Penelitian Dosen

LAPORAN PENELITIAN

PERBANDINGAN ORNAMEN DAN NILAI-NILAI KARAKTER CERITA PAÑCATANTRA PADA CANDI DAN CANDI

Oleh: WALUYO NIDN 2828027601

Dibiayai dari: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Nomor: SP DIPA-025-08.2.506600/2018, Tanggal 5 Desember 2016, AKUN 5106.007.001.051.A.521233

PROGRAM STUDI KEPENYULUHAN JURUSAN DHARMADUTA SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA JULI, 2018 Penelitian Dosen

LAPORAN PENELITIAN

PERBANDINGAN ORNAMEN DAN NILAI-NILAI KARAKTER CERITA PAÑCATANTRA PADA RELIEF CANDI MENDUT DAN CANDI SOJIWAN

Oleh: WALUYO NIDN 2828027601

Dibiayai dari: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten Nomor: SP DIPA-025-08.2.506600/2018, Tanggal 5 Desember 2016, AKUN 5106.007.001.051.A.521233

PROGRAM STUDI KEPENYULUHAN JURUSAN DHARMADUTA SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA JULI, 2018

i

PENGESAHAN

1. Judul Penelitian Perbandingan Omamen dan Nilai-Nilai Karuktr,r Cerita Paircttantra pada Relief Candi Mendut dan Candi Sojiwan 2. Bidang Penelitian Arkeologi pada Situs Keagamaan 3. Peneliti a. Nama tengkap Waluyo, M.Pd. b. Jenis Kelamin Laki-L-aki c. PangkaVGolonganNIP Penata Tingkat I / IIId / 197 60228200901 1007 d. Jabatan Fungsional Leklor e. Jabatan Struktural Kepala P3M STABN Sriwijaya f. Jurusan Dharmaduta g Program Studi Kepenyuluhan 4- Alamat a. AlamatKantor/E-mail Jalan Edutown, BSD City, Serpong Tangerang / stabn. [email protected] b. Alamat Rusunami Modemland, Blue Tower, Rumah,/Telp./E-mail Unit BJ{3-JJ, Jalan Hartono Raya, Kota Modem, Tangerang 5. Lokasi Penelitian Candi Mendut, Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten dan Candi SojiwarL Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan , Kabupaten Klaten. 6. Penelitian Lima Bulan 7. Biaya yang Diperlukan a. Sumber dari DIPA Rpl0 000.000,00 b. Sumber lain

Mengetahui, Tangerang, Juli 2018 Ketua Jurusan Dharmaduta Peneliti, A'*-' .H., S.Ag.,M.H. Waluyo,M.Pd. 5022008011023 NtP 19760228200901 1007

Menyetujui, Kepala Pengabdian kepada Masyarakat, 11

M.Pd- 22820090fiO07

lt PRAKATA

Penelitian bidang arkeologi pada situs keagamaan merupakan hal baru bagi peneliti yang menarik untuk dilakukan. Peneliti melakukan analisis relief pañcatantra yang terpahat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Penelitian ini sendiri menjadi sarana proses pembelajaran bagi peneliti dalam menelaah dan mengkaji objek material pada kedua candi dengan menyelami metodologi yang sesuai. Berkat kekuatan karma baik dan berbagai macam kondisi pendukung yang saling mempengaruhi, akhirnya penelitian berjudul “Perbandingan Ornamen dan

Nilai-Nilai Karakter Cerita Pañcatantra pada Relief Candi Mendut dan Candi

Sojiwan” telah selesai dilaksanakan dan dibuat laporan hasilnya. Penelitian ini merupakan hasil kinerja dosen di bidang penelitian yang diusahakan dengan kesungguhan dan pembelajaran dalam rangka meningkatkan kompetensi dalam memenuhi tri perguruan tinggi. Penelitian ini menggunakan biaya dari

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran STABN Sriwijaya melalui Surat Keputusan

Ketua Nomor 025 Tahun 2018 tentang Penelitian Dosen Semester Genap.

Penelitian ini dapat terlaksana karena berbagai bantuan, kerja sama, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti berterima kasih kepada:

1. Bapak Sapardi, S.Ag., M.Hum., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha

Negeri Sriwijaya Tangerang Banten.

2. Bapak Warsito, S.H., S.Ag., M.H., selaku Ketua Program Studi Kepenyuluhan

Jurusan Dharmaduta STABN Sriwijaya.

iii

3. Komite Penilaian, yang telah menelaah dan memberi masukan berharga pada

penelitian ini, mulai dari seminar proposal hingga seminar hasil penelitian.

4. Pengelola Candi Mendut dan Candi Sojiwan yang memberikan kemudahan

dan kesempatan kepada peneliti untuk mengambil dokumen foto.

5. Bapak Juwanto, S.Pd., selaku asisten lapangan dalam pengambilan dokumen

foto, sekaligus yang telah bekerja keras untuk mengedit foto dokumen data

penelitian.

6. Bhante Santacitto yang telah memberikan informasi mengenai detail cerita

relief di Candi Mendut.

7. Bhante Sri Pannyavaro Mahathera yang telah menjadi proofreader terutama

pada bagian pembahasan untuk memberikan legitimasi, keakuratan, dan

ketepatan analisis, baik dari sisi pengetahuan arkeologi situs keagamaan

maupun pemaknaan mendalam terhadap objek.

8. Para dosen dan mahasiswa yang secara langsung maupun tidak langsung

menjadi partners sharing knowledge pada berbagai kesempatan dalam suasana

akademis yang terus terbangun.

Penelitian ini tentu saja jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran peneliti harapkan untuk perbaikan pada proses penelitian di masa mendatang.

Peneliti berharap, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, terutama yang memiliki perhatian besar terhadap situs keagamaan yang memiliki banyak makna mendalam sebagai sumber belajar pendidikan karakter.

Semoga semua makhluk, hidup berbahagia.

Tangerang, Juli 2018

Waluyo

iv

ABSTRAK

Waluyo. 2018. Perbandingan Ornamen dan Nilai-Nilai Karakter Cerita Pañcatantra pada Relief Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Penelitian Dosen. Tangerang: STABN Sriwijaya.

Penelitian ini didasarkan pada cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan yang mengandung nilai moral luhur dalam membentuk karakter seseorang, namun belum dimanfaatkan secara optimal, serta belum adanya penjabaran komprehensif persamaan dan perbedaannya pada kedua candi, baik pada ornamen dan analisis reliefnya maupun karakter yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan ornamen dan nilai- nilai karakter cerita pañcatantra yang terdapat di Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan metode penelitian arkeologi yang mendasarkan pada analisis ikonografi. Relief bertema pañcatantra dilakukan analisis ikonografi dari segi narasi, bentuk, morfologi, teknologi, dan kontekstual. Data bersumber dari Candi Mendut dan Candi Sojiwan yang terpahat banyak relief bertema pañcatantra yang mengandung nilai-nilai karakter dalam pedoman hidup bijaksana (the wise conduct of life). Keabsahan data didukung dengan peningkatan ketekunan, diskusi dengan sejawat dan ahli, triangulasi, di samping proses dependability, transferability, dan confirmability. Analisis data menggunakan analisis relief sebagai bagian dari analisis ikonografi yang diperdalam dengan analisis model Spradley yang terdiri dari analisis domain, taksonomi, komponensial, dan tema budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (a) relief cerita fabel bertema pañcatantra yang terpahat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan yaitu “ dan Penyu”, “Buaya dan Kera”, “Gajah dan Tikus Pengerat”, “Kepiting dan Bangau”, “Burung Berkepala Dua”, dan “Serigala dan Lembu”; sedangkan cerita yang terdapat pada Candi Mendut tetapi tidak terdapat pada Candi Sojiwan yaitu “Ular dan Luwak”, “Penyu dan Angsa”, “Seekor Kera”, “Brahmana, Ular, dan Kepiting”, “Rusa, Macan, dan Kera”, “Ular dan Manusia Terbang”, “Kera Pemarah”, “Macan, Kera, dan Kambing”, “Dua Rusa”, dan “Kucing dan Tiga Tikus”; (b) persamaan ornamen relief pañcatantra pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan mengambil bentuk monoscenic narratives, namun terdapat pula bentuk continuous narratives pada Candi Mendut; di mana sebagian besar berbentuk empat persegi panjang, di samping ada juga bentuk segitiga dan tak beraturan pada Candi Mendut; sedangkan pada analisis morfologi figur yang dipahatkan sebagian besar naturalis, kecuali pada Candi Sojiwan ditemukan tidak naturalis berupa garuda, hiasan kerang, dan ; ukuran relief pada Candi Mendut bervariasi sesuai dengan bidang yang ada, sedangkan pada Candi Sojiwan berukuran sama pada semua relief; di mana pada kedua candi memiliki ukuran figur tokoh sentral secara proporsional terletak pada tengah panil yang diapit oleh hiasan flora dan atau fauna; dari segi teknologi, kedua candi termasuk pada kategori haut relief (relief tinggi) dengan ciri terpahat pada batu keras, mendalam, dan lebih naturalis; analisis kontekstual kedua candi berbeda atas ditemukannya gana unik dan spesifik berupa gajah, singa, dan manusia menunggang singa di Candi Sojiwan; di samping persamaannya yaitu terdapat dan gana dengan

v karakter yang sedikit berbeda; (c) nilai-nilai karakter cerita pañcatantra sebagai niti-shastra yang dapat dipakai sebagai the wise conduct of life pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan yang bernilai positif yaitu tanggung jawab, strategi, pengorbanan, pertolongan, kebersamaan, suka cita, usaha keras, kerja bertahap, belas kasih, balas budi, kebijaksanaan, persahabatan, saling menolong, persaudaraan, kecerdikan, berterima kasih, pemahaman sebab akibat, kesetiaan, kejujuran, kesabaran, tepat waktu, perjuangan, kewaspadaan, empati, dan siap menghadapi tantangan; sedangkan nilai-nilai negatif yang muncul di antaranya permusuhan, tipu daya, balas dendam, lupa diri, kesombongan, keras kepala, serakah, rakus, rencana jahat, pembunuhan, tipu muslihat, kebodohan, kekalahan, suka mengejek, kemarahan, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin, bersama dalam kejahatan, kepura-puraan, keinginan lebih, iri hati, keinginan salah, dan menyia-nyiakan kesempatan.

Kata kunci: Candi Mendut, Candi Sojiwan, pañcatantra, ornamen, relief.

vi

ABSTRACT

Waluyo. 2018. Comparison of Ornament and Character Values of Pañcatantra Story on Relief of Mendut and Sojiwan Temple. Lecturer Research. Tangerang: STABN Sriwijaya.

This research is based on pañcatantra themed stories in Mendut Temple and Sojiwan Temple which contain noble moral values in shaping a person's character, but have not been used optimally, as well as the lack of a comprehensive elaboration of similarities and differences in both , both the ornament and its relief analysis and the character there is. This study aims to describe the similarities and differences in the ornaments and values of the characters of the pañcatantra story found in Mendut Temple and Sojiwan Temple. This study uses a qualitative paradigm with archaeological research methods based on iconographic analysis. Relief with the theme pañcatantra is carried out by iconographic analysis in terms of narrative, form, morphology, technology, and contextual. Data sourced from Mendut Temple and Sojiwan Temple are sculpted with many reliefs themed pañcatantra which contain character values in the wise conduct of life. The validity of the data is supported by increased perseverance, peer and expert discussions, triangulation, in addition to the dependability, transferability, and confirmability processes. Data analysis using relief analysis as part of the iconographic analysis which is deepened by the analysis of the Spradley model consisting of domain analysis, taxonomy, compound, and cultural themes. The results showed that: (a) the reliefs of pañcatantra-themed fables on Mendut Temple and Sojiwan Temple were "Garuda and Turtle", "Crocodiles and Monkey", "Elephants and Rodents", "Crab and Stork", "Two-Headed Birds", and" Wolves and Ox"; while the stories found in Mendut Temple but not in Sojiwan Temple are "Snake and Civet", "Turtle and Goose", "A Monkey", "Brahmin, Snake, and Crab", "Deer, Tiger, and Monkey", "Snakes and Flying Man "," Angry Monkey","Tigers, Monkey, and Goats","Two Deers", and "Cats and Three Rats"; (b) the equality of pañcatantra relief ornaments in Mendut Temple and Sojiwan Temple takes the form of monoscenic narratives, but there are also forms of continuous narratives in Mendut Temple; where most are rectangular, in addition there are also triangular and irregular shapes in Mendut Temple; whereas the morphological analysis of figures carved mostly naturalists, except in Sojiwan Temple found not naturalist in the form of eagle, ornamental shells, and kinnara; relief sizes at Mendut Temple vary according to the existing fields, while in Sojiwan Temple the size is the same in all reliefs; where the two temples have a proportional figure of the central figure located in the center of the panel flanked by ornate flora and/or fauna; in terms of technology, the two temples are included in the category of high relief with features carved on hard, deep, and more naturalistic stone; contextual analysis of the two temples is different from the discovery of unique and specific forms of elephants, lions, and humans riding lions in the Sojiwan Temple; in addition to the equation, there are makara and gana with slightly different characters; (c) the values of the pañcatantra story characters as niti-shastra which can be used as the wise conduct of life in Mendut Temple and Sojiwan Temple which have positive values, namely responsibility,

vii strategy, sacrifice, help, togetherness, joy, hard work, work gradually, compassion, reciprocity, wisdom, friendship, mutual help, brotherhood, ingenuity, gratitude, cause and effect understanding, loyalty, honesty, patience, on time, struggle, alertness, empathy, and ready to face challenges; whereas negative values that arise include hostility, deception, revenge, self-forgetfulness, pride, stubbornness, greed, ill-will plans, murder, deception, ignorance, defeat, mocking, anger, expecting something that is not maybe, together in crime, pretense, more desire, jealousy, wrong desires, and wasting opportunities.

Keywords: Mendut Temple, Sojiwan Temple, pañcatantra, ornament, relief.

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGESAHAN ...... ii PRAKATA ...... iii ABSTRAK ...... v ABSTRACT ...... vii DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR TABEL ...... xi DAFTAR GAMBAR ...... xii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 6 C. Fokus Penelitian ...... 7 D. Rumusan Masalah ...... 7 E. Tujuan Penelitian ...... 7 F. Manfaat Penelitian ...... 7

BAB II KONSEP TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PERTANYAAN PENELITIAN ...... 10 A. Konsep Teoretis ...... 10 1. Nilai-Nilai Karakter ...... 10 2. Cerita Pañcatantra ...... 16 3. Candi Mendut ...... 18 4. Candi Sojiwan ...... 20 5. Analisis Relief ...... 21 B. Penelitian yang Relevan ...... 23 C. Kerangka Berpikir ...... 25 D. Pertanyaan Penelitian ...... 29

BAB III METODE PENELITIAN ...... 30 A. Jenis Penelitian ...... 30 B. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 31 C. Subjek dan Objek Penelitian ...... 32 D. Jenis dan Sumber Data ...... 33 E. Teknik Pengumpulan Data ...... 34 F. Teknik Keabsahan Data ...... 33 G. Teknik Analisis Data ...... 39

ix

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 41 A. Hasil Penelitian ...... 41 1. Deskripsi Setting ...... 41 2. Deskripsi Fokus ...... 45 3. Penyajian Data ...... 50 B. Pembahasan ...... 69 1. Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 69 2. Eksistensi Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 79 3. Analisis Relief Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 89 4. Nilai-Nilai Karakter Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...... 106 A. Kesimpulan ...... 106 B. Saran ...... 109

DAFTAR ACUAN ...... 110 LAMPIRAN ...... 112

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nilai-Nilai Karakter Relief Bertema Pañcatantra di Candi Mendu dan Candi Sojiwan ...... 51 Tabel 2 Eksistensi dan Sinopsis Cerita Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 53 Tabel 3 Perbandingan Analisis Relief Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 66 Tabel 4 Nilai Karakter Relief Cerita Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan ...... 68

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Berpikir Penelitian ...... 28 Gambar 2 Relief Dinding Pipi Kiri Candi Mendut ...... 80 Gambar 3 Relief Dinding Pipi Kanan Candi Mendut ...... 82 Gambar 4 Denah Relief di Candi Mendut ...... 83 Gambar 5 Candi Sojiwan ...... 86 Gambar 6 Bagan Keterkaitan antara Nilai-Nilai Karakter Cerita Bertema Pañcatantra dengan Pāramitā ...... 99

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Instrumen Analisis Relief ...... 112 Lampiran 2 Dokumen Foto ...... 115 Lampiran 3 Catatan Lapangan ...... 136

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hasil puncak penyelenggaraan proses pendidikan adalah adanya perubahan perilaku peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Perubahan pada ranah kognitif menjadi cerminan potensi intelektual yang mengarah pada pengembangan kemampuan rasional peserta didik. Kemampuan afektif peserta didik tecemin pada sikap dan nilai yang dianut dan menjadi karakter yang tampak pada kesehariannya, baik dalam menunjukkan sikap diri maupun saat berinteraksi dengan orang lain. Psikomotorik mengacu pada perubahan peserta didik setelah menerima pengalaman belajar tertentu berupa keterampilan atau kemampuan bertindak. Gabungan ketiga kemampuan, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik diharapkan dimiliki oleh peserta didik secara proporsional dan sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Kemampuan afektif memiliki perhatian ekstra dalam dunia pendidikan maupun kemasyarakatan karena membawa dampak pada karakter dan kepribadian peserta didik. Hasil kemampuan afektif tidak dapat dilihat langsung setelah pembelajaran, sehingga memerlukan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik. Hal ini berdampak pada proses penumbuhan dan pembiasaan yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan afektif yang baik.

Kemampuan afektif sebagai hasil belajar peserta didik memerlukan waktu yang lama untuk perubahan yang terjadi, apalagi bila melekat pada karakter yang

1 menguat. Dengan kata lain, dibutuhkan waktu lama bahkan seumur hidup untuk mengembangkan kemampuan afektif yang mengarah pada internalisasi nilai dan karakter. Namun demikian, kemampuan afektif dapat dicapai pada periode waktu tertentu yang relatif pendek dengan indikator yang ketat untuk menyatakan tingkat pencapaian kemampuan afektif peserta didik. Beberapa indikator pencapaian kemampuan afektif peserta didik dapat dilihat dari karakter yang dikembangkan oleh sekolah, di antaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Tantangan pendidikan karakter semakin hari semakin mengkhawatirkan dengan perilaku masyarakat yang jauh dari karakter luhur. Perilaku intoleransi, persekusi, tawuran antarpelajar, korupsi, dan keacuhan sosial terus menggejala dan semakin marak terjadi di tengah-tengah masyarakat luas. Lebih parahnya lagi, hal tersebut dilakukan oleh orang dewasa yang cenderung mudah ditiru oleh anak- anak. Persebaran berita-berita negatif dan buruknya karakter di tempat lain segera diketahui oleh orang-orang di tempat lainnya melalui media sosial. Peran media sosial menjadi sangat strategis dalam menyebarkan berita yang belum diketahui kebenarannya. Padahal, perilaku buruk yang tersebar di media sosial mudah sekali dan memicu orang lain dengan kondisi batin yang tidak seimbang untuk meniru atau bahkan lebih ekstrem daripada yang dilihatnya.

Penumbuhan dan pembiasaan dalam pencapaian karakter yang dikenali melalui kemampuan afektif peserta didik memerlukan sistem dan pengelolaan pembelajaran secara profesional oleh guru. Guru menjadi faktor penting dalam pemilihan metode, media, materi, maupun indikator pencapaian keberhasilan

2 pembelajaran serta sumber belajar yang sesuai. Pemilihan sumber belajar yang dilakukan oleh guru harus mempertimbangkan kepraktisan, kesederhanaan, fleksibilitas, relevansi dengan tujuan pembelajaran, membantu efisiensi pencapaian tujuan, bernilai positif, serta sesuai dengan interaksi dan strategi pembelajaran yang dirancang. Sumber belajar berbasis kearifan lokal dapat digunakan oleh guru dalam memberikan pengalaman belajar dengan nuansa kontekstual. Pemanfaatan sumber belajar lokal memungkinkan pencapaian tujuan pembelajaran lebih optimal karena konteks yang dekat dengan diri pembelajar.

Kebudayaan dan kearifan lokal menjadi dasar dalam pemilihan sumber belajar yang powerful dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Unsur-unsur budaya daerah dapat dicari makna filosofis maupun metodis untuk membangun cara dan metode pembelajaran yang kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat memotivasi peserta didik untuk memahami materi pembelajaran dengan mengaitkan pada sumber belajar atau pengalaman yang ditemui dalam dunia yang dekat dengan kesehariannya. Namun demikian, sumber belajar yang berbasis kearifan lokal masih sedikit dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan untuk dijadikan sebagai sarana pencapaian tujuan pembelajaran. Relief pañcatantra yang terpahat pada dinding candi dapat dipandang sebagai kearifan lokal yang mengandung cerita bermakna mendalam untuk penguatan pendidikan karakter.

Cerita pañcatantra yang terpahat di Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki pesan moral yang dapat digunakan sebagai sumber belajar dalam pendidikan karakter. Cerita pañcatantra mengandung nilai-nilai kehidupan yang masih relevan dengan pendidikan karakter di masa kini. Relief cerita pañcatantra dipahatkan pada dinding candi sebagai hasil kebudayaan masyarakat di masa lalu

3 untuk menyampaikan pesan moral dengan simbol yang populer dan menarik.

Nilai-nilai kehidupan yang terdapat pada relief cerita pañcatantra sebagai kemampuan afektif yang mengarah pada karakter unggul mengalami proses pewarisan budaya dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya ini melalui proses enkulturasi, yaitu mekanisme ketika individu memilih nilai-nilai yang dianggap baik dan pantas untuk hidup bermasyarakat sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bertindak. Cerita pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan relatif sama dalam pengambilan bentuk yang banyak menampilkan cerita hewan, namun juga ada beberapa perbedaan cerita yang dipahatkan. Perbedaan tampak pada jenis relief, bentuk panil relief, dan teknik analisis. Unsur nilai-nilai pesan moral yang disampaikan, baik dari persamaan maupun perbedaan cerita pañcatantra dari kedua candi tersebut sebagai sumber belajar pendidikan karakter perlu dideskripsikan secara komprehensif.

Pendirian Candi Mendut dan Candi Sojiwan berbeda tahun, namun masih pada masa dinasti yang sama, sehingga memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup signifikan untuk dibandingkan. Candi Sojiwan memiliki pengaruh Hindu yang cukup kuat karena letak dan posisinya dekat dengan Candi Prambanan, bahkan dipandang sebagai salah satu sebaran Candi Prambanan di samping candi- candi lain di sekitarnya. Di sisi lain, Candi Mendut memiliki pengaruh Buddhis kuat dengan adanya bukti artefak di dalam candi terdapat tiga buah arca yaitu

Buddha Sakyamuni, Avalokiteśvara, dan Bodhisattva Vajrapāni.

Perbandingan relief pañcatantra yang terpahat pada Candi Mendut dan Candi

Sojiwan belum dilakukan kajian mendalam dilihat dari analisis relief yang terpahat. Analisis kontekstual cerita relief yang terpahat memuat beberapa

4 persamaan dalam perbedaan yang dapat dijadikan dasar dalam menelaah lebih lanjut.

Cerita pañcatantra yang berasal dari Kuno menyebar ke seluruh dunia dengan mudah dan terjaga hingga kini dengan membawa pesan moral melalui media yang efektif dan efisien, di samping memiliki cita rasa bernilai artistik tinggi. Penerjemahan cerita pañcatantra ke dalam media yang sesuai dengan konteks budaya dan masyarakat melalui berbagai media membedakan pemaknaan masyarakatnya sesuai dengan latar belakang dan karakteristik budaya setempat.

Namun demikian, persamaan penerjemahan makna juga terdapat pada penggunaan media dan penokohan relief yang dipahatkan. Hal ini juga tersirat pada relief pañcatantra yang terdapat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan, namun belum ada analisis yang cukup komprehensif tentang persamaan dan perbedaan tersebut, baik dari segi ornamen, cerita, maupun pemaknaan pesan cerita yang terkandung di dalamnya. Perbandingan mengenai persamaan dan perbedaan pada relief kedua candi diperlukan untuk mengetahui karakteristik masing-masing agar dapat digunakan pemanfaatannya sebagai sumber belajar kontekstual sesuai dengan kearifan lokal.

Hasil deskripsi penggambaran perbandingan cerita pañcatantra yang terdapat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan diharapkan memberikan manfaat besar dalam mendukung program Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter yang dicanangkan oleh Pemerintah. Cerita pañcatantra yang terpahat pada relief Candi

Mendut dan Candi Sojiwan sebagai hasil kebudayaan dan kearifan lokal memiliki potensi besar untuk dijadikan sumber belajar dalam pendidikan karakter. Sumber belajar dengan memanfaatkan kearifan lokal memiliki signifikansi besar sebagai

5 kekuatan yang mengubah dan membekali peserta didik dalam menghadapi degradasi moral, etika, dan budi pekerti. Di samping itu, dari segi arkeologi pada situs keagamaan, manfaat kajian ini berdampak pada pemahaman analisis relief yang cukup komprehensif tentang cerita pañcatantra yang banyak dijumpai di beberapa candi di , baik dari sudut jenis, bentuk, morfologi, teknologi, maupun kontekstual.

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Pencapaian hasil pembelajaran afektif memerlukan waktu lama bahkan

seumur hidup, namun masih sedikit pihak yang terlibat dalam

mewujudkannya.

2. Tantangan penyelenggaraan pendidikan karakter semakin mengkhawatirkan

karena peran media sosial yang dinamis dalam mempengaruhi perilaku orang

tanpa harus bertemu muka.

3. Pemanfaatan sumber belajar pendidikan karakter berbasis kearifan lokal masih

sangat sedikit dimanfaatkan oleh pendidik.

