exhibition catalogue

ARKIPEL social/kapital 4th International Documentary & Experimental Film Festival 2016

JAKARTA / AGUSTUS 2016 FESTIVAL FORUM 18-19 FESTIVAL 19-26 EXHIBITION 18-25

WWW.ARKIPEL.ORG @ARKIPEL Colophon

Editor / Editor Manshur Zikri Penulis / Writers Mahardika Yudha, Otty Widasari, Yuki Aditya Penerjemah / Translator Ninus D. Andarnuswari, Devy Larasati, Yuki Aditya, Manshur Zikri EXHIBITION TEAM Perancang Grafis / Graphic Designers Kultursinema exhibition curator Andang Kelana Mahardika Yudha Latar Sampul / Cover Image Afrian Purnama (assistant) Kultursinema: Still image from Kwee Zwan Liang footages. Park Lanes exhibition curator Collection of EYE Film Institute. Otty Widasari Park Lanes: Image captured from Park Lanes (2015). - Kettle Vector Abi Rama exhibition coordinator ARKIPEL Tree of Knowledge Drawing Rachmadi "Rambo" Hafiz Rancajale exhibition manager ARKIPEL Logotype Drawing Viandira Athia Mulyono Ugeng T. Moetidjo Art Handling M. Sigit Budi Santoso Percetakan / Printing kultursinema team Gajah Hidup Ario Fazrien, Syaiful Anwar, Afrian Purnama, Rachmadi "Rambo", Diterbitkan oleh / Published by Viandira Athia Mulyono, Maulandy Rizky, Forum Lenteng Bayu Kencana, Anggun Yulia

Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta. 12530 www.forumlenteng.org | [email protected] | @forumlenteng ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival www.arkipel.org | [email protected] | @arkipel

2 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] Daftar Isi Contents

Pengantar Direktur Festival 4 Foreword of Festival Director 6

Kultursinema #3: Menangkap Cahaya 12 Kultursinema #3: Capturing the Lights 16

Park Lanes: Simulasi Kecil Kebudayaan di Ruang Besar Peradaban 36 Park Lanes: Small Simulation of Culture in the Great Room of Civilization 43

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 3 Pengantar Direktur Festival

Yuki Aditya

Selamat datang di perhelatan keempat ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, yang tahun ini mengusung tema social/kapital. Kami sangat senang bisa berbagi pengetahuan dan kegembiraan akan program-program yang telah kami susun satu tahun belakangan ini. Sebagai sebuah festival filem, kami bahagia ARKIPEL tetap konsisten menjadi bagian dari usaha-usaha yang membangun medan pertemuan dan berbagi pengetahuan/pengalaman tentang sinema, serta sebagai sarana berjejaring antarpegiat media audio-visual dan pelaku-pelaku filem di tingkat komunitas. Sebagai sebuah organisasi, Forum Lenteng dikelola oleh pegiat-pegiat dengan latar belakang disiplin pengetahuan yang beragam. Program festival ARKIPEL diniatkan sebagai ruang belajar lintas disiplin, yang mencoba mencari titik temu dari keragaman pengetahuan itu, juga sebagai sarana alternatif untuk menspekulasikan gagasan-gagasan baru tentang media, khususnya sinema, dan organisasi festival filem. Peradaban Sinema dalam Pameran kini hadir untuk ketiga kalinya dengan nama baru, KULTURSINEMA. Pameran ini bertajuk “Menangkap Cahaya”, dikuratori oleh Mahardika Yudha yang menyoroti wacana produksi sinema di periode 1920-an sampai 1940-an. Filem-filem yang ditayangkan, antara lain adalah karya-karya yang dibuat oleh Kwee Zwan Liang, The Teng Cun, Wong Bersaudara, dan Tan Tjoei Hock. Filem-filem tersebut merupakan koleksi dari EYE Filmmuseum, Amsterdam, Belanda serta Sinematek Indonesia. Tahun ini ARKIPEL juga mempresentasikan salah satu Program Kuratorial, tentang filem Park Lanes (2015) karya Kevin Jerome Everson, yang dikuratori oleh Otty Widasari, ke dalam bentuk pameran. Bertajuk “Park Lanes: Simulasi Kecil Kebudayaan di Ruang Besar Peradaban”, pameran ini merupakan

4 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] presentasi tentang kerja riset mengenai dunia kerja yang merepresentasikan sebuah lingkup kecil kebudayaan masyarakat tertentu di sebuah lokasi yang menjadi ranah peradaban global masyarakat-manusia. Forum Sinema, Gudang Sarinah, akan menjadi ruang presentasi pameran ini. Rangkaian pameran KULTURSINEMA dan “Park Lanes” akan dihelat di Gudang Sarinah Ekosistem selama ARKIPEL berlangsung dengan dukungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; Kedutaan Besar Kerajaan Belanda; dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dukungan ini menandakan suatu perkembangan positif, bahwa telah meningkatnya perhatian Pemerintah terhadap bidang sinema semacam ini. Bagi ARKIPEL sendiri, hal ini merupakan suatu capaian tertentu dalam hal kemitraan. Semoga hubungan kerja sama antara Forum Lenteng dan Pemerintah dapat terus berlanjut dan memicu perwujudan berbagai inisiatif kreatif yang lebih baik di masa depan. Demikian juga dengan dukungan dari lembaga-lembaga kebudayaan negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga swasta, yang selama ini memfasilitasi Forum Lenteng dan mendorong terwujudnya berbagai ide kreatif yang berhubungan dengan filem, khususnya festival ARKIPEL.

j

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 5 Foreword of Festival Director

Yuki Aditya

Welcome to the fourth edition of ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, and this year’s theme is social/ kapital. We are excited to share knowledge and excitement with programs we’ve compiled this year. As a film festival, we are happy ARKIPEL to remain consistent to be part of efforts to build it as a space to meet and share knowledge/experience of cinema, as well as a place of building network amongst audio-visual media and film activists. As an organization, Forum Lenteng is managed by activist with diverse background of knowledge and disciplines. The festival program of ARKIPEL is intended as an interdisciplinary learning space, which is trying to find common ground on the diversity of knowledge, as well as alternative means to speculate about new ideas about media, especially cinema and film festival organization. Cinema Culture in Exhibition is now available for the third time with a new name, KULTURSINEMA. The exhibition entitled “Capturing the Lights” is curated by Mahardika Yudha; it will highlight a period of cinema production in Indonesia from the 1920s to 1940s. The exhibition will showcase the works of Kwee Zwan Liang, The Teng Cun, , and Tan Tjoei Hock. Those films are the collections of EYE Filmmuseum, Amsterdam, The Netherlands, and Sinematek Indonesia. This year, ARKIPEL also presents one of the Curatorial Programs, on Kevin Jerome Everson’s Park Lanes (2015), which is curated by Otty Widasari, into an exhibition format. Entitled “Park Lanes: Small Simulation of Culture in the Great Room of Civilization”, it is a presentation of research about the world of worker representing a small cultural sphere of particular society at a

6 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] location where global civilization of human-society takes place. Forum Sinema, Gudang Sarinah, will be the the venue of the exhibition. The KULTURSINEMA and the “Park Lanes” exhibition will be held at Gudang Sarinah Ekosistem during the festival of ARKIPEL and is receiving supports from the Directorate General of Culture, Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia; The Embassy of the Kingdom of the Netherlands; and the Embassy of The United States of America. This support indicates a positive response and increased attention from the Government to this kind of cinema. For ARKIPEL itself, it is a particular achievement in terms of partnership. Hopefully cooperation between Forum Lenteng and the Government could continue and trigger a variety of creative initiatives better in the future. Likewise, with the support of cultural institutions of other countries and private institutions, which have facilitated Forum Lenteng and promote creative ideas related to cinema, particularly the ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.

j

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 7 8 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] OTTY WIDASARI MAHARDIKA YUDHA

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) adalah Mahardika Yudha (Jakarta, 1981) adalah seorang seniman, sutradara, pegiat media, seorang seniman, kurator, sutradara, peneliti salah satu pendiri Forum Lenteng, dan seni dan filem, anggota dan salah satu pendiri Direktur Program Pemberdayaan Media Forum Lenteng. Sejak 2013, dia menjadi Berbasis Komunitas (AKUMASSA) Forum Direktur Festival OK. Video – Indonesia Lenteng. Lulusan Seni Murni, Institut Media Arts Festival, salah satu divisi di Kesenian Jakarta, tahun 2013. ruangrupa, Jakarta.

Otty Widasari (Balikpapan, 1973) is an Mahardika Yudha (Jakarta, 1981) is an artist, filmmaker, media activist, one of the artist, curator, filmmaker, art researcher, and founders of Forum Lenteng, and Director of one of the founders and a member of Forum Community-Based Media Empowerment Lenteng. Since 2013, he is the Director of Program (AKUMASSA) at Forum Lenteng. OK. Video – Indonesia Media Arts Festival, She graduated Fine Arts at the Institut one of divisions at ruangrupa, Jakarta. Kesenian Jakarta in 2013.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 9 10 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] kultursinema #3: Menangkap Cahaya

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 11 Still image dari Rekaman-rekaman Kwee Zwan Liang. Koleksi EYE Film Institute Belanda kuratorial

Kultursinema #3: Menangkap Cahaya

Mahardika Yudha

Filem dibuka dengan adegan satu perempuan setengah baya, satu laki-laki, dan perempuan dewasa, serta dua anak laki-laki menuruni tangga. Lima orang itu menatap kamera. Terutama dua anak laki-laki yang berdiri di depan orang dewasa. Perempuan dewasa kemudian bersalaman dengan laki-laki dewasa, perempuan setengah baya, dan terakhir dengan kedua anak laki-laki tadi. Salaman sebagai petanda perpisahan. Dalam perjalanan menjauh dari rumah, perempuan itu tetap menatap kamera. Seorang perempuan dewasa lain masuk ke dalam bingkai. Ia kemudian bersalaman dengan perempuan yang hendak pergi itu. Seusai bersalaman, perempuan yang berpakaian gaya Eropa itu berjalan mendekati mobil. Kamera bergerak ke kanan mengikuti gerak perempuan. Bidikan selanjutnya, perempuan dewasa yang telah masuk ke dalam mobil tampak kembali berdiri bersama keluarga itu. Mereka kemudian mengulang adegan bersalaman, namun dengan posisi kamera yang lebih dipersiapkan. Adegan diakhiri masuknya perempuan itu ke dalam mobil. Semua tokoh di sepanjang adegan selalu menatap kamera, seperti mengisyaratkan kehadiran orang lain saat itu: pemegang kamera. Adegan selama tiga puluh detik ini berasal dari filemKwee-Compilatie No. 04 (1926-1931) yang dibuat oleh Kwee Zwan Liang (1896-1959), seorang kepala laboratorium pabrik gula Djatipiring, Cirebon.1 Ia membuat filem dengan kamera Cine Kodak yang telah dipasarkan secara massal di Indonesia kisaran

[1] Wawancara penulis dengan Peter Post tanggal 1 Juni 2016. Koleksi Forum Lenteng. Lihat juga, Peter Post, The Kwee Home Movies A New Resource for The Study of The Life of The Peranakan Elite in Colonial Java, Chinese Heritage Centre Bulletin, 4 Desember 2004, hlm. 6.

