PERANAN JINJA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG “NIHON JIN NO SEIKATSU NI OKERU JINJA NO YAKUWARI” KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

CINDY MONICA BR PERANGIN-ANGIN NIM : 162203003

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG DIII FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

1 Universitas Sumatera Utara 2

Universitas Sumatera Utara 3

Universitas Sumatera Utara

4

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Ahli

Madya di Universitas Sumatera Utara. Ada pun Judul kertas karya ini adalah

“ Peranan Jinja dalam Kehidupan Masyarakat Jepang “.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna. Baik dari pengkajian kalimat, penguraian materi, dan pembahasan masalah. Tetapi berkat bimbingan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak yang telah banyak membantu terutama kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D selaku Guru Besar Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Dr. Diah Syahfitri Handayani, M.Litt selaku ketua program studi Bahasa

Jepang DIII Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Zulnaidi, SS, M.Hum, selaku sekertaris program studi Bahasa Jepang

DIII Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara serta sebagai Dosen

pembimbing yang dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan

bimbingan dan pengarahan kepada penulis hingga selesainya kertas karya ini.

5. Bapak Alimansyar, SS., M.A., Ph.D selaku dosen penguji kertas karya penulis.

i Universitas Sumatera Utara 6. Bapak/Ibu Dosen Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara yang telah mendidik penuis selama menjadi mahasiswa di Jurusan

Bahasa Jepang.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara atas

arahan yang diberikan kepada penulis.

8. Kedua Orang Tua penulis Bpk Dasar Perangin angin dan Ibu Terang Malem br

Ginting, Jimmy Arnold Perangin-angin sebagai abang yang tertua dan Adik

penulis yang paling kecil Angel Lidwina br Perangin-angin yang senantiasa

memberikan semangat, dukungan moril dan material juga spiritual untuk

meraih cita-cita setinggi-tingginya.

9. Keluarga besar Hinode stambuk 2016 yang telah berjuang dalam suka dan

duka selama di kampus dan selama mengerjakan tugas akhir ini.

10. Teman-teman Ribka, Risa, Welly, Zeni, Marsauina, Selmita, Sri Hartati,

Firman, Amal dan Haikal. Penulis menghaturkan banyak terimakasih sebesar-

besarnya karena dengan tulus telah banyak membantu dan memotivasi penulis

dalam menyelesaikan kertas karya ini , akhir kata penulis mohon maaf kepada

para pembaca atas segala kesalahan ataupun kekurangan dalam pengerjaan

kertas karya ini, semoga kertas karya ini dapat bermafaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2019 Penulis,

CINDY MONICA Br PERANGIN-ANGIN NIM : 162203003

ii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI ...... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul...... 1

1.2. Rumusan Masalah...... 3

1.3. Tujuan Penulisan...... 3

1.4. Metode Penulisan...... 4

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JINJA

2.1. Pengertian Jinja...... 5

2.2. Bentuk Jinja ...... 9

2.3. Perkembangan Jinja ...... 13

BAB III PERANAN JINJA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

JEPANG

3.1. Kegiatan yang Dilaksanakan di Jinja ...... 15

3.1.1 Ritual ...... 16

3.1.2 Festival ( Matsuri ) ...... 17

iii

Universitas Sumatera Utara 3.2. Peranan Jinja dalam Kehidupan

Masyarakat Jepang...... 19

3.2.1. Tempat Ibadah...... 19

3.2.2. Tempat Wisata...... 20

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan...... 22

4.2. Saran...... 22

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

iv

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul

Jepang merupakan salah satu negara maju di Dunia, baik dari segi perekonomian, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya maupun pariwisata. Salah satu yang menonjol dari negara Jepang adalah teknologi dan pariwisatanya.

Banyak wisata yang bisa dilakukan di jepang misalnya wisata taman dengan menikmati indahnya bunga sakura, wisata belanja dan fashion hingga wisata kuil- kuil banyak terdapat di jepang. Saat kita melihat ke peta, terlihat jelas perbedaan tersebut. Banyak nama kuil yang diikuti dengan Jinja (神社). Adapula kuil yang diikuti dengan Otera(お寺).

Jepang dikenal sebagai negara sejuta kuil dan sebagai salah satu negara yang majemuk, masyarakat Jepang memiliki banyak kepercayaan, seperti ,

Buddha, Kristen, Hindu dan tak juga Islam. Namun agama yang umum di Jepang yaitu Shinto dan Buddha. Banyaknya agama Shinto dan Buddha, membuat jepang memiliki banyak Kuil atau Jinja sebagai sarana ibadah masyarakatnya.

Hampir setiap daerah memiliki kuil atau jinja yang berbeda, yang paling terkenal adalah Takekoma Jinja yang terletak di Kota Iwanuma Perfektur Miyagi.

Secara tradisional Jinja adalah tempat berdoa untuk kepentingan masyarakat.

Akses untuk menuju ke setiap Jinja juga sangat mudah, karena Jinja terdapat disetiap penjuru Jepang. Karena banyaknya kuil di Jepang membuat pemerintah

Jepang menjadikan Jinja sebagai tempat wisata. Disetiap Jinja memiliki ciri khas berbeda yang membuat Jinja tersebut menjadi menarik dan terkenal.

