BAB III KABINET HATTA I MENGHADAPI KONDISI DALAM NEGERI DAN DUNIA INTERNASIONAL
A. Program Kerja Kabinet Hatta I
Pada tanggal 16 Februari 1948, Perdana Menteri Mohammad Hatta
berpidato di muka sidang Badan Pekerja KNIP untuk menjelaskan pokok - pokok
kebijakan politiknya dalam kabinet presidensial. Adapun bunyi program
pemerintah yaitu:
1. Menyelenggarakan Persetujuan Renville dan terus berunding atas dasar - dasar
yang telah disepakati.
2. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat.
3. Mengadakan rasionalisasi ke dalam.
4. Pembangunan.
Dalam program ini tergambar usaha pemerintah ke luar dan ke dalam.
Keluar ialah berunding dengan Belanda untuk menyelesaikan persengketaan
Belanda dengan Republik Indonesia untuk mempercepat terbentuknya Negara
Indonesia Serikat yang berdaulat. Ke dalam ialah menyempurnakan organisasi
dengan perbaikan penghidupan rakyat yang bisa dicapai dengan diadakannya
rasionalisasi besar - besaran beserta dengan pembangunan.1
Secara garis besar program kerja pemerintah dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama yaitu melanjutkan penyelenggaraan Persetujuan Renville, bagian
kedua yaitu rasionalisasi dan reorganisasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1 Mohammad Hatta, Beberapa Pokok Pikiran, Jakarta: UI-Press, 1992, hlm. 24 - 25.
37 38
1. Melanjutkan Penyelenggaraan Persetujuan Renville.
Pokok persoalan sejak proklamasi kemerdekaan adalah hubungan
Republik Indonesia dengan Belanda dimana pengakuan kedaulatan bangsa
Indonesia belum terpenuhi. Dengan adanya campur tangan dunia internasional
muncul harapan baru dalam meyelesaikan persoalan Republik Indonesia
dengan Belanda. Melalui perantaraan Komisi Tiga Negara maka tercapailah
Persetujuan Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Sekarang Persetujuan
Renville sudah ditandatangani dan tinggal cara - cara penyelenggaraan sesuai
dengan asas yang telah disepakati. Penyelenggaraan Persetujuan Renville
bertujuan untuk membentuk dengan secepatnya Negara Indonesia Serikat
yang merdeka dan berdaulat di mata Pemerintah Belanda.
Untuk mencapai tujuan pengakuan diatas maka Pemerintah Republik
Indonesia harus memegang janji dalam menyelenggarakan Persetujuan
Renville apapun resikonya. Tercapainya penyelenggaraan Persetujuan
Renville merupakan kunci terbukanya Republik Indonesia atas dunia
internasional, hal ini terdapat pada hasil Persetujuan Renville yang
menyatakan bahwa sebelum Negara Indonesai Serikat belum terbentuk maka
kedaulatan atas Hindia Belanda (Indonesia) masih di tangan Belanda.2
Dengan terbentuknya negara yang berdaulat maka hilanglah
kegelisahan yang menghantui rakyat dalam aktivitas produksi, dengan
bersatunya Republik Indonesia dalam Negara Indonensia Serikat maka segala
tenaga ekonomi dapat dipusatkan pada pembangunan negara, dan
2 A Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia: Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011, hlm. 61.
39
perhubungan dengan dunia luar dapat terjaga dalam hubungan ekonomi dunia.
Tetapi selama pembentukan Negara Indonesia Serikat belum terlaksana maka
tujuan pembangunan ekonomi pun belum terlaksana. Oleh karena itu
pembentukan Negara Indonesia Serikat itu harus melalui Pemerintah Federal
Sementara dan Pemerintah Republik Indonesia bersedia berperan aktif dalam
pembentukan Pemerintah Federal Sementara yang meliputi seluruh
Indonesia.3
2. Rasionalisasi dan Reorganisasi
Pelaksanaan rasionalisasi ke dalam dengan mengadakan perbaikan
susunan negara dan alat negara serta mengusahakan perimbangan antara
pengeluaran dan pendapatan negara. Pemindahan tenaga kerja dari pekerjaan
yang tidak produktif ke pekerjaan yang produktif menjadi pedoman utama
dalam perimbangan pendapatan dan pengeluaran. Tetapi objek produksi baru
perlu dana yang besar untuk mendatangkan alat - alat produksi, hal ini menjadi
tugas awal yang terlihat akan menghabiskan dana besar tetapi setelah alat -
alat produksi sudah terkondisikan maka tenaga produktif bisa menambah
pendapatan negara.4
Rasionalisasi tidak hanya pemindahan tenaga kerja kepada hal yang
produktif tetapi juga penyederhanaan susunan dan bentuk tata usaha
administrasi negara. Mengenai angkatan perang terjadi pemakaian tenaga yang
tidak produktif, susunan komando yang berat keatas, dengan cita - cita “satu
3 Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato Dari Tahun 1942 sampai dengan 1949, Jakarta: PT Inti Idayu Press, 1981, hlm. 166 - 168.
4 Mohammad Hatta, op.cit., hlm. 33 - 34.
40
tentara satu komando” yang termasuk dalam tentara reguler. Maka tenaga
yang tidak produktif dalam susunan angkatan perang akan disalurkan dalam
objek produksi baru. Jalan lain untuk mencapai perimbangan antara
pendapatan dan pengeluaran yaitu dengan mengurangi pengeluaran,
memperbesar masuknya pajak, memperbesar produksi, dan mengadakan
sanering5 uang dikarenakan banyaknya uang palsu yang beredar dan
merosotnya mata uang. Tujuan akhir dalam rasionalisai adalah perimbangan
pendapatan dan pengeluaran tetapi semua ini hanya akan dicapai apabila
persengketaan antara Republik Indonesia dan Belanda segera diselesaikan.6
B. Kondisi Dalam Negeri
1. Penyelenggaraan Persetujuan Renville
Persetujuan Renville dapat dianggap sebagai titik balik yang
menentukan dalam pembicaraan antara Republik Indonesia dengan Belanda.
