Proposal Skripsi

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Proposal Skripsi GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN Studi Kasus: Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Disusun Oleh : Ruddy Eppata Cahyono 014314019 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PERSEMBAHAN Skripsi ini dipersembahkan kepada: ¾ Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Cahaya Terang Roh Kudusnya ke dalam hati dan pikiran ku. ¾ Bapak Fx Sri Mulyono, Ibu Maria Titie Utami (almh) dan Ibu Rusmini yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh kesabaran dan ketabahannya hingga skripsi ini selesai. ¾ Mbak Endah sekeluarga, Mbak Diah sekeluarga, Mbak Shinta sekeluarga dan Mas Doddy sekeluarga yang selalu membimbing dan mendukung dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai. ¾ Henny Puspitasari yang selalu mendampingi dan mendukung baik dalam susah maupun senang. iv MOTTO “…..sebab perjuangan itu perlu bukti…..” “ hasil tak kan pernah terbentuk tanpa adanya proses” “ memahami masa lalu, bijak untuk masa depan” “Roda-roda terus berputar, tanda masih ada hidup karna dunia belum terhenti, berputar searah….teruslah bermimpi jangan pernah lelah meski tak mudah meraihnya….buktikan, buatlah menjadi nyata..hadapi dunia dengan wibawa dan bijak…” (Andrea Hirata “Sang Pemimpi”) “kesadaran adalah matahari…kesabaran adalah bumi… Perbuatan adalah wujud dari kata-kata… ….aku bernyanyi menjadi saksi…atas semua luka-luka…” (W.S.Rendra) PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagai karya ilmiah. Yogyakarta, 15 Mei 2010 Penulis Ruddy Eppata Cahyono ABSTRACT Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., "GENJER-GENJER: Functions and Role., Case Studies, Bans and Communists Stigma in Genjer-Genjer Song by Orde Baru", Undergraduate Thesis., Yogyakarta: Departement of History Letter, Faculty of History Letter. Sanata Dharma University. This research studies how the political upheaval that was happening in the life of nation and state in Indonesia, bringing a significant impact for the progress the Genjer-Genjer songs. The strong grip of the political ideologies, bring off the change image on Genjer-Genjer songs from the real image, a Banyuwangi folk song, became a political song. This case study is divided into four main issues: the history of creation the Genjer-Genjer songs?, A further development from the years 1942- 1966?, Function and role in the development of life in art and politics in Indonesia? and the causes of the bans and strong of communist stigma for the Genjer-Genjer song? The purpose of this research is to understand and answer the "mystery" of the travel ban and the communism stigma in this song that launched by the Orde Baru regime, through the point of view function and its role as one of the products of human culture. Moreover, how early-Genjer-Genjer song creation and how the development of track Genjer-Genjer the next period is also one goal of this research. To understand and answer the problems that occurred in these cases, this study uses the historical research method that consists of four phases namely: the collection of sources, source criticism, analysis, sources and historiography. In the collection of sources in order to obtain valid sources and related to the case, this study take several steps, such as interviews, literature and websites. Furthermore, in order to be able to analyze the sources of this study utilize several social science theories, such as Bronisław Malinowski functional theory, value theory Mudji Soetrisno and, the theory of music Dieter Mack. With these theories "mystery" of the phenomenon of the presence on the track of the Genjer-Genjer can be revealed with the presence of this historiography. From the overall results of this study it appears that, at the beginning of creation, in 1942, the Genjer-Genjer song created purely as a folk song Banyuwangi community. Together with the values contained in the functions of this song tries to enliven the artculture in Indonesia. But the socio-political upheaval that occurred in the era 1960-1966, succeeded in changing the image of the Genjer-Genjer song, become like a song of political ideology. The strong grip of political ideologies scraped the consequences for the Genjer-Genjer song and ended on a travel ban and communist stigma. vi ABSTRAK Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., “GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus, Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru”, Skripsi Strata I, Yogyakarta: Prodi Ilmus Sejarah, Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pergolakan politik yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia membawa dampak yang signifikan bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Kuatnya cengkraman ideologi- ideologi politik yang sedang berkembang, berhasil mengubah-fungsikan citra lagu Genjer-Genjer dari citra yang sesengguhnya yakni, lagu rakyat Banyuwangi, menjadi lagu yang bernuansa politis. Penelitian kasus ini terbagi ke dalam empat permasalahan yakni: sejarah penciptaan lagu Genjer-Genjer?, Perkembangannya dari tahun 1942-1966?, fungsi dan peranannya bagi perkembangan kehidupan berkesenian dan perpolitikan Indonesia? dan