12 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] pertengahan tahun 1920-an.2 Filem-filem Kwee Zwan Liang merupakan rekaman-rekaman murni, mentah, atau utuh yang merekam peristiwa-peristiwa dari relung-relung intim keseharian keluarga Kwee Zwan Liang hingga orang- orang, benda-benda, lokasi-lokasi, dan peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di sekitarnya di masa kolonial Belanda. Hari ini, kita mengenal jenis filem seperti itu sebagai filem amatir atau filem dokumentasi rumahanhome ( movies) yang dibuat tanpa beban pengetahuan teknis dan sejarah besar sinema. Ia cenderung cair dan bermain-main pada eksperimentasi sudut ambilan gambar, moda produksi, hingga rekonstruksi kenyataan seperti yang diperlihatkan pada deskripsi pendek di awal tulisan ini. Itu berbeda dengan situasi pembuatan filem-filem amatir mutakhir dengan keterbukaan akses teknologi yang lebih luas serta pengetahuan sinema yang telah mapan. Di masa sembilan puluh tahun lalu, akses terhadap teknologi sinema belum semudah sekarang. Begitu juga dengan pengetahuan sinema yang relatif masih sangat sedikit. Sinema masih merupakan teknologi baru dan asing yang datang dari negeri jauh. Agaknya kita bisa curiga bahwa pengetahuan produksi sinema Kwee Zwan Liang berasal dari membaca buku dan kabar-kabar terbaru dari Eropa dan Amerika, pergaulan kalangan atas, percobaan-percobaan fotografi, atau mendapatkan pengetahuannya dari menonton filem-filem Eropa, Amerika, dan Republik Tiongkok yang diputar ketika itu. Atau, kita bisa sedikit berasumsi bahwa pengetahuannya tumbuh secara organik atau learning by doing. Melalui filem-filem Kwee Zwan Liang, kita bisa melihat ulang-alik pergerakan kamera dari dalam rumah dan keluar rumah, dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dari pusat-pusat pertumbuhan peradaban teknologi sinema saat itu, seperti Batavia, , maupun , hingga ke sebuah desa Djatipiring di Cirebon, Jawa Barat. Filem Kwee Zwan Liang akan membawa kita pada alur jelajah hidup tokoh Kwee Zwan Liang, sebagai tokoh utama pengisah, si sutradara, si kamera, si representasi kenyataan, dan si medium. Dengan kata lain, pada filem-filem itu, tubuh biografis Kwee Zwan Liang dihadirkan sebagai teknologi sinema itu sendiri. Sutradara yang merangkap juru kamera, editor, hingga distributor, juga dilakukan oleh sutradara-sutradara bumiputera yang membuat filem cerita fiksi bioskop saat itu. The Teng Chun, Tan Tjoei Hock, dan Joshua-Othniel Wong, merupakan segelintir sutradara yang membuat filem di masa-masa

[2] Wawancara penulis dengan keluarga Kwee Zwan Liang tanggal 31 Mei 2016. Lihat juga iklan kamera yang dimuat pada surat kabar De Sumatra Post tanggal 6 Desember 1926 yang memuat sebuah iklan kamera film Cine Kodak. Kamera film Cine Kodak menggunakan lensa Zeiss Tessar 4.5 yang diiklankan sebagai teknologi kamera yang ideal dan tepat untuk digunakan di wilayah tropis. Iklan ini dipasang oleh Meijsters Foto-Handel yang berlokasi di Kesawan, Medan Barat (sekarang Jalan Ahmad Yani atau dikenal dengan nama Pecinan).

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 13 pertumbuhan rahim Sinema Indonesia, terutama periode filem bersuara sebelum berkuasanya pemerintahan militer Jepang di Indonesia. The Teng Chun, yang memiliki nama Tachyar Idris ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa, suatu kali memiliki pengalaman membuat filem di Shanghai, Republik Tiongkok. Tan Tjoei Hock, yang lahir di Batavia, belajar membuat filem dari The Teng Chun.3 Sedang Joshua-Othniel Wong tidak sengaja belajar membuat filem di Hollywood ketika mencoba menjemput kakak tertua mereka, Nelson Wong, di Hollywood,4 kemudian mereka juga terlibat menjadi penata kamera dalam filem (1935) dan (1937). Berbeda dengan kelompok sutradara Eropa maupun keturunan Eropa yang membuat filem untuk mendapatkan perhatian penonton kelas atas maupun penonton Eropa, serta bekerja keras berupaya membuat filem yang mendekati estetika sinema Barat, sejak awal membuat filem, kelompok sutradara bumiputera dengan sadar memilih penonton kelas bawah sebagai ruang dan publik distribusi representasi kenyataannya.5 Kecenderungan ini dilihat sebagai strategi yang paling masuk akal. Di masa itu, peralatan dan perlengkapan produksi sinema, pengetahuan sinema, modal produksi, serta sumber daya manusia relatif sangat sedikit. Untuk bersaing dengan filem-filem dari Eropa, Amerika, maupun Republik Tiongkok yang telah lebih dulu membuat filem dan membangun infrastruktur produksi filemnya adalah sesuatu hal yang mustahil. Selama lebih dari dua puluh tahun, penonton mayoritas dari bumiputera yang berasal dari kalangan menengah ke bawah itu telah mengenal sinema sebagai hiburan, drama kehidupan, dan fantasi yang berasal dari kultur asing yang jauh dari keseharian mereka. Tak heran jika kemudian filem-filem yang menceritakan kehidupan mereka dan menampilkan wajah mereka sendiri harus mengalami proses cukup lama sampai akhirnya filem-filem itu diterima. Usaha dari sutradara-sutradara yang membuat filem dengan mandiri dan cenderung menggubakan strategi moda produksi a la ‘rumahan’ ini bukan semata-mata hanya dilihat sebagai persaingan bisnis hiburan sinema atau memberikan pernyataan bahwa orang bumiputera mampu membuat filem saja, tetapi lebih jauh dari itu. Tentang usaha memberikan sudut pandang berbeda dari reproduksi kenyataan yang telah dibentuk sebelumnya oleh filem-filem impor. Kesempatan untuk belajar mengontrol reproduksi kenyataan, termasuk juga belajar menyikapi identitas mereka sendiri di dalam filem, mendorong lahirnya eksperimentasi-eksperimentasi yang tidak berhenti pada gagasan

[3] Wawancara Misbach Yusa Biran dan Salim Said dengan The Teng Chun tanggal 24 Mei 1972. Koleksi Sinematek Indonesia. [4] Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978. Disusun oleh Sinematek Indonesia, 1979. [5] Wawancara Misbach Yusa Biran dan Salim Said dengan The Teng Chun tanggal 24 Mei 1972. Koleksi Sinematek Indonesia. Lihat juga Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan Film Nasional, 1993, hlm. 116 & 120.

14 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] teknis produksi, tetapi juga gagasan bahasa sinema populer yang dapat diterima oleh semua kalangan. Kecenderungan ini dapat dilihat dari filem-filem yang selamat dan masih dapat ditonton sekarang ini. Tiga filem dalam kondisi utuh; Tie Pat Kai Kawin (atau Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet, 1935) disutradarai oleh The Teng Chun, Matjan Berbisik (1940) dan Tengkorak Hidoep (1941) disutradarai oleh Tan Tjoei Hock. Sedang lima filem dalam kondisi tidak utuh; Gagak Item (1939), Roekihati (1940), (1940), dan Koeda Sembrani (1941) disutradarai oleh dua bersaudara Joshua dan Othniel Wong; serta Srigala Item (1941) disutradarai oleh Tan Tjoei Hock. Pameran KULTURSINEMA #3: Menangkap Cahaya mencoba melihat kembali ke sembilan puluh tahun yang lalu, ketika orang-orang bumiputera mulai memberanikan diri membuat representasi kenyataannya sendiri. Bagaimana sutradara-sutradara ini berusaha memberikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat kehidupan sehari-hari, serta mencoba menawarkan identitas diri mereka sendiri di dalam sinema dengan segala macam keterbatasan, mulai dari peralatan dan perlengkapan teknologi sinema, pengetahuan teknologi sinema, modal produksi, dan sumber daya manusia. Pameran ini bekerja sama dengan lembaga arsip filem Sinematek Indonesia dan EYE Film Institute, Belanda, dan didukung oleh Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta, Erasmus Huis. KULTURSINEMA merupakan pameran sinema yang digagas oleh ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival sejak tahun 2014. Pameran yang pada tahun pertama dan kedua penyelenggaraannya diberi nama Peradaban Sinema Dalam Pameran ini mencoba mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan bentuk presentasi sinema dengan menghadirkan isu-isu spesifik yang terinspirasi dari perkembangan kultur dan sejarah kecil sinema di Indonesia, Asia, dan internasional. Pameran ini selalu berupaya melibatkan lembaga-lembaga arsip filem baik yang ada di Indonesia, Asia, maupun internasional di setiap penyelenggaraannya.

j

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 15 curatorial

Kultursinema #3: Capturing the Lights

Mahardika Yudha

The film opens with a scene of a middle aged woman, an adult man and an adult woman, and two boys coming down the stairs. Those five people look at the camera, especially the two boys standing in front of the adults. The adult woman shakes hands with the adult man, the middle aged woman, and lastly the two boys. It is a token of farewell. Stepping away from the house, the adult woman looks at the camera. Another adult woman then enters the frame. She shakes hands with the woman going away. After that, the woman in European clothing style walked toward a car. The camera moves right to follow her movement. The next shot, the adult woman already in the car appears standing together with the family. Then they repeat the shaking hands scene, only with a more prepared camera position. The scene ends with the woman getting in the car. All characters along the scene look at the camera as if indicating the presence of another person: the cameraman. This thirty seconds scene comes from Kwee-Compilatie No. 4 (1926-1931), made by Kwee Zwan Liang (1896-1959), a laboratory head of Djatipiring sugar factory, Cirebon.1 He made films using Cine Kodak that had been mass marketed in Indonesia around mid 1920s.22 Kwee Zwan Liang’s films are pure, raw, or intact records of events, from daily intimate life of Kwee Zwan Liang’s family to people, objects, locations, and social events happening around him during the Dutch colonial era. Today we know such genre as amateur film or home movies, made without the burden of technical knowledge and cinematic history. It tends to be fluid and plays experimentally with angles, production mode, and reality construction just like described in the beginning of this essay.