1 Universitas Sumatera Utara Jinja terdiri dari seluruh ritual dan festival serta kegiatan lainnya yang akan dilaksanakan oleh pendeta (ukijo) komunitas lokal dan pemuja lainya di

Jinja. Dalam agama Shinto terdapat banyak ritual dan festival yang di lakukan sepanjang tahun dengan ciri khas yang berbeda disetiap daerahnya serta simbol- simbol yang dipakai. Beberapa provinsi di Jepang memiliki ritual dan festival masing-masing yang terkadang mirip satu sama lain. Festival-festival dalam agama asli Jepang dirayakan sepanjang tahun menurut kalender yang setiap tahunnya akan diadakan pada tanggal yang sama.

Didalam kepercayaan Jepang terdapat “” yang merupakan sesuatu yang disembah berupa spirit atau dewa-dewi yang Maha Hebat. Sebagai mana sebutan untuk Shinto adalah The Way of Kami . Kami ini tidak hanya memiliki satu wujud, namun juga memiliki bermacam wujud dan nama, contoh nya

Amaterasu yang merupakan Dewi Matahari yang merupakan Dewa Utama, lalu ada Susano’o yaitu Dewa Badai yang sering mendatangkan bencana dan musibah karena marah telah diusir dari surga dan sebagai nya. Kami bertanggung jawab untuk berbagai kekuatan yang berbeda dan diyakini hadir di semua jenis fenomena alam dan bahkan ciptaan manusia, seperti angin, pegunungan, atau bahkan tempat seseorang.

Seperti yang kita ketahui, di Jepang sangat banyak matsuri yaitu festival atau perayaan perayaan yang di lakukan sepanjang tahun dan mempunyai makna yang berbeda, contoh nya adalah perayaan memanggul yang merupakan simbol kuil yang di panggul dan diarak keliling kota, namun beberapa prefektur di

Jepang memiliki simbol dan ciri khas mikoshi yang berbeda, pertandingan sumo

2

Universitas Sumatera Utara yang sering kita lihat di telivisi pun merupakan suatu ritual yang di lambangkan dengan bentuk pembatas ring pertandingan yang mengingatkan pada kuil serta wasit pertandingan yang berpakaian sebagai mana pendeta di kuil-kuil.

Di Jepang, istilah “Kuil” mengacu pada bangunan keagamaan yang terkait dengan agama asli orang Jepang. Hadir dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari terutama dalam adat dan tradisi, keyakinan orang jepang asli merupakan bagian penting dari kehidupan di Jepang. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas masalah ini sebagai judul kertas karya yang diajukan.

1.2. Rumusan Masalah

Jepang dikenal sebagai negara sejuta kuil dan sebagai salah satu negara yang majemuk, masyarakat jepang memiliki banyak kepercayaan, seperti Shinto,

Buddha, Kristen, Hindu dan tak juga Islam. Hampir setiap daerah memiliki kuil atau Jinja dan secara tradisional Jinja adalah tempat berdoa untuk kepentingan masyarakat.

Dalam penulisan kertas karya ini, saya mengulas tentang Peranan Penting

Jinja dalam Kehidupan Masyarakat Jepang. Di dalamnya membahas tentang pengertian Jinja, sejarah Jinja, bentuk bangunan Jinja dan kegiatan yang dilakukan di Jinja.

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui mengenai Sejarah Jinja, Bangunan Jinja, dan kegiatan yang

dilakukan di Jinja.

3

Universitas Sumatera Utara 2. Untuk menambah wawasan pembaca atau pelajar bahasa Jepang

mengenai Jinja.

3. Untuk mengetahui perkembangan Jinja serta ajarannya.

4. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari program Diploma III

Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara.

1.4. Metode Penulisan

Metode adalah Alat untuk mencapai tujuan dari kegiatan. Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Dalam penulisan kertas karya ini penulis menggunakan metode penelitian pustaka

(Library Research) yaitu dengan cara memanfaatkan sumber-sumber bacaan yang ada yaitu berupa buku refrensi yang berkaitan dengan Jinja yang keudian dirangkum dan dianalisa ke dalam kertas karya ini. Selain itu, penulis juga memanfaatkan informasi dari teknologi internet sebagai sumber data tambahan agar lebih akurat dan jelas.

4

Universitas Sumatera Utara BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG JINJA

2.1 . Pengertian Jinja

Jinja (神社)adalah bangunan tempat ibadah, pemikiran, tata cara atau ajaran yang berkaitan dengan pelayanan dan pemujaan terhadap jinja bagi masyarakat asli jepang, sejumlah kuil memiliki jadwal pembangunan kembali.

Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20 tahun. Pada zaman kuno, walaupun tidak didirikan bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut jinja (kuil). Pada masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung

(gunung berapi), air terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan.

Jinja berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai (objek pemujaan). Jinja bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebarluaskan agama. Pada zaman sekarang, Jinja dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.

