Memori Kolektif, Konstruksi Negara Dan Normalisasi Anti-Komunis

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Memori Kolektif, Konstruksi Negara Dan Normalisasi Anti-Komunis Jurnal Etnosia. Vol. 01, No. 01 Juni 2016. Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Memori Kolektif, Konstruksi Negara dan Normalisasi Anti-Komunis Hardiyanti Munsi Departemen Antropologi, Fisip-Unhas [email protected] Abstract This article is focused on how the incident of G30S/PKI has left atrauma to the state and how the state deals with it in the era afterwards. It show that such incident is constructed by the state that PKI is the enemy of the state and threathens the sovereignity of the state ideology, and this is embedded to shape a collective memory. This has been used to construct and to normalize the anti-communist movement in Indonesia through various strategies by, for example, the establishment of Monumen Pancasila Sakti, the suppression of communist movement, the military recruitment, and a variety of doctrines in the military education. These aim to construct a united understanding about the incident of G30S/PKI and to normalize the anti-communist discourse in Indonesia. Keywords: Collective memory, PKI, G30S/PKI, TNI, state, construction, anti-communist, normalization. Pendahuluan markas PKI, dan pembentukan kelompok Peristiwa bersejarah yang menimpa bangsa pemuda yang anti-komunis. Indonesia pada tahun 1965 yang dikenal dengan Menurut Herlambang (2013), upaya pem- istilah Gerakan 30 September/Partai Komunis berantasan bangkitnya komunisme di segala lini Indonesia (G30S/PKI) memang telah hampir kehidupan terus dilakukan oleh pemerintah Orde setengah abad yang lalu. Peristiwa yang melibat- Baru dimana Suharto berperan sebagai otak dari kan dua kubu (TNI dan PKI) bahkan seluruh rencana ini. Pemberantasan komunisme secara komponen negara dan menarik perhatian secara sistematis dan represif telah dilakukan selama 32 nasional dan internasional. Peristiwa ini dipicu tahun, antara lain, dengan menetapkan peraturan oleh penculikan dan pembunuhan 6 Jendral oleh perundang-undangan yang ditujukan bagi para kelompok yang menyebut diri mereka ‘Gerakan eks-tahanan politik (eks-tapol). Sedikitnya 30 30 September’. Propaganda militer mulai butir undang-undang ini memang terutama sekali disebarkan, dan menyerukan ‘pembersihan’ PKI berlaku bagi seluruh anggota PKI dan ormas di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil yang bernaung dibawahnya. Bukan hanya itu, meyakinkan rakyat Indonesia dan pemerhati perlakuan yang sangat menyakitkan juga harus internasional bahwa dalang di balik semua dirasakan orang-orang yang tidak ada sangkut- peristiwa itu adalah PKI. Penyangkalan PKI pautnya dengan PKI. Ada peraturan ‘surat bebas sama sekali tidak berpengaruh sehingga PKI G30S’ bagi orang-orang yang akan bersekolah dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketegangan dan melamar pekerjaan, melampirkan surat dan kebencian yang terpendam selama bertahun- pernyataan ‘bersih diri’ dan ‘lingkungan’ bagi tahun pun meledak. ‘Pembersihan’ dilakukan orang yang memiliki sanak-saudara yang diduga dengan memusnahkan seluruh simpatisan PKI, atau dituduh dekat dengan PKI atau organisasi termasuk Soekarno (yang pada saat itu dipaksa kiri, bahkan melarang anak keturunan PKI untuk menyerahkan kepemimpinan karena menjadi anggota ABRI dan PNS dengan diduga sebagai pendukung PKI), pembakaran menerapkan skrining (screening) yang ketat. 