Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

HUBUNGAN KONSEPTUAL TEORI “NATURE AS EXEMPLAR IN ARCHITECTURE” TERHADAP KONSEP BANGUNAN PURA PENATARAN AGUNG LEMPUYANG DI BALI DENGAN PURA ADITYA JAYA DI JAKARTA

I Kadek Oka Supribawa1), Oka Sindhu Pribadi2) 1,2)Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Trisakti [email protected]

ABSTRAK Pura dibangun dengan menerapkan berbagai nilai filosofis dalam konsep Tri Hita Karana. Umat Hindu di Bali menempatkan Pura di tempat yang utama menurut aturan yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai spiritual dan kesakralan Pura. Namun akan berbeda apabila Pura dibangun di perkotaan Jakarta. Perkembangan konsep membangun pura di Jakarta tentu mengalami penyesuaian terhadap situasi lingkungan fisik maupun sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan konseptual nilai-nilai filosofis teori “Nature as Exemplar in Architecture” dengan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali yang kemudian dibandingkan terhadap konsep membangun Pura Aditya Jaya di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, untuk mengidentifikasi hubungan konseptual dalam kesamaan dan perbedaan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dengan Pura Aditya Jaya di Jakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam memahami nilai filosofis bangunan Pura.

Kata kunci: pura, filosofi, konsep, alam

I. PENDAHULUAN Pura sebagai tempat ibadah yang disucikan umat Hindu di Indonesia dibangun dengan menerapkan berbagai nilai-nilai filosofis dan konsep spiritual umat Hindu sebagai pedoman yang tersusun secara kompleks dan saling terkait. Pembangunan Pura dengan landasan nilai-nilai filosofis dan konsep Tri Hita Karana adalah pembentuk ruang bangunan Pura yang dibagi dalam konsep Tri Mandala dengan orientasi kosmologis Sanga Mandala, sebagai konsep dasar dalam arsitektur tradisional Bali. Penataan halaman Pura dengan konsep Tri Mandala dan bangunan-bangunan pelinggih di dalamnya memiliki aturan dan norma yang harus dipedomani untuk menjaga nila-nilai sakral dan konsep spiritual dalam suatu Pura. Tinjauan teori “Nature as Exemplar in Architecture” dari buku “The Theory of Architecture”, karangan Paul-Alan Johnson yang menjelaskan pandangan tentang arsitektur adalah perwujudan sifat alamiah dari kehidupan di alam. Tinjauan teori tersebut menganalogikan alam sebagai contoh dalam arsitektur. Contoh alam tersebut dibandingkan ke dalam hubungan konseptual terhadap filosofi dan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dengan Pura Aditya Jaya di Jakarta. Perkembangan konsep arsitektur tradisional Bali pada pembangunan Pura di Jakarta tentu mengalami penyesuaian terhadap situasi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Berbeda dengan Pura di Bali yang mendapatkan tempat utama, dalam menerapkan filosofi dan konsep spiritual sebagai aturan yang harus dipedomani. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami hubungan konseptual nilai-nilai filosofis teori “Nature as Exemplar in Architecture” dengan konsep bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali yang kemudian dibandingkan terhadap konsep bangunan Pura Aditya Jaya di Jakarta. Pura Penataran Agung Lempuyang merupakan salah satu Pura tertua dan sebagai Pura kayangan jagat, yang terletak di lereng Gunung Lempuyang di sisi Timur pulau Bali. Sebagai Pura terbesar dari rangkaian Pura di Gunung Lempuyang dan digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara Pujawali yang dapat menampung kegiatan umat

51 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

Hindu dalam jumlah besar. Sedangkan Pura Aditya Jaya merupakan salah satu Pura terbesar dan tertua di Jakarta, berfungsi sebagai Pura kayangan jagat atau Pura umum yang terletak di pusat kota Jakarta Timur, dengan karakteristik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang heterogen. Teori “Nature as Exemplar in Architecture” dapat ditinjau ke dalam hubungan konseptual bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dengan bangunan Pura Aditya Jaya di Jakarta. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan masukan tambahan pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam memahami nilai filosofis bangunan Pura.

