Komunikasi Simbol : Peci Dan Pancasila

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Komunikasi Simbol : Peci Dan Pancasila KOMUNIKASI SIMBOL : PECI DAN PANCASILA Rama Kertamukti (Dosen Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) ABSTRACT The use of peci in the activities of the community in Indonesia is an equivalent form of the symbol of amity and simple. Amity and the simplicity of it is visible in the form of a caps which usually contains only one element of black color and the shape of a tube-like caps follow the head of its users. The use of caps or songkok in Indonesia has been regarded as the culture (Pancasila). Caps in Indonesia became a symbol of resistance in a simplicity pattern to form a balance in society concerned with the material. Black in a psychology color have stimuli the nature of human emotion strong and have expertise are defined although official or formal. Symbol- ism key of mental life typical human and exceeding tiers animal of economics. Basic needs will symbolization clear in humans serves continuously and is a process of fundamental the human mind. As users and interpreter of symbol, human sometimes irrational to think of as if there natural of a connection between a symbol with what symbolized. : Peci, Pancasila, Symbol, Society A. Pendahuluan khas cara berpakaian sebagian umat muslim Sejarah adalah pondasi masa sekarang, di Indonesia. Sebagai Penutup kepala, Peci ada- ketika membaca buku sejarah Indonesia pada lah sunnah nabi dan mereka meyakini bahwa masa pergerakan melawan penjajahan menggunakan penutup kepala berarti mereka imperialisme, banyak terlihat para pejuang mencintai nabinya. Mereka berpendapat ke- bangsa semisal Soekarno, Sutan Sjahrir, Moh. biasaan menelanjangi kepala, tanpa peci atau Hatta selalu menggunakan peci hitam yang surban adalah kebiasaan orang di luar Islam. sangat khas sekali. Sepertinya Peci menjadi hal Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa yang mewakili kebangsaan atau nasionalisme “Amr bin Huroits radhiyallahu ‘anhu berkata bangsa Indonesia saat itu. Peci adalah bagian bahwa, Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam Vol. 6, No. 1, April 2013 53 pernah berkhutbah, sedang beliau memakai Berpeci dalam kegiatan kemasyaraka- surban hitam” (HR Muslim dan Abu Dawud). tan di Indonesia adalah sebuah bentuk simbol pergaulan yang setara dan sederhana. Penye- B. Peci sebuah Simbolis taraan dan kesederhanaan itu terlihat dalam Komunikasi bentuk sebuah peci yang biasanya hanya terdiri Peci, merupakan istilah lain dari penu- satu unsur warna hitam dan bentuk peci yang tup kepala yang sering digunakan oleh seorang seperti tabung mengikuti kepala penggunanya. pria muslim untuk acara-acara keagamaan Penggunaan peci atau songkok di Indonesia maupun acara resmi lainnya. Peci sebagai se- telah dianggap sebagai hasil budaya. Budaya buah penutup kepala bagi umat islam di Indo- sendiri adalah sebuah sistem yang mempunyai nesia menjadi sebuah sejarah panjang, dari se- koherensi, berupa bentuk-bentuk simbolis buah nilai keagamaan menjadi sebuah nilai yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lu- ideologi berbangsa. Peci memasuki wilayah pe- kisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempu- mikiran simbolis para pemimpin Indonesia da- nyai kaitan erat dengan konsep-konsep epis- lam sejarah perjalanan bangsa. Bagaimana se- temologis dari sistem pengetahuan masyara- buah Peci menjadi sebuah “Visual bergerak” katnya (Kuntowijoyo, 1987: xi). Penggunaan untuk melambangkan bahwa pemakaiannya Peci di Indonesia sudah lama terlacak peng- adalah seorang pemimpin yang nasionalis se- gunaannya di Indonesia, dalam buku Sejarah kaligus agamis, khususnya Soekarno sebagai Nasional Indonesia III karangan Marwati pencetus lahirnya Pancasila dan yang mem- Djoened Poesponegoro dan Nugroho Noto- populerkan peci sebagai simbol nasionalisme, susanto, Peci sudah dikenal di Giri, salah satu menjadikan peci menjadi sebuah hal yang sa- pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja ngat menarik. Sangat menarik memang me- Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar aga- ngambil hubungan antara sebuah peci dengan ma Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ter- Pancasila yang memiliki lima sila sebagai dasar nate dengan membawa kopiah atau peci seba- negara RI. Diawali dengan cerita bagaimana gai buah tangan. Peci dari Giri dianggap magis sebuah peci hadir didalam masyarakat Indone- dan sangat dihormati serta ditukar dengan sia dan juga cerita sejarah pertamakali Soekar- rempah-rempah, terutama