Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran
MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh Rizky Subagia NIM: 1112032100053
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 LEMBAR PERSETUJUAN
MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYA RAKAT DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh Rizky Subagia NIM : 1112032100053
Di bawah Bimbingan
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si NIP : 19651129 199403 1 002
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2019
i
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Rizky Subagia NIM : 1112032100053 Fakultas : Ushuluddin Jurusan/ Prodi : Studi Agama-Agama Telp/HP : 085730449167 Judul Skripsi : Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan Skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Jakarta, 26 Juli 2019
RIZKY SUBAGIA
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Skripsi ini berjudul MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Prodi Studi Agama-Agama.
Ciputat, 31 Juli 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA Aktobi Gozali, MA. NIP: 19751019 200312 1 003 NIP: 19730520 200501 1 003
Anggota, Penguji I, Penguji II,
Dra. Halimah SM, MA. Dra. Marjuqoh, MA. NIP: 19590413 199603 2 001 NIP: 19680901 199403 2 002
Pembimbing,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si NIP : 19651129 199403 1 002
iii
ABSTRAK
“Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran” Rizky Subagia
Skripsi ini akan mendeskripsikan tentang makna tradisi kupatan bagi masyarakat Desa Paciran, Kecamatan Paciran. Kupatan adalah tradisi keagamaan yang berhubungan dengan tradisi Islam. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk warisan budaya leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Paciran Kabupaten Lamongan. Selain itu tradsi kupatan merupakan kegiatan sosial yang melibatkan seluruh masyarakat dalam usaha untuk memperoleh keselamatan dan ketentraman. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui bagaimana makna yang terkandung dalam tradisi kupatan desa paciran kabupaten lamongan?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan melakukan penelitian dengan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis, dengan menjelaskan sejarah, perkembangan dan eksistensi tradisi kupatan di Desa Paciran, Kabupaten Lamongan. Kemudian pendekatan fenomenologi, dengan cara mendeskripsikan fenomena-fenomena keagamaan serta realitas yang terjadi di masyarakat Desa Paciran. Untuk menperkuat penelitian penulis mendapatkan data dari hasil kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap tokoh Masyarakat, tokoh Agama dan pejabat pemerintahan desa. Selain itu penulis juga melakukan observasi langsung kelapangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan hasil analisis tentang makna yang terkandung dalam tradisi kupatan di Desa Paciran Kabupaten Lamongan ada beberapa aspek diantaranya adalah Aspek Spiritual, Aspek Sosial dan Aspek Ekonomi.
Kata Kunci: Makna, Tradisi Kupatan, Desa Paciran.
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan iman, islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa
Paciran Kabupaten Lamongan” Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan sampai zaman terang benderang seperti ini, kelak semoga mendapatkan syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik seacara materil maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Marjuqoh, M.A selaku penasehat akademik yang memberikan arahan dan
persetujuan dalam penulisan skripsi ini.
3. Zaenal Muttaqin, MA yang telah banyak memberikan masukan masukan
sehingga sampai kepada judul yang ditetapkan dan diberlakukan.
4. Syaiful Azmi, M.A selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama dan Lisfa
Sentosa Aisyah, S.Ag., M.A selaku Sektretaris Jurusan Studi Agama-agama
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan kepada
mahasiswanya dengan baik.
5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amani Lubis, MA atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas Ushuluddin.
Tidak lupa kepada Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas Ushuluddin
khususnya Sahabat Jamil, serta para staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ali Usman dan Ibu Suhartining yang
telah memberikan kesempatan berjuang hingga akhir masa studi dan tidak lupa
kepada adik tercinta M. Wildan Firdaus yang memberikan dukungan sampai
saat ini dan selamanya.
8. KH. Salim Azhar, serta masyarakat desa Paciran khususnya para informan yang
telah membantu dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.
9. Adik sekaligus kekasih terbaik Ghania Ahsani Rahmadhani yang selalu ada dan
mensupport hingga skripsi ini bisa terselesaikan.
10. Keluarga Besar Paramuda Travel terkhusus H. Abdullah Mas’ud, Hj Margaret
Aliyatul Maimunah sebagai orang tua kedua selama di Jakarta yang selalu
mensupport hingga skripsi ini bisa terselesaikan, tak lupa untuk Hazimatul
layyinah, Whasfi Vella Sulfa.
11. Karyawan Paramuda dan Paramudaris, Yugotri Prasetyo, Erlangga, Oki Radita,
Amelia Rossa, Zizi Mubaroq, M. Zaky Mubarok, Majius Sulthoni sebagai
teman seperjuangan dalam meniti karir selama ini.
vi
12. Senior serta Mbak terbaik Zaimah Imamatul Baroroh yang telah membimbing
dan mensupport hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
13. Keluarga Besar NU Kota Tangsel bapak Himam Muzahir, bapak Suhud Isnadi,
bapak Asmawi yang selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
14. Keluarga Besar Wasiat Jakarta sebagai tempat pijakan pertama ketika sampai
di Jakarta.
15. Teman-teman seperjuangan Prodi Studi Agama-agama angkatan 2012,
Khususnya Hidayatulloh, Ahmad Fauzi, Jarkasih, Elvita Fatchiyatus Sa’adah
16. Teman-teman KKN Galeri yang telah memberikan warna baru dalam
kehidupan.
Tiada kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih atas semua yang membantu kelancaran proses penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan yang masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun dari semua pihak, demi peningkatan dari skripsi ini. Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri, semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua, terutama bagi penulis sendiri. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Jakarta, 26 Juli 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii LEMBAR PENGESAHAN ...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... viii BAB I : PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan Penelitian ...... 7 D. Manfaat Penelitian ...... 8 E. Tinjauan Pustaka ...... 8 F. Kerangka Teori...... 10 G. Metodologi Penetitian ...... 14 H. Sistematika Penulisan ...... 17
BAB II : GAMBARAN UMUM DESA PACIRAN LAMONGAN ...... 19 A. Sejarah Desa Paciran ...... 19 B. Kondisi Geografis ...... 20 1. Luas Wilayah ...... 21 2. Kesuburan Tanah ...... 23 3. Curah Hujan dan Tinggi Tempat...... 23 4. Orbitasi ...... 24 C. Keadaan Sosial ...... 24 1. Kependudukan...... 24 2. Ketenagakerjaan ...... 26 3. Pendidikan ...... 27 4. Agama ...... 28 D. Keadaan Ekonomi ...... 30
viii
BAB III : TRADISI KUPATAN DI DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN ...... 32 A. Sejarah Munculnya Kupatan ...... 32 1. Pengertian Kupatan ...... 32 2. Sejarah Munculnya Tradisi Kupatan ...... 35 B. Prosesi Pelaksanaan Kupatan ...... 40
BAB IV : ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI KUPATAN MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN ...... 47 A. Makna Tradisi Kupatan ...... 47 1. Aspek Spiritual ...... 47 2. Aspek Sosial ...... 51 3. Aspek Ekonomi ...... 52 B. Tujuan Tradisi Kupatan Paciran...... 53 1. Sebagai Sarana Komunikasi dan Silaturrahmi ...... 53 2. Sebagai Sarana Sedekah ...... 55 3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu ...... 57 4. Sebagai Sarana Melestarikan Tradisi Leluhur ...... 60 C. Pandangan Masyarakat tentang Kupatan Paciran ...... 62 1. Tokoh Agama ...... 62 2. Pemerintah ...... 62 3. Masyarakat ...... 63
BAB V : PENUTUP ...... 65 A. Kesimpulan ...... 65 B. Saran ...... 68
DAFTAR PUSTAKA ...... LAMPIRAN-LAMPIRAN ......
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama, sehingga bangsa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk.
Keragaman tersebut adalah salah satu struktur yang membentuk pola pikir masyarakat
Indonesia baik itu masyarakat yang baru tumbuh atau berkembang. Bagi masyarakat yang baru tumbuh corak tersebut akan mewarnai pertumbuhan mereka untuk mencari jati diri mereka dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk tumbuh dan mempertahankan diri. Dalam hidup bermasyarakat manusia akan selalu dihadapkan pada kelompok masyarakat lain yang mempunyai masalah-masalah ataupun kepentingan kelompok mereka. Dalam menghadapi persoalan ini manusia membutuhkan sarana penunjang dalam perkembangan hidupnya untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan kata lain pastilah manusia membutuhkan kekuatan yang berada di luar kuasanya baik itu didalam kehidupan sosial atau spiritualnya. Dalam hal spiritual yaitu agama adalah bagian dari struktur sosial yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat.
Agama mempengaruhi sikap-sikap praktis manusia terhadap berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari manusia. Dalam salah satu teori sosiologi yakni teori fungsional memandang agama terkait dengan aspek pengalaman yang mentransendenkan
1
2
sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari yakni melibatkan kepercayaan dan tanggapan kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu secara sosiologis, agama menjadi penting dalam kehidupan manusia ketika pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana untuk melakukan adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan.1
Adat atau tradisi biasanya diartikan sebagai suatu ketentuan yang berlaku dalam masyarakat tertentu, dan menjelaskan satu keseluruhan cara hidup dalam bermasyarakat.2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi mempunyai dua arti:
Pertama, adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan masyarakat. Kedua, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar.3 Dengan demikian, tradisi merupakan istilah generik untuk menunjuk segala sesuatu yang hadir menyertai kekinian.4
Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan.
Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat.
W.S. Rendra menekankan pentingnya tradisi dengan mengatakan bahwa tanpa tradisi, pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi biadab.
1 Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1995), h. 25. 2 Husni Thamrin, Orang Melayu : Agama, Kekerabatan, Prilaku Ekonomi (Lpm : Uin Suska Riau, 2009), h. 1. 3 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka 1998), h. 589. 4 Rumadi,Post-Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU, (Jakarta : Depag RI 2007), h. 9.
2
3
Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan dengan zamannya.5
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara manusia masa lalu dan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat ghaib atau keagamaan.
Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang menjadi satu sistem, memiliki pola dan norma yang
5 Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13.
3
4
sekaligus juga mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan.
Pada era modern ini, masih banyak tradisi yang tetap dipertahankan secara turun temurun dari nenek moyang hingga ke anak cucu pada suatu masyarakat.
Demikian juga yang terjadi di desa Paciran kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.
Di antara tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran adalah Tradisi
Kupatan
Kupatan sendiri adalah tradisi keagamaan yang berhubungan dengan hari besar
Islam. Tradisi kupatan merupakan salah satu bentuk warisan budaya leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat desa Paciran kabupaten
Lamongan, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan kegiatan sosial yang melibatkan seluruh masyarakat dalam usaha bersama untuk memperoleh keselamatan, dan ketentraman bersama. Tradisi Kupatan di kabupaten lamongan khusunya di daerah pesisir pantai utara di laksanakan dua kali dalam setahun. Kupatan yang pertama dilaksanakan menjelang Ramadhan atau tepat nya dua minggu menjelang Ramadhan tradisi ini disebut Megengan. Kupatan kedua dilaksanakan tujuh hari setelah hari raya idul fitri, tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Tradisi ini disebut kupatan6
Masyarakat desa Paciran terdiri dari beberapa organisasi masyarakat diantara nya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), dari ketiga ormas islam tersebut hanya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang secara aktif melaksanakan tradisi kupatan tersebut.
6 Wawancara dengan Abdul Hakim, Masyarakat Desa Paciran, 22 Maret 2019
4
5
Masyarakat Paciran memaknai kupatan sebagai bagian dari melestarikan budaya yang sudah di bawa oleh sunan Drajat dan sunan Sendang bukan hanya itu saja, tetapi berkat kegigihan beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya adalah membuat ketupat dan berbondong-bondong membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat, sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai sunan Sendang dan sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Terminal Angkutan Sungai dan Pelabuhan (ASDP) melewati Goa Maharani dan berakhir di Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari Lamongan.7 Arak-arakan ketupat ini merupakan tradisi sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur yang merupakan murid Sunan Drajat, saat itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuhan kepada santri-santrinya berupa kupat dan lepet saat silaturahmi pada saat setelah lebaran. Darisitulah tercetus tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Ketupat adalah makanan khas dari bahan baku beras, dibungkus dengan selongsong dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Dalam filosofi jawa ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau
7 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat Desa Paciran, 22 April 2019
5
6
kupat merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.
Di samping ketupat makanan lain yang ikut disajikan adalah lepet, lepet mempunyai arti silep kang rapet. Mari kita kubur/tutup yang rapat. Jadi setelah mengaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.
Menurut Clifford Geertz, kupatan adalah tradisi selametan kecil yang dilaksanakan pada hari ketujuh bulan syawal. Hanya mereka yang memiliki anak kecil dan telah meninggal saja, yang dianjurkan untuk mengadakan selametan ini. Hal ini tentu mencakup hampir semua orang yang telah berkeluarga di Jawa, walaupun kenyataannya selametan ini tidak sering diadakan.8 Clifford Geertz membagi Islam
Jawa dalam 2 varian yakni abangan, dan santri. Menurut dia selametan adalah tradisi yang dilaksanakan oleh varian abangan, salah satu tradisi slametan yang dilaksanakan oleh abangan adalah kupatan.
Budaya merupakan hasil teologis yang kemudian menjadi kebiasaan individu dan secara alami menjadi kebiasaan masyarakat, atau budaya merupakan kebiasaan- kebiasaan positif dan negatif di dalam suatu masyarakat yang kemudian menjadi budaya.9
Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti mengunakan teori fenomenologi dan antropologi untuk meneliti secara mendalam tentang makna dan tujuan tradisi
8 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Terj), ed. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto (Jakarta, 2013), h. 105. 9 Nurcholish Madjid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan (Jakarta: PB. HMI, 2016), h. 2.
