Representasi Gambaran Alam Pada Perwujudan Arsitektur Padmasana Di Bali

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Representasi Gambaran Alam Pada Perwujudan Arsitektur Padmasana Di Bali REPRESENTASI GAMBARAN ALAM PADA PERWUJUDAN ARSITEKTUR PADMASANA DI BALI I Nyoman Widya Paramadhyaksa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bali Email: [email protected] Abstract The padmasana shrine is one of the main holy structures of Balinese Hindu. This shrine has various ornaments, decorative elements and other forms that have symbolic meanings. The symbolic contents in padmasana have close relation with mythology and the concepts of Hindu teaching. Beside that, the concepts of architectural representation of padmasana also have a correlation with the nature representation of the earth. This article discusses about the representation of padmasana shrine as the symbol of mountain and the representation of nature on earth. Keywords: padmasana; Balinese Hindu shrine; ornament; representation; nature. 1. Pengantar Artikel ringkas ini membahas mengenai Bangunan padmasana merupakan salah satu keterkaitan makna antara elemen-elemen pada wujud bangunan suci utama umat Hindu Bali. Wujud perwujudan bangunan padmasana dengan bangunan semacam ini pertama kali diperkenalkan di gambaran alam nyata di bumi. Bali oleh Danghyang Nirartha yang datang ke Bali sekitar tahun 1489 Masehi (Soebandi, 1998: 31). Pada 2. Metode Penelitian masa sekarang sudah tidak terhitung lagi jumlah Metode penelitian yang diterapkan dalam kajian padmasana dalam berbagai varian bentuk dan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode ukurannya di seluruh Bali. pengumpulan data dan metode analisis data. Bangunan padmasana berfungsi sebagai Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu; bangunan suci pemujaan Tuhan Yang Mahaesa observasi langsung terhadap duapuluh buah sebagai penguasa alam semesta. Dalam beberapa bangunan padmasana terdapat di lapangan, studi buku, padmasana juga disebut sebagai bangunan kepustakaan terhadap literatur-literatur yang suci pemujaan Dewa Siwa sebagai dewa matahari berkenaan dengan padmasana, dan wawancara (cf. Stuart-Fox, 2002: 81). Bangunan ini dapat dijumpai dengan beberapa informan. Keduapuluh bangunan dalam area paling utama kompleks bangunan pura padmasana yang dijadikan objek amatan, dipilih (utama mandala) atau dalam zona paling suci pada berdasarkan persebaran lokasi, bentuk, dan lahan-lahan bangunan komunitas Hindu Bali. kelengkapan ornamennya. Bangunan padmasana memiliki karakteristik Metode analisis data yang diterapkan berupa berupa bentuknya yang menyerupai tugu atau candi kajian hermenetik yang pada dasarnya menafsirkan yang tinggi menjulang dan memiliki denah dasar yang makna setiap elemen pada perwujudan arsitektur cenderung berbentuk bujur sangkar. Pada bagian padmasana ditinjau dari keterkaitannya dengan dasar bangunan terdapat ornamen bedawang nala, konsep gambaran alam. Dalam melakukan penafsiran sedangkan pada bagian puncaknya terdapat terhadap perwujudan padmasana ini, dilakukan pula sebentuk kursi singgasana kosong yang menghadap beberapa pendekatan kajian yang berkenaan atas ke arah depan. Pada hampir seluruh bagian bangunan bentuk elemen-elemen padmasana, makna simbolis, ini terdapat berbagai bentuk pahatan ragam hias dan keterkaitannya terhadap gambaran alam sebagai yang memiliki kaitan erat dengan mitologi dan filosofi sumber inspirasi perwujudannya. ajaran Agama Hindu. Perwujudan bangunan padmasana juga ditafsirkan sebagai representasi gambaran keadaan alam di bumi. 396 Paramadhyaksa : Representasi Gambaran Alam pada Perwujudan Arsitektur Padmasana di Bali 3. Deskripsi tentang Perwujudan Arsitektur Bangunan suci jenis padmasari tidak dilengkapi Padmasana dengan ornamen bedawang nala di dasar Kata padmasana berasal dari dua