II. STUDI PUSTAKA Menurut (Wiana, 2009), areal suci itu adalah yang mengarah ke matahari terbit dan ke arah gunung. Gunung adalah sumber alam yang menampung air, sedangkan Matahari sebagai sumber hidup yang tiada habis-habisnya. Sejalan dengan (Gelebet, 1986), Pura dibangun umumnya menghadap ke Barat memasuki Pura menuju ke arah Timur, demikian juga pemujaan dan persembahyangannya menghadap ke Timur arah matahari terbit.

Gambar 1. Konsepsi Arah Orientasi Ruang (Gelebet,1986)

Menurut (Soekmono, 1974), pura terdiri atas tiga halaman (jaba atau halaman I; jaba tengah atau halaman II; dan jeroan atau halaman III), yang satu sama lain dipisah oleh tembok penyengker namun saling berhubungan melalui gapura-gapura yang ada di tembok penyengker. Pembagian halaman Pura dan Padmasana ini didasarkan pada unsur Bhuana Agung (makro kosmos), yang melambangkan Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi/alam manusia), Bhuwah Loka (langit/alam para leluhur) dan Swah Loka (alam para dewa). Dalam tinjauan Teori. “Nature as Exemplar in Architecture” Menurut (Joseph Rykwert, 1991), alberti advocated the imitation or nature: buildings should compare with the corporeality of natural creations, and their builders should strive to understand and reflect the laws of nature (as concinnitas)-particularly, “ideal” human proportion. Menurut (John Ruskin, 1855), for whatever is in architecture fair or beautiful, is imitated from natural forms. Kemudian pendapat (Ludwig Wittgenstein, 1973), don’t take the example of others as your guide, but nature. Ketiganya mengungkapkan tentang meniru dengan memahami dan merefleksikan hukum alam sebagai contoh proporsi yang ideal dengan sifat alamiahnya. Teori tersebut dapat dihubungkan dalam konsep filosofis Tri Hita Karana sebagai dasar pembentuk ruang, maupun bangunan Pura yang dibagi dalam konsep Tri Mandala dan Tri Loka. Sadangkan menurut (Giovanni Pietro Bellori, 1672), nature always means to produce excellence in its working. Alam dengan sifatnya yang alamiah selalu menghasilkan keunggulan. Konsep filosofi Tri Hita Karana dalam hubungan harmonis manusia dengan alam (hewan dan tumbuhan), bahwa alam memiliki semua yang

52 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

manusia butuhkan. Siklus kehidupan di alam memiliki karakteristik dalam sifat alamiahnya yang menghasilkan keunggulan.

III. METODE PENELITIAN Pembahasan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengumpulan data berdasarkan tinjauan teori, wawancara dan observasi lapangan untuk memberikan gambaran secara cermat hubungan konseptual teori “Nature as Exemplar in Architecture”, terhadap konsep filosofis bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dengan konsep membangun Pura Aditya Jaya di Jakarta. Hasil analisis tersebut digunakan untuk menarik kesimpulan sejauh mana hubungan konseptual teori “Nature as Exemplar in Architecture”, terhadap konsep filosofis bangunan Pura objek penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi, Pura Penataran Agung Lempuyang terletak di lereng Gunung Lempuyang Karangasem, Bali. Lingkungan di sekitar Pura Penataran Agung Lempuyang merupakan kawasan hutan dan perkebunan penduduk. Sedangkan pada Pura Aditya Jaya terletak di pusat kota Jakarta Timur, dengan lingkungan sekitar pura merupakan pemukiman penduduk, sekolah, aktivitas perdagangan dan perkantoran, dengan karakteristik lingkungan fisik dan sosial bersifat heterogen.