4. Cerita pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan mengandung nilai

moral luhur dalam membentuk karakter seseorang, namun belum

dimanfaatkan secara optimal.

5. Secara sekilas, relief cerita pañcatantra Candi Mendut dan Candi Sojiwan

memiliki persamaan dan perbedaan, namun belum ada penjabaran secara

komprehensif, baik dari sisi ornamen maupun ceritanya.

6

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada persamaan dan perbedaan cerita pañcatantra yang terdapat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan, baik dari segi ornamen maupun nilai-nilai karakter melalui analisis relief.

D. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah “apakah persamaan dan perbedaan ornamen dan nilai-nilai karakter cerita pañcatantra yang terdapat di Candi

Mendut dan Candi Sojiwan?”

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ornamen dan nilai-nilai karakter cerita pañcatantra yang terdapat di Candi

Mendut dan Candi Sojiwan.

F. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

Manfaat umum penelitian ini adalah memberikan pemahaman sekaligus penguatan pada potensi kearifan lokal sebagai produk budaya bangsa di masa lalu yang relevan dengan kondisi saat ini dalam mendukung Pemerintah pada Gerakan

Penguatan Pendidikan Karakter dalam rangka menyiapkan Generasi Emas 2045.

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini berguna bagi calon pendidik atau pendidik, baik formal maupun informal sebagai pengetahuan bagaimana hubungan antara

7 kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa yang multikultural dengan perkembangan pendidikan sebagai suatu lembaga yang menyediakan nilai-nilai budaya dan nilai- nilai sosial untuk bahan atau resources yang memperkaya proses pembelajaran.

Di samping itu, penelitian ini berguna bagi pengambil kebijakan dalam penggalian nilai-nilai pendidikan yang bersumber dari kebudayaan sendiri sebagai warisan luhur bangsa. Pada level penguatan pendidikan karakter, penelitian ini memberikan manfaat pada kajian mendalam sumber-sumber pembelajaran moral yang berbasis kearifan lokal sebagai sarana pengajaran yang mudah, murah, dan berdaya guna dalam mengubah suatu masyarakat. Melalui cerita bertema pañcatantra yang telah disesuaikan dengan kondisi dan situasi budaya masyarakat yang mengadopsinya membawa kekuatan filosofis dalam merekonstruksi moral masyarakat yang dinamis.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini berguna bagi guru dalam pemanfaatan sumber belajar berbasis kearifan lokal dalam penguatan pendidikan karakter. Guru dapat menggunakan cerita pañcatantra yang terkandung pada relief Candi Mendut dan

Candi Sojiwan sebagai bahan ajar untuk mendidik anak mengenai karakter unggul yang perlu dibangun dan diteladani. Penelitian ini secara praktis juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya untuk dijadikan dasar dalam pengembangan media pembelajaran yang berbasis kearifan lokal.

Pada tingkat yang lebih luas, manfaat praktis dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai media seni untuk pengajaran moral dan nilai-nilai kehidupan dengan memanfaatkan cerita bertema pañcatantra yang terpahat pada Candi

Mendut dan Candi Sojiwan. Relief indah, artistik, sekaligus bernilai moral tinggi

8 dapat dijadikan sumber ide untuk dituangkan pada seni pertunjukan, seni , seni kriya, mural, buku mewarnai, maupun media seni lain yang memungkinkan.

9

BAB II

KONSEP TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,

DAN PERTANYAAN PENELITIAN

A. Konsep Teoretis

Penelitian ini menggunakan tinjauan pustaka atau teori sebagai dasar dan penguat dalam mendukung objek penelitian. Teori yang hendak dijabarkan dalam penelitian ini, yaitu (a) nilai-nilai karakter, (b) cerita pañcatantra, (c) Candi

Mendut, (d) Candi Sojiwan, dan (e) analisis relief. Nilai-nilai karakter disusun berdasarkan konsep dasar, jenis atau ragamnya, dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara umum maupun Buddhis. Cerita pañcatantra dijelaskan secara mendasar guna mengetahui asal dan makna yang terkandung di dalamnya. Candi Mendut dan Candi Sojiwan dijelaskan secara umum hingga penggambaran mengenai keberadaan relief pañcatantra yang dipahatkan di kedua candi tersebut. Analisis relief dijelaskan untuk memperoleh dasar penguatan yang digunakan dalam menginterpretasi relief pañcatantra yang dipahatkan pada Candi

Mendut dan Candi Sojiwan.

1. Nilai-Nilai Karakter

Karakter merupakan sifat yang melekat pada diri seseorang setelah memperoleh pengalaman belajar. Proses belajar yang mengedepankan karakter mendaparkan prioritas penyelenggaraan untuk mewujudkannya. Pendidikan karakter menjadi penekanan bagi United Nations Educational, Scientific, and

Cultural Organization (UNESCO) agar disertakan dalam sistem pendidikan di seluruh dunia dengan menekankan pada empat pilar yaitu learning to know,

10 learning to do, learning to be, dan learning to live together. Pendidikan karakter yang dicanangkan oleh UNESCO menjadi dasar bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan proses pendidikan di seluruh dunia. Konstruksi pengetahuan yang dibentuk oleh seseorang diperoleh dengan berbagai cara, baik individu maupun bersama dengan berbagai media dan cara pembelajaran sesuai dengan jenjang dan jenisnya. Pengetahuan yang telah diperoleh dipraktikkan dalam kehidupan nyata dalam rangka penyelarasan teori yang dipelajari dengan praksis di lapangan. Jika pengetahuan dipraktikkan terus-menerus secara konsisten maka akan menjadi karakter dan kepribadian yang mengakar kuat pada diri seseorang.

Hasil belajar yang menjadi karakter kuat menjadi bermakna jika digunakan dalam kehidupan bermasyarakat dalam suatu komunitas. Keterkaitan antara keempat komponen ini menjadi dasar bagi UNESCO untuk mencanangkannya sebagai gerakan pendidikan karakter untuk dunia.

Menurut Helen G. Douglas (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 41) dinyatakan bahwa character isn’t inherited, one builds its daily by the way one thinks and acts, thought by thought, action by action. Karakter dibangun secara berkesinambungan secara periodik hari ke hari, melalui pemikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, dan tindakan demi tindakan. Pendidikan karakter dirancang untuk membiasakan penanaman dan penumbuhan karakter bernilai baik agar terinternalisasi dalam pribadi setiap orang. Pengembangan karakter menjadi tanggung jawab semua pihak yang ditempuh dengan berbagai cara, media, strategi, jenjang pendidikan, bentuk pendidikan, maupun melalui kelompok- kelompok masyarakat tertentu. Karakter setiap individu dipandang sebagai

11 kepribadian yang menjadi sifat mulai yang terwujud dari pikiran, ucapan, dan perbuatan seseorang.

Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua pihak, mulai dari sekolah, orangtua, maupun masyarakat (Lickona, 2012: 554-588). Sekolah memiliki peran dalam mengajarkan nilai-nilai karakter melalui seluruh proses pembelajaran yang diselenggarakan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diprogramkan. Nilai-nilai karakter diintegrasikan dalam proses membentuk pengetahuan, sehingga tidak diperlukan waktu khusus untuk menyelenggarakan pendidikan karakter. Hal ini disebabkan oleh konsep dasar pengembangan karakter bahwa pembentukannya melalui seluruh proses keseharian dalam dinamika kehidupan sosial sekolah. Orangtua melalui pendidikan keluarga memiliki peran besar dalam membentuk karakter setiap pribadi anggotanya.

Solidaritas dan kerja sama antaranggota keluarga menjadi kunci keberhasilan pembentukan karakter melalui interaksi keseharian. Masyarakat sebagai realitas yang beragam memiliki potensi sangat besar dalam mengukur keberhasilan pendidikan karakter. Interaksi sosial di masyarakat memiliki tantangan besar dalam mewujudkan keharmonisan warga sebagai indikasi keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan karakter. Masyarakat yang berdaya, mandiri, stabil, dan toleran dapat menggerakkan warga masyarakat lainnya untuk saling memberi pengaruh positif dalam membentuk komunitas yang berkarakter. Sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membudayakan dan membiasakan pendidikan karakter mencerminkan keharmonisan dalam membangun negara beradab. Negara yang beradab memiliki masyarakat yang berkarakter berdasarkan nilai-nilai yang menjadi ciri dan identitas bangsa tersebut.

12

Pendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi penalaran berlandaskan moral (moral reasoning), perasaan berlandaskan moral (moral feeling), dan perilaku berasaskan moral (moral behavior) (Lickona dalam

Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 50). Lickona menekankan pada pembentukan karakter berlandaskan pada alasan moral. Alasan moral didasarkan pada kepentingan bersama, di mana setiap tindakan individu dilakukan dengan pertimbangan atas rasa kepedulian dan kepantasan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini berarti bahwa sebelum seseorang memutuskan bertindak atas sesuatu, maka ia mempertimbangkan apakah tindakannya tersebut bernilai moral, baik atau buruk, atau memiliki dampak moral pada masyarakat lingkungan sekitarnya atau tidak. Alasan moral menjadi prioritas utama seseorang bertindak sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bernilai moral. Penalaran yang berlandaskan moral diteruskan dengan perasaan yang bertumpu pada alasan moral. Dengan kata lain, setiap tindakan yang mengandung nilai moral dilakukan dengan segenap perasaan yang tecermin dari setiap gerakan dan kesadaran dalam melakukannya. Tindakan yang dilakukan dengan segenap perasaan memiliki efek menyeluruh yang menggugah, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa moral harus dimiliki oleh seseorang untuk dijadikan pedoman dalam bertindak dengan penuh perasaan. Moralitas yang memiliki nilai positif harus dimiliki oleh seseorang untuk diterapkan terutama jika berhubungan dengan komunitas masyarakat. Masyarakat biasanya memiliki standar moralitas yang disepakati bersama. Hal ini membawa konsekuensi pemahaman di antara berbagai komunitas dalam menghargai perbedaan moralitas.

Tujuan dan nilai positif moralitas menjadi pertimbangan dalam menghargai

13 keragaman komunitas di masyarakat. Keberagaman di masyarakat harus disikapi sebagai kekayaan budaya yang dapat digunakan untuk media konkret sarana pembelajaran dalam mewujudkan efektivitas dan standar keberhasilan pendidikan karakter.

Parwez (Muhammad Yaumi, 2014: 7) menurunkan beberapa definisi pendidikan karakter, yaitu (a) moralitas adalah karakter, (b) karakter adalah manifestasi kebenaran sebagai penyesuaian kemunculan pada realitas, (c) karakter adalah mengadopsi kebaikan sebagai gerakan menuju suatu tempat kediaman, (d) karakter adalah memiliki kekuatan terhadap diri sendiri, (e) karakter adalah sikap manusia terhadap lingkungannya yang diekspresikan dalam tindakan. Moralitas memiliki nilai positif dalam berinteraksi dengan orang lain yang bertujuan demi terjalinnya rasa saling menghormati. Interaksi sosial memerlukan sikap dan karakter yang positif sebagai unsur moralitas karena berhubungan dengan orang lain, sehingga yang muncul adalah kebaikan-kebaikan yang berguna dalam hidup bermasyarakat. Walaupun karakter memiliki kekuatan terhadap diri sendiri, namun ukuran keberhasilannya dapat dilihat pada konteks sosialnya. Dengan demikian, memiliki moralitas dalam proses interaksi sosial menjadi cerminan kualitas karakter manusia yang memiliki cita-cita bersama dalam menciptakan masyarakat yang toleran.

Menurut pandangan Buddhis, nilai-nilai karakter sejalan dengan kebajikan- kebajikan mulia yang diperjuangkan seseorang dalam mencapai kesempurnaan sebagai pribadi luhur. Kebajikan mulia dilakukan dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat sebagai upaya realisasi pribadi berkarakter. Kebajikan- kebajikan mulia yang harus dilaksanakan sebagai karakter luhur yaitu dāna

14

(kemurahan hati), sīla (kebajikan, moralitas), (melepaskan keduniawian), paññā (kebijaksanaan), viriya (tekun, semangat, usaha), khanti

(kesabaran, toleransi, penerimaan, daya tahan), (kebenaran, kejujuran), adhiṭṭhāna (tekad, resolusi), mettā (cinta kasih), dan upekkhā

(ketenangseimbangan) (Mingun, 2009: 76). Nilai-nilai karakter sebagai kebajikan mulia tersebut diperjuangkan seseorang sesuai dengan potensi dan kondisi yang mendukung. Kemurahan hati atau kedermawanan merupakan sifat baik yang pasti ada dalam diri semua orang sehingga mudah dipraktikkan. Moralitas sebagai nilai kebajikan perlu dikembangkan melalui cara berpikir, berucap, dan berbuat dalam rangka mengendalikan diri sendiri yang berdampak untuk komunitas sosialnya.

Melepaskan keduniawian bermakna sebagai perenungan pada jalan spiritualitas.

Dengan kata lain, tidak menjadikan urusan duniawi yang sifatnya materi menjadi tujuan hidup. Kebijaksanaan diperlukan untuk membedakan nilai positif maupun negatif yang muncul dalam diri sendiri dan orang lain agar mampu menentukan tindakan apa yang sesuai untuk diterapkan. Ketekunan, semangat, dan usaha keras perlu dilakukan oleh seseorang untuk mencapai cita-cita baik. Kesabaran dan daya tahan sangat dibutuhkan terutama jika sedang menghadapi kesulitan dan permasalahan kehidupan. Kejujuran dan kebenaran menjadi kunci dalam menjalin kerja sama dan pergaulan dalam hidup bermasyarakat. Tekad yang kuat dan kokoh dilakukan secara konsisten untuk meneguhkan cita-cita luhur dan komitmen dalam mengusahakan kebajikan-kebajikan. Cinta kasih merupakan sifat dasar manusia sebagai bentuk kepedulian pada eksistensi makhluk lain. Seseorang yang memiliki cinta kasih tidak akan melukai, memusuhi, membenci, atau

15 melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Ketenangseimbangan merupakan kondisi batin yang tidak goyah terhadap segala bentuk permasalahan kehidupan.

2. Cerita Pañcatantra

Cerita pañcatantra awalnya ditulis dalam Bahasa Sanskerta yang berasal dari India Kuno. Munculnya cerita-cerita dalam pañcatantra disebabkan karena ada seorang raja yang memiliki tiga anak yang bodoh, sehingga guru pengajar yang diberi tugas mendidik anak-anaknya menggunakan cara mengajar dengan cerita-cerita untuk memberi pelajaran tentang kehidupan. Cerita pañcatantra sebagian besar memakai sosok binatang untuk menggambarkan tokoh dan karakter cerita dengan alasan untuk memudahkan penjelasan yang disukai oleh semua orang, khususnya anak-anak. Pañcatantra terdiri dari dua kata, yaitu pañca yang berarti lima dan yang bermakna ajaran untuk berperilaku yang terdiri dari lima hal yaitu percaya diri atau keteguhan pikiran, kemakmuran, kesungguhan berusaha, persahabatan, dan pengetahuan (Shivkumar, 2015: 3).

Tema-tema cerita dalam pañcatantra mencerminkan karakter dan sikap afektif yang berguna bagi peserta didik, baik untuk sukses belajar maupun bekal dalam menjalani kehidupan di masa mendatang.

Teks awal pañcatantra ditulis oleh cendekiawan Hindu bernama Vishnu

Sharma sekitar tahun 200 Sebelum Masehi yang sekarang telah berkembang ke

Persia, Arab, Yunani, bahkan Eropa (Pai, 1981: i). Pañcatantra merupakan nitishastra yang berfungsi sebagai pedoman wise conduct of life yang mengajarkan manusia untuk memahami orang lain, memilih teman yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya, menyelesaikan permasalahan dengan arif

16 dan bijaksana, hidup dengan damai dan harmoni dalam kehidupan yang penuh kemunafikan, penipuan, dan jebakan.

Menurut Ryder (1925: 8-11) pañcatantra terdiri dari lima buku dengan judul masing-masing mengenai tema dari cerita-cerita yang terkandung di dalamnya, yaitu the loss of friends, the winning of friends, crows and owls, loss of gains, dan ill-considered action. Setiap buku bukanlah merupakan kelanjutan dari buku lainnya dan bukan buku yang berisi cerita bersambung. Dengan kata lain, setiap buku saling independen dengan memuat cerita-cerita yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Tema persahabatan dalam kehidupan merupakan nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki peran besar dalam mengubah pribadi seseorang. Di samping itu, tema-tema lain seperti kejujuran, keserakahan, tipu muslihat, kesetiaan, usaha keras, persaudaraan, dan lain-lain mewarnai cerita-cerita pañcatantra. Dengan kata lain, konteks sosial selalu menjadi media pelatihan diri dalam rangka penyempurnaan nilai-nilai kebajikan yang mengarah pada terbentuknya karakter luhur. Pañcatantra mengambil cerita binatang yang memiliki karakter relatif tetap untuk mengajarkan nilai-nilai yang disematkan pada diri binatang kepada manusia.

Pañcatantra di Indonesia dikenal dengan cerita Tantri, terutama di Jawa sebagai penghormatan kepada gadis bernama Dewi Tantri dan di Bali dari gadis bernama Ni Diah Tantri; di mana gadis tersebut bertugas menceritakan satu kisah kepada seorang raja setiap malam sepanjang periode tertentu hingga raja menjadi terpesona atas kisah-kisah yang disampaikan (Made Taro, 2015: vii). Seiring berjalannya waktu, kisah Tantri merujuk pada pesan-pesan moral yang hendak disampaikan untuk memberi pelajaran dalam memaknai kehidupan. Cerita-cerita

17 yang dikisahkan menggunakan figur binatang dengan sifat-sifat manusia sebagai cara mudah dan menyenangkan agar pesan moralnya dapat diterima tanpa membuat tersinggung pendengarnya.

3. Candi Mendut

Candi Mendut dalam Prasasti Karangtengah dikenal dengan nama venuvanamandira yang berarti sebuah candi yang berada di tengah-tengah hutan bambu (Soeharsono, 1969: 26). Candi Mendut dibangun bersamaan dengan Candi

Borobudur sekitar pertengahan abad kedelapan. Candi Mendut dibangun sebagai wujud persembahan spiritual Raja Indra dari Wangsa Syailendra kepada Buddha

Sakyamuni yang telah membabarkan ajaran (Dharma) di Taman Rusa Isipatana.

Hal ini ditandai dengan dipahatkannya relief cakra yang diapit rusa sebelah kiri dan kanan di bagian bawah altar utama.

Candi Mendut memiliki ruangan dengan altar besar, di mana bagian tengah simetris diletakkan arca Buddha Sakyamuni, di apit oleh sebelah kiri Bodhisattva

Avalokiteśvara dan sebelah kanan Bodhisattva Vajrapāni. Menurut Wilsen (Long,

2009: xxvi) colossal image triad setara dengan Trimûrti Hindu, yaitu Brahmā,

Visnu, dan Siva perwujudan Buddha, Dharma, dan . Selain itu, pada dinding bagian dalam terdapat relung-relung yang kemungkinan ditempatkan arca bodhisattva selain Avalokitesvara dan Vajrapani. Saat ini, keberadaan arca para bodhisattva tersebut sudah tidak diketahui dimungkinkan karena dicuri. Buddha

Sakyamuni yang terdapat di Candi Mendut memiliki ukuran besar dengan posisi duduk menjadi ciri khas dan keunikan yang tidak dimiliki oleh candi Buddhis lainnya.

18

Memasuki Candi Mendut melalui empat belas anak tangga yang cukup curam, di mana pada kedua sisi terdapat makara dengan kepala singa dan gana yang menyangganya. Jika anak tangga selesai dilalui, maka terdapat selasar yang biasa digunakan untuk pradaksina. Sebelum memasuki bilik candi terdapat koridor yang dinding kanan kirinya memuat relief ukuran besar, masing-masing terpahat kisah Dewi Hariti dan Yakkha Alavaka.

Relief cerita yang dipahatkan di Candi Mendut berasal dari Kitab Jataka,

Panchatantra, dan Tantri (Kaelan, 1959: 15). Relief pañcatantra pada Candi

Mendut terdapat pada dinding pipi sebelah kanan dan kiri, serta pada bagian bawah pada selasar dinding badan candi. Pada dinding pipi kiri terdapat kisah penyu dan angsa; seorang brahmana; luwak dan ular; brahmana, kepiting, dan burung gagak; sepasang pria dan wanita; kera yang serakah; perumah tangga yang menghormat pada pertapa; pertapa yang terlibat pembicaraan dengan kera, macan, dan rusa jantan; serta kisah penyu dan garuda. Pada dinding pipi kanan terdapat kisah kepala suku dan dua burung beo; , bangsawan, dua pengawal, dan gajah; permusuhan luwak dan ular; bhikkhu dan warrior; dua wanita dan satu pria; ular dan manusia terbang; serta brahmana dan perumah tangga.

Cerita pañcatantra di Candi Mendut juga terdapat pada selasar pada dinding badan candi bagian bawah, yaitu burung pelatuk yang mentertawakan kera hingga marah; gajah, tikus, dan hewan pengerat; serigala yang memakai tanduk dan berkalung seperti singa; serigala dan kerbau; kera, macan, dan kambing; ular dan luwak; dua rusa; tikus dan kucing; kepiting yang memegang leher bangau; kera dan buaya; burung merak; serta burung berkepala dua.

19

4. Candi Sojiwan

Candi Sojiwan terletak di Desan Kebondalem Kidul, Kecamatan

Prambanan, Kabupaten Klaten, didirikan oleh Raja Balitung dari Wangsa

Syailendra sekitar abad kesembilan sebagai persembahan kepada neneknya yang sangat dihormati. Menurut Blom (1935) dalam Lailly Prihatiningtyas (2017: 120) nama Sojiwan berasal dari frasa Sanskerta reksajivan, yang berarti pertahanan hidup. Namun ada juga teori yang mengatakan bahwa nama Sojiwan diambil dari

Sajiwo, yaitu orang yang telah lama menetap di sekitar candi setelah Perang Jawa pada akhir tahun 1820an.

Sojiwan sebagai candi Buddhis memiliki figur penjaga besar yaitu dwarapala, sama dengan candi Buddhis lainnya di sekitar Candi Prambanan, yaitu

Sewu dan . Candi Sojiwan memiliki bilik satu ruangan yang di dalamnya terdapat altar dengan dua arca yaitu Manjusri dan Avalokiteśvara Padmapani. Hal ini menjadi keunikan candi ini mengingat biasanya Manjusri selalu dipasangkan dengan . Hal unik lainnya pada Candi Sojiwan adalah adanya gana berupa gajah berjongkok, diapit dua figur orang menunggang singa.

Dekorasi utama yang menghiasai Candi Sojiwan terdiri dari relief yang menggambarkan cerita binatang tanpa implikasi Buddhis yang jelas. Hal ini dikarenakan cerita yang dipahatkan berasal dari kisah-kisah masyarakat pada zaman dahulu, walaupun ada juga beberapa yang terdapat dalam kitab suci. Cerita yang berkembang di masyarakat ini dikenal dengan pañcatantra. Cerita pañcatantra di Candi Sojiwan sebanyak sembilan belas panil: enam belas panil masih jelas terlihat, dua panil rusak, dan satu panil tidak jelas teridentifikasi.

Beberapa cerita yang dipahatkan mirip sekali dengan yang terdapat di Candi

20

Mendut, yaitu kisah tentang penyu yang dibawa oleh dua angsa, kera dan buaya, burung berkepala dua, serta singa, sapi, dan serigala. Kisah lainnya yaitu garuda dan penyu, seekor gajah yang dikalahkan binatang kecil, ular dan luwak, dan kinnara (Lailly Prihatiningtyas, 2017: 122). Candi Sojiwan merupakan candi

Buddhis yang banyak mendapat pengaruh Hindu cukup kuat karena keberadaannya dekat dengan situs besar agama Hindu, yaitu Candi Prambanan.

5. Analisis Relief

Relief dipandang sebagai narasi visual yang mengandung kisah dan makna mendalam bagi orang yang melihatnya. Di samping memperhatikan nilai keindahan, relief dipahatkan untuk membawa pesan moral agar semua orang mengingat maupun mengambil makna dari cerita yang disampaikan. Hal ini mendukung pelestarian suatu ajaran moral agar terjaga untuk kemudian menjadi pedoman dan panduan dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari. Pemahaman mengenai cerita yang terkandung pada relief didasarkan pada sumber lain berupa teks maupun konteks yang ada. Analisis terhadap relief diperlukan untuk mengetahui segala hal yang mencerminkan karakteristik dari relief tersebut agar diketahui ciri khasnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Analisis relief merupakan salah satu bagian dari analisis ikonografi pada metode penelitian arkeologi, selain analisis ikonografi klasik dan analisis arca megalitik. Relief merupakan suatu bentuk dari hiasan yang terdapat dalam karya arsitektur berupa bangunan candi, petirtaan, gua-gua, punden berundak, pintu gerbang, dan lainnya (Dewan Redaksi Pusat Penelitian dan Pengembangan

Arkeologi Nasional, 2008: 108). Relief memiliki nilai estetika, simbolis religius,

21 dan menentukan identitas keagamaan suatu karya arsitektur. Analisis relief pada metode penelitian arkeologi terdiri dari jenis relief, bentuk panil relief, teknik analisis relief.

