Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an

Wildan Sena Utama Alumnus Jurusanq Ilmu Sejarah UGM angkatan 2007

Abstract

This paper discusses the everyday life of the Tionghoa society in Batavia in the first forty years of the twentieth century. The everyday life of the Tionghoa society in Batavia has so far been left unexplored. Existing studies on this particular group of people have mostly focused on the economic and political dimensions, for example the business activities of the Tionghoa society and the policy of discrimination for and against them made by successive governments in . This paper shows that the social dimension can be an effective approach to study the many issues of the topic.

Key words: Tionghoa society, socio-cultural, daily life

Abstrak

Kecenderungan selama ini penulisan sejarah masyarakat Tionghoa terlalu terjebak pada aspek perdagangan dan diskriminasi. Artikel ini berusaha keluar dari dua paradigma itu. Pembahasan artikel ini tentang kehidupan masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan aspek keseharian dalam hal sosial-budaya. Masyarakat Tionghoa di Batavia mempunyai kehidupan biasa yang menarik dan selama ini masyarakat jarang mengetahui keanekaragaman kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Tionghoa secara biasa di Batavia sebenarnya kita bisa melihat bahwa masih banyak topik penulisan yang bisa ditulis.

Kata kunci: Masyarakat Tionghoa, sosial-budaya, kehidupan sehari-hari

Pengantar etnis Tionghoa terlalu menyempit ke dalam dua hal. Pertama, penggambaran mereka Sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkal sebagai etnis pedagang. Kedua, penggambaran bila menyatakan bahwa penggambaran etnis mereka sebagai etnis yang terdiskriminasi. Tionghoa dalam historiografi Indonesia belum Dua penggambaran inilah yang begitu banyak proporsional. Penyebabnya adalah dalam mendominasi penulisan sejarah mengenai historiografi Indonesia penggambaran tentang etnis Tionghoa. Tentu hal ini bukan sebuah 20 Lembaran Sejarah kesalahan tetapi perlu ada perspektif baru Gungwu ada dua pola migrasi bangsa Tionghoa untuk menghadirkan sejarah masyarakat (1) huashang (2) huagong (Mona Lohanda, Tionghoa secara lebih komprehensif. Bila 2009: 42-43). Huashang adalah pola migrasi tidak maka sama saja kita mengecilkan mengikuti perdagangan maritim. Sedangkan kehidupan masyarakat Tionghoa dan lebih huagong adalah migrasi yang digerakkan jauh lagi, mengecilkan keluasan aspek sejarah oleh kebijakan pemerintah kolonial yang masyarakat. memerlukan banyak tenaga untuk membangun Dalam kajian mengenai sejarah etnis emporium di wilayah Timur. Tionghoa di Indonesia, masih sedikit studi Motivasi orang-orang Tionghoa melakukan yang membahas mengenai kehidupan etnis migrasi, mulai dari mencari penghidupan Tionghoa secara “biasa-biasa”. Maksud dari di tanah baru yang lebih layak sampai kata “biasa-biasa” adalah menampilkan sejarah faktor: politik, budaya, pendidikan, moral kehidupan keseharian masyarakat secara dan sentimental (Gungwu, 1985: 71). Pola manusiawi. Sejarah, menurut Bambang kedatangan mereka bervariasi. Biasanya kalau Purwanto, “tidak selalu menampilkan masa lalu yang datang ke Jawa, migrasinya perorangan yang luar biasa melainkan juga kajian tentang atau dalam jumlah kecil. Berbeda dengan kehidupan keseharian yang manusiawi” Jawa, di Sumatera Utara mereka datang dalam (Bambang Purwanto, 2006: xviii). Oleh sebab komunitas seperti bedol desa (Onghokham, itu, artikel ini berusaha ingin keluar dari dua 2008: 2). Pada awal abad ke-20, sekitar 14-15 pembahasan yang mendominasi historiografi juta orang Tionghoa berada di luar China, etnis Tionghoa di Indonesia. Studi ini akan lebih sekitar 6 juta orang berada di Asia Tenggara difokuskan ke dalam aspek sosial budaya dari (Unger, 1944: 204). Di Jawa, paling banyak masyarakat Tionghoa dengan lingkup spasial di orang Tionghoa terkonsentrasi di Batavia. . Pertanyaannya adalah mengapa perlu Sisanya paling banyak di dan daerah mengkaji sejarah kehidupan sosial dan budaya pesisir utara Jawa. masyarakat Tionghoa di Jakarta ? Saat kedatangan Belanda pertama kali ke Batavia pada tahun 1596, pabrik arak milik Masyarakat Tionghoa di Batavia Sebelum orang Tionghoa telah berdiri di luar dinding Abad Keduapuluh kota sebelah utara (Taylor, 2009: 1). Pemukiman Tionghoa telah berdiri walaupun dalam wilayah Kedatangan orang Tionghoa di Nusantara yang tidak terlalu besar. Masyarakat Tionghoa, telah sejak lama mendahului kedatangan orang- terutama kaum laki-laki memilih menetap orang Belanda. Dari penjelasan Groeneveldt, dan menikah dengan wanita lokal yang ada sudah sejak tahun 400an orang Tionghoa telah di Batavia. Pernikahan dengan wanita lokal menginjak bumi Nusantara (Groeneveldt, disebabkan oleh tidak adanya wanita Tionghoa 2009). yang melakukan migrasi. Pilihan banyak Orang-orang Tionghoa yang melakukan jatuh kepada para wanita Bali karena mereka migrasi ke Asia Tenggara biasanya berasal dari tidak pantang makan babi (Onghokham, 2009: provinsi Kwangtung dan Fukien (Vandenbosch, 3). Faktor utamanya sebenarnya wanita Bali 1947: 90). Orang yang berasal dari Fukien memiliki paras rupawan dan pintar mengurus berlogat Hokkien. Sedangkan yang dari rumah tangga. Kwangtung, disebut Hakka, biasanya berasal Saat Batavia mulai didirikan, orang-orang dari Kanton, Hoklo dari Swatow, Haifoeng Belanda menarik orang-orang Tionghoa untuk dari Pulau Hainan (Mona Lohanda, 2009: tinggal lebih banyak di Batavia. Pelaut Belanda 10). Umur rata-rata orang Tionghoa saat tidak segan-segan menculik sebagian awak- bermigrasi antara umur 20-45. Menurut Wang Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 21 awak Tionghoa yang sedang berlabuh supaya miskin”. Pembangunannya selesai empat tahun bekerja dalam kota (Heuken, 1997: 173). kemudian, dengan bangunan sederhana terdiri Banyak pula kapal-kapal Belanda menculik dari struktur bambu dan tembok batu (Salmon pria, wanita dan anak-anak di Tiongkok dan Myra Sidartha, 2007). Selatan. Namun, beberapa tahun ke depan, Domisili warga Tionghoa di dalam kota mulai banyak orang Tionghoa dari sekitar berada di sekitar Kali Besar, tepatnya di sisi Batavia, terutama dari Banten, datang ke timur Kali Besar. Orang-orang Tionghoa telah Batavia. banyak membantu pembangunan di dalam kota. Pada tahun 1619 sekitar 300-400 orang Pekerjaan-pekerjaan bangunan penting, seperti Tionghoa tinggal di Batavia. Tahun 1620 penggalian saluran dan pembangunan tembok jumlahnya bertambah menjadi 800 orang. kota dan gedung-gedung, semua dilaksanakan Tahun 1621 jumlahnya bertambah lagi menjadi oleh kontraktor-kontraktor Tionghoa terkenal, 2.100 orang dan tahun 1627 menjadi 3.500 seperti Jan Con dan Bingham (Blusse, 2004: orang (Mona Lohanda, 2001: 9). Populasi 48). Di luar benteng, Orang Tionghoa sejak orang Tionghoa pada abad ke-17 lebih banyak tahun 1620 telah membuka lahan di wilayah daripada orang-orang Eropa. Populasi orang pedalaman mengikuti aliran Ciliwung ke arah mestizo dan mardijker hanya sekitar seribu selatan (Mona Lohanda, 2007: 63). Di sekitar orang. Begitu pula dengan orang pribumi dari wilayah ini kemudian dibuka lahan-lahan berbagai latar belakang etnis yang tidak menjadi untuk usaha pertanian. budak. Menariknya, populasi mayoritas justru Pada abad ke-17 orang Tionghoa di ditempati oleh para budak-budak. Populasi Batavia telah berkecimpung di petanian. Pada mereka pada tahun 1679 sekitar 16.695, dimana abad ke-17 orang Tionghoa di Batavia telah 5.654 hidup di daerah timur dan 5709 di daerah berkecimpung di petanian. Tahun 1662, dalam barat serta 5.332 berada di pinggiran kota surat yang dituliskan pengganti van Riebeeck, (Niemeijer, 2000: 76) dituliskan bahwa ada sekitar 25-30 orang Pada akhir abad ke-17, Batavia telah Tionghoa yang mempunyai pengetahuan dalam menyulap dirinya menjadi kota multi etnis. bertani (Pan, 1994: 26). Van Imhoff mengakui Orang-orang dari berbagai etnis ini dibagi bahwa pemerintah Belanda bergantung menjadi dua kategori: kategori elit yang tinggal kepada orang Tionghoa dalam hal pertanian. di dalam benteng dan kategori biasa, miskin Dia mengatakan “Orang Tionghoalah yang dan budak yang tinggal di luar benteng. Orang mulai mengolah tanah, kini tiba saatnya bagi Eropa umumnya tinggal di dalam benteng kota kita untuk menyempurnakan dan meluaskan sedangkan di luar benteng adalah para budak pertanian” (Lombard, 2008: 248). Bidang dari berbagai wilayah Nusantara. Berlainan pertanian yang dibudidayakan orang Tionghoa dengan pemukiman warga lokal, awalnya orang di Batavia mencakup padi, nila, kacang tanah Tionghoa bertempat tinggal bebas di manapun dan tebu. di wilayah Batavia. Tidak hanya di benteng Budidaya paling penting dari semua kota tapi juga termasuk di wilayah-wilayah komoditas pertanian Tionghoa adalah pedalaman. Mereka mendirikan beberapa budidaya tebu. Perkebunan