PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERANTAU BUGIS DALAM NARASI SEJARAH: SEBUAH KRITIK HISTORIOGRAFI

Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Shanata Dharma Yogyakarta

Disusun Oleh:

U M A R

Nim: 136322018

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERANTAU BUGIS DALAM NARASI SEJARAH: SEBUAH KRTIK HISTORIOGRAFI Umar ABSTRAK Perantau Bugis hadir dalam berbagai narasi sejarah. Setiap sejarawan tentu memiliki cara yang berbeda dalam proses penarasiannya. Narasi sejarah tersebut melahirkan berbagai pengertian tentang perantau Bugis. Salah satu pengertian yang sering dilekatkan oleh para sejarawan terhadap perantau Bugis adalah lekat dengan kehidupan bahari. Penelitian ini mengkaji bagaimana sejarawan menghadirkan perantau Bugis dalam narasi sejarahnya. Penelitian ini memakai model penelitian narasi sejarah yang dikembangkan oleh Hayden White. Ada tiga konsep Hayden White yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu konsep Representasi, individu dan Moral. Konsep-konsep tersebut digunakan sebagai perangkat teoretis untuk menganalisa empat teks sejarah tentang perantau Bugis yang telah dipilih. Hasil analisa tersebut sekaligus menjadi kritik historiografi. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa setiap sejarawan memiliki identifikasi yang berbeda tentang perantau Bugis dalam setiap narasinya. Orang Bugis di diidentifikasi lekat dengan kekuasaan oleh Kesuma. Orang Bugis di diidentikkan dengan perdagangan oleh Suwitha. Orang Bugis di Kamal Muara lekat dengan Nelayan menurut Said dan Prabowo. Terakhir orang Bugis di Ambon diidentikkan dengan oleh Sholeh. Setiap sejarawan memiliki posisi yang berbeda dalam menarasikan perantau Bugis. Kecenderungan kesimpulan mereka tidak lepas dari latar belakang mereka masing-masing. Kata kunci: Perantau Bugis, Narasi sejarah, Hayden White, Kritik Historiografi.

vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BUGINESE MIGRANTS IN HISTORICAL NARRATIVES: A HISTORIOGRAPHICAL CRITIQUE

Umar

Abstract

Buginese migrants are present in various historical narratives. Every historian also has a different way in presenting their narrating process. Those historical narratives gave birth to various notions of Buginese migrants. One of the notions often attributed by historians to Buginese migrants is their lives are almost always associated with the sea. The purpose of this research is to examine how historians present Buginese migrants in their historical narratives.

This research uses the historical narrative research model developed by Hayden White. There are three Hayden White’s concepts used in this study, among others, the concept of Representation, Individual, and Morals. These concepts are theoretical tools to analyze four historical texts about Buginese migrants. The results of these analyses become a historiographical critique.

This research found that every historian has a different identification of Buginese migrants in each of their narratives. The in Johor are identified as closely connected with power by Kesuma. Buginese people in Bali are associated with trade by Suwitha. The Buginese people in Kamal Muara are closely associated with fishermen by Said and Prabowo. Lastly, Buginese people in Ambon are associated with Islam by Sholeh. Each historian has a different position in narrating Buginese migrants. Their tendencies are affected by their own background.

Keywords: Buginese Migrants, Historical Narratives, Hayden White, Historiographical Critique

viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Tesis ini bermula dari pengalaman saya yang memilih meninggalkan halaman, namun selalu ragu menyebutnya sebagai prantauan. Keraguan itu muncul karena apa yang saya alami sepertinya tidak seheroik cerita pengalaman perantauan orang Bugis yang pernah saya dengar. Akan tetapi, Proses pengerjaan tesis ini tetap saya ibaratkan sebagai perjalanan manusia Bugis yang memilih merantau, meninggalkan tanah kelahiran untuk menjalani kehidupan. Dalam prosesnya, kehidupan seperti menuntun saya memilih kuliah di program studi Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Pengerjaan tesis ini merupakan proses terakhir di IRB sebagai syarat untuk merampungkan studi, sebelum melanjutkan perjalanan kehidupan lainnya.

Ada banyak pihak yang terkait selama proses pengerjaan tesis ini dan selama saya menempuh studi di IRB. Pertama dan teristimewa ucapan terima kasih kepada kedua orang tua dan saudara-saudara saya, tanpa mereka studi ini tidak mungkin rampung. Terima kasih saya haturkan kepada Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J selaku pembimbing tesis ini. Terima kasih kepada Dr. G. Budi Subanar, S.J selaku direktur pascasarjana yang telah memperkenalkan IRB dan memberi kemudahan lainnya berupa fasilitas beasiswa penelitian. Kepada ketua program studi Ilmu Religi dan Budaya, Dr. Y. Tri Subagya. Kepada dosen-dosen lainnya Dr. St. Sunardi, Prof. Dr. A. Supratiknya, Dr. Katrin Bandel, Dr. Bagus Laksana, S.J, Dr. Alb. Budi Susanto S.J, Dr. Y. Devi Ardhiani terima kasih atas transfer ilmunya dan telah mewarnai pengetahuan saya selama ini. Kepada Mbak Desi dan Mbak Dita juga terima kasih.

Kepada teman-teman IRB 2013, Cahyo, Pomat, Hans, Alexander Koko, Anto, Anne, Umi, Vina, Padmo, Felo, Jolni, Andre, Pak Riwi, Efraem, Alfons, Mas Lukas, Ali Antoni, Yekti dan generasi lainya yang selama ini bersama-sama melakoni proses di IRB. Terima kasih kepada teman-teman belajar bersama Pusdep. Kepada Gogor yang menyediakan trova studio sebagai tempat merampungkan tesis ini. Kepada sahabat Ipul, Noe, Cunni dan abdi yang lebih dulu selesai terima kasih telah menjadi teman ngopi membuat selalu menarik walaupun kita berada di tanah seberang. Kepada teman sekaligus guru di Pusat Kajian Representasi Sosial terima kasih atas dorongan dan semangatnya untuk belajar tentang masyarakat kita sendiri. Tak lupa ucapan terima kasih kepada orang yang pernah mampir dan ikut mewarnai perjalanan kehidupan saya. Paling penting terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberi jalan pada setiap kesulitan yang saya hadapi selama ini serta selalu memberi jalan dalam melakoni kehidupan selanjutnya.

ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...... ii HALAMAN PENGESAHAN...... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH ...... ABSTRAK ...... iv ABSTRACT ...... v KATA PENGANTAR...... vii DAFTAR ISI...... ix DAFTAR GAMBAR...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Tema Penelitian ...... 6 C. Rumusan Masalah ...... 6 D. Tujuan Penelitian ...... 6 E. Manfaat Penelitian ...... 7 F. Tinjauan Pustaka ...... 7 G. Kerangka Teori...... 12 1. Representasi ...... 16 2. Individu ...... 17 3. Moral...... 18 H. Metode...... 19 I. Sistematika penulisan...... 19 BAB II. PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI BUGIS...... 22 A. Peran Pemerintah Kolonial ...... 26 B. Aktivitas Ilmuan Asing selain Pemerintah Kolonial ...... 29 C. Narasi Intelektual Lokal...... 33 D. Jejak Tertulis orang Bugis di Tanah Rantau...... 37

x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

E. Rangkuman ...... 40 BAB III. DINAMIKA PERANTAU BUGIS SEBAGAIMANA DINARASIKAN DALAM TEKS-TEKS SEJARAH...... 43 A. Bugis Dalam Ruang Representasi...... 43 A.1. Tanah Kelahiran yang tidak Menentu: Antara Perang dan Harga Diri 44 A.2.Spirit Bahari Sebagai Legitimasi Perantauan: Cerita Rakyat, Pengatahuan dan keterampilan yang dimilikinya...... 53 B. Jejak-Jejak Kehidupan Di Tanah Rantau ...... 58 B.1. Johor...... 58 B.2. Bali ...... 61 B.3. Kamal Muara, Pesisir Pantai Utara...... 66 B.4. Ambon ...... 69 C. Kehadiran Individu (Bangsawan) Dalam penulisan Sejarah Perantau Bugis ...... 72 D. Rangkuman ...... 77 BAB IV. MELIHAT POSISI SEJARAWAN MELALUI NARASI SEJARAH PERANTAU BUGIS ...... 78 A. Bergerak Menuju Perantauan ...... 79 B. Narasi Kemampuan Bahari Sebagai Narasi Yang Dirayakan...... 88 C. Bugis Yang Dibentuk Berdasarkan Narasi Sejarah ...... 94 C.1. Narasi Kesuma tentang Bugis dan Kekuasaan di Johor...... 95 C.2. Narasi Suwitha tentang Bugis dan perdagangan di Bali ...... 99 C.3. Narasi Said dan Prabowo tentang Bugis Sebagai Nelayan di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara...... 105 C.3. Narasi Badrus Sholeh tentang Bugis dan Citra Islam di Ambon ...... 108 D. Aktor Sejarah dan Sejarawan dalam Narasi sejarah ...... 111 E. Rangkuman ...... 115 BAB V. PENUTUP ...... 117 A. Kesimpulan dan Saran ...... 117 DAFTAR PUSTAKA...... 122

xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sompe1 adalah kata yang sangat sering penulis dengar. Kata tersebut banyak diperbincangkan oleh masyarakat di kampung penulis yang ada di Pinrang

Sulawesi Selatan. Setidaknya sejak SD penulis sudah mengerti apa yang dimaksud dengan arti kata sompe tersebut. Kata ini dipakai dalam bahasa Bugis untuk menunjukkan orang yang meninggalkan kampung yang pergi ke sebuah tempat yang harus melewati lautan. Dengan kata lain sompe berarti merantau bagi orang Bugis. Cerita tentang petualangan orang yang melakukan perantauan sering penulis dengar melalui cerita langsung (oral story) dari kerabat maupun masyarakat yang ada di kampung.

Selain melalui pengertian atas arti kata sompe dan cerita langsung, pengenalan selanjutnya tentang kisah pertantauan orang Bugis pada penulis terjadi saat belajar di universitas Hasanuddin . Penulis temukan beberapa kisah perantau Bugis dari berbagai tulisan sebagai bahan kuliah. Hal ini membuat penulis semakin akrab dengan narasi sejarah tentang perantau Bugis.

Beberapa kisah perantau Bugis yang penulis temukan dalam buku-buku sejarah. Salah satunya adalah kisah petualangan Opu Daeang Rilakka yang merupakan keturunan Datu We Tenrileleang di Johor pada abad

1 “Sompe” selain memiliki arti merantu juga bisa berarti layar (digunakan pada perahu). Lihat Abidin, Aslan, Merantau Sebagai bentuk “Perlawaan” Suku Bugis. dalam Jurnal Wacana, Edisi 24 tahun VIII 2008 hal 56, lihat juga Hamid, Passompe: Pengembaraan Orang Bugis, Makassar, Pustaka Refleksi, 2004 hal 46-47.

1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ke-17.2 Datu Luwu merupakan gelaran bagi penguasa di kerjaan Luwu, salah satu kerajaan yang merupakan asal dari orang-orang Bugis.

Dalam kisah tersebut serta narasi-narasi sejarah serupa, tampak bahwa orang

Bugis melakukan perantauan karena didukung oleh tradisi bahari yang mereka miliki. Tradisi bahari merupakan kegiatan yang berhubungan dengan laut, yang menunjukkan bahwa petualangan adalah bagian dari kehidupan masyarakat Bugis.

Narasi tentang petualangan orang Bugis di laut menjadi ingatan bersama mereka yang antara lain terekam dalam Sureq I .3 Naskah tersebut berisi cerita tentang perjalanan Sawerigading4 tokoh utama dalam sureq I La Galigo ke berbagai tempat menggunakan perahu layar.

Narasi lain yang menunjukkan bahwa orang Bugis menggunakan laut sebagai ruang aktifitasnya dapat dilihat dalam naskah yang dibuat oleh pimpinan orang Bugis Wajo pada akhir abad ke-17. Naskah itu berisi rumusan Matoa Wajo tentang peraturan pelayaran dan perdagangan yang digunakan oleh orang-orang

Bugis Wajo ketika melakukan pelayaran perdagangan antar pulau.5

Adanya narasi yang menunjukkan bahwa kebiasaan masyarakat Bugis dekat dengan kehidupan bahari merupakan legitimasi bahwa mereka memiliki jiwa

2 Kusuma, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak, 2004 hal 96-106. 3 Sureq I La Galigo adalah naskah lontara yang merupakan mitologi masyarakat Bugis yang ditulis oleh Arung Pancana. Ringkasaan naskah ini dapat dilihat dalam Kern, R.A. I La Galigo, Yogyakarta, Gadjah Mada Yniversity Press, 1993. Sureq I La Galigo juga sudah transkripsi dan diterjemahkan tiga jilid dari 12 jilid. Arung Pancana Toa, La Galigo, Jakarta, Djambatan, 1995. Arung Pancana Toa, La Galigo jilid II, Makassaar, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 2000. 4 Sawerigading adalah toko utama dalam naskah Sureq I La Galigo. 5 Peraturan perdagangan ini disebut dalam bahasa Bugis “Adeq Aloping-loping Bicaranna Pabalue”. Isi peraturan perdagangan tersebut lihat Tobing, PH.O.L, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa. Ujung Pandang : Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, (1977). Aktifitas perdagangan antar pulau masyarakat Sulawesi Selatan terutama yang melalui pelabuhan Makassar dapat dilihat dalam Poelinggomang, Makassar abad XIX, Makassar, KPG 2004.

2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

petualang. Keinginan petualangan itu didukung oleh kemampuan bahari yang mereka miliki seperti pembuatan perahu, kemampuan dan pengetahuan tentang pelayaran, serta kemampuan navigasi dan perdagangan.6 Seluruh pengetahuan tersebut mereka peroleh secara turun-temurun, sehingga bagi masyarakat Bugis merantau selalu diartikan sebagai melakukan pelayaran melalui lautan.

Dalam narasi-narasi sejarah yang ada, dikatakan bahwa alasan mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu faktor penyebab mereka merantau. Akan tetapi hal ini dilakukan bukan karena keadaan tanah di daerah yang ditinggalkan tidak subur. Alasannya lebih pada kondisi keamanan di daerah asal yang tidak stabil. Ketidak stabilan politis mendorong orang Bugis untuk meninggalkan tanah kelahirannya.7

Sebagaimana tercermin dalam narasi-narasi sejarah yang ada, setidaknya ada dua peristiwa besar di daerah tersebut yang menyebabkan kondisi kampung halaman tidak lagi stabil. Pertama, perang Makassar yang berakhir dengan perjanjian Bungaya pada tahun 1667 kemudian diperbarui pada tahun 1669.8

Kedua, adanya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam ) yang berlangsung pada tahun 1950 sampai 1965 di Sulawesi Selatan.9 Dua peristiwa itu mendorong banyak masyarakat Bugis keluar untuk merantau.

Selain alasan ketidak stabilan politis, ada pula alasan filosofis yang mendasari. Alasan lebih filosofis itu adalah satu nilai penting yang hingga saat ini

6 Hamid, Abu, 2004, hal 13. 7 J.Noorduyn, “komunitas saudagara Wajo di Makassar” dalam Roger Tol dkk (ed), Kuasa dan Usaha, Makassar, Ininnawa, 2009, hal 126. 8 Lihat Patunru, Abdurrazak, Daeng, Sejarah Gowa, Ujung Pandang, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1993, hal 50-61 9 Gonggong, Anhar, Abdul Qahar Mudzakkar dari Patriot Hingga Pemberontak” Yogyakarta, Ombak, 2004 hal 8.

3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dianut oleh masyarakat Bugis, yaitu siri,10 yang secara harfiah berarti rasa malu.

Siri menjadi alasan lain bagi orang Bugis untuk merantau, dan hal itu terkait dengan masalah harga diri.11 Harga diri yang rusak dapat mendorong satu keluarga Bugis untuk merantau, dan mereka memerlukan waktu cukup lama untuk kembali. Sukses di perantauan menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk mengembalikan harga diri yang telah gagal mereka pertahankan sebelum merantau.

Harga diri memiliki posisi yang cukup penting bagi masyarakat Bugis.

Untuk menjaganya baik bagi diri sendiri maupun pada keluarga, membuat mereka merasa tidak memiliki kebebasan ketika berada di kampung. Bagi keluarga bangsawan bahkan merasa tidak memliki kebebasan untuk melakukan pekerjaan sembarangan. Ketika harga diri dianggap sudah tidak ada maka pantang bagi keluarga bangsawan untuk tetap tinggal di kampung, sebab secara tidak langsung mereka tidak lagi memiliki kemerdekaan. Sementara bagi masyarakat kebanyakan merantau mereka lakukan karena tidak memiliki kebebasan untuk berusaha secara optimal di kampung.12 Tanpa memiliki kebebasan berusaha, tidak mungkin dapat meningkatkan taraf hidup secara ekonomi dan berkecukupan secara materi yang menjadi impian bagi setiap orang Bugis. Kemungkinan untuk mewujudkan setiap impian dapat mereka lakukan ketika melepaskan diri dari ikatan keluarga dan merantau merupakan salah satu pilihan.

10 Siri dalam tesis ini mengacu pada pengertian menurut Matulada, lihat Matulada, Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang, Hasanuddin University press 1993, hal 62. 11 Abidin, Aslan, “Merantau Sebagai bentuk “Perlawaan” Suku Bugis”. dalam Jurnal Wacana, Edisi 24 tahun VIII 2008 hal 57. 12 Gonggong, Anhar, “Merantau dan Menetap: untuk kehidupan yang lebih baik”, pengantar dalam Kesuma, 2004 hal xiv-xv.

4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain siri keyakinan yang hadir dalam narasi sejarah perantau Bugis, yaitu ketika bertahan hidup dan melakukan usaha di perantauan, mereka memanfaatkan

“tiga bekal” yang dibawa dan berada dalam diri setiap perantau. Tiga bekal tersebut adalah “ujung lidah”, “ujung kemaluan”, dan “ujung ”. Tiga bekal itu memiliki makna bahwa untuk merantau orang Bugis harus memiliki bekal kemampuan bela diri, kemampuan bernegosiasi, kemampuan mengambil hati tokoh masyarakat sehingga dapat menjadi bagian dari keluarganya.13

Dalam narasi sejarah yang ada tampak bahwa ada banyak tempat yang menjadi tujuan perantauan orang Bugis selama ini. Hampir semua kota-kota besar yang ada di Indonesia sampai kawasan Asia Tenggara menjadi tujuan perantauan mereka. Di Nusantara tempat yang dituju sebagai tujuan perantauan mereka adalah pulau-pulau seperti , Jawa, Sumatera, , .

Sementara di kawasan Asia Tenggara tujuan perantauan mereka adalah

Semenanjung Malaya. Daerah pesisir dan kawasan pasar biasanya merupakan pilihan mereka ketika memilih merantau. Alasannya karena di tempat itulah mereka dapat mengembangkan kehidupannya.14 Jiwa niaga dan bahari serta koneksi keluarga atau jaringan sesama orang Sulawesi Selatan yang lebih dahulu merantau merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam menentukan tempat perantauan.

Pertanyaannya, seperti apakah dasar narasi sejarah perantau Bugis yang sudah ada tersebut? Sebuah narasi sejarah ditulis tentu memiliki tujuan. Sementara

13 Bakti, Andi faisal (ed), Diaspora Bugis Dalam Alam Melayu Nusantara, Makassar : Ininnawa,2010 hl. 8 14 J.Noorduyn, “Komunitas Saudagar Wajo di Makassar” dalam Roger Tol dkk (ed), 2009, hal 126.

5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

itu tiap penulis memiliki subjektivitasnya masing-masing dalam menyusun narasi sejarah. Dalam konteks narasi sejarah perantau Bugis bagaimana narasi sejarah itu terbangun melalui berbagai tulisan?

Tesis ini akan membahas empat teks sejarah, yaitu: pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang Bugis, ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Kedua, buku yang berjudul Perahu di Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat

Bugis di Bali sekitar Abad XIX yang ditulis oleh I Putu Gede Suwitha. Ketiga, teks yang berjudul “Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara,

Pesisir Pantai Jakarta Utara”, tulisan Mashadi Said dan Hendro Prabowo.

Keempat, teks dengan judul “Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi

Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh

Badrus Sholeh.

Narasi sejarah perantau Bugis yang ada menghasilkan pengertian tentang perantau Bugis menurut setiap sejarawan. Pengertian tersebut antara lain, memiliki jiwa petualangan, keberanian mempertahankan harga diri di negeri orang dan berbagai definisi lainnya. Hal itu membuat penulis tertarik untuk menelusuri bagaimana pengertian-pengertian tentang perantau Bugis disusun oleh sejarawan melalui nasari sejarah mereka tulis.

B. Tema

Tema tesis ini adalah Perantau Bugis dalam Narasi Sejarah: Sebuah Kritik

Historigrafi

C. Rumusan Masalah

6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Berbagai macam pengertian tentang perantau Bugis sudah hadir dalam narasi sejarah. Namun demikian, narasi tersebut dibangun dengan berbagai argumentasi yang belum pernah menjadi perhatian. Tesis ini melihat bagaimana narasi itu dibentuk dan mengapa sejarawan menulis sejarah tentang perantau

Bugis. Untuk menjelaskan hal tersebut ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui tesis ini.

1. Bagaimana perantau Bugis direpresentasikan dalam narasi sejarah?

2. Bagaimana posisi sejarawan dalam proses penarasian sejarah perantau

Bugis?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya, saya akan merumuskan tujuan dari penelitian ini, yakni:

1. Melihat representasi yang ada dalam narasi sejarah perantau Bugis. Saya

berharap dengan menemukan kecenderungan sejarah perantau Bugis

dipresentasikan dalam sejarah yang ada selama ini.

2. Mengetahui posisi sejarawan dalam penulisan narasi sejarah perantau

Bugis. Saya berharap akan menemukan alasan rasional setiap sejarawan

dalam setiap pilihan narasinya.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat untuk publik pembaca dari penelitian ini adalah memberi konstribusi akademik dengan ikut terlibat dalam perdebatan akademik tentang narasi sejarah perantau Bugis, sekaligus sebagai kritik historiografi. Manfaat lain dari penelitian ini adalah memberi pemahaman kepada orang lain yang membaca

7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tesis ini nantinya, bahwa sebuah narasi sejarah tidak lepas dari naratornya dalam hal ini sejarawan. Dengan kata lain sejarah tidak lahir begitu saja. Dalam proses penarasiannya selalu ada intervensi sejarawan di dalamnya.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang perantau Bugis bukanlah merupakan hal baru dalam studi akademik. Ada beberapa penelitian terkait tema ini, baik penelitian dengan pendekatan studi sejarah maupun penelitian dengan pendekatan bidang ilmu lainnya. Akan tetapi penelitian yang secara khusus mengkaji teks sejarah perantau Bugis dengan pendekatan narasi dan kritik historiografi, sepertinya belum ada yang melakukan. Untuk menempatkan penelitian ini di antara berbagai penelitian lainnya, tinjauan pustaka ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama akan membahas penelitian yang terkait dengan perantau Bugis terutama penelitian yang menggunakan pendekatan sejarah. Kedua, penelitian mengenai narasi sejarah yang memakai pendekatan kritik historiografi, terutama historiografi Indonesia. Ketiga, penelitian terkait dengan teori dan metode penelitian narasi sejarah.

Penelitian yang terkait dengan perantau Bugis di sini ada dua yaitu: pertama, karya Aslan Abidin yang berjudul “Merantau sebagai bentuk perlawanan suku Bugis: perspektif historis atas tindak kekerasan dan perbudakan di Sulawesi

Selatan. Kedua, karya Kathryn Gray Anderson, The Open Door: Early Modern

Wajorese Statecraft and Diaspora.

Aslan Abidin dalam penelitiannya tahun 2008 menelusuri berbagai literatur dan refleksi pengalaman pribadinya untuk melihat latar historis orang-orang Bugis

8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

meninggalkan kampung halamannya. Aslan Abidin membahas munculnya peristiwa kekerasan dan penindasan sepanjang priode sejarah Sulawesi Selatan.

Dia membagi lima fase penindasan yang dipernah dialami oleh orang Bugis. Fase pertama, penindasan dalam mitologi I La Galigo. Fase kedua, penindasan raja

Bugis dan Gowa-Tallo. Fase ketiga, penindasan penjajah Belanda dan Jepang.

Fase keempat, penindasan Kahar Muzakkar dan DII/TII. Fase kelima, penindasan rezim Orde Baru. Lima bentuk penindasan itulah yang dianggap oleh Abidin sebagai latar belakang banyak orang Bugis meninggalkan daerahnya.

Sementara penelitian Anderson tahun 2003 merupakan disertasi, yang menjelaskan bagaimana orang Bugis yang berasal dari kerajaan Wajo melakukan migrasi ke berbagai tempat. Tujuan perantauannya meliputi wilayah Sumatera

Barat, Makassar, Malaka, Kalimantan timur. Menurut Anderson, proses migrasi orang Bugis terjadi setelah perang Makassar yang berakhir tahun 1669. Anderson menemukan bahwa orang Bugis yang bermigrasi tetap membentuk komunitas sesama orang Bugis di daerah perantauan. Komunitas mereka juga masih memiliki hubungan dengan komunitas orang Bugis lainnya yang berasal dari

Wajo. Menurut Anderson komunitas orang Bugis seperti itu tetap memiliki bentuk pemerintahan sendiri ketika berada diperantauan, pimpinan mereka disebut

Matowa.

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, kedua karya tersebut diletakkan untuk melihat bagaimana terjadinya perantau Bugis sepanjang sejarah. Ada beberapa periode sejarah orang-orang Bugis bergerak meninggalkan tanah kelahirannya. Selain itu, kedua karya tersebut memberi gambaran bahwa orang

9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bugis yang berasal dari Sulawesi selatan tidak tunggal. Orang Bugis yang berasal dari Wajo hanya salah satu di antara yang lain.

Penelitian yang terkait dengan narasi sejarah, terutama yang berhubungan dengan kritik historiografi Indonesia juga ada dua yakni: pertama, karya Sartono

Kartodirjo yang berjudul Tjatatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah

Indonesia. Kedua, John Roosa tahun 2006 yang berjudul Pretext for Mass

Murder: The September 30th Movement and ,s coup d’Etat in Indonesia.

Karya Sartono Kartodirjo membahas bagaimana berbagai tulisan sejarah menarasikan perlambang Djayabaja (selanjutnya memakai ejaan baru “Jayabaya”) yang memuat harapan akan datangnya seorang Ratu Adil. Tokoh seperti Ratu Adil selalu dipercaya oleh masyarakat Jawa akan kedatangannya. Melalui karya itu

Sartono berusaha menelusuri tulisan-tulisan yang membahas tentang perlambang

Jayabaya. Melalui penelusuran tersebut Sartono menunjukkan bahwa tidak hanya naskah atau terjemahan perlambang Jayabaya yang ada, tapi juga kemunculan akan Ratu Adil selalu hadir dalan narsi sejarah Indonesia. Berbagai gerakan yang muncul untuk melawan pemerintah kolonial, sebagian didasari oleh semangat akan munculnya Ratu Adil tersebut. Buku ini memang tidak membahas narasi sejarah perantau, tapi buku ini penting untuk menunjukkan bagaimana catatan perlambang Jayabaya tentang Ratu Adil hadir dalam narasi sejarah Indonesia.

Ratu Adil hadir dalam narasi sejarah Indonesia sebagai legitimasi untuk membangun sebuah gerakan perlawanan terhadap kolonial. Buku ini digunakan untuk melihat penelitian narasi sejarah.

10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sementara karya John Roosa berjudul Pretext for Mass Murder: The

September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan

Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Karya ini membahas narasi sejarah pristiwa Gerakan 30 September sekaligus malahirkan narasi sejarah yang berbeda dengan narasi sejarah versi pemerintah. Melalui buku ini John Roosa menunjukkan bahwa narasi sejarah G-30-S yang ada sebelumnya sangat ditentukan oleh siapa yang menuliskannya dan sumber apa yang dipakai. Dalam hal ini John Roosa mengungkapkan bagaimana pemerintah Orde Baru menulis narsi sejarah G-30-S yang menempatkan PKI sebagai dalang dari peristiwa tersebut sehingga sah untuk membunuh anggotanya. Selain mengkritisi narasi sejarah versi pemerintah dan mengkritisi sumber yang digunakan, John Roosa juga menghadirkan sumber baru dalam membangun narasi sejarah yang dihasilkan melalui buku ini. Sekali lagi narasi sejarah sangat ditentukan oleh siapa yang menulis dan narasi sejarah tidak pernah lepas dari intervensi naratornya.

Dalam kaitanya dengan penelitian ini, kedua karya tersebut dijadikan dasar untuk melihat bentuk krtitik historiografi yang berkembang di Indonesia. Krtitik yang ada selama ini lebih pada membangun narasi baru dengan sumber yang biasanya diabaikan oleh narasi sebelumnya. Kritik historiografi seperti ini akan berusaha membuat narasi tandingan dan menjadi narasi utama selanjutnya.

Kemudian penelitian yang terkait dengan teori dan metode yang dipakai dalam penelitian ini . Ada dua hasil penelitian yang terkait dengan hal itu yakni: karya Hayden White dengan judul Metahistory: The Historical Imagination In

11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nineteenh-Century Europe dan karya Herman Paul yang berjudul Hayden White the Historical Imagination.

Karya White merupakan buku yang diterbitkan oleh the Johns Hopkins

University Press pada tahun 1975. Buku ini peneliti gunakan untuk melihat bagaimana White merealisasikan penelitian narasi sejarah yang dia lakukan.

White meneliti narasi sejarah Eropa abad XIX. Melalui buku ini juga, peneliti bermaksud mengetahui lebih jauh konsep-konsep yang digunakan oleh Hayden

White dalam penelitian narasi sejarah.

Selanjutnya karya Herman Paul yang berjudul Hayden White the Historical

Imagination. buku ini di terbitkan pada tahun 2011 oleh Polity Press yang berada di Cambridge. Buku ini menjelaskan bagaimana Hayden White menyusun sejarah.

Terutama cara White berpikir sehingga menghasilkan teori-teori sejarah yang dia kembangkan. Dengan meneliti karya-karya White dan orang-orang yang menulis tentang tulisan-tulisannya, Herman Paul menunjukkan konsep-konsep yang dikembangkan oleh White. Dari buku ini kita akan mengetahui bagaimana White merumuskan sejarah.

G. Kerangka Teori

Narasi sejarah perantau Bugis lahir dari konstruksi sejarawan, sehingga menjadi sejarah yang dibentuk melalui tulisan. Di sini penulis menggunakan

“sejarah yang dibentuk” karena apa yang tertulis merupakan hasil intervensi manusia. Apapun bentuk narasi sejarah perantau Bugis, hal itu tidak akan pernah lepas dari peranan sejarawan itu sendiri. Tesis ini berusaha melihat apa yang sebenarnya direpresentasikan oleh narasi sejarah perantau Bugis. Hal kedua yang

12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ingin penulis jawab dari penelitian ini adalah bagaimana narasi perantau Bugis dibentuk oleh naratornya. Untuk menjawab apa yang menjadi permasalahan tesis ini, penulis memakai beberapa konsep Hayden White.