[1] The author’s interview with Peter Post on June 1, 2016. Forum Lenteng’s Collection. See also Peter Post, The Kwee Home Movies A New Resource for the Study of the Life of the Peranakan Elite in Colonial Java, Chinese Heritage Centre Bulletin, December 4, 2004, p. 6. [2] The author’s interview with Kwee Zwan Liang’s family on May 31, 2016. See also a camera advertisement published in the newspaper De Sumatra Post on December 6, 1926, which was a Cine Kodak camera. This film camera used Zeiss Tessar 4.5 lens and was advertised as the ideal and most appropriate camera in a tropical country. It was an advertisement by Meijsters Foto-Handel located in Kesawan, West Medan (today Ahmad Yani Street, and also known as Pecinan).

16 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] It is unlike the situation of contemporary amateur films production, with wide access of technology and a more established knowledge of cinema. Ninety years ago access to cinematic technology wasn’t as easy as now. Knowledge of cinema was relatively limited. Cinema was a new, foreign technology from a distant land. We may suspect that Kwee Zwan Liang’s cinematic production knowledge comes from books and latest news from Europe and America, upper class socialization, photography experiments, or European, American, and Chinese films played at that time. Or we may assume that his knowledge grew organically, that is learning by doing. Through Kwee Zwan Liang’s films, we can see the back and forth movement of camera from inside and outside the house, from one event to the next, from the centers of cinematic technology development at that time such as Batavia, Surabaya, and Bandung, to a village of Djatipiring in Cirebon, . His films will bring us to his explorations as the main narrator, the filmmaker, the camera, the reality representation, and the medium. In other words, in those films Kwee Zwan Liang’s biographical body is presented as the cinematic technology itself. The filmmaker as cameraman, editor, and distributor simultaneously is a position taken up by indigenous filmmakers who made fiction films for theaters at that time. The Teng Chun, Tan Tjoei Hock, and Joshua-Othniel Wong are few of the filmmakers active during the early growth of Indonesian Cinema, espectially during the period of sound film before the Japanese military rule in Indonesia. The Teng Chun, who was also called Tachyar Idris during the New Order period, once had an experience of filmmaking in Shanghai, the Republic of China. Tan Tjoei Hock, born in Batavia, learned filmmaking from The Teng Chun.3 Joshua-Othniel Wong, meanwhile, learned filmmaking in Hollywood by way of accident when picking up their oldest brother Nelson Wong in Hollywood;4 they were involved as cinematographers in Pareh (1935) and Terang Boelan (1937). Unlike European group of filmmakers, or European descendants, who made films to gain the attention of upper class or European audience, and worked out films to approximate Western cinematic aesthetics, since the beginning native filmmakers group consciously chose the lower class audience as the space and public distribution of their representation of reality.5 This tendency was seen as the most reasonable strategy. At that time, cinematic production equipments

[3] Misbach Yusa Biran’s and Salim Said’s interview with The Teng Chun on May 24, 1972. Sinematek Indonesia’s collection. [4] Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978. Compiled by Sinematek Indonesia, 1979. [5] Misbach Yusa Biran’s and Salim Said’s interview with The Teng Chun on May 14, 1972. Sinematek Indonesia’s collection. See also Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan Film Nasional, 1993, p. 116-120.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 17 and tools, cinematic knowledge, production capital, and the human resources were few. To compete with films of Europe, America, and the Republic of China that had made films and built production infrastructure earlier is impossible. For more than twenty years, the majority of native audience coming from the lower class had known cinema as an entertainment, life drama, and fantasy that came from a foreign culture, far from their daily life. It is no wonder then that films telling their life and presenting their own faces had to undergo a long process to gain acceptance. The effort of filmmakers who wanted to make films independently and were prone to home movies mode of production can’t be seen merely as cinematic entertainment business competition or a statement of native people’s ability to make films, it is much more than that. It was also about an effort to present an alternative point of view of reality reproduction that had been shaped before by imported films. The opportunity to learn to control the reproduction of reality, including how to address their their own identity in film, drives the birth of experimentations that didn’t stop at ideas of production technics but went further for the widespread acceptance of popular cinematic language. This tendency can be seen from the films survived and can be watched today. Three intact films, Tie Pat Kai Kawin (or Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet, 1935) by The Teng Chun, Matjan Berbisik (1940) and Tengkorak Hidoep (1941) by Tan Tjoei Hock. Five films are impaired, Gagak Item (1939), Roekihati (1940), Siti Akbari (1940), and Koeda Sembrani (1941) by the two brothers Joshua and Othniel Wong, and Srigala Item (1941) by Tan Tjoei Hock. The exhibition KULTURSINEMA #3: Capturing the Lights tries to look again at ninety years ago when native people braced themselves to create their own representation of reality; how these filmmakers tried to present different perspectives of daily life and suggest their own identity in all limitedness, from that of technological equipment and tools, cinematic knowledge, production capital, to that of human resources. This exhibition is held with the cooperation of the archival institute Sinematek Indonesia and EYE Film Institute, the Netherlands, and supported by the Dutch cultural center in Jakarta, Erasmus Huis. KULTURSINEMA is a cinematic exhibition initiated by ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival since 2004. This exhibition which in the first and second year was calledCinema Culture in Exhibition (Peradaban Sinema dalam Pameran) tries to explore possibilities of cinematic presentational forms by putting forward specific issues inspired from the cinematic petite histoire and culture in Indonesia, Asia, and the world at large. Each time this exhibition always tries to involve film archiving institutions whether in Indonesia, Asia, and elsewhere.

18 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] REKAMAN-REKAMAN KWEE ZWAN LIANG FOOTAGES OF KWEE ZWAN LIANG Kwee Zwan Liang - 1926-1937, B/W, Silent Collection of EYE Film Instute, The Netherlands

Kwee Zwan Liang bekerja sebagai kepala Kwee Zwan Liang worked as a head of lab at laboratorium pabrik gula Djatti Piring, Djatti Piring sugar factory, Cirebon. He had Cirebon. Ia membuat film sejak pertengahan been making films since 1920s. In addition tahun 1920-an. Selain merekam kehidupan to record his family’s life, Kwee Zwan Liang keluarganya, Kwee Zwan Liang juga also made documentation of environment and mendokumentasikan lingkungan dan social phenomenon around him. Amateur film peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di produced by Kwee Zwan Liang opened up an sekitarnya. Kehadiran filem amatir yang oppurtinity to explore different perspective diproduksi oleh Kwee Zwan Liang membuka about films that recorded private spaces of peluang menjelajah perspektif yang berbeda the which was dominated dari filem-filem amatir yang merekam ranah- by Eurasian amateur filmmakers. ranah privat Hindia-Belanda yang didominasi oleh sutradara amatir Indo-Eropa (mestizo).

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 19 TIE PAT KAI KAWIN (SILOEMAN BABI PERANG SILOEMAN MONJET) THE MARRIAGE OF TIE PAT KAI The Teng Chun - 1935, B/W, with Sound, 42 minutes Collection of Sinematek Indonesia

Filem Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi The Marriage of Tie Pat Kai / Tie Pat Kai Perang Siloeman Monjet) memilih kisah Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman siluman babi Tie Pat Kai sebagai tokoh utama. Monjet) chosed a tale of the pig demon Filem ini penuh dengan gambar-gambar Tie Pat Kai as its protagonist. It was full of fantasi dan trik-trik sinema sederhana. Di fantasy images and simple cinematic tricks. tahun 1930-an, filem-filem fantasi siluman In 1930s, fantasy films about ghost and other dan cerita rakyat Tiongkok lainnya sangat folk tales from China were very popular in populer di Indonesia. The Teng Chun juga Indonesia. The Teng Chun also made some membuat beberapa filem fantasi lainnya fantasy films inspired from the See You series yang terinspirasi dari seri filem See You yang which he imported from Shanghai, China. It diimpor olehnya sendiri dari Shanghai, is the oldest film in the collection of Sinematek Republik Tiongkok. Filem ini merupakan Indonesia. It can be a representative of a filem tertua yang masih tersimpan di period in Indonesian cinema history before Sinematek Indonesia dan filem yang dapat the era of Terang Boelan (1937). mewakili periode sejarah sinema Indonesia sebelum meledaknya Terang Boelan (1937).

20 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] GAGAK ITEM BLACK CROW Joshua Wong & Othniel Wong - 1939, B/W, with Sound, Film excerpt - Full duration unknown Collection of Sinematek Indonesia

Filem ini hanya ditampilkan dua puluh tujuh The footage left of this film which will be menit durasi pertama yang diperoleh dari shown in this exhibition is only the first cakram DVD koleksi Sinematek Indonesia. twenty-seven minutes of its total duration, Tidak diketahui durasi utuh dari filem ini. which was taken from the disc owned by Filem drama kepahlawanan yang dibumbui Sinematek Indonesia. Its total duration is komedi ini dimainkan oleh Rd. Mochtar dan unknown. It’s a drama of heroism embellished , sedang cerita ditulis oleh Saeroen, with comedy. Rd. Mochtar and Roekiah are yang juga penulis cerita filem Terang Boelan. in the roles as the protagonists. The screenplay Terang Boelan effect juga menginspirasi filem was written by Saeroen whom also wrote ini dan menghadirkan sedikitnya empat the screenplay of Terang Boelan. The Terang adegan musikal yang melibatkan komponis Boelan effect also inspired the making of this Hugo Dumas dan penyanyi keroncong Annie film. There was at least four musical scenes Landouw yang tergabung dalam kelompok made by the composer Hugo Dumas and keroncong moderen, . the keroncong singer Annie Landouw, who were the members of Lief Java.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 21 MATJAN BERBISIK THE WHISPERING TIGER Tan Tjoei Hock - 1940, B/W, with Sound, 60 minutes Collection of Sinematek Indonesia

Filem ini diproduksi oleh Action Film, salah It was produced by Action Film, a division of satu divisi di perusahaan Java Industrial Java Industrial Film company which focused Film yang khusus membuat filem-filem on making action films. The screenplay laga. Skenario filem ditulis sendiri oleh was written by the Tan Tjoei Hock. In its sang sutradara, Tan Tjoei Hock. Dalam publication, the film which has Dutch title publikasinya, filem yang memiliki judul dalam De Fluisterende Tijger was intended for all bahasa Belanda, De Fluisterende Tijger ini ages, including children. diperuntukkan bagi semua usia, termasuk anak-anak.