tebu menjadi institusi orang Eropa seperti: rumah sakit, tulang punggung ekonomi Batavia ketika panti asuhan dan panti jompo (Abeyasekere, pembukaan wilayah baru semakin diperluas 1987: 24). Pada tahun 1640 orang-orang sampai daerah di luar benteng. Daerah ini Tionghoa di Batavia telah meminta izin merupakan wilayah Ommelanden. Awalnya, membuka rumah sakit Tionghoa yang disebut pada tahun 1620an, orang-orang Belanda dan Yangji yuan atau “rumah sakit untuk orang Tionghoa membersihkan lahan di daerah luar 22 Lembaran Sejarah tembok kota kemudian menanam kebun kelapa mengolahnya menjadi tambak ikan (Lombard, (Raben, 2000: 94). Akhirnya, orang-orang 2005: 272). Masyarakat Tionghoa telah tertarik Tionghoa Batavia kebanyakan mendirikan untuk membudidayakan tambak. Tambak pemukiman di daerah ini. Jumlahnya pada sendiri sering disebut empang yang berasal dari tahun 1739 mencapai 10.574 (Mona Lohanda, bahasa Hokkian, pang, yang artinya “petak, 2007: 160) kotak”. Pada tahun 1710 terdapat 130 pabrik Tidak semua masyarakat Tionghoa gula milik 84 pengusaha di Ommelanden, berprofesi sebagai pedagang. Hal ini dikuatkan proporsinya 79 milik orang Tionghoa, 4 dengan sensus penduduk yang dilakukan orang Belanda dan 1 orang Jawa (Blusse, setelah peristiwa 1740. Dalam suatu sensus 2004: 165). Menjelang tahun 1710 tercatat penduduk atas 3.431 kepala keluarga 131 penggilingan tebu di Batavia: 49 buah Tionghoa, Terdapat 1.442 orang Tionghoa di barat Sungai Ciliwung dan 82 di sebelah yang berdagang, 935 yang bertani, 728 bekerja timur (Lombard, 2008: 249). Olahan dari tebu dalam produksi gula dan penebangan kayu menghasilkan berbagai macam produk, salah dan 362 orang menekuni seni kriya (Lombard, satunya arak. Arak yang berasal dari Batavia 2008: 245). Dalam hal profesi memang tidak merupakan arak kualitas satu yang diakui ada suatu perubahan besar yang terjadi setelah kualitasnya oleh dunia. Arak Batavia dibuat peristiwa 1740. Namun, perubahan terjadi pada dari bahan utama: beras yang difermentasi, masalah hak orang Tionghoa untuk bertempat tetes tebu dan tuak yang terbuat dari nira. tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari. Satu penyulingan rata-rata memasok 18 pikul Setelah peristiwa 1740 pemerintah kolonial (900 liter) per hari. Arak-arak ini mempunyai memberlakukan dua sistem yang disebut pembagian berdasarkan kadar alkohol. Kadar dengan passenstelsel dan wijkenstelsel.1 alkohol 60 persen ditunjukkan untuk pasar Dampak dari kebijakan ini sangat lokal, kadar alkohol 60 persen tapi bermutu merugikan etnis Tionghoa di Batavia. Dalam tinggi dijual kepada Belanda, sedangkan arak hal, bertempat tinggal misalnya, tadinya warga kategori ketiga merupakan hasil campuran Tionghoa yang tidak dipaksa untuk bertempat dengan air sehingga kadar alkoholnya cuma tinggal di wilayah tertentu sekarang menjadi 50 persen (Lombard, 2008: 256). serba sulit bila ingin bertempat tinggal. Setelah Berbeda dengan di wilayah pedalaman, peristiwa 1740, wilayah Ommelanden bukan masyarakat Tionghoa di wilayah pesisiran menjadi tempat tinggal utama masyarakat menyibukkan diri dengan budidaya tiram, Tionghoa. Wilayah yang menjadi titik utama ikan dan pembuatan garam. “Sejak tanggal 28 pemukiman kaum Tionghoa adalah daerah Desember 1655” tulis Valentijn, orang Tionghoa Glodok, Penjaringan, Mangga Besar, Tanah di Batavia telah diberi hak istimewa selama Abang, Pasar Baru dan Pasar Senen. tiga tahun dalam pengembangan budidaya tiram (Lombard, 2008: 271). Boomgaard Arsitektur Tionghoa di Batavia mencatat “dari data tahun 1623, 1632 dan 1633, pemancingan di Batavia dipegang oleh “Dengan beberapa cambukan, sado kami etnis Tionghoa dan freeburgher” (Boomgaard, pun bergerak. Kami melewati sisi kanan 2005: 105). Di sepanjang pesisir Batavia sejak Glodok, melewati toko-toko kecil Tionghoa abad ke-17 telah ditemukan tambak-tambak yang dipegang oleh orang Tionghoa. Tahun 1. Sistem passenstelsel: sistem pas jalan yang akan diberlakukan terhadap orang Tionghoa yang ingin bepergian ke luar 1687 terjadi penyerahan rawa yang terletak kampung. Sistem wijkenstelsel: Sistem pemukiman khusus di timur Batavia kepada Tan Benko agar ia yang diberlakukan untuk mengelompokkan etnis Tionghoa dalam sebuah pemukiman. Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 23 yang kumuh dan kotor, jalan-jalan kecil dan Jika berfungsi sekaligus sebagai toko, kanal-kanal. Pemandangan kampung Tionghoa lantai satu diisi dengan barang-barang toko. ini mengingatkan pada daerah Jordaan di Lantai dua dipakai sebagai tempat tinggal. Amsterdam, tempat saya dibesarkan. Jalan- Loteng – yang berasal dari kata lou-ding – jalan kecil dan sempit berliku tanpa ujung, dimungkinkan untuk menahan panas ruangan dengan deretan pohon di sepanjang kanal. dan mengisolasi lantai dasar sehingga hanya Lebih dari 20.000 orang Tionghoa tinggal disini. dihuni pada waktu malam hari (Lombard, Sungguh tempat yang sangat ramai dan hidup” 2008: 314). Menurut penelitian di suatu daerah (H.C.C Clockener Brousson). Pecinan yang terdiri dari deretan ruko, 60 Di daerah Glodok, banyak rumah-rumah persen dari luas lantai ruko dipakai untuk orang Tionghoa sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal dan 40 persen sisanya untuk toko. Ruangan pada muka depan diisi dengan bisnis (Handinoto, 2009: 84). barang dagangan yang ditumpuk tanpa Di rumah-ruko berderet-deret ini tidak ada aturan yang jelas atau paling-paling ditata di kebun-kebun yang luas. Di halaman depan rak-rak sepanjang dinding (Lombard, 2008: hanya ada sebuah sumur untuk menyuplai 300). Di ruangan ini para pemiliknya dan air bersih. Kalaupun ada tanaman, itu hanya keluarganya sering menghabiskan waktu tanaman seperlunya. Tanaman-tanaman ini sehari-hari termasuk makan bersama keluarga. ditempatkan dalam pot-pot. Orang-orang kaya Ruang depan toko di daerah pecinan biasanya pot-potnya dari porselen, sedangkan yang merupakan perpanjangan dari jalan. Sehingga kurang mampu hanya memiliki pot dari tanah barang-barang yang didagangkan dipajang liat. Memang keadaan ini berbeda dengan sedikit di depan bahu jalan. Kadangkala timbul rumah-rumah Tionghoa di daerah luar kota bau yang menyengat ketika melewati komplek atau di kota-kota kecil. Rumah-rumah di daerah bangunan rumah-ruko yang berderet ini. ini dapat mengelilingi rumahnya dengan kebun Antara lain bau sejenis buah-buahan berduri besar. Namun, kebun yang di pekarangan dan lobak, sejenis umbi-umbian serta bau depan tetap kecil. Sedangkan kebun yang di daging babi panggang (Brousson, 2007: 81). belakang baru besar (Onghokham, 2009: 38). Rumah-rumah ini berdempet-dempetan Rumah-rumah dan toko-toko orang Tionghoa dengan bentuk bangunan yang hampir sama. yang berada di dekat sungai umumnya Bentuk dasar rumah-toko di daerah Pecinan, menghadap ke arah sungai. Oleh karena, dindingnya terbuat dari bata dan atapnya menurut hongsui pemukiman yang paling berbentuk perisai dari genting. Sudah jarang ideal di latar belakangi oleh pegunungan rumah yang terbuat dari kayu dan beratap atau perbukitan dan menghadap ke sungai jerami karena sering terjadi kebakaran yang atau laut (Pratiwo, 2010: 21). Tetapi, tidak diakibatkan oleh petasan dan mercon. Bentuk semua bangunan rumah menjalankan konsep atap yang umumnya dipakai di daerah Pecinan hongsui tersebut. Dalam sebuah foto yang adalah model Ngang Shan dan Hsuan Shan bertahun 1920, sebuah rumah di Glodok (Handinoto, 2009: 84). Ilmu ruang atau feng tampak membelakangi sebuah sungai. shui sering diterapkan pada bangunan rumah- Ketika menyusuri daerah pecinan pada awal ruko pada masa lampau. Untuk membantu abad ke-20, seorang pelancong Eropa berkata menentukan arah, para pakar menggunakan “saya melihat rumah-rumah Tionghoa dengan kompas khusus. Lalu, untuk menunjuk ukuran lekukan bingkai-bingkai menonjol, dimana- mereka menggunakan penggaris khusus yang mana di semua toko akan dijumpai tulisan- panjangnya 43 cm (Handinoto, 2009: 84). Teknik tulisan rahasia dengan warna emas” (Brousson, seperti ini telah digunakan sejak abad ke-17. 