KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NATIONAL TRANSITIONAL COUNCIL (NTC) TERKAIT KRISIS POLITIK DI LIBYA (2011-2012)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rahmi Kamilah

1110113000050

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

JAKARTA

2014 PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP PIHAK NATIONAL TRANSITIONAL COUNCIL (NTC) TERKAIT KRISIS POLITIK DI LIBYA (2011-2012)

1. Merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Oktober 2014

Rahmi Kamilah

ii iii

iv

ABSTRAKSI

Skripsi ini menganalisa tentang kebijakan luar negeri Qatar terkait krisis politik di Libya pada periode 2011-2012. Skripsi ini bertujuan untuk melihat faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan kepada pihak oposisi dalam krisis politik di Libya. Sumber data yang diperoleh untuk melengkapi penulisan skripsi ini ialah melalui pengumpulan studi kepustakaan. Dalam skripsi ini ditemukan bahwa fenomena yang terjadi di Timur Tengah berdampak luas terhadap perpolitikan kawasan tersebut. Salah satu faktor utama yang mendorong gerakan revolusi ialah permasalahan ekonomi. Qatar, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi salah satu negara kawasan yang tidak mengalami revolusi tersebut. Selain itu, terdapat responsibility to protect (r2p) bagi Qatar sebagai negara anggota PBB untuk membantu meredam konflik yang didalamnya terdapat pelanggaran HAM, salah satunya ialah krisis politik di Libya. Konsep intervensi yang digunakan dalam penelitian ini berguna untuk menjelaskan pentingnya sebuah intervensi dilakukan oleh negara-negara di dunia demi mengurangi dampak kemanusiaan yang dihasilkan dari sebuah revolusi politik. Selain itu, teori kebijakan luar negeri juga digunakan untuk menganalisa faktor apa saja yang memengaruhi Qatar dalam menerapkan kebijakan luar negeri terkait krisis di Libya. Faktor tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Melalui analisa kebijakan luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini, maka akan ditemukan faktor dominan apa yang paling memengaruhi kebijakan Qatar terkait krisis politik di Libya. Dalam menganalisa faktor-faktor tersebut akan ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi Qatar menjadi pendorong utama bagi Qatar untuk menerapkan kebijakan intervensi. Selain itu, kebijakan intervensi tersebut juga didorong oleh keinginan Qatar untuk menjadi aktor dominan di kawasan Timur Tengah.

Kata Kunci: Qatar, Libya, Timur Tengah, Arab Spring, intervensi.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil’alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kebijakan Luar Negeri Qatar dalam Memberikan Dukungan Terhadap Pihak National Transitional Council (NTC) terkait Krisis Politik di Libya (2011- 2012)” dengan baik. Adapun tujuan penyusunan skripsi ini ialah untuk memenuhi tugas akhir dan untuk memenuhi syarat wajib kelulusan bagi mahasiswa/i Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis, penyusunan skripsi ini tidak akan mampu diselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan pihak lainnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Allah SWT dengan segala rahmat, ridha dan kasih sayang-Nya dan masih memberikan saya kesempatan untuk mampu menyelesaikan sekolah saya hingga sarjana. 2. Yang tersayang, Ibu dan Ayah (Atin M. Murlim dan Rasum Shaleh) yang selalu memanjatkan do’a bagi anak-anaknya. Perjuangan untuk menghidupkan dan menyukseskan kami tidak akan mampu kami bayar hingga kapanpun. Semoga kami cukup mampu membuat kalian bangga. Ami sayang Ibu dan Ayah. 3. Yang terhormat, Bapak A. Fuad Fanani, selaku dosen pembimbing selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas waktu dan ilmu yang diberikan selama proses bimbingan berlangsung. 4. Yang terhormat, Ibu Debbie Affianty Lubis, selaku Kepala Prodi HI serta seluruh dosen dan karyawan FISIP UIN untuk segala bantuannya selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. 5. Yang tersayang, Kakak dan Teteh (Dzaki Abdul Rahman dan Dzakiatussa’adah) atas kasih sayang dan dukungannya. 6. Riko Febrian Eltari yang banyak membantu dan menemani dalam proses penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas waktunya. 7. Teman-teman Warsol Forum/Cordobre, Asri Kusumastuty, Balqis Faradiba, Dara Amalia, M. Hafied Noval, Sauri Susanto, Dimas Ardhiyanto, Thufeil Izharruddin, Rifqi Fauzan, Wildan Ramadhan, Sabana Putra Maka, Ray Putra Mahardika, Novian Dwi Chayo, M. Faisal Akbar atas segala bantuan, dukungan, dan kenangan selama masa kuliah.

vi

8. Shofia Nida dan Airin Aisyah beserta seluruh teman-teman HI-B yang tidak pernah gagal memberikan kesan dan pesan semasa kuliah. Semoga kita semua mampu mencapai kesuksesan di masa mendatang. 9. Dan kepada seluruh orang terdekat yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terimakasih atas dukungan dan motivasi untuk saya menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Mengingat seluruh keterbatasan, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian, penulis harap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkannya.

Jakarta, 23 Oktober 2014

Rahmi Kamilah

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK……………………………………………………………… v KATA PENGANTAR………………………………………………….. vi DAFTAR ISI……………………………………………………………. viii DAFTAR TABEL………………………………………………………. x DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xii DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….. xiii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1 B. Pertanyaan Penelitian………………………………………. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 5 D. Tinjauan Pustaka...... 5 E. Kerangka Teori...... 9 1. Teori Kebijakan Luar Negeri...... 9 a. Faktor Internal...... 13 b. Faktor Eksternal...... 14 2. Konsep Intervensi...... 15 F. Metodologi Penelitian...... 17 G. Sistematika Penulisan...... 18

BAB II KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA...... 20 A. Awal Mula terjadinya Krisis Politik di Libya...... 20 1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik di Timur Tengah………………………………………. 20 2. Arab Spring di Libya (Libya Spring)…………………. 25 B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya...... 29 1. Lahirnya Kelompok Oposisi di Libya pada Masa Rezim Qaddafi...... 29 2. NTC sebagai Perwakilan Resmi Rakyat Libya pada Masa Krisis………………………………………. 32

BAB III PERAN QATAR DALAM KRISIS POLITIK DI LIBYA…….. 35 A. Kedudukan Qatar di Timur Tengah………………………… 35 1. Kedudukan Qatar di Timur Tengah sebelum Krisis Politik…………………………………. 38

viii

2. Kedudukan Qatar di Timur Tengah pada Masa Krisis Politik……………………………… 41 B. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya………………………. 43 1. Hubungan Qatar dan Libya sebelum Krisis Politik………………………………… 44 2. Hubungan Qatar dan Libya pada Masa Krisis Politik……………………………… 45 C. Bentuk Dukungan Qatar terhadap Pihak NTC...... 47

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG QATAR UNTUK MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NTC...... 50 A. Dukungan Qatar terhadap NTC sebagai Bentuk Intervensi...... 50 B. Faktor-Faktor yang mendorong Kebijakan Qatar terhadap NTC...... 54 1. Faktor Internal………………………………………… 55 a. Atribut Ekonomi: Pertumbuhan Ekonomi Qatar………………… 55 b. Kepentingan Ekonomi: Peluang Kerjasama Qatar dan NTC...... 58 2. Faktor Eksternal………………………………………. 60 a. Struktur dalam Sistem Internasional: Kawasan Timur Tengah………………………. 61 b. Aliansi: Hubungan Qatar dengan AS………………….. 63

BAB V PENUTUP……………………………………………………… 67 Kesimpulan……………………………………………………... 67 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. xiv LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………. xx

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Perdamaian Global Tahun 2011………………… 43 Tabel 2. Daftar Negara Terkaya di Dunia 2011-2012……………. 56

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Qatar di Timur Tengah………………………… 35 Gambar 2. Definisi Intervensi…………………………………… 16

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Resolusi PBB 1970………………………………… xx Lampiran 2. Resolusi PBB 1973………………………………… xxxii

xii

DAFTAR SINGKATAN

DK PBB : Dewan Keamanan PBB GCC : Gulf Cooperation Council HAM : Hak Asasi Manusia ICC : International Criminal Court ICISS :International Commission on Intervention and State Sovereignty JEM : Justice and Equality Movement LCG : Libya Contact Group LIFG : Libyan Islamist Fight Group LNG : Liquefied Natural Gas MoU : Memorandum of Understanding NATO : North Atlantic Treaty Organization NTC : National Transitional Council OKI : Organisasi Konferensi Islam PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa RCC : Revolutionary Command Council UNSMIL : United Nations Support Mission in Libya

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Desember 2010, merupakan bulan yang mengawali gejolak politik di

Timur Tengah, yang disebut dengan Arab Spring. Berawal di Tunisia, aksi protes terhadap pemerintah melahirkan bentuk-bentuk protes di negara Arab lain sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada di negara-negara Timur

Tengah. Aksi protes ini juga terjadi di Mesir pada Januari 2011 untuk menurunkan rezim Husni Mubarak. Protes tersebut berhasil menurunkan rezim

Mubarak turun dari kursi pemerintahan. Fenomena Arab Spring ini juga menyebar ke negara Timur Tengah lainnya, seperti Suriah, Yaman, Aljazair, Yordania,

Oman, Maroko, termasuk Libya.1

Di Libya, aksi protes diawali pada bulan Februari 2011 yang menginginkan mundurnya rezim Muammar Qaddafi dari kursi pemerintahan

Libya.2 Aksi ini menimbulkan perang saudara antara pemerintahan dengan para pemberontak yang menginginkan kemunduran Qaddafi. Kerasnya sikap Qaddafi dalam menghadapi para pemberontak mendorong Uni Eropa dan PBB bersikap

1 Cedric Dupont dan Florence Passy, “The Arab Spring or How to Explain those Revolutionary Episodes?”Swiis Political Science Association: SPSR, 2037 (Oktober 2011): 1. 2 Dr. Bruce St. John, Libyan Myths and Realities, (Copenhagen: Royal Danish Defense College, 2011), 4.

1

2

tegas melalui embargo serta penarikan Libya dari keanggotaan U.N. Human Right

Council.3

Selain Uni Eropa dan PBB yang memberikan respon terhadap revolusi politik di Libya, negara-negara Arab seperti Qatar turut memberikan respon terkait krisis tersebut. Pada Maret 2011, Qatar menjadi negara Arab pertama yang mengakui National Transitional Council (NTC) sebagai perwakilan resmi rakyat

Libya.4 NTC merupakan badan yang dibentuk oleh pihak oposisi dalam menghadapi rezim Qaddafi yang kemudian diresmikan sebagai perwakilan bagi rakyat Libya.5

NTC memperoleh legitimasi melalui dewan-dewan lokal yang telah dibentuk oleh pihak pemberontak. Selain dari dewan lokal, negara-negara dunia seperti Perancis, Jerman, Italia, Tiongkok, Rusia, Yordania, Kuwait, Uni Emirat

Arab, termasuk Qatar turut memberikan pengakuan terhadap pemerintahan sementara NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.6

Qatar, selain memberikan dukungan terhadap pihak NTC, juga memberikan dukungan militer seperti pengiriman senjata, seragam, amunisi dan transportasi perang serta bantuan keuangan dalam membantu pihak pemberontak baik secara unilateral maupun dalam kerangka kerjasama Liga Arab dan kampanye NATO.7 Qatar juga memfasilitasi kapal perang di Al-Udeid, yang

3 “TIMELINE-Libya's uprising against ”. Reuters, 30 Maret 2011, tersedia di diakses pada 9 Maret 2014.pukul 15. 32. 4 Lina Khatib, “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”, International Affairs 89: 2 (2013): 421. 5 Bruce St. John, “Libyan Myths and Realities” Royal Danish Defense College, Research Paper, (Agustus, 2011), 10. 6 John, “Libyan Myths and Realities”, 10. 7 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 421. 3

merupakan pangkalan militer Amerika Serikat (AS), sebagai bentuk dukungan

Qatar terhadap pihak NTC.8

Selain memberikan bantuan dana dan militer kepada pihak anti-Qaddafi,

Qatar juga memberikan bantuan dalam bidang energi, yakni membantu memasarkan minyak mentah Libya.9 Perjanjian penjualan minyak antara Qatar dan pihak oposisi ini dicapai sehari sebelum Qatar memberikan pernyataan pengakuan terhadap NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.10

Dalam respon Qatar terhadap isu Arab Spring, Qatar tidak hanya berperan dalam krisis yang terjadi di Libya saja, melainkan juga di negara Arab lain seperti

Bahrain, Yaman, Tunisia, Mesir dan Suriah. Namun, intervensi militer yang dilakukan Qatar hanya diterapkan di Libya dan Suriah. Keterlibatan Qatar secara politik di Bahrain dan Yaman dapat dikatakan terbatas karena terdapat pengaruh besar dari Arab Saudi di kedua negara tersebut. Selain itu, di Tunisa dan Mesir, peran Qatar hanya sebatas pemberian bantuan ekonomi.11

Sebelum aktif dalam memberikan respon terkait fenomena Arab Spring,

Qatar memosisikan dirinya sebagai mediator dalam isu-isu kawasan terdahulu,

8 David Roberts, “Behind Qatar’s Intervention in Libya: Why was Doha such a Strong Supporters of the Rebels?” Foreign Affairs, 28 September 2011, tersedia di: diakses pada 2 Juni 2014, pukul 19.36. 9 Sultan Barakat, “The Qatari Spring: Qatar’s Emerging Role in Peacemaking”, London School of Economics and Political Science, 24 (Juli, 2012): 26. 10 “Qatar recognises Libyan rebels after oil deal”, AlJazeera, 28 Maret 2011, tersedia di: diakses pada 15 Maret 2014, pukul 17.02. 11 Kristian Coates Ulrichsen, “Qatar and The Arab Spring: Policy Drivers and Regional Implications”, Carnegie Endowment for International Peace, tersedia di: , diakses pada 18 November 2014, pukul 20.35. 4

seperti di Yaman, Libanon, dan Sudan.12 Peran mediasi yang dilakukan Qatar di negara-negara tersebut ialah dengan mengupayakan penyelesaian konflik melalui perundingan perdamaian beserta penyediaan dana bantuan.13 Peran tersebut menjadikan Qatar dikenal sebagai negara netral atau tidak memihak dalam upaya penyelesaian konflik.14

Peran Qatar dalam menghadapi krisis politik di Libya menunjukkan adanya perubahan pola kebijakan luar negeri Qatar jika dibandingkan dengan peran mediasi dalam menghadapi isu-isu di kawasan sebelum Arab Spring.

Intervensi Qatar dalam menghadapi krisis di Libya tersebut tidak lagi mewakili reputasi netral yang dimiliki Qatar sebelumnya. Selain itu, Qatar sebagai negara kecil, berdasarkan ukuran geografisnya, dengan kebijakan intervensi akan membentuk citra negatif bagi Qatar diantara negara-negara tetangganya.15

Dengan adanya perubahan kebijakan yang lebih aktif melalui dukungan yang diberikan Qatar terhadap NTC, menjadi menarik untuk dibahas faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan bagi pihak NTC terkait krisis politik di Libya tahun 2011-2012. Pemilihan periode ini didasarkan pada awal terjadinya revolusi di Libya serta peran yang dilakukan Qatar dalam menghadapi isu di Libya dengan melihat perkembangan kebijakannya selama setahun kedepan.

12 Barakat, “The Qatari Spring”, 13. 13 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 418. 14 Barakat, “The Qatari Spring”, 2. 15 Kristian Coates Ulrichsen, “Small States with a Big Role: Qatar and The Unites Arab Emirates in The Wake of Arab Spring”, HH Sheikh Nasser al-Mohammad al-Sabbah, Publication Series 3(Oktober, 2012): 18. 5

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kasus yang dibahas dalam tulisan ini, maka dapat dirumuskan pertanyaan untuk penelitian ini, yakni:

“Faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC terkait krisis politik di Libya tahun 2011?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui permasalahan Arab Spring khususnya di Libya.

2. Menjelaskan kebijakan-kebijakan Qatar melalui intervensi di Libya.

3. Menganalisa faktor-faktor yang mendorong Qatar melakukan intervensi

dalam krisis politik di Libya.

Adapun manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan pengetahuan mengenai kebijakan Qatar terhadap krisis

politik di Libya.

2. Untuk menambah wawasan bagi para penstudi Hubungan Internasional

mengenai kasus yang menjadi topik penelitian.

3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya dengan bahasan

yang sama.

D. Tinjauan Pustaka

Silvia Colombo, menulis jurnal yang berjudul “The GCC Countries and

The Arab Spring: Between Outreach, Patronage, and Repression”. Jurnal yang 6

diterbitkan oleh Instituto Affari Internazionali Vol. 12, No. 09 pada tahun 2012 ini menuliskan tentang fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah dan bagaimana gejolak politik yang terjadi memengaruhi negara-negara Teluk yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC).

Dalam tulisan tersebut menggambarkan bahwa Arab Spring memengaruhi kondisi internal mereka, terutama dalam hal politik dan ekonomi.

Secara regional, GCC ini harus menerapkan kebijakan intervensi serta memberikan bantuan-bantuan bagi rakyat yang terkena dampak revolusi seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Tulisan ini menjelaskan bagaimana negara- negara Teluk yang tergabung dalam GCC ini memberikan respon terhadap isu regional yang sedang terjadi.16

Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian yang akan dibahas adalah subjek penelitian. Meskipun Qatar merupakan negara anggota GCC, namun penelitian ini tidak membahas respon GCC secara keseluruhan tetapi lebih memfokuskan pada peran Qatar secara unilateral dalam mengahadapi gejolak politik yang terjadi di Libya. Selain itu, objek dari penelitian ini juga memfokuskan pada isu Arab Spring yang terjadi di Libya saja. Berbeda dengan penelitian yang dituliskan dalam jurnal di atas yang membahas mengenai Arab

Spring secara keseluruhan dan dampaknya terhadap regional.

Pada tahun 2013, European Scientific Journal menerbitkan tulisan dalam

Vol. 12 yang berjudul “The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”.

Jurnal yang dituliskan oleh Osman Antwi-Boateng ini menjelaskan tentang

16 Silvia Colombo, “The GCC Countries and The Arab Spring: Between Outreach, Patronage, and Repression”, Instituto Affari Internazionali, 12: 09 (2012). 7

kebijakan soft-power yang diterapkan oleh Qatar dalam isu-isu kawasan yang merupakan daya tarik bagi Qatar. Daya tarik ini terlihat dari stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi melalui redistribusi pendapatan yang efektif serta sistem pendidikan yang progresif. Selain itu, penyebaran pengaruh melalui Al-Jazeera, investasi dalam bidang olahraga dan kebijakan dalam memberikan bantuan yang tidak memberatkan.17

Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian ini terletak pada isu yang dibahas. Jurnal tersebut tidak memfokuskan pada isu yang terjadi di Arab spring seperti halnya penelitian ini. Selain itu, adanya keterlibatan Qatar dalam intervensi militer menggambarkan bahwa penelitian ini mencakupi kebijakan hard-power, bukan hanya soft-power seperti jurnal tersebut.

“Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on

Humanitarian Intervention” merupakan thesis yang ditulis oleh Sorana-Christina

Jude untuk memperoleh gelar Master di Eurpoean Institute. Thesis yang diselesaikan pada tahun 2012 ini menuliskan tentang intervensi yang dilakukan banyak pihak terkait proses demokratisasi yang terjadi di Libya pada tahun 2011.

Tulisan ini melihat bagaimana intervensi yang dilakukan negara-negara dunia terhadap Libya dari pendekatan-pendekatan Hubungan Internasional baik pendekatan tradisional maupun pendekatan alternatif. Tulisan ini juga melihat bagaimana intervensi yang tersebut menggambarkan kewajiban negara-negara untuk membantu mengatasi konflik yang terjadi. Di lain pihak, tulisan ini juga

17 Osman Antwi-Boateng, “The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”, European Scientific Journal, 12 (2013). 8

mencoba melihat intervensi yang telah dipolitisasi berdasarkan kepentingan nasional negara yang terlibat.18

Perbedaan penelitian ini dengan thesis tersebut ialah bahwa penelitian ini mencoba melihat faktor-faktor yang memengaruhi Qatar melakukan intervensi di

Libya. Selain itu, penelitian ini tidak menjabarkan segala bentuk intervensi yang dilakukan oleh negara dunia terhadap proses demokratisasi di Libya melainkan terfokus pada intervensi yang dilakukan Qatar untuk menghadapi krisis di Libya.

