PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

TESIS

“INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AUDIENS: Studi Tentang Resepsi Audiens Terhadap Tayangan Infotainment Di Kalangan Aktivis ‘Jaringan Perempuan Yogyakarta‟”

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh: Subkhi Ridho NIM: 066322012

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERSEMBAHAN

karya ini kupersembahkan buat almamaterku tercinta Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta September Dua Ribu Sepuluh

vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

MOTTO

1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Q.S. al ‟Ashr: 1-3

vii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb. Awal ketertarikan saya pada studi televisi, lebih khusus program di televisi adalah setelah mengikuti kuliah Teknologi Informasi dan Perubahan Budaya. Sebuah studi yang bagi saya „awam‟, apalagi dengan latar belakang saya dari kampus berlabel agama (UIN). Setelah berbaur dengan sesama mahasiswa dan juga dibimbing para dosen IRB yang familiar dan bersahabat, akhirnya menentukan studi televisi ini. Ketertarikan saya ini tidak terlepas aktivitas saya dengan para aktivis perempuan di Yogyakarta. Diawali dengan „rame‟nya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) pada tahun 2006, yang sempat terhenti gempa bumi yang melanda Jogja, kemudian berlanjut lagi RUU Pornografi hingga akhirnya disyahkan –menjadi UU P-- pada akhir Desember 2008. Yang diselingi kasus pernikahan di bawah umur antara Ulfa dengan Pujiono, sang juragan kaligrafi kuningan dari Jambu, Semarang, Jateng. Bersama para aktivis perempuan itulah saya melakukan advokasi, kampanye publik dan kegiatan lainnya, Saya menjadi sedikit tahu hoby mereka diluar aktivitas pengorganisasian masyarakat, diskusi, workshop, yakni nonton televisi, lebih khusus nonton infotainment. Program infotainment menjadi „pilihan‟ di kalangan para aktivis perempuan. Oleh karena itu saya kemudian tertarik untuk mengkaji lebih lanjut, apa yang membuat mereka tertarik terhadap tayangan yang dianggap „sampah‟, „ecek-ecek‟, dan tuduhan negatif lainnya. Yang menarik bagi saya adalah karena penoton infotainmentnya adalah aktivis perempuan. Setelah semua yang saya alami demi menggeluti isu perempuan bersama aktivis di „Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY)‟, di sini saya hendak berterima kasih kepada mereka yaitu Ani Himawati, Enik Maslahah, Hanifah (ipe), Sri Haryanti, Siti Habibah dan Yemmestri Enita yang telah bersedia menjadi informan saya. Bersama mereka pula saya menonton infotainment di kos, rumah tempat mereka tinggal selain melakukan aktifitas pengorganisasian masyarakat, demonstrasi serta diskusi isu-isu kontemporer.

viii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kepada ibu, bapakku di kampung Banjarnegara, yang selallu bertanya: “kapan rampung sekolahe?” Juga kakak-kakakku; mba Nunung, mas Kamal, dan mba Uut yang tinggal dekat dengan ortu, juga kepada mas Zuly dan mba Nana yang selalu „memarahi‟ untuk menyelesaikan studi yang tidak rampung- rampung, dan mensupport tanpa kenal lelah di tanah rantauan. “Terima kasih atas nasehat dan dorongannya selama ini, tanpa „dimarahi‟ barangkali akan tidak terurus”. Ucapan terima kasih kepada pembimbing saya Dr. Budiawan yang dengan sabar, sangat teliti dan rinci mengomentari draft demi draft sehingga menginspirasikan ide-ide baru ketika saya merasa sudah “mentok”, meskipun akhirnya harus berhenti di tengah jalan karena tidak beraktifitas di IRB lagi, “sebuah pengalaman berharga dibimbing oleh Bapak”. Terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Dr. Katrin Bandel juga kepada Dr. St. Sunardi yang bersedia menjadi pembimbing penerus, meskipun dalam waktu yang sangat mepet, kadang saya repotkan dengan pertanyaan ini dan itu di saat sedang sibuk. Sangat disayangkan terlalu singkat dan terbatas jadwal konsultasi dengan mba Katrin dan pak Nardi, dan itu karena keterbatasan saya. Ketelitian dan kejelian mba Katrin membuat studi ini rampung meski dalam waktu yang dikejar-kejar deadline. Atas bantuan mereka berdualah studi ini selesai, semoga Tuhan membalas jasa mereka dengan sebaik-baiknya, amin. Kepada para dosen IRB, Romo Banar, Romo Baskara, Romo Hary, Pak George, Pak Ishadi, Pak Robert, dan Romo Haryatmoko, saya mengucapkan banyak terimakasih karena suasana akademis dan juga relasi dosen dan mahasiswa yang sangat kondusif bagi mahasiswanya untuk mengeksplorasi banyak hal selama masa perkuliahan. Saya pasti akan selalu merindukan suasana itu. Tidak terlupakan juga Mbak Hengky yang selalu mengingatkan deadline urusan administrasi dan lainnya, Lia di perpustakaan, dan Mas Mul. Kebaikan hati mereka dalam melakukan tugas-tugasnya membuat saya sangat terbantu. Hasan Basri, temen baikku, terimakasih telah sangat membantu ketika banyak masalah ketika menempuh studi ini. Terimakasih juga kepada sahabat baikku Wahyudin, Anzieb yang menjadi tempat berbagi persoalan kuliah,

ix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dengan main futsal bersama maka permasalahan menjadi terasa lebih ringan. Juga kawan-kawan seangkatan mba Budhis, Dona, Wisnu, Olfi, Dewa, Romo Ronny, Elida, Retno, Risma, Welly, Eksis terima kasih atas pertemanan dan persahabatan selama kuliah, semoga akan tetap abadi. Dengan segenap cinta, terima kasih kepada istriku tersayang Firly Annisa yang setia menemani penyelesaian studi ini dengan sabar, janjiku udah molor lama untuk merampungkan, akhirnya selesai juga berkat kesabaranmu. Sangat patut disyukuri apa yang Tuhan perkenankan kita alami dalam kehidupan keluarga kita, dan cara kita menerimanya, sebuah bahtera rumah tangga yang masih seumur jagung ini semoga dapat kita lalui hingga waktu yang tak terhingga. Kepada kakak-kakak iparku, mas Sulam, mba Uus mereka semua di Banjarnegara, mba Dyna & mas Zam-zam, mba Lia & mas Imam yang bersama-sama di Jogja terima kasih atas penerimaan dan pengertiannya selama ini. Ponakan-ponakanku yang membuat hidup jadi ceria, Nahar, Silmi, Mawar, Lana, Aghna, Mia, dan Arash. Di atas segalanya, syukur kepada Allah swt., yang membuat semuanya dapat saya lakukan.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

x PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRAKSI

Penelitian ini membahas respon aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ terhadap tayangan infotainment. Program infotainment di televisi-televisi swasta nasional oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tayangan yang tidak mendidik, sampah, tidak kreatif, hanya sensasi belaka, semata-mata mengejar keuntungan finansial bagi para pemilik modal, meracuni otak, mengingkari fungsi informasi serta cap negatif lainnya dan dilekatkan kepada masyarakat „rendahan‟ yang tidak mampu secara ekonomi. Ternyata di kalangan aktivis perempuan, tayangan infotainment mendapat respon beragam. Untuk menjawab persoalan, maka dilakukan menonton bersama di kos, atau tempat tinggal mereka dan melakukan wawancara mendalam. Dalam hal ini metode etnografi menjadi model yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap permasalahan yang ada. Menggunakan teori resepsi yang pernah digunakan Ien Ang, penelitian menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: ada 3 kategori penonton infotainment (i) pencinta infotainment, (ii) penonton ironi dan (iii) pembenci infotainment. Akan tetapi penggunaannya tidak hanya terpaku pada satu informan. Informan di sini bisa masuk dalam dua kategori sekaligus, misalnya menjadi pecinta dan penonton ironi infotainment. Selain itu, penggunaan tayangan infotainment ternyata tidak hanya untuk kesenangan para aktivis ‟JPY‟, akan tetapi bisa menjadi pintu masuk mewacanakan isu kesetaraan jender dan keadilan buruh serta isu-isu perempuan lainnya, seperti kekerasan terhadap rumah tangga kepada masyarakat/komunitas dampingan mereka. Dalam hal ini para aktivis ‟JPY‟ memanfaatkan produk budaya massa untuk membuat orang lain atau masyarakat pintar, berpikir kritis dan memerjuangkan hak-hak mereka sebagai kelas tertindas.

xi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRACT

This study discusses the response of activists 'Women's Network of Yogyakarta' towards infotainment. Infotainment program on television, national television by some considered as impressions that do not educate, garbage, not creative, just a mere sensations, mere pursuit of financial gain for the owners of capital, poisoning the brain, to deny the function of information as well as other negative stamp and attached to the community 'lowly' who can not afford economically. It turned out that among women activists, infotainment show got a response varied. To answer the question, then do watch together in the dorm, or where they live and perform in-depth interviews. In this case ethnographic methods into the model used in this study to reveal the existing problems. Uses the theory of reception which was once used Ien Ang, the study produced the following conclusion: there are 3 categories of spectators infotainment (i) a lover of infotainment, (ii) the audience irony and (iii) infotainment hater. However, its use is not only fixated on a single informant. The informant here may come in two categories at once, for example, become lovers and spectators irony infotainment. In addition, the use of infotainment show was not just for the pleasure of the activists 'JPY', but could be the entrance mewacanakan issue of gender equality and justice workers and other women's issues, such as domestic violence against the community / communities they are assisting. In this case the activists 'JPY' use of products of mass culture to make other people or smart people, critical thinking and struggle their rights as an oppressed class.

xii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...... i Halaman Persetujuan Pembimbing...... ii Halaman Pengesahan Karya...... iii Halaman Pernyataan Keaslian Karya...... iv Halaman Persembahan...... v Halaman Motto...... vi Kata Pengantar...... vii Abstraksi...... x Abstract...... xi Daftar Isi...... xiii

BAB I: PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang masalah...... 1 B. Rumusan Masalah...... 9 C. Tujuan Penelitian dan Signifikansinya...... 10 D. Kerangka Teori...... 11 E. Tinjauan Pustaka...... 15 F. Metode Penelitian...... 18 G. Sistematika Penulisan...... 22

BAB II: PROGRAM INFOTAINMENT DAN AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA...... 24 A. Industri Televisi: Dari Monopoli ke Liberasi ...... 26 B. Program Siaran Sebagai Bisnis ...... 30 C. Infotainment Sebagai Hiburan ...... 33 C. 1. Sebuah Tinjauan Historis...... 33 C. 2. Materi Infotainment...... 35 C. 3. Produksi Infotainment...... 37 C. 4. Bentuk Infotainment...... 39

xiii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

D. Perempuan, Infotainment dan Kelas Sosial...... 43 E. Jaringan Perempuan Yogyakarta...... 46 F. Latar Belakang Para Aktivis ‘JPY’...... 48 1. Ani Himawati...... 48 2. Enik Maslahah...... 49 3. Hanifah...... 51 4. Sri Hariyanti...... 52 5. Siti Habibah Jazila...... 53 6. Yemmestri Enita...... 55 G. Catatan Penutup...... 57

BAB III: AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA‟ MENONTON INFOTAINMENT DAN WACANA PUBLIK...... 59 A. Membenci Sekaligus Menikmati: Kisah Menonton Infotainment Bersama Aktivis JPY...... 60 A.1. Infotainment: Sarana Menghibur Diri...... 60 A.2. Infotainment: Keintiman Dalam Jarak...... 64 A.3. Infotainment dan Objek Percakapan...... 67 B. Ditonton dan Menonton Infotainment...... 70 B.1. Cerita Infotainment, Ruang Publik dan Aktivitas Sehari-hari Bagi

Aktivis JPY...... 70

B.2. Fatwa Haram Infotainment dan Respon Aktivis ‘JPY’...... 75

B.3. Disfungsi Informasi: Infotainment dan ajang Ngrumpi aktivis JPY..80

C. JPY, Infotainment dan Ideologi Budaya Massa...... 84 D. Catatan Penutup...... 87

BAB IV: INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AKTIVIS PEREMPUAN “JPY”...... 90 A. Kritis Bukan Berarti Anti: Posisi Menonton Infotainment JPY………….91 A1. Pembenci Infotainment……………………………………………...92

xiv

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

A.2. Penonton Ironi Infotainment...... 102 A.3. Pencinta Infotainment……………………………………………..110 B. Penonton ”Tak Berpeta”...... 117 C. Catatan Penutup……………..………………………………………….118 Bab VI: KESIMPULAN………………………………………………...... 120 A. Praktik Menonton Infotainment……………………………………...... 121 B. Resepsi Aktivis Perempuan ‘JPY………………………………...... 122 C. Refleksi dan Pemikiran Kritis………………………………...... 125 D. Catatan Penutup ………………………………………………...... 126

DAFTAR PUSTAKA...... 127

xv

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

“Tidak ada berita yang tak bisa kami kabari karena kami adalah Kabar-

Kabari”. Kata-kata ini muncul setiap hari Senin dan Kamis pada jam 15.00-15.30

WIB di sebuah stasiun televisi swasta. Kalimat yang singkat, tidak terlalu mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar bertujuan untuk mengundang orang menontonnya. Bagi stasiun televisi, sebuah program acara memang harus dirancang semenarik mungkin dan ditata sedemikian rupa sehingga mampu menyedot animo penonton untuk terus menyaksikan tayangan tersebut.

Semakin banyak penonton akan semakin mendatangkan banyak iklan dalam acara tersebut, sehingga keuntungan stasiun televisi itu pun kian bertambah.

Acara seperti “Kabar-Kabari”, “Cek & Ricek”, “KISS (Kisah Seputar

Selebritis)”, “Was-Was”, “Silet”, “Halo Selebriti”, “Hot Shot” serta “Insert”, untuk menyebut beberapa, yang ditayangkan setiap harinya oleh masing-masing stasiun televisi swasta nasional --minus Metro TV-- merupakan menu yang banyak mengundang penonton untuk terus menyaksikannya. Dari pantauan

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, pada tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Pada tahun 2003, jumlah tersebut melonjak empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu atau

14 episode per hari. Tahun 2004, frekuensi makin bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan pada tahun 2005 penayangan infotainment

1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu; didapati 26 episode per hari.1

Dalam satu hari atau 1 x 24 jam layar televisi kita (sanggup) menyajikan program infotainment selama 13 jam. Selama kurun waktu 2002 hingga 2005, tampak sekali betapa jumlah program infotainment di televisi swasta nasional selalu meningkat. Bahkan berdasarkan penelitian Agus Maladi Irianto,2 selama kurun waktu dari Januari-Agustus 2007, dalam sehari rata-rata tayangan infotainment mencapai 15 jam atau dalam satu minggu terdapat 210 episode. Ada banyak ragam, format, dan nama infotainment. Dalam masa-masa awal kemunculannya

(tahun 1996), pemirsa televisi di Indonesia pernah disodori 20 judul program infotainment di 10 stasiun televisi swasta. Saat ini (sampai bulan Maret 2009) dalam sehari didapati 33 judul program tayangan infotainment, yang masing- masing ditayangkan dalam durasi waktu tidak kurang dari 30 menit oleh tiap-tiap televisi swasta.

Pemeringkatan (rating) acara infotainment rata-rata tidaklah tinggi, dibanding acara lainnya; olahraga, film drama, reality show3. Pemeringkatan menjadi tolok ukur tunggal untuk menakar „keberhasilan‟ sebuah program.4

Keberhasilan menggaet iklan, karena telah memiliki pasar tersendiri.

1 Data diambil dari situs Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, tahun 2006. http://edratna.wordpress.com/2008/01/07/infotainment-acara-yang-diminati-pemirsa-televisi/. diunduh pada Februari 2009. 2 Resume disertasi Agus Maladi Irianto, Kontestasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi: Studi tentang Program Tayangan Infotainment, tidak dipublikasikan (Jakarta: UI, 2008). 3 Rating program infotainment pada tahun 2007-2009 di level nasional maupun Yogyakarta selalu jauh di bawah program-program olahraga, film drama, reality show. Bahkan posisinya diluar sepuluh besar. Sumber: AGB Nielsen Media Research. 4 Ishadi SK., mengatakan bahwa rating/share televisi merupakan urat nadi televisi, dan hal ini yang menentukan akan audiensnya dengan ditonton atau tidaknya sebuah program acara televisi. Lihat Ishadi SK., “KPI, Regulasi Siaran TV dan Radio”, dalam harian KOMPAS, 7 Februari 2009.

2 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Acara-acara seperti disebut di atas diberi nama infotainment.5 Bagi mayoritas penonton televisi, istilah infotainment sudah tidak asing lagi. Sebutan infotainment mengindikasikan format dan kemasan tayangan program televisi dalam menyajikan informasi. Ciri paling menonjol, infotainment menyajikan informasi tetapi dikemas dalam bentuk hiburan. Selain itu, informasi yang ditampilkan adalah informasi ringan seputar para pesohor (selebritas). Format infotainment dimaksudkan agar informasi yang cenderung kaku dan formal diolah menjadi lebih cair.

Isi acara infotainment antara lain seputar kehidupan rumah tangga selebriti, yakni perkawinan dan sekaligus kawin cerai, kelahiran anak, pemberian nama, fashion trend, cara berpakaian, penampilan, gaya rambut, sampai melakukan ibadah keagamaan seperti haji, umroh, natal, kegiatan sosial seperti menyantuni anak yatim, anak jalanan dan lain sebagainya. Jadi hampir segala aktivitas yang dilakukan oleh selebriti adalah menu wajib bagi infotainment.

Aktivitas artis yang ditampilkan dalam infotainment mulai dari kegiatan yang barangkali tidak bermanfaat sampai yang benar-benar bermanfaat bagi khalayak, seperti misal kegiatan musik penggalangan amal untuk para korban bencana; banjir, gempa bumi, tanah longsor.

5 Kata “infotainment” merupakan kata bentukan yang berasal dari kata “information” dan “entertainment”, yakni sebuah informasi yang sekaligus menghibur. Konsep infotainment pada awalnya berasal dari John hopkins University (JHU) Baltimore –universitas yang terkenal; dengan berbagai riset kedokterannya dan memiliki jaringan nirlaba internasional yang bergerak dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dengan kesehatan- Amerika Serikat. Lebih lanjut lihat Agus Maladi Irianto, “Perempuan, Media, dan Kebudayaan Mengintip Sajian Acara Infotainment di Televisi” dalam media dua bulanan Srinthil, edisi Februari 2007. (Jakarta: Desantara dan Ford Foundation), hlm. 84.

3 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Melalui tayangan infotainment para penggemar akan mengetahui seluk- beluk kehidupan artis favoritnya. Mulai dari hobi, life style, penampilan, aktivitas keagamaan, sosial, politik dan ekonomi dari seorang artis dikupas bahkan cara mengupasnya bisa dikatakan vulgar. Di sini masyarakat bisa melihat dengan jelas bagaimana lika-liku kehidupan selebriti tersebut. Apakah penonton akan meniru gaya sang selebriti tersebut atau sekadar ingin tahu saja, itu semua dikembalikan kepada masyarakat. Pilihan penonton ini terlepas dari apakah hal itu merupakan sesuatu yang baik atau sesuatu yang dianggap sebagai sebuah ketidakpantasan.

Penelitian ini akan melihat bagaimana resepsi audiens terhadap tayangan infotainment. Infotainment hampir selalu dialamatkan kepada perempuan.

Perempuan dianggap hanya beraktifitas di rumah tangga, sehingga menonton infotainment dilekatkan kepada mereka. Aktivitas perempuan dalam budaya masyarakat patriarkis dikonstruksikan untuk semata-mata di ruang domestik, sehingga peran perempuan di ruang publik semakin terpinggirkan. Resepsi audiens perempuan terhadap tayangan infotainment menarik dikaji untuk melihat apa makna yang ada dibalik kegiatan menonton tayangan tersebut. Menonton tayangan yang durasinya rata-rata berkisar 30 menit, dan berisi pelbagai pemberitaan kehidupan dari para selebriti. Dalam penelitian ini audiensnya adalah perempuan aktivis yang tergabung dalam „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟

(JPY). Oleh karena itu penelitian ini akan membahas resepsi para aktivis perempuan JPY terhadap tayangan infotainment.

4 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sekalipun pernah keluar fatwa haram bagi infotainment6 pada tanggal 3

Juli 2006 dan diperkuat pada Desember 2009 dari Pengurus Besar Nahdhatul

Ulama (NU) dan didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tayangan infotainment tetap berlangsung. Atau justru barangkali karena keputusan yang kontroversial tersebut, infotainment ini makin memantapkan eksistensinya. Fatwa haram dari para “pemegang” otoritas agama ini mengasumsikan bahwa audiens pasif. Audiens dianggap tidak memiliki pengetahuan untuk memilah sebuah program acara di televisi, sehingga peran lembaga keagamaan terlampau masuk pada ranah privat audiens. Asumsi dasar semacam ini layak dipertanyakan, karena sesungguhnya audiens tidak sepenuhnya pasif.

Studi ini secara khusus akan membatasi audiens di kalangan perempuan; lebih khusus lagi para aktivis perempuan yang tergabung dalam “Jaringan

Perempuan Yogyakarta (JPY)”. Mereka semua adalah aktivis yang sering beraktivitas bersama saya dalam isu kesetaraan jender khususnya. Karena saya sudah berteman dengan mereka maka saya sering berkunjung ke tempat tinggal ataupun ke rumah kos mereka. Pertemanan inilah yang membuat saya mengenal mereka dengan baik. Dari situlah saya mengetahui jika mereka ternyata menyukai tayangan infotainment.

6 Menurut Ketua PBNU Said Agiel Siradj pada stasiun televisi SCTV mengatakan fatwa infotainment haram merupakan salah satu dari sembilan fatwa yang dikeluarkan PBNU. Khusus soal infotainment Said mengatakan tayangan ini sudah layak diharamkan karena selalu membicarakan persoalan pribadi seseorang. Karena itu tayangan ini tidak mendidik dan banyak mendatangkan keburukan. Baca di http: //static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/Fatwa_haram_infotainment_06 0810-redirected. Diakses pada 22 Oktober 2008.

5 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan suatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.7 Di sini yang dimaksud aktivis adalah orang yang sekurang-kurangnya memerjuangkan perubahan sesuatu kearah yang lebih baik, yakni: memerjuangkan perbaikan kondisi masyarakat (realitas sosial) dimana dia hidup, memerjuangkan perubahan yang lebih baik bagi orang lain dan perjuangan untuk dirinya sendiri. Perubahan yang ingin diwujudkan misalnya, dari kondisi masyarakat patriarkis menuju masyarakat yang adil jender, egaliter dan tidak ada dominasi. Bagi sebagian kalangan, aktivis adalah orang yang dianggap menjadi agen perubahan sosial. Perubahan sosial ini akan berhasil jika dipegang oleh orang-orang yang mandiri (independent society), yang lepas dari ketergantungan terhadap negara.8

Oleh karena itu, aktivis merupakan kelompok masyarakat kritis dan strategis yang mampu menggunakan pelbagai media sebagai bagian kampanye publik kepada masyarakat. Disamping itu maka pemilihan informan dalam penelitian ini kepada aktivis perempuan khususnya, didasarkan pada stereotype bahwa tayangan infotainment selalu dialamatkan kepada perempuan. Menurut

Vissia Ita Yulianto, infotainment merupakan tayangan televisi yang berupaya

7 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi lux (Semarang: CV. Widya Karya, 2005), hlm. 25. 8 M. Ryaas Rasyid, pengantar dalam buku karya Adi Suryadi Cula, Rekonstruksi Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES dan YLBHI, 2006), hlm. xxiii. Baca juga Iwan Gardono Sujatmiko, pengantar dalam buku karya Darmawan Triwibowo (ed.), Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. xv-xxvii.

6 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mendomestikasikan kembali perempuan Indonesia.9 Argumen ini bisa jadi benar, akan tetapi hal ini lebih didasarkan pada penilaian atas tayangan infotainment tertentu yang muncul. Padahal dalam beberapa pemberitaan, tayangan infotainment justru mengemban kritik sosial dan moral, mengingat selebriti adalah juga “figur publik” bagi para penggemarnya.10

Dalam beberapa kesempatan agaknya infotainment bisa dijadikan acuan saat membongkar perkawinan diam-diam seorang suami dengan perempuan lain.

Kasus perkawinan pengacara Farhat Abbas dengan Ani Muryadi dan perkawinan

Bambang Trihatmodjo dengan penyanyi Mayangsari, misalnya, adalah dua contoh konkret. Investigasi infotainment atas penyangkalan Farhat, suami penyanyi Nia

Daniaty, dan pengakuan Ani atas perkawinan mereka bisa dijadikan pembelajaran bagi investigasi umumnya media, yang ternyata gagap dalam melakukan investigasi justru di saat arus informasi sedemikian terkuak. Pernyataan Farhat dan Ani terbantah oleh kenyataan berupa foto perkawinan mereka yang ditemukan jurnalis infotainment.

Selain itu yang bisa diharapkan dari infotainment adalah tidak semata-mata berburu berita perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke lain-lain persoalan yang merupakan public interest. Sebagaimana ternyata publik menjadi paham adanya hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, justru setelah ada

9 Lihat Vissia Ita Yulianto, “Consuming Gossip A Re-domestication of Indonesian Women” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, Editor: Ariel Heryanto. Routledge Media, 2008. hlm. 141-142. 10 Dalam kasus korupsi misalnya, grup band musik „Slank‟ yang diangkat sebagai duta anti korupsi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pemberitaannya dalam infotainment porsinya cukup besar. Selain itu pengangkatan Maia Estianty sebagai superwoman oleh media, karena keberhasilannya menjaga konsistensi untuk tetap berkarya dibidang musik meskipun sedang dirundung masalah perkawinannya yang berujung pada perceraian pada 2008-2009. Hal tersebut merupakan contoh konkret yang bisa diteladani oleh anak-anak muda maupun perempuan.

7 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

artis yang menggugat cerai suaminya akibat diperlakukan dengan kasar. Hal ini terjadi pada Five Fi, misalnya, yang menggugat cerai suaminya akibat mendapat perilaku kekerasan dari suaminya. Hal-hal seperti ini agaknya bisa mengubah anggapan umum yang sudah terlanjur menganggap infotainment sebagai tayangan yang kurang bermanfaat. Bagaimana respon para aktivis JPY perihal tersebut?

Kalangan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta” yang dijadikan subyek dalam studi ini untuk melihat imajinasi mereka terhadap tayangan infotainment yang tengah menjadi sorotan masyarakat; lembaga-lembaga keagamaan, lembaga pemerintah. Wawancara dengan mereka diharapkan akan menghasilkan pandangan yang bisa membuka cakrawala pemikiran. Mereka yang tergabung dalam “Jaringan Perempuan Yogyakarta” merupakan aktivis yang peduli pada isu kesetaraan jender, hak-hak kesehatan reproduksi, agama yang ramah terhadap perempuan, hak-hak asasi perempuan, juga pada isu pornografi.

Apakah keluarnya fatwa haram untuk infotainment dari Nahdhatul Ulama pada tahun 2006 “mengikat” perempuan, yang dalam beberapa hal seringkali keberagamaannya terbelenggu oleh “pemegang” otoritas agama ataukah sebaliknya; yakni melakukan perlawanan atau mengabaikan begitu saja fatwa tersebut? Hal ini lebih untuk melihat peran agama dalam dunia publik yang sangat dinamis. Mengikuti pandangan Althusserian, dalam penelitian ini media-massa

(baca: televisi) dilihat sebagai sebuah praktik ideologis yang hubungannya relatif otonom dengan hubungan-hubungan ekonomi yang ada padanya. Yakni, ideologi yang ditampilkan memiliki tempatnya tersendiri di benak khalayak.

8 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bertolak dari perspektif itu, media sangat memungkinkan untuk menghasilkan nilai-nilai yang berbeda dan berlawanan, tetapi dapat pula mereproduksi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Konsekuensi politik dari pernyataan ini adalah bahwa media mengatur dan mengontrol masyarakat. Padahal audiens sesungguhnya dapat menentukan pilihan-pilihan tayangan televisi sesuai dengan selera masing-masing, sehingga munculnya pemegang “otoritas” wacana (khususnya: agama) bisa saja tidak dihiraukan sama sekali. Hal ini juga dalam rangka membangkitkan kesadaran masyarakat akan adanya pemaknaan yang berbeda-beda terhadap hidup dan berbagai versi kebenaran sesuai dengan kapasitas dan sudut pandang masing-masing.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil judul “Infotainment dan Imajinasi Audiens: Studi Tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan

Infotainment di Kalangan Aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟.

B. Rumusan Masalah

Untuk menguraikan persoalan di atas maka penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah posisi infotainment dalam dunia pertelevisian di

Indonesia?

2. Siapakah audiens infotainment di Indonesia? Berasal dari kalangan kelas sosial manakah mereka?

3. Kapan para audiens menonton infotainment? Dalam kondisi dan situasi apakah infotainment ini ditonton oleh para aktivis “Jaringan Perempuan

9 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Yogyakarta”? Apakah memengaruhi aktivitas mereka? Serta di ruang manakah infotainment ini dibicarakan?

4. Bagaimana pandangan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta” terhadap keluarnya fatwa yang melarang keberadaan infotainment? Bagaimana mereka menyikapi sebuah keputusan yang berasal dari lembaga keagamaan?

Adakah resistensi yang dilakukan?

5. Resepsi apa yang ada dalam benak para aktivis “Jaringan Perempuan

Yogyakarta” terhadap tayangan infotainment? Seberapa jauh keterikatan audiens

(aktivis JPY) terhadap media infotainment lainnya?

C. Tujuan Penelitian dan Signifikansinya

Penelitian ini dikembangkan untuk tujuan sebagai berikut: Pertama, untuk menjelaskan infotainment sebagai suatu program televisi yang bagaimanapun

„negatif‟nya tetap memiliki sumbangan bagi kemajuan masyarakat yang sangat beragam. Kedua, untuk memahami apa yang dibayangkan masyarakat terhadap para pemegang „otoritas‟ keagamaan yang mencoba memasuki wilayah privat.

Ketiga, akan menyelidiki berbagai bentuk dan cara-cara masyarakat bereaksi terhadap produk budaya massa.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan memiliki signifikansi bagi dunia akademik dan masyarakat umum. Dengan kata lain penelitian ini bisa memberikan gambaran dan cara pandang terhadap keberadaan program-program televisi. Signifikansi setidaknya berupa:

10 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

a) Kerangka pemahaman tentang arti dan makna studi audiens dan televisi. Mengingat studi audiens berkembang sesuai dengan kondisi zaman, awalnya audiens dianggap sebagai konsumen pasif, kemudian menjadi konsumen aktif, sedangkan untuk saat ini perilaku konsumen tergantung pada kondisi kekinian, tidak bisa dibeda-bedakan secara hitam-putih.

b) Memberikan persepsi secara umum masyarakat dalam hal mencoba menghadirkan budaya tanding (counter culture) terhadap para pemegang

„otoritas‟ keagamaan dan pemaknaan terhadap produk budaya massa yang ada di televisi.