6
7
kupatan yang terdapat pada desa Paciran tersebut. Peneliti ingin meneliti tradisi kupatan di desa Paciran karena memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan tradisi kupatan pada umumnya. Keunikan tradisi kupatan desa Paciran adalah dengan adanya perayaan arak-arakan yang menyuguhkan beberapa kesenian khas kabupaten lamongan seperti Jaran Jenggo, Musik Tongklek, Jidor dipadukan dengan fragmen kolosal yang menceritakan sejarah nama desa Paciran dan sejarah tradisi kupatan yang diperankan oleh remaja-remaja desa Paciran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas fokus penulis adalah tentang makna yang terkandung dalam tradisi kupatan desa Paciran maka dapat dihasilkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana makna dan tujuan yang terkandung dalam tradisi kupatan?
2. Seperti apakah tatacara dan praktik perayaan tradisi kupatan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memenuhi persyaratan akhir memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Mengetahui Makna dan Tujuan yang terkandung dalam tradisi Kupatan
3. Mengetahui tatacara dan praktik perayaan tradisi Kupatan.
7
8
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan baik penulis sendiri maupun pembaca. Sehingga manfaat yang dapat diambil dari penelitian sebagai berikut.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu, memperluas pengetahuan, memberikan referensi lanjutan, khususnya dibidang studi agama-agama.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengembalikan Islam kejalan yang benar.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian, penulis mencari informasi tentang judul terkait.
Untuk itu maka perlu dikemukakan tulisan yang terkait dengan judul penelitian yang akan dilaksanakan. Tulisan yang serupa dengan judul penelitian tersebut diantaranya adalah:
Tradisi Bulan Ramadhan dan Kearifan Budaya Lokal Komunitas Jawa di Desa
Tanah Datar Kecamatan Rangat Barat Kabupaten Indragiri Hulu10 ditulis oleh
Yuhana membahas tentang beberapa macam tradisi kearifan lokal jawa, salah satunya yaitu kupatan. Menurut Peneliti penelitian ini bersifat deskriptif sehingga hanya
10Yuhana, Tradisi Bulan Ramadhan dan Kearifan Budaya Lokal Komunitas Jawa di Desa Tanah Datar Kecamatan Rangat Barat Kabupaten Indragirihulu, Jom FISIP, Vol. 3 No. 1 - Februari 2016, 1
8
9
penjelasan inti dari tujuan msyarakat melaksanakan Kupatan untuk membangun sifat saling tolong menolong dan gotong royong. Dalam penjelasannya sangat sedikit sekali menjelaskan tentang tradisi kupatan karena fokus dari karya ini tidaklah hanya pada tradisi kupatan, akan tetapi lebih tertuju kepada tradisi kearifan lokal lainnya.
Diantaranya adalah Punggahan, Selikuran, Pudunan, dan Riyoyo.
Literatur yang kedua adalah Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan
Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus11) di tulis oleh Hendro Ari Wibowo, Wasino, dan Dewi Lisnoor Setyowati. Penelitian ini membahas tentang beberapa tradisi kearifan lokal salah satunya tradisi kupatan. Dalam penjelasannya tradisi kupatan adalah tradisi yang mengarah kepada sebuah peringatan ibadah yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam masyarakat desa Colo tardisi ini biasa disebut dengan tradisi seribu kupat. Terdapat dimensi nilai lokal dalam kupatan, dimana nilai lokal untuk mengatur kehidupan bersama antar warga masyarakat. Maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama. Dimensi solidaritas kelompok lokal dari kupatan adalah suatu masyarakat umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk komunitas lokal. Setiap masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya misalnya dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing- masing anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan fungsinya masing-masing.
11 Hendro Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati, Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus) Journal of Educational Social Studiesh JESS 1 (1) – 2012, 1.
9
10
Peranan Kupatan di Desa Colo lebih ke pesta desa yang cenderung melestarikan budaya mereka. Dengan masyarakat desa Colo melestarikan tradisi kupatan mereka mampu menjaga dan mengembangkan hasil hutan dan hasil bumi, sehingga tradisi menjaga lingkungan hidup di kawasan Muria dapat terwujud.
Sedangkan tradisi Kupatan di Desa Colo mengarah kepada sebuah peringatan ibadah yang berhubungan dengan masyarakat. Namun dalam hal ini, kupatan di Desa Colo sudah di kemas sedemikian rupa menjadi Parade Sewu Kupat. Dalam peneletian yang di bahas ini tentunya sangatlah berbeda dengan penelitian yang akan peneliti bahas nantinya, yang akan peneliti bahas adalah fokus dengan satu tradisi yakni kupatan yang menggali lebih dalam terkait tentang makna tradisi kupatan tersebut.
F. Kerangka Teori
Dalam fokus penelitian ini peneliti menggunakan teori fenomenologi karena sangat relevan dengan tema yang akan peneliti teliti. Fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah ini diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi apabila dilihat lebih lanjut berasal dari dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno menyebutkan bahwa Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas (pemahaman mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan
10
11
orang lain).12 Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk memahami kesadaran itu dengan konsep intersubyektif. Yang dimaksud dengan dunia intersubyektif ini adalah kehdupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari.13
Dunia kehidupan sehari-hari ini membawa Schutz mempertanyakan sifat realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli dengan diri mereka sendiri.
Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya, tidak ada seorang pun yang membangun realitas dari pengalaman intersubjective yang mereka lalui. Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial berarti untuk setiap orang sebagai aktor atau bahkan berarti baginya sebagai seorang yang mengamati tindakan orang lain?. Apa arti dunia sosial untuk aktor/subjek yang diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di dalamnya?. Pendekatan semacam ini memiliki implikasi, tidak hanya untuk orang yang dipelajari, tetapi juga untuk diri kita sendiri yang mempelajari orang lain.14 Instrument yang dijadikan alat penyelidikan oleh Schutz adalah memeriksa kehidupan bathiniyah individu yang
12 Engkus Kuswarno, Fenomenologi; fenomena pengemis kota bandung. (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), 2. 13 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj Alimandan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 94 14 Ajiboye, Emmanuel Olanrewaju, Social Phenomenologi of Alfred Schutz and the Development of African Sociology, (British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.4. No.1 2012).
11
12
direfleksikan dalam perilaku sehari-harinya.15
Schutz meletakkan manusia dalam pengalaman subjektif dalam bertindak dan mengambil sikap dalam kehidupan sehari-hari. Dunia tersebut adalah kegiatan praktis.
Manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan akan melakukan apapun yang berkaitan dengan dirinya atau orang lain. Apabila ingin menganalisis unsur-unsur kesadaran yang terarah menuju serentetan tujuan yang bertkaitan dengan proyeksi dirinya. Jadi kehidupan sehari-hari manusia bisa dikatakan seperti proyek yang dikerjakan oleh dirinya sendiri. Karena setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu yang itu mereka berusaha mengejar demi tercapainya orientasi yang telah diputuskan.16
Lebih lanjut, Schutz menyebutnya dengan konsep motif, yang oleh Schutz dibedakan menjadi dua pemakmanaan dalam konsep motif. Pertama, In Order to
Motive, kedua, motif Because of Motive. In Order to Motive ini motif yang dijadikan pijakan oleh sesorang untuk melakukan sesuatu yang bertujuan mencapai hasil, sedangkan Because of Motive merupakan motif yang melihat kebelakang. Secara sederhana bisa dikatakan pengidentifikasian masa lalu sekaligus menganalisisnya, sampai seberapa memberikan kontribusi dalam tindakan selanjutnya.17
Teori selanjutnya adalah teori Antropologi, Antropologi sendiri secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, dari kata anhtropos yang berarti manusia dan logos yang
15 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 233. 16 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 235-237. 17 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 270.
12
13
berarti ilmu. Antropologi adalah ilmu yang membahas tentang manusia.18
Antropologi berusaha untuk mengkaji sitem-sistem yang berkaitan dengan kehidupan manusia, masyarakat, serta budayanya. Mengkaji agama dengan menggunakan pendekatan antropologi membuahkan ilmu yang dikenal dengan istilah antropologi agama.
Kajian agama melalui tinjauan antropologi dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan
(tindakan/perilaku) yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kajian ini diperlukan sebab elemen-elemen agama bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi dan juga ilmu sosial lainnya. Artinya, dalam memahami ajaran agama manusia dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi, dengan menggunakan (bantuan) teori-teori di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan bahwa agama mempunyai fungsi, melalui simbol-simbol atau nilainilai yang dikandungnya dan “hadir di mana-mana”. Oleh karenanya, agama ikut mempengaruhi, bahkan membentuk stuktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan kebijakan umum. Dengan pendekatan ini kajian studi agama dapat dikaji secara komprehensif melalui pemahaman atas makna terdalam dalam kehidupan beragama di
18 Koentjaraningrat menyebutkan Antropologi atau “Ilmu tentang manusia” sebagai suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia”. Dalam fase ke tiga perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika dengan arti yang sama seperti etnology pada awalnya. Di Inggris, istilah antropologi kemudian malahan mendesak istilah etnology, sementara di Amerika, antropologi mendapat pengertian yang sangat luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia” Di Eropa Barat dan Eropa Tengah istilah antropologi hanya diartikan sebagai “ilmu tentang manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya”, Untuk lebih jelasnya Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. (Jakarta ; Rineka Cipta. 1996), h. 18.
13
14
masyarakat. Kemudian dapat terlihat bahwa ada korelasi antara agama dengan berbagai elemen kehidupan manusia/masyarakat. Meski demikian, tulisan ini hanya memberi gambaran pentingnya kajian studi agama dari sudut pandang antropologi. Teori inilah yang akan penulis gunakan sebagai teori analisis untuk mengungkap makna dan esensi terhadap fenomena tradisi kupatan Paciran Lamongan.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan atau studi kasus dengan tema
Tradisi Keagamaan.
2. Jenis Data
Untuk melakukan penelitian tersebut maka penulis mengumpulkan data primer dan sekunder yang sesuai dengan tema penelitian.
3. Sumber Data
Berdasarkan jenis data yang ditentukan sebelumnya maka dalam penelitian ini sumber data berasal dari sumber primer dan sekunder. Sumber Primer artinya data yang didapat dari sumber pertama, seperti wawancara kepada seseorang atau pengamat peneliti langsung pada obyek penelitian. Sumber sekunder artinya data yang diperoleh dari hasil penelitian orang lain yang sudah diolah menjadi data, buku, koran, majalah dan lain-lain, atau juga pandangan, komentar orang di luar lokasi penelitian tentang kondisi masyarakat di Desa Paciran Lamongan.
4. Tehnik Pengumpulan Data
14
15
Dalam penelitian ini ada beberapa tehnik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data, diataranya yaitu:
a. Tehnik Wawancara
Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara langsung antara pewawancara atau peneliti dengan responden. Peneliti melakukan wawancara dengan responden ditempat penelitian yakni Desa Paciran Kabupaten Lamongan.
Dengan tehnik wawancara ini peneliti akan memperoleh data yang bersifat fakta.
Peneliti melakukan wawancara terhadap warga Desa Paciran diantaranya beberapa perangkat desa, Pemuka agama, dan masyarakat umum yang sudah dianggap mewakili pemikiran Masyarakt desa Paciran.
b. Tehnik Observasi
Observasi merupakan salah satu tehnik pengumpulan data yang menggunakan pertolongan indra mata. Tehnik ini bertujuan untuk lebih mendalami situasi sosial sebagaimana yang diperoleh lewat wawancara, mengukur kebenaran jawaban pada wawancara dan untuk memperoleh data yang tidak bisa didapatkan dengan wawancara atau yang lainnya.
c. Tehnik Dokumentasi
Teknik dokumentasi diakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen yang bisa memberikan informasi tentang judul terkait. Teknik dokumen mencakup buku, laporan, surat-surat antar kelompok, foto dan lain sebagainya.
15
16
5. Langkah-langkah pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penulis mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tempat penelitian
Lokasi penelitan ini di desa Paciran Kecamatan Paciran Kab. Lamongan.
Paciran adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian Pesisir pantai utara tepatnya Kecamatan Paciran. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan peduduknya melaksanakan tradisi kupatan.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan Bulan April – Juni 2019.
6. Pendekatan
Ada beberapa Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini, pendekatan- pendekatan tersebut adalah sbagai berikut:
a. Pendekatan Fenomenologi
Dengan pendekatan ini peneliti dapat mengetahui fenomena-fenomena keagamaan serta realitas-realitas yang terjadi di masyarakat.
b. Pendekatan Sosiologis
Dengan pndekatan ini peneliti bisa mengetahui hubungan sosial kemasyarakatan antar pemeluk agama. Bagaimana mereka saling mempengaruhi dalam hidup bermasyarakat. Dan untuk mengetahui proses sosial yang terjadi di kalangan umat yang berbeda beragama baik di dalam acara internal kelompok maupun antar kelompok.
16
17
c. Pendekatan Historis
Selain dua pendekatan di atas, dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan historis unuk mengetahui alur sejarah dan lain-lain sebagai pelengkap data penelitian.
7. Teknik analisa data
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka teknik analisa data yang akan digunakan oleh penulis adalah analisis kualitatif.19 Penulis akan berusaha menggabungkan data-data serta menafsirkan data untuk menjelaskan pola kerukunan umat beragama di lokasi penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima
bab, dengan uraian sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teoritik, metodolgi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II: GAMBARAN UMUM TENTANG OBJEK PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, maka pada bab ini peneliti
haruslah menguasai dahulu tentang kondisi lapangan wilayah desa tersebut,
yang nantinya memuat letak geografis, keadaan demografis, yang meliputi
keadaan penduduk, keadaan pendidikan, keadaan ekonomi, keadaan sosial, dan
keadaan keagamaan masyarakat.