buah kata bangunannya. Padmacapah merupakan bangunan dalam bahasa kawi, yaitu padma yang merupakan suci kelompok padma paling rendah tingkat nama sejenis bunga teratai merah dan asana yang kesuciannya yang difungsikan untuk penghormatan berarti ‘tempat duduk’ (Geertz, 2004: 117). Menurut berbagai kekuatan spirit alam yang lebih rendah. Titib (2001: 106), padmasana selanjutnya diartikan sebagai sebuah tempat duduk atau singgasana a. Bagian Kaki Bangunan (Tepas) berbentuk teratai merah bagi Ida Sanghyang Widhi Bagian kaki atau dasar padmasana ditandai atau Tuhan. Dalam literatur-literatur berbahasa dengan adanya sebuah ornamen bedawang nala. Inggris, padmasana sering kali disebutkan sebagai Ornamen ini berwujud seekor kura-kura raksasa “the Balinese empty lotus throne-shrine” atau dengan rongga mulut, lidah, dan bulu tengkuknya bangunan suci Hindu-Bali yang memiliki sebentuk yang berapi. Kura-kura Bedawang diwujudkan kursi singgasana teratai yang kosong di bagian “menyangga” seluruh bangunan padmasana di atas puncaknya (Forbes, 2007: 125). Perwujudan perisai punggungnya. bangunan ini juga memiliki tiga buah tingkatan utama Pada beberapa bangunan padmasana, Kura- sesuai konsepsi tri angga dalam seni arsitektur kura Bedawang dibelit oleh seekor naga kosmik yang tradisional Bali. Ketiga tingkatan tersebut yaitu bernama Naga Basuki. Pada bangunan padmasana tingkatan kaki bangunan (tepas), tingkatan badan lainnya, Kura-kura Bedawang di dasar bangunan bangunan (batur), dan tingkatan kepala atau puncak tergambarkan sedang dibelit oleh dua ekor naga bangunan (sari) (Suendi, 2005: 65). Pada ketiga kosmik yang masing-masing bernama Naga Basuki bagian utama tersebut terdapat berbagai figur tiga dan Naga Anantabhoga (Stuart-Fox, 2002: 398). dimensi, ornamen, dan relief dekoratif yang terbuat Basuki dan Anantabhoga umumnya diwujudkan dari material bata merah, batu padas, atau batu-batu sebagai dua ekor naga bermahkota, berambut ikal alam. lebat, bermata melotot, dan bermulut menyeringai Padmasana merupakan bentuk bangunan padma memperlihatkan barisan gigi taringnya. Pada yang paling utama. Bangunan padma lainnya disebut umumnya, mata kedua naga ini digambarkan menatap dengan nama padmasari dan padmacapah. tajam ke arah kedua mata Bedawang. Fisik kedua Gambar 1. Gambar 2. Ornamen-ornamen pada Bagian Depan Padmasana Ornamen-ornamen pada Bagian Belakang Padmasana 397 Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 2, Agustus 2012, hlm. 396-406 Naga Ananthaboga Naga Basuki Kura-kura Bedawang Gambar 3. Ornamen Bedawang Nala naga yang saling berbelitan ini hanya dapat pahatan pepatran merupakan ukiran yang bermotif dibedakan berdasarkan dua macam bentuk sisik yang tanaman-tanaman menjalar. Penempatan ornamen- masing-masing terdapat di badan Basuki dan ornamen ini mengikuti aturan tertentu seperti terlihat Anantabhoga. Konsep tentang keberadaan seekor pada gambar 1. maupun dua ekor naga pembelit bedawang di dasar padmasana ini sama-sama diyakini sebagai konsep yang benar, karena keduanya memang tertera dalam lontar-lontar arsitektur tradisional Bali. Pada bagian belakang dari batur bangunan padmasana, terdapat pula beberapa ornamen estetis b. Bagian Badan Bangunan (Batur) yang memuat makna-makna simbolis (lihat gambar Bagian badan padmasana terdiri atas bentuk 2). Pada bagian batur terbawah terdapat ornamen tiga, lima, atau tujuh tingkatan yang tersusun vertikal. karang bhoma yang berupa pahatan wajah raksasa. Kotak-kotak tersebut disusun dari kotak dengan Ornamen ini memiliki berbagai bentuk varian sesuai penampang terluas sebagai kotak terbawah, hingga kreativitas pemahatnya, seperti berbentuk relief kotak dengan penampang tersempit berada di bagian wajah raksasa saja, berbentuk wajah raksasa dengan paling atas. Pada bagian ini dipahatkan berbagai sepasang tangannya, atau berbentuk