Budaya Syawalan Atau Lomban Di Jepara: Studi Komparasi Akhir Abad Ke-19 Dan Tahun 2013
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BUDAYA SYAWALAN ATAU LOMBAN DI JEPARA: STUDI KOMPARASI AKHIR ABAD KE-19 DAN TAHUN 2013 Oleh Dr. Alamsyah, M.Hum1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro ABSTRAK Lomban atau syawalan di Jepara telah berlangsung sejak ratusan tahun yang silam. Pada tahun 1868, kegiatan syawalan berlangsung semarak dengan didukung oleh bupati, lurah, dan masyarakat. Pesta rakyat Jepara ini dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah seperti Rembang, Semarang, dan Juwana. Kegiatan yang dilakukan tujuh hari setelah lebaran pada tahun 1868 tidak terjadi di daerah lain. Bila dibandingkan aktivitas lomban tahun 1868 dengan tahun 2013 terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kegiatan syawalan diwarnai oleh aktivitasi budaya melarung kepala kerbau. Bupati serta pejabat yang lain dan masyarakat guyub rukun mendukung aktivitas lomban ini. Perbedaannya adalah pada tahun 2013 terdapat pengembangan kegiatan antara lain pentas wayang kulit dan hiburan. Namun demikian, esensi dari kegiatan lomban masih tetap sama yaitu meminta kepada yang Maha Kuasa agar kegiatan mencari rezeki di laut pada tahun mendatang semakin mudah. Kata-Kata Kunci : Kegiatan, Budaya, Syawalan, Komparasi, Jepara PENDAHULUAN Jepara adalah sebuah kota di pantai nelayan semakin meningkat (Singgih, 2005: Utara Jawa yang kaya akan peninggalan 71). budaya dan sumber daya manusia (human Syawalan atau sedekah laut resources) yang belum dioptimalkan. merupakan salah satu tradisi masyarakat Padahal peninggalan budaya baik tangibel pesisir atau nelayan di berbagai wilayah. maupun intangibel yang ada sangat Syawalan atau sedekah laut serta tradisi- tradisi lainnya dalam pandangan antropolog berpotensi dalam menggerakkan dinamika Ruth Benedict merupakan salah satu pariwisata lokal (Alamsyah, dkk, 2013: 1; konstruk kebudayaan suatu masyarakat Sumijati, 2004: 8). Modal yang telah ada di tertentu. Menurutnya, pada setiap Jepara dapat dikemas menjadi keunggulan kebudayaan biasanya terdapat nilai-nilai lokal yang dapat menarik wisatawan. Namun tertentu yang mendominasi ide yang potensi peninggalan budaya yang beragam berkembang yang akan membentuk dan belum dipasarkan secara optimal sehingga mempengaruhi aturan aturan bertindak jumlah kunjungan wisatawan untuk melihat masyarakatnya (the rules of conduct) dan potensi peninggalan budaya lokal Jepara aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang membentuk pola kultural masih minim. Salah satu peninggala budaya masyarakat (1958, lihat juga dalam Anwar, yang ada di Jepara adalah tradisi lomban 2013: 438). atau Syawalan. Kegiatan ini sudah Atas dasar itulah maka artikel ini berlangsung ratusan tahun yang silam di mengangkat topik “Budaya Syawalan atau sebuah pantai di Jepara. Dari waktu ke Lomban Di Jepara: Studi Komparasi Akhir waktu kegiatan ini mengalami pergeseran, Abad Ke-19 dan Tahun 2013” dengan namun esensinya tetap sama yaitu meminta permasalahan pertama, bagaimana berkah kepada yang maha kuasa agar pada bagaimana budaya syawalan di Jepara, tahun yang akan datang rezeki masyakat kedua Bagaimana Studi Komparasai 1 Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang Syawalan pada akhir abad ke-19 dan tahun sebelumnya, dan dari berbagai pustaka yang 2013. relevan. METODE PENELITIAN Tahapan yang dilakukan dalam Artikel tentang “Budaya Syawalan penelitian ini antara lain penggalian data Di Jepara : Studi Komparasi Akhir Abad Ke- primer berupa arsip atau dokumen. Informan 19 dan Tahun 2013” merupakan sebuah tentang Syawalan juga dapat dilacak dari penelitian deskriptif analitis dengan sumber primer berupa surat kabar seperti dukungan data kualitatif. Penelitian ini Suara Merdeka. Sumber sekunder diperoleh menggunakan sumber primer dan sumber dari kajian sebelumnya dan berita online sekunder. Sebagai penelitian sejarah, maka tentag kegiatan Syawalan pada tahun 2013. penelitian ini dilakukan dengan Sumber-sumber tersebut diteliti secara kritis menggunakan metode sejarah yang terdiri baik keaslian maupun kredibilitasnya. atas heuristik, kritik, interpretasi, dan Dalam rangka menggali informasi historiografi. Tujuannya adalah untuk yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya mencoba melakukan rekonstruksi peristiwa dilakukan observasi langsung. Observasi masa lalu (Garraghan, 1946: 34; Gottschalk, atau pengamatan bertujuan untuk 1986: 32; Sjamsuddin, 2007: 85-87; memperoleh deskripsi yang lebih utuh Herlina, 2008: 15). Heuristik adalah tahapan mengenai budaya lokal dan nilai-nilai yang atau kegiatan menemukan dan menghimpun terkandung untuk dikembangkan. sumber, informasi, dan jejak masa lalu. Pendekatan antropologis juga digunakan (Garraghan, 1946: 34; Gottschalk, 1986: 32; dalam penelitian ini. Pendekatan Herlina, 2008: 