LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS KATOLlK PARAHYANGAN

KAJIAN PERKEMBANGAN DESAIN ARSITEKTUR CANDI DI JAWA PENGARUH UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR TRADISIONAL CINA DALAM DESAIN CANDI JAWA.

I'ENYlJSUN :

RAHADHIAN PH

BANDUNG, JUNI 2009 KATA f>ENGANTAR

Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat berkah dan bimbingan-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini digunakan untuk menunjang studi doktmal yang sedang ditempuh. Penelitian ini berisi pembahasan Kajian Perkembangan Desain Arsitektur Candi di Jawa, Pengaruh Unsur-Unsur Arsitektur Tradisional Cina dalam Arsitektur Candi Jawa. Studi ini ditujukan untuk memahami dan mengetahui sejauh mana wujud pengaruh unsur arsitektur tradisional Cina terhadap bangunan sakral Hindu-Budha yakni Candi di Jawa berikut faktor-faktor yang mendasari dan melatarbelanginya, melalui studi kesejarahan. Hal ini berguna bagi pembelajaran, pemahaman, dan pengajaran keilmuan arsitektur yang bersumber pada aspek kesejarahan percandian di Jawa Penyusun berusaha menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya dalam waktu yang tersedia. Menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempuma, penyusun dengan senang hati menerima kritik dan saran. Penelitian ini merupakan titik awal untuk penelitian lebih lanjut dengan pengkajian yang lebih mandalam. Akhir kata, penyusun berharap penelitian ini dapat memberi sumbangan nyata bagi pendidikan arsitektur di Unpar pada khususnya dan pendidikan arsitektur di pada umumnya. Wassalam.

Ban dung, Juni 2009 Hormat saya,

Rahadhian PH DAFTAR ISI HAL

+ KATA PENGANT AR...... i + DAFTAR lSI...... ii

+ ABSTRAK ...... Ill

BAB 1. PENDAHULUAN

LA TAR BELAKANG . l.l...... I

PERUMUSAN MASALAIL ...... 1.2...... 2

1.3. KERANGKA PEMIKIRAN...... 2 1.4. TUJUAN PENELITIAN...... 3 1.5. MANF AAT PENELITIAN...... 3 1.6. METODA PENELITIAN...... 3

BAB 2. LANDASAN TEORL ...... 8

BAB 3. ARSITEKTUR TRADISJONAL CINA

.I. SEJARAH PERKEMBANGAN...... 3 ...... 18 WUJUD DESAlN BANGUNAN ... .. 3.2 . 23 3.3 ORNAMEN DAN ELEMEN...... 46

BAB 4. ARSITEKTUR CANDI JAWA

4.1. PENGERTIAN CANDI JAWA ...... 53

4.2. ...... 58 4.3 . PERKEMBANGAN DESAIN CANDI JAWA...... 62 PRINSIP PENGOLAHAN DESAJN ARSITEKTUR CANDI... 4.4. .... 77

BAB 5. KORELASI ARSITEKTlJR CINA Dl DALAM DI�SAIN CANDIJAWA 5.1. CANDI BERATAP MERU ...... 97

CANOl ATAP MONOLIT BERPUNCAK KUBUS...... 4.2...... I 05 ORNAMENTAS! DAN IKONOGRAFL...... Ill 4.3. . .

...... BAB 6. KESIMPULAN ...... 113

KEPUSTAKAAN...... IV

ii ABSTRAK

Seni arsitektur bangunan pada masa Hindu-Budha di Jawa dipengaruhi oleh tradisi yang berasal dari . Prmelitian selama ini dilakukan hanya membahas pengaruh dari India. Melihat dari elemen-elemen dan sosoknya sebenamya tidak hanya India saja yang mempengaruhi, namun adapula yang diperkirakan be rasa/ dari Cina, khususnya pada candi­ candi Klasik Muda pada masa Majapahil. Kebudayaan yang paling dekat dengan selain India adalah Cina. Penelitian ten-lang pengaruh arsitektur Cina terhadcrp arsitektur candi Nusantara belum pemah dilakukan .Jawa Ielah mempunyai hubungan dengan Cina sejak jaman Dinasti Tang di Cina dan menguat pada jaman Majapahit, meskipun dengan intensitas yang terbatas. Oleh karena itu dalam studi ini akan dicari wujud pengaruh unsur­ unsur Cina tersebut dalam arsitektur candi di .Jawa berupa konsep desain, wztjud sosok 3D, omamentasi, dsb. Diperkirakan arsitektur Cina mempengaruhi banJ,:·unan di .Jawa melalui a/iran SiwaBudha yang masuk ke Nusanlara sejak abad ke-9. A/iran ini diperkirakan penyeharannya juga melalui Cina. Hal ini menunjukkan bahwa penyebarannya tidak hanya berasal dari Jndw saJa.

Kajian ini menunjukkan bahwa pengaruh arsitektur Cina pengaruhnya semakin menguat pada masa Majapahil dan Singosari, khususnya pada bangunan candi klasik muda yang khas. Pengaruh ini juga me Ianda teknik pertukangan kayu yang dipergunakan kemudian sampai pada masa Islam di .Jawa. Silang Budaya tidak dapat ditolak, termasuk masuknya pengaruh Cina. Cina biasanya dikaitkan dengan arsitektur pesisiran dan perkayuan pada masa Majapahil dan Islam. Namun demikian kajian dialas memmjukkan bahwa pengaruhnya juga masuk dalam kontek bangunan batunya, yakni percandian Seperti halnya India, pengaruh Arsitektur Cina tidak diambil begilu saja, melainkan disesuaikan dengan kondisi budaya yang ada di Jawa pada saat itu. Fenomena penyesuaian atau penciptaan kreatifitas yang mandiri nampak pada arsitektur batu gaya klasik muda dan meru ditunjukkan dengan sosok yang herbeda dengan Cina.

iii BABI.

PENDAHlJLUAN

l.l. Latar Belakang :

Seni arsitektur bani,>Unan pada masa Hindu-Budha di Jawa dipengaruhi oleh tradisi

yang berasal dari India, tetapi dalarn perkembangan lebih lanjut mengalami proses

adaptasi dengan konsep lokal sehingga cenderung menyimpang dari tata aturan baku

yang tertulis di dalam kitab ilmu bangunan kuno di India. Pengaruh kebudayaan India

atau lndinianisasi tersebut diperkirakan menentukan perkembangan arab dan corak

kebudayaan Indonesia beberapa abad lamanya. Hal ini dapat dilihat dari sistem religi,

pemerintahan, kesenian, bahkan nama, gelar raja-raja yang mempergunakan bahasa

Sansekerta

Penelitian selama ini dilakukan hanya membahas pengaruh dari India Melihat dari

elemen-clemen dan sosoknya sebenamya tidak hanya India saja yang mempengaruhi,

namun adapula yang diperkirakan bcrasal dari Cina, khususnya pada candi-candi Klasik

Muda pada masa Majapahit. Kebudayaan yang paling dekat dengan Nusantara selain

India adalah Cina. Penelitian tentang pengaruh arsitektur Cina terhadap arsitektur candi

Nusantara belum pemah dilakukan. Jawa telah mempunyai hubungan dengan Cina sejak

jaman Dinasti Tang di Cina dan menguat pada jaman Majapahit, meskipun dengan

intensitas yang terbatas.

Oleh karena itu dalam studi ini akan dicari wujud pengarnh unsur-unsur Cina

tersebut dalam arsitektur candi di Jawa berupa konsep desain, wujud sosok 3D

ornamentasi, dsb. Diperkirakan arsitektur Cina mempengamhi bangunan di Jawa melalui

aliran SiwaBudba yang masuk ke Nusantara sejak abad ke-9. Aliran ini diperkirakan

penyebarannya juga melalui Cina Hal ini menunjukkan bahwa penyebarannya tidak

hanya dari India saja. Potensi-potensi yang didapatkan dalam studi ini akan dapat

dipergunakan dalam memahami suatu proses akulturasi yang terjadi dalam arsitektur

Nusantara. Diperkirakan pengaruh arsitektur Cina tersebut juga merasuk ke dalam

ban,b'llllan non sakral yang kemudian dipergunakan pada jaman Islam, khususnya di Jawa.

Hal ini menunjukkan adanya fenomena sinkritisme dalarn arsitektur bangunan tersebut. 1.2. Rumusan Masalah

L Bagaimana wujud pengaruh unsur arsitektur tradisional Cina terhadap bangumm

sakral Hindu-Budha di Jawa

2. Sejauh mana pengaruh unsur arsitektur Cina tersebut membentuk karakter

percandian di Jawa dalam perkembangan desain arsitekturnya.

1.3. Kerangka Pemikiran

Untuk memahami korelasi desain msitektur banic,>unm1 saki·al Hindu-Budha atau candi tersebut maka perlu dicari landasan teori tipomorfologi, adaptasi dan sinktritisme.

Selain itu digunakan pendekatan kualitatif dengan objek-objek nyata untuk memperkuat pola-pola yang muncul, sehingga mempemudah dalam memahami wujud pengaruh sehingga menimbulkan transformasi dalam desainnya Dengan pedom311 atau kaidah­ kaidah yang ditemukan diharapkan dapat direfleksikan sebagai guideline dalam pengembangan adaptasinya di masa sekarang.

------[ ...... •...... •...... •....•. ------LATAR BELAKJ\NG - ARSITEK11JR ARSITEK11JR------SEJARAH TARDISIONALCINA -LATAR BELAKJ\NG BANGUNANCANDI t.AH:l'\SAN TEORI 1) JAWA

) I - - ··· · . - . D;,sain · ·--- · . - [ -··· · � · - 1 DESAIN - f ··-L- I ············• - ······ ...... J J ······· KONSEP SPASIAL: KONSEP SPASIAL : SIMBOL SIMBOL ORIENTAS! ORIENTAS! HIRARKI HIRARKI ORNAMEN ORNAMEN I I ······-�------�� c ����J

2 1.4. Tujuan Penelitian

I. Memahami dan mengetahui sejauh mana wujud pengaruh uusur arsitektur tradisional Cina terhadap bangunan sakral Hindu-Budha di Jawa ehingga berguna dalam pembelajaran, pemahaman, dan pengajaran keilmuan arsitektur yang bersumber pada aspek kesejarahan.

2. Memahami wujud aplikasi dan adaptasinya sehingga dapat digunakan sebagai masukan bagi desain di masa kini.

1.5. Manfaat Penelitian

I. Diharapk1m dapat diketahui wujud penggunaan arsitektur candi dalam arsitektur pada masa Islam di Jawa, baik pad a bangunan sakral dan non sakralnya dan aspek perletakannya dalam kawasan/urbanitasnya.

2. Dapat menambah wawasan tentang pengetahuan desain arsitektur yang berlandaskan pada kaidah-kaidah arsitektur lokal dimana dapat digunakan sebagai sebagai bahan pengajaran sejarah dan teori arsitektur ataupun sebagai bahan penelitian lebih lanjut

3. Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang proses adaptasi yang terjadi, sehingga bergunna untuk pencarian kemtmgkinan --kemungkinan penggunaanya kembali padadesain arsitektur secara umum di Nusantara saat kini ..

4. Diharapkan dapat membuka wacana lebih lanjut tentang pengk1\jian hubungan antara desain nmdi dengan dinamika perkembangannya dalam membangun wujud arsitektur Nusantara dan pencarian jatidiri ke-lndonesia-an.

1.6. Metode Penelitian : Metode : Deskriptif Argumentatif.

I. Objek studi dipilih berdasarkan uji kelayakan 2. Studi literatur dan observasi ten tang arsitektur tradisiona1 Cina termasuk unsur­ unsumya

3. Menemukan sejauh mana wujud pengaruhnya terhadap arsitektur candi melalui pendekatan tipo-morfologi, transformasi, adaptasi, berdasarkan ana1isis dan interpretasi objek studi dasar teoritisasi, yang berasal dari literatur 4. Mencari potensi-potensi yang dapat dikemb1mgkan berdasarkan proses adaptasi di

dalam desain arsitektumya.

1.6.1. Langkah Penelitian

1. Objek studi yang dipilih telah diseleksi sesuai dengan uji kelayakan berdasarkan

kelengkapan komponen bangunan.

2. Mengumpulkan data baik berupa gambar tampak, denah, perletakan dari objek maupun foto-foto yang mendukung

3. Mengadakan pengukuran pada gambar tampak, denah, perletakan, dan foto 4. Mengkaji dan membandingkan literatur-literatur yang berhubungan dengan teori

desain dan aspek-aspeknya berdasarkan kaidah yang ada.

5. Mencari hal-hal yang dianggap mempengaruhi dan menentukan kaidah arsitektur

candi Jawa yang berkaitan dengan desain arsitektur tradisional Cina.

6. Melakukan eksperimentasi, interpretasi,analisis berdasarkan pertimbangan kaidah­ kaidah tersebut untuk menemukan kaidah-kaidah pengaruh desain arsitektur Cina

pada bangunan Candi.

7. Menarik kesimpulan untuk kemudian mencari kemungkinan--kemungkinan potensi

pengembangannya pada saat kini serta membuat rekomendasi hasil dari penelitian.

1.6.2. Objek Penelitian

Objek penelitian meliputi candi di Jawa dan kajian arsitektur tradisional Cina.

Peninggalan Car1di yang diambil adalah yang masih dapat menunjukkan komponen candi secara utuh. Oleh karena itu perlu kiranya kita a;nbil metode sampling sebagai pengumpulan data, untuk dapat mengetahui gambaran peninggalan-peninggalan dengan variasi-variasinya secara umum. Tetapi jika ditemukan hal-hal yang khusus atau istimewa maka metode studi kasus dapat digunakan. Teknik penentuan sample yang digunakan adalah teknik penentuan Purposive Sampling, yakni berdasarkan atas pertimbangan tertentu dan representatif yang kebanyakan pertimbangannya didasarkan atas pengamatan wujud fisik bangunannya.

4 • Bangnnan Candi

� �··-� --�------·------·--··-·------���-� � .__ _,,, ---- ···-----�------.. ··------·--·---�---··---···· NO NAMACANDI TEMPAT NO NAMACANDI TEMPAT MAJAPAHIT PRA-MAJAPAHIT 1 Candi Singosari (Malang} l Candi Klaten 2 Candi Kidal (Malang) 2 Candi Klaten- Prambanan

3 Candi Jago (Malang) 3 Candi Yogyakarta Candi Badud (Malang) 4 Candi Sari Yogyakarta 4 �· 5 Candi Jawi (l>andaan} 5 Candi Sambisari Yogyakarta 6 Candi Penataran (l3litar) 6 Candi Baka Klaten� Prambanan

7 Candi Sawentar (Blitar) 7 Candi Klaten- Prambanan Candi Pari (Poron g) 8 Candi Merak Klaten 8 - ··------�--� 9 9 Candi Bangkal (Mojokerto) Candi Muntilan 10 Candi Gnnung Gangsir (l3angil) 10 Candi Muntilan 11 Candi Ngetos (Nganjuk) 11 Candi J>awon Muntilan 12 Candi (Probolinggo) 12 Candi Muntilan 13 Candi Rimbi Jombang) l3 Candi Banynniba Klaten 14 Candi Surowono (Pare) 14 Candi Sojiwan Klaten 15 Candi Tegawangi (Pare) 15 Candi Ungaran Gedongsongo ·--�------16 Candi Sumberjati (Blitar) 17 Candi Bayalangu (fulungagung) 18 Candi J alatunda (Penangt,'Ullgan) 19 Candi Tikus (frowulan) 20 Candi Kendalisodo (Penanggungan) 21 Candi Gapura Wringin (frowulan, Mojokerto) Lawang - 22 Candi Gapura Bajang (Trowulan,Mojokerto) Ratu � Candi Kotes (Blitar) 23 ------Candi Selakelir (Penanggungan) 24 ·�--- Candi Wringinbranjang Blitar) 25 ···-�----�----- ···--- 26 Candi (Malang) 27 Candi Kedhaton Trowulan (Mojokerto)

Bangunan Tradisional Cina : Forbidden City, of Heaven, Rumah Tradisional Cina, Kuil-Klenteng, Pagoda.

5 1.6.3. Batasan Pcnelitian

Penekanan di dalam studi ini lebih kepada candi-candi yang berasal pada jaman

Majapahit, karena dianggap mempunyai karakter khusus yang baru, yang berbeda dengan

periodisasi masa Hindu-Budha Desain candi-candi diduga dipengaruhi oleh arsitektur

Cina, karena silang budaya kedua kawasan ini semakin kuat terjadi di era tersebut

Namun demikian tidak menutup kemungkinan candi-candi Pra Majapahit, juga

digunakan sebagai pembandingnya Oleh karena itu aspek yang melatarbelakangi seperti sejarah, politik, agama, kosmologi tidak dapat saja diabaikan. Aspek bentuk-sosok dapat pula digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena Jatar belakang budaya yang terjadi pada saat itu, misalnya teknik pertukangan dalam proses adaptasinya.

Jadi dalam hal ini antara analisis berdasarkan bentuk dan kesejarahan dapat

berlaku secara timbal balik. Untuk mencari fenomena pengaruh dari arsitektur Cina terhadap Candi Jawa maka dipilih pembanding berupa bangunan sakral seperti Temple

of Heaven, Kuil-Klenteng, Pagoda (berbeda religiusitasnya) mcngingat candi, bangunan tersebut sarna-sama merupakan bangunan keagamaan. Namun demikian arsitektur lainnya seperti hunian seperti Forbidden City dan Rumah tradisional Cina juga di�,>lmakan sebagai pembanding untuk referensinya,. Pengkajian aspek denah, tampak dan perletakkan berikut kornponen dan latar belakangnya juga dilakukan pada bangunan

Temple of Heaven, Kuil-Klenteng, Pagoda, Forbidden City dan Rumah tradisional Cina tersebut Hal ini untuk mempermudah mencari fenomena yang berpengaruh terl1adap arsitektur Candi Jawa.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

PEDOMAN PENGUMPULAN DATA DILAKUKAN MELALlJI LANGKAH-.LANGKAH

SEBAGAI BERIKUT : a) Studi kepustakaan awal, b) Menyusun rancangan penelitian, c) Memilih dan memanfaatkan informan dan narasurnber,

d) Menjajaki dan menilai keadaan daerah penelitian,

e) Memilih daerah dan objek penelitian,

6 t) Perizinan penelitian, g) Menyiapkan perlengkapan penclitian, h) Mengadakan pengamatan dan pengambilan dokumentasi dari bangunan yang

dijadikan objek, pengambilan data melalui foto di lokasi, sedangkan gambar pada

Dinas Purbakala, i) Melengkapi literatur dari yang berhubungan dengan objek penelitian.

1.6.5. Prosedur Analisa

1111 Mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan latar belakang arsitektur candi dan arsitektur Cina misalnya meliputi sejarah, kosmologi, budaya, ritual, geografis,

dengan studi literatur, pengamatan, pengambilan data pada objek studi.

Ill Berdasarkan telaah teoritik tersebut di atas, dilakukan 'studi korelasi yang dilakukan

pada arsitektur Cina terhadap candi tersebut. untuk mengetahui : wujud pengaruhnya

berupa denah, tampak dan perletakan, sifat (misalnya simetris, axis), dan prinsip

susunan/komposisi (misalnya adanya irama, transformasi, hirarki ) .

Ill Mengkaji desain adapatasinya untuk mendapatkan bahan perbanding1m dari periode

dengan Htktor -· faktor yang berpengaruh tehadap perubahan yang terjadi. Analisis

data digunakan untuk mencari huhungan antara estetika dengan aspek fungsi

arsitekturalnya.

Ill Berdasarkan basil studi yang dilakukan di atas kemudian dicari pemahaman mengenai

potensi yang dimiliki dari proses korelasi yang terjadi, sehingga dapat

direkomendasikan pemanfatannya bagi desain masa kini.

7 BAH2.

LANDASAN TEOR1

Untuk mengetahui bahwa representasi suatu karya arsitektur berasal dari karya Jainnya yang sejaman atau masa Jalu dapat ditunjukan melalui korelasi persepsi visual. Namun demikian tidaklah mudah untuk menyatakan korelasi antar keduanya karena dibutuhkan pemahaman terhadap Jatar belakang pengadaptasiaan atau pengadopsiannya. Aspek kesejai·ahan mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya rnempunyai peranan penting di dalamnya. Norberg-Schulz ( 1978) menyatakan agar tidak te1jebak pada visual (objek) diharapkan dapat menelaah lebih lanjut dengan melihat secara keselmuhan (utuh). Adaptasi menunjukan adanya hal psikologis yang menimbulkan objek tersebut berasal. Menurut te01i gestalt1 persepsi visual dapat terbentuk karena: kedekatan posisi (pr oximity), kesamaan bentuk (similiarity), penutupan bentuk, keinambungan pola (continuity), kesamaan arah gerak (common fate). Dalam Psikologi Gestalt dikenal dua prinsip utama yakni : (I) Principle of 1lJtality, The conscious experience must be considered globally (by taking into account all the physical and mental a.spects c!f the individual si multaneously) because the nature of the mind demand\· that each component be considered as part (!fa .\ystem rifdyn amic relationships. (2) Principle rif Psyc hophysical Isomorphism - A correlation exists between conscious experience and cerebral activity. Penjabaran lebih lanjut dari prinsip tersebut adalah melalui pendekatan : (1 )Phenomenon Experimental Analysi s (Jn relat ion to the 'J(Jtality Principle any p.\ychological research should take as a st arting point phenomena and not be solely focused on sensory qualities). (2)Biotic Experiment (This signified experimenting in natural situat ions, developed in real conditions, in which it would be possible to repr od uce, with higher fidelity, what would be habitual for a .mbject).

Newcastle 1 BrownelL P .. cd.(2008) Handhookfl>r Theory, Research, and Practice in Gestalt Therapy, upon Tync, UK: Cambridge Scholars Publishing

8 Pengkajian lcntang persepsi korelasi anlar bentnk arsitektnral dan maknanya seperti di alas memerlnkan pendekatan yang lebih konkret, yakni menyangknt dna objek yang berbeda. Oleh karcna itu dapat dilaknkan pendekatan semiotik atan bahasa tanda. Dalam mempelajari semiologi dalam arsitektur dapat digunakan beberapa pendekatan semiotik yang menurut Barthes (1964)-diadik dapat terbagi ke dalam empat macam elemen semiologi yaitu: langue dan parole, tanda (sign) terdiri dari pertanda (.1·ignijier) dan yang-ditandai (signified), sistem sintagmatik dan paradigmatik, dan makna denotatif dan konotatif Sedangkan pendekatan semiotik yang digunakan oleh Charles Sanders Peirce - triadik, menggunakan tiga macam istilah untnk tanda yaitu: indeks, ikon, dan simbol (Rahardjo, 1992). Charles Jenks dalam bukunya, Semiology and Architecture mengf:,'llnakan istilah context dan metaphor nntnk menggantikan sintagmatik dan paradigmatik. Terdapat dna cara dasar nntnk memahami sebnah tanda. Cara pertama adalah melalni hnbnngan tanda itn dengan tanda-tanda lain dalam snatn konteks atau mata rantai. Cara kedna adalah melalni tanda-tanda lain yang telah menjadi metafora melalni asosiasi atan kesamaan (Jencks, 1969). Elemen-elemen pada arsitektur terdiri dari berbagai macam bentnkan yang tentunya memiliki makna. Elemen-elemen tersebnt terwnjnd ke dalam indeks, ikon, dan simbol. Indeks adalah tanda dari snatu bentuk yang dapat dimengerti oleh kebanyakan atan semua orang tanpa ada perbedaan latar belakang. Ikon adalah tanda dari suatu bentuk yang dapat dimengerti oleh kebanyakan orang karena bentuk tersebnt menyerupai (resemble) sesuatu. Contoh: orang akan mengenal candi dari salah satn ikonnya yang berupa . Simbol adalah bentuk-bentuk benda yang hanya dapat dikenali maknanya karena adanya konsensus budaya. Di samping pendekatan persepsi visual dalam mengkaji wujud representasi arsitektur masa lain (candi) di dalam bangunan masa kini (dua objek yang berbeda) diperlnkan beberapa pendekatan korelasi lainnya :

2.1 Transformasi Arsitektur Melalui transformasi dimnngkinkan representasi yang berasal dari masa lalu digunakan sebagai sumber inspirasi bagi arsitektur masa kini. Proses transformasi menyangknt perubahanjorm (bentnk) dan meaning (makna). Aplikasinya dapat berupa wujnd tetap-rnakna berubah atau wujud berubah-makna tetap. Arsitektur pada jaman

9 Islam di Jawa menggunakan beberapa unsur desain percandian dalam bangunannya, demikian juga pada beberapa ban!,>unan modem masa kini, seperti Hotel dan Museum. Strategi transformasi dalam desain arsitektur secara umum menurut Antoniades (1992) dapat dibagi ke dalam strategi tradisional (umum-konvensional), peminjaman (borrowing), dan dekonstrnksi (deconstmction). Berkaitan dengan hal tersebut penggunaan representasi yang bersumber pada desain candi pada pasca Hindu-Buda dapat mernpakan proses tersebut. Secara visual strategi peminjaman tampak dalam beberapa bangunan masa Islam dan Kolonial, sedangkan strategi lainnya diperlukan pengkajian lebih lanjut, seperti pendekonstrnksiannilai-nilai masa lalu ke masa kini. Strategi Peminjaman (borrowing), Adalah pendekatan transfonnasi melalui peminjaman secara formal suatu bentuk yang berasal dari lukisan, patung, obyek-obyek dan artefak-artefak lain. Melaluinya juga mempelajari karakter dua dan tiga dimensional sebagai upaya interpretasi untuk mcngetahui aplikasi dan kcmungkinannya. Transformasi ini mernpakan suatu "pictorial transferring" (pemindahan citra) dan juga dapat bernpa "pictorial metaphor·· (metafora citra). Contoh: suatu candi dijadikan dasar untuk sebuah transformasi dalam membuat hotel, atau bangunan publik lainnya. Strategi Dekonstrnksi (de-constnJction) Adalah pendekatan transformasi melalui suatu proses dimana seorang perancang mengambil sebuah bentuk secara keseluruhan dan dipecah-pecah atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kecil (yang masih memiliki makna/arti). Hal ini memiliki tujuan untuk mencari cara barn dalam mengkombinasikan bagian-bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan suatu bentuk keselurnhan yang barn(new wholes) dan tatanan baru (new orders). Contoh: unsur garis light-shadow yang berasal dari candi diduga didekontrnksikan dalam wujud fadase desain villa modern oleh arsitek Belanda. Proses transformasi dalam desain juga melibatkan unsur-unsur yang berkaitan dengan metafora. Metafora dapat dijadikan alat dalam transformasi, khususnya dalam stratregi peminjaman (borrowing). Antoniades ( 1992) mengulas penggunaan metafora dalam bidang desain (arsitektur). Metafora sangat berguna untuk mencapai berbagai "hal/ide barn" pada berbagai unsur suatu bangunan dan proses pengonsepan rancangan. "lsi" atau makna suatu bangunan akan menjadi lebih ekspresif secara keselurnhan. Selain itu, sesuatu hal atau pesan yang hendak dikomunikasikan oleh arsitek suatu bangunan yang dirancangnya, akan menjadi lebih eksplisit.

10 Metafora akan banyak membantu untuk menghasilkan/membangkitkan konsep­ konsep bam yang merujuk pada autensitas suatu bangunan. Autensitas di sini berarti identitas asli yang berasal dari suatu bangunan tertentu, yang harus dipahami dan diikuti oleh arsitek ketika merancang suatu bangunan. Di Indonesia melalui pendekatan metafora diharapkan dapat digunakan untuk desain yang bersumber pada unsur budaya kelokalan Metafora merupakan upaya yang dilakukan oleh manusia untuk mencoba untuk mentransfer suatu referensi yang berasal dari suatu subyek (konsep atau objek) pada suatu hal yang lain, mencoba untuk "melihat" suatu subjek (konsep atau objek) sebagai sesuatu benda yang lain, dan menggantikan fokus suatu penelitian dari suatu area konsentrasi atau suatu penyelidikan ke penyelidikan yang lain (dengan harapan melalui perbandingan atau perluasan tersebut, dapat menjelaskan suatu subjek dengan cara yang lain (Antoniades 1992). Secara etimologi, metafora (lnggris: metaphor) berasal dari kata latin yaitu metapherin yakni pemindahan sesuatu yang berasal dari suatu subyek yang dikandungnya. Metafora juga dapat berarti serangkaian penuturan yang mengalami pemindahan makna yang dikandung kepada obyek atau konsep lain yang ditujukan melalui perbandingan (analogi) atau komparasi (perbandingan). Sementara itu Roman Jakobson mempunyai pengertian bahwa metafora merupakan suatu istilah yang mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah kata lain yang lebih figuratif Dasar penggantian ini adalah kemiripan (analogi) antara kata yang harfiahdengan kata figuratif (abstrak) tersebut (Kris, 1999). Menurut seorang filsuf Yunani, Aristoteles, metafora adalah suatu pemindahan makna-makna istilah yang literal (harfiah), baik yang berasal dari makna yang umum ke yang khusus (spesifik) atau sebaliknya atau melalui analogi (Samuel, 1977). Aristoteles juga memberikan pemikiran yang lain mengenai metafora yang jauh berbeda dengan pengertian metafora sebagai analogi. Metafora juga dapat berarti suatu dekorasi atau ornamentasi yang "menghidupkan" suatu gaya �style). Hal ini dapat dilihat pada bangunan-bangunan modern yang menggunakan 'metafora' bangunan masa lalu atau meminjam ide-ide yang berasal dari unsur arsitekturnya seperti hotel amanjiwo, beberapa bangunan di kawasan Braga, dsb.

