Akulturasi Budaya Bali Dan Tionghoa Dalam Arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Akulturasi Budaya Bali Dan Tionghoa Dalam Arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta AKULTURASI BUDAYA BALI DAN TIONGHOA DALAM ARSITEKTUR GRIYA KONGCO DWIPAYANA, KUTA Oleh: Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA. Pendahuluan Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk me- mahami dan menginterpretasikan lingkungan hidup dan pengalaman- nya, serta menjadi kerangka landasan untuk mendorong perwujudan kelakuan. Dalam hal ini, kebudayaan berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap kelakuan dan tindakan-tindakan manusia dan sebagai pola-pola kelakuan. Dalam kaitan dengan ini, kebudayaan bisa dipa- hami sebagai serangkaian model kognitif yang digunakan secara selek- tif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan hidup yang dihadapi (Spradley, 1971: 1-6). Ini berarti bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan yang menjadi acuan bagi tingkah laku, yang diperlukan antara lain dalam melahirkan hasil karya, seperti arsitektur. Kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat suatu negara juga dapat dilihat peranannya dalam menentukan hubungan-hubungan interaksi yang dapat dilakukan dengan bangsa-bangsa atau negara-negara lain. Hubungan-hubungan antar bangsa dan antarbudaya itulah yang pada dasarnya dapat berakibat pada terjadinya pengambilalihan elemen-ele- men budaya asing tertentu, atau sebaliknya pada penyebaran elemen- elemen setempat ke luar dan diambil alih oleh bangsa lain. Pada per- temuan budaya yang tidak simetris, yang terjadi adalah akulturasi. Semua proses itu, baik perkembangan internal maupun pengaruh- mempengaruhi antarbangsa, telah mewujudkan pula keanekaragaman 1 yang lebih bervariasi lagi di antara berbagai suku bangsa di Indonesia. Keanekaragaman budaya itu harus didudukkan sebagai aset bangsa, yang dapat membuat kehidupan budaya kita hangat, dengan interaksi budaya yang senantiasa aktual (Sedyawati, 2006: 329-330). Begitu pula halnya dalam melihat “Sejarah Kebudayaan Bali” sebagai bagian dari Indonesia, di masa lalu sampai sekarang terdapat berbagai suku bangsa yang pernah hidup di atas tanah Bali. Berbagai suku bangsa ini tentu membawa budayanya masing-masing dan kemudian saling berinteraksi dengan budaya Bali. Demikian pula dengan kedatangan kaum imigran Tionghoa di masa lampau yang datang menetap ke Bali, dalam membangun ke- budayaan sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan budaya setempat. Arsitektur Kongco Dwipayana, sebagai salah satu wujud manifestasi kebudayaan fi siknya, merupakan hasil tindakan budaya orang Tionghoa di Bali yang diatur dan diarahkan oleh sistem budaya di dalam kehidupan suatu masyarakat, dalam hal ini budaya Tionghoa dan budaya Bali. Jadi, arsitektur Kongco Dwipayana Kuta, bukanlah sekadar hasil ekspresi tentang keindahan melulu, akan tetapi di dalam- nya tersirat pesan-pesan budaya yang bermuatan unsur-unsur kedua sistem budaya masyarakat yang bersangkutan ( Tionghoa-Bali), yang saling berinteraksi. Hasil pengkajian para ahli menunjukkan bahwa tiap kebudayaan senantiasa mengalami perubahan (Vogt, 1972; Ali, 1977: 97; Ember dan M. Ember, 1980: 34). Perubahan kebudayaan ( cultural change ) adalah suatu proses pergeseran, pengurangan, penambahan unsur sistem budaya karena adanya penyesuaian dalam rangka menghadapi masalah lingkung- annya. Hal ini terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri dan karena adanya interaksi dengan pendukung kebudayaan lain (bandingkan Koentjaraningrat, 1985). Kebudayaan itu berubah karena bersifat adaptif. Ada penyesuaian terhadap lingkungannya yang bersifat fi sik geografi s, lingkungan sosial budaya dan penyesuaian dalam hal ke- butuhan fi siologis (Ember dan M. Ember, 1980: 28-29). Ciri paling kekal dari