Menurut almanak agama (Shūkyō Nenkan) tahun 1992 yang di keluarkan/diterbitkan oleh Biro Kebudayaan Jepang, anggota Asosiasi

Kuil terdiri dari 79.173 kuil berbentuk yayasan keagamaan. Asosiasi ini juga dijadikan tempat bernaung 38 organisasi keagamaan, 9 badan keagamaan, 20.336 instruktur keagamaan, dan 82.631.196 penganut Shinto.

5

Universitas Sumatera Utara Dalam bahasa Indonesia, Jinja diterjemahkan sebagai kuil untuk agama

Shinto lalu sementara itu Tera diterjemahkan sebagai kuil agama Buddha. Nama kuil umumnya diambil dari nama tempat yang menjadi lokasi kuil, misalnya: Kuil

Yasaka, Kuil Kasuga, dan Ise Jingū di Ise, Prefektur Mie. Selain itu, penamaan kuil dapat diambil dari nama Kami (kuil Sumiyoshi, kuil , Tenmangū), nama Ujigami (kuil Shitori), sebutan untuk Kami (Heian Jingū, Kuil Yaegaki), nama yang menunjukkan penggolongan kuil (Shōkonsha, Soreisha), atau jumlah

Kami yang dipuja (Kuil Rokusho, Kuil Yohashira).

Kedudukan kuil tercermin dari nama kuil yang menyandang nama taisha (kuil agung) atau jingū (kuil kekaisaran). Hingga zaman Edo hanya ada dua kuil yang disebut taisha, yakni Izumo Taisha dan Kumano Taisha yang keduanya berada di Prefektur Shimane. Dari zaman Meiji hingga 1945, kuil yang menyandang nama taisha hanyalah Izumo Taisha. Sebagian dari kuil yang dulunya termasuk kelas kanpei taisha, kakuhei taisha, dan kanpeichūsha, seusai

Perang Dunia II, kuil-kuil tersebut menyandang nama taisha. Kuil yang menyandang nama jingū adalah kuil yang memuliakan Kaisar Jepang dan leluhur keluarga kekaisaran, seperti Meiji Jingū.

Sebelum tahun 1945, kuil harus meminta izin pemerintah sebelum dapat menyandang nama taisha atau jingū. Setelah Jepang menganut kebijakan pemisahan negara dan agama, kuil-kuil bebas menentukan sendiri namanya. Kuil-kuil lain yang menyandang nama jingū, misalnya Hokkaidō

Jingū (dulu: Kuil Hokkaido) dan Jingū (Prefektur Hyogo).

6

Universitas Sumatera Utara Dewa yang dipuja dalam kuil disebut dengan saijin. Istilah saijin ini mengacu pada nenek moyang keluarga kekaisaran Jepang. Lalu, kuil yang memiliki hubungan mendalam dengan keluarga kekaisaran disebut jingu.

Ada beberapa jingu yang terkenal di Jepang seperti, seperti

Omikami yang dipuja di Kuil Ise Jingu, Prefektur Mie, ada pula Kaisar Meiji yang dipuja di Kuil Meiji Jingu, Tokyo.

Kuil bermula dari altar () yang dibangun sementara untuk keperluan pemujaan di iwakura (tempat pemujaan alam) atau tempat tinggal para Kami yang dijadikan tempat terlarang dimasuki manusia, pada umumnya shintaisan (gunung tempat tinggal para Kami). Bangunan bersifat permanen mulanya tidak ada. Asal usulnya mungkin seperti utaki di Okinawa.

Sejak zaman kuno hingga sekarang, kuil sering tidak memiliki . Ada pula kuil yang hanya membangun di depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki manusia (misalnya: Kuil Ōmiwa, Kuil Isonokami, Munakata

Taisha).

Sebagian dari kuil sama sekali tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil

Hirō di . Setelah dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya dipercaya selalu ada di dalam Kuil. Berdasarkan alasan yang tidak diketahui, penganut agama asli Jepang kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan dengan goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun.

Bangunan Kuil Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura.

Ketika dirasakan perlu untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika

7

Universitas Sumatera Utara mendirikan desa, penduduk memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei.

Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis:

1. Bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di

tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang

berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya Tenmangū di Dazaifu.

2. Bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan.

3. Bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang. Kuil

Nikkō Futarasan misalnya, berada di puncak gunung hingga perlu

dibangun kuil cabang di lokasi yang mudah didatangi.

Istilah “Jinja” lahir setelah Restorasi Meiji, tepatnya setelah perang

dunia II. Awalnya istilah Jinja digunakan untuk membedakannya dengan

Kyoha Shinto (Shinto sekitaran) pada era Meiji dan Taisho. Tetapi setelah

perang dunia II, Jinja dipisahkan dari sistem pemerintahan dan

diperlakukan sebagai sebuah agama, sehingga istilah ini semakin sering

digunakan. Meskipun tradisi panjangnya melakukan pemujaan terhadap

Kami, Jinja bukanlah tempat yang didirikan atau diorganisir oleh seorang

pemimpin spiritual tertentu.