wajah raksasa macam ornamen berupa kekarangan, pepatran, dan dengan sepasang tangan dan sepasang sayap beberapa figur tiga dimensional. Ornamen mengembangnya. Di atas relief karang bhoma kekarangan yang lazim dipahatkan pada bagian terdapat pahatan tiga dimensi sosok manusia batur padmasana yaitu karang hasti (ukiran kepala setengah burung elang yang bernama Garuda, gajah), karang manuk (ukiran kepala burung), sebagai wahana Dewa Wisnu. Pahatan ini pun karang simbar (ukiran menyerupai kelopak), dan memiliki berbagai varian, seperti berwujud sosok karang tapel (ukiran kedok wajah raksasa). Adapun Garuda saja, berwujud Garuda dengan tangannya Gambar 4. Karang Hasti Gambar 5. Karang Manuk Gambar 6. Arca Dewata pada Bagian Batur Padmasana 398 Paramadhyaksa : Representasi Gambaran Alam pada Perwujudan Arsitektur Padmasana di Bali Gambar 7. Gambar 8. Ornamen Garuda Gambar 9. Ornamen Karang Bhoma Ditunggangi Wisnu Ornamen Angsa yang menggenggam vas berisi amrta1, atau berwujud gambar 10). Pada beberapa padmasana, figur Garuda yang ditunggangi Dewa Wisnu dengan sepasang naga bersayap ini digantikan oleh figur amrta di tangannya. Di atas pahatan figur Garuda sepasang makara atau pahatan tanaman menjalar. Di terdapat pahatan tiga dimensi lainnya yang bagian depan sandaran kursi singgasana ini berbentuk seekor angsa yang sedang mengepakkan dipahatkan relief acintya sebagai simbolisasi sifat sayapnya. Pada bagian-bagian batur bangunan Tuhan yang tidak terpikirkan (Nala, 1993: 116). padmasana ada kalanya pula dapat ditemukan adanya beberapa arca dewata maupun tokoh-tokoh 4. Mitologi Pemutaran Gunung Mandara sebagai suci lainnya. Latar Belakang Perwujudan Padmasana Perwujudan arsitektur padmasana memiliki latar c. Bagian Puncak Bangunan (Sari) belakang filosofis yang berkaitan erat dengan sebuah Bagian puncak bangunan padmasana peristiwa mitologis Hindu tentang upaya pencarian umumnya ditandai dengan adanya pahatan air suci kehidupan abadi (amrta) yang dilakukan berbentuk bunga padma yang sedang mekar secara bersama-sama oleh para dewata (sura) dan sempurna. Di atas bunga padma inilah terdapat para raksasa (asura). Fisik
Recommended publications
  • R. Tan the Domestic Architecture of South Bali In: Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 123 (1967), No: 4, Leiden, 442-4
    R. Tan The domestic architecture of South Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 123 (1967), no: 4, Leiden, 442-475 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 05:53:05PM via free access THE DOMESTIC ARCHITECTURE OF SOUTH BALI* outh Bali is the traditional term indicating the region south of of the mountain range which extends East-West across the Sisland. In Balinese this area is called "Bali-tengah", maning centra1 Bali. In a cultural sense, therefore, this area could almost be considered Bali proper. West Lombok, as part of Karangasem, see.ms nearer to this central area than the Eastern section of Jembrana. The narrow strip along the Northern shoreline is called "Den-bukit", over the mountains, similar to what "transmontane" mant tol the Romans. In iwlated pockets in the mwntainous districts dong the borders of North and South Bali live the Bali Aga, indigenous Balinese who are not "wong Majapahit", that is, descendants frcm the great East Javanece empire as a good Balinese claims to be.1 Together with the inhabitants of the island of Nusa Penida, the Bali Aga people constitute an older ethnic group. Aernoudt Lintgensz, rthe first Westemer to write on Bali, made some interesting observations on the dwellings which he visited in 1597. Yet in the abundance of publications that has since followed, domstic achitecture, i.e. the dwellings d Bali, is but slawly gaining the interest of scholars. Perhaps ,this is because domestic architecture is overshadowed by the exquisite ternples.
