JANGAN SEKALI-KALI LUPAKAN SEJARAH” BANGSA Edisi Oktober 2020 1 SALAM REDAKSI Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah pusaka sakti yang harus dirawat dan dijaga dengan erat. Dalam sejarah Indonesia, ada beragam serangan terhadap Pancasila baik itu dari internal atau eksternal bangsa. Pahlawan Kita bahkan harus berkoban nyawa dalam mempertahankan Pancasila. Maka dalam peringatan mengenang sejarah bangsa, buletin G-Plasma Edisi kali ini hadir untuk mengulas sejarah yang membahas kisah-kisah G30/SPKI dan Kesaktian Pancasila dalam cerita yang informatif dan menarik untuk dibaca. Dalam buletin edisi kali ini, berisikan cerita Pahlawan hingga Peran generasi muda untuk bangsa. Besar harapan kami setelah membaca Buletin edisi kali ini, pembaca dapat memahami dan mempelajari kisah dan mana dibalik peristiwa G30/SPKI dan Kesaktian Pancasila. Kami jajaran Redaksi G-Plasma sangat menghargai segala bentuk saran dan kritik yang diberikan. Dengan saran dan kritik yang membangun, tentunya akan membuat karya-karya G-Plasma akan menjadi lebih baik untuk kedepannya. --Selamat Membaca-- Oktober, 2020 Redaksi UKM Pers G-Plasma SUSUNAN REDAKSI Pelindung Koordinator Muhammad Fajar Subkhan, S.T,.M.T. Winda Eka R Reporter Penannggung Jawab Tim Divisi Design & Layout, Prasetyo Yekti Utomo, S.E,.M.M Tim Divisi Litbang, Tim Divisi Reporter, Tim Divisi Editor, Pembina Tim Divisi Kominfo, Ardian Prima Atmaja S.Kom.,M.Cs. Tim Sekertaris dan Bendahara. Editor Pimpinan Umum Elvira Amri S, Murni Febri Rima Maulidya P, Jenny Refa AM, Pimpinan Redaksi Dany Sekty A, Indah Pranataning Tyas Winda Eka R, Hanisa Putri A. Design dan Layout Ahmad Hilal M 2 Ini Pahlawan Revolusi G30SPKI Peristiwa Penting Sejarah Indonesia 3 Gerakan 30 September Selain itu, beberapa orang merupakan gerakan yang bertujuan lainnya juga menjadi korban untuk menggulingkan pemerintahan pembunuhan.
    [Show full text]
  • Pengembangan Game Edukatif G30s/Pki Berbasis Android
    PENGEMBANGAN GAME EDUKATIF G30S/PKI BERBASIS ANDROID Annisa Hedlina Hendraputri1), Rinta Kridalukmana2), Oky Dwi Nurhayati 2) Program Studi Sistem Komputer Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Jalan Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, Indonesia [email protected] Abstrak - Gaya hidup masyarakat zaman sekarang tak Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan pernah lepas dari kemajuan teknologi. Masyarakat yang diangkat dalam penelitian ini yaitu. menengah keatas, baik dari anak-anak hingga orang “Bagaimana membuat aplikasi game berbasis Android sebagai dewasa, hampir tidak ada yang tidak meggunakan media pembelajaran sejarah G30S/PKI bagi anak usia sekolah perangkat mobile seperti handphone atau tablet. Namun dasar? “ sayangnya masyarakat zaman sekarang cenderung apatis Dalam pembuatan tugas akhir ini pembahasan masalah dengan kondisi sekitarnya, bahkan tidak mengenal memiliki batasan pada permasalahan berikut : sejarah negaranya. Penelitian ini dilakukan untuk a. Yang di bahas pada tugas akhir ini meliputi tahap mendekatkan kembali anak-anak dengan sejarah pengembangan aplikasi. terutama peristiwa G30S/PKI melalui game perangkat b. Aplikasi dijalankan pada sistem operasi Android mulai seluler berbasis Android. dari versi Android 2.3–2.3.2 Gingerbread atau lebih Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan tahap tinggi. pengembangan MDLC (Multimedia Development Life c. Aplikasi ini hanya bersifat purwarupa dan dapat Cycle) mulai dari tahap penentuan konsep sampai dengan dikembangkan ke depannya. sidtribusi. Sebagai sumber
    [Show full text]