Widhi Setyo Putro (Konvensi Inter- Tahun 1949)

KONFERENSI INTER-INDONESIA TAHUN 1949: WUJUD KONSENSUS NASIONAL ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN BIJEENKOMST VOOR FEDERAAL OVERLEG

Widhi Setyo Putro

Arsip Nasional Republik Indonesia Jl. Ampera Raya Cilandak Selatan

Alamat korespondensi: [email protected]

Diterima/ Received: 24 Januari 201 8; Disetujui/ Accepted: 30 Maret 2018

Abstract

This article discusses the national consensus between the Republic of Indonesia (RI) and the Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) which embodied in the 1949 Inter-Indonesia Conference. Using conflict and consensus theory of Ralf Dahrendorf, this article seeks to understand the conflicts of interest background and the process towards a consensus between RI and BFO. Conflict between RI and BFO motivated by the Dutch aimed to control Indonesia. One of his efforts was to divide the Indonesian nation by forming states, which led to a conflict between the Republicans (Republicans) who supported the united state, and the federalists (BFO) in favor of the federal state. The study found that the Dutch federal policy was not entirely a success because the federalists which incorporated in BFO was not affected. The conflict between the Republican and federalists subsided with the implementation of the Goodwill Mission and the sending of the BFO Liaison Commission to meet Indonesian leaders detained after the Dutch Military Aggression II. The summit was a national consensus between RI and BFO, it embodied in the Inter-Indonesia Conference in 1949 which took placed at Yogyakarta and Jakarta. They reached a consensus by agreeing on fundamental issues as the identity of a sovereign state, such as the name of the country, Merah Putih as the official flag, Bahasa Indonesia as the official language, and the Indonesia Raya as the national anthem.

Keywords: Inter-Indonesia Conference; Consensus; Republicans; Federalists; BFO.

Abstrak

Artikel ini mengulas tentang konsensus nasional antara Republik Indonesia (RI) dengan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yang diwujudkan dalam Konferensi Inter-Indonesia pada 1949. Melalui penggunaan teori konflik dan konsensus dari Ralf Dahrendorf, artikel ini berupaya memahami latar belakang konflik kepentingan dan proses menuju konsensus antara RI dengan BFO. Konflik atau pertentangan antara RI dengan BFO dilatarbelakangi oleh keinginan Belanda untuk menguasai kembali Indonesia. Salah satu usahanya adalah memecahbelah bangsa Indonesia dengan membentuk negara-negara bagian, yang memunculkan pertentangan antara kaum republikan (RI) yang mendukung negara kesatuan dengan kaum federalis (BFO) yang mendukung negara federal. Penelitian ini menemukan bahwa politik federal yang dilakukan Belanda tidak sepenuhnya berhasil, karena para kaum federalis yang tergabung dalam BFO tidak semuanya dapat dipengaruhi oleh Belanda. Pertentangan antara kaum republikan dan federalis mereda dengan terlaksananya Goodwill Mission dan pengiriman Komisi Penghubung BFO untuk menemui pemimpin RI yang ditahan oleh Belanda setelah Agresi Militer Belanda II. Puncaknya adalah konsensus nasional antara RI dengan BFO yang diwujudkan dalan Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta dan Jakarta pada 1949. Mereka mencapai konsensus dengan menyepakati hal-hal yang mendasar sebagai identitas negara berdaulat, seperti nama negara, yaitu Republik Indonesia Serikat, bendera Merah Putih sebagai bendera resmi, Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Kata Kunci: Konferensi Inter-Indonesia; Konsensus; Republikan; Federalis; BFO. 34