30 Dari masa lalu ke masa kini: memori kolektif.... Penelitian mengenai PKI telah banyak di- yang masih tersimpan dalam museum tersebut. lakukan oleh peneliti dari berbagai sudut Berbagai dokumen, seperti buku saku TNI, buku pandang, beberapa diantaranya dilihat dari sudut sejarah TNI, majalah, koran online, yang pro pandang pandang politik, Soemarmi dkk. (2001), ataupun kontra terhadap G30S, buku saku TNI misalnya, berfokus pada proses pergantian dan buku sejarah dari tahun 1982-2012. Selain presiden sebelumnya oleh Soekarno dengan buku-buku teks dan Museum Lubang Buaya, presiden baru yakni Soeharto, langkah suksesi observasi juga dilakukan pada beberapa foto dan yang ditempuhnya dengan menyuarakan istilah film digunakan untuk mencari informasi me- ‘bahaya laten PKI’ dan pengaturan hukum yang ngenai penyampaian cerita PKI kepada publik, mendukungnya; Fic (2004) menitikberatkan seperti Film G30S/PKI. penelitiannya pada wacana konspirasi dalam Analisis diawali dengan melakukan close- menganalisis peristiwa kudeta 1 Oktober 1965; reading terhadap fieldnotes dan transkrip Studi Wieringa (2010) melihat bagaimana wawancara yang terkumpul. Close-reading gerakan perempuan dihancurkan pasca kejatuhan diikuti dengan coding dan sorting dengan meng- PKI melalui pendekatan politik seksual; dan identifikasi, memilah, dan mengaktegorisasikan Herlambang (2013) yang berfokus pada bagai- data-data yang didapatkan berdasarkan tema- mana upaya sistematis pemerintah Orde Baru temanya, yakni mengenai prosedur penerimaan memanfaatkan produk-produk budaya untuk anggotaa baru TNI, tahap pendidikan dan doktrin melegitimasi pembantaian 1965-1966. Artikel ini bagi anggota TNI, perluasan cakupan skrining, berfokus pada bagaimana negara mengkon- dan upaya pembersihan PKI oleh TNI. struksikan memori kolektif dengan penggunaan Wawancara didahului dengan penjelasan beragam strategi, teknik dan wacana-wacana tentang maksud dan tujuan penelitian, me- pendisiplinan dengan tujuan untuk menormali- nanyakan kesediaan calon informan (informed sasikan wacana anti-komunis di Indonesia. consent) untuk diwawancarai, menjelaskan bahwa semua informasi dijaga kerahasiaannya Metode Penelitian (confidential) dan nama-nama informan yang Penelitian ini dilakukan di salah satu terlibat dalam penelitiaan ini juga disamarkan Markas Besar TNI di Jakarta dan Museum (pseudonym). Lubang Buaya di jalan Raya Pondok Gede Jakarta. Informan yang berpartisipasi dalam Memori Kolektif: G30S/PKI & TNI penelitian ini berjumlah 5 orang, yakni anggota Olick (1999:337) menganalisa memori TNI OMSP (TNI Operasi Militer Selain Perang), kolektif dengan memasukkan faktor representasi yang berusia antara 38 dan 57 tahun, yang kolektif (simbol-simbol, makna, narasi, dan direkrut secara snowball sampling atas petunjuk ritual yang tersedia bagi publik), struktur informan pertama dan seterusnya. kebudayaan (sistem peraturan atau pola yang Pengumpulan data dilakukan melalui memproduksi representasi), konstruksi sosial wawancara mendalam, observasi, dan review (pola interaksi), dan memori-memori individual dokumen. Wawancara dilakukan dengan meng- yang terbentuk secara kultural dan sosial. Olick gunakan guide interview, dengan topik-topik (1999:336) juga mengemukakan tiga prinsip wawancara menyangkut prosedur penerimaan dalam menganalisa dan mengolah materi yang anggota baru TNI, tujuan skrining, sejarah ditemukan di dalamnya. Pertama memori G30S/PKI, bahaya PKI, pemberontakan PKI di kolektif tidak bersifat monolitik. Pengingatan Indonesia, serta organisasi terlarang binaan PKI. kolektif merupakan proses yang sangat Observasi dilakukan di Museum Lubang kompleks, melibatkan banyak macam orang, Buaya dengan pertimbangan museum ini me- praktik, materi, dan tema. Yang kedua, konsep rupakan hasil konstruksi TNI mengenai peristiwa memori kolektif akan mendorong kita untuk G30S/PKI, dengan mengamati patung, diorama, melihat memori sebagai residu otentik akan masa relief, pesan-pesan dan sisa-sisa peristiwa 65 lalu atau sebaliknya sebagai konstruksi yang 31 Dari masa lalu ke masa kini: memori kolektif.... sifatnya dinamis dalam masa kini. Proses melawan pemerintah. Itupun dianggap tidak mengingat-ingat yang kompleks selalu meru- cukup karena belum dapat menguasai TNI-AD pakan proses negosiasi yang cair antara hasrat di seutuhnya