MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018

MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA Dari Sakral Menuju Profan: Pasang-Surut Kesenian Buncis di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Tahun 1980-2010

ABSTRAKSI: Penelitian ini menjelaskan perkembangan kesenian Angklung Buncis di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang memiliki peranan penting dalam upacara Seren Taun yang diadakan oleh masyarakat adat Paseban. Masalah utama yang dibahas adalah bagaimana perkembangan kesenian Angklung Buncis di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, pada tahun 1980-2010. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi historis dan budaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa kesenian Angklung Buncis di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan berada dalam lingkup masyarakat adat Paseban dan lahir melalui ide kreatif sesepuh adat, yaitu Pangeran Djatikusumah. Terdapat perkembangan fungsi dalam kesenian tradisional Angklung Buncis, yakni dari fungsi sakral berubah menjadi hiburan dan profan. Perkembangan fungsi tersebut terjadi karena permalasahan yang terdapat dalam lingkup masyarakat adat Paseban dan tuntutan zaman. Selain itu, ada perubahan dalam aspek penampilan, lagu, jumlah pemain, dan laras dalam kesenian Angklung Buncis, dengan tujuan untuk mempertahankan keberlangsungan kesenian tradisional tersebut di tengah-tengah perkembangan teknologi yang semakin maju. KATA KUNCI: Angklung Buncis; Masyarakat Cigugur; Agama Djawa-Sunda; Upacara Seren Taun; Tradisi dan Globalisasi.

ABSTRACT: “From Sacral to Profan: Ups and Down of Angklung Buncis Art in Kuningan District, , Year 1980-2010”. This study describes the development of Angklung Buncis Art in Cigugur Subdistrict, Kuningan District, West Java, Indonesia, which has an important role in “Seren Taun” ceremony which held by indigenous peoples of Paseban. The main issue discussed was how the Angklung Buncis Art can be develop in 1980-2010. The method used in this research is qualitative with historical study and cultural approaches. The results showed that the Angklung Buncis Art in Cigugur, Kuningan are within the scope of indigenous peoples of Paseban and born through creative ideas from Prince Djatikusumah. There are developments in the functions of the traditional arts of Angklung Buncis, namely from sacred function turned into entertainment and profan. The development of these functions occur because contained within the scope of indigenous peoples Paseban and globalization. In addition, there are changing in the aspects of appearance, song, number of players, and the barrel that aims to maintain the continuity of traditional art in the midst of the development of increasingly advanced technology. KEY WORD: Angklung Buncis; Cigugur Community; Djawa-Sunda Religion; Ritual of Seren Taun; Tradition and Globalization.

About the Authors: Muhammad Adi Saputra adalah Guru Sejarah di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 8 Tangerang, , Indonesia. Rinaldo Adi Pratama adalah juga Guru Sejarah di SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 7 Kabupaten Tangerang, Banten, Indonesia. Untuk kepentingan akademik, penulis dapat dihubungi dengan alamat e-mail: [email protected] dan [email protected] Suggested Citation: Saputra, Muhammad Adi & Rinaldo Adi Pratama. (2018). “Dari Sakral Menuju Profan: Pasang- Surut Kesenian Angklung Buncis di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Tahun 1980-2010” in MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), March, pp.59-72. Bandung, Indonesia: UPI [Indonesia University of Education] Press, ISSN 2527-3868 (print) and 2503-457X (online). Article Timeline: Accepted (November 10, 2017); Revised (January 25, 2018); and Published (March 30, 2018).

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 59 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan

PENDAHULUAN daripada kesenian tradisional yang terkesan Bentuk kebudayaan menjadi salah satu kaku dan kuno (Kayam, 1981; Damono, ciri khas dari jatidiri suatu bangsa dan 1997; dan Soedarsono, 2002). merupakan nilai-nilai luhur yang harus Kesenian tradisional, yang dikenal dipertahankan dan dilestarikan (Murtopo, bersifat ritual dan sakral, mulai tersingkir 1978; Muhammad, 1987; dan Putra, dan kehilangan fungsinya. Adanya 2013). Dalam perkembangannya, kesenian perubahan sosial yang hadir sebagai akibat merupakan salah satu unsur kebudayaan proses globalisasi dan teknologi komunikasi, yang terus mengalami perkembangan dari maka kesenian tradisional pun secara masa ke masa, baik dalam bentuk, fungsi, perlahan mulai mengalami pergeseran ke maupun penampilannya yang terkandung arah kesenian yang sebelumnya sakral dalam suatu kesenian. Seperti yang berubah dimensi menjadi hiburan dan profan diutarakan oleh Koentjaraningrat (2009) (Kasim, 1981; Kuntowijoyo, 1987; dan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan Soedarsono, 2003). Hal ini bukan berarti sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya membuat kesenian tradisional punah begitu manusia dalam kehidupan masyarakat, yang saja, masih terdapat beberapa kesenian dijadikan milik diri manusia dengan belajar yang masih menunjukan keberadaannya (Koentjaraningrat, 2009:144). dan secara kreatif terus berkembang tanpa Kesenian, dalam budaya universal, akan harus terlindas oleh proses modernisasi dan berhubungan dengan adat-istiadat, aktivitas globalisasi. sosial, dan peralatan fisik mengenai seni Hal tersebut termasuk dalam rupa, seni suara, seni gerak, seni sastra, perkembangan kesenian Angklung Buncis seni drama, dan sebagainya (Kroeber di Kuningan, Jawa Barat, Indonesia, yang & Kluckhohn, 1952; Kim, 2001; dan banyak mengalami perubahan. Angklung Koentjaraningrat, 2009:168-169). Hubungan yang berkembang di masyarakat Sunda antar kesenian dengan adat-istiadat, biasa masih mencerminkan kepercayaan kuno disebut dengan kesenian tradisional. nenek-moyang, berupa kepercayaan Kesenian tradisional terus berkembang animisme, yang diwujudkan dalam berbagai untuk mencapai kesenian nasional, yang pementasan untuk ritual menghormati mengandung nilai-nilai luhur kepribadian “” dan sangat erat kaitannya bangsa Indonesia yang akan dikagumi dan dengan mata pencaharian masyarakat Sunda, dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia yaitu bertani dan berladang (Lombard, (Bastomi, 1998; dan Sedyawati, 2007). 2000; Aziz, 2001; Ekadjati, 2002; dan Kesenian tradisional, atau kesenian Saputra, 2015). Begitupun di Kuningan, daerah, diwariskan dan bersifat turun- yang memiliki kesenian tradisional yaitu temurun dari generasi ke generasi Angklung Buncis, yang dikembangkan oleh di Nusantara, serta akan mengalami masyarakat adat Paseban dan merupakan perkembangan dari generasi ke generasi. kesenian warisan nenek-moyang yang masih Pada kenyataannya, kesenian tradisional dilestarikan dan yang menurut mereka tidaklah mudah dalam mempertahankan selalu akan terus dilestarikan (Kurnia, 2003; keberadaannya serta dihadapkan kepada Indrawarhana, 2009; dan Saputra, 2015). arus globalisasi yang semakin besar. Dengan Artikel ini, dengan menggunakan adanya arus globalisasi serta kemajuan ilmu metode kualitatif, pendekatan budaya, dan pengetahuan dan teknologi komunikasi penjelasan deskriptif yang bersifat historis yang semakin canggih, maka sangat banyak (Koentjaraningrat, 1958; Gottschalk, 1988; alternatif tawaran hiburan dan informasi Stake, 1995; Kusmayadi, 2000; Sjamsuddin, yang lebih beragam dan lebih menarik 2007; dan Pickering ed., 2008), menjelaskan