Melalui usaha intensif Dewan Keamanan PBB dengan perantaraan Komisi
Tiga Negara memberikan campur tangan yang konkrit dan intensif dengan
meningkatnya kesulitan - kesulitan antara Republik Indonesia dengan Belanda
5 Sanering adalah menciutkan nilai tukar uang akibat memburuknya situasi ekonomi yang sering ditandai dengan besarnya angka inflasi. Dengan sanering ini maka diharapkan ekonomi yang sakit dan berpotensi kebangkrutan akan pulih bahkan lebih sehat dari semula. Kusmayanto Kadina, Redenominasi, Sanering, dan Devaluasi, http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2010/08/03. Diakses pada tanggal 4 Desember 2012.
6 Mohammad Hatta, Beberapa Pokok Pikiran, op.cit., hlm. 34 - 35.
41
setelah penandatanganan Persetujuan Renville.7 Terdapat tiga pokok
kesepakatan sebelum membahas permasalahan politik yaitu, kesepakatan
genjatan senjata dan penghentian tembak - menembak antara pasukan Belanda
dan pasukan Republik Indonesia setelah ditetapkan garis batas antara daerah
Republik Indonesia dengan daerah yang diduduki Belanda akibat Agresi
Militer Belanda I. Apabila terjadi pertikaian antara kedua belah pihak maka
akan ditempuh penyelesaian secara damai.
Hasil Persetujuan Renville ini jelas merugikan bagi Republik
Indonesia dilihat dari wilayah dan mengakibatkan Kebinet Amir Syarifuddin
jatuh. Presiden Sukarno meminta Drs. Mohammad Hatta untuk membentuk
kabinet baru yang berusaha untuk mantaati Persetujuan Renville supaya
strategi diplomasi masih dapat dijalankan dan menambah kepercayaan dunia
internasional.8
Dalam pelaksanaan Persetujuan Renville terdapat tiga peristiwa yang
menjadi peluang Kabinet Hatta I, diantaranya yaitu:
a. Pemindahan Pasukan Republik Indonesia ke Wilayah Republik Indonesia
Berdasarkan Garis Van Mook.
Penghentian tembak - menembak dan pengakuan garis Van Mook
merupakan syarat Persetujuan Renville sebelum membahas permasalahan
politik antara Republik Indonesia dengan Belanda. Tahap awal adalah
penghentian tembak - menembak dan pemindahan pasukan Republik
7 Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 53 - 54.
8 A Kardiyat Wiharyanto, op.cit., hlm. 61 - 62.
42
Indonesia dari daerah yang dikuasai Belanda ke daerah Republik
Indonesia. Pemindahan pasukan ini berdasarkan pada garis Van Mook
sebagai batas antara wilayah Belanda dan wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan pemindahan pasukan atau hijrah ini, yaitu sejak tanggal 1
Februari sampai 22 Februari 1948.9 Hijrah prajurit TNI kurang lebih
35.000 orang dari daerah di Jawa Barat dan Jawa Timur menuju Jawa
Tengah sesuai dengan Persetujuan Renville. Dari jumlah itu sekitar 22.000
orang diberangkatkan dengan kendaraan yang disediakan oleh Belanda,
sedangkan sisanya berjalan kaki melalui medan yang sulit berupa
pegunungan dan hutan. Pelaksanaan hijrah ini selesai dengan sukses pada
tanggal 22 Februari 1948.10
Bagi Pemerintah Republik Indonesia pemindahan pasukan dari
daerah yang sudah mereka kuasai bukan hal yang mudah, mereka baru
pergi dari daerah yang telah di kuasai dengan memberikan jaminan bahwa
PBB akan melaksanakan dan mengamati plebisit - plebisit11 di daerah asal
mereka. Penarikan pasukan ini merupakan ujian dimana Pemerintah
Republik Indonesia akan mendapatkan penilaian dari dunia internasioanal
9 Pramoedya Ananta Toer dkk, Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, hlm. 7.
10 Ibid., hlm. 28.
11 Plebisit adalah pemungutan suara umum di suatu daerah untuk menentukan status daerah itu. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke 3., Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 882.
43
dalam bidang - bidang sebagai berikut;12 Pertama, pelaksanaan
administrasi Pemerintah Republik Indonesia untuk dapat membedakan
mana pasukan Pemerintah dan mana yang tidak. Kedua, apakah
Pemerintah cukup berwibawa, sehingga perintah - perintah akan ditaati
oleh pasukannya. Ketiga, apakah pasukan Pemerintah cukup berdisiplin
untuk melaksanakan tugas itu.
Setelah pelaksanaan hijrah selesai, Buurman van Vreeden
menuduh pasukan Republik Indonesia melanggar genjatan senjata terkait
dengan perintah komandan pasukan yang berada di wilayah Belanda
dengan melakukan aksi subversif, ancaman dan teror terhadap orang -
orang Indonesia yang bekerjasama dengan Belanda. Menurut Mr
Mohamad Roem Pemerintah Republik tidak dapat bertanggungjawab atas
tindakan - tindakan, ancaman dan sabotase yang dilakukan unsur - unsur
yang tidak bertanggungjawab di daerah yang dikuasai Belanda.13
Pernyataan Mr. Mohamad Roem sejalan dengan hasil atau manfaat dari
pelaksanaan hijrah pasukan Republik Indonesia. Selain menegaskan
bahwa yang mengikuti perintah hijrah dapat dikatakan sebagai pasukan
resmi Republik Indonesia juga memberikan kesan bahwa keamanan dan
ketentraman atas daerah Belanda ditangani oleh Belanda sendiri dan tidak
ada alasan yang kuat pasukan Republik Indonesia masih melakukan aksi di
dalam wilayah Belanda. Dalam tataran internasional dapat dijadikan suatu
12 Drs Basuki Suwarno, Hubungan Indonesia - Belanda Periode 1945 - 1950. Jakarta: Pan Percetakan UPAKARA, 1999, hlm. 333.