Maya Savitri, pada tahun 2013 menulis skripsi yang berjudul “Alasan

NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di Libya Tahun

2011” untuk memperoleh gelar sarjana S.Sos di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian tersebut dijelaskan mengenai peran NATO sebagai organisasi internasional dengan aktifitas yang didasarkan pada kepentingan negara anggotanya. Penelitian ini juga membahas mengenai intervensi yang dilakukan oleh NATO dengan menjabarkan maksud dan tujuan

NATO dalam misi tersebut.19

Dalam penelitian di atas membahas mengenai peran NATO dalam intervensi terhadap krisis yang terjadi di Libya. Subjek penelitian difokuskan pada peran NATO sebagai organisasi internasional dalam menghadapi krisis politik di

Libya. Dengan demikian, perbedaan penelitian ini terletak pada subjek yang lebih memfokuskan pada peran Qatar meskipun terhadap kasus yang sama, yakni krisis politik di Libya.

18 Sorana-Christina Jude, “Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on Humanitarian Intervention”, Eurpoean Institute, (Thesis: 2012). 19 Maya Savitri, “Alasan NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di Libya Tahun 2011”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Skripsi: 2013). 9

E. Kerangka Teori

1. Teori Kebijakan Luar Negeri

Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori kebijakan luar negeri untuk melihat dasar pertimbangan kebijakan Qatar terhadap Libya.

Kebijakan luar negeri, bagi Marijke Breuning, merupakan hasil dari interaksi negara dengan lingkungan diluar batasnya.20 Alex Mintz dan Karl DeRouen merumuskan pembuatan kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan pilihan yang diputuskan oleh individu, kelompok, atau koalisi dan akan memengaruhi tindakan negaranya dalam lingkungan internasional. Dalam kebijakan luar negeri tersebut terdapat seperangkat karakter yang lekat dengan pembuatan keputusan, yakni ketidakpastian dan resiko.21

Secara tradisional, keputusan yang diambil dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri didasari pada kepentingan nasional yang tidak lepas dari alasan untuk mempertahankan dan melindungi kekuasaan dan keamanan.

Terutama ketika masa perang, suatu negara dihadapkan pada pilihan untuk terlibat perang demi melindungi integritas wilayahnya. Namun, dalam perkembangan yang terjadi di sistem internasional, terutama paska Perang Dingin, fenomena globalisasi yang ada memengaruhi perpolitikan dunia yang membuat negara lebih memfokuskan perhatiannya dalam sektor ekonomi, meskipun tidak melepaskan diri seutuhnya dari unsur-unsur militer. Negara menjadikan ekonomi sebagai

20 Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 5. 21 Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 3. 10

prioritas utama, terlebih lagi semenjak dibentuknya berbagai macam organisasi kerjasama ekonomi antar internasional.22

Kebijakan luar negeri merupakan unsur penting dalam membentuk sebuah fenomena internasional. Sebab, sebuah kebijakan yang diterapkan suatu negara akan menciptakan sebuah interaksi. Beberapa kebijakan dikalkulasikan secara cermat dan kebijakan lainnya dapat pula diterapkan hanya dengan mengandalkan intuisi.23 Kalkulasi sebuah kebijakan menandakan bahwa isu-isu domestik dapat menentukan bagaimana sebuah kebijakan ditetapkan. Nilai-nilai yang telah melekat dalam lingkungan domestik mampu memengaruhi bagaimana pola politik internal dan membentuk tindakan terhadap lingkungan eksternal.24

Dalam memahami proses pembentukan kebijakan luar negeri, elemen utama yang paling penting ialah pemimpin. Namun, proses pembuatan kebijakan suatu negara tidak hanya dapat dilihat dari faktor pemimpin saja, tetapi juga melihat proses birokrasi dalam pembuatan kebijakan yang sekaligus melihat peranan aktor-aktor lain dalam birokrasi tersebut. Selain aktor-aktor politik, publik juga memiliki peran dalam memengaruhi keputusan suatu kebijakan, baik itu masyarakat, pers, bahkan aktor-aktor politik dari negara lain.25

Terdapat empat unsur dalam proses pembuatan kebijakan, yakni pilihan, keputusan, tindakan, dan hasil. Pilihan merupakan beberapa kemungkinan yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan untuk menetapkan kebijakan. Keputusan merupakan pilihan yang telah ditetapkan.

22 Breuning, Foreign Policy Analysis, 5. 23Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 3. 24Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 6. 25 Breuning, Foreign Policy Analysis, 6. 11

Selanjutnya, tindakan merupakan perilaku yang didasarkan pada keputusan yang telah dibuat. Tindakan biasanya dilakukan untuk memengaruhi aktor dari negara lain atau untuk memperoleh keuntungan bagi negara. Dan yang terakhir adalah hasil. Hasil dari kebijakan yang telah diterapkan yang cenderung bersifat abstrak.

Sebab hasil dari sebuah kebijakan juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan negara lain sebagai respon dari interaksi antar negara.26

Kebijakan luar negeri merupakan sebuah bentuk interaksi yang terjadi antar negara karena di dalamnya terdapat sebuah tindakan dan juga respon dari tindakan tersebut. Dengan demikian, penting untuk memahami kebijakan luar negeri dari level negara. Level ini mencakup faktor internal yang memengaruhi kebijakan suatu negara. Faktor-faktor internal tersebut dapat dilihat dari kerangka institusi – seperti melihat interaksi antara badan legislatif dan eksekutif, serta kondisi negara – seperti dalam hal ekonomi, sejarah dan kebudayaan negara.27

Faktor-faktor tersebut mampu membentuk sekumpulan pilihan bagi pembuat kebijakan.

Selain dalam level negara, kebijakan luar negeri juga dapat dilihat dari level sistem internasional. Level ini memfokuskan interaksi yang terjadi antar negara. Sebab sistem internasional merupakan sekumpulan negara yang saling berinteraksi yang dipengaruhi oleh kapabilitas mereka, yakni kekuasaan dan kekayaan, dan hal tersebut memungkinkan mereka untuk bertindak di lingkungan global. Kemampuan yang dimiliki suatu negara dapat berubah, yakni apakah

26 Breuning, Foreign Policy Analysis, 7-8. 27 Breuning, Foreign Policy Analysis, 12-13. 12

kemampuan ekonomi dan militer mereka bertambah atau berkurang.28 Interaksi yang terjadi antar negara menjadikan sistem internasional sebagai faktor penting bagi negara untuk mempertimbangkan kebijakan luar negeri.

Analisa dalam kebijakan luar negeri meliputi pemeriksaan pada proses pembuatan kebijakan. Bagaimana keputusan ditetapkan dan bagaimana perubahan dalam politik internasional berdampak pada perilaku manusia untuk berperan secara individu maupun kolektif.29 Penjelasan mengenai analisa kebijakan luar negeri juga meliputi hasil dari keputusan sebuah negara. Hasil tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa keputusan yang dibuat akan memiliki konsekuensi tersendiri bagi lingkungan internasional.30

Kebijakan luar negeri dibuat melalui beberapa fokus, seperti mengenali permasalahan, membingkai isu, mengumpulkan persepsi, memprioritaskan tujuan, serta mengumpulkan pilihan-pilihan yang didasarkan pada situasi saat itu. Faktor- faktor yang memengaruhi suatu kebijakan luar negeri merupakan satu kunci dalam menjelaskan proses pembuatan kebijakan. Kontribusi dalam menganalisa proses pembuatan kebijakan ialah untuk mengetahui poin penting apa saja yang menjadi penentu utama bagi suatu negara untuk bertindak yang biasanya didasari oleh faktor materi dan ide.31

Adapun faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menganalisa suatu kebijakan ialah melalui faktor objektif dengan melihat kondisi lingkungan

28 Breuning, Foreign Policy Analysis, 13. 29Valerie M. Hudson dan Christopher S. Vore, “Foreign Policy Analysis Yesterday, Today, and Tomorrow. Mershon International”, Mershon International Study Review: The International Studies Association, 39: 2 (Oktober,1995): 210. 30 Valerie M. Hudson, “Foreign Policy Analysis: Actor-Specific Theory and the Ground of International Relations”, International Studies Association: Blackwell Publishing, 1 (2005): 2. 31 Hudson, “Foreign Policy Analysis”, 2-3. 13

domestik dan juga lingkungan internasional yang memengaruhi keputusan sebuah kebijakan.32 Adapun faktor-faktor tersebut ialah:

a. Faktor Internal:

1. Atribut Ekonomi

Perekonomian suatu negara merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan negara dalam menerapkan sebuah kebijakan. Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan karakteristik ekonomi yang mampu memengaruhi proses perumusan kebijakan. Sebuah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung lebih aktif dalam menghadapi isu- isu internasional. Tingkat kekayaan suatu negara juga dapat memosisikan negara sebagai pemberi atau penerima bantuan asing.33

2. Kepentingan Ekonomi

Berbeda dengan faktor atribut ekonomi yang menekankan pada kemampuan ekonomi suatu negara, faktor kepentingan ekonomi ini lebih menekankan pada kebutuhan ekonomi yang dikejar oleh suatu negara.

Kepentingan nasional merupakan dasar negara untuk menerapkan sebuah kebijakan. Kepentingan nasional yang paling berpengaruh ialah kepentingan ekonomi. Ketika akses terhadap sumber daya alam terancam, suatu negara akan menerapkan sebuah kebijakan yang mampu mengamankan akses terhadap sumber daya yang menjadi sektor penting dalam menjalankan perekonomian negaranya.34

32 Peter A. Toma dan Robert F. Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1991), 129. 33 Frederic S. Pearson dan J. Martin Rochester, International Relations: The Global Condition in 195.Twenty-First Century, (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc: 1998), 195. 34Mintz dan DeRouen Jr, Understanding Foreign Policy Decision Making, 130-131. 14

Dengan demikian, kepentingan ekonomi menjadi faktor penentu kebijakan suatu negara.

b. Faktor Eksternal:

1. Struktur dalam Sistem Internasional

Struktur yang ada dalam sistem internasional dapat memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Struktur tersebut dapat berupa unipolar, bipolar, ataupun multipolar. Dalam melihat dominasi suatu negara di sistem internasional harus juga memahami bahwa struktur dalam sistem internasional dapat berubah. Secara umum, perubahan ini didorong oleh masalah ekonomi ketika peran sebagai negara hegemon tidak lagi mampu untuk terakomodasi. Hal tersebut akan mendorong negara lain untuk menggantikan peran tersebut.35

2. Aliansi

Aliansi merupakan salah satu faktor eksternal yang memengaruhi kebijakan suatu negara. Keinginan suatu negara untuk menerapkan kebijakan tertentu dapat dipengaruhi oleh aliansi yang dijalin dengan negara atau organisasi lain. Aliansi militer, salah satu bentuk aliansi, dapat memengaruhi suatu negara untuk mempertimbangkan pentingnya melakukan agresi atau intervensi militer terhadap negara lain. Dapat juga kebijakan yang dibuat berupa ajakan suatu negara untuk bergabung dengan koalisi yang dibentuk atau kebijakan untuk menerima atau menolak ajakan dari negara lain.36

35 Pearson dan Rochester, International Relations, 188 36Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 126. 15

2. Konsep Intervensi

Konsep intervensi atau yang dikenal dengan intervensi kemanusiaan dapat dipahami sebagai tindakan oleh negara atau sekelompok negara untuk mencegah atau membatasi dampak dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap manusia tanpa seizin dari negara yang dituju.37 Konsep intervensi yang lama dapat ditekankan pada kewajiban negara dalam melindungi populasinya sendiri. Namun, bagi Alex Bellamy, konsep intervensi ini sudah meluas dengan adanya peran bantuan dari negara-negara dunia untuk menanggapi genosida dan kejahatan massa.38

Bagi Martha Finnemore, intervensi kemanusiaan merupakan intervensi dengan menggunakan militer yang tujuannya untuk melindungi rakyat sipil.39

James N. Rosenau melihat bahwa intervensi merupakan instrumen dari sebuah tindakan, bukan merupakan tujuan akhir. Nilai moralitas sebuah tindakan intervensi tergantung dari hasil akhir yang dituju.40 Dengan demikian, intervensi dapat dipahami sebagai aksi yang dilakukan negara terhadap negara lain dengan maksud melindungi warga sipil dalam kondisi perang. Tetapi, aksi intervensi ini bertentangan dengan kedaulatan suatu negara. Hal tersebut menjadi perdebatan mengenai legitimasi sebuah intervensi.41

37 J. L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 18. 38 Alex J. Bellamy, “The Responsibility to Protect: The Five Years On”, Ethics and International Affairs 24:2 (2010), 143. 39 Martha Finnemore (1996) dalam Saban Kardas, “Humanitarian Intervention: The Evolution of The Idea and Practice”, Journal of International Affairs, 6: 2 (Juli, 2001): 1. 40 James N. Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (London: Frances Printer,1980) 342. 41 Gareth Evans, “From Humanitarian Intervention to The Responsibility to Protect”, Wisconsin International Law Journal , 23: 3, 704. 16

Gambar 2. Definisi Intervensi

Sumber42: Joshep S. Nye Jr. (1991).

Joseph Nye menjelaskan bahwa bentuk intervensi memiliki beberapa tahapan dari low coercion yang berupa pernyataan suatu negara terhadap negara lain hingga high coercion yang berupa invasi militer.43 Penjelasan mengenai intervensi ini menggambarkan bahwa intervensi dapat dilihat dari berbagai bentuk, baik itu dari pidato kenegaraan, bantuan ekonomi, blokade hingga invasi militer.

International Commission on Intervention and State Sovereignty

(ICISS) melihat bahwa konsep intervensi harus dilihat dari segi responsibility

(tanggung jawab), yakni tanggung jawab untuk melindungi rakyat atau dapat dipahami juga sebagai responsibility to protect (r2p). R2p merupakan salah satu bentuk upaya internasional dalam melakukan pencegahan terhadap genosida dan

42 Joshep S. Nye, Jr., Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and History, (New York: Longman, 1991), 162. 43 Nye, Understanding International Conflict, 162. 17

kejahatan massa serta upaya perlindungan terhadap rakyat sipil dari kejahatan tersebut.44

Terdapat tiga bentuk responsibility, yang pertama adalah responsibility to prevent (tanggung jawab untuk mencegah). Bentuk pencegahan ini ditujukan kepada penyebab apa saja yang menimbulkan krisis yang mengancam manusia.

Yang kedua ialah responsibility to react (tanggung jawab untuk bereaksi), yakni memberikan respon terhadap situasi yang mengancam manusia, seperti pemberian sanksi dan intervensi militer. Yang ketiga ialah responsibility to rebuild (tanggung jawab untuk membangun kembali) melalui penyediaan bantuan untuk proses pemulihan, rekonstruksi dan rekonsiliasi.45

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, bekal yang utama bagi peneliti ialah pengalaman, yakni pengalaman dalam menganalisa data. Pengalaman dalam menganalisa data ini kemudian dapat digunakan untuk menyusun pertanyaan penelitian dari sebuah studi kasus. Penyusunan pertanyaan penelitian dari studi kasus berguna untuk menentukan fokus isu dalam proses pengumpulan data.46

Sumber data yang akan digunakan untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini menggunakan data-data yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dan website. Teknik yang digunakan dalam memperoleh sumber

44 Bellamy, “The Responsibility to Protect”, 143. 45 International Commission on Intervention and State Sovereignty, The Responsibility to Protect (2110) dalam Evans, “From Humanitarian Intervention”, 707-709. 46 Robert E. Stake, The Art of Case Study Research, (CA: Sage Publications, 1995), 50 18

data adalah dengan studi kepustakaan atau literatur. Teknik ini digunakan dengan mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan topik yang dibahas serta menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Perolehan data ini akan dilakukan dengan mengunjungi perpustakan di beberapa universitas, seperti Universitas Islam Negeri Jakarta dan Universitas

Indonesia, serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian yang membahas mengenai kebijakan luar negeri Qatar dalam memberikan dukungan terhadap pihak NTC di Libya ini akan terdiri dari lima bab. Pada bab I, yakni pendahuluan, akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, bab ini juga akan memberikan informasi mengenai pertanyaan penelitian serta kerangka teori yang akan digunakan untuk menganalisa permasalahan yang ada.

Selanjutnya, pada bab II akan dijelaskan mengenai krisis politik di Libya.

Penjelasan tersebut akan diawali dengan menceritakan awal terjadinya fenomena

Arab Spring di Timur Tengah serta menceritakan sedikit tentang beberapa negara lain yang juga mengalami krisis politik tersebut. Kemudian pada bab ini akan dijelaskan mengenai krisis politik di Libya secara lebih mendalam beserta penjelasan mengenai kelompok-kelompok oposisi di Libya. Pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya pada masa krisis.

Dalam bab III, penelitian ini akan memasuki peran yang dilakukan Qatar dalam menghadapi krisis di Libya. Sebelum menjelaskan peran Qatar, penelitian 19

ini memberikan informasi terlebih dahulu mengenai perpolitikan Qatar di kawasan baik sebelum terjadinya Arab Spring ataupun pada masa Arab Spring berlangsung. Untuk melihat peran Qatar di Libya, penelitian ini juga memberikan informasi terlebih dahulu mengenai hubungan bilateral kedua negara tersebut.

Setelah itu pada bagian terakhir dalam bab ini akan dijelaskan mengenai bentuk- bentuk dukungan yang diberikan Qatar terhadap pihak NTC.

Pada bab IV, penelitian ini akan memasuki bagian analisa. Bagian ini akan menjawab permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian. Dalam menjawab pnelitian ini, teori serta konsep yang dijelaskan pada bab I akan diaplikasikan beserta data-data yang telah dikumpulkan. Konsep intervensi akan dijelaskan untuk membantu penulis membuktikan bahwa dukungan yang diberikan Qatar merupakan salah satu bentuk intervensi. Selain konsep intervensi, pada bab IV terdapat faktor subjektif dan faktor objektif yang digunakan penulis untuk melihat faktor apa saja yang memengaruhi Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC.

Dan bagian terakhir ialah bab V. Bagian terakhir ini akan menjadi bagian penutup yang berisi kesimpulan penelitian. Kesimpulan ini akan menjabarkan kembali penelitian yang telah disusun secara keseluruhan. Selain itu juga pada bagian ini akan mempertegas kembali jawaban penelitian yang didapat dari hasil penelitian.

BAB II

KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA

Krisis politik yang terjadi di Libya merupakan salah satu dampak dari fenomena Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah. Pada Bab ini akan dijelaskan mengenai awal mula terjadinya Arab Spring hingga berdampak pada perpolitikan di negara-negara Timur Tengah yang salah satunya adalah Libya.

Selain itu juga akan dijelaskan bagaimana pihak oposisi di Libya menghadapi krisis politik tersebut.

A. Awal Mula Terjadinya Krisis Politik di Libya

Krisis politik di Libya, seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan dampak dari fenomena Arab Spring yang menyebabkan krisis politik di beberapa negara di Timur Tengah.

1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik di Timur Tengah

Arab Spring merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Barat untuk menggambarkan revolusi politik yang terjadi di Timur Tengah. Terdapat juga istilah Arab Uprising yang diartikan sebagai pemberontakan Arab untuk menyebutkan gerakan revolusi tersebut. Orang Arab sendiri lebih memilih menggunakan Arab Awakening atau kebangkitan Arab untuk menggambarkan

20

21

fenomena yang lekat dengan reformasi sosial, nasional, konstitusional, dan gerakan Islamis modern.47

Revolusi yang terjadi di dunia Arab ini diawali di Tunisia. Pada 17

Desember 2010, Muhammad Bouazizi melakukan protes melalui pembakaran diri.

Aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Bouazizi mendorong para pemuda

Tunisia untuk melakukan protes terhadap pemerintah. Aksi protes tersebut merupakan ekspresi dari ketidakpuasan terhadap isu-isu sosial yang melanda

Tunisia, seperti pengangguran, korupsi, inflasi makanan, dan juga tidak adanya kebebasan dalam berpolitik. Dalam waktu yang singkat, tepatnya pada 14 Januari

2011, protes yang dilakukan masyarakat Tunisa berhasil mendorong presiden

Zaenal Abidin Ben Ali yang telah memimpin selama 23 tahun untuk turun dari kursi kepemimpinan.48

Di bawah pemerintahan Ben Ali, kebebasan pers terutama melalui internet, berada di bawah kontrol sang diktator. Halaman wikipedia mengenai profil dirinya, blog dan twitter dari pihak oposisi, serta artikel berita yang bersifat kritis tidak dapat diakses oleh pengguna internet karena telah di blok. Diskusi mengenai sang diktator, Ben Ali, juga tidak dapat dilakukan secara bebas terutama bahasan yang bersifat mengkritisi dikarenakan adanya ketakutan terhadap polisi-polisi rahasia yang dapat menangkap dan memenjarakan rakyat sipil.49

47 Eugene Rogan, “The Arab Spring: Implications for British Policy”, Conservative Middle East Council, (Oktober, 2011): 4. 48 Alasdair MacKay, “The Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, (2011): 4 49 Sami Ben Hassine, We Finally have Revolution on our Minds, dalam Guardian News and Media, The Arab Spring, (London: Guardian Books, 2012), 215. 22

Informasi mengenai revolusi yang terjadi menyebar secara cepat melalui media. Protes yang pada awalnya merupakan ekspresi terhadap banyaknya penangguran, tingginya harga makanan, dan keterbatasan pers menjalar ke isu yang lebih berat seperti keinginan masyarakat untuk menurunkan Ben Ali dari kursi pemerintahan. Gerakan yang diawali oleh Bouazizi tersebut mendorong rakyat Tunisia untuk berani berekspresi.50 Meskipun Tunisia mengalami beberapa perkembangan dalam isu sosial seperti tingkat pendidikan yang tinggi dan jumlah masyarakat kelas menengah yang juga tinggi, adanya pembagian kelas sosial tidak dapat dihindarkan. Pembagian kelas sosial dan juga gerakan buruh menjadi pilar utama pemicu revolusi di Tunisia.51

Aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Bouazizi tidak hanya berdampak secara lokal, yakni mendorong masyarakat Tunisia untuk melakukan protes terhadap pemerintahan Ben Ali, tetapi juga berdampak pada negara Arab lainnya, salah satunya adalah Mesir. Mundurnya Ben Ali dari kepemimpinan di

Tunisia pada 14 Januari 2011 memberikan pencerahan bagi rakyat Mesir yang berusaha untuk menjatuhkan kepemimpinan .52

Tidak jauh berbeda dengan aksi yang dilakukan Bouazizi, protes di Mesir juga diawali dengan aksi pembakaran diri oleh Abdou Abdel-Monaam Hamadah yang merupakan seorang pemilik restoran yang putus asa dengan kondisi ekonomi di Mesir. Meskipun aksi tersebut tidak memperoleh perhatian langsung yang

50 Alyssa Alfano, “A Personal Perspective on ”, dalam Alasdair MacKay, :The Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, (2011): 7. 51 Jason William Boose, “Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and The Arab Spring”, International Journal of Social Science and Humanity, 2:4 (Juli, 2012): 314. 52 Hamid Dabashi, “The Arab Spring: The End of Postcolonialism”, (London: Zed Books, 2012), 18. 23

signifikan selayaknya yang terjadi di Tunisia, tetapi aksi tersebut mampu memicu aksi protes yang lebih besar melalui “Day of Rage” pada 25 Januari 2011 untuk menurunkan rezim Mubarak.53

Pada akhir Januari 2011, ribuan rakyat Mesir berkumpul di Tahrir Square masih dengan agenda yang sama, meminta mundurnya Mubarak dari kursi kepemimpinan. Mubarak menolak untuk mundur, namun berjanji akan memberikan reformasi demokratis serta tidak akan mencalonkan diri kembali dalam pemilu berikutnya. Rakyat tetap memaksa Mubarak untuk turun melalui aksi protes lainnya pada 1 Februari 2011 di lokasi yang sama, Tahrir Square. Aksi protes masih berlanjut pada 4 Februari 2011 melalui “Day of Departure”. Aksi tersebut mendapatkan respon dari selaku Perdana Menteri untuk melakukan negosiasi dengan pihak oposisi, termasuk . Sang presiden masih menolak untuk mengundurkan diri. Pada 11 Februari, Omar

Suleiman yang baru saja diangkat menjadi wakil presiden menyatakan pengunduran diri Hosni Mubarak dan dengan demikian kekuasaan sementara berada di tangan militer.54

Selanjutnya, aksi protes menyebar di negara lainnya seperti Yaman,

Bahrain, hingga Suriah. Tidak berbeda dengan negara-negara sebelumnya, rakyat

Yaman juga menginginkan kemunduran sang presiden, .

Presiden Saleh yang telah menjabat sejak tahun 1990 merespon aksi protes dengan menyatakan bahwa dirinya tidak akan melakukan re-eleksi pada pemilu yang akan datang dan hanya akan menjabat hingga masa kepemimpinannya berakhir pada

53 Dabashi, The Arab Spring, 18. 54 Dabashi, The Arab Spring, 18-19. 24

2013. Namun, rakyat Yaman tetap melanjutkan aksi protes melalui “Day of rage” pada 3 Februari 2011.55

Selama proses demonstrasi yang terjadi, tokoh militer dan beberapa menteri beralih memberikan dukungan kepada para demonstran, berbeda dengan sang Presiden yang masih mempertahankan kepemimpinannya. Aksi demonstrasi ini masih terus berlanjut hingga Mei 2011 yang menimbulkan banyak korban jiwa akibat bentroknya militer pemerintah dengan pihak oposisi. Pada bulan Juni 2011,

Presiden Saleh terkena tembakan roket di kediaman kepresidenan dan diterbangkan ke Arab Saudi.56

Aksi protes dengan menggunakan istilah “Day of Rage” tidak hanya dilakukan oleh para protestan di Mesir dan Yaman, rakyat Bahrain juga melakukan aksi yang sama pada 14 Februari 2011. Namun, aksi protes di Bahrain ini dikatakan berbeda dengan Arab Spring karena dipicu oleh perbedaan Sunni-

Siah yang ada dalam struktur sosial Bahrain. Meskipun demikian, pemicu lainnya tidak dapat dilepaskan dari hal-hal ekonomi yakni adanya tindak korupsi oleh para elit politik. Aksi protes yang dilakukan di Pearl Square menelan korban jiwa dan mendorong sang pemimpin, yang telah menjabat sejak

1942, melepaskan beberapa tahanan politik sebagai langkah damai dengan pihak oposisi.57

Di Suriah, aksi protes pertama terjadi di bagian selatan Suriah, tepatnya di kota Dera’a pada 18 Maret 2011. Pada aksi protes awal yang terjadi di Suriah

55 Dabashi, The Arab Spring, 20. 56 Dabashi, The Arab Spring, 21 57 Dabashi, The Arab Spring, 21. 25

tersebut, rezim Bashar Al Assad langsung merespon protes tersebut secara militer.

Semakin banyak para protestan yang mempertahankan diri dengan persenjataan, semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad. Dalam krisis politik di Suriah, rezim Assad memperoleh bantuan, baik secara militer maupun finansial, dari negara-negara besar seperti Rusia dan Tiongkok. Dalam menghadapi krisis tersebut, rezim Assad juga memperbaharui beberapa aturan dalam negeri seperti memodifikasi manajemen hubungan regional dan internasional untuk mengurangi sanksi diplomatik dan ekonomi.58

2. Arab Spring di Libya (Libya Spring)

Arab Spring yang terjadi di Libya atau dapat dikatakan sebagai Libya

Spring merupakan krisis politik yang terjadi di Libya. Pada 15 Februari 2011, kerusuhan mulai terjadi di Libya tepatnya di depan markas besar kepolisian di

Benghazi. Kerusuhan tersebut semakin menyebar hingga pada 17 Februari terjadi aksi protes di kota besar Libya, Benghazi dan Tripoli.59 Ratusan rakyat Libya menjadi korban jiwa hanya dalam hitungan hari dari awal kerusuhan terjadi.

Berbeda dengan kepala pemerintah lain yang berupaya untuk melakukan negosiasi dengan rakyat atau setidaknya menawarkan perubahan, Moammar Qaddafi dan juga anaknya Saif al-Islam menyatakan sikap keras terhadap pihak oposisi melalui ancaman penyerangan.60

58 Steven Heydemann, “Tracking The Arab Spring: Syria and The Futur of Authoritarianism”, Journal of Democracy 24:4 (Oktober, 2013): 62-63. 59 Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, Global Center for Responsibility to Protect: Occasional Paper Series, 3 (Oktober, 2012): 5. 60 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5. 26

Kerusuhan yang terjadi di Libya diawali oleh aksi seorang individu yang diketahui tidak memperoleh akses pendidikan dan informasi. Organisasi masyarakat di Libya tidak dibenarkan keberadaannya di bawah kepemimpinan

Qaddafi dan sektor swasta juga memiliki andil yang lemah. Ekonomi menjadi pemicu dari kerusuhan yang terjadi, seperti isu pengangguran, pendapatan yang rendah, dan ketimpangan sosial.61

Meskipun memiliki dasar yang sama dengan krisis di negara Arab lain, kerusuhan di Libya berlangsung lebih lama dan menelan lebih banyak korban jiwa. Hal ini dikarenakan cara dan sikap Qaddafi dalam menghadapi para protestan, yakni dengan menggunakan kekerasan. Semakin banyaknya korban jiwa semakin banyak pula elit-elit pemerintah yang membelot dan memutuskan untuk bergabung dengan rakyat Libya. Akibatnya, bentrokan yang terjadi antara militer Qaddafi dan rakyat Libya semakin sulit untuk ditangguhkan. Pembentukan badan perwakilan rakyat Libya atau NTC semakin menguatkan pihak oposisi, meskipun tidak membuat Qaddafi menyerah dan memutuskan untuk mundur dari kepemimpinannya.62

Jumlah korban jiwa yang dihasilkan pada awal krisis di Libya mendorong banyak pihak untuk memberikan respon terkait krisis tersebut. Sejak tanggal 15

Februari hingga 22 Februari 2011 terdapat 200 korban jiwa yang tercatat oleh

Dewan HAM PBB (UN Human Right Council) dan 500-700 korban jiwa yang tercatat oleh Pengadilan Internasional (International Criminal Court, ICC).

61 Wolfram Lacher, “The Libyan Revolution: Old Elites and New Political Forces”, dalam Muriel Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”, German Institute for International and Security Affairs, Research Paper 6 (Februari, 2012): 11. 62 Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”, 11. 27

Organisasi-organisasi seperti PBB, Uni Afrika, Liga Arab, Organisasi Konferensi

Islam (OKI) turut memberikan respon terhadap krisis yang menelan ratusan korban jiwa tersebut.63

Ban Ki-Moon, selaku Sekertaris-Jenderal PBB, pada 20 Februari 2011 melakukan negosiasi dengan Qaddafi melalui telepon untuk mengajak sang diktator menghentikan kekerasan terhadap rakyat Libya secepatnya. Sikap

Qaddafi yang menolak ajakan tersebut mendorong para elit politik di Libya untuk memihak kepada sipil. Dua hari berikutnya, Komisaris PBB untuk HAM, Navi

Pillay, menyatakan kepada otoritas Libya untuk menghentikan kekerasan terhadap

HAM dan menggambarkan situasi di Libya sebagai “kejahatan terhadap manusia” atau “crimes against humanity”.64

Dalam merespon perang saudara di Libya, Dewan Keamanan PBB (DK-

PBB) pada 26 Februari 2011 menetapkan Resolusi 1970 mengenai “tanggung jawab otoritas Libya dalam melindungi populasinya”. Dalam resolusi tersebut ditetapkan embargo senjata, pembekuan aset, pelarangan bepergian dan menyerahkan situasi krisis ke pihak ICC. Eskalasi kekerasan terhadap sipil mendorong DK-PBB untuk mengadopsi Resolusi 1973 pada 17 Maret 2011 dan disetujui oleh 10 dari 15 anggota DK-PBB. Resolusi 1973 lebih menekankan pada upaya gencatan senjata untuk menghentikan penyerangan terhadap sipil serta

63 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6. 64 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 28

upaya intensif untuk mencari solusi atas krisis termasuk di dalamnya aksi militer.65

Selain dari pihak PBB, organisasi internasional lain seperti Liga Arab, Uni

Afrika dan OKI, masing-masing memberikan respon terhadap krisis yang dihadapi rakyat Libya. Pada 22 Februari 2011, Uni Afrika dan OKI sama-sama memberikan pernyataan tegas terhadap otoritas Libya untuk segera menyudahi penyerangan terhadap rakyat sipil. Liga Arab melarang Libya untuk menghadiri pertemuan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Pada 14 Maret 2011, Dewan

Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika membentuk Komisi Tingkat Tinggi.66

18 Maret 2011, DK-PBB memberikan izin terhadap NATO untuk menerapkan no-fly zone di Libya.67 Kebijakan tersebut dilakukan juga oleh negara koalisi NATO seperti Swedia, Yordania, Qatar dan Uni Emirat Arab. Pada 29

Maret, NATO secara resmi mengambil alih seluruh operasi militer di Libya melalui “Operations Unified Protector”. Koalisi yang dilakukan negara-negara tersebut juga memberikan bantuan langsung terhadap pihak oposisi yang bermarkas di Benghazi, Misrata, Tripoli, dan juga di Sirte.68

Meskipun telah banyak keterlibatan pihak asing beserta sanksi terhadap

Libya, tidak membuat sikap Qaddafi melunak. Sikap keras Qaddafi mendorong

NATO untuk melakukan penyerangan terhadap lokasi-lokasi ditempat sang

65 “10 anggota DK PBB yang menyetujui Resolusi 1973: Bosnia-Herzegovina, Kolombia, Perancis, Gabon, Libanon, Nigeria, Portugal, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat; dan 5 anggota DK PBB yang tidak memberikan suara: Brasil, Cina, Jerman, India dan Rusia”. Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 66 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 67 Dabashi, The Arab Spring, 20. 68Marianne Mosegaard Madsen dan Simone Sophie Wittstrøm Selsbæk, “The Responsibility to Protect and the intervention in Libya”, Roskilde University:Department of Society and Globalisatio, (Desember, 2012): 17. 29

diktator berada. Bom yang sempat diluncurkan di Tripoli dan Misrata tidak berhasil mengenai Qaddafi melainkan salah satu anaknya dan tiga orang cucunya.69

Banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh Qaddafi, pada bulan Agustus,

ICC menyatakan bahwa Qaddafi dan anaknya serta kepala intelijen Libya dinyatakan sebagai pidana atas kejahatan yang diperbuat. Otoritas Libya kemudian diserahkan kepada pihak oposisi NTC. Pada 24 Oktober 2011, NTC menyatakan berakhirnya perang saudara diikuti dengan tewasnya Qaddafi dan anaknya pada 20 Oktober 2011. Selanjutnya, pada 26 Oktober 2011 kebijakan no- fly zone berakhir diikuti dengan misi NATO di Libya pada 31 Oktober 2011.70

B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya

NTC merupakan perwakilan rakyat Libya yang dibentuk oleh pihak-pihak yang melawan pemerintahan Qaddafi terkait krisis politik yang terjadi pada tahun

2011. Pihak-pihak oposisi ini tidak begitu saja lahir ketika fenomena Arab Spring terjadi, melainkan telah ikut berpartisipasi dalam revolusi-revolusi sebelumnya.

1. Lahirnya Kelompok Oposisi di Libya Pada Masa Rezim Qaddafi

Muammar Qaddafi memperoleh kepemimpinannya melalui “revolusi

Libya” pada tahun 1969 melalui kudeta militer terhadap pemimpin sebelumnya,

69 Madsen dan Selsbæk, “The Responsibility to Protect”, 17. 70 Madsen dan Selsbæk, “The Responsibility to Protect”, 18 30

Raja Idris.71 Kudeta militer tersebut dilakukan melalui kepemimpinannya dalam

Revolutionary Command Council (RCC) dan atas keberhasilan dalam aksi kudeta membuat Qaddafi diangkat sebagai pemimpin bagi rezim yang baru. Libya di bawah kepemimpinan Qaddafi memperoleh bentuk baru yang mana hukum- hukum lama dihapuskan oleh sang pemimpin, serta pada tahun 1973 Qaddafi menghapuskan pemerintahan Libya dan mendeklarasikan bentuk Libya yang baru, yakni Jamahiriya atau Negara Rakyat.72

Meskipun Qaddafi telah mendeklarasikan Libya sebagai Negara Rakyat, dalam prakteknya rakyat tidak diberikan ruang untuk berekspresi. Tidak adanya partai politik, persatuan perdagangan, dan organisasi umum lainnya menggambarkan bentuk pembatasan terhadap kebebasan rakyat sipil. Beberapa organisasi sipil diakui keberadannya, seperti Boy Scouts dan Red Crescent, untuk menghindari amukan rakyat sipil.73

Pada tahun 1959, Libya menemukan sumber cadangan minyak yang berhasil memberikan keuntungan bagi negara tersebut. Namun, ketika Qaddafi menduduki kursi kepemimpinan, keuntungan dari penjualan minyak tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan rezim, agar rezim Qaddafi tetap menduduki kekuasaan. Meskipun sebagian keuntungan disisihkan untuk subsidi, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk “menutup mulut” rakyat agar tidak membelot.74

71 Rosan Smith, et.al., “Revolution and Its Discontents: Stae, Factions, and Violence in The New Libya”, Netherland Institute of International Relations, (September, 2013): 11. 72 David Seddon, A Political and Economic Dictionary of The Middle East: An Essential Guide to the Politics and Economics of the Middle East, (London: Taylor and Francis Group, 2004), 408. 73 Bruce St. John, “Libyan Myths and Realities”, Copenhagen: Royal Danish Defense College., (Agustus, 2011): 6. 74 Smith, et.al., “Revolution and Its Discontents”, 8. 31

Aksi kecurangan yang dilakukan rezim tersebut mendorong rakyat Libya untuk membentuk gerakan oposisi bahkan sejak awal kepemimpinan Qaddafi.

Gerakan oposisi di Libya telah muncul pada tahun 70-an, yakni tidak lama setelah Qaddafi berhasil menduduki pemerintahan Libya. Wilayah Timur Libya merupakan wilayah dimana pihak oposisi terkuat berada. Pada tahun 1970-an gerakan oposisi terbentuk oleh pihak militer dan para pelajar. Pada tahun 1980-an gerakan oposisi didominasi oleh aktor-aktor yang diasingkan. Pada tahun 1990-an terbentuk oposisi yang terinspirasi dari nilai-nilai Islam.75

Sebelum krisis politik yang terjadi pada tahun 2011 lalu, upaya menurunkan rezim Qaddafi telah beberapa kali dilakukan oleh rakyat Libya. Pada tahun 1976, rezim Qaddafi menekan sebuah kelompok mahasiswa, Libyan

Student Union, yang sempat melakukan pemberontakan dan mengeksekusi pemimpin dari kelompok tersebut serta menyiksa beberapa mahasiswa.