8

Universitas Sumatera Utara 2.2 Bentuk Jinja

Pada umumnya, kuil di Jepang dibangun dari kayu oleh miyadaiku (tukang kayu spesialis kuil). Bangunan kuil dibangun dengan arsitektur tradisional

Jepang. Walaupun dari luar terlihat seperti bangunan tradisional Jepang, Jinja zaman sekarang dibangun dengan teknologi konstruksi modern berdasarkan standar bangunan antigempa dan antikebakaran, termasuk penggunaan beton bertulang untuk sebagian bangunan kuil.

Kompleks Jinja mudah dikenali dengan adanya hutan pelindung yang disebut chinjū no mori ( 鎮守の森 ) di sekelilingnya (kecuali Jinja yang berlokasi di tengah-tengah kota). Pohon besar yang disebut goshintai-ki sering ditandai dengan . shimenawa merupakan tali jerami yang di hiasi dengan kertas zig-zag. Kompleks Jinja dianggap sebagai kawasan suci sehingga di pintu masuk kuil dibangun sebagai garis perbatasan antara kompleks kuil yang sakral dan dunia manusia.

Di bagian dalam kompleks Jinja yang berdekatan dengan pintu masuk, dibangun chōzuya (tempat wuduh). Orang yang berkunjung ke kuil menggunakan air untuk menyucikan kedua belah tangan dan mulut. Kantor pengelola kuil serta loket penjualan dan berada di tempat yang mudah dilihat pengunjung. Di kompleks Jinja berukuran besar sering juga dibangun kolam (shinchi) dan jembatan (shinkyō).

Bangunan Jinja terdiri dari honden (bagian dalam yang berdekatan dengan altar) dan haiden (bagian luar kuil). Orang yang berkunjung ke Jinja berdoa di luar. Objek pemujaan berada di bagian paling dalam honden.

9

Universitas Sumatera Utara Daerah sekeliling honden umumnya dikelilingi oleh pagar () yang dibuat dari kayu atau batu. Di dalam honden dibacakan (doa), dan diletakkan heihaku (幣帛, persembahan untuk Kami) yang berupa kain, pakaian, senjata, miki (sake), dan makanan persembahan (shinsen).

Setelah dimulainya shinbutsu shūgō pada zaman Nara, kuil Buddha yang disebut jingū-ji didirikan di dalam kompleks Jinja. Biksu dipekerjakan untuk mengadakan kuyō untuk para Kami. Nama lain untuk jingū-ji adalah bettō-ji ( 別

当寺 ) atau miyadera ( 宮寺 ) ( gūji ). Sejak zaman Nara, kuil Buddha juga di dalam kompleks Jinja. Praktik penyatuan agama Buddha dan Shinto di Jepang berakhir setelah pemerintah zaman Meiji mengeluarkan perintah pemisahan agama Buddha dan Shinto (shinbutsu hanzen-rei). Setelah kuil Buddha dan Jinja tidak lagi berada di satu kompleks, gojūnotō dan butsudō (aula tempat meletakkan patung Buddha) di dalam kompleks Jinja ikut dibongkar. Biksu dibedakan dari pendeta Shinto (kanzukasa atau shinkan).

Pendeta di Jinja disebut (shinshoku). Istilah kannushi sudah dikenal sejak zaman kuno untuk orang yang menjalankan ritual di kuil. Di antara tugas utama kannushi termasuk mengelola kuil dan melaksanakan berbagai upacara, namun tidak memberi ceramah dan tidak menyebarluaskan agama. Kepala pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan kuil.

10

Universitas Sumatera Utara adalah sebutan untuk wanita asisten kannushi dalam melaksanakan upacara atau pekerjaan administrasi kuil. Istilah miko dulunya dipakai untuk wanita yang memiliki kekuatan magis untuk menerima ramalan (takusen) dalam keadaan raga dirasuki Kami (kamigakari).

Jinja yang memiliki akhiran nama Gu pada umumnya juga merupakan kuil yang memiliki hubungan erat dengan keluarga kekaisaran.

Kuil-kuil ini disebut sebagai "shino" dan didedikasikan untuk anggota laki- laki dari keluarga kekaisaran. Bahkan tempat-tempat suci di mana tokoh- tokoh sejarah penting juga dipuja, secara tradisional termasuk dalam kuil yang berakhiran Gu pada namanya. Ini termasuk kuil terkenal yang sering menjadi objek wisata, seperti Kuil Toshogu yang memuja Ieyasu Tokugawa dan Kuil Tenmagu yang memuja Sugawara no Michizane.

Arsitektur di Jinja sangat khas ala Jepang, karena kuil ini memang dibangun berdasarkan kepercayaan Shinto yang notabene merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang. Berikut beberapa fitur khas dalam arsitektur Jinja:

1. Gerbang kuil (torii), mayoritas dibuat berwarna merah-oranye dan hitam,

kecuali jika torii dibuat dari bahan lain seperti kayu.

2. Sando (Jalan Menuju Bangunan Utama Jinja) membentang dari torii

menuju bangunan utama. Biasanya ditutupi oleh batu krikil, tetapi ada juga

yang ditutupi dengan semen.