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, hlm. 34-42

PENDAHULUAN dibahas sekilas di dalam beberapa pustaka yang berkaitan dengan perjuangan mempertahankan Periode 1945-1949 atau yang biasa disebut kemerdekaan RI melalui jalur-jalur diplomasi sebagai periode revolusi kemerdekaan, selalu salah satunya karya Ide Anak Agung Gde Agung, menarik untuk dikaji melalui penelitian sejarah. Renville (1991) dan George McTurnan Kahin, Pada periode ini diwarnai dengan perjuangan Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: melawan Belanda untuk berkuasa kembali di Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik (1995). Indonesia. Usaha Belanda untuk menguasai Karya R.Z. Leirissa, Kekuatan Ketiga Indonesia dilakukan dengan berbagai cara di dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, antaranya melalui cara militer. Agresi Militer I merupakan salah satu rujukan penting yang telah tahun 1947 serta Agresi Militer II pada 1948 ada. Buku ini merupakan hasil riset mendalam menjadi buktinya. atas berbagai data-data terbaru mengenai sejarah Untuk mendukung cara militer, Belanda perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam juga menggunakan cara politik. Salah satunya perjuangan ini timbul kekuatan ketiga selain RI adalah devide et empire dengan model baru dan Belanda, yaitu BFO atau Perhimpunan yaitu pembentukan negara-negara bagian. Pada Musyawarah Federal. BFO telah memberi Desember 1946 usaha itu dapat terwujud kontribusi salah satunya ide pelaksanaan dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur Konferensi Inter-Indonesia dari Anak Agung (NIT) yang disahkan dalam Konferensi Gde Agung. Denpasar. Pembentukan NIT bisa dikatakan Sementara itu, kajian yang dilakukan sebagai awal dari lahirnya negara-negara bagian Vickers (2013) berfokus pada kontestasi yang lainnya seperti Negara Pasundan, Negara terjadi dalam masa revolusi mengenai bentuk Sumatra Timur, Negara Madura, dan Negara negara. Penyelesaiannya kemudian dicapai Sumatra Selatan. dengan proses diplomasi pada 27 Desember Akan tetapi tujuan dari Belanda untuk 1949 dengan keputusan mengenai bentuk negara memecah-belah bangsa Indonesia tidak federal Indonesia, yang dianggap mengintegra- sepenuhnya berhasil. Negara-negara bagian yang sikan corak republik dengan negara-negara kemudian membentuk organisasi bernama koloni Belanda. Lebih lanjut, periode 1949 Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), merupakan periode yang memunculkan struktur tidak pernah berhasil dijadikan alat oleh Belanda kolonial yang tidak dapat diterima bagi untuk menghancurkan eksistensi Republik mayoritas masyarakat Indonesia. Sebagai Indonesia (RI). Hubungan baik antara RI dampaknya, periode itu dianggap memiliki dengan BFO kemudian mencapai puncaknya konotasi buruk dalam perjalanan sejarah bangsa pada sebuah peristiwa penting yang dikenal Indonesia. dengan Konferensi Inter-Indonesia. Oleh karena itu, melalui kajian ini penulis Konferensi Inter-Indonesia merupakan ingin menggali serta memaknai kembali arti sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam penting Konferensi Inter-Indonesia dalam usaha bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan. perjuangan bangsa Indonesia memperoleh Peristiwa ini banyak dikecilkan peranannya jika kedaulatannya dan sebagai wujud dari proses dibandingkan dengan Konferensi Meja Bundar integrasi nasional. (KMB). Sejatinya, perundingan delegasi RI dan Berdasar uraian di atas ada beberapa BFO menghadapi Belanda dalam KMB tidak permasalahan dalam penelitian ini yang akan akan berjalan dengan lancar jika tidak ada dibahas. Pertama, kondisi politik dan keamanan konsensus yang dihasilkan dalam Konferensi di Indonesia pada tahun 1945 setelah Proklamasi Inter-Indonesia baik di Yogyakarta maupun di Kemerdekaan hingga berlangsungnya penye- Jakarta. rahan kedaulatan melalui KMB pada tahun 1949. Selama ini kajian tentang Konferensi Kedua, penerapan politik federal oleh Belanda Inter-Indonesia hingga penyusunan penelitian sebagai cara untuk menghadapi RI. Ketiga, ini belum ditemukan. Konferensi tersebut hanya alasan dan proses adanya konsensus nasional di 35

