Lubang Buaya, Kuburan Para Pahlawan: Abjeksi dalam Historiografi Peristiwa 1 Oktober 1965 Muhammad Damm Peneliti Independen [email protected] Abstrak Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men- gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan. Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu- mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/ PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu- mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa- han strukturalis terhadap kompleks Monumen Pancasila Sakti—salah satu sarana representasi dan rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966, mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965. Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung. Abstract Not only explanations about 30th September Movement (G30S) on 1st October 1965 debatable, the following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer- gence. Nevertheless, both arguments are sufficient to explain how 1965–1966 mass murder possible if only complemented by explanation about “mental mechanism” that worked behind it. That mental mechanism, namely abjection of PKI (Communist), can be revealed through structural inquiry to The Sacred Pancasila Monument complex as a representation and reconstruction of 1st October 1965 his- torical event. Not only made 1965–1966 mass murder possible, abjection mechanism also legitimized New Order’s historiography about 1st October 1965. Using structural anthropology as paradigm and museum ethnography as research method, this article attempts to explain how the abjection transpired. Keywords: The Sacred Pancasila Monument, Pancasila, PKI, communist, latent danger, abjection. PENDAHULUAN Tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu PKI)”—sebuah peristiwa yang menandai pad- episode penting dalam sejarah modern Indone- amnya rezim Soekarno dan munculnya rezim sia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pem- selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai bunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI, “Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/ orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 105 punya hubungan dengan Komunis, selama masa memungkinkan “mitos Lubang Buaya”2 secara kampanye penumpasan PKI yang dipimpin oleh efektif membangun diskursus ketakutan sehingga TNI pada akhir 1965 hingga 1966 (Roosa 2006) orang-orang dari kalangan Islam merasa “harus terutama di Sumatra Utara, Jawa, dan Bali. membunuh atau dibunuh” ketika menghadapi Peristiwa 1 Oktober 1965 dan penumpasan orang-orang PKI; sebagian kalangan tentara yang PKI 1965–1966 merupakan fenomena poli- bersimpati dengan PKI turut serta dalam operasi tis yang sebenarnya terpisah (Anderson dan penumpasannya karena tidak ingin dianggap pro- McVey dalam Purdey tt:4), namun peristiwa Komunis; demikian pula para tokoh dan politisi 1 Oktober 1965 tersebut telah dijadikan dalih yang sebelumnya bersimpati pada PKI menarik bagi pembunuhan massal yang mengikutinya dukungan mereka karena tidak ingin ikut celaka. (Roosa 2006:22). Roosa (2006) mencatat, G30S Atmosfer sosiopolitik nasional pada 1960-an sebenarnya sudah benar-benar padam pada 3 barangkali memang esensial dalam memung- Oktober 1965, namun pembunuhan di berbagai kinkan terjadinya pembunuhan massal pasca- daerah tetap berlangsung, setiap kali setelah Oktober 1965. Kendati demikian, keterangan pasukan RPKAD mendarat di daerah-daerah yang didasarkan pada situasi struktural mengenai tersebut. Berkat “provokasi” (Roosa, 2006; atmosfer sosiopolitik tidak mencukupi untuk Drakeley, 2007) atau upaya RPKAD “membakar menjelaskan mengapa orang-orang dari berbagai semangat perlawanan rakyat terhadap PKI” (film kalangan, baik sipil maupun militer, tiba-tiba Pengkhianatan PKI, 1984), kelompok-kelompok antusias dalam menumpas sesama mereka yang yang terdiri atas orang-orang sipil turut terlibat dilabeli Komunis. Drakeley (2007:20) agaknya dalam penculikan dan pembunuhan orang-orang menyadari hal tersebut dan menambahkan PKI atau yang dituduh PKI di berbagai daerah. bahwa pembunuhan massal 1965–1966 tidak Pembunuhan massal 1965–1966 tidak mung- dapat dilepaskan dari adanya proses “peliyanan” kin terjadi atas dasar sebuah dalih belaka. Pro- (othering) terhadap PKI dan orang-orang yang vokasi yang memantiknya juga