2007: 80). Dari rumah-rumah yang dilewati 24 Lembaran Sejarah oleh pelancong Eropa ini terlihat altar-altar Baju yang berkerah hanya diperbolehkan pemujaan. Sebuah kewajaran atau mungkin dipakai oleh pejabat Tionghoa yang diangkat sebuah keharusan, dalam sebuah rumah oleh Belanda, saudara mereka dan anak-anak Tionghoa mempunyai altar pemujaan terhadap mereka. Orang biasa tidak berhak memakai dewa-dewa dan leluhur-leluhur mereka. Pada baju gaya ini. Mereka hanya diperbolehkan altar pemujaan terdapat lilin-lilin besar, dupa memakai baju tuikhim biasa. Dalam acara dan barang-barang kecil lainnya. Di sebelah formal dipakai tngsna (baju panjang) dan wnabo kanan kiri altar tergantung kertas merah yang (kopeah batok). Panjang tngsna sepanjang panjang dengan tulisan Tionghoa dari emas. mata kaki, dipakai sebagai baju luar di luar Bangunan-bangunan Tionghoa menurut baju tuikhim dan celana komprang, sedangkan Onghokham “memperlihatkan selera tuan wnabo ialah tutup bulat seperti tempurung rumah, yakni untuk memperlihatkan kekayaan, kelapa (Kwa, 2009: 138). Pada bawahan baik itu uang maupun jumlah anak dan sehari-hari, masyarakat Tionghoa peranakan saudara” (Onghokham, 2009: 38). Pernyataan di Batavia memakai celana komprang. Celana ini nampak dari catatan pelancong Eropa yang komprang mempunyai bentuk potongan yang menyusuri kampung pecinan di Pasar Baru. amat lebar, tanpa memakai tali kolor, hanya Dia mengatakan “di tempat ini tinggal juga dilipat di pinggang dan dikecangkan dengan Mayor Tionghoa di Batavia, rumahnya sangat angkin (ikat pinggang) (Kwa, 2009: 139). indah berlanggam Tionghoa dengan dua buah Terbuat dari bahan sutra tenun yang kuat lentera raksasa yang berwarna merah tua, buatan Tiongkok, yang disebut pangsi, maka kami tidak bisa melihat bagian dalam, namun celana ini dikenal juga dengan sebutan celana apa yang kami lihat tampak luar begitu mewah pangsi. dan indah” (Brousson, 2007: 120). Model pakaian baju tuikhim dan celana komprang ini bertahan di kalangan masyarakat Mode Orang Tionghoa di Batavia peranakan Batavia hingga tahun 1900an. Sedikit demi sedikit orang-orang Tionghoa Ketika mampir ke , pada tahun mulai beralih menggunakan busana khas barat 1905, Tio Tek Hong mengatakan “di Surabaya dengan mengajukan gelijkstelling2 kepada kaum pria Tionghoa telah mengenakan pemerintah Belanda. Orang Tionghoa juga jas buka dan dasi, ketika di Batavia masih menawarkan pentalon gaya barat di tempat memakai baju tuikhim dan celana komprang” jualan-jualannya. Pada tahun 1907, misalnya, (Tio Tek Hong, 2006: 54). Baju tuikhim dan Lie Boen pedagang di Pasar Baru, telah celana komprang adalah pakaian sehari-hari menawarkan satu stel jas yang terbuat dari wol dari masyarakat Tionghoa peranakan. Di dan sutra. Harganya berkisar dari f 8 – f 16 per Batavia baju tuikhim juga dikenal dengan stel (, 18 November 1907). sebutan baju tikim. Bentuknya seperti baju Puncaknya peraturan larangan menggunakan koko. Baju tuikhim mempunyai bukaan di pakaian Eropa dicabut sepenuhnya pada tengah dengan lima buah kancing. Kancingnya tahun 1911. Disamping itu runtuhnya Dinasti terbuat dari bahan yang sama dipilin menjadi Qing dan munculnya gerakan modernisasi di tali, lalu disimpulkan menjadi kancing. Bahan Tiongkok memainkan peranan penting dalam baju terbuat dari katun atau sutra Tionghoa, perubahan pola pikir kaum peranakan di tergantung dari kemampuan finansial si Indonesia. Sejak tahun 1911 semakin banyak pemakai dan acaranya (Kwa, 2009: 138). pria-pria Tionghoa di Batavia yang mengenakan Dalam ragamnya dikenal dua jenis

baju tuikhim (1) berkerah (2) tidak berkerah. 2. Gelijkstelling adalah pengajuan persamaan hak yang dilakukan oleh orang Tionghoa kalangan atas. Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 25 rupa-rupa aksesoris kaum Eropa. Contohnya, depan, bagian depannya dirapatkan dengan saat keluar malam mereka mengenakan topi tiga buah peniti mas atau berantai pet untuk menahan hembusan angin malam halus (Kwa, 2009: 141). Baju panjang banyak (Perniagaan, 11 Agustus 1911). Lalu, model dipakai oleh wanita peranakan di Malaysia “sepatu kungfu” seperti yang dikenakan kaum dan Singapura. baba, digantikan dengan sepatu-sepatu impor Gaya ini mulai berubah pada tahun dari Amerika Serikat dan Inggris. Namun, 1910an, ketika kaum wanita peranakan di sebagian baba yang lebih konservatif memakai Batavia mulai mengikuti model pakaian jas tutup dengan kerah tertutup yang mendekati dari kaum wanita peranakan di Surabaya. tuikhim (Kwa, 2009: 140). Baju kurung digantikan oleh baju pehki yang Sama dengan pria Tionghoa, mode pakaian dipadupadankan dengan hoakun. Disamping wanita peranakan Tionghoa di Batavia juga mode ini, wanita peranakan menggunakan ketinggalan dibandingkan perubahan pola kebaya dengan bawahan kain sarung , berpakaian wanita peranakan di Surabaya. terutama yang berasal dari Pekalongan. Baju Pada tahun 1905, Tio Tek Hong membandingkan pehki dan hoakun dipopulerkan di Batavia ragam pakaian wanita Tionghoa di Batavia dan oleh wanita-wanita muda murid sekolah Tiong Surabaya, “berbeda dengan di Batavia, dimana Hoa Hwee Koan (THHK). Berbeda dengan kaum wanita Tionghoa mengenakan baju kurung baju kurung, baju pehki mempunyai bukaan atau baju panjang dan kain sarung, kaum wanita di samping kanan, panjangnya kira-kira Tionghoa di Surabaya telah mengenakan baju sepinggul wanita. Pemakaiannya satu stel pehki dan kain sarung bila berdiam dalam dengan hoakun, yaitu rok yang dipakai di luar rumah dan mengenakan kun bila bepergian ke celana panjang. Tren ini berlangsung hanya pesta” (Tio Tek Hong, 2006: 53). Menurut Liem sebentar sebelum digantikan keberadaannya Thian Joe, baju kurung merupakan pakaian oleh kebaya renda. sehari-hari nyonya-nyonya Tionghoa pada tahun Kebaya mula-mula dikenakan oleh wanita 1800an (, 2004: 141). Tionghoa di Jawa (Rush, 1991: 22). Apa yang dimaksud baju kurung ? Baju Warna yang digunakan untuk kebaya hampir kurung adalah baju yang terbuat dari bahan seluruhnya berwarna putih. Jarang ada yang tidak transparan, mempunyai belahan di bagian berwarna selain putih. Warna-warna yang lehernya, disemat dengan semacam bros yang lebih ceria umumnya dominan pada bawahan disebut peniti tak (Kwa, 2009: 140). Baju kurung batik (Abeyasekere, 1987: 78). Berbeda dari merupakan pakaian umum dari wanita peranakan warna-warna batik gaya Solo dan di Batavia hingga akhir abad ke-19. Baju ini juga yang berwarna sogan, batik-batik Tionghoa dipakai oleh cokek (penyanyi wanita Gambang memadukan unsur ragam hias Eropa dan Kromong) saat menyanyikan lagu dan menari Tionghoa. Menurut David Kwa, “pemilihan pada pentas pertunjukkan gambang kromong. warna-warna mencolok ini dimungkinkan sejak Bedanya wayang cokek memakai bawahan celana diperkenalkannya pewarna sintetik” (Kwa, panjang, sedangkan dalam keseharian perempuan 2009: 158). Tionghoa lebih sering memadukannya dengan Generasi muda lebih menyukai berbusana sarung batik (Rush, 1991: 22). gaya barat dibandingkan memakai pakaian Akibat sering dipakai oleh wayang cokek, yang dipakai oleh wanita-wanita yang berusia beberapa nyonya di Batavia lebih sering tua (Esther Kuntjara, 2008). Pada pertengahan menggunakan baju panjang daripada baju abad ke-20, wanita muda Tionghoa lebih kurung. Baju panjang potongannya mirip menyukai menggunakan rok daripada kebaya panjang, mempunyai bukaan di menggunakan sarung batik. Para wanita 26 Lembaran Sejarah Tionghoa juga mulai tertarik untuk berdandan demi mewujudkan kehidupan masyarakat seperti orang-orang Eropa. Tionghoa yang lebih baik. Bentuk derma Media memainkan peranan penting dalam sendiri macam-macam, ada yang melalui membentuk opini golongan wanita peranakan derma secara umum, resmi menyumbang Tionghoa mengenai modernisasi mode dan kepada perwakilan organisasi. Ada yang pakaian. Sebut saja majalah Sin Tit Po, yang melalui semacam pertunjukkan kesenian amal luar biasa terpengaruh unsur Eropa. Majalah dan ada pula yang membuka pasar malam. Sin Tit Po sering dalam setiap edisinya Pada koran-koran Tionghoa sering sekali memberikan pengarahan kepada para wanita diberitakan mengenai pendermaan warga bagaimana caranya berpenampilan yang cantik Tionghoa kelas menengah untuk mendukung dan menarik. Dalam sebuah artikel tahun sebuah kegiatan. Salah satu artikel di , 1935 misalnya, Miss Olga dan Miss Lydia Ong memperlihatkan kegiatan derma warga Tionghoa menulis artikel tentang bagaimana mendesain untuk mendorong kemajuan THHK di berbagai baju dan rok para perempuan. Keduanya daerah. Nominalnya macam-macam ada yang memberikan petunjuk dengan detail seperti: menyumbang kecil ada pula yang besar. Namun, pengukuran pinggang, pengukuran bagian rata-rata pada tahun 1914, jumlah derma untuk belakang, depan, mengukur lengan atas, organisasi Tionghoa umumnya berkisar antara bawah, nadi (Majalah Sin Tit Po, 30 Agustus f 1- f 2,50 (Sin Po, 1914). 