Widhi Setyo Putro (Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949) antara pihak RI dengan BFO serta peranannya mengakui kemerdekaan RI dan berusaha untuk dalam mengakhiri konflik Indonesia-Belanda. berkuasa kembali. Mereka tetap yakin sebagai Artikel ini disusun dengan menerapkan pihak yang mempunyai kekuasaan ‘sah’ di teori tentang konsensus. Menurut Ralf Indonesia setelah Jepang menyerah. Atas dasar Dahrendorf masyarakat memiliki dua wajah, itulah Netherlands Indies Civil Administration yaitu konflik dan konsensus. Peran konsensus (NICA) ikut serta dengan tentara Sekutu diajukan sebagai dasar pijakan pemikiran dalam mendarat di Tanjung Priok pada September menyelesaikan sebuah konflik. Berbagai 1945 (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: kebijakan yang diambil untuk menengahi konflik 120). berasal dari hasil kesepakatan kedua belah pihak Kedatangan pasukan Sekutu yang diberi yang berseberangan lewat suasana dialog. Oleh nama Allied Forces Netherlands East Indies karena itu, menurut Dahrendorf, tidak ada (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jenderal masyarakat yang tidak berkonflik dan tidak Sir Philip Christison bertugas untuk melucuti berkonsensus. Sebab konflik dan konsensus tentara Jepang, membebaskan tawanan perang, merupakan syarat terjadinya suatu masyarakat mempertahankan keadaan damai dan menghim- (Ritzer & Goodman, 2008). pun keterangan tentang penjahat perang untuk selanjutnya dituntut di pengadilan. Pihak METODE Indonesia pun pada awalnya bersikap netral, tetapi kondisi tersebut berubah ketika NICA Kajian ini disusun dengan menggunakan metode mempersenjatai kembali orang-orang sejarah. Metode sejarah adalah sekumpulan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) prinsip dan aturan yang sistematis untuk yang baru dilepaskan dari tawanan. Bentrokan- memberi bantuan secara efektif dalam usaha bentrokan senjata antara pihak Sekutu, Belanda mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilai dengan rakyat Indonesia akhirnya tidak dapat secara kritis dan kemudian menyajikan suatu dihindari. Di dalam menghadapi keinginan sintesis dari hasil-hasilnya dalam bentuk tulisan Belanda untuk menjajah kembali bangsa ilmiah (Notosusanto, 1978: 11). Adapun jenis- Indonesia, RI menerapkan dua strategi jenis sumber yang digunakan adalah arsip, koran perjuangan yaitu perjuangan bersenjata dan dan majalah sezaman, serta buku yang relevan. perjuangan diplomasi/perundingan. Arsip yang digunakan dalam kajian ini diperoleh Pada 14 April 1946 dilakukan dari khazanah Arsip Nasional Republik perundingan untuk pertama kali di Hoge Indonesia, sedangkan koran dan majalah Valuwe, Belanda (Soemarsono, 1978: 123). sezaman merupakan koleksi Perpustakaan Namun, perundingan ini menemui kebuntuan, Nasional Republik Indonesia. karena Belanda hanya bersedia mengakui Sumber-sumber yang diperoleh kemudian Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan dikritik untuk mendapatkan fakta sejarah yang Madura. Sementara itu, di pihak Indonesia kredibel. Fakta-fakta itu kemudian menuntut pengakuan de facto atas Jawa, Madura diinterpretasikan berdasar kronologi dan dan Sumatra (Lapian & Drooglever, 1992: 3). hubungan kausalitas, sehingga dihasilkan Pada 7 Oktober 1946, delegasi Belanda dan hubungan fakta yang memiliki makna. Akhirnya, Indonesia mulai berunding kembali. Pihak disusunlah sebuah kisah sejarah. Belanda dipimpin oleh W. Schermerhor dan pihak Indonesia dipimpin oleh , KONDISI POLITIK-KEAMANAN sebagai perantara adalah Lord Killearn dari INDONESIA 1945-1949 Inggris. Perundingan yang kemudian dikenal dengan Persetujuan Linggarjati itu Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 ditandatangani pada 25 Maret 1947, yang terdiri Agustus 1945 menandai berdirinya negara dari 17 pasal yang pokok-pokoknya antara lain; Republik Indonesia (RI) yang merdeka dan (1) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de berdaulat. Akan tetapi, Belanda tidak pernah facto Republik Indonesia atas Sumatra, Jawa, 36