Pemahatan relief yang mengandung cerita tertentu mengikuti kisah yang dipahami oleh pembuatnya. Relief bercorak Buddhis mengikuti kisah kejadian dalam riwayat hidup tokoh-tokoh atau ajaran yang mencerminkan pemahaman pembuatnya. Cerita yang dipahatkan dalam bentuk relief cenderung bersifat naratif yang menjelaskan makna kisah yang hendak disampaikan. Narasi yang dipahatkan dalam bentuk relief meliputi: monoscenic narratives, continuous narratives, sequential narratives, synoptic narratives, dan conflated narratives

(Dehejia, 1997: 10-32). Monoscenic narratives menggambarkan kejadian tunggal dalam cerita, baik kisah awal maupun akhir dan langsung diketahui keseluruhan isi cerita. Continuous narratives menggambarkan kejadian kisah berkelanjutan dalam suatu cerita yang dipahat dalam satu panil, kemudian figur yang digambarkan dipahat berulang dalam keseluruhan narasi yang hendak disampaikan. Relief yang dipahatkan mengikuti alur sequential narratives sebenarnya hampir sama dengan continuous narratives, perbedaannya pada penempatan figur yang diulang pada panil yang berbeda, biasanya dipisahkan oleh pembatas antara satu bingkai dengan bingkai lainnya. Synoptic narratives menggambarkan relief yang terdiri dari beberapa episode dalam satu bingkai, tetapi urutannya tidak diketahui dan tidak ada urutan secara formal. Conflated narratives pada dasarnya melengkapi synoptic narratives dengan menyertakan banyak fitur yang dipahatkan.

22

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian Choirulnisah Trisnayanti (2015) tentang “Studi Bentuk dan

Makna Relief Candi Sojiwan” memberikan kesimpulan bahwa adegan cerita relief

Candi Sojiwan dipetik dari cerita fabel pañcatantra dan jātaka, yaitu cerita tentang kehidupan dalam agama Buddha, yang memiliki citarasa unsur spiritualitas dan mengandung ajaran moral untuk hidup bijaksana. Selain itu, penelitian ini juga menjabarkan jumlah relief sebanyak dua puluh yang terbuat dari batu andesit, dengan ukuran panil ada dua macam yaitu 30 cm x 30 cm dan

30 cm x 50 cm, di mana setiap panil cerita relief dihiasi dengan ukiran datar bermotif manusia dan binatang. Perbedaan dengan penelitian yang sedang dilakukan terletak pada upaya lebih luas pada hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan penelitian, di antaranya pada unsur ornamen, cerita, dan karakter yang terdapat pada setiap relief pañcatantra.

Penelitian Ika Dewi Retno Sari (2013) tentang “Visualisasi Nilai Pendidikan

Karakter dalam Relief Cerita Hewan di Candi Sojiwan” menyimpulkan bahwa cerita hewan yang terdapat di Candi Sojiwan mengandung ajaran moral yang masih relevan untuk membangun karakter terutama pada generasi muda sekarang ini. Hasil penelitian berfokus pada inti setiap cerita yang dikelompokkan berdasarkan karakter yang tersirat pada cerita, sehingga dapat diperkirakan implementasinya pada kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah.

Penelitian ini relevan dalam memperluas kajian mengenai karakter setelah dianalisis secara ikonografi relief yang terdapat di Candi Sojiwan, dan yang akan diterapkan juga pada Candi Mendut. Karakter yang dikaji pada relief kedua candi diharapkan mampu memberikan pelajaran sebagai pedoman menjalani kehidupan.

23

Penelitian Santacitto Sentot, Aryanto Firnadi, & Rakay Indramayapanna

(2017) tentang “Identifikasi Kisah-Kisah Jātaka di Candi-Candi Buddhis Jawa

Tengah”, dengan mendasarkan pada teori semiotika Charles Sanders Peirce yang menggunakan segitiga makna (triangle of meaning: sign, object, interpretant) menghasilkan simpulan bahwa dari rekognisi terhadap 109 panil relief terdapat 38 panil yang merepresentasikan kisah-kisah Jātaka, dengan rincian sebagai berikut:

(a) di Candi Sojiwan terdapat 8 panil relief Jātaka dari 20 panil yang ada; (b) di

Candi Mendut terdapat 15 panil relief Jātaka dari 45 keseluruhan panil; dan (c) di

Candi terdapat 240 panil relief yang direduksi menjadi 44 panil berhasil diidentifikasi 15 panil relief Jātaka. Hasil identifikasi kisah Jātaka menjadi dasar penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam analisis relief cerita pañcatantra yang sering identik pada beberapa bagian. Teori yang digunakan dalam analisis berbeda pada pendalaman analisis relief, yang meliputi cerita, hiasan tanpa cerita, bentuk panil, morfologi, teknologi, dan kontekstual.

Namun, teori semiotika Charles Sanders Peirce dapat dipakai untuk memberi interpretasi atas objek dan tanda relief pañcatantra yang terpahat pada Candi

Mendut dan Candi Sojiwan.

Tiga penelitian tersebut di atas memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan pada ornamen, nilai-nilai karakter, dan interpretasi relief yang didasarkan pada teori semiotika. Ornamen pada relief Candi Mendut dan Candi

Sojiwan memiliki kemiripan pada banyak hal, di antaranya figur, sulur, flora, dan fauna. Namun demikian, perbedaan detail muncul sebagai pembeda antara kedua candi, di antaranya keberadaan gana spesifik yang ada di Candi Sojiwan dan tidak ditemukan di Candi Mendut. Nilai-nilai karakter yang terkandung pada cerita

24 pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki unsur sama pada media pengajaran moral sebagai pedoman menjalani kehidupan. Interpretasi terhadap cerita bertema pañcatantra yang ada di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan dilakukan setelah melihat objek, tanda, baru kemudian memberikan pemaknaan.

C. Kerangka Berpikir

Cerita relief pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan menyimpan potensi sebagai sumber pembelajaran moral dalam pengembangan karakter, terutama untuk generasi muda. Kedua candi dibangun pada masa yang berbeda oleh penguasa yang berpengaruh pada zamannya. Namun demikian, kedua candi memiliki relief pañcatantra yang sama, baik dari segi ornamen maupun cerita yang terpahat; bahkan karakter tokoh juga banyak digambarkan sama. Di sisi lain, relief yang dipahatkan juga memuat sejumlah perbedaan mendasar yang dapat diprediksi karena beberapa alasan dan pertimbangan. Perbandingan kedua candi dari relief pañcatantra yang dipahatkan memiliki potensi pembahasan dari berbagai segi untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif.

Candi Mendut yang dibangun pada tahun 824 M memiliki sejumlah relief pañcatantra yang terdapat pada dinding pipi kanan dan kiri pada tangga masuk pintu utama. Hal ini menjadi ciri khas keberadaan relief pañcatantra yang ditempatkan pada dinding pipi pintu masuk dengan bidang yang cukup luas.

Bidang pada dinding pipi pintu masuk tersebut masing-masing terbagi menjadi sepuluh panil berbentuk persegi panjang, segitiga, dan tak beraturan dengan berbagai variasi ukuran. Panil-panil tersebut terpahat kisah cerita pañcatantra

25 yang berbeda dengan penggambaran figur yang jelas. Namun, beberapa panil tidak terpahat satu cerita apapun karena ukuran bidang yang terlalu kecil atau alasan lain yang tidak diketahui. Keberadaan relief pañcatantra di Candi Mendut juga terdapat pada dinding tubuh candi bagian bawah sebelah dalam pada selasar yang dapat digunakan untuk pradaksina pengunjung. Figur dan karakter cerita pañcatantra yang terdapat di Candi Mendut beraneka ragam dengan hiasan dekoratif yang beragam pula, di antaranya manusia pria, manusia wanita, brahmana, kerbau, kura-kura, burung, ular, kera, kepiting, gajah, anjing, kucing, kambing, rusa, buaya, dan burung merak. Figur-figur tersebut digambarkan dengan detail sesuai konteks cerita yang akan diungkapkan. Cerita inilah yang dijadikan sebagai sarana pembelajaran moral yang hendak disampaikan oleh pembangun candi agar dipahami oleh penikmat dan pengunjung sebagai sacara pembelajaran moral dan karakter.

Candi Sojiwan yang tidak diketahui tahun pembangunannya pada badan candi bagian bawah dipahatkan sejumlah relief pañcatantra melingkar pada bidang yang mudah dilihat. Penempatan relief pañcatantra melingkar pada seluruh kaki candi memudahkan pengunjung untuk mengamatinya karena memiliki jarak pandang leluasa dan cukup nyaman hanya dengan berjalan santai tanpa menunduk. Candi Sojiwan memiliki dinding pipi pintu masuk tidak setinggi

Candi Mendut, sehingga dua bidang yang ada hanya cukup untuk masing-masing satu cerita saja. Karakteristik khas yang ada di Candi Sojiwan yaitu adanya relief pada dinding pintu bagian bawah yang unik dengan dimensi yang menyatu dari dua arah berbeda, yaitu figur manusia, singa, dan gajah. Pada kaki candi melingkar sepanjang badan candi relief pañcatantra terpahat dengan ukuran

26 persegi panjang; kecuali relief yang terdapat pada dinding pipi kanan dan kiri tangga masuk berbentuk segitiga. Setiap relief cerita pañcatantra dipahatkan relief hiasan berupa sulur daun membentuk bulatan dan berulang, serta bunga.

Sebagian besar relief pañcatantra memiliki morfologi figur binatang secara nyata, di antaranya kera, buaya, anjing, banteng, kambing, gajah; maupun binatang simbolis-mitologis yaitu kinara, kinari, dan burung besar; serta figur manusia dengan berbagai peran.

Jika di Candi Mendut relief pañcatantra lebih banyak pada dinding pipi kanan dan kiri tangga masuk, maka di Candi Sojiwan lebih banyak pada bidang sepanjang kaki candi. Candi Sojiwan tidak memiliki selasar yang berbatas dinding layaknya Candi Mendut, sehingga keberadaan relief pañcatantra melingkar pada kaki candi sepanjang badan candi yang dapat dilihat dengan jarak pandang lebih leluasa. Beberapa relief pañcatantra pada kedua candi relatif sama, baik cerita maupun cara penggambarannya. Relief tersebut di antaranya kisah kera dan buaya. Relief ini pada kedua candi digambarkan sangat mirip satu sama lain.

Demikian juga, relief tentang lembu dan serigala, dilukiskan sangat mirip di kedua candi. Namun, terdapat beberapa perbedaan yang dimungkinkan karena interpretasi yang beragam terhadap satu kisah pañcatantra yang dipahatkan.

Penelitian ini hendak mengungkap beberapa persamaan dan perbedaan ornamen maupun nilai-nilai karakter yang ditonjolkan relief pañcatantra pada kedua candi.

Persamaan dan perbedaan tersebut dapat digunakan untuk menarik benang merah atas situasi dan kondisi di masa lalu dalam konteks sosial yang mirip pada zaman yang berbeda. Ornamen relief bertema pañcatantra di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan memiliki persamaan pada aspek figur, sulur, flora, dan fauna. Dari sisi

27 nilai-nilai karakter yang terkandung pada relief bertema pañcatantra di Candi

Mendut dan Candi Sojiwan sebagian besar cerita memiliki persamaan, baik dari sisi penggambaran maupun ornamen yang dipahatkan maupun makna yang muncul sebagai media pengajaran moral dan pedoman menjalani kehidupan.

Perbedaan mendasar yang cukup signifikan adalah keberadaan gana unik di Candi

Sojiwan yang tidak ditemui di Candi Mendut. Perbandingan antara kedua candi membawa konsekuensi pada kajian akademik, khususnya pada metode penelitian arkeologi pada bagian analisis relief. Pemaknaan dari objek relief pañcatantra di kedua candi membawa konsekuensi pada sarana penguatan pendidikan karakter.

Bagan alir kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Candi Mendut Candi Sojiwan

Relief Pañchatantra

Bentuk Panil Jenis Relief Relief Teknik Analisis

Perbandingan Relief Pañchatantra

Pemaknaan dan Nilai-Nilai Karakter pada Relief Pañchatantra

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

28

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang dapat diturunkan dari rumusan masalah berdasarkan konsep teoretis, penelitian yang relevan, maupun kerangka berpikir adalah sebagai berikut:

1. Apa sajakah perbedaan dan persamaan ornamen relief pañcatantra di Candi

Mendut dan Candi Sojiwan?

2. Apa sajakah perbedaan dan persamaan nilai-nilai karakter cerita pañcatantra

di Candi Mendut dan Candi Sojiwan?

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian arkeologi yang mendasarkan pada analisis ikonografi. Analisis ikonografi merinci ciri-ciri suatu benda yang menggambarkan tokoh dewa atau orang suci, atau simbol-simbol keagamaan tertentu dalam bentuk lukisan, relief, mosaik, arca, atau benda lainnya (Dewan Redaksi Pusat Penelitian dan

Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008: 101). Penelitian ini juga menggunakan interaksionisme simbolis sebagai aliran teori yang mendasarinya. Interaksionisme simbolis menekankan pertanyaan pada kumpulan simbol dan pemahaman umum apa yang muncul dan memberikan makna pada interaksi antarmanusia (Dédé

Oetomo, 2013: 178). Perspektif ini didasari oleh fungsi spesifik dari simbol, yaitu

(1) memungkinkan orang berhubungan dengan dunia materi dan sosial karena mereka bisa memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek yang ditemui; (2) meningkatkan kemampuan orang mempersepsikan lingkungan; (3) meningkatkan kemampuan berpikir; (4) meningkatkan kemampuan orang memecahkan masalah; (5) memungkinkan aktor melampaui waktu, ruang, dan bahkan pribadi mereka sendiri; dan (6) memungkinkan orang membayangkan realitas metafisis (Ritzer & Goodman, 2008: 395-396). Orang menciptakan makna bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitasnya. Penelitian ini memerinci objek ikonografi dua dimensi berupa relief pañcatantra yang terdapat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Nilai artistik

30 pada ornamen relief pada kedua candi dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui cita rasa seni, sedangkan nilai-nilai karakter pada cerita relief sebagai interpretasi hasil analisis, terutama untuk pengembangan karakter dan kepribadian pada konteks kekinian. Dalam hal ini, peneliti memaknai artefak relief cerita pañcatantra yang terdapat pada dinding Candi Mendut dan Candi Sojiwan, lalu dibandingkan persamaan dan perbedaannya, kemudian dikonfirmasi dengan key informant atau ahli yang mengetahui keberadaan cerita pañcatantra tersebut, di samping juga melalui studi dokumentasi terhadap sejumlah pustaka yang membahas konsep tersebut. Temuan perbandingan cerita pañcatantra dari kedua candi tersebut kemudian dianalisis secara mendalam sebagai rasionalisasi pada penggunaannya sebagai sumber belajar pendidikan karakter dan pedoman menjalani kehidupan. Di samping mendasarkan pada teori interaksionisme, penelitian ini juga menggunakan segitiga makna (triangle of meaning: sign, object, interpretant) dari Charles Sanders Peirce.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil tempat pada monumen tak bergerak Candi

Mendut, Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang dan Candi

Sojiwan, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

Pada kedua candi tersebut terdapat relief cerita pañcatantra yang mengandung pesan moral yang sesuai untuk mendukung upaya Pemerintah dalam Gerakan

Penguatan Pendidikan Karakter. Kearifan lokal cerita-cerita rakyat sebagai warisan luhur bangsa tertuang pada relief kedua candi tersebut sebagai cerminan

31 pengajaran moral di masa lalu menggunakan media yang efektif untuk memberikan pelajaran moral kepada masyarakat luas.

Penelitian ini direncanakan selesai dalam waktu lima bulan, dimulai dari studi pendahuluan di akhir bulan Februari 2018, dilanjutkan dengan penyusunan proposal, pengambilan data, analisis data, dan diseminasi hasil penelitian pada

Juni 2018. Waktu penelitian dijadwalkan sedemikian rupa untuk memperoleh data yang cukup untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek penelitian sebagai ahli atau pakar yang mengetahui keberadaan relief cerita pañcatantra yang terdapat di

Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Subjek penelitian ini merupakan sumber data yang akan digali oleh peneliti. Informasi yang digali tidak saja berupa informasi verbal dari subjek penelitian tetapi juga dikonfirmasi dengan dokumen pendukung yang ada hubungannya dengan cerita-cerita yang terpahat pada dinding kedua candi. Penentuan subjek penelitian ditetapkan berdasarkan relevansi dengan tujuan penelitian, karena itu pemilihan orang sebagai subjek penelitian tidak ditetapkan secara kaku tetapi fleksibel sesuai dengan fenomena yang muncul di lapangan. Penentuan subjek penelitian tergantung pada kebutuhan informasi yang akan digali, menyesuaikan ketepatan dan kesesuaian data dengan tujuan yang diinginkan.

Objek penelitian adalah cerita pañcatantra yang terpahat pada dinding

Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Pañcatantra merupakan karya sastra dunia dan kuno yang berasal dari Kashmir, India, ditulis dalam Bahasa Sanskerta dan telah

32 menyebar ke seluruh dunia dengan mengalami perubahan-perubahan dalam alih bahasa dan penggubahan. Di Indonesia, cerita pañcatantra terdapat pada beberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cerita-cerita rakyat yang berkembang di masa lalu dipahatkan menjadi relief mengambil bentuk cerita manusia maupun binatang sesuai dengan pesan moral yang hendak disampaikan. Penelitian ini hendak mengkaji perbandingan cerita pañcatantra yang ada di Candi Mendut dan

Candi Sojiwan dalam hubungannya dengan sumber belajar pendidikan karakter dan pedoman menjalani kehidupan. Perbandingan kedua candi dilihat dari ornamen yang membentuk pahatan relief maupun nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya.

D. Jenis dan Sumber Data

Data penelitian ini merupakan informasi deskriptif berupa relief bertema pañcatantra yang terpahat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Deskripsi mengenai cerita-cerita yang dipahatkan berasal dari dokumen buku-buku tentang cerita pañcatantra maupun yang berkembang di masyarakat. Data bersumber dari relief yang terpahat pada dinding Candi Mendut dan Candi Sojiwan yang diobservasi dan didokumentasi.

Penelitian ini menggunakan data primer yang diambil sendiri oleh peneliti dengan cara mendokumentasikan relief pañcatantra yang ada di Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Di samping itu, data sekunder diperoleh dari dokumen buku- buku yang memuat tentang cerita pañcatantra secara detail. Data penelitian bersifat kualitatif yang dikumpulkan dengan cara observasi, analisis dokumen,

33 dan pemotretan gambar di Candi Mendut dan Candi Sojiwan, terutama tentang relief pañcatantra.

E. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan kepentingan menangkap makna secara tepat, cermat, rinci, dan komprehensif, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dokumentasi dan observasi. Kedua teknik pengumpulan data digunakan untuk saling melengkapi satu sama lain, di samping sebagai salah satu cara menjaga kredibilitas data. Wawancara dilakukan kepada beberapa ahli yang tahu mengenai cerita pañcatantra yang terpahat di Candi Mendut dan Candi Sojiwan.

Wawancara dilakukan untuk mendukung teknik pengumpulan data utama yaitu observasi dan dokumentasi. Wawancara cenderung mendiskusikan temuan dan analisis dokumen serta observasi terhadap relief pañcatantra yang terdapat di

Candi Mendut dan Candi Sojiwan.

Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai relief cerita pañcatantra yang terdapat pada dinding Candi Mendut dan Candi

Sojiwan. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber buku pendukung sebagai sumber data yang akurat dan kredibel. Dokumen buku yang digunakan dalam penelitian ini dinyatakan dalam daftar pustaka. Penggunaan dokumen sebagai alat pengumpulan data dilakukan karena alasan bahwa dokumen merupakan sumber data yang stabil dan kaya informasi. Dokumentasi digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.

34

Teknik observasi digunakan untuk mengamati, mengumpulkan data, dan mendeskripsikan tentang kondisi lingkungan, letak keberadaan cerita pañcatantra pada kedua candi, tata letak candi, lingkungan geografis, dan sarana prasarana yang ada. Pengamatan dimulai dari pengamatan menyeluruh kemudian dilanjutkan dengan pengamatan terfokus. Pengamatan menyeluruh dilakukan untuk mendapatkan catatan lapangan guna menjawab pertanyaan umum mengenai kondisi lingkungan candi sebagai kompleks warisan budaya dunia. Pengamatan terfokus dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang satuan pengalaman yang lebih detil, rinci, dan menggambarkan informasi yang lebih spesifik tentang cerita pañcatantra, penggolongan cerita, maupun pesan moral yang hendak disampaikan.

Wawancara digunakan untuk mengkroscek data yang bersumber dari dokumen dan pengamatan, di samping tentu saja menggali data secara mendalam terhadap kebermaknaan semua aspek yang relevan dengan penelitian menurut persepsi informan pakar yang dipandang mengetahui mengenai objek penelitian yaitu cerita pañcatantra. Proses kegiatan wawancara dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan pedoman wawancara dengan pertanyaan terbuka, di mana instrumen ini hanya digunakan sebagai arah wawancara yang terfokus pada masalah. Oleh karena itu, penggunaannya tidak dilakukan secara ketat, artinya pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan jawaban informan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasution (1996: 74) yang mengatakan bahwa wawancara dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni: (1) dalam bentuk percakapan informal, yang mengandung unsur spontanitas, kesantaian, tanpa pola atau arah yang ditentukan sebelumnya, (2) menggunakan lembaran berisi garis besar pokok-

35 pokok, topik atau masalah yang dijadikan pegangan dalam pembicaraan, dan (3) menggunakan daftar pertanyaan yang lebih terinci, namun bersifat terbuka yang telah dipersiapkan lebih dahulu dan akan diajukan menurut urutan dan rumusan yang tercantum. Wawancara kepada ahli maupun orang-orang yang dipandang mengetahui cerita pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan, berikut dengan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Pemahaman mengenai cerita pañcatantra di kedua candi tersebut mengarah pada fokus penelitian yaitu perbandingan cerita dan pesan moral sebagai sumber belajar pendidikan karakter yang berbasis pada kearifan lokal.

F. Teknik Keabsahan Data

Cara yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini adalah dengan menguji kredibilitas data, yang meliputi perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman, dan analisis kasus negatif; transferability; dependability; dan confirmability (Sugiyono, 2007: 121).

Penelitian ini berusaha memenuhi semua keabsahan data untuk menjamin validitas dan reliabilitas data.

Perpanjangan pengamatan dilakukan agar pemahaman peneliti kepada objek relief cerita pañcatantra lebih mendalam, baik detail, fisik, maupun makna yang terkandung di dalamnya, letak persamaan, perbedaan, atau signifikansi pesan moral untuk penguatan pendidikan karakternya. Perpanjangan pengamatan dilakukan untuk mendapatkan kedalaman, keluasan, dan kepastian data mengenai pesan moral pada relief cerita pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan sebagai sumber belajar pendidikan karakter dan pedoman menjalani kehidupan.

36

Peningkatan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Melalui peningkatan ketekunan ini, kepastian data dan urutan peristiwa akan direkam secara pasti dan sistematis. Peningkatan ketekunan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengamati secara sistematis melalui observasi deskriptif, kemudian dilanjutkan observasi terfokus, dan diakhiri dengan observasi selektif. Observasi deskriptif dilakukan dengan mengamati kompleks percandian secara keseluruhan. Observasi terfokus diarahkan pada pengamatan tentang keberadaan relief cerita pañcatantra yang menjadi kajian dalam penelitian. Observasi selektif dilakukan untuk mengamati kategori relief cerita pañcatantra berdasarkan bentuk ornamen, tata letak pada dinding candi, nilai fungsional, nilai estetis, ornamen pendukung, maupun latar belakang munculnya relief cerita pañcatantra.

Triangulasi merupakan qualitative cross-validation, artinya pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan melalui triangulasi antarmetode maupun antarsumber.

Triangulasi antarmetode dilakukan dengan mencocokkan data berupa relief cerita pañcatantra yang terdapat pada dinding candi, bentuk, maupun ornamen yang diperoleh dari pengamatan maupun wawancara dengan sumber dokumen.

Triangulasi antarwaktu dilakukan untuk memperdalam data yang diperoleh dengan wawancara yang dilakukan beberapa kali dengan waktu yang berbeda, atau hasil amatan secara periodik. Hasil pengamatan dilakukan triangulasi antarwaktu sekadar untuk meyakinkan dan memperdalam detail amatan, karena hal yang diamati merupakan benda bukan bergerak, sehingga pergerakan dan keberadaannya relatif stabil.

37

Analisis kasus negatif terutama dilakukan jika ada data yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga saat tertentu. Peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. Analisis kasus negatif ditempuh jika ada data dari lapangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan dokumen sumber primer maupun sekunder, maka peneliti meminta konfirmasi kepada ahli atau orang yang memahami relief cerita pañcatantra dan/atau mengubah hasil temuan penelitian.

Menggunakan bahan referensi merujuk pada adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Peneliti mendokumentasikan seluruh relief yang ada di Candi Mendut dan Candi Sojiwan sebagai bukti adanya bahan referensi mengenai data yang dimaksud. Dokumen otentik berupa catatan lapangan dan foto-foto disertakan dalam lampiran penelitian ini untuk mendukung kredibilitas data. Dokumen mengenai kedua candi tersebut digunakan sebagai bukti rujukan yang menjamin kredibilitas data.

Pengujian transferability merujuk pada sejauh mana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain. Untuk memenuhi uji transferabilitas ini peneliti berusaha agar hasil penelitian dipahami oleh orang lain dengan membuat laporannya rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian, orang lain menjadi jelas atas hasil penelitian ini, sehingga dapat memutuskan dapat atau tidaknya mengaplikasikan hasil penelitian tersebut pada situasi lain. Penjelasan rinci mengenai relief pañcatantra di Candi Mendut dan

Candi Sojiwan dapat diterapkan oleh peneliti lain jika mengkaji relief serupa.

38

Pengujian dependability setara dengan reliabilitas pada penelitian kuantitatif. Pengujian dependabilitas dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pada penelitian ini, pengujian dependabilitas dilakukan oleh Ketua Jurusan sebagai auditor independen yang menilai proses penelitian ini mulai dari penentuan masalah atau fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan. Pengujian dependabilitas pada dasarnya untuk mengetahui jejak aktivitas lapangan peneliti.