suatu kebudayaaan adalah perubahan. Perubahan kebudayaan itu ada kalanya berjalan lambat dan berlangsung secara mulus sehingga 2 Gambar 1 : Griya Kongco Dwipayana, Tanah Kilap, Denpasar tidak terasa oleh masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, ada juga perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat sebagai suatu revolusi. Di samping itu, perubahan kebudayaan itu ada yang digerak- kan oleh faktor-faktor dari dalam ( internal factors ) dan ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar ( external factors ). Faktor dari luar sering menyebabkan terjadinya perubahan yang amat nyata dan cepat. Faktor dari dalam terjadi misalnya karena laju kenaikan pen- duduk yang cepat, inovasi, konfl ik, dan akumulasi pengetahuan (Vogt, 1972; Ali, 1977: 97-98; Linton, 1984: 238-239). Suatu inovasi biasanya terkait erat dengan kondisi ekonomi dan teknologi. Inovasi menjadi kenyataan bila ia telah diterima oleh masyarakatnya dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan kebudayaan yang berasal dari dalam ini merupakan suatu dinamika kebudayaan dalam proses belajar mengadopsi dari budaya lingkungan ( inkulturasi dan sosialisasi ), yang terjadi karena adanya penyimpangan kebudayaan ( cultural deviance ). Biasanya, sebelum itu terjadi konfl ik yang kemudian bisa menimbulkan perubahan. 3 Faktor perubahan dari luar berupa revolusi, difusi, akulturasi, dan asimilasi (Vogt, 1972; Ali, 1977: 150; Linton, 1984: 256). Suatu revolusi bisa menimbulkan perubahan yang amat cepat. Perubahan terjadi karena adanya penyebaran kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Ada yang menyebabkan terjadinya ambil alih unsur kebudayaan antara dua kebudayaan tanpa menghilangkan ciri masing- masing (akulturasi). Kemungkinan lain, terwujudnya kebudayaan baru sebagai akibat terjadinya percampuran dua kebudayaan yang berbeda yang ciri-ciri asalnya tidak lagi kelihatan ( inkulturasi ). Sejarah Arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta Menurut Atu Mangku Adnyana (pemangku Griya Kongco Dwi- payana), pada tahun 1987 tempat berdirinya Griya Kongco Dwipayana masih berupa sebuah bangunan kecil tanpa pagar/dinding/tembok per- manen, hanya dikelilingi oleh hutan bakau. Tempat bersemayam dewa utamanya pun hanya berupa onggokan batu saja. Kemudian sekitar tahun 1998 mulai pembangunan tempat pemujaan dewa utama berupa pura kecil dan bangunan Kongco serta Vihara. Setelah itu baru didirikan bangunan-bangunan lain untuk dewa-dewa pelindung Kongco berupa Bangunan Tujuh Dewi, Pagoda Tujuh Tingkat dan Griya (rumah) atau Pasraman Atu Mangku dan keluarganya. Dana pembangunan diperoleh dari sumbangan ( punia ) para pengunjung Kongco, baik yang berasal dari etnis Tionghoa Bali ataupun luar negeri (Taiwan) maupun dari kelompok etnis Bali dan Jawa yang asal agamanya berbeda-beda. Griya Kongco Dwipayana juga disebut dengan nama Ling Xi Miao (Ling Xu Miao) dan Kelenteng Ong Tay Jen dikenal sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma dan Hindu, berlokasi di Jl. By Pass I Gusti Ngurah Rai, Tanah Kilap, Denpasar Selatan, Bali. Kongco/Kelenteng ini adalah salah satu kelenteng di Bali, yang arsitektur dan konsep ban- gunannya merupakan hasil akulturasi antara arsitektur tradi-sional Bali ( Hindu) dengan arsitektur Tiongkok. Ciri arsitektur Tiongkok (China) yang dimaksud di sini adalah seperti ciri-ciri kelenteng (kuil) umumnya di Tiongkok. Akulturasi kedua budaya itu akan tercermin dari berbagai jenis 4 bangunan pada Griya Kongco Dwipayana, yang kini mencapai 17 jenis bangunan, antara lain: 1) Gedong Khonghucu; 2) Gedong Buddha; 3) Peparuman Kanjeng Ratu Kidul; 4) Padmasana; 5) Ratu Batara Hyang Niang Lingsir; 6) Bale Sakanem; 7) Pat Kwa/Siwa-Buddha; 8) Bale Tempat Persembahan; 9) Gedong Tujuh Dewi Datu; 10) Tempat Pem- bakaran Kim; 11) Angkul-angkul; 12) Kori Agung; 13) Pelinggih