DENPASAR DALAM LINTASAN SEJARAH

Oleh Nyoman Wijaya

Pengantar Setiap peneliti Kota Denpasar pasti akan memulai pembicaraannya dari adanya tiga puri di wilayah Badung, yakni Puri Kesiman, Puri Pemecutan, dan Denpasar. Akan tetapi belum ada peneliti yang dengan serius mempersoalkan mengapa dari ketiga puri itu,Puri Denpasar yang paling menonjol dan namanya diabadikan menjadi nama Ibu Kota Propinsi . Mengapa Ibu Kota Propinsi Bali bukan Kesiman atau Pemecutan saja? Persoalan itu kelihatannya sepele, namun sesungguhnya di sanalah letak titik tolak jika membicarakan perkembangan Kota Denpasar Apakah Puri Kesiman dan Denpasar tidak begitu berperan dalam pemerintahan Kerajaan Badung, sehingga namanya tidak perlu diabadikan menjadi nama sebuah kota? Jawabannya tentu tidak, karena kedua puri itu tetap merupakan bagian yang integral dari suatu sistem pemerintahan Kerajaan Badung. Kedua puri itu secara silih berganti menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Badung, namun ketika Puputan Badung sedang berlangsung, tampuk Kerajaan Badung baru saja berpindah dari Puri Kesiman ke Puri Denpasar. Perpindhan itu terjadi karena Raja Badung Gusti Made Kesiman yang meninggal pada tanggal 14 Agustus l904 tidak memiliki seorang putra utama yang cakap di bidang ketatanegaraan dan raja di Puri Pemecutan yang lebih latak mengantikannya sudah usur dan sakit-sakitan. Oleh karena itu jadilah Puri Denpasar sebagai pusat pemerintahan Raja Badung (Ide Anak Agung Gde Agung, l989: 502-503) dengan seorang raja yang progresif dan memiliki idealisme tinggi untuk memajukan Kerajaan Badung. (Ide Anak Agung Gde Agung, l989: 502-503) Sikap seperti itu sudah muncul sebelum ia tampil sebagai seorang raja. Hal itu dapat dilihat dari karya sastranya berupa sebuah geguritan 91 bait berbahasa Melayu berjudul Geguritan I Nengah Jimbaran yang ditulisnya pada tahun l903, masa-masa terakhir dari kekuasaan Raja Badung Gusti Gde Ngurah Kesiman. Dalam karyanya itu tercermin suatu gagasan untuk memperbaiki sistem pemerintahan Kerajaan Badung dengan memberikan koreksi-koreksi kepada penguasa serta keinginannya untuk memajukan kerajaan Badung dengan memompa semangat kawula untuk lebih membaktikan diri kepada raja Badung (Prapanca, Desember l994:73-85) Sikap itu betul teruji ketika kasus kapal Sri Kumala, yang karam di Pantai Sanur,pemicu dari Perang Puputan Badung mencuat ke permukaan Saat itu Raja Badung bersikeras tidak mau membayar ganti rugi yang ditimpakan kepadanya, karena yakin tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari substansi Perjanjian Raja-raja Badung dengan Pemerintah Belanda tanggal 13 Juli l949. Saat itu ia bahkan menyarankan agar pemilik peruhu wangkang Sri Kumala mengadukan masalahnya ke Majelis Kerta yang berhak menangani kasus seperti itu. (Ide Anak Agung Gde Agung, l989:514) Pembangkangan itulah menyebabkan terjadi peperangan antara Kerajaan Badung dengan pasukan ekspedisi Pemerintah Belanda yang kemudian terkenal dengan nama Puputan Badung. Sebuah perang antara idealisme mempertahankan harga diri melawan keinginan untuk melakukan dominasi politik. Perang Puputan Badunglah yang mengangkat nama Puri Denpasar ke kancah nasional Hindia Belanda dan Internasional. Orang-orang mulai banyak membicarakan Raja Puri Denpasar yang dengan semangat dan idealisme menyongsong berondongan peluru. Semenjak itu Kota Denpasar berubah fungsi dari Kota Kerajaan menjadi Kota kolonial. Dengan demikian bentuk kota Denpasar mengarah pada percampuran bentuk urban Barat (Eropa) dengan penduduk dan masyarakat setempat (Stanley D. Brunn and Jack F. Williams, eds, l983) Ciri-cirinya, lokasi kota dekat pantai atau sungai, terdapat pemukiman yang sudah stabil, garnizun, pemukiman pedagang, dan tempat tinggal para penguasa pribumi, sedangkan dari segi fungsinya, kota kolonial lebih menonjolkan fungsi komersial (T.G. McGee, 1967) Penonjolan pada fungsi komersial inilah yang menjadi penyebab dari terjadinya perubahan di-Kota Denpasar, kota berubah menjadi sutu kekuatan magnetis yang mendorong terjadinya proses urbanisasi berkepanjangan. Untuk kasus Denpasar, ciri komersial yang menonjol adalah adanya keinginan pemerintah Belanda untuk memperoleh pemasukan devisa dari perdagangan ekspor-import (exim) dengan membangun pelabuhan Benoa. Secara teoritis, fluktuasi volume ekspor-impor sangat ditentukan oleh penyediaan pasilitas pendukung, seperti dermaga, alat transportasi, lembaga perbankan, perhotelan, pergudangan, bekal makanan dan air tawar serta akomodasi lainnya. Selain itu , kapasitas produksi hinterland dan daya beli masyarakatnya terhadap komudite dari foreland sangat mempengaruhi tingkat volume exim(Singgih Tri Sulistiyono) Pembangunan pelabuhan dan fasilitas itulah yang akhirnya mendorong terjadinya proses urbanisasi. Proses urbanisasi yang berkesinambungan, selanjutnya melahirkan masalah-masalah kekotaan seperti perkembangan ekologi, transformasi sosial ekonomi, perubahan dalam sistem sosial, munculnya problema sosial, dan terjadinya mobilitas sosial (Kuntowijoyo, l994:). Semakin banyaknya fasilitas komersial yang dibangun, seperti pada masa orba ini, maka semakin meningkat pula gejala dan arus urbanisasi.Dengan demikian, urbanisasi merupakan independent variabel yang mempengaruhi perubahan-perubahan yang lain.Menjadikan urbanisasi sebagai variabel bebas sesungguhnya sangat tergantung dari bagaimana orang melihat urbanisasi..Seorang antropolog akan melihatnya sebagai perubahan tata kelakuan ketika penduduk desa memutuskan untuk meninggalkan komunitasnya pergi kekota dengan maksud mencari tempat berpijak, tempat tinggal, nafkah hidup, mempelajari kebudayaan kota dan akhirnya bagaimana mereka menjadi penghuni kota dalam arti sebenarnya. Bagi seorang ekonom atau demograf, umumnya lebih senang melihat urbanisasi bertalian dengan masalah statistik kenaikan jumlah penduduk perkotaan(George M. Foster, l973) Dalam tulisan ini, pengertian urbanisasi mengacu pada pemahaman para antropolog, tetapi penekanannya lebih banyak pada proses terjadinya urbanisasi dan gejala-masalah kekotaan yang ditimbulkannya.Urbanisasi tidak hanya diartikan manusia desa memasuki kota, tetapi dalam pengertiannya yang luas, yaitu pemudaran gaya hidup desa menjadi menjadi gaya hidup kota (Prisma, 6. l980). Dalam sejarah kota, proses urbanisasu tidak terjadi secara mendadak dan menyeluruh. banyak ciri-ciri pedesaan masih terdapat dalam masyarakat kota.Pergeseran dari desa ke kota terjadi bersamaan dengan perubahan sosial dalam masyarakat kota, seperti munculnya kaum terpelajar dan kelas menengah.Kelas menengah kota merupakan kelompok sosial tersendiri, keluar dari kerangka masyarakat tradisional dan budaya pedesaan(Kuntoijoyo, l994) .

Perkembangan Ekologi Kota Ekologi yang dimaksudkan di sini adalah interaksi antara manusia dan alam sekitarnya. Perubahan ekologi akan terjadi bila salah satu dari komponennya mengalami perubahan. Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan ternyadinya perubahan ekologi di kota Denpasar, pertama penggunaan lahan untuk berbagai keperluan telah mengubah keadaan alamiah lahan ke dalam berbagai macam sektor, ada tanah untuk pemukiman penduduk, untuk perdagangan dan industri, untuk rekreasi, perkantoran, dan sebagainya. Pada zaman kerajaan, perubahan ekologi yang terjadi di Denpasar lebih banyak berupa perubahan ekologi secara manusiawi dalam arti perubahan yang bertalian dengan kepentingan politik. Saat itu pemukiman di atur secara status, etnis, dan kultural Pemukiman secara status masih tampak ,karena Denpasar mewarisi sutu pengaturan pemukiman kebijakan politik kerajaan.. Raja Badung pertama I Gusti Ngurah Made Pemecutan, membagi daearah kekusaannya menjadi tiga wilayah sesuai dengan jumlah putra utama yang dimiliknya, yakni wilayah Puri Denpasar, Kesiman, dan Pemecutan,(Ide Anak Agung Gde Agung) dengan menggunakan Tukad Badung sebagai pembatas wilayah. Setiap putra utama memiliki wilayah kekuasan, namun yang berhak menjadi raja Badung adalah mereka yang lahir dari ibu utama, wanita yang memiliki garis keturunan langsung dengan keturunan raja sebelumnya. Di setiap puri dibangun rumah para pejabat istana yang disesuaikan dengan status atau tingkat kedudukannya dalam sistem pemerintahan kerajaan. Dengan demikian, di setiap puri, selain terdapat istana, juga terdapat rumah para pendeta (bhagawanta) rumah raja muda, mahapatih, punggawa, perbekel, kelian, dan rakyat. Dengan berpijak di lokasi Puri Denpasar atau Jaya Sabha dapat digambarkan perkembangan ekologis kota Denpasar, dari tahun l906 hingga sekarang. Di sebelah barat puri terdapat wantilan, berupa bangunan tanpa dinding, beratap tumpang tiga. Di sebelah barat wantilan terdapat pohon beringin, lokasi keduanya di sekitar sayap timur gedung Bank Dagang Bali (BDB) sekarang.. Lokasi pohon beringin dan wantilan ini telah mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Setelah perang berakhir, pemerintah Belanda membangun sebuah kantor , yang dipakai sebagai kantor polisidan pada zaman Jepang juga digunakan sebagai kantor polisi, sedangkan pada zaman republik menjadi gedung Bank Dagang Negara. Di sebelah barat dari wantilan ini terdapat Jro Dauh Kalangan, yang luasnya sampai batas Jalan Kresana sekarang , kini menjadi sayap barat dari gedung BDB. Pada zaman kolonial di sini terdapat gedung sekolah Meisjes Vervolg School (MVS), sekolah wanita pertama di Bali Sebelah barat dari Jro dauh Kalangan, terdapat Jro Kaleran yang dihuni oleh Gusti Made Suci, sekarang di sekitar lokasi Bank l946, Terus lurus ke barat sampai pinggir Tukad Badung terdapat Pura Gaduh, di sepanjang jalan antara pura dan puri terdapat hamparan sawah, dan kini menjadi komplek ruko (rumah toko) Jalan gajah Mada. Disebelah utara wantilan terdapat Puri Kawan , yang di huni oleh Gusti Ketut Gde Ngurah. Lokasinya kini disekitar Bali Hotel sampai Kantor Natour. Terus ke utara terdapat Jro Belaluan dan Pura Satria, di sebelah selatan jaba Pura Satria, yang kini dikenal sebagai Pasar Burung, terdapat Puri Satria yang dibangun oleh keturunan terakhir raja Denpasar pada tahun l930 (Pusdok Bali, l989) Di sebelah Pura.Satria terdapat Jro Tainsiap, dan ini merupakan jro terakhir di wilayah utara Puri Denpasar. Di sebelah selatan Jro Kalangan atau di komplek gedung Bank Republik (BRI) sekarang, terdapat sederetan toko Cina. Di sebelah barat toko Cina (jalan Gajah Mada sayap selatan) masing-masing terdapat Jro Titih yang dihuni oleh Gusti Ketut