D. Kerangka Teori

Seperti disebutkan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan resepsi audiens terhadap tayangan infotainment. Yang dimaksud dengan audiens di sini adalah konsumen media elektronik seperti radio dan televisi, yaitu para aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟. Meneliti audiens berarti meneliti audiens yang sedang mengonsumsi obyek budaya dalam ruang dan waktu imajiner. Lewat peristiwa itulah audiens menyejarah, melakukan kegiatan politik konsumsi, politik obyek, politik ruang-waktu (St. Sunardi, 2007).

Hal ini dilakukan supaya tidak mengabaikan pengalaman audiens dalam mengonsumsi obyek budaya. Sehingga siapa dan dari mana audiens itu bisa terungkap dengan jelas dan tidak mengaburkan makna audiens.

Penelitian David Morley „Family Television‟ yang menghasilkan kesimpulan bahwa struktur kekuasaan patriarkal direfleksikan dalam kebiasaan

11 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menonton televisi. Namun, Morley mengakui keterbatasan kajiannya, yang didasarkan pada keluarga-keluarga berkulit putih di kalangan kelas menengah.

Metode yang dipraktikkan oleh Morley ini yang mengilhami penulis untuk melakukan kajian etnografis dengan cara berbaur di tengah-tengah audiens ketika menonton infotainment. Selain itu juga mengikuti di ruang mana audiens infotainment ini membicarakan tayangan ini dengan orang lain.

Penelitian Ien Ang (1982) tentang opera sabun Dallas yang dilakukan di

Belanda, di sini akan dijadikan rujukan untuk menganalisis permasalahan. Dalam penelitian ini Ien Ang berusaha menjawab pertanyaan apa yang menjadikan serial televisi Amerika ini begitu populer di Belanda. Dalam menjawab pertanyaan ini

Ien Ang menggunakan metode etnografis dengan mengumpulkan data empiris, yaitu surat-surat tanggapan atas iklan yang dimuat di sebuah majalah perempuan

Viva. Surat-surat tanggapan terhadap iklan yang berjumlah 42 ini diperlakukan sebagai teks yang harus dibaca secara simptomatik atau berusaha membaca

„tanda-tanda‟ yang muncul baik secara eksplisit maupun implisit. Teks tidak dibaca sebagai teks mati, tetapi sebagai barang yang bisa hidup ketika diberikan pemaknaan dalam mengolahnya; seperti memasukkan perspektif jender dan kelas misalnya.

Oleh karena itu maka apa saja yang terjadi dalam proses menonton menjadi bagian penting penelitian yang bisa didapatkan penulis dari surat-surat balasan yang diterimanya. Apakah hal ini ada hubungan antara kepuasan tersebut dengan ideologi di baliknya. Ien Ang dalam penelitiannya, berdasarkan surat-surat yang masuk, ia mendapatkan tiga kesimpulan dari pembacaan terhadap para

12 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penonton Dallas, yang kemudian ia sebut sebagai “ideologi budaya massa”.

Ideologi ini mengartikulasikan pandangan bahwa budaya pop merupakan hasil produksi komoditas kapitalis dan oleh karenanya tunduk pada hukum-hukum ekonomi pasar kapitalis; hasilnya adalah sirkulasi yang terus-menerus terjadi pada komoditas yang diturunkan, yang signifikansinya hanya akan menguntungkan produsennya. Ideologi budaya massa sebagaimana wacana ideologi lainnya berfungsi menginterpelasi individu ke dalam posisi subyek tertentu. Tiga posisi para pengonsumsi Dallas adalah sebagai berikut: 1) para penggemar (Dallas lovers), 2) para penonton ironis, dan 3) mereka yang membenci program ini

(Dallas haters).

Para pembenci Dallas kebanyakan karena ideologi. Mereka memakainya dalam dua cara, pertama, menempatkan program itu secara negatif sebagai contoh budaya massa dan kedua sebagai sarana untuk mengungkapkan dan mendukung ketidaksenangan mereka pada program ini.

Sedangkan posisi ironis menempatkan mereka menjadi penonton yang menyatakan Dallas tayangan tidak bermutu, namun secara bersamaan juga mencintai dan menikmatinya. Atau dengan kata lain, di satu sisi melihat Dallas sebagai bagian dari ideologi budaya massa yang mengutamakan rating, menguntungkan para pemilik modal, kapitalis. Namun disisi lain terlihat mengakui bahwa mereka terhibur dengan opera sabun Dallas.

Para penggemar Dallas menggunakan strategi untuk mengatasi rendah diri dengan sadar atau tidak sadar. Pertama, mereka melakukan

“internalisasi”ideologi, dengan “mengakui” bahaya Dallas, tetapi menyatakan

13 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kemampuan untuk mengatasinya agar bisa memperoleh kesenangan dari program

Dallas. Strategi lainnya adalah dengan cara menentang ideologi budaya massa, sebagaimana pengakuan salah seorang pecinta Dallas yang mengatakan: “banyak orang menyatakan ia tidak berguna atau tanpa substansi, tetapi saya pikir ia mempunyai substansi”.

Selain itu juga penelitian ini akan menggunakan metode yang telah diperkenalkan oleh Antonio La Pastina melaui tulisannya Audiens Ethnographies:

A Media Engagement Approach.11 Pendekatan etnografi kian diakui memiliki peran sentral yang teoritis dan empiris dalam studi media beberapa dekade belakangan ini. Dalam paparan La Pastina, etnografi audiens atau sering disebut sebagai media engagement, selain dapat memberikan informasi tentang kompleksitas dan dinamika yang terjadi antara konsumen dan produk budaya, etnografi audiens juga memiliki fungsi retoris. Secara retoris, pendekatan etnografi menyuarakan pertentangan terhadap praktik-praktik pengumpulan data empiris atau paradigma pengumpulan data, analisis maupun hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam ranah pemikiran positivistik. Etnografi telah memberikan ruang yang lebih subjektif terhadap refleksi diri para peneliti.

Etnografi pada dasarnya menceritakan ulang kehidupan orang-orang tertentu, mendeskripsikan tradisi atau tata cara mereka dan memahami praktik-praktik budayanya. Untuk bisa bercerita ulang, maka penulis etnografi harus mendapatkan pengalaman kehidupan orang-orang yang diceritakan, hingga pada rasa dan emosi

11 Antonio La Pastina, “Audiens Ethnographies: A Media Engagement Approach” dalam Media Anthropologi, Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman (eds.), (California: Sage Publication, 2005), hlm. 139-148.

14 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

yang muncul dalam kehidupan orang tersebut. Hal ini yang menurut Geertz dapat dilakukan dengan membuat hasil etnografi penuh dengan deskripsi.12

E. Tinjauan Pustaka

Hingga saat ini, kajian tentang penonton (audiens) televisi di Indonesia belum mendapat perhatian yang besar. Sebagian besar penelitian media televisi di

Indonesia lebih mengangkat persoalan politik–ekonomi di balik organisasi dan industri film (televisi), atau analisis tekstual terhadap film dan program televisi tertentu. Sebut saja, kajian Krishna Sen13, mengungkap persoalan representasi kelompok dan atau kelas sosial dalam film Indonesia yang cenderung mengutamakan kelas menengah-atas dan persoalan sistem industri film (negara

[sensor, PPFN] vs kapital [produser, importir, distributor]). Selanjutnya, Sen14

(1994), mengembangkan kajiannya ke arah bagaimana media audio-visual (dalam pengertian terbatas adalah film) dipakai oleh kelompok-kelompok sosial untuk mengartikulasikan kepentingan dan merebut ruang politiknya masing-masing.

Dengan data-data yang lebih baru, Sen dan Hill15 secara historis juga masih mengangkat persoalan politik dan regulasi di dunia media massa, termasuk film dan televisi.

Sementara itu, Karl G. Heider16 lebih menekankan analisis kultural terhadap film Indonesia, dengan melihat film sebagai teks kultural yang

12 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). 13 “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”, Prisma No. 5, Tahun XIX, 1990. 14 Indonesian Cinema: Framing the New Order (London and New Jersey: Zed Books Ltd., 1994). 15 Media, Culture, and Politics In Indonesia, (Oxford Univ. Press, 2000). 16 Indonesian Cinema; National Cultural On Screen (Univ. Of Hawaii Press, 1991).

15 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terejawantahkan lewat frame dan seluruh perilaku kebudayaan dari artefak hingga motivasi. Meskipun ia menyinggung soal audiens, ia lebih tertarik untuk melihat film itu sendiri sebagai pembawa pesan secara kultural bagi para penontonnya ke seluruh “wilayah” yang ia sebut bangsa, bahasa, atau dunia. Ia sendiri membedakan kajian kultural (tekstual)nya yang bersifat komparatif dengan kajian historis yang cenderung berdiri sendiri dan kajian “struktural” yang “self- contained”.

Topik-topik yang hampir serupa muncul dalam kajian televisi. Seperti halnya tulisan Hinca Panjaitan dan Veven Sp. Wardhana, lebih banyak mengutak- atik persoalan politik dan kebijakan industri pertelevisian di Indonesia. Studi yang mengulas televisi dalam pandangan komunikasi massa juga dapat ditemukan dalam karya Arswendo Atmowiloto (1986); Idi Subandy Ibrahim (1997); Freddy

H. Istanto (1999); Antonius Saptana Hadi (2001); Garin Nugroho (2004).

Beberapa peneliti lebih banyak melihat dampak ataupun pengaruh negatif televisi bagi para penonton (Prim Nugroho dan Yasson de Bani (1994); John

Tondowidjojo (1994); Tatiek Kartikasari (1995); memperlihatkan kecenderungan yang membenarkan klaim umum tentang pengaruh negatif keberadaan televisi.

Tulisan lain tentang tayangan televisi khususnya infotainment, lebih banyak berupa artikel di koran, blog, diskusi dan majalah, yang lebih banyak berkutat pada sisi estetika dari infotainment, atau catatan-catatan terhadap

“negatif”nya tayangan infotainment, dan sedikit banyak menyinggung persoalan etika komunikasi dan jurnalisme media (Fajar Junaedi (2004); Ignatius Haryanto

(2005); Gandha Widyo Prabowo (2007); Sayatman (2008).

16 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kajian yang lebih komprehensif tentang televisi di Indonesia dari Philip

Kitley (2000), mulai menyinggung persoalan “pemirsa televisi”. Dengan tajuk

“Televisi dan Pemirsa Historisnya” ia melihat penonton televisi sebagai konsepsi

(konstruk) imajiner dari wacana yang mengelilingi dan melembagakan praktik siaran dalam latar belakang (setting) tertentu . Wacana ini dimainkan oleh mereka yang berkepentingan dengan industri televisi: industri televisi itu sendiri, lembaga politik dan hukum, lembaga kritis (jurnalistik dan akademisi), kelompok penekan dan lobi (LSM). Untuk kepentingan itu, Kitley menganalisis pemberitaan dan karikatur di koran juga majalah, ditambah dengan data-data yang berasal dari kitab-kitab undang-undang.

Lompatan paling “mutakhir” muncul dari Kris Budiman (2002), yang mencoba melihat praktik menonton televisi sebagai praktik konsumsi. Penelitian

Kris Budiman ini mencoba keluar dari mainstream dan tradisi penelitian audiens yang bersifat kuantitatif dan mengambil format penelitian survei, positivistik- instrumental atau analisis variabel serta menekankan pengukuran atas audiens dan dampak-dampak perilakunya melalui survei dan eksperimen terkendali (hlm. 13-

14). Penelitian ini juga mencoba keluar dari kajian hermeneutika televisi atau pemberian makna dalam menonton televisi. Dengan mengambil subjek kajian keluarga kelas-menengah di Yogyakarta, didapatkan kesimpulan bahwa seluruh praktik menonton televisi adalah praktik pengemasan atau pengorganisasian waktu dan ruang. Di akhir tulisannya, Budiman mengajukan rekomendasi untuk mempertemukan kajian etnografi dengan analisis tekstual dalam penelitian

17 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tentang penonton televisi. Sebuah rekomendasi yang ikut memicu penelitian audiens terhadap tayangan infotainment yang akan saya lakukan.

Menilik berbagai studi dan penelitian tentang televisi dan khususnya audiens yang telah dilakukan, saya melihat kecenderungannya sebagai berikut:

Pertama, kajian televisi terlalu fokus pada aspek politik-ekonomi. Kedua, kajian pertelevisian ini memperlihatkan fokus pada tayangan dalam perspektif content analysis. Ketiga, meskipun studi tentang infotainment juga cukup banyak, akan tetapi yang melakukan kajian audiens infotainment sendiri relatif masih terbatas.

Studi audiens televisi dalam perspektif kajian budaya yang relatif masih sedikit ini menjadi celah bagi saya untuk mengisi ruang kosong tersebut. Dalam hal ini audiens yang hendak saya teliti berasal dari kaum perempuan, lebih khusus lagi adalah aktivis perempuan yang tergabung di „Jaringan Perempuan

Yogyakarta‟. Menilik resepsi di kalangan aktivis akan menarik, karena mereka adalah kelompok kritis, akan tetapi „menikmati‟ sebuah tayangan televisi yang oleh sebagian orang dianggap tontonan tidak mencerdaskan maupun stigma negatif lainnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Metode etnografi yang akan digunakan bersifat thick description, artinya berusaha mencari tahu makna dibalik praktik (menonton) yang dilakukan oleh informan dan simbol apa yang dipertukarkan antara informan dengan masyarakat atau antar informan sendiri.

Jadi penelitian ini tidak hanya akan menggambarkan bagaimana informan

18 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

melakukan sesuatu (dalam hal ini praktik menonton infotainment) akan tetapi juga berusaha menginterpretasi pada wilayah kultural mana praktik tersebut diklasifikasikan dan apa makna praktik tersebut. Melalui thick description etnografi berusaha menginterpretasi makna perilaku yang bersumber dari kategori kultural tertentu di mana dia diproduksi, diterima dan diinterpretasikan (Geertz, dalam Jacobson, 1991: 4).

Metode etnografi yang dipilih dalam penelitian ini juga didasarkan atas pertimbangan subyek yang hendak diteliti. Subyek dalam penelitian ini adalah perempuan yang berada dalam lingkungan komunitas. Menurut beberapa feminis seperti Lila Abu Lughod dan Sculamith Reinharz, metode etnografi merupakan metode yang tepat untuk menganalisis masalah perempuan.17 Dengan metode etnografi, yang menggunakan wawancara dengan subyek dan orang-orang disekitarnya, serta observasi partisipatif, perempuan dapat menyuarakan pengalaman dan pendapatnya (Shulamith, 1992). Sehingga pendapat dan pengalaman perempuan yang selama ini jarang didengar, dapat disuarakan tanpa diwakili oleh peneliti. Metode etnografi berkontribusi besar untuk mempertajam kesadaran peneliti tentang obyektifitas dan pengetahuan yang bersifat situasional

(Lughod, 1993: 6).

Untuk mengetahui pelbagai varian beserta isi dalam tayangan infotainment maka pengamatan terhadap acara televisi perlu dilakukan. Hal ini terutama dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana televisi memberikan ruang yang demikian terbuka bagi tayangan infotainment. Dalam infotainment mengenai apa

17 Lila Abu-Lughod, „Dramas of Nationhood: The Politics of Television in Egypt‟, dalam Abu-Lughod (ed.), Remaking Women: Feminism and Modernity in the Middle East (Princeton University Press: Princeton New Jersey, 1998).

19 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

saja yang ada dalam acara tersebut, di stasiun televisi swasta mana saja, bagaimana format dan isi acara tersebut (jenis, durasi, di stasiun televisi apa dan lain sebagainya), siapa saja para pemilik televisi tersebut dan hubungannya dengan kapital ekonomi disekelilingnya termasuk pihak para pengiklan

(perusahaan produk konsumsi). Berikutnya adalah data dari audiens, yang dimaksudkan untuk menguak lived experience audiens dalam meresepsi program infotainment.

1. Strategi Pengumpulan Data

Penelitian ini membutuhkan beberapa jenis data; teks budaya, lembaga- lembaga terkait, dan pengalaman sehari-hari audiens infotainment itu sendiri.

a. Wawancara

Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada dua obyek.

Pertama, wawancara pada subyek penelitian itu sendiri yaitu para aktivis Jaringan

Perempuan Yogyakarta (JPY). Wawancara pada fase ini adalah seputar infotainment, bagaimana mereka menanggapi infotainment yang ada saat ini di tengah dunia tontonan. Kedua, wawancara pada lembaga-lembaga yang terkait dalam proses produksi infotainment; yang meliputi stasiun televisi, rumah produksi infotainmentnya, dan lembaga periklanan terkait. Pengumpulan data pada wawancara yang kedua akan dibantu dengan data dari koran, majalah maupun website stasiun televisi dan rumah produksi serta lembaga riset tayangan televisi, seperti AGB Nielsen Media Research.

20 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

b. Pengalaman audiens (Lived experience).

Sebagaimana jalannya penelitian etnografi pada umumnya, penelitian di sini pun akan menggunakan metode lived experience. Lived experience tidak lain untuk mengungkapkan pengalaman audiens dalam merespon infotainment tersebut, baik saat mereka berada di hadapan infotainment maupun tidak. Lived experience ini akan dikumpulkan dengan melakukan observasi partisipatif

(participatory observation) dengan audiens yang berjumlah enam orang ketika menonton infotainment dan ketika audiens membicarakannya di ruang publik.

Pengumpulan data dengan lived experience ini dilakukan pada bulan

Februari-Agustus tahun 2009. Selama pada masa penelitian tersebut penulis kemudian mencatat pengalaman audiens saat mereka menonton infotainment.

Respon-respon atau tindakan yang mereka kerjakan saat tayangan infotainment berlangsung, dalam penelitian ini kemudian penulis catat sebagai data etnografi mengenai respon audiens terhadap tontonan infotainment.

2. Informan yang Akan Dilibatkan

Informan yang akan menjadi subyek dalam penelitian ini adalah enam orang dari para perempuan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta”. Lembaga ini merupakan kumpulan aktivis perempuan dari pelbagai LSM serta individu yang ada di Yogyakarta. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian yakni mereka yang aktif di lembaga-lembaga: IDEA, IHAP, Mitra Wacana WRC, PSB,

Rifka Annisa WCC, dan Yayasan LKiS. Keenam informan ini dipilih karena perbedaan latar belakang LSM yang mereka geluti, yakni mulai isu anggaran responsif gender (ARG), perempaun dan hak reproduksi, perempuan dan KTP dan

21 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KDRT, perempuan dan buruh, dan perempuan dan Islam. Pilihan yang berbeda ini untuk mengetahui apakah penggunaan tayangan infotainment dipengaruhi pula oleh isu-isu yang menjadi fokus mereka sehari-hari.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan ditulis dalam lima bab, yakni:

Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoritis, tinjauan pustaka, metodologi penulisan, dan sistimatika penulisan.

Bab kedua tentang industrialisasi televisi di mana infotainment menjadi bagian sejarah di dalamnya. Dan membahas tayangan infotainment itu sendiri, hal-hal apa yang ditayangkan dalam infotainment. Di sini akan disajikan data statistik mengenai jenis-jenis infotainment, durasi waktu dalam setiap harinya, stasiun televisi mana saja yang menayangkan, waktu-waktu penayangan infotainment. Selain itu juga akan memuat tentang „Jaringan Perempuan

Yogyakarta‟ dan latar belakang para aktivis perempuan JPY yang menjadi informan dalam penelitian ini, yang meliputi visi serta aktivitas yang mereka lakukan. Selanjutnya juga akan dipaparkan latar belakang informan, usia, keluarga, pendidikan, penghasilan ekonomi.

Bab ketiga, berisikan penjelasan mengenai hasil dari observasi di lapangan dengan menonton infotainment bersama aktivis „Jaringan Perempuan

Yogyakarta‟, di kos ataupun tempat tinggal mereka. Juga rangkuman hasil wawancara mendalam yang memuat pandangan mereka terhadap infotainment

22 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

serta wacana publik seputar infotainment yang menarik perhatian massa, baik dari kalangan akademisi, ormas agama, maupun para pengambil kebijakan di pemerintahan.

Bab keempat akan menjelaskan resepsi dan imajinasi aktivis perempuan di Yogyakarta terhadap infotainment. Pada bab ini lebih merupakan elaborasi dari hasil wawancara dan observasi di lapangan. Selain itu juga akan diketahui pula posisi serta kategori audiens (aktivis JPY) dalam menonton tayangan infotainment.

Bab kelima, berisi refleksi penulis dan kesimpulan serta saran-saran untuk penelitian lebih lanjut.

23 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB II

PROGRAM INFOTAINMENT DAN

AKTIVIS JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA

Pada bab I latar masalah sedikit banyak telah dibahas; kenapa infotainment menduduki tempat utama dalam dunia tontonan di televisi. Tempat tersebut dapat diketahui dengan banyaknya jam tayang yang tersedia di setiap stasiun televisi untuk para pencintanya. Dari jam tayang tersebut juga dapat diketahui bahwa infotainment bukanlah sekadar tayangan tanpa pemirsa atau pecinta sehingga tayangan tersebut bertahan sampai beberapa tahun terakhir.

Pada bab ini penulis bermaksud memaparkan secara singkat industrialisasi televisi dan tentunya infotainment di stasiun-stasiun televisi Indonesia. Selain itu juga akan dipaparkan subyek penelitian, yakni „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ dan para aktivisnya. Paparan tersebut berawal dari proses mula terbentuknya televisi hingga bermunculannya stasiun televisi swasta nasional, pada 1990-an, sehingga memunculkan beragam tayangan infotainment yang kemudian berkembang menjadi salah satu produk industri televisi seperti saat ini.

Dalam proses panjang keberadaan televisi di Indonesia tersebut muncullah pelbagai format acara yang disajikan oleh masing-masing televisi swasta nasional.

Jenis tayangan ini bagi televisi swasta merupakan urat nadi bagi keberlangsungan hidup mereka.1 Hal ini membuat masing-masing televisi swasta melakukan

1 Menurut Kepala Produksi ANTV Deddy Reva Utama, ia berpendapat bahwa karakter industri televisi hidup dari pergerakan rating. Pergerakan rating dan share yang bisa dilihat setiap beberapa menit, menyebabkan pengelola televisi dapat melihat pada menit keberapa rating turun. Lihat harian Kompas, Minggu, 1 November 2009.

24 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kompetisi meluncurkan program bagi pemirsa supaya tidak ditinggalkan oleh audiens tersebut. Era industrialisasi televisi di Indonesia ini membukakan kran persaingan usaha antar stasiun televisi swasta.

Kompetisi acara antar televisi ini merupakan bagian dari usaha para pemilik televisi untuk makin mendekatkan diri kepada audiens. Hal ini dimaksudkan agar ke‟taat‟an audiens pada salah satu program acara yang dimiliki oleh stasiun televisi tidak berkurang. Hal ini penting dijelaskan di sini sebagai pembuka wacana mengenai perjalanan televisi di Indonesia, supaya pembahasan pada bab selanjutnya memiliki kesinambungan.

Adapun pemaparan mengenai infotainment digunakan untuk mengetahui relasi antara acara tersebut dengan pelbagai acara lainnya. Relasi tersebut tentu menempatkan infotainment sebagai komoditas yang siap dinikmati para pemirsanya. Sebagai komoditas juga, infotainment tidak hanya dinikmati para ibu- ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang sebagai bahan obrolan sebagaimana wacana yang berkembang selama ini tetapi juga mereka para aktivis perempuan.

Pada bab ini singgungan antara infotainment dan para aktivis akan dilihat sebagai titik awal pintu masuk tesis ini. Para aktivis yang menjadi sumber penelitian tidak lain adalah mereka para aktivis perempuan di Yogyakarta yang tergabung dalam „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ (JPY). Bab ini juga akan memaparkan sejarah infotainment dan latar belakang kelompok subyek penelitian yakni „Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dengan mengambil enam aktivis

(informan) di dalamnya.

25 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

A. Industri Televisi: Dari Monopoli ke Liberasi

Sudah umum diketahui bahwa kekuatan televisi adalah dengan menyatukan pemirsanya untuk setia berada di hadapannya dengan berbagai program siarannya. Kekuatan tersebut belum dicapai sepenuhnya oleh televisi di

Indonesia ketika pertama kali dioperasikan pada tahun 1962. TVRI (Televisi

Republik Indonesia) yang pada waktu itu menjadi pemain tunggal dalam media penyiaran audio visualnya belum sepenuhnya berhasil dengan program Sea

Gamesnya meski tidak ada stasiun televisi lain yang menjadi pembanding dalam acara-acara yang ditayangkan sampai dengan munculnya stasiun televisi swasta pertama pada akhir 1980-an. Baru pada fase 80-an tonggak industri televisi di

Indonesia bermula.

Benih industrialisasi televisi di Indonesia ini dimulai ketika Yayasan

TVRI memberikan izin bagi kehadiran televisi swasta pertama, yakni RCTI

(Rajawali Citra Televisi Indonesia) pada tahun 1987 yang dimiliki oleh Bambang

Trihatmodjo, putera Presiden Soeharto. Awalnya jangkauan siaran RCTI terbatas di Jakarta.2 Sebagaimana diketahui, menjelang akhir 1980-an dan masuk pada tahun 1990 putera-puteri Soeharto sudah beranjak dewasa, oleh karena itu maka izin bagi kemunculan televisi swasta diberikan kepada anaknya, bukan kepada orang lain.

Industrialisasi televisi semakin menapakan jejaknya di dunia penyiaran dengan semakin dibukanya ijin pada stasiun-stasiun swasta lainnya. Perolehan ijin

2 Setelah tahun 1987 memperoleh izin penyiaran, pada 24 Agustus 1989 RCTI baru mulai mengudara, selama kurun waktu sampai 1991, RCTI hanya dapat ditangkap oleh pemiliki dekoder dan membayar iuran setiap bulannya. Setelah hanya boleh beroperasi di Jakarta, sejak 1990 RCTI siaran secara nasional. RCTI saat ini dimiliki oleh kelompok Media Nusantara Citra (MNC), yaitu Hari Tanoesudibyo.

26 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

televis-televisi swasta berikutnya, yakni SCTV3 (Surya Citra Televisi) yang beroperasi sejak 24 Agustus 1990 dan jangkauan siaran terbatas di Surabaya.

Stasiun televisi ini berada di bawah kendali Henry Pribadi (seorang pengusaha yang dekat dengan Soeharto dan Sudwikatmono, adik tiri Soeharto). Selain kedua orang tersebut, sebagian saham SCTV dimiliki oleh Halimah Trihatmodjo

(menantu Soeharto). Stasiun berikutnya kemudian disusul dengan kehadiran TPI

(Televisi Pendidikan Indonesia)4 pada Desember 1990 yang dimiliki oleh Siti

Hardiyanti Indra Rukmana (mbak Tutut –anak Soeharto), yang tayang awalnya atas fasilitas transmisi dari TVRI. Industrialisasi belum berhenti ketika pada tahun

1993 hadir stasiun ANTV (Andalas Televisi)5, yang dimiliki oleh Bakrie Group dan Agung Laksono, seorang tokoh Golkar (sebelum menjadi partai politik).

Stasiun berikutnya yang hadir pada satu fase adalah Indosiar6 (1995) yang dimiliki

3 SCTV awalnya adalah Surabaya Centra Televisi, hanya mengudara di Surabaya dan sekitarnya (Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Bangkalan). Pada tahun 1991, didirikan stasiun SCTV di Bali, Denpasar. Sejak tahun 1993, SCTV mengudara secara nasional. Sejak inilah singkatannya berubah menjadi Surya Citra Televisi. Saat ini kepemilikan SCTV dikuasai oleh grup Elang Mahkota Teknologi, melalui PT. Surya Citra Media Tbk., dengan Direktur Utama SCTV adalah Fofo Sariaatmadja. 4 TPI disebut sebagai televisi pendidikan karena awalnya menyiarkan acara-acara yang edukatif saja. Salah satunya adalah bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyiarkan materi pelajaran pendidikan menengah. Secara perlahan misi edukatif ini makin pudar dengan ditayangkannya beragam acara seperti kuis-kuis, sinetron, reality show. Dalam perkembangannya kependekan TPI sebagai Televisi Pendidikan Indonesia tidak berlaku lagi. Dalam website resmi TPI, disebutkan bahwa TPI adalah Televisi Paling Indonesia, sesuai dengan misi barunya, dengan menyiarkan acara-acara khas Indonesia; seperti menayangkan sinetron lokal dan musik dangdut. 5 ANTV didirikan pada 1 Januari 1993, dengan stasiun televisi lokal di kota Lampung. Pada tanggal 18 Januari 1993 ANTV mendapatkan izin siaran secara nasional melalui keputusan Menteri Penerangan RI No. 04A/1993. Sepuluh hari setelah izin keluar, ANTV resmi mengudara secara nasional. ANTV dimiliki oleh konglomerat Aburizal Bakrie, dan saat ini dikelola anaknya yaitu Anindya Bakrie yang menjadi Presiden Direktur perusahaan ini. 6 Berdiri sejak 11 Januari 1995. Dimiliki oleh Grup Salim melalui PT. Indosiar Karya Media Tbk. Yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

27 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

oleh Grup Salim, dengan konglomerat Liem Soe Liong sebagai nahkoda utamanya; ia merupakan taipan Cina terbesar dan sahabat dekat Soeharto.7

Geliat industri televisi ini makin ramai sejak tahun 2000/2001 dengan ditandai lahir dan beroperasinya lima televisi swasta nasional, yakni Metro TV8,

TV 7 (sebelum menjadi Trans 7), Trans TV9, Lativi (sebelum menjadi TV One) serta TV Global10. Dalam perkembangannya saham TV 7 dibeli oleh Trans Corp menjadi Trans 7,11 kemudian saham Lativi dibeli oleh Bakrie Group yang akhirnya menjadi TV One.12

Dari perjalanan di atas terlihat bahwa kepemilikan antar stasiun televisi swasta nasional ini berkait kelindan diseputar keluarga Cendana dan kroni- kroninya, serta beberapa pemain „baru‟ dalam industri televisi. Industrialisasi televisi semakin nampak misalnya pada segi kepemilikan oleh PT Media

7 Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran (Jakarta: ISAI dan LKiS, 2004), hlm. 15- 16. baca juga Philip Kitley, Konstruksi Budaya...hlm. 37. 8 Metro TV resmi mengudara pada 25 November 2000 di Jakarta. Pemiliknya adalah Media Group yang dipimpim oleh Surya Paloh. 9 Trans TV mulai resmi disiarkan pada 10 November 2001. Meski baru terhitung siaran percobaan, Trans TV sudah membangun Stasiun Relai TVnya di Jakarta dan Bandung. Siaran percobaan dimulai dari seorang presenter yang menyapa pemirsa pukul 19.00 WIB malam. Trans TV atau Televisi Transformasi Indonesia dimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung dengan grup Paranya. Trans TV adalah anak perusahaan PT Trans Corpora. Kantor Pusat stasiun ini berada di Studio TransTV, Jalan Kapten Pierre Tendean, Jakarta Selatan. 10 Global TV berdiri pada tahun 2002 dan dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok perusahaan media yang juga memiliki RCTI dan TPI. 11 Trans7 berdiri dengan ijin dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jakarta Pusat dengan Nomor 809/BH.09.05/III/2000 dengan nama TV7 yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Pada tanggal 22 Maret 2000 keberadaan TV7 telah diumumkan dalam Berita Negara Nomor 8687 sebagai PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh. Pada 4 Agustus 2006, Para Group melalui PT Trans Corpora resmi membeli 49% saham PT Duta Visual Nusantara Tivi 7. Dengan dilakukannya re-launch pada tanggal 15 Desember 2006, tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Trans7. 12 TV One (sebelumnya bernama Lativi) ini didirikan pada tahun 2001 oleh pengusaha Abdul Latief. Sejak tahun 2006, sebagian sahamnya juga dimiliki oleh Grup Bakrie yang juga memiliki ANTV. Pada 14 Februari 2008, Lativi secara resmi berganti nama menjadi tvOne. Abdul Latief tidak lagi berada dalam kepemilikan saham tvOne. Komposisi kepemilikan saham tvOne terdiri dari PT Visi Media Asia sebesar 49%, PT Redal Semesta 31%, Good Response Ltd. 10%, dan Promise Result Ltd 10%.