1935). Secara tidak langsung seperti yang Derma memiliki kontribusi signifikan dikatakan Elsbeth Lochter–Scholten “pakaian dalam keberlangsungan organisasi. Sedikit dan mode memberi sumbangsih terhadap contoh, perkumpulan yang sering menerima proses modernisasi dan pembaratan di mana derma dari warga Tionghoa di Batavia para perempuan memiliki peran yang aktif” adalah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan (Lochter-Scholten, 2005: 248). Union Makes Strength (UMS). UMS adalah perkumpulan olahraga kesebelasan sepakbola Aktivitas Hidup Positif: Tidak Lupa warga Tionghoa di Batavia yang terlibat dalam Berderma kompetisi sepakbola di Jawa pada awal abad ke-20. Berita mengenai perkembangan sepak Salah satu kebiasaan yang selalu disorot bolaa di Batavia, khususnya UMS, sering mengenai kehidupan sosial masyarakat diberitakan oleh organ majalah UMS, Tiong Tionghoa di Nusantara adalah kehidupan Hoa Oen Tong Hwee-Union Makes Strength. religius mereka. Namun, para sejarawan Dalam majalah ini juga diberitakan apabila jarang ada yang melihat salah satu kebiasaan orang-orang Tionghoa yang berada di Batavia lain masyarakat Tionghoa yang cukup menarik juga di tempat lain mendermakan sebagian yaitu menyisihkan sebagian penghasilannya uangnya untuk perkembangan keberlanjutan untuk berderma. Ada dua jenis kegiatan organisasi ini (Majalah Tiong Hoa Oen Tong berderma dalam kehidupan masyarakat Hwee-UMS, 1924). Begitu pula dengan THHK, Tionghoa (1) berderma untuk penguatan dalam buku Nio Joe Lan, Riwayat 40 Tahun institusi, organisasi, perkumpulan ataupun THHK-Batavia, banyak diceritakan tentang kegiatan (2) berderma untuk sosial. derma-derma dari warga Tionghoa Batavia Keberlangsungan dan keberlanjutan untuk mendukung keberlangsungan kegiatan sebuah perkumpulan Tionghoa pada awal THHK. Derma pun tidak hanya diberikan dalam abad ke-20 salah satunya diakibatkan oleh bentuk uang, tetapi ada yang dalam bentuk faktor derma. Jaringan antar masyarakat peralatan sekolah, pakaian dan perabotan. peranakan dikuatkan untuk sama-sama membangun sebuah organisasi perkumpulan Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 27 Bentuk pengumpulan derma yang menarik Selain itu bentuk kegiatan derma adalah melalui pembukaan pasar malam. Pada yang unik adalah melalui kegiatan opera. 31 Januari 1936 di , dibuka sebuah pasar Jadi menggabungkan antara kegiatan seni malam besar di Centrale Pasar. Pemimpin pertunjukkan dengan kegiatan amal. Oleh karena pasar malam itu membuka sambutan dengan penggabungan ini, maka kegiatan ini sering disebut memakai bahasa Tionghoa yang diterjemahkan sebagai opera derma. Biasanya hasil pendapatan ke dalam bahasa Belanda oleh orang Tionghoa dari kegiatan ini seluruhnya disumbangkan penerjemah. Dalam pidatonya ia mengatakan untuk kegiatan sosial atau disumbangkan ke ”bahwa pendapatan pasar malam ini akan organisasi-organisasi Tionghoa. disumbangkan ke perkumpulan amal Tionghoa Salah satu kegiatan opera derma untuk dan sekolah-sekolah Tionghoa (Sin Po, 5 kegiatan sosial adalah opera derma Tionghoa Februari 1936). Tjin Kok Hio. Opera derma ini diselenggarakan Organisasi-organisasi yang sering menerima pada tanggal 14 Juni 1919 di Schowburg, derma, tidak diam saja untuk mengumpulkan Mangga Besar. Mengambil lakon “Pengaruh uang kas organisasi. Berbagai usaha kreatif Letter M”. Harga pertunjukkan untuk kelas dilakukan, seperti salah satunya dilakukan 3 f 1,20, kelas 2 f 2,40, kelas 1 f 3,60 dan loge THHK. Dengan meniru konsep pasar malam, f 6 (Perniagaan, 13 Juni 1919). Pendapatan THHK mengadakan pasar malam amal untuk dari opera ini akan disumbangkan seluruhnya menambah kocek organisasi. Cara ini dilakukan untuk korban bencana Gunung Kelud. Pada pada saat organisasi ini baru mulai didirikan tahun 1919 terjadi letusan Gunung Kelud yang di Batavia. Tio Tek Hong menceritakan hal ini mengakibatkan kerusakan yang cukup besar. dalam bukunya: Inisiatif untuk membantu tidak hanya “Saya berusaha dapat dirikan stand gramophone dilakukan untuk warga Hindia Belanda saja dan phonograph, yang memperkenalkan lagu yang mengalami kesulitan. Kegiatan opera Tionghoa dan Melayu. Stand tembak-tembakan derma juga bersifat melintasi batas negara dengan senapan angin. Stand mancing barang- barang. Stand tambola dengan paket-paket. (transnasional). Saat terjadi bencana banjir besar Stand barang ajaib dan kuno. Stand monyet di Tiongkok pada tahun 1912, THHK berinisiatif seperti orang, nona cantik dari Wenen, perang untuk menyelenggarakan opera derma yang lombok dan orang kuat.” biayanya akan disumbangkan kepada para “Stand-stand ini menarik perhatian orang korban bencana (Nio Joe Lan, 1940: 127-8). akan tetapi tidak banyak menguntungkan Direncanakanlah pementasan opera derma karena orang Tionghoa merasa dibodohi. Berbeda dengan orang Eropa yang malah yang diselenggarakan pada tanggal 7 April menganggap keramaian ini sebagai senang- 1912. Pementasan menampilkan murid-murid senang ...... Di stand perang lombok bermula perempuan THHK. Bantuan yang terkumpul sebenarnya saya ingin memainkan kereta listrik dari luar negeri, akan tetapi kereta pada acara ini akan langsung diberikan kepada listrik itu mendadak rusak dan tidak bisa jalan Soo Rai Chou, mantan Consul Generaal Singapura di atas railnya. Saya menjadi sedikit bingung” yang kini menjadi pejabat perwakilan Tiongkok. (Tio Tek Hong, 2006: 30). Soo Rai Chou datang langsung ke Batavia untuk Pada tahun 1922, THHK Batavia menerima bantuan ini. Dirinya tiba di Tanjung mengadakan pasar derma untuk menunjang Priok, Batavia, pada Agustus 1912. kegiatan THHK. Dari kegiatan selama tiga hari ini, THHK mendapatkan uang f 16.909, Aktivitas Hidup Negatif: Madat dan 71 (Nio Joe Lan, 1940: 189). Sebuah cara yang Ketagihan Judi cukup efektif untuk mendapatkan uang banyak Opium adalah salah satu komoditas dalam waktu yang sebentar. primadona bagi kolonial. Menurut Siddharth 28 Lembaran Sejarah Chandra opium menjadi penting karena (1) perampokan. Para pendekar yang disewa para keuntungan ekonomi yang besar (2) faktor bandar opium cuma bersenjatakan ruyung besi, adiksi, membuat para pengguna untuk terus golok, tetapi jika merasa sudah ahli mereka “terpaksa” membeli opium (Chandra, 2010). cukup membawa sepotong kain kasar yang Dari data statistik ini bisa terlihat dari catatan kuat (Liem Thian Joe, 2004: 121). J.C Baud yang memperhitungkan bahwa sejak Di Batavia sendiri, sejak tahun 1650 orang- 1619-1799, VOC telah membawa rata-rata orang Eropa telah diberikan keleluasaan untuk 56.000 kg opium mentah ke Jawa setiap tahun menghisap opium. Sementara tahun 1660 (Rush, 2000: 54). dikabarkan bahwa pada rumah sakit Tionghoa Peter Carey menulis bahwa tahun 1820 di Batavia sering digunakan sebagai tempat ada 372 tempat terpisah di Yogyakarta yang kegiatan madat gelap (Liem Thian Joe, 2004: 99). menerima lisensi resmi untuk menjual opium Pemakai opium mayoritas bukan berasal dari secara eceran (Carey, 1984: 33). Baron von etnis Tionghoa walaupun mereka banyak terlibat Hoevell memperhitungkan bahwa pada tahun dalam bisnis opium. Justru warga pribumi yang 1850 diperkirakan terdapat 2.664 toko opium menjadi penikmat madat terbanyak. Namun, legal di Jawa dan Madura (Rush, 2000: 189). intensitas pemakaian opium bila dibandingkan Seorang pejabat Belanda menyimpulkan pada antara pribumi dan Tionghoa, orang Tionghoa akhir abad ke-19, sekitar 16% penduduk Jawa lebih intens dalam mengkonsumsi opium. Dari telah menjadi pemakai candu. Total keuntungan penelitian Siddharth Chandra, dari tahun 1923- opium di Hindia Belanda, pada tahun 1914 1940, diketahui orang pribumi mengkonsumsi tercatat 281,7 juta gulden, tahun 1919, 543, opium 188 gr/tahun sedangkan orang Tionghoa 1 juta gulden, puncaknya terjadi pada tahun mengkonsumsi opium 633 gr/tahun (Chandra, 1928-9, perolehan keuntungan mencapai 835,9 2000: 101-123). dan 848,5 juta gulden (Chandra, 2010) . Salah satu pabrik opium terbesar beroperasi Orang Tionghoa cabang atas sering diberikan di Batavia pada tahun 1900an. Letaknya berada semacam konsesi untuk mengurusi perdagangan di kawasan Salemba. Pabrik beroperasi mulai opium di Jawa. Orang-orang Tionghoa yang pukul 07.00-17.00. Karyawannya sebagian terlibat dalam bisnis opium bukan hanya didatangkan dari Jawa. Dari pabrik opium ini berada di Jawa, tetapi juga di daerah Asia dihasilkan ribuan butir candu per hari yang Tenggara lain seperti Malaya, Singapura, Siam dipasok ke daerah-daerah lain di Indonesia dan Indochina (Trocki, 2002: 297-314). Banyak (Alwi Shahab, 2010). Di daerah Batavia, opium pula orang Tionghoa lain yang menjual opium pertama-tama didistribusikan ke daerah secara eceran. Persaingan yang ketat, membuat Glodok. Pada masa itu Glodok merupakan penyelundupan opium sering dilakukan secara sentra dari distributor opium di Batavia. terstruktur melibatkan jaringan luar negeri. Di Glodok banyak tempat-tempat penghisapan Bahkan, menurut Christian Castens, pejabat madat disediakan. Akibat banyaknya pengguna Batavia yang bertanggung jawab pada urusan madat di Batavia, pemerintah Belanda opium, “jumlah opium ilegal melebihi pasokan membuatkan satu jalan khusus untuk para jumlah opium legal yang dikonsumsi di Jawa” pemadat. Nama jalannya adalah Gang Madat (Rush, 2000: 139). yang terletak di sebelah kiri Jalan Gadjah Mada. Saking berharganya nilai ekonomis opium, Di Gang Madat ini para pemadat berkumpul orang Tionghoa suka menyewa ahli-ahli menghisap madat di kamar-kamar petak silat untuk mengawal pengiriman opium. berukuran 300 meter (Alwi Shahab, 2010). Pada tahun 1800an awal, situasi jalanan di Orang-orang Tionghoa kaya sering Jawa rentan dengan tindak pemalakan dan mengadakan