Ada beberapa konsep teori dari Hayden White yang akan dipakai untuk menjelaskan persoalan narasi sejarah perantau Bugis. Sebelum menjabarkan konsep teori tersebut akan terlebih dahulu diperkenalkan pemikirin Hayden White secara umum. Hayden White dalam perjalanan kariernya berusaha menantang bentuk konvensional pada tiga bidang kajian dalam sejarah. Pertama, bidang kajian filsafat sejarah. Filsafat sejarah diidentifikasi dengan studi tentang hukum- hukum perkembangan sejarah yang terjadi sejak abad kedelapan belas. Lebih jauh

White mengatakan bahwa filsafat ini tidak mempelajari proses sejarah tapi hanya menjalankan “beasiswa sejarah”. Dari filsafat ini White mempertanyakan antara filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah analitis.15

Kedua, ia mempertanyakan perbedaan antara yang “sebenarnya” dalam praktik sejarah dan yang “spekulatif” dalam filsafat sejarah. Praktik Leopold von

Ranke yang dianggap sebagai Bapak Sejarah Modern selalu menghindari spekulasi untuk menempatkan “fakta” yang berasal dari sumber primer. Jadi fakta hanya berasal dari sumber primer. Pertanyaanya kemudian adalah apakah semua peristiwa yang tercatat dalam dokumen sejarah dapat diklasifikasikan sebagai sejarah? Jika tidak, bagaimana membedakan antara sejarah dengan fakta lainnya?

15 Paul Herman, “Hayden White The Historical Imagination”, Cambridge UK, Polity Press, 2011, hal 3.

13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kategori semacam itu menurut White tidak dapat didefinisikan tanpa melihat realitas sebenarnya.16

Ketiga, White mempertanyakan batas antara fiksi dan sejarah. White berpendapat bahwa sejarawan menulis sejarah atau menghasilkan narasi sehingga banyak kesamaannya dengan penulis sastra fiksi. Sejarawan akan menafsirkan masa lalu sesuai dengan narasi yang mereka bangun. Dari narasi tersebut sejarawan membangun versi masa lalu dan tidak bisa tidak memaksakan asumsi mereka sendiri pada realitas masa lalu. Dalam hal inilah sejarawan akan sama dengan penulis sastra fiksi. Bahkan Hayden White berpendapat bahwa narasi sejarah adalah bentuk lain dari fiksi.17

Penelitian yang dilakukan oleh Hayden White terfokus pada penulisan sejarah bukan pada penelitian sejarah. Penulisan sejarah pasti menghasilkan narasi yang di dalamnya mengandung kalimat-kalimat individual. Pemahaman White tentang narasi memang bergantung pada argumen yang dimaksudkan untuk melawan realisme sebagai bentuk dominan. Hayden White dalam mendekati narasi selalu menggunakan sudut pandang retorika, ideologi, dan politik.

Hayden White hadir untuk menantang imajinasi historis zamannya yang berasal dari pandangan moral dan politik White. Gagasan White mengenai manusia harus membuang “beban sejarah” mereka jika ingin berkontribusi untuk dunia yang lebih baik bagi anak-anak dan keturunan mereka. Beban sejarah yang dimaksud di sini adalah kejayaan masa lalu yang selalu menjadi standar bagi generasi berikutnya, sehingga dianggap sebagai beban. Bagi Hayden White yang

16 Paul Herman, 2011, hal 4. 17 Paul Herman, 2011, hal 5.

14 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penting dalam hal ini adalah bagaimana manusia sebagai individu mengembangkan makna untuk membebaskan diri dari tradisi, konvensi, dan kekuatan tirani lainnya. Dalam setiap interpretasi sejarah diperlukan pertimbangan moral, dan setiap penulis sejarah memiliki tanggung jawab pribadi.18

Hayden White berfokus pada penulisan sejarah dalam konteks sejarah Barat.

Dalam penelitiannya tentang narasi, White membedakan lima jenis karakteristik narasi dalam teori sejarah yang terjadi di Barat, meskipun untuk jenis yang kelima ia masih ragu-ragu untuk menyebutnya sebagai karakterisasi. Pertama, narasi yang ditentukan status epistemik narasinya. Jenis ini berupa tipe penjelasan (kind of expalanation) yang sesuai dengan penjelasan sejarah, seperti berjalan alamiah berupa kejadian dan proses. Walsh, Gardiner, Dray, Gallie, Morton White, Danto,

Mink merupakan contoh orang-orang di balik narasi semacam ini. Kedua, bagi sejarawan yang berorientasi sosial ilmiah, seringkali narasi historiografi dianggap tidak ilmiah. Arah pandangan ini diperlukan suatu transformasi dalam studi sejarah supaya menjadi sains murni. Mashab Analles seperti Braudel, Furet, Le

Goff, LeRoy Ladurie adalah pelopor kararter ini. Ketiga, narasi yang dianggap berorientasi semiologikal pada sastra dan filsafat. Dalam hal ini narasi dipelajari dengan semua manifestasinya, kemudian melihat itu hanya sebagai salah satu diskursif kode di antara yang lainnya. Mungkin tidak sesuai representasi realitas, hanya bergantung pada tujuan pragmatis dalam pandangan pembicara. Narasi semacam ini bisa ditemukan dalam karya Barthes, Foucault, Derrida, Todorov,

Julia Kristeva, Benveniste, Genette, Eco. Keempat, narasi dianggap sebagai

18 Paul Herman, 2011, hal 11.

15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

manifestasi wacana jenis tertentu (the manifestation in discourse) yang spesifik pada kesadaran waktu atau struktur waktu. Pandangan ini berorientasi pada hermeunetik seperti Gadamer dan Ricoeur. Kelima, yang Hayden White masih ragu-ragu mengkategorikannya, adalah narasi yang dilihat secara terhormat dalam menjalankan atau dalam praktik sejarah. White melihatnya ada pada J. H. Hexter dan Geoffrey Elton. Pada karakter narasi seperti ini sejarawan dianggap bukan milik filsafat atau metodologi tertentu, tetapi lebih berbicara dari sudut pandang doxa profesi. Representasi naratif tidak menimbulkan masalah teoritis yang signifikan.19

Model White akan penulis pakai untuk melihat narasi-narasi sejarah perantau Bugis. Dalam realisasi tesis ini penulis “meminjam” beberapa konsep teori dari Hayden White. Setidaknya ada tiga konsep yang akan penulis kembangkan dalam konteks narasi. Yaitu Representasi Naratif, Individu dan

Moral. Selanjutnya secara ringkas akan penulis uraikan konsep tersebut satu persatu.

1. Representasi

Menurut Hayden White narasi adalah cara berbicara universal seperti bahasa. Dengan kata lain narasi merupakan cara representasi lisan sehingga menjadi tampak alami dalam kesadaran manusia.20 Dalam narasi representasi akan muncul aspek percakapan sehari-hari dan wacana biasa. Dalam

19 White, Hayden, The Content Of The Form, Baltimore dan London, The Johns Horpkins University Press, 1987, hal 26-57. 20Untuk Penjelasan ini Hayden White mengambil dari R. Barthes, lebih jauh lihat White, Hayden, “The Question Of Narrative In Contemporary Historical Theory”, History and Theory, Vol. 23, No. 1 Published by: Blackwell Publishing for Wesleyan University, URL: http://www.jstor.org/stable/2504969 hal 1.

16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perkembangan ilmu pengetahuan, studi sejarah selalu ingin dianggap sebagai sebuah ilmu. Model narasi represetasi dapat dilihat dalam deskripsi sejarawan tentang fenomena dari objek studinya. Sebagian sejarawan menganggap bahwa narasi representasi merupakan kegagalan dalam metodologi dan teori. Bagi

Hayden White, studi sejarah profesional melihat narasi bukan sebagai produk teori dan metode melainkan sebagai bentuk dari wacana (form of discourse) yang tidak dapat digunakan sebagai representasi dari peristiwa sejarah. Dalam perdebatan ini

White akhirnya mengantar kita pada perdebatan tentang bagaimana membedakan

“sejarah” dan “fiksi”. Konsep representasi dalam penelitian ini dipakai untuk melihat berbagai representasi yang hadir dalam narasi sejarah perantau Bugis.

Kemudian, memeriksa bagaimana cara setiap sejarawan menghadirkan apa yang menjadi representasi dari perantau Bugis.

2. Individu

Hayden White menekankan adanya kompleksitas realitas dan menurutnya tidak mungkin merumuskan kompleksitas itu dalam satu rumusan tunggal. Sifat manusia tidak pernah tetap karena harus diwujudkan terus-menerus oleh individu.

Kekhasan itulah yang merupakan sejarah yang unik bagi diri manusia sebagai individu, sehingga manusia cenderung “ingin menjadi” daripada “diberitahu untuk menjadi”. Sederhananya, tidak ada yang universal. Yang ada hanyalah kebebasan individu untuk menyadari sendiri apa yang manusia anggap sebagai tanggung jawabnya. Kebebasan individu bagi White berarti adanya kebebasan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang manusia pilih sendiri, bukan nilai-nilai yang berasal dari masa lalu. Bukan berarti bahwa kita terputus sama sekali dari

17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

masa lalu, tetapi lebih pada cara individu menanggapi keadaan yang tidak pernah dapat diturunkan dari masa lalu. Dalam artian, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri pilihan kehidupannya. Begitupun individu berperan dalam menentukan apa yang terjadi di masa lalu. Dalam hal ini dorongan White untuk menulis sejarah bertentangan dengan dorongan antik yang hanya untuk memastikan apa yang telah terjadi di masa lalu. Di sini menulis sejarah ditempatkan sebagai keinginan untuk memahami arti masa lalu. Dari kebebasan individu yang dikembangkannya, White menemukan sebuah rumusan yang disebut “Historiografi pembebasan” (liberation historiography).21 Kosep individu dipakai dalam penelitian ini untuk melihat peran berbagai aktor sejarah yang dihadirkan oleh setiap sejarawan. Setiap sejarawan memiliki alasan, aktor siapa dan peran apa yang dihadirkan dalam narasinya.

3. Moral

Konsep moral yang dikembangkan oleh White merupakan yang berangkat dari komitmen moral yang dia pinjam dari konsep Croce. Menurut White tanggung jawab moral sejarawan tidak terdapat pada pemberian saran konkrit untuk memecahkan persoalan. Tanggung jawab moral ditunjukkan justru ketika sejarawan menolak untuk menarik garis lurus dari masa lalu ke masa kini yang berbeda dari orang-orang sezamannya. Kebebasan dimiliki oleh sejarawan untuk memutuskan sendiri tentang kebaikan dan kejahatan. White memahami sejarah bukan sebagai akibat dari kekuatan impersonal atau keadaan kebetulan tetapi sebagai produk kecerdasan dan kehendak manusia. Moral dan estetika akan

21 Paul Herman, 2011, hal 36.

18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadi pemandu bagi setiap kebebasan individu untuk memilih masa lalu seperti mereka memilih masa depan. Artinya, historiografi pembebasan yang menjadi pilihan individu untuk menyusun masa lalunya akan ditentukan oleh moral yang dimiliki sejarawan. Moral dari sejarawan itu terbentuk pada orientasi nilai yang dimilikinya. Orientasi nilai ini merupakan sebuah konsep yang dimiliki secara khas oleh individu maupun kelompok, baik yang terlihat maupun yang implisit, sehingga dapat mempengaruhi pilihan dalam bertindak. Hal ini oleh White disamakan dengan “Ideologi”. 22 Konsep moral dalam penelitian ini dipakai untuk memeriksa latar belakang sejarawan ketika memilih aktor sejarah dan peristiwa yang dihadirkan dalam narasi.

H. Metode

Tesis ini menggunakan metode kepustakaan dalam proses pengumpulan datanya. Data yang sekaligus menjadi objek material dalam penelitian ini adalah tulisan sejarah tentang perantau Bugis. Ada empat teks yang menjadi data primer dalam penelitian ini yaitu: pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang

Bugis, ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Buku ini terbit pada tahun 2004 di

Yogyakarta. Kedua, buku yang berjudul Perahu Pinisi di Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar Abad XIX ditulis oleh I Putu Gede

Suwitha, terbit tahun 2013 di , Bali. Ketiga, teks yang berjudul

“Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara, Pesisir Pantai

Jakarta Utara”, tulisan ini ditulis oleh Mashadi Said dan Hendro Prabowo.

Keempat, teks dengan judul “Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi

22 Paul Herman, 2011, hal 22-23.

19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh

Badrus Sholeh. Dua tulisan terakhir berada buku Diaspora Bugis di Alam Melayu

Nusantara terbit pada tahun 2010 di Makassar . Tulisan-tulisan sejarah tersebut merupakan karya dari para akademisi dalam negeri. Kategori lainnya terletak pada jenis tulisan yang dihasilkan apakah termasuk tulisan sejarah atau tidak. Jadi ada proses kategorisasi dalam pengumpulan tulisan-tulisan yang dianalisis narasinya.

Tulisan-tulisan tersebut digunakan sebagai data primer. Kemudian untuk memperkuat analisis narasi menggunakan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan perantau Bugis tapi tidak dikategorikan dalam tulisan sejarah.

Dalam proses analisis, penulis terlebih dahulu menelusuri setiap narasi sejarah yang ada untuk menemukan bentuk represntasi yang dihadirkan oleh setiap sejarawan. Setelah menemukan representasi narasinya maka langkah selanjutnya adalah menelusuri bagaimana setiap sejarawan membangun argumentasinya. Disini akan mememukan kata maupun kalimat subjektif yang muncul dari setiap sejarawan. Selanjutnya akan menunjukkan kecenderungan apa yang ada dalam narasi sejarah perantau Bugis. Dari proses itu akan terlihat bentuk intervensi setiap sejarawan dalam narasi yang ada.

I. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan di bagi dalam lima bagian. Bab I akan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian.

Pada Bab II akan diuraikan perkembangan historiografi Bugis. Ada tiga bagian yang menjadi fokus pembahasan yaitu peran pemerintah kolonial, Ilmuan

20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Asing yang menarasikan Bugis dan intelektual lokal. Di bagian akhir dari bab ini menelusuri tulisan-tulisan tentang perantau Bugis, sekaligus membahas sepintas teks yang menjadi bahan analisa dari tesis ini.

Pada Bab III akan dijelaskan teks-teks sejarah yang akan dianalisa dalam penelitian ini dengan membaginya dalam tiga bagian. Pertama, berdasarkan teks- teks sejarah tersebut akan dilihat dinamika perantau Bugis untuk menunjukkan representasi yang hadir dalam setiap teks. Kedua, akan ditunjukkan gambaran perantau Bugis di beberapa daerah perantauan berdasarkan teks-teks sejarah yang dipilih. Ketiga, akan ditunjukkan peran individu yang dimunculkan dalam setiap teks.

Pada Bab IV akan berisi penjelasan posisi sejarawan berdasarkan narasi yang mereka buat tentang sejarah perantau Bugis. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih jauh bagaimana representasi yang dihadirkan setiap sejarawan dalam narasinya. Kemudian melihat cara setiap sejarawan dalam membangun narasinya tentang Bugis di setiap wilayah perantauan. Bagian terakhir dari bab ini dilihat aktor sejarah yang ada dalam narasi dan sejarawan yang menarasikannya.

Terakhir Bab V akan berisi kesimpulan dari hasil penelitian terhadap narasi sejarah perantau Bugis. Kemudian, berisi saran yang akan menjadi pertimbangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI TENTANG MASYARAKAT BUGIS

Untuk melihat dinamika narasi sejarah perantau Bugis, di bagian bab ini akan terlebih dahulu diuraikan perkembangan penulisan sejarah Bugis. Penulisan sejarah Bugis tidak lepas dari perkembangan pemakaian aksara dalam kehidupan masyarakat yang berada di bagian selatan pulau Sulawesi. Aksara yang dimaksud adalah Lontaraq, meskipun konotasi Lontaraq tidak tunggal hanya sebatas aksara saja. Penyebutan Lontaraq juga terkait dengan naskah yang dihasilkan sebagai catatan tertulis oleh masyarakat Bugis.1

Sebagaimana diketahui, Bugis merupakan salah satu dari beberapa kelompok masyarakat yang saat ini mendiami wilayah Sulawesi Selatan.2 Bahasa merupakan unsur utama yang dapat dilihat ketika membedakan masyarakat Bugis dengan kelompok masyarakat lainnya, walupun bahasa Bugis sendiri tidak satu.

Setiap kelompok masyarakat Bugis memiliki dialeknya sendiri. Selain melalui bahasa akan sulit membedakan kelompok masyarakat Bugis dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat Bugis tidak hanya mendiami satu wilayah tertentu, mereka tersebar di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.

Penyebaran ini tidak lepas dari fakta bahwa dalam sejarahnya orang-orang Bugis mendiami beberapa kerajaan. Kategori Bugis dan bukan Bugis sangat terkait dengan pembagian yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan dengan

1 Lontaraq yang dimaksud dalam tesis ini, selanjutnya adalah tulisan yang sudah berbentuk naskah, apapun bentuknya. 2 Wilayah Sulawesi Selatan dulunya termasuk wilayah Sulawesi Barat saat ini, sebelum di mekarkan.

22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pengertian siapa “lawan” dan siapa “kawan”. Bugis yang dimaksud dalam tesis ini adalah Bugis secara umum, yakni mereka yang hidup dan menggunakan bahasa

Bugis dengan berbagai dialeknya.3

Bahasa Bugis yang digunakan oleh masyarakat Bugis tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk menulis, dengan menggunakan aksara sendiri yang disebut huruf lontaraq. Lontaraq juga merujuk pada medium penulisannya. Lontaraq menjadi medium yang digunakan untuk mencatat berbagai peristiwa dalam kehidupan bermasyarakat terutama yang terkait dengan peristiwa yang terjadi di sekitar kerajaan. Jenis tulisan lontaraq tersebut banyak digunakan sebagai sumber dalam penulisan sejarah Bugis dan kelompok masyarakat lainnya yang ada di Sulawesi Selatan selanjutnya.

Pencatatan berbagai kejadian yang dilakukan oleh pihak kerajaan setidaknya dimulai pada awal abad ke-16. Naskah lontaraq memiliki banyak jenis, baik dari segi isi naskah maupun bentuk penulisan, serta cara penyajiannya.

Terkait dengan bahan-bahan sumber sejarah, A.A. Cense mengkategorikan lontaraq dalam lima bentuk. Satu, berupa buku-buku harian; dua teks-teks perjanjian; tiga, catatan-catatan mengenai hukum adat; empat, surat-menyurat; kelima, iktisar iktisar sejarah yang singkat, yang kelima ini dianggap sebagai peralihan kepustakaan penulisan sejarah atau historiografi.4 Kategori-kategori tersebut tidak lepas dari kategori yang dibuat oleh Cense karena ia melihat naskah-naskah yang ada, terutama naskah yang masih dapat diakses saat dia

3 Pelras, Manusia Bugis,Nalar, Jakarta 2006 hal 14 4 Cense, Beberapa Tjatatan mengenai penulisan sedjarah Makassar-Bugis, Bharata, Jakarta 1972 hal. 12.

23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

melakukan penelitian. Nanti pada bagian lain dari tesis ini akan diuraikan bagaimana lontaraq diperlakukan pada masa kolonial.

Lontaraq merupakan produk tertulis paling tua yang dapat ditempatkan sebagai sumber sejarah, sekaligus sebagai bentuk awal tulisan sejarah bagi masyarakat Bugis maupun kelompok masyarakat lainnya yang ada di Sulawesi

Selatan. Penulisan sejarah Bugis menempatkan lontaraq sebagai sumber yang

(cukup) kuat sebagai alat legitimasi. Beberapa lontaraq sering kali tidak dikategorikan sebagai sebuah tulisan sejarah, sebagaimana yang dikembangkan oleh para sejarawan akademik. Dalam tesis ini lontaraq yang dimaksud tidak terbatas pada lontaraq yang dibuat sampai kedatangan orang-orang Eropa di

Sulawesi, tapi lontaraq yang terus diproduksi sampai awal 1990-an.

Lontaraq yang menjadi legitimasi dalam penulisan sejarah biasanya berisi informasi tentang asal usul sebuah kerajaan. Seperti misalnya lontaraq Sukkuna

Wajo yang bercerita tentang asal usul kerajaan Wajo. Ada juga Lontaraq Bone, yang bercerita tentang pembentukan kerajaan Bone. Lontaraq Addituang

Sidenreng, Lontaraq Akkarungeng Sawitto, Lontaraq Akkarungeng Suppa,

Lontaraq Akkarungeng Alitta, lontaraq-lontaraq ini bercerita tentang asal-usul masing-masing kerajaan yang masuk dalam aliansi Ajattappareng.5 Lontaraq

Gowa yang bercerita tentang asal usul kerajaan Gowa, walaupun kerajaan ini tidak termasuk kerajaan Bugis tetapi naskah seperti itu juga membahas keadaan wilayah-wilayah Bugis sehingga sering dipakai sebagai rujukan dalam penulisan sejarah Bugis.

5 Latif Abd, Para Penguasa Ajattapareng, Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis, Ombak, Jogjakarta 2014 hal 16.

24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain lontaraq yang bercerita tentang asal usul sebuah kerajaan terdapat juga lontaraq yang berisi nasehat misalnya lontaraq Latoa. Menurut Mattulada,

Lontaraq ini merupakan kumpulan ucapan-ucapan orang Bugis yang bijaksana dan petuah-petuah raja dari zaman sebelumnya yang banyak berisi soal hubungan raja dan rakyatnya.6 Naskah ini diperkirakan oleh Mattulada ditulis sekitar tahun

1560-1578. Artinya, lontaraq itu ditulis sebelum Belanda menaklukkan kerajaan- kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Selatan. Naskah yang digunakan oleh

Mattulada dalam penelitiannya adalah naskah salinan dari tulisan tangan Arung

Pancana pada tahun 1872.7

Pencatatan yang dilakukan oleh pihak kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan tentang berbagai hal sudah berlangsung sebelum datangnya orang-orang Eropa di daerah tersebut. Bentuknya belum bisa dikatakan sebagai tulisan sejarah tetapi tulisan-tulisan itu sudah merupakan catatan sejarah, yang oleh A.A Cense menyebutnya iktisar-iktisar sejarah yang singkat.8

Periode sejarah yang dapat ditelusuri melalui lontaraq-lontaraq tersebut mulai sekitar abad XII. Naskah lain yang bercerita tentang masyarakat Bugis adalah sure’galigo. Naskah ini merupakan naskah yang berangkat dari tradisi lisan, yang kemudian ditulis dan biasa dibacakan dalam setiap acara adat. Naskah yang sudah tertulis itulah yang disebut lontaraq sure’galigo. Naskah ini berisi cerita mitologi.9 Sampai saat ini naskah tersebut masih menjadi perdebatan apakah

6 Mattulada, Latoa, Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung pandang 1995 hal 79. 7 Mattulada, 1995, hal 80. Mengenai peranan kolonial dalam penulisan sejarah Bugis akan dibahas dalam bagian tersendiri. 8 Cense, 1972, hal 18. 9 Mattulada, 1995, hal 65.

25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

isinya merupakan cerita sejarah atau bukan. Beberapa ahli akhirnya menempatkan sebagai karya sastra. Ketiadaan tahun terjadinya sebuah peristiwa dalam naskah tersebut menjadi persoalan sendiri dalam rangka menelusuri apakah peristiwa- peristiwa tersebut pernah terjadi. Selain itu, tempat-tempat yang disebutkan dalam naskah tersebut juga sulit dilacak lokasinya saat ini. Fachruddin Ambo Enre menyebutnya zaman Galigo.10 Dia memperkirakan periode yang ada dalam naskah tersebut terjadi sekitar abad ke-7sampai abad ke-10.11

Pada bagian ini yang akan dipertegas adalah bahwa tidak semua naskah yang disebutkan sebelumnya merupakan naskah yang ditulis sebelum kedatangan orang-orang Belanda di Sulawesi. Penulisan naskah semacam itu terus berlangsung dalam perjalanan sejarah masyarakat Bugis. Ada yang langsung ditulis ketika sebuah peristiwa terjadi, ada pula yang ditulis lama setelah peristiwanya terjadi bahkan banyak juga berupa salinan dari naskah sebelumnya.

Tradisi penyalinan naskah menggunakan aksara lontaraq Bugis menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan bangasawan.

Bagian berikut akan mengurai bagaimana penulisan naskah lontaraq Bugis tersebut kaitannya dengan pemerintah kolonial. Lontaraq-lontaraq tersebut tentu berpengaruh dalam penulisan sejarah Bugis selanjutnya.

A. Peran Pemerintah Kolonial

Bagaimana peran pemerintah kolonial dalam penulisan sejarah Bugis?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang ingin dijawab pada sub bagian ini.

10 Ambo Enre, Fachruddin, Ritumpana Welenrengnge: Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo, Yayasan Obor Indonesia, jakarta 1999, hal 21. 11 Ambo Enre, Fachruddin, 1999, hal 22.

26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Harus diakui bahwa pemerintah kolonial memiliki peran besar dalam penulisan sejarah Bugis. Alasan ingin menguasai merupakan alasan dasar kenapa pemerintah kolonial harus mengintervensi masyarakat jajahannya.12

Untuk melihat peran pemerintah kolonial dalam penulisan sejarah Bugis ada dua lapis persoalan yang harus diurai.13 Lapis pertama, adalah adanya pengaruh pihak pemerintah kolonial pada naskah-naskah lokal. Lapis kedua, beberapa pegawai pemerintah kolonial yang pernah bertugas di daerah Sulawesi Selatan menulis tentang masyarakat Bugis sekembalinya ke Belanda. Ada yang secara langsung menulis sejarah masyarakat Bugis, ada pula yang hanya membuat laporan selama berada berada di Sulawesi. Literatur-literatur seperti itulah yang kemudian dipakai sebagai sumber penulisan sejarah Bugis.

Produksi naskah lokal terus dilakukan oleh masyarakat terutama kalangan bangsawan sampai kedatangan VOC, yang sejak awal 1800 digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ada dua bentuk pengaruh pihak pemerintah kolonial terhadap naskah-naskah lokal. Dalam bentuk pertama, pada saat naskah-naskah tersebut dicatat dan disalin. Beberapa naskah ditulis dan disalin oleh orang lokal atas permintaan pejabat pemerintah kolonial, seperti permintaan B.F. Matthes, seorang pegawai pemerintah kolonial.14 Selain itu, beberapa pejabat kolonial yang pernah bertugas di Sulawesi Selatan aktif mengumpulkan naskah-naskah lokal.

Fachruddin Ambo Enre mencatatan koleksi Matthes sebanyak 26 buku yang

12 Philpot, Simon, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postcolonial dan Otoritarianisme, Yogyakarta, Lkis, 2003. Hal 61. 13Tidak hanya berlaku pada punulisan sejarah Bugis tapi hampir seluruh kelompok masyarakat, kolonial menerapkan hal yang sama. 14 Ambo Enre, Fachruddin 1999 hal 13, lihat pula pengantarnya pada buku Kern, Lagaligo, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1993 hal IX.

27 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diserahkan ke Nederlandsce Bijbelgenotschap, Schoemann mengumpulkan naskah dan mempunyai koleksi 19 buku yang dibeli perpustakaan Bela Rusia di

Berlin, J.C.G. Jonker mengumpulkan 67 buku tulis dan sebuah lontar yang dihibahkan oleh jandanya ke Rijksuniversitieits Bibliotheek di Leiden.15

Dalam bentuk kedua, pengaruh pihak pemerintah kolonial dalam penulisan sejarah Bugis dapat dilihat dari literatur yang diterbitkan terkait dengan masyarakat setempat. A.A Cense mencatat yang berangkat dari catatan Roelof

Block dalam memori serah terima pada tahun 1759, pada tahun 1820 Crawfurd menerbitkan “History of the Indian Archipelago” yang di dalamnya termuat sejarah Bone dan Gowa.16 Kemudian diikuti oleh S.A. Buddingh yang menulis tentang pemerintahan Belanda dari Makassar dalam tulisan “Het nederlandsche

Gouvernement van Makassar op het eiland Celebes” yang dimuat dalam

Tijdschrift v.Ned.Indie tahun 1843. Di media yang sama J.A. Bakkers menulis tentang kerajaan pinjaman Bone. B.F. Matthes menerbitkan “Makassarse en

Boeginese Chrestomathieen” atau bunga rampai dari Makassar. Tulisan ini diterbitkan pada tahun 1872. Pada tahun 1883 G.K Niemann menerbitkan hikayat kerajaan Bugis Tanete.17 A.A. Cense sendiri yang pernah menjadi pegawai bahasa di Makassar pada 1930 sampai 194118 juga menerbitkan tulisan tentang penulisan sejarah Bugis Makassar, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia pada tahun 1971 dengan judul Beberapa Tjatatan mengenai Penulisan Sedjarah

Makassar-Bugis.

15 Ambo Enre, Fachruddin, 1999, hal 13-14. 16 Cense hal 10 lihat juga I.A. Caldwell kronologi raja-raja luwu hingga tahun 1611 dalam kathryn Robinson dan Mukhlis Paeni Tapak-Tapak waktu, Ininnawa Makassar 2005 hal 35 17Cense, 1972, hal 9-12 18 Abidin Zainal, pengantar dalam Cense, 1972 hal.6

28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan mempertimbangkan pengaruh pemerintah kolonial dalam berbagai sumber yang menjadi acuan dalam penulisan sejarah Bugis, maka kita perlu lebih kritis pula dalam melihat tulisan sejarah yang ada. Sulit dipastikan apa yang membuat para pegawai pemerintah kolonial melakukan usaha-usaha pengumpulan naskah-naskah lokal maupun mereka yang menulis tentang Bugis, kecuali untuk kepentingan penjajahan. Perlu dicatat dengan publikasi-publikasi yang dilakukan oleh para pegawai pemerintah kolonial tersebut ikut memperluas informasi tentang masyarakat Bugis di Eropa.

B. Aktivitas Ilmuwan Asing Selain Pemerintah Kolonial

Ketertarikan orang-orang Barat terhadap dunia Timur tidak hanya berlangsung ketika wilayah-wilayah tersebut masih berstatus sebagai wilayah jajahan, melainkan juga ketika wilayah-wilayah jajahan itu sudah merdeka, termasuk Indonesia. Dua Perang Dunia yang terjadi di awal dan pertengahan abad ke-20 tidak menghentikan ketertarikan mereka tetapi justru berlanjut, walaupun dengan motif yang berbeda. Satu kata kunci yang bisa digunakan untuk mengikat dari berbagai alasan yang tidak tertulis dari setiap kegiatan orang-orang Barat di negara-negara dunia ketiga adalah ilmu pengetahuan. Alasan itu pulalah yang membuat masyarakat Bugis sebagai salah satu objek kajian ilmu pengetahuan bagi beberapa ilmuan.

