View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015 provided by REKAM: Jurnal Fotografi, Televisi, dan Animasi

“AKU YANG GALAU”: REFLEKSI FILM MASA KOLONIAL HINGGA AWAL KEMERDEKAAN

Sazkia Noor Anggraini Tenaga Pengajar Luar Biasa Jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta dan Mahasiswa Program Pascasarjana ISI Yogyakarta Jln. Suryodiningratan No. 8, Yogyakarta No. HP. 082190207094, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Film tidak hanya mewujudkan image (citraan) tetapi juga imaji (baca: imajinasi) tentang realitas masyarakatnya. Tulisan ini melihat film sebagai teks yang strategis dalam pergolakan dan kegalauan masyarakat pada masa kolonial, lalu pada era kebangkitan nasional hingga awal kemerdekaan. Film-film seperti , Dasima, hingga yang dibuat sebelum kemerdekaan, telah menunjukkan antitesis kolonialisme. Film-film tersebut memang muncul ketika negeri ini masih dijajah, namun formula, bentuk, dan penyajiannya dapat dilihat telah berdikari –meski tidak sepenuhnya—dengan memasukkan unsur hibriditas yang disukai masyarakat. Daya tarik dari film pada masa kebangkitan nasional adalah masuknya selera pribumi dalam film yang pada saat itu ditujukan kepada pangsa pasar Eropa. Musik, pakaian, gaya hidup, dan respons dari film ini bukanlah suatu entitas tunggal. Seperti halnya masyarakat yang dilanda “kegalauan identitas” sebelum negeri ini benar-benar merdeka. Film pada masa tersebut menjadi subordinat dari selera masyarakat yang sebelumnya terikat struktur sosial karena pengaruh kolonialisme. Sementara itu, film yang muncul pada masa awal kemerdekaan seperti Harimau Tjampa, Lagi-Lagi Krisis, dan Tamu Agung menunjukkan ekspresi nasionalisme yang besar dengan tetap memasukkan unsur tradisi. Meski telah merdeka, film pada awal masa kemerdekaan ini menemui tantangan lain, yakni dominasi negara di satu sisi dan sikap masyarakat kelas bawah di sisi lain. Maka corak khas dari film- film pada masa itu pun terlihat menggambarkan kegalauan masyarakat yang baru saja merdeka dan sedang mencari identitas.

Kata kunci: film, identitas,post-colonial

ABSTRACT

The One Who’s Mixed up”: Reflections of Film from the Colonial Era to the Beginning of Independence. Film was not only creates images but also imagination by pictures of social reality. This article sees film as strategic text in society upheaval and mixed up during colonial era, continued to (kebangkitan nasional) national resurgence era until early independence. Films as Terang Boelan, Dasima, to Rentjong Atjeh which made before independence have been showing colonialism antitheses. This country was on colonized when that film shows, but the formula, form and presentation could be seen independent –tough not entirely— with popular hybrid elements input. Uniquely, films on national resurgence era attracts by local native taste which presented to European viewers. Music, clothes, lifestyle and response of those films was not a single entity, as though the society who has mixed up identity before getting independency. Films on that era are the subordinate of society taste which is before tied to colonial social structure. Meanwhile, early independence films such as Harimau Tjampa, Lagi-Lagi Krisis and Tamu Agung shows strong national expression by still using traditional element. Even after independence, early independence films met another challenge which is state domination and in another hand, the attitude of lower class. So the characteristic of films from colonial to the beginning of independence was representing societies mixed-up who were looking for identity.

Keywords: film, identity, post-colonial

79 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film

PENDAHULUAN telah muncul argumentasi terkait campur Film merupakan salah satu produk tangan multi-etnik dalam membentuk fondasi kebudayaan yang membentuk image (citraan) perfilman nasional. Kekayaan yang dimaksud bangsa sekaligus juga imajinasi akan adalah campur tangan asing, khususnya kebangsaan. Mengapa film? Karena lewat arsip Tionghoa dalam pembentukan gambaran gambar inilah bisa terlihat, lalu membayangkan kebudayaan dan orang di dalam seperti apa wujud “realita kebangsaan”. Meski film (Barker & Cheng, 2011:34). Mereka film tidak melulu menyajikan realita (baca: berargumen bahwa film-film yang dibuat lewat kenyataan), sifatnya yang realis mampu tangan Tionghoa memberikan perasaan sebagai menangkap citraan kenyataan. Meminjam ‘Indonesia’ yang dirasakan oleh lingkup istilah Benedict Anderson, “bangsa adalah multietnik. Penelitian ini bertujuan untuk sesuatu yang terbayang karena pada anggota melengkapi temuan sebelumnya lewat kajian bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan yang lebih komprehensif dari rentang sejarah tidak akan kenal sebagian besar anggota lain. yang lebih panjang. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi Berangkat dari latar belakang tersebut, anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan rumusan permasalahan dalam penelitian ini tentang kebersamaan mereka” (Anderson, adalah bagaimana refleksi identitas dalam film- 2001:8). film pada rentang masa kolonial hingga awal Bayangan tentang kebersamaan inilah kemerdekaan. yang akan dilihat melalui citraan film yang berkembang pada masa kolonial hingga METODOLOGI PENELITIAN awal kemerdekaan. Masa-masa tersebut Penelitian ini menggunakan metode dipilih karena bangsa ini mulai membentuk kualitatif dengan pendekatan tekstual. Film identitasnya. Padahal identitas adalah sesuatu merupakan sebuah teks yang dapat dieksplorasi yang tidak pernah utuh dan tidak mampu untuk menemukan makna. Teks dalam film disimplifikasi menjadi “satu-satunya identitas”. akan saling berkaitan dengan konteks yang Seperti remaja yang galau, film pada masa- melingkupinya. Dalam penelitian ini, film- masa itu dibentuk oleh batas yang tegas antara film dilihat dengan konteks sosial masyarakat “mereka” (Timur) dan “kita” (Barat) yang di pada kurun perubahan politik yang signifikan dalamnya terdapat relasi kekuasan, dominasi, dalam negara. Hipotesis yang digunakan dan hegemoni yang kompleks seperti yang dalam penelitian ini adalah adanya penanda diungkap Said dalam Orientalisme (2010) dan identitas yang selalu berubah pada film-film Freud and the Non-European (2003). yang diproduksi seiring dengan berubahnya Kajian ini akan menguraikan seperti apa struktur masyarakat dan politik. Identitas atau “wajah perfilman” yang dibentuk oleh interaksi penanda ‘siapa aku’ ini penting karena meski multikultural antara pengusaha Tionghoa, pembuatnya nonpribumi, film-film masa awal penguasa Belanda, dan kaum pribumi sejak tersebut dibuat dengan latar cerita lokal. masa kolonial hingga awal kemerdekaan. Tiga film dari tiga fase politik perubahan Sebelumnya, lewat penelitian yang dilakukan bangsa dipilih menjadi objek kajian penelitian Charlotte Setijadi-Dunn dan Thomas Barker ini. Setiap fase, yakni kolonial, kebangkitan