I 1 2.2 Fenomcna Akulturasi Arsitcktur Di masa kini dinamika perubahan tidak mungkin terhindarkan. Van Peursen (1988) melihat kreativitas sebagai faktor yang amat penting dalam perubahan sosial budaya. Dengan adanya kreativitas, muncul sesuatu yang baru. Kreativitas ini selalu memikirkan kembali suatu situasi dari dalam, lalu menemukan suatu pandangan baru. Secara tidak terduga rintangan telah didobrak. Manfaat kreativitas yang konstruktif misalnya memungkinkan individu atau masyarakat untuk memberikan

· tanggapan yang memadai terhadap situasi-situasi baru dan tantangan-tantangan lama, khususnya dalam menghadapi globalisasi saat kini. Strategi meminjam (borrowing) dalam proses transformasi memungkinkan adanya usaha-usaha menghadirkan kembali representasi yang bersumber pada masa lalu. Fenomena tnt mendorong munculnya percampuran-akulturasi dalam desain arsitektumya. Akulturasi merupakan suatu proses budaya - "meminjam" gagasan­ gagasan dan materi-materi yang berasal dari budaya lainnya. (Azimipour & Jones, 2003). Dua faktor yang berperan penting dalam proses akulturasi suatu budaya dengan budaya lainnya adalah : budaya akar setempat (mainstream or dominant culture) dan Budaya asal individu/ pengamh ke&ukuan (ethnic). Tiga premis dasar dalam akulturasi

(Azimipour & Jones, 2003) : (I) Adanya suatu perbedaan yang mencolok pada skala masyarakat yang berinteraksi ( merupakan contoh yang terbaik melalui kontak budaya ), (2) Masyarakat yang lebih kecil akan mengalami lebih banyak perubahan (3) Masyarakat yang lebih kecil akan cenderung kehilangan identitas mereka, dan mengambil banyak karakteristik masyarakat yang besar. Model perpaduan dan penyesuaian dianggap sebagai model psikologis yang baik (the most p.1ychological/y healthy adaptation styles). Beberapa model akulturasi : (!) Penyesuaian/ adaptasi (assimilated) Adanya proses penyesuaian dan adaptasi satu budaya terhadap budaya lain. Adaptasi : adalah to adjust. Adaptasi berarti untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah ada sebelumnya, (2) Perpaduan/ simbiosis (integrated). Perpaduan dua budaya atau lebih secara seimbang, dan cenderung membentuk budaya yang baru ("both- and" principle), (3) Peminggiran (marginalized). Terpinggimya suatu budaya oleh budaya lain yang

lebih dominan . ("identifying without no particular set of belief�". :"neither­ nor ''principle).

12 (4) Pemilahan/ adopsi (separated). Pemilahan suatu bagian at au elemen tertentu budaya dan diadopsi oleh budaya lain. Adopsi : adalah melakukan pengambilan pada elemen yang ada. Adopsi berarti mengambil dan memakai sesuatu yang telah ada sebelumnya.

Di dalam proses akulturasi dapat melibatkan nilai-nilai inkulturasi didalamnya, khususnya yang menyangkut religi mengingat candi adalah bangunan sakral dan dimungkinkan berkaitan dengan bangunan sakral lainnya. Menurut Koentjaraningrat inkulturasi atau enkulturasi mengacu pada konsep pembudayaan (internal). Bakker (1984) menyatakan lafal en atau in- kulturasi dipergunakan dengan kadar yang sama

(en = Yunani, in = Latin; ' ke dalam' ) diartikan sebagai latihan, seorang individu diintegrasikan ke dalam kebudayaan sejaman dan setempat. Menurut Djoko Sukiman (2000) inkulturasi merujuk pada proses pembentukan budaya antar dua kelompok budaya sampai munculnya pranata yang mantap, khususnya yang berkaitan dengan aspek religi. Konsep inkultnrasi dipakai pertama kali oleh Herskovits dalam bukunya Man and His Work : The Science of Cultural Anthropology, yang memandang bahwa inkultnrasi sebagai proses esensial melalui kondi si sadar atau tidak sadar yang digerakkan oleh adat setempat. Tanpa adanya proses adaptasi maka inkulturasi tidak dapat berjalan lancar. Inkulturasi sebagai suatu proses dalam perkembangannya berjalan melalui tiga tahapan. Tahap pertama enkulturasi ditandai oleh pengenalan, penyesuaian adat, serta terjalinnya relasi interaksi, Tahap kedua, ditandai dengan adanya koeksistensi dan pluriformitas terhadap lingkungan sekitarnya, menempatkan kepribadian dasar sebagai objek legitimasi. Tahap ketiga, sebagai tahap akhir, proses inkulturasi diformulasikan dalam bentuk munculnya 'sinkritisme' kebudayaan, kesenian, dan agama. Proses inkulturasi yang baik akan memunculkan bentuk perpaduan dalam keharomonisan, sedangkan inkulturasi yang mengalami kegagalan akan mendatangkan ketegangan antara inkulturasi dan dayacipta. Contoh proses percampuran akulturasi-inkulturasi yang merepresentasikan arsitektnr masa lain pada masa Kolonial dapat ditunjukkan di dalam karya Maclaine Pont yakni gereja Puh Sarang. Pont merupakan orang pertama yang merekonstruksi dan menyelidiki situs peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak inspirasi yang didapatkan dari peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan bahan terakota dan ornamentasi candi. Hal ini nampak pada karyanya yakni gereja Puh Sarang

I] eli Kediri, dimana altar-tabcnakclnya menggunakan bahan tcrakota yang dihiasi ragarn hias yang berasal dari unsur percandian Majapahit. Tatanan ruang luar kompleks ini juga mengindikasikan aclanya penggunaan pola geometrik yang berasal dari bentuk mandala candi, seperti cancli Jago atau Penataran. Secara umum dinamika dalam kebudayaan menurut Koencaraningrat mencakup proses mempelajari kebudayaan secara internal (internalisasi, sosialisasi, inkultur�si), proses perkembangan budaya (evolusi), proses penyebaran (difusi) dan interaksi antar budaya (akulturasi, asimilasi), proses pembaruan (inovasi), clan sampai pada penemuan baru (discovery-invention). Proses difusi antar dua kebudayaan (acceptor dan donor) dapat dibagi menjadi hubungan simbiotik (bersentuhan namun tidak menyebabkan perubahan), penetration pacifique (perubahan secara damai- unconscious), huhungan kekerasan/peperangan (perubahan dengan paksaan). Suatu proses difusi juga dapat mengalami suatu stimulus diffusion, rangkaian difusi yang berantai (Koentjaraningrat, 1986). Para ahli mengaitkan masuknya budaya India ke Nusantara dengan jalan penetration pacifique atau secara damai dan evolutif, melalui penyebaran agama. Dalam kaitannya dengan arsitektur, konsepsi budaya tersebut dapat dianaloginakan dengan pembahasan tentang transformasi desain arsitektur candi baik pada masanya maupun pasca Hindu-Buda. Candi merupakan representasi konsep pertemuan antara yang asing dan lokal, dan antara yang lama dan yang bam. Dalam pembahasan dinamika arsitektur candi dapat dikaitkan dengan proses akulturasi-clifusi ( damai)-inkulturasi -? evolusi -? inovasi -? penemuan gayaltampilan arsitektur bam ( dalam konteks desain arsitektural). Akulturasi atau disebut sebagai culture contacts dalam pengertian luas mempakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebuclayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1986). Secara umum wujud dan isi kebudayaan yang teijadi dalam proses akulturasi itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu (1) Berupa sistem budaya (cultural system) yang terdiri atas : gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, panclangan, undang­ undang, dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas), (2) Berbagai aktivitas (activities) pada pelaku seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang wujudnya

14 kongkret dan dapat diamati yang disebut social sistem atau sistem kemasyarakatan yang berwujud kelakuan (3) Berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik melalui hasil karya manusia maupun basil tingkah lakunya yang berupa benda, yang disebut budaya kultur. Akulturasi merupakan pertemuan dua kebudayaan, terdapat penerimaan nilai­ nilai kebudayaan lain, nilai yang baru tersebut diinkorporasi dalam kebudayaan lama. Akulturasi adalah proses midway antara 'konfrontasi' dan 'fusi'. Ketegangan antara dua belah pihak itu tidak diruncingkan, melainkan melakukan 'dialog' dapat mencapai sating pengertian dan kerjasama. Akulturasi berusaha mencari keseimbangan antm·a warisan kebudayaan lama dengan perubahan yang diperlukan.

2.3 Pendekatan Tipo-Morfologi Arsitektur Pengkajian representasi masa lalu dalam arsitektur masa kini berkaitan erat dengan permasalahan 'form' dan wujud transformasinya. Oleh karena itu dapat digunakan pendekatan Tipo-morfologi Arsitektur. 'Form transformation' tidak dapat dilepaskan dari permasalahan tentang type (tipe). Di dalam bidang arsitektur, studi tipologi digunakan untuk mempelajari dan menganalisa tipe-tipe bangunan. Di sisi lain studi morfologi dalam arsitektur dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bentuk dalam kaitannya dengan proses penyusunan struktur/elemen!komponen atau komposisinya. Pandangan Sukada (1989), di dalam studi tipologi dikenal tiga tahapan yaitu digunakan untuk menentukan bentuk dasar pada setiap objek, menentukan sifat dasar berdasarkan bentuk dasar tersebut, dan menjelaskan proses komposisi bentuk dasar (presedent). Studi tipo-morfologi arsitektur dapat diartikan sebagai pengkajian tipe-tipe arsitektural dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk (struktur/elemen/ komponen) dan komposisinya tanpa mengabaikan unsur fungsi yang berlaku pada objek tersebut. Studi tipo-morfologi penekanannya lebih mengarah kepada analisa unsur­ unsur pembentuk/elemen/ komponenlstruktur pada suatu tipe. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji sejauh mana tipe-tipe unsur desain percandian yang muncul dalam wujud representasi pada konteks masa yang berbeda. Menurut Quatremere de Quincy, pembentukan tipe arsitektural dipengaruhi oleh rujukan sejarah, representasi alam, dan aspek kegunaan. Menurut Quatremere de Quincy, tipe mudah berubah dan mudah terpengaruh oleh tipe lainnya. Arsitek dapat

15 mengekstrapolasi tipe, menggubah tipe sesuai dengan keinginannya, sehingga

menghasilkan suatu model lain atau barn. Quatremere · de Quincy kemudian

mengembangkan teori tipenya menjadi composition 'atau komposisi, yaitu penyusunan

bermacam-macam tipe menjadi suatu model baru.

Pada dasamya di dalam proses type-formation, suatu tipe tertentu dapat

merupakan basil suatu perjalanan dari tipe sebelumnya. Tipe ini dapat bertahan atau

diubah sesuai dengan keinginan tetapi tetap berasal dari bentuk dasar yang sama yang

diistilahkan sebagai basic fo rm. Basic fo rm (bentuk dasar) diperoleh dengan mereduksi tipe menjadi 'bentuk yang paling mendasar' melalui diagram tipologi. Dalam proses komposisi penggunaan basic fo rm dalam berbagai model dapat menjadi tak terbatas.

Untuk membatasinya maka digunakanlah pengetahuan kesejarahan/ experience and tradition sebagai m/e (aturan!kaidah)-canon dalam penyusunan komposisi.

Merujuk kepada pemyataan Quatremere, Argan pada tahun 1960 mengemukakan pandangannya tentang tipologi melalui tiga pendekatan, pertama, sebagai alat untuk mesistematisasi bentuk arsitektural. Kedua untuk menyelidiki aspek penyebaran

(divergensi) bentuk arsitektural. Ketiga, sebagai alat dalam proses desain. Menurut

Argan tipologi dapat menjelaskan hubungan antara desain arsitektural masa lalu, sekarang dan mendatang. Dengan demikian pendekatan ini digunakan dalam mengkaji permasalahan representasi yang berasal dari arsitektur masa lalu ( candi) ke masa kini.

Sejalan dengan pandangan Argan, Ernesto Roger mendefinisikan tipe sebagai "Part of a .fi'amework defined by reality which characterized and classified all single events" Menurut Roger, desain arsitektur pada umumnya didasari oleh konsep-konsep yang telah ada sebelumnya dan merupakan basil dari suatu proses keberlanjutan.

Pengidentifikasian suatu tipe bergantung pada konteks permasalahan yang dihadapi, sehingga mempunyai karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap karakter mempunyai spesifikasi khusus yang diistilahkan sebagai 'generic type '. Roger lebih mementingkan bagaimana arsitek mempergunakan instrumen sesum dengan permasalahannya dari pada menggunakan pendekatan metodologis yang sistematis.

Seperti halnya Roger, Aldo Rossi. juga menekankan teorinya kepada pendekatan tradisional. Menurut Rossi (1982) The logic of architectural fo rm lies in a definition of typ e based on the juxtaposition of memory and rea�on. . Dengan kata lain, tipe arsitektur merupakan hasil penjajaran dari memory dan pemikiran sebelumnya. Memory sangat penting karena merupakan historical reason yang menjamin keberlanjutan proses past­ present)iilure. Rossi lebih cenderung menggunakan tipologi dalam bidang perkotaan,

16 di mana pcrubahan eksisting tidak akan tcrlepas dari konteks kemasyarakatan dan perjalanan sejarah yang mclatarbelakanginya. la juga merujuk pada Murratori yang mengkaitkan hubungan antara morfologi kola dan tipologi bangunan eli dalamnya. Sedangkan menurut Julie Robinson (1994), tipe di dalam tipologi bangunan pada dasarnya digunakan untuk mengkategorisasi vanas1 dari ragam bangunan. Pengklasifikasian tipe menurut Robinson harus mempertimbangkan dua hal yaitu how architecture is made dan how architecture received by the audience. Oleh karena itu terdapat dua peqdekatan klasifikasi tipologi yang dapat dilakukan, yaitu dengan mempertimbangkan o Physical properties (karakteristik fisik), menyangkut kategori taksonomi dari material, penyusunan ruang, style, pembagian geometrik, berbagai elemen, dan sistem konstruksi o Enviroment that surrounding the objects (Jatar belakang/konsep/ide), menyangkut 'how enviroments are made, how enviroments are used, and how enviroment are understood' Misalnya 'rules and proceses' (aturan dan proses) yang menyangkut permasalahan 'plan (ifcon figuration ' (konfigurasikomposisi)

Di sisi lain dalam studi tentang type dikenal juga istilah archetype. Menurut Mike Brill, archetype lebih mengarah kepada natural lang?Jage dan charge . Archetype merupakan kesepakatan secara alamiah atas bentuk pada suatu objek karena mempunyai nilai tertentu. Archetype tempat sakral misalnya mempunyai bentuk-bentuk dasar spesifik yang mampu menampilkan tema-tema mistik. Archetype mempakan medium untuk mengekpresikan makna suatu tempat. Dalam scjarah architype dapat dipahami sebagai asal (origin) dari suatu tipe yang dikembangkan lanjut dengan tidak mengubah makna atau nilai yang terkandung di dalamya. Architype berbeda dengan prototype yaitu tipe yang dijadikan basic untuk dibuat duplikasi yang sama. Architype lebih bergerak pada kerangka konseptual (ide-simbolik), sementara prototype lebih bersifat praktis (fisik). Menumt Jung (1987), archilype adalah citra leluhur yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif manusialketidaksadaran (unconscious), sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, rob dan materi. Hal ini dapat dikaitkan dengan fenomena selalu munculnya ( dimanfaatkan) representasi arsitektur candi (citra leluhur) pada tiap era pcrkembangan arsitektur di Indonesia.

17 BAB3

ARSITEKTUR TRADlSIONAL ClNA

Arsitektur Cina mengacu pada suatu gaya arsitektur yang telah menjelma dan terwujudkan di Asia dalam berabad-abad yang lalu. Prinsip struktuml dari Arsitektur Cina sudah tinggal dan bertahan sebagian besar tanpa pembahan, perubahan yang utama yang sedang hanya detil yang menghias. Karena sejak Dinasti Tang, Arsitektur Cina mempunyai suatu pcngaruh penting di dalam Arsitektur Jcpang, Korea, Taiwan dan Vietnam. Ada corak tertentu yang umum dalam Arsitektur Cina, dcngan mengabaikan daerah spesifik atau penggunaan. Yang paling utama dalam gaya arsitcktur china adalah penekanannya pada bidang horisontal, khususnya pada panggung yang bcrat dan suatu atap yang luas dan tcrlihat mengapung di atas dasar tanah, dengan dinding yang berpola vertikal. Arsitektur Cina menekankan pada visual dari jarak. Arsitektur khas Oriental tesebut memang memiliki akar budaya yang sangat tua dan dilcstarikan dengan baik selama beribu-rubu tahun. Tak heran hila para keturunan Tionghoa hila berada di daerah bam juga selalu membawa budaya mereka yang mengakar kuat. Demikian pula dengan arsitcktur khas oriental. Arsitektur ini pada dasarnya adalah arsitektur tradisional beromamenl berhias. Sama sepcrti kebudayaan Eropa yang mcmiliki omamen atau hiasan khas arsitektur mereka, arsitcktur khas oriental juga memiliki kekhasan bcntuk-bentuk omamentasi, seperti hiasan pada dinding, pintu dan jendela yang didasarkan pada mitos dan kepercayaan bangsa Tionghoa. Ornamen yang ada beragam dari ornamen gcometris, motif tanaman dan binatang. Arsitektur Tionghoa tradisional sangat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka, seperti patung dewa-dewa, naga. Ciri arsitcktur lainnya sepcrti penggunaan Feng Shui untuk arsitektur cukup memberikan banyak batasan sekaligus kreativitas dalam penataan ruang, perabot dan aksesori rumah lainnya. Karakter bangsa Tionghoa yang juga cukup menghargai dunia material terlihat pada penggunaan hiasan yang sangat rumit, indah, serta bernilai seni tinggi, karena menunjukkan kekayaan secara material dianggap menambah martabat bagi sebagian orang Tionghoa tradisional. Sebenamya tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa, dimana masing-masing bagian dari bangunan tradisional khas oriental selalu memiliki makna, dari atap hingga ke pondasinya.

18 3.1 Sejarah J>erkembangan SejarahCina yang bisa dikctahui bcrmulai dari abad 15 SM ketika Dinasti Shang mulai menggunakan simbol ·- simbol yang kemudian berkembang menjadi huruf Cina sekarang ini. Kebudayaan Cina berawal dari munculnya permukiman di lembah Sungai Kuning. Tahun 221 SM dipercaya sebagai tahun pertama Cina dipersatukan menjadi sebuah kerajaan di bawah Qin Shi Huang. Peradaban Cina terletak di Asia Timur, Cina merupakan salah satu bangsa yang memiliki peradaban yang maju di Asia dan menjadi contoh peradaban bangsa--bangsa di sekitarnya.

3.1.1 ANCIENT ERA Era ini terbagi menjadi 3 masa pemerintahan yaitu Dinasti Xia, Dinasti Shang, dan Dinasti Zhou.

I>INASTI XJA (2100 SM- 1600 SM) Keberadaan dinasti ini sempat dira�:,'Ukan. Namun, terdapat bukti arkeologis mengenai Dinasiti Xia ini. Kebanyakan arkeolog berpendapat bahwa Dinasti Xia berhubungan erat dengan penggalian di Erlitou, Henan, di mana ditemukan perunggu yang diduga berasal dari tahun 2000 SM. Tanda - tanda yang ditemukan pada perkakas diduga merupakan nenek moyang dari huruf Cina modern sekarang.

DJNASTI SHANG (1600 SM - 1046 SM) Peninggalan tertulis pertama di Cina yang ditemukan, berasal dari Dinasti Shang, berupa simbol - simbol yang ditulis pada tulang atau cangkang, sering disebut oracle bones. Dinasti Shang memiliki 31 raja, merupakan dinasti terpanjang dalam sejarah Cina. Berdasarkan penemuan, Dinasti Shang pemah berpindah ibukota hingga 6 kali. lbukota terakhir dan terpenting yaitu Yin (1350 SM) yang kemudian mengantarkan dinasti pada puncak kejayaannya. Oleh sebab itu Dinasti Shang kadang juga disebut Dinasti Yin.

DJNASTI ZHOU (akhir 200 SM) Bangsa Zhou merupakan orang - orang yang tinggal di sebelah barat Shang. Pemimpin bangsa Zhou ditunjuk sebagai pelindung wilayah barat oleh Shang. Raja Wu dari Zhou Ialu mengalahkan bangsa Shang dan mendirikan dinasti sendiri. Pda masa ini

]C) wilayah dataran Cina mulai merupakan kekuasaan yang luas tetapi yang kemudian terpecah-pecah lagi akibat feodalisme. Di sekitas tahun 550 ·· 578 SM Kon Fu Tse dan Lao Tze mengambangkan flasfahnya dan berhasil menyatukan Cina kembali, meskipun tidak dalam arti politik dan ketatanegaraan. Ajaran Taoisme merupakan ajaran Cinta yang mnyeluruh atau universal love untuk mengatasi social disorder. Di jaman Dinasti ini dikembangkan peraturan bagaimana tiang-tiang rumah harus diberi warna tertentu, sesuai dengan kedudukan sosial, pemilik rumah tersebut. Tiang Istana warnanya merah, Tiang untuk bangsawan wamanya hitam, Tiang untuk pejabat tinggi warnanya hijau !aut, pejabat rendah warnanyakuning, sedangkan rakyat tidak boleh diberi warna

3.1.2 IMPERIAL ERA Era ini terbagi menjadi masa pemerintahan berbagai dinasti, mulai dari Qin, Han, 3 kerajaan, hingga akhirnya dinasti Qing.

DINASTI QIN (221 - 207 SM) Masa pemerintahan Qin ini sangat terkenal dengan pembangunan Tembok Besar Cina (The Great Wall of China), yang nantinya disempurnakan pada Dinasti Ming. Dinasti Qin juga pertama kali memperkenalkan sistem pemerintahan, bahasa teitulis, pengukuran, dan mata uang Cina kuno. Kesatuan Cina dicapai kurang lebih pada masa kaisar Shih Huang Ti yang membangun Tembok dan Istana Hsien Yang.

DINASTI HAN (206 SM -220 M) Terkenal dengan Counfucianism-nya, yang kemudian sangat berpengaruh pada ideologi seluruh pemerintahan era imperial. Pada masa ini juga Cina mulai melakukan perdagangan dengan bangsa barat melalui jalur . Pada tahun 9 M, Wang Mang mendirikan Dinasti Xin yang tidak bertahan lama. Dinasti Xin digantikan kembali dengan Dinasti Han oleh GuangWu. Pada masa ini terjadi Ye llow Turban Rebellion, pada saat inilah tiga negara bagian lalu bersaing untuk menguasai Cina. Kondisi zaman ini kemudian dijadikan Romance of The Three Kingdoms yang sangat terkenal. Di jaman ini pada masa kaisar Huang Wu Ti terlihat ada hubungan dengan kerajaan Roma ( Raja Hadrianus), Persia dan India. Pada jaman ini pula agama Budha pengaruhnya mulai masuk ke Cina. Ibukota baru dibangun di Changan kemudian dipindahkan ke Loyang.

20 OINASTJ JIN

Kekacauan tiga negara berhasil disatukan kembali sementara oleh Dinasti Jin. DINASTI SELATAN DAN lJTARA

Disepakati pengakuan keberadaan kepercayaan Tao dan Buddha. OINASTI SUI

Dinasti Sui mempergunakan sumber daya dengan berlebihan dan akhimya runtuh.

DINASTI TANG' (618 - 906)

Didirikan oleh Gaozu, berkembang dalam aspek seni dan teknologi. Dinasti

Tang senng disebut sebagai masa yang paling makmur, seperti halnya pada masa

Dinasti Han. Atap merupakan bagian penting dibandingkan dengan dinding, karena dinding hanya merupakan penghalang-pembatas, sedangkan konstruksi bangunan bertumpu pada tiang-tiang dari Atap. Bahan atap awalnya dari jerami atau rumput, baru pada jaman Dinasti Tang ( 618-907), atap keramik yang diglasur mulai dikembangkan.

FIVE DYNASTIES AND TEN KINGDOMS

Pada masa ini 5 kekuasaan silih berganti memegang kuasa di Cina utara. Pada saat bersamaan, 1 0 kekuasaan juga memegang kuasa di sebelah barat dan selatan Cina.

DINASTI SONG (960-1279)

Dianggap sebagai masa kej ayaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada Cina kuno. Pejabat - pejabat banyak yang berasal dari kaum terpelajar (scholar-officials).

Dalam tahun 1130 atas perintah kaisar yang memerintah telah diterbitkan buku Ying

Tsai Fa Shih yang merupakan buku arsitektur resmi, dimana yang dianggap sebagai bahan bangunan bermutu adalah. Bata yang dibuat dari tanah liat tidak dianggap baik untuk digunakan kecuali untuk dibuat genteng. Dalam buku ini mulai pula diterbitkan dasar-dasar bentuk dan susunan atap, peranan mata angin, dan norma-norma pereneanaan bangunan. Kecuali untuk bangunan dasar-dasamya juga dipergunakan untuk perkotaan, seperti jalan-jalan utama yang Iebar dengan arab Utara-Selatam dan

Timur-Barat. Semua bangunan yang penting dibangun di bagian Selatan, semua altar untuk arwah ditempatkan di keempat penjuru kompas.

21 DINASTl YUAN (1280 - 1368 M)

Didirikan oleh Kubilai Khan, yang ingin mengadopsi kebudayaan Cina. Dinasti

Yuan merupakan dinasti pertama yang menguasai seluruh daerah Cina dengan ibukotanya Beijing.

DINASTI MING ( 1368 - 1644 M)

Pada masa Dinasti Yuan, timbul banyak ketidakpuasan karena merasa dipimpin oleh orang asing (Mongol). Akhirnya terjadi pemberontakan oleh para petani yang berhasil mengusir bangsa Mongol keluar Cina, dan kemudian mendirikan Dinasti Ming.

Karena kaisar berlatarbelakang sebagai petani, Dinasti Ming ini menekankan sektor pertaniannya, tidak seperti Dinasti Song dan Yuan yang memperkuat sektor perdagangan.Walaupun Tembok Besar Cina dibangun pada masa Qin, tetapi karya ini dari banyak segi disempumakan oleh Dinasti Ming (mereparasi sebagian besar, menara penj aga dibuat ulang, dan menambahkan meriam sepanjang tembok).Ming merupakan dinasti bangsa Han terakhir, yang dihancurkan oleh bangsa Manchu.

DINASTI QING ( 1644 - 1911)

Bangsa Manchu menguasai Cina, dan menularkan kebudayaan mereka kepada rakyat Cina, yang tidak menurut dihukum mati. Pakaian ·- pakaian Cina sekarang sebenarnya berakar dari pakaian bangsa Manchu. Kaisar Kan!,>xi memerintahkan untuk membuat kamus huruf Cina yang paling lengkap dan sempurna pada masa itu.Pada masa Dinasti Qing ini terjadi perang dengan bangsa Inggris (Opium War),

Hong Kong diberikan kepada Inggris dengan Peijanjian Nanjing.Teijadi pemberontakan terbesar, pemberontakan Taiping. Sepertiga Cina dikuasai tentara Taiping. Tahun 1864

Taiping berhasil dimusnahkan. Pemberontakan selama 15 tahun ini memakan korban 20 juta jiwa, tercatat sebagai perang yang memakan korban terbanyak nomor dua sepanJang sejarah.Pada awal abad ke-20, teijadi pemberontakan Boxer, yang menginginkan Cina kembali kepada jalan - jalan tradisionalnya. Pemberontakan ini justru didukung oleh pemimpin kekaisaran. Akhirnya pemberontakan dihentikan oleh

Aliansi 8 Negara.

22 3.2 Wujud Dcsain Bangunan

Inti dari filosofi Lao Tzu adalah Tao, atau the Way of Becoming. Pad a bab-bab

awal bukunya Tao The Ching, dia menyatukan Being ( yang Ada) dan Non Being

(Yang Tak Ada) ke dalam konsep yang terns bergema. Bagian ke selas dari buku ini,

mengandung lebih dari sekadar prinsip dari dua elemen yang bertentangan, karena

bagian itu juga menybabkkan superioritas yang terkandung, yakni ruang di dalamnya.

Yang tidak nyata menj adi hakekatnya, dan sinyatakan ke dalam bentuk materi. Ruang

terdiri dari tiga tahapan pemikiran yakni ruang sebagai basil dari perangkaian secara

tektonik ( ruang tercipta karena adanya susunan tektonis, seperti rongga yang tercipta

karena susunan ikatan jeruji), ruang yang dilingkupi bentuk stereotomik (ruang tercipta

dengan membuat gumpalan dari lempung), dan ruang peralihan yang membantuk hubungan antara dunia di dalam dan di luar.

Gb 3.1 Ruang Antara yang Khas dalam Arsitektur China

Selain konsep ruang yang dikemukakan oleh Lao Tzu, terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan arsitektur tradisionalnya :

• Tradisi arsitektur Cina melambangkan semesta-langit dalam bentuk-bentuk bulat

dan dunia-Bumi dalam bentuk kubus.

• Susunan arsitektur berbatas dinding di Bumi biasanya ditemui dalam penataan

geometris yang ketat, persegi panjang, maupun bujur sangkar, ditata berdasarkan

arab mata angin.

• Bangunan mengarah utara-selatan sebagai acuan utama, karena secara

klimatologis, angin utara yang dingin menjadi kontras tcrhadap angin selatan.

23 • Ruang ditata berlapis-lapis dalam suatu seri pola grid yang tegas baik bentukan

ruang-ruang Juar (cowtyards) maupun dalam susunan ruang-ruang dalam.

Masyarakat Cina juga percaya kepada hal - hal halus. ·rercermin salah satunya

yaitu dalam desain atap bangunan Cina yang melengkung. Atap ini dibuat

melengkung konon adalah untuk menghalau agar roh jahat tidak bisa mendarat

eli atap dan masuk ke dalam rumah Cina.

• Kolom dibuat berjumlah genap dengan tujuan menciptakan ruang antara

berjumlah ganjiL Dengan kondisi demikian, posisi pintu eli tengah bangunan

akan menghasilkan simteri yang baik.

• Penggunaan kayu yang besar sebagai kolom dan balok utama penyangga atap

bant,,>unan. Unsur struktural ini kemudian ditlnishing dengan baik dan diekspos.

Walaupun demikian, ada juga bangunan - bangunan Cina yang menggunakan

dinding pemikul, tetapi jumlahnya tidak banyak, mengingat struktur rangka kayu

temyata lebih ekonomis.