yang dinilai PKI sangat anti-komunis masa kini dan peninggalan dari masa lalu. dan memiliki militansi serta semangat nasional Ketiga, harus diingat bahwa memori adalah yang tinggi. Sejumlah anggota TNI yang pro- sebuah proses, dan bukan sebuah benda. Memori PKI selalu menentang konsepsi TNI-AD terkait kolektif adalah sesuatu yang kita lakukan bukan pembinaan masyarakat karena dianggap meng- sesuatu yang dimiliki. Oleh karenanya diperlu- hambat program PKI dalam memonopoli pem- kan perangkat analisis yang sensitif terhadap binaan masyarakat. Sebagai lawan langsung dari keberagaman, kontradiksi, dan dinamikanya. PKI, TNI-AD merasa posisinya semakin ter- Narasi PKI berikut merupakan narasi puruk karena berbagai kebijakan politik yang tentang bagaimana negara mengkonstruksi dilakukan oleh Presiden Soekarno ternyata memori kolektif. Dalam upaya pemerintah sangat menguntungkan PKI. PKI menyokong Indonesia untuk menyatukan kekuatan angkatan hampir semua kebijakan yang dikeluarkan bersenjata di bawah satu komando, diharapkan Presiden Soekarno dalam rangka tahapan strategi dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam yang menguntungkan PKI, sehingga banyak melaksanakan peran ABRI, serta tidak ter- yang menduga bahwa Soekarno adalah pro-PKI. pengaruh oleh kepentingan kelompok politik Informasi mengenai dugaan keterlibatan tertentu. Upaya tersebut menghadapi berbagai Soekarno dalam skenario PKI diungkapkan oleh tantangan, terutama dari PKI yang pada tahun Barka, sebagai berikut: 1965 telah menguasai sepertiga dari kekuatan Tau nasakom kan? Nasakom itu yang ABRI dengan melakukan penyusupan dan mempermulus jalan PKI. Itu skenarionya pembinaan khusus, serta memberi pengaruh Soekarno. Sebenarnya Komunis itu tidak terhadap Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI cocok di Indonesia. Sekarang kan tinggal untuk mengingkari dan mengkhianati sumpah Cina yang masih kekeuh bertahan dengan prajurit dan Sapta Marga demi kepentingan partai komunisnya…. mereka (komunis) politik PKI. PKI merupakan sekelompok orang itu kan
Recommended publications
  • 50 Years Since 30 September, 1965: the Gradual Erosion of a Political Taboo
    ISSUE: 2015 NO.66 ISSN 2335-6677 RESEARCHERS AT ISEAS – YUSOF ISHAK INSTITUTE SHARE THEIR UNDERSTANDING OF CURRENT EVENTS Singapore | 26 November 2015 50 Years since 30 September, 1965: The Gradual Erosion of a Political Taboo. By Max Lane* EXECUTIVE SUMMARY This year marks the 50th anniversary of the events of 30 September, 1965 and its aftermath. Amidst heightened discussion of the matter, President Widodo, on behalf of his government, stated that there would be no state expression of being sorry for the large scale massacres of 1965. He attended conventional activities on the anniversary consistent with the long-term narrative originating from the period of Suharto’s New Order. At the same time, there are signs of a gradual but steady erosion of the hegemony of the old narrative and an opening up of discussion. This is not driven by deliberate government policy, although some government decisions have facilitated the emergence of a generation for whom the hegemonic narrative holds less weight. The processes weakening the old hegemony have also been fostered by: a) Increased academic openness on the history of the period, both in and outside of Indonesia. b) More activity by lawyers, activists, researchers as well as former political prisoners demanding state recognition of human rights violations in 1965 and afterwards. c) A general attitude to educational processes no longer dominated by indoctrination concerns. 1 ISSUE: 2015 NO.66 ISSN 2335-6677 Hegemony may be slowly ending, but it is not clear what will replace it. *Max Lane is Visiting Senior Fellow with the Indonesia Studies Programme at ISEAS- Yusof Ishak Institute, and has written hundreds of articles on Indonesia for magazines and newspapers.