13 Ide Anak Agung Gede Agung, op.cit., hlm. 89 - 90.
44
legalitas bahwa Pemerintah Republik Indonesia memiliki kekuatan dalam
menghimpun dan mengkoordinir pasukannya sendiri.
b. Pembentukan Negara Boneka oleh Belanda
Tidak sampai seminggu setelah Persetujuan Renville
ditandatangani, secara sepihak Belanda melakukan plebisit di Madura.
Plebisit ini untuk menentukan status Madura antara Republik Indonesia
dan Pemerintah Federal Sementara yang baru tercipta atas bantuan
Belanda. Plebisit ini bertentangan dengan syarat - syarat Persetujuan
Renville karena tidak dilaksanakan di bawah pengamatan KTN dan tidak
dijalankan paling tidak enam bulan setelah panandatanganan persetujuan
itu. Pelaksanaan plebisit tidak berdasarkan pada perundingan serta
pertimbangan - pertimbangan yang bebas dari paksaan mengenai soal -
soal yang penting, kemerdekaan berkumpul dan berbicara, serta
mengeluarkan pengumuman. KTN tidak menyaksikan pelaksanaan plebisit
itu dan meyangsikan adanya pemilihan yang merdeka dari rakyat Madura
yang seharusnya diadakan untuk menentukan status Madura.
Plebisit yang dilaksanakan dalam suatu keadaan perang dengan
larangan praktek kebebasan sipil dan pendudukpun tidak mengetahui
bahwa R.A.A. Tjakradiningrat yang tadinya Residen Republik Indonesia
berpindah haluan membantu Belanda dan diangkat sebagai Wali Negara di
Madura.14 Maka Negara Madura dibentuk dengan cara Belanda sendiri dan
14 George McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Semarang: UNS Press, 1995, hlm. 297 - 299.
45
disahkan dengan dikeluarkannya dekrit Letnan Gubernur Jendral Hindia
Belanda Dr. H.J. van Mook dengan Wali Negara R.A.A. Tjakradiningrat.15
Selanjutnya Belanda membentuk Negara Boneka di Jawa Barat, di
awali dengan Konferensi Jawa Barat pertama hingga Konferensi Jawa
Barat ketiga dengan agenda membentuk suatu pemerintahan sementara
dan dewan perwakilan untuk Negara Bagian Jawa Barat.16 Tanggal 4
Maret 1948 R.A.A. Wiranatakusumah yang menjadi Ketua Dewan
Pertimbangan Agung Republik Indonesia dipilih sebagai Wali Negara
Pasundan oleh Parlemen Sementara Pasundan.
Republik Indonesia selalu mengajukan keberatan - keberatannya
kepada Dewan Keamanan PBB melaui KTN dalam pembentukan negara -
negara boneka ini dan ditanggapi dengan menugaskan KTN di Jakarta
supaya memeriksa permasalahan ini dan melaporkannya kepada Dewan
Keamanan PBB. Keberatan ini didasarkan pada pasal 6 Persetujuan
Renville, bahwa rakyat mendapat suatu jaminan dalam nenentukan
nasibnya di daerah Republik Indonesia yang diduduki Belanda, untuk
menentukan apakah rakyat di daerah itu akan kembali ke Republik
Indonesia atau berdiri di luar Republik Indonesia.17
Bentuk federasi memang disengaja dipraktikkan oleh Letnan
Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook sebagai imbangan dari Republik
15 Pramoedya Ananta Toer dkk, op.cit., hlm. 27
16 George McTurnan Kahin, op.cit., hlm. 305 – 311.
17 Hatta, Kumpulan Pidato Dari Tahun 1942 sampai dengan 1949, op.cit., hlm. 162.
46
Indonesia untuk mencegah Republik Indonesia mendapatkan kedudukan
yang paling menguasai di dalam ketatanegaraan baru ini. Sebenarnya
pembentukan negara federal sudah dimulai sejak Persetujuan Linggarjati
dimana kekuasaan Republik Indonesia meliputi Sumatra, Jawa dan
Madura. Seperti Negara Indonesia Timur dengan Wali Negaranya Anak
Agung yang dibentuk pada akhir Desember 1947, Negara Kalimantan
Timur dan lain sebagainya. Setelah peristiwa didirikannya Negara Madura
dan Negara Pasundan, maka muncul suatu anggapan bahwa terdapat usaha
untuk mengucilkan dan mengepung Republik Indonesia dengan
menggunakan federalisme untuk mengambil sedikit demi sedikit
kekuasaan Republik Indonesia. Anggapan ini tidak hanya muncul dari
kalangan Republik Indonesia tetapi juga dari Indonesia Timur dan
Kalimantan. c. Beberapa insiden antara Republik Indonesia dengan Belanda.
Pada tanggal 16 Agustus 1948 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor
56 Jakarta yang digunakan sebagai kantor delegasi Republik Indonesia
diadakan suatu pesta menyambut ulang tahun Indonesia ketiga esok
harinya. Malam harinya tempat itu dikepung oleh polisi Belanda dan
diperintahkan untuk mengosongkan gedung dikarenakan tidak mempunyai
izin menyelenggarakan pesta. Selanjutnya tanggal 23 Agustus 1948,
Direktur Letnan Gubernur Jenderal Dr. J.P. Koets atas nama Pemerintah
Federal Sementara menulis sepucuk surat kepada Pemerintah Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa dilarang berdiam di Ibu Kota Federal
47
Sementara. Hal ini berdasarkan fakta bahwa banyak orang yang menyalahgunakan kediamannya, larangan ini juga berlaku pada anggota delegasi Republik Indonesia terkecuali selama melakukan kegiatan sebagai delegasi.