80 Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015 nasional, dan awal kemerdekaan diwakili oleh seorang wartawan berkebangsaan Belanda satu judul film yang dicatat penting oleh peneliti- yang menjadi sutradara dalam film ini merekrut peneliti terdahulu. Sinopsis film menjadi data rekannya sesama wartawan, Saroen. Saroen utama untuk menguji hipotesis mengingat dipekerjakan untuk menyempurnakan dialog ketersediaan materi film secara utuh tidak bahasa Indonesia dalam skenario. Dari Saroen lagi dapat diakses. Dari keterbatasan sumber inilah, Terang Boelan dianggap telah menjadi data dan kesesuaiannya dengan kajian yang titik balik dalam sejarah film cerita. Ia menjadi digunakan, penelitian dilakukan dengan metode bagian yang padu dalam pembuatan film ini studi dokumen. Studi dokumen memungkinkan sehingga pulau khayalan tempat kejadian peneliti menggunakan rekaman arsip, media cerita film ini diberi nama “SAWOBA”, yang publik seperti halnya film, dokumen personal merupakan singkatan nama Saroen-Wong- seperti sejarah hidup, catatan harian, surat, dan Balink. objek visual lainnya (Sarantakos, 2005:293). Terang Boelan bercerita tentang Penelitian ini menggunakan kerangka Kasim dan Rohaya yang berjanji untuk saling teori postkolonial yang di bawah payung studi cinta dan setia, tetapi ayah Rohaya, seorang kultural, teori ini terhimpun sebagai ramuan pendeta menjodohkan anaknya dengan Musa, tentang resistensi terhadap kekuasaan. Masalah seorang penyelundup. Sebelum pernikahan identitas merupakan risalah utama yang dibahas berlangsung, Rohaya lari bersama Kasim dari teori ini. Identitas selalu berkaitan dengan pulau tempat kediamannya, Sawoba ke Malaka masalah hibriditas, yakni masalah jati diri (Malaysia). Di sana mereka bertemu dengan bangsa yang berubah karena adanya pengaruh Dullah. Kebahagiaan mereka tidak lama, budaya dari bangsa kolonial, termasuk mimikri karena terlihat oleh Musa, sang penyelundup (tindakan meniru) budaya kolonial oleh bangsa candu yang menyamar jadi orang Arab bernama terjajah dan subaltern (kaum yang terpinggirkan Syekh Ba’Abul. Ayah Rohaya datang lalu atau orang yang terjajah). membawa anaknya pulang. Kasim menyusul ke Sawoba dan belakangan muncul pula bantuan PEMBAHASAN dari Dullah. Kasim berhasil melumpuhkan Terang (di) Boelan, Mimpi di Bumi Musa dalam suatu perkelahian seru (Kristanto, Sebelum merdeka, negeri ini telah 2007:5). lebih dulu menjadi arena pemilik modal dan Kemunculan film Terang Boelan tidak pembuat film berkebangsaan nonpribumi, terlepas dari film produksi Hollywood yang baik Belanda maupun Tionghoa mencari uang dibintangi oleh Dorothy Lamour berjudul The dengan berkarya. Terang Boelan (1938) adalah Jungle Princess pada 1936. Film ini berlatar salah satu film yang paling banyak ditonton, setting tempat yang indah, dengan dibicarakan, dan dicatat dalam sejarah film. kesan eksotis. Dalam selebaran propagandanya, Terang Boelan menurut Biran (2009:168- digambarkan Sawoba adalah pulau yang 169), adalah film hiburan yang semata-mata tidak kalah indahnya dengan pulau Hawaii. berorientasi pada selera publik pribumi. Film Sebagai ganti musik Hawaiian, dalam film ini ini tidak berpretensi untuk membuat film seni digunakan lagu-lagu keroncong yang ketika atau mengemban idealisme. , itu amat digemari (Said, 1982:24). Kekuatan