cengkeh tulis. Me- no sebagai pemimpin bangsa ingin menjadikan nurut Hendri F.Isnaeni (2010), peci sebagai identitas nasional, lalu dihubung- kan dengan Pancasila sebagai dasar negara In- C. Penanda Sosial donesia. Apa arti sebuah peci dengan nilai-nilai Peci kemudian menjadi penanda sosial yang terkandung dalam Pancasila, bagaimana seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sebuah peci bermakna mendalam pada sebuah sudah dikenal seperti kain, turban, topi-topi ideologi bangsa? Keinginan ingin membuka Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk sebuah semiotik semantik dalam perkara peci khusus. Pemerintah kolonial kemudian beru- sebagai penutup kepala sangatlah mengelitik saha mempengaruhi kostum lelaki di Jawa. untuk dikaji. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda pe- riode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercer- min dalam pengadopsian bagian-bagian ter- tentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian Gambar 1. Peci hitam dikenal dengan gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci Kopiah tak pernah lepas dari kepala mereka. Konon Jurnal Komunikasi PROFETIK 54 asal kata Peci sendiri berasal dari bahasa Setiap orang ternganga melihatnya tan- Belanda pet (topi) dan je (kecil). pa bicara. Mereka, kaum intelegensia, memben- Peci di Indonesia menjadi sebuah sim- ci pemakaian blangkon, sarung, dan peci ka- bol perlawanan sebuah kesederhanaan untuk rena dianggap cara berpakaian kaum lebih ren- membentuk pola keseimbangan dalam masya- dah. Dia pun memecah kesunyian dengan ber- rakat yang mementingkan material. Hitam da- bicara: “…Kita memerlukan sebuah simbol dari lam sebuah psikologi warna mempunyai rang- kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki si- sangan sifat emosi manusia yang kuat dan fat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh mempunyai keahlian walaupun diartikan resmi bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Me- atau formal (Marian L. David, 1987: 135). nurutku, marilah kita tegakkan kepala kita de- Penggunaan Warna hitam juga menunjukkan ngan memakai peci ini sebagai lambang Indo- sifat-sifat yang positif, menandakan sifat tegas, nesia Merdeka.” Sukarno menyebut peci se- kukuh, formal, struktur yang kuat (Sulasmi bagai “ciri khas saya... simbol nasionalisme Darmaprawira, 2002 :49). Bentuk yang me- kami.” Sukarno mengkombinasikan peci de- lingkar mengikuti bentuk kepala menandakan ngan jas dan dasi. Berpakaian seperti itu, me- bentuk peci yang luwes dalam membentuk ke- nurut Sukarno untuk menunjukkan kesetaraan pala. Pola kesederhanaan yang terbentuk dalam antara bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pola perilaku masyarakat Indonesia, sederhana terjajah dan Belanda sebagai bangsa penjajah. tetapi dapat menciptakan ketangguhan. Ke- Semenjak peristiwa itu, Sukarno hampir selalu inginan itulah yang ingin dinyatakan dalam se- mengenakan peci hitam saat tampil di depan buah simbolisasi peci yang dikenakan masya- publik. Seperti yang dia lakukan saat memba- rakat terhadap sebuah peci. Kesederhanaan cakan pledoinya “Indonesia Menggugat” di Pe- inilah yang ditangkap Soekarno “Founding Fa- ngadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. ther” dalam sebuah pemaknaan peci sebagai Dan peci kemudian menjadi simbol nasio- simbol nasionalis untuk mempersatukan bang- nalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian sa. Soekarno mengerti betul tentang simbol kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen. kesederhanaan itu dalam sebuah peci. Ada se- Karena itulah, George Quinn dalam The buah cerita tentang awal mula Sukarno mem- Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, mende- populerkan pemakaian peci, seperti ditutur- finisikan peci dengan mengambil contoh Su- kannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah karno, “Soekarno sat in the courtroom wearing white Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno Pemuda itu masih berusia 20 tahun. duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tu- putih, dan peci hitam)”. Sebenarnya Sukarno kang sate, dia mengamati kawan-kawannya, bukanlah intelektual yang kali pertama meng- yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai gunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong mengundang tiga politisi, yang kebetulan lagi Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih menjalani pengasingan di Negeri Belanda: ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan “Apakah engkau seorang pengekor Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan atau pemimpin?” identitas masing-masing. Ki Hajar mengguna- “Aku seorang pemimpin.” kan topi fez Turki berwarna merah yang kala “Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya itu populer di kalangan nasionalis setelah ke- lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang munculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat... menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto Sekarang!” mengenakan kopiah dari beludru hitam. Se- Vol. 6, No. 1, April 2013 55 dangkan Douwes Dekker tak memakai penutup sasi adalah kebutuhan pokok manusia,
