Dua Suara Nasionalisme dalam Surat Kabar Sin Po: Tiongkok dan (1917 – 1942)

Tiya Destiyani, Didik Pradjoko

Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

E-mail: [email protected]

Abstrak Studi ini membahas isu-isu dilematik dalam pemberitaan surat kabar Sin Po, salah satu surat kabar milik Tionghoa peranakan yang berorientasi nasionalisme Tiongkok. Studi ini mengambil periodisasi tahun 1917 – 1942. Tahun 1917 adalah tahun ketika pertama kali Sin Po memainkan peran dalam bidang politik dengan menyelenggarakan Konferensi untuk membahas masalah keikutsertaan orang Tionghoa di Hinda Belanda dalam Volksraad. Sedangkan tahun 1942 merupakan tahun runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dan digantikan oleh pemerintahan Jepang yang kemudian menutup semua surat kabar Tionghoa peranakan, termasuk surat kabar Sin Po. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa surat kabar Sin Po memiliki sikap mendua dalam menyikapi pergerakan kebangsaan di Indonesia. Di satu sisi, surat kabar Sin Po berorientasi nasionalisme Tiongkok, namun di sisi lain Sin Po turut mendukung dan menyokong kemerdekaan Indonesia melalui gagasan-gagasan dalam pemberitaannya. Menurut Sin Po, bangsa Indonesia memiliki nasib yang sama dengan negeri leluhur mereka yakni Tiongkok. Kedua bangsa tersebut merupakan bangsa yang pernah mengalami penjajahan bangsa asing. Selain itu, nasionalisme Tiongkok memiliki hubungan dengan nasionalisme Indonesia karena keduanya merupakan bagian dari nasionalisme Asia ajaran Sun Yat Sen yang menganggap kolonialisme dan imperialisme sebagai musuh bersama, maka wajarlah jika surat kabar Sin Po bersimpati terhadap pergerakan nasional Indonesia. Penelitian ini juga memperlihatkan adanya tiga orientasi dalam suratkabar-suratkabar Tionghoa peranakan dalam menyikapi pergerakan-pergerakan kebangsaan di Indonesia.

Two Sounds of Nationalism on Sin Po: China and Indonesia (1917 – 1942)

Abstract This study discusses dilematic issues on one of newspaper that oriented to Peranakan Chinese nationalism, Sin Po. This study took periodization from 1917 to 1942. 1917 is the year when Sin Po for the first time played role in politics by organizing Semarang Conference which aimed to discuss the participation of the Indonesian Chinese on Volksraad. While 1942 is the year of the collapse of the Dutch colonial rule in Indonesia and was replaced by the Japanese government which banned all the Peranakan Chinese’s newspaper, including Sin Po. The results of this study indicate that Sin Po had an ambiguous attitude in dealing with Indonesian nationalist movement. On the one hand, Sin Po was oriented to Chinese nationalism, but on the other hand Sin Po also supported the independence of Indonesia through the news on it. According to Sin Po, Indonesia had the same fate with their ancestral land, China. Both nation was a nation that had experiences on being a colony of other nations. In addition, Chinese nationalism was similar to Indonesia’s which both of them inspired by the nationalism by Sun Yat Sen who considered colonialism and imperialism as enemies, so it was clear why Sin Po gave sympathy to Indonesian national movement. The study also shows there are three kinds of orientation of Peranakan’s newspaper in addressing national movement in Indonesia. 1

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 Keywords: Press; newspapers; Sin Po; Chinese; movement; nationalism.

Pendahuluan

Dalam sejarah perjuangan Indonesia, pers memberikan peranan yang sangat besar, mulai dari masa pergerakan hingga upaya mempertahankan kemerdekaan. Dunia pers Indonesia dalam sejarahnya senantiasa berdampingan dengan gerakan kebangkitan nasional atau bahkan merupakan sebagian dari gerakan kebangsaan itu sendiri. Untuk dapat memahami fungsi surat kabar di Indonesia dewasa ini, kesejajaran sejarah pers dengan pergerakan- pergerakan nasionalis dan harapan masyarakat luas bahwa pers harus tetap memainkan peranan dalam pembangunan nasional, harus dapat dihayati lebih dulu.1 Sejak akhir abad ke- 19, semakin banyak pers tumbuh yang kehadirannya mewakili semangat zamannya, bahwa pers menjadi alat untuk memberikan penerangan lalu menjadi corong suara dan pergerakan. Pers-pers ini makin berkembang terutama setelah dekade pertama abad ke-20, dan mencapai puncaknya bahkan menyurut pada dekade 1930-an, ketika pemerintah kolonial memadamkan pemberontakan komunis tahun 1926.2 Surat kabar Sin Po merupakan salah satu pers milik Tionghoa peranakan yang lahir pada masa pergerakan kebangsaan di Indonesia, serta merupakan surat kabar yang akan dibahas dalam penelitian ini. Sin Po adalah surat kabar yang unik, yakni memiliki orientasi nasionalisme Tiongkok namun mendukung kemerdekaan Indonesia. Penelitian ini tidak akan banyak berkutat pada suatu peristiwa tetapi lebih menitikberatkan pada pemberitaan surat kabar Sin Po, karena tema sejarah pers penting untuk ditulis agar kita bisa mendapati suatu gambaran utuh tentang masa lalu. Pers yang lahir pada masa revolusi tentu amat kental menyuarakan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi yang telah dikumandangkan.3 Namun, dibandingkan dengan pers Indonesia, pers Tionghoa telah muncul terlebih dahulu. Orang-orang Tionghoa4 telah

1 Don Michael Flournoy, Analisa Isi Suratkabar Suratkabar Indonesia (: Gadjah Mada University Press, 1989), hlm. 5. 2 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2003), hlm. xvi. 3Samuel Pandjaitan, Kesaksian Perdjoengan Pena Jilid I (: Yayasan Sumber Agung, 2005), hlm. 8. 4 Dalam tulisan ini menggunakan istilah Tionghoa untuk merujuk kepada warga negara Indonesia keturunan Tiongkok. Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tiongkok di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Penggunaan kata Tionghoa pertama kali digunakan setelah terbentuknya organisasi etnis Tionghoa yakni Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada tahun 1900. Tionghoa ini pun menjadi kata yang baku 2

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 menerbitkan dan memanfaatkan pers sebagai media yang efektif untuk membela kepentingan politik dan sosial mereka. Keberadaan orang Tionghoa di Indonesia menimbulkan polemik tersendiri dalam usaha konsolidasi sebagai satu bangsa Indonesia. Para penguasa dari zaman pemerintahan kolonial hingga Orde Baru sering kali memanfaatkan mereka demi mempertahankan kekuasaan. Hal ini disebabkan karena orang Tionghoa memiliki karakter yang khas seperti begitu kuat dalam persaudaraan dan budaya, juga kecakapan dalam bidang ekonomi. Selain itu, minimnya informasi tentang keterlibatan dan sumbangan masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan berdirinya negara Indonesia merupakan hal yang sampai saat ini membuat mereka mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat pribumi karena tidak dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bahkan gambaran umum mengenai golongan Tionghoa di Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa golongan Tionghoa merupakan “binatang ekonomi” yang bersifat opurtunis, tidak memiliki loyalitas politik, tidak nasionalis, dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Namun bila ditinjau lebih dalam, selain masyarakat pribumi, orang-orang Tionghoa juga turut andil dalam pergerakan melawan penjajahan Belanda pada masa pergerakan nasional. Berkaitan dengan masalah nasionalisme khususnya dalam usaha mencapai kemerdekaan, benarkah bahwa orang Tionghoa tidak memiliki rasa nasionalisme? Penelitian ini akan mencoba menempatkan orang Tionghoa berkaitan dengan kontribusinya dalam perjuangan mencapai kemerdekaan negara Republik Indonesia. Untuk menjawab persoalan tersebut, maka gagasan dan pemberitaan yang diterbitkan oleh surat kabar Sin Po dalam berita hariannya perlu diangkat dan diketahui karena dari situlah akan diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai bagaimana sebenarnya bentuk kontribusi orang Tionghoa dalam usaha mencapai kemerdekaan Indonesia, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Sebelum membahas mengenai gagasan dan pemberitaan dari surat kabar Sin Po tersebut, terlebih dahulu akan dijelaskan sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia hingga berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa yang disertai dengan lahirnya surat kabar Tionghoa pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 untuk menggambarkan suasana zaman yang melatarbelakangi gagasan dan pemberitaan yang diterbitkan oleh Sin Po.