·- 2 I Ridgr� he�1 m 2. Purlin a Strut 4 Tie-beam 5 Shorter tie-h(!am / fi Kjng-post 9 7 Tuofeng 8 11 8 Rlantin�:: nrm (ang) wlth innm- End n•::-1 ing ;lgainst the under�i(l(_' of a cross-· beam H Hafters 10 Hrncl;:et.arm 11 Ceilint� /-·-- amework, roof truss and brac.kt�L Rystem of the maitllmll the Foguang si on M�Hmt \Vu tai (Shanxi) built between l and 860

Gb 3.2 Potongan dalam Arsitektur China

Konstruksi atap Cina mayoritas berupa atap miring. Adapun tiga tipe atap yang

dominan pad a bangunan Cina antra lain adalah sbb:

• Straight inclined 0 atap dengan satu kemiringan, merupakan atap paling murah

dan bisa ditemukan pada rumah - rumah tinggal rakyat biasa.

24 Multi inclined 0 atap dengan 2 atau lcbih kcmiringan, ditcmukan pada rumah ·

rumah rakyat yang kaya sampai dcngan istana.

• Sweeping 0 atap yang melengkung pada ujung ·- uj ungnya. Ditemukan pada

rumah saudagar kaya dan istana - istana, atap ini pada umumnya dihiasi dengan

banyak ornamcn.

• Kayu sebagai bahan utama bangunan, sulit bertahan lama baik dari fa ktor iklim

maupun kebakaran, maka sejak Dinasti Tang, penggunaan bata dan batu sebagai

bahan bangunan mulai menggantikan kayu yang sudah sejak lama digunakan.

• Pada awal abad ke-20, tidak diketahui apakah ada penginggalan Dinasti Tang

yang terbuat dari 100% kayu yang masih bertahan hingga sekarang. Tetapi pada

abad ke-21 ditemukan total 6 bangunan penginggalan Dinasti Tang yang terbuat

dari kayu.

• Bangunan tertua dari kayu yang rnasih bertahan yaitu Pagoda Kuil Fogong dari

Dinasti Liao. Pagoda ini rnerniliki 54 tipe bracket arms.

• Dinding dan lantai bangsa Cina pada awalnya terbuat dari tanah yang dipadatkan.

Narnun, seiring perkernbangan waktu mulai digantikan dengan batu dan bata.

Hal ini dapat ditemui pad a Ternbok Besar Cina, bagian lama terbuat dari tanah

dan bagian baru yang direnovasi pada Dinasti Ming sudah terbuat dari batu dan

bata.

Gb 3.3 Isometri Konstruksi A tap dan Kolom yang Khas dalam Arsitektur China

25 .,.,J .,, i],.,, , ''" \-·i•:·) l>l"ll�<·>l!J:nd nla

11 ! .1 111 d\'lt.l :I ' (t·l··;-�_•iJl.h t�enlury)

i.l · L

· "" !' , , •;' l h 1 ••u1-'. h Lht' Lops of lhc pi liars longiludi- di ti "' ··i

•. • . 1111: ! •' ,, 1, · ! l1fl)ltgh LlH: tops of the pillars transversely . ······ ...... , "" ...., ··�··A �/ '!�' .. /// ' J

Hrn('_kets;ynLem"in C:hinri ami ,Japun. fr()m 'Yillet.tr-.·Chin•'='(' Art' a Brackets nnd le\'N' arms of tlw up1wr �lorey of Guany-in ge (.Jb:ian, He!wi) IJ 'f

3.4. Du Gong - Bracket Arm

26 3.2. .I Forbidden City

Forbidden City merupakan istana imperial Cina pada pertengahan pemerintahan Dinasti Ming hingga akhir pemerintahan Dinasti Qing. Berlokasi di tengah kota Beijing, berfungsi sebagai rumah kaisar dan pusat pemerintahan kekaisaran.

• Diban!,'Un pada 1406 ·- 1420 M, berupa kompleks besar yang terdiri dari 980 bangunan dengan luasan 720.000m2.

• Mamiliki ciri arsitektur istana Cina, yang selanjutnya membawa pengaruh pada

arsitektur Asia Timur. Forbidden City ini dinyatakan sebagai World Heritage Site oleh UNSECO pada I 987, disebut sebut sebagai kompleks terbesar peninggalan struktw· kayu kuno di dunia.

• Nama Forbidden City ini sendiri diarnbil dari nama aslinya Zijin cheng, yang berarti Purple Forbidden City. Nama Zijin Cheng ini terdiri dari: Zi (purple) yang rnelambangkan bintang utara yang dalam ilmu astrologi Cina dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa Langit Forbidden City sebagai tempat kaisar, diyakini sebagai counterpart dari kerajaan Dewa. Jin (forbidden) berarti tiada yang boleh rnasuk atau meninggalkan kompleks istana tanpa seijin kaisar. Cheng (walled city) memiliki arti seperti sebuah kota.

1 ••• (! . !- : 'I

' I ..

Gb 3.5 Kota Beijing masa lampau di dalamnya terdapat Forbidden City

27 Supreme Harmony

Sup1·eme Harmony

Literary Glory

of Tranquility

Gb 3.6 Forbidden City

28 l'ebng, tla• Forhitld�m City: Silu pbn 1 :GO::KI; gnnondpl'tl! of lll<' d ,; llw Jmpl'rin! 1'�1uce l :."'l'f.)U: l(n>"!Hlplnu ami <:r<)'-'�"""d.i<.>ll Q{ tllt' 'l':liht> ol!an 1:60\1

l Dtmhe dinn 2 Zhanec •Jilln 3 lhihc dian 4 'l 'llihemen 5 Bridge over t.lwlHver ofGolden <>.r r, Wu men

H-···�.f--:.·:··-f-:-::�- =-�·-:::·:.::::'l'::::::.:-.:::...:..:.::·5 >! F:-·1�-----==-:.:...,]5::.:_:::..-.-:=::-: ·.-.-:·::-::�:0:.�1

?t� 'D' :£:-1.�-l- \/\panoramic view of the Forbidden City

Cb 3.7 Forbidden City

29 Gb 3.8 Detail bangunan di alam Forbidden City

30 Gb 3.9 Interior Bangnnan Utama dalam Forbidden City

31 Gb3.1 0 Forbidden City

32 Arsitektur Cina memiliki beberapa ciri, pada umumnya disusun berdasarkan

aturan-aturan yang dapat dimengerti secara rasionaL Jntelektualitas menjadi latar dari masyarakat tradisional Cina, terutama dalam bidang sastra, walaupun secara umum sej arah Cina adalah sejarah negeri agraris.

• Arsitektur Cina adalah satu-satunya sistem arsitektur di dunia yang mengutamakan bangunan struktur kayu, merupakan manifestasi mendalam persepsi orang Tionghoa tentang etika, estetika, nilai dan alam.

• Pada bagian tengah, yang menjadi bagian utama, terdapat ruang luar, sebuah taman terbuka yang dilapisi penutup keras seperti marmer, granit, batu alam, dan sebagainya. Di courtyard ini terjadi interaksi sosial dengan orang- orang dari luar dinding. Para tamu diterima untuk kemudian dijamu di mang tengah beratap. Courtyard dan ruang tamu menjalankan fungsi sosiaL Di belakang itu disusun bangunan­

bangunan berfungsi privat, paviliun tidur, dapur, ruang makan, dan sebagainya:

,.

3.2.2 Pagoda

• Pagoda adalah semacam kuil yang memiliki atap bertumpuk-tumpuk, bergaya Meru. Sebuah pagoda terutama ditemukan di negara-negara dengan umat Buddha, dan biasanya berada di dekat kuil yang banyak seperti Thailand atau Tiongkok.

• Tujuan sebenarnya dari pagoda adalah sebagai tempat menyimpan barang­ baraag peninggalan dan naskah suci. Yang kemudian banyak para missionaris Buddha, penguasa, pengembara dan masyarakat biasa yang ingin mengetahui, menyampaikan dan menyebar luaskan aj aran dalam peninggalan Buddha tersebut.

• Awalnya struktur dasar Pagoda di Cina berbentuk kotak dan lingkaran. Pada abad ke 10 mulailah dibangun menara pagoda berbentuk dasar octagonaL Pagoda di China yang paling tinggi pada masa pre-modem adalah pagoda Liaodi di daerah Kaiyuan, tingginya mencapai 84 meter.

33 Konstru ksi dan matel"ial 1. Kayu Dari Eastern Han Dinasty sampai Southern dan Northen Dynasties hampir seluruhnya terbuat dari kayu, seperti struktur kuno China lainnya. Sangat tahan terhdadap goncangan gempa, akan tetapi banyak diantaranya yang hancur karena terbakar, dan juga kayu rentan terhadap pelapukan alami adn serangan rayap. Contoh pagoda dari kayu : White Horse Pagoda di White Horse Temple, Luoyang Pagoda pertama China. Pagoda kayu tertua yang sampai saat ini masih berdiri di China adalah Pagoda di Kuil Fugong di daerah Ying 2. Bata Pagoda bata yang pertama adalah pagoda Songyue di propinsi Henan dengan tinggi 40 meter. Berbentuk dasar lingkaran ini diban!,>un pada tahun 523 saat dynasty wei. Tebal dindingnya 2,5 meter dengan diameter lantai dasar sepanjang 10,6 meter. Puncaknya runcing. 3. Batu l1 agoda batu berukuran besar yang paling awal diban!,>un adalah Pagoda Empat gerbang di Licheng, Shandong. Dibangun tahun 61 I saat dinasti Sui, puncaknya

runcirig, sama seperti pagoda Songyue, dan dibangun dengan model seperti paviliun.

34 ,, '-·; - ' .. � ' .. " .. •.. . >1 '

·� ,. " ,r.l

�.-�'' ·);�\�--;' , ..,. 1 1 '·]

1 beberapa perkembangan sejarah bentuk Kuil Langit

The Temple ofGt1anyin (Huh� si}, Jix.ian (HelJci) Cro&J-..

Gb 3.12 Kuil 984 M

35 The Shijia Pagoda of the Fogong si, Yingxian (Shanxi) Elevation and cross-section 1:400 Built in 1056

II II

U I - /;! r -� ' ,,

1 ' ' " Gb. 3.13. Pagoda Fogong

36 37 Gb 3.15 Beberapa contoh pagoda Batu dan Bata

38 3.2.3 Rumah Hunian Rakyat

Gb 3.16 Arsitektur Huniau Folk design melibatkan rumah - rumah masyarakat Cina. Secara gans besar, tipe pemukiman bangsa Cina bisa dibagi menjadi sebagai berikut: Si he yaan (Courtyard Houses ofNorth China) merupakan tipe yang paling umum dalam arsitektur rumah Cina. Si he yuan berjumlah sangat banyak dan tersebar di mana - mana, digunakan oleh bangsa Han, Manchu, Bai, dan bahkan kelompok - kelompok masyarakat minoritas. Tipe ini terbuat dari rangka kayu. Ruang utama ditempatkan sesuai axis utara selatan, sedangkan ruang - ruang penunjang ditempatkan di kedua sisi lainnya.

Gb 3.17 Arsitektur Hunian Si heyaan

39 Hakka Group Houses Bangsa Hakka (sub dari bangsa Han) yang tinggal di propinsi Fujian, memiliki rumah tradisional yang disebut Tulou. Rumah ini biasanya terdiri dari 3 atau 4 lantai, Tulou ini bisa menampung hingga 50 keluarga. Bangunan ini seperti menara, ruang - ruang untuk keluarga disusun melingkar, bagian tengah yang kosong difungsikan untuk area publik. Bangsa Hakka menciptakan konfigurasi demikian dengan tujuan berlindung. Tipe hunian demikian masih tetap digunakan hingga sekarang.

Gb 3.18 Arsitektur Hunian Hakka

Ganlan Ganlan berupa rumah bertingkat yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Tersebar di propinsi - propinsi sebelah selatan antara lain Yunan, Guizhou, Guangdong, dan Guangxi. Rumah ini merupakan tipe pemukiman bagi kaum minoritas seperti Dai, Jingpo, dan Zhuang. Tipe Ganlan biasanya berdiri sendiri - sendiri, terpisah dari rumah Ganlan Jainnya, ditopang dengan kolom - kolom di bawah. Kehidupan dilangsungkan pada lantai atas, lantai bawah sebagai gudang dan kandang hewan sekaligus bertujuan menghindari serangan hewan. Gb 3.18 Arsitektur Ganlan

40 Cave Dwelling of Northwest China Rumah gua tersebar di propinsi bagian tengah dan barat seperti Henan, Shanxi, Gansu, dan Qinghai. Rumah tipe ini dihasilkan dari menggali tebing yang ada. Hunian gua ini menghemat bahan ban�:,runan dan tidak memerlukantekno!ogi yang kompleks. Rumah gua akan sejuk pada musim panas dan hangat apda musim dingin.

Gb 3.19 Arsitektur Huniun Ct1ve Diuofu ng Merupakan tipe hunian yang paling populer di Tibet dan Mongolia. Rumah ini memilikiketinggian 2 - 3 lantai, terbuat dari bahan batu dan tanah. Lantai dasar digunakan untuk tempat petemakan, lantai atas digunakan sebagai ruang tidur, ruang tamu, dapur, dan ruang penyimpanan.

Gb 3.20 Arsitektur Hu niun J)iuofu ng

41 Mongolian yurts Tenda Mongol di bagian utara Cina dinarnakan Mongolian Yurts_ Berbentuk kerucut dan dilapisi dengan fe lt (penutup dari kain atau bulu binatang). Yurts kecil tidak memiliki kolom di interiornya, berdiameter 4 - 6m. Sedangkan Yurts besar memerlukan 2 - 4 kolom sebagai penyangga. Tipe ini selalu memiliki lubang di bagian atasnya.

Gb 3.20 Arsitektur Hunian Monggolia

Jiangsu Residence Rumah tinggal yang tersebar di sebelah selatan Sungai Yangtze memiliki berbagai nama, tatanan mirip dengan si he yuan. Perbedaan kedua tipe ini adalah pada luasan halaman yang ada pada rumah memiliki halaman yang lebih kecil difungsikan untuk daylight. Pada rumah yang berada di sepanjang sungai, tiap unit memiliki bagian di belakang rumah seabgai tempat cuci dan akses ke perahu.

U-Shaped Houses of South China Tipe U-shape ini direpresentasikan oleh rumah - mmah di propinsi Yunnan dan Hunan di Cina bagian selatan. Tipe ini secara garis besar mirip si he yuan, tetapi massa bangunan terhubung di tiap - tiap bagian ujungnya sehingga membentuk hurufU

42 3.2.4 Tembok Tiongkok Bangsa Cina �;udah mahir dalam membangun ternbok - ternbok kuat sejak masa Spring and Autumn Period, pada rnassa Warring States Period kemampuan ini menjadi bertamabah sernpurna karena sangat diperlukan untuk melindungi kota dari serangan musuh. Tembok -- tembok ini dibuat dari bahan tanah dan batu kecil yang dipadatkan dengan rangka.

• Qin Shi Huang berhasil mempersatukan Cina dan mendirikan Dinasti Qin. Untuk melindungi wilayah kekuasaannya dari serangan bangsa utara, kaisar Qin memerintahakan pembangunan tembok pertabanan. Akhirnya pada rnasa Dinasti Ming, tembok Cina ini direnovasi dan dilengkapi dengan meriam - meriarn untuk melindungi diri dari serangan bangsa utara. Berbeda dengan tembok pada masa Qin, tembok Ming jauh lebih kuat karena terbuat dari batu dan bata.

• Pada masa Qing, wilayah kekuasan Cina meluas ke daerab Mongol, sehirigg!l , ··. � tidak ' diperlukan lagi perbaikan tembok Cina demi . perlind ng�n. Sebagai gantinya, di daerah selatan Cina didirikan tembok lagi untuk bertaban terhadap serangan bagsa Miao dari selatan.

• Secara umum, sebelum penggunaan bata, tembok besar Cina rnayoritas dibuat dari tanah ·dan batu. Selama masa pemerintahan Ming, bata mulai digunakan secara gencar.

• Hubungan antar penjaga tembok diwadahi dengan menara - menara penJaga, menara ditempatkan di posisi yang tinggi untuk mempermudah komunikasi.

Gb 3.21 Great Wall

43 The Great Wall of China

'- ' "c---, . n • �·!!-·-·

' • i '·

Gb.3.22. Gcrbang dan Great Wall

44 3.2.5 Klenteng

Klenteng adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan ban1,>unan peribadatan kaum Tionghoa, khususnya di Indonesia. Klenteng di Cina tidak lain merupakan bangunan kuil yang ditujukan sebagai bangunan pemujaan-peribadatan, namun demikian istilah Klenteng hanya dikenal di Indonesia. Klenteng banyak dibangun di daerah-daerah permukiman Cina-Pecinan-Chinatown di luar Cina, termasuk di Asia Tenggara. Arsitektur Klenteng mengadopsi bentuk rumah-rumah tinggal khas China, yakni tetap memiliki ciri arsitektur Cina kuno yang kental, seperti: atap melengkung, cat merah, struktur ekspos, jumlah kolom genap dan simetri tetap bisa dijumpai. Tata ruang di dalamnya juga didaptasi dari bangunan hunian tradisional China namun fu ngsinya diganti dengan pemujaan. Transformasi dari rumah untuk manusia menjadi rumah untuk para Dewa. Pada waktu tertentu dalam ritual pemujaan, Dewa dianggap turun dan merasuki patung-patung yang ada di sana, sehingga kemudian dapat memberikan berkah kepada para pemujanya ketika ritual berlangsung. Jenis Klenteng sangat bervariasi tergantung dari dewa yang dipujanya. Di Pesisir Jawadewa yang dipuja didominasi oleh Dewi Ma Chow, yang sebagai pelindung ketika bangsa China bermigrasi dan selamat sampai di Jawa. Dewi ini sebenamya adalah pengejawantahan dari Dewi Kwan Im di negeri Asalnya.

Gb 3.23 Klenteng Sam Po Kong Semarang

45 3.3 Omamen dan Elemen

Bangunan Cina, termasuk Klenteng juga dihiasi dengan beberapa elernan omarnen. Ornarnen tersebut rnerepresentasikan motif turnbuhan, binatang, dan rnanusia. Beberapa omarnenyang dapat diternukanantara lain (Shanti, 2009):

A. Hiasan Motif Tumbuh-tumbuhan -Hiasan MotifPohon Bambu Pohon barnbu yang nama ilrniahnya giganthozoa dalarn seni hias Cina sering muncul pada hiasan-hiasan kerarnik atau dalam seni hias lainnya. Ciri-ciri motif pohon bambu dalam hal ini antara lain, tumbuh pada karang daunnya lancip lonjong dan bergerombol, buku-bukunya pendek sehingga secara keseluruhan seperti bonsai. Motif pohon bambu keberadaanya sebagai pegangan seorang yang berpakaian sastrawan. Pohon bambu adalah pohon yang tahan terhadap serangan air dan angin juga merupakan tanarnan yang tahan dalam segala musim tanpa mengalami kering dan rontok daunnya tetap hijau sepanjang tahun. Oleh karena itulah maka pohon bambu melambangkan keuletan, kesucian, dan keabadian (Marcus, 2003:89).

- Hiasan MotifTe ratai Merah Teratai merah bahasa ilmiahnya disebut Ne lumbium nelumbo sering juga disebut bunga Padma. Ciri-cirinya daun Iebar terkesan ditiup angin bergelombang dan menjulang ke atas tumbuh dari air daun bunganya sebagaian mekar dan sebagian masih terkatup dan lancip tanpa batang kayu atau ranting. Motif hiasan bunga teratai merah juga digambarkan dalam bentuk tiga dimensi. Teratai dalam seni hias Cina melambangkan kesucian dan kesempurnaan. Karena teratai tumbuh bersih dan menarik meskipun tumbuh dalam lumpur atau rawa-rawa (Spencer, 1960: 294). Stelah agama Buddha masuk ke Cina, teratai merah berarti juga 'Buddha mengenal manusia', yaitu tentang pemikiran, perasaan, pengutaraan, kebijaksanaan, dan kesadaran.

- Hiasan Mo tifBung Krisan Seperti motif bunga botan motif ini juga sangat popular pada seni hias Cina. Cirri-ciri bunga krisan antara lain daunnya kecil berujung lancip dan kelihatan jelas garis tengahnya, batangnya keras tumbuh pada karang. Daun bunganya bergelombang dua

46 dan scbagian mckar. Biasanya digambarkan bcrsama motif karang dan motif burung. Bunga krisan adalah pohon yang bcrbunga pada musim gugur. Pada waktu bunga mckar daunnya terlihaL Jadi motif hiasan ini melambangkan musim gugur. Warna putih atau tcrang yang berarti sifat yang selain itu motif hiasan bunga krisan melambangkan keabadian. Hal ini bcrhubungan dengan para pertapa di t,•tmung hidup dari ramuan bunga krisan (Marcus, 2003:255)_

- Hiasan Motif Labu Air Labu air tcrmasuk suku Lagneria siceraria, labu air ini scring disebut labu kendi atau Kukur rushi dalam bahasa Cina sering disebut Ku Chan To. Cirri-cirinya bentuknya seperti gitar akan tetapi silinder dagingnya lunak kulitnya keras apabila dikeringkan sehingga sering digunakan scbagai tempat air. Pada motif ini tengahnya yang cekung sering diikat dengan tali atau kadang-kadang selendang yang bcrguna untuk membawannya. Pada hiasan motif ini digambarkan dengan motif vas bunga dan motif daun ai-yeh.Motif labu air (labu) merupakan atribut dewa Li The Guai dan Dewa Show Low. Kendi labu merupakan tempat air tuak atau air amerta. Tuak dapat digunakan sebagai tuak sarana untuk samadi. Jadi motif labu air sebagai lambang kctcnangan dan keabadian atau wu wei (Marcus,2003 :236).

- Hiasan Motif Pohon Perdu Motif pohon ini biasa dilukiskan pada keramik Cina demikian juga pada lukisan-lukisan Cina lainnya terutama lukisan pemandangan_ Ciri-ciri motif pohon perdu antara lain: batangnya berkelok-kelok seperti bonsai daunnya bergerombol-gerombol tumbuh di atas karang. Motif pohon perdu dapat disamakan dengan pohon hayat yang merupakan tempat untuk terkabulnya suatu doa. Hal yang demikian karena orang Cina percaya bahwa tumbuhan tersebut termasuk salah satu fenomena yang didiami oleh ch 'i selain tanah, air dan t,> unung. Jadi pohon hayat merupakan sumber dari scgala sumber hidup dan melambangkan dunia atas (Setiawan, 1982:64).

- Hiasan MotifDaun Ai Yeh Dalam seni bias Cina motif daun Ai yeh ini banyak dijumpai pada klenteng-klenteng, jarang diketemukan pada seni hias sepetii kcramik atau lukisan-lukisan Cina . Ciri-ciri motif daun Ai yeh antara lain daunnya Iebar memanjang pada pucuk daun terbelah dua dan tengahnya terdapat lingkaran menyerupai bulu merak kadang-kadang daunnya

47 bergerigi biasanya yang demikian ini dipadukan dengan motif kebutan lalat sedangkan yang bergerigi dipadukan dengan motif kendi_ Dalam mitologi Cina motif daun Ai yeh adalah daun yang dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Motif ini selalu dibawa oleh qilin yang membawa berkah. Jadi daun Ai yeh merupakan lambang kesehatan dan kebahagiaan (Setiawan, 1982:76).

- Hiasan Motif Sulur-suluran Motif sulur-suluran l;lanyak sekali didapatkan pada seni bias Cina seperti di keramik maupun lukisan pada klenteng, motif ini biasa digunakan sebagai hiasan garis tepi. Ciri­ ciri motif sulur-suluran antara lain: digambarkan sebagai pohon yang menjalar daunnya bercabang tiga menjalar seperti angka enam dan sembilan silih berganti. Sulur-suluran adalah pohon yang menjalar. Pohon menjalar disamakan dengan ular yang merayap. Ular dapat berganti kulit setiap ia tua, sehingga dipercaya dapat hidup abadi. Oleh karena itu motif sulur-suluran dapat dihubungkan dengan lambang keabadian (Gan, 1986:65).

B. Hiasan Motifllinatang

- Hiasan Mo tifRusa Motif Rusa sangat popular dalam seni bias Cina terutama pada keramik-keramik dan klenteng . Motif ini juga ditemukan dalam seni bias Jawa maupun Madura misalnya terdapat pada gunongan di Madura. Rusa digambarkan sedang berlari dan menengok ke belakang, ada juga rusa digambarkan sedang menggigit daun bambu dan berusaha untuk menariknya. Kesamaan masing-masing rusa bertanduk dan kelihatan energik. Rusa menurut mitologi Cina adalah binatang surga. Di surga rusa dianggap sebagai kendaraan penghubung antara alam baqa dan alam nyata dalam tugasnya mengantar roh. Rusa selalu dikendarai oleh Dewa Show Low. Jadi motif rusa melambangkan dunia atas dan kematian atau keabadian (Ong, 1996:214).

- Hiasan Mo tif Naga Motif Naga biasa dijumpai pada seni bias di Tiongkok, baik pada peninggalan arsitektural maupun pada porselin ataupun lukisan-lukisan_ Ciri-ciri motif naga Cina adalah mempunyai moncong yang bergerigi tajam, kadang-kadang menyemburkan api, berkumis panjang dan jarang mempunyai tanduk yang bercabang seperti menjangan, berambut panjang seperti rambut kuda, badan panjang bersisik, bersirip atas dan

48 mempunyai kaki seperti cakar elang dan ekor seperti burung merak atau bola ap1. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang nafasnya merupakan angin, suaranya dianggap halilintar dan dapat menciptakan hujan. Karena keaktifannya di langit maka kehadirannya dianggap Dewa Lmgit. Oleh karena itu di klenteng-klenteng motif naga disembah sebagai Dewa Langit (Ong, 1996: 70).

- Hiasan MotifMa can Motif ini banyak dijumpai pada klenteng-klenteng sel:)agai Dewa Bumi. Pada klenteng motif ini sering dijumpai pada lorong pertama di bawah area Hok Tek Ceng Sin. Ciri­ ciri motif ini adalah wajah seperti singa akan tetapi tidak mempunyai bulu yang lebat, sekujur tubuhnya berloreng-loreng, ekor tidak berambut. Macan binatang yang memakan ikan di sungai, selain itu macan adalah kendaraan Dewa Bumi. Oleh karena itu pada klenteng-klenteng macan disembah sebagai penjelmaan Dewa Bumi. Dalam lambang Hong Shui gambar macan dianggap sebagai yin dan naga sebagai yang. Dengan demikian motif macan dapat dihubungkan dengan unsur yin (Ong, .1996:107).

- Hiasan MotifBurungMerak Motif burung merak sering muncul pada seni hias Cina. Di Jawa motif merak sangat popular terutama pada seni daerah pesisiran seperti Cirebon, Pekalongan, dan Lasem. Motif burung merak digambarkan seperti burung phoeniks ekor dan jenggernya lebih pendek dan teratur, jengger hanya berupa jambul, ekor tanpa gelombang. Burung merak digambarkan sepasang seperti burung phoeniks dan berlatar belakang bunga krisan. Burung merak apabila memekarkan ekornya akan membentuk setengah lingkaran yang berwarna-warni . Setengah lingkaran tersebut melambangkan matahari yang baru muncul ataupun yang akan tenggelam. Matahari yang timbul-tenggelam dapat diartikan dengan siklus kehidupan, kelahiran, dan kematian manusia. Selain itu matahari melambangkan unsur yang atau dunia atas (Ong, 1996:277).

- Hiasan MotifQilin Motif ini sangat popular pada seni bias Cina terutama pada tempat-tempat sakral. Motif Qilin biasanya dibuat dalam bentuk area akan tetapi ada pula yang dilukiskan atau dipahatkan. Pengaruhnya pada seni hias di Jawapun sangat terasa terutama pada seni batik di Lasem, Pekalongan dan Cirebon demikian juga pada seni ukir kayu di Jepara. Ciri-ciri motif Qilin antara lain berbadan anjing dan berkepala singa, telinganya panjang

49 sepe1ti kuda menginjak dunia yin-yang. Mutiara terdapat pada mulut dan kening. Atribut yang lain yaitu daun Ai yeh pada salah satu kakinya, bunga botan pada dada tengah atau antara dua kaki depan dalam posisi jongkok. Pada Qilin yang berbentuk area biasanya dibuat secara berpasangan sebelah kanan membawa pedang dan sebelah kiri membawa Qilin kecil atau dragon fish. Qilin adalah binatang dalam mitologi Cina yang terdiri dari kata Chi dan Lin. Chi berarti jantan dan Lin berarti betina. Oleh karena itu chi-lin merupakan binatang yang berkelamin ganda. Dengan demikian motif Chi-lin merupakan persatuan antara yin dan yang yang berarti kesempurnaan. Kedatangan Qilin, selalu dianggap membawa berkah kesehatan, keselamatan dan keamanan. Ini dilambangkan dengan atribut yang dibawanya. Atribut tersebut adalah daun Ai yeh dan pedang (Ong, 1996:233).

C. Kelompok Hiasan Motif lain-lain -MotifBola Yin-yang Motif bola dunia adalah suatu benda yang berbentuk bulat y?ng terdapat motif garis di tengah sehingga membelah benda tersebut menjadi dua bagian atas dan bawah dan masing-masing terdapat lubang yang sejaj ar, motif ini keberadaannya sebagai atribut motif singa. Motif bola dunia terdapat pada teras, yang terletak pada kaki kiri singa. Bola yin-yang sering dijumpai di klenteng dan tempat sesembahan. Bola yin-yang digunakan untuk mengundi ramalan nasib. Motif ini terdiri dari dua setangkup, masing­ masing setengah lingkaran. Cara mengundinya dengan menangkupkan kemudian melemparkan dan melihat hasilnya terbuka atau tertutup. Benda ini disebut bola yin­ yang karena kedua kutubnya melambangkanyin dan yang. Menurut dasar berpikir orang

Cina, seluruh fenomena alam itu dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu yang dan yin. Yang melambangkan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya, dan lain sebagainya yang termasuk keaktifan. Sedangkan Yin adalah suatu prinsip seperti wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam) dan segala sesuatu yang bersifat pasif (Fung, 1990:20).