pesta dengan menghisap opium Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 29 yang berkualitas tinggi dengan pipa-pipa yang madat hasil penyelundupan inilah yang dibuat sangat bagus. Orang-orang Tionghoa membuat harga madat menjadi lebih murah menengah ke bawah menghisap madat di 30-35% (Sin Po, 4 Februari 1936). Inilah rumah-rumah petak dengan pipa-pipa yang salah satu faktor yang membuat konsumsi lebih sederhana. Dengan pose setengah tidur madat tidak bisa diberantas. Apalagi, ada miring sambil menghisap opium. Walaupun kongkalikong antara polisi dan bandar-bandar tidak bisa dijadikan sebagai posisi wajib madat sehingga apabila ada penggrebekan atau menghisap opium tapi pose seperti itu memang mau diadakan penggrebekan, para pemadat menjadi suatu karakteristik model menghisap seringkali lolos. Para polisi ini mulutnya telah opium di Jawa. “disumpal oleh uang” (Sin Po, 1 Juli 1914). Pemakaian opium seringkali dimodifikasi. Di Terkait pemberantasan madat, ada upaya Jawa, opium bisa juga dimakan, sebagian orang menarik yang mendapatkan apresiasi dari Jawa menyeduh kopinya dengan campuran koran Sin Po. Seperti salah satu artikel yang opium, sebagian lainnya mencampurkannya memberitahukan diadakannya lomba karya ke dalam tembakau sirihnya (Rush, 2000: tulis “bagaimana caranya menangkal dan 61). Hal yang sama berlaku di Batavia, dari memberantas candu” (Sin Po, 14 Oktober 1915). pengakuan Tio Tek Hong, madat bisa dipolesi Lomba ini bebas diikuti siapa saja, baik orang pada rokok kawung dan tembakaunya (Tio Tek Tionghoa, Jawa dan maupun Melayu. Karya Hong, 2006: 84). tulis mesti disertai satu motto yang menarik. Di Batavia masih ada warga Tionghoa yang Hadiah juara satu mendapatkan medali emas menganggap opium sebagai obat. Di Jawa dan uang f 250. Namun, lagi-lagi seperti yang menurut Rush opium dapat “menumbuhkan dikatakan James Rush, “orang-orang terlanjur kesenangan, meningkatkan stamina dan gairah menganggap opium sebagai teman, tetapi seksual, menghilangkan rasa sakit sampai sebenarnya teman yang jahat” (Rush, 2000). mengobati sakit kepala, demam, malaria, Hampir sama dengan opium, judi mempunyai sakit perut, disentri, asma, TBC” (Rush, 2000: sejarah yang panjang di Batavia. Rumah judi 69). Padahal himbauan untuk meninggalkan sudah berdiri di Batavia semenjak abad ke- madat seringkali dihembuskan masyarakat 17. Pada tahun 1634 dikeluarkan peraturan dan pemerintah. Seperti salah satu artikel dari yang melarang orang Eropa berjudi. Menurut koran Keng Po berikut ini: Lombard dikenal dua macam permainan judi

“Orang-orang Tionghoa yang menghisap madat Tionghoa secara teknis: lotere dan permainan mempunyai badan yang kurus kering seperti kartu. Permainan kartu disebutkan secara tulang yang dibungkus kulit. Mukanya pucat, resmi baru pada tahun 1789. Lombard mencatat jalannya tidak begitu teratur. Matanya merem bahwa “sekitar tahun 1830, terdapat tidak melek, mulutnya terbuka, keadaan ini jelas menunjukkan bahaya madat. Pabrik opium di kurang lima pabrik kartu di Batavia dan satu Salemba masih saja beroperasi. Maka rumah di Semarang” (Lombard, 2008: 307). itu disebut rumah setan. Karena terus-terusan Permainan kartu yang dikenal di kalangan membuat korban” (Keng Po, 17 Mei 1924) orang Tionghoa ada lima macam dalam Di Batavia madat susah sekali diberantas. menggunakan kartu. Di kalangan orang Hakka Penggrebekan rumah madat walaupun cukup yang digemari adalah permainan tujuh puluh sering diberitakan Sin Po tapi belum bisa kartu yang disebut phien-kim, atau dengan untuk memberantas habis madat. Pemerintah tiga puluh delapan kartu yang disebut tjap- Belanda terkesan setengah-setengah dalam dji-pai. Lalu permainan yang lazim dikenal memberantas madat. Penyelundupan seringkali permainan lima puluh enam kartu (satu seri terjadi tanpa penangkalan dini. Harga-harga merah dan satu seri hitam yang masing-masing 30 Lembaran Sejarah terdiri atas dua puluh delapan kartu) yang yang pada keenam sisinya tertulis dua disebut ang-pai. Permainan kartu lain yaitu huruf Tionghoa tong dan bao. Pemain dapat menarik kembali taruhannya dan bertaruh si-sek atau “empat warna” yang terdiri dari kembali, tetapi ujung-ujungnya bandar selalu dua belas kartu (dibagi menjadi empat warna, memperoleh keuntungan, karena tak seorang masing-masing dua puluh delapan kartu: pun yang boleh memasang taruhan di kotak satu” (Lombard, 2008: 308) merah, kuning, hijau, putih) (Lombard, 2008: 310). Kartu selalu digambari dengan tulisan Jenis lotere lain yang lebih populer adalah Tionghoa. Gambar-gambar semuanya dicetak si-ki (empat cabang), peh-ki (delapan cabang), hitam putih di atas karton kecil berukuran 5,7 dan yang paling terkenal tjap-dji-ki (dua belas cm x 2,8 cm (Lombard, 2008: 311). Kartu-kartu cabang). Sekitar tahun 1883, judi tjap-dji-ki Tionghoa ini pada tahun 1900an dijual dengan dilarang oleh pemerintah. Namun, larangan berbagai label, seperti: kartu Tionghoa cap merangsang lotere ke arah bentuk modern. macan, cap orang utan, cap orang pukul macan Menurut Lombard “karena tidak boleh lagi (Sin Po, 8 Oktober 1915). bermain secara wajar di depan umum, para Para pemain kartu tidak hanya didominasi penggemar bertaruh dengan membeli secarik para pria Tionghoa. Wanita-wanita Tionghoa kertas biasa yang menerakan syarat permainan terutama yang berasal dari kelas atas banyak yang akan datang, melalui seorang perantara” yang menyukai permainan kartu. Menurut (Lombard, 2008: 308). Lombard, “wanita kelas atas bermain dengan Pada awal abad ke-20 permainan lotere taruhan uang receh atau beberapa batik memang mengalami transformasi signifikan. hanya untuk melewatkan waktu” (Lombard, Bermain lotere tidak perlu melakukan tatap 2008: 311-313). Menurut penuturan Oei muka antara pemain cukup membeli lot-lot Hong Kiam, dokter gigi Soekarno, ”Banyak lotere. Misal, permainan lotere yang berpusat wanita Tionghoa yang senang berjudi. Mereka di Semarang, orang yang berada di Batavia membentuk kelompok judi. Seorang istri, bisa ikutan bermain. Asal dia sudah membeli seperti dituturkannya, ”setiap hari berjudi lot untuk mengikuti permainan tersebut. Judi hingga larut malam. Ketika suaminya yang model seperti ini susah diberantas dan sampai terlantar ia malah memberi hadiah seorang sekarang kelihatannya masih dipertahankan gundik, supaya bisa menyalurkan hobinya oleh para permainan judi, togel misalnya, di tanpa gangguan” (Alwi Shahab, 2006) Indonesia. Permainan judi yang lain, lotere, Permainan judi model umum di rumah- mempunyai jenis-jenis yang bermacam- rumah memang rentan penggrebekan. Seperti macam. Menurut Lombard “permainan judi yang terjadi tahun 1917, di daerah Lebak, yang paling sederhana adalah po atau lienpo”. beberapa orang Tionghoa yang bermain judi Dalam permainan ini pemain bertaruh di atas dengan putar dadu digrebek oleh beberapa polisi selembar kain segi empat yang dibagi menjadi yang menggunakan senjata api (Perniagaan, 25 empat kotak diagonal dan masing-masing Januari 1917). Berbeda dengan model semacam ditandai dengan angka 1,2,3, dan 4. Lebih ini, lotere modern cukup mengiklankan lanjut lagi Lombard mengatakan: permainannya di koran-koran Tionghoa, “Bandar mengambil kotak nomor satu model seperti ini lebih praktis, efisien dan sedangkan para pemain dapat mengambil jelas menguntungkan karena lebih banyak ketiga kotak yang lain dengan meletakkan menyerap pemain. sekeping atau beberapa kping uang di atas kartu yang digunakkan untuk mengungkapkan Pada periode 1910-1920 harga per lot warna yang mereka pilih. Undian dilakukan dipatok antara f 2,50 - f 3, biasanya ada biaya dengan semacam dadu yang disebut po, ongkos kirim atau registrasi sebesar f 0,20, Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 31 hadiah utamanya adalah perhiasan bernilai f mas kecil dan perak kecil untuk sang juara 100.000 atau uang bernilai sama (Perniagaan, perlombaan burung dara ini (Perniagaan, 10 18 Februari 1910 dan Sin Po, 1 Juli 1914). Juni 1919). Selain itu, ada festival mancing Berikut salah satu iklan lotere di koran besar-besaran yang dinamakan “aduk empang”. Perniagaan: Pada acara ini warga Batavia bebas mengaduk