Pengujian confirmability mencerminkan objektivitas penelitian. Menguji objektivitas penelitian dilakukan dengan cara menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Hasil penelitian sebagai fungsi proses penelitian yang dilakukan, sehingga penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmabilitas. Dengan demikian, pada penelitian ini pengujian konfirmabilitas dilakukan bersamaan dengan uji dependabilitas.

G. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis relief untuk menggambarkan proses penelitian yang meliputi analisis morfologi, teknologi, dan kontekstual

(Dewan Redaksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008:

113-114). Analisis morfologi mendeskripsikan relief berdasarkan figur yang dipahatkan, perbedaan tokoh pria, wanita, bangsawan, putri, raksasa, dewa, dan makhluk lainnya, flora, dan fauna pada tiap panil. Analisis teknologi menjelaskan teknik pahatan, media, langgam atau gaya relief. Analisis kontekstual berupaya

39 menghubungkan keterkaitan antara relief dengan artefak lainnya pada tempat relief dipahatkan.

Hasil analisis relief digunakan untuk proses selanjutnya dalam pemaknaan nilai-nilai karakter yang mendasarkan pada model Spradley dengan tahapan sebagai berikut: (1) analisis domain, (2) analisis taksonomi, (3) analisis komponensial, dan (4) analisis tema budaya (Djamal, 2015: 149). Analisis domain ditempuh dengan pemerolehan data berupa gambaran umum dan menyeluruh tentang objek penelitian atau situasi sosial mengenai perbandingan cerita pañcatantra yang terdapat pada dinding Candi Mendut dan Candi Sojiwan.

Analisis domain menemukan cover term untuk kemudian dijelaskan secara lebih rinci dan mendalam dengan analisis taksonomi. Analisis taksonomi ini akan menemukan included term mengenai perbandingan cerita pañcatantra yang terdapat pada dinding Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Analisis komponensial menemukan perbedaan atau hal-hal yang kontras dari elemen-elemen yang merupakan hasil analisis taksonomi. Analisis tema budaya menemukan prinsip atau postulat yang muncul secara berulang dalam sejumlah domain, implisit maupun eksplisit dan memenuhi sebagai sebuah hubungan antarsubsistem dari makna budaya.

Pengambilan kesimpulan didasarkan pada tahapan penentuan kategori maupun domain yang menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian didasarkan pada pertanyaan penelitian yang hendak dijawab pada penelitian ini. Masing-masing doman yang terbentuk menentukan subkategori yang disusun berdasarkan data yang diperoleh.

40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Setting

Candi Mendut berada pada wilayah administratif Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid. Candi Mendut menghadap ke

Barat Laut memiliki denah dasar berbentuk segi empat dengan tinggi bangunan seluruhnya 26,40 m. Candi Mendut termasuk situs yang dilindungi di bawah pengelolaan Balai Konservasi Candi Borobudur. Candi Mendut menjadi objek wisata budaya dan spiritual yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Hampir tiap hari Candi Mendut mendapatkan kunjungan dari wisatawan dengan jumlah yang cukup banyak. Candi Mendut memiliki letak yang strategis karena berada tepat di pinggir jalan besar Borobudur

– Yogyakarta sehingga mudah dilihat dan diakses oleh pengunjung yang sekalian berwisata ke objek lainnya, seperti Candi Borobudur dan candi-candi lainnya yang banyak terdapat di sekitarnya. Candi Mendut dijadikan pusat puja bakti dan titik pertama saat prosesi perayaan Waisak menuju Candi Borobudur setiap tahunnya.

Candi Sojiwan terletak di wilayah administrasi Kabupaten Klaten, tepatnya di Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan. Candi Sojiwan menghadap ke Barat memiliki denah dasar berbentuk segi empat dengan luas bangunan candi

401,30 m2 dan tinggi candi kurang lebih 27 m. Candi Sojiwan tidak banyak dikunjungi oleh wisatawan karena letaknya jauh dari jalan besar yang tidak

41 terlihat oleh banyak orang. Sampai saat ini, pengelola candi belum menentukan biaya tiket masuk lokasi. Pengelolaan Candi Sojiwan di bawah koordinasi Dinas

Purbakala Kabupaten Klaten. Candi Sojiwan termasuk salah satu objek wisata terusan dari Candi Prambanan, selain Candi , Candi , Candi

Sewu, Candi Plaosan, dan Kraton Ratu Boko. Candi Sojiwan digunakan untuk keperluan spiritual umat Buddha saat perayaan Waisak, di samping dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk berbagai festival lokal.

Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki satu bilik ruangan di mana terdapat altar untuk penghormatan. Altar di Candi Mendut ada tiga arca besar terdiri dari Buddha Sakyamuni, Bodhisattva Avalokiteśvara, dan Bodhisattva

Vajrapāni. Altar di Candi Sojiwan sekarang ini tidak lagi ada arca yang tersisa, namun ditemukan arca bodhisattva yang dikenali sebagai Manjusri. Bilik ruang kedua candi memiliki beberapa relung yang dimungkinkan untuk penempatan bodhisattva. Saat ini, relung-relung bilik ruang kedua candi tersebut kosong dari bodhisattva. Kedua candi bercorak Buddhis dengan karakteristik masing-masing, di mana letak geografis Candi Mendut berdekatan dengan Candi Borobudur, sedangkan Candi Sojiwan termasuk pada kompleks percandian Prambanan yang bercorak Hindu. Kedua candi menyertakan panil yang terpahat pohon kalpataru dengan karakteristik yang berbeda.

Candi Mendut memiliki tangga menuju pintu masuk dengan empat belas anak tangga yang cukup curam. Tangga ini dihiasi makara dengan ujung pada bagian bawah yang menampilkan figur singa yang keluar dari kepala naga dan gana bersimpuh dengan kepala menopang. Candi Sojiwan memiliki dinding pipi kanan dan kiri dengan bidang sempit sehingga tangga yang digunakan untuk

42 memasuki pintu candi tidak begitu curam dan tidak tinggi. Gana yang terdapat di

Candi Sojiwan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan yang terdapat pada

Candi Mendut. Selain gana mirip dengan yang ada di Candi Mendut, gana di

Candi Sojiwan juga ditambah dengan gajah, singa, dan manusia menunggang singa, di mana cara penyajian dan pemahatannya berusaha menampilkan keseluruhan objek pada semua sisi. Candi Mendut memiliki selasar yang cukup lebar pada lingkar badan candi setelah tangga masuk yang tidak dimiliki oleh

Candi Sojiwan.

Dinding Candi Mendut dan Candi Sojiwan terpahat banyak relief yang diambil dari kitab suci, maupun cerita atau kisah spiritual yang bisa digunakan untuk pengembangan karakter dan mengandung nilai-nilai kehidupan. Relief utama di Candi Mendut yaitu kisah Dewi Hariti, Yakkha Alavaka, beberapa kisah

Kitab Suci Jātaka, dan kisah-kisah pañcatantra. Di samping itu, relief-relief dekoratif didominasi oleh sulur bunga, sulur daun, kerang berputar ke kanan, makhluk dewa-dewi, burung beo, motif batik, dan hiasan lain yang memperindah keseluruhan candi. Relief pada dua dinding pipi kanan dan kiri di Candi Mendut terpahat kisah-kisah dari Kitab Suci Jataka dan pañcatantra.

Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki relief pañcatantra yang mengandung makna mendalam tentang kisah-kisah spiritual penuh kebijaksanaan dalam pengembangan karakter manusia luhur. Kisah pañcatantra banyak mengambil tokoh binatang yang memiliki sifat manusia pada umumnya untuk mempermudah cara pengajaran moral kepada masyarakat. Nilai-nilai moral yang disematkan dalam penokohan cerita pañcatantra merupakan sifat dasar pembentuk karakter manusia luhur yang diperjuangkan selama kehidupan untuk

43 mendapatkan kualitas diri yang lebih baik. Cerita pañcatantra yang terpahat, baik pada Candi Mendut maupun Candi Sojiwan yaitu kisah suami istri perumah tangga, kisah tentang penyu yang dibawa oleh dua angsa, kera dan buaya, burung berkepala dua, serta singa, sapi, dan serigala.

Keseluruhan kisah yang dipahatkan pada dinding pipi kanan dan kiri serta pada selasar bagian dalam badan Candi Mendut yaitu kisah penyu dan angsa; seorang brahmana; luwak dan ular; brahmana, kepiting, dan burung gagak; sepasang pria dan wanita; kera yang serakah; perumah tangga yang menghormat pada pertapa; pertapa yang terlibat pembicaraan dengan kera, macan, dan rusa jantan; serta kisah penyu dan garuda; kisah kepala suku dan dua burung beo; bhikkhu, bangsawan, dua pengawal, dan gajah; permusuhan luwak dan ular; bhikkhu dan warrior; dua wanita dan satu pria; ular dan manusia terbang; serta brahmana dan perumah tangga; burung pelatuk yang mentertawakan kera hingga marah; gajah, tikus, dan hewan pengerat; serigala yang memakai tanduk dan berkalung seperti singa; serigala dan kerbau; kera, macan, dan kambing; ular dan luwak; dua rusa; tikus dan kucing; kepiting yang menyapit leher bangau; kera dan buaya; burung merak; serta burung berkepala dua. Kebanyakan cerita relief ini mengambil figur binatang dalam penyampaian pesan moral yang disematkan.

Kisah-kisah yang terpahat pada Candi Sojiwan secara keseluruhan yaitu kisah sepasang manusia bersenjata, garuda dan penyu, kera dan buaya, seekor gajah, manusia dan singa, serigala dan manusia, anjing dan manusia, burung dan manusia, burung berkepala dua dan dua manusia, sepasang suami istri, gajah dan kambing, manusia berkepala kera, kerbau dan serigala, dan kinnara. Cerita relief ini menggunakan figur manusia dan binatang untuk menjelaskan pesan moral

44 yang akan disampaikan. Hal ini dimungkinkan karena figur binatang yang menjadi tokoh cerita memiliki sifat manusia yang digambarkan pada jalannya cerita untuk memudahkan pengajaran moral.

2. Deskripsi Fokus

Fokus penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan sebagai perbandingan antara Candi Mendut dan Candi Sojiwan dilihat dari segi relief pañcatantra yang dipahatkan. Perbandingan yang dimaksud meliputi persamaan dan perbedaan ornamen dan nilai-nilai karakter relief pañcatantra yang menjadi pesan moral bernilai spiritual dan kebijaksanaan dalam upaya pembentukan karakter manusia luhur. Kajian ini mendasarkan pada perbandingan relief pañcatantra yang ditelaah melalui kajian analisis relief yang meliputi narasi, bentuk, morfologi, teknologi, dan kontekstual. Selanjutnya, analisis diperluas pada batasan karakter binatang dan inti cerita pañcatantra yang terpahat di Candi Mendut dan Candi Sojiwan.

Karakter yang melekat pada cerita memiliki unsur pembentuk kepribadian dan kebijaksanaan yang dapat digunakan pedoman dalam menjalani kehidupan.

Fokus penelitian terdiri atas dua hal yang mencakup persamaan dan perbedaan relief cerita pañcatantra yang ada di Candi Mendut dan Candi Sojiwan.

Keberadaan relief cerita pañcatantra di Candi Mendut terletak pada tiga lokasi, yaitu dinding pipi kanan tangga, dinding pipi kiri tangga, dan dinding badan candi bagian dalam selasar bangunan. Cerita mengambil figur binatang maupun manusia dengan hiasan dekoratif berupa sulur floral dan fauna yang digambarkan di sekitar tokoh. Pada dinding pipi kanan anak tangga Candi Mendut terdapat sepuluh bidang untuk pemahatan relief, yang diambil data pada penelitian ini

45 yaitu relief cerita tentang “Ular dan Luwak”, “Penyu dan Angsa”, “Seekor Kera”,

“Brahmana, Ular, dan Kepiting”, “Penyu dan Garuda”, dan “Kera, Macan, dan

Rusa Jantan”. Dinding pipi kiri tangga Candi Mendut memuat tujuh cerita, tetapi hanya dua yang diambil pada penelitian ini yaitu cerita tentang “Ular dan Luwak” dan “Ular dan Manusia Terbang”. Pada dinding badan candi bagian dalam selasar

Candi Mendut terdapat cerita yang diidentifikasi pada penelitian ini, yaitu “Kera

Pemarah”, Gajah dan Binatang Pengerat”, “Serigala dan Lembu”, “Macan, Kera, dan Kambing”, “Ular dan Luwak”, “Dua Rusa”, “Kepiting dan Bangau”, “Kucing dan Tiga Tikus”, “Buaya dan Kera”, dan “Burung Berkepala Dua”. Keberadaan cerita pañcatantra di Candi Sojiwan hanya terdapat pada dinding candi yang mengelilingi keseluruhan bangunan. Cerita yang terpahat pada dinding Candi

Sojiwan yang dijadikan sebagai data pada penelitian ini yaitu “Penyu dan

Garuda”, “Buaya dan Kera”, “Gajah dan Binatang Pengerat”, “Singa dan

Manusia”, “Serigala dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”, “Kepiting, Bangau, dan Manusia”, “Burung Berkepala Dua dan Manusia”, “Gajah dan Kambing”, serta “Serigala dan Lembu”.

Relief pada Candi Mendut berupa potongan cerita monoscenic narratives, namun ada juga yang continuous narratives. Bentuk relief sebagian besar empat persegi panjang dengan berbagai ukuran, di samping ada pula yang segitiga dan tak beraturan. Analisis morfologi figur pada relief di Candi Mendut berupa binatang, yaitu ular, luwak, penyu, bangau, lembu, kera, kepiting, rusa, singa, gajah, tikus, buaya, burung. Namun demikian, walaupun tokoh menggunakan figur binatang, secara keseluruhan figur manusia juga digambarkan pada relief di

Candi Mendut ini. Perhiasan yang digunakan untuk membedakan strata sosial

46 manusia tersebut di masyarakat. Pakaian dan perhiasan yang digunakan yaitu kalung, hiasan leher, anting, kain, perhiasan lengan, gelang, mahkota, sabuk, dan kepala. Atribut yang digunakan sesuai dengan cerita yang hendak digambarkan, yaitu tombak, panah, persembahan, buah, payung, senjata, kotak perhiasan, pikulan, keranjang, caping, mangkok, kendi, galah, tasbih, dan kemoceng. Hiasan flora berupa pohon dengan berbagai macam jenis bentuk daun, di antaranya bulat dan lonjong, pohon besar, dua pohon yang sama, serta pohon yang sedang berbuah. Hiasan fauna sebagian besar mengandung burung beo yang terdapat hampir pada semua relief dinding badan candi bagian dalam selasar.

Ukuran relief beraneka ragam, di antaranya cerita “Penyu dan Angsa” yang berbentuk empat persegi panjang memiliki ukuran 93 cm x 52 cm; “Buaya dan

Kera” berbentuk empat persegi panjang memiliki ukuran 120 cm x 42 cm; sedangkan “Ular dan Luwak” yang berbentuk segitiga memiliki ukuran sisi tegak dan sisi bawah masing-masing 46 cm, serta sisi samping 64 cm. Ukuran figur utama tokoh yang diceritakan proporsional berada pada tengah panil dengan hiasan seragam berupa sulur bunga dan burung beo. Analisis teknologi Candi

Mendut tergolong haut relief yang ditandai dengan pembuatannya dari batu andesit yang keras, tokoh dipahatkan mendalam, dan naturalis. Analisis kontekstual menggambarkan relief maupun figur lain yang ada di sekitar candi yang turut memperdalam makna dan menggambarkan sifat candi secara keseluruhan. Kontekstual pada Candi Mendut di antaranya terdapat gana dan makara sebagaimana layaknya bangunan candi; di samping juga terdapat hiasan berupa kerang memutar ke kanan, burung merak, bulan sabit, dan berbagai posisi penghormatan sosok makhluk dewata.

47

Eksistensi relief cerita pañcatantra yang terdapat di Candi Sojiwan berada pada lingkar dinding badan candi. Cerita tersebut yaitu “Penyu dan Garuda”,

“Buaya dan Kera”, “Gajah dan Binatang Pengerat”, “Singa dan Manusia”,

“Serigala dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”, “Kepiting, Bangau, dan

Manusia”, “Burung Berkepala Dua dan Manusia”, “Gajah dan Kambing”, dan

“Serigala dan Lembu”. Semua cerita relief di Candi Sojiwan merupakan monoscenic narrative yang memuat salah satu adegan dari keseluruhan cerita dalam satu panil. Relief di Candi Sojiwan kesemuanya berbentuk empat persegi panjang dengan analisis morfologi figur berupa garuda, penyu, kera, buaya, gajah, singa, serigala, bangau, kepiting, burung, kambing, anjing, lembu, dan manusia.

Manusia digambarkan sesuai peran pada cerita, di antaranya pertapa, brahmana, orang tua, wanita, atau manusia berkasta tinggi. Penggambaran manusia dengan strata berbeda dilihat dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan, yaitu kalung, kain, rambut ukel, pakaian sederhana, kain panjang bagian depan, serta gelang kaki dan lengan. Atribut yang ada pada relief menunjukkan perlengkapan pendukung cerita, di antaranya payung, senjata, kayu, galah. Floral berupa sulur daun dan bunga digunakan sebagai hiasan dekoratif yang mengelilingi dan mengapit tokoh utama yang ditempatkan di tengah. Ada tiga sulur bunga yang menggunakan figur fauna burung beo pada hiasan sulur bunga bulat yang mendekorasi tiga panil tengah masing-masing pada sisi kanan, belakang, dan kiri badan candi. Ukuran relief pada bidang dinding candi sama dengan letak yang simetris, baik pada sisi kanan, belakang, maupun sisi kiri. Analisis teknologi memperlihatkan bahwa relief di Candi Sojiwan termasuk hauf relief sebagaimana yang terdapat di Candi Mendut, namun ada beberapa figur tidak naturalis, di

48 antaranya kinnara, garuda, dan manusia berkepala kera. Analisis kontekstual pada

Candi Sojiwan memiliki keunikan sebagai ciri khas yang tidak ditemukan pada candi lain, yaitu munculnya tambahan gana berupa gajah, singa, dan manusia menunggang singa.

Relief cerita pañcatantra sama yang terpahat pada Candi Mendut dan Candi

Sojiwan yaitu “Garuda dan Penyu”, “Buaya dan Kera”, “Gajah dan Tikus

Pengerat”, “Kepiting dan Bangau”, “Burung Berkepala Dua”, dan “Serigala dan

Lembu”. Di antara cerita-cerita tersebut, yang hampir sama persis cara penggambarannya yaitu “Buaya dan Kera”, “Gajah dan Binatang Pengerat”, dan

“Serigala dan Lembu”. Cerita yang terdapat pada Candi Mendut tetapi tidak terdapat pada Candi Sojiwan yaitu “Ular dan Luwak”, “Penyu dan Angsa”,

“Seekor Kera”, “Brahmana, Ular, dan Kepiting”, “Rusa, Macan, dan Kera”, “Ular dan Manusia Terbang”, “Kera Pemarah”, “Macan, Kera, dan Kambing”, “Dua

Rusa”, dan “Kucing dan Tiga Tikus”. Cerita yang hanya terdapat di Candi

Sojiwan namun tidak terdapat pada Candi Mendut yaitu “Singa dan Manusia”,

“Serigala dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”, dan “Gajah dan Kambing”.

Analisis naratif menunjukkan bahwa sebagian besar relief pada kedua candi bertipe monoscenic narratives, bahkan hanya satu relief di Candi Mendut bertipe continuous narratives. Relief Candi Sojiwan semuanya bertipe monoscenic narratives. Bentuk relief di Candi Sojiwan empat persegi panjang horisontal, demikian juga sebagian besar yang terdapat di Candi Mendut. Namun demikian, pada Candi Mendut terdapat empat relief berbentuk segitiga dan satu relief berbentuk tak beraturan. Analisis morfologi figur di Candi Mendut cenderung naturalis jika dibandingkan pada relief di Candi Sojiwan yang memuat figur tidak

49 naturalis yaitu kinnara, garuda, dan kera berkepala manusia. Pakaian, perhiasan, dan atribut maupun flora, fauna, dan hiasan dekoratif kedua candi memiliki persamaan yang sangat dekat. Hiasan dekoratif fauna Candi Mendut didominasi oleh keberadaan burung beo hampir di setiap panil, sedangkan di Candi Sojiwan hanya ada tiga yang ada burung beonya dan diletakkan simetris pada panil kanan, belakang, dan kiri. Persamaan Candi Mendut dan Candi Sojiwan pada analisis teknologi sama-sama termasuk haut relief yang terbuat dari batu keras, dipahat mendalam, dan menampilkan tokoh naturalis. Analisis kontekstual kedua candi memiliki perbedaan pada gana unik pada Candi Sojiwan berupa gajah, singa, dan manusia menunggang singa; di samping sama-sama memiliki gana, makara, dan kerang yang memutar ke kanan.

3. Penyajian Data

Nilai-nilai karakter yang terpahat pada relief pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki tema sentral yang sama dengan mengambil cerita fabel untuk menggambarkan jalannya kisah. Sinopsis masing-masing cerita diperoleh dari berbagai sumber, baik dokumen maupun wawancara singkat dari informan yang sering menggunakan kisah pañcatantra sebagai media pengajaran moral. Eksistensi relief pañcatantra di kedua candi diperoleh berdasarkan observasi terstruktur pada beberapa periode waktu untuk merinci keseluruhan data. Analisis relief dikelompokkan dalam berbagai aspek yaitu narasi cerita, morfologi, teknologi, dan kontekstual. Analisis narasi cerita menemukan dua kategori yaitu monoscenic narratives dan continuous narratives. Analisis morfologi yang terdiri dari figur, pakaian, perhiasan, bentuk, ukuran, maupun

50 hiasan dekoratif menemukan sejumlah persamaan dan perbedaan yang cukup signifikan. Analisis teknologi dan kontekstual menemukan persamaan yang nyata, di samping sejumlah kecil perbedaan pada penggambaran figur tidak naturalis dan penempatan gana berupa gajah dan manusia menunggang singa pada Candi

Sojiwan. Nilai-nilai karakter sebagai pesan moral yang disampaikan pada cerita relief bertema pañcatantra pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki persamaan dalam memberikan pelajaran moral yang digunakan sebagai pedoman menjalani kehidupan. Keseluruhan temuan sebagai data penelitian dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.

Tabel 1 Nilai-Nilai Karakter Relief Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan

Candi Judul Cerita Nilai Karakter Mendut Ular dan Luwak • Tanggung jawab • Permusuhan • Strategi • Tipu daya • Pengorbanan • Balas dendam Penyu dan Angsa • Pertolongan • Lupa diri • Kebersamaan • Kesombongan • Suka cita • Keras kepala Seekor Kera • Usaha keras • Serakah • Kerja bertahap • Rakus Brahmana, Ular, dan Kepiting • Belas kasih • Rencana jahat • Balas budi • Pembunuhan • Kebijaksanaan • Tipu muslihat Penyu dan Garuda • Persaudaraan • Tipu muslihat • Kecerdikan • Kebodohan • Kebersamaan • Kekalahan Ular dan Manusia Terbang • Balas budi • Tanggung jawab • Berterima kasih Kera Pemarah • Pemahaman • Suka mengejek sebab akibat • Balas dendam • Kemarahan Gajah dan Tikus Pengerat • Persahabatan • Saling menolong • Balas budi Serigala dan Lembu • Kesetiaan • Kebodohan • Kejujuran • Mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin Macan, Kera, dan Kambing • Kecerdikan • Balas dendam • Persahabatan • Tipu muslihat

51

Candi Judul Cerita Nilai Karakter • Kerja sama • Bersama dalam kejahatan Dua Rusa • Kesetiaan • Belas kasih Kepiting dan Bangau • Kesabaran • Kepura-puraan • Tepat waktu • Tipu daya • Perjuangan • Balas dendam Kucing dan Tiga Tikus • Kewaspadaan • Tipu muslihat • Strategi • Kepura-puraan Buaya dan Kera • Tanggung jawab • Tipu daya • Kesetiaan • Keinginan lebih • Kejujuran • Kebodohan Burung Berkepala Dua • Kerja sama • Iri hati • Empati • Keinginan salah Sojiwan Garuda dan Penyu • Persaudaraan • Tipu muslihat • Kecerdikan • Kebodohan • Kebersamaan • Kekalahan Buaya dan Kera • Tanggung jawab • Tipu daya • Kesetiaan • Keinginan lebih • Kejujuran • Kebodohan Gajah dan Binatang Pengerat • Persahabatan • Saling menolong • Balas budi Singa dan Manusia • Siap menghadapi tantangan Serigala dan Manusia • Keserakahan • Keinginan lebih • Rakus • Menyia-nyiakan kesempatan Anjing dan Manusia • Keserakahan • kebodohan Kepiting, Bangau, dan Manusia • Kesabaran • Kepura-puraan • Tepat waktu • Tipu daya • Perjuangan • Balas dendam Burung Berkepala Dua dan Manusia • Kerja sama • Iri hati • Empati • Keinginan salah Gajah dan Kambing • Tolong-menolong • Pengorbanan Serigala dan Lembu • Kesetiaan • Kebodohan • Kejujuran • Mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin

52

Tabel 2 Eksistensi dan Sinopsis Cerita Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Candi Mendut Dinding Pipi Kanan Ular dan Luwak Sepasang burung penghuni sebuah pohon risau karena anak-anaknya dimakan ular yang bersembunyi di bawah pohon tersebut. Burung memiliki strategi untuk menjadikan luwak sebagai umpan dengan menyebar ikan-ikan di sepanjang jalan menuju lubang persembunyian ular. Dengan cara demikian ular akan memangsa luwak yang memang menjadi musuh besarnya, dan burung dapat membalas dendam kepada ular yang selalu memangsa anaknya.