28 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Nusantara Citra yang memiliki RCTI, TPI dan Global TV. Begitu pula dengan PT

Trans Corp yang memiliki Trans TV dan Trans 7 dan kepemilikan ANTV dan

TV One yang dikuasai oleh Grup Bakrie.

Pasca reformasi tahun 1998, industri penyiaran mulai mengalami perubahan dalam aspek permodalan. Undang-undang Penyiaran (UUP) yang menjadi landasan penyiaran juga mengalami beberapa kali revisi, dari UU

Penyiaran No. 24/1997 sampai menjadi UU Penyiaran No. 32 tahun 2002.

Perubahan UU tersebut tidak lain adalah untuk mengatur regulasi penyiaran itu sendiri.

Beranjaknya era televisi di Indonesia menuju industrialisasi tak terhindarkan ketika TVRI tidak lagi memonopoli siaran. Industrialisasi televisi juga menempatkan televisi sebagai sebuah entitas bisnis yang dalam penyelenggaraan operasionalnya dapat dikatakan sangat mahal.13 Oleh karena itu masing-masing televisi dituntut untuk menyiarkan program-program tayangan yang bisa mendatangkan iklan dalam jumlah besar sehingga bisa mendapatkan keuntungan. Iklan merupakan sumber penghasilan satu-satunya televisi swasta untuk memproduksi program-program yang mengisi setiap jam tayangnya.14

Era industrialisasi televisi yang dimulai dari akhir 80-an ini seakan membawa keuntungan pada terbukanya informasi bagi publik yang tidak hanya bergantung pada satu bentuk stasiun siaran. Publik bisa mendapatkan akses luas dari siaran-siaran televisi yang ditampilkan dengan banyak pilihan yang bisa

13 Untuk satu jam penyiarannya dibutuhkan dana lebih kurang Rp. 17-20 juta sehari sehingga untuk setiap bulan, pembiayaannya bisa mencapai Rp. 400 juta. Lihat Hermin Indah Wahyuni, Televisi dan Intervensi Negara (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), hlm. 35. 14 Hermin Indah Wahyuni, Televisi dan Intervensi...hlm. 37.

29 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

diakses oleh siapa saja. Akan tetapi nampaknya hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan yang semakin membebaskan berbagai bentuk tayangan.

Dan untuk mengetahui hal tersebut secara lebih jelas, akan semakin dipahami jika melihat pada program-program acara yang disuguhkan oleh masing-masing televisi di Indonesia di bawah ini.

B. Program Siaran Sebagai Bisnis

Televisi pemerintah yakni TVRI, hingga menjelang awal 1990-an tampil sendirian di hadapan publik. Keberadaan TVRI hampir tanpa pesaing handal dalam program-program yang ditawarkan. TVRI menjadi pemain tunggal, adapun kompetitor yang ada hanyalah televisi dari luar negeri dan hanya dapat diakses melalui antena parabola. Kondisi demikian membuat audiens tidak memiliki pilihan lain selain menonton program-program tayangan yang disediakan oleh pemerintah.

Sebagaimana dijelaskan di depan, sejak 1990-an audiens pun mempunyai pilihan yang cukup memadai terhadap tayangan televisi untuk memenuhi hasrat menontonnya dengan munculnya banyak stasiun dan tentunya banyaknya program pilihan. Era ini menandai tontonan menjadi ritual tersendiri; waktu luang audiens untuk bertahan dihadapan televisi. Praktik menonton tayangan televisi pun menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Di mana setiap individu dapat mengakses tayangan sesuai dengan pilihan. Masing-masing audiens bisa berfantasi sedemikian rupa terhadap apa yang ditontonnya. Aktivitas menonton menurut Pierre Bourdieu merupakan praktik, karena memenuhi ciri-ciri sebagai

30 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berikut: pertama, dialokasikan dalam ruang dan waktu; kedua, memiliki sifat cair dan tak menentu; ketiga, tidak diorganisasikan dengan (sepenuhnya) sadar.15

Sebuah program acara di stasiun televisi yang menarik bagi audiens merupakan syarat utama supaya tidak ditinggalkan oleh para penontonnya.

Apapun program acara tersebut seperti: berita, film, olahraga, musik, dialog, kuis, maupun acara lainnya bagi audiens yang terpenting bagi mereka adalah bisa menarik hasratnya (desire). Dengan hasrat yang terpenuhi maka kecil kemungkinannya akan beralih pada stasiun televisi yang lain. Dengan kata lain, televisi mau tidak mau harus menciptakan program yang membuat audiens menjadi betah bertahan dihadapan sebuah siaran.

Meski hal tersebut adalah teknik lama, untuk menciptakan penonton yang

“setia” maka stasiun televisi mencoba menawarkan program yang bisa menghibur penonton. Menurut William Stepshon, orang menonton dan memanfaatkan televisi untuk tujuan menghibur diri.16 Dari menonton diharapkan akan dapat terhibur dengan biaya murah, karena tidak perlu meninggalkan rumah dan cukup menyalakan televisi yang dimilikinya. Begitu pentingnya sebuah program di stasiun televisi ini juga dinyatakan oleh K. Shiraishi, “the succes of the broadcasting enterprise depends upon the programming” (kesuksesan dari perusahaan penyiaran tergantung pada program).17

15 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hlm. 96-97. 16 Sebagaimana dikutip oleh Dian Anindya Murti, Dinamika Ranah Publik dan Ranah Privat Dalam Pemberitaan Infotainment di Televisi Analisis Wacana Pemberitaan Program Infotainment INSERT di Trans TV, skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: FISIPOL UGM, 2005. hlm. 36. 17 K. Shiraishi, Broadcasting and Programming, JICA Expert to MMTC, 1987, hlm. 4.

31 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Program acara di televisi secara umum terbagi kedalam dua arus utama, yakni untuk tujuan yang berifat informasional dan hiburan.18 Dengan menggunakan materi informasi ini, program diwujudkan dalam berbagai format.

Secara teknis ada dua kelompok besar yaitu, program reguler seperti berita, talkshow, drama dan program non-reguler seperti interupsi reguler (penyela) yang berupa iklan (commercials), pengumuman pelayanan sosial dan promo. Dengan berbagai sebutan, seluruh materi ini mewujud melalui mata acara.19

Lewat jalan televisi sebagai arus hiburan, televisi juga harus menciptakan daya tarik yang „awet‟ bagi para audiensnya. Keawetan daya tarik yang perlu diperhatikan oleh para produser tidak lain dengan jalan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: konflik, keterlibatan diri, seks, penjagaan diri sendiri, pengenalan, keingintahuan, pelarian.20 Dan dari pelbagai unsur tersebut maka lahirlah program acara yang dibuat seperti: film (film tv & box office), sinetron, reality show, talkshow, berita, pendidikan, kuliner, ceramah keagamaan dan infotainment di televisi-televisi swasta nasional.

Keawetan daya tarik sebuah program siaran juga tidak hanya untuk audiensnya tetapi juga bagi penopang modal di belakangnya. Keberadaan televisi swasta nasional yang sangat ditopang dengan jumlah iklan sebagai pemodal yang masuk dalam mendukung program-program acara secara tidak langsung menempatkan audiens sebagai konsumen yang siap menerima apa saja dari

18 Ashadi Siregar, Orientasi Pemberitaan Stasiun Televisi (TV Broadcasting) Swasta di Indonesia, laporan penelitian, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 1994, hlm. 3. 19 Ibid. hlm. 14. 20 Susan Tyler Eastman dan Douglas A. Ferguson, Broadcast/Cable Programming: Strategies and Practices, 5th edition, (Belmont California: Wadsworth Publishing Company, 1997), hlm. 61- 62.

32 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

produsen atau televisi sebagai produsen program siaran. Dengan kekuatan modal dan teknik program dari para ahli di belakangnya, maka sebuah program itu menjadi rujukan bagi penonton untuk melangsungkan konsumsi hiburan, informasi dan kesenangan-kesenangan menonton sebuah tayangan.

C. Infotainment Sebagai Hiburan

C.1. Sebuah Tinjauan Historis

Dengan melihat karakteristik bentuk materi program yang telah dibahas di atas, maka keberadaan infotainment tergolong dalam materi faktual dengan fungsi primer maupun sekundernya, yaitu psikologis (hiburan/entertaining) dan sosial

(informasional). Disebut demikian karena infotainment merupakan sebuah tayangan yang menyajikan informasi (faktual) mengenai kehidupan dunia para selebriti. Keberadaan infotainment sendiri tidak dapat dilepaskan dari modal yang terus menyokong sampai saat ini dan menjadikannya sebagai bentuk tontonan yang memiliki keawetan daya tarik.

Jauh sebelum maraknya infotainment di televisi-televisi saat ini, ajang membincangkan tokoh (gosip) telah muncul lebih awal di beberapa majalah/buletin atau pun pada bagian kolom surat kabar. Sebuah majalah, Monitor misalnya, adalah salah satu majalah yang menjadi akar bagaimana sebuah gosip dikemas dalam bentuk bacaan. Namun, majalah yang diterbitkan pada 1972 oleh

Direktorat Televisi Departemen Penerangan yang mengupas „isu-isu‟ khusus radio dan televisi akhirnya tidak sampai bertahan lama di pertengahan tahun 80-an.

33 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Selanjutnya, pada 1991, terbit tabloid-tabloid baru tentang dunia radio, televisi, film dan artis, yaitu Bintang Indonesia, Citra, Wanita Indonesia dan

Dharma Nyata. Pada 1993, terbit majalah Vista TV. Majalah ini bermaksud menjadi TV Guide versi Indonesia. Tabloid yang berisi berita-berita selebriti baik dari dalam negeri maupun luar negeri, gosip, dan berita latar belakang pembuatan sebuah program televisi ini ternyata disukai pembaca dan sangat laku di pasaran.

Acara infotainment pada fase berikutnya mulai muncul di televisi.

Program tersebut dinamai ”Kabar-Kabari” dan tayang pertama kali di RCTI.

Infotainment berikutnya adalah ”Cek&Ricek” dan tayang pada stasiun sama.

Program “Kabar-Kabari” yang diasuh oleh Amazon Dalimunthe merupakan tayangan infotainment pertama di televisi swasta Indonesia yang diputar di tahun

1995 (“Manisnya berbisnis Gosip”, 2001). Kemunculan ”Kabar-Kabari” menurut

Veven Sp. Wardhana, sebagaimana dikutip Dian A. Murti, menjadi ikon bagi stasiun televisi swasta lainnya untuk membuat dan menayangkan program sejenis.21

Infotainment menjadi salah satu program yang cukup dominan dalam panggung televisi pada awal 90-an kemudian mulai merebak samapi pada dekade

2000-an. Jakob Oetama22 dalam Kompas 17 Maret 2005, mengungkapkan informasi yang serba hiburan dikemas dalam konteks entertainment memiliki daya tarik lebih kuat. Selain karena televisi secara teknologi mudah penyebarannya, faktor kekuatan penarik lain dari sebuah infotainment adalah

21 Dian Anindya Murti, Dinamika Ranah Publik...hlm. 48. 22 Kompas 17 Maret 2005 “Powering The Media Dynamics”. hlm. 11.

34 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dominannya budaya nonton ketimbang budaya membaca di Indonesia. Jakob

Oetama membandingkan, nonton lebih sederhana dari pada membaca ditinjau dari segi intelektual. Hal tersebut, lanjut Jakob, tak dapat dilepaskan dari karakter televisi yang cenderung "conversational, friendly, emotional and not too demanding” (tidak formal, bersahabat, menggugah perasaan dan tidak banyak menuntut). Kebutuhan akan tontonan inilah kemudian menempatkan infotainment semakin “mapan” di hadapan audiensnya dari pada membaca sebuah berita dari media cetak. Membaca lebih memerlukan konsentrasi, sikap aktif, serta berjarak dibandingkan nonton yang mudah bersikap pasif serta mudah hanyut kedalam apa yang ditonton.

Infotainment di televisi-televisi swasta di Indonesia yang sudah mapan pun mendapatkan apresiasi dari audiens. Infotainment, seiring dengan banyaknya stasiun televisi yang banyak memberikan jam siar pada infotainment semakin menunjukan bahwa infotainment merupakan program memiliki audiens tetap.

Dengan kata lain, maraknya tayangan infotainment di televisi menjadi indikator kuat bahwa program itu diminati oleh masyarakat. Program infotainment dalam pusaran sejarah televisi sedang mengalami pasang, dimana masing-masing televisi berlomba-lomba menyiarkan sejak pagi hingga sore hari. Ini mengukuhkan posisi infotainment yang seolah-olah sudah memiliki segmen pasar tersendiri.

C. 2. Materi Infotainment

Infotainment menghadirkan berita-berita seputar dunia selebritas, dunia yang berasal dari orang-orang terkenal sekaligus dunia memperkenal orang-orang

35 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pada masyarakat. Infotainment tidak lain adalah tempat di mana orang-orang yang yang dianggap entertainer (penghibur) menjadi semakin jelas tentang arti sebuah profesi. Kearatisan akan nampak tidak lain akan semakin terlihat jika didukung oleh infotainment; di mana berita atau informasi-informasi di dalamnya menunjukan siapa sesungguhnya dia, apa yang sedang dia kerjakan dan bahkan properti apa yang sedang dia miliki. Pendeknya, semua hal-hal yang artis kerjakan adalah bagian dari isi materi infotainment sampaikan pada audiens.

Secara umum materi infotainment memuat dua hal yakni pertama, mengenai kehidupan pribadi (wilayah privat) dan kedua, mengenai kepentingan publik (public interest). Adapun tema yang seringkali diinformasikan kepada audiens, penulis mencoba membuat kerangka diantaranya;

1. Percintaan yaitu informasi yang menyangkut masalah hubungan dua

artis/selebritis. Tema percintaan di dalamnya memuat; perkawinan, perceraian,

perselingkuhan. Untuk menyebut contoh misalnya adalah mencuatnya kasus

perselingkuhan Krisdayanti (KD) dengan Raul Lemos, seorang pengusaha asal

Timor Leste. Seiring waktu KD akhirnya diceraikan oleh Anang Hermansyah,

ini terjadi pada tahun 2009-2010.

2. Konfik yaitu informasi yang berisi masalah perseteruan antar

artis/selebritis. Misalnya pengeroyokan yang dilakukan oleh Ananda Mikola

kepada Agung Setyawan, seorang pekerja dekorasi yang terjadi Desember

2008.

36 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

3. Aktifitas kehidupan pribadi artis yaitu segala kegiatan yang melibatkan

para artis seperti; karir, keluarga, perjalanan ibadah keagamaan, perayaan

ulang tahun.

4. Kasus kriminal yaitu informasi yang menyangkut masalah kasus selebriti

seperti, kejahatan, narkotika dan obat terlarang, dan sejenisnya. Misalnya

tertangkapnya Roy Martin, Ibra Azhari, Imam S Arifin, Polo dalam kasus

narkotika yang berakibat masuknya mereka ke jeruji tahanan.

5. Promosi yaitu segala kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan film

yang dibintangi artis/selebriti, album musik. Misalnya film “Ayat-Ayat Cinta”

karya Hanung Bramantyo, yang begitu populer pada tahun 2008.

6. Kepedulian sosial yaitu informasi mengenai aktifitas sosial yang menjadi

duta lingkungan, duta hewan, duta anti korupsi misalnya. Misalnya terpilihnya

Nadine Chandrawinata sebagai duta kelestarian lingkungan, grup musik Slank

sebagai duta anti korupsi yang ditunjuk KPK.

7. Prestasi yaitu keberhasilan seorang artis dalam menghasilkan karya film

ataupun lagu-lagu yang menang festival ataupun melampaui rekor penjualan.

Kerangka isi materi di atas adalah bagaimana infotainment selama ini menjadi bagian informasi yang diterima audiens. Berita mengenai aktifitas keseharian seorang artis sampai pada berita perceraian menjadi ajang sebuah berita menjadi konsumsi di masyarakat.

C. 3. Produksi Infotainment

Pada sub bab bagaina ini, penulis ingin menunjukan bagaimana infotainment selama ini diproduksi. Produksi infotainment ini terbagi menjadi dua

37 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

macam. Pertama, adalah infotainment diproduksi oleh rumah produksi

(production house-PH), di mana infotainment tersebut berada di luar kepemilikan stasiun yang menayangkan. Kedua, adalah infotainment yang diproduksi sendiri

(in house), di mana infotainment menjadi bagian dari produk stasiun televisi.

Kemunculan ”Kabar-Kabari”misalnya, merupakan produksi dari PH.

Produk lain yang berasal dari PH adalah “Cek & Ricek”, “Bulletin Sinetron” milik dari PT. Bintang Advis Megamedia (Ilham Bintang sebagai pemiliknya), dan salah satu infotainment yang mendapat kesuksesan. Kesuksesan “Cek &

Ricek” dapat dilihat dari keberhasilannya meraih penghargaan dari “Panasonic

Award” hingga dua kali berturut-turut sebagai infotainment terfavorit pilihan pemirsa.

Hubungan antara organisasi penyiaran dan rumah produksi adalah rumah produksi merupakan penyedia materi acara siaran televisi.23 PH adalah bagian dari kerjasama stasiun televisi yang menyokong materi-materi siaran sebuah televisi.

Mereka, stasiun televisi, membeli materi-materi yang telah diproduksi oleh PH yang pada akhirnya infotainment tersebut tayang.

Adapun yang diproduksi secara in house atau oleh televisi sendiri adalah

“KISS” dari Indosiar, “Insert” dari Trans-TV, “Espresso” dari ANTV. Seperti halnya PH, produksi in house juga memiliki tim tersendiri yang mencari berita dari artis yang akan menjadi bagian materi infotainment. Mereka dibiayai langsung oleh stasiun televisi yang memproduksinya.

23 J.B. Wahyudi, Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 133.

38 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kehadiran infotainment yang berasal dari rumah produksi (PH) maupun produksi sendiri memunculkan kompetisi yang sehat. Hal ini berlangsung secara simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, karena stasiun televisi memerlukan

PH untuk kelengkapan acara dan program, sebaliknya PH membutuhkan stasiun televisi untuk dapat terus menjalankan produksinya.24 Kerjasama ini dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, akibatnya adalah niat memunculkan acara beragam pada praktiknya justru memicu keseragaman program. Hal ini terjadi diakibatkan sebuah PH memproduksi banyak acara dan dijual ke pelbagai stasiun televisi.

Oleh karenanya rentan dengan penyeragaman tontontan. Hal ini yang membuat program acara infotainment di televisi „miskin‟ kreatifitas, program antara satu televisi dengan televisi lainnya nyaris tidak ada perbedaan.

C. 4. Bentuk Infotainment

Bentuk infotainment yang ada di televisi dari segi nama sangat beragam, akan tetapi dari sisi substansi nyaris tidak ada perbedaan signifikan antara satu dengan lainnya. Nama-nama tersebut seringkali berupa singkatan atau kata yang memiliki kepanjangan dari pelbagai kata. Berikut ini tabel nama program infotainment yang hingga saat ini dapat dijumpai di stasiun televisi setiap harinya.

Nama Program Infotainment Di Seluruh Stasiun Televisi

No Televisi Nama Acara Hari Waktu Durasi Penayangan WIB /menit

1 GO SPOT Setiap hari 06.30 60

2 RCTI Kabar-kabari Senin & 15.00 30 Kamis

24 Dian Anindya Murti, Dinamika Ranah Publik... hlm. 56.

39 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

3 Cek & Ricek Selasa, Rabu, 15.00 30 Jumat

4 Silet Setiap hari 11.00 60

5 Ada Gosip Setiap hari 12.30 30

6 Hot Shot Jum‟at, Sabtu, 11.00 30 Minggu 7 SCTV Was-Was Setiap hari 06.30 60 8 Halo Selebriti Senin, Selasa, 09.30 30 Rabu, Kamis

9 Status Setiap hari 14.30 30 Selebritis 10 KISS Setiap hari 07.00 30 Indosiar Vaganza 11 KISS Sore 14.30 30

12 Espresso Senin-Jumat 08.30 30 (Live) 13 Selebriti Setiap hari 14.00 30 AN TV Update 14 Espresso Sabtu & 10.00 60 Weekend Minggu, (Live) 15 Insert Pagi Setiap hari 06.30 60

16 Insert Setiap hari 11.00 60 Trans TV 17 Kroscek Senin-Kamis 15.30 30

18 Insert Sore Setiap hari 17.30 30

19 I Gosip Pagi Senin-Jumat 07.30 30

20 Trans 7 I Gosip Siang Setiap hari 12.00 30

21 I Gosip News Setiap hari 17.00 30

22 TV One Expose Senin - Jumat 14.30 30

23 Obsesi pagi Senin - Jumat 09.00 60

24 Global TV Obsesi Senin - Jumat 16.00 30

40 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

25 Genie Sabtu 10.30 30

26 Kassel Setiap hari 06.30 30

27 Go Show 2 Setiap hari 14.30 30 TPI 28 Plus Minus Sabtu 15.00 30

29 Go Show Minggu 16.00 30 Minggu 30 Metro TV Show Bizz Minggu 10.30 30

Sumber: data ini hasil dari tabulasi yang saya buat sendiri, berdasarkan daftar mata acara di televisi hingga akhir desember 2009.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah program infotainment telah mencapai tiga puluh jenis. Dari segi nama tidak kurang dari tiga puluh nama program infotainment yang ditayangkan oleh seluruh stasiun televisi swasta nasional, hanya saja untuk Metro TV infotainment-nya memberitakan selebritas dari manca negara. Metro TV tidak memiliki infotainment yang menampilkan artis dari dalam negeri. Kekuatan produksi untuk menciptakan tiga puluh jenis infotainment yang tersebar di berbagai stasiun televisi tersebut, semakin menunjukan bahwa infotainment memiliki sirkulasi kekuatan dari produksi, distribusi sampai konsumsi.

Memang, kekuatan stasiun televisi dalam memproduksi memiliki perbedaan. Mereka yang memiliki kekuatan lebih dari segi modal hiburan akan tampak dalam memberikan jam tayang infotainment melalui durasi waktu hampir setiap hari dapat dijumpai di seluruh stasiun televisi swasta (10 stasiun). Dengan durasi paling tidak tiga puluh menit dalam setiap kali tayang, dalam sehari rata- rata 14 jam atau setara dengan 840 menit. Dengan kekuatan produksinya juga pada akhirnya infotainment akan ditayangkan pada jam-jam potensial untuk

41 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ditonton. Tayangan infotainment bahkan memiliki kesamaan jam tayang yang sama satu sama lain untuk merebut penonton di jam siar tersebut. Sebagai contoh, pada jam 06.30 pagi dapat disaksikan secara bersamaan di tiga stasiun televisi yakni RCTI (‟Go Spot‟), SCTV (‟Was-was‟) dan TPI (‟Kassel‟).

Dari data yang ada dapat dijumpai keseragaman pola penginformasian dalam infotainment. Tayangan infotainment di televisi swasta Indonesia memiliki kesamaan format. Bentuk keseragaman formatnya adalah sebagai berikut: a. Isi

Yaitu segala sesuatu, susunan informasi yang muncul pada tayangan

infotainment. Sebagaimana dijelaskan di depan, isi infotainment adalah berita

seputar artis yang meliputi hal-hal pribadi sampai publik. b. Pola Siaran

Yaitu bentuk susunan seluruh rangkaian tayangan infotainment yang sudah

ditetapkan hari dan jam tayangnya. Pola siaran bahkan hampir keseluruhan

infotainment berada pada pagi sampai sore hari. c. Pelaku

Yaitu tokoh atau artis yang menjadi bahan informasi infotainment. Para pelaku

yang menjadi pemberitaan adalah aktris dan aktor film/sinetron, musisi, dan

pelawak/komedian. Pada perkembangannya pelaku yang diberitakan oleh

infotainment juga meliputi para politikus dan agamawan. Kategori pelaku

dalam infotainment pada prinsipnya tampak tidak memiliki batasan khusus,

meski di dalamnya kategori Public figure yang dipakai.

42 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

d. Visualisasi

Yaitu segala bentuk susunan gambar yang disajikan dalam tayangan

infotainment. Salah satu bagian dari visualisasi adalah Angle, yaitu sudut

pengambilan gambar dalam tayangan infotainment. e. Audio

Yaitu segala bentuk ilustrasi musik yang muncul pada tayangan infotainment.

Dari hasil pengamatan yang telah penulis lakukan, dari sekian banyak jenis nama infotainment yang ada di televisi swasta nasional hampir tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Bentuk-bentuk keseragaman tersebut sangat mudah dijumpai antara satu televisi dengan yang lainnya. Teknik-teknik penyampaian, visualisasi dan narasi yang ada di dalamnya dengan kata lain memiliki kesamaan bentuk.

D. Infotainment, Perempuan dan Kelas Sosial

Acara infotainment seringkali dialamatkan kepada perempuan. Asumsi ini tidak lain berangkat dari banyaknya jam siar pada saat perempuan sedang berada di wilayah domestik dan dari tema-tema yang dimunculkan di isi siaran. Asumsi tersebut seolah mendapatkan pembenaran, bahwa menggosip atau apapun istilah yang membicarakan kehidupan orang lain seolah sudah menjadi stereotipe bagi perempuan. Berdasarkan data dari AGB Nielsen, perbandingan jumlah penonton infotainment antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut:

Rata-rata jumlah pemirsa laki-laki dewasa (20 tahun ke atas) pada program Infotainment di bulan Juni naik 21% dari bulan Mei menjadi 198 ribu orang seiring disiarkannya skandal rekaman pornografi yang melibatkan sejumlah selebritis papan atas. Kenaikan ini lebih tinggi

43 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

daripada kenaikan di segmen perempuan dewasa, pemirsa dominan Infotainment, yang hanya naik 15% menjadi 313 ribu orang. Ketika isu hangat ini beredar pada awal Juni, durasi menonton Infotainment laki-laki dan perempuan dewasa juga bertambah. Perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton Infotainment daripada laki-laki. Selama minggu pertama isu tersebut muncul di sejumlah stasiun TV nasional, waktu menonton perempuan dewasa bertambah 23 menit menjadi 2 jam 9 menit, sedangkan laki-laki bertambah 13 menit menjadi 1 jam 20 menit. Meski jumlah pemirsa laki-laki meningkat, mereka tidaklah mengkonsumsi infotainment sebanyak perempuan.25

Pola konsumsi terhadap infotainment seperti tampak dalam data di atas, masih didominasi oleh kalangan perempuan. Hal ini tentu saja bisa diperdebatkan secara ilmiah, mengapa perempuan lebih banyak mendominasi ketimbang laki- laki.

Banyaknya jumlah penonton perempuan atas tayangan infotainment pun berasal dari tingkat yang berbeda-beda. Dari data AGB Nielsen, penonton infotainment perempuan berasal dari kalangan yang cukup beragam, secara ekonomi, usia maupun status sosial. Berikut hasil penelitian AGB Nielsen:

Berdasarkan pengukuran kepemirsaan TV AGBNielsen (1-14 Februari 2009), kebanyakan perempuan yang menonton infotainment berusia di atas 50 tahun dari kelas atas (pengeluaran rutin bulanan rumahtangga di atas Rp 1.750.000,-). Di kelompok ini, program infotainment yang paling banyak ditonton adalah Silet (rating 8,5%), Ada Gosip (5,7), dan Insert (5,6). Namun, berdasarkan analisis Index, di antara program dengan rating tertinggi, Ada Gosip dan Insert (dengan Index tertinggi) paling sesuai untuk perempuan 50+AB. Dalam sehari, kelompok ini menonton infotainment rata-rata 28 menit. Durasi ini paling panjang dibandingkan kelompok umur lainnya dari kelas sosial ekonomi yang sama. Pemirsa yang lebih muda, 20-49 tahun, menonton kurang dari 20 menit sehari. Usia yang sama (50+) dari kelas menengah bawah (pengeluaran rutin bulanan rumahtangga di bawah Rp 1.750.000,-) hanya menonton rata-rata 12 menit sehari. Secara umum, perempuan menonton infotainment tidak lebih dari 15 menit sehari. Namun, di antara penonton perempuan, durasi ini lebih lama dibandingkan

25 Sumber: Nielsen Newsletter EDISI 6 • 29 Juni 2010. survei ini dilakukan pada Periode: 30 Mei – 26 Juni 2010 Target Pemirsa: Laki-laki & perempuan usia 20+ (Populasi TV: 16.847.711 laki-laki 20+; 16.673.946 perempuan 20+)

44 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dengan waktu menonton program berkategori informasi lainnya, seperti dokumenter, bincang-bincang, majalah TV, atau jalan-jalan/gayahidup, yang rata-rata kurang dari 5 menit sehari.26

Dari data di atas, diketahui bahwa kebanyakan penonton infotainment adalah perempuan berusia di atas 50. Dalam sehari kaum perempuan berusia di atas 50 tahun menghabiskan waktu sekitar 28 menit untuk menonton infotainment. Hal ini bisa dipahami, karena usia 50 ke atas banyak beraktifitas di rumah, sehingga kesempatan menonton televisi pun jauh lebih banyak. Secara ekonomi perempuan ini menempati ekonomi yang di atas rata-rata penghasilan

Upah Minimum Regional di sebagian besar wilayah Indonesia, mereka memiliki penghasilan di atas Rp. 1.750.000. Untuk wilayah DIY saja saat ini UMR-nya adalah Rp. 700.000-an.

Data di atas akan berbeda jika yang menonton adalah perempuan pada usia yang sama (50+) akan tetapi penghasilannya di bawah Rp. 1.750.000, maka ia hanya menghabiskan waktunya 12 menit di depan acara infotainment. Sedangkan untuk perempuan berusia 20-49, menghabiskan waktunya kurang dari 20 menit untuk menonton acara infotainment dalam setiap harinya.

Di sini terlihat bahwa semakin orang “mapan” secara ekonomi, dan kebutuhan hidupnya tercukupi maka waktu untuk menghibur diri atau menghabiskan waktu untuk “bersantai” akan semakin terbuka dan panjang.

Sebaliknya, ketika kebutuhan rumah tangga makin banyak sedangkan penghasilan

26 Sumber: AGB Nielsen Newsletter Edisi ke-30, Februari 2009, hlm. 1. cetak tebal dari penulis.

45 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ekonomi rumah tangganya belum mencukupi maka orang akan lebih banyak

“bekerja” di luar rumah supaya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Perbedaan kelas penonton infotainment nampak jika mengacu pada AGB

Nielsen. Kelompok yang berasal dari kelompok ekonomi golongan “menengah” dan “atas” akan menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menonton dibanding dengan kelompok perempuan dari kelas ekonomi golongan “bawah”. Apakah kategori ini berlaku pula pada audiens yang saya jadikan studi kasus penelitian ini? Berikut audiens infotainment dalam kajian ini yakni pada aktivis Jaringan

Perempuan Yogyakarta (JPY). Untuk mengetahui lebih jauh mengenai JPY, berikut akan dijelaskan di bawah.

