UNIVERSITAS

ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT

TESIS

DONY ARMANTO 0906577034

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KELAUTAN DEPOK JANUARI 2012

Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

2

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

DONY ARMANTO 0906577034

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KELAUTAN DEPOK JANUARI 2012

ii

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 3

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Dony Armanto

NPM : 0906577034

Tanda Tangan : ......

Tanggal : 3 Januari 2012

iii Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

4

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh: Nama : Dony Armanto NPM : 0906577034 Program Studi : Magister Ilmu Kelautan Judul Tesis : Analisis Aspek Biologi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Prof. Dr. Ir. Ono K. Sumadhiharga (...... )

Pembimbing II : Drs. Sundowo Harminto, M.Sc (...... )

Penguji I : Prof. Dr. Ir. Asikin Djamali (...... )

Penguji II : Dr. rer. nat. Yasman, S.Si., M.Sc (...... )

Ditetapkan : Depok Tanggal : 3 Januari 2012

iv Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga tesis “ANALISIS ASPEK BIOLOGI IKAN TERBANG Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, DI PERAIRAN PEMUTERAN, BALI BARAT” ini berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Kelautan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F- MIPA), Universitas Indonesia. Ikan terbang Cheilopogon katoptron merupakan hasil tangkapan utama yang banyak tertangkap dengan pengoperasian jaring insang ( gillnet) di perairan Pemuteran Bali Barat. Pemanfaatan ikan terbang yang tidak terkendali dapat mengancam kelestarian ikan terbang. Salah satu informasi ilmiah yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan dan konservasi ikan terbang antara lain adalah biologi reproduksi dan parameter lingkungan perairan. Maka itu, muncul pemikiran yang mendorong penulis untuk meneliti aspek biologi reproduksi, parameter lingkungan perairan dan jenis makanan utama ikan terbang di perairan Bali Barat. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ono Kurnaen Sumadhiharga, M.Sc., dan Bapak Drs. Sundowo Harminto, M.Sc., selaku pembimbing I dan pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga selesainya tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Asikin Djamali (Dosen pengajar Pascasarjana di F-MIPA UI), yang telah memberikan informasi tambahan, saran, dan studi literatur. 3. Bapak Parino (mantan Teknisi Litkayasa Penyelia di Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI-Jakarta), yang telah membantu dalam proses pengumpulan data parameter fisik air laut dan identifikasi spesies ikan terbang, mulai dari April 2011 hingga Juni 2011. 4. Ibu Sugestiningsih (Teknisi Litkayasa Penyelia di Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI-Jakarta), yang telah membantu dalam proses

v Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

6

pengumpulan data dan identifikasi plankton, mulai dari April 2011 hingga Juni 2011. 5. Prof. Dr. Harianti (Peneliti Utama di Balai Besar Riset dan Penelitian Budidaya Laut, Gondol-Bali), yang telah membantu dalam proses analisis isi perut dan gonad ikan terbang, mulai dari April 2011 hingga Juni 2011. 6. Dr. A. Harsono, M.Sc., dan Dra. Tuty Handayani, M.S., selaku Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 7. Bapak Miazwir dan segenap pimpinan di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, yang telah memberikan bantuan dan dukungan non-teknis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tahapan perkuliahan hingga penyusunan laporan akhir pada Program Magister Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 8. Isteriku (Arik Sulandari) dan anak-anakku tercinta (Azim Asshidiq Rama Dhani & Qaisara Shifa Batrishyadhani), yang telah memberikan semangat dan motivasi yang luar biasa, sehingga ayah dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. 9. Para sahabat dan teman-teman se-angkatan pada Program Magister Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, yang telah memberi teladan yang baik.

Demikian tulisan ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini, maka itu penulis berharap adanya masukan dan saran dari para dosen, para ahli dan pemerhati yang membaca tesis ini, demi penyempurnaannya di kemudian hari.

Depok, Januari 2012

Penulis

vi Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 7

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Dony Armanto NPM : 0906577034 Program Studi : Magister Ilmu Kelautan Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non- ekslusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Analisis Aspek Biologi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat”, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 3 Januari 201220 Yang menyatakan:

(Dony Armanto)

vii Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

8

ABSTRAK

Nama : Dony Armanto Program Studi : Magister Ilmu Kelautan Judul : Analisis Aspek Biologi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat

Aspek biologi ikan terbang merupakan salah satu informasi ilmiah yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaannya. Aspek ini diuji pada ikan terbang Cheilopogon katoptron yang merupakan hasil tangkapan utama nelayan di perairan Pemuteran Bali Barat, dengan pengoperasian drift gillnet selama bulan April-Juni 2011. Aspek biologi merupakan permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian, dengan tujuan untuk memperoleh informasi nisbah kelamin, pola pertumbuhan, kondisi, masa pemijahan, kondisi lingkungan, dan makanan. Pengumpulan sampel meliputi data panjang-berat, kematangan gonad, isi perut, data parameter fisik air dan populasi plankton. Data dianalisis dengan fungsi regresi, uji-t dan koefisien determinasi. Data sebaran panjang untuk ikan terbang jantan pada 168-231 mm dan betina 158-284 mm, dengan perbandingan sex ratio jantan-betina sebesar 1,8:1,0. Kondisi ikan terbang jenis ini dinyatakan sebagai ikan yang kurus dan belum memasuki masa pemijahan. Pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata dan keeratan yang tinggi terhadap pertambahan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan (2,6 %) dan betina (1,8 %). Pertambahan panjang ikan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, yakni pada kisaran 1,7 - 2,8 %. Pada bulan Juni 2011, perairan Pemuteran Bali Barat diduga terjadi upwelling, yang didukung oleh data parameter fisik air laut dan adanya lonjakan pertumbuhan fitoplankton.

Kata kunci: biologi reproduksi, Bali Barat, Cheilopogon katoptron, drift gillnet, upwelling

viii Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

9

ABSTRACT

Name : Dony Armanto Studied Programme : Magister Ilmu Kelautan Title : Analysis of Biological Aspects on Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, in Pemuteran Waters, West Bali

Biological aspects of flying fish is one of the scientific information needed to formulate management policy. This aspect was tested on Cheilopogon katoptron which the main catches of fishermen in the waters of Pemuteran Bali Barat, with the operation of drift gillnet during of April to June 2011. Biologycal aspect is the main issue discussed in the research, with the aim to obtain information sex ratio, growth patterns, conditions, spawning time, food and environmental conditions. Samples collection was cover of length-weight data, gonad maturity, stomach contents, physical water parameters and plankton populations. Data were analyzed with regression, t-test and determination coefficient. Data on the distribution of the length on male was 168-231 mm and female was 158-284 mm, with a sex ratio of male-female were 1.8:1.0. The condition of fish flying fish species is expressed as a skinny and have not entered the spawning period. Added fish length gives a real impact and high closeness of flying fish weight Cheilopogon katoptron, males (2.6 %) and females (1.8 %). Fish length also provide a noticeable effect on the stomach contents volume of, in the range of 1.7 % to 2.8 %. In June 2011, the waters of Pemuteran Bali Barat is suspected upwelling, which is supported by the data of physical water parameters and occurrence of phytoplankton blooming.

Keywords: Cheilopogon katoptron, drift gillnet, reproductive biology, upwelling, West Bali

ix Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

10

DAFTAR ISI

halaman

SAMPUL ...... i HALAMAN JUDUL ...... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...... iii HALAMAN PENGESAHAN ...... iv KATA PENGANTAR ...... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... vii ABSTRAK ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR TABEL ...... xiii DAFTAR GAMBAR ...... xiv DAFTAR RUMUS ...... xvi

I. PENDAHULUAN ...... 17 1.1 Latar belakang ...... 16 17 1.2 Perumusan masalah ...... 18 19 1.3 Jenis penelitian ...... 20 21 1.4 Tujuan penelitian ...... 20 21 1.5 Batasan penelitian ...... 20 21

II. TINJAUAN PUSTAKA ...... 23 2.1 Pengertian umum perikanan ...... 22 23 2.2 Sumberdaya ikan terbang ...... 22 23 2.2.1 Taksonomi dan ciri-ciri ikan terbang ...... 22 23 2.2.2 Habitat dan sebaran geografis ikan terbang ...... 24 25 2.2.3 Keragaman spesies ikan terbang ...... 26 27 2.2.4 Tingkah laku ikan terbang ...... 27 28 2.2.5 Struktur populasi ikan terbang ...... 28 29 2.2.6 Musim dan kelimpahan ikan terbang ...... 29 30 2.2.7 Makanan dan predator ikan terbang ...... 29 30 2.3 Biologi reproduksi ikan terbang ...... 31 32 2.3.1 Nisbah kelamin ikan terbang ...... 32 33 2.3.2 Faktor kondisi ikan terbang ...... 32 33 2.3.3 Tingkat kematangan gonad ikan terbang ...... 32 33 2.3.4 Indeks kematangan gonad ikan terbang ...... 34 35 2.3.5 Fekunditas ikan terbang ...... 35 35 2.3.6 Diameter telur ...... 35 36 2.4 Plankton ...... 36 2.4.1 Distribusi dan peranan plankton ...... 35 36 2.4.2 Struktur komunitas dan kelimpahan ...... 37

x Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

11

2.4.2.1 Indeks keanekaragaman ...... 37 37 2.4.2.2 Indeks keseragaman ...... 39 38 2.4.2.3 Indeks dominansi ...... 37 38 2.4.3 Keanekaragaman plankton ...... 37 38 2.4.3.1 Fitoplankton ...... 37 38 2.4.3.2 Zooplankton ...... 39 39 2.5 Potensi dan tingkat pemanfaatan ikan terbang ...... 40 40 2.6 Kapal dan alat alat tangkap jaring insang ...... 42 42 2.7 Baku mutu air laut ...... 44 44 2.7.1 Suhu air laut ...... 45 45 2.7.2 Derajat keasaman (pH) air laut ...... 45 45 2.7.3 Salinitas ...... 46 46 2.7.4 Oksigen terlarut ...... 47 47 2.7.5 Kecerahan ...... 47 47 2.8 Fenomena upwelling ...... 48

III. METODE PENELITIAN ...... 51 3.1 Lokasi penelitian ...... 49 51 3.2 Bahan dan alat ...... 49 51 3.3 Pengumpulan data ...... 50 52 3.3.1 Data sampel ikan terbang ...... 50 52 3.3.2 Data parameter fisik air ...... 51 53 3.3.3 Data plankton ...... 51 53 3.4 Uji laboratorium ...... 51 53 3.4.1 Pengamatan isi perut ikan terbang ...... 51 53 3.4.2 Pengamatan gonad ikan terbang ...... 52 54 3.5 Pengolahan data ...... 52 54 3.5.1 Nisbah kelamin ...... 52 54 3.5.2 Faktor kondisi ...... 53 54 3.5.3 Tingkat kematangan gonad ...... 53 55 3.5.4 Indeks kematangan gonad ...... 53 55 3.5.5 Fekunditas ...... 54 55 3.6 Analisis Hubungan panjang dengan berat ikan terbang ...... 54 56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 59 4.1 Kondisi umum ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 59 4.2 Hasil dan Pembahasan ...... 63 4.2.1 Sebaran panjang-berat ikan terbang Cheilopogon katoptron .. 59 63 4.2.2 Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 6 1 65 4.2.3 Faktor kondisi ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 66 4.2.4 Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 67 4.2.5 Parameter fisik air laut ...... 65 69 4.2.6 Komposisi plankton ...... 67 71 4.2.6.1 Fitoplankton ...... 67 71 4.2.6.2 Zooplankton ...... 69 73

xi Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 12

4.2.7 Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 70 76 4.2.8 Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 78 4.2.9 Hubungan isi perut dan panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 82

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...... 86 5.1 Kesimpulan ...... 86 5.2 Saran ...... 87

DAFTAR PUSTAKA ...... 88...... LAMPIRAN ...... 96 ......

xii Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

13

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Hirundichthys oxycephalus ...... 34 Tabel 2.2. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ...... 38 Tabel 2.3 Beberapa parameter baku mutu air laut ...... 44 Tabel 4.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron .... 68 Tabel 4.2. Kondisi rata-rata kualitas air laut di perairan Pemuteran Bali Barat, bulan April-Juni 2011 ...... 70 Tabel 4.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener fitoplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni 2011 ...... 72 Tabel 4.4. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener zooplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni 2011 ...... 75 Tabel 4.5. Hasil analisis pengaruh panjang terhadap berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni 2011 ...... 80 Tabel 4.6. Sebaran data isi perut dan panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni 2011 ...... 82 Tabel 4.7. Hasil analisis pengaruh panjang terhadap isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni 2011 ...... 84

xiii Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 14

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian tentang ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat ...... 20 Gambar 2.1. Taksonomi ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 25 Gambar 2.2. Sebaran geografis ikan terbang di Indonesia ...... 26 Gambar 2.3. Jenis-jenis plankton makanan ikan terbang ...... 32 Gambar 2.4. Ikan terbang yang diasap di Desa Sririt, Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali ...... 42 Gambar 2.5. Konstruksi alat tangkap jarring insang ...... 43 Gambar 2.6. Sistem operasi jaring insang hanyut ...... 44 Gambar 3.1. Lokasi penelitian di perairan Pemuteran, Bali Barat ...... 51 Gambar 4.1 Kapal penangkap ikan terbang di perairan Pemuteran ...... 59 Gambar 4.2. Beberapa spesies ikan terbang yang tertangkap di perairan Pemuteran, Bali Barat ...... 60 Gambar 4.3. Sebaran frekuensi ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan selang panjang total (mm), April-Juni 2011 ...... 64 Gambar 4.4. Perbedaan ukuran panjang rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat, April-Juni 2011 .... 64 Gambar 4.5. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron per selang panjang total (mm) ...... 65 Gambar 4.6. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron ...... 66 Gambar 4.7. Sebaran faktor kondisi ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dan betina per bulan ...... 67 Gambar 4.8. Struktur histologis gonad ikan terbang C. katoptron betina ...... 68 Gambar 4.9. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron per bulan ...... 69 Gambar 4.10. Jumlah rata-rata fitoplankton per spesies (sel/m3), April-Juni 2011 ...... 73 Gambar 4.11. Jumlah rata-rata individu fitoplankton (sel/m3) per bulan ...... 73 Gambar 4.12. Komposisi jumlah rata-rata zooplankton per genus (ind/103 m3), April-Juni 2011 ...... 75 Gambar 4.13. Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan kelompok makanan per bulan ...... 76 Gambar 4.14. Makanan Utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat, April-Juni 2011 ...... 77 Gambar 4.15. Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron per selang panjang, April-Juni 2011 ...... 77 Gambar 4.16. Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, April 2011 ...... 78 Gambar 4.17. Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, Mei 2011 ...... 79

xiv Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

15

Gambar 4.18. Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, Juni 2011 ...... 80 Gambar 4.19. Hubungan ukuran panjang ikan dengan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, April-Juni 2011 ...... 83

xv Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 16

DAFTAR RUMUS

Halaman

Rumus 3.1. Persamaan nisbah kelamin ...... 54 Rumus 3.2. Persamaan faktor kondisi allometrik ...... 55 Rumus 3.3. Persamaan faktor kondisi isometrik ...... 55 Rumus 3.4. Persamaan indeks kematangan gonad ...... 55 Rumus 3.5. Persamaan fekunditas ...... 56 Rumus 3.6. Persamaan hubungan panjang dengan berat ...... 56 Rumus 3.7. Persamaan fungsi regresi ...... 57

xvi Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

17

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Ikan terbang (Exocoetidae) merupakan salah satu sumberdaya ikan pelagis kecil yang mempunyai ciri khusus berupa kemampuan untuk dapat terbang di atas permukaan air. Ikan terbang menghuni lapisan permukaan perairan tropis dan subtropis dari samudera Pasifik, Hindia, Atlantik dan laut-laut disekitarnya. Paling sedikit telah diketahui 18 species ikan terbang yang tersebar di perairan Indonesia (Weber & De Beaufort,1992). Ikan terbang banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, di antaranya adalah Selat Makassar, Laut Flores, Laut Natuna, Laut Aru, Laut Arafura Papua, bagian utara Sulawesi Utara, perairan Bali dan Jawa Timur, pantai barat Sumatera Barat, Laut Halmahera, Laut Banda, perairan Sabang (Banda Aceh) dan laut utara Papua (Syahailatua, 2006). Ikan terbang di perairan Bali masuk dalam kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 713 dengan jangkauan wilayah perairan mulai dari Selat Makassar hingga ke Laut Flores. Pada tahun 2010, potensi lestari ikan terbang di WPP 713 mencapai 605.400 ton per tahun. Namun dengan tingkat pengusahaan yang sangat tinggi, ikan terbang di beberapa wilayah perairan Indonesia, khususnya di WPP 713 telah mengalami overfishing. Tingkat pengusahaan/eksploitasi ikan terbang di Indonesia secara total mulai dari tahun 2000-2010 mengalami penurunan sebesar 3,01% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2010). Pemanfaatan ikan terbang yang tidak terkendali telah mengancam kelestarian ikan terbang (Nessa et al., 1977; Nessa 1978; Ali 1981; Nessa et al., 1993; Ali et al., 2004a; 2004b; 2005), sehingga dalam rangka pemulihannya diperlukan suatu rencana pengelolaan dan konservasi agar pemanfaatan ikan terbang dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada tahun 1980, peneliti dari Universitas Hasanuddin memulai riset yang lebih mendalam untuk aspek reproduksi (Ali, 1981), namun lokasi penelitian

17 Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 18

sangat terbatas hanya di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Tahun 1990, penelitian perikanan ikan terbang tetap dilakukan namun secara sporadik di beberapa lokasi dengan berbagai aspek, antara lain Peristiwady (1991); Nessa et al. (1992); Wijanarko (1994); Ali (1994); Andamari dan Zubaidi (1994); Nessa et al. (2005); dan Rizal (1996). Selanjutnya, pada awal abad-21, penelitian ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores kembali semarak dengan sedikitnya ada empat kajian yang mendalam (Baso, 2004; Sihotang, 2005; Ali, 2005; dan Yahya, 2006). Dalam kurun waktu yang sama (2004-2006), LIPI melalui program Sensus Biota Laut mencoba untuk mengkaji kembali ikan terbang sebagai salah satu komoditi perikanan yang dapat diunggulkan (Syahailatua, 2004b & 2005). Informasi ilmiah yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan dan konservasi ikan terbang antara lain adalah distribusi dan keragaman, musim dan kelimpahan, ekologi, biologi dan reproduksi, dinamika populasi, struktur populasi, teknologi penangkapan, pasca-panen dan sosial ekonomi. Informasi tentang komposisi ukuran merupakan aspek penting dalam mempelajari biologi ikan, fisiologi, ekologi dan dasar yang digunakan untuk mengetahui tentang faktor kondisi ikan serta mendeterminasi sifat pertumbuhan ikan apakah isometrik atau alometrik melalui analisis hubungan panjang dan bobot ikan (Ricker, 1975). Informasi kebiasaan makanan ikan juga merupakan faktor yang menentukan bagi populasi pertumbuhan dan kondisi ikan (Effendie, 2002). Jumlah sediaan ikan di suatu lokasi merupakan fungsi dari potensialitas makanan, sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dan organisme makanannya sangat penting untuk prediksi dan eksploitasi dari ikan tersebut (Nikolsky, 1963). Ketersediaan makanan di suatu perairan, meliputi jumlah dan kualitas makanan serta kemudahan mendapatkan makanan tersebut, merupakan faktor yang memengaruhi besarnya populasi ikan di perairan tersebut. Makanan yang diambil oleh ikan dan dimanfaatkan dalam siklus metabolisme tubuhnya akan berpengaruh perubahan pertumbuhan, reproduksi, dan tingkat keberhasilan hidup untuk tiap-tiap individu ikan diperairan tersebut. Ketersediaan makanan disuatu perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan abiotik lingkungan, seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan (Effendie, 2002).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 19

Beberapa kawasan penghasil ikan terbang mungkin dapat dijadikan alternatif pilihan untuk penelitian ikan terbang, diantaranya adalah kawasan perairan Bali Barat. Kawasan Bali dan sekitarnya (sepanjang Laut Flores bagian selatan) merupakan salah satu penghasil ikan terbang setelah kawasan Sulawesi Selatan (sepanjang pantai timur Selat Makasar). Namun demikian, ikan terbang di kawasan Bali dan sekitarnya belum dikelola dengan baik dan optimal. Kawasan Bali dan sekitarnya juga mendukung upaya pengembangan ekonomi ikan terbang, karena kedekatan akses kepada pembeli dan pusat teknologi. Berdasarkan berbagai isu dan permasalahan diatas, maka informasi ilmiah terkait aspek biologi reproduksi ikan terbang di perairan Pemuteran Bali Barat sangat diperlukan, dalam rangka pengelolaan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat secara berkelanjutan, serta bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang perikanan ikan terbang di Indonesia pada umumnya.