Ketua delegasi Republik Indonesia kemudian melaporkan kejadian ini kepada Komisi Tiga Negara bahwa tindakan Pemerintah Belanda bertentangan dengan persetujuan yang dibuat mengenai kekebalan masing
- masing anggota delegasi. Delegasi Belanda menjawab bahwa orang yang diusir telah bersalah melakukan kegiatan - kegiatan yang dilarang sehingga pengusiran mereka tidak dapat dibatalkan.
Kejadian lain pada tanggal 24 Agustus 1948 Pemerintah Federal
Sementara memutuskan untuk mengambil alih dari pihak Republik
Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta yang kebanyakan staff merupakan pegawai Republik Indonesia. Pemerintah Federal Sementara berpendapat bahwa semua pegawai yang berada di wilayah kekuasaan
Belanda harus mematuhi aturan - aturan Belanda. Sehingga Pemerintah
Federal Sementara menuntut kepada pegawai untuk mengucapkan janji setia kepada Pemerintah Belanda. Ketika pegawai negeri Republik
Indonesia tidak mau memenuhi tuntutan itu maka Rumah Sakit Umum
Pusat diambil alih oleh Pemerintah Federal Sementara dan semua pegawainya diganti oleh pegawai Pemerintah Belanda.
Republik Indonesia sebagai pihak yang dirugikan melaporkan kejadian - kejadian diatas. Di dalam laporannya tentang perkembangan
48
paling akhir tertanggal 4 dan 9 September 1948, Republik Indonesia
memohon kepada Dewan Keamanan PBB agar segera diusahakan supaya
persetujuan tentang perletakan senjata ditaati sehingga tercapai suatu
penyelesaian politik, Pemerintah Belanda segera menghentikan politik
sepihak dan segera berunding dengan Republik Indonesia mengenai
pemecahan sengketa sesuai dengan asas - asas Renville. Karena laporan
diatas, martabat Pemerintah Belanda turun di mata Dewan Keamanan PBB
dan Pemerintah Amerika Serikat. Ini dikukuhkan oleh Duta Besar Belanda
van Kleffens di Washington. Ia pun menganjurkan kepada Pemerintah
Hindia Belanda supaya memperhatikan sikap lunak mengenai keputusan
pengusiran para anggota delegasi Republik Indonesia dari Jakarta.18
2. Front Demokrasi Rakyat dan Pemberontakan PKI di Madiun.
Penolakan Drs. Mohammad Hatta atas tuntutan Sayap Kiri pimpinan
Mr. Amir Syarifuddin untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan
pada waktu pembentukan Kabinet Hatta I mendorong munculnya oposisi di
kalangan Sayap kiri yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Program FDR secara keseluruhan menginginkan dibatalkannya Persetujuan
Renville, tidak mengadakan perundingan dengan Belanda sebelum mereka
mengundurkan diri dari Indonesia, dan nasionalisasi harta kekayaan orang
asing lainnya tanpa ganti rugi.
18 Ide Anak Agung Gede Agung, op.cit., hlm. 113 - 116.
49
Terdapat dua dasar keberanian FDR dalam menentang pemerintah,
kekuatan itu berada dalam angkatan perang dan buruh.19 Apabila dihubungkan
dalam program Kabinet Hatta I khususnya “Rera”, kedua kekuatan kelompok
FDR akan mengalami pengikisan. Sebagai contoh eliminasi tentara
masyarakat sulit untuk masuk tentara reguler yang direncanakan oleh
pemerintah, padahal basis FDR berada pada tentara masyarakat. Kekecewaan
FDR yang berbasis di Solo ditambah pula dengan adanya Pasukan Siliwangi
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka muncul bentrokan - bentrokan antara
pasukan pendukung FDR dan Pasukan Siliwangi.
Tanggal 13 Agustus 1948 Muso sebagai tokoh PKI paling senior
kembali ke Indonesia. Awal September 1948 berbagai unsur dalam FDR yaitu
Partai Sosialis, Partai Buruh, PKI, dan Pesindo mengumumkan bahwa mereka
akan berfusi dengan PKI.20 Muso sebagai pimpinannya segera memperbaiki
kelemahan - kelemahan FDR, menentukan taktik baru yang disebut “Koreksi
Besar” dan menyatukan FDR kedalam PKI.21 Pada akhir bulan Agustus 1948
Muso dan pemimpin - pemimpin PKI lainnya melancarkan suatu kampanye
kuat guna menjatuhkan Pemerintah dan menyelaraskan Republik Indonesia
dengan Uni Soviet. Pada tanggal 2 September 1948 Mohammad Hatta
melakukan respons dengan suatu pernyataan yang akan menjadi suatu prinsip
19 George McTurnan Kahin, op.cit., hlm. 328
20 Jacques Lecrec, Amir Syarifuddin 75 Tahun, Prisma, No. 12 Edisi Desember 1982, hlm. 76.
21 Widodo, Lukisan Pemberontakan PKI di Indonesia dan Penumpasannya. Jakarta: Dinas Sejarah TNI AD. 1980. hlm. 37
50
langgeng dari kebijakan luar negeri Republik Indonesia.22 Bahwa tindakan
atas posisi Indonesia dalam mengejar tujuan kepentingan nasional tidak harus
menjadi pengikut antara Uni Soviet ataupun Amerika Serikat tetapi
mempunyai sikap sendiri yang aktif dalam politik internasional.
Pertentangan politik meningkat menjadi insiden bersenjata di Solo.