sebab-sebab dari pencekalan dan kuatnya stigma komunis bagi lagu Genjer-Genjer? Tujuan dari penelitan ini adalah untuk dapat memahami dan menjawab “misteri” dari pencekalan dan stigma komunis pada lagu ini yang dilancarkan oleh Rejim Orde Baru, lewat sudut pandang fungsi dan perannya sebagai salah satu produk dari kebudayaan manusia. Selain itu, bagaimana awal terciptanya lagu Genjer-Genjer dan bagaimana perkembangan dari lagu Genjer-Genjer pada periode selanjutnya juga menjadi salah satu tujuan dalam penelitian ini. Guna memahami dan menjawab permasalahan yang terjadi pada kasus tersebut, penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap yakni: pengumpulan sumber, kritik sumber, analisis sumber dan penulisan sejarah. Dalam pengumpulan sumber guna memperoleh sumber-sumber yang valid dan terkait dengan kasus tersebut, penelitian ini mengambil beberapa langkah seperti wawancara, studi pustaka dan website. Selanjutnya, untuk dapat menganalisis sumber-sumber tersebut penelitian ini mempergunakan beberapa teori ilmu sosial seperti, teori fungsionalnya Bronislaw Malinowski, teori nilainya Mudji Soetrisno dan teori musiknya Dieter Mack. Lewat teori-teori tersebut “misteri” dari fenomena kehadiran lagu Genjer-Genjer dapat terungkap bersama kehadiran historiografi ini. Dari hasil keseluruhan penelitian ini tampak bahwa, pada awal penciptaannya, 1942, lagu Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat masyarakat Banyuwangi. Bersama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fungsi-fungsinya lagu ini mencoba mewarnai perjalanan seni-budaya di Indonesia. Namun pergolakan sosial-politik yang terjadi pada era 1960-1966, berhasil mengubah-fungsikan citra dari lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang berideologi politik. Kuatnya cengkraman ideologi politik menggoreskan konsekuensi bagi lagu Genjer-Genjer dan berakhir pada pencekalan dan terpasungnya pada sebuah stigma ko vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : RUDDY EPPATA CAHYONO Nomor Mahasiswa : 014314019 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : GENJER-GENJER : FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus : Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem- berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 1 Mei 2010 Yang menyatakan ( Ruddy Eppata Cahyono ) KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya,sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan ini tidak lepas dari berbagai pihak. Maka dalam penelitian ini terucap terimakasih yang sebanyak- banyaknya kepada: 1. Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M. Acc., selaku Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma. 2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. 3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah dan dosen akademik. Atas segala kesabaran, didikan dan bimbingan yang telah diberikan 4. Drs. Silverio R. L. Aji Sampurna M.Hum., selaku dosen pembimbing atas segala kritik, bimbingan, kesabaran dan kemudahan yang diberikan. 5. Dosen-dosen Ilmu Sejarah: Bpk. Drs. Ign. Sandiwan Suharso., Bpk. Drs. H. Purwanta, M.A., Bpk. Dr. Anton Haryono, M.Hum., Bpk. Alm. Drs G.. Moedjanto., Bpk. Alm. Prof. Dr. P.Y. Suwarno, S.H., Ibu Dra. Lucia Juningsih, M.Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ., atas segala bimbingan dan tuntunannya selama kuliah. 6. Rekan-rekan sejarah: Taji, Tholo, Eka, Tato, Lazarus, Krisna
Recommended publications
  • 50 Years Since 30 September, 1965: the Gradual Erosion of a Political Taboo
    ISSUE: 2015 NO.66 ISSN 2335-6677 RESEARCHERS AT ISEAS – YUSOF ISHAK INSTITUTE SHARE THEIR UNDERSTANDING OF CURRENT EVENTS Singapore | 26 November 2015 50 Years since 30 September, 1965: The Gradual Erosion of a Political Taboo. By Max Lane* EXECUTIVE SUMMARY This year marks the 50th anniversary of the events of 30 September, 1965 and its aftermath. Amidst heightened discussion of the matter, President Widodo, on behalf of his government, stated that there would be no state expression of being sorry for the large scale massacres of 1965. He attended conventional activities on the anniversary consistent with the long-term narrative originating from the period of Suharto’s New Order. At the same time, there are signs of a gradual but steady erosion of the hegemony of the old narrative and an opening up of discussion. This is not driven by deliberate government policy, although some government decisions have facilitated the emergence of a generation for whom the hegemonic narrative holds less weight. The processes weakening the old hegemony have also been fostered by: a) Increased academic openness on the history of the period, both in and outside of Indonesia. b) More activity by lawyers, activists, researchers as well as former political prisoners demanding state recognition of human rights violations in 1965 and afterwards. c) A general attitude to educational processes no longer dominated by indoctrination concerns. 1 ISSUE: 2015 NO.66 ISSN 2335-6677 Hegemony may be slowly ending, but it is not clear what will replace it. *Max Lane is Visiting Senior Fellow with the Indonesia Studies Programme at ISEAS- Yusof Ishak Institute, and has written hundreds of articles on Indonesia for magazines and newspapers.