1.2 Perumusan Masalah Salah satu aspek untuk mendukung upaya pengelolaan sumberdaya ikan adalah pengetahuan dasar mengenai aspek biologi, lingkungan dan makanan. Maka itu, untuk menambah pengetahuan dasar dalam rangka pengelolaan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat, dirumuskan beberapa masalah yang menjadi faktor keberlanjutan potensi perikanan ikan terbang sebagai berikut: a. Bagaimana kondisi aspek biologi reproduksi dan lingkungan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? b. Apa jenis makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? c. Berapa besar pengaruh pertambahan panjang terhadap berat ikan Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat? d. Berapa besar pengaruh pertambahan panjang terhadap tingkat nafsu makan ikan Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat?

Rumusan masalah tersebut menjadi landasan pemikiran dalam mengambil topik dan tema penelitian, sehingga diperoleh judul “Analisis Aspek Biologi Ikan

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 20

Terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865, di Perairan Pemuteran, Bali Barat”, sebagaimana diilustrasikan dalam kerangka pikir penelitian di bawah ini (Gambar 1.1).

Pengelolaan Sumberdaya Ikan Terbang

Perairan Pemuteran, Daerah Penangkapan Bali Barat Kapal katinting Penangkapan dengan alat Utama tangkap drift gillnet

Dinamika Populasi

Penelitian Ikan Terbang

Aspek Biologi

- Sebaran panjang-berat Suhu, Plankton - Nisbah kelamin Salinitas, - Faktor kondisi pH, DO, kecerahan Makanan utama - Tingkat kematangan gonad ikan terbang

Informasi biologi reproduksi, parameter fisik air laut dan makanan utama ikan

terbang Cheilopogon katoptron di perairan Bali Barat

Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian tentang ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 21

1.3 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan survei. Pada penelitian ini, dideskripsikan aspek biologi reproduksi ikan terbang Cheilopogon katoptron, parameter fisik air laut perairan Pemuteran dan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap di perairan Pemuteran, Bali Barat pada bulan April-Juni 2011.

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Menganalisis kondisi aspek biologi, parameter fisik air dan jenis makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran-Bali Barat. b. Menganalisis pengaruh dan keeratan hubungan pertambahan panjang terhadap berat ikan terbang Cheilopogon katoptron. c. Menganalisis pengaruh dan keeratan hubungan ukuran panjang terhadap volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang ikan terbang Cheilopogon katoptron, khususnya di perairan Pemuteran Bali Barat, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Informasi biologi yang diperoleh dari penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi dalam pengambilan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan ikan terbang secara berkelanjutan di perairan Bali pada umumnya.

1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada ikan terbang dari spesies Cheilopogon katoptron, yang tertangkap dengan alat tangkap drift gillnet. Wilayah penelitian dilakukan di perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, pada bulan April 2011 hingga Juni 2011. Aspek yang diteliti dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek biologi reproduksi (sebaran panjang-berat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, faktor kondisi), parameter fisik air laut (suhu, salinitas, pH, DO, kecerahan), populasi plankton (fitoplankton dan zooplankton), serta jenis makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 22

Barat. Analisis data dilakukan pada variabel panjang, berat dan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, guna mengukur persentase pengaruh dan keeratan hubungan antar variabel.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Umum Perikanan Perikanan adalah suatu usaha yang menghasilkan atau mengeksploitasi semua benda-benda yang hidup dan berada di suatu perairan (aquatic resources). Sumberdaya perikanan adalah seluruh binatang dan tumbuhan yang hidup di perairan (baik di darat maupun di laut). Oleh sebab itu, perikanan dibedakan menjadi perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan sebagai suatu usaha dimulai dengan usaha melakukan penangkapan ikan (fishing), budidaya ikan, dan kegiatan pengelolaan hingga pemasaran hasil (Mubyarto, 1995). Sumberdaya perikanan di perairan Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar yaitu sumberdaya ikan pelagis, sumberdaya ikan demersal, dan biota non-ikan. Sumberdaya ikan pelagis adalah spesies ikan yang hidup/berada di sekitar permukaan. Ikan pelagis terdiri dari dua kelompok besar yaitu ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Sumberdaya ikan demersal adalah spesies ikan atau biota lain yang hidup di dasar perairan. Biota non-ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting antara lain cumi-cumi, teripang, kekerangan, dan rumput laut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979).

2.2 Sumberdaya Ikan Terbang 2.2.1 Taksonomi dan Ciri-Ciri Ikan Terbang Sistematika ikan terbang pertama kali ditulis oleh Linneaus pada tahun 1758, khususnya spesies Exocoetus volitans. Sampai pada pertengahan abad-19, penelitian lebih banyak pada aspek taksonomi dan anatomi, setelah itu mulai dipelajari aspek biologi lainnya dari ikan terbang (Davenport, 1994). Ikan terbang (Exocoetidae) mempunyai delapan genus, yaitu Cheilopogon (30 spesies), Cypselurus (11 spesies), Exocoetus (2 spesies), Fodiator (2 spesies), Hirundichthys (7 spesies), Oxyporhampus (3 spesies), Parexocoetus (3 spesies), dan Prognichthys (4 spesies) (Delsman & Hardenberg, 1931; Saanin, 1984; Hutomo et al., 1985; Parin, 1999; Froese & Pauly, 2006).

23 Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 24

Namun, revisi taksonomi ikan terbang memisahkan genus Cypselurus dan Cheilopogon (Parin, 1999; Syahailatua, 2004a & 2006), serta memindahkan beberapa spesies ke genus yang lain, sehingga spesies-spesies yang umum dikenal di Indonesia mengalami pergantian nama ilmiahnya, seperti Cypselurus oxycephalus menjadi Hirundichthys oxycephalus (Syahailatua, 2006). Ikan terbang berdasarkan jumlah sayapnya dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu (a) kelompok dua sayap yaitu mempunyai satu pasang sayap dada seperti Exocoetus dan Vodiator, dan (b) kelompok empat sayap yaitu mempunyai satu pasang sayap dada dan satu pasang sayap ventral yang panjang seperti Cypselurus dan Hirundichthys. Ikan terbang yang bersayap empat ukurannya lebih besar daripada ikan yang bersayap dua. Ikan terbang dewasa dapat mencapai panjang 150-500 mm (Davenport, 1994). Di Indonesia ukuran paling umum 200 mm (Hirundichthys oxycephalus), dan yang paling panjang 300 mm (Cypselurus poecilopterus) (Hutomo et al., 1985). Spesies ikan terbang secara umum memiliki ciri berupa bentuk tubuh yang bulat memanjang seperti cerutu (oblong), agak mampat pada bagian samping. Bagian atas tubuh dan kepala berwarna gelap, bagian bawah tubuh mengilap, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pemangsa baik dari air seperti ikan lumba- lumba maupun dari udara, yaitu burung pemakan ikan. Kedua rahangnya sama panjang. Memiliki duri-duri lemah pada sirip dorsal berjumlah 10-12, sirip anal berjumlah 11-12, dan sirip pektoral sebanyak 14-15, dengan sirip pertama tidak bercabang (Parin, 1999). Sirip pektoral panjang yang diadaptasikan untuk melayang. Sirip ventral panjang atau pendek, tertancap pada bagian abdominal dengan enam buah duri lemah yang bercabang. Sirip ekor bercagak dengan bagian bawah lebih panjang. Garis lateral terletak pada bagian bawah tubuh (Hutomo et al., 1985). Menurut Syahailatua (2004a), ikan terbang memiliki beberapa nama lokal, di antaranya adalah ikan siloar (Binuangeun), ikan terbang (Ternate dan Palabuhanratu), antoni (Minahasa, Sangir, Talaud, Bitung), tuing-tuing (Bugis), torani (Makassar), tourani (Mandar). Klasifikasi taksonomi ikan terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865 dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 25

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Osteichthyes Subkelas : Ordo : Famili : Exocoetidae Genus : Cheilopogon Spesies : Cheilopogon katoptron

Gambar 2.1. Taksonomi ikan terbang Cheilopogon katoptron Bleeker, 1865

2.2.2 Habitat dan Sebaran Geografis Ikan Terbang Ikan terbang merupakan ikan pelagis kecil yang menghuni lapisan permukaan perairan (laut) tropis dan subtropis pada kedalaman 0-20 m. Ikan ini tersebar pada Samudera Pasifik, Hindia, Atlantik dan laut di sekitarnya. Sebaran dari ikan ini dibatasi oleh isotherm 20°C. Jumlah spesies terbanyak terdapat di wilayah khatulistiwa, makin ke utara dan selatan makin sedikit spesiesnya. Terdapat 5 hingga >20 spesies ikan terbang ditemukan di bagian tengah Samudera Pasifik (Oseania), 12-13 spesies ditemukan di perairan pulau-pulau Hawaii, perairan pantai dihuni oleh 10 spesies, perairan Selandia Baru oleh 6 spesies, sedangkan di pantai Amerika bagian Samudera Pasifik dilaporkan ditemukan lebih dari 12 spesies (Hutomo et al.,1985). Samudera Pasifik merupakan daerah yang kaya ikan terbang dengan sekitar 40 spesies yang menghuninya, terutama di perairan Indonesia, Filipina, Jepang bagian selatan dan Oseania. Dengan kata lain, perairan ini merupakan pusat penyebaran ikan terbang (Hutomo et al.,1985).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 26

Ikan terbang banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, di antaranya adalah Selat Makassar, Laut Flores, Laut Natuna, Laut Aru, Laut Arafura Papua, bagian utara Sulawesi Utara, perairan selatan Bali dan Jawa Timur, pantai barat Sumatera Barat, Laut Halmahera, Laut Banda, perairan Sabang (Banda Aceh) dan laut utara Papua. Menurut Sihotang (2004), ikan terbang di Sulawesi Selatan melakukan ruaya untuk keberhasilan penetasan telur dan ketersediaan makanan anaknya. Ruaya pemijahan ini memiliki pengaruh langsung terhadap proses rekruitmen dan mortalitas. Ikan terbang bukan tipe ikan peruaya jarak jauh, ikan ini hanya beruaya dekat pantai dan kearah laut. Ikan terbang merupakan spesies ikan oseanodrom, artinya ikan yang seluruh daur hidupnya berada di laut, memijah di laut, mulai dari telur, kemudian menetas menjadi larva, lalu juvenil, dan dewasa di laut. Gambar 2.2 menyajikan sebaran geografi ikan terbang di Indonesia (Syahailatua, 2006).

2

1

8 11

3 4

3 Gambar 2.2. Sebaran geografis ikan terbang di Indonesia [Sumber: Syahailatua, 2006]

Menurut Hutomo et al. (1985), distribusi ikan terbang di perairan Indonesia terdapat di wilayah perairan bagian barat maupun bagian timur Indonesia. Beberapa wilayah perairan yang merupakan wilayah distribusi ikan terbang di Indonesia antara lain Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, Teluk Tomini dan Laut Jawa.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 27

2.2.3 Keragaman Spesies Ikan Terbang Hutomo et al. (1985) pernah merangkum sekitar 53 spesies ikan terbang di dunia, masing-masing 17 spesies di Samudera Atlantik, 11 spesies di Samudera Hindia dan 40 spesies di Samudera Pasifik. Di Samudera Pasifik, Nelson (1994) mencatat sekitar 50-60 spesies. Publikasi terakhir yang dilaporkan Parin (1999) di bagian tengah Pasifik terdapat 6 genus-genus dan 31 spesies, yaitu Cheilopogon 14 spesies, Cypselurus 7 spesies, Exocoetus 3 spesies, Hirundichthys 3 spesies dan Prognichthys 2 spesies. Wilayah khatulistiwa mempunyai jumlah spesies lebih banyak dan semakin ke selatan atau ke utara jumlah spesiesnya semakin sedikit (Hutomo et al., 1985). Di sebelah barat Luzon (Filipina) ikan terbang didominasi oleh Hirundichthys oxcycephalus (Dalzell, 1993) dan beberapa spesies lain, yaitu Cypselurus poecilopterus, Cheilopogon nigricans, Cheilopogon cyanopterus, Paraexocoetus brachypterus, dan Hirundichthys rondeletti. Dari 18 spesies ikan terbang yang ada diperairan Indonesia, 15 diantaranya telah dikoleksi oleh Lembaga Oseonologi Nasional-LIPI. Dari 15 spesies ini 12 spesies berada di genus Cypselurus (Hutomo et al., 1985). Khusus diperairan Selat Makassar dan Laut Flores diidentifikasi 3 genus dan 11 spesies, yaitu Cypselurus oxycephalus, C. oligolepis, C. poecilopterus, C. altipennis, C. speculiger, C. ophisthopus, C. nigricans, C. swainson, Cypselurus sp, Evolantia micropterus, dan Proghnichthys sealei (Nessa et al., 1977). Menurut Ali (1981), yang paling dominan di Laut Flores Sulawesi Selatan adalah C. oxycephalus dan C. poecilopterus. Informasi tentang keragaman spesies ikan terbang di beberapa wilayah perairan atau wilayah penangkapan di Indonesia sangat kurang. Di seluruh Indonesia, Hutomo et al. (1985) pernah merangkum jumlah spesies ikan terbang di Indonesia sekitar 18 spesies namun belum menunjukkan keragaman berdasarkan wilayah penyebaran atau wilayah penangkapan. Di Selat Makassar dan Laut Flores (Sulawesi Selatan), Nessa et al. (1977) mengidentifikasi sekitar 11 spesies ikan terbang yaitu Hirundichthys oxycephalus, Cypselurus altipennis, Cypselurus speculiger, Cypselurus oligolepis, Cypselurus ophisthopus, Cypselurus nigricans, Cypselurus poecilopterus, Cypselurus swainson, Cypselurus sp. Evolantia micropterus, dan Proghnithys sealei. Di Laut Flores dan

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 28

Selat Makassar didominasi oleh spesies ikan terbang Hirundichthys oxycephalus atau Cypselurus oxycephalus yang dikenal dengan nama lokal torani atau tuing- tuing (Nessa et al., 1977; Ali, 1981).

2.2.4 Tingkah Laku Ikan Terbang Ikan terbang tergolong ikan pelagis kecil, hidup di permukaan laut, termasuk perenang cepat, dapat tertarik oleh cahaya pada malam hari, dan mampu meluncur keluar dari permukaan air dan melayang di udara (Munro, 1967; Davenport, 1994; Parin, 1999). Kecepatan renang ikan terbang 35-40 mil per jam dan dapat mencapai 100 m dalam waktu kurang lebih 10 detik (Nikolsky, 1963). Penelitian mekanisme terbang ikan ini telah diteliti dengan bantuan alat fotografi (stroboscopic filming) untuk pengembangan ilmu pengetahuan aerodinamika. Tingkah laku ikan terbang diuraikan oleh Davenport (1994), bahwa sirip dan gelembung gas mempunyai peranan keseimbangan di udara. Sirip dada (pectoral fin) yang lebar berfungsi sebagai alat keseimbangan terutama pengaruh grativasi. Sirip ekor sebagai alat pendorong ketika akan mulai terbang (taxing flight). Sirip dada dikendalikan oleh otot-otot aerobik masing-masing, otot lateral membuka sayap dan otot medial melipat sayap. Dalam proses terbang, pertama-tama ikan berenang mendekati permukaan air dengan sayap terlipat, kemudian keluar dari permukaan laut dengan dengan sudut 30o dari permukaan air, sayap dibuka lalu melakukan taxing flight sekitar 5- 25 m. Pada saat taxing flight, sirip ekor berputar setengah lingkaran sebanyak 50- 70 kali/detik untuk menimbulkan dorongan, kemudian ikan lepas dari permukaan air dan terbang dengan kecepatan sekitar 72 km/jam. Setelah mencapai jarak 50 m dengan ketinggian sekitar 8 m ikan mulai turun dan ekornya masuk terlebih dahulu ke dalam air. Kemudian ekor kembali mendorong untuk melakukan terbang ulang. Dalam waktu 30 detik akan menempuh jarak sekitar 400 m setelah melalui beberapa kali terbang. Tingkah laku ini bertujuan untuk menghindar dari predator dan gangguan kapal, serta untuk menghemat energi dalam pencarian makanan (Davenport, 1994). Berdasarkan kemampuan terbang ini, maka ikan terbang dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok monoplanes dan biplanes. Kelompok monoplanes seperti genus Exocoetus, terbang ke udara tanpa meluncur di permukaan air terlebih dahulu dan dapat menempuh jarak kurang

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 29

lebih 20 m. Ikan terbang monoplanes ini memiliki kemampuan terbang yang relatif lebih rendah dibandingkan kelompok ikan terbang bersayap empat (biplanes). Kelompok biplanes memiliki cara terbang lebih sempurna sebagaimana ditemukan pada spesies-spesies dari genus Cypselurus (Hutomo et al., 1985).

2.2.5 Struktur Populasi Ikan Terbang Hasil penelitian struktur populasi ikan terbang masih sangat terbatas termasuk di Indonesia. Di Indonesia, Fahri (2001) melaporkan ikan terbang Selat Makassar, Teluk Manado, dan Teluk Tomini masing-masing terpisah secara genetik sehingga ikan terbang digolongkan bukan peruaya jauh. Informasi terakhir dilaporkan oleh Ali (2005), ikan terbang Laut Flores dengan ikan terbang Selat Makassar secara fenotipe (morfometrik) masing-masing merupakan sub-populasi yang berbeda. Kelompok ikan terbang Laut Flores dan Selat Makassar mempunyai hubungan kekerabatan atau jarak genetik yang jauh. Ikan terbang Laut Flores mempunyai keragaman morfometrik individu lebih rendah dibanding Selat Makassar. Penangkapan berlebihan ikan terbang di Laut Flores kemungkinan menyebabkan kehilangan individu dan potensi genetik lebih besar, sehingga mempunyai heterozigositas lebih rendah dibanding ikan terbang Selat Makassar. Selanjutnya, Ali (2005) melaporkan adanya perbedaan fenotipe antara kelompok ikan terbang yang tertangkap di sekitar perairan Takalar, Pare-Pare dan Majene. Sifat segregasi sub-populasi ikan terbang Laut Flores dan Selat Makassar sangat berbahaya terhadap risiko overfishing dan kepunahan, karena penangkapan berlebihan pada satu sub-populasi daerah tertentu sulit digantikan oleh rekrutmen dari sub-populasi daerah lain, karena ikan terbang tergolong bukan peruaya jarak jauh. Penurunan populasi ikan terbang di Selat Makassar akibat kelebihan penangkapan menyebabkan beberapa nelayan berhenti atau mencari daerah penangkapan lain di luar Selat Makassar, seperti di perairan Maluku dan Papua. Sifat segregasi sub-populasi ikan terbang pada wilayah perairan tertentu perlu dipertimbangkan di dalam perencanaan dan pengelolaan, seperti sub-populasi ikan terbang di Selat Makassar dan sub-populasi ikan terbang di Laut Flores memerlukan perencanaan dan pengelolaan terpisah. Pemisahan sub-populasi ikan

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 30

terbang Hirundichthys affinis di wilayah perairan tengah barat Atlantik juga dilaporkan oleh Gomes et al. (1998) secara genetik. Melalui analisis DNA, terdapat tiga sub-populasi ikan terbang Hirundichthys affinis yang berbeda, yaitu satu sub-populasi berlokasi di sebelah timur Karibia, satu di sebelah selatan Antilen Belanda, dan satu lagi di sebelah timur laut .