Recommended publications
  • Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten
    Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) Gabriel Facal Abstract: This article examines the religious specificities of Banten during the early Islamizing of the region. The main characteristics of this process reside in a link between commerce and Muslim networks, a strong cosmopolitism, a variety of the Islam practices, the large number of brotherhoods’ followers and the popularity of esoteric practices. These specificities implicate that the Islamizing of the region was very progressive within period of time and the processes of conversion also generated inter-influence with local religious practices and cosmologies. As a consequence, the widespread assertion that Banten is a bastion of religious orthodoxy and the image the region suffers today as hosting bases of rigorist movements may be nuanced by the variety of the forms that Islam took through history. The dominant media- centered perspective also eludes the fact that cohabitation between religion and ritual initiation still composes the authority structure. This article aims to contribute to the knowledge of this phenomenon. Keywords: Islam, Banten, sultanate, initiation, commerce, cosmopolitism, brotherhoods. 1 Banten is well-known by historians to have been, during the Dutch colonial period at the XIXth century, a region where the observance of religious duties, like charity (zakat) and the pilgrimage to Mecca (hajj), was stronger than elsewhere in Java1. In the Indonesian popular vision, it is also considered to have been a stronghold against the Dutch occupation, and the Bantenese have the reputation to be rougher than their neighbors, that is the Sundanese. This image is mainly linked to the extended practice of local martial arts (penca) and invulnerability (debus) which are widespread and still transmitted in a number of Islamic boarding schools (pesantren).
    [Show full text]
  • Western Java, Indonesia)
    Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) Gabriel Facal Université de Provence, Marseille. Abstrak Artikel ini membahas kekhasan agama di Banten pada masa awal Islamisasi di wilayah tersebut. Karakteristik utama dari proses Islamisasi Banten terletak pada hubungan antara perdagangan dengan jaringan Muslim, kosmopolitanisme yang kuat, keragaman praktek keislaman, besarnya pengikut persaudaraan dan maraknya praktik esotoris. Kekhasan ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi Banten sangat cepat dari sisi waktu dan perpindahan agama/konversi yang terjadi merupakan hasil dari proses saling mempengaruhi antara Islam, agama lokal, dan kosmologi. Akibatnya, muncul anggapan bahwa Banten merupakan benteng ortodoksi agama. Kesan yang muncul saat ini adalah bahwa Banten sebagai basis gerakan rigoris/radikal dipengaruhi oleh bentuk-bentuk keislaman yang tumbuh dalam sejarah. Dominasi pandangan media juga menampik kenyataan bahwa persandingan antara agama dan ritual masih membentuk struktur kekuasaan. Artikel ini bertujuan untuk berkontribusi dalam diskusi akademik terkait fenomena tersebut. Abstract The author examines the religious specifics of Banten during the early Islamizing of the region. The main characteristics of the process resided in a link between commerce and Muslim networks, a strong cosmopolitism, a variety of the Islam practices, the large number of brotherhood followers and the popularity of esoteric practices. These specificities indicated that the Islamizing of the region was very progressive within 16th century and the processes of conversion also generated inter-influence with local religious practices and cosmologies. As a consequence, the widespread assertion that Banten is a bastion of religious orthodoxy and the image the region suffers today as hosting bases of rigorist movements may be nuanced by the variety of the forms that Islam 91 Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) took throughout history.