Oka, Waning Jaksa (Sahung Galing), dan sebelah baratnya atau di pinggir sungai Badung terdapat pasar. Di sebelah selatan Puri, terdapat pasar, sehingga istana di sebut Puri Denpasar (sebelah utara pasar).Di sebelah timur pasar terdapat Jro Klodan yang dihuni oleh Gusti Jedang dan Gusti Jedeng, lokasinya. sekitar areal SMPN I sekarang. Di sebelah selatannya masing-masing terdapat Jro Anom yang dihuni oleh Gusti Ngurah Aji dan Jro jambe , lokasinya di sekitar Pura Jagat Nata dan Museum Bali sekarang. Di sebelah Barat kedua jro itu, masing-masing terdapat Jro Anyar, lokasinya sekitar Kantor walikota sekarang, Jro Tegal yang dihuni oleh Gusti Ngurah Jorag, dan Jro Kangin yang dihuni oleh Gusti Raka Genjot. Di sebelah barat laut dari Jro Kangin terdapat Pura Suci. Perubahan ekologi juga terjadi karena pihak Kerajaan Badung memandang penting untuk memberikan tempat pemukiman kepada etnis lain, para pendatang, seperti etnis Jawa ditempatkan di Kampung Jawa, Jalan Utara. Etnis Arab ditempatkan di Kampung Arab,Jalan , dan Etnis Cina ditempatkan di Jalan Gajah Mada sekarang. Para pendatang ini akhirnya juga ikut mewarnai perubahan ekologi kota Denpasar baik secara fisik maupun sosial. . Komposisi tata ruang pada zaman kolonial itu belum lengkap, karena ada sejumlah tempat pemukiman atau tempat muilik umum yang belum diungkap, seperti beberapa geria, jeroan, rumah perbekel, banjar, dan pura Dari uraian itu tampak jelas bahwa pemukiman pada zaman kerajaan lebih di dasarkan pada kepentingan politik, sedangkan kepentingan ekonomi tampak dari penempatan etnis Arab dan Cina yang berada di pusat kota. Kedua etnis ini terkenal sebagai pedagang perantara yang dari dulu hingga sekarang menyalurkan berbagai barang kebutuhan masyarakat Denpasar. Pemerintah Belanda kemudian mengatur wajah Kota denpasar menjadi kota perkantoran dan pertokoan. Dengan demikian pola pemukimannya sama, yakni pemukiman birokrasi dan pedagang, tetapi perbedaannya dapat dilihat dengan mulai munculnya pemukiman secara kelas..Pada masa kini, pembagian pemukiman secara kelas semakin nyata, yang ditandai dengan tergesernya penghuni kota yang lama oleh penghuni kota yang baru, menempati bagian kota yang strategis. Kedua,perubahan ekologi Kota Denpasar juga disebabkan oleh kemajuan teknologi, seperti teknologi pembuatan jalan, jembatan, bangunan, saluran air, dan pembangunan rumah, transportasi, teknologi industri, yang dimulai sejak zaman kolonial..Pembuatan jalan diberikan perioritas oleh pemerintah kolonial, karena mereka ingin menjadikan Denpasar sebagai Kota Pelabuhan, atau paling tidak dapat memperoleh penghasilan dari pelabuhan. Keinginan itu tampak jelas dari jalur jalan raya yang dibangun,yakni jalur Denpasar -Tabanan, Denpasar-Abiansemal, Denpasar-Benoa, Denpasar-Tuban dan Kuta, serta Denpasar-Sanur-Kesiman. Komposisi tata ruang itu memang mengikuti pola pemukiman tapak dara (nyatur desa, nyatur muka) yang dibuat pada zaman kerajaan. Belanda lebih banyak hanya memperlebar jalan tradisional, memperkeras, dan mengaspal. Pengaspalan itu terbatas hanya di sekitar pusat kota. Sampai tahun l966 , jalan yang tampak sudah teraspal sekitar radius dua kilo meter dari titik kota. Begitu juga dengan jalan yang sudah mendapat penerangan listrik. Suatu hal yang khas dari perubahan ekologi di zaman kolonial, justru terletak dari pasilitas-pasilitas yang dibangun untuk mendukung konsep kota pelabuhan., karena di sinilah hukum kausalitas perubahan ekologi berlangsung. Ketiga,perubahan dalam organisai masyarakat.juga ikut menyebabkan terjadinya perubahan ekologi kota Denpasar. Beberapa contoh perubahan organisasi, adalah perubahan dari industri rumah tangga ke industri besar, seperti pasar, warung, toko, department store, shopping centre.. Semua sarana bisnis ini dibangun pada lahan sepanjang jalur jalan raya Untuk kepentingan itu, tanah-tanah sawah diubah menjadi warung atau toko, dan itu berlangsung secara terus menerus hingga sekarang, sehingga Denpasar kini mewarisi sederetan toko yang memanjang di sepanjang jalan utama. Munculnya komplek pertokoan yang memusat di sepanjang jalan perkotaan membuat perubahan ekologi kota semakin meningkat., karena pembangunan toko, apalagi pusat pertokoan,akan diikuti oleh munculnya pemukiman-pemukiman baru. Keempat, perubahan dalam pola tukar menukar (jasa) seperti munculnya perbankan, perhotelan, dan sekolah juiga ikut menyebabkan terjadinya perubahan ekologi kota Denpasar. Banyak gedong atau rumah yang sudah berubah menjadi bank merupakan salah satu bukti bahwa munculnya jasa perbankan dapat mempengaruhi perkembangan ekologi kota Begitu juga dengan hotel, yang bahkan tidak hanya mengubah ekologi fisik namun juga ekologi sosial, dan budaya, seperti Bali Hotel (yang akan dibicarakan lebih jauh di bawah ini). Sektor jasa yang paling banyak menyebabkan terjadinya perubahan adalah munculnya komplek persekolahan, seperti dapat dilihat di Kreneng, Sanglah,Padang Sambian, dan di daerah-daerah lain, termasuk Bukit Jimbaran sekarang. Perubahan itu terjadi, karena lingkungan sekolah memerlukan lingkungan penunjang keberlangsungan kegiatan belajar dan mengajar Keenam, perubahan ekologi kota juga disebabkan oleh kemajuan sarana transportasi, berupa kendaraan bermotor.Transportasi yang lancar, memungkinkan orang dengan leluasa lalu-lalang ke dan dari kota. Kemajuan transporatasi juga melahirkan perubahan ekologi berupa munculnya terminal, tempat pemberhentian dan keberangkatan kendaraan . Selain mempunyai pengaruh terhadap ekologi fisik, kemajuan transfortasi juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam ekologi sosial,budaya,dan ekonomi (yang akan dibincangkan lebih jauh dalam tulisan ini).

Transformasi Sosial Dinamika sosial kota industrial berbeda dengan dinamika sosial kota praindustrial (Gideon Sjoberg), Dalam kota praundustrial berlaku ungkapan, desa mawa cara, negara mawa tata, yang berarti, masyarakat tradisional atau praindustrial sebagai pusat kerajaan mempunyai aturan-aturan tersendiri berbeda dengan masyarakat desa.Perwujudan yang jelas dari konsep negara, ialah puri dan lingkungan kota-puri, yang secara sosial, ekonomi, dan kultural memisahkan diri dengan desa. Ungkapan ini sangat terasa pada jaman kerajaan , dan bahkan sampai sekitar tahun l980-an. Denpasar tampak dipisahkan secara kultural, sosial, dan ekonomi dengan desa- desa yang ada di wilayah Badung, seperti Jimbaran, Benoa, Kuta, Pasanggaran, Gaji, Peguyangan, Kapal, Mengwi, Sidang, Abian Semal, dan Blahkiuh. Dikotomi antara desa dan kota dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik (A.Chaeder Alwasillah, l985) dalam arti melihat bagaimana sikap berbahasa antara orang kota (bangsawan dan kaum pendeta) dengan orang desa. Atau bagaimana mereka mengatur jarak dengan kota-puri dapat dilihat dari sebutan yang berikan untuk kota Denpasar. Jika mereka pergi ke kota (Denpasar) berarti mereka pergi ke Badung. Kebiasaan itu diwarisi turun-temurun, sehingga jika mereka pergi ke kota, walaupun kini kota Denpasar telah berubah menjadi Kodya terpisah secara administratip dengan Badung, masih juga ada yang mengatakan bahwa Denpasar adalah Badung. Sistem status yang yang ketat mewarnai pergaulan di kota Denpasar pada masa kerajaan. karena dekatnya masyarakat denpasar dengan raja, menyebabkan semakin terasanya pengaruh kesaktian raja.. Hal ini terakumulasi dalam berbagai mitos diseputar kesaktian raja badung dan keturunannya, yang terwujud dalam berbagai ceritra lisan. Ceritra lisan mengenai raja berkisar pada kesaktian dan senjata-senjata sakti yang pernah dimiliki oleh raja Badung, seperti keris sakti, pecut sakti, tombak sakti, tiying buluh empet (bambu tanpa lubang) dan sebagainya. Ceritra-ceritra itu masih berkembang dan diteruskan secara turun-temurun. Puputan Badung sendiri penuh dengan ceritra seperti itu, dan tentu menjadi lahan yang sangat subur bagi penulis novel sejarah sosial politik.. Pada zaman kerajaan, puri memiliki aturan-aturan keras ketika orang berada di istana, dalam pakaian, sopan-santun, tutur kata. yang semuanya menunjukkan status masing-masing dalam kerajaan. Dalam batas-batas tertentu hal-hal seperti masih tampak di masa kini dan yang sangat menonjol terutama dalam tutur-kata. sampai sekarang. Hal itu terutama tampak dalam ranah upacara keagamaan masih diterapkannya aturan berbahasa berdasarkan status. Seorang brahmana (pendeta), jika berbicara dengan “gusti ida”, akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan :”gusti dane” “Gusti ida” adalah keturunan raja yang memiliki ibu yang lebih utama dari pada ibu “gusti dane”.Keutamaan itu diukur dari tingkat kedekatan garis keturunan pihak wanita (ibu) dengan garis istana. Semakin dekat dengan garis keturunan istana semakin utama kedudukannya dan sebaliknya semakin jauh dengan garis keturunan istana, semakin berkurang keutamaannya. Jika berbicara dengan “gusti ida” maka para pendeta akan menyebut dengan panggilan “gusti ratu”, tetapi karena semua gusti telah menyebut dirinya sebagai “anak agung”, maka panggilannya menjadi “ratu anak agung ngurah”. Sedangkan kepada “gusti dane, para pendeta cukup memanggil dengan sebutan “gusti”atau sekarang “agung”.atau “gung”. Dengan demikian, para pendeta memiliki status yang lebih rendah dari para “gusti ida” dan memiliki status yang sama dengan “gusti dane. Namun akhir-akhir ini ada kesulitan untuk mengatur tutur-kata berdasarkan status, karena kebanyakan “gusti dane” telah mengubah diri menjadi “gusti ida” atau kebanyakan “jeroan’ telah berubah menjadi “jero”, dan “ “jero” berubah menjadi “puri”. Studi yang menarik mengenai transformasi model ini dapat dilihat dalam kata sambutan sebuah upacara keagamaan. (Hasil wawancara dengan Ida Bagus Darma Putra) Secara sosiologis, gejala itu dapat dipahami, karena setelah masyrakat berhasil meraih simbol-simbol modernitas berupa kesuksesan dalam karya dan karir, kesuksesan dalam meraih barang-barang produksi massal (meminjam istilah dari F.E. Schumaker), maka masyarakat memandang perlu untuk memperoleh simbol-simbol tradisional, sehuingga terjadi gejala retradisionalisme (Kuntowijoyo, l987) Istana juga mengatur kekuasaan ekonomi dan sosial, membagi-bagi surplus kepada pembantu-pembantui raja. Akan tetapi setelah kekuasaan politik kerajaan Badung lenyap, maka lenyap pula kekuasaan ekonomi dan sosial istana. Masyarakat Denpasar secara pelan-pelan mengalami transformasi sosial dan. pembagian penduduk mulai dilakukan berdasarkan kelas sosial (walaupun sistem kasta masih bertahan kuat). Hal ini mengantarkan masyarakat Denpasar menjalani transformasi sosial ekonomi yang lebih rumit,dengan terjadinya pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri pariwisata pada akhir tahun l970-an.