E. Jaringan Perempuan Yogyakarta

Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), adalah jejaring kerja yang terdiri dari lembaga-lembaga maupun individu di Yogyakarta yang fokus pada isu perempuan, gender, dan pluralisme. Aktivitas yang dilakukan JPY adalah dengan mengadakan berbagai kegiatan; diskusi, workshop, training, dan kerja-kerja advokasi pada isu-isu tentang perempuan. JPY terbentuk paska rangkaian acara bersama feminis muslim lesbian Irshad Manji pada bulan April 2008. Paska diskusi tersebut diresmikanlah forum JPY, adapun anggotanya yang berbasiskan lembaga berjumlah 16, yaitu; Aksara, IDEA, IHAP, KPI, LSIP, LSPPA, Mitra

Wacana, PKBI, PSB, Rifka Annisa, RTND, SAMIN, SP Kinasih, Yayasan

Anggana, Yayasan LKIS, YPR. Sedangkan yang berbasiskan personal adalah individu yang memiliki kesamaan visi serta ketertarikan gerakan. Keterlibatan

46 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

secara personal ini secara jumlah lebih banyak, berdasarkan data yang ada, sampai saat ini berjumlah 20 an orang.27

Sebagai salah satu bentuk kegiatan JPY berkaitan dengan isu-isu perempuan adalah pada tanggal 27-28 Juli 2008 JPY mengadakan rangkaian kegiatan bersama Victoria Rue, salah satu pastor katolik Roma, profesor bidang teologi dan women’s studies, serta pegiat teater sekaligus feminis dari Amerika.

Tanggal 26 Agustus 2008, mengadakan “Kuliah Seksualitas” bersama Soe Tjen

Marching, seorang feminis yang mengajar di Soas UK. Sejak bulan Oktober 2008,

JPY bekerja bersama „Jaringan Peduli Perempuan dan Anak/JPPA‟ Semarang melakukan advokasi bagi penegakan kasus hukum Pujiono (Syekh Puji) yang melakukan pernikahan dengan Ulfa, seorang anak di bawah umur. JPY juga tergabung di „Yogyakarta untuk Keberagaman/YuK!‟ dalam kerja-kerja menolak

RUU Pornografi pada September-Desember 2008.

JPY sebagai sebuah gerakan feminis di Yogyakarta, bergerak dengan cara berjejaring dengan pelbagai kelompok Civil Society Organization lintas sektor.

Masing-masing lembaga ataupun individu yang terlibat di JPY seringkali memiliki kelompok masyarakat dampingan sesuai dengan fokus isu yang menjadi kepedulian mereka. Di situlah pembelajaran bersama dilakukan, antara para aktivis dan masyarakat dampingannya.

27 Data diperoleh dari pegiat JPY yaitu Ika Ayu, pada September 2008.

47 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

F. Latar Belakang Para Aktivis JPY

Narasumber yang saya jadikan informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang aktivis JPY. Untuk mengetahui latar belakang mereka lebih detil adalah sebagai berikut:

1. Ani Himawati Ani Himawati dilahirkan di Gunungkidul, 18 November 1972. Nama panggilan Ani, akan tetapi teman-teman kampusnya dulu memanggil Hima. Orang tuanya „asli‟ dari Yogyakarta, karena tuntutan pekerjaan, kemudian orang tuanya pindah dinas ke Gunungkidul.

Ani menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah Kleco 3, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama dan atas di SMP Negeri 9 dan SMA Negeri 5 Yogyakarta. Selepas SMA, Ani melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Budaya) Jurusan Antropologi UGM.

Pendidikan formalnya ia teruskan pada sekolah pascasarjana program S2 jurusan

Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University di

Belanda.

Adapun pekerjaan yang menetap di kantor pernah ia lakoni selama kurang lebih sembilan tahun. Ia di kantor secara full time, sebagai peneliti sejak tahun

1998-2000. Kemudian sejak tahun 2000 hingga 2009 ia ngantor di Yayasan

Pondok Rakyat; sebelum akhirnya memutuskan untuk free lance dan berjualan.

Ani memiliki minat pada isu perempuan, kultur, dan gender dalam makna yang luas, tidak sekadar perempuan dan kekerasan. Ani lama dididik di lingkungan teater, dunia pertunjukan, dimana ia mengaitkan latar belakangnya tersebut dengan isu-isu perempuan. Menurutnya perempuan tidak melulu belajar

48 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

membaca dan menulis, akan tetapi bagaimana perempuan bisa menghubungkan dengan dunia lainnya sehingga banyak cara untuk mendekatkan isu perempuan kepada masyarakat umum.

Ia memilih untuk menjadi seorang aktivis menjadi bagian hidupnya.

Menurut pengakuannya, peran kakak dan juga ayahnya cukup besar. Tidak datang begitu saja, secara tiba-tiba. Ada proses yang cukup mengantarkan Ani pada pilihannya tersebut. Kakaknya, mba Ita, adalah orang yang disebutnya sebagai mentor-nya. Adapun ayahnya telah memberikan dorongan tentang bagaimana semestinya seorang perempuan harus belajar, sekolah setinggi-tingginya, apalagi bapaknya adalah alumni pondok pesantren.

Penghasilan rata-rata setiap bulannya tidak kurang dari Rp. 2.500.000., hanya saja itu dulu ketika masih bekerja full time di kantor. Saat ini menurut pengakuannya, tidak ada penghasilan yang tetap. Saat ini agak susah kalau dihitung, kadang punya uang kadang tidak, akan tetapi ia memiliki tabungan yang bisa diambil setiap saat.

2. Enik Maslakhah Nama Enik Maslakhah, nama panggilannya Enik. Lahir di Gresik, 10

Oktober 1971. Enik menempuh pendidikan dasar di SD Negeri di kampung serta di Madrasah Ibtidaiyah (MI; sekolah agama Islam), pendidikan dasarnya di dua tempat. “Pagi di SD Negeri Samburejo dan siangnya di MI” tutur Enik. Seusai menamatkan pendidikan dasar, kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah

(MTS) setingkat SMP. Setelah itu Enik meneruskan pendidikan menengah atasnya di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Bahrul Ulum, Tambak Beras,

Jombang Jawa Timur. Selanjutnya Enik menempuh pendidikan sarjana di IAIN

49 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(sekarang UIN), pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat. Setelah itu nganggur selama setahun, sebelum akhirnya melanjutkan sekolah pascasarjana di

Jurusan Kependudukan UGM pada tahun 1996. Di sinilah studi gender ia dapatkan, satu-satunya program sekolah pascasarjana yang memuat studi gender pada tahun itu hanya Studi Kependudukan.

Enik menikah pada Juni 1997, dan saat ini telah mempunyai satu anak laki-laki. “Karena anak yang pertama adalah laki-laki, jika dikaruniai anak kedua ia berkeinginan supaya perempuan” tuturnya, “Biasanya represi jenis kelamin kayak begitu tho. Biasanya pinginnya yang lengkap” lanjutnya.

Bagi Enik ada perbedaan yang cukup mencolok ketika masih menjadi ibu rumah tangga dan sesudah memutuskan aktif di luar rumah dan bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Semasa masih benar-benar “hanya” menjadi ibu rumah tangga, ia merasa banyak waktu untuk dirinya sendiri. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, ia bisa membaca novel, buku-buku ilmiah atau ketika diajak teman untuk berdiskusi. Setelah beraktifitas di luar, menurut Enik mau menghabiskan satu buku saja susahnya minta ampun.

Setelah beberapa lama fakum karena ia memilih menjadi ibu rumah tangga, saat ini Enik sedang mendalami isu kekerasan terhadap perempuan. Sejak

Februari 2007 ia bergabung dengan “Mitra Wacana WRC (Women Resource

Center)” sebuah lembaga yang memfokuskan pada isu-isu perempuan. Enik memilih “Mitra Wacana” sebagai tempat beraktifitasnya karena ada teman yang sebelumnya sudah dikenal olehnya. Sehingga tidak harus memulai adaptasi dari

50 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

awal. Selain juga menurutnya “Mitra Wacana” memiliki visi misi di gerakan perempuan yang jelas.

Saat ini ia memiliki penghasilan keuangan sendiri, yang menurut pengakuannya di atas Rp. 2.000.0000., di rumah tangganya pun tidak ada pembagian peran siapa yang harus mengatur pengeluaran keuangan.

Pengelolaannya secara bebas, siapa saja boleh membelanjakan. Dia bebas mengambil hasil dari suami, akan tetapi suami tidak pernah mengambil milik

Enik. Ia mengatakan seperti ini: “Aku itu bebas mengambil milik dia. Dan dia malah tidak pernah mengambil milikku.”

3. Hanifah Hanifah dilahirkan di Lamongan, tanggal 18 Desember 1979. Ia memiliki nama panggilan Ipe. Ia anak pertama dari enam bersaudara; tiga adiknya adalah perempuan dan dua lagi laki-laki. Jadi dalam keluarganya ada empat anak perempuan. Ipe lahir dari keluarga nelayan di pesisir pantai utara di Lamongan,

Jawa Timur. Ia tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1995, karena alasan sekolah formal pada pendidikan menengah atasnya. Selain karena sekolah, Ia memilih di

Yogyakarta, adalah supaya bisa keluar dari rumah. Berdasarkan pengakuannya, ia tidak mengerti banyak informasi mengenai sekolah di Yogyakarta, hanya saja biar tidak segera dinikahkan maka harus keluar dari kota kelahirannya, Lamongan.

Ipe menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Weru I Lamongan serta di

Madrasah Ibtidaiyah al-Huda. Kemudian pendidikan menengah pertama dan atas di MTs al-Huda serta MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Setelah itu ia meneruskan pendidikan sarjananya di UIN Sunan Kalijaga pada Fakultas

Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits. Pada waktu penelitian ini saya lakukan, Ipe

51 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

saat itu belum menikah. Akan tetapi pada bulan Desember 2009 yang lalu ia telah melangsungkan perkawinan dengan pemuda yang tidak jauh dari kampungnya di

Lamongan.

Ipe menyelesaikan sarjananya pada tahun 2005, dengan penelitian tentang isu perempuan. Kemudian ia beraktifitas di Solidaritas Perempuan (SP) selama kurang lebih setahun sejak 2006-2007. kegiatan di SP awalnya mengikuti program pengawalan terhadap bantuan gempa di daerah Bantul yang disalurkan kepada warga di sana, khususnya kaum ibu. Setelah itu ia masuk pada bidang pengorganisasian, yang konsentrasinya pada buruh migran. Sejak tahun 2007 ia bergabung dengan Yayasan LKIS, dengan fokus program diseminasi HAP (Hak

Asasi Perempuan) di pesantren. Ia menggali isu perempuan dan pemahaman agama Islam. Di sana ia memiliki hari libur selama dua hari; Sabtu dan Minggu, meskipun dalam beberapa kesempatan justru hari tersebut digunakan untuk mengorganisir komunitas pesantren maupun majelis taklim yang ia dampingi.

Setiap bulan Ipe mengaku berpenghasilan tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-.

4. Sri Hariyanti Sri Haryanti lahir di Semarang, 6 September 1976. Panggilan sehari-hari oleh teman-temannya di Yogyakarta adalah Yanti. Akan tetapi nama panggilan di rumah adalah Endang. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Yanti menempuh pendidikan SD-SMA di Semarang. Pendidikan dasarnya di SD

Negeri Tugu 3 (sekarang SD Tambakan 1). Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri

16 dan SMA Negeri 8 Semarang. Setelah itu ia lebih banyak menimba ilmu non- formal, baik dari pelatihan, diskusi maupun seminar ilmiah lainnya.

52 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Saat ini Yanti bergabung di Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB). Sebuah lembaga yang aktif dalam pengorganisasian rakyat; terutama buruh, baik di bidang formal maupun informal. Serta mendampingi beberapa komunitas; seperti para pekerja sektor informal di daerah Parangkusumo Bantul. Selain itu ia juga terlibat pada isu kebencanaan. Beberapa pendampingan yang dilakukan olehnya di

PSB misalnya adalah pada buruh di bidang manufaktur.

Yanti menjelaskan bahwa PSB didirikan pada tahun 1996, ia sendiri masuk sebagai anggota aktif sejak tahun 2002. Akan tetapi sebelum bergabung secara penuh dengan PSB, sejak tahun 1997 ia sudah berada di gerakan buruh.

Selepas SMA ia tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, saat itu ia langsung bekerja di perusaan ‟Sanyo‟ di Semarang.

Saat ini aktifitasnya membutuhkan waktu yang banyak untuk menggerakkan roda organisasi. Oleh karena itu ada biaya hidup yang diberikan oleh organisasi kepadanya. Aturan itu sudah ada di AD/ART bahwa yang bekerja di sekretariat berhak mendapatkan tunjangan hidup, karena dia meninggalkan pekerjaan. Ia mengaku rata-rata biaya hidupnya di atas satu juta rupiah (Rp.

1.000.000).

5. Siti Habibah Jazila Siti Habibah Jazila, demikian orang tuanya memberikan nama kepada aktivis perempuan ini. Habibah dilahirkan di Ponorogo, 28 tahun silam atau tepatnya pada tanggal 26 April 1981. Ia biasa di panggil atau mengenalkan dirinya dengan nama Bibah.

Habibah menempuh pendidikan formalnya mulai tingkat SD sampai kuliah

S1 semuanya di kota kelahirannya Ponorogo, Jawa Timur. SD Negeri Mrican 1.

53 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sedangkan pendidikan menengah pertama dan atasnya di tempuh di Madrasah

Tsanawiyah dan Aliyahnya di al-Islam di Joresan, Mlarak, Ponorogo. Hanya saja pada saat yang bersamaan ia juga nyantri di pondok pesantren salaf khusus puteri as-Salamah, yang beralamatkan di dusun Jalen, Ngrukem, Mlarak, Ponorogo.

Kemudian pendidikan sarjananya di Jurusan Syariah STAIN Ponorogo. Pada tahun 2005 ia diterima di Program S2 Interdiciplinary Islamic Studies (IIS)

Jurusan Social Work di UIN Sunan Kalijaga yang merupakan program kerjasama dengan McGill Kanada. Ia sempat juga mengikuti kursus isu HAM di Montreal

Kanada pada pertengahan tahun 2009 selama tiga minggu. Juga diperdalam lagi dengan mengikuti summer school tentang HAM bertaraf internasional yang dilangsungkan di PSKK (Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan) UGM.

Awal mula tertarik isu perempuan, sudah Bibah mulai sejak nyantri di pesantren. Hal itu ia rasakan ada yang janggal, begitu diarahkan kepada perempuan. Dalam masalah seks saja misalnya, perempuan selalu inferior. Hanya saja waktu itu ia baru bertanya-tanya pada diri sendiri, ”masa sih begitu?” ungkap

Bibah. Ia mengakui belum sampai ”terganggu”, baru pada taraf mempertanyakan.

Ia mendapati dalam banyak teks agama di banyak kitab kuning ternyata pembahasan antara laki-laki dengan perempuan selalu timpang. Hal ini pula yang mendorong ia memilih jurusan syariah (hukum Islam), dalam rangka menjawab pertanyaan dirinya ”apakah benar Islam memandang laki-laki dan perempuan seperti itu?” Ia heran mengapa teks agama justru membelenggu kaumnya. Hingga menjadi tergelitik, semakin dewasa semakin bisa memahami, mengerti realitas,

54 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

banyak kondisi yang jauh dari ideal. Ketidaksetaraan banyak ia jumpai, baik di masyarakat maupun di lingkungan ia dibesarkan, pesantren.

Sejak tinggal di Yogyakarta pada tahun 2005, selain disibukkan dengan sekolah program S2 ia melakukan aktifitas sosial seperti di CORE (Community for Research and Empowerment). Pada tahun 2008 hingga 2009 ia bergabung di

IHAP (Institut Hak Asasi Perempuan); sebuah lembaga yang peduli pada isu hak seksual reproduksi perempuan. Kemudian sejak Agustus 2009 lantas bergabung dengan Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), dengan menempati

Divisi Islam dan Gender. Di LKiS aktifitasnya agak bergeser pada penguatan hak- hak perempuan kaitannya dengan Islam. Isu tetap sama, perempuan, akan tetapi penekanannya lebih ke hak-hak perempuan dengan Islam. Tentu saja dengan komunitas yang berbeda. Ketika di IHAP ia bergelut dengan ibu-ibu komunitas di

Kalirejo, Kokap, Kulonprogo dan Srihardono, Pundong, Bantul, sedangkan saat ini komunitasnya di beberapa pesantren di Magelang, Solo, Gunungkidul dan

Kulonprogo bersama ibu majelis ta‟lim dan santri serta para ustadzah (guru perempuan). Adapun penghasilannya di lembaga yang saat ini dinaunginya, berdasarkan pengakuannya ketika wawancara ini saya lakukan, kisarannya masih di bawah satu juta.

6. Yemmestri Enita Yemmestri Enita dilahirkan pada tanggal 15 Januari 1982, di Sijunjung

Padang, Sumatera Barat. Nama panggilan Nita. Ia punya satu kakak laki-laki dan satu adik perempuan, tiga bersaudara. Pekerjaan orang tuanya adalah petani, awalnya ayahnya seorang guru PNS, akan tetapi kemudian memutuskan menjadi petani.

55 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Nita menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri, sekarang namanya SD

Negeri 31, Beranting, Sijunjung. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di Madrasah Tsanawiyah Negeri Sijunjung dan pendidikan menengah atasnya di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri di Padang Panjang. Selepas itu ia meneruskan pendidikan sarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas

Ushuluddin Program Studi Agama dan Masyarakat (saat ini Sosiologi Agama).

Nita tinggal di Yogyakarta sejak tahun 2000, bertepatan dengan statusnya sebagai mahasiswa di kota pelajar. Sejak itu ia menetap dan beraktifitas di Yogyakarta, meskipun wilayah kerjanya dan kegiatannya tidak sedikit yang berada di luar

Yogyakarta. Awalnya berkeinginan melanjutkan kuliah di program pascasarjana.

Akan tetapi kemudian kenal dengan dunia Lembaga Swadaya Masyarakat dan berlanjut hingga bekerja di organisasi non-pemerintah tersebut hingga saat ini.

Nita saat ini beraktifitas dan bekerja di Institute for Development and

Economic Analysis (IDEA). Sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang advokasi kebijakan dan anggaran. Ia sendiri saat ini menjadi staf di divisi gender budget. Dalam divisi gender budget sendiri, menurutnya ada beberapa bidang.

Pertama adalah bidang riset, kedua bidang training dan yang ketiga adalah bidang pendampingan. Nita menceritakan selama tiga tahun ia dan kawan-kawan di divisinya bergerak di akar rumput (grass root). Mengerjakan project dengan merekrut teman-teman sebagai penggerak komunitas (Community Organizer).

Untuk kelompok sasarannya sendiri adalah perempuan. Ia dan kawan-kawanya mendorong masyarakat untuk dapat mengakses tentang anggaran keperempuanan.

Selain juga belajar bersama komunitas tentang analisis anggaran, prinsipnya

56 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

adalah untuk mendorong anggaran yang responsif terhadap perempuan sehingga adil gender.

Berdasarkan pengakuannya, awalnya Nita tidak terlalu tertarik pada isu perempuan. Hal itu mulai berubah, ketika sejak tahun 2003 pada saat hendak mulai mengerjakan skripsi yang temanya tentang perempuan, meskipun belum sepenuhnya. Ketertarikan pada isu perempuan ini makin matang setelah ia bergabung dengan IDEA pada tahun 2006; yakni pada isu perempuan dan anggaran. Menurut pendapatnya muara segala persoalan di masyarakat apabila dirunut muaranya adalah ke anggaran. Adanya anggaran yang bias gender itulah ketidakadilan makin dirasakan oleh perempuan. Saat ini penghasilannya berkisar di angka 1,8 hingga 2 juta rupiah per-bulan.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari para aktivis JPY, terlihat gap yang cukup mencolok antara dunia aktivisme dengan penghasilan ekonomi yang dijadikan penopang hidup. Upah para aktivis JPY dan pengeluaran bulanan dari keenam informan ini berimbang, antara yang disebut golongan ekonomi atas dan bawah. Kategori ini berlaku jika acuannya adalah pengeluaran bulanan di bawah

Rp. 1.750.000. Artinya perilaku menonton infotainment para aktivis JPY akan terlihat pada bab selanjutnya. Bagaimana pola menonton infotainment di kalangan aktivis JPY.

G. Catatan Penutup

Bab ini telah menyajikan tinjauan singkat industrialisasi televisi di

Indonesia. Diiringi dengan berkembangnya industrialisasi televisi yang semakin massif pada era 1990-an dan 2000-an, dan bermunculannya program unggulan di

57 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tiap-tiap stasiun televisi merupakan bagian dari upaya mendekatkan hiburan ke dalam keluarga. Infotainment sebagai salah satu program televisi merupakan tayangan yang tetap mendapat perhatian dari audiens. Pasar infotainment salah satunya adalah kelompok para aktivis yang tergabung di „Jaringan Perempuan

Yogyakarta (JPY)‟, yang menjadi subyek penelitian ini, meskipun resepsi mereka terhadap tayangan infotainment berbeda antara satu dengan lainnya.

Setelah mengetahui sekilas mengenai industrialisasi televisi di Indonesia dan juga posisi infotainment dalam program acara, saya telah menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan infotainment. Selain itu juga telah saya paparkan mengenai latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi para aktivis JPY, hal ini digunakan untuk melihat resepsi mereka terhadap tayangan infotainment.

Disamping itu telah terlihat siapakah penonton infotainment di Indonesia, jika mengacu pada survei AGB Nielsen maka, perempuan yang berusia diatas 50 menempati peringkat pertama, semakin muda usia maka perilaku menonton infotainment makin berkurang. Survei AGB Nielsen saya gunakan meskipun hanya menjangkau sepuluh kota besar di Indonesia. Dari situ dapat dibandingkan perilaku menonton infotainment antara masyarakat umum dengan para aktivis

JPY.

Pada bab selanjutnya saya akan memaparkan hasil observasi dan wawancara dengan para aktivis JPY, selain itu saya juga akan memaparkan wacana diseputar infotainment yang menjadikannya tarik-ulur ataupun pro dan kontra dikalangan jurnalis, akademisi dan pengamat media bahkan di kalangan agamawan (ulama).

58 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB III

AKTIVIS JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA

MENONTON INFOTAINMENT DAN WACANA PUBLIK

Bab ini merupakan hasil dari observasi yang telah saya lakukan setelah melakukan acara menonton bersama di kos atau rumah tempat tinggal masing- masing informan. Selain itu juga hasil dari wawancara mendalam yang saya lakukan bersama para aktivis JPY. Sehingga nantinya hasil wawancara, latar belakang informan akan dielaborasi dengan hasil dari observasi praktik menonton bersama tersebut. Bagaimana respon para aktivis JPY dalam menonton tayangan infotainment terhadap berita-berita yang dimunculkan dalam acara tersebut.

Berikut praktik-praktik apa yang saja yang mereka lakukan ketika menonton tayangan infotainment, serta perkataan apa yang mereka ucapkan dalam merespon sebuah tontonan. Hal ini untuk mengetahui bagaimana audiens sesungguhnya telah memiliki pengetahuan, pengalaman yang bisa dijadikan semacam pembanding ketika muncul tontonan ataupun peristiwa yang menjadi bahan pemberitaan dalam infotainment.

Selain itu juga hasil keterlibatan saya mengikuti pembicaraan para aktivis

JPY di ruang-ruang publik ketika mereka membicarakan acara tayangan infotainment. Ruang publik yang dimaksud di sini adalah ruang yang cukup representatif bagi mereka mengartikulasikan gagasan yang mereka geluti dalam kesehariannya. Ruang-ruang itu antara lain adalah tempat di mana mereka melakukan diskusi ataupun seminar tentang sebuah topik yang tidak jauh dari kepedulian mereka, yakni isu perempuan.

59 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam bab ini pula saya bahas mengenai wacana publik soal infotainment.

Wacana publik dimaksud yaitu persoalan apakah infotainment layak dimasukkan sebagai bagian jurnalistik atau tidak. Kemudian munculnya fatwa haram dari PB

NU yang didukung MUI dan beberapa lembaga lainnya, serta wacana lainnya terkait infotainment yang menganggapnya sebagai tontonan „remeh‟, „tidak mendidik‟, „sampah‟ dan lain sebagainya. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana para aktivis mengambil positioning lain terhadap wacana mainstream.

Sebagaimana telah saya jelaskan latar belakang masing-masing informan di bab dua, narasumber yang saya jadikan informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang aktivis JPY. Mereka merupakan aktivis dari pelbagai organisasi LSM yang berbeda fokus isu antara satu dengan lainnya. Meskipun ada satu informan yang setelah penelitian selesai dilakukan, berpindah tempat kerja, namun hal ini tidak mengurangi hasil observasi saya berkaitan dengan latar belakang masalah dan tujuan dalam penelitian ini.

A. Membenci Sekaligus Menikmati: Kisah Menonton Infotainment Bersama

Aktivis JPY

A.1. Infotainment: Sarana Menghibur Diri

“Saya suka nonton teve, apapun itu. Saya suka menonton berita semuanya. Sejak kecil suka menonton televisi dan dibiarkan menonton televisi. Belajar di depan televisi, melakukan apapun di depan televisi, makan di depan televisi, tidur di depan televisi dan nanti dipindah. Tidak pernah jam belajar khusus dan televisi dimatikan begitu. Tidak ada. Karena saya mengerjakan PR di depan televisi. Seluruh keluarga saya begitu. Bapak saya juga gemar televisi. Saya tidur siangnya di depan televisi. Sore baru bangun”.

Ungkapan di atas keluar dari Ani Himawati. Ia adalah penggemar berbagai acara di televisi. Kegemarannya menonton televisi ini membawanya untuk

60 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyaksikan beragam tayangan yang ada. Dari ruang televisi juga Ani Himawati melakukan berbagai kegiatan. Baginya televisi sudah tidak dapat dipisahkan dari aktivitas sehari-hari. Ia bahkan menonton semua yang disajikan televisi, katanya;

“... Nomer satu karena saya suka acara televisi. Jadi tidak ada alasan khususnya. Karena memang semua saya tonton. Dulu saya suka nonton telenovela india, telenovela amerika. Sinetron saya tonton, dan chanelnya saya pindah-pindah. Kalaupun kemudian infotainment, soalnya saya tertarik dengan dunia selebrities. Itu sejak dulu sebelum ada infotainment. Saya itu suka menonton penampilan orang. Fashion, saya suka...”

Pengakuannya di atas sekaligus saya saksikan ketika saya berkesempatan bertandang ke rumahnya. Ani melakukan „ritual‟ menonton televisi (infotainment) pada pagi hari, selepas bangun tidur di mana jam tayang inftainment sudah mengudara sejak pukul 06.30 WIB. Aktivitas ini barangkali terkesan terlalu pagi untuk menikmati sebuah tayangan „gosip‟ di hadapan televisi jika dibandingkan dengan beberapa agenda atau rutinitas harian lainnya.

Runtinitas di depan televisi masih berlanjut ketika pada pukul 09. 30 WIB sebuah tayangan infotainment KISS di stasiun televisi Indosiar baru dimulai.1

Sambil mencermati tayangan KISS, Ani melakukan aktivitas memasak oseng- oseng kacang panjang, setelah sebelumnya suami berbelanja di pasar. Baginya

KISS adalah sebuah tontonan yang menghibur sekaligus tidak mengikat untuk setia di hadapannya. Dan rutinitas di hadapan KISS baginya memiliki kesamaan dengan tayangan-tayangan lainnya yang bisa gantikan dengan aktivitas lainnya.

Ani memang bisa dianggap setia pada infotainment. Setidaknya dari dua saluran infotainment dalam hari yang sama ia sudah mengikutinya. Ia bahkan

1 Nonton bareng dilakukan pada tanggal 29 April 2009 di rumahnya.

61 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sesekali berkomentar; “jalannya itu lho megal-megol, lucu”. Ia mengomentari

Rubben Onsu sebagai host KISS yang berjalan seperti seakan dibuat-buat.

Sebagaimana tayangan infotainment lainnya, siang itu KISS pun menayangkan berita tentang Manohara. Manohara merupakan anak berusia 17 tahun (pada Februari 2009) berasal dari Makasar dan dinikahkan dengan pangeran dari Kelantan, Malaysia, yakni Tengku Muhammad Fahri. Manohara dinikahkan pada usia 16 tahun, dan dalam jalinan rumah tangganya terjadi ketika Manohara menunjukkan beberapa luka dibagian tubuhnya yang terlihat ada bekas sayatan dari benda tajam, yang menurut pengakuan Manohara itu bekas sayatan silet.

Belum lagi menonton dengan cermat, Ani sudah berkomentar; “Ganyang

Malaysia, Malaysia kan masih raja-raja”. Ia menambahkan komentarnya;

“Pemerintah kita seharusnya hati-hati, apalagi ini masalah keluarga, kan sudah ada UU Perlindungan Anak”. Ani mengatakan begitu karena ia cukup kaget ketika tahu bahwa Manohara dinikahkan oleh orang tuanya ketika belum genap 16 tahun, yang berarti hal tersebut bertentangan dengan UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Semakin terlihat „aneh‟ dan konyol ketika ada pengakuan dilamar oleh Tengku Muhammad Fahri, akan tetapi yang datang justru Manohara ke

Malaysia, bukan sebaliknya.

Keasyikannya di depan infotainment secara tidak langsung membuat Ani

Himawati berkomentar panjang lebar. Naluri sebagai aktivis yang bergerak di bidang perempuan seakan ikut hadir dalam komentar-komentarnya. Ia menikmati sebuah tontonan sekaligus mengomentarinya, bahwa ada ketidaksetujuan terhadap apa yang ditayangkan, meski ia tidak menolak infotainment.

62 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sama dengan Ani Himawati, Hanifah adalah penggemar televisi. Ia bahkan hampir selalu menyalakan televisi disaat mengerjakan sesuatu yang memungkinkan dilakukan bersamaan; menonton dan beraktivitas. Ipe panggilan akrabnya, terbiasa melakukan aktifitas lainnya ketika menonton TV; mengetik, membaca, meskipun diakuinya kadang jadi lebih banyak menonton TV-nya.

Pengalaman saat saya datang ketempat kosnya di daerah Ambarukmo, pada hari Sabtu, 4 Juli 2009, sedikit membenarkan, bahwa televisi ruang yang tidak dapat dipisahkan secara sederhana. Waktu itu sudah menunjukkan pukul

10.50 WIB, Ipe sedang santai meskipun ia sendiri sedang mengerjakan laporan pekerjaannya. Televisi di tempat kosnya sudah dihidupkan sebelum saya datang.

Begitu arah jarum jam sudah menunjukkan ke angka sebelas, Ipe memindah saluran TV-nya ke stasiun RCTI. Acara siang itu di RCTI merupakan rutinitas, karena tayangan SILET pada jam tersebut selalu menemani pemirsa televisi selama tidak kurang dari satu jam. SILET adalah acara infotainment yang dibawakan oleh seorang presenter perempuan, dan disiarkan setiap hari dari

Senin-Minggu pada pukul 11.00 WIB.

