DENPASAR DALAM LINTASAN SEJARAH Oleh Nyoman Wijaya
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DENPASAR DALAM LINTASAN SEJARAH Oleh Nyoman Wijaya Pengantar Setiap peneliti Kota Denpasar pasti akan memulai pembicaraannya dari adanya tiga puri di wilayah Badung, yakni Puri Kesiman, Puri Pemecutan, dan Denpasar. Akan tetapi belum ada peneliti yang dengan serius mempersoalkan mengapa dari ketiga puri itu,Puri Denpasar yang paling menonjol dan namanya diabadikan menjadi nama Ibu Kota Propinsi Bali. Mengapa Ibu Kota Propinsi Bali bukan Kesiman atau Pemecutan saja? Persoalan itu kelihatannya sepele, namun sesungguhnya di sanalah letak titik tolak jika membicarakan perkembangan Kota Denpasar Apakah Puri Kesiman dan Denpasar tidak begitu berperan dalam pemerintahan Kerajaan Badung, sehingga namanya tidak perlu diabadikan menjadi nama sebuah kota? Jawabannya tentu tidak, karena kedua puri itu tetap merupakan bagian yang integral dari suatu sistem pemerintahan Kerajaan Badung. Kedua puri itu secara silih berganti menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Badung, namun ketika Puputan Badung sedang berlangsung, tampuk Kerajaan Badung baru saja berpindah dari Puri Kesiman ke Puri Denpasar. Perpindhan itu terjadi karena Raja Badung Gusti Made Kesiman yang meninggal pada tanggal 14 Agustus l904 tidak memiliki seorang putra utama yang cakap di bidang ketatanegaraan dan raja di Puri Pemecutan yang lebih latak mengantikannya sudah usur dan sakit-sakitan. Oleh karena itu jadilah Puri Denpasar sebagai pusat pemerintahan Raja Badung (Ide Anak Agung Gde Agung, l989: 502-503) dengan seorang raja yang progresif dan memiliki idealisme tinggi untuk memajukan Kerajaan Badung. (Ide Anak Agung Gde Agung, l989: 502-503) Sikap seperti itu sudah muncul sebelum ia tampil sebagai seorang raja. Hal itu dapat dilihat dari karya sastranya berupa sebuah geguritan 91 bait berbahasa Melayu berjudul Geguritan I Nengah Jimbaran yang ditulisnya pada tahun l903, masa-masa terakhir dari kekuasaan Raja Badung Gusti Gde Ngurah Kesiman. Dalam karyanya itu tercermin suatu gagasan untuk memperbaiki sistem pemerintahan Kerajaan Badung dengan memberikan koreksi-koreksi kepada penguasa serta keinginannya untuk memajukan kerajaan Badung dengan memompa semangat kawula untuk lebih membaktikan diri kepada raja Badung (Prapanca, Desember l994:73-85) Sikap itu betul teruji ketika kasus kapal Sri Kumala, yang karam di Pantai Sanur,pemicu dari Perang Puputan Badung mencuat ke permukaan Saat itu Raja Badung bersikeras tidak mau membayar ganti rugi yang ditimpakan kepadanya, karena yakin tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari substansi Perjanjian Raja-raja Badung dengan Pemerintah Belanda tanggal 13 Juli l949. Saat itu ia bahkan menyarankan agar pemilik peruhu wangkang Sri Kumala mengadukan masalahnya ke Majelis Kerta yang berhak menangani kasus seperti itu. (Ide Anak Agung Gde Agung, l989:514) Pembangkangan itulah menyebabkan terjadi peperangan antara Kerajaan Badung dengan pasukan ekspedisi Pemerintah Belanda yang kemudian terkenal dengan nama Puputan Badung. Sebuah perang antara idealisme mempertahankan harga diri melawan keinginan untuk melakukan dominasi politik. Perang Puputan Badunglah yang mengangkat nama Puri Denpasar ke kancah nasional Hindia Belanda dan Internasional. Orang-orang mulai banyak membicarakan Raja Puri Denpasar yang dengan semangat dan idealisme menyongsong berondongan peluru. Semenjak itu Kota Denpasar berubah fungsi dari Kota Kerajaan menjadi Kota kolonial. Dengan demikian bentuk kota Denpasar mengarah pada percampuran bentuk urban Barat (Eropa) dengan penduduk dan masyarakat setempat (Stanley D. Brunn and Jack F. Williams, eds, l983) Ciri-cirinya, lokasi kota dekat pantai atau sungai, terdapat pemukiman yang sudah stabil, garnizun, pemukiman pedagang, dan tempat tinggal para penguasa pribumi, sedangkan dari segi fungsinya, kota kolonial lebih menonjolkan fungsi komersial (T.G. McGee, 1967) Penonjolan pada fungsi komersial inilah yang menjadi penyebab dari terjadinya perubahan di-Kota Denpasar, kota berubah menjadi sutu kekuatan magnetis yang mendorong terjadinya proses urbanisasi berkepanjangan. Untuk kasus Denpasar, ciri komersial yang menonjol adalah adanya keinginan pemerintah Belanda untuk memperoleh pemasukan devisa dari perdagangan ekspor-import (exim) dengan membangun pelabuhan Benoa. Secara teoritis, fluktuasi volume ekspor-impor sangat ditentukan oleh penyediaan pasilitas pendukung, seperti dermaga, alat transportasi, lembaga perbankan, perhotelan, pergudangan, bekal makanan dan air tawar serta akomodasi lainnya. Selain itu , kapasitas produksi hinterland dan daya beli masyarakatnya terhadap komudite dari foreland sangat mempengaruhi tingkat volume exim(Singgih Tri Sulistiyono) Pembangunan pelabuhan dan fasilitas itulah yang akhirnya mendorong terjadinya proses urbanisasi. Proses