-MotifA wan Motif awan sangat popular pada seni hi as Cina. Seperti motif air dan karang merupakan ciri khas motif Cina yang bercorak pemandangan.Ketiganya sering muncul pada lukisan dan ukiran baik pada keramik maupun pada klenteng. Motif ini di Jawa terkenal dengan motif Mega Mendung dan motif karang terkenal dengan Wadas Cino yang sering

50 muncul pada seni batik Cirebonan_ Awan dalam mitologi Cina selalt1 dihubungkan dengan dunia kayangan atau dunianya para Dewa. Kayangan digambarkan sebuah pulau karang yang dikelilingi awan-awan. Jadi awan adalah lambang dunia atas atau unsur Yang Motif awan digambarkan dengan garis-garis yang berani dan membentuk pusaran-pusaran yang bergelombang sehingga berkesan seperti awan yang bergulung­ gulung. Motif digambarkan bersama motif seorang tokoh yang sedang naik binatang dan tokoh yang berperang (Gan, 1986:22).

Gb 3.24 Motif Awan dan Aplikasinya di Landscape pada masa Islam di Jaw a

-Motif Mu tiara Motif mutiara sering dijumpai pad a seni hi as Cina. Motif ini sering dijumpai pad a motif burung Hong, burung Feng Huang, Naga, dan Qilin sebagai atributnya, sehingga motif mutiara sama populernya dengan motif-motif yang memakainya.Motif mutiara sering digambarkan sebagai bulatan yang mulus tanapa goresan, pada seni ukir atau seni lukis digambarkan sebagai bola api atau bulatan yang diberi tanda berpijar, sebagai atribut

51 biasanya terletak di depan atau di dalam mulut atau patuk binatang yang memakainya.Mutiara apabila berada pada tempat yang gelap ia akan bercahaya seperti matahari. Dalam hal ini mutiara bersifat Yang, akan tetapi walaupun bercahaya tetap dingin yang berarti unsur Yin. Jadi mutiara mempunyai dua unsur Yin dan Yang yang berarti melambangkan kesempumaan (Fung, 1990:23):

- Mo tif Payung Payung, banyak dijumpai pada klenteng-klenteng yaitu pada tempat senjata. Payung digunakan untuk memayungi senjata atau tokoh yang dikultuskan. Payung ini sampai ·' ,;! sekarang masih digunakan.Payung mempunyai ciri-ciri sebagai berikut bentuknya ' seperti payung biasa akan tetapi ditutupi kain yang berjuntai ke bawah kadang-kadang kain berjuntai ini dapat berlapis tiga atau empat lapis, pegangannya berupa tongkat yang panjang.Payung dalam kebudayaan Cina melambangkan kekuasaan, karena payung selalu digunakan untuk para bangsawan. Dalam mitologi Cina yaitu See ju, payung ,. selalu digunakan pendeta Buddha Tom Sam Cong pergi ke dunia barat unW�c . mengambil kitab agama Buddha . selain itu payung juga berjasa untuk memayungi kitab-kitab agama Buddha agar tidak rusak. Payung silinder dikultuskan di klenteng­ klenteng untuk memayungi senjata pusaka dan tokoh sesembahan yang dikultuskan. Dengan demikian motif payung dapat dihubungkan dengan kekuasaan dan kemuliaan (Setiawan, 1982:47).

-Motif Kaisar Motif kaisar senng dijumpai pada pintu-pintu rumah maupun klenteng-klenteng, kadang-kadang hanya digambarkan sebagai huruf Cina yang dituliskan pada sehelai kertas merah berarti Chiang Tze Ya ada di tempat tersebut. Ciri-ciri motif kaisar antara lain seperti dewa yaitu memkai topi seperti topi perang memakai pakaian perang lengkap dengan atributnya kadang-kadang berlukiskan seekor Naga, digambarkan dalam posisi berdiri.Motif kaisar merupakan lambang kekuatan dan kekuasaan kaisar yang memerintahnya. Jadi lambang kaisar melambangkan kekuasaan dan kekuatan (Marcus, 2003:94)

52 BAB 4

ARSlTEKTUR CANOl JAW A

4.1. Pengertian Candi

Pada umumnya istilah candi merujuk pada bant,•tman suci peninggalan Jaman Hindu-Budha di Indonesia. Di Jawa Timur bangunan-bangunan tersebut kecuali yang berbentuk gapura dikenal sebagai 'cungkup'. Istilah ' candi' dikenal pula di Sumatra bagian Selatan seperti Candi Jepara di Lampung, dan di Sumatra bagian Tengah seperti Candi Bongsu dari gugusan . Sedangkan di Sumatra Utara istilah yang digunakan adalah ''biaro'seperti pada gugusan candi-candi di Padanglawas. Di Kalimantan Selatan dapat kita jumpai Candi Agung dekat Amuntai. Namun di Bali tidak didapatkan istilah 'candi', dalam arti bahwa bangunan-bangunan purbakalanya tidak satu pun yang oleh rakyat disebut sebagai candi 1 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia candi diartikan sebagai bangunan kuno yang dibuat dari batu, berupa tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raj a-raja atau pendeta-pendeta Hindu atau Budha. Dalam kamus besar Bahasa Sanskerta dijumpai keterangan, bahwa 'candi' adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut candika, 2 sedangkan candigreha atau candikawha atau candikalaya adalah penamaan tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Dalam Bahasa Kawi, candi atau cinandi atau sucandi berarti 'yang dikuburkan', sedangkan dalam kamus arkeologi candi diartikan sebagai bangunan untuk pemakaman maupun pemujaan. Menurut N.J. Krom, pada mulanya candi merupakan suatu tanda peringatan dari batu, baik berupa tumpukan-tumpukan batu ataupun berupa bangunan kecil yang didirikan di atas suatu tempat penanaman abu jenazah. Wardenaar membuat analisis mengenai candi sebagai makam, dengan mengambil contoh Candi Jalatunda di lereng Gunung Penanggungan. Di sana ia menemukan peti batu yang mempunyai sembilan kotak-kotak kecil yang identik dengan diagram mandala nawasanga di Bali, dan di dalamnya terdapat sisa-sisa abu pembakaran serta sisa-sisa tulang terbakar, pada tengahnya terdapat cupu emas yang berisi mata nang emas, kepingan emas dan perak.

1 Soekmono, R (1974), Candi, Fungsi dan Penger/iannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta, hal 1 R (1991), Pengantar Sejarah Ke buday aan Indonesia, Jilid 2 Soekmono, 2, Yot,'Yakarta, Pencrbit Kanisius, hal 81

53 Melihat hal ini Brumund menyimpulkan bahwa candi dapat juga dihubungkan dengan tempat pemakaman. Dapat disimpulkan bahwa candi dapat mempunyai dua fu ngsi utama, yaitu sebagai makam dan sebagai kuil. Sesuai dengan ungkapan Prof Soekmono dalam disertasinya, fungsi candi adalah merupakan tempat/kuil pemujaan, dan apabila dikaitkan dengan makam raja, maka candi merupakan bangunan yang dibangun hanya untuk memuliakan raja atau bangsawan yang sudah wafat. Masyarakat awam menyebutkan bahwa setiap peninggalan bangunan Hindu­ Budha biasanya langsung disebut sebagai candi, namun apakah semua peninggalan tersebut memang berfungsi sebagai 'candi' memang hams dikaji lebih jauh. Berdasarkan sosoknya wujud bangunan sakral peninggalan jaman Hindu dapat dibagi menjadi lima jenis tipe bentuk, yaitu tipe menara yang sering disebut 'bentuk candi' seperti Candi Prambanan, Sewu, Gedongsongo, Kidal, dsb; tipe punden baik berundak seperti candi-candi di lereng penanggungan, Sukuh, Cetha maupun tak berundak seperti candi Kotes dsb ; tipe kolam/pertirtaan seperti candi Watugede, candi Belahan, candi Jalatunda, Tirta empul dsb ; tipe stupa berundak seperti Borobudur, maupun tak berundak seperti Palgading dan Sumberawan, dsb; tipe Goa seperi goa Selomangleng Kediri, Selomangleng Tulungagung, Goa Gajah,dsb. Selain kelima jenis tipe bentuk tersebut terdapat pula peninggalan yang sering pula oleh masyarakat disebut sebagai candi yaitu bangunan yang berbentuk gapuralpintugerbang yakni berupa gapura seperti candi Bajangratu, Jedong, Plumbangan, dan gapura bentar/belah seperti candi Wringinlawang.

Gb 4.1 Tipe peninggalan yang ditemukan (kiri-kanan) atas : Menara, Punden, stupa; bawah : Kolam-pertirtaan, Goa dan ,Gapura 54 Tipc-tipe bentuk tersebut sccara satu kesatuan dapat pula didapatkan dalam suatu kompleks bangunan sakral misalnya Kompleks Penataran (Palah) di Blitar dimana terdapat elemen bertipe menara, punden, kolam/pertirtaan, gapura ; atau misalnya dalam suatu kompleks yang dianggap sebagai bekas keraton seperti Kompleks Ratu Boko dimana didapatkan unsur gapura, punden, menara, kolam dan goa. Tipe menara sebenarnya merupakan tipe yang paling banyak disebut sebagai candi, karena dianggap lebih mempunyai karakter dan sifat fisik bangunan 'candi' /kuil. Berdasarkan jumlah ruang tipe bentuk menara dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu menara tanpa ruang (eontoh : candi barong), menara beruang satu(Kidal), menara beruang tiga ( contoh Plaosan), menara beruang empat (contoh Siwa-Prambanan).

tanpa ruang l ruang 3 ruang -2 lantai 4 ruang

Gb 4.2. Tipecandi Menara

Dari keenam bentuk peninggalan tersebut yang paling banyak ditemukan adalah yang bertipe menara dan mempunyai satu ruang di dalamnya. Bahan eandinya didominasi oleh bahan dari batu andesit, batu bata, atau kombinasi batu andesit dan batu bata. Sedangkan bahan atap candi itu ada yang terbuat batu dan bata seperti badannya, ada pula yang terbuat dari ijuk dan dibuat seperti bentuk meru, demikian juga dengan badannya ada yang terbuat dari kayu (tiang penyangga). Di dalam tipe menara juga didapatkan bentuk khusus candi-eandi yang dapat ditinggali untuk keperluan spiritual-meditasi, yang dikenal sekarang sebagai biara. Biara adalah tempat yang dipergunakan untuk keperluan keagamaan identik dengan candi atau kuil lainnya dimana dilengkapi dengan tempat tinggal para pendeta. Sebagai sebuah kompleks maka biasanya terdiri dari berbagai bangunan. Suatu candi biasanya dapat dikaitkan dengan tempat tinggal para pendetanya yang terletak baik di dalam maupun di luar kompleks percandian tersebut, namun pada saat kini tempat tinggal para pendeta tersebut sudah tidak dapat ditemukan karena terbuat dari bahan-bahan yang sudah rusak, misalnya di dataran Dieng, Boko, Trowulan, dsb.

55 Bangunan yang diperkirakan dulunya berfungsi sebagai biara dan masih tersisa sampai saat ini adalah Candi Sari dan Plaosan yang dibangun pacta abad ke 8-9. Masyarakat menyebutnya sebagai eandi karena mempunyai karakteristik yang mmp dengan eandi-eandi pada umumnya, khususnya dengan tipe bentuk menara. Yang membedakan dengan eandi-eandi pada umumnya adalah denahnya yang berbentuk persegi panjang, mempunyai jendela, dan berlantai dua. Bentuk denah bujursangkar atau lingkaran yang memusat digunakan untuk bangunan pemujaan, sedangkan bentuk persegipanjang biasanya di!,>unakan sebagai denah untuk ban!,>unan yang ditinggali. Selain itu fu ngsi elemen jendela tidak lain dipergunakan untuk keperluan sirkulasi udara dan penerangan alami bagi yang tinggal di dalamnya Seem·a keseluruhan dapat diketahui bahwa candi melambangkan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga bagian : alam bawah tempat manusia yang masih dipengaruhi nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suei menemui Tuhannya, dan alam atas tempat dewa-dewa. Candi sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan bangunan tiruan tempat dewa yang berada di Gunung Mahameru. Oleh karena itu eandi diberi motif hiasan yang berhubungan dengan alam khayangan seperti bunga-bunga teratai, binatang-binatang, dewa-dewa, bidadari dsb. Candi yang bertipe menara ini mempunyai bagian-bagian umum yaiiu kepala-badan-kaki/ atap-tubuh-alas.

A. Bagian alas atau kaki (subasement) Alas atau kaki eandi dapat berbentuk persegi/bujursangkar, berketinggian menyerupai batur dan dicapai melalui tangga yang dapat langsung menuju ke dalam bilik Candi Di tengah kaki eandi, terdapat perigi tempat menanam peripih. Bagian kaki eandi disimbolkan sebagai Bhurloka dalam Hindu atau Kamaloka dalam Budhis B. Bagian Tubuh Denah bagian tubuh eandi pada umumnya berdimensi lebih keeil dari alasnya, sehingga sekelilingnya membentuk serambi/selasar Bagian tubuh ini dapat berbentuk kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik. Lubang perigi yang ditutup yoni-areallingga pada eandi Hindu terletak tepat di tengah bilik utama , Dinding Iuar bilik diberi relung-relung yang diisi pula oleh area. Pada eandi-eandi yang besar relung-relung dapat menjadi ruang yang berisi patung-patung. Pada eandi Hindu di relung Utara diisi oleh area Durgamahesasuramardini, di relung selatan oleh area Siwa Mahaguru (Agastya) dan relung Timur atau Barat

56 ( tergantung arab hadap candi) oleh area GaneC:a. Pada candi Budha relung-relung itu diisi patung Budha dengan berbagai Mudranya. Bagian tubuh candi disimbolkan sebagai Bhuvarloka yaitu alam perantara menuju kesempurnaan. C. Bagian Atav Candi Bagian atap candi selalu terdiri dari atas susunan tingkatan (pada umumnya tiga tingkatan dengan satu puncak mahkota) yang semakin mengecil ke atas, diakhiri dengan mahkota. Mahkota ini dapat merupakan suatu lingga/amakala/shikara, stupalgenta (Sewu), ratna (Prambanan), atau bentuk kubus(Candi Kidal). Bagian atap candi disimbolkan sebagai Swahloka atau tempat bersemanyamnya dewa.

,---R�:;,�(.l(iA _AT,"\.T'

CI):\UKCP I'E:-;(JJ!!.AK .---...� mm;..:-,; I A.!ti-�'1

Gb 4.3. lsometri potongan candi tipe Menara Hindu

Dari segi perletakannya, candi dapat berdiri sendiri atau berkelompok. Perletakan dan pengelompokan candi diduga berhubungan erat dengan alam pikiran dan keadaan masyarakat pada jaman itu. Sebagai contoh, gugusan Candi Prambanan, terdiri dari candi induk di pusat yang dikelilingi oleh candi perwaranya yang teratur. Di Jawa Tengah bagian Utara candi-candi menurut pola yang bebas seperti misalnya gugusan candi Gedongsongo di daerab Gunung Ungaran. Gugusan candi tersebut terdiri dari beberapa kelompok candi-candi yang menyebar di bukit-bukit. Penyebaran tersebut dianalogikan dengan sistem pemerintahan yang terdiri dari daerah bawahan (�wahtara) yang mempunyai kedudukan sama.

DO('Jl;J[:JLJ nDnt:lOt: (.)J:)OIJDr::J J.lOCll.lU!,;_ onpo UDDDDU Ulll�lll,h-. B\JUDDE _ ,__ < <= DD _ orJo nor: no nun, u-1n ut;U l:: lolggg DOog8 ·;m:R'JL g�1 B - - 11 ��e nnnfo ooc t_ln tl D 8 nrc 8Se tJ'ti uou Ut:llJ m;; �..:!� m.m!::lUODUU...... ,. :l!JOOOl� nn OLlODOOo� IJDOllOr·- I:JDODtll) t1<_"lt:l0l'JL01:: 000\JI:H l UOElDUr� Dl:nlOOrl OD[]CJ(]fO Pl P? P1 P4 E:]R i' o

Ph P7

Gb 4.4 Tipe Perletakan candi

57 4.2 Mandala

Seperti halnya di Yunani, manusia India atau Timur termasuk Nusantara memandang segala yang dilihat dan dialami sebagai sesuatu kosmos yang agung. Pembagian proporsi yang harmonis dikerjakan bukan karena pemikiran geometris semata melainkan dipengaruhi pula oleh pemikiran kosmologi maka munculah misalnya apa yang dinamakan dengan Mandala. Mandala menjadi konsep dasar penciptaan tata ruang dalam desain percandian. Mandala dalam bahasa sanskerta berarti circle atau merupakan ruang yang digunakan sebagai pusat dalam pelaksanaan rituaL Meskipun menyatakan citra lingkaran/perputaran tetapi bentuk dasar mandala adalah perseg1 square. Hal ini menjurus pada dikotomi pemaknaan lingkaran dan persegi.

Di dalam Satapatha Brahmana menyatakan bahwa persegi melambangkan surgawi dan lingkaran melambangkan duniawi. Lingkaran bersifat dinamis, mudah berubah, bergerak mengalir, hal ini melambangkan dunia yang fana. Sedangkan persegi bersifat statis, stabil, tidak mudah bergerak dan berubah, hal ini melambangkan surga yang kekaL Penggabungan dua unsur ini melambangkan kesatuan dari surga dan dunia, ruang dan waktu, esensialitas dan subtansialitas. Tetapi di dalam pandangan Budha, hidup merupakan proses dari 'roda ' yang terus berputar. Jadi lingkaran melambangkan sesuatu yang tidak ada awal dan akhir, suatu proses yang berjalan terus menerus, bersifat trandesendental dan abstrak. Sedangkan persegi melambangkan sesuatu yang nyata, statis dan konkret. Meskipun berbeda dengan presepsi Hinduisme tetapipada intinya kedua bentuk itu melambangkan permasalahan esensi dan substansi.

Mandala dianggap sebagai model mikrokosmos, manifestasi dari makrokosmos yang transendentaL Mandala dianggap sebagai model pengejawantahan pusat dunia atau 'imago mundi' dan bangunan yang didirikan di atasnya dianggap sebagai 'axis mundi'. Axis mundi merupakan tiang penghubung antara un&ur kosmis yaitu alam bawah, tengah, dan atas. Titik pusat makro/mikrokosmos dengan poros/ axis mundinya

dilambangkan dengan gunung, pohon, tiang, spiral, tanggal, dsb. Benda ·- benda tersebut menjadi penghubung dunia bawah dan dunia atas (tempat dewa - dewa), dan di bagian atas adalah tempat tinggal dewa - dewa tersebut. Upacara mencapai langit/ tempat dewa - dewa seringkali dilakukan oleh para syaman secm·a simbolik, yaitu dengan naik sebatang pohon yang dianggap sebagai poros dunia (Eliade 1991: 44 - 46). Berdasarkan uraian tersebut, jalan naik ke dunia atas ini tidaklah lurus, melainkan dilakukan selapis demi selapis atau melingkar (Puree 1974). Candi adalah rumah dewa

58 (dewa-grha) dan dewa Siwa ada di dalam ruangan utama (garbhagrha) sebagai area Siwa Mahadewa atau Lingga. Untuk "naik" ke tempat dewa Siwa, dilakukan selapis demi selapis yang secara simbolik dilakukan dengan mengelilingi candi. Mandala yang banyak digunakan sebagai dasar perencanaan kuil Hindu di India adalah Vastupurusam andala. V astu diartikan sebagai 'ternpat tinggal', dari kata Vas yang berarti meninggali. Deugau kata lain vastu merupakan tempat manifestasi eksistensi dunia. Pumsa berarti universal man atau atman yang mcrupakan esensi dari eksistcnsi tersebut. Jadi Vastupurusa dapat diartikan sebagai tempat tinggal dari 'atman' 3 yang tidak lain adalah Brahman • Secara filosofis dapat diartikan Vasthu berarti norma dasar semesta yang beebcntuk dan berwujud. Purusha berarti insan atau personifikasi dari gejala semesta dasar yang awal, asli, utama, scjati, sedangkan mandala diartikan sebagai wilayah energi atau bcntuk-bentuk konkret, akibat pcngaruh suatu medan gaya 4 Jadi Brahman tumn dan menyatukan tubuhnya dengan tanah dan mcnjadi pelindung (Vastupa) tempat atau bangunan yang akan didirikan diatasnya. Olch para dewa pumsa ditelungkupkan di atas tanah (vast u) dengan das;;r tepat di titik pusat diagram, kepala menempel di bahu kiri, dengan kedua kaki dan tangan terpcntang menggapai keempat sudut mata angin5

Di dalam Vastupumsamandala, bujursangkar yang berada di tengah diagram mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, karena mempakan tempat terpusatnya potensi gaib yang menguasai alam semesta. Di sinilah terpendam apa yang disebut Hiranyagarbha, yaitu benih dari segala yang ada, tempat tersembunyinya Brahma, tcnaga cipta yang menjelmakan segala apa menjadi ada, disinilah bersemayam Brahma, Dewa Pencipta alam seisinya. Maka�� yang� berada di pusat dinamakan Brahmasthana.

--� -- ---· ··· ·· ···· -·-· - - -·- -·- ---· ___ -·· ·-· - -·· ...... ------·- --- -··· ------=· ·····== == -- -····· -··· -- - ··-·· ··· \ .. ..] !·····7···· x 7··· padas !--8-· x ··-····8 padas··· ... 1···----�·-9 x 9 padas··-····-l ··-··---·-·······-----·-----··· ------.---·------····· ------···--- Gb 4.5. Diagram Wastupurusamandala dan pembagian mandala

3 Snodgrass, Adrian (1985) The Symbolism of the Stupa, New York, Cornel University

4 Mangunwijaya YB (1992), Waslu Citra Pcngantar llmu Budaya Bentuk Arsitcktur Scndi-Scndi Filsafatuya, Jakarta, PT GramcdiaPustaka Utama. 5 Santiko, Hariani (1995), Seni Bangunan Sakral Masa llindu-Budha di Indonesia Ana/isis Arsitektur dan Makna Simbo/ik, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Tetap pada Faknllas Saslra Universitas Indonesia, Depok

59 Dalam pandangan Budhisme, gunung meru yang dijadikan sebagai pusat dari jagad raya. (Junung ini dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan, masing-tnasing dipisahkan oleh tujuh buah samudra. Di batas luar komposisi ini terdapat empat buah benua, masing-masing terletak pada penjuru mata angin. Benua yang terletak di Selatan

· Gunung Meru adalah Jambudwipa yang merupakan tempat tinggal umat manusia. Jagat Raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri dari batu karang, disebut sebagai barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Meru terletak surga yang terendah, yaitu surga dari keempat raja besar atau penjaga dunia. Surga kedua puncaknya merupakan tempat ketigapuluh tiga dewa serta Sudarsana, kota dewa-dewa tempat Indra bersemayam sebagai raja. Di atasnya terdapat lapisan surga yang berjumlah 27 lapisan langit.6

Dalam Budhisme ini dijumpai beberapa tipe mandalanya seperti Vaj radatumandala, Garqadhatumandala dan kesatuannya yang membentuk Dharmadatumandala. Dharmadatu pada dasamya mempakan kesatuan dari berbagai fenomena dalam Budhisme untuk mencapa1 suatu kesempurnaan misalnya Vajradatu, Garbadhatu, Sumeru, Dasabhumi, dsb,. Dalam memaparkan Vajradatu mandala, menyangkut dua hal yaitu pertama istana Gb 05. Jambudwipa dan meru Maheswara di Surga Akanistha, surga ini berada di batas ujung alam bentuk (rupadatu), kedua Pagoda Intan di puncak gunung Sumeru �-l���·�· yang digambarkan mempunym lima atap lingkaran pagoda dan delapan garis vajra yang �- merupakan sokogurunya. 7 ·- - {��� Gb 4.6. Diagram Mandala dalam Budhisme

6 Herre, Robert & Deliah Noer (pcnerjemah) (1972), Konsepsi Te ntang Negara dan Kedudukan Raja Di Asia Tenggara, Jakarta, CV. Rajawali., hal 5

7 Kandahjaya, Hndaya (1995), Kunci Me mbaca Simbolisasi Borobudur, Bandung, Yayasan Pcncrbit Karaniya, hal 41

60 Konsep mandala berkaitan erat dengan pembagian tata ruang dalam suatu kompleks percandian, misalnya dalam titik pusat va�tupurusamandala dikelilingi oleh dua kelompok dewa penjaga. Kelompok pertama berkeliling dekat brahmasthana, berjumlah 12 dewa-dewa perbintangan (Naksatra). Kelompok kedua berkeliling di dekat batas diagram adalah kelompok Padadevata yang berjumlah 32 dewa termasuk di dalamnya para dewa 8 arah mata angin (astadikpalaka) dan eatur Lokapala. Contoh lainnya perletakan area dewa pada ruang-ruang andi Hindu eli Indonesia identik dengan keterangan dalam Kitab Tantu Pagelaran 8 yang menyatakan bahwa Mahameru dijaga oleh Gana (ganesa) pada Gapura Timur, oleh Agasti (agastya) di Gapura Selatan, oleh Gauri eli Gapura Utaranya. Dan oleh Kala dan Anukala di bagian Baratnya9 Hal ini identik perletakan area Candi Hindu di Indonesia, yaitu area Durga di Utara, Agastya di relung Selatan, Ganesa di relung Barat/Timur (tergantung arah hadap eandi) dan dipusat diletakkan lingga atau area utamal yang umumnya adalah Siwa. Sedangkan di bagian relung muka terdapat area Mahakala dan Nandiswara. Inipun tergantung pula pada letak eandinya, jika letak eandi met,ghadap ke Barat atau Timur, maka kedudukan dewa itu juga berubah menurut posisi eandinya.

Ruang eandi tidak hanya dapat difahami sebagai ruang fisik tetapi juga sebagai mang yang transendental berupa ruang luar yang dibatasi oleh massa-massa eandi tersebut. Jadi seeara luas eandi tidak difahami sempit mengaeu hanya pada ruang dalam, tetapi juga menyangkut ruang-ruang luar yang terkomposisikan bersama massa-massa sebagai pengejawantahan ruang dalam tersebut. Arsitektur yang tetjadi di dunia Timur sangat dipengamhi oleh nilai - nilai ( dalam hal ini nilai keagamaan), sikap hidup dan pandangan masyarakat Timur itu sendiri. Bagi pemikir di Timur, pusat kepribadian seseorang bukanlah hanya bertumpu pada kemampuan intelektualnya melainkan lebih pada 'hatinya' /rasa, yang mempersatukan aka! budi dan intuisi, intelegensi dan perasaan. Mereka menghayati hidup dalam keselumhan adanya bukan semata - mata dengan otak, sehingga tidak sedikit dari teori yang dihasilkan bermakna "simbolik" (konotasi) dalam mendekati kenyataan. Pemikiran berdasarkan intuisi lebih akrab, hangat, personal dan biasanya lebih dekat dengan kenyataan. Identik dengan ungkapan Lao-tze mengenai yang ada (being) dan yang tak ada (non being), bahwa ruang dapat dibentuk seeara stereotomik (membuat rongga dari padatan menjadi ruang), tektonik (ruang menjadi ada dengan memberikan batas-batas dari kekosongan) atau ruang tetjadi

8 Kitab yang membahas tcmpat-tcmpat suci hinduisme di Jawa 9 Pigeaud, 1924 ; 96-97

61 karena ada ruang lainnya (ruang perantara), ruang-ruang pada candipun umumnya terolah seperti demikian bergerak diantara yang Sakala (fisik-nyata) dan Niskala (transendental-kosmoslogis) Pendirian Candi pada dasarnya didorong karena adanya keingiilan untuk memuja dan beribadat (kebutuhan berkomunikasi dengan sang pencipta) sehingga muncullah kebutuhan akan wadah yang dapat menampung dan mendukung kegiatan tersebut. Jadi dapat dilihat bahwa candi dibangun sebagai wadah aktivitas ritus keagamaan (Hindu atau Budha) yang di dalamnya terdapat kary� seni untuk mendukung para penganutnya dalam membuat penyuasanaan religius dalam lingkungan candi dengan mengekspresikan kreasi dan nilai religi mereka melalui bentuk - bentuk, baik berupa patung maupun bangunan termasuk pengolahan estetika arsitektur di dalamnya. Komposisi ini tentunya mengacu kepada aktivitas ritual berdasarkan fungsi pragmatik maupun fungsi simbolik tertentu. Arsitektur adalah wadah untuk menampung aktivitas manusia di dalamnya jadi semua aspek yang berada di dalamnya (bentuk, struktur, dan fungsi) memiliki fun3si yang praktis dan nyata untuk menjawab kebutuhan itu (pengalaman arsitektur). Handlex Benyamin merumuskan diversifikasi fungsi dalam arsitektur antara lain fungsional kegunaan (pragmatis) , fu ngsional konstruksi (bahan dan teknologi), fungsional ekspresif (tampilan-simbol), fu ngsional geometrik (kaidah estetika geometrik), fu ngsional organik (alam), fu ngsional tepat guna (efisien, efektif), dsb.

4.3 Perkembangan Desain Candi Jawa Indonesia memiliki beratus bangunan candi yang tersebar dengan bentuk arsitekturnya yang unik. Tidak dapat dipungkiri bahwa candi-candi tersebut pada awalnya merupakan karya arsitektur yang dipengaruhi oleh seni ball!,'tlllan kuil di India, tetapi dalam perkembangan lebih lanjut mengalami proses adaptasi sehingga cenderung menyimpang dari tata aturan baku yang tertulis di dalam kitab ilmu bangunan kuno di India. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh budaya lokal dalam desain candi di Indonesia secara berangsur cenderung menguat dan menentukan. Melalui Tipo­ morfologi arsitektur diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai keragaman bentuk arsitektural candi berikut faktor yang mempengaruhinya. Secara umum studi tipo-morfologi biasanya digunakan dalam konteks urbanitas. Studi tipo­ morfologi arsitektur dapat diartikan sebagai pengkajian tipe-tipe arsitektural dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk (struktur/elemen!komponen) dan komposisinya

62 tanpa mengabaikan unsur fu ngsi yang berlaku pada objek tersebut Studi tipo-morfologi penekanannya lebih mengarah kepada analisa unsur-unsur pembentuk/elemen/ komponen/struktur pada suatu tipe, sedangkan tipologi pengertiannya dapat lebih umum.