(I Gusti Ngurah Bagus). Masyarakat pasca agraris ini ditandai oleh ditinggalkannya cara-cara produksi konvensional. Organisasi-organisasi ekonomi yang dulu dipegang oleh unit-unit ekonomi kecil, seperti pasar-pasar tradisional, tengkulak, rentenir kini dipegang oleh unit-unit ekonomi besar seperti departement store, bank, dengan standarisasi harga, timbangan, dan takaran yang ketat. Sistem Sosial Melihat Denpasar dari Patung Empat muka berarti juga melihat sistem sosialnya. Sebagai sebuah sistem sosial, Kota Denpasar memiliki beberapa kegiatan masyarakat kota, seperti kegiatan agama, rekreasi, olahraga, hiburan,, ekonomis, politis. dan hubungan antar warga yang bersifa struktural , kelompok, dan personal.. Namun karena keterbatasan ruangan, maka pembicaraan akan difokuskan pada aktivitas agama, rekreasi, hiburan dan olah raga Kegiatan keagamaan masyarakat Denpasar dapat dipahami dengan melihat aktivitas masing kelompok agama, Kristen (Protestan dan Katolik), Islam, Budha, dan Hindu, baik di tingkat Individu maupun masyarakat.. Aktivitas personal umat beragama non- Hindu dapat dilihat di masing-masing tempat ibadahnya, sedangkan aktivitas kelompok dapat dilihat dalam perayaan hari raya masing-masing, yang seringkali memanfaatkan tempat-tempat umum, seperti tanah lapang yang ada di wilayah Denpasar Dibandingkan dengan aktivitas keagamaan umat lain, aktivitas keagamaan umat Hindu tampak lebih menonjol, selain karena jumlah umatnya yang mayoritas, juga karena kegiiatan keagamaannya hampir berlangsung setiap hari, tiada hari tanpa upacara keagamaan.. mulai dari upacara dewa yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya.Masih.Ramainya kegiatan agama umat Hindu sering dijadikan bukti bahwa luasnya diversifikasi kerja dan meninggatnya hasil pembangunan pariwisata tidak menyurutkan minat masyarakat Denpasar melaksanakan kegiatan agamanya. Perubahan yang terjadi di bidang keagamaan lebih banyak terletak pada kegiatan operasional keagamaan, seperti cara berpakaian yang kini disesuaikan dengan jenis upacaranya. Masing-masing jenis upacara keagamaan itu memiliki warna pakaian tersendiri dan timbul keengganan atau keraguan bagi masyarakat untuk menyimpang dari keseragaman itu. Walaupun di tingkat sosial terdapat perubahan dalam pilihan-pilihan warna, namun di tingkat budaya masyarakat Denpasar masih percaya kepada konsepsi nawa sanga yang mengajarkan beraneka warna dalam sebuah ruang (F.L. Bakker, l995), ini dapat dilihat dalam warna-warna yang mereka gunakan saat membuat sesajen. Perubahan lainnya dalam aktivitas keagamaan, dapat dilihat dengan adanya proses pendalaman dan percepatan perputaran uang di sektor ini, karena sudah muncul kebiasaan untuk membeli segala kebutuhan upacara keagamaan. Hal ini di salah satu pihak telah melahirkan kesempatan kerja terutama di geria-geria dan rumah para tukang banten, , namun di pihak lain kebiasaan ini telah mengurangi tetapi belum melenyapkan tradisi gotong royong yang dulu pernah menjadi kebanggaan masyarakat Denpasar. Gejala seperti itu lebih menonjol pada orang yang secara ekonomi lebih mampu dan secara sosial memiliki waktu luang yang sangat terbatas, ---sebagaimana layaknya kehidupan orang Bali modern masa kini--- dibandingkan dengan orang yang secara ekonomi kurang mampu dan memiliki banyak waktu luang. Pada kelompok yang disebutkan belakangan, tampak proses sosialisasi pembuatan sarana upacara (mejajaitan) masih berlangsung dalam suasana gotong royong dan kebersamaan. Dalam upacara yang melibatkan banyak orang, tampaknya sudah jarang menggunakan sistem “nguopin”, karena disamping dipandang sudah tidak zamannya lagi, sistem membeli sarana upacara dalam satu kesatuan dipandang lebih murah, tidak ada bahan-bahan perlengkapan yang terbuang, atau tidak harus mengeluarkan biaya sosial untuk menjamu hidangan kepada para “penguop”. Dengan demikian perinsip-perinsip ekonomi rasional (M.Dawam Rahardjo, ed. l987), yang ditanamkan oleh sistem ekonomi kolonial dan dimatangkan oleh sejarah perekonomian Orde Baru(Mohtar Mas,oed, l989), kini telah membuahkan hasil. Dalam aktivitas rekreasi tampaknya sudah terjadi banyak perubahan sejalan dengan terjadinya kemajuan dalam teknologi dan perekonomian. Dulu sebelum ditemukannya sepeda, berekreasi dari Denpasar ke sanur atau sebaliknya sudah dipandang cukup jauh, karena harus ditempuh dengan jalan kaki atau kuda. Namun setelah beredaranya kendaraan bermotor,jarak itu sudah tidak berarti, dan bahkan muncul tempat- tempat rekrasi baru yang jaraknya puluhan kilometer, sehingga terjadi banyak perubahan dalam perilaku, sebab orang dengan mudah bergerak kem na kaki hendak melangkah..Sejalan dengan terjadinya kemajuan di bidang ekonomi, tempat berekreasi tidak lagi semata-mata di alam terbuka . tetapi sudah meluas ke shopping centre dan department store.Pada masa yang akan datang akan muncul beraneka ragam tempat rekreasi moden, dan bahkan lebih modern dari Ancol Bali, terutama jika taman hiburan modern di lokasi Padang Galak sudah selesai dibangun. Untuk hiburan dan tontotonan, masyarakat Denpasar juga telah mengalami tahapan-tahapan hiburan tradisional, modern , dan super modern. Jika pada zaman kerajaan masyarakat Denpasar hanya mengenal mono-hiburan, pada masa kolonial mereka mulai mengenal banyak hiburan mulai dari orkes, musik, dan film. Film merupakan jenis hiburan modern yang paling banyak di gemari masyarakat Denpasar. Pada tahun l930, orang Denpasar sudah mengenal film bisu yang diputar di Bioskop Lino, jalan Kresna sekarang. Film yang sangat berkesan pada sejumlah orang Bali berjudul Dadong Nyoman. Dari film bisu, mereka mengenal film bersuara hitam-putih,dan berwarna. Mereka juga mengenal berbagai jenis film mulai dari film kartun sampai film biru (porno), namun untuk jenis yang terakhir ini sering diadakan razia, sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah terhadap generasi muda, namun tidak bisa dihapus secara tuntas, karena petugas tidak akan mungkin melarang orang mengakses gambar-gambar porno itu melalui computer.Walaupun tanpa video cassete atau video compact disc, kompoter sudah menyediakan semua gambar yang dilarang itu. Sebuah tempat yang dapat memenuhi ketiga kebutuhan adalah alaun-alun, kini disebut Lapangan Puputan Badung, nama yang diambil dari perang antara kerajaan Badung melawan Belanda pada l906. Tidak dapat diketahui dengan jelas berapa luas lapangan ini pada zaman Kerajaaan Badung, apakah tanah yang dulu menjadi lokasi pasar, kini termasuk bagian dari alun-alun?. Terlepas dari persoalan itu, alun-alun kini menjadi ciri khas kota Denpasar Sampai saat ini belum ada tanda-tanda dari pemerintah Kodya untuk mengalihfungsikan tanah lapang ini menjadi shopping centre,seperti tanah lapang Pekambingan ,bangunan penjara Pekambingan, Kuburan Kristen tempat Dr. Rudolf Goris pendekar kebudayaan Bali dimakamkan, kuburan Cina, tangsi militer Belanda di Kayu Mas, dan sejumlah tempat lainnya. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah Kodya Denpasar memahami arti sejarah, karena alun-alun merupakan warisan dari Kerajaan Badung, sebagai saksi bisu dari semua peristiwa yang terjadi di wilayah Badung. Selain itu, kebijakan Kodya Denpasar mempertahankan alun-alun menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kesehatan masyarakat, karena alun-alun merupakan paru-paru bagi masyarakat Denpasar, tempat mereka menghilangkan stress, menghirup udara segar, setelah sepanjang hari sibuk dengan kegiatan kota yang kini mengarah sebagai kota dunia. Dengan dipertahankannya alun- alun berarti pemerintah menyediakan tempat multi fungsi, sekaligus sebagi tempat rekreasi karena di sini sudah dibangun taman gaya Bali, lengkap dengan kolam, aneka tanaman bunga dan plawa, yang dijaga kebersihannya setiap hari oleh sejumlah pasukan kuning, pembersih jalan raya. Walaupun tontonan dalam arti yang sebenarnya (pertunjukkan kesenian) sudah tidak lagi dilakukan di sini, karena sudah ada tempat khusus untuk itu yakni di Art Centre Ardha Candra dan lapangan Ngurah Rai, tetapi perilaku masyarakat Denpasar sepanjang hari di alun-alun juga merupakan tontotan yang menghibur. Begitu juga dengan olah raga, kini memang tidak pernah diadakan event olah raga akbar di tempat ini, terutama sejak dibangunnya Lapangan Ngurah Rai di Kreneng, naman tempat ini tetap berfungsi sebagai lapangan olah raga, khususnya olahraga lari dan jalan kaki. Lapangan ini memang memiliki keunikan yang khas, dan selalu mengalami perubahan fungsi, sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.. Pada zaman kolonial, alun-alun lebih banyak berfungsi sebagai lapangan olah raga, yakni olahraga tenis dan sepakbola. Saat itu lapangan tenis dibangun dipojok barat daya alun-alun menghadap utara-selatan, dan dikelilingi oleh kawat berdiri. Sampai zaman republik ada tiga lapangan tenis di tempat ini, tempat para pecinta tenis menyalurkan hobinya. Sekaligus juga tempat para penduduk pribumi belajar bermain tenis. Orang-orang Belanda memang tidak pernah merekrut orang Bali untuk didik bermain tenis. Mereka hanya direkrut untuk menjadi kacung, tukang mengambil bola yang terlontar jauh ke luar lapangan. Dari para kacung inilah teknik permainan tenis berkembang di Bali. Setiap sore, sebelum orang Belanda bermain tenis, mereka ini mulai belajar mengayunkan raket sampai akhirnya paham teknik-teknik bermain tennis. (Hasil wawancara dengan I Wayan Rantes). Selain untuk lapangan tenis, alun-alun juga difungsikan untuk lapangan sepakbola. sama halnya dengan olah raga tenis, Belanda juga tidak pernah merekrut orang Bali untuk dijadikan sebagai pemain sepakbola. orang Bali mengetahui teknik bermain bola hanya karena sering melihat orang-orang Belanda bermain bola. Dari sini akhirnya mereka bisa bermain dan melahirkan beberapa klub sepakbola. Salah satu klub sepakbola Badung yang terkuat pada zaman kolonial adalah Klub Dayak. Nama ini diberikan karena semua pemainnya telanjang dada dan telanjang kaki, bagaikan orang-orang Suku Dayak di Pedalaman Kalimantan menurut imajinasi orang Bali saat itu. Orang dayak juga dibayangkan sebagai suku yang ganas, dan demikian pula dengan klub ini, ganas dan selalu menang dalam setiap pertandingan melawan klub-klub sepakbola lokal. Sampai akhirnya klub ini dapat dikalahkan oleh klub sepakbola dari Tulung Agung , Jawa timur dalam suatu pertandingan bergengsi.