2.2.6 Musim dan Kelimpahan Ikan Terbang Di Laut Flores dan Selat Makassar (Sulawesi Selatan), musim penangkapan berlangsung antara Januari-Oktober setiap tahun. Musim penangkapan induk ikan terbang antara Maret-Juli, sedangkan penangkapan telur ikan terbang antara Mei-September (Ali, 2005). Berdasarkan analisis distribusi hasil tangkapan setiap bulan menunjukkan adanya dua puncak musim, pertama pada bulan Februari dan kedua antara bulan Mei-Juni. Puncak pertama digolongkan puncak sekunder, puncak kedua adalah puncak primer karena kelimpahannya lebih tinggi (Ali et al., 2004b). Kejadian yang sama pada ikan terbang Hirundichthys affinis di perairan Barbados yang terdiri dari dua puncak musim, yaitu antara Desember-Januari dan antara April- Mei (Khokiattiwong et al., 2000), begitu pula ikan terbang Hirundichthys affinis di perairan sebelah timur Karibia (Oxenford et al., 1995). Apabila dibandingkan musim ikan terbang di sekitar perairan Selat Makassar pada tahun 1977 yang berlangsung mulai April hingga September (Nessa et al., 1977) dan di Laut Flores mulai Mei hingga Oktober (Ali, 1981), maka pada tahun-tahun terakhir ini (2002-2004) ikan terbang mengalami pergeseran musim lebih cepat 2-3 bulan dibanding tahun 1997 dan 1981. Daerah penangkapan ikan terbang di Selat Makassar terletak pada 117o- 119o BT dan 1o s/d 6o LS dan di Laut Flores 117o-121o BT dan 6o-8o LS. Ikan terbang memiliki single cohort dalam siklus hidupnya sekitar 18 bulan hanya dapat melakukan satu kali pemijahan. Tipe pemijahan Tipe B, yaitu memijah satu kali dalam periode yang relatif lama (5-6 bulan) pada musim kemarau.

2.2.7 Makanan dan Predator Ikan Terbang Menurut Effendie (2002), ikan dikelompokkan berdasarkan makanannya, yaitu sebagai pemakan plankton, pemakan tumbuhan air, pemakan dasar,

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 31

pemakan detritus, pemakan daging dan pemakan campuran. Berdasarkan kepada jumlah variasi dari macam-macam makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi euryphagic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan makanan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic, yaitu ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja. Ketersediaan makanan di suatu perairan (meliputi jumlah dan kualitas makanan serta kemudahan mendapatkan makanan tersebut) merupakan faktor yang memengaruhi besarnya populasi ikan di perairan tersebut. Ketersediaan makanan di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan abiotik lingkungan, seperti suhu, cahaya, ruang hidup dan luas permukaan (Effendie, 2002). Menurut Febyanty dan Syahailatua (2008), komposisi makanan ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus di Laut Flores terdiri kopepoda sebagai makanan utama, alga sebagai makanan pelengkap, beberapa spesies Chaetognatha dan Malacostraca sebagai makanan tambahan. Ali (1981) mengatakan bahwa ikan terbang dari spesies Hirundichthys oxycephalus di Laut Flores memakan plankton yang dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu algae, Crustacea dan Chaetognatha. Kelompok makanan yang mempunyai nilai indeks bagian terbesar (index of preponderance) adalah krustasea (70,93%) yang terdiri dari Copepod, Cladocera, Decapoda, Mysidacea dan Amphipoda yang merupakan makanan utama, kemudian kelompok makanan algae (20,69%) yang terdiri dari Coscinodiscus, Chaetoceros, Rhizosolenia, Thalassiosira, dan Planktoniella, serta kelompok Chaetognatha (8,38%) terdiri dari Sagitta (Gambar 2.3). Predator yang banyak memangsa ikan terbang di antaranya lumba-lumba, ikan tuna, ikan cakalang, dan ikan layaran (Moyle & Cech, 1982).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 32

1 2 3 4

5

a

1 2 3 4 5

b

1 2

c

Gambar 2.3. Jenis-jenis plankton makanan ikan terbang [Sumber: Ali, 1981] a. Crustacea (1. Copepoda, 2. Cladocera, 3. Decapoda, 4. Mysidacea, 5. Amphipoda) b. Algae (1. Coscinodiscus, 2. Chaetoceros, 3. Rhizosolenia, 4. Thalassiosira, 5. Planktoniella) c. Chaetognatha (1. Sagitta elegans, 2. Sagitta maxima)

2.3 Biologi Reproduksi Ikan Terbang Dalam proses mempertahankan eksistensinya, masing-masing spesies mempunyai strategi reproduksi. Strategi reproduksi adalah semua pola dan ciri khas reproduksi yang diperlihatkan oleh individu dari suatu spesies termasuk sifat bawaan yang kompleks, misalnya ukuran atau umur pertama matang gonad, fekunditas, diameter telur, ukuran gamet, dan sebagainya (Kamler, 1992). Tingkat kematangan gonad dapat diketahui melalui pengamatan morfologi dan histologi gonad.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 33

2.3.1 Nisbah Kelamin Ikan Terbang Nisbah kelamin atau sex rasio merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi dan kondisi ideal untuk mempertahankan suatu spesies adalah 1:1 (50 % jantan & 50 % betina), namun seringkali terjadi penyimpangan dari pola 1:1, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tingkah laku ikan yang suka bergerombol, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan (Ball & Rao, 1984). Nikolsky (1963), menyatakan bahwa dalam ruaya ikan untuk memijah, perubahan nisbah kelamin terjadi secara teratur. Pada awalnya ikan jantan lebih dominan kemudian berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominansi ikan betina. Perubahan ini terjadi pada saat menjelang dan selama pemijahan.

2.3.2 Faktor Kondisi Ikan Terbang Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka (Royce, 1972). Faktor kondisi berkorelasi dengan panjang, spesies kelamin, makanan, tingkat kematangan gonad dan umur ikan. Selain itu, faktor kondisi juga digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan (kondisi perairan dan kualitas air) dengan ikan dan membandingkan berbagai tempat hidup. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan berat ikan, sehingga dapat digunakan sebagai indikator kondisi bagi pertumbuhan ikan perairan (Effendie, 2002). Menurut Hermawati (2006), nilai faktor kondisi dipengaruhi oleh aktivitas pemijahan dan kepadatan ikan di suatu perairan. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor dalam yang meliputi ukuran, umur, genetik, spesies kelamin, ketahanan tubuh dan tingkat kematangan gonad. Sedangkan faktor luar adalah ketersediaan makanan di alam, stok ikan yang ada di perairan dan faktor lingkungan seperti kondisi perairan dan kualitas perairan (Effendie, 2002). Menurut Barnham dan Baxter (1998), nilai faktor kondisi <1,20 tergolong ikan yang kurus dan panjang.

2.3.3 Tingkat Kematangan Gonad Ikan Terbang Menurut Effendie (2002), Tingkat Kematangan Gonad (TKG) adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 34

Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad akan bertambah besar dengan semakin bertambah besar ukurannya. Ukuran panjang ikan saat pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang memengaruhinya terutama ketersediaan makanan, oleh karena itu ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama (Effendie, 2002). Menurut Nikolsky (1969), akibat adanya kecepatan tumbuh ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu yang bersamaan akan mencapai matang gonad pada umur yang berlainan. Pada umumnya ikan jantan mencapai matang gonad lebih awal daripada betina, baik selama hidupnya maupun satu kali musim pemijahan. Menurut Lagler et al. (1977), faktor yang memengaruhi ikan pertama kali matang gonad adalah spesies, umur, ukuran dan sifat fisiologis ikan dalam hal kemampuan adaptasi. TKG dapat ditentukan melalui 2 cara, yaitu secara morfologis dan histologis. Secara morfologis, yaitu dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad. Secara histologis, yaitu dengan melihat anatomi perkembangan gonadnya. Secara morfologis, Hermawati (2006) mendeskripsikan perkembangan kematangan gonad ikan terbang mulai dari TKG I, TKG II, TKG III, TKG IV sampai TKG V (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Hirundichthys oxycephalus TKG Jantan Betina I Ukuran kecil dan pendek, Ukuran gonad pendek dan terbungkus warna putih krem, gonad selaput warna hitam, warna cokelat terbungkus selaput hitam muda, mengisi 1/3 rongga tubuh, butiran telur masih sangat kecil II Ukuran lebih besar dari TKG Ukuran lebih besar dari TKG I dan I, warna putih susu dan selaput pembungkus warna hitam masih terbungkus selaput hitam ada dan mulai tampak butiran berwarna kuning III Ukuran mulai membesar dan Ukuran mulai membesar dan mengisi ¾ selaput pembungkus masih rongga tubuh, warna gonad kuning ada, gonad mulai memudar, butiran telur lebih banyak warna makin putih

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 35

Tabel 2.1. (Lanjutan) TKG Jantan Betina IV Ukuran lebih besar dari TKG Butiran Nampak jelas dan makin III, permukaan testes tampak banyak, gonad mengisi seluruh bagian bergerigi, warna makin putih rongga tubuh dan berwarna kuning tua dan mengisi seluruh rongga tubuh V Gonad mengempis dan Gonad mengempis dan keriput bila keriput bila diawetkan diawetkan dan di bagian pelepasan terlihat sisa-sisa telur

[Sumber: Hermawati, 2006]

2.3.4 Indeks Kematangan Gonad Ikan Terbang Indeks Kematangan Gonad (IKG) merupakan perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen (%). Gonad akan semakin bertambah berat dengan semakin bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung hingga selesai (Effendie, 2002). Siregar (2003), menyatakan bahwa ikan yang memiliki TKG rendah IKG-nya pun rendah, sebaliknya ikan yang memiliki TKG tinggi maka nilai IKG-nya pun tinggi. Menurut Royce (1972), ikan betina akan memijah dengan nilai IKG berkisar antara 10-25 %, sedangkan ikan jantan akan memijah pada nilai IKG berkisar antara 5-10 %. Ikan jantan umumnya memiliki nilai IKG yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan betina.

2.3.5 Fekunditas Ikan Terbang Fekunditas adalah jumlah telur yang dikeluarkan ikan pada saat memijah. Fekunditas secara tidak langsung dapat dipergunakan untuk memperkirakan banyaknya ikan yang akan dihasilkan. Untuk menghitung jumlah telur dalam gonad ikan biasanya diambil yang tingkat kematangan gonadnya sudah tinggi atau bisa dilihat secara visual dapat terlihat butiran-butiran telur yang terpisah (Effendie, 2002). Menurut Moyle et. al. (1982), secara umum fekunditas meningkat sesuai dengan ukuran berat tubuh ikan betina.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 36

Ikan yang memiliki fekunditas yang besar umumnya memijah di permukaan dan mempunyai kebiasaan tidak menjaga telurnya, sedangkan ikan yang memiliki fekunditas yang kecil memiliki kebiasaan menempelkan telurnya pada substrat dan menjaga telurnya dari pemangsa. Terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran telur, maka fekunditasnya semakin tinggi begitupun sebaliknya (Nikolsky, 1969).

2.3.6 Diameter Telur Menurut Hoar (1957), ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama semua (merata) menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai oleh banyaknya ukuran yang berbeda di dalam ovarium. Semakin meningkatnya TKG menyebabkan semakin besar pula diameter telurnya (Effendie, 2002). Menurut Tamsil (2000), telur yang berukuran besar mempunyai kemampuan untuk menyangga kehidupan embrio yang ada di dalamnya dan menopang kehidupan larva sebelum mendapatkan makanan dari luar.

2.4 Plankton 2.4.1 Distribusi dan Peranan Plankton Plankton merupakan organisme berukuran sangat kecil yang hidupnya mengapung atau melayang di dalam air dan berperan sangat penting untuk kelangsungan hidup biota dalam ekosistem perairan. Plankton terdiri atas fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton tergolong kelompok plankton tumbuhan dengan ukuran sangat kecil (mikroskopis). Meskipun ukurannya sangat kecil, namun bila populasinya bertumbuh sangat cepat ( outbreak) dapat menyebabkan perubahan pada warna air laut (discolorisation) yang biasa dikenal dengan fenonema “red tide”. Fitoplankton merupakan tumpuan bagi hampir semua kehidupan di laut, baik secara langsung maupun tak langsung, melalui rantai makanan (food chain) (Davis, 1955). Penyebaran plankton tidak merata dalam suatu perairan karena dipengaruhi faktor, baik kimia maupun fisika, antara lain suhu, salinitas, derajat keasaman (pH), kecerahan, dan oksigen terlarut (DO) (Arinardi, 1997). Menurut

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 37

Nybakken (1992), distribusi plankton secara horisontal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor fisik berupa pergerakan arus. Oleh karena itu, pengelompokkan plankton lebih banyak terjadi pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuaria dibandingkan dengan oseanik. Ketersedian nutrien pada setiap perairan yang berbeda juga menyebabkan perbedaan kelimpahan plankton. Distribusi vertikal plankton sangat berhubungan dengan dimensi waktu, faktor cahaya, dan suhu. Perpindahan vertikal juga dipengaruhi oleh kemampuan pergerakan plankton dan adaptasi fisiologisnya. Perpaduan kondisi fisik air laut dan mekanisme mengapung menyebabkan plankton mampu bermigrasi secara vertikal, sehingga distribusinya berbeda secara vertikal. Menurut Odum (1979), fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi suatu perairan dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Kelimpahan fitoplankton mempunyai hubungan yang positif dengan kesuburan perairan, apabila kelimpahan fitoplankton tinggi maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas yang tinggi pula. Demikian juga distribusi horisontal plankton sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungannya seperti suhu, salinitas, dan arus. Oleh sebab itu, kehadiran plankton spesies tertentu dapat digunakan sebagai indikator massa air atau arus laut.

2.4.2 Struktur Komunitas dan Kelimpahan 2.4.2.1 Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman atau “Diversity Index” diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik tentang jumlah spesies suatu organisme dalam populasi. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisi informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman, yaitu dengan menetukan persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies (Kaswadji et. al., 1993).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 38

Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan. Dasar penilaian kualitas air berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Nilai Indeks Kualitas Air 3,0 - 4,5 Tercemar sangat ringan 2,0 - 3,0 Tercemar ringan 1,0 - 2,0 Tercemar sedang 0,0 - 1,0 Tercemar berat [Sumber: Wardoyo, 1974]

2.4.2.2 Indeks Keseragaman Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 – 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseagaman, maka populasi menunjukan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Odum, 1979).

2.4.2.3 Indeks Dominansi Dominasi jenis fitoplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (C). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1979).

2.4.3 Keanekaragaman Plankton 2.4.3.1 Fitoplankton Fitoplankton merupakan nama umum untuk plankton tumbuhan atau plankton nabati dan terdiri dari beberapa kelas. Menurut Arinardi et al. (1994) beberapa kelas diuraikan sebagai berikut:

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 39

a. Diatom (Kelas Bacillariophyceae) Spesies yang umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia antara lain adalah Chaetoceros sp., Rhizosolenia sp., Thalassiothrix sp. dan Bacteriastrum sp. Di perairan pantai atau mulut sungai biasanya banyak terdapat Skeletonema sp. dan kadang-kadang Coscinodiscus sp. Melimpahnya Skeletonema ini karena ia dapat memanfaatkan zat hara lebih cepat daripada diatom lainnya. b. Dinoflagellata (Kelas Dinophyceae) Genus-genus yang umum dijumpai di laut, antara lain Noctiluca, Ceratium, Peridinium dan Dinophysis. c. Kokolitofor (Coccolithophore, Kelas Haptophyceae) Di perairan tropis, fitoplankton ini sering didapatkan dalam jumlah besar sehingga peranannya dianggap penting. Phaecyctis pouchetii mempunyai sebaran luas tetapi jumlah yang besar biasanya ditemukan di perairan dingin. Spesies fitoplankton ini dapat mengeluarkan racun asam akrilik (acrylic acid). d. Ganggang biru (Blue-green algae, Kelas Cyanophyceae) Ganggang ini tersebar luas dan merupakan makanan zooplankton. Gerombolan Trichodesmium umum dijumpai di Laut Jawa dan Samudera Hindia, kadang-kadang hanyut beberapa kilometer sejajar pantai. e. Ganggang Hijau (Green-coloured algae, Kelas Chlorophyceae) Salah satu contoh ganggang ini adalah Chlorella sp. Menurut Arinardi et al. (1994), di Teluk Banten yang predominan, yaitu Ceratium, Rhizosolenia, Chaetoceros, Noctiluca, Thalassiothrix, Bacillaria dan Coscinodiscus. Menurut Sidabutar (2008) di Teluk Jakarta yang predominan, yaitu Skeletonema, Chaetoceros, Noctiluca, Dynophysis, Thalassiothrix dan Ceratium, dan di mulut Kali Cimanuk yang predominan, yaitu Chaetoceros, Dynophysis, Thalassiothrix, Skeletonema, Ceratium dan Coscinodiscus.

2.4.3.2 Zooplankton Zooplankton atau plankton hewani berbeda dari fitoplankton baik dalam jumlah filum maupun dalam daur hidupnya. Semua filum hewan terwakili di dalam kelompok zooplankton, yaitu mulai dari filum Protozoa (hewan bersel tunggal) sampai ke filum Chordata (hewan bertulang belakang). Dilihat dari cara menjalani hidupnya, zooplankton dibedakan atas holoplankton dan meroplankton.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 40

Holoplankton adalah plankton hewani yang seluruh masa hidupnya dilalui sebagai plankton, seperti Chaetognatha dan Copepoda. Meroplankton adalah plankton hewani yang masa awal dari siklus hidupnya dilalui sebagai plankton dan sesudah dewasa akan hidup menjadi nekton atau bentos. Pada kelompok meroplankton terdapat larva berbagai spesies avertebrata penghuni dasar perairan seperti larva bintang laut (Echinodermata), larva keong dan kerang (Mollusca), larva teritip (Cirripedia), larva udang-kepiting (Crustacea), berbagai spesies cacing (Polychaeta) dan larva biota lainnya. Termasuk di dalam kelompok ini juga telur dan larva sebagian besar ikan yang apabila dewasa akan merupakan anggota nekton (Arinardi et al., 1994). Zooplankton dijumpai hampir di seluruh habitat akuatik tetapi kelimpahan dan komposisinya bervariasi bergantung kepada keadaan lingkungan dan biasanya terkait erat dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH, dan zat cemaran memegang peranan penting dalam menentukan keberadaan spesies zooplankton di perairan, sedangkan faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan adanya pesaing dapat menentukan komposisi spesies. Menurut Arinardi (1997), di Laut Jawa volume dan kelimpahan zooplankton tertinggi didapatkan di perairan dekat pantai Jawa dan Kalimantan dengan rata-rata volume sebesar 0,04 ml/m3 dan kelimpahan 0,23 x 103 ekor/m3. Copepoda merupakan zooplankton predominan dan umumnya terdiri dari Acrocalanus, Paracalanus, Candacia, Eucalamus, Pleuromamma, Corycaeus dan Oithona. Di perairan Kalimantan Selatan, musim barat menyebabkan tingginya kadar nutrisi dan zooplankton. Perairan sekeliling Pulau Jawa telah pula diamati pada 2 musim berbeda. Volume zooplankton di Laut Jawa umumnya lebih tinggi daripada yang ada di Samudera Hindia (selatan Jawa). Di barat Laut Jawa banyak terdapat Thaliacea, sedangkan di Selat Bali Foraminifera lebih melimpah.