Pada waktu itu SILET yang ditonton Ipe akan mengupas hubungan cinta kasih para selebriti. Yakni hubungan yang dilakukan para selebriti dengan umur sebaya, maupun yang umurnya terpaut jauh. Kisah pertama yang di ‟Silet‟-kan adalah hubungan antara Chiko Jeriko dan Laudya Cinthya Bella. Waktu itu Chiko sedang merayakan hari kelahirannya dan diberi doa oleh Bella dari tanah suci

Mekkah karena saat itu ia sedang menjalankan ibadah umroh. Kepergian ibadah umroh Bella kala itu bersama mantan kekasih lamanya yakni Raffi Achmad.

63 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kedua selebriti ini menjadi perhatian dan lantas diberitakan karena pergi bersamaan.

Sesaat kemudian Ipe berkomentar; ”Artis itu ada-ada saja caranya biar dapat perhatian dari penggemarnya. Entah dengan cara melakukan ritual ibadah sesuai agamanya. Kayak Bella ini Islam, terus umroh. Kayak dibuat-buat.” ujarnya. Tapi kemudian ia meneruskan: ”Eh kok malah iri, hehehe... iso ae ding tenanan niat ibadah”. Komentar singkatnya tidak lain sedang ditujukan pada tayangan SILET tersebut. Ipe menghibur diri dengan menonton infotainment di tengah tugasnya dan memberikan komentar-komentar atasnya.

A.2. Infotainment: Keintiman Dalam Jarak

Menikmati sajian infotainment bersama para aktivis JPY sekaligus dengan komentar-komentar tentangnya akhirnya membawa pada titik simpul bahwa kenikmatan di hadapan infotainment tidak bisa terhindarkan. Menikmati infotainment berarti menikmati bagaimana keintiman diciptakan. Dari tayangan mereka, para pemirsa, diajak untuk melihat lebih dekat rumah, mobil bahkan persoalan rumah tangga selebritas yang sedang ditayangkan. Mereka bisa saja memindah saluran tayangan, tetapi disisi lain mereka juga mengikuti ‟gosip‟ ala infotainment, mereka menghindari tetapi kepungan infotainment ada di sekitar mereka. Mereka tidak mau, tetapi jalan keluar tersebut harus mereka lalui. Jalan keluar tersebut secara tidak langsung adalah infotainment itu sendiri yang mereka pergunakan dalam waktu senggang mereka maupun juga dalam berbagai aktivitasnya sebagai aktivis perempuan.

64 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Memang, aktivitas para aktivis perempuan tersebut menggunakan waktunya untuk menikmati infotainment tidak sepenuhnya dalam keadaan benar- benar ‟sempurna‟ sebagaimana para penikmat sebuah tayangan yang harus mengikuti sebuah serial sinetron berseri. Tetapi mereka menikmatinya dalam sebuah tayangan yang sudah siap mereka saksikan. Mereka menikmati tayangan yang sudah jadi lengkap dengan narasi yang disediakan di dalamnya. Isu perceraian Manohara misalnya, bukanlah sebatas sensasi sebuah tayangan tetapi bagaimana Manohara itu sendiri bisa dilihat dari sisi informasi dan internainment sebagaimana fungsi infotainment sendiri.

Komentar Sri Haryati misalnya, saat menyaksikan infotainment; ”kadang menurutku, sok kebablasen infotainment ki” ujarnya ketika ia menyaksikan sebuah tayangan berita musibah yang menimpa Dinda Kanya Dewi, akibat kecelakaan.2

Waktu itu tayangan sedang menampilkan beberapa teman Dinda Kanya Dewi yang menengok ke rumah sakit di mana Dinda di rawat, yang kebetulan tidak terlalu parah, hanya beberapa bagian muka sebelah kanan terdapat beberapa luka.

Saya pun balik bertanya; ”maksudnya seperti apa?” Ia menjawab: ”lha liputannya katanya jurnalis. Tapi pas penayangannya jadi ga memenuhi unsur jurnalis lagi”.

Ia pun kembali menegaskan: ”misalnya gini, hal yang sangat privat munculnya menurutku keterlaluan. Padahal kan posisioningnya ini kan acara hiburan, ngapain kayak gini yang di ungkit-ungkit. Kan sosok yang ditayangin juga punya hak. Asas praduga tak bersalahnya jadi hilang dong?”

2 Wawancara di lakukan pada hari Selasa, 7 Juli 2009

65 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kepuasan Sri Haryati pada infotainment memang tidak terpenuhi ketika ia sedang berusaha menikmati sajian berita di dalamnya. Komentarnya pada infotainment yang sedang ia saksikan berakhir dengan rasa sentimen; infotainment adalah hiburan yang artinya dari dalamnya tidak bisa menjadi berita fakta.

Sehingga infotainment sendiri harus dipahami sebagai sebuah hiburan belaka yang bukan dari kategori berita.

Sikap yang sama juga datang dari Siti Habibah Jazila. ”Kok Kangen Band ada yang seneng ya?” seolah menanyakan kepada saya, lalu saya timpali:

”nyatane ada kok, hehe...malahan banyak yang suka, apalagi sekarang”. Habibah berkomentar saat menyaksikan tayangan infotainment ESPRESSO di ANTV yang menayangkan kesibukan artis Kangen Band; sebuah grup band yang berasal dari kota Lampung dan mengusung musik ber-genre melayu.

Pada segmen berikutnya, acara yang dipandu dua host perempuan, muncullah artis cilik Amel dengan rambut di roll. Bibah, panggilan akrab

Habibah, saat itu nyeletuk: ”Kayak udah bisa ngeroll sendiri aja”. Gaya Amel yang centil, menggemaskan, lucu membuat artis cilik ini laris di pelbagai acara; terutama untuk menjadi presenter. Pemberitaan selanjutnya adalah Nikita Willy; selebriti muda yang usianya masih belasan tahun, akan tetapi banyak membintangi sinetron Indonesia dan salah satu artis muda yang laris. Dengan wajah yang ditampilkan seolah lebih dewasa ini membuat Bibah berkata: ”Wajahe ora iso ngapusi. Menurutku ini menunjukkan perilaku yang dewasa sebelum waktunya lho. Masa masih ABG kayak gitu, dandanane kayak ibu-ibu, hehehe...”.

66 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Acara ESPRESSO selalu menampilkan bintang tamu yang akan di ajak ngobrol oleh kedua pembawa acaranya. Untuk bintang episode itu adalah Deasy

Fajarina, ibunda dari Manohara Odelia Pinot; selebriti yang sedang terkena masalah kekerasan dalam rumah tangga dengan pangeran Kelantan, Malaysia.

Begitu muncul Deasy Fajarina ini, Bibah mengungkapkan: ”Ibunya (Manohara) sama sekali gak bijak. Masa udah tahu kasusnya pelik seperti itu, malahan ga visum-visum, lha kok justru keliling dari TV ke TV. Aneh banget menurutku”. Di tengah tayangan lainnya, ia juga berkata: ”Kadang jadi janda juga sebuah pilihan lho”. Lebih lanjut ia menambahkan: ”Masyarakat kita itu kan sukanya melihat sisi negatif dari janda, memberikan stereotipe ini itu pada janda. Mereka itu sudah korban, masih saja di labeli dengan hal-hal yang ga mengenakkan”.

Beberapa kalimat yang diungkapkan oleh Habibah, nampak menunjukkan kepekaan seseorang yang sudah sensitif gender. Komentar terhadap janda misalnya, jika yang mengomentari orang yang belum memahami isu gender, maka yang muncul seringkali adalah stereotipe, stigmatisasi seperti janda itu penggoda rumah tangga orang. Sensitifitas sebagai aktivis perempuan seakan meminta keadilan terhadap bentuk diskriminasi perlakuan bahkan dalam dunia media.

A.3. Infotainment dan Objek Percakapan

Infotainment pada fase selanjutnya juga menjadi objek percakapan. Ia bukan hanya sebatas tontonan yang memberikan hiburan, tetapi ia juga menempatkan bagaimana isu-isu yang ditayangkan menjadi sebuah obrolan bagi penikmatnya. Kisah menonton bersama dengan anggota JPY setidaknya melalui

67 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

komentar-komentar mereka bisa membuktikan, bahwa infotainment adalah bagian dari percakapan itu.

Objek percakapan itu sendiri tidak hanya berada di luar arena menonton tetapi juga ada di dalamnya, saat di mana mereka memberikan komentar-komentar tentang isu-isu yang ada di dalamnya padahal mereka sedang melakukan aktifitas selain menonton. Objek percakapan tersebut sangat kelihatan misalnya, saat

Yemmestri Enita atau akrab dipanggil Nita menyaksikan SILET bersama dengan tiga orang temannya.

Nita masih asyik berbincang saat saya berkunjung ke kosnya pada hari libur, dan saat itu televisi sudah menyala. Waktu menunjukan pukul 11.00 WIB dan saluran televisi sedang berada pada chanel RCTI yang artinya tayangan

SILET baru dimulai. Nita sendiri sedang melakukan aktivitas menyetrika baju sambil sesekali mata tertuju pada televisi. Berita yang sedang ditayangkan SILET adalah kisah asmara antara Chiko Jeriko dengan Laudya Chintya Bella; pasangan selebriti muda yang laris menjadi bintang sinetron. Beberapa saat dia berkomentar; ”Masih muda-muda banget ya”. Ia pun melanjutkan aktivitasnya dan beberapa temannya menimpali; ”Namanya juga artis, mereka kan merawat tubuhnya setiap hari”.

Komentar Nita seakan lenyap begitu saja bersama dengan aktivitas yang sedang ia lakukan. Beberapa teman-temannya pun seakan tidak peduli dengan komentar Nita, kecuali satu yang sebaliknya sesekali berceloteh; ”Ada-ada saja artis itu ya, jadian aja bikin heboh di media”. Teman yang lain pun mengomentari: ”Besok kamu aja bikin berita jadian, biar rame...”. Mereka semua

68 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pun tertawa, juga Nita. Mereka menyaksikan infotainment sekaligus juga menjadikan objek percakapan; bahwa tayangan yang sedang mereka saksikan menjadi bagian dari perbincangan mereka.

Tak terasa waktu sudah lebih dari jam 12.30, saat dipindah salurannya acara di ‟SCTV‟ sedang ada acara infotainment, KASAK-KUSUK. Waktu itu salah satu berita yang ditayangkan adalah tentang pembuatan video klip Mulan

Jameela. Mulan yang saat itu sedang mengeluarkan single hits terbarunya yaitu

”Cinta Mati 2”. Beberapa lirik lagunya diperdengarkan oleh KASAK-KUSUK, lalu muncul komentar Nita: ”Wah lirik lagunya itu lho, nggambarin banget kenyataannya. Jangan-jangan emang dia udah merried ma Dhani ya?”.

Komentarnya hanya dibalas senyum teman-temannya.

Infotainment semakin nyata bahwa apa yang disajikan di dalamnya sudah dapat dipastikan menjadi buah percakapan; isu-isu yang ditampilkan di dalamnya tidak lain adalah persoalan yang dialami setiap orang. Dan hal ini adalah teknik yang sudah dipahami setiap orang di mana orang dengan mudah mengingat dengan cara membincangkan ataupun memberikan komentar-komentar. Mereka yang menyaksikan infotainment bersama orang lain atau keluarga akan dengan mudah memberikan komentar dari obyek yang mereka lihat.

Enik Maslakhah misalnya, saat menyaksikan infotainment bersama anaknya, ia tiba-tiba berkomentar; “Jangan dipindah. Lihat Manohara dulu, ini penting”. Saat itu ia sedang menonton OBSESI di Global TV dan meminta pada anaknya untuk tetap pada saluran yang sudah ada. Anaknya, Rifki, balik bertanya;

“Apa sih bu, manohara itu?”, Enik menjawab singkat; “Manohara itu korban

69 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

traficking”. Seakan tidak paham dengan penjelasan Enik, Rifki melanjutkan pertanyaannya; “Traficking itu apa to bu?”. Objek percakapan pun berlanjut;

“Traficking itu penjualan orang”. “Kalau yang Syekh Puji itu sama ga‟ bu?” balas

Rifki. Enik pun menjelaskan; “Kalau Syekh Puji itu juga hampir sama, tapi dia sama-sama orang Indonesia, nah kalau Manohara itu dengan orang luar negeri”.

Penempatan infotainment bagian dari obyek percakapan jelas menjadi bagian bagaimana Enik Maslakhah menikmati sebuah tayangan yang tidak hanya sebatas gosip. Infotainment adalah obyek yang dapat dibincangkan meski bagian di dalamnya hanya menayangkan kelompok sosial tertentu.

B. Ditonton dan Menonton Infotainment

B.1. Cerita Infotainment, Ruang Publik dan Aktivitas Sehari-hari Bagi

Aktivis JPY

Pada sub bab di atas penulis sengaja memaparkan bagaimana infotainment saat dinikmati para aktivis JPY dan pada sub bab ini penulis akan melihat bagaimana infotainment juga melingkupi aktifitas mereka. Penggunaan infotainment oleh para aktivis JPY dalam temuan saya, tidak lain adalah bagaimana infotainment pun menjadi contoh kasus tentang pendidikan publik maupun kampanye kepada komunitas dampingan (masyarakat binaan) yang mereka fasilitasi. Pembicaraan infotainment ini tidak semata-mata untuk kesenangan, sekadar memenuhi hasrat pribadi, akan tetapi sebagai bahan mengolah isu tentang kekerasan misalnya ataupun bentuk isu trafficking. Selain itu juga digunakan sebagai bahan diskusi bersama teman untuk menajamkan analisis terhadap sebuah permasalahan yang sedang dihadapi oleh para selebriti.

70 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ani misalnya, yang menyukai infotainment, biasa menceritakan informasi yang ia peroleh kepada temannya. Ia menceritakan kepada orang yang suka infotainment atau partner-nya, Nuning, dalam setiap pendampingan publik.

Kegemarannya ini pula membuat Ani semakin mengerti bagaimana infotainment juga menjadi bagian kerja: ia merangkum isu-isu di infotainment dan kemudian memberikan persoalan-persoalan yang bisa di siapa saja.

“...Menarik juga untuk konflik ibu dan anak. Bapak dan anak. Menurutku itu benar-benar bisa menjadi wadah banyak pemikiran. Untuk infotainmentnya sendiri. Dia menawarkan asumsi-asumsi dan data base juga. Memang gosip itu belum tentu benar atau salah. Tapi banyak yang muncul, sehingga itu menjadi sebuah diskusi. Dan ada kalanya itu membuat orang menjadi kritis”.

Infotainment sudah bukan hanya sebatas gosip yang lenyap bersama.

Ungkapan Ani di atas misalnya, ia ingin menunjukan bahwa infotainment bisa menjadi pintu masuk pada titik persoalan sebuah kasus. Penggunaan infotainment pada saat aktif mengorganisir ibu-ibu dan perempuan di kampung di sepanjang

Kali Code yang ia lakukan tidak jarang menggunakan infotainment sebagai bahan mendidik masyarakat. Mengajak mereka berpikir kritis dengan menganalisis bersama dari infotainment yang sudah mereka tonton. Dengan jalan melihat infotainment secra kritis, Ani tidak serta merta datang ke tempat ibu-ibu, dengan mengatakan bahwa tayangan infotainment tidak mendidik. Ia ingin melihat justru dengan jalan tidak meremehkan acara infotainment, ia dapat memasuki persoalan yang sedang di hadapi masyarakat dampingannya.

“Kayak contohnya begini, saya misalnya di kampung dan bertemu dengan ibu-ibu. Mereka semua menonton telenovela, mereka semua menonton sinetron dan mereka semua menonton infotainment. Terus kita datang ke mereka, apa sih nonton infotainment dan bilang itu kan tidak mendidik, kayak gini-gini. Yah mereka bisa marah. Sama halnya ketika saya

71 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyukai sesuatu dan orang mencela kesukaan saya. Bahkan cara berbicara, membincangkan hal itupun, kita harus mengerti”.

Ani memahami bahwa lewat cara mengajak mereka untuk mempersoalkan isu-isu kekerasan lebih mudah dengan jalan apa yang mereka temukan sehari-hari.

Ani tidak sekadar memberikan ceramah monolog, akan tetapi bisa juga dilakukan dengan dialog, diskusi, sharing pengalaman maupun pengetahuan yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Dengan ibu-ibu kampung, maka media yang digunakan adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Pendekatan yang sama juga dilakukan Enik. Enik menggunakan infotainment untuk mendukung kerja-kerjanya di isu perempuan. Ia mengajak anggota dampingannya untuk belajar beberapa kasus di infotainment. Kasus

Syekh Puji misalnya, ia banyak tahu dari infotainment. Tentang perkembangan kasusnya ia lihat di infotainment. “Kalau hanya mengandalkan yang tertulis di koran, tentu saja tidak dapat melihat perilaku Syekh Puji” ungkapnya. Dari infotainment itulah semakin jelas terlihat, bahwa Infotainment mampu memberikan visualisasinya dengan jelas di hadapan para pemirsanya. Pada saat seperti ini infotainment secara tidak langsung menjadi bagian dari hiburan dan sekaligus refleksi di mana kesenangan menonton juga dapat menjadi refleksi.

Enik juga dalam beberapa kesempatan menggunakan infotainment dalam sharing maupun diskusi di komunitasnya yaitu komunitas ibu-ibu dan anak muda.

Kasusnya Cici Paramida, Manohara, Syekh Puji misalnya, bahkan menjadi isu utama ketika mereka mendiskusikan tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

(KDRT). Enik menggunakannya karena kecenderungan yang ada dan ia rasakan adalah mereka (peserta pendampingan) banyak menonton infotainment. Sehingga

72 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penggunaan isi yang ada dalam infotainment dapat lebih mudah memberikan penjelasan kepada masyarakat dampingannya.

Penggunaan infotainment sebagai media penyampaian isu maupun contoh kasus kekerasan di ruang publik oleh aktivis JPY setidaknya tidak dapat ditinggalkan. Mereka melaui media infotainment memberikan pemahaman perihal kasus Syekh Puji pada komunitas yang mereka dampingi misalnya pada kenyataannya memberikan respon yang lebih maju terhadap isu kekerasan maupun pernikahan di bawah umur. Atau kasus lainnya, dalam kasus Cici

Paramida yang mendapat kekerasan dari suaminya, bahwa kasus KDRT dapat terjadi pada siapapun termasuk yang disebut public figure.

Infotainment yang pada sisi dikenal dan dipahami sebagai bagian sia-sia

(wasting time) karena hanya mengumbar sensasi selebriti, sebaliknya pada titik tertentu memberikan gambaran yang lebih jauh. Kekuatan infotainment sendiri yang mudah ditemui dalam berbagai saluran televisi secara tidak langsung juga semata-mata bukan hiburan belaka yang kosong nilai. Pembicaraan di ruang publik yang dilakukan Ipe tentang infotainment misalnya dapat memasuki ruang yang selama ini mengatasnamakan moral. Ipe bahkan dapat membawa gosip- gosip di infotainment masuk ke ruang pengajian ibu-ibu yang sedang ia dampingi.

Ia memberikan contoh bagaimana relasi suami istri yang seharusnya dibangun.

”Apalagi soal Ahmad Dhani yang selalu mengatakan saya adalah pemimpin keluarga dan dia selalu bilang soal agama. Saya pikir itu perlu dijelaskan ke ibu-ibu. Di Solo, ada ibu-ibu yang bertanya, bagaimana kita harus bersikap ketika mendengarkan isunya Maia. Isunya Cici Paramida, dan sebagainya. Nah, akhirnya mau tidak mau, kita akhirnya menjelaskan bagaimana sebuah relasi harus dibangun, kemudian Islam itu seperti apa. Beberapa kali saya menggunakan itu”.

73 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pengakuan Ipe tersebut ia lakukan kepada komunitas majelis ta‟lim yang merupakan dampingan di mana dia melakukan aktifitas. Pemberian contoh yang mudah adalah dengan menggunakan figur selebriti, yang secara emosional memiliki „kedekatan‟ dengan para ibu-ibu. Kedekatan tersebut tidak lain adalah bagaimana infotainment telah berada di tengah-tengah ruang publik dan siap dikonsumsi oleh masyarakat.

Infotainment yang bukan hal baru bagi masyarakat semakin menunjukan bahwa melalui tayangan-tayangan yang dimunculkan di dalamnya juga sedang menunjukan legitimasi baru bagaimana suatu isu dikemas dan disajikan kemudian di pahami. Suatu isu yang sangat pribadi kemudian hadir di tengah publik dan membuat ledakan media tentang arti hiburan. Ledakan media hiburan yang tidak bisa dihindarkan membuat Ani, Enik dan Ipe harus mengolahnya menjadi pendekatan sebuah isu yang mereka kelola di JPY.

Sejalan dengan Ani, Enik dan Ipe, Habibah juga merasakan bagaimana infotainment mau tidak mau menggunakan infotainment sebagai media untuk menyampaikan gagasan serta kepeduliannya kepada komunitas. Ia mengakui menggunakan infotainment sebagai bahan kepada ibu-ibu di komunitas dampingannya di daerah Bantul dan Kulonprogo.

“Kalau dulu komunitas kita ibu-ibu, dan hiburan yang bisa mereka akses televisi, nontonnya adalah infotainment dan sinetron. Awalnya tidak begitu ngeh. Tapi karena komunitasnya begitu, dan banyak yang disitu (infotainment) itu bias. Maka perlu juga menonton dan menjadi bahan obrolan di komunitas. Menganalisa relasi timpang yang ada di situ dengan ibu-ibu. Jadi mereka tidak langsung mengkonsumsi apa adanya. Tapi bisa di analisa”.

74 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Adapun tentang manfaat dari infotainment, Habibah berargumen sebagai berikut:

”Ada kali ya manfaatnya. Mungkin karena kemasannya. Orang yang malas melihat berita yang berat-berat, akhirnya informasi itu di dapat dari infotainment. Misalnya kasus Manohara. Ini lebih banyak diberitakan infotainment. Juga Syekh Puji. Akhirnya masayrakat jadi tahu, seperti apa kekerasan terhadap perempuan itu”.

Perbincangan kasus-kasus yang muncul di infotainment sebagai ledakan informasi di masyarakat akhirnya membawa pada pergeseran makna tentang infotainment itu sendiri. Pada kasus Ulfa dan Syekh Puji misalnya, yang telah menyita perhatian media selama beberapa bulan di media. Akhirnya memberikan makna yang tidak tunggal tentang berbagai hal; agama, kekerasan dan kesakralan perkawinan dalam media. Syekh Puji tidak lagi dipahami sebagai pemimpin lembaga pendidikan dan seorang pengusaha kaligrafi kuningan dari Jambu, tetapi juga ia adalah bagian dari satu isu yang harus diperbincangkan.

Begitu pula dengan kasus Manohara korban dari perkawinannya dengan

Tengku Muhammad Fahri (Pangeran dari Kelantan, Malaysia), ia bukan semata- mata berdiri sebagai seorang artis. Pada sisi lain melalui media, infotainment, ia ditempatkan menjadi bagian dari korban kekerasan. Pemahaman yang tidak tunggal tersebut juga akhirnya memberikan arti yang sangat jauh dari isu pertama mengalir.

B.2. Fatwa Haram Infotainment dan Respon Aktivis ‘JPY’

"Kalau menggunjingkan kejelekan keluarga satu RT saja jelek, haram, tidak terpuji. Apalagi infotainment itu adalah pergunjingan nasional. Seluruh Nusantara, semua pemirsa tahu kejelekan aib salah satu keluarga, yang sebenarnya kita harus saling menutupi aib seseorang,

75 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kejelekan temen kita, tetangga kita, kolega kita. Kita malah menikmati tayangan yang membeberkan kejelekan satu keluarga misalkan. Mendengarkannya saja dosa, apalagi yang memproduksinya. Semua pihak yang mensukseskan acara itu bertanggungjawab dan dihukumi mendapatkan dosa."3

Di tengah maraknya infotainment di berbagai saluran televisi dengan jam tayang yang hampir penuh di tiap-tiap waktu siar, tiba-tiba MUI sebagai lembaga agama mengeluarkan fatwa. Dilihat dari penyampaian yang dikeluarkan oleh lembaga agama, pernyataan tersebut tentu dalam bingkai moral. Dan moral tersebut tidak lain adalah usaha membatasi diri dengan media, khususnya infotainment. Infotainment yang selama ini memberikan informasi dinilai tidak dapat dipercaya oleh lembaga agama. Dengan kata lain validitas informasi infotainment dipertanyakan kembali dari segi moral.

Fatwa tersebut yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

(PBNU) tahun 2006 lalu yang juga disepakati oleh Majelis Ulama Indonesia

(MUI) pada sub bab ini sengaja saya hadirkan dengan respon para aktivis JPY yang pada satu sisi mereka mengonsumsi infotainment. Para aktivis JPY tersebut tidak lain adalah mereka yang di depan telah memberikan kesaksian atas infotainment dengan ruang lingkup yang mereka kerjakan. Penulis mencoba mewawancari satu persatu-satu informan atau pada sesi lain penulis sengaja mengajaknya diskusi kecil dan dari keenam informan tersebut kemudian tanggapan ini penulis muat dalam bingkai wacana publik yang mereka lakukan.

3 Sumber: http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/Fatwa_haram_infotainmen t_060810-redirected, Diunduh 16 februari 2008.

76 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Infotainment adalah buah bibir. Melalui infotainment Ani melihat sangat wajar jika selebriti pada akhirnya menjadi buah bibir di televisi, karena merekalah orang yang dicari oleh para penggemarnya. Katanya; “Selebriti adalah publik figur, sehingga apapun yang dilakukan oleh mereka akan mejadi sorotan. Inilah bedanya selebriti dengan orang biasa”. Dia pun melanjutkan komentarnya

“Kalau orang biasa diomongkan akan aneh. Akan tetapi jika selebriti yang menjadi bahan pembicaraan itu hal biasa, dan justru akan seperti itu”. Keluarnya fatwa haram dari lembaga keagamaan menurut Ani justru merupakan hal aneh.

Hal itu baginya, seolah menutup mata terhadap media. Dimanapun media akan mengungkapkan selebriti; orang terkenal, tokoh terkenal. Ada atau tidak ada fatwa, maka dunia media, apalagi televisi akan seperti itu; mengungkapkan hal- hal yang datang dari para selebriti.

Menurut Ani, keluarnya sebuah fatwa dari institusi agama terhadap tayangan infotainment itu merupakan tindakan yang tidak efektif dan tidak penting. Katanya;

“Fatwa itu tidak efektif dan tidak penting. Ya kalau tidak senang tidak usah menonton begitu saja. Fatwanya begini saja, tontonlah apa yang sekiranya berguna untukmu. Dan dengan begitu kan bisa dipikir sendiri. Lha kalau menghibur, maka akan menjadi berguna dong”.

Dari komentarnya ada kegelisahan yang muncul dengan adanya fatwa tersebut. Begitu halnya dengan Enik, keterlibatannya dengan dunia yang selama ini tidak dapat dilepaskan dengan media, ia justru mempertanyakan “ini ada apa?

Ada kepentingan apa mereka mengeluarkan fatwa”. Memang menurut Enik, pemberitaan infotainment kadang ada yang kebablasan. Akan tetapi hal itu timbul karena tidak adanya disiplin kode etik yang ketat. Ada pengabaian etika media.

77 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dari analisis media, pers infotainment terkadang kurang elegan. Ia mencontohkan, ketika Taufik Savalas meninggal karena kecelakaan di Purworejo, infotainment bahkan menyampaikan lebih dahulu dari pada pihak keluarga.

Lembaga agama sebagai institusi pemberi legitimasi di masyarakat pada titik inilah tidak mampu menjelaskan keberadaan infotainment. Menurut Enik;

“Seharusnya mereka (PBNU, MUI) konsisten, harusnya dari awal ketika muncul pertama kali, tahun 90an”. Pendapatnya kemudian dilanjutkan demikian;

“Fatwa itu tidak memiliki kekuatan hukum. Kalau mereka memang benar- benar menginginkan kualitas dalam infotainment, maka harus berbuat sesuatu sehingga kedepannya lebih baik. Akan tetapi tidak ada sama sekali upaya perbaikan yang dilakukan. PBNU dalam ini tidak melakukan apapun. Padahal seharusnya melakukan pendidikan ke umatnya, mendidik umat untuk lebih kritis terhadap tontonan. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya kerjasama dengan KPID. Bentuk kerjasama yang dilakukan adalan dengan pendidikan ke masyarakat, supaya masyarakat bisa menonton dengan kritis”.

Selama ini dalam industri TV ada rating (pemeringkatan) pada sebuah tontonan, untuk menilai tontonan apa saja yang digemari masyarakat. Lembaga survei yang melakukan itu adalah lembaga independen dan tidak melakukan survei dengan alasan moral dimana lembaga agama berada di dalamnya. Peran lembaga agama semakin kelihatan bahwa fatwa tersebut tidak sampai pada persoalan yang lebih jauh yakni institusi-institusi yang berada di belakang infotainment.

Pernyataan informan di atas pun kami lanjutkan ke beberapa informan lain. Informan selanjutnya adalah Ipe. Sebagaimana informan sebelumnya dia pun berujar mengenai fatwa haram tersebut.

78 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

”Apakah industri infotainment dan sinetron bisa mereka kurangi? Kan tidak. Jadi, tidak ada hubungannya antara mereka mengeluarkan fatwa dengan mereka bisa mengatur industri infotainment dan sinetron yang ada. Itu yang saya katakan malas. Mereka juga tidak bisa mengerem laju industri tekstil, baju, mode. Seberapa jauh mereka bisa melakukan itu? Ndak kan. Ndak ada hubungannya itu”.

Memang menurut Ipe, infotainment perlu dikurangi porsi jam tayangnya.

Ia memberikan ilustrasi, seperti ini: “Bisa dibayangkan dari jam setengah 7 ada infotainment dan setiap jam ada tayangan begitu. Kemudian semua orang menontonnya, maka akan bisa mempengaruhi orang”. Meskipun demikian, dalam memandang infotainment tidak terlalu ekstrim perihal waktu tayang, jumlah jam tayang juga berita itu sendiri yang hendak disampaikan. Ipe pun melanjutkan komentarnya;

”Sebenarnya aku juga tidak ekstrim menganggap mereka semua jelek. Karena naif juga kalau aku juga kadang nonton. Untuk refreshing saja. Jadi gini lho, kalau itu tayangan seperti itu memakan waktu banyak dan ada di setiap stasiun televisi, maka ndak menarik juga. Saya pernah melihat tayangan itu dari pagi sampai sore, ternyata tidak berubah beritanya”.

Pendapat yang agak berbeda diberikan oleh Yanti. Dalam menanggapi keberadaan fatwa tersebut ia mengatakan: ”Pastinya fatwa haram itu ada alasannya”. Menurutnya perbedaan halal dan haram itu tidak jelas batasannya;

”Bukannya tidak digubris, tapi penting untuk penyelenggara infotainment itu memperbaiki diri. Keluar fatwa itu pastinya ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Sehingga harus ada perbaikan untuk infotainment sendiri”.