tidak mungkin terindikasi punya afiliasi dengannya. Melalui tersulut di ruang hampa. Tentu ada prakondisi- peliyanan ini, kategori sosial baru diciptakan prakondisi tertentu yang membuat dalih dan dan direifikasi—“PKI” atau “Komunis”. Orang- provokasi ini bekerja secara efektif. Drakeley orang yang ditempatkan dalam kategori ini lantas (2007) mengungkapkan, atmosfer sosiopolitik mengalami dehumanisasi, sehingga dianggap di Indonesia pada dasawarsa ’60-an memang sebagai kelompok yang sama sekali berbeda dipenuhi ketegangan dan perselisihan. Ketegan- dari dan berada di luar “kita”. Kendati mem- gan terjadi di tingkat elite antara TNI dan PKI berikan sinyalemen tentangnya, Drakeley tidak dengan ditengahi Presiden Soekarno. Adapun mengelaborasi lebih lanjut mekanisme peliyanan di tingkat akar rumput, ketegangan muncul di ini. antara simpatisan PKI dan kalangan anti-PKI; Peliyanan terjadi sebenarnya tidak hanya terlebih karena memori pemberontakan PKI di dalam masa penumpasan PKI 1965 1966 melalui Madiun 1948 masih membekas.1 Tensi situasi ini “propaganda hitam” (Drakeley, 2007). Selama menjadi begitu tinggi di tengah memburuknya Orde Baru berkuasa proses tersebut juga terus perekonomian nasional. Sebagaimana diung- dilestarikan. Reproduksi sejarah 1 Oktober kapkan Drakeley (2007), atmosfer semacam ini 1965 versi Orde Baru, salah satunya melalui pembangunan kompleks Monumen Pancasila Sakti, memperlihatkan keberlangsungan proses 1 Untuk ulasan lebih lanjut mengenai Peristiwa Madiun 18 September peliyanan ini. Oleh sebab itu, dengan mengkaji 1948, lihat D. C. Anderson, “The Military Aspects of the Madiun Affair,” Indonesia 21 (April, 1976); Soerjono, “On Musso’s Return,” 2 Mitos yang dimaksud adalah cerita tentang kekejian orang-orang Indonesia 29 (April, 1980); Ann Swift, The Road to Madiun: The PKI, terutama Gerwani dan Pemuda Rakyat, yang menyiksa dan Indonesian Communist Uprising of 1948 (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern membunuh para perwira TNI AD pada 1 Oktober 1965, serta berbagai Indonesia Project, 1989); G. McT. Kahin, Nationalism and Revolution perilaku atau tindakan asusila orang-orang tersebut. in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project, 1952). 106 ANTROPOLOGI INDONESIA No. 2 2017 bagaimana situs tersebut menarasikan sejarah “mencemari” identitas. Narasi sejarah yang dan melestarikan memori kolektif “resmi” peris- direpresentasikan melalui kompleks Monumen tiwa politik 1965–1966, kita akan dapat mengkaji Pancasila Sakti merupakan salah satu pintu bagaimana peliyanan terhadap PKI terjadi. Peng- masuk yang baik untuk memahami proses abjeksi kajian inilah yang saya upayakan di dalam tulisan yang dimaksud. ini. Namun sebelum melangkah terlampau jauh, satu persoalan perlu dipahami terkait dengan masalah “waktu”. METODE PENELITIAN Menempatkan reproduksi sejarah di kompleks Paradigma yang digunakan dalam penelitian Monumen Pancasila Sakti sebagai objek studi ini, sejak perumusan masalah, pengumpulan, untuk memahami proses peliyanan yang mem- analisis, dan penafsiran data, hingga penulisan prasyarati pembunuhan massal pasca-peristiwa laporan, dapat digolongkan sebagai antropologi 1 Oktober 1965 memang berpotensi membawa strukturalis. Metode yang digunakan adalah kita pada anakronisme. Oleh sebab itu, sebuah etnografi museum. Sebagai sebuah etnografi pemahaman awal perlu dipegang, bahwa proses museum, penelitian ini tidak ditujukan untuk peliyanan yang terepresentasikan oleh kompleks mempersoalkan kebenaran narasi sejarah yang Monumen Pancasila Sakti merupakan sebuah dikonstruksi melalui kompleks Monumen Pan- proses yang telah mengalami refleksi dan rekon- casila Sakti. Oleh sebab itu, penelitian ini tidak struksi yang berulang, sehingga sampai pada dalam kapasitasnya untuk menolak suatu “ke- kita hari ini dengan membawakan versi tertentu bohongan sejarah” dengan membuktikan narasi penggalan masa lalu dari sejarah bangsa ini. “sejarah yang benar” dari versi mana pun, me- Dengan demikian, pengkajian ini sebenarnya lainkan ditujukan untuk memahami narasi apa bukanlah upaya untuk menelusuri rationale di yang direpresentasikan dan bagaimana kompleks balik pembunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, Monumen tersebut merepresentasikannya. melainkan
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages20 Page
-
File Size-