2.5 Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Terbang Hasil penelitian tentang potensi dan tingkat pemanfaatan ikan terbang di Indonesia juga masih terbatas pada wilayah perairan Sulawesi Selatan (Selat Makassar dan Laut Flores). Di perairan Sulawesi Selatan potensi hasil maksimum

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 41

lestari (MSY) telah mengalami penurunan (Ali et al., 2004a). Penurunan potensi lestari dari tahun ke tahun menjadi indikator terjadinya overfishing akibat tidak adanya pengelolaan. Penurunan potensi MSY ikan terbang di perairan Sulawesi Selatan juga ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian terdahulu yaitu antara tahun 1975-1979 sebesar 12.293 ton (Dwiponggo et al., 1983), kemudian antara tahun 1987-1991 sebesar 6.066 ton/tahun (Nessa et al., 1993), dan antara tahun 1991-2002 sebesar 5.770 ton/tahun. Kejadian ini menunjukkan antara tahun 1975-1979 dan 1991- 2002 terjadi penurunan potensi lestari sekitar 47 %. Penurunan potensi MSY dalam tempo 27 tahun adalah merupakan refleksi dari kemerosotan populasi ikan terbang akibat penangkapan berlebihan. Menurut Musick (1999), penurunan secara kuantitatif seperti potensi lestari dapat menjadi kriteria kategori resiko ancaman kepunahan spesies. Kriteria kemerosotan secara kuantitatif populasi populasi 50 % dalam tempo 10 tahun dapat dikategorikan berbahaya (endangered), penurunan ini tidak termasuk pengurangan 50 % dari populasi virtual sebagai pemanfaatan MSY dalam manajemen perikanan. Produksi ikan terbang di Provinsi Bali yang dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (2006) dari tahun 1998-2004 secara berurutan, yaitu 983 ton; 1.790 ton; 969 ton; 426 ton; 468 ton; 5.111 ton dan 4.990 ton, dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun 163,3 %. Daerah penangkapan ikan terbang mulai dari bagian utara Bali sampai ke Selat Bali. Nelayan jaring ikan terbang terkonsentrasi di perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng. Di Bali, pada umumnya hasil tangkapan ikan terbang hanya dimanfaatkan dan dipasarkan oleh penduduk sekitar (non-ekspor), baik dalam kondisi segar maupun yang dibuat ikan asap (Gambar 2.4).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 42

Gambar 2.4. Ikan terbang yang diasap di Desa Sririt, Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

2.6 Kapal dan Alat Alat Tangkap Jaring Insang Berdasarkan metode pengoperasiannya kapal ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu pengoperasian alat tangkap yang dilingkarkan (encircling gear), pengoperasian alat tangkap yang ditarik (towing gear), pengoperasian alat tangkap yang pasif (static gear), dan pengoperasian lebih dari satu alat tangkap (multipurpose gear) (Fyson, 1985). Kapal dengan alat tangkap jaring insang (gillnet) termasuk kedalam kelompok kapal ikan dengan metode pengoperasian static gear sehingga kecepatan kapal bukanlah suatu faktor yang penting karena alat tangkap ini bekerja secara statis melainkan stabilitas kapal yang tinggi lebih diperlukan agar saat pengoperasian alat tangkap dapat berjalan dengan baik (Rahman & Novita, 2006). Jaring insang merupakan alat tangkap ikan berupa jaring yang pada umumnya berbentuk empat persegi panjang yang mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang sama pada seluruh badan jaring, dimana jumlah mata jaring ke arah panjangnya lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah lebarnya. Gillnet dikenal dengan sebutan jaring insang, hal ini karena ikan-ikan yang tertangkap oleh gillnet adalah bagian operkulumnya terjerat atau terpuntal pada mata jaring.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 43

Menurut Martasuganda (2005), jaring insang adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring (mesh size) sama, jumlah mata jaring ke arah horisontal (mesh length/ML) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal (mesh depth/MD). Pada lembaran jaring bagian atas diletakkan pelampung (floats) dan pada bagian bawah diletakkan pemberat (sinkers). Menurut Ayodhyoa (1981), cara kerja jaring insang dengan menggunakan dua gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy dari floats yang bergerak ke atas dan sinking force dari sinkers ditambah berat jaring dalam air yang bergerak ke bawah, maka jaring akan terentang (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Konstruksi jaring insang (gillnet) [Sumber: Ayodhyoa, 1981]

Jaring insang dipasang menghadang arah dan jalan ikan yang sedang melakukan ruaya (Brandt, 1972). Stewart dan Ferro (1985) mengatakan bahwa gillnet dapat dipasang menghadang atau sejalan arah arus, dimana posisi ini dapat mengubah bentuk alat oleh karena tekanan dinamika air yang kemudian dapat memengaruhi kapasitas hasil tangkapan (Rahman & Novita, 2006). Berdasarkan kedudukan jaring di dalam perairan dan metode pengoperasiannya, jaring insang dibedakan menjadi empat, yaitu jaring insang permukaan (surface gillnet), jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring insang hanyut (drift gillnet), dan jaring insang lingkar (encircling gillnet/surrounding gillnet) (Ayodhyoa, 1981). Menurut Subani dan Barus (1989), dalam

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 44

pengoperasian jaring insang dibedakan menjadi lima, yaitu jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang labuh (set gillnet), jaring insang karang (coral reef gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), dan jaring insang tiga lapis (trammel net) (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Sistem operasi jaring insang hanyut (drifting gillnet) [Sumber: Ayodhyoa, 1981]

2.7 Baku Mutu Air Laut Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut (Menteri Lingkungan Hidup, 2004). Diantara ketentuan standar baku mutu air laut yang ditetapkan sebagaimana tertuang dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Beberapa parameter baku mutu air laut No Parameter Satuan Baku Mutu 1. Suhu oC koral: 28-30 mangrove: 28-32 lamun: 28-30 2. pH - 7 – 8,5 o 3. Salinitas /oo koral: 33-34 mangrove: s/d 34 lamun: 33-34 4. DO mg/l >5 5. Kecerahan m koral: >5 mangrove: - lamun: >3 [Sumber: Menteri Lingkungan Hidup, 2004]

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 45

Menurut Balon (1984), parameter fisik lingkungan perairan misalnya intensitas cahaya matahari, salinitas, dan oksigen terlarut, memiliki pengaruh terhadap pemijahan ikan.

2.7.1 Suhu Air laut Perubahan suhu memengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik, sehingga setiap organisme akuatik mempunyai batas kisaran maksimum dan minimum (Effendie, 2002). Ikan merupakan hewan poikiloterm, yang suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan (Brotowidjoyo et al., 1995), sebab semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Hoar et al., 1979). Suhu perairan berpengaruh terhadap respon tingkah laku ikan (Bal & Rao, 1984), proses metabolisme, reproduksi (Hutabarat & Evans, 1985; Effendie, 2002), ekskresi amonia dan resistensi terhadap penyakit (Nabib & Pasaribu, 1989). Boyd dan Lichtkoppler (1982), menyatakan bahwa suhu yang optimal bagi pertumbuhan ikan tropis berkisar antara 25-32 ºC. Semakin tinggi suhu semakin cepat perairan mengalami kejenuhan yang mendorong terjadinya difusi oksigen dari air ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan semakin menurun. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 ºC, menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran energi untuk mendapatkan oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat. Perubahan suhu juga berakibat pada peningkatan dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroba (Effendie, 2002).

2.7.2 Derajat Keasaman (pH) Air Laut Derajat keasaman (pH) menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau pH = - log (H+). Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena memengaruhi kehidupan jazad renik. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan karena konsentrasi oksigen akan rendah, sehingga aktivitas pernapasan tinggi dan selera makan berkurang (Ghufron & Kordi, 2005). Derajat keasaman (pH) air laut umumnya berkisar antara 7,6-8,3 (Brotowidjoyo et al., 1995) dan berpengaruh terhadap ikan (Ball & Rao, 1984).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 46

Derajat keasaman (pH) air laut relatif konstan karena adanya penyangga dari hasil keseimbangan karbondioksida, asam karbonat, karbonat dan bikarbonat yang disebut buffer (Shepherd & Bromage, 1988). Nilai pH, biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesis, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya, 1991). Kisaran pH dalam perairan alami, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida yang merupakan substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi perairan lainnya menyerap karbondioksida dari perairan selama proses fotosintesis berlangsung sehingga pH cenderung meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. Menurunnya pH oleh karbondioksida tidak lebih dari 4,5 (Boyd, 1982). Proses nitrifikasi oleh bakteri dapat mengurangi nilai pH perairan karena adanya konsumsi karbonat dan pelepasan ion hidrogen selama proses berlangsung (Soderberg, 1995). Proses penguraian bahan organik menjadi garam mineral, seperti, amonia, nitrat dan fosfat berguna bagi fitoplankton dan tumbuhan air. Proses akan lebih cepat jika kisaran pH basa (Afriyanto & Liviawaty, 1991). Pada pH diatas 7, amonia dalam bentuk molekul NH3 akan lebih dominan dari ion NH4, pada tingkatan tertentu dapat menembus membran sel atau juga menyebabkan rusaknya jaringan insang ( hiperplasia branchia) (Purnomo, 1992).

2.7.3 Salinitas Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendie, 2002). Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran 30-36 ppt (Brotowidjoyo et al., 1995), sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang mempunyai perubahan salinitas kecil (Hutabarat & Evans, 1985).Toleransi terhadap salinitas tergantung pada umur stadium ikan. Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, lama hidup serta orientasi migrasi.Variasi salinitas pada perairan yang jauh dari pantai akan relatif kecil dibandingkan dengan variasi salinitas di dekat pantai. Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku ikan atau distribusi ikan tetapi pada perubahan sifat kimia air laut (Brotowidjoyo et al.,1995). Ikan air laut mengatasi kekurangan air dengan mengonsumsi air laut

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 47

sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam dibatasi dengan cara mengekskresi klorida lebih banyak lewat insang dan ekskresi lewat urin yang isotonik (Hoar et al., 1979).

2.7.4 Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air laut yang sangat vital bagi kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung berubah-ubah seusai dengan kondisi atmosfer. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesis organisme yang mempunyai klorofil yang hidup di perairan. Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air berlangsung sangat lambat, oleh sebab itu fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut dalam perairan. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi banyak faktor, antara lain adalah suhu, salinitas, arus permukaan, luas area permukaan perairan yang terbuka, tekanan atmosfer dan persentase oksigen di sekitarnya. Berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air dapat disebabkan antara lain oleh naiknya temperatur dan salinitas, proses respirasi organisme perairan, dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme (Muhajir et al., 2004).

2.7.5 Kecerahan Cahaya merupakan faktor penting bagi kehidupan ikan dalam rantai makanan, tingkah laku reproduksi, mencari perlindungan, orientasi migrasi, pola pertumbuhan (Bal & Rao, 1984; Brotowidjoyo et al., 1995), dan fase metabolisme ikan (Brown & Gratzek, 1980). Kemampuan sinar matahari pada kondisi cerah dapat diabsorbsi sebanyak 1% pada kedalaman 100 m, sedangkan pada perairan yang keruh hanya mencapai kedalaman 10-30 m dan tiga meter pada perairan estuari (Brotowidjoyo et al., 1995). Penetrasi cahaya menjadi rendah apabila tingginya kandungan partikel tersuspensi di perairan dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga tingkat kedalaman (Hutabarat & Evans, 1985; Sastrawijaya, 1991). Berkas cahaya yang jatuh ke permukaan air, sebagiannya akan dipantulkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke dalam air. Jumlah cahaya yang dipantulkan bergantung pada sudut jatuh dari sinar dan keadaan perairan. Air yang senantiasa

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 48

bergerak menyebabkan pantulan sinar menyebar ke segala arah. Sinar yang melewati media air sebagian diabsorbsi dan sebagian discatter (Sidjabat, 1976). Dalam hubungannya dengan fotosintesisa, intensitas dan panjang gelombang sangat penting. Sebagian besar kehidupan di laut cenderung menyukai sinar-sinar dengan spektrum hijau dan biru (Romimohtarto, 2001).

2.8 Fenomena Upwelling Upwelling merupakan fenomena oseanografi yang melibatkan wind-driven motion yang kuat, dingin dan biasanya membawa massa air yang kaya akan nutrien ke arah permukaan laut. Air bawah permukaan yang dibawa ke permukaan dari kedalaman 100-200 meter kaya akan nutrien, yang mendukung pertumbuhan. Banyak upwelling terjadi di dekat pantai hingga beberapa kilometer. Bagian air yang terbawa naik memiliki plume air dingin yang terbentang ke arah laut hingga beberapa kilometer dari pantai (Gross, 1991). Upwelling adalah fenoma atau kejadian yang berkaitan dengan gerakan naiknya massa air laut. Gerakan vertikal ini adalah bagian integrasi dari sirkulasi laut tetapi ribuan sampai jutaan kali lebih kecil dari arus horizontal. Gerakan vertikal ini terjadi akibat adanya stratifikasi densitas air laut karena dengan penambahan kedalaman mengakibatkan suhu menurun dan densitas meningkat yang menimbulkan energi untuk menggerakkan massa air secara vertikal. Adanya gerakan massa air vertikal akan menimbulkan efek yang signifikan terhadap kandungan nutrien pada lapisan kedalaman tertentu. Gerakan naik dari massa air laut ini membawa serta suhu yang lebih dingin, salinitas yang tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh pakan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground). Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Birowo & Arief, 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 49

kadar zat hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan. Perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses upwelling ini selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut (Pariwono, 1988). Beberapa jenis kopepoda biasa digunakan sebagai bio-indikator dalam menentukan lokasi upwelling di perairan dunia. Calanus pacificus dan Calanus marshallae merupakan bio-indikator upwelling di perairan lepas pantai California dan Oregon, Amerika Serikat. Dilaporkan bahwa pada saat upwelling sedang berlangsung kelimpahan anakan (kopepodit V) dari jenis ini di permukaan perairan mencapai 26 juta individu per meter kubik, dan kadar fosfat di permukaan air mencapai 2 µg atom per liter. Di perairan Indonesia, dua jenis kopepoda laut dalam yang dikenal sebagai bio-indikator upwelling adalah Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus. Mereka menimbun lemak sebanyak mungkin dari fitoplankton, nauplius maupun detritus yang dimakannya untuk pertumbuhan dan cadangan makanan pada saat downwelling. Menjelang berakhirnya musim upwelling, pada saat stok makanan di permukaan mulai menipis, sebagian besar anakan (kopepodit V) dari kedua jenis kopepoda tersebut akan menyelam ke kedalaman 300-500 meter atau lebih. Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan, sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya proses upwelling. Hingga saat ini diketahui ada tujuh lokasi upwelling di perairan Indonesia. Sebagian besar lokasi upwelling ini terletak di Wallace area, yaitu suatu kawasan perairan yang dibatasi oleh garis Wallacea di bagian barat dan garis Lydekker di bagian timur. Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan biota yang tinggi, beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan endemik, yang merupakan sumbangan besar bagi keanekaragaman biota global. Selain Selat

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 50

Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala burung dan perairan timur Papua. Satu- satunya lokasi upwelling di luar kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 51

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, mulai bulan April sampai bulan Juni 2011. Sampel ikan didapatkan dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan di perairan Pemuteran-Bali Barat, Kabupaten Buleleng. Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium Balai Besar Riset Perikanan Budi Daya Laut (BBRPBL) Gondol-Bali, sedangkan analisis plankton dilakukan di Laboratorium Planktonologi, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), Jakarta. Wilayah pengambilan sampel berkisar pada koordinat 08005'31'' - 08007'43'' LS dan 114038'13'' - 114039'58'' BT (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Lokasi penelitian di perairan Pemuteran, Bali Barat [Sumber: Bakosurtanal, 2011]

3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil tangkapan ikan terbang dari spesies Cheilopogon katoptron, fitoplankton dan zooplankton. Bahan-bahan lainnya adalah air laut sampel dan larutan formalin yang telah

51 Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 52

dinetralkan dengan boraks, untuk mengawetkan ikan sampel dengan perbandingan 1 : 10 (10 %), dan untuk mengawetkan plankton sampel dengan perbandingan 1 : 25 (4 %). Adapun alat-alat yang digunakan selama pengambilan sampel adalah kapal penangkap ikan ukuran <1 Gross Tonnage (GT), alat tangkap drift gillnet, DO- meter, termometer, pH-meter digital, refraktometer, kite current meter, sechidish, timbangan digital, kaliper, GPS portable, kamera digital, buku identifikasi ikan terbang dan plankton, serta plankton net yang terdiri dari jaring Kitahara (mata jaring berukuran 80 , diameter mulut jaring 0,3 m, panjang jaring 100 cm dan jaring Norpac (mata jaring berukuran 300 , diameter mulut jaring 0,45 m, panjang jaring 180 cm).

3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Data Sampel Ikan Terbang Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan Bali dengan menggunakan drift gillnet yang dioperasikan dengan menggunakan kapal penangkap ikan ukuran <1 GT pada waktu pagi hari. Ikan terbang yang tertangkap ditampung sementara di atas geladak kapal. Setelah sampai di darat, ikan hasil tangkapan dihitung dan dipisahkan berdasarkan spesies yang tertangkap. Identifikasi ikan untuk membedakan spesies dilakukan secara visual di tempat pendaratan kapal dengan mengamati bentuk tubuh, sirip pektoral, sirip dorsal, sirip anal, sirip ventral, bentuk mulut dan letak gigi yang mengacu pada Hutomo et al. (1985) dan Parin (1999). Identifikasi ini dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. Asikin Djamali (akademisi dan mantan Peneliti Utama P2O-LIPI) dan Parino (mantan Teknisi Litkayasa Penyelia P2O LIPI). Setelah melakukan identifikasi, selanjutnya ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam jerigen yang telah berisi formalin 10 %. Analisis isi perut, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melakukan pembedahan. Sampel ikan terbang tersebut dibawa ke Laboratorium Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali, dan identifikasi dilakukan oleh Prof. Dr. Harianti (Peneliti Utama BBRPBL Gondol-Bali).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 53

3.3.2 Data Parameter Fisik Air Pengukuran kualitas air, yaitu oksigen terlarut dengan DO-meter, suhu dengan termometer, derajat keasaman (pH) dengan pH-meter digital, salinitas dengan refraktometer, kecepatan arus dan arah arus dengan kite current meter, dan kecerahan dengan sechidish. Selanjutnya posisi pengambilan sampel (sampling) ditentukan dengan GPS portable. Pengukuran parameter fisik air laut dilakukan dengan bantuan Parino (mantan Teknisi Litkayasa Penyelia P2O LIPI).

