MANDALIKA, LALA BUNTAR, DAN LA HILA: PERBANDINGAN CERITA RAKYAT SASAK, SAMAWA, DAN MBOJO

MANDALIKA, LALA BUNTAR, AND LA HILA: COMPARATIVE STUDY OF SASAK, SAMAWA, ANG MBOJO FOKLORES Syaiful Bahri Kantor Bahasa NTB, Jalan Dokter Sujono, , NTB Ponsel: 08175725520, Pos-el: [email protected]

Diterima: 2019; Direvisi: 4 Desember 2019; Disetujui: 4 Desember 2019 DOI https://doi.org/10.26499/mab.v13i2.262

Abstrak Artikel ini mengkaji cerita rakyat Sasak, Samawa, dan Mbojo, yakni Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila. Ketiga cerita rakyat tersebut diambil melalui studi pustaka terhadap hasil penelitian dan kumpulan cerita rakyat. Ketiga cerita rakyat sebagai sumber data dibandingkan untuk melihat bagian- bagian yang menunjukkan persamaan dan perbedaan. Dengan melakukan perbandingan terhadap unsur intrinsik pembangun karya sastra, ditemukan adanya perbedaan ketiga cerita terdapat pada unsur tokoh dan penokohan serta cara penyelesaian konflik atau permasalahan yang dihadapi. Adanya bagian-bagian yang menunjukkan perbedaan tersebut pada tahap yang lebih jauh menunjukkan persamaan. Perbedaan pada bagian tokoh dan penokohan disamakan oleh rupa tokoh yang sama-sama cantik sehingga menghadapi permasalah yang sama. Perbedaan cara penyelesaian konflik atau permasalahan disatukan oleh tujuan yang sama, yakni sama-sama bermaksud menjadikan diri mereka sebagai milik orang banyak, bukan orang tertentu. Adanya perbedaan pada beberapa unsur pembangun karya sastra mengarah pada maksud dan tujuan yang sama. Kata kunci: perbandingan; Mandalika; Lala Buntar; La Hila; cerita rakyat

Abstract This article contains comparative analysis on Sasak, Samawa, and Mbojo folklores. The folklores compared here are Mandalika, Lala Buntar, and La Hila. These folklores are collected from library research; both from research results and folklore collection books. As data resources, these three folklores are analyzed comparatively to see their similarities and differences. Result of intrinsic analysis indicates that the characters, the characterization, and the way characters solute the conflict are different. The similarities of the three folklores are found that the characters are beautiful and confront the same problems. Though they solute the problems in different way, they make it for the same purpose. They finally solved the problems by making themselves not belong to certain person, but to all the people. Meaning that the difference of the characters, characterizations, and the problems has no significant impact as the solutions for the problems are made for the same purpose. Keywords: comparation; Mandilika; Lala Buntar; La Hila; folklore

1. Pendahuluan merupakan salah satu upaya menjaga Sasak, Samawa, dan Mbojo merupakan harmonisasi tersebut. Penyebutan Sasak, tiga suku besar yang mendiami wilayah Nusa Samawa, dan Mbojo menjadi akronim Tenggara Barat (NTB). Ketiganya sering Sasambo tersebut diikuti pula dengan adanya dikatakan juga sebagai suku asli, selain suku judul lagu, tarian, maupun produk lainnya lainnya sebagai pendatang, yang mendiami dengan judul atau nama Sasambo, misalnya dua pulau besar di NTB, yakni Pulau tari sasambo, batik sasambo, dan lain-lain. dan Sumbawa. Sebagian besar Sebelum adanya upaya harmonisasi masyarakat suku Sasak mendiami Pulau terbaru dengan membuat simbol-simbol Lombok, sedangkan masyarakat Samawa keterhubungan di antara ketiga suku besar dan Mbojo sebagian besar berada di Pulau tersebut, sejarah menunjukkan bahwa Sumbawa. Masyarakat Samawa sebagian interaksi antara ketiga suku, khususnya besar berada di Pulau Sumbawa bagian barat, Sasak dan Samawa sudah berlangsung sejak sedangkan masyarakat Mbojo lebih banyak lama. Kajian rekonstruksi bahasa mendiami Pulau Sumbawa bagian timur. menunjukkan bahwa bahasa Sasak dan Secara administratif, masyarakat suku Sasak bahasa Samawa berasal dari satu sebagian besar bertempat tinggal di semua subkelompok yang diturunkan dari kabupaten/kota di Pulau Lombok yang terdiri kelompok Bali-Sasak-Samawa (Mbete, atas empat pemerintahan kabupaten dan satu 1990). Berawal dari satu subkelompok kota madya. Sementara itu, suku Samawa bahasa sebelum berkembang menjadi bahasa sebagian besar berada di dua wilayah tersendiri menunjukkan bahwa hubungan administratif, yakni Kabupaten Sumbawa Sasak dan Samawa sangat dekat. Beberapa dan Sumbawa Barat. Suku Mbojo yang sumber sejarah juga menyebutkan, Sasak dan berada di bagian timur Pulau Sumbawa Samawa pernah berada pada satu pusat berada di tiga wilayah administratif, yakni kerajaan (Wacana, 1988; Mantja, 2011). Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Salah satu cerita lisan juga menceritakan, Kota Bima. putera salah satu kerajaan di Lombok pernah Sebagai tiga suku yang mendiami dititipkan ke salah satu kerajaan atau sebagaian besar wilayah NTB, berbagai kedatuan di Sumbawa (Bahri, 2017). Semua upaya dilakukan untuk menjaga harmonisasi itu menunjukkan bahwa kedekatan antara ketiganya. Penyebutan gabungan ketiga suku Sasak dan Samawa sudah berlangsung lama. ini menjadi sebuah akronim Sasambo

190 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri)