81 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film film ini terletak pada nyanyian ala Hawaii, dikotomis. Pulau Sawoba dianalogikan sebagai petualangan cinta, dan sedikit perkelahian. pulau di Hawaii dalam film yang disadurnya. Dalam perkembangan film di Hindia Belanda Pulau ini pun memiliki ciri-ciri yang mimikri kemudian, ketiga kata kunci ini menjadi resep dengan pulau di Hawaii. Proses mimikri ini untuk membuat film yang menarik dan laku dilakukan dengan memadukannya dengan pada masa itu. unsur lokal. Masyarakat pesisir di Hawaii dalam Di poster yang beredar di bioskop Orion filmThe Jungle Princess adalah penyuka musik tempat di mana film ini diputar, ada keunikan, lengkap dengan kebiasaan tari-tarian dan pesta. yaitu tercantum kata “Film Indonesia Jang Maka dalam Terang Boelan, masyarakat Pantai pertama kali keloearan A.N.I.F dengan pakai Sowaba adalah penyuka musik keroncong. 100 pCt. Bahasa Indonesia, dengan pimpinan Keroncong adalah musik percampuran dengan oleh ALBERT BALINK”. Strategi ini rupanya pengaruh Portugis. Musik keroncong sendiri berhasil karena akhirnya terbukti Terang merupakan identitas “perjumpaan” antara Boelan sukses diputar selama dua bulan lebih tradisi lokal dan barat (Portugis) beberapa abad dan bahkan dibeli oleh RKO Singapura. Hal sebelumnya. ini menjadikan Terang Boelan menjadi film Menonton Terang Boelan seolah terlaris pada masanya dengan penghasilan mengajak masyarakat meloncat ke dunia luar lebih dari $ 200.000 (Perpusnas RI, 2010: 28- yang indah. Masyarakat yang sekian lama 29). Meski film ini sukses luar biasa, beberapa berada dalam patronase kolonial seakan diajak pihak menilai film ini memalukan. Terang bermimpi bahwa jauh di pulau khayalan, Boelan mengutamakan hiburan bagi tingkat semuanya berakhir bahagia. Masalah memang selera rendah dan untuk memenuhi tuntutan timbul, namun cepat berlalu dengan selingan mereka yang ingin “bermimpi indah” (Biran, musik dan lagu. Semua bernyanyi dan terlihat 2009:172). bahagia dalam Terang Boelan. Perempuan Terang Boelan sebagai contoh cantik dan lelaki rupawan pandai menyanyi konkret film dengan embrio Hollywood menjadi utopia yang tidak nyata. Terang yang berperspektif Barat telah diadopsi dan Boelan sebenarnya adalah bentuk konkret diinterpretasi dalam konteks budaya lokal. Tiga bagaimana citra realitas dimajinasikan meski orang di balik layar di film ini berasal dari suku tidak berhubungan langsung dengan realita. bangsa dan kepentingan yang berbeda: Belanda, Cara yang dipakai adalah dengan menemukan Tionghoa, dan Pribumi. Terang Boelan adalah simbol kultural yang dekat dengan masyarakat usaha pembuat film multietnis untuk mencoba yang ingin disasarnya. Perpaduan eksotisme mewujudkan gambaran identitas pribumi dan pengaruh luar lewat digambarkan dengan dengan imajinasi yang terpengaruh film populer. pulau yang indah, kemben batik, topi lebar, Film Hollywood The Jungle Princess mereka tarian, dan musik keroncong. Jadi, meski lihat sebagai potensi yang dapat digali lewat seolah Pulau Sawoba itu jauh dan hanya ada kacamata negeri ini. Anggapan bahwa pulau di dalam mimpi, masyarakat penontonnya sama- Hindia Belanda sama cantiknya dengan Hawaii sama hidup di pulau terpencil dengan lonjoran mengandung makna perspektif Barat dan Timur kayu dan rumah panggung, bahkan berbahasa yang ditemukan dalam bentuk yang tidak Indonesia.

82 Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015

Strategi menyelaraskan cerita film sebagai istri simpanan kaum Eropa tanpa ikatan dengan cerita panggung populer menghasilkan pernikahan. Maka, kemunculan film Dasima alternatif bentuk film baru. Bentuk film sebagai respons dan perkembangan dari film ini dengan cepat dapat diterima sehingga sebelumnya, Dasima, dapat dilihat sebagai mampu membuat subkultur baru, yaitu selera embrio film dengan semangat persamaan yang populer yang “mengusir” kolonialisme atau mungkin belum tentu nasionalis. Eropasentris. Terbukti model seperti inilah Menurut pamflet film Dasima, versi yang akhirnya laku dan tetap digunakan. Pasar modern “dibikin cocok sama kesukaan- film menjadi milik pribumi sebagai masyarakat kesukaan zaman sekarang karena zaman terbanyak. Hegemoni kolonial teralienasi telah berubah, publik punya kesukaan dan karena pengaruh selera pribumi yang meski permintaan-permintaan, dalam kalangan imajinatif, berlebih-lebihan, tetapi merupakan film pun turut berubah.” Meski dibuat oleh interpretasi atas identitas kultural yang otonom. sutradara Tan Tjoei Hock beretnis Tionghoa, Bahkan selera populer ini pula yang kemudian cerita Dasima modern ini bukanlah cerita diterjemahkan dalam film-film selanjutnya. kampungan seperi dulu. Ceritanya tidak lagi tentang “nyai”, tetapi wanita biasa yang hidup HIBRIDITAS DALAM TEMA LOKAL modern. Cerita Dasima dibuat dengan resep Untuk mengetahui bagaimana Terang Boelan, yaitu ditulis oleh wartawan representasi identitas muncul dalam film, perlu karena mereka merupakan simbol kaum intelek kiranya melihat film yang menyajikan konter pada masa itu. Bahkan perusahaan Union Film hegemoni lain setelah Terang Boelan. Dasima yang memproduksi Dasima berhasil menarik (1940) menceritakan wanita biasa dalam perhatian kaum terpelajar dan keluarga baik- kehidupan modern sehari-hari. Dasima adalah baik karena pimpinannya adalah orang pembaharuan dari sekuel film sebelumnya yang Indonesia. Saroen, penulis dalam Terang Boelan menyertakan kata “Nyai” di depan Dasima. pun kemudian ditarik ke Union agar lebih Film pendahulunya, Njai Dasima (1929) menarik minat orang terpelajar dan keluarga menceritakan seorang nyai dilihat dari sudut baik-baik untuk mau main di perusahaan ini pandang sebagai korban. Secara tidak langsung, (Biran, 2009:243-245). cerita ini punya kesan eksploitasi kepada nyai Film yang perlu dicatat dalam penanda sebagai wanita simpanan kaum Eropa yang identitas kebangsaan pada masa kolonial terpinggirkan karena norma susila dan agama. selanjutnya adalah Rentjong Atjeh (1940). Pada akhir ceritanya, seolah sengaja mengamini Menurut Said (1982: 30), film pada masa itu kolonialisme dengan tindakan si pribumi yang tidak lahir dari orientasinya kepada manusia serampangan dan berpihak pada “status nyai”. dan sekelilingnya. Pemilikan modal berada Saking populernya, film Njai Dasima sepenuhnya di tangan orang yang semata-mata dibuat hingga dua jilid. Namun, cerita Njai Dasima menganggap film sebagai barang dagangan. jilid 1 maupun jilid 2 tidak memberikan sudut Maka setelah The Jungle Princess, muncul film pandang baru atas “status nyai” yang sebenarnya lain yang dipengaruhi oleh model film Tarzan di merupakan warisan kolonialisme yang nyata. Hollywood seperi Alang-Alang, Poetri Rimba, Film ini menyajikan cerita perempuan pribumi dan Rentjong Atjeh serta film Dracula yang