    [Show full text]
  • Kondisi Pura Dalem Bias Muntig Dari Tahun Ketahun Mengalami
    MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG I Kadek Merta Wijaya Dosen Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa e-mail: [email protected] ABSTRAK Kondisi Pura Dalem Bias Muntig dari tahun ketahun mengalami penurunan kualitas fisik dan seiring dengan itu juga, status sebagai Pura Kahyangan Jagad di Nusa Penida semakin tersebar sampai di luar Pulau Nusa Penida. Hal tersebut menuntut adanya pembenahan dan penataan yang lebih baik. Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa diperlukan suatu: (1) penataan dan pengembangkan Pura Dalem; (2) penambahan dua bangunan pelinggih di dalam area Pura Bias Muntig; (3) perencanaan pesraman pemangku; (4) penataan lanskap atau ruang luar seperti tempat parkir, fasilitas MCK dan penataan jalur pedestrian pemedek; serta (5) penataan area tempat melasti. Pengabdian ini bertujuan untuk menyusun rancangan kembali (redesign) Pura Dalem Bias Muntig dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat setempat baik permasalahan keruangan maupun manajemen pembangunannya. Aspek keruangannya yaitu sebagai dasar acuan dalam penataan dan pengembangan kedepannya sedangkan aspek manajemen pembangunan yaitu sebagai dasar dalam mengajukan proposal pendanaan kepada pemerintah maupun swasta. Sasaran dan manfaat kegiatan pengabdian ini mengarah kepada tiga pihak yaitu masyarakat Desa Pakraman Nyuh Kukuh, masyarakat umum dan institusi Universitas Warmadewa sebagai lembaga dalam pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat. Metode kegiatannya yaitu menggali informasi-informasi di masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat sebagai mitra dialog tentang permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi yaitu penataan dan pengembangan Pura Dalem Bias Muntig, yang selanjutnya diselesaikan melalui solusi-solusi dengan mempertimbangkan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.
    [Show full text]
  • Southeast Sumatra in Protohistoric and Srivijaya Times: Upstream-Downstream Relations and the Settlement of the Peneplain Pierre-Yves Manguin
    Southeast Sumatra in Protohistoric and Srivijaya Times: Upstream-Downstream Relations and the Settlement of the Peneplain Pierre-Yves Manguin To cite this version: Pierre-Yves Manguin. Southeast Sumatra in Protohistoric and Srivijaya Times: Upstream- Downstream Relations and the Settlement of the Peneplain. Cambridge Scholars Publishing. From distant tales : archaeology and ethnohistory in the highlands of Sumatra, pp.434-484, 2009, 978-1- 4438-0497-4. halshs-02521657 HAL Id: halshs-02521657 https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-02521657 Submitted on 27 Mar 2020 HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra Edited by Dominik Bonatz, John Miksic, J. David Neidel, Mai Lin Tjoa-Bonatz From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra, Edited by Dominik Bonatz, John Miksic, J. David Neidel, Mai Lin Tjoa-Bonatz This book first published 2009 Cambridge Scholars Publishing 12 Back Chapman Street, Newcastle upon Tyne, NE6 2XX, UK British Library Cataloguing in Publication Data A catalogue record for this book is available from the British Library Copyright © 2009 by Dominik Bonatz, John Miksic, J. David Neidel, Mai Lin Tjoa-Bonatz and contributors All rights for this book reserved.