19 Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, cet 8 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 269
17
18
BAB III PENGERTIAN, SEJARAH, DAN PELAKSANAAN KUPATAN
DESA PACIRAN
Sebelum menuju ke pembahasan lebih dalam tentunya perlu menggali data sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan tradisi kupatan masyarakat Paciran, bab ini membahas apa itu kupatan, bagaimana bentuk pelaksanaan tradisi kupatan masyarakat desa Paciran dan siapa para pelaksananya, serta keunikan-keunikan pada tradisi tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode observasi kemudian metode wawancara terhadap tokoh setempat yang berpengaruh sebagai pondasi utama, serta diikuti dengan metode dokumentasi untuk mengkaitkan data-data yang sudah ada dengan data yang lainnya
BAB IV ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI
KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN
LAMONGAN
Dalam bab ini merupakan isi pembahasan penelitian dimana bahan- bahan yang sudah terkumpul pada bab sebelumnya untuk dianalisis lebih mendalam.
Diantaranya membahas tentang makna dan tujuan pelaksanaan tradisi kupatan serta pemaknaan menurut masyarakat yang melaksanakannya. Dengan menggunakan teori fenomenologi yang di tawarkan oleh Alfred Schutz.
BAB V PENUTUP
Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.
18
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Sejarah Desa Paciran
Desa Paciran adalah salah satu desa pesisir yang terletak di kecamatan
Paciran kabupaten Lamongan. Di desa tersebut terdapat tiga dusun yaitu dusun
Penanjan, dusun Jetak, dan dusun Paciran. Kehidupan masyarakat desa Paciran tidak bisa dipisahkan dengan letak keberadaan desanya yang bersebelahan langsung dengan laut Jawa. Letaknya yang langsung berhadapan dengan laut membuat sebagian besar masyarakat Paciran memilih bekerja sebagai nelayan, khususnya penduduk dusun Jetak dan dusun Paciran. Jiwa pelaut sudah tertanam dan sangat melekat dalam diri masyarakat setempat sehingga jumlah nelayan tidak pernah berkurang walaupun sektor pariwisata dan sektor industri sudah mulai masuk di desa Paciran.
Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, penduduk setempat mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah daratan. di beberapa kawasan pesisir yang relatif berkembang pesat, struktur masyarakatnya bersifat heterogen, memiliki etos kerja tinggi, solidaritas sosial yang kuat, serta terbuka terhadap perubahan dan interaksi sosial.
Menurut kepala desa Paciran Bapak Khusnul Khuluq, sejarah desa Paciran bermula dengan datangnya seorang ulama yang berasal dari keturunan timur tengah, yakni Raden Noer Rahmat. Beliau termasuk salah satu penyebar agama
Islam di daerah Pantura (pantai utara). Dalam usahanya, dia berkeinginan mendirikan tempat untuk pengajaran dan pendidikan serta penyebaran agama Islam
(pondok pesantren). Oleh karenanya, dia berkeinginan mendirikan tempat
19
20
pendidikan tersebut. Mula-mula, sebuah bangunan atau surau yang terletak di daerah Demak Bintoro hendak di pindah ke sebuah tempat yang jauh untuk dijadikan pusat pendidikan dan pengajaran, serta penyebaran agama Islam. Dengan izin Allah, ulama tersebut mampu memindahkan bangunan tersebut ke tempat lain.
Tetapi sayangnya, dalam proses pemindahan surau tersebut tidak berjalan lancar, karena salah satu pintu bangunan ada yang terjatuh, dan dalam bahasa Jawa jatuh disebut dengan cicir. Maka dari kejadian cicir inilah, muncul kata Paciran yang kemudian dijadikan sebagai nama desa tempat jatuhnya pintu tersebut.1
B. Kondisi Geografis
Desa Paciran merupakan desa yang sekaligus menjadi kecamatan di kabupaten Lamongan, Kecamatan Paciran merupakan salah satu bagian Kabupaten
Lamongan yang terletak di bagian Utara (Pantura) dan letaknya yang sangat srategis juga berhadapan dengan luasnya lautan. Paciran bisa dikatakan sentra pariwisata dari Kabupaten Lamongan, karena di daerah ini terdapat banyak obyek pariwisata.
Potensi yang dimiliki oleh kecamatan Paciran dibidang pariwisata antara lain: desa
Drajat terdapat Makam Sunan Drajat, desa Sendangduwur terdapat Makam Sunan
Nur Rochmad, desa Paciran terdapat terdapat Pantai Tanjung Kodok yang sekarang menjadi Wisata Bahari Lamongan (WBL) dan Goa Maharani yang sekarang sudah berubah menjadi Maharani Zoo Lamongan (Mazola), serta pemandian air hangat
Brumbun di desa Kranji.2 Desa Paciran juga di lewati oleh jalan penghubung antara
Gresik-Tuban, dengan batas desa dan kecamatan yaitu :
- Sebelah utara : Laut Jawa
1 Wawancara dengan Khusnul Khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019 2 Profil Desa Paciran diakses pada 26 April 2019 dari https://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/245-Paciran
21
- Sebelah selatan : Desa Sumur Gayam
- Sebelah timur : Desa Tunggul
- Sebelah barat : Desa Kandang Semangkon
- Sebelah Selatan : Kecamatan Solokuro
- Sebelah Timur : Kecamatan Brondong
- Sebelah Barat : Kecamatan Paciran
- Sebelah Utara : -
Gambar Peta Desa Paciran
1. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Paciran 633,5 Ha, yang terdiri dari pemukiman, pertanian sawah, ladang/tegalan, perkebunan, padang rumput/gembalaan, Hutan, bangunan (perkantoran, pertokoan, sekolah, pasar, jalan, tempat olahraga, dan tambak)3. Dengan rincian sebagai berikut :
No Nama Wilayah Luas Wilayah
Pemukiman 65 ha/m2
1 Pejabat Pemerintah N/a ha/m2
3 Profil Desa Paciran diakses pada 26 April 2019 dari https://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/245-Paciran
22
2 Real Estate N/a ha/m2
3 Pemukiman Umum 65 ha/m2
Pertanian Sawah 15 ha/m2
1 Sawah Irigasi N/a ha/m2
2 Sawah ½ Teknis N/a ha/m2
3 Sawah Tada Hujan 15 ha/m2
4 Sawah Pasang Surut N/a ha/m2
Ladang/Tegalan 298,6 ha/m2
Perkebunan N/a ha/m2
Padang Rumput/Gembalaan N/a ha/m2
1 Tanaman Ternak N/a ha/m2
Hutan N/a ha/m2
Untuk Bangunan 17,10 ha/m2
1 Perkantoran 0,5 ha/m2
2 Sekolah 17 ha/m2
3 Pertokoan 0,5 ha/m2
4 Pasar 1 ha/m2
23
5 Jalan 24,4 ha/m2
Rekreasi dan Olahraga 4 ha/m2
1 Lapangan Sepak Bola 2 ha/m2
2 Lapangan Bola Volley/Basket 2 ha/m2
Perikanan Darat/Air Tawar N/a ha/m
1 Tambak N/a ha/m
2 Kolam N/a ha/m
Rawa/Waduk N/a ha/m
Sumber : Profil Desa Paciran
2. Kesuburan Tanah
Desa Paciran memiliki tingkat kesuburan tanah dengan rincian sebagai berikut:
a. Tanah subur : 12 Ha
b. Tanah tidak subur : 476,100 Ha
c. Tanah sangat subur : 0 Ha
d. Lahan Terlantar : 5 Ha
3. Curah Hujan dan Tinggi Tempat
Desa Paciran mempunyai curah hujan 0,15 mm dengan ketinggian dari permukaan laut 3 m, topografi atau bentang lahan untuk dataran 312,5 ha,
Perbukitan/Pegunungan : 111,5 ha.
24
4. Orbitasi
a. Jarak ke ibu kota Kecamatan : 0,5 Km
b. Lama tempuh ke ibu kota Kecamatan : 1 Menit
c. Jarak ke Kabupaten : 45 Km
d. Lama tempuh ke Kabupaten : 90 Menit
C. Keadaan Sosial
1. Kependudukan
Desa Paciran memiliki 2.827 Kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk desa
Paciran 14.817 jiwa. Ada beberapa kelompok keluarga sejahtera penduduk desa
Paciran4 (lihat tabel 1)
Tabel 1
Prosentase Bidang Kesejahteraan Penduduk Desa Paciran
No Kelompok Kesejahteraan Jumlah Prosentase (%) (Kepala Keluarga)
1 Prasejahtera 1742 46,1
2 Keluarga Sejahtera I 987 26
3 Keluarga Sejahtera II 578 15,2
4 Keluarga Sejahtera III 276 7,3
5 Keluarga Sejahtera III Plus 202 5,4
Sumber : Profil Desa Paciran
Jumlah Penduduk desa Paciran berdasarkan jenis kelamin. (lihar tabel 2)
4 Dokumen Profil Desa Paciran
25
Tabel 2
No Jenis Kelamin Jumlah Penduduk
1 Laki-laki 7038 orang
2 Perempuan 7779 orang
Sumber : Profil Desa Paciran
Dari jumlah penduduk tersebut, desa Paciran terbagi dalam tiga dusun yaitu
: (lihat tabel 3)
Tabel 3
Nama-Nama Dusun Yang Ada di Desa Paciran
No Nama Dusun Nama Desa Nama Kecamatan
1 Paciran Paciran Paciran
2 Penanjan Paciran Paciran
3 Jetak Paciran Paciran
Sumber : Profil Desa Paciran
Dari ketiga dusun tersebut, desa Paciran terdiri dari 11 rukun warga (RW) dan 51 rukun tetangga (RT). Desa Paciran termasuk daerah yang padat penduduknnya. Keadaan topografi yang mayoritas daratan sangat cocok di jadikan lahan pertanian dan usaha tambak. Tidak hanya itu, desa Paciran terletak di kawasan jalur pantai utara (pantura). Pantai yang ada di sepanjang kecamatan Paciran, dimanfaatkan oleh masyarakat Paciran untuk mencari nafkah sebagai nelayan.
26
2. Ketenagakerjaan
Mata pencaharian di desa Paciran bermacam-macam, mulai dari berprofesi sebagai petani, pedagang, pegawai, TNI, guru hingga dokter. Untuk mengetahui mata pencaharian penduduk desa Paciran. (lihat tabel 4)
No Mata Pencaharian Jumlah Orang Prosentase (%)
1 Buruh Tani 4.688 25
2 Dokter/Bidan 12 2,3
3 Pedagang/Wiraswata/Pengusaha 271 6
4 Pengrajin 472 8
5 PNS 204 6
6 TNI/POLRI 21 2
7 Penjahit 19 1
8 Montir 7 0,4
9 Supir 67 4
10 Karyawan Swasta 592 11
11 Kontraktor 2 0,3
12 Tukang Kayu 482 8
13 Tukang Batu 592 11
27
14 Guru Swasta 998 15
Sumber : Profil Desa Paciran
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan perubahan, baik dalam diri, maupun komunitas. Maka dari itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai nilai-nilai kehidupan. Tingkat pendidikan desa Paciran dapat kita lihat di bawah ini. (lihat tabel 5)
Tabel 5
Jumlah Tingkat pendidikan di Desa Paciran
No Keterangan Jumlah
1 Penduduk Usia 10 tahun ke atas yang buta 0 orang
huruf
2 Penduduk tidak tamat SD/sederajat 387 orang
3 Penduduk tamat SD/sederajat 4.362 orang
4 Penduduk tamat SLTP/sederajat 4.105 orang
5 Penduduk tamat SLTA/sederajat 2.907 orang
6 Penduduk tamat D1 93 orang
7 Penduduk tamat D2 85 orang
28
8 Penduduk tamat D3 68 orang
9 Penduduk tamat S1 817 orang
10 Penduduk tamat S2 36
11 Penduduk tamat S3 2
Sumber : Profil Desa Paciran
Dilihat dari pendidikan masyarakat desa Paciran memiliki pendidikan ditingkat SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Sekolah dasar terletak di dusun
Paciran yaitu SDN 1 Paciran. Sedangkan sekolah menengah pertama (SMP) antara lain SMP Karangasem dan SMP modern. Sekolah menengah atas (SMA) antara lain
SMA Muhammadiyah karangasem, SMA Mazroatul Ulum, MA modern, MA
Mazroatul ulum, MA Muhammadiyah Karangasem, SMK Muhammadiyah karangasem. Sedangkan perguruan tinggi antara lain STIT/STIE Muhammadiyah
Paciran dan STAIM Paciran. Hal ini menandakan bahwa masyarakat desa Paciran tidak lagi memiliki pemikiran yang primitif dan selalu berfikir untuk maju.
4. Agama
Dilihat dari aspek agama, masyarakat Paciran yang berjumlah 14817 orang seluruhnya beragama Islam. Itu artinya 100% masyarakat Paciran menganut agama
Islam. Di Paciran terdapat Masjid, Musholla dan Taman Pendidikan Al Quran
(TPQ).
Daerah pesisir pantai utara pulau jawa yang merupakan sejarah panjang dalam perkembangan agama Islam ditanah jawa ini dimana kawasan tersebut sebagai salah satu basis para walisongo dalam mensyiarkan agama Islam pada
29
waktu itu sehingga dalam perkembangannya banyak bermunculan pondok pesantren baru dan modern.
Pondok pesantren yang terdapat di kecamatan Paciran jumlahnya sangat banyak tidak terkecuali di desa Paciran. Di kawasan Paciran sendiri terdapat lima
Pondok Pesantren (PONPES) antara lain:
1. Pondok Pesantren Karangasem
2. Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah,
3. Pondok Pesantren Mazro’atul Ulum,
4. Pondok Pesantren Manarul Quran dan
5. Pondok Pesantren Al Ibrahimi.5
Pesantren merupakan tempat di mana anak-anak muda dan dewasa belajar lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari dalam bahasa arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama besar. Mereka yang berhasil dalam belajarnya, memang kemudian diharapkan menjadi kyai, ulama, muballigh, setidaknya guru agama dan ilmu agama.6
Pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual.