    [Show full text]
  • Tinjauan Psikoanalisis Sastra Konflik Ideologi Film G30s/Pki (Sutradara: Arifin C
    TINJAUAN PSIKOANALISIS SASTRA KONFLIK IDEOLOGI FILM G30S/PKI (SUTRADARA: ARIFIN C. NOER) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Gunu Mencapai Gelar sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar ANDI AGUS 10533783414 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2018 MOTTO “Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu” (Imam Syafi‟i) “Kita boleh berbeda dalam pikiran karena pustaka kita „mungkin‟ berbeda namun selama lagu kebangsaanmu masih Indonesia Raya saya pastikan kita masih satu nusa satu bangsa (Indonesia)” (Andi Agus) Karya ini kupersembahkan kepada: Kedua orang tuaku yang berkorban untukku Terkhusus ibundaku (Rachmawati) yang telah memotivasiku Sahabat-sahabatku yang berjuang bersamaku sejak tahun 2014 ABSTRAK Andi Agus. 2018. Tinjauan Psikoanalisis Sastra Konflik Ideologi Film Pengkhianatan G30S/PKI (sutradara: Arifin C. Noer). Skripsi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Salam dan Syekh Adiwijaya Latief. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konflik ideologi dan psikologi yang terdapat dapat film G30S/PKI (Sutradara: Arifin C. Noer). Terjadinya suatu konflik dikarenakan adanya oposisi dan manusia harus memilih (pilihan hidup) dan psikologi yang di dalamnya terdapat id, ego, dan superego yang ada dalam diri manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi konflik Ideologi antara pihak Pancasila dengan Komunisme. Film Pengkhianatan G30S/PKI (Sutradara: Arifin C. Noer) diterbitkan oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) durasi waktu 03:37:15. Dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film Indonesia dengan No. SLS: 557/VCD/2.2006/2001 di Jakarta, 23 Februari 2001 dan sasarannya: Remaja.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Sebagai Suatu
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis geneologi, lalu membangun dan mempertahankan keistimewaan suatu peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang).1 Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia Modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian yang terpenting. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga dapat diharapkan sejarawan akan mengungkapkan secara objektif.2 Perjalanan sejarah banyak meninggalkan kesan faktual betapa pemikiran seorang tokoh mempunyai peran penting dan kontribusi di jamannya. Negara Indonesia lahir dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari tanpa konflik yang menerpa Indonesia. Peritiwa sejarah Indonesia ketika menghadapi Agresi Militer 1 Rhoma Dwi Aria Y, Fiktif Sejarah, Sejarah Fiktif, Istoria, vol. 2 nomor 1, September 2006, hlm.121. 2 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1955, hlm.13. 1 2 Belanda II3, setelah itu perang-perang menyusul menghantam Republik Indonesia sampai Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat yang kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai konflik ini melanda lahir kembali konfrontasi menentang pembentukan Federasi Malaysia4 tahun 1963. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat menguras energi nasional, kehidupan berbagai sektor tidak stabil. Namun bagi Angkatan Darat, keadaan ini membuka peluang untuk tampil sebagai benteng pertahanan Republik.5 Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh Pemerintah suatu negara adalah Militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil.