Ratu Gede Pengenter Jagat; 14) Pintu Gerbang Utama; 15) Pasraman; 16) Pagoda; 17). Gudang . Kompleks bangunan Griya Kongco Dwipayana ini secara kese- luruhan memiliki luas 900 M 2. Beberapa keunikan dari Kongco ini adalah di dalam kompleks terdapat bangunan Merajan atau Pura dalam skala yang lebih kecil, dan bangunan Tujuh Dewi Datu atau Cik Niu Ma (Qi Xian Nu) yang tidak terdapat di kelenteng lain. Selain itu, juga ter- dapat dua buah wantilan atau balai pertemuan yaitu Bale Sakanem dan Gambar 2 5 Bale Tempat Persembahan. Jumlah “dua” itu sengaja dirancang karena yang satu dibuat untuk melambangkan kebudayaan Tionghoa dan yang lainnya melambangkan kebudayaan Bali. Bangunan-bangunan inilah yang menjadikan Griya Kongco Dwipayana, Tanah Kilap, Denpasar lebih unik dari kelenteng-kelenteng lain di Bali ataupun di Indonesia. Latar belakang didirikannya Griya Kongco Dwipayana, adalah sebagai tempat untuk melakukan bakti kepada Ida Ratu Bhatara Niang Lingsir yang menjadi penguasa setempat (daerah lokasi dan sekitarnya) di masa lampau dan kepada Wang Da Ren yaitu seorang ahli pengobat- an dan fi lsafat berasal dari negeri Tiongkok, serta merupakan salah satu keturunan raja dari Dinasti Qing (Qing Chao). Menurut Atu Mangku, Wang Da Ren dan ratusan prajuritnya berlayar dari negeri Tiongkok dan setelah lama mengarungi lautan luas memutuskan mendarat di tepi pantai Benoa (Bali). Pendaratan menyebabkan mereka bertemu dengan Batara Hyang Niang Lingsir yang menjadi penguasa setempat (pe- nguasa wilayah Benoa dan sekitarnya). Kedua tokoh penting ini sering saling bertukar pengalaman untuk menambah ilmu pengetahuan. Masing-masing kekuatan dan kemam- puan yang didapat digunakan untuk menolong orang banyak. Karena merasa ada kecocokan dengan Batara Hyang Niang Lingsir, maka Wang Da Ren dan pasukannya memutuskan untuk menetap di pulau Bali dan tidak pernah kembali lagi ke negeri Tiongkok. Atas pertolongan yang sering diberikan kepada orang banyak, kedua tokoh ini menjadi sangat terkenal dan harum namanya di kalangan masyarakat Bali. Berkat ke- muliaan dan jasa-jasa besar Ida Ratu Batara Hiang Niang Lingsir dan Wang Da Ren di masa lampau
Recommended publications
  • R. Tan the Domestic Architecture of South Bali In: Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 123 (1967), No: 4, Leiden, 442-4
    R. Tan The domestic architecture of South Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 123 (1967), no: 4, Leiden, 442-475 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 05:53:05PM via free access THE DOMESTIC ARCHITECTURE OF SOUTH BALI* outh Bali is the traditional term indicating the region south of of the mountain range which extends East-West across the Sisland. In Balinese this area is called "Bali-tengah", maning centra1 Bali. In a cultural sense, therefore, this area could almost be considered Bali proper. West Lombok, as part of Karangasem, see.ms nearer to this central area than the Eastern section of Jembrana. The narrow strip along the Northern shoreline is called "Den-bukit", over the mountains, similar to what "transmontane" mant tol the Romans. In iwlated pockets in the mwntainous districts dong the borders of North and South Bali live the Bali Aga, indigenous Balinese who are not "wong Majapahit", that is, descendants frcm the great East Javanece empire as a good Balinese claims to be.1 Together with the inhabitants of the island of Nusa Penida, the Bali Aga people constitute an older ethnic group. Aernoudt Lintgensz, rthe first Westemer to write on Bali, made some interesting observations on the dwellings which he visited in 1597. Yet in the abundance of publications that has since followed, domstic achitecture, i.e. the dwellings d Bali, is but slawly gaining the interest of scholars. Perhaps ,this is because domestic architecture is overshadowed by the exquisite ternples.