pada masa pergerakan nasional. Lihat Yusuf Liem, Prasangka terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rezim Soeharto (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. xxix – xxx.

3

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 Metode Penelitian

Untuk dapat menjelaskan keikutsertaan orang Tionghoa dalam pergerakan kebangsaan di Indonesia yang ditinjau berdasarkan pemberitaan surat kabar Sin Po, maka penulis menggunakan metode sejarah untuk merekonstruksi sebuah kisah sejarah tentang berlangsungnya pemberitaan Sin Po mengenai pergerakan kebangsaan di Indonesia tersebut. Metode sejarah yaitu proses menganalisa sumber-sumber sejarah secara kritis melalui empat tahapan. Tahapan yang pertama adalah heuristik atau pengumpulan data. Upaya ini dilakukan untuk menemukan sumber-sumber tertulis melalui studi kepustakaan yang meliputi dokumentasi maupun hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Sasaran utama dalam penelitian ini adalah sumber primer seperti arsip, surat kabar, dan naskah-naskah. Sumber primer yang penulis temukan untuk penelitian ini adalah surat kabar Sin Po tahun 1917 sampai 1942. Selain sumber primer, penulis juga menggunakan sumber sekunder berupa buku-buku hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang menyangkut tentang sejarah perkembangan pers di Indonesia. Buku yang membahas tentang sejarah perkembangan pers di indonesia, antara lain Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (2002) karya Abdurrachman Surjomihardjo dkk, karena buku ini membahas mengenai kedudukan pers dan peranan pers dalam masyarakat. Buku ini juga menguraikan tentang tiga bentuk pers di Indonesia yang terdiri dari Pers Belanda, Pers Melayu-Tionghoa, dan Pers Indonesia. Selain itu, terdapat pula buku Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (2003) karya Ahmat Adam yang juga menguraikan tentang perkembangan pers di Indonesia pada masa kolonial. Dalam buku ini dijelaskan bahwa perkembangan pers didorong oleh motif-motif ekonomi, sosio-kultural, dan misionaris. Terdapat pula buku hasil penelitian Mirjam Maters yang berjudul Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras (2003). Dalam bukunya Maters mendeskripsikan, menganalisis, dan menyimpulkan kebijakan pers yang dikeluarkan pemerintah kolonial yang dibagi ke dalam lima periode pada rentang 1906 – 1942. Sedangkan buku yang secara langsung membahas tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah buku-buku karya yang banyak memuat data dan fakta sejarah yang dikumpulkan Leo yang juga merupakan sejarawan yang menekuni masalah Tionghoa Peranakan di Indonesia. Buku-buku karya Leo Suryadinata di antaranya adalah Dilema Minoritas Tionghoa (1984), Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (1986), Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (2002), Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010), dan Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia (2010). Penulis juga menggunakan buku yang membahas tentang pergerakan nasional 4

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 Indonesia, yaitu buku yang ditulis oleh DR. Suhartono berjudul Sebuah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945 (1994). Selain itu, terdapat pula buku Memoar Ang Yan Goan (2009). Buku ini merupakan buku hasil terjemahan dari naskah asli bahasa Inggris Ang Yan Goan Memoires yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Tan Beng Hok. Dalam bukunya, Ang Yan Goan menguraikan tentang perjalanan hidupnya sebagai tokoh nasionalis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia juga merupakan tokoh pers Indonesia yang bergabung dalam grup Sin Po dan sempat menjabat sebagai pemimpin direksi surat kabar Sin Po. Buku ini sangat bermanfaat dalam penelitian penulis karena di dalamnya banyak sekali dijelaskan mengenai riwayat surat kabar Sin Po sejak pertama kali terbit hingga berganti nama menjadi Warta Bakti setelah kemerdekaan Indonesia. Sumber-sumber buku didapat dari Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Umum DKI Jakarta, dan Yayasan Nabil. Tahapan yang kedua adalah kritik. Kritik merupakan pengujian terhadap sumber- sumber yang telah diperoleh. Data-data yang telah dikumpul itu dikritik demi menguji kebenaran data tersebut. Kritik terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern yang menyangkut kebenaran isi dari data tersebut dan kritik ekstern yang menyangkut keaslian dokumen yang telah diperoleh. Dalam proses ini, penulis mencoba menganalisis kembali sumber-sumber yang telah diperoleh, terutama menyangkut kebenaran sumber tersebut. Penulis juga mencoba untuk melakukan pengujian terhadap data-data yang telah diperoleh untuk mengetahui kredibilitasnya sebagai sumber. Sumber satu dengan yang lain dipastikan kebenarannya dengan jalan membandingkan dengan buku atau sumber lain. Selanjutnya, Sebagai usaha untuk menjelaskan fungsi dan peranan pers sebagai medium penyalur berita dan opini dalam kaitan dengan skripsi penulis yaitu pers yang menerbitkan atau memuat artikel pergerakan, beberapa ulasan dalam uraian metode pendekatan yang dilakukan untuk membahas permasalahan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi rekonstruksi sejarah yang akan dilakukan. Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan penafsiran terhadap fakta yang ditemukan dalam sumber-sumber. Ini merupakan bagian dari verifikasi atau penyeleksian data agar data yang diperoleh menjadi relevan dengan penelitian yang dibuat. Penulis mencoba mengklarifikasi fakta-fakta yang ada satu sama lain, sekaligus melihat apakah ada saling keterkaitan antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Penulis saling mengaitkan fakta-fakta yang ada dan juga gagasan-gagasan yang muncul dari pers-pers Melayu-Tionghoa, terutama surat kabar Sin Po. Dalam melakukan interpretasi, penulis juga

5

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 mencoba meminimalisir subyektivitas penulis terkait topik dalam penelitian ini. Penulis mencoba berada dalam pihak yang netral. Sumber dari media cetak seperti surat kabar sejak abad ke-20 merupakan bahan dokumenter yang sangat berharga, karena sebagai sumber informasi surat kabar tidak hanya memuat data yang menunjukkan fakta tetapi juga opini, interpretasi dari pikiran-pikiran spekulatif. Dari fungsi-fungsi yang terakhir inilah surat kabar tidak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi tetapi juga menjadi medium yang baik untuk meletakkan pengaruhnya kepada publik atau pembaca. Yang berarti bahwa fakta-fakta tersebut menunjuk kepada ide, pikiran, nilai-nilai, dan lain sebagainya yang dikenal dengan mentifact.5 Data yang telah dikumpulkan secara sistematik dan dianalisa secara teliti kemudian disajikan, akan membantu kita untuk memperoleh lebih banyak informasi bila kita berbicara tentang komunikasi pembangunan dan apa yang dialami suratkabar-suratkabar dalam turut mewujudkan tujuan-tujuan pemerintah.6 Analisa isi suratkabar-suratkabar ini merupakan suatu studi kasus yang baik sekali tentang cara bagaimana suratkabar-suratkabar menghadapi masalah mengenai harapan-harapan pemerintah yang kadang-kadang bertentangan dengan masyarakat pembaca dan hati nurani sendiri.7 Tahapan yang keempat adalah historiografi atau penyusunan sejarah yang di dalamnya terdapat metode serta suasana zaman. Pada proses ini, penulis merekonstruksi fakta-fakta menjadi sebuah penyusunan sejarah. Fakta-fakta sejarah yang penulis temukan lalu diseleksi, disusun dan diberi tekanan, lalu ditempatkan dalam suatu urutan kronologis yang sistematis.

