Perang Bharata (Bharatayuddha) Di Era Reformasi

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Perang Bharata (Bharatayuddha) Di Era Reformasi GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 7 NOMOR 1 MARET 2020 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK) FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE) INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW PERANG BHARATA (BHARATAYUDDHA) DI ERA REFORMASI I Ketut Agus Murdiana1, I Made Arsa Wiguna2 Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar [email protected], [email protected] Diterima 4 Pebruari 2020, direvisi 15 Pebruari 2020, diterbitkan 1 Maret 2020 ABTRAK War Of Bharatayuddha is a story that tells about the war of cousins in Mahabarata. It happened because of tri incidents, which are power struggle, envy, and incitement of Sengkuni. The goal in this Research is to analyze the incident of Bharatayuddha war, in Mahabarata story. Basically this story has already occured in Indonesia, as we can see and analyze from the conflicts that happened in the country. Conflict is the root of a war that spilled lots of blood. This very conflict had also happened in Indonesia, which is the fight between the people in the country. The essence of Indonesia is being an independent nation filled with diversity in unity, which is built upon the hopes and determination of our ancestors and the nation heroes to create the big nation. The unity of the entire country is absolutely priceless. It is a heritage, a gift from our ancestors who had fought with their lives for unity and independence. Key Word : Bharatayuddha War, Conflict and Unity PENDAHULUAN semua keberagaman Indonesia. Pancasila Indonesia merupakan Negara yang bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia besar yang terdiri dari banyak pulau, provensi, asli, yang menjiwai seluruh aspek kehidupan kabupaten dan kota, serta didalamnya terdapat bangsa Indonesia, budaya dan kehidupan keberagaman budaya dan adat-istiadat, sosial bangsa Indonesia. Dengan pancasila, agama, suku, ras dan golongan tertentu. Dari bangsa Indonesia hidup rukun dengan sikap keberagaman tersebut, Negara Indonesa saling menghargai (toleransi) setiap menjadi kaya akan warisan budaya leluhur perbedaan yang ada. Keragaman bangsa dari keragaman seni dan budaya yang Indonesia itu tertuang dalam semboyan menakjubkan. Sehingga pandangan bangsa bhineka tunggal ika, yang artinya walaupun lain terhadap Indonesia adalah bangsa yang berbeda-beda tetap satu jua yakni bangsa besar, bangsa eksotis/ indah karena Indonesia. Menurut Janu Ismadi (2019: 41) keragamannya dan bangsa yang menarik dasar negara adalah landasan kehidupan perhatian dunia, karena persatuan dan bernegara. Setiap negara harus mempunyai kesatuan bangsanya meskipun dengan landasan kehidupan dalam melaksanakan keberagaman yang ada. Semua itu berjalan kehidupan bernegaranya. Dasar negara bagi selaras dan harmonis serta hidup damai suatu Negara merupakan suatu dasar untuk dibawah landasan dasar bangsa Indonesia mengatur penyelenggaraan negara. yakni pancasila. Persatuan dan kesatuan bangsa Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia yang menyebabkan Indonesia dapat Indonesia yang merangkul, dan mengayomi meraih kemerdekaannya. Dengan sikap Perang Bharata (Bharatayuddha) Di Era Reformasi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar I Ketut Agus Murdiana, I Made Arsa Wiguna 27 GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 7 NOMOR 1 MARET 2020 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK) FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE) INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW bergotong royong bersama-sama melawan terkadang dilakukan berbagai cara untuk bisa penjajah akhirnya Indonesia dapat mengusir mendapatkan kekuasaan tersebut, Karena rasa penjajah dari ibu