83 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film ditiru oleh Kedok Ketawa (1940) dan Tengkorak Rentjong Atjeh berkisah tentang bajak Hidup (1941). Anggapan Said ini seolah laut yang dipimpin oleh lanun pimpinan mengaburkan tujuan film yang sedikit banyak Bintara (Bissoe). Bajak laut ini merompak membentuk citraan masyarakat pendukungnya. sebuah perahu. Semua penumpang dalam Menurutnya lagi, sebagai orang Timur Asing perahu dibunuh kecuali seorang anak kecil masa itu, tidak banyak yang bisa diharapkan Maryam bersama ibunya serta Rusna dan dari orang Tionghoa untuk membuat film yang Daud yang berhasil lolos dan hanyut ke pantai. mempunyai keterlibatan sosial, apalagi politik, Cerita beralih ketika Rusna dan Daud besar. kendati masa itu Hindia Belanda berangsur- Suatu ketika mereka bertemu Panglima Ali. Ali angsur dipenuhi oleh semangat pergerakan mencintai Rusna dan berjanji akan membantu nasional (Said, 1982:6). Namun, sebenarnya balas dendamnya pada lanun Bintara. Maryam jiwa pergerakan politik inilah yang dijadikan yang diangkat menjadi anak tiri Bissoe jatuh kendaraan dalam membangun perfilman pada cinta dengan Daud. Maryam lari dan menyulut masa itu. Seperti strategi yang dipakai Dasima konflik Ali-Daud melawan para perampok. Ali versi modern, Rentjong Atjeh merupakan sarana akhirnya berhasil membalas dendam dengan “diplomasi” yang ditawarkan oleh pengusaha membunuh Bintara menggunakan rencong film pada masa itu untuk membentuk citraan pusakanya. Setelah pembalasan dendam populer yang hibrid. itu, maka tidak ada lagi ancaman bajak laut Pembuatan Rentjong Atjeh mengalami di Selat Malaka (Kristanto, 2007:8; Biran, kesulitan karena pada 1940, Hindia Belanda 2009:256-257). dalam keadaan siap perang melawan serbuan Masuknya peran profesional pribumi Jepang. Namun, pemasarannya ternyata dalam pembuatan film ini bukan tanpa sebab. laku berkat publisitas hasil gagasan Andjar dan M. Sardi punya peran Asmara. Lagu tema dalam film ini seluruhnya menaikkan popularitas film sesuai dengan menggunakan ciptaan M. Sardi dengan orkestra harapan dan selera masyarakat yang sedang yang dipimpinnya (Biran, 2009:201-202). Lagu dilanda ancaman perang kala itu. Pakaian yang dibuat M. Sardi seluruhnya menggunakan yang cenderung primitif dan adat istiadat bahasa Indonesia dengan nuansa musik yang digambarkan dalam film ini menjadi keroncong yang kental. Film ini mengisahkan antitesis kehidupan serba modern yang jauh kejadian yang sebagian besar berlangsung di dari realita masyarakat kebanyakan. Meski hutan, mungkin sekitar Aceh. Hutan itu masih rencong tidak dihubungkan dengan etnisitas, terasing, pakaian dan adat istiadat penduduknya justru penggunaannya sebagai senjata untuk masih primitif, seperti di Kepulauan Hawaii membunuh musuh merupakan simbol dalam gambaran film Hollywood. Judul kekuatan primordial. Bahkan bajak laut yang Rentjong Atjeh hanya sekadar untuk sensasi tergambarkan keji dapat dilawan lewat kekuatan saja, seperti halnya Kris Mataram, karena tidak tradisional dan kisah cinta klise. Bajak laut ada hubungannya dengan budaya Aceh atau yang takluk di akhir cerita seolah memberikan Mataram. Rencong itu hanya senjata pusaka gambaran akan kemenangan kaum bawah, sang yang akan dipakai untuk berkelahi dengan pribumi primitif yang percaya pada pusaka, kepala bandit (Biran, 2009:248, 256). dalam menumpas dominasi kejahatan. Jika