    [Show full text]
  • The Contestation of Social Memory in the New Media: a Case Study of the 1965 Killings in Indonesia
    Aktuelle Südostasienforschung Current Research on Southeast Asia The Contestation of Social Memory in the New Media: A Case Study of the 1965 Killings in Indonesia Hakimul Ikhwan, Vissia Ita Yulianto & Gilang Desti Parahita ► Ikhwan, H., Yulianto, V. I., & Parahita, G. D. (2019). The contestation of social memory in the new media: A case study of the 1965 killings in Indonesia. Austrian Journal of South-East Asian Studies, 12(1), 3-16. While today’s Indonesian democratic government remains committed to the New Order orthodoxy about the mass killings of 1965, new counter-narratives challenging official history are emerging in the new media. Applying mixed-methods and multi-sited ethnography, this study aims to extend our collaborative understanding of the most re- cent developments in this situation by identifying multiple online interpersonal stories, deliberations, and debates related to the case as well as offline field studies in Java and Bali. Practically and theoretically, we ask how the tragedy of the 1965 killings is contest- ed in the new media and how social memory plays out in this contestation. The study finds that new media potentially act as emancipatory sites channeling and liberating the voices of those that the nation has stigmatized as ‘objectively guilty’. We argue that the arena of contestation is threefold: individual, public vs. state narrative, and theoretical. As such, the transborder space of the new media strongly mediates corrective new voices to fill missing gaps in the convoluted history of this central event of modern Indonesian history. Keywords: 1965 Killings; Master vs. Counter Narratives; Memory Studies; New Media; Southeast Asia INTRODUCTION Indonesia experienced one of the 20th century’s worst mass killings.
    [Show full text]
  • SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY in the NEW ORDER a Thesis Presented to the Faculty of the Center for Inte
    SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Sony Karsono August 2005 This thesis entitled SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER by Sony Karsono has been approved for the Department of Southeast Asian Studies and the Center for International Studies by William H. Frederick Associate Professor of History Josep Rota Director of International Studies KARSONO, SONY. M.A. August 2005. International Studies Setting History Straight? Indonesian Historiography in the New Order (274 pp.) Director of Thesis: William H. Frederick This thesis discusses one central problem: What happened to Indonesian historiography in the New Order (1966-98)? To analyze the problem, the author studies the connections between the major themes in his intellectual autobiography and those in the metahistory of the regime. Proceeding in chronological and thematic manner, the thesis comes in three parts. Part One presents the author’s intellectual autobiography, which illustrates how, as a member of the generation of people who grew up in the New Order, he came into contact with history. Part Two examines the genealogy of and the major issues at stake in the post-New Order controversy over the rectification of history. Part Three ends with several concluding observations. First, the historiographical engineering that the New Order committed was not effective. Second, the regime created the tools for people to criticize itself, which shows that it misunderstood its own society. Third, Indonesian contemporary culture is such that people abhor the idea that there is no single truth.
    [Show full text]
  • Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan Di Indonesia Tahun 1966-1998
    Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Elisabeth Endah Retnoningrum 024314018 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 i ii iii HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan untuk: • “Tuhanku Yesus Kristus” yang selalu mendampingi aku disaat sedih maupun senang. Terimakasih ya Tuhan karena kemampuanku tidak terlepas dari anugerah dan karunia yang Kau berikan padaku. • Mami dan Papiku yang selalu mendampingi dan bersabar support aku. • Putraku Bonaventura Fajar P.N …..my son your is my inspiration” • Saudara-saudaraku yang selalu mendukung aku disaat aku rapuh dan tidak menentu, thanks to my big familiys. • Teman-teman dan Jurusan ilmu sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, thanks there give me the lot of experience n sience in this real word. • Segala kepanatan, kemarahan, kesulitan, kekacauan, kekecewaan, penghianatan,kebahagian, keceriaan dan juga keramaian yang tak kunjung usai dan segala masalah yang mendera aku, thanks karena mereka juga bagian dari hidup aku yang penuh dengan konflik. Tanpa semua ini aku tidak pernah selesai. iv HALAMAN MOTTO “ Hidup Penuh Dengan Tantangan Maka Berjuanglah “ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka seperti layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 23 Juli 2009 Penulis Elisabeth Endah Retnoningrum vi ABSTRAK Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998 Elisabeth Endah Retnoningrum UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Penulisan skripsi ini ditulis untuk mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1966-1998, dimana awal peristiwa 1 Oktober merupakan awal dan suatu peng- hancuran PKI dan Gerwani.