Tjio Tiang Bouw, Tanah Abang-Weltevreden empang untuk mencari ikan, di salah satu menjual lotere harga 1/5 lot f 2,90, harga 1/10 empang besar di Ancol, dengan tiket jala 1 lot f 1,50, harga 1/20 lot f 0,90. Onkos kirim orang f 0,50 (Sin Po, 4 Juni 1917). Tiket acara tambah 29 cen. Kiriman pos wesel lebih dari f ini dijual di Glodok, Jembatan Lima, Tanah 10 tambah 10 sen. Price juara mendapatkan f 100.000 (Perniagaan, 18 Februari 1910). Abang dan Meester Cornelis. Memang pada dasarnya orang Tionghoa Hadiah lotere yang menggiurkan suka menikmati hiburan-hiburan baik memunculkan para penipu-penipu yang untuk kesenangan ataupun sekedar hura- menawarkan lot miliknya yang dikatakan hura. Pada abad ke-18, misalnya, ada suatu memenangkan satu undian lotere. Salah pertunjukkan terkenal yang diselenggarakan satu berita di Sin Po, menceritakan “seorang warga Tionghoa di Batavia yaitu kontes Tionghoa mengaku ditawari nomor lot adu silat yang disebut battement-spel oleh yang mendapat hadiah f 50.000 seharga f pemerintah VOC. Acara ini berlangsung hampir 25.000, orang yang menawarkan berpakaian satu bulan, diadakan pada sore hari sampai necis seperti berasal dari kelas atas yang malam hari dan ikut diramaikan dengan menyakinkan” (Sin Po, 1 Juli 1914). permainan judi. Penontonnya tidak hanya dari Pengaruh lotere pun sama seperti judi kalangan Tionghoa, tetapi karena keramaian kartu, mewabah sampai kepada nyonya-nyonya penontonnya sering terjadi kerusuhan sehingga Tionghoa. Para nyonya-nyonya Tionghoa pemerintah melarang pertunjukkan sejenis seakan melupakan kewajibannya. Begitu diadakan (Mona Lohanda, 2007: 140). pagi hari terbangun, dengan tidak sabaran Batavia adalah kota yang tidak pernah mereka menunggu bahwa ia memenangkan habis disinggahi oleh beragam pertunjukkan. judi tjap-dji-ki. Apabila belum dapat, bukannya Pada akhir abad ke-19, Batavia disinggahi ia berhenti tetapi malah lebih bernafsu lagi oleh Profesor Douglas Archibald yang walaupun uangnya telah dikeluarkan dalam memperkenalkan phonograph yang saat jumlah banyak. Saat uangnya telah kehabisan itu masih belum banyak jenisnya di dunia. para nyonya ini diam-diam menggunakan Tahun 1892, Calabressini, seorang entertainer uang belanjaan suaminya demi pertarungan terkenal dari Eropa, mendatangi Batavia untuk judi. Maka tidak salah judi tjap-dji-ki disebut mengadakan atraksi sulap yang dipadu dengan sebagai “setan judi” (Keng Po, 18 Juni 1924). pertunjukkan teknologi instrumen (Suryadi, 2006: 300). Setelah sebelumnya mengelilingi Menikmati Pertunjukkan di Batavia Pulau Jawa mengadakan pertunjukkan Ada berbagai macam kegiatan menarik serupa. seputar aktivitas sehari-hari yang dilakukan Pada abad ke-18, hiburan orang Tionghoa warga Tionghoa di Batavia. Dalam rekaman adalah wayang, ronggeng dan tari topeng. Sin Po, tercatat orang Tionghoa menyeponsori Menjelang abad ke-20, hiburan tradisional perlombaan burung dara yang diadakan di Tionghoa seperti wayang potehi, masih saja Weltevreden, pada tahun 1919. Tercatat orang terus dijalankan di pekarangan kelenteng yang bernama Tan Hoe Lo dan Lauw Tjin dan masih mendapatkan apresiasi dari warga merelakan uangnya untuk dibelikan medali Tionghoa. Selain wayang potehi, ada bermacam 32 Lembaran Sejarah variasi wayang seperti wayang peking, musik di daerah-daerah orang-orang terlibat wayang kungfu dan juga variasi dari beberapa kekerasan karena sebelumnya menenggak pertunjukkan opera (Sin Po, Januari 1919 dan minuman keras. Perniagaan, Oktober 1914). Warga Tionghoa Tempat mengadakan berbagai pertunjukkan Batavia juga menikmati hiburan khas Batavia di Batavia biasanya diadakan di Pasar Gambir. seperti gambang kromong, tanjidor, ataupun Pasar Gambir memang selalu dijadikan tempat komedi stamboel. Selebihnya pertujukkan- untuk menyelenggarakan berbagai macam pertunjukkan tradisional masih bisa dinikmati acara, seperti: komedi bangsawan, sulap, pada pesta-pesta perayaan besar Tionghoa. komidi putar, American Carnaval Show, dan Ternyata pertunjukkan ala Eropa juga topeng-topeng. Di tempat ini juga banyak dinikmati oleh warga Tionghoa kelas menengah, dijual jajanan-jajanan, ada rujak, gado-gado, terutama sirkus. Atraksi sirkus merupakan sate, kerak telor dan lain-lain (Tio Tek Hong, pentas pertunjukkan yang paling banyak 2006: 104). dikunjungi orang pada abad ke-19. Pertunjukkan “Tiap tahun selama seminggu sampai dengan sirkus pertama kali di Hindia Belanda, 31 Agustus di lapangan Medan Merdeka Utara diadakan di Batavia tepatnya di pekarangan (belakangan di Merdeka Selatan) diadakan Hotel de Provence dengan mendirikan tenda Pasar Gambir, diramaikan oleh topeng dan pada tahun 1848; pertunjukkan sirkus begitu keramaian itu untuk militer”, menurut Tio Tek populer saat kembali diadakan tahun 1856 di Hong (Tio Tek Hong, 2006: 104). Pada tahun Koningsplein, sebuah ruang publik terkenal 1907, di Pasar Gambir diadakan pertunjukkan di Batavia (Cohen, 2006: 12). Semenjak itu, sirkus. Atraksi sirkus dari mulai pertunjukkan rombongan sirkus dunia dari berbagai kota- sepeda diatas kawat, sampai pertunjukkan kota Eropa selalu mampir mengadakan atraksi dengan binatang buas, macan, ditampilkan. pertunjukkan di kota-kota besar Jawa. Pertunjukkan diselingi oleh pentas komedi Untuk mendukung pertunjukkan- seperti yang sering ditemui pada sirkus modern pertunjukkan dari berbagai jenis tontonan dengan badut sirkusnya. Hampir sama dengan atraksi (sulap, musik, sirkus, teater), para pertunjukkan kebanyakan, tiket dibagi dalam awak dibelakang pertunjukkan memasang tiga kelas. Termasuk ada tiket kelas khusus iklan di koran-koran terkenal pada kota yang untuk militer (Perniagaan, 20 Agustus 1907). ingin dikunjungi. Model iklan dipasang dengan Disamping pertunjukkan-pertunjukkan gambar mencolok dan tagline yang provokatif ini, ada sebuah pertunjukkan yang membuat untuk menarik minat orang-orang Hindia orang-orang Tionghoa di sekitar Batavia Belanda menonton pertunjukkan tersebut. keheranan. Pertunjukkannya dimainkan di Dalam tenda-tenda rombongan sekitar klenteng. Pertunjukkannya bisa dibilang pertunjukkan sering dijual berbagai minuman hampir menyerupai atraksi debus, yaitu beralkohol yang biasanya sering dikonsumsi berjalan di atas api, mandi minyak mendidih orang Eropa sambil menonton pertunjukkan. dan menaiki tangga pedang. Pertunjukkan Mereka “mabuk” whisky, brandy ataupun bir ekstrem ini membuat kerumunan warga sedangkan untuk kalangan non Eropa mereka Tionghoa selalu padat tiap menonton atraksi biasanya meminum tuak. Akibat banyaknya ini. Orang-orang Tionghoa menyebut atraksi orang-orang mabuk minuman keras tidak ini sebagai kegaiban. jarang terjadi kekerasan dalam pertunjukkan- Atraksi berjalan di atas api oleh orang pertunjukkan yang sedang diadakan. Hal ini Tionghoa pertama kali dicatat oleh de Haan, mungkin tidak berbeda dari masa sekarang dimuat di Bataviaasch Nieuwsblad, tanggal 22 dimana seringkali ditemui dalam pertunjukkan April 1820. Pada tanggal itu dilakukan atraksi Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 33 berjalan di atas api di sebuah kuil di Tanjung Menurut Nio Joe Lan, “berbarengan dengan Grogol, di tengah-tengah makam Tionghoa upacara berjalan di atas api, pada beberapa (Nio Joe Lan, 1961: 81).Nampaknya, atraksi kuil sesudahnya diselenggarakan juga upacara seperti ini menjadi sebuah hal yang umum di mandi dengan minyak mendidih” (Nio Joe beberapa kuil Tionghoa di Jawa. Nio Joe Lan Lan, 1961: 87). Di kuil Han Tan Kong, di menulis bahwa “terdapat atraksi sejenis di Kuil Batavia beberapa kali diadakan atraksi ini Sian Djin Kung Po, di Tjiluer, Jalan Batavia- sesudah atraksi berjalan di atas api. Pertama, Buitenzorg, di Tjibinong, Djonggol, Babakan minyak dimasak dalam kuali besar. Lalu, para dan kuil di Jalan Gadjah Mada” (Nio Joe Lan, tangsin ini menggosokkan badannya dengan 1961: 81-6). Pengetahuan ini didapatkan dari minyak, sama seperti saat mereka menyabun perbincangan dengan kawan-kawannya serta badan mereka. Orang-orang Tionghoa yang kebanyakan dia melihat dengan mata kepala mempunyai kepercayaan lantas meminta sedikit sendiri. minyak yang digunakan untuk mandi. Mereka Salah satu kejadian atraksi berjalan di telah siap dengan membawa botol-botol. Selain atas api yang diceritakan dengan rinci adalah atraksi ini, “atraksi debus”, sepengetahuan Nio atraksi yang dilakukan di kuil Sian Djin Kung Joe Lan adalah berjalan di atas pedang. Atraksi Po, Tjiluer, 11 Agustus 1935. Nio Joe Lan ini dilakukan di sebuah kuil di Medan setelah menceritakan kejadian ini: sebelumnya berjalan di atas api. live “Dihadapan kuil tertampak sebuah tumpukan Selain menonton pertunjukkan manusia, arang, yang panjangnya kira-kira 7-8 hiburan yang paling menarik perhatian warga m dan lebarnya kira-kira 1,5 m dengan Batavia adalah gambar hidup atau sekarang berbentuk trapesium dalam potongan tengah. disebut sebagai film. Pada tahun 1920-30an, Setumpukan arang itu sudah dibakar, hawa dekatnya panas sekali. Dalam kuil yang orang-orang Tionghoa Batavia dari yang biasa sesak pengunjung yang datang...memasang sampai yang kaya menjadi pelanggan setia hio, yakni bersujud dengan membakar batang bioskop. Orang-orang Tionghoa pula yang banyak dupa. Tangsin, tidak mengenakan sesuatu pakaian yang istimewa, hanya sepotong membantu sejarah perkembangan film di Hindia kemeja dan celana pandek. Yang aneh dalam Belanda. Pembahasan selanjutnya akan diarahkan ini mereka berbicara dalam dialek Hokkian pada proses terjunnya orang-orang Tionghoa pada ! Padahal mereka tidak mengerti bahasa itu pembuatan film di Hindia Belanda. dalam kehidupan biasa.”