Pemberontakan kembali dilakukan pada tahun 1980-an ketika kelompok oposisi dari pihak-pihak yang diasingkan melalui Libyan Salvation Front melakukan aksi protes. Dan pada tahun 1990 kembali terjadi aksi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Islamis seperti Libyan Islamist Fighting Group (LIFG) yang berasal dari wilayah Timur Libya. Aksi-aksi pemerontakan tersebut menghasilkan

10.000 rakyat Libya diasingkan oleh rezim Qaddafi.76

75 Ali Abdullatif Ahmida, “The Libyan National Transitional Council: Social Bases, Membership, and Political Trends”, Aljazeera Center for Studies: Reports, (Oktober, 2011): 3. 76 Ahmida, “The Libyan National Transitional Council”, 3. 32

2. NTC sebagai Perwakilan Resmi Rakyat Libya

Kelompok-kelompok oposisi Libya yang telah terbentuk sejak tahun 70-an tersebut memberikan respon terhadap Arab Spring yang terjadi di Libya melalui pembentukan badan revolusi yang dinamakan NTC.77 Peresmian badan pemerintahan sementara Libya ini dideklarasikan setelah meninggalnya sang pemimpin dan berakhirnya perang sipil pada 24 Oktober 2011. Perdana Menteri

Abdurrahim al Kib mengetuai kabinet sementara NTC hingga badan tersebut terbentuk secara utuh.78

Meskipun baru dinyatakan secara resmi sebagai pemerintahan sementara

Libya, NTC telah terbentuk sejak awal krisis politik Libya terjadi, yakni pada 17

Februari 2011. NTC memiliki dua kelompok utama di dalamnya, yakni perwakilan dari seluruh wilayah Libya serta dewan lokal dari wilayah bagian

Timur Laut. Anggota-anggota dari NTC terdiri dari pihak-pihak yang membelot rezim Qaddafi, reformis, teknokrat, pejuang oposisi keturunan aristokrat dan keluarga bangsawan pada zaman Monarki Libya, pengacara, professor, hingga pebisnis yang diasingkan dari wilayah Barat. Pembentukan NTC ini juga didukung oleh salah satu kelompok Islamis, Muslim Brotherhood.79

Pembentukan badan NTC ini bertujuan untuk mengarahkan Libya selama periode transisi. NTC yang telah terbentuk sejak awal revolusi ini mewakili

77 Ahmida, “The Libyan National Transitional Council”, 4. 78 Susan Power, “The Role of the NTC in the Economic Reconstruction of Libya”, Socio-Legal Studies Review, 1 (2012): 115. 79 Power, “The Role of The NTC”, 117 33

seluruh kota yang ada di Libya dan memperoleh legitimasi dari dewan lokal yang dibuat oleh rakyat Libya yang terlibat dalam revolusi.80

NTC dapat dikatakan sebagai badan yang dibuat oleh pihak lokal Libya untuk menghadapi krisis politik. Dari dunia internasional, terdapat Libya Contact

Group81 (LCG) sebagai upaya dunia internasional dalam membantu menangani krisis di Libya yang dibuat pada 29 Maret 2011. Dalam upaya untuk mewujudkan

Libya yang bebas dan demokratis, LCG memberikan pengakuannya terhadap

NTC sebagai otoritas yang sah bagi rakyat Libya pada 15 Juli 2011.82 Selain

LCG, beberapa negara seperti Perancis, Jerman, Italia, Tiongkok, Rusia, Jordania,

Kuwait, Uni Emirat Arab, termasuk Qatar turut memberikan pengakuan terhadap

NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.83

Meskipun telah memperoleh legitimasi dari level domestik maupun internasional, peran NTC dilihat dari statusnya sebagai pemerintah “sementara” menjadikan peranannya terbatas. Dalam Resolusi DK-PBB 2022, pembentukan

NTC dilakukan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi implementasi mandat PBB untuk Libya (UNSMIL). Tetapi, NTC tetap memperoleh haknya untuk menerima kembali aset-aset negara yang sebelumnya dibekukan. Dalam

Resolusi DK-PBB 2009, NTC harus mengembalikan dan mengalokasikan dana

Libya secara terbuka dan transparan. Dengan adanya pengembalian aset tersebut,

80 Power, “The Role of The NTC”, 118. 81 “LCG merupakan kelompok yang mengupayakan dukungan bagi rakyat Libya dari pihak internasional seperti Liga Arab, Uni Afrika, NATO, GCC, OKI serta negara-negara seperti Australia, Bahrain, Denmark, Jerman, Kanada, Inggris, dan AS”. dalam Power, “The Role of The NTC”, 118. 82 Power, “The Role of The NTC”, 118. 83 John, “Libyan Myths and Realities”, 10. 34

NTC diharapkan dapat memainkan peran penting dalam upaya merekonstruksi

Libya.84

84 Power, “The Role of The NTC”, 125. BAB III

PERAN QATAR DALAM KRISIS POLITIK DI LIBYA

Fenomena Arab Spring, termasuk krisis politik yang terjadi di Libya, mengundang respon-respon dari dunia internasional, baik dari organisasi internasional, organisasi regional, maupun negara secara individu. Salah satu negara Arab yang memberikan respon terhadap krisis politik di Libya ialah Qatar.

Dalam melihat respon Qatar terhadap krisis tersebut, ada baiknya untuk menjelaskan terlebih dahulu kedudukan Qatar secara regional di Timur Tengah.

A. Kedudukan Qatar di Timur Tengah

Gambar 1. Peta Qatar di Timur Tengah

Sumber85: CIA: The World Factbook

Qatar merupakan negara kecil di kawasan Timur Tengah yang memiliki luas wilayah 11.586 km2 dengan populasi sebanyak 2.123.160 jiwa (untuk

85 “The World Factbook: Qatar”, CIA, tersedia di diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15.

35

36

perhitungan bulan Juli 2014). Meskipun dengan wilayah yang kecil, kesediaan sumber minyak dan gas memosisikan Qatar menjadi negara dengan tingkat pendapatan per kapita tertinggi di dunia pada tahun 2007.86 Tingkat kekayaan ekonomi Qatar tersebut menjadikan Qatar tidak terkena dampak Arab Spring dilihat dari pemicu fenomena tersebut yang umumnya mengenai permasalahan ekonomi. Selain menjadi salah satu negara terkaya di dunia, pada tahun 2007

Qatar mampu memainkan peran di dunia internasional sebagai salah satu anggota tidak tetap DK-PBB.87

Qatar memperoleh kemerdekaannya dari Britania Raya pada tahun 1971.

Namun, pada awal kemerdekaan, Qatar merupakan negara kecil dengan populasi yang sedikit dan menjadi negara yang terabaikan. Meskipun pada tahun 80-an produksi minyak Qatar meningkat, namun Qatar belum cukup menarik perhatian investor asing untuk bekerjasama dalam sektor energi. Situasi ini berubah ketika

Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani melakukan kudeta terhadap ayahnya, Emir

Khalifa bin Hamad Al-Thani. Kepemimpinan Emir Hamad mampu membawa

Qatar menjadi negara yang lebih dikenal di dunia internasional.88

Qatar, di bawah kepemimpinan Emir yang baru, mencapai perubahan positif negara tersebut melalui beberapa strategi yang baru pula. Kemajuan yang diperoleh Qatar ini tercapai melalui tiga strategi utama, yakni liberalisasi ekonomi, proyek kebijakan luar negeri dan “state branding”. Ketiga strategi kunci ini mendorong Qatar untuk menjadi negara yang kaya, netral dan visioner

86 “The World Factbook: Qatar”, CIA, tersedia di diakses pada 23 Juli 2014, pukul 23.15. 87 Barakat, “The Qatari Spring”, 4. 88 J.E. Peterson, “Qatar’s International Role: Branding, Investment, and Policy Projection”, Norwegian Peacebuilding Resource Centre, Policy Brief (February, 2013): 1. 37

serta memancing para investor asing dan para turis sekaligus juga menjembatani hubungan antara Timur Tengah dan Barat terutama dalam upaya perdamaian.89

Dalam liberalisasi ekonomi, Qatar memfokuskan pada sektor investasi.

Strategi Qatar untuk bermain aktif di dunia internasional adalah melalui investasi.

Saham di beberapa bank dan perusahaan ternama di dunia, seperti Barclays Bank,

London Stoke Exchange, Porsche dan Volkswagen telah ditanamkan oleh negara monarki tersebut. Selain itu, lebih dari 1 miliar euro saham telah ditanam oleh

Qatar di Perancis termasuk di tim sepakbola Paris Saint-German. Saham-saham tersebut ditanamkan oleh Qatar sebagai upaya untuk menggantikan pendapatan di masa mendatang yang kini didominasi dari sektor minyak dan gas.90

Strategi yang kedua ialah terkait dengan kebijakan luar negeri. Proyek kebijakan luar negeri Qatar yang lebih bersifat aktif ini telah menjadi strategi utama yang digunakan oleh sang Emir, Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani.

Melalui aliansi eratnya dengan AS, Qatar mampu berperan dalam isu-isu internasional seperti di Iraq pada tahun 2003. Qatar juga secara independen aktif berperan sebagai mediator di kawasan yang umumnya merupakan isu pemberontakan. Salah satu perannya yang paling signifikan ialah keterlibatannya dalam isu Arab Spring, terutama di Libya dan Suriah.91

Dan strategi yang terakhir ialah state branding. State Branding yang dilakukan Qatar ini merupakan upayanya untuk lebih dikenal sebagai sebuah negara, terutama dalam lingkup global. Qatar menerapkan strategi ini melalui

89 Barakat, “The Qatari Spring”, 1. 90 Peterson, “Qatar’s International Role”, 2. 91 Peterson, “Qatar’s International Role”, 2. 38

beberapa cara, seperti mengadakan acara kebudayaan tahunan dalam Qatar

Cultural Fest, kepemilikan satelit televisi Aljazeera dan perusahaan penerbangan

Qatar Airways. Hal-hal tersebut menjadi langkah nyata bagi Qatar untuk bermain aktif di lingkungan internasional. Selain itu, state branding ini juga dilakukan melalui bidang olahraga, salah satunya adalah keberhasilan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 mendatang.92

1. Kedudukan Qatar di Timur Tengah sebelum Arab Spring

Sejak pertengahan tahun 2000, Qatar mulai aktif bermain dalam lingkungan global. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Qatar menjadi salah satu poin utama Qatar dapat berperan aktif di lingkungan internasional. Selain menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi selama beberapa tahun,

Qatar juga menjadi salah satu negara anggota tidak tetap DK-PBB. Aktifnya Qatar dapat dilihat terutama dari peran mediasi dalam menghadapi isu-isu di Timur

Tengah seperti yang dilakukan di Sudan, Libanon dan Yaman.

Pada awal tahun 2008, Menteri Luar Negeri Qatar, Ahmad bin Abdullah

Al-Mahmud mengawali upayanya untuk memediasi konflik yang terjadi di Sudan.

Upaya awal dilakukan dengan melakukan observasi mengenai konflik secara mendalam dengan memahami berbagai perspektif terkait konflik bersama aktor- aktor internasional lainnya seperti Amerika Serikat, Libya, Tiongkok, Perancis,

92 Peterson, “Qatar’s International Role”, 1-2. 39

PBB, Liga Arab, dan Uni Afrika.93 Hal tersebut dilakukan oleh Qatar untuk memahami secara mendalam mengenai konflik yang terjadi di Darfur tersebut.

Selain itu Al-Mahmud juga mengunjungi wilayah Darfur secara langsung untuk mengetahui kondisi konflik disana. Menurut pejabat Sudan dan Darfur, mediasi yang dilakukan Qatar berbeda dengan mediasi yang dilakukan oleh negara lain. Qatar berperan secara intim selama proses mediasi dengan pengetahuan mengenai situasi konflik secara mendalam. Pada tahun 2009, berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) yang dijalin antar kedua negara tersebut, Qatar dan Sudan sepakat untuk menjadikan Doha sebagai lokasi resmi untuk melangsungkan proses negosiasi.94

Mediasi yang dilakukan di Qatar dalam konflik Sudan memiliki kelemahan tersendiri. Lemahnya kordinasi, tranparansi, dan substansi dalam proses negosiasi menjadi salah satu kelemahan tersebut. Selain itu, ketua dari salah satu kelompok pemberontak Justice and Equality Movement (JEM), Ahmed

Huseein, menyatakan bahwa proses negosiasi yang dilakukan Qatar terburu-buru dilihat dari struktur negosiasi yang sederhana dengan jangka waktu yang singkat untuk melakukan upaya-upaya mediasi.95

Selanjutnya, Qatar juga menjadi mediator terkait konflik yang terjadi antara Hizbullah dan pemerintah Lebanon. Meskipun dalam kasus tersebut posisi

Qatar bukan sebagai mediator utama, melainkan Qatar berperan di bawah organisasi Liga Arab, tetapi Qatar tetap memainkan peran penting dalam upaya

93 Mehran Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, Middle East Journal, 65:4 (Autumn, 2011): 545. 94 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 546. 95 Barakat, “The Qatari Spring”, 21-22. 40

penyelesaian konflik.96 Pada Mei 2008, Doha Agreement berhasil ditandatangani sebagai perjanjian damai oleh kedua pihak yang bersengketa. Keberhasilan mediasi ini didasarkan pada adanya keyakinan pemerintah Lebanon dan Hizbullah terhadap upaya Qatar dalam memediasi konflik dan memberikan kuasa penuh terhadap Qatar dalam mengupayakan perdamaian97.

Namun demikian, resolusi 2008 tersebut tidak berhasil membenahi krisis yang terjadi di Lebanon hingga ke akar permasalahan. Selain itu, Qatar juga lemah dalam memahami konteks mediasi di Lebanon.98 Meskipun dengan kekurangan tersebut, Qatar telah berhasil meredam ketegangan antara pemerintah

Lebanon dengan Hizbullah.

Di Yaman, upaya memediasi konflik antara pemerintah Yaman dan pihak pemberontak Huthi dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada tahun 2007 dan

2010. Pada tahun 2007, Qatar membujuk pihak yang bersengketa untuk menghentikan peperangan dan berjanji akan mengalokasikan dana rekonstruksi.

Perdamaian dicapai pada tahun 2008 dengan Qatar memberikan dana rekonstruksi

300-500 juta dollar AS serta menyediakan tempat bagi pihak pemberontak yang diasingkan. Konflik kembali muncul pada tahun 2009 dan mendorong Qatar untuk melakukan negosiasi ulang pada tahun selanjutnya.99

Mediasi yang dilakukan oleh Qatar sempat dinyatakan gagal oleh Ali

Abdullah Saleh pada bulan Maret 2009. Kekecewaan rakyat Yaman terkait dengan banyaknya kebutuhan untuk proyek pembangunan membuat Qatar

96 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 548. 97 Barakat, “The Qatari Spring”, 18. 98 Barakat, “The Qatari Spring”, 18. 99 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 550. 41

menarik kembali bantuan yang sebelumnya diberikan. Pada 29 Agustus 2010, pembaruan perjanjian gencatan senjata dilakukan oleh Qatar meskipun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kegagalan dalam memediasi konflik di Yaman ini didasari pada kurangnya monitoring selama proses mediasi serta mekanisme follow-up yang tidak diterapkan dan membuat Qatar kurang memahami konflik tersebut.100

Meskipun upaya mediasi yang dilakukan Qatar memiliki kelemahan pada setiap prosesnya, namun peran mediasi tersebut mampu membentuk citra positif bagi Qatar. Ketekunan Qatar dalam mengupayakan perdamaian bagi negara- negara di kawasan Timur Tengah yang menghadapi konflik internal tidak jauh dari kemampuannya untuk mendanai proses negosiasi, memfasilitasi pertemuan selama proses negosiasi, komitmen untuk bersikap netral dan menciptakan perdamaian.101 Namun hal tersebut juga tidak dapat terlepas dari upaya Qatar untuk tetap mempertahankan eksistensinya. Sebagai negara kecil, Qatar ingin menunjukkan bahwa eksistensinya di mata dunia tidak hanya dilihat dari kekuatan ekonomi tetapi juga kekuatan politik.

2. Kedudukan Qatar di Timur Tengah pada Masa Arab Spring

Peran aktif yang dibangun Qatar di kawasan Timur Tengah sebagai mediator membentuk citra positif bagi perpolitikan Qatar di kawasan. Tetapi, berbeda dengan sikap netral yang diterapkan oleh Qatar terhadap isu-isu yang terjadi sebelumnya, pada isu Arab Spring, Qatar lebih mengaktifkan peranannya

100 Barakat, “The Qatari Spring”, 17. 101 Kamrava, “Mediation and Qatari Foreign Policy”, 539. 42

dengan lebih memihak. Sikap keberpihakan Qatar ini dicenderungkan kepada pihak pemberontak dibandingkan terhadap rezim yang berkuasa. Meskipun perannya lebih banyak dilakukan berdasarkan keanggotaanya di dalam organisasi regional, Qatar tetap menjadi salah satu negara yang paling aktif dalam menyuarakan pendapat dalam merespon fenomena tersebut.

Dalam fenomena Arab Spring, terdapat beberapa negara yang terkena dampaknya meskipun dengan kapasitas yang berbeda. Seperti dalam merespon gejolak politik yang terjadi di Bahrain pada tahun 2011, Qatar memberikan dukungan terhadap misi yang dijalankan oleh GCC untuk menumpas para pemberontak. Selain dalam kasus Bahrain, gejolak politik yang terjadi di Yaman juga mendorong Qatar untuk memberikan sikap meskipun masih berada di dalam kerangka kerjasama GCC. Qatar mendukung inisiatif GCC untuk memilih proses negosiasi dalam masa transisi di Yaman dibandingkan penurunan rezim Ali

Abdullah Saleh secara langsung.102

Berbeda dengan respon yang diberikan Qatar terhadap Bahrain dan

Yaman, dalam menghadapi kasus yang terjadi di Libya dan Suriah, Qatar lebih memberikan respon secara tegas. Dalam kasus di Libya, Qatar memberikan bantuan baik secara politik, finansial, bahkan militer untuk menunjang para pemberontak dan mencapai perdamaian.103 Sedangkan di Suriah, melalui Perdana

Menteri Qatar, Sheikh Hamad bin Jassim Al-Thani, Qatar berhasil membujuk pemimpin Suriah, Bashar al Assad untuk menandatangani perjanjian perdamaian dengan Liga Arab terkait krisis politik di Suriah. Dalam keberpihakannya dengan

102 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 419. 103 Barakat, “The Qatari Spring”, 28. 43

pihak oposisi, Qatar memberikan pengakuannya terhadap pihak oposisi di Libya

(National Transitional Council) dan di Suriah (National Coalition for Syrian

Revolutionary and Opposition Forces).104

Tabel 1. Indeks Perdamaian Global Tahun 2011

Negara 2011 2010 2009 2008 2007

Irlandia 11 6 12 6 4

Qatar 12 15 17 33 30

Swedia 13 10 6 13 7

Belgia 14 17 15 15 11

Jerman 15 16 16 14 12

Keterangan: Tahun 2011 Qatar menjadi negara dengan indeks perdamaian tertinggi ke-12 di dunia. Berbeda dengan tahun 2008 yang hanya menempati peringkat ke-33. Sumber105: The Guardian : Global Peace Indeks 2011.

B. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya

Sebelum memutuskan untuk melakukan intervensi dalam krisis politik yang terjadi di Libya, Qatar telah menjalin hubungan bilateral dengan salah satu negara kaya energi di Afrika tersebut. Hubungan bilateral ini akan dilihat dari dua periode, yakni hubungan bilateral sebelum terjadi Arab Spring dan hubungan bilateral pada masa Arab Spring.

104 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 422. 105 “Global Peace Indeks 2011: The Full List”, The Guardian, tersedia di diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15. 44

1. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya sebelum Krisis Politik

Hubungan bilateral Qatar dan Libya telah terjalin sebelum terjadinya Arab

Spring. Hubungan bilateral tersebut dapat terlihat dari beberapa ikatan kerjasama yang dijalin keduanya. Pada tahun 2002, Qatar dan Libya menjalin kerjasama dalam bidang industri, pertanian, dan juga menyepakati MoU dalam urusan kesehatan. Pada tahun 2004, beberapa kerjasama juga kembali dijalin seperti dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Di tahun yang sama pula kedua negara menjalin kerjasama dalam hal pertukaran dagang, kerjasama ekonomi, pengembangan dan perlindungan dalam hal investasi.106

Meskipun terdapat jalinan kerjasama antara Qatar dan Libya, namun dalam urusan tertentu kedua negara dengan kaya akan sumber energi tersebut tidaklah sejalan, terutama dalam urusan kelompok Islamis. Sejak tahun 90-an,

Qatar telah menjadi tuan rumah bagi para kelompok Islamis yang diasingkan dari

Libya, terutama LIFG. Qatar juga memberikan bantuan kepada salah satu tokoh

Islamis di Libya, Ali Al-Sallabi, untuk melakukan rekonsiliasi dengan Qaddafi setelah dirinya di penjara pada tahun 1999 karena mencoba melakukan pembunuhan terhadap Qaddafi.107

106 “Qatar Bilateral Relations: Libya”, Ministry of Foreign Affairs, tersedia di diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 13.50. 107 Lina Khatib, “Qatar Involvement in Libya: A Delicate Balance”, World Peace Foundation, tersedia di diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 14.15. 45

2. Hubungan Bilateral Pada Masa Krisis Politik

Seperti yang telah diketahui bahwa dalam Krisis Politik yang terjadi di

Libya, Qatar memberikan respon aktif melalui intervensi yang dilakukan dalam mendukung pihak oposisi. Dukungan yang diberikan Qatar terhadap NTC mampu mempererat hubungan antara kedua negara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

MoU yang dijalin keduanya pada tahun 2012 mengenai HAM. Selain itu juga beberapa kunjungan diplomatik dijalin keduanya pasca revolusi yang menggambarkan bahwa hubungan bilateral diantara keduanya masih berlangsung.108

Pada bulan Oktober 2011, Qatar dan pihak NTC sempat menjalin kerjasama melalui MoU dalam menyepakati kantor kejaksaan umum bagi kedua negara. Kerjasama tersebut disepakati sebagai upaya untuk menjalin komitmen mengenai pertukaran informasi perihal hukum, undang-undang, peraturan dan sistem peradilan di kedua negara tersebut. Selain itu juga kerjasama dijalin dalam urusan pelatihan staff-staff hukum di area kerjasama yang telah disepakati.109

Selain dalam bidang hukum, Qatar dan NTC juga menjalin kerjasama dalam sektor ekonomi. Investasi Qatar di Libya diketahui mencapai 10 miliar dollar AS sejak akhir periode rezim Qaddafi dan sejak pemerintahan Libya diambil alih oleh pihak NTC, hubungan bilateral dalam bidang ekonomi semakin erat. Hal ini dapat terlihat dari beberapa proyek kerjasama infrastruktur yang dikembangkan. Pembangunan hotel, komplek perumahan dan fasilitas hiburan

108 “Qatar Bilateral Relations: Libya”, . 109 “Qatar-Libya NTC sign Legal Cooperation”, The Peninsula, 17 Oktober 2011, tersedia di diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.09. 46

juga menjadi proyek pembangunan yang dijalin antara perusahaan Qatar – Barwa

Real Estate Company, dan perusahaan negara Libya – Libyan Development and

Investment Company.110

Masih dalam proyek infrastruktur, Al-Libya Al-Qataria (ALAQ) juga membangun usaha komplek perumahan mewah bernama “The Waterfront”. Selain itu, dalam sektor penerbangan, Qatar Airways telah mengaktifkan operasi penerbangan Doha-Benghazi sebanyak empat kali dalam seminggu.111 Jalinan kerjasama tersebut menjadi bukti eratnya hubungan bilateral antara Qatar dengan pemerintah Libya.