    [Show full text]
  • Kondisi Pura Dalem Bias Muntig Dari Tahun Ketahun Mengalami
    MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG I Kadek Merta Wijaya Dosen Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa e-mail: [email protected] ABSTRAK Kondisi Pura Dalem Bias Muntig dari tahun ketahun mengalami penurunan kualitas fisik dan seiring dengan itu juga, status sebagai Pura Kahyangan Jagad di Nusa Penida semakin tersebar sampai di luar Pulau Nusa Penida. Hal tersebut menuntut adanya pembenahan dan penataan yang lebih baik. Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa diperlukan suatu: (1) penataan dan pengembangkan Pura Dalem; (2) penambahan dua bangunan pelinggih di dalam area Pura Bias Muntig; (3) perencanaan pesraman pemangku; (4) penataan lanskap atau ruang luar seperti tempat parkir, fasilitas MCK dan penataan jalur pedestrian pemedek; serta (5) penataan area tempat melasti. Pengabdian ini bertujuan untuk menyusun rancangan kembali (redesign) Pura Dalem Bias Muntig dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat setempat baik permasalahan keruangan maupun manajemen pembangunannya. Aspek keruangannya yaitu sebagai dasar acuan dalam penataan dan pengembangan kedepannya sedangkan aspek manajemen pembangunan yaitu sebagai dasar dalam mengajukan proposal pendanaan kepada pemerintah maupun swasta. Sasaran dan manfaat kegiatan pengabdian ini mengarah kepada tiga pihak yaitu masyarakat Desa Pakraman Nyuh Kukuh, masyarakat umum dan institusi Universitas Warmadewa sebagai lembaga dalam pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat. Metode kegiatannya yaitu menggali informasi-informasi di masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat sebagai mitra dialog tentang permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi yaitu penataan dan pengembangan Pura Dalem Bias Muntig, yang selanjutnya diselesaikan melalui solusi-solusi dengan mempertimbangkan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.
    [Show full text]
  • Southeast Sumatra in Protohistoric and Srivijaya Times: Upstream-Downstream Relations and the Settlement of the Peneplain Pierre-Yves Manguin
    Southeast Sumatra in Protohistoric and Srivijaya Times: Upstream-Downstream Relations and the Settlement of the Peneplain Pierre-Yves Manguin To cite this version: Pierre-Yves Manguin. Southeast Sumatra in Protohistoric and Srivijaya Times: Upstream- Downstream Relations and the Settlement of the Peneplain. Cambridge Scholars Publishing. From distant tales : archaeology and ethnohistory in the highlands of Sumatra, pp.434-484, 2009, 978-1- 4438-0497-4. halshs-02521657 HAL Id: halshs-02521657 https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-02521657 Submitted on 27 Mar 2020 HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra Edited by Dominik Bonatz, John Miksic, J. David Neidel, Mai Lin Tjoa-Bonatz From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra, Edited by Dominik Bonatz, John Miksic, J. David Neidel, Mai Lin Tjoa-Bonatz This book first published 2009 Cambridge Scholars Publishing 12 Back Chapman Street, Newcastle upon Tyne, NE6 2XX, UK British Library Cataloguing in Publication Data A catalogue record for this book is available from the British Library Copyright © 2009 by Dominik Bonatz, John Miksic, J. David Neidel, Mai Lin Tjoa-Bonatz and contributors All rights for this book reserved.