(A)

(B)

Gambar 2. (A) Pura Penataran Agung Lempuyang; (B) Pura Aditya Jaya

Hasil analisis identifikasi perbedaan penentuan lokasi Pura Penataran Agung Lempuyang dengan Pura Aditya Jaya, dapat dilihat berdasarkan lokasi Pura Penataran Agung Lempuyang terletak di lereng Gunung Lempuyang. Lokasi Pura terhadap penerapan konsep Tri Hita Karana dalam suatu kawasan desa di Bali menempati wilayah suci dengan sebutan Parahyangan. Gunung dengan sifat alamiahnya sebagai sumber air dan kesuburan yang menghasilkan makanan bagi mahkluk hidup sebagai simbol kemakmuran, serta sebagai tempat yang suci dan terpisah dari kegiatan manusia. Berbeda pada Pura Aditya Jaya yang terletak di tengah kota Jakarta Timur dengan situasi lingkungan sekitar merupakan aktivitas manusia seperti perkantoran, pemukiman penduduk, sekolah dan jalan raya yang ramai. Pada contoh skala desa di Bali menempati wilayang Pawongan (pemukiman) dan Palemahan (tempat aktivitas). Perkembangan konsep membangun Pura di Jakarta mengalami penyesuaian terhadap kondisi lingkungan setempat baik secara fisik (geografis) maupun lingkungan sosial. Orientasi, Pura Penataran Agung Lempuyang menggabungkan kedua arah orientasi, yaitu ke arah Timur sebagai arah matahari terbit dan ke arah puncak Gunung Lempuyang. Orientasi ke hulu sebagai sumbu religi adalah Gunung Lempuyang, dan

53 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275 orientasi hulu sebagai sumbu bumi adalah arah Timur matahari terbit. Sedangkan pada Pura Aditya jaya menggunakan orientasi arah Utara (laut), yang berbeda dengan orientasi sumbu religi gunung-laut, dimana orientasi ke hulu arah persembahyangan adalah gunung yang terletak di Selatan dalam skala lebih luas dari Kota Jakarta yaitu lokasi gunung terdekat adalah Gunung Pangrango di Bogor Jawa Barat.

(A) (B) Gambar 3. Orientasi Hulu-Teben (A) Pura Penataran Agung Lempuyang; (B) Pura Aditya Jaya

Hasil analisis menunjukkan orientasi hulu pada Pura Penataran Agung Lempuyang sebagai arah persembahyangan adalah Gunung Lempuyang sebagai simbol kemakmuran dan matahari terbit sebagai simbol hidup yang mengawali kehidupan. Orientasi arah persembahyangan yang memiliki makna filosofis ke arah yang memberikan kemakmuran dan kehidupan. Berbeda dengan orientasi hulu Pura Aditya Jaya sebagai arah persembahyangan adalah ke Utara (laut). Arah Utara bagi masyarakat Hindu di Bali Selatan yang disebut kaja, adalah ke arah Gunung Agung, sehingga terjadi perbedaan makna arah mata angin Utara di Jakarta dengan istilah kaja di Bali. Filosofis orientasi hulu tersebut mengalami penyesuaian sebagai wujud fleksibilitas masyarakat Hindu di Jakarta terhadap pengaruh dari situasi lingkungan fisik maupun sosial sekitar areal Pura. Prosesi, Pura Penataran Agung Lempuyang terbagi dalam tiga halaman yang tersusun secara linier dengan masing-masing halaman memiliki perbedaan ketinggian. Tiga halaman pura tersebut adalah Jaba, Jaba Tengah dan Jeroan. Area Jaba Tengah dan Jeroan dikelilingi oleh pagar (penyengker), sedangkan area Jaba Sisi tidak ditutupi oleh penyengker, hanya dipisahkan oleh perbedaan tinggi halaman dengan lingkungan luar. Setiap halaman Pura dihubungkan dengan di Jaba Tengah dan Kori Agung di Jeroan. Sedangkan pada Pura Aditya Jaya Jeroan tersusun secara memusat yang terbagi ke dalam tiga halaman. Jaba sebagai halaman luar yang mengelilingi Pura berbatasan langsung dengan lingkungan sekitar, Jaba Tengah dan Jeroan tersusun secara linier, dengan semua halaman Pura dibatasi oleh penyengker. Batas setiap halaman dihubungkan dengan Candi Bentar sebagai pintu masuk dari luar masuk ke Jaba dan dari Jaba menuju Jaba Tengah, sedangkan dari Jaba Tengah menuju Jeroan ditandai dengan Kori Agung. Ketiga halaman Pura Aditya Jaya tersusun dengan ketinggian rata- rata yang sama.