Tetapi eratnya hubungan antara pemerintah Qatar dan NTC sempat mendapatkan kritikan dari Duta Besar Libya untuk PBB, Abdurrahman Shalgham.

Ia sempat menyatakan bahwa bantuan-bantuan yang diberikan Qatar merupakan upaya Qatar untuk mendominasi Libya dan juga kawasan Timur Tengah. Ia juga menyatakan bahwa kesepakatan yang dijalin antara Qatar dan NTC bukanlah apa yang rakyat Libya inginkan dari hasil revolusi. Sebab, banyak rakyat Libya yang berperan penting dalam sektor energi dan perbankan yang ada di Qatar, sehingga tidak sepantasnya Libya menyetujui apa yang dikehendaki oleh Qatar.112

110 Will Ward, “Amid “Divorce” Talk, Economic Ties with Qatar Remain Strong”, The Libya Wire, 3(Januari, 2012):4. 111 “ALAQ merupakan usaha bersama antara Diar Real Estate Investment Company milik Qatar dan Oyia yang merupakan cabang usaha dari Economic and Social Development Fund milik Libya” dalam Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4. 112 “Shalgham Attacks Qatar: Libya Will Not Be Emirate Ruled by Commander of Faithful in Qatar”, Middle East Online, 4 November 2011, tersedia di diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.27. 47

C. Bentuk Dukungan Qatar terhadap Pihak NTC

NTC merupakan perwakilan resmi rakyat Libya dan telah memperoleh legitimasinya sebagai pemerintah sementara Libya selama masa transisi politik.

Sejak awal dibentuk, yakni tidak lama setelah revolusi Libya terjadi, NTC telah memperoleh bantuan-bantuan dari dunia internasional, termasuk Qatar. Bentuk dukungan Qatar ini berupa bantuan militer, ekonomi, serta politik.

Peran Qatar dalam krisis politik yang terjadi di Libya merupakan ekspresi dalam menegakkan perlindungan terhadap HAM. Secara politik, peran yang diberikan Qatar dalam menangani krisis di Libya ialah dengan memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif untuk menerapkan no-fly zone di bawah kerangka organisasi GCC dan Liga Arab pada bulan April 2011. Sebulan sebelumnya, Qatar menjadi negara Arab pertama yang memberikan pengakuannya terhadap NTC sebagai perwakilan resmi bagi rakyat Libya.113

Bantuan yang diberikan Qatar terhadap revolusi yang terjadi di Libya tidak hanya dilakukan melalui organisasi regional seperti GCC dan Liga Arab, tetapi juga melakukan koalisi dengan NATO dalam bidang militer. Koalisi tersebut dijalin melalui operasi udara yang dipimpin oleh NATO. Peran Qatar dalam operasi militer tersebut yakni melalui pengiriman enam buah kapal perang.

Operasi tersebut juga dilakukan untuk mengawasi kebijakan no-fly zone yang ditetapkan oleh PBB.114

Selain menyumbangkan enam buah kapal perang, dalam bidang militer

Qatar juga memberikan bantuan berupa pasukan bersenjata, penyediaan senjata

113 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 421 114 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 48

(yakni misil anti-tank dan senapan), pelatihan, serta konsultasi untuk operasi militer yang diberikan kepada pihak pemberontak. Para pasukan bersenjata Qatar juga ikut berbaris di lini depan bersama dengan para pemberontak Libya ketika menghadapi Qaddafi dan pasukan militernya pada bulan Oktober 2011. Mayor

Jenderal Qatar, Hamad bin Al Atiya menyatakan bahwa keberadaan pasukan bersenjata Qatar dalam operasi tersebut menjadi penengah antara pihak pemberontak dan juga pasukan NATO.115

Qatar juga memberikan bantuan dana serta logistik pada masa revolusi di

Libya. Bantuan dana yang diberikan oleh Qatar tercatat mencapai 400 juta dollar

AS. Qatar juga memberikan bantuan logistic seperti memberikan persediaan air, gas panas, diesel dan juga kebutuhan pokok lainnya.116 Dalam urusan energi,

Qatar memberikan bantuan untuk menjual minyak Libya. Untuk memfasilitasi ekspor minyak Libya tersebut, pada April 2012 Qatar National Bank menginvestasikan 49% sahamnya di Bank of Commerce and Development di

Benghazi.117 Qatar juga membantu menyiarkan stasiun televisi milik Libya, Libya al Ahrar, dari Doha. Selain itu, Qatar turut membantu LCG untuk mengordinasikan kegiatannya yang menghabiskan dana sebesar 2 miliar dollar

AS.118

Selain memberikan bantuan secara formal kepada pihak NTC, Qatar juga memberikan bantuan kepada kelompok Islamis serta kepada komandan pasukan

Tripoli, Abdul hakim Belhadj dan Al-Salabi bersaudara. Pemberian bantuan yang

115 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 116 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 117 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 420 118 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 421 49

dilakukan oleh Qatar terhadap pihak-pihak tersebut mendapat kritikan dari menteri keuangan dan minyak sementara di Libya, Ali Tarhouni. Kritikan tersebut menegaskan untuk pihak-pihak yang ingin memberikan bantuan kepada

Libya agar memberikannya secara langsung kepada pemerintah yang berwenang.

Ia menyatakan bahwa119:

“It’s time we publicly declare that anyone who wants to come to our house has to knock on our front door first.”

“Ini saatnya kami nyatakan secara terbuka bahwa siapapun yang ingin datang ke rumah kami harus mengetuk pintu depan.”

Kritikan tersebut dilakukan dalam upaya menegaskan bahwa pemberian bantuan kepada pihak-pihak khusus tanpa sepengetahuan pihak yang berwenang melanggar kedaulatan sebuah negara. Terlebih lagi pemberian bantuan berupa senjata dan uang diberikan kepada pihak yang berpotensi menimbulkan isu kemanan.120

119 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 15. 120 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 16. BAB IV

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG QATAR UNTUK

MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NTC

Fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah, termasuk Libya, memicu dunia internasional untuk membantu menghadapi krisis yang dialami oleh negara-negara yang terkena krisis politik. Qatar merupakan salah satu negara yang aktif melibatkan diri dalam proses penyelesaian konflik tersebut. Di Libya, peran Qatar merupakan peran yang paling signifikan dalam membantu meredam konflik dibandingkan negara-negara Arab lainnya. Salah satu upaya Qatar dalam meredam konflik di Libya ialah dengan memberikan dukungan terhadap pihak oposisi Libya yakni NTC. Beberapa dukungan yang diberikan Qatar terhadap

NTC di Libya tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi Qatar terhadap Libya.

A. Dukungan Qatar terhadap NTC sebagai Bentuk Intervensi

Sebuah tindakan intervensi, bagi Finnemore dapat diterapkan dengan menggunakan atribut militer yang memiliki tujuan kemanusiaan, yakni melindungi rakyat sipil dari pelanggaran kemanusiaan.121 Berdasarkan pemahaman mengenai intervensi tersebut, maka tindakan yang dilakukan Qatar melalui bantuan-bantuan secara militer dalam krisis politik yang terjadi di Libya dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi. Knudsen menyatakan bahwa

121 Martha Finnemore (1996) dalam Kardas, “Humanitarian Intervention”, 1.

50

51

sebuah intervensi merupakan tindakan campur tangan yang dilakukan secara paksa terhadap negara yang berdaulat dengan didasarkan pada kepedulian terhadap manusia.122

Intervensi pada dasarnya merupakan upaya untuk menerapkan tanggung jawab negara-negara dunia dalam isu kemanusiaan atau yang dikenal dengan responsibility to protect. Seperti yang dinyatakan oleh PBB123:

“… authorizing military intervention as a last resort, in the event of genocide and other large-scale killing, ethnic cleansing or serious violations of humanitarian law …” (United Nations High-Level Panel on Threats, Challenges and Changes, 2005)

“… mengesahkan intervensi militer sebagai upaya terakhir, saat terjadi genosida dan pembunuhan skala besar lainnya, pemusnahan etnis atau pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan…”

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa PBB memberikan izin sebuah intervensi militer sebagai upaya terakhir untuk menghentikan genosida dan pembunuhan skala tinggi, pemusnahan etnis, atau pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan lainnya. Intervensi ini dapat diterapkan ketika negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak berupaya untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Qatar dan negara lain yang melakukan intervensi dalam krisis politik yang terjadi di Libya pada tahun 2011 lalu merupakan sebuah upaya untuk

122 Tonny Brems Knudsen (1997) dalam Kardas, “Humanitarian Intervention”, 1. 123 “norm that there is a collective international responsibility to protect…civilians from the effect of war and human right abuses… This responsibility is exersicable by the Security Council, authorizing military intervention as a last resort, in the event of genocide and other large-scale killing, ethnic cleansing or serious violations of humanitarian law which sovereign Governments have proved powerless or unwilling to prevent” (United Nations High-Level Panel on Threats, Challenges and Changes, 2005) dalam Joshep S. Nye, Jr., Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and History, (New York: Longman, 1991), 161. 52

menghentikan atau meredam pelanggaran kemanusiaan akibat krisis. Sejak awal krisis, yakni 15 Februari hingga 22 Februari, telah terdata sebanyak 500-700 korban jiwa akibat kerusuhan yang terjadi di Libya.124 Kerusuhan yang terjadi tanpa adanya keinginan pemerintah untuk meredam konflik mendorong negara- negara lain untuk melakukan intervensi.

Intervensi yang dilakukan oleh Qatar dalam menanggapi krisis politik di

Libya merupakan otoritas yang diberikan oleh DK-PBB dalam resolusi 1973 tahun 2011.125 Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa DK-PBB memberikan izin kepada seluruh negara anggota PBB untuk melakukan segala upaya perlindungan terhadap masyarakat sipil di Libya. Tindakan tersebut dapat dilakukan secara nasional maupun tindakan di bawah kerangka organisasi regional tertentu.

Qatar sebagai salah satu negara Arab yang aktif dalam memberikan respon di Libya telah menerapkan beberapa langkah intervensi yang berbeda. Joseph Nye menjelaskan bahwa bentuk intervensi memiliki beberapa tahapan dari low coercion yang berupa pernyataan suatu negara terhadap negara lain hingga high coercion yang berupa invasi militer.126 Qatar memulai intervensi di Libya dengan pernyataan yang mengutuk tindakan kekerasan dalam aksi protes di Libya hingga aksi militer untuk menjatuhkan rezim Qaddafi.

124 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6. 125 “Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in cooperation with the Secretary- General, to take all necessary measures, notwithstanding paragraph 9 of resolution 1970 (2011), to protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab Jamahiriya, including Benghazi…”, S/RES/1973 (2011) 126 Nye, Understanding International Conflict, 162. 53

Pernyataan pemerintah Qatar yang mengutuk aksi kekerasan yang terjadi dalam revolusi 17 Februari 2011 di Libya merupakan langkah awal tindakan intervensi Qatar.127 Sebab, sebuah pernyataan resmi oleh otoritas sebuah negara merupakan bentuk terendah dalam intervensi. Nye menyatakan bahwa sebuah intervensi dapat dilakukan melalui sebuah pidato kenegaraan yang bertujuan untuk memengaruhi politik domestik negara lain.128 Dalam hal ini, pernyataan yang diajukan Qatar dilakukan untuk membujuk otoritas Libya agar menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi.

Bentuk intervensi lainnya yang dilakukan oleh Qatar ialah melalui bantuan ekonomi. Bantuan ekonomi Qatar di Libya menghabiskan dana hingga 400 juta dollar AS.129 Bantuan ekonomi juga dapat memengaruhi politik domestik di

Libya.130 Dengan memberikan bantuan kepada pihak NTC, Qatar membantu meningkatkan posisi NTC sebagai otoritas sementara Libya dalam menjalankan aktifitas kenegaraan.

Intervensi yang paling tinggi yang dilakukan oleh Qatar terhadap krisis politik di Libya ialah berupa bantuan militer. Intervensi dalam bentuk militer ini berupa bantuan perlengkapan dan pasukan militer. Bantuan militer menjadi intervensi tertinggi bagi Qatar dalam membantu pihak NTC, sebab bantuan militer tersebut juga memperkuat kemampuan militer NTC dalam menjatuhkan rezim

Qaddafi dari kursi pemerintahan Libya.

127 Peter Hutchison, et.al., “Libya Protest: As It Happened Feb 22”, The Telegraph, 23 Februari 2011, tersedia di: diakses pada 26 September 2014, pukul 21.58. 128 Nye, Understanding International Conflict, 162. 129 Barakat, “The Qatari Spring”, 27. 130 Nye, Understanding International Conflict, 162. 54

Intervensi Qatar dalam krisis politik di Libya didasarkan oleh beberapa faktor. Dalam melihat peran Qatar tersebut ada baiknya untuk melihat faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC.

Kebijakan luar negeri ini akan dianalisa melalui dua faktor utama, yakni faktor subjektif yang terdiri dari faktor idiosyncratic dan faktor objektif yang terdiri dari faktor internal dan eksternal.

B. Faktor-Faktor yang mendorong Kebijakan Qatar terhadap NTC

Bentuk-bentuk dukungan yang diberikan Qatar terhadap NTC terkait krisis politik di Libya pada tahun 2011 merupakan sebuah bentuk kebijakan luar negeri.

Hal ini didasarkan pada pernyataan Breuning mengenai kebijakan luar negeri yang merupakan hasil dari interaksi negara dengan lingkungan diluar batasnya.131

Meskipun Arab Spring tidak terjadi di Qatar, namun fenomena tersebut terjadi diluar batas negaranya. Sehingga, respon yang Qatar berikan terhadap krisis politik di Libya merupakan sebuah bentuk interaksi Qatar dengan lingkungan eksternalnya.

Interaksi dilakukan negara sebagai bentuk kebijakan luar negeri yang berupa tindakan terhadap negara lain untuk mencapai sebuah tujuan nasional.132

Kebijakan yang diterapkan Qatar terhadap NTC merupakan sebuah tindakan yang di dalamnya terdapat tujuan nasional Qatar, yakni ingin membesarkan nama Qatar di lingkungan internasional. Dalam menganalisa kebijakan luar negeri, terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut.

131 Breuning, Foreign Policy Analysis, 5. 132 Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 116. 55

1. Faktor Internal

Dalam melihat faktor yang memegaruhi Qatar dalam memberikan dukungan terhadap pihak NTC dapat dilihat dari faktor internal Qatar. Faktor internal dalam hal ini dimaksudkan sebagai kondisi lingkungan domestik Qatar dalam menetapkan sebuah kebijakan.133 Dengan demikian, kondisi perekonomian serta kepentingan ekonomi akan menjadi faktor yang memengaruhi Qatar dalam membantu pihak NTC.

a. Atribut Ekonomi

Salah satu faktor internal atau atribut nasional yang memengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara ialah atribut ekonomi. Karakteristik ekonomi dapat memengaruhi kebijakan luar negeri terutama jika dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kekayaan ekonomi sebuah negara.134 Dengan demikian, kekayaan dan tingkat pertumbuhan ekonomi Qatar memberikan pengaruh bagi kebijakan luar negeri Qatar dalam memberikan bantuan kepada pihak NTC.

Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

Qatar mampu memainkan peran aktif dalam krisis politik di Libya. Pertumbuhan ekonomi ini dapat dilihat dari kapasitas gas alam cair atau Liquefied Natural Gas

(LNG) yang tinggi yang dimiliki oleh Qatar. Sektor gas ini menjadi salah satu penunjang pertumbuhan ekonomi Qatar yang paling signifikan, yakni melalui investasi besar dan peningkatan kapasitas produksi dalam sektor LNG. Selain itu,

133 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 124. 134 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 126. 56

dukungan penuh dari pemerintah terhadap sistem perbankan di negara tersebut juga menjadi pendorong tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Qatar.135

Pertumbuhan ekonomi Qatar yang tinggi ini dapat terlihat dari Pendapatan

Domestik Bruto (PDB) dalam negerinya yang mencapai total 185 miliar dollar AS tahun 2012. Pendapatan dari sektor minyak dan gas menjadi pemicu tingginya pertumbuhan ekonomi Qatar sejak tahun 2008 hingga 2012, yakni sebanyak

75%.136 Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut menjadikan Qatar sebagai salah satu negara terkaya didunia.

Tabel 2. Daftar Negara Terkaya di Dunia 2011-2012

No. Negara PDB per Kapita

1. Qatar US$ 88.222

2. Luxemburg US$ 81.466

3. Singapura US$ 56.694

4. Norwegia US$ 51. 959

5. Brunei Darussalam US$ 48. 333

Sumber137: Forbes: “The World’s Richest Country”.

Toma dan Gorman menyatakan bahwa negara yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi akan cenderung terlibat dalam perpolitikan dunia.138 Sebab,

135 “Qatar Economic Statistics at a Glance”, Qatar Statistic Authority, 2012, tersedia di diakses pada 14 September 2014, pukul 15.15. 136 Paul Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, The Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African Studies: Tel Aviv University, 3:4 (April, 2013): 2. 137 “The World’s Richest Country”, Forbes tersedia di , diakses pada 28 September 2014, pukul 22.56. 138 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues,126. 57

keterlibatan tersebut membutuhkan biaya, terutama dalam urusan pemberian bantuan luar negeri. Dengan kemampuan ekonominya yang tinggi tersebut mendorong Qatar untuk mampu memberikan bantuan baik finansial maupun logistik kepada pihak oposisi Libya.

Tingkat kekayaan sebuah negara dapat menentukan posisi negara tersebut sebagai penerima atau pendonor bantuan.139 Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kekayaan yang dimiliki oleh Qatar memosisikan negara tersebut untuk mampu menjadi pendonor yang aktif dalam menghadapi konflik kawasan. Sebab, negara yang kaya akan mampu untuk membiayai kebutuhan untuk berpartisipasi dalam interaksi global, seperti responsif dalam menghadapi isu dan juga dalam kerjasama internasional. 140

Dengan demikian, atribut ekonomi Qatar menjadi salah satu faktor utama yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC dalam menghadapi krisis politik di Libya. Status yang dimiliki oleh Qatar sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi memberikan Qatar kemampuan untuk dapat mengakomodasikan kebijakan intervensi dalam perpolitikan negara lain.

Hal ini menjadi bukti bahwa negara dengan perekonomian yang tinggi akan bertindak lebih aktif dalam menghadapi isu-isu kawasan maupun global.

Namun demikian, tingkat kekayaan sebuah negara tidak menjadikan negara tersebut hanya mengandalkan sumber pendapatan yang sudah ada.

Melainkan sebuah negara akan berusaha untuk memperluas peluang kerjasama demi mempertahankan perekonomiannya. Seperti yang terjadi pada tahun 2011

139 Pearson dan Rochester, International Relations: The Global Condition in 21st Century, 195. 140 Pearson dan Rochester, International Relations: The Global Condition in 21st Century, 195. 58

ketika terjadi lonjakan harga minyak yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi

Qatar yang hanya meningkat sebanyak 13%. Hal ini juga dikarenakan adanya perubahan kebijakan terhadap sektor gas dengan menangguhkan pengembangan produksi.141 Dengan demikian, Qatar membutuhkan sektor lain sebagai sumber pendapatan selain dari sektor non-oil.

Perluasan kerjasama dalam sektor non-oil dibutuhkan oleh Qatar dilihat dari sumber daya energi merupakan sumber daya terbatas yang tidak dapat diperbaharui. Meskipun Qatar memiliki tingkat persediaan minyak yang tinggi, yakni sebanyak 25.4 miliar barel, namun Qatar menjadi negara produsen utama dengan persediaan yang rendah dibandingkan negara lainnya seperti Kuwait, Irak, dan Arab Saudi. Persediaan ini akan berkurang dari tahun ke tahun dan mendorong Qatar untuk mengalokasikan sumber pendapatan utama di sektor non- oil.142 Dengan demikian, dukungan yang diberikan Qatar kepada pihak NTC tidak terlepas dari kepentingan ekonomi negara tersebut.

b. Kepentingan Ekonomi

Faktor berikutnya yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar terhadap krisis politik di Libya ialah dengan melihat kepentingan ekonomi Qatar.