84 Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015 dilihat dalam konteks kolonialisme, sikap Dalam tulisan kritis tentang konstruksi sejarah yang ditawarkan Rentjong Atjeh menjadi film Indonesia, Dunn dan Barker berargumen penanda akan sebuah bangsa yang dengan bahwa tradisi naratif memberi tempat istimewa keterbelakangannya berhasil melawan penjajah. bagi pembuat film ‘pribumi’ sebagai pemula Meski kritik dan komentar terhadap asli (autentik atau benar) kebudayaan Indonesia Rentjong Atjeh sebagian besar bernada negatif dalam layar mencerminkan definisi dominan (Biran, 2009:258), film yang mengakhiri masa dan sempit tentang nasionalisme berdasarkan kolonial tersebut dapat dilihat secara lebih primordialisme etnis dan budaya (2011:34). kritis karena berciri khas hibrida. Mengapa Pada era 1941-1942, corak pembuatan demikian? Karena Indonesia disusun oleh film sangatlah beragam, mulai dari pola beragam etnisitas yang unik dan tidak tunggal. yang dipakai Andjar Asmara yang tetap Renjong, perempuan modern, bahkan musik ingin menyasar kalangan terpelajar, film-film keroncong menandakan ragam identitas bangsa action, hingga cerita “kuno” yang menjual yang jika meminjam istilah Anderson, menyatu kehebohan visual seperti Koeda Sembrani. lewat komunitas-komunitas terbayang. Film Maka, sulit menentukan film berciri nasionalis pada masa itu merupakan wujud visualisasi jika pandangan identitas nasional dibatasi sinematik tentang “ke-Indonesia-an” yang dalam pengertian tunggal dan menyatu seperti mencampurkan unsur lokal dengan pertemuan corak film Usmar Ismail. Beragamnya tema, global. ‘Indonesia’ terbayang dalam film-film genre, visualisasi dan naratif dalam ekperimen yang merepresentasikan lapisan yang berbeda produksi film pada masa sebelum kemerdekaan dalam masyarakat Hindia Belanda, suatu masa justru menghasilkan film-film yang beragam, ketika pribumi, Tionghoa, Belanda, dan orang- kosmopolitan, dan memproyeksikan gambaran orang serta kebudayaan lain hidup bersama bangsa yang kompleks, istimewa, dan unik (Dunn & Barker, 2011:35). (Dunn & Barker, 2011:34-35). Namun, gambaran Kolonialisme justru telah membentuk ini tidak dapat dipisahkan dengan citraan global kelas elitis yang secara sepihak telah dan modernisasi yang melanda seluruh tanah mendistingsi film-film sebelum kemerdekaan jajahan. Bangsa yang galau di tengah penjajahan sebagai film yang tidak berciri nasionalis. dan kebangkitan nasional ini justru digambarkan Hal ini dapat terlihat dari tuntutan kalangan melalui pertemuan-pertemuan lokal dan global terpelajar atas fungsi film dalam mendidik dan dalam film-film populer. Identitas bangsa memupuk rasa nasionalisme, bukan sekadar Indonesia dalam citraan visual lewat film ini hiburan yang mengajak orang bermimpi bukan disusun atas konstruksi tunggal. Maka, dalam manipulasi komersial (Biran, 2009:260- sulit kiranya menjejak ciri film nasionalis, 261, 268). Konsepsi ideologis tentang apa jika nation (bangsa) ini merupakan pertemuan yang disebut film nasional telah dan terus fenomen yang hibrid. mendominasi kerangka sejarah sinema Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan Revolusi dalam Film peminggiran film-film yang dibuat pada masa Setelah diproklamasikan kemerdekaan sebelum kemerdekaan oleh pembuat-pembuat pada 17 Agustus 1945, republik muda film nonpribumi (Dunn & Barker, 2011:33). Indonesia menghadapi banyak tantangan. Salah

85 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film satu tantangan terbesar adalah penanaman menyusun citraan identitas bangsa. Tulisan ini nilai nasionalisme. Pembuat film pribumi tidak membedah Darah dan Doa sebagai pioner yang belajar dari Jepang kini mulai menyadari film nasional atau Antara Bumi dan Langit fungsi film sebagai media penyampaian pesan (1951) yang diwarnai polemik sensor. Harimau nasionalisme (Nugroho & Herlina, 2013:85). Tjampa (1953), Lagi-Lagi Krisis (1955) dan Saat pemerintahan Republik Indonesia Tamu Agung (1955) adalah beberapa film yang dipindahkan ke Yogyakarta, Usmar Ismail akan dibongkar lebih lanjut. Seluruh produksi giat berdiskusi tentang film di rumahnya ketiga film tersebut tidak lepas dari campur Jalan Sumbing No. 5 Yogyakarta. Menyusul tangan Usmar Ismail. Hanya Harimau Tjampa kemudian, didirikan pula sekolah dan akademi yang disutradari oleh D. Djajakusuma. perfilman di kota yang sama. Cerita Harimau Tjampa berlatar adat Kemerdekaan yang diraih Indonesia Minangkabau yang kental dengan unsur silat, membangkitkan Industri perfilman yang petatah- petitih, dan lagu tradisi. Ceritanya mulai dibangun sendiri tanpa campur tangan berawal dari dendam Lukman terhadap ‘asing’. Namun ‘dosa asal’ sejarah perfilman pembunuh ayahnya. Alih-alih balas dendam di masa kolonial yang sepenuhnya bertujuan dengan belajar silat, Lukman malah masuk komersil, peniruan dan hanya bersifat hiburan, penjara karena ketidakbijaksanaannya. Saat seperti yang diungkap Said, telah menjadi dipenjara, akhirnya salah seorang guru, kredo (1991:23). Film-film berbau tempo dulu Datuk Langit menyanggupi permintaan itu begitu hebat efeknya kepada masyarakat, Lukman untuk membalas dendamnya. Datuk seperti terungkap dalam majalah Siasat (1951) Langit lalu diringkus sebagai pembunuh, yang menyiarkan artikel mengecam film-film sedangkan Lukman kembali ke penjara untuk masa itu: menyelesaikan masa tahanannya. [...] “Akhirnya terpaksa kita Nilai tradisi dan folklore yang kental mengatakan bahwa sebagian besar dalam Harimau Tjampa sebenarnya mirip orang-orang ini bukanlah orang- orang yang dapat melakukan sesuatu dengan romantisme ala film pada masa kolonial. untuk film. Mereka bukanlah orang- Cerita bunuh-membunuh atas dasar balas orang yang punya pendapat sendiri dendam serupa Rentjong Atjeh masih digunakan (mereka yang meniru film Amerika), sebagai resep yang jitu. Padahal film pada masa mereka bukanlah manusia mata terbuka yang dapat melihat keadaan itu dibuat pada saat jiwa nasionalisme sedang sekeliling. Mereka bukanlah sineas- meletup di Indonesia. Ceritanya tak berubah sineas yang mau merintis jalan secara signifikan dibanding film warisan baru. Amerika adalah tuhan, mereka kolonial. Sang tokoh utama dengan berbagai nabi dan kita diperlukan sebagai keranjang sampah tempat buangan usahanya akhirnya mampu mewujudkan segala yang kotor” (Said, 1982:39- keinginannya meski berakhir tragis. Pakaian 40). pemain dan gaya bicara juga masih tradisional, Sebelum lebih jauh mengecam sesuai dengan gambaran apa adanya suku pengaruh Amerika dan unsur-unsur asing Minang. Meski tidak ada catatan jumlah lain dalam film Indonesia, beberapa film penonton dan respon pers terhadap film ini. pascakemerdekaan perlu dicatat dalam perannya Kristanto (2007:27) mencatat