60 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018 tentang pasang-surut kesenian Angklung Hernawan, 2005; dan Saputra, 2015). Buncis di Kuningan, Jawa Barat, Indonesia, Kepercayaan yang berkembang di dengan mengkaji dua aspek penting, yakni: Kelurahan Cigugur memiliki perbedaan (1) Agama Jawa-Sunda dan Cikal-Bakal dengan daerah di Kabupaten Kuningan Lahirnya Angklung Buncis; serta (2) yang lain. ADS berkembang pesat di Angklung Buncis: Dari Sakral Menuju ke Cigugur pada tahun 1940-an; tetapi pada Arah Profan. tahun 1974, ADS dibubarkan dan warga diharuskan memilih agama yang diakui HASIL DAN PEMBAHASAN oleh pemerintah Orde Baru, seperti Islam, Agama Jawa-Sunda dan Cikal-Bakal Katholik, Protestan, Hindu, dan Buddha Lahirnya Angklung Buncis. Angklung (Buana, t.th.; Rasjidi, 1977; dan Rosidin, Buncis di Kuningan, Jawa Barat, Indonesia 2000). Pada kenyataannya, sampai saat ini, merupakan kreasi sesepuh adat mayarakat terdapat kepercayaan yang berkembang di Paseban di Cigugur, yakni Pangeran Cigugur dan masih memiliki pengikut yang Djatikusumah, yang memperoleh inspirasi cukup banyak. dari kehidupan keseharian masyarakat Kepercayaan ajaran ADS muncul pada setempat (Djatikusumah, 1995; dan Saputra, tahun 1848, bertempat di daerah Gebang, 2015). Angklung merupakan alat musik Cirebon Timur. Pendiri ADS yaitu Pangeran tradisional dan digunakan pada upacara Sadewa Madrais Kusuma Wijaya Ningrat, yang berhubungan dengan Dewi Sri, dan atau biasa disebut dengan Pangeran biasa disebut dengan Nyi Pohaci oleh Madrais. Pangeran Madrais merupakan anak masyarakat Sunda, termasuk masyarakat dari Pangeran Alibassa I, yang merupakan adat Paseban (Aziz, 2001; Royyani, 2008; Sultan dari Kesultanan Gebang (Buana, t.th.; dan Herdiani, 2013). Djatikusumah, 1979; dan Rosidin, 2000). Angklung Buncis ini dahulu digunakan ADS biasa disebut juga dengan dalam ritual menyimpan padi ke lumbung sebutan Madraisme, yang merujuk kepada dan dilakukan setelah panen. Angklung pendirinya yang bernama Madrais (Rosidin, Buncis semakin berkembang seiring dengan 2000). Agama ini selanjutnya berkembang berkembangnya ajaran ADS (Agama Djawa- di wilayah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Sunda), yang dipelopori oleh masyarakat Selain di Kabupaten Kuningan, ajaran ADS adat Paseban, yang menganut Sunda tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat, Wiwitan (Buana, t.th.; MAKUS, 2008; dan seperti Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya, Kushendrawati, 2012). Di Kuningan, ajaran sehingga pengikutnya banyak tersebar luas agama ini berkembang pesat di Cigugur di berbagai daerah di Jawa Barat (Buana, dan pengaruhnya meluas hingga ke Brebes, t.th.; HAMKA, 1976; Rasjidi, 1977; dan Cirebon, Tasikmalaya, Garut, bahkan Rosidin, 2000). sampai ke Bogor dan Sukabumi (Buana, Sekitar tahun 1940-an tercatat bahwa t.th.; HAMKA, 1976; MAKUS, 2008; dan anggota pemeluk ajaran ADS mencapai Kushendrawati, 2012). sekitar 60,000 orang. Tetapi dalam Dalam melihat perkembangan Angklung perkembangan selanjutnya, ajaran ADS Buncis di Kabupaten Kuningan tidak tersebut dibubarkan karena dianggap dapat terlepas dengan kondisi kehidupan melawan pemerintah kolonial Belanda beragama masyarakat Cigugur. Masyarakat (Buana, t.th.; Rosidin, 2000; dan Nurfatwa, Cigugur memiliki hubungan heterogen dan 2014). Selanjutnya, di tahun 1970-an, multikultural yang baik, khususnya dari sebagian besar pemeluk ADS berlindung ke status agama yang dianut oleh masing- dalam gereja Katholik. Ajaran ADS terus masing masyarakatnya (Royyani, 2004; mengalami pasang-surut pada saat Indonesia