Penyu dan Angsa Seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua burung bangau untuk dipindahkan ke tempat yang banyak airnya, melewati sekelompok anak yang sedang menggembala kerbau. Beberapa anak memasang busur panah ke arah kura-kura dan burung bangau. Kura-kura jatuh karena membuka mulutnya dan tidak menuruti nasihat burung bangau, sehingga diperebutkan oleh para penggembala kerbau.

53

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Seekor Kera Kisah seekor kera yang karena keserakahannya mengumpulkan kacang polong, tetapi kehilangan segenggam penuh disebabkan keinginannya untuk memperoleh lebih banyak lagi.

Brahmana, Ular, dan Kepiting Seorang brahmana bertemu dengan kepiting yang hampir mati. Brahmana merasa kasihan melihat kepiting yang sekarat, kemudian memasukkan ke dalam jubahnya. Brahmana melanjutkan perjalanan hingga bertemu genangan air, dan memasukkan kepiting ke dalam habitatnya. Brahmana tertidur di bawah pohon. Pohon tersebut berpenghuni ular dan gagak yang berencana akan membunuh brahmana dengan cara burung gagak akan mematuk matanya dan ular akan menggigit lehernya. Rencana jahat kedua karib tersebut didengar oleh kepiting, sehingga dengan tipu muslihatnya berhasil membunuh ular dan burung gagak. Tatkala brahmana bangun, dia melihat kepiting yang membalas jasa dengan menggigit ular dan burung gagak hingga mati. Kemudian brahmana berkata, “siapa yang berbuat kebaikan, akan mendapatkan pahala yang setimpal dengan itu”.

54

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Penyu dan Garuda Komunitas penyu diserang oleh garuda. Sesepuh penyu menantang garuda untuk menyeberangi lautan. Dengan tipu muslihat dan daya upaya, akhirnya pertandingan dimenangkan oleh penyu. Pesan moralnya adalah: barang siapa bersatu dalam kebersamaan maka akan mengalahkan musuh bersama.

Kera, Macan, dan Rusa Jantan Seorang pertapa terlibat pembicaraan dengan kera, macan, dan rusa jantan.

55

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis

Dinding Pipi Kiri Ular dan Luwak Sepasang burung penghuni sebuah pohon risau karena anak-anaknya dimakan ular yang bersembunyi di bawah pohon tersebut. Burung memiliki strategi untuk menjadikan luwak sebagai umpan dengan menyebar ikan-ikan di sepanjang jalan menuju lubang persembunyian ular. Dengan cara demikian ular akan memangsa luwak yang memang menjadi musuh besarnya, dan burung dapat membalas dendam kepada ular yang selalu memangsa anaknya.

Ular dan Manusia Terbang Seekor ular yang memberikan hadiah cincin, sendok, dan periuk kepada seorang pemuda yang digambarkan sedang terbang sebagai rasa terima kasih atas jasa menjaga anaknya.

56

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis

Selasar Dinding Bagian Dalam Kera Pemarah Seekor kera marah besar setelah diejek oleh burung pelatuk. Sebagai balasannya, kera merusak sarang burung pelatuk tersebut.

Gajah dan Binatang Pengerat Persahabatan seekor gajah dan komunitas tikus. Mereka saling tolong-menolong dalam situasi yang sulit. Tikus-tikus yang pernah ditolong gajah, berusaha membebaskan gajah dari jeratan tali dan sebatang kayu perangkap. Tikus-tikus itu membalas jasa gajah dengan cara memutuskan tali- tali tersebut dengan giginya yang tajam.

57

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Serigala dan Lembu Serigala jantan mengikuti seekor lembu karena memenuhi permintaan istrinya yang menginginkan buah zakar lembu. Selama lima belas tahun serigala mengikuti lembu terus-menerus, namun buah zakar tersebut tidak pernah jatuh. Lalu, dia pulang menemui istrinya dan mengatakan bahwa buah zakar lembu tidak bisa dibawa pulang karena tidak pernah jatuh.

Macan, Kera, dan Kambing Macan menyeret kera dengan seutas tali, dan di belakangnya kambing melihat peristiwa tersebut. Kera yang berhati jahat bersekutu dengan macan hendak membinasakan kambing dan sahabat karibnya yaitu kerbau. Kambing yang cerdik mengelabuhi kera dan macan dalam situasi yang terikat satu dengan lainnya.

58

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Ular dan Luwak Sepasang burung penghuni sebuah pohon risau karena anak-anaknya dimakan ular yang bersembunyi di bawah pohon tersebut. Burung memiliki strategi untuk menjadikan luwak sebagai umpan dengan menyebar ikan-ikan di sepanjang jalan menuju lubang persembunyian ular. Dengan cara demikian ular akan memangsa luwak yang memang menjadi musuh besarnya, dan burung dapat membalas dendam kepada ular yang selalu memangsa anaknya.

Dua Rusa Kisah sepasang rusa yang tertangkap oleh pemburu. Rusa betina memohon kepada pemburu untuk membunuh dirinya sebelum membunuh rusa jantan. Pemburu tersentuh dengan kesetiaan rusa betina, sehingga ia mengurungkan niat membunuh keduanya.

59

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Kepiting dan Bangau Burung bangau yang berpura-pura bijaksana dengan berpantang makan ikan dan binatang lain penghuni telaga, sehingga satu demi satu binatang tersebut dipindahkan ke tempat lain untuk dimakannya. Pada saat kepiting mendapat gilirannya, burung bangau disapit lehernya hingga tewas.

Kucing dan Tiga Tikus Sejak lama kucing dan tikus bermusuhan. Komunitas tikus selalu diganggu dan dimangsa oleh kucing. Tikus selalu berhasil bersembunyi, sehingga lama-kelamaan kucing kehabisan mangsa. Kucing mengatur siasat, dia pergi merantau ke tempat jauh untuk beberapa saat, dan datang dengan mengenakan atribut pertapa yang bijaksana yakni tasbih dan pembersih hama. Melihat kucing dengan penampilan berbeda, tikus penasaran dan mulai mendekat memata-matai. Komunitas tikus terbelah menjadi dua kubu, antara yang percaya dengan perubahan kucing yang benar-benar menjadi pertapa bijaksana dan yang menganggap itu hanyalah tipu muslihat untuk memangsa komunitas tikus dengan mudah. Kemudian komunitas tikus mengutus anggotanya yang badannya paling besar dan dikenal bijaksana untuk menguji kepertapaan kucing. Tikus besar berjalan mondar-mandir di sekitar kucing yang sedang

60

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis bermeditasi, berdoa, dan merapal ayat-ayat suci. Begitu kucing menggerakkan ekornya, tikus besar langsung lari, namun buru-buru ditanya oleh kucing, “Mengapa lari, apakah kamu meragukan kebenaran pembacaanku?” Tikus bijaksana menjawab,”Sekarang aku yakin, seberapa banyak buku suci yang telah kau pelajari dengan hafalan itu, kamu tidak pernah meninggalkan kebiasaan burukmu untuk memangsa komunitas kami.”

Buaya dan Kera Kera menunggang buaya. Menggambarkan cerita seekor kera yang melawan tipu muslihat buaya. Ada seekor kera duduk di tepi Sungai Gangga. Lalu, buaya betina melihatnya dan timbul keinginan untuk memakan hati kera itu, maka ia berkata kepada buaya jantan agar menangkap kera tersebut. Buaya jantan pergi menemui kera dan memberitahukan bahwa di seberang sungai terdapat pohon yang sedang berbuah lezat sekali rasanya. Buaya bersedia menyeberangkan sekiranya kera menghendaki makan buah tersebut. Kera naik ke atas punggung buaya. Pada saat di tengah sungai, buaya jantan berterus terang bahwa istrinya berkeinginan memakan hati kera. Kera sangat senang dan merelakan hatinya dimakan istri buaya, tetapi sayang hati kera itu tertinggal di atas pohon. Lalu buaya diajak kembali ke tepi sungai untuk mengambil hatinya. Buaya pun kembali ke daratan mengikuti perintah kera. Sesampainya di tepi sungai, kera melompat ke daratan dan akhirnya selamat.

61

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Burung Berkepala Dua Ada burung berkepala dua. Kepala yang satu selalu iri melihat kepala lainnya karena memakan makanan enak. Hingga suatu hari, kepala yang satu tersebut memakan racun agar sama-sama mati karena mereka memiliki satu badan.

Candi Sojiwan Dinding Badan Candi Penyu dan Garuda Komunitas penyu diserang oleh garuda. Sesepuh penyu menantang garuda untuk menyeberangi lautan. Dengan tipu muslihat dan daya upaya, akhirnya pertandingan dimenangkan oleh penyu. Pesan moralnya adalah: barang siapa bersatu dalam kebersamaan maka akan mengalahkan musuh bersama.

Buaya dan Kera Kera menunggang buaya. Menggambarkan cerita seekor kera yang melawan tipu muslihat buaya. Ada seekor kera duduk di tepi Sungai Gangga. Lalu, buaya betina melihatnya dan timbul keinginan untuk memakan hati kera itu, maka ia berkata kepada buaya jantan agar menangkap kera tersebut. Buaya jantan pergi menemui kera dan memberitahukan bahwa di seberang sungai terdapat pohon yang sedang berbuah lezat sekali

62

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis rasanya. Buaya bersedia menyeberangkan sekiranya kera menghendaki makan buah tersebut. Kera naik ke atas punggung buaya. Pada saat di tengah sungai, buaya jantan berterus terang bahwa istrinya berkeinginan memakan hati kera. Kera sangat senang dan merelakan hatinya dimakan isteri buaya, tetapi sayang hati kera itu tertinggal di atas pohon. Lalu buaya diajak kembali ke tepi sungai untuk mengambil hatinya. Buaya pun kembali ke daratan mengikuti perintah kera. Sesampainya di tepi sungai, kera dan akhirnya selamat.

Gajah dan Binatang Pengerat Persahabatan seekor gajah dan komunitas tikus. Mereka saling tolong-menolong dalam situasi yang sulit. Tikus-tikus yang pernah ditolong gajah, berusaha membebaskan gajah dari jeratan tali dan sebatang kayu perangkap. Tikus-tikus itu membalas jasa gajah dengan cara memutuskan tali- tali tersebut dengan giginya yang tajam.

Singa dan Manusia Seorang menteri bernama Bhimaparakrama bermimpi akan diserang seekor singa. Bhimaparakrama bersiap melawan dengan pedang dan perisai, sehingga membuat singa lari tunggang langgang.

63

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Serigala dan Manusia Ada seorang wanita duduk termenung merenungi kehidupannya di tepi sungai. Datanglah serigala dengan mulut penuh daging. Melihat di sungai banyak ikan, serigala berniat memakan seluruh ikan tersebut, dengan melepaskan daging yang ada di mulutnya. Begitu daging lepas dari mulut serigala, datanglah burung gagak menyambar daging tersebut. Sementara itu, ikan-ikan berenang menghilang ke dasar sungai.

Anjing dan Manusia Pemburu bernama Bhairawa mendapatkan hasil buruan seekor kijang. Di tengah perjalanan bertemu dengan babi hutan, dan dipanah tetapi tidak sampai mati. Lalu pemburu dan babi bertarung hingga keduanya tewas. Datanglah serigala yang kelaparan menemukan daging berlimpah: kijang, babi, dan manusia. Serigala memutuskan memakan terlebih dahulu usus yang digunakan sebagai tali anak panah. Begitu serigala memakan tali busur anak panah yang terbuat dari usus tersebut, busur panah mengenai mulutnya dan akhirnya serigala mati sebelum menikmati daging yang berlimpah.

Kepiting, Bangau, dan Manusia Burung bangau yang berpura-pura bijaksana dengan berpantang makan ikan dan binatang lain penghuni telaga, sehingga satu demi satu binatang tersebut dipindahkan ke tempat lain untuk dimakannya. Pada saat kepiting mendapat gilirannya, burung bangau disapit lehernya hingga tewas.

64

Cerita Pañcatantra Eksistensi Sinopsis Burung Berkepala Dua dan Ada burung berkepala dua. Kepala yang satu selalu Manusia iri melihat kepala lainnya karena memakan makanan enak. Hingga suatu hati, kepala yang satu tersebut memakan racun agar sama-sama mati karena mereka memiliki satu badan.

Gajah dan Kambing Seekor kambing jantan terpisah dari kelompoknya di sebuah hutan. Dalam pencarian kelompoknya, kambing bertemu dengan gajah. Kambing minta bantuan kepada gajah untuk mengantarkannya pada kelompoknya. Gajah mengantar kambing dengan cara menggendongnya.

Serigala dan Lembu Serigala jantan mengikuti seekor lembu karena memenuhi permintaan istrinya yang menginginkan buah zakar lembu. Selama lima belas tahun serigala mengikuti lembu terus-menerus, namun buah zakar tersebut tidak pernah jatuh. Lalu, dia pulang menemui istrinya dan mengatakan bahwa buah zakar lembu tidak bisa dibawa pulang karena tidak pernah jatuh.

65

Tabel 3 Perbandingan Analisis Relief Candi Mendut dan Candi Sojiwan

Analisis Relief Candi Mendut Candi Sojiwan Persamaan Perbedaan Naratif • Potongan cerita, • Potongan cerita, monoscenic • Candi Mendut dan Candi • Ada satu relief di Candi monoscenic narratives, narratives Sojiwan sebagian besar Mendut merupakan continuous narratives • Muncul tokoh lain, manusia berupa monoscenic continuous narratives dengan inti cerita narratives Bentuk • Empat persegi panjang • Empat persegi panjang • Bentuk empat persegi • Di Candi Mendut ada relief • Segitiga panjang berbentuk segitiga dan tak • Tak beraturan • Dipisahkan sekat antarpanil beraturan Morfologi Figur • Ular, luwak, burung beo, • Garuda, penyu, kera, buaya, • Naturalis • Di Candi Sojiwan ada penyu, bangau, manusia, gajah, singa, brahmana, yang tidak naturalis: kerbau, kera, kepiting, ular, serigala, manusia biasa tua, garuda, kinnara, manusia orang tua, rusa, singa, anjing, manusia biasa berkepala kera manusia terbang, gajah, muda, bangau, kepiting, tikus pengerat, serigala, pertapa, burung berkepala lembu, kambing, macan, dua, manusia berhiasan kucing, tiga tikus, buaya, gelang, kambing, anjing, burung berkepala dua lembu Pakaian • Kalung, hiasan leher, anting, • Kalung garuda, kain, rambut kain, perhiasan lengan, ukel, pakaian sederhana gelang, kalung pertapa, manusia tua, pakaian rambut ukel, mahkota, sederhana manusia muda, sabuk, ikat kepala pakaian biasa, kain panjang bagian depan Perhiasan • Perhiasan lengan, gelang, • Gelang kaki dan kalung kalung pertapa, rambut ukel, garuda, gelang lengan mahkota, sabuk, ikat kepala Atribut • Tombak, panah, • Payung persembahan, buah, senjata, pelindung matahari, kotak

66

Analisis Relief Candi Mendut Candi Sojiwan Persamaan Perbedaan perhiasan, pikulan, keranjang, caping, mangkok, kendi, galah, tasbih, kamar, kemoceng Flora & Fauna • Pohon dengan berbagai • Floral, sulur bunga, burung macam jenis bentuk daun beo (bulat, lonjong, seperti buah, dua pohon, dll.) Hiasan sekitar tokoh • Sulur flora berfauna burung • Sulur bunga, tiga • Sulur flora fauna • Di Candi Mendut sama, di beo mengandung burung beo Candi Sojiwan dua jenis Ukuran • Berbagai macam ukuran • Ukuran relatif sama • Penyesuaian bidang • Ukuran relief di Candi (variatif) Sojiwan sama, sedangkan di Candi Mendut bervariasi Ukuran figur • Proporsional, di tengah • Proporsional, di tengah • Proporsional panil dengan hiasan panil dengan hiasan • Di tengah panil diapit hiasan seragam sulur bunga dan seragam sulur bunga, dan di burung beo tengah sisi dinding kanan- kiri-belakang terdapat sulur bunga dengan burung beo Teknologi • Haut relief, batu keras, • Haut relief, batu keras, • Haut relief, batu keras, • Di Candi Sojiwan ada yang tokoh dipahat mendalam, tokoh dipahat mendalam, dipahat mendalam tidak naturalis naturalis naturalis, ada beberapa tidak naturalis Kontekstual • Gana, makara, hiasan • Gana, makara, gana khusus • Ada gana dan makara, serta • Di Candi Sojiwan ada gana kerang memutar ke kanan di bawah gana biasa: gajah, kerang memutar ke kanan khusus dan spesifik singa, manusia menunggang • Ada kinnara pada Candi singa, hiasan kerang Sojiwan memutar ke kanan

67

Tabel 4 Nilai Karakter Relief Cerita Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan

Aspek Pembeda Candi Mendut Candi Sojiwan Karakter yang Muncul Cerita • Ular dan Luwak (3 relief) • Garuda dan Penyu • Tanggung jawab • Permusuhan • Penyu dan Angsa • Buaya dan Kera • Strategi • Tipu daya • Seekor Kera • Gajah dan Binatang • Pengorbanan • Balas dendam • Brahmana, Ular, dan Pengerat • Pertolongan • Lupa diri Kepiting • Singa dan Manusia • Kebersamaan • Kesombongan • Penyu dan Garuda • Serigala dan Manusia • Suka cita • Keras kepala • Rusa, Macan, dan Kera • Anjing dan Manusia • Usaha keras • Serakah • Ular dan Manusia Terbang • Kepiting, Bangau, dan • Kerja bertahap • Rakus • Kera Pemarah Manusia • Belas kasih • Rencana jahat • Gajah dan Tikus Pengerat • Burung Berkepala Dua • Balas budi • Pembunuhan • Serigala dan Lembu dan Manusia • Kebijaksanaan • Tipu muslihat • Macan, Kera, dan Kambing • Gajah dan Kambing • Persahabatan • Kebodohan • Dua Rusa • Serigala dan Lembu • Saling menolong • Kekalahan • Kepiting dan Bangau • Persaudaraan • Suka mengejek • Kucing dan Tiga Tikus • Kecerdikan • Kemarahan • Buaya dan Kera • Berterima kasih • Mengharapkan sesuatu yang • Burung Berkepala Dua • Pemahaman sebab akibat tidak mungkin • Kesetiaan • Bersama dalam kejahatan • Kejujuran • Kepura-puraan • Kerja sama • Keinginan lebih • Kesabaran • Iri hati • Tepat waktu • Keinginan salah • Perjuangan • Menyia-nyiakan • Kewaspadaan kesempatan • Empati • Siap menghadapi tantangan

68

B. Pembahasan

Penelitian ini berfokus pada persamaan dan perbedaan ornamen dan nilai- nilai karakter cerita bertema pañcatantra yang terpahat pada Candi Mendut dan

Candi Sojiwan. Pembahasan penelitian ini terbagi ke dalam empat bagian, yaitu cerita-cerita bertema pañcatantra yang ditemui beserta nilai-nilai karakter yang dapat diambil maknanya, keberadaan relief cerita bertema pañcatantra pada kedua candi, analisis relief, dan nilai-nilai karakter yang muncul untuk digunakan sebagai pedoman menjalani kehidupan. Pembahasan didasarkan pada urutan kategori tersebut dengan mengedepankan analisis mendalam guna memperoleh penjelasan yang komprehensif. Pembahasan juga diupayakan menggunakan analisis logis dan teori-teori relevan yang mendukung.

1. Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan

Cerita pañcatantra yang berasal dari India menyebar ke seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia, bahkan hingga saat ini telah merambah ke berbagai belahan negara Timur Tengah, Amerika, dan Eropa. Cerita pañcatantra digunakan sebagai sarana mengajarkan moral dan nilai-nilai kehidupan dengan figur binatang mendominasi keseluruhan kisah. Cerita-cerita tersebut sering dipermudah penyampaiannya melalui media seni agar mengena, menyentuh emosi, dan diterima oleh masyarakat. Di samping memiliki nilai seni tinggi, hal ini juga dalam rangka mempermudah penyampaian makna yang terkandung di dalamnya. Cerita pañcatantra mengalami modifikasi dan perkembangan sesuai dengan situasi perkembangan budaya dan masyarakat yang mengadopsinya. Pada masa-masa awal Indonesia, yang terbagi dalam kelompok-kelompok kerajaan memiliki wangsa dan era yang berkuasa atas wilayah-wilayah tersebut.

69

Salah satu wangsa besar yaitu Wangsa Syailendra memiliki kekuasaan di sekitar dataran Kedu, Menoreh, Merapi, dan Prambanan. Wangsa Syailendra dan raja-raja di bawah kekuasaannya memiliki afiliasi dengan agama Buddha yang membangun candi-candi besar di masa itu, bahkan masih ada hingga sekarang, di antaranya Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi , Candi , Candi

Plaosan, Candi Sojiwan, dan Candi Sewu. Candi Mendut dibangun untuk menghormati Buddha Sakyamuni yang telah mengajarkan Dharma agung dan luhur kepada umat manusia. Candi Sojiwan dibangun atas dasar penghormatan seorang raja yang beragama Hindu kepada neneknya yang beragama Buddha.

Candi Mendut dan Candi Sojiwan banyak memuat cerita pañcatantra dimungkinkan karena pendiri bermaksud memberikan pelajaran moral pada pengunjung melalui media yang menarik, inovatif, dan menyenangkan.

Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki relief cerita bertema pañcatantra yang terpahat sangat indah pada beberapa bagian candi. Cerita-cerita yang dipahatkan memiliki persamaan dan perbedaan dalam interpretasi maupun penggambaran melalui media seni pahat pada batu. Secara keseluruhan relief fabel yang dapat diidentifikasi memuat tema cerita pañcatantra pada Candi Mendut sejumlah enam belas, sedangkan pada Candi Sojiwan berjumlah sepuluh. Cerita bertema pañcatantra yang terdapat di Candi Mendut yaitu “Ular dan Luwak”,

“Penyu dan Angsa”, “Seekor Kera”, “Brahmana, Ular, dan Kepiting”, “Penyu dan

Garuda”, “Rusa, Macan, dan Kera”, “Ular dan Manusia Terbang”, “Kera

Pemarah”, “Gajah dan Tikus Pengerat”, “Serigala dan Lembu”, “Macan, Kera, dan Kambing”, “Dua Rusa”, “Kepiting dan Bangau”, “Kucing dan Tiga Tikus”,

“Buaya dan Kera”, dan “Burung Berkepala Dua”. Pada Candi Sojiwan cerita yang

70 terpahat adalah “Garuda dan Penyu”, “Buaya dan Kera”, “Gajah dan Binatang

Pengerat”, “Singa dan Manusia”, “Serigala dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”,

“Kepiting, Bangau, dan Manusia”, “Burung Berkepala Dua dan Manusia”, “Gajah dan Kambing”, dan “Serigala dan Lembu”. Cerita yang terpahat di Candi Mendut lebih banyak jika dibandingkan dengan yang ada di Candi Sojiwan dikarenakan bidang yang tersedia memang lebih luas di Candi Mendut. Bidang luas di Candi

Mendut yang memungkinkan terpahatnya relief pañcatantra yaitu dinding pipi kiri dan kanan serta dinding candi bagian dalam selasar. Tingginya tangga masuk menuju pintu utama candi menyebabkan dinding pipi kiri dan kanan memiliki bidang cukup luas untuk menempatkan 7-10 relief yang dipahatkan. Penempatan relief pada dinding pipi kiri dan kanan ini mudah dilihat oleh pengunjung karena luasnya bidang dan penampakan relief yang sangat jelas. Pengunjung dapat dengan mudah melihat cerita-cerita di dinding pipi kiri tangga masuk, di antaranya “Ular dan Luwak”, “Penyu dan Angsa”, “Seekor Kera”, “Brahmana,

Ular, dan Kepiting”, “Penyu dan Garuda”, “Rusa, Macan, dan Kera”; dan pada dinding pipi kanan, yaitu “Ular dan Luwak” dan “Ular dan Manusia Terbang”; di samping relief-relief lainnya yang tidak dianalisis pada penelitian ini. Cerita “Ular dan Luwak” terdapat di kedua dinding pipi kiri maupun kanan dengan bentuk panil segitiga, dan satu bentuk empat persegi panjang di badan candi bagian dalam selasar. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan cerita pada saat itu, atau terjadi pengulangan oleh pemahat yang berbeda, bahkan karena unsur kesengajaan. Kesengajaan penempatan cerita “Ular dan Luwak” pada kedua dinding pipi kiri dan kanan dikarenakan bentuk dan letaknya sama yang memberi kesan simetris pada kedua bidang. Interpretasi pemahat yang berbeda dapat

71 dinyatakan dengan penggambaran pada media batu yang sama, namun dilukiskan dengan figur berbeda. Dengan kata lain, cerita yang sama yaitu “Ular dan Luwak” dipahat sebanyak tiga kali dengan scene dan penggambaran yang berbeda-beda dengan berbagai alasan. Pemilihan cerita “Ular dan Luwak” yang dipahatkan berulang kemungkinan karena popularitas cerita di masyarakat kala itu dengan nilai karakter yang memang sedang menggejala dalam keseharian warga, yaitu tanggung jawab, strategi, pengorbanan, permusuhan, tipu daya, dan balas dendam.

Cerita “Ular dan Luwak” juga terdapat pada dinding bagian dalam selasar dengan bentuk empat persegi panjang seperti relief lainnya pada posisi ini. Relief “Ular dan Luwak” empat persegi panjang ini sudah tidak jelas lagi pahatannya dikarenakan usia dan jenis batu sehingga agak rusak sulit terlihat. Relief bertema pañcatantra yang terdapat pada dinding bagian dalam selasar yaitu kisah tentang

“Kera Pemarah”, “Gajah dan Tikus Pengerat”, “Serigala dan Lembu”, “Ular dan

Luwak”, “Macan, Kera, dan Kambing”, “Dua Rusa”, “Kepiting dan Bangau”,

“Kucing dan Tiga Tikus”, “Buaya dan Kera”, dan “Burung Berkepala Dua”.