pertiwi. Namun dengan ego yang tinggi sehingga kadang kemerdekaan Indonesia bukan berarti bangsa menimbulkan iri hati dan menghilangkan rasa Indonsia terbebas dari masalah-masalah toleransi terhadap lawan politik. Cara-cara kehidupan bangsa untuk selalu merdeka. yang tidak baik seperti menebarkan isue Karena tugas yang lebih berat yang terjadi saat hoaks, berita-berita yang menjatuhkan lawan ini adalah mempertahankan kemerdekaan. politiknya untuk dapat memenangkan Kemerdekaan itu dapat dihancurkan dengan kekuasan itu. Tanpa disadari juga pihak luar strategi yang tidak terlihat, seperti halnya yang menginginkan kehancuran bangsa ini, paham-paham baru yang dapat merubah ikut memberikan hasutan-hasutan yang minsed (pemikiran) masyarakat sehingga berpura-pura memberi dukungan. Dan menimbulkan niat untuk merubah segala yang akhirnya memusuhi saudara, kerabat, maupun sudah ada, merubah warisan leluhur, bangsa Indonesia sendiri. menganti landasan dan tantanan hidup bangsa Contoh kasus perang saudara yang ada Indonesia, yang sudah tertata rapi. Seperti di Indonesia diantaranya yakni perang saudara yang diutarakan oleh Ir. Soekarno bahwa diambon pada tahun 1999 yang disebabkan “ perjuangaku lebih mudah karena melawan oleh konflik antar ras. Konflik ini bermula penjajah, tetapi akan lebih sulit ketika dari konflik lokal antara seorang sopir Taxi melawan bangsa sendiri”. Dari pidato itu dengan penumpangnya. Namun konflik ini dapat kita simpulkan bahwa kehancuran dari menjadi besar karena adanya provokator dan sebuah Negara yang besar dikarenakan provokasi yang menyulut api kemarahan hilangnya persatuan, rasa persaudaraan, dan kedua pihak akhirnya membawa suku dan ras kepercayaan terhadap pemimpinnya. agama sehingga terjadinya perang saudara. Ketika rakyat sudah kehilangan kepercayaan Kemudian perang saudara yang diakibatkan terhadap pemimpinnya, maka perselisihan oleh politik yang ingin merusak persatuan akan sering terjadi, kerusuhan dimana-mana, bangsa dengan paham-paham baru dan perpecahan pun tidak bisa elakan lagi. diantaranya adalah konflik pemerintah Penyebab-penyebab terjadinya melawan kelompok sparatis kasus GAM perpecahan persatuan dan kesatuan adalah (gerakan aceh merdeka), kasus trisakti, dan kekusaan, adanya penindasan, tidak adanya kasus SUPERSEMAR. Dan masih banyak sikap toleransi, politik adu domba, rasa ego lagi kasus-kasus perang saudara, yang terjadi dan iri hati yang tinggi. Hal ini bisa kita di Indonesia akibat dari berkurangnya sikap melihat dari cerita mahabarata dimana sebuah toleransi untuk mengahargai dan perang saudara (Bharatayudha) terjadi karena menghormati satu sama lain. perebutan kekuasan, adanya penindasan, Berdasarkan kasus yang sudah terjadi memudarnya rasa toleransi, rasa ego dan iri dapat diuraikan kedalam Rumusan masalah hati yang tinggi, dan tentunya yang sangat yakni : 1). Apa Hakikat dari perang saudara ? fatal adalah politik adu domba yang 2) apa yang menyebabkan terjadinya perang mengelapkan pikiran sehingga melupakan saudara (Bharatayudha))? 3) bagaimana asal usul, perasudaraan, dan bagaimana kita strategi pemerinah Indonesia mengantisipasi bisa ada menikmati segala yang telah ada. terjadinya perang saudara yang dapat Dalam realita saat ini Negara Indonesia sudah menimbulkan perpecahan persatuan dan mengadapi persoalan tersebut. Semua orang kesatuan Indonesia? Dengan rumusan menginginkan memliki kekuasan untuk bisa masalah ini, peneliti berupaya untuk mengusai dan mengatur segalanya serta memberikan hasil berupa gambaran tentang dihormati karena kekuasaanya itu. Ini perang saudara (Bharatayudha) yang terjadi Perang Bharata (Bharatayuddha) Di Era Reformasi 28 Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar I Ketut Agus Murdiana, I Made Arsa Wiguna GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 7 NOMOR 1 MARET 2020 