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 61 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan merdeka, sejak tahun 1945, hingga masa Djatikusumah, 1979; dan Rosidin, 2000). pemerintahan Orde Baru, 1966-1998 ADS berkembang pesat di lingkungan (HAMKA, 1976; Rasjidi, 1977; dan masyarakat adat Paseban, yang tinggal di Indrawardana et al., 2013:37-38). lingkungan Gedung Paseban Tri Panca Sebutan “Djawa” dan “Sunda”, dalam Tunggal. Paseban Tri Panca Tunggal ADS, tidak ada kaitannya sama sekali memiliki arti Paseban, yang berasal dari dengan suatu identitas etnis Jawa dan kata Pasebaan, yaitu tempat bertemu Sunda. Semboyan utama dari ajaran ADS dan berkumpul; Tri berasal dari bahasa adalah “Andjawat lan Andjawab Roh Sangsekerta yang artinya tiga; dan Panca Susun-susun Kang den Tunda”. Dengan berasal dari bahasa Sangsekerta juga yang semboyan tersebut, kata “Djawa-Sunda” artinya lima; maka Paseban Tri Panca dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata Tunggal yaitu tempat mempersatukan tiga “Djawa” adalah singkatan dari andjawat kehendak, yaitu cipta, rasa, dan karsa, yang (mengambil) dan andjawab (menjawab atau diwujudkan dalam sikap perilaku melalui melaksanakan). Sementara itu, kata “Sunda” aktivitas panca indra (Djatikusumah, 1979; adalah singkatan dari kata-kata Roh Susun- dan Gumilar, 2013:22). susun Kang den Tunda, yang berarti roh Selain keragaman agama, maka kesenian yang tersusun-susun tertunda atau yang ada yang berkembang dalam masyarakat di dunia (Buana, t.th.; Djatikusumah, 1979; Cigugur di Kabupaten Kuningan, Jawa Rosidin, 2000; dan Hisyam, 2004:137). Barat juga sangat beragam, seperti kesenian Selain terdapat semboyan, terdapat tradisional Tari Buyung, Batik Paseban, pula asas dan tujuan ajaran ADS, yaitu dan Angklung Buncis. Kesenian yang selalu mengikuti perintah Tuhan dan patuh beraneka ragam tersebut muncul karena kepada perikemanusiaan. Ungkapan yang kreativitas yang dimiliki oleh masyarakat terkenal dari ADS adalah Sampurnaning Kelurahan Cigugur. Khususnya pada Hirup, Sajatining Mati (Hidup Sempurna, upacara Seren Taun, yang mendatangkan Mati Sejati). ADS tidak bisa dipisahkan banyak wisatawan, sehingga Kelurahan antara Tuhan dan manusia; pengertian Cigugur semakin dikenal oleh pihak luas dari manusia itu hendaknya jangan hanya (Soedarsono, 1986; Subiantoro, 2002; hafal dan mengerti dengan tata-krama Gumilar, 2013; dan Herdiani, 2013). saja, melainkan juga mengarahkan seluruh Kesenian di Kelurahan Cigugur sangat perbuatan dan perilakunya kepada perintah beraneka ragam, salah satunya yaitu Tuhan (Buana, t.th.; Djatikusumah, 1979; kesenian tradisional Angklung Buncis, dan Rosidin, 2000). yang merupakan kesenian lama yang Manusia adalah makhluk yang paling telah dimiliki oleh masyarakat Cigugur sempurna di antara makhluk lainnya yang secara khusus dan masyarakat Kabupaten diciptakan oleh Allah. Hanya manusia yang Kuningan secara umum (Saputra, 2015). memiliki Sir-Rasa-Pikir dan Akal-Budi Angklung Buncis mengalami berbagai atau Rasa Rumasa dan Rasa Tumarima, perkembangan yang disebabkan oleh sementara makhluk lainnya seperti berbagai faktor, khususnya perkembangan binatang dan tumbuh-tumbuhan hanya zaman yang semakin maju. Kesenian memiliki naluri. Manusia, dalam konsep Angklung Buncis telah diakui oleh seniman ADS, sebagai medium atau perantara yang setempat dan oleh pihak Dinas Pariwisata paling penting. Karena sifat pengarahan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. kembali kepada asal yang dimiliki oleh Kesenian tersebut merupakan salah satu hewan atau tumbuhan, maka membutuhkan kesenian yang terdapat di Kabupaten manusia sebagai perantara (Buana, t.th.; Kuningan, meskipun Angklung Buncis tidak

62 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018 hanya terdapat di Kabupaten Kuningan, kreativitas yang dimiliki oleh masyarakat tetapi pada pelaksanaannya di setiap daerah Cigugur merupakan pemikiran yang memiliki keunikan yang berbeda, baik dari disalurkan melalui alam, yang memang segi fungsi maupun jenis penampilannya memadai dan tersedia. (Saputra, 2015; dan Nuryaman, 2017). Kondisi geografis Kelurahan Cigugur Latar belakang lahirnya kesenian di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yaitu Angklung Buncis di Kabupaten Kuningan, berupa daerah pegunungan karena letaknya apabila dilihat dari letak geografis Jawa terdapat di bawah kaki Gunung Ciremai. Hal Barat, yang secara umum merupakan ini membuat pohon bambu tumbuh dengan pegunungan dan perbukitan serta memiliki subur, karena disebabkan oleh sisa erupsi tanah yang subur, memberikan kesempatan Gunung Ciremai yang sangat membantu untuk tumbuh-tumbuhan seperti tanaman proses pelapukan tanah (Aziz, 2001; kayu keras, tanaman perdu, dan bambu Ekadjati, 2002; dan Saputra, 2015). Dengan (Ferdinandus, 1999; Masunah et al., adanya hal tersebut, maka muncul ide 1999; dan Aziz, 2001). Dengan adanya dari masyarakat setempat untuk membuat interaksi antara manusia dengan lingkungan tumbuhan bambu memiliki fungsi yang menyebabkan munculnya sebuah ide kreatif lebih, yaitu dengan cara dibuatnya kesenian untuk membuat tumbuh-tumbuhan menjadi Angklung yang berasal dari bahan bambu nilai yang bermanfaat. (Ferdinandus, 1999; Masunah et al., 1999; Kesenian Angklung Buncis di Kabupaten dan Aziz, 2001). Kuningan memiliki cirinya sendiri dan Alasan lain tentang lahirnya kesenian kesenian ini lahir karena sebuah kreasi Angklung Buncis di Kecamatan Cigugur, sesepuh adat, yaitu Pangeran Djatikusumah, Kabupaten Kuningan, yaitu ide dari yang memperoleh inspirasi dari keseharian Pangeran Djatikusumah, yang ingin masyarakat setempat, yakni masyarakat membuat sesuatu kesenian dan memiliki adat Paseban (Tryana, 2011:2). Kesenian fungsi untuk memeriahkan acara panen, Angklung Buncis tersebut lahir disesuaikan yakni upacara adat Seren Taun, yang dengan kondisi alam, kondisi lingkungan, sebelumnya terkesan sangat kaku dan dan hal lainnya yang berkaitan dengan menyeramkan (Tryana, 2011; Gumilar, suatu kelompok masyarakat. Karena karya 2013; dan Saputra, 2015). Walaupun hanya seni tradisi pada umumnya dibuat tidak untuk memeriahkan upacara adat Seren sembarangan dan membutuhkan waktu Taun, tetapi kesenian Angklung Buncis yang tidak singkat, sebab di balik kesenian memiliki fungsi yang sangat sakral sebagai tradisi terselip makna, nilai, dan pemikiran media dengan tujuan untuk mengucapkan dari penciptanya (Herdini et al., 2008:8; dan terima kasih kepada sosok mitologi Nyi Saputra, 2015). Pwahaci atau Nyi Pohaci atas hasil bumi Selain faktor tersebut, kesenian Angklung melimpah yang diberikan dan tidak terlepas Buncis yang berkembang di Kecamatan dari ritual-ritual khusus (Subiantoro, 2002; Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Tryana, 2011; dan Saputra, 2015). lahir melalui faktor yang tidak terlepas Hal tersebut dipertegas bahwa musik dari hasil kreativitas masyarakat setempat. dianggap sebagai sebuah perantara untuk Karena adanya bahan yang melimpah dan menyatukan antara dunia atas (Tuhan) bertujuan supaya bahan tersebut memiliki dengan dunia bawah (manusia). Nilai-nilai sebuah nilai dan fungsi yang bermanfaat, yang terdapat dalam musik memiliki suasana maka diciptakan kesenian Angklung magis, yang menurut persepsi kelompok Buncis (Saputra, 2015; dan wawancara tersebut akan mampu menghadirkan sesuatu dengan Responden B, 20/10/2014). Sebuah yang gaib (cf Subiantoro, 2002; Royyani,