Kepentingan ekonomi merupakan faktor dominan yang mendorong sebuah negara untuk menetapkan sebuah kebijakan. Kepentingan ekonomi ini dapat berupa pencarian lapangan pekerjaan, pencarian sumber energi, atau mengenai keamanan

141 Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, 2. 142 Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, 3. 59

akses ekonomi.143 Dalam hal ini, kepentingan ekonomi yang dikejar oleh Qatar ialah kesempatan untuk bekerjasama dengan pihak Libya yang tidak hanya dalam sektor energi.

Meskipun Qatar dan Libya merupakan dua negara Timur Tengah dengan sumber kekayaan minyak yang tinggi, kedua negara tersebut tidak memiliki jalinan kerjasama dalam sektor minyak ketika Libya masih berada di bawah kepemimpinan Qaddafi. Namun, ketika krisis politik terjadi di Libya dan terdapat pembentukan NTC di Libya, Qatar memiliki celah untuk menjalin kerjasama tersebut melalui pihak NTC. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu bentuk bantuan Qatar dalam krisis politik di Libya ialah membantu

NTC memasarkan minyak mentah Libya dan bantuan tersebut menjadi salah satu jalan bagi Qatar untuk membuka peluang kerjasama dengan pemerintah Libya yang baru.144

Meskipun sumber minyak yang dimiliki Qatar melimpah, namun sumber daya tersebut tidak dapat diperbaharui. Upaya Qatar untuk menghadapi permasalahan tersebut ialah membuka peluang kerjasama energi seluas-luasnya dan juga mengandalkan pemasukan ekonomi dalam negeri yang tidak hanya berasal dari sektor energi. Dalam mencari peluang kerjasama di sektor energi,

Qatar berhasil mendapatkan peluang kerjasama dengan pihak NTC dalam menjual minyak Libya. Selain itu, Qatar juga berhasil mendapatkan kerjasama dibidang non-energi seperti dalam sektor infrastruktur145 dan juga perbankan.146

143 Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 130. 144 Mustafa El Labbad dalam Jenan Amin, et.al., “Qatar: Aspirations and Realities”, Heinrich Böll Stiftung 4(November, 2012): 22. 145 Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4. 60

Kepentingan ekonomi yang dikejar Qatar dalam keterlibatannya di Libya dapat terlihat dalam kerjasama ekonomi. Paska kepemimpinan Qaddafi, investasi

Qatar di Libya diketahui mencapai 10 miliar dollar AS. Selain itu terdapat beberapa proyek kerjasama infrastruktur yang dikembangkan seperti pembangunan hotel, komplek perumahan dan fasilitas hiburan. Proyek pembangunan ini dijalankan dibawah kerjasama antara perusahaan Qatar – Barwa

Real Estate Company, dan perusahaan negara Libya – Libyan Development and

Investment Company.147

Masih dalam proyek infrastruktur, ALAQ juga membangun usaha komplek perumahan mewah bernama “The Waterfront”. Selain itu, dalam sektor penerbangan, Qatar Airways telah mengaktifkan operasi penerbangan Doha-

Benghazi sebanyak empat kali dalam seminggu.148 Jalinan kerjasama tersebut menjadi bukti eratnya hubungan bilateral antara Qatar dengan pemerintah Libya.

2. Faktor Eksternal

Selain faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang mampu memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar. Faktor eksternal ini dapat dilihat dari lingkungan internasional sebuah negara.149 Adapun faktor eksternal yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar ialah struktur dalam sistem internasional. Selain itu aliansi juga menjadi faktor yang memengaruhi Qatar untuk memberikan bantuan kepada pihak NTC dalam krisis politik Libya.

146 Dominic Dudley, “A Force for Change”, 2011. Dalam Sara Pulliam, “Qatar’s Foreign Policy: Building International Image”, Cairo: American University in Cairo, (Juni, 2013), 8. 147 Ward, “Amid “Divorce” Talk”, 4. 148 Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4. 149 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 121. 61

a. Struktur Sistem Internasional

Faktor eksternal pertama yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar ialah dengan melihat struktur dalam sistem internasional. Struktur sistem internasional ini dapat dilihat tidak hanya dari tingkat global, tetapi juga dapat dilihat secara regional.150 Dalam hal ini, struktur yang akan dilihat ialah struktur yang terdapat dalam sistem regional, kawasan Timur Tengah.

Struktur dalam sistem internasional mengalami tranformasi yang membuat kekuatan politik dalam sistem tersebut dapat berubah-ubah. Perubahan ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi negara hegemon yang melemah dan tidak mampu lagi menunjang kebutuhan sebagai negara yang dominan. Hal ini akan membuka peluang bagi negara-negara lain dengan perekonomian yang lebih tinggi untuk menggantikan posisi tersebut.151

Struktur yang dapat berubah ini membuka kesempatan bagi negara kecil untuk bersaing dalam meningkatkan kekuatan dan pengaruh dalam sistem internasional. Kesempatan ini dapat terbuka lebar ketika negara dengan ukuran geografis yang kecil memiliki sumber energi yang melimpah.152 Qatar menjadi salah satu contoh negara yang berupaya untuk memanfaatkan kekayaan energinya untuk meningkatkan kekuatan secara politik di kawasan.

Dalam hal ini, struktur multipolar yang ada dalam kawasan Timur Tengah mendorong Qatar untuk mengejar keinginannya menjadi negara yang tidak hanya kuat dalam ekonomi, tetapi juga dalam politik. Sebab, pola kekuatan Negara dalam sistem internasional dapat berubah-ubah. Kemampuan ekonomi Qatar

150 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 122. 151 Pearson dan Rochester, Internastional Relations: The Global Condition in 21st Century, 188. 152 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 10. 62

mendorong negara tersebut untuk mampu mengakomodasikan kebijakan- kebijakan yang diterapkan.

Upaya Qatar untuk mencapai posisi dominan dalam perpolitikan kawasan dapat terlihat sejak Qatar memosisikan diri sebagai mediator dalam konflik- konflik kawasan seperti di Yaman, Lebanon, dan Sudan. Selanjutnya, strategi politik luar negeri Qatar di kawasan dilanjutkan dalam intervensi di Libya.

Perubahan arah kebijakan ini menjadi bekal bagi Qatar untuk menunjukkan kemampuannya dalam penyelesaian konflik-konflik di kawasan. Upaya tersebut merupakan salah satu strategi state-branding Qatar dalam menerapkan kebijakan luar negeri.

Keinginan Qatar untuk menjadi pemain dominan di kawasan juga dipicu oleh posisi Qatar dalam sistem internasional pada tahun 1990an. Pada periode tersebut, Qatar merupakan negara yang tidak cukup dikenal di dunia. Terdapat istilah seperti “tempat yang paling membosankan di Teluk” dan “negara yang tidak dikenal” untuk menggambarkan posisi Qatar pada saat itu. Hal ini didasari pada posisi Qatar yang tidak aktif dalam berhubungan dengan negara-negara lain dan memilih untuk berada di bawah kedudukan Arab Saudi.153

Namun, posisi Arab Saudi dalam upaya penyelesaian konflik semakin pasif dan menyediakan celah bagi kepemimpinan di kawasan.154 Hal ini menjadi kesempatan bagi Qatar sebagai negara dengan perekonomian yang maju untuk mengisi celah tersebut dengan memainkan peran sebagai negara yang aktif dalam upaya penyelesaian konflik-konflik kawasan.

153 David B. Roberts, “The Arab World’s Unlikely Leader: Embracing Qatar’s Expanding Role in the Region”, Project on Middle East Democracy (Maret, 2012): 1. 154 Khatib, “Qatar’s Foreign Policy”, 419. 63

Posisi Qatar yang sempat menjadi negara yang tidak dikenal mendorong negara tersebut untuk memiliki peran penting dalam sistem internasional di kawasan. Pola kepemimpinan Arab Saudi di kawasan yang mulai melemah membuka jalan bagi Qatar untuk menjadi salah satu negara yang dominan dalam perpolitikan di Timur Tengah. Ambisi Qatar tersebut diupayakan dengan menjadi mediator dan pemberi bantuan dalam konflik-konflik kawasan.

b. Aliansi

Faktor terakhir yang memengaruhi Qatar dalam memberikan dukungan terhadap NTC ialah aliansi yang dibangun oleh Qatar dengan negara-negara Barat, terutama AS. Bagi Mintz dan DeRouen, keinginan suatu negara untuk menerapkan kebijakan tertentu harus juga mempertimbangkan aliansi yang dijalin dengan negara atau organisasi lain. Aliansi militer dapat memengaruhi suatu negara untuk mempertimbangkan pentingnya melakukan agresi atau intervensi militer terhadap negara lain.155

Bentuk intervensi yang dilakukan oleh Qatar dalam krisis politik di Libya salah satunya ialah melalui bantuan militer. Dalam memberikan dukungan terhadap pihak NTC selama masa krisis, Qatar memberikan peralatan militer seperti pesawat tempur dan rudal. Selain peralatan militer, Qatar juga membantu mengirimkan pasukan militernya beserta penasihat militer dalam membantu pihak

155 Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 126. 64

NTC.156 Kemampuan militer dalam membantu pihak NTC tidak terlepas dari aliansi yang dijalinnya dengan AS.

Hubungan diplomasi Qatar dengan AS diawali sejak tahun 1973 ketika pertama kali AS membuka kedutaan besar di Doha, Ibu Kota Qatar. Meskipun demikian, hubungan keduanya tidak berjalan dengan baik ketika terdapat sengketa pasar gelap yang dilakukan oleh Qatar terkait misil pesawat tempur milik AS pada akhir 80-an. Sengketa tersebut membuat AS menerapkan pelarangan penjualan senjata kepada Qatar. Namun, ketegangan antar keduanya membaik ketika Qatar memutuskan untuk membantu operasi militer AS dalam Perang Teluk pada tahun

1991.157

Ketika terjadi Perang Teluk I, Qatar mengizinkan AS untuk melakukan operasi militer melalui wilayah Qatar. Pasukan militer Qatar dan AS berkoalisi dalam melakukan penyerangan militer. Kerjasama keduanya membawa hubungan tersebut kearah formal, yakni dengan adanya perjanjian kerjasama pertahanan di tahun berikutnya. Kerjasama pertahanan yang dijalin antara Qatar dan AS meliputi kerjasama dalam pelatihan pertahanan, preposisi peralatan, dan juga perjanjian mengenai akses terhadap pangkalan militer, Al-Udeid.158

Kerjasama yang dibentuk oleh Qatar dengan AS merupakan langkah yang logis. Sebab, Qatar memiliki pasukan bersenjata paling sedikit kedua di kawasan setelah Bahrain, yakni hanya 11.800 personil militer. Namun, dengan kemampuan ekonomi yang tinggi, Qatar mampu membeli sistem persenjataan, termasuk sistem

156 Peterson, “Qatar’s International Role”, 3. 157 Christopher M. Blanchard, “Qatar: Background and U.S. Relations”, Congressional Research Service, (Januari, 2014), 4. 158 Blanchard, “Qatar: Background and U.S. Relations”, 4 65

pertahanan misil dan sistem pertahanan udara AS. Selain itu, upaya Qatar dalam meningkatkan pertahanan domestik juga terlihat dari pangkalan militer Al-Udeid yang dibangun pada tahun 90-an dengan menginvestasikan kekayaannya sebesar 1 miliar dollar AS.159

Dengan kesadaran akan minimnya kemampuan militer yang dimiliki,

Qatar memanfaatkan kemampuan ekonomi untuk memperkuat pertahanan negara.

Aliansi dengan AS ini memberikan keuntungan bagi Qatar untuk meningkatkan keamanan nasional sekaligus pula mengirimkan pasukan perdamaian dalam krisis politik di Libya.

Peter A. Toma dan Robert F. Gorman menyatakan bahwa sebuah aliansi akan mampu meningkatkan kapabilitas sebuah negara.160 Qatar, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang sedikit, manjadikan pasukan militer yang dimiliki pun terbatas. Dengan kapabilitas militer yang minim yang dimiliki oleh Qatar mendorong negara tersebut untuk membangun sebuah aliansi yang mampu menjamin keamanan negaranya. Dari penjelasan kerjasama pertahanan antara

Qatar dan AS dapat dilihat bahwa Qatar merupakan salah satu negara yang memiliki ikatan erat dengan AS.

Aliansi pertahanan antara Qatar dan AS merupakan sebuah strategi Qatar sebagai negara kecil di kawasan yang rawan konflik. Meskipun Qatar tidak mengalami dampak dari fenomena Arab Spring bukan berarti negara tersebut tidak berpotensi mengalami konflik dilihat dari bentuk pemerintahan monarki yang tidak berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah pada umumnya.

159 Blanchard, “Qatar: Background and U.S. Relations”, 5. 160 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 123. 66

Dengan demikian, keuntungan yang dihasilkan dari aliansi Qatar dengan AS ialah bahwa kemampuan militer AS mampu melengkapi kebutuhan pertahanan bagi

Qatar. Sebab, sebuah aliansi dapat menguntungkan negara kecil ketika ia menjalin hubungan dengan negara yang lebih besar dan mampu menyediakan kebutuhan pertahanan negara.161

161 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 124. BAB V

KESIMPULAN

Fenomena Arab Spring yang terjadi sejak akhir tahun 2010 merupakan sebuah fenomena yang cukup mengguncang dunia. Aksi protes rakyat terhadap pemerintah-pemerintah diktator di Timur Tengah mengalami efek menular dari satu negara ke negara lain. Aksi protes dari Tunisia hingga Suriah memberikan dampak bagi perpolitikan di Timur Tengah. Meskipun fenomena tersebut merupakan fenomena kawasan, namun tidak sedikit negara-negara di seluruh dunia memberikan berbagai macam respon dalam menghadapi krisis-krisis politik tersebut.

Pada dasarnya, aksi protes dalam Arab Spring ini memiliki faktor pemicu yang sama antara satu negara dengan negara lainnya, yakni masalah krisis ekonomi serta kepemimpinan yang bersifat diktator. Kemarahan rakyat ditimbulkan dari perasaan terkekang oleh pemimpin yang menjabat selama berpuluh-puluh tahun tanpa memberikan rakyat kebebasan berekspresi. Meskipun dampak yang dihasilkan dari fenomena Arab Spring ini berbeda-beda di setiap negara di Timur Tengah, seperti mudahnya menurunkan rezim diktator seperti di

Tunisia dan Mesir ataupun sulitnya menurunkan rezim layaknya di Bahrain dan

Suriah, namun krisis-krisis yang terjadi tidak dapat terlepas dari upaya keras rakyat untuk memperoleh kebebasan.

Krisis politik yang terjadi di Libya diakhiri dengan penyerangan oleh pihak oposisi terhadap Qaddafi dan keluarga. Penyerangan tersebut didasarkan

67

68

pada kerasnya rezim Qaddafi dalam menghadapi aksi protes hingga menimbulkan banyak korban jiwa. Hal tersebut mengundang banyak respon dunia untuk membantu menangani krisis yang terjadi di Libya. PBB, Liga Arab, hingga

NATO memberikan respon masing-masing terhadap krisis tersebut. Tidak hanya organisasi internasional, negara-negara di dunia juga turut serta memberikan bantuan untuk menangani kerusuhan yang terjadi di Libya. Negara barat hingga negara di kawasan bersama-sama memberikan bantuannya, salah satunya adalah

Qatar.

Qatar menjadi salah satu negara yang aktif memberikan bantuan kepada pihak oposisi di Libya, yakni NTC. Bantuan yang diberikan Qatar yakni berupa logistik, finansial, hingga bantuan militer. Aktifnya Qatar dalam menghadapi krisis politik di Libya ini menunjukkan perubahan arah kebijakan luar negeri

Qatar yang lebih aktif dibandingkan sebelumnya. Sebab, sebelum terjadinya fenomena Arab Spring ini, Qatar lebih memilih untuk memosisikan diri sebagai mediator dalam menghadapi isu-isu di kawasan seperti yang terjadi di Lebanon,

Sudan dan Yaman. Sedangkan dalam isu Arab Spring ini, terutama di Libya,

Qatar menerapkan kebijakan yang berpihak dalam krisis tersebut, yakni berpihak kepada NTC.

Perubahan arah kebijakan Qatar ini didasarkan pada beberapa faktor, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal membahas mengenai atribut ekonomi dan kepentingan ekonomi. Sedangkan faktor eksternal membahas mengenai struktur dalam sistem internasional dan aliansi. 69

Faktor atribut ekonomi digunakan untuk melihat kemampuan ekonomi

Qatar sebagai faktor yang mendorong Qatar memberikan bantuan kepada pihak

NTC. Sebab, keputusan sebuah negara untuk melakukan intervensi juga harus didasarkan pada kemampuan ekonomi dilihat dari biaya yang dibutuhkan dalam menerapkan kebijakan tersebut tidaklah sedikit.

Faktor yang kedua ialah kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi merupakan salah satu kepentingan nasional yang utama. Sebab, ekonomi merupakan sumber utama bagi negara untuk menjalankan aktifitasnya. Kebijakan luar negeri suatu negara tidak akan terlepas dari adanya unsure kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi ini dapat dimaksudkan untuk melindungi akses terhadap sumber perekonomian, akses terhadap perdagangan minyak, dan juga kesempatan untuk bekerjasama. Dalam hal ini, kepentingan ekonomi Qatar dapat terlihat dari keinginannya untuk memperoleh kerjasama dan juga melindungi investasi-investasinya agar tidak terkena dampak krisis yang terjadi di Libya.

Faktor yang ketiga ialah faktor yang dilihat dari lingkungan eksternal

Qatar, yakni struktur dalam sistem internasional. Sistem internasional dalam hal ini dapat dilihat dari struktur yang terdapat di kawasan Timur Tengah. Kawasan

Timur Tengah pada dasarnya memiliki struktur multipolar yang memosisikan semua negara sama. Namun, dalam sistem yang multipolar pun terdapat peluang negara untuk mendominasi sistem tersebut. Qatar dalam hal ini memiliki keinginan untuk mengejar posisi dominan dalam kawasan. Upaya ini dilakukan melalui perannya dalam konflik-konflik di kawasan, yakni membantu proses perdamaian negara-negara yang menghadapi konflik. 70

Faktor yang terakhir ialah faktor aliansi. Qatar sebagai negara kecil dengan ambisi yang besar tidak akan mampu mencapai targetnya tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Aliansi yang dibentuk Qatar dengan AS memberikan keuntungan bagi Qatar untuk memperkuat posisinya di kawasan. Selain untuk memperkuat militer Qatar, aliansinya dengan AS juga memberikan unsur keamanan bagi Qatar dilihat dari letak geografisnya yang rawan konflik. Dengan demikian, aliansi tersebut menjadi faktor yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC.

Kebijakan luar negeri Qatar yang didasarkan oleh berbagai faktor tertuju pada satu pencapaian, yakni keinginan Emir Hamad untuk membawa Qatar sebagai aktor dominan di kawasan. Strategi kebijakan luar negeri Qatar yang aktif dalam merespon konflik-konflik di kawasan merupakan upaya Qatar untuk mencapai tujuannya. Selain itu, adanya perubahan pola kebijakan menggambarkan bahwa Qatar mampu melihat peluang dari sebuah situasi dan menyesuaikan sikap dari setiap situasi yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Breuning, Marijke. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Palgrave Macmillan, 2007.

Dabashi, Hamid. “The Arab Spring: The End of Postcolonialism”. London: Zed Books, 2012.

Hassine, Sami Ben. The Arab Spring: We Finally have Revolution on our Minds. London: Guardian Books, 2012.

Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice-Hall International Inc., 1992.

Holzgrefe, J. L. dan Robert O. Keohane. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Mintz, Alex dan Karl DeRouen Jr. Understanding Foreign Policy Decision Making.Cambridge: Cambridge University Press, 2010.

Nye, Joshep S. Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and History. New York: Longman, 1991.

Pearson, Frederic S. dan J. Martin Rochester. International Relations: The Global Condition in Twenty-First Century. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., 1998.

Rosenau, James N. The Scientific Study of Foreign Policy. London: Frances Printer,1980.

Rosenau, James N. World Politics: An Introduction. London: Collier Mc Millan, 1976.

Seddon, David. A Political and Economic Dictionary of The Middle East: An Essential Guide to the Politics and Economics of the Middle East. London: Taylor and Francis Group, 2004.

Stake, R.E. The Art of Case Study Research. CA: Sage Publications, 1995.