54 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

Gambar 4. Pura Aditya Jaya, (A & E) Candi Bentar Jaba; (B) Candi Bentar Jaba Tengah; (C) Kori Agung Jeroan; (D) Pintu Betelan di Jeroan.

Hasil analisis Pura Penataran Agung Lempuyang bahwa identifikasi konsep ketinggian dengan konsep Tri Mandala ke dalam bentuk spasial gunung-laut (tinggi- rendah), dalam pencapaian setiap halaman Pura adalah simbol gunung sebagai tempat dengan sifat dan karakternya yang suci sebagai sumber kemakmuran. Makna gunung dianalogikan sebagai tempat, orientasi arah persembahyangan yang suci dan sakral. Sedangkan pada Pura Aditya Jaya prosesi pencapaian Jeroan terpusat dalam areal Pura, tanpa dibedakan ketinggian halaman, susunan Jeroan di tengah merupakan upaya dalam menjaga kesakralan Jeroan sebagai zona privat dan suci. Sedangkan perbedaannya terdapat pada prosesi pencapaian Jeroan Pura Penataran Agung Lempuyang tersusun secara linier dan bertingkat di setiap halaman hingga tingkatan halaman yang tertinggi adalah Jeroan. Sedangkan pada prosesi pencapaian Jeroan Pura Aditya Jaya tersusun secara terpusat dengan Jeroan terletak di tengah lingkungan Pura yang dikelilingi oleh Jaba sisi dan Jaba Tengah. Pada setiap halaman Pura memiliki ketinggian rata-rata yang sama, dan hanya dibedakan dengan susunan tangga naik dari luar kemudian turun di dalam, pada pintu masuk Candi Bentar di Jaba Tengah dan Kori Agung di Jeroan. Perbedaan juga terdapat pada pagar penyengker yang mengelilingi Jaba Sisi Pura Aditya jaya yang ditandai dengan pintu masuk Candi Bentar dari luar menuju Jaba Sisi, sedangkan di Pura Penataran Agung Lempuyang hanya ditandai oleh batas alam berupa perbedaan ketinggian kontur Jaba Pura dengan lingkungan luar Pura. Perbedaan tersebut merupakan bentuk penyesuaian bangunan Pura di Jakarta terhadap lingkungan fisik dan sosial yang heterogen.

Gambar 5. Kori Agung Pura Aditya Jaya

55 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

Tata letak, Padmasana Pura Penataran Agung Lempuyang berada di Jeroan pada sudut orientasi kaja-kangin arah hulu (Timur Laut), menghadap ke arah Barat Daya. Bangunan Padmasana berdiri di atas lantai yang lebih tinggi ± 1,5 meter dari halaman Jeroan. Tinggi bangunan utama Padmasana lebih tinggi dari bangunan pelengkap dan bangunan penyempurna lainnya dalam areal Pura. Konsep tersebut juga diterapkan pada Pura Aditya Jaya, yaitu Padmasana sebagai bangunan utama memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari bangunan lainnya di dalam areal Pura. Hal tersebut menandakan tingkat keutamaan dan kesucian bangunan Utama stana Tuhan Yang Maha Esa. Pada Pura Aditya Jaya Padmasana ditempatkan sebagai sumbu Jeroan yang terletak di tengah pusat orientasi persembahyangan.

(A) (B)

(A) (B) Gambar 6. Zoning Jeroan (A) Pura Penataran Agung Lempuyang; (B) Pura Aditya Jaya. (C) Filosofis tanda fisik yang terdapat dalam satu halaman Jeroan yaitu, diantara halaman yang suci ada yang paling suci, terbagi ke dalam dua zona yaitu zona privat dibedakan dengan ketinggian lantai hingga ± 1,5 meter seperti pada Pura Penataran Agung Lempuyang sebagai tempat bangunan pelinggih, sedangkan zona semiprivat pada lantai yang lebih rendah sebagai tempat melaksanakan persembahyangan. Pembagian zona di Jeroan juga terjadi pada Pura Aditya Jaya, dengan perbedaan ketinggian lantai hanya dibedakan dengan rata-rata selisih ± 0,15 meter, dan perbedaan ketinggian lantai tersebut sudah dapat menjadi penanda fisik batas ruang zona privat dengan zona semiprivat. Padmasana pada Pura Aditya Jaya dibangun dengan alas lantai lebih tinggi ± 0,7 meter dari zona privat serta dikelilingi oleh kolam di sekitar bangunan Padmasana. Padmasana adalah bangunan yang paling tinggi dari semua pelinggih yang ada di Jeroan sebagai bangunan utama