5 Dokumen profil desa/kelurahan. 6 Dawam Rahardjo, Pesantren Dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 2.
30
Dari jumlah penduduk yang seluruhnya beragama Islam, di desa Paciran terdapat berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhotul Ulama’
(NU), dan Fron Pembela Islam (FPI). Masyarakat Paciran sangat teguh dalam memegang faham yang dianutnya namun tetap satu idiologi dan bertauhid. Walau terdiri dari berbagai faham namun kerukunan tetap terjaga, sehingga banyak pondok yang berdiri di desa Paciran di samping sekolah-sekolah yang bertaraf tinggi.
Pembangunan pondok pesantren juga banyak didirikan karena keprihatinan para tokoh agama terhadap nasib pendidikan dan perkembangan kehidupan keagamaan.
D. Keadaan Ekonomi
Masyarakat desa Paciran memiliki banyak mata pencaharian. Selain berprofesi sebagai petani dan nelayan, ada beberapa mata pencaharian yang lain seperti disektor jasa atau perdagangan sebanyak 1.041 orang dan pekerja disektor industri sebanyak 27 orang. Dari sekian banyak mata pencaharian tersebut, rata-rata masyarakat Paciran bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Dalam bidang pertanian untuk hasil tanaman dan luas lahan yang digunakan adalah sebagai berikut : (lihat tabel 1)
Tabel 1
Sumber Daya Alam Bidang Pertanian
No Komoditi Luas Lahan
1 Kacang Tanah 117 ha
2 Jagung 210 ha
31
3 Ubi Kayu 70 ha
4 Mangga 20 ha
5 Sawo 0,5 ha
6 Pisang 3 ha
Sumber : Profil Desa Paciran
Dalam bidang Peternakan macam-macam hewan dan jumlah hewan yang ada adalah sebagai berikut : (lihat tabel 2)
Tabel 2
Sumber Daya Alam Bidang Peternakan
No Hewan Jumlah
1 Kambing 1469 ekor
2 Domba 1276 ekor
3 Ayam Buras 4091 ekor
4 Ayam Ras 1800 ekor
Sumber : Profil Desa Paciran
BAB III
TRADISI KUPATAN DI DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Sejarah Munculnya Kupatan
1. Pengertian Tradisi Kupatan
Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata
Bhada di ambil dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya sudah. Sedangkan riyaya berasal dari bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita.
Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah selesainyanya pelaksanaan ibadah puasa dan memasuki bulan
Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.1
Adapun dalam bahasa Jawa, kupat berasal dari kata “papat” atau empat, dan juga bentuknya yang “persegi empat”. Hal ini adalah simbol yang hendak mengarahkan kepada esensi rukun ajaran agama Islam yang keempat, yaitu puasa bulan Ramadhan.
Kupat dalam bahasa Jawa juga konon merupakan kependekan dari kalimat ngaku lepat yang berarti “mengakui kesalahan”. Karena itu, saling berbagi dan memberi kupat di hari raya lebaran idul fitri dan lebaran ketupat adalah simbol atas pengakuan kesalahan dan kekurangan diri masing-masing terhadap Allah, terhadap keluarga, dan juga
1 Diakses pada 11 Juni 2019 https://www.nu.or.id/post/read/39434/lebaran-ketupat-dan-tradisi- masyarakat-jawa
32
33
terhadap sesama.2 Sedangkan Kupat merupakan bentuk jamak dari kafi, yaitu kuffat yang berarti cukup, jelasnya cukup akan pengharapan hidup ini setelah berpuasa satu bulan di bulan Ramadhan3
Menurut KH. Salim Azhar tokoh masyarakat desa Paciran mengatakan bahwa kupat berasal dari bahasa arab Huffat, yang sesuai dengan hadis Nabi SAW.
ُح َّف ِت ْال َج َّنةُ بِ ْال َم َك ِار ِه َو ُح َّف ِت َّالن ُار بِ َّالش َه َو ِات
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim)
Dengan mengambil kata huffat dari hadist tersebut, KH. Salim menjelaskan lebih lanjut bahwa lebaran ketupan mempunyai nasehat filosofi yang sangat penting.
Yakni, dimana setelah melakukan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, hendaknya tetap berhati-hati menjaga diri dari kesenangan nafsu yang menyesatkan dan tetap istiqomah dalam menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. 4
Ketupat adalah simbolisasi makna permohonan ampun dan maaf yang berhubungan dengan hak-hak Allah (habl min Allâh) dan juga hak-hak manusia (habl min al-nâs). Karena itulah, keberadaan kupat banyak dijumpai saat hari raya lebaran yang merupakan hari raya kembali pensucian diri dan momen saling memaaf-maafkan antar sesama. Ketupat seolah-olah manifestasi dari ungkapan do’a yang lazim dipanjatkan saat hari raya Idul Fitri, yaitu “kullu ‘âm wa nahnu ilâ Allâh wa al-hasanât aqrab. Taqabbalallâhu minnâ wa minkum” (semoga setiap tahun kita semakin dekat
2 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya (Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 3 Diakses pada 29 Agustus 2012 https://www.nu.or.id/post/read/39477/kupatan 4 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, 25 November 2018.
34
dengan Allah dan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah memaafkan kita semua dan menerima amal kita).
Kupat juga merupakan kependekan dari “laku papat” atau “empat tindakan” yang merupakan etape stasiun spiritual” (al-maqâmât al-rûhiyyah al-arba’ah), yaitu :
a. Tindakan pertama adalah “lebaran”, yang berasal dari kata lebar (usai atau
selesai). Di sini, lebaran menandakan sudah usai dan berakhirnya waktu
menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
b. Tindakan kedua adalah “luberan”, yang berasal dari kata luber (meluap atau
melimpah). Dalam hal ini luberan diartikan sebagai ajakan untuk saling
berbagi limpahan rizki dengan berzakat dan bersedekah untuk kaum miskin
dan mereka yang berhak menerimanya.
c. Tindakan ketiga adalah “leburan”, yang berasal dari kata lebur (melebur atau
menghilangkan). Artinya mengakui kesalahan, memohon maaf dan memberi
maaf. Manusia dituntut untuk saling memaafkan antar satu sama lain. Dengan
demikian, dosa-dosa dan kesalahan pun menjadi lebur.
d. Adapun tindakan yang keempat adalah “laburan”, yang berasal dari kata labur,
atau kapur untuk memutihkan dinding rumah dan menjernihkan air. Dalam hal
ini, leburan memaksudkan agar manusia selalu menjaga kesucian lahir dan
batinnya.5
Dilihat dari sisi kuliner, ketupat merupakan makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dan dibungkus dengan selongsong yang berbahan dari janur/daun
5 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya (Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213.
35
kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim tepat di hari ke delapan lebaran Idul
Fitri yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”.6
Dibungkusnya ketupat dengan daun kelapa muda yang dianyam juga memiliki nilai filosofi tersendiri. Dalam bahasa Jawa, daun kelapa muda pembungkus ketupat dikenal juga dengan nama janur. Kata janur berasal dari bahasa Arab, yaitu jâ’a nûr, yang atinya “telah datang seberkas cahaya terang”. Filosofi makna yang tersimpan di balik janur sebagai bungkus kupat adalah bahwa manusia senantiasa mengharapkan datangnya cahaya petunjuk dari Allah SWT. yang maha memberikan petunjuk dan membimbing mereka pada jalan kebenaran yang diridhai oleh-Nya. Janur7 juga merupakan sebuah simbolisasi atas harapan yang dipanjatkan umat Islam dan manifestasi atas do’a yang termaktub dalam surat al-Fâtihah; “ihdinâ-s shirâth-al mustaqîm. Shirât-alladzîn-a an’amta ‘alaihim ghair-il maghdhûbi ‘alaihim wa lâdh- dhâllîn” (tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat).8
2. Sejarah Munculnya Tradisi Kupatan
Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi juga merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan
6 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019. 7 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia janur adalah daun kelapa muda yang berwarna kuning. 8 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya,h. 214.
36
pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan.
Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat.
W.S. Rendra menekankan pentingnya sebuah tradisi dengan mengatakan bahwa, tanpa tradisi pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi biadab. Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan dengan zamannya.9
Sedangkan tradisi menurut Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun- temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.10
Menurut Bahasa Latin, Tradisi disebut traditio yang bermakna diteruskan atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara manusia masa lalu dan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan
9 Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13. 10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/tradisi.
37
berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat ghaib atau keagamaan.11
Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang menjadi satu sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan.
Pada era modern ini, masih banyak tradisi yang tetap dipertahankan secara turun temurun dari nenek moyang hingga ke anak cucu pada suatu masyarakat.
Demikian juga yang terjadi di desa Paciran kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. .
Di antara tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran adalah Tradisi
Kupatan.
Kupatan merupakan salah satu bentuk budaya leluhur yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran Kabupaten Lamongan, pada hakikatnya pelaksanaan tradisi ini adalah semata-mata melestarikan budaya leluhur karena dalam pelaksanaan tradisi kupatan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dari generasi kegenerasi masih melaksanakan, menjaga serta melestarikan tradisi kupatan ini.12
11 Siti Rodliyah, Pandangan Masyarakat Terhadap Tradisi Nglangkahi Pasangan Sapi Dalam Prosesi Perkawinan di Desa Kepuh Kecamatan Papar Kabupaten Kediri (skripsi: UIN Malang 2010) , h.56 12 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 25 April 2019.
38
Tradisi Kutupatan menurut sejarah telah berlangsung sejak abad ke 15 di kerajaan Islam Demak Bintoro. Tradisi ini diyakini berasal dari Sunan Kalijaga, salah satu dari kesembilan wali (wali songo) yang termashur sebagai penyebar agama Islam di tanah Nusantara.13
Di desa Paciran sendiri konon tradisi kupatan dimulai sejak zaman Sunan
Sendang duwur. beliau adalah seorang tokoh yang turut berperan dalam menyebarkan agama Islam di pulau jawa khususnya di daerah Paciran dan sekitarnya, nama asli beliau adalah Raden Noer Rahman yang merupakan putra dari Abdul Qohar bin Malik
Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Bahgdad, menurut pendapat KH Salim Azhar tokoh agama desa Paciran, awal mula tradisi Kupatan di praktekan oleh beliau dalam rangka untuk menjamu tamu-tamu dan santri beliau seusai menjalankan puasa syawal selama enam hari.14
Dahulu tradisi Kupatan ini tidak dirayakan secara besar-besaran hanya dalam lingkup keluarga, namun seiring berjalannya waktu tradisi kupatan berkembang menjadi tradisi dilingkup masyarakat kecil, tidak lagi hanya di rumah namun ketika tanggal 8 syawal setelah menjalankan puasa syawal selama 6 hari, masyarakat kerap membawa ketupat ke mushola-mushola dan masjid-masjid untuk didoakan secara bersama-sama kemudian setelahnya ketupat tersebut dibagikan kepada masyarakat.
Awal pelestarian tradisi Kupatan sempat mengalami pro dan kontra. Ada yang beranggapan perayaan Kupatan itu tidak boleh. Karena urusan Agama itu tidak boleh
13 Diakses pada 01-07-2017 https://www.beritamerdekaonline.com/2017/07/01/lebaran- ketupat-warga-adakan-doa-bersama/. 14 Wawancara dengan KH Salim Azhar, tokoh Agama desa Paciran, 25 April 2019.
39
dicampurkan dengan urusan budaya. Namun pendapat dari ulama yang lain mengatakan tidak apa-apa untuk melakukannya. Karena di dalam tradisi Kupatan mengandung nilai-nilai kearifan dan ibadah kepada Tuhan yang Maha Esa.15
Seiring pergeseran zaman tradisi perayaan ketupat sudah tidak lagi menjadi kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat lingkup kecil, namun tradisi tersebut telah meluas ke masyarakat luar, dan dikokohkan oleh masyarakat desa Paciran sebagai perayaan besar tahunan. Perayaaan tersebut tetap berlangsung hingga saat ini, dan dengan kreatifitas masyarakat perayan tersebut semakin berkembang dari tahun ke tahun. Masyarakat berusaha menjadikan perayaan kupatan semakin dikenal generasi selanjutnya dengan mengemas kegitaan tersebut agar terlihat lebih menarik dan dinikmati semua kalangan tanpa mengurangi atau menodai nilai kerifan kupatan yang diajarkan oleh Raden Noer Rahman.16
Sejak sepuluh tahun terakhir tradisi perayaan kupatan di desa Paciran dijadikan momen perayaan hari besar yang dirayakan setiap tahunnya. Dimana ketupat sudah tidak lagi di bawa ke musshola-mushola namun ketupat dibentuk semenarik mungkin dan disusun menjadi gunungan yang kemudian di arak dari Terminal ASDP melewati
Goa Maharani dan berakhir di Tanjung Kodok. Menurut masyarakat setempat arak- arakan tersebut bermaksud memperingati napak tilas Sunan Sendang yang dianggap sebagai pencetus tradisi kupatan di daerah Paciran Kabupaten Lamongan.17
15 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat Desa Paciran, pada 22 November 2018 16 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
17 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019
40
3. Prosesi Pelaksanaan Perayaan Tradisi Kupatan
Seperti yang telah dijelaskan, masyarakat desa Paciran seluruhnya menganut agama Islam, sehingga kegiatan masyarakat sehari-hari mengacu pada nilai ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan Hadist. Masyarakat desa Paciran juga masih kental akan tradisi-tradisi warisan dari nenek moyang, yang dianggap sakral dan harus dilestarikan oleh budaya-budaya yang ada tersebut. Adapun beberapa macam tradisi yang dilakukan masyarakat desa Paciran seperti : Mauludan, Isra’ Mi’raj, Rajaban dan
Kupatan.
Tradisi kupatan dilaksanakan oleh seluruh warga desa Paciran, dari anak-anak, remaja sampai orang tua, mereka ada yang terlibat langsung dalam prosesi dan ada juga sebagai peserta yang ikut memeriahkan tradisi tersebut. Keterlibatan anak-anak tidak hanya sebagai penggembira saja, tetapi secara tidak langsung anak-anak diperkenalkan dengan tradisi yang sudah ada sejak dulu yakni kupatan.