(Wawancara dengan I Made Sadha dan Wayan Rantes) Pertandingan sepakbola antara orang Jawa melawan orang Bali terekam indah dalam novel Jef Last(l977), yang berjudul Cubek di Rimba Raya, yuang di tulis pada awal republik. Boleh jadi kisah itu bersumber dari fakta empiris pertandingan klub Dayak melawan Klub Tulung Agung.. Setelah peristiwa itu, satu persatu muncul klub sepakbola di Denpasar dan di wilayah-wilayah lainnya hingga sekarang. Sesungguhnya sangat menarik jika ada kesempatan lebih luas untuk membincangkan perjalanan persepakbolaan di Bali, karena banyak di antara para pemain alami zaman kolonial itu kemudian menjadi pelatih, melatih generasi berikutnya dalam teknik-teknik persepakbolaan. Uraian akan menjadi lebih menarik jika dikaitkan dengan kondisi persepakbolaan Denpasar atau Bali sekarang dengan adanya Perseden dan Gelora Dewata Walaupun alun-alun kini tidak lagi dipakai sebagai arena pertandingan sepakbola, namun ,tempat ini tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan sepakbola. Pada hari libur sekolah, terutama hari Minggu, tampak sejumlah anak-anak usia belasan tahun bermain sepakbola ditempat ini. Kegiatan ini dilakukan mulai dari sebelum terbitnya matahari sampai sekitar pukul delapan pagi. Ketika mereka asyik dengan permainan bolanya , sejumlah anak laki-perempuan asyik juga dengan permainan sepeda . Semenatara itu sejumlah orang dewasa asyik berolah raga jalan kaki atau lari sesuai dengan tingkat kesehatan dan target yang hendak dicapainya. Sejumlah keluarga muda terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak lebih senang duduk di bawah patung Puputan Badung, sambil menikmati bubur kacang hijau yang dijual oleh para penjaja. Mereka membiarkan anak-anaknya bermain pancing-pancingan di kolam yang memang berisi air dan sejumlah ikan kecil, dan senantiasa dalam perawatan para petugas taman. Ada juga yang mengajak putra-putrinya yang belum bisa berjalan di atas mengelilingi lapangan berjalan di atas trotoar, dengan cara digendong atau duduk di box roda.. Selain berfungsi sosial, alun-alun juga memiliki fungsi ekonomi, karena setiap hari sejumlah penjaja makanan baik dengan gerobak dorong maupun menjunjung atau menggendong barang dagangannya .Mereka terdiri dari pedagang kacang hijau, pedagang rokok dan permen, pedagang koran, dam pedagang kue. Jika hari minggu jumlah serta jenis dagangan semakin bertambah. Ada kebiasaan setelah melakukan olah raga, mereka makan bubur kacang jijau, dan ini seolah-olah sudah menjadi tradisi di Bal Satu persoalan yang dihadapi oleh alun-alun dewasa ini adalah tidak berfungsinya WC yang terletak di Barat Daya.lapangan., yang menyatu dengan Bale Begong. Dari segi arsitektur bangunan ini tampak indah, karena di bawah lantai Bale Bengong terdapat sebuah WC dengan tulisan terpampang mencolok di pintu masuknya. Namun WC ini nyaris tidak berfungsi sebagaimana layaknya Ketiadaan WC yang menjadi kebutuhan masyarakat modern, seringkali menggelisahkan orang-orang yang memanfaatkan alun- alun, sehingga banyak orang, khususnya peria membuang air kecil di balik pohon yang tertata rapi dan indah, sehingga dalam hal ini alun-alun berfungsi sebagai “teba”, tanah pekarangan di belakang rumah tempat di mana dulu orang Bali memelihara babi dan tanaman.Kadang-kadang muncul bau yang tidak sedap ketika angin berhembus, sehingga indikasi adanya orang yang membuat hajat ketika hari masih gelap menjadi tak terelakkan. Memang dibutuhkan suatu pemikiran jernih dan matang untuk mengatasi persoalan ini, karena jika WC itu difungsikan maka lapangan ini akan berkesan jorok dan kotor sebagai mana layaknya WC umum di tempat-tempat lain. Problema Ekologis Perkembangan ekologi kota Denpasar, termasuk masalah kepadatan penduduk, mobilitas horizontal, dan heterogenitas, yang semakin meningkat sejak akhir tahun l970- an menyebabkan timbulnya masalah sosial. di antaranya itu ialah, disparitas dan pemisahan pemukiman secara ekonomis,sosial, dan psikologis.Selain masalah sosial terjadi pula masalah ekologis, seperti masalah pembuangan air, sampah, dan kepadatan lalu lintas. Namun karena keterbatasan ruang, maka pembicaraan akan difokuskan pada masalah ekologis. Pembuangan air, sampah, dan lalu-lintas baru muncul menjadi masalah ekologis justru setelah terjadinya peningkatan jumlah penduduk, baik karena kelahiran maupun karena arus urbanisasi yang tak terhindarkan. Dulu, di bawah tahun l970-an, masih banyak dijumpai saluran air, got atau gelinjing dengan air yang jernih, sehingga mandi di aliran gelinjing merupakan satu pemandangan umum di sepanjang jalan utama di Bali. Di Denpasar misalnya sampai tahun l966 masih banyak dijumpai orang mandi di pinggir jalan, termasuk di jalan Imambonjol, sebelah selatan Kuburan Badung (wawancara dengan Ida Bagus Darma Putra). Ada beberapa faktor yang dapat diangkat untuk menjawab mengapa gelinjing masih bisa difungsikan sebagai tempat mandi. Pertama, Orang Denpasar pada saat itu masih lebih senang melakukan aktivitas MCK di sungai,seperti di Sungai Badung, Sungai Tulangampiang, dan Sungai Ayung. Dengan demikian tidak ada limbah sabun yang mengotori air gelinjing. Kedua, tidak ada orang Bali yang bermukim di sepanjang aliran gelinjing membuang limbah makanan ke gelinjing, bukan berarti karena tingginya tingkat kesadaran terhadap kebersihan, melainkan karena adanya konsep banyu-merta dalam budaya Bali, artinya banyu atau limbah akan dapat memberikan kehidupan (merta, sic) kepada pemiliknya jika tidak dibuang melainkan diberikan kepada babi. Babi-babi itulah sebagai pemakan limbah, sehingga tidak ada limbah makanan yang mengotori air gelinjing. Ketiga. sebagaian besar daerah yang mengelilingi Kota Denpasar adalah sawah, sehingga Denpasar berfungsi sebagai pipa, tempat untuk menyalurkan air dari utara, agar daerah persawahan yang ada di Denpasar Selatan bisa memperoleh air.. Dengan demikian air gelinjing mengalir setiap saat, Keempat, seminggu sekali dilakukan penggelontoran, sehingga sampah-sampah yang ada di sepanjang aliran gelinjing bisa hanyut. Selain membersihkan saluran, pengelontoran air juga merupakan berkah bagi anak-anak, karena mereka dapat bermain di sepanjang aliran air. Umumnya mereka melakukan permainan dengan menghanyutkan benda yang bisa mengapung dan mengikatnya dengan seulas benang. Beberapa saat setelah penggelontoran itu, air gelinjing akan jernih kembali, dan bisa dipakai untuk mandi atau paling tidak untuk mencuci kaki. Kelima, konstruksi gelinjing dibuat dengan kelebaran dan kemiringan tertentu sehingga air dapat mengalir dengan lancar. Unsur-unsur tersebut di atas merupakan bagian dari suatu sistem pengairan warisan zaman kerajaan dan kolonial, Jika salah satu dari unsur itu tidak ada atau tidak berfungsi,berarti sistem pengairan menjadi terganggu atau tidak berjalan. Berfungsi atau tidaknya unsur-unsur itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum sedang terjadi dalam masyarakat. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Denpasar saat ini tidak memungkinkan mereka melakukan kegiatan MCK di sungai, sehingga limbah yang mereka hasilkan di rumah harus dibuang ke gelinjing. Hilangnya kebiasaan memilihara, baik karena ketiadaan lahan maupun karena semakin menjamurnya bank keliling, menyebabkan terjadinya surplus limbah yang harus dibuang ke gelinjing. Begitu juga dengan semakin banyaknya orang membuka usaha di pinggir jalan, yang mengunakan gelinjing sebagai tempat pembuangan limbah menyebabkan semakin kotornya air gelinjing. Keadaan air yang sudah kotor,ditambah lagi dengan adanya kebisaan membuang sampah secara sembarangan, sehingga sampai tercecer di gelinjing menyebabkan air menjadi lebih kotor lagi Masalah ekologis semakin mencuat ke permukaan semenjak munculnya kebijakan trotoarisasi seluruh gelinjing di Denpasar, karena adanya trotoar menyebabkan banyak sampah yang bersembunyi di balik permukaan trotoar luput dari perhatian petugas kebersihan kota. Jika musim kering, banyak nyamuk bermunculan dari gelinjing dan menyerbu rumah penduduk yang ada di pinggir-pinggir jalan, sedangkan jika musim hujan sering kali kondisi itu menyebabkan timbulnya banjir. Bagaimanapun, trotoar merupakan masalah yang sangat probelamatis bagi masyarakat kota. Kehadirannya bukan semata-mata untuk menjadikan Denpasar sebagai kota peraih piala Adi Pura, tetapi juga untuk memberikan rasa aman dan perlindungan kepada para pejalan kaki, Namun persoalannya, pada musim hujan beberapa ruas jalan di Denpasar mengalami kebanjiran, sebagai akibatnya tersumbatnya gelinjing oleh tumpukan sampah. . Sebelum dibuatkan trotoar, seringkali diawalai dengan renovasi kontruksi gelinjing dan bahkan ada sejumlah gelinjing yang sengaja disempitkan. Hal ini juga ikut menyebabkan terjadinya masalah perairan di Denpasar. Namun kebijakan mempersempit gelinjing atau saluran air di kota bukan semata-mata untuk menghemat biaya yang dikeluarkan dalam membuat trotoar, tetapi juga untuk kelancaran lalu lintas. Karena sebagai salah satu Kota Besar Asia dan Dunia (sebutan yang diberikan oleh televisi dalam setiap acara Ramalan Cuaca), maka Denpasar harus tampil prima. Untuk itu harus selalu dilakukan pelebaran jalan, agar diperoleh ruas jalan yang memadai.sehingga kemacetan bisa dihindari dan bahkan dilenyapkan. Pelebaran jalan yang dilakukan secara berkesinambungan dari tahun l970-an hingga sekarang, menyebabkan Denpasar memiliki ruas jalan yang lebar, jauh melebihi ruas jalan yang dibuat oleh pemerintah kolonial yang berkisar antara empat hingga tujuh meter. Akan tetapi kemacetan ternyata tidak bisa teratasi. Penyebab dasar dari terjadinya kemacetan di mana pun, adalah terjadinya ketakseimbangan antara lebar dan panjang jalan dengan jumlah kendaraan, dalam arti jalan yang tersedia tidak mampu menampung kendaaran yang ada.. Pertambahan kendaraan ini disebabkan karena adanya sistem kridit dalam pembelian kendaraan yang merangsang orang untuk memiliki kendaraan pribadi.Namun setiap kota memiliki beberapa kondisi internal yang menyebabkan terjadinya kemacetan. Untuk kasus Denpasar, jalan Gajah Mada, Arjuna, Sumatra, , Panjer, Diponogoro, Hassannudin, Imambonjol, dan Thamrin adalah jalan yang paling sering mengalami kemacetan.Kondisi internal yang menyebabkan terjadinya kemacetan itu, paling tidak dapat