Ketidaksetujuan perihal fatwa haram infotainment bagi Yanti di atas menandakan bahwa konsumen infotainment dianggap pasif; mereka, para audiens akan dengan serta-merta menerima begitu saja yang disampaikan infotainment

79 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tanpa dapat menyelanya. Kekritisan senada dalam hal fatwa haram atas keberadaan infotainment adalah Habibah. Ia mengatakan;

”Menurut saya tidak penting banget. Ngapain ngurusin ini. Persoalan kayak gini. Kalau misalnya mau, dulu kan karena menggosipkan orang. Maka tidak perlu mengeluarkan fatwa begitu. Yang perlu dikritisi adalah kontennya saja. Kalau berita saja kan juga ngomongi orang. Kalau gosip macam-macam, itu kan juga fakta. Yang penting kan tidak terlihat bias, karena adanya perspektif yang memojokkan seseorang. Itu tidak penting kok. Dalam hal tertentu, infotainment itu cukup menghibur”.

Dari pendapatnya, Habibah sangat jeli dengan jalan membedakan bagaimana isi infotainment yang harus sampai pada kesesuain fakta. Katanya;

”Kalau ada fatwa haram, infotainment pun juga tetap ada”. Hubungan antara infotainment dan masyarakat audiens di sini menjadi jelas bahwa, infotainment tidak hanya sebatas ruang gosip (ghibah) sebagaimana legitimasi agama berbicara. Tetapi hubungan antara pembuat media, isi berita dan penerimanya harus dilihat secara keselruhan. Masyarakat yang selama ini menduduki sebagai konsumen juga bisa memilah dan menilai mana tontonan yang penting untuk disaksikan dan tidak perlu dilihat.

B.3. Disfungsi Informasi: Infotainment dan ajang Ngrumpi aktivis

JPY

Perdebatan selanjutnya dalam sub bab ini saya mendudukkan infotainment dari fungsi media yang utama yaitu menyampaikan informasi. Sebagaimana pada sub bab sebelumnya, pada sub bab ini tidak lain adalah hasil dari wawancara dengan aktivis JPY perihal infotainment dengan fungsinya media penyampai

80 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berita. Infotainment yang dalam sejarahnya berawal dari media cetak (lihat bab dua) untuk memberikan informasi kemudian beralih ke media baru; televisi.

Ajang ngrumpi yang disajikan stasiun-stasiun televisi tidak lain adalah infotainment. Ajang ngrumpi tersebut pun juga bukan sebatas gosip, tetapi ngrumpi tersebut sudah dipakai media sebagai berita, dan layaknya berita, gosip pun menyebar ke semua audiens. Pada saat seperti ini maka gosip, melalui media, sudah tidak lagi dinilai sebagai berita jurnalisme, tetapi sebagai tontonan dan informasi. Audiens yang sudah percaya dengan infotainment akan memakainya bahwa mereka sedang menerima berita. Komentar salah Ani Himawati, aktivis

JPY yang terbiasa menonton infotainment, misalnya;

“Awalnya dulu, di keluarga kami selalu ada majalah. Jadi „Gadis‟, „Femina‟, segala macam. Dan itu kan selalu menampilkan hal-hal itu tho. Maksud saya model. Jadi sejak kecil, saya apal semua model. Model majalah, model kalender. Jadi saya tahu betul, o, Gladis Suwandi itu dulu gadis sampul. Karena saya punya majalahnya. Krisdayanti itu juga gadis sampul juara tiga. Karena pas dia pemilihan gadis sampul saya punya majalahnya juga sehingga tahu. Awalnya saya sangat menyukai hal-hal begitu. Saya menyukai tentang fashion. Gaya hidup. Saya menyukai tentang gaya hidup. Jadi majalah saya sangat suka. Kemudian ketika ada televisi, ternyata ada infotainment. Jadi ya saya senang. Ya kadang seperti kebodohan, tapi saya tetap terhibur. Begitu bangun tidur, saya langsung minta dicarikan infotainment. Gosip dong yang dicari. Karena saya kayak kenal dengan artis-artis itu dan mengikuti perjalanannya”.

Komentar di atas sangat jelas bagaimana Ani mulai menggeser kesenangannya dari membaca berita di media cetak ke media tontonan. Ia seakan tidak peduli suatu berita itu datang dari suatu persoalan atau apakah sesuatu itu layak menjadi berita. Ia tidak peduli bahwa infotainment tersebut fakta atau kenyataan yang dapat dicari kebenaran di belakangnya. Atau mempertanyakan kembali bagaimana pengumpulan fakta ini berlangsung dan terjadi.

81 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ani adalah salah seorang yang dengan tegas bagaimana ia mengonsumsi infotainment;

“Pagi itu pasti. Sambil memasak, dsb. Siang dan sore kalau tidak punya pekerjaan. Kayak kemarin di rumah, saya juga menonton infotainment. Mbak saya yang nomer dua sampai bilang, ngapain nonton infotainment. Jadi saya itu suka menonton infotainment, tapi tidak hapal jamnya kapan saja. Kadang untung-untungan saja. Tapi saya mencari karena memang tidak hapal jam tayangnya. Mbak saya suka bilang, tidak kreatif menonton infotainment. Tapi saya bilang, lha saya pingin tahu nih. Pokoknya begitu menonton televisi, saya akan menonton infotainment”.

Dari komentar tersebut nampak bahwa bentuk informasi dalam infotainment sudah tidak lagi penting apa yang sedang di informasikan pada audiens, tetapi bagaimana infotainment itu menghibur. Sajian-sajian yang dihadirkan dalam infotainment, sebagai bagian dari informasi publik pada kenyataannya menghilangkan arti penting dari jurnalisme. Di mana bagian-bagian penting dari jurnalisme sendiri tidak digunakan di dalamnya. Kisah Chiko dan

Bella yang tiba-tiba muncul di hadapan para audiens hanya dengan informasi berita „ganti pasangan baru‟ misalnya, adalah buah bagaimana infotainment menjadi ajang sensasi. Ia bisa saja berangkat dari fakta atau realitas, namun infotainment bagian dari rekonstruksi realitas sosial tidak dapat ditinggalkan.

Catatan jurnalis di belakangnya yang berusaha menggambarkan peristiwa sesuai dengan realitas sosial, memang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.

Jurnalis akan bekerja berdasarkan hasil pengumpulan fakta, tetapi kenyataan lain bagaimana infotainment disampaikan dengan cara-caranya sendiri adalah bagian di mana pada kenyataannya sendiri ia berlawanan dengan prinsip-prinsip berita.

Berita bukanlah realitas sosial tetapi merupakan penanda dari realitas. Oleh karena

82 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

itu berita tentang peristiwa yang sama belum tentu disajikan dengan cara yang sama. Seandainya sebuah realitas sosial memiliki empat muka, maka yang diungkap jurnalis mungkin hanya dua muka saja (Abrar, 1995: 3). Menurut Walter

Lippman “berita bukanlah cermin kondisi sosial, tetapi laporan tentang salah satu aspek yang telah menonjolkannya sendiri” (McQuail, 1992: 190).

Definisi yang longgar seperti di atas akan semakin bisa dipahami manakala seorang jurnalis mengindahkan beberapa hal sebagai berikut: tidak memihak, kecuali memihak kebenaran; berimbang; adil, jujur dan terbuka; tidak melanggar asas praduga tak bersalah; tidak memengaruhi jalannya persidangan suatu perkara; mengutamakan ketepatan dan kecepatan; ringkas, jelas dan dapat dipercaya; bebas dan bertanggungjawab; tidak mencampuradukkan fakta dan pendapat pribadi (Wahyudi, 1996: 3).

Perdebatan mengenai apakah infotainment bagian dari dunia jurnalistik atau tidak, Veven Sp Wardhana memberikan keberimbangan dalam menilai infotainment. Ia menyatakan;

“Dalam kenyataan, infotainment tak bisa dianggap sia-sia terutama dari sisi pembelajaran untuk publik dan dunia media itu sendiri. Dari sisi cara kerja media, main gedor mobil narasumber agar narasumber tak semata bungkam atau sedikit buka suara sebatas off the record -karena tuntutan pernyataan dalam jurnalisme infotainment, sesungguhnya juga dilakukan oleh media mainstream alias arus-utama umumnya, yakni sebatas memuat pernyataan [salah satu pihak belaka] tanpa sama sekali merujuk pada kenyataan sesungguhnya.”4

4 Veven SP Wardhana, Pelajaran Jurnalistik dari Infotainment, 18 Maret 2008. bahkan menurutnya infotainment bisa menjadi semacam jurnalisme alternatif, yang tak semata berburu perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke hal-hal lain yang merupakan kepentingan publik.

83 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Veven secara bijak menyatakan bahwa dalam situasi tertentu infotainment telah memberikan pembelajaran kepada publik dan media. Perilaku „brutal‟ para awak infotainment juga sering dipraktikkan oleh mereka yang menganggap dirinya para jurnalis „sejati‟.

Sisi lain bahwa infotainment yang menjadi bagaian dari ajang ngurmpi aktivis JPY bersama kontradiksi di dalamnya membawa pada pandangan sinis;

”...Orang sudah lama tidak masuk ke teve, karena ingin tenar lagi, maka dia sengaja membuat berita tentang dirinya. Tapi kalau memang ingin membuat infotainment menjadi tontonan yang baik, maka pertama adalah hostnya. Jangan membuat kata-kata yang mengarah ke fitnah-fitnah gitulah. Pemilihan kata penting di situ. Juga penampilan host”.5

Meskipun demikian, kritik tersebut seakan berada di ruang hampa.

Keanyataan lain bahwa pada satu sisi infotainment masih dapat dinikmati tidaklah dapat dibantah. Infotainment seakan berada pada ruang kedap suara yang dari luar audiens tidak dapat meneriakkan suaranya meski mereka sendiri yang harus menikmati infotainment itu sendiri.

C. JPY, Infotainment dan Ideologi Budaya Massa

Selain perdebatan mengenai apakah infotainment dianggap sebagai jurnalistik atau tidak, kemudian lahirnya fatwa haram dari PB NU, kontroversi infotainment ini dikuatkan dengan perdebatan oleh beberapa kalangan akademik, dan praktisi media. Wacana makin „riuh‟ tatkala Ignatius Haryanto, misalnya

5 Ungkapan tersebut datang dari Enik saat menyaksikan infotainment Obsesi, 1 Mei 2009.

84 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menulis sebuah opini "Infotainment": Pengingkaran Fungsi Informasi?6 Haryanto menyebutkan bahwa infotainment sebenarnya telah mengingkari fungsi informasi.

Menurutnya penggabungan antara information dan entertainment menjadi infotainment telah mengaburkan makna, sehingga fungsinya menjadi kacau.

Sebagaimana ia menuliskan:

“Informasi ya informasi, hiburan ya hiburan. Sulit membuat keduanya saling bersatu, atau malah membuat-buatnya seolah jadi satu. Memang pula sulit untuk menyeragamkan pola pikir penonton agar tiap item berita dianggap sebagai informasi atau hiburan. Namun paling tidak kalau dua fungsi ini dikacaukan, maka yang ada wilayah abu-abu yang tak pernah jelas, dan kalau boleh saya mengatakannya, infotainment sebenarnya mengingkari fungsi informasi, terutama hak masyarakat itu sendiri untuk menerima informasi yang mereka butuhkan”.7

Bagi Haryanto, penggabungan antara informasi dan hiburan ini akan membingungkan warga, sehingga akan susah membedakan antara “fakta” dengan

“fiksi”.

Sementara itu Agus Maladi Irianto, menyatakan bahwa maraknya tayangan infotainment di televisi-televisi swasta hanya merupakan upaya pengalihan perhatian publik dari berita-berita politik atau berita mengenai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak populer di mata masyarakat. Menurut

Irianto, ketika ada berita yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat seperti kenaikan BBM, maka selalu ada berita infotainment mengenai artis yang dibesar-

6 Ignatius Haryanto, "Infotainment": Pengingkaran Fungsi Informasi? Kompas, Minggu, 26 Juni 2005.

7 Ibid.

85 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

besarkan. Sebagaimana yang ia katakan: "Jadi masyarakat bisa lupa dengan apa yang terjadi, karena berita infotainment hanya untuk pengalihan saja"8.

Pendapat yang mengecam datang dari Tjipta Lesmana, ia mengatakan infotainment itu merusak. Sifat infotainment menurut Lesmana adalah meracuni otak pemirsanya, dan lebih dari itu tontonan infotainment itu tidak memiliki nilai edukasi sama sekali9.

Adapun pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Merdy Rumintjap, ia mengatakan bahwa infotainment merupakan media yang bisa digunakan sebagai penyalur aspirasi perempuan. Merujuk pada Ien Ang, yang mengatakan bahwa audiens televisi memiliki dua arti, yakni konsumen potensial dan audiens yang harus direformasi. Potensi ini pada konsumen potensial tersebut yang dapat digunakan untuk membangun komunikasi dan aspirasi bagi selebriti perempuan dan sekaligus menjadi media pendidikan yang memikat perempuan10.

Wacana publik terhadap infotainment ini makin mengukuhkan apa yang kemudian disebut oleh Ien Ang sebagai ideologi budaya massa.11 Ketika Ien Ang melakukan penelitian pada penonton opera sabun Dallas di Belanda, masyarakat

Eropa kala itu (1982) menganggap Dallas sebagai ideologi budaya massa.

8 Tayangan Infotainment Upaya Pengalihan Isu Politik, dalam WASPADA Online. Juga Kompas, 8 Januari 2008. hlm. 8. Dan dalam http://www.kapanlagi.com/h/0000207048.html.

9 Tjipta Lesmana, ”Infotainment” dan ”Info-setan” Sama Merusak, Sinar Harapan, 6 Agustus 2007. hlm. 5. Berikut ini kutipannya: “...Kecuali infotainment, sebetulnya masih ada satu program televisi lain yang sifatnya juga meracuni otak pemirsa,...Tontonan seperti ini sama sekali tidak punya nilai edukasi. Lalu, bagaimana kaitannya dengan misi pencerdasan bangsa yang dituntut dari setiap pendidik? 10 Merdy Rumintjap, "Infotainment", Saluran Aspirasi Perempuan? Harian KOMPAS, hlm. 32. 6 September 2008. Juga dapat diunduh http://www.kompas.com/kompas- cetak/0609/18/swara/2956731.htm 11 Ien Ang, Dallas and The Ideology of Mass Culture, dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader (London and New York: Routledge, 1993), hlm. 405-407.

86 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Infotainment dalam hal ini mempunyai „nasib‟ sama dengan Dallas, ia dianggap tontonan „tidak mendidik‟, „mengejar rating‟, „meracuni otak‟, „mengingkari fungsi informasi‟, „hanya mengalihkan persoalan‟, dan disebut tontonan

„membingungkan‟.

Perdebatan tersebut atau suara sumbang tentang infotainment tetap berjalan, sementara di sisi sebaliknya sebagian masyarakat tetap setia menonton infotainment seolah acuh terhadap perdebatan di kalangan akademisi, praktisi media dan para jurnalis. Mereka para audiens, juga para aktivis JPY tetap menikmati meski tidak sedikit pula mereka memperlakukan infotainment sebagai tayangan „sampah‟, „tidak mendidik‟ serta olokan-olokan negatif lainnya. Ada kenikmatan lain saat berada di depan infotainment yang tidak dapat diganggu dan dicampuradukkan dengan persoalan di luar tayangan infotainment.

D. Catatan Penutup

Dari data di atas tergambarkan bagaimana audiens bukanlah benda mati yang akan begitu saja menelan mentah-mentah sebuah acara infotainment.

Dengan latar belakang yang telah audiens miliki, maka akan terlihat beragam respon ketika terjadi praktik menonton tayangan infotainment. Mereka tetap kritis pada jenis tayangan, meski mereka menikmati tayangan tersebut.

Masing-masing narasumber memiliki cara pandang yang kadang berlainan antara satu dengan yang lain, meskipun dalam beberapa hal didapati beberapa kesamaan. Cara mereka merespon, menanggapi sebuah berita infotainment merupakan kekhasan tersendiri. Begitu juga dengan pengalaman mereka

87 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menggunakan infotainment dalam aktifitas yang mereka lakukan. Mereka tidak hanya berdiam diri dihadapan satu buah siaran, tetapi mereka menggunakan remote untuk mencari tayangan yang sesuai dengan pilihan. Keaktifan mereka di hadapan sebuah siaran dengan cara memindah saluran satu kesaluran lain, tidak lain bukanlah tindakan tanpa sadar yang bergerak tanpa motivasi menonton sebuah siaran.

Keaktifan menonton sebuah siaran juga dimiliki aktivis JPY. Di tengah kesibukannya sebagai seorang aktivis perempuan yang bergerak sesuai dengan isunya masing-masing, mereka menjadikan televisi sebagai sarana untuk menghibur diri (leisure time). Tontonan infotainment yang dianggap tontonan

„tidak kreatif‟, „tidak mendidik‟, „meracuni otak‟, „mengingkari fungsi informasi‟ dan hal negatif lainnya yang dilekatkan oleh sebagian masyarakat tidak membuat para aktivis JPY latah dengan anggapan „miring‟ tersebut. Meskipun demikian para aktivis JPY tersebut tidak kehilangan daya kritisnya terhadap tayangan infotainment.

Anggapan „miring‟ terhadap infotainment yang juga diramaikan oleh diskursus publik diseputarnya, mulai dari pro-kontra apakah masuk sebagai bagian dari jurnalistik atau tidak, pada akhirnya audiens lah yang menentukan semuanya. Mereka akan menentukan makna sebuah tayangan yang mereka nikmati meski mereka terkadang tidak menyetujui apa yang sedang ditampilkan.

Mereka dapat berkomentar bahkan sinis terhadap tayangan.

Selanjutnya, pada bab keempat saya akan membahas mengenai kategori para aktivis JPY dalam meresepsi tayangan infotainment. Kategori ini dijalankan

88 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tidak lain dari apa yang di atas telah banyak disebutkan, terutama dari sub bab

“Membenci Sekaligus Menikmati: Kisah Menonton Infotainment Bersama

Aktivis JPY” dan “Menonton dan Ditonton Infotainment”.

89 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB IV

INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AKTIVIS PEREMPUAN “JPY”

Bab ini adalah lanjutan dari bab tiga yang telah menjelaskan kategori penonton. Kerangka yang dihasilkan dari bab tiga tersebut, khususnya dari sub bab “Membenci Sekaligus Menikmati: Kisah Menonton Infotainment Bersama

Aktivis JPY”, kemudian kami lanjutkan dengan analisis. Analisis di bab ini tidak lain adalah usaha membaca kembali kisah menonton bersama yang kemudian disandingkan dengan teori yang kami pakai tentang audiens.

Untuk membuat satu kerangka berpikir yang runtut, dalam penjelasan ini penulis menggunakan apa yang telah dilakukan oleh Ien Ang ketika meneliti resepsi audiens opera sabun Dallas di Belanda yang sangat populer pada tahun awal 80an. Dari penelitiannya Ien Ang, membuat sebuah kesimpulan bahwa ada tiga kategori penonton Dallas, yang disebut sebagai sebuah ideologi budaya massa kala itu. Tiga kategori para penonton tersebut ialah (i) Dallas haters, (ii)

The ironical, (iii). Dallas lovers. Tiga kategori tersebut pun sengaja penulis gunakan untuk melihat bagaimana kategorisasi tersebut juga terjadi dengan audiens infotainment yang sedang kami lakukan. Mereka para audiens yang tidak lain adalah aktivis JPY memiliki respon serupa dengan para penonton Dallas, ketika mereka menonton infotainment. Pertama, ada yang membenci, kedua, ada yang ironi, dan ketiga ada pencinta infotainment.

Namun demikian, tiga kategori tersebut pada penelitian ini penulis mencoba membuat kerangka yang sedikit berbeda. Perbedaan tersebut adalah

90 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penulis mencoba membuat ”pintu masuk” melalui sebutan penonton kritis yang sudah disinggung di bab tiga. Sehingga tidak serta-merta bahwa mereka yang bisa disebut pembenci, penonton ironi maupun pecinta berdiri secara hirarki namun pada satu sisi juga berdiri sebagai subordinat sebagai penonton kritis.

A. Kritis Bukan Berarti Anti: Posisi Menonton Infotainment JPY

Pada sub bab ini penulis akan memulai membuat kategorisasi penonton infotainment di Jaringan Perempuan Yogyakarta. Kategorisasi ini sebagaimana disebutkan di pembukaan bab ini adalah urutan dari bab sebelumnya bahwa, posisi audiens JPY terhadap infotainment tidak lain dalam posisi dua tegangan (in between). Mereka pada posisi yang disatu sisi acuh terhadap tayangan infotainment pada sisi lain mereka harus mengikuti infotainment karena praktik aktivitas mereka yang banyak muncul dalam tayangan infotainment itu sendiri.

Posisi acuh terhadap infotainment sangat jelas saat mereka berada di hadapan infotainment. Sikap-sikap seperti memindahkan saluran satu ke saluran lain yang tidak hanya terhenti pada infotainment, hal ini menunjukkan bagaimana sesungguhnya mereka sedang menunjukkan posisinya terhadap infotainment.

Pada posisi lain saat mengharuskan mereka menikmati infotainment, mereka memposisikan diri sebagai orang yang terhibur. Lewat jalan menikmati infotainment sebagai hiburan, mereka mendapatkan informasi yang biasa mereka gunakan sebagai simulasi dalam berbagai aktivitas di komunitasnya.

Namun demikian, pada posisi mereka berada di hadapan infotainment – lewat jalan menikmatinya – mereka tidak sepenuhnya pasif pada isi infotainment.

91 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Mereka berkomentar, mengkritik bahkan terkadang sinis pada isi siaran yang menunjukkan sikap kritis mereka di hadapan sebuah tayangan. Mereka bisa jadi tidak sepenuhnya setuju terhadap cara menyampaikan, visualisasi bahkan isi tayangan infotainment itu sendiri.

Menjelaskan bagaimana posisi audiens yang berada dalam tegangan tersebut, berikut penulis mencoba kerangkakan dengan teori yang telah dihasilkan

Ien Ang dalam melihat audiens yaitu posisi pembenci, ironi dan pecinta.

A. 1. Pembenci Infotainment

Kekritisan mereka pada infotainment, sebagaimana sedikit dijelaskan di atas membawa pada satu kategori sebagai ”pembenci infotainment”. Kategori

„pembenci infotainment‟ dalam penulisan tesis ini adalah mereka yang memposisikan diri berlawanan dengan infotainment. Hal-ihwal tentang infotainment baginya adalah bentuk tayangan yang secara substansi hanya memberikan sensasi informasi kehidupan selebritis belaka. Ketidaksukaan yang dimunculkan oleh beberapa aktivis JPY terhadap infotainment tidak lain adalah respon verbal dan non verbal. Para aktivis tersebut tidak hanya terlihat tidak suka infotainment, mereka juga terlihat frustasi karenanya. Diantara mereka ada yang menggunakan bahasa yang kuat untuk menilai program, seperti kata-kata: „lebay‟, tidak rasional, jauh dari seni, dan terlalu mendramatisir tayangan.

Ungkapan-ungkapan ‟anti-pati‟ pada segala jenis infotainment tersebut telah menjelaskan bagaimana sebuah infotainment dihadirkan dibenak para aktivis

JPY. Namun demikian, beberapa aktivis JPY ini tidak sekadar menyampaikan

92 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ekspresi emosional marah dan frustrasi dengan sikap-sikap yang dimunculkan terhadap tayangan tersebut. Mereka juga menyampaikan penjelasan rasional terhadap ketidaksukaan mereka. Dari informan yang penulis jadikan subyek penelitian, ada tiga aktivis JPY yang bisa dikategorikan sebagai hating infotainment. Kebencian mereka terhadap infotainment dilatarbelakangi beragam argumen, sebagaimana akan terlihat dalam penjelasan selanjutnya.

Berdasarkan pengakuannya, Enik hanya memanfaatkan infotainment untuk membantu pekerjaannya mendekati ibu-ibu dampingannya. Ia hanya mengikuti beberapa kasus secara khusus yang ada dalam infotainment sebagai alat untuk dapat berkumpul dengan mereka, anggota dampingannya. Posisinya sebagai aktivis perempuan dan bergerak dalam dalam isu-isu perempuan membuatnya sedikit banyak mengetahui isu-isu di infotainment, meskipun secara pribadi ia tidak menyukai infotainment tersebut. Namun ia tidak dapat mengatakan secara vulgar, ia lebih memilih dengan alasan rasionalitas isi infotainment itu sendiri.

Enik mengungkapkan alasannya saat penulis bertandang ke rumahnya pada

Jum‟at 1 Mei 2009 dan melakukan aktivitas menonton bersama sebuah infotainment OBSESI di stasiun Global TV pukul 15.15. Enik mulai berkomentar tentang keberadaan infotainment;

”Paling tidak, dia harus memberikan informasi yang bisa digunakan untuk pembelajaran orang. Itu lho. Tidak hanya yang bersifat sangat privacy. Kan selama ini lebih banyak yang bersifat privacy aktor dan artis. Kalau soal KDRT oke saja. Tapi yang dramatis itu lho. Dan kadangkala, infotainment itu juga menguras eksistensi sang artis. Coba deh dilihat, misalnya kasus Kiki Fatmala dengan Saiful Jamil. Nah, jadi ada beberapa tayangan infotainment yang sengaja dibuat. Itu kan tidak sebuah kebenaran. Orang sudah lama tidak masuk ke teve, karena ingin tenar lagi, maka dia sengaja membuat berita tentang dirinya. Tapi kalau memang ingin membuat infotainment menjadi tontonan yang baik, maka

93 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pertama adalah hostnya. Jangan membuat kata-kata yang mengarah ke fitnah-fitnah gitulah. Pemilihan kata penting di situ. Juga penampilan host”.

Dalam penggalan komentar di atas, Enik mengungkapkan secara lugas ketidaksukaannya menonton infotainment. Alasan salah satu di baliknya adalah karena kecenderungan tayangan ini yang menggunjingkan orang lain dan berisi fitnah. Enik juga memberikan alasan lain yaitu menekankan secara rasional1 bagaimana sebuah acara yang seharusnya dapat memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku2 dalam menyajikan berita justru terlihat hanya mementingkan unsur sensasi dan menonjolkan nilai-nilai privat. Seperti yang diungkapkannya kemudian:

”Ini juga jauh dari seni. Mungkin karena konsultannya sama ya. kalau dulu, semasa ”Cek and Ricek” dulu, sama yang di SCTV semuanya hampir sama. Ya gayanya dan cara bicaranya. Terus sekarang itu ada trend untuk dibuat kayak “Sergap” itu. Investigasi. Jadi aku itu berpikir, infotainment itu kan hiburan ya, jadi unsur seninya harus ditonjolkan. Jadi setiap host harus punya satu ciri khas. Sekarang ini, host yang laki- laki selalu dibikin genit-genit begitu. Itu yang pertama. Yang kedua, soal pengambilan gambar. Kode etik harus benar-benar diperhatikan. Gambar yang privat jangan ditayangkan. Terkadang kan memang hak-hak pribadi orang itu dilanggar. Orang kan jadi marah juga kalau begitu. Sampai orang menonjok kameranya. Di situ juga harus ada komunikasi antara artis dengan infotainmentnya. Harus dilihat. Memang hak pers untuk meliput. Tapi di situ kan memang ada kode etiknya juga. Kemudia n visinya juga yang agak memberikan pembelajaran ke orang. Kayak konsumerisme itu. Soalnya pernah juga kejadian, ketika Mayang Sari sudah menjadi istri Bambang. Yang di shot itu bukan Mayang Sari-nya, tapi anting-antingnya, gelangnya, yang gede-gede. Pers seharusnya juga

1 Rasional merujuk kepada pemikiran Ien Ang yang dalam mengutarakan pendapat, informan penonton Dallas menilai tayangan Dallas berdasarkan kenyataan yang ditampilkan dalam tayangan televisi tersebut, sehingga pendapat cenderung obyektif sesuai sebab-akibat, dan mengikuti aturan baik-buruk yang ada dalam masyarakat. Sebagai contoh mengapa perempuan dalam tayangan Dallas dinilai sangat cengeng dengan terlihat sering menangis daripada tokoh- tokoh laki-laki yang diperlihatkan lebih mandiri dan tegas 2 Menurut Enik infotainment tidak memiliki kaidah jurnalistik seperti yang seharusnya dilimiliki wartawan ketika menayangkan sebuah berita jurnalistik dengan mengedepankan praktek 5W+1H, dan obyektif tidak memberi penilaia n namun memberikan kabar peristiwa.

94 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

melihat, wilayahnya dimana”. Enik secara implisit menerangkan bahwa infotainment memiliki stereotipe tertentu yaitu acara khusus untuk perempuan, meskipun di beberapa judul infotainment terdapat pembawa acara laki-laki, namun sikap genit dan feminin khas perempuan sering dihadirkan sebagai representasi acara gosip milik kaum hawa. Keadaan ini sama seperti yang dijelaskan oleh Ien Ang, para penulis surat yang menyatakan ketidaksukaannya terhadap tayangan Dallas menggunakan posisinya sebagai penonton perempuan dalam menilai stereotip perempuan pada sebuah tayangan televisi. Hal ini terlihat dalam surat 36 seperti berikut ini:

”My personal opinion of Dallas is that I find it a horribly cheap serial. I do admire it, the way they can work it all out every time, how they can set up the most crazy dramas in a series like that. Every installment the family members all go bawling on non-stop (only the women, of course, men aren‟t allowed to cry, apparently).3

Fungsi televisi dalam kehidupan sehari-hari bagi Enik sebatas “sebagai teman” saat sudah lelah beraktifitas. Enik mengaku jarang mengakses televisi dan tidak pernah secara khusus menyempatkan menonton tayangan televisi tertentu.

Kebutuhan pada televisi bukanlah kebutuhan primer. Hal ini sejalan dengan caranya memosisikan infotainment sebagai “tayangan sambil lalu” dan memperlakukannya hanya sebatas tayangan hiburan belaka. Ungkapnya:

”Biasanya menonton teve itu kalau saya sudah capek. Untuk hiburan. Leyeh-leyeh. Sambil baca atau pas dengan teman-teman. Kalau menonton teve tidak tahan. Paling kalau ada berita yang bagus baru nonton. Itupun tidak akan keseluruhannya saya tonton. Saya dulu kan langganan koran. Nampaknya berita di koran itu hampir mirip dengan berita di teve”.

3 Pendapat pribadi saya tentang Dallas yang saya dapatkan adalah serial yang murahan. Saya mengaguminya, cara mereka bekerja pada setiap waktu, bagaimana mereka menyiapkan serial drama gila seperti itu. Setiap anggota keluarga semuanya menangis tanpa henti (hanya perempuan, tentu saja, laki-laki tentu saja tidak diperbolehkan terlihat menangis). Ien Ang, Dallas and The Ideology of Mass Culture, dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader (London and New York: Routledge), hlm. 404.

95 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Demikian pula Yanti, informan berikutnya yang dapat masuk dalam kategori pembenci infotainment. Secara frekuensi Yanti dapat dikatakan sangat jarang menonton infotainment. Bahkan ia mengaku kebetulan menonton infotainment karena unsur ketidaksengajaan. “Itu tadi kan aku bilang tidak menonton kan. Cuma kebetulan saja, yang diingat itu. Karena itu sudah fenomenal sejak dulu...”.