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 63 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan

2004; dan Herdini et al., 2008:5). pada sistem penanggalan Sunda, dipusatkan Angklung Buncis: Dari Sakral Menuju di Pendopo Paseban Tri Panca Tunggal. ke Arah Profan. Angklung Buncis Dalam perkembangannya, Angklung Buncis merupakan salah satu kesenian tradisional merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang keberadaannya, pada masa-masa awal, dari upacara Seren Taun, karena ianya kurang diketahui oleh masyarakat luas, merupakan bagian penting dalam prosesi khususnya di luar masyarakat adat Paseban upacara tersebut. Kesenian Angklung Buncis (Saputra, 2015). Akan tetapi, di tengah era biasanya ditampilkan pada saat upacara itu globalisasi, Angklung Buncis masih dikenal berlangsung, yang diiringi dengan tarian- dan digemari oleh masyarakat sekitar, tarian dan kesenian lainnya (Nuryaman, khususnya oleh masyarakat adat Paseban. 2017; dan wawancara dengan Responden A, Angklung Buncis masih dipertahankan 19/10/2014). dengan upacara ritualnya, karena menjadi Namun, kini Angklung Buncis terus bagian penting dalam rangkaian upacara mengalami perkembangan dan perubahan Seren Taun, serta masih memelihara fungsi, seiring dengan berjalannya waktu. kesenian tradisional tersebut dengan penuh Angklung Buncis yang dahulu berfungsi makna dan kekhusyuan di tengah-tengah era sebagai sarana upacara yang bersifat globalisasi dan modernisasi (Tryana, 2011). sakral, kini berubah menuju ke arah profan Dalam upacara Seren Taun, yang digelar (Saputra, 2015). Hal ini diakibatkan karena setahun sekali, dipertunjukkan kesenian semakin berkembangnya zaman dan arus Angklung Buncis oleh masyarakat adat globalisasi yang semakin besar. Hal tersebut Paseban. Seluruh pertunjukan yang ada juga mengubah pandangan dan pemikirian dalam upacara Seren Taun itu bersifat sakral warga masyarakat sekitar, maka fungsi dari dan digunakan sebagai luapan rasa syukur Angklung Buncis berubah, selain berfungsi yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha sebagai upacara sakral juga sebagai hiburan Esa atas limpahan anugrah yang diberikan- (Tryana, 2011). Nya; sedangkan bagi masyarakat umum, Dalam hal ini, alasan penulis upacara ini merupakan tontonan yang menggunakan rentang waktu antara 1980 bersifat hiburan (Subiantoro, 2002; Royyani, hingga 2010, karena menurut sumber yang 2008; dan Nuryaman, 2017). didapatkan bahwa kesenian Angklung Seren Taun merupakan gelaran budaya Buncis pada tahun 1982 tidak ditampilkan tradisional masyarakat agraris Sunda yang dalam upacara Seren Taun. Pada saat masih berada di beberapa daerah di Jawa itu, upacara Seren Taun ditentang oleh Barat, dan salah satunya biasa dilaksanakan pemerintah Kabupaten Kuningan. Dalam di Kecamatan Cigugur, Kabupaten konteks ini, LPKN (Lembaga Pengakajian Kuningan. Tradisi ini dilaksanakan setahun Kebudayaan Nusantara) menyatakan sekali, yang bertujuan untuk menyerahkan bahwa gugurnya Seren Tahun di Cigugur hasil bumi. Secara definisi,Seren Taun merupakan akibat antara ketentuan diartikan upacara penyerahan hasil panen birokrasi dan kenyataan sadar wisata pada yang baru mereka lewati serta memohon masyarakat luas. Pernyataan tersebut juga berkah dan perlindungan kepada Tuhan sebagai respon atas pembekuan pagelaran Yang Maha Esa untuk tahun yang akan upacara Seren Taun sejak tahun 1982. datang (Hernawan, 2005; Indrawarhana, Selama 17 tahun acara tersebut dibekukan, 2009; dan Nuryaman, 2017). dan baru digelar kembali pada tahun 1999 Di Kecamatan Cigugur, Kabupaten (Indrawardana et al., 2013:9). Kuningan, upacara Seren Taun yang Setelah tahun 2000-an, perkembangan diselenggarakan setiap tanggal 22 Rayagung kesenian Angklung Buncis semakin