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, hlm. 34-42 dan Madura; (2) Pemerintah Republik militer. Agresi Militer II dilancarkan ke Ibu Kota Indonesia dan Pemerintah Belanda bersama- RI Yogyakarta pada 18 Desember 1948. Para sama akan menyelenggarakan berdirinya sebuah pemimpin RI seperti , Hatta, Sjahrir, negara federasi yang disebut Negara Indonesia Haji ditahan oleh Belanda dan Serikat; (3) Pemerintah Negara Indonesia diasingkan ke Prapat dan Bangka. Sementara itu, Serikat akan tetap bekerja sama dengan Jenderal dalam keadaan sakit Pemerintah Belanda dalam bentuk Uni mengungsi ke luar Yogyakarta untuk memimpin Indonesia Belanda (Roem, 1977: 56-61). perang gerilya terhadap Belanda. Untuk Kesepakatan di Linggarjati kemudian mempertahankan pemerintahan RI, dibentuk dilanggar oleh Belanda dengan melancarkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) agresi militernya yang pertama pada 21 Juli di Sumatra Barat dan dipimpin oleh Sjafruddin 1947. Agresi Militer Belanda pertama tersebut Prawiranegara. membawa Indonesia-Belanda kembali ke meja Serangan Belanda ke Yogyakarta dan perundingan dengan perantara Komisi Tiga penahanan sejumlah pemimpin RI telah Negara (KTN) yang dibentuk oleh Dewan menimbulkan reaksi dunia internasional. Mereka Keamanan PBB atas usul Amerika Serikat mengutuk agresi Belanda yang melanggar (ANRI, Kementerian Penerangan 1945-1949 perjanjian Renville dan usaha perdamaian yang No. 232). KTN sendiri terdiri dari Richard Kirby dilakukan oleh KTN. Selain itu, Serangan dari Austalia yang dipilih oleh Indonesia, Paul Umum 1 Maret 1949 yang dilakukan kesatuan- van Zeeland dari Belgia yang dipilih oleh kesatuan militer di Yogyakarta telah menunjukan Belanda dan Frank Graham yang dipilih oleh pada dunia internasional bahwa TNI masih ada. kedua belah pihak baik Indonesia maupun Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Belanda (Sekretariat Negara, 1981: 155). Resolusi 28 Januari 1949, yang memerintahkan Perundingan selanjutnya dilakukan di atas sebelum tanggal 1 Januari 1950, kedaulatan kapal perang Amerika Serikat “USS. Renville” harus diserahkan kepada Indonesia (ANRI, dan ditandatangani pada 17 Januari 1948. Isi Sekretariat Negara 1940-1949, No. 850). Perjanjian Renville terdiri atas tiga bagian adalah Tekanan politik internasional tersebut sebagai berikut: (1) Persetujuan gencatan memaksa Belanda untuk kembali berunding senjata yang antara lain berisi ketentuan dengan Indonesia. Pada 7 Mei 1949 dilakukan diterimanya garis demarkasi van Mook; (2) perundingan dari pihak RI diwakili oleh Moh. Kesedian kedua pihak untuk menyelesaikan Roem sedangkan Belanda diwakili oleh van pertikaian mereka dengan jalan damai dan Roijen di Hotel des Indes, Jakarta. KTN yang dengan bantuan KTN; (3) Enam pasal selanjutnya berubah menjadi United Nations tambahan dari KTN yang antara lain berisi Commission for Indonesia (UNCI) menjadi ketentuan bahwa kedaulatan atas Indonesia mediator dalam perundingan tersebut yang tetap di tangan Belanda selama peralihan sampai melahirkan Pernyataan Roem-Roijen dengan isi kemudian kedaulatan diserahkan kepada pihak pokok sebagai berikut: (1) Menghentikan Negara Indonesia Serikat (Tobing, 1986). perang gerilya dan pengembalian pemimpin- Rencana pembentukan Negara Indonesia pemimpin RI ke Yogyakarta; (2) Kerja sama Serikat ditetapkan akhir 1948 dan meliputi dalam pemulihan perdamaian dan pemeliharaan seluruh Indonesia, termasuk Jawa dan Sumatra ketertiban-keamanan; (3) Menyetujui adanya RI (wilayah RI). Persoalannya adalah bagaimana sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat; membentuk pemerintah peralihannya. (3) Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar Perundingan kembali mengalami deadlock (KMB) di Den Haag untuk mempercepat karena Pemerintah RI menolak pembentukan penyerahan kedaulatan tanpa syarat (Sekretariat tentara federal yang menggabungkan TNI Umum KMB, 1949: 137-139). Setelah dengan KNIL (Leirissa, 1985: 104). tercapainya persetujuan Roem-Roijen, maka Macetnya perundingan tersebut memaksa langkah selanjutnya adalah persiapan menuju Belanda untuk menggunakan kembali cara 37

Widhi Setyo Putro (Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949)

KMB di Den Haag untuk penyerahan (Kalimantan Barat), dan Sekretaris Mr. A.J. kedaulatan. Vleer (Leirissa, 2006: 121).