    [Show full text]
  • Candi, Space and Landscape
    Degroot Candi, Space and Landscape A study on the distribution, orientation and spatial Candi, Space and Landscape organization of Central Javanese temple remains Central Javanese temples were not built anywhere and anyhow. On the con- trary: their positions within the landscape and their architectural designs were determined by socio-cultural, religious and economic factors. This book ex- plores the correlations between temple distribution, natural surroundings and architectural design to understand how Central Javanese people structured Candi, Space and Landscape the space around them, and how the religious landscape thus created devel- oped. Besides questions related to territory and landscape, this book analyzes the structure of the built space and its possible relations with conceptualized space, showing the influence of imported Indian concepts, as well as their limits. Going off the beaten track, the present study explores the hundreds of small sites that scatter the landscape of Central Java. It is also one of very few stud- ies to apply the methods of spatial archaeology to Central Javanese temples and the first in almost one century to present a descriptive inventory of the remains of this region. ISBN 978-90-8890-039-6 Sidestone Sidestone Press Véronique Degroot ISBN: 978-90-8890-039-6 Bestelnummer: SSP55960001 69396557 9 789088 900396 Sidestone Press / RMV 3 8 Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden CANDI, SPACE AND LANDscAPE Sidestone Press Thesis submitted on the 6th of May 2009 for the degree of Doctor of Philosophy, Leiden University. Supervisors: Prof. dr. B. Arps and Prof. dr. M.J. Klokke Referee: Prof. dr. J. Miksic Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde No.
    [Show full text]
  • Napak Tilasdang Hyang Niratha Di Pulau Bali
    NAPAK TILASDANG HYANG NIRATHA DI PULAU BALI Oleh I Nyoman Suka Ardiyasa Dosen STAH N Mpu Kuturan Singaraja email : [email protected] Abstract The presence of temples in Bali cannot be separated by some central figures who inspired the temple. One of the great figures who contributed to discovering the Pura Kahyangan Jagat in Bali is Dang Hyang Niratha. Dang Hyang Nirarta has build a lot temple in his travels on the Island of the Gods. Some temples are similar to Rambut Siwa Temple, Uluwatu Temple, Ponjok Batu Temple, Sakenan Temple and other temples which are now Pura Dang Kahyangan and Sad Kahyangan. The temple as a place of worship for Hindus, is also not uncommon to get visits of local and international tourists. The attraction was due to the sacredness and beauty of the location that was established by Dang Hyang Nirartha. This is of course a tourist destination that offers spiritual attractions. Keywords: Dang Hyang Nirartha, Spiritual Tourism. I.Pendahuluan Boddha (Siwa-Sogata). Dengan demikian kedatangan Dang Hyang Dwijendra Kedatangan Dang Hyang Nirartake memperkokoh sistem teologi Hindu Siwa- Pulau Bali merupakan salah bentuk Boddha (Siwa-Buddha) dengan melakukan konsolidasi internal dengan mengatasi asimilasi konsep teologi Tri-Murti kelemahan tataran sistem sosial, sistem (Brahma, Wisnu, Siwa) kedalam konsep religi dan politik keagamaan dan ancaman teologi Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa dan ekternal yaitu Islamisasi dari Jawa. Ia juga Maheswara); memperkenalkan bangunan melihat peluang untuk memperkuat sendi- tempat pemujaan disebut Padmasana untuk sendi keagamaan di Bali, karena sebelum ia memuja kebesaran Sanghyang Tri-Purusa. melakukan perjalanan dharmayatra ke Bali, Bali sudah pernah didatangi oleh Maha Resi Bangunan (pelinggih) untuk Markandeya (756 Masehi) dan para Mpu pemujaan Tri Murti telah diperkenalkan seperti Mpu Semeru (999 Masehi),Mpu konsep Bangunan Meru oleh Mpu Ghana (1000 Masehi), Mpu Kuturan (1001 Kuturan, konsep Desa Pakaraman, Masehi), Mpu Gnijaya (1049).
    [Show full text]
  • Candi Space and Landscape: a Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains
    Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains Proefschrift ter verkrijging van de graad van Doctor aan de Universiteit Leiden, op gezag van Rector Magnificus Prof. mr. P.F. van der Heijden, volgens besluit van het College voor Promoties te verdedigen op woensdag 6 mei 2009 klokke 13.45 uur door Véronique Myriam Yvonne Degroot geboren te Charleroi (België) in 1972 Promotiecommissie: Promotor: Prof. dr. B. Arps Co-promotor: Dr. M.J. Klokke Referent: Dr. J. Miksic, National University of Singapore. Overige leden: Prof. dr. C.L. Hofman Prof. dr. A. Griffiths, École Française d’Extrême-Orient, Paris. Prof. dr. J.A. Silk The realisation of this thesis was supported and enabled by the Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO), the Gonda Foundation (KNAW) and the Research School of Asian, African and Amerindian Studies (CNWS), Leiden University. Acknowledgements My wish to research the relationship between Ancient Javanese architecture and its natural environment is probably born in 1993. That summer, I made a trip to Indonesia to complete the writing of my BA dissertation. There, on the upper slopes of the ever-clouded Ungaran volcano, looking at the sulfurous spring that runs between the shrines of Gedong Songo, I experienced the genius loci of Central Javanese architects. After my BA, I did many things and had many jobs, not all of them being archaeology-related. Nevertheless, when I finally arrived in Leiden to enroll as a PhD student, the subject naturally imposed itself upon me. Here is the result, a thesis exploring the notion of space in ancient Central Java, from the lay-out of the temple plan to the interrelationship between built and natural landscape.