(A) (B)

Gambar 7. Isi Halaman Jeroan (A) Pura Penataran Agung Lempuyang; (B) Pura Aditya Jaya

56 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

Hasil analisis makna tempat dari Padmasana Pura Penataran Agung Lempuyang pada arah kaja-kangin adalah zona utamaning-utama. Zona tersebut merupakan perpaduan arah gunung sebagai sumbu religi simbol kemakmuran dan Timur adalah sumbu bumi arah matahari terbit simbol kehidupan, yang mengandung makna dan filosofis siklus kehidupan alamiah dari hukum alam. Selain itu makna ketinggian adalah simbol gunung, yang dianalogikan sebagai tempat yang sakral dan tempat yang suci jauh dari aktivitas manusia. Identifikasi kesamaan Pura Penataran Agung Lempuyang dengan Pura Aditya Jaya terdapat pada penggunaan peninggian lantai Padmasana yang lebih tinggi dari halaman Jeroan. Sedangkan perbedaannya terdapat pada posisi Padmasana di Jeroan Pura Penataran Agung Lempuyang terletak pada sudut arah Timur Laut orientasi gunung dan matahari terbit, dengan tampak depan Padmasana menghadap ke arah Barat Daya. Berbeda dengan Padmasana di Pura Aditya Jaya yang terletak di tengah pusat orientasi persembahyangan, ke arah Utara dengan orientasi laut. Tampak depan Padmasana menghadap ke Selatan satu sumbu dengan Kori Agung. Ornamen, masing-masing Padmasana Pura Penataran Agung Lempuyang dan Pura Aditya Jaya memiliki berbagai pahatan ukiran diantaranya: Ukiran Bhedawangnala yang dililit dua ekor naga. Bhedawangnala berwujud sebagai seekor kura-kura yang dililit naga basuki dan naga anantaboga sebagai makhluk mitologi; Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakan di bagian tengah belakang, yang merupakan simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai pemelihara; Angsa yang terletak di bagian atas belakang, adalah wahana Dewa (dewa pencipta) dan Dewi Saraswati (dewi ilmu pengetahuan); Padma yang disebut dengan bunga teratai atau lotus terletak di atas; di atas depan adalah simbol sikap tari Dewa Siwa. Hiasan pahatan pepalihan lainnya berupa karang gajah, karang bhoma, karang bun, karang paksi (goak), yang semuanya bermakna sebagai simbul keanekaragaman alam semesta. Peletekan dan pemilihan jenis ornamen dan bentuk ukiran pada badan bangunan Padmasana yang mencerminkan sifat dan karakter alamiah serta tempat hidupnya di alam.

(A) (B) Gambar 8. Padmasana (A) Pura Penataran Agung Lempuyang; (B) Pura Aditya Jaya. (C) Hasil identifikasi terdapat kesamaan ornamen Padmasana Pura Penataran Agung Lempuyang dan Pura Adhitya Jaya, secara umum dimulai dari bawah terpahat simbol kura-kura yang dililit dua ekor naga. Kura-kura dengan sifatnya yang mampu untuk hidup di dua alam dan diyakini sebagai makhluk hidup yang tertua dan berumur panjang, kemudian naga sebagai makhluk mitologi dengan sifat dan sosoknya yang tertinggi dan menjadi raja dari semua hewan di alam semesta, hal ini dikarenakan naga dapat hidup di tiga alam dan sebagai simbol kekuatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Pahatan Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakan di bagian tengah belakang, yang merupakan simbol Tuhan dalam Manifestasi sebagai pemelihara. Garuda atau burung elang merupakan raja para burung, dipahat di atas ornamen karang bhoma yang merupakan simbolisasi hutan di kaki gunung. Angsa yang diletakan di bagian atas belakang, dikenal memiliki sifat mampu memisahkan lumpur dari air yang diminumnya. Sifat ini