3.3.3 Data Plankton Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan pada 20 stasiun di perairan Bali Barat, Kabupaten Buleleng dengan jaring kitahara yang ditarik secara vertikal pada kedalaman hingga 26 m. Pengambilan sampel zooplankton dilakukan pada 20 stasiun di perairan Pemuteran-Bali Barat, Kabupaten Buleleng dengan jaring norpac yang ditarik secara horisontal selama 5-10 menit. Pada mulut jaring norpac, dilekatkan masing-masing sebuah flowmeter untuk mengukur volume air tersaring. Setelah pengambilan sampel, kemudian sampel diawetkan dengan formalin 4 % yang telah dinetralkan dengan borax. Identifikasi jenis-jenis, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan jenis plankton dilakukan oleh Sugestiningsih (Teknisi Litkayasa Penyelia P2O-LIPI) di Laboratorium Planktonologi, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), dengan mengacu pada Davis (1955), Wickstead (1965), Yamaji (1966), Taylor (1978), dan Hallegraeff (1991).

3.4 Uji Laboratorium Pada analisis laboratorium, ikan terbang yang telah diawetkan dengan formalin 10 % diukur panjang total dan beratnya. Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai dengan ujung sirip ekor yang paling belakang menggunakan kaliper dengan ketelitian 0,1 cm. Berat ikan contoh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital O’haus dengan ketelitian 0,01 g.

3.4.1 Pengamatan Isi Perut Ikan Terbang Pembagian kelompok makanan berdasarkan kelas ukuran panjang sesuai dengan contoh yang mewakili pada panjang berkisar antara 150-290 mm terbagi

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 54

dalam selang 10 mm. Ikan dibedah dengan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian dorsal di bawah linea lateralis dan menyusuri garis tersebut sampai ke bagian belakang operkulum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Bagian tubuh yang telah dibedah dibuka sehingga organ dalam ikan dapat terlihat dan jenis kelamin dapat ditentukan dengan melihat morfologi gonadnya. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ dalam lainnya. Lambung dan usus ikan diukur panjangnya menggunakan kaliper, kemudian dimasukkan ke dalam botol untuk diawetkan dengan menggunakan formalin 4 %. Bagian lambung yang diawetkan itu dibedah dan isinya dipisahkan untuk diukur volumenya. Isi lambung kemudian ditempatkan pada cawan menggunakan pipet tetes lalu diamati dan diidentifikasi dengan mikroskop.

3.4.2 Pengamatan Gonad Ikan Terbang Pengukuran tingkat perkembangan gonad dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, gonad diangkat dari dalam perut ikan lalu diawetkan dengan formalin 4 %. Tahap kedua, diambil tiga bagian dari gonad tersebut, yaitu bagian posterior, median dan anterior sebagai gonad contoh. Tahap ketiga, gonad contoh diamati dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer dengan pembesaran 100 µ.

3.5 Pengolahan Data 3.5.1 Nisbah Kelamin Nisbah kelamin ikan terbang dihitung dengan menggunakan persamaan sesuai Effendie (2002) :

M NK = (3.1) F

Keterangan : M = Jumlah ikan jantan (ekor) F = Jumlah ikan betina (ekor)

3.5.2 Faktor Kondisi Faktor kondisi ikan terbang dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan contoh dengan menggunakan persamaan sesuai Effendie (2002). Untuk pola

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 55

pertumbuhan yang bersifat allometrik (b ≠ 3), faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan:

W K = (3.2) aLb

Untuk pola pertumbuhan yang bersifat isometrik (b = 3), faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan :

105W K = (3.3) L3

Keterangan : K = Faktor kondisi W = Berat ikan contoh (g) L = Panjang ikan contoh (mm) a dan b = Konstanta

3.5.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Penentuan TKG secara morfologis dilakukan di laboratorium berdasarkan tanda-tanda umum serta ukuran gonad, sedangkan penentuan histologisnya dengan mengamati gonad di laboratorium secara mikrokopis.

3.5.4 Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad ikan terbang dihitung dengan menggunakan persamaan sesuai Effendie (2002) :

B IKG = g x 100% (3.4) Bt Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad

Bg = Berat gonad (g)

Bt = Berat total (g)

3.5.5 Fekunditas Fekunditas ikan terbang diamati, kemudian dianalisis dengan menggunakan persamaan Effendie (2002) sebagai berikut:

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 56

G x V x X F = (3.5) Q Keterangan : F = Fekunditas G = Berat gonad (g) V = Isi pengenceran (cc) X = Jumlah telur tiap cc Q = Berat telur contoh (g)

3.6 Analisis Hubungan variabel dependent dengan variabel independent Beberapa variabel dalam aspek biologi yang dianalisis dengan fungsi regresi, uji t dan koefisien determinasi adalah panjang dengan berat dan panjang dengan isi perut. Ukuran berat dan isi perut menjadi variabel dependent, sedangkan ukuran panjang sebagai variabel independent. Penghitungan korelasi panjang dengan berat dengan menggunakan persamaan Hile (1936) :

W = aLb (3.6)

Keterangan: W = Berat ikan L = Panjang ikan a dan b = Konstanta Transformasi kedalam logaritma dengan persamaan Walpole (1995):

 LogW x  (LogL)2 -  LogL x  (LogL x LogW) Log a = N x Σ (LogL)2 – (Σ LogL)2  LogW – (N x Log a) b = Σ LogL

Keterangan: N = Jumlah ikan W = Berat total (g) L = Panjang total (mm) a dan b = Konstanta

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 57

Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria : 1. Jika b = 3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. 2. Jika b > 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjang. 3. Jika b < 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot.

Untuk mengetahui keeratan hubungan antara panjang dengan berat digunakan koefisien korelasi (r) dengan rumus :

( WLogxLLog) r = 2 2  WLogxLLog)()(

Besaran pengaruh dan keeratan hubungan pertambahan variabel independent yang mengakibatkan adanya pertambahan variabel dependent dianalisis dengan fungsi regresi, uji t, dan koefisien determinasi (R2) dengan bantuan aplikasi SPSS.

1. Fungsi regresi Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari variabel independent (X) terhadap variabel dependent (Y), dengan persamaan sebagai berikut:

Y = a+bX (3.7)

Keterangan : Y = variabel dependent X = variabel independent a = konstanta b = koefisien determinasi

Nilai koefisien variabel independent mengandung arti bahwa setiap kenaikan satu satuan, maka variabel dependent (Y) akan naik sebesar X satuan, dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model adalah tetap.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 58

2. Koefisien determinasi (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antar variabel dalam pengertian yang lebih jelas. Koefisien determinasi akan menjelaskan seberapa besar perubahan atau variasi suatu variabel bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi pada variabel yang lain (Santosa & Ashari, 2005). Nilai R2 antara 0 - 1, jika hasil lebih mendekati angka 0 berarti kemampuan variabel independent dalam menjelaskan variasi variabel berat amat terbatas. Tapi jika hasil mendekati angka 1 berarti variabel panjang memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependent.

3. Uji t Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel independent secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependent. Derajat signifikansi yang digunakan adalah 0,05. Apabila nilai signifikan lebih kecil dari derajat kepercayaan maka kita menerima hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa suatu variabel independent secara parsial mempengaruhi variabel dependent.

Nilai sig lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05, maka H1 diterima dan Ho ditolak. Apabila thitung > ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t yang positif menunjukkan bahwa variabel X mempunyai hubungan yang searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan pertambahan variabel independent memiliki pengaruh signifikan atau tidak terhadap pertambahan variabel dependent.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 59

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Ikan terbang merupakan salah satu komoditas komersial penting di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di perairan Pemuteran, Bali Barat. Ikan terbang di perairan ini juga merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat nelayan di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Penangkapan ikan terbang di perairan Pemuteran, Bali Barat didominasi oleh kapal penangkap ikan skala kecil yang menggunakan kapal motor tempel, dengan ukuran kapal <5 GT dan alat tangkap drift gillnet 100-150 piece (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Kapal penangkap ikan terbang di perairan Pemuteran, Bali Barat [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

Berdasarkan data pengamatan lapangan, diketahui ikan terbang Cheilopogon katoptron mendominasi hasil tangkapan nelayan di perairan Pemuteran, Bali Barat. Ikan terbang dari spesies yang lain, seperti Cheilopogon

59 Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 60

artisignis, Cheilopogon suttoni, Cheilopogon papilio juga tertangkap dalam jumlah yang sedikit (Gambar 4.2).

Cheilopogon katoptron Cheilopogon atrisignis

Cheilopogon suttoni Cheilopogon papilio

Gambar 4.2. Beberapa spesies ikan terbang yang tertangkap di perairan Pemuteran, Bali Barat [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

Pada bulan Juni 2011, saat operasi penangkapan ikan terbang di perairan Pemuteran, diketahui ikan lumba-lumba (Tursiops truncatus) dan ikan layaran (Istiophorus platypterus) melintas di sekitar daerah penebaran jaring, bahkan ikan layaran (Istiophorus platypterus) dalam jumlah kecil tertangkap oleh jaring. Ikan- ikan tersebut, diduga mengejar gerombolan ikan terbang yang ada di perairan ini. Dugaan tersebut, diperkuat oleh pustaka dan penelitian terdahulu bahwa ikan lumba-lumba dan ikan layaran merupakan salah satu predator ikan terbang. Ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat April-Juni 2011 memiliki ukuran yang bervariasi antara ikan jantan dan betina. Ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan memiliki rentang panjang yang lebih pendek daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron betina. Perbedaan selang

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 61

panjang yang terdapat pada populasi ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat ini dapat terjadi, karena adanya perbedaan dalam tingkatan umur/generasi dan strategi reproduksi. Berdasarkan hasil operasi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang hanyut (drift gillnet), diperoleh ikan terbang Cheilopogon katoptron dengan ukuran terkecil (<160 mm) dengan persentase dibawah 2 % dari total hasil tangkapan. Artinya, alat tangkap yang digunakan telah selektif meloloskan ikan berukuran kecil agar tidak terjaring. Ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap di perairan Pemuteran Bali Barat pada bulan April-Juni 2011 juga diketahui belum memasuki masa pemijahan. Hal ini dapat diindikasikan dari berbagai faktor, diantaranya adalah perbandingan jenis kelamin (sex ratio) dan tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap. Dominasi ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dinyatakan hampir dua kali lipat (1,8 kali) dari ikan terbang Cheilopogon katoptron betina. Selain itu, gonad yang berisi sel kelamin hanya ditemukan pada ikan terbang Cheilopogon katoptron betina dengan frekuensi yang rendah (2,7 %) dari keseluruhan hasil tangkapan pada bulan April- Juni 2011, serta hanya memiliki kematangan gonad yang berada pada tingkat I dan II. Menurut Nikolsky (1963), perubahan nisbah kelamin terjadi secara teratur. Pada awalnya ikan jantan lebih dominan kemudian berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominasi ikan betina. Perubahan ini terjadi pada saat menjelang dan selama pemijahan. Pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron memiliki pola yang berbeda antara jantan dengan betina. Ikan terbang Cheilopogon katoptron betina memiliki pola pertumbuhan yang lebih cepat daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan, dalam hal peningkatan berat. Secara umum, pola pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron pada April-Juni 2011 memiliki kecenderungan meningkat, dengan peningkatan tertinggi pada bulan Juni 2011. Hal ini diduga karena adanya strategi reproduksi dan ketersediaan makanan yang melimpah pada bulan tersebut. Dari hasil pengamatan lapangan, diketahui bahwa ketersediaan plankton pada bulan April-Juni 2011 terjadi peningkatan jumlah sel/individu plankton per m3 yang fluktuatif. Pada bulan Juni 2011 terjadi ledakan

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 62

populasi (blooming) fitoplankton, yang diketahui populasinya meningkat lebih dari 4.000 % dari bulan April 2011. Fenomena blooming ini memperkuat dugaan telah terjadinya upwelling di perairan Pemuteran pada bulan tersebut. Data parameter fisik air laut juga mengindikasikan upwelling telah terjadi di perairan ini. Suhu air laut menunjukkan penurunan yang signifikan (9,3 %) pada bulan Juni 2011, hal ini dapat diakibatkan karena bercampurnya massa air dari dasar laut yang lebih dingin dengan air yang ada di permukaan. Derajat keasaman (pH) juga mengalami kecenderungan menurun. Pada bulan Mei 2011, terjadi penurunan pH sebesar 6 %, sedangkan pada bulan Juni 2011 terjadi penurunan 1,3 %. Penurunan pH ini dapat diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah adanya konsumsi karbonat dan ion hidrogen dalam proses nitrifikasi oleh bakteri. Meningkatnya kadar karbondioksida di perairan Pemuteran Bali Barat juga menjadi penyebab menurunnya pH. Konsentrasi karbondioksida meningkat karena tingginya laju pernapasan yang tidak seimbang dengan laju fotosintesis untuk menghasilkan oksigen terlarut (DO) dalam perairan. Penurunan DO pada bulan Juni 2011 sebesar 14 % dari bulan Mei 2011, memperkuat indikasi adanya penurunan produksi oksigen dari proses fotosintesis oleh produsen di dalam perairan, sehingga menyebabkan kadar karbondioksida di perairan menjadi lebih tinggi. Penurunan tingkat kecerahan air laut pada bulan Juni 2011 (31,4 %), juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya laju fotosintesis di perairan. Penurunan tingkat kecerahan perairan ini dapat terjadi karena masuknya sinar matahari terhalang oleh substrat yang naik ke permukaan perairan, sehingga laju fotosintesis juga menurun. Peningkatan ketersediaan makanan ikan terbang Cheilopogon katoptron dari kelompok zooplankton juga terjadi di perairan Pemuteran Bali Barat pada bulan Mei-Juni 2011. Populasi individu zooplankton per m3 rata-rata meningkat 180 % setiap bulan, dan didominasi oleh genus Copepoda. Pada bulan April 2011 komposisi Copepoda mencapai 44,9 %, bulan Mei 2011 komposisi Copepoda mencapai 58,8 %, dan bulan Juni 2011 komposisi Copepoda mencapai 62,8 % dari total populasi individu zooplankton per m3 yang ada di perairan Pemuteran Bali Barat. Hal ini berbanding lurus dengan ditemukannya Copepoda dalam isi

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 63

perut ikan terbang Cheilopogon katoptron sebagai makanan utamanya, dengan persentase rata-rata paling tinggi (45-74 %), sedangkan sisanya diisi oleh jenis makanan lainnya terdiri dari kelompok fitoplankton, cacing dan telur ikan.

4.2 Hasil dan Pembahasan 4.2.1 Sebaran Panjang-Berat Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Ikan terbang Cheilopogon katoptron yang dijadikan sampel penelitian dengan kurun waktu 3 bulan (April-Juni 2011) adalah 262 ekor, terdiri dari ikan jantan sebanyak 168 ekor dan ikan betina sebanyak 94 ekor. Pada bulan April jumlah ikan jantan yang tertangkap 32 ekor, ikan betina 30 ekor. Pada bulan Mei jumlah ikan jantan 60 ekor, ikan betina 40 ekor. Pada bulan Juni jumlah ikan jantan 76 ekor, ikan betina 24 ekor. Ukuran panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat berkisar 168-231 mm untuk ikan jantan, sedangkan ikan betina ukuran panjangnya berkisar 158-284 mm. Menurut Hermawati (2006), panjang total ikan terbang di perairan Binuangeun untuk ikan jantan adalah 220-277 mm, sedangkan ikan betina 215-275 mm. Ukuran panjang ikan terbang di perairan Binuangeun lebih panjang dibandingkan dengan ikan terbang yang ada di perairan Bali Barat. Perbedaan ini dapat terjadi karena ikan terbang di perairan Pemuteran-Bali Barat berbeda spesies dengan yang ada di perairan Binuangeun. Selain itu, ikan terbang di perairan Pemuteran Bali Barat merupakan hasil utama usaha perikanan tangkap skala kecil dengan frekuensi tangkapan yang tinggi, sehingga banyak ikan tertangkap dalam ukuran yang kecil. Berdasarkan ukuran panjang, ikan terbang ini dikelompokkan menjadi 14 kelompok selang panjang, dengan kisaran selang panjang 150-289 mm. Selang kelas ini dibuat untuk mengelompokkan ikan berdasarkan perbedaan generasi/umur. Pada ikan betina, frekuensi tertinggi pada selang panjang >179- 189 mm sebanyak 28 ekor (29,8 %), sedangkan untuk ikan jantan frekuensi tertinggi terdapat pada selang panjang >199-209 mm sebanyak 52 ekor (31,0 %). Ukuran paling kecil ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap terdapat pada selang panjang >159-169 mm (0,6 %) untuk ikan jantan, sedangkan ikan betina paling kecil pada selang panjang 150-159 mm (1,1 %). Hasil ini menunjukkan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 64

dengan ukuran kecil persentasenya rendah (Gambar 4.3). Artinya, nelayan setempat telah melakukan penangkapan ikan terbang dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, sehingga ikan yang berukuran kecil bukan menjadi target utama penangkapan.

57

Frekuensi (ekor)

Selang panjang (mm)

Gambar 4.3. Sebaran frekuensi ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan selang panjang total (mm), April-Juni 2011

Pada bulan April, panjang rata-rata diketahui 209,97 mm, bulan Mei diketahui 199,76 mm, dan bulan Juni 2011 diketahui 195,53 mm. Perbedaan ukuran panjang rata-rata pada setiap bulan dapat terjadi karena adanya perbedaan generasi/tingkat kesamaan umur dalam sub populasi ikan terbang Cheilopogon katoptron yang terdapat di perairan Pemuteran Bali Barat (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Perbedaan ukuran panjang rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat, April-Juni 2011

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 65

4.2.2 Nisbah Kelamin Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Berdasarkan selang ukuran panjang, nisbah kelamin mengalami fluktuasi. Nisbah kelamin yang paling tinggi terdapat pada selang kelas >219-229 mm. Pada selang kelas >229-239 mm nisbah kelamin seimbang dengan ikan jantan dan betina masing-masing 1 ekor (Gambar 4.5). Menurut Hermawati (2006) nisbah kelamin yang paling tinggi terdapat pada selang panjang 222-228 mm dan yang terkecil terdapat pada selang panjang 271-277 mm.

J/B)

( kelamin Nisbah

Selang panjang (mm)

Gambar 4.5. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron per selang panjang total (mm)

Dari hasil tangkapan ikan terbang dengan drift gillnet diperoleh komposisi rata-rata ikan jantan adalah 64,1 % dan ikan betina 35,9 %, sehingga diperoleh sex ratio tidak seimbang, yakni jantan-betina pada perbandingan 1,8:1 (Gambar 4.6). Secara keseluruhan maupun tiap bulan perbandingan ikan terbang yang tertangkap tidak seimbang, yaitu ikan jantan lebih banyak dibandingkan ikan betina. Menurut Hermawati (2006), nisbah kelamin ikan terbang di perairan Binuangeun yang tertangkap dengan menggunakan gill net adalah 2:1 (tidak seimbang). Menurut Ali (1981), ikan terbang di Laut Flores yang ditangkap dengan bubu hanyut memiliki nisbah kelamin 1:1. Perbedaan dari ketiga hasil penelitian ini akibat perbedaan alat tangkap yang digunakan, perbedaan tingkah laku antara ikan jantan dan betina, mortalitas dan pertumbuhan (Ball & Rao, 1984).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 66

Perbedaan jumlah ikan jantan dan betina pada penelitian bulan April-Juni 2011, juga dapat terjadi karena adanya strategi reproduksi. Populasi ikan Cheilopogon katoptron jantan berjumlah lebih banyak (mendominasi) dibandingkan dengan ikan Cheilopogon katoptron betina sebelum masa memijah. Diperkirakan, nisbah kelamin akan berubah secara teratur diikuti dengan dominasi ikan betina pada saat menjelang dan selama pemijahan. Hasil ini dapat menjadi salah satu indikator untuk mengambil kesimpulan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran Bali Barat pada bulan April-Juni belum memasuki masa pemijahan.