Dalam melaksanakan tradisi kupatan ada beberapa tahapan yang terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Persiapan
Pada Tahap persiapan masyarakat membuat ketupat yang dibungkus dengan janur dan disusun dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di samping persiapan membuat ketupat sebagian masyarakat ada yang bertugas untuk membuat hiasan-hiasan tambahan guna menyemarakkan perayaan dan arak-arakan kupatan. Setelah semua bahan sudah siap kemudian kupat dan lepet serta bahan yang lain di susun menjadi gunungan-gunungan ketupat untuk nantinya di doakan dan diperebutkan saat perayaan tradisi kupatan.
41
b. Waktu dan Tempat Perayaan
Waktu perayaan kupatan biasanya dilakukan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri, karena merupakan perwujudan rasa syukur setelah mengerjakan puasa satu bulan penuh dan disempurnakan dengan puasa sunah enam hari di bulan syawal.
Sebagaimana dikatakan oleh kyai Salim Azhar tokoh agama desa Paciran Sebagai berikut:
"Bahwa setelah masyarakat mengerjakan puasa Ramadlan satu bulan penuh, mereka menyempurnakan dengan puasa syawal enam hari, kemudian ditutup dengan perayaan kupatan", Beliau juga mengutarakan acuan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abi Ayyub Al-Anshari, bahwasanya Rosulullah Saw, telah bersabda, yang artinya "Barang siapa puasa Ramadlan kemudian ia sempurnakan dengan puasa enam dari pada bulan syawal, pahalanya seperti puasa setahun penuh",18
Sedangkan tempat pelaksanaan kupatan biasanya adalah tempat-tempat yang dahulu pernah digunakan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dalam menimba ilmu secara natural sebagai bentuk napak tilas perjuangan, seperti : Goa, Pesisir Pantai,
Lereng Gunung, makam dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat.
Tempat-tempat tersebut di atas masih dianggap mempunyai nilai-nilai keramat sebagai petilasan atau bekas tempat menimba ilmu dengan berbagai cara misalnya duduk bersila.
Adapun tempat yang digunakan untuk prosesi perayaan tradisi kupatan antara lain:
18 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama Desa Paciran, 25 April 2019
42
1. Goa
Goa yang biasanya digunakan untuk perayaan tradisi kupatan desa Paciran adalah goa maharani yang terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan desa Paciran, goa maharani merupakan petilasan Sunan Sendang dan juga tempat keramat yang sekarang menjadi tempat wisata desa Paciran.
2. Pesisir Pantai
Pantai yang digunakan dalam perayaan tradisi kupatan ini adalah tanjung kodok. Pantai ini terkenal unik dengan adanya batu besar yang berbentuk menyerupai hewan kodok, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa Paciran. Selain itu, pantai sendiri merupakan sumber kehidupan masyarakat nelayan desa Paciran, dan pemberian sedekah untuk alam dalam suatu perayaan kupatan di pantai bertujuan untuk memohon kepada yang maha kuasa agar memberikan keselamatan dan hasil tangkapan ikan yang melimpah, serta dijauhkan dari segala macam bencana baik berupa angin barat (angin kencang) maupun air pasang.
Pesisir pantai tanjung kodok dipilih sebagai salah satu tempat perayaan tradisi kupatan karena, di tanjung kodok inilah Sunan Drajat dan Sunan Sendang pertama kali singgah dan memulai menyebarkan agama Islam di desa Paciran dan sekitarnya.
Sebagai bentuk napak tilas perjuangan yang telah dilakukan oleh Sunan Sendang dan
Sunan Drajat sehingga Islam di desa Paciran dan sekitarnya bisa tersebar.
3. Tempat Ibadah
Tempat ibadah yang digunakan adalah masjid-masjid dan mushola yang ada di desa Paciran, masjid dan mushola merupakan tempat berkumpulnya orang-orang muslim guna melaksanakan rukun Islam yang ke dua, juga sebagai tempat
43
berkumpulnya masyarakat desa Paciran untuk melaksanakan perayaan keagamaan sehingga silaturrahmi tetap terjalin diantara masyarakat.
4. Makam atau kuburan
Kuburan yang di ziarahi oleh masyarakat Paciran sebagai salah satu tempat perayaan tradisi kupatan adalah makam Sunan Sendang dan Sunan Drajat yang dikenal sebagai penyebar ajaran agama Islam di wilayah pesisir pantai utara. Juga sebagai pencetus adanya tradisi kupatan yang sampai sekarang masih dilaksanakan.
Sedangkan makna yang diambil dari ziarah makam Sunan Sendang dan Sunan
Drajat adalah mencari keberkahan dari para waliyullah yang sudah berjasa dalam penyebaran agama Islam di desa Paciran dan sekitarnya, di samping itu agar senantiasa ingat bahwa kematian adalah hal yang pasti akan terjadi pada setiap manusia.
Sedangkan untuk lokasi arak-arakannya sendiri di mulai dari terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di pesisir pantai Tanjung Kodok Paciran.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan Tradisi kupatan dimulai sejak malam harinya, masyarakat berbondong-bondong membawa sebagian ketupat ke tempat-tempat ibadah untuk berdoa bersama dan saling bertukar ketupat dengan tetangga kemudian masing-masing pulang kerumah dengan membawa ketupat yang sudah ditukar dengan yang lain. Ada juga yang malam harinya ziarah makam Sunan Sendang dan Sunan Drajat untuk memanjatkan do’a seraya membaca yasin dan tahlil. Mereka berkeyakinan dengan berziarah ke makam seorang yang dianggap wali akan mendapatkan berkah. Kemudian pada pagi harinya dimulailah perayaan besar tradisi Kupatan. Biasanya acara dimulai
44
dengan pembukaan yang dibuka oleh pemerintah setempat dan pemuka agama kemudian setelahnya adegan arak-arakan dimulai.
Arak-arakan sendiri mempunyai makna meluapkan kegembiraan atas terlaksananya tradisi kupatan, arak-arakan boleh dibilang rangkaian acara dalam tradisi kupatan yang paling meriah karena menampakkan kepada publik dan melibatkan partisipasi banyak orang.19 Ketupat yang sudah dihias menjadi gunungan-gunungan diarak mulai dari Terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di pesisir Tanjung Kodok. Sesampainya di Tanjung kodok arak-arakan ketupat disambut dengan parade perahu hias yang menjadikan perayaan tradisi kupatan di desa Paciran semakin ramai. Dalam perayaan kupatan di desa Paciran juga terdapat sebuah pertunjukan drama, drama tersebut menceritakan tentang “Madeke Masjid sendang
Agung” pembuatan Masjid Agung Sendang Dhuwur sebagai tonggak awal berlangsungnya tradisi kupatan di pantura desa Paciran. Drama diawali kirab kedatangan rombongan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dari dua arah yang berbeda.
Setiap rombongan beranggotakan kelompok musik kendang tanjidor. Sejumlah perempuan membawa ketupat, lepet, dan buah-buahan.
Kedua rombongan bertemu di Pantai Tanjung Kodok. Selanjutnya adegan berlanjut dengan menunggu kedatangan kapal yang membawa utusan Mbok Rondo
Mantingan dari Jawa Tengah. Rombongan Mbok Rondo Mantingan membawa bahan bangunan berupa kayu, yang akan digunakan untuk membangun Masjid Agung
Sendang Dhuwur. Dalam adegan ini juga digambarkan rombongan ini diserang
19 Wawancara dengan Khusnul Khuluq, pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019.
45
perompak. Namun, perompak bisa dikalahkan dengan bantuan Sunan Sendang dan
Sunan Drajat sehingga para perompak masuk Islam.
Setelah pertunjukan drama selesai gunungan ketupat akan dipanjatkan do’a oleh pemuka agama kemudian gunungan ketupat diperebutkan oleh ratusan masyarakat yang menginginkan keberkahan dari gunungan ketupat tersebut. Acaara diakhiri dengan kenduri ketupat, yakni makan beramai-ramai ketupat dengan berbagai sayur dan olahan sayur oleh seluruh masyarakat yang hadir dalam acara perayaan tradisi kupatan secara gratis.
Hasil observasi penulis terdapat juga beberapa kesenian asli lamongan yang ikut menyemarakkan perayaan kupatan diantaranya tongklek, jaran jenggo dan jedor.
Tongklek adalah tradisi membangunkan warga untuk mempersiapkan makan sahur saat bulan ramadhan dengan suara kentongan dari bambu. Biasanya warga melakukan dengan cara bergerombol, ramai-ramai keliling kampung, secara bersama-sama mereka memukul alat tradisional kentongan sehingga muncul suara Tong dan Klek.
Sedangkan kesenian jaran jenggo adalah seni kuda yang dilatih njenggo,yang berarti mengangguk-anggkan kepala sambil menari/berjoget menurut panduan seorang pawang yang disesuaikan dengan irama musik. Kesenian Jaran Jenggo di Solokuro
Kabupaten Lamongan. Jaran Jenggo sendiri memiliki makna jaran goyang atau kuda goyang.
Terdapat pula macam-macam perlombaan yang di selenggarakan oleh panitia diantaranya adalah, lomba cipta ketupat yang di ikuti oleh ibu-ibu yang terdiri dari empat sampai lima orang dalam satu kelompok nya, dalam perlombaan tersebut yang
46
dilombakan adalah keunikan dalam menghias makanan ketupat dan yang pasti cita rasa nya. Lomba lainnya adalah perahu hias, keterangan dari panitia kenapa perahu hias, karena mayoritas penduduk desa Paciran bekerja sebagai seorang nelayan, dalam perlombaan ini diikuti oleh sepuluh perahu hias yang sudah dihias sedemikian rupa sehingga turut serta menyemarakkan perayaan kupatan.
BAB IV
ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI KUPATAN BAGI
MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Makna Tradisi Kupatan
Ada beberapa aspek yang terkandung dalam makna tradisi kupatan. Makna tradisi kupatan sangat berpengaruh dalam kehidupan orang yang menjalankan tradisi tersebut, adapun beberapa aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aspek Spirirtual
Beberapa dampak secara spiritual yang yang menjadikan masyarakat desa Paciran lebih semangat dalam menjalankan hal-hal yang terkait dengan keagamaan diantaranya adalah
a. Saling Bermaaf Memaafan
Makna yang paling terlihat ketika perayaan tradisi kupatan dari aspek spiritual adalah saling bermaaf-maafan, makna ini diambil dari arti kata Kupat dalam Bahasa jawa, yang berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan dengan cara saling bermaaf- maafan yang biasa dipraktekkan oleh masyrakat desa Paciran dengan Sungkeman.
Dampak positifnya dari makna ini adalah masyarakat yang biasanya enggan untuk bermaaf-maafan dengan tetangga menjadi lebih semangat untuk melaksanakannya.
Seperti yang dikatakan oleh Munaji masyarakat desa Paciran bahwa,
“masyarakat desa Paciran ketika kupatan berlangsung semuanya pada guyub rukun dan
47
48
keluar rumah masing-masing untuk sungkeman serta saling bermaaf-maafan dengan tetangga dan orang terdekatnya.”1
Dikuatkan juga oleh zaky masyarakat desa Paciran, “hanya ketika lebaran idul fitri dan lebaran ketupat jalanan desa diramaikan oleh masyarakat guna saling sungkeman dan bermaaf-maafan. Sangat berbeda sekali dengan hari-hari biasa di luar perayaan tradisi kupatan dan lebaran idul fitri masyarakat enggan untuk guyub rukun ramai-ramai keluar rumah untuk saling sapa dan bermaaf-maafan satu dengan lainnya.”2
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134 yang artinya “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134) ayat tersebut menerangkan bahwa pentingnya saling bermaaf-maafan kepada sesama manusia karena Allah tidak akan menerima permintaan maaf hambanya jika orang yang disakitinya belum memberikan maaf atas kesalahan yang diperbuat.
Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya
1 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019 2 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
49
dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya.3
Kupat juga kepanjangan dari laku papat berarti al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas yang merupakan sumber hukum islam.4 Di samping itu ada yang memberikan makna berbeda dari laku papat yaitu sebagai empat tindakan meliputi lebaran, luberan, leburan, dan laburan.5 Makna saling mengakui kesalahan ditunjukkan dengan bersalam-salaman dan saling bermaaf-maafan setelah melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa syawal.
b. Mendatangkan Cahaya
Dampak selanjutnya dari segi spriritual adalah mendatangkan cahaya atau mendatangkan ketenangan dan keberkahan, yang diambil dari arti kata Janur,
Kepanjangan dari Ja’a Nur yang artinya “telah datang seberkas cahaya terang”.
Filosofi makna yang tersimpan di balik “janur” sebagai bungkus “kupat” adalah bahwa manusia senantiasa mengharapkan datangnya cahaya petunjuk dari Allah yang memberikan petunjuk dan membimbing mereka pada jalan kebenaran yang diridhai oleh-Nya, bukan pada jalan yang tidak disukai oleh-Nya.6 Janur sendiri adalah pupus dari daun kelapa atau daun kelapa yang masih muda, daun yang dipakai untuk membungkus lepet.7
3 Diakses pada Sabtu 24 Juni 2017 https://www.nu.or.id/post/read/79180/perihal-maaf- memaafkan 4 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh agama desa Paciran, pada 25 April 2019 5 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya (Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 6 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya (Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 7 Kamus besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/janur
50
Dengan adanya kegiatan perayaan tradisi kupatan berdampak juga pada segi beragama, yang sebelumnya ketika hari-hari biasa enggan untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid-masjid tetapi dengan adanya tradisi ini masyarakat menjadi lebih semangat dalam menjalankan sholat berjamaah di masjid-masjid dan mushola, terbukti dengan jumlah jamaah yang bertambah ketika menjelang perayaan tradisi kupatan. Di samping itu sebagian besar masyarakat juga ikut menjalankan puasa Sunnah selama enam hari dibulan syawal yang sudah di contohkan oleh para leluhur dan tokoh masyarakat setempat sebelum perayaan tradisi kupatan dilaksanakan.