Panil-panil kisah ini berbentuk empat persegi panjang dengan berbagai ukuran yang tidak sama dikarenakan menyesuaikan dengan bidang yang ada. Keberadaan relief selain kisah-kisah bertema pañcatantra di sepanjang dinding bagian dalam selasar ditempatkan secara selang-seling di antara kisah-kisah tersebut menggambarkan hiasan dekoratif yang memberi nuansa jeda saat pengunjung berkeliling dengan arah pradaksina. Hiasan dekoratif tersebut di antaranya panil- panil yang dipahat indah dengan figur fauna di tengah-tengah sulur floral berupa burung merak, burung bangau, kerang yang memutar ke kanan; maupun bentuk lain seperti bulan sabit. Penempatan panil-panil yang tidak memiliki cerita seolah

72 memberi waktu untuk merenungkan panil sebelumnya yang memang memiliki kisah mendalam sebagai bahan pengajaran moral dalam menempuh kehidupan.

Cerita sama yang terpahat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan yaitu

“Garuda dan Penyu”, “Buaya dan Kera”, “Gajah dan Tikus Pengerat”, “Kepiting dan Bangau”, “Burung Berkepala Dua”, dan “Serigala dan Lembu”. Cerita

“Garuda dan Penyu” di Candi Mendut digambarkan natural, di mana yang tampak hanya binatang penyu, sedangkan figur garuda sudah tidak ada karena batunya rusak. Candi Sojiwan menggambarkan relief “Garuda dan Penyu” dengan figur binatang garuda tidak naturalis yang besar tidak proporsional dengan figur penyu di bagian bawah tengah panil. Di samping itu, perbedaan yang cukup mencolok adalah bidang panil yang digunakan untuk melukiskan kisah “Garuda dan Penyu” ini. Relief “Garuda dan Penyu” di Candi Mendut digambarkan pada bidang segitiga kecil di pojok kanan atas pada dinding pipi kanan, sedangkan di Candi

Sojiwan pada bidang empat persegi panjang di bagian yang mudah terlihat oleh pengunjung dengan hiasan sulur floral yang sama dengan relief-relief lainnya. Hal ini memberi kesan bahwa kedua candi menempatkan cerita “Garuda dan Penyu” dengan prioritas yang berbeda. Penempatan di Candi Mendut seolah memberi kesan sebagai pelengkap saja; sedangkan di Candi Sojiwan ditempatkan sebagai cerita utama urutan nomor dua di awal perjalanan menyusuri keseluruhan kisah jika pengunjung mengikuti arah pradaksina. Cerita “Kepiting dan Bangau” dan

“Burung Berkepala Dua” digambarkan pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan.

Perbedaan mencolok di antara keduanya tampak pada penempatan figur manusia di sebelah kiri berseberangan dengan burung dan kepiting pada relief Candi

Sojiwan, sedangkan di Candi Mendut hanya menempatkan burung bangau dan

73 kepiting pada tengah panil di antara hiasan dekoratif floral. Burung bangau digambarkan berbeda, di mana pada Candi Sojiwan dengan posisi terbang dan ukuran lebih kecil dibandingkan yang terdapat di Candi Mendut dengan posisi berpijak di tanah sedang mengepakkan sayap. Persamaan di antara keduanya yaitu posisi kepiting yang menyapit leher burung bangau. Penempatan figur manusia pada relief kisah ini memberi kesan bahwa penggunaan media cerita fabel bertema untuk memudahkan pengajaran moral. Dengan kata lain dapat dibayangkan bahwa terdapat seorang guru yang bijaksana mengajarkan nilai-nilai kehidupan atau mengajarkan Dharma dengan menggunakan kisah binatang yang memiliki sifat- sifat manusia agar apa yang diajarkan mudah dicerna oleh pendengar. Hal ini berlaku juga pada kisah “Burung Berkepala Dua”. Cerita “Burung Berkepala

Dua” terdapat pada kedua candi dengan penggambaran yang berbeda. Pada Candi

Mendut, burung digambarkan cukup besar dengan posisi di tengah panil yang dihiasi sulur floral yang indah berhiaskan burung lain yang lebih kecil, sedangkan pada Candi Sojiwan burung berkepala dua digambarkan pada tengah panil diapit oleh figur manusia di sebelah kiri dan kanan dengan tambahan hiasan sulur floral.

Hal ini memberi kesan ramai pada panil yang terdapat pada Candi Sojiwan dengan penempatan tiga figur pada satu relief. Penempatan dua figur manusia di antara burung berkepala dua memberi gambaran bahwa pada dasarnya kisah ini ditujukan untuk pengajaran moral bagi manusia yang memiliki dua sifat berbeda, yang satu memiliki sifat iri dan dengki melihat keberhasilan atau kebahagiaan manusia lainnya; yang satunya lagi memiliki sifat peduli dan simpati. Relief

“Kepiting dan Bangau” dan “Burung Berkelapa Dua” pada Candi Sojiwan digambarkan secara synoptic narratives yang memuat banyak fitur berbeda dalam

74 satu panil dan antarfitur bukan merupakan bagian scene cerita. Figur dua manusia di antara tokoh utama cerita yaitu burung dan kepiting menunjukkan bentuk relief synoptic narratives. Dua manusia memberikan makna dua sifat yang berseberangan di antara keduanya sebagai perbandingan terhadap cerita yang hendak disampaikan yaitu tentang “Burung Berkepala Dua”; di mana keduanya berseteru dalam sebuah keputusan memakan buah enak namun beracun atau tidak yang berujung pada kematian. Kisah “Kepiting dan Bangau” yang ditempatkan di sebelah kanan figur manusia mengesankan bahwa kedua fitur tersebut secara terpisah menggambarkan bahwa terdapat seorang guru sedang mengajar dengan menggunakan media cerita yang dimaksud dalam satu panil yang sama.

Penggambaran cerita sama, baik di Candi Mendut maupun Candi Sojiwan yang paling memiliki kemiripan adalah kisah “Buaya dan Kera”, “Gajah dan

Tikus Pengerat”, dan “Serigala dan Lembu”. Kisah “Buaya dan Kera” di kedua candi sama-sama digambarkan dengan posisi kera menunggang seekor buaya, dengan arah hadap yang berbeda, yaitu relief di Candi Mendut menghadap ke kiri dan Candi Sojiwan ke arah kanan jika dilihat dari posisi pengunjung. Kera di

Candi Mendut duduk dengan posisi tangan kanan di atas kepala dan tangan kiri memegang sesuatu (kemungkinan adalah buah mangga), sedangkan kera di Candi

Sojiwan terlihat duduk santai dengan kedua tangan di depan memegang punggung buaya. Hiasan dekoratif pada kedua relief sama-sama berbentuk floral dan kelopak bunga, namun di Candi Mendut mengandung unsur floral fauna pada hiasan bunga yang tidak ditemukan pada Candi Sojiwan. Secara keseluruhan, penggunaan sulur yang berakhir dengan kelopak bunga yang mengandung fauna mencirikan relief cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut, sedangkan di

75

Candi Sojiwan sangat minim, hanya ada tiga panil berpola seperti itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Candi Sojiwan memiliki hiasan dekoratif yang sederhana dibandingkan dengan Candi Mendut; walaupun hal ini dapat ditinjau dari segi artistik karya seni yang bermakna menghindari rasa keindahan yang monoton. Cerita “Gajah dan Tikus Pengerat”, baik di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan memiliki kemiripan dalam penggambaran yaitu figur gajah ditempatkan di tengah panil dengan hiasan sulur floral di seputar tokoh utama. Perbedaannya terletak pada arah hadap gajah yang berlawanan, yaitu di Candi Mendut ke arah kiri dan Candi Sojiwan ke arah kanan. Cerita “Gajah dan Tikus Pengerat” di

Candi Mendut menampakkan tikus yang ada di punggung gajah sedang berusaha menggigit tali yang membelit tubuh gajah, sedangkan di Candi Sojiwan tidak tampak tikus pengerat. Kemiripan penggambaran cerita “Gajah dan Tikus

Pengerat” dimungkinkan karena interpretasi pemahat pada kedua candi terhadap objek kisah dan pesan sama yang hendak disampaikan. Cerita “Serigala dan

Lembu” digambarkan pada kedua candi dengan kemiripan yang tinggi, baik arah hadap, figur, dekoratif, maupun pesan yang hendak disampaikan. Perbedaannya terletak pada posisi serigala saja, di mana pada Candi Mendut digambarkan duduk dan di Candi Sojiwan berdiri, bahkan seolah berjalan mengikuti lembu.

Cerita yang terdapat pada Candi Mendut tetapi tidak terdapat pada Candi

Sojiwan yaitu “Ular dan Luwak”, “Penyu dan Angsa”, “Seekor Kera”,

“Brahmana, Ular, dan Kepiting”, “Rusa, Macan, dan Kera”, “Ular dan Manusia

Terbang”, “Kera Pemarah”, “Macan, Kera, dan Kambing”, “Dua Rusa”, dan

“Kucing dan Tiga Tikus”. Sepuluh cerita bertema pañcatantra ini dapat dikatakan menjadi ciri khas penggambaran relief di Candi Mendut. Cerita-cerita ini

76 digunakan sebagai media yang digunakan dalam mengajarkan nilai-nilai karakter dan pedoman untuk menjalani kehidupan sosial. Variasi cerita yang terdapat di

Candi Mendut cukup banyak untuk menjelaskan karakter dan nilai-nilai yang akan dijelaskan. Figur binatang yang digambarkan cenderung naturalis mengikuti cerita yang disampaikan, yaitu ular, luwak, penyu, angsa, kera, kepiting, rusa, macan, kambing, kucing, dan tikus. Hewan-hewan tersebut kemungkinan memang ada di sekitar penduduk setempat di masa itu. Satu-satunya penggambaran cerita yang cukup dramatis adalah kisah “Ular dan Manusia Terbang” yang menjelaskan figur manusia dengan posisi terbang sedang menerima cincin dari seekor ular. Kisah

“Penyu dan Angsa” dan “Brahmana, Ular, dan Kepiting” bisa jadi merupakan cerita populer di masa itu karena dibuat panil dengan ukuran empat persegi panjang yang cukup luas pada dinding pipi kiri tangga masuk. Cerita “Ular dan

Luwak”, “Seekor Kera”, “Rusa, Macan, dan Kera”, “Ular dan Manusia Terbang” seolah menjadi pelengkap karena dipahatkan pada bidang segitiga di kedua dinding pipi kiri dan kanan tangga masuk. Penggunaan bidang segitiga sekadar menjadi pengisi ruang kosong yang tersisa pada masing-masing dinding pipi tangga masuk untuk memenuhi bidang, namun tetap diisi dengan cerita-cerita yang masih relevan. Penentuan bentuk segitiga juga dimungkinkan karena ketersediaan bidang yang memang cocok digambarkan dengan relief berbentuk sesuai dengan tempat yang tersisa. Cerita “Kera Pemarah”, “Macan, Kera, dan

Kambing”, “Dua Rusa”, dan “Kucing dan Tiga Tikus” merupakan kisah-kisah inspiratif yang memiliki bentuk empat persegi panjang. Cerita-cerita tersebut dipahatkan pada badan candi bagian dalam selasar dengan berbagai ukuran yang relatif sama. Hal ini dimungkinkan karena ketersediaan bidang yang cukup luas

77 untuk penggambaran masing-masing relief tersebut. Hiasan dekoratif memungkinkan ditempatkan pada panil-panil di badan candi bagian dalam ini karena ketersediaan bidang yang cukup luas. Hiasan dekoratif berupa sulur floral yang berakhir dengan menempatkan fauna berupa burung mendominasi keseluruhan relief. Burung-burung penghias pada floral seolah turut mewarnai dan menjadi bagian dari cerita jika tokoh atau figur utamanya adalah burung juga.

Namun demikian, jika pemaknaan atas cerita yang dipahatkan menggunakan referensi buku atau dokumen yang menceritakan kisah dimaksud, maka kesalahpahaman dan kerancuan dapat diatasi.

Cerita yang hanya terdapat di Candi Sojiwan namun tidak terdapat pada

Candi Mendut yaitu “Singa dan Manusia”, “Serigala dan Manusia”, “Anjing dan

Manusia”, dan “Gajah dan Kambing”. Keempat cerita ini dipahatkan setara pada bidang empat persegi panjang yang berukuran sama dapat dipandang sebagai penciri khas keberadaan relief yang ada di Candi Sojiwan. Semua relief bertema pañcatantra di Candi Sojiwan dibuat berukuran sama yang menunjukkan perencanaan matang sebelum pembuatan. Persiapan detail dan matang juga ditunjukkan dengan menempatkan tiga relief utama di pusat masing-masing sisi, yaitu kiri, belakang, dan kanan dinding candi yang memiliki hiasan dekoratif unik dengan menyematkan fauna berupa burung pada floral bunga yang berbentuk bulat. Ketiga relief pusat pada masing-masing sisi yaitu cerita tentang “Kambing dan Kerbau” yang tidak disertakan pada analisis ini karena keterbatasan sumber;

“Anjing dan Manusia” dan “Manusia Berkepala Kera” yang juga tidak diambil sebagai data penelitian karena dianggap bukan cerita bertema pañcatantra. Kisah

“Anjing dan Manusia” ditempatkan di pusat bidang sisi belakang dapat dipandang

78 sebagai cerita utama atau penting sebagai media pengajaran moral untuk kehidupan. Cerita ini bisa jadi menjadi tema penting di masa itu yang sesuai dengan konteks sosial dan kepemerintahan yang penuh dengan ketamakan dan kebodohan yang dapat berdampak pada kehancuran.

2. Eksistensi Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan

Cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan diambil dari sejumlah kisah yang terpahat dengan tokoh utama binatang. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa awal mula cerita pañcatantra disusun dan digunakan sebagai media pembelajaran moral dengan mengambil tokoh binatang (cerita fabel) sebagai cara yang menyenangkan untuk memudahkan pemahaman.

Walaupun beberapa sumber menyatakan bahwa kisah-kisah yang terpahat di

Candi Mendut berasal dari tiga sumber, yaitu Jātaka, Hitupadesa, dan

Pañcatantra; namun di antara ketiganya memuat beberapa kisah yang sama.

Penentuan cerita yang diambil sebagai data penelitian didasarkan pada penggunaan media cerita bertema pañcatantra yang menggunakan tokoh utama binatang sebagai sarana mengajarkan Dharma dan memberi pesan moral dalam menjalani kehidupan.

Eksistensi cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut berada pada dinding pipi kiri dan kanan tangga masuk menuju ruang bilik, serta pada badan candi bagian dalam selasar. Keseluruhan cerita bertema pañcatantra di Candi Sojiwan berada pada badan candi seolah berfungsi sebagai sabuk besar yang indah mengelilingi lingkar candi. Perbedaan keberadaan cerita bertema pañcatantra di

79 kedua candi dikarenakan alasan ketersediaan bidang yang bisa dipahatkan sejumlah panil relief. Jika dilihat dari sisi letak dan keberadaan relief-relief lainnya, maka cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut cenderung sebagai pelengkap dan pengiring dari relief-relief besar lainnya; sedangkan di Candi

Sojiwan dapat dikatakan sebagai hal yang utama dengan perencanaan yang cukup matang dan cermat.

Jika relief cerita bertema pañcatantra yang terdapat di dinding pipi kiri tangga masuk Candi Mendut dilihat sekilas maka ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan relief-relief lainnya. Keseluruhan relief pada dinding pipi kiri di Candi Mendut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Relief Dinding Pipi Kiri Candi Mendut

80

Gambar 2 memperlihatkan bahwa terdapat lima relief dengan panil berukuran besar berbentuk empat persegi panjang. Kelima relief tersebut adalah kisah tentang “Penyu dan Angsa”, “Perbincangan Brahmana”, “Sepasang Suami

Istri”, “Brahmana, Ular, dan Kepiting”, dan “Mengunjungi Pertapa”. Dua di antaranya bertema pañcatantra karena mengambil tokoh utama binatang, yaitu

“Penyu dan Angsa” dan “Brahmana, Ular, dan Kepiting”. Dua cerita ini dipahatkan dengan ukuran panil cukup besar pada dinding pipi kiri, yaitu masing- masing 93 cm x 52 cm dan 62 cm x 42 cm; relatif sama dengan tiga relief lainnya.

Hal ini dapat dikatakan bahwa cerita “Penyu dan Angsa” dan “Brahmana, Ular, dan Kepiting” memiliki kesetaraan dalam hal popularitas maupun nilai karakter pesan moral dengan tiga cerita lainnya. Cerita “Penyu dan Angsa” dan

“Brahmana, Ular, dan Kepiting” masing-masing berada pada baris pertama dan kedua dari bawah jika dibaca dari arah hadap pengunjung. Penempatan kedua cerita ini sebagai bagian dari lima relief besar berbentuk empat persegi panjang lainnya pada satu bidang memudahkan untuk dilihat oleh pengunjung. Pada masanya, penempatan ini dimungkinkan karena pilihan cerita yang menarik dan populer yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai media pembelajaran moral. Cerita-cerita lain dipahatkan pada panil berbentuk segitiga, berturut-turut dari bawah adalah “Ular dan Luwak”, “Seekor Kera”, serta “Penyu dan Garuda”.

Penggambaran ketiga cerita ini dengan bentuk panil segitiga menunjukkan kesan untuk sekadar memenuhi bidang kosong yang tersisa, bahkan terdapat satu panil segitiga yang tidak dipahat apapun atau memang hilang. Cerita “Penyu dan

Garuda” dikenali sebagai kisah bertema pañcatantra dikarenakan masih tersisa figur penyu di bagian kiri bawah panil dan di atasnya batu polos tidak terpahat

81 relief. Pemilihan cerita yang dipahatkan pada bentuk segitiga ini dimungkinkan karena kesederhanaan tokoh dan kemudahan pemahatan figur binatang sebagai tokoh utamanya. Cerita “Rusa, Macan, dan Kera” berada paling atas pada bidang dinding pipi kiri. Panil relief cerita ini berbentuk tidak beraturan karena menyesuaikan luas bidang yang masih tersisa. Walaupun tidak beraturan tetapi ada unsur kesengajaan bahwa bentuk yang direncanakan adalah empat persegi panjang.

Selain pada dinding pipi kiri, bidang yang memuat relief cerita yaitu dinding pipi kanan tangga masuk Candi Mendut. Keseluruhan cerita dan letak relief yang terpahat pada dinding pipi kanan dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Relief Dinding Pipi Kanan Candi Mendut

82

Pada pojok kiri bawah bidang dinding pipi kanan gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa terdapat relief yang berkisah tentang “Ular dan Luwak”. Posisi dan bentuk panil sama dengan yang terdapat pada dinding pipi kiri di bidang yang berlawanan. Hal ini menunjukkan keseriusan dan perencanaan yang matang dalam penentuan cerita sebelum dipahatkan. Walaupun pada posisi ini penggambaran karakter ular dan luwak berbeda, namun justru memberi kesan variatif ide dan pemahaman pemahat tentang cerita pañcatantra.

Selain pada dinding pipi kiri dan kanan tangga masuk, keberadaan relief bertema pañcatantra di Candi Mendut terdapat pada dinding badan candi bagian dalam selasar. Gambar 4 menunjukkan lorong atau selasar yang biasa digunakan untuk pradaksina di mana banyak relief bertema pañcatantra dipahatkan.

Sumber gambar: Long, 2009: xii

Gambar 4. Denah Relief di Candi Mendut

83

Relief bertema pañcatantra berada pada putaran B1 hingga B31, namun tidak semua relief merupakan cerita berkisah. Beberapa panil relief bermotif dekorasi sulur floral dan fauna. Dekoratif dengan figur fauna yaitu burung menghiasi hampir keseluruhan relief, bahkan burung digunakan sebagai tokoh sentral yang berada di tengah walaupun tidak merupakan relief berkisah.

Banyaknya burung yang menghiasai relief, baik sebagai tokoh sentral maupun penghias di sekitar sulur menandakan banyaknya jenis fauna tersebut di masa itu atau memang tren jenis relief demikian dijadikan sebagai ciri khas Candi Mendut.

Jumlah panil secara keseluruhan pada badan candi bagian dalam selasar ada 31 buah, dengan relief bertema pañcatantra sejumlah sebelas buah atau sekitar 35%.

Kesebelas cerita bertema pañcatantra secara berurutan yaitu “Kera Pemarah”,

“Gajah dan Tikus Pengerat”, “Serigala dan Singa”, “Serigala dan Lembu”,

“Macan, Kera, dan Kambing”, “Ular dan Luwak”, “Dua Rusa”, “Kucing dan Tiga

Tikus”, “Kepiting dan Burung Bangau”, “Buaya dan Kera”, serta “Burung

Berkepala Dua”. Di antara sebelas cerita tersebut, enam panil berada di badan kanan candi dan lima panil di badan kiri candi dengan posisi yang berseberangan secara diagonal. Hal ini dapat dikatakan bahwa penempatan relief bertema pañcatantra pada badan candi bagian dalam selasar dengan pertimbangan artistik dan perencanaan yang cukup matang. Bagian belakang badan candi tidak disematkan cerita bertema pañcatantra memberi kesan bahwa kisah yang berisi pengajaran moral ini sangat penting untuk segera diketahui oleh pengunjung yang berkeliling sejajar dari sebelah kiri maupun kanan. Sebanyak 65% relief lainnya pada badan candi ini terdiri dari dekoratif sulur floral dan fauna yang relatif sama dengan perbedaan figur utama di tengah hiasan, di antaranya bunga mekar, burung

84 bangau dengan berbagai posisi (berdiri, menoleh, pandangan ke depan, hadap ke kiri, hadap ke kanan, mengepakkan sayap), kerang memutar ke kanan, bulan sabit, burung beo, burung merak, dan ayam jago. Keindahan posisi burung bangau menjadi inspirasi bagi pemahat untuk menggambarkannya sebagai tokoh utama pada beberapa panil. Namun dapat juga dimaknai bahwa pemahat terdiri dari beberapa orang dengan interpretasi yang berbeda-beda mengenai instruksi dari penggagas untuk membuat panil dengan ide dasar burung bangau. Bulan sabit dibuat dua panil mengapit panil semacam perhiasan di atas kelopak bunga. Tidak ditemukan makna mengenai keberadaan bulan sabit ini. Kerang yang memutar ke kanan mencerminkan penggunaan fauna berciri keagamaan dan spiritual yang dipercaya bahwa jika seorang bodhisattva terlahir menjadi kerang, maka arah putar garis kulit kerangnya ke kanan. Bodhisattva merupakan orang yang memperjuangkan kebajikan-kebajikan dalam berbagai kelahiran, hingga nilai-nilai kebajikan tersebut menjadi sempurna. Kisah-kisah bertema pañcatantra yang terpahat pada Candi Mendut mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebajikan yang harus disempurnakan oleh seorang yang bertekad menyempurnakannya, yaitu bodhisattva. Pengunjung candi dapat mempelajari nilai-nilai kebajikan tersebut dan digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari, karena pada dasarnya setiap manusia atau bahkan setiap makhluk memiliki potensi sebagai bodhisattva.

Relief cerita bertema pañcatantra di Candi Sojiwan hanya terdapat pada badan candi melingkupi seluruh bidang yang mengelilinginya laksana sabuk besar dengan hiasan dekoratif sulur daun dan bunga pada masing-masing panil. Relief bertema pañcatantra di Candi Sojiwan terdapat pada bagian bawah badan candi yang mudah dilihat karena letaknya sejajar dengan indra penglihatan jika

85 pengunjung berdiri mengarah pada relief. Gambar 5 menunjukkan Candi Sojiwan dilihat dari sisi Utara, di mana keberadaan relief pañcatantra yang terpahat pada dinding badan candi bagian bawah dapat dilihat sambil mengelilingi bangunan.

Gambar 5. Candi Sojiwan

Relief di Candi Sojiwan tidak semua bercerita dengan tema pañcatantra dan ada beberapa yang sudah rusak dan tidak dikenali. Beberapa cerita yang masih bisa dikenali dan bertema pañcatantra yaitu “Garuda dan Penyu”, “Buaya dan

Kera”, “Gajah dan Binatang Pengerat”, “Singa dan Manusia”, “Serigala dan

Manusia”, “Anjing dan Manusia”, “Kepiting, Bangau, dan Manusia”, “Burung

Berkepala Dua dan Manusia”, “Gajah dan Kambing”, serta “Serigala dan Lembu”.

Keberadaan cerita-cerita ini merata pada sabuk sebelah kiri, belakang, dan kanan candi. Bahkan, pada masing-masing sisi terdapat pusat cerita yang dicirikan

86 dengan hiasan floral berbentuk bunga yang disematkan sepasang burung.

Penempatan relief utama masing-masing di pusat sisi mencerminkan alasan artistik simetrik pada perancangan bangunan. Candi Sojiwan dibangun sebagai rasa syukur dan terima kasih seorang cucu yang beragama Hindu kepada neneknya yang beragama Buddha. Penggunaan figur binatang yang diyakini sebagai simbol mistis religius oleh penganut Hindu maupun Buddha mendominasi tokoh relief maupun fungsional candi lainnya. Figur tidak naturalis berupa garuda, stilasi kerang memutar ke kanan, manusia berkepala kera, dan kinnara yang mewarnai keberadaan relief cerita bertema pañcatantra di Candi Sojiwan dapat dipahami sebagai penggunaan simbol mitologis religis dalam situs keagamaan.