Lokasi yang didiami suku Mbojo lebih pada kedekatan hubungan antara Sasak dan dekat dengan Samawa sehingga kedekatan Mbojo, terlebih sebagai suku yang secara historis keduanya lebih terlihat dibandingkan administratif berada dalam satu wilayah dengan Sasak. Hubungan yang sudah terjalin provinsi. Kedekatan hubungan Samawa dari sisi politik, sosial dan budaya semakin dengan Sasak maupun dengan Mbojo yang dipererat dengan pernikahan antara Sultan sudah berlangsung lama secara otomatis Abdul Hamid (Sultan ke-9 Bima yang berimbas pada telah berlangsung lamanya memerintah tahun 1773—1819). kedekatan hubungan Sasak dan Mbojo. Meninggalnya sultanah Sumbawa tersebut Dengan demikian, tidak salah jika dikatakan tidak menjadikan hubungan kekeluargaan bahwa berbagai bukti sebagaimana tersebut terputus. Hal itu diperlihatkan disebutkan di atas menunjukkan bahwa dengan keputusan Sultan Abdul Hamid yang hubungan tiga suku besar di NTB ini sudah menikahi Datu Sagiri atau Datu Giri yang berlangsung sejak lama. Keterhubungan tiga merupakan adik kandung dari almarhum suku ini juga terlihat dari adanya kemiripan Syafiatuddin. Jalinan kekeluargaan antara cerita rakyat. Terlepas dari adanya dua kerajaan tersebut kembali diperkuat kontroversi terkait adanya persamaan cerita dengan pernikahan putri Sultan Muhammad rakyat antara satu suku dengan suku lain, Salahuddin (Sultan Bima) dengan Sultan artikel ini mencoba melakukan perbandingan Sumbawa, Kaharuddin III. Pernikahan inilah cerita rakyat antara tiga suku besar yang ada yang kemudian melahirkan Muhammad di NTB, yakni Sasak, Samawa, dan Mbojo. Abdurrahman Daeng Raja Dewa (Daeng Cerita rakyat yang dibandingkan adalah Ewan) yang telah dinobatkan menjadi Sultan Mandalika (Sasak), Lala Buntar (Samawa), Sumbawa hingga sekarang dengan gelar dan La Hila (Mbojo). Dewa Masmaya Sultan Kaharuddin IV Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila (Ismail dan Alan Malingi, 2018). merupakan tiga cerita rakyat yang dapat Pemaparan di atas memang dikategorikan sebagai legenda. menunjukkan kedekatan hubungan antara Pengelompokan ketiga cerita ini sebagai Sasak dengan Samawa dan Samawa dengan legenda disebabkan berisi latar belakang Mbojo. Posisi Samawa yang berada di adanya peristiwa maupun benda yang ada bagian tengah seolah menjadi penghubung pada masa sekarang. Hal itu sejalan dengan antara Sasak dan Mbojo. Kedekatan Dananjaja (1997) yang mengemukakan hubungan Samawa dengan Mbojo maupun bahwa keberadaan legenda biasanya Sasak secara tidak langsung berpengaruh disebabkan adanya benda, tempat, upacara, Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 191

dan lain-lain yang kemudian dibuatkan cerita untuk melihat persamaan dan perbedaan di yang mengisahkan asal-usul benda, upacara, antara ketiga cerita tersebut. atau tempat tersebut. Kerbaradaan cerita Mandalika menjadi latar belakang adanya 2. Landasan Teori nyale yang dikenal masyarakat Sasak sampai Perbandingan dalam konteks ilmu sastra sekarang, begitu pula Lala Buntar dan La merupakan sebuah kajian tersendiri yang Hila yang masing-masing menjadi latar dikenal dengan istilah sastra bandingan. belakang keberadaan makam dan pohon Sejarah yang berkaitan dengan kajian sastra bambu pada masyarakat Samawa dan Mbojo. bandingan tidak bisa dilepaskan dari dua Cerita Mandalika, Lala Buntar, dan La mazhab yang melakukan perdebatan Hila memiliki kemiripan satu sama lain, mengenai kajian yang masuk dalam kategori tetapi terdapat bagian-bagian yang sastra bandingan. Dua mazhab yang menunjukkan perbedaan. Identifikasi adanya dimaksud dikenal dengan sebutan mazhab persamaan pada bagian-bagian yang Amerika dan mazhab Prancis. Kajian sastra menunjukkan perbedaan itulah yang akan bandingan menurut mazhab Amerika tidak dijawab dalam artikel ini. Persamaan dan hanya membandingkan sastra dengan sastra perbedaan tersebut diidentifikasi dengan saja, melainkan bisa juga sastra dengan karya melakukan perbandingan terhadap ketiga dalam bidang lain, seperti musik, tari, dan cerita rakyat tersebut. lain-lain. Tidak demikian dengan mazhab Kegiatan membandingkan cerita rakyat Prancis yang berpandangan bahwa kajian telah dilakukan Bahri dkk. (2015), Bahri sastra bandingan merupakan upaya (2017), Bahri (2018). Perbandingan tersebut membandingkan sastra dengan sastra, bukan dilakukan hanya sebatas cerita rakyat Sasak dengan bidang lain (Damono, 2009). dan Samawa. Kegiatan yang Meskipun terdapat perbedaan, kedua membandingkan cerita rakyat di NTB juga mazhab tersebut pada dasarkan memiliki pernah dilakukan Rosnilawati (2016), tetapi kesepakatan yang sama. Keduanya perbandingan itu hanya sebatas cerita rakyat menyepakati bahwa membandingkan sastra Sasak dan Mbojo. Artikel ini mencoba dengan sastra masuk sebagai kajian sastra melakukan perbandingan cerita rakyat tiga bandingan, di samping sastra dan bidang lain suku besar di NTB, yakni Sasak, Samawa, bagi mazhab Amerika. Perbandingan antara dan Mbojo. Perbandingan tersebut dilakukan sastra dengan sastra oleh Endraswara (2011) disebut sastra bandingan mikro, sedangkan