POLITIK FEDERAL BELANDA DAN USAHA AWAL KONSENSUS RI – BFO PEMBENTUKAN BFO Tujuan dari politik federal Belanda adalah untuk Baik Persetujuan Linggarjati, maupun tetap mengendalikan Indonesia dengan Persetujuan Renville mengakui asas federal menggunakan negara-negara bagian bentukan- untuk membentuk sistem ketatanegaraan nya. Negara-negara bagian yang kemudian Indonesia. RI yang mempunyai kekuasaan de tergabung dalam BFO tersebut didorong untuk facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra, bersama- memiliki sikap berbeda dari Pemerintah RI sama dengan Pemerintah Belanda akan dalam menjalankan garis-garis politiknya. Lebih membentuk sebuah negara demokratis yaitu dari itu, agenda yang tersembunyi dari Belanda Negara Indonesia Serikat terdiri dari negara adalah menghilangkan eksistensi RI. Hal itu bagian RI, Indonesia Timur dan Kalimantan terbukti dengan keinginan penyerahan kedau- yang merdeka dan berdaulat. Akan tetapi, pada latan tanpa mengikutsertakan RI. kenyataannya, Belanda berusaha membentuk Politik federal yang diterapkan Belanda negara bagian lain, di luar perjanjian tersebut. berhasil memunculkan pertentangan antara Konferensi Malino yang berlangsung kaum republikan (pendukung RI) dengan kaum dari 15-25 Juli 1946 menjadi langkah awal politik federalis (pendukung BFO). Di wilayah-wilayah federal Belanda. Di dalam pidato pembukaan- BFO, Belanda selalu mengemukakan bahwa RI nya, van Mook menjelaskan tujuan konferensi adalah topeng imperialis Jawa guna menguasai adalah mengajak daerah-daerah luar Jawa- golongan-golongan Bangsa Indonesia lainnya. Madura (wilayah RI) untuk ikut serta dalam Antitesa federalis-republikan selalu dibesar- pembentukan ketatanegaraan di Indonesia dan besarkan bahkan di dunia internasional. Belanda juga terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan berdalih harus melindungi kepentingan- politik dengan Pemerintah Belanda (Agung, kepentingan kaum federalis yang diancam 1991: 179). imperialisme republican (Mimbar Indonesia, 12 Untuk menindaklanjuti Konferensi Maret 1949). Sebaliknya, di pihak RI Malino, maka diadakan sejumlah konferensi di menganggap bahwa negara-negara yang daerah lain, antara lain Konferensi Pangkal tergabung dalam BFO merupakan negara Pinang (1-12 Oktober 1946), Konferensi boneka bentukan Belanda untuk mendukung Denpansar (7-24 Desember 1946), dan kolonialisme Belanda. Konferensi Jawa Barat (berlangsung tiga kali Pada perkembangannya, pertentangan dimulai dari Oktober 1947 dan yang terakhir 5 antara kaum republikan dengan federalis Maret 1948). Negara-negara bagian pun menjadi semakin berkurang. Hal itu karena akhirnya terbentuk antara lain Negara Indonesia perubahan politik yang terjadi di dalam Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra kelompok federalis. Salah satunya adalah Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, pengangkatan Anak Agung Gde Agung sebagai Negara Pasundan, dan sejumlah daerah Perdana Menteri Negara Indonesia Timur otonomi. (NIT). Ia selalu menginginkan adanya persatuan Kemudian untuk memudahkan koordinasi sesama bangsa Indonesia termasuk dalam antarnegara bagian dibentuklah Pertemuan menyelesaikan pertikaian RI-Belanda. Upaya untuk Permusyawaratan Federal atau mengurangi pertentangan untuk mencapai Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) pada konsensus antara golongan republikan dengan 15 Juli 1948. Tokoh yang terpilih sebagai Ketua golongan federalis mulai dirintis oleh Anak BFO adalah Tengkoe Bahriun (Negara Sumatra Agung Gde Agung pada 18 Februari 1948, yaitu Timur), Wakil Ketua I Mohammad Hanafiah dengan mengirimkan Goodwill Mission NIT ke (Banjar), Wakil Ketua II Sultan Hamid II Yogyakarta. 38