Gambar 4.6. Nisbah kelamin ikan terbang Cheilopogon katoptron

4.2.3 Faktor Kondisi Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Faktor kondisi ikan jantan dan ikan betina berfluktuatif. Pada ikan jantan memiliki kisaran faktor kondisi 0,86-1,30, sedangkan kisaran faktor kondisi pada ikan betina adalah 0,78-1,26 (Gambar 4.7). Menurut Hermawati (2006), nilai faktor kondisi berfluktuasi tiap bulannya dengan kisaran nilai tertinggi 1,05-1,18 pada bulan Juni untuk ikan jantan dan 0,97-1,10 pada bulan Agustus untuk ikan betina. Faktor kondisi rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron pada bulan April-Juni 2011 adalah sebesar 1,00 (Lampiran 1). Nilai rata-rata faktor kondisi pada penelitian selama April-Juni ini adalah 1,00 untuk ikan jantan dan ikan betina, artinya rata-rata ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran merupakan ikan yang kurus dan panjang.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 67

Gambar 4.7. Faktor kondisi ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dan betina per bulan

4.2.4 Tingkat Kematangan Gonad Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Tingkat perkembangan gonad dapat diketahui dari hasil pengamatan morfologi dan histologi dari sampel gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron. Tanda-tanda yang diamati untuk mengidentifikasi TKG adalah warna, bentuk dan ukuran gonad, serta volume sel kelamin yang terdapat di dalam gonad (Tabel 4.1).

Hasil histologis gonad ikan terbang, diketahui bahwa tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron masih berada pada level I dan II. Pada TKG I, dapat dilihat ukuran telur yang sangat kecil, tidak memiliki kuning telur dan nukleus yang terlihat dengan jelas. Pada TKG II, oogonia telah terlihat membelah secara mitosis menjadi oosit dan mulai terjadi pengendapan kuning telur (Gambar 4.8).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 68

Tabel 4.1. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron TKG Jantan Betina I Tidak ditemukan Ukuran kecil, panjang dan transparan, butir telur tidak terlihat dengan mata telanjang II Tidak ditemukan Ukuran gonad lebih besar dari TKG I, warna putih kekuningan, mulai terlihat butir telurnya, pada ujung gonad anterior lebih besar daripada median dan posterior, warna kekuningan [Sumber: Hasil pengamatan data lapangan]

Nu

Os

Og Yg

100 µm 100 µm

TKG I TKG II

Gambar 4.8. Struktur histologis gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron betina (Keterangan: Og = Oogonium; Os = Oosit; Nu = Nukleus; dan Yg = Kuning telur) [Sumber: Hasil pengamatan data lapangan]

Berdasarkan pengamatan sampel (April-Juni 2011), gonad berisi telur hanya ditemukan pada ikan betina. TKG I pada ikan betina 1,06 %, sedangkan TKG II pada ikan betina 5,32 % dari total 94 ekor ikan terbang betina sampel (Gambar 4.9). Pada ikan jantan tidak ditemukan. Maka dapat dinyatakan, bahwa kelompok ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap pada bulan April- Juni belum memasuki masa memijah.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 69

Betina

Frekuensi (ekor) Frekuensi

Gambar 4.9. Tingkat kematangan gonad ikan terbang Cheilopogon katoptron per bulan

Pada penelitian ini, diperoleh ukuran ikan pertama kali matang gonad pada ukuran 213 mm untuk ikan betina. Menurut Hermawati (2006), di perairan Binuangeun ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran 237 mm dan ikan betina 238 mm. Pada penelitian Ali (1981), di perairan Sulawesi Selatan ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran 180 mm dan betina 170 mm. Perbedaan ukuran pertama kali matang gonad antara perairan Binuangeun, perairan Sulawesi Selatan dan perairan Pemuteran Bali Barat dapat terjadi akibat adanya perbedaan spesies dan adanya indikasi penangkapan berlebih (overfishing), yang menyebabkan kelompok ikan yang terdapat di perairan tersebut memiliki ukuran panjang total yang lebih pendek, sehingga ikan ini memiliki strategi reproduksi untuk bertahan hidup, yaitu dengan mempercepat matang gonad pada ukuran panjang yang lebih pendek dibandingkan di perairan Binuangeun.

4.2.5 Parameter Fisik Air Laut Dalam penelitian ini parameter fisik air laut yang diuji meliputi suhu air laut, kadar pH air laut, salinitas, DO dan kecerahan air laut di perairan Pemuteran Bali Barat (Lampiran 2). Pada pengambilan sampel selama 3 bulan di 20 titik, diketahui rata-rata kualitas air laut di perairan Bali Barat sebagaimana Tabel 4.2 dibawah ini.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 70

Tabel 4.2. Kondisi rata-rata kualitas air laut di perairan Pemuteran Bali Barat, April-Juni 2011

April Mei Juni Suhu air (°C) 30,1 30,7 27,9 pH 8,3 7,8 7,7 o Salinitas ( /oo) 35,5 33,0 33,5 DO (mg/l) - 5,7 4,9 Kecerahan (m) 22,0 20,4 14,0 [Sumber: Hasil pengamatan data lapangan]

Dari Tabel 4.2, diketahui indikator suhu air laut menunjukkan penurunan yang cukup signifikan pada bulan Juni 2011 (9,3 %). Turunnya suhu air laut ini dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah adanya percampuran air dari dasar laut ke permukaan. Berdasarkan indikator parameter air laut lainnya, diperkirakan telah terjadi naiknya masa air dari dasar ke permukaan (upwelling) di perairan Pemuteran Bali Barat. Ledakan populasi fitoplankton juga memperkuat adanya upwelling telah terjadi pada bulan Juni 2011 (lihat Gambar 4.9). Derajat keasaman (pH) juga terlihat kecenderungan menurun. Pada bulan Mei 2011, terjadi penurunan sebesar 6 %, sedangkan pada bulan Juni terjadi penurunan 1,3 %. Penurunan pH ini dapat diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah adanya konsumsi karbonat dan ion hidrogen dalam proses nitrifikasi oleh bakteri. Meningkatnya kadar karbondioksida di perairan Pemuteran Bali Barat juga menjadi penyebab menurunnya pH. Konsentrasi karbondioksida meningkat karena tingginya laju pernapasan dan rendahnya laju fotosintesis yang menghasilkan oksigen terlarut. Menurunnya kadar oksigen terlarut pada bulan Juni sebesar 14 %, juga memperkuat indikasi terjadinya upwelling di perairan Pemuteran Bali Barat, yang menyebabkan meningkatnya kadar karbondioksida di perairan. Tingkat kecerahan air laut yang cenderung menurun pada bulan Juni 2011 (31,4 %), menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) di perairan. Menurunnya tingkat kecerahan perairan ini dapat terjadi karena masuknya sinar matahari terhalang oleh substrat yang naik ke permukaan perairan, sehingga menyebabkan laju fotosintesis juga menurun. Selanjutnya, pada bulan April-Juni 2011 juga terjadi penurunan salinintas di perairan Pemuteran Bali Barat. Pada bulan Juni 2011, salinitas menurun sebesar

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 71

(6,1 %) dari bulan April 2011. Penurunan salinitas ini dapat terjadi karena daerah pengambilan sampel berada dekat dengan pantai yang memiliki tingkat variasi salinitas yang tinggi. Diduga, tingkat salinitas di dasar perairan lebih rendah dari yang ada di permukaan, sehingga saat terjadi pengadukan air laut dapat menurunkan tingkat salinitasnya. Secara umum, berdasarkan parameter fisik air laut dan indeks keanekaragaman plankton Shannon-Wiener dengan nilai indeks berkisar 1,54 - 1,65, dapat dinyatakan bahwa perairan Pemuteran telah mengalami pencemaran pada tingkat sedang, namun masih dalam batasan toleransi baku mutu air laut. Artinya, kondisi perairan Pemuteran dapat diindikasikan telah terjadi pencemaran yang mengarah kepada penurunan kualitas lingkungan perairan. Hal ini menjadi catatan penting, bahwa dalam rangka pengelolaan ikan terbang di perairan Pemuteran, pencemaran lingkungan yang terus meningkat dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan sumberdaya ikan terbang pada khususnya.

4.2.6 Komposisi Plankton 4.2.6.1 Fitoplankton Hasil pencacahan dan identifikasi fitoplankton dari perairan Pemuteran Bali Barat, Kabupaten Buleleng sebanyak 20 stasiun pada bulan April-Juni 2011 disajikan dalam Tabel 4.3 dan Gambar 4.10. Menurut Sidabutar (2008), di perairan estuari Cisadane, Teluk Jakarta ditemukan sebanyak 11 genus yaitu Amphizolenia, Ceratium, Dynophysis, Dictyocha, Gymnodinium, Gonyaulax, Noctiluca, Ornithoceros, Prorocentrum, Protoperidinium dan Pyrophacus. Pada bulan April (8 stasiun), berhasil dilakukan identifikasi 15 spesies fitoplankton, terdiri dari 9 spesies Diatomae dan 6 spesies Dinoflagellata. Diatomae yang terindentifikasi, yaitu Chaetoceros, Coscinodiscus, Hemiaulus, Nitzschia, Odontela, Rhizosolenia, Skeletonema, Thalassiothrix dan Thalassiosira, sedangkan Dinoflagellata yang terindentifikasi, yaitu Ceratium, Dinophysis, Noctiluca, Ornithocerus, Prorocentrum dan Protoperidinium. Jumlah sel fitoplankton per m3 diketahui 8.989 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman 1,54, indeks kemerataan 0,93 dan indeks kekayaan jenis 0,48.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 72

Pada bulan Mei (8 stasiun), berhasil dilakukan identifikasi 13 spesies fitoplankton, terdiri dari 9 spesies Diatomae dan 4 spesies Dinoflagellata. Diatomae yang terindentifikasi, yaitu Asterolampra, Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Hemiaulus, Nitzschia, Rhizosolenia, Thalassiothrix dan Thalassiosira, sedangkan Dinoflagellata yang terindentifikasi, yaitu Ceratium, Ornithoceros, Podolampas dan Protoperidinium. Jumlah sel fitoplankton per m3 diketahui 9.158 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman 1,34, indeks kemerataan 0,87 dan indeks kekayaan jenis 0,45. Pada bulan Juni (4 stasiun), berhasil dilakukan identifikasi 16 spesies fitoplankton sebanyak 16 spesies, terdiri dari 14 spesies Diatomae dan 2 spesies Dinoflagellata. Diatomae yang terindentifikasi, yaitu Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Eucampia, Guinardia, Hemiaulus, Lauderia, Leptocylindrus, Nitzschia, Rhizosolenia, Skeletonema, Stephanopyxis, Thalassiosira dan Thalassiothrix, sedangkan Dinoflagellata yang terindentifikasi, yaitu Ceratium, dan Protoperidinium. Jumlah sel fitoplankton per m3 diketahui 401.324 sel/m3, dengan indeks keanekaragaman 1,65, indeks kemerataan 0,69 dan indeks kekayaan jenis 0,80. Berdasarkan perbedaan jumlah sel fitoplankton per m3 pada bulan April- Juni 2011 (Gambar 4.11), diketahui bahwa telah terjadi ledakan populasi fitoplankton di perairan Pemuteran-Bali Barat pada bulan Juni 2011. Hal ini diperkuat dengan adanya indikasi penurunan suhu air laut, kadar oksigen terlarut, dan kecerahan perairan pada bulan Juni 2011.

Tabel 4.3. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener fitoplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni 2011 Indeks Indeks Bulan Jumlah sel/m3 Keanekaragaman Kemerataan April 2011 8.989 1,54 0,93 Mei 2011 9.158 1,34 0,87 Juni 2011 401.324 1,65 0,69 [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 73

Gambar 4.10. Jumlah rata-rata fitoplankton per spesies (sel/m3), April-Juni 2011

Rata-rata: Indeks keragaman = 1,51 Indeks kemerataan = 0,83 Indeks kekayaan spesies = 0,57

Gambar 4.11. Jumlah rata-rata individu fitoplankton (sel/m3) per bulan

4.2.6.2 Zooplankton Hasil pencacahan dan identifikasi zooplankton dari perairan Pemuteran Bali Barat, Kabupaten Buleleng berasal dai 20 stasiun pengambilan sampel pada bulan April-Juni 2011 ditampilkan dalam Tabel 4.4 dan Gambar 4.12. Pada bulan April 2011 (8 stasiun), zooplankton hasil identifikasi sebanyak 37 macam, yaitu Medusa, Nectophore, Siphonophora, Stenophores, Tornaria, Chaetognatha, Evadne, Penelia, Ostracoda, Calanoida (Copepoda), Cyclopoida (Copepoda), Harpacticoida (Copepoda), Amphipoda, Brachiopoda,

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 74

Cephalopoda, Isopoda, Oikopleura, Luciferidae (mysis), Luciferidae (dewasa), Mysidacea (larvae), Euphausiacea (larvae), Thaliacea, Brachyura (zoea), Brachyura (megalopa), Caridea (larvae), Penaeidae (larvae), Polychaeta, Porcelanid (larvae), Stomatopoda, Sargestidae (zoea), Bipinnaria, Echinopluteus, Ophiopluteus, Creseis, Gastropoda, telur-telur ikan dan larva ikan. Jumlah populasi zooplankton per m3 diketahui 70,00 ind/103m3, dengan indeks keanekaragaman 1,79, indeks kemerataan 0,62 dan indeks kekayaan jenis 0,61. Pada bulan ini, genus Copepoda adalah yang dominan. Komposisinya mencapai 44,9 % dari total populasi individu zooplankton per m3 yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat. Pada bulan Mei 2011 (8 stasiun), zooplankton hasil identifikasi sebanyak 31 macam, yaitu Medusa, Nectophore, Siphonophora, Stenophores, Chaetognatha, Evadne, Ostracoda, Calanoida (Copepoda), Cyclopoida (Copepoda), Harpacticoida (Copepoda), Amphipoda, Clionina, Cyphonautes, Euphausiacea (zoea), Fritillaria, Oikopleura, Phoronis, Thaliacea, Tornaria, Brachyura (zoea), Cirripedia, Polychaeta, Sargestidae (larvae), Bipinnaria (larvae), Echinopluteus, Ophiopluteus, Bivalvia, Creseis, Gastropoda, telur-telur ikan dan larva ikan. Jumlah populasi zooplankton per m3 diketahui 271,68 ind/103m3, dengan indeks keanekaragaman 1,65, indeks kemerataan 0,58 dan indeks kekayaan jenis 0,31. Pada bulan ini, genus Copepoda adalah yang dominan. Komposisinya mencapai 58,8 % dari total populasi individu zooplankton per m3 yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat. Pada bulan Juni 2011 (4 stasiun), zooplankton hasil identifikasi sebanyak 30 macam, yaitu Medusa, Nectophore, Siphonophora, Chaetognatha, Ostracoda, Calanoida (Copepoda), Cyclopoida (Copepoda), Harpacticoida (Copepoda), Amphipoda, Desmopterus papilio, Euphausiacea zoea, Euphausiacea (dewasa), Fritillaria, Isopoda, Oikopleura, Luciferidae (zoea), Luciferidae (mysis), Luciferidae (dewasa), Thaliacea, Brachyura (zoea), Cirripedia, Cypris, Polychaeta, Bipinnaria, Ophiopluteus, Bivalvia, Creseis, Gastropoda, telur-telur ikan dan larva ikan. Jumlah populasi zooplankton per m3 diketahui 124,52 ind/103m3, dengan indeks keanekaragaman 1,80, indeks kemerataan 0,60 dan indeks kekayaan jenis 0,41. Pada bulan ini, genus Copepoda adalah yang

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 75

dominan. Komposisinya mencapai 62,8 % dari total populasi individu zooplankton per 103 m3 yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat (Gambar 4.12).

Gambar 4.12. Komposisi jumlah rata-rata zooplankton per genus (ind/103 m3), April-Juni 2011

Dari Gambar 4.12 dapat dilihat dominasi populasi zooplankton dari genus Copepoda berada pada setiap bulan, kisarannya mencapai 44-63 % dari keseluruhan populasi zooplankton yang ada di perairan Pemuteran Bali Barat. Dengan demikian, Copepoda diduga akan menjadi menu utama makanan ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat. Berdasarkan perbedaan jumlah individu zooplankton per 103m3 pada bulan April-Juni 2011 (Gambar 4.12), diketahui bahwa telah terjadi peningkatan populasi zooplankton di perairan Pemuteran-Bali Barat pada bulan Juni 2011, akibat adanya blooming fitoplankton pada bulan yang sama.

Tabel 4.4. Indeks keanekaragaman dan kemerataan Shannon-Wiener zooplankton di perairan Pemuteran, bulan April-Juni 2011 Jumlah Indeks Indeks Bulan ind/103 m3 Keanekaragaman Kemerataan April 2011 70,00 1,79 0,62 Mei 2011 271,68 1,65 0,58 Juni 2011 124,52 1,80 0,60 [Sumber: Hasil pengamatan lapangan]

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 76

4.2.7 Komposisi Isi Perut Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Dalam penelitian ini, makanan yang terdapat dalam isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu krustasea, cacing, fitoplankton dan kelompok lain-lain. Berdasarkan hasil analisis isi perut ikan terbang yang dijadikan sampel, diketahui bahwa komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron didominasi oleh kelompok makanan dari kelas krustasea. Pada bulan April 2011, krustasea komposisinya mencapai 50,5 %, pada bulan Mei 2011 mencapai 82,8 %, dan pada bulan Juni 2011 jumlahnya mencapai 87,6 % (Gambar 4.13).

Gambar 4.13. Komposisi isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron berdasarkan kelompok makanan per bulan

Berdasarkan analisis makanan dari kelas krustasea, diketahui Genus Copepoda mendominasi isi perut sebagai makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron pada bulan April-Juni 2011, komposisinya mencapai 82- 89 % dari keseluruhan krustasea yang ada di dalam isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron (Gambar 4.14). Hasil ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan bahwa Genus Copepoda mendominasi populasi zooplankton yang ada di perairan Pemuteran, Bali Barat.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 77

Gambar 4.14. Makanan Utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali Barat, bulan April-Juni 2011

Komposisi isi perut ikan terbang berfluktuatif setiap (Gambar 4.15). Pada bulan April 2011, diketahui nafsu makan tertinggi pada rentang ukuran 279-289 mm dan yang terendah pada ukuran 189-199 mm. Pada bulan Mei dan Juni 2011, nafsu makan tertinggi pada rentang ukuran 219-229 dan terendah pada ukuran 159-179 mm. Dari hasil analisis, perbedaan volume isi perut ini sangat berhubungan dengan adanya perbedaan ukuran panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron. Semakin panjang ukuran ikan akan semakin tinggi tingkat nafsu makan, yang diindikasikan melalui makanan yang ada di dalam isi perut ikan. Artinya, kebutuhan akan energi lebih banyak pada ikan-ikan yang berukuran lebih besar, sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut pola makan ikan terbang juga bertambah.

Gambar 4.15. Volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron (sel-ind) per selang panjang, April-Juni 2011

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 78

4.2.8 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Hubungan panjang-berat ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan dan betina menunjukkan hubungan yang erat dengan koefisien korelasi (r) ikan jantan dan betina mendekati 1 yaitu sebesar 0,99. Pada bulan April 2011, model pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan W = 0,0003L2,3370, sedangkan ikan terbang Cheilopogon katoptron betina W = 0,0001L2,5903. Dari model pertumbuhan tersebut diperoleh nilai b sebesar 2,3370 untuk jantan dan 2,5903 untuk betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron (jantan-betina) mempunyai pola pertumbuhan allometrik negatif (b<3) yang berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat (Gambar 4.16).