3. Temizusha, tempat untuk menyucikan diri sebelum berdoa di kuil.

11

Universitas Sumatera Utara 4. Koma Inu adalah penjaga simbolis Jinja. Dewa penjaga, ditempatkan di

area pintu masuk kuil. Wujudnya bisa macam-macam, mulai dari anjing,

singa, maupun rubah.

5. Honden dan Haiden bisa disatukan dalam satu bangunan maupun dipisah,

tergantung besar kecilnya kuil. Fungsi honden adalah untuk menyimpan

benda yang disucikan dan tempat tersebut nggak bisa dimasuki oleh

sembarang orang, sementara haiden adalah tempat untuk mengajukan

permohonan pada dewa.

7. Panggung, untuk menampilkan pertunjukan tari.

8. Ema, atau papan untuk menulis permohonan pada dewa.

9. Dekorasi khas seperti shimenawa, yaitu tali jerami yang dihiasi dengan

kertas zigzag. Fungsi dari shimenawa ini untuk menandai sesuatu yang

suci, seperti batu, pohon, gerbang kuil, dan lain-lain.

2.3. Perkembangan Jinja

Jinja merupakan tempat memuja/menyembah “Kami Sama”, Kami sama yang dimaksud disini adalah “Manusia” atau “Penyenbahan Alam”. Ada juga kepercayaan dari dahulu yang menjadikan gunung, laut, matahari (alam) sebagai

Tuhan. Bahkan ada juga Jinja yang menjadikan hewan seperti rubah, ular dan lain-lain sebagai sesuatu yang di puja atau disembah.

Jinja atau dalam bahasa Inggris diartikan sebagai shrine memiliki simbol berupa gerbang kayu yang dinamai dengan torii. Dilihat dari fungsinya, Jinja

12

Universitas Sumatera Utara merupakan kuil yang digunakan sebagai tempat ibadah umat Shinto. Biasanya, kita akan menjumpai chozuya atau tempat wudhu tradisional Jepang.

Jinja biasanya dibangun di tempat yang dahulu dianggap keramat atau tempat diadakannya upacara suci. Dewa-dewa Shinto diabadikan di dalam

Jinja. Pekerjaan seperti persiapan upacara suci dan lainnya dilakukan oleh pengurus kuil yang disebut kannushi dan miko. Sebagian besar Jinja diberi nama sesuai dengan nama dewa yang diabadikan di dalamnya. Oleh karena banyak dewa yang dipercaya dalam ajaran Shinto maka terdapat banyak jinja yang didirikan di Jepang.

Di Jinja Anda tidak bisa melihat wujud dari dewa yang diabadikan.

Dalam ajaran Shinto terdapat ungkapan "Yaoyorozu no Kamigami" yang berarti "8 juta dewa". Dipercaya bahwa terdapat 8 juta dewa yang bersemayam di dunia ini. "8 juta" di sini melambangkan jumlah yang sangat banyak atau tak terbatas.

Di Jepang kira-kira terdapat 95.000 Jinja yang dibangun untuk memuja dewa yang disembah dalam ajaran Shinto yang merupakan kepercayaan asli bangsa Jepang. Inti dari ajaran Shinto adalah mempercayai jika ada dewa di setiap tempat maupun di setiap elemen kehidupan, dan setiap manusia akan menjadi dewa setelah meninggal.

Pada zaman kuno, Jinja belum tentu diartikan memiliki sebuah bangunan.

Masyarakat juga menghormati hutan sebagai Jinja atau objek pemujaan. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai berharap agar Kami tinggal secara

13

Universitas Sumatera Utara permanen, sehingga mereka mulai membangun bangunan kayu sebagai tempat tinggal Kami.

Setelah agama Buddha masuk ke Jepang pada abad ke-6, orang-orang mulai menyembah patung Buddha yang ditempatkan di Kuil. Setelah Restorasi

Meiji, gaya asli pemujaan Shinto tanpa patung lebih ditekankan dengan menghilangkan unsur-unsur agama Buddha, dan sejak saat itu sebagian besar Jinja menjaga keaslian ini.

14

Universitas Sumatera Utara BAB III

PERANAN JINJA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG

3.1 Kegiatan yang Dilaksanakan di Jinja

Jinja merupakan tempat untuk melaksanakan ritual dan festival. Ritual dan festival adalah cara komunikasi antara Kami dengan umatnya. Melalui ritual dan festival Kami meningkatkan kekuatannya dan umatnya menerima anugerah darinya. Matsuri yang paling tua yang dikenal mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato. Merupakan kuil penyembahan Amaterasu yang dijadikan tempat persembunyian oleh dewa matahari tersebut.

Mayoritas orang Jepang pergi ke Jinja pada saat melangsungkan pernikahan, perayaan kelahiran bayi, merayakan kelulusan ujian masuk universitas. Para keluarga biasanya datang pada hari pertama di tahun baru atau hatsumode untuk memohon rahmat kesuksesan dan kebahagian di tahun tersebut.