22 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] ROEKIHATI Joshua Wong & Othniel Wong - 1940, B/W, with Sound, Film excerpt - Full duration unknown Collection of Sinematek Indonesia

Roekihati diperankan oleh Roekiah, Roekihati was played by Roekiah, a famous bintang filem terkenal setelah Terang movie star of Terang Boelan (1937). It’s a Boelan (1937). Filem drama rumah tangga household drama of a country girl who moved ini mengisahkan gadis desa yang pindah to the city together with her husband, but then ke kota bersama suaminya dan sang suami her husband cheated on her with a city girl kemudian berselingkuh dengan gadis kota namely Aminah. Roekihati remained faithful bernama Aminah. Roekihati tetap setia until her husband realized his mistake. This sampai akhirnya sang suami sadar akan happy-ending film was a success in the kekeliruannya. Filem yang dicatat berakhir market. Joshua and Othniel Wong was the bahagia ini konon sukses di bioskop. Joshua film directors as well as the cameraman and dan Othniel Wong menjadi sutradara, penata sound editor. This exhibition will only show kamera, dan editor suara. Pameran ini hanya the eight minutes cut of its total duration. memamerkan potongan filem selama delapan menit.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 23 SITI AKBARI Joshua Wong & Othniel Wong - 1940, B/W, with Sound, Film excerpt - Full duration unknown Collection of Sinematek Indonesia

Drama keluarga ini mengisahkan tokoh A drama of Siti Akbari whose marriage is bernama Siti Akbari mengalami kegagalan failed. It’s unknown if the story was similar berumahtangga. Tidak diketahui, apakah with a literature of Lie Kim Hock entitled cerita film ini sama dengan karya sastra Sair Tjerita Siti Akbari published in 1884. Lie Kim Hoek yang berjudul Sair Tjerita This exhibition will only show a six-minute Siti Akbari yang diterbitkan tahun 1884. excerpts of the film of the total duration, Pameran ini hanya menampilkan potongan which is taken from the compilation of filem berdurasi enam menit yang berasal Remembrance of Roekiah / Kenang-Kenangan dari kompilasi ‘Kenang-Kenangan Roekiah’. Roekiah. The complete version of this film Tidak diketahui keberadaan filem Siti Akbari is unknown. versi lengkap.

24 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] TENGKORAK HIDOEP THE LIVING SKULL Tan Tjoei Hock - 1941, B/W, with Sound, 47 minutes Collection of Sinematek Indonesia

Menurut Armijn Pane, filem Tengkorak Armijn Pane said that The Living Skull / Hidoep terinspirasi dari jungle-film seperti Tengkorak Hidoep was inspired from a jungle Tarzan, serta filem horor seperti Dracula. film genre, like Tarzan, as well as a horror Namun disesuaikan dengan kehidupan film such as Dracula. However, it’s adjusted Indonesia. Hal ini terlihat dari kemunculan with Indonesian daily life. We can track this cerita mistik, reinkarnasi, dan hal-hal yang from the emerging of mystical story and bersifat gaib, serta terinspirasi dari Hawaiian reincarnation theme in the film as well as film yang populer di Hindia-Belanda akhir inspired from Hawaiian film that was popular 30-an. Filem horor ini ditulis sendiri oleh in the Dutch East Indies in the end of 1930s. sang sutradara dan menjadi filem terakhir This horror film was written by Tan Tjoei yang dibuat Tan Tjoei Hock. Hock himself and was his last film.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 25 SRIGALA ITEM THE BLACK WOLF Tan Tjoei Hock - 1941, B/W, with Sound, Film excerpt - Full duration 87 minutes Collection of Sinematek Indonesia

Judul bahasa Belanda-nya De Zwarte Wolf. Its Dutch title is De Zwarte Wolf. It was Diputar tidak hanya di bioskop-bioskop screened not only for lower class audiences, but bagi penonton kalangan kelas bawah, tetapi also in upper-class cinema, like Cinema Palace juga diputar di bioskop-bioskop kelas atas and Princess. This film was inpsired from seperti Cinema Palace dan Princess. Filem the story of Zorro that had been premiered ini terinspirasi dari cerita Zorro yang telah in Dutch East Indies in the mid 1920s. The dibuat filem dan ditayangkan di Hindia- process of its production was different with Belanda pada tahun 20-an. Berbeda dengan other Tan Tjoei Hock’s films, because the filem-filem lain yang disutradarai Tan Tjoei cameraman was The Teng Gan, The Teng Hock yang juga memegang kamera, penata Chun’s brother. This exhibition will only kamera filem ini dipegang oleh The Teng showcase an excerpt of the first thirty-eight Gan, adik The Teng Chun. Pameran ini minutes of its total duration. hanya memamerkan potongan filem Srigala Item selama 38 menit awal dan durasi utuh filem adalah 87 menit.

26 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] KOEDA SEMBRANI THE PEGASUS Joshua Wong & Othniel Wong - 1940, B/W, with Sound, Film excerpt - Full duration unknown Collection of Sinematek Indonesia

Pameran ini hanya memamerkan potongan This exhibition only shows a six-minute filem Koeda Sembrani selama enam menit. excerpt of The Pegasus / Koeda Sembrani. In Pada November 2011, filem ini hanya November 2011, this film was only stored tersimpan dalam format 16mm dan tercatat in the 16mm version, with broken condition dalam kondisi rusak berat dan tidak lengkap.1 and incomplete.1 It was produced just before Filem ini diproduksi menjelang pecahnya the Pacific War in Indonesia and screened in Perang Pasifik di Indonesia dan mulai diputar 1943 for the first time.The Pegasus / Koeda di bioskop tahun 1943. Koeda Sembrani Sembrani adapted the tale of 1001 Nights mengadaptasi dongeng Seribu Satu Malam that often appeared in repertoire of stambul yang banyak muncul dalam repertoire komedi comedy (Istanbul comedy). stambul.

[1] Arie Kartikasari, Catatan dari Ruang Penyimpanan Film Sinematek Indonesia - [1] *Arie Kartikasari, Notes from the Film Hanya 14 Persen yang Tersimpan dan dalam Storage of Sinematek Indonesia – Only 14 percent Kondisi Memprihatinkan, Lewat Djam Malam was stored in poor condition, Lewat Djam Malam Diselamatkan, Sahabat Sinematek, 2011. Diselamatkan, Sahabat Sinematek, 2011.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 27 SI THE MISTRESS

- 2016, B/W & Color, with Sound, Loop Sejarah Sinema Kecil Indonesia

Di masa-masa awal produksi filem di In the first period of film production in Indonesia, karya sastra moderen merupakan Indonesia, modern literature was the main sumber inspirasi untuk difilemkan. Salah source of inspiration for film. One of them satunya adalah N jai Dasima yang dibuat oleh were N jai Dasima by Gijsbert Francis (1896). Gijsbert Francis di tahun 1896. Lie Tek Swie Lie Tek Swie made the film N jai Dasima, membuat filem N jai Dasima yang dipecah he divided it into two parts (1929 and 1930). menjadi dua bagian (1929 dan 1930). Filem This film was success in the market. A critic ini konon laris di bioskop. Kritikus Kwee Tek Kwee Tek Hoay made a review about N jai Hoay pun membuat tulisan kritik terhadap Dasima. The Mistress / Si N jai was inspired filem ini. Si N jai terinspirasi dari kritik filem from the review of Kwee Tek Hoay on Lie Kwee Tek Hoay tentang filemN jai Dasima Tek Swie’s N jai Dasima. This film tried to yang dibuat Lie Tek Swie. Melalui tulisan envision an imagination of an unknown film. kritik itulah karya ini mencoba berimajinasi tentang sebuah filem yang tidak diketahui keberadaannya.

28 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] The Teng Chun (1902-1977)

Filem pertamanya dibuat ketika ia di Shanghai saat menjadi kurator filem bagi perusahaan impor filem milik ayahnya. Ia adalah sutradara yang paling produktif di masa sebelum merdeka. Ia membangun studio filem moderen, laboratorium filem, menyediakan teknologi sinema mutakhir, membuat jurnal filem, serta melibatkan orang-orang bumiputera berkolaborasi membuat filem.

He made his first film when he was in Shanghai when he became a film curator for an import company owned by his father. He was the most productive filmmaker in the period before independence. He built a modern film studio, film laboratory, providing cutting-edge cinema technology, making a film journal, as well as involving people of bumiputera to collaborate in filmmaking process.

Joshua Wong (1906-1981) & Othniel Wong (1908-1986)

Di masa pemerintahan Orde Baru, keluarga Wong ini mengubah nama keluarganya menjadi Wijaya. Pasca kolaborasi dengan dan membuat filem Pareh (1936) dan Terang Boelan (1937), mereka kemudian membuat filem mereka sendiri bersama perusahaan yang dibuatnya dengan Tan Khoen Hian, Tan’s Film, sejak tahun 1938.

In the New Order era, Wong family changed their surname to Wijaya. After their collaboration with Albert Balink and Mannus Franken making Pareh (1936) and Terang Boelan (1937), they then made their own films with a company that they established together with Khoen Hian Tan, Tan’s film, since 1938.

Tan Tjoei Hock (1908-1984)

Tan Tjoei Hock lahir di Batavia. Pertemuannya dengan The Teng Chun mendorongnya terjun ke dunia filem. Ia memimpin salah satu unit perusahaan Java Industrial Film, Action Films, yang khusus membuat filem-filem laga. Sutradara, yang memiliki nama Tanu Trh. di masa berkuasanya pemerintahan Orde Baru, ini membuat delapan filem selama dua tahun (1940-1941).