    [Show full text]
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • Bab I Pendahuluan
    BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan kerangka berpikir. A. Latar Belakang Masalah Pesantren merupakan lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan nasional. Pesantren sendiri memiliki karakteristik yang unik dan sedikit berbeda dengan sekolah-sekolah formal pada umumnya, seperti pelajaran agama yang lebih banyak dan lebih ditekankan, disamping itu para siswa dan siswinya lebih dikenal dengan sebutan santri, para santri harus tinggal di lingkungan pesantren. (http://www.depag.go.id) Kini perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya mampu menyejajarkan diri dengan pendidikan pada umumnya. Bahkan di pesantren dibuka sekolah umum (selain madrasah) sebagaimana layaknya pendidikan umum lainnya. Kedua model pendidikan (sekolah dan madrasah) sama-sama berkembang di pesantren. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat. (http://www.depag.go.id) Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pondok pesantren dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, baik secara intelektual maupun perilaku. Pola pendidikannya, yang mengharuskan para santrinya tinggal dalam asrama, selain bertujuan agar para santri lebih fokus dalam mempelajari ilmu-ilmu agama, juga bertujuan mengajarkan kemandirian. Namun pola kehidupan seperti ini memiliki pengaruh Jauh dari orang tua dan saudara-saudara kandung mengharuskan para santri siap menjalani kehidupan secara mandiri. Jika mereka mendapatkan masalah, mereka hanya memiliki ustadz atau pembantu kiai, serta teman-teman sebaya untuk meminta bantuan. Bahkan teman-teman sebaya inilah yang memiliki peranan lebih besar dalam kehidupan seorang santri. Ini dikarenakan interaksi mereka lebih banyak dilakukan dengan teman sebaya tersebut, sejak bangun tidur hingga tidur kembali.
    [Show full text]
  • Lebaran Rituals and Consumption Pattern: A
    JOURNAL OF BUSINESS AND MANAGEMENT Vol. 3, No.7, 2014: 725-736 LEBARAN RITUALS AND CONSUMPTION PATTERN: A CASE STUDY IN SOUTH JAKARTA Najwa Assilmi and Ira Fachira School of Business and Management Institut Teknologi Bandung, Indonesia [email protected] Abstract- Purpose- Lebaran is a religious celebration for Muslims all around the world. Each year in Indonesia, which is the home of the biggest Muslims in the world, Lebaran has become a major phenomenon that is affecting the Indonesia’s retail and economic condition. The purpose of this research is to examine how Lebaran rituals affect consumers’ consumption as shown in feasting ritual as part of Lebaran. This exploratory study examines three different groups: people who are hosting the Lebaran feast, people who visit, and people who do both. Design/Methodology/Approach- A quantitative research was done with distributing questionnaire to a total of 120 samples of married South Jakarta female with children. A descriptive analysis was conducted to compare the different result of the three different groups. Findings- The majority of all three groups spent 25% more on Lebaran month rather than their regular month. The host & guest group seems to spent more spendings on main feast than those from the host only the guest only group. For main feast, most decision maker are done by the mother alone. Most respondents from all three group also choose to shop main feast at Supermarket rather than traditional market. The shopping information was get from their own peers rather than traditional media. The variance of product is the most important attributes to a store according to all three groups.