Tulisan-tulisan yang pernah diterbitkan oleh bekas pegawai pemerintah

Belanda tentang daerah-daerah Bugis menjadi titik awal keberangkatan penelitian orang Barat lainnya. Setelah itu, berlajut dengan penelitian terhadap naskah- naskah lokal yang banyak dikoleksi oleh bekas pejabat pemerintah Kolonial.

29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Belakangan naskah-naskah tersebut tersimpan di berbagai perpustakaan di

Eropa.19 Tidak terhitung dengan pasti jumlah ilmuan asing yang pernah meneliti masyarakat Bugis dengan berbagai tema dan latar belakang keilmuan. Bagian ini akan membahas beberapa tulisan tentang Bugis yang berhubungan dengan penulisan sejarah Bugis.

Ada beberapa naskah dari ilmuwan asing yang harus mendapat perhatian ketika membahas bentuk penulisan sejarah masyarakat Bugis. Pertama, karya

Leonard Andaya yang berjudul The heritage of Arung Palakka: A History of

South Sulawesi (Celebes) ini the Seventeenth Century, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Warisan Arung Palakka:

Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-17. Tulisan kedua adalah karya Christian Pelras dengan judul The Bugis yang dalam edisi bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi

Manusia Bugis. Kedua karya tersebut penting karena merupakan hasil penelitian dan sudah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia.

Karya Leonard Andaya diterbitkan pertama kali pada tahun 1981 oleh

KITLV, sebuah lembaga milik pemerintahan Kerajaan Belanda. Karya ini mewakili bentuk historiografi modern20, karena setidaknya memenuhi syarat- syarat penulisan sejarah ilmiah. Cara paling mudah untuk mengidentifikasi bahwa karya tersebut merupakan karya historiografi adalah dengan melihat adanya batasan temporal dan spasial. Karya ini memilih kurun waktu abad ke-17 dan

19 Ambo Enre Fachruddin, 1999, hal 13-15. 20 Hiitoriografi modern di Indonesia terkait dengan dimulainya penggunaan prinsip-prinsip metode kritis dalam penulisan sejarah. lihat Purwanto dan Warman Adam, Menggugat Historiografi Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3. Lihat juga Soejatmoko, Sejarawan Indonesia Dan Zamannya, dalam Soedjatmoko dkk (ed) Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 hal 358-363.

30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

secara spasial memilih Sulawesi Selatan.21 Karya ini tidak terlalu banyak diketahui oleh masyarakat umum, kecuali mereka yang bergelut dalam dunia intelektual. Edisi dalam bahasa Indonesia baru terbit pada tahun 2004. Andaya membahas Arung Palakka, salah satu tokoh sejarah bagi masyarakat Bugis Arung

Palakka selama ini selalu dikategorikan sebagai pengkhianat dalam narasi sejarah

Indonesia. Ia diposisikan sebagai tokoh yang bekerja sama dengan Belanda. Posisi tersebut membuat narasi sejarah nasional tidak mungkin menjadikan Arung

Palakka sebagai pahlawan nasional. Namun demikian bagi masyarakat Bugis

(terutama Bone), Arung Palakka merupakan tokoh yang dihormati karena dianggap berperan utama dalam membebaskan Kerajaan Bugis (Bone) dari

Kerajaan Gowa.

The Bugis yang ditulis oleh Christian Pelras pertama kali diterbitkan pada tahun 1996 dalam edisi bahasa Inggris. Pada tahun 2006 karya tersebut juga terbit dalam edisi bahasa Indonesia dengan beberapa tambahan pembahasan.22 Karya itu, walaupun bukan karya sejarah sebagaimana yang ditulis oleh Leonard

Andaya, penting untuk dilihat sebagai bagian dari perkembangan historiografi

Bugis. Tidak adanya batasan temporal membuat karya tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai karya sejarah modern, karena pembahasannya melampaui berbagai kurun waktu.

Dalam narasi Pelras, masyarakat Bugis dibahas hingga zaman prasejarah.

Berangkat dari teks I La Galigo, Pelras menggambarkan keadaan masyarakat

21Leonard y. Andaya, “Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-17”. Ininnawa, Makassar ,2004. 22 Pelras, “Manusia Bugis” Nalar, Jakarta, 2006, hal vii.

31 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bugis yang dianggap sebagai periode Bugis awal.23 Menurutnya, gambaran masyarakat di Sulawesi Selatan dan Tengah sebelum abad ke-14 dapat diperoleh apabila informasi tentang siklus I La Galigo serta membandingkannya dengan berbagai tradisi lisan yang berkembang.24 Pelras membahas kerajaan-kerajaan yang dimulai dari berbagai mitos asal usul kerajaan, sekaligus sebagai penjelasan naskah I Lagaligo. Lalu dilanjutkan dengan membahas priodesasi sejarah.25

Kerajaan Luwu ditempatkan sebagai penguasa wilayah-wilayah Bugis di akhir abad ke-15, tetapi upaya-upaya melepaskan diri terus bermunculan bersamaan dengan semakin merosotnya kekuasaan kerajaan tersebut.26 Di antara kerajaan- kerajaan Bugis tidak ada yang saling menguasai secara penuh, bahkan beberapa di antaranya justru membuat persekutuan kewilayahan seperti yang dilakukan kerajaan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, Bacukiki dan Rapppang yang membentuk peresekutuan Aja’Tappareng atau wilayah barat danau Tempe.27 Ada juga persekutuan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya yang pernah terjadi antara

Bone, Soppeng dan Wajo yang disebut persekutuan Tellung Mpocco’-e’.

Persekutuan tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi kekuasaan kerajaan

Gowa.28 Selain itu, pentingnya karya ini dalam narasi sejarah Bugis, juga karena membahas masyarakat Bugis yang relatif lebih baru.

Dalam sejarah masyarakat Bugis, Aja’Tappareng merupakan salah satu bentuk persekutuan kerajaan-kerajaan Bugis yang dibentuk untuk memperkuat

23 Pelras, 2006, hal 71-110. 24 Pelras, 2006, hal 71. 25 Pelras, 2006, hal111-116. 26 Pelras, 2006, hal 133. 27 Pelras 2006, hal 133. 28 Pelras 2006, hal 157.

32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kekuatan politik dalam menghadapi kekuatan politik lainnya, seperti Luwu dan

Gowa dari priode yang berbeda. Persekutuan tersebut terbentuk atas kedekatan wilayah yang berada di pantai barat Sulawesi. Stephen C. Druce merupakan ilmuwan asing yang cukup kompleks membahas wilayah tersebut. Penelitiannya cukup mutakhir tentang Bugis, terbit pada tahun 2009.29 Lontaraq kerajaan- kerajaan yang dijadikan sumber dalam karya tersebut membuat penjelasan Druce cukup detail. Artefak-artefak arkeologis juga dihadirkan sehingga penjelasannya semakin akurat. Druce tidak hanya menggunakan satu pendekatan keilmuan dalam penelitiannya tetapi berusaha menggabungkan beberapa pendekatan, seperti sejarah dan arkeologi. Kekurangan dari karya ini karena hanya terbit dalam bahasa Inggris dan belum ada pengalihan ke bahasa Indonesia.

Tentu tidak hanya tiga orang itu, ilmuwan asing yang meneliti tentang

Bugis, terutama pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Ada nama-nama seperti

Susan Bolyard Millar yang menulis buku berjudul Perkawinan Bugis, Ian

Caldwell yang menulis tesis untuk studinya yang berjudul Bugis Text South

Sulawesi AD1300-1600: Ten Bugis Tex, dan lain-lain.30 Mereka ikut mewarnai penulisan sejarah Bugis. Karya-karya yang dibahas sebelumnnya belum semua membahas daerah yang didiami masyarakat Bugis.

C. Narasi Intelektual Lokal

Masyarakat Bugis menulis tentang diri mereka sepertinya tidak pernah berhenti sejak dikenalnya huruf lontaraq dalam penulisan naskah. Berbagai arus

29.Druce, Stephen C, The Lands West of the Lakes: A history of the Kingdoms of 1200 to 1600 CE,” KITLV press, Laiden 2009. 30 Lihat rujukan yang digunakan oleh pelras, 2006.

33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kebudayaan luar yang bersentuhan dengan aktivitasnya membuat mereka terbuka terhadap berbagai hal. Percampuran huruf lokal dengan huruf Arab merupakan varian lain yang ditemukan dalam beberapa naskah lokal. Bentuk naskah seperti itu adalah salah satu hasil persinggungan mereka dengan dunia luar. Pendidikan

Eropa yang diperkenalkan oleh Belanda di awal abad ke-20 juga ikut mewarnai dinamika berpengetahuan masyarakat Bugis. Beberapa sekolah untuk pribumi akhirnya didirikan. Golongan bangsawanlah yang pertama mendapat akses dan biasanya mereka dipersiapkan menjadi pegawai Belanda. Setelah kemerdekaan

1945 dan masuknya Sulawesi sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT), peran intelektual didikan Belanda tidak kehilangan tempat. Justru mereka yang kemudian bermetamorfosis menjadi pejabat-pejabat daerah.

Di tengah gelora semangat memunculkan narasi sejarah nasional, muncul seorang bekas pegawai pamongpraja yang merintis penulisan sejarah lokal untuk daerah Sulawesi Selatan. Dia adalah Abdurrazak Daeng Patunru.31 Beberapa tulisan sejarah daerah masyarakat Bugis hadir di tangannya, seperti Sedjarah

Wadjo yang merupakan karya pertamanya di tahun 1967. Menurut Dias

Pradadimara dalam pengantar salah satu buku kumpulan tulisan Abdurrazak

Daeng Patunru, pemilihan daerah Wadjo sebagai tema sejarah dipilih lebih karena faktor kedekatan. Daerah tersebut merupakan salah satu tempat dia pernah bertugas di masa kolonial.32 Daerah Bugis lain yang pernah ditulis yaitu Tanete,

Sidenreng, Soppeng, walaupun secara lebih singkat. Melihat bentuk tulisan dari

31 Pradadimara, Dias, “Abdurrazak Daeng Patunru dan Karyanya, sebuah perkenalan singkat” pengantar dalam Abdurrazak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, PUSKIT dan Lephas, makassar 2004. Hal xiii. 32 Pradadimara, Dias, dalam Patunru 2004, hal ix.

34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tiga kerajaan yang ditulisnya itu, rupanya Abdurrazak Daeng Patunru tidak ketat dalam usaha melakukan penulisan ilmiah. Meskipun demikian pada bagian akhir tulisannya ia menyebut sumber-sumber yang digunakan.33 Sepertinya ia mewarisi bentuk penulisan lontaraq di masa lalu ketika mengisahkan asal-usul sebuah kerajaan, dipadu dengan pengalamannya sebagai seorang birokrat yang pernah menempuh pendidikan formal Belanda. Dari sumber yang digunakan dalam beberapa tulisannya terlihat bahwa naskah-naskah lokal dan catatan Belanda menjadi pilihan utama sebagai sumber tulisannya.34

Penulisan sejarah Bugis yang berdasarkan hasil penelitian akademik dilakukan oleh Andi Zainal Abidin yang menulis tentang Wajo Abad XV-XVI, walaupun ia bukanlah akademisi pertama yang menjadikan Bugis sebagai tema penelitian. Karyanya merupakan bagian dari sejarah Bugis yang ditulis oleh intelektual lokal. Sebagai karya akademis maka model penulisannya sangat ketat mengikuti aturan keilmiahan. Hal itu bisa dipahami karena karya tersebut merupakan karya disertasi doktoral pada tahun 1979. Secara akademis Abidin bukan berlatar belakang ilmu sejarah. Namun demikian ia mulai tertarik pada naskah-naskah lokal saat menjadi kurator pada Yayasan Kebudayaan Sulawesi

Selatan.35 Kerajaan Wajo yang dibahasnya merupakan salah satu kerajaan Bugis yang pernah ada. Abidin menganggap unik kerajaan tersebut karena di abad ke

33Lihat Abdurrazak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, PUSKIT dan Lephas, makassar 2004. 34Lihat misalnya bagian daftar literatur pada bukunya, Patunru Abdrrazak Daeng, Sejarah Gowa yayasan kebudayaan sulawesi selatan, Ujung Pandang, 1993, bahkan, menurut Paradadimara dari penggunaan sumbernya beliau lebih cenderung mengandalakan catatan-catatan yang dibuat oleh para pegawai kolonial dibanding menggunakan lontara atau naskah lokal. Pradadimara, Dias, “Abdurrazak Daeng Patunru dan Karyanya, sebuah perkenalan singkat” pengantar dalam Abdurrazak Daeng Patunru, 2004. Hal x. 35 Abidin, Andi Zainal, Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Dari Sulawesi Selatan Dari Lontara, Alumni, 1985 hal vii.

35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

XV-XVI pemerintahannya di tingkat pusat diselenggarakan oleh suatu dewan yang jumlahnya cukup besar. Selain itu, menurut dia orang-orang Wajo juga bisa ikut mempengaruhi jalannya pemerintahan dan sudah cukup mengenal adanya kebebasan.36 Karya yang mencapai 600 halaman setelah diterbitkan menjadi buku tersebut memberikan informasi tentang kerajaan Wajo, terutama peroses terbentuknya kerajaan sampai beberapa pemerintahan setelahnya. Untuk mempertegas bahwa karya tersebut mempunyai akar yang cukup kuat dalam masyarakat Bugis. Di bagian kedua dari bukunya dimuat transkripsi dan translasi salah satu Lontaraq yang digunakan.37 Di bagian ketiga buku itu Abidin memperkuat argumentasinya dengan membandingkan Lontaraq Sukkuna Wajo sebagai naskah yang menjadi kajian utamanya dengan lontaraq-lontaraq yang berasal dari daerah lain, seperti Lontaraq Luwu, Gowa, Bone dan Soppeng.38

Yang perlu menjadi catatan dalam buku tersebut hanya membahas salah satu kelompok masyarakat Bugis.

Intelektual lokal generasi Abidin bukan satu-satunya yang menulis tentang

Bugis untuk kepentingan akademik tetapi masih ada yang lain, seperti yang dilakukan oleh Mattulada. Mattulada menganalisa salah satu naskah Lontaraq, sekaligus menjadi judul bukunya yaitu Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap

Antropologi Politik Orang Bugis. Buku Abidin dan Mattulada terbit di tahun yang sama yaitu tahun 1985, walaupun belum diketahui mana yang lebih dahulu merampungkan disertasinya. Buku yang ditulis oleh Mattulada melukiskan salah

36 Abidin, Andi Zainal, 1985,hal 7. 37 Abidin, Andi Zainal, 1985, hal 52-276. 38 Abidin, Andi Zainal 1985,hal 277-346.

36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

satu kerajaan Bugis yang pernah ada yaitu kerajaan Bone tetapi pendekatannya lebih antropologis.39

Karya lain yang lahir dari kalangan akademisi yaitu Para Penguasa

Ajatappareng, Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis yang ditulis oleh Abd

Latif. Sebagai salah satu dosen di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin

Makassar, karya ini juga merupakan karya sejarah akademik. Buku itu membahas secara deskripsi tentang para penguasa dalam kofenderasi Ajatappareng. Pada awalnya karya tersebut merupakan bagian dari disertasinya, tapi kemudian diterbitkan secara terpisah.40 Sumber yang digunakan dalam menyusun buku tersebut adalah Lontaraq dari lima kerajaan Bugis yang berada di pantai barat

Sulawesi Selatan. Pertama kali diterbitkan pada tahun 2014, buku tersebut bisa dipandang sebagai tulisan tentang Bugis yang relatif lebih baru.

Berbagai tulisan tentang Bugis yang berlatar belakang sejarah cukup mewarnai narasi sejarah Bugis juga lahir dari akademisi lainnya seperti A.Rasyid

Asba, yang menulis buku berjudul Kerajaan Nepo, Sebuah Kearifan Lokal Dalam

Sistem Politik Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru. Selain itu dia juga pernah menulis buku Gerakan Sosial Di Tanah Bugis: Raja Tanete Lapatau Menentang

Belanda. Kedua buku tersebut terbit di tahun 2010. Selain karya yang sudah terpublikasi dan tersebar ke masyarakat karena sudah diterbitkan dalam bentuk buku, tentu masih banyak lagi serpihan-serpihan sejarah Bugis yang lahir dari para sarjana, terutama alumni universitas-universitas yang memiliki jurusan sejarah, baik mereka yang berlatar belakang ilmu sejarah murni maupun

39 Mattulada, 1995,hal 1. 40 Latif Abd, 2014, hal ix.

37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pendidikan sejarah, seperti Universitas Hasannuddin, Universitas Negeri

Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin yang mempunyai jurusan sejarah dan peradaban islam serta Universitas Veteran Republik Indonesia.

D. Jejak Tertulis Orang Bugis Di Tanah Rantau

Seperti halnya jejak orang Bugis secara umum, lontaraq menjadi acuan tertulis untuk melihat jejak orang Bugis di tanah rantau. Pada abad ke-17 sebuah lontaraq ditulis oleh Amana Gappa berisi pengaturan orang Bugis yang berada di

Sulawesi dan di luar Sulawesi ketika melakukan pelayaran dan perdagangan.

Lontaraq tulisan Amanna Gappa yang dibahas di sini berasal dari pembahasan

PH. O. L. Tobing dalam bukunya Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna

Gappa.41 Amamna Gappa adalah Matoa42 orang Bugis yang berasal dari Wajo yang tinggal di Makassar. Dialah yang berinisiatif untuk merumuskan aturan tertulis yang mengatur pelayaran dan perdagangan bagi komunitas orang Bugis.

Mekanisme perumusan aturan itu dilakukan dengan memanggil Matoa-matoa lainnya ke Makassar. Dalam lontaraq itu disebutkan Matoa-matoa dari dan Paser hadir.43 Menurut PH. O. L.Tobing berdasarkan lontaraq tersebut pada abad ke-17 kelompok-kelompok orang Bugis sudah ada di Ambon, Banjarmasin,

Palembang, Malaka, Djohor. Kesimpulan itu didapat dengan melihat adanya rute- rute pelayaran yang disebutkan dalam naskah.44 Lontaraq tersebut memang tidak

41 Tobing, Hukum Pelayaran Dan Perdagangan Amanna Gappa, Yayasan Kebudayaan sulawesi selatan, Ujung Pandang, 1977. 42Matoa merupakan penyebutan orang yang diangkat sebagai pimpinan dalam komunitas orang Bugis yang berasal dari Wajo, baik ketika berada di Wajo sendiri maupun orang Wajo yang bermukim diluar. Setiap komunitas orang Bugis yang bersal dari Wajo biasanya memiliki Matoa. 43Tobing 1977,hal 24. 44 Tobing, 1977, hal 23.

38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menggambarkan kehidupan orang Bugis di tempat mereka bermukim, tetapi dapat dijadikan dasar untuk melihat persebaran orang Bugis di luar Sulawesi Selatan.

Catatan perjalanan orang-orang Eropa juga menjadi penting untuk menemukan gambaran orang-orang Bugis di berbagai tempat. Salah satunya adalah catatan yang dibuat oleh Josep Conrad saat melakukan perjalanan dari

Singapura ke Kalimantan Timur. Di setiap pelabuhan yang disinggahinya Conrad bertemu dengan orang Bugis.45 Catatan seperti ini memberikan informasi mengenai aktivitas orang Bugis yang mereka temui di beberapa pusat perdagangan, terutama daerah yang memiliki pelabuhan. Mengidentifikasi orang

Bugis memang tidak dilakukan lebih jauh, tapi sepertinya yang disebut sebagai orang Bugis tidak hanya orang-orang yang berasal dari daerah di Sulawesi Selatan yang berbahasa Bugis, melainkan juga hampir semua orang yang berasal dari wilayah tersebut.

Naskah yang dibuat atau yang terdapat di daerah perantau menjadi penting untuk melihat peranan perantau Bugis di tempat mereka bermukim. Naskah seperti ini bahkan dapat menjadi dasar untuk menelusuri silsilah orang Bugis, seperti yang dilakukan oleh Arena Wati ketika menyusun silsilah Melayu dan

Bugis. Tulisan tersebut didasarkan pada karangan Ali Al Haji yang berjudul

Tuhfat Al Nafis.46 Naskah lainnya ada yang berbentuk pantun, seperti naskah yang menggambarkan keterlibatan perantau Bugis dalam perang di Semenanjung

Melayu. Naskah seperti ini menjadi acuan akademisi ketika menelusuri silsilah

45 Tobing, 1977, hal 19. 46 Kesuma 2004, hal 98.

39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang-orang Melayu maupun perantau Bugis di wilayah Melayu.47 Naskah

Melayu yang tekait dengan perantau Bugis bahkan ada yang ditulis oleh keturunan

Bugis Wajo yang bernama Husin bin Ismail.48 Akan tetapi naskah yang disalinnya belum ada yang menceritakan keberadaan orang Bugis di Melayu secara khusus.

Ada beberapa karya tulis lain yang merekam keberadaan orang Bugis di perantauan dan disusun oleh akademisi dalam negeri, yang sekaligus dijadikan sebagai bahan analisis untuk melihat perantau Bugis dalam narasi sejarah.

Misalnya karya sejarah yang berjudul Migrasi dan orang Bugis ditulis oleh Andi

Ima Kesuma, merupakan salah satu tulisan sejarah yang menelusuri keberadaan orang Bugis di Johor Malaysia. Buku ini bahkan secara khusus berusaha mendeskripsikan peran Opu Daeng Rilakka beserta keturunannya di Johor pada abad ke-18. Tulisan tersebut merupakan tulisan akademik, diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Ombak di kota Yogyakarta. Dalam pengantarnya, penulis mengungkapkan bahwa buku itu ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1988, tetapi baru dipublikasi dalam bentuk buku pada tahun

2004.

Contoh lain adalah buku yang berjudul Perahu Pinisi di Pesisir Dewata,

Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali Sekitar Abad XIX yang mencoba menelusuri keberadaan orang Bugis di wilayah Bali. Buku ini berangkat dari penelitian untuk kepentingan akademik tertentu dan seteleh mengalami perbaikan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2011. Buku tersebut diterbitkan oleh

47 Kesuma 2004,hal 119-124. 48 Roger Tol, pengembaraan La Galigo ke Washington D.C dalam Nurhayati Rahman dkk (editor) La Galigo, Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, pusat studi la galigo pusat kegiatan penelitian universitas hasanuddin dan pemerintah daerah kabupaten Barru,Makassar 2003, hal 60.

40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penerbit Pustaka Larasan yang ada di Bali. Penulisnya bernama I Putu Gede

Suwitha asal Bali. Penulisnya pernah tinggal di Makassar selama dua tahun, dalam rangka penelitian.

Buku yang juga memuat tentang perantau Bugis adalah buku Diaspora

Bugis di Alam Melayu Nusantara. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang dieditori oleh Andi Faisal Bakti, akademisi yang masih keturunan Bugis.

Kumpulan tulisan tersebut diterbitkan oleh penerbit Ininnawa yang beralamat di

Makassar pada tahun 2010. Sebagai kumpulan tulisan di dalamnya termuat banyak tulisan. Penulisnya pun beragam, mulai dari yang berasal dari luar negeri sampai yang berasal dari dalam negeri. Dalam buku itu ada dua tulisan yang dijadikan bahan untuk tesin ini. Pertama, tulisan yang berjudul “Akulturasi Orang

Bugis Dan Orang Betawi Di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara”. Tulisan ini lahir dari penelitian yang dilakuan oleh dua orang yang bernama Mashadi Said dan Hendro Prabowo. Kedua, tulisan yang berjudul “Peranan Bugis pendatang dalam proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah

Ambon”. Tulisan tersebut dibuat oleh Badrus Sholeh.

Rangkuman

Historiografi tentang Masyarakat Bugis yang pernah ada dimulai ketika masyarakat terebut mengenal aksara yang disebut huruf lontaraq. Penyebutan lontaraq sendiri sekaligus untuk penamaan naskah yang dibuat oleh masyarakat

Bugis di berbagai kerajaan yang pernah ada, sekaligus sebagai bentuk historiografi paling awal. Masyarakat Bugis juga beragam karena berasal dari kerajaan yang berbeda di masa lalu. Masuknya orang Eropa di wilayah yang

41 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

didiami masyarakat Bugis ikut mempengaruhi penulisan sejarah yang ada, sekaligus pengertian Bugis sendiri. Dimulai dengan orang Eropa yang datang untuk menjajah seperti yang di lakukan oleh Belanda. Demi untuk menguasai masyarakat Bugis maka mereka mengumpulkan berbagai naskah lokal yang ada, bahkan ikut mempengaruhi proses produksi yang dilakukan oleh masyarakat setempat, terutama masyartakat kerajaan yang berada di bawah taklukan orang

Eropa. Ketelibatan orang asing dalam perkembangan historiografi Bugis tidak berhenti saat penjajahan berakhir tetapi terus berlanjut setelahnya. Ilmuwan asing ikut mewarnai perjalanan penulisan sejarah Bugis kemudian melalui penelitian- penelitian untuk kepentingan akademik mereka. Penulisan sejarah Bugis juga dilakukan oleh intelektual lokal dan akademisi dalam negeri lainnya, mengikuti perkembangan dunia sekolah yang ada.

Perkembangan penulisan sejarah Bugis diikuti dengan penulisan sejarah orang-orang Bugis yang berada di luar daerahnya. Pola penulisannya juga mengikuti pola penulisan sejarah masyarakat Bugis secara umum. Penulisan sejarah masyarakat Bugis diperantauan juga berawal dari tulisan lontaraq yang ditulis oleh kalangan mereka sendiri. Penulisan sejarah selanjutnya berasal dari catatan orang Eropa yang bertemu dengan komunitas orang Bugis di berbagai tempat, terutama daerah pelabuhan. Para akademisi juga memiliki perhatian dan minat untuk menulis orang-orang Bugis perantauan, baik yang dilakukan oleh akademisi luar maupun akademisi dalam negeri. Bab selanjutnya membahas empat karya sejarah perantau Bugis. Tulisan tersebut merupakan objek pembahasan dalam tesis ini.

42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III DINAMIKA PERANTAU BUGIS SEBAGAIMANA DINARASIKAN DALAM TEKS-TEKS SEJARAH

Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana penulisan sejarah perantau Bugis dinarasikan oleh para intelektual. Sebagaimana telah disebut, ada empat teks sebagai objek utama tesis ini. Pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang

Bugis, yang ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Kedua, buku yang berjudul Perahu

Pinisi di Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar

Abad XIX. Buku tersebut merupakan karya I Putu Gede Suwitha. Ketiga artikel yang berjudul “Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara,

Pesisir Pantai Jakarta Utara”, tulisan ini ditulis oleh Mashadi Said dan Hendro

Prabowo. Keempat, tulisan yang berjudul “Peranan Bugis Pendatang dalam

Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia: Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh Badrus Sholeh. Kedua artikel tersebut merupakan dua tulisan yang terdapat dalam satu buku yang berjudul Diaspora Bugis di Alam Melayu

Nusantara, dieditori oleh Andi Faisal Bakti.

A. Bugis dalam Ruang Representasi

Ketika membaca narasi sejarah perantau Bugis, kita akan melihat berbagai hal hadir dalam narasi sejarah tersebut. Representasi merupakan salah satu cara yang dipakai oleh sejarawan untuk menghadirkan berbagai fenomena dalam narasi. Menurut White representasi dapat dilihat dalam deskripsi yang dilakukan

43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

oleh sejarawan tentang objek studi mereka.1 Bagian ini akan melihat beberapa penggalan yang dihadirkan dalam narasi sejarah perantau Bugis. Penggalan tersebut merupakan representasi dari perantau Bugis yang hadir dalam narasi.

Representasi pertama, soal keadaan tanah kelahiran yang tidak menentu: selalu berada dalam situasi antara perang dan harga diri. Bagian ini berisi tentang keadaan kampung halaman orang Bugis yang berada di Sulawesi Selatan. Hal ini penting untuk melihat penyebab orang Bugis melakukan perantauan. Representasi kedua, soal spirit bahari sebagai legitimasi perantauan. Bagian ini berisi narasi tentang bagaimana orang Bugis melakukan perantauan.

A.1. Tanah Kelahiran yang tidak Menentu: Antara Perang dan Harga Diri

Ketika membaca narasi sejarah perantau Bugis, kita akan tertuju pada satu pertanyaan mendasar yaitu kenapa orang Bugis melakukan perantauan?

Terjadinya gejolak di wilayah Sulawesi Selatan sebagai akibat perang merupakan salah satu alasan yang ditampilkan oleh sejarawan, sebagai penyebab orang Bugis meninggalkan daerahnya. Perang yang memuncak pada tahun 1667 antara

Makassar melawan VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dianggap memiliki dampak yang menyebabkan orang-orang di pulau Sulawesi bagian selatan meninggalkan pulau itu. Perang tersebut dikenal sebagai Perang Makassar.

Lalu apa hubungannya dengan orang Bugis?

Perebutan pengaruh di antara kerajaan yang ada di kawasan Sulawesi merupakan latar sejarah yang ditampilkan dalam narasi sejarah ketika memotret pertarungan antar kerajaan di abad ke-17. Ketegangan semakin menjadi-jadi

1 White, The Conten of the form, 1987, hal 189

44 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ketika VOC sebagai kekuatan luar ingin merebut pengaruh di wilayah itu. VOC menganggap wilayah Sulawesi bagian Selatan terutama Makassar strategis karena menghubungkan sumber rempah-rempah yang ada di kepulauan Maluku dengan

Batavia sebagai pusat kekuasaannya. Koalisi antar kerajaanpun terjadi pada periode tersebut. Posisi orang Bugis sendiri tidak tunggal karena kerajaan Wajo sebagai salah satu kerajaan Bugis saat itu berkoalisi dengan kerajaan Makassar.2

Perang antara VOC dengan Makassar pada tahun 1967 menimbulkan rentetan peristiwa sampai meletusnya perang terbuka yang berujung pada ditanda tanganinya perjanjian Bongaya di tahun yang sama kemudian diperbarui pada tahun 16693. Perang tersebut dianggap sebagai salah satu perang besar sebagaimana yang dinarasikan oleh Kesuma: “… perang VOC-Makassar pada tahun 1667, suatu bentuk perang yang unik lagi dahsyat, tak ada taranya dengan perang kolonial lainnya yang pernah terjadi pada masa kekuasaan VOC/Belanda di Kepulauan Nusantara.”4 Kronologi perang tersebut dinarasikan oleh Kesuma lengkap dengan pasal perjanjian yang terpaksa disetujui oleh pihak Makassar.5

Perang ini kemudian disebut Perang Makassar yang memicu terjadi perpindahan orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan ke daerah lain, terutama mereka yang berkoalisi dengan kerajaan Makassar.