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, hlm. 34-42

Para anggota Goodwill Mission diterima kebangsaan seluruh rakyat Indonesia, yaitu secara resmi oleh para pemimpin RI di Istana pembentukan Negara Indonesia Serikat yang Kepresidenan. Selama di Yogyakarta, para merdeka dan berdaulat. anggota Goodwill Mission mendapat kesem- patan untuk mengunjungi daerah-daerah yang KONFERENSI INTER-INDONESIA berada dalam kekuasaan RI untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan pejabat-pejabat tinggi Pada 14 April 1949 BFO mengadakan rapat pemerintahan. Selain itu, mereka juga bebas untuk membahas rencana penyerahan menemui golongan-golongan dan tokoh-tokoh kedaulatan Belanda kepada bangsa Indonesia yang ingin dijumpai. Goodwill Mission berada di dan untuk menindaklanjuti hasil kerja Komisi Yogyakarta hingga 29 Februari 1948 (Agung, Penghubung. Di dalam rapat itu, Anak Agung 1985: 373). Keberhasilan Goodwill Mission NIT Gde Agung kembali mengajukan gagasan untuk berkunjung ke Yogyakarta menjadi ‘jembatan’ mengadakan sebuah konferensi yang memper- yang menghubungi kedua Negara untuk temukan pihak RI dengan BFO dalam rangka menjalin kerja sama lebih lanjut. menyongsong KMB. Tujuannya adalah untuk Usaha mencapai konsensus nasional menyamakan pandangan dari pihak RI dan BFO dilanjutkan setelah terbentuknya BFO. Pada 15 untuk menghadapi Pemerintah Belanda dalam Januari 1949, BFO mengadakan rapat untuk KMB. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai membentuk suatu komisi penghubung yang Konferensi Inter-Indonesia (Agung, 1985: 560). bertugas mengadakan perundingan-perundingan Sebagai tindak lanjut, Ketua BFO secara ‘informal’ dengan tokoh-tokoh pemimpin mengirim Mr. Kosasih Purwanegara ke RI yang sedang diasingkan di Bangka pasca- Yogyakarta untuk melakukan koordinasi dengan Agresi Militer Belanda II. Komisi penghubung pihak RI mengenai teknis pelaksanaan dipimpin oleh Perdana Menteri NIT, Anak Konferensi Inter-Indonesia. Akhirnya, dicapai Agung Gde Agung dan diterima oleh Sukarno, kesepakatan bahwa Konferensi Inter-Indonesia Hatta, Leimena, dan H. Agoes Salim pada 7 akan dilangsungkan dua kali yang pertama di Februari 1949. Pada akhir pertemuan Yogyakarta pada 20 - 22 Juli, kemudian diputuskan bahwa akan diadakan perundingan diteruskan di Jakarta pada 31 Juli - 2 Agustus. kembali untuk membicarakan situasi politik Pada kesempatan yang sama, pihak RI juga Indonesia pada umumnya (Agung, 1991: 225). menyusun panitia pelaksana Konferensi Inter- Pada 2 Maret 1949, diberangkatkan Indonesia I yang dipimpin oleh Mr. Tadjuddin kembali komisi penghubung ke Muntok Noor, sedangkan tempat yang dipilih untuk (Bangka) yang dipimpin oleh Ketua dan Wakil pelaksanaan adalah Gedung Kepatihan Ketua BFO, Sultan Hamid II dan Anak Agung (Merdeka, 18 Juli 1949; Sekretariat Negara Gde Agung bersama Mr. Djumhana (Pasundan), 1945-1949, No. 855). Dr. Ateng (Jawa Timur), Kaliamsyah Sinaga Pada 20 Juli 1949, Konferensi Inter- (Sumatra Timur), dan Abdul Rivai (Banjar). Indonesia I akhirnya resmi dibuka. Pidato Tokoh-tokoh yang hadir dari pihak RI yaitu pembukaan diawali oleh Ketua Panitia Tadjudin Sukarno dan Hatta disertai Mr. Asaat, Dr. Noor, kemudian dilanjutkan dengan sambutan Leimena, H. Agus Salim, Mr. Roem, Prof. Mr. Ketua Delegasi RI , Ketua Dr. , Mr. Abdul karim Pringgodigdo, BFO Sultan Hamid II, dan ditutup oleh pidato dan Mr. Sujono (Agung, 1985: 515). Presiden Sukarno. Berikut ini adalah petikan Pihak BFO dalam kesempatan itu pidato Hatta: menjelaskan kepada RI bahwa dalam mencari “Saudara-saudara, bagi saya bukanlah penyelesaian Indonesia, BFO menghendaki tercapai persesuaian dalam segala hal yang adanya suatu kerja sama yang erat dengan RI. Di penting pada Konferensi Inter-Indonesia dalam hal ini telah disadari bahwa hanya melalui ini, melainkan Konferensi Inter-Indonesia konsensus nasional di antara semua pihak di ini penting karena ia adalah suatu saat seluruh Indonesia akan dapat tercapai cita-cita bersejarah dalam hidup kita. Konferensi 39

Widhi Setyo Putro (Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949)