    [Show full text]
  • A Case Study of Rural–Urban Affinity on Mudik Lebaran in Central Java1
    Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 4, 2011, pp. 49-66 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/jissh/index URN:NBN:NL:UI:10-1-101743 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 1979-8431 Is the Past Another Country? A Case Study of Rural–Urban Affinity on Mudik Lebaran in Central Java1 Vissia Ita Yulianto Department of Social and Cultural Anthropology University of Freiburg, Germany E-mail: [email protected] Abstract This study is to explore the relations between the urban and rural in terms of their social as well as cultural significance. Referring to the idea of David Lowenthal— (1985:39-52) who has pointed out that the connection between the past and present rests on the fact that the past has been the source of familiarity, guidance, identity, enrichment and escape—the central idea of the paper is to suggest that this notion of a ‘familiar past’ is a fundamental aspect of the culture of contemporary urbanised Central Javanese, who, during the Lebaran holiday, revisit their ancestral roots to retain a degree of autonomy against modernity or to return to their ‘disappearing past’ as ‘tourists’, so to speak. The cultural practice of mudik becomes the interaction zone (Leaf, 2008) that provides opportunities for city dwellers to keep ties with their village of origin. Finally, the paper suggests that the continuing intimate interplay between the village and town proves that neither past–present nor rural–urban dichotomies are in categorically opposed realms; metaphorically speaking, they are not in different countries.
    [Show full text]
  • Halal Bi Halal, a Festival of Idul Fitri and It's Relation
    HALAL BI HALAL, A FESTIVAL OF IDUL FITRI AND IT’S RELATION WITH THE HISTORY OF ISLAMIZATION IN JAVA Saiful Hakam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) [email protected] Abstract In this paper I will discuss three topic: the origin of Idul Fitri, the halal bi halal tradition and the history of Islamization in Java. Based on Robert Redfied’s notion of great tradition and little tradition, I want to argue that the festival of Idul Fitri in Java is more happy, cheery, and merry rather than in the origin country because in the past the intellectuals who propagated Islam did not try to change radically the local traditions, however they preferred to recontinue the ancient traditions with a new religion from great tradition, Islam. It was a very smooth and smart movement because they revive the ancient traditions by Islamizing the ancient tradition. [Dalam artikel ini saya akan membahas tiga topik: Idul Fitri, tradisi halal bi halal dan sejarah islamisasi di Jawa. Berdasarkan gagasan Robert Redfied tentang tradisi besar dan kecil, saya ingin mengatakan bahwa festival Idul Fitri di Jawa lebih menyenangkan, ceria dan menggembirakan daripada di negara asal karena di masa lalu para intelektual yang menyebarkan Islam tidak mencoba untuk mengubah secara radikal tradisi lokal, namun mereka memilih untuk melanjutkan-tradisi kuno dengan agama baru dari tradisi besar Islam. Itu adalah gerakan yang sangat halus dan pintar sebab mereka menghidupkan kembali tradisi kuno dengan memadukannya dengan Islam.] Keywords: Halal bi Halal, Idul Fitri, Islamization in Java Saiful Hakam: Halal bi Halal................. In this paper I want to discuss the development of the great tradition1 and little tradition in Java.