    [Show full text]
  • Candi, Space and Landscape
    Degroot Candi, Space and Landscape A study on the distribution, orientation and spatial Candi, Space and Landscape organization of Central Javanese temple remains Central Javanese temples were not built anywhere and anyhow. On the con- trary: their positions within the landscape and their architectural designs were determined by socio-cultural, religious and economic factors. This book ex- plores the correlations between temple distribution, natural surroundings and architectural design to understand how Central Javanese people structured Candi, Space and Landscape the space around them, and how the religious landscape thus created devel- oped. Besides questions related to territory and landscape, this book analyzes the structure of the built space and its possible relations with conceptualized space, showing the influence of imported Indian concepts, as well as their limits. Going off the beaten track, the present study explores the hundreds of small sites that scatter the landscape of Central Java. It is also one of very few stud- ies to apply the methods of spatial archaeology to Central Javanese temples and the first in almost one century to present a descriptive inventory of the remains of this region. ISBN 978-90-8890-039-6 Sidestone Sidestone Press Véronique Degroot ISBN: 978-90-8890-039-6 Bestelnummer: SSP55960001 69396557 9 789088 900396 Sidestone Press / RMV 3 8 Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden CANDI, SPACE AND LANDscAPE Sidestone Press Thesis submitted on the 6th of May 2009 for the degree of Doctor of Philosophy, Leiden University. Supervisors: Prof. dr. B. Arps and Prof. dr. M.J. Klokke Referee: Prof. dr. J. Miksic Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde No.
    [Show full text]
  • Napak Tilasdang Hyang Niratha Di Pulau Bali
    NAPAK TILASDANG HYANG NIRATHA DI PULAU BALI Oleh I Nyoman Suka Ardiyasa Dosen STAH N Mpu Kuturan Singaraja email : [email protected] Abstract The presence of temples in Bali cannot be separated by some central figures who inspired the temple. One of the great figures who contributed to discovering the Pura Kahyangan Jagat in Bali is Dang Hyang Niratha. Dang Hyang Nirarta has build a lot temple in his travels on the Island of the Gods. Some temples are similar to Rambut Siwa Temple, Uluwatu Temple, Ponjok Batu Temple, Sakenan Temple and other temples which are now Pura Dang Kahyangan and Sad Kahyangan. The temple as a place of worship for Hindus, is also not uncommon to get visits of local and international tourists. The attraction was due to the sacredness and beauty of the location that was established by Dang Hyang Nirartha. This is of course a tourist destination that offers spiritual attractions. Keywords: Dang Hyang Nirartha, Spiritual Tourism. I.Pendahuluan Boddha (Siwa-Sogata). Dengan demikian kedatangan Dang Hyang Dwijendra Kedatangan Dang Hyang Nirartake memperkokoh sistem teologi Hindu Siwa- Pulau Bali merupakan salah bentuk Boddha (Siwa-Buddha) dengan melakukan konsolidasi internal dengan mengatasi asimilasi konsep teologi Tri-Murti kelemahan tataran sistem sosial, sistem (Brahma, Wisnu, Siwa) kedalam konsep religi dan politik keagamaan dan ancaman teologi Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa dan ekternal yaitu Islamisasi dari Jawa. Ia juga Maheswara); memperkenalkan bangunan melihat peluang untuk memperkuat sendi- tempat pemujaan disebut Padmasana untuk sendi keagamaan di Bali, karena sebelum ia memuja kebesaran Sanghyang Tri-Purusa. melakukan perjalanan dharmayatra ke Bali, Bali sudah pernah didatangi oleh Maha Resi Bangunan (pelinggih) untuk Markandeya (756 Masehi) dan para Mpu pemujaan Tri Murti telah diperkenalkan seperti Mpu Semeru (999 Masehi),Mpu konsep Bangunan Meru oleh Mpu Ghana (1000 Masehi), Mpu Kuturan (1001 Kuturan, konsep Desa Pakaraman, Masehi), Mpu Gnijaya (1049).
    [Show full text]
  • Candi Space and Landscape: a Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains
    Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains Proefschrift ter verkrijging van de graad van Doctor aan de Universiteit Leiden, op gezag van Rector Magnificus Prof. mr. P.F. van der Heijden, volgens besluit van het College voor Promoties te verdedigen op woensdag 6 mei 2009 klokke 13.45 uur door Véronique Myriam Yvonne Degroot geboren te Charleroi (België) in 1972 Promotiecommissie: Promotor: Prof. dr. B. Arps Co-promotor: Dr. M.J. Klokke Referent: Dr. J. Miksic, National University of Singapore. Overige leden: Prof. dr. C.L. Hofman Prof. dr. A. Griffiths, École Française d’Extrême-Orient, Paris. Prof. dr. J.A. Silk The realisation of this thesis was supported and enabled by the Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO), the Gonda Foundation (KNAW) and the Research School of Asian, African and Amerindian Studies (CNWS), Leiden University. Acknowledgements My wish to research the relationship between Ancient Javanese architecture and its natural environment is probably born in 1993. That summer, I made a trip to Indonesia to complete the writing of my BA dissertation. There, on the upper slopes of the ever-clouded Ungaran volcano, looking at the sulfurous spring that runs between the shrines of Gedong Songo, I experienced the genius loci of Central Javanese architects. After my BA, I did many things and had many jobs, not all of them being archaeology-related. Nevertheless, when I finally arrived in Leiden to enroll as a PhD student, the subject naturally imposed itself upon me. Here is the result, a thesis exploring the notion of space in ancient Central Java, from the lay-out of the temple plan to the interrelationship between built and natural landscape.