86 Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015 penghargan FFI untuk skenario dan FFA anggota parlemen, istri pembesar, hingga Singapura tahun 1955 telah diraih film ini. bintang film. Cerita dalam film ini kemudian Melihat film model Harimau Tjampa yang diwarnai oleh intrik antara keinginan produser ‘diterima’ tanpa dilabeli sebagai film komersil dan bintang film, ilusi kejayaan aktor tua, hingga ala tempo dulu menjadi menarik, karena politik dan persengkongkolan dalam pembuatan meski ceritanya serupa dongeng dengan unsur film. Cerita film ini tidak berakhir bahagia tradisional yang kental, tidak ada kritik yang karena produksi film yang dilaksanakan berkat mencatat pembuat film ini hanya memanfaatkan persengkongkolan terbongkar dan seluruh pasien eksotisme pribumi demi meraup keuntungan. Husin menuntutnya. Melalui film ini, sutradara Sebaliknya, film ini justru mendapat Usmar Ismail telah mengambil kesempatan untuk penghargaan tingkat nasional dan internasional. mengejek dunia film lewat karya film itu sendiri. Film Lagi-Lagi Krisis dibuat atas Film ini mampu merepresentasikan self-critics respons gemparnya film karya terkenal Usmar yang sebelumnya tidak pernah dipakai dalam Ismail sebelumnya, Krisis (1953). Menurut dunia film. Meski demikian, Usmar Ismail harus Said (1982: 56), Krisis adalah film Indonesia membayar mahal produksi ini, karena Lagi-Lagi pertama yang menerobos bioskop kelas satu Krisis tidak laku di pasaran. Bahkan keadaan dan bertahan lebih dari satu bulan di sana. Sitor perfilman yang makin memburuk waktu itu terus Situmorang bahkan sempat menulis resensi yang mendesak Usmar untuk tidak cuma memikirkan mengapresiasi film ini. Sukses besar filmKrisis cita-citanya, tetapi juga kelangsungan hidup menyebabkan Usmar mencoba melakukan perusahaan yang mempekerjakan sejumlah “pengulangan” dalam Lagi-Lagi Krisis meski orang (Said, 1982:57). film ini tidak begitu sukses. Secara umum, Film Tamu Agung juga dibuat Usmar kedua film ini sama-sama bertujuan untuk Ismail pada tahun yang sama dengan Lagi- memperlihatkan kondisi sosial masyarakat Lagi Krisis. Ceritanya juga tergolong satir yang terjadi di masa itu. Bedanya, jika Krisis lewat balutan komedi yang mirip stambul. dipuji berhasil melukiskan berbagai watak Film Tamu Agung menggambarkan situasi manusia dan berpaling dari tendensi sosial, kesalahpahaman yang diciptakan oleh Pak Midi Lagi-Lagi Krisis justru sarat dengan sentilan karena ditugaskan menjemput tamu agung di terhadap keadaan sosial sezaman (Kristanto, kota. Sang tamu agung dianalogikan sebagai 2007:40). Cerita Lagi-Lagi Krisis bernada pejabat pemerintahan pusat yang akan meninjau satir dengan kritik yang terang-terangan terkait desa. Terperdaya dengan propaganda obat perfilman nasional. Pada masa perfilman masih manjur, Pak Midi malah membawa si tukang semuda itu, Usmar Ismail memang cukup obat ke desa. Pejabat desa menyambut tukang berani menangkap peristiwa ganjil yang terjadi obat sebagai ‘tamu agung’, bahkan mereka di masyarakat modern. saling berlomba untuk menunjukkan prestasi Cerita Lagi-Lagi Krisis diawali dengan masing-masing. Hingga akhirnya, tamu agung Husin bin Said yang tiba-tiba mendapat ilham yang sebenarnya datang dan tukang obat lari. untuk menjadi dukun. Maka tidak lama, Film ini mendapatkan penghargaan FFA tahun berbondong-bondong orang datang meminta 1956 di Hogkong untuk film komedi terbaik bantuan, mlai dari niat menjadi atase kebudayaan, (Kristanto, 2007:43).