Narasi Kesuma menunjukkan bahwa Perang Makassar berakhir dengan

Perjanjian Bungaya. Dalam narasinya, Kesuma menghadirkan sembilan pasal

2 Kerajaan Makassar merupakan penyebutan lain dari kerajaan Gowa terutama setelah penggabungan kerajaan Gowa dan Tallo, lihat Patunru, Sejarah Gowa, Ujung pandang , Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1993. 3 Kesuma, 2004, hal 65. Lihat juga Patunru,1993 hal 63, 4 Kesuma 2004, hal 58. 5 kesuma 2004 hal 59- 67.

45 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Perjanjian Bungaya yang kesemuanya cenderung merugikan pihak kerajaan

Makassar bersama koalisinya. Protes terhadap pasal perjanjian itu ditunjukkan oleh Kesuma seperti berikut ini:

Jikalau diperhatikan beberapa pasal dalam perjanjian tersebut, sudah tentu sangat merisaukan sejumlah sekutu maupun pengikut Sultan Hasanuddin. Terutama mengenai pasal 4. Menurut penulis, inilah yang menjadi alasan utama mengapa Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu secara diam-diam meninggalkan Makassar berlayar ke pulau Jawa, yaitu masing-masing ke Madura dan Banten.6

Menurut Kesuma kepindahan bekas pasukan kerajaan Makassar secara berkelompok tidak berhenti sesaat setelah Perjanjian Bungaya. Perpindahan itu terus berlangsung, seperti yang dilakukan oleh Karaeng Luwu dan pasukannya yang berjumlah 300 orang.7

Kesuma menyebutkan bahwa akibat dari Perang Makassar beberapa daerah di Sulawesi Selatan mengalami ketidakstabilan salah satunya dialami oleh

Kerajaan Wajo. Sebagai kerajaan yang memihak pada pihak yang kalah maka sebagai konsekuensinya kerajaan ini terus mengalami gangguan keamanan ketika perang Makassar berakhir. Saat itu Wajo tidak ikut menandatangani perjanjian dengan VOC.8

Menurut Kesuma gangguan keamanan terhadap orang-orang Wajo justru semakin meningkat setelah Perang Makassar berakhir, sebab gabungan pasukan

VOC dan Arung Palakka justru mengarahkan kekuatannya untuk menyerang pusat kerajaan Wajo yang ada di Tosora. Dalam narasinya, Kesuma menyebut bahwa

6 Kesuma 2004, hal 67, pasal 4 berisi “orang-orang yang bersalah karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang Belanda, akan dihukum di hadapan residen Belanda di Makassar”. 7 Kesuma 2004, hal 68. 8 Kesuma 2004, hal 69.

46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kerajaan tersebut dikepung selama tiga tahun.9 Serangan besar-besaran kemudian dilakukan pada tahun 1670 dan memakan korban 1300 orang dari pihak kerajaan

Wajo. Kesuma menyebut bahwa penyerangan itu berakhir dengan perjanjian yang ditandangani pada tanggal 23 desember 1670, sekaligus merupakan perjanjian penyerahan. Pihak Wajo dihadiri oleh tiga panglima besar kerajaan Wajo yaitu

Cakkuridi Wajo, Pattola Wajo dan Pilla Wajo.10 Ketidakstabilan kerajaan Wajo pada akhirnya membuat masyarakatnya memilih meninggalkan kerajaan tersebut sebagaimana yang dinarasikan oleh Kesuma:

Selama berlangsungnya peperangan penduduk Wajo boleh dikatakan mengalami penderitaan yang maha hebat. Oleh sebab itu banyak di antaranya yang meninggalkan kampung halaman, tercerai-berai menuju negeri lain seperti Mandar, Luwu, Enrekang, Makassar, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Johor.11

Berakhirnya Perang Makassar yang melahirkan perjanjian Bongaya pada tahun 1667, juga terdapat dalam narasi Suwitha sebagai salah satu sebab banyak orang Bugis meninggalkan wilayah Sulawesi Selatan saat itu. Perjanjian itu membuat peta politik perdagangan berubah. Tidak hanya di Makassar, perubahan juga terjadi di kawasan timur Nusantara. Monopoli yang dilakukan oleh VOC membuat Makassar ditinggalkan oleh para pedagang.

Ditinggalkannya kawasan Makassar dinarasikan oleh Suwitha sebagai berikut:

Pada periode inilah banyak bangsawan Bugis yang meninggalkan tanah kelahirannya menyebar keseluruh Asia Tenggara sambil berdagang karena hak hidup mereka dirampas. Terdapat pusat penyebaran orang Bugis, seperti , , Pulau , , dan Flores. Pulau Laut misalnya, hampir semua penduduknya orang Bugis.12

9 Kesuma 2004, hal 72. 10 Kesuma 2004, hal 73. 11 Kesuma 2004, hal 74. 12 Suwitha 2013, hal 48.

47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Narasi Suwitha menunjukkan bahwa kekuasaan Makassar mulai surut setelah

Perjanjian Bungaya. Hal ini membuat kekuasaan VOC berangsur-angsur besar di wilayah Sulawesi begian selatan. Suwitha tidak melihat adanya kekuasaan kerajaan Bone yang meningkat sebagai sekutu VOC dalam perang Makassar.

Akibat perang itu pula terjadi konflik antar kerajaan Bugis sendiri, baik karena akibat perang Makassar maupun karena permainan VOC.

Kerajaan Wajo yang bersekutu dengan kerajaan Gowa pada perang

Makassar dan menolak menandatangani Perjanjian Bungaya. Kerajaan tersebut akhirnya harus menghadapi kerajaan Bone sebagai pihak pemenang dalam perang

Makassar. Perang tersebut terjadi masih pada abad ke-17 yang membuat wilayah kerajaan Wajo mengalami kehancuran, sebagaimana yang dinarasikan oleh

Suwitha:

Perpindahan terbesar terutama bagi orang Bugis Wajo terjadi setelah pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu kerajaan Wajo terlibat peperangan dengan tetangganya yang berakhir dengan hancurnya daerah Wajo dan ibu kotanya Tosora pada tahun 1670. Maka dari itu, timbul kelaparan dan akibat-akibat lainnya.13

Bukan hanya Perang Makassar yang dihadirkan oleh Suwitha dalam narasinya.

Perang antar kerajaan yang ada di bagian selatan pulau Sulawesi tersebut juga disebut, seperti perang yang terjadi karena penyebaran Islam yang dilakukan oleh

Kerajaan Gowa ke kerajaan-kerajaan Bugis. Perang tersebut sering disebut dalam bahasa Bugis sebagai musu’asellengeng atau perang pengislaman.14 Selanjutnya perang ini akhirnya membuat kerajaan-kerajaan Bugis memeluk agama Islam.

Akibat perang seperti itu membuat kawasan ini mengalami situasi yang tidak menentu, walaupun terjadi sebelum Perang Makassar.

13 Suwitha 2013, hal hal 49. 14 Suwitha 2013, hal 47.

48 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Mashadi Said dan Hendro Prabowo juga menempatkan perang Makassar dalam narasinya ketika membahas keberadaan orang Bugis di Kamal Muara, pesisir pantai Jakarta Utara. Menurutnya perang itulah yang menjadi salah satu sebab orang-orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Mereka menulis:

“... pada abad ketujuh belas terdapat perang di mana orang Bugis Bone bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Kondisi ini membawa konsekuensi tersendiri sehingga terjadi persebaran orang Bugis, khususnya Bugis-Wajo yang bersekutu dengan Gowa-Makassar.”15 Perang itu juga membuat kondisi beberapa kerajaan di pulau Sulawesi bagian selatan tidak menentu, terutama kerajaan yang berpihak ke kerajaan Gowa saat perang itu berlangsung. Perang tersebut berakibat sebagian orang Bugis memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Pola perpindahan tersebut menurut Said dan Prabowo disebut sebagai pola migrasi yang mengutamakan untuk mencari nafkah atau dalam bahasa Bugis disebut massapa dalle.16

Bukan hanya gejolak Perang Makassar yang dilihat oleh Said dan Prabowo.

Kedua penulis itu menempatkan wilayah Sulawesi Selatan sebagai wilayah gejolak terjadi di awal kemerdekaan. Gerakan Permesta dan pemberontakan

Abdul Qahar Mudzakkar adalah dua peristiwa yang secara periode terjadi hampir bersamaan, yaitu antara tahun 1950 sampai 1965. Kedua peristiwa ini dianggap sebagai penyebab mengapa wilayah tersebut mengalami ketidakstabilan, terutama terkait dengan masalah gangguan keamanan. Hal inilah yang oleh keduanya

15 Said dan Prabowo, dalam Bhakti,Andi Faisal, Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara, Ininnawa, Makassar, 2010, hal 114. 16 Said dan Prabowo, dalam Bhakti,Andi Faisal, 2010, hal 115.

49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dianggap sebagai salah satu sebab mengapa orang-orang Bugis meninggalkan daerahnya.17

Keadaan wilayah Sulawesi yang tidak menentu pada masa kolonial juga dinarasikan oleh Badrus Sholeh berdasarkan penelitiannya atas orang-orang Bugis di Ambon. Sholeh melihat bahwa salah satu alasan orang Bugis melakukan migrasi ke daerah Ambon adalah akibat perang. Dalam narasinya Sholeh tidak menyebutkan secara jelas perang mana yang dimaksud. Hal ini terlihat dalam salah satu bagian narasinya yang berbunyi: “Selama perang pada periode kolonialisasi, sebagian besar masyarakat Bugis-Makassar melakukan migrasi ke kepulauan-kepulauan tetangga atas alasan keamanan dan keselamatan.”18

Bagi Sholeh perang bisa terjadi kapan saja sejak terjadinya kolonialisasi terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi yang dimulai ketika berakhirnya Perang

Makassar. Setelah perang berakhir banyak kerajaan di wilayah itu keadaannya tidak menentu. Hal itu membuat masyarakat Bugis banyak yang memilih meninggalkan daerahnya.

Selain perang, beberapa narasi menyebutkan persoalan harga diri sebagai penyebab perantauan orang-orang Bugis. Persoalan harga diri terjadi terutama ketika masyarakat harus berhadapan dengan penguasa setempat. Menurut Kesuma mereka merasa lebih baik meninggalkan kampung halaman dari pada tinggal tanpa kehormatan. Harga diri menjadi taruhan yang mendorong orang Bugis merantau. Perantauan seperti ini sekaligus merupakan bentuk perlawanan terhadap pemimpin yang mereka tidak sepakati cara kepemimpinnya. Keputusan seperti ini

17 Said dan Prabowo, dalam Bhakti,Andi Faisal, 2010,hal 114. 18 Sholeh, Badrus , Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia konteks Sejarah Ambon, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 180.

50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

biasanya dilakukan dengan membawa serta seluruh keluarga dan seisi rumah, yang dalam narasi Kesuma disebut mellekke dapureng.19

Kesuma dalam narasinya menguraikan bahwa tidak sepakat pada seorang pemimpin merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat Bugis, apalagi ketika pemimpin tersebut berperilaku tidak sesuai dengan adat. Tunduk pada aturan adat merupakan pegangan bagi orang Bugis sekaligus menjadi alasan untuk merantau ketika aturan itu tidak ditegakkan lagi oleh penguasa. Narasi seperti itu terlihat dalam tulisan Kesuma sebagai berikut:

... justru bertumpu pada filosofi negara “maradeka to wajo’e Ade’mi napopuang” ke manapun berani merantau. Bahwasanya hanya dengan kemerdekaanlah orang Wajo dapat menciptakan kehidupan yang sejahtera. Demikianlah dalam kenyataannya, mengapa orang Wajo itu meninggalkan negerinya, ya bilamana Batara Wajo atau Arung Matoa sudah tidak menegakkan citra abstraksi konstitusi kerajaan Wajo tersebut itu,20

Adat yang dimaksud oleh Kesuma merujuk pada sebuah perjanjian yang disebut

“Perjanjian Cinnobatti”, yaitu perjanjian yang berisi kesepakatan antara penguasa dengan rakyatnya.

Menurut Kesuma pelaksanaan pemerintahan menurut adat yang dilakukan oleh kerajaan Wajo merujuk pada kerajaan yang lebih tua yaitu kerajaan Luwu. Di tempat itu pemimpin harus selalu bertindak berdasarkan aturan. Dalam tradisi

Bugis ada ungkapan “’naiya Datu’e matutui ri ade’e, tettong ri welong panasa’e’

(adapun datu atau raja dan atau pemerintah itu waspada terhadap pelaksanaan hukum, tegak diatas kata yang benar atau kejujuran)”.21

Sementara menurut Suwitha, pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa tanpa mengikuti aturan adat membuat rakyat yang diperintah merasa terganggu di

19 Kesuma, 2004, hal 8, lihat pula pengantar Anhar Gonggong hal xiv. 20 Kesuma 2004, hal 6-7. 21 Kesuma 2004, hal 8.

51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tanah kelahirannya. Pilihan merantau merupakan cara rakyat menentang penguasa. Kenyataan seperti itu merupakan salah satu sebab orang Bugis meninggalkan tanah kelahirannya, sebagaimana yang dinarasikan Suwitha :

“... seorang raja yang memerintah dengan tidak adil akan menghadapi tiga kemungkinan. Dalam hal ini rakyat akan menurunkan raja itu dan menggantikan dengan cara musyawarah. Kalau hal ini tidak berhasil, akan dilakukan dengan jalan kekerasan. Bila usaha ini gagal pula, maka rakyat akan meninggalkan rajanya.”22

Sebagaimana tampak dalam penggalan narasi di atas, Suwitha menekankan bahwa ketika ada penguasa yang ditinggalkan oleh rakyatnya, penyebabnya pasti karena raja memerintah secara sewenang-wenang. Raja seperti ini dianggap sebagai raja yang jelek.23 Kekuasaan yang sewenang-wenang oleh raja membuat rakyat tidak lagi merasa nyaman dalam mencari penghidupan, walaupun dalam keseharian mereka tampak selalu dekat dengan keluarganya.

Suwitha juga menulis bahwa kelompok yang melakukan perantauan dengan latar belakang seperti itu memang lebih banyak dilakukan oleh orang yang berasal dari kalangan biasa, sebab mereka tidak memiliki akses kekuasaan. Merantau merupakan salah satu cara yang paling tepat bagi orang Bugis dari kalangan biasa untuk mencapai strata sosial yang lebih baik. Merantau dianggap dapat menjadi jalan untuk memperoleh kekayaan maupun pengetahuan. Keberhasilan itu dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai strata sosial yang lebih tinggi, baik yang memilih menetap di tanah rantau maupun ketika kembali ke tanah kelahiran.24

A.2. Spirit Bahari sebagai Legitimasi Perantauan: Cerita Rakyat, Pengetahuan dan Keterampilan yang Dimilikinya.

22 Suwitha 2013, hal 53. 23 Lihat catatan kaki 5 Suwitha 2013, hal 53. 24 Suwitha 2013, hal 55.

52 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di bagian ini akan diuraikan bagaimana spirit bahari dijadikan legitimasi perantauan yang terdapat dalam narasi sejarah. Perantauan bagi orang-orang

Bugis tidak lepas dari kemampuan mereka beradaptasi dengan laut dan diwujudkan dengan melakukan pelayaran. Semangat bahari yang dimiliki merupakan kekuatan ketika melakukan pelayaran. Ada dua bentuk spirit bahari yang dihadirkan dalam narasi sejarah perantau Bugis. Pertama, hadirnya cerita rakyat dalam setiap tulisan sebagai legitimasi sejarah. Kedua, hadirnya kemampuan secara pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pelayaran sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Bugis membuat mereka berada di daerah perantauan.

Kesuma menganggap I La Galigo sebuah epos yang dimiliki oleh masyarakat Bugis sekaligus sebagai penggerak dalam setiap proses kehidupan mereka. Naskah itu yang menceritakan tentang perjalanan seorang laki-laki Bugis yang mengunjungi berbagai negeri dengan perahu. Kisah seperti itu yang dihadirkan dalam setiap narasi sejarah untuk melegitimasi bahwa masyarakat

Bugis memiliki semangat dan kemampuan untuk mengarungi lautan. Sekaligus sebagai legitimasi terhadap kehidupan perantauan yang mereka lakukan.

Sawerigading adalah salah satu tokoh yang hadir dalam cerita I La Galigo untuk menggambarkan kemampuan orang Bugis melakukan pelayaran, sebagaimana yang dinarasikan oleh Kesuma berikut ini:

Sejak di masa kerajaan Luwu Purba, perairan, atau kawasan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, telah di jelajahi armada Sawerigading Opunna Wareq putra mahkota Kerajaan Luwu di sekitar abad ke X. Salah sebuah episode diceritakan dalam buku I La Galigo (salah satu karya ke susastraan terbesar di dunia yang tebalnya jikalau dihimpun dan disusun setelah menghilangkan isinya yang paralel kurang lebih 6000 halaman) akan menemukan gambaran kerajaan tertua di Nusantara bagian timur, bernama Luwu yang rakyatnya sangat gemar berkelana serta bertualang ke negeri-negeri yang jauh. Malaka,

53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Mancapaiq dan Ulio disebut dalam buku itu, bahwa rajanya dikalahkan di tengah laut oleh Sawerigading dalam pelayaran ke Cina.25

Kesuma menganggap Sawerigading sebagai tokoh yang ideal sehingga perlu dihadirkan untuk menunjukkan bagaimana kemampuan orang Bugis melakukan pelayaran. Narasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa mendatangi daerah lain merupakan hal yang lumrah bagi masyarakat Bugis. Kesuma menghadirkan cerita

Sawerigading dalam narasinya untuk menunjukkan apabila keberadaan orang

Bugis di Semananjung Tanah Melayu sudah cukup lama.

Begitupun dalam narasi Suwitha yang menuliskan keberadaan orang Bugis di Bali juga tidak lepas dari latar cerita Sawerigading. Tokoh utama Sawerigading disebut oleh Suwitha untuk menunjukkan keberanian orang Bugis dalam melakukan pelayaran. Kisah tersebut didapat oleh Suwitha dari cerita rakyat masyarakat Bugis yang ditelitinya. Rupanya cerita tentang Sawerigading begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Bugis, terutama untuk menunjukkan kepiawaiannya menyeberangi lautan. Suwitha menulis: “... cerita-cerita tentang

Sawerigading yang isinya pada pokoknya mengisahkan keberanian orang-orang

Bugis dalam berlayar mengarungi lautan, yang merupakan fakta sosial.”26

Cerita keberanian di laut dapat ditempatkan sebagai semangat bahari yang dimiliki oleh orang Bugis, sekaligus sebagai legitimasi dalam narasi sejarah. Akan tetapi sering kali naskah I La Galigo dalam kajian akademik hanya ditempatkan sebagai karya sastra. Bagi Suwitha bukan persoalan penting apakah kisah dalam I

La Galigo benar-benar pernah terjadi atau tidak tetapi cerita itu menempati ruang dalam kehidupan orang-orang Bugis di Bali.

25 Kesuma, 2004, hal 95. 26 Suwitha, 2013, hal 8.

54 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Keberadaan orang Bugis di Kamal Muara Pesisr Pantai Jakarta Utara yang dibahas oleh Said dan Prabowo tidak disertai cerita tentang Sawerigading yang terkenal akan kehebatannya dalam melakukan pelayaran. Meskipun demikian narasi mereka tetap menunjukkan kemampuan orang Bugis di laut, mereka menuliskan: “Dibekali keberanian mengarungi lautan, orang Bugis melakukan pelayaran untuk mencari kehidupan baru yang menjanjikan”.27 Artinya menurut mereka jiwa kebaharian yang dimiliki oleh orang Bugis menunjang keberadaan mereka di berbagai wilayah.

Selaian cerita rakyat berupa kisah Sawerigading yang diambil dari naskah I

La Galigo, orang-orang Bugis juga memiliki pengetahuan dan keterampilan di laut sebagai legitimasi perantaun. Pengetahuan dan keterampilan mereka wujudkan dengan pelayaran yang menjadi faktor penggerak, sehingga laut sudah dijadikan ruang kehidupan sekaligus menjadi jalur penghubung dengan daerah lain. Berikut akan dilihat bagaimana kemampuan tersebut dihadirkan dalam narasi sejarah perantau Bugis.

Menurut Kesuma maupun Suwitha, pengetahuan akan pelayaran orang- orang Bugis dapat dilihat ketika mereka merumuskan sebuah aturan yang menjadi pedoman ketika beraktifitas di laut. Aturan tersebut menjadi sebuah perestasi sekaligus dijadikan penegasan dalam narasi sejarah perantau Bugis, apabila kehidupan masyarakat Bugis lekat dengan laut. Aturan yang dimaksud adalah

“ade’allopi-loping Bicaranna pabalue” yakni hukum pelayaran dan perdagangan yang pertama kali dirumuskan oleh Matoa Wajo ke-3 di Makassar yang bernama

27 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.

55 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ammana Gappa, sekitar tahun 1667.28 Aturan tersebut menjadi pedoman ketika melakukan pelayaran dan perdagangan. Dikatakan oleh Kesuma:

Dengan hukum tersebut itulah yang dijadikan pedoman bagi setiap nahkoda “kapal layar” Bugis jenis , , dan Pinisi yang mengarungi laut Nusantara. Dapat dikatakan bahwa dengan adanya trayek (route) pelayar ke berbagai penjuru di kepulauan Nusantara dan sekitarnya termasuk Filipina, Kamboja, Siam, Johor, Brunai, Tumasik, Malaka, dan Ceylon memperluas cakrawala kepelayaran (Maritim) orang Bugis- Makassar-Mandar. Oleh karena itu, sarana pelayaran dan objek-objeknya itu merupakan media migrasi yang utama bagi ketiga suku bangsa tersebut.29 ...Menurut penulis, di sinilah terletak jasa yang besar dari Amanna Gappa meletakkan dasar-dasar pengelolaan pelayaran di kepulauan nusantara.30

Penggalan narasi tersebut menegaskan bahwa setiap generasi orang-orang Bugis memiliki keterikatan dengan laut. Bagi orang-orang Bugis kegiatan menyeberangi lautan sudah menjadi tradisi. Aturan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa selama melakukan pelayaran akan selalu ada jaminan kehidupan.

Keberhasilan orang Bugis menjadikan laut sebagai ruang pelayaran dan perdagangan di masa lalu juga disebut oleh Suwitha ketika menarasikan sejarah orang Bugis di Bali. Menurut Suwitha hukum pelayaran Amanna Gappa menjadi kata kunci prestasi masa lalu orang Bugis di lautan. Di abad ke-17 mereka sudah membuat aturan perdagangan yang dipakai bersama sekaligus menjadi indikasi bahwa aktifitas orang-orang Bugis di dunia pelayaran cukup padat. Berikut kutipan narasi Suwitha: “...Dengan kepandaian berlayar dan perdagangan itu, sampai saat ini mereka masih meninggalkan warisan hukum niaga Amanna

Gappa, yang telah ditulis dan dibukukan dalam lontar pada abad ke-17.” 31

Kemampuan membuat aturan dalam pelayaran di masa lalu kembali ditegaskan oleh Suwitha di bagian selanjutnya, ketika ia mempertegas bahwa

28 Kesuma 2004, hal 81, Matoa Wajo disini merupakan pimpinan orang Bugis Wajo di Makassar. 29 Kesuma, 2004, hal 81. 30 Kesuma, 2004, hal 83. 31 Suwitha,2013, hal 3.

56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

salah satu alasan orang-orang Bugis meninggalkan daerahnya adalah alasan ekonomi. Aturan yang dibuat Amanna Gappa digunakan sebagai pembenaran bahwa keturunan masyarakat Bugis memiliki kecakapan dalam perniagaan.

Suwitha mengatakan: “Hukum laut Amanna Gappa yang terkenal sampai sekarang juga peninggalan orang Bugis Wajo. Dengan keterangan ini, kuatlah keyakinan kita bahwa orang Bugis datang ke Bali seperti Puak Matua di Serangan lebih bermotif ekonomi.32 Hukum pelayaran Amanna Gappa kembali disebut oleh

Suwitha ketika ia menunjukan bahwa wilayah Bali sudah dijangkau oleh orang

Bugis untuk melakukan pelayaran dan perdagangan. Aturan pembayaran yang dibuat oleh Amanna Gappa sudah menyebut wilayah Bali secara khusus. Ia menulis:

Dalam hukum pelayaran dan perniagaan, warisan orang Bugis Amanna Gappa, telah disebutkan bahwa, apabila perahu-perahu Bugis akan berlayar untuk berniaga dari jalur- jalur pelayaran yang telah di tetapkan ke Bali, sewa perahunya setiap orang di tetapkan dua setengah rial dan belum terhitung muatan barang-barang. Dengan demikian, pulau Bali sudah masuk dalam jangkauan pelayaran dan perniagaan orang-orang Bugis. Hukum laut itu sendiri ditulis dan dibukukan dalam lontar oleh Amanna gappa tahun 1676.33

Kemampuan pelayaran yang dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat Bugis—yang dirumuskan dalam bentuk aturan di laut—merupakan dampak dari kemampuan mereka memanfaatkan laut. Perantau yang dalam bahasa

Bugis disebut pasompe34 justru dilihat oleh Suwitha sebagai kemampuan melakukan pelayaran di laut. Dengan kata lain sebagai kehidupan pelayaran.35.

32 Suwitha, 2013, hal 49. 33 Suwitha, 2013, hal 59. 34 Pasompe disisni berarti para perantau yang bentuknya jamak. Lihat Hamid, Abu, Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, Makassar, Pustaka Refleksi 2004. 35 Suwitha, 2013, hal 52.

57 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Jejak-Jejak Kehidupan di Tanah Rantau

Berdasarkan keempat teks sebelumnya telah disebut beberapa daerah yang menjadi tujuan bagi perantau Bugis seperti Johor, Selangor, , Kamal

Muara Pesisir Jakarta Utara, Bali, Ambon dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut merupakan pilihan yang diambil oleh perantau awal yang kemudian ditempati secara turun temurun. Ada yang bertahan hingga sekarang namun tidak sedikit pula yang telah pergi dan hanya meninggalkan jejak orang Bugis.

Dari teks-teks sejarah yang menjadi objek kajian tesis ini akan dibahas tempat-tempat yang akhirnya menjadi pilihan perantu Bugis untuk melanjutkan kehidupan mereka. Selain tempat, hal penting lain yang juga dilihat dalam setiap narasi adalah cara orang Bugis hidup di daerah baru tersebut. Pada bagian ini akan dibahas empat wilayah yang menjadi tujuan perantau Bugis yaitu Johor, Bali,

Kamal Muara Pesisir Jakarta Utara dan Ambon.

B.1. Johor

Bagian ini akan membahas mengenai narasi Kesuma tentang perantau Bugis di Johor, Malaysia, dalam buku yang berjudul Migrasi dan Orang Bugis. Menurut

Kesuma dalam buku itu Tanah Melayu merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran penting dalam jalur pelayaran di abad ke-17 dan menjadi tujuan orang Bugis, terutama setelah Perang Makassar berakhir. Jalur perdagangan sangat menentukan tujuan perantau Bugis. Hal itu bisa menjadi dasar ketika menelusuri wilayah-wilayah tujuan perantauan mereka, sebab dengan pelayaranlah mereka mencapai tempat perantauan. Perjalanan perantu Bugis

58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sangat bergantung pada pelayaran. Johor merupakan salah satu wilayah yang menjadi tujuannya.

Dalam narasinya, Kesuma membahas Johor pada periode abad ke-16 hingga ke-18. Menurut Kesuma, perebutan kekuasaan yang terjadi di Johor pada periode itu ikut mempengaruhi kedudukan orang-orang Bugis. Kesuma melalui narasinya menelusuri kedatangan bangsawan Bugis yang bernama Opu Daeng Rilakka bersama dengan kelima putranya pada abad ke-17. Merekalah yang nantinya berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan di wilayah Johor. Kelima putra Daeng

Rilakka bernama Opu Daeng Parani, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng

Marewa, Opu Daeng Cella’ dan Opu Daeng Kamase.36

Menurut Kesuma terjadinya perebutan kekuasaan di wilayah Johor memungkinkan setiap kelompok masyarakat berpeluang untuk merebut pengaruh.

Kesuma menyebut Portugis dan Belanda sebagai dua kekuatan asing yang pernah menguasai Johor. Portugis berkuasa antara tahun 1511-1641 dan Belanda pada

1641-1795. Sebelum itu ada kerajaan Malaka yang berkuasa sejak 1401 sampai

1511.37

Kesuma menulis bahwa keterlibatan orang-orang Bugis dalam konflik perebutan kekuasaan di Johor dimulai ketika pemerintahan Sultan Mahmud Shah

II yang memerintah 1685-1699 berakhir. Diangkatnya bendahara Abdul Jalil

Rahmat Shah IV menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Shah II merupakan awal terjadi perebutan kekuasan di Johor. Anak dari Sultan Mahmud

Shah II dari gundiknya yang disebut Raja Kecil dari Siak menuntut tahta kerajaan

36 Kesuma, 2014, hal 97. 37 Tidak hanya tiga (Malaka, Portugis dan Belanda) yang pernah menguasai Johor, masih ada Inggris dan invasi Aceh dan serta Siak. Kesuma, 2004, hal 106-112.

59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Johor. Raja kecil kemudian berhasil merebut tahta kerajaan Johor. Saat memerintah ia bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (1699-1718). Pusat pemeritahannya kemudian dipindahkan ke Riau pada tahun 1719. Pergolakan menentang kehadiran Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah di Kerajaan Johor terjadi dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1721.38 Penentangan pemerintahan inilah yang melibatkan orang-orang Bugis dan membuat mereka berada di pihak yang berkuasa. Sebagaimana dinarasikan oleh Kesuma: “Raja Kecil dihalau oleh orang

Bugis kembali ke negeri asalnya Siak. Maka Sultan Sulaiman dilantik menjadi

Sultan Johor, memerintah dari tahun 1718-1760. Pada perkembangan pemerintahan di kerajaan Johor, kenyataan Sultan tidak berkuasa penuh.”39

Penggalan narasi Kesuma di atas menunjukkan bahwa kekerabatan merupakan modal dasar bagi perantau Bugis yang memungkinkan mereka memiliki nilai tawar kepada pihak kerajaan yang saling bertikai, sekaligus keuntungan bagi komunitasnya. Kekerabatan inilah yang terus dibangun oleh orang-orang Bugis, bahkan dengan kelompok lain. Atas jasa orang-orang Bugis yang terlibat dalam perebutan kekuasaan kerajaan Johor, Sultan Sulaiman kemudian menyerahkan kepulauan Riau ke orang-orang Bugis sebagai balas jasa.