Tan Tjoei Hock was born in Batavia. His encounter with The Teng Chun encouraged him into the film world. He led one unit of Java Industrial Films’s enterprises, Action Films, which were specially made action movie. A director whose name was Tanu Trh. in the reign of the New Order regim Tanu Trh. made eight films for two years (1940-1941).

Kwee Zwan Liang (1896-1959)

Sejak remaja ia menyukai fotografi dan teknologi-teknologi Barat lainnya, seperti mobil. Tahun 1914, ia mengunjungi Koloniale Tentoonstelling di Semarang yang memamerkan beberapa teknologi terbaru Eropa, salah satunya kamera filem. Sehari-harinya sebagai kepala laboratorium pabrik gula Djatti Piring, Cirebon. Ia mulai membuat filem setelah kamera filem rumahan dipasarkan secara massal di tahun 1920-an.

Since a teenager, he liked photography and other Western technologies, such as cars. In 1914, he visited Koloniale Tentoonstelling in Semarang that showcased some of the latest technology of Europe, one of which film camera. He was the laboratory head of the Djatti Plates, a sugar factory in Cirebon. He began making film in the post-1920s when the home cameras were massively marketed.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 29 [atas] Iklan kamera filem Cine Kodak 16mm. Terjemahan teks pada iklan: Cine Kodak dan Kodascope. Hasil yang gemilang. Untuk kenangan baik selanjutnya. Sumber/Source: De Sumatra post, 20 Juni 1927

[kanan] Iklan kamera dan perlengkapan membuat filem Cine Kodak untuk pembuat filem amatir Terjemahan teks pada iklan: Tahukah Anda bahwa peralatan lengkap untuk membuat dan melakukan shooting hanya seharga 420 gulden. Sumber/Source: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 5 April 1928

19-25 AUGUST 2016 / 13.00 - 21.00 WIB / HALL A4 - GUDANG SARINAH EKOSISTEM

[1] [6] Kamu Melihatku, Kami Melihatmu. You Look at Pabrik Gula Djatti Piring, Cirebon. Djatti Piring Me, We Are Watching You (1926-1935), Kwee Sugar Factory, Cirebon (1927-1931), Kwee Zwan Liang Zwan Liang [2] [7] Dari Kraton Solo untuk Gubernur. From Solo Royal to Pemakaman Kapitan Njoo Swie Lian. The Funeral Governor (August 31, 1929), Kwee Zwan Liang of Kapitan Njoo Swie Lian (1930), Kwee Zwan Perayaan Pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Liang Bernhard di Bandung. Princess Juliana and Berziarah. Pilgrimage (1930), Kwee Zwan Liang Prince Bernhard Wedding Celebrations in Bandung [8] (January 7, 1937), Kwee Zwan Liang Indonesia Molek. Beautiful Indonesia (1929-1931), Parade Kavaleri di Salatiga. Cavalerie Parade in Kwee Zwan Liang Salatiga (August 31, 1929), Kwee Zwan Liang [9] Raja Prajadhipok (Raja Rama VII) dari Siam Anak Anak Bermain. Children Playing (1926-1931), Berkunjung ke Djatti Piring. King Prajadhipok Kwee Zwan Liang (King Rama VII) from Siam Visit Djatti Piring [10] (August 31, 1929), Kwee Zwan Liang Kutipan wawancara The Teng Chun (Tahyar Idris) [3] oleh Salim Said dan Misbach Yusa Biran. Tenis. Tennis (1930-1931), Kwee Zwan Liang Excerpt from The Teng Chun (Tahyar Idris) Balap Kuda di Bandung. Horse Racing in Bandung interview by Salim Said and Misbach Yusa Biran (1933), Kwee Zwan Liang (May 24th, 1971) Pacuan Kuda, Balap Motor, dan Lompat Rintangan [11-12] di Malang. Horse Racing, Motorcycle Racing, Kutipan Kutipan. Quotes and Show Jumping in Malang (1934), Kwee [13] Zwan Liang Matjan Berbisik (1940), Tan Tjoei Hock Berburu di Indramayu. Hunting in Indramayu (1930- [14] 1931), Kwee Zwan Liang Roekihati (1940), Joshua Wong dan Othniel Wong [4] Siti Akbari (1940), Joshua Wong dan Othniel Wong Kota Kota. Cities (1929), Kwee Zwan Liang [15] Surabaya Fair (1931), Tan Sik Hie Si Njai (2016), Sejarah Sinema Kecil Indonesia Pekan Raya Pasar Gambir. Gambir Fair (1935), [16] Kwee Zwan Liang Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman [5] Monjet) (1935), The Teng Chun Kapal Kapal dan Laut. Ships and The Sea (1929), Tengkorak Hidoep (1941), Tan Tjoei Hock Kwee Zwan Liang Koeda Sembrani (1942), Joshua Wong dan Othniel Laju Kereta Api. Velocity of Train (1927-1931), Kwee Wong Zwan Liang [17] Cadillacs + Marmon 78 (1927-1929), Kwee Zwan Gagak Item (1939), Joshua Wong dan Othniel Wong Liang Srigala Item (1941), Tan Tjoei Hock

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 33 Park Lanes: Simulasi Kecil Kebudayaan di Ruang Besar Peradaban kuratorial

Park Lanes: Simulasi Kecil Kebudayaan di Ruang Besar Peradaban

Otty Widasari

8 Jam Kerja. Bagi saya, pengalaman selama delapan jam menyaksikan bagaimana para buruh bekerja penuh waktu dalam sehari sesuai hitungan kesepakatan internasional, di dalam sebuah bangsal kerja besar yang menyerupai pabrik, dalam bingkaian filem, bukanlah pengalaman menonton biasa. Saya serasa ‘dipaksa’ untuk menjadi saksi bagaimana salah satu bagian dari peradaban diproduksi melalui detil-detil yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Kamera mengikuti sosok-sosok para pekerja, mulai dari pagi buta mereka datang dan menggesek kartu absensi, lalu menikmati kopi pagi saat masih mengantuk untuk bisa mulai bersiap kerja. Kemudian para pekerja tersebut mengerjakan semua pekerjaannya, yang membawa saya untuk tahu partikel terkecil dari sebuah mesin yang dirangkai satu persatu hingga menjadi rangkaian yang lebih besar lagi, lebih besar lagi. Lalu ada jeda percakapan coffee break, kembali bekerja, diselingi kembali dengan percakapan hangat di saat makan siang, kembali menghabiskan sisa jam kerja, hingga akhirnya pulang. Saya tidak bisa langsung memutuskan apakah ini sebuah filem yang menarik untuk ditonton, mengingat durasi 8 jam bagi seseorang di dunia dinamis yang penuh hiburan ini harus menghabiskan sepertiga waktunya dalam sehari semalam demi menyaksikan sebuah situasi para buruh menghabiskan sepertiga waktunya dalam sehari kehidupan mereka setiap harinya. Muncul pertanyaan

36 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] di benak saya, apakah penting menontonnya? Pertanyaan kemudian beranak menjadi: untuk apa seorang pembuat filem menyajikan hal semacam ini di dalam skena kebudayaan? Saya sering membayangkan bahwa manusia menjalankan kehidupan dengan terdireksi mengikuti alur, sebagai partikel terkecil dalam sebuah bangunan maha besar peradaban. Manusia melihat materi di sekelilingnya dari beberapa sudut yang kebanyakan memberinya perspektif tentang hal-hal fungsional. Sudut tersebut memberi manusia—dalam lingkup masyarakat—sebuah peran untuk memiliki partisipasi dalam kebudayaan global. Manusia seperti tidak pernah tahu apakah sudut itu merupakan sebuah jebakan yang tercipta sejak berabad lamanya karena peradaban sudah dibangun sedemikian rupa. Atau mungkin sebaliknya, sudut tersebut merupakan sebuah ruang yang memang harus diisi demi keberlangsungan peran-peran dalam peradaban. Tidak seperti bayangan saya tentang ruang-ruang dalam sebuah pabrik yang tersekat-sekat, para pekerja dalam filem ini mengerjakan semua partikel kecil dengan sentuhan tangan mereka di tiap-tiap sudut bangsal besar. Mur dan baut-baut kecil dipasang satu persatu secara manual untuk menyambungkan lempengan besi kecil dengan lempengan besi besar. Dilubangi dengan bor mesin dan obeng mesin yang mengencangkannya. Lalu juga disajikan rekaman- rekaman gambar kerja mesin yang dioperasikan oleh manusia, juga bahkan beberapa mesin robotik yang memiliki fungsi energi yang lebih besar. Cukup mencengangkan bagi saya tetap bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana sentuhan tangan manusia berperan besar. Saya merasa mendapatkan hak istimewa untuk melihat sajian yang selama ini tidak pernah terbayangkan oleh saya tentang sebuah produksi peradaban. Dalam filem ini saya tidak menemukan bentuk besar yang sesungguhnya dari sebuah bangunan naratif filem. Melalui perangkaian tiap partikel terkecil yang kemudian membesar itu kepala saya diberi peluang untuk membayangkan sebuah konstruksi imajiner demi memahami bagaimana kerja sebuah mesin. Pengalaman terpenting menyaksikan adegan ini adalah terungkapnya detil- detil tersebut dan bagaimana peranan kemanusiaan masih sangat besar, yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Sebagai contoh: Saat pertama menyaksikan bagaimana seorang pekerja perempuan sedang menghaluskan lubang sebuah lempengan pelat besi dengan bor mesin lalu memasukkan sebuah baut ke lubang, saya merasakan hal itu sebagai hal biasa saja, karena sudah ada bayangan yang mapan tentang kerja mesin yang bersifat mekanis di kepala saya. Namun yang terjadi selanjutnya adalah, saat pemasangan itu tidak mulus, ternyata si perempuan pekerja mengambil palu dan mengetukkan baut secara manual untuk memudahkan kerjanya. Di sini saya jadi berpikir lain tentang kerja besar sebuah mesin produksi. Konstruksi di kepala saya langsung buyar tentang sifat mekanis sebuah sistem produksi, tersadar bahwa hubungan mesin dan manusia masih sangat organik dalam sistem peradaban modern.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 37 Mereka Yang Mengerjakan Detil Tak Terlihat Adalah Mereka Yang Bercakap-cakap di Tengah Kesibukan Bekerja. Lalu, saya jadi penasaran, siapakah manusia-manusia yang mengerjakan detil- detil tak terlihat tersebut? Apakah mereka bekerja dengan kesadaran akan posisi partikel-partikel kecil tersebut dalam peradaban masyarakat-manusia? Atau mereka hanya sekedar menjadi partikel saja dalam sistem peradaban tersebut? Akhirnya saya mulai mengenali sosok-sosok yang dibingkai oleh sang sutradara. Mereka jelas teridentifikasi lewat apa pekerjaan mereka yang bisa saya rujuk sebagai warga Amerika kelas pekerja. Kumpulan ini didominasi oleh warga keturunan Afrika-Amerika (di sepanjang filem sang sutradara lebih fokus menyoroti para pekerja keturunan Afrika-Amerika, yang saya asumsikan sebagai kepedulian si sutradara yang memang selalu mengangkat isu tentang kehidupan kelas pekerja warga keturunan Afrika-Amerika). Ada juga sekelompok warga keturunan Asia, dan beberapa warga Amerika berkulit putih. Saya tidak akan membahas persoalan situasi warga keturunan di Amerika, karena, selain saya tidak punya referensi untuk bicara soal itu, juga karena bukan itu yang menjadi persoalan yang saya baca dalam filem ini. Yang sungguh terbaca melalui sudut saya di Jakarta sini, bagaimana hubungan antar sesama manusia, hubungan antar manusia dengan mesin, dan hubungan antar manusia dengan situasi sebuah lokasi yang menjadi representasi lokasi yang lebih besar lagi, yaitu lokasi peradaban yang bersinggungan dengan kebudayaan masyarakat-manusia. Dalam perekaman, saya membayangkan si sutradara tentu memiliki lebih dari delapan jam materi rekaman. Logikanya begini: Filem ini memberikan gambaran realtime dalam sebuah proyek pembangunan menyerupai pabrik selama delapan jam penuh durasi kerja para buruh. Intinya dia merekam sepanjang delapan jam semua kegiatan di sana. Namun dalam prosesnya, si sutradara memiliki beberapa asisten yang merekam di tempat yang berbeda- beda, dengan beberapa kamera. Pastinya hasil perekaman itu bisa mencapai lebih dari sepuluh jam materi rekaman. Mungkin lebih dari limabelas jam, bahkan mungkin lebih dari duapuluh jam. Lalu filem ini disajikan selama delapan jam sesuai dengan durasi kerja tersebut, melalui proses penyuntingan. Hasil penyuntingan yang ditetapkan sebagai filem utuh inilah yang saya tonton dan baca. Apa yang tersaji melalui bingkai demi bingkai yang dijalin menjadi sebuah konstruksi filem memberikan semua gambaran produksi besar sebuah proyek pembangunan. Dalam percakapan minum kopi pagi buta diperlihatkan: bagaimana para pekerja saling menyapa “selamat pagi”; perbincangan biasa seputar hidangan kopi penghilang kantuk untuk siap bekeja di hari itu; keluh kesah tentang betapa saat bangun pagi, seorang pekerja mengira saat itu sudah hari Kamis (yang mungkin merupakan harapan mendekati akhir pekan, atau mungkin harapan mendekati hari pembayaran) dan … oh, ternyata masih hari Rabu;