Mendatangkan cahaya yang dimaksudkan adalah ketika kita telah melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadhan dan disempurnakan dengan puasa enam hari bulan syawal, dari situ masyarakat yang melaksanakan tradisi kupatan berharap mendapatkan cahaya atau petunjuk dari Allah atas yang sudah dikerjakan selama bulan Ramadhan dan bulan syawal.
c. Menutup Aib Orang Lain
Dampak yang terakhir dari spiritual adalah pandai-pandai dalam menjaga aib orang lain yang di ambil dari arti kata Lepet, kepanjangan dari silep seng rapet artinya jika mengetahui kesalahan orang lain hendaknya jangan di kabarkan kepada yang lain nya, pandai-pandailah menutupi kesalahan orang lain. Lepet sendiri adalah makanan khas jawa yang selalu ada ketika perayaan tradisi kupatan.8
Dalam sebuah hadits Nabi bersabda yang artinya “Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari
8 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
51
kiamat kelak.” (HR Muslim).9 Dari hadits tersebut sudah sangat jelas bahwa kita dianjurkan untuk menjaga aib kepada sesama manusia.
Fakta dilapangan ketika sedang berkumpul dengan banyak orang yang harus dijaga adalah aib orang lain, karena kedatangannya mengikuti acara perayaan tradisi kupatan adalah saling bermaaaf maafan bukan saling membuka aib orang lain.
2. Aspek Sosial
Adapun dampak yang dirasakan oleh masyarakat desa Paciran dalam aspek sosial dengan adanya perayaan tradisi kupatan adalah sebagai berikut :
a. Gotong Royong
Makna gotong royong sebagai yang paling terlihat dalam aspek sosial ketika perayaan tradisi kupatan, makna gotong royong diambil dari makna Rontar atau
Lontar, daun siwalan yang dipakai untuk membungkus ketupat, daun ini sangat istimewa dari bentuknya yang panjang dan sangat kuat serta mengeluarkan bau yang sedap. Daun rontar ditata rapi dengan model anyaman, selang seling kadang di atas dan kadang dibawah, serta saling menguatkan satu sama lainnya. Makna yang terkadung adalah dalam menjalani kehidupan manusia sering kali berada pada posisi yang berubah-ubah, kadang di atas dan kadang juga di bawah, tetapi antara satu dengan yang lainnya harus tetap saling gotong royong dan menguatkan.10
Dengan adanya perayaan tradisi kupatan yang dilaksanakan setiap setahun sekali ini sangat berdampak kepada kebersamaan warga dalam rangka gotong royong
9 Diakses pada 10 Agustus 2016 https://www.republika.co.id/berita/dunia islam/fatwa/16/08/10/obooky313-membuka-aib-pasangan-apa-hukumnya. 10 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
52
menyiapkan acara kupatan dari persiapan hingga pelaksanaan dilapangan, bukan hanya dari kalangan bapak-bapak saja, tetapi semua kalangan seperti, ibu-ibu, remaja sampai anak-anak ikut andil dan bersama-sama untuk mensukseskan acara perayaan tradisi kupatan terserbut.
Bapak-bapak sibuk mempersiapkan matrial untuk gunungan ketupat dan mengatur suSunan acara pelaksanaan perayaan tradisi kupatan sedangkan ibu-ibu sibuk mempersiapkan ketupat dan makanan yang lain seperti, lepet, buah-buahan, sayur- sayuran dan lain-lain sebagai hiasan untuk gunungan ketupat. Untuk anak-anak dan remaja mereka sibuk dengan berlatih drama kolosal yang akan dipersembahkan dalam acara perayaan tradisi kupatan.
2. Aspek Ekonomi
Dalam aspek Ekonomi tradisi kupatan sangat berdampak pada para masyarakat desa Paciran yang bermata pencaharian sebagai penjual daun lontar maupun daun janur yang digunakan sebagai bahan utama membuat ketupat dan lepet. Dua bahan pokok ini ketika menjelang pelaksanaan tradisi kupatan mengalami kenaikan harga disamping permintaan banyak dan stok barang terbatas yang menjadikan barang tersebut mengalami kenaikan harga.
Bukan hanya itu ketika perayaan tradisi kupatan berlangsung juga mempunyai dampak ekonomi yang sangat besar dibuktikan dengan banyaknya para penjual dadakan yang membuka lapak nya di pinggir-pinggir jalan yang digunakan sebagai rute perayaan arak-arakan gunungan ketupat guna menjajakan barang dagangannya kepada para peserta arak-arakan dan pengunjung yang sengaja datang untuk melihat meriahnya perayaan tradisi kupatan desa Paciran.
53
Salah satu informan mengatakan ”kalau tidak ada perayaan tradisi kupatan seperti ini ya saya tidak jualan, biasanya saya jualan hanya di rumah saja itupun hasilnya tidak seberapa tetapi ketika ada perayaan tradisi kupatan seperti ini saya bisa mendapatkan hasil lebih banyak dari biasanya.”11
3. Tujuan Tradisi Kupatan
Ada beberapa tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan diantaranya adalah:
1. Sebagai Sarana Komunikasi Dan Silaturrahmi
Silaturahmi menjadi hal yang sangat diutamakan oleh masyarakat desa Paciran melalui praktik kupatan. Melalui tradisi inilah silaturahmi antara warga, santri, dan
Kyai terjalin lebih kuat. Sebagaimana ditekankan dalam hadist nabi yang artinya
“Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.(HR.Bukhori)”, dengan tujuan mendapatkan banyak manfaat, sebagaimana diakui oleh Ismunawan bahwa “Acara ini adalah adat yang baik, adat yang Islami, warga semangat menjalankan agar mendapat barokah.”12 Dengan kata lain, melalui tradisi kupatan inilah diyakini akan tercipta ukhuwah Islamiyah yang semakin kuat.
Kata silaturahmi terbentuk dari dua kosa kata; silahun dan ar-rahm. Shilah artinya hubungan dan ar-rahm artinya kasih sayang, persaudaraan atau rahmat Allah ta’ala. Ada yang suka menyebut silaturrohim atau silaturrahmi pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Silaturahmi adalah hubungan persaudaraan yang
11 Wawancara dengan fariha, pedagang desa Paciran, pada 12 Juni 2019. 12 Wawancara dengan Ismunawan, pejabat pemerintahan kabupaten Lamongan, pada 12 Juni 2019.
54
terikat atas dasar kebersamaan, persaudaraan, saling mengasihi, melindungi, sehingga rahmat Allah menyertai ditengah ikatan persaudaraan itu.13
Ibn al Mandzur mengutip pendapat Ibn al Atsir mengatakan bahwa silaturrahmi adalah istilah lain dari berbuat baik, menyayangi, mengasihi dan memperhatikan keadaan kaum kerabat. Silaturahmi bukan sekedar kunjung mengunjung, akan tetapi yang lebih penting adalah upaya seseorang yang bersilaturrahmi untuk menanamkan dan menumbuhkan rasa persaudaraan yang mendalam sehingga dapat saling mengetahui, memahami dan tolong menolong antar sesama tanpa membedakan kedudukan, jabatan ataupun kekayaan.14 Dengan demikian, silaturahmi berarti menghubungkan tali persaudaraan merupakan salah satu pesan moral yang dapat menumbuhkan kepedulian dan kepekaan terhadap orang lain.
Selain itu bapak Munaji mengatakan bahwa “Orang yang saling bersilaturahmi itu akan dipanjangkan umurnya oleh Gusti Allah”.15 Bahkan ajaran Islam sendiri memberikan catatan akan pentingnya menjaga tali silaturahmi, dan memberikan penegasan (ancaman) bagi siapa saja yang memutuskan tali silaturahmi kepada sesamanya.16
Pendapat tersebut di kuatkan oleh bapak Ismunawan, ia mengatakan bahwa
“spirit yang dibawa oleh masyarakat desa Paciran adalah spirit silaturrahmi seperti
13 Fatihuddin, Dahsyatnya Silaturohmi, hal. 13. 14 Abu Bakar, “Shilaturrahmi Dalam Sunnah Nabawiyah”, Dialogia, 3 (Juli-Desember, 2005), hal. 29. 15 Wawancara dengan Munaji, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019 16 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Jakarta: LPPI, 2007), hal. 189-190.
55
yang sudah dicontohkan oleh para sesepuh terdahulu tentang betapa pentingnya silaturrahmi untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar masyarakat desa”.17
Dari observasi penulis melihat bahwa makna silaturrahmi yang terkandung dalam perayaan tradisi kupatan desa Paciran kabupaten Lamongan benar-benar di aplikasikan, dengan bukti banyaknya masyarakat desa Paciran yang berbondong- bondong untuk ikut serta meramaikan perayaan kupatan tersebut. Bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja pun ikut serta dan berbaur menjadi satu. Dengan adanya perayaan tradisi kupatan ini bisa menyatukan seluruh elemen masyarakat desa Paciran sehingga silaturrahim dan komunikasi antar warga tetap terjaga.
2. Sebagai Sarana Sedekah
Makna yang melekat dari tradisi kupatan adalah berbagi dengan sesama yang di kuatkan dengan salah satu dari wejangan kanjeng Sunan Drajat yaitu “menehono mangan marang wong kang luweh” yang artinya berilah makan kepada orang yang lapar. Wejangan tersebut bisa dirujuk sebagai dasar bagi masyarakat desa Paciran dalam mempraktikkan tradisi open house saat acara kupatan. Sehingga, meski tamu yang berkunjung ke rumahnya sangat banyak, tidak lantas membuat mereka terbebani.
Justru, semakin banyak tamu yang berkunjung ke rumah mereka untuk menikmati hidangan kupat, diyakini akan semakin banyak pula berkah yang mereka dapatkan.
Sebagaimana diakui oleh Mustaqimah, “Kita masyarakat Paciran ikhlas memberikan
17 Wawancara dengan Ismunawan, pemerintah Kabupaten Lamongan, 12 Juni 2019
56
hidangan kupat kepada para tamu. Kalau kita memberi ke orang lain insyaalloh rejeki kita bisa makin banyak”.18
yang berarti suatu pemberian صدقة Sedekah berasal dari kata bahasa Arab yaitu yang diberikan oleh seorang kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala
serta dari unsur al-Sidq yang ق ,د ,ص semata. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf berarti benar atau jujur, artinya sedekah adalah membenarkan sesuatu. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT.19
Dalam tradisi Kupatan di desa Paciran, wejangan tentang sedekah terwujud dalam bentuk praktik open house. Masyarakat mempraktikkan wejangan tersebut dalam bentuk hidangan ketupat yang mereka berikan kepada siapapun yang berkunjung ke rumahnya. Meski ada juga dari warga desa Paciran tidak mengetahui bahwa yang mereka praktikkan sejalan dengan wejangan kanjeng Sunan Drajat, tetapi mereka meyakini bahwa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan yang sudah di syari’atkan oleh agama.
Dari observasi yang dilakukan oleh penulis melihat bahwa semangat masyarakat desa Paciran dalam rangka bersedekah dengan cara menyiapkan hidangan berupa ketupat, lepet dan berbagai macam buah-buahan adalah bentuk rasa syukur mereka karena sudah diberi kenikmatan berupa kesempatan untuk bisa menjalankan
18 Wawancara dengan Mustaqimah, masyarakat desa Paciran, 13 Juni 2019 19 Taufiq Ridha, Perbedaan Ziwaf (Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia, tt), Hal. 01
57
puasa selama enam hari pada bulan syawal dan ditutup dengan perayaan tradisi kupatan.
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu
Realitas bahwa masyarakat desa Paciran sangat antusias dalam menyambut dan
memuliakan para tamu yang datang ke rumahnya saat pelaksanaan tradisi kupatan,
didasari adanya keyakinan itu terkait dengan pemahaman mereka tentang konsep
sedekah.
Memuliakan tamu, mereka wujudkan dalam bentuk sambutan hangat, serta
senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikan.
Sikap ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka. Melayani tamu
dengan berbagai macam hidangan ketupat itulah yang mereka maknai sebagai sikap
memuliakan tamu. Bahkan mereka mempersilahkan siapapun yang lewat di depan
rumahnya untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan, sampai ada pula
sebagian dari mereka yang tidak segan untuk ‘merayu’ para tamunya supaya mau
menambah makanan yang sudah dihabiskan. Biasanya mereka mengatakan dengan
istilah “monggo, ditanduk kupatipun” (silahkan ditambah ketupatnya). Masyarakat
desa Paciran menganggap, siapapun yang melintasi rumah, bahkan jalan raya Paciran
sebagai tamu mereka, tanpa memandang asal, bahkan agamanya. Masyarakat non-
muslim pun turut berkunjung ke rumah-rumah warga.20 Di sinilah terlihat wujud
nyata dari praktik memuliakan tamu. Tanpa mengenal istilah tamu khusus, warga
mana, dan agamanya apa. Dengan kata lain, tradisi ini mendorong orang untuk lebih
20 Observasi penulis, pada 12 Juni 2019
58
mengedepankan prinsip kearifan lokal, tidak hanya menunjukkan wajah dan orientasi
agama, tetapi juga berwajah dan berorientasi sosial. Sebagaimana terjadi dalam
praktik tradisi lokal masyarakat di Jawa yang sudah mengalami akulturasi dengan
budaya Islam.21 Sekat agama dan status sosial melebur menjadi satu, ke dalam prinsip
menghormati dan memuliakan tamu.
Tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan
kemampuan, tanpa ada unsur paksaan. Masyarakat pun tidak pernah merasa terbebani
dengan adanya tradisi ini. Bahkan atas keinginan sendiri, mereka menabung jauh-
jauh hari sebelum diselenggarakannya acara tersebut, dengan tujuan agar saat tiba
hari raya kupatan mereka bisa memberikan jamuan terbaik kepada para tamunya.
Sebaliknya, orang yang bertamu pun harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang
baik, agar orang yang menerimanya pun senang untuk melayani. Meskipun tamu
tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh sang pemilik rumah sekalipun. Hal terpenting
bagi warga desa Paciran adalah memberikan sambutan yang hangat kepada siapapun.
Ada sebuah filosofi jawa yang berbunyi “Gupuh Aruh Rengkuh Rengkuh
Lungguh Suguh”22 adapun makna yang dari filosofi itu adalah yang pertama Gupuh
secara harfiah artinya tergesa gesa atau tergopoh gopoh. Makna yang luas dari gupuh
ini adalah perasaan gembira ketika menyambut kehadiran tamu. Arti lainnya adalah
ketika menerima kehadiran tamu tuan rumah hendaknya bersikap ramah, hangat dan
21 M Aly Haedar, “Pergeseran Pemaknaan Ritual ‘Merti Dusun’; Studi Atas Ritual Warga Dusun Celengan, Tuntang, Semarang,” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat XIII, no. 1 (2016), hal. 1–23. 22 Diakses Pada 13 April 2016 http://pakuspedia.blogspot.com/2016/04/aruh-gupuh-rengkuh- lungguh-suguh.html
59
antusias saat menyambut kehadirannya. Seorang tuan rumah harus rela meninggalkan kegiatannya dan harus bisa menekan amarah dalam hatinya. Misalnya berusaha menyembunyikan raut wajah yang tadinya cemberut menjadi lebih berseri-seri atau yang semula berpakaian seadanya menjadi lebih rapi.
Makna kedua adalah Aruh yang berarti menyapa. Maksud dari aruh ini adalah membuka diri melalui percakapan agar seseorang yang diajak bicara tidak merasa canggung dan bisa bertukar fikiran secara terbuka. Mari kita lestarikan khazanah budaya agar tetap terjaga sepanjang masa. Makna selanjutnya adalah Rengkuh berarti dengan lapang dada menerima kehadiran tamu, meskipun hal itu tidak kita harapkan.
Ibarat kata legowo (menerima dengan penuh kesadaran), hal ini wajib dilakukan oleh tuan rumah kepada tamu yang datang.
Makna yang keempat adalah Lungguh berarti mempersilahkan seseorang untuk segera masuk kelingkungan tempat kita untuk segera duduk. Dalam budaya kita, tamu tidak akan duduk sebelum dipersilahkan untuk duduk, istilahnya belum
"dimanggakne". Biasanya sambil mempersilahkan duduk tuan rumah memberi sambutan basa-basi sebagai bumbu penyedap agar suasana menjadi lebih gayeng atau semarak misalnya : wah kok masih awet muda saja ataupun njanur gunung (tumben jauh-jauh datang kesini) dan menanyakan kabar, hal semacam ini adalah sebuah pembukaan sehingga seseorang yang datang bisa merasa nyaman sebelum masuk kedalam suasana percakapan yang lebih serius.
Makna yang terakhir adalah Suguh berarti memberi suguhan atau memberikan hidangan. Hidangan ini bisa sekadarnya ataupun hidangan besar. Dalam budaya
Suguh ini ada sedikit penekanan bagi tuan rumah untuk berkorban secara finansial
60
dengan sedikit “memaksakan diri” demi menghormati tamu. Bagi seseorang yang
sedang berkunjung pun juga harus bisa menyikapi suguh ini, jika belum dipersilahkan
mencicipi hidangan maka jangan pernah serta merta mengambil makanan yang
disuguhkan, tamu harus sabar menunggu hingga tuan rumah mempersilahkan untuk
mencicipi hidangan dan tamu pun harus rela untuk sedikit mencicipi hidangan
meskipun tidak merasa lapar semua demi sebuah penghormatan.
Hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Malik, al Bukhori,
Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibn Majah yang artinya : “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya,
masa bertamu yang dibolehkan adalah satu hari dan satu malam, dan penjamuan
tamu itu tiga hari, maka selebihnya adalah sedekah, dan tidak halal bagi tamu untuk
menginap disisinya hingga menyebabkan tuan rumah berdosa (karena melakukan
ghibah dan lain-lain).”23 dari hadis tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tradisi
memuliakan tamu yang dilakukan oleh masyarakat desa Paciran ketika perayaan
tradisi kupatan adalah baik dan sesuai dengan yang di ajarkan oleh Rosulullah.
4. Sebagai sarana merawat tradisi leluhur
Seperti yang sudah disampaikan dalam bab sebelumnya bahwa tradisi kupatan adalah tradisi yang turun temurun dari dulu hingga sekarang, Tradisi kupatan ini merupakan tradisi sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur. Ia adalah murid dari
Sunan Drajat, pada waktu itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuan kepada santri-
23 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Shohih At-Targhib Wa Tarhib.(Jakarta:Pustaka Sahifa, 2008). hal.76
61
santrinya berupa kupat dan lepet ketika silaturahmi setelah lebaran. Darisitulah tercetus tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Masyarakat Paciran memaknai kupatan sebagai bagian dari merawat tradisi yang sudah di bawa oleh Sunan Drajat dan Sunan Sendang bukan hanya itu saja, tetapi berkat kegigihan beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya adalah membuat ketupat dan berbondong” membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat, sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai
Sunan Sendang dan Sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Di samping itu terdapat pula kesenian-kesenian khas kabupaten Lamongan diantaranya musik tongklek, jaran jenggo, dan tanjidor Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Goa
Maharani hingga menuju Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari
Lamongan.24
Seiring berjalannya waktu pemerintah desa Paciran ikut andil dalam rangka perayaan kupatan tersebut. Yang sebelumnya murni di pegang oleh masyarakat tanpa ada andil dari pemerintah setempat. Sehingga semakin tahun semakin semarak perayaan tradisi kupatan desa Paciran. Menjadi daya Tarik juga bagi masyarakat di luar desa Paciran untuk ikut dalam kemeriahan perayaan tradisi kupatan tersebut.
24 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, Pada 22 April 2019
62
4. Pandangan Masyarakat Tentang Tradisi Kupatan
a. Tokoh Agama
Dalam wawancara yang penulis lakukan kepada KH Salim Azhar, penulis menanyakan pertanyaan terkait pandangan terhadap perayaan tradisi kupatan desa
Paciran kabupaten Lamongan, beliau mengatakan:
“Tradisi kupatan di desa Paciran ini sudah sejak lama di lakukan oleh masyarakat dan memiliki filosofi yang cukup tinggi yakni sebagai simbol permohonan maaf antar umat beragama Islam setelah menjalani bermasyarakat selama setahun, kemudian ditandai dengan saling bermaaf-maafaan seperti melekat pada istilah kupat yakni ngaku lepat atau mengaku salah. Jadi tidak ada salahnya untuk tetap dilestarikan sebagai bentUk merawat tradisi yang sudah ada.”25 Dalam melaksanakan tradisi kupatan ini tidak ada suatu keharusan bagi masyarakat untuk melakukan, tetapi dalam prakteknya kebanyakan masyarakat selalu ikut serta dalam memeriahkan tradisi kupatan di desa Paciran. Karena sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah serta sebagai bentuk saling maaf memaafkan antar sesama masyarakat.
b. Pemerintahan
Wawancara yang penulis lakukan selanjutnya di tujukan kepada masyarakat desa, salah satunya yaitu Bapak Ismunawan:
”Tradisi kupatan yang sudah ada ini harus tetap dilestarikan karena tradisi ini adalah tradisi yang baik, tradisi yang Islami, warga semangat menjalankan agar mendapat barokah. Kami juga selaku pemerintah setempat akan terus mensupport pelaksanaan tradisi kupatan ini sehingga bisa menjadi daya tarik
25Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh agama desa Paciran, pada 12 Juni 2019
63
bagi masyarakat yang lainnya untuk ikut serta dalam melestarikan tradisi leluhur kita.”26 Dalam perayaan tradisi kupatan di desa Paciran tiga tahun terakhir pemerintah setempat juga ikut andil guna menambah meriahnya acara yang sebelumnya murni dilakukan oleh masyarakat mulai dari persiapan, pengumpulan dana hingga pelaksanaan semuanya di laksanakan langsung oleh masyarakat.
Pernyataan di atas diperkuat oleh bapak Khusnul Khuluq selaku kepala desa
Paciran, ia mengatakan:
“Tradisi kupatan ini menjadi fokus kerja pemerintah untuk mengembangkan sisi pariwisata, sehingga dengan adanya tradisi perayaan kupatan ini bisa menarik minat wisatawan untuk bisa melihat, meramaikan serta mencicipi berbagai masakan khas perayaan kupatan.”27
c. Masyarakat
Wawancara yang penulis lakukan selanjutnya di tujukan kepada masyarakat desa, salah satunya yaitu Bapak Munaji:
“selaku masyarakat desa Paciran sangat senang dengan adanya perayaan tradisi kupatan, di samping saya bisa bersilaturrahmi dengan tetangga dekat dan tetangga jauh yang bisajadi ketika hari biasa tidak pernah ketemu ketika perayaan kupatan jadi kita bisa bertemu dan saling maaf memaafkan. Tradisi kupatan ini tidak ada paksaan untuk mengikuti tetapi masyarakat memang ingin menghargai dan merawat tradisi yang penuh akan makna yang terkandung didalamnya.”28 Dari responden lain mengatakan bahwa :
26 Wawancara dengan Ismunawan, Pemerintah kabupaten Lamongan, pada 12 Juni 2019 27 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019 28 Wawancara dengan Munaji, masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019
64
“Tradisi kupatan yang dilakukan setahun sekali ini sangat di nantikan karena menyajikan banyaknya kesenian dan makanan-makanan khas yang bisa di santap secara gratis, selain itu kupatan yang di tunggu-tunggu adalah royokan gunungan ketupat (berebut gunungan ketupat) yang diyakini membawa keberkahan bagi yang mendapatkannya.”29 Dari dua keterangan informan bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat sendiri sangat menanti-nanti tradisi kupatan ini, di samping mencari keberkahan dengan memperebutkan gunungan ketupat, juga bisa saling maaf memaafkan serta bersilaturrahim antar sesama warga.
29 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai makna dan tujuan tradisi kupatan bagi masyarakat desa Paciran kabupaten lamongan, maka penulis menyimpulkan bahwa penelitian ini dibagi menjadi beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
Penulis membagi beberapa aspek makna tradisi kupatan diantaranya adalah:
1. Aspek Spiritual
Aspek pertama adalah secara spiritual dengan bertambah semangat masyarakat desa Paciran dalam menjalankan ibadah seperti sholat berjamaah di masjid dan musholla kemudian puasa enam hari dibulan syawal, bukan hanya saja tetapi semangat untuj silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan juga bertambah dengan dibuktikan banyak nya masyarakat yang keluar rumah untuk mengunjungi sanak saudara dan tetangga guna silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan.
2. Aspek Sosial
Aspek yang kedua adalah dari segi sosial kemasyarakatan makna yang sangat terlihat adalah semangat masyarakat dalam rangka gotong royong untuk mempersiapkan perayaan tradisi kupatan mulai dari persiapan materi hingga persiapan pelaksanaa tradisi tersebut. Semua dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran dari anak-anak, remaja, hingga dewasa semua ikut serta dalam mensukseskan acara perayaan tradisi kupatan.
65
66
3. Aspek Ekonomi
Aspek yang terakhir adalah dari segi ekonomi sangat terlihat sekali perbedaan antara ketika adanya perayaan tradisi kupatan dan tidak, yang paling diuntugkan adalah para penjual bahan pokok untuk membuat ketupat dan lepet yakni daun janur dan lontar. Para penjual tersebut meraup penghasilan yang lebih banyak dari hari-hari biasa.
Bukan hanya penjual daun lontar dan janur tetapi bagi para penjual jajanan juga mengalami peningkatan penjualan ketika perayaan tradisi kupatan berlangsung dengan bukti banyaknya para pedagang dadakan yang membuka lapak dagangannya di seppanjang jalan rute perayaan tradisi kupatan dilaksanakan.
Sedangkan tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan adalah:
1. Sebagai Sarana Komunikasi dan silaturrahmi
Pada perayaan tradisi kupatan ini komunikasi dan silaturrahim masyarakat desa
Paciran Kabupaten Lamongan benar-benar terjalin, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang hadir meramaikan perayaan tradisi kupatan tersebut, bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja juga ikut serta merayakan tradisi kupatan. Sebagaimana pengertian kupat dalam filosofi jawa yang mempunyai arti ngaku lepat (mengakui kesalahan) bahwa pelaksanaan tradisi kupatan juga sebagai sarana untuk saling maaf memaafkan.
2. Sebagai Sarana Sedekah
Tradisi kupatan juga mempunyai makna sebagai sarana untuk bersedekah, hal ini
ditunjukkan dengan semangat masyarakat desa Paciran dalam menyiapkan
hidangan berupa ketupat, lepet dan aneka buah-buahan sebagai wujud rasa syukur
67
mereka karena sudah diberikan kenikmatan berpuasa selama enam hari pada bulan
syawwal.
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu
Selanjutnya dalam tradisi kupatan, masyarakat desa Paciran memberikan jamuan
yang sudah disediakan oleh tuan rumah kepada setiap tamu yang berkunjung.
Meskipun tamu tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh tuan, ia akan disambut
dengan dan diterima dengan baik.