diklasifikan menjadi dua, yakni yang bersifat permanen dan insidental. Kondisi internal permanen dapat dibagi menjadi dua, yakni. pertama, di Denpasar belum ada jalan melingkar, sehingga mereka yang pulang pergi dari pusat menuju luar kota menjadi harus melewati jalan-jalan itu.Kedua, lingkaran jalan tersebut merupakan pusat kota dalam arti yang sebenarnya, karena di sanalah berdiri sejumlah infrastriktur ekonomi dan pemerintahan, mulai dari pasar tradisional sampai modern, mulai dari hotel sampai panti pijat. Semua lambang-lambang kota modern berpusat di sini, sebagai konsekuensi logis dari perinsip-perinsip ekonomi rasional Tak ada seorangpun pengusaha yang bersedia membangun usahanya jauh dari pusat kermaian, sebab pusat keramaian adalah uang di mata mereka. Sementara, kondisi internal insidental, juga dapat dipilahkan menjadi dua yakni kemacetan karena adanya upacara adat dan keagamaan serta adanya pengaturan jalur lalu lintas, sebagai akibat dari pelaksanaan upacara keagamaan dan upacara ritual peringatan-p hari-hari besar, hari ulang tahun instansi tertentu. Prosesi keagamaan terutama upacara ngaben, seringkali menimbulkan kemacetan siang hari, karena upacara ngaben biasanya dilangsungkan mulai pukul satu siang, bersamaan waktunya dengan saat kepulangan anak-anak sekolah atau sejumlah karyawan tertentu. Untuk melancarkan jalannya prosesi, maka dilakukan penyetopan jalan yang berlangsung di atas tiga puluh menit pada jalan yang akan dilewati oleh rombongan peserta prosesi. Jika salah satu jalan di stop, maka akan muncul kemacetan berantai Sedangkan kemacetan di pagi hari, lebih banyak disebabkan oleh dilakukannya penyetopan jalan yang melalui Lapangan Puputan Badung, karena dipakai untuk melangsungkan suatu upacara tertentu. Tidak semua memang instansi yang mengadakan upacara apel bendera ditempat ini melakukan penyetopan jalan. Jika jalan ini sudah di setop berarti jalan Sumatra menjadi alternatif dari para pengendara untuk menuju Denpasar Selatan. Di pagi hari arus kendaraan menuju ke selatan sangat padat, karena di sana berdiri pusat pemerintahan Niti Mandala, Kampus Universitas Udayana, beberapa pusat pertokoan, pasar swalayan dan Department Store. Demikianlah, jika melihat potret lalu lintas kota Denpasar masa kini, dapat diprediksikan bahwa kesemerawautan dan kemacetan lalu lintas merupakan masalah ekologis yang sangat serius yang akan dihadapi oleh masyarakat Denpasar di abad XXI. Dari semata-mata hanya sebagai masalah ekologis, jika tidak dilakukan penanganan yang proporsional, bisa jadi ia akan berpengaruh kepada masalah sosial dan masalah budaya. Sampai saat ini belum ada suatu pemikiran dari pihak kodya untuk membangun jalan bawah tanah, seperti apa yang dilakukan oleh para perencana kota di beberapa kota luar negeri, atau apa yang sedangkan dilakukan oleh Jakarta. Padahal jalan bawah tanah bukan merupakan suatu hal yang aneh bagi masyarakat Bali, karena mereka sudah memiliki mitos mengenai jalan bawah tanah yang menghubungan antara satu goa dengan goa lainnya.. Mewujudkan mitos menjadi suatu realitas, boleh jadi akan berdampak positif bagi masyarakat Denpasar, karena paling tidak mampu mengatasi kecamacetan permanen dan insidental, dan kedua akan melancarkan transportasi kepariwisataan di Denpasar. Belum juga tampak ada usaha atau pemikiran untuk memanfaatkan aliran sungai Badung untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas terutama dari dan menuju Denpasar-Kuta- Tuban. Pemerintah daerah pemang sudah membangun jalan tembus, seperti Jalan , tapi kenyataannya kemacetan masih saja muncul setiap saat di sepanjang jalan DenpasarKuta. Jika dirancang dengan baik, dengan mengaplikasikan kemajuan teknologi yang semakin cangkih dan memanfaat kinerja manajement ekonomi rasional, maka aliran sungai Badung akan dapat ikut membantu memecahkan masalah kemacetan lalulintas.. Masalah ekologis ketiga yang juga menarik untuk dibincangkan di sini adalah sampah.. Dulu, sebelum tahun l970-an, sampah juga bukan merupakan masalah ekologis yang menyulitkan kehidupan masyarakat ,karena sampah pada saat itu kebanyakan berupa sampai organik, sampai alami. Alam sudah memiliki kemampuan mendaur ulang semua sampah jenis ini., melalui proses pembusukan, humus, dan kembali menjadi tanah. Sampah akhirnya menjadi masalah ekologis dan masalah ekonomis justru dengan semakin meningkatnya jumlah dan kualitas sampah unorganics berupa pembungkus dari barang produksi massal, mulai dari permen sampai barang-barang kosmetik. Memang tidak semua sampah jenis ini yang menimbulkan masalah ekologis, karena ada beberapa jenis sampah yang memiliki nilai ekonmi tinggi terutama bagi para pemulung juragan , distributor, dan produsen pendaur ulang. Sampah yang dianggap mempunyai nilai ekonomis adalah sampah yang dapat didaur ulang, seperti botol-botol plastik, kaleng, barang-barang bekas dan sebagainya. Persoalannya, banyak orang yang belum terbiasa memilihkan antara kedua jenis sampah ini. Mereka sudah terbiasa mencampur aduk semua jenis sampah, sehingga para pemulung yang ingin mencari sampah bernilai ekonomis, akan mengacak-ngacak terlebih dahulu sampah-sampah yang terkumpul di pinggir-pinggir jalan, sebelum akhirnya diangkut oleh petugas kebersihan kota. Sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan atau aturan untuk memilahkan kedua jenis sampah ini. Padahal ada cara yang bisa dipakai untuk mengatasi persoalan ini, misalnya dengan memasukkan masing-masing sampah ke dalam dua pembungkus plastik dengan berbeda warna, asalkan pemilihan warna itu sudah diumumkan sebelumnya atau pemerintah dapat menjual kantung-kantung palstik sambil menarik retribusi sampah. Mobilitas Sosial Melihat Denpasar sane mangkin dari tatapan Patung Empat Muka, berarti juga harus melihat terjadinya proses mobilitas sosial.Uraian mengenai mobilitas lebih ditekankan pada munculnya golongan kelas menengah pribumi pada awal abad XX,terutama pada gaya hidupnya. Berbicara mengenai sejarah gaya hidup masyarakat Denpasar, harus dilacak variabel-variabel yang menyebabkan terjadinya perubahan itu. Paling tidak ada dua variabel yang perlu diangkat ke permukaan yakni Bali Hotel dan Kampung Cina -Kampung Arab. Bali Hotel yang didirikan pada l925 (Adrian Vickers) mempunyai arti penting bagi pertumbuhan kelas menengah-kecil di Denpasar, pada tahun l920-an sampai l942. Bali Hotel merupakan salah satu di antara pasilitas yang dibangun oleh pemerintah Belanda untuk mencapai gagasannya memperoleh pemasukan dari eksport-import. Bali Hotel diharapkan mampu memberikan tempat menginap tidak saja kepada para seniman Barat yang mengadakan eksplorasi budaya Bali, tetapi tentu juga bagi para pengusaha yang melakukan transaksi perdagangan di Bali. Dalam perkembangannya, fungsi Bali Hotel yang lebih menonjol justru sebagai bar dan panggung hiburan. Para wisatawan terutama yang datang bersama rombongan memang lebih senang memilih tidur atau menginap di kapal pesiarnya daripada di hotel. Setiap selesai melakukan kunjungan wisata mereka akan kembali ke kapalnya Jika sudah selesai mengadakan kunjungan ke objek-objek wisata, mereka tidak langsung menuju ke kapal-nya, melainkan mampir terlebih dahulu di Bali Hotel untuk makan atau minum (Wawancara dengan I Wayan Sadra Wijaya) Hal itu dapat membantu memulihkan tenaga para wisatawan setelah melakukan perjalanan jauh, namun itu tidak memuasklan mereka karena belum dapat menikmati pertunjukkan tradisional Bali di malam hari. Hal itu bisa dipahami karena arena pertunjukan tradisional kebanyakan terletak di desa jauh dari Kota Denpasar. Kondisi ini menjadi kendala yang besar bagi pengelola wisata. Untuk mengatasi persoalan itu mereka mengambil inisiatif mendatangkan penari ke kapal,namun hal ini juga menimbulkan masalah terutama transportasi untuk mengangkut penari pulang-pergi..Keadaan yang serba sulit ini, tercermin dalam sebuah anekdot yang bertahan sampai sekarang,“jika para wisatawan dibiarkan menonton seni pertunjukkan di desa-desa mereka akan kepayahan, tetapi jika penari-penari desa dibiarkan menari di kapal, maka kapal akan kotor dan beberapa perabotan modern akan hilang, namun setelsh pertunjukan dilangsungkan di kapal yang hilang bukan perabotan modern, melainkan pemukul gamelan,panggul” Anekdot di atas memang tidak mempunyai nilai historis, namun darinya dapat dipahami bagaimana wisatawan sangat tertarik dengan budaya Bali. Bali Hotel menyadari ketertarikkan wisatawan terhadap kesenian Bali serta adat istiadatnya. Oleh karena itu, mereka mengambil kebijakan untuk membangun sebuah wantilan yang akan dapat digunakan sebagai sebagai arena pertunjukan (wantilan itu masih bertahan sampai sekarang). Saat itulah cikal-bakal strategi bisnis pariwisata di Bali.dimulai Intisari dari strategi itu adalah berusaha memanjakan wisatawan dan kemudian mengambil uang sebanyak-banyaknya dari mereka, konsep ini berlaku sampai sekarang dengan berbagai variasi Adanya wantilan di Bali Hotel, mempunyai arti yang cukup besar bagi perkembangan seni pertunjukan di Bali dan Denpasar pada khususnya, karena banyak sekaha gong atau legong yang popoler pada zaman itu pernah memperlihatkan kebolehannya di tempat ini,salah satu diantaranya ialah gong Belaluan. Sekeha gong ini pernah mengadakan kerja sama dengan gong Cempaka dari Tabanan . Dalam salah satu konser reguler di hotel, Mario (Ketut Maria) menampilkan tari solo Oleg Tamulilingan (Miguel Covarrubias l937/l989) yang kemudian populer dan bertahan sampai sekarang. Pada zaman republik, gong Belaluan mengadakan kerja sama dengan Grenceng dan sering mengadakan pertunjukan di Bali Hotel. Kerja sama ini mampu menarik minat para pencinta gong , karena mereka mampu menampilkan kerja sama yang solid. Kepopuleran mereka, kemudian mengantarkannya melalangbuana ke luar negeri. Pada dekade l950-an Denpasar juga memiliki seorang penari solo wanita bernama Nyoman Ropa dari Banjar Tegeh Kuri, Tonja,Denpasar, dan setelah menikah dengan Cokorda Sayoga (keturuan Raja Denpasar) bernama Jro Puspawati. Para wisatawan sangat tertarik dengan produk kesenian yang ditampilkan oleh Bali Hotel dan ini berarti proses komersialisasi seni pertunjukan mulai terjadi dan merupakan awal dari proses pengeringkasan atau “balettisasi” seni. Seni seperti ini akan selalu muncul di mana dan kapan saja, karena pada dasarnya wisatawan menggunakan teori pelancongan yakni datang, melihat dan pergi sambil mengambil dan menikmati hiburan dan rekreasi sebanyak mungkin (R.M. Soedarsono). Strategi yang digunakan oleh Bali Hotel mampu menahan lebih lama kunjungan wisatawan di Kota Denpasar, sehingga memberikan peluang bagi para penjaja seni rupa (terutama seni patung) untuk mengacungkankan patungnya kepada wisatawan, sehingga jual-beli patung tanpa stan dan personal ini tumbuh menjadi peluang kerja baru. Seni patung akhirnya muncul sebagai produk handalan dan sangat diminati oleh wisawatan. Banyak di antara mereka yang ingin menyaksikan langsung proses pembuatannya. Salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh para wisatawan adalah Jeroan Grenceng, yang terletak di jalan sekarang. Di sini tinggal seorang pematung bernama bernama I Gusti Made Gde, kakek dari I Gusti Ngurah Gde Ngurah.