    [Show full text]
  • The Meaning of Three Dragons on Padmasana Tiga Architectures in Besakih Temple, Bali Indonesia
    International Proceeding Conference on Multimedia, Architecture & Design (IMADe) Vol.1, October 2020 p-ISSN: 2747-1764, e-ISSN: 2747-1756 https://eprosiding.idbbali.ac.id/index.php/imade THE MEANING OF THREE DRAGONS ON PADMASANA TIGA ARCHITECTURES IN BESAKIH TEMPLE, BALI INDONESIA Ida Bagus Idedhyana1, Ngakan Putu Sueca2, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra3 and Ida Bagus Wirawibawa4 1Student of Doctoral Program Engineering Science, Faculty of Engineering, Udayana University and Lecture of Architecture Department, Ngurah Rai University Email: [email protected] 2Department of Architecture, Faculty of Engineering, Udayana University Email: [email protected] 3Department of Doctoral Program Engineering Science, Faculty of Engineering, Udayana University Email: [email protected] 4 Department of Architecture, Faculty of Engineering, Udayana University Email: [email protected] ABSTRACT Three dragons are the most famous snake of Gods among a thousand other dragons. Anantabhoga, Basuki and Taksaka are three dragons that are often used as decorative items in Padmasana architecture. Padmasana Tiga in Penataran Agung Besakih Temple is a symbolic place of God, applying these three dragon icons as decoration. The purpose of this study is to reveal the meaning of the three dragons and how they are placed on Padmasana architecture. The meaningful step is carried out through two stages, the first stage is explanation and the second stage is interpretation of meaning. The results show that the shape of the dragon is more towards therio-anthropomorphic, the merging of animal and human forms in divine visuals that is difficult to imagine. Its symbolic function is as a tribute to the cosmic principles of the universe, and serves to strengthen the architectural representation of Padmasana Tiga as an embodiment of the universe.
    [Show full text]
  • Terhadap Konsep Bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang Di Bali Dengan Pura Aditya Jaya Di Jakarta
    Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275 HUBUNGAN KONSEPTUAL TEORI “NATURE AS EXEMPLAR IN ARCHITECTURE” TERHADAP KONSEP BANGUNAN PURA PENATARAN AGUNG LEMPUYANG DI BALI DENGAN PURA ADITYA JAYA DI JAKARTA I Kadek Oka Supribawa1), Oka Sindhu Pribadi2) 1,2)Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Trisakti [email protected] ABSTRAK Pura dibangun dengan menerapkan berbagai nilai filosofis dalam konsep Tri Hita Karana. Umat Hindu di Bali menempatkan Pura di tempat yang utama menurut aturan yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai spiritual dan kesakralan Pura. Namun akan berbeda apabila Pura dibangun di perkotaan Jakarta. Perkembangan konsep membangun pura di Jakarta tentu mengalami penyesuaian terhadap situasi lingkungan fisik maupun sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan konseptual nilai-nilai filosofis teori “Nature as Exemplar in Architecture” dengan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali yang kemudian dibandingkan terhadap konsep membangun Pura Aditya Jaya di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, untuk mengidentifikasi hubungan konseptual dalam kesamaan dan perbedaan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dengan Pura Aditya Jaya di Jakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam memahami nilai filosofis bangunan Pura. Kata kunci: pura, filosofi, konsep, alam I. PENDAHULUAN Pura sebagai tempat ibadah yang disucikan umat Hindu di Indonesia dibangun dengan menerapkan berbagai nilai-nilai filosofis dan konsep spiritual umat Hindu sebagai pedoman yang tersusun secara kompleks dan saling terkait. Pembangunan Pura dengan landasan nilai-nilai filosofis dan konsep Tri Hita Karana adalah pembentuk ruang bangunan Pura yang dibagi dalam konsep Tri Mandala dengan orientasi kosmologis Sanga Mandala, sebagai konsep dasar dalam arsitektur tradisional Bali.