87 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film

Tamu Agung tidak menawarkan inilah yang selalu dicatat dalam sejarah sebagai idealisme seperti dalam Lagi-Lagi Krisis, titik awal dibangunnya industri film nasional. namun sebenarnya film ini merupakan Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat manipulasi gambaran realita masyarakat. Meski pendukung penonton film justru tidak tidak ada catatan penonton atas film ini, Tamu berada di ranah yang sama dengan semangat Agung mencoba untuk mendapatkan kembali nasionalisme. Jangan-jangan, cita-cita para penonton film dengan mendekatkan ceritanya cendikiawan pada masa itu untuk membentuk dengan adegan goro-goro ala pertunjukan struktur dan arah baru perfilman nasional populer. Lewat gaya komedi, pemerintah pusat yang mengedepankan idealisme hanyalah dikritik habis-habisan dalam film ini dengan utopia semata. Jika Terang Boelan dianggap penggambaran sang tukang obat yang menebar menyajikan mimpi tapi berhasil mendapat janji. Usaha untuk self-critics juga sebenarnya simpati dari struktur pendukung penting dalam tidak lepas dalam film ini karena respons film yakni penontonnya, maka perlu dilihat berlebihan dari masyarakat desa atas kedatangan apakah film-film berlabel “nasionalis” itu benar- pejabat pusat, bahkan secara hiperbolis disebut benar menyajikan citraan nation (bangsa). sebagai “tamu agung” dalam film ini. Menurut Nugroho dan Herlina (2013:99- Film sebagai Refleksi Kegalauan 100), film Indonesia pascakemerdekaan Beberapa tawaran tafsir film yang telah dibentuk oleh beragam aspek yang penuh dengan dibahas menghasilkan pertanyaan baru, lalu paradoks, antara harapan pascakemerdekaan seperti apakah identitas bangsa yang tergambar dengan persoalan-persoalan yang dihadapi lewat film-film sejak masa kolonial hingga awal sebagai negara muda, antara nasionalisme kemerdekaan? Dunn & Barker (2011: 49) dalam dengan kenyataan pasar, antara keterampilan esainya “Membayangkan ‘Indonesia’: Produser transformasi era Belanda dan Jepang dengan Etnis Tionghoa dan Sinema Pra-Kemerdekaan” upaya memformulasikan identitas diri, antara mengajukan alternatif historiografi dalam film organisasi politik dengan ekspresi, termasuk Indonesia. Mereka bersikap kritis terhadap antara resep racikan Hollywood dengan kecenderungan umum sejarawan film Indonesia formula-formula yang sudah tumbuh sejak yang menghilangkan sumbangan penting zaman komedi stambul. Situasi serba paradoks pembuat film Tionghoa. Argumennya, mereka menyertai upaya memformulasikan diri atas apa tidak hanya merintis pembuatan film panjang di yang disebut film Indonesia. Di satu sisi, yang Indonesia, tetapi juga mengonstruksi gambaran disebut film Indonesia harus dalam rumus serba awal alam, orang-orang, dan kebudayaan lokal asli Indonesia, serba berjuang, serba nasionalis. Indonesia di atas layar. Atmosfer politik tanah air pada awal Armijn Pane telah melakukan 1950-an terbentuk dalam tema bersama yang studi penting tentang film Indonesia yang kental dengan berbagai pernak-pernik retorika, menggunakan konsep ‘acculturatie’ (akulturasi) harapan, impian dan semangat di sekitar untuk menggambarkan bentuk kebudayaan nasionalisme. Tema nasionalisme banyak modern teater dan film dalam masa pra-perang digali, tetapi belum tentu selalu laku di pasaran di Indonesia. Pane (1953) dalam Dunn & (Nugroho & Herlina, 2013:133). Padahal, masa Barker, 2011:36-37) menjelaskan ‘acculturatie’

88 Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015 sebagai ‘campuran antara berbagai sumber film. Terang Boelan, Dasima, dan Retjong internasional dan pan-Asia. Atjeh merepresentasikan pola yang unik, yakni Masa kolonial telah membawa arus unsur tradisional dan primitif di satu sisi dan perfilman dalam tuntutan bereksperimen karena global di sisi lain. Terang Boelan adalah beragamnya selera penonton dari kelas, etnis respons atas tawaran imajinasi Hollywood dan tingkat pendidikan, dan orientasi kebudayaan citraan lokal. Dasima merupakan turunan dari yang kompleks. Maka, film khas pada masa isu perempuan ‘terjajah’ dalam dunia yang Hindia Belanda melukiskan gambaran orang- merangkak modern, sedangkan Rentjong Atjeh orang yang sangat kosmopolitan dan hibrida. mencoba melawan represi kelas penguasa Naratif lokal dan gaya teater tonil dengan lewat kekuatan subaltern. Ketiga film ini, pengaruh sinema asing terefleksi dalam meski dalam penulisan sejarah film dianggap film-film masa itu. Meski disajikan lebih tidak merepresentasikan ‘nasionalisme’ justru eksotis, gambaran lokal seringkali dihadirkan secara simbolik telah mempu menawarkan dalam filmnya. Gambaran yang lama dan alternatif representasi ‘keindonesiaan’ yang baru, tradisional dan modern, kebudayaan berdikari, lepas dari nilai-nilai kolonialisme. Jawa dan bintang film Tionghoa semuanya Indonesia yang belum merdeka tercitrakan dikombinasikan untuk menciptakan citraan (dan terimajinasikan) dalam nuansa yang hibrid ikon lokal dan internasional yang berada dalam dan galau. Film-film tersebut mungkin tidak kebudayaan visual modern (Dunn & Barker, betul-betul menggambarkan realitas sebagai 2011:38-40). subjek terjajah, namun merupakan representasi Sebagai bangsa yang belum merdeka, multietnik dalam pertemuan global dan lokal rakyat disajikan citraan alternatif dari tafsir yang dipengaruhi modernisme Barat. hibrid yang ternyata dapat diterima penonton Film Harimau Tjampa adalah salah satu kebanyakan. Meski citraan lewat film pada masa antitesis dari pernyataan para penulis sejarah kolonial bersifat orientalis, film telah menjadi film nasional yang dipelopori Usmar Ismail. tontonan populer yang berkembang hingga Film ini sebenarnya belum beranjak dari resep masa kebangkitan nasional yang melahirkan film populer pada masa kolonial. Bahkan banyak pemikiran tentang bagaimana film hingga Lagi-Lagi Krisis dan Tamu Agung, seharusnya dibuat dari kalangan cendikiawan. keduanya menunjukkan citraan masyarakat Dalam artikelnya, Ong (2006:135) dalam Dunn kebanyakan yang percaya pada takhayul dan & Barker (2011:41) berargumen bahwa usaha omong besar, ciri masyarakat primitif di zaman untuk mengorientalisasi diri dapat dipahami modern. Film-film tersebut mereproduksi sebagai sebuah taktik dari subjek terjajah untuk saja citraan khas film masa kolonial dengan merepresentasikan diri dan mengambil klaim representasi yang seolah-olah ‘lebih modern’. agensi dari proyek hegemonik Barat. Nilai tambahnya, film-film ini mendapatkan Lewat citraan di layar putih, imajinasi pengakuan internasional. bangsa ini disusun oleh percampuran latar Sulit sekali mencirikan identitas khas belakang etnis pembuatnya. Namun, pada Indonesia karena negeri ini dibangun oleh akhirnya penonton mayoritas pribumilah yang latar belakang historis dan kultural yang memiliki otoritas dalam menentukan reputasi kompleks. Bahkan para pembuat film yang