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK) FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE) INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW di Indonesia dan langkah-langkah yang sudah benang merah bahwa makhluk yang ada di dilakukan pemerintah dalam menanggapi dan dunia ini adalah bersaudara. Bukan karena memecah masalah tersebut. adanya hubungan darah maka dikatakan saudara, tetapi melihat dari penciptaan Tuhan Hakikat perang saudara (Bharathayuddha) Yang Maha Esa semua adalah bersaudara. Kisah Bharatayuddha terdapat Namun saudara itu terdapat tingkat kedekatan berbagai versi dan pengertian. Di Indonesia berdasarkan tempat dan keberadaannya. Jika sendiri terdapat lakon pewayangan yang antar keluarga, suku, agama yang sama mengisahkan tentang Bharatayuddha. Namun disebut saudara dekat yang memiliki pada intinya dalam kisah Bharatayuddha baik kepercayaan atas keyakinan yang sama. Antar dalam lakon pewayangan maupun versi cerita saudara warga Negara, merupakan saudara Mahabarata adalah sama, menceritakan tanah air, karena berada pada satu tentang perang saudara. Dalam cerita Jawa negara/bangsa . Dan jika saudara hidup Bharathayudda merupakan lakon didunia disebut warga negara dunia, karena pewayangan dan familier dalam masyrakat. berada pada planet yang sama yakni bumi. Bharathayudha sendiri merupakan sebuah Maka dari itu pada hakekatnya semua mahluk lakon gubahan Mpu Sedah (dan Mpu Panuluh termasuk manusia adalah saudara. Ketika sebagai penerus penulis Barathayudda) pada terjadi konflik atau perang, maka hal itu dapat tahun 1079 dibawah perintah raja Jayabaya. dikatakan sebagai perang saudara. Kekawin / Serat Bharatayuddha ini Dalam konteks keberadaanya banyak merupakan pengambaran peperangan saudara terjadinya perang saudara di Indonesia, yang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala diakibatkan oleh konflik-konflik internal (Widyaswoko, 2018 :125). bangsa Indonesia sendiri. Untuk itu bangsa Menurut Si Luh Nyoman Seriadi indonesa perlu untuk mengintropeksi diri (2016:36), pada dasarnya mannusia melalui cerita Maha Bharata, dalam mencegah diciptakan di dunia
Recommended publications
  • Concise Ancient History of Indonesia.Pdf
    CONCISE ANCIENT HISTORY OF INDONESIA CONCISE ANCIENT HISTORY O F INDONESIA BY SATYAWATI SULEIMAN THE ARCHAEOLOGICAL FOUNDATION JAKARTA Copyright by The Archaeological Foundation ]or The National Archaeological Institute 1974 Sponsored by The Ford Foundation Printed by Djambatan — Jakarta Percetakan Endang CONTENTS Preface • • VI I. The Prehistory of Indonesia 1 Early man ; The Foodgathering Stage or Palaeolithic ; The Developed Stage of Foodgathering or Epi-Palaeo- lithic ; The Foodproducing Stage or Neolithic ; The Stage of Craftsmanship or The Early Metal Stage. II. The first contacts with Hinduism and Buddhism 10 III. The first inscriptions 14 IV. Sumatra — The rise of Srivijaya 16 V. Sanjayas and Shailendras 19 VI. Shailendras in Sumatra • •.. 23 VII. Java from 860 A.D. to the 12th century • • 27 VIII. Singhasari • • 30 IX. Majapahit 33 X. The Nusantara : The other islands 38 West Java ; Bali ; Sumatra ; Kalimantan. Bibliography 52 V PREFACE This book is intended to serve as a framework for the ancient history of Indonesia in a concise form. Published for the first time more than a decade ago as a booklet in a modest cyclostyled shape by the Cultural Department of the Indonesian Embassy in India, it has been revised several times in Jakarta in the same form to keep up to date with new discoveries and current theories. Since it seemed to have filled a need felt by foreigners as well as Indonesians to obtain an elementary knowledge of Indonesia's past, it has been thought wise to publish it now in a printed form with the aim to reach a larger public than before.
    [Show full text]
  • Kakawin Ramayana
    KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi.