Inter-Indonesia ini adalah suatu simbol Pada 31 Juli-2 Agustus 1949 diselenggara- daripada persatuan kita kembali, simbol dari kan Konferensi Inter-Indonesia II di Jakarta. kemauan kita untuk melaksanakan cita-cita Tempat pelaksanaan Konferensi Inter-Indonesia rakyat kita dalam perjuangan yang II adalah di Gedung Indonesia Serikat yang berpuluh-puluh tahun, yaitu melaksanakan sehari-hari dijadikan sebagai kantor sekretariat Indonesia yang bersatu dan tak terpisah- BFO. Setelah pembukaan, agenda hari pertama pisah. Di sini terletak arti yang sebenarnya adalah rapat pleno untuk membicarakan hal-hal daripada Konferensi Inter-Indonesia. Kita yang bersifat umum. Pada kesempatan itu, yang menjadi penyelenggara di sini Sultan Hamid II selaku ketua sidang barangkali belum dapat merasakan sedalam- mengumumkan susunan keanggotaan yang baru dalamnya akan arti pertemuan kita di sini, untuk Panitia Kebudayaan, Panitia Kenegaraan, tetapi ahli sejarah kemudian hari akan lebih serta Panitia Ekonomi dan Keuangan (Leirissa, dalam meninjau makna dan arti kejadian itu 2006: 297). dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia.” Pada 1 Agustus 1949, masing-masing (Leirissa, 2006: 275-276). kepanitiaan mengadakan rapat untuk membahas Pada sore harinya, diadakan rapat tertutup mengenai hal-hal teknis yang berkaitan dengan di Hotel Tugu. Dalam rapat yang dihadiri oleh wewenangnya. Keesokan harinya, rapat yang delegasi RI dan BFO itu, dibicarakan mengenai diadakan oleh masing-masing kepanitiaan peraturan konferensi dan pembentukan panitia- dilanjutkan kembali. Terdapat kenyataan bahwa panitia. Kepanitiaan yang dibentuk antara lain: semua masalah yang belum terselesaikan dalam Panitia Pengarah (Steering Committee), Panitia Konferensi Inter-Indonesia I di Yogyakarta Ketatanegaran, Panitia Keuangan dan Ekonomi, dapat dicarikan jalan keluarnya. Panitia Keamanan, serta Panitia Kebudayaan Hasil rapat dari berbagai kepanitiaan yang (Sekretariat Negara 1945-1949, No. 1035). berupa rekomendasi kemudian diserahkan Panitia-panitia tersebut mulai bekerja pada 21 kepada Steering Committee untuk diformulasi- Juli 1949 dan keesokan harinya mereka mulai kan menjadi hasil akhir Konferensi Inter- mempresentasikan hasil kerja mereka. Indonesia II. Beberapa keputusan penting dari Pada 22 Juli 1949, setiap panitia Konferensi Inter-Indonesia II ini antara lain pada menyampaikan laporannya, kecuali Panitia bagian ketatanegaraan disepakati bendera, Kebudayaan yang memang belum melakukan bahasa dan lagu kebangsaan RIS, yaitu sang rapat kerja. Hasil yang dicapai oleh setiap merah putih, bahasa Indonesia dan lagu kepanitiaan dalam Konferensi Inter-Indonesia I Indonesia Raya. Pada bagian ekonomi, kemudian dirumuskan oleh Steering Committee. disepakati penggunaan satu alat pembayaran Hasilnya adalah 18 pasal yang berkaitan dengan yang sah dan impor-ekspor harus diatur secara ketatanegaraan, yang merupakan syarat sentral. Sementara pada bagian keamanan terbentuknya sebuah negara yang akan disepakati pembentukan APRIS, TNI sebagai diserahkan kedaulatan oleh Belanda. Pasal-pasal inti APRIS, pertahanan negara menjadi urusan tersebut juga memberikan hak demokrasi bagi Pemerintah RIS, dan negara-negara bagian tidak warganya melalui pemilu dan juga tidak lupa mempunyai angkatan perang sendiri (ANRI, persoalan ekonomi serta keamanan (Sekretariat Moh. Yamin, No. 70). Negara 1945-1949, No. 855). Tepat pada 2 Agustus pukul 18.30 Sultan Penyampaian hasil kerja dari masing- Hamid II selaku Ketua BFO dan Ketua masing kepanitiaan pada 22 Juli 1949 menandai Konferensi Inter-Indonesia II membuka sidang berakhirnya sidang Konferensi Inter-Indonesia I. penutup, ia menyampaikan: Masalah-masalah yang belum terselesaikan “…terimakasih bukan hanya karena kemudian dibicarakan dalam Panitia Teknis dan harapan dan kepercayaan bahwa pertemuan hasilnya akan disampaikan dalam rapat pleno ini kan berhasil telah terbukti, tetapi juga Konferensi Inter-Indonesia II. telah membuktikan dan memperlihatkan kepada pihak luar bahwa kita bersatu dalam 40