“Suara gendang yang ditabuh semakin dahsyat. Tiba saatnya upacara dilakukan. Sejumlah Bersentuhan dengan Teknologi: Film orang kira-kira 5-6 orang berjalan di atas arang marong panas itu. Mereke berjalan dari Sejarah film di Indonesia merupakan sejarah ujung yang satu ke ujung yang lain ! Kemudian transformasi dari bentuk teater menjadi bentuk berbicara dalam dialek Hokkian lagi” (Nio Joe film. Awalnya bentuk pertunjukkan panggung Lan, 1961: 83-5). seperti tontonan rakyat ataupun wayang Tangsin bila diartikan berarti “badan yang cerita begitu populer. Tidak lama kemudian kesurupan”. Bisa dikatakan saat bermain bentuk ini digantikan oleh Komedie Stamboel atraksi api, mereka sudah tidak sadar atau dan diperbaiki oleh kehadiran toneel. Secara kesurupan. Para pemain tangsin adalah warga perlahan eksistensi toneel sedikit goyah ketika biasa, umumnya petani yang berada di daerah teknologi baru bernama film yang populer di sekitar kuil. Mereka harus mempunyai bakat Eropa diimpor ke Hindia Belanda pada awal dan “tulang istimewa”. Di Batavia terdapat abad ke-20. Populernya industri perfilman latihan untuk menjadi tangsin, tempatnya di Hindia Belanda membuat eksodus besar- terletak di Kuil Han Tan Kong. besaran dari para pelaku kesenian tontonan panggung ke tontonan visual. 34 Lembaran Sejarah Sejarah film di Hindia Belanda sebetulnya pasaran di bawah bendera Halimun Film. Film sudah dimulai sejak tahun 1900, namun ini menggunakan pemeran wanita Tionghoa, masih banyak orang yang belum menaruh Lie Lian Hwa dan Li Bo Tan. antusias pada film. Mungkin ini disebabkan Mengikuti Halimun, di Batavia bermekaran oleh teknologi film tahun 1900-1920 masih industri film. Pada tahun 1929, muncul tiga terus berbenah. Para penonton juga masih perusahaan film milik orang Tionghoa di Batavia, lebih mencintai bentuk tontonan panggung yakni Nangsing Film Corporation, Tan’s Film seperti stamboel dan toneel. Film yang Company dan satu milik Tan Boen Soan (Misbach paling pertama diputar di Hindia Belanda, Yusa Biran, 2009: 86). Tahun 1931, muncul lagi diberitakan oleh harian Bintang Betawi pada dua perusahaan film milik orang Tionghoa di 30 November 1900 (Ryadi Gunawan, 1990: Batavia, yaitu Batavia Motion Picture Company 20-28). Bintang Betawi memuat pengumuman dan Cino Motion Picture Corporation. tentang adanya pertunjukkan gambar hidup Pada tahun 1929, Nansing Film membuat berisi tentang banyak hal di Eropa dan Afrika film berjudul Resia Boroboedoer. Dengan Utara. Pertunjukkan akan diadakan di salah berani film ini mengundang Olive Young, satu rumah di Tanah Abang mulai pukul bintang film Tionghoa yang terkenal di Hindia tujuh malam. Harga karcisnya terdiri dari tiga Belanda (Sarief Arief, 2010: 33). Olive Young kategori, harga untuk kelas I f 2, kelas II f 1 dan adalah bintang yang berani mendobrak nilai- kelas III f 0,50 (Ryadi Gunawan, 1990: 20-28). nilai tradisional dalam filmnya, tak jarang di Perusahaan film milik orang Tionghoa yang filmnya muncul adegan ciuman. Sesuatu yang pertama hadir di Batavia adalah The South masih tabu di kalangan masyarakat peranakan Sea Film Co, yang merupakan gabungan dari Tionghoa di Hindia Belanda. Setelah muncul beberapa perusahaan (Misbach Yusa Biran, film Resia Boroboedoer muncul film Setangan 2009: 79). Pimpinannya diserahkan pada Berloemoer Darah, yang berasal dari novel Tjoe Hien di daerah Toko Tiga, Batavia. Salah Hong Bok. Film ini diproduksi oleh perusahaan satu orang yang berada di perusahaan ini film Tan Boen Soan. Tahun 1929, diproduksilah merupakan lulusan Universitas Fu Tan di film berjudul Si Tjonat oleh Batavia Motion Shanghai, pusat industri film di Tiongkok. Picture. Film ini ditunjukkan untuk kalangan Perusahaan ini merencanakan pembuatan Tionghoa namun seperti film-film sebelumnya film berjudulLily van . Diundanglah juru tidak terlalu diapresiasi publik. Sehabis film ini kamera dan sutradara dari Amerika bernama Batavia Motion Picture bangkrut gara-gara Yo Len H. Roos. Syuting dilakukan di daerah Eng Sek, sang produser film telah mundur. Mangga Besar. Namun, setelah Roos pulang Pada saat itu juga muncul filmNyai Dasima, ke Amerika, proses pembuatan film tidak yang diangkat dari cerita nyata yang terjadi diketahui kelanjutannya. pada tahun 1813 di Batavia. Cerita ini selalu Pembuatan film ini akhirnya diambil mendapatkan sambutan meriah dari penonton alih oleh Nelson, anak buah Tio Tek Djin, bila dipentaskan pada tonnel Melayu. Film ini pemimpin Miss Riboet Orion, rombongan toneel diproduksi oleh Tan’s Film yang diawaki oleh terkenal. Dia berkenalan dengan David Wong, Tan Koen Hian, seorang yang sebelumnya seorang karyawan General Motors di Batavia. menggeluti dunia bioskop. Film Nyai Dasima Dibentuklah sebuah perusahaan film bernama mendapatkan respon cukup bagus dari publik. Halimun Film yang peralatan studionya Pada saat pemutarannya pertama di bioskop pemberian dari studionya Tio Tek Djin. David Batavia, penonton yang datang banyak yang kemudian memberi modal pembuatan film. tidak mendapatkan karcis. Penonton paling Film Lily van Java akhirnya bisa mengorbit ke banyak berasal dari kalangan peranakan. Para Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 35 pengamat film yang biasanya galak, seperti Film Sam Pek Eng Thay patut dicatat sebagai Kwee Tek Hoay, memberikan sedikit pujian sebuah terobosan baru dalam perfilman. Film pada akting para pemain di film ini. Tan’s ini berhasil memperbaiki gangguan suara yang Film kemudian memproduksi empat film pada buruk dalam film sebelumnya. Walaupun begitu tahun 1930, yaitu Nyai Dasima II, Nancy Bikin film bersuara masih membutuhkan proyektor Pembalasan, Melati van Agam dan Si Ronda film yang mesti disesuaikan dengan film yang (Misbach Yusa Biran, 2009: 380). bersuara. Harga proyektor untuk film bersuara Hal berbeda ditunjukkan oleh Cino Motion sangat mahal harganya. Harga proyektor merek Picture yang dipimpin oleh The Teng Chun, Loetafoon berkisar antara f 6.450 sampai f pada awalnya dia memproduksi film Boenga 19.490, padahal setiap bioskop berkapasitas 500 Roos dari Tjikembang, tahun 1931, yang kursi wajib memakai proyektor jenis ini untuk diadaptasi dari cerita terkenal karangan Kwee menghasilkan suara yang prima (Misbach Yusa Tek Hoay, secara berkala di Panorama. Dalam Biran, 2009: 142). Maka hanya bioskop-bioskop film ini The Theng Chun berusaha untuk kelas atas saja yang mempunyai proyektor jenis menghasilkan film bicara namun gagal. Justru seperti ini sedangkan bioskop murah untuk film malahan menghasilkan suara yang buruk pribumi miskin tidak mampu membeli alat itu. dan berisik sehingga mengakibatkan perseden Mahalnya peralatan film inilah yang banyak buruk di masyarakat. Menurut Ryadi Gunawan membuat para penggiat film di Hindia Belanda walaupun gagal, “upaya percobaan bicara ini gulung tikar, hanya beberapa yang bertahan, merupakan sebuah contoh betapa kiat “trial salah satunya The Teng Chun. and error” yang dilakukan The Teng Chun Sampai pertengahan tahun 1930an dicatat dalam sejarah perfilman negeri ini” di Batavia, baru ada lima bioskop yang (Ryadi Gunawan, 1990: 24). menggunakan proyektor bersuara pada gedung Biarpun filmnya mengalami kegagalan, bioskopnya, yaitu Globe (Pasar Baru), Capitol sosok The Teng Chun bukanlah sosok yang (Pintu Air, dekat Istiqlal sekarang), Decca pantang menyerah. Dia adalah orang yang Park (sekitar Monas sekarang) dan Kramat menyakini masa depan bisnis film di Hindia (Pasar Senen), semuanya menggunakan merek Belanda. Dengan gigih dia mengerjakan Western Electric (Misbach Yusa Biran, 2009: pembuatan film sendirian, merangkap juru 142). Tahun 1932, bioskop yang memasang kamera, sutradara sampai produser film. proyektor suara merek Philips Loetafoon, Pada tahun 1931 setelah pembuatan Boenga di seluruh Hindia Belanda hanya 26 buah, Roos dari Tjikembang, dia memproduksi film sedangkan yang memasang merk Klankfilm Sam Pek Eng Thay. Cerita yang sudah sohor Tobias ada 14 buah bioskop (Misbach Yusa di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa. Biran, 2009: 142). Peralatan penunjang bioskop Hasilnya, keuntungan yang didapat lumayan yang mahal membuat pengoperasian bioskop