Insiden terjadi antara simpatisan FDR, lawan - lawan politiknya serta dengan
TNI. Setelah terjadi insiden - insiden bersenjata di Solo pada tanggal 18
September 1948 tokoh - tokoh PKI memproklamasikan berdirinya Republik
Soviet Indonesia di Madiun. Kolonel Djokosuyono diangkat menjadi
Gubernur Militer Madiun dan Komandan Brigade 29 Letnan Kolonel Dahlan
menjadi Komandan Komando Pertempuran Madiun. Pihak pemberontak
menguasai Kota Madiun dan Radio Gelora Pemuda. Dalam pidato radionya di
Madiun, Djokosuyono menyatakan bahwa bagian terpenting dari revolusi
adalah membersihkan tentara Republik Indonesia dari sikap yang reaksioner
dan kolonial. Ia menuduh TNI melakukan kampanye terhadap kelompok
pasukan revolusioner di Solo. Dan kemudian Muso juga menyerang
Pemerintah dengan menyatakan bahwa Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta
telah menjalankan politik kapitulasi terhadap Belanda dan Inggris serta hendak
menjual tanah air kepada kaum kapitalis. Padahal Persetujuan Renville yang
22 Paul F. Gardner, Lima Puluh Tahun Hubungan Amerika Serikat - Indonesia: Bersama dalam Harapan, Sendirian dalam Kecemasan, Jakarta: Sinar Harapan, 1999, hlm. 153.
51
mereka gugat adalah hasil tokoh mereka sendiri, yakni Mr. Amir Syarifuddin
selama menjadi perdana menteri.23
Seiring dengan kecaman - kecaman dari pihak PKI di Madiun segera
diadakan pertemuan antara Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta dan wakil -
wakil pemerintah. Peristiwa di Madiun bagi Drs. Mohammad Hatta
merupakan hal yang ditunggu - tunggu. Setelah pertemuan itu diadakan sidang
kabinet dan memutuskan untuk melikuidasi Perlawanan Madiun.24 Dengan
pecahnya pemberontakan PKI di Madiun, pemerintah segera mengambil
tindakan untuk menumpasnya. Dengan Gerakan Operasi Militer I yang
dilancarkan oleh Angkatan Perang Republik Indonesia, maka hanya dalam
waktu dua minggu pada tanggal 30 September 1948 jam 16.15 Kota Madiun
berhasil direbut kembali. Dua bulan kemudian operasi - operasi penumpasan
dinyatakan berakhir.
Amerika Serikat memperhatikan dengan cermat konfrontasi yang
terjadi antara Drs. Mohammad Hatta dengan PKI. Drs. Mohammad Hatta juga
jelas berusaha mengetahui bagaimana Amerika Serikat bereaksi dalam
kepekaan mereka sekarang terhadap ancaman komunis Cina dan Asia. Konsul
Jenderal Livengood di Jakarta memberi tahu Menteri Luar Negeri Marshall
bahwa Drs. Mohammad Hatta siap untuk melakukan tindakan keras terhadap
unsur - unsur yang keras kepala dan ingin mengetahui pandangan resmi
23 Marwati Djonoed Pusponegoro, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 155.
24 Imam Soedjono, Yang Berlawanan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Yogyakarta: Resis Book, 2006, hlm. 233 - 234.
52
Amerika Serikat, terutama yang menyangkut bantuan kepada pihak Republik
Indonesia dalam menghadapi kaum komunis. Pemerintah Amerika Serikat
menjawab bahwa akan membantu pemerintah yang demokratis dan
nonkomunis tetapi juga menegaskan bahwa penambahan bantuan keuangan
hanya akan dilakukan apabila telah tercapai penyelesaian yang adil dan praktis
atas permasalahan Belanda dengan Republik Indonesia. Pada hari yang sama
Pemerintah Amerika Serikat meminta Pemerintah Belanda supaya mendukung
Mohammad Hatta dalam menghadapi komunis.
Sekitar akhir September 1948 Mohammad Hatta menerima surat dari
Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda Dr. H.J. van Mook yang
menawarkan bantuan tetapi tawaran ini ditolak Drs. Mohammad Hatta. Drs.
Mohammad Hatta memastikan untuk tidak memberikan kekuasaan penuh bagi
Dr. H.J. van Mook untuk memasuki wilayah Republik Indonesia. Munculnya
Pemberontakan di Madiun meningkatkan status Drs. Mohammad Hatta.
Terdapat dua akibat positif dalam peristiwa Pemberontakan di Madiun, yaitu
tentara di Jawa lebih terintegrasi dan secara internasional Pemerintah Republik
Indonesia dilihat Amerika Serikat sebagai pemerintahan yang
bertanggungjawab dan moderat serta nonkomunis. Meskipun Amerika Serikat
tidak dengan segera memberikan dukungannya tetapi mereka semakin yakin
bahwa pemerintahan Drs. Mohammad Hatta dapat dijadikan benteng melawan
komunisme.25
25 Mavis Rose, Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, Jakarta: PT. Gramedia, 1991, hlm. 255 - 259.
53
3. Agresi Militer Belanda II
Pada tanggal 1 November 1948 Dr. Beel sebagai Wakil Tinggi
Mahkota Belanda menggantikan Dr. H.J. van Mook. Dr. Beel ternyata tidak
dapat mengatasi jalan buntu perundingan penyelesaian pertikaian Republik
Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 4 Desember 1948 Perdana Menteri
Mohammad Hatta dalam suatu keterangannya mengatakan bahwa situasi
hubungan antara Republik Indonesia dengan Belanda sudah sangat buruk
sekali. Drs. Mohammad Hatta mengatakan bahwa situasi sekarang sama
keadaannya dengan situasi tanggal 21 Juli 1947.