64 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018 diketahui keberadaannya dan dikenal oleh tradisional tersebut agar tidak punah digerus masyarakat secara luas, karena pada tahun oleh zaman (Kayam, 1981; Kuntowijoyo, tersebut upacara Seren Taun diperbolehkan 1987; dan Soedarsono, 2002 dan 2003). diselenggarakan kembali oleh pemerintah Hal seperti itu juga yang terdapat pada Kabupaten Kuningan. Angklung Buncis, perkembangan kesenian Angklung Buncis. dalam rentang waktu 1980-2010, mengalami Angklung Buncis tidak dapat dilepaskan perkembangan dan perubahan fungsi, yakni dari fungsi awal dengan kesakralannya, selain bersifat sakral juga sebagai tontonan karena ianya merupakan sebuah kesenian dan hiburan yang bersifat profan (Masunah et yang terdapat dalam rangkaian acara upacara al., 1999; Rosyadi, 2012; dan Saputra, 2015). Seren Taun, yang diselenggarakan oleh Angklung di Kecamatan Cigugur, masyarakat adat Paseban atau masyarakat Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang Cigugur yang menganut kepercayaan Sunda dikembangkan oleh masyarakat adat Wiwitan (Buana, t.th.; Nursananingrat, Paseban disebut “Angklung Buncis”, selain 1964; Hisyam, 2004; Kushendrawati, 2012; karena lagu yang digunakan yaitu lagu dan Sawunggalih, 2012). Angklung Buncis Buncis, juga karena kata BUNCIS tersebut mengalami pergeseran fungsi, dari yang memiliki sebuah arti tersendiri, yakni dahulu memiliki sifat sakral, sedangkan saat Budaya Urang Nurutkeun Ciri Sunda atau ini menjadi sebuah hiburan serta perubahan- “Budaya Kita Mengikuti Ciri Sunda”. Lagu perubahan lain yang terdapat dalam Buncis yang terdapat di Kecamatan Cigugur, kesenian Angklung Buncis yang memiliki Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, adalah sifat profan (Saputra, 2015). sebagai berikut: Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, baik faktor internal yang Cis kacang buncis nyengcle // Di anggo Lati mana masyarakat sudah tidak lagi peduli Inem // Nu geulis enca-encle // Jeung aluman- dengan tradisi leluhurnya; maupun faktor alimeun. [Di sana ada kacang buncis // Dipakai oleh eksternal dengan arus globalisasi semakin Lati Inem // Wanita cantik berpindah-pindah besar dan tidak terbendung, sehingga tempat duduk // Dan nampak malu-malu]. menyebabkan banyak perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan Cis kacang buncis nyengcle // Di anggo Lati yang terjadi pada Angklung Buncis itu Kuda // Nu geulis tembong pingping // Keun wae keur kaula. merupakan sebuah keniscayaan yang [Di sana ada kacang buncis // Dipakai oleh dimiliki oleh setiap kesenian, karena Lati Kuda // Wanita cantik kelihatan pahanya dilakukan demi keberlangsungan suatu // Biar saja buat saya].1 kesenian tradisional tersebut (Kayam, 1981; Tryana, 2011; dan Saputra, 2015). Kondisi kesenian Angklung Buncis Pada tahun 1982, terjadi peristiwa di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, penting dalam perjalanan upacara Seren tahun 1980-2010, mengalami perubahan Taun, yang didalamnya termasuk Angklung secara dinamis serta berkembang menurut Buncis. Upacara adat Seren Taun yang tuntuan zaman yang terus maju. Kesenian diadakan oleh masyarakat adat Paseban, tradisional yang hidup di dalam sebuah kemudian, menjadi salah satu tempat kelompok manusia dan tinggal di daerah berkumpulnya wisatawan di Kecamatan pedesaan akan terus mengalami perubahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang pernah dengan tujuan untuk melestarikan kesenian dibekukan oleh Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi 1 Lihat, misalnya, Ganjar Kurnia (2003) dan Muhammad Adi Saputra (2015). Terjemahan bebas Jawa Barat, Nomor: Kep.44/K.2.3/8/1982 kedalam bahasa Indonesia dilakukan oleh penulis. (dalam Saidi, 2015; dan Saputra, 2015).

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 65 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan

Hal tersebut terjadi karena kecurigaan itu membuat Angklung Buncis memiliki yang berlebihan terhadap apa yang disebut fungsi, selain bersifat sakral dan fungsi dengan PACKU (Paguyuban Adat Cara ritual juga bertambah menjadi fungsi Karuhun Urang atau Perkumpulan Adat hiburan dan bersifat profan (Kayam, 1981; Menurut Nenek-Moyang Kita), yang diduga Tryana, 2011; dan Saputra, 2015). merupakan modifikasi terhadap aliran ADS Angklung Buncis pada tahun 2000-an, (Agama Djawa-Sunda). Memang, upacara selain ditampilkan di acara Seren Taun adat Seren Taun tersebut berasal dari sosok juga nampak pada pagelaran-pagelaran Pangeran Madrais sebagai pendiri ADS kesenian di Jakarta atau di Bandung dalam (Buana, t.th.; HAMKA, 1976; Rosidin, acara pembukaan atau peresmian gedung 2000; Hisyam, 2004; MAKUS, 2008; baru pemerintahan, misalnya. Tetapi Kushendrawati, 2012; dan Nurfatwa, 2014). dalam acara khitanan atau perkawinan Hal itu juga dipertegas oleh perspektif belum pernah tampil, hanya di kalangan filsafat dan teori bahwa kebudayaan pemerintahan saja (wawancara dengan sangat mempengaruhi sebuah kepercayaan Responden A, 19/10/2014). Hal itu berarti pada masyarakat dan cenderung muncul bahwa Angklung Buncis memiliki fungsi disintegrasi terhadap sikap eksklusif ganda, yakni angklung memiliki fungsi ideologi, serta turut menyumbang dan awal sebagai sarana upacara ritual padi dan memperparah berbagai konflik yang terjadi juga saat ini berfungsi sebagai sebuah seni di tengah-tengah masyarakat (Sutrisno, 2005; tontonan (Masunah et al., 1999:11; Kurnia, Indrawarhana, 2009; dan Alfan, 2013:129). 2003; dan Rosyadi, 2012). Setelah peristiwa pembekuan upacara Selain pergeseran dalam bidang adat Seren Taun itu terjadi, pada tahun fungsi, Angklung Buncis juga mengalami 1982, maka kesenian Angklung Buncis ikut perubahan lainnya. Perubahan tersebut mengalami imbasnya, karena tidak lagi terfokus pada aspek pertunjukan Angklung dimainkan dalam rangkaian upacara adat Buncis, lagu yang dibawakan, penambahan tersebut. Angklung Buncis dan kesenian alat yang dipakai, dan perubahan laras atau tradisional lain yang terdapat di Paseban nada yang digunakan pada saat pertunjukan Tri Panca Tunggal, yang berfungsi sebagai kesenian Angklung Buncis (Saputra, 2015). pendukung dari upacara tersebut, tidak Pertunjukan Angklung Buncis, tepatnya ditampilkan dan hanya melakukan latihan- mulai tahun 2010, mengalami perubahan latihan oleh masyarakat adat Paseban saja yang sangat menonjol, karena kesenian selama rentang waktu 17 tahun (1982- tradisional ini pada pertunjukan dari tahun 1999), serta tidak boleh ditampilkan di luar 1999 hingga 2010, tidak bisa terlepas lingkungan Paseban Tri Panca Tunggal dari keceriaan atau suka-cita atas berkah (Djatikusumah, 1979; dan wawancara yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha dengan Responden A, 19/10/2014). Esa. Selain itu, kesenian Angklung Buncis Pada tahun 1999, setelah upacara memiliki fungsi sebagai media untuk ikut Seren Taun diperbolehkan kembali memeriahkan pada setiap acara pertunjukan, diadakan dan dibuka untuk umum, khususnya dalam upacara Seren Taun maka secara keseluruhan kesenian yang (Hernawan, 2005; Indrawarhana, 2009; dan terdapat di Paseban Tri Panca Tunggal Nuryaman, 2017). mendapatkan sebuah kesempatan untuk Tapi pada tahun 2010, pertunjukan mempertunjukannya. Hal tersebut Angklung Buncis menjadi lebih diam mempengaruhi perkembangan kesenian dan penuh dengan penghayatan. Dalam yang terdapat di Paseban Tri Panca Tunggal, memainkan Angklung Buncis, misalnya, termasuk Angklung Buncis. Perkembangan dilakukan dengan penuh perasaan dan