memuaskan. The Teng Chun mulai mencicil agar menjadi bagus memerlukan biaya yang pembelian perlengkapan film dari Amerika. tinggi. Apalagi menurut Mrazek, “gedung- Setelah membuat film ini dia merubah genre gedung bioskop di Hindia Belanda termasuk menjadi film-film cerita silat Tiongkok, yaitu gedung-gedung modern yang mempunyai Pat Kiam Hiap (Delapan Jago Pedang) dan gedung ber-AC (Air Conditioning) pertama” Pat Bi To (Delapan Wanita Cantik) pada (Mrazek, 2006: 154). tahun 1933. Tahun 1934 dia memproduksi film Ouw Phe Tjoa (Ular Hitam dan Putih) yang Kesimpulan membawa unsur baru dalam teknik pembuatan Eksistensi sebuah masyarakat tidak bisa film. dilihat dalam sebuah aspek apalagi bila 36 Lembaran Sejarah pandangan itu menjadi sebuah tolak ukur Daftar Pustaka dalam menilai sebuah masyarakat. Selama Artikel ini penulisan sejarah tentang masyarakat Tionghoa telah terjebak dalam dua hal, Alwi Shahab, “Pajak Rambut dan Judi,” Republika, bisnis dan diskriminasi atau kecemburuan 18 Februari 2006. sosial. Lagi-lagi tidak ada yang salah dengan Boomgaard, Peter “Resources and People of the Sea pandangan ini. Menjadi salah apabila kedua in and around the Indonesian Archipelago 900- paradigma ini menjadi patokan dalam menulis 1900” dalam: Peter Boomgaard, David Henley, sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia. and Manon Osseweijer (eds.). Muddied Waters: Kehidupan masyarakat Tionghoa, dalam hal Historical and Contemporary Perspectives on ini Batavia, mempunyai keanekaragaman, Management of Forest and Fisheries in Island keunikan, ke-khasan yang berbeda dengan . Leiden: KITLV Press, 2005. etnis lain di Indonesia. Di tempat lain pun Carey, Peter, “Changing Perceptions of the Chinese sejauh pembacaan terhadap sumber-sumber, Communities in , 1755-1825,” beberapa ditemukan hal serupa. Inilah yang Indonesia, Vol.37, April 1984, pp. 1-47. harus digali secara terus menerus oleh para Chandra, Siddharth, “What the Numbers Really sejarawan yang tertarik pada dinamika Tell Us About the Decline of Opium Regie,” masyarakat Tionghoa. Indonesia, Vol.70, Oktober 2000, pp. 101-123. Dari studi ini didapatkan beberapa hal David Kwa, “Ragam Pakaian Kaum Peranakan” kesimpulan tentang masyarakat Tionghoa di dalam: Heru Kustara (ed). Peranakan Batavia. Pertama, akulturasi dalam hal sosial Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan terlebih budaya pada masyarakat Tionghoa Budaya. Jakarta: Intisari Mediatama & di Batavia begitu kompleks. Termasuk dalam Komunitas Lintas Budaya, 2009. hal ini, selera-selera – berpakaian, makan, Esther Kuntjara, “Perempuan Tionghoa dalam bertingkah laku – orang Tionghoa. Kedua, terjadi Pembentukan Budaya Indonesia Tionghoa”. pandangan lumrah terhadap percampuran Makalah dalam seminar Peran dan Kontribusi antara modernisasi dan tradisionalisasi. Etnis Tionghoa dalam Budaya Masyarakat Dua-duanya mampu berjalan beriringan Indonesia, Universitas Kristen Petra, 2008. walaupun dalam aspek-aspek tertentu. Ketiga, Gungwu, Wang, “South China Perspective on masyarakat Tionghoa di Batavia menjadi ,” The Australian Journal of perantara modernisasi kepada masyarakat Chinese Affairs, No.13, Jan 1985, pp. 69-84. lain yang ingin mengakses teknologi. Sebagai Handinoto, “Perkembangan Arsitektur Tionghoa di contoh, dalam hal perfilman dimana para Indonesia” dalam: Heru Kustara (ed). Peranakan penggiatnya kebanyakan orang Tionghoa Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan yang menyiarkan film-film agar masyarakat Budaya. Jakarta: Intisari Mediatama & luas bisa merasakan proses modernisasi. Komunitas Lintas Budaya, 2009. Keempat, dari studi tentang kehidupan biasa Lochter-Scholten, Elsbeth “Pakaian Musim Panas masyarakat Tionghoa di Batavia ternyata dan Makanan Kaleng: Perempuan Eropa dan pemahaman dalam memandang konsep Gaya Hidup Barat di Hindia Tahun 1900- masyarakat secara luas dapat dilihat dari 1942” dalam: Nordholt, Henk Schulte (ed.). proses kegiatan masyarakat tersebut dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, aktivitas mereka bermasyarakat. Kepentingan. Yogyakarta: LKIS, 2005. ooo0ooo Mona Lohanda, “Menjadi Peranakan Tionghoa” dalam: Heru Kustara (ed). Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an 37

Budaya. Jakarta: Intisari Mediatama & Brousson, H.C.C Clockener. Batavia Awal Abad Komunitas Lintas Budaya, 2009. 20. Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Niemeijer, Hendrik E, “The Free Asian Christian Cohen, Matthew Isaac. The Komedie Stamboel: Community and Poverty in pre-modern Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891- Batavia” dalam: Kees Grijns dan Peter J.M 1903. Ohio University Press, 2006. Nas (eds). Jakarta-Batavia: Socio-cultural Grijns, Kees dan Nas, Peter J.M (eds). Jakarta- essays. Leiden: KITLV Press, 2000. Batavia: Socio-cultural Essays. Leiden: Raben, Remco, “Round About Batavia: Ethnicity KITLV, 2000. and Authorithy in the Ommelanden 1650- Heukeun, Adolf. Tempat-Tempat Bersejarah 1800”, dalam: Grijns, Kees dan Nas, Peter J.M di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka (eds). Jakarta-Batavia: Socio-cultural essays. Caraka, 1997. Leiden: KITLV Press, 2000. Liem Thian Joe. Riwayat Semarang. Jakarta: Rush, James, “Placing the Chinese in Java on Hasta Wahana, 2004. the eve of the Twentieth Century,” Indonesia, Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya: Vol.51, 1991, pp. 13-24. Batas-Batas Pembaratan, Vol 1. Jakarta: Ryadi Gunawan, “Sejarah Perfilman Indonesia,” Gramedia, 2008. Prisma, No.5, 1990, pp. 20-28. M. Sarief Arif. Politik Film di Hindia Belanda Salmon, Claudine dan Myra Sidharta, “Traditional (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Chinese Medicine and Pharmacy in Indonesia Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950: – Some Sidelights,” Archipel, No.74, 2007, pp. Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas 165-204. Bambu, 2009. Suryadi, “The Talking Machine Comes to Dutch Mona Lohanda. Sejarah Para Pembesar Mengatur East Indies: The Arrival of Western Media Batavia. Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Technology in Southeast Asia,” BKI, Vol.162, Mona Lohanda. The of Batavia 2006, pp. 269-305. 1837-1942. Jakarta: Djambatan, 2001. Trocki, Carl, “Opium and the Begginings of Mrazek, Rudolf. Engginers of Happy Land: Chinese Capitalism in Southeast Asia,” Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme Journal of Southeast Asian Studies, Vol.33, di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor, No.2, Juni 2002, pp. 297-314. 2006. Unger, Leonard, “The Chinese in Southeast Asia,” Nio Joe Lan. Peradaban Tionghoa: Selajang Geographical Review, Vol.34, No.2, Apr 1944, Pandang. Jakarta: Keng Po, 1961. pp. 196-217. Nio Joe Lan. Riwayat 40 Tahun dari Tiong Hoa Vandenbosch, Amry, “The Chinese in Southeast Hwee Koan-Batavia, 1900-1939. Batavia: Asia,” The Journal of Politics, Vol. 9, No.1, Feb THHK, 1940. 1947, pp. 80-95. Onghokham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Buku Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Abeyasekere, Susan. Jakarta: A History. : Oxford University Press, 1987. Onghokham. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?!. Yogyakarta: Ombak, 2006. Taylor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup Jakarta, 2009. Blusse, Leonard. Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Batavia VOC. Yogyakarta: LKIS, 2004. Sebuah Kenangan 1882-1959. Jakarta: Masup Jakarta, 2006. 38 Lembaran Sejarah Internet Perniagaan, 18 November 1907. Perniagaan, 18 Februari 1910. Alwi Shahab, “Pabrik Candu di Batavia,” http:// bataviase.co.id/node/119909, 6 Maret 2010. Perniagaan, 11 Agustus 1911. Siddharth Chandra, “Economic Histories of Perniagaan, 25 Januari 1917. Opium Trade,” http://eh.net/encyclopedia/ Perniagaan, 10 Juni 1919. article/chandra.opium, 28 Februari 2012. Perniagaan, 20 Agustus 1907. Perniagaan, 13 Juni 1919. Koran dan Majalah Sin Po, 1 Juli 1914 Keng Po, 17 Mei 1924. Sin Po, 4 Juni 1917. Keng Po, 18 Juni 1924. Sin Po, 4 Februari 1936. Majalah Sin Tit Po, 30 Agustus 1935. Sin Po, 5 Februari 1936. Majalah Tiong Hoa Oen Tong Hwee-Union Makes Strength, 1924.