Orang Tionghoa di Hindia Belanda Akhir Abad XIX hingga Awal Abad XX Sebelum kedatangan orang Belanda, orang Tionghoa di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka membaur dengan membawa budaya masing-masing. Orang Tionghoa hidup dengan berdagang, bertani, dan menjadi tukang.8 Memang sesekali mereka terlibat perselisihan dengan penduduk pribumi. Misalnya adalah saat terjadinya perang antara penduduk Tionghoa dengan penduduk pribumi di Jawa. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya komposisi masyarakat Tionghoa di Jawa yang terus-menerus mengalami perubahan selama beberapa tahun ini, hingga kerap kali berakibat timbulnya perselisihan- perselisihan dan perkelahian-perkelahian antar golongan yang hampir sama sekali tidak dapat

5 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 171. 6 Don Michael Flournoy, Op. Cit., hlm. 1. 7 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 3. 8 Ibid., hlm. 53. 6

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 dikendalikan. Perang yang terjadi antara penduduk Tionghoa dengan penduduk Jawa ini merupakan suatu keadaan krisis, dimana mereka saling berhadapan satu sama lainnya, di dalam sesuatu peperangan yang terjadi dengan alasan-alasan politik.9 Orang Tionghoa yang hidup di Jawa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Tionghoa dan Tionghoa peranakan. Munculnya golongan Tionghoa peranakan ini akibat terjadinya perkawinan antara orang Tionghoa laki-laki dan perempuan pribumi. Kelompok Tionghoa totok masih menguasai bahasa Tiongkok dan juga masih mampu membaca buku- buku dalam bahasa Tiongkok yang didatangkan dari Tiongkok. Sedangkan kelompok Tionghoa peranakan tidak menguasai bahasa Tiongkok lagi, sebaliknya hanya menguasai bahasa daerah setempat seperti bahasa Belanda dan Melayu-Rendah yang merupakan lingua franca penduduk kota di Indonesia.10 Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik separatisme antar golongan penduduk atau mencoba mengisolasi antar satu golongan dengan golongan lain.11 Asas politik yang lain adalah pemerintahan tak langsung, atau pemerintahan “melalui yang sama”.12 Pemerintahan atas bangsa pribumi melalui pemimpin-pemimpin tradisionalnya, yaitu bupati-bupati pribumi. Sedangkan pemerintahan atas golongan Tionghoa melalui opsir-opsir Tionghoa.13 Oleh VOC14, kadang-kadang orang Tionghoa disebut sebagai borgeren ende ondersaten (warga dan kawula), sebutan ini sering dipakai juga berkenaan dengan kepentingan VOC, seperti untuk dapat menyita kekayaan orang-orang Tionghoa.15 Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat Hindia Belanda dibedakan dalam beberapa golongan atau garis warna.16 Berdasarkan golongan tersebut, masyarakat dibagi menjadi tiga golongan: pertama adalah golongan Eropa atau Belanda, kedua adalah golongan Timur Asing, termasuk Tionghoa, Arab, India, dan seterusnya, dan ketiga adalah

9 Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755 – 1825 (Jakarta: Pustaka Azet, 1986), hlm. 26-27. 10 Jakob Sumardjo, Muncul dan Lenyapnya Sastra Melayu-Tionghoa (Depok: Universitas Indonesia, 1992 0, hlm. 3. 11 Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia (Jakarta: Prestasi Insani Indonesia, 2000), hlm. 146. 12 Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2005), hlm. 107. 13 Opsir Tionghoa adalah seorang Tionghoa yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin bagi penduduk Tionghoa untuk mengatur mereka di satu tempat pemukiman. Pemukiman ini merupakan penempatan bagi kelompok orang-orang Tionghoa agar keadaannya dapat dipantau oleh pemerintah Hindia Belanda. 14 VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie adalah sebuah persekutuan dagang yang dibentuk oleh pengusaha Belanda yang tergabung dalam Heeren XVII pada 20 Maret 1602. Tujuannya adalah menjalankan kegiatan monopoli perdangan rempah-rempah di Nusantara dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta, 2010), hlm. 29-30. 15 Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Op. Cit., hlm. 117. 16 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984), hlm. 4. 7

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 golongan pribumi.17 Orang-orang Tionghoa dan Timur Asing hidup secara mengelompok di kawasan tertentu, terutama di pusat-pusat perdagangan dan pusat kegiatan ekonomi lainnya, seperti sekitar industri dan pelabuhan.18 Pemerintah Belanda mengharuskan setiap golongan ras untuk mempertahankan cara berpakaian dan adat istiadatnya. Tiap golongan juga diatur dengan undang-undang yang berbeda serta mempunyai hak yang berbeda pula. Misal dalam masalah hukum, orang Tionghoa lokal dianggap “penduduk asli”, serta tunduk kepada hukum untuk pribumi, akan tetapi mereka juga dianggap “non pribumi” sehingga tidak berhak memiliki tanah garapan.19 Sistem yang diskriminasi ini sangat merugikan orang Tionghoa. Orang Tionghoa mengeluh karena mereka digolongkan sama seperti orang pribumi dan karena itu diberi status lebih rendah di depan pengadilan, namun mereka dikenai pembatasan- pembasatan tertentu yang tidak dikenakan pada penduduk pribumi. Inilah awal terciptanya stereotipe tentang orang Tionghoa sebagai kelompok ‘homogen’. Ketidakpuasan orang Tionghoa terhadap pemerintah Belanda semakin diperkuat lagi oleh politik pendidikan pemerintah Belanda yang tidak memberikan kesempatan bagi anak- anak Tionghoa untuk memperoleh pendidikan. Keluhan orang Tionghoa mencapai puncaknya menjelang akhir abad ke-19 ketika pemerintah Belanda memberlakukan Politik Etis20 yang menyerang kekuatan ekonomi dari orang Tionghoa. Politik kolonial anti-Tionghoa ini menyebabkan timbulnya gerakan emansipasi atau gerakan Tionghoa-Jawa yang ditandai dengan berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada tahun 1900. Berdirinya THHK juga diikuti dengan berdirinya organisasi-organisasi lain seperti (CHH) dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Pendirian organisasi-organisasi Tionghoa tersebut juga disertai dengan munculnya suratkabar-suratkabar Tionghoa. Mereka menuntut persamaan hak dengan orang Eropa. Lahirnya pergerakan orang Tionghoa ini tidak terlepas dari munculnya gerakan pembaruan di daratan Tiongkok yang dipelopori oleh Sun Yat Sen dengan keberhasilannya mengakhiri sistem kekaisaran di Tiongkok dengan melakukan revolusi di tahun 1911 dan