57 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275 menyebabkan angsa dijadikan simbol kebijaksanaan dan kesucian. Karakter lain angsa adalah kemampuannya untuk selalu terjaga dan tidak pernah tidur. Sifat ini pula yang menyebabkan angsa dijadikan simbol jiwa yang selalu ada dan tidak pernah beristirahat dalam menjalankan aktivitas. Selain itu karakter angsa yang tidak basah oleh air merupakan simbol jiwa suci dan bersih yang tidak terpengaruh. Padma yang disebut dengan bunga teratai atau lotus dengan sifat alamiahnya memiliki karakter suci di alam habitat aslinya. Akarnya tumbuh di daratan atau lumpur, batang dan helai-helai daunnya berada di dalam air, sedangkan bunganya mekar di atas air. Padma yang mekar juga bersih tak bernoda, walaupun tumbuh dan lahir dari media lumpur yang kotor. Karakter ini pula yang menyebabkan Padma atau teratai terpilih sebagai bunga suci dalam ajaran Hindu. Kemudian Acintya di atas depan adalah simbul Tuhan. Acintya menggambarkan sikap tari dari Dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta. Peletakan jenis ornamen dan karang atau ukiran pada bangunan Padmasana tersusun dengan sangat proporsional. Karang gajah yang merupakan simbol binatang gajah dipilih karena sifat dan karakternya yang cerdas dan tidak pernah lupa, setia dengan koloninya, serta gembira dengan kehidupan dan menghormati yang mati, terdapat di atas punggung kura-kura sebagai simbol Bumi dan karang bhoma dengan karang bun yang dimaknai sebagai hutan sumber air, kesuburan dan kemakmuran, terletak pada bagian lebih tinggi dari karang gajah. Kemudian karang paksi (goak) sebagai simbol burung terletak di atas karang bhoma dan karang bun sebagai tumbuhan. Dapat dilihat dari perbedaanya, terdapat pada penggunaan detail atau bentuk pahatan ukiran. Ornamen Padmasana Pura Penataran Agung Lempuyang menggunakan bentuk pahatan pepalihan dan lelengisan tanpa memperlihatkan detail ukiran terutama pada ornamen jenis karang gajah, karang bhoma, karang bun, dan karang paksi (goak), dengan tetap mengandung makna dan simbol yang sama. Sedangkan pada ornamen Padmasana Pura Aditya Jaya menggunakan bentuk pahatan ukiran dan pepalihan dengan detail yang lengkap, mengandung makna dan simbol yang sama sebagai analogi filosofis sifat alamiah dari hukum alam tergambar dengan sangat jelas. Pada Pembagian proporsi bangunan Padmasana dalam tatanan bentuk pahatan, melambangkan ketiga alam dengan konsep Tri Loka. Kemudian pada pembagian dalam tatanan arsitektur yang menganalogikan tubuh manusia dibagi ke dalam konsep Tri Angga. Konsep Tri Hita Karana diterapkan secara menyeluruh karena mewujudkan bentuk hubungan harmonis manusia dengan alam.