    [Show full text]
  • The Meaning of Three Dragons on Padmasana Tiga Architectures in Besakih Temple, Bali Indonesia
    International Proceeding Conference on Multimedia, Architecture & Design (IMADe) Vol.1, October 2020 p-ISSN: 2747-1764, e-ISSN: 2747-1756 https://eprosiding.idbbali.ac.id/index.php/imade THE MEANING OF THREE DRAGONS ON PADMASANA TIGA ARCHITECTURES IN BESAKIH TEMPLE, BALI INDONESIA Ida Bagus Idedhyana1, Ngakan Putu Sueca2, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra3 and Ida Bagus Wirawibawa4 1Student of Doctoral Program Engineering Science, Faculty of Engineering, Udayana University and Lecture of Architecture Department, Ngurah Rai University Email: [email protected] 2Department of Architecture, Faculty of Engineering, Udayana University Email: [email protected] 3Department of Doctoral Program Engineering Science, Faculty of Engineering, Udayana University Email: [email protected] 4 Department of Architecture, Faculty of Engineering, Udayana University Email: [email protected] ABSTRACT Three dragons are the most famous snake of Gods among a thousand other dragons. Anantabhoga, Basuki and Taksaka are three dragons that are often used as decorative items in Padmasana architecture. Padmasana Tiga in Penataran Agung Besakih Temple is a symbolic place of God, applying these three dragon icons as decoration. The purpose of this study is to reveal the meaning of the three dragons and how they are placed on Padmasana architecture. The meaningful step is carried out through two stages, the first stage is explanation and the second stage is interpretation of meaning. The results show that the shape of the dragon is more towards therio-anthropomorphic, the merging of animal and human forms in divine visuals that is difficult to imagine. Its symbolic function is as a tribute to the cosmic principles of the universe, and serves to strengthen the architectural representation of Padmasana Tiga as an embodiment of the universe.
    [Show full text]
  • Terhadap Konsep Bangunan Pura Penataran Agung Lempuyang Di Bali Dengan Pura Aditya Jaya Di Jakarta
    Jurnal Penelitian Dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti Vol.5.No.1 Januari 2020, ISSN (p) : 0853-7720, ISNN (e): 2541-4275 HUBUNGAN KONSEPTUAL TEORI “NATURE AS EXEMPLAR IN ARCHITECTURE” TERHADAP KONSEP BANGUNAN PURA PENATARAN AGUNG LEMPUYANG DI BALI DENGAN PURA ADITYA JAYA DI JAKARTA I Kadek Oka Supribawa1), Oka Sindhu Pribadi2) 1,2)Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Trisakti [email protected] ABSTRAK Pura dibangun dengan menerapkan berbagai nilai filosofis dalam konsep Tri Hita Karana. Umat Hindu di Bali menempatkan Pura di tempat yang utama menurut aturan yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai spiritual dan kesakralan Pura. Namun akan berbeda apabila Pura dibangun di perkotaan Jakarta. Perkembangan konsep membangun pura di Jakarta tentu mengalami penyesuaian terhadap situasi lingkungan fisik maupun sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan konseptual nilai-nilai filosofis teori “Nature as Exemplar in Architecture” dengan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali yang kemudian dibandingkan terhadap konsep membangun Pura Aditya Jaya di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, untuk mengidentifikasi hubungan konseptual dalam kesamaan dan perbedaan konsep membangun Pura Penataran Agung Lempuyang di Bali dengan Pura Aditya Jaya di Jakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam memahami nilai filosofis bangunan Pura. Kata kunci: pura, filosofi, konsep, alam I. PENDAHULUAN Pura sebagai tempat ibadah yang disucikan umat Hindu di Indonesia dibangun dengan menerapkan berbagai nilai-nilai filosofis dan konsep spiritual umat Hindu sebagai pedoman yang tersusun secara kompleks dan saling terkait. Pembangunan Pura dengan landasan nilai-nilai filosofis dan konsep Tri Hita Karana adalah pembentuk ruang bangunan Pura yang dibagi dalam konsep Tri Mandala dengan orientasi kosmologis Sanga Mandala, sebagai konsep dasar dalam arsitektur tradisional Bali.