Orang Bugis yang bernama Opu Daeang Marewa akhirnya dilantik sebagai penguasa di Riau dengan gelar Yamtuan Muda Riau I.40

Selain dengan cara perebutan kekuasaan langsung, menurut Kesuma orang- orang Bugis juga membangun kekerabatan dengan jalan kawin dengan keluarga kerajaan. Dalam narasi Kesuma dituliskan: “Adapun Opu Daeng calla’ dan Opu

38 Kesuma, 2004, hal 115-117. 39 Kesuma,2004, hal 117. 40 Kesuma, 2004, hal 118.

60 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Daeng Parani dikawinkan dengan saudara-saudara Sultan Sulaiman yaitu putri- putri bendahara Abdul Jalil IV.”41 Itulah narasi yang dibangun oleh Kesuma untuk menunjukkan cara orang Bugis membangun kekerabatan di Johor melalui perkawinan.

B.2 Bali

Bagian ini akan membahas narasi Suwitha tentang masyarakat Bugis di

Bali,, sebagaimana yang dituliskan dalam buku yang berjudul Perahu Pinisi di

Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar abad

XIX. Terhubungnya Bali dengan jalur pelayaran menurut Suwitha memungkinkan wilayah ini dapat diakses oleh orang-orang Bugis. Komunitas Bugis yang menjadi sorotan di pembahasan Suwitha merupakan orang-orang Bugis yang berada di

Bali pada priode abad ke-19. Akan tetappi sejak Abad ke-17, antara orang-orang dari wilayah Sulawesi bagian selatan dengan orang Bali sudah ada kontak.

Kerajaan Makassar pernah mengadakan perjanjian dengan pihak raja Gelgel di

Bali mengenai pembagian wilayah.42 Di tahun 1697 I Gusti Ngurah Panji Sakti bahkan mendapat bantuan dari orang-orang Bugis yang memiliki markas di Teluk

Pampang Blambangan ketika menaklukkan Blambangan.43

Menurut Suwitha ada beberapa titik yang menjadi tempat pemukiman orang

Bugis di wilayah Bali seperti di Pantai Lingga muara Sungai Banyuala yang kemudian berpindah ke timur. Perkampungan itu kemudian dikenal sebagai kampung Bugis. Di Buleleng orang Bugis menempati daerah Pabean atau

41 Kesuma, 2004, hal 118. 42 Suwitha, 2013, hal 58. 43 Suwitha, 2013, hal 60.

61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pelabuhan Buleleng, Pelabuhan Celukan Bawang dan Pelabuhan Sangsit. Di

Kerajaan Jembrana orang Bugis menempati Desa Loloan, Desa Air Kuning dan

Banyubiru. Sementara di Kerajaan Badung perkampungan orang Bugis berada di

Desa Serangan, Tuban dan Banoa atau Tanjung. 44

Suwitha menuliskan bahwa bentuk perkampungan orang-orang Bugis memiliki karakter yang sama di setiap tempat. Ciri utamanya adalah berada di sekitar pantai. Pemilihan tempat seperti itu merupakan pilihan strategis dalam kehidupan sehari-hari, sebab orang-orang Bugis hidup dari perdagangan maupun aktifitas lainnya yang terikat erat dengan dunia pelayaran.45 Pola perkampungan yang tinggal secara berkelompok membuatnya memiliki ikatan kekerabatan yang kuat di antara mereka. Apalagi kedatangan mereka biasanya dilakukan secara berkelompok. Bentuk seperti itulah yang memungkinkan mereka memiliki mekanisme sendiri dalam mengatur anggota kelompoknya, sekaligus memungkinkan mereka untuk memiliki posisi tawar kepada penguasa setempat.

Bentuk perkampungan seperti itu merupakan pola umum bagi perkampungan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Kehidupan berkelompok dan memiliki akses terhadap dunia luar—sebab mereka hidup pada perdagangan dan dunia pelayaran—membuat orang-orang

Bugis memiliki peranan cukup penting di Bali. Peran itu diungkapkan oleh

Suwitha dalam narasinya:

Orang-orang Bugis di Bali terutama dalam abad ke-19 meskipun dari segi jumlahnya merupakan masyarakat kecil, namun mereka sangat menguasai beberapa sektor

44 Suwitha, 2013, hal 68-71. 45 Suwitha, 2013, hal 73.

62 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kehidupan kerajaan pada waktu itu. Terutama dalam sektor perekonomian, di samping politik dan militer.46

Aktifnya orang Bugis dalam sektor perdagangan memungkinkan mereka memiliki akses untuk menjalin hubungan dengan raja-raja yang ada di Bali. Suwitha menyebut bahwa perdagangan budak merupakan komoditas yang cukup menguntungkan bagi raja-raja di Bali pada periode abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Selain perdagangan budak orang-orang Bugis juga membawa keluar barang-barang berupa minyak kelapa, gula, ikan asin atau dan hasil bumi lainnya. Sementara barang-barang yang dibawa masuk ke Bali meliputi emas, benang emas, , candu dan lain-lain.47 Candu menjadi barang yang diseludupkan oleh pedagang Bugis masuk ke Buleleng karena mempunyai keuntungan cukup besar. Suwitha menyebut bahwa lebih dari 150 peti setiap tahunnya.48 Penyeludupan tersebut dapat terjadi karena orang-orang Bugis memiliki hubungan dekat dengan raja yang secara posisi cukup kuat. Selain itu, orang-orang Bugis juga memberikan hadiah kepada raja supaya dapat mengambil hati penguasa.

Keberhasilan orang-orang Bugis dalam perdagangan di Bali pada abad ke-

19 digambarkan oleh Suwitha dalam narasinya:

Orang-orang Bugis di Bali sebagai kelas pedagang sangat berhasil dalam usahanya, terutama pada abad ke-19. Mereka sangat ulet sehingga selalu berhasil. Tambahan pula, mereka mempunyai perahu-perahu sendiri yang memudahkan untuk mencari atau menambah penghasilan dengan jalan menangkap ikan dan juga meneruskan usaha dagang49.

46 Suwitha, 2013, hal 82. 47 Suwitha, 2013, hal 82. 48 Suwitha, 2013, hal 87. 49 Suwitha, 2013, hal 85.

63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain ikut terlibat langsung dalam perdagangan barang, pihak kerajaan tertentu juga memanfaatkan perahu milik orang Bugis untuk melakukan hubungan dagang dengan kerajaan tetangganya. Seperti yang dilakukan oleh pihak Kerajaan

Jembrana yang memanfaatkan perahu orang-orang Bugis ketika melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Buleleng.50

Suwitha menambahkan kedekatan orang-orang Bugis dengan penguasa membuat beberapa kerajaan di Bali mengangkat syahbandar dari kelompok orang

Bugis. Seperti di Kerajaan Badung yang mengangkat orang Bugis bernama

Pattimi sebagai syahbandar di Loloan ketika pelabuhan itu jatuh ke tangan

Kerajaan Badung.51 Di Serangan juga diangkat orang Bugis sebagai syahbandar bernama Puak Metuwa dan syahbandar di Tanjung juga orang Bugis tetapi tidak diketahui namanya.52 Jabatan syahbandar seperti itu juga membuat orang Bugis semakin dekat dengan pihak kerajaan, bahkan syahbandar dapat bertindak sebagai wakil raja.53

Sebagaimana yang dilakukan di Johor, menurut Suwitha ikut terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan merupakan cara lain orang-orang Bugis mendekatkan diri dengan penguasa setempat. Seperti ketika orang Bugis ikut memihak pada pasukan I Gusti Ngurah Pasekan sewaktu memberontak pada Raja

I Gusti Putu Ngurah di Kerajaan Jembrana tahun 1855.54 Keberpihakan itu membuat I Gusti Ngurah Pasekan bisa merebut kekuasaan sekaligus membuat posisi orang Bugis semakin kuat. Di Kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik

50 Suwitha, 2013, hal 84. 51 Suwitha, 2013, hal 84. 52 Suwitha, 2013, hal 95. 53 Suwitha, 2013, hal 94. 54 Suwitha, 2013, hal 100.

64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membentuk pasukan inti yang terdiri dari orang-orang Bugis. Pasukan dibentuk sebagai persiapan Kerajaan Buleleng menghadapi Belanda, walaupun kemudian pasukan Belanda dapat menguasai kerajaan tersebut.

Pada abad ke 19 Kerajaan Badung dapat melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Mengwi atas bantuan orang-orang Bugis. Pasukan Bugis tersebut merupakan pasukan pilihan yang dipimpin oleh Puak Matuwa yang kemudian diangkat menjadi syahbandar.55 Keterlibatan orang-orang Bugis dalam pasukan militer Kerajaan Badung digambarkan oleh Suwitha:

Dalam perang ini kerajaan Badung mempergunakan pasukan orang-orang Bugis pilihan dari Serangan dengan kekuatan 500 orang. orang Bugis dalam posisi pasukan depan. Raja Badung mengharapkan, seandainya musuh kuat, biar pasukan Bugis ini yang mengamuk. Mereka selalu diandalkan oleh Raja Badung, sedangkan Pasukan Badung yang terdiri dari ksatria lainnya berada jauh di belakang.56

Menurut Suwitha orang-orang Bugis di Bali walaupun memiliki akses ke pusat pemerintahan kerajaan tidak pernah benar-benar menjadi penguasa di wilayah itu.

Mereka hanya berkoalisi pada salah satu kelompok ketika terjadi perebutan kekuasaan. Mereka sepertinya hanya memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingan perdagangan yang mereka lakukan.

B.3 Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara

Bagian ini akan membahas masyarakat rantau Bugis di Kamal Muara, sebagaimana ditulis oleh Said dan Prabowo dalam tulisannya yang berjudul

“Akultirasi Orang Bugis dan Betawi di Kamal Muara Pesisir Pantai Utara

Jakarta.” Disebutkan oleh Said dan Prabowo, Kamal Muara merupakan kawasan yang masuk ke wilayah pantai utara Jakarta Utara. Wilayah ini sama dengan

55 Suwitha, 2013, hal 106. 56 Suwitha, 2013, hal 107.

65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

karakter daerah yang umum ditempati oleh orang Bugis di tempat lain, berupa pesisir pantai. Orang-orang Bugis yang menempati wilayah Kamal Muara diperkirakan mencapai 40 persen dari seluruh penduduk.57 Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut dan olahannya. Laut merupakan satu hal yang melekat pada kehidupan orang Bugis ketika berada di daerah perantauan.

Menurut Said dan Prabowo orang-orang Bugis di Kamal Muara, merupakan kelompok yang datang sekitar tahun 1960-an. Keterangan itu diperoleh dari penelitian yang pernah dilakukannya pada awal mei 2002 hingga juni 2003.58

Cara mereka mengambil data dengan melakukan observasi partisipan dan pengamatan di wilayah itu .

Menurut Said dan Prabowo orang-orang Bugis memilih Kamal Muara sebagai salah satu tempat perantauan lebih karena pertimbangan keuntungan ekonomis, walaupun pada awalnya tempat itu hanya sebagai tempat singgahan.

Wilayah itu dimanfaatkan oleh orang Bugis untuk menangkap ikan. Mereka dapat bertahan dan mendapat keuntungan di tempat itu sebab mereka membawa cara baru dalam proses penangkapan ikan yang tidak dikenal oleh kelompok masyarakat lainnya, terutama oleh masyarakat Betawi. Selain menangkap ikan dengan perahu mereka juga menggunakan “” sebagai perangkap sehingga bisa mendapat ikan lebih banyak. Cara “bagan” itulah yang dianggap cara baru oleh kelompok masyarakat Betawi di periode 1960-an hingga 1970-an.

57 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 116. 58 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 114.

66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari narasi Said dan Prabowo tampak bahwa ketika hasil tangkapan ikan mereka mulai berkurang akibat lingkungan air yang tercemar oleh industri yang menjamur di kawasan itu, orang Bugis akhirnya menemukan komoditas laut baru yang sebelumnya mereka tidak kenal, yaitu remis hijau. Komoditas inilah yang mereka olah sebagai produk baru yang memungkinkan mereka membuat ikatan kerja, baik dengan kalangan orang Bugis sendiri maupun kelompok masyarakat lainnya. Selain orang Bugis yang terlibat langsung dalam pekerjaan di laut, ada kelompok orang Betawi, sekaligus dianggap sebagai warga asli.

Ikatan kerja tersebut digambarkan oleh Said dan Prabowo sebagai berikut:

Di Kamal Muara, dan menemukan bahwa disana terdapat ikatan yang kuat dan saling ketergantungan antara kelompok, khususnya mereka yang didasarkan atas pekerjaan. Kelompok ini termasuk nelayan, pemilik bagan, produsen ikan asin, pengolah remis, pencari ikan, makelar, dan tukang ojek. Terdapat ikatan fungsional yang bernilai ekonomis namun mereka juga memiliki suatu komponen sosial59.

Ikatan kerja menjadi penghubung orang-orang Bugis dengan kelompok masyarakat lainnya serta didukung oleh ikatan sosial yang cukup kuat yang dimiliki oleh orang Bugis sendiri. Ikatan sosial dengan latar belakang sosial yang sama merupakan kelanjutan dari ikatan sosial yang ada di kampung halaman mereka. Salah satunya dapat dilihat ketika di antara mereka ada yang mendapat musibah maka yang lain akan ikut membantu, baik memberi sumbangan berupa materi maupun hanya berupa tenaga. Bentuk lain dari ikatan sosial yang dapat dilihat, yaitu ketika mendirikan rumah maka orang Bugis lainnya akan ikut membantu. Bentuk ikatan sosial itu kemudian mereka formalkan dalam bentuk oraganisasi berupa kelompok “Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan” yang biasa

59 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 122.

67 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

disingakat menjadi KKSS.60 Perkumpulan seperti ini dapat menjadi kekuatan politik mereka ketika berhadapan dengan kelompok masyarakat lain, maupun ketika berhadapan dengan pemerintah setempat. Belakangan organisasi ini bahkan bisa menjadi nilai tawar politik, terutama ketika berlangsung pemilu.

Menurut Said dan Prabowo, orang-orang Bugis ketika berada di Kamal

Muara mengharuskan mereka membuat ikatan sosial yang lebih luas, terutama dengan kelompok sosial Betawi. Latar belakang agama yang sama memungkinkan dua kelompok ini dapat lebih cair membaur sehingga mereka dapat memperkuat ikatan sosial. Majelis ta’lim merupakan salah satu contoh wadah sosial antara kedua kelompok tersebut yang dibentuk berdasarkan keagamaan. Wadah ini terbagi berdasarkan tingkat usia. Baik orang Bugis maupun orang Betawi ikut terlibat dalam wadah itu bukan didasari atas kesamaan suku melainkan agama.61

Kegiatan lain yang melibatkan kedua kelompok ini adalah perayaan-perayaan seperti perayaan pernikahan, sunatan dan upacara leluhur. Digambarkan oleh Said dan Prabowo dalam narasinya:

Begitu juga, antara Bugis dan Betawi terdapat ikatan sosial yang berkaitan dengan perayaan (seperti pernikahan, sunatan, atau atau upacara leluhur) dan kelompok religi. Sebuah kelompok kondangan di Kamal Muara merumuskan komitmen bersama. Satu kelompok terdiri atas 40 pria, mereka membangun ikatan yang kuat dengan mengumpulkan dana sumbangan atau barang berupa bantuan makanan. Kehadiran mereka merupakan tanggung jawab moral yang harus ditaati.62

Cara lain untuk memperkuat ikatan sosial yang dilakukan oleh orang Bugis di Kamal Muara menurut Said dan Prabowo adalah dengan cara laki-laki Bugis menikah dengan perempuan Betawi. Cara ini sekaligus merupakan jalan yang

60 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 123. 61 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 125. 62 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 124.

68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sangat efektif untuk berintegrasi dengan kelompok masyarakat setempat.

Memiliki latar belakang agama Islam yang sama membuat kedua kelompok ini relatif lebih mudah disatukan dalam bentuk perkawinan. Cara tersebut melegitimasi salah satu pegangan bagi laki-laki Bugis ketika merantau, yaitu menggunakan “tiga ujung” ketika berada di daerah perantauan, yaitu “ujung lidah,” “ujung kemaluan” dan “ujung badik”.63

B.4. Ambon

Dalam bagian ini akan diuraikan narasi Badrus Sholeh tentang masyarakat rantau Bugis di Ambon, sebagaimana yang ia tulis dalam artikel yang berjudul

“Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisai Bagian Timur Indonesia: Kasus

Konteks Sejarah Ambon.” Keberadaan orang-orang Bugis di Ambon menurut

Sholeh bukanlah waktu yang pendek. Kontak dengan wilayah ini sudah mereka lakukan sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa.

Orang Bugis yang dimaksud oleh Sholeh dalam tulisannya, bukan hanya orang-orang Bugis yang berasal dari daerah yang berbahasa Bugis di Sulawesi

Selatan, melainkannya juga suku-suku lain yang berasal dari Sulawesi Selatan, yaitu mereka yang merupakan pendatang dan beragama Islam.64 Islam dijadikan salah satu identitas bagi Sholeh untuk mengidentifikasi kelompok orang Bugis. berdasarkan penelusuran sholeh, sejak 1607 di wilayah Kerajaan sudah

63 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 125. Istilah Badik dipakai sesuai dengan narasi Kesuma dan senjata khas masyarakat Bugis. Said dan Prabowo menggunakan istilah keris. 64 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181.

69 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terdapat wilayah yang dinamakan sebagai Kampung Makassar yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi Selatan.65

Sholeh membagi dua priode kedatangan orang Bugis ke wilayah Ambon.

Pertama, mereka yang datang sebelum masa kolonial hingga Republik Indonesia terbentuk pada masa kepemimpinan Soekarno. Sholeh menyebutnya sebagai

Bugis pendatang pertama. Kedua, periode kedatangan pada masa pemerintahan

Orde Baru dan pascareformasi.66 Sejak datang di wilayah tersebut, orang-orang

Bugis terlibat dalam proses penyebaran agama Islam yang dimulai sejak kedatangan pertama mereka di awal abad ke-17.

Kontribusi orang-orang Bugis dalam proses penguatan kekuasaan politik

Islam di wilayah itu dilakukan dengan cara melakukan perkawinan campuran dengan masyarakat setempat.67 Menurut Sholeh daerah Leihitu dan Hatuhaha yang pertama diislamkan yang merupakan bagian dari kepulauan Ambon. Daerah itu masuk dalam wilayah Kerajaan Ternate dan Tidore. Keterlibatan orang-orang

Bugis dalam proses penyebaran Islam digambarkan oleh sholeh sebagai berikut:

“Daerah yang pertama kali diislamkan di kepulauan Ambon adalah Leihotu dan

Hatuhaha yang masuk dalam wilayah kerajaan Ternate dan Tidore. Upaya ini sangat disokong masyarakat Bugis-Makassar, yang punya alasan ekonomi dan politik….”.68 Proses pengislaman wilayah itu disokong penuh oleh orang-orang

Bugis yang bermodalkan kemampuan mereka menguasai pasar-pasar tradisional yang membuat peranan orang-orang Bugis penting di wilayah itu. Seperti

65 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 182. 66 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181. 67 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 182. 68 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 183.

70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

misalnya, pada masa kekuasaan Jepang kelompok orang Bugis dan masyarakat yang beragama Islam lainnya bekerja sama melawan kekuasaan kolonial Eropa.

Selain itu orang-orang Bugis juga terlibat dalam meredam perlawanan kelompok

Republik Maluku Selatan (RMS) terhadap pemerintahan pusat, dalam hal ini pemerintahan Soekarno.69

Menurut Sholeh pada periode Orde Baru orang-orang Bugis terus berdatangan di wilayah itu. Ketika pemerintah begitu gencar melakukan program transmigrasi, kedatangan orang-orang Bugis di Ambon bukan merupakan bagian dari program itu. orang-orang Bugis memilih wilayah perkotaan, pasar dan pantai sebagai tempat bermukim mereka. Posisi mereka penting dalam kegiatan perekonomian kota Ambon, sebab mereka cukup dominan di pasar tradisional dan perekonomian kelas menengah.

Konflik yang terjadi selama reformasi ikut mengubah keadaan sosial di

Ambon. Konflik itu dianggap dipicu oleh kelompok pendatang yang kemudian diindentifikasi sebagai kelompok Bugis, Buton dan Makassar atau lazim disebut

BBM. Kesenjangan terhadap akses ekonomi dan kekuasaan antara pendatang dan masyarakat setempat merupakan alasan yang diungkapkan oleh Sholeh.

Kesenjangan tersebut didukung oleh pemerintahan Orde Baru yang mengontrol kekuasaan politik maupun perekonomian lokal.70 Diakui oleh Sholeh bahwa di sisi yang lain masyarakat setempat juga sulit bersaing dengan para pendatang karena minimnya keterampilan yang mereka miliki.

69 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 184. 70 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 186.

71 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pada Narasi Sholeh dijelaskan bahwa setelah konflik yang terjadi antara tahun 1999-2002, para pendatang termasuk Bugis semakin mendapat saingan dalam bidang prekonomian, terutama di pasar-pasar tradisional dan pekerjaan yang dianggap lebih rendah. Setelah konflik, orang-orang Bugis juga berusaha mendapatkan kembali pekerjaan mereka melalui negosiasi yang difasilitasi oleh perkumpulan orang Bugis yang mereka buat sebelumnya. Diungkapkan oleh

Sholeh:

Kerukunan Keluarga Bugis Makassar di Kepulauan Ambon memainkan peranan yang menonjol dalam hal negosiasi dan mempertahankan hak-hak Bugis-Makassar pendatang untuk memeroleh kembali pekerjaan, keamanan dan lahan mereka yang ditinggalkan selama konflik berlangsung.71

Narasi Sholeh menunjukkan bahwa ikatan kekerabatan yang mengikat orang- orang Bugis digunakan untuk memperoleh kembali hak-hak mereka setelah konflik. Kekerabatan itu memang didasari lebih pada kesamaan daerah asal, walaupun mereka tidak memiliki ikatan darah. Sekaligus menunjukkan bahwa kekerabatan itu selalu dapat digunakan sebagai posisi tawar ketika berada di perantauan.

C. Kehadiran Individu (Bangsawan) Dalam Penulisan Sejarah Perantau

Bugis

Individu merupakan konsep lain dari Hayden White yang dipakai untuk menganalisa narasi tentang sejarah perantau Bugis. Menurut Hayden White, individu memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dalam bentuk apa mereka akan hidup. Dalam bahasa lain, setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan sejarahnya sendiri. Begitu pun dalam hal penulisan sejarah. Setiap

71 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 187.

72 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sejarawan memiliki kebebasan untuk memilih jenis sejarah yang akan mereka bangun. Pada bagian ini akan dilihat bagaimana narasi sejarah perantau Bugis menghadirkan individu, sekaligus akan dilihat bagaimana dalam narasinya para sejarawan menghadirkan pilihan-pilihan individu orang Bugis.

Pada bagian sebelumnya dari bab ini telah dibahas bagaimana para sejarawan menarasikan daerah-daerah yang menjadi tujuan para perantau Bugis.

Empat teks yang menjadi objek kajian tesis ini menunjukkan adanya empat daerah yang menjadi tujuan perantau Bugis, yaitu Johor, Bali, Kamal Muara (pesisir pantai Jakarta Utara) dan Ambon. Berdasarkan empat narasi itu akan dilihat bagaimana sejarawan menarasikan pilihan-pilihan tindakan setiap individu, sekaligus melihat pilihan-pilihan sejarawan itu sendiri dalam menuliskan sejarah perantau Bugis. Dengan demikian bagian ini akan membahas bagaimana sejarawan memilih individu sebagai bagian dari narasi sejarahnya.

Narasi sejarah perantau Bugis menunjukkan peran individu yang berasal dari kelompok bangsawan menjadi penting. Dimulai oleh tulisan yang dinarasikan oleh Andi Ima Kesuma, dengan mudah dapat diindentifikasi apabila penulis ini masih merupakan orang Bugis yang berasal dari kelompok bangsawan. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan nama “Andi” di bagian awal namanya. Gelar tersebut merupakan simbol kebangsawanan yang masih digunakan hingga saat ini di Sulawesi Selatan. Informasi tersebut penting sebagai pengetahuan awal sebelum melihat narasi Kesuma ketika menempatkan tokoh sejarah yang dihadirkan dalam narasi sejarah yang dibangunnya.

73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kesuma mengahadirkan Opu Daeng Rilakka bersama lima putranya dalam narasi sejarah. Merekalah yang kemudian dianggap sebagai orang-orang yang membuat sejarah orang Bugis perantauan di Johor. Kesuma menelusri kebangsawanan Opu Daeng Rilakka dengan mengacu pada naskah-naskah

Melayu dan Bugis. Kesimpulan dari penelusuran itu dapat dilihat dalam narasinya ketika ia menulis sebagai berikut:

Dari silsilah tersebut memperjelas bahwa Opu Daeng Rilakka masih keturunan Datu Luwu I . Malahan jika dicantumkan dari jalur keturunan ibunya, bersumberkan sislsilah raja-raja Luwu, maka ibu Lamaddusila (La Maddusalat) yang bernama We Tenrileleang, ternyata dua kali menjadi Datu Luwu, yaitu yang ke-24 dan ke-26.72

Kesuma memperkuat kebangsawanan Opu Daeng Rilakka dengan memaparkan silsilah kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan seperti Soppeng dan Luwu. Dari paparan silsilah itu, Kesuma akhirnya meneguhkan Opu Daeng Rilakka sebagai bangsawan yang memiliki silsilah dan berkaitan dengan beberapa kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Silsilah itu Kesuma gunakan sebagai legitimasi untuk mengatakan bahwa bahwa Opu Daeng Rilakka dan keturunannya wajar diterima sebagai pemimpin di perantauan. Ia menulis:

Dengan demikian Opu Daeng Rilakka bersama kelima putranya dapat diterima oleh suku bangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Tanete, Suppa, pammana, dan lain-lain) sebagai pemmimpin di perantauan. Tampilnya sebagai penegak kedaulatan Johor dari versi Raja kecil dari Siak tidak dapat disangkal jika mendapat dukungan serempak dari kaum migran Bugis di Johor.73

Kesuma menghadirkan orang yang berasal dari keturunan bangsawan dalam narasinya untuk menekankan peran mereka dalam berbagai peristiwa yang ada di

Johor. Kesuma menganggap bahwa Opu Daeang Rilakka dan keturunannya

72 Kesuma,2004, hal 100. 73 Kesuma, 2004, hal 103.

74 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diterima sebagai pemimpin orang-orang Bugis di Johor.74 Silsilah yang digunakan rujukan oleh Kesuma menunjukkan bahwa Opu Daeang Rilakka memiliki keterkaitan kebangsawanan dari beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan. Hal itu jadi alasan lain yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa keturunan Opu Daeng

Rilakka diterima sebagai pemimpin di Johor. Narasi Kesuma begitu menonjolkan peran bangsawan bagi perantau Bugis di Johor.

Sebaliknya dalam narasi Suwitha peranan keturunan bangsawan Bugis di

Bali tidak banyak dibahas. Bahkan tidak ada nama khusus yang ditelusuri silsilahnya oleh Suwitha baik berdasarkan naskah Bali maupun naskah silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan. Berbagai kelompok orang Bugis yang ada di Bali disebutnya orang-orang Bugis.

Suwitha sempat menyebut nama Pattimi, orang yang diangkat sebagai syahbandar di Loloan, kemudian menyebut naman Puwak Matua di Serangan.75

Puwak Matua diidentifikasi oleh Suwitha sebagai seorang keturunan bangsawan

Bugis dengan cara melihat makam orang-orang Bugis di Bali. Menurutnya makam tersebut mirip dengan makam raja-raja yang ada di Sulawesi Selatan. Salah satu orang yang dimakamkan di tempat itu adalah keturunan dari Puwak Matua yang bernama Haji Abdurrachman. Sehinggga dengan sedikit keraguan Suwitha berpendapat secara tidak langsung bahwa Puwak Matua merupakan keturunan

Bangsawan Bugis.76

Sementara dalam narasi Said dan Prabowo yang menuliskan keberadaan orang-orang Bugis di Kamal Muara, pesisir pantai Jakarta Utara salah satu tokoh

74 Lihat pembahasan sebelumnya pada bab III sub bab berlabuh di Johor. 75 Suwitha, 2013, hal 95. 76 Suwitha, 2013, hal 108.

75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang dihadirkan adalah Haji Latif. Dia dianggap penting oleh Said dan Prabowo karena mewakili orang-orang Bugis yang ada di wilayah itu. Haji Latif disebut pertama kali datang ke wilayah Kamal Muara pada tahun 1960-an, tetapi tidak disebutkan asal daerahnya di Sulawesi Selatan. Said dan Prabowo hanya menyebut bahwa Haji Latif berasal dari tanah Bugis.77

Said dan Prabowo hanya mengidentifikasi orang-orang Bugis secara umum di wilayah itu dengan menuliskan bahwa mereka berasal dari Bone dan Palopo.

Bugis Bone dan Bugis Palopo menjadi penyebutan untuk menandai asal wilayah mereka.78 Selebihnya, sepanjang narasi Said dan Prabowo hanya menggunakan kata orang Bugis untuk menyebut etnis yang berasal dari Sulawesi Selatan tersebut.

Kehadiran individu hanya ditemukan sekali dalam narasi Sholeh ketika maenarasikan keberadan orang-orang Bugis di Ambon. Sholeh mengidentifikasi orang-orang Bugis sebagai kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi

Selatan. Sholeh bahkan tidak membedakan dengan kelompok suku lainnya yang berasal dari wilayah itu.79

Sholeh lebih mengidentikkan orang-orang Bugis dengan Islam dalam narasinya. Jadi setiap kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi Selatan dan beragama Islam disebut sebagai orang Bugis oleh Sholeh.80 Sholeh sepanjang narasinya hanya menyebut nama Syaikh Yusuf Al-Makassary. Aktor itu

77 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 117. 78 Said dan Prabowo, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 117. 79 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181. 80 Sholeh, dalam Bhakti, Andi Faisal, 2010, hal 181.

76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dihadirkan oleh Sholeh sebagai contoh bagi perantau Bugis yang berhasil karena keislamannya.

D. Rangkuman

Dari paparan yang telah diuraikan sepanjang Bab ini, representasi perantau

Bugis dalam narasi sejarah mengikuti pola perjalanan perantauan mereka, dimulai dari tanah kelahiran hingga tiba di tanah rantau. Tanah kelahiran yang tidak menentu merupakan representasi pertama yang terdapat di empat teks narasi.

Keadaan itu terjadi akibat perang yang terjadi wilayah tanah kelahiran orang

Bugis, kemudian dikenal sebagai Perang Makassar. Akibat lainnya adalah harga diri yang mulai terusik di tanah kelahiran. Representasi kedua berupa spirit bahari yang menjadi legitmasi perantauan, hal ini mewakili perantau Bugis selama perjalanan menuju tanah rantau. Bagian akhir dari representasi adalah potret kehidupan perantau Bugis di empat tempat yaitu: Johor, Bali, Kamal Muara di pesisir jakarta Utara dan Ambon. Kesuma mengidentikkan orang-orang Bugis di

Johor dengan kekuasaan. Suwitha mengidentikkan orang-orang Bugis di Bali dengan perdagangan dan pelayaran yang menjadi jalan bagi mereka berada di sekitara kekuasaan. Adapun Said dan Prabowo menjadikan nelayan dan laut sebagai identifikasi bagi orang-orang Bugis di Kamal Muara pesisir Jakarta Utara.