192 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri) membandingkan sastra dengan bidang lain tersebut bisa dilanjutkan dengan mencari digolongkan sebagai sastra bandingan “sesuatu” di balik adanya persamaan dan makro. perbedaan itu. Artikel ini hanya melihat letak perbedaan dan persamaan yang terdapat Keberadaan cerita rakyat di , dalam cerita Mandalika, Lala Buntar, dan La termasuk Nusa Tenggara Barat menjadi Hila. sebuah kekayaan yang tidak ternilai. Adanya tiga suku besar ditambah beberapa suku Damono (2009) mengemukakan bahwa pendatang dengan bahasa masing-masing sastra bandingan merupakan sebuah (Tim Penyusun, 2014) tentu menjadikan pendekatan dalam ilmu sastra. Sebagai NTB sebagai salah satu daerah yang sebuah pendekatan, sastra bandingan tidak memiliki beragam cerita rakyat. Berdasarkan menghasilkan teori tersendiri yang secara pengkategorian sastra, cerita rakyat khusus sebagaimana layaknya pendekatan dimasukkan ke dalam genre prosa. Dengan lain dalam kajian sastra. Hal itu sejalan demikian, membandingkan cerita rakyat dengan Endraswara (2011:164) yang dapat dimasukkan sebagai kajian sastra menyatakan bahwa sastra bandingan bisa bandingan. memanfaatkan berbagai teori sastra sebagai alat analisis. Meskipun demikian, inti dari Berkaitan dengan sastra Bandingan, penggunaan teori dan analisis yang khususnya cerita rakyat, Damono (2009) dilakukan tersebut dirahkan pada upaya menyatakan bahwa membandingkan membandingkan karya sastra. dongeng atau cerita rakyat yang memiliki kemiripan tidak diarahkan pada upaya Perbandingan cerita rakyat yang menemukan adanya saling pengaruh antara dilakukan dalam artikel ini difokuskan pada satu cerita rakyat dengan cerita rakyat upaya membandingkan unsur pembangun lainnya. Membandingkan cerita rakyat yang karya sastra. Ismawati (2013) menyebutkan bertujuan menentukan atau menemukan unsur pembangun karya sastra, khusunya cerita asli atau adanya saling pengaruh akan prosa, yakni tema, alur/plot, penokohan, cenderung menghasilkan simpulan yang lattar/setting, dan amanat. Dari semua unsur kurang meyakinkan. Upaya membandingkan pembangun prosa tersebut, artikel ini lebih cerita rakyat baiknya diarahkan dengan banyak melakukan perbandingan pada unsur melihat persamaan dan perbedaan yang alur/plot, penokohan, dan setting. Tema dan terkandung dalam cerita rakyat yang amanat tidak dibandingkan secara mendalam dibandingkan. Jika memungkinkan, upaya Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 193

karena tiga cerita yang dibandingkan secara tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, umum memiliki tema dan amanat yang sama. sedangkan konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran atau jiwa Alur/plot merupakan unsur yang banyak seorang tokoh. Keberadaan konflik berkaitan dibandingkan. Meskipun rangkaian peristiwa dengan klimaks. Adanya konflik demi ketiga cerita yang dibandingkan secara konflik, baik internal maupun ekternal yang umum memiliki persamaan, terdapat telah mencapai inilah yang kemudian beberapa bagian dalam alur yang disebut sebagai klimaks (Nurgiyantoro, menunjukkan perbedaan. Alur dikatakan 2013). sebagai rangkaian peristiwa yang mengandung penekanan pada hubungan Selain plot, unsur lain yang banyak kausalitas (Ismawati, 2013). Hubungan dibandingkan dalam artikel ini adalah kausalitas tersebut termanifestasikan lewat setting. Aminuddin (2000) memberikan perbuatan, tingkah laku, dan sikap utama pengertian setting sebagai latar peristiwa cerita. Nurgiyantoro (2013) menyebutkan dalam karya fiksi, baik berupa tempat, tiga unsur esensial dalam pengembangan waktu, maupun peristiwa, serta memiliki plot, yakni (1) peristiwa, yaitu peralihan dari fungsi fiskal dan psikologis. Fungsi fiskal suatu keadaan ke keadaan lain; (2) konflik, berupa fisik dan disampaikan secara tersurat, yaitu peristiwa dramatik yang menyiratkan sedangkan fungsi psikologis berkaitan adanya aksi dan reaksi; (3) klimaks, yaitu dengan suasana maupun sikap, serta jalan puncak dari konflik. Loban dkk (dalam pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu Aminuddin, 1987) menyebutkan adanya yang disampaikan secara tersirat. Karena unsur penyelesaian atau denoument selain disampaikan secara tersirat, fungsi psikologis ketiga unsur tersebut. Penyelesaian berkaitan ini membutuhkan penafsiran. Sumarjo dan dengan solusi yang dilakukan untuk Saini K.M. (1994) lebih jauh menyatakan menyelesaikan permasalahan atau konflik bahwa setting tidak hanya menunjukkan yang dihadapi dalam cerita. tempat dan waktu tertentu, melainkan juga hal-hal hakiki dari suatu wilayah sampai Berkaitan dengan konflik, Stanton pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, (dalam Nurgiyantoro, 2013) membaginya gaya hidup dan sebagainya. konflik menjadi dua, yakni konflik ekternal dan konflik internal. Konflik ekternal adalah Setting memiliki keterkaitan yang erat konflik yang terjadi antara seseorang atau dengan penokohan. Penokohan berkaitan