    [Show full text]
  • Tinjauan Psikoanalisis Sastra Konflik Ideologi Film G30s/Pki (Sutradara: Arifin C
    TINJAUAN PSIKOANALISIS SASTRA KONFLIK IDEOLOGI FILM G30S/PKI (SUTRADARA: ARIFIN C. NOER) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Gunu Mencapai Gelar sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar ANDI AGUS 10533783414 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2018 MOTTO “Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu” (Imam Syafi‟i) “Kita boleh berbeda dalam pikiran karena pustaka kita „mungkin‟ berbeda namun selama lagu kebangsaanmu masih Indonesia Raya saya pastikan kita masih satu nusa satu bangsa (Indonesia)” (Andi Agus) Karya ini kupersembahkan kepada: Kedua orang tuaku yang berkorban untukku Terkhusus ibundaku (Rachmawati) yang telah memotivasiku Sahabat-sahabatku yang berjuang bersamaku sejak tahun 2014 ABSTRAK Andi Agus. 2018. Tinjauan Psikoanalisis Sastra Konflik Ideologi Film Pengkhianatan G30S/PKI (sutradara: Arifin C. Noer). Skripsi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Salam dan Syekh Adiwijaya Latief. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konflik ideologi dan psikologi yang terdapat dapat film G30S/PKI (Sutradara: Arifin C. Noer). Terjadinya suatu konflik dikarenakan adanya oposisi dan manusia harus memilih (pilihan hidup) dan psikologi yang di dalamnya terdapat id, ego, dan superego yang ada dalam diri manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi konflik Ideologi antara pihak Pancasila dengan Komunisme. Film Pengkhianatan G30S/PKI (Sutradara: Arifin C. Noer) diterbitkan oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) durasi waktu 03:37:15. Dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film Indonesia dengan No. SLS: 557/VCD/2.2006/2001 di Jakarta, 23 Februari 2001 dan sasarannya: Remaja.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Sebagai Suatu
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis geneologi, lalu membangun dan mempertahankan keistimewaan suatu peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang).1 Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia Modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian yang terpenting. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga dapat diharapkan sejarawan akan mengungkapkan secara objektif.2 Perjalanan sejarah banyak meninggalkan kesan faktual betapa pemikiran seorang tokoh mempunyai peran penting dan kontribusi di jamannya. Negara Indonesia lahir dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari tanpa konflik yang menerpa Indonesia. Peritiwa sejarah Indonesia ketika menghadapi Agresi Militer 1 Rhoma Dwi Aria Y, Fiktif Sejarah, Sejarah Fiktif, Istoria, vol. 2 nomor 1, September 2006, hlm.121. 2 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1955, hlm.13. 1 2 Belanda II3, setelah itu perang-perang menyusul menghantam Republik Indonesia sampai Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat yang kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai konflik ini melanda lahir kembali konfrontasi menentang pembentukan Federasi Malaysia4 tahun 1963. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat menguras energi nasional, kehidupan berbagai sektor tidak stabil. Namun bagi Angkatan Darat, keadaan ini membuka peluang untuk tampil sebagai benteng pertahanan Republik.5 Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh Pemerintah suatu negara adalah Militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil.