Yanti adalah satu dari sekian jenis audiens yang memperlakukan tayangan-tayangan televisi sesuai dengan kegemarannya. ”Ya, kalau pas acara musik ya ditonton. Itu saja. Aku tidak maniak satu stasiun. Kalau acaranya bagus ya ditonton”. Melalui wawancara dan observasi yang penulis lakukan tersebut,

Yanti sebenarnya juga tidak terlalu suka menonton televisi. Ia memperlakukan televisi bukan sebagai referensi media yang harus diakses setiap hari. Bahkan secara eksplisit menunjukkan tindakan menonton infotainment sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap kehidupannya sehari-hari. Posisi ini menjadikan Yanti masuk sebagai kategori Pembenci Infotainment. Alasannya adalah Yanti sering menyebutkan bahwa tayangan infotainment tidak ubahnya mengajak para penonton untuk membicarakan hal yang tidak penting dan menggiring masyarakat untuk berpikir tidak rasional.4 Seperti penuturannya;

“Kalau sudah tidak rasional. Masuk terlalu dalam ke ruang pribadi artisnya. Misalnya mengorek pembantunya. Sudah melenceng jauh dari pokoknya. Sumber-sumbernya juga sudah mulai tidak jelas. Kalau kasus itu biasanya perselingkuhan. Kalau KDRT bisa saja pembantunya jadi saksi sehingga ditanya. Oke lah kasus perselingkuhan, PRT di tanyai di pengadilan sebagai saksi. Tapi kan ada yang katanya, katanya. Tidak

4 Rasional menurut Yanti ketika berita dalam infotainment seharusnya mewawancarai narasumber yang sedang tertimpa sebuah kasus justru sering terlihat mewawancarai pihak-pihak yang tidak berelasi dengan kasus yang sedang diberitakan.

96 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berdasarkan data”.

Ia pun beranggapan dengan adanya infotaiment pada kenyataannya tidak memberikan manfaat apa-apa bagi kehidupannya. Melalui penjelasannya kemudian Yanti memberikan argumen bahwa infotainment berisi hal yang sangat ringan dan remeh serta persoalan yang sebenarnya tidak jelas asal-usulnya.

Kemanfaatan menjadi pertimbangan bagaimana Yanti menghadapi infotainment, meskipun ia pada satu sisi tidak menampik bahwa masyarakat/kelompok dampingannya yang menjadi tempat memberikan advokasi setiap hari sangat gemar menonton hal-hal yang gampang dicerna, tidak membutuhkan waktu untuk berpikir dan yang pasti tidak semakin membebani pikiran hidup mereka yang sudah berat dan sulit.

“Itu tontonan mereka iya. Salah satu tontonan mereka. Sinetron dan infotainment itu hiburan bagi mereka. Tidak mau kan memikir yang susah, seperti berita. Kadangkala, kita bisa masuk ke mereka dengan berita itu”.

Lebih lanjut Yanti memaparkan pendapatnya bahwa infotaiment selayaknya sinetron, memiliki skenario dan jalan cerita yang sudah dibuat sedemikian rupa agar menarik dan tampak nyata untuk diikuti. Stereotipisasi yang muncul dalam infotainment secara tidak langsung ditolak oleh Yanti lewat jalan memosisikan diri di hadapan infotainment. Menonton infotainment sama halnya ketika ia menonton sebuah sinetron di televisi, bahwa sesuatu yang muncul itu melalui suatu sekenario di belakangnya. Ini artinya latar belakang ideologi budaya massa dalam tayangan infotainment dipahami betul oleh Yanti. Dengan menyebut

“…..infotainment itu hiburan bagi mereka…..” maka Yanti menjelaskan bahwa ia tidak memiliki hiburan yang sama dengan masyarakat/kelompok dampingannya.

97 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Posisi membenci infotainment tanpa menggunakan kata atau kalimat langsung digunakan oleh Yanti. Namun indikator penolakan Yanti terhadap tayangan infotainment justru terlihat secara nyata melalui kalimat-kalimat yang menyatakan othering5 antara ia yang tidak suka dengan orang lain yang menyukai infotainment. Merujuk kepada Ien Ang kembali, bahwa tidak selalu penolakan datang dari kalimat yang vulgar sebuah tayangan namun sebaliknya penjelasan atas rasionalitas sebuah tayangan dapat dipilih pembenci Dallas dalam menyampaikan kebenciannya atas sebuah tayangan televisi. Berikut penjelasan

Yanti kemudian:

“Kalau aku sih, kebenaran tidak mutlak. Kita harus kritis melihat itu. Kita menganalisa saja. Kalau itu bisa saja hanya skenario, atau kepentingan promosi, atau apa. Analisa saja. Kadang juga, mosok sih sampai segitu”.

Yanti juga menjelaskan bahwa tayangan infotainment sulit dipegang kebenarannya, oleh karenanya ia memilih untuk mengikuti sebuah kasus KDRT6 melalui tayangan berita formal bukan dalam bentuk infotainment.

“Kebenarannya saja. Karena selalu wartawan infotainment menyebut dirinya pers. Pers kan harus berimbang. Kalau wartawan infotainment ini kan lebih banyak tidak berimbang. Mencari-cari. Seperti misalnya Tora Sudiro memukul wartawannya. Yang dimunculkan adalah kekerasan Tora Sudiro. Tapi tidak ditanya alasannya. Hanya di Alvin saja yang bertanya ke Tora Sudiro apa alasan memukul. Ternyata anaknya ketakutan. Artinya Tora melindungi anaknya”.

Posisi audiens sebagai hating infotainment adalah Habibah. Penulis menilai statement Habibah cenderung sama dengan surat no-31 hlm. 404. Dengan mengatakan Infotainment „lebay‟ Habibah dan menilai infotainment sangat

5 Othering berasal dari kata other yang berarti yang „lain‟, lawan dari self. Sedangkan Othering berarti melihat orang lain berbeda dengan self (diri). Terminologi ini dicetuskan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalism (London: Routledge dan Kegan Paul. 1978). 6 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

98 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berlebihan ketika memberitakan kasus selebritis. Infotainment dalam persepsi

Habibah, adalah ”berita murahan” dengan cara menambah-nambahi sesuatu yang nilainya jauh lebih kecil dari persoalan yang disampaikan.

Dengan narasi yang dibuat provokatif dan waktu penayangan berita artis secara terus menerus sepanjang hari, sampai berminggu-minggu membuat infotainment sering dianggap hanya berisi berita penuh sensasi. Dan seperti yang telah banyak diketahui, sensasi infotainment tidak lain adalah keuntungan materi pemilik program infotainment maupun stasiun televisi. Oleh karenanya alasan infotainment „lebay‟ menjadi persamaan posisi Bibah dengan informan Ien Ang penulis surat ke-31 berikut ini:

“My opinion of Dallas? Well, I‟d be glad to give it to you: WORTHLESS RUBBISH. I find it a typical American programmes, simple and commercial, role affirming, deceitful. The thing so many American programmes revolve around is money and sensation. Money never seems to be a problem. Everyone is living in luxury, has fantastic cars and loads of drink. The stories themselves are mostly not very important. You never have to think for a moment: they think for you.”7

Tidaklah menjadi penting sesungguhnya apa yang menjadi persoalan yang menimpa artis dalam infotainment baik, perceraian, perselingkuhan, maupun promo album/film. Namun hal yang jauh lebih penting dari sebuah berita adalah siapa artis yang sedang terkena masalah atau sedang melakukan promosi album/film, maka di sinilah infotainment bekerja melalui sensasi dan tampilan berita yang sedemikian rupa agar dapat „dijual‟ dan menghasilkan keuntungan.

7 Pendapat Saya tentang Dallas? Saya dengan senang hati akan memberikannya kepada Anda: Sampah tidak bernilai. Saya mengetahui tipikal program Amerika, sederhana dan komersil, ……. Banyak program Amerika berkutat pada uang dan sensasi. Uang terlihat tidak menjadi masalah. Semua orang hidup pada kemewahan, memiliki mobil-mobil yang bagus dan penuh dengan minuman. Cerita tentang mereka kebanyakan tidak menjadi penting. Anda tidak perlu berpikir untuk beberapa saat: mereka berpikir untuk Anda.

99 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Seperti yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan Assistant

Producer Espresso Khusnul Itami Sidik, bahwa infotainment memiliki keunikan mengangkat berita yang berbau sensasi, seperti yang tertuang dalam pernyataannya berikut ini;

“Kalau kita tahu itu sensasi ya kita tayangin. Banyak lah, ketika kita tahu ini materinya, kita tahu berita ini bagi kita yang sudah lama di dunia entertainment apalagi Mbak Endang ya.. ini pasti udah kebaca sama dia gitu”.

Bibah memandang tayangan infotainment yang ia tonton tidak lebih sebagai tayangan yang tidak bermutu dan berlebihan. Dengan menggunakan ungkapan bahasa anak muda sehari-hari yaitu “lebay”, sesungguhnya Bibah sedang memberikan label negatif terhadap tayangan televisi yang sering membuatnya merasa tidak punya pilihan lain untuk menontonnya. Bibah dapat masuk dalam kategori Hating Infotainment (Pembenci Infotainment).

Mengaku tidak terlalu suka menonton televisi dan infotainment tercermin juga saat penulis mengajak Bibah menonton bareng tayangan infotainment.

Tayangan “Hot Shot” di stasiun televisi SCTV pukul 09. 30 WIB adalah infotainment yang ditontonnya saat itu. Ia berkomentar saat penulis bertanya

”Apakah menonton televisi, ibarat teman yang kita butuhkan?” ia menjawab

“Tidak juga. Kalau teman itu kan butuh sekali. Mungkin menonton itu karena ada televisi. Kalau tidak ada, ya ndak apa-apa”.

Dengan dipandu Donita sang pemain sinetron, infotainment tersebut memulai tayangan dengan berita artis Sandy Aulia, berlanjut berita tentang promosi film „Virgin 2‟. Dalam nonton bareng ini penulis mengamati Bibah terlihat „kurang serius‟ menonton infotainment. Ia tidak memperhatikan tayangan

100 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dan menyambi menonton infotainment dengan membaca koran. Sesekali ia melirik televisi, ia terlihat lebih tertarik membaca berita di koran yang memang tersedia di ruangan tempat kami menonton bersama-sama.

Sebagaimana komitmen awal, bagi Habibah infotainment itu „Lebay‟.

Penjelasan audiens tersebut, seperti yang Ien Ang temukan dalam surat audiens yang menyatakan ketidaksukaannya terhadap Dallas berikut;

“These people seem not just to dislike Dallas: they get terribly worked up by it. Many of them also make considerable use of strong language in judging the programme, as though to emphasize yet again the logic of their hatred: „worthless rubbish‟, „dreadful‟, „annoying‟ „ghastly‟, „daft‟, „ridiculous‟, „disgusting‟, etc”.8

Sejalan dengan pendapat para penonton yang dalam kategori “pembenci”, pernyataan Khusnul bahwa infotainment merupakan tayangan penuh sensasi juga menjadi bagian penting dari keseluruhan program infotainment yang penuh dengan kepentingan hiburan. Program infotainment yang syarat dengan hiburan juga sangat dipahami oleh Bibah. Oleh karenanya dalam melakukan pendekatan para ibu yang menjadi bagian komunitas dampingannya, memahami atau sekadar mengetahui sensasi-sensasi yang terdapat dalam infotainment menjadi „modal sosial‟ yang penting bagi dirinya dalam menjalin komunikasi dengan tujuan advokasi terhadap hak-hak kesetaraan perempuan dapat dilakukan dengan baik dan lancar.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pertanyaan terbuka yang penulis lakukan, dapat diketahui bahwa aktivis “JPY” yang masuk pada kategori

8 Orang ini tidak hanya terlihat tidak menyukai Dallas: mereka sangat bekerja dengan itu. Banyak dia ntara mereka juga menggunakan bahasa yang kuat dalam menghakimi program, dengan maksud untuk menekankan kembali logika pada hal yang mereka benci: „sampah tidak berharga‟, „menakutkan‟, „menyebalkan‟, „mengerikan‟, „bodoh‟, „menggelikan‟, „menjijikkan‟, dll.

101 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pembenci infotainment ini menilai karena tayangan tersebut tidak rasional, kurang bernilai seni, dan berlebihan dalam memberitakan perceraian atau perselingkuhan artis. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bagaimana audiens dengan tegas memosisikan dan bahkan menilai suatu tayangan dari apa yang mereka lihat.

Mereka dapat mengatakan ketidaksukaannya karena dari tayangan tersebut mereka tidak mendapatkan apa-apa.

A.2. Penonton Ironi Infotainment

Kategori berikutnya adalah kategori penonton ironi. Kategori penonton ironi memiliki kecenderungan untuk menikmati infotainment dan mengikuti isu- isu yang ada di dalamnya, meski disatu sisi mereka tidak sepenuhnya setuju dengan yang mereka saksikan. Mereka penasaran dengan apa yang di sampaikan infotainment namun tidak sepenuhnya setuju. Mereka umumnya menikmati beberapa isi namun pada sisi lain mereka sangat tidak menyukainya.

Dalam wawancara Ipe sempat menyatakan bahwa tayangan infotainment penuh dengan hal negatif dan cenderung membicarakan hal yang tidak penting sehingga menonton infotainment sama saja menonton hal yang sia-sia, oleh karenanya ia sering merasa sakit hati bila menonton tayangan mengenai perceraian atau perselingkuhan artis atau hal yang berkaitan persoalan privat seseorang. Hal privat menurut Ipe tidak layak dikonsumsi massa. Namun dilain pihak Ipe mengatakan menikmati berita-berita infotainment yang berhubungan dengan kesuksesan dan yang merekam aktivitas sang artis setiap hari. Menurutnya berita yang menceritakan aktivitas sang artis cukup memberi nilai positif karena

102 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

memberi semangat. Seperti penjelasannya berikut ini;

“Kalau itu diungkapkan oleh tokoh-tokoh atau artis yang cukup bagus, mungkin ada manfaatnya. Misalnya kayak modelnya Agnes Monica. Menurutku statement dia tentang bagaimana strategi mem-planning, kemudia n merancang aktifitasnya itu cukup menarik. Kalau lainnya, apa yang menarik ya. Aku itu lebih suka pada artis yang semangat. Seperti Agnes, Santi, yang tidak lebay. Semangat hidupnya itu menjadi inspirasi bagi banyak orang”.

Kebetulan ketika penulis sedang melakukan observasi dan nonton bareng pada Sabtu, 4 Juli 2009 pukul 10.50 WIB di kamar kos Ipe, ia sedang menonton tayangan infotainment dengan mengerjakan laporan kantornya. Pada saat itu infotainment yang kami tonton adalah tayangan SILET yang tayang di stasiun televisi RCTI Senin-Sabtu pukul 11.00 WIB. Artis yang sedang diberitakan ketika itu adalah Chiko Jeriko dan Laudya Cinthya Bella. Dalam tayangan infotainment itu, diberitakan pasangan muda tersebut saling memberikan dukungan meski mereka berbeda keyakinan dalam memeluk agama. Chiko yang sedang merayakan hari kelahirannya diberi doa oleh sang pacar Bella dari Mekkah yang baru saja menyelesaikan ibadah Umroh. Diceritakan pula Bella bersama mantan pacarnya artis Raffi Ahmad secara bersama-sama berangkat Umroh tanpa di dampingi pasangan terbaru mereka masing-masing. Meskipun begitu narasi dalam infotainment SILET tersebut mengatakan keadaan ini bukannya makin merenggangkan jalinan kasih antara Chiko dengan Bella justru yang terjadi sebaliknya, mereka sangat yakin dalam membina hubungan meski tidak dapat beribadah bersama-sama.

Kembali pada tanggapan Ipe ketika berita tentang Chiko-Bella diberitakan di SILET, Ipe menyatakan ketidaksukaannya terhadap hal yang berhubungan

103 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dengan privasi sang artis. Kemudian ia mengatakan; ”Kan sponsor kali, makanya berangkatnya bersama. Itu kan strategi agen umrohnya itu, hehehe”.

Namun begitu penulis menanyakan kembali ”sebenarnya berita apa yang membuat Ipe suka menonton infotainment?” Ia lalu menjawab tayangan artis dengan segala aktivitasnya. Kenyataan yang tampak adalah bahwa suatu tayangan infotainment dapat membuat Ipe bertahan lama di depan infotainment jika berita tersebut tidak membuka aib seorang artis. Hal ini tampak saat Ipe menikmati tentang Bella dan Raffi yang sedang melaksanakan umroh; di dalamnya juga diperlihatkan saat sedang umroh, bersama siapa sampai sekembalinya di tanah air dan mereka melakukan apa selepas beribadah umroh.

Ipe menolak berita-berita tertentu, tapi di sisi lain ia menikmati apa yang disampaikan infotainment. Di sinilah Ipe terlihat melakukan rekonsilisasi antara ideologi budaya massa dengan pengalaman menikmati tayangan infotainment.

Secara bersamaan Ipe memadukan kedua hal yaitu membenci dengan mengatakan tidak suka hal yang privat disodorkan ke ranah publik, namun sekaligus merasa mendapatkan semangat bila menonton aktivitas sang artis di dalam tayangan infotainment. Hal ini adalah ciri apa yang disebut Ien Ang The Ironical Viewing

Attitude. Seperti dalam surat no 29 dan 36 yang dikirimkan oleh para informan Ien

Ang berikut ini:

“My feeling are mostly very superior, such as: what a lot of idiots. And I can laugh at it. Often too I find it oversentimental. One thing in its favour: it‟s never dull” (surat 29).9

“As you may notice I watch it a lot, and (you may find this sounds a bit

9 Perasaan Saya lebih banyak sangat superior, seperti: banyak idiot. Dan Saya dapat tertawa saat itu. Sering juga Saya merasa lebih sentimental. Satu hal yang mendukung: itu tidak pernah membosankan.

104 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

big-headed) I find it amusing precisely because it‟s so ghastly (if you know what I mean)” (surat 36).10

Lebih lanjut Ien Ang juga menuliskan seseorang dapat dikategorikan menempati posisi Ironis apabila,

“The ironic viewing attitude makes a reconcilitiation possible between the rules of the ideology of mass culture („I must find Dallas bad‟) and the experiencing of pleasure („I find Dallas amusing because it‟s so bad‟)”11 (408).

Sejalan yang diutarakan oleh Ien Ang di atas dalam pengakuannya Ipe juga sangat memahami bahwa infotainment adalah bagian dari bisnis televisi dengan mengandalkan sensasi yang dapat mencuri perhatian penonton.

Infotainment, melalui berita sensasinya, diharapkan mampu menaikan rating dan memperlihatkan hasil akhir pada keuntungan finansial. Sehingga hal yang biasa disebut privat dan harus ditutupi ketika dibuka ke ranah publik menjadi populer dan digandrungi.

Penonton yang dapat dikategorikan ironis selanjutnya adalah Ani

Himawati. Hal ini terlihat dalam statement-nya ketika mengatakan bahwa ia memahami dengan pasti bahwa yang ia nikmati dalam infotainment adalah hal remeh-temeh dan sangat privat, namun karena sangat remeh-temeh itulah ia menjadi penikmat setia tayangan tersebut. Ungkapnya;

10 Sebagaimana kamu perhatikan Saya menonton banyak, dan (kamu mungkin mendapatkan ini terdengar sedikit lebih besar) Saya mendapatkan persis karena ini begitu menakutkan (bila kamu mengesrti apa yang Saya maksud).

11 Penonton ironis membuat rekonsiliasi yang memungkinkan antara peraturan dari ideology budaya massa („Saya harus melihat Dallas buruk‟) dan pengalaman dari kesenangan („Saya melihat Dallas karena itu begitu buruk‟).

105 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

”Pagi itu pasti. Sambil memasak, dan sebagainya. Siang dan sore kalau tidak punya pekerjaan. Kayak kemarin di rumah, saya juga menonton infotainment. Mbak saya yang nomer dua sampai bilang, ngapain nonton infotainment. Jadi saya itu suka menonton infotainment, tapi tidak hapal jamnya kapan saja. Kadang untung-untungan saja. Tapi saya mencari karena memang tidak hapal jam tayangnya. Mbak saya suka bilang, tidak kreatif menonton infotainment. Tapi saya bilang, lha saya pingin tahu nih. Pokoknya begitu menonton televisi, saya akan menonton infotainment”.

Kalimat yang paling dapat menegaskan posisi ironi Ani Himawati adalah ketika ia mengutarakan alasan tetap menonton infotainment meski sang kakak mengejek dirinya, “…. Lha saya pingin tahu nih…”. Alasan ini mengisyaratkan meski dicibir orang lain, Ani tidak perlu mengganti ke saluran lain. Ani bahkan seakan tidak peduli, bahwa infotainment, seperti dikatakan KPI12 sebagai tayangan non-faktual dan tidak memenuhi kepentingan publik. Kenikmatan menghadapi infotainment bagi Ani tidaklah berbanding lurus dengan suara-suara di sekitarnya. Bagaimanpun Ani adalah menjadi bagian dari dirinya sendiri atas pilihannya menikmati infotainment; di mana kesadaran akan makna ia sendiri yang menentukan.

Hal ini sejalan dengan yang diutarakan Ien Ang pada hal 409 ketika mengonmentari surat 24 yang dituliskan oleh salah satu informannya:

”The ironic viewing attitude places the viewer in position to get the better, in a sense, of Dallas, to be above it, And this way, as a ‟serious, intelligent feminist‟, she can allow herself to experience pleasure in Dallas. She says in fact: ‟of course Dallas is mass culture and therefore bad, but precisely because I am so well aware of that I can really enjoy watching it and poke fun at it‟.13

12 Komisi Penyiaran Indonesia 13 Penonton dengan sikap yang ironis menempati penonton pada posisi untuk mendapatkan yang lebih baik, pada perasaan, tentang Dallas, untuk lebih tinggi dari itu. Dan cara seperti ini, sebagai serius, feminis yang pintar, dia dapat memperbolehkan dia sendiri untuk menikmati pengalaman yang menyenangkan di Dallas. Dia berkata pada kenyataannya: „tentu saja Dallas adalah budaya massa dan oleh karenanya buruk, tapi secara pasti karena Saya sangat paham atas apa yang Saya tonton dan bersenang-senang dengan itu.

106 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sejalan dengan Ani, penonton ironi berikutnya ditempati oleh Yanti, ia berpendapat bahwa infotainment sering terlihat “keblabasan” atau dalam bahasa

Indonesia dapat diartikan melanggar aturan-aturan tertentu, seperti terlihat dalam pendapatnya berikut ini: ”Lha liputannya katanya jurnalis. Tapi pas penayangannya jadi ga memenuhi unsur jurnalis lagi”. Mempertanyakan hak infotaiment dalam mengorek berita dari sang artis juga hal yang diutarakan oleh

Yanti: ”Ngapain kayak gini yang di ungkit-ungkit. Kan sosok yang ditayangin juga punya hak. Asas praduga tak bersalahnya jadi hilang dong?”.

Namun di lain pihak Yanti juga terlihat menikmati bagaimana infotainment memberitakan selebriti yang mengeluarkan album musik terbaru mereka. Menurut penulis statement yang paling menarik dari wawancara dengan

Yanti adalah berikut ini:

“Kadang, ada berita yang menggelitik itu (aku) langsung melihat. Tapi kalau tidak, kadang juga hanya mendengar saja sambil membaca. Kalau beritanya sudah tidak layak, artinya sebenarnya itu bukan konsumsi publik, maka tidak lagi menontonnya. Karena kasihan juga si artis itu. Kadang, infotainment juga tidak mengandung kebenaran mutlak”.

Maksud berita yang menggelitik bagi Yanti adalah apabila ada berita artis sedang promo album atau mengeluarkan karya film membuatnya tertarik menonton infotainment. Melalui penjelasannya, Yanti kemudian memberikan argumen bahwa infotaiment berisi hal yang sangat „ringan‟ dan persoalan yang sebenarnya tidak jelas asal-usulnya. Pertanyaannya kemudian adalah kalau memang berita dalam infotainment berisi hal yang tidak memuat kaidah

107 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

jurnalistik, dan mengandung persolan yang tidak jelas, namun mengapa masih saja Yanti “menikmati” berita-berita seputar artis/band yang mengeluarkan album atau film terbaru mereka.

Kenikmatan Yanti di hadapan infotainment tampak ketika saya sedang melakukan menonton bersama sebuah infotainment pada Selasa, 7 Juli 2009 di sekretariat PSB. Waktu itu jam menunjukkan pukul 11.15 WIB di mana

Infotainment INSERT di Trans TV sedang tayang. Sesekali Yanti, keluar masuk ruangan karena harus bertemu dengan staf PSB di ruangan lain dan kemudian ia meneruskan menonton infotainment. INSERT pada saat itu menayangkan berita mengenai pemakaman sang Raja Pop Michael Jackson, dengan penuh perhatian

Yanti terlihat menonton berita tersebut dengan seksama, menurut pengakuannya kemudian ia ternyata cukup menyukai sosok Michael Jackson tersebut. Kemudian berita beralih pada cerita artis Dinda Kanya Dewi yang baru saja mengalami kecelakaan ketika mengendarai mobil pribadinya. Berbeda dengan berita sebelumnya, mengenai Dinda Kanya Dewi ini Yanti terlihat tidak antusias dalam menonton dan mengomentari berita tersebut.

Yanti tidak menampik bahwa masyarakat/kelompok dampingannya, tempat di mana ia memberikan advokasi, sangat gemar menonton hal-hal yang mudah dicerna dari infotainment.

“Itu tontonan mereka iya. Salah satu tontonan mereka. Sinetron dan infotainment itu hiburan bagi mereka. Tidak mau kan memikir yang susah, seperti berita. Kadangkala, kita bisa masuk ke mereka dengan berita itu”.

Pada saat ini lah, sesungguhnya sebuah ironi terjadi pada Yanti. Ironi di mana ia sendiri berusaha menolak infotainment untuk dikonsumsi di sisi lain ia

108 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

harus mengikutinya sebagai jalan bertemunya dua kekuatan; menolak dan menerima. Statement Yanti di atas yang mengatakan infotainment berisi hal-hal yang tidak penting, bersifat berita “ringan” namun pada titik tertentu ia harus memanfaatkan tayangan tersebut. Karena lewat berita ”tidak penting” dan

”ringanlah” Yanti masuk dan dapat membuka pembicaraan dengan komunitas dampingannya. Yanti mengakui bahwa relasi antara dirinya dengan buruh-buruh yang sedang ia dampingi jelas tidak setara. Buruh yang secara ekonomi dan pendidikan lebih rendah dibandingkan Yanti yang lulusan SMA, terbiasa membaca dan berpikir kritis ternyata memerlukan “jembatan” komunikasi untuk dapat berinteraksi dengan baik. Oleh karenanya berita-berita dalam infotainment dirasa sangat membantu Yanti untuk membangun percakapan antara ia dengan komunitas dampingannya, berikut pengakuannya: “Paling hanya jadi obrolan menyambut saja. Bukan utama. Kadang membahas KDRT dengan mereka. Jadi bahan obrolan”.

Hal ini memperlihatkan meski Yanti di awal terlihat tidak suka dengan berita-berita infotainment yang berisi privasi sang artis namun pada sisi lain ia tenyata juga menunggu berita selebriti yang mengeluarkan album musik atau film.

Terlebih lagi ia juga mengaku memanfaatkan berita infotainment untuk membuka obrolan dengan komunitas buruh dampingannya. Tentu saja putusan-putusan

Yanti tersebut sedang menunjukkan dua sisi yang saling bertolak belakang. Di lain sisi ia merasa gerah dengan berita infotainment namun di sisi lain ia juga mengambil berita-berita yang menguntungkan baginya baik untuk hobinya menggandrungi band tertentu ataupun untuk pekerjaannya sebagai aktivis buruh

109 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perempuan. Hal ini tentu saja bermuara pada kesimpulan bahwa Yanti juga dapat dikategorikan penonton Ironis.

Ideologi budaya massa memang yang melatar belakangi semangat infotainment, hal ini penulis dapatkan masih dari pengakuan oleh Khusnul Itami

Sidik, Asisten Produser Infotainment ESPRESSO:

”Kalau kita tahu itu sensasi ya kita tayangin. Banyak lah, ketika kita tahu ini materinya, kita tahu berita ini bagi kita yang dah lama di dunia entertainment apalagi Mbak Endang ya.. ini pasti udah ke baca ma dia gitu. Ga ada spesia lisasi seperti itu. Gini aja yang dicari, enggak kita kan juga ngelihat pasar, berita ini apanya yang hot ya..udah itu yang kita kejar”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Endang Widiastuti, produser utama dari

‟Espresso‟, bahwa infotainment sangat mengandalkan sensasi di mana audiens ditempatkan. Dari segi artis sangat dipertimbangkan berita yang akan ditayangkan ke penonton dapat „menjual‟ atau tidak, sehingga yang penting bukan lagi sekadar nilai peristiwa atau dalam kaidah jurnalistik disebut „Apa‟ namun „Siapa‟ yang mengalami peristiwa sehingga dapat menarik diberitakan.

“Kalau artisnya menarik sih boleh lah ya. Kepekaan itu pasti ada di kita lah ya. Kalau artinya, kamu tahu Naima ga? Terkenal banget ga? Enggak kan? Kayak gitu tu yang dipertimbangkan. Harusnya ada pemikiran ditayangkan apa enggak? Kalau misalnya Luna Maya, ya udah kita tayangin”.

A.3. Pencinta Infotainment

Menyukai tayangan infotainment adalah gambaran yang terlihat jelas dalam wawancara antara penulis dengan Ani. Ani yang selalu melakukan „ritual‟ menonton televisi (infotainment) pada pagi hari, selepas bangun tidur. Bahkan dengan jadwal infotainment terpagi yang pernah ada, yaitu 05.30 WIB, Ani hampir tidak pernah ketinggalan menonton tayangan tersebut. Berlatar belakang

110 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sebagai aktivis perempuan yang berpendidikan terakhir Master of Antropology di

Leiden University Belanda, ternyata tidak membuat Ani berpendapat bahwa infotainment merupakan tayangan yang tidak penting dan tidak mengandung

„kebaikan‟ seperti yang sedang ramai dibicarakan saat ini.

Justru dengan lugas Ani mengungkapkan bahwa infotainment merupakan tayangan favoritnya sejak beberapa tahun lalu. Statement ini membuat Ani dapat dikategorikan sebagai Loving Infotainment (pencinta Infotainment). Sesuai yang diungkapkan Ien Ang, pecinta Dallas adalah sebagai berikut: “„Really‟ loving

Dallas (without irony) would seem to involve a strained attitude toward the norms of the ideology of mass culture. And it is this strained relationship which the fans have to try resolve”14 (1993: 412).

Apalagi kemudian Ani mengakui dengan kesukaannya menonton infotainment membuat ia sangat mudah melakukan pendidikan jender terhadap komunitas dampingannya. Dengan obrolan-obrolan yang ringan, mudah dicerna dan isu yang juga diketahui oleh para komunitas dampingannya menjadikan pembicaraan berita-berita artis di infotainment adalah „pintu masuk‟ yang tepat ketika akan menjalin interaksi yang baik apalagi ketika akan „memasukkan‟ pengetahuan yang sama sekali belum mereka (komunitas dampingan) dapatkan.

Minat Ani terhadap tayangan infotainment penulis lihat sebagai akibat dari begitu gemarnya ia sedari kecil menonton televisi. Ketergantungan yang tinggi terhadap televisi dalam kehidupan sedari kecil terlihat melalui pengakuannya

14 Sunguh-sungguh mencintai Dallas (tanpa ironi) akan terlihat masuk menerobos nilai- nilai dari budaya massa. Dan itu menerobos relasi yang mana pencinta (Dallas) harus mencoba mencari solusi.