58 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

Tabel 1. Hasil Analisis Hubungan Konseptual Teori “Nature as Exemplar in Architecture” Terhadap Konsep Filosofis Bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dan Pura Aditya Jaya di Jakarta “The Theory of Konsep Filosofis Bangunan Pura Konsep Filosofis Bangunan Pura Kesimpulan Hasil Analisis Hubungan Architecture” Penataran Agung Lempuyang Aditya Jaya Konseptual “Nature as Exemplar Lokasi, di lereng Gunung Lokasi, di tengah kota Jakarta Timur, Makna tempat pada Pura Penataran in Architecture” Lempuyang, dalam konsep ruang Tri yang merupakan kawasan pemukiman Agung Lempuyang yaitu pemahaman Meniru dengan Hita Karana terletak pada zona dan tempat aktivitas manusia. Pura terhadap sifat alam yang memiliki memahami dan Parahyangan sebagai makna dibangun dengan penyesuaian konsep keunggulan sebagai tempat yang merefleksikan tempat yang suci, hening dan filosofis bangunan Pura di Bali memberikan kemakmuran. Pura di Bali hukum alam terpisah dari kegiatan manusia. terhadap lingkungan fisik dan sosial mendapatkan tempat yang utama, sebagai contoh perkotaan Jakarta namun berbeda pada Pura di Jakarta proporsi yang ideal menyesuaikan dengan tempat yang dengan sifat ada. alamiahnya Orientasi, Pura menggabungkan Orientasi, Pura ke arah Utara (laut), Orientasi Pura Penataran Agung Alam dengan dua orientasi arah suci yaitu ke arah sebagai penerapan tradisi orientasi Lempuyang ke arah matahari terbit sifatnya yang gunung dan matahari terbit. Gunung arah suci Pura di Bali Selatan, karena dan Gunung Lempuyang merupakan alamiah selalu dimaknai sebagai tempat yang arah Utara adalah letak gunung konsepsi arah yang memberikan menghasilkan subur, sumber mata air, serta sebagai simbol kemakmuran. Terjadi sumber hidup dan kesuburan sebagai keungulan. menghasilkan makanan bagi perbedaan dalam makna orientasi simbol kemakmuran. Filosofi konsep mahkluk hidup, dan matahari terbit, yang diterapkan sama berdasarkan alam memberikan contoh nyata sebagai sumber hidup yang tiada arah mata angin yang berlaku tentang keunggulan sifat alamiah alam habis-habisnya. universal, dimana karakteristik alam di dalam memberikan kehidupan, Bali berbeda dengan alam di Jakarta. sebagai arah yang dianggap suci Penyesuaian tersebut merupakan sifat dalam pemujaan. fleksibilitas umat Hindu dalam menentukan orientasi berdasarkan pengaruh karakteristik lingkungan. Prosesi, pencapaian Pura terbentuk Prosesi, pencapaian Jeroan tepusat di Makna suatu prosesi dalam secara linier dengan setiap halaman tengah areal Pura, sebagai pencapaian Pura Penataran Agung bertingkat sebagai simbol tahapan penyesuaian dalam penataan halaman Lempuyang adalah mencapai dalam mencapai ketinggian yang Pura terhadap lingkungan fisik ketinggian sebagai simbol gunung dianggap suci, dan merupakan maupun lingkungan sosial, dalam yang dimaknai memiliki keunggulan simbolisasi dari gunung. menjaga kesucian Jeroan sebagai sebagai tempat yang subur, sumber zona sakral. air dan memberikan kemakmuran.

59 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

lanjutan “The Theory of Konsep Filosofis Bangunan Pura Konsep Filosofis Bangunan Pura Kesimpulan Hasil Analisis Hubungan Architecture” Penataran Agung Lempuyang Aditya Jaya Konseptual Tata Letak, Padmasana sebagai Tata Letak, Padmasana sebagai Penempatan bangunan utama bangunan utama, ditempatkan pada bangunan utama, ditempatkan pada Padmasana pada zona utamaning- tempat yang paling suci diantara tempat yang paling suci diantara yang utama merupakan perpaduan arah yang suci, yaitu pada zona privat suci, yaitu pada zona privat di halaman gunung dan matahari terbit, sebagai sudut orientasi kaja-kangin (Timur Jeroan. Penempatan Padmasana konsepsi arah yang memberikan Laut) sebagai tempat utamaning- tepat di tengah halaman Jeroan, sumber hidup dan kemakmuran. utama dalam konsep ruang Sanga sebagai pusat orientasi Filosofi konsep alam memberikan Mandala. Makna tempat tersebut persembahyangan. Areal bangunan contoh nyata tentang keunggulan sifat merupakan perpaduan arah gunung Padmasana di zona privat memiliki alamiah alam dalam memberikan di Utara dan matahari terbit di Timur, ketinggian halaman lebih tinggi dari kehidupan, sebagai tempat yang sebagai simbol kemakmuran, dan zona semiprivat sekitar lima belas dianggap suci untuk pemujaan. sumber hidup yang tiada habis- sentimeter, hal tersebut dapat Berbeda dengan Pura Aditya Jaya, habisnya. dimaknai menuju ke tahap zona yang Padmasana sebagai pusat lebih tinggi yang diangap suci, persembahyangan, dimaknai dengan simbolisasi dalam mencapai nilai-nilai filosofis dalam tempat, ketinggian (keluan - gunung). bentuk dan ornamen bangunan. Ornamen, Padmasana dari bagian Ornamen, Padmasana dari bagian Penerapan hukum alam dengan dasar bangunan hingga paling atas dasar bangunan hingga paling atas karakteristik sifat alamiahnya, menggambarkan suatu kehidupan di menggambarkan suatu kehidupan di diterapkan pada kedua bangunan alam dengan sifat-sifat alamiahnya. alam dengan sifat-sifat alamiahnya. Padmasana sebagai bangunan utama Alam beserta kehidupan di Alam beserta kehidupan di dalamnya Pura. Alam sebagai contoh dengan dalamnya digunakan sebagai contoh digunakan sebagai contoh dalam sifat alamiahnya tersusun dengan dalam menggambarkan menggambarkan keunggulannya proporsi yang ideal, membentuk keunggulannya sebagai hiasan yang sebagai hiasan yang terpilih dalam bangunan Padmasana yang penuh terpilih dalam pembentuk bangunan pembentuk bangunan Padmasana. dengan makna dan nilai filosofis dari Padmasana. Bentuk ragam hias Bentuk ragam hias menggunakan jenis keunggulan alam. menggunakan jenis pahatan pahatan ukiran dan pepalihan. pepalihan dan lelengisan.