Candi di Nusantara dikenal mempunyai gaya yang seeara umum dibagi menjadi gaya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun kedua gaya tersebut menunjukan perbedaan karakteristik yang signifikan, namun penggolongan bentuk candi menurut propinsi dirasa kurang tepat, karena pembagian propinsi yang dikenal adalah produk administrasi pemerintahan masa kini yang belum tentu relevan dengan masa lampau, apalagi apabila harus disertakan bangunan candi yang ditemukan di luar pulau Jawa. Penggolongan candi gaya Jawa Tengah dan Jawa Timur sebenarnya tidak lain adalah untuk mempermudah mengenali secara general kara kterisitik bentuk-bentuk candi yang ditemukan. Pada kenyataannya memang kedua gaya tersebut memang menunjukkan perbedaan. Pembagian berdasarkan kombinasi waktu/era, kerajaan, dan bentuk yang ditemukan dianggap akan Jebih relevan. Berdasarkan pendekatan teori evolusi perkembangan candi dapat dibagi menjadi Periode I, klasik tua berkisar 700 - 800 M (Mataram Awal-Hindu), pada masa ini eandinya dibuat sederhana dan beberapa masih menunjukkan adanya pengamh arsitektur India meskipun tersamar ; Periode II -· Klasik Tengah yang berkisar 800 - 900an (didominasi Mataram Sailendra-Budha), pada masa ini aliran ­ Tantrayana mulai masuk dan ikut berperanan mengubah wujud desain yang telah ada sebelumnya. Pada akhir masa ini banyak didirikan candi--candi megah seperti Prambanan, Plaosan. Fenomena sinkritisme mulai terjadi pada jaman ini ; Periode III (Mataram-Kediri), dikenal sebagai klasik transisi, arsitektur candi mengalami masa yang tidak jelas, peninggalan yang ditemukan sangat sedikit, dan tidak jelas. Munculnya arsitektur meru (candi beratap non batu) yang dibawa ke Bali oleh Mpu Kuturan berkaitan dengan periode ini. Disebut transisi karena arsitektur candinya merupakan penghantar antara antara Periode ll dan IV yang mempunyai karakter yang berbeda. Kemungkinan pada masa ini terjadi bencana besar, gempa bumi (seperti gempa jogja 2006) yang menghancurkan candi-candi besar scperti Prambanan, Borobudur, dsb. Hal ini yang memaksa perpindahan sccara total ke daerah lain (pemerintahan Mataram di bawah mpu Sindok berpindah ke daerah Nganjuk-Jawa Timur), akibatnya kawasan lama menjadi mati secara perlahan dan ditinggalkan. Adanya perisitiwa besar pada abad ke 11 tersebut juga diduga menyebabkan pembahan dalam pendekatan desain

63 arsitektural candinya kemudian, terbukti pada pasca masa ini desain arsitektur candi memang berubah sama sekali (masa klasik muda); Periode IV- Klasik Muda (masa

Singosari-Majapahit) berkisar 1200- 1500 M. Pada era ini arsitektur candi menunjukan suatu gaya arsitektur barn yang menunjukan adanya perbedaan dengan gaya arsitektur klasik tua dan tengah. Pengaruh arsitektur pagoda (Cina) atau meru ikut berperanan dalam membentuk karakter arsitektur candinya.

Wuj ud sinkritisme semakin kuat ditandai dengan munculnya aliran Siwa­

Budha. Majapahit terlihat lebih mengarahkan politiknya ke penyatuan Nusantara

(nasionalisme?) dan harus dibayar dengan mahal karena harus mengirimkan ekspedisi kc luar Jawa berkali-kali khususnya sekaligus mcnghadang ekspansi kekaisaran Cina ke

Nusantara. Majapahit lebih bcrfikir praktis dan efisien tidak seperti jaman Mataram

Kuno yang membangun candi-candi besar namun wilayahnya tidak lebih dari pulau

Jawa. Di akhir masa Majapahit ini candi-candi diwujudkan kembali seperti tugu-tugu yang didirikan di atas pundcn-punden berundak yang dikombinasikan dengan meru, sep0rti halnya pura-pura di Bali.

Sosok

Pada masa klasik tua candi wujud peninggalan candinya didominasi oleh bentuk

menm·a. Pada masa klasik tengah wujud peninggalannya lebih bervariasi selain

didominasi dengan bentuk menara, ditemukan pula yang berbentuk pertirtaan, gapura

dan bangunan berundak (seperti Borobudur). Pada masa transisi pcninggalan yang

ditemukan juga berbentuk pertirtaan, punden berundak di lereng-lereng bukit, dan

bentuk menara. Bentuk menara yang ditemukan sangat jarang, hal ini disebabkan

karena kemungkinan besar bangunan-bant,>unannya berbentuk meru yang mudah

rusak. Pada klasik muda candi yang ditemukan identik dengan masa sebelumnya dan

bervariasi, yakni diominasi oleh tipe bentuk menara. Pada masa akhir periode ini

candi-candi yang didirikan didominasi oleh bentuk punden berundak yang dibangun

di lereng gununglbukit. Hal ini dapat dilihat dari penemuan 88 buah candi bcrundak

di lereng gunung penanggungan.

Gb 4. 7. tipe menara mcnuju tipc berundak (tipe berongga menu.iu masif)

64 Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa candi melambangkan rnakrokosmos atau alarn semesta yang dibagi menjadi tiga bagian : alarn bawah tempat mimusia yang masih dipengaruhi nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempat dewa-dewa. Bentuk candi tipe menara

Gb 4.8 Wujud siluet arsitektur candi dari klasik tua ke KJasikTua Kbsik KlasikMuda muda

Meru - Klasik Transisi Klasik Muda Gb 4.9. Wujud transformasi arsitektur candi dari klasik tua ke muda (meru merupakan sosok baru yang masuk pada masa trausisi) . muncul Ide transformasi dari bangunan kayu ke batu/bata

65 Perubahan bentuk dapat ditunjukan pada candi tipe menara masa klasik tua yang diolah dengan sederhana dan berukuran lebih kecil apabila dibandingkan dengan klasik tengah. Pada masa klasik tengah dapat dikatakan puncak keemasan dari arsitektur candi di Indonesia, candi-candi besar seperti Borobudur, Sewu, Kalasan, Prambanan dibangun pada masa ini. Dasar pengolahan sosoknya identik dengan masa klasik tua namun diperkaya dengan elemen-elemen yang lebih kompleks dan rumit dan akhirnya berubah.

Pada masa klasik transisi menunjukan adanya pengolahan atap yang identik dengan masa tengah, sedangkan badan dan kakinya seperti candi klasik muda. Pada masa klasik muda candi-candi yang didirikan cenderung lebih ramping dan dengan dimensi yang lebih kecil dari klasik tengah, dimana sosoknya juga tidak lebih besar dari candi-candi tua.

Pengolahan sosok candi klasik tua seperti di Dieng memunjukan adanya keragaman bentuk namun kemudian muncul bentuk dasar yang diulang-ulang di daerah lainnya. Bentuk candi arj una di dieng dapat dikatakan merupakan model basic type gaya klasik tua dan juga ditemukan di tempat lain seperti di Gedong songo, Badut-Malang.

Bentuk ini kemudian berkembang dan diteruskan menjadi pijakan untuk periode selanjutnya., yakni pada masa klasik tengah. Yang membedakan dengan klasik tua adalah kompleksitas kerumitan pengolahan fa sade-ragam hias dan bentuk denahnya yang berubah dari bujur sangkar menjadi cruciform, serta dimensi candi menjadi lebih besar. Prambanan dianggap mempunyai karakterisitik pengolahan yang istimewa dengan kreatifitas yang lebih canggih, sehingga hasilnya terlihat berbeda dengan lainnya.

A A

.•....•...... basic e ..•..•...•.....• �--····················�··�

Gb 4.10. Wujud pengolahau arsitektur candi dari klasik tua ke tengah

66 Jika pada klasik tengah candi-candi sangat variatif, pengolahan candi-cand i

masa klasik muda tidak diolah dengan memperumit ragam hiasnya, melainkan

melakukan penggubahan pada sosoknya, namun dengan karakteristik basic typ enya

masih dapat dirasakan. Basic typ e klasik muda berbeda dengan masa sebelumya, karena ·

merupakan bentuk yang mutakhir (digabungkan dengan model pengolahan bangun an

kayu-meru). Pada dasamya pada jaman klasik muda, Majapahit memang banyak

membangun dan memelihara kompleks bangunan suci. Bangunan candi ada yang

berasal dari peninggalan masa lampau pra-Maj apahit, tetapi ad��: pula yang merupakan

bangunan barn atau hasil pemugaran yang dilakukan kepada candi-candi tua yang telah

ada sebelumnya. Menurut catatan Negarakretagama terdapat kurang lebih 27 kompleks

bangunan suci yang berhubungan dengan tempat pemuliaan raja yang dikenal sebagai

'dharma haj i dan 200 kompleks bangunan suci lainnya yang dikenal sebagai 'dharma

lepas'. Bangunan tersebut dipelihara dan dikelola baik oleh pusat kerajaan ataupun di

daerah lokal dimana bangunan tersebut berada.

Berdasarkan gambaran Negarakretagama dan Atjunawiwaha diketahui bahwa

bangunan suci Majapahit tidak lain adalah wujud sinkritisme antara Siwa dan Budha,

sehingga berdasarkan pengamatan di lapangan, terutama pada candi-candi yang bertipe

menara secara tipologi bentuknya kebanyakan mempunyai kesamaan bentuk dasar

sosok. Hal ini menunjukkan bahwa sebenamya tidak ada perbedaan dalam pengolahan

bentuk dasar antara arsitektur Hindu maupun Budha pada jaman tersebut, yang

membedakannya hanyalah pada ikonografi panteon dan adanya elemen stupa. Jadi terdapat pakem yang pasti diikuti oleh candi-candi tersebut, terbaca dari wujud

bangunannya yang merupakan basic typ e /tipe dasar candi tipe menara jaman Singosari­

Majapahit.

Pada masa klasik muda candi-candi yang dibangun tidak selalu menggunakan

bahan dari bata atau batu, tetapi bahan kayu juga digunakan untuk bahan atap dan

badan. Karakteristik lainnya yaitu adanya variasi penggunaan bahan bangunan

khususnya atap. Atap bangunan candi ada yang terbuat dari struktur kayu berlapis ijuk

ataupun genting ataupun sirap. Candi Jago (Jajaghu) adalah candi yang termasuk

menggunakan jenis atap ini dan berususun!berlapis yang dikenal sebagai atap tumpang.

Atap tumpang pada saat ini dikenal sebagai 'meru' di Bali. Bangunan yang identik

dengan Jajaghu saat ini masih dapat ditemukan di Bali yaitu Pura Yeh Gangga, dimana

badan bangunannya terbuat dari batu sedangkan atapnya adalah meru. Selain beratap

meru bersusun adapula candi-candi yang beratap perisai memusaL Bentuk meru inilah

67 yang mempengaruhi sosok bangunan candi peiode klasik muda. Meru masuk ke Nusantara diperkirakan kurang lebih abad ke 1 0-an. Wujud pengaruhnya adalah adanya pengolahan tonjolan di antara badan dan kepala candi. Hal ini identik dengan model teritis-cantilever-sekur pada bangunan kayu/meru tersebut. Namun demikian kreatifitas· pengolahannya kemudian diramu dengan bentuk-bentuk ban!:,'Unan yang terbuat dari bata dan batu seperti bangunan-bangunan sebelumnya. Wuj ud akhirnya adalah bangunan yang berbeda dengan pada masa sebelumnya, sehingga kemudian bentuk ini dikenal dengan gaya candi Jawa Timur. Karakteristik umumnya adalah terdapat beberapa hiasan seperti sabuk pelipit pada badannya yang membagi dua badan candi, terdapat moulding garis-garis antara atap dengan kepala candi, terdapat hiasan kala di keempat sisinya, atapnya bersusun dengan komponen penghias yang diukirkan berbentuk seperti candi itu sendiri, berpuncak kubus. Jika dipotong secara horisontal, bentuk denah badan candi-candi tipe menara memperlihatkan bentuk 'crociform ', dengan penonjolan di keempat sisinya. Bentuk denah badan cruciform ini merupak:an karakterisitik yang selalu ditemukan pada candi­ candi tersebut.

Gb 4.11. Gamba ran tentang candi beratap meru dan non meru pad a mas a klasik mud a

Bentuk tersebut merupakan tipe dasar pada setiap candi-candi tipe menara pada masa klasik muda yang ditemukan, khusus untuk candi-candi yang menggunakan batu dari kaki sampai atap. Pengolahan dapat bermacam-macam, namun jika diuraikan kembali maka semuanya akan mengacu pada bentuk tersebut. Namun demikian antara

68 candi satu dengan yang lain mempunyai perbedaan dalam pengolahan sosoknya, hal ini disebabkan adanya aspek kreativitas dari 'pemilik proyeknya': Basil pengolahan candi­ candi Majapahit merupakan hasil kreatifitas dari masyarakatnya, sehingga tercipta suatu karya bangunan yang bervariasi. Meru sendiri adalah salah satu jenis arsitektur yang sebenarnya diwariskan dari konsep catra dalam Budhisme yang tersebar ke Nepal sampai Cina (pagoda) dan akhirnya masuk ke Nusantara. Meru tidak lain merupakan wujud sinkritisme dari konsep Siwa dan Budha tersebut. Tidak heran jika di Nepal dimana aliran tantrayana berkembang kuat juga ditemukan arsitektur Meru sepetti di Bali. Namun demikian pada akhirnya meru tidak lagi menjadi ikonik bangunan Budha seperti di China namun digunakan juga sebagai ikonik dalam bangunan Hindu. Selain itu pada masa Majapahit juga berkembang jenis bangunan gapura yang kemudian dikenal sebagai gapura belah/bentar, dan gapura paduraksa. Gapura Bentar adalah jenis gapura yang lahir dari konsep bentuk dengan membelah tipe dasar contoh candi

· Wringin lawang. Gapura bentar/belah adalah khas bangunan yang berasal dari masa klasik muda (Majapahit) yang tidak ditemukan pada masa sebelumnya. Kreativitas pada pengolahan candi tipe menara ini dapat dilihat pada beberapa sosok peninggalan yang ditemukan. Tentunya kreativitas tersebut masih dalam konteks batasan aspek-aspek estetika religi yang dianut. Wujud pengolahan bentuk tersebut :

L Membuat teras-teras pada kakinya, sehingga terlihat wujud kaki yang berlapis-lapis. Ruang candi diletakkan di bagian belakang. Hal ini memperkuat pemahaman tentang candi sebagai sesuatu yang harus dicapai dengan pendakian dengan prosesi hirarki yang berlapis-lapis. 2. Membuat denah yang cenderung memanjang arah depan, hal ini memperkuat pula tentang pencapaian yang panjang dan hirarki seperti butir I di atas 3. Menarik keluar tonjolan pada ke-empat sisinya secara horisontal sehingga tonjolan tersebut dapat membentuk ruang ataupun hanya sebagai aditif bentuk tanpa ruang di dalamnya, dimana akan memperkuat bentuk 'cruciform' tersebut. 4. Menarik ke atas sehingga bangunan menjadi bertingkat dua. Kaki bangunan menjadi mempunyat ruang 5. Menggubah bentuk elemennya, misalnya bentuk denah dari cruciform (bujursangkar dengan empat tonjolan ) menjadi lingkaran dengan empat tonjolan pada sisi-sisinya, dan bentuk atap menjadi meru

69 6. Membelah bentuk tersebut ataupun melubangi bentuk tersebut sampai tembus pada

kedua sisinya. Bentuk yang dibelah akan dikenal sebagai sosok gapura belah/bentar

dan yang dilubangi tembus akan dikenal sebagai gapura paduraksa.

7. Kombinasi dari ke enam proses pengolahan sosok di atas.

Wujud pengolahan klasik muda antara lain dapat dilihat dalam gambar di bawah ini

�------� • • • • • •

[VVRINGIN�··-·�---·····-�LAW ---AN�

Gb 4.12. Ragam pengolahan desain candi klasik muda

70 Denah dan Perletakan

Bentuk denah inti candi dapat dibagi menjadi bujur sangkar, cruciform,

lingkaran, dan persegi panjang. Namun demikian dalam pengolahannya dapat

dikombinasikan satu dengan lainnya. Sifat Candi sebagai Hindu maupun Budha tidak

dapat dicirikan melalui bentuk denah, karena dimungkinkan meng!,'lmakan bentuk

denah yang sama.

Gb 4.13. Ragarn denah candi klasik tua ke rnuda

Pada masa klasik tua denah candi Hindu dibagi menjadi dua yaitu bentuk

bujursangkar dan bentuk cruciform. Sedangkan pada masa ldasik tengah, denah

candi Hindu (Prambanan) dan candi Budha menggunakan bentuk crucif01m.

Masuknya aliran Mahayana yang diperkirakan pada masa klasik tengah, banyak

mengubah denah candi Budha dari bujursangkar menjadi cruciform, contohnya candi

Kalasan. Melihat fe nomena ini maka perlu digarisbawahi mcngenai penggunaan

bentuk denah. Pertama candi-candi yang digolongkan klasik tua seperti candi

Selagriya, Gatotkaca, Dwarawati di Dieng yang menggunakan bentuk denah

cruciform patut dipertanyakan, karena dapat merupakan hasil pemugaran seperti

halnya candi klasik tengah scperti Kalasan dan Sewn akibat masuknya mandala baru,

meskipun di sisi Jain bcntuk cruciform juga masih banyak digunakan sebagai denah

kuil Hindu di India. Candi-candi tua memang lebih kental nuansa Indianya.

Berdasarkan hasil pemugaran pada masa klasik tengah dan muda denah cruciform

yang dipergunakan pada candi Hindu diduga merupakan pengaruh dari mandala yang

berasal dari aliran Budha Mahayana yang masuk pada abad 9 sepe1ti pada candi

Prambanan.

71 Gb 4.14. Transformasi denab candi ldasik tua ke muda

Pada masa klasik tengah variasi penggunaan bentuk denah tidak banyak berbeda dengan klasik tua yaitu bentuk bujursangkar, cruciform, dan persegi panjang, namun pengolahannya jauh lebih rumit. Contohnya pada masa klasik tengah ini terdapat candi­ candi yang berdenah persegi panjang dengan entrance pada sisi panjangnya, seperti

Plaosan dan Sari. Denah candi-candi ini identik dengan candi Semar di Dieng dan salah satu elemen dalam kelompok Gedongsongo III pada masa klasik tua. Candi yang yang berdenah persegipanjang seperti Plaosan dan Sari ini berlantai dua. Dinding candi ini diukir rumit dengan diberikan komponen jendela selain jendela semu. Adanya komponen jendela ini diperkirakan bahwa candi-candi tersebut memang difungsikan untuk 'ditinggali' untuk keperluan ritual (seperti meditasi, dsb). Candi yang berdenah persegipanjang biasanya dilengkapi dengan jendela sehingga bentuk persegi panjang ini dapat dikaitkan dengan fungsi untuk ditinggali (biara), berbeda dengan candi-candi dengan denah memusat yang masif dan tanpa jendela.

Gb 3.15 Candi-candi berdenah persegipanjang Plaosan dan Sari - dapat 'ditinggali'

Pada era ini yang paling istimewa adalah ditemukan candi-candi yang beruang empat seperti candi Siwa Prambanan, Sewu, dan Kalasan. Yang memberikan kesan bahwa ruang empat candi Siwa Prambanan ini merupakan pengaruh dari mandala aliran

72 Budha Mahayana yaitu Vajradatu Mandala. Hal ini berhubungan dengan letak

Prambanan yang berada di sekitar Sewu dan dekat dengan Kalasan (candi-candi Budha).

Namun demikian tidak semua candi Budha beruang empat, sebagian diwujudkan dalam bentuk denah yang cruciform seperti halnya Mendut, , Sajiwan, .

Bentuk dasar denah candi kasik muda sebenamya tidak jauh berbeda dengan masa klasik tengah yakni bujursangkar, persegipanjang, cruciform, tetapi tipe pengolahan bentuk denah kaki candi tipe menara pada masa klasik muda mempunyai spesifikasi khusus. Denah kaki candi klasik muda secara umum dapat dibedakan menjadi dua buah tipe utama yaitu bujursangkar dan persegi panj ang dengan arah masuk pada sisi pendeknya. Denah candi-candi yang berbentuk bujursangkar ditemukan pada masa-masa awal kasik muda atau pada jaman Singosari, sedangkan pada masa

Majapahit, bentuknya diperkaya dengan bentuk persegi panjang dengan tingkatan teras­ teras yang jelas.

Bentuk denah bujursangkar ini dapat dijumpai di dalam denah candi Kidal,

Sawentar, Sumberjati, Keboireng yang diperkirakan merupakan peningr;alan Singosari sampai pada masa awal Majapahit. Sedangkan pada masa Majapahit sudah mulai terjadi transisi bentuk denah kaki menjadi persegipanj ang, hal ini dapat dijumpai pada candi Jawi, Rimbi. Pada pertengahan Majapahit denah candinya mulai bervariasi, selain berbentuk persegipanjang juga mulai diberikan teras-teras yang bertingkat-tingkat, seperti eandi Jago. Selain itu bentuk denah cruciform pun digunakan terutama untuk candi-candi dengan ikonografi Budha, seperti candi Jabung dan candi Brahu. Denah cruciform ini juga dijumpai pula yang candi dengan ikonogarfi Hindu yang berteras­ teras seperti candi Induk Penataran. Pada masa ini ditemukan pula candi tipe menara yang berdenah lingkaran, seperti candi Jabung yang bersifat Budha. Bentuk lingkaran diperkirakan berasal dari konsepsi lingkaran stupa dalam Budhisme. Jadi dapat dilihat wujud perkembangan kreatifitas pengolahan denah candi tipe menara dari masa klasik tua sampai klasik muda di mana telah teijadi perubahan-perubahan yang mendasar.

Bentuk denah candi-candi klasik muda ini diperkirakan adalah dipengaruhi kuat oleh aliran Sywabudha. Aliran Sywabudha merupakan aliran yang bersumber pada

Tantrayana yang mendominasi konsep ritual pada era klasik muda.

73 Candi Jago Candi Penataran Candi Jabung

Gb 3.16 Variasi penggabungan denah candi-candi klasik muda,perscgipanjang, ' cruciform, lingkaran

Dari segi perletakannya, candi dapat berdiri sendiri atau berkelompok.

Perletakan dan pengelompokan candi diduga berhubungan erat dengan alam pikiran dan keadaan masyarakat pada jaman itu. Perletakan candi tipe menara dapat dibagi menjadi beberapa tipe perletakan, namun secara garis besar dapat dibagi yakni tunggal, berkelompok, berkelompok memusat, dan berjenjang ke belakang yang tcrsusun dalam kelompok kecil ataupun besar. Perletakan pengelompokan candi diduga berhubungan erat dengan alam pikiran dan keadaan masyarakat pada jaman itu. Bentuk perletakan tersebut oleh para ahli kemudian dianalogikan dengan sistem pemerintahan dari kerajaan tersebut, yang terdiri dari daerah bawahan (swahtara) yang mempunyai kedudukan sama, baik sentralistik maupun fe deral. Namun demikian bahwa sebenamya komposisi perletakan candi tidak terlepas dari konsep mandala yang dipergunakan, baik yang bersifat Hindu maupun Budha. Candi-candi yang bersifat Budha pada masa klasik tengah terletak memusat di tapaknya. Namun pada beberapa candi besar seperti

Borobudur dan Sewu, perletakkan candi ini tidak berdiri sendiri tetapi secara linier dapat dihubungkan dengan candi-candi Budha lainnya. ···· ··.· 'i t . --''--))

lr-' :;d.n -� � �--·�r �--�:j1 !····· ... h f u t;�:t:.=· J •• ..-. •='•�•.;;:f.c�c.=c'1 Candi Aguna - Dicng Bimdu - j{tasik Tua · Camti

,..._ _.I ;. -- Himdu - Klasik Tcngah ....., Candi Klasi�engah ffCDJ

[] �.. . ..P.O .... � � '' J' Candi l'f!nataran - Candi Gitiongsongo - Himdn- Klasik Muda Himdu - Klasik Tua +. +.

CJ

••••• ••••uoo 1••••••••••• ••• ... .

Kompleks Candi Dieng - [ !]' [!]' Himdu - Klasik�; Tua

Candi Sewu -- Bu rah -Lumbung • Budha - Klasik Tcngahit Candi Borobudur -· -Mcndut Candi Sewu - Budha - Klasil; Tcngal1 Budha - Klasik Tcngah

Gb 3.17. Perletakan candi dari klasik tna ke moda

Secara umum dapat dilihat bahwa bentuk site yang dipergunakan dalam

kompleks candi utama adalah bujursaugkar, sesuai dengau kousep mandala, yang

membedakaunya adalah bagaimana komposisi perletakan kompouen bangunan di

dalamnya. Candi-candi tua dan bersifat Hindu pada umumnya terletak di puncak­

puncak bukit, dimana di lereng/kakinya terdapat sungai baik besar maupun kecil.

Caudi-candi tersebut diletakan di tengah dan linier, candi induk diletakkan

dihadapan candi perwara. Candi Indukuya tidak terletak di pusat tapak dan bergeser

ke belakang Dalam kompleks candi terdapat dua atau lebih bangunan, satu bangunan

yang terletak di belakang dan berukuraan besar merupakan bangunan induknya. Di

hadapan bangunan induk terdapat satu atau tiga bangunan candi kecil!perwara yang

disimbolkan sebagai candi tempat wahanalkendaraan dewa utama atau tempat

rnenyirnpan alat upacara atau tempat meditasi. Antar kompleks candi disusun

75 berjajar, seeara horisontal. Pada masa klasik tua jumlah candi perwara di hadapan candi induknya tidak selalu berjumlah tiga, kebanyakan be1jumlah satu. Perletakan Candi-candi masa tengah identik dengan tua namun ditambahkan bangunan-bangunan disekelilingnya. Candinya tidak selalu terletak di puncak­ puncak bukit dan kebanyakan di bawah bukit. Pada candi-candi yang bersifat Hindu eli hadapan candi induk terdapat tiga buah candi perwara, dimana tepat berada di depan candi induknya terdapat candi wahana. Candi induknya tidak terletak di pusat tapak bergeser ke arah belakang menyerong ke kanan. Untuk ,candi-candi yang bersifat Budha candi induknya justru diletakkan di tengah tapak yang rnenambah kuatnya pemusatan pada bentuk bujursangkar. Untuk mencapai candi utamanya maka diperlukan tahapan-tahapan secara linier baik dari di luar maupun di dalam kompleks. Contohnya untuk mencapai Borobudur harus melalui tahapan melalui candi Mendut dan Pawon, demikian juga candi Sewu terletak tegak lurus dengan candi dan Lumbung. Tahapan-tahapan ini nampak pula di candi Prambanan yang bersifat Hindu yakni adanya hirarki yang berlapis-lapis dalam mencapai candi utamanya. Semakin ke pusat, semakin nampak adanya peninggian lantai, sebagai pengejawantahan adanya gunung Mahameru yang berundak-undak. Dapat dikatakan bahwa arsitektur Prambanan merupakan bentuk yang didasari oleh semangat sinkritisme awal dari arsitektur candi Hindu dan Budha, namun karena diperkirakan Hindu merupakan agama yang dianut raja utama maka unsur Hindunya tetap kuat. Hal ini dapat dilihat dari perletakan candi induk yang bergeser dari tapak inti utamanya, berbeda dengan perletakan candi Budha yang memusat. Meskipun inti candinya tidak dipusat, pengaruh candi Budha pada Prambanan juga nampak pada perletakan candi-candi perwaranya yang memperkuat pemusatan yaitu dengan tatanan barisan candi perwara yang membentuk formasi bujursangkar sehingga menampilkan kesan memusat. Di sini muncul dualitas, memusat tetapi tidak memusat. Perletakan candi-candi pada masa klasik muda menunjukkan linieritas dan berjenjang dibandingkan dengan masa klasik tengah. Candi induk terletak di belakang dan menyerong ke arah kanan ataupun kiri. Bangunan tidak selalu berada di puncak bukit, bahkan kebanyakan eli daerah kaki bukit, dekat dengan sungai, sementara orientasi banb>unannya mengacu pada bukit/gunung terdekat atau yang dihormati. Pola tata ruangnya dapat disamakan dengan pura-pura di Bali, seperti pada candi Penataran sebagai kuil kerajaan dan Candi Jawi sebagai kuil pemuliaan

76 raja. Pada masa ini terlihat adanya peramuan konsep tata letak Budhisme (hirarki­

linier-memusat) dan Hindu (pergeseran candi utama) menjadi satu kesatuan penataan

bangunan di tapak. Pusat tapak sebagai tempat Brahmastana dihormati sehingga

candipun harus bergeser dari pusatnya. ldentik dengan konsep 'natah' dalam aturan

nawasanga di Bali.

Para ahli mengkaitkan pula sistem perletakan yang memusat dengan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik.. Berdasarkan sejarah, Prambanan dibangun pada era dimana diperkirakan terjadi fenomena 'penyatuan' aliran Hindu dan Budha di

Mataram yang ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan (Hindu) dan

Pramodawardhani (Budha). Dari segi lokasi Prambanan terletak dikelilingi candi-candi

Budha (Sewn, Bubrah, Plaosan, Sari, Kalasan, Sojiwan).

• •

...