(mantan Rektor Universitas Udayana) Pematung ini banyak memiliki murid, yang tidak hanya berasal dari Banjar Grenceng, tetapi juga dari banjar lain seperti Banjar Tampak Gangsul, Banjar Sesetan, Banjar Belong, dan murid-murid itu akhirnya menjadi pematung terkenal pada zamannya. Walaupun hasil karya pematung Jeroan Grenceng sudah banyak dikirim ke Negeri Belanda, namun mereka tidak banyak tercatat dalam sejarah kesenian Bali. Berbeda halnya dengan pematung dari Banjar Belaluan bernama I Tegelan (sic), yang menjadi terkenal karena melakukan inovasi dan invensi dalam dunia perpatungan di Bali. Karyanya yang berjudul “Girl Dancer” dibuat tidak dalam bentuk sebagaimana orang Bali menari atau sebagaimana bentuk tubuh seorang manusia normal, tetapi dengan bentuk tubuh dan gerak tari yang tidak normal dan wajar, yakni kaki pendek dan anggota tubuh lainnya panjang, tidak berimbang. Patung ini lahir atas pesanan dari Walter Spies yang menyuruh I tegelan membuat dua buah patung dari sepotong kayu panjang, namun karena kasihan memotong kayu yang diberikannya itu, maka lahirlah patung yang spektakuler itu (Claire Holt). Patung yang dihasilkan oleh seniman-seniman jeroan Grenceng dan murid- muridnya serta patung I Tegelan belum mengubah nasib masyarakat Denpasar. Dalam arti pariwisata masih dinikmati oleh segelintir orang. Perubahan mulai terjadi dengan terjadinya invensi dalam pembuatan patung (togog), berupa togog kecil sehingga mudah dibawa oleh para wisatawan. Memang sangat sulit melacak siapa yang paling awal memelopori pembuatan patung ini. Untuk Desa Catur (yang terdiri dari empat banjar Belong, Balun Panti, dan Grenceng) yang diakui sebagai pelopor dari patung model ini adalah I Made Dukuh dan I Made Dendi,keduanya berasal dari Panti. Ada dua jenis togog yang mereka buat yakni togog setengah badan dan tokoh seluruh badan.Untuk tipe yang pertama terdiri dari penari janger, tengkuluk, dan jater, sedangkan untuk tipe yang kedua terdiri dari patung janger duduk “metimpuh”. Patung-patung jenis ini kemudian menjadi best seller dalam bisnis perpatungan di Bali. Semenjak itulah mobilitas sosial terjadi, banyak orang kota yang sebelumnya berprofesi menjadi petani atau buruh meninggalkan pekerjaannya dan kemudian menjadi pematung, setelah terlebih dahulu mempelajarinya secara bertahap. Daya tarik menjadi pematung sangat kuat karena uang yang diperoleh dari usaha ini jauh lebih besar daripada uang yang diperoleh dari usaha lain, seperti buruh pabrik dan bekerja sawah..Tingkat penghasilan dari para perajin ini, dapat diketahui dengan melihat nilai tukar uang yang diperolehnya. Harga togog berkisar antara tiga sampai sepuluh talen, tergantung dari lamanya mereka mengerjakan. Patung yang dikerjakan selama tiga hari dijual seharga sepuluh talen sama dengan dua setengah rupiah atau satu ringgit. Uang satu talen sekitar tahun l930-an setara dengan harga enam setengah kilogram beras atau dua puluh butir telor bebek. Dengan demikian selama satu hari mereka dapat memperoleh beras rata-rata sebanyak duapuluh satu setengah kilogram atau di atas dua puluh ribu untuk uang sekarang, jika harga beras dihitung seribu rupiah setiap satu kilogram. Togog itu dijual kepada para pialang yang sudah menunggu di bawah tiang listrik sambil menggenggam sebuah lampu senter, yang akan digunakan untuk melihat kualitas patung. Jika hari pasaran, dalam arti sedang ada kapal pesiar yang berlabuh di Benoa atau Padang Bai, para pialang ini tidak lagi melakukan tawar menawar.Dalam situasi seperti itu, para perajin semakin banyak memperoleh uang. Tawar menawar baru terjadi jika sedang tidak ada kapal pesiar yang merapat di kedua pelabuhan itu. Apabila dibandingkan dengan upah buruh yang berkisar satu sampai dua sen sehari, tentu jumlah uang yang diperoleh para perajin togog ini sangat besar. Penghasilan yang besar pada akhirnya merubah gaya hidup mereka., sehingga ada dikotomi antara gaya hidup perajin dengan buruh. Para perajin biasanya lebih suka mengenakan pakaian yang sedang menjadi mode di tahun l9300-an, yakni kain sarung cap Mawar, baju piyama, dan sandal kulit, bagi pematung yang senang belajar ilmu silat biasanya melengkapi diri dengan menggunakan peci. Untuk memperoleh semua perlengkapan itu mereka harus mengeluarkan uang sebanyak enam setengah rupiah, atau membuat togog selama satu minggu. Konsumsi rokok mereka juga berbeda dengan rokok para buruh dan petani. Para perajin togog lebih senang menghisap rokok cap Sen, Pabrik, Burung dan rokok yang termahal saat itu cap Dapros, yang harganya tiga sen, lebih tinggi dari gaji sehari para buruh. Untuk konsumsi nasi, mereka mengenal dua tipe nasi, yakni nasi Jawa dan nasi Bali. Sekitar tahun l936--l938, satu piring nasi Jawa harganya sekitar lima sen untuk takaran orang dewasa (satu talen sama dengan dua puluh lima sen). Banyak di antara mereka yang merasa bangga mampu membeli nasi Jawa, karena dapat makan dengan menggunakan sendok garpu yang berarti juga menaikkan gengsi. Pada saat itu ada dua buah warung nasi Jawa yang terkenal , yakni milik Mbak Ayu Sekar dan Mbak Ayu Ombak, yang letaknya di areal Kampung Arab ujung utara (jalan Sulawesi sekarang). Di tempat ini juga terdapat penambangan, terminal mobil sedan dan bus, dan disebelah timur laut (Toko Bhineka Jaya -Jalan Gajah Mada sekarang) tedapat pompa bensin. Untuk nasi Bali, terdapat di mana-mana dan satu tekor (daun pisang yang dibentuk sebagai tempat makan).berharga satu benggol untuk takaran pria dan setengah benggol untuk wanita. Satu benggol setara dengan dua setengah sen. Selain para perajin patung, para supir mobil sedan dan bus juga tampil sebagai kelas menengah dan memiliki gaya hidup sendiri.Status sosial mereka jauh lebih tinggi daripada para kusir dokar. Memiliki suami seorang sopir sedan dan bus menjadi idaman para gadis saat itu, karena kedua jenis sopir ini dapat meraup uang yang cukup banyak.Sopir bus antar kabupaten (afdeeling) memiliki arti yang sangat penting bagi masyrakat Bali saat itu, karena ia juga berfungsi sebagai media informasi, sebagai penyambung berita . Kejadian yang berlangsung di Denpasar dapat dengan cepat sampai di desa, berkat jasa dari para supir bus. Peranan supir bus dalam bidang komunikasi ini juga terekam dalam novel karya Jef Last. Hiburan yang digemari oleh para kelas dan masyarakat Denpasar pada umumnya terdiri dari dua, yakni seni pertunjukan tradisional Bali yang dapat ditonton di wantilan- wantilan, jaba pura, atau balai banjar. Dengan adanya wantilan di Bali Hotel yang mengadakan pertunjukan seni sekali dalam seminggu setiap hari Rebo atau Kemis, maka banyak juga di antara mereka yang pergi ke Bali Hotel. Para pengunjung lokal ini oleh pihak hotel diizinkan menonton dari halaman hotel, namun banyak juga yang menonton dari pinggir jalan raya.. Selain menonton seni pertunjukan tradisional, mereka juga menonton hiburan modern seperti film dan orkes.(Ida Bagus Anom Ranuara, dkk). Itulah dasar-dasar dari gaya hidup masyarakat Denpasar dalam mencari hiburan. kombinasi antara kedua jenis hiburan itu tetap diminati oleh masyarakat Denpasar dari seluruh lapisan kelas, hingga sekarang. Hal itu dapat dibuktikan dari sikap antusias masyarakat Denpasar dalam menikmati acara Pesta Kesenian Bali(PKB) yang sudah berlangsung selama sembilan belas tahun.Di tengah-tengah semakin semaraknya ragam dan jenis hiburan modern, serta semakin canggihnya teknologi dalam mengakses jenis-jenis hiburan modern, justru masih muncul kreativitas dalam seni Bali. Seni resitasi yang dipancarkan melalui RRI dengan program Dagang Gantalnya yang kemudian dikuti oleh radio-radio swasta di Bali (Nyoman Darma Putra) merupakan salah satu bentuk kemampuan adopsi masyarakat Bali terhadap teknologi Modern dan sebagai wujud dari inovasi dan invensi seni di penghujung abad XX ini. Hal ini dapat dihami, karena dalam setiap zaman akan selalu muncul dikotomi seni populer dan kalasik (Kuntowijoyo) . Demikianlah, Bali Hotel telah mampu melahirkan kelas menengah baru, para perajin dengan pola hidup mewah pada zamannya. Memasuki .zaman kemerdekaan, para perajin togog dari Denpasar masih bertahan, karena saat itu Bali Hotel masih merupakan salah satu hotel terbesar dan termewah di Bali. Para turis masih banyak yang datang dengan pola lama dan Bali Hotel juga menjual jasa dengan pola lama Karena ramainya pengunjang, bahkan ada keinginan dari pihak hotel membeli jalan yang memisahkan bangunannya, namun tidak terpenuhi karena pemerintah tidak mengizinkannya. Setelah itu muncul juga keinginan untuk membangun jembatan penyeberangan , namun hal itu juga tidak diizinkan karena akan menggangu jalannya upacara keagamaan dan adat. Tindakan itu semakin membuktikan bahwa Bali Hotel menerapkan stragegi memanjakan wisatawan Sesungguhnya di tengah-tengah hingar-bingar bisnis patung di sekitar Bali Hotel, para perajin dan pialang patung dari Gianyar sudah mulai menggeser peran para perajin Denpasar, karena para perajin Gianyar selalu mengadakan inovasi dan invensi seni. Mereka menjual patungnya di pasar pagi Balai Banjar Belaluan. Dan tidak jarang diantara mereka kemudian menjadi pematung-pematung terkemuka di Bali yang mewarisi kemampuannya kepada orang-orang di sekitarnya. dan tidak jarang pula di antara mereka muncul sebagai pengusaha-pengusah art shop yang memiliki jaringan bisnis di daerah- daerah wisata Bali Ketika pamor Bali Hotel semakin berkurang, sebagai akibat dari dibangunnya Bali Beach pada l963 (Adrian Vicker) hilang pula pasar pagi Belaluan karena ada kebijakan dari Pemerintah daerah Badung untuk melokalisir pedagang patung dalam suatu tempat yang tertata rapi. Pada mulanya mereka dipindahkan ke Pasar Inpres Tulangampiang, dan akhirnya