    [Show full text]
  • Kajian Tipomorfologi Arsitektur Percandian ‘Kayu’ Di Jawa
    Arsitektur Kajian Tipomorfologi Arsitektur Percandian ‘Kayu’ di Jawa Penyusun : Dr. Rahadhian PH Antonius Richard Fery Wibawa C LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung, 40141 Februari, 2014 Identitas Penelitian 1. Judul Usulan : Kajian Tipo-Morfologi Percandian ‘Kayu’ di Jawa 2. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Dr. Rahadhian Prajudi Herwindo, ST, MT.Ars b. Bidang Keahlian : Teori , Sejarah, dan Desain Arsitektur c. Jabatan Struktural : d. Jabatan Fungsional : Dosen Tetap g. Unit Kerja : Fakultas Teknik/Arsitektur/Unpar h. Pusat Penelitian : i. Alamat Surat : Jurusan Teknik Arsitektur Unpar Jalan Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 j. Telp/Faks : (022) 2033691/(022) 2033692 k. E-mail : [email protected] [email protected] 3. Tim Peneliti : No Nama dan Gelar Bidang Instansi Alokasi/ Waktu Akademik Keahlian (jam/minggu) 1. Dr. Rahadhian PH, Teori, Sejarah, Unpar 2 jam/minggu Desain 2. Antonius Richard Modeling 3D Unpar 2 jam/minggu 3. Fery Wibawa Modeling 3D Unpar 2 jam/minggu 4. Objek Penelitian : bangunan-bangunan candi di Jawa dan Pura di Bali 5. Masa pelaksanaan penelitian : Mulai : September 2013 Berakhir : Februari 2013 6. Anggaran : Total yang diusulkan Rp 10.000.000,- 7. Lokasi Penelitian : Jawa - Bali 1 KATA PENGANTAR Syukur dan terima kasih saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat berkah dan bimbingan-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini ini berisi pembahasan Tipomorfologi Arsitektur Candi (menggunakan) Kayu di Jawa. Penelitian ini merupakan penyempurnaan dari teori tentang candi yang telah dibangun dari penelitian sebelumnya yakni Kajian Arsitektur Percandian (menggunakan) Kayu pada masa Klasik Tengah dan Muda. Studi ini ditujukan untuk mengenali wujud tipe-tipe arsitektur percandian kayu yang pernah dibangun melalui klasifikasi dalam studi tipomorfologi.
    [Show full text]
  • The Architecture of Pagodas Viewed from the Angle of Site Lay-Out, Proportion, and Symbolization
    Jurnal RISA (Riset Arsitektur) ISSN 2548-8074, www.unpar.ac.id Volume 01, Nomor 02, edisi April 2017; hal 192-208 THE ARCHITECTURE OF PAGODAS VIEWED FROM THE ANGLE OF SITE LAY-OUT, PROPORTION, AND SYMBOLIZATION 1Raymond William. ² Dr. Ir. Yuswadi Saliya, M. Arch ¹ Student in the Bachelor’s (S-1) Study Program in Architecture at Parahyangan Catholic University ² Senior lecturer in the Bachelor’s (S-1) Study Program in Architecture at Parahyangan Catholic University Abstract – On Bali the islanders enjoy a close relationship with their Creator. The majority of Balinese worship in temples or shrines called Pura. These form a complex of sacred buildings that have a certain significance and function. One prominent type is the so-called Meru or Pagoda. Not all Pura temples have such a pagoda, but those that have more than one are found quite frequently. The placement of a pagoda in a temple is usually made at the main section due to its holiness or purity. Their shape differs from other constructions because their layered roof is multi-tiered, always uneven in number, starting from 3 up to 11. Therefore, these pagodas attain a different height so that their proportions are interesting to observe in order to determine whether there is a pole (patokan) or not. The pagodas carry divine symbols, ones referring to other temples or shrines, or ancestral symbols. This study employs the descriptive-analytical method by conducting a qualitativequantitative evaluation. The qualitative evaluation investigates the lay-out of the placement and examines symbolization, whereas the quantitative evaluation studies the proportions of the pagodas.