17 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Op. Cit., hlm. 3. 18 Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di (Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, 2004), hlm. 11. 19 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Op. Cit., hlm. 4. 20 Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dan pelaksanaannya dimulai pada tahun 1901 ketika Ratu Wilhelmina menyampaikan pidato tentang perlunya dilakukan suatu penyelidikan terhadap kesejahteraan rakyat di Jawa. Terdapat tiga prinsip yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan politik etis, yaitu pendidikan, pengairan, dan perpindahan penduduk. Kebijakan politik etis dianjurkan oleh Van Deventeer pada tahun 1899 dengan menerbitkan artikel yang berjudul “suatu hutang kehormatan” di dalam majalah De Gids. Menurutnya, negeri Belanda telah berhutang kepada Indonesia atas semua kekayaan yang telah diperas dari negeri ini. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda sebaiknya membayar hutang tersebut dengan cara memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia dalam kebijakannya. Dalam Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 50 – 55. 8

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 bercita-cita ingin menyatukan seluruh wilayah Tiongkok dalam satu pemerintahan yang didasarkan pada San Min Chu I atau Tiga Sendi Kedaulatan Rakyat, yaitu nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi. Dalam ajarannya, Sun Yat Sen mengatakan bahwa kemerdekaan Tiongkok tidak akan sempurna jika tidak diiringi oleh kemerdekaan negara-negara di Asia. Hal inilah yang kemudian memberikan dorongan dan kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan perlunya pendidikan, persatuan, dan adanya organisasi yang dapat mengangkat kehidupan mereka. Dengan demikian, pada awal abad ke-20 terdapat tiga aliran pergerakan di kalangan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Kelompok pertama adalah THHK yang menjadikan Sin Po sebagai corong utama dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Kelompok ini ingin mempertahankan nasionalisme Tiongkok di kalangan Tionghoa Hindia Belanda. Mereka juga lebih memilih untuk tidak ikut serta dalam percaturan politik di Hindia Belanda. Namun, kelompok Sin Po juga mendukung kemerdekaan Indonesia karena sesuai dengan ajaran Sun Yat Sen. Atas dasar inilah kelompok Sin Po dan PTI dapat berjalan beriringan selama beberapa tahun. Hingga pada tahun 1935, kedua kelompok ini menjadi saling menyerang dalam menghadapi masalah peranakan antara dan . Kelompok yang kedua adalah orang-orang Tionghoa yang masuk dalam organisasi CHH. Sama halnya dengan Sin Po¸ mereka menganjurkan kebudayaan Tiongkok. Akan tetapi, kedua kelompok ini berbeda dalam cara pendekatannya. Kelompok Sin Po menginginkan orang-orang Tionghoa tetap menjadi warga negara Tiongkok, sedangkan kelompok CHH yang berpendidikan Barat lebih menginginkan status kawula Belanda karena merasa labih terjamin berada di bawah pemerintahan Belanda. Menurut mereka, hubungan mereka dengan Tiongkok hanyalah sebatas kebudayaan saja, tidak termasuk ketatanegaraan karena mereka tinggal di Hindia Belanda. Kelompok ketiga adalah orang-orang Tionghoa yang menyatakan diri sebagai anggota PTI. Mereka mendukung kemerdekaan Indonesia dan menghendaki orang-orang Tionghoa untuk menjadi warga negara Indonesia karena memandang bahwa bangsa Indonesia adalah tanah air mereka.

Riwayat Surat Kabar Sin Po Surat kabar Sin Po berbahasa Melayu didirikan pada bulan Oktober 1910 oleh para pendirinya antara lain Lauw Giok Lan dan Yoe Sin Gie. Lauw Giok Lan merupakan sekretaris Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Jakarta. Tujuan didirikannya THHK yang utama adalah untuk mengajarkan bahasa Tionghoa kepada anak-anak Tionghoa dan menyebarkan 9

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 kebudayaannya. Karena pendiri Sin Po merupakan salah satu anggota THHK, maka haluan surat kabar Sin Po sedikit banyak mencerminkan paham nasionalisme Tiongkok yang dianut THHK.21 Sin Po yang awalnya berupa mingguan kemudian menjelma menjadi harian tidak lama setelah lahirnya Republik Tiongkok. Sin Po juga memiliki prinsip sebagai surat kabar Tionghoa peranakan yang akan selalu membela kepentingan dan menunjukkan jalan untuk kemajuan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Hal ini disampaikan Sin Po sebagai berikut: “Penjoeloe dari rahajat Tionghoa di Hindia Olanda, dalem segala oeroesan politiek, membelahken kapentingan marika ini dalam samoea perkara, lahirken boewah-pikiran boewah-pikiran jang menerangkan kedoedoekannja rahajat Tionghoa di ini djadjahan seraja menoendjoekin djalanan-djalanan goena marika ini sampe pada nasib jang lebi broentoeng, ini salaloe dilakoeken dan sampe salamanja aken didjalanken oleh Sin Po.”22 Sin Po pertama kali terbit sebagai mingguan hingga pada tanggal 1 April 1912 berubah menjadi harian karena Sin Po dapat menarik para pembaca. Pemimpin redaksi Sin Po yang pertama adalah seorang keturunan Indo-Belanda yang juga pernah menjadi pegawai negeri bernama J.R. Razoux Khur. Pada masa itu, pemimpin redaksi dari sebuah surat kabar Tionghoa selalu orang Belanda karena hanya orang Belanda yang memiliki hak warga negara, sedangkan orang Tionghoa dan pribumi tidak memilikinya. Ia berhenti dari jabatannya pada tahun 1916 dan kemudian digantikan oleh Kwee Hing Tjiat hingga 1918. Sin Po di bawah pimpinan Kwee Hing Tjiat mulai bergerak memimpin masyarakat Tionghoa dalam hal-hal politik. Misalnya, pada tahun 1917, pemerintah Belanda berencana mendirikan Volksraad23 dan ingin mengikutsertakan kaum Tionghoa peranakan dan pribumi dalam lembaga politik yang baru itu. Sin Po menolak usul tersebut karena tidak ingin ikut serta dalam politik lokal dengan alasan bahwa orang Tionghoa adalah warga negara asing. Kemudian pada tahun 1918 jabatan itu diserahkan kepada Tjoe Bou San sampai wafatnya di tahun 1925. Ia juga meneruskan tradisi yang sebelumnya dilakukan oleh Kwee Hing Tjiat dan mengembangkannya. Pada tahun 1918, Tjoe mulai menggerakkan orang Tionghoa untuk memberantas Undang-Undang Kekawulaan Belanda. Tjoe lah yang mengembangkan konsep nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda dan memimpin kampanye dalam memberantas kekawulaan Belanda setelah usai Perang Dunia I. Setelah Tjoe Bou San wafat, Sin Po

21 Tan Beng Hok, Memoar Ang Yan Goan (Jakarta: Yayasan Nabil dan Hasta Mirta, 2009), hlm. 38. 22 “Bakal Terbit Dagblad Bin Seng”, dalam Sin Po, Senin 9 Januari 1922. 23 Volksraad atau Dewan Rakyat adalah semacam parlemen yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 18 Mei 1918. Tujuan didirikannya Volksraad adalah sebagai media untuk menyalurkan gerakan masyarakat pribumi yang semakin radikal ke dalam suatu jalur konstitusional dan pembentukan suatu badan penasihat. Dalam Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917 – 1942 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm. 27. 10