60 Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275

V. KESIMPULAN Hubungan konseptual teori “Nature as Exemplar in Architecture”, terhadap bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang dengan Pura Aditya Jaya, dapat ditinjau pada bangunan Padmasana, bentuk pahatan dengan proporsi ideal menerapkan konsep filosofis dari alam yang memiliki keunggulan dalam sifat-sifat alamiahnya. Alam sebagai contoh diterapkan pada ornamen Padmasana sebagai bangunan utama suatu Pura yang melambangkan ketiga alam dalam konsep Tri Loka, dan filosofi pembagian tubuh manusia merupakan penerapan dari konsep Tri Angga. Keseimbangan hukum alam yang diwujudkan ke dalam pahatan bangunan Padmasana sebagai bentuk penerapan konsep Tri Hita Karana. Pada penentuan lokasi, orientasi, prosesi dan letak Padmasana Pura Penataran Agung Lempuyang, memiliki makna filosofis pada orientasi arah letak gunung dan arah matahari terbit. Orientasi arah tersebut merupakan simbol keutamaan sifat alam dengan karakteristik alamiahnya. Berbeda pada Pura Aditya Jaya yang terjadi penyesuaian dalam penerapan konsep dasar filosofis pada penataan dan orientasi bangunan Pura yang menjadi tradisi di Bali. Penyesuaian tersebut merupakan bentuk pengaruh dari karakteristik lingkungan Pura Aditya Jaya yang terletak pada lingkungan fisik dan sosial perkotan yang heterogen. Susunan halaman Pura yang menempatkan Jeroan terpusat dalam areal Pura sebagai bentuk menjaga kesucian dan kesakralan Jeroan sebagai tempat persembahyangan. Penentuan orientasi persembahyangan ke arah Utara merupakan wujud fleksibilitas umat Hindu dalam menyesuaikan dengan situasi lingkungan yang menjadi keyakinan masyarakat Hindu di Bali.

DAFTAR PUSTAKA Dwijendra, N. K. A., 2003, Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali, Jurnal Permukiman Natah, vol 1 no 1. Gelebet, I Nyoman, 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar. Johnson, Alan dan Paul, 1994, The Theory of Architecture, Van Nostrand Reinhold, New York. Rata, Ida Bagus, 1991, Pura Besakih Sebagai Khayangan Jagat, Disertasi Program Studi Arkeologi S3 Fakultas Satra, Universitas Indonesia, Jakarta. Soekmono, R., 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Universitas Indonesia, Jakarta. Wiana, Ketut, 2004, Mengapa Bali Disebut Bali, Paramita, Surabaya.

61