194 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri) dengan segala hal yang berkaitan dengan membandingkan masyarakat pemiliknya. Hal tokoh. Kusdiratin dkk. (1984) itu bisa bisa dilakukan pada tahap mendefinisikan penokohan sebagai berikutnya. pembicaraan mengenai cara-cara pengarang menampilkan pelaku melalui sifat, sikap, dan 3. Metode Penelitian tingkah lakunya. Keberadaan tokoh dalam cerita, terutama cerita rakyat memiliki Sumber data dalam penelitian ini adalah keterkaitan yang tidak bisa dilepaskan dari cerita rakyat Mandalika, Lala Buntar, dan La watak atau karakter. Stanton (dalam Hila. Ketiga cerita ini masing-masing Nurgiyantoro, 1995) mengartikan watak merupakan cerita rakyat dari tiga suku besar sebagai sikap, keterikatan, keinginan, emosi, yang ada di NTB, yakni Sasak dan Samawa, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh. dan Mbojo. Sumber data tersebut didapatkan melalui studi pustaka. Ketiga cerita ini Berkaitan dengan perbandingan terhadap diperoleh dari penelitian yang telah tiga cerita rakyat yang dilakukan dalam dilakukan Bahri dkk. (2015) dan buku Bunga artikel ini, masing-masing unsur tidak Rampai Legenda Tanah Bima (Malingi, dipaparkan secara khusus. Konsep yang 2015). berkaitan dengan unsur tersebut digabungkan Tiga cerita rakyat yang dijadikan menjadi satu untuk melihat persamaan dan sebagai sumber data dianalisis dengan perbedaan yang terdapat dalam tiga cerita melakukan perbandingan terhadap ketiganya. yang dibandingkan. Upaya melakukan Rangkaian peristiwa yang terdapat pada perbandingan tersebut sejalan dengan prinsip masing-masing cerita yang merupakan Damono (2013) yang menyatakan bahwa sumber data dijadikan sebagai data. Data cerita rakyat perlu dibanding-bandingkan yang terdapat pada sumber data dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang jelas dengan menggunakan metode bandingan mengenai persamaan dan perbedaan antara sastra yang didukung analisis struktural. masyarakat pemiliknya. Perbandingan yang Perbandingan dilakukan untuk melihat dilakukan dalam artikel ini lebih perbedaan dan persamaan yang terdapat dikhususkan hanya pada cerita rakyatnya, dalam tiga cerita yang dibandingkan. Upaya tidak sampai pada membandingkan perbandingan tersebut dilakukan dengan masyarakat pemilik ceritanya. Meskipun berpedoman pada struktur pembangun karya demikian, perbandingan dalam artikel ini sastra, khususnya prosa, yakni alur, bisa dijadikan sebagai bahan penokohan, dan setting. Langkah-langkah Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 195

yang dilakukan dalam melakukan di NTB yang mengambil nama tokoh utama penganalisisan data sebagai berikut. sebagai judul cerita. Meskipun berasal dari Langkah pertama adalah tiga suku yang berbeda, ketiga cerita ini menyandingkan ketiga cerita guna melihat memiliki kemiripan satu sama lain. Dari segi bagian-bagian yang menunjukkan persamaan tema, ketiga cerita yang berjenis legenda ini dan perbedaan. Langkah ini dilakukan sama-sama bercerita tentang pengorbanan dengan berpedoman pada unsur intrinsik tokoh (Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila) sebagai unsur utama yang membangun yang tidak ingin memilih salah satu pangeran cerita. Sebagaimana telah dipaparkan yang melamarnya dengan alasan agar tidak sebelumnya, unsur intrinsik dalam artikel ini terjadi konflik. Memilih salah satu pangeran lebih dikhususkan pada tokoh dan sama artinya dengan membangkitkan penokohan serta alur/plot, terutama pada kemarahan pangeran yang lain. Kemarahan bagian cara penyelesaian konflik yang akan berimplikasi pada peperangan yang dihadapi. tentu akan menimbulkan pertumpahan darah. Langkah kedua adalah mendalami Meskipun adanya persamaan dari segi bagian-bagian yang menunjukkan perbedaan. tema, terdapat perbedaan pada beberapa Langkah ini dilakukan untuk melihat bagian. Perbedaan tersebut terlihat dari unsur perbedaan tersebut secara mendetail guna pembangun cerita rakyat yang masuk dalam mendapatkan gambaran lebih mendalam genre prosa. Unsur pembangun yang tentang bagian-bagian yang berbeda tersebut. menunjukkan perbedaan inilah yang Langkah selanjutnya adalah dibandingkan. Meskipun demikian, bukan mengidentifikasi sekaligus menafsirkan berarti bagian yang menunjukkan persamaan dari perbedaan-perbedaan yang persamamaan tidak disinggung. Unsur-unsur telah ditemukan pada langkah pertama dan yang menunjukkan persamaan disampaiakan kedua. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan secara tidak langsung dalam subbab-subbab jawaban bahwa bagian-bagian yang yang membahas tentang perbedaan. menunjukkan perbedaan tersebut pada Menyinggung perbedaan tentunya tidak bisa hakikatnya mengarah pada tujuan yang sama. dilepaskan dengan bagian yang menunjukkan persamaan. 4. Hasil dan Pembahasan Dari beberapa unsur pembangun prosa, Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila terdapat dua unsur yang tingkat merupakan tiga cerita dari tiga suku berbeda perbedaannya cukup dominan dibandingkan

196 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri) dengan unsur lainnya, yakni unsur tokoh dan kemudian ditambah dengan satu subbab lain. penokohan serta penyelesaian konflik atau Subbab ini akan memaparkan bahwa permasalahan yang merupakan bagian dari perbedaan yang dipaparkan pada subbab unsur alur/plot. Unsur setting tidak sebelumnya pada dasarnya mengarah pada dibicarakan secara khusus dalam subbab tujuan yang sama. tersendiri karena bisa disatukan dan 4.1.1 Perbandingan Tokoh dan Penokohan disinggung dalam dua subbab tersebut. Perbandingan pada unsur tokoh dan Perbedaan pada dua unsur inilah yang akan penokohan dalam ketiga cerita rakyat yang dipaparkan pada subbab berikutnya yang dibandingkan terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 1: Perbandingan Unsur dalam Tokoh dan Penokohan

Nama Tokoh No. Unsur yang Dibandingkan Mandalika Lala Buntar La Hila 1. Identitas tokoh Puteri raja Puteri raja Orang biasa 2. Orang tua Raja Raja Tidak diketahui Orang tua dan Orang tua dan Nenek tua/Wa’i 3. Pengasuh dayang istana dayang istana Kimpi

Berdasarkan tabel di atas dapat puteri raja yang hidup dalam lingkungan diketahui bahwa perbedaan dari segi tokoh istana, Mandalika dan Lala Buntar memiliki dan penokohan terlihat pada identitas suasana kehidupan yang tidak jauh berbeda. masing-masing tokoh, keberadaan orang tua, Lingkungan istana menyediakan berbagai dan pengasuh atau orang yang merawat kebutuhan yang diinginkan oleh kedua puteri tokoh. Perbedaan tersebut lebih khusus tersebut. telihat dalam perbandingan antara Mandalika Berbeda dengan Mandalika dan Lala dan Lala Buntar dengan La Hila. Tokoh Buntar, tokoh La Hila dalam cerita rakyat Mandalika dalam cerita rakyat Mandalika Mbojo memiliki latar kehidupan yang yang dimiliki oleh masyarakat Sasak berbeda. Tokoh perempuan ini diceritakan diceritakan sebagai seorang puteri raja. Ia sebagai orang biasa yang tidak disebutkan adalah anak dari Raja Tonjeng Bero. Tidak siapa ayah maupun ibunya. Berdasarkan jauh berbeda dengan Mandalika, tokoh Lala rangkaian cerita disebutkan bahwa tokoh La Buntar dalam cerita rakyat Samawa juga Hila dirawat oleh seorang nenek bernama diceritakan sebagai tokoh putri raja yang Wa’i Kimpi. Tokoh nenek ini pun tidak hidup dalam lingkungan istana. Sebagai disebutkan sebagai nenek yang melahirkan

Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 197

orang tuanya ataukah nenek yang hanya dirawat oleh orang tua yang usianya sudah merawatnya. lanjut lebih sering diceritakan sebagai orang Keberadaan tokoh nenek yang tidak miskin yang hidup dengan berbagai disebutkan identitasnya sebagai perawat penderitaan. Kondisi seperti itulah yang juga tokoh utama umumnya adalah seorang nenek dialami oleh tokoh La Hila yang hidup di yang tidak memiliki anak kandung. Tokoh tengah hutan bersama Wa’i Kimpi. nenek ini bisa dikatakan sebagai penyelamat Gambaran seperti itu memperlihat-kan yang mengantarkan tokoh utama ke adanya perbandingan yang kontras antara rangkaian peristiwa yang menjadikan tokoh kehidupan tokoh La Hila dalam cerita rakyat utama sebagai orang yang berhasil. Seorang masyarakat Mbojo dengan tokoh Mandalika tokoh utama yang dirawat oleh seorang dan Lala Buntar dalam cerita rakyat nenek tanpa identitas memperjelas masyarakat Sasak dan Samawa. Tokoh ketidakberdayaan atau keterasingannya dari Mandalika dan Lala Buntar dalam kehidupan tokoh lain. istana yang tentunya berkecukupan dan Tokoh nenek yang hidup sendiri dirawat langsung oleh orang tua (raja dan kemudian merawat tokoh utama umumnya permaisuri) beserta pelayan dengan berbagai sebagai orang miskin atau tidak berada. fasilitas yang terpenuhi. Tidak demikian Tokoh ini biasanya harus berjuang keras dengan tokoh La Hila yang tinggal di sebuah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. gubuk tengah hutan dengan seorang nenek Lokasi tempat tinggal tokoh nenek seperti ini tua. Jika Mandalika dan Lala Buntar umumnya jauh dari keramaian. Tokoh nenek mendapatkan makananan dengan mudah dan yang tentunya berusia tua, tinggal di tempat dilayani, La Hila harus berusaha sendiri yang jauh dari keramaian, dan memenuhi untuk mendapatkan makanan dan tidak ada kebutuhan sendiri menunjukkan orang yang akan melayani sebagaimana keterbelakangan dan keterpinggiran. Cerita Mandalika dan Lala Buntar. lain dalam masyarakat Mbojo yang 4.1.2 Perbandingan Cara Penyelesaian menunjukkan pola sama, misalnya cerita Konflik atau Permasalahan “Darere” (Malingi, 2007). Perbandingan unsur yang berkaitan Darere sebagai judul cerita yang dengan cara penyelesaian konflik atau sekaligus menjadi nama tokoh utama permasalahan yang dihadapi oleh bersama ibunya yang sudah tua bernama masing-masing tokoh dalam ketiga cerita Darura. Tokoh utama yang tinggal dan dapat dilihat dalam tabel berikut.

198 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri)

Tabel 2: Perbandingan Unsur dalam Cara Penyelesaian Konflik/Permasalahan

Unsur yang Nama Tokoh No. Dibandingkan Mandalika Lala Buntar La Hila Cara Menyampaikan 1. menemukan/mencari/me Menyepi/menyendiri ke keluarga nentukan keputusan Lokasi dipilih untuk 2. Laut Hutan Sungai menyelesaikan konflik Bersembunyi di Menghilang 3. Tindakan yang dilakukan Terjun ke laut gundukan di sungai 4. Wujud akhir Cacing laut/nyale Kuburan/makam Bambu

Selain perbedaan yang berkaitan Sasak disebut nyale. Cacing laut yang dengan unsur tokoh dan penokohan, disebut nyale oleh masyarakat Sasak perbedaan ketiga tokoh pada cerita rakyat merupakan wujud akhir yang dianggap Sasak, Samawa, dan Mbojo juga terlihat sebagai penjelmaan dari Mandalika. pada cara penyelesaian konflik atau Berbeda dengan Mandalika, Lala permasalahan yang dihadapi. Tindakan awal Buntar dalam cerita rakyat Samawa tidak yang dilakukan tokoh Mandalika dalam melakukan tindakan menyepi dalam cerita rakyat Sasak adalah menyepi atau menemukan keputusan terbaik yang akan menyendiri guna menemukan cara terbaik diambil. Tokoh Lala Buntar menyampaikan untuk menyelesaikan permasalahan. Dengan secara terbuka kepada anggota keluarga begitu, tidak ada seorang pun yang berkaitan dengan keputusan yang akan mengetahui keputusan yang akan diambil diambil. Hal ini secara tidak langsung guna menyelesaikan permasalahan yang menunjukkan bahwa keputusan yang diambil dihadapi. tokoh Lala Buntar dilakukan dengan Guna menyelesaikan permasalahan meminta pendapat kepada anggota yang dihadapi, Mandalika memilih laut keluarganya. Keputusan akhir yang diambil sebagai lokasi penyelesaian permasalahan. adalah pergi jauh meninggalkan istana. Pemilihan laut tersebut berkaitan keputusan Jika Mandalika memilih laut sebagai yang diambil dalam penyelesaian lokasi pengambilan keputusan, Lala Buntar permasalahan yang dihadapi, yakni memilih hutan yang menjadi tempat menerjunkan diri ke laut. Tindakan yang pengambilan keputusan dari permasalahan dilakukan Mandalika diikuti dengan yang dihadapi. Tindakan yang dilakukan di munculnya cacing laut yang oleh masyarakat lokasi tersebut adalah dengan bersembunyi

Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 199

di dalam sebuah gundukan. Hal itu dilakukan tersebut muncul pohon bambu yang agar tidak ada orang yang mengetahui dianggap sebagai penjelmaan dari La Hila. keberadaannya, terutama oleh para pangeran Berdasarkan pemaparan tersebut yang telah melamarnya. Merkipun demikian, terlihat bahwa masing-masing tokoh tindakan tersebut dilakukan dengan ditemani memiliki perbedaan cara pengambilan beberapa pengawal yang bertugas menunggu keputusan dalam menghadapi permasalahan gundukan dan mengantarkan makanan ke yang sama. Persamaan permasalahan dalam gundukan tersebut. Pada suatu waktu tersebut tidak secara otomatis menjadikan tokoh Lala Buntar tidak memberikan respons mereka melakukan tindakan yang sama. ketika makanan dimasukkan ke dalam Mandalika memilih laut sebagai tempat gundukan. Hal itu menjadikan para pengawal menyelesaikan permasalahan, sedangkan berkesimpulan bahwa Lala Buntar telah Lala Buntar dan La Hila masing-masing meninggal. Gundukan yang menjadi tempat memilih hutan dan sungai. Tindakan yang persembunyian itulah yang sekaligus dilakukan masing-masing tokoh pada tempat dijadikan sebagai pemakaman Lala Buntar. pilihan masing-masing pun berbeda. Hal itu Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa diikuti pula dengan wujud akhir yang pemakaman merupakan wujud akhir dari dianggap sebagai penjelmaan masing-masing keputusan yang diambil oleh tokoh Lala tokoh. Masyarakat Sasak menjadikan nyale Buntar. sebagai wujud tokoh Mandalika, sedangkan Tindakan yang dilakukan tokoh La masyarakat Mbojo menganggap bambu Hila sebagai solusi dalam menghadapi sebagai wujud akhir dari tokoh La Hila. permasalahan yang dihadapi memiliki Wujud kuburan dalam masyarakat Samawa kemiripan dengan tindakan Lala Buntar dijadikan sebagai tempat yang dianggap dalam cerita masyarakat Samawa. La Hila sebagai perwakilan dari wujud Lala Buntar. memilih pergi meningggalkan istana menuju 4.2 Perbedaan Menuju Persamaan ke sebuah sungai. Tidak diketahui secara Pada subbab sebelumnya telah pasti bagaimana proses awal pengambilan tergambar bagian-bagian peristiwa yang keputusan untuk memilih sungai sebagai menunjukkan perbedaan antara cerita yang lokasi pengambilan keputusan. Sungai itulah satu dengan cerita yang lain. Perbedaan- yang menjadi tempat terakhir sosok LaLa perbedaan tersebut terlihat pada unsur Hila terlihat. Bersamaan dengan itu di sungai tokoh/penokohan dan cara penyelesaian konflik atau permasalahan yang dihadapi.

200 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri)

Meskipun demikian, bagian-bagian yang pada persamaan derajat sosial, tetapi pada menunjukkan perbedaan tersebut pada paras cantik dan perilaku baik dari dasarnya mengarah pada maksud dan tujuan Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila. yang menunjukkan persamaan. Bagian- Persamaan sebagai wanita berparas bagian peristiwa yang menunjukkan cantik dan berperilaku baik juga dilanjutkan perbedaan tersebut diikat atau dipertemukan dengan persamaan permasalahan yang oleh adanya bagian-bagian yang dihadapi. Ketiga tokoh pada masing-masing menunjukkan persamaan. cerita tersebut berada dalam kondisi gamang Perbedaan pada unsur tokoh dan untuk menentukan pilihan terhadap penokohan, khususnya latar belakang banyaknya lamaran pangeran untuk kehidupan tokoh, tidak berlanjut pada mempersuntingnya. Mandalika, Lala Buntar, peristiwa yang mengarah pada permasalahan dan LaLa Hila sama-sama tidak memiliki yang dihadapi. Perbedaan tersebut disatukan pilihan yang menjadi solusi terbaik. Memilih dengan adanya persamaan wajah dan salah satu pangeran akan memicu timbulnya perilaku yang dimiliki oleh ketiganya. peperangan yang dilakukan oleh pangeran Mandalika dan Lala Buntar sebagai puteri lain karena tidak terima. Menerima lamaran raja diceritakan sebagai wanita berparas semua pangeran tentu lebih tidak cantik dan berperilaku baik. Kondisi seperti memungkinkan. itu juga terjadi pada tokoh La Hila sebagai Berdasarkan pemaparan tersebut orang biasa yang tinggal di tengah hutan. Hal diketahui bahwa perbedaan latar belakang ini menunjukkan adanya persamaan paras kehidupan tokoh disatukan dengan dan perilaku antara puteri raja dengan orang persamaan paras yang cantik dan perilaku biasa. Paras cantik dan perilaku baik inilah yang baik. Persamaan itu dilanjutkan dengan yang menyamakan ketiga tokoh. persamaan permasalahan yang dihadapi, Posisi La Hila sebagai orang biasa yakni adanya lamaran dari beberapa menjadi sama dengan posisi Lala Buntar pangeran yang semuanya merasa paling ataupun Mandalika. Perbedaan posisi secara pantas menjadi pendamping. Pada kondisi sosial menjadi hilang atau tidak bermakna seperti itu, Mandalika, Lala Buntar, dan La dengan adanya persamaan paras cantik dan Hila sama-sama berada dalam posisi yang perilaku baik ini. Hal ini diperkuat oleh sulit untuk menentukan pilihan. adanya lamaran yang sama-sama dilakukan oleh pangeran kerajaan. Lamaran yang dilakukan para pangeran tidak berpedoman Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 201

Bagan 1. Persamaan yang Terdapat pada Ketiga Tokoh

Mandalika

Puteri raja

Lala Cantik dan Dilamar banyak Sulit menentukan Buntar berperilaku baik pangeran pilihan

La Hila Orang biasa

Model yang sama juga dari adanya Tokoh Mandalika melakukan cara perbedaan yang berkaitan dengan unsur yang berbeda. Meskipun secara fisik sama- penyelesaian konflik atau permasalahan yang sama menjauh dari tempat tinggal, tokoh dihadapi oleh masing-masing tokoh. Solusi Mandalika tidak bermaksud untuk yang dipilih oleh La Hila dan Lala Buntar bersembunyi sebagaimana yang dilakukan memiliki persamaan, yakni sama-sama La Hila dan Lala Buntar. Kedatangan menjauhi tempat tinggal dengan tujuan agar Mandalika ke pantai justru mengajak atau tidak ditemukan oleh para pangeran yang mengundang pangeran yang melamarnya melamar. Lala Buntar menjauh dengan cara untuk datang ke pantai tersebut. pergi menuju hutan, sedangkan La Hila pergi menuju sungai.