Toma, Peter A. dan Robert F. Gorman. International Relations: Understanding Global Issues. California: Brooks/Cole Publishing Company, 1991.

xiv

JURNAL

Adams, Simon. “Libya and the Responsibility to Protect”. Global Center for Responsibility to Protect: Occasional Paper Series 3 (Oktober, 2012).

Ahmida, Ali Abdullatif. “The Libyan National Transitional Council: Social Bases, Membership, and Political Trends”. Aljazeera Center for Studies: Reports (Oktober, 2011).

Alfano, Alyssa. “A Personal Perspective on Tunisian Revolution”. E- International Relations (2011).

Amin, Jenan, et.al. “Qatar: Aspirations and Realities”. Heinrich Böll Stiftung, 4 (November, 2012).

Antwi-Boateng, Osman.“The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”. European Scientific Journal, 2 (Desember, 2013): 39-51.

Asseburg, Muriel. “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”. German Institute for International and Security Affairs Research Paper 6 (Februari, 2012).

Barakat, Sultan. “The Qatari Spring: Qatar’s Emerging Role in Peacemaking”. London School of Economics and Political Science, 24 (Juli, 2012).

Bellamy, Alex J. “The Responsibility to Protect: The Five Years On”. Ethics and International Affairs 24:2 (2010): 143-169.

Blanchard, Christopher M. “Qatar: Background and U.S. Relations”. Congressional Research Service, (Januari, 2014).

Boose, Jason William. “Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and The Arab Spring”. International Journal of Social Science and Humanity 2:4 (Juli, 2012): 310-15.

Cooper, Andrew F. dan Bessma Momani. “Qatar and Expanded Contours of Small States Diplomacy”. The International Spectator: Italian Journal of International Affairs 46:3(September 2013) 113-128.

Dupont, Cedric dan Florence Passy. “The Arab Spring or How to Explain those Revolutionary Episodes?”. Swiis Political Science Association: SPSR, 2037 (Oktober 2011): 1-5.

Evans, Gareth. “From Humanitarian Intervention to The Responsibility to Protect”. Wisconsin International Law Journal, 23: 3, 703-722.

xv

Hudson, Valerie M. Hudson. “Foreign Policy Analysis: Actor-Specific Theory and the Ground of International Relations”. International Studies Association: Blackwell Publishing, 1 (2005): 1-30.

Hudson, Valerie M. dan Christopher S. Vore.“Foreign Policy Analysis Yesterday, Today, and Tomorrow”. Mershon International Study Review: The International Studies Association, 39: 2 (Oktober,1995): 209-38.

John, Bruce St. “Libyan Myths and Realities”. Royal Danish Defense College, Research Paper, (Agustus, 2011).

Kamrava, Mehran. “Mediation and Qatari Foreign Policy”. Middle East Journal 65:4 (Autumn, 2011): 539-56.

Khatib, Lina. “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”. International Affairs 89: 2 (2013): 417-31.

Lacher, Wolfram. “The Libyan Revolution: Old Elites and New Political Forces”. dalam Muriel Asseburg. “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World.” German Institute for International and Security Affairs Research Paper 6 (Februari, 2012).

Mackay, Alasdair. “The Arab Spring of Discontent”. E-International Relations (2011).

Madsen, Marianne Mosegaard dan Simone Sophie Wittstrøm Selsbæk. “The Responsibility to Protect and the intervention in Libya”. Roskilde University:Department of Society and Globalisatio (Desember, 2012).

Pertusot, Vivien. “NATO Partnership: Shaking Hands or Shaking the System?”. Brussel: The Institut français des relations internationals 31 (May, 2011).

Peterson, J.E. “Qatar’s International Role: Branding, Investment, and Policy Projection”. Norwegian Peacebuilding Resource Centre Policy Brief (February, 2013).

Power, Susan. “The Role of the NTC in the Economic Reconstruction of Libya”. Socio-Legal Studies Review 1 (2012):115-39.

Pulliam, Sara. “Qatar’s Foreign Policy: Building International Image”. Cairo: American University in Cairo, (Juni, 2013), 8.

Rivlin, Paul. “Qatar: The Economics and The Politics”. The Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African Studies, Tel Aviv University. 3:4 (April, 2013): 2.

xvi

Roberts, David B. “The Arab World’s Unlikely Leader: Embracing Qatar’s Expanding Role in the Region”. Project on Middle East Democracy (Maret, 2012): 1.

Rogan, Eugene Rogan. “The Arab Spring: Implications for British Policy.” Conservative Middle East Council, (Oktober, 2011).

Saban Kardas. “Humanitarian Intervention: The Evolution of The Idea and Practice”. Journal of International Affairs, 6: 2 (Juli, 2001).

Smith, Rosan, et.al. “Revolution and Its Discontents: State, Factions, and Violence in The New Libya.” Netherland Institute of International Relations (September, 2013).

Ulrichsen, Kristian Coates. “Small States with a Big Role: Qatar and The United Arab Emirates in the Wake of Arab Spring”. HH Sheikh Nasser al- Mohammad al-Sabbah, Publication Series no. 3 (Oktober 2012)

Ward, Will. “Amid ‘Divorce’ Talk, Economic Ties with Qatar Remain Strong”. The Libya Wire: Avvicena Group 3 (Januari, 2012).

WEBSITE

David Roberts, “Behind Qatar’s Intervention in Libya: Why was Doha such a Strong Supporters of the Rebels?” Foreign Affairs, 28 September 2011, tersedia di: diakses pada 2 Juni 2014, pukul 19.36.

“Global Peace Indeks 2011: The Full List”, The Guardian, tersedia di: diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15.

Hutchison, Peter, et.al., “Libya Protest: As It Happened Feb 22”, The Telegraph, 23 Februari 2011, tersedia di: diakses pada 26 September 2014, pukul 21.58.

Khatib, Lina. “Qatar Involvement in Libya: A Delicate Balance”, World Peace Foundation, tersedia di: diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 14.15.

“Qatar Bilateral Relations: Libya”, Ministry of Foreign Affairs, tersedia di: diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 13.50.

xvii

“Qatar Economic Statistics at a Glance”, Qatar Statistic Authority, 2012, tersedia di:

diakses pada 14 September 2014, pukul 15.15.

“Qatar-Libya NTC sign Legal Cooperation”, The Peninsula, 17 Oktober 2011, tersedia di: diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.09.

“Qatar recognises Libyan rebels after oil deal”, AlJazeera, 28 Maret 2011, tersedia di: ; diakses pada 15 Maret 2014, pukul 17.02.

“Shalgham Attacks Qatar: Libya Will Not Be Emirate Ruled by Commander of Faithful in Qatar”, Middle East Online, 4 November 2011, tersedia di: diakses pada 4 Agustus 2014, pukul 15.27.

“The World Factbook: Qatar”. CIA, tersedia di: diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15. “The World’s Richest Country”. Forbes, tersedia di diakses pada 28 September 2014, pukul 22.56.

“TIMELINE-Libya's uprising against Muammar Gaddafi”. Reuters, 30 Maret 2011.tersedia di: ; diakses pada 9 Maret 2014. pukul 15. 32.

Ulrichsen, Kristian Coates Ulrichsen. “Qatar and The Arab Spring: Policy Drivers and Regional Implications”. Carnegie Endowment for International Peace, tersedia di: , diakses pada 18 November 2014, pukul 20.35.

xviii

THESIS/SKRIPSI

Jude, Sorana-Christina.“Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on Humanitarian Intervention” Thesis Eurpoean Institute. 2012.

Savitri, Maya. “Alasan NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di Libya Tahun 2011” Skripsi Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013.

xix

United Nations S/RES/1970 (2011)*

Security Council Distr.: General 26 February 2011

Resolution 1970 (2011)

Adopted by the Security Council at its 6491st meeting, on 26 February 2011

The Security Council,

Expressing grave concern at the situation in the Libyan Arab Jamahiriya and condemning the violence and use of force against civilians,

Deploring the gross and systematic violation of human rights, including the repression of peaceful demonstrators, expressing deep concern at the deaths of civilians, and rejecting unequivocally the incitement to hostility and violence against the civilian population made from the highest level of the Libyan government,

Welcoming the condemnation by the Arab League, the African Union, and the Secretary General of the Organization of the Islamic Conference of the serious violations of human rights and international humanitarian law that are being committed in the Libyan Arab Jamahiriya,

Taking note of the letter to the President of the Security Council from the Permanent Representative of the Libyan Arab Jamahiriya dated 26 February 2011,

Welcoming the Human Rights Council resolution A/HRC/RES/S-15/1 of 25 February 2011, including the decision to urgently dispatch an independent international commission of inquiry to investigate all alleged violations of international human rights law in the Libyan Arab Jamahiriya, to establish the facts and circumstances of such violations and of the crimes perpetrated, and where possible identify those responsible,

Considering that the widespread and systematic attacks currently taking place in the Libyan Arab Jamahiriya against the civilian population may amount to crimes against humanity,

Expressing concern at the plight of refugees forced to flee the violence in the Libyan Arab Jamahiriya,

Expressing concern also at the reports of shortages of medical supplies to treat the wounded,

* Second reissue for technical reasons (10 March 2011).

11-24558* (E) *1124558*

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Recalling the Libyan authorities’ responsibility to protect its population,

Underlining the need to respect the freedoms of peaceful assembly and of expression, including freedom of the media,

Stressing the need to hold to account those responsible for attacks, including by forces under their control, on civilians,

Recalling article 16 of the Rome Statute under which no investigation or prosecution may be commenced or proceeded with by the International Criminal Court for a period of 12 months after a Security Council request to that effect,

Expressing concern for the safety of foreign nationals and their rights in the Libyan Arab Jamahiriya,

Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, independence, territorial integrity and national unity of the Libyan Arab Jamahiriya.

Mindful of its primary responsibility for the maintenance of international peace and security under the Charter of the United Nations,

Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations, and taking measures under its Article 41,

1. Demands an immediate end to the violence and calls for steps to fulfil the legitimate demands of the population;

2. Urges the Libyan authorities to:

(a) Act with the utmost restraint, respect human rights and international humanitarian law, and allow immediate access for international human rights monitors;

(b) Ensure the safety of all foreign nationals and their assets and facilitate the departure of those wishing to leave the country;

(c) Ensure the safe passage of humanitarian and medical supplies, and humanitarian agencies and workers, into the country; and

(d) Immediately lift restrictions on all forms of media;

3. Requests all Member States, to the extent possible, to cooperate in the evacuation of those foreign nationals wishing to leave the country;

ICC referral

4. Decides to refer the situation in the Libyan Arab Jamahiriya since 15 February 2011 to the Prosecutor of the International Criminal Court;

5. Decides that the Libyan authorities shall cooperate fully with and provide any necessary assistance to the Court and the Prosecutor pursuant to this resolution and, while recognizing that States not party to the Rome Statute have no obligation under the Statute, urges all States and concerned regional and other international organizations to cooperate fully with the Court and the Prosecutor;

6. Decides that nationals, current or former officials or personnel from a State outside the Libyan Arab Jamahiriya which is not a party to the Rome Statute of

211 -24558 11-245582

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

the International Criminal Court shall be subject to the exclusive jurisdiction of that State for all alleged acts or omissions arising out of or related to operations in the

211 -24558 11-245583

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Libyan Arab Jamahiriya established or authorized by the Council, unless such exclusive jurisdiction has been expressly waived by the State;

7. Invites the Prosecutor to address the Security Council within two months of the adoption of this resolution and every six months thereafter on actions taken pursuant to this resolution;

8. Recognizes that none of the expenses incurred in connection with the referral, including expenses related to investigations or prosecutions in connection with that referral, shall be borne by the United Nations and that such costs shall be borne by the parties to the Rome Statute and those States that wish to contribute voluntarily;

Arms embargo

9. Decides that all Member States shall immediately take the necessary measures to prevent the direct or indirect supply, sale or transfer to the Libyan Arab Jamahiriya, from or through their territories or by their nationals, or using their flag vessels or aircraft, of arms and related materiel of all types, including weapons and ammunition, military vehicles and equipment, paramilitary equipment, and spare parts for the aforementioned, and technical assistance, training, financial or other assistance, related to military activities or the provision, maintenance or use of any arms and related materiel, including the provision of armed mercenary personnel whether or not originating in their territories, and decides further that this measure shall not apply to:

(a) Supplies of non-lethal military equipment intended solely for humanitarian or protective use, and related technical assistance or training, as approved in advance by the Committee established pursuant to paragraph 24 below;

(b) Protective clothing, including flak jackets and military helmets, temporarily exported to the Libyan Arab Jamahiriya by United Nations personnel, representatives of the media and humanitarian and development workers and associated personnel, for their personal use only; or

(c) Other sales or supply of arms and related materiel, or provision of assistance or personnel, as approved in advance by the Committee;

10. Decides that the Libyan Arab Jamahiriya shall cease the export of all arms and related materiel and that all Member States shall prohibit the procurement of such items from the Libyan Arab Jamahiriya by their nationals, or using their flagged vessels or aircraft, and whether or not originating in the territory of the Libyan Arab Jamahiriya;

11. Calls upon all States, in particular States neighbouring the Libyan Arab Jamahiriya, to inspect, in accordance with their national authorities and legislation and consistent with international law, in particular the law of the sea and relevant international civil aviation agreements, all cargo to and from the Libyan Arab Jamahiriya, in their territory, including seaports and airports, if the State concerned has information that provides reasonable grounds to believe the cargo contains items the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 9 or 10 of this resolution for the purpose of ensuring strict implementation of those provisions;

211 -24558 11-245584

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

12. Decides to authorize all Member States to, and that all Member States shall, upon discovery of items prohibited by paragraph 9 or 10 of this resolution,

211 -24558 11-245585

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

seize and dispose (such as through destruction, rendering inoperable, storage or transferring to a State other than the originating or destination States for disposal) items the supply, sale, transfer or export of which is prohibited by paragraphs 9 or 10 of this resolution and decides further that all Member States shall cooperate in such efforts;

13. Requires any Member State when it undertakes an inspection pursuant to paragraph 11 above, to submit promptly an initial written report to the Committee containing, in particular, explanation of the grounds for the inspections, the results of such inspections, and whether or not cooperation was provided, and, if prohibited items for transfer are found, further requires such Member States to submit to the Committee, at a later stage, a subsequent written report containing relevant details on the inspection, seizure, and disposal, and relevant details of the transfer, including a description of the items, their origin and intended destination, if this information is not in the initial report;

14. Encourages Member States to take steps to strongly discourage their nationals from travelling to the Libyan Arab Jamahiriya to participate in activities on behalf of the Libyan authorities that could reasonably contribute to the violation of human rights;

Travel ban

15. Decides that all Member States shall take the necessary measures to prevent the entry into or transit through their territories of individuals listed in Annex I of this resolution or designated by the Committee established pursuant to paragraph 24 below, provided that nothing in this paragraph shall oblige a State to refuse its own nationals entry into its territory;

16. Decides that the measures imposed by paragraph 15 above shall not apply:

(a) Where the Committee determines on a case-by-case basis that such travel is justified on the grounds of humanitarian need, including religious obligation;

(b) Where entry or transit is necessary for the fulfilment of a judicial process;

(c) Where the Committee determines on a case-by-case basis that an exemption would further the objectives of peace and national reconciliation in the Libyan Arab Jamahiriya and stability in the region; or

(d) Where a State determines on a case-by-case basis that such entry or transit is required to advance peace and stability in the Libyan Arab Jamahiriya and the States subsequently notifies the Committee within forty-eight hours after making such a determination;

Asset freeze

17. Decides that all Member States shall freeze without delay all funds, other financial assets and economic resources which are on their territories, which are owned or controlled, directly or indirectly, by the individuals or entities listed in annex II of this resolution or designated by the Committee established pursuant to

411 -24558 11-245586

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

paragraph 24 below, or by individuals or entities acting on their behalf or at their direction, or by entities owned or controlled by them, and decides further that all

411 -24558 11-245587

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Member States shall ensure that any funds, financial assets or economic resources are prevented from being made available by their nationals or by any individuals or entities within their territories, to or for the benefit of the individuals or entities listed in Annex II of this resolution or individuals designated by the Committee;

18. Expresses its intention to ensure that assets frozen pursuant to paragraph 17 shall at a later stage be made available to and for the benefit of the people of the Libyan Arab Jamahiriya;

19. Decides that the measures imposed by paragraph 17 above do not apply to funds, other financial assets or economic resources that have been determined by relevant Member States:

(a) To be necessary for basic expenses, including payment for foodstuffs, rent or mortgage, medicines and medical treatment, taxes, insurance premiums, and public utility charges or exclusively for payment of reasonable professional fees and reimbursement of incurred expenses associated with the provision of legal services in accordance with national laws, or fees or service charges, in accordance with national laws, for routine holding or maintenance of frozen funds, other financial assets and economic resources, after notification by the relevant State to the Committee of the intention to authorize, where appropriate, access to such funds, other financial assets or economic resources and in the absence of a negative decision by the Committee within five working days of such notification;

(b) To be necessary for extraordinary expenses, provided that such determination has been notified by the relevant State or Member States to the Committee and has been approved by the Committee; or

(c) To be the subject of a judicial, administrative or arbitral lien or judgment, in which case the funds, other financial assets and economic resources may be used to satisfy that lien or judgment provided that the lien or judgment was entered into prior to the date of the present resolution, is not for the benefit of a person or entity designated pursuant to paragraph 17 above, and has been notified by the relevant State or Member States to the Committee;

20. Decides that Member States may permit the addition to the accounts frozen pursuant to the provisions of paragraph 17 above of interests or other earnings due on those accounts or payments due under contracts, agreements or obligations that arose prior to the date on which those accounts became subject to the provisions of this resolution, provided that any such interest, other earnings and payments continue to be subject to these provisions and are frozen;

21. Decides that the measures in paragraph 17 above shall not prevent a designated person or entity from making payment due under a contract entered into prior to the listing of such a person or entity, provided that the relevant States have determined that the payment is not directly or indirectly received by a person or entity designated pursuant to paragraph 17 above, and after notification by the relevant States to the Committee of the intention to make or receive such payments or to authorize, where appropriate, the unfreezing of funds, other financial assets or economic resources for this purpose, 10 working days prior to such authorization;

411 -24558 11-245588

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Designation criteria

22. Decides that the measures contained in paragraphs 15 and 17 shall apply to the individuals and entities designated by the Committee, pursuant to paragraph 24 (b) and (c), respectively;

(a) Involved in or complicit in ordering, controlling, or otherwise directing, the commission of serious human rights abuses against persons in the Libyan Arab Jamahiriya, including by being involved in or complicit in planning, commanding, ordering or conducting attacks, in violation of international law, including aerial bombardments, on civilian populations and facilities; or

(b) Acting for or on behalf of or at the direction of individuals or entities identified in subparagraph (a).

23. Strongly encourages Member States to submit to the Committee names of individuals who meet the criteria set out in paragraph 22 above;

New Sanctions Committee

24. Decides to establish, in accordance with rule 28 of its provisional rules of procedure, a Committee of the Security Council consisting of all the members of the Council (herein “the Committee”), to undertake to following tasks:

(a) To monitor implementation of the measures imposed in paragraphs 9, 10, 15, and 17;

(b) To designate those individuals subject to the measures imposed by paragraphs 15 and to consider requests for exemptions in accordance with paragraph 16 above;

(c) To designate those individuals subject to the measures imposed by paragraph 17 above and to consider requests for exemptions in accordance with paragraphs 19 and 20 above;

(d) To establish such guidelines as may be necessary to facilitate the implementation of the measures imposed above;

(e) To report within thirty days to the Security Council on its work for the first report and thereafter to report as deemed necessary by the Committee;

(f) To encourage a dialogue between the Committee and interested Member States, in particular those in the region, including by inviting representatives of such States to meet with the Committee to discuss implementation of the measures;

(g) To seek from all States whatever information it may consider useful regarding the actions taken by them to implement effectively the measures imposed above;

(h) To examine and take appropriate action on information regarding alleged violations or non-compliance with the measures contained in this resolution;

25. Calls upon all Member States to report to the Committee within 120 days of the adoption of this resolution on the steps they have taken with a view to implementing effectively paragraphs 9, 10, 15 and 17 above;

611 -24558 11-245589

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Humanitarian assistance

26. Calls upon all Member States, working together and acting in cooperation with the Secretary General, to facilitate and support the return of humanitarian agencies and make available humanitarian and related assistance in the Libyan Arab Jamahiriya, and requests the States concerned to keep the Security Council regularly informed on the progress of actions undertaken pursuant to this paragraph, and expresses its readiness to consider taking additional appropriate measures, as necessary, to achieve this;

Commitment to review

27. Affirms that it shall keep the Libyan authorities’ actions under continuous review and that it shall be prepared to review the appropriateness of the measures contained in this resolution, including the strengthening, modification, suspension or lifting of the measures, as may be needed at any time in light of the Libyan authorities’ compliance with relevant provisions of this resolution;

28. Decides to remain actively seized of the matter.

611 -24558 11-245581 0

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Annex I

Travel ban

1. Al-Baghdadi, Dr Abdulqader Mohammed

Passport number: B010574. Date of birth: 01/07/1950.