    [Show full text]
  • Makna Perayaan Syawalan Desa Morodemak
    TRADISI SYAWALAN di Morodemak, Bonang, Demak Khoirul Anwar Program Doktor IAIN Walisongo Abstract This paper describes the tradition of Syawalan at Morodemak Village, District Bonang, Demak regency to reveal the meaning of the tradition for the community. Direct observations, interviews and examination of secondary data, explain that the tradition for the people of Morodemak, is a form of gratitude to the Almighty God for the gift of the abundance of seafood as well phrase prayer of salvation from all dangers that can arise from the sea. Tradition also has significance of Syawalan concern for nature, especially the sea as well as the meaning of cohesion and communality among fishing communities. In addition to these cultural meanings, tradition of Syawalan also has economic and socio-cultural significance for local government and communities. Key words: Tradition, Syawalan, Java Coastal area, Demak, Sociocultural meaning. 1. Pendahuluan Sejak dulu kala Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan tradisi yang luar biasa banyak dan beragam. Keragaman tradisi tersebut didasarkan pada keragaman etnik dan budayanya yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Koentjaraningrat (2002) mengulas secara komprehensip tentang berbagai kebudayaan tersebut, seperti kebudayaan Batak, Ambon, Flores, Timor, Aceh, Minangkabau, Bugis- Makassar, Bali, Sunda, Jawa dan sebagainya. Salah satu kekayaan tersebut adalah tradisi Syawalan atau Sedekah Laut. Syawalan atau sedekah laut merupakan salah satu tradisi yang populer bagi masyarakat pesisir atau nelayan di berbagai wilayah. Di Jawa Tengah tradisi Syawalan atau sejenisnya dilaksanakan oleh komunitas nelayan di wilayah-wilayah pantai di 1 Cilacap, Tegal, Pekalongan, Batang, Weleri, Kendal, Kaliwungu, Demak, Jepara, Kudus, Juwana, Pati dan sebagainya. Syawalan atau sedekah laut serta tradisi-tradisi lainnya dalam pandangan Antropolog Ruth Benedict (1959) merupakan salah satu konstruk kebudayaan suatu masyarakat tertentu.
    [Show full text]
  • Jesus in Java : an Orthodox Experience (To Appear in 2001 Studia Missionalia, Pontifica Università Gregoriana)
    1 Jesus in Java : an Orthodox experience (to appear in 2001 Studia Missionalia, Pontifica Università Gregoriana) Father Stephen C. Headley (Moscow Patriachate) One cannot expect a distinctive Indonesian Orthodox theology from a church founded just ten years ago. Furthermore, since the Orthodox Church, the church of the seven councils, is united by one theology, it is to be expected that any variations in that theology will be found in its cultural expression more than in its dogmatic content. In order to describe the conversion of a small number of Indonesians, mostly Javanese, to Jesus Christ and their entering the Orthodox Church (Metropolia of Hong Kong and Southeast Asia; Ecumenical Patriarchate) we need to listen to their witness, and to situate it in the context of the Orthodox in Asia1. We also need to understand something of the cultural milieu in which their journey took place. Peoples are very different and experience Christ in their own way. I have become sufficiently familiar with the island of Java in Indonesia over the last thirty years to willingly admit how much lies outside of my understanding, nonetheless I will discuss the following: - The relation between custom and religion. - The relation between family and religion. - Individual evaluations of faith. - Liturgy and cosmology. The relation between custom and religion in Java One can only approach the Holy Trinity through the voice of Christ. The guards sent by the Pharisees tocapture Christ, on returning empty-handed, said “Never man spake like this man (John 7:45). His voice is also unique for the Javanese Orthodox. In a country where religious practice is so important, and religious pluralism is so much in evidence, the distinctiveness of Christ’s voice is critical.
    [Show full text]
  • Idul Fitri (Eid Al-Fitr) in Indonesia
    ENGLISH SPEECH www.soehaarrr.com Topic : Religion; Islam Title : Idul Fitri (Eid al-Fitr) in Indonesia This simple speech script is written by har_ ©2013_www.soehaarrr.com; intended to be used for Indonesian students: SMP, MTs, SMA, MA, SMK, College. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Honorable Juries Ladies and Gentlemen Sisters and brothers … First of all, let us praise to the Almighty Allah SWT, because of His Blessing we are able to attend this English speech contest. Secondly, may peace be upon the prophet Muhammad Saw who has guided us from the darkness into the brightness. I would also like to say many thanks to the juries and MC who have given me opportunity to deliver an English speech in front of you all. Ladies and Gentlemen, Today, I would like to talk about “Idul Fitri in Indonesia”. Idul Fitri (Eid al-Fitr), also known as the Feast or Festival of Breaking the Fast, is an important religious holiday celebrated by Muslims worldwide that marks the end of the fasting month, Ramadhan. The day of Idul Fitri is on the first day of the month of Shawwal. Muslims are prohibited to fast on that day, and the main ritual done by Muslims is praying in the morning or shalat Idul Fitri which is usually carried out in an open field or a large hall. As one of the biggest Islamic traditions, Idul Fitri is always celebrated happily by Muslims around the world. Sisters and Brothers, In our country, Indonesia, Idul Fitri is the biggest festival celebrated by our people. Idul Fitri, popularly called as ‘Lebaran’, is not only a religion festival but also a tradition that has become a part of our culture.