    [Show full text]
  • The Contestation of Social Memory in the New Media: a Case Study of the 1965 Killings in Indonesia
    Aktuelle Südostasienforschung Current Research on Southeast Asia The Contestation of Social Memory in the New Media: A Case Study of the 1965 Killings in Indonesia Hakimul Ikhwan, Vissia Ita Yulianto & Gilang Desti Parahita ► Ikhwan, H., Yulianto, V. I., & Parahita, G. D. (2019). The contestation of social memory in the new media: A case study of the 1965 killings in Indonesia. Austrian Journal of South-East Asian Studies, 12(1), 3-16. While today’s Indonesian democratic government remains committed to the New Order orthodoxy about the mass killings of 1965, new counter-narratives challenging official history are emerging in the new media. Applying mixed-methods and multi-sited ethnography, this study aims to extend our collaborative understanding of the most re- cent developments in this situation by identifying multiple online interpersonal stories, deliberations, and debates related to the case as well as offline field studies in Java and Bali. Practically and theoretically, we ask how the tragedy of the 1965 killings is contest- ed in the new media and how social memory plays out in this contestation. The study finds that new media potentially act as emancipatory sites channeling and liberating the voices of those that the nation has stigmatized as ‘objectively guilty’. We argue that the arena of contestation is threefold: individual, public vs. state narrative, and theoretical. As such, the transborder space of the new media strongly mediates corrective new voices to fill missing gaps in the convoluted history of this central event of modern Indonesian history. Keywords: 1965 Killings; Master vs. Counter Narratives; Memory Studies; New Media; Southeast Asia INTRODUCTION Indonesia experienced one of the 20th century’s worst mass killings.
    [Show full text]
  • Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan Di Indonesia Tahun 1966-1998
    Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Elisabeth Endah Retnoningrum 024314018 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 i ii iii HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan untuk: • “Tuhanku Yesus Kristus” yang selalu mendampingi aku disaat sedih maupun senang. Terimakasih ya Tuhan karena kemampuanku tidak terlepas dari anugerah dan karunia yang Kau berikan padaku. • Mami dan Papiku yang selalu mendampingi dan bersabar support aku. • Putraku Bonaventura Fajar P.N …..my son your is my inspiration” • Saudara-saudaraku yang selalu mendukung aku disaat aku rapuh dan tidak menentu, thanks to my big familiys. • Teman-teman dan Jurusan ilmu sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, thanks there give me the lot of experience n sience in this real word. • Segala kepanatan, kemarahan, kesulitan, kekacauan, kekecewaan, penghianatan,kebahagian, keceriaan dan juga keramaian yang tak kunjung usai dan segala masalah yang mendera aku, thanks karena mereka juga bagian dari hidup aku yang penuh dengan konflik. Tanpa semua ini aku tidak pernah selesai. iv HALAMAN MOTTO “ Hidup Penuh Dengan Tantangan Maka Berjuanglah “ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka seperti layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 23 Juli 2009 Penulis Elisabeth Endah Retnoningrum vi ABSTRAK Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998 Elisabeth Endah Retnoningrum UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Penulisan skripsi ini ditulis untuk mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1966-1998, dimana awal peristiwa 1 Oktober merupakan awal dan suatu peng- hancuran PKI dan Gerwani.
    [Show full text]
  • Studi Semiotika Terhadap Film Pengkhianatan G 30 S Pki)
    PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (STUDI SEMIOTIKA TERHADAP FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh : Mamik Sarmiki NIM : 1111051000115 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H /2015 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 21 Mei 2015 Mamik Sarmiki ABSTRAK Mamik Sarmiki NIM 1111051000115 PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FILM FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Berawal dari sebuah tragedi sadis pada tahun 1965, saat itu terjadi kudeta yang dilakukan oleh sekelompok pasukan yang menculik para Jederal dan menguburnya di Lubang Buaya yang sampai sekarang dikenal sebagai peristiwa G 30 S PKI. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tragedi ini pun diangkat ke layar lebar dengan judul Pengkhianatan G 30 S PKI. Film Pengkhianatan G 30 S PKI ini membawa
    [Show full text]
  • Collective Memory and State's Stigmatization of Ex-Political
    Indonesian Historical Studies, Vol. 3, No. 2, 116-124 © 2019 | E-ISSN: 2579-4213 Collective Memory and State’s Stigmatization of Ex-Political Prisoners on G-30S in 1965 Hamdan T. Atmaja Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Semarang Corresponding Author: [email protected] DOI: https://doi.org/10.14710/ihis.v3i2.6588 Abstract The state as an institution that holds power has an obligation to protect the public interest. However, power is often used to shackle public interest. In the context of the Thirtieth of September Movement (G30S) in 1965, the state has the power to build a collective memory of the incident. The state even led the community to stigmatize the ex-political prisoners of the Communist Party of Indonesia (PKI). Received: Through an oral history approach, this research attempts to reveal the collective 25 November 2019 memory and stigmatization of ex-political prisoners of PKI, as well as how history must make peace with the G30S incident. This research elaborates on the collective Accepted: 5 December 2019 memory of ex-political prisoners of PKI on the incident that has put them as political victims due to the state’s stigmatization. The stigma destroyed ex-political prisoners, both politically and socially. The collective memory and stigma are very contradictory to the meaning of G30S built by the New Order. For this reason, ex- political prisoners of PKI and the state need to go through a dialogue process that results in an agreement that the incident should not be repeated. It can be done if there is a reconciliation of the past.