    [Show full text]
  • Provisional Reel List
    Manuscripts of the National Library of Indonesia Reel no. Title MS call no. 1.01 Lokapala CS 1 1.02 Sajarah Pari Sawuli CS 2 1.03 Babad Tanah Jawi CS 3 2.01 Pratelan Warni-warni Bab Sajarah Tanah Jawa CS 4 2.02 Damarwulan CS 5 2.03 Menak Cina CS 6 3.01 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 7 3.02 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 9 3.03 Ambiya CS 10 4.01 Kakawin Bharatayuddha CS 11a 4.02 Menak Lare CS 13 4.03 Babad Tanah Jawi CS 14a 5.01 Babad Tanah Jawi CS 14b 5.02 Babad Tanah Jawi CS 14c 6.01 Babad Tanah Jawi CS 14d 6.02 Babad Tanah Jawi CS 14e 7.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 17 7.02 Tedhak Dalem PB IX Dhateng Tegalganda CS 18 7.03 Serat Warni-warni CS 19 7.04 Babad Dipanagara lan Babad Nagari Purwareja KBG 5 8.01 Platuk Bawang, Serat CS 20 8.02 Wulang Reh CS 21 8.03 Cabolek, Serat CS 22 8.04 Kancil CS25 8.05 Carakabasa CS 27 8.06 Manuhara, Serat CS 29 8.07 Pawulang Ing Budi, Serat CS 30 8.08 Babad Dipanegara CS 31a 8.09 Dalil, Serat CS 28 9.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 32 9.02 Primbon Matan Sitin CS 33 9.03 Harun ar-Rasyid, Cerita CS 34 9.04 Suluk Sukarsa CS 35 9.05 Murtasiyah CS 36 9.06 Salokantara CS 37 9.07 Panitipraja lsp CS 38 9.08 Babasan Saloka Paribasan CS 39 9.09 Babad Siliwangi CS 40 9.10 Dasanama Kawi Jarwa (Cirebonan) CS 42 9.11 Primbon Br 139 9.12 Pantitipraja lap KBG 343 10.01 Babad Dipanegara CS 31b 10.02 Babad Tanah Jawi (Adam - Jaka Tingkir) KBG 7a 11.01 Babad Tanah Jawi KBG 7c 11.02 Babad Tanah Jawi KBG 7d 11.03 Babad Tanah Jawi KBG 7e 11.04 Purwakanda Br 103a 12.01 Purwakanda Br 103b 12.02 Purwakandha Br 103c 12.03 Purwakandha Br 103d Reel no.
    [Show full text]
  • Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance Using Thick Description Approach
    Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance using Thick Description Approach Mario Nugroho Willyarto1, Krismarliyanti2 and Ulani Yunus3 1 Language Center, Primary Teacher Education Department, Faculty of Humanities, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 2Independent Writer 3 Marketing Communication Program, Communication Department, Faculty of Economics & Communication, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 Keywords: Wayang Kulit, Thick Description, Cultural Heritage Abstract: This paper described the meaning of Wayang Kulit in Javanese philosophy, a brief description of the figures represented by the puppets. Wayang is one of the cultural heritages of Java which is very deep understanding of the culture and character of the people of Indonesia. The meaning of symbols of wayang is the focus of this paper. The symbols are represented by character of Semar, Bagong, Petruk and Gareng. What is the role wayang in daily life, especially for Indonesian people, is becoming the main discussion as well. There are a lot of wayang performances that have a deep meaning of the life itself. Although there are some scholars who say that wayang is originally from India but it is not proved and, in the end, people accepted that wayang came from Java. Opinion about wayang originated from India was because the story in the puppet was adapted from the Mahabharata story originating from India. Using the concept of thick description by Clifford Geertz, the author tries to explain about the history and character of the puppet figures according to Javanese philosophy. Prominent figures such as Semar, Gareng, Petruk and Bagong were the reflection of the ideal human being depicted with an imperfect physical form.