Masing-masing jinja memiliki upacara keagamaannya masing-masing setiap tahunnya. Pada saat itu, umumnya dihadiri oleh masyarakat setempat dan dimeriahkan dengan penjualan berbagai souvenir di depannya. Di Jinja itu pun masyarakat dapat meminta atau membeli jimat keselamatan.

Dalam tradisi masyarakat Jepang, tiada hari tanpa matsuri. Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk kami atau dewa sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan, atau hari libur perayaan. Matsuri bagi orang

Jepang dianggap sebagai salah satu simbol dari kegiatan manusia untuk

15

Universitas Sumatera Utara berkomunikasi dan melayani dewa. Dengan kata lain, matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai jalan untuk bertemu dengan dewa.

3.1.1 Ritual

1. Doa (Norito)

Dalam upacara Shinto doa disebut dengan Norito, merupakan perangkat yang tidak dapat dipisahakan dari upacara, dibaca oleh pemimpin upacara atau kepada pendeta (guji). Norito ditulis dan dibaca berdasarkan atura bahasa klasik daripada bahasa moderen.

Pada prinsipnya, doa diawali dengan kata kata dalam pujian kepada Kami, menceritakan asal-usul atau sejarah ritual atau festival tertentu, menyajikan persembahan (makanan untuk Kami), mengungkapkan rasa syukur kepada Kami, lapopran atau permohan kepada Kami, da diakhiri dengan kata-kata Hormat.

2. Penyucian Diri (Harane)

Penyucian diri atau dalam bahasa Jepang disebut dengan Harane, adalah kegiatan menyucikan jasmani dan rohani di hadapan Kami. Kegiatan penyucian diri yang paling representatif adalah Shubatsu yang dilakukan oleh pendeta sebelum memulai ritual.

Secara historis, pendeta shinto harus melakukan penyucian diri sebelum melakukan ritual dengan membatasi diri dalam mengkonsumsi makanan dan berprilaku, menghindari kekotoran dalam jangka waktu tertentu.

16

Universitas Sumatera Utara 3.1.2. Festival (Matsuri)

Festival diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan di Jinja dan dipimpin oleh pendeta Shinto, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan Gereja dan Festival yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen, seperti beras, gandum, kacang, jagung, dan sebagainya. Festival juga sering dikaitkan dengan kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat.

Pada umumnya, upacara itu mulai dilakukan pada malam hari dengan menyajikan yumike, yaitu sajian malam khusus untuk dewa dan akan berakhir pada pagi hari dengan sajian asamike, yaitu sajian pagi sehingga upacara itu akan berlangsung selama dua hari satu malam. Dalam menyelenggarakan matsuri, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan.

Pertama, Sao. Sao adalah tiang yang ditegakkan di suatu tempat sebagai tanda bahwa di tempat itu akan diselenggarakan matsuri. Sao juga dianggap sebagai tangga, tempat turunnya para dewa yang akan hadir pada saat matsuri.

Tiang itu diberikan kain yang bertuliskan nama dewa, dan diberi lampu dengan maksud agar dewa tahu bahwa itu adalah jalan turunnya dewa. Sao biasanya diletakkan di altar kuil atau halaman kuil tempat diselenggarakan matsuri.

17

Universitas Sumatera Utara Kedua, Mono imi Penyucian yang dilakukan ketika akan melaksanakan matsuri, karena menurut kepercayaan agama Shinto orang yang melaksanakan matsuri harus dibersihkan dari segala hal yang kotor. Ketiga, Shinci Adalah objek dari pemujaan dalam matsuri.

Keempat, Shinya Berkaitan dengan orang yang berperan dalam penyelenggaraan matsuri yang disebut Toya. Toya haruslah orang yang bersih secara lahiriah, ia dipandang berasal dari keluarga yang mempunyai reputasi baik dan nama yang bersih dan dari batiniah, ia harus berhati baik dan berpikiran jernih/bersih.

Kelima, dan Kamisawa Ini berkaitan dengan kegiatan penyambutan dewa yang menjadi objek penyambutan dewa yang menjadi objek pemujaan dalam matsuri. Shintai dalam suatu upacara terdiri dari pintu utama yang dibiarkan terbuka, kemudian memukul drum atau membunyikan bel, yang berarti memenggil kami untuk turun.

Keenam, Sekku atau Singu Sekku, singu disebut juga senchi, yaitu sajian suci yang di persembahkan kepada dewa setelah penyambutan kami, yang berupa beras, sake, buah-buahan, sayur-sayuran, kue, ikan, rumput laut, garam, air dan lain-lain. Ada juga yang disebut heikaku yang berupa kain. Kertas, permata, senjata, uang, dan lain-lain.

Ketujuh, Saijitsu. Saijitsu adalah penentuan waktu untuk melaksanakan matsuri. Ada dua cara dalam menentukan waktu penyelenggaraan yaitu, berdasarkan penanggalan perputaran matahari atau disebut penanggalan masehi, dan cara yang kedua berdasarkan system penanggalan kanshi. Salah satu unsure

18

Universitas Sumatera Utara lain dalam penentuan waktu yaitu biasanya diselenggarakan berhubungan dengan pergantian musim.