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 dipimpin oleh Kwee Kek Beng hingga tahun 1947. Kwee terus mengembangkan ide-ide sebelumnya hingga menjadikan Sin Po sebagai opinion maker di kalangan masyarakat Tionghoa.24 Hal yang menarik dari Kwee Kek Beng adalah rasa simpatinya terhadap pergerakan nasional Indonesia. Ia mengatakan bahwa orang Tionghoa dan pribumi adalah orang Asia dan nasionalis Tionghoa wajib membantu pergerakan pribumi itu. Ia juga merasa bahwa orang Tionghoa berhutang budi pada Indonesia. Namun untuk membantu pergerakan nasional Indonesia, orang Tionghoa tidak perlu menyingkirkan kebangsaan sendiri. Kwee juga mempekerjakan dua orang wartawan pribumi, yaitu W.R. Soepratman dan D. Koesoemaningrat yang memuat berita-berita tentang pergerakan nasional secara rinci dan simpatik. Kwee juga menjalin hubungan dekat dengan pemimpin nasionalis Indonesia seperti Ir. Soekarno yang pernah mengunjungi kediaman Kwee untuk mengadakan kontak dengan nasionalis di Tiongkok.25 Selama tahun 1920-an, Sin Po melakukan beberapa pembaruan. Pembaruan yang dilakukan Sin Po edisi bahasa Indonesia hanya kecil-kecilan, yakni setiap hari harus ada tajuk rencana atau tulisan yang berbobot. Hingga akhirnya disetujui bahwa setiap minggu akan dimuat tiga buah tajuk rencana yang mengulas peristiwa dalam negeri. Selain itu, Sin Po juga mulai memuat komik, yang kemudian dikenal dengan serial Put On. Serial Put On ini bercerita tentang seorang tokoh kecil yang banyak tingkah, dan ibunya berikut kedua adiknya, juga seputar teman-temannya yang sangat kocak.26 Komik Put On menjadi terkenal dan Sin Po menerbitkannya setiap hari sabtu. Pada masa kepemimpinan Kwee Kek Beng juga membuat sebuah rubrik yang diberinama Djamblang Kotjok.27 Tulisan Kwee di rubrik ini sangat tajam dan penuh sindiran hingga kerap kali membuatnya berurusan dengan polisi dan jaksa. Tulisan-tulisannya dalam rubrik ini seringkali dianggap telah melewati batas oleh pemerintah Belanda. Pada masa ini, Sin Po juga menerbitkan Chineesche Editie yang kemudian dikenal sebagai surat kabar berbahasa Tionghoa. Selain itu, Sin Po juga pernah menerbitkan surat kabar edisi Surabaya, surat kabar lokal kecil yang bernama Bin Seng di tahun 1922, surat kabar edisi mingguan yang banyak berisi gambar pada tahun 1923 yang diberinama Weekblad Sin Po, serta menerbitkan majalah De Chineesche Revue di tahun 1927. Semua ini dilakukan Sin Po dalam upaya untuk menarik minat para pembaca dan mencari

24 Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 91. 25 Ibid., hlm. 99. 26 Tan Beng Hok, Op. Cit., hlm. 73. 27 Ibid., hlm. 101. 11

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 pengalaman.28 Sin Po merupakan surat kabar yang merdeka dan tidak bergantung pada salah satu partai, sehingga lebih leluasa dalam menyampaikan aspirasi-aspirasinya untuk kepentingan umum. Dari segi keuangan, Sin Po merupakan surat kabar Tionghoa yang paling sehat. Sebagai Perseroan Terbatas, surat kabar ini memiliki modal 300.000 gulden.29 Modal Sin Po diperoleh dari iklan dan dana pribadi para pekerjanya. Sin Po bukan hanya penerbit surat kabar pertama beraksara Tionghoa, surat kabar pertama berkarikaturis sendiri, dan surat kabar pertama yang memiliki zinkografi sendiri, melainkan juga surat kabar yang memberikan dividen tertinggi yang pernah diberikan oleh suatu harian Tionghoa, dan juga sebagai harian Tionghoa yang mencapai tiras tertinggi. Sin Po merupakan satu-satunya surat kabar Tionghoa di Indonesia yang mempunyai bengkel pembuatan pelat sendiri. Selain itu, pada tahun 1926 Sin Po melakukan pembaharuan dengan berlangganan semua berita telegraf dari Agensi Berita ANETA30. Sebelumnya, surat-surat kabar Tionghoa dan Indonesia hanya berlangganan sebagian berita dari Agensi Berita ANETA.31 Pembaharuan ini kemudian juga diikuti oleh beberapa surat kabar Tionghoa dan Indonesia lainnya. Dalam edisi terbitannya pada Selasa 1 Oktober 1935, Sin Po yang saat itu genap berusia 25 tahun menyampaikan visi misinya. Sebagai surat kabar yang telah mengikuti kejadian-kejadian di dunia, Sin Po sudah menjadi surat kabar yang berbeda dari pertama kali ia terbit di tahun 1910. Sejak saat itu, Sin Po mulai menjalankan tujuannya yang paling utama, yaitu membangunkan nasionalisme di kalangan orang Tionghoa dan kalangan pribumi di Hindia Belanda. Hal ini disampaikan Sin Po sebagai berikut: “Sampe ini hari Sin Po soeda beroesia tjoekoep 25 taon. Dalem tempo 25 taon jang telah liwat di doenia soeda terdjadi banjak perkara, soeda terdjadi banjak perobahan, sebagi soerat kabar Sin Po soeda ikoetin kadjadian-kadjadian di doenia dan soeda toeroetin aliran peroebahan, hingga Sin Po sekarang soeda djadi sanget berlaenan dari waktoe pertama terbit pada 25 taon jang laloe. Sin Po moelai djalanken ia poenja rol

28 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 29. 29 Mirjam Maters, Dari Perintah Halus ke Perintah Keras (Jakarta: Hasta Mirta-Pustaka Utan Kayu), hlm. 257. 30 Algemeen Nieuws En Telegraaf Agentschap atau biasa disingkat ANETA didirikan pada 1 April 1917 di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia I oleh D.W. Beretty yang merupakan seorang bekas pegawai kantor telegrap dan pernah bekerja untuk surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad dan Java Bode. Selama Perang Dunia I, ANETA melayani berita-berita penting dari medan pertempuran dalam waktu 24 jam setelah peristiwanya terjadi, walaupun kemudian diadakan blokade terhadap berita-berita perang. ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita atau biro pers yang besar dan modern, sebagai pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai penjuru dunia. ANETA kemudian menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita-berita, terutama karena kedudukannya disokong sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Lihat Abdurrachman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 39-40. 31 Tan Beng Hok, Op. Cit., hlm. 80. 12

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 jang lebih penting, teroetama dalem hal membangoenken Nationalisme. Sabegitoe djaoe Sin Po soeda teroes mendjadi soerat kabar jang merdika, jang tida mengekor pada sala-satoe partij atawa madjikan, hingga ada laloeasa boeat mengamoekaken kapentingan-kapentingan oemoem.”32