15). Heuristik ini sebagai antropologis memfokuskan pada studi-studi upaya menemukan kekuatan bukti sumber etno-historis yaitu berbagai aktivitas yang ditemukan (Garraghan, 1946: 168). masyarakat, budaya, makna simbolis, dan Heuristik yang dilakukan mendasarkan pada nilai-nilai tradisi lokal yang di masa sumber sumber primer dan sumber sekunder sekarang masih berkait atau mencerminkan (Herlina, 2008: 17-24). Kritik ditujukan pengetahuan dan kehidupannya di masa dalam rangka menuju ke arah keabsahan lampau yang mempunyai makna budaya. sumber baik untuk meneliti otentisitas Pendekatan hermeuneutik yaitu sumber, atau keaslian sumber, yang disebut pendekatan yang memposisikan karya kritik eksternal, dan meneliti kredibilitas sebagai karya, yang membutuhkan bentuk sumber, atau kritik internal (Garraghan, pemahaman yang lebih halus dan 1946: 229; Herlina, 2008: 24). komprehensif. Sebuah “karya” selalu Interpretasi adalah penafsiran ditandai dengan sentuhan manusia, karena terhadap berbagai fakta sejarah yang telah karya selalu berarti karya manusia (atau terkumpul dalam tahapan heuristik. Tanpa Tuhan). Untuk menggunakan kata “obyek” penafsiran atau interpretasi dari sejarawan (penelitian) yang berkaitan dengan sebuah karena fakta tidak bisa berbunyi. Sejarawan karya, akan mengaburkan perbedaan yang jujur akan mengatakan dari mana data penting, karena seseorang harus melihat itu diperoleh baik melalui interpretasi karya tidak sebagai obyek atau fakta, tetapi analisis maupun interpretasi sintesis sebagai karya. Aktivitas budaya yang (Garraghan, 1946: 321; Herlina, 2009: 40). dipandang sebagai karya membutuhkan Studi arsip atau penemuan sumber bentuk pemahaman yang lebih halus dan untuk menulis suatu peristiwa mendasarkan komprehensif (Geertz, 1973; lihat juga cara-cara yang lazim dilakukan sejarawan Grondin, 2012: 256-258). (Garraghan, 1957: 33; Gottschalk, 1956: 27- Semua data yang telah dikumpulkan 28; Herlina, 2008 ; Sjamsudin, 2007). melalui berbagai pendekatan di atas Sumber primer berupa arsip atau data lain selanjutnya akan diklasifikasikan, dihubung- baik tekstual maupun non tekstual. Adapun hubungkan atau diakumulasikan antara data sumber sekunder diperoleh hasil riset satu dengan yang lainnya, dikaitkan antara sumber primer dengan sumber-sumber adalah Het Pada Loemban Feest Te Japara pustaka atau sumber sekunder, sebagai suatu (Kegiatan Pada Lomban di Jepara). Artikel bentuk interpretasi dan disintesakan dalam ini menyebutkan tentang kata ketupat lepat. rangka mengembangkan model yang dapat Ketupat lepat adalah sejenis ketupat yang diaplikasikan. Tahapan terakhir adalah tidak dalam bentuk kubus seperti biasanya. historiografi yaitu melakukan proses Bentuk ketupat lepat memanjang dan bulat, penulisan (Herlina, 2009: 56). Historiografi berbentuk silinder. Gambaran tentang ini memperhatikan proses seleksi, imajinasi, ketupat dalam kamus Melayu berbeda. dan kronologi (Abdullah, 1984: 92; Menurut Kamus Melayu disebutkan bahwa Gottschalk, 1975: 33; Renier, 1997: 194; Ketupat merupakan suatu adonan beras yang Kuntowijoyo, 1995: 103). diolah dengan cara dimasak. Sejumlah kecil Bagan alir berikut ini menunjukkan beras kasar dicampur dengan sedikit garam, metode penelitian yang digunakan untuk dianyam dalam keranjang yang terbuat dari mencapai tujuan penelitian. daun kelapa muda dengan bentuk kubus atau piramida. Setelah anyaman jadi dan telah diisi, maka ketupat tersebut direndam dalam KESIMPULAN air masak hangat. Keranjang ini memiliki Deskripsi Peninggalan Budaya Syawalan/Lomban besar satu kepalan tangan kecil sehingga beras yang dimasak menjadi padat. Kadang-kadang orang membuat keupat lepat ini dalam bentuk menyerupai Historis Hermeunitik Antropologis Pendekatan mesjid. Ketika ketupat biasa diiris melintang, Interpretasi Simbolik pada irisan itu orang mendapatkan satu bidang yang seluruhnya mirip dengan bentuk diagonal seperti kain selimut atau kain lap. Oleh karena itu, kain ini juga sering disebut Studi Pustaka seprei belah ketupat. Pada upacara Pada Observasi lumban di Jepara orang saling merancang ketupat. Diperkirakan pesta lomban ini ini Sumber primer (data Sumber Sekunder (data memiliki makna sejarah (TNI, 1868: 86). tekstual / non tektual tekstual / non tektual Yang menarik dari jurnal ini Sumber Sekunder (data Sumber Sekunder (data Tekstual / non Tekstual) disebutkan bahwa pesta lomban yang Tekstual / non Tekstual) berasal dari Jepara tidak pernah terdengar di tempat lain. Artinya bahwa pada tahun 1868, BAGAN METODOLOGIS Rumusan Pesta lomban di Jepara adalah satu-satunya Masalah pesta lomban di pesisir pantai. Istilah lomban mengandung makna saling melempar atau berenang. Istilah lokal juga menyebutkan bahwa ketika anak-anak saling bersenang- PEMBAHASAN senang saat mandi, mereka akan saling menyiram air atau yang disebut dengan A. Kegiatan Syawalan atau Lomban Pada istilah lumbanan. Akhir Abad