dipindahakan ke Pasar Kumbasari, namun gaung pasar Kumbasari menjadi lenyap setelah dibangunnya pasar Seni Sukawati, sehingga konsumen dapat membeli patung dengan harga yang relatif lebih murah. Sesungguhnya, strategi yang diambil oleh Bali Hotel masih relevan untuk menarik wisatawan, namun kehadiran Bali Beach di tahun l963 menyebabkan tingkat persaingan menjadi semakin ketat. Jika pada tahun l957 pasilitas tiga hotel, yakni Sindhu Beach Hotel, Kuta Beach Hotel, dan Bali Hotel,(Adrian Vickers) sudah dipandang mewah,namun dengan adanya Bali Beach Hotel, maka kemewahan hotel-hotel itu menjadi tidak ada artinya dan semau fasilitas modern yang dimilikinya dulu akhirnya menjadi barang kuno. Setelah masa Orde Baru pembangunan hotel-hotel modern di daerah-daerah wisata semakin meningkat sejalan dengan kebijakan menjadikan pariwisata sebagai sumber devisa, pariwisata dijadikan industri, dan dikelola dengan perinsip-prinsip ekonomi rasional (Stanislav Andreski), maka muncullah kelas menengah baru dengan gaya hidup yang nyaris serupa dengan ciri-ciri gaya hidup perajin Kota Denpasar pada zaman kolonial,yakni boros dan hidup mewah, seperti yang dapat dilihat dari adanya persaingan memiliki mobil mewah, rumah mewah, dan segala kemewahan lainnya. Demikianlah Bali Hotel dan masyarakat Kota Denpasar pernah menjadi pelopor dalam dunia kepariwisataan dan semuanya itu kini tinggal kenangan, sebab hanya satu dan dua saja para perajin patung di Denpasaryang mampu bertahan. Mereka mencoba bangkit, dan peluang nya terjadi ketika munculnya industri pakaian jadi pada awal tahun l970-an. Saat itu seniman Denpasar I Gusti Made Suwandi yang juga berasal Banjar Panti (tempat dimana dulu pelopor togog souvenir berasal) menjadi pelopor dari industri pakaian jadi bermotif batik. Teknik membuat batik dipelajarinya dari Solo, dari seorang pelukis bernama Surono, namun objeknya tetap budaya Bali, khususnya seni rupa ukir- ukiran, sehingga muncullah baju batik bermotif barong, rangda, dan cili.. Industri batik Bali ini ternya ta sangat diminati oleh wisatawan, sehingga seperti halnya industri kerajinan patung pada zaman kolonial, industri batik ini beranak-pianak, satu persatu karyawan Suwandi memembuat usaha sendiri dan begitu seterusnya. Ketika batik Badung (istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan batik Gianyar) sedang merajai pasaran, orang Gianyar belum ada yang membuat baju batik, mereka hanya mampu membuat baju barong namun tidak menggunakan teknik pembatikan, melainkan teknik colet, dengan menggunakan rumus basa dan garam. Akan tetapi memasuki pertengahan tahun l980-an, orang Gianyar sudah mulai membuat pakaian jadi dengan pola batik, yang dikenal dengan batik putih, dengan teknik colet. Pada saat itulah terjadi revolusi dalam industri perbatikan di Bali. Motif-motif yang diangkat menjadi semakin bervariasi, tidak hanya ukiran-ukiran tetapi sudah ke alam raya, bagaikan motif lukisan gaya Young Artist pada umumnya. Barang-barang yang dihasilkannya menjadi tidak terbatas pada pakaian jadi, namun sudah meluas ke barang-barang keperluan.sehari-hari Batik Gianyar akhirnya dapat menggulung batik Badung, karena mereka mampu mencitrakan dimensi dalam lukisan batiknya, sebab mereka sudah menggunakan warna Sol. Bahan warna model ini memang mampu memenuhi keinginan pembatik untuk menampilakn dimensi. Sementara, pembatik Denpasar masih tetap dengan pola lama, tanpa dimensi..Dengan demikian sebelum melahirkan pengusaha-pengusaha batik dengan gaya hidup modern, mereka sudah gulung tikar, sehingga untuk kedua kalinya Denpasar dikalahkan oleh Gianyar. namun demikian mereka tetap tercatat dalam sejarah munculnya industri souvenir di Bali Jalan Gajah-Mada dan Sulawesi Jalan Gajah Mada dan jalan Sulawesi adalah saksi bisu dari perjalanan gaya hidup masyarakat kota Denpasar. Jalan ini menjadi populer, terutama setelah masa kolonial, ketika mulai terjadinya mobilitas sosial, baik vertikal maupun horizontal, di Denpasar. Jika pada zaman kerajaan, pusat keramaian hanya berkisar di lokasi BRI sekarang, seperti telah disebutkan di atas. Namun pada zaman Belanda satu persatu para pemilik modal membuka usaha di tempat ini. Salah satu usaha yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat Denpasar adalah Eva Foto Studio, yang berlokasi di sebelah timur Firma Yadnya sekarang. Berfoto atau mepotrek ke studio adalah sebuah gaya hidup baru yang muncul pada zaman kolonial, dan banyak diminati oleh orang Denpasar dari semua lapisan. Secara psikologis, manusia sangat senang melihat dirinya sendiri. Ini dapat dilihat jika mereka sedang melihat sejumlah foto yang disodorkan padanya. Jika potret dirinya ada dalam kumpulan foto itu, maka ia akan tampak antusias membuka satu persatu lembaran album, namun jika tidak ada mereka tampak akan melihatnya sepintas lalu. Teori inilah yang berlaku dalam perkembangan usaha foto studio di Bali. Dengan adanya foto studio, mereka dapat melihat dirinya sendiri, dan tak ada seorangpun yang ingin melihat penampilannya buruk di depan kamera. Ini sama dengan para pengkotbah atau penceramah di televisi sekarang, yang tidak saja sibuk menyiapkan materi yang akan disampaikannya, tetapi juga sibuk memilih pakaian yang hendak dikenakan agar tampak cantik atau gagah.(Niel Postman) Hal itu berlaku pada Eva Foto Studio, di sini disediakan sejumlah pakaian yang dapat disewa untuk mengubah penampilan agar tampak lebih gaya. Orang yang tidak mampu membeli celana panjang, jas, dasi, topi, dan sebagainya dapat tampil sebagaimana layaknya pakaian orang Barat setelah mepotrek di tempat ini. Untuk mengetahui gaya hidup serta khayalan masyarakat Denpasar pada modernitas, dapat dilihat dari foto yang dibuat pada saat itu, yang kini masih tersimpan dengan bagus di sejumlah keluarga. Adanya gaya hidup mepotrek ini, pada akhirnya memberikan peluang kerja kepada seorang pendatang, Cina, bernama Yap Sin Tin, yang membuka usaha membuat lukisan foto, yang bertempat di Jalan Sutomo sekarang.. Kehadiran Yap Sin Tin akhirnya berpengaruh banyak terhadap tumbuhnya seni lukis gaya Denpasar, karena dua orang pelukis Denpasar Rai Retug dan I Gusti Made Deblog banyak menimba ilmu dari Yap Sin Tin. (I Nyoman Wijaya) Selain gaya hidup, menonton film bisu, makan nasi di warung Jawa dan mepotrek, pada zaman kolonial masih ada sejumlah gaya hidup lainnya yang bersumbur dari kedua jalan ini, yakni berbelanja atau nyuci mata di pasar senggol. Perkembangan pasar senggol di sini juga tidak bisa dilepaskan dari posisi sosial ekonomis yang dimiliki oleh Jalan Gajah Mada dan Jalan Sulawesi, yakni adanya pasar tradisional Peken Payuk, penambangan, pompa bensin, toko-toko Cina, foto studio, hotel, toko kain dan sebagainya. Pasar senggol adalah sejenis pasar malam, karena kegiatan pasar memang dimulai ketika menjelang malam. Kesibukan sudah di mulai pada sore hari, sebelum matahari terbenam, saat itu para pedagang mulai mempersiapkan stan dagangannya. Mempersiapkan meja kursi, terpal atap, tiang-tiang penyangga, dan barang-barang yang akan dijual. Barang-barang yang dijual terdiri dari berbagai jenis makanan, seperti masakan Cina, Jawa, dan Bali. Berbagai jenis minuman, mulai dari es krim, es sirup, sampai limun. Ada juga yang menjual berbagai jenis pakaian, mulai dari pakaian dalam sampai pakaian luar, dari ukuran anak-anak hingga dewasa. Pada malam hari, apalagi tanggal muda, saat pegawai negeri gajian, pasar senggol makin ramai dikunjungi oleh warga kota, sehingga tempat ini betul-betul menjadi tempat orang bersenggol-senggolan. Sampai akhir l960-an pasar ini masih menjadi salah satu identitas kota., tempat mereka dapat memperlihatkan gaya hidup masyarakat kota, yakni membelanjakan gaji yang mereka peroleh. Dengan cara terlebih dahulu menonton film di sejumlah gedung di Denpasar atau langsung berbelanja di pasar senggol dan di toko-toko sepanjang jalan Gajah Mada dan Jalan Sulawesi. Pasar ini juga menjadi tempat para pemuda dan pemudi memadu kasih. Boleh dikatakan bahwa pasar senggol cukup lama bertahan di Kampung Arab. Ia hanya dipindahkan pada hari raya Ngembak Nyepi, ke Jalan Kartini atau ke jalan Sutomo. Namun memasuki tahun l970-an, pasar senggol ini dipindahkan secara permanen dekat pasar badung, hingga sekarang.. Walaupun pasar senggol sudah dipindahkan, tetapi popularitas jalan Gajah Mada dan Jalan Sulawesi tetap tidak tergoyahkan.. Semua warga kota tidak bisa mengabaikan tempat ini, karena di sinilah tempat modernitas berada, Mereka yang ingin tampil dengan gaya hidup modern harus membeli barang di tempat ini. Bagi anak muda, jalan Gajah Mada adalah tempat kebanggaan mereka. Jalan ini adalah simbol kemodernan, simbol gaya hidup anak-anak muda tahun l970an. bahkan ada ujaran di kalangan para pemuda, yakni “mereka harus mencari kekasih dengan penampilan gaya dan wajah yang tidak memalukan jika di bawa pergi ke Jalan Gajah Mada”. Memang penampilan sangat diutamakan pada era itu. Sejumlah muda-mudi meniru penampilan, gaya berpakaian para pemusik Barat, seperti Deep Purple, Nazareth, The Rolling Stone, David Casidy dan sejumlah pemusik dunia lainnya. Poster-poster penyanyi itu banyak terpasang di kamar tidur dan menjadi simbol kemodernan. Poster- poster ini dapat diperoleh dari supplement majalah remaja seperti Actuil. Pada malam Minggu mereka dapat memperagakan gaya hidup ini, sampai larut malam. Ada yang sekedar jalan-jalan atau ada pula yang menonton film di bioskup, dan makan-makan di pasar senggol, sambil memaperkan celana blue jean berbagai merek, dan yang paling bergengi adalah merek Levis.. Selain di Kampung Arab ada juga pasar senggol di Suci, yang letaknya di sebelah timur pura. Popularitas pasar senggol Suci, muncul setelah dipindahkannya penambangan kendaraan bermotor ke tempat ini. Dengan demikian, tempat ini memiliki fungsi ganda, yakni pada pagi hari dijadikan sebagai terminal, dan pada malam hari berfungsi sebagai pasar senggol. Keadaan seperti ini juga berlangsung cukup lama, sampai akhirnya ada kebijakan untuk menjadikan areal Suci ini sebagai pusat perbelanjaan, yang gedungnya dapat dilihat sampai sekarang. Ketika proses pembangunan gedung di mulai, pasar senggol Suci dipindahkan ke Tegal, disebelah selatan, Kuburan Badung, namun sempat juga di Lapangan Pekambingan, yang kini telah berubah menjadi pusat perbelanjaan. Ada juga pasar senggol di Lila Buwana., yang juga dikenal dengan Pasar Malvinas, saat Inggris menyerang Malvinas di awal tahun