Kira - kira pukul 05.30 tanggal 19 Desember 1948 Lapangan Terbang
Maguwo dijatuhi bom oleh pesawat - pesawat pembom Mitchel Belanda yang
segera diikuti dengan penerjunan satu batalion pasukan Baret Hijau dibawah
pimpinan Kolonel van Langen. Pasukan Baret Hijau mendapat tugas untuk
merebut Lapangan Terbang Maguwo. Pukul 16.00 Belanda sudah dapat
menduduki seluruh Kota Yogyakarta. Beberapa pemimpin terkemuka yang
sedang berada dalam istana presiden termasuk Presiden Sukarno dan Perdana
Menteri Mohammad Hatta, KSAU Komodor Suryadharma dan lain - lainnya
ditawan Belanda. Presiden Sukarno sebelum ditawan telah berhasil mengirim
dua buah mandat yakni kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Dr.
Soedarsono, L.N. Palar, dan Mr. A.A. Maramis.26 Para pemimpin militer
seperti Panglima Besar Sudirman, Kolonel Simatupang dan lain - lain yang
26 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. Yogyakarta: Dari Hutan Beringan ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai radisional Yogya. 2012. hlm. 79 - 82.
54
berada dalam kota dapat meninggalkan Kota Yogyakarta untuk selanjutnya memimpin gerilya melawan Belanda.
Belanda kemudian menyiarkan berita ke seluruh dunia bahwa perlawanan Republik Indonesia sama sekali tidak berarti dan rakyat menyambut kedatangan Belanda sebagai pembebas. Agar berita yang benar tidak sampai tersiar luas terutama ke luar negeri, Belanda melakukan sensor pers keras sampai 1 Januari 1949.27 Reaksi dunia atas penyerangan Belanda sangat marah, terutama karena berani melanggar suatu persetujuan genjatan senjata yang disponsori oleh PBB, apalagi serangan itu dilakukan di depan anggota KTN sendiri. Selanjutnya PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Repulik Indonesia mengadakan genjatan senjata, mengembalikan pemimpin - pemimpin Republik Indonesia ke Kota Yogyakarta dan melakukan perundingan. Dr. H.H. van Roijen menentang resolusi tersebut dengan alasan karena Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Berita tentang penolakan Belanda didengar oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana ke IX, setelah mendengar sikap Belanda beliau mengadakan rapat rahasia dengan keputusan akan melakukan serangan umum terhadap Kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Serangan Umum mempunyai tujuan sebagai berikut:28
27 A Kardiyat Wiharyanto, op.cit., hlm. 66 - 67.
28 Dwi Ratna Nurhajarini, op.cit., hlm. 84 - 86.
55
a. Tujuan Politik
Mendukung perjuangan perwakilan Republik Indonesia di Dewan
Keamanan PBB yang dipimpin oleh L.N. Palar untuk melawan kampanye
Belanda yang menyatakan “Aksi Polisionilnya” di Indonesia telah
berhasil, karena TNI sudah dihancurkan dan Yogyakarta sudah kembali
normal.
b. Tujuan Psikologis
Mengobarkan semangat juang rakyat dan TNI. Serangan ini
dimagsudkan untuk memulihkan, memupuk dan meningkatkan
kepercayaan rakyat terhadap TNI, karena TNI masih tetap setia pada
tugasnya dan dengan gigih terus berjuang menghalau musuh.
c. Tujuan Militer
Membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih utuh,
masih merupakan satuan yang tertib, teratur dan disiplin, serta mampu
mengadakan perlawanan secara terkoordinasi dan terkonsentrasi.
Disamping itu untuk membuktikan bahwa keberadaan Belanda di
Yogyakarta adalah tidak sah dan berpengaruh terhadap tekad kesetiaan
TNI. Sebaliknya kekuatan dan pengaruh TNI secara de facto dan de jure29
amat besar.
Berita tentang keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949
disebarluaskan melalui jaringan radio AURI dengan sandi PC-2 di Playen,
29 De jure adalah ungkapan yang berarti berdasarkan atau menurut hukum. Wikipedia, De Jure, http://id.wikipedia.org/wiki, Dapat diakses pada tanggal 4 Desember 2012.
56
Wonosari, Gunung Kidul secara beranting menyusuri jaringan radio AURI
Sumatera. Selanjutnya dipancarluaskan ke luar negeri melalui Birma dan
diterima pemancar All India Radio dan akhirnya sampai kepada perwakilan
Republik Indonesia di PBB, New York, Amerika Serikat. Di sisi lain peristiwa
itupun disebarluaskan melalui jaringan radio Pemerintah Republik Indonesia
melalui Wonosari dan Balong sampai ke stasiun radio PDRI di Sumatera.
Secara sepintas laporan fisik Belanda mengenai Serangan 1 Umum
Maret yang disusun pada tanggal 2 Maret 1949 memperlihatkan bahwa
Belanda berusaha untuk menyembunyikan kepanikannya. Dalam laporan
tersebut juga tidak memberitahukan tentang jumlah korban yang jatuh.
Belanda mengakui bahwa Serangan Umum 1 Maret adalah bagus sekali, baik
pelaksanaannya maupun dampaknya bagi dunia internasional. Terutama
karena Serangan Umum 1 Maret disamping serangan - serangan di wilayah -
wilayah lain yang menyebabkan Belanda menjadi kehilangan semangat untuk
tetap ingin mempertahankan Hindia Belanda sebagai koloninya.30
Berbeda dengan keadaan tokoh pemerintahan Kabinet Hatta I yang
sejak awal serangan Agresi Militer Belenda II di tawan. Mereka awalnya
dibagi menjadi dua golongan dengan tempat yang berbeda. Presiden Sukarno,
Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dan Sutan Syahrir dimulai tanggal 22
Desember 1948 di Brastagi sedangkan Perdana Menteri Mohammad Hatta,
Menteri P. P. & K. Mr. Ali Sastroamijoyo, Ketua delegasi Republik Indonesia
30 Drs Basuki Suwarno, Hubungan Indonesia - Belanda Periode 1945 - 1950, Jakarta: Pan Percetakan UPAKARA, 1999, hlm. 355 - 357.