Gambar 4.16. Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, April 2011

Pada bulan Mei 2011, model pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan W = 0,0003L2,3863, sedangkan ikan terbang Cheilopogon

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 79

katoptron betina W = 0,00002L2,8240. Dari model pertumbuhan tersebut diperoleh nilai b sebesar 2,3863 untuk jantan dan 2,8240 untuk betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron (jantan-betina) mempunyai pola pertumbuhan allometrik negatif (b<3) (Gambar 4.17).

Gambar 4.17. Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, Mei 2011

Pada bulan Juni 2011, model pertumbuhan ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan W = 0,0004L2,6828, sedangkan ikan terbang Cheilopogon katoptron betina W = 0,0002L3,2198. Dari model pertumbuhan tersebut diperoleh nilai b sebesar 2,6828 untuk jantan dan 3,2198 untuk betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan mempunyai pola pertumbuhan allometrik negatif (b <3), dan allometrik positif (b>3) untuk ikan terbang Cheilopogon katoptron betina (Gambar 4.18). Artinya, ikan terbang Cheilopogon katoptron betina memiliki strategi pemijahan untuk persiapan kematangan gonad dengan meningkatkan berat lebih cepat daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 80

Gambar 4.18. Hubungan panjang dan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, Juni 2011

Pengaruh pertambahan panjang terhadap pertambahan berat dianalisis dengan mengunakan SPSS, untuk mengetahui persentase pengaruh dan keeratan korelasi antara panjang dengan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron (Tabel 4.5 dan Lampiran 3).

Tabel 4.5. Hasil analisis pengaruh panjang terhadap berat ikan terbang Cheilopogon katoptron, April-Juni 2011

Koef. Regresi thitung ttabel No Variabel Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina April 1. Panjang 2,338 2,590 8,347 15,914 2,037 2,0484 2. Konstanta (a) -3,586 -4,187 Fhitung > Ftabel : Variabel bebas secara 3. Fhitung 69,675 253,244 simultan berpengaruh terhadap 4. Ftabel 4,149 4,196 variabel terikat 5. R2 0,699 0,907

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 81

Tabel 4.3. (Lanjutan)

Koef. Regresi thitung ttabel No Variabel Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Mei 1. Panjang 2,387 2,823 13,569 12,294 2,000 2,021 2. Konstanta (a) -3,702 -4,716 Fhitung > Ftabel : Variabel bebas secara 3. Fhitung 184,105 151,154 simultan berpengaruh terhadap 4. Ftabel 4,001 4,085 variabel terikat 5. R2 0,760 0,799 Juni 1. Panjang 2,683 3,218 18,929 9,778 1,992 2,064 2. Konstanta (a) -4,400 -5,624 Fhitung > Ftabel : Variabel bebas secara 3. Fhitung 358,300 95,602 simultan berpengaruh terhadap 4. Ftabel 3,967 4,260 variabel terikat 5. R2 0,829 0,813

Dari hasil analisis data, dengan menggunakan fungsi regresi diperoleh persamaan sebagai berikut:  Persamaan hubungan panjang-berat pada bulan April 2011: 2,338 2,590 Yjantan = 3E-04X ;Ybetina = 7E-05X

 Persamaan hubungan panjang-berat pada bulan Mei 2011: 2,387 2,823 Yjantan = 2E-04X ;Ybetina = 2E-05X

 Persamaan hubungan panjang-berat pada bulan Juni 2011: 2,683 3,218 Yjantan = 4E-05X ;Ybetina = 2E-06X

Keterangan : Y = berat ikan (g) X = panjang ikan (mm)

Dari persamaan diatas dapat dijelaskan bahwa dalam keadaan cateris paribus (seimbang) dengan selang kepercayaan 95 %, perubahan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron dapat dijelaskan sebagai berikut:  Berat bertambah sebesar 2,338 % pada ikan jantan dan 2,590 % pada ikan betina. Setiap perubahan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron disebabkan karena pertambahan panjang memiliki pengaruh keeratan sebesar 69,9 % untuk jantan dan 90,7 % untuk betina. Artinya, pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan berat ikan terbang Chelopogon katoptron.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 82

 Berat bertambah sebesar 2,387 % pada ikan jantan dan 2,823 % pada ikan betina. Setiap perubahan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron disebabkan karena pertambahan panjang memiliki pengaruh keeratan sebesar 76,0 % untuk jantan dan 79,9 % untuk betina. Artinya, pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan berat ikan terbang Chelopogon katoptron.  Berat bertambah sebesar 2,683 % pada ikan jantan dan 3,218 % pada ikan betina. Setiap perubahan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron disebabkan karena pertambahan panjang memiliki pengaruh keeratan sebesar 82,9 % untuk jantan dan 81,3 % untuk betina. Artinya, pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan berat ikan terbang Chelopogon katoptron.

4.2.9 Hubungan Isi Perut dan Panjang Ikan Terbang Cheilopogon katoptron Sebaran data isi perut berdasarkan nilai tengah kelas panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron ditabulasikan dalam Tabel 4.6, sedangkan hubungan antara keduanya dapat dilihat dalam Gambar 4.19.

Tabel 4.6. Sebaran data isi perut dan panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni 2011

Selang Tengah Isi Perut (%) Panjang (mm) Kelas April Mei Juni 150-159 155 mm 25 ind 5,0 % - 0,0 % - 0,0 % >159-169 164 mm 27 ind 5,4 % 21 ind 4,2 % - 0,0 % >169-179 174 mm 22 ind 4,4 % 29 ind 5,8 % 27 ind 5,4 % >179-189 184 mm 20 ind 4,0 % 44 ind 8,8 % 33 ind 6,6 % >189-199 194 mm 16 ind 3,2 % 34 ind 6,8 % 47 ind 9,4 % >199-209 204 mm 28 ind 5,6 % 32 ind 6,4 % 54 ind 10,8 % >209-219 214 mm 28 ind 5,6 % 35 ind 7,0 % 47 ind 9,4 % >219-229 224 mm 46 ind 9,2 % 44 ind 8,8 % 56 ind 11,2 % >229-239 234 mm 41 ind 8,2 % - 0,0 % - 0,0 % >239-249 244 mm 46 ind 9,2 % - 0,0 % - 0,0 % >249-259 254 mm 41 ind 8,2 % - 0,0 % - 0,0 % >259-269 264 mm 52 ind 10,4 % - 0,0 % - 0,0 % >269-279 274 mm 50 ind 10,0 % - 0,0 % - 0,0 % >279-289 284 mm 57 ind 11,4 % - 0,0 % - 0,0 % Jumlah: 499 Ind 239 Ind 264 Ind

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 83

Gambar 4.19. Hubungan ukuran panjang ikan dengan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, April-Juni 2011

Pengaruh ukuran panjang terhadap isi perut ikan dianalisis dengan mengunakan SPSS, untuk mengetahui persentase pengaruh dan keeratan korelasi antara panjang dengan isi perut ikan terbang Cheilpopogon katoptron (Tabel 4.7 dan Lampiran 3).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 84

Tabel 4.7. Hasil analisis pengaruh panjang terhadap isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron, bulan April-Juni 2011

No Variabel Koef. Regresi thitung ttabel Kesimpulan April 1. Panjang 1,719 5,219 2,145 Signifikan 2. Konstanta (a) -2,490 F > F : Variabel bebas secara 3. F 27,234 hitung tabel hitung simultan berpengaruh terhadap variabel 4. F 4,600 tabel terikat 5. R2 0,694 Mei 1. Panjang 1,974 5,044 2,365 Signifikan 2. Konstanta (a) -2,988 F > F : Variabel bebas secara 3. F 25,440 hitung tabel hitung simultan berpengaruh terhadap variabel 4. F 5,591 tabel terikat 5. R2 0,836 Juni 1. Panjang 2,781 4,199 2,447 Signifikan 2. Konstanta (a) -4,759 F > F : Variabel bebas secara 3. F 17,629 hitung tabel hitung simultan berpengaruh terhadap variabel 4. F 5,987 tabel terikat 5. R2 0,815

Dari hasil analisis, dengan menggunakan fungsi Cobb Douglas diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

1,719 1,974 2,781 YApril = 0,003X ; dan YMei = 0,001X ; dan YJuni = 0,00002X

Keterangan : Y = isi perut (sel-individu) X = panjang ikan (mm)

Dari persamaan diatas dapat dijelaskan bahwa dalam keadaan cateris paribus (seimbang), dengan selang kepercayaan 95 % setiap perubahan satu satuan panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron bertambah 1 % akan mengakibatkan peningkatan isi perut sebagai berikut:  Isi perut meningkat sebesar 1,719 % pada bulan April 2011. Setiap peningkatan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron disebabkan karena pertambahan panjang memiliki pengaruh keeratan sebesar 69,4 %. Artinya, pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume isi perut ikan terbang Chelopogon katoptron.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 85

 Isi perut meningkat sebesar 1,974 % pada bulan Mei 2011. Setiap peningkatan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron disebabkan karena pertambahan panjang memiliki pengaruh keeratan sebesar 83,6 %. Artinya, pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume isi perut ikan terbang Chelopogon katoptron.  Isi perut meningkat sebesar 2,781 % pada bulan April 2011. Setiap peningkatan isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron disebabkan karena pertambahan panjang memiliki pengaruh keeratan sebesar 81,5 %. Artinya, pertambahan ukuran panjang ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume isi perut ikan terbang Chelopogon katoptron.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012

86

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Ikan terbang Cheilopogon katoptron yang tertangkap di perairan Pemuteran-Bali Barat pada bulan April-Juni 2011 belum memasuki masa pemijahan, karena sex ratio masih didominasi oleh ikan jantan dan gonad yang berisi sel kelamin/telur hanya terdapat pada ikan terbang Cheilopogon katoptron betina dengan persentase yang rendah pada tingkat kematangan gonad I dan II. Ikan terbang Cheilopogon katoptron pada penelitian bulan April-Juni 2011 memiliki pola pertumbuhan allometrik. Ikan terbang Cheilopogon katoptron betina memiliki strategi reproduksi yang lebih cepat daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan. Hal ini didukung dengan pertumbuhan berat ikan terbang Cheilopogon katoptron lebih besar daripada ikan terbang Cheilopogon katoptron jantan. Secara umum, ikan terbang Cheilopogon katoptron pada penelitian ini dinyatakan sebagai ikan yang kurus. Pada bulan Juni 2011, perairan Pemuteran, Bali Barat yang dijadikan lokasi penelitian diduga mengalami upwelling. Hal ini diperkuat dengan adanya penurunan suhu perairan, penurunan oksigen terlarut, penurunan tingkat kecerahan dan adanya ledakan populasi (blooming) fitoplankton di perairan ini. Makanan utama ikan terbang Cheilopogon katoptron di perairan Pemuteran, Bali barat adalah dari Genus Copepoda, komposisinya mencapai 74 % dari keseluruhan makanan yang dimakan. Hal ini berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan bahwa Genus Copepoda mendominasi populasi zooplankton yang ada di perairan (45-63 %). Pertambahan ukuran panjang memberikan pengaruh yang nyata terhadap ukuran berat dan volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron. Artinya, setiap ukuran panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron bertambah Y-satuan, maka beratnya akan bertambah sebesar X-satuan. Selanjutnya, setiap ukuran panjang ikan terbang Cheilopogon katoptron bertambah Y-satuan, maka nafsu makan yang diindikasikan dengan volume isi perut ikan terbang Cheilopogon katoptron juga bertambah sebesar X-satuan.

86 Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 87

5.2 Saran Dalam rangka pengelolaan perikanan ikan terbang yang berkelanjutan di perairan Pemuteran Bali Barat, penelitian ini masih harus dilanjutkan untuk mendapatkan informasi ilmiah tentang ikan terbang secara lengkap, mulai dari informasi tentang spesies, sub populasi, aspek biologi reproduksi, parameter lingkungan, ketersediaan makanan, hingga informasi Catch Per Unit Effort (CPUE). Diharapkan pada penelitian selanjutnya, pengujian beberapa aspek perlu dilakukan secara komprehensif dan kontinyu, guna mengetahui korelasi dan pengaruh antar aspek yang diuji. Waktu penelitian perlu dilakukan sepanjang tahun, guna mengetahui pola pertumbuhan dan musim memijah yang lebih akurat. Uji sampel DNA juga perlu dilakukan untuk mengetahui sub populasi ikan terbang, guna menjaga keberlangsungan populasi ikan terbang dari kepunahan.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 88

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto, E dan E. Liviawaty. (1991). Teknik Pembuatan Tambak Udang. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Ali, S. A. (1981). Kebiasaan Makan, Pemijahan, Hubungan Berat Panjang dan Faktor Kondisi Ikan Terbang, Cypselurus oxycephalus (Bleeker) di Laut Flores, Sulawesi Selatan. Makassar. Tesis Pascasarjana UNHAS : 49 hlm. Ali, S.A. (1994). Pengaruh Suhu dan Fotoperiode Terhadap Perkembangan Larva Ikan Terbang, Cypselurus spp. Makassar. Tesis Pascasarjana UNHAS : 109 hlm. Ali, S.A. (2005). Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang, Hirundichthys oxycephalus (Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Makassar. Disertasi Pascasarjana UNHAS. Ali, S. A., dan M. N. Nessa. (2005). Status Ilmu Pengetahuan Ikan Terbang di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang : 22 hlm. Ali, S. A., M. N. Nessa, M. I. Djawad, dan S. B. A. Omar. (2004a). Analisis Fluktuasi Hasil Tangkapan dan Hasil Maksimum Lestari Ikan Terbang (Exocoeitidae) di Sulawesi Selatan. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan, 2 (14) : 104-112. Ali, S. A., M. N. Nessa, M. I. Djawad, dan S. B. A. Omar. (2004b). Musim dan Kelimpahan Ikan Terbang (Exocoetidae) di Sekitar Kabupaten Takalar (Laut Flores) Sulawesi Selatan. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan, 3 (14) : 165-172. Ali, S. A. (2005). Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang (Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Makassar. Disertasi Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Pertanian. Universitas Hasanuddin : 282 hlm. Ali, S. A. (2005). Perkembangan Kematangan Gonad dan Musim Pemijahan Ikan Terbang ( Hirundicthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan : 416-424.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 89

Andamari, R., dan T. Zubaidi. (1994). Aspek Reproduksi Ikan Terbang di Desa Rangas, Kabupaten Majene, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 11-22. Arinardi, O. H., Trimaningsih dan Sudirdjo. (1994). Pengantar tentang Plankton serta Kelimpahan Plankton Predominan di Sekitar Pulau Jawa dan Bali. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : 108 hlm. Arinardi, O. H. (1997). Status Pengetahuan Plankton di Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 30 : 63-95. Ayodhyoa. (1981). Metoda Penangkapan Ikan. Bogor. Yayasan Dewi Sri : 97 hlm. Ball, D. V., dan K.V. Rao. (1984). Marine fisheries. Tata Megraw – Hill Publishing Company, Limited. New Delhi : 470 hlm. Balon, E. K. (1984). Reflection on Some Decisive Events in The Early Life of Fishes. Soc, 113 : 178-185. Barnham, C., dan A. Baxter. (1998). Condition Factor K for Salmonid Fish. State of Victoria, Department of Natural Resources and Environment.Fisheries Notes : 1-4. Baso, A. (2004). Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Ikan Terbang (Cypselurus spp.) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar dan Laut Flores (Suatu Kajian Bioteknis dan Sosial Ekonomi). Desertasi Pascasarjana Universitas Hasanudin. Birowo, dan Arief. (1983). Upwelling atau Penaikan Massa Air. Jurnal Pewarta Oceana. LON-LIPI. Jakarta, vol. 2 (3): 12-21. Boyd, C. E. (1982). Water Quality Management for Pond for Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Boyd, C. E. dan F. Lichtkoppler. (1982).Water Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University, Auburn. Brandt, A. V., (1972). Fish Catching Methods of the World. London, Fishing News (Books) Ltd. : 240 pp. Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., dan E. Mulbyantoro. (1995). Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 90

Brown, E. E., dan J. B. Gratzek. (1980). Fish Farming Handbook. AVI Publishing Company INC, New York. Dalzell, P. (1993). The Fisheries Biology of Flying Fishes (families : Exocoetidae and hemirhamphidae) from the Camotes Sea, Central Philipines. Journal of Fish Biology, 43 : 19-32. Davenport, J. (1994). How and Why Flyingfish Fly (review). Journal Fish Biology and Fisheries, 4 : 184-214. Davis, C. C. (1955). The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State Univ. Press : 562 pp. Delsman, H. C. dan J. D. F. Hardenberg. (1931). De Indische Zeevisschen en Zeevissherij. N.V. Boekhandel en Drukkerij dan Co. Batavia Centrum : 388 pp. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. (2006). Laporan Tahunan Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap. Denpasar : 76 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan. (1979). Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian-1 (Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting). Jakarta : Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. (2010). Buku Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dwiponggo., A. T. Sujastami., dan S. Nurhakim. (1983). Pengkajian Potensi dan Tingkat Pengusahaan Perikanan Torani di Perairan Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut, 25 : 1-12. Effendie, M. I. (2002). Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara : 163 hlm. Fahri, S. (2001). Keragaman Genetik Ikan Terbang, C ypselurus poisthopus di Perairan Teluk Mandar, Teluk Manado, dan Teluk Tomini Sulawesi Selatan. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB : 53 hlm. Febyanty, F., dan A. Syahailatua. (2008). Kebiasaan Makan Ikan Terbang, Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus, di Perairan Selat Makassar. Jurnal. Pen. Perik. Indonesia, 14 (1) : 123-131. Froese, R., dan D. Pauly (2006). FishBase : World wide web electronic publication. www.fishbase.org, version (05/2006).