••• .,... • -� .. . • ...�L_J"�1 ; . . . . \ '•c �J_ • _. ...._. J • • • • • 't

Gb 3.18. Memusat tetapi tidak memusat (Candi Budha dan Candi Hindu klasik tengah - muda)

4.4 Prinsip Pengolahan Desain Arsitektur Candi

Kaidah pendidirian ban!,'tman sakral kuno di India di atur di dalam Vatusastra

(Kitab tentang arsitektur) atau Silpasastra (kitab pegangan Silpin), yang jumlahnya cukup banyak, di antaranya Manasara, Mayamata, Silpaprakasa, Visnudharmottaram, aturan di dalam kitab Purana, atau kitab keagamaan. Bosch mengkaitkan percandian di

Indonesia dengan kitab manasara yang berasal dari India Selatan, karena dianggap mempunyai keidentikan. Kitab ini berisi tentang patokan membuat kuil beserta komponennya dan bangunan profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kotaldesa, dsb. (Acharya 1933, I,IV). Sampai saat ini keterkaitan manasara dengan arsitektur candi Indonesia masih diperlukan penelitian Jebih lanjut, misalnya

77 seperti yang pemah dilakukan oleh Prof Parmono Atmadi yakni yang berhubungan dengan proporsi.

Pembangun suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pimpinan proyek). Yajamana membawahi dna orang arsitek yaitu Sthapaka (arsitek pendeta guru) dan Sthapati

(arsitek perencana). Sthapaka bertugas membuat persiapan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan hal-hal 'gaib' di dalam proses pembangunan atau perencanaan suatu candi sedangkan Sthapati betanggung jawab atas proses fi sik perencanaan dan pemban�o,>unan. Sthapati membawabi Sutra�o,>rabin (pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni bias) dan Taksaka (abli pahat).

pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni bias) dan Ta ksaka (abli pabat).

Terdapat beberapa pnns1p arsitektural 10 pada bangunan candi. Terdapat beberapa atribut kuat yang selalu muncul dalam desainnya, yaitu: komposisi geometris­ cartesian, Uf!SUr garis padajasa de-ejek gelap terang, sosok volumetrik, eje k prespektifis khususnya pada atap candi, kesimetrisan, penggunaan aturan perbandingan skala­ proporsi, aspek pembagian tiga, pemlangan, ragam hias (lihat lampiran).

1. Komposisi Geometrik

Bentuk geometris merupakan bentuk dasar (basic type) yang signifikan dan

dominan dalam pengolaban desain suatu candi. Pengolaban desain candi selalu

menggunakan komposisi bentuk dasar geometrik, seperti bentuk dasar persegiempat

berikut ornamentasinya pada setiap bagian. Meskipun beberapa bagian

menggunakan ornamentasi ragam bias tumbuban, binatang, manusia namun

kesemuanya itu dibingkai dan atau diolab di atas bentuk-bentuk geometrik

(lingkaran, persegi em pat, curc(form ).

Dominasi bentuk geometris yang digunakan adalab persegi empat (bujursangkar

maupun persegipanjang). Secara umum sosok candi dapat digambarkan sebagai

bentuk geometris baik dalam pengolaban ekpresi tampak maupun denab dan

perletakannya. Bentuk denab pada candi selalu menggunakan bentuk-bentuk

geometrik yang memiliki titik pusat yang berfungsi sebagai inti sakral. Bentuk-

1° Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) Intcmasional Simposiurn : Jelajah Arsitcktur Nusantara, A Study on Indonesian Te mple 'Candi 'Aesthetic)

78 bentuk ini berupa lingkaran, bujursangkar dan cruciform (bentuk persegi panJ ang

yang digunakan untuk tempat semedi/ditinggali).

2. Elemen Garis

Garis memiliki peranan yang signitlkan dalam membentuk estetika pada setiap

bagian dari candi. Pengolahan garis dapat berupa garis-garis horisontal seperti

pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan vertikal berupa bingkai pengapit

(kolom semu) pad a bad an dan kaki, maupun dudukan kepala. Garis tersebut diolah

timbul dari permukaan berupa hiasan moulding. Pengolahan garis pada suatu candi

biasanya didominasi oleh unsur horizontal seperti pelipit pada bagian peralihan

setiap bagian dan unsur vertikal bempa bingkai pengapit (kolom semu) pada badan

dan kaki, maupun dudukan kepala.

Pengolahan garis ini diwujudkan melalui penggunaan hiasan moulding yang

dapat menimbulkan efek gelap-terang/ }i[,TUre-ground. dan permainan kedalaman

' permukaan candi hila terkena sinar matahari. Moulding pada candi selalu berada

dalam suatuframe yang terdapat pada setiap segmen candi. Seperti pada kaki candi,

terdapat moulding yang membentuk suatu frame . Antara peralihan segmen eandi,

selalu ditandai dengan bentuk moulding yang berbeda dengan moulding di

bawahnya.

3. Sosok Volumetrik dan Siluet Segitiga

Pengolahan yang digunakan pada tiap bagian eandi biasanya cenderung tidak

didominasi pendekatan substraktif dibandingkan aditif sehingga berkesan masif­

volumetrik. Di samping itu bentuk yang volumetrik tersebut disusun membentuk

siluet sosok yang membentuk kesan segitiga. Elemen kepala-badan-kaki

dikomposisikan dan diintegrasikan untuk membentuk satu sosok yakni bentuk

segitiga. (secara filosofis bentuk segitiga mengacu pada konsep bentuk Gunung -

eandi mempakan manifestasi dari Mahameru). Meskipun ada elemen yang

menonjol, semuanya dikomposisikan sedemikian mpa sehingga secara total tetap

menggambarkan satu kesatuan yang tercermin dalam bentuk segitiga tersebut.

Siluet bentuk segitiga tersebut menunjukkan suatu bentuk yang stabil, sesua1

dengan konsep surgawi. Dalam satuan yang lebih kecil bentuk segitiga juga

ditunjukkan oleh sosok atap candi berikut elemen penghiasnya. Atap candi tidak lain

79 adalah gambaran tempat kedudukan dewa-dewa di Mahamem, sehingga tidak heran

j ika sosok segitiga banyak ditemukan di sana.

4. Efck Perspcktifis

Bagian kepala pada suatu candi memiliki omamen-ornamen dengan aturan

perbandingan antara panjang dan Iebar sehingga menimbulkan kesan perspektif

pada bagian kepala. Pada bagian kepala elemen-lemennya disusun semakin ke atas

semakin mengecil. Hal ini merepresentasikan kei;an menjauh, lalu menghilang

sebagai gambaran dari dunia dewa yang tinggi dan jauh. Kesan prespektif ini

ditampilkan dalam wujud sosok elemen maupun dalam bentuk ornamentasinya.

5 . Kesimetrisan

Keseimbangan berhubungan dengan kualitas gerakan mata ketika mata melihat

sebuah obj ek secara keseluruhan. Pada candi hal ini nampak jelas dan dibantu oleh

adanya beberapa elemen yang menonjol pada bagian kanan, kiri, dan tengah untuk

menunjukkan kesimetrisan dari bangunan tersebut. Pengolahan arsitektur candi

menerapkan keseimbangan yaitu adanya kesimetrisan bagian kiri dan kanannya.

Keseimbangan yang simetris juga nampak pada semua komposisi elemen

estetikanya, seperti ornamentasi, elemen atap, dan sebagainya.

Bagian tengah pada pengolahan kepala, badan, dan kaki mempakan titik aksen

yang memperkuat adanya garis simetri yang membagi sama kuat antara bagian kiri

dan kanannya. Dapat dikatakan secara vertikal bahwa bagian kiri merupakan

cermman dari bagian kanannya, demikian pula sebaliknya. Komposisi

keseimbangan yang selalu ditekankan pada tiga titik (pada kepala dengan elemen

simbar , pada badan elemen pintu dan relung area, dan pada kaki pada elemen tangga

dan ornamen bingkai) pada semua bagiannya.

Komposisi demikian pada candi Hindu bisa dihubungkan dengan konsep

Trimutri atau konsep menyebamya a/man dari Brahman ke penjuru dunia. lrama

dan ritme serta perulangan diciptakan pada pemberian elemen pelipit pada setiap

bagian peralihan bidang. Keteraturan pada pemberian elemen ini menyebabkan

ballf,'llnan menjadi tidak monoton atau sekedar datar saja.

80 6. Proporsi dan Skala

Secara keseluruhan, proporsi dig1makan untuk mendukung kaitan antara elemen yang satu dengan yang lain. Hal ini diatur dalam Manasara terdapat beberapa hal penting yang digunakan : 1. Ukuran dasar untuk ban!,'tman adalah 'basta', satu basta setara dengan 26 Angula atau 26 dhanur musti atau kurang lebih berkisar 50 em. Perkiraan

tersebut didasarkan pada 1 angula atau Iebar ibu jari yaitu sekitar :Y. inc atau 2 em. 2. Ukuran dasar untuk omamen adalah 'tala', satu tala setara dengan jarak antara ujung ibu jari sampai uj ung jari tengah jika keduanya dibentangkan secara maksimal atau setara dengan jarak antara uj ung da!,>u sampai uj ung atas dahi. 3. Rasio perbandingan antara ukuran umum pada bangunan satu lantai, jika perbandingan rasio antara tinggi ban!,>unan (T) dan Iebar bangunan (L)� (T/L): a. sama dengan 1 dinamakan Santika (besar) b. sama dengan 1 Y. dinamakan Pausthika (besar) c. sama dengan 1 'lz dinamakan Jayada (medium) d. sama dengan 1 :Y. dinamakan Dhanada (kecil) e. sama dengan 2 dinamakan Adbhuta (kecil)

4. Jika bangunan diukur berdasarkan tingginya maka bangunan tersebut dinamakan Sthanaka, Jika bangunan tersebut diukur berdasarkan Iebar muka nya maka dinamakan Asana, J ika bangunan tersebut diukur berdasarkan Iebar samping nya maka dinamakan Sayana. 5. Terdapat perbandingan rasio tetap antara tinggi kaki bangunan (TK) dengan tinggi bangunan (T) keseluruhan yaitu 1/8 dengan variasi modular jika tinggi bangunan terbagi atas :

a. 8 bagian atau dengan modul l/8 T maka 1 X l/8 T b. 10 bagian atau dengan modul l/10 T maka 1,25 X l/8 T c. 12 bagian atau dengan modul 1112 T maka 1,5 x 1/8 T d. 14 bagian atau dengan modul 1/14 Tmaka 1,75 X 1/8 T e. 16 bagian atau dengan modul 1116 T maka 2 x 1/8 T

jika digunakan untuk kolom maka perbandingan sisanya adalah '14 T

6. Rasio perbandingan Iebar pintu (lp) dengan tinggi pintu (tp) � lp!tp adalah 'h

7. Untuk ban!,>unan dua lantai, tinggi dari kaki candi = 3/28 = 0, 10 dari tinggi diukur dari puncak atap sampai dasar

81 Proporsi menunjukkan perbandingan panjang, Iebar, dan tinggi, dan semuanya

pada umumnya dapat dinyatakan dalam perbandingan numerik. Proporsi diatur

sedemikian rupa untuk menghasilkan kesan vertikal yang kuat (nampak dari

bentuk elemen penghias yang umumnya ramping), namun diimbangi oleh

elemen yang melebar ke arah samping untuk menciptakan kesan kokoh dan

stabiL Proporsi merupakan salah satu unsur yang turut menentukan aspek

kesatuan pada bangunan candi terscbut, karena proporsi berkaitan erat dengan

hubungan geometrik, rasio/perbandingan antar bagian dalam suatu komposisi. " Berdasarkan penelitian terdahulu , diambil eontoh misalnya pada masa abad 13

candi-candinya menunjukan adanya penyimpangan dari tata aturan baku dalam

manasara, semakin muda umurnya maka penyimpangannya semakin jelas

Skala perbandingan antara kaki, badan dan kepala disusun untuk menimbulkan

kesan stabil. Ini dapat dilihat pada komposisi kesatuan kaki yang terlihat dominasi

Iebar terhadap tingginya, karena kaki berfungsi landasan. Mulai bagian badan,

skalanya mengecil terhadap Iebar, dan berubah ke arah tinggi, untuk menunjukkan

irama yang meningkat_ Kemudian pada bagian kepala, kesan vertikalitas tm

akhirnya mengecil menuju satu titik untuk memberikan pengakhiran.

7. Pembagian Tiga

Pengolahan elemen estetika pada eandi didominasi meng�o>Unakan sistem

komposisi "pembagian tiga" yang sama dengan pembagian sosok candi (kepala,

badan, dan kaki), baik secara horisontal maupun vertikal, dan sampat

ornamentasinya. Pengolahan sosok candi menunjukkan adanya pembagian

tiga' /tripatite. Prinsip ditunjukkan adanya kaki-tubuh-kepala atau alas-tubuh-atap

atau bawah-tengah-atas. Pada masing-masing elemen pada bagian tersebut berlaku

pula prinsip tripatite yang mencakupi elemen atas, elemen tengah, atau elemen

bawah atau jika diputar maka akan ditemukan elemen kiri, tengah, kanan

11 Pmjudi, Rahadhian (2002): Penelitian : Kajian Proporsi Arsitektur C'= di Klasik Muda di Jawa Timur, Lcmbaga Pcnclitian Unpar

82 8. Peruilmgan

Desain candi menunjukkan adanya aspek perulangan - pemlangan elemennya. Hal ini menunjukkan adanya integrasi dalam pengolahan desain candi untuk membentuk kesatuan dan keteraturan di dalamnya. Keselarasan antara elemen penghias dengan sosoknya yang menggunakan bentuk dasar yang sama, ataupun

dalam komposisi perletakan ornamen penghias pada titik -· titik tertentu juga menunjukkan usaha untuk menciptakan kesatuan yang tercermin dalam ekspresi bangunannya. Perulangan bentuk yang sama tersebut akan menimbulkan kesan dominasi, dimana dominasi ini akan menimbulkan kesatuan antara elemen atau bagian yang satu dengan lainnya, seperti bentuk dasar geometrik persegiempat yang didapatkan pada setiap elemen atau bagian. Perulangan dapat bempa bentuk mahkota ataupun elemen dalam sosok candi itu sendiri baik, elemen simbar, bingkai/pengapit/pelipit pada bagian peralihan bidang vertikal maupun horisontal berupa : elemen garis (kolom semu - vertikal, pelipit - horisontal) yang selalu membingkai bidang Gendela semu) pada badan. Fenomena perulangan ditunjukkan pada kaki, badan, serta bagian atap yang ditunjukkan oleh pengolahan dudukan elemen penghias kepala. Adanya perulangan yang berupa irama dan ritme tertentu tersebut menimbulkan ekspresi bangunan candi menjadi tidak monoton. Keseragaman bentuk elemen penghias yang menempel pada candi dengan bentuk dasarnya memperkuat kesan kesatuanlkeselarasan pada candi itu sendiri.

9. Ragam Hias Menurut Bosch, terdapat beberapa perbedaan yang menyangkut seni hias dan seni area pada candi. Hal ini discbabkan karena dalam manasara tidak terdapat ketentuan jenis relief macam apa yang seharusnya dipahat di dinding bangunan suci, hanya discbut bahwa kuil dapat diberi hiasan agar terlihat indah (Bosch 1924: 26). Di Jawa, simbolisme dari keistimewaan dekoratif lebih kaya dari daerah manapun juga. Empat macam kategori dari dekorasi yang bisa dibedakan pada candi: a. Relief naratif, menceritakan peristiwa-peristiwa hidup, legenda-legenda dewa­ dewa atau tema syair kepahlawanan yang selalu memainkan peranan utama dalam kesenian di Indonesia.

83 b. Patung besar dari dewa-dewa (bodhisallva), biasanya diukir di dalam relung atau

di antara pilaster dari candi.

c. Dekorasi yang diinspirasikan secara utama dari tumbuhan yang hidnp, seperti

daun-daun ornamental, lotus, pohon yang "memberikmi keinginan", simbol­

simbol menguntungkan yang diwarisi dari India.

d. Kepala Kala-, yang berberwujudkan binatang (silumanlmonster)

bertanduk dengan mata yang melihat dengan tajam, sama sepetti "topeng

kemenangan" (kirtimukha) dari ikonografi bangsa India dan diletakkan di

puncak arch (lengknngan). Setiap uj ungnya diberi hiasan dengan kepala makara

(sebuah makhluk !aut dengan belalai gajah). Kala dan makara sering berfungsi

sebagai gargoyle (hiasan patung makhluk menyeramkan pada gerej a Gothic -·

juga berfungsi sebagai talang air) yang dibuat di sekeliling bangunan.

Ragam Bias candi menunjukkan pula adanya elemen yang mendominasi pada

setiap bagian memberikan kesan adanya "point of interest". Pada bagian kepala ' ditunjukan oleh bagian omamen yang lebih besar pada bagian tengah, kanan dan

kiri. Pada bagian badan kita bisa menemukannya pada elemen pintu masuk yang

memiliki detail yang lebih baik dan lebih menonjol dan konsep ini pada bagian kaki

diterapkan dengan adany a elemen tangga. Dari sernua elemen yang menjadi "point

of interest" tersebut, bagian tengah merniliki di antara ketiganya. Point of interest

tersebut akan memperkuat kesimetrisan yang dapat mendukung keseimbangan

(adanya kesimetrisan bagian kanan yang merupakan penceminan bagian kirinya -

dan juga sebaliknya). Hal ini mencerminkan kesan stabil dari ban�,>unan itu sendiri.

Pengkajian desain arsitektural secara umum tidak dapat dilepaskan dari aspek tata ruang-massa, anatorni sosok-fasade, unsur dekoratif, material, dan lingkungan, terrnasuk di dalam menganalisis kaitan percandian dengan bangunan lainnya.

Karakteristik/ Atribut yang tercermin dalam desain percandian di atas dapat diwujudkan ke dalam tata ruang-rnassa, anatomi sosok-fasade, unsur dekorati( material, dan lingkungan. Berdasarkan studi tersebut akan diketahui kontinuitas dan diskontinuitas elernen-elemnya. Latar belakang kesejarahan rnenj adi landasan dalam rnernahami kontekstualitas penggunaan kembali representasi percandian. Melalui pengkajian tersebut diharapkan dapat diketahui peluang pengembangannya dalam desain arsitektur pada masa modern.

84 j Efck Pcrspektifis Garis dan Efek Gelap

Geometrik Simetris - Keseimbangan

Perulangan dan Kesatuan

Pcmbagian Tiga

Gb. 4.19. Beberapa contoh Unsur-unsur Penting dalam Desain Candi

85 BAB 5

KORELASI ARSITEKTUR CINA Dl DALAM DESAIN CANDI JAWA

Berdasarkan sejarahnya, kaidah mendasar dalam konsep arsitektur Cina juga dipengaruhi oleh konsepsi mandala yang berasal dari India_ Fenomena ini menunjukkan memang adanya korelasi antara India dan Cina yang terjadi sejak lama. Nilai-nilai arsitektur India merasuki di dalam konsepsi arsitektur Cina, meskipun tidak diadopsi begitu saja namun disesuaikan dengan budaya yang berkembang di Cina. J>eranan local genius menjadi penting dalam hal ini, sehingga produk yang dihasilkan menunjukkan karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Agama Budha yang masuk ke Cina merupakan sarana yang penting bagi korelasi antar keduanya. Pemanfaatan arsitektur

India tersebut berasal dari bentuk Stupa. Modifikasi arsitektur yang berasal dari stupa tersebut kemudian dikenal dengan istilah Pagoda.

Berdasarkan kajian di atas pendekatan kesejarahan dan studi korelasi dapat di�o'Unakan sebagai titik tolak dalam studi ini_ Pengetahuan tersebut digunakan sebagai landasan untuk memahami representasinya melalui analisis transformasi. Pendekatan persepsi visual gestalt, teori analogi dapat di!,'llnakan sebagai salah satu acuannya.

Persepsi visual dapat dibentuk karena adanya analogi similiarity, continuity, proximity, dsb. Sebagai contoh sekilas bentuk pagoda tidak sama dengan bentuk stupa, tetapi j ika ditinjau berdasarkan tipologi stupa maka akan menunjukkan adanya hubungan yang erat Snodgrass membagi tipologi stupa menjadi tiga yaitu :

L Dome Stupa (stupa dengan karakteristik berbentuk setengah bolallingkaran murni, dimana di dalam arsitektur sering dinamakan bentuk 'dome') contohnya adalab

stupa di Sanci

2. Stupa Berteras (stupa dimana bagian kakinya terdiri dari undakan teras-teras)

contohnya adalah Borobudur dan di Thailand

3_ Stupa Menara (stupa yang berbentuk sepe1ti 'tower' menara bertingkat-tingkat).

lstilah yang umum untuk tipe ini adalah 'Pagoda', contoh konkret adalah pagoda­

pagoda yang terdapat di Jepang dan Cina.

86 Gb 5.1. Perbandingan Stupa dan Pagoda

Untuk membahas lebih jauh maka perlu diketahui dahulu karakteristik stupa.

Secat·a filosofis Stupa terbagi atas konsep Tri-loka I Tiga dunia yaitu Kamaloka ( dunia 'keinginan'), Rupaloka (dunia 'berwujud'), dan Arupaloka (dunia 'tak berwujud' I

dunia 'sunyata'). Dalam hirarkinya Kamaloka menduduki posisi yang paling bawah,

kemudian Rupaloka, dan yang paling tinggi adalah Arupaloka. Penerapan konsep Tri­

loka terhadap bentukan stupa sangat tergantung dari tipologi masing-masing bentuk

tersebut.

Pengkaj ian tentang persepsi visual tersebut berkaitan dengan permasalahan bentuk

(fo rm), ruang (space) dan transformasinya, termasuk kontinuitas dan diskontinuitas

peng�o>unaan elemen-elemennya. Oleh karena itu pendekatan studi tipo-morfologi

arsitektur dapat digunakan dalam studi ini. Studi tipo-morfologi membahas

permasalahan tipologi (klasifikasi-tipe) dan morfologi (perubahan-transformasi). Proses

transformasi bentuk (fo rm) dan ruang (space) tidak berdiri sendiri namun juga

menyangkut aspek pemaknaan yang melekat di dalamnya. Hubungan antara representasi

form dengan meaning (makna) pada dasarnya tidak tetap dan dimungkinkan dapat

berubah-ubah (dinamis) sesuai dengan konteksnya.

Bentuk stupa sekilas terbaca terbagi atas dua bagian yaitu bentuk setengah bola

dan tiang/pilar di atas puncak setengah bola tersebut, sedangkan alasnya biasanya

dianggap merupakan satu kesatuanl bagian dari bagian dari setcngah bola tersebut,

bukan bagian yang tcrpisah. Bagian ini dianalogi-kan sebagai posisi yang paling profan

atau dunia bawah. Dunia bawah diejawantahkan pada bentuk dome bcrserta alasnya.

·• Bagian ini secara harfiah biasanya digambarkan dcngan bentuk dome murni ataupun I s1 UiI dome dengan tingkatan-tingkatan teras ataupun menara dengan lapisan tingkatan. Dunia

bawah ini juga terbagi atas tri-loka yaitu Kama loka (alas dome), Rupa Loka

(lapisan/dome), Arupa Loka (puncak dome)

(;';)------•;:<�se/J>eh't!l (kala�,.) -. -

Hrl-\-----t Spire o( !JI;bJ'Cllas t-· l£!:ttc.,.,.ali}

----� l:liqt\ Pavi].i.on t�) PosV�"tar.t (:£?�.� --'--/---,,.l)

Gb 5.2. Stupa

Bentuk dome baik murni, berteras atatipun menara ini secara filosofis dianggap

sebagai konsep gunung, dimana di bawahlkaki gunung terdapat bumi, tempat yang

penuh 'keinginan' atau nafsu. Gunung dianggap sebagai tingkatan pencapaian menuju surga yang terletak di puncaknya. Surga tersebut dilambangkan dengan tiang/pilar

'catra' di puncak dome/gunung yang terletak di tengah 'hannika' (pekarangan

snrga/istana 'Dewa Indra' yang dibatasi oleh pagar). Harmika mengingatkan pada gambaran rumah pada 'gunungan' dalam Jawa, dimana terdapat bentuk bal1!,>unan/pintu gerbang dan di tengahnya tumbuh sebuah pohon yang dianggap sebagai

pohon kehidupan.

Catra adalah bagian atas stupa yang berbentuk tiang dengan segmentasi tingkatan­ tingkatan. Berdasarkan wujudnya catra juga sering digambarkan berupa 'payung' yang bertingkat-tingkat atau cabang-cabang 'pohon' yang bertingkat-tingkat. Catra dianggap

sebagai pohon kosmik atau pohon langit yang tumbuh di tengah Harmika dari benih

yang terdapat di dalam inti dome tersebut ('Yupa'). Tingkatan pada cabang pohon tersebut merupakan gambaran dari tingkatan snrgawi. Komponen 'Catra' pasti

ditemukan pada setiap tipe stupa tersebut, di samping adanya tipologi 'pagoda' -

88 bangunan yang bertingkat-tingkat Berdasarkan karakterisitiknya tcrsebut, gambaran

tingkatan segmentasi dapat dianggap merupakan komponen yang sangat penting dalam

desain stupa baik berupa catra ataupun pagoda_

Bagian atas stupa /catra yang melambangkan surgawi juga terbagi atas konsep tri­ loka yaitu Kamaloka (2 tingkat surga dari Bumi para dewa - 4 tingkat surga dari langit para dewa), Rupaloka (3 tingkat Surga tahap I Meditasi, 3 tingkat Surga tahap II Meditasi, 3 tingkat Surga tahap III Meditasi, 9 tingkat Surga tahap IV Meditasi) dan

Arupaloka (4 tingkat Surga). Wuj ud gambaran surga tersebut- dapat dilihat pada Iapisan lapisan pada tingkatan pilar catra tersebut. Di puncak catra yaitu 'vase'(yang

melambangkan Arupaloka) digambarkan sebagai mahkota atau 'kalasa' _ Kalasa me­ mpakan lambang dari 'pencerahan' atau 'kekosongan' atau 'sunyata'_ Penggambaran­ nya biasanya dapat berupa ikon 'sinar matahari' (pencerahan) atau 'permata-mustika'

(berkilauan-wujud peneapaian ide) atau 'lingga' (sikritisme dengan Hinduisme).

Pagoda merupakan bentuk khas untuk menggambarkan bentuk bangunan sakral di

Cina. Pagoda dapat menjadi titik temu korelasi dengan bangunan percandian di Jawa.

Jawa sudah berhubungan dengan Cina sejak abad 5 yaitu tahun 400 M sejak kedatangan pendeta Faxian. Pengaruh arsitektur Cina tentunya lambat-laun terbawa di dalamnya, meskipun tidak terlalu nampak dalam bangunan di Jawa. Pengaruh India dipandang jauh lebih kuat di bandingkan dengan Cina, khususnya yang berkaitan dengan -arsitektur percandian.

Gb 5.3 Pagoda dan Stupa benmdal<

Hal yang menarik ketika di Jawa terjadi perpindahan ibukota Mataram atau Era transisional ke daerah Timur yang diduga akibat bencana alam, wabah penyakit dan perang. Kondisi ini diduga menyebabkan banyaknya penduduk yang meninggal termasuk pula ahli pembuat candi. Akibatnya para ahli pembuat candi sangat sedikit

89 sekali mewariskan keahlihan tentang seni percandian. Hal ini mendorong terjadinya perubahan bentuk candi yang jelas antara Mataram di Jawa Tengah dengan periode Pasca Matm·am di Jawa Timur. Perubahan Seni bias dapat juga dilihat dari model moulding dari masa candi-candi tua seperti di Dieng dan Gedongsongo abad ke 8, kemudian candi-candi masa Prambanan atau abad ke 9-10 dan candi-candi masa abad ke 10-12 (airlangga), dan abad ke 13-15 (Singosari-Majopahit). Candi-candi yang dihangun pada jaman Airlangga-Kediri dapat dilihat dengan jelas di Bali seperti Candi Gunung Kawi. Candi tersebut dibangun dengan teknik mengkorok bukit cadas. Teknik pembuatan dengan mengkorok bukit menunjukan bahwa teknologi yang dipergunakan sangat pragmatik dan kontekstual dengan tempat dimana bangunan itu berada.

Bentuk candi yang berbeda ini kemudian menjadi khas. Lahirnya wujud Ill! diperkirakan sangat dipengaruhi oleh konsepsi Tantrayana yang kuat. Tantrayana merupakan cabang aliran Mahayana yang diperkirakan mempengaruhi kuat dan pada akhirnya mendominasi konsep desain arsitektur candi di Indonesia. Hal ini dimungkinkan dengan adanya perubahan mandala dari aliran yang bam masuk yang disesuaikan dengan candi yang telah ada. Bentuk denah cruciform ini adalah merupakan pengaruh Mandala yang bersifat Budha Mahayana (penyembahan terhadap 'Jina') dengan mandala Vajaradatu yang melambangkan Pagoda lntan di puncak gunung Sumeru yang digambarkan mempunyai lima atap lingkaran. Aliran ini kemudian mengkristal dan pada akhirnya dikenal sebagai aliran Siwa Budha, yang merupakan sinkritisme antara aliran Hindu (Siwa), Budha, dan kepercayaan asli, khususnya pada jaman Singosari-Majapahit. Meskipun konsep dasar agamanya berbeda yaitu Siwa dan Budha, tetapi bentuk candi yang dihasilkan-tetap mempunyai 'tipe' dasar yang sama. Adanya tipe yang sama tersebut menunjukkan adanya 'suatu style dasar' yang dapat berlaku untuk semua desain candi baik yang bersifat Hindu ataupun Budha. Hal tersebut sangat mungkin terjadi akibat sinkrititasi antara Siwa - Budha tersebut, sehingga aturan dasar stylenya dapat digunakan pada bangunan sakral yang bersifat Hindu ataupun Budha. Filosofi atap meru pada candi-candi tersebut tidak berbeda dengan atap batu pada candi lainnya yaitu melambangkan Swahloka atau dunia atas atau alam para dewa. Tingkatan meru pada candi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tingkatan langit ataupun tingkatan surgawi, baik dalam konteks Hinduisme ataupun Budhisme. Bentuk meru tidak dominan untuk salah satu aliran saja bahkan dapat diterima dan berlaku umum.