    [Show full text]
  • History, Memory, and the "1965 Incident" in Indonesia
    HISTORY, MEMORY, AND THE “1965 INCIDENT” IN INDONESIA Mary S. Zurbuchen With the events of 1998 that climaxed in the stunning moment of President Suharto’s resignation, Indonesia embarked on a transi- tion from a tenacious authoritarianism. These changes have prompted re- examination of assumptions and tenets that have shaped the state, its laws and institutions, and the experience of being a citizen. They have also spurred calls for justice and retribution for persistent patterns of violence. Suharto’s New Order is the only government that most Indonesians alive today have ever known, and its passing has sparked notable interest in reviewing and assessing earlier chapters in the national story. This retrospective moment has not been systematic, and there are indications that it may not be sustained under the administration of President Megawati Sukarnoputri. 1 Nonetheless, public discourse continues to spotlight key actors and events from the past, including some that have long been hidden, suppressed, or unmentionable. Among these topics, the killings of 1965–66 are a particularly difficult and dark subject. In this essay, I will discuss some of the recent representations of this particular element of the collective past and offer some thoughts on how “1965” figures in contemporary public discourse, in social and private Mary S. Zurbuchen is Visiting Professor and Acting Director of the Center for Southeast Asian Studies at the University of California, Los Angeles. Asian Survey , 42:4, pp. 564–582. ISSN: 0004–4687 Ó 2002 by The Regents of the University of California. All rights reserved. Send Requests for Permission to Reprint to: Rights and Permissions, University of California Press, Journals Division, 2000 Center St., Ste.
    [Show full text]
  • Research Study
    *. APPROVED FOR RELEASE DATE:.( mY 2007 I, Research Study liWOlVEXZ4-1965 neCoup That Batkfired December 1968- i i ! This publication is prepared for tbe w of US. Cavernmeat officials. The formaf coverage urd contents of tbe puti+tim are designed to meet the specific requirements of those u~n.US. Covernment offids may obtain additional copies of this document directly or through liaison hl from the Cend InteIIigencx Agency. Non-US. Government usem myobtain this dong with rimikr CIA publications on a subscription bask by addressing inquiries to: Document Expediting (DOCEX) bject Exchange and Gift Division Library of Con- Washington, D.C ZOSaO Non-US. Gowrrrmmt users not interested in the DOCEX Project subscription service may purchase xeproductio~~of rpecific publications on nn individual hasis from: Photoduplication Servia Libmy of Congress W~hington,D.C. 20540 f ? INDONESIA - 1965 The Coup That Backfired December 1968 BURY& LAOS TMAILANO CAYBODIA SOUTU VICINAY PHILIPPIIEL b. .- .r4.n MALAYSIA INDONESIA . .. .. 4. , 1. AUSTRALIA JAVA Foreword What is commonly referred to as the Indonesian coup is more properly called "The 30 September Movement," the name the conspirators themselves gave their movement. In this paper, the term "Indonesian coup" is used inter- changeably with "The 30 September Movement ," mainly for the sake of variety. It is technically correct to refer to the events in lndonesia as a "coup" in the literal sense of the word, meaning "a sudden, forceful stroke in politics." To the extent that the word has been accepted in common usage to mean "the sudden and forcible overthrow - of the government ," however, it may be misleading.
    [Show full text]
  • Professional Blindness and Missing the Mark ~ Sexual Slander and the 1965/66 Mass Killings in Indonesia: Political and Methodological Considerations
    Professional Blindness And Missing The Mark ~ Sexual Slander And The 1965/66 Mass Killings In Indonesia: Political And Methodological Considerations ABSTRACT. Indonesia has been haunted by the ‘‘spectre of communism’’ since the putsch by military officers on 1 October 1965. That event saw the country’s top brass murdered and the military attributing this putsch to the Communist Party. The genocide that followed was triggered by a campaign of sexual slander. This led to the real coup and the replacement of President Sukarno by General Suharto. Today, accusations about communism continue to play a major role in public life and state control remains shored up by control over women’s bodies. This article introduces the putsch and the socialist women’s organisation Gerwani, members of which were, at the time, accused of sexual debauchery. The focus is on the question of how Gerwani was portrayed in the aftermath of the putsch and how this affects the contemporary women’s movement. It is found that women’s political agency has been restricted, being associated with sexual debauchery and social turmoil. State women’s organisations were set up and women’s organisations forced to help build a ‘‘stable’’ society, based on women’s subordination. The more independent women’s groups were afraid to be labelled ‘‘new Gerwani’’ as that would unleash strong state repression. This article assesses the implications of these events for the post-1998 period of Reformasi and reviews some recent analyses of 1965, state terrorism and violence and reveals blind spots in dealing with gender and sexual politics. It is argued that the slander against Gerwani is downplayed in these analyses.
