Akulturasi Budaya Bali Dan Tionghoa Dalam Arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
AKULTURASI BUDAYA BALI DAN TIONGHOA DALAM ARSITEKTUR GRIYA KONGCO DWIPAYANA, KUTA Oleh: Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA. Pendahuluan Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk me- mahami dan menginterpretasikan lingkungan hidup dan pengalaman- nya, serta menjadi kerangka landasan untuk mendorong perwujudan kelakuan. Dalam hal ini, kebudayaan berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap kelakuan dan tindakan-tindakan manusia dan sebagai pola-pola kelakuan. Dalam kaitan dengan ini, kebudayaan bisa dipa- hami sebagai serangkaian model kognitif yang digunakan secara selek- tif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan hidup yang dihadapi (Spradley, 1971: 1-6). Ini berarti bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan yang menjadi acuan bagi tingkah laku, yang diperlukan antara lain dalam melahirkan hasil karya, seperti arsitektur. Kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat suatu negara juga dapat dilihat peranannya dalam menentukan hubungan-hubungan interaksi yang dapat dilakukan dengan bangsa-bangsa atau negara-negara lain. Hubungan-hubungan antar bangsa dan antarbudaya itulah yang pada dasarnya dapat berakibat pada terjadinya pengambilalihan elemen-ele- men budaya asing tertentu, atau sebaliknya pada penyebaran elemen- elemen setempat ke luar dan diambil alih oleh bangsa lain. Pada per- temuan budaya yang tidak simetris, yang terjadi adalah akulturasi. Semua proses itu, baik perkembangan internal maupun pengaruh- mempengaruhi antarbangsa, telah mewujudkan pula keanekaragaman 1 yang lebih bervariasi lagi di antara berbagai suku bangsa di Indonesia. Keanekaragaman budaya itu harus didudukkan sebagai aset bangsa, yang dapat membuat kehidupan budaya kita hangat, dengan interaksi budaya yang senantiasa aktual (Sedyawati, 2006: 329-330). Begitu pula halnya dalam melihat “Sejarah Kebudayaan Bali” sebagai bagian dari Indonesia, di masa lalu sampai sekarang terdapat berbagai suku bangsa yang pernah hidup di atas tanah Bali. Berbagai suku bangsa ini tentu membawa budayanya masing-masing dan kemudian saling berinteraksi dengan budaya Bali. Demikian pula dengan kedatangan kaum imigran Tionghoa di masa lampau yang datang menetap ke Bali, dalam membangun ke- budayaan sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan budaya setempat. Arsitektur Kongco Dwipayana, sebagai salah satu wujud manifestasi kebudayaan fi siknya, merupakan hasil tindakan budaya orang Tionghoa di Bali yang diatur dan diarahkan oleh sistem budaya di dalam kehidupan suatu masyarakat, dalam hal ini budaya Tionghoa dan budaya Bali. Jadi, arsitektur Kongco Dwipayana Kuta, bukanlah sekadar hasil ekspresi tentang keindahan melulu, akan tetapi di dalam- nya tersirat pesan-pesan budaya yang bermuatan unsur-unsur kedua sistem budaya masyarakat yang bersangkutan ( Tionghoa-Bali), yang saling berinteraksi. Hasil pengkajian para ahli menunjukkan bahwa tiap kebudayaan senantiasa mengalami perubahan (Vogt, 1972; Ali, 1977: 97; Ember dan M. Ember, 1980: 34). Perubahan kebudayaan ( cultural change ) adalah suatu proses pergeseran, pengurangan, penambahan unsur sistem budaya karena adanya penyesuaian dalam rangka menghadapi masalah lingkung- annya. Hal ini terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri dan karena adanya interaksi dengan pendukung kebudayaan lain (bandingkan Koentjaraningrat, 1985). Kebudayaan itu berubah karena bersifat adaptif. Ada penyesuaian terhadap lingkungannya yang bersifat fi sik geografi s, lingkungan sosial budaya dan penyesuaian dalam hal ke- butuhan fi siologis (Ember dan M. Ember, 1980: 28-29). Ciri paling kekal dari suatu kebudayaaan adalah perubahan. Perubahan kebudayaan itu ada kalanya berjalan lambat dan berlangsung secara mulus sehingga 2 Gambar 1 : Griya Kongco Dwipayana, Tanah Kilap, Denpasar tidak terasa oleh masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, ada juga perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat sebagai suatu revolusi. Di samping itu, perubahan kebudayaan itu ada yang digerak- kan oleh faktor-faktor dari dalam ( internal factors ) dan ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar ( external factors ). Faktor dari luar sering menyebabkan terjadinya perubahan yang amat nyata dan cepat. Faktor dari dalam terjadi misalnya karena laju kenaikan pen- duduk yang cepat, inovasi, konfl ik, dan akumulasi pengetahuan (Vogt, 1972; Ali, 1977: 97-98; Linton, 1984: 238-239). Suatu inovasi biasanya terkait erat dengan kondisi ekonomi dan teknologi. Inovasi menjadi kenyataan bila ia telah diterima oleh masyarakatnya dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan kebudayaan yang berasal dari dalam ini merupakan suatu dinamika kebudayaan dalam proses belajar mengadopsi dari budaya lingkungan ( inkulturasi dan sosialisasi ), yang terjadi karena adanya penyimpangan kebudayaan ( cultural deviance ). Biasanya, sebelum itu terjadi konfl ik yang kemudian bisa menimbulkan perubahan. 