Sementara Sholeh menjadikan Islam sebagai sebagai identifikasi orang-orang

Bugis di Ambon. Setiap sejarawan menghadirkan aktor sejarah dalam narasinya.

Kelompok bangsawan memiliki ruang berbeda dalam pada setiap narasi, Kesuma memberi ruang lebih banyak dari kelompok tersebut. Suwtiha hanya menyebut beberapa nama sebagai aktor sejarah yang dia anggap berasal dari kelompok

77 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bangsawan. Kelompok bangsawan sebagai aktor sejarah bahkan luput pada narasi

Said dan Prabowo, yang juga luput dari narasi Sholeh.

78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV MELIHAT POSISI SEJARAWAN MELALUI NARASI SEJARAH PERANTAU BUGIS Pada bab sebelumnya telah dipaparkan beberapa hal yang merupakan representasi dari narasi sejarah perantau Bugis. Ada tiga hal yang merupakan representasi dalam narasi sejarah perantau Bugis. Pertama, situasi tanah kelahiran tidak menentu secara politis membuat orang Bugis meninggalkan tanah kelahirannya. Kedua, spirit bahari sebagai legitimasi perantauan menjadi representasi dalam teks sejarah perantau Bugis. Ketiga, tentang kehidupan di tanah rantau, ada empat tempat yang menurut teks yang dibahas dalam tesis ini, menjadi tujuan para perantau Bugis, yaitu Johor, Kamal Muara Pesisir Pantai

Jakarta utara, di Bali dan di Ambon.

Pada awal bab IV ini, akan dibahas mengenai bentuk representasi yang dihadirkan oleh para sejarawan dari empat teks yang menjadi objek penelitian tesis ini. Selanjutnya, akan ditunjukkan lebih jauh fitur-fitur yang dihadirkan dalam setiap narasi, sehingga memungkinkan kita bisa melihat bagaimana representasi tersebut dihadirkan dalam narasi. Menghadirkan sebuah peristiwa dalam narasi sesuai dengan pendapat Hayden White yang mengatakan bahwa sebuah peristiwa bukan hanya daftar kerangka kronologis, tapi peristiwa itu diriwayatkan, ada yang mengatakan, diungkapkan sehingga memiliki struktur dan urutan makna.1 Bentuk kehadiran representasi inilah yang akan dibahas pada bab ini. Dengan melihat setiap cara sejarawan dalam merepresentasikan sebuah

1 White, The Question of Narrative in Contemporary Historical Theory, History and Theory, Vol. 23, No. 1 Published by: Blackwell Publishing for Wesleyan University, URL: http://www.jstor.org/stable/2504969, 1984, hal 8.

79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

peristiwa dalam narasi sejarah perantau Bugis, sekaligus menjadi cara penulis untuk membangun sebuah kritik historiografi.

Menurut White Setiap representasi berupa peristiwa yang ada dalam setiap narasi sejarah tidak hadir begitu saja, tetapi bagaimana hasil representasi itu diterima sebagai sesuatu yang nyata atau pernah terjadi. Sejarawan dalam menarasikan perisitiwa menentukan diterimanya peristiwa tersebut sebagai hal yang nyata atau tidak. Setiap sejarawan memiliki cara untuk menghadirkan peristiwa dalam narasi sehingga bisa diterima sebagai kenyataan.2

Ada tiga hal yang akan menjadi perhatian penulis ketika menjelaskan bentuk representasi yang dihadirkan oleh setiap sejarawan. Pertama, terkait dengan peristiwa direpresentasikan atau dikabarkan. Kedua, bagaimana penuturan informan dalam hal ini sumber sejarah yang digunakan. Ketiga, ucapan sejarawan tentang peristiwa yang direpresentasi dalam narasi.3

A. Bergerak Menuju Perantauan

Di keempat teks yang ada, secara umum dinarasikan perjalanan orang Bugis dari kampung halaman ke perantauan. Pada Bab III telah dibahas tentang tanah kelahiran yang tidak menentu dan bagaimana hal itu menjadi salah satu alasan mengapa mereka meninggalkan tanah kelahirannya, yakni tanah Bugis. Dalam keempat teks itu disebutkan bahwa perang merupakan penyebab yang membuat

2 White, The Question of Narrative in Contemporary Historical Theory dalam The Conten of the form hal 8. 3 Ini mengacu pada konsep linguistiknya Roman Jakobson tentang shifter berupa Kode menunjuk Pesan sebagaimana yang dipakai oleh Roland Barthes dan dikembangkan oleh Hayden White. lihat Barthes, Roland, The Rustle of Language, California, Universitas California Press,California, 1989, hal 127-140.

80 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keadaan tanah kelahiran orang Bugis tidak stabil. Perang yang dimaksud dalam narasi-narasi tersebut adalah Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-17.

Dalam bukunya yang berjudul Migrasi dan Orang Bugis Kesuma mengatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan pernah mengalami kekacauan sosial politik karena terjadinya Perang Makassar pada abad ke-17.4 Setidaknya ada 21 entri5 tentang Perang Makassar yang ditemukan dalam teks Kesuma. Tentang perang itu sendiri Kesuma lebih suka menyebutnya sebagai perang VOC-

Makassar.6

Selanjutnya terkait dengan sumber atau informan yang bercerita tentang peristiwa Perang Makassar Kesuma menggunakan pengalaman seorang Belanda yang terlibat dalam perang tersebut sebagai sumber. Orang Belanda itu adalah

F.W. Stapel, yang kesaksiannya Kesuma ambil dari hasil tulisan Sagimun MD.7

Sebagaimana yang ia tulis, berdasarkan kutipan langsung atas tulisan Sagimun

MD. Kesuma menulis:

Pertempuran terjadi tidak hanya pada hari itu saja (hari berlangsungnya Perang Makassar), akan tetapi juga berlangsung terus pada malam berikutnya dengan tiada henti- hentinya. Percaya atau tidak, malam itu adalah malam dahsyat yang sangat mengerikan, sehingga prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya mungkin bahkan di Eropa sekalipun jarang yang pernah mendengarnya. Serdadu-serdadu belanda pada malam itu menembakkan 30.000 butir peluru. …8

Kutipan tersebut diatas merupakan versi bahasa Indonesia terjemahan dari bahasa

Belanda yang merupakan bahasa aslinya. Dalam narasi Kusuma kutipan tersebut

4 Kesuma, 2004, hal 58. 5 Entri ini terdapat di halaman 4,15,53,45,45,62,63,64,64,64, 65,66,69,70,72,73,85,92,112,136,137. 6 Kesuma, 2004, hal 58. 7 Sagimun MD adalah seorang peneliti dari kementrian pendidikan dan kebudayaan yang menulis tentang biografi pahlawan nasional. salah satu tulisannya tentang Sultan Hasanuddin, raja Gowa ketika berlangsungnya Perang Makassaar. 8 Kesuma, 2004, hal 59.

81 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diatas lengkap dengan bahasa asli yang digunakan oleh informan yaitu bahasa

Belanda.9 Sebelum Kesuma menuliskan secara langsung apa yang disampaikan oleh informan dalam hal ini F.W. Stapel yang merupakan informan dari Sagimun

MD, dia terlebih dahulu memberi penjelasan tentang sumber yang digunakan.

Sumber tersebut berasal dari Sagimun MD sebagaimana narasi Kesuma:

Begitu dahsyatnya peperangan itu, dapatlah dibaca pengakuan orang-orang Belanda sendiri (diungkap oleh Sagimun MD dalam makalahnya “Sumba Opu” – dipresentasikan pada “Seminar Sejarah Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan” tanggal 8-11 Desember 10 1982, hal 13) ialah sebagai berikut:…

Sementara pada kutipan keduanya, Kesuma menuliskan: “gambaran begitu kuatnya pertahanan yang dihadapi, tatkala menyerang Benteng Sumba Opu

F.W.Stapel, menuliskan sebagai berikut:….”11 Pada kutipan kedua ini, Kesuma sudah tidak lagi menyebut nama Sagimun MD di awal kutipannya, tetapi hanya langsung menyebut penulis Belanda yang dikutip oleh Sagimun MD. Dari kedua kutipan diatas dengan jelas dapat kita bedakan cara Kesuma menggunakan sumber. Pengalaman pelaku sejarah yang dia kutip dalam narasinya berasal dari tulisan Sagimun MD.

Hal yang berbeda Kesuma lakukan ketika ia menggunakan tulisan Abdul

Razak Daeng Patunru, Kesuma justru menarasikan ulang jalannya perang

Makassar. Ketika Kesuma menghadirkan peristiwa perang Makassar dalam narasinya, ia membuat deskripsi ulang tentang jalannya perang Makassar yang bersumber dari buku Abdul Razak Daeng Patunru. Ringkasan tersebut ditemukan dari halaman 64 sampai 65 dalam tulisan Kesuma. Salah narasi Kesuma ketika

9 Kesuma, 2004, hal 59. 10 Kesuma, 2004, hal 58, Lanjutan kutipan tersebut berisi pengalaman orang Belanda yang terlibat perang Makassar menggunakan bahasa Inggris lengkap dengan terjemahan bahasa Indonesia. 11 Kesuma,2004, hal 63. lanjutan kutipan tersebut berisi pengalaman orang Belanda yang terlibat perang Makassar menggunakan bahasa Inggris lengkap dengan terjemahan bahasa Indonesia.

82 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendeskripkan ulang Perang Makassaar sebagai Berikut: “Tanggal 7 Juli 1967 terjadi lagi pertempuran antara pasukan-pasukan Belanda dengan lascar Gowa dan hebatnya, namun lascar Gowa terpaksa mengundurkan diri karena kekuatan tidak seimbang, lalu kembali ke Gowa mempertahannya mati-matian ibukota Kerajaan

Gowa.”12

Selain narasi jalannya Perang Makassar, Kesuma juga menghadirkan beberapa pasal isi perjanjian Bungaya dalam narasinya sebagai akhir dari Perang

Makassar. Salah satu isi pasal perjanjian Bungaya yang ada dalam narasi Kesuma sebagai berikut: “orang-orang yang bersalah karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda, akan dihukum di hadapan residen Belanda di Makassar.”13 Perjanjian Bungaya dijadikan pijakan selanjutnya oleh Kesuma untuk mendeskripsikan terjadinya perpindahan penduduk keluar dari wilayah yang didiami masyarakat Bugis.

Kesuma mengarahkan narasinya supaya Perang Makassar menjadi penyebab orang-orang Bugis maupun kelompok masyarakat lainnya yang ada di wilayah

Sulawesi Selatan meninggalkan daerahnya, dengan cara mengambil contoh dari beberapa pimpinan Perang Makassar yang memilih meninggalkan Makassar karena tidak sepakat dengan perjanjian Bungaya. Seperti dalam narasi Kesuma:

“Menurut penulis inilah yang menjadi alasan utama mengapa Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu secara diam-diam meninggalkan Makassar berlayar ke Pulau Jawa, yaitu masing-masing ke Madura dan Banten”.14 Kutipan ini

12 Kesuma, 2004, hal 64. 13 Kesuma, 2004, hal 66 isi pasal 4 dari 9 pasal perjanjian Bungaya. Seluruh isi pasal Perjanjian Bungaya dapat dilihat di Kesuma 2004, hal 65-67. 14 Kesuma, 2004, hal 67.

83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menunjukkan bagaimana sejarawan sebagai penutur berpendapat tentang sebuah peristiwa. Artinya, sejarawan walaupun menggunakan kata ganti penulis tetap menuliskan secara jelas bahwa dirinyalah yang berpendapat tentang peristiwa itu.

Aktifitas pasukan Makassar yang memilih untuk berpindah ke Pulau Jawa ditelusuri oleh Kesuma berdasarkan tulisan Sartono Kartodirjo. Penggalan tulisan

Sartono yang bercerita tentang keterlibatan bekas pasukan Makassar berjuang melawan Belanda di Pulau Jawa, bahkan dikutip langsung oleh Kesuma, seperti berikut ini:

suatu faktor yang perlu diperhitungkan dalam pergolakan pada masa dalam penelaan sekarang ialah kehadiran kontingen Makassar dan Bugis yang tersebar di pelbagai tempat di Jawa. Peranan mereka sebagai eksponen anti Kompeni cukup berpengaruh dalam perjuangan untuk membendung penetrasi Belanda di Banten dan Mataram. Disamping semangat untuk membalas dendam atas kekalahan yang diderita dalam perang Makassar, perjuangan mereka juga dijiwai oleh ideologi kafir, semacam pan-Islamisme. Dipandang dari kecamata mereka Jawa sebagai benteng pertahanan akhir terhadap agresi Belanda, perlu dipertahankan, maka mereka mengadakan persekutuan dengan pihak-pihak sejiwa antara lain Banten dan Madura. Di kedua daerah itulah terpusatkan kesatuan-kesatuan kontingen Makassar/Bugis.15 Menurutnya, meninggalkan wilayah Sulawesi menjadi pola yang diikuti oleh koalisi pasukan Makassar lainnya.

Narasi Kesuma menjadikan Perang Makassar sebagai faktor utama untuk melihat terjadinya kekacauan di Sulawesi bagian selatan, walaupun perang itu sendiri sebenarnya berpusat di wilayah Kerajaan Gowa. Perang Makassar menjadi dasar ketika Kesuma menunjukkan wilayah Sulawesi bagian selatan lainnya, terutama wilayah yang didiami orang Bugis juga mengalami kekacauan.

15 Kesuma, 2004, hal 67-68, kutipan ini merupakan kutipan langsung Kesuma dari tulisan Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emperium kem imperium (Jakarta: Gramedia 1987), hal 173-174.

84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kekacauan itu merupakan kelanjutan dari Perang Makassar karena perseteruan dua kerajaan Bugis, yaitu antara kerajaan Wajo dengan kerajaan Bone.16

Kesuma menggambarkan Perang antara Bone yang dibantu oleh VOC melawan pihak Kerajaan Wajo lebih banyak berdasarkan buku tulisan Abdul

Razak Daeng Patunru yang berjudul Sejarah Wajo yang ditulis pada tahun 1964.

Peristiwa tersebut ditempatkan oleh Kesuma dalam narasinya untuk menunjukkan bahwa orang Bugis Wajo sudah meninggalkan daerahnya secara berkelompok sejak abad ke-XVII.

Sementara Suwitha dalam buku yang berjudul Perahu Phinisi Di Pesisir

Dewata:Migrasi Dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali Sekitar Abad XIX, juga menganggap Perang Makassar sebagai sebab terjadinya kekacauan. Cara Suwitha menghadirkan Perang Makassar sebagai salah satu faktor terjadinya kekacauan di

Sulawesi Selatan di abad ke-17 yang menyebabkan orang Bugis meninggalkan daerahnya. Setidaknya ada enam17 entri yang terkait Perang Makassar yang ditemukan dalam narasi Suwitha. Perang Makassar dianggap oleh Suwitha sebagai bagian dari faktor politik, dengan perjanjian Bungaya sebagai hasil Perang

Makassar membuat terjadinya perubahan politik di wilayah tersebut.18

Cara Suwitha dalam narasinya menghubungkan perjanjian Bungaya sebagai akhir dari peristiwa Perang Makassar dengan bergeraknya orang-orang Bugis meninggalkan daerahnya seperti dalam narasi berikut:

Perjanjian Bungaya kemudian membawa perubahan yang penting dalam ikatan politik kawasan timur. Semua pedagang di luar VOC dipaksa untuk meninggalkan Makassar sehingga Makassar kemudian menjadi Bandar yang sepi. Pada periode inilah banyak

16 Pembahasan ini juga dibahas di bagain bab III. 17 Entri ini ada di halaman 46, 48, 48, 61, 68, 120. 18 Suwitha, 2013, hal 48.

85 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bangsawan Bugis dengan para pengikutnya pergi meninggalkan tanah kelahirannya menyebar keseluruh Asia Tenggara sambil berdagang karena hak hidup mereka dirampas. Terdapat pusat penyebaran orang-orang Bugis, seperti Kutai, Pontianak, Pulau Batam, Riau, dan Flores. Pulau laut misalnya, hampir semua penduduknya adalah orang Bugis.19 Narasi tersebut ditulis oleh Suwitha berdasarkan buku Nusantara: History Of

Indonesia yang ditulis oleh Vlekke, B.H.M, terbit tahun 1967 dan buku

Encyclopedia Van Nederlandsch India Vol 1. Sumber itu digunakan untuk menunjukkan daerah tujuan orang Bugis ketika meninggalkan tanah kelahirannya.

Suwitha selalu membahasakan ulang sumber yang digunakan lalu di bagian akhir menuliskan sumber yang digunakan.

Seperti narasi Kesuma, Suwitha juga menempatkan Perang Makasaar sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekacauan di wilayah

Sulawesi Selatan. Menurut Suwitha, sebagai akibat Perang Makassar, kerajaan

Wajo terlibat peperangan dengan Bone. Peristiwa tersebut membuat ibu kota kerajaan Wajo mengalami kehancuran dan menimbulkan bencana kelaparan bagi masyarakat serta akibat lainnya. Keadaan serba kacau seperti itu mendorong orang

Bugis Wajo banyak yang meninggalkan daerahnya dan oleh Suwitha dalam narasinya disebut sebagai faktor ekonomi.20

Said dan Prabowo dalam teksnya yang berjudul “Akulturasi Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara” mengikuti pola narasi Kesuma dan Suwitha untuk menempatkan peristiwa Perang Makassar sebagai salah satu sebab orang Bugis berada di Kamal Muara. Said dan Prabowo tetap menempatkan Perang Makassar sebagai salah satu sebab wilayah Sulawesi bagian selatan mengalami ketidakpastian yang membuat banyak orang Bugis

19 Suwitha, 2013, hal 48. 20 Suwitha, 2013, hal 49.

86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

meninggalkan daerahnya. Sebagai sebuah peristiwa Said dan Prabowo bahkan dalam narasinya menyamakan peristiwa Perang Makassar dengan pemberontakan

Qahar Muzakkar dan Permesta yang waktu kejadian rentang waktunya sangat jauh.

Perang Makassar sebagai peristiwa yang dimaksud dalam narasi itu tidak disebut secara langsung sebagai Perang Makassaar oleh kedua penulis. Said dan

Prabowo menyebut terjadi perang itu seperti berikut: “Pada abad ketujuh belas terdapat perang dimana orang Bugis-Bone bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Kondisi ini membawa konsekuensi tersendiri sehingga terjadi persebaran orang Bugis, khususnya Bugis Wajo yang bersekutu dengan

Gowa Makassar.”21 Sumber yang menyebut Perang Makassar tersebut tidak dituliskan dalam narasi Said dan Prabowo.

Setelah melihat Said dan Prabowo membahas peristiwa perang Makassar dalam narasinya, kita dapat melihat bagaimana Perang Makassar dihubungkan dengan peritiwa lainnya. Berikut kutipan narasinya:

Jadi, migrasi terbesar orang Bugis terjadi sebagai akibat perang (pada abad ke tujuh belas) dan pemberontakan (pada tahun 1950-an dan 1960-an) di negeri mereka sendiri, yang membentuk suatu pola migrasi di mana orang Bugis menggambarkannya sebagai massapa dale (mencari nafkah). Kamal Muara adalah salah satu tanah tujuan yang menjanjikan dan menjadi tempat persinggahan dan kediaman orang Bugis sampai saat ini.22 Perang Makassar dalam narasi said dan prabowo disebut sebagai perang yang terjadi abad ketuju belas, tanpa menyebut langsung sebagai perang Makassar.

Said dan Prabowo menempatkan peristiwa perang Makassar sebagai titik tolak peristiwa yang memengaruhi peristiwa-peristiwa setelahnya.

21 Said dan Prabowo dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114. 21 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114. 22 Said dan Prabowo dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114-115.

87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sementara Sholeh dalam tulisannya yang berjudul “Peranan Bugis pendatang dalam proses islamisasi bagian timur Indonesia:kasus konteks sejarah

Ambon”, melihat orang Bugis di Ambon. Menurut Sholeh, salah satu alasan orang-orang Bugis melakukan migrasi adalah alasan perang. Peristiwa perang itu menyebabkan keadaan wilayah Sulawesi Selatan tidak menentu. Menurut Sholeh untuk mendapat kebebasan dalam menjalani kehidupan sebagian masyarakat

Bugis akhirnya memilih keluar dari wilayah itu. Akan tetapi sepanjang narasi

Sholeh tidak penyebut Perang Makassar secara langsung.

Untuk menggambarkan keberadaan orang Bugis di Ambon, Sholeh menggunakan sumber dari tulisan Leirizza yang berjudul Maluku Dalam

Perjuangan Nasional Indonesia. Rujukan itu digunakan untuk menelusuri keberadaan orang Bugis yang ada di Ambon. Sholeh menjadikan bahan itu sebagai sumber dengan membahasakan ulang dalam narasinya tanpa pernah menggunakan kutipan langsung. Misalnya Sholeh menarasikan seperti ini: “Pada tahun 1607, di Ternate sudah dikenal sebuah wilayah dengan nama kampung

Makassar yang umumnya dihuni oleh masyarakat Bugis-Makassar...”23

Sebagai penutup pada bagian ini, peristiwa Perang Makaassar yang merupakan salah satu representasi untuk menjelaskan kedaan wilayah Sulawesi bagian selatan mengalami kekacauan, semua hadir di empat teks yang ada, dengan bentuk yang berbeda. Setiap sejarawan punya cara menampilkan perisitiwa perang

Makassar dalam narasinya. Cara mereka menghadirkan sumber juga bervariasi,

23 Sholeh dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 182.

88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

misalnya Kusuma memasukkan secara langsung sumber yang digunakan dalam narasinya yang tidak kita temukan di tiga teks lainnya.

B. Narasi Kemampuan Bahari Sebagai Narasi yang Dirayakan

Berdasarkan empat teks yang dibahas, tampak bahwa perantauan yang dilakukan oleh orang-orang Bugis karena latar belakang daerahnya yang mengalami kekacauan akibat perang. Berdasarkan narasi itu keadaannya didukung oleh kemampuan bahari yang dimiliki masyarkat Bugis membuat mereka berani mengarungi lautan untuk menuju perantauan. Pada bab III sudah dibahas bahwa ada dua bentuk bahari yang hadir dalam narasi sejarah perantau Bugis, sekaligus sebagai representasi dalam narasi. Pertama, hadirnya cerita rakyat yang berbasis petualangan bahari dalam narasi sejarah. Kedua, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan dalam bidang bahari merupakan bagian dari kehidupan masyarakat

Bugis. Keduanya sangat terkait dengan kemampuan bahari yang dimiliki oleh orang-orang Bugis. Dalam setiap narasi yang ada, hal tersebut selalu muncul sebagai legitimasi sejarah.

Untuk melihat bagaimana sejarawan menarasikan representasi bahari yang terdapat dalam teksnya masing-masing, maka bagian ini akan kembali melihat sejarawan menempatkan tiga hal dalam narasinya yaitu peristiwanya, informannya dalam hal ini sumber sejarahnya dan penuturnya atau sejarawannya.24 Dengan memperhatikan hal itu akan terlihat bagaimana setiap sejarawan merepresentasikan sebuah peristiwa dalam narasi sejarah.

24 Lihat hal 2 (bagian awal bab IV ) menggunakan konsep shifter-nya Jakobson sebagaimana yang dipakai oleh Roland Barthes dan dikembangkan oleh Hayden White. lihat Barthes, Roland, The Rustle of Language, California, Universitas California Press, 1989, hal 127-140.

89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kesuma dalam narasinya menghadirkan kemampuan bahari sebagai salah satu argumen untuk menunjukkan keberadaan orang-orang Bugis di wilayah

Johor. Menurutnya, kemampuan bahari orang-orang Bugis menunjang akan pilihan mereka melakukan perantauan. Untuk menunjukkan kemampuan tersebut,

Kesuma menghadirkan cerita rakyat Bugis dalam narasinya. Cerita tersebut berasal dari epos I La Galigo yang bercerita tentang Sawerigading ketika melakukan petualangan ke berbagai negeri. Cerita rakyat inilah yang akan ditelusuri lebih jauh dibagian ini.

Selanjutnya adalah penelusuran posisi epos I La Galigo dengan cerita perjalanan Sawerigading dalam narasi Kesuma dan ketiga narasi lainnya. Kesuma menempatkan cerita I La Galigo dalam narasinya ketika menelusuri jejak kedatangan orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu. Dapat kita lihat salah satu bagian narasi Kesuma ketika menempatkan cerita perjalanan Sawerigading sebagai bagian dari narasi penyebaran orang Bugis di Tanah Melayu sebagai berikut:

Perantau dan atau pemukiman orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu sebetulnya sudah berlangsung lama sekali. Sejak di masa Kerajaan Luwu Purba, perairan, atau kawasan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, telah di jelajahi armada Sawerigading Opunna Wareq putra mahkota Kerajaan Luwu di sekitar abad ke X. Salah satu episode 25 yang diceritakan dalam buku I La Galigo… Cerita Sawerigading dalam narasi itu dapat ditempatkan sebagai peristiwa sejarah.

Cerita itu diambil oleh Kesuma dari teks I La Galigo. Kalimat “sejak di masa kerajaan luwu purba…” menunjukkan ketika Kesuma yang seolah-olah bercerita tentang kejadian itu. Cara seperti itu juga dapat dilihat pada kalimat sebelumnya, sebagai beritkut: “Perantau dan atau pemukiman orang Bugis di Semenanjung

25 Kesuma, 2004, hal 95.

90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tanah Melayu sebetulnya sudah berlangsung lama sekali.” Pengaturan waktu semacam itu dilakukan oleh Kesuma untuk mengatur ketika peristiwa itu terjadi dan waktu ketika peristiwa itu ditulis.

Konteks cerita tersebut dihadirkan oleh Kesuma ketika menarasikan orang- orang Bugis yang pernah datang ke Semenanjung Tanah Melayu. Kesuma menulis narasi tersebut setelah pada bagian sebelumnya menarasikan kisah-kisah orang

Bugis lainnya yang ada di Semenanjung Tanah Melayu, seperti kedatangan orang

Bugis Wajo pada tahun 1666 yang dipimpin oleh Daeng Saleh. Dalam narasinya,

Kesuma bercerita bahwa Daeng Saleh tiba di Teluk Mas bersama dengan pengikutnya sebanyak 27 buah perahu. Kisah itu diambil oleh Kesuma dari buku

Tsubachi dan Narifum yang berjudul Three Malay Villages: A Sociology of Paddy

Growers ini West Malaysia.26

Kesuma tidak hanya menempatkan kisah orang-orang Bugis di

Semenanjung Tanah Melayu dalam narasinya untuk menggambarkan kehebatan orang Bugis. Kesuma juga menuliskan kisah orang-orang Bugis yang ada di

Samarinda Kalimantan Timur dalam narasinya, seperti berikut ini:

Pada permulaan tahun 1853 saudagar Bugis bernama La Taipa berangkat dari Samarinda ke daerah hulu membawa sebuah perahu bermuatan barang-barang perdagangan; orang Bugis bernama Andi Gara Panae, yang tinggal di Samarinda, membeli seorang budak asal Sumba dari seorang nahkoda bawonan; ada seorang raja Bugis meminta kepada Tuan King untuk menyediakan alat perlengkapan yang diperlukan oleh 3000 orang rakyatnya, berkeinginan selekas mungkin dan secara bersama-sama menyeberang ke Kutai.27 Narasi tersebut merupakan ilustrasi orang Bugis di Samarinda yang diungkapkan oleh J. Sweger dalam karangannya yang berjudul Kerajaan Kutai Di Pesisir

Timur Kalimantan Dan Hulu Dan Hal Ihwalnya Dalam Tahun 1853 (Tjidschrift

26 Kesuma, 2004, hal 94. 27 Kesuma, 2004, hal 93.

91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

voor Nederlandsch-indie seri 4, 1866). Sumber tulisan tersebut Kesuma berasal dari tulisan Andi Zainal Abidin, Persepsi Orang Bugis Makassar Tentang Hukum,

Negara, Dan Dunia Luar tahun 1983.28

Kisah Sawerigading dan La Taipa dapat dilihat sebagai cara Kesuma membangun narasinya, dia menghubungkan beberapa peristiwa menjadi satu rangkaian cerita sehingga terlihat saling terhubung. Selain dari segi tempat yang berbeda, peristiwa tersebut dari segi jarak waktu kejadian juga cukup jauh.

Perjalanan Sawerigading yang diperkirakan oleh Kesuma terjadi abad ke-10 disandingkan dengan kedatangan saudagar Bugis bernama La Taipa yang terjadi pada abad ke-19.

Cerita tentang Sawerigading yang digunakan oleh Kesuma merupakan kisah yang berdasarkan buku I La Galigo. Dia merujuk dua penulis yaitu Andi Zainal

Abidin dan Fahcruddin Ambo Enre. Penulis kedua menelaah salah satu kisah cerita dalam I La Galigo yang berjudul Ritumpana Welenrengnge. Sementara

Suwitha menghadirkan cerita Sawerigading berasal dari cerita yang berkembang di masyarakat Bugis yang ada di Bali.29

Kisah petualangan orang Bugis yang dihadirkan oleh setiap sejarawan adalah kisah yang dimaksud untuk menunjukkan bahwa orang Bugis memiliki kemampuan dan pengetahuan bahari yang cukup kuat. Kesuma maupun Suwitha menggunakan kisah Amanna Gappa dalam narasinya untuk menggambarkan

28 Kesuma, 2004, hal 92. 29 Lihat bab III (hal 50).

92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kemampuan dan pengetahuan orang Bugis dalam dunia pelayaran, sehingga memungkinkan mereka dapat bepergian ke berbagai wilayah.30

Ada kesamaan pada narasi Kesuma dan Suwitha yang dianalisis dalam tesis ini. Dua narasi tersebut mengungkapkan bahwa kemampuan bahari yang dimiliki oleh masyarakat Bugis merupakan salah satu keahlian yang memungkinkan mereka melakukan perantauan. Untuk menunjukkan kemampuan pelayaran orang- orang Bugis kedua narasi tersebut menghadirkan kemampuan Amanna Gappa yang berhasil merumuskan aturan pelayaran dan perdagangan di antara orang- orang Bugis.