57
dalam perundingan dengan Belanda Mr. Mohamad Roem, Ketua KNIP Mr.
Asaat, Seryadarma dan Pringgodigdo dimulai tanggal 31 Desember 1948
diasingkan di pulau Bangka. Pada tanggal 6 Februari 1949 Presiden Sukarno
dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim di pindah ke Bangka, disatukan
dengan tokoh - tokoh Pemerintah yang sudah ada. Sutan Syahrir setelah
beberapa minggu di Prapat kembali ke Jakarta setelah mengadakan
pembicaraan dengan Perdana Menteri Belanda Dr. Drees.
Para tahanan di Bangka dikurung ditempat istirahat perusahaan timah
Bangka di puncak Gunung Manumbing dekat Kota Muntok. Meskipun gedung
itu besar namun ruang gerak para tahanan dibatasi dengan pagar kawat
berukuran 4 x 6 meter.31 Anggota KTN dan anggota Bijeenkomst voor
Federaal Overleg (BFO) silih berganti mengunjungi para tahanan, mereka
menganggap para tawanan masih merupakan pemerintahan yang sah, tetapi
setelah melihat keadaan di Bangka mereka terkejut. Setelah kembalinya
anggota Komisi Tiga Negara di Jakarta mereka mengirimkan laporan situasi
para tahanan ke Markas Besar PBB dan hal ini diketahui oleh seluruh dunia.
Dr. H.H. van Roijen meminta maaf di PBB melihat reaksi dunia atas
pemberitaan di Bangka dan mengatakan bahwa akan diambil suatu tindakan
secepatnya.32
Strategi Dr. Beel untuk mengusulkan suatu aksi militer mempunyai
dua tujuan. Pertama, Republik Indonesia sebagai suatu kesatuan
31 Husnial Husin Abdullah, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Bangka Belitung, Jakarta: PT Karya Unipress, 1983, hlm. 157 - 179.
32 Mavis Rose, op.cit., hlm. 268.
58
ketatanegaraan harus dihancurkan oleh aksi ini, dan dengan demikian habislah riwayatnya. Kedua, Dr. Beel bermagsud membentuk pemerintahan intern federal yang didasarkan atas Peraturan Pemerintah Federal Sementara dimana wakil - wakil dari negara federal dan unsur - unsur yang dapat bekerjasama dan moderat dari bekas Republik Indonesia. Yang dimagsud Beel adalah orang - orang seperti Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Syahrir dan Prof.
Supomo yang diharapkan mereka dapat mengambil bagian dalam pemerintah interim federal tanpa mewakili bekas Republik Indonesia. Namun Dr. Beel dalam merumuskan rencananya telah lalai memberi perhatian kepada faktor internasional dan dalam negeri yang dapat menentukan bagi perkembangan politik selanjutnya setelah Aksi Militer Belanda II. Pada agresi militer Belanda
I mendapat reaksi keras dari Dewan Keamanan PBB sehingga dibentuk KTN apalagi dengan Agresi Militer Belanda II tentu tindakan Dewan Keamanan
PBB akan lebih intensif lagi.
Dalam bulan Oktober 1948 delegasi Belanda di Jakarta telah memberitahukan kepada Menteri Wilayah Seberang Lautan Mr. Sassen tentang pandangan Amerika Serikat terhadap Republik Indonesia dengan kemungkinan adanya aksi militer. Dalam laporan Dr. Beel lewat telegram menyatakan bahwa delegasi Amerika Serikat dan wakil dari Inggris akan membantu kelompok Drs. Mohammad Hatta dengan segala upaya dan berapapun mahal harganya. Hal ini bertujuan agar Republik Indonesia merupakan panangkal terhadap komunisme, memulai mengadakan stabilitas politik dan merampas kesempatan dengan membuat Belanda tidak mempunyai
59
alasan untuk mengadakan aksi militer. Sudah jelas bahwa Pemerintah
Amerika Serikat dan Inggris akan melawan bila Belanda campur tangan
dengan memakai kekuatan senjata.33
C. Kondisi Dunia Internasional
Setelah selesai Perang Dunia II muncul dua negara pemenang yaitu
Amerika Serikat dan Uni Soviet, kedua negara tersebut membawa ideologi yang
berbeda dan berlanjut pada persaingan hegemoni yang begitu ketat dan
menyeluruh. Mengenai Indonesia dengan situasi merebaknya nasionalisme, bisa
dikatakan masa dimana jati diri masih dalam proses lepas dari penjajah sambil
meraba - raba pada apa selanjutnya yang akan dilakukan. Hal ini menjadi sasaran
kedua negara adikuasa untuk meluaskan pengaruhnya.
Negara pemenang Perang Dunia II membagi dunia atas dua blok, yakni
blok sosialis komunis Uni Soviet dan blok demokrasi kapitalis Amerika Serikat.
Masing - masing negara yang adikuasa ini berupaya menarik sebanyak mungkin
negara ke dalam ruang lingkup pengaruhnya. Persaingan dan pertentangan di
antara keduanya mempengaruhi strategi politik yang akan dilaksanakan oleh
negara manapun di dunia.34
Perbedaan kedua negara adikuasa dalam menyikapi situasi yang ada di
Indonesia adalah Uni Soviet selalu aktif dalam memberikan suara untuk
mendukung dekolonisasi sejalan dengan kondisi Indonesia yang menentang
33 Ide Anak Agung Gde Agung, op.cit., hlm.196 - 197.
34 Frans S. Fernandes, Hubungan Internasional dan Peranan Bangsa Indonesia: Suatu Pendekatan Sejarah, Jakarta: P2LPTK, 1988, hlm. 101 - 102.