    [Show full text]
  • Film Pengkhianatan G30s/Pki Karya Arifin C Noor
    LUBANG BUAYA: MITOS DAN KONTRA-MITOS Yoseph Yapi Taum ABSTRAK Wacana tentang Lubang Buaya merupakan salah satu wacana dominan dalam masa pemerintahan Orde Baru. Narasi-narasi resmi yang diproduksi negara (state) dan direproduksi masyarakat (society) cenderung menyebarkan kesan menakutkan bahkan menyeramkan. Tulisan bertujuan mengungkapkan narasi-narasi tentang Lubang Buaya sebagai sebuah mitos politik. Dalam penelusuran, ditemukan kenyataan bahwa mitos Lubang Buaya yang telah diawetkan melalui narasi sejarah, monumen, museum, film, hari peringatan sesungguhnya telah mengalami proses demitologisasi. Secara khusus, sastrawan Indonesia mengawali proses demitologisasi Lubang Buaya dengan menciptakan kontra mitos dalam karya-karya mereka. Tulisan ini menyimpulkan tiga hal. Pertama, mitos tentang peristiwa yang terjadi di Lubang Buaya mengandung muatan nilai-nilai emosional yang jelas-jelas dimaksudkan untuk kepentingan propaganda politik. Kedua, mencuatnya pandangan-pandangan yang berbau kontroversial dalam mitos itu menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi proses demitologisasi, yaitu proses menghilangkan mitos sebelumnya. Ketiga, sebagai sebuah tragedi nasional, peristiwa Lubang Buaya dan G30S tetap akan dikenang. Sebagai bagian dari usaha untuk tetap mempelajari pengalaman masa lampau itulah, kita akan tetap terbuka menerima segala penafsiran baru mengenai peristiwa itu. KATA KUNCI G30S, Orde Baru, mitos, kontra-mitos, demitologisasi 1. Pengantar Setiap kali membicarakan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), nama Lubang Buaya pasti
    [Show full text]
  • Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.1
    Nebula 4.4 , December 2007 Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.1 By Steven Drakeley In 1992 when this work was first presented at a postgraduate seminar at the University of Sydney a very different political climate pertained in Indonesia. Then the airing of topics such as this in the public domain was totally taboo inside Indonesia, unless the writer adhered strictly to the “script” sanctioned by the Soeharto regime. Even outside Indonesia, scholars thought twice before venturing into this highly sensitive terrain. 2 At that juncture few expected that within a few years President Soeharto would be removed from power and that his New Order regime would fall (or begin to fall) with him, ushering Indonesia towards democracy. 3 Perhaps nothing has better epitomised the new atmosphere of political openness that has pertained in Indonesia since May 1998 than the public questioning of the New Order’s foundation narrative that has begun to emerge, although not without considerable resistance and reluctance. 4 An important dimension of this questioning has been the hitherto unimaginable publication in Indonesia of numerous works of history related to this sensitive subject matter, a phenomenon echoed beyond Indonesia where overseas scholars have also been prompted by the new climate to engage in this re-examination. 5 I hope that this revised work can make a contribution to the revived scholarly discussion of this pivotal period in Indonesia’s post-independence history. This foundation narrative in question, foundation myth to put it less politely, was centred on the regime’s version of events associated with what it referred to as “Gestapu”.