Bagan 2. Perbedaan Tindakan Mandalika dengan Lala Buntar dan La Hila

Mengajak/mengundang Mandalika ke pantai para pangeran

Lala ke hutan Buntar Bersembunyi/menghin dari para pangeran La Hila ke sungai

Apabila dilihat wujud akhir dari Mandalika berubah wujud menjadi cacing masing-masing tokoh, Mandalika dan La laut (nyale), sedangkan La Hila berubah Hila memiliki persamaan karena keduanya wujud menjadi pohon bambu. Mandalika dan sama-sama berubah wujud. Tokoh La Hila bertransformasi dari wujud aslinya

202 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri) ke wujud lain yang dijadikan sebagai yang menjadi penjelmaan dari Mandalika penjelmaannya. dan La Hila. Ketika Lala Buntar mendatangi Model perubahan wujud tidak terjadi hutan untuk bersembunyi, gundukan itu pada tokoh Lala Buntar. Gundukan yang sudah berwujud. Hal itu menunjukkan bahwa dijadikan sebagai kuburan bukanlah gundukan tersebut bukanlah penjelmaan, transformasi penjelmaan Lala Buntar melainkan tempat persembunyian yang sebagaimana nyale maupun pohon bambu sekaligus sebagai kuburan dari Lala Buntar. Bagan 3. Perbedaan Wujud/Tindakan Akhir Masing-masing Tokoh

Mandalika Menjadi nyale Berubah wujud LaP Hila Menjadi pohon bambu

Terkubur dalam Lala Meninggal Buntar Buntar gundukan sampai akhirnya melamar. Gambaran seperti Perbedaan bentuk atau wujud akhir itu menunjukkan bahwa kedua tokoh ini dari tokoh Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila tidak menjadikannya masing-masing tidak bisa didekati oleh sembarang orang memiliki tujuan yang berbeda. Sebagaimana atau masyarakat biasa. adanya persamaan rupa yang cantik dan Kondisi seperti itu juga terjadi terjadi permasalahan yang dihadapi, perubahan pada sosok La Hila. Meskipun tokoh ini bentuk atau wujud akhir tersebut pada diceritakan sebagai orang biasa, dasarnya memiliki tujuan yang sama. kecantikannya yang menarik perhatian para Kesamaan prinsip yang menyatakan tidak pangeran menjadikannya berada pada posisi menginginkan terjadinya peperangan telah yang sama dengan Lala Buntar dan memunculkan tindakan yang memiliki tujuan Mandalika. Oleh karena itu, tokoh La Hila yang sama juga. juga tidak bisa didekati oleh semabarang Tokoh Mandalika dan Lala Buntar orang atau masyarakat biasa. sebagai puteri raja hanya bisa didekati oleh Tokoh Mandalika, Lala Buntar, orang-orang tertentu. Tidak mengherankan maupun La Hila yang berada pada posisi jika hanya para pangeran dari beberapa hanya bisa didekati oleh orang terbatas itu kerajaan tetangga yang bisa mendekatinya memunculkan potensi terjadinya peperangan. Para pangeran sebagai golongan terbatas Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 203

yang memiliki peluang untuk mendekati dijadikan sebagai salah satu acara budaya di ketiga tokoh tersebut masing-masing merasa Lombok terlihat masyarakat yang berada paling pantas menjadikan masing-masing pada posisi dan tujuan yang sama, yakni tokoh tersebut sebagai pasangan hidup. berusaha menangkap nyale. Kondisi seperti Perasaan ini kemudian menegasikan itu tidak akan ditemukan ketika nyale keberadaan orang lain sehingga jalur tersebut masih berwujud Mandalika sebagai peperangan akan ditempuh jika keinginan puteri yang cantik dan berperilaku baik. tersebut tidak terpenuhi. Kondisi seperti itu Pola yang sama juga terjadi pada disadari dan dipahami oleh ketiga tokoh. wujud transformasi tokoh Lala Buntar Mereka kemudian melakukan satu tindakan maupun La Hila. Wujud makam yang yang bisa mengatasi dua permasalahan, dianggap sebagai tempat peristirahatan yakni menghindari terjadinya peperangan terakhir Lala Buntar memungkinkan semua dan sekaligus mendekatkan diri kepada orang bisa mengunjunginya. Demikian pula masyarakat. dengan bambu sebagai wujud transformasi Solusi berupa tindakan yang dipilih tokoh La Hila yang memungkinkan semua oleh Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila orang bisa mengambil dan satu sama lain berbeda sebagaimana memanfaatkannya. Kebebasan semua orang disebutkan di atas. Akan tetapi, semua untuk bisa mengunjungi makam atau tindakan tersebut memiliki tujuan yang memanfaatkan bambu itu tentu tidak akan sama, yakni untuk menghindari terjadinya terjadi jika keduanya masih dalam wujud perperangan yang akan mengakibatkan Lala Buntar maupun La Hila. terjadinya pertumpahan darah. Tujuan Berdasarkan pemaparan tersebut lainnya adalah upaya mendekatkan diri diketahui bahwa cara penyelesaian masalah kepada masyarakat atau rakyat. yang dilakukan oleh toko Mandalika, Lala Nyale sebagai transformasi perwujudan Buntar, dan La Hila berbeda satu sama lain. Mandalika memungkinkan semua Akan tetapi, perbedaan tersebut pada masyarakat bisa menangkap dan dasarnya memiliki tujuan dan maksud yang memakannya. Semua golongan masyarakat sama. Ketiga tokoh pada masing-masing bisa menikmati nyale, tanpa dibatasi oleh cerita melakukan tindakan yang kedudukan atau status sosial yang dimiliki. diorientasikan agar tidak terjadinya Dalam acara menangkap cacing nyale atau peperangan. Keinginan para pangeran yang dikenal dengan istilah Bau Nyale yang ingin memiliki sendiri masing-masing tokoh