    [Show full text]
  • Analisis Perbedaan Return Saham Sebelum Dan Sesudah
    ANALISIS PERBEDAAN RETURN SAHAM SEBELUM DAN SESUDAH HARI LIBUR LEBARAN PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (Studi Empiris Pada Perusahaan LQ45 Periode 2019) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Disusun oleh: Della Anjeni NPM. 16.0101.0106 PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2020 ANALISIS PERBEDAAN RETURN SAHAM SEBELUM DAN SESUDAH HARI LIBUR LEBARAN PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (Studi Empiris Pada Perusahaan LQ45 Periode 2019) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Manajemen Pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Magelang Disusun oleh: Della Anjeni NPM. 16.0101.0106 PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2020 i ii iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Della Anjeni Jenis Kelamin : Perempuan Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 01 Maret 1997 Agama : Islam Status : Belum Menikah Namengan RT 04/ RW 05, Alamat Rumah : Paremono, Mungkid, Magelang Alamat Email : [email protected] Pendidikan Formal Sekolah Dasar (2003-2009) : SD Negeri Paremono 4 SMP (2009-2012) : SMP Negeri 2 Mungkid SMK Muhammadiyah Kota SMA (2012-2015) : Magelang S1 Program Studi Manajemen Perguruan Tinggi (2016- Fakultas Ekonomi dan Bisnis : 2020) Universitas Muhammadiyah Magelang Magelang, 10 Agustus 2020 Peneliti Della Anjeni NPM. 16.0101.0106 iv MOTTO “Stay strong, read Qur’an, pray and praise Allah. This will help you”. (Muhammad Ali) “Karena Allah
    [Show full text]
  • The Existence of Culinary at Lomban Festival in Jepara: Comparative Study
    Article Komunitas: International Journal of The Existence of Culinary at Indonesian Society and Culture 10(1) (2018): 25-33 DOI:10.15294/komunitas.v9i1.10971 Lomban Festival in Jepara: © 2018 Semarang State University, Indonesia p-ISSN 2086 - 5465 | e-ISSN 2460-7320 Comparative Study http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas UNNES JOURNALS of The Dutch East Indies and Reformation Period Sri Indrahti1, Yanuar Yoga Prasetyawan2, Alamsyah3, Siti Maziyah4 1Faculty of Humanities Diponegoro University Semarang Received: 3 September 2018; Accepted: 1 March 2018; Published: 30 March 2018 Abstract In Jepara, various cultural activities are conducted regularly every year. This cultural activity is always ac- companied by a culinary presentation in accordance with the activities, needs, and interests. One of the cultural activities in Jepara is the lomban festival. In this local tradition, a variety of culinary is presented as complement to the cultural activities. The culinary consists of various types, such as market snacks and complete food with rice, vegetables, and side dishes. The culinary in this lomban activity is described in se- quence and detail. The culinary depicts the belief, symbolic and spiritual meaning of the supporters of that culture. Through this study, various types of culinary in cultural activities are well described including the symbolic and spiritual meaning behind the culinary presentation. Keywords lomban festival; culinary; culture; description; simbolic; Jepara INTRODUCTION ral resourches are also found in the local le- vel, including Jepara. One cultural heritage Social interaction leaves a trace of tangible which still exists in Jepara today is lomban and intangible culture (Koentjaraningrat, festival or Syawalan which is often called as 2003: 74-75).
    [Show full text]