Cerita bertema pañcatantra yang berada di sisi kanan candi yaitu “Garuda dan Penyu”, “Buaya dan Kera”, serta “Kerbau dan Singa” sebagai panil pusat sisi; di samping dua panil relief yang rusak. Cerita “Kerbau dan Singa” tidak disertakan pada analisis penelitian ini dikarenakan keterbatasan sumber. Namun demikian, makna cerita yang terkandung di dalamnya dapat diwakili oleh cerita- cerita lainnya. Cerita “Garuda dan Penyu” serta “Buaya dan Kera” merupakan cerita sama yang juga dipahatkan pada Candi Mendut, bahkan “Buaya dan Kera” dipahatkan sangat mirip walaupun masih mengandung sejumlah perbedaan, di antaranya mulut kera, cara duduk kera, dan arah hadap kedua tokoh. Sisi belakang badan Candi Sojiwan dipenuhi dengan cerita bertema pañcatantra yaitu “Gajah dan Binatang Pengerat”, “Singa dan Manusia”, “Serigala dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”, serta “Kepiting, Bangau, dan Manusia”. Satu relief rusak sehingga tidak dikenali dan satu relief sebagai pusat sisi yaitu “Anjing dan Manusia” yang dicirikan dengan dekorasi berhiaskan fauna burung. Cerita tentang “Gajah dan

87

Binatang Pengerat” serta “Kepiting, Bangau, dan Manusia” merupakan cerita sama yang juga dipahatkan di Candi Mendut; sedangkan cerita lainnya dapat dikatakan sebagai ciri khas kisah yang dipahatkan di Candi Sojiwan. Walaupun cerita yang dipahatkan sama di antara kedua candi, tetapi keduanya digambarkan dengan cara dan teknik bercerita yang berbeda. Sisi kiri badan Candi Sojiwan bereliefkan cerita bertema pañcatantra yaitu “Burung Berkepala Dua dan

Manusia”, “Gajah dan Kambing”, serta “Serigala dan Lembu”. Cerita “Gajah dan

Kambing” merupakan penciri khas kisah yang hanya terdapat di Candi Sojiwan; sedangkan cerita “Burung Berkepala Dua dan Manusia” dan “Serigala dan

Lembu” merupakan cerita yang juga sama dipahatkan di Candi Mendut. Bahkan, cerita “Serigala dan Lembu” digambarkan sangat mirip dengan perbedaan hanya pada penggambaran figur serigala yang berjalan dan duduk. Pada sisi kiri ini juga terdapat relief lain yaitu “Sepasang Suami Istri”, “Manusia Berwajah Kera”, dan satu relief rusak tak dapat dikenali.

Setiap panil relief di Candi Sojiwan mengandung cerita utama (baik yang populer maupun tidak), tidak seperti di Candi Mendut yang memuat juga hiasan dekoratif atau motif lain yang tidak bermakna di antara barisan relief bertema pañcatantra. Pada bagian depan badan candi sisi kanan terdapat relief “Dua

Manusia” dan satu relief rusak sehingga tidak dapat dikenali. Demikian juga, pada bagian depan badan candi sebelah kiri terdapat satu relief rusak yang tidak dapat dikenali lagi; di samping satu relief “Burung Berkepala Manusia: Kinnara”.

Bagian depan candi sisi kiri dan kanan masing-masing memuat dua relief yang memberi kesan pada perencanaan matang dan terstruktur; di samping memperhatikan unsur keindahan. Penempatan relief pada bagian depan dengan

88 tema tertentu diduga memiliki maksud dan tujuan yang dianggap penting dari makna yang terkandung pada relief yang dipahatkan. Misalnya, penggambaran relief “Dua Manusia” pada dinding badan candi sebelah kanan dan “Burung

Berkepala Manusia: Kinnara” pada sisi sebaliknya dianggap penting dibandingkan dengan relief-relief pada sisi kiri, belakang, maupun kanan. Pada bidang dinding pipi kiri dan kanan tangga masuk terdapat relief besar yang keduanya menggambarkan pohon kalpataru (pohon harapan) melambangkan simbol surga dengan di sisi kanan atau kiri figur Kuwera atau Jambhala sebagai dewa kemakmuran/kekayaan dan seorang raja raksasa dengan pengikutnya. Pohon kalpataru yang digambarkan pada Candi Sojiwan lebih kecil dibandingkan yang terdapat di Candi Mendut. Penempatan dan penggambaran relief ini pada bidang yang cukup luas di dinding pipi tangga masuk sebelah kiri dan kanan menandakan bahwa pengharapan pembangun candi memiliki keinginan untuk hidup sejahtera dan makmur, baik untuk diri dan keluarga maupun rakyatnya.

3. Analisis Relief Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan

Analisis relief merupakan bagian dari analisis ikonografi metode penelitian arkeologi. Analisis meliputi jenis relief, apakah relief cerita, relief hiasan tanpa cerita, atau relief candrasengkala; bentuk relief; maupun teknik analisis yang meliputi morfologi, teknologi, dan kontekstual. Relief cerita terdiri dari relief cerita lengkap, tidak lengkap, sinopsis, dan potongan cerita. Relief hiasan tanpa cerita terdiri dari hiasan dekoratif dan simbol mitologis religis. Relief hiasan dekoratif berfungsi sebagai hiasan, dapat berupa sulur daun, ikal mursal, ukiran,

89 meander, motif tepi awan, geometris ceplok bunga (roset), dan untaian bunga yang diletakkan pada sekitar tokoh utama relief. Relief simbol mitologis religis dapat dikenali berdasarkan acuan ajaran agama dan konsep keagamaan yang membentuk simbol tertentu. Relief candrasengkala dapat digambarkan dengan figur berbentuk manusia, hewan, maupun makhluk mitologis secara berangkai membentuk kalimat yang mengandung arti angka tahun. Analisis bentuk relief didasarkan pada bidang panil yang terdapat pada candi apakah berbentuk empat persegi panjang horisontal atau vertikal, bujur sangkar, lingkaran, maupun tak beraturan. Teknik analisis relief meliputi morfologi, teknologi, dan kontekstual.

Segi morfologi analisis relief didasarkan pada figur yang digambarkan pada panil, apakah manusia, flora, fauna, hiasan lain di sekitar tokoh maupun ukuran panil dan ukuran figur. Figur manusia dapat dikenali apakah pria, wanita, bangsawan, putri, raksasa, dewata, atau makhluk lainnya berdasarkan perbedaan pakaian, perhiasan, dan atribut yang dipakainya. Analisis teknologi teknik analisis relief menggolongkan relief ke dalam kategori relief tinggi, rendah, atau sedang; di samping juga dapat diketahui langgam atau gaya yang dipakai. Analisis kontekstual relief menekankan pada keterkaitan relief dengan artefak lain yang dipahatkan, posisi relief, dan fungsi penempatan relief.

Dua puluh lima relief cerita bertema pañcatantra yang terdapat di Candi

Mendut dan Candi Sojiwan hampir semuanya merupakan potongan cerita dengan mengambil bentuk monoscenic narratives. Pengambilan jenis monoscenic narratives sebagian besar didasarkan atas kemudahan penggambaran, di samping kesederhanaan dan ketersediaan bidang yang ada. Namun demikian, cerita “Penyu dan Angsa” dan “Brahmana, Ular, dan Kepiting” yang terdapat di Candi Mendut

90 dapat dikatakan sebagai continuous narratives walaupun tidak sempurna. Hal ini dikarenakan dalam satu panil dipahatkan beberapa scene yang diambil dari keseluruhan kisah, misalnya pada cerita “Penyu dan Angsa” terdapat beberapa adegan yaitu sekelompok penggembala dan kerbaunya, dua angsa terbang membawa galah yang digigit penyu, dua orang memanah mengarah pada angsa dan penyu, serta seseorang yang bersiap hendak menangkap penyu jika jatuh.

Demikian juga, kisah tentang “Brahmana, Ular, dan Kepiting” digambarkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita tersebut yaitu brahmana duduk bertumpu tangan kanan dan tangan kiri mengarah pada tokoh lain yang berkelompok yaitu ular, burung, dan kepiting. Hal ini tidak menggambarkan salah satu adegan cerita namun dari tokoh yang dilukiskan pengunjung dapat langsung mengetahui cerita yang dimaksudkan. Keberadaan beberapa tokoh dengan adegan yang berbeda menandakan bahwa kedua relief ini termasuk kelompok continuous narratives yang tereduksi. Jenis narasi seperti ini juga tampak pada beberapa cerita bertema pañcatantra yang terdapat di Candi Sojiwan, yaitu kisah “Serigala dan Manusia”,

“Anjing dan Manusia”, “Kepiting, Bangau, dan Manusia”, serta “Burung

Berkepala Dua dan Manusia”. Continuous narratives pada cerita-cerita tersebut dilihat dari munculnya beberapa adegan dalam satu panil. Pada kisah “Serigala dan Manusia” digambarkan ada dua figur sedang duduk di pinggir sungai yang banyak ikannya. Di sebelah kanan terdapat figur manusia berjenis kelamin wanita yang sedih merapati kehidupannya, dan di sebelah kiri terdapat seekor serigala duduk dengan dua kaki depan siap menangkap ikan di sungai. Dengan kata lain, kedua adegan tersebut merupakan dua scenes yang berbeda namun masih merupakan bagian dari cerita yang sama. Kisah “Anjing dan Manusia”

91 menggambarkan seorang pemburu yang duduk melepas lelah dan seekor anjing memakan usus yang digunakan sebagai tali busur anak panah. Pada kisah

“Kepiting, Bangau, dan Manusia” tampak seseorang duduk di bagian kiri panil berseberangan dengan adegan kepiting menyapit leher burung bangau seolah menggambarkan orang yang sedang mengajar dengan menggunakan contoh dan cerita yang dikonkretkan dengan indah oleh pemahat. Hal ini berlaku juga untuk kisah “Burung Berkepala Dua dan Manusia” dengan tokoh utama berada di tengah panil yaitu adegan burung berkepala dua dengan satu kepala tegak dan satu kepala lainnya menunduk ke depan diapit oleh dua manusia di sisi kiri dan kanan.

Penggambaran dua figur manusia di antara kisah utama seolah menggambarkan dua sifat manusia yang saling bertentangan dan saling adu argumen mengenai pandangan yang diyakininya.

Relief bertema pañcatantra di Candi Mendut memiliki bentuk lebih variatif dibandingkan relief yang terdapat di Candi Sojiwan. Relief di Candi Mendut berbentuk empat persegi panjang, segitiga, dan tak beraturan. Sebagian besar

(sebelas dari lima belas atau 73,33%) relief di Candi Mendut berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran yang bervariasi. Empat relief lainnya berbentuk segitiga, yaitu kisah “Ular dan Luwak”, “Seekor Kera”, “Penyu dan Garuda”, serta “Ular dan Manusia Terbang”. Kisah “Ular dan Luwak” digambarkan tiga kali, yaitu pada dinding pipi kiri dan kanan tangga masuk dengan posisi simetris pada ujung bidang segitiga mendekati makara; sedangkan satu lagi berbentuk empat persegi panjang di badan candi bagian dalam selasar. Relief berbentuk segitiga mengesankan sebagai pengisi ruang kosong pada bidang pahat. Namun, jika tidak diisi dengan relief berbentuk segitiga ini justru penampakannya tidak

92 pantas karena memang bidang yang ada mengikuti lekuk tangga masuk yang berbentuk segitiga. Kisah-kisah yang dipahatkan pada panil berbentuk segitiga cenderung mengambl tokoh dengan penggambaran figur yang kecil karena alasan keluasan bidang. Walaupun tokoh yang digambarkan kecil, tetapi dari satu adegan kecil ini dapat diketahui cerita secara keseluruhan, bahkan memungkinkan pengunjung untuk memberikan interpretasi lain terhadap cerita dimaksud. Semua relief bertema pañcatantra yang terdapat di Candi Sojiwan berbentuk empat persegi panjang horisontal mengikuti bidang badan candi bagian bawah yang mengelilingi keseluruhan candi. Hal ini memperjelas alasan bahwa pemahatan relief didasarkan pada bidang yang tersedia, di samping kemudahan dalam menambahkan hiasan dekoratif yang geometris dan simetris.

Analisis morfologi relief bertema pañcatantra di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan meliputi figur, pakaian, perhiasan, atribut, flora, fauna, hiasan sekitar tokoh, ukuran panil, dan ukuran figur. Figur manusia (pria, wanita, bangsawan, brahmana, pertapa, bhikkhu, orang biasa), dewata, makhluk lainnya dapat dibedakan dari pakaian, perhiasan, dan atribut yang dikenakannya. Penggambaran pria dan wanita jelas terlihat pada hampir semua relief, di antaranya kisah “Singa dan Manusia” menampilkan seorang pria yang sedang berhadapan dengan singa; atau kisah “Serigala dan Manusia” menggambarkan seorang wanita yang meratapi kehidupannya duduk di pinggir sungai berseberangan dengan serigala di sisi sungai lainnya siap menangkap ikan. Brahmana digambarkan dengan figur orang tua dengan kumis panjang, jenggot, dan rambut yang diikat di bagian belakang kepala, serta mengggunakan pakaian yang sederhana. Penggambaran brahmana atau pertapa dapat dilihat pada relief kisah “Brahmana, Kepiting, dan Ular” atau

93 relief-relief lain yang tidak disertakan pada analisis penelitian ini. Penggambaran figur manusia didasarkan atas kisah yang hendak disampaikan, tergantung sebagai tokoh utama atau tokoh pendukung cerita. Walaupun figur manusia dipahatkan pada panil sebagai pendukung cerita, namun ukurannya hampir pasti dibuat setara bahkan lebih besar dibandingkan dengan figur hewan sebagai cerita utama. Hal ini dapat dilihat pada kisah “Singa dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”, “Kepiting,

Bangau, dan Manusia”, serta “Burung Berkelapa Dua dan Manusia”.

Penggambaran ini dapat dimaknai bahwa adanya kesetaraan atau anggapan lebih tinggi kedudukan manusia dibandingkan dengan hewan walaupun dalam pelukisan sebagai media saja dalam penyampaian pesan moral. Atribut merupakan peralatan pendukung cerita yang mengesankan kepastian dan ciri khas kisah tertentu yang digambarkan dalam relief. Kisah “Gajah dan Tikus Pengerat” memiliki atribut kayu pada relief yang terpahat di Candi Sojiwan dan tali yang digigit tikus pada Candi Mendut. Cerita ini memberi ciri khas bahwa kisah keduanya sama untuk menunjukkan seekor gajah yang berusaha melepaskan diri karena terikat tali pada sebuah kayu, kemudian dibantu oleh sekawanan tikus dengan menggigit tali hingga putus. Bahkan, kisah ini seolah bersambung antaradegan yang menunjukkan bahwa pemahat di kedua candi saling memberi inspirasi untuk melakukan improvisasi seni dan saling melengkapi. Kisah “Kucing dan Tiga Tikus” pada Candi Mendut memiliki atribut tasbih dan kemoceng penghalau serangga sebagai simbol peran bijaksana yang digunakan oleh kucing untuk mengelabuhi komunitas tikus. Dengan kata lain, penggunaan atribut pada masa pembangunan candi disesuaikan dengan konteks masyarakat pada zamannya. Tasbih dan kemoceng penghalau serangga yang dimiliki pertapa atau

94 brahmana sebagai atribut religiusitas seseorang menjadi acuan dalam memahatkannya pada sebuah relief. Namun demikian, dari cerita yang digambarkan atribut ini juga dapat bermakna bahwa material atau tampilan fisik tertentu tidak menjamin kebijaksanaan seseorang, bahkan bisa digunakan untuk sebuah kepura-puraan semata. Atribut-atribut lain yang mewarnai relief di kedua candi sebagai pendukung dan penciri kisah, di antaranya cincin yang diberikan ular kepada manusia terbang sebagai hadiah atas balas jasa; busur panah dengan tali pengekang di samping figur manusia untuk menegaskan bahwa orang tersebut adalah pemburu. Flora dan fauna sebagai hiasan di sekitar tokoh di Candi Mendut dan Candi Sojiwan relatif sama, baik dari motif, bentuk, maupun penempatannya.

Motifnya didominasi oleh sulur-sulur daun yang membentuk kelopak ceplok pada ujungnya, beberapa dihiasi fauna burung beo. Candi Mendut memiliki sulur kelopak bunga ceplok berhiaskan burung beo lebih banyak dibandingkan dengan

Candi Sojiwan. Hal ini menunjukkan kesan ramai dan mewah pada Candi

Mendut, dan sebaliknya memberikan kesan sederhana pada Candi Sojiwan.

Ukuran panil cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ukuran relief di Candi Mendut lebih bervariasi dibandingkan dengan Candi Sojiwan. Hal ini disebabkan karena bidang pahat yang terdapat di Candi Mendut lebih luas, beraneka bentuk, dan terdapat pada dua lokasi, dibandingkan dengan Candi Sojiwan yang memiliki bidang yang terbatas, sempit, dan hanya pada badan candi bagian bawah. Beberapa ukuran panil relief bertema pañcatantra di Candi Mendut berbentuk empat persegi panjang, yaitu 53 cm x 52 cm, 62 cm x 42 cm, 188 cm x 48 cm, 198 cm x 48 cm,

191 cm x 44 cm, 120 cm x 42 cm, 168 cm x 42 cm, 184 cm x 43 cm. Relief yang

95 terdapat di badan candi bagian dalam selasar memiliki panjang yang lebih dibandingkan dengan yang terdapat di dinding pipi tangga masuk. Relief bertema pañcatantra yang berbentuk segitiga memiliki ukuran 46 cm x 46 cm x 64 cm, 34 cm x 38 cm x 57, 42 cm x 48 cm x 61 cm. Relief bertema pañcatantra di Candi

Sojiwan memiliki ukuran yang relatif sama yaitu 255 cm x 30 cm. Ukuran yang sama ini memberi kesan monoton walaupun memiliki estetika pada geometris dan simetris.

Analisis relief dari sisi teknologi di Candi Mendut dan Candi Sojiwan digolongkan kelompok relief tinggi (haut relief) karena menggunakan batu andesit yang keras, tokoh dipahatkan mendalam pada batu dengan dibuat senatural mungkin. Hampir semua relief bertema pañcatantra di kedua candi menggunakan figur naturalis. Namun demikian, terdapat beberapa figur yang tidak natural, di antaranya kera berkepala manusia, garuda imajinatif, stilasi kerang memutar ke kanan, dan burung berkepala manusia pada Candi Sojiwan yang ditempatkan menyatu dengan deretan cerita bertema pañcatantra lainnya.

Hal ini dimungkinkan karena konsep dewata pada ajaran Hindu yang turut mewarnai pembangunan Candi Sojiwan sebagai simbol mitologis religis, di mana candi ini merupakan persembahan seorang cucu yang beragama Hindu kepada neneknya yang beragama Buddha.

Analisis kontekstual pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan meliputi keberadaan gana, makara, kinnara, dan kerang dengan kulit memutar arah ke kanan. Di antara keempat hal tersebut yang hanya terdapat di Candi Sojiwan adalah kinnara, sedangkan lainnya terdapat di kedua candi. Gana yang berbentuk manusia cebol atau katai ditempatkan pada pintu masuk atau di bawah makara

96 sebagai simbol kekuatan makhluk dewata yang menjaga dan melindungi bangunan candi secara keseluruhan. Kerang yang kulitnya memutar ke arah kanan digunakan untuk memberi aksen keindahan pada deretan relief yang terdapat pada badan candi, di samping juga pemanfaatan binatang mitologis religis yang memiliki makna perjuangan pada pencapaian kesempurnaan dan keluhuran karakter. Kinnara merupakan binatang mitologis religis yang berbentuk burung berkepala manusia memperindah deretan relief lainnya di Candi Sojiwan.

Keindahan dan keunikan Candi Sojiwan juga dibedakan dengan adanya gana unik yang memperlihatkan figur gajah dan manusia menunggang singa seolah memberi kesan kesiapan dalam menghadapi musuh.

4. Nilai-Nilai Karakter Cerita Bertema Pañcatantra di Candi Mendut dan

Candi Sojiwan

Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita bertema pañcatantra di

Candi Mendut dan Candi Sojiwan terbagi menjadi dua kelompok yaitu positif dan negatif. Nilai-nilai karakter ini diambil dari pemaknaan terhadap jalannya cerita pada masing-masing relief yang terpahat pada kedua candi. Nilai positif merupakan sikap luhur yang dimiliki tokoh cerita yang harus dilakukan, diperjuangkan secara konsisten, dan dikembangkan dalam diri seseorang.

Sebaliknya, nilai negatif merupakan sikap-sikap buruk yang harus dihindari, dipadamkan, dan selayaknya tak dilakukan oleh seseorang dalam konteks sosialnya. Nilai-nilai karakter diperoleh sebagai interpretasi atas objek dan tanda- tanda khusus yang terdapat pada panil-panil relief cerita bertema pañcatantra di

Candi Mendut dan Candi Sojiwan. Objek berupa relief cerita bertema pañcatantra

97 ditemukan di kedua candi, berasal dari kisah-kisah dari India yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Objek tersebut memiliki tanda-tanda khusus yang dikenali sebagai cerita bertema pañcatantra yang mengandung nilai-nilai kehidupan untuk mengembangkan karakter.

Nilai-nilai karakter positif yang ditemukan dalam cerita bertema pañcatantra di Candi Mendut dan Candi Sojiwan yaitu pengorbanan, pertolongan, kebersamaan, suka cita, usaha keras, kerja bertahap, belas kasih, kebijaksanaan, persahabatan, saling menolong, persaudaraan, kecerdikan, berterima kasih, pemahaman sebab akibat, kesetiaan, kejujuran, kerja sama, kesabaran, tepat waktu, perjuangan, kewaspadaan, empati, dan siap menghadapi tantangan. Nilai- nilai karakter negatif yang ditemukan yaitu permusuhan, tipu daya, balas dendam, lupa diri, kesombongan, keras kepala, serakah, rakus, rencana jahat, pembunuhan, tipu muslihat, kebodohan, kekalahan, suka mengejek, kemarahan, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin, bersama dalam kejahatan, kepura-puraan, keinginan lebih, iri hati, keinginan salah, dan menyia-nyiakan kesempatan. Nilai positif dan negatif selalu menjadi dualisme yang ada pada situasi sosial masyarakat.

Keduanya menjadi ciri khas kehidupan manusia dalam segala bentuk konteks sosial sejak dahulu hingga sekarang. Penggunaan cerita bertema pañcatantra untuk menunjukkan kompleksitas sosial dalam hal keterkaitan antarmanusia relevan hingga zaman sekarang dan yang akan datang.

Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita bertema pañcatantra di

Candi Mendut dan Candi Sojiwan memiliki keselarasan dengan konsep kebajikan luhur (pāramitā) dalam ajaran agama Buddha, yaitu dāna (kemurahan hati), sīla

(kebajikan, moralitas), nekkhamma (melepaskan keduniawian, kerelaan), paññā

98

(kebijaksanaan), viriya (tekun, semangat, usaha), khanti (kesabaran, toleransi, penerimaan, daya tahan), sacca (kebenaran, kejujuran), adhiṭṭhāna (tekad, resolusi), mettā (cinta kasih), dan upekkhā (ketenangseimbangan). Keterkaitan di antara keduanya dapat dilukiskan pada gambar 6 berikut ini.

Nilai Positif Pāramitā Nilai Negatif

Pertolongan Serakah Berterima kasih Dāna Rakus Empati Keinginan lebih Balas dendam Balas budi Pembunuhan Sīla Tipu muslihat Suka mengejek Tanggung jawab Pengorbanan Nekkhamma Kepura-puraan

Strategi Kesombongan Kebijaksanaan Paññā Kebodohan Pemahaman sebab akibat Kecerdikan Kerja sama Viriya Kekalahan

Kerja bertahap Mengharapkan sesuatu Kesetiaan Khanti yang tidak mungkin Kesabaran Kemarahan Kejujuran Sacca Keinginan salah

Kebersamaan Usaha keras Keras kepala Tepat waktu Adhiṭṭhāna Menyia-nyiakan kesempatan Siap menghadapi tantangan Perjuangan Belas kasih Permusuhan Persahabatan Rencana jahat Mettā Persaudaraan Bersama dalam kejahatan Saling menolong Suka cita Tipu daya Kewaspadaan Upekkhā Lupa diri Iri hati

Nilai Positif Pāramitā Nilai Negatif

Gambar 6. Bagan Keterkaitan antara Nilai-Nilai Karakter Cerita Bertema Pañcatantra dengan Pāramitā

99

Kebajikan dāna (kemurahan hati) merupakan perbuatan yang mudah dilakukan oleh seseorang tanpa harus memiliki modal materi. Orang yang bermurah hati akan senang memberikan pertolongan kepada orang lain, baik donasi berupa barang, perlengkapan, uang, kebutuhan fisik, maupun nonmateri berupa sharing knowledge, nasihat, dan berbagai bentuk kepedulian lainnya. Hal ini dilakukan dengan motivasi meringankan beban orang lain dan sebagai wujud empati atas derita lingkungan sekitar. Pada konteks sosial, kemurahan hati dilakukan jika ada pihak lain yang perlu diberi bantuan atau sarana mewujudkan tindakan dāna. Dengan demikian, perbuatan dāna menjadi sempurna jika pihak lain menerima kebaikan yang diberikan oleh seseorang. Baik pemberi maupun penerima, keduanya terlibat dalam proses tindakan perbuatan bermurah hati berlangsung. Ucapan terima kasih dan rasa syukur menjadi ungkapan yang rasional atas kondisi tersebut. Pemberi mengucapkan terima kasih karena mendapatkan kesempatan berbuat baik, sedangkan penerima mengungkapkannya sebagai spontanitas atas ringannya beban yang dirasakan. Kemurahan hati tidak akan dimiliki jika di dalam diri seseorang terdapat sifat serakah, rakus, dan keinginan-keinginan berlebihan untuk memuaskan diri sendiri.