90 Gb. 5.4. Bentuk Khas Gay a Kla:sut.. 1nuua uout •noutu.tt..a:sut,ya

Pada abad ke 13-16 di Jawa bagian Timur muncul kerajaan-kerajaan besar yang bercorak Hindu seperti Singosari, Majapahit yang didahului dengan Kediripada abad, 12 (Pasca Airlangga). Disebutkan bercorak Hindu karena agama mayoritas rakyatnya adalah penganut Siwaistik, disamping Wisnu dan Brahma, sedangkan Budhisme merupakan agama kedua setelah I-Iinduisme. Meskipun bercorak Hindu tetapi masyarakat berikut rajanya cenderung menganut aliran Sinkritisme Siwa-Budha, seperti yang dilakukan Raj a Singosari yaitu Kertanegara adalah seorang penganut Siwa-Budha. Kitab Negarakretagama menjelaskan bahwa Raja atau bangsawan yang wafat pada saat itu dimuliakan di beberapa tempat yaitu sebagai Siwa dan atau Budha. Dengan demikian sifat bangunannya pun mengacu kepada aliran Siwa dan Budha tersebut, termasuk sinkritisme- nya. Corak Siwa Budha mulai berkembang kuat pada pasca kerajaan Mataram (abad ke-1 0). Pada jam an Airlangga kurang lebih abad ke-11 mengindikasikan ad any a agama Siwa-Budha. Airlangga mengutus Mpu Kuturan ke Bali untuk memberikan pedoman dalam pembuatan kuil (Khayangan Tiga) di Bali dan agama yang berkembang pada saat itu adalah Siwa-Buda. Mpu Kuturan juga memperkenalkan bentukan meru sebagai bangunan sakralnya. Bentukan Meru ini juga digunakan pada atap candi-candi pada jaman Singosari-Majapahit, yang lebih dikenal sebagai atap tumpang, seperti yang digambarkan pula pada relief di dinding Candi Jago peninggalan Singosari-Majapahit. Meru secara struktural dianggap mampu menahan goyangan gempa yang sering terjadi akibat !etusan gunung berapi.

91 Gb. 5.5. Candi Jago beratap meru

Meru tidak lain adalah manifesasi puncak suatu stupa yang berbentuk catra atau payung bersusun-susun yang diiharatkan sebagai pohon langit penghubung yang fa na dan yang abadi. Simbolisasi pohon langit yang bersusun-susun ini diwujudkan sebagai bentuk arsitektur meru. Di Cina simbolisasi ini diwujudkan dalam bentuk pagoda, di

Nepal dalam bentuk meru yang identik dengan di Jawa dan Bali. Arsitektur sakral pada jaman ini diperkirakan banyak menggunakan oleh bentukan. atap meru yang bertahan

sampai jaman Majapahit bahkan sesudahnya. Bentukan stupa secara explisit sebagai pagoda atau seperti meru (Jawa) memang banyak ditemukan di luar India, terutama di

Nepal, Tibet, China, Jepang yang menjadi jalur penyebaran Budha ke Cina melalui

India bagian atas atau arah Timur Laut. Di India sendiri sangat jarang ditemukan bentuk stupa tipe pagoda. Bentuk-bentuk 'pagoda' atau 'catra' sebagai komponen bangunan sakral yang digambarkan sebagai arsitektur 'meru' malah muncul di Selatan India yaitu

Indonesia. Bentuk meru di Indonesia bahkan mirip dengan bentuk meru yang ada di

Nepal.

Gb. 5.5. Atap Kuil di Nepal

92 Gb. 5.6 Kompleks Kuil di Nepal

Kata Meru mengacu pada istilah 'Sumeru', sebutan bagi gunung suci dalam tradisi Hinduisme dan Budhisme_ Sumeru merupakan istilah yang digunakan untuk simbolisasi gunung tempat para dewa bersemayam. Namun secara harfiah, Sumeru dapat disebut sebagai 'Mahameru' gunung yang terbentang di daerah India Utara dan

Nepal. Di Jawa Sumeru sering diindikasikan scbagai Semeru, h'tmung tertinggi di Pulau

Jawa. Namun penyebutan Semeru sebagai Sumeru sebenarnya lebih dikarenakan penggambaran Semeru sebagai gunung tertinggi di Jawa seperti halnya Mahameru -

Mount Everst, gunung tertinggi di dunia, daripada gunung sebagai lstana para dewa.

Suatu dongeng di dalam Kitab Tantu Panggelaran menceritakan tentang teijadinya perpindahan Mahameru dari India ke Pulau Jawa. Namun ketika dipindahkan, gunung tersebut rontok menjadi gunung-gunung kecil dan tercecer di pulau Jawa. Salah satu h' llnung yang dianggap ceceran Mahameru itu antara lain Penanggungan dengan empat puncak yang mengelilingi puncak utamanya. Sedangkan puncak Mahameru jatuh menjadi gunung Semeru. Pindahnya gu nung tersebut sebenarnya dapat ditaf.>i rkan sebagai simbolisasi gambaran masuknya agama Hindu dari India ke Jawa.

Di dalam doktrin I-linduisme disebutkan bahwa jagad ini terdiri dari Jambudwipa yaitu sebuah benua yang berbentuk lingkaran dan terletak di pusat yang dikelilingi oleh tujuh sarnudra dan tujuh benua yang berbentuk cincin. Di luarnya dibatasi oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di pusat Jambudwipa berdiri gunung Sumeru atau Meru yang merupakan h' Unung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan, dan bintang-bintang_

Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi oleh ternpat-tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjagajagad.

93 Dalarn pandangan Budhisrne, gunung rneru dijadikan sebagai pusat dari jagad raya. Gunung ini dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan, rnasing-rnasing dipisahkan oleh tujuh buah sarnudra. Di batas luar kornposisi ini terdapat ernpat buah benua, rnasing-rnasing terletak pada penjuru rnata angin. Benua yang terletak di Selatan

Gunung Meru adalah Jarnbudwipa yang rnerupakan ternpat tinggal urnat rnanusia. Jagat

Raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri dari batu karang, disebut sebagai barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Meru terletak surga yang terendah, yaitu surga dari keempat raja besar atau penjaga dunia. Surga kedua puncaknya rnempakan ternpat ketigapuluh tiga dewa serta Sudarsana, kota dewa-dewa ternpat Indra bersernayarn sebagai raja. Di atasnya terdapat lapisan surga yang berjurnlah 27 lapisan langit.

Meru sebagai Surneru rnengacu kepada penghadiran 'Surneru' di dalarn wujud arsitektural yaitu bentuk atap yang berusun-susun, atau dapat diartikan bahwa bentuk rneru rnempakan bahasa pengungkapan dari Sumeru sebagai gunung kosrnik ternpat para dewa. Sedangkan secara harfiah jika istilah meru dikaitkan dengan 'gunung' sebagai wujud Mahameru, maka hal tersebut mengacu pada suatu gunung yang dipilih sebagai pusat orientasi utama.

Bentukan Mem tersebut erat kaitannya dengan penyebaran Budhisme melalui

China. Di Bali berdasarkan penernuan arkeologis agama Budha Mahayana dengan unsur-unsur Tantrik diperkirakan telah berkembang sej ak abad ke 8. Lebih jauh berdasarkan keterangan perjalanan Yi-tsing seorang China ketika menuju India pada tahun 670 M, ia menemukan suatu negara Buddhis yang disebut Bali Di Jawa ataupun di Sumatra sudah tentu bahwa Budhisme telah berkembang sej aman dengan itu bahkan lebih lama lagi. Tetapi bentuk meru yang berkembang di Jawa khususnya di Bali dapat dikatakan bam muncul pada periode mpu Kuturan atau sekitar abad 11.

Budhisme menggambarkan wujud Sumeru tersebut ke dalam tiga tipe stupa berikut komponen catranya. Hinduisme di India menggambarkannya ke dalam tipologi kuil Hindu, yaitu berupa komponen tingkatan atap yang juga bermahkotakan 'kalasa'

(India) atau 'lingga' (Indonesia). Berkenaan dengan hal itu bentukan meru yang lahir di

Indonesia, secara bentuk (shape) dapat dibaca lebih mengacu kepada bentukan tipe stupa 'pagoda' atau gambaran 'catra' pada stupa. Bentuk catra atau pagoda tidak pernah ditemukan pada bentukan komponen kuil Hinduisme di India. Jadi 'Meru' secara bentuk dapat dianggap merupakan adaptasi desain ikonik bangunan Budhisme yaitu stupa, baik berupa 'pagoda' ataupun 'catra' .

94 Dengan demikian fenomena tcrsebut menunjukan babwa meru yang ada di Jawa sedikit banyak telah dipcngamhi oleh pola penyebaran Budha dari Cina melalui jalur India Utara menuju Asia Tenggara. Hal terscbut dapat diperbandingkan pula dengan tipe stupa Borobudur yang identik dengan stupa di Birma, Campa, dan Thailand yaitu tipe stupa berundak. Adanya bentuk stupa berundak di Indonesia, dapat dihubungkan dengan jalur lain penyebaran Budha yaitu dari India melalui Selatan yaitu Birma, Campa, Thailand, kemudian kc Sumatra dan Jawa. Fenomena tersebut menunjukan adanya aliran-aliran keagamaan yang dipengaruhi olch penyebaran Budha dari India dan China, sehingga mcngakibatkan bentuk-bentuk bangunan sakral yang ditemukan di Indonesia menjadi lebih bervariatif dari pada daerah lain, seperti Nepal, Birma.

Gambar relief di dinding Borobudur (abad ke-9) menunjukkan bahwa tidak satupun ban!,'lman suci digambarkan beratap meru. Gambaran atap meru pada relief barn muncul sekitar abad ke 14 yaitu pada dinding candi Jajaghu. Berdasarkan keterangan gambar-gambar relief tersebut diperkirakan 'meru' memang belum dikenal tentunya sebagai atap bangunan suci pada era Borobudur (abad 9). Pada abad ke 10-1 1 diperkirakan telah masuk aliran Budhisme yang membawa pengaruh bentuk bangunan 'pagoda' terutama dari China, sementara sebelum itu yang mendominasi perwujudan arsitektur sakral Budha diperkirakan adalah pengaruh Budhisme dari India melalui jalur lain. Hal ini dapat dilihat pada wujud bangunan sakralnya seperti Muara Takus dan Borobudur. Meskipun demikian pengaruh arsitektur Budha dari India tidak hilang,

95 bahkan muncul fc nomena sinkritismc di antara aliran-aliran Budha tcrscbut scndiri,

bahkan dcngan .Hinduismc ataupun dcngan aspck-aspck 'lokal genius'.

Dalam kontcks munculnya rcprcscntasi dari luar kc dalam dcsain mcnunjukkan

adanya 'dialog' antara yang lama dcngan yang baru, yang lokal dcngan pcngaruh luar,

dsb. Pcngadaptasiannya di masa kini dapat mclalui stratcgi yang diungkapkan

Antoniadcs_ Wujudnya dapat bcrupa transfe r ornamental atau sosok sccara langsung

maupun tidak langsung (mclalui pcndekomposisian)_ Contoh transfer secara langsung

misalnya pemindahan bcntuk atap susun, pemindahan wujud 3D, sedangkan yang tidak

langsung misalnya penggubahan elemen-elemennya menjadi susunan yang baru, dapat

berupa garis-gelap terang, elcmen geornetrik, dsb.

Deugau demikian aspek Jatar belakang kesejaraban menjadi landasan yang

penting baik secara sinkronik maupun diakronik. Melalui pendekatan tipo-morfologi

akan difahami faktor-faktor fisik yang dapat dipeq,>unakan dalam menganalisis wujud

representasi unsur arsitektur Cina dalam konteks percandian. Munculnya representasi

percandian tidak dapat dilepaskan dari Jatar belakang kesejarahan (historical reason) .

Di sisi lain melalui transformasi, wujud representasi berkaitan erat dengan

permasalahan percampuran seperti akulturasi - inkulturasi mencakup adaptasi, adopsi­ apropriation. Latar belakang kesejarahan mencakup ideologi-politik-sosial-budaya

diperkirakan mCI1jadi faktor pendorong terjadinya pengb>unaan kembali unsur-unsur

masa lalu. Proses percampuran (perkawinan) tersebut memunculkan transformasi di

dalam desain arsitekturalnya Makna yang berasal dari unsur-unsur pagoda Cina dapat

tetap maupun berubah disesuaikan dengan konteksnya. Atap susun dalam arsitektur

pagoda digubah menjadi konsep yang ala Jawa. Representasinya sama namun

maknanya telah digubah dan disesuaikan dengan konteksnya

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan studi tipo-morfologi, candi-candi

pemuliaan raj a atau bangsawan tersebut kebanyakan berbentuk 'menara'. Bentuk atap

candi yang bertipe menara itu dapat dibagi menjadi dua yaitu berbentuk prisma segitiga

monolit pej al berpuncak kubus dengan komponen berukir (batu/bata) dan berbentuk

meru tumpanglbersusun (ijuk). Jika beratap monolit pejal maka tubuh penyangganya

pasti terbuat dari batu/bata, sedangkan jika atapnya'meru' maka tu buh penyangganya

dapat terbuat dari batu/bata atupun kayu berikut umpaknya.Kedua jenis atap ini sama­

sama menunjukkan adanya susunan atau tingkatan. Bentukan atap ini sangat khas dan

berbeda sekali dengan candi-candi peninggalan Mataram Kuno. Pengaruh arsitektur

Cina muncul pada sosok bangunan ini.

96 5.1. Candi beratap Meru

Atap meru diperkirakan mulai dikenal di Indonesia khususnya di Jawa pada abad

II M, bahkan mungkin lebih lama lagi. Periode pembangunan candi-candi besar di

Jawa berakhir sekitar akhir abad 10, setelah itu telah terjadi 'stagnasi ', dalam arti tidak ada lagi pemban�o>unan candi-candi sekelas Prambanan, Borobudur, Sewu. Seni percandian gaya Mataram sepertinya telah hilang ditelan bumi. Perpindahan kekuasaan dari Jawa bagian Tengah ke arah Jawa bagian Timur diduga ikut berperanan menghilangkan seni percandian tersebut

Indikasi kuat membuktikan bahwa peninggalan arkeologis yang ditemukan pada

,e ra 1m hanya berupa candi-candi kecil atau berupa batur-batur, jumlahnya san gat sedikit, tersebar di lereng-lereng gunung, berundak-undak, dibuat dengan seni sederhana, tidak serumit pada era sebelumnya. Fenomena ini membuktikan bahwa memang telah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas dalam pendirian candi di Jawa dan atau candinya memang dibuat dari bahan yang mudah rusak (kayu, ij uk, bata) sehingga jejak arkeologisnya sulit ditemukan.

Berdasarkan penjelasan sejarah dapat diketahui bahwa penggunaan meru untuk komponen bangunan sakral telah diprakarsai oleh Mpu Kuturan dari Kerajaan

Kahuripan. Raj a Airlangga memerintahkan Mpu Kuturan untuk membawa konsep Pura

Tri-Khayangan ke Bali sekitar awal abad ke 11 M. Sedangkan arsitektur sakral yang disebarluaskan adalah bangunan 'meru '.Hal tersebut dapat dihubungkan dengan struktur meru yang lebih sesuai dengan kondisi pulau Bali yang sering gempa. Meru dianggap mampu bertahan terhadap goyangan gempa. Indikasi penggunaan Meru oleh Mpu

Kuturan diungkapkan pula oleh Fred B Eiseman Jr seorang peneliti tentang adanya penambahan unsur meru pada Pura Uluwatu oleh Mpu Kuturan :

" He (Kuturan) is known as 'the great meru builder '. When Kuturan came to the area of Pura Uluwatu there was probably already a .small temple there. But he added a number of shrines and built the 'meru ', making the temple more complete "

Pada jaman Mpu Kuturan atau Jaman Airlangga awal abad 11 'meru' telah digunakan sebagai komponen untuk bangunan sakral. Selain itu musnahnya jejak arkeologis candi-candi yang dibangun pada jaman itu menunjukkan bahwa candi-candi

97 tersebut sebagian besar memang dibuat dari bahan yang mudah rusak, sepe11i halnya

'meru'. Berbeda dengan di Jawa dirnana arsitektur eandi batu mengalami stagnasi pada era tersebut, di Bali arsitektur eandi yang menggunakan batu masih banyak clidirikan,

meskipun 'meru' telah digunakan sebagai komponen pelengkapnya.

Mpu Kuturan aclalah seorang penganut Siwa tetapi dia juga fa sih dengan aj aran

Budha demikian menurut keterangan sej arah, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Mpu Kuturan menggunakan ikon Budha untuk merancang suatu bangunan

ibadah, didukung pula adanya konteks Siwa-Budha tersebut. Bentuk meru tersebut pada akhirnya mendominasi komponen J>ura yang ada di Bali pada jaman itu, mengingat pengaruh Mpu Kuturan sangat kuat. Kondisi ini juga diperkirakan berlaku pula di Jawa, dimana menjadi tempat pemerintahan asal Mpu Kuturan diutus. Berdasarkan aspek

religi, desain bentuk 'meru' yang muncul akhirnya dapat dikaitkan pula dengan pengaruh ali ran sinkritisme Siwa Budha lersebut, baik eli J awa ataupun eli Bali.

Candi Jajaghu (Candi Jago) di desa Tumpang Malang tempat pemuliaan Raj a

Wisnuwardahana sebagai Budha, menggunakan atap yang berbentuk 'meru' I tumpang.

Candi pemuliaan yang bersifat Budha lainnya yang diduga juga menggunakan atap

meru atap susun adalah Candi Bayalangu, di Tulungagung Jawa Timur tempat pemuliaan Dewi Gayatri permaisuri raj a Majapahit Di Candi tersebut ditemukan sisa­

sisa umpak tempat tiang-tiang kayu. Candi-candi tipe menara peninggalan Singosari dan Majapahit yang ditemukan kebanyakan telah hancur bagian atapnya. Jika diadakan pencarian komponen atap batu dan tidak ditemukan, maka patut diduga atap candi tersebut terbuat dari bahan mudah rusak seperti 'meru', mengingat tipologi atap candi periode tersebut hanya ada dua buah yaitu prisma monolit pejal atau meru.

Candi-candi yang bersifat Hindu dan diduga beratap meru antara lain adalah

Surowono dan Tegowangi di Pare, Wonorejo eli Madiun, Gambarwetan dan Kotes eli

Blitar, Mirigambar eli Tulungagung, Kedhaton eli Probolinggo, dsb. Candi-candi tersebut ditemukan hanya tinggal bagian kaki ataupun hanya sampai badannya, dimana

komponen atapnya telah musnah. Di dinding candi Jajaghu dipahatkan pula gambaran kompleks bangunan sakral yang mempunyai komponen meru yang mirip dengan gambaran komposisi kompleks bangunan suci yang kita kenai sebagai Pura

Selain eandi-candi tersebut, bangunan-bangunan sakral pada kompleks yang

dikenal sebagai 'state temple' I kuil kerajaan juga menggunakan komponen meru,

contohnya candi induk Penataran berikut Candi Naga pada kompleks candi Penataran

atau Palah di Blitar. Pada dinding candi induk Penataran juga terdapat gambaran atap

98 men1. susunan komposisi massa kompleks Candi Penataran identik dcngan Pura Kuno di Bali yang menggunakan konsep Tri - Mandala (lahan tcrbagi tiga hirarki), dimana bangunan utamanya pasti bcrbentuk 'mcru'. Konsep pembagian lahan pad a kompleks ini diduga merupakan model awal dari pura di Bali yang menggunakan konsep Tri Mandala, mengingat candi Penataran telah dibangun sejak pada jaman Mpu Sindok abad kc-10 M yang kemudian diperluas dan dipugar oleh Majapahie .. Bangunan mcru pada Pura di Bali yang idcntik dcngan pcrcandian di Jawa adalah

Pura Ych Gangga di J>arean. Bangunan utama Pura ini berwujud sepcrti bangunan candi-candi tipc mcnara di Jawa, dimana kaki dan badannya terbuat dari batu, sedangkan atap nya berbentuk Meru. Pura tersebut dapat dikaitkan dengan angka tahun (Candra Sengkala) yang ditemukan yaitu 1256 S (1334 M) dan 1351 S (1429 M) pada batu bersurat di sana. Bangunan tersebut membuktikan bahwa pada sekitar abad 14 di Bali terdapat tipologi bentuk ban�o>tman suci seperti itu, seperti Candi Jajaghu (abad 14) yang bersifat Budha dan beberapa candi Hindu lainnya di Jawa.

Gb 5.8 Meru dan Meru oada l'ura Yeh � bersifat Budhisme mengalami stagnasi dan kemudian menghilang. Bangunan suci Budhisme pada akhirnya menggunakan tipologi lainnya yaitu stupa, meru tidak digunakan lagi. Sedangkan bangunan yang bersifat Hinduisme tetap bertahan meng�o>tmakan 'meru' sepcrti pada kompleks Pura. Pengaruh

1 Kompleks lain yang juga dipcrkimkan n1enggmiakan komponcn mcru adalah candi Singosari di Malang. Namun Kompleks Singosari hanya tcrsisa candi yang bcratap batu, sedangkan candi-candi lainnya tclah musnah. Hilangnya komponen atap pada candi lainnya tersebut diduga dibuat dari bah'm yang mudah rusak scperti bahan mcru.

99 Hinduisme di Nusantara pada saat itu lebih kuat dari pada Budhisme, sehingga bangunan yang bersifat Hindu lebih banyak didirikan dan lebih survival termasuk arsitektur 'meru'nya. Meru pada akhimya hanya dipakai pada bangunan Hinduisme seperti pura, dan tidak pernah ditemukan kembali pada bangunan yang bersifat Budhisme. Bentuk meru pada pura menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang

disebut sebagai atap tumpang yang berjumlah ganjil 3, 5, 7, 9 dan 11. Tingkatan atap menunjukkan derajat kesakralan, semakin banyak tingkatannya berarti kedudukannya semakin tinggi/sakral. Meru terdiri dari tiga komponen yaitu atap, ruang pemujaan, dan bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat pemujaan utama bagi Tuhan, Dewa, dan nenek moyang. Berdasarkan fimgsinya meru berhubungan erat dengan aliran Siwa­ Budha dalam kaitannya dengan pemujaan terhadap nenek-moyang. Hal ini diturunkan dari konsep kebudayaan yang lebih lama yaitu penggunaan jenis atap tumpang meru sebagai atap candi, bangunan tempat pemuliaan seseorang raja atau bangsawan. Meru di Bali biasanya diletakkan atau terdapat di dalam pura-pura yang dianggap sebagai Sad Khayangan, Khayangan Jagat, Khayangan Tiga atau Pamerajan A�o,>ung. Meru pada suatu Pura diletakkan pada halaman jeroan bagian Utara (Kaja). Meru umumya menghadap ke Barat di sisi Timur sebagai tempat pemujaan utama. Deretan bangunan pelinggih mem, padma, gedong, dan bangunan pemujaan lainnya berderet Kaya Kelod di sisi Timur menghadap ke Barat. Persembahyangan pemujaan menghadap ke Timur ke arah matahari terbit. Beberapa pura ada yang berorientasi menghadap kaja (Pura Kehen) dan kelod kauh (Pura Uluwatu) dimana masing-masing merunya menghadap kelod dan menghadap kaja kangin. Di beberapa pura, seperti Taman Ayun merunya berderet menghadap ke Barat. Perletakan meru tersebut rupa-rupanya juga dipengaruhi oleh keadaan lokal dan filosofi tertentu, misalnya bergantung pada arab Gunung Agung.

Bentuk Meru lapis 7, 9, dan II selain digunakan untuk Dewa juga digunakan untuk l'itara (roh-roh yang telah mencapai tataran dewa). Hal ini dapat dijumpai pada l'edarman para pitara di l'ura Besakih. Demikian pula bentuk bade bagi orang mati juga memakai tumpang seperti meru, kecuali untuk pedanda (pendeta) wadah yang dipergunakan berbentuk padmasana. Meru untuk para Dewa dapat dijumpai di l'ura

Besakih antara lain meru tumpang 11 untuk pelinggih Sanghyang Wisesa (teras III dari atas), Meru tumpang 11 untuk pelingguh Ratu Sunaring Jagat (teras IV dari atas) sedangkan untuk pitara antara lain meru tumpang 11 untuk pelinggih Ratu Geng (teras

100 V dari atas), meru tumpang tujuh untuk pelinggih Ratu Maospahit (teras V dari atas).

Ratu Maospahit adalah Dewi Gayatri nenck Raja Majapahit Hayamwuruk, seorang

bhikuni Budha.

Pengaruh kekuasaan Majapahit sangat memungkinkan adanya 'pemasyarakatan'

Meru di daerah bawahannya. Contoh cksistensi Majapahit misalnya disebutkan di dalam kitab Negarakertagama pada Pupuh LXXIX ayat tiga yang menyatakan bahwa semua tata aturan Majapahit sangat dipatuhi di pulau Bali, di dalam bentuk candi, asrama dan pesanggrahan. Sedangkan yang ditugasi dalam pembinaan atau perawatan adalah pembesar ke-Budha-an di Bedahulu yang dinamakan Bedaha Lo Gajah. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Majapahit secara geopolitis telah menyebar dan kemudian dijadikan pedoman dan kemudian mentradisi untuk bant,>unan suci.

Meru mempunyai komponen kepala, badan, dan kaki. Kaki meru atau batur terbuat dari batu atau bata. Di bagian muka biasanya didapatkan tangga. Badan meru yang berupa ruang pemujaan dibentuk empat tiang sudut dirangkai dengan sambungan sunduk di bawah dan sambungan lambang-sineb di atasnya. Dinding ruang badan meru tersebut dibuat dari papan pada sisi belakang dan sisi-sisi sampingnya, dan sisi depannya terdapat pintu, atau ada pula yang terbuka tidak menggunakan pintu. Ruang

Meru tersebut berfungsi sebagai tempat sesaji. Badan meru tersebut ada pula yang terbuat dari batu /bata., seperti meru di pura Yeh Gangga .. Lantai badan meru biasanya terbuat dari kayu yang berdiri mengambang ditahan struktur sunduk di atas bebaturan.

Meru yang tergolong agung atau utama, biasanya dilengkapi dengan tiang-tiang berjajar di keempat sisinya beserta komponen atapnya. Hiasan ukiran pada pintu dan tiang-tiang jajar biasanya bermotif singa bersayap, karang tape!, atau kera penyangga tiang. Untuk kerangka mang pemujaannya biasanya menggunakan kayu khusus untuk Hyang yaitu

Cendana, menengan, maj agau cempaka, dan jenis khusus lainnya.

Atapnya bertingkat ganjil dan menggunakan stmktur kayu dengan bahan penutup berupa ijuk yang saling diikat. Konstruksinya tumpang dimana rangka tiang-tiang pada masing-masing segmen tingkatan menumpu pada titimahmah (balok melintang­ tumpuan tiang di atasnya). Konstmksi pengikat tumpang-tumpang sclain titimahmah, dapat pula berupa tiang beti yang menems dari tengah ruang dan mengikat tumpang­ tumpang atap (lihat pagoda jepang yang menggunakan tiang tunggal di tengah).

Penampang tiang mem menggunakan ukuran dasar 'amusti' (Iebar genggaman tangan sampai ke ujung ibn jari).

101 Ukuran-ukuran jarak dan tinggi antar tiang tiap tingkatan menggunakan kelipatan 'rai' (lebar penampang tiang) atau Iebar penampang tiang amusti. Masing-masing ukuran dari kelipatan 'rai' diberi lebih-an I pen),>urip yang diambil dari ukuran jari Iangan. Pengurip dianggap sebagai penutup ukuran/ toleransi ukuran dimana besarnya lebih kecil dari kelipatan sebelumnya. Konstruksi meru diperkuat pula dengan pasak atau baji tanpa paku disamping ikatan-ikatan tali. Ukuran meru tersebut mengacu kepada pendetalpedanda yang memimpin suatu Pura dimana meru itu berada. Meru merupakan bangunan yang dianggap 'tahan gempa', sehingga konon dipilih oleh mpu Kuturan untuk ban),'lman sakral di Bali, dimana di sana sering teijadi gempa. 'Meru' dibangun dengan sistem konstruksilenturl tidak kaku sehingga mampu menahan gaya goyangan gempa. Konstruksi tidak rigid tersebut ditunjukan pada sambungan­ sambungan dan tumpuan konstruksinya menggunakan jenis sendi bahkan rol, bukan jepit. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis-jenis sambungannya seperti sunduk, lambang -- sineb, dsb. Sambungan sendi ditunjukkan dengan adanya pasak dan ikatan berikut perletakan tiangnya di atas umpak. Sistem sambungan dan tumpuan t:.:>rsebut mampu menahan gaya horisontal dan vertikal., terutama tiang-tiang penyangga lapisan meru yang meng),>unakan tumpuan rol dan sendi. Penggunaan atap meru selain akibat pengaruh religi pada awalnya juga dimungkinkan karena alasan kemudahanlkegunaan (pragmatis). Bahan ijuk tentunya lebih gampang dibuat dari pada harus membuat bata dan batu. Konsekuensinya bahwa harus digunakan konstruksi batulbata, kayu-bambu sebagai penyangganya. Atap meru ini juga dianggap lebih ampuh menahan gempa dari pad a atap batulbata. Selain itu pada awalnya mungkin dianggap lebih moveable (dapat dipindahkan I non permanen secara struktur) apabila terjadi sesuatu misalnya perang atau bencana, sesuai dengan kondisi masyarakat jaman itu yang sangat mudah berubah seperti Airlangga yang pernah 'memindahkan' ibukotanya sampai tiga kali. Kata memindahkan mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang dipindahkan, tentunya antara lain adalah komponen-komponen yang disakralkan seperti meru tersebut. Meru dibuat bersusun-susun menggambarkan tingkatan Swahloka di dalam konsep Tri Bhuwana atau perwujudan Tri Hita Karana, demikian pula halnya dengan atap candi. Atap candi berdasarkan Dumarcay dibangun dengan menampilkan efek 'jauh' pada komponen hiasannya, untuk menggambarkan Istana Dewa. Oleh karena itu proporsi tingkatan atap berikut hiasan menara-menara kecil dibuat sama, sehingga terlihat semakin jauh semakin kecil. Pembuatan efek ini dikenal pada umumnya sebagai

102 gambar prespektif yang bam dikcnal di Eropa pada masa Renaisance abad 15-16. Gambaran proscsi kc arah yang transcndctal dilakukan dcngan mcmbuat komposisi ornamcn yang menggunakan proporsi sama, dimana dari yang besar kemudian semakin lama kecil diikuti dengan pcninggian atap. Meru pun dapat direprcsentasikan demikian, dibangun dengan memberikan kesan prosesi pentahapan, semakin ke atas scmakin kecil. Namun atap Mcru dibuat dari ijuk sehingga tidak bisa diukir. Gambaran semakin jauh scmakin mengecil tcrsebut ditunjukkan melalui bentuk bagian atap meru berupa piramid-piramid terpancung yang berbcda ukurannya, semakin ke atas semakin kecil tetapi tetap mempunyai proporsi yang sama. Di Jepang tcrdapat pagoda yang mcmpunyat dimensi komponen tingkatan bawah sampai atasnya sama. Melihat fenomena di Jepang itu (Jcpang juga negara yang sering gempa) mcnunjukkan bahwa dibuatnya mengecil ke atas tidak mutlak karena alasan struktur dan gempa. Selain karena alasan struktur (untuk mengurangi beban agar tidak menggoyahkan struktur di bawahnya), alasan lain adalah untuk menciptakan kesan visual 'kejauhan' I prosesi pentahapan menuju sunyata melalui efek perspektif tersebut.

