Risalah Sidang Perkara Nomor 85/Puu-Xi/2013
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, AHLI/SAKSI PEMOHON DAN PEMERINTAH (V) J A K A R T A RABU, 15 JANUARI 2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air [Pasal 6 ayat (2), ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), dan Pasal 49) terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2. Al Jami’yatul Washliyah 3. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK), dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, Ahli/Saksi Pemohon dan Pemerintah (V) Rabu, 15 Januari 2014, Pukul 11.34 – 12.34 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Hamdan Zoelva (Ketua) 2) Arief Hidayat (Anggota) 3) Muhammad Alim (Anggota) 4) Patrialis Akbar (Anggota) 5) Anwar Usman (Anggota) 6) Maria Farida Indrati (Anggota) 7) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) Mardian Wibowo Panitera Pengganti i Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Din Syamsuddin B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Syaiful Bakhri 2. Danang 3. Nur Ansari 4. Ibnu Sina Chandranegara C. Ahli dari Pemohon: 1. Aidul Fitriciada Azhary D. Pemerintah: 1. Mudjiaji 2. Mualimin Abdi 3. Agus Hariadi 4. Budijono 5. Tuti Rianingrum 6. Eric adityansyah 7. Siti Martini ii SIDANG DIBUKA PUKUL 11.34 WIB 1. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 85/PUU- XI/2013 saya buka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, hadir ya? 2. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Hadir. 3. KETUA: HAMDAN ZOELVA Dengan Prinsipal, ya? 4. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Ya. 5. KETUA: HAMDAN ZOELVA Dari yang mewakili Presiden? Hadir? 6. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Hadir, Yang Mulia. 7. KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. DPR menyampaikan surat tidak bisa hadir karena bertepatan dengan kegiatan rapat, ya. Baik, Bapak-Bapak dan hadirin sekalian, agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon yang semula dijadwalkan ada 3, Dr. Hamid Chalid, apa hadir Hamid Chalid? 8. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Belum bisa hadir. 1 9. KETUA: HAMDAN ZOELVA Belum bisa hadir. Dr. Irman Putra Sidin? 10. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Sama juga. 11. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sama. Jadi yang hadir hanya Dr. Aidul Fitriciada? 12. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAIFUL BAKHRI Betul. 13. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, saya persilakan maju ke depan untuk diambil sumpah dulu. 14. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan, Ahli, mengikuti kata saya untuk bersumpah menurut Agama Islam, ya, dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 15. AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. 16. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Terima kasih. 17. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan kembali ke tempat. Ya, saya persilakan kepada Ahli untuk menyampaikan keterangannya, bisa mempergunakan podium. 2 18. AHLI DARI PEMOHON: AIDUL FITRICIADA AZHARY Terima kasih, Majelis Hakim. Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, Majelis Hakim Konstitusi, izinkan saya untuk membacakan secara lengkap keterangan Ahli saya dalam Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 mengenai Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Saya ingin memulai dengan pemahaman bersama bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar bagi pengujian suatu undang-undang bukan saja mengacu pada norma-norma atau aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar. Akan tetapi, juga mengacu pada nilai-nilai ideal dan prinsip- prinsip yang terkandung dalam ajaran konstitusionalisme, yakni nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Yang pada intinya adalah pembatasan kekuasaan pemerintahan di suatu pihak dan perlindungan hak-hak warga negara di pihak lain. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sejak awal sudah mengadopsi nilai-nilai konstitusionalisme tersebut. Akan tetapi, nilai-nilai konstitusional tersebut bukan nilai-nilai konstitusionalisme liberal, melainkan nilai-nilai konstitusionalisme yang berorientasi pada keadilan sosial. Adapun ajaran konstitusionalisme liberal lebih mengutamakan kepada perlindungan hak-hak dan kebebasan secara individu yang berimplikasi pada pembatasan semaksimal mungkin kekuasaan pemerintahan. Ajaran konstitusionalisme ini merupakan refleksi dari liberalisme ekonomi yang menghendaki berlakunya sistem ekonomi pasar bebas yang berjalan secara paralel dengan sistem politik yang juga liberal. Para penyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sejak awal sudah menolak ajaran konstitusionalisme liberal karena terbukti sejak diberlakukannya oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berdasarkan Regeringsreglement Tahun 1840 telah menyebabkan penghisapan kekayaan dan penindasan terhadap Bangsa Indonesia. Prinsip dalam Konstitusi Hindia Belanda tersebut, pemerintah harus dikembangkan sebagai alat pelindung modal swasta atau partikelir, termasuk juga modal swasta asing. Kemudian berdasarkan Regeringsreglement Tahun 1848, sistem ekonomi liberal itu dijalankan secara paralel dengan sistem demokrasi parlementer yang memungkinkan kekuatan-kekuatan modal swasta memengaruhi proses pembentukan undang-undang yang sejalan dengan kepentingan mereka. 3 Para penyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menolak ajaran konstitusionalisme liberal itu dengan membentuk norma hukum yang bertujuan untuk mengubah sistem politik dan ekonomi kolonial yang berwatak liberal menjadi sistem politik dan ekonomi nasional yang berdasarkan pada keadilan sosial. Dalam ungkapan Bung Karno, sistem itu disebut sebagai “politiek- economische democratie” yaitu suatu sistem demokrasi yang secara simultan dapat mewujudkan politiek rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid. Oleh karena itu, para pendiri negara kita secara bersamaan menolak sistem politik dan ekonomi yang berwatak liberal. Bahkan secara tersirat, para pendiri Negara Republik Indonesia menganut paradigma bahwa sistem ekonomi sangat menentukan sistem politik. Sehingga struktur politik yang terbentuk harus mampu mengakomodasi tujuan-tujuan keadilan sosial ekonomi. Paradigma tersebut dirumuskan dalam norma pada ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang secara umum menghendaki adanya perencanaan ekonomi secara kolektif berdasarkan prinsip kekeluargaan atau solidaritas sosial, pada ayat (1). Serta adanya penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada ayat (2). Dan penguasaan negara terhadap sumber daya alam, pada ayat (3). Di atas struktur ekonomi tersebut, dibentuklah struktur politik yang mampu mewujudkan tujuan kesejahteraan. Di antaranya, pada saat para pendiri negara membentuk Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terwujud di dalam kewenangan MPR sebagai perwujudan kolektivitas bangsa untuk menyusun perencanaan ekonomi nasional dalam bentuk GBHN. Majelis Hakim Yang Mulia. Betapa pentingnya norma yang terkandung pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut terlihat dari kesepakatan para pemimpin bangsa untuk mempertahankan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut pada saat melakukan perubahan kepada Undang-Undang Sementara Tahun 1950. Secara lengkap isi kesepakatan tersebut mengatakan, “Undang- Undang Dasar Sementara Tahun 1950 diperoleh dengan mengubah konstitusi Republik Indonesia Serikat yang terkandung di dalamnya esensialia Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditambah dengan bagian- bagian lain dari konstitusi Republik Indonesia Serikat.” Esensilia Undang- Undang Dasar Tahun 1945 itu meliputi tiga pasal, yaitu Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, pada saat penyusunan Undang-Undang Sementara Tahun 1950, ketiga pasal ini sama sekali tidak berubah. Dengan demikian, betapa fundamentalnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut sebagai dasar pembentukan sistem ekonomi nasional Indonesia, sehingga dipandang sebagai esensialia Undang- 4 Undang Dasar Tahun 1945 yang tidak boleh diubah, sekalipun dilakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Atas dasar itu, pengujian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, harus pula didasarkan pada pemaknaan atas Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai salah satu esensialia Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahkan dalam kaitan dengan pengujian atas Undang-Undang Sumber Daya Air tersebut, pemaknaan atas ketentuan di dalamnya, sangat terkait dengan Pasal 27 yang juga merupakan bagian dari esensialia Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Majelis Hakim Yang Mulia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58, 59, 60, 63 PUU Tahun 2004 dan 08 PUU Tahun 2005, setidaknya menyebutkan dua prinsip pokok. Pertama, tanggung jawab penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum,