1

TESIS

PENCITRAAN SELEBRITAS POLITISI DI BLOG KOMPASIANA (ANALISIS WACANA KRITIS PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI JAWA BARAT 2013)

OLEH:

CITRA F.I.L DANO PUTRI P1400211006

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

2

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja, puji, dan syukur bagi Allah SWT saya panjatkan, karena saya tahu bahwa tanpa seizin-Nya tidak akan mungkin tesis ini bisa diselesaikan.

Kalau ada yang mengatakan bahwa masa penyelesaian studi merupakan sebuah kondisi yang panjang, melelahkan, dan membosankan, itu memang benar. Tidak terhitung berapa kali muncul keinginan menghentikan proses penulisan tesis ini, atau menunda-nunda karena ada hal lain yang lebih menarik dibandingkan duduk, membaca buku, berselancar di dunia maya, dan mengetik beratus-ratus lembar perbaikan. Tetapi ternyata, satu mantera yang selalu saya ucapkan pada diri saya sendiri, yaitu

“Pikirkan hal-hal menyenangkan yang akan terjadi kalau kau berhasil menyelesaikan kewajibanmu.” begitu ampuh menghadirkan lagi semangat yang lebih besar dari sebelumnya.

Apabila tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik, dan bahkan lebih cepat dari target yang ditentukan, tentu saja saya tidak berhak mengklaim- nya sebagai hasil usaha sendiri, karena ada banyak orang yang berperan membantu saya dengan cara mereka masing-masing, baik secara langsung, maupun tidak langsung dan sepatutnya mendapatkan ucapan terima kasih yang setulusnya dari saya:

1. Kedua orang tua saya, papi Aswin Dano, dan mami Itje Sidiki, yang

walaupun terpisah jauh, tetapi tidak pernah lupa menyelipkan doa dan

3

dukungan kepada saya disetiap telepon dan pesan teksnya. Apapun

dilakukan demi kenyamanan saya selama masa studi, dan ini

merupakan motor semangat nomor satu bagi saya.

2. Adik tercinta (karena hanya satu-satunya:D), Fatra Dano Putri, SH.

Terima kasih untuk dukungan moril dan materil, serta gosip-gosipnya

yang menjadi penawar kebosanan. Demikian juga untuk saudara

iparku, Safrianto Lasaka, S.IP, yang sudah menjadi bagian dari

keluarga kecil kami.

3. Keluarga besar Dano-Sidiki, khususnya untuk Oma Asia Hasan (one

of the most inspiring woman in the world) dan (almh) Oma Ida Lantiku

Sidiki, yang sudah tidak sempat lagi melihat cucunya ini meraih

magister, karena diambil oleh Dia yang lebih mencintai oma.

4. Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc selaku ketua komisi penasehat

tesis. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya telah menjadi

mahasiswi beliau. Sulit mencari ungkapan yang lebih tinggi dari terima

kasih yang ingin saya sampaikan untuk coretan dan koreksi

berharganya demi kesempurnaan isi tesis ini, serta kesediaan

meluangkan waktu untuk membimbing saya.

5. Dr. H.M. Iqbal Sultan, M.Si sebagai anggota komisi penasehat tesis.

Diskusi dan sesi brainstorming dengan beliau selalu seru dan

memberi pencerahan. Terima kasih yang sedalam-dalamnya.

6. Tim penguji tesis, Prof. Dr. Andi Alimudin Unde. M.Si (terima kasih

atas buku Media Effect and Society, buku ini membuka mata saya

4

tentang media yang sesungguhnya), Dr. Hasrullah, MA (opini, saran,

dan kritikannya selalu memberikan saya pengetahuan, dan perspektif

yang baru dalam memandang sesuatu hal), dan Dr. Muh. Nadjib,

M.Ed, M.Lib (Penjelasan beliau tentang semua hal yang saya

tanyakan, sungguh sistematis dan memberikan pencerahan).

7. Seluruh dosen pengajar mata kuliah di Pasca Sarjana Ilmu

Komunikasi, yang sulit disebutkan satu persatu, karena keterbatasan

daya ingat. Terima kasih telah bersedia membagi ilmu dengan kami.

8. Pimpinan dan staff Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta

program Pascsarjana Universitas Hasanuddin. Terima kasih atas

bantuannya yang mempermudah proses studi saya.

9. Teman-teman sesama pejuang angkatan 2011 pascasarjana Ilmu

Komunikasi. Beda karakter, beda kepribadian, dan tidak selalu

menyenangkan, tapi tetap saja saya merindukan kalian ketika masa

kuliah sudah berakhir. Untuk Maya (she is the first reader of this

thesis, thanks untuk kesediaannya mengoreksi kata per kata dari 20

halaman yang saya sodorkan ditengah malam. Ini bukti dari janji saya

kemarin.. hahaha), kak Asmi (dengan apa saya harus membalas

bantuan-bantuanmu yang tidak terhitung banyaknya?? Karena ia-lah

saya percaya masih ada orang tulus di dunia ini), Veby (tidak mungkin

saya lupakan kesediaanmu mengantarkan saya berkeliling kampus

sejak jam 8 pagi hingga jam 4 sore untuk mencari para penguji

seminar proposal. Veby kereeenn!!), Andi dan Izki (duet maut

5

pengurus kelas, yang amat sangat memanjakan anak buahnya),

Puspa, Vita, Kak Lisna, MisteRufi, Buyung, Kak Marin, Kak Wina, Ibu

Rachel, Kak Surdat (untuk pinjaman buku-bukunya yang superb), dan

semuanya. Mohon maafkan kalau tidak semua nama bisa ditemukan

disini. Walaupun tidak ditulis, tetapi yang penting disimpan di hati

kan?? (uhuk!).

10. Blog Kompasiana, dan seluruh Kompasianer yang postingannya telah

saya jadikan data sampel. 29 Kompasianer, nampaknya agak

menyulitkan kalau harus saya sebutkan satu persatu. Walaupun

hanya kenal lewat sebuah desa maya bernama KOMPASIANA,

namun jangan diragukan kuatnya ikatan komunitas ini.

11. Teman-teman di radio lokal Gorontalo, khususnya Kosmonita FM,

yang selalu menjadi tempat andalan saya mencari canda.

12. Serta semua orang yang tidak bisa disebutkan satu persatu disini

karena dibatasi halaman.

Akhir kata, saya sadar bahwa tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kepada semua pembaca, yakinlah bahwa saya selalu menerima masukan berupa saran, opini, maupun kritikan dengan tangan terbuka.

Makassar, Mei 2013

Citra F.I.L Dano Putri

6

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PENGESAHAN ...... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ...... iii

KATA PENGANTAR ...... iv

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR TABEL ...... vi

DAFTAR GAMBAR ...... vii

ABSTRAK ...... viii

ABSTRACT ...... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 10 C. Tujuan Penelitian ...... 10 D. Manfaat Penelitian ...... 10

BAB II KAJIAN KONSEP DAN TEORI

A. Kajian Konsep a. Demokrasi dan Komunikasi ...... 11 b. Pemilu dan Pencitraan ...... 14 c. Selebritas dan Politik ...... 20 d. Teknologi Online...... 22 B. Teori yang Relevan a. Teori New Media ...... 26 b. Teori Pencitraan Politik ...... 31 c. Teori Fenomenologi Hermeneutika ...... 33

7

C. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) ...... 37 D. Hasil Penelitian yang Relevan ...... 39 E. Kerangka Pikir ...... 43

BAB III METODE PENELITIAN

A. Objek Penelitian ...... 44 B. Tipe Penelitian ...... 44 C. Teknik Sampel ...... 44 D. Data dan Sumber Data ...... 49 E. Teknik Analisis Data ...... 49 F. Unit Analisis ...... 52 G. Definisi Operasional ...... 54 H. Jadwal Penelitian ...... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian a. Provinsi Jawa Barat ...... 58 b. Gambaran Umum Pilgub Jawa Barat ...... 66 c. Penggunaan Media Pada Pilgub Jawa Barat ...... 72 d. Kompasiana ...... 95 e. Selebritas Politisi ...... 101 f. Profil Selebritas Kandidat ...... 105 B. Temuan Data Unit Kategorisasi Teks ...... 111 C. Analisa Data dan Pembahasan 1. Interpretasi Data ...... 140 2. Pembahasan a. Pencitraan Selebritas Politisi di Blog Kompasiana 190 b. Indikator Pengukuran Citra Selebritas Politisi di Blog Kompasiana ...... 200

8

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...... 206 B. Saran ...... 209

DAFTAR PUSTAKA ...... x

LAMPIRAN ...... xi

BIODATA PENELITI ...... xii

9

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komparasi karakteristik media 1.0 dan media 2.0 ……………… 29 Tabel 2. Data sampel periode pra kampanye ...…………………………… 46 Tabel 3. Data sampel periode kampanye ……………………………………. 47 Tabel 4. Data sampel periode pasca kampanye ……………………………. 48 Tabel 5. Struktur teks (Van Dijk) ………………………………………………. 50 Tabel 6. Elemen-elemen wacana (Van Dijk) …………………………………. 50 Tabel 7. Unit analisis teks (Van Dijk) ………………………………………….. 53 Tabel 8. Prakiraan jadwal penelitian ………………………………………….. 55 Tabel 9. Data pasangan cagub dan cawagub Jawa Barat………………... 60 Tabel 10. Hasil hitung cepat Pilkada Jawa Barat …………………………… 62 Tabel 11. Kategorisasi pemunculan periode pra kampanye ………………112 Tabel 12. Kategorisasi pemunculan periode kampanye……………………114 Tabel 13. Kategorisasi pemunculan periode kampanye..…………………..115 Tabel 14. Jumlah Teks Postingan Sesuai Periode…………………………..127 Tabel 15. Topik postingan per periode………………………………… ……..129 Tabel 16. Jumlah teks berdasarkan elemen wacana………………………..129 Tabel 17. Uraian Teks……………………………………………...………… 130 Tabel 18. Cara Kompasianer Mencitrakan Selebritas Politisi …………….196 Tabel 19. Pengelompokkan teks citra objektif……………………………… 196 Tabel 20. Pengelompokkan teks citra subjektif……………………...... 198 Tabel 21. Alat Ukur Citra………………………………………………………. 203

10

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Matriks Kecenderungan dan tindakan ...... 31 Gambar 2. Kerangka pikir penelitian ...... 43 Gambar 3. Teknik multistage sampling ...... 45 Gambar 4: Demografis Pengguna Jejaring Sosial ...... 72 Gambar 5. Share of Awareness Cagub dan Cawagub Jawa Barat ..... 77 Gambar 6. Share of Citizen Cagub dan Cawagub Jawa Barat ...... 77 Gambar 7. Chart Trend of Awareness ...... 78 Gambar 8. Elektabilitas Kandidat Cagub dan Cawagub Jawa Barat ... 79 Gambar 9. Data Jumlah Follower Akun Twitter...... 81 Gambar 10: Halaman Facebook Dede Yusuf ...... 82 Gambar 11: Akun Twitter Dede Yusuf ...... 82 Gambar 12: Tampilan halaman depan situs pribadi Dede Yusuf ...... 83 Gambar 13: Testimoni pengunjung pada situs klikdedeyusuf.com ...... 84 Gambar 14: Halaman Situs Pribadi Rieke Diah Pitaloka ...... 84 Gambar 15: Artikel yang ditulis oleh Rieke Diah Pitaloka ...... 85 Gambar 16: Tampilan depan halaman blog Aher-Demiz ...... 86 Gambar 17: Arsip kunjungan blog Aher-Demiz ...... 86 Gambar 18: Akun Twitter (@aheryawan) ...... 87 Gambar 19: Interaksi antara Aher dan Pengikutnya di Twitter ...... 88 Gambar 20: Grafik Kunjungan Blog Kompasiana Per Hari ...... 91 Gambar 21: Tampilan halaman depan blog Kompasiana ...... 92 Gambar 22: Tampilan bagian arsip (dashboard) Kompasianer...... 92 Gambar 23: Tampilan halaman pribadi Kompasianer ...... 93 Gambar 24: Tampilan fitur penulisan dalam Kompasiana ...... 93 Gambar 25: Pola Kepribadian Dasar Selebritas Politisi (Zoonen) ...... 95 Gambar 26: Pengukuran popularitas di media sosial ... 103 Gambar 27: Jokowi tengah memakaikan Rieke kemeja kotak-kotak ... 110 Gambar 28: Kampanye pasangan calon Rieke-Teten ...... 110 Gambar 29. Grafik penggambaran popularitas dalam teks ...... 128 Gambar 30: Persentase Jumlah Teks Pencitraan Objektif ...... 199 Gambar 31: Persentase Jumlah Teks Pencitraan Subjektif ...... 199

11

ABSTRAK

Citra F.I.L Dano Putri. Pencitraan Selebritas Politisi di Blog Kompasiana; Analisis Wacana Kritis Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat 2013 (Dibimbing oleh Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc dan Dr. H.M. Iqbal Sultan, M.Si).

Masyarakat masih kurang dapat menerima kehadiran politisi yang berasal dari kaum selebriti, karena dianggap hanya mengandalkan popularitas dan penampilan saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Kompasianer (anggota dari blog Kompasiana) mencitrakan selebritas politisi yang menjadi kandidat dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2013. Peneliti mengumpulkan 29 postingan yang dipublikasikan dalam blog Kompasiana, berdasarkan tiga periode yaitu; pra kampanye, kampanye, dan pasca kampanye. Kesemua postingan ini kemudian dianalisis berdasarkan metode Analisis Wacana Kritis, dengan model pendekatan Teun Van Dijk. Model Van Dijk ini telah dielaborasi kedalam struktur dan elemen-elemen wacana, agar peneliti lebih mudah menentukan unit teks yang akan dianalisis. Penelitian ini menemukan bahwa selebritas menjadi faktor dominan dalam pilkada Jawa Barat, dan Rieke Diah Pitaloka menjadi yang paling populer diantara para kandidat. Kompasianer mencitrakan selebritas politisi berdasarkan citra subyektif (emosi/afeksi) dan obyektif (logika/kognisi). Citra subyektif adalah ekspresi emosi Kompasiana tentang ketiganya (suka/tidak suka, setuju/tidak setuju). Sedangkan citra obyektif adalah persepsi tentang diri ketiga selebritas yang terbentuk berdasarkan kognisi Kompasiana. Pencitraan ini menggunakan dua alat ukur yaitu: kesan dan kepercayaan. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa citra subjektif dan objektif tersebut sebagian besar diakibatkan oleh liputan media tentang selebritas yang bersangkutan. Citra ini kemudian menjadi sulit dilepaskan walaupun selebritas telah berkecimpung lama di dunia politik.

12

ABSTRACT

Citra F.I.L Dano Putri. The Image of Celebrity Politician in Blog Kompasiana; The Critical Discourse Analysis of The Election of the Governor and Vice Governor of West Java, 2013. (Supervised by Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc and Dr. H.M. Iqbal Sultan, M.Si).

People still cannot accept the presence of politicians from the celebrity, because they are simply relying on the popularity and appearance only. This study aims to determine how Kompasianer (member of the blog Kompasiana) imaged celebrity politician who became a candidate in the election of the Governor and the Vice Governor of West Java in 2013. Researchers collected 29 published in the blog post Kompasiana, based on three periods, namely: pre-campaign, campaign and post-campaign. All of these posts then analyzed by the method Critical Discourse Analysis, with a model approach Teun Van Dijk. Van Dijk's model has been elaborated into the structure and elements of discourse, so researchers more easily determine the unit of text to be analyzed. This study found that celebrities become the dominant factor in the election of West Java, and Rieke Diah Pitaloka be the most popular among the candidates. Kompasianer imaged by the image of the celebrity politician subjective (emotional/affective) and objective (logical/cognition). Subjective image is Kompasiana emotional expressions on all three (like / dislike, agree / disagree). While the image of the objective is the self-perception of the three celebrities that are formed based on cognition Kompasiana. This imaging uses two measuring devices, namely: impressions and beliefs. Based on the research results, the researchers concluded that the subjective and objective imagery is largely due to media coverage of the celebrity in question. This image then becomes difficult to remove even celebrities have long been in the political world.

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun 2004, untuk pertama kalinya memiliki presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Soesilo Bambang

Yudhoyono dan Jusuf Kalla diharapkan mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan tetap berpijak pada demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan politik.

Pada periode pertama pemerintahannya, SBY yang memiliki latar belakang militer membuat beberapa perubahan, diantaranya; kampanye terbuka, unjuk rasa diperbolehkan, serta pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif secara langsung. Salah satu fenomena politik yang mengemuka dan paling menyolok terlihat di masa ini adalah ramainya selebriti menjadi politisi. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia, Siti Zuhro, memperkirakan, arah demokrasi yang membebaskan setiap individu untuk aktif dalam politik (khususnya setelah ditetapkan dalam

UU Pemilu) menjadi salah satu penyebab mengapa selebriti beralih ke dunia politik (Vivalife, 27 Des 2012).

Situs www.berita8.com merilis puluhan nama selebritas yang mencalonkan diri jadi calon legislatif pada pemilu 2009. Beberapa nama

14

diantaranya; Vena Melinda, Angelina Sondakh, Rieke Diah Pitaloka, Soni

Tulung, dan lainnya (29 Maret 2009). Setahun sebelumnya, sudah ada Dede

Yusuf yang menjadi Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, mendampingi

Ahmad Heryawan.

Selebriti menjadi politisi, bukanlah hal baru dan hanya terjadi di

Indonesia saja. Darrel West dalam artikelnya “Celebrity Politics, Political

Celebrity” yang dipublikasikan dalam situs britannica.com, menulis bahwa selebriti berpolitik sudah ada sejak dahulu, dan sulit diidentifikasi siapa selebriti pertama yang menjadi politisi. Ia mencontohkan Mark Twain yang berpolitik lewat karya sastranya, Ernest Hemingway yang terlibat sejumlah kontroversi politik (khususnya perang sipil di Spanyol) pada masanya, dan juga masih banyak sejumlah nama lain (www.britannica.com 27 Agustus

2007).

Beberapa nama selebriti cukup sukses berkarir sebagai politisi, misalnya saja Ronald Reagen yang menjadi presiden Amerika Serikat ke-40.

Reagen adalah aktor film sebelum kemudian mengalahkan Jimmy Carter pada pemilihan presiden AS di tahun 1980. Kemudian ada nama Joseph

Estrada, mantan presiden Filipina, juga merupakan selebriti sebelum menjabat sebagai presiden, dan ada Arnold Schwarzenegger, aktor film action, yang sudah menjadi Gubernur California selama dua periode.

Selain mereka, tersebut pula nama-nama lain; Sarah Palin, (saingan berat Barack Obama dalam pemilihan presiden AS 2008 yang juga seorang penulis buku), Carla Bruni (mantan model yang kemudian menjadi istri

15

presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, dan juga aktif di politik), serta Silvio

Berlusconi (pemilik klub sepakbola A.C Milan, dan menjadi perdana menteri

Italia selama beberapa periode).

Perbedaan besar antara konsep selebriti politisi dan politisi selebriti ada pada peralihan profesi. Selebriti dimaknai sebagai orang yang populer karena sering diliput media tentang aktivitasnya di dunia hiburan, dan kemudian mengalihkan karirnya kebidang urusan publik. Politisi selebriti sendiri adalah orang-orang dengan jabatan publik yang kemudian menjadi news maker dikarenakan aktivitasnya tersebut.

Selebriti memiliki nama besar akibat liputan media. Selain itu ia juga memiliki massa penggemar yang mengidolakannya. Hal ini menjadi daya tarik bagi partai politik untuk merekrut selebriti menjadi perwakilan, dengan harapan mudah untuk meraih dukungan dari penggemar selebriti tersebut.

Disisi lain, hal ini menguntungkan juga selebriti yang mengejar jabatan publik, mengingat dengan kekayaan yang dimilikinya, selebriti bisa meraih posisi dalam parpol, tanpa harus merintis karir dari bawah layaknya kader lain.

Kerugian yang bisa didapatkan parpol adalah, apabila selebriti yang dicalonkan tersebut ternyata memiliki citra negatif. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi performa parpol, karena dalam politik, pencitraan adalah segalanya. Contohnya Julia Perez yang dikritik saat mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Pacitan, di tahun 2010 kemarin. Kekhawatiran lain yang muncul adalah, bahwa selebriti hanya digunakan parpol untuk menjadi

16

pengumpul suara (vote getters) tanpa mempertimbangkan kualifikasi selebriti tersebut, apakah mampu memegang jabatan publik atau tidak.

Selebriti sebagai pengumpul suara (vote getters) memang sudah berlangsung sejak lama. Di tahun 2004, kandidat perempuan (kebanyakan adalah selebriti) direkrut sebagai pengumpul suara. Saat itu, Nurul Arifin

(Golkar), Rieke Diah Pitaloka (PKB), Emilia Contessa (PPP) dan lainnya harus memberikan perolehan suara mereka terhadap kandidat pria yang menjadi prioritas dalam daftar partai (Hadiwinata, 2006;133).

Pengamat politik UIN Gun Gun Heryanto menilai vote getter memang diperlukan untuk wilayah sebesar Jawa Barat, karena pemilih di

Jawa barat yang kurang lebih 29 juta terbagi dalam sebaran geopolitik yang sangat kompleks. Kelompok vote getter yang dominan di Jabar adalah selebriti, militer, dan mantan birokrat (detikcom, (9/11/2012).

Keterlibatan selebriti ini pula yang membuat pemilihan umum kepala daerah Provinsi Jawa Barat (24 Februari 2013) menjadi topik hangat, mengingat dari lima pasang calon gubernur dan wakil gubernur, tiga nama diantaranya adalah selebriti, Dedy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka, dan Dede

Yusuf.

Deddy Mizwar selama ini dikenal sebagai sineas dan legenda perfilman Indonesia, keberaniannya masuk ke bursa pencalonan Gubernur

Jawa Barat cukup fenomenal, karena berbeda dengan dua pesaingnya;

Rieke Diah Pitaloka dan Dede Yusuf yang telah menjadi politisi lebih dulu,

17

Deddy Mizwar seperti kurang tertarik dengan dunia politik, dan lebih konsentrasi mengembangkan perfilman Indonesia.

Rieke Diah Pitaloka, biasa disapa Oneng, tokoh yang ia perankan dalam sinetron Bajaj Bajuri. Saat ini ia adalah anggota DPR-RI komisi IX yang cukup vokal mengkritisi masalah buruh dan ketenaga kerjaan.

Pengamat politik Tjipta Lesmana menilai Oneng punya peluang 75 persen untuk memenangkan pilkada Jawa Barat, mengingat prestasinya yang baik sebagai anggota legislatif (sindonews.com, 09 Nov 2012).

Dede Yusuf adalah selebriti populer di periode 90-an. Ia sering tampil di televisi sebagai presenter kuis, artis sinetron, aktor film, maupun talent iklan. Tahun 2004 Dede terpilih sebagai anggota legislatif komisi VII di DPR-

RI dari PAN, dan di tahun 2008 menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat mendampingi Ahmad Heryawan.

Pengamat politik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung,

Asep Warlan Yusuf menyebutkan faktor-faktor mengapa pilkada Jawa Barat mendapat sorotan paling banyak (selain adanya keterlibatan selebriti), dibandingkan daerah lain yang menyelenggarakan pilkada pada tahun yang sama.

Pertama situasi politik Jawa Barat yang terhitung kondusif hingga menjelang sepekan sebelum pemilu. Kedua, provinsi ini dianggap menjadi penyangga politik Jakarta yang merupakan pusat kekuasaan. Ketiga, jumlah penduduk Jawa Barat yang mencapai 43 juta orang, yang membuat potensi suara menjadi besar, dan keempat, dari sisi geografis-ekonomi, Jawa Barat

18

akan menjadi pusat bisnis kedua setelah Jakarta (www.rmol.com 13 Februari

2013).

Strategisnya posisi Jawa Barat bagi peta politik di Indonesia membuat masyarakatnya penuh kehati-hatian dalam memilih pemimpin mereka.

Bagaimana dengan calon pemimpin dari kalangan selebriti? Survey Jaringan

Suara Indonesia tentang penerimaan masyarakat Jawa Barat kepada pemimpin dari kalangan selebritas menghasilkan, 75 persen menganggap tidak penting, 20 persen menerima, sisanya tidak menjawab (merdeka.com,

22 Oktober 2012).

Kehadiran selebriti sebagai tokoh politik memang menghadirkan pro dan kontra. Masyarakat optimis mereka dapat menjadi penyegaran bagi sistem pemerintahan kita. Sebagian lagi pesimis, bahkan menyebut para selebritas ini sebagai politisi karbitan. Keterlibatan mereka di politik hanya sekedar untuk menjaring popularitas dan mendulang suara sebanyak- banyaknya.

Seiring maraknya selebriti yang menjadi politisi, wacana publik pun terus berdatangan, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam media massa. Salah satu media yang cukup banyak menampung opini tentang hal ini adalah media sosial.

Kemunculan internet dan media sosial membawa banyak perubahan dalam ruang kebebasan berpendapat. Sifat media sosial yang lebih personal dan private memungkinkan setiap orang untuk memiliki media pribadinya, dan mengekspresikan pemikirannya ke dalam ruang publik. Terlebih lagi,

19

media baru ini jarang memiliki gatekeeper yang ketat, layaknya editor dan redaktur di media massa konvensional.

Kebebasan yang ditawarkan oleh media baru, menjadi kelebihan tersendiri yang membuatnya disukai oleh khalayak. Media sosial pula yang menjadi awal pergerakan untuk mendukung atau menentang sebuah fenomena sosial. Keampuhannya sudah terbukti. Bahkan revolusi di beberapa negara Arab (Libya, Mesir, dll) kabarnya bermula dari Twitter dan

Facebook, yang mendorong pemerintah disana terpaksa memblokir media sosial ini.

Indonesia sendiri termasuk dalam negara dengan jumlah pengguna media sosial terbanyak didunia. Facebook, Twitter, Web, Blog, dan lainnya menjadi pilihan warga untuk mengemukakan pendapatnya tentang sebuah fenomena, berinteraksi dan berdiskusi dengan orang lain akan fenomena tersebut, dan bahkan bisa saling bertukar informasi baru yang kadang tidak berhasil dipublikasikan oleh wartawan. Hal ini berikutnya dikenal sebagai kajian baru dunia jurnalistik yang disebut citizen journalism atau jurnalisme warga.

Salah satu media sosial berupa web blog terbesar di Indonesia, yang menjadi wadah jurnalisme warga, adalah Kompasiana.com. Saat ini keanggotaan Kompasiana mencapai lebih dari 19.000 kompasianer (sebutan bagi anggota Kompasiana yang teregistrasi), terdapat 800-1000 postingan setiap harinya, dan dikunjungi oleh 1,7 juta absolute unique visitor per bulannya (data Google Analytics).

20

Kompasiana memberikan keleluasaan kepada anggotanya untuk memilih topik tulisannya. Tulisan yang diposting biasanya akan langsung muncul pada timeline di halaman utama situs ini, dan siapapun, baik anggota maupun bukan, dapat mengomentari postingan tersebut. Hal menarik yang ditawarkan Kompasiana kepada anggotanya adalah tidak hanya sekedar memposting tulisan saja, tetapi juga dapat berfungsi sebagai sarana jejaring sosial.

Layaknya Facebook, Twitter dan media sosial lainnya, Kompasiana juga memberikan kita halaman profil sendiri, yang berisi data pribadi dan data tulisan kita. Khalayak dapat menambah pertemanan dengan mengirimkan permintaan pertemanan kepada anggota lainnya. Meskipun demikian, kompasiana tetap menjaga konsep awal blog ini, yaitu sebagai media warga untuk bebas berpendapat melalui tulisan.

Alasan pemilihan Kompasiana sebagai area penelitian adalah karena konsep gatekeeping diterapkan seminimal mungkin. Tulisan yang diposting akan langsung muncul dalam timeline di kolom beranda, tanpa melalui proses editing oleh admin web. Hal ini menyebabkan tulisan-tulisan kompasianer ini murni merupakan pengungkapan pemikiran mereka, tanpa terganggu oleh media sendiri.

Isu selebritas yang berkecimpung ke dunia politik sendiri sebenarnya bukan topik baru dalam Kompasiana. Hampir setiap kali dalam periode pemilihan umum, entah itu anggota legislatif, kepala daerah, hingga

21

presiden, dan terdapat selebriti yang mencalonkan diri, maka setiap kali itu pula muncul tulisan tentang topik tersebut.

Internet sebagai media baru komunikasi dan pertukaran informasi memang sangat fenomenal. Terdapat dua kelebihan internet yang paling menonjol: pertama, media online menjadi yang terkini dalam hal penyajian informasi. Informasi-informasi yang ada didalam media online biasanya di perbarui hampir setiap detiknya. Terlebih lagi sejak kemunculan jejaring sosial, web blog, dan perangkat seluler seperti BlackBerry. Siapa saja dapat menginformasikan sesuatu, kapan saja, dan dimana saja.

Alasan kedua, khalayak dapat memberikan tanggapan balik tentang sebuah isu. Sebenarnya media tradisional juga memberikan fasilitas ini kepada khalayak, tetapi media online lebih disukai mengingat mudah diakses dari mana saja selama user memiliki perangkat yang memadai.

Selebritas yang menjadi politisi adalah topik menarik untuk didiskusikan, mengingat apapun jenis publisitas si selebriti, baik ataupun buruk, ia akan tetap populer dan digemari. Tetapi, sesuaikah selebriti masuk ke dunia politik yang membutuhkan pencitraan baik? Bagaimana pula kompasianer mencitrakan sosok selebritas politisi? Inilah yang melatar belakangi penelitian dan penulisan tesis ini yang diberi judul: “Pencitraan

Selebritas Politisi di Blog Kompasiana (Analisis Wacana Kritis

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2013).”

22

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian kedalam pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana kompasianer mencitrakan selebritas politisi yang menjadi

kandidat dalam pilkada Jawa Barat 2013?

2. Indikator apa saja yang digunakan kompasianer untuk mengukur

pencitraan selebritas yang menjadi kandidat dalam pilkada Jawa Barat

2013?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana kompasianer mencitrakan selebriti politisi yang

menjadi kandidat dalam pilkada Jawa Barat 2013

2. Menguraikan indikator yang digunakan kompasianer dalam mengukur

pencitraan selebriti yang menjadi kandidat dalam pilkada Jawa Barat

2013.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang komunikasi massa dan komunikasi politik, khususnya yang berkaitan dengan topik aktor politik, khalayak, partisipasi politik, pencitraan dan opini publik, serta media online.

23

BAB II

KAJIAN KONSEP DAN TEORI

A. Kajian Konsep

a. Demokrasi dan Komunikasi

Demokrasi adalah sebuah istilah yang sangat populer. Di Indonesia, demokrasi sering dimaknai sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep klasik demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh banyak pihak “rule by the many” atau suatu bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat “rule by the people”

(Cangara, 2011; 53).

Demokrasi kerakyatan pada dasarnya adalah sebuah bentuk pemerintahan representatif yang memaksimalkan hak, tanggung jawab, dan keputusan untuk rakyat tanpa mengganggu fungsi dari sistem ekonomi dan politik (Gans, 2003;113).

Bagaimana komunikasi dapat mendukung proses demokratisasi?

Triyono Lukmantoro dalam tulisannya yang berjudul “Peran Komunikasi dalam Demokratisasi” (2012;4) menyebutkan tiga konsepsi demokrasi yang memiliki keterkaitan dengan komunikasi (di wacanakan oleh Paul Starr, seorang Profesor Sosiologi dari Princeton University);

24

1. Demokrasi Minimalis.

Pada konsepsi ini, komunikasi dipandang sebagai kebebasan berbicara

dan kebebasan pers dalam pengertian non campur tangan oleh pihak

negara. Sehingga dari situlah terjadi kontes politik terbuka yang

mendukung pemilihan umum dan mencegah mereka yang masih

menjabat untuk mengekalkan kekuasaan.

2. Demokrasi Radikal.

Pada ranah komunikasi, para demokrat radikal memandang pasar sebagai

pengaruh yang mengorupsi yang mendegradasikan diskusi publik dan

memperkuat apa yang disebut sebagai hegemoni kultural dari kelas

kapitalis.

3. Demokrasi Deliberatif.

Ini model demokrasi yang memiliki implikasi langsung terhadap

komunikasi. Karena kualitas diskusi publik merupakan persoalan penting

dalam demokrasi konsep ini, maka terdapat alasan kuat apabila pasar

seharusnya juga memberikan perhatian terhadap program-program dari

media massa yang berkenaan dengan masalah-masalah publik dan

jurnalisme serius.

Ketiga konsepsi ini menekankan pada bagaimana proses demokrasi berlangsung dengan harus disertai kemampuan komunikasi yang baik pada setiap pelaku komunikasi (partai politik, dan politisi). Publik atau masyarakat menjadi sasaran yang harus didekati melalui media massa. Kolumnis New

York Times, Anthony Lewis, mengatakan;

25

“In today‟s world, individuals can not personally observe events and reach decisions in a forum as in ancient Athens. They necessarily depend on the press to be informed (Saat ini, individu tidak dapat lagi memperhatikan peristiwa secara personal dan membuat keputusan dalam sebuah forum layaknya pada masa Atena kuno. Mereka bergantung pada pers untuk diinformasikan)” (dalam Gans, 2003; 1).

Prinsip demokrasi mengandung dua hal penting; kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) Sesuai dengan makna demokrasi yang disampaikan Ranny (dalam Thoha, 2011;99);

Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas.

Demokrasi memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memegang dan mengekspresikan keyakinan dan pendapatnya, serta menikmatinya (Cangara, 2011;58). Kebebasan ini apabila dihalangi, maka demokrasi sebagai sistem politik akan terancam dan dapat memunculkan konflik. Di bagian ini, kemampuan komunikasi memainkan peran penting, yaitu menggantikan kekerasan (Haryatmoko, 2003;95).

Ciri dari prinsip persamaan (equality) sendiri salah satunya adalah persamaan hak untuk berpolitik. Indonesia sendiri sebagai sebuah negara yang menganut demokrasi memberikan hak yang sama kepada setiap orang untuk berkumpul, membentuk partai politik, ataupun menjadi perwakilan rakyat, selama memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah.

26

b. Pemilu dan Pencitraan

Pemilihan umum merupakan proses memilih pemimpin atau wakil-wakil untuk mengisi jabatan publik. Sejak tahun 2004, sistem pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia berubah total, menjadi pemilihan umum secara langsung, mulai dari memilih anggota legislatif, kepala daerah, hingga presiden. Undang-Undang Pemilu Legislatif Nomor 8 tahun 2012 menyebutkan bahwa:

“Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945” (Pasal 1, ayat 1).

Secara umum, pemilu memiliki tiga elemen penting; kandidat/partai, pemilih, dan kampanye. Sejalan dengan perubahan sistem pemilu di

Indonesia, maka bentuk-bentuk kampanye politik pun turut berubah menjadi lebih persuasif. Dan Nimmo mengatakan “Kampanye dalam pemilihan umum merupakan kesempatan baik untuk menguji konsekwensi dari komunikasi persuasif” (1978; 361).

Di Indonesia sendiri, terjadi perubahan model kampanye ke arah apa yang disebut oleh Plasser (dalam Danial, 2009; 6) sebagai model adopsi

“Amerikanisasi”. Menurut Plasser, pada model ini, para praktisi komunikasi politik kampanye di negara-negara non Amerika mempunyai tendensi untuk mengadopsi strategi dari para konsultan dan ahli kampanye Amerika Serikat yang dinilai lebih menjanjikan (sukses) dibandingkan dengan pendekatan kampanye lokal yang tradisional,

27

Proses Amerikanisasi gaya kampanye didunia ketiga, termasuk

Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah perkembangan pada tingkat global, yaitu;

 Meningkatnya peran televisi dalam kampanye,

 Kian meningkatnya keterlibatan para electioneer (konsultan

politik/kampanye) profesional dari luar partai, yang semakin

menggeser peran “amatir” dari kalangan partai sendiri.

 Kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh

wakil partai yang membuat pemilu menjadi semacam kontes antar

kandidat dan bukan lagi kontes antar partai (ibid, hal. 10).

Melihat fenomena kampanye tersebut, tidak mengherankan apabila banyak kalangan yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi semakin mirip dengan Amerika.

Dampaknya adalah kampanye telah terindustrialisasi yang berarti menjadi semakin mahal, dan hanya menguntungkan kandidat yang berduit, serta menciptakan suatu kondisi dimana rekayasa citra individu kontestan yang dihasilkan oleh para electioneer, atau tebar pesona kontestan selebriti menjadi lebih penting daripada isu yang diperjuangkan. Menurut Effendi

Gazali (ibid, hal. 5) pemilihan umum secara langsung menjadi pembuktian bahwa kesuksesan pencitraan lebih kuat dibandingkan peran mesin-mesin politik.

Strategi mementingkan pencitraan ini pun nampak dari cara-cara kandidat menampakkan dirinya di hadapan publik. Tiba-tiba saja ia sering

28

muncul dalam kegiatan-kegiatan sosial/keagamaan, hadir dalam peristiwa- peristiwa yang diliput oleh media, atau membeli ruang di media massa, entah itu berupa iklan, atau program, dan sebagainya. Salah satu tokoh politik yang mengandalkan pencitraan sebagai bagian dari karirnya adalah presiden

Soesilo Bambang Yudhoyono. Bukan rahasia lagi bahwa SBY mempekerjakan Fox Indonesia, sebuah lembaga konsultan politik, yang mengatur pencitraan dirinya, agar dapat memengaruhi rakyat lewat teknik- teknik pemasaran profil dirinya.

Pencitraan dalam politik merupakan hal penting, walaupun bukan segalanya. Ibarat produk, pencitraan adalah kemasan yang sebenarnya tidak menunjukan kualitas isi, tetapi sangat menentukan kesan pertama terhadap produk tersebut. Secara singkat, Khasali mendefinisikan citra sebagai kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan (1994; 28).

Pemahaman yang berasal dari suatu informasi yang tidak lengkap juga akan menghasilkan citra yang tidak sempurna.

Menurut Nimmo, pencitraan seseorang bermakna pemahaman, penilaian, dan pengidentifikasian dari sebuah peristiwa politik, ide, penyebab, atau pemimpin. Pencitraan ini yang membantu individu membentuk alasan subjektif tentang mengapa sesuatu/seseorang tampak seperti yang dilihat

(Nimmo, 1978;228). Individu pada dasarnya secara aktif mengkonstruksi persepsi penuh makna tentang sebuah fenomena/pencitraan politik dan mengekspresikannya melalui keyakinan, nilai, dan pengharapan mereka.

29

Frank Jefkins dalam bukunya Public Relations (2002) menyebutkan lima jenis citra, yaitu:

1. Mirror Image (Citra Bayangan). Citra ini melekat pada orang dalam

atau anggota-anggota organisasi – biasanya adalah pemimpinnya –

mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. Dalam kalimat

lain, citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam

mengenai pandangan luar, terhadap organisasinya. Citra ini seringkali

tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak

memadainya informasi, pengetahuan ataupun pemahaman yang

dimiliki oleh kalangan dalam organisasi itu mengenai pendapat atau

pandangan pihak-pihak luar. Dalam situasi yang biasa, sering muncul

fantasi semua orang menyukai kita.

2. Current Image (Citra yang Berlaku). Citra yang berlaku adalah suatu

citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai

suatu organisasi. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak-

sedikitnya informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya.

3. Multiple Image (Citra Majemuk), Yaitu adanya image yang bermacam-

macam dari publiknya terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan

oleh mereka yang mewakili organisasi kita dengan tingkah laku yang

berbeda-beda atau tidak seirama dengan tujuan atau asas organisasi

kita.

30

4. Corporate Image (Citra Perusahaan). Apa yang dimaksud dengan

citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara

keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya.

5. Wish Image (Citra Yang Diharapkan). Citra harapan adalah suatu citra

yang diinginkan oleh pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra

yang diharapkn biasanya dirumuskan dan diterapkan untuk sesuatu

yang relatif baru, ketika khalayak belum memiliki informasi yang

memadai mengenainya (dalam Ambarwati; 2009; 43-44).

Membangun pencitraan dalam dunia politik, dapat dilakukan melalui tiga cara (Lilleker dalam Sulfikar, 2012; 34):

1. Media framing

2. Political branding

3. Political marketing

Orang atau lembaga dengan performa yang biasa saja, dapat berkembang apabila pencitraannya baik. Sedangkan yang baik, bisa menjadi buruk apabila pengelolaan citra-nya tidak tepat.

Parwito (2009) mengatakan upaya membangun sebuah citra positif dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya:

 Penonjolan pada kesuksesan atau keberhasilan yang telah dicapai

pada masa lampau.

 Menumbuhkan asosiasi pemikiran tentang partai atau kandidat

dengan kebebasan sejarah dimasa lampau, seperti kejayaan bangsa,

31

pemimpin kharismatis yang pernah ada, dan bentuk-bentuk ekspresi

simbolik kata-kata dan gambar-gambar.

 Memberikan penonjolan orientasi ke depan, misalnya dengan

kecanggihan teknologi dan optimism kemajuan-kemajuan dimasa

yang akan datang, dan

 Menghadirkan tokoh-tokoh tertentu demi menumbuhkan dan

memperkokoh keyakinan akan kuat atau luasnya dukungan termasuk

tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemimpin (ibid).

Di Indonesia, pencitraan politik sebagai salah satu konsentrasi kajian dalam komunikasi politik, mulai merebak pada Pemilihan Umum (Pemilu)

1999, yang semakin berkembang dan atraktif setelah penerapan sistem pemilihan langsung dalam Pemilu 2004, dan terlihat hingga Pemilu 2009.

Meskipun pencitraan dalam dunia politik semakin marak digunakan oleh kandidat, akan tetapi terdapat masalah-masalah besar yang harus diantisipasi dalam penerapannya.

Masalah pertama adalah tidak adanya pendidikan politik rakyat yang substansial. Politik pencitraan atau disebut juga politik “kemasan” hanya membuat rakyat menjadi tidak kritis dalam menilai kualitas kandidat yang disodorkan partai. Popularitas dan penampilan menjadi lebih penting dibandingkan pemahaman kandidat akan masalah sosial yang harus dicarikan solusinya.

Hal lainnya yang dikritisi adalah, politik pencitraan lebih didominasi oleh kepura-puraan sikap, jauh dari sifat asli sang politisi. Jauh hari setelah

32

masa pemilu berakhir, biasanya rakyat mulai mempertanyakan janji-janji yang disampaikan oleh kandidat, atau mengapa kandidat tidak tampak lagi seperti saat ia berkampanye dulu. Inilah salah satu akibatnya dari

“memanipulasi citra”. c. Selebritas dan Politik

Pada era orde baru, kita lazim melihat kampanye partai/kandidat politik yang menyertakan selebritas untuk menghibur pendukungnya. Hingga kemudian ditahun 2004, partai politik mulai merekrut selebriti sebagai anggotanya, dan bahkan mencalonkannya untuk duduk dalam jabatan publik. Apa penyebab partai politik ramai mengusung selebriti untuk duduk dalam jabatan politik?

Teori ekonomi tentang demokrasi milik Anthony Downs (dalam Varma,

2001; 213) menyebutkan;

Partai-partai dalam kehidupan politik demokratis adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti para pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama

Pengrekrutan artis sebagai wakil dari sebuah partai politik merupakan bagian dari usaha yang disebut oleh Downs, diyakini akan meraih suara terbanyak. Selebriti memiliki massa penggemar, dan juga selalu diliput oleh media, sehingga ia menjadi bigname (McNair dalam Cangara, 2011; 299).

Hal lainnya, berbeda dengan politisi yang identik dengan kata

“kekuasaan,” selebriti menggunakan pengaruh yang berupa daya tariknya kepada orang banyak untuk mengikuti apa yang menjadi gaya hidupnya.

33

Nilai selebritas dianggap begitu berdaya mengerahkan dan menggiring khalayak (Ibid, 2011;301).

Uwe Becker (dalam Budiharjo, 2008; 66) berkata; pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang-berbeda dengan kekuasaan-tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan. Menurut Becker, walaupun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan kekuasaan, ia lebih menyentuh hati dan ini yang menjadi faktor keberhasilan dari sebuah pengaruh (ibid, 67).

Beberapa faktor lain mengapa selebriti berpolitik menurut Darrell

West, penulis buku Celebrity Politics adalah kekayaan yang dimiliki selebriti, dan kelemahan dari partai politik itu sendiri. Aktivitas politik membutuhkan dana yang tidak sedikit dan pendanaan merupakan bagian vital dari kesuksesan sebuah pemilihan umum (www.britannica.com).

Berikutnya, adanya kelemahan dari partai politik itu sendiri berupa terjadi krisis kepemimpinan. Pengrekrutan ini seringkali dipertanyakan khalayak keabsahannya, mengapa dan bagaimana cara partai memutuskan seorang selebriti layak diusung atau tidak?

Sistem pengrekrutan politik memang cukup beragam, walaupun ada dua cara khusus yang dianggap paling penting; seleksi pemilihan melalui ujian, maupun latihan (Rush & Althoff, 2008; 185). Selain itu, Kenneth Prewitt menguraikan tahap-tahap seleksi pemimpin politik;

1. Eligible (yang memenuhi syarat), orang-orang yang dianggap

memenuhi kualifikasi untuk mengambil bagian dalam politik.

34

2. Available (yang tersedia), orang dengan sumber daya sesuai

kebutuhan.

3. Participant (partisipan), orang yang memiliki ketertarikan dan

motivasi politik lewat sosialisasi di masa kecilnya.

(dalam Nimmo, 1978; 49)

Pilihan siapa yang akan direkrut oleh partai memang sangat penting,

Suryadharma Ali, ketua umum DPP Partai Persatuan Pembangunan mengatakan;

Karakteristik masyarakat kita mengambang, mereka semakin cerdas melihat kader-kader partai yang korup. Mereka melihat bahwa kader- kader itu justru mencoreng nama partai yang membawa aspirasi rakyat. (Kompas.com, 25 Sept 2012)

Menurut Sosiolog Tamrin Amal Tomagola, melihat fenomena tersebut masyarakat jadi merindukan ada pemimpin yang mau berdiri sama rata dengan rakyat. Selebritas cukup merepresentasikan hal tersebut karena oleh khalayak dianggap sebagai figur yang memahami hidup mereka dari masyarakat tingkat bawah, menengah sampai ke tingkat atas (Cangara,

2011;301).

d. Teknologi Online.

Penemuan internet yang awalnya hanya digunakan untuk kepentingan internal Departemen Pertahanan Amerika Serikat (ARPANET, 1969), kini berhasil merubah sifat dan karakteristik komunikasi massa (Eisenberg &

Goodall dalam Dainty, dkk, 2006;191). Selain menyediakan informasi yang

35

terus diperbaharui setiap saat, internet telah mempersempit jarak antara media dan khalayak.

Kelebihan internet yang paling menguntungkan adalah memudahkan komunikasi diantara penggunanya, dengan biaya murah, dan wilayah untuk mengaksesnya kini semakin luas, dengan demikian lebih banyak lagi khalayak yang memilih internet sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi.

Pada dasarnya internet memiliki empat (4) perangkat lunak aplikasi

(Reddick & King, 1996; 114-119);

 Alat dasar (E-mail, Telnet, FTP)

 Alat pencarian file dan orang (Hytelnet, Archie, dll)

 Alat penjelajah (Gopher dan World Wide Web).

 Aplikasi interaktif (IRC, Newsgroup dan Discussion List).

Dari berbagai jenis perangkat lunak atau software internet tersebut, ada tiga yang paling dikenal khalayak:

1. Email (Electronic Mail).

Email adalah cara mengirimkan pesan timbal bailk antara orang-orang

yang memiliki alamat internet, serta orang-orang pada jaringan lain

yang punya hubungan email ke internet. Internet menjadi perantara

komunikasi melalui teks berformat surat antar dua peserta (secara

interpersonal).

Sifat komunikasi melalui email ini adalah asynchronous, artinya

komunikasi dengan penundaan karena data pesan yang disampaikan

36

tidak sinkron dan harus melalui penyimpanan serta rute transmisi

yang relative singkat untuk sampai pada alamat yang dituju.

 Internet Relay Chat (IRC)

IRC adalah jasa yang menawarkan percakapan langsung yang dapat

digunakan untuk bercakap-cakap dengan banyak orang sekaligus.

Artinya, orang berkumpul dalam suatu saluran (channel) untuk

bercakap-cakap dalam kelompok, secara terbuka, atau pribadi.

IRC berfungsi sebagai media yang membawa pesan

percakapan berbentuk teks dari pengirim pesan (komunikator) kepada

penerima pesan yang dituju (komunikan). Kategori komunikasi ini

disebut synchronous, yang artinya proses transfer pesan secara

sinkron dan langsung, antara dua atau lebih tempat yang diselingi

jeda waktu singkat.

 World Wide Web (www).

Fasilitas World Wide Web atau www, menggunakan teknologi

hypertext yang dapat menghubungkan satu dokumen dengan

dokumen lainnya. Program client web dinamakan browser. Browser

lebih berfungsi sebagai perpustakaan global, tempat mencari segala

jenis informasi yang berorientasi untuk kepentingan publik.

Ciri-ciri WWW yang juga merupakan kelebihannya adalah:

kemampuan grafis yang cukup baik, dan rangkaian informasi yang

berkesinambungan. (Marlina, 2010; 20-22).

37

Ketersediaan ruang obrolan (chat rooms), mailing list, video chat, media sosial, web blog, dan sebagainya membuka ruang untuk hadirnya masyarakat baru yang disebut masyarakat maya (cybercommunity). Bungin berpendapat, masyarakat maya ini menggunakan metode kehidupan masyarakat nyata sebagai model yang dikembangkan dalam dunianya.

(2009, 164).

Kehadiran internet sebagai media baru dianggap telah mengangkat individu untuk keluar dari isolasi yang diciptakan oleh media tradisional, dalam bentuk konsep gatekeeping dan pemberian feedback (tanggapan balik

(Holmes, 2005;53). Media baru ini telah mengubah identitas, hubungan sosial, jarak, dan tempat dimana kita hidup (Whitaker dalam Kuen, 2010;13).

Perkembangan internet dan jaringan komunikasi global lainnya telah meminimalisir “monopoli” wartawan dari sisi kemampuan menyebarkan berita kepada banyak orang diseluruh dunia dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan apa yang dilihat dan didengar oleh wartawan kebanyakan telah dikontrol oleh pihak sumber. Perangkat internet, khususnya aplikasi interaktif, membuka pilihan baru bagi khalayak untuk mendapatkan informasi yang terkadang tidak bisa didapatkan wartawan.

Lebih dalam lagi, Hermawan Kartajaya melihat internet dan media sosial sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi, telah merubah dinamika kehidupan demokrasi disebuah negara, serta merevolusi cara berinteraksi dan berpolitik. Internet dan media sosial kedepannya

38

diprediksikan bisa menjadi pilar kelima demokrasi untuk melengkapi legislatif, judikatif, eksekutif, dan pers (dalam nugraha, 2012;169).

B. Teori yang Relevan

Pengungkapan tentang bagaimana khalayak dalam hal ini adalah kompasianer mencitrakan selebriti politisi melalui tulisan-tulisan mereka, dapat dilakukan dengan menggunakan tiga (3) teori: Teori New Media, Teori

Pemasaran Politik, dan Teori Fenomenologi Hermeneutika:

a. Teori New Media (Media 2.0)

New Media merupakan Media yang pada saat ini sekarang sedang berkembang dan akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Media ini berkembang baik dalam segi teknologi, komunikasi, maupun informasi. Poster menyatakan media baru telah menyediakan konfigurasi baru bagi hubungan komunikasi (dalam Holmes, 2005;51).

Beberapa ciri-ciri utama yang menandai perbedaan antara media baru dengan media konvensional berdasarkan perspektif pengguna, adalah:

1. Interactivity: diindikasikan oleh rasio respon atau inisiatif dari

pengguna terhadap „tawaran‟ dari sumber/pengirim (pesan).

2. Social presencer (sociability), dialami oleh pengguna, sense of

personal contact dengan orang lain dapat diciptakan melalui

penggunaan sebuah medium.

39

3. Media richness: media baru dapat menjembatani adanya

perbedaan kerangka referensi, mengurangi ambiguitas,

memberikan isyarat-isyarat, lebih peka, dan lebih personal.

4. Autonomy, seorang pengguna merasa dapat mengendalikan isi

dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap

sumber.

5. Playfulness, digunakan untuk hiburan dan kenikmatan.

6. Privacy, diasosiasikan dengan penggunaan medium dan/atau isi

yang dipilih.

7. Personalization, tingkatan dimana isi dan penggunaan media

bersifat personal dan unik.

(McQuail dalam Rahardjo, 2008; 14-15).

Rantanaen (2007; 148), berdasarkan penelitiannya tentang buruh pada media baru, mendapatkan dua perbedaan besar diantara media baru dan media konvensional:

. Media lama mengembangkan struktur dengan lebih panjang

dan lebih sulit untuk bertransformasi, sedangkan media baru

berada diluar jalur legislasi dan control.

. Media lama sering dianggap sebagai inti dan menjadi objek

penting bagi kontrol pemerintah dan/atau partai, sedangkan

media baru sejak awal terihat berada sebagai penyeimbang.

McQuail (dalam Kurnia, 2005; 3) mengelompokan media baru ini kedalam jenis:

40

1. pMedia komunikasi interpersonal (telepon, handphone, dan

email).

2. Media bermain interaktif (komputer, videogame, game online).

3. Media pencarian informasi (search engine/mesin pencarian).

4. Media partisipasi kolektif; seperti penggunaan internet untuk

berbagi dan pertukaran informasi, pendapat, pengalaman, dan

menjalin melalui komputer dimana penggunaannya tidak

semata-mata untuk alat namun juga dapat menimbulkan afeksi

dan emosional.

Kehadiran media baru sebagai konsekwensi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membuka cara-cara baru bagi masyarakat untuk mengkonstruksi identitas sosialnya, dalam bentuk jejaring sosial dan akhirnya mengambil tindakan sosial (Wodak & Koller, 2008;429). Fenomena ini membuka sebuah kajian baru dibidang komunikasi massa, khususnya tentang media, yaitu kajian media 2.0.

Para teoritis membagi era media massa kedalam: media 1.0 dan media 2.0. Istilah ini untuk melambangkan perubahan sifat komunikasi yang terjadi karena adanya perkembangan teknologi yang besar dibidang informasi dan komunikasi. Littlejohn mendeskripsikan second media age

(media 2.0) sebagai:

“A new period in which interactive technologies and network communications, particularly the internet, would transform society (sebuah periode baru dimana teknologi interaktif dan jaringan komunikasi, khususnya internet, akan mengubah masyarakat)” (dalam Utari, 2011;50).

41

Terdapat tiga trend yang secara umum menjadi karakteristik khusus dari zaman media 2.0, yaitu:

 Internasionalisasi dari kehidupan ekonomi yang seiring dengan

internasionalisasi dari produksi berita.

 Berhubungan dengan refleksifitas diri sebagai sebuah strategi

nyata dari media.

 Kecenderungan menghadapi fragmentasi khalayak.

(Sparks, 1991;67-68).

Poster (dalam Rahardjo, 2011;18) memberikan perbedaan karakteristik lain antara media 1.0 (first media age) dan media 2.0 (second media age):

Tabel 1: Komparasi Karakteristik media 1.0 dan media 2.0

The First Media Age (media 1.0) The Second Media Age (media 2.0) Produksi yang tersentralisasi (one to Desentralisasi many) Komunikasi satu arah Komunikasi dua arah Dalam kondisi mengendalikan Tidak dalam kondisi mengendalikan Reproduksi stratifikasi sosial dan Demokratisasi. ketidaksetaraan melalui media Khalayak massa yang terfragmentasi Mempromosikan kesadaran individual. Membentuk kesadaran sosial Berorientasi pada individu.

Melihat penggambaran karakteristik tersebut, maka dari segi akademis, kajian media 2.0 juga menjadi berbeda, dengan menekankan pada khalayak sebagai agen yang sangat berkuasa. Kajian media ini menyatakan bahwa khalayak sangatlah pandai dan mampu untuk menciptakan makna sendiri, mempermainkan institusi negara, para akademisi, dan kapitalisme untuk bisa mengukur dan mengontrolnya (Miller,

2008;219).

42

Pengembangan media baru sebagai sebuah teknologi komunikasi memudahkan manusia untuk berkomunikasi melewati jarak dengan kecepatan dan peningkatan kelengkapan sensorik (Real, 2001;181).

Firmanzah menyebutkan,

“… Berkat internet, masyarakat menjadi lebih kritis dibandingkan sebelumnya. Paling tidak, mereka sudah bisa bersikap kritis ketika mencoba menyimak apa yang mereka rasakan dan terjadi dalam kehidupan mereka, lalu membandingkannya dengan hal-hal yang terdapat diluar sana” (2007, 50).

Teori New Media mengungkapkan bagaimana media sosial sebagai media baru merubah cara individu berinteraksi dan berkomunikasi. Individu menjadi lebih kritis, dan bebas mengungkapkan pemikirannya karena merasa menjadi “aktor” yang ikut menentukan dan berpartisipasi dalam sebuah peristiwa, khususnya peristiwa sosial dan politik.

Kompasiana adalah transformasi Kompas kedalam bentuk media baru yang mencoba untuk mendekati khalayak dengan cara menyediakan tempat bagi mereka untuk menuangkan opininya kedalam bentuk tulisan. Salah satu ciri media baru adalah pengguna memiliki kekuasaan untuk mengendalikan isi pesan. Kompasiana memberikan keistimewaan ini kepada Kompasianer.

Setiap Kompasianer menjadi penguasa atas apa yang disampaikan, dan

Kompasiana sebagai media hanya bertugas memuat tanpa mendistorsi isi pesan tersebut.

43

b. Teori Pencitraan Politik.

Teori pencitraan politik melihat bagaimana terjadinya proses pemahaman, penilaian, dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan, atau pemimpin politik (Nimmo, 2006; 7). Nimmo menggambarkan hubungan antara kecenderungan dan tindakan dalam matriks:

Tahap-Tahap Kegiatan Kecenderungan Tindakan Citra Rencana Operasi Citra Interpretasi Opini Gambar 1: Matriks kecenderungan dan tindakan (Dan Nimmo)

Khusus pada bagian pembentukan opini individu, interpretasi merupakan penghubung antara citra personal dengan opini. Karena, melalui interpretasi orang mengeksploitasi pikiran, perasaan, dan kesudiannya dengan cara yang dipikirkan dan aktif dalam menanggapi objek-objek dalam setting dengan cara yang bermakna subjektif (ibid, hal;10)

Citra tidak terbentuk begitu saja, didalamnya tercakup seluruh pengetahuan seseorang (kognisi), baik benar maupun keliru, semua preferensi (afeksi) yang melekat kepada tahap tertentu peristiwa yang menarik atau menolak orang tersebut dalam situasi itu, dan semua pengharapan (konasi) yang dimiliki orang tentang apa yang mungkin terjadi jika ia berperilaku dengan cara yang berganti-ganti terhadap objek di dalam situasi itu (Nimmo, 2006;4)..

Secara akademis, Kottler (2008) mengemukakan dua cara pembentukan citra :

44

1. Memberlakukan bahwa citra adalah sebagian besar object- determined,

yaitu bahwa orang-orang dengan mudah merasakan realitas objek itu.

Pandangan object determined ini mengasumsikan bahwa :

 Orang-orang cenderung memiliki pengalaman langsung dengan

objek-objek itu.

 Orang memperoleh data inderawi yang handal dari objek tersebut

 Orang-orang cenderung memproses data inderawi itu dalam suatu

cara tersendiri meskipun memiliki latar belakang dan kepribadian

yang berbeda-beda

2. Cara yang lain adalah memberlakukan citra sebagai person determined.

Mereka yang memegang pendangan ini beragumentasi bahwa :

 Orang-orang memiliki tingkat-tingkat kontak dengan objek tersebut,

yang berbeda.

 Orang-orang yang ada dihadapan objek itu akan dengan selektif

merasakan aspek-aspek yang berbeda dari objek tersebut.

 Orang-orang memiliki cara tersendiri pemrosesan data inderawi,

menimbulkan distorsi selektif.

Pencitraan umumnya terbentuk melalui publisitas, dan akhirnya memunculkan informasi tertentu, tentang sesuatu atau seseorang. Jefkins mengatakan:

“Citra tidak selamanya mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya atas suatu hal, karena citra semata-mata terbentuk berdasarkan informasi yang tersedia. Dengan demikian, informasi yang benar, akurat, tidak memihak, lengkap, dan memadai itu benar-benar penting bagi munculnya citra yang tepat. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah

45

mengherankan apabila terdapat suatu citra yang berlainan tentang seorang tokoh dari media yang berbeda” (2002:19)

Menurut McNair (dalam Poentarie, 2011;4) suatu peristiwa, termasuk peristiwa politik memiliki 3 kategori realitas, yakni: Pertama realitas politik obyektif, yaitu realitas yang ditampilkan sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kedua realitas politik subyektif, yaitu realitas yang dipersepsikan oleh khalayak atau aktor politik itu sendiri. Ketiga realitas politik yang dikonstruksi, yaitu realitas yang juga subyektif tapi di cover melalui media. Media pada hakekatnya adalah mengkontruksi realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, di antaranya realitas politik.

Pada penelitian ini teori pencitraan politik dapat digunakan untuk merekonstruksi citra selebriti politisi, melalui pengetahuan (kognisi), preferensi (afeksi), dan pengalaman (konasi) dari kompasianer sendiri.

c. Teori Fenomenologi Hermeneutika

Teori fenomenologi hermeneutika merupakan hasil penggabungan pendekatan fenomenologi dan heurmenetika. Edmund H. Huserl (1859 –

1938) menyebut fenomenologi adalah pengkajian terhadap cara manusia memerikan benda-benda dan hal-hal disekitar dan mengalami melalui inderanya (Oetomo, 2011;178).

Cara manusia menginterpretasikan sebuah tindakan sangat menentukan kelangsungan suatu proses interaksi sosial, baik sebagai aktor yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri, maupun bagi pihak lain

46

yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor (Ritzer,

2011;59).

Pendekatan fenomenologis berguna pula untuk menemukan konsep subyektif milik aktor yang terlihat lewat pemikiran maupun tindakannya guna memahami makna yang dipahami dari kejadian sehari-hari. Konsep subyektif ini mengacu pada pandangan bahwa perilaku manusia bersifat kontekstual, berdasarkan makna yang mereka berikan pada lingkungan mereka

(Mulyana, 2002; 34).

Pada dasarnya paradigma fenomenologi terdiri dari empat varian

(Embree dalam Parwito, 2007;58);

1) Fenomenologi realistik, lebih menekankan pada pengamatan

serta penggambaran esensi yang bersifat umum.

2) Fenomenologi konstitutif, lebih memandang objek penelitian

memiliki kesadaran terhadap diri sendiri yang kemudian

berimplikasi objek menjadi subjek.

3) Fenomenologi ekstensial, lebih memberikan penekanan pada

aspek-aspek keberadaan manusia di dunia ini.

4) Fenomenologi hermeneutika, yang lebih sering disebut dengan

hermeneutika, yang lebih menekankan pada pemberian makna

(interpretasi) dalam segala aspek kehidupan. Jenis inilah yang

paling banyak digunakan dalam ilmu komunikasi.

47

Hermeneutika, yang dikembangkan oleh Wilhem Ditley dan para filsuf

Jerman lainnya mengkaji pemahaman interpretatif degan perhatian istimewa terhadap konteks dan tujuan semula. Hermeneutika lebih mengacu pada cara menafsirkan teks atau naskah. Untuk itu “kebahasaan” menjadi hal yang mutlak dan penting untuk dipahami.

Penelitian ini menggunakan kajian hermeneutika versi Paul Ricoeur, yang melihat bahwa ciri-ciri struktur suatu bahasa (khususnya dalam percakapan) dapat dianalisa secara formal. Dasar metodologi utama analisa percakapan adalah untuk mempelajari contoh-contoh interaksi bahasa dalam setting aktual terjadinya tindakan tersebut; dan untuk menyoroti beberapa ciri-ciri „struktur‟ interaksi bahasa dengan cara memperhatikan secara cermat susunannya.

Menurut Paul Ricoeur (dalam Ihde, 1971;96), hermeneutika merupakan sistem interpretasi dalam menemukan makna vs ikonoklasme, dimana disini Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai teori tentang kaidah-kaidah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objeknya sendiri berupa simbol atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat dan sastra.

Selanjutnya, Ricoeur memperluas definisi kata sebagai simbolnya dengan menambahkan „perhatian kepada teks‟. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup

48

hermeneutik karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit. Apa yang kita ungkapkan atau yang kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda atau disebut „polisemi‟. Dengan bahasa kita memahami sesuatu atau juga dengan bahasa kita juga bisa salah paham atau salah mengerti sehingga, memungkinkan kita salah persepsi dan dengan hermeneutika semua problem filsafat bahasa diatas dapat dijawab.

Dalam hal ini peneliti mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang hermeneutika ialah “teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks” (Ricoeur dalam

Ihde,1971:26). Apa yang kita ucapkan dan kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda, yang disebut istilah “polisemi” yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu.

Media online kini menjadi salah satu pilihan khalayak untuk mengungkapkan pesan interpretasinya tentang sebuah fenomena sosial.

Melalui pengungkapan pemikiran dengan cara tertulis, kompasianer tengah mencoba untuk memberi arti bagi tindakannya sendiri. Penilaian dan interpretasi subyektif kompasianer merupakan hal yang dapat diteliti dengan menggunakan perspektif fenomenologi hermeneutika. Bisa dilihat bahwa fenomenologi dan hermeneutika memiliki keterkaitan yang saling melengkapi

(Oetomo, 2011;182). Fenomenologi pada dasarnya merupakan asumsi dasar bagi hermeneutika.

49

Perspektif fenomenologis hermeneutika pada penelitian ini sangat menekankan pada bagaimana meneliti, menginterpretasi, menafsirkan teks dalam media yang kesemuanya bergantung pada perspektif teori yang dipilih oleh peneliti (Aminah, 2011; 279).

C. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis)

Analisis Wacana Kritis lahir dari paradigma kritis adalah sebuah metode yang memahami struktur wacana tidak hanya terbatas pada kajian kebahasaan saja, tapi juga konteks dari wacana tersebut. Analisis ini merupakan suatu upaya untuk melihat secara dekat bagaimana makna pesan yang diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.

Bahasa dalam wacana kritis dipandang sebagai representasi yang membentuk subjek, tema, maupun ideologi tertentu. Analisis wacana kritis memandang bahasa sebagai faktor yang penting, bahasa tersebut digunakan dalam melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi di masyarakat. Karakteristik penting dari wacana kritis sendiri dipaparkan oleh

Teun A. Van Djik, Fairclough, dan Wodak (dalam Eriyanto. 2009: 8-13) merupakan tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi.

Kelima karakteristik wacana kritis tersebut dijelaskan seperti pemaparan di bawah ini:

a. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan atau sebuah interaksi.

Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah

50

mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. b. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Bahasa dipahami dalam konteks secara keseluruhan. c. Historis

Wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk dapat mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Pemahaman mengenai wacana teks hanya akan diperoleh jika terlebih dahulu memberikan konteks historis dimana konteks tersebut diciptakan. d. Kekuasaan

Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan (power).

Wacana muncul dalam bentuk teks tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah atau bersifat netral tetapi merupakan suatu bentukan dengan campur tangan kekuasaan. e. Ideologi

Konsep sentral yang juga sangat berperan dalam analisis wacana kritis adalah ideologi. Hal ini dikarenakan teks maupun bentuk lainnya tersebut adalah bentuk dari praktek ideologi atau pencerminan dari

51

ideologi tertentu. Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan

dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi

mereka.

Berdasarkan kelima karakterisktik wacana di atas, dapat dipahami bahwa wacana terkait dengan berbagai aspek yang berada sebagai latar belakangnya. Wacana erat kaitannya dengan tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Artinya, dalam suatu bangunan wacana pencitraan terdapat pula aspek aspek yang melatarbelakanginya. Pertarungan kepentingan maupun ungkapan kekecewaan dapat menjadi suatu hal yang membangun pencitraan tersebut.

Melalui analisis wacana kritis, peneliti dapat menguraikan indikator yang digunakan kompasianer untuk mengukur pencitraan selebriti politisi .

Wacana merupakan suatu elemen yang kemudian menghasilkan berbagai produk, salah satunya dapat berupa citra. Melalui wacana yang dibangun, dapat terbentuk suatu citra yang kemudian diinterpretasikan kompasianer ke dalam persepsi pencitraan yang ada.

D. Penelitian yang Relevan

Peneliti menemukan beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan topik yang diangkat:

1. Tesis yang ditulis oleh Rahmat M. Arsyad, mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, dengan judul “Kebebasan Berpendapat pada Media Jejaring Sosial (Analisis Wacana Facebook, dari Jejaring Pertemanan menuju Jejaring perlawanan - 2010)”

52

Rahmat meneliti tentang kecenderungan pola kebebasan

berpendapat yang terjadi melalui Facebook, sebagai media sosial.

Sasaran penelitian ditujukan kepada group-group Facebook yang

didirikan atas dasar memberikan dukungan moril atau justru perlawanan

terhadap seseorang atau suatu fenomena (Group Koin untuk Prita, dll).

Hasil penelitian Rahmat menemukan bahwa bentuk kebebasan

berpendapat pada Facebook sebagai jejaring sosial pertemanan telah

mengalami rekonstruksi sosial oleh penggunanya menjadi sebuah media

alternatif dalam menyuarakan pendapatnya yang selama ini tidak

menemukan “kanalisasi aspirasi.”

Pada segi bentuk kebebasan berpendapat pada umumnya yang

terjadi di Facebook hanyalah kebebasan ekspresi dan saluran pesan

yang terbuka namun tidak menyentuh hakikat dasar kebebasan

berpendapat itu sendiri.

Penemuan lainnya adalah, banyak anggota group dalam

Facebook lebih melihat setiap persoalan dengan out of contex dari tema

diskusi. Tidak tertarik menggunakan bahasa formal dalam diskusi group,

serta lebih memilih bahasa yang low contex yang mereka gunakan

sehari-hari.

2. Penelitian Ahmad Sulfikar, mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, yang diangkat dalam tesis berjudul “Politik Pencitraan SBY (Analisis Framing Diah Wisnu Nugroho tentang Komunikasi Politik Presiden SBY – 2012)”

Alasan Ahmad memilih spesifikasi meneliti blog milik Wisnu

Nugroho, karena Wisnu adalah wartawan yang sehari-hari bertugas di

53

Istana Negara. Wisnu dianggap mampu mengangkat profil SBY dari

sudut pandang dirinya, tanpa kehilangan objektivitas penilaian,

mengingat profesinya sebagai wartawan.

Penelitian ini menggunakan metode analisis framing

(pembingkaian) dari isi pesan yang disampaikan oleh SBY. Hasil temuan

Ahmad menyebutkan, terdapat tiga praktik komunikasi politik SBY;

Pertama, doorstop (istilah yang digunakan saat wartawan

mencegat SBY di istana untuk wawancara dengan pertanyaan titipan

dari dalam lingkungan SBY sendiri. Kedua, jumpa pers atau press

briefing. Hal ini biasanya dilakukan dengan menggunakan podium

garuda yang disiarkan langsung atau tunda melalui televisi. Terakhir,

penggunaan konsultan pemenangan pemilu (Fox Indonesia) oleh SBY

untuk mengatur tampilannya di media sampai hal yang sangat detil.

3. Tesis “Implementasi Citizen Journalism dalam Percepatan Penyebaran Informasi Melalui Media Panyingkul.com dan Wikimu.com – 2010 (Mitha Mayestika Kuen, pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar).

Berdasarkan temuan datanya, Mitha menyimpulkan bahwa citizen

journalism yang diterapkan oleh media panyingkul.com dan media

wikimu.com menggunakan gaya penulisan feature style dengan obyek

utama informasi tentang kemanusiaan (human interest). Sedangkan

wikimu.com menerapkan pola penulisan dengan standar umum sesuai

kemampuan warga dan mengutamakan kecepatan, namun kebebasan

warga dalam memberikan informasi dari warga untuk warga tetap sama.

54

Dalam memposisikan diri sebagai media citizen journalism,

panyingkul.com adalah media citizen separuh mainstream yang terikat

dengan tata cara atau sistem baku media mainstream yang dalam

penulisan feature style menjadi ciri utamanya, tetapi sebagai media

citizen, panyingkul tetap membuka ruang interaktif terhadap berita yang

disiarkan.

4. Skripsi milik Rika Rubyanti, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Pengaruh Popularitas Terhadap Pilihan Pemilih Pemula (Fenomena Masuknya Artis dalam Dunia Politik - 2009)”.

Jenis penelitian Rika adalah studi kasus dengan obyek

mahasiswa Departemen Ilmu Politik, USU, dan menghasilkan temuan

bahwa popularitas selebriti ternyata memberi pengaruh terhadap pemilih

pemula. Namun, tingkat pengaruh ini berada pada tataran cukup, yang

artinya tidak terlalu memberi pengaruh besar, karena banyak faktor-

faktor lain yang mempengaruhi keputusan memilih.

Selain itu, terlihat juga bahwa faktor lingkungan mempengaruhi

kemandirian pemilih pemula dalam menentukan pilihannya. Artinya,

semakin tinggi tingkat pendidikan dan perekonomian masyarakat,

semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin mandiri pula

pemilih tersebut. Ditemukan pula, bahwa pemilih pemula ternyata lebih

melihat program dan visi misi dari kandidat/partai politik.

55

D. KERANGKA PIKIR

KOMPASIANER

Kepercayaan Kesan

CITRA SELEBRITAS POLITISI

Citra Subyektif Citra Obyektif

Gambar 2: Kerangka Pikir Penelitian

56

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah postingan tulisan tentang fenomena selebriti berpolitik khususnya yang berhubungan dengan pemilihan kepala daerah

Provinsi Jawa Barat tahun 2013 pada blog Kompasiana.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah analisis teks dengan aplikasi interpretatif eksplanasi, yang merupakan ciri khas dari penelitian dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis. Aplikasi penelitian interpretatif eksplanasi dapat digunakan untuk menangkap wacana yang mengemuka tentang kehadiran selebriti di dunia politik, khususnya menjelang pemilihan kepala daerah Provinsi Jawa Barat 2013. Wacana ini berdasarkan interpretasi kompasianer terhadap profil masing-masing figur dan disampaikan melalui tulisan-tulisan mereka.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage sampling yang menjelaskan tahapan pemilihan sampel melalui dua cara yaitu; wilayah kajian (topic area) dan periode waktu (time period).

57

K O M P A S Tulisan Opini I Selebritis A Sebagai N Kandidat A Pilkada Jawa Periode Postingan: Barat - Pra Kampanye - Kampanye - Pasca Kampanye

Gambar 3: Teknik Multistage Sampling

Bagan multistage sampling tersebut dapat dijelaskan kedalam tahap- tahap;

i) Pemilihan Kompasiana sebagai sumber data

ii) Pemilihan opini Kompasianer sebagai jenis teks yang diteliti

iii) Pemilihan topik “Selebritis sebagai kandidat dalam Pilkada Jawa

Barat”

iv) Pengklasifikasian data kedalam unit periode, yaitu: periode pra

kampanye (postingan tanggal 17 Desember sampai 06 Februari

2013), periode kampanye (postingan tanggal 07 sampai 20 Februari

2013), periode pasca kampanye (postingan tanggal 21 Februari

sampai 03 Maret 2013).

58

Periode Pra Kampanye

Tabel 2: Data sampel periode pra kampanye

Postingan 17 Desember 2012 – 06 Februari 2013 No Frekuensi Judul Penulis Tanggal Waktu Dibaca Analisa Sederhana Kekalahan 1. Agus Sutondo 03 Jan 2013 03.51 935x Aher di Jawa Barat

Cagub Jawa Barat: 2. Haji Damanik 21 Des 2012 11.46 378x Berpengalaman VS Pendatang Indra Azmani 3. Jawa Barat Memilih… 23 Jan 2013 16.00 109x Gunawan Kenali Angka 5 Pada Pilkada 4. Rieke – Teten 20 Des 2012 14.57 574x Jawa Barat

Menjadi Politisi Bukan Asal 5. Ajinatha 29 Jan 2013 15.35 139x Artis

PAN Mengalami Krisis 6. Kaderisasi dan Kepercayaan La Ode Ahmadi 28 Jan 2013 15.38 328x Diri

Perang Bintang Dalam Joko Dwi 7. pemilihan Kepala Daerah 18 Des 2012 14.28 269x Cahyana Jawa Barat

Persaingan 3 Artis dalam Fauzan Jatnika 8. Pemilihan Gubernur dan Wakil 02 Jan 2013 08.11 204x Abror Gubernur Jawa Barat

Pilkada Jawa Barat; Kisah 9. Thamrin Sonata 22 Des 2012 06.02 454x Perang Para Penjual Obat

Selebritis Dalam Pilkada Jawa Adiyasa 10 Barat, Sebuah Penggerak atau 28 Des 2012 20.21 133x Prahenda Kemunduran

Siapa Calon Terkuat Cagub 11. Prayitno Ramelan 27 Des 2012 08.59 5590x Jabar?

59

Periode Kampanye

Tabel 3: Data sampel periode kampanye

Postingan 07 – 20 Februari 2013 No Frekuensi Judul Penulis Tanggal Waktu Dibaca Dede Yusuf Membuat PKS Ninoy N. 1. 19 Feb 2013 23.43 2207x Menangis Di Pilkada Jawa Barat Karundeng

Kotak-Kotak Rieke Bukan 2. Annisa Fokker 17 Feb 2013 06.34 11x Kotak-Kotak Jokowi

Jokowi Garansi Rieke-Teten 3. Pakde Kartono 18 Feb 2013 08.04 215x Jujur dan Bersih

SMART, Cara Jitu Memilih 4. JangJaya06 12 Feb 2013 17.29 278x Pemimpin Jawa Barat

Adakah Korelasi Sinetron KSD 5. Asri Salam 20 Feb 2013 07.19 14936x Dengan Pilgub Jabar?

Membaca Politik Persepsi di 6. Pilgub Jabar, Dede Yusuf Usman Kusmana 17 Feb 2013 23.25 685x Menang 37%?

Ini Dia Artis Prestatif Dengan Wahyu Eko 7. 14 Feb 2013 08.54 398x Penggemar Setia Widodo

60

Periode Pasca Kampanye

Tabel 4: Data sampel periode pasca kampanye

Postingan 21 Februari – 03 Maret 2013 No Frekuensi Judul Penulis Tanggal Waktu Dibaca Hampir Batal Dampingi Aher, 1. Akhirnya Naga Bonar Menjadi Jefri Hidayat 25 Feb 2013 03.22 632x Jenderal

Inilah Lima Faktor Dominan Berthy B. 2. 26 Feb 2013 10.00 1769x Pilkada Jawa Barat Rahawarin

Mengukur Peluang Arti dalam 3. “Perang Artis” (Pilkada Jawa New Ahmad Zain 23 Feb 2013 13.24 333x Barat)

Oneng-Teten Kalah Segalanya 4. Nur Tjahyadi 03 Mar 2013 06.44 1288x dari Aher-Bang Jack

Pilkada Jabar: Aher-Demiz 5. Menang, Dede Legowo, dan Achmad Siddik 03 Mar 2013 17.03 1088x Rieke Belum Terima

6. Pilkada Jawa Barat, Pilih Siapa? Alek Laksana Vp2 24 Feb 2013 03.54 719x

Sinetron KSD Langgar Masa 7. Depe 21 Feb 2013 18.18 500x Tenang Pilkada Jabar?

Hasil Hitung Cepat, Artis gagal 8. Palti Hutabarat 25 Feb 2013 13.58 10166x Memimpin Jabar

Yang Kalah Tuduh yang Fauzan 9. 02 Mar 2013 01.36 709x Menang Fakhrurrozi

10. Dede Yusuf Tak Terbendung Pangestu Langit 22 Feb 2013 15.04 412x

11. Jokowi Efek Terhenti di Jabar Oji Saeroji 25 Feb 2013 08.43 499x

61

D. Data dan Sumber Data

Pengumpulan data telah dilakukan sejak peneliti menentukan permasalahan yang akan dikaji. Jenis data terbagi atas; data primer dan data sekunder, yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik;

1. Data primer; penelusuran arsip tulisan seputar topik pada blog

kompasiana.

2. Data sekunder; Kajian kepustakaan untuk mencari literatur, artikel, jurnal,

dan tulisan-tulisan ilmiah lain, serta penelusuran media online lain yang

memuat berita, informasi, dan profil tentang selebritas yang menjadi

kandidat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat

2013. Data ini digunakan untuk mendukung dan memperkuat hasil

penelitian.

E. Teknik Analisis Data

Peneliti menggunakan beberapa teknik untuk menganalisis data:

1. Seleksi: peneliti memilih data sesuai periode waktu yang dicocokan

dengan kerangka sampel (sample framing).

2. Reduksi: terdapat beberapa postingan tulisan yang berasal dari penulis

yang sama, untuk itu peneliti memilih satu postingan saja dari penulis

tersebut yang dianggap lebih relevan dengan topik (memfokuskan

pembahasan pada profil selebriti dan bukan calon lainnya).

3. Analisis Data: Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis wacana model Van Dijk (1998). Model ini dipilih karena

62

sudah terstruktur dan dielaborasikan ke dalam elemen-elemen wacana, sehingga lebih praktis dan membantu mengelompokan jenis wacana yang muncul. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana harus juga memperhatikan pada bagaimana suatu teks diproduksi (dikutip dari

Eriyanto 2000; 220 – 227). Van Dijk membagi teks kedalam struktur:

Tabel 5: Struktur teks (Van Dijk)

Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat.

Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati melalui pemilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.

Dari struktur wacana tersebut, Van Dijk mengklasifikasikan lagi kedalam elemen-elemen wacana berikut:

Tabel 6: Elemen-elemen wacana (Van Dijk)

No Struktur Hal yang Diamati Elemen

1. Makro Tematik (Apa yang dikatakan) Topik

Skematik (Bagaimana pendapat 2. Superstruktur Skema disusun dan dirangkaikan) Latar, detail, Semantik (Makna yang ingin maksud, 3. Mikro ditekankan dalam teks berita) praanggapan, nominalisasi

Bentuk kalimat, Sintaksis (Bagaimana pendapat koherensi, kata disampaikan ganti.

Stilistik (Pilihan kata yang dipakai) Leksikon

63

1. Tematik, menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks (gagasan inti,

ringkasan, atau yang utama dari teks).

2. Skematik, alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukan

bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga

membentuk kesatuan arti.

3. Semantik, makna yang ingin disampaikan dalam teks dan berisi elemen;

 Latar (Latar belakang atas peristiwa yang ditulis).

 Detil (penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra

tertentu kepada khalayak).

 Maksud (terdiri atas maksud eksplisit dan implisit dari penulis, yang bisa

dilihat melalui cara penguraian informasi).

 Praanggapan (pernyataan yang diberikan untuk mendukung makna suatu

teks).

 Pengingkaran (bentuk praktik wacana untuk menyembunyikan apa yang

ingin diekspresikan secara implisit).

4. Sintaksis, bagaimana pendapat tersebut disampaikan, dengan elemen:

 Bentuk kalimat (bagaimana struktur kalimat dan penempatan posisi

proposisi dalam kalimat).

 Koherensi (bagaimana jalinan antar kata atau kalimat dalam teks).

 Koherensi kondisional (pemakaian anak kalimat sebagai

penjelas/keterangan dengan menggunakan kata penghubung).

 Koherensi pembeda (bagaimana dua fakta hendak dibedakan atau

dibandingkan).

64

 Kata ganti (elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan

suatu komunitas imajinatif).

5. Stilistik, pilihan kata yang dipakai, dengan beberapa elemen;

 Leksikon (menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata

atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata bisa

menunjukkan sikap dan ideologi tertentu).

6. Retoris, elemen teks lainnya yang digunakan untuk memperkuat makna.

Elemen ini terbagi lagi kedalam; grafis, metafora, dan ekspresi.

F. Unit Analisis

Analisis teks berhubungan dengan kajian bahasa maupun penggunaannya.

Dalam model analisis wacananya, Van Dijk telah menentukan unit analisis yang harus dikaji dari sebuah teks, agar peneliti dapat melihat makna lebih dalam dari sebuah teks.

65

Tabel 7: Unit analisis teks (Van Dijk) Struktur Elemen Unit Analisis Tema Teks Makro Tematik Topik Teks Superstruktur Skema Skema Teks Latar Paragraf Detail Paragraf Semantik Maksud Paragraf Praanggapan Paragraf Nominalisasi Paragraf Kalimat Bentuk kalimat Proposisi Kalimat Sintaksis Koherensi Mikro Proposisi Kalimat Kata ganti Proposisi Stilistik Leksikon Kata Kalimat Grafis Proposisi Kalimat Retoris Metafora Proposisi Kalimat Ekspresi Proposisi

66

G. Definisi Operasional

1) Analisis wacana kritis merupakan salah satu cara menganalisis teks media

untuk mengungkapkan makna dibalik cara kompasianer mencitrakan

selebriti politisi yang menjadi kandidat dalam pemilihan kepala daerah

Provinsi Jawa Barat 2013, dalam situs kompasiana.com.

2) Selebritas politisi maksudnya adalah figur atau tokoh dari dunia hiburan

yang sering diliput oleh media, dan kemudian menjadi kandidat diusung

partai politik dalam pilkada Provinsi Jawa Barat 2013.

3) Pencitraan adalah penilaian kompasianer secara subyektif terhadap

selebritas politisi.

4) Media online adalah jenis media massa yang dapat diakses dengan

menggunakan perangkat (komputer, handphone). Media online bersifat

lebih personal, karena khalayak bisa memberikan tanggapan balik

(feedback) atas sebuah isu sesegera mungkin.

5) Kompasiana adalah salah satu media online yang menjadi saluran

komunikasi bagi warga dalam melaporkan atau beropini tentang sebuah

isu.

6) Kompasianer adalah anggota dari blog kompasiana, yang menulis dalam

blog Kompasiana.

67

H. Jadwal Penelitian/Time Schedule

Tabel 8: Prakiraan jadwal penelitian

Jadwal Penelitian No Aktivitas Keterangan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Pengajuan topik 1. penelitian Penyusunan 2. proposal penelitian Pengajuan Seminar 3. proposal penelitian proposal 4. Pengumpulan data 5. Analisa data Finalisasi analisa Seminar hasil 6. data penelitian Revisi hasil 7. penelitian Finalisasi 8. Seminar tutup penelitian

68

BAB IV:

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

a. Provinsi Jawa Barat

Sebelum membahas lebih lanjut tentang pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, penting untuk mengetahui profil seputar provinsi ini. Berikut beberapa data utama yang dikutip oleh peneliti dari website resmi pemerintah Provinsi Jawa Barat

(http://www.jabarprov.go.id).

Profil dan Letak Geografis Jawa Barat

Jawa Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kotanya berada di Kota Bandung. Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi

Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia

(staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU

No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat.

Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di

Indonesia. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ibu kota negara Indonesia. Pada tahun 2000, Provinsi Jawa Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi

Banten, yang berada di bagian barat.

Saat ini terdapat wacana untuk mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, dengan memperhatikan aspek historis wilayah

69

ini. Namun hal ini mendapatkan penentangan dari wilayah Jawa Barat lainnya seperti Cirebon dimana tokoh masyarakat asal Cirebon menyatakan bahwa jika nama Jawa Barat diganti dengan nama Pasundan seperti yang berusaha digulirkan oleh Soeria Kartalegawa tahun 1947 di Bandung maka

Cirebon akan segera memisahkan diri dari Jawa Barat, karena nama

"Pasundan" berarti (Tanah Sunda) dinilai tidak merepresentasikan keberagaman Jawa Barat yang sejak dahulu telah dihuni juga oleh Suku

Betawi dan Suku Cirebon serta telah dikuatkan dengan keberadaan

Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 yang mengakui adanya tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Betawi yang berbahasa

Melayu dialek Betawi, Suku Sunda yang berbahasa Sunda dan Suku

Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman dialeknya).

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º50'- 7º50'

Lintang Selatan dan 104º 48'- 108º 48' Bujur Timur, dengan luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar. Jumlah penduduknya pada tahun 2011 mencapai 46.497.175 jiwa (Sumber : Database SIAK Provinsi Jawa Barat

Tahun 2011).

Secara administratif sejak tahun 2008, kabupaten dan kota di Provinsi

Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa Barat terbagi dalam 4 Badan Koordinasi Pemerintahan Pembangunan (Bakor PP)Wilayah;

 wilayah I Bogor meliputi Kab.Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kab.

sukabumi, Kota sukabumi dan Kab. Cianjur.

70

 Wilayah II Purwakarta meliputi Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab.

Karawang, Kab. Bekasi, dan Kota Bekasi.

 Wilayah III Cirebon meliputi Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Kab.

Indramayu, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan.

 Wilayah IV Priangan meliputi Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota

Cimahi, Kab. Bandung Barat, Kab. Sumedang, Kab. Garut, Kab.

Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kab. Ciamis, dan Kota Banjar.

Struktur Organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdiri atas 1

Sekretariat Daerah dengan 12 Biro dan Sekretariat DPRD, 20 Dinas, 17

Badan, 17 Lembaga Teknis, 3 Lembaga Lain, 3 Rumah Sakit Daerah, 121

Unit Pelaksanaan Teknis Daerah, dan 1 unit Pelaksana Teknis Badan.

Usaha terbesar yang menyerap lapangan kerja di Jawa Barat adalah sektor pertanian, sektor perindustrian, dan sektor perdagangan.

Penduduk

Provinsi Jawa Barat dengan luas 35.377,76 Km2 menurut Data SIAK

Provinsi Jawa Barat didiami penduduk sebanyak 46.497.175 Juta Jiwa.

Penduduk ini tersebar di 26 Kabupaten/Kota, 625 Kecamatan dan 5.899

Desa/Kelurahan. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Bogor sebanyak 4.966.621 Jiwa (11,03 %), sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kota Banjar yaitu sebanyak 192.903 Jiwa (0,43 %).

Menurut jenis kelamin, terlihat bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Gambaran ini terlihat dihampir seluruh Kabupaten/Kota, terkecuali Kabupaten Indramayu (Laki-laki

71

49,78 %, perempuan 50,22%). Jumlah penduduk di daerah penyangga

Ibukota, yaitu di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota

Bekasi dan Kota Depok sebanyak 11.930.991 Jiwa atau 26% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Dengan begitu dapat disimpulkan seperempat penduduk Jawa Barat tinggal di daerah penyangga Ibu Kota.

Sedangkan jumlah penduduk yang tinggal di Bandung Raya

(Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota

Cimahi) sebanyak 8.670.501 Jiwa atau 18% dari total penduduk Jawa Barat, artinya hampir seperlima penduduk Jawa Barat tinggal di Bandung Raya/Ibu

Kota Provinsi. Kalau di jumlahkan penduduk yang tinggal di penyangga Ibu

Kota dan Bandung Raya, maka didapat jumlah penduduk di kedua daerah tersebut sebanyak 20.601.492 Jiwa atau 44% dari total jumlah penduduk

Jawa Barat. Terlihat bahwa hampir separuh penduduk Jawa Barat tinggal di kedua daerah tersebut.

Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya dan nilai-nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga masyarakat. Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah;

“Herang Caina Beunang Laukna” yang berarti menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan.

72

Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai- nilai kebajikan. Hal ini terekspresikan pada pepatah “Ulah Unggut Kalinduan,

Ulah gedag Kaanginan”; yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta menyerasikan antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah “Sing Katepi ku Ati Sing Kahontal ku Akal”, yang berarti sebelum bertindak tetapkan dulu dalam hati dan pikiran secara seksama.

Perekonomian

Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Saat ini peningkatan ekonomi modern ditandai dengan peningkatan pada sektor manufaktur dan jasa. Disamping perkembangan sosial dan infrastruktur, sektor manufaktur terhitung terbesar dalam memberikan kontribusinya melalui investasi, hampir tigaperempat dari industri-industri manufaktur non minyak berpusat di sekitar Jawa Barat.PDRB

Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26

Billion) menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi bagi sebuah Provinsi. Bagaimanapun juga karena jumlah penduduk yang besar, PDB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk minyak dan gas, ini menggambarkan 82,4 persen dan 86,1 persen dari rata-rata nasional. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk minyak dan gas 4,91 persen termasuk minyak dan gas, lebih baik dari Indonesia secara keseluruhan. (US$1 = Rp. 8.500,-).

73

Gambaran Umum Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat

2013.

Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat selalu menjadi sorotan. Penyebabnya adalah posisi Jawa Barat sangat strategis di peta politik Indonesia. Selain itu, potensi pemilihnya besar dengan jumlah

36,6 juta suara (detik.com, 26 September 2012), sehingga hasil dari pilkada

Jawa Barat kali ini dapat menjadi barometer politik bagi pemilu tahun 2014 yang akan datang.

Pada 2013 ini, pilkada Jawa Barat diikuti oleh lima pasangan calon.

Penetapan peserta dan nomor urutnya dilaksanakan pada tanggal 17.

Desember 2012. Berikut data kelima pasangan calon Gubernur dan Wakil

Gubernur tersebut:

Tabel 9: Data Pasangan Cagub & Cawagub Jawa Barat 2013 Nomor Pasangan Calon Partai Pengusung Visi Misi Urut Dikdik Mulyana (Cagub) Cecep N.S Toyib (Cawagub) Tawadhu (Tertib, Aman, Wibawa, Asri, 1. Jalur Independen Dinamis, Harmonis, dan Unggul).

Irianto MS Syarifuddin (Cagub) Tatang FH (Cawagub) Jabar Mulia (Makmur, Unggul. 2. Partai Golkar Lestari, Inovatif, dan Agamis).

74

Dede Yusuf (Cagub) Lex Laksamana (Cawagub) Babarengan Baraya Partai Demokrat (Bahagia, Sejahtera, PKB dan Berkarya) 3. PAN menuju Jabaraya Partai Gerindra (Jawa Barat Berjaya).

Ahmad Heryawan (Cagub) Deddy Mizwar (Cawagub) PKS Jawa Barat Maju dan PPP 4. Sejahtera Untuk Partai HANURA Semua.

Rieke Diah Pitaloka (Cagub) Teten Masduki (Cawagub) Jabar Baru – Jabar Bersih (Jawa Barat Baru yang Adil dan 5. PDI-P Makmur melalui Pelayanan Birokrasi yang Bersih).

Kelima pasangan calon ini bersaing dalam meraih kursi Gubernur dan Wakil

Gubernur Jawa Barat dalam pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 24

Februari 2013. Untuk itu, lima pasangan ini ditantang untuk memikirkan langkah dan kebijakan yang akan dibuat dalam menangani permasalahan

Jawa Barat, apabila terpilih nanti. Langkah ini disebut; Strategi Kebijakan

Atas 4 Persoalan Besar Jawa Barat, yang terdiri dari lingkungan, korupsi, pendidikan dan kesehatan (dikutip dari kompas.com, 21 Februari 2013).

Cukup menarik melihat bagaimana persaingan kelima pasangan calon ini selama masa pilkada. Banyak pengamat melihat dan memprediksi bahwa persaingan hanya terjadi pada pasangan selebritas saja dan hal ini yang kemudian meredupkan pamor dua pasang non selebritas lain, yaitu Dikdik

Mulyana – Cecep Toyib, dan Irianto Syarifuddin – Tatang Farhanul Hakim.

75

Prediksi tersebut bisa jadi benar, mengingat selebritas memang punya pengaruh yang cukup besar di Jawa Barat, dan selama bertahun- tahun menjadi vote getters yang ampuh. Hanya saja, dua pasangan non selebritas ini mengaku tidak takut untuk bersaing dengan calon yang lebih populer. Menurut Irianto MS Syarifuddin, yang akrab disapa Kang Yance, alasan ia tidak memilih figur selebritas adalah:

“...karena saya harus mencari orang yang berpengalaman dan memiliki kepekaan bukan yang hanya mengejar kekuasaan dari popularitas saja," (liputan6.com, 14 Desember 2012).

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Golkar, Ade Komarudin, mengatakan keputusan tidak mengusung selebritas ini didasarkan pada kepedulian

Golkar untuk menjaga kualitas pendidikan politik di Indonesia (kompas.com,

27 November 2012).

Demikian pula dengan pasangan non selebritas lainnya, Dikdik

Mulyana dan Cecep Nana Suryana Toyib. Pasangan ini dinilai lebih berani lagi, karena maju dari jalur independen, bahkan tanpa persiapan finansial yang besar, walaupun Dikdik merupakan calon Gubernur terkaya diantara kandidat lainnya (pemilusatu.com, 06 Februari 2013).

Berbeda dengan Pilgub lima tahun lalu, yang calon selebriti hanya satu, Pilgub kali ini diikuti tiga selebritas. Jadi, siapakah dari ketiga selebritas tersebut yang jadi pilihan pemilih tradisional? Pastinya, suara masyarakat

Jabar pro selebritas akan pecah dalam menentukan pilihannya. Karena ketiga selebritas ini sangat dikenal masyarakat Jabar serta memiliki

76

popularitas dan elektabilitas yang sama unggul dibanding calon lain, serta ditunjang latar belakang keartisan yang dimilikinya.

Melihat kondisi real karakter pemilih Jabar yang irrasional, maka pada

Pilgub tahun ini suara masyarakat Jabar yang tradisional tersebut akan menjatuhkan pilihannya secara irrasional pula. Psikologis masyarakat jabar bisa ditebak, mereka akan menghitung-hitung antara memilih Dede, Deddy atau Rieke. Pilihan ini bisa terlihat dari berbagai hasil hitung cepat (quick count) dan survei lembaga-lembaga independen yang menempatkan ketiganya dalam elektabilitas teratas;

Tabel 10. Hasil Hitung Cepat Pilgub Jabar 2013

Hasil Hitung Cepat (dalam persen) Lembaga Survei Aher – DM DY – LL RDP – TM

Litbang Kompas 31,57 25,50 28,91

Indobarometer 32,38 26,09 27,18

SMRC 32,38 24,71 29,07

Lingkaran Survei 33,14 25,23 27,92 Indonesia

Lembaga Survei 33,19 25,43 27,5 Indonesia

b. Penggunaan Media Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Jawa Barat 2013.

1. Media Konvensional

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayat Hidayat (ketua Komisi

Pemilihan Umum Jawa Barat) menghasilkan temuan bahwa media massa

77

ternyata sangat mempengaruhi keputusan politik masyarakat Jawa Barat terkait pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat 2013

(fokusjabar.com, 29 Desember 2012).

Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa media massa bisa mempengaruhi pandangan masyarakat hingga 55 persen. Sedangkan dari faktor lain, seperti keluarga dan pertemanan hanya menempati peringkat ke dua dan tiga, dengan tingkat pengaruh yang hampir sama yakni sebesar 30 persen. Menurut Yayat, baik buruknya partisipasi masyarakat terhadap

Pilkada, sangat bergantung dari baik buruknya pemberitaan media.

Apabila dirunut ke pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya di tahun 2008, temuan Yayat ini barangkali bisa dibenarkan. Saat itu, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Puskaptis (diberitakan oleh harian

Kompas, 17 Maret 2008) sebanyak 29 persen masyarakat Jawa Barat diprediksi bersikap apatis atau tidak peduli terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat 2008, dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pilgub itu sendiri.

Dalam berita itu juga dikatakan bahwa partai politik maupun petugas Komisi

Pemilihan Umum kurang gencar memberikan sosialisasi pilgub.

Menurut Dede Mukan, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas

Padjajaran, Bandung dalam blognya (http://padekan.wordpress.com) angka yang mencapai hampir 30 persen, tentu bukan jumlah yang kecil dari hampir

28 juta pemilih yang ada di Jawa Barat. Angka ini paling tidak juga mencerminkan bahwa pendidikan politik tidak berjalan dengan baik. Upaya

78

penyadaran masyarakat untuk “melek” politik melalui partisipasi dalam pilkada Jabar belum mencapai harapan yang diinginkan.

Kondisi ini sepatutnya menjadi keprihatinan kalangan pengelola media massa di Jawa Barat, mengingat media memiliki peran penting dalam proses sosialisasi, karena media telah menjadi bagian dari sistem politik. Setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam hal penyampaian informasi kepada khlayaknya. Kelebihan ini sebaiknya bisa dioptimalisasikan, agar media dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Media cetak, atau suratkabar memiliki kelebihan bisa dibaca berulang- ulang, terletak pada pesan-pesan yang “tercetak”, sehingga bisa dibaca berulang-ulang. Sayangnya, tidak semua masyarakat di Jawa Barat sudah

“melek” huruf, sehingga bisa saja jangkauannya menjadi sangat terbatas.

Televisi masih menjadi media kesayangan di Indonesia. Media siaran ini memiliki kelebihan dalam hal daya tarik pesan melalui gambar dan suara, sehingga pesan bisa lebih cepat dipahami khalayak. Namun kelemahannya, di Jawa Barat, daya pancar beberapa stasiun televisi lokal tidak dapat diterima di daerah yang jauh dari pusat kota propinsi.

Radio pun menjadi alternatif yang efektif bagi sosialisasi pilkada Jabar tahun 2008. Radio siaran di Jawa Barat ini jumlahnya mencapai ratusan dan tersebar di beberapa wilayah, mulai dari perkotaan sampai ke pelosok pedesaan di Jawa Barat. Radio siaran juga memiliki kelebihan yaitu akrab dengan semua kalangan masyarakat.

79

Pada diskusi Peran Media massa dalam sosialisasi pendidikan politik di Jawa Barat yang diadakan Oleh Dinas komunikasi dan informatika

(Diskominfo) Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bulan Desember tahun 2012 kemarin, sejumlah kalangan akademisi dan puluhan wartawan dari berbagai media cetak, elektronik, maupun online dihadirkan untuk membahas bagaimana media massa dapat memaksimalkan fungsinya dalam pilkada

Jawa Barat di tahun 2013 ini.

Dede Mulkan (dosen jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas

Padjajaran, Bandung) mengatakan, ada empat pengaruh media terhadap politik pilkada:

1. Berperan memberi informasi politik kepada masyarakat mengenai

prilaku politik calon, track record mereka.

2. Kontrol masyarakat, media mampu memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai kondisi politik, sehingga masyarakat bisa

mengontrol situasi politik yang ada.

3. Peran utama media adalah memperkuat focus perhatian masyarakat.

4. Media juga memiliki kemampuan dalam mempengaruhi meningkatnya

jumlah dana dalam kampanye politik.

Mencermati pemberitaan kandidat calon Gubernur dan Wakil

Gubernur Jawa Barat dibeberapa media, terlihat bahwa beberapa kandidat pada prinsipnya sudah menggunakan media sebagai alat untuk memperkenalkan diri ke publik. Hal ini terkonfirmasi lewat monitoring pemberitaan yang dilakukan oleh Indonesia Media Monitoring Center

80

(IMMC). Monitoring ini dilakukan selama satu bulan (10 November-10

Desember 2012) terhadap sembilan media online di Jawa Barat yaitu Pikiran

Rakyat, Antara Jabar, Kompas, Tribun Jabar, Inilah Jabar, Bisnis Jabar,

Okezone, Detik Bandung dan Galamedia. Metode yang digunakan adalah purposive sampling dimana jumlah artikel yang di monitoring dalam rentang waktu itu 1442 berita.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan dan menganalisa seluruh artikel yang ada di sembilan media tersebut terkait kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Dari hasil monitoring yang dilakukan, terlihat pasangan Ahmad Heryawan-Deddy

Mizwar merupakan pasangan yang paling banyak mendapat porsi pemberitaan yaitu sebesar 30 persen. Kemudian disusul secara berturut- turut oleh pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki (24%), Dede Yusuf-

Lex Laksamana (22%), Irianto MS-Tatang Farhanul Hakim (17%) dan Dikdik

Muliana AM-Cecep Nana Suryana T (7%).

Hasil monitoring pemberitaan media tersebut juga memperlihatkan isu-isu dominan yang menjadi perhatian kandidat. Ahmad Heryawan misalnya lebih banyak menanggapi isu-isu seputar pemerintahan. Sebagai

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan memang terlihat lebih aktif dalam menanggapi isu yang berkembang di Jawa Barat. Rieke Diah Pitaloka yang merupakan anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi Kesehatan dan

Tenaga Kerja lebih banyak menanggapi isu seputar ekonomi dan tenaga kerja. Sedangkan Dede Yusuf lebih banyak menanggapi seputar lingkungan

81

dan bencana alam. Sementara Irianto MS (Yance) banyak menanggapi isu seputar ekonomi dan sosial budaya. Satu-satunya calon independen, Dikdik

Mulyana masih berbicara soal pemilu dan persiapannya.

Tema atau isu yang mendapat perhatian masing-masing kandidat memperlihatkan konsentrasi isu yang dijadikan program utama bagi tiap kandidat dan tim suksesnya. Meski demikian, konsentrasi isu ini akan terus berkembang seiring munculnya berbagai persoalan di Jawa Barat.

Pada sisi yang lain, media juga semakin memberikan ruang yang cukup luas kepada para kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur untuk terus berbicara dan berkomunikasi dengan publik lewat pemberitaannya. Satu hal yang juga cukup menarik adalah citra setiap kandidat yang relatif minim pemberitaan negatif. Hal ini terbukti tone pemberitaan yang didominasi positif dan netral.

Tone positif artinya muatan pemberitaan tersebut cenderung menguntungkan kandidat cagub dan cawagub. Sedangkan tone negatif adalah muatan berita yang cenderung merugikan kandidat. Sementara tone netral adalah sebuah berita yang tidak memberikan kesan positif maupun negatif. Minimnya tone negatif ini juga memperlihatkan bahwa kandidat maupun tim sukses lebih cenderung membangun citra dan popularitas di media massa, ketimbang melakukan serangan atau konfrontasi terbuka kepada kandidat cagub dan cawagub lainnya.

82

2. Media Sosial

Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh media sosial adalah mampu menciptakan perasaan saling terhubung diantara para penggunanya, sehingga interaksi yang terjadi lebih bersifat informal, walaupun para pengguna ini tidak saling mengenal satu sama lainnya (Lidsky & Friedel,

2012;237). Disinilah terjadi interaktifitas, yang dimaknai oleh Severin dan

Tankard (2001; 448) sebagai;

“Tingkatan dimana pada proses komunikasi para partisipan memiliki kontrol terhadap peran, dan dapat bertukar peran dalam dialog mutual mereka”

Media sosial pun menjadi sarana untuk berhubungan dengan pihak lain secara lebih cepat. Kata-kata yang keluar dari para pengguna media sosial serta informasi yang saling bertukar membuat dunia dipenuhi oleh aneka ragam informasi yang saling mempengaruhi satu sama lain (Santosa,

2011;33).

Hal ini membuat perubahan besar di bidang komunikasi massa. Media sosial memungkinkan setiap orang untuk menginformasikan sebuah peristiwa dalam sekejap kepada khalayak global, layaknya memiliki medianya sendiri. Sesuatu yang dulunya merupakan monopoli wartawan saja.

Pada media sosial, proses pertukaran informasi ini berlangsung sangat cepat, dan terjadi layaknya sebuah percakapan tatap muka. Michael

Arrington, salah seorang blogger (pengguna blog) sukses didunia, dalam situsnya www.techcrunch.com (31 Desember 2006) mengatakan;

83

I believe the term “blog” means more than an online journal. I believe a blog is a conversation. People go to blogs to read AND write, not just consume. We‟ve allowed comments here on TechCrunch since it started. At times, user comments can be painful to deal with. But they also keep the writer honest, and make the content vastly more interesting (Saya percaya istilah “blog” lebih dari sekedar sebuah jurnal online. Saya percaya blog adalah sebuah bentuk percakapan. Orang beralih ke blog untuk membaca dan menulis, tidak sekedar mengkonsumsi. Kami memperbolehkan komentar-komentar dalam TechCrunch –blog milik Arrington- sejak dimulai. Kadang, komentar pengguna cukup mengganggu. Tetapi mereka menjaga seorang penulis untuk tetap jujur, dan membuat isi menjadi lebih menarik).

Seorang komunikator dapat menggunakan sosial media untuk mengkomunikasikan ide-ide dan informasi secara cepat kepada sejumlah besar khalayak. Khalayak kemudian dapat memilih ide dan informasi yang ingin ditanggapi, dalam rangka mencapai tujuan sosial dan politik yang dianggapnya penting.

Terlebih pada saat jelang pemilihan umum, dimana kandidat memerlukan saluran untuk menyebarkan pesan politiknya. Media sosial sebenarnya bisa menjadi senjata ampuh, khususnya pada target pemilih pemula. Contoh konkritnya adalah kemenangan Obama di pemilihan

Presiden AS 2008 kemarin. Obama bukanlah tokoh populer, hanya saja ia dan tim kampanye-nya berhasil memanfaatkan media sosial untuk menjangkau kalangan pemilih yang tidak terjangkau oleh televisi, maupun koran.

Riset dari pingdom.com menunjukkan bahwa di tahun 2012 ini rata- rata usia pengguna media sosial berada di umur 25 - 44 tahun. Ini berarti pengguna media sosial bukan lagi didominasi para pengguna muda atau remaja. Orang di rentang usia 25 tahun keatas cenderung sudah mulai

84

berpikir kritis dan memiliki prinsip dalam memutuskan tindakan dibandingkan dengan orang-orang di usia remaja (www.pingdom.com 21 Agustus 2012).

Gambar 4: Demografis pengguna jejaring sosial dan komunitas online (sumber; www.pingdom.com)

Seperti yang diberitakan VOA (16/10/2012) “Media Sosial Ubah Peta

Sumber Pemilu”, bisa dikatakan dewasa ini media sosial bisa menjadi katalis sebuah pemilu apalagi banyaknya pengguna di rentang usia 25 tahun keatas yang lebih „peduli‟ terhadap politik. Hal ini tidak berarti bahwa pemilih muda tidak peduli, hanya saja kalangan ini umumnya belum serius menanggapi hasil pemilu. Walaupun demikian, para remaja ini bisa menjadi calon pemilih potensial.

Media sosial secara tidak langsung membantu para generasi muda ini untuk mulai peka terhadap politik. Sebagai alternatif baru, media sosial

85

merupakan cara paling efisien untuk menarik perhatian ke publik, melemparkan ide serta gagasan yang nantinya akan dievaluasi publik via media sosial. Hal ini nantinya akan berdampak signifikan ke pemilu nanti.

Politisi Indonesia sendiri nampaknya cukup menyadari peran media sosial ini. Salah satu contohnya adalah video dukungan terhadap Jokowi dan

Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang di posting di

Youtube. Ini merupakan pendekatan yang kreatif guna menjaring pemilih di usia muda untuk lebih perduli terhadap politik. Apalagi di media sosial, gap antara pemerintah dan masyarakat semakin dekat kita bisa bebas menyampaikan dukungan maupun kritikan terhadap pemerintah langsung melalui akun-akun pribadi yang bersangkutan.

Persaingan antar kandidat dalam pilkada Jawa Barat 2013 tidak hanya tampak dalam media konvensional, tetapi juga pada ranah media sosial. Para kandidat tampaknya menyadari, bahwa untuk meraih dukungan, kini tidak hanya cukup mengandalkan media konvensional saja, karena banyak pemilih potensial yang lebih sering menggunakan media sosial.

Semua kandidat Pilkada Jawa Barat dan tim suksesnya berusaha memanfaatkan dan mengoptimalkan media sosial sebagai salah satu media sosialisasi dan kampanye pemenangan. Setiap hari dapat dilihat jumlah percakapan mengenai kandidat di media sosial. Secara umum percakapan ini dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu percakapan yang berasal dari kandidat atau tim sukses dan percakapan yang berasal dari masyarakat atau media lain.

86

Percakapan yang berasal dari kandidat dan tim suksesnya bertujuan untuk mensosialisasikan kandidat dan mengajak masyarakat untuk terlibat aktif membantu kandidat di media sosial. Mereka berusaha menjadikan jumlah percakapan sebagai metrik keberhasilan utama kampanye di media sosial.

Para kandidat dan tim suksesnya harus memahami karakteristik media sosial yang berbeda dari media konvensional. Apabila beriklan di media konvensional, seperti TV, koran, radio dan bilboard, pola komunikasi yang terjadi adalah secara satu arah. Di media sosial, pola komunikasi yang terjadi bersifat dua arah. Kenyataan bagi para masyarakat bukanlah dari hasil persepsi yang dibagun oleh para kandidat dan tim suksesnya, tapi justru dari hasil percakapan tentang kandidat di antara netizen. Artinya keberhasilan membangun persepsi positif kandidat dan mensosialisasikannya di media sosial bukan bergantung kepada keaktifan akun tim sukses semata, tetapi justru lebih penting untuk melibatkan masyarakat dalam melakukan percakapan positif tentang kandidat.

Keberhasilan Barack Obama dan pasangan Jokowi-Ahok dalam memanfaatkan media sosial sebagai sarana sosialisasi, penyebaran informasi, dan juga komunikasi dengan para pendukungnya, menginspirasi lima pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat untuk melakukan hal yang sama. Politicawave, sebuah situs pemantau aktivitas penggunaan media sosial dalam kegiatan politik, yang berhasil membuktikan

87

prediksinya pada pemilu DKI Jakarta yang lalu, kembali melakukan pemantauan media sosial terhadap pemilu Provinsi Jawa Barat.

Pada dasarnya, dalam setiap pemilihan umum situs PoliticaWave.com mengukur empat kategori (yang kesemuanya berasal dari media sosial) yaitu;

 Pertama, share of awareness berdasarkan persentase masing-masing

kandidat dari jumlah topik yang diperbincangkan terkait masing-

masing kandidat di media massa.

 Kedua, share of citizens, yaitu jumlah orang-orang yang

membicarakan masing-masing kandidat di media massa.

 Ketiga, trend of awareness merupakan jumlah dari topik perbincangan

(seperti pada share of awareness) selama seminggu dalam bentuk

diagram.

 Dan yang keempat, candidate electability merupakan kombinasi

antara share of citizens dan share of awareness yang memperlihatkan

elektabilitas kandidat.

Secara umum, terlihat adanya peningkatan percakapan mengenai para kandidat di media sosial secara realtime. Akun-akun resmi kandidat pun semakin aktif berkomunikasi di linimasa twitter maupun melalui facebook fanspage. Selain itu juga banyak bermunculan akun-akun relawan pendukung masing-masing kandidat, baik akun yang sudah lama maupun akun baru yang sengaja dibuat untuk Pilkada Jawa Barat.

88

Hal ini menandakan bahwa para kandidat dan tim suksesnya menyadari peran penting media sosial untuk sosialisasi dan kampanye pemenangan. Dari lima pasangan kandidat, sampai saat ini terpantau ada tiga pasangan yang bersaing ketat di media sosial, yaitu Ahmad Heryawan-

Deddy Mizwar (Aher-Deddy), Dede Yusuf-Lex Laksamana (Dede-Lex) dan

Rieke Diah-Teten Masduki (Rieke-Teten).

Pada kategori pertama, yaitu share of awareness menurut Direktur

PolticaWave, Yose Rizal, berdasarkan analisa dari algoritma PoliticaWave untuk percakapan seputar Pilkada Jawa Barat di media sosial, ditemukan bahwa terjadi persaingan yang sengit antara pasangan kandidat Aher-

Deddy, Dede-Lex, dan Rieke-Teten. Hal ini dikarenakan ketiga pasangan tersebut saling kejar-mengejar di semua chart dengan selisih yang cukup tipis. Namun, pasangan Aher-Deddy tetap menjadi yang paling unggul dalam kategori ini dengan persentase sebesar 35,9%, diikuti oleh pasangan Rieke-

Teten dengan angka 29,9%.

89

Gambar 5: Share of Awareness Cagub dan Cawagub Jawa Barat

Kategori share of citizens sendiri yang mengukur jumlah pembicaraan tentang setiap pasangan di media sosial, menempatkan pasangan Dede-Lex sebagai juara dengan persentase sebesar 31,9%, dan diikuti oleh pasangan

Aher-Deddy dengan nilai 28,4%.

Gambar 6: Share of Citizen Cagub dan Cawagub Jawa Barat

90

Chart Trend of Awareness di PoliticaWave.com menempatkan pasangan Aher-Deddy, Dede-Lex, dan Rieke-Teten sebagai trend percakapan harian paling tinggi dibandingkan pasangan Irianto „Yance‟-

Tatang Farhanul (Yance-Tatang) yang sampai saat ini belum terlalu banyak dibicarakan di media sosial. Demikian pula dengan pasangan dari jalur independen, Dikdik Mulyana-Cecep NS Toyib (Didik-Toyib) yang belum banyak menarik perhatian netizen di media sosial.

Gambar 7: Chart Trend of Awareness

Pada periode 10-20 November 2012 tercatat 9.191 netizen melakukan

31.220 percakapan mengenai Aher-Deddy, 7.999 netizen melakukan 29.172 percakapan mengenai Dede-Lex, 8.186 netizen melakukan 30.381 percakapan mengenai Rieke-Teten, 3.250 netizen melakukan 7.247 percakapan mengenai Yance-Tatang dan 107 netizen melakukan 140 percakapan mengenai Dikdik-Toyib

Media sosial dapat menjadi media untuk menyampaikan visi dan misi serta kelebihan kandidat kepada konstituen. Walaupun penetrasi pengguna media sosial di Jawa Barat belum setinggi di DKI Jakarta, namun media

91

sosial memiliki kemampuan amplifikasi dan viral yang luas serta cepat. Para pengguna media sosial yang mayoritas adalah kelas menengah dan berpendidikan memiliki daya pengaruh yang besar terhadap lingkungan sekitarnya, baik online dan offline. Dengan jumlah populasi pemuda sekitar

12 juta jiwa, kampanye melalui media sosial akan menjadi salah satu penentu keberhasilan kandidat di Pilkada Jawa Barat.

Pada chart candidate electability, yang merupakan gabungan pengukuran kategori pertama dan kedua, PoliticaWave melihat bahwa pasangan Aher-Deddy dan Dede-Lex masuk ke dalam kategori positif di media sosial. Pasangan Aher-Deddy memimpin dengan poin sebesar 8,08 dan Dede-Lex dengan poin sebesar 0,68. Sedangkan untuk pasangan

Rieke-Teten tergolong negatif dengan poin sebesar -15,12.

Gambar 8: Elektabilitas Kandidat Cagub dan Cawagub Jawa Barat

92

Mengapa Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki, mendapat respons dan poin negatif dari para netizen di media sosial? Penyebabnya tidak lain karena keduanya dianggap meniru pencitraan Gubernur DKI Jakarta, , semakin diperburuk dengan pernyataan Rieke yang kemudian menjadi perbincangan netizen, yaitu tidak malu menjiplak Jokowi. Tetapi, sebagian netizen ada pula yang menganggap hal ini positif dan wajar saja, dengan alasan Rieke dan Jokowi sama-sama merupakan kader PDI-P, dan Jokowi adalah sosok yang memang patut dicontoh.

Dari hasil analisa akun yang melakukan percakapan tentang kandidat, situs PoliticaWave mengelompokkan akun-akun tersebut berdasar jumlah followernya. Akun-akun baru bentukan tim sukses biasanya memiliki jumlah follower yang sangat kecil dan memiliki kesamaan follower, sehingga percakapannya kurang menyebar atau viral. Para kandidat dan tim sukses harus berusaha menarik perhatian dan rekomendasi dari akun-akun dengan jumlah follower besar.

Dari tabel di bawah ini dapat kita lihat bahwa masih terdapat banyak akun dengan jumlah follower kecil, dibawah 50. Akun-akun ini kebanyakan merupakan akun khusus yang dibikin untuk Pilkada Jabar dan sangat aktif melakukan tweet tentang kandidat. Padahal jumlah akun yang terdeteksi normal, dengan jumlah follower minimal di atas 100 cukup besar, lebih dari

70% dari total netizen yang melakukan percakapan. Seharusnya para kandidat dan tim sukses dapat mengidentifikasi akun-akun ini, berkomunikasi dan melibatkan mereka secara aktif.

93

Gambar 9: Data Jumlah Follower Akun Twitter Cagub dan Cawagub Jawa Barat

Selain mengukur trend popularitas, Politicawave juga secara detil mengukur trend penggunaan media oleh pasangan kandidat Gubernur dan

Wakil Gubernur Jawa Barat. Nampak, bahwa Twitter dan Facebook merupakan media sosial yang paling sering digunakan. Sedangkan untuk blog, forum, news, dan video, presentasenya sangat sedikit. Sedangkan

Dede Yusuf dan Lex Laksamana menjadi pasangan dan tim sukses yang paling aktif menggunakan media sosial (most active user).

Dede Yusuf sendiri memang terhitung cukup aktif hadir berbagi informasi dan berinteraksi dengan pendukungnya melalui media sosial. Di

Facebook, ia memiliki dua akun, yang salah satunya dikembangkan oleh komunitas Dede Yusuf Fans Club. Sedangkan halaman yang dibuatnya sendiri, kini sudah memiliki anggota lebih dari 150 ribu pengguna, dengan informasi-informasi seputar kegiatan Dede Yusuf yang selalu diperbaharui sendiri olehnya;

94

Gambar 10: Halaman Facebook Dede Yusuf

Selain Facebook, Dede Yusuf juga memiliki akun di microblog Twitter dengan follower mencapai 115 ribu penggun Twitter lainnya. Bisa dilihat pada gambar dibawah ini, Dede hampir selalu membalas postingan yang ditujukan kepadanya.

Gambar 11: Akun Twitter Dede Yusuf

95

Selain fanpage, Dede Yusuf juga memiliki situs pribadi yang beralamat pada www.klikdedeyusuf.com. Situs ini berisi profil, informasi kegiatan dan program kerja yang dilakukan Dede Yusuf selama menjabat sebagai Wakil Gubernur provinsi Jawa Barat.

Gambar 12: Tampilan halaman depan situs pribadi Dede Yusuf (sumber; www.klikdedeyusuf.com)

Beberapa pengunjung ikut memberikan testimoni tentang Dede Yusuf di situs ini:

96

Gambar 13: Testimoni pengunjung pada situs klikdedeyusuf.com

Demikian pula dengan Rieke Diah Pitaloka yang juga memiliki situs pribadi beralamat di www.riekediahpitaloka.com. Dari segi tampilan, situs

Rieke Diah Pitaloka ini memang tampak lebih menarik dibandingkan situs

Dede Yusuf ataupun blog milik Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar:

Gambar 14: Halaman Situs Pribadi Rieke Diah Pitaloka (www.riekediahpitaloka.com)

97

Salah satu fitur menarik dari situs milik Rieke Diah Pitaloka ini adalah halaman berjudul “Pemikiran Politik” yang berisi artikel-artikel politik yang ditulis oleh Rieke sendiri. Artikel terbaru berjudul “Soekarno: Gagasan

Tentang Partai” bertanggal 17 Juni 2012.

Gambar 15: Artikel yang ditulis oleh Rieke Diah Pitaloka dalam situsnya.

Sedangkan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar memiliki sebuah halaman blog yang dibentuk oleh para pendukung keduanya, beralamat di www.aherdemiz4jabar.com dan memuat profil, berita, dan informasi seputar kedua pasangan calon ini:

98

Gambar 16: Tampilan depan halaman blog Aher-Demiz

Blog ini cukup hits dengan frekwensi kunjungan mencapai lebih dari 1400 pengguna, 2000 kali halaman ditampilkan, dan sebaran pengunjung yang mencapai hingga ke mancanegara;

Gambar 17: Arsip kunjungan blog Aher-Demiz

Politicawave menyimpulkan bahwa setelah pendaftaran ada tiga kandidat yang mengalami penambahan follower secara pesat yaitu;

@aheryawan (Ahmad Heryawan) dengan peningkatan 8.050 pengikut, diikuti

99

oleh @dedeyusuf_1 (Dede Yusuf) dengan 7.292 pengikut, @rieke_diah dengan 4.110 pengikut (Rieke Diah Pitaloka). Ahmad Heryawan menjadi calon yang paling aktif di Twitter, baik disapa, menyapa, retweet, serta reply sebuah aktivitas yang menunjukkan tingkat respon dari cagub terhadap pengikutnya.

Gambar 18: Akun Twitter Ahmad Heryawan (@aheryawan)

100

Gambar 19: Interaksi antara Aher dan Pengikutnya di Twitter

c. Kompasiana

Kompasiana adalah sebuah jenis media sosial berbentuk blog. Blog berasal dari istilah “web log” yang artinya sebuah website dengan informasi yang ditampilkan sesuai dengan susunan tanggal. Houghton dan Patten menuliskan beberapa kategori utama blog (2009,4);

 Academic (akademis).

 Arts (seni).

 Blogging – how to blog (provider penyedia akun blog).

 Business and professional (bisnis dan profesional).

 Entertainment (hiburan).

 Financial (keuangan).

 Food (makanan).

 Job and careers (Profesi dan Karir).

 Technology (teknologi).

101

 Personal (blog privat).

 Politics (politik).

 Sports (olah raga).

Kompasiana mengembangkan format blog dengan menambahkan fitur layaknya jejaring sosial, sehingga kompasianer tidak hanya dapat menulis tetapi juga dapat menambah jaringan pertemanan mereka dengan sesama kompasianer.

Nama Kompasiana diusulkan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas yang biasa menulis kolom "Politika". Nama ini pernah digunakan untuk kolom khusus yang dibuat pendiri Harian Kompas, PK

Ojong, berisi tulisan tajam mengenai situasi mutahir pada masanya.

Kumpulan rubrik Kompasiana yang ditulis PK Ojong itu sendiri sudah dibukukan.

Pada tanggal 1 September 2008, Kompasiana mulai online sebagai blog jurnalis. Pada perjalanannya, Kompasiana berkembang menjadi Social

Blog atau blog terbuka bersama para jurnalis harian Kompas dan Kompas

Gramedia (KG) serta beberapa orang penulis tamu dan artis. Antusiasme para blogger dan netizen untuk ikut ngeblog di Kompasiana sangat besar sehingga dibuatkan satu menu khusus bernama Public. Pada 22 Oktober

2008, Kompasiana sebagai Social Blog resmi diluncurkan.

Kompasiana menampung beragam konten yang menarik, bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan dari semua lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Keterlibatan

102

warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kompasiana juga melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi, pendapat dan gagasan. Di

Kompasiana, setiap orang didorong menjadi seorang pewarta warga yang, atas nama dirinya sendiri, melaporkan peristiwa yang dialami atau terjadi di sekitarnya.

Tren Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) seperti ini sudah mewabah di banyak negara maju sebagai konsekuensi dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan masyarakat pengguna internet (netizen) menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto dan video.

Kompasianer (sebutan orang-orang yang beraktifitas di Kompasiana) juga diberi kebebasan menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan maupun tanggapan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang tayang di Kompasiana menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya. Selain itu, Kompasiana menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antar-anggota. Setiap Kompasianer bisa menjalin pertemanan dengan Kompasianer lain. Mereka juga dapat berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur interaktif lainnya.

Berdasarkan data dari www.alexa.com sebuah situs penyedia fitur pengukuran traffic website, kompasiana menempati ranking ke-31 dari daftar

103

situs Indonesia yang paling sering dikunjungi, dengan reviews 7 dari 8 orang yang mengunjungi Kompasiana akan merekomendasikan pada orang lain, dan menganggap Kompasiana paling baik dari segi konten, dan keaktifan komunitasnya. Berikut grafik pengukuran perkiraan kunjungan di

Kompasiana oleh pengguna internet dari seluruh dunia dari bulan Januari hingga Maret 2013.

Gambar 20: Grafik Kunjungan Blog Kompasiana Per Hari (sumber: http://www.alexa.com/siteinfo/kompasiana.com#)

Masih dari sumber yang sama, kompasiana kini disebut-sebut sebagai website jurnalisme warga terbesar di Indonesia.

104

Gambar 21: Tampilan halaman depan blog Kompasiana

Gambar 22: Tampilan bagian arsip (dashboard) Kompasianer

105

Gambar 23: Tampilan halaman pribadi Kompasianer (Akun Pepih Nugraha)

Gambar 24: Tampilan fitur penulisan dalam Kompasiana

106

d. Selebritas Politisi.

Selebriti berasal dari kata dalam bahasa Perancis “célèbre” yang bermakna

“dikenal publik”. Selebriti adalah sebuah konsep general yang dapat dibagi lagi kedalam kategori dan memainkan fungsi spesifik dalam ruang publik

(Marshall, 1997;17).

Marshall mengungkapkan tiga kategori selebriti yang diwacanakan oleh James Monaco, seorang siswa perfilm-an (ibid);

 Hero/pahlawan:

Orang yang terkenal dan melakukan sesuatu secara aktif. Contohnya

adalah; astronot, ilmuwan, dan penemu, karena sifat keaktifan

mereka.

 Star/bintang:

Makna penyebutan “bintang” disini tidak merujuk pada tokoh film

(aktor/aktris). Menurut Monaco, perbedaan diantaranya adalah;

aktor/aktris memerankan peran, seorang bintang justru hanya menjadi

dirinya sendiri. Contoh selebriti yang layak disebut bintang adalah

Teddy Roosevelt.

 Quasar/Selebriti Ikonik

Ini adalah kelas selebriti terendah, dimana seseorang hanya berperan

sebagai icon karena ia tidak mampu mengontrol citra-nya sendiri.

Keterlibatan selebriti dalam dunia politik tidak lepas karena menyadari besarnya pengaruhnya. Lewat memanipulasi citra-nya selebriti dapat mempersuasi dan merubah cara orang berpikir dan merasa tentang

107

kemiskinan, lingkungan hidup, dan isu-isu sosial lainnya. Walaupun demikian, selebriti tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang dapat merubah masyarakat kedalam cara yang signifikan dan substansial.

Kapasitas inilah yang kemudian dicari dalam politik (Cashmore 2006,217).

Street menyebutkan (2003,91), dunia selebriti cukup menginspirasi untuk diadopsi oleh politik. Ada hal-hal irasional yang terjadi dalam hubungan antara selebriti dan khalayaknya, yang patut dipelajari oleh politisi untuk kepentingan mengumpulkan dukungan.

Zoonen membagi kepribadian dasar dari selebriti politisi kedalam empat tipologi (2005,83-84).

Politics: Insider

I II

Celebrity: Celebrity: Ordinary Special

III IV

Politics: Outsider

Gambar 25: Pola Kepribadian Dasar Selebritas Politisi (Zoonen)

Kategori I adalah politisi sejati dengan beberapa kualitas pribadi yang membuatnya menonjol, kategori II adalah anggota partai yang dengan gaya

108

hidupnya mampu membuatnya diliput oleh media, kategori III adalah warga biasa/independen yang masuk ke dunia politik, sedangkan kategori IV adalah orang luar partai dan politik yang memiliki penggemar (selebriti).

West dan Orman (dalam Cashmore, 2006;213) mengelompokan selebriti yang berperan dalam politik kedalam lima tipe;

 Legacies (mis; keluarga Kennedy dan Bush).

 Newsworthies (mis; Jesse Jackson)

 Famed non-politicos (mis; Ronald Reagen dan Sonny Bono).

 Famed non-politicos spokesperson (Mis; Jane Fonda dan Charlton

Heston).

 Event celebrities (mis: Monica Lewinski).

Sedangkan Michael Ray dalam artikel online-nya berjudul “From Box Office to Ballot Box: 10 Celebrity Politicians” yang diterbitkan oleh www.britannica.com (07 April 2011), menyebutkan 10 jenis selebriti politisi:

 The Gipper/pembicara (mis; Ronald Reagan).

 The Hoopster/atlit kulit hitam (mis; Bill Bradley).

 The Southpaw/orang kidal (mis; Manny Pacquaio).

 The Underdog/anak bawang (mis; Joseph Estrada).

 The Dame/wanita tua (mis; Glenda Jackson).

 The Governator/sang gubernur (mis; Gray Davis, Gary Coleman, Pete

Ueberroth, dll).

 The Salsero/musisi latin (mis; Ruben Blades).

 The Wrestler/pegulat (mis; Jesse Ventura, Arnold Schwarzenegger).

109

 The Tunesmith/komposer (mis; Sonny Bono).

 The Receiver/penerima (mis; Steve Largent).

Ramainya selebriti menjadi politisi disebut oleh Street (2004,5) sebagai akibat dari adanya budaya popular (Popular Culture) yang menempatkan politik layaknya sebuah drama televisi, sehingga lebih mementingkan profil pemain daripada cerita. Postman (ibid) mengkritik bahwa saat ini penampilan dan citra telah mendominasi politik, dan kosmetik mampu menggantikan ideologi. Permasalahan yang muncul dari keterlibatan selebriti dalam dunia politik semata-mata karena gaya dan penampilan dari mereka sendiri.

Mengapa demikian? Firmanzah (2008, 34) mengatakan, kini semakin sulit ditemukan kaderisasi yang terpadu dan terencana di dalam dunia politik di Indonesia. Sehingga tidaklah mengherankan apabila seringkali dijumpai banyak sekali artis yang akhirnya digandeng oleh suatu partai politik untuk terlibat dalam kegiatan politiknya. Salah satu tujuan dari cara ini adalah menggunakan dan memanfaatkan popularitas yang dimiliki si artis untuk menarik massa.

Bahkan, Nurul Arifin, selebriti yang juga kini telah menjadi politisi, dalam petikan wawancaranya dengan Denny J.A mengakui bahwa masih banyak artis-artis yang menggunakan popularitasnya tanpa kualitas. Belum teruji secara publik apa yang akan dilakukan atau diberikan kepada masyarakat. Bahkan untuk programnya pun belum terdengar (dalam Denny

J.A, 2006; 184).

110

West and Orman (ibid, 6) berpendapat bahwa selebriti politisi sangatlah tidak berkompeten dalam menjalankan tugas pemerintahan. Selain itu selebriti politisi dianggap kurang berpengetahuan dan memiliki keahlian dalam hal kebijakan publik. Dikhawatirkan hal ini dapat mengakibatkan isu- isu politik penting justru diremehkan.

e. Profil Selebritas Kandidat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa

Barat 2013.

Selebritas merupakan sebuah fenomena sosial budaya, yang selalu menarik untuk diikuti beritanya. Terlebih ketika kaum ini memasuki wilayah politik, disaat-saat masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap para pelakunya. Inilah sebabnya pilkada Jawa Barat menjadi menarik perhatian, karena tiga selebritas dengan nama besar dan bereputasi baik menjadi kandidat didalamnya.

Dede Yusuf, Deddy Mizwar, dan Rieke Diah Pitaloka, sama-sama diusung oleh partai besar dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Jawa Barat 2013 ini. Meskipun, banyak tanggapan sinis yang mengatakan bahwa selebritas hanya digunakan sebagai alat pengumpul suara (vote getters), atau selebritas hanya mengandalkan penampilan dan popularitas saja, tetapi tidak bisa dikesampingkan bahwa pesona selebritas masih mampu menarik simpati.

Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2013 ini, terdapat tiga nama selebritas diantara lima (5) pasangan calon yang maju.

Ketiganya adalah: Deddy Mizwar (menjadi calon Wakil Gubernur

111

mendampingi incumbent Ahmad Heryawan), Dede Yusuf (incumbent Wakil

Gubernur yang maju bersama Lex Laksamana), dan Rieke Diah Pitaloka

(berpasangan dengan aktivis anti korupsi dari ICW, Teten Masduki). Berikut profil ketiga selebritas yang sudah sangat dikenal masyarakat Jawa Barat ini, yang dikutip dari homepage situs masing-masing:

1. Deddy Mizwar.

Deddy Mizwar adalah seorang aktor, sutradara, dan produser. Ia banyak terjun dalam perfilm-an Indonesia baik secara langsung sebagai aktor ataupun tidak langsung sebagai sutradara dan produser. Film-film yang ia garap banyak bernuansa da‟wah dengan pesan moral dan agama yang ringan dan menghibur. Deddy Mizwar, lahir di Jakarta, 5 Maret 1955.

Deddy sempat berstatus Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kesehatan

DKI Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk total berkarir di dunia seni. Totalitas Deddy menghasilkan 4 piala Citra (untuk film) dan 2 piala

Vidya (untuk sinetron), sebagai bukti pengakuan kualitas hasil karyanya.

Menurut Deddy, kecintaannya pada dunia seni adalah karena mencontoh ibunya, Ny. Sun‟ah, yang pernah memimpin sangar seni Betawi. Akhirnya, ia dan ibunya kerap mengadakan kegiatan seni di kampung sekitarnya.

Kecintaannya pada dunia teater telah mengubah jalan hidupnya.

Beranjak dewasa, sekitar tahun 1973, Deddy mulai aktif di Teater Remaja

Jakarta. Dan lewat teater inilah bakat akting Deddy mulai terasah. Deddy pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater Remaja di Taman

112

Ismail Marzuki. Tidak sekedar mengandalkan bakat alam, Deddy kemudian kuliah di LPKJ, tapi cuma dua tahun.

Memulai karier di film pada 1976, Deddy bekerja keras dan mencurahkan kemampuan aktingnya, di berbagai film yang dibintangi.

Pertama kali main film, dalam Cinta Abadi (1976) yang disutradarai Wahyu

Sihombing, dosennya di LPKJ, dia langsung mendapat peran utama.

Puncaknya, perannya di film Naga Bonar yang hingga kini karakternya masih terus melekat pada Deddy. Kepiawaiannya berakting membuahkan hasil dengan meraih 4 Piala Citra sekaligus dalam FFI 1986 dan 1987 diantaranya: Aktor Terbaik FFI dalam Arie Hanggara (1986), Pemeran

Pembantu Terbaik FFI dalam Opera Jakarta (1986), Aktor Terbaik FFI dalam

Naga Bonar (1987), dan Pemeran Pembantu Terbaik FFI dalam Kuberikan

Segalanya (1987).

Di awal tahun 90-an, karir Deddy Mizwar mencapai puncak. Suami dari Giselawati ini kemudian memutuskan untuk terjun langsung memproduksi sinetron dan film bertemakan religius melalui rumah produksi miliknya PT Demi Gisela Citra Sinema tahun 1996. Saat itu, sinetron bertema religi masih langka dan kurang bisa diterima pihak stasiun televisi. Meskipun demikian, Deddy tetap memproduksi sinetron Hikayat Pengembara yang tayang di bulan Ramadhan. Rating sinetron ini cukup menggembirakan.

Boleh dikata, Hikayat Pengembara adalah perintis kemunculan trend sinetron religi dibulan Ramadhan.

113

Permasalahan baru yang muncul kemudian adalah, produk sinetron religius Islam sulit mendapatkan tempat di stasiun televisi selain di bulan

Ramadhan. Hal ini disebabkan stasiun teve terlampau under estimate di samping memang tidak banyak sineas yang mau membuat tayangan sinetron religius di luar bulan Ramadhan.

Dalam pandangan Deddy Mizwar, film merupakan salah satu media dakwah yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakat luas termasuk kalangan non-Muslim. ”Saya contohkan sinetron

„Lorong Waktu‟ yang ternyata diminati pula oleh warga non-Muslim. Bahkan, saat ini „Lorong Waktu‟ diputar ulang di luar bulan Ramadan hingga saya berkesimpulan sinetron atau film dakwah tak harus identik dengan bulan

Ramadan,” katanya. Dengan kata lain, masyarakat rupanya mau menerima dan menyambut hangat tayangan religius di luar Ramadhan.

Ia juga menyarankan agar umat Islam mendirikan stasiun TV sendiri, sehingga umat Islam memiliki alternatif dalam memilih stasiun TV maupun acaranya. ”Sudah waktunya umat Islam mengisi dan mewarnai acara-acara

TV. Saya melihat potensi ke arah itu cukup besar terutama dari kalangan sineas muda dan mahasiswa,” kata aktor yang telah membintangi sekitar 70 film layar lebar ini penuh optimisme. Ke depan, Deddy akan terus berusaha konsisten memproduksi film dan sinetron religius.

Setelah sukses didunia seni dan hiburan, Deddy Mizwar akhirnya masuk ke dalam bidang politik. Ia sempat mencalonkan diri sebagai Calon

Presiden RI dengan wakilnya yaitu Brigadir Jenderal Saurip Kadi. Pasangan

114

ini mendapatkan dukungan dari beberapa partai kecil. Namun usaha nyata ini kandas karena persyaratan untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden tidak memadai.

Pencitraan positif Deddy Mizwar yang terbentuk karena karya- karyanya, membuat Deddy menjadi pilihan utama PKS untuk mendampingi

Ahmad Heryawan. Keseriusan PKS terlihat dari alotnya pendekatan selama

4 bulan yang dilakukan kepada Deddy Mizwar, walaupun ia sempat menolak.

Selain PKS, pasangan ini turut didukung beberapa partai besar yaitu PPP,

Hanura, PBB.

Para pendukung PKS pada umumnya, dan pendukung Ahmad

Heryawan pada khususnya sangat gembira dengan pemilihan Deddy Mizwar sebagai calon Wakil Gubernur. Di Jawa Barat sendiri, profil Deddy Mizwar sudah sangat dikenal, khususnya oleh kalangan seniman dan budayawan.

Mapofpeople.com, sebuah situs pengukur aktivitas pengguna media sosial mengemukakan bahwa popularitas Deddy Mizwar sebagai topik pembicaraan di media sosial ternyata cukup tinggi, meskipun angka yang ada tidak setinggi saat Deddy Mizwar baru terpilih sebagai Wakil Gubernur.

115

Gambar 26: Pengukuran popularitas Deddy Mizwar di media sosial menurut situs mapofpeople.com (sumber; www.mapofpeople.com)

2. Dede Yusuf

Dede Yusuf adalah seorang aktor, presenter, atlet, dan juga politisi. Ia mulai terkenal saat terjun ke dunia film dan sinetron laga Indonesia. Setelah berkecimpung lama di dunia entertainment, pria yang mempunyai nama lengkap Yusuf Macan Effendi ini mulai terjun ke dunia politik menjadi anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2004-2009 dan kemudian berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk dipasangkan dengan Ahmad Heryawan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Jawa Barat. Akhirnya Dede terpilih menjadi Wakil Gubernur Jawa

Barat periode 2008-2013.

Dede lahir di Jakarta, 14 September 1966. Dede Yusuf merupakan anak kedua dari pasangan (alm) Ir. Tammy Effendi dan Rahayu Effendi.

Almarhum ayah Dede bekerja sebagai Direktur di Taman Ismail Marzuki

116

(TIM) Jakarta. Sementara Ibunya seorang penari di Istana Bogor dan

Pramugari Garuda yang beralih profesi menjadi bintang film pada awal tahun

1965. Saat Dede lahir, salah satu film ibundanya, Macan Kemayoran menuai sukses, sehingga ayahnya menamakan “Macan”.

Sejak SMP Dede sudah mengikuti program weight training ala idolanya, Arnold Schwarzenegger. Sehingga tubuh Dede menjadi lebih kekar daripada teman seusianya saat itu. Dede pun tidak hanya mempelajari silat.

Berbagai jenis olah raga bela diri dicobanya, seperti Karate, Kungfu, Kempo,

Jujitsu, dan Taekwondo yang telah sampai pada tingkat DAN-IV Kukkiwon

(fourth Dan).

Tak hanya berlatih, Dede juga mengikuti kompetisi bela diri, mulai dari kejuaraan cabang hingga tingkat nasional dari tahun 1982 hingga 1990.

Dede pernah meraih gelar Juara Nasional Taekwondo kelas ringan tahun

1984 dan kelas ringan berat 1988. Dia pun terdaftar sebagai team nasional

Indonesia selama beberapa tahun berturut turut. Sampai akhirnya dia berhenti bertanding dan konsentrasi melatih murid-muridnya di DOJO /

DOJANG (sebutan untuk club bela diri). Termasuk mendirikan perguruan

Taekwondo seperti Sembrani Club, BRI club, SMA 6 club, Pangudi Luhur

Club, dll.

Kesukaan Dede pada beladiri, membuatnya berkeinginan menjadi bintang laga seperti Bruce Lee atau Chuck Norris. Dede pun mengikuti berbagai macam casting dan sering menjadi pemain figuran yang mendampingi bintang laga kala itu seperti Barry Prima, George Rudy, dan

117

Advent Bangun. Dede juga menerima tawaran sebagai model di majalah- majalah ibukota. Dengan tekad untuk memasuki dunia showbiz sepenuhnya,

Dede rela meninggalkan kuliah di tahun keempatnya di Fakultas Teknologi

Industri Universitas Trisakti.

Kesempatan datang di tahun 1986 dengan debut pertamanya sebagai peran pembantu di film Catatan Si Boy besutan sutradara Nasri Cheppy.

Setelah itu, Dede semakin sering bermain film dan (juga) serial televisi.

Serial televisi yang melambungkan namanya adalah Jendela Rumah Kita di

TVRI dengan peran sebagai Jojo yang mampu bertahan selama 4 tahun

(1989-1992).

Pada tahun 1992, Dede diajak oleh Ani Sumadi untuk memandu kuis

Tak Tik Boom yang bertahan di papan atas rating televisi selama 6 tahun

(1992-1998). Dede juga menjadi bintang iklan beberapa produk, termasuk produk obat yang memasangnya selama 14 tahun.

Setelah meninggalnya sang ayah di penghujung tahun 1993, peran

Dede berubah dari drama menjadi action. Serial action yang pernah dibintangi Dede adalah Jalan Makin Membara yang masuk nominasi Award

Televisi. Dede juga membintangi dan menyutradarai film Reinkarnasi (2000) yang berhasil meraih pernghargaan sebagai Film Laga Terpuji Festival Film

Bandung 2000.Selain dikenal sebagai aktor, mantan foto model ini juga dikenal sebagai presenter, produser dan sutradara handal. Bahkan Piala

Vidia Madya-FFI 1994 pernah dikoleksinya dari cerita serial Sepeda Anak

Pak Uztad yang disutradarainya.

118

Dede berkenalan dengan dunia politik sejak bergabung dengan

Kosgoro tahun 1992 sebagai salah satu pengurus pusat. Namun saat itu menurutnya dunia perfilman lebih menarik. Dede pun maju sebagai kandidat

Ketua Umum PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) yang akhirnya dimenangkan Sys NS, sedang Dede menempati posisi sebagai Sekjen

PARFI. Seiring kesibukannya untuk syuting, Dede akhirnya melepaskan jabatan itu.

Dunia politik praktis kembali menjadi menarik buat Dede Yusuf. Ia mendaftar sebagai calon legislatif dari PAN untuk daerah pemilihan Jabar IX

(Kuningan-Ciamis-Banjar), dan kemudian terpilih sebagai Anggota Legislatif untuk masa jabatan 2004-2009 serta duduk di Komisi VII yg membidangi

Energi, lingkungan Hidup, Minyak dan Gas serta Ristek

(www.klikdedeyusuf.com).

Dede Yusuf pada pemilihan kali ini maju sebagai perwakilan dari

Partai Demokrat. Sebagai incumbent, Dede dinilai punya peluang besar untuk menjadi orang nomor satu di Jawa Barat. Terlebih lagi fisik dan penampilan Dede cukup menarik, ditambah track record yang bersih selama menjabat. Pada awal kemunculan wacana tentang siapa saja yang akan maju sebagai calon dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa

Barat, sejumlah pengamat politik memperkirakan Dede Yusuf punya peluang besar untuk terpilih, apabila ia maju. Berikut kutipan berita dari sejumlah media online:

119

 Pengamat Cesda LP3ES Rahadi Teguh Wiratama dalam

wawancaranya dengan situs lensaindonesia.com menilai:

“Betul ada Oneng yang juga banyak digemari ibu-ibu, juga ada Deddy Mizwar yang sangat terkenal. Tetapi, dalam analisis Rahadi, Dede tetap punya tempat. Citranya beda dengan Deddy Mizwar yang cenderung macho, atau Oneng yang jika berpidato sangat berapi-api yang bisa ditafsirkan cenderung maskulin.” (17 November 2012).”

 Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

Siti Zuhro juga menyatakan hal yang sama (sindonews.com)

“Dede Yusuf punya peluang yang sama besar dengan Aher karena elektabilitas yang tinggi. Dede adalah faktor penting dalam mendongkrak dukungan bagi Aher pada pilgub sebelumnya.” (23 November 2012).

Meskipun tingkat elektabilitas Dede cukup tinggi, tetapi banyak pengamat politik menilai ada dua hal yang akan melemahkan posisi Dede

Yusuf; pertama, kepindahannya dari PAN ke Partai Demokrat. Publik menilai politisi yang berpindah partai itu sebagai perilaku yang haus akan kekuasaan. Apalagi pencitraan PD kini tengah memburuk, akibat banyaknya kader dan petinggi PD yang terlibat kasus korupsi. Kedua; di pilkada kali ini, bukan cuma Dede yang berstatus selebriti. Masih ada Rieke Diah Pitaloka dan Deddy Mizwar.

3. Rieke Diah Pitaloka

Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari lahir di Garut, Jawa Barat, 8 Januari

1974 (umur 38 tahun) adalah seorang penulis buku, pembawa acara, pemain film dan sinetron Indonesia, serta anggota DPR RI periode 2009-2014 dari

PDI Perjuangan.

120

Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Sastra Belanda

Universitas Indonesia dan S-1 Filsafat STF Driyakara, Jakarta, Rieke pun meneruskan pendidikannya. Meski sibuk dengan segala kegiatan „keartisan‟,

Rieke berhasil menyelesaikan pendidikan S-2nya di jurusan Filsafat

Universitas Indonesia (UI). Bahkan tesisnya yang berjudul “Banalitas

Kejahatan: Aku yang tak Mengenal Diriku, Telaah Hannah Arendt Perihal

Kekerasan Negara” dijadikan buku dengan judul “Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat” diterbitkan oleh Galang Press.

Rieke mulai dikenal publik lewat iklan lewat perannya di sitkom Bajaj

Bajuri. Selain sinetron, Rieke juga menjajal teater. Rieke ikut pementasan teater yang berjudul „Cipoa‟ garapan Putu Wijaya. Ingin mencoba hal baru,

Rieke pun merambah ke layar lebar. Rieke memulai debutnya di layar lebar sebagai Dwi, perempuan yang dipoligami dalam film Berbagi Suami.

Ketagihan main film, Rieke bermain dalam film antologi karya empat sutradara perempuan berjudul Lotus Requiem yang kemudian judulnya diubah menjadi Perempuan Punya Cerita. Kemudian Rieke menjadi pembawa acara dalam acara Good Morning dan penulis buku. Salah satu judul bukunya adalah Renungan Kloset.

Rieke aktif dalam kegiatan politik, bahkan pernah menduduki jabatan wakil sekretaris jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan

Muhaimin Iskandar. Rieke kemudian mengundurkan diri dari partai berbasis massa Islam tersebut untuk bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarnoputri.

121

Rieke adalah anggota DPR periode 2009-2014 dari PDI-P untuk

Daerah Pemilihan Jawa Barat II. Di Dewan Perwakilan Rakyat, Rieke merupakan salah satu anggota dari Komisi IX. Bidang yang sangat Ia perhatikan adalah bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Ia merupakan salah satu anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan bagian dari

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Rieke Diah Pitaloka juga mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama “Yayasan Pitaloka” yang bergerak di bidang sastra dan sosial kemasyarakatan (www.riekediahpitaloka.com). Keberadaan Rieke sebagai satu-satunya calon perempuan dalam pilkada ini, memberikan keuntungan tersendiri. Beberapa media online menyebutkan bahwa Rieke berpotensi mengulang keberhasilan Ella M. Girikomala, seorang anggota DPD yang berhasil menang dalam pemilu legislatif di tahun 2009. Saat itu Ella adalah satu-satunya calon perempuan yang maju.

PDI-P sebagai partai pendukung pasangan Rieke-Teten tampaknya memang total berusaha memenangkan keduanya. Salah satu usaha tersebut adalah dengan mengadopsi cara-cara kampanye Joko Widodo, kader PDI-P lainnya, yang berhasil memenangkan pilkada DKI Jakarta. Sosok Joko

Widodo ternyata sangat berpengaruh meningkatkan pencitraan bagi PDI-P.

Mulailah Rieke-Teten tampil dengan baju kotak-kotak dalam setiap kemunculannya, mengadopsi program kampanye Jokowi, bahkan menghadirkan Jokowi dalam salah satu iklan pasangan calon ini, dan juga

122

pada saat masa kampanyenya. Dalam iklan tersebut ditampilkan Jokowi yang tengah berdialog bersama Rieke. Di akhir tayangan, Jokowi mengatakan;

“Kalau saya warga Jawa Barat, saya memilih Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki...”

Berikut ini beberapa gambar yang menunjukan dukungan Jokowi bagi Rieke:

Gambar 27: Jokowi tengah memakaikan Rieke kemeja kotak-kotak yang menjadi simbol politiknya.

Gambar 28: Kampanye pasangan calon Rieke-Teten yang diikuti Jokowi

Gaya ala Jokowi ini rupanya cukup berpengaruh terhadap keputusan memilih masyarakat Jawa Barat. Suara yang diperoleh Rieke-Teten cukup

123

tinggi (28,7% suara), meskipun hanya ada di urutan kedua setelah pasangan

Aher-Deddy Mizwar (31,8% suara) dalam hasil akhir penghitungan suara pilkada Jawa Barat;

B. Temuan Data

Berdasarkan penelitian terhadap sampel data, maka peneliti terlebih dahulu membuat unit kategorisasi teks yang disajikan dalam tabel berikut:

124

KATEGORISASI PEMUNCULAN PER PERIODE

PERIODE PRA KAMPANYE (17 DES 2012 - 06 FEBRUARI 2013)

No Tgl Judul Postingan Jumlah Jumlah Penulis Tema Postingan Isi Postingan Tokoh Foto Postingan Karakter Kunjungan Ahmad Selebritis dalam Posisi dilematis Nilai positif dan negatif Heryawan, Pilkada Jawa Barat, Adiyasa 1 28-Des-12 Sebuah Penggerak 5,683 133x Prahenda selebritas selebritas menjadi Rieke Diah - berpolitik politisi Pitaloka, Dede atau Kemunduran Yusuf

Pilkada Jawa Barat: Selebritas Cara selebritas Deddy Mizwar, Thamrin sebagai faktor membuktikan bahwa Rieke Diah 2 22-Des-12 Kisah Perang Para 3,887 454x Sonata dominan dalam dirinya layak menjadi Pitaloka, Dede - Penjual Obat pilkada Jabar pemimpin Jawa Barat. Yusuf PAN Mengalami Pencalonan Pentingnya parpol Krisis Kaderisasi La Ode selebritas bersikap selektif dalam 3 28-Jan-13 dan Kepercayaan 5,906 328x Ahmadi sebagai tanda memilih selebritas - Diri krisis parpol sebagai kadernya Kualitas kepribadian Menjadi Politisi Syarat yang harus dimiliki Dede Yusuf, 4 29-Jan-13 Bukan Asal Artis 2,293 139x Ajinatha selebritas untuk oleh selebritas apabila Rieke Diah menjadi politisi ingin menjadi politisi Pitaloka Analisa masing- Siapa Calon Prayitno masing Elektabilitas pasangan Lima pasangan 5 27 Des 13 Terkuat Cagub 13,169 5580x pasangan selebritas dan non cagub-cawagub 1 Jabar? Ramelan cagub-cawagub selebritas Jabar Jabar Kelemahan Aher Ahmad Analisa Sederhana Langkah Aher & 6 3-Jan-13 Kekalahan Aher di 15,265 935x Agus PKS dalam berada pada faktor Heryawan, - Sutondo parpol yang Deddy Mizwar, Jawa Barat Pilkada Jabar mengusungnya Dede Yusuf Kenali Angka 5 Rieke- Profil pasangan Sosialisasi pasangan Rieke Diah 7 20-Des-13 pada Pilkada Jawa 7,017 574x RDP-Teten Rieke-Teten kepada Pitaloka, Teten - Barat Teten Masduki Kompasianer Masduki

125

PERIODE PRA KAMPANYE (17 DES 2012 - 06 FEBRUARI 2013)

Jumlah Jumlah Tgl No Judul Postingan Karakte Kunjunga Penulis Tema Postingan Isi Postingan Tokoh Foto Postingan r n Persaingan 3 Artis Deddy Mizwar, dalam Pemilihan Fauzan Profil selebritas Track record masing- Rieke Diah 8 2-Jan-13 Gubernur dan Wakil 4,191 204x Jatnika peserta Pilkada masing selebritas 3 Pitaloka, Dede Gubernur Jawa Abror Jabar politisi Yusuf Barat Nilai plus minus Perbandingan masing-masing Cagub Jawa Barat: cagub-cawagub pasangan calon Lima pasangan Haji 9 21-Des-13 Berpengalaman 6,312 320x Jabar yang sudah diukur dari cagub-cawagub - Damanik versus Pendatang dan belum pengalaman Jabar berpengalaman memimpin daerah dan popularitas Kandidat pasangan Perang Bintang Deddy Mizwar, selebritas yang dalam Pemilihan Joko Dwi Selebritas politisi Rieke Diah 10 18-Des-13 4,343 269x meredupkan pamor - Kepala Daerah Cahyana dan Pilkada Jabar Pitaloka, Dede pasangan non Jawa Barat Yusuf selebritas Indra Jawa Barat Euforia Pilkada Situasi Jawa Barat 11 23-Jan-13 3,871 109x Azmani - - Memilih… Jabar jelang pilkada Gunawan

126

KATEGORISASI PEMUNCULAN PER PERIODE

PERIODE KAMPANYE (06 - 20 FEBRUARI 2013)

Tgl Jumlah Jumlah No Postingan Judul Postingan Karakter Kunjungan Penulis Tema Postingan Isi Postingan Tokoh Foto Penilaian pasangan RDP- Rieke Diah Jokowi garansi Pakde Teten Masduki Dukungan terhadap Pitaloka, 1 18-Feb-13 Rieke-Teten 2,330 218x pasangan Rieke- Teten - Jujur dan Bersih Kartono melalui apa yang Teten Masduki, Joko dikatakan oleh Jokowi Widodo Membaca Politik Lima Dede Yusuf menang Persepsi di Usman Pencitraan kelima pencitraan dari segi pasangan 2 17-Feb-13 Pilgub Jabar, 6,561 685x cagub- - Dede Yusuf Kusmana pasangan calon popularitas dan cawagub Menang 37%? kesederhanaannya Jabar Adakah Korelasi Sinetron KSD Penayangan sinetron Sinetron KSD sebagai bagian KSD yang 3 20-Feb-13 dgn Pilgub 2,146 14937x Asri Salam dari kampanye diperankan Deddy Deddy Mizwar - Jabar…? Aher-Demiz Mizwar Dede Yusuf Prediksi Membuat PKS Dede Yusuf, 4 19-Feb-13 Menangis di 3,005 2207x Ninoy N. kemenangan Kritik terhadap Ahmad Karundeng Dede Yusuf di perilaku kader PKS Pilkada Jawa Pilkada Jabar Heryawan Barat Dukungan kepada Ini Dia Artis Wahyu Eko Prestasi Deddy Deddy Mizwar untuk 5 14-Feb-13 Prestatif dengan 2,682 398x Mizwar sebagai Deddy Mizwar 1 Penggemar Setia Widodo selebritas maju di Pilkada Jawa Barat Kotak-Kotak Perbandingan RDP yang Rieke Diah 6 17-Feb-13 Rieke Bukan 6,931 11x Anisa antara RDP & mengadopsi hampir Pitaloka, Joko - Kotak-Kotak Fokker semua materi Jokowi Jokowi kampanye Jokowi Widodo SMART, Cara Kritik terhadap Jitu Memilih Tips memilih kandidat yang 7 12-Feb-13 4,221 280x Jangjaya06 cagub & cawagub Aher-Demiz Pemimpin Jawa yang layak banyak berjanji saat Barat kampanye

127

KATEGORISASI PEMUNCULAN PER PERIODE

PERIODE PASCA KAMPANYE (21 FEB-03 MAR 2013)

Tgl Jumlah Jumlah No Judul Postingan Penulis Tema Postingan Isi Postingan Tokoh Foto Postingan Karakter Kunjungan Kritik terhadap Respon terhadap Rieke-Teten yang Rieke Diah Yang Kalah Tuduh Fauzan 1 2-Mar-13 yang Menang 2,909 709x Fakhrurrozi hasil pemilu Prov. tidak legowo Pitaloka dan Jawa Barat menerima Teten Masduki kekalahan Rieke Diah Kegagalan RDP- Efek Jokowi gagal 2 25-Feb-13 Jokowi Efek 499x Oji Saeroji Teten Masduki di memenangkan Pitaloka, Teten - Terhenti Di Jabar Masduki, Joko Pilkada Jabar Rieke-Teten Widodo Penilaian kualitas Oneng-Teten Keunggulan Aher, Deddy Kalah Segalanya Nur pasangan Aher- program, Mizwar, Rieke 3 3-Mar-13 3,148 1288x pencitraan, materi, - dari Aher-Bang Tjahyadi DeMiz dibandingkan dan finansial Aher- Diah Pitaloka, Jack RDP-Teten Demiz yang baik. Teten Masduki Alex Penilaian kelayakan Penolakan terhadap Ahmad PILKADA Jawa Aher & Dede Yusuf 4 24-Feb-13 Barat, Pilih Siapa? 1,068 719x Laksana untuk kembali Ahmad Heryawan & Heryawan, - Vp2 memimpin Jabar Dede Yusuf Dede Yusuf. Sinetron KSD Korelasi antara Sinetron KSD penayangan 5 21-Feb-13 Langgar Masa 2,557 500x Depe sinetron KSD dan sebagai bentuk Deddy Mizwar - Tenang Pilkada pelanggaran aturan Jabar? kampanye Aher- kampanye. Demiz Mengukur Peluang Artis dalam New Nilai plus minus Deddy Mizwar, Peluang selebritas Dede Yusuf, 6 23-Feb-13 “Perang Artis 7,668 333x Ahmad dalam Pilkada Jabar masing-masing Rieke Diah - (Pilkada Jawa Zain selebritas politisi Barat) Pitaloka. Selebritas menjadi Deddy Mizwar, Inilah Lima Faktor Berthy B Faktor Euforia faktor utama pilkada Dede Yusuf, 7 26-Feb-13 Dominan Pilkada 7,452 1769x Jawa Barat menjadi - Jawa Barat Rahawarin Pemilu Jawa Barat pusat perhatian Rieke Diah media Pitaloka.

128

PERIODE PASCA KAMPANYE (21 FEB-03 MAR 2013) Pilkada Jabar: Aher, Deddy Aher-Demiz Sikap kandidat Imbauan agar RDP- Mizwar, Rieke Menang, Dede Achmad menanggapi Teten bersikap Diah Pitaloka, 8 3-Mar-13 41,611 1088x 5 Legowo, dan Siddik kemenangan Aher- sportif menerima Teten Rieke Belum Demiz kekalahannya Masduki, Dede Terima Kalah Yusuf. Peluang Dede Kekaguman Dede Yusuf Tak Pangestu Yusuf terhadap 9 22-Feb-13 2,759 412x Dede Yusuf - Terbendung Langit memenangkan kepribadian Dede Pilkada Jabar Yusuf Hampir Batal Motivasi Deddy Dampingi Aher, Pujian terhadap Jefri Mizwar maju 10 25-Feb-13 Akhirnya Naga 4,349 622x pribadi Deddy Deddy Mizwar - Hidayat sebagai cawagub Bonar Menjadi Mizwar di Pilkada Jabar Jendral Hasil Hitung Kepercayaan Deddy Mizwar, Selebritas belum Cepat, Artis Palti masyarakat Dede Yusuf, 11 25-Feb-13 2,076 10188x layak dipercaya - Gagal Memimpin Hutabarat terhadap selebritas Rieke Diah sebagai pemimpin Jabar. politisi Pitaloka.

129

Keseluruhan unit kategorisasi tersebut membantu peneliti untuk menyeleksi teks dalam postingan tulisan Kompasianer tentang tiga selebritas yang menjadi kandidat dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Jawa Barat 2013, yaitu: Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah

Pitaloka.

1. Deddy Mizwar

Periode Pra Kampanye (17 Desember 2012 – 06 Februari 2013).

Teks 1.

Prayitno Ramelan “Siapa Calon Terkuat Cagub Jabar?” (27 Desember 2012)

“... Sementara Deddy Mizwar nampaknya dipilih karena populer baik sebagai artis sinetron, bintang dengan peran baik dan juga sebagai bintang iklan, Deddy diperkirakan akan mengimbangi gap Aher dengan Dede dan Rieke”

Teks 2.

Fauzan Jatinika Abror “Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat” (02 Januari 2013)

“Deddy Mizwar (lahir di Jakarta, 5 Maret 1955 umur 57 tahun) adalah seorang aktor senior dan sutradara Indonesia. Ia adalah ketua badan pertimbangan perfilman Indonesia periode 2006-2009”

130

Teks 3.

Agus Sutondo “Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat” (03 Januari 2013)

“... Maka belajar dari pengalaman sebelumnya dengan mengusung figur calon Wakil Gubernur yang lebih dikenal masyarakat, tentunya menjadi modal dasar yang kuat bagi PKS mencari pendamping yang menguntungkan, bagi calon tunggalnya Ahmad Heryawan untuk berkolaborasi kembali dengan mencari pasangan dari kalangan artis. Karena nafsu ingin didampingi oleh calon dari artis, tidak tanggung-tanggung PKS butuh waktu sampai 4 bulan untuk melakukan pendekatan pada Deddy Mizwar. Pendekatan alot ini dilakukan agar partainya mendapatkan tokoh dan pesohor Deddy Mizwar sebagai calon inkumben”

Teks 4.

Thamrin Sonata “Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat” (22 Desember 2013).

“Si Bang Jack peran Deddy Mizwar di sinetron “Para Pencari Tuhan” lumayan menggetarkan Dede dan Rieke. Paling tidak suami Gisela wanita Sunda ini punya nama elok di dunia bintang.”

Periode Kampanye (06 – 20 Februari 2013).

Teks 5.

Wahyu Eko Widodo “Ini Dia Artis Prestatif Dengan Penggemar Setia” (14 Februari 2013)

“Artis kawakan dengan segudang prestasi ini konsisten menghadirkan karakter- karakter bangsa ini dalam setiap karyanya”

Teks 6.

Ninoy N. Karundeng “Dede Yusuf Membuat PKS Menangis di Pilkada Jawa Barat” (19 Februari 2013)

“... Kasihan Deddy Mizwar dipakai sebagai ban serep Ahmad Heryawan, persis sama dengan Dede Yusuf yang dulu dijadikan vote getter oleh PKS”

131

Teks 7.

Usman Kusmana “Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%?” (17 Februari 2013)

“Sementara figur cagub incumbent Ahmad Heryawan dan Deddy mizwar, politik persepsi yang selama ini muncul adalah bahwa kekuatan Aher akan sangat dominan. Kehadiran Deddy Mizwar hanya sebagai penggerak faktor popularitasnya yang jeblok selama ini.”

Teks 8.

Asri Salam “Adakah Korelasi Sinetron KSD dgn Pilgub Jabar..?” (20 Februari 2013)

”Ada yang menarik saya pikir dalam perhelatan Pilgub Jabar yang kontestannya banyak dari kalangan selebriti, kemarin malam saya nonton tv khususnya di SCTV film Naga Bonar Jadi 2 yang dibintangi oleh , Wulan Guritno, Darius Sinatra, dan bintang film lainnya meskipun ada yang Cuma numpang lewat saja dalam satu sesi dan masih ada satu lagi Dedi Miswar yang calon Wagub dari pasangan incumbent Aher”

Periode Pasca Kampanye (21 Februari – 03 Maret 2013)

Teks 9.

Jefri Hidayat “Hampir Batal Dampingi Aher, Akhirnya Naga Bonar Menjadi Jendral” (25 Februari 2013).

“Selain itu, jika kita tengok karya-karya Dedy Mizwar mempunyai karakter tersendiri, mencerahkan dan memberikan inspirasi bagi banyak orang”

Teks 10.

Nur Tjahyadi “Oneng-Teten Kalah Segalanya dari Aher-Bang Jack” 03 Maret 2013

“Dari segi pencitraan, Aher yang juga incumben memiliki citra pemimpin yang baik, sudah ada pengalaman memimpin Jabar dan citra Deddy Mizwar yang arif waktu berperan sebagai Bang Jack dalam serial sinetron Para Pencari Tuhan”

132

Teks 11

Palti Hutabarat “Hasil Hitung Cepat, Artis Gagal Memimpin Jabar” (25 Februari 2013)

“apa makna kemenangan Aher-Deddy bagi perang artis yang terjadi di Pilgub Jabar? Hasil ini menunjukan bahwa seorang artis belum bisa dipercaya sebagai Gubernur. Hal ini berarti bahwa peran artis masih sekedar sebagai pendulang suara”

Teks 12.

Depe “Sinetron KSD Langgar Masa Tenang Pilkada Jabar?” (21 Februari 2013)

“Tadi saya kebetulan nonton channel SCTV. Ternyata ada sinetron lawas yang kembali diputar ulang. Judulnya; Kiamat Sudah Dekat (KSD). Tentu pembaca sudah tidak asing lagi sinetron yang diperankan, disutradarai, sekaligus diproduksi oleh perusahaan milik Deddy Mizwar: PT Demi Gisela Citra Sinema. Sinetron KSD dulu sempat sangat digemari, sampai-sampai pak SBY mengundang para pelakon KSD. Tidak hanya itu, RI1 ini bahkan mau meluluskan permintaan Andre Taulani – bintang utama KSD – untuk menjadi saksi di saat pernikahannya

Teks 13.

Berthy B. Rahawarin “Inilah Lima Faktor Dominan Pilkada Jawa Barat” (26 Februari 2013).

“Sama-sama artis beken, meski dalam generasi relatif berbeda, Dedy lebih senior, Dede lebih yunior dengan „fans-politik‟ yang mungkin sebagian besarnya sama. “

133

2. Dede Yusuf

Periode Pra Kampanye (17 Desember 2012 – 06 Februari 2013).

Teks 1.

Prayitno Ramelan “Siapa Calon Terkuat Cagub Jawa Barat?” (27 Desember 2012)

“Dede Yusuf sebagai petahana dengan kapasitas dan pengalaman sebagai Wagub, popularitas sebagai artis nampaknya akan menjadi pesaing tangguh di Jawa Barat... Dengan penampilan simpatik, titik lemah Dede karena dia bergeser dari calon PAN pada 2008 kini ke parpol Demokrat”.

Teks 2.

Thamrin Sonata “Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat” (22 Desember 2012)

“Dede Macan Yusuf, punya stigma kurang elok dengan melompat dari PAN ke Demokrat, jauh-jauh hari. Untunglah partai yang mengusung Dede adalah partai besan partai lamanya, ditambah antara PAN dan Demokrat akur di Jawa Barat”

Teks 3.

Agus Sutondo “Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat” (03 Januari 2013)

“Sebenarnya kemenangan Aher ini tidak lepas dari strategi jitu yang dilakukan oleh PKS dengan berkoalisi bersama PAN serta mengusung pasangan Aher dan Dede Yusuf sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2008-2013. PKS sadar bahwa tanpa pendamping yang lebih dikenal publik niscaya kemenangan akan bisa dicapai...”

Teks 4.

Fauzan Jatinika Abror “Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat” (02 Januari 2013)

“Dede Yusuf Macan Efendi (Lahir di Jakarta, 14 September 1966; umur 46 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Dede Yusuf adalah seorang aktor Indonesia yang terkenal akan film-film laganya..”

134

Teks 5.

Ajinatha “Menjadi Politisi Bukan Asal Artis” (29 Januari 2013)

“Begitu juga Dede Yusuf, sebagai artis tidaklah terlalu populer, namun sukses sebagai politisi”

Teks 6.

Adiyasa Prahenda “Selebritis dalam Pilkada Jawa Barat, Sebuah Penggerak atau Kemunduran” (28 Desember 2012).

“Lain lagi dengan Dede Yusuf, mungkin sebagai orang yang paling muda dan paling bisa diandalkan demokrat saat ini menjadi yang paling diunggulkan saat ini, mungkin dengan beberapa program yang menjanjikan saya belum melihat itu sama sekali”

Periode Kampanye (06 – 20 Februari 2013).

Teks 7.

Ninoy N. Karundeng “Dede Yusuf Membuat PKS Menangis di Pilkada Jawa Barat” (19 Februari 2013)

“Kini hasil survey menunjukan Dede Yusuf memimpin dalam semua survey yang dilakukan. Dede Yusuf memimpin dengan perolehan suara 32% berbanding dengan 24% untuk Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Kemenangan Dede Yusuf ini lebih kepada perlawanan rakyat Jawa Barat yang tidak menginginkan pemimpin mereka segregatif dan mementingkan satu golongan yakni golongan PKS. Jawa Barat terdiri dari berbagai subsuku Sunda dan agama berbeda yang menuntut pemimpin atau gubernur yang menghargai perbedaan”

Teks 8.

Usman Kusmana “Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%?” (17 Februari 2013).

“Perpaduan figur DY yang muda, bersih, dan menarik serta berpengalaman sebagai Wagub dengan figur Lex Laksamana yang matang di dunia birokrasi seakan menjadi pilihan ideal untuk memimpin Jawa Barat 5 tahun kedepan. Dalam keduanya muncul kekuatan popularitas, akseptabilitas, dan lapabelitas untuk menjadi elektabilitas”

135

Periode Pasca Kampanye (21 Februari – 03 Maret 2013).

Teks 9. Alex Vp2 “PILKADA Jawa Barat, Pilih Siapa?” (24 Februari 2013)

“Bagi saya sendiri yang tidak memiliki hak pilih dalam Pilkada Jabar, melihat kedua calon ini (Aher dan Dede Yusuf) TIDAK LAYAK dipilih oleh masyarakat Jabar. Karena sebelumnya keduanya SUDAH berpasangan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat”

Teks 10. Pangestu Langit “Dede Yusuf Tak Terbendung” (22 Februari 2013).

“Dede Yusuf (bukan Heryawan yang ketika itu betul-betul menjadi bintang utama karena kesederhanaannya dan popularitasnya menjadi faktor kunci kemenangannya. Selama menjabat 5 tahun ini, Dede Yusuf juga terus rajin berkunjung ke warga dan sangat dekat dengan masyarakat karena supel, luwes, dan lovable.”

Teks 11.

New Ahmad Zain “Mengukur Peluang Artis dalam “Perang Artis” (Pilkada Jawa Barat)” (23 Februari 2013).

“Pasangan Dede Yusuf – Lex Laksamana merupakan pasangan yang diusung utama oleh partai Demokrat. Sebagaimana kita ketahui nama Partai Demokrat tengah “galau” di jagad politik Indonesia. Apalagi pasca penetapan Ketum Partai Demokrat AU sebagai tersangka oleh KPK, dan berbagai tsunami politik yang melanda partai lambang mercy tersebut, ditakutkan akan berpengaruh negatif pada elektabilitas pasangan ini.”

Teks 12.

Achmad Siddik “Pilkada Jabar: Aher-Demiz Menang, Dede Legowo dan Rieke Belum Terima Kalah” (03 Maret 2013).

“Terakhir Dede mengapresiasi jika ada pihak menggunakan hak konstitusi mengadukan proses penyelenggaraan dan hasil penghitungan suara Pilgub ke Mahkamah Konstitusi (MK).”

136

3. Rieke Diah Pitaloka

Periode Pra Kampanye (17 Desember 2012 – 06 Februari 2013).

Teks 1.

Ajinatha “Menjadi Politisi Bukan Asal Artis” (29 Januari 2013)

“Siapa yang menyangka Rieke (Oneng) Diah Pitaloka, yang tidak terlalu populer sebagai artis, namun memiliki basic pendidikan yang bagus, begitu terjun kedunia politik dia malah lebih populer jika dibandingkan saat dia menjadi artis, itu semua dikarenakan dia memang mumpuni didalam bidang politik, intelegesianya juga sangat baik”

Teks 2.

Adiyasa Prahenda “Selebritis dalam Pilkada Jawa Barat, Sebuah Penggerak atau Kemunduran” (28 Desember 2012).

“Rieke Diah Pitaloka juga membangun citra yang sungguh lucu sekali dan tidak kreatif. Dan ini bisa dibilang terkesan latah sekali mengikuti gaya Jokowi”

Teks 3.

Fauzan Jatinika Abror “Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat” (02 Januari 2013).

“Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari (lahir di Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974; umur 38 tahun) atau lebih dikenal Oneng adalah seorang penulis buku, pembawa acara, pemain di film Bajaj Bajuri, dan anggota DPR periode 2009- 2014 dari PDI-P..”

Teks 4.

Rieke – Teten “Kenali Angka 5 pada Pilkada Jawa Barat” (20 Desember 2012)

“Rieke aktif dalam kegiatan politik dan membantu gerakan buruh. Rieke juga dikenal membela kaum buruh serta TKI dan TKW yang selalu mendapat intimidasi”

137

Teks 5.

Thamrin Sonata “Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat” (22 Desember 2013).

“Saya nggak mau dipanggil Oneng lagi…” kata Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR dan aktivis itu. Ia ingin menepis stigma oon dalam perannya di Bajaj Bajuri. Ia berniat bersih-bersih dengan Teten Masduki yang memang aktivis anti-korupsi kelahiran Garut

Teks 6

Haji Damanik “Cagub Jawa Barat: Berpengalaman versus Pendatang” (21 Desember 2012)

“Adapun untuk kategori pendatang, Rieke Diah Pitaloka memiliki popularitas yang jauh mengungguli sang mantan Kapolda Sumatera Selatan, Dikdik Mulyana Arief. Publik tanah air mengenali calon dari PDI Perjuangan tersebut sebagai artis sinetron dan bintang iklan. Tokoh Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri dan iklan Kuku Bima Jreng begitu melekat dengan sosok Rieke Diah Pitaloka”

Periode Kampanye (06 – 20 Februari 2013).

Teks 7.

Anisa Fokker “Kotak-Kotak Rieke Bukan Kotak-Kotak Jokowi” (17 Februari 2013).

“Bila bicara kotak-kotak pasti semua warga jakarta masih ingat ketika kotak- kotak dijadikan motif baju yang digunakan dan dijadikan simbol Jokowi-Ahok dalam berkampanye waktu itu. Nah, saat ini motif tersebut juga digunakan oleh Cagub dan Cawagub Jawa Barat yang diusung oleh PDIP. Bukan motif kotak- kotak saja yang digunakan oleh Rieke dalam berkampanye, tapi hampir seluruh materi menyerupai materi Jokowi saat berkampanye”

Teks 8.

Pakde Kartono “Jokowi Garansi Rieke-Teten Jujur dan Bersih” (18 Februari 2013)

“Jokowi yang kita percaya saja sudah mengatakan hal yang baik tentang Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki, mengapa kita tidak ambil mudahnya saja dengan mempercayai ucapan beliau”

138

Teks 9.

Usman Kusmana “Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%?” (17 Februari 2013)

“Persepsi politik Rieke-Teten meskipun menggunakan simbol-simbol dan penanda sebagaimana Jokowi tapi tak mampu menarik masyarakat Jabar untuk menyukainya sebagaimana menyukai sosok Jokowi. Ditambah lagi figur pemimpin perempuan di Jawa Barat masih kurang bisa diterima oleh para tokoh ulama dan kepemimpinan lokal yang ada di berbagai pelosok Jawa Barat”

Periode Pasca Kampanye (21 Februari – 03 Maret 2013).

Teks 10.

Nur Tjahyadi “Oneng-Teten Kalah Segalanya dari Aher-Bang Jack” (03 Maret 2013)

“Dari segi pemaparan program, banyak warga Jabar yang tidak yakin akan keberhasilan pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki. Orang masih terinspirasi bahwa tokoh “Oneng” adalah tokoh yang oon dan tak mungkin akan mengatasi masalah-masalah yang ada di Jabar”

Teks 11.

Achmad Siddik “Pilkada Jabar: Aher-Demiz Menang, Dede Legowo, dan Rieke Belum Terima Kalah.” (03 Maret 2013)

“Yang menarik, sikap ngotot timses pasangan no. 5 yang tidak mempercayai hasil quick count dan meyakini pilkada Jabar akan berlangsung dua putaran akhirnya terbantah dari hasil pleno KPU Jabar”

Teks 12.

Fauzan Fakhrurrozi “Yang Kalah Tuduh Yang Menang” (02 Maret 2013)

“Satu hal yang unik juga, komentar-komentar di artikel-artikel pemberitaan Kompas terkait kecurangan ini banyak menganggap pasangan Rieke-Teten adalah pasangan yang belum dewasa dalam berpolitik, dan tidak legowo terhadap hasil pilgub ini.”

139

Teks 13. Oji Saeroji “Jokowi Efek Terhenti di Jabar” (25 Februari 2013)

“Efek Jokowi yang kurang berhasil bagi pasangan Rieke-Teten yang mengadopsi bulat-bulat dirasa masyarakat Jawa Barat hanya sebatas kampanye karena bagaimanapun yang maju di Pilkada Jabar bukan sosok Jokowi..”

Teks 14.

Pangestu Langit “Dede Yusuf Tak Terbendung” (22 Februari 2013)

„Rieke sebenarnya layak untuk bisa memposisikan dirinya seperti Dede Yusuf. Tapi sayangnya, Rieke memang terlihat tak menonjol dalam pengungkapan program dan terlihat tidak pintar ketika berkomunikasi politik”

Berikut tabel yang menyimpulkan jumlah keseluruhan teks yang menyebutkan tentang Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka; peneliti menghitung jumlah teks tentang masing-masing kandidat pada setiap periode (pra kampanye, kampanye, dan pasca kampanye)

Tabel 14 : Jumlah Teks Postingan Sesuai Periode

Jumlah Teks Postingan Sesuai Periode

Kandidat Pra Pasca Kampanye Total Kampanye Kampanye

Deddy Mizwar 4 Teks 4 Teks 5 Teks 13 Teks

Dede Yusuf 6 Teks 2 Teks 4 Teks 12 Teks

Rieke Diah Pitaloka 6 Teks 3 Teks 5 Teks 14 teks

140

Dari jumlah teks di atas, terlihat bahwa Rieke Diah Pitaloka dan Deddy

Mizwar menjadi trending topic, walaupun Deddy sendiri harus berbagi porsi popularitasnya dengan Ahmad Heryawan yang menjadi pasangannya. Maka berdasarkan tabel diatas, tingkat popularitas Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan

Rieke Diah Pitaloka digambarkan melalui diagram berikut:

Popularitas Selebritas Politisi Kandidat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat 2013 (Berdasarkan Jumlah Teks pada Postingan Kompasianer) 14.5

14

13.5

13

12.5

12

11.5

11 Deddy Mizwar Dede Yusuf Rieke Diah Pitaloka

Gambar 29. Grafik penggambaran popularitas Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka dalam postingan Kompasianer.

Sedangkan tabel di bawah ini memperlihatkan topik utama tentang ketiga selebritas ini yang diangkat oleh Kompasianer, pada setiap periode waktu yaitu: pra kampanye, kampanye dan pasca kampanye:

141

Tabel 15: Topik Postingan Kompasianer

Topik utama postingan per periode waktu Kandidat Pra Kampanye Kampanye Pasca Kampanye

DM sebagai Pengalaman & reputasi Citra DM sebagai Deddy Mizwar pengumpul suara DM sebagai selebritas selebritas bagi Aher

Perilaku DY Popularitas & selama menjabat penampilan DY yang Popularitas & sebagai Wagub simpatik Dede Yusuf elektabilitas DY

sebagai politisi Respon DY DY berpindah partai tentang hasil dari PAN ke Demokrat pemilu

Track record RDP Sikap RDP yang Rieke Diah Kampanye RDP sebagai politisi & tidak mengakui Pitaloka yang mirip Jokowi selebritas hasil pemilu.

Selain itu, peneliti juga mengelompokkan teks dalam postingan Kompasianer berdasarkan elemen-elemen wacana Van Dijk. Jumlah keseluruhan teks yang dianalisis adalah 53 teks yang terbagi atas:

Tabel 16: Jumlah Teks yang Dianalisis Elemen Wacana Jumlah Teks Tematik 21 Skematik 9 Semantik 8 Sintaksis 10 Stilistik 3 Retoris 2

142

Teks tersebut diuraikan sebagai berikut:

Tabel 17: Uraian teks Elemen Wacana Teks yang Dianalisis 1. “Pasangan Aher-Deddy Mizwar sementara ini dapat dikatakan sebagai pasangan terkuat, karena sebagai petahana (incumbent), beberapa kebijakan pemda lebih dikenal sebagai kebijakan Aher” (Prayitno Ramelan – Siapa Calon Terkuat Cagub Jawa Barat? – 27 Desember 2012).

2. “Dari segi pencitraan, Aher yang juga incumbent memiliki citra pemimpin yang baik, sudah ada pengalaman memimpin Jabar...” (Nur Tjahyadi – Oneng-Teten Kalah Segalanya dari Aher-Bang Jack – 03 Maret 2013).

3. “Selain itu, jika kita tengok karya-karya Dedy Mizwar mempunyai karakter tersendiri, mencerahkan dan memberikan inspirasi bagi banyak orang” (Jefri Hidayat – Hampir Batal Dampingi Aher, Akhirnya Naga Bonar Menjadi Jendral – 25 Februari 2013). Tematik (Kalimat atau 4. “Dede Yusuf sebagai petahana dengan kapasitas dan paragraf yang pengalaman sebagai Wagub, popularitas sebagai artis menggambarkan nampaknya akan menjadi pesaing tangguh di Jawa tema tulisan) Barat... Dengan penampilan simpatik, titik lemah Dede karena dia bergeser dari calon PAN pada 2008 kini ke parpol Demokrat” (Prayitno Ramelan – Siapa Calon Terkuat Cagub Jawa Barat? – 27 Desember 2012).

5. “Dalam konteks Jawa Barat DY –Dede Yusuf- justru dipersepsikan sosok pemimpin yang minus dari kabar dan berita miring seputar KKN selama dirinya menjadi Wagubnya Ahmad Heryawan” (Usman Kusmana – Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%? – 17 Februari 2013).

6. “Siapa yang menyangka Rieke (Oneng) Diah Pitaloka, yang tidak terlalu populer sebagai artis, namun memiliki basic pendidikan yang bagus, begitu terjun kedunia politik dia malah lebih populer jika dibandingkan saat dia menjadi artis, itu semua dikarenakan dia memang mumpuni didalam bidang politik, intelegesianya juga sangat baik” (Ajinatha –

143

Menjadi Politisi Bukan Asal Artis – 29 Januari 2013).

7. “Rieke Diah Pitaloka juga membangun citra yang sungguh lucu sekali dan tidak kreatif. Dan ini bisa dibilang terkesan latah sekali mengikuti gaya Jokowi” (Adiyasa Prahenda – Selebritis dalam Pilkada Jawa Barat, Sebuah Penggerak atau Kemunduran – 28 Desember 2012).

8. “Dari 5 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini ada tiga artis yang ingin menjadi orang nomor 1 dan 2 di Jawa Barat, diantara yaitu; Dede Yusuf Macan Efendi, Rieke Diah Pitaloka dan Deddy Mizwar” (Fauzan Jatnika Abror - Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat - 02 Januari 2013).

9. “Sebagaimana kita ketahui ada nama-nama seperti; Dede Yusuf, Deddy Mizwar, dan Rieke Diah Pitaloka siap terlihat dalam “Perang Artis” Pilkada Jawa Barat 2013” (New Ahmad Zain - Mengukur Peluang Artis dalam “Perang Artis” Pilkada Jawa Barat – 23 Februari 2013).

10. “Seandainya Dede atau Rieke yang menang, maka akan menjadi sebuah keberhasilan yang luar biasa bagi seorang artis” (Palti Hutabarat – Hasil Hitung Cepat, Artis Gagal Memimpin Jawa Barat – 25 Februari 2013).

11. “Setelah mengamati ke lima pasangan calon tersebut, ada tiga orang artis yang ikut dalam pertarungan tersebut, yaitu aktor senior dan bintang iklan Deddy Mizwar, aktor sinetron dan Wakil Gubernur Jawa Barat saat ini Dede Yusuf, dan yang ketiga adalah bintang sinetron “Bajaj Bajuri” Rieke Diah Pitaloka...” (Joko Dwi Cahyana – Perang Bintang dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat – 16 Desember 2013).

12. “apa makna kemenangan Aher-Deddy bagi perang artis yang terjadi di Pilgub Jabar? Hasil ini menunjukan bahwa seorang artis belum bisa dipercaya sebagai Gubernur. Hal ini berarti bahwa peran artis masih sekedar sebagai pendulang suara” (Palti Hutabarat – Hasil Hitung Cepat, Artis Gagal

144

Memimpin Jawa Barat – 25 Februari 2013).

13. “Dari segi pemaparan program, banyak warga Jabar yang tidak yakin akan keberhasilan pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki. Orang masih terinspirasi bahwa tokoh “Oneng” adalah tokoh yang oon dan tak mungkin akan mengatasi masalah- masalah yang ada di Jabar” (Par. 4).

14. “Perpaduan figur DY (Dede Yusuf) yang muda, bersih, dan menarik serta berpengalaman sebagai Wagub dengan figur Lex Laksamana yang matang di dunia birokrasi seakan menjadi pilihan ideal untuk memimpin Jawa Barat 5 tahun kedepan. Dalam keduanya muncul kekuatan popularitas, akseptabilitas, dan lapabelitas untuk menjadi elektabilitas” (Usman Kusmana – Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37% - 17 Februari 2013)

15. “Dede Macan Yusuf, punya stigma kurang elok dengan melompat dari PAN ke Demokrat, jauh-jauh hari. Untunglah partai yang mengusung Dede adalah partai besan partai lamanya, ditambah antara PAN dan Demokrat akur di Jawa Barat” (Thamrin Sonata – Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat – 22 Desember 2012).

16. “Maka belajar dari pengalaman sebelumnya dengan mengusung figur calon wakil Gubernur yang lebih dikenal masyarakat, tentunya menjadi modal dasar yang kuat bagi PKS mencari pendamping yang menguntungkan, bagi calon tunggalnya Ahmad Heryawan untuk berkolaborasi kembali dengan mencari pasangan pendamping dari kalangan artis” (Agus Sutondo – Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat – 03 Januari 2013)

17. “... Sementara Deddy Mizwar nampaknya dipilih karena populer baik sebagai artis sinetron, bintang dengan peran baik dan juga sebagai bintang iklan, Deddy diperkirakan akan mengimbangi gap Aher dengan Dede dan Rieke” (Prayitno Ramelan – Siapa Calon Terkuat Cagub Jabar? – 27 Desember 2012)

18. “... Kasihan Deddy Mizwar dipakai sebagai ban serep

145

Ahmad Heryawan, persis sama dengan Dede Yusuf yang dulu dijadikan vote getter oleh PKS” (Ninoy N. Karundeng – Dede Yusuf Membuat PKS Menangis di Pilkada Jawa Barat – 19 Februari 2013).

19. “Sementara figur cagub incumbent Ahmad Heryawan dan Deddy mizwar, politik persepsi yang selama ini muncul adalah bahwa kekuatan Aher akan sangat dominan. Kehadiran Deddy Mizwar hanya sebagai penggerak faktor popularitasnyta yang jeblok selama ini.” (Usman Kusmana – Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%? – 17 Februari 2013).

20. “Lalu apa yang menjadi keunggulan dari Jawa Barat selain jumlah penduduk? SDA yang mungkin melimpah yang justru menjadi rebutan beberapa pengusaha dan juga kaum elite negeri ini. Dan itulah yang membuat Jawa Barat menjadi barometer pemilu 2014 nanti. Dan parpol pun melihat bagaimana tren ke depan selain Jakarta” (Adiyasa Prahenda – Selebritis dalam Pilkada Jawa Barat, Sebuah Penggerak atau Kemunduran – 28 Desember 2012).

21. “Dalam taraf ini, Rieke terus terang masih perlu banyak waktu untuk membuat citra dirinya yang jauh dari artis saja.” (Pangestu Langit – Dede Yusuf Tak Terbendung – 22 Februari 2013)

1. “Kotak-Kotak Rieke Bukan Kotak-Kotak Jokowi” (Anisa Fokker – 17 Februari 2013).

LEAD: “Bila bicara kotak-kotak pasti semua warga jakarta masih ingat ketika kotak-kotak dijadikan motif baju yang digunakan dan dijadikan simbol Jokowi-Ahok Skematik (Judul, dalam berkampanye waktu itu. Nah, saat ini motif Lead, & Isi tersebut juga digunakan oleh Cagub dan Cawagub Jawa wacana secara Barat yang diusung oleh PDIP. Bukan motif kotak-kotak keseluruhan) saja yang digunakan oleh Rieke dalam berkampanye, tapi hampir seluruh materi menyerupai materi Jokowi saat berkampanye”

2. ”Jokowi Garansi Rieke-Teten Jujur dan Bersih” (Pakde Kartono - 18 Februari 2013).

146

LEAD: “Pilkada Jawa Barat akan berlangsung seminggu lagi, masing-masing kandidat bekerja “All Out” untuk bisa memenangkan pilkada Jawa Barat. Ketua umum partai politik pengusung kandidat sampai harus turun gunung ke lapangan, tercatat Megawati, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar, Surya Dharma Ali, dan Wiranto membantu kampanye kadernya di Jawa Barat, hanya ketua umum PKS Luthfi Hassan Ishaaq yang tidak terlihat turun ke lapangan untuk membantu kampanye Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar.”

3. “Oneng-Teten Kalah Segalanya dari Aher-Bang Jack” (Nur Tjahyadi – 03 Maret 2013).

LEAD: “Taufik Kiemas, Ketua MPR yang juga petinggi PDIP menyarankan agar pasangan Oneng-Teten menerima kekalahannya dengan legowo dari pasangan Aher-Bang Jack”

4. “Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat” (Agus Sutondo - 03 Januari 2013)

LEAD: “sebelum menganalisa lebih jauh tentang peluang Ahmad Heryawan pada pemilukada Jawa Barat 2013, baiknya kita melihat dulu mengapa sosok Aher panggilan Ahmad Heryawan yang belum begitu dikenal oleh masyarakat Jawa Barat tetapi mampu menyaingi calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang lebih dikenal oleh masyarakat Jawa Barat yaitu Danny Setiawan (incumbent Gubernur) yang berpasangan dengan Iwan Sulanjana serta Agum Gumelar yang berpasangan dengan Nu‟man Abdulhakim (incumbent Wakil Gubernur)

5. “Hampir Batal Dampingi Aher, Akhirnya Naga Bonar Menjadi Jendral” (Jefri Hidayat - 25 Februari 2013).

LEAD:”Banyak kawan-kawan menilai kegagalan pasangan Dede Yusuf- Lex Laksamana disebabkan polemik yang menimpa partai demokrat, disusul dengan mundurnya Anas Urbaningrum. Lantaran, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, dalam kasus gratifikasi, proyek Hambalang.

147

6. “Adakah Korelasi Sinetron KSD dgn Pilgub Jabar..?” (Asri Salam, 20 Februari 2013).

LEAD: ”Ada yang menarik saya pikir dalam perhelatan Pilgub Jabar yang kontestannya banyak dari kalangan selebriti, kemarin malam saya nonton tv khususnya di SCTV film Naga Bonar Jadi 2 yang dibintangi oleh Tora Sudiro, Wulan Guritno, Darius Sinatra, dan bintang film lainnya meskipun ada yang Cuma numpang lewat saja dalam satu sesi dan masih ada satu lagi Dedi Miswar yang calon Wagub dari pasangan incumbent Aher”

7. “Sinetron KSD Langgar Masa Tenang Pilkada Jabar?” (Depe, 21 Februari 2013).

LEAD: “Tadi saya kebetulan nonton channel SCTV. Ternyata ada sinetron lawas yang kembali diputar ulang. Judulnya; Kiamat Sudah Dekat (KSD). Tentu pembaca sudah tidak asing lagi sinetron yang diperankan, disutradarai, sekaligus diproduksi oleh perusahaan milik Deddy Mizwar: PT Demi Gisela Citra Sinema. Sinetron KSD dulu sempat sangat digemari, sampai-sampai pak SBY mengundang para pelakon KSD. Tidak hanya itu, RI1 ini bahkan mau meluluskan permintaan Andre Taulani – bintang utama KSD – untuk menjadi saksi di saat pernikahannya”

8. ”Dede Yusuf Membuat PKS Menangis di Pilkada Jawa Barat” (19 Februari 2013).

LEAD: “Nasib nahas kembali menimpa PKS. Setelah kekalahan telak Hidayat Nur Wahid dalam Pilkada DKI dan kasus korupsi Luthfi Hasan Ishaaq yang dibumbui dengan gratifikasi atau hadiah seks yang dilakukan oleh Maharany Suciono, kini PKS akan menghadapi kekalahan berikutnya. Selain Suswono, Mentan yang akan dicokok oleh KPK, PKS akan mengalami kekalahan dalam pilkada Gubernur Jawa Barat”

9. “Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%?” (Usman Kusmana - 17 Februari 2013).

LEAD: “Saat ini semua kandidat cagub/cawagub Jabar sedang sprint menarik simpati rakyat, berharap warga Jabar tertarik dan menentukan pilihannya kepada

148

mereka. Kampanye dengan berbagai cara dilakukan. Tapi, secara umum mereka mengambil pola yang sama. Tidak terlalu menonjolkan kampanye terbuka di lapangan dan berorasi. Semua kandidat lebih memilih “blusukan” atau kukurusukan ke titik-titik massa tertentu, terutama pusat-pusat keramaian semisal pasar, terminal, stasiun, dan sejenisnya.

1. “Faktor pertama, hasil pemilukada Jabar ditentukan oleh jadirnya figur artis nasional, sudah disadari publik. Dede Yusuf, Dedy „Naga Bonar‟ Mizwar, dan Rieke „Oneng‟ Pitaloka telah menjadikan pilkada Jawa Barat „panggung show artis-politisi‟. Berthy B. Rahawarin “Inilah Lima Faktor Dominan Pilkada Jawa Barat” (26 Februari 2013).

2. “Bahkan, media mengistilahkan pilgub Jabar kali ini dengan lima pasang calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang disahkan KPU Jabar sebagai Pilgub “perang bintang” Indra Azmani Gunawan (Jawa Barat Memilih – 23 Januari 2013).

3. “Dede Yusuf Macan Efendi (Lahir di Jakarta, 14 September 1966; umur 46 tahun) atau lebih dikenal Semantik dengan nama Dede Yusuf adalah seorang aktor (Paragraf yang Indonesia yang terkenal akan film-film laganya..” (Par menggambarkan 3). makna lokal hasil

jalinan dari 4. “Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari (lahir di kalimat dan Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974; umur 38 tahun) proposisi) atau lebih dikenal Oneng adalah seorang penulis buku, pembawa acara, pemain di film Bajaj Bajuri, dan anggota DPR periode 2009-2014 dari PDI-P..” (Par 3).

5. “Deddy Mizwar (lahir di Jakarta, 5 Maret 1955 umur 57 tahun) adalah seorang aktor senior dan sutradara Indonesia. Ia adalah ketua badan pertimbangan perfilman Indonesia periode 2006-2009” (Par 5).

Fauzan Jatinika Abror (Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat – 02 Januari 2013).

6. “Rieke aktif dalam kegiatan politik dan membantu gerakan buruh. Rieke juga dikenal membela kaum

149

buruh serta TKI dan TKW yang selalu mendapat intimidasi” Rieke-Teten “Kenali Angka 5 pada Pilkada Jawa Barat” (20 Desember 2012)

7. “Mendampingi Aher bukanlah lantaran haus kekuasaan. Bukan juga kerena uang. Dari sisi uang tentu Dedy sudah berlimpah. Kata Eep, konsultan politik Dedy, jika digabungkan gaji Gubernur dan wakil gubernur penghasilan Dedy lebih besar. Apa yang dikemukakan Eep tentu lebih masuk akal. Sebab, Dedy Mizwar adalah produser, sutradara, dan juga aktor” Jefri Hidayat “Hampir Batal Dampingi Aher, Akhirnya Naga Bonar Menjadi Jenderal”( 25 Februari 2013).

8. “... Maka belajar dari pengalaman sebelumnya dengan mengusung figur calon Wakil Gubernur yang lebih dikenal masyarakat, tentunya menjadi modal dasar yang kuat bagi PKS mencari pendamping yang menguntungkan, bagi calon tunggalnya Ahmad Heryawan untuk berkolaborasi kembali dengan mencari pasangan dari kalangan artis. Karena nafsu ingin didampingi oleh calon dari artis, tidak tanggung- tanggung PKS butuh waktu sampai 4 bulan untuk melakukan pendekatan pada Deddy Mizwar. Pendekatan alot ini dilakukan agar partainya mendapatkan tokoh dan pesohor Deddy Mizwar sebagai calon inkumben.” Agus Sutondo “Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat” (03 Januari 2013).

1. “Tak bisa dimungkiri, Bandung dan alam parahyangan menelorkan sejumlah bintang. Dari Jawa Barat banyak nian para pesohor di ranah hiburan. Dan ketika memungkinkan mereka terjun di dunia politik, beberapa menangguk sukses dan menduduki tempat Sintaksis (kalimat empuk” atau proposisi

yang 2. “PDIP yang sukses di Jakarta, mencoba menampilkan memperbaikinya – mengingat calonnya di Pilkada makna suatu Bupati Tangerang dan Walikota Bekasi keok” pesan)

Thamrin Sonata “Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat” (22 Desember 2012).

3. “Kehadiran artis, menjadi alternatif bagi masyarakat,

150

meskipun masih sekedar performatif alias mengandalkan penampilan” La Ode Ahmadi “PAN Mengalami Krisis Kaderisasi dan Kepercayaan Diri” (28 Januari 2013).

4. Yang menarik, sikap ngotot timses pasangan no. 5 yang tidak mempercayai hasil quick count dan meyakini pilkada Jabar akan berlangsung dua putaran akhirnya terbantah dari hasil pleno KPU Jabar”. Achmad Siddik “Pilkada Jabar: Aher-Demiz Menang, Dede Legowo, dan Rieke Belum Terima Kalah.” (03 Maret 2013)

5. “Siapa yang menyangka Rieke (Oneng) Diah Pitaloka, yang tidak terlalu populer sebagai artis, namun memiliki basic pendidikan, begitu terjun kedunia politik dia malah lebih populer jika dibandingkan saat dia menjadi artis...” Ajinatha “Menjadi Politisi Bukan Asal Artis” (29 Januari 2013).

6. “Ada perbedaan antara Cagub dan Cawagub Rieke- Teten, bila dibandingkan dengan pasangan Jokowi- Ahok. Tentu ini akan mempengaruhi hasil akhir Pilkada Cagub dan Cawagub Rieke-Teten...” Anisa Fokker “Kotak-Kotak Rieke Bukan Kotak-Kotak Jokowi” (17 Februari 2013).

7. “Popularitas artis memang berpotensi mendulang suara bagi partai politik. Namun dengan adanya kejadian ini, maka terdapat resiko yang sama dengan merekrut kader dari kalangan artis” La Ode Ahmadi “PAN Mengalami Krisis Kaderisasi dan Kepercayaan Diri” (28 Januari 2013).

8. “Bukan artis tidak bisa berkontribusi didunia politik, tapi masalahnya banyak partai politik yang salah dalam memilih artis, sehingga artis yang dipilih tidaklah kredibel dan kurang mampu memperlihatkan kiprahnya didalam bidang politik Ajinatha “Menjadi Politisi Bukan Asal Artis” (29 Januari 2013).

9. “Yang menjadi kekhawatiran semua pihak adalah bukan tak mungkin pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat kurang memberikan pelajaran politik.”

151

10. “Sementara harapan masyarakat Jawa Barat menginginkan pemimpin yang mumpuni baik kemampuan manajerial, leadership, pengalaman dalam birokrasi…” Joko Dwi Cahyana “Perang Bintang dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat” (18 Desember 2012)

1. “Pesta demokrasi di Provinsi Jawa Barat diibaratkan sebagai “perang bintang”... (Joko Dwi Cahyana “Perang Bintang dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat” (18 Desember 2013).

2. “Bahkan, media mengistilahkan pilgub Jabar kali ini dengan lima pasang calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang disahkan KPU Jabar sebagai Pilgub “Perang Bintang” Indra Azmani Gunawan “Jawa Barat Memilih...” (23 Januari 2013). Stilistik (Pemilihan kata 3. “Dari 5 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur atau gaya ini ada 3 artis yang ingin menjadi orang nomor 1 dan 2 bahasa) di Jawa Barat diantara yaitu Dede Yusuf Macan Efendi, Rieke Diah Pitaloka dan Dedy Mizwar. Dede Yusuf adalah seorang aktor Indonesia yang terkenal akan film-film laganya, Rieke adalah seorang penulis buku, pembawa acara, dan pemain film Bajaj Bajuri, Deddy Mizwar adalah seorang aktor senior dan sutradara Indonesia” Fauzan Jatinika Abror “Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat“ (02 Januari 2013)

1. “Bagi saya sendiri yang tidak memiliki hak pilih dalam Pilkada Jabar, melihat kedua calon ini (Aher dan Dede Yusuf) TIDAK LAYAK dipilih oleh masyarakat Jabar. Karena sebelumnya keduanya SUDAH berpasangan Retoris sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat” (Penulisan kata, Alex Vp2 “PILKADA Jawa Barat, Pilih Siapa?”( 24 frasa, atau Februari 2013). kalimat yang 2. “Efek Jokowi benar-benar terhenti di Jawa Barat dibuat lain untuk manakala di suara pemilih di megapolitanpun tidak menekankan menempatkan Rieke-Teten sebagai pemenangnya maksud) kalaupun menang pasangan Rieke-Teten mendominasi kawasan pantura Cirebon yang dikenal sebagai basis tradisional massa PDIP” Oji Saeroji “Jokowi Efek Terhenti di Jabar” (25 Februari 2013).

152

C. Interpretasi dan Pembahasan

1. Interpretasi Data

 Adiyasa Prahenda (Selebritas dalam Pilkada Jawa Barat Sebuah

Penggerak atau Kemunduran?? – 28 Desember 2012).

Pada postingan ini yang dibaca sebanyak 133x kali ini, secara

keseluruhan Adiyasa mengangkat tema tentang selebritas politisi yang

berada dalam posisi dilematis. Skema tulisan Adiyasa dimulai dengan

paragraf;

“Selebritas dan politik merupakan suatu gabungan yang sangat ideal, dimana selebritis menjadi motor penggerak dalam dunia politik saat ini. Namun, bagi saya ini hanya sebuah jalan pintas yang menguntungkan partai sesaat. Karena pastinya kita mengetahui bahwa ada beberapa faktor yang membuat selebritis sangat diragukan sikap politik dan sepak terjangnya”

Lead ini menampilkan betapa idealnya perpaduan antara selebriti

dan politik disebabkan beberapa hal; Pertama, Kaum selebritas hadir

sebagai bentuk penyegaran ketika publik mulai bosan dengan ulah

kontroversial kader partai yang dekat dengan skandal. Kedua, eksistensi

selebritas tidak perlu diragukan lagi karena ia sudah punya nama besar,

sehingga diharapkan dapat mudah mendulang dukungan untuk partai

politik yang menaungi selebritas.Sedangkan ketiga, selebritas juga

menjadi role power banyak orang. Keterlibatan selebritas dalam dunia

politik diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat, yang

semakin lama semakin menurun.

Namun, lebih dalam lagi, dalam postingan ini penulis sebenarnya

lebih menekankan kepada faktor-faktor yang dianggap menjadi penyebab

153

mengapa masyarakat ragu dengan kapasitas dan kapabilitas selebritas untuk masuk ke dunia politik. Menurut penulis, Pilkada Jawa Barat sebagai salah satu peristiwa politik yang diikuti oleh kaum selebritas dapat menjadi contoh ketidak mampuan selebritas berpolitik, hanya mengandalkan modal popularitas dan penampilan mereka saja, serta mengabaikan substansi dari pemilu itu sendiri.

Walaupun penulis menampakkan nilai positif dan negatif selebritas berpolitik, akan tetapi secara skematik penulis lebih condong kepada nilai negatif dan keraguannya pribadi. Nilai dan keraguan tersebut muncul pada paragraf ini:

“Lalu, mengapa saya harus mengatakan seperti itu. Mungkin itu fakta yang bisa dilihat saat ini. Karena banyak sekali selebritis yang terjerat kasus dan juga penurunan prestasi yang mungkin saja membuat pamor dia di mata masyarakat pun menjadi turun sekali” (Par. 3)

Latar keraguan penulis adalah banyaknya selebritas yang terjerat kasus dan tidak memiliki prestasi yang membanggakan di dunia hiburan, selain hanya membuat kontroversi saja.

Apabila dihubungkan dalam konteks pilkada Jawa Barat yang melibatkan tiga nama selebritas sebagai kandidat didalamnya, penulis terlihat lebih memusatkan isi tulisan untuk membahas tentang tiga nama, yaitu; Ahmad Heryawan, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka. Ahmad

Heryawan yang walaupun adalah politisi murni, tetapi akibat dari seringnya disorot oleh media, kini pun masuk dalam golongan politisi selebriti.

154

Dede Yusuf dan Rieke Diah Pitaloka juga dianggap tidak berkompeten karena hanya mengandalkan sisa ketenaran (Dede Yusuf), dan menjiplak simbol politik dari tokoh lain (Rieke Diah Pitaloka). Penulis menyebutnya sebagai Jokowi Style. Pendapat tersebut muncul dalam paragraf ini;

“PDIP yang mungkin mengusung „Jokowi Style‟ dimana Rieke dan Teten langsung menemui Jawa Barat dan mendengar keluh kesah mereka. Dan Ahmad Heryawan beserta Dedy Mizwar melalui kampanye iklannya. Sedangkan Dede Yusuf, mungkin sedikit keberuntungan dan juga unsur ketenaran yang masih tersisa” (Par. 7)

Ungkapan Jokowi Style muncul karena selama masa kampanye,

Rieke dan Teten kerap menggunakan simbol politik yang dipopulerkan oleh Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta) yaitu kemeja kotak-kotak. Rieke memang adalah kandidat yang diusung oleh PDIP, partai yang juga mengusung Jokowi di pemilu gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Simbol kemeja kotak-kotak tersebut memang sangat populer waktu itu, dan langsung menempatkan Jokowi menjadi news maker yang dicari media.

Bagaimana dengan Dede Yusuf? Ia memang sudah tidak terlalu sering disorot media sebagai selebritas. Aktivitasnya lebih difokuskan kepada dunia politik, terlebih lagi ketika ia terpilih sebagai Wakil Gubernur

Jawa Barat periode 2008-2013 mendampingi Ahmad Heryawan.

Pada postingannya ini, walaupun menyoroti tentang kehadiran selebritas dalam pilkada Jawa Barat, akan tetapi penulis tidak menguraikan peran Deddy Mizwar, selain sebagai pendamping dari

155

Ahmad Heryawan saja. Berbeda dengan dua selebritas lain, yaitu; Dede

Yusuf dan Rieke Diah Pitaloka yang diuraikan panjang lebar pengalaman

politik, dan gaya kampanyenya. Peneliti menginterpretasikan hal ini

sebagai detil implisit yang mengemukakan bahwa Deddy Mizwar belum

mampu menampilkan dirinya sebagai sosok politik yang menonjol.

 Thamrin Sonata (Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat

– 22 Desember 2012).

Thamrin Sonata adalah seorang penulis lepas, yang berdasarkan

profilnya di blog Kompasiana ternyata pernah menjadi anggota dari tim

humas Deddy Mizwar. Walaupun terhitung sebagai orang dekat, dalam

postingannya ini penulis terlihat berusaha untuk objektif dalam menilai

Deddy Mizwar.

Secara tematis, Thamrin melihat keterlibatan selebritas sebagai

salah satu faktor penyebab mengapa pilkada Jawa Barat di tahun 2013 ini

mendapat perhatian lebih dari media dibandingkan pilkada di daerah-

daerah lain yang juga diselenggarakan pada tahun yang sama. Penulis

menilai fenomena ini wajar, mengingat Jawa Barat banyak menghasilkan

selebritas di dunia hiburan nasional;

“Tak bisa dimungkiri, Bandung dan alam Parahyangan menelorkan sejumlah bntang. Dari Jawa Barat banyak nian pesohor di ranah hiburan. Dan ketika memungkinkan mereka terjun ke dunia politik, beberapa menangguk sukses dan menduduki tempat empuk” (Par.2)

Paragraf di atas juga merupakan bentuk koherensi penghubung

yang termasuk dalam elemen wacana sintaksis. Antara fakta bahwa Jawa

Barat merupakan daerah asal banyak selebritas, dan keterlibatan

156

selebritas dalam dunia politik sebenarnya tidaklah saling berhubungan.

Namun, penulis melihat sebagai daerah penghasil banyak selebritas, tidak ada salahnya apabila Jawa Barat kemudian memiliki pemimpin yang berasal dari kalangan selebritas pula.

Selian itu dalam salah satu kalimat dari Thamrin Sonata terdapat pula contoh bentuk koherensi kondisional;

“PDIP yang sukses di Jakarta, mencoba memperbaikinya – mengingat calonnya di Pilkada Bupati Tangerang dan Walikota Bekasi keok” (Pilkada Jawa Barat: Kisah Perang Para Penjual Obat – 22 Desember 2012).

Dalam kalimat tadi Thamrin menampilkan kondisi tentang PDI-P sukses memenangkan pilkada DKI Jakarta, melalui Jokowi, tetapi ternyata gagal di pilkada Tangerang dan Bekasi, dengan menggunakan konjungsi yang.

fPada pilkada Jawa Barat ini, ada tiga nama selebritas yang bertarung; Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka.

Kesamaan dari ketiganya adalah; sama-sama memiliki nama dan reputasi baik di dunia hiburan dan politik, serta sama-sama menjadi bintang iklan obat. Penjual obat dalam tulisan ini menjadi ungkapan substansial yang ditujukan kepada ketiganya; “Apa itu klop dengan iklim urang Sunda yang membutuhkan obat agar sehat?”

Alur dalam postingan ini menyampaikan bahwa kehadiran selebritas dalam pilkada Jawa Barat ini lebih daripada sekedar menjual popularitas.

“Deddy Mizwar yang hanya dicalonkan sebagai Wakil Gubernur mendampingi ahmad Heryawan (Aher), cukup mengejutkan. Alasan yang dikemukakan tidak terlalu istimewa. Sedangkan Dede Yusuf, yang sekarang masih Wagub wajar saja ingin naik kelas. Bahkan jauh-jauh hari

157

sudah lompat pagar; dari PAN ke Demokrat. Oneng alias Rieke Diah Pitaloka pengen mengubah Jabar lebih baik. Meski ia perlu meminjam Jokowi; kotak-kotak.” (Par. 3).

Fakta bahwa Dede Yusuf kali ini maju sebagai calon Gubernur dan bahkan rela berpindah partai dari PAN ke Partai Demokrat, dan Rieke

Diah Pitaloka yang menjiplak simbol politik Jokowi merupakan bentuk keseriusan berpolitik. Bagaimana dengan Deddy Mizwar? Thamrin melihat bahwa Deddy belum punya bayangan akan melakukan apa kedepannya, selain untuk sementara mendampingi Ahmad Heryawan dulu;

Diantara ketiga selebritas ini, memang hanya Deddy Mizwar yang minim pengalaman di bidang politik. Dede Yusuf pernah menjadi anggota

DPR-RI, dan kemudian Wakil Gubernur Jawa Barat periode sebelumnya, sedangkan Rieke Diah PItaloka adalah aktivis dan anggota DPR-RI yang cukup vokal mengkritisi masalah buruh dan tenaga kerja. Satu-satunya modal Deddy Mizwar adalah citra selebritasnya di mata publik yang sangat positif, yang terbentuk dari karakter-karakter yang pernah ia perankan baik dalam sinetron maupun film.

Pilkada Jawa Barat dengan segala atributnya yang meriah ditambah lagi jumlah pemilih tertinggi, menurut penulis akan menjadi tolok ukur dari pemilu 2014 nantinya. Selain itu, pilkada ini sepatutnya menjadi ajang pembuktian selebritas yang bersaing bahwa mereka mampu menghadirkan atmosfer baru yang menyegarkan dunia politik Indonesia yang tengah kusut karena krisis kepercayaan masyarakat terhadap parpol.

158

 La Ode Ahmadi (PAN Mengalami Krisi Kaderisasi dan Kepercayaan

Diri – 28 Januari 2013)

Postingan La Ode Ahmadi memiliki tema yang berbeda dengan

postingan Kompasianer lain yang dijadikan data dalam penelitian ini.

Meskipun demikian, opini penulis menurut peneliti dapat memperkaya

perspektif wacana tentang kehadiran selebritas dalam dunia politik.

Apabila Kompasianer lain menilai selebritas politisi dari sisi individu

saja (popularitas, pengalaman, dan prestasi mereka baik dalam politik

maupun bidang hiburan), maka penulis ini lebih menyoroti aspek

kelembagaan yaitu partai politik, dengan menyebutkan Partai Amanat

Nasional sebagai contohnya.

Mengapa PAN? Walaupun PAN bukanlah satu-satunya partai yang

mengusung selebritas sebagai perwakilannya, hanya saja akhir-akhir ini

beberapa dari mereka justru menjadi pemberitaan negatif. Misalnya saja,

Wanda Hamidah yang terbelit kasus narkoba bersama Raffi Ahmad.

Wanda adalah kader PAN yang menjabat sebagai anggota Komisi E

DPRD DKI Jakarta. Sedangkan Raffi Ahmad dikabarkan menjadi salah

satu kandidat calon legislatif yang akan diusung PAN pada pemilu

legislatif 2014 mendatang.

Ahmadi menilai, pemilihan selebritas untuk dilibatkan partai sebagai

kader memiliki maksud implisit. Dalam sistem pemilihan umum secara

langsung seperti yang diselenggarakan di Indonesia, penting bagi partai

untuk mencari kader yang gampang/sudah dikenali. Selebritas merupakan

159

pilihan sempurna, karena selama ini citra mereka sudah terasah dan melekat di ingatan publik. Ahmadi menyebut: “Popularitas artis berpotensi mendulang suara bagi partai politik.” (Par 3, Bar. 7).

Elemen skematik dalam postingan ini memperlihatkan bagaimana penulis mendeskripsikan krisis kaderisasi dan kepercayaan diri sebagai penyebab parpol mengusung selebritas. Bentuk krisis tersebut dipaparkan dalam paragraf:

“Mereka tengah kehabisan akal untuk mengembalikan citra itu. Akhirnya, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menggandeng para artis. Artis itu hanya dijadikan bumper dan pita penghias rambut” (Par 5).

Ungkapan “pita penghias rambut‟ menunjukkan bahwa parpol lebih mengedepankan popularitas tanpa memperhitungkan kemampuan selebritas untuk dapat memperbaiki nama baik partai. Perilaku parpol ini menunjukkan kedangkalan pendidikan politik yang dianggap oleh Ahmadi sebagai “bentuk pembodohan publik dan menggiring politik menjadi hamba industri” (Par. 6).

Pada iklim demokrasi, siapa saja berhak untuk melibatkan diri dalam politik, termasuk selebritas. Menurut Ahmadi, masyarakat cukup terbuka menerima kader partai yang dicalonkan, siapapun dia selama memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjalankan amanah rakyat nantinya. Selebritas juga mampu, asalkan tidak menjadi bentuk pilihan pelarian, karena ketidaksukaan masyarakat pada calon lain yang ada.

Selain itu, dalam postingan ini dapat pula kita temukan teks yang mengandung elemen sintaksis, yaitu bentuk koherensi pembeda:

160

“Kehadiran artis, menjadi alternatif bagi masyarakat, meskipun masih sekedar performatif alias mengandalkan penampilan”

Tulisan Ahmadi mengemukakan dua fakta yang berbeda terjalin memberikan makna baru. Kehadiran selebritas sebagai alternatif politik bagi masyarakat, adalah fakta yang tidak memiliki hubungan dengan selebritas mengandalkan penampilan. Akan tetapi, dengan penggunaan kata sambung meskipun terbentuk sebuah kalimat yang mengandung ironi.

Elemen lain dalam sintaksis adalah pengingkaran, yang merupakan bentuk praktik wacana untuk menggambarkan bagaimana seseorang menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Dengan pengingkaran, kalimat yang muncul akan tampak seolah menyetujui sesuatu, walaupun sebenarnya bermaksud sebaliknya. Berikut contoh kalimat dimana Kompasianer menunjukan pengingkaran;

“Popularitas artis memang berpotensi mendulang suara bagi partai politik. Namun dengan adanya kejadian ini, maka terdapat resiko yang sama dengan merekrut kader dari kalangan artis”

Penulis melihat ada dua hal yang dapat terjadi ketika partai politik merekrut selebritas sebagai perwakilan; pertama, berpotensi besar meraih dukungan dari masyarakat, kedua; ada resiko lain dibalik pengrekrutan selebritas sebagai kader parpol. Fakta kedua yang disampaikan akan menjadi pengingkaran bagi fakta pertama, apabila ternyata figur selebritas tidak mampu memenangkan pilkada.

161

 Ajinatha (Menjadi Politisi Bukan Asal Artis – 29 Januari 2013)

Selebritas seperti apa yang patut untuk menjadi politisi? selebritas

yang berprestasi, intelek, dan berkepribadian positif (paling tidak dalam

sorotan media). Itulah tema yang disampaikan Ajinatha dalam

postingannya. Tidak semua selebritas mampu menjadi politisi. Maka tugas

partai lah untuk bersikap selektif dalam memilih selebriti yang akan

dijadikan kader. Ajinatha menuliskan;

“Mestinya partai politik belajar dari kesalahan dalam memilih artis, dalam rangka mengisi kursi di lembaga legislatif, dengan demikian, pada pemilu 2014 nanti tidak asal comot artis untuk masuk menjadi legislatif” (Par. 4).

Penampilan selebritas yang selama ini kurang diperhitungkan

dalam dunia politik, menurut penulis adalah lebih kepada perilaku tidak

mau melepaskan atribut selebritasnya, dan tidak memiliki berkeinginan

kuat untuk mengabdikan diri sebagai politisi. Situasi inilah yang

memperkuat dugaan penulis bahwa selama ini selebritas hanya

dimanfaatkan parpol sebagai vote getter saja.

Dalam elemen sintaksis terdapat koherensi pembeda yang

menyajikan bagaimana dua fakta hendak dibedakan atau dibandingkan.

Elemen ini biasanya ditandai dengan kata “dibandingkan.” Misalnya

seperti yang tampak pada salah satu kalimat dalam paragraf berikut;

“Siapa yang menyangka Rieke (Oneng) Diah Pitaloka, yang tidak terlalu populer sebagai artis, namun memiliki basic pendidikan, begitu terjun kedunia politik dia malah lebih populer jika dibandingkan saat dia menjadi artis...” (Ajinatha – Menjadi Politisi Bukan Asal Artis – 29 Januari 2013).

162

Kata dibandingkan di atas memberikan pemahaman bahwa ada efek baik

(menjadi lebih populer) setelah Rieke beralih dari selebriti ke politisi.

Penulis melihat fenomena bahwa selama ini selebritas yang berkiprah menjadi politisi belum memberikan kontribusi politik yang menonjol, dan sekedar mengikuti arus yang disiapkan oleh partai pengusungnya. Inilah yang menyebabkan masyarakat ragu dan menolak politisi dari kalangan selebritas. Berikut kalimat penulis yang mendukung interpretasi peneliti:

“Selama ini artis yang terjun ke politik banyak dicemooh, dan dianggap hanya mengandalkan popularitas saja” (Par. 5).

Tiga selebritas yang bertarung di pilkada Jawa Barat, khususnya

Rieke Diah Pitaloka, menurut penulis adalah contoh baik yang patut ditiru oleh selebritas lain. Rieke tidak hanya sukses dalam dunia hiburan, tetapi juga berperan aktif di bidang politik, baik sebagai aktivis maupun politisi

Senayan. Penulis tidak menguraikan tentang Dede Yusuf dan Deddy Mizwar.

Peneliti menginterpretasikan postingan ini adalah sebuah bentuk dukungan terhadap Rieke Diah Pitaloka untuk maju di Pilkada Jawa Barat.

Pada tulisan ini, peneliti juga menemukan bentuk pengingkaran yang terdapat dalam paragraf;

“Bukan artis tidak bisa berkontribusi didunia politik, tapi masalahnya banyak partai politik yang salah dalam memilih artis, sehingga artis yang dipilih tidaklah kredibel dan kurang mampu memperlihatkan kiprahnya didalam bidang politik

Nampak bahwa penulis mengingkari pendapat bahwa selebritas tidak mampu menjadi politisi. Kesalahan datangnya dari partai politik yang tidak selektif dalam memilih selebritas yang kredibel.

163

 Prayitno Ramelan (Siapa Calon Terkuat Cagub Jabar? – 27 Desember

2012).

Prayitno Ramelan, seorang Kompasianer yang sudah dikenal luas

dalam komunitas Kompasiana (bahkan oleh admin disebut sebagai

“Bapak Publik Blog Kompasiana) mencoba adil, dengan memberikan

pandangannya tentang semua pasangan calon dalam pemilu Jawa Barat.

Postingannya ini menjadi headline karena cukup sering dikunjungi,

dengan frekwensi 5590 kunjungan.

Tema yang tertangkap dari tulisan ini adalah bahwa penulis

mencoba menghadirkan tambahan informasi kepada publik tentang setiap

pasangan calon. Baik kekuatan maupun kelemahan mereka. Peneliti

menginterpretasikan bahwa sikap penulis ini ada kaitannya dengan

kapasitas penulis sebagai mantan orang militer, pengamat politik, intelijen,

dan terorisme, dan sering menulis lepas di berbagai surat kabar, sehingga

penulis dapat tetap menjaga objektifitas tulisannya.

Dari lima pasangan calon ini, muncul istilah: pasangan selebritas

dan non selebritas. Pasangan selebritas merujuk pada nomor urut 3,4,dan

5 (dimana didalamnya terdapat kandidat selebritas), sedangkan non

selebritas disematkan pada pasangan nomor urut 1, dan 2. Secara

skematik terlihat bahwa meskipun mencoba objektif, namun penulis juga

melihat bahwa peluang lebih berat kepada pasangan selebritas;

“Akan tetapi waktu masih tersisa satu setengah bulan lagi, nampaknya pasangan yang akan bersaing adalah kubu Aher, Dede dan Rieke” (Par. 22).

164

Dalam hal ini, penulis menempatkan Aher-Deddy sebagai yang terkuat

diantaranya, karena pertimbangan status Aher yang incumbent, dan juga

kebijakan-kebijakannya yang populer, serta sosok Deddy Mizwar yang

lekat dengan citra budayawan. Menurut penulis: “Pasangan ini tingkat

kesukaannya cukup tinggi di masyarakat”

Bagaimana dengan pasangan selebritas lain? Dede Yusuf

walaupun masih populer sebagai selebritas, dan punya modal penampilan

yang menarik, namun sayangnya perpindahan Dede dari PAN ke Partai

Demokrat menjadi kelemahan utamanya. Penulis mencap Dede sebagai

politisi yang plin plan, dan keputusannya tersebut fatal akibatnya terhadap

elektabilitas Dede dan Lex Laksamana (pasangannya).

Sedangkan pasangan Rieke-Teten, menurut penulis titik lemahnya

justru ada di Teten sendiri. Latar belakangnya sebagai aktivis anti korupsi

dari Indonesian Corruption Watch (ICW) memunculkan ironisme, bahwa

seorang aktivis yang vokal menentang korupsi, justru masuk kelingkungan

yang rawan korupsi;

“Jadi dirasakan bergesernya dari kelompok anti korupsi ke lingkungan dimana peluang korupsi ada apakah tidak terlalu berseberangan?” (Par. 17).

 Agus Sutondo (Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat –

03 Januari 2013)

Agus Sutondo pada postingannya tentang pilkada Jawa Barat ini

lebih banyak menyebut tentang Ahmad Heryawan. Menurut peneliti, Agus

memang ingin menilai peluang Aher sebagai incumbent di pilkada Jawa

165

Barat kali ini, setelah di 2008 kemarin, ia dan Dede Yusuf menang secara mengejutkan. Penulis mengantarkan ceritanya lewat paragraf berikut;

“sebelum menganalisa lebih jauh tentang peluang Ahmad Heryawan pada pemilukada Jawa Barat 2013, baiknya kita melihat dulu mengapa sosok Aher panggilan Ahmad Heryawan yang belum begitu dikenal oleh masyarakat Jawa Barat tetapi mampu menyaingi calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang lebih dikenal oleh masyarakat Jawa Barat yaitu Danny Setiawan (incumbent Gubernur) yang berpasangan dengan Iwan Sulanjana serta Agum Gumelar yang berpasangan dengan Nu‟man Abdulhakim (incumbent Wakil Gubernur)

Setelahnya, disebutkan bahwa kemenangan Aher adalah hasil dari kecerdasan PKS berstrategi dengan memasangkannya bersama Dede

Yusuf yang lebih dikenal publik. Aher seorang diri belumlah cukup diakui mampu untuk mengumpulkan dukungan.

“Sebenarnya kemenangan Aher ini tidak lepas dari strategi jitu yang dilakukan oleh PKS dengan berkoalisi bersama PAN serta mengusung pasangan Aher dan Dede Yusuf sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2008-2013. PKS sadar bahwa tanpa pendamping yang lebih dikenal publik niscaya kemenangan akan bisa dicapai...” (Par. 2).

Penulis menganggap, kemenangan Aher yang saat itu belum terlalu dikenal publik lebih ditunjang oleh faktor popularitas Dede Yusuf;

“Kemenangan Aher ini memang tak lepas dari tampilnya figur Dede yusuf yang mendampinginya sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat” (Par. 4)

Penulis berasumsi bahwa memasangkan Aher dengan selebriti merupakan strategi PKS, yang menyadari bahwa Aher sendiri belum mampu untuk mendulang dukungan publik.

166

Melihat keberhasilan di tahun 2008, maka PKS kembali mengulangi strategi memasangkan Aher dengan figur yang telah dikenal publik. Tetapi, penulis melihat hal ini tidak dapat menjadi jaminan lagi, dikarenakan pada pilkada Jabar kali ini ada beberapa nama selebritas lain yang maju (tidak seperti kondisi tahun 2008 dimana pada saat itu hanya Dede Yusuf sendiri yang berstatus selebritas). Penyebab lain adalah perubahan perilaku pendukung dan kader dari PKS sendiri.

Langkah PKS menjadikan Deddy Mizwar sebagai vote getters selain sebagai usaha untuk mengumpulkan dukungan agar menang dalam pilkada

Jawa Barat, diharapkan juga sedikit banyak dapat memperbaiki citra PKS yang memburuk setelah skandal korupsi yang melibatkan Presiden PKS,

Luthfi Hasan Ishaaq. Deddy Mizwar dianggap pantas mendampingi Ahmad

Heryawan dikarenakan pencitraan dan tampilan yang baik sebagai seniman.

Bagaimana peluang Aher untuk memenangkan pilkada kali ini?

Penulis menilai, kali ini kans Aher telah mengecil diakibatkan beberapa sebab: pertama, bukan hanya Deddy Mizwar seorang selebritas yang masuk sebagai kandidat;

“Banyaknya artis yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat tentunya berdampak terhadap peluang Aher untuk bisa mengulang sukses seperti pemilukada sebelumnya” (Par. 10).

Kedua, kisruh internal PKS serta banyaknya kader PKS yang terlibat skandal telah mengurangi kepercayaan masyarakat, ketiga; Aher sendiri dianggap belum banyak berkontribusi dalam periode pertama pemerintahannya;

167

 Rieke-Teten (Kenali Angka 5 pada Pilkada Jawa Barat – 20 Desember

2013).

Dari namanya terlihat bahwa akun ini dibuat sebagai bentuk

sosialisasi kepada masyarakat Kompasiana tentang pasangan calon

Rieke – Teten. Beberapa tulisan yang pernah diposting pun menuliskan

track record dan prestasi yang pernah dibuat oleh Rieke Diah Pitaloka dan

Teten Masduki.

Postingan ini sendiri bertemakan tentang profil pribadi Rieke dan

Teten. Salah satu kalimat yang peneliti anggap menarik adalah; “Dengan

menggunakan pakaian Cele (baju kotak-kotak khas masyarakat Sunda.)

Par. 6).” Peneliti menginterpretasikan kalimat ini hadir sebagai bentuk

penolakan terhadap anggapan publik bahwa Rieke-Teten hanya menjiplak

gaya Jokowi. Menekankan bahwa baju kotak-kotak merupakan khas

masyarakat Sunda, penulis ingin menampakkan bahwa Rieke-Teten

adalah calon pemimpin yang merakyat, dan memahami filosofis Jawa

Barat.

“Rieke aktif dalam kegiatan politik dan membantu gerakan buruh. Rieke juga dikenal membela kaum buruh serta TKI dan TKW yang selalu mendapat intimidasi” (Par. 8).

Pada bagian ini, disampaikan bahwa jauh hari sebelum menjadi

selebritas, Rieke memang telah aktif di dunia politik. Selain itu, selain

berkompeten sebagai politisi, penulis juga menggambarkan Rieke sebagai

seorang intelektual, dengan dasar pendidikan yang baik. Sejumlah riwayat

pendidikan Rieke disebutkan; mulai dari S1 Sastra Belanda, serta

168

pendidikan S1 dan S2 Filsafat yang berhasil diselesaikan Rieke pada dua

perguruan tinggi.

Sedangkan profil Teten Masduki ditulis sebagai aktivis anti korupsi

yang konsisten dijalannya, melalui detil kondisi pekerjaannya yang

digambarkan dalam paragraf berikut;

“Teten Masduki kelahiran Garut, 6 Mei 1963. Nama Teten mencuat ketika Indonesia Corruption Watch yang dipimpinnya, membongkar kasus suap yang melibatkan Jaksa Agung (saat itu) Andi M. Ghalib pada masa pemerintahan B.J Habibie. Inilah pertama kalinya dalam sejarah sebuah lembaga seperti ICW bisa memaksa seorang pejabat tinggi negara turun dari jabatannya. Berkat kegigihannya mengungkap kasus tersebut, Teten dianugerahi Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 1999.” (Par. 14).

Teten Masduki menurut penulis adalah seorang aktivis anti korupsi

yang konsisten dan memiliki komitmen untuk memberantas korupsi.

Kualitas ini dijelaskan dalam kalimat: “Sebagai aktivis yang kerap

berhadapan orang-orang yang diduga terlibat kasus korupsi, Teten kerap

mendapatkan tekanan (Par. 19).

Peneliti berasumsi, dengan kualitas-kualitas pribadi yang dijelaskan

tersebut, penulis berharap dapat memberikan sudut pandang lain kepada

publik khususnya para Kompasianer. Harapan lainnya, penulis ingin

meluruskan anggapan bahwa Rieke-Teten tidak berkompeten disebabkan

pencitraannya sebagai Oneng ataupun berpenampilan mirip Jokowi.

 Fauzan Jatinika Abror (Persaingan 3 Artis dalam Pemilihan Gubernur

dan Wakil Gubernur Jawa Barat – 02 Januari 2013).

Walaupun pada paragraf awal menyebutkan data kelima pasangan

calon yang menjadi kandidat dalam pilkada Jawa Barat ini, namun dari

169

judulnya dan foto yang dimuat nampak bahwa penulis hanya menyoroti 3

kandidat yang berasal dari kalangan selebritas; Deddy Mizwar, Dede

Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka.

“Dede Yusuf Macan Efendi (Lahir di Jakarta, 14 September 1966; umur 46 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Dede Yusuf adalah seorang aktor Indonesia yang terkenal akan film-film laganya..” (Par 3).

“Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari (lahir di Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974; umur 38 tahun) atau lebih dikenal Oneng adalah seorang penulis buku, pembawa acara, pemain di film Bajaj Bajuri, dan anggota DPR periode 2009-2014 dari PDI-P..” (Par 3).

“Deddy Mizwar (lahir di Jakarta, 5 Maret 1955 umur 57 tahun) adalah seorang aktor senior dan sutradara Indonesia. Ia adalah ketua badan pertimbangan perfilman Indonesia periode 2006-2009” (Par 5).

Dalam paragraf-paragraf di atas kita bisa menemukan elemen semantik. Fauzan menilai, status selebritas ketiganya yang justru menjadi poin dan daya tarik lebih dibandingkan dengan kandidat lainnya. Beberapa frasa seperti: “seorang aktor Indonesia yang terkenal akan film-film laganya”,

“lebih dikenal Oneng adalah seorang penulis buku, pembawa acara, pemain di film Bajaj Bajuri”, serta “seorang aktor senior dan sutradara Indonesia” menjadi bermakna “mengingatkan” dan “menekankan” status tersebut.

Akan tetapi, popularitas seorang selebriti menjadi tidak penting, apabila tidak diikuti track record yang baik. Adanya kejenuhan melihat perilaku politisi yang sering tersangkut kasus, membuat masyarakat lebih waspada dalam memilih dan menilai kandidat politik. Kandidat dengan track record yang baik, walaupun bukan politisi murni, akan dapat dengan mudah meraih simpati.

170

Rieke Diah Pitaloka walaupun adalah seorang selebriti, tetapi dikenal banyak berkontribusi selama menjadi anggota legislatif DPR-RI komisi IX. Ia adalah aktivis yang diketahui cukup vokal memperjuangkan hak-hak ketenaga kerjaan. Selain itu, didunia akting Rieke pernah sukses memerankan tokoh “Oneng” yang hingga saat ini menjadi trade mark dirinya.

Pasangannya,Teten Masduki, dikenal aktivis anti korupsi dari Indonesian

Corruption Watch yang pernah menangani sejumlah kasus korupsi besar di negeri ini.

Pembahasan tentang Dede Yusuf lebih ditekankan kepada

pengalamannya didunia politik, mulai dari menjabat anggota DPR-RI,

Wakil Gubernur Jawa Barat (2008-2013), hingga akhirnya mencalonkan

diri jadi Gubernur Jawa Barat periode selanjutnya. Demikian pula dengan

Rieke Diah PItaloka. Penulis hanya menyebutkan data-data umum

tentang Rieke yang telah banyak diketahui publik.

Deddy Mizwar sendiri mendapatkan bentuk pembahasan lain.

Peneliti berasumsi, karena belum memiliki pengalaman di bidang politik,

maka penulis pun membahas pengalaman Deddy dalam domain non

politik yaitu dunia hiburan. Beberapa sinematografi yang pernah

diperankan ataupun diproduksi oleh rumah produksi milik Deddy

dituliskan, sehingga dengan demikian peneliti berkesimpulan bahwa

penulis menilai peluang Deddy berdasarkan apa yang pernah ditampilkan

dalam karya-karyanya.

171

 Haji Damanik (Cagub Jawa Barat: Berpengalaman Versus Pendatang

– 21 Desember 2012).

Bagi haji Damanik, kompetisi dalam memperebutkan kursi

Gubernur Jawa Barat bukanlah kompetisi antara selebritas dan non

selebritas, tetapi antara yang berpengalaman dan pendatang. Dalam

kategori pengalaman penulis memberikan ukuran lamanya waktu

memimpin sebuah daerah, sedangkan kategori pendatang diberikan

penulis bagi calon yang populer tetapi belum pernah memimpin daerah.

Inilah tema yang disampaikan penulis dalam postingannya ini.

Damanik menyebutkan tiga nama yang sudah pernah memimpin

daerah, Ahmad Heryawan, Dede Yusuf, dan Irianto MS Syafiuddin.

Diantara ketiga nama ini, penulis terkesan lebih berat kepada Irianto MS

Syafiuddin, yang pernah menjadi Bupati Indramayu selama dua periode.

Hanya saja tidak bisa dikesampingkan bahwa Aher dan Dede Yusuf

memimpin daerah dengan cakupan lebih luas, yang tentu saja lebih

kompleks permasalahannya.

Alur berikutnya Damanik mengukur pula kekuatan cagub

pendatang, Rieke Diah Pitaloka dan Dikdik Mulyana Arief. Menurut

penulis, Rieke yang aktivis dan anggota DPR-RI punya tingkat popularitas

yang daripada Dikdik. Namun popularitas ini dikarenakan status selebritas

Rieke dan bukannya pengakuan masyarakat atas prestasinya sebagai

aktivis dan anggota legislatif. Dikdik kelebihannya ada di titik pernah

172

memerintah lingkungan birokrasi pemerintahan. Pemilihan Cecep Suryana

sebagai pasangan Wagub dinilai penulis menjadi kelebihan lain;

“Sementara Dikdik Mulyana Arief, memiliki pasangan Cawagub dengan pengalaman memimpin birokrasi pemerintahan, dan dapat merepresentasikan keragaman kultural masyarakat Sunda” (Par. 10)

Baik berpengalaman maupun pendatang memiliki nilai plus dan

minus masing-masing. Yang berpengalaman, memang telah mengenali

medan tugasnya sebagai daerah dengan baik, namun masyarakat sudah

pernah melihat bagaimana tiga cagub yang masuk dalam kategori ini

(Aher, Dede, dan Irianto) bekerja. Kekurangan yang pernah ada selama

masa kepemimpinan mereka dipastikan akan membuat citra ketiganya

menjadi tidak sempurna lagi.

Kekurangan cagub berpengalaman, justru menjadi kelebihan dari

cagub pendatang. Dengan fakta belum pernah memimpin daerah, Rieke

dan Dikdik Mulyana dapat menjadi pilihan bagi pemilih yang mungkin tidak

menyukai sepak terjang cagub berpengalaman. Hanya saja, cagub

pendatang ini dikhawatirkan akan membuang banyak waktu untuk

mengenali medan pemerintahannya. Terlebih lagi kehadirannya belum

tentu dapat diterima oleh semua bawahannya, sehingga ia harus

berusaha lebih keras untuk dapat menyatu dengan lingkungannya.

 Joko Dwi Cahyana (Perang Bintang dalam Pemilihan Kepala Daerah

Jawa Barat – 18 Desember 2012).

“Perang Bintang” adalah istilah yang diberikan media untuk

menggambarkan situasi persaingan dalam pilkada Jawa Barat yang diikuti

173

oleh lima pasangan calon, dengan tiga nama diantaranya adalah selebritas.

Dari penyebutan ini, peneliti mengasumsikan bahwa persaingan yang sebenarnya dimaksud oleh penulis hanya ada dari kubu yang memiliki kandidat selebritas, yaitu; Dede Yusuf-Lex Laksamana, Ahmad

Heryawan-Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki. Ketiga pasangan ini disorot lebih banyak karena dianggap lebih menonjol dibandingkan dua pasangan non selebritas lain. Lihat paragraf berikut ini;

“Pesta demokrasi di Provinsi Jawa Barat diibaratkan sebagai „perang bintang‟ karena munculnya bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang berprofesi sebagai politikus sekaligus artis” (Par. 1).

Paragraf ini menurut peneliti menjadi tema inti dari keseluruhan isi postingan.

Penulis kemudian menyebutkan terpilihnya Ahmad Heryawan dan

Dede Yusuf pada pemilu 2008 menjadi barometer politik Indonesia, karena pada saat itu masih jarang selebritas yang mengikuti kontes pilkada. Fakta ini dilihat penulis bukan sekedar kebetulan saja, tetapi menjadi penting karena juga turut menunjukkan penerimaan masyarakat terhadap selebritas politisi.

Kemenangan Aher pada pilkada 2008 tidak lepas dari peran Dede yang populer di Jawa Barat sebagai mantan aktor laga berpenampilan menarik. Apalagi selanjutnya Aher berpasangan dengan selebriti yang lebih senior, populer, dan bercitra baik karena karya-karya yang dihasilkan, yaitu Deddy Mizwar. Masyarakat tentu menginginkan agar baik

174

Deddy Mizwar, atau siapapun selebritas lain yang nantinya terpilih

memimpin dapat memperlihatkan kemampuan mereka berpolitik secara

bersih.

Tulisan Joko Dwi Cahyana mengandung elemen kata ganti. Kata

ganti ini dapat memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu

komunitas imajinatif, misalnya, penulis menyebut kata “kita”, atau “kami”

untuk menggantikan “saya”. Pergantian tersebut menandakan bahwa

penulis ingin opininya dilihat sebagai sebuah sikap bersama, dan bukan

berasal dari penulis pribadi. Contoh elemen ini bisa dilihat pada tulisan

Joko Dwi Cahyana berjudul: “Perang Bintang dalam Pemilihan Kepala

Daerah Jawa Barat” (18 Desember 2012), dalam kalimat:

“Yang menjadi kekhawatiran semua pihak adalah bukan tak mungkin pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat kurang memberikan pelajaran politik.” (Par. 9)

“Sementara harapan masyarakat Jawa Barat menginginkan pemimpin yang mumpuni baik kemampuan manajerial, leadership, pengalaman dalam birokrasi…” (Ibid, Line 5).

Pada kalimat diatas, penulis mengungkapkan kekhawatirannya sebagai

kekhawatiran “semua pihak” dan harapannya sebagai harapan

“masyarakat”. Dengan penggantian tersebut, kesan yang muncul

kemudian adalah, bahwa apa yang ditulis merupakan sikap sebuah

komunitas.

 Indra Azmani Gunawan (Jawa Barat Memilih... 23 Januari 2013)

Penulis yang berprofesi sebagai reporter salah satu radio swasta di

Bandung memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat fenomena

175

pilkada Jawa Barat ini. Indra tidak berbicara tentang persaingan diantara

para pasangan calon, tetapi lebih kepada bagaimana situasi pilkada Jawa

Barat secara umum, baik dari sudut sorotan media, gaya kampanye,

hingga sikap pemilih di Jawa Barat terhadap kelima pasangan calon.

Sikap tersebut nampak pada paragraf;

“Banyak pihak yang mengatakan bahwa pemilu kepala daerah di Jawa Barat ini tidak akan luput dari Golongan Putih (golput) atau yang tidak akan memilih siapapun, dan ini cukup „menghantui‟ para pelaksanan pilkada di Jawa Barat ini, karena di beberapa pemilukada yang sudah berlangsung menunjukan bahwa tren tingkat angka golput terus meningkat dan memprihatinkan.” (Par.5)

Mengapa angka pemilih yang golput semakin meningkat? Penulis

beranggapan penyebabnya adalah pada kekecewaan dari pemimpin

sebelumnya, dan rasa pesimis masyarakat bahwa pemimpin selanjutnya

akan lebih baik. Disinilah partai politik harusnya berperan penting untuk

memberikan pendidikan politik yang positif sehingga dapat menumbuhkan

lagi kepercayaan masyarakat terhadap parpol yang semakin hari semakin

menurun.

 Pakde Kartono (Jokowi Garansi Rieke-Teten Jujur dan Bersih).

Pilkada Jawa Barat oleh penulis digambarkan sebagai medan

persaingan yang sangat ketat, sehingga setiap ketua umum dari partai

pengusung calon masing-masing sampai merasa perlu turun membantu

kadernya berkampanye.

Dalam paragraf pertamanya, Pakde membuka dengan

penggambaran akan ketatnya persaingan dalam pilkada Jawa Barat.

Masing-masing pasangan bersaing untuk menampilkan pencitraan yang

176

baik dimata para pendukungnya, dengan harapan meraih suara

sebanyak-banyaknya, agar terpilih sebagai pemimpin dari daerah yang

menempati posisi penting dalam peta politik di Indonesia ini.

Strategisnya posisi Jawa Barat, dan diikuti oleh tokoh-tokoh dengan kelebihan masing-masing, menjadi titik penting persaingan ketat ini, yang bahkan membuat para ketua umum partai politik pengusung masing-masing harus ikut berkampanye. Beberapa nama politisi besar disebutkan untuk lebih menciptakan kesan situasi persaingan yang ketat.

“Pilkada Jawa Barat akan berlangsung seminggu lagi, masing-masing kandidat bekerja “All Out” untuk bisa memenangkan pilkada Jawa Barat. Ketua umum partai politik pengusung kandidat sampai harus turun gunung ke lapangan, tercatat Megawati, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar, Surya Dharma Ali, Prabowo Subianto dan Wiranto membantu kampanye kadernya di Jawa Barat, hanya ketua umum PKS Luthfi Hassan Ishaaq yang tidak terlihat turun ke lapangan untuk membantu kampanye Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar.” (18 Februari 2013).

Hal menarik menurut penulis justru terjadi pada kampanye pasangan

Rieke-Teten, dimana yang membantunya kampanye bukan saja Megawati

Soekarno Putri, Ketua Umum PDI-P, tetapi juga sosok politisi paling fenomenal saat ini, Joko Widodo.

Penulis melihat kehadiran Jokowi ini menjadi bentuk dukungan terhadap Rieke-Teten yang memiliki track record bersih dan jujur;

“Jokowi menjadi juru kampanye Rieke-Teten bukan karena dibayar, bukan karena perintah Megawati Soekarno Putri selaku Ketua Umum PDIP, tetapi sebagai sahabat seperjuangan Rieke-Teten” (Par. 3).

Jokowi sebagai tokoh politik yang menjadi panutan dan paling dipercaya rakyat saat ini menjadi simbol jaminan bahwa Rieke-Teten juga memiliki

177

kualitas yang sama dengannya. Menghadirkan tokoh yang memiliki prestasi

(khususnya dalam kampanye) untuk mendukung pasangan calon, dapat menjadi salah satu bentuk pencitraan.

Menurut penulis, karakter Jokowi adalah salah satu kualitas yang diinginkan masyarakat Jawa Barat dari pemimpinnya. Maka Rieke-Teten pun wajar-wajar saja mengadopsi simbol dan program-program Jokowi kedalam kampanyenya, untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa mereka berdua memiliki kualitas yang sepadan dengan Jokowi;

“Rakyat Jawa Barat pun saya yakin sudah cerdas-cerdas dan mempunyai pilihan yang kurang lebih sama seperti yang disampaikan Jokowi.” (Par. 4).

Melalui paragraf-paragraf selanjutnya, Penulis mengkonstruksi realitas kepribadian Rieke danTeten dari apa yang disampaikan oleh Jokowi. Karena

Jokowi (yang mana adalah satu-satunya pejabat publik di Indonesia yang dipercaya rakyat) menjamin Rieke dan Teten itu jujur, maka itulah kenyataannya.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Parwito (2009) tentang salah satu cara membangun pencitraan yang positif, yaitu: Menghadirkan tokoh-tokoh tertentu demi menumbuhkan dan memperkokoh keyakinan akan kuat atau luasnya dukungan termasuk tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemimpin.

Dari postingan ini, peneliti berasumsi bahwa preferensi pilihan penulis yang lebih condong kepada Rieke-Teten bukanlah murni dikarenakan kualitas keduanya, tetapi lebih kepada kepercayaan penulis terhadap Jokowi.

178

Jokowi menjadi faktor penting yang meyakinkan penulis bahwa ia akan mendukung Rieke-teten.

 Usman Kusmana (Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede

Yusuf Menang 37?% - 17 Februari 2013)

Tema yang diangkat oleh penulis adalah bagaimana pencitraan lima pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat jelang pilkada

Jawa Barat 2013. Pencitraan ini terbentuk karena gaya kampanye kelima pasangan calon yang lebih menekankan pada pendekatan personal, serta turun langsung menemui warga untuk berdialog.

Paragraf pertama dari postingan ini bertuliskan;

“Saat ini semua kandidat cagub/cawagub Jabar sedang sprint menarik simpati rakyat, berharap warga Jabar tertarik dan menentukan pilihannya kepada mereka. Kampanye dengan berbagai cara dilakukan. Tapi, secara umum mereka mengambil pola yang sama. Tidak terlalu menonjolkan kampanye terbuka di lapangan dan berorasi. Semua kandidat lebih memilih “blusukan” atau kukurusukan ke titik-titik massa tertentu, terutama pusat- pusat keramaian semisal pasar, terminal, stasiun, dan sejenisnya.

Situasi yang nampak dalam tulisan ini adalah bahwa ada perubahan model kampanye yang dilakukan oleh para kandidat dari bermonolog dan berorasi di lapangan, menjadi mendekati secara personal terhadap target pemilih potensialnya, dengan mendatangi langsung.

Pencitraan adalah bagaimana cara kita mendeskripsikan seseorang atau sebuah peristiwa, isu, fenomena, berdasarkan pertimbangan- pertimbangan yang bersifat subjektif. “Blusukan” dan “Kukurusukan” dinilai menjadi salah satu cara yang ampuh untuk membentuk pencitraan kandidat

179

sebagai calon pemimpin yang peduli dengan masyarakatnya, dan mau turun langsung ke lapangan untuk membenahi permasalahan.

Penulis tidak hanya mengungkapkan penilaiannya terhadap Dede

Yusuf saja, tetapi juga kepada semua kandidat pilkada Jawa Barat 2013.

Penilaian ini didasarkan pada latar belakang pengalaman politik, gaya kampanye, penampilan fisik, serta pemberitaan dari media. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis melihat Dede-lah yang paling sukses membentuk pencitraannya, atau dalam istilah sendiri, penulis menyebutnya

“politik persepsi”.

Keputusan Dede untuk memilih Lex Laksamana sebagai pasangan, dinilai penulis juga semakin mempertegas kualitas Dede Yusuf sebagai calon pemimpin yang benar-benar ingin menciptakan kondisi lebih baik bagi Jawa

Barat. Usman penulis:

“Perpaduan figur DY yang muda, bersih, dan menarik serta berpengalaman sebagai Wagub dengan figur Lex Laksamana yang matang di dunia birokrasi seakan menjadi pilihan ideal untuk memimpin Jawa Barat 5 tahun kedepan. Dalam keduanya muncul kekuatan popularitas, akseptabilitas, dan lapabelitas untuk menjadi elektabilitas”

Penulis menganggap, permasalahan yang tengah melanda partai Demokrat

(partai pengusung Dede-Lex) tidak menjadi persoalan berarti, karena kini masyarakat cenderung menilai figur politisi dari segi personalnya.

Dengan pertimbangan tersebut, maka penulis mencoba menganalisis bagaimana politik persepsi masyarakat Jawa Barat terhadap kelima pasangan calon.

180

Untuk dua pasangan non selebritas, penulis cenderung menilai belum ada yang menonjol dan hanya menjadi pelengkap dalam pilkada ini. Berbeda dengan tiga pasangan calon lain yang begitu semarak, dan ramai dibicarakan masyarakat, karena punya kandidat selebritas. Menurut penulis, selebritas menjadi daya tarik tersendiri dalam pilkada ini.

Preferensi penulis yang nampak adalah dukungannya terhadap pasangan calon Dede Yusuf dan Lex Laksamana. Penulis mendeskripsikan keduanya hampir tanpa cela, dengan kalimat:

“Dalam keduanya muncul kekuatan popularitas, akseptabilitas, dan lapabelitas untuk menjadi elektabilitas” (Par. 10).

Bagaimana dengan kandidat selebritas lain? Deddy Mizwar dianggap

penulis hanya akan menjadi ban serep Aher, sedangkan Rieke Diah

Pitaloka masih terganjal kultur masyarakat Jawa Barat yang patriarki dan

belum bisa menerima pemimpin perempuan.

 Asri Salam (Adakah Korelasi Sinetron KSD dengan Pilgub Jabar? –

20 Februari 2013).

Pada masa tenang jelang pilkada, semua atribut kampanye

seharusnya sudah diturunkan. Namun, di Indonesia masa-masa seperti ini

justru rawan dengan bentuk kampanye terselubung. Bagaimana kalau

kandidatnya selebritas? maka kampanye terselubung itu bisa hadir dalam

bentuk penayangan sinetron yang pernah dibintanginya. Itulah hal yang

disoroti Asri Salam terhadap Deddy Mizwar.

Film Naga Bonar Jadi 2 merupakan salah satu karya terbaik Deddy

Mizwar yang sarat dengan pesan tentang patriotisme dan nasionalisme.

181

Selain film ini, karya Deddy lain yang muncul pada saat masa tenang pilkada adalah Kiamat Sudah Dekat. Keduanya ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta.

Kalimat-kalimat dalam paragraf empat (4) menegaskan asumsi

Asri, meskipun ia menuliskannya dalam bentuk pertanyaan:

“Yang membuat saya bertanya-tanya dalam hati apakah ini secara kebetulan saja atau memanfaatkan momen sebagai kampanye gratis? Dalam pikiran saya kalau ini memanfaatkan momentum sungguh amazing cara cerdas menyelam sambil minum air dan saya pikir panwaslu tidak punya pasal untuk mencegah akan hal ini, dan sungguh beruntunglah selebriti yang punya banyak sinetron dan film”

Sinetron adalah sebuah karya seni. Hal biasa bagi stasiun televisi untuk menayangkannya kembali secara berulang-ulang. Asri melihatnya menjadi bermuatan politis ketika salah satu pemeran dalam sinetron tersebut adalah kandidat yang tengah mengikuti pemilihan umum, terlebih pada saat-saat masa tenang, dimana seharusnya seluruh kegiatan kampanye sudah dihentikan.

Beberapa Kompasianer yang mengomentari tulisan ini ternyata juga berpendapat serupa. Lihat beberapa diantaranya;

“Sama,,saya juga berpikiran seperti itu... karena ini dalam masa kampanye, mungkin boleh-boleh saja, tapi tidak tau juga tuh aturan kampanyenya seperti apa...” (Ajeng Trimaharani).

“Yang pasti Heryawan dan Deddy Mizwar punya dana kampanye berlimpah, terlihat dari atribut-atribut kampanye yang bertebaran dimana-mana dan jauh lebih banyak dari pasangan cagub/cawagub lain. Bisa saja tim suksesnya “menyusup” ke SCTV buat nayangin lagi film-film Deddy Mizwar” (Aldi M. Syarif).

“Bukan perkara sulit buat nayangin KSD di SCTV dan gak perlu “menyusup” kan Senandung Nacita putrinya Dedy Mizwar!” (Sapri Tahir).

182

Kompasianer menganggap terlalu janggal apabila hal ini hanya

dianggap sebagai kebetulan saja. Pada masa tenang, segala atribut yang

berkaitan dengan kampanye (dan apapun bentuk promosi yang

cenderung menguntungkan salah satu kandidat) haruslah dimusnahkan

Sinetron ini cukup populer, dan menjadi salah satu karya yang

mendongkrak citra Deddy Mizwar. Penulis berasumsi bahwa penayangan

sinetron ini (dan juga film Naga Bonar jadi 2 yang turut diperankan oleh

Deddy Mizwar) menjadi salah satu bentuk dukungan stasiun tv

bersangkutan terhadap pasangan Aher-Deddy Mizwar. Model kampanye

ini sulit untuk diperkarakan, mengingat panwaslu sendiri belum memiliki

aturan yang mengatur tentang kampanye dalam bentuk penayangan

karya seni.

Asri Salam sendiri bukanlah warga Jawa Barat. Ia turut mengamati

momen pilkada Jawa Barat dikarenakan dua faktor; keterlibatan selebritas

di dalamnya. Postingan ini dibaca 14.937 kali, yang menandakan bahwa

topik tersebut memang menarik dan tengah ramai diperdebatkan.

 Ninoy N. Karundeng (Dede Yusuf Membuat PKS Menangis di Pilkada

Jawa Barat – 19 Februari 2013).

Popularitas Dede Yusuf diprediksikan dapat memenangkannya

dalam pilkada Jawa Barat tahun 2013 ini. Apalagi beberapa survei yang

dilakukan jelang pilkada oleh lembaga-lembaga survei, menempatkan

Dede di posisi atas. Kompasianer Ninoy N Karundeng menuliskannya

dalam postingan berjudul:

183

Ninoy memprediksikan bahwa Dede Yusuf akan memenangkan pilkada dan mengalahkan Ahmad Heryawan, mantan pasangannya di pilkada sebelumnya. Lewat kemenangan ini, maka Ninoy melihat PKS akan semakin buruk citranya:

“Nasib nahas kembali menimpa PKS. Setelah kekalahan telak Hidayat Nur Wahid dalam Pilkada DKI dan kasus korupsi Luthfi Hasan Ishaaq yang dibumbui dengan gratifikasi atau hadiah seks yang dilakukan oleh Maharany Suciono, kini PKS akan menghadapi kekalahan berikutnya. Selain Suswono, Mentan yang akan dicokok oleh KPK, PKS akan mengalami kekalahan dalam pilkada Gubernur Jawa Barat” (Par. 1).

Penyebab kekalahan ini diperkirakan Ninoy dikarenakan dua faktor; pertaman, Dede Yusuf yang tampil dengan figur marketable, serta cukup baik track record-nya selama menjadi Wakil Gubernur. Kedua, pencitraan

PKS (partai yang mengusung Aher-Deddy Mizwar) yang tidak baik akibat sejumlah kasus yang menimpa kadernya.

“Kini hasil survey menunjukan Dede Yusuf memimpin dalam semua survey yang dilakukan. Dede Yusuf memimpin dengan perolehan suara 32% berbanding dengan 24% untuk Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Kemenangan Dede Yusuf ini lebih kepada perlawanan rakyat Jawa Barat yang tidak menginginkan pemimpin mereka segregatif dan mementingkan satu golongan yakni golongan PKS. Jawa Barat terdiri dari berbagai subsuku Sunda dan agama berbeda yang menuntut pemimpin atau gubernur yang menghargai perbedaan”

Politik persepsi yang baik di pihak Dede Yusuf didapatkan karena figurnya yang menurut Kompasianer lebih populer, lebih menarik, serta lebih mencerminkan figur pemimpin yang diimpikan masyarakat.

Dukungan dan keyakinan penulis bahwa Dede Yusuf akan memenangkan pilkada Jawa Barat sangat terlihat dalam postingannya ini.

Penulis lebih melihat sisi pertarungan dari kubu Dede Yusuf dan kubu

184

Ahmad Heryawan. Keduanya pernah berpasangan sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur Jawa Barat di periode sebelumnya.

Penulis mengambil dasar opini dari data survey yang dilakukan beberapa lembaga, yang menempatkan Ahmad Heryawan dibawah Dede

Yusuf. Namun, kelemahan Ahmad Heryawan sebenarnya terletak pada partai yang menaunginya, yaitu PKS.

“Selain figur Dede Yusuf yang memang menjual, kasus korupsi Luthfi Hasan Ishaaq yang mengorupsi daging sapi mentah impor yang diyakini melibatkan gratifikasi hadiah seks paling kentara dalam sejarah korupsi Indonesia, juga turut berperan dalam menghancurkan harapan PKS untuk berkuasa di Jawa Barat” (Par. 5).

Penulis melihat, dengan skandal dan kisruh internal PKS (setelah tertangkapnya presiden PKS) maka kekalahan calon dari PKS (Hidayat

Nur Wahid) di Pilkada DKI Jakarta akan terulang lagi lewat Ahmad

Heryawan. Dengan tajam penulis mengkritisi tindakan Ahmad Heryawan yang dianggap tidak amanah dan memanfaatkan jabatannya sebagai sarana untuk melakukan pencitraan agar terpilih kembali untuk menjabat di periode selanjutnya.

“Tindakan Ahmad Heryawan yang menyerupai Hidayat Nur Wahid, juga menyebabkan masyarakat Jawa Barat berpikir ulang dengan gubernur seperti itu” (Par. 4).

Dalam elemen wacana sintaksis, penggunaan kata “masyarakat” diatas digunakan untuk memunculkan kesan tentang komunitas yang tidak tampak (karena penulis tidak menyebutkan masyarakat mana yang dimaksudnya), demi menunjukkan bahwa sikap penulis merupakan sikap

185

komunitas secara keseluruhan. Elemen sintaksis terdapat pula dengan

kalimat dalam paragraf ini;

“Kemenangan Dede Yusuf ini lebih kepada perlawanan rakyat Jawa Barat yang tidak menginginkan pemimpin mereka seagregatif dan mementingkan satu golongan yakni golongan PKS” (Par. 3).

 Annisa Fokker (Kotak-Kotak Rieke Bukan Kotak-Kotak Jokowi - 17

Februari 2013).

Annisa merupakan satu-satunya Kompasianer perempuan yang

diambil postingannya sebaga data oleh peneliti dengan pertimbangan

bahwa tulisan Annisa cukup tajam dan detil mengkritisi gaya kampanye

Rieke-Teten yang mengadopsi Jokowi. Tulisan Annisa berbeda dengan

postingan dengan tema serupa lainnya, yang kebanyakan hanya

menyoroti penggunaan kemeja kotak-kotak ala Jokowi. Annisa juga

mengungkapkan beberapa program-program kampanye Rieke-Teten yang

ternyata mirip dengan Jokowi.

“Saat melihat materi kampanye Rieke di salah satu televisi sepertinya hampir sama, hanya ada sedikit perubahan nama saja. Seperti kartu Jabar Bangkit oleh cagub Rieke-Teten, sedangkan waktu Pilkada DKI Jakarta saat itu sebutannya kartu pintar oleh Jokowi-Ahok” (Par. 3).

Alur berikutnya, penulis lebih melihat kepada perbedaan diantara

Rieke-Teten dan Jokowi-Ahok. Melalui sejumlah opini yang disampaikan,

nampaknya penulis ingin menyampaikan beberapa penyebab mengapa ia

beranggapan bahwa Rieke-Teten akan gagal mendulang kesuksesan

layaknya Jokowi-Ahok, misalnya:

186

i) Jenis kelamin (Jokowi lelaki, dan Rieke adalah perempuan yang akan

sulit mendulang dukungan dari masyarakat Jawa Barat yang masih

berkultur patriarki),

ii) Gaya kampanye (kepercayaan diri Rieke yang berlebihan. Beberapa

kali pada media Rieke mengatakan yakin akan memenangkan pilkada

Jawa Barat), dan

iii) Gaya bicaranya yang lantang tidak sesuai dengan budaya Jawa Barat

yang lembut dalam bertutur. Berbeda dengan Jokowi yang spontan

tapi tetap lembut).

 JangJaya06 (SMART, Cara Jitu Memilih Pemimpin Jawa Barat – 12

Februari 2013)

Postingan Jang Jaya berisi opininya tentang materi kampanye dari

kelima pasangan calon yang tidak mengena pada target pemilih di Jawa

Barat. Pemilih di Jawa Barat rata-rata adalah masyarakat yang awam

akan politik, serta tidak terlalu mengenal kandidat yang maju dalam

pilkada. Penulis melihat, kekurangan pengetahuan ini akan

mengakibatkan masyarakat hanya akan memilih secara subjektif,

berdasarkan tampilan luar kandidat saja.

“Jika terus dalam posisi bimbang, dikhawatirkan variabel keputusan yang kita ambil adalah siapa yang dikenal, oh..yang ini cantik, oh.. yang ini ganteng atau justru memilih golput.” (Par. 1).

Agar tidak semakin bingung, penulis menyodorkan metode SMART

untuk mengukur elayakan kandidat. SMART terdiri dari konsep Spesific

(tujuan yang ditetapkan harus jelas dan spesifik), Measurable (apa yang

187

ingin dicapai haruslah bisa diukur), Achievable (tujuan yang ditetapkan

haruslah bisa dicapai), Realistic (masuk akal), dan Time-Based (harus

bisa menetapkan kapan tujuan tersebut harus dicapai).

Penulis melihat, diantara kelima pasangan calon, hanya Ahmad

Heryawan & Deddy Mizwar yang telah menerapkan konsep ini kedalam

komitmen, visi, dan misi mereka. Berbeda dengan empat pasangan calon

lain, yang hanya berjanji, tetapi tidak berkomitmen. Fakta inilah yang

menyebabkan penulis menjadi ragu dengan motivasi keikutsertaan

keempat pasangan calon lain dalam pilkada Jawa Barat kali ini.

 Fauzan Fakhrurrozi (Yang Kalah Tuduh Yang Menang – 02 Maret 2013).

Postingan Fauzan ini membahas tentang situasi pasca pilkada

(khususnya setelah hasil survey diumumkan) yang memanas karena sikap

tidak terima pasangan Rieke-Teten dan juga PDIP akan kekalahan

mereka, dengan menuduh bahwa pasangan Aher-Deddy berbuat curang

dalam pilkada kemarin.

Menurut penulis, tuduhan Rieke-Teten sangatlah tidak beralasan

dikarenakan tidak ada fakta yang dapat membuktikannya. Penulis

menyebutkan; “Saya melihatnya, pasangan ini terkesan tergesa-gesa dan

terlalu bernafsu” (Par. 4).

Di bagian lain penulis menyebutkan perbedaan pendapat antara

Pramono Anung, salah seorang petinggi PDI-P yang menyatakan bahwa

kemungkinan kecurangan di Pilgub Jabar sangatlah kecil, dengan

Megawati Soekarnoputri (ketua umum PDIP) yang menyakini bahwa

188

kadernya telah dicurangi. Perbedaan pendapat ini membuat penulis

berkeyakinan bahwa Rieke-Teten bukanlah sosok yang sportif dan legowo

dalam menerima kekalahan.

 Oji Saeroji (Jokowi Efek Terhenti Di Jabar – 25 Februari 2013).

Kehadiran Jokowi dalam kampanye Rieke-Teten ternyata menjadi

topik populer dalam pilkada Jawa Barat kemarin. Kompasianer menjadi

cukup penasaran untuk melihat seberapa besarkah pengaruh Jokowi

dalam memenangkan pasangan Rieke-Teten. Penulis menyebut pengaruh

ini sebagai „efek Jokowi‟.

“banyak pihak memprediksi bahwa demam Pilkada DKI yang dikenal dengan efek Jokowi akan menular ke pilkada Jawa Barat, apalagi salah satu pasangan yaitu Rieke-Teten nyatanya menjiplak model Jokowi dan mendapatkan dukungan penuh dari Jokowi yang notabenenya adalah rekan sejawat di PDIP” (Par. 2).

Kenyataan berikutnya bahwa ternyata pasangan Rieke-Teten kalah

menurut penulis menjadi pembuktian bahwa masyarakat telah cukup kritis

dan tidak menelan mentah-mentah materi yang disodorkan oleh kandidat.

Sebaliknya, pengadopsian materi kampanye Jokowi justru disikapi sinis,

dengan menyatakan bahwa Rieke-Teten melupakan kenyataan Jokowi

sudah membuat banyak perubahan, sedangkan mereka berdua belum.

Perbedaan lain adalah karakter aktivis yang keras begitu melekat

pada diri Rieke-Teten. Karakter ini berlawanan dengan Jokowi yang

dikenal santun dan apa adanya. Inilah juga yang menjadi penyebab

mengapa efek Jokowi tidak begitu berpengaruh bagi pasangan Rieke-

Teten.

189

 Nur Tjahyadi (Oneng-Teten Kalah Segalanya dari Aher-Bang Jack –

03 Maret 2013).

Sikap pasangan Rieke-Teten yang tidak menerima kemenangan

pasangan Aher-Deddy Mizwar juga turut disoroti oleh Nur Tjahyadi.

Menurut Nur, Rieke-Teten belumlah sebanding dengan pasangan Aher-

Deddy Mizwar yang menang segala-galanya.

Nur Tjahyadi menulis tentang kekalahan pasangan Rieke-Teten dari Ahmad

Heryawan dan Deddy Mizwar dalam pilkada Jawa Barat 2013. Seperti yang diketahui, Rieke-Teten menolak hasil pilkada tersebut dengan menyodorkan banyak bukti tentang pelanggaran Aher dan Deddy Mizwar yang terjadi selama pilkada (penggunaan dana APBD untuk kampanye, dan penggelapan suara sebanyak lebih dari satu juta suara) dan meminta agar diselenggarakan pilkada putaran kedua.

Penulis melihat sikap Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki yang menolak hasil pilkada sebagai bentuk arogansi, tanpa bisa menerima bahwa kualitas keduanya memang masih kalah dibandingkan Ahmad Heryawan dan

Deddy Mizwar. Pada baris pertama dari paragraf pertamanya, Nur menulis:

“Taufik Kiemas, Ketua MPR yang juga petinggi PDIP menyarankan agar pasangan Oneng-Teten menerima kekalahannya dengan legowo dari pasangan Aher-Bang Jack”

Kalimat ini apabila dikaji lebih jauh memiliki makna tajam. Nama Taufik

Kiemas dengan posisinya sebagai petinggi PDIP (partai yang diwakili oleh

Rieke) bisa diartikan bahwa penulis menganggap ketidak terimaan Rieke akan hasil pilkada merupakan sikap pribadi dan bukan sikap partai, serta

190

PDIP sendiri sebenarnya menginginkan agar Rieke bersikap sportif dengan kekalahannya.

Nur menuliskan beberapa titik kelemahan Rieke dan Teten yang

tampak selama dalam proses pilkada lalu. Misalnya dari segi pencitraan

(citra yang melekat akibat latar belakang keartisan. Rieke sebagai “Oneng”

tokoh yang lambat dalam berpikir tidak sebanding dengan Deddy Mizwar

yang hampir dalam setiap karya-karyanya memerankan tokoh baik dan

bijak), kemudian dari segi materi kampanye, dan pembiayaan.

Penulis menyebut Rieke sebagai „Oneng‟ (karakter yang ia perankan

dalam sinetron „Bajaj Bajuri‟) sedangkan Deddy Mizwar sebagai Bang Jack

(peran Deddy dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat). Apabila diamati, dari

cara penyebutan saja, penulis sebenarnya telah membuat perbandingan

antara Rieke dan Deddy Mizwar.

Karakter Oneng yang digambarkan sebagai perempuan bodoh,

begitu melekat pada Rieke. Sehari-harinya ia kerap disapa Oneng.

Memasuki masa kampanye, ia menyatakan tidak mau lagi dipanggil Oneng,

dan ingin menghapus karakter tersebut dari dirinya. Sedangkan Bang Jack

yang diperankan Deddy Mizwar, adalah tokoh yang santun, bijak, religius,

namun humoris. Jelaslah terlihat begitu jauh perbedaan kualitas antara

Oneng yang negatif dan Bang Jack yang positif.

“Kalau kita mau jujur, kenyataannya adalah bahwa pasangan Oneng-Teten memang kalah segalanya dari Aher-Bang Jack. Oneng kalah dalam hal program, pencitraan dan masa kampanye, materinya, dan jumlah finansialnya” (Par. 3).

191

Pencitraan inilah titik utama kemenangan pasangan Aher-Deddy

Mizwar. Citra Aher sebagai incumbent, yang sudah berpengalaman

memimpin Jawa Barat, ditambah lagi dengan track record

kepemimpinannya yang bersih berpadu dengan Deddy Mizwar yang

bercitra santun dan arif, menjadi poin utama yang tidak bisa dikalahkan

oleh Rieke-Teten. Untuk itu, penulis menyarankan agar sebaiknya Rieke-

Teten menerima saja kekalahan mereka dengan besar hati.

 Alek Laksana Vp2 (PILKADA Jawa Barat, Pilih Siapa? – 24 Februari

2013).

Postingan ini merupakan tulisan terpendek diantara seluruh

postingan yang diambil peneliti sebagai data. Meskipun opini yang

dituliskan cukup singkat (hanya terdiri dari 3 paragraf) namun, frekwensi

kunjungannya cukup besar (mencapai 719x).

Postingan ini sendiri lebih berisi opini tentang penolakan terhadap

dua calon Gubernur yaitu; Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf. Alasan

penolakan penulis adalah karena keduanya sudah pernah memimpin

sebelumnya, ditambah lagi dengan keadaan partai pendukung keduanya

(PKS dan Demokrat) yang bermasalah.

Sebuah elemen makna grafis yang muncul dalam postingan ini

adalah beberapa kata yang dituliskan dalam huruf balok serta ditebalkan.

Misalnya kata “TIDAK LAYAK dipilih oleh masyarakat Jawa Barat”,

“keduanya SUDAH berpasangan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur

Jawa Barat”, dan “TIDAK PANTAS untuk dipilih sebagai Gubernur Jawa

192

Barat”. Bentuk penulisan ini jelas menekankan pada sikap penulis yang

tidak menginginkan keduanya untuk maju lagi memimpin.

 Depe (Sinetron KSD Langgar Masa Tenang Pilkada Jabar? - 21

Februari 2013)

Satu lagi postingan yang mengkritisi penayangan sinetron Kiamat

Sudah Dekat pada masa tenang kampanye pilkada Jabar. Walaupun

jumlah kunjungannya tidak sebanyak pada postingan Asri Salam (Adakah

Korelasi Sinetron KSD dengan Pilkada Jabar?), namun menurut peneliti

substansi dan analisis yang ditulis pada postingan ini justru lebih tajam,

karena mengupas makna dibalik penayangan sinetron ini dengan lebih

mendetil. Berikut detil yang disampaikan oleh penulis;

„Hubungan Deddy Mizwar sebagai pemilik PH terbilang dekat dengan pihak SCTV. Sinetron produksinya selalu ditayangkan di bulan Ramadhan. Puteri Deddy Mizwar, Senandung Nacita, kini juga bekerja menjadi pembawa acara berita disana.” (Par. 3).

Detil tersebut mendukung asumsi penulis bahwa sebenarnya

sinetron ini merupakan bentuk kampanye terselubung di masa tenang

yang menguntungkan pihak Aher-Deddy Mizwar. Padahal dalam masa

tenang segala atribut kampanye haruslah di musnahkan.

Kehadiran sinetron KSD yang banyak menayangkan sosok Deddy

Mizwar, menurut penulis terlalu tidak masuk akal untuk disebut sebagai

sebuah kebetulan. Disini, SCTV sebagai stasiun tv yang menayangkan

sinetron tersebut mendapat kritikan tajam dari penulis. Menurut penulis,

SCTV sebagai media juga punya fungsi pendidikan politik. Kalau ikut

memberikan dukungan dalam bentuk penayangan sinetron jelang masa

193

tenang, ini sama saja dengan menghalalkan politisi untuk berbuat curang,

dan tidak menghormati aturan.

Lebih jauh lagi peneliti menginterpretasikan opini ini menjadi

semacam imbauan bagi lembaga yang berwenang mengurusi pemilu,

yaitu KPU dan Bawaslu, agar lebih memperhatikan dan memperbaharui

aturan-aturan pemilu yang sudah ada.

 New Ahmad Zain (Mengukur Peluang Artis dalam “Perang Artis”; Pilkada

Jawa Barat. – 23 Februari 2013).

Secara tematis, postingan ini mengukur peluang masing-masing

selebritas yang maju sebagai kandidat dalam pilkada Jawa Barat (Deddy

Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka).

Pada awal tulisannya, penulis melihat bahwa ketiga selebritas ini

telah siap bertarung memperebutkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur

Jawa Barat. Terkesan pula bahwa penulis memang lebih menekankan

persaingan pada pasangan selebritas ini. Masing-masing memiliki nilai

plus dan minusnya.

Pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana kelebihannya terletak pada

popularitas keduanya di masyarakat dan juga kalangan birokrat.

Sedangkan kekurangannya lebih pada faktor eksternal kandidat, yaitu

kisruh Partai Demorat sebagai partai pengusung pasangan ini.

Pasangan kedua adalah Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Dari

segi popularitas, keduanya memang telah menasional. Deddy Mizwar

194

adalah sineas legendaris, sedangkan Aher juga cukup sering tampil di

pemberitaan media. Titik lemahnya juga terletak pada partai pengusung

pasangan, yaitu PKS yang sedang terjerat kasus.

Sedangkan pasangan selebritas lainnya adalah Rieke Diah Pitaloka

dan Teten Masduki. Soal popularitas, keduanya sama dengan pasangan

selebritas sebelumnya. Rieke dengan karakter Oneng-nya, sedangkan

Teten dengan konsistensinya sebagai aktivis anti korupsi. Apalagi

keduanya didukung oleh PDIP, partai yang tengah menanjak

elektabilitasnya karena kemenangan Jokowi di pilkada DKI Jakarta.

Kelemahan keduanya adalah belum berpengalaman memimpin daerah,

yang akan membutuhkan waktu panjang untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan pemerintahannya.

 Berthy B. Rahawarin (Inilah Lima Faktor Dominan Pilkada Jawa Barat

- 26 Februari 2013).

Selain keterlibatan selebritas, dalam postingannya ini Berthy

menemukan empat faktor lain yang mendominasi pilkada Jabar. Namun

terlihat bahwa faktor selebritas menjadi yang utama;

“Betapapun perlu penelitian lebih lanjut, seberapa besar konstituen pemilih terpengaruh para artis adalah hal lain” (Par. 2).

Menurut penulis, hadirnya selebritas memengaruhi elektabilitas

masyarakat Jawa barat. Hal ini terbukti dengan tenggelamnya dua

pasangan non selebritas lain dibawah pamor pasangan selebritas yang

ada.

195

Faktor kedua adalah mitra koalisi politik yang menjadi bahan pertimbangan pemilih. Bisa saja pemilih mendukung tokoh secara individu dan bukan kepartaian, dan ini dapat menyebabkan partai sulit memetakan dukungan masyarakat.

Faktor ketiga lagi-lagi penulis menyebut tentang selebritas. Pilihan memasangkan Aher dengan Deddy Mizwar, dinilai penulis sebagai strategi dan langkah yang cerdas. Penulis menyebut bahwa elektabilitas Dede dan

Deddy Mizwar sepadan. Dede menang pengalaman politik, sedangkan

Deddy menang pencitraan yang terasah lewat karakter yang pernah ia perankan.

Faktor keempat adalah langkah Dede Yusuf yang berpindah partai dari PAN ke Demokrat. Pilihan Dede ini sempat mengundang perdebatan pro dan kontra di kalangan politisi. Ada yang menyayangkan, karena dikhawatirkan kisruh Partai Demokrat dapat memengaruhi sikap pemilih untuk balik menolak Dede, ada juga yang mendukung dan mengatakan bahwa berpindah partai adalah fenomena wajar dalam berpolitik.

Sedangkan faktor kelima, yaitu ada hal-hal tidak terduga yang akan terjadi, penulis lebih memilih menyebutnya sebagai faktor X. Faktor X ini kadang kurang diperhitungkan, tetapi menurut penulis justru menjadi penentu kemenangan pasangan calon. Apa saja faktor X itu? Penilaian subjektif pemilih terhadap pasangan calon, yang amat sangat bergantung pada kondisi emosi pemilih.

196

 Achmad Siddik (Pilkada Jabar: Aher-Demiz Menang, Dede Legowo

dan Rieke Belum Terima Kalah – 03 Maret 2013).

Hasil penghitungan akhir suara pilkada Jawa Barat menempatkan

Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar sebagai pemenang, diikuti oleh

pasangan Rieke-Teten, dan Dede-Lex di urutan ketiga. Terbukti benar

anggapan banyak kalangan bahwa persaingan Pilkada Jawa Barat ini

hanya berputar pada tiga pasangan selebritas ini.

Achmad Siddik mengangkat tema tentang sikap pasangan calon

yang dikalahkan oleh Aher-Deddy Mizwar. Semuanya (kecuali pasangan

Rieke-Teten) telah mengucapkan selamat atas keberhasilan Aher-Deddy

Mizwar. Rieke-Teten telah membuat pernyataan tidak menerima hasil

penghitungan suara, dan bahkan akan mengadukan kecurangan yang

terjadi pada masa pilkada kepada Mahkamah Konstitusi.

Pada postingan Achmad, kita dapatt menemukan elemen

Koherensi kondisional dalam paragraf;

“Yang menarik, sikap ngotot timses pasangan no. 5 yang tidak mempercayai hasil quick count dan meyakini pilkada Jabar akan berlangsung dua putaran akhirnya terbantah dari hasil pleno KPU Jabar” (Par. 10).

Frasa “yang tidak mempercayai” menambah kesan adanya ketidak

terimaan dari Rieke-Teten akan kekalahannya dalam pilkada Jawa Barat.

Penulis menilai bahwa sikap Rieke-Teten ini tidak sportif. Untuk

menekankan maksudnya, penulis mengutip isi postingan Dede Yusuf di

akun Twitternya;

197

@dedeyusuf_1 silahkan kalau ada yang gugat ke MK, kami (dedeyusuf-laksamana) menyatakan cukup, hargai pilihan rakyat.

Peneliti berasumsi bahwa melalui postingannya ini secara tersirat Achmad

menyampaikan apresiasi terhadap pasangan Dede Yusuf dan Lex

Laksamana yang berbesar hati menerima kekalahan mereka, bahkan

tidak ikut-ikutan menyudutkan pasangan Aher-Deddy Mizwar dengan

tuduhan melakukan kecurangan.

Bentuk kutipan langsung ini, yang kemudian ditebalkan oleh penulis

postingan merupakan pernyataan sikap berupa imbauan kepada calon

lain yang kalah agar mengikuti langkah Dede Yusuf – Lex Laksamana

untuk bersikap sportif. Postingan ini dilengkapi pula dengan gambar

pasangan Rieke-Teten (sehingga pesan yang tertangkap bahwa imbauan

tadi ditujukan kepada Rieke-Teten), serta gambar rekapitulasi hasil quick

count dari PolMark Indonesia (sebagai penegasan kekalahan Rieke-

Teten).

 Pangestu Langit (Dede Yusuf Tak Terbendung – 22 Februari 2013).

Dede Yusuf tidak hanya dikenal sebagai mantan aktor

berpenampilan menarik, tetapi juga kepribadiannya yang bersahaja dan

merakyat. Hal ini yang menjadi tema dari tulisan Pangestu. Kesan

terhadap Dede ini ditulis dalam paragraf;

“Seorang penjual sayuran saja tahunya hanya Dede Yusuf. Sudah diberitahu berkali-kali kalau yang kampanye itu Aher tapi si ibu itu tetap saja kalau yang berkampanye itu Dede Yusuf dan akan dipilihnya” (Par. 1). Kesederhanaan Dede juga ditangkap penulis dari materi-materi

kampanyenya yang terbilang biasa saja, apalagi kalau dibandingkan

198

dengan Ahmad Heryawan yang sampai merasa perlu memasang iklan di

televisi nasional. Perbandingan pribadi Dede Yusuf dan Ahmad Heryawan

juga menurut penulis terlihat dari cara pembawaan diri ketika menjadi

pemimpin Jawa Barat di periode sebelumnya.

Postingan yang hanya berisi lima paragraf ini memang sebagian

besar berisi pujian terhadap Dede Yusuf, dengan menampilkan kualitas-

kualitas yang tidak dimiliki oleh saingannya, khususnya Ahmad Heryawan

dan Rieke Diah Pitaloka.

 Jefri Hidayat (Hampir Batal Dampingi Aher, Akhirnya Naga Bonar

Menjadi Jendral – 25 Februari 2013).

Kalau sebelumnya ada Kompasianer yang menyebut Deddy Mizwar

sebagai Bang Jack, Jefri Hidayat menyebutnya sebagai Naga Bonar.

Terutama dikaitkan dengan keberhasilannya memenangkan Pilkada Jawa

Barat bersama Aher.

Kalimat dalam paragraf pertama adalah:

”Banyak kawan-kawan menilai kegagalan pasangan Dede Yusuf- Lex Laksamana disebabkan polemik yang menimpa partai demokrat, disusul dengan mundurnya Anas Urbaningrum. Lantaran, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, dalam kasus gratifikasi, proyek Hambalang.

ftha akan disampaikannya. Dalam paragraf berikut dapat diidentifikasi pula

adanya elemen semantik.

“Mendampingi Aher bukanlah lantaran haus kekuasaan. Bukan juga kerena uang. Dari sisi uang tentu Dedy sudah berlimpah. Kata Eep, konsultan politik Dedy, jika digabungkan gaji Gubernur dan wakil gubernur penghasilan Dedy lebih besar. Apa yang dikemukakan Eep

199

tentu lebih masuk akal. Sebab, Dedy Mizwar adalah produser, sutradara, dan juga aktor” (25 Februari 2013).

Kalimat “Kata Eep, konsultan politik Dedy, jika digabungkan gaji Gubernur dan wakil gubernur penghasilan Dedy lebih besar” digunakan untuk memperjelas asumsi penulis.

Selain karena profil Deddy Mizwar yang legendaris, PKS sebagai partai yang mengusung Aher membutuhkan selebritas untuk mendongkrak popularitas Aher. Berikut tulisan Agus Sutondo;

“... Maka belajar dari pengalaman sebelumnya dengan mengusung figur calon Wakil Gubernur yang lebih dikenal masyarakat, tentunya menjadi modal dasar yang kuat bagi PKS mencari pendamping yang menguntungkan, bagi calon tunggalnya Ahmad Heryawan untuk berkolaborasi kembali dengan mencari pasangan dari kalangan artis. Karena nafsu ingin didampingi oleh calon dari artis, tidak tanggung- tanggung PKS butuh waktu sampai 4 bulan untuk melakukan pendekatan pada Deddy Mizwar. Pendekatan alot ini dilakukan agar partainya mendapatkan tokoh dan pesohor Deddy Mizwar sebagai calon inkumben.” (Analisa Sederhana Kekalahan Aher di Jawa Barat, 03 Januari 2013).

Dari paragraf ini terlihat dengan jelas bagaimana usaha PKS untuk mendapatkan pendamping bagi Aher dari kalangan Selebritas. Kalimat

“PKS butuh waktu sampai 4 bulan untuk melakukan pendekatan pada

Deddy Mizwar” menjelaskan pentingnya Deddy Mizwar sebagai faktor pengumpul dukungan bagi Aher.

Pemilihan selebriti yang memiliki track record untuk mewakili sebuah partai politik, diharapkan dapat “mengalihkan perhatian” masyarakat dari kisruh yang tengah dialami oleh sejumlah partai politik di

Indonesia, dan membuat citra parpol tersebut memburuk.

200

Sebut saja PKS (partai pendukung Aher-Deddy Mizwar), dan Partai

Demokrat (pengusung Dede Yusuf). Keduanya kini sedang terancam kredibilitasnya akibat beberapa kasus yang melibatkan petinggi dari kedua partai tersebut. Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq dan Ketua Umum PD,

Anas Urbaningrum telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi besar yang menguras uang negara hingga milyaran rupiah.

Peristiwa ini mengakibatkan kekhawatiran PKS dan Partai Demokrat, karena terjadi ketika pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden semakin dekat. Deddy Mizwar yang dikenal sebagai legenda dan selebriti bercitra baik, dan Dede Yusuf yang muda dan berpengalaman memegang jabatan publik, diharapkan dapat sedikit memperbaiki citra PKS dan Partai Demokrat.

Selain itu, penulis ingin menyampaikan bahwa faktor kemenangan kandidat dalam sebuah pilkada tidaklah ditentukan oleh lingkungan eksternal melainkan dari personalitas pasangan calon sendiri (dalam hal ini adalah

Deddy Mizwar) yang dengan demikian memperkuat asumsi bahwa selebriti memanglah menjadi alat pengumpul suara.

Telah disebutkan bahwa Deddy Mizwar adalah selebritis berpencitraan baik, yang ditunjukan lewat karya-karyanya. Tidak hanya dalam peran, tetapi juga ketika Deddy bertindak sebagai produser maupun sutradara. Film-filmnya laris tapi tetap terjaga kualitas seninya.

“Selain itu, jika kita tengok karya-karya Dedy Mizwar mempunyai karakter tersendiri, mencerahkan, dan memberikan inspirasi bagi banyak orang. Seperti, para pencari surga, Naga Bonar jadi Dua, Kiamat Sudah Dekat dan masih banyak film inspiratif yang ditelurkan oleh Wakil Gubernur Jawa Barat terpilih ini” (Par. 8)

201

Jefri melihat bahwa faktor kemenangan Aher-Deddy sebenarnya lebih kepada personalitas Deddy Mizwar. Jefri bahkan menuliskan kesannya yang mendalam tentang sosok Deddy Mizwar, yang menurutnya telah menghasilkan karya-karya mencerahkan dan berkontribusi dalam memajukan kualitas sinetron dan film lokal.

“Film-film yang ditawarkan Bang haji ini kepada khalayak umum jauh berbeda dengan film yang sedang bertebaran saat ini. Kadang kala kita bosan dengan tema film yang lebih menonjolkan syahwat, hantu-hantuan, dan cinta-cintaan.” (Par. 9).

Tidak hanya itu, dalam dunia politik Deddy pun menurut penulis telah membentuk karakter yang khas. Gayanya yang pragmatis, cuek, dan ceplas ceplos justru dapat menjadi pelengkap bagi Ahmad Heryawan yang sangat tenang dan berhati-hati. Penulis yakin bahwa motivasi Deddy Mizwar mendampingi Aher adalah benar-benar ingin mengabdikan diri pada masyarakat Jawa Barat, dan bukan untuk memperkaya diri sendiri lewat jabatannya.

“Dari sisi uang tentu Deddy sudah berlimpah. Kata Eep, konsultan politik Deddy, jika digabungkan gaji Gubernur dan Wakil Gubernur penghasilan Deddy lebih besar.”

Paragraf inilah yang memperkuat asumsi peneliti tentang makna dari opini penulis.

 Palti Hutabarat (Hasil Hitung Cepat, Artis Gagal Memimpin Jabar – 25

Februari 2013).

Kemenangan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar ditanggapi lain

oleh Palti Hutabarat. Palti menyoroti kenyataan bahwa lagi-lagi selebritas

harus puas untuk sekedar menjadi „wakil‟. Posisi kedua ini menekankan

202

bahwa sebenarnya masyarakat Jawa Barat masih berhati-hati

memberikan daerahnya untuk dipimpin seorang selebritas.

“Lalu apa makna kemenangan Aher-Deddy bagi perang artis yang terjadi di Pilgub Jabar? Hasil ini menunjukkan bahwa seorang artis belum bisa dipercaya sebagai Gubernur. Hal ini berarti bahwa peran artis masih sekedar sebagai pendulang suara” (par. 3).

Posisi nomor dua ini menurut penulis tidak akan dapat berbuat

banyak untuk membuktikan kemampuannya nanti, karena harus berada

dibawah arahan Gubernur. Ukuran keberhasilan selebritas menjadi politisi

adalah apabila Dede Yusuf atau Rieke Diah Pitaloka yang menang.

2. Pembahasan a. Pencitraan Selebritas Politisi di Blog Kompasiana.

Analisis wacana kritis pada penelitian ini digunakan sebagai metode analisis teks yang tidak hanya bermaksud untuk menginterpretasikan opini

Kompasianer yang disampaikan melalui postingannya, tetapi juga dapat mengungkapkan hal-hal lebih mendalam misalnya tentang masalah sosial dan isu politik, dalam hal ini adalah selebritas dan usaha mereka untuk memegang jabatan publik.

Pada negara demokrasi, siapa saja memiliki hak yang sama untuk berpolitik praktis, termasuk selebritas. Tidak ada yang salah ketika seorang selebriti memutuskan untuk meninggalkan dunia selebritasnya dan berkomitmen melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan publik.

Akan tetapi, Indonesia berbeda dengan Amerika yang masyarakatnya lebih

203

terbuka menerima selebritas sebagai pejabat publik, walaupun track record- nya sebagai selebriti mungkin tidak terlalu baik.

Selebritas cenderung identik dengan; glamor, modal penampilan dan fisik menarik, serta kekurangan pengetahuan. Sedangkan politisi digeneralisir sebagai kalangan yang sulit dipercaya, suka berjanji tanpa pembuktian, membela kepentingan golongan saja, dan identik dengan KKN.

Apabila kader dari partai politik saja yang sudah dididik dan didoktrin sedemikian rupa bisa bermasalah, bagaimana dengan selebritas yang tiba- tiba menjadi perwakilan parpol tanpa harus merintis karir dari bawah? Akan tetapi, dalam hal mengumpulkan suara, peneliti melihat tiga faktor yang menguntungkan bagi selebriti yang terjun ke dunia politik dibandingkan calon yang berasal dari jalur politik murni.

Seperti halnya pemasaran merek dari suatu perusahaan, seorang selebriti memiliki keunggulan dari segi awareness (kesadaran publik bahwa sesuatu hal itu ada atau eksis). Tanpa harus berpanjang lebar bercerita mengenai siapa dirinya, seorang selebriti sudah lebih dulu dikenal oleh khalayak ramai. Eksistensi sang selebriti ini dapat menekan biaya promosi saat memperkenalkan ia sebagai politisi kepada khalayak.

Faktor kedua yang memberikan keunggulan pada selebriti adalah pada akumulasi modal pencitraan positif yang melekat pada dirinya akibat peran yang dimainkannya, sebelum selebriti tersebut memutuskan untuk beralih menjadi politisi. Artinya, jika politisi karier harus bersusah payah untuk menunjukkan kepada publik bahwa rekam jejaknya selama ini adalah

204

positif (tidak melakukan KKN, peduli pada rakyat kecil, setia pada sumpah jabatan, dll), maka selebriti dapat mengandalkan citra positifnya yang selama ini telah melekat (walaupun citranya terbentuk bukan dalam bidang politik) di dalam meyakinkan publik bahwa ia adalah figur yang baik, figur pembela kebenaran (hero), dan jujur. Perlu dicatat bahwa hal ini berlaku untuk selebriti yang biasa berperan sebagai tokoh protagonis, atau paling tidak tokoh yang nonkontroversial.

Contoh dari faktor diatas adalah beberapa Kompasianer yang masih menjadikan latar belakang selebritas sebagai faktor penting untuk menilai seorang selebriti layak atau tidak menjadi politisi. Apa yang pernah ditampakkan selebriti di televisi akan dijadikan bahan pertimbangan, contohnya saja: Deddy Mizwar dianggap layak menjadi pendamping Ahmad

Heryawan karena selalu tampil religius, dan bijaksana dalam hampir semua sinetron yang dibintanginya. Penilaian ini bisa dikatakan objektif sekaligus subjektif. Objektif karena berdasarkan apa yang ditangkap oleh indera penglihatan, dan menjadi subjektif karena kemudian diolah dengan emosi tanpa mempertimbangkan, bahwa mungkin saja Deddy Mizwar tidak sebijak apa yang kelihatan di televisi.

Faktor terakhir yang berkontribusi pada keunggulan profil selebriti dalam ajang politik adalah pada tipisnya batas antara fiksi dengan realitas

(hyperreality). Masyarakat cenderung percaya bahwa peran dan perilaku positif seorang selebriti dalam film akan otomatis terbawa ke tataran realitas.

205

Ini yang terjadi pada Rieke Diah Pitaloka. Karakter tokoh “Oneng” yang diperankannya, ternyata lebih populer dibandingkan karakter nyata

Rieke yang politisi, dan aktivis berprestasi. Jauh sesudah sinetron Bajaj

Bajuri tidak ditayangkan-pun, sebagian Kompasianer masih menyebutnya sebagai “Oneng” dan menganggapnya tidak layak memimpin sebuah provinsi besar karena “kebodohannya”.

Pada kenyataannya, menikmati dan memberikan penilaian terhadap akting si selebriti di dalam film memang lebih mudah dibandingkan harus membaca, mempelajari dan kemudian harus menilai rekam jejak dari calon yang berasal dari jalur politik murni. Untuk proses kognisi yang pertama terkesan lebih mudah, dan ini yang lebih sering digunakan orang dibandingkan proses yang kedua, walaupun yang kedua lebih objektif dan rasional. Hal ini dapat terlihat dari cara Kompasianer menilai Dede Yusuf yang telah cukup lama bertualang di dunia politik, dari menjadi anggota DPR-

RI hingga kemudian Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat (2008-2013).

Kesan “keartisan” Dede Yusuf (dengan fisik yang menarik) tetap tidak hilang dari benak Kompasianer.

Namun, fenomena ini juga bisa jadi ironis, karena selebritas dikatakan hanya menitik beratkan pada tampilan (look) dibandingkan penampilan

(performance). Apa perbedaannya? Politik tampilan hanya berfokus pada memoles tampilan luar saja (look), tanpa memperhatikan penampilan keseluruhan (performance), baik dari segi fisik, simbol politik yang digunakan, apalagi substansi program kerja, sehingga yang sering terjadi

206

kemudian adalah duplikasi dengan cara meniru gaya komunikasi politik politisi lain yang dianggap sukses dalam pilkada atau pemilu.

Inilah kesan yang tertangkap oleh Kompasianer ketika Rieke Diah

Pitaloka menggunakan baju kotak-kotak dan mengadopsi program-program kerja milik Joko Widodo. Kompasianer menganggap, Rieke hanya ingin mendompleng popularitas Jokowi yang tengah melejit sesudah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Gejala political look hadir dan berkembang bersama dengan budaya televisi dan digital. Pada masa dimana hampir setiap orang kini mampu memiliki media sendiri untuk menampilkan dan mem-branding- dirinya

(melalui media sosial), tampilan adalah syarat utama untuk mendapatkan perhatian sebanyak-banyaknya, dan hal ini –menurut peneliti- kemudian disadari oleh parpol, sehingga mau mengusung selebritas sebagai perwakilannya, walaupun harus mengesampingkan kapasitas dan kapabilitas selebriti yang bersangkutan.

Televisi nampaknya memegang peranan penting menanamkan citra

Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka, dan Dede Yusuf pada khalayak. Apa yang ditampilkan, dengan mudahnya dipahami oleh khalayak sebagai realitas, sehingga -sekali lagi- Kompasianer mencitrakan ketiga selebritas ini berdasarkan apa yang pernah mereka tampilkan di layar televisi. Cara pembentukan citra ini disebut sebagai person determined yang membuat setiap orang memiliki citra yang berbeda-beda tentang suatu objek yang sama, yang menggambarkan lemahnya hubungan antara individu dan objek

207

yang dicitrakan. Selain itu, pembentukan citra dengan cara ini sangat bergantung pada ciri-ciri obyektif dari objek, dan keadaan subyektif individu;

a) melakukan tingkatan kontak dengan objek tersebut (melihat figur

selebritas politisi melalui media televisi),

b) Orang-orang yang ada dihadapan objek itu akan dengan selektif

merasakan aspek-aspek yang berbeda dari objek tersebut

(memberikan penilaian terhadap tampilan dan karakter selebritas

politisi lewat apa yang terlihat di media televisi),

c) dan orang-orang memiliki cara tersendiri pemrosesan data inderawi,

menimbulkan distorsi selektif (menghubungkan kenyataan yang

tertangkap mata, pengetahuan umum tentang selebritas politisi yang

dilihat, dan melibatkan interpretasi subjektif).

Cara menggali dua dimensi, yaitu; objektif (apa yang dialami subjek), dan subjektif (bagaimana subjek tersebut memaknai pengalaman tersebut melalui opini, penilaian, harapan, yang berdasarkan kondisi afeksi), merupakan ciri khas dari penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi hermeneutika.

Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa citra Kompasianer tentang Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka mengandung unsur afektif atau emosional (citra subyektif), dan kognitif atau rasional (citra obyektif). Citra partai atau kandidat politik terkonstruksi dalam pikiran masyarakat melalui penilaian mereka tentang cara kerja sebuah partai atau seorang kandidat (pencitraan secara obyektif), serta adanya ikatan

208

emosional antara masyarakat dan partai/kandidat akibat kuatnya paparan informasi tentang partai/kandidat yang diterima masyarakat melalui media

(pencitraan secara subjektif).

Berdasarkan cara pembentukan citra secara subyektif dan obyektif tersebut, peneliti mengambil kesimpulan tentang faktor penilaian kedua citra tersebut sebagai berikut:

Tabel 18: Cara Kompasianer Mencitrakan Selebritas Politisi Penilaian Kompasianer terhadap nilai Subjektif popularitas ketiganya. Pendapat tentang perilaku, Objektif pengalaman & prestasi ketiganya dalam domain politik/non politik

Di bawah ini tabel yang mengelompokkan opini Kompasianer yang teridentifikasi bermuatan citra subjektif dan objektif terhadap Deddy Mizwar,

Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka;

Tabel 19: Pengelompokkan Teks Citra Objektif Kandidat Teks yang mengandung makna pencitraan secara objektif. 1. “Deddy Mizwar (lahir di Jakarta, 5 Maret 1955 umur 57 tahun) adalah seorang aktor senior dan sutradara Indonesia. Ia adalah ketua badan pertimbangan perfilman Indonesia periode 2006- 2009). 2. “Pendekatan alot ini dilakukan agar partainya mendapatkan tokoh dan pesohor Deddy Mizwar sebagai calon inkumben” 3. “Paling tidak suami Gisela wanita Sunda ini punya nama elok di dunia bintang” 4. “Artis kawakan dengan segudang prestasi ini konsisten Deddy Mizwar menghadirkan karakter-karakter bangsa ini dalam setiap (8 teks) karyanya” 5. “... Meskipun ada yang Cuma numpang lewat saja dalam satu sesi dan masih ada satu lagi Dedi Miswar yang calon Wagub dari pasangan incumbent Aher” 6. “Selain itu, jika kita tengok karya-karya Deddy Mizwar mempunyai karakter tersendiri, mencerahkan dan memberikan inspirasi bagi banyak orang” 7. “Tentu pembaca sudah tidak asing lagi sinetron yang diperanka, disutradarai, sekaligus di produksi oleh perusahaan milik Deddy Mizwar, PT Demi Gisela Citra Sinema.” 8. “Sama-sama artis beken, meski dalam generasi relatif berbeda,

209

Dedy lebih senior, Dede lebih yunior dengan „fans politik‟ yang mungkin sebagian besarnya sama” 1. “Dede Yusuf sebagai petahana dengan kapasitas dan pengalaman sebagai Wagub, popularitas sebagai artis nampaknya akan menjadi pesaing tangguh di Jawa Barat” 2. “Dede Macan Yusuf punya stigma kurang elok dengan melompat dari PAN ke Demokrat, jauh-jauh hari.” 3. “... Dede Yusuf adalah seorang aktor Indonesia yang terkenal akan film-film laganya” 4. “Begitu juga Dede Yusuf, sebagai artis tidaklah terlalu populer, namun sukses sebagai politisi” 5. “Perpaduan figur DY yang muda, bersih, dan menarik serta berpengalaman sebagai Wagub dengan figur Lex Laksamana yang matang di dunia birokrasi seakan menjadi pilihan ideal untuk memimpin Jawa Barat 5 tahun kedepan” 6. “Selama menjabat 5 tahun ini, Dede Yusuf juga terus rajin Dede Yusuf berkunjung ke warga dan sangat dekat dengan masyarakat (9 teks) karena supel, luwes, dan lovable” 7. “Pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana merupakan pasangan yang diusung utama oleh partai Demokrat. Apalagi pasca penetapan Ketum partai Demokrat AU sebagai tersangka oleh KPK dan berbagai tsunami politik yang melanda partai berlambang mercy tersebut, ditakutkan akan berpengaruh negatif terhadap elektabilitas pasangan ini” 8. “Terakhir Dede mengapresiasi jika ada pihak menggunakan hak konstitusi mengadukan proses penyelenggaraan dan hasil penghitungan suara Pilgub ke Mahkamah Konstitusi (MK)” 9. “Bagi saya sendiri yang tidak memiliki hak pilih dalam Pilkada Jabar, melihat kedua calon ini (Aher dan Dede Yusuf) TIDAK LAYAK dipilih oleh masyarakat Jabar, karena sebelumnya keduanya sudah berpasangan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat” 1. “Siapa yang menyangka Rieke (Oneng) Diah Pitaloka, yang tidak terlalu populer sebagai artis, namun memiliki basic pendidikan yang bagus, begitu terjun kedunia politik dia malah lebih populer dibandingkan saat dia menjadi artis” 2. “Rieke Diah Pitaloka juga membangun citra yang sungguh lucu sekali dan tidak kreatif. Dan ini bisa dibilang terkesan latah sekali mengikuti gaya Jokowi” 3. Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari atau lebih dikenal Oneng adalah seorang penulis buku, pembawa acara, pemain di film Bajaj Bajuri, dan anggota DPR periode 2009-2014 dari PDIP” Rieke Diah Pitaloka 4. Rieke aktif dalam kegiatan politik dan membantu gerakan (11 Teks) buruh. Rieke juga dikenal membela kaum buruh serta TKI dan TKW yang selalu mendapat intimidasi” 5. “Ia ingin menepis stigma oon dalam perannya di Bajaj Bajuri. Ia berniat bersih-bersih dengan Teten Masduki yang memang aktivis anti-korupsi kelahiran Garut” 6. “Bukan motif kotak-kotak saja yang digunakan oleh Rieke dalam berkampanye, tapi hampir seluruh materi menyerupai materi Jokowi saat berkampanye” 7. “Persepsi politik Rieke-Teten meskipun menggunakan simbol- simbol dan penanda sebagaimana Jokowi tapi tak mampu menarik masyarakat Jabar untuk menyukainya sebagaimana

210

menyukai sosok Jokowi” 8. “Yang menarik, sikap ngotot timses pasangan no.5 yang tidak mempercayai hasil quick count dan menyakini pilkada Jabar akan berlangsung dua putaran akhirnya terbantah dari hasil pleno KPU Jabar” 9. “Satu hal yang unik juga, komentar-komentar di artikel-artikel pemberitaan Kompas terkait kecurangan ini banyak menganggap pasangan Rieke-Teten adalah pasangan yang belum dewasa dalam berpolitik, dan tidak legowo terhadap hasil pilgub ini” 10. “Efek Jokowi yang kurang berhasil bagi pasangan Rieke-Teten yang mengadopsi bulat-bulat dirasa masyarakat Jawa Barat hanya sebatas kampanye karena bagaimanapun yang maju di Pilkada Jabar bukan sosok Jokowi..” 11. “Rieke sebenarnya layak untuk bisa memposisikan dirinya seperti Dede Yusuf. Tapi sayangnya, Rieke memang terlihat tak menonjol dalam pengungkapan program dan terlihat tidak pintar ketika berkomunikasi politik”

Tabel 20: Pengelompokkan Teks Citra Subjektif Kandidat Teks yang mengandung makna pencitraan secara subjektif. 1. “Sementara Deddy Mizwar nampaknya dipilih karena populer baik sebagai artis sinetron, bintang dengan peran baik, dan juga sebagai bintang iklan...” 2. “Kasihan Deddy Mizwar dipaka sebagai ban serep Ahmad Heryawan..” Deddy Mizwar 3. “Kehadiran Deddy hanya sebagai penggerak faktor (5 Teks) popularitasnya yang jeblok selama ini” 4. “... Citra Deddy Mizwar ang arif waktu berperan sebagai Bang Jack dalam serial sinetron para pencari Tuhan” 5. “Apa makna kemenangan Aher-Deddy bagi perang artis yang terjadi di Pilgub Jabar? Hasil ini menunjukan bahwa seorang artis belum bisa dipercaya sebagai Gubernur” 1. “Sebenarnya kemenangan Aher ini tidak lepas dari strategi jitu yang dilakukan oleh PKS dengan berkoalisi bersama PAN serta Dede Yusuf mengusung pasangan Aher dan Dede Yusuf sebagai calon (1 Teks) GUbernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2008-2013. PKS sadar bahwa tanpa pendamping yang lebih dikenal publik niscaya kemenangan akan bisa dicapai” 1. “Publik tanah air mengenali calon dari PDI Perjuangan tersebut sebagai artis sinetron dan bintang iklan.” Rieke Diah Pitaloka 2. “Orang masih terinspirasi bahwa tokoh “Oneng” adalah tokoh (2 Teks) yang oon dan tak mungkin akan mengatasi masalah-masalah yang ada di Jabar”

211

Citra Objektif Kompasianer

29% Deddy Mizwar 39% Dede Yusuf Rieke Diah Pitaloka

32%

Gambar 30: Persentase Jumlah Teks Pencitraan Objektif Selebritas Politisi

Citra Subjektif Kompasianer

25% Deddy Mizwar Dede Yusuf

12% 63% Rieke Diah Pitaloka

Gambar 31: Persentase Jumlah Teks Pencitraan Subjektif Selebritas Politisi

212

b. Indikator Pengukuran Citra Selebritas Politisi dalam Pemilihan Gubernur

dan Wakil Gubernur Jawa Barat.

Konsep pencitraan politik oleh Nimmo (2006; 7) disebut sebagai “Terjadinya proses pemahaman, penilaian, dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan, atau pemimpin politik.” Dari konsep tersebut, peneliti merumuskan dua indikator yang digunakan Kompasianer untuk mengukur, menilai, dan mengidentifikasi citra selebritas politisi (Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan

Rieke Diah Pitaloka) yaitu; Kesan dan Kepercayaan. Berikut penguraian tentang dua indikator pengukuran citra tersebut:

1) Kesan

Kesan adalah apa yang terasa oleh Kompasianer sesudah melihat, mendengar, dan mengetahui tentang selebritas politisi. Dengan kata lain, kesan berhubungan dengan kognisi Kompasianer tentang profil si selebriti yang dilihat melalui tayangan-tayangan media televisi. Kesan ini dapat dinilai dari teks yang menuliskan latar belakang selebritas Deddy Mizwar, Dede

Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka. Bagaimana kesan ini terbentuk?

Sebelum menjadi politisi, para selebritas hidup di dunia ‟impian‟ publik.

Publikasi media tentang kehidupan pribadi dan profesi membantu mereka mendapatkan popularitas dan citra serba ‟baik‟ atau ‟hebat‟. Jarang selebriti yang selalu berperan antagonis atau suka berkontroversi yang dilibatkan menjadi politisi. Terbaca dari postingan, bahwa kesan Kompasianer terhadap

Deddy Mizwar lebih condong kepada citra yang tercipta dari peran-peran

(baik dalam film maupun sinetron yang pernah dimainkannya) Citra ini

213

tertanam di benak hampir semua orang yang pernah menyaksikan film atau sinetron karyanya.

Berbeda dengan dua selebritas lain yang menjadi saingan Deddy dalam pemilu Jawa Barat kali ini, yaitu: Dede Yusuf dan Rieke Diah Pitaloka.

Keduanya bukan lagi merupakan pemain baru dalam dunia politik, walaupun kesan “keartisan” mereka masih melekat kuat. Dede yang pernah menjabat sebagai anggota legislatif DPR-RI dan juga mantan Wakil Gubernur Jawa

Barat, tetap dikenang Kompasianer sebagai aktor dengan tampilan fisik menarik yang populer di periode 90-an melalui film-film laganya. Demikian pula dengan Rieke Diah Pitaloka yang kini lebih fokus dengan kegiatan politiknya, dan hanya sekali-sekali tampil sebagai selebritas di media.

Kompasianer belum melupakan fenomenalnya tokoh “Oneng” yang pernah diperankan Rieke.

Media (khususnya televisi) memang masih menjadi alat yang ampuh untuk membentuk pencitraan dan opini publik. Apa yang ditampilkan oleh media tentang sosok seorang selebriti akan menjadi panduan publik menilai, karena memang hanya media-lah yang menjadi tempat publik untuk bertemu selebritas walaupun tidak berinteraksi secara langsung.

Pada konteks itu, para selebritis diuntungkan oleh budaya konsumen, di mana gaya hidup mendapatkan kedudukan istimewa, maka persepsi dan kesan masyarakat mempengaruhi pilihan politik. Sebagian masyarakat memang rasional dan mengagumi kharisma tokoh, namun sebagian terbesar sangat dipengaruhi kesan yang ditampilkan media. Kesan-kesan itulah yang

214

memainkan peranan utama pada perilaku memilih dalam pemilu atau pilkada.

Kesan bisa dikelola (berikutnya dikenal dengan istilah impression management) bagi orang yang ingin publik menilai dirinya seperti apa yang ia inginkan (citra dibentuk). Namun, hasilnya yaitu citra terbentuk tetap akan kembali pada publik. Itulah mengapa terjadi pro kontra dalam menilai kelayakan selebritas masuk ke ranah politik. Walaupun indikator ini sangat subjektif, akan tetapi kesan membuat orang memiliki pengetahuan awal untuk memahami dan menilai peristiwa atau objek politik.

2) Kepercayaan

Kepercayaan adalah alat ukur pencitraan kedua yang menjelaskan tentang situasi Kompasianer menyatakan anggapan, keyakinan, dan harapannya tentang selebritas politisi. Pada penelitian ini kepercayaan ditampilkan oleh

Kompasianer setelah memiliki kesan tentang kualitas yang ada dalam diri selebritas politisi, misalnya; konsisten, kompeten, rendah hati, dsb.

Kepercayaan Kompasianer terhadap Deddy Mizwar, Dede Yusuf dan

Rieke Diah Pitaloka terbentuk oleh latar belakang historis dari apa yang pernah ketiganya lakukan di masa lalu, baik dalam domain politik, maupun non politik (dunia seni dan hiburan);

 “Selain itu, jika kita tengok karya-karya Dedy Mizwar mempunyai karakter tersendiri, mencerahkan dan memberikan inspirasi bagi banyak orang” (Jefri Hidayat – Hampir Batal Dampingi Aher, Akhirnya Naga Bonar Menjadi Jendral – 25 Februari 2013).  “Dalam konteks Jawa Barat DY –Dede Yusuf- justru dipersepsikan sosok pemimpin yang minus dari kabar dan berita miring seputar KKN selama dirinya menjadi Wagubnya Ahmad Heryawan”

215

(Usman Kusmana – Membaca Politik Persepsi di Pilgub Jabar, Dede Yusuf Menang 37%? – 17 Februari 2013).  “Siapa yang menyangka Rieke (Oneng) Diah Pitaloka, yang tidak terlalu populer sebagai artis, namun memiliki basic pendidikan yang bagus, begitu terjun kedunia politik dia malah lebih populer jika dibandingkan saat dia menjadi artis, itu semua dikarenakan dia memang mumpuni didalam bidang politik, intelegesianya juga sangat baik” (Ajinatha – Menjadi Politisi Bukan Asal Artis – 29 Januari 2013).

Tiga postingan di atas memperlihakan bagaimana paparan media televisi yang sering menampilkan sosok Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka, dan

Dede Yusuf sebagai selebritas yang konsisten akan bidangnya masing- masing, dapat membentuk anggapan dan keyakinan Kompasianer bahwa seperti itulah realitas ketiga selebritas ini (hyperreality).

Berikut ini tabel yang memperlihatkan kesan dan kepercayaan

Kompasianer terhadap Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka, berdasarkan teks yang diambil sebagai data analisis oleh peneliti:

Tabel 21: Alat Ukur Citra Alat ukur citra Kompasianer Kandidat Kesan Kepercayaan Konsisten dan Deddy Mizwar Santun, religius, bijak nasionalis Penampilan menarik Dede Yusuf Bersih dan Jujur dan simpatik Konsisten dan Rieke Diah Pitaloka Aktivis yang vokal kompeten sebagai aktivis dan politisi

216

Deddy Mizwar terkenal sebagai aktor senior yang pernah memainkan berbagai peran baik di sinetron maupun film. Di kemudian hari, ia juga merambah karir belakang layar dengan menjadi sutradara dan memproduseri berbagai karya televisi dan layar lebar, serta memiliki rumah produksi sendiri. Pada setiap peran yang dimainkannya, Deddy belum pernah terlihat antagonis. Karakternya tidak pernah jauh dari orang religius, bijak, santun, berbudaya, dan cinta tanah airnya. Kesan khalayak akan dirinya pun menjadi demikian. Konsistensinya dalam mengambil peran ataupun memproduksi karya seni yang kental dengan budaya Indonesia, membuat khalayak percaya bahwa ia adalah orang yang konsisten dan nasionalisme tinggi.

Lain lagi dengan Dede Yusuf. Ia lebih dikenal akan penampilan fisiknya yang menarik dan simpatik, dibandingkan peran-peran yang pernah ia mainkan. Tidak mengherankan apabila ketika turun langsung berkampanye, ia disambut meriah oleh kaum perempuan di Jawa Barat.

Kepercayaan Kompasianer terhadap Dede lebih dikarenakan selama masa jabatannya sebagai Wakil Gubernur mendampingi Ahmad Heryawan (2008-

2013), Dede jarang disorot oleh media, layaknya selebritas politisi lain. Ia pun hampir tidak pernah membuat kontroversi politik kecuali ketika ia berpindah partai dari PAN ke Partai Demokrat. Karena itulah, Dede dipercaya Kompasianer sebagai sosok yang bersih dan jujur.

Bagaimana dengan Rieke Diah Pitaloka? Sejak awal terjun ke dunia politik, Rieke berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak sama seperti

217

selebritas politisi lainnya yang minus gebrakan. Rieke aktif menyuarakan pendapatnya yang membela kaum buruh dan tenaga kerja, baik dalam kapasitasnya sebagai aktivis maupun sebagai anggota legislatif DPR-RI

Komisi IX. Ia merupakan salah satu anggota Panitia Khusus Rancangan

Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Konsistensi

Rieke dalam membela kaum buruh, dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, membuat Kompasianer mengapresiasi dan mempercayainya sebagai sosok yang berkompeten sebagai aktivis maupun politisi.

218

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Analisis wacana kritis merupakan metode menganalisis isi pesan media dengan tujuan untuk menemukan makna secara mendalam dari apa yang ingin disampaikan melalui pesan tersebut. Metode analisis wacana kritis memandang bahasa sebagai faktor yang penting untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat. Setidaknya ada lima karakteristik penting yang diungkapkan dalam analisis wacana kritis: tindakan (dimana wacana dipahami sebagai bentuk tindakan atau interaksi), konteks (mempertimbangkan latar, situasi, peristiwa, dan kondisi saat wacana tersebut diproduksi), historis (penyebab wacana tersebut diciptakan), kekuasaan (bahwa wacana merupakan bentukan kekuasaan sebuah kelompok), dan ideologi (wacana diproduksi sebagai pencerminan dari ideologi tertentu).

Salah satu model pendekatan yang dianggap paling sesuai untuk metode analisis wacana kritis adalah model Teun Van Dijk. Van Dijk membagi teks kedalam tiga struktur, yaitu; struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ketiganya kemudian dielaborasi lagi menjadi enam elemen; tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris. Dengan pembagian ini, maka peneliti menjadi lebih mudah untuk menemukan makna lewat identifikasi teks, paragraf, kalimat, hingga kata yang digunakan.

219

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan berikut:

1. Selebritas politisi menjadi faktor dominan dalam euforia pemilu

Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2013.

Pilkada Jawa Barat tahun ini terasa lebih meriah dibandingkan tahun-

tahun sebelumnya. Kompasianer menganggap bahwa faktor

penyebab situasi ini adalah karena terdapat tiga selebritas diantara

lima pasang calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Kandidat lain

hanyalah menjadi pelengkap dan penyemarak saja.

2. Citra sebagai selebritas lebih melekat daripada sebagai politisi.

Diantara tiga nama selebritas yang menjadi peserta, yaitu: Dede

Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, dan Deddy Mizwar, hanya nama terakhir

ini yang belum berpengalaman dalam dunia politik. Dede Yusuf sudah

pernah menjadi anggota legislatif DPR-RI, dan adalah Wakil Gubernur

Jawa Barat (masa jabatan 2008-2013). Sedangkan Rieke Diah

Pitaloka, selain juga menjabat sebagai anggota legislatif DPR-RI, aktif

sebagai aktivis dibidang ketenaga kerjaan. Namun demikian,

Kompasianer masih menyebut keduanya sebagai selebritas.

3. Selebritas masih sekedar dimanfaatkan sebagai alat pengumpul

suara (vote getters) oleh partai politik.

Kompasianer menganggap bahwa Pencalonan Dede Yusuf, dengan

figurnya yang menarik, dan track record bersih selama menjadi Wakil

Gubernur, oleh Partai Demokrat adalah sebagai langkah untuk

220

memperbaiki pencitraan PD yang tengah memburuk karena banyak

kadernya yang terlibat dalam skandal korupsi. Demikian pula dengan

Deddy Mizwar, yang didekati oleh PKS untuk mendampingi Aher.

Deddy Mizwar diharapkan dapat sedikit mengalihkan perhatian

masyarakat Jawa Barat dari kasus yang menimpa presiden PKS.

4. Kompasianer masih melihat bahwa selebritas belum layak untuk

diberikan kepercayaan sebagai pemimpin.

Akan tetapi, Kompasianer pada dasarnya tidak keberatan apabila

selebritas ingin masuk ke dunia politik, selama selebritas memiliki

kapasitas dan kapabilitas untuk memegang jabatan publik, serta tidak

hanya mengandalkan penampilan dan popularitas saja.

5. Kompasianer masih menilai kelayakan selebritas untuk tampil

sebagai politisi berdasarkan citra selebritas tersebut yang selama

ini ditampilkan oleh media.

Contohnya; karakter tokoh Oneng yang “oon” masih terus melekat

pada Rieke Diah Pitaloka, sehingga dianggap tidak layak untuk

menjadi pemimpin Jawa Barat. Sedangkan Deddy Mizwar, yang

selama ini selalu tampil bijak, religius, dan nasionalis dalam hampir

semua karakter film/sinetron-nya, ditanggapi positif oleh Kompasianer

untuk mendampingi Ahmad Heryawan.

Peneliti menemukan bahwa cara Kompasianer mencitrakan Deddy

Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka adalah dengan menggunakan citra subyektif dan citra obyektif. Citra subyektif lebih condong pada nilai

221

popularitas Deddy Mizwar, Dede Yusuf, dan Rieke Diah Pitaloka. Sedangkan citra obyektif adalah pendapat Kompasianer mengenai perilaku, pengalaman, dan prestasi ketiganya baik dalam domain politik maupun non politik.

Peneliti mengidentifikasi bahwa Kompasianer menggunakan dua alat ukur pencitraan yaitu; kesan dan kepercayaan. Kesan adalah apa yang terasa oleh Kompasianer sesudah melihat, mendengar, dan mengetahui tentang selebritas politisi, sedangkan kepercayaan adalah anggapan, dan keyakinan Kompasianer tentang kualitas yang dimiliki oleh selebritas politisi. pengukuran

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti mengemukakan saran yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para tokoh politik

(khususnya yang berasal dari kalangan selebritas), partai politik, dan tim kampanye;

1. Media televisi masih menjadi sarana yang ampuh untuk melakukan

pencitraan, dan membentuk opini publik.

2. Bagi selebritas yang telah berkecimpung menjadi politisi, dan memiliki

jabatan publik, sebaiknya lebih aktif lagi bekerja agar dapat

menghasilkan sesuatu untuk dibuktikan kepada masyarakat, bahwa

selebriti juga layak untuk menjadi politisi.

3. Indonesia sebagai negara demokrasi mendukung penuh asas

kesetaraan, termasuk kesetaraan dalam hak politik. Khalayak patut

222

menyadari bahwa dalam demokrasi tidak ada sekat-sekat yang

membedakan siapa yang bisa menjadi politisi dan siapa yang tidak.

Semua orang (termasuk selebriti), selama memenuhi persyaratan yang

ditentukan oleh negara, bebas untuk berpolitik, dan mencalonkan diri

dalam pemilihan umum.

4. Media baru yang kini tengah berkembang dengan pesatnya juga

membuka peluang bagi politisi yang ingin menyebarkan pesan politiknya

secara meluas dengan biaya yang lebih terjangkau. Untuk itu para

pelaku didunia politik sebaiknya mulai mengoptimalisasikan penggunaan

media baru (khususnya media sosial).

5. Pentingnya optimalisasi penggunaan media baru ini dikarenakan

banyaknya calon pemilih potensial yang menggunakan media baru

sebagai sarana mendapatkan informasi dan juga berkomunikasi.

Sehingga kampanye melalui media baru bisa menjadi alternatif cara

menjangkau pemilih yang tidak tersentuh oleh media lama.

6. Kompasiana bisa menjadi salah satu media alternatif politisi untuk

melakukan pendekatan kepada khalayak. Keanggotaan Kompasiana

mencapai belasan ribu Kompasiana, dengan latar belakang pendidikan

tinggi. Blog ini dikunjungi 1,7 juta user per bulannya. Sehingga sebuah

pesan dapat disampaikan kepada banyak orang dalam waktu yang

singkat.

223

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2008. “Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi” Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bungin, Burhan. 2008. “Konstruksi Sosial Media Massa” Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

------. 2009. “Sosiologi Komunikasi” Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Cangara, Hafied. 2011. “Komunikasi Politik; Teori, Konsep, dan Strategi” Jakarta. Rajawali Pers.

Cashmore, Ellis. 2006. “Celebrity Culture” New York. Routledge.

Chilote. H. Ronald. 2010. “Teori Perbandingan Politik; Penelusuran Paradigma” Jakarta. Rajawali Pers.

Dainty, Andrew, David Moore & Michael Muray. 2006. “Communication in Construction; Theory and Practice” New York. Taylor & Francis.

Danial, Akhmad. 2009. “Iklan Politik TV, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru”. Yogyakarta. LKIS.

Eriyanto. 2010. “Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media” Yogyakarta. LKIS.

Firmanzah. 2007. “Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas” Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

------. 2008. “Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi.” Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Gans, J. Herbert. 2003. “Democracy and The News” New York. Oxford University.

Griffin, Em. 2005. “Communication: A First Look at Communication Theory” New York. McGraw-Hill.

Hadiwinata, Bob. S. 2006. “Between Consolidation and Crisis: Elections and Democracy in Five Nations in South East Asia.” Berlin. LitVerlag.

224

Hamdan, Iwan K. 2011. “Demokrasi Seolah-Olah: Kegetiran Terhadap Praktek Demokrasi” Banten. CIRED-Net & ITB Piksi Input Serang.

Haryatmoko. 2003. “Etika Politik dan Kekuasaan” Jakarta. Kompas.

Hassan, Roberts. 2004. “Media, Politics, and The Network Society” Glasgow. Bell Bain. Ltd.

Ihde, Don. 1971. “Hermeneutic Phenomenology; The Philosopher of Paul Ricoeur” USA. Northwestern University Press.

J. A, Denny. 2006. “Napak Tilas Reformasi Politik Indonesia; Talkshow Denny J.A dalam Dialog Aktual Radio Delta FM.” Yogyakarta. LKIS

Jefkins, Frank. 2002. “Public Relations” Edisi kelima, disempurnakan oleh Daniel Yadin. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Kotler, Philip. 2003. “Marketing Insights; From A to Z” New Jersey. John Wiley & Sons, Inc.

Holmes, David. 2005. “Communication Theory; Media, Technology, Society” London. Sage Publications.

Lidsky, Lyrissa B. & Daniel C. Friedel. 2012. “Social Media; Usage and Impact” Edited by Hana S. Noor Al-Deen and John Allen Hendricks. Maryland. Lexington Books.

Lukmantoro, Triyono. 2012. “Pengaruh Komunikasi Dalam Demokratisasi” Artikel Online.

Marshall, David P. 1997. “Celebrity and Power. Fame in Contemporary Culture” Minneapolis. University of Minnesota Press.

Mulyana, Deddy. 2002. “Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya” Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Newson, Alex, Deryck Houghton, Justin Patten. 2009. “Blogging and Other Social Media. Exploiting the Technology and Protecting the Enterprise” Cornwall. MPG Books.

Nimmo, Dan. 1978. “Political Communication and Public Opinion in America” California. Goodyear Publishing Company.

------2006. “Komunikasi Politik; Khalayak dan Efek”. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

225

Nugraha, Pepih. 2012. “Citizen Journalism; Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman” Jakarta. Kompas.

Oetomo, Dede. 2011. “Metode Penelitian Sosial; Berbagai Alternatif Pendekatan” Disunting oleh Bagong Suyanto & Sutinah. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

------. 2007. “Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer.” Disunting oleh Burhan Bungin. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.

Parwito. 2007. “Penelitian Komunikasi Kualitatif”. Yogyakarta. LKIS.

Rantanaen, Terhi. 2007. “Media on The Move” disunting oleh Daya Kishan Tussu. New York. Routledge.

Reddick, Randy & Elliot King. 1996. “Internet Untuk Wartawan, Internet Untuk Semua Orang” Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Ritzer, George. 2011. “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda” Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Ritzer, George & Douglass J. Goodman. 2011. “Teori Sosiologi Modern” Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Riswandi. 2009. “Komunikasi Politik” Yogyakarta. Graha Ilmu.

Rolnicki, T.E., Tate C.D., and Taylor S.A. 2008. “Pengantar Dasar Jurnalisme (Scholastic Journalism)” Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Rush, Michael & Philip Althoff. 2008. “Pengantar Sosiologi Politik” Jakarta. Rajawali Pers.

Seib, Phillip. 2012. “Real Time Diplomacy; Politics and Power in The Social Media Era” New York. PalGrave Macmillan.

Severin, Werner J. & James W. Tankard. 2001. “Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan dalam Media Massa” Jakarta. Kencana Prenada Media.

Street, John. 2003. “Media and the Restyling of Politics” Edited by John Corner and Dick Pels. London. Sage Publications.

Thoha, Miftah. 2011. “Birokrasi dan Politik di Indonesia” Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.

226

Varma, SP. 2011. “Teori Politik Modern” Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Wasesa, Silih Agung. 2011. “Political Branding and Public Relations” Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wodak, Ruth and Veronika Koller. 2008. “Handbook of Communication in The Public Sphere” Berlin. Mooton de Gruyter.

Zoonen, Liesbet Van. 2005. “Entertaining the Citizen; When Politics and Popular Culture Coverage.” Oxford. Rowmand Littlefield Publishers, Inc.

227

REFERENSI ILMIAH

Arsyad.M. Rahmat. 2010. “Kebebasan Berpendapat pada Media Jejaring Sosial; Analisis Wacana Facebook, dari Jejaring Pertemanan Menuju Jejaring Perlawanan.” Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana FISIP Universitas Hasanuddin.

Fitriyani, Amalia. 2011. “Analisis Wacana Kritis Pencitraan Sebagai Politikus Dalam Buku Pak Beye Dan Politiknya Terbitan Pt. Kompas Media Nusantara” Skripsi diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Kuen, M. Mitha. 2010. “Implementasi Citizen Journalism Dalam Percepatan Penyebaran Informasi Melalui Media Panyingkul.com dan Wikimu.com” Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana FISIP Universitas Hasanuddin.

Kurnia, Novi. 2005. “Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Media Baru; Implikasi Terhadap Teori Komunikasi” Jurnal Ilmiah. Dirjen Dikti.

Marlina, Erny. 2010. “Pemanfaatan Teknologi Komunikasi dan Informasi (Online) Sebagai Sarana Pembelajaran di STMIK Dipanegara, Makassar” Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana FISIP Universitas Hasanuddin.

Poentarie, Emmy. 2011. “Konstruksi Citra Melalui Media Online; Study Pada Weblogs Ahmad Hanafi Rais Kandidat Walikota Yogyakarta 2011- 2016). Jurnal diterbitkan. Yogyakarta. BPPKI

Rubyanti, Rika. 2009. “Pengaruh Popularitas Terhadap Pilihan Pemilih Pemula; Fenomena Masuknya Artis Dalam Dunia Politik” Skripsi diterbitkan. Medan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumetera Utara.

Street, John. 2004. “Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation” Jurnal Ilmiah. Political Studies Association.

Sulfikar, Ahmad. 2012. “Politik Pencitraan SBY; Analisis Framing Blog Kompasiana Wisnu Nugroho tentang Komunikasi Politik Presiden SBY” Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana FISIP Universitas Hasanuddin.

228

REFERENSI ONLINE:

Darrel West; “Celebrity Politics, Political Celebrity” (www.britannica.com – 27 Agustus 2007)

Michael Ray; “From Box Office to Ballot Box: 10 Celebrity Politicians” (www.britannica.com – 07 April 2011).

Tom Mas‟udi; “Marketing Politik, Citra, dan Media Baru” (www.mediasmscenter.com)

Data tulisan kompasianer (www.kompasiana.com)

Data traffic Kompasiana (http://www.kompasiana.com/about) http://daerah.sindonews.com/read/2012/11/09/21/686851/pengamat- peluang-rieke-75-persen arsip berita 09 November 2012 (Diakses pada tanggal 15 Januari 2013). http://m.merdeka.com/politik/pengamat-cuma-20-warga-yang-ingin-jabar- dipimpin-artis.html arsip 22 Oktober 2012 (Diakses pada tanggal 22 Januari 2013). http://life.viva.co.id/news/read/370264-fenomena-artis-di-panggung-politik-- oneng-mau-jadi-gubernur arsip 27 November 2012 (Diakses pada tanggal 22 Januari 2013). www.kompas.com, arsip 25 September 2012 (Diakses pada tanggal 25 Januari 2013) http://news.detik.com/read/2012/11/09/123653/2087098/10/perang-artis-di- pilgub-jabar-dede-yusuf-rieke-dan-deddy-mizwar arsip 09 November 2012 (Diakses pada tanggal 17 Maret 2013). www.klikdedeyusuf.com www.lensaindonesia.com www.aherdemiz4jabar.wordpress.com www.riekediahpitaloka.com www.liputan6.com www.pemilusatu.com www.alexa.com www.padekan.wordpress.com www.fokusjabar.com www.kompas.com www.detik.com www.politicawave.com www.mapofpeople.com

229