    [Show full text]
  • BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pengenalan Pahlawan Revolusi
    BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pengenalan Pahlawan Revolusi Tahukah apa gelar pahlawan revolusi, pahlawan Revolusi adalah gelar pahlawan yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur pada peristiwa G30S tahun 1965. G30S merupakan kepanjangan dari Geraka 30 September atau sering juga di sebut GESTAPU gerakan september tiga puluh, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional. Ada 10 pahlawan revolusi tersebut: 1. Jenderal Achmad Yani Jenderal Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 10 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun semakin cepat menanjak. Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut.
    [Show full text]
  • G-Plasma Edisi Kali Ini Hadir Untuk Mengulas Sejarah Yang Membahas Kisah-Kisah G30/SPKI Dan Kesaktian Pancasila Dalam Cerita Yang Informatif Dan Menarik Untuk Dibaca
    BULETIN PLASMA SejarahGESS Bangsa Jangan Dilupa, Generasi Muda Pelajari Kisahnya JAS MERAH “JANGAN SEKALI-KALI LUPAKAN SEJARAH” BANGSA Edisi Oktober 2020 1 SALAM REDAKSI Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah pusaka sakti yang harus dirawat dan dijaga dengan erat. Dalam sejarah Indonesia, ada beragam serangan terhadap Pancasila baik itu dari internal atau eksternal bangsa. Pahlawan Kita bahkan harus berkoban nyawa dalam mempertahankan Pancasila. Maka dalam peringatan mengenang sejarah bangsa, buletin G-Plasma Edisi kali ini hadir untuk mengulas sejarah yang membahas kisah-kisah G30/SPKI dan Kesaktian Pancasila dalam cerita yang informatif dan menarik untuk dibaca. Dalam buletin edisi kali ini, berisikan cerita Pahlawan hingga Peran generasi muda untuk bangsa. Besar harapan kami setelah membaca Buletin edisi kali ini, pembaca dapat memahami dan mempelajari kisah dan mana dibalik peristiwa G30/SPKI dan Kesaktian Pancasila. Kami jajaran Redaksi G-Plasma sangat menghargai segala bentuk saran dan kritik yang diberikan. Dengan saran dan kritik yang membangun, tentunya akan membuat karya-karya G-Plasma akan menjadi lebih baik untuk kedepannya. --Selamat Membaca-- Oktober, 2020 Redaksi UKM Pers G-Plasma SUSUNAN REDAKSI Pelindung Koordinator Muhammad Fajar Subkhan, S.T,.M.T. Winda Eka R Reporter Penannggung Jawab Tim Divisi Design & Layout, Prasetyo Yekti Utomo, S.E,.M.M Tim Divisi Litbang, Tim Divisi Reporter, Tim Divisi Editor, Pembina Tim Divisi Kominfo, Ardian Prima Atmaja S.Kom.,M.Cs. Tim Sekertaris dan Bendahara. Editor Pimpinan Umum Elvira Amri S, Murni Febri Rima Maulidya P, Jenny Refa AM, Pimpinan Redaksi Dany Sekty A, Indah Pranataning Tyas Winda Eka R, Hanisa Putri A. Design dan Layout Ahmad Hilal M 2 Ini Pahlawan Revolusi G30SPKI Peristiwa Penting Sejarah Indonesia 3 Gerakan 30 September Selain itu, beberapa orang merupakan gerakan yang bertujuan lainnya juga menjadi korban untuk menggulingkan pemerintahan pembunuhan.
    [Show full text]
  • Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi Dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965
    Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965 Muhammad Damm Peneliti Independen [email protected] Abstrak Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men- gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan. Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu- mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/ PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu- mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa- han strukturalis terhadap kompleks Monumen Pancasila Sakti—salah satu sarana representasi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966, mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung. Abstract Not only explanations about 30th September Movement (G30S) on 1st October 1965 debatable, the following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer- gence.
    [Show full text]