urbanisasi yang berkesinambungan, selanjutnya melahirkan masalah-masalah kekotaan seperti perkembangan ekologi, transformasi sosial ekonomi, perubahan dalam sistem sosial, munculnya problema sosial, dan terjadinya mobilitas sosial (Kuntowijoyo, l994:). Semakin banyaknya fasilitas komersial yang dibangun, seperti pada masa orba ini, maka semakin meningkat pula gejala dan arus urbanisasi.Dengan demikian, urbanisasi merupakan independent variabel yang mempengaruhi perubahan-perubahan yang lain.Menjadikan urbanisasi sebagai variabel bebas sesungguhnya sangat tergantung dari bagaimana orang melihat urbanisasi..Seorang antropolog akan melihatnya sebagai perubahan tata kelakuan ketika penduduk desa memutuskan untuk meninggalkan komunitasnya pergi kekota dengan maksud mencari tempat berpijak, tempat tinggal, nafkah hidup, mempelajari kebudayaan kota dan akhirnya bagaimana mereka menjadi penghuni kota dalam arti sebenarnya. Bagi seorang ekonom atau demograf, umumnya lebih senang melihat urbanisasi bertalian dengan masalah statistik kenaikan jumlah penduduk perkotaan(George M. Foster, l973) Dalam tulisan ini, pengertian urbanisasi mengacu pada pemahaman para antropolog, tetapi penekanannya lebih banyak pada proses terjadinya urbanisasi dan gejala-masalah kekotaan yang ditimbulkannya.Urbanisasi tidak hanya diartikan manusia desa memasuki kota, tetapi dalam pengertiannya yang luas, yaitu pemudaran gaya hidup desa menjadi menjadi gaya hidup kota (Prisma, 6. l980). Dalam sejarah kota, proses urbanisasu tidak terjadi secara mendadak dan menyeluruh. banyak ciri-ciri pedesaan masih terdapat dalam masyarakat kota.Pergeseran dari desa ke kota terjadi bersamaan dengan perubahan sosial dalam masyarakat kota, seperti munculnya kaum terpelajar dan kelas menengah.Kelas menengah kota merupakan kelompok sosial tersendiri, keluar dari kerangka masyarakat tradisional dan budaya pedesaan(Kuntoijoyo, l994) . Perkembangan Ekologi Kota Ekologi yang dimaksudkan di sini adalah interaksi antara manusia dan alam sekitarnya. Perubahan ekologi akan terjadi bila salah satu dari komponennya mengalami perubahan. Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan ternyadinya perubahan ekologi di kota Denpasar, pertama penggunaan lahan untuk berbagai keperluan telah mengubah keadaan alamiah lahan ke dalam berbagai macam sektor, ada tanah untuk pemukiman penduduk, untuk perdagangan dan industri, untuk rekreasi, perkantoran, dan sebagainya. Pada zaman kerajaan, perubahan ekologi yang terjadi di Denpasar lebih banyak berupa perubahan ekologi secara manusiawi dalam arti perubahan yang bertalian dengan kepentingan politik. Saat itu pemukiman di atur secara status, etnis, dan kultural Pemukiman secara status masih tampak ,karena Denpasar mewarisi sutu pengaturan pemukiman kebijakan politik kerajaan.. Raja Badung pertama I Gusti Ngurah Made Pemecutan, membagi daearah kekusaannya menjadi tiga wilayah sesuai dengan jumlah putra utama yang dimiliknya, yakni wilayah Puri Denpasar, Kesiman, dan Pemecutan,(Ide Anak Agung Gde Agung) dengan menggunakan Tukad Badung sebagai pembatas wilayah. Setiap putra utama memiliki wilayah kekuasan, namun yang berhak menjadi raja Badung adalah mereka yang lahir dari ibu utama, wanita yang memiliki garis keturunan langsung dengan keturunan raja sebelumnya. Di setiap puri dibangun rumah para pejabat istana yang disesuaikan dengan status atau tingkat kedudukannya dalam sistem pemerintahan kerajaan. Dengan demikian, di setiap puri, selain terdapat istana, juga terdapat rumah para pendeta (bhagawanta) rumah raja muda, mahapatih, punggawa, perbekel, kelian, dan rakyat. Dengan berpijak di lokasi Puri Denpasar atau Jaya Sabha dapat digambarkan perkembangan ekologis kota Denpasar, dari tahun l906 hingga sekarang. Di sebelah barat puri terdapat wantilan, berupa bangunan tanpa dinding, beratap tumpang tiga. Di sebelah barat wantilan terdapat pohon beringin, lokasi keduanya di sekitar sayap timur gedung Bank Dagang Bali (BDB) sekarang.. Lokasi pohon beringin dan wantilan ini telah mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Setelah perang berakhir, pemerintah Belanda membangun sebuah kantor , yang dipakai sebagai kantor polisidan pada zaman Jepang juga digunakan sebagai kantor polisi, sedangkan pada zaman republik menjadi gedung Bank Dagang Negara. Di sebelah barat dari wantilan ini terdapat Jro Dauh Kalangan, yang luasnya sampai batas Jalan Kresana sekarang , kini menjadi sayap barat dari gedung BDB. Pada zaman kolonial di sini terdapat gedung sekolah Meisjes Vervolg School (MVS), sekolah wanita pertama di Bali Sebelah barat dari Jro dauh Kalangan, terdapat Jro Kaleran yang dihuni oleh Gusti Made Suci, sekarang di sekitar lokasi Bank l946, Terus lurus ke barat sampai pinggir Tukad Badung terdapat Pura Gaduh, di sepanjang jalan antara pura dan puri terdapat hamparan sawah, dan kini menjadi komplek