    [Show full text]
  • Kajian Tipomorfologi Arsitektur Percandian ‘Kayu’ Di Jawa
    Arsitektur Kajian Tipomorfologi Arsitektur Percandian ‘Kayu’ di Jawa Penyusun : Dr. Rahadhian PH Antonius Richard Fery Wibawa C LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung, 40141 Februari, 2014 Identitas Penelitian 1. Judul Usulan : Kajian Tipo-Morfologi Percandian ‘Kayu’ di Jawa 2. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Dr. Rahadhian Prajudi Herwindo, ST, MT.Ars b. Bidang Keahlian : Teori , Sejarah, dan Desain Arsitektur c. Jabatan Struktural : d. Jabatan Fungsional : Dosen Tetap g. Unit Kerja : Fakultas Teknik/Arsitektur/Unpar h. Pusat Penelitian : i. Alamat Surat : Jurusan Teknik Arsitektur Unpar Jalan Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 j. Telp/Faks : (022) 2033691/(022) 2033692 k. E-mail : [email protected] [email protected] 3. Tim Peneliti : No Nama dan Gelar Bidang Instansi Alokasi/ Waktu Akademik Keahlian (jam/minggu) 1. Dr. Rahadhian PH, Teori, Sejarah, Unpar 2 jam/minggu Desain 2. Antonius Richard Modeling 3D Unpar 2 jam/minggu 3. Fery Wibawa Modeling 3D Unpar 2 jam/minggu 4. Objek Penelitian : bangunan-bangunan candi di Jawa dan Pura di Bali 5. Masa pelaksanaan penelitian : Mulai : September 2013 Berakhir : Februari 2013 6. Anggaran : Total yang diusulkan Rp 10.000.000,- 7. Lokasi Penelitian : Jawa - Bali 1 KATA PENGANTAR Syukur dan terima kasih saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat berkah dan bimbingan-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini ini berisi pembahasan Tipomorfologi Arsitektur Candi (menggunakan) Kayu di Jawa. Penelitian ini merupakan penyempurnaan dari teori tentang candi yang telah dibangun dari penelitian sebelumnya yakni Kajian Arsitektur Percandian (menggunakan) Kayu pada masa Klasik Tengah dan Muda. Studi ini ditujukan untuk mengenali wujud tipe-tipe arsitektur percandian kayu yang pernah dibangun melalui klasifikasi dalam studi tipomorfologi.
    [Show full text]
  • The Architecture of Pagodas Viewed from the Angle of Site Lay-Out, Proportion, and Symbolization
    Jurnal RISA (Riset Arsitektur) ISSN 2548-8074, www.unpar.ac.id Volume 01, Nomor 02, edisi April 2017; hal 192-208 THE ARCHITECTURE OF PAGODAS VIEWED FROM THE ANGLE OF SITE LAY-OUT, PROPORTION, AND SYMBOLIZATION 1Raymond William. ² Dr. Ir. Yuswadi Saliya, M. Arch ¹ Student in the Bachelor’s (S-1) Study Program in Architecture at Parahyangan Catholic University ² Senior lecturer in the Bachelor’s (S-1) Study Program in Architecture at Parahyangan Catholic University Abstract – On Bali the islanders enjoy a close relationship with their Creator. The majority of Balinese worship in temples or shrines called Pura. These form a complex of sacred buildings that have a certain significance and function. One prominent type is the so-called Meru or Pagoda. Not all Pura temples have such a pagoda, but those that have more than one are found quite frequently. The placement of a pagoda in a temple is usually made at the main section due to its holiness or purity. Their shape differs from other constructions because their layered roof is multi-tiered, always uneven in number, starting from 3 up to 11. Therefore, these pagodas attain a different height so that their proportions are interesting to observe in order to determine whether there is a pole (patokan) or not. The pagodas carry divine symbols, ones referring to other temples or shrines, or ancestral symbols. This study employs the descriptive-analytical method by conducting a qualitativequantitative evaluation. The qualitative evaluation investigates the lay-out of the placement and examines symbolization, whereas the quantitative evaluation studies the proportions of the pagodas.