    [Show full text]
  • Monumental Java
    S 30. CORNELL UNIVERSITY LIBRARY THE CHARLES WILLIAM WASON COLLECTION ON CHINA AND THE CHINESE Date Due MAR-i^ 9m^U7U^-^^^* M CAT. NO. 23233 PRINTED IN (ST Cornell University Library N 7326.S32 Monumental Java. 3 1924 023 570 496 The original of tiiis book is in the Cornell University Library. There are no known copyright restrictions in the United States on the use of the text. http://www.archive.org/cletails/cu31924023570496 MONUMENTAL JAVA ^0^m. MACMILLAN AND CO., LIMITED LONDON • BOMBAY • CALCUTTA MELBOURNE THE MACMILLAN COMPANY NEW YORK BOSTON • CHICAGO DALLAS • SAN FRANCISCO THE MACMILLAN CO. OF CANADA, Ltd. TORONTO MONUMENTAL JAVA BY J. F. SCHELTEMA, M.A. Unde etiam nunc est mortalibus insitus horror, Qui delubra deftm nova toto suscitat orb! Terrarum, et festis cogit celebrate diebus : Lucretius, De Rerum Natura, Lib. v. WITH ILLUSTRATIONS, AND VIGNETTES AFTER DRAWINGS OF JAVANESE CHANDI ORNAMENT BY THE AUTHOR MACMILLAN AND CO., LIMITED ST. MARTIN'S STREET, LONDON 1912 S 32- W.^47^^ COPYRIGHT TO MY DEAR COUSIN AND FRIEND PROFESSOR AUGUST ALLEB^ DIRECTOR EMERITUS OF THE NETHERLANDS STATE ACADEMY OF THE FINE ARTS AT AMSTERbAM If this book needs an apology, it is one to myself for taking the public at large into the confidence of cherished recollections. The writing was a diver- sion from' studies in a quite different direction and letting my pen go, while living again the happy hours I spent, between arduous duties, with the beautiful monuments of Java's past, I did nothing but seek my own pleasure. Should it turn out that my personal impressions, given in black and white, please others too—so much the better.
    [Show full text]
  • Meru As a Hindu Sacred Building Architecture with a High Roof and Resistant to Earthquakes in Bali, Indonesia
    Civil Engineering and Architecture 8(3): 350-358, 2020 http://www.hrpub.org DOI: 10.13189/cea.2020.080319 Meru as a Hindu Sacred Building Architecture with a High Roof and Resistant to Earthquakes in Bali, Indonesia Ngakan Ketut Acwin Dwijendra Faculty of Engineering, Udayana University, Bali, Indonesia Received April 19, 2020; Revised June 2, 2020; Accepted June 23, 2020 Copyright ©2020 by authors, all rights reserved. Authors agree that this article remains permanently open access under the terms of the Creative Commons Attribution License 4.0 International License Abstract Meru has meaning as a symbol of Mount landmark in a temple in Bali [15] [16]. Meru as a very great Mahameru, symbol of God and the universe that serves as local work, is not only found in temples in Bali, but can a place of worship of the gods and ancestors. Meru is also be witnessed at cremation ceremonies in Bali as corpse found in large temples in Bali, Indonesia with its (sawa) containers at the Pitra Yadnya ceremony [8] [9] trademark characteristic that the roof has a high [18]. overlapping reaching 10 meters or more with the number Meru is a very beautiful sacred building that is built of roofs always odd so that Meru becomes a landmark in based on the accuracy of proportions, the logic of every temple in Bali. Meru is a very beautiful sacred construction techniques and the beauty of decoration, building that was built based on the accuracy of which holds fast to local wisdom of Balinese Traditional proportions, the logic of construction techniques and the Architecture (Hasta Kosali Kosala, Hasta Bumi, Andha beauty of decoration, which holds fast to local wisdom Buana Lontar, Lontar Jananthaka, etc) [23] [25] [42].
    [Show full text]