Head of the Liaison Office of the Revolutionary Committees. Revolutionary Committees involved in violence against demonstrators.

2. Dibri, Abdulqader Yusef

Date of birth: 1946. Place of birth: Houn, Libya.

Head of Muammar Qadhafi’s personal security. Responsibility for regime security. History of directing violence against dissidents.

3. Dorda, Abu Zayd Umar

Director, External Security Organisation. Regime loyalist. Head of external intelligence agency.

4. Jabir, Major General Abu Bakr Yunis

Date of birth: 1952. Place of birth: Jalo, Libya.

Defence Minister. Overall responsibility for actions of armed forces.

5. Matuq, Matuq Mohammed

Date of birth: 1956. Place of birth: Khoms.

Secretary for Utilities. Senior member of regime. Involvement with Revolutionary Committees. Past history of involvement in suppression of dissent and violence.

6. Qadhaf Al-dam, Sayyid Mohammed

Date of birth: 1948. Place of birth: Sirte, Libya.

Cousin of Muammar Qadhafi. In the 1980s, Sayyid was involved in the dissident assassination campaign and allegedly responsible for several deaths in Europe. He is also thought to have been involved in arms procurement.

7. Qadhafi, Aisha Muammar

Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.

Daughter of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

8. Qadhafi, Hannibal Muammar

Passport number: B/002210. Date of birth: 20/09/1975. Place of birth: Tripoli, Libya. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

9. Qadhafi, Khamis Muammar

Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.

Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Command of military units involved in repression of demonstrations.

811 -24558 11-245581 1

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

10. Qadhafi, Mohammed Muammar

Date of birth: 1970. Place of birth: Tripoli, Libya.

Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

11. Qadhafi, Muammar Mohammed Abu Minyar

Date of birth: 1942. Place of birth: Sirte, Libya.

Leader of the Revolution, Supreme Commander of Armed Forces. Responsibility for ordering repression of demonstrations, human rights abuses.

12. Qadhafi, Mutassim

Date of birth: 1976. Place of birth: Tripoli, Libya.

National Security Adviser. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

13. Qadhafi, Saadi

Passport number: 014797. Date of birth: 25/05/1973. Place of birth: Tripoli, Libya.

Commander Special Forces. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Command of military units involved in repression of demonstrations.

14. Qadhafi, Saif al-Arab

Date of birth: 1982. Place of birth: Tripoli, Libya.

Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

15. Qadhafi, Saif al-Islam

Passport number: B014995. Date of birth: 25/06/1972. Place of birth: Tripoli, Libya.

Director, Qadhafi Foundation. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Inflammatory public statements encouraging violence against demonstrators.

16. Al-Senussi, Colonel Abdullah

Date of birth: 1949. Place of birth: Sudan.

Director Military Intelligence. Military Intelligence involvement in suppression of demonstrations. Past history includes suspicion of involvement in Abu Selim prison massacre. Convicted in absentia for bombing of UTA flight. Brother-in-law of Muammar Qadhafi.

811 -24558 11-245581 2

S/RES/1970 (2011) S/RES/1970 (2011)

Annex II

Asset freeze

1. Qadhafi, Aisha Muammar

Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.

Daughter of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

2. Qadhafi, Hannibal Muammar

Passport number: B/002210. Date of birth: 20/09/1975. Place of birth: Tripoli, Libya. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

3. Qadhafi, Khamis Muammar

Date of birth: 1978. Place of birth: Tripoli, Libya.

Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Command of military units involved in repression of demonstrations.

4. Qadhafi, Muammar Mohammed Abu Minyar

Date of birth: 1942. Place of birth: Sirte, Libya.

Leader of the Revolution, Supreme Commander of Armed Forces. Responsibility for ordering repression of demonstrations, human rights abuses.

5. Qadhafi, Mutassim

Date of birth: 1976. Place of birth: Tripoli, Libya.

National Security Adviser. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime.

6. Qadhafi, Saif al-Islam

Passport number: B014995. Date of birth: 25/06/1972. Place of birth: Tripoli, Libya.

Director, Qadhafi Foundation. Son of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Inflammatory public statements encouraging violence against demonstrators.

10 11-24558 United Nations S/RES/1973 (2011)

Security Council Distr.: General 17 March 2011

Resolution 1973 (2011)

Adopted by the Security Council at its 6498th meeting, on 17 March 2011

The Security Council,

Recalling its resolution 1970 (2011) of 26 February 2011,

Deploring the failure of the Libyan authorities to comply with resolution 1970 (2011),

Expressing grave concern at the deteriorating situation, the escalation of violence, and the heavy civilian casualties,

Reiterating the responsibility of the Libyan authorities to protect the Libyan population and reaffirming that parties to armed conflicts bear the primary responsibility to take all feasible steps to ensure the protection of civilians,

Condemning the gross and systematic violation of human rights, including arbitrary detentions, enforced disappearances, torture and summary executions,

Further condemning acts of violence and intimidation committed by the Libyan authorities against journalists, media professionals and associated personnel and urging these authorities to comply with their obligations under international humanitarian law as outlined in resolution 1738 (2006),

Considering that the widespread and systematic attacks currently taking place in the Libyan Arab Jamahiriya against the civilian population may amount to crimes against humanity,

Recalling paragraph 26 of resolution 1970 (2011) in which the Council expressed its readiness to consider taking additional appropriate measures, as necessary, to facilitate and support the return of humanitarian agencies and make available humanitarian and related assistance in the Libyan Arab Jamahiriya,

Expressing its determination to ensure the protection of civilians and civilian populated areas and the rapid and unimpeded passage of humanitarian assistance and the safety of humanitarian personnel,

Recalling the condemnation by the League of Arab States, the African Union, and the Secretary General of the Organization of the Islamic Conference of the serious violations of human rights and international humanitarian law that have been and are being committed in the Libyan Arab Jamahiriya,

11-26839 (E) *1126839*

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

Taking note of the final communiqué of the Organisation of the Islamic Conference of 8 March 2011, and the communiqué of the Peace and Security Council of the African Union of 10 March 2011 which established an ad hoc High Level Committee on Libya,

Taking note also of the decision of the Council of the League of Arab States of 12 March 2011 to call for the imposition of a no-fly zone on Libyan military aviation, and to establish safe areas in places exposed to shelling as a precautionary measure that allows the protection of the Libyan people and foreign nationals residing in the Libyan Arab Jamahiriya,

Taking note further of the Secretary-General’s call on 16 March 2011 for an immediate cease-fire,

Recalling its decision to refer the situation in the Libyan Arab Jamahiriya since 15 February 2011 to the Prosecutor of the International Criminal Court, and stressing that those responsible for or complicit in attacks targeting the civilian population, including aerial and naval attacks, must be held to account,

Reiterating its concern at the plight of refugees and foreign workers forced to flee the violence in the Libyan Arab Jamahiriya, welcoming the response of neighbouring States, in particular Tunisia and Egypt, to address the needs of those refugees and foreign workers, and calling on the international community to support those efforts,

Deploring the continuing use of mercenaries by the Libyan authorities,

Considering that the establishment of a ban on all flights in the airspace of the Libyan Arab Jamahiriya constitutes an important element for the protection of civilians as well as the safety of the delivery of humanitarian assistance and a decisive step for the cessation of hostilities in Libya,

Expressing concern also for the safety of foreign nationals and their rights in the Libyan Arab Jamahiriya,

Welcoming the appointment by the Secretary General of his Special Envoy to Libya, Mr. Abdel-Elah Mohamed Al-Khatib and supporting his efforts to find a sustainable and peaceful solution to the crisis in the Libyan Arab Jamahiriya,

Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, independence, territorial integrity and national unity of the Libyan Arab Jamahiriya,

Determining that the situation in the Libyan Arab Jamahiriya continues to constitute a threat to international peace and security,

Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations,

1. Demands the immediate establishment of a cease-fire and a complete end to violence and all attacks against, and abuses of, civilians;

2. Stresses the need to intensify efforts to find a solution to the crisis which responds to the legitimate demands of the Libyan people and notes the decisions of the Secretary-General to send his Special Envoy to Libya and of the Peace and Security Council of the African Union to send its ad hoc High Level Committee to

211 -26839 11-268392

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

Libya with the aim of facilitating dialogue to lead to the political reforms necessary to find a peaceful and sustainable solution;

211 -26839 11-268393

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

3. Demands that the Libyan authorities comply with their obligations under international law, including international humanitarian law, human rights and refugee law and take all measures to protect civilians and meet their basic needs, and to ensure the rapid and unimpeded passage of humanitarian assistance;

Protection of civilians

4. Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in cooperation with the Secretary-General, to take all necessary measures, notwithstanding paragraph 9 of resolution 1970 (2011), to protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab Jamahiriya, including Benghazi, while excluding a foreign occupation force of any form on any part of Libyan territory, and requests the Member States concerned to inform the Secretary-General immediately of the measures they take pursuant to the authorization conferred by this paragraph which shall be immediately reported to the Security Council;

5. Recognizes the important role of the League of Arab States in matters relating to the maintenance of international peace and security in the region, and bearing in mind Chapter VIII of the Charter of the United Nations, requests the Member States of the League of Arab States to cooperate with other Member States in the implementation of paragraph 4;

No Fly Zone

6. Decides to establish a ban on all flights in the airspace of the Libyan Arab Jamahiriya in order to help protect civilians;

7. Decides further that the ban imposed by paragraph 6 shall not apply to flights whose sole purpose is humanitarian, such as delivering or facilitating the delivery of assistance, including medical supplies, food, humanitarian workers and related assistance, or evacuating foreign nationals from the Libyan Arab Jamahiriya, nor shall it apply to flights authorised by paragraphs 4 or 8, nor other flights which are deemed necessary by States acting under the authorisation conferred in paragraph 8 to be for the benefit of the Libyan people, and that these flights shall be coordinated with any mechanism established under paragraph 8;

8. Authorizes Member States that have notified the Secretary-General and the Secretary-General of the League of Arab States, acting nationally or through regional organizations or arrangements, to take all necessary measures to enforce compliance with the ban on flights imposed by paragraph 6 above, as necessary, and requests the States concerned in cooperation with the League of Arab States to coordinate closely with the Secretary General on the measures they are taking to implement this ban, including by establishing an appropriate mechanism for implementing the provisions of paragraphs 6 and 7 above,

9. Calls upon all Member States, acting nationally or through regional organizations or arrangements, to provide assistance, including any necessary over- flight approvals, for the purposes of implementing paragraphs 4, 6, 7 and 8 above;

211 -26839 11-268394

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

10. Requests the Member States concerned to coordinate closely with each other and the Secretary-General on the measures they are taking to implement

211 -26839 11-268395

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

paragraphs 4, 6, 7 and 8 above, including practical measures for the monitoring and approval of authorised humanitarian or evacuation flights;

11. Decides that the Member States concerned shall inform the Secretary- General and the Secretary-General of the League of Arab States immediately of measures taken in exercise of the authority conferred by paragraph 8 above, including to supply a concept of operations;

12. Requests the Secretary-General to inform the Council immediately of any actions taken by the Member States concerned in exercise of the authority conferred by paragraph 8 above and to report to the Council within 7 days and every month thereafter on the implementation of this resolution, including information on any violations of the flight ban imposed by paragraph 6 above;

Enforcement of the arms embargo

13. Decides that paragraph 11 of resolution 1970 (2011) shall be replaced by the following paragraph : “Calls upon all Member States, in particular States of the region, acting nationally or through regional organisations or arrangements, in order to ensure strict implementation of the arms embargo established by paragraphs 9 and 10 of resolution 1970 (2011), to inspect in their territory, including seaports and airports, and on the high seas, vessels and aircraft bound to or from the Libyan Arab Jamahiriya, if the State concerned has information that provides reasonable grounds to believe that the cargo contains items the supply, sale, transfer or export of which is prohibited by paragraphs 9 or 10 of resolution 1970 (2011) as modified by this resolution, including the provision of armed mercenary personnel, calls upon all flag States of such vessels and aircraft to cooperate with such inspections and authorises Member States to use all measures commensurate to the specific circumstances to carry out such inspections”;

14. Requests Member States which are taking action under paragraph 13 above on the high seas to coordinate closely with each other and the Secretary- General and further requests the States concerned to inform the Secretary-General and the Committee established pursuant to paragraph 24 of resolution 1970 (2011) (“the Committee”) immediately of measures taken in the exercise of the authority conferred by paragraph 13 above;

15. Requires any Member State whether acting nationally or through regional organisations or arrangements, when it undertakes an inspection pursuant to paragraph 13 above, to submit promptly an initial written report to the Committee containing, in particular, explanation of the grounds for the inspection, the results of such inspection, and whether or not cooperation was provided, and, if prohibited items for transfer are found, further requires such Member States to submit to the Committee, at a later stage, a subsequent written report containing relevant details on the inspection, seizure, and disposal, and relevant details of the transfer, including a description of the items, their origin and intended destination, if this information is not in the initial report;

16. Deplores the continuing flows of mercenaries into the Libyan Arab Jamahiriya and calls upon all Member States to comply strictly with their obligations under paragraph 9 of resolution 1970 (2011) to prevent the provision of armed mercenary personnel to the Libyan Arab Jamahiriya;

411 -26839 11-268396

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

Ban on flights

17. Decides that all States shall deny permission to any aircraft registered in the Libyan Arab Jamahiriya or owned or operated by Libyan nationals or companies to take off from, land in or overfly their territory unless the particular flight has been approved in advance by the Committee, or in the case of an emergency landing;

18. Decides that all States shall deny permission to any aircraft to take off from, land in or overfly their territory, if they have information that provides reasonable grounds to believe that the aircraft contains items the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 9 and 10 of resolution 1970 (2011) as modified by this resolution, including the provision of armed mercenary personnel, except in the case of an emergency landing;

Asset freeze

19. Decides that the asset freeze imposed by paragraph 17, 19, 20 and 21 of resolution 1970 (2011) shall apply to all funds, other financial assets and economic resources which are on their territories, which are owned or controlled, directly or indirectly, by the Libyan authorities, as designated by the Committee, or by individuals or entities acting on their behalf or at their direction, or by entities owned or controlled by them, as designated by the Committee, and decides further that all States shall ensure that any funds, financial assets or economic resources are prevented from being made available by their nationals or by any individuals or entities within their territories, to or for the benefit of the Libyan authorities, as designated by the Committee, or individuals or entities acting on their behalf or at their direction, or entities owned or controlled by them, as designated by the Committee, and directs the Committee to designate such Libyan authorities, individuals or entities within 30 days of the date of the adoption of this resolution and as appropriate thereafter;

20. Affirms its determination to ensure that assets frozen pursuant to paragraph 17 of resolution 1970 (2011) shall, at a later stage, as soon as possible be made available to and for the benefit of the people of the Libyan Arab Jamahiriya;

21. Decides that all States shall require their nationals, persons subject to their jurisdiction and firms incorporated in their territory or subject to their jurisdiction to exercise vigilance when doing business with entities incorporated in the Libyan Arab Jamahiriya or subject to its jurisdiction, and any individuals or entities acting on their behalf or at their direction, and entities owned or controlled by them, if the States have information that provides reasonable grounds to believe that such business could contribute to violence and use of force against civilians;

Designations

22. Decides that the individuals listed in Annex I shall be subject to the travel restrictions imposed in paragraphs 15 and 16 of resolution 1970 (2011), and decides further that the individuals and entities listed in Annex II shall be subject to the asset freeze imposed in paragraphs 17, 19, 20 and 21 of resolution 1970 (2011);

23. Decides that the measures specified in paragraphs 15, 16, 17, 19, 20 and

411 -26839 11-268397

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

21 of resolution 1970 (2011) shall apply also to individuals and entities determined by the Council or the Committee to have violated the provisions of resolution 1970

411 -26839 11-268398

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

(2011), particularly paragraphs 9 and 10 thereof, or to have assisted others in doing so;

Panel of Experts

24. Requests the Secretary-General to create for an initial period of one year, in consultation with the Committee, a group of up to eight experts (“Panel of Experts”), under the direction of the Committee to carry out the following tasks:

(a) Assist the Committee in carrying out its mandate as specified in paragraph 24 of resolution 1970 (2011) and this resolution;

(b) Gather, examine and analyse information from States, relevant United Nations bodies, regional organisations and other interested parties regarding the implementation of the measures decided in resolution 1970 (2011) and this resolution, in particular incidents of non-compliance;

(c) Make recommendations on actions the Council, or the Committee or State, may consider to improve implementation of the relevant measures;

(d) Provide to the Council an interim report on its work no later than 90 days after the Panel’s appointment, and a final report to the Council no later than 30 days prior to the termination of its mandate with its findings and recommendations;

25. Urges all States, relevant United Nations bodies and other interested parties, to cooperate fully with the Committee and the Panel of Experts, in particular by supplying any information at their disposal on the implementation of the measures decided in resolution 1970 (2011) and this resolution, in particular incidents of non-compliance;

26. Decides that the mandate of the Committee as set out in paragraph 24 of resolution 1970 (2011) shall also apply to the measures decided in this resolution;

27. Decides that all States, including the Libyan Arab Jamahiriya, shall take the necessary measures to ensure that no claim shall lie at the instance of the Libyan authorities, or of any person or body in the Libyan Arab Jamahiriya, or of any person claiming through or for the benefit of any such person or body, in connection with any contract or other transaction where its performance was affected by reason of the measures taken by the Security Council in resolution 1970 (2011), this resolution and related resolutions;

28. Reaffirms its intention to keep the actions of the Libyan authorities under continuous review and underlines its readiness to review at any time the measures imposed by this resolution and resolution 1970 (2011), including by strengthening, suspending or lifting those measures, as appropriate, based on compliance by the Libyan authorities with this resolution and resolution 1970 (2011).

29. Decides to remain actively seized of the matter.

611 -26839 11-268399

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

Libya: UNSCR proposed designations

Number Name Justification Identifiers

Annex I: Travel Ban

1 QUREN SALIH QUREN Libyan Ambassador to Chad. Has AL QADHAFI left Chad for Sabha. Involved directly in recruiting and coordinating mercenaries for the regime.

2 Colonel AMID HUSAIN Governor of Ghat (South Libya). AL KUNI Directly involved in recruiting mercenaries.

Number Name Justification Identifiers

Annex II: Asset Freeze

1 Dorda, Abu Zayd Umar Position: Director, External Security Organisation

2 Jabir, Major General Abu Position: Defence Minister Title: Major General DOB: --/--/1952. Bakr Yunis POB: Jalo, Libya

3 Matuq, Matuq Position: Secretary for Utilities DOB: --/--/1956. POB: Khoms Mohammed

4 Qadhafi, Mohammed Son of Muammar Qadhafi. DOB: --/--/1970. POB: Tripoli, Libya Muammar Closeness of association with regime

5 Qadhafi, Saadi Commander Special Forces. Son DOB: 25/05/1973. POB: Tripoli, Libya of Muammar Qadhafi. Closeness of association with regime. Command of military units involved in repression of demonstrations

6 Qadhafi, Saif al-Arab Son of Muammar Qadhafi. DOB: --/--/1982. POB: Tripoli, Libya Closeness of association with regime

7 Al-Senussi, Colonel Position: Director Military Title: Colonel DOB: --/--/1949. Abdullah Intelligence POB: Sudan

Entities

611 -26839 11-268391 0

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

1 Central Bank of Libya Under control of Muammar Qadhafi and his family, and potential source of funding for his regime.

611 -26839 11-268391 1

S/RES/1973 (2011) S/RES/1973 (2011)

Number Name Justification Identifiers

2 Libyan Investment Under control of Muammar a.k.a: Libyan Arab Foreign Investment Authority Qadhafi and his family, and Company (LAFICO) Address: 1 Fateh potential source of funding for Tower Office, No 99 22nd Floor, his regime. Borgaida Street, Tripoli, Libya, 1103 3 Libyan Foreign Bank Under control of Muammar Qadhafi and his family and a potential source of funding for his regime.

4 Libyan Africa Under control of Muammar Address: Jamahiriya Street, LAP Investment Portfolio Qadhafi and his family, and Building, PO Box 91330, Tripoli, Libya potential source of funding for his regime.

5 Libyan National Oil Under control of Muammar Address: Bashir Saadwi Street, Tripoli, Corporation Qadhafi and his family, and Tarabulus, Libya potential source of funding for his regime.

8 11-26839