Bagi Kesuma, karya Amanna Gappa yang membuat aturan pelayaran dan perdagangan pada komunitas orang Bugis digunakan sebagai bukti apabila orang

Bugis memiliki kemampuan bahari. Kesuma menuliskan kemampuan Amanna

Gappa dalam narasinya sebagai berikut:

Di antara sekian itu tersebutlah seorang pemikir hukum dan ekonomi bernama Amanna Gappa, yaitu “Matoa Wajo ke-3”, tersohor karena karya abadi “Ade’ allopi-loping Bicaranna Pabalu’e” (= hukum pelayaran dan perdagangan) yang ditetapkan pada tahun 1676 berlaku untuk seluruh perdagangan pelaut Bugis.31 Rumusan peraturan pelayaran Amanna Gappa yang Kesuma gunakan berdasarkan karya Ph.O.L. Tobing. Penelitian yang dilakukan oleh Tobing berdasarkan salinan naskah yang ditulis oleh Muhammad Ibnu Badawi pada abad ke-19. Menurut

Tobing, Ibnu Badawi menyalin lontaraq Amanna Gappa saat berada di Gresik yang diperkirakan seorang nahkoda.32 Di narasi Kesuma, sumber dan sejarawan

30 Lihat bab III. 31 Kesuma, 2004, hal 81. 32 Mengenai naskah yang digunakan oleh Tobing lihat Tobing, 1977, hal 29-30.

93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadi satu dalam narasi, bahkan sumber tidak disebut penggalan narasi tersebut.

Sumber yang digunakan oleh Kesuma ditulis di dua halaman setelah bagian itu. 33

Sementara itu Suwitha menarasikan tentang Amanna Gappa sebagai berikut:

“…Dengan kepandaian berlayar dan berdagang itu, sampai saat ini mereka masih meninggalkan warisan hukum niaga Amanna Gappa, yang telah ditulis dan dibukukan dalam lontar pada abad ke 17.”34 Suwitha juga menggunakan karya

Ph.O.L. Tobing dalam narasinya. Dalam narasi Suwitha, sumber dan penuturnya juga menyatu tetapi bagian akhir dari kalimat itu langsung diberi penjelasan bahwa kisah Amanna Gappa dia ambil dari penelitian yang dilakukan oleh

Tobing.35 Suwitha yang menggunakan kata ganti mereka untuk menyebut orang

Bugis juga menjadi penanda apabila dirinya bukan bagian dari masyarakat Bugis.

Amanna Gappa sendiri menurut Suwitha adalah seorang Matoa Wajo yang berada di Makassar dan hidup pada abad ke-17. Dia mengatur aktifitas pelayaran orang

Bugis sebagaimana dalam narasinya:

Dalam hukum pelayaran dan perniagaan, warisan orang Bugis Amanna Gappa, telah disebutkan bahwa, apabila perahu-perahu Bugis akan berlayar untuk berniaga dari jalur- jalur pelayaran yang telah di tetapkan ke Bali, sewa perahunya setiap orang di tetapkan dua setengah rial dan belum terhitung muatan barang-barang. Dengan demikian, pulau Bali sudah masuk dalam jangkauan pelayaran dan perniagaan orang-orang Bugis. Hukum laut itu sendiri ditulis dan dibukukan dalam lontar oleh Amanna Gappa tahun 1676.36

Kedua narasi tersebut di atas, baik Kesuma maupun Suwitha menempatkan prestasi Amanna Gappa sebagai peristiwa akan tetapi cara penuturan yang berbeda. Artinya sumber yang dugunakan bisa saja sama tetapi penggunaannya

33 Lihat Kesuma, 2004, hal 81 dan 83. 34 Suwitha, 2013, hal 3 juga dikutip di bab 3. 35 Lihat Suwitha, 2013, hal 3. 36 Suwitha, 2013, hal 59.

94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam narasi sejarah belum tentu sama. Sejarawan menggunakan sumber berdasarkan kebutuhannya dalam membuat narasi.

Sementara itu Said dan Prabowo tidak menyebut rumusan hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa ketika menarasikan keberadaan orang Bugis di

Kamal Muara Pesisir Pantai Jakarta Utara. Hal yang sama terjadi dalam narasi

Badrus Sholeh ketika menuliskan keberadaan orang Bugis di Ambon. Keduanya tidak menyebut nama Amanna Gappa maupun hukum pelayaran dan perdagangannya.

Tulisan Said dan Prabowo menggambarkan keberadaan orang Bugis di

Kamal Muara, pesisir Jakarta Utara. Dia menempatkan kemampuan bahari orang

Bugis sebagai titik tolak dalam narasinya ketika mendeskripsikan keberadaan orang Bugis di wilayah itu. Kemampuan bahari itulah dianggap oleh Said dan

Prabowo yang membuat orang Bugis terkenal di antara para pelaut dan pedagang sepanjang garis pantai Asia Tenggara.37

C. Bugis yang Dibentuk Berdasarkan Narasi Sejarah

Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana para sejarawan menjelaskan berbagai pengertian tentang Bugis di daerah perantauan berdasarkan teks-teks sejarah yang ada. Ada empat wilayah perantauan yang akan menjadi fokus pembahasan ini yaitu Johor, Bali, Kamal Muara di pesisir Jakarta Utara dan

Ambon. Penentuan wilayah-wilayah tersebut berdasarkan pembahasan bab III38 yang berangkat dari teks-teks sejarah. Pada bagian ini dijelaskan bagaimana sejarawan mengidentifikasi Bugis di perantauan melalui narasi sejarah.

37 Said dan Prabowo dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 114. 38 Lihat tesis ini bab III hal 58 .

95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Cara kerja sejarawan dalam menjelaskan orang-orang Bugis di perantauan tidak lepas dari kecenderungannya dalam membangun narasi. Representasi historis menjadi salah satu pilihan, yang merupakan cara menghadirkan kejayaan masa lalu dan bisa dianggap sebagai gagasan luhur.39 Untuk itu bagian ini akan tetap melihat tiga hal sebagaimana bagian sebelumnya yaitu: pertama, apa yang menjadi tuturan atau peristiwa apa yang kabarkan. Kedua, bagaimana penuturan informan dalam hal ini sumber sejarah yang digunakan. ketiga, ucapan penutur atau sejarawan tentang peristiwa tersebut.40 Cara inilah yang akan dipakai untuk melihat cara setiap sejarawan dalam menarasikan tentang Bugis di perantauan.

C.1. Narasi Kesuma tentang Bugis dan Kekuasaan di Johor

Kesuma melalui narasinya menunjukkan pola interaksi orang-orang Bugis dengan masyarakat setempat di Johor dengan cara terlibat dalam perebutan kekuasaan.41 Fokus narasi Kesuma adalah penelusuran kisah bangsawan Bugis yang bernama Opu Daeng Rilakka dan Kelima putranya ke wilayah semenanjung

Malaya pada abad ke-17. Sebagai pengantar, Kesuma menunjukkan sejak awal bahwa kedatangan orang Bugis di wilayah itu selalu terlibat dalam perebutan kekuasaan. Dia menuliskan tentang penyerangan Karaeng Samarluka terhadap

Malaka pada masa pemerintahan Mahmud Shah yang diperkirakan berlangsung pada tahun 1424.42

39 White, 1975, hal 255. 40 Pembagian ini Ini mengacu pada konsep linguistiknya Roman Jakobson tentang shifter sebagaimana yang dipakai oleh Roland Barthes dan dikembangkan oleh Hayden White . 41 Lihat tesis ini bab III hal 58-61. 42 Kesuma, 2004, hal 96.

96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kesuma memakai perebutan kekuasaan dalam narasinya untuk menunjukkan keturunan Bugis ikut terlibat dalam perebutan pengaruh di wilayah semenanjung Tanah Melayu. Peran putra dari Opu Daeng Rilakka dianggap oleh

Kesuma membawa kerajaan Johor mendapat kedaulatannya kembali. Melalui kekuasaan itu pula keturunan Bugis kemudian mengambil alih pemerintahan di kerajaan-kerajaan Tanah Melayu. Untuk menunjukkan bahwa keturunan Opu

Daeng Rilakka memiliki garis keturunan pemimpin, Kesuma menelusuri garis kebangsawanan mereka.43

Cara lain Kesuma lakukan untuk menghubungkan perantau Bugis dengan kekuasaan adalah dengan mengaitkan kedatangan rombongan orang Bugis yang bernama Daeng Lakani atau Daeng Hitam ke Johor dan kedatangan wakil perdana menteri Malaysia ke Makassar. Dinarasikan oleh Kesuma:

… berarti sudah ada migrasi lebih dahulu di Selangor, malahan sebelum Daeng Hitam, mungkin sudah terdapat orang Bugis lainnya. Dan menurut R.J.Wikenson, orang-orang Bugis mula-mula sekali datang ke Selangor diketuai oleh seorang Bugis bernama Daeng Lakani (ataukah Daeng Hitam termasuk salah seorang anggota Rombongannya). Apakah Daeng Hitam “nenek moyang” Datu Musa Hitam, Wakil Perdana Menteri Malaysia, yang tatkala berkunjung ke Makassar tahun 1982, dipesan oleh orang tuanya untuk melihat- lihat negeri leluhur, karena mereka adalah keturunan Bugis Makassar.44

Pada bagian ini, Kesuma menghubungkan dua peristiwa dari dua periode yang berbeda. Peristiwa abad ke-17 yang menjadi periode penelitiannya dengan priode ketika penelitian itu berlangsung. Cara seperti ini merupakan cara sejarawan dalam mengatur waktu ketika peristiwa terjadi dan waktu ketika peristiwa itu dinarasikan oleh sejarawan. Kesuma dengan jelas menunjuk abad ke 17 sebagai waktu ketika peristiwa itu berlangsung. Kesuma memakai sumber yang berasal

43 Lihat bab III hal 73. 44 Kesuma, 2004, hal 95.

97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari R.J. Wilkinson sebagai dasar apabila orang Bugis sudah ada di tanah Melayu di abad itu.

Narasi yang dibangun oleh Kesuma tentang orang Bugis yang terlibat dalam perebutan kekuasaan memiliki dasar. Ia menunjukkan kemampuan Daeng Rilakka bersama kelima putranya sebagai orang yang diterima sebagai pemimpin orang

Bugis di perantauan. Sebagaimana dalam narasinya:

Dengan demikian Opu Daeng Rilakkka bersama kelima putranya dapat diterima oleh suku bangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Tanete Suppa, Pammana, dan lain-lain) sebagai pemimpin di perantauan. Tampilnya sebagai penegak kedaulatan Johor dari invasi Raja Kecil dari Siak tidak dapat disangkal jika mendapat dukungan serempak dari kaum migran Bugis di Johor.45

Pada bagian ini, Kesuma juga menunjukkan adanya pengertian tentang Bugis yang satu ketika berada di daerah perantauan. Orang Bugis diidentikkan oleh

Kesuma sebagai satu kesatuan walaupun mereka berasal dari wilayah kerajaan yang berbeda. Luwu yang disebut oleh Kesuma, dalam narasi sejarah lokal dinggap sebagai pusat kebudayaan Bugis kuno, tempat itu disebut dalam naskah

La Galigo.46 Kerajaan lain yang ada dalam narasi sejarah lokal tidak masuk dalam kerajaan Bugis tetapi disebut oleh Kesuma, yaitu kerajaan Gowa. Kerajaan ini dalam kategori kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk dalam kerajaan

Makassar.47 Dari narasi itu Kesuma menggabungkan kelompok yang berasal dari daerah wilayah Sulawesi menjadi satu kesatuan di daerah perantauan dengan pengertian Bugis yang satu .

Pada kutipan itu juga, Kesuma tidak lagi menggunakan kata kekuasaan secara langsung tetapi dia menggantinya dengan kata kedaulatan. Cara ini dalam

45 Kesuma, 2004, hal 103. 46 Lihat Fachruddin Ambo Enre, Ritumpana Welenrengnge:Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999. 47 Lihat Mattulada, Makassar dalam Sejarah 1510-1700. Bhakti Baru 1982.

98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pandangan White disebut peroses troping.48 Kesuma pada bagian itu memakai bentuk metafora dengan cara memakai kesamaan terhadap objek yang ditekankan, yaitu antara kekuasaan dan kedaulatan.

Kesuma tidaklah mempertahankan pengaruh kekuasaan orang-orang Bugis sepanjang narasinya. Dia juga menuliskan ketika kekuasaan orang Bugis mulai surut di walayah semenanjung Malaya. Menurut Kesuma, kekuasaan orang Bugis mulai merosot ketika Opu Daeng Cella digantikan oleh Daeng Kamboja menjadi

Yangtuan Muda Riau III pada tahun 1745. Pada tahun yang sama orang-orang

Bugis menyerang Belanda di Malaka, tetapi justru diserang balik dan mereka kalah. Kekalahan tersebut mengharuskan orang-orang Bugis menjual timahnya kepada pihak Belanda, serta membuat perjanjian bahwa tidak akan memusuhi

Sultan Sulaiman di Johor yang saat itu sudah mengadakan perjanjian dengan

Belanda.49

Di balik narasi Kesuma yang menunjukkan merosotnya kekuasaan orang- orang Bugis, tetapi di sisi lain tetap menyebut sisa-sisa kekuasaan orang-orang

Bugis sebagaimana dalam narasinya: “… inilah permulaan merosotnya kekuasaan orang-orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu dan sekitarnya, namun pengaruhnya tetap berkembang, serta tersebar ke mana-mana. Terutama ke

Sambas, Mempawah, dan Matan di Kalimantan Barat.”50

Pola narasi seperti itu tetap menunjukkan adanya pengaruh yang pernah dicapai dalam kekuasaan orang-orang Bugis. Kekuasaan tetap dimunculkan oleh

48 Lihat White, 1975, hal 29 dan Munslow, Alun, Deconstructing History, 1997, hal 154 dan 156. Tropig dapat diartikan sebagai proses menandai jenis hubungan/menghubungkan sebuah peristiwa. 49 Kesuma, 2004, hal 124. 50 Kesuma, 2004, hal 125.

99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kesuma ketika menarasikan kekalahan orang-orang Bugis. Bagian narasi seperti itu dapat diperhatikan seperti ini:

Kejayaan orang-orang Bugis di semenanjung Tanah Melayu berangsur tamat. Justru ketika Belanda menyerahkan Malaka kepada Inggris, berbarengan dengan ditandatanganinya Tarktat Inggris-Balanda (Anglo-Dutch Treaty) tahun 1824, maka berakhirlah kekuasaan orang-orang Bugis di Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi sungguhpun demikian “Dinasti Opu Daeng Rilakka” masih berlangsung sampai dewasa ini. dan tidak dapat dipungkiri Yang Dipertuang Agung Persekutuan Malaysia, kini (1988) dipangku oleh Sultan Ismail-yang sedang menjadi Sultan Johor- keturunan ke-7 dari Opu Daeng Parani.51 Melekatnya narasi Kesuma yang membahas perantau Bugis di Johor dengan kekuasaan dapat dijelaskan dengan menghubungkan antara penelusuran Kesuma terhadap peran Opu Daeng Rilakka bersama dengan lima putranya yang menetap di wilayah Melayu dengan pola kepemimpinan di masyarakat Bugis pada masa lalu. Bagi masyarakat Bugis pemimpin harus berasal dari keturunan bangsawan.

Narasi Kesuma melegitimasi narasi tentang pemimpin harus berasal dari kalangan bangsawan. Dia berhasil menemukan legitimasi bahwa Opu Daeang Rilakka berasal dari keturunan bangsawan kerajaan Luwu.

Dengan demikian posisi Kesuma dalam menarasikan kekuasaan orang

Bugis di Johor dapat diartikan bahwa kekuasaan selalu melekat pada diri orang

Bugis dengan berbagai bentuk. Kesuma melihat kekuasaan orang Bugis di Johor berkelanjutan dengan menarik garis lurus pada adanya keturunan orang Bugis yang memegang jabatan di pemerintahan.

C.2. Narasi Suwitha tentang Bugis dan Perdagangan di Bali

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana narasi sejarah yang dibuat oleh

Suwitha mengidentifikasi orang Bugis di Bali. Pada bab III sudah dijelaskan

51 Kesuma, 2004, hal 127.

100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tentang representasi yang hadir pada narasi sejarah yang ditulis oleh Suwitha. Dari narasi tersebut, Suwitha banyak membahas soal perdagangan yang dilakukan oleh orang Bugis di wilayah Bali. Mereka membawa barang masuk ke Bali maupun sebaliknya.52 Bagi orang Bugis di Bali identifikasi sebagai pedagang menjadi identitas yang tersemat pada kelompok mereka. Setidaknya itu yang terbentuk dalam narasi sejarah Suwitha.

Suwitha mengidentifikasi orang-orang Bugis sebagai pedagang disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, orang Bugis memiliki akses ke dunia luar. Kedua, orang Bugis memiliki akses terhadap produk yang diperdagangkan. Terakhir, orang Bugis memiliki kedekatan dengan penguasa setempat. Ketiga hal inilah yang akan dibahas untuk melihat bagaimana Suwitha menghadirkan orang Bugis sebagai pedagang dalam narasi sejarahnya.

Identifikasi Suwitha melalui narasinya menunjukkan bahwa orang-orang

Bugis lekat dengan perdagangan di Bali pada abad ke-19 karena memiliki akses terhadap dunia luar. Kepemilikan itu dapat dilihat ketika Suwita menuliskan tentang perkampungan orang-orang Bugis di Bali sebagian besar berada di sekitar pelabuhan atau pesisir.53 Perkampungan itu diantaranya berada di pantai Lingga, di pelabuhan Buleleng, pelabuhan Celakung bawang dan pelabuhan Sangsit. Cara

Switha menarasikan dinamika perkembangan perkampungan orang Bugis di Bali terlihat dinarasinya berukut ini:

Setelah pertengahan abad ke-19, perkampungan orang-orang Bugis di Buleleng mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini karena pusat perdagangan di Bali berpindah dari pelabuhan Kuta di Bali selatan ke pelabuhan Buleleng. Dalam staatsblad

52 Lihat tesis ini hal 63. 53 Lihat tesis ini hal 62.

101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tahun 1882 disebutkan ada tiga buah perkampungan orang-orang asing di pantau sekitar Pabean yang masing-masing dikepalai oleh orang-orang Bugis yang bertitel puadua.54

Cara Suwitha membuat narasi seperti di atas dengan cara menyebut langsung sumber yang digunakan dalam narasi ingin menunjukkan bahwa dirinya sebagai sejarawan berada diluar narasi itu. Sumber, dalam hal ini staatblad, dibiarkan bercerita apa adanya sehingga terlihat tanpa ada intervensi dari sejarawan. Cara seperti ini dilakukan untuk mendukung objketivitas dalam penulisan sejarah.

Suwitha menekankan bahwa letak perkampungan yang berada di wilayah pelabuhan dengan kekuasaan yang dikuasai sendiri oleh kelompok orang orang

Bugis merupakan jaminan untuk mengakses dunia luar. Menurut Suwitha puaduq atau puaadu merupakan pemuka bagi masyarakat Bugis yang dipilih oleh anggotanya dan raja hanya mengesahkan. Tugas dari puaduq menangani urusan- urusan politik, pemerintahan, administrasi, peradilan dalam lingkungannya.55

Menurut Suwitha faktor lain yang memudahkan orang Bugis memiliki akses terhadap dunia luar adalah karena mereka memiki perahu dan kemampuan pelayaran. Kemampuan itu pula membuat orang-orang Bugis tiba di wilayah Bali.

Pelayaran, dalam narasi Suwitha, merupakan faktor penentu bagi keberlangsungan kehidupan orang Bugis di Bali. Suwitha menunjukkan kemampuan pelayaran yang dimiliki oleh orang-orang Bugis merujuk pada rumusan peraturan perdagangan dan pelayaran yang dibuat oleh Amanna Gappa tahun 1667.56

Hukum pelayaran Amanna Gappa yang digunakan oleh Suwitha berasal dari buku

54 Suwitha, 2013, hal 69. 55 Lihat Suwitha,2013, hal 69 dan catatan kaki 25. 56 Suwitha, 2013, hal 59.

102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang di tulis oleh L. Tobing yang mengkaji salinan lontara Amanna Gappa.57

Selain kemampuan pelayaran, orang Bugis juga dilengkapi dengan kepemilikan perahu. Suwitha menuliskan bahwa jenis perahu yang dimiliki oleh orang-orang

Bugis pada waktu itu adalah tipe phinisi dan lambo. Jenis kapal seperti itu semuanya terbuat dari kayu. Menurut Suwitha tidak ada bagian dari perahu itu yang terbuat dari besi. Layar yang digunakan terbuat dari batang kayu yang dibelah dengan tali temali dari rotan.58 Fasilitas pelayaran seperti itulah yang memungkinkan orang Bugis di Bali memiliki akses terhadap dunia luar.

Melekatnya orang-orang Bugis sebagai pedagang yang ditemukan dalam narasi Suwitha juga disebabkan karena orang Bugis memiliki akses terhadap berbagai komuditas perdagangan pada abad ke-19. Menurut Suwitha, bahkan budak sudah menjadi komuditas utama yang diperdagangan oleh orang Bugis ke luar Bali pada abad ke-17 hingga abad ke-19. Maraknya perdagangan budak di

Bali dan keterkaitannya dengan pedagang Bugis terdapat dalam dalam narasi

Suwitha seperti:

Sebelum masuknya pengaruh Belanda ke Bali, ekspor utama daerah Bali adalah Budak belian, disamping candu dan sedikit beras. Pada periode abad ke-17 hingga awal abad ke- 19 perdagangan budak memberikan keuntungan yang besar terutama bagi raja-raja. Jika panen padi mengalami kegagalan, volume perdagangan budak meningkat pula.59

… perdagangan budak mulai berkurang setelah tahun 1830, tetapi perdagangan dan pembelian disana-sini masih dilakukan oleh pedagang-pedagang Bugis. Tiap-tiap perahu Bugis yang berlayar biasanya membawa dua budak wanita dan dua budak laki-laki yang diajak berlayar ke sana ke mari untuk diperdagangkan dan biasanya laku di Singapura.60 Suwitha juga menuliskan bahwa selain budak, komoditas lain yang dibawa dari

Bali keluar oleh orang-orang Bugis terdiri dari minyak kelapa, gula, ikan asin,

57 Lihat L .Tobinng, 1977. 58 Suwitha, 2013, hal 86. 59 Suwitha, 2013, hal 82. 60 Suwitha, 2013, hal 83.

103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dendeng, telur asin, garam, lembu, babi, itik, sarang burung, kain kasar, benang dari kapas, gambir, asam, pinang, malam dan kayu-kayuan. Sementara komoditas yang dibawa masuk ke Bali terdiri dari emas, benang emas, perak tembikar gading, belerang, besi, kain sutera dan juga candu.61

Pembahasan Suwitha tentang perdagangan budak dalam narasinya menggunakan sumber yang ditulis oleh Lauts yang berjudul Het Eiland Bali en

Balienezen, Lekkerkerker berjudul het Voorspel der Vestiging van de nederlandsch macht op bali en Lombok dan A.A. Gde Putra Agung dengan judul

“Masalah Perdagangan Budak di Bali abad ke-17-19.” Sementara jenis komoditas lainnya, Suwitha merujuk tulisan Eysinga dengan judul De Volken van

Nederlandsch Indie.62

Narasi Suwitha menunjukkan bahwa orang Bugis yang ada di Bali mengalami keberhasilan kerena keuletannya dalam berusaha yang ditunjang dengan berbagai kemudahan dalam berdagang yang di dapat dari penguasa Bali.

Suwitha menarasikan tentang salah satu cara orang Bugis membangun kedekatan kepada penguasa setempat adalah dengan cara memberi hadiah. Dengan kedekatan seperti itu orang Bugis bisa memasukkan jenis barang dagangan apapun ke wilayah Bali seperti candu dan senjata yang waktu itu menjadi barang yang dilarang oleh Belanda63. Senjata menjadi penting bagi kerajaan yang ada di

Bali untuk memperkuat militer mereka. Suwitha mencontohkan kerajaan

Karangasem yang mendapat suplai dari pedagang-pedagang Bugis yang dimasukkan dari melalui pelabuhan Padangbai di tenggara Bali.

61 Suwitha, 2013, hal 82. 62 Suwitha, 2013, hal 82-83. 63 Suwitha, 2013, hal 87.

104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kedekatan dengan penguasa setempat juga dapat dilihat ketika Suwitha menarasikan tentang pengangkatan syahbandar di beberapa pelabuhan di Bali.

Sepanjang abad ke-19 Suwitha mencatat bahwa ada tiga orang Bugis yang menjabat sebagai syahbandar yaitu Pattimi syahbandar Loloan dengan pangkat kapiten dari raja Badung. Puak Matuwa syahbandar di Serangan dan Syahbandar di Tanjung yang Suwitha tidak sebut namanya. Kedudukan syahbandar cukup penting dalam dunia perdagangan, sekaligus orang yang diangkat sebagai syahbandar adalah orang yang memiliki pengaruh di pelabuhan. Menurut Suwitha di Bali yang menjadi syahbandar biasanya adalah orang asing yang mempunyai pengetahuan dalam bidang perdagangan di luar negeri. Umumnya syahbandar adalah saudagar yang paling berwibawa. Syahbandar yang diangkat berasal dari saudagar berarti kepentingan pedagang-pedagang Bugis terpenuhi oleh pejabat pelabuhan karena berasal dari kalangannya sendiri.64

Suwitha juga mengungkapkan bahwa cara orang Bugis dekat penguasa di

Bali adalah dengan jalan ikut terlibat dalam perebutan kekuasaan. Bahkan

Suwitha menuliskan dalam narasinya bahwa sebelum orang-orang Bugis masuk ke Bali, mereka sudah membantu Panji Sakti dalam penyerangan Blambangan pada tahun 1679. Kemudian pada tahun 1767 orang-orang Bugis ikut membantu kerajaan Mangwi mempertahankan Blambangan dari serangan VOC karena markas mereka berada di wilayah kerajaan Mangwi.65 Bantuan orang Bugis terhadap penguasa di Bali juga dapat terlihat dalam narasi Suwitha sebagai berikut:

64 Suwitha, 2013, hal 94. 65 Suwitha, 2013, hal 98.

105 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam serangan Buleleng yang kedua terhadap Jembrana pada tahun 1818, Raja Jembrana I Gusti Putu Sloka diungsikan oleh orang-orang Bugis ke Bayuwangi. Selanjutnya patih Jembrana igusti Ngurah Gde debgab inti pasukan orang-orang Bugis mengadakan perlawanan sehingga Raja Buleleng I Gusti Gde Karangasem yang langsung memimpin penyerangan tersebut terbunuh dekat loloan pada tahun 1818. (Broek,1838:173).66

Penggalan narasi Suwitha tersebut menunjukkan bahwa data yang dipakai berasal dari Broek dengan tulisan “verslag nopens het eiland Bali” dalam De Oosterling

Tijdshrift van Oost Indie II. Dari narasi itu juga unsur subjektif Suwitha tidak muncul dalam narasinya. Inilah yang disebut sejarawan menyatu dengan narasinya sehingga terlihat objektif.

C.3. Bugis Sebagai Nelayan di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara.

Pada bagian ini dijelaskan bagaimana sejarawan Said dan Prabowo mengidentifikasi orang-orang Bugis di Kamal Muara Pesisir Pantai Jakarta Utara.

Dalam narasinya Said dan Prabowo melekatkan orang-orang Bugis sebagai nelayan. Oleh Said dan Prabowo, orang Bugis diidentikkan dengan orang yang memiliki aktivitas penangkap ikan maupun pengolah hasi-hasil laut. Alasannya adalah orang-orang Bugis di wilayah Kamal Muara lebih menekankan sejarah orang-orang Bugis yang menempati wilayah tersebut.

Said dan Prabowo mengidentifkasi orang-orang Bugis yang datang di wilayah Kamal Muara merupakan kelompok yang memiliki pekerjaan sebagai penangkap ikan. Mereka memperkenalkan cara menangkap ikan yang berbeda dengan masyarakat setempat, tentu dengan hasil yang lebih banyak. Berikut salah satu bagian dari narasi Said dan Prabowo ketika menggambarkan cara orang

Bugis menangkap ikan:

66 Suwitha, 2013, hal 98.

106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Awalnya, Haji Latif, asal tanah Bugis, menetap di komunitas itu pada tahun 1960-an dan membawa metode baru dalam penangkapan ikan dari Sulawesi Selatan. Dengan perahu dan “bagan”-sebuah perangkap ikan- dia dapat menangkap ikan lebih banyak. Bagan adalah perangkap ikan dari bambu yang mereka buat dari bentuk dalam bentuk tenda menjulang di laut. Jaring ikan dimasukkan lebih dalam ke sepanjang malam kemudian ditarik di pagi hari dengan ikan hasil penjaringannya. Ikan awalnya hanya untuk konsumsi sendiri. Namun, hasil tangkapan itu berlimpah mendorong Haji Latif membuat pasar ikan yang memberikan keuntungan berlipat ganda.67 Dalam narasi di atas Said dan Prabowo secara langsung menyebut nama informannya, tetapi apa yang menjadi pernyataan dari informan tetap dibahasakan oleh sejarawan. Cara penarasian seperti ini merupakan bentuk ketika yang disampaikan oleh informan menyatu dengan ujaran Said dan Prabowo.

Sebelum Said dan Prabowo menyebut aktivitas orang-orang Bugis secara spesifik di bagian narasi itu, mereka terlebih dahulu menggambarkan orang-orang

Bugis yang lekat dengan laut pada masa lalu. Pelaut menjadi semacam identitas yang dilekatkan oleh Said dan Prabowo pada orang-orang Bugis dalam pengantar narasinya. Setelah itu, narasi beranjak ke pembahasan mengenai keadaan wilayah

Kamal Muara sebagai wilayah yang sesuai dengan kehidupan orang-orang Bugis karena berada di garis pantai. Aktivitas di wilayah itu membuat orang-orang

Bugis terhubung dengan kelompok masyarakat lainnya. Menyatunya antara pendapat informan dengan pendapat Said dan Prabowo dalam model narasi seperti ini, terkait dengan ketika menggambarkan keadaan wilayah tersebut, mereka berdua banyak mengandalkan data yang diambil dari pengamatan ketika melakukan observasi maupun wawancara.

Menurut Said dan Prabowo, orang-orang Bugis tidaklah meninggalkan aktivitasnya di laut ketika hasil tangkapan ikan semakin berkurang. Mereka justru memanfaatkan hasil laut lainnya yang muncul karena laut sudah mulai tercemar

67 Said dan prabowo, dalam Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 117

107 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

akibat perkembangan industri yang semakin banyak, sejak munculnya banyak pencemaran pada tahun 1980-an. Hasil laut yang mereka manfaatkan adalah remis hijau yang awalnya secara tidak sengaja tersangkut dengan galah bambu mereka di bagan.68

Narasi Said dan Prabowo dapat dilihat ketika menggambarkan orang-orang

Bugis memanfaatkan hasil laut berupa remis hijau sebagai berikut:

Di kampung Halaman mereka. Orang-orang Bugis tidak mengolah remis hijau. Mereka tidak menduga dapat menemukan metode mengolah remis hijau. Awalnya, mereka menemukan beberapa remis hijau yang menyentuh galah bambu bagan mereka. Akhirnya, mereka mempunyai ide mengembangkan remis hijau sebagai komoditi baru. mereka kemudian mengembangkan suatu metode dengan menggunakan galah bambu di laut dan meliliti galah itu, sehingga remis hijau itu dapat tersentuh. Tali ini biasanya disebut “tali putih”. pada dasarnya mereka harus menunggu selama lima atau enam bulan untuk memanen remis hijau. Setelah panen mereka mempertahankan bambu dan tali itu untuk tujuan yang sama.69 Penggalan narasi dari Said dan Prabowo itu menunjukkan bahwa dimata mereka orang-orang Bugis yang ada di Kamal Muara tetap menunjukkan dirinya sebagai nelayan. Dalam proses pengembangan pengolahan remis hijau tersebut menurut

Said dan Prabowo tidak hanya orang-orang Bugis yang terlibat, tetapi sudah melibatkan kelompok masyarakat lain, termasuk keterlibatan keturunan orang tionghoa dalam permodalan. Kelompok ini tidak terlibat langsung dalam kegiatan produksi, karena tempat tinggal mereka tidak di Kamal Muara tetapi di kelurahan

Dadap, Tangerang dan kelurahan Tegal Alur.