Dalam pelaksanaan matsuri, orang Jepang meyakini bahwa waktu untuk melaksanakan matsuri adalah pukul enam sore (yumike) khususnya ketika bulan purnama dan berakhir pada pukul enam pagi (asamike). Jika matsuri diadakan dalam ruangan, dihalaman luar akan dinyalakan lampu dan api ungun untuk mengundang para dewa. Mereka percaya bahwa lampu dan lentera akan memudahkan dewa mencari jalan menuju tempat diadakan Festival.

3.2. Peranan Jinja dalam Kehidupan Masyarakat Jepang

3.2.1. Sebagai Tempat Ibadah

Jinja (神社)adalah bangunan tempat ibadah, pemikiran, tata cara atau ajaran yang berkaitan dengan pelayanan dan pemujaan terhadap jinja bagi masyarakat asli jepang, sejumlah kuil memiliki jadwal pembangunan kembali.

Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20 tahun. Pada zaman kuno, walaupun tidak didirikan bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut jinja (kuil). Pada masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung

(gunung berapi), air terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan.

Agama asli Jepang kurang begitu akrab dengan aktivitas ibadah dalam arti menyembah dengan tujuan memuji dan mengagungkan kebesaran Kami sama atau Tuhan. Mereka cenderung lebih dekat dengan konsep “Doa” yaitu menyembah dengan tujuan “meminta sesuatu” kepada Tuhan seperti agar lulus

19

Universitas Sumatera Utara ujian, diterima bekerja, dikaruniai kesehatan, umur panjang dan berbagai permintaan yang bersifat duniawi.

Seperti yang tertulis diatas, berdoa bukanlah sebuah keharusan sehingga kebanyakan orang sangat jarang berkunjung ke Jinja saat ada perayaan atau saat

Tahun Baru. Jadi secara umum bisa dikatakan kebanyakan orang Jepang berdoa cukup setahun sekali. Sehingga bukanlah pemandangan aneh kalau perayaan

Tahun Baru di negara ini cenderung sepi dari hingar bingar pesta atau perayaan karena kebanyakan penduduk Jepang khususnya golongan muda melewatkan pergantian Tahun di Jinja dengan berdoa.

Kuil berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai (objek pemujaan). Jinja bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebarluaskan agama. Pada zaman sekarang, Jinja dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.

3.2.2. Tempat Wisata

Kebanyakan tempat ibadah di Jepang, baik Jinja maupun Otera berfungsi sebagai tempat wisata. Kebanyakan pengunjung menjadikan saat berwisata sekaligus sebagai kesempatan untuk berdoa, karena Jinja menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbol agama dan doktrin agama.

Beberapa bagian dalam Jinja bisa dimasuki dan difoto tanpa ada larangan atau pertanyaan apapun apalagi pertanyaan yang menjurus pada hal agama. Dari sebagian besar Kuil yang ada di Jepang tidak ada yang lebih bebas dibandingkan

20

Universitas Sumatera Utara dengan Kuil Shinto (Jinja). Kemudian dari segi kunjungan wisatawan yang berlibur ke negara Jepang tidak hanya didominasi oleh wisatawan dari negara

Korea, Taiwan, dan Cina ataupun dari negara-negara barat saja, tetapi wisatawan dari Asia Tenggara juga turut menyumbang pemasukan devisa ke negara Jepang dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dari kawasan tersebut.

Hal ini terbukti pada tahun 2013, dimana jumlah kunjungan wisatawan asing pada tahun tersebut sebesar 10 juta wisatawan dan semakin bertambah menjadi 13,4 juta wisatawan pada tahun 2014. Bangunan kuil menjadi salah satu bukti kemajuan arsitektur Jepang.

21

Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Jepang merupakan salah satu negara maju di Dunia, baik dari segi perekonomian, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya maupun pariwisata. Salah satu yang menonjol dari negara jepang adalah Teknologi dan Pariwisatanya.

Dalam kemajuannya masyarakat Jepang tidak melupakan kebudayaannya.

Kebudayaan Jepang sangat dipengaruhi oleh letak geografis negaranya.

Masyarakat Jepang tetap memelihara kebudayaanya, walaupun Jepang adalah negara yang maju.

Jepang dikenal sebagai negara sejuta kuil dan sebagai salah satu negara yang majemuk, masyarakat jepang memiliki banyak kepercayaan, seperti Shinto,

Buddha, Kristen, Hindu dan tak juga Islam. Namun Agama yang umum di Jepang yaitu Shinto dan Budha. Banyaknya agama Shinto dan Budha, membuat Jepang memiliki banyak kuil atau Jinja sebagai sarana ibadah masyarakatnya.

Jinja adalah bangunan tempat ibadah atau ajaran yang berkaitan dengan pelayanan dan pemujaan terhadap jinja bagi masyarakat asli jepang. Dalam tradisi masyarakat Jepang, tiada hari tanpa matsuri. Matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai salah satu simbol dari kegiatan manusia untuk berkomunikasi dan melayani dewa. Dengan kata lain, matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai jalan untuk bertemu dengan dewa.