38 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] ucapan “semoga Tuhan memberkati” kepada seseorang yang bersin; … dan seterusnya. Sebuah gambaran umum tentang hubungan kekerabatan dalam sebuah lokasi yang disatukan oleh hubungan peran-peran kerja. Bisa juga ini memberikan sebuah gambaran sederhana tentang satu pembuka hari dalam kehidupan kelas pekerja di Amerika. Salah seorang pekerja perempuan melontarkan kabar bahwa dia sekarang sudah memiliki akun di bank dan sedang menunggu kartu debitnya selesai diterbitkan. Kabar tersebut mengundang sambutan “wow” dari temannya, seolah-olah memiliki akun bank adalah hal yang tidak terlalu umum di kalangan mereka. Jika kita memandang heran bahwa memiliki akun bank adalah hal yang sudah sangat lazim, maka kita kembali pada pembahasan tentang bagaimana manusia menjalankan kehidupan dengan terdireksi mengikuti alur, sebagai partikel terkecil dalam sebuah bangunan maha besar paradaban, yang melihat materi di sekelilingnya dari sudut perspektif fungsional. Demikianlah, Yang memberi mereka peran untuk memiliki partisipasi dalam kebudayaan global Pemilihan adegan percakapan ini, saya lihat setara dengan pemilihan percakapan di tengah-tengah kesibukan bekerja tentang kencan semalam, atau obrolan bersemangat tentang pemain baru dalam turnamen NCAA di televisi, juga tentang aplikasi media sosial di telepon genggam masing-masing pekerja. Kumpulan adegan itu ditaruh saling bersisian dengan proses kerja itu sendiri, juga dengan mobilisasi materi produksi lokasi tersebut. Gambar- gambar itu disusun saling berurutan sesuai durasi waktu kerja. Posisi bersisian dan berurutan ini terbaca oleh saya sebagai gambaran relasi manusia dengan mesin, manusia dengan manusia, dan manusia dengan peradaban.

Simulasi Kebudayaan Anggaplah kita sudah bisa mengasumsikan cara kerja sebuah perangkat keras yang digerakkan oleh mesin. Namun bagi saya tetap saja menakjubkan melihat bagaimana perangkat tersebut bisa bekerja dengan pasti untuk melayani kebutuhan manusia, dan terlebih lagi mengetahui bagaimana benda itu tercipta. Saya hampir melupakan kepenasaranan saya sebelumnya tentang apa sebenarnya semua ini, hingga sampai pada sebuah adegan: Seorang pekerja mengerjakan satu persatu partikel-partikel kecil. Menyambungnya, mengebor, mengencangkan, memasangkannya dengan bagian lain, hingga menjadi sebuah alat berbentuk memanjang yang memiliki bagian yang bisa bergerak ke kanan dan ke kiri dan memiliki fungsi melontarkan benda. Saya tidak lagi memikirkan benda apa yang akan dilontarkan tersebut. Namun tiba-tida mata saya terfokus pada sebuah obyek yang menjadi latar belakang adegan tersebut: sebuah pin bowling! Ijinkan saya menyampaikan sedikit pandangan yang lebih pribadi di sini, bahwa hal yang paling indah saat melihat bingkai demi bingkai dari sebuah produksi filem dokumenter adalah, di mana kesatuan obyek yang tersusun

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 39 secara tidak diarahkan (layaknya dalam filem fiksi) dalam satu bingkaian, bisa menghasilkan sebuah narasi yang bisa dibaca dari berbagai perspektif. Tiap obyek yang tertangkap dalam satu bingkai gambar, sekalipun dia berada dalam posisi latar belakang obyek utama, sekalipun dia terlihat kabur dan hanya mengisi sebidang kecil dari keseluruhan bingkai, dia tetap memiliki logika naratif yang bisa menghasilkan sebuah narasi tentang isu apapun. Obyek- obyek bukan utama ini secara sastraik menjadi teks atau tanda baca manapun yang memberikan gambaran utuh atau identifikasi tentang lokasi, waktu, bahkan aspek sosial-politik-budaya-ekonomi atau apapun. Mengingatkan saya pada obyek-obyek bukan utama dalam berbagai bingkaian karya-karya Neo Realisme Italia di masa pasca Perang Dunia ke-2. Sebentuk pin bowling langsung membuka semua katup penutup yang menyembunyikan bentuk asli dari rangkaian alat yang digerakkan oleh mesin, yang disambung oleh mur-mur dan baut-baut, yang dilas, dibor, disemprot, dan dirangkai. Ketersingkapan ini terjadi di menit ke 343. Artinya saya baru menemukan bahwa semua yang selama ini saya saksikan adalah pembangunan sebuah bowling center, setelah membelalakkan mata selama 5 jam 43 menit. Bowling bukan hanya sebuah cabang olahraga, tapi juga dianggap sebagai permainan yang berfungsi melepas penat. Kabarnya ditemukan di Mesir berabad lalu, dikenal sebagai permainan di dataran Eropa yang kemudian menjadi simbol bangsawan dan status sosial, lalu dipopulerkan di Amerika sejak 1895 dengan dibentuknya America Bowling Congress (ABC) yang mengatur menjadi permainan resmi. Sebagaimana diketahui dalam perkembangan kebudayaan masyarakat, apapun bisa menjadi populer dan menghibur. Bowling center kemudian berkembang menjadi pusat rekreasi dan tempat nongkrong bagi masyarakat, karena sifat permainannya yang menyenangkan, rekreatif dan daianggap bisa melepaskan stress setelah masyarakat terbebani oleh kerja. Juga dianggap sebagai tempat berkualitas untuk mempererat keakraban pertemanan dan kekeluargaan karena umumnya menyediakan fasilitas pendukung. Maka bowling center menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat di negara tertentu. Dalam konteks yang luas, pemahaman tentang peradaban merujuk pada seluruh atau tingkatan pecapaian manusia dan penyebarannya, juga merupakan upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Peradaban selalu terkait dengan sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Maka sebuah bowling center bisa mejadi ikon dari kebudayaan masyarakat di suatu lokasi. Sebuah penggalagan pekerja yang intensif untuk menggerakkan mesin produksi secara besar-besaran pun dianggap perlu, demi menyokong taraf kualitas hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan. Dan kebudayaan yang ini adalah salah satu partikel kecil dari sebuah peradaban. Sekarang saya mengimajinasikan sebuah bangunan besar yang saya namakan peradaban, lalu saya melakukan pembesaran terhadap gambaran