    [Show full text]
  • Monumental Java
    S 30. CORNELL UNIVERSITY LIBRARY THE CHARLES WILLIAM WASON COLLECTION ON CHINA AND THE CHINESE Date Due MAR-i^ 9m^U7U^-^^^* M CAT. NO. 23233 PRINTED IN (ST Cornell University Library N 7326.S32 Monumental Java. 3 1924 023 570 496 The original of tiiis book is in the Cornell University Library. There are no known copyright restrictions in the United States on the use of the text. http://www.archive.org/cletails/cu31924023570496 MONUMENTAL JAVA ^0^m. MACMILLAN AND CO., LIMITED LONDON • BOMBAY • CALCUTTA MELBOURNE THE MACMILLAN COMPANY NEW YORK BOSTON • CHICAGO DALLAS • SAN FRANCISCO THE MACMILLAN CO. OF CANADA, Ltd. TORONTO MONUMENTAL JAVA BY J. F. SCHELTEMA, M.A. Unde etiam nunc est mortalibus insitus horror, Qui delubra deftm nova toto suscitat orb! Terrarum, et festis cogit celebrate diebus : Lucretius, De Rerum Natura, Lib. v. WITH ILLUSTRATIONS, AND VIGNETTES AFTER DRAWINGS OF JAVANESE CHANDI ORNAMENT BY THE AUTHOR MACMILLAN AND CO., LIMITED ST. MARTIN'S STREET, LONDON 1912 S 32- W.^47^^ COPYRIGHT TO MY DEAR COUSIN AND FRIEND PROFESSOR AUGUST ALLEB^ DIRECTOR EMERITUS OF THE NETHERLANDS STATE ACADEMY OF THE FINE ARTS AT AMSTERbAM If this book needs an apology, it is one to myself for taking the public at large into the confidence of cherished recollections. The writing was a diver- sion from' studies in a quite different direction and letting my pen go, while living again the happy hours I spent, between arduous duties, with the beautiful monuments of Java's past, I did nothing but seek my own pleasure. Should it turn out that my personal impressions, given in black and white, please others too—so much the better.
    [Show full text]
  • Meru As a Hindu Sacred Building Architecture with a High Roof and Resistant to Earthquakes in Bali, Indonesia
    Civil Engineering and Architecture 8(3): 350-358, 2020 http://www.hrpub.org DOI: 10.13189/cea.2020.080319 Meru as a Hindu Sacred Building Architecture with a High Roof and Resistant to Earthquakes in Bali, Indonesia Ngakan Ketut Acwin Dwijendra Faculty of Engineering, Udayana University, Bali, Indonesia Received April 19, 2020; Revised June 2, 2020; Accepted June 23, 2020 Copyright ©2020 by authors, all rights reserved. Authors agree that this article remains permanently open access under the terms of the Creative Commons Attribution License 4.0 International License Abstract Meru has meaning as a symbol of Mount landmark in a temple in Bali [15] [16]. Meru as a very great Mahameru, symbol of God and the universe that serves as local work, is not only found in temples in Bali, but can a place of worship of the gods and ancestors. Meru is also be witnessed at cremation ceremonies in Bali as corpse found in large temples in Bali, Indonesia with its (sawa) containers at the Pitra Yadnya ceremony [8] [9] trademark characteristic that the roof has a high [18]. overlapping reaching 10 meters or more with the number Meru is a very beautiful sacred building that is built of roofs always odd so that Meru becomes a landmark in based on the accuracy of proportions, the logic of every temple in Bali. Meru is a very beautiful sacred construction techniques and the beauty of decoration, building that was built based on the accuracy of which holds fast to local wisdom of Balinese Traditional proportions, the logic of construction techniques and the Architecture (Hasta Kosali Kosala, Hasta Bumi, Andha beauty of decoration, which holds fast to local wisdom Buana Lontar, Lontar Jananthaka, etc) [23] [25] [42].
    [Show full text]