    [Show full text]
  • Of Manuscripts and Charters Which Are Mentioned In
    INDEX OF MANUSCRIPTS AND CHARTERS WHICH ARE MENTIONED IN TABLES A AND B 1 Page Page Adip. - Adiparwa . 94 Dj.pur. - Jayapural}.a . 106 Ag. - Agastyaparwa . 103 Dpt. - VangQang petak . 106 A.N. - Afiang Nilartha . 1(}3 A.P. - Arjuna Pralabda 103 E46 91 A.W. - Arjunawijaya 100 Gh. - Ghatotkaca.\;raya 97 Babi Ch. A . 94 G.O. - GeQangan Ch. 90 BarabuQur (inscription) 90 Gob1eg Ch. (Pura Batur) B . 95 Batuan Ch.. 94 Batunya Ch. A I . 93 H. - Hari\;raya Kakawin 106 Batur P. Abang Ch. A 94 Hr. - Hariwijaya 106 B.B. - Babad Bla-Batuh 103 Hrsw. - Kidung Har~awijaya . 107 Bebetin Ch. A I . 91 H.W. - Hariwang\;a 95 B.K. - Bhoma.lcawya . 104 J.D. - Mausalaparwa . 110 B.P. - Bhi~maparwa . 104 Br. I pp. 607 ff. 95 K.A. - Kembang Arum Ch. 92 pp. 613 ff.. 95 Kid. Adip. - Kidung Adiparwa 106 pp. 619 ff.. 95 K.K. - KufijarakarQ.a . 108 Br. II pp. 49 if. 95 K.O. I . 92 Brh. - Brahmal}.Qa-pural}.a . 105 II 90 Bs. - Bhimaswarga 104 V 94 B.T. - Bagus Turunan 104 VII . 93 Bulihan Ch.. 97 VIII 92 Buwahan Ch. A 93 XI 91 Buwahan Ch. E 97 XIV 91 B.Y. - Bharatayuddha 96 XV. 91 XVII 92 C. - Cupak 106 XXII 93 c.A. - Calon Arang 105 Kor. - Korawa\;rama . 108 Campaga Ch. A 97 Kr. - Krtabasa 108 Campaga Ch. C 99 Kr.B. - Chronicle of Bayu . 106 Catur. - Caturyuga 106 Krsn. - Kr~l}.iintaka 108 Charter Frankfurt N.S. K.S. - Kidung Sunda . 101 No.
    [Show full text]
  • Wayang Kulit in Bali and Wayang Listrik in America
    Wesleyan University The Honors College A Sense of Place: Wayang kulit in Bali and wayang listrik in America by Tessa Charlotte Prada Young Class of 2013 A thesis submitted to the faculty of Wesleyan University in partial fulfillment of the requirements for the Degree of Bachelor of Arts with Departmental Honors in Theater and the East Asian Studies Program Middletown, CT April, 2013 Young 2 TABLE OF CONTENTS LIST OF FIGURES …………………………………………………………………… 3 ACKNOWLEDGEMENTS ……………………………………………………………… 4 INTRODUCTION ……………………………………………………………………… 5 WAYANG KULIT IN BALI……………………………………………………………… 6 WAYANG KULIT AS A CHANGING RITUAL …………………………………………… 14 SHADOWLIGHT PRODUCTIONS ……………………………………………………… 19 DREAMSHADOWS…………………………………………………………… 22 IN XANADU ………………………………………………………………… 26 SIDHA KARYA ……………………………………………………………… 29 MAYADENAWA ……………………………………………………………… 32 ELECTRIC SHADOWS OF BALI: AMBROSIA OF IMMORTALITY ………………… 33 COYOTE’S JOURNEY AND AFTERWARD ……………………………………… 35 TRANSLATING RITUAL ACROSS CULTURAL BOUNDARIES ………………………… 38 CONCLUSION ……………………………………………………………………… 44 APPENDIX I: DEFINITIONS ………………………………………………………… 47 WORKS CITED ……………………………………………………………………… 49 Young 3 LIST OF FIGURES FIGURE 1. Balinese wayang of Arjuna ……………………………………………… 10 Balinese Puppet, Arjuna. N.d. Australian Museum, Sydney, Austrialia. Australian Museum. 28 July 2011. Web. 11 Apr. 2013. <http://australianmuseum.net.au/image/Balinese-Puppet-Arjuna-E79061>. FIGURE 2. Balinese wayang of Durasasana ………………………………………… 11 Wayang Kulit Figure, Representing Dursasana. Before 1933. Tropenmuseum,
    [Show full text]
  • H. Creese Ultimate Loyalties. the Self-Immolation of Women in Java and Bali
    H. Creese Ultimate loyalties. The self-immolation of women in Java and Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, 131-166 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl HELEN CREESE Ultimate Loyalties The Self-immolation of Women in Java and Bali Her deep sorrow became intolerable) and as there seemed nothing else to wait for, she. hurriedly prepared herself for death. She drew the dagger she had been holding all the while, which sparkled now taken from its sheath. She then threw herself fearlessly on it,.and her blood gushed forth like red mineral. (Bharatayuddha.45.1-45.2, Supomo 1993:242.1) With this, Satyawati, the wife of the hero Salya, cruelly slain in the battle between the Pandawas and Korawas, ends her life in the ultimate display of love and fidelity, choosing to follow her husband to the next world rather • than remain in this one without him. On hearing the news of Salya's death, Satyawati sets out to join him, firm in the knowledge that 'her life began to end the moment she fell asleep the night before', when &alya slipped from her bed and left her, and although she 'still had a body [...] it was just like a casket, for her spirit had gone when the king went into battle' {Bharatayuddha 42.4). Accompanied by her maid, Sugandhika, she wanders the battlefield, slip- ping in its 'river of blood' and stumbling over 'stinking corpses' as she search- es in vain for Salyas body.