40 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] itu dengan memasuki bangunan tersebut, maka saya bertemu dengan tiang- tiang pendukungnya. Juga bertemu dengan mesin-mesin penggeraknya. Lalu saya masuk ke salah satu ruang yang bernama kebudayaan. Di dalamnya saya menemukan mesin-mesin yang lebih kecil terus bekerja secara simultan. Saya lalu membongkar sebuah mesin yang bernama bowling center, yang mana di dalamnya kembali saya menemukan mesin-mesin yang ukurannya lebih kecil lagi. Di balik mesin-mesin tersebut saya bertemu dengan orang-orang yang mengoperasikan kerja mesin. Mereka menggunakan tangan dan kemanusiaan mereka untuk membuat keseluruhan proses berjalan. Kurang lebih demikianlah filem ini dibuat. Sang sutradara tidak memberikan gambaran utuh tentang bangunan besar peradaban tersebut. Dia memberikan kepingan kecil saja, karena menurut teori saya di atas, bahwa manusia adalah “pemakai” sejati telah terjebak dalam perspektif fungsional. Seperti Sisifus yang mendapat hukuman menggelindingkan batu besar ke atas bukit secara berulang lalu menjatuhkannya kkembali ke bawah, terus menerus. Seperti simbol tenaga kerja dan keahlian-keahlian yang terlibat dalam pembangunan, yang melambangkan absurditas kehidupan manusia. Walaupun Albert Camus juga menggambarkan secara menyenangkan bahwa absudrditas itu bukan hanya sekedar pekerjaan sia-sia melainkan perjuangan itu sendiri menuju ketinggian yang memadai untuk mengisi hati manusia. Seperti bola besar yang digelindingkan pemain bowling di sepanjang jalur (lane) untuk merubuhkan sepuluh pin yang disusun dalam komposisi segitiga. Tak seorangpun yang menyentuh pin-pin bowling tersebut selain perangkat mesin yang akan menyusunnya kembali untuk kembali dirubuhkan. Kegembiraan merayakan absurditas kehidupan manusia digambarkan dalam filem ini dengan tidak menjadikan manusia-manusia di dalamnya sebagai obyek, melainkan subyek dari peradaban. Mereka bercakap penuh canda dalam jeda kerja di kantin saat makan siang, sambil menonton pertandingan basket NCAA (turnamen bola basket tingkat mahasiswa antar universitas) di televisi. Salah seorang pekerja berkata bahwa jam 1 siang ini akan ada turnamen menarik, namun dia harus bekerja. Lalu berkelakar, bisa saja sekarang adalah debutnya bermain dalam turnamen. Kemudian pekerja yang lain berkata ke arah kamera (tepatnya ke arah si sutradara, yang saya ketahui adalah seorang professor di jurusan Seni Rupa di University of Virgina di Charlottesville, Virginia), “Tubuhmu tinggi dan besar, apakah kamu bisa nombok (memasukkan bola ke ring basket)?” Percakapan selanjutnya dalam bingkaian adegan tersebut berjalan tiga arah antara para pekerja, dan kamera, tentang seharusnya si sutradara bermain di turnamen NCAA karena dia dari Universitas Virginia. Berlanjut pada kelakar menggoda sutradara yang mereka anggap lebih baik bermain basket bersama mereka dari pada terus menerus menyuruh mereka beraksi di depan kamera. Dialektika tentang obyek-subyek saya lihat sebagai penjalinan hubungan antara filem dengan audiensnya, membangunkan penonton untuk

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 41 kembali ke realitas sebenarnya yang selama berjam-jam ditransmisikan oleh kenyataan filem sebagai sebuah konstruksi. Kalau sebelumnya saya melempar pertanyaan apakah filem ini penting untuk ditonton, dan untuk apa seorang pembuat filem menyajikan filem semacam ini ke dalam skena kebudayaan, maka sekarang saya memahaminya sebagai sebuah kerja antropologis yang melihat hubungan antara kebudayaan dengan manusia. Seperti mesin dan bangunan besar yang tidak pernah saya lihat wujudnya dalam filem ini, kebudayaan dalam peradaban tidak digambarkan secara utuh sebagai sebuah bangunan, melainkan melalui fragmen-fragmen kecil yang disatukan oleh filem itu sendiri melalui perekaman dan montase filem. Montase itu sendiri dibangun dengan pemilihan visual yang figuratif, performatif, juga dengan kesadaran bentuk yang membangun rasa tiga dimensi dalam filem. Sepertinya memang tidak ada pola yang pasti dalam aksi perekamannya. Seolah ada banyak gaya pengambilan gambar. Namun sesungguhnya perihal pengambilan gambar tersebutlah yang merupakan aksi penyusunan bentuk besar dari bangunan filem ini secara utuh. Durasi delapan jam seperti disuguhi dengan paksa kepada penonton untuk bagaimana kita harus menyaksikan delapan jam para buruh bekerja. Namun delapan jam adalah waktu yang sangat representatif untuk memberikan gambaran utuh tentang bagaiamana sebuah sistem dibentuk, melalui gambaran durasi normal kesepakatan umum tentang jam kerja.

* * *

Park Lanes (2015) karya sutradara Amerika Kevin Jerome Everson adalah kerja riset tentang bagaimana kerja kamera dalam merekam satu simulasi kebudayaan yang mewakili kebudayaan masyarakat di sebuah lokasi peradaban tertentu. Dan filem ini ditutup dengan sekelompok kecil pekerja yang berjalan bersama keluar dari gedung bowling center yang sedang dibangun. Mereka berkata pada seseorang di balik kamera bahwa ini adalah hari paling menyenangkan dalam kerja mereka karena ditemani oleh kamera, dan berkelakar tentang pose-pose yang cocok dalam pengalaman pertama mereka di hadapan kamera. Mereka bilang, yang paling cocok bagi mereka adalah bergaya dengan gestur tubuh seperti seorang rapper Afrika-Amerika. Lalu mereka menggerakkan tubuh a la rapper sambil menggesekkan kartu absensi mereka ke mesin yang tertempel di dinding.

Jakarta, 5 Agustus 2016

42 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] curatorial

Park Lanes: Small Simulation of Culture in the Great Room of Civilization

Otty Widasari

8 Working Hours. For me, the eight-hour experience to see how the labor worked full-time in a day in accordance with the international agreement, in a big working ward that resembled a factory, in a movie frame, was not an ordinary viewing experience. I felt ‘forced’ to witness how one part of the civilization was produced through the details that I had never seen before. The camera followed the figures of the workers, from the early hours of the morning when they came and swiped their attendance cards, and then enjoyed their morning coffee while they were still sleepy so they could be ready for work. Then the workers did all their jobs, which let me know about a machine’s smallest particle that was assembled one by one until it became a bigger and bigger set. Then there was a coffee break conversation, and then they got back to work, interrupted again by warm conversation at lunch, and then they got to spend the rest of the working hours, and finally went home. I could not immediately decide whether this was an interesting movie to watch, given its 8-hours duration. Someone in this dynamic world full of entertainment had to spend a third of their time in a day and night in order to watch a situation of the workers who spent a third of their time in their daily lives every day. A question arose in my mind, was it important to watch it? The question then raised a new question: for what did a filmmaker present this sort of thing in the cultural scene? I often imagined that a human being lived a life by directed to follow the plot, as the smallest particle in an enormous building of civilization. People saw the material around them from several angles which mostly gave them perspective on functional things. These angles gave a human-within the community-a role to participate in the global culture. It seemed that a

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 43 human never knew whether those angles were a trap that had been created for centuries because civilization had been built in such a way. Or maybe, on the contrary, those angles were a space that had to be filled for the continuation of roles in civilization. Unlike my imagination about the spaces that were partitioned in a factory, the workers in this film did all the small particles with the touch of their hands in every corner of the big ward. The small nuts and bolts were screwed one by one manually to fasten the small and large iron plates together. They were bored with the electric drill and were tightened with the electric screwdriver. Then, the image recordings of the work of the machines operated by humans were also presented, even some robotic machines that had bigger energy function. It was quite surprising for me to still be able to see clearly how the touch of human’s hands played a major role. I felt privileged to watch a presentation about a civilization production that had never been imagined by me. In this movie I did not find the real big form of a building of the movie narrative. Through that assembling of each smallest particle which then became large my head was given an opportunity to imagine an imaginary construction in order to understand how a machine worked. The most important experience in witnessing this scene was the disclosure of the details and how the role of humanity was still very big, which I had never known before. For example: When I first saw how a female worker was smoothing a hole of an iron plate with an electric drill and then inserting a bolt into the hole, I felt that it was a common thing, because there was already an established image of the mechanical work of the machine in my head I. But what happened next was, when the installation did not run smoothly, the female worker took a hammer and hit the bolt with it manually to make her work easy. Here I got to think different about the big work of a production machine. The construction in my head about the mechanical nature of a system of production immediately shattered, realizing that the relation between machine and human was still very organic in the system of modern civilization.

Those Who Did the Unseen Detail Were The Ones Who Had a Conversation in the Middle of Work. Then, I wondered, who were the human beings who did those unseen details? Did they work with an awareness of the position of those small particles in the civilization of society-human? Or did they just become particles in that system of the civilization? Finally I began to recognize the figures framed by the director. They were clearly identified through their works and I could refer to them as the working class Americans. This group was dominated by African-Americans (throughout the film the director focused more on African-American workers,

44 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] and I assumed it was a concern of the director who indeed always raised issues about the lives of working-class African-Americans). There was also a group of Asians, and some white Americans. I would not discuss the issue of the situation of diaspora in USA, because, besides I do not have a reference to talk about it, it was not the problem that I read in this film. What I really read from my corner here in Jakarta, was how the relationship between humans was, also the relationship between humans and the machines, and the relationship between humans and the situation of a location which became a representation of a bigger location, which was the location of the civilization that intersected with the culture of society-human. I imagined that the director certainly had more than eight hours of recording material. The logic was like this: This film gave the real-time illustration in a construction project which resembled a factory for a full eight hours of the duration of the labor’s work. The point was he recorded all the activities there for eight hours. But in the process, he had several assistants who recorded at different places, with multiple cameras. Surely the recording results could reach more than ten hours of recording material. Perhaps more than fifteen hours, maybe even more than twenty hours. Then this film was presented in eight hours, the same as the duration of the work, through the editing process. This editing result which was used as the whole movie was the one that I watched and read. What presented through frame by frame that were tied together into a movie construction gave all the pictures of a big production of a construction project. In the conversation in the early morning coffee it was shown: how workers greeted each other “good morning”; the usual conversation about coffee that could wipe the sleepiness so that they were ready to work that day; a complaint about how when waking up in the morning, a worker had thought that it was already Thursday (which was a day that was near the weekend, or perhaps because it was a day that approached the pay day) and ... oh, it turned out that it was still Wednesday; the words “God bless you” that were uttered to someone who sneezed; … etc. It was a general description of kinship that was united by the relation of job roles in a location. This could also provide a simple picture of a day opener in the life of the working class in USA. One of the female workers brought up the news that she was now already had a bank account and was waiting for her debit card to be issued. The news invited the “wow” reaction from her friends, as if having a bank account was something that was not too common among them. If we were surprised because we thought that having a bank account was something that was very common, then we were back to the discussion about how people lived their lives by directed to follow the plot, as the smallest particle in an enormous building of civilization. They saw the material around them from a functional perspective. Thus, that gave them a role to participate in the global culture.