l980-an. Seperti halnya pasar senggol lainnya, pasar ini juga ramai dikunjungi oleh warga kota, Selain pasar senggol, di sini juga terdapat sebuah bioskop. Sejalan dengan pengaturan tata kota, maka pasar sengggol ini dipindahkan ke Terminal Kreneng sampai sekarang. Dengan demikian daerah Kreneng Juga memiliki fungsi ganda, yakni di pagi hari sebagai terminal dan di sore hari sebagai pasar senggol. Dari gaya hidup pasar senggol, warga kota Denpasar kemudian berpindah ke gaya hidup Kuta dan gaya hidup pasar swalayan dan mal. Gaya hidup Kuta itu mencuat mewarnai gaya hidup masyarakat Denpasar setelah tahun l975. Dengan citri-cirinya, mengenakan celana blue jean ketat dan lusuh, T, Shirt beraneka gambar dan simbol Barat, jaket ;lusuh, rambut panjang, kendaraan antik yang sudah dipereteli. Pakaian dan asesoris yang populer dengan nama “sanris”, pelesetan dari kata “sun rise”, yang berarti sisan turis, atau bekas turis banyak diburu oleh warga kota. Mampu berbicara bahasa asing adalah kebanggaan kelompok ini, apalagi dapat menikah dengan orang Barat dan kemudian menjadi kaya raya. Pada saat itu dikotomi gaya hidup antara gaya hidup warga kota Denpasar menjadi meningkat, namun gaya hidup Kuta dengan Gaya Hidup Pasar Senggol, tidak begitu mencolok, karena banyak para pemuda Kuta yang masih menjadi pengunjung setia dari semua pasar senggol itu. Mereka masih memiliki kesenangan yang sama, yakni sama- sama senang membeli nasi Jinggo, nasi yang dibungkus dengan daun pisang atau kertas dengan harga dibawah lima ratus rupiah. Akan tetapi setelah munculnya berbagai pasar swalayan dan department store serta berbagai mal, maka mulai tampak adanya dikotomi gaya hidup yang mencolok. Apalagi kemudian dengan semakin banyaknya orang-orang yang mampu memiliki perangkat-perangkat modern, seperti mobil dan telepun selular, maka gaya hidup itu semakin mencolok. Satu-satunya persamaan yang dapat dilihat dalam gaya hidup masyarakat Denpasar saat ini ialah gaya ketika mereka pergi ke pura, seperti telah disebutkan di atas. Penutup Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa Denpasar masa kini banyak mewarisi karakteristik, kota kerajaan dan kota kolonial. Warisan itu terutama dapat dilihat dari ekologi kota. Perkembangan ekologi kota Denpasar masa kini, hanyalah berupa perluasan dari wilayah kota-puri yang sudah ditata berdasarkan status penghuninya, atau kedekatannya dengan penguasa. Dari tata kota yang berdasarkan status, pemerintah kolonial Belanda mengubahnya menjadi berdasarkan kelas. Dari kota yang lebih berorientasi pada kepentingan politik, agama, kemudian dialihkan oleh pemerintah kolonial belanda menjadi kota komersial. Dari sinilah teori kausalitas perkemabangan kota Denpasar di mulai. Fungsi komersial, terutama keinginan pemerintah kolonial untuk memasimalkan pendapatan kota mengharuskan mereka untuk membangun berbagai fasilitas, seperti dermaga, perbankan, perhotelan, jalan raya, sarana transportasi. Hotel yang dibangun pada pertengahan l920 justru mengubah tidak saja wajah kota Denpasar, tetapi lebih jauh telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial-ekonomi, dan budaya. Dari segi sosial ekonomi, Bali Hotel telah memberikan kesempatan kepada para pemukim di sekitar arealnya untuk menjual produk kesenian kepada turis. Hasil penjualan produk itu ternyata mampu mengubah gaya masyarakat Denpasar. Perubahan gaya hidup yang mnengarah pada pemborosan uang dan pola hidup mewah mempercepat terjadi perputaran ekonomi. Bali hotel juga telah memberikan kesempatan bagi orang- orang dari luar Denpasar terutama Gianyar untuk memasarkan produk keseniannya di Denpasar, sehingga mereka tampil sebagai pematung-pematung handal. dan akhirnya membuka jaringan bisnis pariwisata di Bali. Dari segi seni pertunjukan, Bali hotel juga telah memberikan andil yang cukup besar terutama dengan diberikannya kesempatan bagi para penari untuk tampil di wantilannya. Beberapa penari solo baik pada masa kolonial maupun republik pernah mengembangkan diri dari wantilan Bali Hotel. Sedangkan secara kelompok, Bali Hotel juga telah berpengaruh terhadap pertumbuhan sekeha-sekeha gong dan legong di Bali, yang lebih berorientasi pada kepentingan wisatawan. Fasilitas jalan raya, tidak hanya menyebabkan terjadinya perubahan ekologis di sepanjang jalan yang dibangun, tetapi juga telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial ekonomi dengan munculnya warung-warung dan toko Sedangkan fasilitas sarana transportasi, tidak saja mampu memperlancar lalu lintas tetapi juga menimbulkan perubahan sosial ekonomi. Semua fasilitas itu akhirnya menjadi perangsang utama dari terjadinya urbanisasi.mula dari urbanisasi dalam pengertian sempit sampai pada urbanisasi dalam pengertian luas, dengan terjadinya perubahan dari gaya hidup desa nmenjadi gaya hidup kota.. Proses urbanisasi itu tidak terjadi secara mendadak dan menyeluruh. Ketika urbanisasi terus mengalami peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas, maka terjadi perubahan sosial serta gejala-gejala kekotaan yang khas. Gejala kekotaan itu terdiri dari, perubahan ekologi, transfornasi sosial ekonomi, kegiatan masyarakat, problema sosial, dan mobilitas sosial. Perubahan ekologi Kota Denpasar terjadi sesuai dengan perkembangan penduduk, yang mengubah pola pemukiman secara status secara etnis,menjadi pemukiman secara kelas. Pergeseran ini tidak saja menyebabkan terjadinya perubahan bangunan fisik, tetapi juga pergeseran dari penghuni kota lama ke penghuni kota baru. Penghuni kota baru ini menempati bagian-bagian strategias dari kota. Perubahan ekologi juga terjadi karena, kemajuan teknologi dalam pembuatan jalan, jembatan, bangunan, saluran air, dan pembangunan perumahan., teknologi transpotasi. Perubahan ekologi juga disebabkan oleh perubahan organisasi kemasyarakat dari yang berskala rumah tangga ke yang besar. Perkembangan penduduk juga menyebabkan terjadinya transformai sosial.ekonomi seperti semakin melonggar aturan-aturan feodal dan ditinggalkannya cara berproduksi menggunakan tenaga hewan ke tenaga mekanik. Organisasi produksi dipegang oleh unit-umit ekonomi besar. Perkembangan penduduk dan disertai dengan kemajuan ekonomi, melahirkan peningkatan dalam kehidupan keagaman serta semakin menonjolnya kebutuhan melakukan rekreasi dan menikmati hiburan. Perkembangan penduduk juga melahirkan masalah sosial dan masalah ekologis. Masalah ekologis diantaranya, masalah perairan, kepadatan lalu-lintas dan sampah. Masalah perairan terumata di seputar pembuangan air limbah ke got, sedangkan masalah lalu linats yang paling menonjol adalah kemacetan lalu linatas, dan masalah sampah adalah tidak adanya kebiasaan memilahkan sampah organik dan tidak organik. Gejala kekotaan lainnya yang muncul dari urbanisasi adalah, munculnya gaya hidup yang semula berkisar pada gaya hidup jalan Gajah Mada dan Jalan Sulawesi, gaya hidup pasar senggol, gaya hidup kuta, gaya hidup supermarket dan departement store, dan gaya hidup mal. Gaya hidup itu senantiasa melahirlkan dikotomi, tetapi dikotomi yang paling menonjol adalah adanya perbedaan gaya hidup di pasar senggol dan di mal. Daftar Pustaka Stuart- Fox, David J. Bibliography of Bali Publications from l920 to l990. Leiden:KITLV, l992 Putra Agung, A.A.Gde, et al, Sejarah Kota Denpasar l945-l979. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, l989. Wesna Astara, I Wayan. Perkembangan Kota Denpasar Tahun l906-l938. Skripsi , Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, l984. Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara wacana Yogya, l994 Sjoberg, Gideon. The Preindustrial.City: Past and Present. New York: The Free Press, l967. Foster, George. M.Traditional Society and Technological Change. New York: Harper and Row, l973 Brunn, Stanley and Jack F. Williams, eds. Cities of the World: Regional Urban Development. New York: Harper and Row, l983. McGee, T.G. The Southeast Asians City: A Social Geography of the Primate Cities of Southeast Asia. London: G. Bell and Sons, l967. Tri Sulistiyono, Singgih. Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon l959-l930 Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, l994. Prisma. No.6, Junil980, Tahun VIII. Davis, Cullom, et al., Oral History From Tape to Type. Chicago, American Library Association, l977. Singarimbun, Masri dan Soffian Effendi. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES, l982. Gde Agung, Ide Anak Agung . Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta: gadjah Mada University Press, l989. Tim Peneliti Pusdok Bali. Cokorda Alit Ngurah Dari Pembuangan di Lombok sampai revolusi Fisik di Bali l907-l950. Denpasar: Pusdok Bali. l989. Alwasilah, A. Chaeder. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa, l985. Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT> Tiara wacana Yogya, l987. Bagus, I Gusti Ngurah. Dinamika Kebudayaan Sebagai Sistem Komunikasi. Makalah dalam Seminar Nasional Fakultas sastra Unud, Denpasar, l9 Juli l988. Bakker, Frederik Lambertus. The Struggle of the Hindu Balinese Intelellectuals: Development in Modern Hindu Thinking in Independent Indonesia. Amsterdam: V.U:Boekhandel, l993. Dawam Rahardjo, M. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: LP3ES, l987. Mas,oed Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru l966-l971. Jakarta: LP3ES, l989. Last Jef. Cubek di Rimba Raya. Jakarta: Jembatan, l977. Vickers, Adrian. Bali A Paradise Created. Berkeley-Singapore: Periplus Editions, l989. Covarrubias, Miguel. Island of Bali. Oxford: Oxford University Press, l937/l989 Soedarsono, R.M.. Dampak Pariwisata Terhadap Perkembangan Seni di Indonesia. Pidato Ilmiah pada Dies Natalis Kedua Institut Seni Indonesia, yogyakarta 26 Juli l986. Holt, Claire. Art In Indonesia, Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press, l967. Anom Ranuara, Ida Bagus, dkk. Teater Bali dari Masa Ke Masa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pembangunan Kesenian Bali l984/l985. Darma Putra, I Nyoman. Kesenian Bali di Panggung Elektronik: Perbandingan Acara Apresiasi Budaya RRI dan TVRI Denpasar. Paper untuk Workshop on Television in Southeast Asia: The Case of Bali 28-29 Juli l997, University of Wollongong New South Wales Australia. Postman Neil. Menghibur Diri Sampai Mati Mewaspadai Media Televisi. Jakarta: Sinar Harapan, l995. Wijaya, I Nyoman, Sekilas Tentang Yap Sin Tin, Penelitian diseponsori oleh Pusat kajian Budaya, Universitas Udayana.