89 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film ingin filmnya dapat diterima hati penontonnya perspektif pembuatnya dan respon penontonnya, pun dilanda kegalauan. Representasi identitas film dapat menjadi ‘pisau yang tajam’ dalam film bukanlah fenomen yang tunggal. Meski mengkritik dominasi, baik penguasa, negara, Indonesia telah meraih kemerdekaannya maupun diri sendiri. Sebagai negara dengan dan pola film nasionalis segera dirumuskan, sejarah kolonialisme yang panjang, Indonesia industri film telah melalui perjalanan panjang. membentuk kultur sinematiknya secara hibrid. Bahkan pada salah satu film Usmar Ismail Film telah melampaui sifatnya sebagai medium pasca kemerdekaan, Ali Akbar menulis resensi komunikasi, tetapi juga representasi yang bahwa film Dosa Tak Berampun (1951) “telah begitu politis. memasukkan pola realisme Italia yang lyris. Film-film pada masa kolonial yang Pola ini memberi bekas yang baik. Hal inilah dibilang primitif dan hanya membuat sebetulnya yang menyebabkan film ini bisa penontonnya tertawa, justru telah disebut film Indonesia yang terbaik –untuk memperlihatkan wajah pribumi yang unik dan sementara—karena film ini mengemukakan bercampur baur, antara menjadi modern dan kemungkinan-kemungkinan yang baru untuk refleksi diri yang tradisional. Film-film yang Indonesia (Akbar, 1951:10 dalam Said, muncul setelahnya, masih juga demikian, namun 1982:53). ditambah dengan tuntutan bumbu nasionalisme. Realisme Italia yang diungkap Akbar Padahal, hingga kini, ‘terjemahan’ dari film dalam film Indonesia sungguh merupakan nasionalis tidaklah berhasil dilakukan. Seperti bukti bahwa film adalah representasi “aku Benedict Anderson yang pernah mengatakan yang galau”. Mengapa demikian? Karena bahwa penggunaan bahasa bersama (Indonesia)- semenjak negeri ini dimasuki oleh kolonialisme lah yang menumbuhkan nasionalisme, bukan Belanda, campur tangan Tionghoa, hingga nasionalisme yang membentuk bahasa saat sang pribumi mencoba membuat filmya bersama. Dengan demikian, bukan film dengan sendiri, tidak hanya gaya, cerita, atau elemen ciri tunggal yang mempersatukan bangsa, visual dalam film yang menjadi dilema, pola tetapi keberagaman budaya di bawah ideologi dikotomis antara kepentingan meraup untung dan situasi sosial politik yang berubahlah yang dan idealisme dalam film juga selalu muncul membentuk film nasional. bahkan hingga kini setelah kemerdekaan diraih selama 70 tahun. KEPUSTAKAAN SIMPULAN Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Film Indonesia sejak masa kolonial Terbayang. Yogyakarta: Insist Press & hingga awal kemerdekaan merupakan Pustaka Pelajar. pertemuan multikultural, baik dalam proses Arief, Sarief. 2010. Politik Film di Hindia maupun produknya. Citraan kebangsaan Belanda. : Komunitas Bambu. Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1990- yang coba disorot lewat film sebenarnya 1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: menggambarkan pula kondisi sosial, kultural, Komunitas Bambu & Dewan Kesenian dan politik pada masa-masa tersebut. Sebagai Jakarta. imajinasi yang berkembang lewat beragam

90 Jurnal Rekam, Vol. 11 No. 2 - Oktober 2015

Cheng, Khoo Gaik & Thomas Barker (Ed). Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika. Foulcher, Keith dan Tony Day (Ed.). 2008. Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial. Edisi Revisi. Alih Bahasa Koesalah Soebagya Toer dan Monique Soesman. Edisi Pertama 2004. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia. Hidayat, Rahayu. 1996. Sinema, Apakah Itu?. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Irawanto, Budi. 2004. Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: FFTV-IKJ. Kristanto, J.B. 2007. Katalog Film Indonesia. Jakarta: Nalar. Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-Batas Pembaruan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Lazuardi, Luna. “Studi Kolonialisme” Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 dalam http://www.kunci.or.id. Nugroho, Garin & Dyna Herlina. 2013. Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: FFTV-IKJ. Said, Edward. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Said, Salim 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafitti Pers. Sarantakos, Sotirios. 2005. Social Research. Palgrave Macmillan. Susanto, Budi. 2008. Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Susanto, Budi (Ed). 2005. Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Susanto, Budi (Ed). 2010. Indonesia di Mata (mata-i) Postkolonialitas. Yogyakarta: Kanisius. ______. “Sinema Indonesia”. Montage, Edisi 23, Juni 2013.

91 Sazkia Noor Anggraini, “Aku Yang Galau”: Refleksi Film

92