4. Sebagai Sarana Merawat Tradisi Leluhur
Sebagaimana yang sudah dideskripsikan bahwa tradisi kupatan adalah tradisi yang
turun temurun dari dulu hingga sekarang, Tradisi kupatan ini merupakan tradisi
sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur. Ia adalah murid dari Sunan Drajat,
pada waktu itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuan kepada santri-santrinya
berupa kupat dan lepet ketika silaturahmi setelah lebaran. Darisitulah tercetus
tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Adapun tatacara dan praktik tradisi kupatan desa Paciran dimulai sejak malam hari, dengan melaksanakan doa bersama di tempat-tempat ibadah sambil membawa ketupat yang sudah disiapkan dari rumah masing-masing. Pada pagi harinya pelaksanaan tradisi kupatan dilanjutkan dengan arak-arakan yang menjadi rangkaian acara paling ramai dan meriah dalam setiap perayaan tradisi kupatan. Arak-arakan dimulai dari terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di Pesisir Pantai Tanjung
Kodok. Ada beberapa perlombaan dan pertunjukan diantaranya adalah lomba cipta ketupat dan lomba perahu hias. Sedangkan untuk pertunjukannya adalah fragmen kolosal yang berjudul “Madeke Masjid Sendang Duwur” yang artinya berdirinya
68
masjid sendang duwur. Perayaan tradisi kupatan ditutup dengan doa dan dilanjutkan memperebutkan gunungan ketupat.
b. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini penulis berharap besar kepada pemerintah kabupaten Lamongan agar tradisi ini bisa di perkenalkan ke masyarakat luas, supaya tidak hanya masyarakat desa Paciran yang melaksanakan tradisi serupa. Karena tradisi ini merupakan warisan luhur dan memiliki nilai budaya yang harus dilestarikan, dirawat serta diperkenalkan kepada generasi muda. Bagi pengembangan ilmiah, sebaiknya penelitian ini digunakan untuk menambah khazanah keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar, “Shilaturrahmi Dalam Sunnah Nabawiyah”, Dialogia, 3, 2005 Ajiboye, Emmanuel Olanrewaju, Social Phenomenologi of Alfred Schutz and the Development of African Sociology, British Journal of Arts and Social Sciences, 2012 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Terj), ed. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto Jakarta, 2013 Dawam Rahardjo, Pesantren Dan Pembaharuan, Jakarta : LP3ES, 1985 Dokumen Profil Desa Paciran Engkus Kuswarno, Fenomenologi; fenomena pengemis kota bandung. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009 Fatihuddin, Dahsyatnya Silaturohmi, Delta Prima Press 2010 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj Alimandan, Jakarta: Kencana, 2007 Husni Thamrin, Orang Melayu : Agama, Kekerabatan, Prilaku Ekonomi Lpm : Uin Suska Riau, 2009 Hendro Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati, Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Journal of Educational Social Studiesh JESS 1 (1) – 2012 Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, cet 8 Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018 Kamus besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/janur Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi Yogyakarta: Kanisius, 1994 Nurcholish Madjid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan Jakarta: PB. HMI, 2016 M Aly Haedar, “Pergeseran Pemaknaan Ritual ‘Merti Dusun’; Studi Atas Ritual Warga Dusun Celengan, Tuntang, Semarang,” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat XIII, no. 1 2016 NU Online, 2008, Lebaran Ketupat, dari Mana Tradisi ini Berasal? diakses pada 29 November 2018 http://www.nu.or.id/post/read/14238/lebaran-ketupat-dari- mana-tradisi-ini-berasal NU Online, Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa, diakses pada 11 Juni 2019 https://www.nu.or.id/post/read/39434/lebaran-ketupat-dan-tradisi-masyarakat- jawa NU Online, Kupatan, Diakses pada 29 Agustus 2012 https://www.nu.or.id/post/read/39477/kupatan “Profil Desa Paciran” di akses pada 26 April 2019 dari https://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/245-paciran Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU, Jakarta : Depag RI 2007 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Shohih At-Targhib Wa Tarhib.Jakarta:Pustaka Sahifa, 2008 Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1995 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka 1998 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994 Taufiq Ridha, Perbedaan Ziwaf Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia, tt Yuhana, Tradisi Bulan Ramadhan dan Kearifan Budaya Lokal Komunitas Jawa di Desa Tanah Datar Kecamatan Rangat Barat Kabupaten Indragirihulu, Jom FISIP, Vol. 3 No. 1 - Februari 2016, Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak Jakarta: LPPI, 2007
Wawancara: Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 25 April 2019 Wawancara dengan Abdul Hakim, Desa Paciran, 22 Maret 2019 Wawancara dengan Munaji, Desa Paciran, 22 April 2019 Wawancara dengan Ismunawan, pemerintah kabupaten Lamongan, pada 12 Juni 2019 Wawancara dengan Mustaqimah, masyarakat desa Paciran, 13 Juni 2019 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
Lampiran II
1. Wawancara dengan Bapak Hakim, tokoh masyarakat desa Paciran, 22 Maret 2019
Pertanyaan:
A. Kapan dilaksanakannya tradisi kupatan di desa Paciran Lamongan ? Kupatan sendiri adalah tradisi keagamaan yang berhubungan dengan hari besar Islam. Tradisi kupatan merupakan salah satu bentuk warisan budaya leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat desa Paciran kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan kegiatan sosial yang melibatkan seluruh masyarakat dalam usaha bersama untuk memperoleh keselamatan, dan ketentraman bersama. Tradisi Kupatan di kabupaten lamongan khusunya di daerah pesisir pantai utara di laksanakan 2 kali dalam setahun. Kupatan yang pertama dilaksanakan menjelang Ramadhan atau tepat nya 2 minggu menjelang Ramadhan tradisi ini disebut Megengan. Kupatan kedua dilaksanakan 7 hari setelah hari raya idul fitri, tepatnya pada tanggal 8 Syawal. B. Dimana lokasi pelaksanaan tradisi kupatan? Pelaksanaan kupatan dilaksanakan di pesisir pantai tanjung kodok, yang biasanya dimulai dari terminal ASDP (Angkutan Sungai dan Pelabuhan) kemudian melewati goa Maharani dan berakhir di tanjung kodok paciran lamongan
2. Wawancara dengan Bapak Munaji, Tokoh Masyarakat desa Paciran, 22 Maret 2019
Pertanyaan:
A. Bagaimana rangkaian acara tradisi kupatan? Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat paciran untuk merayakan kupatan diantaranya adalah membuat ketupat dan berbondong” membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat, sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai sunan Sendang dan sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari terminal ASDP kemudian melewati Goa Maharani hingga menuju titik akhir Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari Lamongan. B. Bagaimana Pandangan tentang kupatan? Selaku masyarakat desa Paciran sangat senang dengan adanya perayaan tradisi kupatan, di samping saya bisa bersilaturrahmi dengan tetangga dekat dan tetangga jauh yang bisa jadi ketika hari biasa tidak pernah ketemu ketika perayaan kupatan jadi kita bisa bertemu dan saling maaf memaafkan. Tradisi kupatan ini tidak ada paksaan untuk mengikuti tetapi masyarakat memang ingin menghargai dan merawat tradisi yang penuh akan makna yang terkandung didalamnya. C. Apa tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan Kupatan sebagai bagian dari merawat tradisi yang sudah di bawa oleh Sunan Drajat dan Sunan Sendang bukan hanya itu saja, tetapi berkat kegigihan beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya adalah membuat ketupat dan berbondong” membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat, sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai Sunan Sendang dan Sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Di samping itu terdapat pula kesenian-kesenian khas kabupaten Lamongan diantaranya musik tongklek, jaran jenggo, dan tanjidor Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Goa Maharani hingga menuju Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari Lamongan.
3. Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama, desa Paciran, 22 Maret 2019
Pertanyaan :
A. Kapan tradisi kupatan ini dilaksanakan? Waktu perayaan kupatan biasanya dilakukan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri, karena merupakan perwujudan rasa syukur setelah mengerjakan puasa satu bulan penuh dan disempurnakan dengan puasa sunah enam hari di bulan syawal.
Bahwa setelah masyarakat mengerjakan puasa Ramadlan satu bulan penuh, mereka menyempurnakan dengan puasa syawal enam hari, kemudian ditutup dengan perayaan kupatan", Beliau juga mengutarakan acuan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abi Ayyub Al-Anshari, bahwasanya Rosulullah Saw, telah bersabda, yang artinya "Barang siapa puasa Ramadlan kemudian ia sempurnakan dengan puasa enam dari pada bulan syawal, pahalanya seperti puasa setahun penuh". B. Dimana lokasi pelaksanaan tradisi kupatan? Tempat pelaksanaan kupatan biasanya adalah tempat-tempat yang dahulu pernah digunakan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dalam menimba ilmu secara natural sebagai bentuk napak tilas perjuangan, seperti : Goa, Pesisir Pantai, Lereng Gunung, makam dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Tempat-tempat tersebut di atas masih dianggap mempunyai nilai-nilai keramat sebagai petilasan atau bekas tempat menimba ilmu dengan berbagai cara misalnya duduk bersila. C. Apa Pengertian dari kupat ? kupat berasal dari bahasa arab Huffat, yang sesuai dengan hadis Nabi SAW.
ُح َّف ِت ْال َج َّنةُ بِ ْال َم َك ِار ِه َو ُح َّف ِت َّالن ُار بِ َّالش َه َو ِات “Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim) Dengan mengambil kata huffat dari hadist tersebut, bahwa lebaran ketupan mempunyai nasehat filosofi yang sangat penting. Yakni, dimana setelah melakukan puasa
Ramadhan selama satu bulan penuh, hendaknya tetap berhati-hati menjaga diri dari kesenangan nafsu yang menyesatkan dan tetap istiqomah dalam menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji.
D. Bagaimana sejarah tradisi kupatan di desa Paciran?
Di desa Paciran sendiri konon tradisi kupatan dimulai sejak zaman
Sunan Sendang duwur. beliau adalah seorang tokoh yang turut berperan dalam menyebarkan agama Islam di pulau jawa khususnya di daerah Paciran dan sekitarnya, nama asli beliau adalah Raden Noer Rahman yang merupakan putra dari Abdul Qohar bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Bahgdad, menurut pendapat KH Salim Azhar tokoh agama desa Paciran, awal mula tradisi Kupatan di praktekan oleh beliau dalam rangka untuk menjamu tamu- tamu dan santri beliau seusai menjalankan puasa syawal selama enam hari.
Dahulu tradisi Kupatan ini tidak dirayakan secara besar-besaran hanya dalam lingkup keluarga, namun seiring berjalannya waktu tradisi kupatan berkembang menjadi tradisi dilingkup masyarakat kecil, tidak lagi hanya di rumah namun ketika tanggal 8 syawal setelah menjalankan puasa syawal selama 6 hari, masyarakat kerap membawa ketupat ke mushola-mushola dan masjid-masjid untuk didoakan secara bersama-sama kemudian setelahnya ketupat tersebut dibagikan kepada masyarakat. Awal pelestarian tradisi Kupatan sempat mengalami pro dan kontra.
Ada yang beranggapan perayaan Kupatan itu tidak boleh. Karena urusan
Agama itu tidak boleh dicampurkan dengan urusan budaya. Namun pendapat dari ulama yang lain mengatakan tidak apa-apa untuk melakukannya. Karena di dalam tradisi Kupatan mengandung nilai-nilai kearifan dan ibadah kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Seiring pergeseran zaman tradisi perayaan ketupat sudah tidak lagi menjadi kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat lingkup kecil, namun tradisi tersebut telah meluas ke masyarakat luar, dan dikokohkan oleh masyarakat desa
Paciran sebagai perayaan besar tahunan. Perayaaan tersebut tetap berlangsung hingga saat ini, dan dengan kreatifitas masyarakat perayan tersebut semakin berkembang dari tahun ke tahun. Masyarakat berusaha menjadikan perayaan kupatan semakin dikenal generasi selanjutnya dengan mengemas kegitaan tersebut agar terlihat lebih menarik dan dinikmati semua kalangan tanpa mengurangi atau menodai nilai kerifan kupatan yang diajarkan oleh Raden
Noer Rahman.
E. Apa Tujuan dilaksanakannya kupatan? Kupatan merupakan salah satu bentuk budaya leluhur yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran Kabupaten Lamongan, pada hakikatnya pelaksanaan tradisi ini adalah semata-mata melestarikan budaya leluhur karena dalam pelaksanaan tradisi kupatan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dari generasi kegenerasi masih melaksanakan, menjaga serta melestarikan tradisi kupatan ini. 4. Wawancara dengan Ismunawan, Pejabat Pemerintah Kabupaten Lamongan, 12 Juni 2019
Pertanyaan: a. Bagaimana Pandangan bapak tentang tradisi kupatan? Tradisi kupatan yang sudah ada ini harus tetap dilestarikan karena tradisi ini adalah tradisi yang baik, tradisi yang Islami, warga semangat menjalankan agar mendapat barokah. Kami juga selaku pemerintah setempat akan terus mensupport pelaksanaan tradisi kupatan ini sehingga bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat yang lainnya untuk ikut serta dalam melestarikan tradisi leluhur kita. b. Apa Tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan? Acara ini adalah adat yang baik, adat yang Islami, warga semangat menjalankan agar mendapat barokah. Dengan kata lain, melalui tradisi kupatan inilah diyakini akan tercipta ukhuwah Islamiyah yang semakin kuat. spirit yang dibawa oleh masyarakat desa Paciran adalah spirit silaturrahmi seperti yang sudah dicontohkan oleh para sesepuh terdahulu tentang betapa pentingnya silaturrahmi untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar masyarakat desa. 5. Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, 12 Juni 2018 Pertanyaan: a. Bagaimana Pandangan bapak tentang tradisi kupatan? Tradisi kupatan yang dilakukan setahun sekali ini sangat di nantikan karena menyajikan banyaknya kesenian dan makanan-makanan khas yang bisa di santap secara gratis, selain itu kupatan yang di tunggu-tunggu adalah royokan gunungan ketupat (berebut gunungan ketupat) yang diyakini membawa keberkahan bagi yang mendapatkannya.
Lampiran III
Foto Kesenian Tongklek Foto Kesenian Tanjidor
Foto Pertunjukan Fragmen Kolosal Pemeran Sunan Sendang dan Sunan Drajat
Foto arak-arakan gunungan ketupat Foto kesenian jaran jenggo