22

Universitas Sumatera Utara 4.2 Saran

Melalui kertas karya ini penulis berharap agar pembaca dapat mengambil nilai-nilai budaya dalam Peranan Jinja dalam Kehidupan Masyarakat Jepang.

Selain itu, harapan penulis agar pembaca paham mengenai peranan Jinja yang sesungguhnya.

23

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/parastuti/54f74ab3a33311aa2b8b459c/prag matisme-manusia-jepang-dalam%09kehidupan-religinya di akses pada tanggal 26

Juli 2019

http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_shi nto.html

Inoue, Nobutaka et al. Shinto, a Short History (London: Routledge Curzon, 2003)

Yamakage, Motohisa, The Essence of Shinto, 's Spiritual Heart.

Tokyo; New York; London: Kodansha International.

Yanagita, Kunio. 1982. Nihon no Matsuri. Tokyo: Kado Kawa Bundo.

Alimansyar, Shinto Agama Asli Orang Jepang, USU press 2017

24

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Jepang dikenal sebagai negara sejuta kuil dan sebagai salah satu negara yang majemuk, masyarakat jepang memiliki banyak kepercayaan, seperti Shinto,

Buddha, Kristen, Hindu dan tak juga Islam. Namun Agama yang umum di jepang yaitu Shinto dan Budha. Banyaknya agama Shinto dan Budha, membuat jepang memiliki banyak kuil atau Jinja sebagai sarana Ibadah Masyarakatnya.

Jinja adalah bangunan tempat ibadah, pemikiran, tata cara atau ajaran yang berkaitan dengan pelayanan dan pemujaan terhadap jinja bagi masyarakat asli jepang. Jinja merupakan tempat untuk melaksanakan ritual dan festival. Ritual dan festival adalah cara komunikasi antara Kami dengan umatnya.

Mayoritas orang Jepang pergi ke Jinja pada saat melangsungkan pernikahan, perayaan kelahiran bayi, merayakan kelulusan ujian masuk universitas. Festival diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan di Jinja dan dipimpin oleh pendeta Shinto, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan Gereja dan Festival yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan.

Pada umumnya, kuil di Jepang dibangun dari kayu oleh miyadaiku (tukang kayu spesialis kuil). Bangunan kuil dibangun dengan arsitektur tradisional

Jepang. Walaupun dari luar terlihat seperti bangunan tradisional Jepang, Jinja zaman sekarang dibangun dengan teknologi konstruksi modern berdasarkan standar bangunan antigempa dan antikebakaran, termasuk penggunaan beton bertulang untuk sebagian bangunan kuil.

25

Universitas Sumatera Utara Kuil berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai (objek pemujaan). Jinja bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebarluaskan agama. Pada zaman sekarang, Jinja dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.

Kebanyakan tempat ibadah di Negara ini, baik Jinja maupun Otera berfungsi sebagai tempat wisata. Kebanyakan pengunjung menjadikan saat berwisata sekaligus sebagai kesempatan untuk berdoa, karena Jinja menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbol agama dan doktrin agama.

Beberapa bagian dalam Jinja bisa dimasuki dan difoto tanpa ada larangan atau pertanyaan apapun apalagi pertanyaan yang menjurus pada hal agama. Dari sebagian besar Kuil yang ada di Jepang tidak ada yang lebih bebas dibandingkan dengan Kuil Shinto (Jinja). Kemudian dari segi kunjungan wisatawan yang berlibur ke negara Jepang tidak hanya didominasi oleh wisatawan dari negara

Korea, Taiwan, dan Cina ataupun dari negara-negara barat saja, tetapi wisatawan dari Asia Tenggara juga turut menyumbang pemasukan devisa ke negara Jepang dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dari kawasan tersebut.

26

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN

Gambar 2.1 Torii (Gerbang) Gambar 2.4 Sandoo (Jalan menuju Jinja)

Gambar 2.2 Meiji Jingu (Jinja) Gambar 2.5 Oamori (Doa)

Gambar 2.3 Koma Inu (penjaga Jinja) Gambar 2.6 Temizusha (tempat wudu)

1 Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Honden (bagian luar Jijnja) Gambar 2.10 Shimenawa ( tali pemabatas antara kawasan suci dan kawasan duniawi)

Gambar 2.8 Haiden (bagian dalam Jinja) Gambar 2.11 Kannushi (pengurus Jinja)

Gambar 2.9 Ema (papan untuk menulis doa) Gambar 2.12 Miko (pendeta-wanita pendamping)

2

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.13 Guji (kepala pendetaShinto) Gambar 2.16 chōzuya (tempat wuduh)

Gambar2.14 chinjū no mori (hutan pelindung Jinja) Gambar 2.17 Yakushi-Ji (Otera yang terletak di Nara)

Gambar 2.15 Goshintai-Ki (Pohon besar

yang ditandai dengan shimenawa)

3

Universitas Sumatera Utara 1 Universitas Sumatera Utara 2

Universitas Sumatera Utara 3

Universitas Sumatera Utara 4

Universitas Sumatera Utara

5

Universitas Sumatera Utara