    [Show full text]
  • The Wajang. There Are, in Particular, Collections of Short Resumes of Wajang Lakon, That Is, of Plots Or Scenarios of Wajang Perform­ Ances
    THE WAJANG AS A PHILOSOPHICAL THEME* P. J. Zoetmulder, S.J. There exist large numbers of modern Javanese texts relating to the wajang. There are, in particular, collections of short resumes of wajang lakon, that is, of plots or scenarios of wajang perform­ ances. These collections, called ipakem, are more or less manuals for dalang and may contain, apart from the stories themselves in bare outline, technical instructions concerning the music which is to accompany the various scenes, the chants sung by the dalang, etc. A good dalang would, however, consider it beneath his dignity to use these'pakem, as he is the bearer of a tradition transmitted orally from father to son or from guru to pupil. That is why there are so few "librettos" of these Javanese "operas" written down just as the dalang speaks them in his eight-to-nine-hour-long performance. Those that exist were written down in the nineteenth century for the benefit of those westerners whose interest in the wajang was aroused and who wanted to read and to study at their leisure what they had heard in those fleeting moments when the wajang was performed, or to study the peculiarities of the dalang's language. Indeed, these pakem (as manuals) can hardly be called literature at all. The complete lakon texts are only to be thought of as literature in a rather general way. But during the literary revival at the court of Surakarta in the early nineteenth century the wajang stories also became a source of inspiration for important works of considerable literary merit.
    [Show full text]
  • Downloaded From
    H. Creese Old Javanese studies; A review of the field In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, 3-33 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/27/2021 04:40:52AM via free access HELEN CREESE Old Javanese Studies A Review of the Field For nearly two hundred years the academic study of the languages and liter- atures of ancient Java has attracted the attention of scholars. Interest in Old Javanese had its genesis in the Orientalist traditions of early nineteenth-cen- tury European scholarship. Until the end of the colonial period, the study of Old Javanese was dominated by Dutch scholars whose main interest was philology. Not surprisingly, the number of researchers working in this field has never been large, but as the field has expanded from its original philo- logical focus to encompass research in a variety of disciplines, it has remain1 ed a small but viable research area in the wider field of Indonesian studies. As a number of recent review articles have shown (Andaya and Andaya 1995; Aung-Thwin 1995; McVey 1995; Reynolds 1995), in the field of South- east Asian studies as a whole, issues of modern state formation and devel- opment have dominated the interest of scholars and commentators. Within this academic framework, interest in the Indonesian archipelago in the period since independence has also focused largely on issues relating to the modern Indonesian state; This focus on national concerns has not lent itself well to a .rich ongoing scholarship on regional cultures, whether ancient or modern.