66 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018 tenang, meskipun tidak mengubah nilai terdahulu sebagai simbol luapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut dipertegas bahwa dalam pertunjukan Angklung Buncis yang dulu bisa diatraksikan dengan gerakan jongkok, duduk, dan tidur, tetapi mulai tahun 2010 tidak lagi dengan gerakan-gerakan seperti itu, tapi dengan penuh penghayatan yang disebut lenyepan (Tryana, 2011; Saputra, 2015; dan wawancara dengan Responden Gambar 1: “Gerakan Terlentang dalam Penampilan Kesenian Tradisional A, 19/10/2014). Lihat dan Angklung Buncis Tahun 2008” bandingkan antara gambar 1 dan (Sumber: http://4.bp.blogspot.com, 10/11/2014). gambar 2. Perubahan yang terjadi pada pertunjukan Angklung Buncis selanjutnya diikuti oleh lagu yang ditampilkan dan laras atau nada yang digunakan. Sebelum tahun 2010, lagu Angklung Buncis diambil dari awal mula lahirnya kesenian tradisional tersebut, yakni dengan judul lagu Buncis. Saat ini, setelah tahun 2010, lagu yang dimainkan dan ditampilkan lebih bervariasi dan banyak. Hal tersebut membuat perubahan laras yang tadinya dikenal Gambar 2: dengan salendro (pentatonis “Gerakan Pertunjukan Angklung Buncis rendah) berubah menjadi pelog dengan Panghayatan Tahun 2010” (pentatonis tinggi). Lagu yang (Sumber: Dokumentasi Paseban Tri Panca Tunggal, 10/11/2014) semakin bervariasi menuntut terjadinya perubahan tersebut (Tryana, 2011; atau gamelan Munggang, yakni Maros dan Saputra, 2015). Hal ini juga dipertegas Purawirahma. Sejak tahun 2010, pertunjukan oleh seorang narasumber, sebagai berikut: mengambil nadanya dari gamelan pusaka itu (wawancara dengan Responden A, 19/10/2014). [...] tahun 2010, ada perubahan tangga nada, dulu menggunakan salendro, dan saat ini Angklung Buncis berkembang di dalam berubah menjadi pelog, serta perkembangan lagu-lagunya, seperti Karatagan Ciremai, kelompok masyarakat adat Paseban. Karatagan Pahlawan, dan Bale Bandung, Banyak yang dilakukan oleh seniman yang diambil dari pusaka yang ada di dalam dalam melestarikan kesenian Angklung

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 67 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan

Buncis bagi masyarakat adat Paseban. upacara serah-terima padi pada setiap tahun. Upaya seniman tersebut dengan melakukan Upacara adat Seren Taun dikenal dengan sistem regenerasi kepada generasi muda upacara yang erat kaitanya dengan hal mistis agar ada penerus dari kesenian Angklung dan menyeramkan, tetapi alasan lahirnya Buncis. Sistem regenerasi adalah dengan kesenian Angklung Buncis yaitu agar cara mengajarkan dan melakukan latihan upacara tersebut bisa lebih meriah dan lebih secara rutin kesenian Angklung Buncis, baik bersuka-cita. Angklung Buncis ditampilkan kepada anak-anak yang masih kecil maupun pada saat panen raya, tepatnya setiap yang sudah dewasa, dengan bersungguh- tangga 22 Rayagung dalam penanggalan sungguh dan ikhlas dalam mengajarkannya masyarakat Sunda, yang bertujuan untuk (Sedyawati, 2007; Rosyadi, 2012; dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Saputra, 2015). Yang Maha Esa, yang telah memberikan Selain itu, usaha yang dilakukan oleh para hasil bumi yang melimpah. seniman tidak lepas dari bantuan Pemerintah Angklung Buncis mengalami Daerah, yang terus memberi perhatian perkembangan, khususnya pada rentang dalam hal apapun, khususnya dalam waktu 1980-2010. Perkembangan tersebut memperkenalkan kesenian Angklung Buncis membuat Angklung Buncis mengalami kepada masyarakat luas, baik di Kabupaten perubahan yang pada awalnya berfungsi Kuningan maupun di luar daerah tersebut. sakral dan ritual berubah menjadi sarana Pemerintah Daerah, misalnya, memberikan hiburan. Sebagai akibatnya, kesenian kesempatan kepada seniman Angklung tersebut memiliki fungsi ganda, yakni selain Buncis untuk menampilkan kesenian tersebut memiliki fungsi sakral juga fungsi hiburan dalam acara-acara yang dilaksanakan atau profan. oleh pemerintah Kabupaten Kuningan, Perubahan fungsi bermula, ketika terjadi seperti dalam pagelaran budaya yang adanya pelarangan dalam menyelenggarakan diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan upacara Seren Taun yang dilaksanakan oleh Pariwisata Kabupaten Kuningan (Tryana, masyarakat adat Paseban pada tahun 1982 2011; dan Saputra, 2015). sampai 1999, sehingga membuat seluruh kesenian yang terdapat pada rangkaian KESIMPULAN upacara Seren Taun, termasuk kesenian Angklung Buncis di Kabupaten Angklung Buncis, menjadi mati suri. Kuningan, Jawa Barat, Indonesia, Setelah tahun 2000-an, perubahan fungsi berkembang di lingkungan masyarakat adat telah terjadi pada kesenian tersebut karena Paseban. Kesenian tersebut lahir karena memiliki tujuan untuk memperkenalkan berasal dari ide kreatif sesepuh adat, yaitu kepada masyarakat luas, sehingga kesenian Pangeran Djatikusumah, serta tidak terlepas Angklung Buncis ditampilkan dalam dari hasil kreativitas masyarakat setempat. acara-acara pemerintahan, pagelaran, dan Letak geografis Kecamatan Cigugur di syukuran dalam tatanan pemerintahan. Kuningan, Jawa Barat, yang berada di Perubahan lain yang terjadi dalam lembah Gunung Ciremai membuat tanaman kesenian Angklung Buncis di Kecamatan bambu tumbuh dengan suburnya, sehingga Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat kreativitas masyarakat berkembang dan adalah perubahan lagu yang dimainkan, bambu tersebut dibuat menjadi angklung. penampilan, jumlah pemain, dan laras Angklung Buncis memiliki peranan atau nada yang digunakan. Perubahan penting dalam pertunjukan upacara Seren yang dilakukan tersebut bertujuan untuk Taun, karena menjadi salah satu ritual keberlangsungan kesenian Angklung Buncis yang ditampilkan dalam rangkaian acara agar mampu menjawab tuntutan zaman