Gagasan dan Pemberitaan Sin Po Mengenai Isu-Isu Pergerakan Kebangsaan di Indonesia Perkembangan politik di Hindia Belanda setelah Perang Dunia I sangat mengesankan. Gerakan massa yang pertama, Sarekat Islam, menjadi lebih radikal. Pemerintah Belanda bermaksud menyalurkan radikalisme ini ke dalam Volksraad, tetapi mendapati bahwa unsur- unsur sayap kiri dan orang Indonesia pribumi bersikap bermusuhan terhadap penguasa Belanda dan menuntut ikut ambil bagian dalam pemerintahan. Volksraad atau Dewan Rakyat merupakan badan perwakilan yang bertugas memberikan nasihat antara lain mengenai keuangan. Anggota Voolksraad mempunyai kebebasan untuk mengecam aturan-aturan pemerintah yang dapat dilakukan oleh siapapun yang menjadi anggotanya, jadi tidak hanya golongan priyayi saja.33 Setelah pecahnya Perang Dunia I, dalam Volksraad diijinkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Debat pidato dalam sidang-sidang permulaan sangat bersemangat, bahkan sering revolusioner, mengandung banyak kecaman terhadap pemerintah dan banyak kekecewaan-kekecewaan, semuanya melahirkan perasaan anti-kolonialisme, anti- Belanda, dan anti-kapitalisme.34 Pada pertengahan tahun 1917, suatu peraturan berkenaan dengan keanggotaan Volksraad dikeluarkan, yang menetapkan bahwa orang Belanda dan mereka yang berstatus Eropa (yang beberapa orang pribumi dan beberapa orang Tionghoa) mempunyai hak pilih.35 Ini berarti bahwa para anggota dewan daerah dari golongan Tionghoa yang berstatus Eropa mempunyai hak untuk memilih calon anggota Volksraad. Dengan demikian, untuk menjinakkan orang Tionghoa, pemerintah kolonial Belanda tak hanya memberikan banyak konsesi kepada mereka tetapi juga ingin mengikutsertakan mereka dalam Volksraad. Untuk merundingkan masalah keanggotaan dalam Volksraad, H.H. Kan yang merupakan seorang anggota dari Dewan Karesidenan Batavia mengundang berbagai organisasi-organisasi Tionghoa di Jawa untuk mendiskusikan masalah tersebut. Pertemuan untuk mendiskusikan

32 “Sin Po 25 Taon”, dalam Sin Po, Selasa 1 Oktober 1935. 33 Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908 – 1918 (Jakarta: PT Temprint, 1989), hlm. 202. 34 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hlm. 35. 35 Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917 – 1942, Op. Cit., hlm. 27. 13

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 masalah keanggotaan orang Tionghoa dalam Volksraad disebut Konferensi Semarang. Konferensi ini dilaksanakan pada tanggal 4 November 1917 di Semarang yang dihadiri oleh sekitar 700 orang, terdiri dari para anggota dewan daerah dari golongan Tionghoa di Jawa, orang Tionghoa dari seluruh Jawa yang menaruh minat pada masalah itu, dan wakil-wakil dari 39 perhimpinan Tionghoa terutama THHK, Siang Hwee, dan organisasi-organisasi Tiongkok Raya lainnya yang lebih kecil.36 Sebagian besar orang Tionghoa yang hadir dalam diskusi tersebut tidak setuju untuk ikut kegiatan dalam lembaga-lembaga perpolitikan di Hindia Belanda. Sin Po merupakan salah satu kelompok yang tidak menyetujui keikutsertaan orang Tionghoa dalam Volksraad. Kelompok Sin Po mengutarakan pemikirannya sebagai berikut:

“orang-orang Tionghoa di Hindia adalah orang-orang asing; sebagi orang asing marika tida haroes ikoet serta dalam politiek setempat. Orang dapat mengadjoeken alesan bahoea tida ada jang melindoengi kapentingan orang-orang Tionghoa kaloe marika tida ikut serta dalam Volksraad. Ini tida betoel, sebab Tiongkok mempoenjai kedoetaan besar di Den Haag jang dapat beroeroesan langsoeng dengen pedjabat-pedjabat Olanda. Para diplomat Tiongkok tentoe djaoe lebih mampoe dibanding dengen orang-orang Tionghoa peranakan anggota Volksraad, jang hanja meroepaken para kawoela Olanda.”37 Pada masa ini, Sin Po secara aktif mempropagandakan gagasan-gagasan mereka mengenai nasionalisme Tiongkok dan tidak perlunya orang-orang Tionghoa menjadi anggota Volksraad. Sin Po juga menentang kebijakan pemerintah Belanda mengenai kewarganegaraan. Pada pertengahan abad ke-19, suatu konsep mengenai Nederlandschap (Kebangsaan Belanda) dirumuskan dalam Undang-Undang Pokok Belanda.38 Konsep ini memandang bahwa orang Belanda, keturunan Belanda, pribumi, dan orang Asia yang lahir di Hindia Belanda (Tionghoa dan Arab) sebagai Nederlander (berkebangsaan Belanda). Tetapi, status sebagai Nederlander ini tidak berarti apa-apa bagi golongan pribumi dan bagi orang Tionghoa, karena tidak disertai oleh hak yang sama sebagaimana yang didapat oleh orang Belanda.39 Berdasarkan hal inilah yang kemudian membuat Sin Po melancarkan Kampanye menentang Undang-Undang Kekawulaan Belanda. Kampanye anti Undang-Undang Kekawulaan Belanda itu adalah suatu manifestasi nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda. Sin Po menerbitkan artikel yang menguraikan alasan-alasan mengapa orang-orang Tionghoa tidak perlu menerima Undang- Undang kekawulaan Belanda tersebut sebagai berikut:

“Pertama mengapa dalem perobahan Nederlandsch diakoeh kakoewatannja artikel 2 dari Algemeene Bepalingen jang menentoekan satoe oendang-oendang tida boleh ada poenja

36 Ibid., hlm. 29. 37 “Orang Tionghoa dan Volksraad”, dalam Sin Po, 1 November 1917. 38 Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917 – 1942, Op. Cit., hlm. 41. 39 Ibid., 14

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 kakoewatan moendoer. Kadoewa, Mr. Fromberg sendiri jang bilang jang Nederlandsch Onderdaanschap ada banjak tjatjatnja lantaran oendang-oendang itoe dibikin sanget terboeroe- boereo seperti hendak berlombahan dengen Chineesch Onderdaanschap. Ia sendiri anggap, jang oendang-oendang itoe satoe kali misti dirobah soepaja bisa djadi oendang-oendang karahajatan jang sempoerna. Katiga Nederlandsch Onderdaanschap tida membri hak pada orang-orang boeat tolak itoe karahajatan. Ini ada sanget bertentangan dengen oendang- oendang dari banjak negri-negri di ini doenia. Kaampat Nederlandchs Onderdaanschap boekan sadja bertentangan dengen oendang-oendang karahajatan dari banjak negri di ini doenia, tapi ada bertentangan dengen Nederlanderschap, jaitoe djadi sama oendang-oendang karahajatan Olanda sendiri. Kita tida boleh bilang jang Pamerentah Olanda tidak boleh bikin oendang-oendang karahajatan, tida boleh bikin Nederlandsch Onderdaanschap, tida begitoelah boekan adanja kita poenja maksoed. Jang dikehendakin oleh kita, jaitoe soepaja diboekah satoe pintoe oleh Pamerentah Olanda boeat orang-orang Tionghoa jang maoe teroes djadi rahajat Tiongkok lolosken dirinja dari iketan Nederlandsch Onderdaanschap.”40 Surat kabar Sin Po lahir pada masa awal pergerakan nasional Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pada masa inilah mulai muncul cita-cita “Indonesia Merdeka”. Namun cita-cita tersebut masih belum jelas, akan tetapi sudah mulai dirasakan perlunya memajukan pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan persatuan.41 Surat kabar Sin Po merupakan surat kabar yang memiliki haluan nasionalisme Tiongkok namun ia mendukung pergerakan nasional Indonesia. Hal ini dinyatakan Sin Po sebagai berikut:

“Di waktoe jang blakangan ternjata bangsa Tionghoa semingkin berdiri deket pada golongan boemipoetra dalem oeroesan politiek dan pergerakan. Di ini Hindia golongan Tionghoa dan boemipoetra dibedaken haknja dalem urusan wet dari bangsa koelit poeti, hingga kadoea golongan mempoenjai satoe kapentingan boeat bikin linjap itoe perbedahan jang tida sebagimana moestinja. Tempatnja bangsa Tionghoa boekan di blakangnja Blanda, tapi berendeng sama-sama dengen golongan Boemipoetra. Gerakan dari fihak Boemipoetra boeat berkoeasa dalem negri sendiri dan dapet kamerdikahan ada pergerakan jang djamak dan patoet, hingga atas namanja kapatoetan dan keadilan bangsa Tinghoa tida laen dari merasa sympathie dengen itoe gerakan.”42 Situasi Tiongkok sebelum revolusi mirip dengan keadaan Indonesia. Rakyat Indonesia di bawah penjajahan pemerintah Belanda juga mengalami penderitaan yang tak kurang hebatnya. Dengan demikian, nasionalisme Tiongkok sedikit banyak mirip dengan naionalisme Indonesia berlandasan sejarah yang sama dan dengan musuh yang sama pula, yaitu imperialisme Barat.43 Ternyata doktrin Dr. Sun Yat Sen tersebut banyak dianut oleh kaum nasionalis Indonesia, antara lain Bung Karno. Berdasarkan hal tersebut, Sin Po menyatakan bahwa sebagai bangsa Tionghoa, mereka tidak boleh menghalangi atau menentang pergerakan yang dilakukan masyarakat bumiputra dalam menghadapi pemerintah Belanda. Karena pergerakan tersebut merupakan bagian dari haluan pan-Asia yang bertujuan membuat bangsa Asia berkuasa dan merdeka di benuanya sendiri .

40 “Maksoed Kita Membrantas Nederlandsch Onderdaanschap”, dalam Sin Po, 28 Januari 1919. 41 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 61. 42 “Boemipoetra dan Tionghoa”, dalam Sin Po, Senen 17 Agustus 1925. 43 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Op. Cit., hlm. 59 – 60. 15

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 Sin Po selalu mengikuti dinamika perkembangan pergerakan nasional Indonesia, salah satunya adalah pergerakan yang dilakukan Sarekat Islam. Kelompok Sin Po melihat bahwa pergerakan yang dilakukan Sarekat Islam sama dengan pergerakan yang dilakukan orang Tionghoa, yakni mempunyai tujuan yang sama untuk mendapatkan hak persamaan di Hindia Belanda. Jika orang Tionghoa mempunyai gerakan berupa sekolah dan perkumpulan dagang, maka orang pribumi mempunyai gerakan berupa gerakan keagamaan. Hal ini dinyatakan Sin Po sebagai berikut:

“Pemerintah Belanda mendesak dengan berbagi-bagi perbuatan yang berat sebelah, haknya orang Tionghoa seperti penduduk tidak mau diakui, di sana-sini banyak kejadian perkara sewenang-wenang, dari situlah terlahir gerakan Tionghoa di ini Hindia. Orang Tionghoa mau dapat persamaan! Melihat begitu orang Bumiputera juga jadi sadar dengan keadaannya. Di situ juga terlahir gerakan, dan akhirnya lalu berdiri Sarekat Islam. Orang Bumiputera juga mau dapat persamaan dan kemerdekaan. Jadi, dilihat dari sini, nyatalah gerakan Tionghoa dan gerakan SI ada sama betul sifatnya dalam satu hal: dapatkan hak kemanusiaan dengan sempurna yang sebegitu jauh sudah dipungkir oleh undang-undang Belanda di ini Hindia!”44 Dengan demikian, diharapkan bahwa pergerakan yang dilakukan orang Tionghoa dan orang pribumi dapat berjalan bersama-sama karena memiliki tujuan yang sama. Walaupun pada dasarnya pergerakan pribumi lebih luas cakupannya, yaitu kemerdekaan Indonesia. Selain mengenai pergerakan Sarekat Islam, Sin Po juga mengecam pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia tahun 1926. Pergerakan komunis tersebut terjadi pada tanggal 13 November 1926, yang ditujukan untuk memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda.45 Pemberontakan Komunis ini mempunyai akibat yang luas. Banyak tokoh- tokoh pergerakan nasional dan rakyat ditangkap. Ada yang dijebloskan dalam penjara, dihukum gantung, ditembak mati, diasingkan dan masih banyak cara lain yang sifatnya menindas rakyat Indonesia. Sin Po sebagai salah satu surat kabar yang mengecam pemberontakan yang dilakukan oleh komunis itu. Pihak komunis memang tidak memperhitungkan akibat yang terjadi karena pemberontakannya tersebut. Hanya kepentingan golongan merekalah yang menjadi perhatian. Pendapat Sin Po mengenai pemberontakan tersebut adalah sebagai berikut:

“Bahoea kaoem communist jang menerbitken, mengatoer serta memimpin ini pergerakan, dengen maksoed aken meroeboehken pamerentah Blanda, itoelah soeda terang, teroetama dari pengakoeannja pemimpin-pemimpin communist sendiri. Aken tetapi, boeat kata ini ada pergerakan communistisch, itoelah menoeroet timbangan kita ada kliroe, kerna itoe maksoed communistisch: meroeboehken pamerentah kapitalistisch dan asing serta ganti dengen satoe dictatoraat kaoem proletarier, sama sekali diboeang kasamping, dan diganti oleh: mengoembar

44 “Sedikit Perkataan Buat Tuan Darsono”, dalam Sin Po, 21 November 1918. Lihat Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900 – 2002 (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 33. 45 Sudiyo, Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm. 104. 16

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 napsoe membales sakit hati, memboenoeh, merampas, pendek, pemimpin-pemimpin itoe tjoema membangoenken dan menggoenaken hawa napsoe pada sesama bangsanja itoe jang kena dipikat dan kena dipaksa, meloeloe boeat terbitken hoeroe-hara di dalem negri. Boeat kata, bahoea marika itoe tersoeroeng oleh katjintaannja pada igama Islam. Marika itoe sama sekali tidak memperhatiken maksoed politiek, tida mempoenjai tjita-tjita, jang kita orang boleh moeliaken, maski tida bersamaan dengen tjita-tjita jang kita orang kandoeng sendiri. Marika itoe soeda goenaken marika poenja pengaroeh dalem desa—lantaran kahadjiannja, kakahajannja, atawa kasombongannja—boeat maksoed jang tida baek.”46 Sin Po juga menguraikan pendapatnya mengenai penangkapan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini disebabkan karena kemajuan-kemajuan yang dilakukan PNI untuk membawa rakyat Indonesia memperoleh kemerdekaan telah mengkhawatirkan orang-orang reaksioner Belanda di Indonesia, yang kemudian mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap PNI. Tersebar juga kabar yang menerangkan bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan pada tahun 1930. Karena kabar itu dan desakan-desakan kaum reaksioner makan pada tanggal 29 Desember 1929 pemerintah Belanda melakukan penangkapan- penangkapan terhadap para pemimpin PNI.47 Para pemimpin PNI itupun diberikan hukuman- hukuman atas tuduhan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Penangkapan para pemimpin PNI ini merupakan pukulan telak bagi anggota-anggota PNI. Akhirnya pada tanggal 25 April 1931, diambil keputusan untuk pembubaran PNI karena keadaan memaksa. Pembubaran ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh partai yang masing-masing mendirikan Partai Indonesia dan PNI-Baru. Sin Po sebagai surat kabar Tionghoa yang mendukung pergerakan nasional Indonesia menyindir kebijakan pemerintah Belanda tersebut dengan mengatakan walaupun pemerintah Belanda berhasil melenyapkan PNI dari panggung pergerakan, namun semangat kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia yang telah diciptakan oleh partai tersebut tidak akan ikut lenyap. Sindiran Sin Po ini dimuat dalam rubrik Djamblang Kotjok sebagai berikut:

“Rad van Justitie di Batavia telah tetepken vonnis landraad di Bandoeng jang djatoeken hoekoeman berat pada pemimpin-pemimpin PNI. Koran-koran Blanda jang bersoerak bahoea PNI bakal linjap. Tapi Garem rasa biar Raad van Justitie bisa bikin linjap koempoelan atawa nama PNI boeat vonnis soemanget PNI ada di loear ia poenja kekwasahan. Perkara nama ada oeroesan ketjil; koetika Dr. Sun Yat Sen moelain bergerak ia poenja koempoelan pake nama Chung Sin Hul, satoe nama jang sekarang soeda diloepaken. Chung Sin Hui ganti nama djadi Tung Ming Hui dan Tung Min Hui ganti nama kombali djadi Kwo Min Tang. Dr. Sun seperti oendjoek ganti nama tida djadi apa, asal djangan ganti soemanget.”48 Memasuki periode 1930-an, pemberitaan Sin Po tidak lagi banyak memfokuskan mengenai pergerakan-pergerakan yang terjadi di Hindia Belanda. Pada periode ini telah

46 “1926”, dalam Sin Po, Jumat 31 Desember 1926. 47 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Op. Cit., hlm. 372-373. 48 Garem, “Djamblang Kotjok”, dalam Sin Po, Selasa 21 April 1931. 17

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 terjadi perang antara Tiongkok dan Jepang, sehingga berita yang dimuat Sin Po lebih banyak menitikberatkan pada dukungannya terhadap negeri Tiongkok dalam melawan agresi-agresi Jepang. Jepang sebagai kekuatan yang baru di Asia ingin melebarkan sayapnya dengan mengambil alih negara-negara Asia, salah satu tujuannya adalah mengambil alih wilayah Tiongkok. Selama perang Tiongkok-Jepang berlangsung, Sin Po mengkritik pemerintahan Chiang Kai Shek yang dianggap terlalu lemah dalam menghadapi Jepang. Hal ini dikarenakan Chiang Kai Shek selalu berbicara tentang jalinan persaudaraan antara Tiongkok dan Jepang, padahal Jepang selalu menyerang Tiongkok. Surat kabar Sin Po juga memuat berita mengenai perang saudara di Tiongkok. Perang saudara ini terjadi setelah wafatnya Sun Yat Sen yang kemudian menyebabkan runtuhnya persatuan nasional di Tiongkok. Para pemimpin di Tiongkok berusaha saling menjatuhkan untuk merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ini terjadi antara Kuomintang yang beraliran nasionalis dan Kunchantang yang beraliran komunis. Selama perang saudara berlangsung, Sin Po rutin memuat berita mengenai jalannya perang saudara. Sin Po menyampaikan pendapatnya bahwa perang saudara yang sedang terjadi di Tiongkok merupakan bentuk dari kegagalan pemerintahan Chiang Kai Shek yang pada saat itu menjadi pemimpin Tiongkok. Chiang Kai Shek sebagai pemimpin yang berasal dari Kuomintang sangat memusuhi Khunchantang dan berusaha menyingkirkannya. Menurut Sin Po, salah satu cara mengakhiri perang saudara adalah dengan turunnya Chiang Kai Shek sebagai pemimpin Kuomintang.

Penutup Pada masa awal berdirinya, Sin Po banyak memuat berita mengenai seputar peristiwa yang terjadi di Tiongkok. Hal ini dilakukan Sin Po guna mengajak para pembacanya yang mayoritas adalah orang-orang Tionghoa untuk tetap setia membela dan tidak melupakan negeri leluhur mereka, yaitu Tiongkok. Selain itu, sebagai suratkabar yang berdiri di Hindia Belanda, Sin Po juga seringkali memuat pemberitaan yang isinya mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Memasuki periode 1920-an, gelombang pergerakan nasional Indonesia semakin berkembang. Sebagai surat kabar yang selalu mengikuti perkembangan zaman, pada periode ini surat kabar Sin Po lebih banyak memuat berita mengenai pergerakan- pergerakan yang terjadi di Hindia Belanda. Sikap mendua surat kabar Sin Po mulai terlihat pada masa ini. Meski merupakan surat kabar Tionghoa yang berorientasi nasionalisme Tiongkok, namun surat kabar Sin Po turut mendukung pergerakan nasional Indonesia melalui gagasan- 18

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 gagasannya dalam setiap pemberitaannya. Menurut Sin Po, nasionalisme Tiongkok memiliki hubungan dengan nasionalisme Indonesia karena keduanya merupakan bagian dari nasionalisme Asia yang menganggap kolonialisme dan imperialisme sebagai musuh bersama, maka wajarlah jika surat kabar Sin Po bersimpati terhadap pergerakan nasional Indonesia.

Daftar Referensi Surat Kabar: Sin Po tahun 1917 – 1942.

Buku: Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. Carey, Peter. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755–1825. Jakarta: Pustaka Azet. Flournoy, Don Michael. 1989. Analisa Isi Suratkabar Suratkabar Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hok, Tan Beng. 2009. Memoar Ang Yan Goan 1894 – 1984. Jakarta: Yayasan Nabil dan Hasta Mirta. Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Liem, Yusuf. 2000. Prasangka terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rezim Soeharto. Jakarta: Djambatan. Maters, Mirjam. 2003. Dari Perintah Halus ke Perintah Keras. Jakarta: Hasta Mirta-Pustaka Utan Kayu. Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908 – 1918. Jakarta: PT Temprint. Niel, Robert Van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Noordjanah, Andjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya. Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah. Onghokham. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu. ______. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Depok: Komunitas Bambu. 19

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016 Pandjaitan, Samuel. 2005. Kesaksian Perdjoeangan Pena Jilid I. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka. ______. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: Bina Aksara. Sumardjo, Jakob. 1992. Muncul dan Lenyapnya Sastra Melayu-Tionghoa. Depok: Universitas Indonesia. Surjomihardjo, Abdurrachman dkk. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas. Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: PT Grafiti Pers. ______. 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917 – 1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ______. 2002. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900 – 2002. Jakarta: LP3ES. ______. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Kompas. ______. 2010. Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Zein, Abdul Baqir. 2000. Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia. Jakarta: Prestasi Insani Indonesia.

Jurnal: Lubis, Mochtar. “The Press in Indonesia”. Far Eastern Survey. Volume 21, No. 9, pp. 90-94. Juni 1952. < http://www.jstor.org/stable/3024185>

Suryadinata, Leo. “Pre-War Indonesian Nationalism and the Peranakan Chinese”. Indonesia, No. 11, pp. 83-94. April 1971. < http://www.jstor.org/stable/3350745>

20

Dua Suara ..., Tiya Destiyani, FIB UI, 2016