    [Show full text]
  • The Goddess Durga in the East-Javanese Period
    H a r ia n i Sa n t i k o Universitas Indonesia, Jakarta The Goddess Durga in the East-Javanese Period Abstract This article assesses the changing perceptions of the goddess Durga in Java in the tenth to the fifteenth centuries C.E. From an early perception of her as a beneficent goddess, slayer of the demon Mahisa and protector of welfare and fertility, we see later portrayals of her with a frightful countenance and a predilection for graveyards. This change is traced through the mythology to poorly understood Tantric practices that deteriorated into black magic and the coercion of the goddess’s power for evil purposes, causing her image in Java to become tarnished and turning her into an evil demon. Keywords: Durga— Mahisas"ura— Tantrism— Javanese mythology— antiquities Asian Folklore Studies, Volume 56,1997: 209—226 RCHAEOLOGICAL REMAINS in the form of statues of the goddess {bhatarl) Durga, Durga the destroyer of Mahisas'ura, are quite numer­ ous in Java. The oldest of these statues is estimated to date from around the eighth century C.E.,while the most recent is from about the fifteenth century. On the basis of their characteristics and of the area where they were found, these Durga MahisasuramardinI statues can be divided into two large groups: those from the Central Javanese era, dating to between the eighth century and the beginning of the tenth century, and those of the East Javanese period, which date between the middle of the tenth century and the fifteenth century C.E. The Central Javanese period is very rich in archaeological remains (especially from early Hindu-Buddhist times), though relatively lacking in written data.
    [Show full text]
  • A STUDY of the SUTASOMA KAKAWIN.Pdf (PDF, 8.03MB)
    l The University of Sydney Copyright in relation to this thesis* Under the Copyright Act 1968 (several provisions of which are referred to below), this thesis must be used only under the normal conditions of scholarly fa1r dealing for the purposes of research, criticism or review. In particular no results or conclusions should be extracted from it, nor should it be copied or closely paraphrased in whole or in part without the written consent of the author. Proper written acknowledgement should be made for any assistance obtained from this thesis. Under Section 35(2) of the Copyright Act 1968 'the author of a literary, dramatic, musical or artistic work is the owner of any copyright subsisting in the work·. By virtue of Section 32(1 ) copyright 1Subsists in an original literary, dramatic, musical or artistic work that is unpublished' and of which the author was an Australian citizen, an Australian protected person or a person resident in Australia. The Act, by Section 36(1) provides: 'Subject to this Act, the copyright in a literary, dramatic, musical or artistic work is infringed by a person who, not being the owner of the copyright and without the licence of the owner of the copyright, does in Australia, or authorises the doing in Australia of, any act comprised in the copyright'. Section 31 (1 )(a)(i) provides that copyright includes the exclusive right to 'reproduce the work in a material form'. Thus, copyright is infringed by a person who, not being the owner of the copyright and without the licence of the owner of the copyright, reproduces or authorises the reproduction of a work, or of more than a reasonable part of the v.
    [Show full text]
  • Komunikasi Militer Ii~ Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi ~Iii~
    Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi ~i~ Komunikasi Militer ii~ Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi ~iii~ Komunikasi Militer Diterbitkan atas kerjasama: ASPIK M iv~ Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi KOMUNIKASI MILITER © Penulis Penulis: Tim Penulis Editor: Dr. Puji Lestari, M.Si., Agung Prabowo, M.Si., Aswad Ishak, M.Si., Fajar Junaedi, M. Si., Drs. Setio Budi HH, M. Si., Y. Widodo. M.A. Perancang sampul: Mapa Gambar Cover: Istimewa Penata Letak: Mapa Pertama kali diterbitkan oleh Bekerja sama dengan Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Cetakan Pertama, Juli 2012 xxviii+662 hlm.; 15.5x23.5cm ISBN: 978-602-7636-10-1 Dicetak Oleh: Mata Padi Pressindo 08179407446, 081227837806 [email protected], [email protected] KATA PENGANTAR KEMENTERIAN PERTAHANAN RI SEKRETARIAT JENDERAL Eris Herryanto, M.A. Marsekal Madya TNI Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era globalisasi telah membawa implikasi munculnya tantangan baru dalam konteks ketahanan nasional. Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, perang asimentris semakin mengemuka dalam percaturan global. Kita bisa melihat bagaimana, Amerika Serikat yang notabene merupakan satu-satunya negara adidaya, berhasil ditembus sistem pertahanannya oleh kelompok teroris Al Qaeda melalui aksi pembajakan pesawat yang diakhiri dengan menabrakan pesawat yang mereka bajak ke menara kembar gedung World Trade Center (WTC) pada tanggal 11 September 2001. Selain serangan pada tanggal 11 September ini, kelompok Al Qaeda juga melakukan serangkaian aksi terror yang mereka tujukan pada fasilitas yang berhubungan dengan kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara.
    [Show full text]