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 91

Fyson, J. (1985). Design of Small Fishing Vessels. Fishing News (Books) Ltd. England. Ghufron, dan Kordi. (2005). Budidaya Ikan Laut di Karamba. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. Gomes, C., R. B. Dales., dan H. A. Oxendford. (1998). The Application of Rapd Market in Stock Discrimination of the Four Wing Flyingfish, Hirundichthys affinis in the Central Western Atlantic. Molecular ecology, 7 : 1029-1039 pp. Gross, G.A. (19921). Genetic Concepts for Iron Formation. Economic Geology Monograph, Vol. 8: 51-81. Hallegraeff, G. M. (1991). Aquaculturist’s Guide to Harmful Australian Microalgae. Fishing Industry Training Board of Tasmania Inc. Hobart. CSIRO Division of Fisheries. Hermawati, L. (2006). Aspek Biologi Reproduksi Ikan Terbang (Hirundichthys oxycephalus) di Perairan Binuangeun Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, Banten. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Hile, R. (1936). Age and Growth of the Ciseo Leucichthys artedi (Lesueur), in the Lakes of the Northeastern Highland, Wisconsin. U.S. Dept. of Comm. Bur. Fish. Bull : No. 19. Hoar, W. S. (1957). Gonads and Reproduction. In: The physiology of fishes. New York. Margaret Brown (Ed.), Academic Press Inc. Hoar, W. S., D. J. Randall, dan J. R. Brett. (1979). In Fish Physiology, vol. 8. Bioenergetics and Growth. London: Academic Press. Hutabarat, S., dan S. Evans. (1985). Pengantar Oseanografi. Jakarta. Penerbit UI- Press. Hutomo, M., Burhanuddin, dan S. Martosewojo. (1985). Sumberdaya Ikan Terbang. Jakarta : Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Kamler, E. (1992). Early Life History of Fish an Energetics Approach. London : Chapman and Hall. Kaswadji, R. F., F. Widjaja, dan Y. Wardiatno. (1993). Phytoplankton Primary Productivity and Growth Rate in the Coastal Waters of Bekasi Regency. Jakarta. Aq. Sci. Fish, 1(2) : 1-15.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 92

Khokiattiwong, W. R. Mahon, dan W. Hunte. (2000). Seasonal Abundance and Reproduction of the Four Wing Flyingfish Hirundichthys affinis of Barbados. Environmental Biology of Fishes, 59 : 43 -60. Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, dan D. Passino. (1977). New York : Ichtiology. John Willey and Sons. Inc : 545 pp. Martasuganda, S. (2005). Jaring Insang (Gillnet). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan (Edisi Baru). Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Menteri Lingkungan Hidup. (2004). Standar Baku Mutu Air Laut. Jakarta : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup : No. 51. Moyle, P. B., dan J. J. Cech, Jr. (1982). Fishes: An Introduction to Ichthyology, (2nd Edition, 1988). New Jersey. Prentice-Hall, Englewood Cliffs : 593 pp. Mubyarto. (1995). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta. LP3ES, 305 hlm. Muhajir, F. Ahmad, dan Edward. (2004). Variasi Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Tanimbar Bagian Utara dan Selatan, Maluku Tenggara. Jurnal ilmiah Sorihi, 3 : 1-9. Munro, I. S. R. (1967). The fishes of New Guinea. New Guinea. Departement of Agriculture, Stock and Fisheries, Port Moresby, 2 : 356 pp. Musick, J. A. (1999). Criteria of Define Extinction Risk in Marine Fishes, The American Fisheries Society Initiative. Fisheries, 24(12) : 6-14. Nabib, R., dan F. H. Pasaribu. (1989). Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor: PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Nelson, J. S. (1994). The Fishes of the World. New York : John Wiley and Sons. Nessa, M. N., H. Sugondo, J. Andarias dan A. Rotentondok. (1977). Studi Pendahuluan Terhadap Perikanan Ikan Terbang di Selat Makassar. Lontara: Lembaga Pengabelat Makassar, 13 : 643-669. Nessa, M. N., S. A. Ali., dan A. Rachman. (1993). Penelitian Pengembangan Potensi Sumberdaya Laut Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Lontara: Lembaga Pengabelat Makassar, 13 : 643-669 p.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 93

Nikolsky, G. V. (1963). The Ecology of Fishes. Translated by. L. Birkett. London and New York. Academic Press : 352 pp. Nikolsky, G. V. (1969). Theory of Fish Population Dynamic as the Biological Background of Rational Exploitation and the Management of Fisheries Resources. Translate by Bradly, Oliver and Boyd : 323 pp. Nontji, A. (1993). Laut Nusantara. Jakarta. PT. Djambatan. Nybakken. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah : H. Muhammad Eidman. Jakarta. PT.Gramedia. Odum, E. P. (1979). Fundamental of Ecology (3rd edition). Original English Edition.W. B. Sounders Co. Philadelphia. Oxenford, H. A., W. Hunte., dan R. Mahon. (1995). Distribution and Relative Abundance of Flyingfish (Exocoetidae) in the Eastern Caribbian (adult). Mar. Ecol. Prog. Ser, 117 : 11-23. Parin, N. V. (1999). Exocoetidae (flyingfish). In K.E. Carpenter and V.H. Nien. The Living Marine Resources of the Wettern Central Pacific. FAO, 4 : 2162-2179. Pariwono, J.I. (1988). Studi upwelling di Perairan Selatan Pulau Jawa. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purnomo, A. (1992). Site Selection for Sustainable Coastal Shrimp Ponds. Central Reseach Institute for Fishery. Agency for Agriculture and Development Ministry of Agriculture. Jakarta. Rahman dan Novita. 2006. Studi Tentang Bentuk Kasko Kapal Ikan di Beberapa Daerah di Indonesia. Torani Jurnal, 16(4) : 240-249. Ricker, W. E. (1975). Computation and Interpretation of Biological Statistics of Fish Populations. Bull. Fish. Res. Board Can. No. 119 : 382 pp. Romimohtarto, K. (2001). Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta. Penerbit : Djambatan. Royce, W. F. (1972). Introduction to the Fishery Science. New York. Academik Press : 315 pp. Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan (Jilid I). Bogor : Bina Cipta : 245 hlm.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 94

Sastrawijaya, A. T. (1991). Pencemaran Lingkungan. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta, 35 : 83-87. Sidabutar, T. (2008). Kondisi Plankton di Teluk Jakarta. Kajian Perubahan Ekosistem Perairan Teluk Jakarta. Dalam : Ruyitno, Suyarso dan A.Budiyanto (eds.) Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. P2O-LIPI : 113-130 p. Sidjabat, M. M. (1976). Pengantar Oseanografi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihotang, S. (2004). Pengembangan Perikanan Ikan Terbang (Cypselurus spp.) di Sulawesi Selatan. Bogor : Disertasi Program Pasca Sarjana-IPB : 286 hlm. Siregar, R. (2003). Biologi Reproduksi Ikan Giligan (Panna mircodon) di Perairan Mayangan, Subang, Jawa Barat. Bogor : Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan. FPIK. IPB : 58 hlm. Shephered, J., dan N. Bromage. (1988). Intensive Fish Farming. BSP Profesional Books Oxford London. Edinburgh, Boston Palo Alio Melbourne. Soderberg, R. W. (1995). Flowing Water Fish Culture. Florida. U. S. Lewis Publisher. Stewart, P. A. M., dan R. S. T. Ferro. (1985). Measurements on Gillnets in a Flume Tank. Fisheries Research, 3 : 29-46. Subani,W. dan H. R. Barus. (1989). Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perkanan Laut. ISSN 0216-7727. Syahailatua, A. (2004a). Ikan Terbang Antar Marga Cypselurus dan Cheilopogon. Oseana, 19 : 1-7. Syahailatua, A. (2004b). Perikanan Ikan Terbang dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Jakarta : Laporan Akhir Penelitian. Program Riset Kompetitif LIPI : 43 hlm. Syahailatua, A. (2005). Perikanan Ikan Terbang dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Jakarta : Laporan Akhir Penelitian. Program Riset Kompetitif LIPI : 68 hlm. Syahailatua, A. (2006). Perikanan Ikan Terbang di Indonesia : Riset Menuju Pengelolaan. Oseana, 19 : 21-31.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 95

Tamsil, A. (2000). Studi Beberapa Karakteristik Reproduksi Prapemijahan dan Kemungkinan Pemijahan Ikan Bungo (Glossogobius efaureus) di Danau Tempe dan Sidenreng, Sulawesi Selatan. Bogor : Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB : 130 hlm. Taylor, F. J. R. (1976). Dinoflagellates from the International Expedition. Biblioteca Botanica, 132 : 1-234. Walpole, R. V. E. (1992). Pengantar Statistika ( edisi ke-3). Alih bahasa oleh Sumantri, B. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama : 515 hlm. Wardoyo. (1974). Manajemen Kualitas Air di Dalam Lingkungan Perairan dan Manajemen Ekosistem Perairan. Bogor. Institut Pertanian Bogor : 38 hlm. Weber, M., dan L. F. De Beaufort. (1992). The Fishes of the Indo – Australian Archipelago. E.J. Brill. Leiden, 4 : 410 pp. Wickstead, J. H. (1965). An Introduction to the Study of Tropical Plankton. Hutchinson Tropical Monographs. London. Hutchinson dan Co. (Pub.) Ltd. Yahya, M. A. (2006). Studi tentang Perikanan Ikan Terbang di Selat Makassar Melalui Pendekatan Dinamika Biofisik, Musim, dan Daerah Penangkapan. Bogor : Disertasi Pascasarjana IPB. Yamaji, I. (1966). Illustrations of the Marine Plankton of . Osaka, Japan : Hoikusho : 369 pp.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 96

Lampiran 1. Faktor Kondisi Ikan Terbang C. katoptron di Perairan Bali Barat (April-Juni 2011)

April 2011 (Jantan) Jumlah Log L x L Log L W Log W (Log L)2 K Sampel Log W 32 203,6 73,8607 65,5 57,9370 133,7713 170,5002 32,12

April 2011 (betina) Jumlah Log L x L Log L W Log W (Log L)2 K Sampel Log W 28 197,3 64,2129 58,5 49,0968 112,7130 147,3065 1,00

Mei 2011 (Jantan)

Jumlah Log L x L Log L W Log W (Log L)2 K Sampel Log W

60 205,0 138,6611 66,2 108,9177 251,8037 320,4872 60,19

Mei 2011 (Betina)

Jumlah Log L x L Log L W Log W (Log L)2 K Sampel Log W

40 191,9 91,2845 54,5 69,0647 157,7076 208,3547 40,18

Juni 2011 (Jantan)

Jumlah Log L x L Log L W Log W (Log L)2 K Sampel Log W

76 201,8 175,0947 61,8 135,4386 312,2161 403,4647 76,27

Juni 2011 (betina)

Jumlah Log L x L Log L W Log W (Log L)2 K Sampel Log W

24 182,1 54,2358 45,0 39,5399 89,3832 122,5726 24,06

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 97

Lampiran 2. Data Parameter Fisik Air Laut di Perairan Pemuteran Bali Barat

Tanggal : 21 April 2011 Waktu : pk. 06.00 WITA Tempat : Fishing Ground (Pemuteran-Bali Barat)

No. Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III 1 Waktu 6.37 WITA 7.10 WITA 7.40 WITA 08o 06’ 05” S 08 o 05’ 36” S 08 o 05’ 36” S 2 Posisi 114 o 39’ 35” E 114 o 39’ 26” E 114 o 39’ 37” E 3 Jarak (km) 9 10 11 4 Suhu air (°C) 30 30 30 5 Suhu udara (°C) 27 28 29 6 pH 8 8 8 7 Salinitas (°/oo) 36 35 36 8 Kecerahan (m) 21 20 21 9 Flow meter (rpm) 470 540 510

No. Parameter Stasiun IV Stasiun V Stasiun VI 1 Waktu 8.05 WITA 9.15 WITA 9.30 WITA 08o 05’ 31” S 08o 05’ 59” S 08o 06’ 14” S 2 Posisi 114o 39’ 32” E 114o 38’ 19” E 114o 38’ 13” E 3 Jarak (km) 11 14 14 4 Suhu air (°C) 30 31 31 5 Suhu udara (°C) 30 30 30 6 pH 9 8 8 7 Salinitas (°/oo) 35 35 35 8 Kecerahan (m) 24 23 22 9 Flow meter (rpm) 500 520 660

No. Parameter Stasiun VII Stasiun VIII 1 Waktu 9.45 WITA 10.05 WITA 08o 06’ 35” S 08o 00’ 49” S 2 Posisi 114o 38’ 13” E 114o 38’ 38” E 3 Jarak (km) 15 16 4 Suhu air (°C) 29 31 5 Suhu udara (°C) 30 31 6 Ph 8 8 7 Salinitas (°/oo) 36 36 8 Kecerahan (m) 22 23 9 Flow meter (rpm) 740 590

Catatan: (1) Arus lemah/mati untuk 10 m saja perlu waktu lebih dari 15 menit; (2) Tidak berombak.

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 98

Lampiran 2. (Lanjutan)

Tanggal : 25 Mei 2011 Waktu : pk. 06.00 WITA Tempat : Fishing Ground (Pemuteran-Bali Barat)

No. Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III 1 Waktu 7.05 WITA 7.35 WITA 7.49 WITA 08o 06' 49" S 08o 06' 07" S 08o 05' 68" S 2 Posisi 114o 39' 44" E 114o 39' 39" E 114o 39' 17" E 3 Suhu air (°C) 30 31 31 4 Suhu udara (°C) 28 26 28 5 pH 8 8 8 6 Salinitas (°/oo) 33 33 33 7 DO 6 6 6 8 Kecerahan (m) 10 21 20 9 Flow meter (rpm) 880 945 950

No. Parameter Stasiun IV Stasiun V Stasiun VI 1 Waktu 8.25 WITA 8.45 WITA 9.15 WITA 08o 05' 59" S 08o 06’03” S 08o 05’ 45” S 2 Posisi 114o 38' 46" E 114o 38’ 28” E 114o 38’ 34” E 3 Suhu air (°C) 31 31 31 4 Suhu udara (°C) 28 29 29 5 pH 8 8 8 6 Salinitas (°/oo) 33 33 33 7 DO 6 6 6 8 Kecerahan (m) 22 23 20 9 Flow meter (rpm) 755 775 720

No. Parameter Stasiun VII Stasiun VIII 1 Waktu 9.40 WITA 10.05 WITA 08o 05’ 33” S 08o 05’ 46” S 2 Posisi 114o 39’ 00” E 114o 39’ 22” E 3 Suhu air (°C) 31 31 4 Suhu udara (°C) 29 30 5 pH 8 8 6 Salinitas (°/oo) 33 33 7 DO 6 6 8 Kecerahan (m) 21 26 9 Flow meter (rpm) 850 715

Catatan: (1) Arus sedang; (2) Tidak berombak.

Universitas Indonesia

Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 99

Lampiran 2. (Lanjutan)

Tanggal : 7 Juni 2011 Waktu : pk. 06.00 WITA Tempat : Fishing Ground (Pemuteran-Bali Barat)

No. Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III 1 Waktu 7.17 WITA 7.45 WITA 8.09 WITA 08o 07' 43" S 08o 06' 16" S 08o 05' 48" S 2 Posisi 114o 39' 58" E 114o 39' 39" E 114o 39' 22" E 3 Suhu air (°C) 28 28 28 4 Suhu udara (°C) 28 28 28 5 pH 7 8 8 6 Salinitas (°/oo) 34 33 33 7 DO 5 5 5 8 Kecerahan (m) 7 13 18 9 Flow meter (rpm) 610 600 548

No. Parameter Stasiun IV 1 Waktu 8,35 08o 05' 32" S 2 Posisi 114o 38' 59" E 3 Suhu air (°C) 28 4 Suhu udara (°C) 28 5 pH 8 6 Salinitas (°/oo) 34 7 DO 5 8 Kecerahan (m) 18 9 Flow meter (rpm) 580

Catatan: (1) Arus kuat (tidak diukur); (2) Berombak.

Universitas Indonesia

Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 100

Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik dengan Fungsi Regresi, Uji-t dan Koefisien Korelasi

Hubungan Panjang dan Berat pada Ikan Jantan

Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables Model Method Entered Removed 1 Panjang(a) . Enter a All requested variables entered. b Dependent Variable: Berat

Model Summary(b)

Std. Error R Adjusted Model R of the Change Statistics Square R Square Estimate R Square F Sig. F R Square F df-1 df-2 df-1 df-2 Change Change Change Change Change 1 0,887(a) 0,787 0,785 0,03712 0,787 612,255 1 166 0,000 a Predictors: (Constant), Panjang b Dependent Variable: Berat

ANOVA(b)

Sum of Mean Model Df F Sig. Squares Square 1 Regression 0,844 1 0,844 612,255 0,000(a) Residual 0,229 166 0,001 Total 1,072 167 a Predictors: (Constant), Panjang b Dependent Variable: Berat

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized Model t Sig. Coefficients Coefficients Std. B Std. Error Beta B Error - 1 (Constant) -4,148 0,240 0,000 17,257 Panjang 2,578 0,104 0,887 24,744 0,000

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 101

Lampiran 3. (Lanjutan)

Hubungan Panjang dan Berat pada Ikan Betina Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables Model Method Entered Removed 1 Panjang(a) . Enter a All requested variables entered. b Dependent Variable: Berat

Model Summary(b)

Std. Error R Adjusted Model R of the Change Statistics Square R Square Estimate R Square F Sig. F R Square F df-1 df-2 df-1 df-2 Change Change Change Change Change 1 0,683(a) 0,466 0,460 0,07496 0,466 78,618 1 90 0,000 a Predictors: (Constant), Panjang b Dependent Variable: Berat

ANOVA(b)

Sum of Mean Model Df F Sig. Squares Square 1 Regression 0,442 1 0,442 78,618 0,000(a) Residual 0,506 90 0,006 Total 0,947 91 a Predictors: (Constant), Panjang b Dependent Variable: Berat

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized Model T Sig. Coefficients Coefficients Std. Std. B Beta B Error Error 1 (Constant) -2,363 0,460 -5,139 0,000 Panjang 1,785 0,201 0,683 8,867 0,000 a Dependent Variable: Berat

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 102

Lampiran 3. (Lanjutan)

Hubungan Panjang dan isi Perut Bulan April 2011 Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables Model Method Entered Removed 1 Panjang(a) . Enter a All requested variables entered. b Dependent Variable: Isi perut

Model Summary(b)

Std. Error R Adjusted Model R of the Change Statistics Square R Square Estimate R Square F Sig. F R Square F df-1 df-2 df-1 df-2 Change Change Change Change Change 1 0,833(a) 0,694 0,669 0,10056 0,694 27,234 1 12 0,000 a Predictors: (Constant), Panjang b Dependent Variable: Isi perut

ANOVA(b)

Sum of Model df Mean Square F Sig. Squares Regression 0,275 1 0,275 27,234 0,000(a) 1 Residual 0,121 12 0,010 Total 0,397 13 a Predictors: (Constant), Panjang b Dependent Variable: Isi perut

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta B Std. Error (Constant) -2,490 0,769 -3,238 0,007 1 Panjang 1,719 0,329 0,833 5,219 0,000 a Dependent Variable: Isi perut

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 103

Lampiran 3. (Lanjutan)

Bulan Mei 2011 Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables Model Method Entered Removed 1 panjang(a) . Enter a All requested variables entered. b Dependent Variable: isi perut

Model Summary(b)

Std. Error R Adjusted Model R of the Change Statistics Square R Square Estimate R Square F Sig. F R Square F df-1 df-2 df-1 df-2 Change Change Change Change Change 1 0,914(a) 0,836 0,803 0,04670 0,836 25,440 1 5 0,004 a Predictors: (Constant), panjang b Dependent Variable: isi perut

ANOVA(b)

Sum of Model df Mean Square F Sig. Squares Regression 0,055 1 0,055 25,440 0,004(a) 1 Residual 0,011 5 0,002 Total 0,066 6 a Predictors: (Constant), panjang b Dependent Variable: isi perut

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta B Std. Error

(Constant) -2,988 0,895 -3,340 0,021 1 panjang 1,974 0,391 0,914 5,044 0,004 a Dependent Variable: isi perut

Universitas Indonesia Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012 104

Lampiran 3. (Lanjutan)

Bulan Juni 2011 Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables Model Method Entered Removed 1 panjang(a) . Enter a All requested variables entered. b Dependent Variable: isi perut

Model Summary(b)

Std. Error R Adjusted Model R of the Change Statistics Square R Square Estimate R Square F Sig. F R Square F df-1 df-2 df-1 df-2 Change Change Change Change Change 1 0,903(a) 0,815 0,769 0,06077 0,815 17,629 1 4 0,014 a Predictors: (Constant), panjang b Dependent Variable: isi perut

ANOVA(b)

Sum of Model df Mean Square F Sig. Squares Regression 0,065 1 0,065 17,629 0,014(a) 1 Residual 0,015 4 0,004 Total 0,080 5 a Predictors: (Constant), panjang b Dependent Variable: isi perut

Coefficients(a)

Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta B Std. Error

(Constant) -4,759 1,522 -3,128 0,035 1 panjang 2,781 0,662 0,903 4,199 0,014 a Dependent Variable: isi perut

Universitas Indonesia

Analisis aspek..., Dony Armanto, FMIPA UI, 2012