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, hlm. 34-42

cita dan tujuan. Beberapa hari lagi kita akan menunjuk empat orang formatur untuk berangkat ke Belanda untuk turut serta membentuk Kabinet RIS. Mereka adalah Hatta, dalam KMB dengan semangat yang telah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Anak Agung mempengaruhi kita disini semangat Gde Agung, dan Sultan Hamid II. Dalam hal ini persamaan dan persaudaraan…” (Merdeka, masing-masing pihak (RI dan BFO) diwakili 3 Agustus 1949). oleh dua formatur. Semangat konsensus nasional yang dicapai SIMPULAN dalam Konferensi Inter-Indonesia kembali muncul dalam Panitia Persiapan Nasional dan Konferensi Inter-Indonesia I dan II menjadi Penyusunan Kabinet RIS. Pada 20 Desember perwujudan adanya sebuah konsensus nasional. 1949, Presiden Sukarno melantik Kabinet RIS Konsensus dari seluruh para pemimpin RI dan dengan komposisi yang memadukan antara RI BFO dalam menyusun kehidupan bernegara di dan BFO. Kedua belah pihak menyadari bahwa masa depan. Hal itu ditunjukkan dengan RIS yang berdaulat dan kokoh tidak akan dapat disepakatinya bendera RIS yaitu bendera merah- terbentuk tanpa adanya konsensus bersama. putih. Selain itu, bahasa yang dijadikan sebagai bahasa resmi RIS adalah bahasa Indonesia dan REFERENSI lagu kebangsaannya adalah Indonesia Raya. Hal lain yang menonjol dalam konferensi Agung, Ide Anak Agung Gde (1985). Dari itu adalah munculnya rasa persaudaraan dan Negara Indonesia Timur ke Republik saling percaya antara pihak RI dan negara-negara Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah bagian yang tergabung dalam BFO. Konsensus Mada University Press. yang dicapai dalam Konferensi Inter-Indonesia Agung, Ide Anak Agung Gde (1991). Renville. merupakan modal politik yang sangat besar Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. dalam menghadapi Belanda di KMB. Agung, Ide Anak Agung Gde (1994). Pernyataan KMB berlangsung sejak 23 Agustus hingga Rum-Van Roijen: 7 Mei 1949. 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Banyak persoalan yang harus dibicarakan dan ANRI, “Arsip Kementerian Penerangan 1945- disepakati dalam konferensi ini. Perdebatan- 1949”, No. 232. perdebatan sengit antara delegasi Indonesia- ANRI, “Arsip Moh. Yamin”, No. 70. Belanda menyebabkan KMB berlangsung lama. ANRI, “Arsip Sekretariat Negara 1945-1949”, Akan tetapi hal itu tidak terjadi antara delegasi No. 850, 855, 1035. RI dengan BFO karena keduanya telah mencapai Kahin, George McTurnan (1995). Nasionalisme kesepakatan-kesepakatan pada Konferensi Inter- dan Revolusi di Indonesia: Refleksi Indonesia. Pergumulan Lahirnya Republik. Ketika pembahasan mengenai konstitusi Surakarta: Sebelas Maret University Press. Negara Indonesia Serikat panitia kecil bidang Lapian, A.B. dan P. J. Drooglever (ed.) (1992). konstitusi terbantu oleh hasil kerja panitia teknis Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi yang dibentuk pada Konferensi Inter-Indonesia. dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Pustaka Sebab panitia teknis telah menyusun draf Utama Grafiti. konstitusi, sehingga dapat langsung dibahas Leirissa, R. Z. (1985). Terwujudnya Suatu dalam KMB. Pokok-pokok penting yang harus Gagasan: Sejarah Masyarakat Indonesia tercakup di dalamnya mengenai tata praja, 1900-1950. Jakarta: Akademika Pressindo. susunan pemerintahan, perundang-undangan, Leirissa, R. Z. (2006). Kekuatan Ketiga Dalam dan lain-lain yang sudah disetujui sebelumnya Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. dalam konferensi tersebut. Jakarta: Pustaka Sejarah. Pada 16 Desember 1949, Ir. Sukarno Merdeka, 18 Juli 1949. terpilih sebagai Presiden RIS dan Moh. Hatta Merdeka, 3 Agustus 1949. sebagai wakilnya. Setelah itu, Presiden Sukarno Mimbar Indonesia, 12 Maret 1949. 41

Widhi Setyo Putro (Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949)

Notosusanto, Nugroho (1978). Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Idaya. Poesponegoro, Marwati Djoened dan N. Notosusanto (1993). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. Ritzer, George dan D. J. Goodman (2008). Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Roem, M. (1977). Suka Duka Berunding dengan Belanda. Jakarta: Yayasan Idayu. Sekretariat Negara RI (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1975. Jakarta: Departemen Penerangan. Sekretariat Umum KMB (1949). Konperensi Medja Bundar: Kenyataan-Kenyataan dan Dokumen-Dokumen. s-Gravenhage. Soemarsono, S. (1978). Mohamad Roem 70 Tahun, Pejuang Perundingan. Jakarta: Bulan Bintang. Tobing, K. M. L. (1986). Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta: Gunung Agung. Vickers, A. (2013). History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press.

42