60
kembalinya Belanda. Berbeda dengan Amerika Serikat yang mendukung kolonisasi, hal ini dibuktikan dengan negara - negara sekutu yang menginginkan kembali negara jajahannya.35 Mereka lalu mengaitkan masalah dekolonisasi dengan isu Perang Dingin.36
Sekalipun di Amerika Serikat iklim anti kolonial cukup meluas dan kadang - kadang tercermin dalam pidato - pidato para pejabat, tindakan
Pemerintah Amerika Serikat selama tahun - tahun pertama pascaperang tidak mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Selama tahun - tahun pertama pasca perang perhatian terhadap komunisme dipusatkan di Eropa bukan di Asia
Tenggara yang masih diklaim oleh kekuatan kolonial Eropa.37 Berbeda dengan sikap Uni Soviet yang dari awal sudah mulai aktif dalam menyokong perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia terutama dalam forum PBB.
Sebagai usaha untuk membendung komunisme di Eropa, Amerika Serikat melalui program Marshall Plan berusaha membangkitkan negara - negara Eropa terutama Belanda yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Dana bantuan sejumlah $ 506.000.000 yang diberikan kepada Belanda pada bulan Maret sampai
Juni 1948 dengan syarat bahwa sejumlah $ 84.000.000 digunakan pemerintah
Belanda di Hindia Belanda. Tindakan Amerika Serikat menambah bukti
35 Dr. Kuntowijoyo, “Diplomasi Amerika dan Revolusi Indonesia 1945 - 1949: Citra yang Tercabik”, Dalam Radikalisasi Petani, Yogyakarta: Bentang, 1994, hlm. 139.
36 Ibid., hlm. 140.
37 Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Meyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 34.
61
kecurigaan bangsa Indonesia bahwa memang Amerika Serikat bersekutu dengan
Belanda dan memusuhi Republik Indonesia.38
Peran Amerika Serikat melihat Belanda sebagai sekutu, jelas tidak ingin merugikan sekutunya sehingga tidak terlalu dekat dengan Republik Indonesia.
Cara Wakil Belanda dalam mengajukan ultimatum Aksi Militer Belanda II kepada
Republik Indonesia menimbulkan dampak yang sangat mengecewakan Amerika
Serikat termasuk mereka yang tergolong sangat gigih mendukung Belanda. Sikap
Pemerintah Belanda yang terus membangkang terhadap resolusi Dewan
Keamanan PBB dalam melakukan aksi militernya mulai menimbulkan rasa kurang senang terhadap kebijakan Pemerintah Belanda di Hindia Belanda.39
Sejak pertengahan tahun 1948, Pemerintah Amerika Serikat secara berangsur - angsur beralih kepada suatu apresiasi yang lebih baik terhadap
Republik Indonesia. Suatu peralihan yang disebabkan oleh sebuah kombinasi alasan dan kekuatan. Dengan adanya kemajuan komunisme di negeri Cina, negara
- negara di Asia Selatan dan Tenggara nampaknya memasuki garis depan perbatasan komunis yang sedang bergerak maju. Ini membuat Amerika Serikat lebih berhati - hati lagi untuk tidak bersikap bermusuhan di daerah ini. Ditambah perkembangan dalam negeri Republik Indonesia yang membuktikan bahwa petualangan komunis dapat diselesaikannya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tindakan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Pemberontakan PKI di Madiun.
38 George McTurnan Kahin, op.cit., hlm. 321.
39 Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa: Buku I, Jakarta: Departemen Luar Negari Republik Indonesia, 2004, hlm. 230 - 232.
62
Sejak saat itu gagasan untuk memperkuat Mohammad Hatta yang moderat menjadi garis pedoman utama dalam kebijakan Amerika Serikat.40
Setelah menguraikan kebijakan Amerika Serikat terhadap perkembangan antara Belanda dengan Republik Indonesia tepat sekali apabila peran Uni Soviet sebagai negara adikuasa lainnya di jelaskan, hal ini demi keseimbangan. Sikap
Uni Soviet yang anti kolonial dan pro Republik Indonesia terkandung dalam pidato Dr. Dmitri Manuilsky di depan Dewan Keamanan PBB tangal 7 Februari
1947. Bahwa adanya keinginan dari Uni Soviet untuk mengakhiri aksi militer yang dilancarkan oleh tentara Inggris di Indonesia.
Pendirian pemerintah Uni Soviet mulai mengalami perubahan sesudah berkuasanya Kabinet Hatta I, terutama sesudah Drs. Mohammad Hatta menolak usul Uni Soviet untuk menerima Perjanjian Konsuler yang telah diusahakan oleh
Wakil Republik Indonesia di Praha. Semakin bertambah dingin lagi ketika
Kabinet Hatta I menumpas Pemberontakan PKI di Madiun. Menjadi semakin terlihat ketika Delegasi Uni Soviet bersikap menjauhkan diri pada Januari 1949 terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian sengketa Republik
Indonesia dengan Belanda.
Yang terakhir dalam perkembangan sikap Uni Soviet adalah memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang diajukan untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kedua belah pihak yaitu Belanda dan Wakil Negara Indonesia
Serikat yang datang pada kesempatan berakhirnya Konferensi Meja Bundar.
Walaupun penyerahan kedaulatan kepada Indonesia tidak terpengaruh oleh
40 Ibid., hlm. 232.
63
vetonya tetapi tindakan ini sudah jelas sebagai bentuk pernyataan tidak senang terhadap Kabinet Hatta I dan Soekarno. Pemerintah Uni Soviet menganggap
Kabinet Hatta I setelah Pemberontakan PKI di Madiun dan penumpasannya telah menjadi kaki tangan kekuatan imperialis terutama Amerika Serikat.41
41 Ibid., hlm. 244.