204 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri) juga terjawab dengan tindakan tersebut. kehidupan di tengah hutan yang dijalani La Tokoh Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila Hila. bukanlah milik sebagian orang saja. Adanya Berkaitan dengan permasalahan yang perubahan wujud memungkinkan ketiga dihadapi, masing-masing tokoh memiliki tokoh tersebut menjadi milik semua orang. perbedaan dalam memilih solusi yang dilakukan guna menghadapi permasalahan 5. Penutup tersebut. Mandalika memilih menerjunkan Cerita Mandalika, Lala Buntar, dan La diri ke tengah laut, sedangkan Lala Buntar Hila merupakan cerita yang sama-sama memilih bersembunyi dalam gundukan yang mengisahkan tentang puteri yang dihadapkan berada di tengah hutan. Tokoh La Hila juga pada permasalahan kesulitan menentukan memilih solusi yang berbeda, yakni pergi ke pilihan. Pilihan berkaitan dengan keputusan sungai kemudian menghilang. penentuan lamaran yang akan diterima di Perbedaan solusi yang dipilih diikuti antara banyaknya lamaran pangeran yang pula dengan perbedaan wujud akhir dari datang secara bersamaan. Tokoh utama masing-masing tokoh. Tokoh Mandalika dalam ketiga cerita sama-sama tidak berubah menjadi cacing laut setelah terjun ke menginginkan terjadinya pertumpahan darah laut, sedangkan La Hila berubah wujud sebagai implikasi dari keputusan yang menjadi bambu yang tumbuh di sungai diambil. tempat dirinya menghilang. Berbeda dengan Persamaan persamasalahan yang dua tokoh lainnya Lala Buntar terkubur dihadapi tidak menunjukkan persamaan pada dalam gundukan tempat persembunyiannya. unsur lain pembangun karya sastra. Gundukan tersebut menjadi kuburan yang Perbedaan tersebut terlihat dari unsur tokoh sekaligus dianggap sebagai perwujudan dan penokohan dan penyelesaikan konflik dirinya. atau permasalahan yang dihadapi. Tokoh Adanya perbedaan latar belakang antara Mandalika dan Lala Buntar sama-sama Mandalika dan Lala Buntar dengan La Hila memiliki latar belakang kehidupan sebagai disatukan dengan paras cantik yang anak seorang raja yang hidup di lingkungan menjadikan ketiganya sama-sama berposisi istana, sedangkan La Hila sebagai orang sebagai tokoh yang disenangi dan ingin biasa yang hidup di tengah hutan. Suasana diperistri oleh banyak pangeran. Tokoh La kehidupan istana yang dijalani Mandalika Hila sebagai orang biasa seolah berada pada dan Lala Buntar dikontraskan dengan posisi yang sama dengan Mandalika dan

Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 205

Lala Buntar sebagai putri raja yang hidup di perempuan cantik, hanya orang-orang lingkungan istana. tertentu yang bisa mendekati atau Perbedaan cara penyelesaian konflik memilikinya. Perubahan wujud masing- atau pemasalahan yang dihadapi pada masing tokoh merupakan pengakuan bahwa dasarnya memiliki tujuan yang sama. Solusi mereka adalah milik semua masyarakat, yang dipilih oleh masing-masing tokoh pada bukan milik orang tertentu sebagaimana dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni mereka masih berwujud manusia. Nyale bisa menghindari terjadinya pertumpahan darah diambil orang dari berbagai golongan, apabila lamaran salah satu pangeran kuburan bisa dikunjungi oleh siapa pun; dan diterima. Wujud cacing laut (nyale), bambu bisa dipotong oleh siapa saja yang kuburan, maupun bambu yang dianggap membutuhkan. sebagai penjelmaan dari masing-masing tokoh juga memiliki orientasi yang sama. Ketika wujud masing-masing tokoh sebagai No. 2 Tahun 2018. Mataram: Kantor Bahasa NTB.

Ismail, M. Hilir dan Alan Malingi. 2018. Jejak Para Sultan Bima. Bima: Daftar Pustaka Adnan Printing.

Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi : Ombak. Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru

Algesindo. Malingi, Alan. 2015. Bunga Rampai Bahri, Syaiful dkk. 2015. “Relasi Legenda Tanah Bima. Yogyakarta: Kekerabatan Sastra Sasak dan Ombak. Samawa di Pulau Lombok dan Sumbawa” (Laporan Penelitian). Mantja, Lalu. 2011. Sumbawa pada Masa Mataram: Kantor Bahasa NTB. Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah). Sumbawa Besar: Samratulangi. Bahri, Syaiful. 2017. “Relasi Cerita Rakyat Sasak dan Samawa: Bandingan Sastra Mbete, Aron Meko. 1990. “Rekonstruksi ke Arah Pendidikan Multikultural” Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa” (Tesis). Mataram: Universitas (Disertasi). Jakarta: Universitas Mataram. Indonesia.

Bahri, Syaiful. 2018. “Perbandingan Cerita Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Rakyat Sasak dan Samawa: Upaya Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Memahami Masyarakat Sasak dan Mada University Press. Samawa” dalam Mabasan Volume 12

206 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005

Mandalika, Lala Buntar, dan La Hila: Perbandingan … (Syaiful Bahri)

Rosnilawati. 2016. “Studi Komparatif Struktur Cerita Legenda La Hila (Bima) dan Legenda Putri Mandalika (Lombok)” (Skripsi). Mataram: Universitas Mataram.

Sumarjo, Jakob dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia. Tim Penyusun. 2014. Profil Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: Kantor Bahasa NTB. Wacana, Lalu. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Depdikbud.

Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005 | 207

208 | Mabasan, Vol. 13, No. 2, Desember 2019, hlm. 189—208 p-ISSN: 2085-9554, e-ISSN: 2621-2005