111 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berikut ini:

“Saya suka nonton teve, apapun itu. Saya suka menonton berita semuanya. Sejak kecil suka menonton televisi dan dibia rkan menonton televisi. Belajar di depan televisi, melakukan apapun di depan televisi, makan di depan televisi, tidur di depan televisi dan nanti dipindah. Tidak pernah jam belajar khusus dan televisi dimatikan begitu. Tidak ada. Karena saya mengerjakan PR di depan televisi. Seluruh keluarga saya begitu. Bapak saya juga gemar televisi. Saya tidur sia ngnya di depan televisi. Sore baru bangun”.

Dalam wawancara selanjutnya penulis dapat mengetahui bahwa kesukaan

Ani terhadap infotainment tenyata tidak juga membuatnya merasa harus selalu mengikuti tayangan infotainment terus-menerus dengan melupakan kegiatan utama ia sehari-hari. Jawaban seperti ini meluncur dari mulutnya ketika penulis menanyakan pernah tidak, Ani mengatur pekerjaan kantor dan pekerjaan lainnya, sesuai dengan jadwal infotainment?

”Wah ya ndak. Tapi kalau misalnya itu bukan suatu pekerjaan, hanya rencana pergi saja. Maka bisa jadi kita perginya setelah acara infotainment tadi. Itu bisa terjadi. Dan seperti itu bisa terjadi di kampung atau komunitas lho. Karena mereka pingin menonton itu. Sehingga akhirnya kita tunggu saja. Karena kalau tidak, malah akan mengganggu konsentrasi. Tapi kalau untuk pekerjaan, kok ya ndak nampaknya. Apalagi pekerjaan yang melibatkan banyak orang dan serius, belum pernah itu terjadi”.

Ketika mengutarakan hal ini Ani juga sedang menonton acara infotainment KISS pukul 09.30 di stasiun televisi Indosiar. Sambil memasak oseng-oseng kacang panjang, Ani menjadikan infotaiment sebagai teman ketika melakukan aktivitas sehari-hari di rumah. Melalui pengamatan penulis, Ani terlihat sesekali terdiam memperhatikan tayangan KISS dan menghentikan aktivitasnya sejenak ketika memasak. Bukti kecintaannya terhadap infotainment dan televisi dapat terbukti di sini bagaimana ia menempatkan televisi sebagai

112 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

teman dan selalu meluangkan waktu untuk menikmati tayanag infotainment setiap hari disela-sela kegiatannya di rumah.

Merujuk kembali kepada Ien Ang pencinta Dallas sesungguhnya memahami bahwa film Dallas juga mengandung hal-hal yang berbau ‟bahaya‟ dan

‟trik‟ atau dengan kata lain pencinta Dallas sangat paham bahwa Dallas mengandung „bad mass culture‟. Namun „mempertahankan‟ bahwa Dallas juga mengandung nilai-nilai kebaikan yang dapat dicontoh dalam setiap episodenya juga selalu diungkapkan sebagai ajang pembelaan atas selera mereka. Seperti dalam surat ke-13 berikut ini:

“I‟m replying to your advertisement as I would like to speak my mind about Dallas. I‟ve noticed too that you get funny reactions when you like watching Dallas (and I like watching it) Many people find it worthless or without substance. But I think it does have substance. Just think of the saying: Money can‟t buy happiness‟, you can certainly trace that in Dallas (412-413).15

Pecinta Dallas mengakui bahwa tayangan Dallas mengandung budaya massa yang buruk namun dilain pihak dalam surat, mereka juga melakukan pembelaan, seperti apa yang disebut Ien Ang “protective strategy can also be employed by actually challenging the ideology of mass culture”.16

Situasi keluarga yang sedari kecil sangat familiar dengan TV menjadikan

TV merupakan teman di rumah sekaligus media visual yang menjadi ruang yang terikat dalam kehidupan privat. Hal inilah yang menjadikan infotainment sangat

15 Saya membalas iklan Anda sebagaimana Saya ingin bicara mengenai pikiran Saya tentang Dallas. Saya dapat melihat juga bahw reaksi yang lucu ketika Anda menonton Dallas (dan Saya suka menonton itu). Banyak orang melihat itu tidak berharga dan tanpa substansi. Tapi Saya berikir itu punya substansi. Hanya berpikir dengan berkata: Uang tidak dapat membeli kebahagia an, Anda dapat melihat itu di Dallas. 16 Dengan strategi protektif dapat juga diterapkan untuk menghadapi ideologi budaya massa.

113 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menghibur bagi seorang Ani meskipun ada orang-orang disekitar yang meledek dirinya karena menonton tayangan yang sering disebut ‟remeh temeh‟ itu.

Ideology populism lebih lanjut dijelaskan oleh Ien Ang hal 417: ”it arrives at its norms and judgments in a radically opposite way. But it is not impossible for the two ideologies to be united in one person”.17 Ideology populism ini jugalah yang melatar belakangi Ani, disatu sisi ia paham infotainment berisi berita privat namun ia tetap saja mengkonsumsi tayangan tersebut.

Penjelasan Ani yang sering mengalami sindiran, ejekan atau tanggapan atas ketidaksukaan atas kegemarannya menonton infotainment hampir sama dengan surat no. 7 yang diterima Ien Ang berkaitan tanggapan yang pencinta

Dallas dapatkan dari orang-orang terdekat mereka ketika sedang menikmati tayangan Dallas.

”You‟re right in saying that you often get these strange reactions. Such as ‟So you like watching cheap mass entertainment, eh? Yes, I watch it and I‟m not ashamed of it. But I do try defend my motivation tooth and nail18 (413).

Sering merasa bodoh karena menyukai hal yang dianggap “remeh temeh” tetapi tetap melakukan pembelaan terhadap tayangan tersebut disebut Ien Ang sebagai audiens pecinta. Mereka sesungguhnya hanya merasa tertekan ketika mendapatkan penilaian dan penghakiman bahwa mereka menyukai hal-hal yang sebenarnya tidak penting tetapi sisi lainnya mereka tetap menyukainya. Seperti yang Ani akui, bahwa kakak perempuannya juga sering mencibir dirinya dengan

17 Tapi itu bukan tidak mugkin untuk dua ideology menjadi satu pada satu orang. 18 Anda benar dengan mengatakan bahwa Anda sering mendapatkan rekasi aneh. Seperti „Jadi Anda suka menonton hiburan massa yang murahan, eh? Ya, Saya menonton itu dan Saya tidak malu dengan itu. Tapi Saya berusaha mempertahankan motivasi Saya dengan gigih.

114 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengatakan tidak kreatif karena menonton infotainment:

“…..Mbak saya suka bilang, tidak kreatif menonton infotainment. Tapi saya bilang, lha saya pingin tahu nih. Pokoknya begitu menonton televisi, saya akan menonton infotainment”.

Penuturan Ani bahwa ia juga merasa bodoh ketika mendapatkan sindiran maupun ejekan karena menyukai infotainment, namun pembelaan dan alasan khusus juga ia lakukan;

“Nomer satu karena saya suka acara televisi. Jadi tidak ada alasan khususnya. Karena memang semua saya tonton. Dulu saya suka nonton telenovela india, telenovela amerika. Sinetron saya tonton, dan canelnya saya pindah-pindah. Kalaupun kemudian infotainment, soalnya saya tertarik dengan dunia selebritis. Itu sejak dulu sebelum ada infotainment. Saya itu suka menonton penampilan orang. Fashion. Saya suka. Saya suka musik. Awalnya dulu, di keluarga kami selalu ada majalah. Jadi Gadis, Femina, segala macam. Dan itu kan selalu menampilkan hal-hal itu tho. Maksud saya model. Jadi sejak kecil, saya apal semua model. Model majalah, model kalender. Jadi saya tahu betul, o, Gladis suwandi itu dulu Gadis Sampul. Karena saya punya majalahnya. Krisdayati itu juga Gadis Sampul juara tiga. Karena pas dia pemilihan gadis sampul saya punya majalahnya juga sehingga tahu. Awalnya saya sangat menyukai hal-hal begitu. Saya menyukai tentang fashion. Gaya hidup. Saya menyukai tentang gaya hidup. Jadi majalah saya sangat suka. Kemudian ketika ada televisi, ternyata ada infotainment. Jadi ya saya senang. Ya kadang seperti kebodohan, tapi saya tetap terhibur. Begitu bangun tidur, saya langsung minta dicarikan infotainment. Gosip dong yang dicari. Karena saya kayak kenal dengan artis-artis itu dan mengikuti perjalanannya”.

Cibiran ataupun ejekan pada Ani seakan tidak memiliki fungsi apa-apa saat ia berada di depan infotainment. Hal ini tampak ketika ia juga memberi komentar terhadap presenter KISS, Ruben Onsu. Sembari memegang sayuran yang ia bawa dari dapur di hadapan televisi, Ani menirukan Ruben yang centil membawakan acara KISS.

Aktivitas menonton infotainment seperti dijelaskan di atas adalah bukan semata tanpa alasan yang tidak ada makna atau sesuatu yang mereka cari. Bagi

115 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Nita misalnya, ia mengutarakan menonton infotainment karena ada asalan fashion.

Dari infotainment menjadi tahu lebih banyak tentang fashion yang digunakan para artis; ”Sebenarnya lebih senang melihat fashionnya. Kan lucu-lucu”.

Ungkapannya tersebut ia lontarkan saat Nita sedang menyetrika pakaiannya sambil menonton infotainment di kamar kosnya. Pada saat itu infotainment yang sedang ia tonton adalah „SILET‟ yang sedang menayangkan berita tentang kisah cinta antara pemain sinetron muda Chiko Jeriko dengan

Laudya Chintya Bella. Sikap Nita dalam memperhatikan pakaian Laudya Chintya

Bella yang terlihat mengenakan rok mini, dipadukan atasan coklat, ditambah kalung dan tatanan rambut berombak membuatnya berkomentar ”pakaiannya itu lho...artis memang selalu match”.

Fashion ternyata menjadi hal penarik Nita untuk tetap memerhatikan infotainment, meski lebih lanjut ia mengaku hanya suka menonton saja, akan tetapi tidak sampai tertarik untuk menirunya. Pada situasi tersebut, Nita sesungguhnya sedang menunjukkan bahwa tidak semua bagian dalam infotainment dia benci, karena satu hal fashion yang dipakai oleh presenter maupun artis dalam infotainment juga setidaknya membuat daya tarik tersendiri.

“Kan lucu-lucu” komentar Nita, merupakan bagian dari ekspresi yang dapat dapat diartikan juga „bagus‟, „menarik perhatian‟. Hal inilah yang membuat Nita dapat masuk dalam kategori pecinta infotainment. Meski Nita hanya tertarik pada persoalan fashion, namun dari infotainment tersebut Nita memperoleh informasi yang ia cari.

116 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

B. Penonton ”Tak Berpeta” ”Kesenangan bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol oleh produsen atau bisa dibatasi dalam bentuk dan konteks program. Kesenangan adalah sebuah makna yang dihasilkan pemirsa untuk beragam alasan”.19 Ungkapan tersebut sengaja penulis ambil dari sebuah buku tentang televisi untuk melihat kembali apa yang sesungguhnya terjadi dengan praktik menonton infotainment ala aktivis

JPY. Usaha-usaha di depan dengan membuat kategori tentang audiens dalam meresepsi infotainment tidak lain salah satu usaha mencari bentuk penonton ala aktivis JPY.

Kekuatan penonton di hadapan sebuah tayangan infotainment, pada akhirnya tidaklah bergantung pada kesenangan semata yang dapat dikontrol oleh tayangan tersebut, tetapi juga pada bagaimana mereka memperlakukan infotainment itu sendiri. Mereka pada satu menciptakan makna yang jauh dari apa yang dominan disampaikan dalam tayangan tersebut. Enik yang menggunakan infotainment sebatas hiburan dan kesenangan semata misalnya, adalah bentuk bagaimana infotainment juga pada sisi lain memberikan makna yang hampir seluruhnya berbeda dari umumnya.

Mereka, audiens JPY, seakan berdiri pada suatu habitus tersendiri. Di mana mereka dipengaruhi lingkungan untuk merespon sebuah tayangan termasuk infotainment yang syarat dengan tayangan tanpa nilai. Mereka yang dalam penelitian ini nota bene adalah aktivis pada lingkungan yang bergerak dalam isu- isu perempuan pada akhirnya mengharuskan menciptakan makna perihal

19 Graeme Burton (terj.), Membincangkan Televisi: Pengantar Kepada Studi Televisi, Yogyakarta: Jalasutra, 2000, hlm. 360.

117 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

infotaiment yang mereka tonton. Makna kekerasan dalam rumah tangga misalnya, pada kenyataannya menjadi bagian dominan bagaimana infotainment dikritisi.

C. Catatan Penutup Sebagaimana dijelaskan di atas bab ini telah membahas bagaimana resepsi dan imajinasi dari para aktivis JPY terhadap tayangan infotainment. Beragam tanggapan muncul dari mereka, apalagi dengan latar belakang yang cukup berbeda antar satu dengan yang lainnya. Berbeda dalam hal pendidikan, latar belakang keagamannya serta status kawin dan belum diantara mereka. Selain itu perbedaan dalam isu yang menjadi fokus perhatian mereka. Ada yang bergerak di bidang perempuan dan budaya, perempuan dan Islam, perempuan dan anggaran, perempuan dan buruh, perempuan dan kesehatan reproduksi.

Kerangka analisis yang digunakan di sini adalah menggunakan teori yang telah dihasilkan oleh Ien Ang, yang menganggap para pecinta ideologi budaya massa, yang dalam hal ini para penonton Dallas. Di sini para aktivis JPY melakukan pembacaan tersendiri terhadap tayangan infotainment. Hasilnya adalah sebagai berikut; pertama adalah pembenci infotainment; yaitu Enik, Habibah dan

Yanti; kedua yang menjadi penonton ironi („ironist‟) atas tayangan infotainment, yaitu Hanifah (Ipe), Ani dan Yanti, sedangkan kategori ketiga yang mencintai

(pencinta) tayangan infotainment adalah Ani dan Nita.

Bagi para aktivis JPY, mereka menyadari ada berita, informasi yang kadang terlalu berlebihan akan tetapi juga tidak selamanya seperti itu. Tetap saja dalam aspek yang lain bisa dijadikan sarana dalam rangka menyebarluaskan gagasan mereka tentang isu keadilan dan kesetaraan gender misalnya kepada

118 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

komunitas yang mereka miliki atau dampingi. Apalagi dalam wacana umum atau meminjam istilah Ien Ang, infotainment dapat disebut sebagai ideologi budaya massa, para aktivis tidak latah anggapan miring dari beberapa kalangan yang menolak kehadiran infotainment. Dalam kadar tertentu para aktivis JPY mencoba menerapkan strategi lain dalam merespon tayangan infotainment.

Pada bagian terakhir dalam penelitian ini akan saya tuliskan beberapa hal yang saya dapatkan setelah sekian lama melakukan pengamatan lapangan, dan wawancara bersama para aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan

Perempuan Yogyakarta. Diantara adalah kesimpulan atas hasil penelitian. Tidak ketinggalan adalah rekomendasi untuk kajian/penelitian selanjutnya bagi peneliti lain.

119 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab V

KESIMPULAN

Penulis telah memaparkan dalam bab satu, hal-hal apa saja yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini. Hal yang terpenting dalam rumusan masalah kemudian penulis berusaha menjawabnya melalui dua bab; bab tiga dan bab empat. Rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana respon para aktivis JPY terhadap tayangan infotainment? Kapan para audiens menonton infotainment? Dalam kondisi dan situasi apakah infotainment ini ditonton oleh para aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta”? Apakah memengaruhi aktivitas mereka? Serta di ruang manakah infotainment ini dibicarakan?

Sesuai yang telah saya paparkan dalam bab tiga pada bagian observasi; bagaimana aktivis ketika berada di hadapan infotainment serta bagaimana responnya dalam perihal wacana infotainment itu sendiri. Pada penelitian ini sudah jelas bahwa subyek dari penelitian adalah kelompok kecil yaitu para aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta yaitu jaringan yang terdiri dari lembaga-lembaga maupun individu di Yogyakarta yang fokus pada isu perempuan, gender, dan pluralisme.

Dalam penelitian ini kemudian peneliti melakukan observasi dengan menonton bersama keenam informan dan mewawancarai mereka seputar tayangan infotainment. Penelitian ini tidak lain adalah penelitian etnografis mengenai resepsi audiens terhadap tayangan infotainment.

120 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

A. Praktik Menonton Infotainment

Praktik menonton yang dilakukan oleh para aktivis perempuan ini juga telah saya paparkan secara rinci untuk menjawab bagaimana mereka

„menempatkan‟ tayangan infotainment dalam aktivitas sehari-hari baik di ranah privat; seperti di kamar kos atau di rumah tempat mereka tinggal maupun publik.

Mereka, para aktivis perempuan, adalah perempuan yang aktif melakukan pendampingan terhadap masyarakat dalam berbgai kasus yang berhubungan dengan isu seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),

Keadilan, Gender dan Kesehatan Reproduksi. Penempatan mereka sebagai agent yang terbiasa berpikir kritis dan progresif, dengan kata lain sudah tidak dapat dilepaskan dari kerja sehari-hari mereka. Identitas mereka sebagai agent of change adalah orang-orang yang terdidik, yang dalam padangan umum (opini) mereka bukanlah konsumen infotainment.

Hubungan infotainment dan dengan kerja aktivis perempuan seakan tidak memiliki hubungan. Di mana infotainment yang dalam padangan umum (public opinion) sering disebut sebagai tayangan yang tidak mendidik masyarakat karena bersifat privat, meracuni otak, penuh sensasi dan berisi fitnah demi keuntungan komersial, pada sisi lain juga menjadi bagian bagaimana mereka menikmati sebuah tontonan. Mereka pada kenyataannya tidak dapat menghindar dari sebuah tontonan yang ada di hadapan mereka di mana infotainment menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Dalam menonton, para aktivis perempuan ini mengakui bahwa tayangan infotainment berisi muatan berita yang dapat mereka manfaatkan untuk

121 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

„mendekati‟ masyarakat dampingan tempat mereka melakukan penyuluhan atau advokasi. Cara-cara mereka menikmati infotainment sebagai salah satu sumber informasi dalam ranah publik tidak dapat dilihat dari satu sisi. Penggunaan infotainment di ranah publik bagi para aktivis ini ternyata mempermudah mereka untuk berinteraksi, berkomunikasi dalam mentransfer gagasan tertentu kepada masyarakat dampingan.

Mereka adalah para aktivis yang sekaligus pada sisi lain menyandang sebagai penonton infotainment. Kekuatan mereka di hadapan infotainment juga menjadi semakin jelas tentang arti posisi; penikmat sekaligus pembuat jarak, penikmat sekaligus anti-tesis dari sebuah tontonan. Mereka pada satu sisi berada di ruang kedap suara sehingga jauh dari tudingan sinis infotainment yang menempel padanya meski mereka juga menikmatinya dengan cara yang lain.

B. Resepsi Aktivis Perempuan ‘JPY’

Pada bab IV penulis telah banyak mengurai tentang resepsi audiens.

Resepsi ini tidak lain adalah sikap-sikap audiens terhadap tayangan infotainment yang mereka tonton. Dan sebagaimana dimaksud dalam bab IV, penelitian penonton ini menggunakan teori resepsi seperti yang dihasilkan Ien Ang yang sebelumnya telah melakukan penelitian terhadap 42 pengirim surat di Belanda yang memberikan responnya terhadap tayangan televisi asal Amerika berjudul

Dallas. Ien Ang mengkategorikan 3 posisi penonton dalam melihat Dallas. Yaitu

Hating Dallas, The Ironical dan Loving Dallas. Namun demikian, dalam

122 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penelitian ini penulis memberikan tambahan tentang arti dan posisi aktivis perempuan yang tidak terpaku pada kategori-kategori tersebut.

Berbeda dengan Ang, berbagai respon informan penelitian ini dapat menempati lebih dari satu kategori. Hal ini saya sesuaikan dengan tanggapan dan statement tertentu yang saya dapatkan ketika melakukan wawancara dan observasi ketika menonton bersama-sama tayangan infotainment. Infotainment yang dibenci sekaligus disukai membuat para infoman sering mengungkapkan ketidaksukaan pada beberapa hal yang ada dalam tayangan infotainment. Pada posisi tersebut mereka menunjukan tentangan; apa manfaatnya menonton infotainment? Tetapi pada saat bersamaan mereka justru membuat infotainment juga dapat mereka ikuti kisah-kisah yang ada di dalamnya. Hal ini bisa jadi adalah sebuah ironi tentang posisisi audiens dalam infotainment. Sensasi yang ada dalam infotainment misalnya, dengan berita-berita yang disampaikan, tidak jarang mereka pergunakan sebagai isu-isu yang sedang mereka kerjakan di lingkungan mereka bekerja.

Alasan-alasan mereka, para aktivis tersebut, sudah barang tentu tidak dapat dibantah, bahwa mereka menolak, atau menyukai infotainment atau bahkan kedua-duanya. Mereka yang menyukai tayangan infotainment dengan alasan hanya pada fashion yang mereka temukan dan dipakai para presenter atau artis misalnya tidaklah sesederhana alasan itu dilontarkan. Daya tarik artis yang menggunakan gaya fashion terkini ternyata membuat mereka betah berlama-lama di depan televisi. Mereka bisa jadi menemukan apa yang sebenarnya mereka cari dari tayangan tersebut, meskipun kemudian mereka tidak sampai pada tataran meniru atau memakainya dalam aktivitas sehari-hari.

123 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sedangkan pada sikap lain ketika mereka membenci sebuah infotainment alasannya pun tidak sekeras pertanyaan, apa manfaat dari infotainment? Posisi tersebut juga dapat ditanggalkan dengan sikap bahwa menonton infotainment juga menambah informasi yang dapat digunakan saat mereka menjalankan advokasi pada masyarakat. Kecenderungan melihat infotainment sebagai tayangan yang tidak memiliki kode etik jurnalistik, penuh sensasi dan gosip belaka memang tidak dapat disangkal, tetapi kenyataan lain penilaian tersebut juga berseberangan dengan saat aktivitas menonton berlangsung. Di mana informasi-informasi di dalamnya tidak sedikit mereka pergunakan.

Tegangan-tegangan di atas memang dapat ditemukan saat penelitian ini dijalankan. Namun demikian, benang merah yang menjadi inti dalam penelitian ini adalah ketika ideologi budaya massa (tontonan sebagai produk budaya) dalam infotainment sering „dituduh‟ sebagai hal yang mendatangkan sensasi, sampah, tidak bermoral dan sangat komersil pada satu sisi juga melahirkan ”siasat” yang dapat „dimanfaatkan‟ oleh para aktivis perempuan dalam melakukan proses advokasi kepada masyarakat. Gagasan keadilan buruh atau kesetaraan gender yang sebelumnya sangat awam bagi komunitas masyarakat tertentu misalnya, justru dapat ditansfer pelan-pelan melalui pintu masuk pembicaraan yang „ringan‟,

„sehari-hari‟ dengan membicarakan tayangan infotainment sebagai pembuka bahkan sebagai contoh riil ketika advokasi berlangsung. Produk budaya massa pada kenyataannya digunakan oleh aktivis dalam memberikan simulasi atas sebuah kasus di ruang mereka bekerja.

124 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

C. Refleksi dan Pemikiran Kritis

Infotainment sebagai sebuah produk budaya massa tetap menyisakan persoalan pro-kontra bagi audiens. Hal ini berlaku bagi diri penulis yang tidak luput dari kegelisahan akan mencuatnya wacana pro-kontra akan keberadaan program infotainment di televisi. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan para aktivis JPY, ada beberapa hal yang kontradiktif dari perilaku aktivis.

Pada satu sisi para aktivis JPY ini hendak menggugat nilai-nilai ‟kemapanan‟ yang berlaku di masyarakat, menggugat tradisi yang bias gender, akan tetapi di sisi lain ada sikap ‟memaklumi‟ perilaku para selebriti yang gemar tampil glamour dalam berpakaian, mengikuti trend fashion, lifestyle. Dari anggapan tersebut para aktivis ‟memberi‟ ruang bahwa dunia selebriti memang glamour dan penuh dengan sensasi yang seringkali mengabaikan kondisi sosial masyarakat kebanyakan yang berbeda secara kemapanan ekonomi.

‟Kemenangan‟ para aktivis JPY jika boleh disebut, adalah kemampuan mereka menggunakan produk budaya massa untuk melawan bentuk-bentuk penindasan yang muncul dalam ruang-ruang domestik melalui tayangan yang bernama infotainment.

C. Catatan Penutup

Penulisan tesis ini berusaha menjelaskan resepsi audiens di lingkungan aktivis JPY terhadap tayangan infotainment yang dianggap sebagai bagian dari ideologi budaya massa. Anggapan tersebut pada penulisan tesis ini juga sekaligus dilihat pada praktik menonton secara langsung oleh mereka aktivis perempuan

125 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

serta bagaimana mereka menempatkan tayangan infotainment dalam keseharian saat mereka bekerja. Beberapa pandangan dan komentar tidak langsung (melalui resepsi) dari para aktivis JPY dalam kerangka ini bukanlah bersifat moralis atau baik dan buruknya sebuah tontonan, tetapi lebih dari itu bagaimana infotainment pada praktiknya menjadi tayangan yang meresepsi audiens.

Kekurangan dalam penelitian ini, tentunya masih banyak ditemukan. Dan penelitian kecil ini setidaknya dapat membuka jalur lebih lanjut dengan tujuan- tujuan yang lebih kompleks dalam skala penelitian yang lebih besar. Penulis setidaknya dalam penelitian ini membuat kerangka kecil menuju kerangka besar seputar tayangan infotainment dengan penonton yang berbeda latar belakang pendidikan dengan informan yang ada dalam penelitian ini. Penelitian pada seputar penonton dengan pendidikan ”menengah kebawah” dan berpendapatan rendah misalnya, atau penelitian tentang kenikmatan infotainment sebagai bagian dari tontonan adalah cakupan yang lebih luas untuk dicari keberadaan ”petanya” di tengah-tengah dunia media.

126 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Agger, Ben. 2008. Teori Sosial Kritis. Tr. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Althusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Tr. Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra.

Althusser, Louis. 2007. Filsafat sebagai Senjata Revolusi. Tr. Darmawan. Yogyakarta: Resist Book.

Ang, Ien. 1994. Dallas and the Ideology of Mass Culture. Dalam Simon During (ed.). The Cultural Studies Reader. London and New York: Routledge.

Ang, Ien. 2006. Wanted: Audience. On the Politics of Empirical Audience Studies. Dalam Paul Marris and Sue Thornham (ed.). Media Studies A Reader. New York: New York University Press.

Astuti, Renggo (peny.). 1995. Pesan-pesan Budaya Film Anak-anak dalam Tayangan Televisi: Studi tentang Pengaruh Sistem Modern terhadap Perilaku Sosial Remsaja Kota Cianjur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Atmowiloto, Arswendo. 1986. Telaah tentang Televisi. Jakarta: Gramedia.

Baksin, Askurifai. 2006. Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies, Theory and Practice, diterjemahkan oleh Nurhadi, Cultural Studies Teori dan Praktik, cetakan ke-4. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiman, Kris. 2002. Di depan Kotak Ajaib; Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi. Yogyakarta: Galang Press.

Burhanudin, Jajat. 2002. Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar kepada Studi Televisi. Yogyakarta: Jalasutra.

Chomsky, Noam. 2006. Politik Kuasa Media. Yogyakarta: Pinus.

127 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Fiske, John. 1987. Television Culture. London and New York: Routledge. Fiske, John. 2005. Cultural and Communication Studies: sebuah Pengantar paling komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Fiske, John. 2006. The Code of Television. Dalam Paul Marris and Sue Thornham (ed.). Media Studies A Reader. New York: New York University Press.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Hadi, Antonius Saptana. 2001. Evangelisasi Baru di Tengah Televisi Komersial. skripsi tidak diterbitkan.Yogyakarta: Fakultas Teologi USD.

Hall, Stuart. 1993. “Encoding, Decoding” dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader. London and New York: Routledge.

Heryanto, Ariel (ed.). 2008. Popular Culture in Indonesia Fluid Identities in Post- Authoritarian Politics. USA and Canada: Routledge Media.

Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.

Irianto, Agus Maladi. 2007. “Perempuan, Media, dan Kebudayaan Mengintip Sajian Acara Infotainment di Televisi” dalam media dua bulanan Srinthil, edisi Februari. Jakarta: Desantara dan Ford Foundation.

Irianto, Agus Maladi. 2008. Kontestasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi: Studi tentang Program Tayangan Infotainment, review disertasi program doktor sosiologi tidak dipublikasikan. Jakarta: UI.

Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Tr. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kitley, Phillip. 2000. Konstruksi Budaya Bangsa Di Layar Kaca. Jakarta: ISAI, LSPP. PT Media Lintas Inti Nusantara.

McLuhan, Marshall dan Quentin Fiore. Tt. The Medium is the Message. A Penguin Book.

Murphy, Patrick D and Marwan M. Kraidy (ed.). 2003. Global Media Studies Ethnographic Perspectives. New York and London: Routledge.

Nugroho, Garin. 2004. Opera Sabun SBY: Televisi dan Komunikasi Politik, Jakarta: Nastiti.

Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

128 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Panjaitan, Hinca. 1999. Memasung Televisi. Jakarta: ISAI.

Pastina, Antonio La, “Audiens Ethnographies: A Media Engagement Approach” dalam Media Anthropology, Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman (eds.), California: Sage Publication, 2005.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra.

Program IRB. tt. Penulisan Tesis sebagai Pendewasaan Etos Akademik, Yogyakarta: IRB.

Santosa, Hedi Pudjo. 2007. Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi. dalam Pappilon H. Manurung (ed.). Komunikasi dan Kekuasaan. Yogyakarta: Forum Studi Komunikasi FISIP UAJY.

Schechter, Danny. 2007. Matinya Media –Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi. Tr. Gita W. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi, diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizbeth The Ethnographic Interview, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Tr. Santi Indra Astuti.Yogyakarta: Bentang.

Storey, John. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Yogyakarta: Jejak.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jakarta: LKiS dan ISAI.

Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik.

Sunardi. St. 2007. hand out kuliah „Pertumbuhan Kajian Budaya‟, tidak dipublikasikan.

Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan, Jakarta: Kompas.

Sutrisno, Muji (ed.). tt. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Yogyakarta: Koekoesan.

129 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tondowidjojo, John. 1994. Kekerasan dalam Televisi, Surabaya: Sanggar Bina Tama. Thussu, Daya Kishan. 2007. News as Entertainment The Rise of Global Infotainment. London: Sage Publications

Turner, Graeme. 1996. British Cultural Studies: An Introduction. London: Routledge.

Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wardhana, Veven Sp. 2007. Televisi dan Fashionista Atawa Perempuan Nista. Dalam Jurnal Perempuan No. 54, 2007 edisi Merayakan Keberagaman.

White, Mimi dan James Schwoch (ed.). 2006. Questions of Method in Cultural Studies, USA: Blackwell Publishing.

Yulianto, Vissia Ita. 2007. Pesona Barat di Indonesia Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Yulianto, Vissia Ita. 2008. “Consuming Gossip A Re-domestication of Indonesian Women” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid Identities in Post- Authoritarian Politics, Ariel Heryanto (Ed.).

130