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 45 I saw that the selection of this conversation scene was equal to the selection of the conversation scene in the middle of busy work about the date the night before, or the animated conversation about a new NCAA player on television, also about a social media application on each worker’s cellphone. The collection of those scenes was placed side by side with the work process itself, also with the mobilization of the production material of that location. Those pictures were arranged sequentially according to the duration of the working time. These side-by-side and sequential positions were read by me as pictures of the relation between human and the machine, human and human, and human and the civilization.

Cultural Simulation Let us suppose that we could assume the way a hardware that was powered by a machine worked. For me it was still amazing to see how that hardware could work with certainty to serve human’s needs, and moreover to know how it was created. I almost forgot about my previous curiosity of what this was exactly all about, until I arrived at one scene: A worker did the small particles one by one. He screwed them, drilled them, tightened them, fastened them to other parts, until they became an elongated shape tool that had part that could move to the right and to the left and had a function to launch object. I no longer thought about what object that would be launched. But suddenly my eyes were focused on an object in the background of the scene: a bowling pin! Allow me to express a little view here that is more personal, that the most beautiful thing when watching frame by frame of a production of a documentary is, when the unity of the object that is arranged in an undirected way (as in a fiction film) in a frame, could generate a narrative that could be read from many perspectives. Each object that is captured in a picture frame, even though it is in the background position of the main object, even though it looks vague and only fills a small part of the whole frame, it still has a narrative logic that could produce a narrative about any issue. These minor objects, in the literary way, become any text or punctuation that gives a complete picture or the identification of the location, time, and even the socio-political-cultural- economic aspect or anything, reminding me of the minor objects in many frames of Italian Neo Realism works in the post-World War 2 period. A bowling pin instantly opened all the valves that hid the original form of a set of tools powered by the machine, the tools which were connected by nuts and bolts, tools that were welded, drilled, sprayed, and assembled. This disclosure happened in the 343rd minutes of the movie. This meant that I just found out that all that I had watched was the construction of a bowling center, after glaring at the screen for 5 hours and 43 minutes. Bowling is not just a sport, but also considered as a game to relieve fatigue. People say that it was found in Egypt centuries ago, and in Europe was known as a game which later became a symbol of nobility and social status, and then 46 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] it has been popularized in the United States since 1895 with the establishment of America Bowling Congress (ABC) that arranged it to be an official game. As it is known, in the cultural development of society, anything can become popular and entertaining. A bowling center then develops into a recreation center and a place to hang out for the people because of the nature of the game that is fun, recreational and considered being able to release stress after people have been burdened by work. It is also considered as a quality place to strengthen the friendship and kinship because generally it provides the supporting facilities. Then bowling center becomes part of the culture of the people in certain countries. In a broad context, the understanding of civilization refers to the whole or a level of achievement of humans and their spread. It is also a human’s effort to make themselves and their life prosper. Civilization is always associated with the government system, economic system, and Science and Technology. So, a bowling center could become an icon of the culture of the people in a certain location. An intensive worker-raising to move the production machine massively is deemed necessary, in order to support the level of quality of life of people who have a culture. And this particular culture is one of the tiny particles of a civilization. Now I imagine a large building that I call civilization, and then I do the enlargement of that picture by entering that building, so that I meet its supporting pillars. I also meet its driving machine. Then I go into a room that is called culture. Inside I find out that the smaller machines continue to work simultaneously. I then disassemble a machine called bowling center, in which I find even smaller machines. Behind those machines I meet the people who operate them. They use their hands and humanity to make the whole process run. This film was made pretty much like that. The director did not give a complete picture of that huge building of civilization. He just gave a small piece, because according to my theory above human was a real “user” who had been trapped in a functional perspective, just like Sisyphus who was punished by being forced to roll an immense boulder up a hill, only to watch it roll back down, repeating this action for eternity. Just like a symbol of labor and the skills involved in a construction, a symbol which symbolized the absurdity of human’s life. Although Albert Camus also described it in a nice way that the absurdity was not only a useless work, but the struggle itself toward the enough height to fill the human’s heart, like a big ball rolled by a bowling player along the lane to knock over ten pins arranged in a triangular position. Nobody touched those bowling pins except an automated machine which would re-arrange them to be knocked down again. The joy in celebrating the absurdity of human’s life was portrayed in this film by not making the people in it as the object, but the subject of civilization. They chatted playfully in the lunch break at the cafeteria, while watching the

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 47 NCAA basketball game (a basketball tournament in the United States featuring college basketball teams) on television. One of the workers said that at 1 pm there would be an interesting tournament, but he had to work. Then he joked, now could have been his debut to play in the tournament. Then another worker talked to the camera (actually to the director, whom I knew was a professor at the Department of Art at the University of Virginia in Charlottesville, Virginia), “Your body is tall and big, can you do the slam dunk?” The next conversation in the frame of that scene ran three ways between the workers and the camera, about the director should have played in the NCAA tournament because he was from the University of Virginia. It continued to a joke to tease the director whom they thought would better play basketball with them than constantly tell them to act in front of the camera. I saw the dialectics of the subject-object as a relation building between the film and its audience, waking the audience to go back to the actual reality that for hours was transmitted by the reality of film as a construction. If previously I threw questions whether this film was important to watch, and for what a filmmaker presented this sort of film into the cultural scene, then now I understand it as an anthropological work which sees the relationship between the culture and human. Just like the machine and the huge building of which I never saw the shape in this film, culture in civilization was not portrayed as a whole as a building, but through small fragments held together by the film itself through the recording and the film montage. The montage itself was built with the selection of figurative and performative visual, also with the shape awareness which built the three-dimensional sense in the film. It seemed that there was indeed no certain pattern in the recording action, as if there were many styles of shooting. But actually the shooting was the thing that was the forming act of the big shape of this film building as a whole. The eight-hour duration seemed to be presented by force to the audience so that we should watch the labor worked for eight hours. But it was a very representative time to give us a complete picture of how a system was established, through the illustration of the normal duration of general agreement on working hours.

* * *

Park Lanes (2015), a movie directed by an American director, Kevin Jerome Everson, was a research work about how a camera recorded a simulation of culture that represented the culture of the people in a particular civilization location. And this film ended with a small group of workers who walked together out of the bowling center building that was being built. They said to someone behind the camera that this was the most enjoyable day at work because they were accompanied by the camera, and they joked about the suitable poses in

48 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] their first experience in front of the camera. They said that the most suitable pose for them was in a style of the gesture of an African-American rapper. Then they moved their bodies like a rapper while swiping their attendance cards through the machine on the wall.

Jakarta, August 5, 2016

4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 49 PARK LANES Kevin Jerome Everson (USA) - Country of production USA Language & Subtitle English 8 hours, Color, 2015

Sajian dokumenter yang selama ini tidak pernah terbayangkan oleh kita tentang sebuah produksi peradaban. Dalam filem ini, tidak ditemukan bentuk besar yang sesungguhnya dari sebuah mesin. Melalui perangkaian tiap partikel terkecil yang kemudian membesar itu, kepala penonton diberi peluang untuk membayangkan sebuah konstruksi imajiner demi memahami bagaimana kerja sebuah mesin. Pengalaman terpenting menyaksikan adegan ini adalah terungkapnya detail-detail tersebut dan bagaimana peranan kemanusiaan masih sangat besar, yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Park Lanes adalah kerja riset tentang bagaimana kerja kamera dalam merekam satu simulasi kebudayaan yang mewakili kebudayaan masyarakat di sebuah lokasi peradaban tertentu.

It is a presentation that has never been unimaginable to us about a civilization production beforehand. We never find a true big form of a machine in this film. Through process of piecing together the smallest particle to the bigger one, the audience were given opportunity to envision an imaginary construction in order to understand how a machine works. The most important experience is to witness these scenes unfolding those details and how the role of humanity is still very essential, something that we never knew before. Park Lanes is a kind of research on how the camera is working to record a cultural simulation representing the culture of a society in a particular civilization site.

50 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] 4rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2016 | 51 Park Lanes Kevin Jerome Everson

Park Lanes Kevin Jerome Everson

Park Lanes Kevin Jerome Everson

Park Lanes Kevin Jerome Everson

Park Lanes Kevin Jerome Everson

Park Lanes Kevin Jerome Everson

KEVIN JEROME EVERSON

Dengan kepekaan penelitian sejarah dan With a sense of place and historical research, lokasi, filem-filem Kevin Jerome Everson Kevin Jerome Everson films combine menggabungkan momen-momen dalam scripted and documentary moments with naskah dan dokumenter dengan elemen- rich elements of formalism. The subject elemen formalisme. Subject matter merupakan matter is the gestures or tasks caused by gesture yang disebabkan oleh kondisi-kondisi certain conditions in the lives of working tertenti dalam kehidupan kelas pekerja Afrika class African Americans and other people of Amerika dan keturunan Afrika lainnya. African descent. The conditions are usually Kondisi itu biasanya fisik, keadaan sosio- physical, social-economic circumstances or ekonomis, atau cuaca. Alih-alih realisme weather. Instead of standard realism he favors standar, ia menikmati strategi-strategi yang a strategy that abstracts everyday actions and mengabstraksi tindakan dan perneryataan statements into theatrical gestures, in which sehari-hari menjadi gerakan teatrikal, di mana archival footage is re-edited or re-staged, real rekaman arsip disunting dan dipentaskan people perform fictional scenarios based on kembali, orang-orang riil melakukan skenario their own lives and historical observations fiksional berdasarkan kehidupan mereka intermesh with contemporary narratives. The sendiri dan observasi historis betautan films suggest the relentlessness of everyday satu sama lain dengan naratif-naratif life—along with its beauty—but also present kontemporer. Filem-filemnya menyarankan oblique metaphors for art-making. sifat “ketiada-tawar-menawaran” sehari- hari—bersamaan dengan keindahannya— tetapi juga menghadirkan metafor-metafor tak langsung demi proses pembuatan karya. Source: http://people.virginia.edu/~ke5d/artist.htm

64 | ARKIPEL: SOCIAL/KAPITAL [exhibition catalogue] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ARKIPEL social/kapital exhibition catalogue - 18-25 AUGUST 2016 13.00 - 21.00 WIB GUDANG SARINAH EKOSISTEM JL. PANCORAN TIMUR II NO. 4 JAKARTA - 12780 - KULTURSINEMA #3: CAPTURING THE LIGHTS (HALL A4) PARK LANES: SMALL SIMULATIONS IN BIG ROOM (FORUM SINEMA)