68 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018 yang semakin maju dan masyarakat yang Tersedia secara online di: http://4.bp.blogspot. semakin meninggalkan segala sesuatu yang com [diakses di Tangerang, Banten, Indonesia: berhubungan dengan ketradisionalannya.2 10 November 2014]. Gottschalk, Louis. (1988). Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit UI [Universitas Indonesia] Press, terjemahan Nugroho Notosusanto. Gumilar, N. (2013). Seren Taun: Pesona Budaya dan Referensi Refleksi Rohani Masyarakat Cigugur. Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Alfan, M. (2013). Filsafat Kebudayaan. Bandung: HAMKA [Haji Abdul Malik Karim Amrullah]. Pustaka Setia. (1976). Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Aziz, Fadhila Arifin. (2001). “Pemanfaatan Bambu Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. dan Relevansinya dengan Nilai-nilai Budaya di Herdiani, Een. (2013). “Tari Batik Sekar Galuh: Masa Lampau” dalam Mencermati Nilai Budaya Upaya Pemberdayaan Masyarakat Paseban Masa Lalu dalam Menatap Masa Depan. Jakarta: melalui Aktivitas Seni Budaya Lokal” dalam Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi. PANGGUNG: Jurnal Seni & Budaya, Vol.23, Bastomi, Suwaji. (1998). Apresiasi Kesenian No.2 [Juni]. Tersedia secara online juga di: Tradisional. Semarang: IKIP [Institut Keguruan https://simlitmas.isbi.ac.id/e-jurnal/index.php/ dan Ilmu Pendidikan] Semarang Press. panggung/article/viewFile/98/98 [diakses di Buana, Tedja. (t.th.). Agama Jawa Sunda Tangerang, Banten, Indonesia: 9 Oktober 2017]. (Madraisme). Kuningan: Yayasan Tri Mulya. Herdini, H. et al. (2008). Mengungkap Nilai Tradisi Damono, Sapardi Djoko. (1997). “Kebudayaan pada Seni Pertunjukan Jawa Barat. Bandung: Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah, Catatan Kecil” dalam Ecstasy Gaya Hidup: dan Nilai Tradisional, Dinas Kebudayaan dan Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Indonesia. Jakarta: Penerbit Mizan. Hernawan, Wawan. (2005). “Komunikasi Antarumat Djatikusumah, Pangeran. (1979). Gedung Paseban Berbeda Agama: Studi Kasus Sikap Sosial Tri Panca Tunggal Cigugur, Kuningan. Kuningan: dalam Keragaman Beragama di Kecamatan Yayasan Tri Mulya. Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat”. Djatikusumah, Pangeran. (1995). Pemaparan Budaya Disertasi Doktor Tidak Diterbitkan. Bandung: Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang. Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNPAD Cigugur: t.p. [tanpa penerbit]. [Universitas Padjadjaran]. Ekadjati, E.S. (2002). Sejarah Kuningan: Dari Masa Hisyam, M. (2004). “Agama Jawa-Sunda” dalam Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten. Ibnu Qoyim [ed]. Religi Lokal & Pandangan Jakarta: Penerbit Kiblat. Hidup. Jakarta: LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahuan Ferdinandus, Pieter Eduard Johannes. (1999). Indonesia] Press, hlm.137-173. “Alat-alat Musik Masa Jawa Kuna (Abad IX- Indrawarhana, Ira. (2009). “Komunikasi Budaya XV Masehi): Sebuah Kajian mengenai Bentuk Masyarakat Berbeda Keyakinan sebagai Peserta dan Fungsi Ansambel”. Disertasi Doktor Tidak Upacara Adat Seren Taun di Cigugur, Kuningan, Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Jawa Barat”. Tesis Maguster Tidak Diterbitkan. “Gerakan Pertunjukan Angklung Buncis dengan Bandung: Program Pascasarjana Ilmu Panghayatan Tahun 2010” dalam Dokumentasi Komunikasi UNPAD [Universitas Padjadjaran]. Paseban Tri Panca Tunggal, diperoleh penulis Indrawardana, Ira. et al. (2013). Cigugur: Miniatur pada tanggal 10 November 2014. Pluarlisme Indonesia. Bogor: Lembaga “Gerakan Terlentang dalam Penampilan Kesenian Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Tradisional Angklung Buncis Tahun 2008”. Kasim, A. (1981). Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan 2Pernyataan: Kami, dengan ini, menyatakan bahwa Kebudayaan RI [Republik Indonesia]. artikel ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar Kayam, Umar. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. karya kami sendiri melalui hasil penelitian. Kami tidak Jakarta: Sinar Harapan. melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara Kim, Uichol. (2001). “Culture, Science, and yang tidak dibenarkan dalam etika keilmuan yang berlaku Indigenous Psychologies: An Integrated Analysis” dalam dunia akademik. Kami bersedia menanggung in D. Matsumoto [ed]. Handbook of Culture and hukuman secara akademik, sekiranya pernyataan yang Psychology. Oxford: Oxford University Press. kami buat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Demikian Koentjaraningrat. (1958). Metode-metode surat pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan Antropologi dalam Penjelidikan-penjelidikan sebagaimana mestinya.

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 69 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan

Masjarakat dan Kebudajaan di Indonesia: Sejarah dan Nilai Budaya. Sebuah Ichtisar. Djakarta: Universitas Indonesia. Rasjidi, H.M. (1977). Islam dan Kebatinan. Jakarta: Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Penerbit Bulan Bintang. Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Rosyadi. (2012). “Angklung: Dari Angklung Kroeber, A.L. & C. Kluckhohn. (1952). Culture: Tradisional ke Angklung Modern” dalam A Critical Review of Concepts and Definitions. Patanjala, Vol.4, No.1 [Maret], hlm.25-38. Cambridge, MA: Peabody Museum. Rosidin, Didin Nurul. (2000). “Kebatinan, Islam, and Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. the State: The Dissolution of Madrais in 1964”. Yogyakarta: Tiara Wacana. Unpublished Ph.D. Tesis. Leiden: Faculties of Art Kurnia, Ganjar. (2003). Deskripsi Kesenian Jawa and Theology, Leiden University. Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Royyani, Mohammad Fathi. (2004). “Cigugur: Arena Jawa Barat. Kontestasi Keberagamaan”. Thesis Magister Tidak Kushendrawati, Selu Margaretha. (2012). Diterbitkan. Depok: Program Studi Antropologi “Komunitas Agama Djawa-Sunda: Sebuah Pascasarjana FISIP UI [Fakultas Ilmu Sosial dan Fenomena Religiositas Masyarakat di Ilmu Politik, Universitas Indonesia]. Kuningan, Jawa Barat”. Tersedia secara Royyani, Mohammad Fathi. (2008). “Upacara online di: https://icssis.files.wordpress. Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan, com/2012/05/1819072011_29.pdf [diakses di Jawa Barat: Tradisi sebagai Basis Pelestarian Tangerang, Banten, Indonesia: 9 Oktober 2017]. Lingkungan” dalam Jurnal Biologi Indonesia, Kusmayadi, Endar. (2000). Metodologi Penelitian 4(5), hlm.399-415. Tersedia secara online dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: Gramedia juga di: https://media.neliti.com/media/ Pustaka Utama. publications/78972-ID [diakses di Tangerang, Lombard, Denys. (2000). Nusa Jawa, Silang Budaya: Banten, Indonesia: 9 Oktober 2017]. Batas-batas Pembaratan, Bagian I. Jakarta: PT Saidi, Anas. (2015). “Sepengertian Tanpa Gramedia Pustaka Utama, Terjemahan. Sepengetahuan: Survival Strategy dan Makna MAKUS [Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda]. Simbolik Transmisi Kelisanan (Kasus Agama (2008). Pemaparan Singkat Jejak Sejarah Djawi-Sunda di Cigugur, Kuningan, Jawa Komunitas ADS (Agama Djawa-Sunda) ke Barat)”. Disertasi Doktor Tidak Diterbitkan. Komunitas AKUR (Adat Karuhun Urang) di Depok: Program Studi Ilmu Susastra FIPB UI Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa [Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Barat. Cigugur: t.p. [tanpa penerbit]. Indonesia]. Tersedia secara online di: http://lib. Masunah, J. et al. (1999). Angklung Jawa Barat: ui.ac.id/file?file=digital/2016-4/20424838-D2093- Sebuah Perbandingan. Bandung: CV Andira. Anas%20Saidi.pdf [diakses di Tangerang, Banten, Muhammad, Abdulkadir. (1987). IBD: Ilmu Budaya Indonesia: 9 Oktober 2017]. Dasar. Jakarta: Fajar Agung. Saputra, Muhammad Adi. (2015). “Perkembangan Murtopo, Ali. (1978). Strategi Kebudayaan. Jakarta: Kesenian Angklung Buncis di Kecamatan Yayasan Proklamasi. Cigugur, Kabupaten Kuningan, Tahun 1980- Nurfatwa, Suryana. (2014). “Mengungkap Asal-Usul 2010”. Skripsi Sarjana Tidak Diterbitkan. Agama ”. Tersedia secara online Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di: http://www.voa-islam.com/read/citizens- [Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, jurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap-asal- Universitas Pendidikan Indonesia]. usul-agama-sunda-wiwitan [diakses di Tangerang, Sawunggalih, M. (2012). “Menyusur Agama Djawa- Banten, Indonesia: 9 Oktober 2017]. Sunda dari Cigugur”. Tersedia secara online di: Nursananingrat, B. (1964). Purwawisada: Agama http://nusantaraislam.blogspot.com/2012/10/ Djawa-Sunda. Bandung: Pastoral. menyusur-agamadjawa-sunda-dari-Cigugur. Nuryaman. (2017). “Mengenal Seren Taun: Ritual html [diakses di Tangerang, Banten, Indonesia: Tahunan Masyarakat Adat Sunda Wiwitan 9 Oktober 2017]. Cigugur”. Tersedia secara online di: http://www. Sedyawati, Edi. (2007). Budaya Indonesia: Kajian pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/09/14/ Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT Raya mengenal-seren-taun [diakses di Tangerang, Grafindo Persada. banten, Indonesia: 9 Oktober 2017]. Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Pickering, M. [ed]. (2008). Research Methods Yogyakarta: Penerbit Ombak. for Cultural Studies. Eidenburgh: Eidenburgh Soedarsono, R.M. (1986). Dampak Pariwisata University Press. terhadap Perkembangan Seni di Indonesia. Putra, H.S. Ahimsa. (2013). “Budaya Bangsa, Jati Yogyakarta: ISI [Institut Seni Indonesia] Diri, dan Integrasi Nasional” dalam Jurnal Yogyakarta.

70 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Volume 3(1), Maret 2018

Soedarsono, R.M. (2002). Seni Pertunjukan Tryana, T. (2011). “Pertunjukan Angklung Buncis Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah dalam Acara Seren Taun di Kecamatan Cigugur, Mada University Press. Kabupaten Kuningan”. Skripsi Sarjana Tidak Soedarsono, R.M. (2003). Seni Pertunjukan Diterbitkan. Bandung: Jurusan Pendidikan Seni dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Musik FPBS [Fakultas Pendidikan Bahasa dan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Seni, Universitas Pendidikan Indonesia]. Stake, R.E. (1995). The Art of Case Study Research. Wawancara dengan Responden A, seorang Kundang California: Sage Publications, Inc. (Pelatih Angklung Buncis), di Kuningan, Jawa Subiantoro, Ignatius Herry. (2002). “Upacara Seren Barat, Indonesia, pada tanggal 19 Oktober 2014. Taun: Sebuah Ritual Keagamaan di Cigugur, Wawancara dengan Responden B, Pangeran Gumirat Kuningan, Jawa Barat”. Tesis Magister Tidak Barana Alam, sebagai Ketua Yayasan Tri Diterbitkan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Mulya dan Wakil Ketua Adat Kundang (Pelatih UGM [Universitas Gadjah Mada]. Angklung Buncis), di Kuningan, Jawa Barat, Sutrisno, Mudji. (2005). Teori-teori Kebudayaan. Indonesia, pada tanggal 20 Oktober 2014. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

© 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia 71 ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik MUHAMMAD ADI SAPUTRA & RINALDO ADI PRATAMA, Dari Sakral Menuju Profan

Kesenian Angklung Buncis (Sumber: http://www.infobudaya.net, 9/10/2017)

Angklung Buncis mengalami perkembangan, khususnya pada rentang waktu 1980-2010. Perkembangan tersebut membuat Angklung Buncis mengalami perubahan yang pada awalnya berfungsi sakral dan ritual berubah menjadi sarana hiburan. Sebagai akibatnya, kesenian tersebut memiliki fungsi ganda, yakni selain memiliki fungsi sakral juga fungsi hiburan atau profan.

72 © 2018 by UPI (Indonesia University of Education) Press in Bandung, West Java, Indonesia ISSN 2527-3868 (print), 2503-457X (online), and http://ejournal.upi.edu/index.php/mimbardik