    [Show full text]
  • Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965-1966
    UNRESOLVED PROBLEMS IN THE INDONESIAN KILLINGS OF 1965–1966 Robert Cribb More than a generation separates today’s Indonesians from the world in which the Indonesian Communist Party (PKI) was extermi- nated. Nonetheless, during the last days of President Suharto’s slow fall from power, one of the dire warnings commonly heard was that Indonesia perhaps stood on the brink of a bloodletting similar to that which took place during the six months from October 1965 to March 1966. In fact, the broader politi- cal context of 1998 only slightly resembled that of 1965 and no genocidal slaughter took place. However, that the events of 1965–66 could be conjured up as a terrible warning demonstrated that the issues surrounding the means Suharto used to come to power were still alive even three decades later, ready to be conjoined with more current concerns as he was being forced out. The possibilities for reexamining the bloodletting have increased in recent years and with them so too has the need to do so become ever more urgent. During the past decade, a small but valuable stream of publications has ap- peared discussing the killings, especially in their regional context. Studies undertaken by Hefner, Robinson, Sudjatmiko, and Sulistyo 1 have greatly en- riched present-day understanding of what took place throughout Indonesia in Robert Cribb is Reader in the Division of Pacific and Asian History, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra. Asian Survey , 42:4, pp. 550–563. ISSN: 0004–4687 Ó 2002 by The Regents of the University of California.
    [Show full text]
  • Studi Semiotika Terhadap Film Pengkhianatan G 30 S Pki)
    PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (STUDI SEMIOTIKA TERHADAP FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh : Mamik Sarmiki NIM : 1111051000115 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H /2015 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 21 Mei 2015 Mamik Sarmiki ABSTRAK Mamik Sarmiki NIM 1111051000115 PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FILM FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Berawal dari sebuah tragedi sadis pada tahun 1965, saat itu terjadi kudeta yang dilakukan oleh sekelompok pasukan yang menculik para Jederal dan menguburnya di Lubang Buaya yang sampai sekarang dikenal sebagai peristiwa G 30 S PKI. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tragedi ini pun diangkat ke layar lebar dengan judul Pengkhianatan G 30 S PKI. Film Pengkhianatan G 30 S PKI ini membawa
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/24/2021 07:07:24PM Via Free Access 460 Christina Sunardi Performs Gender
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 165, no. 4 (2009), pp. 459-492 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv URN:NBN:NL:UI:10-1-100119 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 0006-2294 CHRISTINA SUNARDI Pushing at the boundaries of the body Cultural politics and cross-gender dance in East Java One of the most fruitful activities of my field research on dance and gamelan music in the East Javanese regency of Malang1 from 2005 to 2007 was attend- ing live performances with my teachers.2 Those occasions were key learning experiences: my teachers explained playing techniques of the various instru- ments, expounded upon conventions of dance movement, and, to my delight, sometimes took me to sit and play with the musicians who were accompany- ing the dancers. During performances they also shook their heads, clicked their teeth, or chuckled with dissatisfaction. Particularly disturbing to them were recent transformations in the performance of Ngremo Tayub, a male-style dance performed by women, and Ngremo Putri, a female-style dance most often performed by men. Strikingly, my teachers were not bothered by the transvestism, but by what they saw as dancers’ technical and artistic short- comings. Unlike dancers and musicians ‘in times past’ (dulu), they said, per- formers ‘nowadays’ (sekarang) are departing too far from ‘tradition’ (tradisi), are not as competent technically, and are less concerned about artistic content than about making money from spectacle. As they talked about ‘tradition’ and ‘times past’, performers of older gen- erations expressed their discomfort with the ways the younger generation 1 Malang is also the name of a city, but unless I specify ‘the city of Malang’, I am referring to the regency.
    [Show full text]