3 Faktor perubahan dari luar berupa revolusi, difusi, akulturasi, dan asimilasi (Vogt, 1972; Ali, 1977: 150; Linton, 1984: 256). Suatu revolusi bisa menimbulkan perubahan yang amat cepat. Perubahan terjadi karena adanya penyebaran kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Ada yang menyebabkan terjadinya ambil alih unsur kebudayaan antara dua kebudayaan tanpa menghilangkan ciri masing- masing (akulturasi). Kemungkinan lain, terwujudnya kebudayaan baru sebagai akibat terjadinya percampuran dua kebudayaan yang berbeda yang ciri-ciri asalnya tidak lagi kelihatan ( inkulturasi ). Sejarah Arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta Menurut Atu Mangku Adnyana (pemangku Griya Kongco Dwi- payana), pada tahun 1987 tempat berdirinya Griya Kongco Dwipayana masih berupa sebuah bangunan kecil tanpa pagar/dinding/tembok per- manen, hanya dikelilingi oleh hutan bakau. Tempat bersemayam dewa utamanya pun hanya berupa onggokan batu saja. Kemudian sekitar tahun 1998 mulai pembangunan tempat pemujaan dewa utama berupa pura kecil dan bangunan Kongco serta Vihara. Setelah itu baru didirikan bangunan-bangunan lain untuk dewa-dewa pelindung Kongco berupa Bangunan Tujuh Dewi, Pagoda Tujuh Tingkat dan Griya (rumah) atau Pasraman Atu Mangku dan keluarganya. Dana pembangunan diperoleh dari sumbangan ( punia ) para pengunjung Kongco, baik yang berasal dari etnis Tionghoa Bali ataupun luar negeri (Taiwan) maupun dari kelompok etnis Bali dan Jawa yang asal agamanya berbeda-beda. Griya Kongco Dwipayana juga disebut dengan nama Ling Xi Miao (Ling Xu Miao) dan Kelenteng Ong Tay Jen dikenal sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma dan Hindu, berlokasi di Jl. By Pass I Gusti Ngurah Rai, Tanah Kilap, Denpasar Selatan, Bali. Kongco/Kelenteng ini adalah salah satu kelenteng di Bali, yang arsitektur dan konsep ban- gunannya merupakan hasil akulturasi antara arsitektur tradi-sional Bali ( Hindu) dengan arsitektur Tiongkok. Ciri arsitektur Tiongkok (China) yang dimaksud di sini adalah seperti ciri-ciri kelenteng (kuil) umumnya di Tiongkok. Akulturasi kedua budaya itu akan tercermin dari berbagai jenis 4 bangunan pada Griya Kongco Dwipayana, yang kini mencapai 17 jenis bangunan, antara lain: 1) Gedong Khonghucu; 2) Gedong Buddha; 3) Peparuman Kanjeng Ratu Kidul; 4) Padmasana; 5) Ratu Batara Hyang Niang Lingsir; 6) Bale Sakanem; 7) Pat Kwa/Siwa-Buddha; 8) Bale Tempat Persembahan; 9) Gedong Tujuh Dewi Datu; 10) Tempat Pem- bakaran Kim; 11) Angkul-angkul; 12) Kori Agung; 13) Pelinggih Ratu Gede Pengenter Jagat; 14) Pintu Gerbang Utama; 15) Pasraman; 16) Pagoda; 17). Gudang . Kompleks bangunan Griya Kongco Dwipayana ini secara kese- luruhan memiliki luas 900 M 2. Beberapa keunikan dari Kongco ini adalah di dalam kompleks terdapat bangunan Merajan atau Pura dalam skala yang lebih kecil, dan bangunan Tujuh Dewi Datu atau Cik Niu Ma (Qi Xian Nu) yang tidak terdapat di kelenteng lain. Selain itu, juga ter- dapat dua buah wantilan atau balai pertemuan yaitu Bale Sakanem dan Gambar 2 5 Bale Tempat Persembahan. Jumlah “dua” itu sengaja dirancang karena yang satu dibuat untuk melambangkan kebudayaan Tionghoa dan yang lainnya melambangkan kebudayaan Bali. Bangunan-bangunan inilah yang menjadikan Griya Kongco Dwipayana, Tanah Kilap, Denpasar lebih unik dari kelenteng-kelenteng lain di Bali ataupun di Indonesia. Latar belakang didirikannya Griya Kongco Dwipayana, adalah sebagai tempat untuk melakukan bakti kepada Ida Ratu Bhatara Niang Lingsir yang menjadi penguasa setempat (daerah lokasi dan sekitarnya) di masa lampau dan kepada Wang Da Ren yaitu seorang ahli pengobat- an dan fi lsafat berasal dari negeri Tiongkok, serta merupakan salah satu keturunan raja dari Dinasti Qing (Qing Chao). Menurut Atu Mangku, Wang Da Ren dan ratusan prajuritnya berlayar dari negeri Tiongkok dan setelah lama mengarungi lautan luas memutuskan mendarat di tepi pantai Benoa (Bali). Pendaratan menyebabkan mereka bertemu dengan Batara Hyang Niang Lingsir yang menjadi penguasa setempat (pe- nguasa wilayah Benoa dan sekitarnya). Kedua tokoh penting ini sering saling bertukar pengalaman untuk menambah ilmu pengetahuan. Masing-masing kekuatan dan kemam- puan yang didapat digunakan untuk menolong orang banyak. Karena merasa ada kecocokan dengan Batara Hyang Niang Lingsir, maka Wang Da Ren dan pasukannya memutuskan untuk menetap di pulau Bali dan tidak pernah kembali lagi ke negeri Tiongkok. Atas pertolongan yang sering diberikan kepada orang banyak, kedua tokoh ini menjadi sangat terkenal dan harum namanya di kalangan masyarakat Bali. Berkat ke- muliaan dan jasa-jasa besar Ida Ratu Batara Hiang Niang Lingsir dan Wang Da Ren di masa lampau