------··

Gb 5.9. Pagoda di Cina-Jepang dan Meru di Indonesia Di Bali bangunan yang mempunyai atap susun selain meru adalah wantilan. Meru berdasarkan fungsinya digolongkan ke dalam bangunan untuk lbadah, sedangkan Wantilan mempakan bangunan untuk pertemuan atau musyawarah atau gedung

103 serbaguna. Keduanya sama-sama menggunakan susunan tumpang pada atapnya. Gambaran wantilan ini mengingatkan kepada struktur dalem dan pendopo dalam arsitektur tradisional Jawa dan masjid awal dimana di tengahnya didapatkan soko h>u ru/tiang utama yang pada umumnya berjumlah empat. Sistem konstruksi masjid awal tersebut sama dengan yang digunakan pada wantilan. Hal ini mengindikasikan adanya kaitan antara wantilan dan masjid awal dalam segi konstruksinya. Pada jaman Majapahit wantilan mungkin dih>unakan hanya untuk menampung aktivitas umum non sakralis, sedangkan jika beribadah dilakukan di luar dengan melakukan pemujaan pada bangunan seperti eandi/meru/padmasana, dimana tidak dilakukan di dalam ruang.

0 :z .. 6 8 �-:��1; _.::L ..J m Sunduk

Gb 5.9 Wantilan dan Detail Atap Meru

Konsep penggunaan angka ganjil pada jumlah komponen tingkatan atap di dalam banh>unan sakral tersebut sangat tergantung pada konsep sacral yang melatatinya. Hal itu dapat dilihat misalnya Siwa (1) yang dikelilingi Astadipalaka (8), jadi totalnya 9 (ganj il) ; Nawasanga (1 inti petak dikelilingi 8 petak) atau 33 tingkatan dalam catra Stupa Budhisme, dsb. Tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa konsep-konsep tersebut menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengganjilkan yang genap atau ditutup

104 dengan sesuatu sehingga berjumlah ganjiL Ganjil tersebut pada akhirnya mengacu kepada ketunggalan atau tidak diduakan.

5.2 Candi dengan Atap Monolit berpuncak Kobus

Bentuk atap ini sangat khas dan menjadi prototype dari candi-candi pada masa ini, selain bentuk Meru. Arap jenis ini tidak pemah ditemukan pada masa sebeleumnya.

Bentuk atap ini secara morfologi menunjukkan adanya keidentikan sosok dengan bentuk atap-atap perisai dalam arsitektur Cina. Perbedaannya bahwa atap ini dibuat menjulang ke atas sehingga melangsing ke arah puncaknya yang berbentuk kubus. Bnrtk kubus ini mengingatkan pada garis wuwung dalam atap perisai. Uj ung bagian bawahnya melengkung ke empat arah seperti halnya uj ung bawah atap-atap khas perisai Cina.

Bentuk ini menunjukkan perbedaan signifikan dengan candi-candi pada masa sebelumnya seperti era Prambanan dsb. Bentuk atap ini juga mempunyai korelasi dengan bagian badan dan kakinya.

Gb 5.10 Atap mono lit berpuncak kubus

105 Konsep yang melatarbelakangi bentuk demikian tidak lain adalab konsep tersebut. Dalam penvujudan ke dalam estetika sosok arsitektumya dapat melihat babwa pengeloban lekuk sosok percandian pada masa abad 13 lebih 'gemulai' seperti melambangkan gerakan tubuh dari gerakan yoga tantra ataupun genta sebagai simbol wanita dalam Tantra atau gambaran Vajra (alat upacara) sebagai simbol pria dalam tantra atupun Siwa atau Budha itu sendiri_ Oleh Karena itu bisa dianalogikan antara bentuk badan candi-candi pada abad 13 dengan bentuk Vqjra, sementara fe nomena ini dapat dikaitkan pula dengan konsep _'feminim'/'gerakan gemulai/lekuk tubuh' atau gambaran tubuh itu sendiri_ Untuk memperoleh bentuk yang berlekuk-lekuk demikian tersebut, maka yang memegang peranan penting adalah penggunaan elemen pelipit yang semakin tebal dan semakin besar dimensinya pada bagian peralihan antara badan, kaki dan kepala_ Hal ini nampak jelas pada gaya arsitektur candi abad 13-15 bahwa sosok yang ditampilkan menunjukkan sosok yang ramping dengan lekuk-lekuk yang nampak jelas pada elemen badannya. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa pengaruh tantra sangat kuat dalam mempengaruhi perkembangan pengolahan estetika candi di Jawa, seperti bentuk stupa

Borobudur abad 9 yang berbentuk genta (simbol kefeminiman) sampai bentuk badan camE abad 13 yang lentur_ Selain itu desain secara umum menjadi mengikuti konsep tersebut secara utuh (dinamisme dan animisme - sesuai dengan mistik tantrayana), seperti nampak dalam pengolahan bagian kaki yang menjadi berteras -- teras seperti punden berundak, bangunan suci masyarakat austronesia purba_ Hal ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kuno/lokal setempat semakin menguat dan mempengaruhi desain arsitekturnya_ Tantrik dalam agama Budha dikarakterisasikan dalam bentuk nilai magis dari pencarian nirwana yang dilakukan melalui teknik meditasi_ Tantrik identik dengan konsep Hinduisme, atau bahkan mengambil konsep tcrsebut terlalu banyak sehingga menj adi sulit dibedakan_ Teknik meditasi ritual yang dilakukan menyangkut pikiran, kata -- kata, dan gerakan tubuh dari seseorang sebagai perwujudan dari mikrokosmos dalam makrokosmos_ Gerakan tubuh yang dimaksud di sini adalah gerakan tubuh yang dihubungkan dengan 'lentur tubuh' ketika melakukan meditasi yoga dan khususnya dalam tantra kegemulaian ini lebih ditekankan kepada simbol bentuk lekuk 'wanita' atau 'sakti', dan biasanya diwujudkan dalam bentuk bunga lotus atau lonceng/genta (lonceng merupakan symbol dari wanita dalam 'tantra')_ Stupa-stupa Borobudur

106 menggunakan bentuk genta dan sangat berbeda dengan stupa-&iupa di India seperti Sanci. Selain bentuk atap yang melangsing ke atas menyerupai bentuk atap perisai, komponen lainnya yang mengindikasikan adanya pengaruh arsitektur Cina adalah elemen antara badan dan atap yang berbentuk moulding yang berundak-undak membentuk kantilever. Bentuk ini mengindikasikan adanya konsep sekur dalam arsitektur kayu - atap meru yang kemudian digubah sedemikian hingga menjadi bentuk berundak tersebut. Bentuk berundak yang berlapis-lapis ini sebagai kqnsekuansi dari bahan yang di!,,>Unakan yakni batu dan bata. Di sini terjadi transformasi dari kayu ke batu, berupa metafora-analogi, dsb yang menunjukkan adanya similaritas bentuk Dalam hal ini menunjukkan adanya kreatifitas penggubahan dari kayu ke batu. Penggunaan bahan batu untuk bangunan candi diperkirakan dimulai pada jaman Sanj aya Raj a Mataram sekitar abad 8. Sedangkan masa antara Masa Taruma dan Mataram bangunan candinya diperkirakan terbuat dari bahan yang mudah rusak, tenr.asuk juga penggunaan bata sebagai alas suatu candi. Di samping batu tradisi pembuatan komponen bangunan sakral dengan bahan non batu seperti bata dan kayu diperkirakan juga masih bertahan pada masa ini, namun karena materialnya telah rusak maka yang tersisa hanyalah ban1,>unan-bangunan yang terbuat dari batu. Hal ini dapat dilihat dari perkiraan atap candi perwara/pendamping candi Sambi sari yang terbuat dari · · bahan non batu. Selain itu berdasarkan pemugaran, dapat diketahui bahwa inti kaki candi Sewu juga menggunakan bahan bata yang kemudian dilapisi dengan bahan batu. Fenomena ini apakah menunjukkan bahwa pada awalnya candi Sewu tersebut merupakan bangunan yang beralas bata dengan badan dan atapnya terbuat dari bahan non batu, kemudian dipugar dari jaman ke jaman disesuaikan dengan tradisi yang berlaku. Selain itu di kawasan Boko, juga ditemukan situs yang diperkirakan sebagai candi yang terbuat dari bata yang akhirnya kemudian dinamakan candi Abang. Jadi sebenarnya bahan bata juga merupakan bahan sekunder yang masi h dipertimbangkan dalam pembuatan bangunan suci. Pada jaman pasca Mataram atau sejak pemerintahan Mpu Sindok, Airlangga di Jawa bangian Timur atau yang dikenal sebagai masa transisi, beberapa candinya juga maih dibuat dengan menggunakan unsur bata seperti Candi Lor, Candi Gununggangsir, Candi Wonorejo, Candi Belahan. Namun pada jaman Singosari Majapahit, eksisitensi penggunaan bata mulai menguat dan setara

107 dengan peng!,>unaan bahan batu. Artinya bahan bahan bata dan batu merupakan bahan primer candi, tergantung darui tujuan dan kondisi lingkungan yang mempengamhinya. Pada masa Mataram ± 800 - 950 M candi dibangun dengan megah dan besar untuk menunjukkan kekuatan, kemapanan, kestabi lan, kemajuan dan kemakmuran. . Berbeda dengan Majapahit dimana lebih mementingkan politik penyatuan Nusantara daripada harus membuat candi seperti era Mataram. Oleh karena itu dicari yang paling efisien baik dari biaya, waktu, bahan, dan keteknikan tetapi tidak men!,>urangi kualitas, sehingga candi tidak perlu dibangun besar. Fabrikasi menjadi pilihan, sehingga bata banyak digunakan. Akibatnya Majapahit mempunyai wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah Mataram yang tidak lebih dari Jawa-Bali. Pada masa klasik muda pengolahan atap candi benar-benar berubah, kecuali yang menggunakan komponen stupa. Atapnya berbentuk prisma piramid monolit pejal dengan ukiran-ukiran disisi-sisinya. Puncaknya berbentuk kubus. Estetika pengolahan ini merupakan ciri khas pengolahan gaya klasik muda yang berbeda dengan gaya sebelumnya. Bentuk atap candi batu gaya pasca Mataram atau Kediri-Singosari­ Majapahit yakni berbentuk monolit berpuncak kubus ini merupakan suatu bentuk atap yang barn dan pernah ditemukan di dalam gambaran candi-candi pada masa Mataram Kuno. Bentuk ini diperoleh dari pengaruh bentuk pagoda atau arsitektur atap kayu arsitektur Cina-Nepal yang dilandasi oleh Tantra. Bentuk pagoda ini kemudian ditransfer ke dalam bentuk meru yang kemudian ditransfer ke dalam bentuk monolit berpuncak kubus. Hal ini dapat dilihat dari elemen-elemen yang identik dengan elemen meru, seperti sekur dari kayu yang dibatukan. Elemen ini berbentuk garis-garis horisontaL Garis memiliki peranan yang signifikan dalam membentuk estetika pada setiap bagian dari candi. Pengolahan garis dapat berupa garis-garis horisontal seperti pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan vertikaL Garis tersebut diolah timbul dari permukaan berupa hiasan moulding. Pengolahan garis pada suatu candi biasanya didominasi oleh unsur horizontal seperti pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan unsur vertikaL Bagian kepala atap jenis candi ini memiliki omamen-omamen dengan aturan perbandingan antara panjang dan Iebar sehingga menimbulkan kesan perspektifis.

108 Lengkung dan Sekur atap kayu Lengkung dan Moulding Garis Horisontal

Gb 5.11. Korelasi Arsitektnr Kayn yang Dibatukan

Gb 5.12. Keindentikan garis Moulding pada Pagoda Cina dan Candi Klasik Muda

109 110 5.3 Ornamcntasi dan Humografi

Omamen yang berkaitan dengan arsitektur Cina tidak banyak ditemukan dalam percandian di Jawa. Di candi Sewu abad 9 ditemukan bentuk motif awan yang dapat dikaitkan dengan motif awan dalam arsitektur Cina. Selain itu pada hiasan fr ame candi­ candi Majapahit abad I 3 ditemukan motif medal ion, motif meander yang mengingatkan pada ornamen yang bersumber dari khasanah arsitektur Cina meskipun tidak eksplisit.

Medalion berbentuk lingkaran seperti bentuk piring yang lazim ditemukan dalam budaya Tiongkok. Dalam wujud ikonik dapat dilihat pada patung"patung binatang

Singa(Barong) seperti di candi Borobudur abad ke-9_ Singa ini mengingatkan pada binatang dalam seni barongsai khas Tiongkok Pada masa Majapahit hiasan tangga menggunakan bentuk Naga-Ular, pada beberapa bangunannya juga menggunakan elemen-elemen naga tersebut. Hal ini berbeda pada hiasan tangga pada masa Mataram kuno yang berbentuk makara_ Pengf,'Unaan ular-naga ini dapat dikaitkan dengan budaya

Cina, meskipun bentuk naga yang ditampilkan berbeda. Inspirasi penggunaan elemen ular ini dapat dikaitkan dengan naga tersebut. Fenomena ini menunjukkan ad�nya unsur-unsur omamen atau ikonik dalam arsitektur Cina dalam candi di Jawa, meskipun tidak secara totalitas.

Gb 5.14 Model Singa-Borobudur, dan Naga dan Medaliom -candi Kidal pada Candi Jaw a

111 Gb 5.15. Motif geometris meander-pagoda dan geometrik candi Jawa

Ornamen dan ikonograti tersebut dapat diketahui masuk ke Jawa bersamaan dengan aj aran tantrayana abad ke 9 M. Budhisme memegang peranan penting dalam memberikan khasanah ornamen dan ikonografi dalam candi-candi di Jawa. Budhisme juga memberikan pengaruhnya kepada arsitektur Cina. Hal ini menunjukkan asumsi bahwa Jawa dan Cina juga terpengaruh kuat oleh Budhisme. Budhisme yang masuk di Jawa juga diperkirakan melalui Cina, sehingga tidak mengherankan jika memiliki korelasi di dalamnya.

112 BAB 6

KESIMPULAN

I. Pengaruh arsitektor Cina dapat dirasakan sejak jaman Mataram Kuno, hal ini dapat dilihat dari penggunaan Ikonik Singa, motif awan di dalam bangunan percandiannya. Pengaruh ini dalam intensitas yang tidak dominan dibandingkan arsitektur kuil India. Pengaruh ini diperkirakan masuk melalui penyebaran aliran Budha Tantrayana-Mahayana ke pulau Jawa pada abad ke-9 2. Wujud arsitekrur nyata selain ornamental dan ikonik yang dibawa ke Jawa adalah bentuk yang menyerupai pagoda yakni Meru. Arsitektur meru merupakan fe nornena yang rnenarik karerta merupakan khasanah baru dalam arsitektur percandian pada masa Mataram Kuno akhir. Narnun dernikian meru yang dibangun di Jawa berbeda dengan tampilan di China, hal ini rnenunjukkan

adanya kreatifitas lokal yang dijiwai oleh local genius. 3. Arsitektur Meru sernakin banyak digunakan dalarn era transisional dari mas a Matararn ke pasca Mataram. Bentuk ini kemudian menjadi sumber inspirasi pengernbangan desain lebih lanjut, yakni munculnya gaya arsitektur candi klasik rnuda. Meru terbuat dari kayu dalam pengembangan kreativitasnya kemudian menjadi bentuk yang lain yakni khas gaya candi klasik rnuda, dengan bentuk atap rnonolit berpuncak kubus pejal. Arsitektur klasik rnuda rnerupakan gaya arsitektur yang khas yang berbeda dengan rnasa Mataram Kuno. Gaya ini kemudian berkembang kuat pada masa Singosari dan Majapahit, selain arsitektur meru itu sendiri. 4. Fenomena ini memperkuat adanya aspek perkayuan yang dibatukan dalarn wujud Candi. Pada beberapa detail gaya klasik muda khususnya elemen transisi antara kepala-badan-kaki menunjukkan adanya olahan yang identik dengan olahan moulding pagoda berupa garis-garis horisontal sebagai pengejawantahan dari sekur atau du gong dalam arsitektur Cina. Selain moulding unsur atap yang melengkung ke luar pada bagian bawahnya rnengingatkan pada susunan atap lengkung khas pada pagoda atau arsitektur tradisional Cina lainnya. Hal ini semakin memperkuat adanya kreatifitas perwujudan unsur kayu dalam wujud batu atau bata, agar lebih permanen dan kokoh (stabil dan tahan lama).

113 5. Kajian terscbut menunjukkan pada arsitektur Cina pengaruhnya semakin menguat pada masa Majapabit dan Singosari, kbususnya pada bangunan candi klasik muda yang khas. Pengaruh ini juga melanda teknik pertukangan kayu yang dipergunakan kemudian sampai pada masa Islam di Jawa. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama ini dalam membahas arsitektur percandian Jawa selalu dikaitkan dengan permasalahan arsitektur India, namun dapat diketahui bahwa arsitektur Cina juga menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan. Silang Budaya tidak dapat ditolak, termasuk masuknya pengaruh Cina. Cina biasanya dikaitkan dengan arsitektur pesisiran dan perkayuan pada masa Majapahit dan Islam. Namun demikian kajian diatas menunjukkan bahwa pengaruhnya juga masuk dalam kontek bangunan batunya, yakni percandian. Seperti halnya India, pengaruh Arsitektur Cina tidak diambil begitu saja, melainkan disesuaikan dengan kondisi budaya yang ada di Jawa pada saat itu. Fenomena penyesuaian atau penciptaan kreatifitas yang mandiri nampak pada arsitektur batu gaya klasik muda dan meru ditunjukkan dengan sosok yang berbeda dengan pagoda Cina. Faktor yang mendorong perbedaan ini menyangkut ideologi, bahan, teknologi, dsb.

Sumber-sumber utan1a kebudayaan Hindu-Buda berasal dari India, namun dalam intensitas terbatas juga disebarkan melalui Cina. Pengaruh dari luar tidak lantas diambil begitu saj a, namun disesuaikan dengan tradisi yang telah ada sebelumnya melalui saluran akulturasi. Desain candi merupakan salah satu representasi peninggalan kebudayaan masa lalu dan masih bertahan sampai saat ini. Implikasi unsur-unsur desain candi diduga masih dapat dirasakan pada masa Islam, Kolonial, dan Modern di Indonesia. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa candi mempunyai peranan yang penting dalam mewarnai perkembangan sejarah arsitektur di Nusantara, baik pada masanya maupun pada masa pasca Hindu Buda. Oleh karena itu candi dapat dipandang sebagai salah satu local historical prototype yang penting di Indonesia. Potensi-potensi yang berasal dari arsitektur candi dapat diidentifikasi sebagai salah satu sumber inspirasi desain yang merujuk pada nilai kelokalan (Roesmanto, 2008). Pada masa Post­ kolonial penggunaan arsitektur candi juga nampak pada beberapa karya modern. Contohnya penggunaan adaptasi desain yang berasal dari bangunan sakral Hindu-Buda (meru) juga dilakukan oleh Sujudi dalam bangunan Kedutaan Besar RI di Malaysia.

114 Kcdutaan Bcsar Rl di Malaysia.

115 Kepustakaan ·'( /,

"

I. Acharya, Pmsanna K, (1979), Hindu Architecture in India and A broad. New Delhi : Oriental Books Reprint Corpomtion. 2. Antoniades, Anthony C. (1992), Poetics Of Architecture, Theory Of Design , New Yolk, Van a Nostmnd Reinhold. 3. Atmadi, Pannono (1994), S(Hne Architectural Design Principles of in Java, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. 4. Ayatrohaedi, ed(1 986), Kepribadian Budaya 13angsa (Local Genius), Jakarta, Pustaka Jay a. 5. Azimipour & Jones, (2003) Akullnmsi - Artikel 6. Bakker, J .W.M (1984) , Filsafa t Kebudayaan sebuah pengantar, Y ogyakarta, Kanisius. 7. Budirnan, Kris (1999) Kosa Semioiika, LKiS, Yogyakarta 8. Cardoso S.L (1966), Sen i India, SeriMonografi 1, KurstL' B 1 Tertulis Sedjamh , Bukittinggi. 9. Cheong, Lim Yew & Ng BeeLcng, A Personal Architectural Experience Enchanting Retreats, ' China, Y cw Cheong + BeeLcng 10. Curtis, William (1985), Regionalism in Architecture, Cooccpt Media, Singapore 11. Dumarcay, J. (19&5), La Charpenterie des mosqueesJavan aises, Archipel 30, Paris. 12. Dmnarcay, Jacques & Michael Srnitl1ics (translate) (1991), The Temples of Java, Singapore, Oxford University Pre.... a 13. Fonteii� Jan Soekmono R., Edi Setyawati (1990), 71•e Sculpture of Indonesia, Washington, & i(: USA, National Gallery of Art PJ, 14. Frampton, K., Foster, H, Editor (1983) Place-Form and Cultural Identityfrom The Anti-A esthetic: u Essays on Postmodem Culture", n 15. Fnmk, Karen A, etc editor (1994) Ordering Sp ace, Typ es in Arch itecture and Design, New York, Van Noestmnd Reinhold k 16. Fraser� lG. 1 990. MCmusfa dan K"ebudayaarr Sebuah 1�\-o.f Ten lang A1lmusio. Ditcijcmahkan olch Alois A. Nugroho . Jakarta : PT Gramedia. 17. Fnng Yu Lang. 1990. Sejarah Ringkas Filsaja l Cina (,S'ejok Cm1jilsius smnpai Han Fei ·n:u). Y ogyakarta : Liberty. l f� ll 18. Galentcr, Mad: ( 1995), of Fo rm, Great Britain Source Architectural t] 19. Giedion, S. (1956), Sp ace, Time and Architecture, Library ofCongrcs Catalog, USA. 20. Groslier, Bernard Philippe (2002), Indocina : Persilangan Kebudayaan, Jakarta, KPG d (Kqmstakaan Populcr Gnunedia) 21. lkhwanuddin (2005), Menggali Pemikiran Posmodernise dalam Arsitektur, Yogyakarta, Gadjah 0 Mada University Press ta 22. Jencks, Charles. (1984), The Language of Post-Modern Architecture, Fourth Edition, USA, n Rizzoli s 23. Jnng, C. Gustav (1987) Menjadi Diri Sendiri, (Terjemahan dari judnl asli: A ion. Researches into the Phenomenology of the Se lf), Gmmcdia, Jakarta. It 24. Kuuardi, Marco dan Prajudi (2003) Inlcmasional Sirnposium : Jclajah Arsitcktur Nusantam, A Study on Indonesian Temple 'Candi 'Aesthetic. '" 25. Kusno, Abidin (2000) Behind the Postcolonial, Architecture, Urban Sp ace and Political Cultures 9 in Indonesia, Routledge, London. 26. Lcsnikowski, Wojciech G. (1982), Rationalism and Romanticism In Architecture, USA, McGraw­ p Hill, Inc. 27. Lcupen, Bernard, etc (1997) Design and Analysis, New Yolk, Van Noestrand Reinhold. v. 28. Lombard D. dan Salmon C.J. 2003. Klenteng-klenteng dan 1Wo.�yarakat Tionghoa di Jakarta. Jakm:ta: Yayasan Cipta Loka Caraka. C< 29. Lombard, Denys (1996), Nusa .Jawa · Silang Budaya 1.2,3, , Jakarta, PT, Gramcdia Pustaka Utama. /3;

IV 30. Marcus, A. S. 2003. llari-hori R({\-'O Jionghoa . . Jakarta : iv:!arvi11 31. Mocno, Raphael (1986), On 1:vpologi, dalam Paul Vcmmclcn, Lcuven Belgia 32. Mundmdjito. 1986. ''1\1ctodc Jnduk.tif-Dcduktlf dalam Pcnelitian Arkcologi di Jndoncsia"' l\·1·a l,;alah padH Pertemuun Jlrn iah Arkeologi IV. "hlm 197 - 20:L Jakaria: "Proyck Pcncliti;m Pnrbakala. 33 . NOiberg-Sclmlz, Christian (1978), Genius Loci To wards A Ph enomenology Of Architecture, New York, Ri7zoli ImematiOiml Publications, Inc. 34. Ong }-lc.rmM Tatt . 1997. Simbolisme JJe wan Cina. Jakm1a : Kessaint Blanc 35. Pangarsa, Galih W ( 2006), Me rah Putih Arsitektur Nusantara, Yogyakarta, Andi. 36 . Pcursen, Van, C. A. (1988), Strategi Kebudayaon,Yogyakarta , Pcnerbit Kanisius 37 . Prajudi, Rahadhian, H, (1 999), Kajian TipaMorfologi Arsitektur Candi di Jawa, Thesis, Arsitektur Institute Tcknologi Bandung, Bandung 38. Prijotomo, Josef (I 988), Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Surnbaya, Wastu Larms Grafika. 39. Prijotomo, Josef (2008), Arsilektur Nusantara : Arsilektur Perteduhan dan Arsilektur 'Liyan ', Pidato Pcngukuhan untuk Jabatan Guru Bcsar dalam Bidang Ilmu/Mata Kuliah Teori dan Mctode Rancangan pada Fakultas Tcknik Sipil dan Pcrcncanaan Institut Tcknologi Scpuluh Nopemhcr, Snrabaya 40. Pmwasito, Andrik (2002), Imaje ri India : Studi Tanda dalam Wa cana, Sumkarta, Yayasan Pustaka Cakm 41 . Rahardjo, Supmtikno (2002), Peradaban Jawa : Dinamika pranata polilik, agama, dan ekonomi jawa kuno, Jakarta, Komunitas Bambu 42. Rapoport, Amos (1978), House Form and Cultu re , Milwaukee, University of Wisconsin 43. Rocsmanto, Totok (2007), Pemanfa atan Potensi Lokal dalam Arsitektur Indonesia, Pidato pengukuhan Gum BcsarArsitektur, Seumrnng, UniversitasDiponegoro 44. Samuel, Levin (1977), Jlw Semantic Me taphor, The John Hopkins University Press 45 . Santiko, Hariani (1995), Seni Bangumm Sakral Masa /Jin{hl-/Juda di Indonesia Ana/isis Arsitektur dan Ma kna 5'imbolik, Pidato Pcngukuhan Guru Bcsar Madya Tct.:1.p pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Dcpok 46. Setiawan cLal. 1982. lt4engena/ Kle nteng Sarn Poo Kong Gedung Bolu 5'e marang. Scmamng: Yayasan Klcntcng Sam Poo Kong Gcdung Bntu. 47. Shnnt"i, Dcsril Riva (2009). Unsur Totcmisme bagi masyarakat Cina: 'J"injauan Bcrdnsarkan Motif" K n K u Hiasan, Pada lc tcng Hian Tan Kong-· ab paten Bogoi 48. Soegiyono, dkk (2007), A.fctodologi Pcndilian Kualitatitf Klwntilattf dan R&D Bandung, Alfabcta. 49. Soekiman, Dj oko (2000), Kebudayaan Indis, Yogyakarta, Yayasan Bcntang Budaya. 50. Spencer, H. 1.991. Pictoriai flistm�v (�fPhylosoph,v. Tennessee: Kingsport Press. Inc 51. Sticrlin, Ed. Henri, China, Germany, BenediktTaschcn 52. Sukada, Budi, (1989), Me mahami Arsitektur Tradisional dengcm pendekatan Tipologi, dalam Eko Budiarjo, Mcmahami Jatidiri Arsitektur Indonesia, Baudung, Alumni 53. Sumalyo, Yulianto (1993), Arsilektur Kolonial di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press 54. Sumintarja, Jauhari (1978), Kompendium Sejarah Arsitektur, Bandung, Lembaga Penyclidikan Masalah Bangunan. 55. 'l�jal�jono, Gunawan, editor (1998), Indonesian Iferitage - Architecture, Singapore, Editions Didier Millet 56. Tuan, Yi Fu (1989), Sp ace and Place, The perspective of experience, Minnepolis 57. Van de Yen, Cornclis (199 I), !luang da lam Arsitektur, Jakarta, PT. Grnmcdia Pustaka Uta rna 58. Volwahsen, Andreas (1969), Living Architecture : India, New York, Grosset & Dunlap 59. Williams, C. A. S (2006), Chinese Sy mbolism and Art Motifs, Singapore, Berkeley Books Pte. Ltd 60. Ycang, Ken, (1987) Tropical Urban Regionalism: Building in a South-East Asian City", Singapore, Concept Media. 61. Yuanzhi, Kong (1999), Silang Budaya Tiongkok Indonesia, Jakarta, PT. Bhuana llmu Populcr.

v