Dari penjelasan yang diberikan, tampak bahwa Said dan Prabowo menempatkan orang Bugis yang lekat dengan nelayan, maka posisi mereka dalam penarasian menempatkan orang Bugis sebagai masyarakat bahari. Posisi seperti itu membuat narasi mereka menguatkan penjelasan tentang orang Bugis yang

68 Said dan prabowo, Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 119. 69 Said dan prabowo, Bakti, Andi Faisal, 2010, hal 119.

108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lekat dengan dunia bahari, sebagaimana yang dilakukan oleh Kesuma dan

Suwitha.

C.4. Narasi Badrus Sholeh tentang Bugis dan Citra Islam di Ambon

Badrus Sholeh melalui narasinya telah menujukkan bahwa orang-orang

Bugis di Ambon lekat dengan Islam.70 Bagian ini akan menelusuri narasi yang dibuat oleh Sholeh dalam mengidentifikasi orang-orang Bugis di Ambon yang lekat dengan keislaman. Sholeh menulis tentang “Peranan Bugis Pendatang dalam

Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia: Kasus Sejarah Ambon.” Melalui tulisan itu, Sholeh mengidentikkan orang-orang Bugis di Ambon dengan Islam karena didukung oleh kegiatan perdagangan yang dijalankannya.

Sebelum membahas cara Sholeh menghubungkan perdagangan dengan keislaman yang ada di Ambon, penting untuk melihat siapa orang-orang Bugis yang dimaksud. Kata Bugis yang dipakai dalam tulisannya banyak disandingkan dengan kata Makassar walaupun tidak secara konsisten. Seperti misalnya: “salah satu kelompok pendatang yang peranannnya sangat penting di Maluku adalah masyarakat Bugis-Makassar yang menghuni wilayah ini sebelum kedatangan kolonialisme Eropa”.71 Pada bagian lain Sholeh menuliskan “…pengaruh peranan pendatang Bugis bukan hanya pada islamisasi namun juga perubahan politik lokal menjadi dipertanyakan.”72 Rupanya Bugis dan Makassar disatukan oleh Sholeh dalam narasinya. Penegasan istilah Bugis yang dimaksud bahkan lebih khusus dengan menghubungkan dengan Islam seperti: “Istilah Bugis dalam tulisan ini

70 Lihat tesis ini hal 70. 71 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 180. 72 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181.

109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditujukan pada orang-orang Islam pendatang dari Sulawesi Selatan, dengan perbedaan budaya satu sama lain….”73 Di sini menunjukkan bahwa sejak awal

Sholeh sudah membangun pengertian tentang orang-orang Bugis yang selalu

Islam.

Menurut Sholeh melekatnya orang-orang Bugis dengan Islam tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam di kepulauan Maluku, dengan perdagangan orang- orang Bugis mencapai wilayah itu. Islamisasi terjadi di wilayah Maluku sejak sebelum periode Kolonial. Ketika menunjukkan aktivitas perdagangan pada masa

Kolonial, Soleh tidak menyebut Bugis tapi menyebut kerajaan Makassar seperti:

“Proses Islamisasi dimulai pada periode pra-kolonial, ketika perdagangan tembakau menjadi terkenal di wilayah Maluku. Kerajaan Islam Makassar dan

Jawa melakukan ekspansi ke Maluku untuk bersaing dengan pedagang-pedagang

China dan Eropa.74 Rupanya Kerajaan Islam Makassar yang disebutnya mewakili orang-orang Bugis yang datang ke Maluku untuk berdagang. Aktivitas pedagangan orang-orang Bugis di wilayah itu setidaknya sudah ramai sejak abad ke-16. Pada narasi Sholeh dituliskan:

“Sejak abad XVI , masyarakat Bugis-Makassar telah menjadi pedagang dan migran yang penting di kepulauan-kepulauan tetangga Maluku, Papua dan pulau lainnya. Mereka memegang peranan penting dalam melakukan perlawanan pada periode kolonial dan untuk mempertahankan Islam di kepulauan Ternate dan Ambon ”75

Sholeh dalam narasinya menarik perdagangan orang-orang Bugis jauh kebelakang hingga abad ke-16. Diterimanya orang-orang Bugis di kepulauan Maluku juga

73 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181. 74 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181. 75 Sholeh, dalam Bakti, Andi Faisal 2010, hal 181.

110 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tidak lepas dari adanya kaitan antara kerajaan Ternate dengan kerajaan Makassar pada abad itu.

Untuk melihat lebih jauh narasi sholeh tentang keterlibatan perdagangan orang-orang Bugis di Ambon dan tentang kedatangan orang Bugis pada masa

Orde Baru, silahkan menyimak kutipan berikut ini:

…Masyarakat Bugis biasanya hidup di daerah pusat prekonomian dan budaya, di daerah perkotaan, pasar dan pantai. Di Kota Ambon, pedagang Bugis mendominasi pasar-pasar kecil dan tradisional dan prekonomian kelas menengah setelah dominasi kelas sebagai pemegang bisnis. Dengan semangat sompe atau merantau, orang Bugis menjelmakan budaya kerja keras dan kegigihan terhadap tantangan dan kesulitan yang dihadapi.76

Menurut Sholeh, penguasaan orang-orang Bugis terhadap perdagangan ditopang oleh semangat kerja keras yang mereka miliki. Mengakarnya pengaruh perdagangan itu juga tidak terlepas dari periode sebelumnya. Pada masa sebelum kemerdekaan, orang-orang Bugis bersama Jepang terlibat dalam melawan kolonial

Eropa. Hal yang sama terjadi pada masa pemerintahan Soekarno pada tahun 1950, orang-orang Bugis terlibat meredam gejolak kelompok separatis Republik Maluku

Selatan (RMS).77 Keterlibatan seperti itulah membuat posisi orang-orang Bugis dengan pemerintah semakin kuat yang kemudian memberi akses terhadap kepentingan perdagangan mereka.

Narasi Sholeh tidak selalu menempatkan posisi orang-orang Bugis di

Ambon berada dalam jalur keberhasilan, mereka pernah mengalami kemerosotan ketika terjadi konflik pada tahun 1999. Konflik tersebut terjadi kerena adanya kesenjangan antara pendatang dengan penduduk setempat. Sholeh mengkategorikan orang-orang Bugis ke dalam pendatang bersama orang Buton

76 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 185. 77 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 184.

111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan Makassar atau BBM. Melalui kategori tersebut juga muncul perbedaan identitas antara Islam dan Kristen. Orang-orang Bugis dilekatkan sebagai Islam.78

Akhirnya Sholeh menutup narasinya dengan menunjukkan bahwa orang- orang Bugis yang identik dengan Islam menguasai perdagangan di pasar tradisional dan mereka mengalami perubahan setelah konflik pada tahun 1999.79

Mereka semakin mendapat saingan dari kelompok masyarakat setempat. Dari cara menutup narasinya seperti itu, dapat dilihat bahwa Sholeh tetap mengidentifikasi orang-orang Bugis dengan menyamakan dengan Islam.

D. Aktor sejarah dan sejarawannya dalam narasi sejarah

Di bagian bab III bagian C telah dibahas bagaimana sejarawan menghadirkan individu dalam setiap narasi. Bagian itu membahas peran dari kelompok bangsawan dalam setiap peristiwa yang dihadirkan oleh sejarawan.80

Dalam pembahasan itu bangsawan terlihat memiliki peran yang cukup penting dalam narasi terutama yang dihadirkan oleh Kesuma. Bagian ini akan membahas aktor sejarah dan tindakannya yang dihadirkan oleh setiap sejarawan dalam narasinya.

Dalam narasi Kesuma, Opu Daeng Rilakka menjadi tokoh penting bagi keberadaan orang-orang Bugis di Tanah Melayu. Dia bersama kelima putranya yang bernama Opu Daeng Parani, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Marewa,

Opu Daeng Cella’, dan Opu Daeng Kamase, menjadi aktor utama. Kesuma menghadirkan mereka dalam narasinya karena memiliki peran dalam keberadaan

78 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 185. 79 Sholeh, Bakti, Andi Faisal 2010, hal 189. 80 Lihat bab III bagian D.

112 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang-orang Bugis di Tanah Melayu. Seperti disebutkan sebelumnya, menurut

Kesuma mereka berasal dari kalangan bangsawan.81 Cara Kesuma membangun argumentasinya untuk menunjukkan bahwa Opu Daeng Rilakka merupakan bangsawan adalah dengan menelusuri silsilahnya. Kesuma menggunakan silsilah di tanah rantau dan silsilah yang berasal dari kerajaan-kerajaan di Sulawesi

Selatan. Selain legitimasi kebangsawanan yang dihadirkan oleh Kesuma, juga penting untuk melihat peran yang dihadirkan oleh Kesuma atas kelima putra Opu

Daeng Rilakka.

Kesuma menuliskan bahwa Opu Daeng Marewa memerintah di Riau dengan gelar Yamtuan Muda Riau I. Wilayah Riau merupakan pemberian dari Sultan

Sulaiman, setelah orang-orang Bugis membantu Kerajaan Johor dari serangan pasukan Raja Kecil dari Siak. Sementara Opu Daeng Calla’ dan Opu Daeng

Parani dirangkul masuk kedalam kekuasaan Johor dengan cara mengawinkan dengan putri-putri bendahara Abdul Jalil IV yang merupakan saudara dari Sultan

Sulaiman. Opu Daeng Calla’ melanjutkan kekuasaan Opu Daeng Marewa dengan gelaran Yamtuan Muda Riau II.82 Berbeda dengan saudaranya yang lain Opu

Daeng Manambung dan Opu Daeng Kamase tidak disinggung lagi oleh Kesuma dalam narasinya.

Rupanya Kesuma menghadirkan pelaku sejarah dalam narasinya ketika orang itu dianggap penting dan memiliki keterkaitan dengan kekuasaaan. Hal itu terlihat kembali ketika Kesuma menuliskan peran putra dari Opu Daeng Parani yang bernama Opu Daeng Kamboja ketika diangkat menjadi Yamtuan Muda Riau

81 Lihat bab III D. 82 Kesuma, 2004, hal 119.

113 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

III menggantikan Opu Daeng Marewa pada tahun 1745.83 Kesuma juga menuliskan pengganti dari Opu Daeng Kamboja yang bernama Raja Haji dengan gelaran Yamtuan Muda Riau IV.84

Cara Kesuma menghadirkan aktor sejarah dalam narasinya yang menekankan pada peran kelompok bangsawan. Kelompok yang dianggap memiliki kemampuan memimpin dalam masyarakat Bugis. Cara Kesuma mengatur bukti untuk melegitimasi kelompok bangsawan sebagai pemimpin dengan cara silsilah Opu Daeng Rilakka dihubungkan dengan kelompok bangsawan yang ada di wilayah asal orang Bugis. Cara penarasian seperti ini menurut White merupakan bentuk ketika kepentingan politik sejarawan bekerja.85

Kepentingan politik Kesuma dalam hal ini adalah bahwa kekuasaan harus berada ditangan bangsawan. Kesuma sebagai orang yang berasal dari keluarga bangsawan memiliki kepentingan untuk melegitimasi pernyataan tentang pemimpin berasal dari kelompok bangsawan. Posisi Kesuma jelas berada dalam membela kelompok bangsawan yang memiliki legitimasi kekuasaan bagi orang

Bugis di daerah perantauan.

Sementara Suwitha ketika menarasikan keberadaan orang-orang Bugis di

Bali hanya menyebut beberapa nama sebagai aktor sejarah. Suwitha menyebut nama Pattimi yang menjabat sebagai syahbandar Loloan dan Puak Matuwa sebagai syahbandar di Serangan.86 Akan tetapi apa yang dikerjakan oleh Pattimi

83 Kesuma, 2004, hal 124. 84 Kesuma, 2004, hal 125. 85 Munslow Alun, 1997, 147. 86 Suwitha, 2013, hal 95.

114 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan Puak Matuwa tidak dijelaskan lebih detail, Suwitha hanya menyebut peran syhabandar secara umum.

Suwitha menjelaskan peran syahbandar dengan menganggap mewakili tugas syahbandar yang dijabat oleh orang Bugis. Selain tidak membahas secara khusus apa yang dilakukan oleh Pattimi dan Puak Matuwa selama menjadi syahbandar kedua orang ini Suwitha juga tidak menelusuri asal usulnya.

Suwitha juga tidak menyebut secara khusus nama tokoh terdapat di bagian lain dari narasinya. Misalnya, ketika menjelaskan peran militer orang-orang Bugis dalam kerajaan-kerajaan di Bali, Suwitha tidak menyebut nama tokoh Bugis satu pun. Suwitha hanya menyebut orang-orang Bugis tanpa menyebut nama salah satu diantara mereka. Hal berbeda terlihat keitka Suwitha dengan detail menulis nama setiap penguasa Bali di masa itu. Perbedaan itu dapat dijelaskan dengan melihat sumber yang digunakan oleh Suwitha yang merujuk pada prasasti puri gede

Jembrana,87 perasasti yang dibuat oleh penguasa Bali.

Cara penarasian Suwitha yang tidak banyak menunjukkan peran individu orang Bugis dalam narasinya, membuat posisi Suwitha terlihat lebih berpihak ke masyarakat Bali. Posisi itu dapat dijelaskan dengan melihat asal dari Suwitha yang berasal dari masyarakat Bali sendiri. Dalam penggunaan sumber Suwitha terlihat memiliki akses lebih luas terhadapat sumber-sumber yang berasal dari

Bali dibandingkan yang berasal dari masyarkat Bugis sendiri. Kesulitan itulah yang dialami oleh Suwitha untuk menelusuri asal-usul orang Bugis yang ada di

87 Suwitha, 2013, hal 98.

115 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bali. Dari keseluruhan narasinya sepertinya usaha untuk kesana tidak ada, dia hanya berhenti pada pengidentifikasian sebagai orang Bugis.

Dalam narasi Said dan Prabowo aktor sejarah tidak memiliki cukup ruang, dia hanya menyebut satu tokoh yang bernama Haji Latif. Said dan Prabowo menghadirkan dalam narasinya karena mengangap generasi pertama yang datang di daerah Kamal Muara. Penamaan aktor sejarah oleh Said dan Prabowo menggunakan bentuk yang lebih umum dengan penyebutan orang Bugis.

Sementara dalam narasi Sholeh aktor sejarah lebih sering menggunakan kata orang Bugis. Dia hanya menyebut satu individu sepanjang narasi sejarahnya.

Sholeh hanya menyebut satu tokoh yaitu Syaikh Yusuf Al-Makassary. Tokoh tersebut dianggap mejadi contoh orang Bugis yang merantau dan terkenal diperantauan. Tokoh dalam peristiwa yang dinarasikan oleh sholeh bahkan tidak dimunculkan. Sepertinya Sholeh yang membahas konflik di Ambon merupakan isu yang sensitif menjadi alasan bagi Sholeh sehingga tidak menyebut banyak aktor sejarah dalam narasinya.

E. Rangkuman

Sejarawan dalam narasi sejarah perantau Bugis berada pada posisi yang berbeda dalam penarasiannya. Posisi yang berbeda itu ternyata memiliki satu alur narasi yang sama, mereka membangun alurnya mengikuti proses perjalanan perantauan. Semua sejarawan memiliki kesamaan alasan tentang keadaan tanah kelahiran yang tidak menentu karena perang, tetapi dengan penarasian yang berbeda. Semua narasi mengacu pada Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-

17. Penggambaran mereka berbeda ketika menarasikan keadaan orang Bugis di

116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tanah rantau. Kesuma menarasikan orang Bugis di Johor identik dengan kekuasaan. Suwitha menarsikan orang Bugis di Bali lekat dengan perdagangan.

Said dan Prabowo menarasikan orang Bugis di Kamal Muara sebagai nelayan.

Sholeh menarasikan orang Bugis di Ambon identik dengan Islam.

Kesuma dalam narasinya cenderung melegitimasi keberadaan orang Bugis di Johor yang lekat dengan kekuasaan. Caranya dengan menghadirkan beberapa silsilah kerajaan Bugis sebagai legitimasi kebangsawanan terhadap tokoh sejarah yang dihadirkan dalam narasinya. Posisi seperti itu tidak ditemukan dalam tiga narasi lainnya.

117 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V PENUTUP

Berbagai penilaian tentang perantau Bugis muncul dari setiap tempat yang menjadi tujuan perantauan, maupun yang muncul di tanah kelahirannya. Hal ini tidak lepas dari narasi sejarah yang membentuknya. Melalui narasi sejarah kita menelusuri persebaran orang-orang Bugis di berbagai tempat. Tesis ini memaparkan narasi sejarah tentang perantau Bugis. Ada dua pertanyaan yang berusaha dijawab melalui tesis ini, yaitu (1) Bagaimana perantau Bugis direpresentasikan dalam narasi sejarah? (2) Bagaimana posisi sejarawan dalam proses penarasian sejarah perantau Bugis?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut tesis ini menggunakan metode penelitian narasi sejarah yang dikembangkan oleh Hayden White, sebagaimana yang dijelaskan pada kerangka teori. Ada empat teks sejarah yang dianalisa pada penelitian yakni, pertama, buku yang berjudul Migrasi Dan Orang Bugis, yang ditulis oleh Andi Ima Kesuma. Kedua, buku yang berjudul Perahu Pinisi di

Pesisir Dewata: Migrasi dan Peranan Masyarakat Bugis di Bali sekitar Abad XIX yang ditulis oleh I Putu Gede Suwitha. Ketiga, teks yang berjudul “Akulturasi

Orang Bugis dan Orang Betawi di Kamal Muara, Pesisir Pantai Jakarta Utara”, tulisan ini ditulis oleh Mashadi Said dan Hendro Prabowo. Keempat, teks dengan judul “Peranan Bugis Pendatang dalam Proses Islamisasi Bagian Timur Indonesia:

Kasus Konteks Sejarah Ambon” yang ditulis oleh Badrus Sholeh.

Tulisan-tulisan sejarah tersebut di atas merupakan tulisan-tulisan sejarah ilmiah yang lahir dari tangan akademisi. Teks sejarah seperti itu lahir tidak lepas dari perkembangan historiografi Bugis. Sebagaimana yang kita lihat di bab

118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebelumnya, penulisan lontaraq yang berkembang di kerajaan-kerajaan Bugis merupakan bentuk historiografi paling tua yang dimiliki masyarakat Bugis.

Naskah seperti itu mencatat berbagai kejadian di sekitar istana yang dalam perkembangannya menjadi sumber utama dalam penulisan sejarah Bugis. Catatan perjalanan orang Eropa dan tulisan bekas pegawai pemerintahan hindia Belanda ikut mewarnai perkembangan historiografi Bugis. Dikenalnya penulisan sejarah ilmiah sebagaimana dari empat empat karya yang dibahas oleh akademisi merupakan bentuk terakhir dari historiografi masyarakat Bugis. Pola penulisan sejarah seperti itu juga terjadi dalam penulisan sejarah perantau Bugis. Bugis yang dimaksud yang terkhir ini merupakan kelompok orang Bugis yang hidup di luar daerah asalnya.

Bentuk representasi perantau Bugis yang dihadirkan para sejarawan dari narasi di atas, mengikuti pola perjalanan orang Bugis dari kampung halamannya menuju tanah rantau. Dimulai sejak masih berada di tanah kelahiran hingga berada di tanah rantau. Reprensentasi pertama berupa realitas keadaan tanah kelahiran yang tidak menentu. Kondisi itu menjadi alasan yang diungkapkan oleh setiap sejarawan dalam narasinya, ketika menjelaskan orang-orang Bugis yang meninggalkan tanah kelahirannya. Menurut narasi-narasi sejarah yang dibahas dalam tesis ini, ada dua penyebab mengapa tanah kelahiran orang Bugis menjadi kacau. Pertama, disebabkan karena perang. Kedua, berkaitan dengan tradisi harga diri masyarakat yang sering kali harus berbenturan dengan penguasa setempat.

Terkait dengan perang di atas, perang yang dimaksud oleh sejarawan yang dibahas adalah alasan Perang Makassar yang terjadi pada abad ke-17.

119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Representasi kedua yang disampaikan oleh sejarawan diatas berupa spirit bahari yang dimiliki oleh orang Bugis, menjadi legitimasi perantauan menurut sejarawan. Spirit bahari tersebut lahir dari cerita rakyat yang mereka miliki. Tidak hanya itu, kemampuan dan keterampilan pelayaran menjadi bagian kehidupan orang Bugis untuk mencapai tujuan, juga dihadirkan dalam narasi sejarah.

Representasi terakhir adalah kehidupan di tanah rantau. Ada empat wilayah tujuan perantau Bugis yang dibahas oleh setiap sejarawan berdasarkan narasi mereka, yaitu wilayah Johor, Bali, Kamal Muara pesisir pantai Jakarta utara dan

Ambon. Di empat tempat itu memiliki karakter yang berbeda.

Hal lain yang juga dibahas dalam tesis ini adalah melihat bagaimana sejarawan menghadirkan aktor sejarah pada narasi meraka. Dalam melihat kehadiran aktor sejarah dan sejarawannya, penelitian ini menggunakan konsep individu sebagaimana yang dibahas pada kerangka teori berdasarkan pemikiran

Hayden White. Setelah membahas aktor sejarah mengantarkan kita lebih jauh menelusuri posisi sejarawan dalam proses penarasiannya.

Kesuma dalam menarasikan perantau Bugis di Johor menulis bahwa sejak kedatangan orang Bugis di wilayah itu selalu terlibat dalam perebutan kekuasaan.

Opu Daeng Rilakka merupakan orang Bugis di Johor yang ditelusuri dalam narasi

Kesuma. Menurut Kesuma orang inilah bersama kelima putranya yang ikut terlibat dalam perebutan kekuasaan di Johor sehingga orang Bugis berada dalam pusaran kekuasaan Johor. Kekuasaan orang Bugis diwilayah itu merosot saat

Belanda melakukan serangan dan menguasai wilayah itu. Akan tetapi walaupun kekuasa orang Bugis akhirnya hilang di wilayah itu, Kesuma mengklaim

120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keturunan orang Bugis masih bagian dari kesultanan Johor hingga penelitiannya selesai.

Suwitha dalam menarasikan perantau Bugis di Bali menunjukkan bahwa orang Bugis di wilayah itu identik dengan perdagangan. Ada tiga alasan yang diungkapkan oleh Suwitha untuk menguatkan pejelasannya. Pertama, orang Bugis yang ada di Bali memiliki akses ke dunia luar karena memiliki perahu sebagai moda transportasi dan cenderung bermukim di pesisir pantai. Kedua, orang Bugis memiliki akses terhadap komoditas yang diperdagangan di wilayah itu. ketiga, orang Bugis memiliki kedekatan dengan penguasa setempat.

Sementara Said dan Prabowo menarasikan orang Bugis di Kamal Muara,

Pesisir Pantai Jakarta Utara yang lekat sebagai pelaut. Sejak kedatangannya, aktivitas orang-orang Bugis ditempat itu sebagai penangkap ikan. Wilayah itu awalnya hanya sebagai tempat persinggahan tetapi lama kelamaan dijadikan sebagai tempat bermukim. Dalam perkembangannya kemudian, Said dan

Prabowo melihat bahwa orang-orang Bugis akhirnya mampu mengolah berbagai hasil laut di wilayah itu.

Terakhir, Badrus Sholeh ketika menarasikan orang Bugis di Ambon selalu dilekatkan dengan Islam. Orang Bugis selalu disamakan dengan Islam yang datang dari Sulawesi. Orang Bugis di wilayah Ambon dan sekitarnya dapat berkembang karena didukung oleh kegiatan perdagangan yang mereka lakukan.

Setidaknya aktivitas orang-orang Bugis diwilayah itu sudah ada sejak abad ke 16.

Pilihan-pilihan narasi yang dihadirkan oleh setiap sejarawan di atas memberi penegasan terhadap pandangan Hayden White, yang mengatakan bahwa

121 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

setiap individu (dalam hal ini sejarawan) memiliki kebebasan untuk menentukan masa lalu yang dipilih. Pilihan-pilihan tersebut terlihat pada keempat narasi yang dibahas sebelumnya, salah satunya narasi Kesuma yang melekatkan perantau

Bugis dengan di Johor. Dengan menelusuri cara setiap sejarawan menghadirkan pilihan-pilihannya dalam narasi sejarah perantau Bugis, penelitian ini berusaha membangun sebuah keritik Historiografi. Kritik itulah yang mengantarkan penelitian ini untuk melihat posisi setiap sejarawan yang dibahas.

Melalui kesimpulan ini, penelitian ini berusaha mengantarkan kita supaya lebih bisa membuka ruang dan memberi jeda untuk melihat kembali berbagai macam historiografi yang ada. Hal itu penting supaya memberi jalan kepada kita untuk memikirkan ulang bentuk historiografi yang paling sesuai untuk setiap kelompok masyarakat Indonesia, termasuk historiografi nasional. Diharapkan penelitian ini memberi konstribusi nyata di tengah kerumitan persoalan historiografi yang kita miliki selama ini.

122 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal, 1983, Persepsi Orang Bugis, Makassar Tentang Hukum, Negara, Dan Dunia Luar, Bandung, Alumni

Abidin, Andi Zainal, 1985, Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Dari Sulawesi Selatan Dari Lontara, Bandung, Alumni.

Abidin, Aslan, 2008, “Merantau Sebagai Bentuk Perlawanan Suku Bugis”, dalam Jurnal Wacana, Gerakan Budaya: Antara Penghianatan Dan Gerakan Budaya, edisi 24 Tahun VIII 2008

Ambo Enre, Fachruddin, 1999, Ritumpana Welenrengnge: Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Andaya, Leonard Y., 2004, Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, Makassar, Ininnawa.

Anderson, Kathryn Gray, 2003, The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora. Disertasi Universitas of Hawai

Asba, A. Rasyid, 2010, Gerakan Sosial di Tanah Bugis: Raja Tanete Lapatau Menentang Belanda,Yogyakarta, Ombak.

, 2010, Kerajaan Nepo: Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru,Yogyakarta, Ombak Cense, A.A, 1972, Beberapa Tjatatan mengenai penulisan sedjarah Makassar-Bugis, Jakarta, Bharata.

Bakti, Andi Faisal, 2010, Diaspora Bugis di Alam Melayu, Makassar: Ininnawa

Barthes, Roland, 1989, The Rustle of Language, California, Universitas California Press,California.

Cense, A.A. 1972, Beberapa Tjatatan mengenai penulisan sedjarah Makassar- Bugis, Jakarta, Bharata.

123 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Druce, Stephen C, 2009, The Lands West of the Lakes: A history of the Ajatappareng Kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE,” Leiden, KITLV press,

Gonggong Anhar, 2004, Abdul Qahar Mudzakkar, dari Patriot Hingga Pemberontak, Yogyakarta, Ombak.

Hamid, Abu, 2004, Pasompe, Pengembaraan Orang Bugis, Makassar: Pustaka Refleksi

Kartodirjo Sartono,1959, Tjatatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.

Kern, R.A., 1993, La Galigo, yogyakarta, Gadjah Mada University Press,

Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak

Latif, Abd, 2014, Para Penguasa Ajattapareng, Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis, Jogjakarta, Ombak,

Mattulada, 1995, Latoa, Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung pandang, Hasanuddin University Press.

Mattulada, 1982, Makassar dalam Sejarah 1510-1700. Bhakti Baru.

Munslow, Alun, Deconstructing History, London danNew York, Routledge, 1997

Pancana Toa, Arung, 1995, I La Galigo, Menurut Naskah NBG 188,Jakarta, Jembatan.

, 2000, I La Galigo jilid II, Menurut Naskah NBG 188, Makassar, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar, PUSKIT dan Lephas.

, 1993, Sejarah Gowa, Ujung Pandang, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

124 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Paul, Herman, 2011, “Hayden White the Historical Imagination”. Polity Press.

Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar,

Philpott, Shimon, 2003,Meruntuhkan Indonesia: Politik Postcolonial Dan Otoritarianisme, Yogyakarta, Lkis.

Poelinggomang, Edward L, 2002, Makassar abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdaganagn Maritim, Jakarta, KPG

Purwanto, Bambang dan Warman Adam, Asvi, 2005, Menggugat Historiografi Indonesia, Yogyakarta, Ombak

Rahman, Nurhayati, 2003, La Galigo: Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia, Makassar, Pusat studi La Galigo, Devisi ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin.

Robinson, Kathryn dan Paeni, Mukhlis dkk, 2005, Tapak-Tapak Waktu, Sejarah, Kebudayaan, Dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan, Makassar: Ininnawa

Roosa John, 2008, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Jakarta, Hastra Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia.

Soedjatmoko dkk (ed), 1995, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suwitha, I Putu Gede, 2013, Perahu Pinisi di Pesisir Dewata, Denpasar, Pustaka Larasan

Tobing, PH.O.L., 1977, Hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa, Ujung Pandang, Yayasan Kebudayaan sulawesi selatan.

Tol, Roger dkk, 2009, Kuasa Dan Usaha Di Masyarakat Sulawesi Selatan, Makassar, Ininnawa.

125 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

White, Hayden. (1984). ‘The Question Of Narrative In Contemporary Historical Theory”, History and Theory, Vol. 23, No. 1 Published by: Blackwell Publishing for Wesleyan University, URL: http://www.jstor.org/stable/2504969

White, Hayden. (1987), The Conten of the form, Baltimore dan London, The Johns Horpkins University Press.

, 1975, Metahistory: The Historical Imagination In Nineteenh-Century Europe”. Johns Hopkins University Press.

126 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAMPIRAN

Peta Johor

Sumber: Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak, hal 90

Sumber: Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis, Yogyakarta: Ombak, hal. 114.

127 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Peta Bali

Sumber: https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fsultansinindonesieblo g.files.

Sumber: https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F2.bp.blogspot.com

128 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Peta Ambon:

Sumber: http://fatahillasia.blogspot.com/2015/05/peta-pulau-ambon.html

129