Sīla (kebajikan, moralitas) merupakan karakter luhur yang dapat dilaksanakan seseorang sebagai bentuk pengendalian diri agar dirinya terbebas dari kejahatan dan membawa dampak pada kehidupan sosial yang menjadi harmonis. Hubungan antarorang akan menjadi baik jika di antaranya saling menjaga hak dan kewajiban demi terciptanya stabilitas sosial. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan baik dilakukan seseorang atas dasar sebuah kewajiban untuk memenuhi hak orang lain. Jika keserasian antara hak dan kewajiban menjadi

100 motivasi seseorang melakukan perbuatan, maka hubungan tersebut menjadi sarana balas budi atas kebaikan-kebaikan yang telah dikerjakan. Misalnya, seseorang yang mengendalikan diri dari perbuatan membunuh atau menyakiti makhluk lain, maka kesempatan orang lain untuk hidup terbuka lebar yang bisa jadi digunakan sebagai sarana untuk menyempurnakan kebaikan-kebaikan lainnya. Pembunuhan dapat berawal dari hal sepele saling mengejek antarteman sehingga memunculkan pertengkaran, tawuran, dan saling serang, serta diwarnai berbagai tipu muslihat hingga berujung saling balas dendam antargenerasi. Pengendalian diri sebagai unsur utama dalam pelaksanaan sīla akan menjaga suatu perbuatan buruk tidak muncul dan berdampak panjang. Secara otomatis, keseimbangan antara hak dan kewajiban anggota masyarakat akan serasi dan selaras.

Kebajikan nekkhamma (melepaskan keduniawian, kerelaan) memerlukan tanggung jawab dan pengorbanan besar dalam mewujudkannya. Seseorang yang memiliki sifat merelakan akan dengan mudah menerima segala macam kondisi dunia dan lingkungannya. Orang yang mudah merelakan memiliki tanggung jawab terhadap pihak lain, bahkan sering berkorban tanpa memikirkan kesenangan diri sendiri. Tanggung jawab merupakan bentuk integritas yang diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan seseorang dalam hubungan sosial agar menghasilkan masyarakat yang saling menghargai sesuai peran masing- masing. Peran seseorang di masyarakat ada kalanya dilaksanakan dengan penuh pengorbanan sesuai kapasitas, kemampuan, dan kesempatan yang ada, bahkan melebihinya. Pengorbanan dan kerelaan menjadi indikator kepedulian peran seseorang atas kepentingan bersama di masyarakat. Peran ini dilaksanakan penuh dedikasi tanpa harus berpura-pura menjadi diri orang lain. Atribut yang dikenakan

101 seseorang mencerminkan peran dan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Jika ada seseorang yang berpura-pura memakai atribut yang dapat menipu orang lain, maka seiring berjalannya waktu tipu daya tersebut akan diketahui masyarakat sehingga secara otomatis orang tersebut akan mendapatkan hukuman sosial.

Kebajikan paññā (kebijaksanaan) merupakan hasil dari memahami pengetahuan secara teoretis dan praktis yang didukung dengan landasan moral dan perenungan mendalam. Pemahaman mengenai sebab dan akibat menjadi ciri seseorang yang telah memiliki kebijaksanaan. Orang yang bijaksana mampu membedakan suatu perbuatan ke dalam kategori baik atau buruk. Perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan, sebaliknya, perbuatan buruk akan menghasilkan penderitaan. Hasil proses pemahaman dan perenungan berupa kebijaksanaan diperoleh dengan menggunakan strategi, metode, pendekatan, media, dan evaluasi yang sesuai. Pemahaman dan perenungan ini untuk menghindari kebodohan dan kepicikan batin yang justru akan membelenggu diri seseorang. Kebodohan dan kepicikan akan membawa seseorang pada kesombongan, pembandingan, dan merasa unggul di atas orang lain. Orang yang bijaksana tidak akan membawa dirinya dan orang lain ke dalam tindakan-tindakan bodoh yang justru menjerumuskannya pada perilaku-perilaku irasional.

Kebajikan viriya (tekun, semangat, usaha) disempurnakan melalui konsistensi, perjuangan, dan dedikasi dalam melakukan tindakan apapun yang didasari keinginan memperbarui keadaan untuk menjadi lebih baik. Usaha yang tekun akan menentukan hasil yang dapat memberi kontribusi pada perubahan kehidupan seseorang. Orang yang memiliki viriya akan bekerja dengan gigih,

102 tidak menyerah, tekun, dan berusaha menghasilkan karya terbaik yang bisa dilakukan. Hal ini membutuhkan kepandaian, kecerdikan, dan pengetahuan dalam menyusun rencana, melaksanakan, maupun mengevaluasinya. Perencanaan yang matang dengan penuh pertimbangan dan strategi pelaksanaannya dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak agar muncul kolaborasi sosial yang saling mendukung satu sama lain. Kerja sama yang baik akan menumbuhkan kekuatan sinergis untuk mencapai hasil optimal sebagai indikator keberhasilan suatu proses.

Keberhasilan yang diraih bersama merupakan kemenangan semua pihak yang memberi rasa puas sebagai antisipasi kekalahan.

Kebajikan khanti (kesabaran, toleransi, penerimaan, daya tahan) memberi kekuatan pada seseorang dalam menghadapi kehidupan yang dinamis. Kehidupan yang terus berubah harus diantisipasi dengan kesabaran, daya tahan, daya juang, penerimaan melalui kerja yang tekun, ulet, dan bertahap. Perubahan yang baik perlu disikapi dengan mawas diri dan tanpa kesombongan sebagai wujud toleransi kepada pihak-pihak yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Perubahan yang buruk hendaknya digunakan sebagai kesempatan untuk meneguhkan kembali tekad semula dan dihadapi dengan penuh kesabaran dan daya tahan.

Kekuatan khanti akan mendukung penyempurnaan kebajikan-kebajikan lain tanpa menyerah pada keadaan, bahkan kondisi tersulit sekalipun. Khanti yang teguh akan mengukur kemampuan diri dalam mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Dengan kata lain, kesabaran dan daya tahan seseorang hendaknya disertai dengan perhitungan matang dan daya nalar yang mengukur kemampuan diri untuk mencapainya.

103

Sacca (kebenaran, kejujuran) menjadi ciri seseorang yang teguh dalam pendirian untuk menyampaikan kebenaran. Kebenaran harus dikatakan dengan jujur walaupun menyakitkan. Kejujuran mencerminkan kebulatan tekad seseorang dalam menjaga kebenaran tersampaikan secara objektif. Objektivitas suatu persoalan atau fenomena yang disampaikan menjadi indikasi integritas seseorang sebagai makhluk sosial. Kejujuran selalu berseberangan dengan kebohongan dan manipulasi yang dapat menyebabkan kemarahan. Berbagai bentuk kepalsuan, kebohongan, manipulasi maupun kecurangan yang dilakukan penguasa akan menimbulkan gejolak kemarahan publik. Hal ini akan berdampak besar pada penyelenggaraan dan stabilitas negara secara keseluruhan. Kebohongan, manipulasi, dan kecurangan didasari atas keinginan salah yang cenderung dilakukan untuk mencari keuntungan diri sendiri.

Adhiṭṭhāna (tekad, resolusi) merupakan kebulatan tekad sebagai wujud kemauan kuat yang dimiliki seseorang untuk mengupayakan niat dan resolusi agar terwujud hasil baik. Proses mewujudkan tekad ini diperlukan usaha keras, perjuangan, dan siap menghadapi tantangan agar menghasilkan pencapaian sesuai keinginan dan tepat waktu. Orang yang memiliki adhiṭṭhāna akan berusaha keras dan konsisten pada jalan yang sedang ditempuhnya. Bagi pemilik sikap adhiṭṭhāna ini, kegagalan akan menjadi tantangan yang siap untuk dihadapi sebagai kesempatan untuk berusaha lebih keras lagi. Suatu niat yang diperjuangkan akan memiliki dampak, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Dampak ini meneguhkan niat lainnya untuk segera diperjuangkan kembali.

Namun demikian, dalam mengusahakan suatu niat baik harus menghindari sifat keras kepala semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan pihak lain.

104

Kebajikan mettā (cinta kasih) merupakan kemauan baik yang didasari cinta kasih, persahabatan, dan persaudaraan untuk meringankan beban orang lain.

Kesempurnaan mettā diwujudkan dalam bentuk belas kasih dan memberikan pertolongan pada pihak lain yang dipandang perlu diberi bantuan. Orang yang memiliki mettā akan bebas dari rencana jahat, rasa permusuhan, maupun bekerja sama dalam kejahatan. Hal ini dikarenakan sifat mettā yang didasari atas kebahagiaan pihak lain sehingga suasana persahabatan dan persaudaraan dijadikan sebagai sarana penyempurnaannya. Mettā dilakukan secara bertahap mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan terdekat, komunitas, hingga semua makhluk tanpa batas secara universal.

Upekkhā (ketenangseimbangan) merujuk pada sifat batin yang seimbang karena pemahaman mendalam yang diperoleh dari pikiran yang tenang, bahkan dalam situasi sulit. Kewaspadaan dan eling-waspada menjadi ciri orang yang memiliki kebajikan upekkhā. Sikap batin upekkhā bukanlah hasil yang dipaksakan, tetapi dilakukan melalui aktivitas keseharian yang penuh suka cita.

Orang yang memiliki upekkhā tidak mungkin memiliki usaha tipu daya, lupa diri, dan iri hati yang justru akan memperkeruh batinnya. Upekkhā sebagai kondisi seseorang yang batinnya tenang dapat dicapai dengan praktik meditasi dan hidup berkesadaran.

Pelaksanaan nilai-nilai kebajikan (pāramitā) tidak dilakukan satu per satu secara berurutan, tetapi saling mendukung satu sama lain. Misalnya, seseorang yang memiliki adhiṭṭhāna ber-dāna dilakukan untuk mendukung nekkhamma dan sīla yang dijalankannya dengan penuh viriya, khanti, dan sacca atas dasar mettā dan paññā dengan penuh upekkhā.

105

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi data dan pembahasan, kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Relief fabel yang dapat diidentifikasi memuat tema cerita pañcatantra pada

Candi Mendut terdapat pada dinding pipi tangga masuk dan badan candi

bagian dalam selasar sejumlah enam belas, sedangkan pada Candi Sojiwan

terdapat pada lingkar badan candi berjumlah sepuluh. Cerita sama yang

terpahat pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan yaitu “Garuda dan Penyu”,

“Buaya dan Kera”, “Gajah dan Tikus Pengerat”, “Kepiting dan Bangau”,

“Burung Berkepala Dua”, dan “Serigala dan Lembu”. Penggambaran cerita

sama tersebut yang paling memiliki kemiripan adalah kisah “Buaya dan

Kera”, “Gajah dan Tikus Pengerat”, dan “Serigala dan Lembu”; sedangkan

cerita lainnya digambarkan berbeda. Cerita yang terdapat pada Candi Mendut

tetapi tidak terdapat pada Candi Sojiwan yaitu “Ular dan Luwak”, “Penyu dan

Angsa”, “Seekor Kera”, “Brahmana, Ular, dan Kepiting”, “Rusa, Macan, dan

Kera”, “Ular dan Manusia Terbang”, “Kera Pemarah”, “Macan, Kera, dan

Kambing”, “Dua Rusa”, dan “Kucing dan Tiga Tikus”. Cerita yang hanya

terdapat di Candi Sojiwan namun tidak terdapat pada Candi Mendut yaitu

“Singa dan Manusia”, “Serigala dan Manusia”, “Anjing dan Manusia”, dan

“Gajah dan Kambing”. Kesimpulan ini berimplikasi pada keterkaitan antara

beberapa candi dalam menerjemahkan kisah-kisah rakyat bernilai moral tinggi

106

untuk ditempatkan pada bangunan keagamaan sebagai upaya pelestarian.

Pelestarian nilai-nilai yang terdapat pada relief candi-candi di Indonesia dapat

dilakukan dengan melakukan penguatan karakter pada konteks yang sesuai.

2. Persamaan ornamen relief pañcatantra pada Candi Mendut dan Candi

Sojiwan mengambil bentuk monoscenic narratives, namun terdapat pula

bentuk continuous narratives pada Candi Mendut; di mana sebagian besar

berbentuk empat persegi panjang, di samping ada juga bentuk segitiga dan tak

beraturan pada Candi Mendut. Pada analisis morfologi figur yang dipahatkan

sebagian besar naturalis, kecuali pada Candi Sojiwan ditemukan tidak

naturalis berupa garuda, hiasan kerang, kinnara, dan manusia berkepala kera.

Morfologi pakaian dan perhiasan pada kedua candi memiliki persamaan yaitu

penggunaan kain, gelang, kalung, gelang lengan, sabuk, ikat kepala, mahkota,

rambut ukel, pakaian yang menunjukkan peran pada figur manusia; dengan

atribut yang ada di sekitar tokoh sentral yaitu panah, galah, persembahan,

buah, payung, senjata, kotak perhiasan, pikulan, keranjang, caping, mangkok,

kendi, tasbih, kemoceng. Morfologi hiasan di sekitar tokoh pada kedua candi

didominasi oleh sulur floral berupa bunga berbentuk bulat berhias yang

menampilkan banyak burung beo di Candi Mendut, sedangkan di Candi

Sojiwan hanya ada tiga relief yang berhiaskan burung beo pada hiasan di

sekitar tokohnya. Morfologi berdasarkan ukuran relief pada Candi Mendut

bervariasi sesuai dengan bidang yang ada, sedangkan pada Candi Sojiwan

berukuran sama pada semua relief; di mana pada kedua candi memiliki ukuran

figur tokoh sentral secara proporsional terletak pada tengah panil yang diapit

oleh hiasan flora dan atau fauna. Menurut analisis relief dari segi teknologi,

107

kedua candi termasuk pada kategori haut relief (relief tinggi) dengan ciri

terpahat pada batu keras, mendalam, dan lebih naturalis. Namun demikian,

pada Candi Sojiwan ditemukan garuda, kerang dengan arah putar ke kanan,

kinnara, dan manusia berkepala kera yang tidak naturalis. Pada analisis

kontekstual, kedua candi berbeda atas ditemukannya gana unik dan spesifik

berupa gajah, singa, dan manusia menunggang singa di Candi Sojiwan; di

samping persamaannya yaitu terdapat makara dan gana dengan karakter yang

sedikit berbeda. Pengetahuan tentang perbandingan kedua candi

memungkinkan adanya penarikan benang merah di antaranya bahwa

keberadaan satu karya dapat menginspirasi karya lainnya, baik antargenerasi

maupun antarwilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan miniatur

candi-candi lainnya atau bahkan membangun situs keagamaan baru yang

terinspirasi dari bangunan yang sudah ada sebagai upaya pelestarian.

3. Nilai-nilai karakter cerita pañcatantra sebagai niti-shastra yang dapat dipakai

sebagai the wise conduct of life pada Candi Mendut dan Candi Sojiwan yang

bernilai positif, yaitu tanggung jawab, strategi, pengorbanan, pertolongan,

kebersamaan, suka cita, usaha keras, kerja bertahap, belas kasih, balas budi,

kebijaksanaan, persahabatan, saling menolong, persaudaraan, kecerdikan,

berterima kasih, pemahaman sebab akibat, kesetiaan, kejujuran, kesabaran,

tepat waktu, perjuangan, kewaspadaan, empati, dan siap menghadapi

tantangan. Namun demikian, terdapat nilai-nilai negatif yang muncul, di

antaranya permusuhan, tipu daya, balas dendam, lupa diri, kesombongan,

keras kepala, serakah, rakus, rencana jahat, pembunuhan, tipu muslihat,

kebodohan, kekalahan, suka mengejek, kemarahan, mengharapkan sesuatu

108

yang tidak mungkin, bersama dalam kejahatan, kepura-puraan, keinginan

lebih, iri hati, keinginan salah, dan menyia-nyiakan kesempatan. Kesimpulan

ini berimplikasi pada pemanfaatan media dan sarana seni arsitektur dan

bangunan keagamaan sebagai pendekatan untuk membawa ajaran tekstual ke

situasi kontekstual.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi, peneliti memberikan saran kepada berbagai pihak sebagai berikut:

1. Bagi penyelenggara pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal

dapat menggunakan cerita-cerita bertema pañcatantra yang terdapat di Candi

Mendut dan Candi Sojiwan untuk mengembangkan karakter bernilai positif

dan menghindarkan peserta didik dari nilai-nilai negatif.

2. Bagi pengambil kebijakan, baik lokal maupun nasional dapat memasukkan

cerita-cerita bertema pañcatantra yang terdapat di Candi Mendut dan Candi

Sojiwan sebagai contoh dalam sumber belajar yang digunakan.

3. Bagi penggiat industri kreatif dapat menggunakan cerita-cerita bertema

pañcatantra yang terdapat di Candi Mendut dan Candi Sojiwan sebagai

sumber ide dan gagasan dalam menciptakan karya-karya inovatif yang mampu

memberdayakan ekonomi masyarakat sekaligus mendukung upaya pemerintah

dalam bidang human literacy.

4. Bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian serupa dapat lebih

memperdalam kajian guna mendapatkan simpulan yang komprehensif.

109

DAFTAR ACUAN

Ahmad Rohani. 2010. Pengelolaan Pengajaran: Sebuah Pengantar Menuju Guru Profesional. Jakarta: Rineka Cipta.

Dédé Oetomo. 2013. Penelitian Kualitatif: Aliran & Tema. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Editor Bagong Suyanto & Sutinah. Jakarta: Kencana.

Dehejia, Vidya. 1997. Discourse in Early : Visual Narratives of India. New Delhi: Munshiram Manoharlal.

Dewan Redaksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Djamal. 2015. Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Edi Sedyawati. 2012. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kaelan. 1959. Petundjuk Tjandi: Mendut, Pawon, Barabudur. Jogjakarta: Djawatan Kebudajaan, Tjabang Bagian Bahasa.

Lailly Prihatiningtyas. 2017. Kraton Ratu Boko: A Javanese Site of Enigmatic Beauty. Yogyakarta: PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko.

Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character, Mendidik untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.

Long, Mark. 2009. Candi Mendut: Womb of the Tathāgata. New Delhi: Aditya Prakashan.

Made Taro. 2015. Kisah-Kisah Tantri. Denpasar: Sanggar Kukuruyuk.

Mingun, Tipiṭakadhara, . 2009. Riwayat Agung Para Buddha: The Great Chronicle of Buddhas. Terjemahan Indra Anggara. Jakarta: GiriMangala Publications & Ehipassiko Foundation.

Muchlas Samani & Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

110

Pai, Anant. 1981. : Crows and Owls and Other Stories. Mumbai: Padmini Mirchandani for India Book House.

Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ryder, Arthur W. 1925. The Panchatantra of Vishnu Sharma: English Translation. Chicago: The University of Chicago Press.

Santacitto Sentot, Aryanto Firnadi, & Rakay Indramayapanna. 2017. Identifikasi Kisah-Kisah Jātaka di Candi-Candi Buddhis Jawa Tengah. Prosiding Penelitian Dosen 2017 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha.

Shivkumar. 2015. Stories From Panchatantra. New Delhi: Children’s Book Trust.

Soeharsono. 1969. Petunjuk Singkat untuk Bangunan Sutji Barabudur. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

111

LAMPIRAN 1

INSTRUMEN ANALISIS RELIEF

Jenis Relief Aspek Deskripsi Relief Cerita (Naratif) Relief cerita lengkap Sejak bagian awal-akhir Relief cerita tidak lengkap Hanya sebagian saja Bagian yang dianggap penting saja Relief cerita sinopsis Adegan cerita hanya satu panil Relief potongan cerita Suatu adegan terkenal saja Relief Hiasan Tanpa Cerita Relief hiasan dekoratif Fungsi sebagai hiasan Sulur daun Ikal mursal Ukiran Meander Motif tepi awan Geometris ceplok bunga (roset) Untaian bunga (guirlande) Letak Relief simbol mitologis-religis Acuan pada ajaran agama Konsep keagamaan Membentuk simbol Relief Candrasengkala Bentuk figur (manusia, hewan, makhluk mitologis) Membentuk arti kalimat Kalimat mengandung arti angka tahun

112

Bentuk Aspek Deskripsi Panil Relief Empat Persegi Panjang Horisontal Ada pembatas jelas tiap adegan Pembatas diganti dengan wujud tertentu Ukuran Empat Persegi Panjang Vertikal

Bujur Sangkar

Lingkaran Medalion berhias Hewan mitos Tak Beraturan Relatif, mengikuti bidang Bidang di atas kepala kala Pada artefaks candi dengan puncak punggal Belakang arca Ruang kosong dengan alasan kepantasan Bentuk

Teknik Aspek Deskripsi Analisis Morfologi Figur Pria Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Wanita Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Bangsawan Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Putri Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Raksasa

113

Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Dewata Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Makhluk lainnya Pakaian Perhiasan Atribut lainnya Flora Fauna Hiasan lain di sekitar tokoh Ukuran panil Ukuran figur yang dipahatkan Teknologi Relief Tinggi (Haut Relief) Dipahatkan pada batu yang relatif keras, tokohnya dipahatkan secara dalam pada media, lebih naturalis dan menonjol, masa klasik tua (abad VIII – X). Relief Rendah (Bas Relief) Dipahatkan pada media yang lebih lunak dari batu (bata dan kapur); kaku, simbolis, dan tidak menonjol; abad XI – XV. Relief Sedang (Demi Relief) Dipahatkan tidak menonjol, tetapi sisi naturalisnya masih dapat dilihat. Langgam atau gaya relief Kontekstual Keterkaitan antara relief dengan artefak lainnya tempat relief dipahatkan. Posisi relief pada bidang Fungsi penempatan relief

114

LAMPIRAN 2

DOKUMENTASI FOTO

Candi Mendut: Relief Dinding Pipi Sebelah Kanan

Candi Mendut: Relief Dinding Pipi Sebelah Kiri

115

Candi Mendut: Relief Kisah Kera

Candi Mendut: Relief Kisah Gajah

Candi Mendut: Relief Kisah Kerbau dan Kambing

Candi Mendut: Relief Kisah Macan, Kera, dan Kambing

116

Candi Mendut: Relief Kisah Burung

Candi Mendut: Relief Hiasan Dekoratif

Candi Mendut: Kisah Burung Beo

117

Candi Mendut: Relief Hiasan Dekoratif Fauna

Candi Mendut: Relief Hiasan Dekoratif Fauna

Candi Mendut: Relief Sulit Teridentifikasi

Candi Mendut: Relief Kisah Dua Rusa

118

Candi Mendut: Relief Kisah Kepiting dan Burung Bangau

Candi Mendut: Relief Kisah Buaya dan Kera

Candi Mendut: Relief Hiasan Dekoratif Burung Merak

119

Candi Mendut: Relief Hiasan Dekoratif Ayam Jago

Candi Mendut: Relief Kisah Burung Berkepala Dua

Candi Mendut: Simbol Dharmacakra di Altar Candi Mendut

120

Candi Mendut: Relief Dewi Hariti

Candi Mendut: Relief Yakkha Alavaka

121

Candi Sojiwan: Relief Dinding Pipi Kanan

Candi Sojiwan: Relief Kisah Dua Manusia

Candi Sojiwan: Relief Kisah Dua Manusia Lengkap dengan Hiasan Dekoratif

122

Candi Sojiwan: Sulur Flora

Candi Sojiwan: Relief Kisah Buaya dan Kera

Candi Sojiwan: Relief Kisah Kerbau

Candi Sojiwan: Kisah Garuda dan Penyu

123

Candi Sojiwan: Sulur Flora Tidak Lengkap dengan Batu Pengganti

Candi Sojiwan: Relief Kisah Buaya dan Kera, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Gajah, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Gajah

124

Candi Sojiwan: Kisah Manusia dan Singa, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Manusia dan Singa

Candi Sojiwan: Relief Tidak Teridentifikasi

Candi Sojiwan: Relief Tidak Teridentifikasi dengan Flora Lengkap

125

Candi Sojiwan: Relief Kisah Serigala dan Manusia, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Serigala dan Manusia

Candi Sojiwan: Hiasan Dekoratif

Candi Sojiwan: Relief Kisah Anjing dan Manusia

126

Candi Sojiwan: Relieh Kisah Garuda dan Penyu, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Kepiting, Bangau, dan Manusia

Candi Sojiwan: Relief Kisah Burung Berkepala Dua dan Manusia, Dekoratif

Candi Sojiwan: Relief Kisah Burung Berkepala Dua dan Manusia

Candi Sojiwan: Relief Kisah Sepasang Suami Istri

127

Candi Sojiwan: Relief Kisah Sepasang Suami Istri, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Gajah dan Kambing, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Gajah dan Kambing

Candi Sojiwan: Relief Manusia Berkepala Kera, Beserta Ornamen Lengkap

128

Candi Sojiwan: Relief Manusia Berkepala Kera

Candi Sojiwan: Relief Kisah Serigala dan Lembu, Beserta Ornamen Lengkap

Candi Sojiwan: Relief Kisah Serigala dan Lembu

Candi Sojiwan: Tidak Teridentifikasi, Ornamen Jelas

129

Candi Sojiwan: Relief Tidak Teridentifikasi, Bagian Badan Burung

Candi Sojiwan: Relief Kinnara, Lengkap dengan Ornamen

Candi Sojiwan: Relief Kinnara, Burung Berkepala Manusia

130

Candi Sojiwan: Relief Dinding Pipi Kiri

Candi Sojiwan: Relief Dinding Pipi Kiri, Diperjelas

131

Candi Sojiwan: Relief Dinding Pipi Kanan

132

Candi Sojiwan: Tangga Masuk

133

Candi Sojiwan: Gana Manusia Menunggang Singa

Candi Sojiwan: Gana Gajah, Singa, dan Manusia Menunggang Singa, Dari Samping

134

Candi Sojiwan: Gana Manusia Menunggang Singa, Dari Depan

Candi Sojiwan: Gana Lengkap, Dari Sudut

135

LAMPIRAN 3

CATATAN LAPANGAN

136

137

138

139

140

141

142

143

144

145

146

147

148

149